com/indonesiapustaka
http://facebook.com/indonesiapustaka
Gajah Mada
Sanga Turangga Paksowani
http://facebook.com/indonesiapustaka
Gajah Mada
Sanga Turangga Paksowani
TIGA SERANGKAI
SOLO
Gajah Mada
SangaTurangga Paksowani
Langit Kresna Hariadi
Editor: Sukini
Desain sampul: Hapsoro Ardianto & Annas
Penata letak isi: Nugroho Dwisantoso
Cetakan ke-1: November 2018
Anggota IKAPI
Hariadi, Langit Kresna
Gajah Mada: Sanga Turangga Paksowani/Langit Kresna Hariadi
Cet. 1 — Solo Tiga Serangkai, November 2018
xii, 448 hlm.; 21 cm
ISBN: 978-602-320-678-0
(PDF)
1. Fiksi I. Judul
http://facebook.com/indonesiapustaka
T ak ada gading yang tak retak. Tak ada manusia yang sempurna,
meski itu seorang Gajah Mada. Perjalanan hidup Gajah Mada begitu
gemilang hingga sebuah tragedi menodainya. Perang Bubat bagai nila
setitik yang merusak susu sebelanga kepahlawanan Gajah Mada.
Sebagai pimpinan pasukan khusus Bhayangkara, Gajah Mada
berhasil menyelamatkan Prabu Jayanegara dari ancaman pembunuhan
Ra Kuti, bahkan mampu melakukan pukulan balik yang mematikan
hingga mengakhiri perjalanan hidup pemberontak itu.
Ketika singgasana tidak ada yang menduduki karena Jayanegara
terbunuh di tangan Ra Tanca, Gajah Mada pun kembali tampil. Dengan
mengusulkan Sri Gitarja dan Dyah Wiyat Rajadewi menjadi ratu kembar,
Gajah Mada berhasil menghindarkan Majapahit dari pertumpahan darah
akibat perebutan kekuasaan di antara kerabat istana.
Saat dua wilayah Majapahit, Sadeng dan Keta, ingin melepaskan diri
dari Majapahit dan berdiri sebagai negara merdeka, lagi-lagi Gajah Mada
adalah pahlawan yang berhasil memadamkan pemberotakan tersebut.
Sebagai imbalan atas keberhasilan mengembalikan Sadeng dan Keta ke
pangkuan Majapahit, jabatan patih utama atau patih amangkubumi pun
http://facebook.com/indonesiapustaka
diberikan kepadanya.
Mengawali kariernya sebagai patih amangkubumi, Gajah Mada
mengucapkan sebuah sumpah yang sejarah kemudian mencatatnya
sebagai Sumpah Palapa. Melalui sumpah itu, Gajah Mada bertekad untuk
menyatukan Nusantara di bawah naungan panji-panji Majapahit. Gajah
vi
Tiga Serangkai
Prakata
S ampai pada posisi ini, telah empat buku Gajah Mada saya tulis.
Dari buku pertama, Gajah Mada: Makar Dharmaputra, buku kedua,
Gajah Mada: Takhta dan Angkara, buku ketiga, Gajah Mada: Sumpah di
Manguntur, saya merasa untuk menulis buku keempat, Gajah Mada, Sanga
Turangga Paksowani inilah saya merasakan kelelahan mental luar biasa.
Kelelahan mental itu bukan karena pengerjaannya, bukan pula risetnya
yang alhamdulillah lancar-lancar saja, tetapi materi yang harus saya
angkat yang membuat saya kelimpungan. Mempelajari sejarah Sunda
serta kehidupan budayanya pada abad 13 benar-benar membutuhkan
waktu dan perhatian ekstra.
Gajah Mada adalah sosok yang saya kagumi. Sepanjang penalaran
saya, sulit saya memahami kerja keras macam apa yang harus dilakukan
seseorang untuk menyatukan seluruh wilayah Nusantara di abad yang
notabene belum mengenal teknologi modern, belum ada kapal bertenaga
diesel, belum ada pesawat terbang, bahkan listrik pun belum ada.
Menceritakan bagaimana perjuangan Gajah Mada, bagaimana sepak
terjangnya ketika menyelamatkan Sri Jayanegara dari pemberontakan Ra
Kuti, atau upayanya meredam pemberontakan Keta dan Sadeng, terasa
lancar-lancar saja. Akan tetapi, memasuki episode Perang Bubat, dahi
http://facebook.com/indonesiapustaka
harus lebih berkerut. Perang Bubat adalah episode gelap yang dilakukan
Gajah Mada dalam menerjemahkan sikap politiknya terhadap Sunda
Galuh (yang ia nilai merugikan karena tidak segera menggabungkan diri
dengan Majapahit, sementara Majapahit harus membayar ongkos yang
sangat besar untuk menjamin keamanan di lautan).
viii
Peristiwa itu terjadi pada tahun 1357, yaitu ketika Prabu Maharaja
Linggabuana yang membawa anak gadisnya, Dyah Pitaloka Citraresmi,
ke Majapahit dipaksa tunduk pada Majapahit dengan menempatkan
Dyah Pitaloka Citraresmi sebagai persembahan dan tanda takluk. Prabu
Maharaja dan para pengiringnya tidak bisa menerima nista itu dan memilih
memberikan perlawanan, meski harus tertumpas tanpa sisa. Peristiwa
itulah yang masih menyisakan jejaknya hingga sekarang, berupa hubungan
antara Sunda dan Jawa yang harus terganggu oleh nostalgia itu.
Kondisi yang demikian tentu kontra produktif. Rasa tidak suka
orang Sunda kepada Gajah Mada yang berimbas menjadi rasa tidak suka
kepada orang Jawa itu sama saja dengan cara pandang orang Indonesia
terhadap Belanda yang pernah menjajah Indonesia. Mestinya, rasa tidak
suka itu tidak perlu bersisa ketika waktu telah bergulir sedemikian lama,
bahkan telah berganti banyak generasi. Di balik nostalgia itu, sebenarnya
saya kemudian terganggu sebuah pertanyaan, benarkah generasi Sunda
sekarang masih dibayangi peristiwa itu?
Berangkat dari pertanyaan itu, saya layak berterima kasih kepada
Saudara Yulian Firdaus. Ia orang Sunda asli, pemilik sebuah blog dengan
alamat http://yulian.firdaus.or.id. Melalui blog yang dimilikinya, ia telah
membantu saya untuk memperkenalkan buku-buku saya, serial Gajah
Mada, kepada komunitasnya. Saya juga berutang kepada Saudara Jay
atas kesediaannya menyumbangkan kata pengantarnya. Saat saya merasa
membutuhkan cara pandang orang Sunda dalam menyikapi peristiwa
berdarah pada tahun 1357 itu, saya merasa Yulian Firdaus adalah orang
yang tepat.
Jika ingin berkomunikasi dengan saya, termasuk segala caci maki
dan pujian–kalau ada–bisa dilesakkan ke tiga buah e-mail: langit_kresna_
hariadi@yahoo.com, langitkresnahariadi@yahoo.co.id, atau de_manyul@
http://facebook.com/indonesiapustaka
yahoo.co.id
Penulis
Tragedi Bubat: Mulai Hancurnya Sebuah
Sumpah Sakti
sedikitnya) nama Gajah Mada atau Hayam Wuruk sebagai nama jalan atau
bangunan di wilayah Priangan ataupun sebaliknya. Tak akan ada habisnya
jika kita hanya mempertahankan ego atau melahirkan ego-ego lainnya,
malah hanya akan merusak tatanan ide dan falsafah negeri ini yang telah
memerdekakan diri lebih dari setengah abad yang lalu.
xii
Sebuah langkah besar jika kisah sejarah terpatri dalam ingatan kita
semua karena bangsa besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.
Sebuah langkah yang lebih besar jika kita makin banyak mengungkapkan
kritik. Sebab, wawasan dan pendidikan kita telah makin tinggi. Dan,
sebuah lompatan besar saat kita makin banyak menemukan jalan
kebenaran, meskipun kita tak pernah tahu ke mana arah kebenaran
tersebut. Hanya kepada-Nya kita bersujud meminta petunjuk.
Mari mengenal sejarah, sebab sejarah itu menyenangkan.
kali ini karena alasan lakonnya sendiri yang membuatnya merasa tak
tahu apa gunanya hidup.
1
Sanga turangga paksawani, sebagaimana Pararaton menyebut tahun Saka 1279 atau tahun Masehi 1357
2
Saniscara, Jawa Kuno, hari Sabtu. Dalam novel ini, Saniscara adalah tokoh utama yang keberadaannya
hanya fiktif belaka.
2 Gajah Mada
3
Yamadipati, dewa pencabut nyawa dalam pewayangan atau kisah Mahabarata
Sanga Turangga Paksowani 3
4
Danyang, Jawa, makhluk halus penghuni suatu benda atau tempat
5
Sangketan, Jawa, nama daun yang getah atau air hasil rebusannya bisa dipergunakan untuk menggambar
4 Gajah Mada
itu membuat orang yang melihat merasa seolah Gunung Kampud benar-
benar meletus. Apalagi, jika mengingat beberapa tahun lampau, Gunung
Kampud pernah murka dan meminta sedemikian banyak korban jiwa,
sebagaimana goyangan gempa di Pabanyu Pindah. Dua peristiwa itu
menandai hari kelahiran Raden Tetep.6
Lebih-lebih, jika yang digambar adalah Citra, pemilik muka cantik
nan jelita. Maka, kecantikan Citra yang hanya dalam lukisan niscaya
membuat orang yang menatapnya jatuh cinta.
Untuk menumpahkan amarah, Saniscara juga memerlukan gelegak
jiwa yang menempatkannya hingga ke sebuah tempat yang di sana ia
tidak mengenal rasa takut. Takut menghadapi kematian? Sama sekali
tidak! Kematian Citra kekasihnya yang pilih lampus diri7 menyebabkan
ia ikut tidak takut mati. Citra saja berani mengambil kematian sebagai
salah satu pilihan, mengapa dirinya tidak? Bunuh diri? Mengapa harus
takut?
Gelegak kali ini bukan sumber gagasan untuk melukis. Padahal,
betapa dahsyatnya jika ia tumpahkan gelegak itu ke atas lembaran kain
putih. Akan tetapi, bukan ke arah sana muara gelegak bramantya8 itu.
Kematian Citra tak boleh dibiarkan terlalu lama. Kepergian gadis itu
ke alam lain harus segera disusul supaya Citra tidak merasa sendirian.
Saniscara merindukan Citra sebagaimana kerinduan Maharesi Bisma
terhadap Amba9 yang harus ditebus melalui perang. Perang yang
menempatkan Bisma tersudut dalam malakama.
Bagi Saniscara, kematian itu sungguh dirindukan kedatangannya.
Hanya dengan menguak pintu gerbang kematian, ia bisa meraih
http://facebook.com/indonesiapustaka
6
Raden Tetep, nama kecil Prabu Hayam Wuruk menurut Pararaton
7
Lampus diri, Jawa, bunuh diri
8
Bramantya, Jawa, amarah
9
Dalam kisah Mahabarata, Bisma telah membunuh Amba, kekasih hatinya, melalui anak panah yang tak
sengaja terlepas. Balasan kematian Bisma terjadi dalam perang keluarga Barata melalui tangan Srikandi.
Kematian untuk bertemu kembali dengan kekasih hati itu amat dirindukan Bisma.
Sanga Turangga Paksowani 5
tangan Citra dan menggandeng kekasih hati itu terbang ke mana pun,
ke tempat yang di sana mereka bisa selalu bersama tanpa ada yang
mengusik.
Pandangan mata Saniscara menyapu padang Kurusetra10 itu dari
ujung ke ujung. Tempat itu memang layak disebut sebagai padang
Kurusetra. Atau, sampai pada tingkat kemarahan itu, Saniscara memang
layak menyebutnya benar-benar sebagai padang Kurusetra. Beberapa
buah tenda yang berdiri di kejauhan bisa disebut sebagai huppalawya.11
Di depannya, di seberang mayat-mayat yang menumpuk
menggunung, sekelompok prajurit memerhatikan apa yang akan ia
lakukan dengan mata tajam tidak berkedip. Sekelompok prajurit itu
tak hanya memandang, tetapi sebagian telah menelanjangi pedang.
Sebagian yang lain bahkan telah siap membidikkan anak panah dari
langkap yang telah terentang. Mungkin mereka telah berketetapan untuk
menyempurnakan akhir dari pembantaian itu. Musuh yang tinggal
seorang itu harus mati.
Tak hanya ada banyak mayat di tanah luas itu. Akan tetapi, juga
ada kuda yang membangkai dan kereta yang mengonggok yang
berkesanggupan membangun daya khayal, seolah kereta kuda itu milik
Raja Karna dengan sais Raja Salya yang berhadapan dengan Arjuna
yang juga menaiki kereta berkuda delapan dan dikendalikan Kresna.
Kedua kereta kuda itu sama berantakannya manakala perang dunia di
jagat Mahabarata itu tuntas.
Tumpukan mayat yang menyebar di tempat itu mengundang tanya,
mengapa saling bunuh yang demikian bisa terjadi? Puluhan burung gagak
dan burung-burung pemakan bangkai yang terbang tak seberapa tinggi
serasa tak sabar ingin segera mendarat dan meneguk genangan darah
untuk memuaskan dahaga yang mereka alami.
http://facebook.com/indonesiapustaka
10
Kurusetra, padang amat luas, tempat terjadinya perang besar antara Barata dan Kurawa sebagaimana
kisah Mahabarata
11
Huppalawya, dalam perang antarkeluarga Barata yang berlangsung di Kurusetra, kelompok Pandawa
membangun perkemahan atau pesanggrahan yang disebut huppalawya
6 Gajah Mada
12
Paksi, Jawa, burung
13
Cataka, Jawa Kuno, burung rajawali
Sanga Turangga Paksowani 7
tunggangannya.
Ketika jarak jangkau terpenuhi, orang itu melepas gagang anak
panah dari jepitan jarinya. Dua anak panah itu melesat dengan cepat.
Masing-masing menuju arah sasarannya. Laki-laki tua itu memiliki
kemampuan bidik luar biasa. Hal itu terbaca dari betapa akurat hasilnya.
Sanga Turangga Paksowani 9
Salah satu anak panah mengarah ke kepala kuda yang amat kencang
dalam berderap. Kuda itu tersentak ketika tiba-tiba merasa kepalanya
ditembus sesuatu.
Kuda itu terjengkang bersamaan dengan Saniscara yang mendadak
merasakan nyeri luar biasa karena dadanya juga tertembus anak
panah. Saniscara menggeliat dan berusaha keras mengubah rasa sakit
itu menjadi sesuatu yang indah. Betapa indah sakit itu ia rasakan.
Bukankah sejenak kemudian akan terpenuhi apa yang diinginkannya
untuk bertemu kembali dengan Citra? Di atas, tampak seseorang yang
berada dalam bayangan antara ada dan tiada melayang turun untuk
menjemputnya. Orang itu mirip bidadari. Mirip Amba yang menjemput
Bisma.
”Citra,” desis Saniscara menahan indahnya rasa nyeri.
Namun, agaknya Hyang Widdi berkehendak lain. Garis nasib
memang tidak selalu sama dengan apa yang dikehendaki manusia.
Saniscara merasa apa pun yang dilihatnya mengombak, mengombak
membentuk gelombang, bergerak cepat dalam ribuan warna-warni
pelangi, melesat cepat bagai menembus ruang dan waktu. Apakah
demikian yang selalu terjadi pada kematian?
Sosok tubuh itu makin terkulai. Napasnya tersengal. Matanya tidak
menutup, tetapi malah terbuka, sebagaimana napasnya tidak berhenti,
tetapi malah mengayun. Kematian yang diharapkan tidak segera datang,
tetapi malah tersendat. Maka, anak panah yang menggapai jantung
itu sungguh menimbulkan rasa nyeri. Napas yang tersengal karena
tenggorokan mendadak menyempit, menyebabkan udara yang keluar
masuk tak lagi lega.
Dengan tatapan mata bingung, sosok kesakitan itu memerhatikan
http://facebook.com/indonesiapustaka
2
K akek bernama Pawagal itu sudah tua sekali dan tak lagi
mengenali siapa pun. Namun, dengan kesungguhan hati, Rahyi Sunelok
merawatnya. Dan, dengan keprihatinan yang tuntas, Kanuruhan14 Gajah
Enggon menungguinya. Bagi Gajah Enggon, Kiai Pawagal adalah orang
yang memiliki arti khusus. Ia bukan hanya kakek mertua. Ia bukan hanya
kakek istrinya, tetapi Kiai Pawagal adalah orang yang memiliki sejarah
yang luar biasa.
Namanya menjadi kisah abadi yang selalu disebut-sebut orang
Majapahit, menjadi kenangan para orang tua yang masih mendongengkan
bagaimana hebatnya perjuangan Raden Wijaya dan orang-orang luar
biasa, seperti Pawagal dan teman-temannya dalam mendirikan negara
baru bernama Majapahit setelah Singasari runtuh digebuk Kediri. Di
http://facebook.com/indonesiapustaka
samping Pawagal, masih ada nama lain yang sering dituturkan bagaimana
sepak terjang mereka yang luar biasa, seperti Medang Dangdi, Pamandana,
Rangga Lawe, Nambi, Sora, Wirota Wiragati, dan lain-lainnya.
14
Kanuruhan, Jawa Kuno, sebutan bagi salah seorang pejabat di Sang Panca Ri Wilwatikta yang
selengkapnya adalah patih, kanuruhan, demung, rangga, dan temenggung
Sanga Turangga Paksowani 11
Duduk saja tidak mampu, tatapan mata kosong, tarikan napas sangat
tersengal dan terasa berat serta dari tenggorokannya terdengar suara
mendengkur kasar, pembebasan macam apa yang bisa diharap dari
keadaan itu? Apalagi, Kiai Pawagal sudah amat tua. Usianya mungkin
lebih dari delapan puluh lima tahun.
12 Gajah Mada
depan jatuh kepada seorang abdi istana yang sedang menyeret kereta
penuh rumput.
Kereta itu mestinya diseret kuda, entah mengapa orang itu justru
menggantikan tugas kudanya. Puluhan ekor menjangan yang telah jinak,
bergegas mendekat dan dengan tak sabar menyantap rumput yang
Sanga Turangga Paksowani 13
15
Pangeran pati, sama dengan kumararaja, yaitu anak raja yang terpilih untuk menjadi raja kelak
16
Hayam Wuruk, Raja Majapahit termasyhur. Ia terlahir dari perkawinan Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani dengan Raden Cakradara.
14 Gajah Mada
Kinanti tidak berumur panjang. Pada usia empat tahun, Ratna Kinanti
menutup mata untuk selamanya setelah mengalami sakit panas sehari
semalam tanpa diketahui penyebabnya.
17
Kadigdayan, Jawa, kesaktian
Sanga Turangga Paksowani 15
Gajah Sagara kini berusia dua puluh tiga tahun. Ia sebaya dengan
Prabu Hayam Wuruk karena dilahirkan pada tahun yang sama. Gajah
Sagara kini tumbuh menjadi seorang pemuda gagah dengan tinggi badan
melebihi ayahnya. Dadanya bidang, membuatnya lebih kekar dari Gajah
Enggon.
Kanuruhan Gajah Enggon menyentuh pundak istrinya. Rahyi
Sunelok yang sedang termangu itu pun menoleh. Yang dilakukan Gajah
Enggon itu semacam pemberitahuan bahwa ia akan berada di luar. Rahyi
Sunelok mengangguk.
Gajah Enggon yang telah berdiri di atas tanah berpasir, menebar
pandangan matanya ke punggung pulau Madura yang terlihat samar di
kejauhan. Karena Kiai Pawagal sakit keras, Kanuruhan Gajah Enggon
meminta izin untuk meninggalkan pekerjaannya selama beberapa
hari. Mahapatih Gajah Mada yang menjadi atasannya secara langsung
mengabulkan permintaan itu. Jika dihitung, telah sepekan Gajah Enggon
berada di Ujung Galuh, tepatnya di pedukuhan nelayan bernama Ban
Culuk.
Dua puluhan tahun yang lalu, ketika Gajah Enggon masih
berpangkat senopati dan untuk pertama kalinya datang berkunjung,
tempat itu sepi sekali. Kini, ada puluhan rumah memanjang ke timur
dan ke barat. Dan, rumah Kiai Pawagal merupakan rumah yang paling
megah. Sebagai salah seorang pejabat penting di Majapahit, Gajah
Enggon mampu membangun rumah yang lebih layak untuk kakek
mertuanya. Namun, jika Kiai Pawagal amat disegani di tempat itu, bukan
karena ia memiliki rumah bagus yang dibangun cucu menantunya. Akan
tetapi, karena semua orang akhirnya tahu, Kiai Pawagal bukan orang
sembarangan. Ia adalah salah satu orang yang amat berjasa membantu
Raden Wijaya dalam mendirikan Majapahit.
http://facebook.com/indonesiapustaka
18
Paran jujugan, Jawa, tempat tujuan
16 Gajah Mada
salah tanam pada musim yang akan tiba. Juga tempat tujuan bagi
mereka yang ingin sembuh dari sakit yang diderita. Itu sebabnya, berita
mengenai sakit yang diderita Kiai Pawagal dengan segera menyebar ke
segala penjuru, menyebabkan semua orang sibuk mendoakannya, doa
agar cepat sembuh. Namun, ada juga doa agar Kiai Pawagal segera
terbebas dari penderitaan panjangnya. Namun, sampai sejauh itu, meski
telah amat tua dan kehilangan kesadarannya, nyawa Kiai Pawagal masih
betah berada dalam tubuh yang ringkih itu. Dengan keadaan seperti
itu, mati pasti jauh lebih baik daripada hidup dengan raga tak lagi layak
diajak hidup.
Gajah Enggon layak cemas jika teringat pada peringatan yang
diberikan Ibu Suri Gayatri. Apalagi, jika Gajah Enggon teringat pada
dua kejadian yang disaksikan secara langsung selama berada di Ujung
Galuh.
Gajah Enggon menyapukan pandangan ke luas laut di depannya
dan sibuk menduga apa angin lesus itu akan muncul kembali.
”Ayah,” terdengar suara serak.
Gajah Enggon menoleh kepada Gajah Sagara yang datang menyusul.
”Ada apa, Sagara?” balas ayahnya.
Namun, memang ada saatnya Gajah Sagara mengalami kesulitan
mengeluarkan isi hatinya, sebagaimana sering pula Gajah Sagara
begitu lancar berbicara. Kali ini, beban yang disangga Gajah Sagara
menyebabkan mulutnya terkunci. Padahal, betapa amat ingin ia
membongkar habis gumpalan isi dadanya.
”Kasihan Eyang Buyut,” 19 ucap pemuda tampan itu lemah.
Gajah Enggon hanya mengangguk pendek sambil melangkah ke
http://facebook.com/indonesiapustaka
19
Eyang buyut, Jawa, kakek buyut
Sanga Turangga Paksowani 17
memberikan perhatiannya pada hal yang sama, pada sesuatu yang luar
biasa. Pengalaman itu adalah untuk yang kedua kalinya bagi Gajah
Sagara. Namun, sudah berulang kali bagi Kanuruhan Gajah Enggon.
Dari arah yang menjadi perhatian itu, terdengar suara menderu, mirip
suara barisan hantu.
Sanga Turangga Paksowani 19
20
Pasangguhan, Jawa Kuno, kata ini sudah tidak ketahuan jejak maknanya. Diduga, kata ini merupakan
jabatan yang amat tinggi yang berlatar prestasi di bidang keprajuritan. Jabatan itu diperoleh karena
keberanian seseorang di medan perang.
22 Gajah Mada
pedang yang diayun. Angin lesus dalam ukuran besar itu pasti sanggup
melemparkan seekor gajah bengkak ke udara.
Merinding Mahapatih Gajah Mada memerhatikan angin lesus
itu. Pasangguhan Gagak Bongol pun miris ketika mencermati betapa
dahsyat kekuatan yang tersimpan dalam pusaran angin yang meliuk
24 Gajah Mada
itu, bahkan pernah ditemukan terdampar tak jauh dari pantai dan
menimbulkan masalah luar biasa. Tidak seorang pun yang berani dan
mau memanfaatkan daging ikan itu karena rasanya tidak enak.
Celakanya, juga tak mungkin mengubur ikan sebesar itu. Akibatnya,
ternyata mengerikan. Beberapa hari kemudian, bau busuk yang muncul
Sanga Turangga Paksowani 27
21
Sang Mahamantrimukya Rakrian Ma Patih Mpu Mada, gelar Gajah Mada sebagaimana tertera dalam
prasasti Singasari bertarikh 1351
22
Cakramanggilingan, Jawa, putaran waktu atau putaran nasib
Sanga Turangga Paksowani 29
tegas.
Selangkah Gajah Enggon lebih mendekat. Air laut kembali
mengguyur kakinya.
”Kalau aku bersedia, Kanuruhan Gajah Enggon,” ucap Gajah Mada
dengan nada suara rendah berwibawa, ”tidak atas nama keserakahanku.
30 Gajah Mada
tempat tinggal. Dari tenggorokannya yang kering keluar suara yang bikin
miris. Matanya membeliak kehilangan warna hitamnya. Bola mata yang
terbalik itu hanya menampakkan bagian putihnya saja.
”Duh, Hyang Widdi,” Rahyi Sunelok merintih dengan suara serak.
”Janganlah Kausiksa kakekku dengan keadaan seperti ini. Jika telah tiba
waktunya, cabut saja nyawa kakekku.”
Sesuatu yang hidup di tubuh Kiai Pawagal itu rupanya tidak mau
keluar dari raga tempat tinggalnya begitu saja sebelum menemukan raga
baru. Tergambar hal itu dengan nyata dari geliat liar tubuh yang amat
tua itu, seolah nyawa yang akan oncat itu dipertahankan dengan sekuat
tenaga. Hal itu karena sesuatu yang numpang tinggal di raga orang itu
akan ikut mati jika tubuh yang ditempati tak lagi bernapas.
Di luar rumah, angin lesus yang dihadapi Gajah Mada makin lama
makin membesar. Namun, hal itu tidak menyurutkan Gajah Mada untuk
menyongsongnya. Dengan ayunan kaki mantap, Mahapatih Gajah Mada
justru mendekati angin lesus itu.
Pusaran angin lesus itu bagai bernyawa, bahkan seperti sedang
menunggu Gajah Mada. Beliung itu meliuk di tempat, menyemburatkan
apa pun, menyemburatkan tanah dan pasir, menyemburatkan air di
muara sungai dan melempar batu-batu serta batang kayu yang hanyut
di muara itu.
Dengan jantung berdebar, Kanuruhan Gajah Enggon memerhatikan
Mahapatih Gajah Mada yang telah berdiri tegak. Gajah Mada tak
peduli pada rasa sakit yang ditimbulkan sengatan pasir dan kerikil yang
menghajar tubuhnya. Layak diyakini, angin lesus itu punya kehendak,
bahkan mungkin memiliki nyawa. Pusaran angin amat deras itu bergerak
lebih mendekat lagi, makin dekat dan siap menggilas.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Namun, Gajah Mada bagaikan orang yang tidak peduli apa pun,
mati sekalipun. Dengan tekad yang telah bulat, ia menyediakan diri
menjadi wadah baru bagi sumber kekekuatan yang menjadi penyebab
terlahirnya angin lesus itu.
Tiba-tiba, Gajah Mada merasakan impitan yang luar biasa. Tekanan
yang berkesanggupan meretakkan dinding kepala itu harus dilawannya
dengan keras. Akan tetapi, yang dihadapi Mahapatih Gajah Mada adalah
sebuah kekuatan yang tanpa batas. Makin kuat Gajah Mada memberikan
perlawanan, makin kuat pula angin lesus itu menekannya.
Gajah Mada merasa, sampai pada batas tertentu, kekuatan pusaran
angin yang memberi tekanan dahsyat itu akan meretakkan kepalanya,
menyebabkan isi otaknya berhamburan semburat bersama pasir.
Akan tetapi, Kiai Pawagal benar-benar tertolong oleh keadaan
itu. Kakek tua itu merasa pintu gerbang kematian telah terbuka dan
tinggal memasukinya. Ketika kesempatan yang lama dirindukan itu
datang menghampirinya, Kiai Pawagal tak perlu menunggu waktu untuk
menggapainya. Rahyi Sunelok dan Gajah Sagara melihat, lewat tarikan
napas yang panjang sekali, lepas sudah kehidupan dari jasad yang menjadi
tempat tinggalnya.
Tarikan napas itu tak berlanjut. Tubuh tua dan renta itu benar-benar
membeku. Dengan amat tegang, Gajah Sagara memerhatikan jasad kakek
buyutnya. Dalam keadaan yang sebangun, Nyai Rahyi Sunelok memegang
kaki kakeknya. Para prajurit pengiring Gajah Mada dan Pasangguhan
Gagak Bongol pun memerhatikan apa yang terjadi dan berlangsung
dalam waktu yang sangat singkat itu.
Pada saat yang demikian, Gajah Mada yang akhirnya tak mampu
melawan angin lesus itu terisap dan terputar tubuhnya dengan amat
http://facebook.com/indonesiapustaka
apa pun itu serasa melambaikan tangan pada tubuhnya, kepada cucunya,
dan kepada cucu buyutnya.
”Kanuruhan Gajah Enggon, aku ikut berbelasungkawa,” kata
Pasangguhan Gagak Bongol membangunkan Kanuruhan Gajah Enggon
dari lamunannya.
34 Gajah Mada
mungkin Kiai Pawagal dalam wujud badan alus-nya.25 Sama sekali tidak
ada jejak kaki di arah yang kaulihat itu,” lanjut Gajah Enggon.
Namun, Gajah Mada memiliki alasan untuk menolak pendapat
Gajah Enggon itu. Kemunculan orang itu bukan untuk yang pertama
kalinya. Pada suatu ketika, di masa lalu, Gajah Mada pernah berurusan
dengannya. Mengapa pula orang tak dikenal itu tiba-tiba hadir di Ujung
Galuh? Wajah orang yang menampakkan diri dengan cara yang aneh itu
masih wajah yang sama. Akan tetapi, semua rasa penasaran itu hanya
disimpan dalam hati. Mahapatih Gajah Mada sama sekali tidak berniat
berbagi, bahkan sampai kapan pun. Untuk rahasia yang satu itu, ia tidak
berniat berbagi. Pertemuannya dengan orang tak dikenal itu akan menjadi
rahasia yang akan disimpannya sendiri.
”Kiai Pawagal sudah tidak ada?” ulang Gajah Mada perlahan.
Kanuruhan Gajah Enggon mengangguk mempertegas apa yang
ia sampaikan.
3
M alam itu, rumah Kiai Pawagal ramai oleh orang yang berdatangan
untuk menyampaikan belasungkawa sekaligus membantu mempersiapkan
segala sesuatu yang dibutuhkan untuk pembakaran layon26 yang akan
http://facebook.com/indonesiapustaka
25
Badan alus, Jawa, roh, jiwa, atau nyawa
26
Layon, Jawa, mayat
Sanga Turangga Paksowani 37
Nelayan itu, sebagaimana para nelayan lain yang selama ini merasa
sangat berutang budi kepada Kiai Pawagal, bergegas menyelesaikan
pekerjaannya dan dengan sangat tergesa mendatangi rumah Kiai
Pawagal.
38 Gajah Mada
27
Prabu Maharaja Linggabuana, Raja Sunda Galuh keturunan Raja Wretikandayun.
28
Sunda Galuh, Carita Parahyangan tidak menyebutkan tentang ibu kota kerajaan Galuh, baik sebagai
kerajaan maupun pusat pemerintahan disebut Galuh saja. Penyebutan Bojong Galuh berasal dari sumber
http://facebook.com/indonesiapustaka
sekunder, seperti Wawacan Sajarah Galuh dan tradisi lisan yang hidup di sekitar lokasi. Bojong Galuh
terletak di sebidang tanah yang kini berubah menjadi hutan dengan luas 25,5 ha, pada pertemuan sungai
Cimuntur dan Sungai Citanduy, di tepi jalan raya Ciamis-Banjar km 17. Sekarang, tempat itu disebut
sebagai situs Karangkamulyan. Penyebutan Sunda Galuh digunakan untuk membedakan dengan kerajaan
Sunda Pakuan yang beribu kota di Pakuan dengan keraton bernama Sri Bima Punta Narayana Madura
Suradipati. Sunda Pakuan didirikan Tarusbawa ketika kerajaan Tarumanegara telah lemah sekali.
29
Surawisesa, sebutan untuk istana kerajaan Sunda Galuh. Informasi tersebut berasal dari Prasasti Kawali
yang berbunyi, ”Parbu Raja Wastu mangadek di Kuta Kawali nu Mahayu Na Kadatuan Surawisesa.”
Sanga Turangga Paksowani 43
Jika pelabuhan Ujung Galuh kini kosong dari kapal perang, itu
karena Gajah Mada telah menjatuhkan perubahan perintah. Kapal-kapal
perang itu diperintahkan untuk selalu bergerak, tidak boleh berhenti.
Sementara itu, seperempat kekuatan armada dikirim ke Dompo di
bawah pimpinan Temenggung Nala.
44 Gajah Mada
30
Tatag Rambat, sebutan untuk balairung atau pagelaran istana Majapahit. Tatag Rambat juga disebut
Bale Manguntur.
Sanga Turangga Paksowani 45
sama artinya dengan dijajah. Oleh karena itu, Majapahit harus dilawan
dengan mengangkat senjata.
Gajah Mada amat bisa memahami sikap yang demikian itu. Akan
tetapi, Gajah Mada juga amat yakin terhadap pentingnya persatuan dan
kesatuan, bagaimana pun cara untuk mewujudkannya.
Ketika diminta untuk bergabung dan menyatu secara baik-baik
masih saja bersikukuh tidak bersedia maka dengan penuh keyakinan
tanpa menyisakan secuil pun keraguan, Mahapatih Gajah Mada mengirim
pasukan untuk melakukan pemaksaan. Sebuah negara di Bali digempur
karena bersikukuh mengambil sikap berbeda. Bahkan, pada tahun ini
pula, 1357, dipimpin Temenggung Nala, pasukan Majapahit sedang
menggempur Dompo di Sumbawa. Meski masih muda, Temenggung
Nala mempunyai kemampuan hebat dalam menggelar perang di laut.
Semua orang sedang menunggu waktu Temenggung Nala akan dinaikkan
pangkatnya menjadi Laksamana.31
Mahapatih Gajah Mada yang melepas keberangkatan seperempat
armada yang dimiliki Majapahit berharap Dompo bisa dikuasai dan
segera menyatu dengan Majapahit. Namun, memikirkan wilayah
Dompo, Gajah Mada layak cemas karena ada banyak kapal dagang
dari daratan Tiongkok yang berkeliaran di sana. Belakangan, terbukti
ada penyamaran di balik kapal-kapal berpenampilan kapal dagang itu.
Kapal-kapal dagang dari negara Tartar yang menyembunyikan mata-mata
itu tidak jemu-jemunya berupaya menyelinap ke semua celah. Telik sandi
pasukan khusus Bhayangkara yang dikirim ke Dompo melihat ada upaya
menghimpun kekuatan yang pelatihannya melibatkan orang-orang dari
tanah seberang itu.
