Anda di halaman 1dari 466

http://facebook.

com/indonesiapustaka
http://facebook.com/indonesiapustaka

Gajah Mada
Sanga Turangga Paksowani
http://facebook.com/indonesiapustaka
Gajah Mada
Sanga Turangga Paksowani

Langit Kresna Hariadi


http://facebook.com/indonesiapustaka

TIGA SERANGKAI
SOLO
Gajah Mada
SangaTurangga Paksowani
Langit Kresna Hariadi
Editor: Sukini
Desain sampul: Hapsoro Ardianto & Annas
Penata letak isi: Nugroho Dwisantoso
Cetakan ke-1: November 2018

Penerbit Tiga Serangkai


Jln. Dr. Supomo 23 Solo
Tel. 62-271-714344, Fax. 62-271-713607
http://www.tigaserangkai.com
e-mail: tspm@tigaserangkai.co.id

Anggota IKAPI
Hariadi, Langit Kresna
Gajah Mada: Sanga Turangga Paksowani/Langit Kresna Hariadi
Cet. 1 — Solo Tiga Serangkai, November 2018
xii, 448 hlm.; 21 cm

ISBN: 978-602-320-678-0
(PDF)
1. Fiksi I. Judul
http://facebook.com/indonesiapustaka

©Hak cipta dilindungi oleh undang-undang


All Rights Reserved

Dicetak oleh PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri


Kata Pengantar Penerbit

T ak ada gading yang tak retak. Tak ada manusia yang sempurna,
meski itu seorang Gajah Mada. Perjalanan hidup Gajah Mada begitu
gemilang hingga sebuah tragedi menodainya. Perang Bubat bagai nila
setitik yang merusak susu sebelanga kepahlawanan Gajah Mada.
Sebagai pimpinan pasukan khusus Bhayangkara, Gajah Mada
berhasil menyelamatkan Prabu Jayanegara dari ancaman pembunuhan
Ra Kuti, bahkan mampu melakukan pukulan balik yang mematikan
hingga mengakhiri perjalanan hidup pemberontak itu.
Ketika singgasana tidak ada yang menduduki karena Jayanegara
terbunuh di tangan Ra Tanca, Gajah Mada pun kembali tampil. Dengan
mengusulkan Sri Gitarja dan Dyah Wiyat Rajadewi menjadi ratu kembar,
Gajah Mada berhasil menghindarkan Majapahit dari pertumpahan darah
akibat perebutan kekuasaan di antara kerabat istana.
Saat dua wilayah Majapahit, Sadeng dan Keta, ingin melepaskan diri
dari Majapahit dan berdiri sebagai negara merdeka, lagi-lagi Gajah Mada
adalah pahlawan yang berhasil memadamkan pemberotakan tersebut.
Sebagai imbalan atas keberhasilan mengembalikan Sadeng dan Keta ke
pangkuan Majapahit, jabatan patih utama atau patih amangkubumi pun
http://facebook.com/indonesiapustaka

diberikan kepadanya.
Mengawali kariernya sebagai patih amangkubumi, Gajah Mada
mengucapkan sebuah sumpah yang sejarah kemudian mencatatnya
sebagai Sumpah Palapa. Melalui sumpah itu, Gajah Mada bertekad untuk
menyatukan Nusantara di bawah naungan panji-panji Majapahit. Gajah
vi

Mada bersumpah untuk tidak akan pernah menikmati kesenangan hidup


sampai sumpahnya tercapai. Kala itu, Sumpah Palapa dinilai terlampau
mengerikan dan mustahil dapat menjadi kenyataan. Namun, Gajah
Mada berupaya sekuat tenaga dan sepenuh jiwa raga untuk mematahkan
keraguan berbagai pihak atas sumpahnya.
Melalui kerja keras tanpa kenal lelah, Gajah Mada membuktikan
bahwa sumpahnya tidaklah main-main. Dan, Gajah Mada berhasil.
Sumpah Palapa menjadi berkah bagi Majapahit karena dari sana,
Majapahit berhasil menggapai puncak kejayaan. Majapahit tampil
menjadi negara super power–dalam konteks zaman itu–karena negara-
negara di wilayah Nusantara berhasil ditaklukan, menjadikan wilayah
Majapahit membentang sangat luas.
Namun, keberkahan itu tidak abadi. Obsesi dan ambisi Gajah Mada
untuk membangun kebesaran Majapahit ternyata berbuah bencana.
Rencana perkawinan Prabu Wuruk dan Dyah Pitaloka Citraresmi
berujung pada peristiwa berdarah di lapangan Bubat karena Gajah Mada
memaksa Sunda Galuh harus mau tunduk pada Majapahit dan Dyah
Pitaloka dijadikan putri persembahan. Atas nama harga diri kolektif,
rombongan dari Sunda Galuh menolak tegas pemaksaan itu. Perang pun
tak terhindarkan. Orang-orang Sunda memberikan perlawanan mati-
matian. Namun, kekuatan yang tidak berimbang menyebabkan suluruh
rombongan calon mempelai perempuan tertumpas habis, termasuk Dyah
Pitaloka yang memilih mengakhiri hidupnya di ujung sebuah kujang.
Kisah kelabu ini telanjur tertoreh dalam lembaran sejarah dan tak
mungkin terhapus sampai kapan pun. Kisah hitam ini pula yang membuat
kecemerlangan Gajah Mada pudar dan meredup. Namun, sebagai sejarah,
kisah sedih ini tetaplah inspiratif dan menarik untuk disimak, apalagi
dalam sajian karya fiksi seperti yang Anda nikmati ini.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tiga Serangkai
Prakata

S ampai pada posisi ini, telah empat buku Gajah Mada saya tulis.
Dari buku pertama, Gajah Mada: Makar Dharmaputra, buku kedua,
Gajah Mada: Takhta dan Angkara, buku ketiga, Gajah Mada: Sumpah di
Manguntur, saya merasa untuk menulis buku keempat, Gajah Mada, Sanga
Turangga Paksowani inilah saya merasakan kelelahan mental luar biasa.
Kelelahan mental itu bukan karena pengerjaannya, bukan pula risetnya
yang alhamdulillah lancar-lancar saja, tetapi materi yang harus saya
angkat yang membuat saya kelimpungan. Mempelajari sejarah Sunda
serta kehidupan budayanya pada abad 13 benar-benar membutuhkan
waktu dan perhatian ekstra.
Gajah Mada adalah sosok yang saya kagumi. Sepanjang penalaran
saya, sulit saya memahami kerja keras macam apa yang harus dilakukan
seseorang untuk menyatukan seluruh wilayah Nusantara di abad yang
notabene belum mengenal teknologi modern, belum ada kapal bertenaga
diesel, belum ada pesawat terbang, bahkan listrik pun belum ada.
Menceritakan bagaimana perjuangan Gajah Mada, bagaimana sepak
terjangnya ketika menyelamatkan Sri Jayanegara dari pemberontakan Ra
Kuti, atau upayanya meredam pemberontakan Keta dan Sadeng, terasa
lancar-lancar saja. Akan tetapi, memasuki episode Perang Bubat, dahi
http://facebook.com/indonesiapustaka

harus lebih berkerut. Perang Bubat adalah episode gelap yang dilakukan
Gajah Mada dalam menerjemahkan sikap politiknya terhadap Sunda
Galuh (yang ia nilai merugikan karena tidak segera menggabungkan diri
dengan Majapahit, sementara Majapahit harus membayar ongkos yang
sangat besar untuk menjamin keamanan di lautan).
viii

Peristiwa itu terjadi pada tahun 1357, yaitu ketika Prabu Maharaja
Linggabuana yang membawa anak gadisnya, Dyah Pitaloka Citraresmi,
ke Majapahit dipaksa tunduk pada Majapahit dengan menempatkan
Dyah Pitaloka Citraresmi sebagai persembahan dan tanda takluk. Prabu
Maharaja dan para pengiringnya tidak bisa menerima nista itu dan memilih
memberikan perlawanan, meski harus tertumpas tanpa sisa. Peristiwa
itulah yang masih menyisakan jejaknya hingga sekarang, berupa hubungan
antara Sunda dan Jawa yang harus terganggu oleh nostalgia itu.
Kondisi yang demikian tentu kontra produktif. Rasa tidak suka
orang Sunda kepada Gajah Mada yang berimbas menjadi rasa tidak suka
kepada orang Jawa itu sama saja dengan cara pandang orang Indonesia
terhadap Belanda yang pernah menjajah Indonesia. Mestinya, rasa tidak
suka itu tidak perlu bersisa ketika waktu telah bergulir sedemikian lama,
bahkan telah berganti banyak generasi. Di balik nostalgia itu, sebenarnya
saya kemudian terganggu sebuah pertanyaan, benarkah generasi Sunda
sekarang masih dibayangi peristiwa itu?
Berangkat dari pertanyaan itu, saya layak berterima kasih kepada
Saudara Yulian Firdaus. Ia orang Sunda asli, pemilik sebuah blog dengan
alamat http://yulian.firdaus.or.id. Melalui blog yang dimilikinya, ia telah
membantu saya untuk memperkenalkan buku-buku saya, serial Gajah
Mada, kepada komunitasnya. Saya juga berutang kepada Saudara Jay
atas kesediaannya menyumbangkan kata pengantarnya. Saat saya merasa
membutuhkan cara pandang orang Sunda dalam menyikapi peristiwa
berdarah pada tahun 1357 itu, saya merasa Yulian Firdaus adalah orang
yang tepat.
Jika ingin berkomunikasi dengan saya, termasuk segala caci maki
dan pujian–kalau ada–bisa dilesakkan ke tiga buah e-mail: langit_kresna_
hariadi@yahoo.com, langitkresnahariadi@yahoo.co.id, atau de_manyul@
http://facebook.com/indonesiapustaka

yahoo.co.id

Penulis
Tragedi Bubat: Mulai Hancurnya Sebuah
Sumpah Sakti

S ejarah mengungkap fakta. Sastra, seni, dan arsitektur


melestarikannya. Dan, setiap manusia mencari kebenarannya. Negeri
yang besar penuh dengan kisah yang romantis, lucu, herois sekaligus
tragis. Tatanan adat dan budaya secara turun-temurun menuturkannya
dalam dongeng, legenda, tarian, lirik, nyanyian, dan musik. Penguasa
mencatatkan kekuasaannya dalam monumen, prasasti, dan kitab. Ilmu
modern mengeksplorasi kisah dan budaya tersebut dengan berbagai
fakta prasasti, catatan perjalanan, bangunan, kitab, dan sebagainya untuk
merinci tingkat akurasi setiap bukti sejarah.
Kisah yang langgeng yang kemudian menjadi paradigma sering
menjelma menjadi ego kesukuan. Namun, sering pula latar historis
kesukuan menjadi lawakan kehidupan sehari-hari yang tanpa sadar makin
mengeratkan keakraban. Tanpa kita sadari, lawakan antarsuku telah
menjadi sebuah komoditas dunia hiburan. Kita pun senang dan gembira
tanpa perlu merasakan ketersinggungan pada hal tersebut.
Apa yang diungkap dalam buku karya Langit Kresna Hariadi
adalah penuturan sejarah melalui fiksi. Tingkat keakuratan tokoh dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

tempat dicoba dikemukakan kepada masyarakat luas sebagai sebuah


pelajaran sejarah negeri ini. Bagi masyarakat awam, sejarah tidak akan
menarik jika hanya dilihat melalui sebuah prasasti tanpa mengetahui
apa jiwa dan semangat di balik prasasti tersebut. Siswa sekolah pun tak
akan memaknai nama seorang tokoh Gajah Mada tanpa mengetahui
x

riwayatnya, pikirannya hingga sumpahnya. Yang sampai ke benak


mereka mungkin hanya sebuah kalimat hafalan, “Dia adalah Mahapatih
Majapahit yang mempersatukan Nusantara.” Sebuah kalimat tanpa
makna, tak berarti apa-apa.
Mengenal sejarah berarti tidak hanya mengenal satu dua tokoh
penting yang menjadi ikon saat ini. Sejarah melibatkan banyak tokoh.
Dan, banyak tokoh telah melahirkan, baik karya maupun pikiran tanpa
tercatat dalam bukti sejarah. Langit Kresna Hariadi menyodorkan hal ini,
menyodorkan rangkaian cerita fiksi dalam sebuah keakuratan kronologis
sejarah. Di sisi lain, ia juga mengajak pembaca untuk mengambil sebuah
kesenangan dalam membaca sejarah. Sebab, mengingat atau menghafal
sebuah sejarah sering menjadi hantu yang menakutkan dalam dunia
pendidikan.
Namun, kita tak perlu berkecil hati jika tingkat kesenangan
menikmati sejarah negeri ini belum sampai pada tingkat hiburan sekelas
sinema silat Cina atau drama dan aksi film Hollywood. Kita masih punya
dongeng untuk diceritakan. Kita masih punya sendratari, panggung
teater, dan musikal. Kita masih punya kawih, pupuh, pantun, dan puisi
sehingga tetap terbuka peluang besar untuk mengabadikan sebuah
sejarah. Dan, keempat buku seri Gajah Mada, termasuk episode Sanga
Turangga Paksowani ini adalah sebuah karya yang dapat menjadi media
untuk melestarikan sebuah kisah sejarah.
Pertentangan dalam sejarah kerap membuat masyarakat menjadi
berkelompok dan berpihak, pro dan kontra, salah dan benar hingga
baik dan buruk. Semua adalah sebuah kewajaran belaka. Semua pihak
pun kemudian mencoba menengahi pertentangan yang kadang menjadi
paradigma tersebut untuk mencapai tujuan bersama, tujuan ideal,
meskipun kita sadari, sebagai bukti yang akurat, banyak catatan sejarah
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang hilang, rusak, atau mungkin dihancurkan penguasa.


Ke mana kita harus bersandar? Kita kembalikan pada definisi ilmu
sejarah. Ilmu sejarah berupaya menggali keakuratan bukti dan fakta
secara ilmiah. Jika Anda berharap menemukan kebenaran atau kedustaan,
sebaiknya segera saja tutup buku ini dan ambil buku filsafat.
xi

Perang adalah satu bukti sejarah di mana-mana yang hakikatnya


adalah bukti keserakahan manusia. Di lain pihak, perang juga merupakan
manifestasi harga diri sebuah bangsa, sulit untuk disalahkan, pun sama
sulitnya untuk dibenarkan. Sejarah perang sama tuanya dengan sejarah
manusia itu sendiri. Pertikaian telah terjadi sejak anak Adam hingga
konflik Timur Tengah menyangkut Tanah Suci. Perang Salib telah
mencerahkan budaya bangsa Eropa hingga kini. Perang antardinasti di
Cina telah membawa Cina ke dalam revolusi kemajuan industri. Perang
antar-shogun membawa Jepang ke restorasi Meiji yang membuat kemajuan
Jepang sangat pesat. Perang saudara di Amerika makin memantapkan
Amerika menjadi negeri federal baru yang menguasai dunia. Kita pun
berharap sama terhadap sejarah negeri ini.
Ajaran-ajaran luhur dalam epik Mahabarata sudah tertanam lama
di negeri ini, seiring dengan serapan budaya Sanskerta yang terjadi sejak
zaman Mulawarman. Kita tak memahami ajaran tersebut jika kita masih
menyebut Pandawa itu baik dan Kurawa itu buruk. Peradaban negeri
ini tak kalah dengan peradaban Timur Tengah, pencerahan Eropa,
Cina hingga Jepang. Kita punya modal historis yang setara, kita harus
melestarikannya.
Tiga buku Gajah Mada telah menyodorkan kisah romantis dan
heroik. Kini, saatnya kita membaca tragisnya sebuah ide besar Majapahit,
sebuah sumpah sakti seorang Gajah Mada. Perang Bubat tidak hanya
tragedi bagi Majapahit dan Gajah Mada, tetapi juga sebuah tragedi yang
memilukan bagi suku Sunda. Ide besar Majapahit kadang dinilai hanya
sebagai ambisi berlebihan seorang Gajah Mada. Tidak adanya pengakuan
formal dari kerajaan Sunda Galuh untuk menyatu dalam kemaharajaan
Majapahit juga kadang dinilai sebagai cacatnya sebuah suku dalam
menghadapi sebuah ide besar. Pertentangan akan terus tumbuh, bahkan
sampai kepada hal-hal praktis yang kecil, seperti tak adanya (sangat
http://facebook.com/indonesiapustaka

sedikitnya) nama Gajah Mada atau Hayam Wuruk sebagai nama jalan atau
bangunan di wilayah Priangan ataupun sebaliknya. Tak akan ada habisnya
jika kita hanya mempertahankan ego atau melahirkan ego-ego lainnya,
malah hanya akan merusak tatanan ide dan falsafah negeri ini yang telah
memerdekakan diri lebih dari setengah abad yang lalu.
xii

Sebuah langkah besar jika kisah sejarah terpatri dalam ingatan kita
semua karena bangsa besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.
Sebuah langkah yang lebih besar jika kita makin banyak mengungkapkan
kritik. Sebab, wawasan dan pendidikan kita telah makin tinggi. Dan,
sebuah lompatan besar saat kita makin banyak menemukan jalan
kebenaran, meskipun kita tak pernah tahu ke mana arah kebenaran
tersebut. Hanya kepada-Nya kita bersujud meminta petunjuk.
Mari mengenal sejarah, sebab sejarah itu menyenangkan.

Yulian Firdaus Hendriyana


http://facebook.com/indonesiapustaka
1
L angit merah darah menandai sanga turangga paksawani. Saniscara 1 2

mulai merasa tatapan matanya berkabut. Genangan darah di depannya


tidak berasal dari perang besar wangsa Barata dalam kecamuk barisan
Pandawa dan Kurawa, tetapi apalah bedanya. Setidaknya, demikian
Saniscara merasakan dadanya yang terbelah, jantungnya yang terbelah,
dan kepalanya yang pecah.
Berada di pihak manakah Saniscara kali ini? Apakah ia merasa
berada di barisan Pandawa? Atau, di pihak Duryudana yang berusaha
mati-matian mempertahankan negeri Amarta yang diminta kembali
anak-anak Pandu yang merasa memiliki hak atas negeri yang terampas
melalui perjudian itu? Saniscara melihat, di mana-mana merah, di mana-
mana darah.
Ada banyak mayat dengan luka ditembus anak panah, pedang,
tombak, atau remuk oleh ayunan trisula dan gada. Namun, banyak juga
napas yang tersendat sebagai gambaran betapa sulit menjemput kematian
dengan nyawa yang tak kunjung oncat dari raga. Menyempurnakan
keadaan itu, langit yang semula merah, kini tampak pucat.
Amarah Saniscara yang mengombak, kini berubah menjadi
kepedihan tanpa tepi. Saniscara merasa tidak berada di pihak mana pun
di antara mereka yang tengah bertikai. Saniscara tak merasa berkewajiban
untuk berpihak kepada Kurawa. Saniscara sama sekali tidak memiliki
alasan untuk itu. Saniscara juga tidak merasa harus berpihak kepada
Pandawa karena bukan karib kerabatnya. Amarah yang harus disalurkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

kali ini karena alasan lakonnya sendiri yang membuatnya merasa tak
tahu apa gunanya hidup.

1
Sanga turangga paksawani, sebagaimana Pararaton menyebut tahun Saka 1279 atau tahun Masehi 1357
2
Saniscara, Jawa Kuno, hari Sabtu. Dalam novel ini, Saniscara adalah tokoh utama yang keberadaannya
hanya fiktif belaka.
2 Gajah Mada

Maka, jangankan hanya tumpahnya darah, hanya ribuan anak panah


yang terentang dengan arah lurus ke jantungnya, hanya ratusan tombak
dan trisula yang teracung akan membelah tubuhnya, bahkan andai
Hyang Bagaskara dalam wujud Yamadipati3 turun membakar tubuhnya
dan menjadikannya hangus tanpa sisa, Saniscara merasa sangat siap
menebusnya. Tak ada secuil pun keraguan untuk menjemput datangnya
kematian.
Perlahan, Saniscara menoleh ke arah kudanya yang meringkik.
Tatapan matanya kabur berkabut karena kemarahan yang tidak
terbendung. Ditandai itu dari basah yang menggenang serta barisan
gigi rahang atas dan bawah yang saling menggigit dan mengait. Tanpa
sedu sedan, air matanya membanjir. Itulah tangis yang terlahir dari biang
duka paling berkarat.
Meski hanya seekor kuda, kuda jantan dan tegar itu punya nama.
Saniscara tidak hanya menempatkannya sebagai kuda tunggangan yang
siap menemaninya ke mana pun ia pergi, tetapi juga menjadikannya
sahabat tempat berbagi keluh. Oleh hubungan persahabatan itulah,
Saniscara memberinya nama Bendung Humalang.
Hubungan yang terjalin belum terlalu lama. Belum genap sebulan,
ia menerima kuda itu dari seseorang sebagai hadiah. Akan tetapi, karena
Saniscara menempatkannya sebagai sahabat dan selalu mengajaknya
berbicara, Bendung Humalang bisa merasakan duka nestapa yang
dialami Saniscara. Bendung Humalang memiliki kesetiaan yang luar
biasa. Ia mampu membaca bahaya yang menghadang di depan dan tidak
merasa takut menghadapinya, meskipun bahaya itu seharga lembaran
nyawanya. Dengan sepenuh hati, Bendung Humalang siap bela pati akan
menghadapi apa pun, sebagaimana Saniscara juga telah bulat dengan
keputusannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Citra kekasih hati, tunggulah aku di pintu gerbang kematian,” ucap


Saniscara dengan mulut bergetar.

3
Yamadipati, dewa pencabut nyawa dalam pewayangan atau kisah Mahabarata
Sanga Turangga Paksowani 3

Saniscara kembali menyapukan pandangan matanya pada mayat-


mayat yang bergelimpangan di depannya dengan hati berantakan. Tatapan
matanya agak lama jatuh ke sosok yang tergolek dalam pelukannya tanpa
nyawa, sosok yang ia sebut dengan panggilan Citra.
Citra telah menyita seluruh ruang di hatinya, membuatnya sanggup
melukis tanpa batas waktu. Apalagi, gadis yang memayat itu memang
memiliki kecantikan tiada tara. Tidak habis-habisnya gadis itu menjadi
sumber gagasan untuk dituangkan ke atas selembar kain yang nantinya
menjelma menjadi lukisan indah tiada tara.
Dilukisnya gadis itu berlatar telaga Jalatunda, juga dilukisnya sedang
duduk begitu anggun di atas dampar kencana. Bahkan, dilukisnya pula
gadis itu seolah tanpa busana, tubuhnya hanya ditutupi selembar kain.
Adakalanya, Saniscara memintanya untuk berlagak tak ubahnya bidadari
yang turun dari langit dengan selendang berwarna biru mengembang.
Di lain kesempatan, Saniscara melukisnya seolah sedang berada di
tengah sawah dan sedang menari di tengah hamparan padi yang
menghijau. Kecantikannya juga tampil gilang-gemilang saat Saniscara
menggambarnya berlatar lautan dengan ombak menggemuruh. Ia tampak
bagaikan penampakan danyang4 cantik penghuni samudra selatan.
Akan tetapi, melukis dan menumpahkan amarah adalah dua hal yang
amat berbeda, meskipun membutuhkan bahan yang sama, yaitu gelegak
jiwa. Gelegak jiwa yang menjadi bahan bakar dan menggerakkan tangan
Saniscara sedemikian lincah menari di atas selembar kain, menorehkan
adonan pewarna berbahan daun sangketan5 yang direbus dengan ditaburi
getah kesumba.
Pewarna ini akan menjadikan gambar begitu hidup. Jika yang
digambar adalah laut, sungguh gambar laut itu sangat hidup. Jika yang
digambar adalah Gunung Kampud yang meletus, gambar yang berhasil
http://facebook.com/indonesiapustaka

diraut akan membuat orang yang melihatnya merasa ketakutan. Gambar

4
Danyang, Jawa, makhluk halus penghuni suatu benda atau tempat
5
Sangketan, Jawa, nama daun yang getah atau air hasil rebusannya bisa dipergunakan untuk menggambar
4 Gajah Mada

itu membuat orang yang melihat merasa seolah Gunung Kampud benar-
benar meletus. Apalagi, jika mengingat beberapa tahun lampau, Gunung
Kampud pernah murka dan meminta sedemikian banyak korban jiwa,
sebagaimana goyangan gempa di Pabanyu Pindah. Dua peristiwa itu
menandai hari kelahiran Raden Tetep.6
Lebih-lebih, jika yang digambar adalah Citra, pemilik muka cantik
nan jelita. Maka, kecantikan Citra yang hanya dalam lukisan niscaya
membuat orang yang menatapnya jatuh cinta.
Untuk menumpahkan amarah, Saniscara juga memerlukan gelegak
jiwa yang menempatkannya hingga ke sebuah tempat yang di sana ia
tidak mengenal rasa takut. Takut menghadapi kematian? Sama sekali
tidak! Kematian Citra kekasihnya yang pilih lampus diri7 menyebabkan
ia ikut tidak takut mati. Citra saja berani mengambil kematian sebagai
salah satu pilihan, mengapa dirinya tidak? Bunuh diri? Mengapa harus
takut?
Gelegak kali ini bukan sumber gagasan untuk melukis. Padahal,
betapa dahsyatnya jika ia tumpahkan gelegak itu ke atas lembaran kain
putih. Akan tetapi, bukan ke arah sana muara gelegak bramantya8 itu.
Kematian Citra tak boleh dibiarkan terlalu lama. Kepergian gadis itu
ke alam lain harus segera disusul supaya Citra tidak merasa sendirian.
Saniscara merindukan Citra sebagaimana kerinduan Maharesi Bisma
terhadap Amba9 yang harus ditebus melalui perang. Perang yang
menempatkan Bisma tersudut dalam malakama.
Bagi Saniscara, kematian itu sungguh dirindukan kedatangannya.
Hanya dengan menguak pintu gerbang kematian, ia bisa meraih
http://facebook.com/indonesiapustaka

6
Raden Tetep, nama kecil Prabu Hayam Wuruk menurut Pararaton
7
Lampus diri, Jawa, bunuh diri
8
Bramantya, Jawa, amarah
9
Dalam kisah Mahabarata, Bisma telah membunuh Amba, kekasih hatinya, melalui anak panah yang tak
sengaja terlepas. Balasan kematian Bisma terjadi dalam perang keluarga Barata melalui tangan Srikandi.
Kematian untuk bertemu kembali dengan kekasih hati itu amat dirindukan Bisma.
Sanga Turangga Paksowani 5

tangan Citra dan menggandeng kekasih hati itu terbang ke mana pun,
ke tempat yang di sana mereka bisa selalu bersama tanpa ada yang
mengusik.
Pandangan mata Saniscara menyapu padang Kurusetra10 itu dari
ujung ke ujung. Tempat itu memang layak disebut sebagai padang
Kurusetra. Atau, sampai pada tingkat kemarahan itu, Saniscara memang
layak menyebutnya benar-benar sebagai padang Kurusetra. Beberapa
buah tenda yang berdiri di kejauhan bisa disebut sebagai huppalawya.11
Di depannya, di seberang mayat-mayat yang menumpuk
menggunung, sekelompok prajurit memerhatikan apa yang akan ia
lakukan dengan mata tajam tidak berkedip. Sekelompok prajurit itu
tak hanya memandang, tetapi sebagian telah menelanjangi pedang.
Sebagian yang lain bahkan telah siap membidikkan anak panah dari
langkap yang telah terentang. Mungkin mereka telah berketetapan untuk
menyempurnakan akhir dari pembantaian itu. Musuh yang tinggal
seorang itu harus mati.
Tak hanya ada banyak mayat di tanah luas itu. Akan tetapi, juga
ada kuda yang membangkai dan kereta yang mengonggok yang
berkesanggupan membangun daya khayal, seolah kereta kuda itu milik
Raja Karna dengan sais Raja Salya yang berhadapan dengan Arjuna
yang juga menaiki kereta berkuda delapan dan dikendalikan Kresna.
Kedua kereta kuda itu sama berantakannya manakala perang dunia di
jagat Mahabarata itu tuntas.
Tumpukan mayat yang menyebar di tempat itu mengundang tanya,
mengapa saling bunuh yang demikian bisa terjadi? Puluhan burung gagak
dan burung-burung pemakan bangkai yang terbang tak seberapa tinggi
serasa tak sabar ingin segera mendarat dan meneguk genangan darah
untuk memuaskan dahaga yang mereka alami.
http://facebook.com/indonesiapustaka

10
Kurusetra, padang amat luas, tempat terjadinya perang besar antara Barata dan Kurawa sebagaimana
kisah Mahabarata
11
Huppalawya, dalam perang antarkeluarga Barata yang berlangsung di Kurusetra, kelompok Pandawa
membangun perkemahan atau pesanggrahan yang disebut huppalawya
6 Gajah Mada

Jauh tinggi di ujung langit, paksi12 cataka13 membentangkan sayap


dengan segenap rasa heran. Para rajawali memang jenis burung yang
ganas. Namun, mereka tak pernah sekalipun saling bantai dengan
sesamanya. Sementara itu, pada jarak yang cukup dekat, puluhan anjing
yang keluar dari hutan, gelisah. Mereka ingin segera menghambur
untuk berpesta. Namun, para anjing itu sadar atas adanya bahaya.
Akibat ketidaksabarannya, seekor anjing ambruk disambar anak panah.
Kemalangan yang menimpa temannya itu menjadi contoh bagi para
anjing yang lain.
Para anjing itu berpikir, mereka harus menunggu datangnya malam
untuk bisa menyantap salah satu saja dari tubuh-tubuh teronggok tak
lagi bernyawa dan tak lagi berharga itu. Jantungnya, hatinya, atau semua
isi perutnya tentu merupakan bagian yang lezat untuk dimakan.
Namun, tidak sebagaimana cataka, para anjing liar itu tidak perlu
bertanya, untuk apa manusia saling bunuh? Burung cataka di langit itu
penasaran, ada apa dengan para manusia itu? Sayang, para cataka yang
memiliki bentangan sayap amat lebar itu tidak mengerti bahwa binatang
bernama manusia itu tak cukup puas sebatas kenyang perutnya. Tak satu
pun dari para cataka, kalangkyang, dan gagak serta jenis burung pemangsa
bangkai yang terbang melayang itu yang tahu bahwa ada jenis nafsu yang
tak berbatas yang menjadi sumber kesanggupan manusia untuk saling
berbunuh. Luas dunia rupanya masih kalah dibandingkan luas wilayah
nafsu yang berdampingan dengan daya khayal mereka.
Saniscara mengencangkan ikat pinggangnya. Dengan genangan
darah di telapak tangan, ia membasuh muka. Darah merah itu tidak
terasa anyir baginya. Setidaknya karena darah itu milik kekasih dambaan
hatinya, Citra.
Berulang kali, Saniscara menyebut nama itu, berulang dan berulang
http://facebook.com/indonesiapustaka

sambil tangannya menggigil, mulutnya menggigil, jantung di rongga


dadanya menggigil, dan otak di benaknya menggigil.

12
Paksi, Jawa, burung
13
Cataka, Jawa Kuno, burung rajawali
Sanga Turangga Paksowani 7

”Untuk apa lagi aku hidup?” desisnya dengan segala gemeretak


jiwanya.
Saniscara telah merasa bulat dengan keputusannya. Dengan sangat
berhati-hati, Saniscara meletakkan tubuh tanpa nyawa yang berada dalam
pelukannya itu. Ia dahului itu dengan mencium keningnya dan mendekap
lebih erat, sangat erat untuk menyatukan jiwanya dengan jiwa Citra.
Tangannya menggeratak kasar, menyebabkan wajah cantik yang
semula putih pucat itu menjadi merah, mirip sebuah lukisan.
Air mata Saniscara tak lagi bercucuran saat matahari di langit
yang ikut marah memberinya isyarat bahwa telah tiba waktunya untuk
bertindak.
”Tunggu aku, kekasihku. Di tempat lain, aku akan melukismu
sepuas hatiku. Di tempat lain, akan aku penuhi permintaanmu. Aku akan
menggambarmu di mega-mega, malang-melintang sambil tanganmu
memetik bintang-bintang,” ucap Saniscara lirih.
Saniscara meletakkan mayat itu di dekat mayat ayahnya. Kemudian,
ia melangkah mundur tanpa mengalihkan pandangan matanya. Saniscara
terus berjalan ke belakang hingga tubuhnya tersentuh kudanya yang
datang mendekat.
Bendung Humalang meringkik sebagai ungkapan belasungkawa
dan rasa dukanya.
”Tunggu aku, Citra. Aku segera menyusulmu,” ucap Saniscara
dalam bisikan bisu.
Sentakan keras yang diberikan merupakan isyarat bagi Bendung
Humalang untuk bergerak. Bendung Humalang langsung mengayunkan
kakinya kencang.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Saniscara tak perlu mengambil jalan melingkar untuk menghindari


segenap mayat. Dianggapnya jarak terdekat menyongsong kematian
adalah lurus ke depan. Lagi pula, bukankah para mayat tidak lagi
merasakan apa pun, tidak keberatan meski tubuhnya dilintasi dan
diinjak-injak kudanya?
8 Gajah Mada

Sekali lagi, Saniscara menyentakkan tali kendali kudanya dengan


kasar sebagai isyarat untuk bekerja lebih keras. Bendung Humalang
menerjemahkan perintah itu dengan baik. Bendung Humalang
juga tak lagi peduli, meski sekelompok prajurit di depan sana siap
menyongsongnya dengan hujan anak panah.
Bendung Humalang bergerak dalam derap yang membawa
penunggangnya makin dekat dengan tempat para prajurit itu berada.
Ketika telah berada dalam jangkauan, ratusan gendewa serentak ditarik
ke atas setelah sebuah isyarat diberikan. Gendewa tetap terentang
dengan arah bidik menyesuaikan dengan calon korbannya.
”Tunggu! Turunkan anak panah!” berteriak seseorang yang rupanya
cukup memiliki pengaruh.
Perintah itu dituruti. Semua prajurit dengan amat sigap menurunkan
anak panah dari gendewa masing-masing. Langkap-langkap yang semula
melengkung, diluruskan. Anak panah yang semula terarah lurus dan
tegang, diistirahatkan. Semua orang, baik prajurit yang berbaris rapi
maupun para penonton yang dengan hati getir menyaksikan perang
yang terjadi sejak awal sampai akhir, kembali terayun jantung masing-
masing. Di langit, bagaskara kembali mempersiapkan diri menjadi saksi
atas apa yang akan terjadi. Haruskah korban mati masih ditambah
seorang lagi?
Rupanya, tidak semua orang memenuhi perintah untuk menurunkan
anak panah. Seorang mantan prajurit berusia tua merasa memiliki
alasan untuk mengambil tindakan atas nama rajanya. Diam-diam, ia
mempersiapkan dua batang anak panah sekaligus. Mantan prajurit
itu tidak ingin nama rajanya ternista. Satu anak panah ia arahkan tepat
ke jantung penunggang kuda itu dan sebatang yang lain ke arah kuda
http://facebook.com/indonesiapustaka

tunggangannya.
Ketika jarak jangkau terpenuhi, orang itu melepas gagang anak
panah dari jepitan jarinya. Dua anak panah itu melesat dengan cepat.
Masing-masing menuju arah sasarannya. Laki-laki tua itu memiliki
kemampuan bidik luar biasa. Hal itu terbaca dari betapa akurat hasilnya.
Sanga Turangga Paksowani 9

Salah satu anak panah mengarah ke kepala kuda yang amat kencang
dalam berderap. Kuda itu tersentak ketika tiba-tiba merasa kepalanya
ditembus sesuatu.
Kuda itu terjengkang bersamaan dengan Saniscara yang mendadak
merasakan nyeri luar biasa karena dadanya juga tertembus anak
panah. Saniscara menggeliat dan berusaha keras mengubah rasa sakit
itu menjadi sesuatu yang indah. Betapa indah sakit itu ia rasakan.
Bukankah sejenak kemudian akan terpenuhi apa yang diinginkannya
untuk bertemu kembali dengan Citra? Di atas, tampak seseorang yang
berada dalam bayangan antara ada dan tiada melayang turun untuk
menjemputnya. Orang itu mirip bidadari. Mirip Amba yang menjemput
Bisma.
”Citra,” desis Saniscara menahan indahnya rasa nyeri.
Namun, agaknya Hyang Widdi berkehendak lain. Garis nasib
memang tidak selalu sama dengan apa yang dikehendaki manusia.
Saniscara merasa apa pun yang dilihatnya mengombak, mengombak
membentuk gelombang, bergerak cepat dalam ribuan warna-warni
pelangi, melesat cepat bagai menembus ruang dan waktu. Apakah
demikian yang selalu terjadi pada kematian?
Sosok tubuh itu makin terkulai. Napasnya tersengal. Matanya tidak
menutup, tetapi malah terbuka, sebagaimana napasnya tidak berhenti,
tetapi malah mengayun. Kematian yang diharapkan tidak segera datang,
tetapi malah tersendat. Maka, anak panah yang menggapai jantung
itu sungguh menimbulkan rasa nyeri. Napas yang tersengal karena
tenggorokan mendadak menyempit, menyebabkan udara yang keluar
masuk tak lagi lega.
Dengan tatapan mata bingung, sosok kesakitan itu memerhatikan
http://facebook.com/indonesiapustaka

keadaan di sekitarnya. Ia bingung, terbaca itu dari matanya yang menatap


keadaan tubuhnya, mencermati gagang anak panah melalui sentuhan
tangannya.
”Kenapa denganku?” tanya pemilik tubuh sekarat itu kepada diri
sendiri.
10 Gajah Mada

Namun, yang dilihatnya adalah keadaan yang tak bisa dipahami.


Pemilik tubuh itu selalu bingung. Selama ini, ia selalu dibingungkan
oleh banyak pertanyaan yang sangat membutuhkan jawaban, tetapi tak
kunjung ditemukan. Keadaan terakhir yang ia rasakan setelah bangun
dari ketidaksadaran atau semacam tidur panjang dengan mimpi-mimpi
aneh, benar-benar tak bisa dimengerti, sebagaimana yang ia alami
sekarang ini.

2
K akek bernama Pawagal itu sudah tua sekali dan tak lagi
mengenali siapa pun. Namun, dengan kesungguhan hati, Rahyi Sunelok
merawatnya. Dan, dengan keprihatinan yang tuntas, Kanuruhan14 Gajah
Enggon menungguinya. Bagi Gajah Enggon, Kiai Pawagal adalah orang
yang memiliki arti khusus. Ia bukan hanya kakek mertua. Ia bukan hanya
kakek istrinya, tetapi Kiai Pawagal adalah orang yang memiliki sejarah
yang luar biasa.
Namanya menjadi kisah abadi yang selalu disebut-sebut orang
Majapahit, menjadi kenangan para orang tua yang masih mendongengkan
bagaimana hebatnya perjuangan Raden Wijaya dan orang-orang luar
biasa, seperti Pawagal dan teman-temannya dalam mendirikan negara
baru bernama Majapahit setelah Singasari runtuh digebuk Kediri. Di
http://facebook.com/indonesiapustaka

samping Pawagal, masih ada nama lain yang sering dituturkan bagaimana
sepak terjang mereka yang luar biasa, seperti Medang Dangdi, Pamandana,
Rangga Lawe, Nambi, Sora, Wirota Wiragati, dan lain-lainnya.

14
Kanuruhan, Jawa Kuno, sebutan bagi salah seorang pejabat di Sang Panca Ri Wilwatikta yang
selengkapnya adalah patih, kanuruhan, demung, rangga, dan temenggung
Sanga Turangga Paksowani 11

”Apa yang bisa kita lakukan?”


Pertanyaan yang dilontarkan dengan suara bergetar dari hati yang
bergetar itu berasal dari mulut Nyai Gajah Enggon yang amat prihatin.
Bagi Nyai Gajah Enggon yang memiliki nama Rahyi Sunelok, Kiai
Pawagal tak sekadar menempati kedudukan sebagai kakek belaka.
Namun, Kiai Pawagal adalah orang tuanya. Sedari masih bocah, ia telah
berada dalam asuhan Kiai Pawagal. Itu sebabnya, kasih sayangnya kepada
Kiai Pawagal sangat bergumpal. Layaknya orang yang mencintai, Nyai
Rahyi Sunelok amat takut kehilangan kakeknya, sebagaimana anak yang
takut kehilangan ibu, ayah, atau orang-orang yang dicintainya.
Namun, apa yang bisa dikatakan Nyai Rahyi Sunelok melihat
keadaan Kiai Pawagal yang demikian. Atas keadaan Kiai Pawagal itu,
Kanuruhan Gajah Enggon memiliki pendapat sendiri.
”Jika telah tiba saatnya Hyang Widdi memanggil kakekmu kembali
menghadap ke haribaan-Nya, relakanlah dan jangan ada secuil pun rasa
tidak ikhlas. Jika kakekmu harus kembali menghadap Penciptanya, aku
rasa itu justru lebih baik. Dengan demikian, Kiai Pawagal tak perlu terlalu
lama menderita. Apalah artinya berumur panjang jika keadaannya seperti
itu?” kata Kanuruhan Gajah Enggon.
Meski pada awalnya sulit, Nyai Rahyi Sunelok bisa menerima
pendapat suami yang amat dicintainya itu. Tergolek tanpa daya karena
menderita lumpuh dan tak lagi mengenali keadaan di sekitarnya, tidak lagi
mengenali dirinya dan cucu buyutnya, apalah arti hidup yang demikian?
Melihat napasnya yang tersengal dan terasa berat, betapa ingin Rahyi
Sunelok melihat kakeknya terbebas dari penderitaan macam itu. Bahkan,
andai mungkin, Rahyi Sunelok ingin berbagi menanggung bebannya.
Adakah pembebasan dari penderitaan seperti itu kecuali kematian?
http://facebook.com/indonesiapustaka

Duduk saja tidak mampu, tatapan mata kosong, tarikan napas sangat
tersengal dan terasa berat serta dari tenggorokannya terdengar suara
mendengkur kasar, pembebasan macam apa yang bisa diharap dari
keadaan itu? Apalagi, Kiai Pawagal sudah amat tua. Usianya mungkin
lebih dari delapan puluh lima tahun.
12 Gajah Mada

Nyai Sunelok akhirnya pasrah dan tak lagi cemas. Sebaliknya,


Kanuruhan Gajah Enggon tidak dapat membuang rasa cemasnya.
Namun, kecemasan itu disimpannya sendiri. Bahkan, tidak dibaginya
rahasia penting itu kepada istrinya.
Menghadapi kakek mertuanya yang demikian itu, Gajah Enggon
tidak mungkin lupa pada apa yang disampaikan orang yang sangat
dihormatinya, Ibu Suri Gayatri, dua puluh tahunan yang lalu.
”Kakek mertuamu itu tidak bisa mati,” ucap Ibu Suri Gayatri.
Memperoleh pendapat yang dilontarkan tanpa pendahuluan dan
dalam percakapan yang membelok dengan tiba-tiba itu, Gajah Enggon
terkejut. Namun, Gajah Enggon yang saat itu belum menjabat sebagai
mantri wredha melihat, Ibu Suri tidak sedang bercanda. Ibu Suri Gayatri
bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
Ibu Suri Gayatri memejamkan mata sejenak, entah untuk menghayati
apa. Ketika perempuan itu kembali membuka mata, tangannya terjulur
kepada Gajah Enggon. Ia minta dibantu berdiri dan bangkit dari
pembaringan.
”Simpan apa yang aku sampaikan ini hanya untuk dirimu. Jangan
sampai istrimu tahu. Jika kaupercaya kepadaku, kaulah yang kelak harus
berupaya menolong kakek mertuamu itu,” ucap Ibu Suri Gayatri.
Gajah Enggon mengangguk. Namun, Gajah Enggon tak mampu
menahan rasa penasarannya. Ketika diperolehnya kesempatan,
dilontarkannya rasa penasaran itu.
”Kenapa Ibu Suri bisa berpendapat, kakek mertua hamba tidak bisa
mati?” tanya Gajah Enggon.
Ibu Suri Gayatri tak menjawab. Arah pandangnya yang lurus ke
http://facebook.com/indonesiapustaka

depan jatuh kepada seorang abdi istana yang sedang menyeret kereta
penuh rumput.
Kereta itu mestinya diseret kuda, entah mengapa orang itu justru
menggantikan tugas kudanya. Puluhan ekor menjangan yang telah jinak,
bergegas mendekat dan dengan tak sabar menyantap rumput yang
Sanga Turangga Paksowani 13

berceceran. Suara harimau mengaum sama sekali tidak membuat para


menjangan itu ketakutan. Toh, memang tidak ada yang perlu ditakutkan.
Mengaum sekeras apa pun, harimau itu tak mampu berbuat apa-apa
karena ia berada dalam kerangkeng besi yang tak mungkin ditembus.
Melihat Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri bagai akan melupakan
hal yang baru saja diucapkan, Kanuruhan Gajah Enggon menempatkan
diri berdiri di depannya.
”Mohon Ibu Suri menjelaskan, mengapa kakek mertua hamba tak
bisa mati?” Gajah Enggon kembali bertanya.
Ibu Suri Gayatri memerhatikan keadaan di sekelilingnya. Dengan
arah pandang menyusuri dari ujung ke ujung, Ibu Suri menggerataki
dinding istana. Akhirnya, Ibu Suri menjatuhkan pandangan matanya ke
arah matahari yang begitu benderang dan garang.
”Di dalam raga dan jiwa kakek mertuamu, tersimpan sesuatu yang
akan menjadi masalah di hari tua. Jika sesuatu itu berhasil dilucuti dan
dipaksa keluar, pada saat itulah kakek mertuamu akan kembali sebagai
manusia lumrah. Kalau tidak, sepikun apa pun kakek mertuamu,
nyawanya tak akan oncat dari tubuhnya,” jawab Ibu Suri Gayatri.
Gajah Enggon tegang. Pandangan matanya tajam dan lurus.
”Maksud Ibu Suri?” kejar Gajah Enggon.
Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri tidak segera menjawab.
Oleh karena Ibu Suri Gayatri menghendaki berjalan-jalan
menyusuri jalan kecil di sepanjang tepi dinding istana, Gajah Enggon
sigap menuntun tangannya. Para prajurit di pintu gerbang Purawaktra
memerhatikan, termasuk Senopati Gagak Bongol dan Mahapatih Gajah
Mada. Mereka melihat, Kanuruhan Gajah Enggon memang memiliki
http://facebook.com/indonesiapustaka

kedekatan khusus dengan nenek Pangeran Pati15 Hayam Wuruk16 itu.


Usia hayam Wuruk sendiri belum genap setahun.

15
Pangeran pati, sama dengan kumararaja, yaitu anak raja yang terpilih untuk menjadi raja kelak
16
Hayam Wuruk, Raja Majapahit termasyhur. Ia terlahir dari perkawinan Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani dengan Raden Cakradara.
14 Gajah Mada

Kedekatan itu diawali kedekatan Ibu Suri Gayatri dengan Rahyi


Sunelok. Rahyi Sunelok sering datang menengok Ibu Suri Gayatri di
istana. Apalagi, ketika masih gadis, Rahyi Sunelok adalah abdi yang amat
setia melayaninya.
”Apa yang dimaksud dengan sesuatu yang harus dilucuti itu, Ibu
Suri?” Gajah Enggon mengejar dengan segenap rasa penasarannya.
Ibu Suri Gayatri berhenti berjalan dan memandang Gajah Enggon.
”Sesuatu yang menyebabkan kakekmu mempunyai kemampuan
aneh, misalnya ia bisa mengundang atau membangunkan angin lesus.
Kakekmu ketempatan kemampuan ilmu kadigdayan17 yang mungkin bagus
baginya di masa muda. Namun, akan menjadi masalah ketika ia sudah
tua,” jawab Ibu Suri Gayatri.
Kenangan itulah yang membuat Kanuruhan Gajah Enggon merasa
gelisah. Ia merasa yakin, apa yang diucapkan mendiang nenek Prabu
Hayam Wuruk itu harus dicermati. Setidaknya, Gajah Enggon menyimpan
beberapa kenangan yang tak mungkin dilupakan. Pertemuannya dengan
Rahyi Sunelok yang kemudian menjadi istrinya adalah contoh yang tak
mungkin dibantah, betapa waktu itu, Ibu Suri Gayatri telah meramalkan
sebelum peristiwanya terjadi.
Ombak tak lagi terdengar dari rumah yang berada di tepi pantai
itu. Gajah Enggon tak berniat mengganggu istrinya yang terpekur
dengan mata basah. Gajah Enggon juga tak ingin mengusik anak
lelakinya yang amat menyayangi kakek buyutnya. Dalam resah dan
kesedihannya, kebekuan anak lelaki Gajah Enggon melebihi beku
sebuah patung.
Dari perkawinannya dengan Gajah Enggon, Rahyi Sunelok memiliki
dua orang anak, Ratna Kinanti dan Gajah Sagara. Sayang sekali, Ratna
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kinanti tidak berumur panjang. Pada usia empat tahun, Ratna Kinanti
menutup mata untuk selamanya setelah mengalami sakit panas sehari
semalam tanpa diketahui penyebabnya.