Dua puluh tahun lebih telah berlalu sejak dikumandangkannya
http://facebook.com/indonesiapustaka
31
Laksamana, jabatan tertinggi untuk pimpinan pasukan laut. Nama pangkat itu kini diadopsi sebagai
jenderal untuk Angkatan Darat sebagaimana Marsekal untuk Angkatan Udara.
46 Gajah Mada
32
Gula kelapa, Jawa, arti harfiahnya memang gula dan kelapa. Namun, dalam hal ini bermakna bendera
merah putih.
33
Cihna gringsing lobheng lewih laka, bisa kita identikkan dengan lambang negara Garuda Pancasila.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Lambang ini berupa gambar buah maja, terletak di tengah-tengah kain yang dibatik bercorak geringsing
berwarna merah.
34
Pratigundala, bisa kita bayangkan seperti UUD 45 pada zaman sekarang. Pratigundala yang berkedudukan
sebagai sumber hukum yang mengatur bagaimana sikap dan perilaku yang baik, disusun Sri Gitarja
Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani.
35
Sembada, Jawa, bertanggung jawab atau memenuhi janji dan kewajibannya
36
Kutaramanawa, bisa diidentikkan dengan KUHP zaman sekarang
Sanga Turangga Paksowani 47
4
K
uda yang semula dipacu kencang itu berubah menjadi perlahan,
lalu berhenti ketika sampai di keramaian sebuah pasar. Pasar itu bukan
pasar besar seperti pasar di ibu kota kerajaan. Orang menyebutnya pasar
krempyeng37 yang akan bubar manakala hari beranjak sedikit siang. Ada
banyak benda yang dijual di pasar krempyeng itu, sebagian besar adalah
sayur-mayur, daging, ikan tangkapan dari sungai, dan bumbu-bumbu.
Sebagian yang lain adalah alat pertanian mulai dari singkal,38 garu,39
dan sabit. Caping40 juga dijajakan di pasar itu. Di sudut pasar krempyeng
itu, seorang laki-laki sedang menggelar dagangan berupa tali tambang
yang terbuat dari sabut kelapa. Menilik begitu panjang tali tambang itu,
tentu dibutuhkan sabut yang banyak dan kerja keras yang membutuhkan
waktu berhari-hari untuk membuatnya. Untuk mengambil air dari sumur
yang amat dalam, mutlak diperlukan tali tambang sebagai alat mengirim
timba ke dasar sumur.
Penunggang kuda itu barangkali telah beberapa hari tidak berganti
pakaian, terlihat dari betapa lusuhnya ia. Tubuhnya yang kurus pasti akan
mengagetkan orang-orang yang pernah mengenalnya. Matahari yang
http://facebook.com/indonesiapustaka
”Usianya sudah lebih dari tiga puluh lima tahun. Bisa jadi, sudah
mendekati empat puluh tahun,” jawabnya.
41
Pacul, Jawa, cangkul
Sanga Turangga Paksowani 51
Penjual pacul itu tentu bohong karena memang demikian lagak para
pedagang yang tidak pernah jujur mengatakan apa adanya.
Meski bertubuh kurus dengan pakaian lusuh, rupanya lelaki yang
sedang bingung itu memiliki banyak uang. Dikeluarkannya sekeping
uang kepeng yang nilainya lebih dari cukup untuk membeli sebuah pacul.
Tanpa menawar, uang kepeng itu diserahkan kepada penjual pacul yang
terkaget-kaget.
”Aku tidak memiliki kembalian. Jumlah uang ini terlalu banyak,”
ucapnya.
Orang yang kehilangan anak itu kemudian menerima uangnya
kembali dan mengganti dengan uang yang nilainya lebih kecil. Namun,
tetap saja nilai uang itu masih jauh lebih besar dibandingkan harga pacul.
Melihat orang bertubuh kurus dan berpakaian lusuh itu ternyata memiliki
banyak uang, penjual pacul itu tak berani terlampau meremehkan. Rasa
iri yang muncul dari benak Sulanggrita melihat orang lain memiliki
banyak uang, menyebabkan pandangan matanya tidak bergeser dari
kampil42 penuh uang itu.
Dan, selalu saja di belahan dunia ini ada orang yang serakah. Orang
yang tidak mau bekerja keras dan lebih senang mencari jalan pintas.
Seorang lelaki bertubuh kekar yang sedang berdiri di depan penjual
caping segera memutar otaknya dengan kencang. Ia tak membutuhkan
waktu terlalu lama untuk mengambil sebuah keputusan. Orang itu tiba-
tiba bergerak amat cepat merampas buntalan yang tersampir di pundak
orang bertubuh kurus kering itu. Dengan cepat, orang itu berlari ke
arah kuda entah milik siapa yang terikat di batang pohon turi. Orang
itu berniat melarikan diri sekaligus merampas kuda.
Sulanggrita terkejut, tetapi mulutnya terbungkam. Surak Sarujung
http://facebook.com/indonesiapustaka
dari pingsan. Dengan menyeringai menahan rasa sakit yang bukan alang
kepalang, penjahat itu mengarahkan pandangan matanya ke semua
orang.
”Kita apakan dia?” ulang seseorang dengan suara lebih lantang.
Penjahat itu rupanya punya rasa takut, meski wajahnya sangar dan
brewokan.
”Kita bakar saja,” terdengar sebuah celetukan yang entah siapa
pengucapnya.
Penjahat itu gemetar.
5
P radhabasu tidak meminta kudanya untuk berpacu kencang,
bahkan dibiarkan kuda kekar itu berderap semaunya dengan arah
semaunya jua. Di sepanjang jalan berbatu yang ia lewati, matanya tak
pernah lelah melihat setiap orang yang berpapasan dengannya. Jika dalam
perjalanannya berpapasan dengan serombongan orang, Pradhabasu
menyempatkan memelototi mereka satu per satu dengan harapan akan
menemukan Sang Prajaka terselip di antara mereka.
Namun, dalam perjalanan yang telah ia tempuh hampir dua bulan
http://facebook.com/indonesiapustaka
itu, apa yang dicari tidak kunjung ditemukan. Sang Prajaka bagai lenyap
ditelan bumi, seolah ada hantu yang menyembunyikannya di sebuah
tempat paling tersembunyi.
Mentari yang terang benderang dan sedemikian terik dengan
setia mengikuti ke mana pun arah langkahnya. Adakalanya mentari
Sanga Turangga Paksowani 57
dilihat dari wajahnya, tak terlihat masalah apa pun. Namun, jika dilihat
perilakunya, terlihatlah betapa Sang Prajaka memiliki sebuah masalah
yang berat. Semula, ia tidak memiliki kepedulian pada apa pun. Dari
pandangan mata yang hanya tertuju pada satu titik, terlihat bagaimana
angan dan pikirannya selalu melayang.
Sanga Turangga Paksowani 59
Kingkin. Prajaka juga mewarisi raut muka, mata, dan alis yang sangat
indah dari mendiang Kembangrum Puri Widati.
Waktu terus merayap dari tahun ke tahun. Namun, entah mengapa,
Prajaka belum mau kawin. Dorongan Pradhabasu agar Sang Prajaka
mau mengabdikan diri pada negara dengan menjadi prajurit, ditolak.
60 Gajah Mada
Swabaya yang gagah dan perkasa. Melalui latihan yang keras, Kuda
Swabaya berhasil memiliki bentuk tubuh yang amat diinginkan banyak
44
Dingklik, Jawa, bangku panjang untuk bersantai
45
Sepenginang, Jawa, berasal dari kata dasar nginang yang berarti kegiatan makan sirih. Sepenginang
berarti waktu yang hanya sebentar seperti yang dibutuhkan untuk kegiatan makan sirih.
Sanga Turangga Paksowani 63
”Berita paling hangat saat ini adalah Sang Hyang Wekasing Suka46
mulai berpikir untuk memiliki seorang istri. Tugasku hanya mengawal
perjalanan yang akan ditempuh Paman Patih Maduratna yang ditugasi
46
Sang Hyang Wekasing Suka, nama abiseka Prabu Hayam Wuruk menurut Pararaton
Sanga Turangga Paksowani 65
47
Pager Antimun, nama julukan Prabu Hayam Wuruk di kalangan para wanita menurut Pararaton
48
Raden Tetep, nama kecil Prabu Hayam Wuruk menurut Pararaton
49
Sri Rajasanegara, gelar resmi abiseka Prabu Hayam Wuruk menurut Pararaton
50
Janeswara, nama panggilan yang diberikan kepada Prabu Hayam Wuruk di kalangan pemuka agama
Siwa menurut Pararaton
66 Gajah Mada
51
Dyah Pitaloka Citraresmi, nama Sekar Kedaton Sunda Galuh anak Prabu Maharaja Linggabuana, buah
perkawinannya dengan Dewi Lara Linsing. Muhammad Yamin dalam bukunya, Gajah Mada, Pahlawan
Persatuan Nusantara, menyebut Dyah Pitaloka Citrasymi, sementara Dr. Purwadi, M.Hum dalam bukunya,
Jejak Nasionalisme Gajah Mada, menyebut Dyah Pitaloka Citrasemi.
52
Tirtaraju, julukan yang diberikan kepada Prabu Hayam Wuruk ketika mendalang menurut Pararaton
53
Gagak Ketawang, peran yang biasanya diambil Prabu Hayam Wuruk dalam tari banyol menurut
Pararaton
Sanga Turangga Paksowani 67
54
Mpu Turut, seorang kanuruhan dalam kabinet Sang Panca Ri Wilwatikta berdasar piagam Bendosari
68 Gajah Mada
55
Pengawal khusus, dalam hal ini ajudan
Sanga Turangga Paksowani 69
56
Samapta, Jawa, amat mendekati arti disiplin
Sanga Turangga Paksowani 71
6
M asih di hari yang sama, tetapi waktu bergeser ke sore.
Pradhabasu merasa seluruh tubuhnya lungkrah,57 menyebabkannya agak
demam. Di sepanjang hari itu, Pradhabasu pilih tidur dan tak melakukan
kegiatan apa pun. Para tetangga yang datang menengok ditolak dengan
halus oleh Nyai Dyah Menur. Di antara tetangga yang datang menengok
itu adalah Ki Sangga Rugi.
”Sebaiknya lain hari saja, Ki Sangga Rugi,” kata Dyah Menur.
”Saat ini, suamiku perlu beristirahat karena badannya agak sakit.
Nanti, jika sudah sembuh, biar suamiku yang datang ke rumah Ki
Sangga Rugi.”
Ki Sangga Rugi memang tetangga yang baik. Apa pun kesulitan
yang dihadapi Pradhabasu, ia selalu siap membantu mengatasinya. Ia
siap membantu mengambilkan rebung dari papringan,58 membetulkan
genting yang bocor, dan jenis pekerjaan ringan yang lain. Namun, untuk
jenis pekerjaan memanjat kelapa, Ki Sangga Rugi tidak sanggup lagi.
Nyai Dyah Menur sendiri tidak akan tega meminta bantuan untuk jenis
pekerjaan yang bisa mengancam keselamatan jiwa itu.
Dulu, Ki Sangga Rugi sangat meremehkan Pradhabasu. Ia
menganggap Pradhabasu bukan siapa-siapa. Namun, setelah mengetahui
siapa sebenarnya Pradhabasu, Ki Sangga Rugi tak berani meremehkannya
lagi. Sejak saat itu, Ki Sangga Rugi selalu bersikap baik, jauh dari sombong
dan kesukaannya membual. Sebagai tetangga dekat, Pradhabasu ternyata
teman yang enak diajak berbincang.
http://facebook.com/indonesiapustaka
57
Lungkrah, Jawa, letih luar biasa
58
Papringan, Jawa, rumpun bambu yang lebat
Sanga Turangga Paksowani 73
ibunya soal cara membuat jamu, segera meracik bahan tanpa menunggu
perintah ibunya. Dengan lincah, tangan gadis itu memarut beberapa
kepal kunyit dan menyaring sari-sarinya, kemudian mencampurnya
59
Pawon, Jawa, dapur
74 Gajah Mada
dengan beberapa bahan jamu yang lain. Jika diminum, rasa jamu itu
tidak ketulungan pahitnya. Namun, jamu yang pahit itu diyakini dapat
menyembuhkan banyak sekali jenis penyakit, termasuk yang sedang
dialami ayahnya.
Tiba-tiba, ibunya datang mendekat. Perhatian Nyai Dyah Menur
tidak tertuju pada jamu yang dibuatnya, tetapi lebih kepada dirinya.
”Umurmu sekarang sudah lebih dari delapan belas tahun,” kata
ibunya begitu tiba-tiba. ”Menurut Ibu, kamu sudah layak untuk berumah
tangga. Sudah adakah lelaki yang telah memberimu isyarat rasa suka?”
Ditodong pertanyaan yang dilontarkan mendadak itu, menyebabkan
Dyah Pretiwi bingung. Namun, dengan bergegas, Dyah Pretiwi
menghapus semua kesan dari wajahnya. Pertanyaan itu tidak dijawabnya.
Dari bahasa wajahnya, Dyah Menur tahu, Dyah Pretiwi tidak berkeinginan
bicara soal itu.
”Tak baik bagi seorang perempuan kawin terlalu tua. Jika ada lelaki
yang berminat dan menyampaikan keinginannya kepadamu, berceritalah
segera kepada Ibu agar Ibu bisa mengukur apa ia layak menjadi suamimu.
Tentu, Ibu berharap calon suamimu adalah lelaki yang baik, yang nantinya
mampu menjadi pengayom dan melindungimu. Akan tetapi, Ibu juga
harus mengingatkan, janganlah kamu membangun angan-anganmu
terlalu tinggi dengan berkeinginan menjadi seorang permaisuri,” kata
Dyah Menur.
Ucapan ibunya itu mengagetkan Dyah Pretiwi yang seketika
melotot dan harus menyembunyikan wajahnya dengan memandang ke
arah lain.
”Janganlah kamu mengangankan Sang Prabu Hayam Wuruk karena
tidak mungkin kau bisa menggapainya. Sadarlah di mana kita berada dan
http://facebook.com/indonesiapustaka
berasal. Kita hanya orang biasa saja. Maka, berpikir dan beranganlah
sebagaimana layaknya orang biasa. Jangan bermimpi terlalu tinggi. Jika
mimpimu tidak menjadi nyata, kau akan terbanting dengan rasa sakit
seimbang dengan tinggi atau rendahnya mimpimu itu,” lanjut Dyah
Menur.
Sanga Turangga Paksowani 75
60
Pasewakan, Jawa, sidang yang digelar atau tempat bersidang
Sanga Turangga Paksowani 79
Tartar. Ia mengirim bala tentara yang dipimpin Shihpi, Kau Hsing, dan
Iheh-Mi-Shih. Untungnya, pasukan Tartar itu berhasil dimanfaatkan
Raden Wijaya untuk membalas dendam menggempur Kediri. Pasukan
dari Tartar itu selanjutnya berhasil dibuat kocar-kacir dan lari terbirit-birit
pulang ke negara asalnya. Menurut kabar yang dibawa para pedagang
yang berniaga sampai ke seberang lautan, ketiga pimpinan pasukan
itu dihukum mati oleh rajanya. Kakang Mahapatih Gajah Mada tak
ingin peristiwa itu terulang kembali. Keinginan Kakang Gajah Mada
untuk menyatukan Nusantara tidak dapat ditawar lagi. Jika perlu, harus
dilakukan pemaksaan. Dan, kita akhirnya melihat apa yang diinginkan
Kakang Gajah Mada itu mewujud menjadi kenyataan.”
Pradhabasu menyimak dengan cermat saksama. Semua yang
disampaikan Gajah Enggon itu, Pradhabasu juga sangat tahu. Yang
belum ia ketahui adalah ke mana Kanuruhan Gajah Enggon akan
membawa pembicaraan itu.
”Lalu, Sunda Galuh,” tambah Gajah Enggon agak mengagetkan.
Pradhabasu merasa lawan bicaranya sudah mulai mengarah pada
persoalan utama yang dibawanya.
”Kakang Mahapatih Gajah Mada merasa kecewa karena sampai
sejauh ini, Sunda Galuh bersikukuh tidak mau menjadi negara jajahan
Majapahit?” Pradhabasu bertanya sambil melirik.
Kanuruhan Gajah Enggon tersenyum, ”Menjadi bawahan, menjadi
jajahan, hanya soal bahasa. Yang menjadi persoalan adalah bahaya nyata
yang mengancam di depan mata. Sangat disayangkan ketika semua
negara di wilayah Nusantara telah menyamakan sikap, ternyata masih
ada Sunda Galuh yang bersikap berbeda. Harga dan biaya yang harus
dikeluarkan untuk menjaga keamanan di lautan ditanggung Majapahit,
http://facebook.com/indonesiapustaka
pada onggokan akar kayu jati yang didapatkan Prajaka entah dari mana.
Dari bongkahan akar kayu jati itu, Sang Prajaka berencana mengukirnya
menjadi benda bernilai seni. Akar kayu itu bisa diraut menjadi sebuah
patung.
Di pekarangan belakang, bahkan ada banyak tonggak kayu yang
sudah dibentuk menjadi patung. Ada pula arca yang terbuat dari batu. Di
antara beberapa arca yang dibuat Sang Prajaka itu, ada yang merupakan
pesanan orang kaya dari kotaraja. Pesanan itu sudah dibayar, tetapi
belum diambil.
”Lalu, kebingunganmu?” tanya Pradhabasu.
”Aku mendapat tugas mendampingi Patih Maduratna pergi ke
Sunda Galuh dan harus memperoleh kesempatan untuk menyampaikan
pesan Kakang Gajah Mada kepada Sang Prabu Maharaja Linggabuana,”
jawab Gajah Enggon.
Pradhabasu masih merasa belum jelas dan kembali alisnya mencuat
sambil tangannya yang digerakkan terlihat gemetar buyutan.
”Bagian mana yang membuatmu bingung? Bukankah kamu tinggal
menyampaikan semua persis seperti yang kauucapkan tadi kepada Sang
Prabu Maharaja Linggabuana?” tanya Pradhabasu.
Gajah Enggon menerawang. Pandangan matanya jatuh di rimbun
pohon bambu. Tiba-tiba, wajah seseorang menyelinap dalam benaknya,
wajah milik seorang pejabat istana yang sangat bernafsu untuk menggapai
apa yang diinginkan. Orang itu adalah Arya Rajaparakrama Ma Panji
Elam. Di belakang Ma Panji Elam, ada orang-orang, seperti Arya Sentong,
Patih Gowi, Patih Marga Lewih, Patih Teteg, Jaran Bhaya, Sang Arya
Suradhiraja Pu Kapasa, Sang Arya Patipati Pu Kapat, dan Sang Arya
Wangsaprana Pu Menur.
http://facebook.com/indonesiapustaka
prajurit itu.
Untuk menggapai kedudukannya sekarang sebagai arya rajaparakrama,
Ma Panji Elam merangkak dari jabatan tandha yang paling rendah.
Rupanya, Ma Panji Elam adalah seorang abdi istana yang sangat ulet hingga
berhasil menapak ke jabatan yang terpandang di Majapahit.
Sanga Turangga Paksowani 87
kenangannya terlempar ke kejadian lebih dari dua puluh tahun yang lalu.
Peristiwa itu terjadi di Kadipaten Keta, saat pasukan yang dikirim Majapahit
untuk menggempur Keta dihadang kabul tebal yang sangat aneh.
Kabut itu muncul di saat yang tak pantas, bergulung-gulung tebal.
Kabut itu secara nyata hadir untuk membutakan mata pasukan segelar
sepapan dari Majapahit yang dikirim untuk menjatuhkan hukuman kepada
Adipati Keta. Pada saat yang demikian itu, muncul pusaran angin melibas
kabut tebal itu. Cukup lama kejadian itu menjadi sebuah teka-teki yang
tidak kunjung diketahui jawabnya. Belakangan, Pradhabasu tahu bahwa
Kiai Pawagal berada di belakang peristiswa aneh itu.
Pradhabasu bangkit dan meliukkan tubuh sambil memandang
Gajah Enggon.
”Aku ingat,” kata Pradhabasu yang berusaha mengembalikan
pembicaraan, ”ketika aku masih Bhayangkara, Panji Elam seorang
tandha dengan pangkat paling rendah. Ia nyaris seperti seorang pesuruh
yang ditugasi ke sana kemari. Aku tidak menyangka ia mampu meraih
kedudukan sebagai arya rajaparakrama, pejabat yang mengurusi hal-hal
yang terkait dengan upacara-upacara,”
Gajah Enggon mencoba mencicipi makanan yang disuguhkan tuan
rumah. Tanpa rasa sungkan, Kanuruhan Gajah Enggon menyantapnya
dengan lahap.
”Aku sulit membayangkan bagaimana berbicara dan berusaha
menyampaikan apa yang diinginkan Majapahit jika aku disandingkan
dengan orang macam Ma Panji Elam. Ketika aku harus berbicara
menggunakan kalimat yang harus kutata dengan hati-hati, aku sampaikan
dengan cara yang masuk akal, bayangkan jika tiba-tiba Ma Panji Elam
justru berbicara menggunakan bahasa ancaman,” ujar Gajah Enggon.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Jika sedang libur, Gajah Sagara dan Kuda Swabaya sering beradu balap
dengan memacu kuda masing-masing sampai seharian penuh ke Ujung
Galuh. Kesempatan yang ada itu sekalian digunakan untuk menengok
Kiai Pawagal. Saat-saat macam itu yang amat membahagiakan Kiai
Pawagal ketika masih hidup.
Sanga Turangga Paksowani 93
7
L aki-laki berusia empat puluhan tahun itu merasa bagai baru
terlahir ke dunia ini. Ia dibingungkan banyak hal yang tak bisa ia
dimengerti. Dicari jawabnya dengan cara bagaimanapun, tak pernah
berhasil ditemukan. Bahkan, yang amat sederhana, namanya, ia tidak
pernah ingat.
”Siapa aku? Siapa namaku?”
http://facebook.com/indonesiapustaka
asing, tidak pernah dikenalnya, apalagi tempat itu adalah tepi sebuah
laut. Ombak yang gemericik membuatnya bingung dan lautan luas
adalah pemandangan yang baru baginya. Sebelum itu, ia merasa belum
pernah melihat laut. Mungkin karena asal-usul atau tempat tinggalnya
tak ada laut.
”Kenapa aku bisa berada di sini?” tanya laki-laki itu sekali lagi sambil
memandangi diri sendiri.
Lelaki itu segera bangkit sambil memerhatikan sisa perapian yang
masih berasap dan membawa bau daging hangus. Tersadar oleh sesuatu
tentang perapian dan sisa-sisa makanan yang tersebar, memaksa pemuda
itu untuk berpikir keras mengumpulkan semua ingatan. Namun, bagai
terganjal sesuatu yang tak bisa ditembus, laki-laki itu tidak mampu mereka
ulang secuil pun kenangannya.
”Aku tidak ingat apa pun,” keluhnya gelisah. ”Setiap kali aku
terbangun dari keadaanku, aku selalu berpindah tempat. Aku siapa, aku
di mana, semua gelap.”
Laki-laki empat puluhan tahun itu kemudian berjalan mendekati
garis pantai yang pasirnya mampu menenggelamkan kaki. Barangkali
karena baru pertama kali di sepanjang hidupnya ia melihat lautan luas,
dipandanginya air yang sedemikian berlimpah itu dengan amat takjub.
Akan tetapi, setakjub apa pun, perhatiannya lebih terpusat pada keadaan
dirinya. Dengan sekuat tenaga, orang itu berusaha memeras otak. Semua
benda yang berserakan di sekitarnya dijadikan pijakan untuk mengingat,
termasuk sisa makanannya, seekor ayam hutan yang dipanggang masih
lengkap dengan bulu-bulunya dan mungkin tanpa dibunuh lebih dulu.
Namun, upaya yang dilakukannya buntu.
Di arah barat, seorang penjala ikan sedang menebar jaring. Lebih
http://facebook.com/indonesiapustaka
melangkah mendekat.
”Punya air?” tanya penjala ikan itu.
Orang yang lupa asal-usul itu seketika mengarahkan pandangan
matanya ke laut luas yang berlimpah air.
96 Gajah Mada
”Maksudku air minum,” lanjut penjala ikan itu dengan tatapan aneh.
”Tidak punya,” jawab orang yang lupa dengan asal-usul dan namanya
itu.
Namun, penjala ikan itu orang yang ramah.
”Bukan orang sini, ya? Berasal dari mana?” tanyanya.
Pertanyaan yang dilontarkan penjala ikan itu sungguh pertanyaan
yang sederhana. Namun, pertanyaan sederhana macam itu ternyata sangat
sulit untuk dijawab. Mulutnya yang berputar sangat sulit mengeluarkan
kata-kata, sementara tatap matanya yang liar amat mewakili suasana
hatinya.
”Aku bukan orang sini,” jawaban yang diberikan terasa lunglai.
”Kalau asalmu dari mana? Namaku Bandar Guris, kalau boleh tahu,
siapa namamu?” tanya orang itu.
Sungguh, itulah jenis pertanyaan yang membuat lelaki yang kehilangan
ingatan atas masa lalunya itu salah tingkah karena tidak mampu menjawab.
Padahal, ketidakmampuan menjawab jenis pertanyaan yang sederhana itu
sangat tidak masuk akal. Padahal, ditanyai nama dan tak mau menjawab
justru bisa memancing anggapan bahwa ia orang yang sombong.
”Aku minta maaf,” ucapnya agak memelas.
Bandar Guris merasa heran.
”Kenapa?” balasnya.
Lelaki kehilangan nama itu berniat menggeleng. Namun, ada sesuatu
yang membuat ia tidak mampu menggeleng, sementara tangannya
bergerak aneh.
http://facebook.com/indonesiapustaka
pulang. Kalau lima tahun pergi melaut dan tak pernah pulang, aku yakini
dia sudah mati, mungkin ditelan badai atau disantap ikan raksasa. Untuk
mengenangnya, pakai saja nama itu.”
Orang yang kehilangan masa lalu itu menggoyangkan mulutnya.
”Sedatu?” ulangnya.
98 Gajah Mada
”Jadi, kau pun tak tahu akan ke mana?” tanya Bandar Guris.
Pertanyaan itu sangat mengusik kedalaman hati Riung Sedatu. Ia
sama sekali tak tahu bagaimana cara menjawabnya. Perlahan, Riung
Sedatu menggelengkan kepala.
”Aku juga tak tahu akan ke mana,” jawabnya.
Sanga Turangga Paksowani 99
Bandar Guris memandang dengan iba. Akan tetapi, apa yang bisa
dilakukannya untuk menolong orang yang baru dikenalnya itu dari
keadaannya yang sangat aneh?
”Bagaimana kalau kauikut ke rumahku?” Bandar Guris menawarkan.
Dihadapkan pada keadaannya yang sedemikian membingungkan,
tawaran itu benar-benar amat dibutuhkan. Itu sebabnya, Riung Sedatu
langsung mengangguk menerimanya.
Rumah Bandar Guris bukan rumah yang bagus, bahkan boleh
dibilang hanya rumah yang sederhana. Rumah itu tidak menyatu dengan
deretan rumah tetangganya yang rata-rata berimpitan di sepanjang
pantai. Dibayangi mimpi buruk atas peristiwa alam yang pernah terjadi
puluhan tahun lalu, yaitu saat ada ombak besar bergulung menyapu apa
pun, Bandar Guris memilih membangun rumahnya agak di ketinggian.
Bandar Guris berharap jika peristiwa yang banyak menyita korban itu
sampai terulang kembali, ia dan rumahnya akan selamat.
Meski kehilangan sebagian besar ingatannya, Riung Sedatu mampu
menilai wajah Bandar Guris tidaklah tampan. Hidungnya melengkung
tertekuk di bagian ujungnya, menyebabkan siapa pun yang melihatnya
akan berpikir tentang burung betet yang memiliki paruh yang juga
tertekuk. Akan tetapi, Bandar Guris yang berwajah jelek itu ternyata
memiliki istri yang cantik. Riung Sedatu bingung memikirkan, mengapa
seorang perempuan yang begitu cantik mau diperistri lelaki berwajah
jelek seperti wajah Bandar Guris?
”Tak ada gunanya berbicara dengan istriku, ia bisu,” kata Bandar
Guris.
Riung Sedatu kaget. Riung Sedatu hanya bisa menyeringai saat
melihat perempuan berwajah cantik itu berbicara melalui gerakan tangan
http://facebook.com/indonesiapustaka
yang sama sekali tak ia mengerti. Sebagai jawaban bahwa ia sama sekali
tidak paham, Riung Sedatu menggerakkan bahu. Riung Sedatu membalas
tersenyum ketika perempuan itu tersenyum kepadanya.
”Bagaimana kalau aku tawarkan kepadamu untuk tinggal di sini? Kalau
telah kautemukan ingatanmu, kau boleh pergi,” Bandar Guris berkata.
Sanga Turangga Paksowani 101
Merasa tak tahu apa yang harus dikerjakan dan bagai seekor kerbau
yang diikat lehernya, Riung Sedatu mengangguk menerima tawaran itu.
Meski sederhana, rumah Bandar Guris memiliki tiga buah kamar dengan
dinding sirap yang berlubang-lubang, menyebabkan kegiatan yang terjadi
di kamar itu bisa diintip dari luar. Apa pun yang terjadi di pekarangan
samping rumah bisa diintip pula dari kamar itu.
”Aku tidak keberatan menampungmu tinggal di rumahku. Kau
boleh gunakan kamar itu. Kamu juga akan mendapat makan yang cukup.
Namun, kamu harus membantuku menyelesaikan sebuah pekerjaan,”
ujar Bandar Guris.
Riung Sedatu tidak merasa keberatan. Untuk tumpangan tempat
tinggal yang ia peroleh, wajar jika ia harus membayar dan membalasnya
dengan bekerja.
”Pekerjaan apa yang harus kubantu untuk menuntaskannya?” tanya
Riung Sedatu.
”Nanti kau akan lihat,” kata Bandar Guris. ”Aku punya jenis
pekerjaan yang masih belum tuntas juga pengerjaannya. Aku tidak bisa
mengerjakan sendiri, aku membutuhkan bantuan orang lain.”
Bandar Guris rupanya jenis orang yang bisa menggunakan otaknya,
setidaknya agar bisa memperoleh tenaga tanpa harus membayar. Dengan
bahasa isyarat yang hanya bisa dimengerti istrinya, Bandar Guris meminta
perempuan cantik itu untuk memasak dengan lauk ikan hasilnya menjala.
Entah mendapat dorongan semangat dari mana, perempuan bisu itu
memasak dengan penuh semangat. Tamu berwajah tampan dengan
rambut panjang terurai dan jambang yang lebat itu, sungguh menarik
perhatiannya, menggiring angan-angannya terbang entah ke mana.
”Makan yang banyak, sekenyangmu,” Bandar Guris menyilakan.
http://facebook.com/indonesiapustaka
hal itu didorong keinginan Riung Sedatu sendiri yang tidak sabar ingin
segera melihat bentuk akhir dari perahu itu. Padahal, Bandar Guris
menakar, pembuatan perahu berukuran sedang itu akan memakan waktu
lama. Setidaknya, membutuhkan beberapa pekan untuk menyelesaikan
pembuatan perahu itu, kecuali jika dikerjakan beramai-ramai.
Sanga Turangga Paksowani 103
68
Tatah, salah satu alat pertukangan yang berfungsi untuk melubangi kayu
104 Gajah Mada
tidak perlu diperlakukan seperti itu. Mengacu pada perahu yang sedang
terapung-apung dipermainkan ombak sebagai contoh, Riung Sedatu
tahu apa yang harus dikerjakan.
Lebih berdebar Bandar Guris melihat cara-cara tertentu yang
digunakan Riung Sedatu dalam menyambung kayu. Cara yang
digunakannya amat berbeda dengan apa yang sering dilakukan para
tukang perahu yang sudah ahli sekalipun. Dan, lebih terbelalak Bandar
Guris melihat Riung Sedatu melakukan pekerjaan yang aneh.
”Apa yang kaulakukan itu?” tanya Bandar Guris.
”Aku akan membuatkan kepala raksasa untuk perahu ini dan
mengukirnya,” jawab Sedatu.
Siang beranjak sore dan bersambung dengan datangnya malam yang
berbulan. Tak lelah dan terus bekerja, Riung Sedatu makin membuat
Bandar Guris merasa heran. Bahkan, untuk selanjutnya, bukan Riung
Sedatu yang melayani Bandar Guris. Akan tetapi, Bandar Guris yang
melayani apa pun yang dibutuhkan Sedatu. Bandar Guris merasa takjub
melihat wujud kepala perahu itu ketika makin membentuk. Jika dibiarkan
apa pun yang dilakukan Riung Sedatu, perahu yang akan dibuat itu
nantinya akan menjadi perahu terbaik yang pernah dimiliki para nelayan
yang tinggal di tepian pantai Alas Roban.
Bandar Guris tidak memberi petunjuk apa pun. Akan tetapi,
Riung Sedatu seolah memang tukang perahu. Ia tahu beberapa bagian
kayu harus dibuat melengkung yang untuk melengkungkannya harus
dibakar.
Bagai kesetanan, Riung Sedatu bekerja. Ketika tengah malam, baru
Riung Sedatu mau diajak beristirahat.
http://facebook.com/indonesiapustaka
rumah.
Dengan menggunakan bahasa isyarat tangannya, bahkan dengan
menyeret tubuh suaminya, Nyai Bandar Guris memberitahukan
kepergian Riung Sedatu. Dengan berlari-lari, Bandar Guris menyusul
bayangan Sedatu yang terlihat di kejauhan.
106 Gajah Mada
”Mau pergi tanpa pamit, padahal masih punya pekerjaan yang harus
diselesaikan,” kata Bandar Guris dengan napas tersengal.
Dengan berlari, Bandar Guris berhasil menyusul Riung Sedatu,
bahkan menempatkan diri menghadang. Namun, betapa kaget Bandar
Guris mendapati Riung Sedatu berjalan dengan mata terbuka, tetapi
tanpa disertai kesadarannya.
”Berjalan sambil tidur? Tidur sambil berjalan?” gumam Bandar
Guris.
Melihat ada sesuatu yang tidak wajar pada diri tamunya, Bandar
Guris segera mengambil keputusan untuk mengikuti langkah kaki Riung
Sedatu dari belakang. Kepada istrinya yang menyusul, Bandar Guris
memberi isyarat dengan melekatkan ujung jarinya ke mulut, sebuah isyarat
agar Nyai Bandar Guris diam dan tidak melakukan tindakan apa pun.
Riung Sedatu yang diikuti dari belakang terus berjalan, kemudian
berhenti tidak jauh dari perahu yang terikat pada batang pohon waru.
Riung Sedatu seperti menimbang apa yang selanjutnya akan dikerjakan.
Bandar Guris saling pandang dengan istrinya saat melihat Riung Sedatu
masuk ke dalam perahu itu, kemudian membaringkan diri.
”Kenapa dia?” lewat isyarat tangannya, Nyai Bandar Guris bertanya
kepada suaminya.