17
Kadigdayan, Jawa, kesaktian
Sanga Turangga Paksowani 15

Gajah Sagara kini berusia dua puluh tiga tahun. Ia sebaya dengan
Prabu Hayam Wuruk karena dilahirkan pada tahun yang sama. Gajah
Sagara kini tumbuh menjadi seorang pemuda gagah dengan tinggi badan
melebihi ayahnya. Dadanya bidang, membuatnya lebih kekar dari Gajah
Enggon.
Kanuruhan Gajah Enggon menyentuh pundak istrinya. Rahyi
Sunelok yang sedang termangu itu pun menoleh. Yang dilakukan Gajah
Enggon itu semacam pemberitahuan bahwa ia akan berada di luar. Rahyi
Sunelok mengangguk.
Gajah Enggon yang telah berdiri di atas tanah berpasir, menebar
pandangan matanya ke punggung pulau Madura yang terlihat samar di
kejauhan. Karena Kiai Pawagal sakit keras, Kanuruhan Gajah Enggon
meminta izin untuk meninggalkan pekerjaannya selama beberapa
hari. Mahapatih Gajah Mada yang menjadi atasannya secara langsung
mengabulkan permintaan itu. Jika dihitung, telah sepekan Gajah Enggon
berada di Ujung Galuh, tepatnya di pedukuhan nelayan bernama Ban
Culuk.
Dua puluhan tahun yang lalu, ketika Gajah Enggon masih
berpangkat senopati dan untuk pertama kalinya datang berkunjung,
tempat itu sepi sekali. Kini, ada puluhan rumah memanjang ke timur
dan ke barat. Dan, rumah Kiai Pawagal merupakan rumah yang paling
megah. Sebagai salah seorang pejabat penting di Majapahit, Gajah
Enggon mampu membangun rumah yang lebih layak untuk kakek
mertuanya. Namun, jika Kiai Pawagal amat disegani di tempat itu, bukan
karena ia memiliki rumah bagus yang dibangun cucu menantunya. Akan
tetapi, karena semua orang akhirnya tahu, Kiai Pawagal bukan orang
sembarangan. Ia adalah salah satu orang yang amat berjasa membantu
Raden Wijaya dalam mendirikan Majapahit.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Di samping itu, Kiai Pawagal merupakan paran jujugan18 mereka


yang butuh petunjuk dan bantuan. Misalnya, para nelayan yang berharap
mendapat ikan dalam jumlah besar. Atau, para petani yang tidak ingin

18
Paran jujugan, Jawa, tempat tujuan
16 Gajah Mada

salah tanam pada musim yang akan tiba. Juga tempat tujuan bagi
mereka yang ingin sembuh dari sakit yang diderita. Itu sebabnya, berita
mengenai sakit yang diderita Kiai Pawagal dengan segera menyebar ke
segala penjuru, menyebabkan semua orang sibuk mendoakannya, doa
agar cepat sembuh. Namun, ada juga doa agar Kiai Pawagal segera
terbebas dari penderitaan panjangnya. Namun, sampai sejauh itu, meski
telah amat tua dan kehilangan kesadarannya, nyawa Kiai Pawagal masih
betah berada dalam tubuh yang ringkih itu. Dengan keadaan seperti
itu, mati pasti jauh lebih baik daripada hidup dengan raga tak lagi layak
diajak hidup.
Gajah Enggon layak cemas jika teringat pada peringatan yang
diberikan Ibu Suri Gayatri. Apalagi, jika Gajah Enggon teringat pada
dua kejadian yang disaksikan secara langsung selama berada di Ujung
Galuh.
Gajah Enggon menyapukan pandangan ke luas laut di depannya
dan sibuk menduga apa angin lesus itu akan muncul kembali.
”Ayah,” terdengar suara serak.
Gajah Enggon menoleh kepada Gajah Sagara yang datang menyusul.
”Ada apa, Sagara?” balas ayahnya.
Namun, memang ada saatnya Gajah Sagara mengalami kesulitan
mengeluarkan isi hatinya, sebagaimana sering pula Gajah Sagara
begitu lancar berbicara. Kali ini, beban yang disangga Gajah Sagara
menyebabkan mulutnya terkunci. Padahal, betapa amat ingin ia
membongkar habis gumpalan isi dadanya.
”Kasihan Eyang Buyut,” 19 ucap pemuda tampan itu lemah.
Gajah Enggon hanya mengangguk pendek sambil melangkah ke
http://facebook.com/indonesiapustaka

bongkahan batu besar yang tergeletak di atas pasir. Dengan duduk di


atas batu itu, Kanuruhan Gajah Enggon mempersiapkan diri untuk
berbicara.

19
Eyang buyut, Jawa, kakek buyut
Sanga Turangga Paksowani 17

”Apa yang kauinginkan terkait keadaan kakek buyutmu?” tanya


Gajah Enggon dengan suara dalam.
Gajah Sagara mengumpulkan segenap kekuatannya untuk menjawab.
”Aku kasihan kepada Eyang Buyut, Ayah,” jawab Gajah Sagara.
”Lalu?” kejar Gajah Enggon.
Gajah Sagara mengalami kesulitan untuk bicara, lehernya bagai
tercekik.
”Aku ingin Eyang Buyut sembuh,” kata pemuda tampan berbadan
kekar itu.
Gajah Enggon tidak menampakkan perubahan raut wajah macam
apa pun. Apa yang diinginkan anak lelakinya berbeda sama sekali dengan
apa yang ia inginkan. Dengan usia yang sedemikian tua dan dengan
keadaannya yang seperti itu, kesembuhan atau bentuk penundaan macam
apa pun, justru akan menjadi penyiksaan bagi Kiai Pawagal. Mati justru
menjadi akhir sebuah penderitaan karena sebagaimana diyakini banyak
orang, hidup di dunia sungguh berlepot kepalsuan. Hidup di alam
langgenglah yang diangankan sebagai hidup yang sebenarnya.
”Apa yang terjadi pada kakekmu merupakan sebuah kodrat,” kata
Gajah Enggon. ”Sebagian manusia mengalami tiga hal, yang pertama
adalah kelahiran, yang kedua perkawinan, dan yang ketiga kematian.
Namun, sebagian yang lain hanya mengalami dua hal. Banyak orang yang
mengalami kelahiran dan kematian tanpa mengalami perkawinan. Itulah
perjalanan hidup yang dimulai dari muda sekali menuju dewasa untuk
kemudian menua dan mati. Perjalanan yang demikian sudah merupakan
kodrat yang tidak bisa dihindari. Manusia satu dan lainnya bergaul dan
berkembang, ikatan di antara mereka memunculkan perasaan saling
http://facebook.com/indonesiapustaka

memiliki yang menyebabkan munculnya rasa takut kehilangan. Itulah


perasaan yang sedang kaualami sekarang.”
Gajah Sagara menyimak ucapan ayahnya dengan penuh perhatian
sambil pandangan matanya menyapu warna hitam laut yang tanpa
tepi.
18 Gajah Mada

”Rasa sayang dan cintamu kepada kakek buyutmu memunculkan


rasa takut bakal kehilangan. Itu sama halnya dengan kamu merasa takut
jika ibumu jatuh sakit yang dapat menjadi penyebab kamu bakal berpisah
dengannya untuk selamanya. Perasaan yang demikian itu sampai pada
derajat tertentu tidak benar. Misalnya, seperti kali ini, rasa sayang dan
hormatmu terhadap kakek buyutmu tidak harus diterjemahkan dengan
berharap beliau kembali sembuh dan tetap menemanimu sampai kapan
pun. Hidup ada batasnya. Penuaan ada ujungnya. Daun-daun yang semula
tumbuh segar makin lama makin tua untuk layu dan luruh. Kakekmu
mengalami hal yang demikian juga,” Gajah Enggon melanjutkan
kalimatnya.
Ucapan ayahnya itu menyebabkan Gajah Sagara terperangah.
”Kematian justru akan membebaskan Kiai Pawagal dari semua
penderitaan,” ulang Gajah Enggon tegas.
Gajah Sagara sama sekali tidak siap menghadapi jawaban macam
itu, jawaban yang membuat isi dadanya berantakan.
”Eyang buyutmu sudah berusia amat tua, Sagara,” lanjut ayahnya.
”Usia Eyangmu mungkin mendekati seabad. Beliau sudah lelah
menghadapi kehidupan ini. Terbaca hal itu dari sikapnya yang tak mau
disuapi makan sejak beberapa pekan yang lalu. Apa arti bisa hidup
panjang jika keadaannya seperti itu?”
Pontang-panting Gajah Sagara berusaha mengendalikan detak
jantungnya. Dengan sekuat tenaga, ia mencoba menerima apa yang
diucapkan ayahnya itu sebagai sebuah kenyataan dan pilihan terbaik
bagi kakek buyutnya.
Gajah Enggon yang memegang pundak anaknya itu tiba-tiba bangkit
dan berdiri. Arah pandangnya tertuju ke kanan. Gajah Sagara pun segera
http://facebook.com/indonesiapustaka

memberikan perhatiannya pada hal yang sama, pada sesuatu yang luar
biasa. Pengalaman itu adalah untuk yang kedua kalinya bagi Gajah
Sagara. Namun, sudah berulang kali bagi Kanuruhan Gajah Enggon.
Dari arah yang menjadi perhatian itu, terdengar suara menderu, mirip
suara barisan hantu.
Sanga Turangga Paksowani 19

Di dalam biliknya, dengan hati sangat sesak, Rahyi Sunelok memeluk


kakeknya yang menggeliat sebagai terjemahan rasa sakit yang bukan
alang kepalang. Sesuatu, entah apa, seperti berdesakan di kepala Kiai
Pawagal, seolah di dalam tubuh ringkih itu ada makhluk lain, sesuatu
yang hidup yang menyebabkan Kiai Pawagal kesulitan menggapai tarikan
napas pamungkasnya. Ketika masih muda, sesuatu yang numpang hidup
itu bisa dimanfaatkan untuk banyak hal. Kini, di usia tua, sesuatu itu
menjadi masalah yang sulit dipecahkan.
Di luar rumah, di arah pandang Gajah Enggon dan Gajah Sagara, angin
lesus yang membelit apa pun itu kian menjadi dan menggila, menimbulkan
rasa miris bagi siapa pun yang melihat dan menghadapinya.
Dengan jantung berdebar, Gajah Enggon dan Gajah Sagara
menyaksikan tontonan yang jarang terjadi itu. Tanpa ada mendung di
langit, juga tanpa ada angin deras yang menjadi bahan baku, angin lesus
itu terbentuk dan berputar makin lama makin cepat. Ukuran angin yang
semula tak seberapa itu bergerak membesar dan membelit apa pun.
Gajah Enggon dan anaknya bersiap-siap lari menyelamatkan
diri melihat angin meliuk berukuran lima kali pohon kelapa itu
mendatanginya. Dalam siraman cahaya bulan, beliung yang sanggup
menjadi sumber bencana itu siap menerkam seperti singa yang siap
menancapkan kuku-kukunya. Namun, tanpa diketahui penyebabnya,
tiba-tiba pusaran angin yang siap menggilas apa pun itu bubar, lebih
tepatnya membubarkan diri.
Untung bagi Kiai Pawagal, setidaknya penderitaan yang muncul
dengan mendadak itu agak terurai ketika cucunya mengusapkan kain
basah di keningnya. Napas yang semula agak tersengal, sedikit mereda
dan kembali tenang seperti sediakala. Dan, seperti orang yang kehabisan
tenaga, Kiai Pawagal terkulai. Namun, ayunan napasnya masih ada,
http://facebook.com/indonesiapustaka

menjadi tanda ia masih hidup.


Gajah Sagara terhenyak dan jatuh terduduk. Gajah Enggon yang
mampu berpikir amat jernih bergegas lari ke rumah untuk melihat
bagaimana keadaan kakek mertuanya. Sesak napas Gajah Enggon oleh
kecemasannya.
20 Gajah Mada

”Terbukti benar apa yang dikatakan Ibu Suri Rajapatni Biksuni


Gayatri,” Gajah Enggon mengeluh dalam hati.
Kiai Pawagal kembali tenang setelah mukanya diseka dengan
secarik kain yang dibasahi. Keadaan macam itu menenteramkan hati
Gajah Enggon karena jika Kiai Pawagal menggeliat oleh rasa sakit yang
dideritanya, di luar sana, hal-hal aneh pasti terjadi. Kemunculan angin
lesus selalu menandai keadaan itu.
Dengan mata sembab, Rahyi Sunelok memandang suaminya.
Gajah Enggon segera meraih tangan istrinya. Kemudian, Rahyi Sunelok
menjatuhkan diri bersandar di pundaknya.
”Mari kita ke sanggar pamujan. Bersama-sama, kita panjatkan
puja mantra, semoga Hyang Widdi segera membebaskan kakekmu dari
penderitaannya,” ucap Gajah Enggon.
Rahyi Sunelok memandang Kiai Pawagal yang kembali tenang. Rahyi
Sunelok meraba kaki Kiai Pawagal yang sangat layu, sama sekali tidak
memiliki tenaga, bahkan sekadar untuk menggerakkan jemarinya.
Di sanggar pamujan yang dipenuhi aroma bunga menur dan asap
dupa, pasangan suami-istri itu memanjatkan doa puja mantra, meminta
kepada Hyang Widdi agar Kiai Pawagal diberi pilihan terbaik dan segera
dibebaskan dari penderitaan, apa pun bentuknya.
Gajah Sagara masih memandang ke arah itu. Di tempat itulah,
angin lesus bertiup sangat deras dan menampakkan diri beberapa saat
sebelumnya. Lunglai pemuda itu oleh kesadaran bahwa kemunculan
pusingan angin itu berhubungan dengan kakek buyutnya. Makin besar
ukuran pusaran angin, menjadi ukuran seberapa ngilu rasa sakit yang
diderita Kiai Pawagal.
Gajah Sagara menengadahkan kepala. Gajah Sagara yang bagai
http://facebook.com/indonesiapustaka

tidak bertenaga itu menoleh ke belakang karena ketajaman telinganya


mendengar sesuatu. Ia mendengar ada beberapa ekor kuda sedang
berderap mengarah ke tempatnya berada, meskipun mereka masih
cukup jauh. Gajah Sagara bergegas berdiri dan menempatkan diri untuk
melihat siapa yang akan lewat.
Sanga Turangga Paksowani 21

Dari suaranya, terdengar dengan jelas, kuda-kuda yang bergerak


mendekatinya itu paling tidak lebih dari lima ekor. Yang membuat
Gajah Sagara segera memicingkan mata adalah rombongan berkuda
itu memperlambat diri ketika mendekati rumah Kiai Pawagal. Tak
hanya memperlambat, bahkan akhirnya mereka berhenti. Orang yang
berkuda paling depan mengangkat tangan sebagai isyarat perintah untuk
berhenti.
Dalam siraman cahaya bulan, Gajah Sagara melihat orang-orang
itu turun dari kuda masing-masing dan mengikat kuda pada beberapa
pohon yang tumbuh di tepian pantai itu. Namun, ada pula yang mengikat
kudanya pada bangkai perahu. Gajah Sagara yang tak sabar ingin tahu
siapa mereka, bergegas mendekat.
”Paman Gajah Mada,” desis pemuda tampan itu.
Gajah Sagara langsung bisa menebak orang itu adalah Gajah Mada
hanya dengan melihat perawakannya yang kekar dan gaya berjalannya
dengan ayunan kaki yang berat mirip langkah seekor gajah. Sungguh
sesuai dengan namanya. Beberapa orang yang bersamanya adalah
para prajurit yang melakukan pengawalan. Di antara mereka, tampak
Pasangguhan20 Gagak Bongol.
Gajah Sagara yang masih berjarak beberapa jengkal bergegas
mendekat.
”Paman Gajah, Paman datang kemari?” sambut Gajah Sagara.
Gajah Mada yang menganggap Gajah Sagara tidak ubahnya anak
sendiri segera meraih dan mengguncang pundak Gajah Sagara.
”Bagaimana keadaan kakekmu?” tanya Mahapatih Amangkubumi
Gajah Mada.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pertanyaan itu menyebabkan Gajah Sagara terbungkam. Gajah


Sagara menggeleng lunglai.

20
Pasangguhan, Jawa Kuno, kata ini sudah tidak ketahuan jejak maknanya. Diduga, kata ini merupakan
jabatan yang amat tinggi yang berlatar prestasi di bidang keprajuritan. Jabatan itu diperoleh karena
keberanian seseorang di medan perang.
22 Gajah Mada

Pasangguhan Gagak Bongol mengulurkan tangan. Gajah Sagara tak


hanya menerima dan membalas tawaran jabat tangan itu. Ia memeluk
Gagak Bongol erat. Gajah Sagara telah menganggap Pasangguhan Gagak
Bongol sebagai pamannya sendiri. Ketika masih bocah, Gajah Sagara
mempunyai kenangan yang sulit untuk dilupakan.
Gagak Bongol yang telah beristri, tetapi belum dikaruniai anak
sering meminjam Gajah Sagara untuk diajak berkuda. Begitu sukanya
Gagak Bongol kepada Gajah Sagara, sampai-sampai sering kali Gajah
Sagara yang dipinjam itu tidak dikembalikan. Terpaksa, tengah malam,
Gajah Enggon datang mengambilnya.
”Biar saja anakmu menginap di sini, besok aku kembalikan,” kata
Gagak Bongol.
Gajah Enggon tertawa seperti meledek, ”Kalau aku tidak
keberatan. Istriku yang tak akan bisa tidur semalaman tanpa ada yang
dipeluk,”
Gagak Bongol ikut tertawa, ”Bukankah ada kamu?”
Gajah Sagara berharap ayahnya akan mengizinkannya menginap.
Akan tetapi, Gajah Enggon menggeleng dan melalui kedipan matanya
meminta supaya Sagara mendekat. Gajah Sagara menghambur dan
melompat ke pelukan ayahnya.
”Makanya, segera punya anak supaya jangan sering pinjam anak
orang lain,” kata Gajah Enggon.
Kenangan sangat indah seperti itu masih tersimpan di benak Gajah
Sagara. Maka, beban yang sedang menggumpal dan butuh pelampiasan
itu ia salurkan dengan memeluk Gagak Bongol erat.
Tanggap terhadap beban sangat berat yang sedang dihadapi anak
http://facebook.com/indonesiapustaka

sahabatnya itu, Gagak Bongol menepuk-nepuk pundaknya.


”Kenapa Paman Gajah Mada datang kemari?” tanya Gajah Sagara
setelah berhasil menguasai diri.
Gajah Mada memandang Gajah Sagara tajam.
Sanga Turangga Paksowani 23

”Sudah beberapa hari ayahmu pergi, tetapi belum juga kembali ke


kotaraja,” jawab Gajah Mada. ”Aku yakin, kakekmu sangat membutuhkan
perhatian ayahmu. Itu sebabnya, aku menyempatkan untuk datang
kemari.”
Gajah Sagara mengangguk.
”Keadaan Eyang Buyut sangat buruk, Paman,” jawab pemuda itu
amat datar.
Mahapatih Gajah Mada dan Pasangguhan Gagak Bongol saling
pandang.
Tanpa berbicara, Mahapatih Gajah Mada berjalan memimpin
rombongan kecil itu. Gajah Mada menyuruh seorang prajurit untuk
menjaga kuda-kuda.
Menjelang memasuki halaman rumah Kiai Pawagal, langkah kaki
Mapatih Majapahit yang memiliki tubuh kekar itu terhenti, demikian
juga dengan Pasangguhan Gagak Bongol dan beberapa orang prajurit
yang bertugas mengawal dua orang penting itu. Mereka mengarahkan
perhatian pada tontonan amat menakjubkan.
Gajah Mada memberikan perhatiannya dengan penuh minat.
Sebaliknya, Gajah Sagara justru merasa hatinya bagai makin terbelah setelah
sebelumnya pecah. Pusaran angin tiba-tiba muncul dan mengisap apa pun,
meliuk menari dan terlihat sangat jelas dalam siraman cahaya bulan.
Dengan mata terbelalak, Mahapatih Gajah Mada mencermati
gejala alam yang tidak sembarang waktu muncul itu, demikian pula
Pasangguhan Gagak Bongol. Para prajurit pengiring segera menyiagakan
diri. Jika pusaran angin lesus itu bergerak mengarah ke mereka, tak
ada gunanya tombak yang teracung, anak panah yang direntang, dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

pedang yang diayun. Angin lesus dalam ukuran besar itu pasti sanggup
melemparkan seekor gajah bengkak ke udara.
Merinding Mahapatih Gajah Mada memerhatikan angin lesus
itu. Pasangguhan Gagak Bongol pun miris ketika mencermati betapa
dahsyat kekuatan yang tersimpan dalam pusaran angin yang meliuk
24 Gajah Mada

sedemikian kencang itu. Seperti meledek, angin lesus itu bergerak di


tempat, menyebabkan pasir yang diisap tersebar berhamburan. Ketika
tiba-tiba beliung itu bergerak melintasi rimbun pohon pandan, pohon
pandan itu tercabut dan terlempar ke laut.
Gajah Mada dan anak buahnya melangkah mundur ketika angin
lesus itu tiba-tiba bergerak ke arah mereka. Mahapatih Gajah Mada dan
anak buahnya siaga melarikan diri jika angin berputar pemilik kekuatan
dahsyat itu mengancam mereka.
Namun, lagi-lagi tidak jelas apa sebabnya, angin lesus itu
membubarkan diri, meninggalkan jejak lengang dan sepi. Meskipun
demikian, jejak pesonanya benar-benar amat membekas dan menyita
ruang. Mahapatih Gajah Mada dan Pasangguhan Gagak Bongol tentu
tidak akan pernah melupakan kenangan atas peristiwa yang sama lebih
dari dua puluh tahun yang lalu. Ketika itu, istana Majapahit dijarah
maling, Wirota Wiragati. Maling ini memiliki kemampuan kanuragan yang
aneh. Ketika lingkungan istana sedang dibelit kabut tebal yang aneh, saat
itulah beliung yang rupanya hadir di bawah kendali seseorang muncul.
Jejak pesona peristiwa itu sulit dibuang bekasnya. Kini, setelah
sekian lama, angin lesus itu unjuk gigi lagi. Setelah dua puluh tahun lebih
berlalu, kini, Mahapatih Gajah Mada dan Pasangguhan Gagak Bongol
menyaksikan pengulangan kembali kemunculan udara yang memilin
membentuk pusaran angin itu.
Gagak Bongol mendekati Mahapatih Gajah Mada.
”Apa artinya ini?” tanya Pasangguhan Gagak Bongol.
Mahapatih Gajah Mada tak menjawab karena merasa tak tahu
jawabnya. Mahapatih Gajah Mada memberikan perhatiannya kepada
Gajah Sagara dengan mendekatinya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Apa peristiwa seperti ini sering terjadi di sini?” tanya Mahapatih


Gajah Mada.
Gajah Sagara termangu beberapa jenak, kemudian mengangguk
perlahan.
Sanga Turangga Paksowani 25

”Seberapa sering?” kejar Gajah Mada.