Bandar Guris membutuhkan waktu agak lama untuk menjawab.
”Pindah tidur,” jawabnya dengan gerak bibir yang amat jelas.
Nyai Bandar Guris manggut-manggut, tetapi tidak jelas apakah ia
paham atau tidak. Dengan penuh perhatian, Nyai Bandar Guris melihat
bagaimana lelaki yang amat mencuri perhatiannya itu menghela napas
dengan lembut. Laki-laki itu jelas sedang menikmati mimpinya, terlihat
dari senyumnya yang menyungging.
http://facebook.com/indonesiapustaka
mimpi yang mengombak tanpa bentuk. Ada saat dalam mimpi itu, Riung
Sedatu berhadapan dengan perempuan. Entah siapa perempuan yang
sibuk bergaya dalam sikap duduknya itu. Namun, dengan segera wujud
perempuan itu berubah menjadi gumpalan batu dan dengan sebuah
tatah ia memahatnya.
8
K eringat yang terperas bukan hanya karena matahari yang sedang
galak. Akan tetapi, lebih karena kerja keras penuh nafsu yang dilakukan
Riung Sedatu. Ia bagaikan kesetanan mengayunkan palu menghantam
gagang tatah dalam rangka membentuk wujud kepala raksasa.
Dengan hiasan kepala raksasa, Bandar Guris merasa yakin perahunya
nanti akan menjadi perahu terbaik dari semua perahu yang dimiliki para
nelayan Alas Roban. Di dalam hati, Bandar Guris merasa penasaran
terhadap latar belakang macam apa yang dimiliki Riung Sedatu. Dengan
melihat apa yang dilakukan Riung Sedatu semalam, Bandar Guris bisa
menduga mengapa setiap bangun tidur, Riung Sedatu selalu bingung.
Dengan tidur berjalan yang ia alami, Riung Sedatu yang semula merasa
tidur di suatu tempat akan kebingungan ketika terbangun di tempat lain.
Seorang nelayan berjalan melintas di tempat kegiatan tengah
berlangsung riuh itu. Orang itu berhenti dan memberikan perhatiannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
69
Menang awu, Jawa, lebih senior
110 Gajah Mada
Apa kamu tidak akan datang melayat kalau mereka mati? Sebaliknya,
apa mereka tidak akan datang melayat jika kau mati? Apalagi, mereka
saudaramu.”
Bandar Guris terdiam karena harus merenungkan ucapan Riung
Sedatu yang sedemikian menggelitik.
Sanga Turangga Paksowani 111
”Enam belas, jika dihitung semua ada empat puluh dua,” Riung
Sedatu memotong.
Bandar Guris bingung. Dengan hati-hati, Bandar Guris menghitung
ulang barisan kapal yang bergerak dari arah barat ke timur. Ternyata,
benar apa yang dikatakan Riung Sedatu, jumlah kapal itu enam belas.
112 Gajah Mada
”Semua kapal, termasuk perahu kecil milik nelayan, dari barat ke timur,
semuanya empat puluh dua,” jawab Riung Sedatu amat yakin sambil terus
memandangi wujud kapal perang yang terus bergerak ke arah timur.
Bandar Guris terheran-heran. Dengan segera, ia ingin membuktikan
kebenaran apa yang dikatakan Riung Sedatu. Dengan hati-hati dan
Sanga Turangga Paksowani 113
Sedatu menoleh.
”Kenapa kau merasa mendadak akan kaya?” tanya Riung Sedatu
heran.
Bandar Guris meremas-remas jari sambil melilitkan lidah untuk
menghapus sesuatu yang terasa kering di bibirnya.
”Akan aku manfaatkan kemampuanmu itu untuk berjudi. Kebetulan,
mulai nanti malam sampai lima belas hari ke depan, akan ada permainan
judi dadu. Kita datangi tempat itu untuk menguras habis harta para botoh
sombong itu,” jawab Bandar Guris
Ajakan aneh itu justru menyebabkan Riung Sedatu menghentikan
pekerjaannya.
”Bagaimana caranya?” tanya Riung Sedatu.
Bandar Guris benar-benar merasa meluap. Dengan melihat
kemampuan Riung Sedatu yang luar biasa macam itu, ia sudah mempunyai
gambaran jenis judi macam apa saja yang pasti bisa dimenangkan.
”Kau pernah melihat dadu, kan?” tanya Bandar Guris.
Riung Sedatu mengangguk.
”Kau bisa menebak nilai yang akan keluar dari dadu yang dikocok
dalam kotak?” kejar Bandar Guris.
Riung Sedatu mengerutkan kening. Dalam kenangannya, ia merasa
pernah dan bisa melakukan pekerjaan itu dengan mudah. Riung Sedatu
berusaha menelusuri kenangan itu, di mana, kapan, dan bagaimana.
Namun, lagi-lagi tembok yang terlalu tebal itu sulit untuk ditembus.
Untuk menjawab pertanyaan Bandar Guris itu, kembali Sedatu
mengangguk.
http://facebook.com/indonesiapustaka
bunga. Di antara mereka yang pinjam uang itu, ada yang mengembalikan
ada yang tidak. Akan tetapi, giliran aku mengalami kesusahan, aku
dirampok, tidak satu pun dari mereka yang datang menolong. Saat aku
menagih uang yang mereka pinjam, mereka tak mau membayar. Mereka
malah menjauh, ya, sudah,” jawab Bandar Guris.
116 Gajah Mada
uangnya, semua dan tanpa sisa. Dengan modal yang jumlahnya lumayan
itu, Bandar Guris berjalan beriringan dengan Riung Sedatu menuju
sebuah rumah yang terletak paling ujung dari deretan rumah-rumah
penduduk di sepanjang tepian pantai itu. Hanya dalam pandangan sekilas,
Riung Sedatu mampu menghitung jumlah orang yang mengepung dadu
yang digelar seorang lelaki tua yang merawat kumisnya dengan cara aneh.
Kumis laki-laki tua berkepala gundul di bagian tengah itu sangat lebat
dan panjang, amat beda dengan keadaan kepalanya yang tak berambut
di bagian atas, tetapi lebat pada bagian samping dan belakang.
Kumis yang tebal dan panjang itulah yang menarik perhatian
karena dikelabang menjadi tiga bagian. Pada ujungnya diganduli pernik-
pernik aneh mirip tengkorak. Jika orang itu ingin tampak seram, apa
yang ia inginkan telah terpenuhi. Berkepala botak di bagian tengah
dengan pandangan mata sangat tajam dan kumis tebal yang dikelabang,
penampilan macam itu menjadi jaminan bocah kecil pasti akan lari
terbirit-birit. Apalagi, dalam bayangan bocah-bocah jika orang itu
melotot maka dari bola matanya akan keluar api yang menyembur. Jika
api itu mengenai baju, akan terbakar baju itu. jika api yang muncrat itu
mengenai tangan, akan melepuh tangan itu.
Dengan penuh minat, Riung Sedatu memerhatikan semua orang
yang hadir dengan segala macam ciri yang mereka miliki.
Lelaki berkepala botak itu duduk bersila di tengah ruangan
menghadap seperangkat alat judi. Sebilah kayu tipis diletakkan tepat di
tengah. Di atas bilah kayu itu terdapat sebuah tutup terbuat dari batok
kelapa yang digunakan untuk menutupi dadu berbentuk segi empat yang
memiliki enam sisi, masing-masing sisi ditandai lubang kecil-kecil yang
mewakali angka satu hingga enam. Di dalam batok kelapa itu terdapat
tiga buah dadu yang menyebabkan munculnya suara amat khas ketika
http://facebook.com/indonesiapustaka
yakin isyarat itu pasti benar, Bandar Guris meletakkan semua uangnya
di bagian besar. Semua, tanpa sisa.
Terbelalak mata segenap yang hadir di ruang itu. Uang taruhan
yang diletakkan Bandar Guris amat besar. Jika kalah, Bandar Guris akan
kehilangan uang dalam jumlah yang besar. Sebaliknya, jika menang,
Bandar Guris akan memperoleh uang yang juga berjumlah besar, dengan
nilai dua banding satu.
”Besar sekali taruhanmu kali ini, Guris,” ucap bandar dadu.
Bandar Guris tersenyum.
”Kalau aku menang, kau pasti akan membayar, bukan? Sebagaimana
kalau aku kalah, semua uangku akan kauambil?” tanya Bandar Guris.
Bandar dadu itu tertawa terkekeh.
”Pasti,” jawabnya, ”jangan khawatir.”
Semua orang menata degup jantungnya ketika orang yang bertugas
mengocok dadu itu perlahan membuka tutup dadunya. Bandar Guris
menahan napas ketika tudung itu dibuka.
9
H ampir sepekan Riung Sedatu tinggal di rumah Bandar Guris. Ia
telah membawa perubahan yang luar biasa bagi Bandar Guris. Bandar
http://facebook.com/indonesiapustaka
Pada hari ketujuh itu pula, Riung Sedatu telah menyelesaikan perahu
yang ia buat. Sungguh, itulah perahu yang sangat bagus dengan ukiran
nyaris di seluruh tubuhnya. Jika tidak dicegah, Riung Sedatu pasti akan
mengukir bagian bawahnya. Maka, perahu itu pun akhirnya menjadi
perahu terbaik di antara semua perahu yang dimiliki segenap penduduk
di tepian pantai Alas Roban. Berita mengenai pembuatan perahu aneh
itu akhirnya menyebar ke mana-mana. Segenap penduduk dari ujung ke
ujung telah mengetahui dan berdatangan silih berganti untuk melihat
dari dekat.
Dengan takjub, Bandar Guris memerhatikan wujud perahunya.
Dari ujung ke ujung, perahu itu dipahat dengan indahnya.
”Bagus sekali,” ucapnya sambil berkacak pinggang.
Melihat hasil kerja Riung Sedatu yang sedemikian dahsyat dan
didukung uang cukup banyak yang sekarang dimilikinya, Bandar Guris
merasa tak puas pada ukuran perahu itu. Ia berencana membuat perahu
yang lebih besar lagi. Namun, disimpannya rencana itu hanya di dalam
hati.
Malam hari ketujuh itu adalah malam yang gelap gulita. Meskipun
demikian, Bandar Guris telah bersiap diri untuk kembali menggelar
dadu.
”Kita berangkat?” tanya Bandar Guris setelah berdandan rapi.
Riung Sedatu yang tidak begitu bernafsu, menggeleng.
”Kenapa?” tanya Bandar Guris heran.
”Aku merasa jenuh,” jawab Sedatu. ”Aku tidak ikut, aku sedang
ingin menyendiri di pantai.”
http://facebook.com/indonesiapustaka
70
Kalangan, Jawa, istilah yang biasa dipakai para penjudi, arti harfiahnya lingkaran orang-orang yang
mengepung sesuatu
Sanga Turangga Paksowani 123
”Tak ada apa pun yang aku ingat. Jadi, tolong jangan kauajak aku
membicarakan hal itu,” jawabnya.
Permintaan yang disampaikan dengan amat lugas itu menyebabkan
Sanjara harus menghapus keinginannya. Kini, Sanjara harus memusatkan
Sanga Turangga Paksowani 125
kelelawar raksasa itu terbang cepat saling susul dan berebut ruang
karena sedemikian banyaknya. Kebetulan kilat muncrat beberapa kali,
71
Ampak-ampak pedhut, Jawa, kabut tebal
Sanga Turangga Paksowani 127
72
Bledhek, Jawa, halilintar
73
Segelar sepapan, Jawa, dalam keseharian kalimat tersebut jarang dipakai, artinya ukuran kekuatan
pasukan dalam jumlah yang amat besar
128 Gajah Mada
10
H ujan yang turun dengan deras ikut menjadi saksi atas keadaan
yang berubah dan nasib yang membalik. Tanpa dukungan Riung Sedatu,
Bandar Guris berubah mengalami nasib buruk. Jika selama ini ia selalu
menang dan menang, kini ia merasa dirinya sebagai bangunan yang
tak disangga penopang yang kuat. Ketika bangunan itu ambruk maka
runtuhnya benar-benar tuntas.
Beberapa orang botoh yang memasang semua uangnya membuat
Bandar Guris berdebar-debar. Jumlah uang itu banyak sekali. Padahal,
sebelum itu, Bandar Guris mengalami kekalahan beruntun. Telah
beberapa kali, ia harus membayar dalam jumlah besar. Bandar Guris
melongak-longok. Akan tetapi, ia tak menemukan yang dicarinya. Riung
Sedatu tentu tidak kelihatan batang hidungnya karena ia memang tidak
ikut pergi ke tempat itu.
Lemas Bandar Guris ketika membuka tudung dadunya dan mendapati
kenyataan ia kalah lagi. Ia harus membayar taruhan itu dalam jumlah sama
dengan sisa uang yang ia miliki. Habis sudah uangnya. Dari yang semula
tidak punya apa-apa, Bandar Guris kembali tidak punya apa-apa.
”Mati aku,” gumam Bandar Guris dalam hati.
Bandar Guris adalah orang yang terbiasa berbuat licik dan culas.
Menghadapi keadaan sesulit apa pun, Bandar Guris tidak kehilangan akal
untuk menyiasati. Namun, kali ini, ia mustahil menghindar dari tanggung
jawab. Para penjudi yang mengepungnya adalah para botoh dari luar
wilayah yang semua bersenjata. Jika tak mungkin menyelesaikan semua
http://facebook.com/indonesiapustaka
kemampuannya yang amat langka itu, Riung Sedatu tak ubahnya angsa
yang bertelur emas. Masalahnya, angsa yang bisa bertelur emas itu kini
tidak ada dan entah sedang berada di mana.
74
Uang kepeng, Jawa, uang logam. Di zaman sekarang, uang kepeng sering dianalogikan dengan uang
yang berlaku di zaman dahulu.
130 Gajah Mada
”Aku akan mencari ke barat. Kalau di barat tidak ada, aku akan
kembali ke timur,” ucap Bandar Guris.
Bandar Guris segera berlari-lari ke perahunya. Dengan tergesa, ia
memasang layar yang dibutuhkan. Tak berapa lama kemudian, perahu
kecil itu terapung-apung melaju ke arah barat. Bandar Guris amat
berharap akan menemukan tamunya yang hilang, tamu yang baginya
sangat penting karena bisa membuatnya kaya raya. Beberapa kali, Bandar
Guris berpapasan dengan orang. Namun, tiap kali ia menepi, orang itu
ternyata bukan Riung Sedatu.
Bandar Guris terus mendayung perahunya ke barat menyusuri
pantai. Namun, yang ia cari tetap tak kelihatan batang hidungnya. Pada
suatu tempat yang menurut takaran Bandar Guris tempat itu sudah
sangat jauh dan mustahil Riung Sedatu sampai di tempat itu, Bandar
Guris balik arah sambil tetap membelalakkan mata.
11
M alam yang gelap gulita membayangi istana Majapahit. Mendung
memang sedang sangat tebal dengan angin bertiup deras. Angin yang
bertiup sedemikian kencang itu mempermainkan rumpun bambu
dan memunculkan paduan suara yang aneh. Gesekan yang terjadi
antara batang bambu satu dengan yang lainnya menimbulkan suara
http://facebook.com/indonesiapustaka
berderit melengking, seolah jenis irama yang paling disukai para hantu.
Angin yang demikian layak membuat cemas. Jika anak-anak ketakutan
membayangkan kemunculan hantu yang didahului suara gemeresak
macam itu, para orang tua justru cemas jika angin yang amat kuat itu
akan merobohkan rumah mereka.
132 Gajah Mada
Hujan terus turun amat deras. Tak sekadar hujan biasa karena
bercampur dengan angin yang menderu. Keadaan yang demikian itu
menyebabkan Raden Tetep yang sedang menyimak pembacaan macapat76
yang dilantunkan Nyai Rukmigati, seorang emban yang telah tua,
bergegas keluar dan membuka pintu. Beberapa prajurit yang bertugas
jaga sigap memberi hormat. Raden Tetep yang setelah menjadi raja
bergelar Sri Rajasanegara itu melintas ke pendapa dan mendekat ke dua
buah gupala77 yang terletak di kiri dan kanan undak-undakan untuk naik
ataupun turun ke halaman.
Dengan berpegangan pada kepala dari salah satu gupala itu, Raden
Tetep menyapu halaman dengan pandangan matanya. Di antara prajurit
yang bertugas mengawal pintu wisma raja, terdapat seorang prajurit yang
bertugas untuk selalu melekat dan siap menerima perintah apa pun yang
akan diberikan Raja. Prajurit itu menempatkan diri di belakang Raja.
”Bukankah hujan ini terlampau deras, Singgura?” tanya Prabu
Hayam Wuruk.
”Hamba, Tuanku,” jawab prajurit bernama Singgura itu. ”Deras
dan berangin. Hujan yang demikian sudah bisa disebut sebagai badai,
Tuanku.”
Raden Tetep memandang ke luar pendapa untuk mengukur
seberapa kuat angin yang berembus itu. Angin yang sedemikian deras
sangat berpeluang meratakan dengan tanah rumah-rumah yang tidak
kukuh. Raden Tetep bahkan merasa yakin, hal yang demikian amat
mungkin telah terjadi.
Raden Tetep akan berbalik. Namun, bersamaan dengan petir yang
meledak, tertangkap olehnya bayangan orang berlari.
http://facebook.com/indonesiapustaka
76
Macapat, Jawa, seni melantunkan tembang Jawa yang memiliki patokan dan aturan tertentu. Hingga
saat ini, kegiatan macapat masih hidup subur di Surakarta dan Yogyakarta, terutama di kalangan kerabat
istana.
77
Gupala, Jawa, nama patung terbuat dari batu yang bersikap jongkok dengan satu kaki bergelang ular
dan tangannya memegang gada. Contoh dari patung macam itu terdapat di pintu gerbang menuju istana
Kasunanan Surakarta. Orang setempat menyebutnya reca Gladak (arca Gladak).
Sanga Turangga Paksowani 135
sambil menunduk.
”Jika bramastana saja roboh,” kata Prabu Hayam Wuruk, ”pastilah
angin kali ini benar-benar angin yang sangat deras. Tak peduli hujan
kali ini adalah hujan yang sangat deras, kuperintahkan kepadamu untuk
menyebar prajurit. Aku khawatir banyak rumah yang roboh dan banyak
136 Gajah Mada
78
Dyah Rajasa Duhitendudewi, adik Prabu Hayam Wuruk, buah perkawinan Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani dengan Sri Kertawardhana (Raden Cakradara), kelak bersuami Raden Larang
79
Dyah Nrttaja Rajasaduhiteswari, adik Prabu Hayam Wuruk, buah perkawinan Sri Gitarja
Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dengan Sri Kertawardhana (Raden Cakradara), kelak bersuami
Breh Paguhan Singawardana
Sanga Turangga Paksowani 137
pasangan suami-istri yang usianya merambat tua itu juga tak kurang
cemasnya. Apalagi, seorang prajurit dengan obor di tangan yang melintasi
teritisan mewartakan tentang kandang kuda yang ambruk. Beruntung
kuda-kuda itu tidak cedera.
”Pernah melihat hujan yang lebih deras dari kali ini?” tanya Wijaya
Rajasa Hyang Parameswara yang dulu amat dikenal dengan sebutan
Raden Kudamerta.
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa menggeleng, ”Baru kali ini
aku melihat hujan yang derasnya seperti ini, angin yang ikut menari
membuatku panik.”
Wijaya Rajasa Hyang Parameswara Sang Apanji Wahninghyun
membenarkan pendapat istrinya. Yang terjadi kali ini benar-benar hujan
badai. Sedikit saja lebih besar, hujan disertai angin itu akan menjadi
topan yang sanggup merobohkan apa pun.
”Anak-anak perlu dibangunkan?” tanya Dyah Wiyat cemas.
Di dalam biliknya, kedua anak Dyah Wiyat tidur amat lelap dan sama
sekali tidak terganggu oleh hujan badai yang turun dengan deras itu. Dyah
Madudewi80 dan Dyah Sri Sudewi81 mungkin sedang bermimpi sangat
indah. Gemeretak badai hanya mereka rasakan sebagai ayunan yang
makin meninabobokan mereka. Kakak beradik yang sama-sama cantik
dan sedang mekar remaja itu sama sekali tak sadar, bahaya barangkali
sedang mengancam keselamatan mereka.
Di depan bilik para ningrat muda yang sedang lelap itu, beberapa orang
emban ikut gelisah mendengar suara angin yang sedemikian ribut.
”Bocor,” desis salah seorang emban itu.
”Waduh,” jawab emban yang lain.
http://facebook.com/indonesiapustaka
80
Dyah Madudewi, anak Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa, buah perkawinannya dengan Raden Kudamerta
Breng Pamotan atau yang juga bergelar Breh Wengker Wijaya Rajasa Hyang Parameswara dan juga disebut
Sri Wijaya Rajasa Sang Apanji Wahninghyun. Kelak Dyah Madudewi bersuamikan Breh Matahun.
81
Dyah Sri Sudewi, anak Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa, buah perkawinannya dengan Raden Kudamerta
Breng Pamotan. Kelak Dyah Sri Sudewi bersuamikan Prabu Hayam Wuruk, saudara sepupunya sendiri,
setelah Hayam Wuruk gagal mengawini Dyah Pitaloka Citraresmi. Dyah Sri Sudewi mendapat gelar Sri
Paduka Sori.
Sanga Turangga Paksowani 139
82
Lampor, Jawa, nama hantu yang konon berupa api dan bersuara gemuruh
83
Pepesthen, Jawa, nasib, takdir, kodrat
Sanga Turangga Paksowani 143
suami-istri yang sudah tua itu. Yang perempuan terisap amat tinggi dan
ketika jatuh, patah lehernya dan dengan seketika mengantarkannya ke
pintu gerbang kematian.
Nasib perempuan itu mungkin sangat malang. Namun, kemalangan
utamanya adalah ketidaktahuannya terhadap apa yang terjadi, penyebab
yang memaksanya masuk lorong pangrantunan.84 Apalagi, jika perempuan
itu telanjur menganggap penyebab kematiannya adalah barisan lampor
yang menyergap mereka.
Suami wanita tua malang itu bernasib lebih malang. Kematian
sebenarnya merupakan keadaan yang jauh lebih baik daripada apa yang
dialaminya. Laki-laki tua itu terisap pusaran angin setinggi setengah
pohon kelapa dan dengan sangat keras tubuh tua itu dibanting ke tanah.
Remuk tulang lelaki tua itu. Namun, tidak cukup menjadi penyebab ia
harus mati.
Mahapatih Gajah Mada merasakan jantungnya berhenti berdenyut
melihat jejak yang ditinggalkan beliung yang rupanya punya alasan untuk
marah itu. Rintih kesakitan dan dibantu petir yang kembali muncrat,
memudahkan Mahapatih Gajah Mada menemukan keberadaan laki-
laki tua itu. Cekatan, Gajah Mada berusaha menolongnya. Namun,
mengangkat tubuhnya merupakan hal yang tak mungkin karena tulang-
tulangnya yang patah.
”Aduh, mati aku,” sambat amat memelas penghuni rumah terpencil
itu.
Gajah Mada mengusap mukanya yang basah kuyup. Namun, ia
benar-benar tidak tahu apa yang harus ia kerjakan. Sebenarnya, Gajah
Mada terbungkam mulutnya lebih karena penyesalannya. Kecelakaan
yang dialami penghuni rumah terpencil itu jelas buah perbuatannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
84
Pangrantunan, Jawa, alam penantian. Sebagian orang Jawa dan jagat pewayangan menganggap alam
kematian sebelum memasuki masa pengadilan disebut alam pangrantunan.
144 Gajah Mada
bukan alang kepalang melihat benda apa saja yang terlempar. Semburan
tanah berpasir yang melesat dari batang beliung itu sungguh tidak
kalah dari ribuan anak panah yang dilepas dari busurnya. Gajah Mada
meyakini, pasukan dengan kekuatan segelar sepapan yang pasang gelar
perang Diradameta85sekalipun, tak akan mampu menghadapi terjangan
beliung yang menggila itu.
Gajah Mada akhirnya hanya bisa pasrah melihat angin meraksasa
itu benar-benar bergerak menyisir dinding istana menuju pintu gerbang
Purawaktra. Para prajurit yang sedang bertugas jaga amat terkejut.
Namun, mereka tak segera memahami suara apa yang terdengar
menggemuruh itu. Apalagi, ketika sejenak kemudian, ada banyak benda
yang berjatuhan.
Seorang prajurit terkena bongkahan bata. Prajurit itu ambruk dan
langsung tidak sadarkan diri. Bata itu sendiri berasal dari salah satu bagian
dinding istana yang jebol tanpa daya. Para prajurit itu tidak mengerti apa
yang terjadi. Akan tetapi, suara gemuruh itu nyata menyebabkan para
prajurit menduga istana sedang diserang negeri lain. Namun, bukan
negeri manusia, mungkin negeri hantu.
Dalam siraman kilat yang kembali muncrat, Gajah Mada melihat
pusaran angin yang semula berhenti itu kembali bergerak. Pusaran angin
itu meliuk berputar dan menjauhi Mahapatih Gajah Mada.
Gajah Mada rupanya harus membelah perhatiannya. Tiba-tiba,
suara mencicit dengan nada amat tinggi yang sangat menyakitkan
telinga terdengar dari arah kanan. Bersamaan dengan itu, tampak benda
bergerak. Kilat muncrat beruntun menerangi benda itu, membuat Gajah
Mada mampu mengenali benda itu dan merasa bingung setelahnya.
Pusaran angin kedua. Bagaimana bisa muncul pusaran angin kedua?
http://facebook.com/indonesiapustaka
Mahapatih Gajah Mada sama sekali tidak tahu apa penyebabnya. Pusaran
beliung pertama yang lahir dari buah permainannya sudah meretakkan
kepalanya. Kini, muncul pusaran angin kedua. Meski kecil, pusaran angin
85
Diradameta, salah satu nama gelar perang yang bersumber pada kisah Baratayuda
146 Gajah Mada
kedua itu diyakini bisa meraksasa seperti yang pertama. Jika itu terjadi,
akan kembali memberi sumbangan retakan di dinding kepalanya, bahkan
kepalanya bisa ambyar semburat.
Dengan cepat, pusaran angin kedua itu mengejar beliung pertama
yang makin mendekati pintu gerbang Purawaktra. Mahapatih Gajah Mada
beruntung karena kilat yang kembali muncrat susul-menyusul disertai
bledhek yang menggetarkan udara sekaligus menggetarkan gendang telinga,
memberi cahaya yang cukup jelas saat peristiwa sangat penting itu terjadi
dan berlangsung hanya dalam hitungan kejap. Jika Gajah Mada tidak
memerhatikannya, ia akan kehilangan jawaban dari apa yang terjadi.
Pusaran angin kedua, meski berukuran kecil, berhasil menyusul
pusaran angin pertama, kemudian lebur menyatukan diri dengannya.
Lalu, peristiwa susulan yang terjadi membuat Gajah Mada benar-benar
terbelalak, serasa kedua matanya akan lepas dari kelopaknya.
Akan tetapi, Mahapatih Gajah Mada juga layak bersyukur karena
sejenak setelah itu, pusaran angin yang bisa menghancurkan istana dan
mengancam keselamatan seluruh penghuninya itu bubar. Bergegas Gajah
Mada memerhatikan keadaan di sekitarnya, ke siapa saja yang mungkin
muncul setelah itu. Namun, yang tersisa hanya hujan yang deras dan
badai yang mulai susut.
”Sembrono sekali!”
Gajah Mada terkejut bukan alang kepalang mendengar ucapan yang
berasal dari belakangnya itu. Gajah Mada berbalik, tetapi wajah orang
itu tak tampak karena hitam malam dan karena orang itu mengenakan
caping yang menutupi wajahnya. Kilat yang muncrat dua kali sedikit
membantunya. Sekilas, wajah orang itu tertangkap. Gajah Mada merasa
amat akrab dengan wajah itu. Namun, ia mengalami kesulitan untuk
http://facebook.com/indonesiapustaka
kecuali raja. Kini, ia merasa sedang berhadapan dengan orang yang tak
boleh diremehkan, tidak boleh dipandang dengan mengesampingkan
rasa hormat. Kepada orang itu, ia tak boleh bersikap sembarangan.
”Siapa kau, Kisanak?” tanya Gajah Mada.
Orang tak dikenal itu melangkah mundur untuk menunjukkan
keajaiban berikutnya. Namun, sebelum hal itu terjadi, orang itu masih
sempat menjawab.
”Yang kaulakukan itu sembrono sekali,” jawaban yang diberikan
orang itu tidak sesuai dengan apa yang ditanyakan.
Kembali dibantu cahaya kilat yang muncrat, tetapi tidak disertai
guntur karena hujan mulai mereda seiring angin yang menghilang entah
ke mana, Mahapatih Gajah Mada terbelalak menyaksikan tontonan yang
tidak masuk akal. Apa yang dilihatnya sulit diterima nalar, tetapi nyata-
nyata terjadi di depannya. Bayangan orang itu menjadi kabur, makin
kabur. Udara yang membungkusnya mengombak dan membuatnya
lenyap dari pandangan mata. Jejaknya kemudian menghilang. Menghilang
bukan karena telah pergi, tetapi menghilang begitu saja, melenyap dari
pandangan mata.
”Jagat Dewa Batara,” desis Gajah Mada yang terbelalak.
Gajah Mada merasa sendiri, tetapi tidak benar-benar sendiri. Orang
yang menghilang itu mungkin telah pergi menjauh. Namun, mungkin
pula masih tetap berdiri di tempatnya. Akan tetapi, yang memenuhi
seluruh rongga di dadanya adalah gemuruh pesona sisa dari apa yang
telah ditontonnya.
Orang mampu menghilang ia yakini hanyalah sebuah cerita omong
kosong yang dilontarkan orang yang gemar berkhayal. Namun, siapa
http://facebook.com/indonesiapustaka
pun orang yang telah menampakkan diri dan telah memarahinya itu
memberinya bukti nyata yang tak bisa ia bantah kebenarannya. Bangkit
bulu kuduk Gajah Mada.
”Menampaklah lagi, Kisanak!” Gajah Mada berteriak. ”Aku masih
mempunyai banyak pertanyaan untukmu.”
148 Gajah Mada
12
http://facebook.com/indonesiapustaka
R uang depan rumah yang cukup megah itu terasa senyap. Gajah
Mada duduk di tempat duduk yang disediakan untuknya. Ia masih
bersikap menunggu. Yang ditunggu jawabannya masih diam seribu
bahasa. Nyai Rahyi Sunelok tidak tahu harus memulai dari mana. Akan
Sanga Turangga Paksowani 149
tetapi, Gajah Mada, sebagaimana Gagak Bongol dan Gajah Sagara yang
hadir di ruang itu, merasa tak sabar.
Di luar rumah, udara berkabut. Meski hujan dan badai sudah
lenyap jejaknya, kabut amat tebal melayang di mana-mana, mengemuli
setiap jengkal tanah. Dalam keadaan lumrah, malam biasanya dihiasi
berbagai suara binatang. Di langit, akan terdengar suara burung bence
yang saling menyapa. Burung hantu akan mewartakan keberadaannya
sambil matanya tak akan lelah melotot. Dengan matanya yang tajam, ia
memelototi apa saja, terutama gerak tikus dan ular kecil yang menjadi
santapan sehari-harinya. Namun, malam itu, entah mengapa suara katak
pun belum terdengar, meski di beberapa tempat lain sudah.
”Kakekku mengaku mempunyai seorang guru. Aku hanya
mengetahui nama orang itu. Selebihnya, aku tak tahu, Gusti Patih,” berkata
Nyai Rahyi Sunelok.
Antara Gajah Mada dan Gagak Bongol saling mbalang liring,86
sementara Gajah Sagara amat larut dalam menatap wajah ibunya.
”Nama orang itu siapa, Nyai?” tanya Gajah Mada.
Nyai Rahyi Sunelok berkomat-kamit sebelum menjawab.
”Eyang Pawagal mengatakan, nama orang itu adalah Ajar
Wintyasmerti,” jawab Nyai Rahyi Sunelok.
Gajah Mada menyimak penuturan Nyai Rahyi Sunelok tanpa
berkedip. Keterangan itu dianggapnya amat penting karena kehadiran
orang tak dikenal itu sangat mengganggu pikirannya. Gajah Mada yang
kemudian menjatuhkan pandang matanya ke pintu diganggu sebuah
pertanyaan, benarkah orang yang muncul dan menemuinya itu sosok
yang kisahnya sekarang sedang digali dari Nyai Rahyi Sunelok?
http://facebook.com/indonesiapustaka
86
Mbalang liring, Jawa, melirik
150 Gajah Mada
dengan hal-hal yang tidak masuk akal macam itu,” ucap Gajah Mada.
”Namun, sekarang, bagaimana aku tidak percaya jika aku melihat dengan
mata dan kepalaku secara langsung? Bahkan, kini, aku telah mewarisi
87
Ngliga, Jawa, tidak berpakaian, bertelanjang dada
152 Gajah Mada
kekuatan luar biasa itu dari Kiai Pawagal. Aku percaya sepenuhnya
pada apa yang diceritakan Nyai Rahyi Sunelok. Orang yang menemuiku
mungkin guru Kiai Pawagal. Wajah yang tadi aku lihat adalah wajah
yang sama dengan yang kutemui sepuluh tahun lalu. Tidak berubah
sama sekali.”
Gajah Mada yang mengayunkan langkah itu mendadak berhenti.
”Ada apa?” tanya Gagak Bongol.
Gajah Mada masih termangu.
”Aku rasa aku tahu tempat untuk bertanya, seseorang yang memiliki
banyak ruang pengetahuan. Aku akan langsung ke rumahnya untuk
bertanya. Kalian berdua langsung ke Balai Perwira,” ujar Gajah Mada.
Gagak Bongol sedikit kesal. Ia amat ingin tahu kelanjutan cerita
tentang orang yang memiliki usia sedemikian panjang itu. Akan tetapi,
Gajah Mada menghalanginya.
”Aku tahu siapa orang yang kauperkirakan bisa menjelaskan bagian
hitam itu,” kata Gagak Bongol.
Gajah Mada tidak membalas pertanyaan itu.
”Aku yakin orang itu pastilah Nadendra,” kata Gagak Bongol.
Gajah Mada tersenyum. Namun, senyum itu ditelan malam.
13
http://facebook.com/indonesiapustaka
88
Prapanca, penggubah Negarakertagama. Prof Dr Slamet Muljana menduga Prapanca adalah nama lain
Darmadyaksa Kasogatan Nadendra.
89
Pancaksara, dalam kitabnya yang berjudul Desa Wernana, Prapanca tidak mencantumkan nama aslinya.
Ia samarkan jati dirinya melalui nama Pancaksara yang tercantum dalam kitab Negarakertagama Pupuh
XXXII.