”Sejak Eyang Buyut jatuh sakit dan kehilangan kesadarannya,”
jawab Gajah Sagara.
Jawaban itu membingungkan Gagak Bongol. Akan tetapi, Mahapatih
Gajah Mada yang telah memiliki gambaran dan keterangan sebelumnya,
tidak kesulitan memahami jawaban yang diberikan anak Kanuruhan
Gajah Enggon itu.
Setelah dua puluh tahun lebih berlalu, baru kini diperoleh jawaban
siapa sebenarnya yang berada di belakang munculnya angin lesus itu. Gajah
Mada menghirup tarikan napas amat panjang dan dalam. Kemunculan
angin lesus itu benar-benar meninggalkan jejak kesan amat dalam.
Pintu rumah yang semula tertutup itu kemudian terbuka.
Ketenangan Kanuruhan Gajah Enggon dan istrinya yang amat larut
dalam memanjatkan doa puja mantra di sanggar pamujan terusik
oleh berisik yang berasal dari halaman rumah. Namun, dengan segera
Kanuruhan Gajah Enggon dapat menyimpulkan siapa tamu yang datang
itu. Tanpa banyak bicara, Gajah Enggon mempersilakan tamu-tamu yang
datang itu untuk menengok keadaan Kiai Pawagal.
Komat-kamit mulut Pasangguhan Gagak Bongol. Namun, entah
apa yang diucapkannya. Mahapatih Gajah Mada terlihat menahan napas
beberapa jenak.
Miris Gajah Mada melihat keadaan Kiai Pawagal yang amat
menderita di hari tuanya itu. Raut wajah Kiai Pawagal agak sulit
dikenalinya. Tubuh itu tinggal belulang tanpa daging, pipinya cekung
dengan mulut tenggelam ke dalam karena sudah tak memiliki gigi.
Mahapatih Gajah Mada kemudian menoleh dan mengarahkan
pandangan matanya pada seraut wajah cantik yang sedang berduka.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Telah dua puluh tahun lebih, Rahyi Sunelok menempuh perjalanan


perkawinannya. Namun, raut wajah sedang berduka itu masih
menampakkan guratan kecantikannya.
”Aku ingin berbicara berdua, di luar,” kata Gajah Mada memecah
keheningan.
26 Gajah Mada

Ucapan itu ditujukan kepada Kanuruhan Gajah Enggon yang


dengan bergegas melangkah menyusul Gajah Mada ke luar rumah.
Pasangguhan Gagak Bongol ingin membesarkan hati Nyai Rahyi Sunelok
dan Gajah Sagara. Akan tetapi, mulutnya bagai terkunci.
Di luar, tanpa banyak bicara, Mahapatih Gajah Mada berjalan kaki
menyusuri tanah berpasir. Kanuruhan Gajah Enggon menempatkan diri
di sebelahnya. Gajah Enggon tidak mengeluarkan ucapan apa pun sampai
Gajah Mada berhenti dan berbelok mendekati sebuah perahu yang
teronggok. Agar perahu itu tidak hanyut ketika air pasang, pemiliknya
telah mengikatkannya pada pohon kelapa gading yang tumbuh di
belakang rimbun pohon pandan laut.
Gajah Mada membiarkan air laut menjilat kakinya.
”Sebagaimana dulu pernah kauceritakan,” kata Gajah Mada,
”agaknya, benar apa yang disampaikan mendiang Ibu Suri Rajapatni
Gayatri tentang kakekmu.”
Gajah Enggon yang memandang Gajah Mada, mengangguk
perlahan. Tatapan matanya yang tajam mirip elang, menyapu garis
laut yang tenang, juga menatap gumpalan awan yang melintasi bulan.
Namun, perbuatan awan itu hanya sejenak dan tidak menyebabkan Gajah
Enggon terganggu dalam mencermati bahasa raut muka Mahapatih
Gajah Mada.
Beberapa saat perhatian Gajah Enggon tertuju pada air laut yang
pecah dan bergelombang di sebuah tempat. Gajah Enggon tahu, keadaan
itu merupakan pertanda bahwa tempat yang lebih menggunduk itu
sedang dilintasi ikan raksasa, ikan sangat besar yang belum diketahui
apa namanya.
Ikan sebesar rumah dengan panjang sampai dua ratus langkah
http://facebook.com/indonesiapustaka

itu, bahkan pernah ditemukan terdampar tak jauh dari pantai dan
menimbulkan masalah luar biasa. Tidak seorang pun yang berani dan
mau memanfaatkan daging ikan itu karena rasanya tidak enak.
Celakanya, juga tak mungkin mengubur ikan sebesar itu. Akibatnya,
ternyata mengerikan. Beberapa hari kemudian, bau busuk yang muncul
Sanga Turangga Paksowani 27

menyebabkan penduduk lima kampung mengungsi. Ketika akhirnya


daging ikan itu habis oleh macam-macam sebab, di antaranya dijarah
anjing, digerus air laut, dan menjadi santapan pesta para burung pemakan
bangkai, termasuk burung-burung gagak, hanya menyisakan kerangka
dengan bentuk aneh.
”Menurutmu bagaimana?” balas Gajah Enggon.
Mahapatih Gajah Mada tidak segera menjawab pertanyaan itu. Ia
justru mengukur betapa tua usia Kiai Pawagal. Kiai Pawagal berumur
panjang sebagaimana Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri memperoleh
karunia usia yang sedemikian panjang. Ibu Suri Rajapatni Gayatri
meninggal tahun 1350, baru tujuh tahun yang lalu. Sementara itu, kakek
mertua Gajah Enggon yang terlahir beberapa tahun lebih dulu dari
mendiang Ibu Suri Gayatri hingga kini masih hidup.
”Kenapa bukan kau yang mewarisi?” Gajah Mada memecah
keheningan.
Pertanyaan itu amat menyentuh permukaan hati Kanuruhan Gajah
Enggon.
Sepasang burung hantu, entah mengapa bertengger berdampingan
di sebuah dahan. Boleh jadi, pasangan burung hantu itu sedang
mengamati apa yang akan terjadi pada Kiai Pawagal. Maka, percakapan
antara Gajah Mada dan Gajah Enggon itu mereka simak dengan baik.
Tidak satu kalimat pun yang tercecer.
”Aku mewarisi kemampuan itu?” tanya Gajah Enggon.
Gajah Mada tidak mengangguk. Namun, ia memandang sahabatnya
itu dengan amat tajam. Gajah Enggon menggeleng lemah.
”Kenapa?” Gajah Mada mengejar.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Senyum yang mengembang di sudut bibir Gajah Enggon adalah


senyum yang aneh.
”Aku tak mampu membayangkan harus mengulangi apa yang
dialami kakek mertuaku sekarang ini,” ucap Gajah Enggon. ”Kalaupun
aku bersedia, aku tak tahu bagaimana caranya,” jawab gajah Enggon.
28 Gajah Mada

Keadaan kembali hening, baik Mahapatih Gajah Mada yang juga


disebut Sang Mahamantrimukya Rakrian Ma Patih Mpu Mada21 maupun
Kanuruhan Gajah Enggon sama-sama bagai kehilangan mulutnya
dan tinggal gigi-giginya. Masing-masing membiarkan angin dingin
yang berembus dari laut menggerayangi tubuhnya. Masing-masing
membiarkan otak berputar bagai pusaran cakramanggilingan.22 Namun,
keadaan itu tidak berlangsung lama.
”Bagaimana kalau aku tawarkan itu untukmu?” tanya Gajah
Enggon.
Gajah Mada yang sedang memandang kerlap-kerlip lampu nelayan,
berbalik. Akan tetapi, Mahapatih Gajah Mada tidak segera menjawab
tawaran Gajah Enggon tersebut. Pertanyaan yang dilontarkan sejawatnya
itu melemparkannya ke gumpalan kenangan yang terjadi menjelang
kematian Ibu Suri Gayatri, juga peristiwa yang terjadi dua tahun sebelum
itu.
Menjelang Ibu Suri Gayatri tutup mata untuk selamanya, orang
se- Majapahit bagai tersihir oleh kantuk yang luar biasa. Kantuk itu
membuat semua orang tidur. Ibu Suri Rajapatni serasa telah mengecoh
mereka sehingga tak seorang pun yang tersadar, tepat tengah malam
itu, Ibu Suri telah tiada.
Hanya Gajah Mada seorang yang tahu peristiwa itu dan hanya Gajah
Mada seorang yang mengambil langkah untuk mendampingi Ibu Suri
Rajapatni ketika mengambil tarikan napas pamungkasnya. Sementara itu,
dua tahun sebelum itu, nun jauh di Keta, di atas pembaringan reyot di
sebuah rumah yang sederhana, Gajah Mada membimbing Kiai Wirota
Wiragati untuk keadaan yang sama.
Mirip dengan Kiai Pawagal, Kiai Wirota Wiragati juga mengalami
kesulitan melintasi pintu gerbang kematian karena dalam dirinya ada sesuatu
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang numpang hidup dan menjadikannya sebagai tempat tinggal.

21
Sang Mahamantrimukya Rakrian Ma Patih Mpu Mada, gelar Gajah Mada sebagaimana tertera dalam
prasasti Singasari bertarikh 1351
22
Cakramanggilingan, Jawa, putaran waktu atau putaran nasib
Sanga Turangga Paksowani 29

Sesungguhnya, Ibu Suri Gayatri memiliki kemungkinan keadaan


yang sama. Akan tetapi, tidak menjadi masalah bagi perempuan
bangsawan yang telah pasrah diri menjadi biksuni itu. Tidak seperti Kiai
Wirota Wiragati, juga tidak seperti yang dialami Kiai Pawagal sekarang,
Ibu Suri melewati pintu gerbang kematian dengan mulus.
Sejenak, Mahapatih Gajah Mada merasa dadanya meluap. Tawaran
yang dilontarkan Kanuruhan Gajah Enggon itu harus ditimbangnya
dengan baik. Sebagai orang yang memiliki cita-cita sangat tinggi, Gajah
Mada yakin dapat memanfaatkan kemampuan luar biasa yang akan
diwarisinya dari Kiai Pawagal itu untuk makin menyempurnakan upaya
dan kerja keras yang telah dilakukannya. Kemampuan luar bisa tersebut
dapat membantunya mewujudkan semua cita-citanya.
Selama melebarkan wilayah Majapahit, Mahapatih Gajah Mada
melihat ada banyak sekali rintangan yang berasal dari orang-orang
setempat yang memiliki kadigdayan luar biasa. Bali adalah gudang orang-
orang yang memiliki kemampuan langka macam itu. Hanya dengan siasat
dan perhitungan yang matang, Bali dapat dikuasai.
Apalagi, Gajah Mada telah menerima kabar bahwa saat ini
Temenggung Nala sedang bekerja lebih keras untuk menguasai Dompo
di Sumbawa. Prajurit penghubung yang baru saja datang melaporkan
bahwa cara berperang orang Dompo sangat aneh. Mereka lebih suka
berperang malam hari disertai ribuan, bahkan mungkin jutaan kunang-
kunang yang membingungkan. Namun demikian, menurut laporan
prajurit penghubung itu, keadaan masih bisa diatasi.
”Aku bersedia,” jawab Gajah Mada dengan suara tertelan.
Betapa terkejut Gajah Enggon memperoleh jawaban itu.
”Aku bersedia,” ulang Sang Mahamantrimukya Mpu Mada amat
http://facebook.com/indonesiapustaka

tegas.
Selangkah Gajah Enggon lebih mendekat. Air laut kembali
mengguyur kakinya.
”Kalau aku bersedia, Kanuruhan Gajah Enggon,” ucap Gajah Mada
dengan nada suara rendah berwibawa, ”tidak atas nama keserakahanku.
30 Gajah Mada

Namun, menurutku harus ada orang yang berkorban untuk kakek


mertuamu. Kalau tidak ada yang berani berkorban, betapa ngeri
membayangkan penderitaan yang akan dialami Kiai Pawagal. Itu sebabnya,
aku bersedia. Kulakukan itu bukan dalam rangka menguasai kemampuan
itu. Namun, untuk menolong beliau.”
Kanuruhan Gajah Enggon melangkah lebih dekat dan meraih
lengan Gajah Mada untuk diguncang dengan amat kuat. Kesanggupan
Gajah Mada mengorbankan diri itu sungguh melegakan hatinya.
Kesanggupan Gajah Mada itu akan menjadi pintu pembebas bagi Kiai
Pawagal dari penderitaan yang sebagaimana diramalkan Ibu Suri Gayatri,
jika dibiarkan, akan berkepanjangan.
Bagai menjawab kesediaan Gajah Mada, dari arah timur tiba-tiba
kembali terdengar suara gemeresak. Udara yang tersedia berlimpah ruah
di tempat tidak jauh dari muara sungai kecil itu tiba-tiba terangsang
untuk saling membelit dan memilin. Kemudian, bergerak dengan cepat
menyemburatkan air sungai yang dilintasinya. Makin lama ukuran angin
lesus itu makin besar. Dari yang semula hanya sebesar pohon pinang,
berlipat menjadi lebih besar dari ukuran pohon kelapa dan makin
berlipat lagi.
Kemunculan angin lesus itu sangat mengganggu. Di balik lebatnya
pohon pandan, segerombolan burung emprit23 yang sedang berlindung
untuk menghabiskan malam dan menunggu datangnya esok, bubar
mawut.24 Rombongan emprit itu semburat dan masing-masing berusaha
mencari selamat. Pun seekor ular berwarna hijau yang sedang
merayap dan berniat menerkam pasangan burung sikatan yang ikut
bertengger di sebuah dahan, rontok nyali ular itu mendengar suara
yang sedemikian mengerikan. Ular hijau itu melorot dan buru-buru
mencari selamat.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Di sudut pembaringan, Rahyi Sunelok memegang lengan kakeknya


dengan hati yang benar-benar berantakan. Kiai Pawagal menggeliat
menahan sesuatu yang seperti hidup dan menggunakan tubuhnya sebagai
23
Emprit, Jawa, nama burung pemangsa padi, berukuran lebih kecil dari burung gereja
24
Mawut, Jawa, kacau-balau
Sanga Turangga Paksowani 31

tempat tinggal. Dari tenggorokannya yang kering keluar suara yang bikin
miris. Matanya membeliak kehilangan warna hitamnya. Bola mata yang
terbalik itu hanya menampakkan bagian putihnya saja.
”Duh, Hyang Widdi,” Rahyi Sunelok merintih dengan suara serak.
”Janganlah Kausiksa kakekku dengan keadaan seperti ini. Jika telah tiba
waktunya, cabut saja nyawa kakekku.”
Sesuatu yang hidup di tubuh Kiai Pawagal itu rupanya tidak mau
keluar dari raga tempat tinggalnya begitu saja sebelum menemukan raga
baru. Tergambar hal itu dengan nyata dari geliat liar tubuh yang amat
tua itu, seolah nyawa yang akan oncat itu dipertahankan dengan sekuat
tenaga. Hal itu karena sesuatu yang numpang tinggal di raga orang itu
akan ikut mati jika tubuh yang ditempati tak lagi bernapas.
Di luar rumah, angin lesus yang dihadapi Gajah Mada makin lama
makin membesar. Namun, hal itu tidak menyurutkan Gajah Mada untuk
menyongsongnya. Dengan ayunan kaki mantap, Mahapatih Gajah Mada
justru mendekati angin lesus itu.
Pusaran angin lesus itu bagai bernyawa, bahkan seperti sedang
menunggu Gajah Mada. Beliung itu meliuk di tempat, menyemburatkan
apa pun, menyemburatkan tanah dan pasir, menyemburatkan air di
muara sungai dan melempar batu-batu serta batang kayu yang hanyut
di muara itu.
Dengan jantung berdebar, Kanuruhan Gajah Enggon memerhatikan
Mahapatih Gajah Mada yang telah berdiri tegak. Gajah Mada tak
peduli pada rasa sakit yang ditimbulkan sengatan pasir dan kerikil yang
menghajar tubuhnya. Layak diyakini, angin lesus itu punya kehendak,
bahkan mungkin memiliki nyawa. Pusaran angin amat deras itu bergerak
lebih mendekat lagi, makin dekat dan siap menggilas.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Akhirnya, seperti harimau yang merasa korban yang akan disergap


telah berada di ruang jangkauannya, angin lesus itu mendadak menyergap
melalui gerakan berputar. Gajah Mada yang telah mempersiapkan diri
serasa mengubah dirinya menjadi seekor gajah. Kakinya menancap di bumi.
Bubar mawut gelung keling Gajah Mada karena tali pengikatnya terlepas.
32 Gajah Mada

Namun, Gajah Mada bagaikan orang yang tidak peduli apa pun,
mati sekalipun. Dengan tekad yang telah bulat, ia menyediakan diri
menjadi wadah baru bagi sumber kekekuatan yang menjadi penyebab
terlahirnya angin lesus itu.
Tiba-tiba, Gajah Mada merasakan impitan yang luar biasa. Tekanan
yang berkesanggupan meretakkan dinding kepala itu harus dilawannya
dengan keras. Akan tetapi, yang dihadapi Mahapatih Gajah Mada adalah
sebuah kekuatan yang tanpa batas. Makin kuat Gajah Mada memberikan
perlawanan, makin kuat pula angin lesus itu menekannya.
Gajah Mada merasa, sampai pada batas tertentu, kekuatan pusaran
angin yang memberi tekanan dahsyat itu akan meretakkan kepalanya,
menyebabkan isi otaknya berhamburan semburat bersama pasir.
Akan tetapi, Kiai Pawagal benar-benar tertolong oleh keadaan
itu. Kakek tua itu merasa pintu gerbang kematian telah terbuka dan
tinggal memasukinya. Ketika kesempatan yang lama dirindukan itu
datang menghampirinya, Kiai Pawagal tak perlu menunggu waktu untuk
menggapainya. Rahyi Sunelok dan Gajah Sagara melihat, lewat tarikan
napas yang panjang sekali, lepas sudah kehidupan dari jasad yang menjadi
tempat tinggalnya.
Tarikan napas itu tak berlanjut. Tubuh tua dan renta itu benar-benar
membeku. Dengan amat tegang, Gajah Sagara memerhatikan jasad kakek
buyutnya. Dalam keadaan yang sebangun, Nyai Rahyi Sunelok memegang
kaki kakeknya. Para prajurit pengiring Gajah Mada dan Pasangguhan
Gagak Bongol pun memerhatikan apa yang terjadi dan berlangsung
dalam waktu yang sangat singkat itu.
Pada saat yang demikian, Gajah Mada yang akhirnya tak mampu
melawan angin lesus itu terisap dan terputar tubuhnya dengan amat
http://facebook.com/indonesiapustaka

kasar, kemudian terlempar dengan deras ke arah ombak yang datang


menggulung. Bubar mawut angin lesus itu tidak meninggalkan jejak.
Kanuruhan Gajah Enggon tanggap terhadap keadaan. Maka,
dengan sekencang-kencangnya, ia berlari melawan gulungan air yang
membuih. Bertumpu pada kakinya, ia meloncat dan ambyur, kemudian
Sanga Turangga Paksowani 33

berenang sekuat-kuatnya dan berusaha menggapai tubuh Mahapatih


Gajah Mada yang timbul tenggelam dipermainkan air. Gajah Enggon
yang berhasil meraihnya, kemudian membawanya berenang ke tepi.
Kekuatan angin lesus yang melibasnya itu rupanya mampu memaksa
Mahapatih Gajah Mada untuk tidak sadarkan diri. Akan tetapi, Kanuruhan
Gajah Enggon merasa ada hal yang lebih penting daripada keadaan Gajah
Mada itu. Setelah menyeret Gajah Mada dan menyandarkan ke punggung
sebuah perahu, Gajah Enggon berlari sekencang-kencangnya. Begitu
menghambur masuk ke dalam rumah, ia dapati istrinya diam membeku.
Gajah Sagara juga diam membeku, sebagaimana Pasangguhan Gagak
Bongol dan para prajurit yang berjejal di ruang itu. Semua membeku.
”Eyang Buyut sudah pergi,” hening itu dipecahkan Gajah Sagara.
Gajah Enggon bergegas mendekat dan memerhatikan keadaan
kakek mertuanya dengan saksama dan penuh perhatian.
Nyai Rahyi Sunelok berusaha keras untuk tegar dan menerima
keadaan itu sebagai pilihan terbaik. Kakeknya telah tiada, itu lebih baik
daripada masih hidup, tetapi menderita.
Nyai Rahyi Sunelok menghapus air matanya dan berupaya menghapus
semua duka dari raut wajahnya. Demikian pula dengan Gajah Sagara,
pada mulanya, ia mengalami kesulitan menerima kenyataan harus
berpisah dengan kakek buyut yang sangat dicintainya. Akhirnya, Gajah
Sagara menyadari bahwa kematian jelas keadaan yang lebih baik bagi Kiai
Pawagal.
Gajah Sagara yang kemudian menangadah memerhatikan atap
rumah adalah dalam rangka membayangkan bagaimana nyawa kakek
buyutnya melayang dan mungkin memerhatikan tubuh yang telah
ditinggalkan. Jiwa yang melayang makin tinggi dan mampu menembus
http://facebook.com/indonesiapustaka

apa pun itu serasa melambaikan tangan pada tubuhnya, kepada cucunya,
dan kepada cucu buyutnya.
”Kanuruhan Gajah Enggon, aku ikut berbelasungkawa,” kata
Pasangguhan Gagak Bongol membangunkan Kanuruhan Gajah Enggon
dari lamunannya.
34 Gajah Mada

Gajah Enggon mengangguk.


”Nyai,” lanjut Pasangguhan Gagak Bongol, ”aku ikut berduka
dengan kematian Kiai Pawagal. Aku panjatkan doa semoga di kehidupan
lain, Kiai Pawagal memperoleh tempat yang layak sesuai dengan
pengabdiannya.”
Nyai Rahyi Sunelok mengangguk. Namun, tidak satu kalimat
pun keluar dari mulut perempuan itu, juga ketika tiba giliran satu
per satu para prajurit pengawal Gajah Mada ikut menyampaikan
belasungkawanya. Dengan tegar, Nyai Gajah Enggon dan Gajah
Sagara menerimanya.
Adalah Kanuruhan Gajah Enggon yang tak tenang karena ia satu-
satunya orang yang menyimpan dan mengetahui rahasia terkait dengan
kematian kakek mertuanya. Di sela waktu yang ada, ia bergegas menemui
Gajah Mada yang masih lunglai bersandar perahu.
Gajah Mada yang semula berada dalam keadaan pingsan itu telah
siuman dan pulih kesadarannya. Gajah Mada masih merasakan jejak rasa
sakit bukan kepalang akibat impitan kekuatan yang luar biasa, kekuatan
yang nyaris meretakkan dinding kepalanya dan meremukkan tubuh serta
tulang belulangnya. Mahapatih Gajah Mada beruntung karena impitan
pusaran angin itu tak sampai menghancurkannya.
”Bagaimana keadaanmu?” tanya Gajah Enggon.
Gajah Mada berusaha bangkit, tetapi tidak mampu.
”Tadi ada orang,” ucapnya.
Apa yang dikatakan Mahapatih Gajah Mada itu menyebabkan Gajah
Enggon kaget. Ia menoleh ke belakang, bahkan menebar pandangan
matanya ke segala penjuru. Akan tetapi, orang yang dimaksud Gajah
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mada tidak tampak batang hidungnya.