90
Desa Wernana, judul asli kitab yang kini dikenal sebagai kitab Negarakertagama. Pada permulaan
abad 20, Prof. H. Kern menerjemahkan Negarakertagama dalam BKI 58 sampai 59 yang kemudian
dikumpulkan dalam H. Kern V.G. VII dan VIII, 1917. Teks terjemahan tersebut diterbitkan lagi dengan
perbaikan tambahan oleh Prof. N.J. Krom pada tahun 1919 di bawah judul Het Oudjavaansche Lofdicht
Nagarakertagama Van Prapanca (1365 AD). Negarakretagama sebagai judul menjadi lebih populer dari
judul aslinya berkat judul terbitan J.L.A Brandes tahun 1902 dan terjemahannya oleh Prof H. Kern (1905)
yang maknanya memang sesuai dengan kolophon yang ditambahkan di akhir karya sastra tersebut. Kitab
http://facebook.com/indonesiapustaka
tersebut ditemukan di Puri Cakranegara di Pulau Lombok tahun 1894 yang semula dikenal sebagai satu-
satunya naskah. Naskah tersebut disimpan di Leiden. Pada pertengahan tahun 1971, dalam kunjungannya
ke Indonesia , Ratu Juliana menyerahkan naskah tersebut kepada Presiden Soeharto. Sekarang, naskah itu
disimpan di Jakarta. Namun, pada tanggal 17 Juli 1978, ditemukan naskah Negarakertagama di Amlapura.
Temuan tersebut kemudian disusul pengumuman bahwa di Geria Pidada Kelungkung juga ditemukan
sebuah turunan rontal Negarakertagama. Dua naskah yang lain berturut-turut ditemukan di Geria Carik
Sideman. Konon, salinan serupa pernah dibawa ke Lombok pada waktu kekuasaan Raja Karangasem
meliputi Lombok. Hingga kini, setidaknya telah ditemukan lima naskah Negarakertagama.
154 Gajah Mada
yang dikenakan Gajah Mada yang terbuat dari kulit harimau. Dengan
pakaian macam itu, Gajah Mada tentu tidak perlu terganggu oleh udara
dingin. Ingin memiliki? Tentu tidak karena menurut ajaran Buddha,
tidak dibenarkan membunuh binatang apa pun, apalagi memanfaatkan
kulitnya macam itu.
Sanga Turangga Paksowani 155
91
Mandapa, Jawa Kuno, rumah burung merpati, orang sekarang menyebutnya pagupon
158 Gajah Mada
dari kematian. Bukankah Kiai Pawagal akan mengalami hal yang sama
andaikata ia tidak datang menolongnya? Lalu, bagaimana dengan
dirinya sendiri? Bukankah kelak ia akan mengalami hal yang sama
seperti yang dialami Kiai Pawagal? Berpikir begitu, Gajah Mada merasa
gelisah.
”Ahh, itu urusan nanti,” letupnya dalam hati.
Dalam benak Gajah Mada segera mencuat pertanyaan, penyebab
macam apa yang mengakibatkan orang bernama Ajar Wintyasmerti itu
terbebas dari kematian? Sebuah anugerah atau bencanakah yang terjadi
itu? Kiai Pawagal yang lahir sezaman dengan Sri Sanggramawijaya
atau mungkin sedikit lebih tua, atau sepantaran dengan Maling Wirota
Wiragati dan Kiai Pamandana yang pernah ia kunjungi, penampilannya
sudah amat renta dalam usia delapan puluhan tahun lebih. Namun,
Ajar Wintyasmerti yang diperkirakan hidup sezaman dengan Prabu
Kertanegara tampak sangat muda, seperti orang yang baru berusia tiga
puluhan tahun. Bahkan, tampak jauh lebih muda.
”Tadi, aku menanyakan itu kepada Nyai Gajah Enggon. Aku
tanyakan kepadanya karena ia adalah cucu Kiai Pawagal. Nyai Rahyi
Sunelok hanya menyebut nama Ajar Wintyasmerti. Jika orang itu
adalah orang yang sama dengan orang yang menampakkan wajahnya di
hadapanku ketika angin lesus nyaris menggilas istana, berarti orang itu
telah tua sekali. Usianya telah lebih dari seratus tahun, tetapi wajahnya
masih tampak muda,” kata Gajah Mada.
Halaman wisma Dharmadyaksa Kasogatan kembali terasa hening
dan memberi kesempatan kepada dua pejabat penting istana Majapahit
itu untuk berpikir serta mengumbar angan-angan. Dengan memejamkan
mata, Sang Mahamantrimukya Rakrian Mahapatih Gajah Mada
http://facebook.com/indonesiapustaka
mencoba mengingat raut wajah orang itu sekaligus mengenang apa yang
diucapkannya. Satu kata pun tak mungkin ia lupakan.
”Baru menguasai segitu saja sudah mencoba bermain-main
membangunkannya,” ucapan orang itu terasa masih terngiang-ngiang
di gendang telinganya.
Sanga Turangga Paksowani 159
keadaan berbahaya.
”Benar kau memiliki catatannya?” kajar Gajah Mada.
92
Tarik, tempat ibu kota Majapahit semula dibangun bernama Tarik
93
Ngangsu kawruh, Jawa, belajar
Sanga Turangga Paksowani 161
94
Tiga juru, yang dimaksud mungkin tiga wilayah (negara bawahan) kekuasaan
162 Gajah Mada
kolam bekas mandi para kerbau ketika barisan kelelawar lewat. Ukuran
kelalawar itu beberapa kali lebih besar daripada lawa95 sehingga ia disebut
kalong.
Gajah Mada membuka matanya kembali. Lalu, ia berkata, ”Aku
pernah bertemu barisan kalong yang boleh diibaratkan berkekuatan
segelar sepapan. Mereka terbang bersama-sama, berarakan menuju ke
arah yang sama. Namun, aku tidak melihat penggembalanya. Aku tidak
melihat orang bernama Ajar Wintyasmerti itu.”
Prapanca tersenyum, pandangan matanya menerawang.
”Aku juga pernah melihat, jumlahnya tak terhitung, tetapi tidak di
pulau Jawa ini,” ucapnya.
Gajah Mada mengerutkan kening dan melirik Prapanca.
”Di mana?” tanya Gajah Mada.
”Tempat itu bernama Maros,” jawab Prapanca.
Gajah Mada merasa belum pernah mendengar nama itu.
”Di mana Maros itu?” tanyanya.
Dharmadyaksa Kasogatan Dang Acarya Nadendra di masa mudanya
adalah orang yang penuh rasa ingin tahu. Dan, ia salurkan itu dengan
melakukan perjalanan mengunjungi banyak negeri. Ia menghimpun
banyak keterangan dari semua orang yang ia kenal. Keterangan yang ia
peroleh, kemudian disimpannya di rontal-rontal.
Dharmadyaksa Kasogatan Dang Acarya Nadendra pernah berkeliling
dari ujung dunia paling barat hingga ke timur. Bumi Maros yang ia kunjungi
itu berada di sebuah pulau besar di seberang lautan sebelah utara pulau Jawa.
Membutuhkan waktu nyaris sebulan untuk mendatangi tempat itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka
95
Lawa, Jawa, nama lain kelelawar. Lawa ijo dalam kisah Nagasasra dan Sabuk Inten karya SH Mintardja
berarti kelelawar hijau.
Sanga Turangga Paksowani 165
14
P agi yang datang adalah pagi dengan keadaan yang sangat bertolak
belakang dari malam sebelumnya. Langit sangat cerah dengan warna
biru jernih di sepanjang mata memandang. Kehidupan pun berjalan
sebagaimana biasa, tidak seperti semalam saat sebagian orang merasa
waktu akan segera berhenti karena kiamat sejenak lagi segera tiba.
Sang Mahamantrimukya Rakrian Mahapatih Gajah Mada melihat
sisa dari yang terjadi semalam sungguh luar biasa. Dari para prajurit, ia
memperoleh banyak laporan tentang rumah-rumah yang rusak atapnya,
beberapa bahkan roboh diterjang angin.
Lewat para pejabat di barisan Sang Panca Ri Wilwatika, Mahapatih
Gajah Mada menyalurkan perintah untuk menolong mereka. Bantuan
berupa makanan dan bahan-bahan untuk memperbaiki rumah-
rumah yang rusak segera disalurkan. Dan, di sela kesempatan yang ia
miliki, Gajah Mada menyempatkan mengunjungi tempat semalam ia
membangkitkan kemampuannya. Namun, Gajah Mada terkejut melihat
ada orang lain yang mendahuluinya datang ke tempat itu.
”Kamu sudah berada di sini?” sapa Gajah Mada.
Gajah Sagara berbalik dan bergegas menjemput orang yang amat
ia hormati itu.
”Kemarin, di tempat ini masih ada sebuah rumah, kini tidak ada
lagi, Paman,” ucap Sagara.
Gajah Mada segera menyebar pandangan matanya memerhatikan
http://facebook.com/indonesiapustaka
tempat itu. Gajah Mada tidak kuasa menahan diri untuk tidak takjub
melihat jejak yang ditinggalkan angin lesus yang luar biasa itu. Tanah
yang dilewati angin lesus itu tergali dan membentuk sumur di tempat
itu. Sumur itu kini tergenangi air sisa hujan.
”Kamu sudah bercerita kepada siapa saja?” tanya Gajah Mada.
Sanga Turangga Paksowani 167
tercengang. Nala adalah sosok yang luar biasa dalam tugas penyusupan,
penghasutan, dan penghancuran. Nala juga terdepan dalam penyelamatan
mereka yang terluka. Kelebihan itu membawa Nala menapaki jabatan
sebagai pucuk pimpinan armada timur dengan wilayah jelajah seluas
separuh Majapahit. Sedangkan, armada barat untuk sementara berada di
170 Gajah Mada
bawah kendali Gajah Mada secara langsung sambil melihat apa Senopati
Prawira Jalasenastri, seorang senopati muda yang sebaya dengan Nala,
layak dinaikkan pangkatnya menjadi temenggung.
Jika Jalasenastri dipandang mampu, Gajah Mada dan Hayam
Wuruk telah siap mengambil keputusan untuk menaikkan pangkatnya
dari senopati menjadi temenggung. Lompatan kenaikan pangkatnya itu
pasti akan membuat iri para perwira lain yang masih berada di tataran
senopati.
Akan tetapi, Gajah Mada dan Hayam Wuruk tidak peduli andai
ada yang keberatan. Dari sisi kemampuan, Prawira Jalasenastri memang
luar biasa. Sejak menjadi bagian prajurit laut Majapahit, tampak betapa
Prawira Jalasenastri memiliki kemampuan di atas rata-rata. Ketika diberi
kesempatan untuk memimpin sebuah kelompok kecil dan melaksanakan
sebuah tugas, Jalasenasri mampu menuntaskan dengan sangat bagus,
demikian pula dengan penugasan-penugasan selanjutnya. Secara pribadi,
Nala dan Jalasenastri menjalin hubungan persahabatan yang sangat
baik.
Jalasenastri saat ini berada di Dharmasraya, diperbantukan di negeri
di Sijunjung itu karena Aji Mantrolot96 sedang banyak menghadapi
masalah.
”Semua tugas telah aku selesaikan dengan baik, tanpa ada sisanya.
Dompo telah ikut mengibarkan panji-panji gula kelapa, lambang negara
cihna gringsing lobheng lewih laka, dan mengakui Sang Prabu Rajasanegara
sebagai rajanya, dengan jumlah korban tak seberapa karena pada saat-saat
terakhir, perang bisa dihindari,” Nala memberikan laporannya.
Gajah Mada memegang pundak Temeng gung Nala dan
memerhatikan tubuh pemuda gagah perwira yang layak menjadi idaman
http://facebook.com/indonesiapustaka
gadis-gadis itu.
”Hadiah apa yang kau kehendaki untuk keberhasilan tugasmu yang
luar biasa ini?” tanya Gajah Mada.
96
Aji Mantrolot, gelar Aditiawarman
Sanga Turangga Paksowani 171
berdiri di depan para perwira itu. Hayam Wuruk menolak ketika seorang
abdi pengiringnya menggagas membuka kain penutup Bale Witana dan
mempersilakan Sang Prabu untuk masuk.
”Aku berdiri saja,” kata Hayam Wuruk Rajasanegara mempertegas
penolakannya.
172 Gajah Mada
Dompo itu, hamba juga bersama dengan seorang brahmana dari Bali.
Dalam perjalanan pulang, hamba menyempatkan singgah di Carik
Sideman. Kebetulan Brahmana Smaranatha berniat berkunjung ke Tarik.
Beliau menumpang di kapal hamba dan saat ini sedang menemani para
tamu dari Dompo.”
174 Gajah Mada
15
P erahu itu tak seberapa besar dan layarnya pun tidak sedang
terkembang. Perahu itu terapung-apung tanpa daya dipermainkan ombak.
Ke mana pun ombak bergerak, perahu itu tidak mungkin menolak.
Kebetulan ombak sedang bergerak ke barat dan membawa perahu itu
ke suatu tempat di arah matahari tenggelam, entah di mana.
Seorang laki-laki tergeletak di dalamnya. Tarikan napasnya
http://facebook.com/indonesiapustaka
perahu itu pernah dilihatnya di tepian pantai Alas Roban. Akan tetapi,
seingatnya, tidak satu pun penduduk Alas Roban yang memiliki perahu
yang terlihat masih baru itu. Selama lebih dari sepekan tinggal di Alas
Roban, ia nyaris berkenalan dengan semua penduduknya dan datang
mengunjungi rumah di tepian pantai itu satu per satu. Ia tidak peduli
meski Bandar Guris mencegahnya.
”Apa yang aku alami di Alas Roban aku ingat,” ucapnya kepada
diri sendiri. ”Akan tetapi, aku tak ingat apa yang terjadi selanjutnya.
Ada bagian yang hilang dari benakku, terutama apa yang terjadi setelah
itu.”
Perlahan, Riung Sedatu menggerakkan dayungnya menuju selatan
sambil tidak henti-hentinya menikmati rasa kaget yang menerjangnya.
Riung Sedatu bergegas mengikat kuat-kuat otot jantungnya ketika melihat
ikan berukuran amat besar melintas di bawahnya. Akan tetapi, seganas
apa pun, ikan dengan panjang tiga kali ukuran perahu itu tak berminat
memangsa perahu yang terbuat dari kayu itu. Tentu karena kayu bukan
jenis makanan yang enak. Penumpangnya yang bernama manusia juga
bukan jenis makanan yang enak.
Setidaknya, ikan besar itu masih menyimpan kenangan ketika
beberapa tahun sebelumnya pernah memangsa manusia yang terjatuh
dari kapal. Daging manusia tidak lezat baginya, masih kalah lezat dari
daging ikan kenyar.
Didorong rasa takut ikan besar itu akan kembali, Riung Sedatu
mengayuh dayung sekuat-kuatnya, membawa perahunya makin menepi.
Namun, tempat ia berada bukanlah jarak yang pendek jika diukur dari
pantai di arah selatan.
”Kelelawar,” gumam Sedatu yang mendadak terkejut.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Lelaki yang sedikit lebih tua itu tersenyum. Senyumnya lebar karena
merasa agak geli.
”Tempat ini bernama Losari, kalau namaku Enjang Parayun,” balas
orang itu.
178 Gajah Mada
Sedatu merasa nama itu nama yang aneh, tetapi ketika ia merenungkan
di mana letak keanehan nama itu, Sedatu tidak menemukan.
”Namaku Riung Sedatu,” balasnya.
Enjang Parayun mengerutkan kening.
”Namamu aneh,” katanya.
Riung Sedatu segera tersenyum mendapati orang itu menyimpan
isi hati yang sama. Namun, rasa penasaran Sedatu memerlukan obat,
memerlukan jawaban segera.
”Dari sini, di manakah letak Alas Roban?” tanya Sedatu.
Enjang Parayun mengerutkan kening.
”Kamu berasal dari Alas Roban?” balas Enjang Parayun.
Riung Sedatu ingin mengatakan bahwa ia tidak berasal dari Alas
Roban. Namun, jika dibalas dengan jawaban itu, pasti akan menimbulkan
pertanyaan lain, pertanyaan yang aneh-aneh. Menjelaskan dirinya
kehilangan masa lalu merupakan bagian yang paling sulit.
”Benar, aku dari Alas Roban,” jawabnya.
Enjang Parayun termangu sambil manggut-manggut pendek.
”Rupanya, kau tersesat di laut dan ketika merapat ke daratan,
kau menepi di tempat yang salah. Alas Roban berada di timur, jauh
sekali di timur. Butuh beberapa hari dengan berkuda dan butuh dua
hari penuh menempuh perjalanan dengan menggunakan perahu yang
mampu bergerak paling cepat untuk sampai ke sana,” Enjang Parayun
menjelaskan.
Riung Sedatu bingung. Ia memejamkan mata. Melihat itu, Enjang
http://facebook.com/indonesiapustaka
”Agaknya, ada rentang waktu yang tidak kusadari apa yang kuperbuat.
Jangan-jangan, keberadaanku di Alas Roban itu bukan kemarin, tetapi
telah berjalan berhari-hari lamanya,” kata Riung Sedatu dalam hati.
Enjang Parayun tahu, laki-laki di depannya sedang panik, terlihat
dari langkah kakinya yang mondar-mandir sambil menjambak-jambak
rambut. Riung Sedatu yang mendadak merasa sangat pusing itu
melangkah menjauh dan tidak peduli ia sedang berbicara dengan orang
yang baru dikenalnya serta terasa sangat tak pantas meninggalkannya
begitu saja.
Riung Sedatu duduk bersandar batang pohon jarak, menempatkan
diri berlindung dari panas bagaskara yang agak menyengat di bayangan
pohon pandan laut. Riung Sedatu memandang laut dengan tatapan mata
mulai berkaca-kaca. Dengan sekuat tenaga, lelaki itu berusaha menahan
diri agar jangan sampai menangis.
”Apa yang terjadi denganku?” kembali ia menanyai diri sendiri.
Enjang Parayun yang datang mendekat terkejut. Ia tidak menyangka
orang yang menjual perahu kepadanya itu sedang menyangga beban
yang amat berat.
”Agaknya, kau sedang menyimpan masalah, Kisanak?” tanya Enjang
Parayun dengan logat yang terasa aneh di telinga Sedatu.
Bergegas, Riung Sedatu membasuh basah di matanya. Namun, jelas
masih terlihat sisa jejaknya. Sedatu tersenyum.
”Maaf, Kisanak,” kata Sedatu. ”Aku batalkan niatku menjual perahu.
Kedatanganku ke tempat ini sangat salah. Aku harus kembali ke timur.
Aku harus pulang dan untuk pulang aku membutuhkan perahu.”
Riung Sedatu mengakhiri ucapannya dengan mengembalikan uang
http://facebook.com/indonesiapustaka
16
T ak seorang pun yang tidak bekerja dengan penuh semangat.
Semua bekerja penuh semangat, ditandai itu dari peluh yang berleleran.
Apalagi, pekerjaan mengembalikan keutuhan dinding istana itu ditunggui
Ibu Suri Sri Gitarja dan Ibu Suri Dyah Wiyat.
”Apa pendapatmu?” tanya Sri Gitarja kepada adiknya.
”Tentang?” balas Dyah Wiyat.
”Angin lesus yang menerjang tempat ini semalam,” kata Sri Gitarja.
Dyah Wiyat menebar pandangan matanya sekaligus dengan
memutar tubuhnya.
”Aku hanya membayangkan apa jadinya jika angin lesus menerjang
istana. Jika dinding istana saja bisa dijebol seperti ini, bagaimana dengan
istana? Istana pasti hancur dan kita berada di dalamnya,” balas Dyah
Wiyat.
Sri Gitarja sependapat dengan adiknya. Angin lesus yang biasa
disebut beliung itu ternyata memiliki kekuatan melebihi kekuatan apa
pun. Dinding istana bisa dibuat jebol dan porak-poranda.
Sri Gitarja melambaikan tangannya, meminta Gajah Sagara datang
mendekat.
”Hamba, Tuan Putri Ibu Suri,” berkata Gajah Sagara dengan tidak
lupa memberikan sembahnya.
Sri Gitarja memerhatikan wajah Gajah Sagara yang tampan dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka
”Hamba, Tuan Putri,” balas Gajah Sagara sigap. ”Ayah hamba saat
ini sedang melaksanakan perintah negara mendampingi dan mengawal
perjalanan Patih Maduratna menuju Sunda Galuh.”
Ibu Suri Sri Gitarja terkejut. Perjalanan Patih Maduratna ke Sunda
Galuh memang atas kehendaknya. Ibu Suri ingin anaknya segera
mendapat permaisuri yang cantik yang bisa mendampingi Raja dalam
memimpin negara. Namun, Ibu Suri tidak meminta Gajah Enggon
ikut serta. Ibu Suri Sri Gitarja memandang Dyah Wiyat dengan tatapan
mata amat tajam.
”Keikutsertaan Kanuruhan Gajah Enggon pasti atas perintah
Kakang Gajah Mada,” Dyah Wiyat melontarkan dugaannya.
Benak Sri Gitarja segera diriuhkan pertanyaan, kehendak apa
yang disimpan Mangkubumi Gajah Mada dengan menyertakan Gajah
Enggon dalam rombongan Patih Maduratna? Ibu Suri Sri Gitarja merasa
gelisah. Namun, segera dikembalikannya perhatiannya pada kerja keras
membangun kembali dinding istana yang dijebol beliung itu.
”Sagara, bisakah aku meminta bantuanmu?” tanya Ibu Suri Sri
Gitarja.
Gajah Sagara bergegas menyembah.
”Hamba, Tuan Putri,” jawabnya sigap. ”Tuan Putri tidak boleh
meminta bantuan kepada hamba. Yang harus Tuan Putri lakukan adalah
memberikan perintah kepada hamba. Siapa pun akan menjalankan
perintah Tuan Putri dan hamba merasa amat tak layak jika Tuan Putri
meminta bantuan.”
Sri Gitarja dan adiknya tersenyum bersama-sama.
”Sagara,” kata Ibu Suri Sri Gitarja, ”aku sungguh penasaran pada
kekuatan angin lesus yang terjadi tadi malam dan sekarang sedang kita
http://facebook.com/indonesiapustaka
98
Sinjunjung, ibu kota Dharmasraya
99
Seba, Jawa, hadir dalam pasewakan
Sanga Turangga Paksowani 187
”Aku juga, aku tidak mau pulang. Aku ingin tinggal di sini,”
tambah gadis keempat dengan senyum ditelan dan ditutupi dengan sapu
tangan.
Dengan penuh minat dan dibantu orang yang mendapat tugas
menerjemahkan apa yang diucapkan Prabu Hayam Wuruk, Raja Dompo
menyimak apa yang akan disampaikan Raja Majapahit itu. Di sebelah
Raja Dompo, duduk Brahmana Smaranatha. Dan, di sebelah Brahmana
Smaranatha, Mahapatih Gajah Mada ikut menyimak apa yang akan
disampaikan Raja. Duduk di kursi masing-masing, Dharmadyaksa
Kasogatan dan Kasaiwan lebih memusatkan perhatian mereka ke raut
muka Brahmana Smaranatha yang selalu sejuk. Di belakang dua pejabat
penting yang mengurusi kehidupan agama Buddha dan Siwa itu, berjajar
tujuh orang upappati.
Orang-orang yang menjadi bagian dari Sang Panca Ri Wilwatikta
juga menempati tempat yang biasa diperuntukkan bagi mereka. Di
pasewakan yang digelar mendadak itu hadir pula ayah dan paman raja.
Namun, baik Kertawardhana maupun Wijaya Rajasa Sang Apanji
Wahninghyun tidak berbicara apa pun. Mereka melihat Raja tak perlu
lagi dibimbing. Raja yang masih muda itu sudah bisa disebut mandiri.
Dalam usia dua puluh tiga tahun, Hayam Wuruk telah memiliki
kecerdasan dan kemampuan yang memadai untuk menjadi raja serta
tak perlu diajari berbicara.
Duduk bersimpuh di tempat terpisah dan dilayani para emban,
kedua adik Narpati100 Agung Hayam Wuruk, Dyah Rajasa Duhitendudewi
dan Dyah Nrttaja Rajasaduhitadewi ikut menyimak apa yang akan
disampaikan Raja.
Tidak hanya anak Ibu Suri Sri Gitarja yang hadir. Di tempat yang
tidak terpisah, anak-anak Ibu Suri Dyah Wiyat juga menghadiri pasewakan
http://facebook.com/indonesiapustaka
itu. Baik Dyah Madudewi maupun Dyah Sri Sudewi duduk bersimpuh
dan saling memberikan isyarat pandang mata kepada kedua saudara
sepupunya.
100
Narpati, Jawa, raja
188 Gajah Mada
sewarna dengan warna darah yang tepat pada bagian tengahnya bertuliskan
Sang Arya Wira Mandalika Laksamana Pu Nala diselempangkan melintas
pundak dan dikancingkan di bagian pinggang. Hayam Wuruk tersenyum
melihat semua orang begitu senang, bahkan sebagian melonjak-lonjak
girang. Tepuk tangan pun menggemuruh ketika Prabu Hayam Wuruk
memberi ucapan selamat dengan mengulurkan jabat tangannya. Tulisan
yang terbaca jelas di selempang kain itu menjadi pertanda, kini, Nala
telah naik pangkat menjadi laksamana.
Raja Dompo merasa dadanya kembali merongga. Beban berat yang
semula disangga agak terkurangi. Raja Dompo akhirnya melihat, menyatu
dan menjadi bagian dari Majapahit bukan hal yang buruk. Dengan
kekuataannya yang begitu besar, terutama di laut, Majapahit memberinya
jaminan keamanan yang menyebabkan beberapa negara tetangga di
wilayah Dompo tak akan lagi berani menyerang dan menganggap
Dompo sebagai musuh. Meski arti dari semua itu, Dompo telah terjual
dan menjadi jajahan dari negara di Jawa, Majapahit.
17
D ari sebuah panggungan menghadap ke barat yang untuk naik
harus menggunakan tangga dan terletak di depan Rumah Buddha beratap
tiga, alun-alun istana terlihat amat jelas. Bahkan, dari tempat itu, pintu dan
jendela rumah Menteri Amawa Pinituha juga terlihat jelas. Gajah Mada
http://facebook.com/indonesiapustaka
101
Dampyak-dampyak, Jawa, beramai-ramai
192 Gajah Mada
18
http://facebook.com/indonesiapustaka
Gajah Sagara. Gajah Mada mengira, Prabu Hayam Wuruk berada di tempat
itu pula. Namun, hanya kedua mantan prabu putri yang menerimanya
tanpa didampingi Sri Kertawardhana dan Hyang Parameswara. Dua
orang prajurit yang memegang senjata tombak telanjang tampak siaga
berjaga-jaga di depan pintu.
Di halaman, tampak Sekar Kedaton Duhitendudewi dan Dyah
Nrttaja sedang saling menceritakan lelucon. Tampak hal itu dari wajah
mereka yang sangat sumringah. Tidak berapa lama kemudian, saudara
sepupu mereka, Madudewi dan Sri Sudewi, yang masing-masing diikuti
seorang emban, datang bergabung. Sri Sudewi dan Madudewi meminta
kepada dua emban itu untuk menjauh ketika mereka telah bersama
dengan kakak-kakak sepupunya.
Tak jauh dari mereka berempat, terdapat sebuah sangkar burung
yang dihuni burung rangkok berparuh panjang. Binatang langka itu
merupakan oleh-oleh dari negara bawahan. Untuk makanan burung itu,
abdi istana pengurus satwa harus menyediakan ikan yang dibeli dari pasar.
Di sebelah yang lain, sebuah sangkar yang lebih kecil dihuni beberapa
ekor ayam cebol. Ayam-ayam itu menjadi klangenan para Sekar kedaton
karena jinak dan lucu.
Gajah Mada yang semula mengarahkan pandang matanya ke
halaman, segera memusatkan perhatiannya kepada kedua mantan prabu
putri yang memanggilnya. Mahapatih Gajah Mada sibuk menduga,
persoalan macam apa yang akan disampaikan kepadanya. Akan tetapi,
dengan memeras kepala sekeras apa pun, Gajah Mada tidak mendapat
gambaran.
”Hamba menghaturkan sembah, Tuan Putri,” ucap Gajah Mada
sambil duduk bersila di tempat yang disediakan untuknya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Ibu Suri Sri Gitarja dan Ibu Suri Dyah Wiyat duduk di dua buah
kursi yang diatur berdampingan.
”Gajah Mada,” ucap Ibu Suri Sri Gitarja meminta perhatian.
Sigap, Gajah Mada merapatkan kedua telapak tangannya dan
membawa mendekat ke ujung hidung.
Sanga Turangga Paksowani 195
kepada Raja Sunda Galuh untuk mengambil sikap. Namun, selama ini,
Raja Sunda Galuh hanya mengulur-ulur waktu, menunda dan menunda.
Keikutsertaan Gajah Enggon adalah untuk memastikan bagaimana
jawaban Raja Sunda Galuh,” jawab Gajah Mada tanpa ragu.
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa menghirup tarikan napas berat.
Hal yang sama dilakukan kakak perempuannya.
”Apa Kakang Mahapatih tidak menimbang bahwa saat ini sedang
dikirim utusan ke Sunda Galuh untuk kemungkinan menjodohkan Sang
Prabu dengan putri Raja Sunda Galuh?” tanya Dyah Wiyat.
Gajah Mada mengalihkan pandangan matanya kepada Sri Gitarja.
”Benar, Kakang Gajah Mada,” ucap Sri Gitarja. ”Aku minta janganlah
Kakang Patih membuat sebuah kebijaksanaan yang berbenturan dengan
rencanaku berbesanan dengan Raja Sunda Galuh.”
Mahamantrimukya Rakrian Mahapatih Pu Mada merapatkan kedua
telapak tangannya dan membawanya ke dada.
”Hamba, Tuan Putri,” jawabnya. ”Menurut pemahaman hamba,
saat ini, baru dikirim orang untuk melukis putri Raja Sunda Galuh.
Masih belum ada keputusan apa memang benar Sekar Kedaton Sunda
Galuh yang dikehendaki Sang Prabu Raden Tetep sebagai permaisurinya.
Soal Sunda Galuh, sejak awal, hamba telah sampaikan bahwa tak ada
tawar-menawar untuk penyatuan seluruh negeri di wilayah Nusantara
ini. Seluruh wilayah di Nusantara telah bergabung dengan Majapahit.
Dompo di Sumbawa juga telah menyatakan bergabung dengan Majapahit.
Lautan di Nusantara telah dijaga rapat oleh kapal-kapal perang Majapahit
dan di setiap daratan telah berkibar bendera gula kelapa serta memasang
lambang negara cihna gringsing lobheng lewih laka. Namun, justru di tanah
Jawa, di belakang pekarangan sendiri, ada sepetak kecil negara yang belum
http://facebook.com/indonesiapustaka
tawar. Sebagian yang lain adalah para undagi102 yang tertarik mempelajari
gaya rumah-rumah Sunda.
Sebagai pribadi dan sebagai negara, Sunda Galuh boleh dibilang
bukan ”orang lain”. Sunda Galuh itu masih keluarga sendiri. Jadi,
seyogianya janganlah Majapahit sampai menyerang Sunda Galuh.
Jangankan menyerang, bahkan yang hanya sekadar mengancam pun
sudah sangat melukai hati.
”Mangkubumi,” Ibu Suri Sri Gitarja menyebut pangkat Gajah Mada
untuk meminta perhatian.
Mahapatih Gajah Mada merapatkan kedua telapak tangannya dan
membawa ke tengah dada, kemudian dibawa ke ujung hidung.
”Hamba, Tuan Putri,” jawab Gajah Mada.
Sri Gitarja merasa isi dadanya penuh dengan udara. Perlahan, harus
disalurkan untuk mendapat kelegaan dalam bernapas.
”Aku sangat memahami apa yang kaulakukan selama ini demi
kebesaran Majapahit dan demi kejayaan pemerintahaan anakku. Kau
telah bekerja keras meyakinkan banyak negara untuk mau bersatu
menjadi negara bawahan Majapahit. Namun, Aku mempunyai alasan
memintamu untuk tidak mengusik Sunda Galuh,” ucap Sri Gitarja.
Gajah Mada mengerutkan dahi. Gajah Mada menunggu Sri Gitarja
melanjutkan, tetapi Sri Gitarja terlampau lama dalam diam.
”Apa alasannya, Tuan Putri?” balas Gajah Mada.
”Kedekatan Sunda Galuh dan Majapahit sudah sampai sedemikian
rupa. Sunda Galuh itu keluarga sendiri. Amat sayang jika persaudaraan
ini ternodai oleh keinginanmu menempatkan Sunda Galuh menjadi
http://facebook.com/indonesiapustaka
102
Undagi, Jawa, kosakata yang berarti tukang kayu atau pembuat rumah ini sudah jarang dijumpai dalam
pergaulan sehari-hari. Namun, para dalang dan orang-orang keraton masih sering menyebutnya.
Sanga Turangga Paksowani 199
103
Sabda Pandita Ratu, Jawa, idiom Jawa mengenai kekuasaan mutlak seorang raja
200 Gajah Mada
104
Rangkaian silsilah ini dikutip dari novel berjudul Dyah Pitaloka, Senja di Langit Majapahit karya
Hermawan Aksan terbitan PT Bentang Budaya Pustaka, Yogyakarta. Sementara itu, dalam buku Sejarah
Nasional Indonesia II karya Mawarti Joened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, diterangkan
bahwa Dyah Lembu Tal adalah seorang laki-laki.
Sanga Turangga Paksowani 201
19
D yah Wiyat Rajadewi Maharajasa membawa gundah hatinya
pulang ke istananya yang tidak memiliki jarak pandang ke alun-alun
karena terhalang bangunan yang lain. Dyah Wiyat merasa sedemikian
cemas menghadapi sikap Gajah Mada yang tak bisa ditawar itu. Dyah
Wiyat bisa membayangkan, bingung macam apa yang juga dirasakan
kakaknya.
”Ada apa?” tanya Hyang Parameswara melihat bahasa wajah aneh
di muka istrinya.
Dyah Wiyat menggeleng lemah. Breh Wengker Wijaya Rajasa
Hyang Parameswara atau yang lebih dikenal dengan sebutan Raden
Kudamerta segera menyodorkan sebuah kursi untuk duduk istrinya.
Raden Kudamerta kaget melihat tarikan napas Dyah Wiyat yang
sedemikian mengayun.
”Ada masalah apa, Ratu?” tanya Raden Kudamerta sekali lagi.
Dyah Wiyat masih butuh waktu untuk menenangkan diri. Dengan
demikian, Raden Kudamerta tahu, istrinya rupanya baru saja mengalami
impitan masalah yang lumayan berat. Padahal, itu sangat tidak baik bagi
kesehatannya. Sejak berada di usia di atas empat puluh tahun, Dyah Wiyat
memang sering sakit-sakitan. Keadaan itu berbalikan dengan kakaknya.
Sri Gitarja yang di masa muda begitu lemah dan gampang sakit-sakitan,
justru lebih sehat di masa tuanya dibandingkan adiknya.
”Kasihan Kangmbok Ayu,” jawab Dyah Wiyat.
http://facebook.com/indonesiapustaka
istrinya yang dulu pernah menjadi raja kembar saja, Gajah Mada bisa
membantah. Apalagi, yang hanya kepada dirinya yang tidak memegang
kekuasaan.