”Coba kaususul dia,” pinta Gajah Mada dengan tersengal.
Gajah Enggon agak bingung.
”Ke mana arahnya?” balas Gajah Enggon.
Sanga Turangga Paksowani 35

Akan tetapi, sekadar mengangkat tangan untuk mengarahkan


telunjuk rupanya merupakan pekerjaan yang sulit bagi Gajah Mada.
Tenaganya bagaikan dikuras habis. Kanuruhan Gajah Enggon yang
tanggap terhadap keadaan segera bertindak. Dengan cepat, ia berlari
menuju arah yang dikehendaki Gajah Mada.
Akan tetapi, Gajah Enggon bergegas berhenti. Ia menemukan
sebuah kejanggalan yang menyebabkannya merasa tak harus melanjutkan
larinya. Gajah Enggon memerhatikan tepian pantai berpasir yang
terlihat jelas sampai jauh karena siraman cahaya bulan. Gajah Enggon
berbalik.
”Tidak ada jejak kaki di atas pasir, tidak ada siapa pun,” kata Gajah
Enggon yang telah kembali.
Gajah Mada tersengal. Dengan susah payah, ia berusaha mengusai
diri. Dibantu Kanuruhan Gajah Enggon, Gajah Mada berusaha sekuat
tenaga untuk bisa berdiri.
”Ini benar-benar pengalaman tergila yang pernah aku alami,” ucap
Mahapatih Gajah Mada sambil berusaha berbalik dan memerhatikan
sebuah arah.
Gajah Enggon bergeser dan menempatkan diri berdiri tepat di
depan Gajah Mada.
”Kau merasa yakin melihat seseorang?” tanya Gajah Enggon.
”Ya,” jawab Gajah Mada sambil mengangguk tegas.
Gajah Enggon termangu sejenak. Namun, sebuah pemberitahuan
telah disiapkan.
”Kiai Pawagal sudah tidak ada,” ucapnya datar.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mahapatih Gajah Mada balas memandang Gajah Enggon dengan


tatapan mata tidak kalah tajam, bahkan serasa akan lepas bola mata
laki-laki berwajah tebal itu.
”Terima kasih karena kau telah membantu Kiai Pawagal terbebas
dari belenggunya. Jika aku tidak salah menebak, orang yang kaulihat itu
36 Gajah Mada

mungkin Kiai Pawagal dalam wujud badan alus-nya.25 Sama sekali tidak
ada jejak kaki di arah yang kaulihat itu,” lanjut Gajah Enggon.
Namun, Gajah Mada memiliki alasan untuk menolak pendapat
Gajah Enggon itu. Kemunculan orang itu bukan untuk yang pertama
kalinya. Pada suatu ketika, di masa lalu, Gajah Mada pernah berurusan
dengannya. Mengapa pula orang tak dikenal itu tiba-tiba hadir di Ujung
Galuh? Wajah orang yang menampakkan diri dengan cara yang aneh itu
masih wajah yang sama. Akan tetapi, semua rasa penasaran itu hanya
disimpan dalam hati. Mahapatih Gajah Mada sama sekali tidak berniat
berbagi, bahkan sampai kapan pun. Untuk rahasia yang satu itu, ia tidak
berniat berbagi. Pertemuannya dengan orang tak dikenal itu akan menjadi
rahasia yang akan disimpannya sendiri.
”Kiai Pawagal sudah tidak ada?” ulang Gajah Mada perlahan.
Kanuruhan Gajah Enggon mengangguk mempertegas apa yang
ia sampaikan.

3
M alam itu, rumah Kiai Pawagal ramai oleh orang yang berdatangan
untuk menyampaikan belasungkawa sekaligus membantu mempersiapkan
segala sesuatu yang dibutuhkan untuk pembakaran layon26 yang akan
http://facebook.com/indonesiapustaka

diselenggarakan esok harinya.

25
Badan alus, Jawa, roh, jiwa, atau nyawa
26
Layon, Jawa, mayat
Sanga Turangga Paksowani 37

Penduduk yang tinggal di pedukuhan Ban Culuk, bahkan sampai


ujung pelabuhan, semua datang melayat. Mereka menjadi heboh
mengetahui kehadiran Mahapatih Gajah Mada di tempat itu.
Berita meninggalnya Kiai Pawagal yang mengagetkan dan upacara
pemakaman Kiai Pawagal yang akan dihadiri Mahapatih Gajah Mada
dengan segera menyebar dari mulut ke mulut, bersambung ke mulut
yang lain lagi, menular pula dari pedukuhan ke pedukuhan di sebelahnya.
Bahkan, berita itu menyebar ke para nelayan yang mengapungkan
perahunya di laut. Berita kematian Kiai Pawagal rupanya lebih menyengat
daripada ledakan petir yang terjadi di musim kemarau.
”Kiai Pawagal meninggal?” tanya seorang nelayan yang baru saja
menurunkan ikan hasil tangkapannya.
”Ya,” jawab perempuan yang memberi tahu. ”Kiai Pawagal
meninggal semalam, ditunggui cucu dan menantunya. Tetapi, ada berita
lain yang lebih penting yang aku kira perlu diketahui.”
”Berita apa?” tanya nelayan itu.
”Patih Gajah Mada datang melayat. Kalau ingin melihat wujud Patih
Gajah Mada dari dekat, datanglah. Aku akan selesaikan pekerjaanku
dulu baru aku ke sana.”
”Gajah Mada? Mahapatih Mangkubumi Majapahit?” terkejut sekali
nelayan itu.
”Ya. Mahapatih Gajah Mada datang semalam. Agaknya, Kiai
Pawagal hanya mau mati jika telah didatangi Mahapatih Gajah Mada.
Begitulah, setelah Mahapatih Gajah Mada datang, dengan sangat
gampang, Kiai Pawagal mengembuskan tarikan napas terakhirnya,”
jawab perempuan itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Nelayan itu, sebagaimana para nelayan lain yang selama ini merasa
sangat berutang budi kepada Kiai Pawagal, bergegas menyelesaikan
pekerjaannya dan dengan sangat tergesa mendatangi rumah Kiai
Pawagal.
38 Gajah Mada

Nyaris semua nelayan di Ujung Galuh berutang budi kepada kakek


tua itu. Kakek yang memiliki ilmu pengetahuan aneh-aneh dan luar biasa.
Di mata para nelayan, bintang-bintang di langit semula hanya gemerlap
tanpa arti. Akan tetapi, lain artinya di mata Kiai Pawagal. Dan, setelah
semua mempelajari dengan cermat, sebenarnya letak bintang-bintang
di langit memberi petunjuk atas waktu, atas musim, bahkan ke soal
firasat buruk.
Dari Kiai Pawagal, para nelayan tahu bagaimana cara pulang jika
tersesat di lautan luas. Dari Kiai Pawagal pula, mereka mendapat petunjuk
ke arah mana harus melaut supaya bisa memperoleh tangkapan yang
banyak. Kiai Pawagal juga mempunyai kemampuan membantu orang
sakit, bahkan menyembuhkan orang yang kesurupan. Hanya dengan
ditiup dan mulut komat-kami, hantu yang masuk ke tubuh seseorang
langsung terbirit-birit.
Maka, bagi penduduk dari ujung barat sampai ujung timur
pelabuhan Ujung Galuh, kematian Kiai Pawagal benar-benar menjadi
kehilangan yang amat besar. Akan tetapi, daya tarik Mahapatih
Gajah Mada yang datang untuk ikut memberikan penghormatan
terakhir kepada Kiai Pawagal memang sangat besar. Puluhan, bahkan
hampir mendekati seratus orang yang berniat melaut, membelokkan
arah perahunya begitu berita kehadiran Gajah Mada itu menyapa
mereka.
Gajah Mada adalah orang yang sangat terkenal. Bagi orang-orang
Ujung Galuh, bisa berjabat tangan dengannya akan menjadi sebuah
kebanggaan. Kisah itu akan dituturkan kepada anak dan cucu. Atau,
dipamerkan kepada siapa pun dengan menepuk dada.
Tak harus menunggu terik untuk memulai pembakaran layon.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dengan kerja keras dan bahu-membahu, semua yang dibutuhkan untuk


penyelenggara upacara sudah terpenuhi. Maka, ketika matahari memanjat
naik dan cukup panas untuk membuat orang berkeringat, api disulutkan
ke tumpukan kayu yang telah disiram dengan minyak. Api pun berkobar,
panasnya memaksa orang-orang untuk mundur.
Sanga Turangga Paksowani 39

Tak seorang pun yang berbicara. Semua orang mengikuti tahapan


penting upacara penghormatan kepada mendiang Kiai Pawagal itu
dengan hikmat.
Nyai Rahyi Sunelok mengantarkan kakeknya ke tempat
peristirahatannya yang terakhir dengan sangat tegar dan ikhlas. Demikian
juga dengan Gajah Sagara yang akhirnya sanggup menerima kenyataan itu
dengan rela. Gajah Sagara akhirnya harus mengakui, sulit membayangkan
bagaimana kakek buyutnya akan tersiksa oleh keadaannya.
Ketika matahari memanjat lebih tinggi, upacara pembakaran mayat
itu pun usai. Dengan ramah, Gajah Enggon menyampaikan terima
kasihnya kepada para tetangga yang telah banyak memberikan bantuan.
Gajah Enggon adalah pejabat penting di Majapahit sehingga para
tetangga yang pada umumnya nelayan itu amat menghormatinya.
”Akhirnya, aku berhasil melihat Gajah Mada dengan mata dan
kepalaku sendiri,” kata salah seorang pelayat sambil berjalan pulang.
”Kau berhasil menjabat tangannya?” tanya seorang yang lain.
”Ya, tentu,” jawab orang itu. ”Aku menjabat tangannya, bahkan
berbincang-bincang. Mahapatih Gajah Mada sempat menanyakan siapa
namaku dan menanyakan pula apa aku punya anak laki-laki. Aku jawab, aku
punya anak laki-laki yang saat ini usianya hampir delapan belas tahun.”
Orang yang menemaninya berbicara terheran-heran, ”Kenapa Gajah
Mada bertanya soal anak laki-laki?”
”Menurut Mahapatih Gajah Mada, saat ini, Majapahit sedang
membutuhkan banyak sekali prajurit. Dengan demikian, saat ini, sedang
dibuka kesempatan bagi mereka yang ingin mengabdikan diri menjadi
prajurit di Majapahit,” jawab orang pertama.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Orang kedua yang mengayunkan langkah menemaninya itu takjub.


Pandangan matanya berbinar. Ia merasa senang sahabatnya itu memperoleh
tawaran yang berasal dari Mahapatih Gajah Mada secara langsung.
”Apakah dengan demikian anakmu akan kaukirim ke Majapahit?”
tanya orang kedua.
40 Gajah Mada

Orang pertama menggeleng.


”Gunung Warahita anakku satu-satunya. Aku tak akan membiarkan
anakku pergi ke Majapahit. Istriku akan semaput jika sampai berpisah
dengan anaknya. Menjadi prajurit itu artinya harus siap untuk berkelahi,
siap berperang, dan siap kehilangan nyawa di mana saja dan kapan
saja. Aku tak mau kehilangan anakku yang hanya satu itu. Aku sudah
berusaha sekuat tenaga agar istriku hamil lagi dan punya anak, tetapi
Gusti di langit belum kunjung mengabulkan. Supaya garis keturunanku
tidak lenyap begitu saja, aku bahkan ingin anakku itu segera kawin
dan punya anak. Makin banyak cucu makin baik. Aku bahkan ingin
anakku memiliki istri lebih dari satu supaya garis keturunanku makin
mekar.”
Lelaki kedua yang bergigi menonjol itu mengerutkan dahi.
”Akan kausuruh anakmu untuk kawin dan punya istri lebih dari
satu?” tanyanya.
”Ya,” jawab laki-laki pertama yang berkening lebar itu dengan
penuh keyakinan.
Orang kedua yang giginya agak menonjol tersenyum aneh.
”Mengapa bukan kamu saja yang kawin lagi dan campakkan istrimu
yang sudah tua itu?” tanyanya.
Orang pertama yang berkening lebar itu tidak menjawab. Namun,
tawanya berderai terbawa angin dan ditelan laut.
Dua orang yang berbincang sambil berjalan itu terus mengayunkan
langkahnya makin jauh meninggalkan rumah Kiai Pawagal. Rumah
megah itu, entah siapa nanti yang akan menempatinya. Keturunan Kiai
Pawagal hanya cucu dan buyutnya itu. Namun, mereka tidak mungkin
http://facebook.com/indonesiapustaka

tinggal di Ujung Galuh. Sebagai pejabat penting di Majapahit, Kanuruhan


Gajah Enggon harus tinggal di kotaraja. Demikian juga dengan Gajah
Sagara yang melanjutkan jejak ayahnya dengan mengabdikan diri menjadi
prajurit. Itu berarti, Gajah Sagara akan lebih banyak berada di kotaraja
Majapahit pula.
Sanga Turangga Paksowani 41

Ketika matahari telah berada di puncaknya, hanya ada beberapa


tetangga yang masih tinggal, terutama para perempuan yang sibuk
membantu memasak di dapur. Namun, ada pula lelaki yang membantu
membersihkan halaman. Mereka sibuk membersihkan halaman agar
bersih dari sisa pembakaran. Di kesempatan itulah, Gajah Mada ingin
berbagi cerita.
”Ada sebuah cerita yang ingin aku sampaikan kepadamu,” kata
Gajah Mada kepada Kanuruhan Gajah Enggon.
Gajah Enggon diam menunggu. Di sebelahnya, Pasangguhan Gagak
Bongol ikut menyimak.
”Para juru gambar yang dikirim ke wilayah timur telah kembali
dan tak seorang pun yang menyebabkan Sang Prabu berkenan,” ucap
Gajah Mada.
Para juru gambar yang dimaksud adalah orang-orang yang mempunyai
kemampuan menggambar orang. Beberapa orang yang memiliki
kemampuan itu telah dikirim ke beberapa negara bawahan, bahkan ke
negara sahabat untuk mencari sosok yang tepat untuk dipilih menjadi
permaisuri Sang Prabu Hayam Wuruk. Karena usia Sang Prabu yang
telah beranjak dewasa, Ibu Suri Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani
mendesaknya untuk segera mengangkat permaisuri.
Namun, untuk mendapatkan permaisuri idaman yang sempurna
dari semua sudut pandang bukanlah perkara mudah. Untuk
menemukan jodoh bagi anaknya, Ibu Suri Sri Gitarja bahkan pernah
menyelenggarakan sebuah pesta dengan mengundang para gadis di
seluruh kotaraja Majapahit, juga mengundang para gadis anak para raja
bawahan. Akan tetapi, tak seorang pun gadis itu yang mencuri minat
Sang Prabu Hayam Wuruk, meski mereka telah berdandan cantik.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Jadi?” balas Kanuruhan Gajah Enggon.


Gajah Mada melirik Pasangguhan Gagak Bongol.
”Ibu Suri Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani memerintahkan
kepada Patih Maduratna untuk pergi ke Sunda. Tuan Putri Ibu Suri
42 Gajah Mada

mendengar bahwa Prabu Maharaja Linggabuana,27 Raja Sunda Galuh,28


memiliki seorang anak gadis yang kecantikannya gilang-gemilang. Aku
ingin kau menemani Patih Maduratna ke istana Surawisesa,”29 ucap Gajah
Mada datar.
Kanuruhan Gajah Enggon terkejut, ”Aku?”
”Ya,” jawab Gajah Mada sambil mengangguk. ”Aku ingin mengetahui
sikap dan keadaan kerajaan Sunda Galuh dari orang yang bisa aku percaya.
Aku tak ingin mendapat gambaran dari orang lain. Lebih dari itu, aku
ingin kau mewakili aku berbicara langsung dari hati ke hati dengan Sang
Prabu Maharaja Linggabuana. Kau akan ditemani Ma Panji Elam dan
teman-temannya.”
Nama yang disebut terakhir menyebabkan Gajah Enggon mencuatkan
alis. Kanuruhan Gajah Enggon termangu menyadari tugas yang akan
diembannya itu merupakan jenis tugas yang sangat berat. Namun,
Gajah Enggon juga amat tahu latar belakang Gajah Mada menunjuknya.
Dalam banyak hal, Gajah Enggon merasa hanya dirinya yang bisa
menerjemahkan apa yang dikehendaki Gajah Mada.
”Bagaimana? Kausanggup?” tanya Gajah Mada.
Gajah Enggon merasa aneh mendapat pertanyaan itu. Gajah
Mada bukan jenis orang yang gemar tawar-menawar. Perintah yang
diberikan tidak pernah diikuti tawar-menawar soal kesanggupan. Namun,
Kanuruhan Gajah Enggon segera sadar, mungkin karena ia sedang dalam
keadaan berkabung maka Mahapatih Gajah Mada memberikan tawaran.
Jika ia tak sanggup, akan diberikan tugas itu kepada orang lain.

27
Prabu Maharaja Linggabuana, Raja Sunda Galuh keturunan Raja Wretikandayun.
28
Sunda Galuh, Carita Parahyangan tidak menyebutkan tentang ibu kota kerajaan Galuh, baik sebagai
kerajaan maupun pusat pemerintahan disebut Galuh saja. Penyebutan Bojong Galuh berasal dari sumber
http://facebook.com/indonesiapustaka

sekunder, seperti Wawacan Sajarah Galuh dan tradisi lisan yang hidup di sekitar lokasi. Bojong Galuh
terletak di sebidang tanah yang kini berubah menjadi hutan dengan luas 25,5 ha, pada pertemuan sungai
Cimuntur dan Sungai Citanduy, di tepi jalan raya Ciamis-Banjar km 17. Sekarang, tempat itu disebut
sebagai situs Karangkamulyan. Penyebutan Sunda Galuh digunakan untuk membedakan dengan kerajaan
Sunda Pakuan yang beribu kota di Pakuan dengan keraton bernama Sri Bima Punta Narayana Madura
Suradipati. Sunda Pakuan didirikan Tarusbawa ketika kerajaan Tarumanegara telah lemah sekali.
29
Surawisesa, sebutan untuk istana kerajaan Sunda Galuh. Informasi tersebut berasal dari Prasasti Kawali
yang berbunyi, ”Parbu Raja Wastu mangadek di Kuta Kawali nu Mahayu Na Kadatuan Surawisesa.”
Sanga Turangga Paksowani 43

Gajah Enggon tidak segera menjawab pertanyaan itu. Namun, ia


malah balik bertanya, ”Kapan Patih Maduratna berangkat?”
”Dalam pekan ini,” jawab Gajah Mada.
Kanuruhan Gajah Enggon melirik Pasangguhan Gagak Bongol.
Akan tetapi, wajah sahabatnya itu datar-datar saja. Tidak ada bahasa
raut muka yang bisa ditangkap.
”Aku akan berangkat,” ucap Gajah Enggon tegas.
Gajah Mada tersenyum.
”Kalau begitu, kapan kau akan kembali ke kotaraja Tarik?” tanya
Gajah Mada.
Kanuruhan Gajah Enggon tidak segera menjawab pertanyaan itu.
Dengan meninggalnya Kiai Pawagal, Gajah Enggon merasa tidak perlu
berlama-lama lagi berada di Ujung Galuh. Akan tetapi, segala sesuatunya
memang harus ia bicarakan dengan istri dan anaknya.
Nyai Rahyi Sunelok mungkin akan tetap tinggal di Ban Culuk
beberapa hari karena harus menjalankan beberapa kewajiban menggelar
acara selamatan. Demikian juga dengan Gajah Sagara. Ia tak bisa dengan
serta-merta kembali pulang ke kotaraja di bumi Tarik.
”Besok malam, aku kembali ke Majapahit. Paginya, aku sudah
sampai,” jawab Kanuruhan Gajah Enggon.
Kanuruhan Gajah Enggon menebar pandangan matanya ke laut
di depannya. Dalam keadaan biasa, pelabuhan Ujung Galuh tidak
hanya ramai oleh kapal-kapal nelayan dan kapal para pedagang. Akan
tetapi, juga berjejal-jejal oleh armada kapal perang yang telah berhasil
dibangun.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Jika pelabuhan Ujung Galuh kini kosong dari kapal perang, itu
karena Gajah Mada telah menjatuhkan perubahan perintah. Kapal-kapal
perang itu diperintahkan untuk selalu bergerak, tidak boleh berhenti.
Sementara itu, seperempat kekuatan armada dikirim ke Dompo di
bawah pimpinan Temenggung Nala.
44 Gajah Mada

Sejak Mahapatih Gajah Mada mengumandangkan sumpahnya yang


menyentakkan semua orang di Paseban Tatag Rambat30 dua puluhan
tahun yang lampau, setapak demi setapak apa yang diimpikan berhasil
diwujudkan. Dengan mengirim ratusan orang untuk belajar membuat
kapal di Dharmasraya, dalam waktu cepat puluhan, bahkan ratusan
kapal berhasil dibangun. Hal itu diimbangi pula dengan dibukanya
peluang untuk pemuda di seluruh Majapahit yang ingin mengabdikan
dirinya menjadi prajurit. Untuk menghimpun kekuatan, ratusan raja
negara di sekitar Majapahit dikirimi surat dan diajak untuk bersatu padu
melawan kekuatan Tartar yang masih saja berupaya mencari celah untuk
menguasai Nusantara.
Kini, setelah waktu berjarak dua puluh tahun lebih sejak
dikumandangkannya Hamukti Palapa, jumlah kapal perang yang dimiliki
Majapahit tidak terhitung lagi, nyaris sama banyaknya dengan jumlah
kapal nelayan.
Di antara negara yang diimbau untuk bersatu itu, ada yang menerima
dan ada pula yang menolak. Pada awalnya, Gajah Mada tidak dengan
serta-merta memaksa negara-negara yang menolak imbauan tersebut
untuk mau menyatu dengan Majapahit. Manakala waktu telah bergeser
sejengkal, Gajah Mada kembali menghubungi negara-negara yang masih
belum mau menyatu dan bersatu dengan Majapahit tersebut. Melihat
perkembangan armada laut Majapahit yang sedemikian pesat, beberapa
negara yang semula bertahan, mulai bergabung. Sebagian negara
memutuskan bergabung dengan Majapahit secara sukarela, sebagian
yang lain karena rasa takut.
Namun, ada pula negara yang bersikukuh tidak mau bergabung
dengan Majapahit. Bagi beberapa negara di Bali, surat ajakan untuk
bersatu dari Majapahit itu dianggap sebagai pelecehan. Jika ajakan itu
http://facebook.com/indonesiapustaka

dituruti, akan tergadailah negara mereka karena tidak ada kehormatan


melebihi kemerdekaan. Menjadi bawahan dan bagian dari Majapahit

30
Tatag Rambat, sebutan untuk balairung atau pagelaran istana Majapahit. Tatag Rambat juga disebut
Bale Manguntur.
Sanga Turangga Paksowani 45

sama artinya dengan dijajah. Oleh karena itu, Majapahit harus dilawan
dengan mengangkat senjata.
Gajah Mada amat bisa memahami sikap yang demikian itu. Akan
tetapi, Gajah Mada juga amat yakin terhadap pentingnya persatuan dan
kesatuan, bagaimana pun cara untuk mewujudkannya.
Ketika diminta untuk bergabung dan menyatu secara baik-baik
masih saja bersikukuh tidak bersedia maka dengan penuh keyakinan
tanpa menyisakan secuil pun keraguan, Mahapatih Gajah Mada mengirim
pasukan untuk melakukan pemaksaan. Sebuah negara di Bali digempur
karena bersikukuh mengambil sikap berbeda. Bahkan, pada tahun ini
pula, 1357, dipimpin Temenggung Nala, pasukan Majapahit sedang
menggempur Dompo di Sumbawa. Meski masih muda, Temenggung
Nala mempunyai kemampuan hebat dalam menggelar perang di laut.
Semua orang sedang menunggu waktu Temenggung Nala akan dinaikkan
pangkatnya menjadi Laksamana.31
Mahapatih Gajah Mada yang melepas keberangkatan seperempat
armada yang dimiliki Majapahit berharap Dompo bisa dikuasai dan
segera menyatu dengan Majapahit. Namun, memikirkan wilayah
Dompo, Gajah Mada layak cemas karena ada banyak kapal dagang
dari daratan Tiongkok yang berkeliaran di sana. Belakangan, terbukti
ada penyamaran di balik kapal-kapal berpenampilan kapal dagang itu.
Kapal-kapal dagang dari negara Tartar yang menyembunyikan mata-mata
itu tidak jemu-jemunya berupaya menyelinap ke semua celah. Telik sandi
pasukan khusus Bhayangkara yang dikirim ke Dompo melihat ada upaya
menghimpun kekuatan yang pelatihannya melibatkan orang-orang dari
tanah seberang itu.
Dua puluh tahun lebih telah berlalu sejak dikumandangkannya
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sumpah Palapa. Nyaris semua wilayah yang membentang dari arah


matahari terbit ke arah matahari tenggelam telah berhasil disatukan di

31
Laksamana, jabatan tertinggi untuk pimpinan pasukan laut. Nama pangkat itu kini diadopsi sebagai
jenderal untuk Angkatan Darat sebagaimana Marsekal untuk Angkatan Udara.
46 Gajah Mada

bawah panji-panji Majapahit, bendera gula kelapa,32 cihna gringsing lobheng


lewih laka,33 dan dasar negara yang dituangkan dalam Kitab Undang-
Undang Pratigundala.34
Majapahit benar-benar sembada.35 Jika sebelumnya banyak terjadi
gesekan yang berujung ke pertikaian antarnegara kecil, untuk selanjutnya,
peristiwa-peristiwa macam itu jarang terjadi karena penyelesaiannya
dituntaskan di kotaraja Tarik.
Di lautan, armada perang Majapahit benar-benar memberi rasa
aman. Sebagai panglima mewakili Prabu Hayam Wuruk, Gajah Mada
memberi perintah kepada armada laut untuk tidak pernah berhenti
bergerak. Mereka harus berkeliling, terutama membayang-bayangi
beberapa pintu masuk ke wilayah Nusantara. Kapal pedagang selanjutnya
bisa berlayar dengan tenang karena Kutaramanawa36 diterjemahkan
dengan amat tegas bagi siapa saja. Melalui Kutaramanawa, sudah
puluhan perampok di laut yang dihukum mati atau dijebloskan ke
penjara.
Untuk pemekaran armada laut, Mahapatih Gajah Mada tidak
melarang beberapa negara bawahan ikut membangun kekuatan
prajuritnya. Bahkan, tidak melarang mereka menggunakan bendera
masing-masing dengan kesadaran bahwa satu dan lainnya merupakan
satu ikatan yang tidak terpisah, satu darah, satu saudara, satu tujuan, dan
merasa menghadapi satu ancaman.
Namun, Mahapatih Gajah Mada merasa masygul karena di depan
mata, ada negara Sunda Galuh yang belum juga sadar untuk mau