”Kilah mana yang bisa kugunakan untuk meyakinkan Gajah Mada
agar mau mengubah sikapnya terhadap Sunda Galuh? Kurasa, satu-
Sanga Turangga Paksowani 205
agar ia bisa melihat dengan jelas. Jika Hayam Wuruk bisa berbicara tegas
karena bagaimanapun ia tetap seorang raja, Gajah Mada tak punya hak
untuk melawan apa yang menjadi keputusannya.”
Dyah Wiyat berpikir sejenak, arah pandangnya bagai melamun
sekaligus keningnya berkerut. Dyah Wiyat menganguk.
206 Gajah Mada
sekarang.”
Bagi Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa, Emban Prabarasmi bukanlah
emban biasa. Usianya hampir sebaya dengan dirinya. Prabarasmi lebih
105
Pawarta layu-layu, Jawa, juga sering disebut lelayu, berita duka
Sanga Turangga Paksowani 207
tua dua atau tiga tahun dari dirinya. Namun, kedekatannya lebih mirip
seorang sahabat. Ketika ia masih remaja, Emban Prabarasmi sering
mendandaninya aneh-aneh agar tidak dikenali. Dengan penyamaran itu,
tak seorang pun yang mengenalinya ketika ia bersama Emban Prabarasmi
keluar dari lingkungan istana. Tak seorang pun yang mengenalinya ketika
ia keluar masuk pasar untuk berbelanja berbagai keperluan. Apalagi,
Dyah Wiyat melengkapi penyamarannya dengan berjalan terpincang-
pincang seolah mengalami cacat kaki bawaan.
Kedekatan itu menempatkan Emban Prabarasmi sebagai tempat
menampung segala macam rahasia yang dimilikinya. Lakon, cerita, atau
keluh kesah serta rahasia macam apa pun, ditampung dengan baik tanpa
ada secuil pun yang bocor. Emban Prabarasmi begitu setia dan sangat
memahami jiwa junjungannya. Itu sebabnya, untuk bertahun-tahun
lamanya, termasuk juga ketika ia dan kakaknya menjadi raja kembar yang
menggelar pemerintahan, hanya Emban Prabarasmi yang dipercayainya.
Tak hanya Dyah Wiyat Rajadewi Maharaja yang merasa kehilangan
dengan kepergian Emban Prabarasmi itu. Tak kalah dari istrinya, Hyang
Parameswara memiliki alasan tersendiri untuk amat menyesali kematian
yang menimpa Emban Prabarasmi itu.
Emban Prabarasmi tidak hanya seorang emban yang bertugas
melayani berbagai keperluannya. Terlalu banyak rahasia yang disimpan
emban itu sebagaimana banyak pula pertanyaan yang diharapkan
diperoleh jawabnya melalui emban itu. Jawaban yang dibutuhkan itu
belum diperoleh, tetapi emban itu keburu mati.
Dengan telah dipanggilnya Emban Prabarasmi oleh Hyang Widdi,
tertutuplah kesempatan untuk bisa menemukan jejak istri dan anaknya.
Jika sang istri itu kini telah bersuami orang lain, Raden Kudamerta tidak
mempersoalkan. Ia berharap Nyai Dyah Menur memperoleh hidup
http://facebook.com/indonesiapustaka
itu rupanya kurang jelas mendengar apa yang disampaikan Dyah Wiyat.
Dyah Wiyat segera ingat, pendengaran emban itu agak terganggu.
”Mohon diulang, Putri,” ucap emban itu.
Dyah Wiyat mengulang pertanyaannya dengan lebih keras, ”Ada
hal lain yang ingin kausampaikan?”
Sanga Turangga Paksowani 209
106
Timpuh, Jawa, sikap duduk dengan menekuk lutut, bukan bersila juga bukan dengan sikap kaki saling
tindih
210 Gajah Mada
”Ibu hamba tidak bohong, Tuan Putri,” jawab gadis itu. ”Hamba
memang hendak dikawinkan dengan seorang pemuda yang masih ada
pertalian darah, meski sudah agak jauh. Namun, saat itu, hamba tidak
menyukainya. Hamba minggat sebulan lamanya.”
Ibu Suri Dyah Wiyat terbelalak. Suaminya tersenyum.
”Saat itu, kamu tidak menyukainya?” tanya Ibu Suri Dyah Wiyat
dengan nada amat sejuk sambil berusaha menghibur Prabasiwi agar
jangan terlampau larut pada dukanya.
Prabasiwi mengangguk, tubuhnya sampai tertekuk.
”Hamba, Tuan Putri. Saat itu, hamba tidak menyukainya,” jawabnya.
”Bagaimana dengan sekarang?” tanya Dyah Wiyat dengan nada
sejuk. ”Kamu masih tidak menyukai laki-laki pilihan ibumu itu?”
Prabasiwi yang memejamkan mata itu, tersenyum ketika membuka
mata.
”Kakang Bintara sekarang sudah beristri dan punya empat anak,
Tuan Putri,” jawab Prabasiwi.
Hening yang berlanjut itu dimanfaatkan Ibu Suri Dyah Wiyat
Rajadewi Maharajasa untuk memerhatikan kecantikan gadis itu dengan
penuh minat. Meski tampil sederhana, gadis itu mutlak memancarkan
daya tarik yang pasti menarik minat lelaki mana pun. Segera Ibu Suri
Dyah Wiyat berpikir, dengan siapa kira-kira gadis itu pantas untuk
dijodohkan? Dalam kelebatan pikirannya, Ibu Suri Dyah Wiyat teringat
kepada Kuda Swabaya, prajurit muda yang gagah dan tampan. Bagaimana
kalau Kuda Swabaya yang bertugas mengawal dan melayani suaminya
itu dipertemukan dengan Prabasiwi? Apa benih rasa saling tertarik akan
tumbuh di antara mereka berdua?
http://facebook.com/indonesiapustaka
sama persis dengan jabatan yang pernah disandang ibumu. Aku merasa
cocok dengan ibumu yang bisa memahami dan mengerti serta gampang
tanggap pada apa saja yang aku kehendaki.”
Dengan raut wajah berbinar, Prabasiwi menekuk tubuh nyaris
menyentuh tanah. Dalam sikap yang demikian, Prabasiwi menyembah.
Sanga Turangga Paksowani 213
Kudamerta.
Dengan senyum mengembang, Dyah Wiyat menoleh kepada
suaminya.
”Bagaimana jika Prabasiwi kita jodohkan dengan Kuda Swabaya?”
balas Dyah Wiyat.
214 Gajah Mada
”Hamba hanya gadis dari desa. Apa pemuda yang Tuan Putri sebut
itu mau dengan hamba?” tanya Prabasiwi.
Ibu Suri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa tersenyum.
”Aku akan atur pertemuanmu dengannya beberapa pekan lagi,
setelah ia kembali dari tugasnya. Ia sedang mengawal rombongan utusan
Sanga Turangga Paksowani 215
Sang Prabu yang dikirim menuju Sunda Galuh. Kamu pasti senang
karena di samping ia pemuda yang tampan, ia juga seorang prajurit yang
tangguh dan gagah perkasa,” jawab Dyah Wiyat.
Prabasiwi kembali menyembah. Namun, bagai diingatkan oleh
sesuatu, Prabasiwi mengeluarkan sebuah gulungan rontal yang diambil
dari dalam buntalannya. Gulungan rontal itu segera diserahkan kepada
Ibu Suri Dyah Wiyat. Dengan kening berkerut, Dyah Wiyat menerima
lipatan rontal itu.
”Apa ini?” tanya Ibu Suri Dyah Wiyat.
”Ketika masih hidup,” kata Prabasiwi, ”mendiang ibu hamba
berpesan kepada hamba untuk menyerahkan rontal ini kepada Tuan
Putri. Hamba hanya ditugasi menyerahkan tanpa mempunyai hak untuk
mengetahui isinya.”
Dyah Wiyat saling lirik dengan suaminya. Prabasiwi segera
menyerahkan lembaran rontal itu sambil kepalanya tetap menunduk.
Sikapnya yang amat santun pastilah berasal dari didikan ibunya.
Prabarasmi pasti memperkenalkan bagaimana tata cara yang berlaku di
istana.
Berubah rona muka Ibu Suri Dyah Wiyat setelah membaca isi surat
yang tertera dalam lembar rontal itu. Tampak jelas dari raut mukanya,
Ibu Suri Dyah Wiyat benar-benar kaget.
Isi surat itu menyebabkan Ibu Suri bertanya, ”Benarkah seperti
yang kaukatakan, kau tidak membaca surat ini?”
Prabasiwi mengangguk.
”Para Dewa di langit akan menjatuhkan kutukan kepada hamba
menjadi serpihan tanah jika hamba berani dan lancang mengetahui isi
http://facebook.com/indonesiapustaka
107
Nawala, Jawa, surat. Dalam kehidupan sehari-hari, kosakata ini sudah amat jarang digunakan kecuali
di pentas pertunjukan wayang, wayang orang, atau ketoprak.
216 Gajah Mada
20
R
aden Kudamerta menjatuhkan pandang matanya ke halaman di
samping istana, ke arah beberapa ekor ayam klangenan yang terkurung
dalam kandang. Ayam-ayam itu bukan ayam biasa. Namun, jenis ayam
cebol yang lucu-lucu dan jinak. Ayam-ayam itu tidak merasa takut kepada
manusia karena merena menganggap manusia tidak akan membahayakan
mereka.
Namun, pikiran Raden Kudamerta, juga pikiran Dyah Wiyat
Rajadewi Maharajasa tidak terarah pada hewan piaraan itu. Isi surat
dari Emban Prabarasmi memang benar-benar mengagetkan. Jejaknya
memanjang belum bisa didamaikan.
Lalu, pandangan mata Raden Kudamerta menelusuri bagian atas
benteng yang memanjang yang ujungnya bertemu dengan ujung yang
lain di Purawaktra. Di sudut-sudut benteng, terdapat anjungan yang
http://facebook.com/indonesiapustaka
pohon kelapa. Dari ketinggian anjungan itu bisa melihat amat jauh ke
seberang sawah. Belajar dari kesalahan Singasari yang amat mudah
dirobohkan Prabu Jayakatwang dari Gelang-Gelang, Gajah Mada tidak
ingin peristiwa itu terulang kembali. Itu sebabnya, dibangun beberapa
buah sarana pengintaian seperti anjungan itu. Jika ada musuh yang
datang mendekat, kehadiran mereka bisa diketahui lebih dini. Persiapan
penyambutan bisa dilakukan sebelum penyerbu tiba di istana.
”Hamba, Tuanku dan Tuan Putri,” demikian Prabarasmi mengawali
isi suratnya. ”Mohon Tuanku dan Tuan Putri berkenan memberi hamba
ampun karena baru sekarang hamba bisa menghaturkan jawaban atas
pertanyaan yang telah lama sekali Tuanku dan Tuan Putri inginkan
jawabnya. Sedemikian lama hamba baru bisa menjawab karena ada
banyak pertimbangan yang harus hamba takar dan renungkan. Melalui
nawala ini, izinkanlah hamba menyampaikan bahwa benar putra Tuanku
yang terlahir dari Dyah Menur telah diganti namanya. Ia kini seorang
pemuda yang gagah perkasa dan telah mengabdikan diri menjadi seorang
prajurit di Majapahit dengan nama Kuda Swabaya.”
Raden Kudamerta mengalami kesulitan untuk mendamaikan diri
setelah membaca surat itu. Selama ini, lebih dari dua puluh tahun, Raden
Kudamerta diganduli kerinduan dan penasaran di mana gerangan anak
lelakinya kini berada dan bagaimana wujudnya serta bagaimana pula
keadaannya. Siapa sangka, anak lelaki yang hilang itu ternyata begitu
dekat. Siapa sangka, Anjar Paramarta telah berganti nama menjadi Kuda
Swabaya, prajurit muda yang bertugas khusus melekat, melindungi, dan
melayaninya. Prajurit itu ternyata anaknya.
Masih ada lanjutan kalimat dalam surat yang ditulis Emban
Prabarasmi itu.
”Yang perlu hamba sampaikan adalah keberadaan dan jati diri Kuda
http://facebook.com/indonesiapustaka
Swabaya itu harus tetap terlindung karena sungguh berbahaya jika Sang
Mahamantrimukya tahu siapa Kuda Swabaya sebenarnya.”
Raden Kudamerta berjalan mondar-mandir. Tatapan matanya yang
ditujukan kepada Dyah Wiyat menyiratkan rasa takjub yang menyatu
dengan rasa heran tidak alang kepalang.
218 Gajah Mada
109
Pideksa, Jawa, perkasa
Sanga Turangga Paksowani 219
21
M alam selanjutnya adalah malam yang tenang. Beberapa buah
obor sudah menyala sejak petang datang dan para prajurit dari kesatuan
Bhayangkara telah melaksanakan tugas dengan melakukan penjagaan di
tempat masing-masing, antara lain pintu gerbang Purawaktra, di anjungan
dinding istana, di sudut-sudut istana, juga menyebar ke bangunan-
bangunan penting dalam lingkungan istana, terutama istana raja dan
istana para Ibu Suri. Senopati Macan Liwung yang berada di Balai Perwira
mengendalikan secara langsung penugasan tersebut. Sebuah tugas yang
menyimpan tanggung jawab amat berat. Meski suasana tenang seperti
tak ada bahaya yang mengancam, Singasari memiliki kenangan yang
buruk atas keadaan macam itu. Di balik ketenangan suasana itu, ketika
Sang Prabu Sri Kertanegara sedang menyelenggarakan pesta di istana,
bagaikan banjir bandang istana diserang. Sri Kertanegara terbunuh dan
menjadikan dirinya sebagai Raja Singasari pamungkas.
Kewaspadaan harus selalu dipelihara. Setiap saat, setiap waktu,
Mahamantrimukya Rakrian Mahapatih Gajah Mada selalu menekankan
bahwa musuh bisa menyelinap kapan saja. Oleh karenanya, setiap
prajurit dari semua kesatuan harus selalu berada di puncak kesiagaannya.
Dulu, prajurit boleh tinggal menyebar di rumahnya. Kini, hal itu tidak
diizinkan lagi. Supaya bisa digerakkan setiap saat, prajurit harus tinggal
bersama di bangsal yang disediakan untuk mereka. Sementara itu,
sebagai mata dan telinga, di tempat-tempat tertentu di luar dinding
istana, bahkan sampai di Krian sebelah timur dan Mojoagung di sebelah
barat, barisan telik sandi selalu siaga dalam berbagai penampilan. Gajah
http://facebook.com/indonesiapustaka
itu.
”Aku baru saja dari rumah Mahapatih,” ucap Gajah Sagara. ”Baru
saja. Mustahil Mahamantrimukya Gajah Mada berada di dua tempat
sekaligus. Saat aku pulang, beliau masuk ke biliknya dan berangkat
tidur.”
Sanga Turangga Paksowani 221
110
Dakon, Jawa, nama permainan yang populer di zaman Majapahit. Papan dakon yang biasanya terbuat
dari kayu ditemukan yang terbuat dari batu.
224 Gajah Mada
masalah yang baru saja dihadapinya. Gajah Mada bingung ketika Macan
Liwung menyinggung tentang jejak kehadirannya yang dianggap melintas
dan berjalan ke alun-alun, lalu lenyap.
”Kau merasa melihatku berjalan melintas Balai Perwira menuju ke
beringin?” tanya Gajah Mada amat heran.
226 Gajah Mada
yang masuk menyelinap. Gajah Mada bisa menebak siapa orang itu,
tetapi tidak mau menyebutkannya.
”Kakang Gajah Mada,” dengan lugas Macan Liwung mengajukan
rasa tidak senangnya.
Gajah Mada menoleh.
228 Gajah Mada
22
K uda tegar itu berlari dengan tenang dan tidak perlu merasa
tergesa. Ayunan kakinya berirama dengan jarak langkah yang tetap sama.
Sementara itu, penunggangnya adalah lelaki yang mungkin kecapaian.
Ia tertidur dengan menelungkup di punggung kuda itu.
Pagi yang datang di Sunda Galuh itu lagi-lagi menjadi pagi yang
membingungkan bagi penunggang kuda yang terbangun itu karena ia
adalah Sedatu, Riung Sedatu.
”Gila, di mana pula aku ini?” tanya Sedatu kepada diri sendiri.
http://facebook.com/indonesiapustaka
di antara ruang dan waktu yang memisahkannya sejak dari Alas Roban
hingga Losari, sebagian jejak itu lenyap lagi hingga mendadak kini ia
berada di tempat yang masih asing. Kini, ketika matahari baru saja
menyembul dan cahayanya terlihat semburat menyelinap di antara
pepohonan dengan kabut yang mulai terusir, Sedatu melihat dirinya
terlambat bangun. Orang-orang yang berpapasan dengannya sebagian
besar telah berkeringat oleh kesibukan yang di antaranya sangat menguras
tenaga.
Riung Sedatu segera menghentikan derap kudanya dan memerhatikan
keadaan di sekitarnya, memerhatikan diri sendiri dan bagaimana
penampilannya.
”Mati aku,” desahnya. ”Apa yang terjadi kemarin terulang lagi.”
Riung Sedatu tidak lupa kepada Bandar Guris karena dari Alas
Roban itulah ia merasa kehidupannya dimulai. Riung Sedatu juga masih
ingat dengan kekagetannya saat mendapati dirinya berada di tengah
laut, terapung-apung dalam perahu. Perahu milik siapa dan dari mana
ia dapatkan, sama sekali tidak ada kenangannya. Kini, ia berada di atas
seekor kuda, kuda milik siapa? Dapat dari mana?
”Kemarin, aku berada dalam keadaan sama sekali tidak punya uang.
Kemarin, Kiai Enjang Parayun membantuku memenuhi semua yang aku
butuhkan tanpa minta imbalan apa pun agar aku bisa kembali ke arah
timur, tetapi kenapa perjalananku membelok tajam seperti ini? Bisa jadi,
yang aku rasakan baru kemarin itu telah berjalan berhari-hari lamanya,”
kata Riung Sedatu dalam hati.
Riung Sedatu melompat turun dari atas punggung kudanya dan
melihat kuda itu dengan penuh perhatian.
http://facebook.com/indonesiapustaka
usia tak lebih dari dua puluh lima tahun. Di antara riuh ratusan orang
dalam bahasa setempat, ada dua orang yang menggunakan bahasa Jawa.
Hal itu terasa aneh.
Riung Sedatu mendekat, kemudian jongkok sambil memijit-mijit
kepalanya yang sebenarnya tidak pusing. Dua pemuda itu berbicara
dengan percakapan yang cukup jelas singgah di telinganya.
”Jadi kita lakukan?” tanya pemuda yang pertama dalam bahasa Jawa
yang bisa dimengerti.
Pemuda yang kedua tidak segera menjawab. Namun, perhatiannya
tertuju pada raut wajah seorang gadis. Gadis cantik yang ke mana pun
langkahnya selalu diikuti gadis yang lain, gadis yang sebaya dengan
dirinya. Gadis cantik itu, entah mengapa terlihat sedang berusaha
menutupi wajahnya. Barangkali, agar tidak ada yang mengenali siapa
dirinya. Ditutupi selendang yang biasa digunakan sebagai penutup
rambut, sebagian wajahnya tidak tampak. Gadis cantik itu mengenakan
sebuah gelang yang pasti berharga mahal.
Kecantikan gadis itukah yang menarik perhatian dua orang itu?
Ternyata bukan. Bukan kecantikan wajahnya yang mencuri perhatian,
tetapi seuntai kalung yang melekat di lehernya. Kalung yang dikenakan
gadis itu yang menyilaukan mata mereka.
”Jadi,” balas temannya. ”Pergilah dan siapkan diri. Aku akan memecah
perhatian supaya orang-orang sepasar tidak memerhatikanmu.”
Dua orang pemuda itu kemudian berpisah yang dengan seketika
menumbuhkan rasa curiga di benak Sedatu. Sontak, ia yakin, dua orang itu
akan melakukan kejahatan. Riung Sedatu berdebar-debar memerhatikan
apa yang mereka lakukan. Apalagi, ketika orang yang tinggal mendadak
meringis dengan raut muka sedang kesakitan. Pasar pun menjadi geger
http://facebook.com/indonesiapustaka
”Aku tidak tahu apa yang kautanyakan,” jawab Riung Sedatu dalam
bahasa Jawa.
Jawaban Riung Sedatu yang menggunakan bahasa Jawa menyebabkan
orang-orang di pasar itu makin curiga. Riung Sedatu tidak lagi bisa
234 Gajah Mada
amarah kepada orang tak dikenal yang kini tak bisa lagi dikenali
wujudnya itu. Bibir korban pengeroyokan itu pecah, putih matanya
menjadi merah, dan dari kening darah mengalir deras. Dyah Pitaloka
menjatuhkan tatapan matanya kepada seorang lelaki yang di tangannya
masih tergenggam sebuah batu.
236 Gajah Mada
23
S esiang sebelumnya, apa yang telah terjadi menjadi pembicaraan
http://facebook.com/indonesiapustaka
111
Melekan, Jawa, begadang
Sanga Turangga Paksowani 239
24
P asangguhan Gagak Bongol dan Gajah Sagara yang masih berada
di Balai Perwira kaget melihat Gajah Mada yang semula pulang, kembali
datang dan mengayunkan langkahnya dengan tergesa. Untuk bertemu
dengan Brahmana Smaranatha, Gajah Mada harus melintasi jalan yang
menyekat istana Raja dengan istana Dyah Nrttaja Rajasaduhiteswari.
Melalui sebuah pintu sempit yang hanya muat dilewati satu orang,
Mahapatih Gajah Mada bergegas menemui Brahmana Smaranatha.
Gajah Mada sama sekali tak keberatan ketika Senopati Macan Liwung,
Pasangguhan Gagak Bongol, dan Gajah Sagara bergabung. Dharmadyaksa
http://facebook.com/indonesiapustaka
tak ada jejaknya. Namun, ada bagian lain yang tidak diceritakan Senopati
Macan Liwung.
”Lalu, angin lesus muncul, Bapa Brahmana,” tambah Gajah Mada.
”Maka, aku segera menduga orang itu ada kaitannya dengan gelandangan
itu.”
242 Gajah Mada
jelas setelah berubah menua, menjadi wajah Kiai Pawagal yang aku kenal
di Ujung Galuh.”
Halaman bangunan yang khusus disediakan untuk para dharmadyaksa
dan para upappati itu menjadi amat hening. Setelah merenung beberapa
saat, Nadendra dan Smaranatha saling pandang. Wajah Brahmana
Smaranatha amat datar. Tak ada kesan apa pun yang muncul dari permukaan
wajahnya.
”Apa dengan demikian, dugaanku salah, Bapa?” tanya Gajah Mada.
Brahmana Smaranatha belum memahami maksud pertanyaan itu.
”Maksud Anakmas?” balas Brahmana Smaranatha.
”Aku telanjur menduga orang itu adalah Ajar Wintyasmerti. Orang
itu ternyata Kiai Pawagal,” jawab Gajah Mada.
Brahmana Smaranatha mengangguk perlahan.
”Mungkin dua-duanya, Anakmas,” ucapnya.
Gajah Mada merasa belum jelas.
”Maksudnya bagaimana, Bapa?” balas Gajah Mada.
”Bisa jadi, orang berpenampilan gelandangan yang mampu
mengubah wujud menjadi seperti Anakmas, juga bisa mengubah wujud
menjadi Kiai Pawagal adalah orang yang Anakmas Mahapatih curigai,
Ajar Wintyasmerti. Akan tetapi, bisa juga ia adalah badan alus Kiai Pawagal
yang menampakkan diri menemui Anakmas. Jika benar Kiai Pawagal,
masuk akal ia mengingatkan agar Anakmas tidak sembarangan dalam
menggunakan kemampuan yang kini telah Anakmas Mahapatih warisi
itu,” berkata Brahmana Smaranatha.
Macan Liwung masih belum paham. Gajah Mada mendadak
http://facebook.com/indonesiapustaka
25
D ari tiada ke ada itu mengombak. Dari tidak jelas menjadi
http://facebook.com/indonesiapustaka
jelas itu pun terjadi. Wajah di depannya itu sungguh sangat cantik.
Senyumnya merekah, tetapi bukan dari jenis senyum yang menantang
dan menjanjikan gairah. Senyum itu penuh teka-teki. Tentu karena
senyum itu hanya sebuah lukisan tangan seorang lelaki yang tangannya
amat lincah dalam menari menyapukan kuas.
Sanga Turangga Paksowani 245
112
Yang dimaksud sketsa
246 Gajah Mada
tampak rapi, membuat malu Nenden Pritaya yang meski seorang gadis,
giginya tidak rapi.
”Apa?” balas Saniscara dengan nada agak kasar. Terlontar itu
mungkin karena rasa kurang senangnya kesibukannya terganggu.
Nenden Pritaya maju selangkah diikuti Euis Nandini.
”Wajah siapa yang sedang Paman gambar ini?” tanya Nenden
Pritaya.
Saniscara memberi jawaban yang sama sebagaimana jawaban yang
ia berikan kepada Riung Sedatu.
”Semua orang di Sunda Galuh tahu siapa pemilik wajah cantik ini,”
jawabnya.
Nenden Pritaya membutuhkan jawaban yang pasti.
”Menurutku itu wajah Sekar Kedaton Sunda Galuh,” ucapnya.
Saniscara berada antara tersenyum dan tidak. Raut wajahnya
memberi gumpalan teka-teki.
”Benarkah itu wajah junjunganku Dyah Pitaloka, Paman?” kali ini
Euis Nandini bertanya lebih tegas dengan menyebut sebuah nama.
Jawaban yang diberikan Saniscara menyebabkan isi dada Euis
Nandini dan Nenden Pritaya menggemuruh.
Di tamansari istana Surawisesa, Sekar Kedaton Dyah Pitaloka
Citraresmi masih belum mampu menghapus kenangan akan bencana
yang menimpanya saat ia melakukan penyamaran di tengah pasar. Dyah
Pitaloka tidak mampu melupakan bagaimana dengan mendadak, orang
tidak dikenal itu menarik kalung yang dipakainya dari belakang. Kalung
itu putus dan dalam waktu sekejap, pelakunya lenyap tak ketahuan
http://facebook.com/indonesiapustaka
jejaknya.
Emban Ihai Nirasari yang menemaninya saat berada di pasar
menyarankan agar Sekar Kedaton melaporkan kejadian yang menimpanya.
Akan tetapi, Dyah Pitaloka tidak dengan segera memutuskan. Jika
kejadian itu dilaporkan kepada Sang Prabu, pasti Sang Prabu akan marah
Sanga Turangga Paksowani 249
”Ya?” balasnya.
”Di tepi jalan di seberang istana, hamba melihat seorang lelaki
yang mengaku bernama Saniscara sedang melukis. Lukisan orang itu
menyebabkan hamba amat kaget dan harus melaporkan kepada Tuan
Putri karena orang itu mungkin melukis tanpa seizin Tuan Putri,” kata
Nenden.
Dyah Pitaloka merasa laporan pelayannya itu terlalu berlebihan.
”Kenapa kau ini?” balas Dyah Pitaloka. ”Siapa pun boleh melakukan
itu tanpa harus minta izin kepadaku. Orang boleh melukis bentuk istana,
orang boleh menggambar bukit dan gunung-gunung yang membayangi
istana Surawisesa tanpa harus meminta izin kepadaku,” balas Dyah
Pitaloka.
Euis Nandini dan Nenden Pritaya saling pandang.
”Orang itu melukis wajah Tuan Putri. Dalam lukisan itu, wajah Tuan
Putri tampak cantik sekali. Orang itu melukis tubuh Tuan Putri sedikit
berlebihan, mungkin karena latar belakang seleranya. Lukisan itu jauh
lebih montok,” kali ini Euis Nandini yang berbicara.
Dyah Pitaloka Citraresmi tidak sedang memusatkan perhatian
pada persoalan yang dibawa dua emban pelayannya karena betapa
sulit ia melupakan tindakan kurang ajar yang dilakukan penjahat yang
merampas kalungnya. Saat Dyah Pitaloka menelan laporan itu dengan
utuh, kagetnya muncul belakangan.
”Apa kaubilang?” tanya Dyah Pitaloka.
”Ada orang yang menggambar wajah Tuan Putri, hasilnya sebuah
lukisan yang amat cantik. Namun, secantik apa pun hasil lukisan itu,
masih kalah cantik dari wajah Tuan Putri,” Nandini menjelaskan.
http://facebook.com/indonesiapustaka
ke depan, ia tak mau kalah dari lelaki. Dengan cepat, kuda jantan yang
ditungganginya melesat ke arah barat dengan harapan ia temukan jejak
pelukis yang diceritakan Nenden Pritaya dan Euis Nandini itu di sana.
Ke tepi telaga Jalatunda yang dikelilingi nyiur melambai, Rishang
Saniscara Patriawhura pindah tempat. Telaga itu berada dekat dengan
252 Gajah Mada
26
K edatangan rombongan tamu itu disambut dengan ramah tamah.
Istana Surawisesa telah dihias dengan rangkaian janur. Rombongan
tamu dari Majapahit itu dipimpin Patih Maduratna yang biasa dipanggil
dengan sebutan Patih Madu. Mereka ditempatkan di sebuah bangunan
khusus di sebelah istana Surawisesa. Kepada para tamu yang masih harus
menunggu itu disajikan berbagai jenis makanan dan alunan gamelan
yang indah mendayu.
Ketika mendengarkan alunan gamelan itu, tergambarlah suasana
tenteram alam pedesaan. Melalui suara gamelan yang singgah di telinga,
seolah di depan mereka tersaji suasana pesawahan dengan tanaman
padi yang masih muda dan tampak hijau merata di sepanjang mata
memandang. Dan, jika Kanuruhan Gajah Enggon menyadari, ia akan
terkejut melihat tidak ada sawah di negeri Sunda Galuh. Cara bertanam
padi di Sunda Galuh masih menggunakan cara berladang.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Dari gamelan yang dipukul itu juga tergambar gemericik air yang
mengalir, para gadis cantik yang turun ke kali untuk mencuci, atau para
pemuda yang sedang berkuda menyusur lembah dan ngarai.
Kanuruhan Gajah Enggon amat menikmati sajian itu. Di
sebelahnya, Kuda Swabaya bagai orang yang menuntaskan dendamnya
Sanga Turangga Paksowani 257
beberapa orang. Sejak awal, Kuda Swabaya mendapati jenis dan warna
nada itu berbeda dari suara gamelan yang sering ia dengar di istana
Majapahit.
115
Canggu, nama pelabuhan di Kali Brantas, di utara kompleks istana Trowulan
258 Gajah Mada
116
Juru kawih, Sunda, pesinden
Sanga Turangga Paksowani 259
gerak yang sama sekali tidak sesuai irama, tepuk tangan riuh datang dari
117
Podang Salisir, nama ini fiktif. Tak ada satu pun keterangan tentang siapa nama juru gambar dari
Majapahit yang bertugas menggambar Dyah Pitaloka Citraresmi. Namun, Wikipedia yang tidak menyebut
siapa kontributornya, menyebut nama juru gambar itu adalah Sungging Prabangkara.
118
Panayagan, Sunda, penabuh alat musik, di Jawa disebut nayaga
260 Gajah Mada
para prajurit Sunda yang ikut bergabung. Ma Panji Elam dan teman-
temannya yang sering disebut empat serangkai itu merasa tidak telaten
ingin segera memperoleh kesempatan menari. Apalagi, kecantikan juru
kawih itu memang sangat menarik minat mereka.
Ketika akhirnya Ma Panji Elam memperoleh kesempatan untuk
menari, Kanuruhan Gajah Enggon dibuat terheran-heran melihat Ma
Panji Elam sangat luwes saat bergerak mengikuti irama dan mengimbangi
juru kawih di hadapannya yang begitu lentur meliuk-liuk. Sikap Ma Panji
Elam yang berubah ceria itu sangat bertolak belakang dengan raut muka
sebelumnya yang amat keruh. Namun, keasyikan menari itu terganggu
sejenak ketika muncul seorang prajurit yang agaknya mendapat tugas
untuk menyampaikan sesuatu.
”Mohon izin, para tamu yang terhormat dari Jawa,” ucap orang
itu dengan santun. ”Namaku Larang Agung. Aku seorang temenggung.
Atas nama Sri Baginda Prabu Maharaja, aku mengucapkan selamat
datang kepada para tamu terhormat dari tanah Jawa. Atas nama Baginda
Prabu, aku persilakan kepada Tuan-Tuan semua untuk berkenan
menikmati sajian yang kami sediakan sambil beristirahat. Sang Prabu
akan menerima kehadiran Tuan-Tuan di Balairung Surawisesa sejenak
setelah malam datang. Saat ini, Sang Prabu sedang berada di sanggar
pamujan.”
Dengan amat santun, Temenggung Larang Agung mempersilakan
Ma Panji Elam untuk kembali menari, juga mempersilakan yang lain
untuk menikmati hidangan yang telah disajikan. Kanuruhan Gajah
Enggon melihat sikap Temenggung Larang Agung itu sudah semestinya
dan sungguh sangat santun. Akan tetapi, tidak demikian di mata Ma
Panji Elam yang kemudian tidak lagi berminat melanjutkan tariannya.
Kesempatan berikutnya untuk ngibing 119 diberikan kepada Patih
http://facebook.com/indonesiapustaka
119
Ngibing, Sunda, menari mengimbangi penari perempuan
Sanga Turangga Paksowani 261
bukan pakaian yang rapi, bukan pakaian resmi yang bisa digunakan untuk
menghadap raja. Alasan Sang Prabu belum bisa menerima kita adalah
beliau sedang berada di sanggar pamujan untuk menunaikan kewajiban
beragamanya. Sang Prabu Maharaja Linggabuana mempunyai agama
seperti kau juga memilikinya. Ketika seseorang sedang menunaikan
262 Gajah Mada
kegiatan beragamanya, tak ada orang lain di dunia ini yang berhak
menyela mengganggunya. Apalagi, kita yang hanya tamu. Jangan
menyimpan cara pandang seperti itu.”
Ma Panji Elam kaget melihat Kanuruhan Gajah Enggon mempunyai
sikap berbeda.
”Ingat,” kata Kanuruhan Gajah Enggon, ”di luar keperluan Patih
Maduratna yang mengusung tugasnya, ada pertemuan khusus untuk
membicarakan hubungan antara Majapahit dan Sunda. Aku yang ditugasi
Kakang Gajah Mada untuk itu. Aku minta saat menemaniku, kau tak
ikut berbicara. Cukup aku yang menjadi juru bicara Majapahit.”
Ma Panji Elam segera mencuatkan alis. Sontak, ia merasa tak setuju
dengan pendapat Gajah Enggon. Akan tetapi, tidak mungkin bagi Ma
Panji Elam untuk melawan pendapat Kanuruhan Gajah Enggon. Dalam
hal pangkat dan jabatan, kedudukan Kanuruhan Gajah Enggon jelas
lebih tinggi darinya. Ma Panji Elam mampu menggapai pangkatnya
yang ia daki dari seorang tandha karena kepintarannya menjilat. Namun,
melesat bagai kilat pun, jabatannya tak mungkin malampaui Gajah
Enggon, kecuali jika terjadi sebuah keajaiban, Sang Prabu Hayam
Wuruk mencopot kedudukan amangkubumi dari tangan Gajah Mada
dan memberikan kepadanya.