32
Gula kelapa, Jawa, arti harfiahnya memang gula dan kelapa. Namun, dalam hal ini bermakna bendera
merah putih.
33
Cihna gringsing lobheng lewih laka, bisa kita identikkan dengan lambang negara Garuda Pancasila.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Lambang ini berupa gambar buah maja, terletak di tengah-tengah kain yang dibatik bercorak geringsing
berwarna merah.
34
Pratigundala, bisa kita bayangkan seperti UUD 45 pada zaman sekarang. Pratigundala yang berkedudukan
sebagai sumber hukum yang mengatur bagaimana sikap dan perilaku yang baik, disusun Sri Gitarja
Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani.
35
Sembada, Jawa, bertanggung jawab atau memenuhi janji dan kewajibannya
36
Kutaramanawa, bisa diidentikkan dengan KUHP zaman sekarang
Sanga Turangga Paksowani 47

bergabung dengan Majapahit. Telah berulang kali, Prabu Maharaja


Linggabuana diminta untuk mengambil sikap. Namun, jawabannya selalu
mengambang. Di antara surat itu ada yang tidak dibalas. Atau, dibalas
dengan jawaban, masih akan digelar sidang untuk mengambil sikap.
Berulang kali, Gajah Mada meminta pendapat dari para mantan prabu
putri untuk mengambil sikap tegas dan keras terhadap kerajaan Sunda
Galuh. Akan tetapi, Ibu Suri Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani
benar-benar kukuh pada pendiriannya. Ia amat tidak setuju jika Sunda
Galuh diserang dengan kekerasan.
Ibu Suri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa bahkan punya keyakinan,
menyerbu Sunda sama halnya dengan perang saudara. Kedekatan jarak
antara Sunda dan Jawa menyebabkan dekatnya pertalian darah yang di
antaranya terjadi melalui perkawinan. Sri Gitarja dan Dyah Wiyat bahkan
mencatat, ayahnya, Raden Wijaya atau Sri Sanggramawijaya terlahir dari
perkawinan Dyah Lembu Tal dengan bangsawan Sunda.
Namun, Gajah Mada punya alasan untuk merasa jengkel. Di
lautan, Majapahit telah banyak mengeluarkan biaya demi menciptakan
rasa aman. Telah jatuh puluhan nyawa dalam perang untuk memberi
ketenangan ke seluruh negeri di Nusantara. Rupanya, hal itu masih
belum membuka mata orang-orang Sunda untuk segera menyatukan
diri di kapal yang sama.
Sunda Galuh yang mengambil sikap terbuka dan menjalin hubungan
dengan siapa saja, dirasakan sangat merugikan Majapahit. Sunda masih
saja beranggapan bahwa menghadapi Tartar bukan urusannya. Sunda
tak mau memenuhi imbauan agar jangan berdagang dengan negara
Tartar.
Akan tetapi, dari banyak sudut, Mahapatih Gajah Mada tidak
menutup mata dari kenyataan bahwa ada banyak sekali peran dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

sumbangsih yang diberikan Prabu Maharaja Linggabuana. Dalam


penyerbuan ke Bali, Sang Prabu Maharaja ikut memberikan dukungannya
dengan mengirim bantuan pasukan. Ketika terjadi bencana gempa bumi
yang meminta banyak korban di arah selatan candi Borobudur, Prabu
Maharaja Linggabuana mengirimkan ribuan prajurit untuk membantu
48 Gajah Mada

mereka yang sedang kesusahan. Kerajaan Sunda Galuh banyak sekali


mengirimkan siswanya ke Majapahit untuk belajar bahasa dan agama
karena hampir semua kitab suci dari beberapa agama belum ditulis
dengan menggunakan bahasa Sunda.
Orang Majapahit juga banyak sekali yang dikirim ke Sunda Galuh
untuk saling bertukar ilmu pengetahuan, terutama di bidang pertanian.
Sementara itu, secara pribadi, banyak sekali orang Jawa yang kawin
dengan orang Sunda. Hubungan perdagangan pun sudah terjalin sangat
lancar.
Andaikata bukan kerajaan Sunda Galuh, tetapi negara lain, tak perlu
ada keraguan untuk mengirim kekuatan dan memaksa negara itu tunduk
serta bergabung dengan yang lain.
Amat memahami cara berpikir Mahapatih Gajah Mada dan apa
yang diharapkan orang itu, Kanuruhan Gajah Enggon merasa betapa
berat tugas yang diembannya. Kanuruhan Gajah Enggon beranggapan,
berperang melawan musuh agaknya merupakan pekerjaan yang lebih
mudah daripada pekerjaan merayu dan membujuk.
Akhirnya, saat matahari memanjat lebih tinggi dan makin
menyemburatkan panasnya, Mahapatih Gajah Mada merasa sudah
waktunya untuk kembali. Nyai Gajah Enggon dan anaknya kembali
menerima uluran tangan dari Mahapatih Gajah Mada dan anak buahnya
tanpa kata-kata. Para penduduk di Ban Culuk ikut melepas Gajah Mada
dengan berdiri di depan rumah masing-masing sambil melambaikan
tangannya.
Kanuruhan Gajah Enggon membalas ketika Pasangguhan Gagak
Bongol tersenyum dan melambaikan tangan. Sang Mantri Wredha
Kanuruhan Gajah Enggon tidak beranjak ke dalam rumah sampai
http://facebook.com/indonesiapustaka

bayangan tamu-tamunya itu lenyap dari pandangan matanya.


Dalam banyak hal, biasanya Kanuruhan Gajah Enggon selalu
berbagi cerita dengan istrinya. Akan tetapi, jika menyangkut hal-hal
khusus yang bersifat rahasia, Gajah Enggon tidak akan bercerita. Terkait
tugas yang akan diembannya, Gajah Enggon harus menyampaikan
Sanga Turangga Paksowani 49

kepada istrinya karena menyangkut perjalanan panjang yang akan


ditempuhnya. Namun, niat itu ditundanya sampai nanti setelah istrinya
tidak sibuk.

4
K
uda yang semula dipacu kencang itu berubah menjadi perlahan,
lalu berhenti ketika sampai di keramaian sebuah pasar. Pasar itu bukan
pasar besar seperti pasar di ibu kota kerajaan. Orang menyebutnya pasar
krempyeng37 yang akan bubar manakala hari beranjak sedikit siang. Ada
banyak benda yang dijual di pasar krempyeng itu, sebagian besar adalah
sayur-mayur, daging, ikan tangkapan dari sungai, dan bumbu-bumbu.
Sebagian yang lain adalah alat pertanian mulai dari singkal,38 garu,39
dan sabit. Caping40 juga dijajakan di pasar itu. Di sudut pasar krempyeng
itu, seorang laki-laki sedang menggelar dagangan berupa tali tambang
yang terbuat dari sabut kelapa. Menilik begitu panjang tali tambang itu,
tentu dibutuhkan sabut yang banyak dan kerja keras yang membutuhkan
waktu berhari-hari untuk membuatnya. Untuk mengambil air dari sumur
yang amat dalam, mutlak diperlukan tali tambang sebagai alat mengirim
timba ke dasar sumur.
Penunggang kuda itu barangkali telah beberapa hari tidak berganti
pakaian, terlihat dari betapa lusuhnya ia. Tubuhnya yang kurus pasti akan
mengagetkan orang-orang yang pernah mengenalnya. Matahari yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

kejam telah membakarnya hingga wajah orang itu tampak kehitaman.


37
Pasar krempyeng, Jawa, pasar tradisional
38
Singkal, Jawa, bajak untuk bertani
39
Garu, Jawa, mirip bajak, tetapi lebih pada fungsi untuk meratakan tanah setelah dibolak-balik dengan bajak
40
Caping, Jawa, topi lebar yang biasa digunakan para petani di sawah
50 Gajah Mada

Namun, tatapan matanya adalah jenis tatapan mata yang tajam


dan tak punya keraguan membalas tatapan mata orang lain. Luput dari
perhatian siapa pun, orang itu membawa banyak sekali pisau dengan
ukuran dan bentuk yang sama. Sebagian pisau itu disimpan dalam
sebuah buntalan yang terbuat dari kulit yang ia sampirkan di pelana
kuda. Sebagian yang lain tersimpan di balik lengan baju sedemikian rupa.
Jika dibutuhkan sewaktu-waktu, melalui gerakan khusus, pisau itu bisa
turun ke pergelangan tangan dan siap untuk diterbangkan. Di buntalan
yang lain lagi, juga tersimpan sebuah benda yang bukan sembarangan.
Sebuah langkap yang bisa dilipat disimpan tak terpisah dari segepok
warastra dalam endong.
”Maaf mengganggu, Kisanak,” ucap orang itu menyapa.
Seorang laki-laki yang usianya sebaya dengannya sedang jongkok
sambil memerhatikan sebuah pacul.41
”Ya?” balasnya.
Dengan tarikan napas berat, orang yang meminta perhatian
itu menyempatkan lebih dulu menyapukan pandangan ke seluruh
sudut pasar yang berisik oleh suara menggeremang orang-orang yang
melakukan tawar-menawar. Seperti ada yang dicari, penunggang kuda
itu memerhatikan semua wajah di pasar itu.
”Aku kehilangan seorang anak laki-laki,” ucap orang itu. ”Apa dalam
beberapa hari ini, Kisanak melihat seorang laki-laki berambut panjang
berkeliaran di sepanjang jalan daerah ini?”
Seketika apa yang disampaikan laki-laki tua itu menarik perhatian.
”Berapa usia anakmu yang hilang itu?” pertanyaan itu justru datang
dari penjual pacul.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Usianya sudah lebih dari tiga puluh lima tahun. Bisa jadi, sudah
mendekati empat puluh tahun,” jawabnya.

41
Pacul, Jawa, cangkul
Sanga Turangga Paksowani 51

Soal usia itu menyebabkan penjual pacul dan calon pembelinya


yang sedang duduk bersila di depannya terheran-heran. Namun, mereka
menyimpan rasa heran itu dalam hati. Didorong rasa ikut berduka, calon
pembeli pacul itu mengulurkan tangan mengajak berjabat tangan.
”Namaku Sulanggrita,” ucap orang itu memperkenalkan diri.
Penjual pacul yang duduk bersila ikut berdiri dan mengulurkan
tangan pula.
”Dan, aku Surak Sarujung,” ucap orang itu.
Orang yang kehilangan anaknya itu tersenyum sebagai ucapan terima
kasih karena ada orang yang ikut berbagi tempat merasakan masalah
yang dihadapinya. Lebih dari sebulan sudah, perjalanan panjang untuk
menemukan anak lelakinya ditempuh. Seluruh jalan di kotaraja telah
ditelusurinya sampai tuntas dengan pemikiran, amat mungkin anak
lelakinya tidak akan berada jauh dari kotaraja. Namun, setiap orang yang
ditanya selalu menggeleng, selalu menjawab tak tahu.
Ruang jelajah pencariannya kemudian diperlebar. Jalan-jalan di luar
dinding kotaraja ditelusuri. Dukun-dukun dan mereka yang oleh banyak
orang disebut bisa melihat menggunakan mata hati, dijadikan tempat
untuk bertanya. Namun, tetap saja anak yang hilang itu belum diketahui
jejaknya. Petunjuk para dukun yang didatanginya menyesatkan semua.
”Apa ada masalah dengan anakmu?” tanya Sulanggrita. ”Bukankah
di usia hampir empat puluh tahun, anakmu berhak menentukan jalan
hidup sendiri dan tak perlu diatur-atur lagi? O, ya, siapa nama anakmu
yang hilang itu?”
Orang bertubuh kurus dan kelelahan itu mengambil sebuah pacul
dan mengukur seberapa besar ketajaman serta kekuatannya melalui
http://facebook.com/indonesiapustaka

elusan tangan. Pedagang pacul yang semula berwajah datar segera


tersenyum. Pertanyaan mengenai siapa nama anaknya yang hilang itu
tidak dijawab orang itu.
”Murah saja, mau beli? Pelaris, dari tadi belum laku satu pun,”
ucapnya.
52 Gajah Mada

Penjual pacul itu tentu bohong karena memang demikian lagak para
pedagang yang tidak pernah jujur mengatakan apa adanya.
Meski bertubuh kurus dengan pakaian lusuh, rupanya lelaki yang
sedang bingung itu memiliki banyak uang. Dikeluarkannya sekeping
uang kepeng yang nilainya lebih dari cukup untuk membeli sebuah pacul.
Tanpa menawar, uang kepeng itu diserahkan kepada penjual pacul yang
terkaget-kaget.
”Aku tidak memiliki kembalian. Jumlah uang ini terlalu banyak,”
ucapnya.
Orang yang kehilangan anak itu kemudian menerima uangnya
kembali dan mengganti dengan uang yang nilainya lebih kecil. Namun,
tetap saja nilai uang itu masih jauh lebih besar dibandingkan harga pacul.
Melihat orang bertubuh kurus dan berpakaian lusuh itu ternyata memiliki
banyak uang, penjual pacul itu tak berani terlampau meremehkan. Rasa
iri yang muncul dari benak Sulanggrita melihat orang lain memiliki
banyak uang, menyebabkan pandangan matanya tidak bergeser dari
kampil42 penuh uang itu.
Dan, selalu saja di belahan dunia ini ada orang yang serakah. Orang
yang tidak mau bekerja keras dan lebih senang mencari jalan pintas.
Seorang lelaki bertubuh kekar yang sedang berdiri di depan penjual
caping segera memutar otaknya dengan kencang. Ia tak membutuhkan
waktu terlalu lama untuk mengambil sebuah keputusan. Orang itu tiba-
tiba bergerak amat cepat merampas buntalan yang tersampir di pundak
orang bertubuh kurus kering itu. Dengan cepat, orang itu berlari ke
arah kuda entah milik siapa yang terikat di batang pohon turi. Orang
itu berniat melarikan diri sekaligus merampas kuda.
Sulanggrita terkejut, tetapi mulutnya terbungkam. Surak Sarujung
http://facebook.com/indonesiapustaka

hanya bisa ternganga. Kejadian perampasan itu berlangsung sangat cepat


dan tak begitu banyak orang yang tahu. Orang-orang di pasar itu terkejut
melihat orang berlari tanpa tahu kenapa ia berlari sedemikian kencang.
42
Kampil, Jawa, fungsinya sekarang mirip dengan dompet, berupa kantung kain berikat tali berukuran
kecil
Sanga Turangga Paksowani 53

Akan tetapi, entah mengapa, perampas itu tiba-tiba terjungkal dan


jatuh berguling. Orang-orang bergegas mendekat dan terkejut melihat
keadaan aneh yang menimpa orang itu. Orang itu tak sekadar terjungkal
yang mungkin karena kakinya tersandung. Akan tetapi, ada sebilah
pisau yang tertancap di punggungnya. Oleh karena orang itu berguling-
guling setelah jatuh, mengakibatkan pisau yang tertancap tenggelam
makin dalam, menimbulkan rasa sakit yang luar biasa. Melolong dan
berkelejotan perampas itu dengan mata terbeliak-beliak. Betapa ngeri
semua orang saat melihat orang yang sekarat itu berusaha mencabut
pisau dari punggungnya, tetapi tidak berhasil. Tubuh itu pun kemudian
membeku karena kehilangan kesadaran. Pisau itu mengantarkannya ke
wilayah pingsan.
Semua orang segera bertanya-tanya kenapa orang itu berlari
kencang, kemudian ambruk. Orang-orang itu saling menukar keterangan.
Kiai Surak Sarujung dan calon pembelinya yang bernama Sulanggrita
tentu tahu apa kejahatan yang dilakukan orang yang terluka oleh pisau
itu. Namun, mereka tidak memahami dengan cara bagaimana ada pisau
yang kemudian menancap di punggung penjahat itu.
Namun, bagi Kiai Sulanggrita dan Kiai Surak Sarujung, persoalannya
menjadi jelas ketika lelaki yang dirampas uangnya itu melangkah
mendekati tubuh itu. Orang bertubuh kurus yang kehilangan anak
itu segera mengambil kampil-nya dan mencabut pisaunya yang masih
menancap.
Perbuatan orang itu menjadi pusat perhatian semua yang hadir.
Tak seorang pun yang berani menyela perbuatan orang itu, meski hanya
dengan suara batuk. Orang bertubuh kurus itu membersihkan pisaunya
dengan mengusapkan ke lengan penjahat di depannya.
Menjadi pusat perhatian, laki-laki bertubuh kurus itu memanfaatkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

kesempatan yang ia miliki.


”Kisanak semuanya,” ucapnya, ”aku membutuhkan pertolongan.
Aku kehilangan anak laki-laki. Usianya sudah tua, tetapi otak anakku
agak bermasalah. Nama anakku Sang Prajaka dan biasanya dipanggil
Prajaka begitu saja, sementara namaku Pradhabasu.”
54 Gajah Mada

Orang-orang itu menyimak dengan cermat, juga ketika Pradhabasu


menyebut ciri-ciri khusus terkait keadaan anaknya yang hilang.
”Adakah di antara kalian yang tahu?” tanya Pradhabasu.
Pertanyaan itu tidak berbalas karena tidak seorang pun yang tahu
jawabnya.
Kemudian, dengan langkah gontai, orang yang menyebut dirinya
sebagai Pradhabasu itu mendekati kudanya. Ia masih menyempatkan
menyapukan pandangan ke wajah semua orang di pasar itu sebelum
melompat ke atas punggung kudanya. Perlahan, kuda itu pun
bergerak.
Berbeda dengan tubuh laki-laki tua itu yang sedemikian kurus, kuda
tunggangannya adalah kuda yang kekar dengan otot-otot melingkar.
Harga kuda itu tentu mahal sekali. Namun demikian, kuda itu sangat
memahami suasana hati tuannya. Itu sebabnya, ia tak perlu berderap
kencang. Orang-orang yang berkumpul di pasar krempyeng itu terus
memandang orang itu sampai tubuhnya lenyap di jalan yang sedikit
membelok.
”Siapa orang itu?” tanya seseorang.
Kiai Surak Sarujung dan Kiai Sulanggrita saling pandang, sementara
tatapan mata semua orang bagai bersepakat tertuju kepada mereka
karena dengan merekalah orang yang mengaku bernama Pradhabasu
itu berbicara.
”Aku tahu siapa dia,” ucap seseorang yang menyebabkan semua
perhatian tertuju kepada orang itu. ”Hanya saja, aku tak menyangka keadaan
orang itu berubah jauh. Dahulu sekali, orang itu bertubuh kekar. Tak tahu
mengapa, tubuhnya sekarang sedemikian kurus tak berdaging.”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kiai Surak Sarujung mendekatinya. Ki Surak Sarujung tentu


mengenal orang itu karena selalu berjumpa setiap hari pasaran yang
selalu jatuh pada Radite.43
43
Radite, Jawa Kuno, Minggu
Sanga Turangga Paksowani 55

”Dia membeli sebuah pacul dariku,” ucap Kiai Surak Sarujung.


”Pembayarannya masih bersisa banyak. Agaknya, dia bukan orang
seperti wujudnya? Hal apa saja yang bisa kauceritakan kepadaku,
Wiswaprada?”
Orang yang dipanggil dengan nama Wiswaprada itu tidak segera
menjawab. Namun, lebih dulu ia sempatkan menyapu wajah orang-orang
yang mengerumuninya dengan tatapan matanya.
”Dia bernama Pradhabasu,” jawab lelaki yang sedang menjadi pusat
perhatian itu.
Kiai Surak Sarujung merasa jawaban itu masih belum cukup.
”Ia sudah menyebut namanya. Kita semua sudah tahu namanya
Pradhabasu. Tetapi, siapa dia?” ucapnya.
”Di masa muda, aku pernah menjadi prajurit, meskipun bukan
dari kesatuan khusus Bhayangkara. Pradhabasu adalah salah seorang
pendiri pasukan khusus yang mendebarkan itu. Dan, yang aku ketahui,
Pradhabasu mengundurkan diri dari pasukan yang pernah ia tangani
kelahirannya itu karena tidak setuju pada beberapa kebijakan yang diambil
pimpinannya. Itu sebabnya, ia mengundurkan diri dan memilih berada
di luar. Bagi para pejabat penting Majapahit, Pradhabasu adalah orang
yang sangat dihormati. Tak kurang, Mahapatih Gajah Mada menaruh
hormat kepadanya. Bahkan, konon mendiang nenek Sang Prabu Hayam
Wuruk juga merasa dekat dengannya,” kata Wiswaprada.
Beberapa orang manggut-manggut, beberapa orang yang lain
mencoba mengenang seperti apa wujud orang bernama Pradhabasu yang
dengan pisau belatinya berhasil melumpuhkan orang yang menjambret
barang bawaannya. Betapa sial nasib perampas itu. Agaknya, ia memang
penjahat yang selama ini malang melintang meresahkan banyak orang.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Kita apakan dia?” tiba-tiba Kiai Surak Sarujung memecah


keheningan.
Pandangan semua mata tertuju kepada korban pisau Pradhabasu yang
menggeliat. Rasa nyeri di punggung menyergapnya, membangunkannya
56 Gajah Mada

dari pingsan. Dengan menyeringai menahan rasa sakit yang bukan alang
kepalang, penjahat itu mengarahkan pandangan matanya ke semua
orang.
”Kita apakan dia?” ulang seseorang dengan suara lebih lantang.
Penjahat itu rupanya punya rasa takut, meski wajahnya sangar dan
brewokan.
”Kita bakar saja,” terdengar sebuah celetukan yang entah siapa
pengucapnya.
Penjahat itu gemetar.