Patih Maduratna memanfaatkan waktu yang ada untuk beristirahat.
Patih Maduratna yang telah membersihkan diri, bahkan menyempatkan
untuk tidur meski barang sejenak. Kuda Swabaya yang telah bersih dan
berganti pakaian, kembali bergabung menyaksikan suguhan tarian. Kuda
Swabaya tidak canggung untuk ikut menari. Wajah Kuda Swabaya yang
tampan menyebabkan juru kawih sekaligus penari itu penuh semangat
melayaninya menari.
http://facebook.com/indonesiapustaka
itu.
”Jagat Dewa Batara,” desis gadis itu cemas.
Dyah Pitaloka menoleh perlahan. Matanya menyiratkan betapa
cemas gadis itu.
Sanga Turangga Paksowani 265
”Tuan Putri,” ucap Nenden Pritaya gelisah. ”Apa Tuan Putri jatuh
cinta kepada orang itu? Orang yang tak jelas dari mana asalnya?”
Dyah Pitaloka tidak menjawab. Pandangan matanya menerawang.
Setelah menimbang beberapa jenak, Dyah Pitaloka berbalik dan
memegang pundak Pritaya.
”Nenden Pritaya,” ucap Dyah Pitaloka tegas, ”hanya kau orang
yang aku percaya. Hanya kepadamu, aku titipkan rahasia ini. Dan,
hanya kepadamu, aku mengharapkan pertolongan. Terserah bagaimana
caramu mengatur, aku ingin bertemu dengan orang itu. Keluarlah dari
istana dan carilah dia. Orang itu pasti tak jauh-jauh dari istana dan hanya
bisa menatapku dari kejauhan. Kasihan kalau ia sampai tidak tahu aku
memiliki warna perasaan yang sama kepadanya. Aku membalas cintanya,
Pritaya.”
Gugup dan bagaikan tercekik leher Nenden Pritaya mendengar
permintaan Dyah Pitaloka itu. Ke depan, Nenden Pritaya melihat
kekacauan luar biasa akan dihadapi Dyah Pitaloka. Lebih-lebih, saat ini,
di istana Surawisesa sedang hadir tamu-tamu penting dari Majapahit.
Meski belum terungkap secara resmi keperluan mereka, telah diperoleh
bocorannya. Kedatangan tamu-tamu itu berkaitan dengan keinginan Raja
Majapahit yang mencari seorang permaisuri.
”Tuan Putri, lupakan orang itu,” pinta Nenden Pritaya.
Dyah Pitaloka menggeleng tegas.
”Hatiku telanjur diketuk orang itu dan aku telah membukanya,
Pritaya. Aku melihat orang itu bersungguh-sungguh dengan ungkapan
perasaan cintanya,” jawab Dyah Pitaloka.
Betapa cemas Nenden Pritaya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
266 Gajah Mada
27
T idak tercegah, Kuda Swabaya memiliki ketertarikan luar biasa
pada kotaraja dan istana Surawisesa. Meski tak sebesar dan semegah
istana Tarik, ada hal-hal tertentu yang mencuri perhatiannya. Dengan
akrab, Kuda Swabaya bergaul dan berkenalan dengan prajurit Sunda
Galuh. Dengan senang hati, prajurit itu melayani apa pun pertanyaan
Kuda Swabaya.
”Bagaimana kalau aku ajak kaukeliling kotaraja ini?” prajurit Sunda
Galuh yang usianya sebaya dengannya itu menawarkan.
Wajah Kuda Swabaya seketika sumringah.
”Terima kasih, aku mau. Tetapi, bolehkah aku mengetahui siapa
namamu, sahabat? Namaku Kuda Swabaya,” ucap Kuda Swabaya.
Prajurit Sunda Galuh itu menerima uluran tangan Kuda Swabaya.
Genggaman tangannya terasa kuat.
”Namaku Rangga Kaweni, pangkatku belum terlampau tinggi. Aku
hanya seorang lurah di sini,” ucapnya.
Berbinar pandang mata Kuda Swabaya.
”Lurah prajurit itu pangkat yang lebih tinggi dariku. Aku hanya
prajurit biasa,” ujar Swabaya.
Menggunakan sebuah kereta yang ditarik seekor kuda yang jika
dikendarai memunculkan suara sangat khas, Kuda Swabaya diajak berkeliling
oleh Rangga Kaweni. Kepada Kanuruhan Gajah Enggon ditawarkan
http://facebook.com/indonesiapustaka
120
Kerajaan Sunda, sebagai nama kerajaan diberitakan Prasasti Juru Pangambat dan Prasasti Sang Hyang
Tapak serta naskah-naskah, antara lain Carita Parahyangan, Fragmen Carita Parahyangan, Sanghyang
Siksa Kandang Karesian, dan Amanat Galunggung
268 Gajah Mada
Sang Kusika menjadi pelindung bumi atau pretiwi, Sang Garga menjadi
pelindung air atau apah, Sang Mestri menjadi pelindung cahaya atau
teja, Sang Purusa menjadi pelindung angin atau bayu, dan Sang Patanjala
menjadi pelindung angkasa.”
Benar-benar sebuah wacana baru bagi Kuda Swabaya. Majapahit
dan Sunda Galuh ternyata memiliki latar belakang yang amat berbeda.
Kuda Swabaya dan Podang Salisir menyimak kelanjutan penuturan
itu dengan baik.
”Anak pertama Sang Maharesi Kandiawan, yaitu Sang Mangukuhan
merupakan penjelmaan Sang Kusika. Mangukuhan menekuni pekerjaan
sebagai petani. Karungkalah menjadi tempat penitisan Garga.
Karungkalah menekuni pekerjaan sebagai pemburu atau panggerek.
Berikutnya, Katungmaralah menjadi penjelmaan dari Sang Mestri. Ia
menekuni pekerjaan sebagai penyadap. Sementara itu, Sandanggreba
merupakan jelmaan dari Sang Purusa. Ia menekuni pekerjaan sebagai
pedagang. Terakhir, Wretikandayun yang mendirikan negara Sunda Galuh
yang indah dan permai ini adalah penjelmaan Patanjala. Wretikandayun
menekuni pekerjaan sebagai raja pertama Sunda Galuh.”
Lurah Prajurit Rangga Kaweni selanjutnya menuturkan dengan lebih
lengkap bahwa berbarengan dengan berdirinya negara Sunda Galuh, di
wilayah barat juga berdiri negara Sunda yang dalam kehidupan sehari-
hari, rakyatnya menggunakan bahasa Sunda. Sunda di sebelah barat itu
bernama Sunda Pakuan karena beribu kota di Pakuan. Sedangkan, Sunda
Galuh beribu kota di Kawali. Batas antara kedua kerajaan itu adalah
sungai Citarum.121 Batas wilayah tanah Sunda di barat adalah Selat Sunda
dan sebelah timur adalah tanah Jawa, tepatnya dipagari sungai Cipamali122
bagian utara dan sungai Cisarayu123 bagian selatan.
http://facebook.com/indonesiapustaka
121
Citarum, batas kekuasaan negara Sunda Galuh dan Sunda Pakuan sebagaimana tercantum dalam
Carita Parahiangan yang berbunyi, ”... ngan siya leumpang maratkeun, husir Tohaan di Sunda; di kulon
di Tuntang Sunda nyabrang ka desa Malayu; ti kulon Tarum, ka kulon alas Tohaan di Sunda.”
122
Cipamali, sekarang sungai Pamali
123
Cisarayu, sekarang sungai Serayu
Sanga Turangga Paksowani 269
125
Rahyangta Ri Medang Jati, sebagaimana disebut dalam Carita Parahyangan
126
Sanghyang Watang Ageung, informasi mengenai hal tersebut diperkuat pula Carita Parahyangan dan
Ramayana
127
Dewasanana, aturan tentang penyembahan terhadap dewa serta penerapannya dalam kehidupan manusia. Ada
kemungkinan, Dewasanana itulah yang disebut sebagai Sanghyang Darma dalam Carita Parahyangan.
128
Rajasanana, aturan tentang kehidupan raja. Berupa himpunan peraturan yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban seorang raja dalam mengendalikan pemerintahan. Isi Rajasanana menurut Carita Parahyangan,
http://facebook.com/indonesiapustaka
Prabu Maharaja dinobatkan menjadi raja sejak tujuh tahun yang lalu,
pada tahun 1350.
132
Atja & Saleh Danasasmita dalam bukunya, Amanat Galunggung, Bandung, Proyek Pengembangan
Permusiuman Jawa Barat yang teksnya berbunyi, ”Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana
mangke, aya ma beuheula aya tu ayeuna, hanteu ma beuheula hanteu tu ayeune.”
272 Gajah Mada
28
P ara tamu dari Majapahit telah dipersilakan untuk memasuki
balairung yang telah dihias rapi dan disebari kembang melati serta
mawar yang menebarkan wangi. Patih Maduratna yang dituakan dalam
rombongan tamu itu duduk di tengah, diapit Kanuruhan Gajah Enggon
di sebelah kanannya dan Podang Salisir di sebelah kirinya. Di belakang
Patih Maduratna, duduk berjajar Sang Arya Rajaparakrama Ma Panji
Elam, Sang Arya Suradhiraja Pu Kapasa, Sang Arya Wangsaprana Pu
Menur, dan Sang Arya Patipati Pu Kapat.
Para pejabat istana Surawisesa adalah orang-orang yang sangat
menghargai tamu. Mereka berusaha menjadi tuan rumah yang baik.
Temenggung Larang Agung yang pada siang hari tampil sederhana, kini
berubah penampilannya. Ia mengenakan pakaian keprajuritan lengkap
dengan tanda-tanda kebesarannya. Sebuah lencana yang melekat di
pundak kirinya menunjukkan pangkat yang melekat padanya adalah
temenggung.
Kuda Swabaya yang pada siang sebelumnya telah banyak bertanya,
bisa menebak siapa saja pejabat Sunda Galuh yang menemani Prabu
Maharaja menerima tamunya. Rangga Kaweni yang tersenyum kepadanya
segera dibalas dengan senyum seimbang.
Kuda Swabaya tak perlu kesulitan menebak, tiga kursi yang
disiapkan di tengah balairung itu pastilah dampar untuk Prabu Maharaja
Linggabuana, Permaisuri, dan Sekar Kedaton. Sementara itu, kursi
keempat yang agak terpisah jaraknya dari ketiga kursi itu pastilah
http://facebook.com/indonesiapustaka
disediakan untuk Mahapatih Sunda Galuh, Hyang Bunisora atau yang juga
disebut Sang Mangkubumi Suradipati. Mestinya masih ada kursi yang lain
karena Raja masih memiliki anak yang saat ini berusia sembilan tahun.
Semua tebakan itu benar adanya. Dipimpin Kanuruhan Gajah
Enggon yang memberi isyarat, penghormatan pun diberikan begitu
276 Gajah Mada
Raja Sunda Galuh keluar dari pintu yang terbuka. Berdebar-sebar Kuda
Swabaya dan Podang Salisir manakala melihat raut wajah Sekar Kedaton
Sunda Galuh yang memang cantik luar biasa. Sang Prabu Maharaja
terlihat bahagia dengan kehadiran para tamu itu. Apalagi, melihat niat
macam apa yang dibawa para tamu dari negara yang kekuasaannya
melesat amat cepat membentang se-Nusantara itu.
Melihat kecantikan Dyah Pitaloka, Podang Salisir benar-benar
terpesona. Namun, Podang Salisir tersentak kaget ketika mengenali wajah
cantik itu adalah wajah yang dilukis seseorang di tepi telaga Jalatunda.
Tepat ketika Sang Prabu Maharaja, Permaisuri, Dyah Pitaloka, dan
Sang Mangkubumi Suradipati duduk di kursi masing-masing, Kanuruhan
Gajah Enggon memberi isyarat menghentikan penghormatan yang
diberikan. Cara penghormatan yang diberikan tamu-tamu dari Majapahit
itu berbeda dengan cara yang berlaku di Sunda Galuh. Gaya masing-
masing yang berbeda itu merupakan tambahan wacana, baik bagi para
tamu maupun tuan rumah.
Di Majapahit, jika sedang digelar pasewakan agung, pasti digelar pula
gamelan yang mengalunkan gending atau lagu yang disesuaikan dengan
suasana. Di balairung istana Surawisesa pun disajikan suguhan yang sama.
Dari sudut balairung, dengan jarak yang agak jauh, sekelompok panayagan
mengalunkan degung dengan irama lembut dan mendayu-dayu. Juru kawih
yang mendapat tugas untuk memberi suasana indah dalam pertemuan itu
adalah juru kawih terbaik, muda usianya dan berwajah cantik.
Kanuruhan Gajah Enggon yang untuk pertama kalinya melihat Raja
Sunda, mengukur usianya tentu sebaya dengan dirinya. Sang Mahapatih
negeri Sunda pastilah adik kandung Raja karena wajahnya yang mirip.
Namun, Mangkubumi Suradipati tidak setampan kakaknya. Ketampanan
http://facebook.com/indonesiapustaka
Raja dan kecantikan Ratu itulah yang menurun sempurna pada wajah
Dyah Pitaloka.
Permaisuri tetap terlihat cantik, meski kini telah berusia mendekati
empat puluh tahun. Sementara itu, Dyah Pitaloka Citraresmi memang
layak menjadi pusat perhatian.
Sanga Turangga Paksowani 277
”Atas nama pribadi dan atas nama kerajaanku,” ucap Prabu Maharaja
yang ternyata menguasai bahasa para tamunya, ”aku mengucapkan
selamat datang kepada para tamu dari Majapahit. Selanjutnya, aku
persilakan untuk menyampaikan apa keperluan yang dibawa dari Jawa,
aku siap mendengar.”
Patih Maduratna yang menunduk itu, kemudian menengadah sambil
merapatkan kedua telapak tangannya. Sikapnya yang demikian dirasa
sangat santun bagi tuan rumah.
”Hamba, Tuanku,” berkata Patih Madu. ”Untuk melengkapi maksud
kedatangan kami, kami telah mendahului kedatangan kami dengan
mengirim nawala.133 Sekarang, izinkanlah hamba memperkenalkan
diri. Nama hamba Maduratna dengan kedudukan sebagai patih anom134
di sebuah negara bawahan Majapahit. Di sebelah kiri hamba adalah
Kanuruhan Gajah Enggon. Di sebelah kanan hamba adalah seorang
pemuda yang berbakat membuat gambar, namanya Podang Salisir.”
Kanuruhan Gajah Enggon dan Podang Salisir yang disebut namanya
secara bersama-sama memberikan penghormatan dengan merapatkan
dua telapak tangan masing-masing, kemudian dibawa melekat ke ujung
hidung.
”Sementara itu, teman-teman yang menyertai perjalanan hamba
dan duduk di belakang hamba adalah Ma Panji Elam yang menjabat
sebagai Sang Arya Rajaparakrama, Pu Kapasa yang menjabat sebagai
Arya Suradhiraja, Pu Menur yang memangku jabatan sebagai Sang Arya
Wangsaprana, dan Pu Kapat yang memangku jabatan sebagai Sang Arya
Patipati. Mereka adalah para arya yang mendapat tugas khusus dari
Rakrian Mahapatih Gajah Mada untuk melihat dari dekat apa yang bisa
dipelajari dari negara Sunda Galuh, lalu dikembangkan di Majapahit.
Selanjutnya, sahabat hamba, Kanuruhan Gajah Enggon, membawa
http://facebook.com/indonesiapustaka
pesan khusus yang harus disampaikan kepada Sang Prabu,” ucap Patih
Madu sangat santun.
133
Nawala, Jawa Kuno, surat
134
Anom, Jawa, muda
278 Gajah Mada
135
Garwa prameswari, Jawa, permaisuri
Sanga Turangga Paksowani 279
lagi. Ada yang ikut gembira. Namun, ada pula yang seketika merasa
patah hati. Selama ini, beberapa orang perwira muda yang masih lajang
berharap-harap cemas angan-angannya bisa menjadi kenyataan. Dengan
Dyah Pitaloka telah dilamar seperti itu maka tertutup peluang untuk
mereka.
280 Gajah Mada
29
D i dalam bilik Sang Prabu usai penyambutan tamu, Dyah Pitaloka
tidak mampu menutupi kegelisahannya. Kemungkinan bakal adanya
http://facebook.com/indonesiapustaka
dayu.
”Mati aku,” Dyah Pitaloka meletup.
Alunan seruling itu terdengar amat menyayat, menjadi gambaran
luapan cinta yang amat dahaga.
286 Gajah Mada
30
M alam menukik mendekati pusatnya. Di tepi telaga Jalatunda,
Saniscara menghadapi nyala api yang berasal dari ranting-ranting kering
yang dibakar. Sebagaimana Saniscara memandangnya dengan aneh,
Riung Sedatu balas menatap wajahnya dengan tatapan tak kalah aneh.
”Dari mana kamu?” pertanyaan itu datang dari Riung Sedatu.
Keakraban dalam bentuk yang aneh telah terjalin antara Saniscara
dan Riung Sedatu. Riung Sedatu yang semula selalu berusaha mengingat
masa lalunya yang hilang, akhirnya tak peduli. Ia menganggap hidupnya
http://facebook.com/indonesiapustaka
bisa menembus semua sekat. Cinta adalah hak milik semua orang yang
tak boleh dipasung.
”Mungkinkah Dyah Pitaloka akan menerimamu?” tanya Sedatu.
Saniscara tidak mampu menjawab. Ia sadar, ia berdiri tak ubahnya
pungguk merindukan bulan, berangan amat tinggi. Saniscara mengambil
serulingnya dari pinggang dan akan meniupnya. Betapa sebal Riung
Sedatu melihat itu.
”Jangan,” cegahnya.
”Kenapa?” bantah Saniscara.
”Jangan tiup lagi seruling itu. Serulingmu membuatku mengantuk,”
jawab Riung Sedatu.
Saniscara mendengus tak peduli.
”Kalau merasa mengantuk, tidurlah,” balas Saniscara.
Saniscara membawa lubang seruling ke tiupan mulutnya, kemudian
mengalunlah irama yang indah mendayu-dayu. Telaga Jalatunda dan
sumur Jalatunda berada agak jauh dari rumah-rumah penduduk. Namun,
alunan suara seruling itu sampai pula ke telinga para penghuni rumah-
rumah itu. Sepasang suami-istri yang sedang begadang menikmati
indahnya cahaya bulan, tertegun mendengar alunan seruling itu. Pasangan
suami-istri itu sudah terbiasa dengan irama seruling khas Sunda. Akan
tetapi, kali ini, suara seruling itu terasa aneh.
”Kaurasakan ada yang aneh?” tanya lelaki tua itu kepada istrinya.
Istrinya menyimak.
”Ya,” jawabnya.
”Apa?” tanya suaminya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
31
Dyah Pitaloka duduk di kursi khusus yang disediakan untuknya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Di kiri dan kanan gadis cantik itu, Nenden Pritaya, Ihai Nirasari, dan
Euis Nandini duduk bersimpuh. Mereka siaga memenuhi apa pun yang
diinginkan Dyah Pitaloka. Dyah Pitaloka harus duduk kaku dan tak
bergerak karena gerakan sedikit saja yang ia lakukan akan menyebabkan
hasil gambar tak sesuai dengan wajahnya. Disaksikan Prabu Maharaja
292 Gajah Mada
mengambil sikap. Wajah Podang Salisir pucat pasi. Dyah Pitaloka kembali
pada sikapnya, lurus memandang ke depan. Memenuhi permintaan
Podang Salisir, Dyah Pitaloka tersenyum.
Podang Salisir tidak punya pilihan lain kecuali harus menuntaskan
pekerjaannya. Pemuda dari Majapahit itu membutuhkan waktu cukup
Sanga Turangga Paksowani 293
”Wajah Tuan Putri jadi jelek seperti ini?” ucap Nenden Pritaya.
Euis Nandini mengerutkan kening.
”Tuan Putri tidak tersinggung?” tanya gadis itu.
Dyah Pitaloka mengerutkan dahi.
Wajah Tuan Putri berubah menjadi jelek begini? Tuan Putri tidak
tersinggung? Menghadapi pertanyaan itu, Dyah Pitaloka Citraresmi
hanya tersenyum.
”Lukisan itu tak ada sejumput kuku dibanding dengan lukisan
Saniscara,” ucap Nenden Pritaya.
Mendengar nama Saniscara disebut, Dyah Pitaloka tersenyum.
”Lukisan itu ada di dalam, lihatlah,” ucap Dyah Pitaloka.
Para emban yang usianya sebaya itu terkejut. Mereka bergegas masuk
ke ruang dalam dan mendapati apa yang diucapkan junjungannya benar
adanya. Lukisan yang indah, lukisan yang amat hidup seolah bukan
lukisan, lukisan Dyah Pitaloka berlatar telaga itu sungguh sangat cantik.
Bagaimana lukisan itu bisa berada di wisma keputren? Keberadaan
lukisan itu dengan telak menjadi bukti bahwa telah terjadi pertemuan
antara Dyah Pitaloka Citraresmi dan pembuatnya.
”Tuan Putri,” ucap Nenden Pritaya mendadak cemas.
”Bagaimana?” balas Dyah Pitaloka.
Nenden Pritaya bertukar pandang dengan Euis Nandini, sementara
Ihai Nirasari agak terlambat menyadari.
”Berarti, Tuan Putri dan pelukis itu telah mengadakan pertemuan?”
tanya Pritaya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Euis Nandini. Namun, sikap mereka tidak sekeras Ihai Nirasari. Nirasari
melihat betapa amat tak pantas apa yang dilakukan Dyah Pitaloka itu.
Sebagai Sekar Kedaton, Dyah Pitaloka seharusnya menjaga kepatutan
karena ia menjadi panutan bagi para gadis Sunda Galuh. Apa jadinya jika
Sekar Kedaton berbuat murahan macam itu?
296 Gajah Mada
Ihai Nirasari melotot, tak jelas apa haknya untuk marah macam
itu.
”Tidak boleh, Tuan Putri,” ucapnya dengan nada kasar. ”Tuan
Putri tidak boleh merendahkan martabat macam itu. Saniscara itu hanya
orang biasa. Ia tidak berasal dari golongan bangsawan. Ia tidak memiliki
darah menak.”
Dyah Pitaloka bukan jenis orang yang berhati lembek. Dyah Pitaloka
bisa menjadi batu amat keras ketika tersudutkan.
”Jaga suaramu, Ihai,” balas Dyah Pitaloka dengan perasaan tidak
senang.
Dyah Pitaloka ingat, ibunya sekalipun tak pernah membentaknya.
”Jika aku tersudut pada pilihan yang paling buruk,” jawab Dyah
Pitaloka, ”aku lebih mengedepankan cintaku karena hanya cinta sejati
yang akan membahagiakan, bukan kedudukan sebagai istri raja, bukan
harta benda dan martabat. Kepada siapa aku memberikan cintaku adalah
urusanku yang tidak perlu dicampuri orang lain. Jangan coba-coba
memaksaku karena aku bisa tidak membutuhkanmu dan mengusirmu
pergi dari istana ini. Juga jangan ada yang berani membocorkan rahasiaku
kepada Ayahanda Prabu. Jika ada yang berani melakukan itu, aku tidak
membutuhkannya dan kupersilakan pergi dari keputren.”
Ihai Nirasari terkejut mendapati Dyah Pitaloka menjawab sangat
kasar kepadanya. Namun, jawaban yang diberikan Dyah Pitaloka itu
menyadarkannya bahwa ia hanya seorang pelayan.
”Aku tidak ingin di antara kalian ada yang membocorkan urusan
ini,” ulang Dyah Pitaloka.
Nenden Pritaya dan Euis Nandini hanya bisa saling memandang,
http://facebook.com/indonesiapustaka
sangat aneh.
”Aku mengira, aku seorang penggambar yang tak bisa ditandingi
siapa pun. Akan tetapi, Tuan Putri Dyah Pitaloka memiliki gambar
dirinya yang sangat bagus. Aku dibayangi perasaan malu andaikata tak
mampu mengalahkan keindahan lukisan yang sudah ada itu. Itu sebabnya,
Sanga Turangga Paksowani 299
akal karena lukisan itu kini berada di keputren istana Surawisesa. Sejauh
mana hubungan antara pelukis itu dengan Dyah Pitaloka? Bagaimana
kalau hubungan itu melampaui batas?
136
Lembaran kain, yang dimaksud kanvas
300 Gajah Mada
kekagumannya.
”Aku tidak mengira,” ucap Patih Maduratna, ”ada orang yang bisa
membuat lukisan yang sedemikian indah. Siapa gerangan orang yang bisa
melukis seindah ini? Apa kemampuan yang demikian sudah biasa di negeri
Sunda ini, Tuan Putri?”
302 Gajah Mada
137
Cucuk lampah, Jawa, orang yang berjalan mendahului. Dalam upacara perkawinan adat Jawa, cucuk
lampah juga disebut sang subamanggala.
Sanga Turangga Paksowani 303
”Menunggu apa lagi, Nirasari? Bawa semua yang kaumiliki dan kau
tidak perlu berada di istana Surawisesa lagi,” ucap Dyah Pitaloka.
Ihai Nirasari benar-benar tak menyangka, Sekar Kedaton akan
sedemikian marah. Ia tidak punya pilihan lain kecuali harus melaksanakan
perintah itu. Ihai Nirasari bangkit. Akan tetapi, Ihai Nirasari kembali
duduk ketika menerima isyarat perintah dari tangan Permaisuri.
”Tunggu,” kata Permaisuri. ”Sebenarnya ada apa? Mengapa kau
begitu marah kepada emban pelayanmu?”
Dyah Pitaloka adalah Sekar Kedaton yang cantik, lembut, dan welas
asih. Akan tetapi, rupanya ia juga memiliki hati sekeras hati singa.
”Hamba, Ibu Permaisuri,” berkata Dyah Pitaloka. ”Hamba yang
berhak menentukan apa Ihai Nirasari masih dibutuhkan di istana ini
atau tidak karena hamba yang dulu membawanya. Hamba tidak akan
mengubah apa yang telah menjadi keputusan hamba. Ihai Nirasari sudah
boleh pergi sekarang juga.”
Melihat sedemikian keras sikap anaknya, Permaisuri tidak mungkin
memaksakan diri. Ketika Permaisuri mengangguk, Ihai Nirasari merasa
dunia kiamat. Kebanggaan yang selama ini ia miliki adalah kedekatannya
dengan Sekar Kedaton dan bisa melayani kerabat Raja. Kini, kebanggaan
itu lenyap karena ia berani mengambil sikap berseberangan dengan
majikan yang dilayaninya.
”Kamu tidak perlu pergi, Nirasari. Kamu boleh melayani istana
raja,” Permaisuri yang ingin mengajukan beberapa pertanyaan merasa
harus mempertahankan emban muda itu.
”Tidak!” ucap Dyah Pitaloka amat tegas. ”Ihai Nirasari harus keluar
dari istana Surawisesa. Jika ia masih Ibunda pertahankan, hamba yang
http://facebook.com/indonesiapustaka
itu melukis Tuan Putri dengan imbalan sejumlah uang. Hanya itu yang
hamba ketahui, Tuanku,” jawab Pritaya.
Prabu Maharaja akhirnya manggut-manggut dan saling bersirobok
pandang dengan Lara Linsing. Akan tetapi, apa yang ada di benak Prabu
Maharaja dan apa yang ada di benak istrinya amat berbeda. Prabu
308 Gajah Mada
32
http://facebook.com/indonesiapustaka
Tak hanya Pu Menur yang ikut gelisah karena tak sabar menunggu
waktu. Pu Kapat berjalan mondar-mandir sambil memerhatikan
beberapa prajurit yang sedang terlibat latihan perang. Bentuk latihan
perang yang sangat sederhana.
”Lihat itu,” kata Pu Kapat.
Pu Menur menoleh sejenak, lalu melanjutkan memejamkan mata
sambil merasa geli. Latihan perang yang sedang dilakukan sekelompok
prajurit itu dirasa menggelikan.
Ma Panji Elam serentak berdiri ketika Kanuruhan Gajah Enggon
datang sambil membawa minuman.
”Kalian pernah mendengar kata bandrek?”138 tanya Kanuruhan
Gajah Enggon.
Ma Panji Elam menggeleng.
”Jangan pernah menyebut pernah datang ke Sunda Galuh jika belum
pernah minum bandrek. Juga jangan pernah menepuk dada pernah
datang ke Sunda Galuh jika belum tahu seperti apa rasa minuman bajigur
yang menghangatkan tubuh. Tanpa dua jenis minuman itu, sama halnya
kalian baru mendatangi tepian Sunda Galuh,” ujar Gajah Enggon.
Ma Panji Elam menyeruput minuman dalam cangkir yang
dipegangnya.
”Di mana bisa mendapatkan minuman itu?” tanya Ma Panji Elam.
Kanuruhan Gajah Enggon tak perlu menjawab karena sejenak
kemudian, seorang abdi perempuan muncul dari pintu yang terbuka.
Abdi perempuan yang sudah tua itu berjalan agak terbungkuk-bungkuk.
Ma Panji Elam merasa tak sabar ingin segera mencicipi jenis minuman
yang disajikan, demikian pula dengan Pu Kapasa, Pu Menur, dan Pu
http://facebook.com/indonesiapustaka
Kapat. Mereka harus mengakui, jenis minuman itu amat enak di lidah.
138
Bandrek, jenis minuman khas Sunda. Sudah adakah bandrek pada zaman Sunda Galuh? Agaknya,
memang demikian menilik di sebuah tempat tak jauh dari Cibatu dan Garut ada sebuah desa bernama
Bandrek. Keberadaan nama itu pasti berkaitan dengan bandrek sebagai minuman. Di samping bandrek,
di Sunda juga ada jenis minuman yang terkenal, yaitu bajigur
Sanga Turangga Paksowani 311
33
R uang yang dipergunakan Prabu Maharaja untuk menerima
Kanuruhan Gajah Enggon adalah ruang amat khusus. Ruang itu biasa
digunakan untuk menerima pengaduan rakyat yang merasa ditindas
atau sedang menuntut keadilan. Tak sebagaimana ketika menerima para
tamunya di balairung istana, kali ini, Prabu Maharaja tidak menempatkan
Kanuruhan Gajah Enggon duduk bersila dalam menghadap. Justru
karena itu, Gajah Enggon merasa agak canggung.
”Silakan,” Prabu Maharaja mempersilakan tamunya untuk duduk
di kursi yang telah disediakan untuknya.
Gajah Enggon masih belum merasa yakin. Namun, Gajah Enggon
akhirnya merasa yakin setelah sekali lagi Prabu Maharaja mempersilakan.
http://facebook.com/indonesiapustaka
139
Pungkasan, Jawa, akhir
314 Gajah Mada
34
S ore itu, sebagaimana yang dikehendaki Sang Prabu dan
Permaisuri, Saniscara telah berada di istana dengan sikap cemas dan
bingungnya. Nenden Pritaya yang ditugasi memanggil pelukis itu tidak
mengalami kesulitan menemukannya di tepi telaga Jalatunda. Semula,
Saniscara cemas mengira ia dipanggil karena kelancangannya. Namun,
hatinya kembali tenang setelah Nenden Pritaya menjelaskan apa yang
diketahui.
”Jadi, lukisan itu kini tidak berada di tangan Tuan Putri?” tanya
Saniscara setelah berhadapan langsung dengan Dyah Pitaloka.
Dyah Pitaloka mengangguk sambil tak kuasa mencegah matanya
berkaca-kaca. Saniscara tidak berbicara. Namun, ia mencerna apa yang
terjadi itu. Rishang Saniscara segera mengambil keputusan.
”Apa hamba diizinkan untuk melukis ulang? Hamba akan
membuat yang lebih bagus dari lukisan yang dibawa tamu itu,” tanya
Saniscara
Seketika, berubah raut wajah Dyah Pitaloka. Dyah Pitaloka yang
http://facebook.com/indonesiapustaka
semula murung itu kembali riang. Andaikata tidak ada Nenden Pritaya
dan Euis Nandini yang berdiri di sebelahnya, tentu ia akan menjerit
melonjak-lonjak. Nenden Pritaya dan Euis Nandini saling lirik melihat
raut muka Dyah Pitaloka yang secara lugas menunjukkan keadaannya
yang lagi kasmaran.
318 Gajah Mada
35
S ang waktu bergerak menapaki kodratnya, tidak ada yang mampu
menghadang lajunya. Dua puluh hari telah lewat, rombongan duta
yang dilepas Prabu Hayam Wuruk telah kembali ke kotaraja Trowulan.
Orang yang paling berkepentingan dengan kepulangan Patih Maduratna
adalah Ibu Suri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan
suaminya. Ibu Suri didampingi suaminya menerima Patih Madu di istana
mereka sambil menunggu Prabu Hayam Wuruk yang telah diberi tahu.
Sejenak kemudian, Prabu Hayam Wuruk muncul dikawal dua orang
prajurit di kiri dan kanannya. Pusat perhatian Prabu Hayam Wuruk
langsung tertuju pada gulungan kain di tangan utusannya. Prabu Hayam
Wuruk melirik ibunya, lalu beralih kepada ayahnya.
Sri Kertawardhana mengangguk.
”Buka, aku ingin tahu seperti apa wajah Sekar Kedaton Sunda. Aku
ingin tahu apa kecantikannya seimbang dengan yang diberitakan orang
selama ini,” kata Rajasanegara.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Dyah Pitaloka memiliki kecantikan bidadari. Hanya Dewi Tara yang bisa
menandangi kecantikannya.
Tertegun Prabu Hayam Wuruk. Ia tak mampu bicara begitu melihat
lukisan itu. Gambar yang sangat hidup itu menyebabkan telinganya
mendenging keras. Denging itu belum juga hilang ketika Prabu Hayam
Wuruk bergerak mendekat untuk bisa melihat dengan lebih jelas lukisan
itu. Ketika Prabu Hayam Wuruk berniat menyentuh lukisan itu, muncul
keraguan luar biasa. Prabu Hayam Wuruk cemas sentuhan tangannya
akan menyebabkan kecantikan gambar itu hilang.
Perbawa kecantikan yang luar biasa itu juga menyebabkan Ibu
Suri Sri Gitarja yang amat berkepentingan menemukan jodoh yang
tepat bagi anaknya, terhenyak. Ibu Suri yang semula duduk, kemudian
berdiri bersamaan dengan Sri Kertawardhana. Di kala muda, Sri Gitarja
adalah gadis dengan kecantikan tiada tara. Namun, lukisan di depannya
menumbuhkan pertanyaan, apa ia pernah lebih cantik dari anak Prabu
Maharaja di Sunda Galuh itu?
Patih Maduratna tersenyum. Ia sudah menduga, Prabu Hayam
Wuruk kali ini akan bersikap berbeda. Jika semula semua gambar para
gadis tercantik anak para raja di seluruh wilayah bawahan Majapahit
tidak ada yang membuatnya berkenan, kali ini Prabu Hayam Wuruk
pasti kebingungan.