5
P radhabasu tidak meminta kudanya untuk berpacu kencang,
bahkan dibiarkan kuda kekar itu berderap semaunya dengan arah
semaunya jua. Di sepanjang jalan berbatu yang ia lewati, matanya tak
pernah lelah melihat setiap orang yang berpapasan dengannya. Jika dalam
perjalanannya berpapasan dengan serombongan orang, Pradhabasu
menyempatkan memelototi mereka satu per satu dengan harapan akan
menemukan Sang Prajaka terselip di antara mereka.
Namun, dalam perjalanan yang telah ia tempuh hampir dua bulan
http://facebook.com/indonesiapustaka

itu, apa yang dicari tidak kunjung ditemukan. Sang Prajaka bagai lenyap
ditelan bumi, seolah ada hantu yang menyembunyikannya di sebuah
tempat paling tersembunyi.
Mentari yang terang benderang dan sedemikian terik dengan
setia mengikuti ke mana pun arah langkahnya. Adakalanya mentari
Sanga Turangga Paksowani 57

memelototinya dengan telanjang, adakalanya pula sang surya cukup


mengintip dari balik mega tipis.
Seperti hari itu, bukan dengan maksud pulang karena didorong
kerinduannya kepada anak dan istri, tetapi ayunan langkah kaki kudanya
yang membawa Pradhabasu melintas amat dekat dengan rumahnya.
Pradhabasu sama sekali tidak memberi perintah. Kuda itu sendiri yang
kemudian membelok menyusuri jalan-jalan yang dikenalinya dengan
baik. Kuda itu mengayunkan kaki perlahan, bahkan berjalan. Apalagi,
ketika membelok memasuki halaman sebuah rumah, kemudian berhenti
tepat di bawah rindang pohon sawo manila.
Bingung, tersadar, atau bagai terbangun dari melamun ketika
Pradhabasu tiba-tiba kaget dan merasa aneh melihat rumah di
depannya.
”Kaubawa aku pulang?” berbisik Pradhabasu sambil menelungkup
dan memeluk punggung kudanya.
Pintu rumah sederhana itu pun kemudian terbuka. Seorang
perempuan muncul dari dalam rumah, lalu memandanginya dengan
dada mengombak. Perempuan itu terbelalak, tetapi kehilangan kekuatan
untuk bergerak. Yang bisa ia lakukan hanya berpegangan pada pintu
dan berusaha sekuat tenaga agar jangan sampai melorot ambruk.
Perlahan, Pradhabasu turun sambil berusaha keras agar jangan sampai
air matanya yang menggenang bergulir ke pipi. Jika itu terjadi, berarti
ia sudah menangis. Padahal, Pradhabasu amat yakin, menangis adalah
sebuah pantangan. Menangis adalah sebuah keadaan yang tidak boleh
dialaminya.
Dengan kaki setengah melayang, Pradhabasu melangkah mendekati
Dyah Menur yang segera mengalungkan pelukan. Pradhabasu
http://facebook.com/indonesiapustaka

membimbing istrinya masuk ke dalam rumah. Ketika Pradhabasu yang


kelelahan lahir batin itu, kemudian duduk di kursi sederhana, Dyah
Menur duduk bersimpuh memegangi lututnya.
Pandangan mata yang dilontarkan Dyah Menur adalah sebuah
pertanyaan yang sangat jelas apa maksudnya. Pradhabasu menggeleng
58 Gajah Mada

sebagai jawabnya. Nyai Dyah Menur Sekar Tanjung tak sekadar


memegang lutut suaminya. Dipeluknya lutut itu dan dijadikannya sebagai
sandaran kepala.
Dalam hening lamunan, dalam hening angan yang melayang
tanpa batas, perhatian pasangan suami-istri itu tertuju kepada sosok
yang bergumpal-gumpal dalam menimbulkan tanda tanya tentang
keberadaannya.
Pradhabasu layak merasa bersalah kepada mendiang Kembangrum
Puri Widati, adiknya. Setiap kali mengingat nama itu, ia selalu merasa
dadanya tertusuk duri. Kematian adiknya melalui lampus diri sangat ia
sesali sekaligus sangat ia pahami. Kematian adik iparnya yang sekaligus
sahabat akrabnya ketika masih muda dan sama-sama menyimpan
semangat yang menggelora dalam mengabdi di pasukan khusus
Bhayangkara tidak akan pernah dapat ia lupakan.
Adik iparnya itu dibunuh atas dakwaan kesalahan yang tidak
dilakukannya. Apalagi, hukuman mati itu dilakukan dengan sangat
kejam. Sungguh, peristiwa itu tidak mungkin dihapus dari ingatannya
sampai kapan pun.
Kematian Mahisa Kingkin sungguh meninggalkan jejak sakit hati
yang tidak bisa dilupakan sampai kapan pun. Apalagi, ada rangkaian
peristiwa beruntun sebagai akibatnya. Adiknya menyusul Mahisa Kingkin
ke alam kematian sebagai pertanda sedemikian besar rasa cinta dan
kesetiaannya.
Kembangrum Puri Widati mati bunuh diri. Namun, persoalan
tidak lantas selesai. Adiknya meninggalkan seorang anak lelaki yang
membutuhkan perhatian, bahkan sangat membutuhkan perhatian. Itu
karena keadaan Sang Prajaka tidak lumrah. Ia memiliki cacat bawaan. Jika
http://facebook.com/indonesiapustaka

dilihat dari wajahnya, tak terlihat masalah apa pun. Namun, jika dilihat
perilakunya, terlihatlah betapa Sang Prajaka memiliki sebuah masalah
yang berat. Semula, ia tidak memiliki kepedulian pada apa pun. Dari
pandangan mata yang hanya tertuju pada satu titik, terlihat bagaimana
angan dan pikirannya selalu melayang.
Sanga Turangga Paksowani 59

Akan tetapi, sejak Pradhabasu mengawini Dyah Menur, lambat


laun keadaan Sang Prajaka berubah. Dengan ketelatenan yang luar
biasa, Dyah Menur membimbing Sang Prajaka. Perhatian yang diberikan
dengan tulus itu akhirnya mampu mengubah Sang Prajaka yang ketika
itu masih bocah.
Pada sebuah hari, Pradhabasu yang pulang dari perjalanan panjang
terkaget-kaget melihat perubahan anaknya yang luar biasa. Sang Prajaka
yang dulu tidak bisa diajak berbicara, akhirnya bisa diajak bercakap
sama lumrahnya dengan orang lain. Bahkan, Sang Prajaka memiliki
kelebihan luar biasa yang tidak dimiliki orang lain, yaitu kecepatannya
dalam menghitung benda-benda dan daya rekam otaknya yang luar
biasa. Menilik keadaannya yang cacat jiwa, Pradhabasu beranggapan
Sang Prajaka memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata. Namun,
jika menilik kemampuan khusus itu, Pradhabasu tak bisa menganggap
anaknya tolol.
Ketika Sang Prajaka akhirnya menginjak usia dua puluh tahun, ia
benar-benar telah berubah menjadi pemuda wajar seutuhnya. Semua
itu jelas-jelas karena ketelatenan Dyah Menur yang dengan amat
terarah membimbing dan mengelolanya. Pradhabasu tak bisa menutupi
kekagumannya kepada istrinya dan merasa sangat beruntung mengingat
dulu, ia pernah merasa tidak yakin Sang Prajaka bisa diubah. Pradhabasu
beranggapan, sampai seumur hidupnya, Sang Prajaka akan bergantung
kepada orang lain. Ia tak mungkin bisa mandiri.
Yang dulu tak terbayangkan, kini menjadi kenyataan. Sang Prajaka
menjelma menjadi pemuda gagah dan tampan yang menyebabkan banyak
gadis kasmaran kepadanya. Pantaslah jika Sang Prajaka memiliki wajah
yang menyebabkan banyak gadis menyelinapkan pemuda itu ke dalam
mimpinya. Dari rahang dan bentuk mulutnya, terlihat jejak wajah Mahisa
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kingkin. Prajaka juga mewarisi raut muka, mata, dan alis yang sangat
indah dari mendiang Kembangrum Puri Widati.
Waktu terus merayap dari tahun ke tahun. Namun, entah mengapa,
Prajaka belum mau kawin. Dorongan Pradhabasu agar Sang Prajaka
mau mengabdikan diri pada negara dengan menjadi prajurit, ditolak.
60 Gajah Mada

Sang Prajaka lebih menyukai kesibukannya membuat benda-benda


seni yang mulai ia tekuni sejak usia dua puluhan tahun. Keasyikannya
menyalurkan kemampuan khusus itu menyebabkan Sang Prajaka bagai
lupa waktu. Pradhabasu sulit memahami dan selalu terheran-heran
melihat kemampuan Prajaka yang agaknya murni berasal dari bakatnya
sendiri. Prajaka tidak mewarisinya dari siapa pun. Benda apa pun yang
ia sentuh, bisa berubah menjadi benda seni. Jika sedang larut pada jenis
pekerjaan tertentu, khususnya memahat batu atau kayu untuk dijadikan
sebuah patung, Sang Prajaka bisa berubah kesetanan, seolah yang
mengerjakan pekerjaan itu bukan dirinya.
Menilik Sang Prajaka akhirnya mampu mandiri, kecemasan
Pradhabasu lenyap tak ada jejaknya. Dengan bakat yang dimilikinya,
Sang Prajaka bisa mencari uang dengan sangat mudah. Sang Prajaka
sering diundang orang-orang di kotaraja untuk mendandani kereta
kuda mereka dengan pernik-pernik pahatan yang indah menawan.
Bakat Sang Prajaka memang membuat siapa pun terheran-heran. Tidak
jelas bagaimana asal mulanya, ia punya kemampuan membatik dengan
corak baru yang hasilnya akan membuat orang terbelalak. Bahkan,
sampai pada pembuatan keris, terutama patrem, Sang Prajaka sanggup
mengerjakan.
Dari jenis pekerjaan macam itulah, Sang Prajaka berhasil mendapat
banyak uang yang bisa ia gunakan untuk hidup. Pradhabasu amat
bersyukur karena akhirnya Sang Prajaka mampu hidup mandiri. Dan,
itu secara nyata merupakan hasil jerih payah istrinya yang dengan segala
ketelatenannya berhasil membentuk Sang Prajaka menjadi sosoknya
sekarang. Nalurinya sebagai ibu dan limpahan kasih sayangnya yang
tulus tanpa melihat bahwa Sang Prajaka bukan anak kandungnya, bahkan
bukan anak kandung suaminya, mampu mengubah Sang Prajaka menjadi
http://facebook.com/indonesiapustaka

sosok yang baru sama sekali.


Ketika terjadi peristiwa pembunuhan Raja Sri Jayanegara yang
dilakukan Rakrian Tanca, Sang Prajaka berusia sepuluh tahun lebih.
Ketika tahun ini jatuh pada sanga turangga paksa wani, usia Sang Prajaka
hampir mendekati empat puluh tahun.
Sanga Turangga Paksowani 61

Perjalanan hidup mestinya berjalan sebagaimana biasa. Akan tetapi,


apakah yang terjadi itu memang sudah menjadi guratan nasib yang telah
ditentukan para Dewa di langit? Sebuah kesalahpahaman telah terjadi.
Sebuah tuduhan telah dijatuhkan kepadanya, padahal Sang Prajaka
ternyata sama sekali tidak bersalah, padahal tuduhan itu menyebabkan
Sang Prajaka telah telanjur terusir. Apa yang sudah terjadi itu sulit
dibenahi. Sudah sebulan lebih sejak apa yang terjadi itu, Sang Prajaka
lenyap tak diketahui keberadaannya. Dihukum untuk dan atas kesalahan
yang tidak pernah diperbuat pastilah terasa amat sakit.
Pradhabasu menghirup tarikan napas amat panjang. Istrinya masih
duduk bersimpuh di depannya sambil menelungkup di pangkuannya. Tak
ada sedu sedan tangis dari mulut perempuan yang masih menampakkan
sisa kecantikannya itu. Namun demikian, hati wanita itu terus menangis
melebihi banjirnya air mata. Lenyapnya Sang Prajaka tidak semata-mata
kehilangan besar bagi suaminya, tetapi kehilangan bagi dirinya juga.
Hening di rumah itu koyak oleh suara pintu yang terbuka. Seorang
gadis berusia belum genap delapan belas tahun menghambur mendekat,
alisnya segera mencuat.
”Ayah sudah pulang?” tanya gadis cantik pemilik mata kejora itu.
Melihat ibunya bersimpuh dengan menumpangkan tangan di lutut
ayahnya sambil berlinang air mata, gadis cantik itu segera menangkap
sesuatu.
”Ayah tidak berhasil menemukan Kakang Prajaka?” tanya gadis
itu.
Pradhabasu memandang anaknya. Yang ini benar-benar anak
kandungnya yang lahir sebagai buah perkawinannya dengan Dyah Menur.
Dari suaminya terdahulu, Dyah Menur memiliki anak bernama Kuda
http://facebook.com/indonesiapustaka

Swabaya. Sedangkan, Pradhabasu sendiri membawa Sang Prajaka.


Pradhabasu menggeleng.
Gadis cantik itu tidak mendekat dan ikut memeluk ayahnya. Yang
ia lakukan justru berbalik dan berlari ke halaman rumah. Gadis itu
62 Gajah Mada

bingung. Ia tak tahu bagaimana cara menumpahkan beban di hatinya,


tidak tahu bagaimana caranya mengalihkan keinginannya untuk menjerit.
Yang tersisa yang bisa ia lakukan adalah berlari mendekati dingklik44
di bawah pohon sawo manila yang sering digunakan sebagai tonggak
pengikat kuda.
Namun, gadis itu tak lama duduk. Suara kuda yang datang berderap
mendorongnya untuk mengangkat pantatnya. Bergegas, gadis itu melongok
untuk melihat siapa yang datang. Gadis itu pun kemudian melejit.
”Kakang Kuda Swabaya,” gadis itu menyebut nama sambil
menyongsong.
”Ayah sudah pulang, Pretiwi?” tanya pemuda tampan dan berwibawa
pemilik tubuh berperawakan gagah dan perkasa itu.
Gadis yang dipanggil dengan nama Pretiwi itu mengangguk.
”Baru saja, belum sepenginang,”45 balas Pretiwi.
Kuda Swabaya melompat turun dari kudanya dan mengikatnya
menjadi satu dengan kuda milik ayahnya di batang pohon sawo
manila.
Dengan bergegas, pemuda gagah yang masih mengenakan pakaian
keprajuritan itu masuk ke dalam rumah diikuti adik perempuannya.
Pemuda itu rupanya sangat mencintai dan menghormati ayahnya. Ia
juga sangat mencintai dan menghormati ibunya. Kuda Swabaya bergegas
berjongkok dan memberikan penghormatan dengan menyembah, yang
dilanjutkan dengan memeluk ibu dan ayahnya bergantian. Sementara itu,
rasa sayangnya kepada sang adik ia tunjukkan dengan mengusap-usap
kepala Dyah Pretiwi beberapa saat lamanya.
Dengan bangga, Pradhabasu memerhatikan penampilan Kuda
http://facebook.com/indonesiapustaka

Swabaya yang gagah dan perkasa. Melalui latihan yang keras, Kuda
Swabaya berhasil memiliki bentuk tubuh yang amat diinginkan banyak
44
Dingklik, Jawa, bangku panjang untuk bersantai
45
Sepenginang, Jawa, berasal dari kata dasar nginang yang berarti kegiatan makan sirih. Sepenginang
berarti waktu yang hanya sebentar seperti yang dibutuhkan untuk kegiatan makan sirih.
Sanga Turangga Paksowani 63

pria sekaligus diangankan para gadis. Kakinya begitu kukuh, seolah


siap dan sanggup menghadapi badai kehidupan macam apa pun atau
gempa bumi sebesar apa pun. Para gadis yang mengangankannya
membayangkan betapa akan merasa aman bersuamikan dan dilindungi
pemuda yang gagah perkasa itu.
”Baru sepekan yang lalu, kamu mendapatkan kesempatan untuk
pulang,” kata Dyah Menur, ”kenapa sekarang kaupulang lagi?”
Pradhabasu tak berkedip dalam memandang wajah anak lelakinya.
Pertanyaan yang dilontarkan istrinya itu juga menjadi pertanyaannya.
Pradhabasu menempatkan diri siap mendengar apa jawaban Kuda
Swabaya.
”Aku mendapat perintah pergi ke Sunda. Tugasku melayani paman
Sri Baginda untuk sementara akan digantikan orang lain,” jawab Kuda
Swabaya.
Pradhabasu mencuatkan alis. Ada jejak rasa kaget di wajahnya.
”Kamu memperoleh tugas ke Sunda yang mana?” tanya Pradhabasu
Sepengetahuan Pradhabasu memang ada dua negara Sunda di
wilayah Jawa bagian barat. Sunda Galuh yang beribu kota di Kawali
dan Sunda Pakuan yang letaknya lebih jauh lagi. Membutuhkan waktu
puluhan hari untuk sampai ke Sunda Pakuan, meski perjalanan ditempuh
dengan perahu menyusur laut Jawa. Apalagi, jika untuk pergi ke Sunda
Pakuan itu ditempuh dengan berkuda, benar-benar membutuhkan
waktu yang lama sekali karena medannya yang amat berat karena harus
melintasi hutan belukar dan tempat-tempat yang masih belum aman
karena banyak penjahat.
”Sepertinya Sunda Galuh yang beribu kota di Kawali,” jawab Kuda
Swabaya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pradhabasu masih merasa penasaran.


”Siapa yang memberimu perintah itu?” kejar Pradhabasu.
Kuda Swabaya balas memandang tatapan ayahnya yang amat jelas
menampakkan kekhawatirannya. Namun, apa sebenarnya yang harus
64 Gajah Mada

dikhawatirkan? Sama sekali tak ada yang perlu dikhawatirkan. Perjalanan


ke Sunda Galuh bukan perjalanan berperang dan mengadu nyawa.
Perjalanan ke tempat itu justru untuk sebuah niat yang baik.
”Mahapatih Gajah Mada, Ayah,” jawab Kuda Swabaya.
Pradhabasu termangu mendapat jawaban itu.
”Secara langsung?” tambah ayahnya.
Kuda Swabaya mengangguk. Namun, semua jawaban itu masih
belum memuaskan hati Pradhabasu.
”Untuk keperluan apa kau harus pergi ke Sunda Galuh. Tugas apa
yang kaubawa?” kejar Pradhabasu lagi.
Kuda Swabaya menyempatkan memandang adiknya. Dalam
sikapnya yang seperti itu, Kuda Swabaya seperti memikirkan atau
menyembunyikan sesuatu. Seperti halnya suaminya, Nyai Dyah Menur
juga layak merasa cemas. Sebagai seorang ibu yang melahirkan Kuda
Swabaya, perempuan itu cemas anaknya bakal berhadapan dengan
bahaya. Meskipun sebagai ibu dari seorang prajurit, Nyai Dyah Menur
sadar, yang namanya bahaya bisa mengintai dari mana saja.
Kuda Swabaya mampu membaca raut muka itu.
”Perjalananku tidak untuk menghadapi bahaya, Ibu,” kata Kuda
Swabaya berusaha menenangkan.
Raut cemas itu masih membayang di wajah ibunya.
”Lalu,” ibunya membalas, ”tugas apa yang kaubawa dalam perjalanan
jauh yang akan kautempuh itu?”
Kuda Swabaya berusaha tersenyum.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Berita paling hangat saat ini adalah Sang Hyang Wekasing Suka46
mulai berpikir untuk memiliki seorang istri. Tugasku hanya mengawal
perjalanan yang akan ditempuh Paman Patih Maduratna yang ditugasi

46
Sang Hyang Wekasing Suka, nama abiseka Prabu Hayam Wuruk menurut Pararaton
Sanga Turangga Paksowani 65

Sang Pager Antimun47 untuk melihat secara langsung putri Prabu


Maharaja Linggabuana yang katanya cantik luar biasa,” Kuda Swabaya
menjelaskan.
Ruang tengah rumah Pradhabasu itu kemudian menjadi hening. Jika
ada hati yang mendadak bergolak adalah hati milik Dyah Pretiwi yang
tiba-tiba merasa tidak nyaman setelah mendengar berita itu. Namun,
Dyah Pretiwi pintar menyembunyikan warna hatinya hingga ayah dan
ibunya sama sekali tidak tahu ada pergolakan macam apa di hati anak
gadisnya itu. Satu-satunya yang mengetahui isi hati Dyah Pretiwi hanya
kakaknya karena hanya kepada Kuda Swabaya, Dyah Pretiwi bersikap
terbuka.
”Raden Tetep48 merasa sudah waktunya memiliki seorang istri?”
tanya Pradhabasu.
Kuda Swabaya tidak mengangguk, tetapi membalas tatapan
ayahnya.
”Apa itu berarti anak gadis Raja Sunda Galuh itu yang telah
menjadi pilihan Sang Prabu Sri Rajasanegara?” 49 Pradhabasu kembali
bertanya.
Tak hanya ibunya yang segera ingin tahu jawaban dari pertanyaan
itu, Dyah Pretiwi tak kurang rasa penasarannya.
”Beberapa utusan telah dikirim ke beberapa negara bawahan dan
beberapa negara sahabat Majapahit atas perintah Ibu Suri Sri Gitarja
Tribhuanatunggadewi. Para utusan itu telah pulang dengan membawa
lukisan para gadis anak para raja dan para gadis anak para pendeta.
Namun, hingga sejauh ini belum ada satu pun yang memenuhi selera
Sang Prabu Janeswara.50 Jika anak Raja Sunda Galuh yang bernama Dyah
http://facebook.com/indonesiapustaka

47
Pager Antimun, nama julukan Prabu Hayam Wuruk di kalangan para wanita menurut Pararaton
48
Raden Tetep, nama kecil Prabu Hayam Wuruk menurut Pararaton
49
Sri Rajasanegara, gelar resmi abiseka Prabu Hayam Wuruk menurut Pararaton
50
Janeswara, nama panggilan yang diberikan kepada Prabu Hayam Wuruk di kalangan pemuka agama
Siwa menurut Pararaton
66 Gajah Mada

Pitaloka Citraresmi51 itu masih juga belum membangkitkan selera Dalang


Tirtaraju,52 tak ada salahnya Gagak Ketawang53 itu kita undang kemari
supaya melihat kecantikan Dyah Pretiwi. Siapa tahu adikku yang paling
cantik di pedukuhan ini bisa meraih kedudukan sebagai permaisuri Raja
Majapahit.”
Merah padam wajah Dyah Pretiwi mendapat godaan yang datangnya
sama sekali tidak terduga itu. Melihat wajah anak gadisnya yang menebal,
ibunya terkejut. Ayahnya juga tidak kalah kaget. Namun, dengan segera,
Dyah Pretiwi mampu membuang semua kesan dari wajahnya. Andai
ucapan Kuda Swabaya itu tidak dilepas di depan ayah ibunya, Pretiwi
pasti akan melampiaskan kemarahannya dengan mencubit dan menggigit
lengan kakaknya.
Sebagai mantan seorang prajurit yang bahkan ikut menangani
kelahiran pasukan khusus Bhayangkara, Pradhabasu segera berusaha
mengukur seberapa berat tugas yang akan diemban anak lelakinya.
Memang tidak terlihat bahaya apa pun yang akan dihadapi Kuda Swabaya
dan rombongannya yang tentu terdiri atas sejumlah prajurit berkekuatan
cukup untuk menghadapi gangguan apa pun. Soal gangguan itu sendiri,
agaknya kecil kemungkinan bakal terjadi mengingat keadaan sekarang
sudah jauh lebih aman daripada dahulu. Di daratan jarang terdengar
peristiwa perampokan dan di laut tidak terdengar lagi cerita tentang
bajak laut.
”Selain Patih Maduratna,” tambah Pradhabasu, ”siapa pejabat lain
yang dikirim ke Sunda Galuh?”
”Paman Kanuruhan Pradamba, Ayah,” jawab anaknya. ”Namun,
yang aku tahu, utusan yang sesungguhnya adalah Patih Maduratna,
http://facebook.com/indonesiapustaka

51
Dyah Pitaloka Citraresmi, nama Sekar Kedaton Sunda Galuh anak Prabu Maharaja Linggabuana, buah
perkawinannya dengan Dewi Lara Linsing. Muhammad Yamin dalam bukunya, Gajah Mada, Pahlawan
Persatuan Nusantara, menyebut Dyah Pitaloka Citrasymi, sementara Dr. Purwadi, M.Hum dalam bukunya,
Jejak Nasionalisme Gajah Mada, menyebut Dyah Pitaloka Citrasemi.
52
Tirtaraju, julukan yang diberikan kepada Prabu Hayam Wuruk ketika mendalang menurut Pararaton
53
Gagak Ketawang, peran yang biasanya diambil Prabu Hayam Wuruk dalam tari banyol menurut
Pararaton
Sanga Turangga Paksowani 67

sementara keikutsertaan Paman Kanuruhan Gajah Enggon adalah atas


keinginan Mahapatih Gajah Mada,” jawab Kuda Swabaya.
Pradhabasu termangu beberapa saat lamanya mendengar penjelasan
anaknya itu. Tentu, Pradhabasu tak akan lupa bahwa Gajah Enggon,
sahabat karibnya itu, memiliki nama lain Gajah Pradamba.
Sebagai mantan pimpinan pasukan khusus Bhayangkara yang
juga salah seorang pendiri kesatuan pasukan tersebut, Gajah Enggon
bagai bintang yang melesat. Kini, ia menjadi salah seorang pejabat
penting. Dengan dinaikkan pangkatnya menjadi seorang kanuruhan,
jelas merupakan pertanda ia akan menduduki sebuah jabatan penting
di barisan Sang Panca Ri Wilwatikta. Sangat mungkin nantinya ia akan
menggantikan Empu Turut.54
Gagak Bongol yang memiliki latar belakang sama, nasibnya juga
melesat. Kini, ia menyandang gelar yang tidak sembarang orang bisa
menggapainya, pasangguhan. Perang yang terjadi di Bali dan penaklukan
atas sebuah wilayah di Tanjung Pura mengantarkan Gagak Bongol
memperoleh jabatan luar biasa itu.
Pradhabasu juga mengikuti perkembangan pembinaan pasukan
khusus Bhayangkara yang hingga kini masih tetap dipertahankan. Pasukan
itu masih tetap dibuat ramping. Namun, memiliki daya pukul yang luar
biasa yang dibina melalui latihan berkesinambungan tanpa lelah. Bagi
pasukan khusus Bhayangkara, nyaris tiada hari tanpa latihan. Memanjat
tebing tanpa menggunakan bantuan tali merupakan sarapan sehari-hari,
demikian pula dengan kemampuan melepas anak panah dan pisau khusus
yang menjadi andalan serta ciri khas pasukan Bhayangkara. Latihan
penggunaan dua jenis senjata itu dilakukan tanpa mengenal waktu. Yang
menjadi ukuran keberhasilannya adalah tingkat ketepatannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Berdasarkan pertimbangan sifatnya yang khusus, mereka yang


dipilih menjadi bagian dari pasukan khusus Bhayangkara bukan prajurit
yang bertubuh besar dengan badan gempal berotot melingkar. Yang