”Patih Madu,” ucap Prabu Hayam Wuruk.
”Hamba, Baginda,” jawab Patih Madu sigap dan siap menjawab
semua pertanyaan yang akan diberikan Raja dan orang tuanya.
”Tinggalkan tempat ini,” ucap Raja.
Patih Madu terkejut karena yang disampaikan Raja sama sekali
http://facebook.com/indonesiapustaka
tidak seperti yang ia duga. Patih Madu mengira Raja akan mengajukan
banyak pertanyaan, ternyata tidak. Patih Madu bergegas menyembah
dan meninggalkan ruang itu.
Sepeninggal Patih Madu bukan berarti ruang itu pecah dari
keheningan yang datang menyelinap. Senyap yang terjadi, bahkan makin
324 Gajah Mada
140
Dersanala, dalam cerita wayang Jawa, bidadari tercantik adalah Dersanala yang berputra Wisanggeni dari
perkawinannya dengan Arjuna. Dalam babon kitab Mahabarata, nama Wisanggeni tidak ditemukan.
326 Gajah Mada
indah lukisan itu, lukisan seorang gadis yang jelita. Ketika Podang Salisir
menanyai orang itu, ia tidak mau menyebut nama gadis yang dilukisnya.
Ia hanya mengatakan latar belakang lukisan itu adalah perasaan cintanya.
Esoknya, Podang Salisir terkejut saat bertemu dengan Dyah Pitaloka. Ia
segera ingat, wajah itu yang dilukis orang di tepi telaga Jalatunda. Lukisan
328 Gajah Mada
berani bercerita kepada siapa pun. Ia takut apa yang diketahuinya itu
akan melebar dan mengganggu lamaran yang akan berlangsung.”
”Begitu?” tanya Pradhabasu.
Kuda Swabaya mengangguk.
Sanga Turangga Paksowani 329
36
K uda Swabaya sedang melintasi alun-alun ketika Senopati Macan
Liwung menghadang langkahnya. Kuda Swabaya segera memberikan
penghormatannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
kanan Ibu Suri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa. Kuda Swabaya segera
mengerutkan dahi karena merasa baru kali itu ia melihat wajah emban
itu.
Dengan takjub dan degup jantung yang agak sulit dikendalikan,
Raden Kudamerta memerhatikan pemuda di depannya. Kali ini,
Sanga Turangga Paksowani 331
yang selama ini dibicarakan orang banyak?” tanya Dyah Wiyat lagi.
Raden Kudamerta tidak mampu bertanya apa pun. Raden Kudamerta
membiarkan istrinya yang mengajukan berbagai pertanyaan.
”Berita itu benar adanya, Tuan Putri,” ucap Kuda Swabaya. ”Para
gadis Sunda Galuh memang terkenal cantik, sama cantiknya dengan para
332 Gajah Mada
itu. Meski seorang prajurit, Kuda Swabaya tampak amat santun, tak
sebagaimana prajurit umumnya yang gemar memelintir kumis dan
memelototkan mata hingga nyaris keluar dari kelopaknya.
Raden Kudamerta mulai mampu menguasai keadaan. Ia mulai bisa
meredam keinginan untuk memeluk pemuda itu. Raden Kudamerta sadar
Sanga Turangga Paksowani 333
Ibu Suri Dyah Wiyat tersenyum melihat Kuda Swabaya tersipu dan
bergegas menunduk.
”Aku ingin memperkenalkanmu dengan pemuda ini,” tambah Ibu
Suri Dyah Wiyat. ”Namanya Kuda Swabaya. Sebaiknya, kalian saling
334 Gajah Mada
37
D erap kuda yang membalap kencang itu mengagetkan Dyah
http://facebook.com/indonesiapustaka
akhirnya merasa yakin memang ada yang aneh pada sikap ibunya, seolah
ada sebuah rahasia yang ia sembunyikan.
338 Gajah Mada
38
P ertanyaan bernada berat dilontarkan Mahamantrimukya Gajah
Mada kepada empat arya di depannya, ”jadi, kalian tak tahu bagaimana
pembicaraan itu terjadi?”
Sang Arya Patipati Pu Kapat, Sang Arya Wangsaprana Pu Menur,
Sang Arya Rajaparakrama Ma Panji Elam, dan Sang Arya Suradhiraja Pu
Kapasa, tidak tahu bagaimana cara menjawab pertanyaan itu. Kejengkelan
yang selama ini dipendam tidak mungkin mereka tumpahkan kepada
Kanuruhan Gajah Enggon.
”Kanuruhan Gajah Enggon membuat kami semua tertidur,” kata
Ma Panji Elam.
”Ya,” tambah Pu Kapat.
”Seharusnya jangan salahkan kami,” tambah Arya Wangsaprana
Pu Menur. ”Kami dicekoki minuman yang orang Sunda menyebutnya
bandrek. Entah benda apa yang diselinapkan ke dalam minuman itu
yang menyebabkan aku tertidur begitu lelap. Amat lelap sampai sulit
bangun.”
Mahapatih Gajah Mada berjalan mondar-mandir.
”Kalian benar mengalami seperti itu?” tanya Gajah Mada.
Para arya tertawa, kecuali Pu Menur yang merasa wajahnya amat
tebal. Apa yang dilakukan Kanuruhan Gajah Enggon membuatnya
marah, sangat marah. Namun, tak ada yang bisa dilakukan menghadapi
Kanuruhan Gajah Enggon yang memiliki pangkat dan kedudukan lebih
http://facebook.com/indonesiapustaka
tinggi.
”Di mana Gajah Enggon sekarang, suruh dia menghadap aku,”
Gajah Mada memberikan perintah.
Ma Panji Elam langsung berdiri dan berkacak pinggang.
Sanga Turangga Paksowani 339
”Beri aku tugas lain, jangan suruh aku mencari Kanuruhan Gajah
Enggon,” jawab Ma Panji Elam.
Namun, perintah itu tidak perlu dilaksanakan. Derap kuda yang
memecah siang itu berasal dari kuda yang dinaiki Kanuruhan Gajah
Enggon. Dengan senyum lebar, Gajah Enggon melompat turun dari
kudanya dan langsung naik ke pendapa Balai Prajurit. Ma Panji Elam
dan para arya yang lain berharap Mahamantrimukya Rakrian Mahapatih
Gajah Mada akan mendamprat Gajah Enggon. Namun, tindakan yang
demikian tidak dilakukan.
Gajah Mada menerima penghormatan yang diberikan bawahannya
itu. Tentu merupakan kesalahan amat besar jika Ma Panji Elam berharap
Gajah Mada mendamprat Gajah Enggon karena kedekatan yang luar
biasa di antara mereka telah terjalin sejak mereka masih sama-sama
muda. Gajah Mada yang sekarang menduduki jabatan mahapatih dulunya
hanya seorang bekel. Sedangkan, Gajah Enggon dulunya hanya prajurit
biasa dengan pangkat lebih rendah.
”Apa yang bisa kaulaporkan?” tanya Gajah Mada santai.
Gajah Enggon melirik para arya.
”Yang pertama aku laporkan, ketika berada di Sunda, aku telah
membius para arya ini. Aku melakukan itu dengan pertimbangan agar
mereka tidak menyebabkan aku salah tingkah dalam menerjemahkan
pesanmu di hadapan Prabu Maharaja,” ucap Gajah Enggon.
Gajah Mada termangu beberapa saat. Diam yang dilakukannya
adalah dalam rangka menimbang apakah yang dilakukan Gajah Enggon
itu menyalahi perintahnya atau tidak.
”Padahal,” kata Gajah Mada, ”aku berharap kau dan Ma Panji Elam
http://facebook.com/indonesiapustaka
Enggon justru merasa geli melihat wajah para arya yang merah padam
menahan kejengkelan luar biasa.
Gajah Mada akhirnya menjatuhkan perintah yang sama sekali tidak
terduga, ”Kalian berempat sudah boleh meninggalkan tempat ini.”
Wajah Ma Panji Elam yang menahan marah makin tebal. Selama
ini, Ma Panji Elam dibayangi rasa penasaran terhadap isi pembicaraan
yang terjadi antara Kanuruhan Gajah Enggon dan Prabu Maharaja.
Kini, kesempatan itu hilang pula karena Mahapatih Gajah Mada mengusir
mereka. Akan tetapi, Ma Panji Elam, Pu Kapasa, Pu Kapat, dan Pu Menur
tak mungkin menolak. Dengan bersungut-sungut, mereka pergi.
Dengan ringkas, jelas, dan rinci tanpa ada satu pun yang harus
disembunyikan, Kanuruhan Gajah Enggon menyampaikan laporannya.
Mahamantrimukya Rakrian Mahapatih Gajah Mada menyimak dengan
cermat dan saksama. Gajah Mada mencerna laporan itu sambil melangkah
mondar-mandir.
”Bagaimana menurut pendapatmu?” tanya Gajah Mada.
”Bagian mana?” balas Kanuruhan Gajah Enggon.
”Apa Sunda Galuh akan memenuhi permintaan Majapahit?” balas
Gajah Mada.
Kanuruhan Gajah Enggon tidak segera menjawab. Ia yakin, Gajah
Mada pasti akan melontarkan pertanyaan itu. Kanuruhan Gajah Enggon
yang telah menimbang dari banyak sudut telah bulat dengan jawabnya.
”Kurasa kau tak bisa memaksakan kehendakmu,” kata Gajah
Enggon.
Gajah Mada segera mencuatkan alis.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Majapahit kelak jika Sang Prabu tidak memiliki permaisuri sehingga tidak
memiliki anak. Siapa yang akan diangkat menjadi raja menggantikan
pendahulunya?”
Gajah Mada terbungkam. Lama ia terdiam karena terlalu banyak
masalah yang harus ditimbang.
342 Gajah Mada
Elam?”
141
Suwe mijet wohing ranti, peribahasa Jawa, lebih lama waktu yang dibutuhkan untuk memijat buah
tomat, artinya mudah sekali
344 Gajah Mada
39
P radhabasu mirip tempat sampah. Setidaknya, itu perumpamaan
guyonan yang acap kali diucapkan setiap Kanuruhan Gajah Enggon
datang mengunjunginya. Sebagai teman sejak masih muda dan sama-
sama berjuang bahu-membahu di pertengahan pemerintahan Sri
Jayanegara, Pradhabasu selalu menampung semua keluh kesah yang
ujungnya dengan ringan tangan, ia ikut membantu memecahkan semua
persoalan melalui tindakan langsung, tak sekadar memberikan saran.
Pun kali ini, dengan saksama dan penuh perhatian, Pradhabasu
menempatkan diri mendengarkan apa yang disampaikan Gajah Enggon.
Kanuruhan Gajah Enggon makin merasa tidak nyaman dengan cara
pandang dan langkah-langkah yang akan diambil Mahamantrimukya
Rakrian Mahapatih Gajah Mada.
Melihat tindakan sepihak yang akan dilakukan Gajah Mada itu,
Pradhabasu layak ikut merasa cemas.
”Bagaimana saranmu?” tanya Gajah Enggon.
Pradhabasu termangu. Perlahan, ia menggeleng.
”Kaubiarkan Gajah Mada menunjuk Ma Panji Elam, itu sama halnya
kaubiarkan bencana terjadi di depan mata. Jika kauminta pendapatku,
jangan biarkan hal itu terjadi. Kembalilah ke Sunda Galuh untuk
memuluskan niat suci dan mulia Sang Prabu dengan Sekar Kedaton
Sunda. Kalau kau berangkat, aku ikut,” ucap Pradhabasu.
Kanuruhan Gajah Enggon menyaring dan mengunyah saran itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka
sesuatu yang luar biasa. Ketika diminta memejamkan mata dengan tangan
membentang seperti elang, aku menurut saja. Aku diminta menirukan
membaca mantra-mantra aneh yang dibisikkan ke telingaku. Itulah
saat yang seumur-umur, aku baru mengalaminya dan tak akan pernah
aku lupakan. Aku terhuyung-huyung jatuh karena kehilangan sebagian
Sanga Turangga Paksowani 347
kesadaranku. Aku merasa melesat amat cepat menembus batas ruang dan
waktu, lalu terhempas di tempat lain, tempat yang tidak aku kenali sama
sekali. Hanya sekejap saja apa yang kualami itu, lalu aku pun kembali
tersadar,” Pradhabasu menuturkan pengalamannya.
Gajah Enggon memandang dengan heran. Selama ini, ia percaya
kepada Pradhabasu, percaya pada pengalaman apa pun yang dialaminya.
Namun, pengalaman aneh macam yang diceritakan itu, baru kali ini
Pradhabasu membagikannya.
”Menurut bocah aneh yang perginya seperti menghilang itu, apa
yang aku lihat melalui cara luar biasa itu sebenarnya adalah apa yang
dilihat Prajaka,” lanjut Pradhabasu.
Halaman rumah Pradhabasu yang asri karena banyak tanaman
itu pun menjadi hening. Dua sahabat yang akrab itu kemudian terseret
ke dalam lamunan masing-masing. Selama ini, Pradhabasu mengalami
kesulitan memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan yang dalam
keseharian mengakrabinya. Sebagian besar ruang rasa penasarannya
dipenuhi pertanyaan, di mana keberadaan Sang Prajaka? Itulah
pertanyaan terbesar yang ingin diketahui bagaimana jawabnya.
”Orang itu masih sering ke sini?” tiba-tiba Gajah Enggon membelokkan
pertanyaan.
Pradhabasu menoleh.
”Siapa?” tanya Pradhabasu.
”Orang itu, orang yang memanggilmu adimas,” jawab Gajah
Enggon.
Pradhabasu seketika tersenyum dan berbalik. Semua pohon kelapa
diperhatikan, tetapi tetangga yang punya kegesitan memanjat pohon kelapa
http://facebook.com/indonesiapustaka
40
http://facebook.com/indonesiapustaka
Raden Tetep atau Prabu Sri Rajasanegara terselip di tanah Sunda Guluh.
Sungguh, Hyang Widdi amat rapi dalam mengatur dan menyembunyikan
jodoh seseorang dalam bingkai teka-teki.”
Rombongan dalam kapal besar itu menyimak dengan cermat apa
yang diucapkan Brahmana Smaranatha. Laksamana Nala yang mendapat
tugas mengawal perjalanan lamaran ke Sunda Galuh menyimak dengan
penuh minat. Duduk di sebelahnya, juga ikut mendengarkan dengan
penuh perhatian, Sang Daharmadyaksa Kasogatan Dang Acarya
Nadendra. Nadendra memerhatikan semua ucapan sejawatnya itu sambil
memerhatikan laut tanpa tepi.
Dalam rombongan itu ada Kanuruhan Gajah Enggon dan terselip
pula seorang laki-laki yang tidak menarik perhatian siapa pun, tak banyak
orang yang mengenalinya. Laksamana Nala juga tak mengenali orang itu.
Orang itu pendiam dan cenderung menyendiri. Namun, sebenarnya ia
selalu mengikuti apa saja yang dibicarakan orang-orang di sekitarnya.
Pradhabasu memerhatikan wajah Ma Panji Elam yang rupanya ikut
kembali ke Sunda. Tidak hanya Ma Panji Elam, Sang Arya Wangsaprana
Pu Menur ikut pula. Pu Kapasa dan Kapat yang sebelumnya ikut
ke Sunda, tak terlihat di rombongan itu. Dengan penuh perhatian,
Pradhabasu memerhatikan wajah kedua orang itu dan mencermati apa
pun pembicaraan yang terjadi di antara mereka.
Kanuruhan Gajah Enggon tidak tahu apa Ma Panji Elam dan Arya
Wangsaprana Pu Menur ikut ke Sunda atas prakarsanya sendiri atau
karena tugas yang diembannya dari Mahapatih Gajah Mada.
Kapal yang dipergunakan untuk mengantar rombongan pelamar
menuju Sunda Galuh itu adalah kapal paling besar yang dimiliki Majapahit.
Dari kapal terbesar itu pula, Laksamana Nala mengendalikan ratusan
kapal lain yang kini sepenuhnya berada di genggaman kekuasaannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
142
Harta paningset, Jawa, mas kawin dan barang hadiah bawaan ketika lamaran dilaksanakan
143
Tanda tali asih, Jawa, hadiah
Sanga Turangga Paksowani 351
Butuh waktu beberapa hari untuk bisa mencapai Kawali jika dihitung
dari Losari. Akan tetapi, jarak yang jauh itu makin lama makin dekat.
Ketika memasuki batas kotaraja, beberapa orang yang menjalankan
tugas melamar Sekar Kedaton Surawisesa itu merasakan benar apa yang
dikatakan Brahmana Smaranatha.
”Jodoh memang susah untuk ditebak,” kata seorang prajurit
bertubuh kurus, tetapi tinggi. ”Siapa sangka calon istri Sang Prabu berasal
dari tempat yang sedemikian jauh seperti ini.”
Prajurit di sebelahnya yang berbadan gemuk tertawa, ”Berbeda
dengan jodohku. Gara-gara aku makan tidak menggunakan piring,
tetapi menggunakan cobek, aku dapat tetangga sendiri, tetangga sebelah
rumahku. Terlalu mudah bagiku untuk bisa menebak siapa calon istriku,
tidak seperti menebak calon istri raja.”
Prajurit pertama mengerutkan kening.
”Jadi, istrimu adalah tetanggamu sendiri?” tanya prajurit bertubuh
kurus itu.
”Ya,” jawab temannya.
”Apa enaknya mengawini tetangga sendiri, tetangga dekat lagi,”
ucap prajurit bertubuh kurus itu lagi.
Prajurit yang beristri tetangga sendiri itu tertawa. Namun, ia
bergegas menutup mulut karena tiba-tiba Kanuruhan Gajah Enggon
menoleh kepadanya. Prajurit berpangkat sangat rendah itu bingung
ketika Kanuruhan Gajah Enggon mendekatkan kudanya.
”Apa yang kalian bicarakan?” tanya Gajah Enggon sambil memacu
kudanya pelan.
http://facebook.com/indonesiapustaka
41
P ucat pasi wajah Dyah Pitaloka di siang dengan matahari yang
terik itu. Apa yang beberapa hari terakhir dicemaskan, akhirnya menjelma
menjadi kenyataan, sementara ia merasa tak punya kilah apa pun untuk
menghindar.
”Mati aku,” letup Dyah Pitaloka ketika menerima laporan dari
Nenden Pritaya.
Nenden Pritaya dan Euis Nandini mampu merasakan kepanikan yang
melanda majikannya. Tentu Sekar Kedaton Surawisesa kebingungan saat
harus mengambil keputusan karena ia sedang menikmati indahnya asmara
dengan pelukisnya. Kedudukannya sebagai anak raja, kedudukannya
sebagai Sekar Kedaton, juga kedudukannya sebagai panutan para gadis se-
Sunda Galuh menyebabkan Dyah Pitaloka merasa terpenjara, terpasung
kebebasannya.
”Banyak sekali tamu yang datang, Tuan Putri. Mereka membawa
seserahan yang ditata dalam berbagai bentuk. Bahan pakaian dari sutra
mengilat dilipat mirip angsa, mirip buaya, dan macam-macam. Pada
http://facebook.com/indonesiapustaka
mencari cara entah bagaimana agar bisa bersama selamanya dengan lelaki
yang dicintainya itu, mendadak bencana datang dalam wujud lamaran
yang amat sulit untuk ditolak. Menolak? Bisa jadi, penolakan itu bisa
berujung pada sebuah perang.
Bergegas, Dyah Pitaloka duduk bersimpuh di tengah ruang saat
Prabu Maharaja dan Permaisuri datang menemuinya. Di belakang
Permaisuri, Mangkubumi Suradipati ikut menyimak apa yang akan
disampaikan kakaknya. Hyang Bunisora berdiri bersebelahan dengan
Niskala Wastu Kencana.
Dua buah kursi disiapkan dengan bergegas oleh Nenden Pritaya
dan Euis Nandini sebagai tempat duduk rajanya. Sembah pun diberikan
ketika Raja dan Permaisuri telah duduk sambil menyapu seisi ruang
dengan tatapan matanya.
”Kau sudah tahu kita kedatangan tamu?” tanya Prabu Maharaja.
Dyah Pitaloka mengangguk amat perlahan, amat ragu.
”Mereka utusan Majapahit yang meminangmu secara resmi, meminta
agar kamu bersedia menjadi istri Raja Hayam Wuruk. Bagaimana jawabmu,
Pitaloka? Apa kamu bersedia atau menolak?” tanya Prabu Maharaja.
Amat hening ruang itu. Dyah Pitaloka mengisi paru-parunya melalui
tarikan napas amat panjang, tetapi perlahan. Meski Dyah Pitaloka telah
merapatkan kedua telapak tangannya dalam sikap menyembah, tidak
segera keluar ucapan dari bibirnya. Beban amat berat menyebabkan Dyah
Pitaloka pontang-panting berupaya menguasai diri. Mungkin karena
masih bocah, Niskala Wastu Kencana memandang Dyah Pitaloka dengan
heran. Niskala Wastu Kencana tidak mampu memahami alasan apa yang
menyebabkan kakak perempuannya menjadi sedemikian ketakutan.
”Sebelum hamba menjawab, apa hamba diizinkan mengajukan
http://facebook.com/indonesiapustaka
sama sekali tak menduga akan adanya kemungkinan latar belakang macam
itu. Jika benar dugaan istrinya, Sang Prabu Maharaja merasa kecolongan.
Baginya, sebagai anak, Dyah Pitaloka harus dijaga kehormatannya. Dan,
sebagai seorang Sekar Kedaton, Dyah Pitaloka harus ditempatkan sebagai
pusaka yang harus dijaga kekeramatannya. Jika bobot kekeramatan itu
Sanga Turangga Paksowani 359
hilang, akan rendah nilainya. Jadi, bagaimana Dyah Pitaloka bisa menjalin
asmara tanpa diketahuinya. Siapa orang itu? Bagaimana derajatnya?
”Benarkah kau telah menjalin hubungan asmara dengan seseorang?
Benarkah kau telah membangun angan-angan menjadi istri seseorang
sehingga kau menolak pinangan Raja Majapahit? Tidak sadarkah kau,
Dyah Pitaloka, apa yang akan menimpa Sunda Galuh jika sampai terjadi
perang? Majapahit akan merasa memiliki alasan untuk menggempur
Sunda Galuh. Dan, Sunda Galuh tidak memiliki kekuatan untuk
menahan serangan bala tentara yang tak terhitung jumlahnya itu,” kata
Permaisuri.
Dyah Pitaloka Citraresmi mulai mampu mengukur seberapa tebal
dinding pembatas yang memberangus angan-angannya.
”Siapa laki-laki yang mencuri hatimu itu, Pitaloka? Kau harus
jujur kepada ayah dan ibumu. Kami berhak mengetahui siapa orang itu
karena kau tidak boleh menentukan nasibmu sendiri. Kau bukan hanya
milikmu, kaumilik Sunda Galuh. Kau tidak boleh seenaknya seperti itu,”
Permaisuri melanjutkan ucapannya.
Dyah Pitaloka makin bersimbah air mata. Rona wajahnya berubah
memerah seperti matanya yang juga menjadi merah ketika Sekar Kedaton
membasuhnya dengan selembar kacu.144
”Ayahanda Prabu,” kata Dyah Pitaloka mengabaikan pertanyaan
ibunya.
Permaisuri melangkah mundur untuk mengambil jarak dari anaknya.
Hyang Bunisora tak kuasa menahan debur jantungnya. Hyang Bunisora
rupanya telah sampai pada dugaan, laki-laki mana dan siapa yang telah
menyelinap meracuni keponakannya itu melalui dendang asmara.
”Pasti pelukis itu,” kata hati Mangkubumi Suradipati.
http://facebook.com/indonesiapustaka
144
Kacu, Jawa, sapu tangan
360 Gajah Mada
sekali tidak tahu bahwa tanpa diminta pun, sebenarnya telah diambil
keputusan untuk mengangkat derajat Dyah Pitaloka dari yang semula
Sekar Kedaton tanpa hak apa-apa menjadi seorang prabu putri.
Rasa penasaran Dewi Lara Linsing telah sampai pada puncaknya
dan merasa harus segera memperoleh jawaban. Retak isi dada Dewi Lara
Linsing ketika melirik anak lelakinya, ia mendapati mata Niskala Wastu
Kencana berkaca-kaca.
”Sunda Galuh berada di simpang jalan,” berkata Prabu Maharaja.
”Sunda Galuh bisa diibaratkan sedang memakan buah simalakama
dengan akibat tidak mengenakkan. Malakama itu menyebabkan jika
dimakan, ibu akan mati. Jika tidak dimakan, bapak yang mati. Pilihan
sulit itu harus diambil salah satu tanpa bisa dihindari. Majapahit saat
ini memberlakukan dua sikap berbeda sekaligus, yaitu melamar dan
mengancam. Prabu Hayam Wuruk menghendaki Dyah Pitaloka sebagai
istrinya. Di sisi yang lain, telah berulang kali, Gajah Mada mengancam
Sunda Galuh. Sunda Galuh diminta untuk segera mengambil sikap,
memilih satu dari dua pilihan, menyatakan bersedia atau meneriakkan
kata tidak sudi. Menghadapi keadaan yang demikian itu, menaikkan
derajat Dyah Pitaloka menjadi prabu putri akan menyelamatkan martabat
Sunda Galuh. Jika Sunda Galuh harus menyatu dengan Majapahit, biarlah
Sunda Galuh lenyap tak ada jejaknya lewat Dyah Pitaloka Citraresmi yang
seorang prabu putri melebur menjadi istri Hayam Wuruk yang seorang
raja. Apa pun bentuk Sunda Galuh kelak, yang akan menjadi raja adalah
keturunanku, keturunan Dyah Pitaloka.”
Dyah Pitaloka pucat pasi. Ia sama sekali tidak mengira, ayahnya
akan memenuhi permintaannya tanpa harus melalui tarik ulur sebuah
perdebatan. Dyah Pitaloka Citraresmi tiba-tiba merasa melayang,
terapung di atas pertanyaan, layakkah ia menerima keputusan itu?
http://facebook.com/indonesiapustaka
42
B
http://facebook.com/indonesiapustaka
”Kembali aku minta waktu lebih dulu, Kisanak para tamu semua.
Sebagai orang tua dari calon temanten perempuan, aku berkeinginan
145
Sedahan, Jawa, undangan
146
Ngundhuh mantu, Jawa, pesta perkawinan yang diselenggarakan pihak keluarga pengantin pria setelah
lebih dulu acara pesta digelar keluarga pengantin perempuan
Sanga Turangga Paksowani 367
147
Lengser keprabon, Jawa, mundur dari kekuasaan, turun takhta
368 Gajah Mada
43
P embicaraan dengan wajah-wajah tampak membeku terjadi di
http://facebook.com/indonesiapustaka
”Jika perang terjadi, istana ini akan hangus. Sunda Galuh akan
terkubur dalam genangan air mata dan darah. Akan banyak orang yang
menangis karena kehilangan keluarganya, tangis ibu yang kehilangan
anaknya, tangis istri yang tak lagi bertemu suaminya, tangis bocah yang
kehilangan ayahnya. Bencana mengerikan macam itu harus dihindari.
Sanga Turangga Paksowani 373
Aku berterima kasih kepada kalian semua yang tersinggung dan tak
bisa menerima ancaman Majapahit. Akan tetapi, aku minta kalian
memahami keadaan yang sedang kalian hadapi. Lamaran yang kita
terima, keinginan Prabu Hayam Wuruk untuk mengawini anakku dan
menempatkannya sebagai permaisuri, itulah celah yang kita harapkan
bisa menyelamatkan Sunda Galuh dari nista penghinaan,” ucap Prabu
Maharaja.
Hampir semua orang yang hadir di Bumi Kencana itu tidak paham
pada keputusan yang diambil rajanya.
”Aku menatap jauh ke depan,” kata Prabu Maharaja. ”Jika Dyah
Pitaloka bersuamikan Prabu Hayam Wuruk, pada dasarnya itu adalah
penyatuan dua keluarga, yaitu keluargaku, keluarga Linggabuana,
dengan keluarga mantan Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani. Pemahaman yang demikian berlaku pula bagi kalian.
Jika terjadi perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan, pada
dasarnya merupakan penyatuan dua keluarga, pihak mempelai pria dan
pihak mempelai wanita. Aku adalah Raja Sunda Galuh dan besanku
adalah mantan Prabu Putri Majapahit. Perkawinan antara anakku dan
Prabu Hayam Wuruk juga memiliki semangat yang sama, yaitu penyatuan
dua negara, Sunda Galuh dan Majapahit.”
Tidak seorang pun yang tidak menyimak apa yang disampaikan
Prabu Maharaja. Semua menunggu Prabu Maharaja Linggabuana
menyelesaikan kalimatnya.
Prabu Maharaja Linggabuana menyempatkan menarik napas
sebelum melanjutkan, ”Perkawinan Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka
itulah celah yang bisa kita gunakan untuk menyelamatkan Sunda Galuh.
Dengan menempatkan Dyah Pitaloka sebagai Raja Sunda, derajat temanten
telah seimbang. Jika Gajah Mada atau siapa pun berniat memaksakan
http://facebook.com/indonesiapustaka
Majapahit di Jawa? Siapa orang Sunda Galuh yang tidak ikhlas negerinya
diperintah keturunan Pitaloka?”
Para perwira prajurit dan pejabat istana yang hadir di Bumi Kencana
itu saling pandang. Kini, mereka merasa bisa memahami keputusan yang
diambil Prabu Maharaja Linggabuana.
Rangga Kaweni mengangkat tangannya.
”Bagaimana dengan Putra Mahkota Pangeran Pati Niskala Wastu
Kencana?” tanya Rangga Kaweni.
Tarikan napas amat panjang dilakukan Prabu Maharaja.
”Kelak, jika Dyah Pitaloka telah menjadi seorang permaisuri di
Majapahit, bisa saja Dyah Pitaloka mengembalikan kekuasaan kepada
adiknya. Atau, Niskala akan menyelanggarakan pemerintahan di Sunda
Galuh mewakili kakaknya,” kata Prabu Maharaja.
Tak seorang pun yang tidak sependapat dengan rajanya. Akan tetapi,
masih tetap ada yang menjadi ganjalan. Panji Melong berdiri. Melihat
itu, Prabu Maharaja mengangguk.
”Silakan,” kata Maharaja Linggabuana.
”Soal penyelenggaraan perkawinan yang dilakukan Majapahit
lebih dulu, mengapa tidak menggunakan tata cara yang lazim berlaku?
Mestinya, Baginda yang menggelar upacara mantu. Setelah itu, barulah
temanten berdua diantar ke Majapahit.”
Prabu Maharaja Linggabuana tidak segera menjawab. Namun,
disempatkannya merenung lebih dulu. Sejenak setelah itu, barulah
Maharaja Linggabuana berbicara, ”Aku tidak akan berburuk sangka
kepada besanku, kecuali jika aku berhadapan dengan Mahapatih Gajah
Mada. Ibu Suri Sri Gitarja Tunggadewi berencana menyelenggarakan
http://facebook.com/indonesiapustaka
44
M alam terasa dingin, tak sebagaimana hari-hari biasanya.
Namun, sungguh terasa amat gerah bagi Dyah Pitaloka Citraresmi
ketika di hadapannya berdiri Hyang Bunisora dengan tatapan mata
penuh selidik.
”Jawablah dengan jujur, Pitaloka,” kata Hyang Bunisora dengan
suara sejuk. ”Jika benar kecurigaan ibumu, saat ini hatimu telah terisi
oleh seseorang, siapa orang itu?”
Dyah Pitaloka menggeleng. Meski lemah, terasa tegas gelengan
itu.
”Tidak ada siapa pun dalam hatiku, Paman,” jawab Dyah Pitaloka.
”Mohon Paman jangan menyudutkan aku untuk mengakui sesuatu yang
tidak pernah ada atau tak pernah aku lakukan.”
Hyang Bunisora memerlukan waktu sedikit lama untuk mengunyah
jawaban itu. Pandangan Hyang Bunisora dengan blak-blakan menyiratkan
bahwa ia tidak percaya pada apa yang diucapkan Dyah Pitaloka.
”Jika memang benar tidak ada orang yang telah menempati hatimu,
mengapa kau merasa keberatan dengan lamaran itu?” kejar Hyang
Bunisora
Dyah Pitaloka mengisi paru-parunya sampai penuh. Pertanyaan
itu mudah sekaligus sulit untuk dijawab. Jika Dyah Pitaloka menjawab,
bagaimana mungkin ia bisa menerima lamaran orang yang belum pernah
dilihatnya, belum diketahui bagaimana wajahnya, tampan dan buruknya,
http://facebook.com/indonesiapustaka
”Bagi Paman dan bagi Prabu, bukankah yang penting adalah aku
telah menerima lamaran itu? Jadi, untuk apa Paman masih mengejar siapa
orang yang mendahului mencuri hatiku,” balas Dyah Pitaloka.
Hyang Bunisora terbungkam mulutnya. Namun, bukan berarti surut
niatnya mencecar Dyah Pitaloka dengan pertanyaan yang lebih tajam.
”Benar apa yang dikatakan Ihai Nirasari? Pasti pelukis itu, bukan?”
kejar Hyang Bunisora.
Dyah Pitaloka yang menunduk, kemudian menengadah. Agak lama,
Dyah Pitaloka memandang wajah pamannya dengan tatapan mata agak
tajam dan berbau sinis.
”Pasti dia,” ucap Hyang Bunisora.
Dyah Pitaloka merasa amat tidak senang, ”Paman akan melakukan
apa kepadanya?”
Hyang Bunisora Mangkubumi Suradipati mendekat, lalu berkata,
”Aku akan mengingatkannya agar jangan mengganggumu. Aku akan
menanyai apa derajatnya sehingga berani-beraninya menyentuh permukaan
hatimu. Atas kesalahannya yang lancang telah mengganggumu, barangkali
ia harus mempersiapkan diri menghadapi hukuman.”
Dyah Pitaloka yang semula duduk, lalu bangkit.
”Paman jangan coba-coba lakukan itu,” ucap Pitaloka.
”Kenapa?” tanya Suradipati.
”Jika Paman melakukannya, aku akan mengubah keputusanku. Aku
tidak akan bersedia menjalani perkawinan itu. Andaikata kedudukanku
dilorot dari Sekar Kedaton menjadi orang biasa, aku tidak keberatan.
Dihukum mati pun tidak masalah, bahkan andai Majapahit menggempur
http://facebook.com/indonesiapustaka
ke atas dinding. Di luar dinding, rupanya telah ada sebuah tangga yang
membawa Dyah Pitaloka turun di bangsal para abdi pria.
Dengan mengendap-endap, Dyah Pitaloka Citraresmi menyusur
dinding panjang itu sambil menjaga kemungkinan berpapasan dengan
prajurit yang melakukan tugas. Dyah Pitaloka akhirnya sampai di
bangsal pustaka. Di bangunan khusus itu, tersimpan berbagai benda
pustaka, penuh tumpukan rontal yang mencatat ratusan kakawin. Selain
benda-benda pustaka, di tempat itu juga terdapat dua lembar lukisan
yang belum tuntas. Itulah lukisan dirinya dalam keadaan duduk di atas
batu berlatar air terjun yang memuncratkan air ke mana-mana. Lukisan
kedua juga lukisan dirinya yang seolah baru saja keluar dari air laut yang
menggemuruh.
Sebuah lampu ublik kecil menerangi tempat itu. Menggunakan
kunci yang ia bawa, tanpa setahu siapa pun, Dyah Pitaloka Citraresmi
memasukinya. Dyah Pitaloka Citraresmi duduk di sebuah kursi sambil
menenangkan diri. Tak seperti pengalaman pertama saat menyelinap ke
bangsal pustaka itu, ketika itu jantungnya nyaris putus. Untuk selanjutnya,
Sekar Kedaton mampu menyelinap ke bangsal itu dengan lebih tenang.
Andaikata ada prajurit yang memergokinya, Dyah Pitaloka siap berkilah
sedang membaca kakawin atau sedang ingin menyendiri di tempat itu.
Tidak berapa lama setelah itu, orang yang diharap akan datang
menemuinya telah menyusul.
”Kakang,” Dyah Pitaloka menghambur kepada lelaki yang datang
menyusul itu.
Tak ada yang perlu dibicarakan. Dyah Pitaloka membagikan sesak
yang tidak tertahankan kepada lelaki di depannya.
”Aku sudah mendengar semua,” bisik Saniscara.
http://facebook.com/indonesiapustaka
sampai akhirnya tangis yang ditahan agar tidak terdengar keras itu
mereda.
”Dengar, Citra,” bisik Saniscara. ”Aku bangga denganmu.
Aku merasa bangga karena memperoleh kesempatan kaucintai dan
mendapatkan kenyataan cintaku kepadamu tidak bertepuk sebelah
Sanga Turangga Paksowani 381
tangan. Namun, kini tiba saatnya untuk bangun dari mimpi yang semu,
lalu kembali berpijak pada kenyataan. Kuminta jalanilah hidupmu dengan
bahagia. Aku akan menjadi hantu yang melindungimu. Aku tak mungkin
bisa menjadi suamimu, Dyah Pitaloka kekasihku. Aku tidak memiliki
syarat-syarat untuk menjadi suami seorang sekar kedaton sebuah negeri.
Aku bukan seorang raja. Aku hanya berasal dari kasta yang terendah dari
semua derajat kasta yang ada.”
Dyah Pitaloka merasa lehernya bagai tercekik.
”Tidak,” jawab Dyah Pitaloka sambil mengambil jarak. ”Aku ingin
hidup bersama denganmu. Bawalah aku pergi jauh, Kakang Saniscara.
Bawalah aku ke tempat yang di sana tak ada orang yang mengenal
kita.”
Suasana hening menyelinap di bangsal pustaka itu ketika Saniscara
memberi ruang kepada kekasihnya untuk menenangkan diri.
”Tidak boleh, Citra,” jawab Saniscara. ”Sunda Galuh akan berada
dalam bayang-bayang perang diserbu Majapahit jika kau menghindari
perkawinan yang telah disepakati bersama itu.”
Pandangan Dyah Pitaloka jatuh ke titik pusat cahaya lampu ublik.
Semula, titik api itu kelihatan jelas. Namun, seiring dengan kelopak
matanya yang kembali menggenang, titik api itu menjadi tidak jelas,
menjadi makin kabur dan makin kabur. Titik nyala api itu kembali jelas
ketika dengan telapak tangannya, Dyah Pitaloka mengusap matanya.
Sebuah gagasan mendadak mletik dari benak Sekar Kedaton. Dyah
Pitaloka Citraresmi mendekat dengan sikap dan tindakan yang segera
menumbuhkan tanda tanya. Saniscara mencuatkan alis. Saniscara bahkan
melangkah mundur. Namun, Saniscara tidak bisa lagi melangkah mundur
karena di belakangnya terdapat sebuah dinding.
http://facebook.com/indonesiapustaka
ketika dengan sangat gugup, Dyah Pitaloka bertindak lebih jauh. Dalam
keadaan yang demikian, Dyah Pitaloka tidak lagi berpikir soal adanya
batas yang boleh dan yang tidak boleh, yang patut dilakukan dan yang
belum pantas.
”Tunggu, tunggu,” cegah Saniscara. ”Apa yang mau kaulakukan?”
Dyah Pitaloka berbisik, suaranya nyata-nyata terdengar mesra.
”Ayo, kita lakukan,” jawab Dyah Pitaloka amat gugup. ”Ayo, kita
lakukan, Kakang Saniscara kekasihku. Kau harus menjamah tubuhku.
Kau harus menodaiku. Aku harus mempersembahkan yang aku
miliki kepadamu dan aku siap untuk menghadapi pahitnya kehidupan
macam neraka sekalipun. Ayo, kita lakukan suamiku. Aku ingin kelak
bisa menertawakan Majapahit yang tidak menyadari, raja berikutnya
bukanlah keturunan mereka, bukan keturunan Prabu Hayam Wuruk.
Akan tetapi, sepenuhnya keturunanku dan keturunanmu. Buah cinta
kita,”
Saniscara terhenyak amat kaget. Makin membuncah bingung yang
dialaminya dan memaksanya kembali melangkah mundur bersandar
dinding. Saniscara mendorong Dyah Pitaloka supaya terdapat jarak.
Sejujurnya, Saniscara merasa sangat takjub dan tergoda menghadapi
tawaran luar biasa itu.
Namun, kesadaran dan akal waras Saniscara masih mampu
mencegahnya untuk tidak menerima persembahan yang tidak mungkin
diukur dengan nilai apa pun itu. Saniscara mengangkat tangan berusaha
mencegah Dyah Pitaloka bertindak lebih jauh. Saniscara juga mencegah
diri sendiri agar jangan sampai kehilangan kendali.
”Tidak boleh,” ucap Saniscara tegas. ”Aku tidak boleh melakukan
itu.”
http://facebook.com/indonesiapustaka
saling mencintai itu pula muncul keinginan bawah sadar atau sepenuh
sadar untuk nantinya melakukan hubungan badani dengan orang yang
sungguh-sungguh dicintai saat telah sah menjadi suami istri. Lebih
sempurna dan indah lagi jika itu dilakukan setelah resmi terikat dalam
bingkai keluarga. Akan tetapi, tidak jarang pula tuntutan atas nama cinta
itu mendahului dan dilakukan sebelum saatnya tiba.
Dalam mencintai ada rasa keakuan yang kuat untuk menjadi satu-
satunya pemilik dengan tidak memberi kesempatan kepada orang lain
merampas atau terlibat masuk terlalu jauh. Itu sebabnya, Dyah Pitaloka
ketakutan ketika di sela asmaranya dengan Saniscara, tiba-tiba muncul
Hayam Wuruk. Dalam benak Dyah Pitaloka, muncul kekalutan luar biasa.
Selanjutnya, di benak Dyah Pitaloka muncul perasaan hanya Saniscara
seorang yang berhak atas tubuhnya, berhak menjamah menodai dirinya
karena kepadanya ia meletakkan cinta, bukan kepada Hayam Wuruk.
Dorongan itulah yang melatari keputusan yang diambil Pitaloka.
”Dengan perkawinanku nanti,” Dyah Pitaloka berkata, ”aku sadar
akan memasuki kehidupan seperti neraka. Aku akan memasuki dunia
yang tidak aku kehendaki, tetapi tidak bisa menghindar. Aku akan
mengering di tempat itu dan mati. Maka, berilah aku kekuatan, Kakang
Saniscara. Aku ingin memiliki keturunan darimu. Aku jamin, anakmu
yang kelak akan duduk di dampar istana Majapahit. Aku amat ingin
anakmu yang kelak menjadi raja di bumi Wilwatikta.”
Dyah Pitaloka tak mampu mencegah air matanya yang membanjir.
”Tidak!” Saniscara menggeleng tegas. ”Kita tak boleh melakukan itu.
Sungguh sebuah dosa besar jika perbuatan itu kita lakukan. Kembalikan
kesadaranmu, Dyah Pitaloka. Jangan sudutkan aku ke pilihan yang
membingungkan ini.”
http://facebook.com/indonesiapustaka
orang itu pasti akan memergoki mereka. Sungguh akan menjadi bencana
mengerikan jika sampai ia tertangkap basah hanya berdua dengan Dyah
Pitaloka.
148
Talok, di Sunda disebut kersen, di Surabaya pohon berbuah merah kecil ini disebut keres
Sanga Turangga Paksowani 385
Gajah Enggon.
”Namun, juga tidak baik membiarkan Prabu Hayam Wuruk
mengawini wanita yang ternyata menjalin hubungan asmara dengan lelaki
lain. Prabu Hayam Wuruk akan mendapat apa?” tambah Laksamana
Nala.
388 Gajah Mada
semua itu. Aku tidak ingin kau menanggung beban yang mestinya bukan
tanggung jawabmu. Kau tak boleh tinggal. Biarlah Laksamana Nala yang
mengambil alih dengan meninggalkan beberapa prajurit sandinya.”
149
Digelar tindak dan gerak pelacakan, digelar operasi
Sanga Turangga Paksowani 389
45
Ada beberapa benda berserakan di ruang yang menjadi bagian dari
bangsal para abdi istana Surawisesa itu. Ada cermin retak, tetapi masih
bisa memantulkan wajah, buntalan kain berisi pakaian, tongkat panjang,
dan beberapa rancang gambar lukisan serta lukisan yang telah jadi.
Saniscara memandang kaca retak bersandar dinding di depannya.
Dengan cara itulah, Saniscara mencermati wajahnya sendiri, wajah yang
tampan meski telah berusia empat puluh tahun. Dengan kegelisahan yang
tidak terukur, Saniscara memandang salah satu lukisannya. Lukisan itu
sangat cantik dan itulah lukisan yang paling disukainya.
Dyah Pitaloka Citraresmi ia lukis sedang berbaring dengan kepala
beralaskan tangan kanan sambil tersenyum amat cantik.
http://facebook.com/indonesiapustaka
”Ya,” jawab Riung Sedatu siap. ”Aku ikut. Bantulah aku untuk kembali
ke timur agar aku bisa menemukan jejak masa laluku yang hilang.”
Sanga Turangga Paksowani 391
46
D yah Pitaloka Citraresmi gundah karena apa yang diinginkan
tidak terwujud. Sejak semalam hingga pagi kemudian datang, gadis itu
tidak mampu memejamkan mata. Dyah Pitaloka berdiam diri di kamar. Ia
tidak mau keluar ketika diminta ayahnya untuk ikut melepas rombongan
tamu Majapahit yang akan kembali.
Dari jendela yang terbuka, Dyah Pitaloka mengamati alun-alun.
Tampak di sana, para tamu dari Majapahit telah berada di atas kuda
masing-masing. Rombongan tamu itu akan bergerak lurus ke utara. Atas
pesan Prabu Hayam Wuruk saat rombongan itu berangkat, kereta kuda
yang dibawa ke Sunda Galuh tak dibawa pulang. Kereta itu ditinggalkan
di Sunda Galuh dengan harapan bisa digunakan Dyah Pitaloka atau
Prabu Maharaja Linggabuana.
Dyah Pitaloka Citraresmi menoleh ketika terdengar suara batuk
dari belakangnya. Nenden Pritaya berdiri dengan sebuah benda yang
dibungkus kain berwarna merah.
”Apa itu?” tanya Dyah Pitaloka.
Nenden Pritaya maju selangkah.
”Hamba, Tuan Putri,” kata Nenden Pritaya. ”Hamba menerima
titipan benda ini dari Saniscara. Hamba diminta menyerahkan kepada
Tuan Putri.”
Gugup Dyah Pitaloka.
”Kakang Saniscara?” gumam Dyah Pitaloka.
http://facebook.com/indonesiapustaka
150
Kujang, Sunda, nama senjata yang menjadi kebanggaan orang Parahyangan, sebagaimana celurit
kebanggaan orang Madura, dan rencong senjata kebanggaan orang Aceh
394 Gajah Mada
47
S ebagaimana telah menjadi keputusannya, Pradhabasu tidak
ikut pulang bersama rombongan yang dipimpin Patih Maduratna.
Atas kehendak sendiri, Pradhabasu masih tinggal di sekitar kotaraja.
Menggunakan kemampuan sebagai telik sandi, Pradhabasu telah berniat
masuk kembali ke istana Sunda Galuh. Ia bertekad untuk menemukan
sasarannya, orang berkemampuan luar biasa dalam melukis. Orang
itu diyakini mempunyai hubungan pribadi dengan Dyah Pitaloka
Citraresmi. Jika hubungan asmara antara mereka itu melampaui batas,
akan menempatkan Prabu Hayam Wuruk sebagai orang yang terhina.
Di sebuah hutan yang tidak jauh dari kotaraja, Pradhabasu menunggu
datangnya malam sambil menganyam angan-angan dalam bentuk
pertanyaan, di mana gerangan anak lelakinya berada? Telah beberapa
bulan lamanya, Prajaka tak bersamanya, hilang jejaknya bagai ditelan
bumi. Untuk keperluan kembali ke Majapahit jika Pradhabasu telah
selesai melaksanakan tugasnya, Laksamana Nala meninggalkan seekor
kuda. Pradhabasu segera akrab dengan kuda itu.
Petang membayang ketika Pradhabasu melihat keanehan.
”Banyak sekali,” ucap Pradhabasu.
Saat menengadah, Pradhabasu menyaksikan kalong-kalong dalam
ukuran besar terbang tinggi sekali.
Kalong-kalong itu tentu ribuan jumlahnya, bergerak dari utara
ke selatan. Sayang, binatang bersayap lebar itu terbang amat tinggi.
Andaikata para kalong itu terbang rendah, tentu akan menjadi tontonan
http://facebook.com/indonesiapustaka
Pradhabasu.
Bocah yang belum diketahui namanya itu mengangguk.
”Aku tahu banyak, di antaranya pelukis yang kaucari itu sudah
pergi meninggalkan Dyah Pitaloka yang menangisi nasibnya. Kalau
396 Gajah Mada
aneh itu. Pradhabasu mengira, bocah itu menghilang begitu saja. Cukup
lama Pradhabasu menikmati rasa bingungnya. Suasana di tempat itu pun
menjadi sepi. Yang tertinggal hanya suara binatang malam yang saling
bersahutan. Suara hewan itu berbeda-beda, tetapi saling melengkapi
antara satu dengan yang lain.
Sanga Turangga Paksowani 397
151
Memet, Jawa, penuh detail
Sanga Turangga Paksowani 399
48
P elabuhan Losari menjadi lebih ramai. Puluhan kapal telah
disiapkan untuk menempuh perjalanan panjang ke Majapahit. Kapal
yang paling besar dihias indah. Di kapal itulah Maharaja Linggabuana,
Dewi Lara Linsing, dan Dyah Pitaloka berada. Penampilan Maharaja
http://facebook.com/indonesiapustaka
152
Rikma, Jawa halus, rikma adalah kata lain dari rambut dalam tingkat krama inggil, bahasa Jawa halus
atau tingkat tinggi
Sanga Turangga Paksowani 401
berukuran besar dan kecil itu terus melaju ke arah timur dan terus melaju
ketika esok harinya tiba dengan matahari pagi menyapa. Perjalanan kapal-
kapal dengan bendera Sunda Galuh itu menarik perhatian penduduk
yang tinggal di pantai.
Seorang bocah melonjak-lonjak girang melihat rombongan itu.
Sanga Turangga Paksowani 403
49
D i sebuah rumah besar yang terletak berimpitan dengan gapura
tapal batas kotaraja, Ma Panji Elam duduk dikelilingi tiga orang lain.
Mereka adalah Pu Kapasa, Pu Kapat, dan Pu Menur.
”Jadi, kalian belum berbicara dengan Mahapatih?” tanya Pu
Kapasa.
Arya Rajaparakrama Ma Panji Elam dan Arya Wangsaprana Pu
Menur bersamaan menggeleng.
”Menurut Gajah Sagara yang menjaga rumahnya,” kata Ma Panji
Elam, ”Kakang Mahapatih Gajah Mada sudah dua hari dua malam
http://facebook.com/indonesiapustaka
melakukan puasa pati geni dan tidak keluar dari sanggar pamujan.
Katanya, Kakang Mahapatih Gajah Mada berencana melakukan puasa
pati geni itu selama lima hari lima malam. Agak mengherankan juga, tak
biasanya Mahapatih mengambil puasa lebih dari dua hari. Namun, kita
justru bisa memanfaatkan ini untuk mempermainkan keadaan. Kita bisa
404 Gajah Mada
di mana harus duduk. Dua buah kursi di luar Bale Witana yang tertutup
tirai disediakan untuk dua putri cantik kembang taman Majapahit itu.
Ibu Suri Sri Gitrarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani
memisahkan diri dari suaminya dan duduk berdampingan dengan Dyah
Wiyat Rajadewi Maharajasa yang juga memisahkan diri dari suaminya.
Sanga Turangga Paksowani 407
”Hamba, Tuan Putri Ibu Suri,” jawab Arya Sentong. ”Hamba harus
menyampaikan sebuah pesan penting yang hamba terima dari orang
Sunda. Utusan dari keluarga calon mempelai wanita mengatakan bahwa
karena ada banyak hal yang harus diselesaikan dan disiapkan, kehadiran
rombongan dari Sunda itu mundur tujuh hari,” ucap Arya Sentong.
410 Gajah Mada
50
S etelah menempuh perjalanan panjang dan tidak ada penyambutan
sama sekali di pelabuhan Ujung Galuh, sebagaimana yang dijanjikan Patih
Maduratna, Maharaja Linggabuana merasa tidak nyaman. Namun, Raja
Sunda Galuh yang telah menyerahkan kekuasaan kepada anak gadisnya
itu tidak berburuk sangka. Ajakan berbesanan yang diterimanya dari
Majapahit pastilah dilandasi dengan kesungguhan hati, tak mungkin ada
perubahan, tak mungkin ada pelecehan.
Maharaja Linggabuana terheran-heran mendapati tidak ada
penyambutan sama sekali, bahkan hingga rombongan dari Sunda
Galuh telah melintasi batas kotaraja dan makin mendekati lapangan
Bubat. Matahari sore hari barangkali kaget melihat rombongan besar
yang baru datang itu. Lapangan Bubat tampak sepi. Yang ada hanya
ratusan tukang kayu yang sedang menuntaskan pekerjaan membuat
bangunan pesanggrahan dalam ukuran cukup besar yang nantinya akan
dipergunakan sebagai tempat menginap para raja dari negara bawahan,
juga sebagai tempat peristirahatan rombongan tamu dari Sunda Galuh.
Kebetulan, di pinggir lapangan Bubat yang luas sedang melintas dua
orang prajurit. Mereka adalah Kuda Swabaya dan Gajah Sagara. Betapa
terkejut dua prajurit muda itu ketika melihat kedatangan rombongan
dari Sunda Galuh.
”Orang-orang dari Sunda,” meletup Kuda Swabaya.
Kuda Swabaya bergegas memacu kuda amat kencang untuk
mendatangi rombongan tamu yang baru datang itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka
51
http://facebook.com/indonesiapustaka
gugup ketika semua orang menoleh kepadanya. Gajah Mada pun dengan
mudah dapat mengetahui bahwa orang yang menyampaikan berita palsu
itu Arya Sentong.
”Jangan mengarang cerita baru di atas kebohongan yang telanjur
terbentuk saat kau berhadapan denganku, Arya Sentong. Aku bisa
422 Gajah Mada
pada permintaanku yang telah kukirim berulang kali. Aku tetap meminta
agar Sunda segera menyatakan diri bergabung dengan Majapahit karena
ke depan, masalah yang dihadapi Sunda Galuh sama dengan yang akan
hadapi Majapahit. Sampaikan kepada rajamu, hari inilah saatnya untuk
menentukan sikap, akan tetap berdiri sendiri atau tunduk pada kehendak
kelompok yang lebih besar. Tidak ada tawar-menawar lagi. Kehadiran
temanten dari Sunda Galuh kali ini sekaligus merupakan pernyataan bahwa
Sunda Galuh bersedia tunduk menjadi bagian dari Majapahit.”
Tenang sekali Mahapatih Gajah Mada dalam mengucapkan
rangkaian kalimat itu. Sebaliknya, menjanjikan guncangan luar biasa di
hati Temenggung Larang Agung dan Lurah Prajurit Rangga Anepaken.
Sulit menebak raut wajah Gajah Mada. Sulit menebak, tahukah
Gajah Mada ucapannya itu melukai perasaan orang?
”Ada lagi yang perlu disampaikan, Kisanak Temenggung Larang
Agung?” Gajah Mada kembali bertanya.
Betapapun sulitnya, betapapun wajahnya terasa tebal melebihi
tebalnya dinding, Temenggung Larang Agung mampu menyembunyikan
isi dadanya yang sangat bergolak.
”Tidak ada, Mahapatih. Kami mohon diri,” jawab Temenggung
Larang Agung.
”Silakan,” kata Gajah Mada.
Temenggung Larang Agung dan Lurah Prajurit Rangga Anepaken
yang telah berada di atas kuda masih sempat melihat kejadian susulan
yang nyaris tidak berjarak waktu. Nasib sial harus diterima Sang Arya
Rajaparakrama Ma Panji Elam dan Sang Arya Patipati Pu Kapat. Mereka
menerima ayunan tangan raksasa berkekuatan penuh dari tangan kanan
http://facebook.com/indonesiapustaka
anak buahnya dianggapnya hal yang keterlaluan. Tak secuil pun Gajah
Mada punya niat menggagalkan perkawinan Prabu Hayam Wuruk.
Sanga Turangga Paksowani 425
52
”A ku tetap bersikukuh pada permintaanku yang telah kukirim
berulang kali. Aku tetap meminta agar Sunda segera menyatakan diri
bergabung dengan Majapahit karena masalah yang akan dihadapi Sunda
Galuh sama dengan yang harus dihadapi Majapahit. Sampaikan kepada
rajamu, hari inilah saatnya untuk menentukan sikap, akan tetap berdiri
sendiri atau tunduk pada kehendak kelompok yang lebih besar. Tidak
ada tawar-menawar lagi. Kehadiran temanten dari Sunda Galuh kali ini
sekaligus merupakan pernyataan bahwa Sunda Galuh bersedia tunduk
menjadi bagian dari Majapahit.”
Pengulangan ucapan Gajah Mada yang disampaikan Temenggung
Larang Agung itu memaksa udara ikut berhenti bergerak dan menyihir
orang-orang Sunda Galuh untuk terjerembab dalam kubangan perasaan
sewarna, marah! Serentak, para pengiring Maharaja Linggabuana
mengambil sikap. Semua menyingsingkan kain wiron153 dan mengubah
letak kujang ke pinggang masing-masing serta melepas tali pengikat
pedang untuk memudahkan ketika melolos pedang itu dari sarungnya.
”Untuk apa kita jauh-jauh datang ke tempat ini jika hanya untuk
dinistakan?”
Teriakan itu terdengar dari arah belakang. Di sana, seseorang terlihat
mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Ketika Maharaja Linggabuana
mengamati, teriakan itu berasal dari mulut Orang Siring.
”Siap untuk mati!” terdengar lagi teriakan dari arah lain.
http://facebook.com/indonesiapustaka
153
Wiron, Jawa, di masa silam, lelaki juga menggunakan kain panjang (tidak bercelana panjang sebagaimana
sekarang ). Wiron adalah lipatan kain itu.
426 Gajah Mada
menggelegar.
Orang Saya telah melolos senjatanya yang khas, sebuah cambuk
dengan jangkauan panjang, tetapi mematikan karena pada ujungnya
terdapat sebuah bandul besi dengan ukuran separuh ukuran kepalan
tangan. Jika ayunan cambuk itu mengenai kepala, pasti pecah berantakan.
428 Gajah Mada
apalagi kami mengira Sri Baginda baru akan datang tujuh hari lagi,” ucap
Brahmana Smaranatha.
Agaknya, upaya pencegahan agar kesalahpahaman tidak berlanjut
yang dilakukan para pemuka agama itu harus berbenturan dengan
apa yang menjadi kehendak Mahapatih Gajah Mada. Terlihat itu
dari munculnya seorang penunggang kuda yang memacu kudanya
dengan kencang sambil tangan kirinya mengibarkan bendera lambang
kepatihan.
”Aku Patih Teteg!” teriak pembawa bendera itu ketika telah dekat.
”Atas nama Mahapatih Gajah Mada, aku ingin memastikan bagaimana
sikap Sunda Galuh. Jika Sunda Galuh belum menyatakan tunduk dan
menjadi bagian dari Majapahit, Sunda Galuh tidak diizinkan masuk ke
istana Majapahit.”
Brahmana Smaranatha merasakan desir amat tajam di dadanya.
Perasaan senada juga bergolak dengan mendadak di hati Dang Acarya
Nadendra dan Dang Acarya Dharmaraja. Mereka kecewa dan amat
menyayangkan sikap Gajah Mada itu.
Selanjutnya, perhatian kembali tertuju kepada Maharaja Linggabuana.
Maharaja Linggabuana sendiri sudah pasrah, tak akan menolak
secuil pun permintaan Gajah Mada itu, meski ia telah terhina bukan
kepalang.
Akan tetapi, Dyah Pitaloka yang duduk di sebelah ibunya di dalam
kereta, tiba-tiba turun dan melangkah maju. Dyah Pitaloka menatap
wajah utusan bernama Patih Teteg itu dengan pandangan mata berkilat-
kilat. Lalu, Dyah Pitaloka mendekati Temenggung Larang Agung yang
membuat temenggung itu bingung. Apalagi, ketika Dyah Pitaloka dengan
isyarat tangannya meminta Temenggung Larang Agung turun dari
http://facebook.com/indonesiapustaka
154
Campuh, Jawa, seru dan kacau. Campuh hanya melekat pada kata perang
Sanga Turangga Paksowani 433
53
T umpukan mayat dan sebagian yang menyebar di tempat itu
mengundang tanya, mengapa saling bunuh yang sedemikian bisa terjadi?
Puluhan burung gagak dan burung-burung pemakan bangkai yang
terbang tak seberapa tinggi, merasa tak sabar ingin segera mendarat dan
meneguk genangan darah untuk memuaskan dahaga yang mereka alami.
Jauh tinggi di ujung langit, paksi cataka membentangkan sayap dengan
segenap rasa heran.
Para rajawali memang jenis burung yang ganas. Namun, tak pernah
sekalipun mereka saling bantai dengan sesamanya. Sementara itu, pada
jarak yang cukup dekat, puluhan anjing yang keluar dari hutan merasa
gelisah. Mereka ingin segera menghambur untuk berpesta. Namun,
para anjing itu sadar atas adanya bahaya. Akibat ketidaksabarannya,
seekor anjing ambruk disambar anak panah. Kemalangan yang menimpa
temannya itu menjadi contoh bagi para anjing yang lain.
Para anjing itu berpikir, mereka harus menunggu datangnya malam
untuk bisa menyantap salah satu saja dari tubuh-tubuh teronggok tak
lagi bernyawa dan tak lagi berharga itu. Jantungnya, hatinya, atau semua
isi perutnya tentu merupakan bagian yang lezat untuk dimakan.
Namun, tidak sebagaimana cataka, para anjing liar itu tidak perlu
bertanya, untuk apa manusia saling bunuh? Burung cataka di langit itu
penasaran, ada apa dengan para manusia itu? Sayang, para cataka yang
memiliki bentangan sayap amat lebar itu tidak mengerti bahwa binatang
bernama manusia itu tak cukup puas sebatas kenyang perutnya. Tak satu
http://facebook.com/indonesiapustaka
pun dari para cataka, kalangkyang, dan gagak serta jenis burung pemangsa
bangkai yang terbang melayang itu yang tahu bahwa ada jenis nafsu yang
tak berbatas yang menjadi sumber kesanggupan manusia untuk saling
berbunuh. Luas dunia rupanya masih kalah dibandingkan luas wilayah
nafsu yang berdampingan dengan daya khayal mereka.
Sanga Turangga Paksowani 435
atas apa yang akan terjadi. Haruskah korban mati masih ditambah
seorang lagi?
Rupanya, tidak semua orang memenuhi perintah untuk menurunkan
anak panah. Seorang mantan prajurit berusia tua merasa memiliki
alasan untuk mengambil tindakan atas nama rajanya. Diam-diam, ia
Sanga Turangga Paksowani 437
amat ragu dan bagai melayang, pelepas warastra155 itu dilanda ketakutan
luar biasa, sangat takut menghadapi kenyataan paling mengerikan di
depannya.
Namun, apa yang dihadapi orang itu merupakan sesuatu yang
nyata. Maka, ketika langkah kakinya makin dekat, lelaki tua itu merasa
dirinya ambyar oleh sesal yang bukan alang kepalang. Anak panah telanjur
dilepas, sasaran telanjur menggeliat terkapar. Sungguh, anak panah itu
melesat dari kemampuan yang luar biasa, menandai betapa luar biasa
kemampuan laki-laki tua itu. Kemampuan bidiknya menjadi acuan bagi
siapa pun yang ingin belajar. Namun, kemampuan luar biasa itu telah
menjadi perantara kematian anaknya.
”Anakku!” teriak lelaki tua itu.
Hanya beberapa kejap menjelang kematiannya, tubuh tertembus
anak panah itu membuka matanya. Ia amat lega karena terobati rasa
penasarannya.
Ia memang sangat terkejut.
”Ayah?” suaranya lirih.
”Anakku!” balas orang itu sambil melempar gendewa dan membuang
semua anak panahnya.
Dengan amat gugup, amat sangat gugup, lelaki tua itu meraihnya
dengan tangan nyaris menggagas mencabut anak panah yang menancap.
Namun, untunglah masih ada akal warasnya. Jika anak panah itu dicabut,
justru bakal mempercepat kematian. Anak panah memiliki sifat seperti
pancing dengan pengait. Jika ditarik kaitnya, akan makin merobek,
menjadikan luka yang timbul akan makin parah.
Udara panas di padang Kurusetra itu mengombak. Para prajurit
berlarian mendekat untuk melihat apa yang sesungguhnya terjadi.
http://facebook.com/indonesiapustaka
terlihat angin memilin membelit apa pun. Lesus berukuran kecil itu
segera bubar karena tak berhasil mencuri perhatian.
”Akhirnya, aku ingat,” desis pemuda yang sedang sekarat itu. ”Aku
lega sekali. Aku ingat semuanya, aku tahu siapa aku, aku tahu siapa
namaku.”
Gemetar mulut lelaki tua yang melalui anak panahnya telah
membunuh anaknya itu, gemetar pula tangannya, jantungnya, dan
isi benaknya ketika menyaksikan tarikan napas yang makin berat,
makin tersengal, kemudian terpejam. Namun, laki-laki tua itu tak bisa
berbuat apa-apa. Penyesalan yang menggilas serasa meretakkan dinding
kepalanya. Laki-laki itu memejamkan mata dengan semua ototnya
bertarikan, menjadikan rahangnya kaku dan tangannya yang mengepal
keras membatu.
”Bagaimana keadaan Ibu Menur, Ayah? Pratiwi bagaimana? Aku
kangen kepadanya. Kuda Swabaya juga bagaimana, Ayah? Masakan Ibu,
aku kangen sekali masakan Ibu Menur, Ayah. Bagaimana kabar Paman
Sandan Banjir, Ayah? Apa Paman Sandan masih suka memberi kelapa?
Mengapa Paman Sandan Banjir memanggil anakmas kepadaku, Ayah?”
Pradhabasu lupa bagaimana cara bernapas. Leher anaknya yang
tercekik adalah lehernya yang juga tercekik.
Akhirnya, ketika tubuh yang terluka parah itu sampai pada batas
kemampuannya, matanya pun kehilangan cahaya. Mulutnya yang tiba-
tiba bergetar adalah upayanya untuk mengucapkan sesuatu.
”Prajaka!156 Anakku!” meledak Pradabasu dengan teriakan yang
berusaha memecah keheningan lapangan Bubat.
http://facebook.com/indonesiapustaka
156
Sebagaimana diketahui, sejak lahir, Sang Prajaka memiliki kelainan Jiwa. Ia memiliki kemampuan
menghitung cepat. Namun, Sang Prajaka juga mengalami kepribadian ganda. Dalam satu tubuhnya
tinggal dua jiwa, jiwa Sang Prajaka sendiri dan Jiwa Saniscara.
Sanga Turangga Paksowani 441
54
T idak seorang pun yang berbicara, tidak perlu ada atau janganlah
ada yang pernah bicara karena untuk apa? Nasi telah menjadi bubur, apa
yang terjadi tidak bisa diputar kembali, sudah lewat, sudah basi.
Mahapatih Gajah Mada duduk tafakur di tempatnya, di tengah ruang
wisma Ibu Suri Sri Gitarja. Matanya menghunjam ke lantai di depannya.
Gajah Mada merasa untuk apa berbicara. Lurus di depannya, Prabu
Hayam Wuruk memandangnya dengan tatapan mata berkunang-kunang.
Hayam Wuruk bingung, tak tahu bagaimana cara melampiaskan rasa
kecewanya terhadap Gajah Mada, orang yang amat diandalkan sebagai
pundak dan bahunya. Ia juga bertanya, untuk apa berbicara?
Ibu Suri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan
Ibu Suri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa apalagi. Mereka juga tidak
memiliki sisa rangkaian kalimat karena penyesalan macam apa pun,
tidak mungkin menghidupkan kembali yang telah mati, tidak mampu
membangkitkan kembali tubuh Dyah Pitaloka yang telanjur membeku
dan pasti akan melapuk. Juga untuk apa melanjutkan menghias Tatag
Rambat Bale Manguntur dengan untaian janur? Untuk apa melanjutkan
membangun tarub yang lebih besar? Kedua Ibu Suri itu juga merasa tak
tahu lagi apa gunanya berbicara.
Dan, untuk apa memerintahkan kepada para penari bedaya untuk
tetap berlatih dan berlatih menari? Haruskah geliat indah gerakan tari
itu disuguhkan kepada Prabu yang sedang dililit duka?
http://facebook.com/indonesiapustaka
http://facebook.com/indonesiapustaka
TENTANG PENULIS
main-main.
Namun, Gajah Sagara yang mengira telah mengenal istrinya
rupanya salah. Dyah Ganitri yang memberinya seorang anak itu rupanya
sosok yang tidak pernah dikenalnya, kecuali sebatas sebagai istri yang
melayaninya.
S ebuah penggambaran watak hitam-putih, telah diterjemahkan
dari Babad Tanah Jawi. Penangsang, sosok yang gila kekuasaan dan sangat
berangasan, hatinya selalu panas dan jiwanya mudah marah. Sifat itulah
yang kemudian menjadi penyebab kekalahan, bahkan kematiannya. Mas
Karebet, sosok pemimpin bijak dan berjiwa arif. Seorang tokoh yang
kemudian menjadi pemenang dalam pertarungan dengan Penangsang.
http://facebook.com/indonesiapustaka
N ovel sejrah yang mengisahkan perjalanan hidup pahlawan
nasional, Untung Surapati, sejak masa kanak-kanak sebagai budak
hingga menjadi tokoh pejuang yang gigih melawan penjajah Belanda,
http://facebook.com/indonesiapustaka
ISBN 978-602-320-678-0