54
Mpu Turut, seorang kanuruhan dalam kabinet Sang Panca Ri Wilwatikta berdasar piagam Bendosari
68 Gajah Mada

disaring menjadi prajurit Bhayangkara adalah orang-orang yang memiliki


otak cerdas dan memiliki tubuh sedang, tidak gemuk supaya gesit. Karena
sifat khusus dalam bidang telik sandi, pasukan Bhayangkara tidak dibekali
jenis pakaian khusus.
Perubahan yang demikian terjadi sejak pasukan Bhayangkara
berada di bawah kendali pimpinan yang baru, yang alasan usulannya
diterima Gajah Mada. Di bawah pimpinan Senopati Macan Liwung,
Bhayangkara berubah memiliki warna lain. Sejak Macan Liwung
menjadi orang pertama di pasukan khusus itu, jatah untuk latihan
melepas anak panah dan pisau diperbanyak. Pradhabasu mengikuti
perkembangan derap latihan pasukan Bhayangkara itu dari penuturan
Kuda Swabaya.
Meski berada di luar lingkungan Bhayangkara dan tidak lagi menjadi
prajurit, Pradhabasu juga selalu mengasah kemampuan itu. Setelah
menandai sasaran yang akan dibidik, dengan mata terpejam, Pradhabasu
bisa menggapainya melalui ayunan pisau terbangnya. Ia juga mampu
membidik sasaran dengan tepat, meski matanya dibalut dengan kain. Di
barisan pasukan Bhayangkara, satu-satunya orang yang bisa melakukan
itu hanya Kuda Swabaya.
Kuda Swabaya bahkan memiliki kemampuan lebih khusus melebihi
ayahnya. Ia memiliki pendengaran yang lebih tajam. Ia juga mampu
membidik sasaran menggunakan anak panah dengan derajat ketepatan
bidikan amat tinggi, nyaris tidak pernah luput. Sang Mahamantrimukya
Rakrian Mahapatih Gajah Mada mempunyai perhatian khusus kepada
prajurit bernama Kuda Swabaya yang pendiam. Setidaknya, dua tahun
lamanya, Mahapatih Gajah Mada meminta Kuda Swabaya menjadi
pengawal khusus55 yang bertugas melayani dan mengawalnya. Setelah
Kuda Swabaya memperoleh penilaian bagus, Swabaya digeser untuk
http://facebook.com/indonesiapustaka

menempati jabatan dan kedudukan sejenis. Ia bertugas untuk selalu


melekat dan mendampingi suami Ibu Suri Dyah Wiyat, Wijaya Rajasa
Hyang Parameswara.

55
Pengawal khusus, dalam hal ini ajudan
Sanga Turangga Paksowani 69

Melihat teman-temannya berhasil menduduki jabatan yang tinggi,


tidak menyebabkan Pradhabasu menyesali keadaan. Mantan Bhayangkara
Pradhabasu merasa semua jabatan itu hanya sampiran di pundak,
sementara untuk mengabdikan diri pada negara ada banyak cara yang
bisa dilaluinya.
”Apa pendapat Ayah?” tanya Kuda Swabaya melihat perubahan
di wajah ayahnya.
Pradhabasu masih tetap mengarahkan pandangan matanya ke
jendela yang terbuka. Dari tempatnya berada, terlihat pagar pohon
beluntas. Jika tatapannya diarahkan lebih jauh lagi, akan terlihat atap
rumah Ki Sangga Rugi, seorang tetangga yang sangat baik hati karena
siap memberi pertolongan apa pun yang dibutuhkan. Jika panen nangka
karena di kebunnya tumbuh banyak pohon nangka, Kiai Sangga Rugi
tidak pernah lupa berbagi buah nangka itu dengan para tetangganya.
Sejenak kemudian, Pradhabasu mengalihkan pandangan matanya
ke wajah istrinya. Tak tercegah, Pradhabasu teringat kepada seorang
anaknya yang lain yang hilang. Di mana anak laki-lakinya itu berada
atau sedang apa? Pertanyaan macam itu sangat mengganggu ketenangan
hatinya, bahkan hampir menyita ruang mimpinya, menjadikan tidurnya
tak pernah nyenyak.
”Dalam perjalananmu, bukalah mata dan bukalah telinga. Siapa
tahu kautemukan jejak kakakmu,” ucap Pradhabasu.
Pembicaraan yang membelok amat tajam itu menyebabkan ruang
itu mendadak menjadi sangat hening. Mata Nyai Dyah Menur yang
sembab kembali berkaca-kaca. Pradhabasu yang tampak tua itu terlihat
menyangga beban yang sangat berat. Kuda Swabaya yang mendadak
harus memerhatikan keadaan ayahnya secara utuh merasa hatinya
http://facebook.com/indonesiapustaka

terbelah. Kuda Swabaya amat memahami kegelisahan ayahnya.


Hampir dua bulan Sang Prajaka menghilang. Akan tetapi, yang
dua bulan itu terasa amat lama, melebihi bertahun-tahun lamanya,
menyisakan sebuah pertanyaan yang menggantung, di mana Sang
Prajaka berada?
70 Gajah Mada

Boleh jadi, kepergian Sang Prajaka tak bisa dianggap sebagai


kehilangan layaknya kepergian seorang bocah. Akan tetapi, penyebab
dari kejadian itu yang amat disesali yang menyebabkan Sang Prajaka
harus dicari. Setidaknya, agar permintaan maaf bisa diucapkan langsung
di depannya.
”Akan aku lakukan, Ayah,” jawab Kuda Swabaya yang terasa agak
terlambat.
Pradhabasu memandang telapak tangannya. Apakah karena
usianya memang sudah tua atau karena sedemikian berat persoalan
yang dihadapinya yang menyebabkan jari-jari tangannya sering gemetar
di luar kehendaknya? Dalam perjalanan pulang dari perjalanan panjang
yang ditempuh untuk mencari anaknya, Pradhabasu singgah di
sebuah warung untuk membeli secangkir minuman guna membasahi
tenggorokannya. Pradhabasu terkejut saat menyadari tangannya gemetar
tidak terkendali, menyebabkan minuman itu tumpah membasahi pakaian
yang dikenakannya.
”Jika kau menemukan jejaknya atau menemukannya, entah dengan
cara bagaimana pun, kabarilah Ayah. Kalau ia tidak mau pulang,
sampaikan kepada Prajaka bahwa Ayah sangat salah telah menjatuhkan
tuduhan yang tidak benar itu kepadanya,” ucap Pradhabasu.
Kuda Swabaya menjawab ucapan itu dengan anggukan sambil
memeluk adiknya yang menyandarkan diri di pundaknya.
Kuda Swabaya tidak terlalu lama berada di rumah karena waktu
yang dimilikinya hanya sedikit. Jika Kuda Swabaya tidak segera kembali,
ia akan mendapatkan penilaian buruk dari pimpinannya. Kuda
Swabaya harus menghindarkan diri dari penilaian tidak memiliki jiwa
samapta.56
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Sampaikan salamku kepada Gajah Enggon,” kata Pradhabasu.

56
Samapta, Jawa, amat mendekati arti disiplin
Sanga Turangga Paksowani 71

”Akan aku sampaikan, Ayah,” balas Swabaya.


Hening pedukuhan itu kembali koyak oleh derap kuda yang
ditunggangi prajurit dari kesatuan khusus Bhayangkara itu.
Beberapa orang tetangga melongokkan kepalanya keluar jendela,
bahkan keluar ke halaman untuk melihat bagaimana penampilan anak
Pradhabasu itu. Beberapa orang gadis merasa jantungnya berdebar lebih
kencang dan harus bersusah payah mengikat otot jantungnya. Di antara
para gadis yang mengangankan Kuda Swabaya itu, bahkan ada yang
berasal dari teman sepermainan ketika masih bocah.
Pradhabasu berdiri di tengah jalan. Ia terus memerhatikan kuda yang
ditunggangi anaknya yang berderap makin jauh dan makin jauh, melintasi
sawah dan baru lenyap setelah memasuki pedukuhan berikutnya. Ketika
Pradhabasu berbalik dan berjalan memasuki halaman, persoalan semula
kembali menyita ruang perhatiannya.
Sang Prajaka yang minggat dengan mengusung tuduhan tidak benar
membuat dada Pradhabasu kembali sesak. Jika waktu bisa diputar dan
segala peristiwa bisa diulang kembali, tentu tidak akan disia-siakannya
kesempatan untuk meluruskan keadaan.
Saat Pradhabasu masuk ke rumah, Nyai Dyah Menur mengangsurkan
pakaian bersih.
”Silakan Kakang mandi,” ucap istrinya dengan kepala menunduk.
Pradhabasu berdiri mematung. Pradhabasu tahu, istrinya yang
menunduk itu tak mampu menguasai tangisnya. Pradhabasu segera
meraih dan memeluknya.
”Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan,” bisik Pradhabasu.
http://facebook.com/indonesiapustaka
72 Gajah Mada

6
M asih di hari yang sama, tetapi waktu bergeser ke sore.
Pradhabasu merasa seluruh tubuhnya lungkrah,57 menyebabkannya agak
demam. Di sepanjang hari itu, Pradhabasu pilih tidur dan tak melakukan
kegiatan apa pun. Para tetangga yang datang menengok ditolak dengan
halus oleh Nyai Dyah Menur. Di antara tetangga yang datang menengok
itu adalah Ki Sangga Rugi.
”Sebaiknya lain hari saja, Ki Sangga Rugi,” kata Dyah Menur.
”Saat ini, suamiku perlu beristirahat karena badannya agak sakit.
Nanti, jika sudah sembuh, biar suamiku yang datang ke rumah Ki
Sangga Rugi.”
Ki Sangga Rugi memang tetangga yang baik. Apa pun kesulitan
yang dihadapi Pradhabasu, ia selalu siap membantu mengatasinya. Ia
siap membantu mengambilkan rebung dari papringan,58 membetulkan
genting yang bocor, dan jenis pekerjaan ringan yang lain. Namun, untuk
jenis pekerjaan memanjat kelapa, Ki Sangga Rugi tidak sanggup lagi.
Nyai Dyah Menur sendiri tidak akan tega meminta bantuan untuk jenis
pekerjaan yang bisa mengancam keselamatan jiwa itu.
Dulu, Ki Sangga Rugi sangat meremehkan Pradhabasu. Ia
menganggap Pradhabasu bukan siapa-siapa. Namun, setelah mengetahui
siapa sebenarnya Pradhabasu, Ki Sangga Rugi tak berani meremehkannya
lagi. Sejak saat itu, Ki Sangga Rugi selalu bersikap baik, jauh dari sombong
dan kesukaannya membual. Sebagai tetangga dekat, Pradhabasu ternyata
teman yang enak diajak berbincang.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Nyai memerlukan bantuan?” Ki Sangga Rugi menawarkan diri.

57
Lungkrah, Jawa, letih luar biasa
58
Papringan, Jawa, rumpun bambu yang lebat
Sanga Turangga Paksowani 73

Nyai Dyah Menur merenung sejenak. Tawaran itu kemudian


diterimanya dengan baik, ”Boleh aku minta bantuan untuk menyembelih
seekor ayam?”
Ki Sangga Rugi menerima permintaan bantuan itu dengan penuh
semangat.
”O, tentu. Tentu akan aku kerjakan, Nyai,” ucap Ki Sangga Rugi.
Hanya sejenak setelah itu, dari halaman samping, terdengar suara
ayam yang lehernya tercekik dan tersayat pisau amat tajam. Ki Sangga
Rugi tak hanya menyembelih ayam itu, tetapi menuntaskannya sekalian
dengan mencabuti bulunya dan mencucinya hingga bersih.
”Nanti kalau sudah matang, Ki Sangga Rugi ingin makan bagian
apanya?” tanya Dyah Menur.
Ki Sangga Rugi tertawa menyeringai, menampakkan dengan jelas
beberapa giginya yang tanggal.
”Tidak usah, Nyai, terima kasih,” balas Ki Sangga Rugi.
Nyai Dyah Menur segera menyibukkan diri di dapur. Namun, dari
pawon,59 ia bisa mendengar kerasahan suaminya. Keresahan itu terlontar
lewat igauannya yang selalu memanggil nama Sang Prajaka. Adakalanya,
Pradhabasu menggumamkan sesuatu yang tak jelas.
”Ayah sakit, Ibu?” tanya Dyah Pretiwi.
Nyai Dyah Menur mengangguk.
Dyah Pretiwi segera ikut menyibukkan diri dengan ibunya di
dapur yang memasak bubur ayam. Melihat ayahnya pulang dengan
tubuh sangat kurus tidak terurus, tak pelak menyebabkan Dyah Pretiwi
cemas. Dyah Pretiwi yang mewarisi banyak ilmu pengetahuan dari
http://facebook.com/indonesiapustaka

ibunya soal cara membuat jamu, segera meracik bahan tanpa menunggu
perintah ibunya. Dengan lincah, tangan gadis itu memarut beberapa
kepal kunyit dan menyaring sari-sarinya, kemudian mencampurnya

59
Pawon, Jawa, dapur
74 Gajah Mada

dengan beberapa bahan jamu yang lain. Jika diminum, rasa jamu itu
tidak ketulungan pahitnya. Namun, jamu yang pahit itu diyakini dapat
menyembuhkan banyak sekali jenis penyakit, termasuk yang sedang
dialami ayahnya.
Tiba-tiba, ibunya datang mendekat. Perhatian Nyai Dyah Menur
tidak tertuju pada jamu yang dibuatnya, tetapi lebih kepada dirinya.
”Umurmu sekarang sudah lebih dari delapan belas tahun,” kata
ibunya begitu tiba-tiba. ”Menurut Ibu, kamu sudah layak untuk berumah
tangga. Sudah adakah lelaki yang telah memberimu isyarat rasa suka?”
Ditodong pertanyaan yang dilontarkan mendadak itu, menyebabkan
Dyah Pretiwi bingung. Namun, dengan bergegas, Dyah Pretiwi
menghapus semua kesan dari wajahnya. Pertanyaan itu tidak dijawabnya.
Dari bahasa wajahnya, Dyah Menur tahu, Dyah Pretiwi tidak berkeinginan
bicara soal itu.
”Tak baik bagi seorang perempuan kawin terlalu tua. Jika ada lelaki
yang berminat dan menyampaikan keinginannya kepadamu, berceritalah
segera kepada Ibu agar Ibu bisa mengukur apa ia layak menjadi suamimu.
Tentu, Ibu berharap calon suamimu adalah lelaki yang baik, yang nantinya
mampu menjadi pengayom dan melindungimu. Akan tetapi, Ibu juga
harus mengingatkan, janganlah kamu membangun angan-anganmu
terlalu tinggi dengan berkeinginan menjadi seorang permaisuri,” kata
Dyah Menur.
Ucapan ibunya itu mengagetkan Dyah Pretiwi yang seketika
melotot dan harus menyembunyikan wajahnya dengan memandang ke
arah lain.
”Janganlah kamu mengangankan Sang Prabu Hayam Wuruk karena
tidak mungkin kau bisa menggapainya. Sadarlah di mana kita berada dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

berasal. Kita hanya orang biasa saja. Maka, berpikir dan beranganlah
sebagaimana layaknya orang biasa. Jangan bermimpi terlalu tinggi. Jika
mimpimu tidak menjadi nyata, kau akan terbanting dengan rasa sakit
seimbang dengan tinggi atau rendahnya mimpimu itu,” lanjut Dyah
Menur.
Sanga Turangga Paksowani 75

Wajah Pretiwi menebal. Namun, ia tak punya ucapan yang bisa


diberikan.
”Apa kamu berangan-angan menjadi permaisuri, Pretiwi?”
Dyah Pretiwi tambah terlonjak karena pertanyaan itu berasal dari
arah belakangnya, dari ayahnya yang mendadak muncul dari pintu.
Melihat ayahnya menahan tawa, Dyah Pretiwi akhirnya tertawa. Namun,
tawa gadis itu segera terbungkam melihat ibunya sama sekali tidak
berkenan.
Menghadapi sikap Dyah Menur yang demikian, Pradhabasu satu-
satunya orang yang bisa memahami latar belakangnya. Sebagai seorang
perempuan desa, perempuan yang tidak berdarah bangsawan, Dyah
Menur menyimpan kenangan yang amat pahit dan tak mungkin bisa
dilupakan.
Dyah Menur Sang Sekar Tanjung pernah berhubungan dengan
seorang bangsawan. Mereka menikah secara sembunyi-sembunyi.
Kobaran asmara di masa lalu itu berbuah pahit di zaman sekarang.
Bahkan, Kuda Swabaya, anak yang terlahir dari hubungan itu harus ikut
menanggung kesalahan masa lalu itu. Kuda Swabaya berada dalam bahaya
jika sampai ada yang tahu asal-usulnya. Melihat anak gadisnya berangan-
angan tentang seorang pemuda yang bukan orang sembarangan, Dyah
Menur melihat angan-angan Pretiwi itu bisa membahayakan dirinya.
Kecil kemungkinan angan-angan itu dapat mewujud. Padahal, angan
yang tidak kesampaian bisa menimbulkan gangguan jiwa. Prabu Hayam
Wuruk adalah raja yang masih muda dan tampan. Saat ia menemukan
jodohnya dan mengikatkan diri dalam perkawinan, diyakini akan banyak
gadis di Majapahit yang patah hati. Dyah Menur sama sekali tidak
menginginkan hal itu terjadi kepada anak gadisnya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dyah Menur akan mempersoalkan hal itu, menempatkan Dyah


Pretiwi harus siap mendengarkan. Akan tetapi, derap kuda yang
terdengar mendekat dan berhenti di halaman rumahnya menyebabkan
Dyah Menur membatalkan niatnya. Dyah Pretiwi yang berlari ke depan
kembali lagi membawa sebuah nama.
76 Gajah Mada

”Paman Gajah Enggon, Ayah,” ucap gadis itu.


Pradhabasu mengangguk.
”Siapkan suguhan untuk tamu kita,” ucap Pradhabasu. ”Dan, jangan
ikut menemui. Cukup aku saja.”
Perintah itu tidak menjadi masalah bagi Dyah Menur yang
penyendiri. Namun, Dyah Pretiwi yang merasa kangen kepada orang
yang dianggapnya paman sendiri itu sedikit jengkel. Dengan bersungut-
sungut, Pretiwi mengupas pisang yang disodorkan ibunya. Dyah Menur
melihat persediaan minyak kelentik yang dimiliki tinggal sedikit.
”Tidak digoreng, kita bikin nogosari saja,” ucap Dyah Menur.
Dyah Pretiwi menyesuaikan kesibukannya dengan apa yang
diinginkan ibunya.
Di halaman, Gajah Enggon terkejut melihat Pradhabasu. Ia merasa
seperti baru kali itu bertemu dengan Pradhabasu.
”Apa yang terjadi denganmu?” tanya Gajah Enggon sambil
mengikat kudanya.
Pradhabasu hanya tersenyum.
”Keadaanmu mengerikan sekali. Apa kamu sakit?” Gajah Enggon
kembali bertanya.
Penyebab keadaan Pradhabasu yang demikian adalah karena selama
sebulan lebih tak sempat mengurus diri. Ia telah menempuh panjang
untuk menemukan anak laki-lakinya yang hilang. Tetapi, tidak mungkin
Pradhabasu menceritakan masalahnya.
”Aku memang baru sembuh dari sakit,” jawab Pradhabasu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kanuruhan Gajah Enggon memerhatikan tubuh Pradhabasu dari


kepala sampai kaki. Gajah Enggon percaya kalau perubahan itu terjadi
karena sakit. Apalagi, raut wajah Pradhabasu memang pucat.
”Apa keperluanmu kemari? Kaudatang karena menerima salamku
dari Swabaya?” tanya Pradhabasu.
Sanga Turangga Paksowani 77

Gajah Enggon mengangguk.


”Ya,” jawabnya. ”Kebetulan aku memerlukan pendapatmu,” balas
Gajah Enggon.
Pradhabasu langsung tersenyum dan sejenak kemudian, ia
tertawa.
”Kenapa?” tanya Gajah Enggon heran.
”Tidak apa-apa,” jawab Pradhabasu.
Gajah Enggon merasa berkewajiban mengejar latar belakang
senyum dan tawa yang aneh itu.
”Ada apa?” tanyanya
Pradhabasu menuntaskan senyumnya dan mengakhirinya dengan
menepuk pundak sahabatnya.
”Aku pernah mengangankan, suatu ketika, kaudatang kemari karena
memang menengokku. Namun, kenyataannya setiap kali kaudatang,
selalu karena membutuhkan pertolongan. Kamu datang selalu dengan
membawa keperluan,” jawab Pradhabasu.
Seketika Kanuruhan Gajah Enggon tertawa bergelak. Gajah
Enggon pun bergegas membuka catatan di lipatan kenangannya. Gajah
Enggon harus mengakui ucapan kawan lamanya itu benar adanya. Tiap
kali Gajah Enggon datang menengok Pradhabasu adalah dalam rangka
minta bantuan berupa pendapat, bahkan tindakan.
Untuk sebuah tugas sandi misalnya, tidak hanya Gajah Enggon yang
lebih memercayakan tugas itu kepada Pradhabasu. Bahkan, Mahapatih
Gajah Mada sering pula meminta bantuannya. Di jajaran telik sandi
pasukan khusus Bhayangkara, baik Gajah Mada maupun Gajah Enggon
http://facebook.com/indonesiapustaka

melihat tak ada yang mampu mengalahkan kemampuan Pradhabasu.


Ketika menyamar, Pradhabasu memiliki banyak wajah. Dalam hal
menyelesaikan sebuah persoalan yang rumit, Pradhabasu selalu banyak
akal dan mampu menuntaskan tanpa ada sisanya.
”Soal kau akan ke Sunda Galuh?” tanya Pradhabasu.
78 Gajah Mada

Kanuruhan Gajah Enggon mengangguk.


”Jangan mengajak aku,” kata Pradhabasu.
”Aku tak akan mengajakmu. Aku hanya minta saran terkait tugas
yang aku terima dari Kakang Mahapatih,” ucap Gajah Enggon.
Pradhabasu menempatkan diri siap menyimak apa pun yang akan
disampaikan teman karibnya itu.
”Lebih dari dua puluh tahun Kakang Gajah Mada mengumandangkan
sumpah di depan Bale Witana di hadapan kedua prabu putri saat itu.
Terbukti, Kakang Gajah Mada mampu mewujudkan sumpahnya. Selama
itu, segala daya upaya dikerahkan untuk bisa membawa Majapahit
menjadi sebuah negara besar. Jika Ra Kembar dan Warak yang terbunuh
di pasewakan60 saat itu hidup kembali, mereka akan menyadari bahwa
tindakan yang mereka lakukan di pasewakan itu terbukti salah. Apa
yang dulu dianggap tak masuk akal, kini terwujud. Wilayah Majapahit
membentang sedemikian luas, dari ujung langit di sebelah timur hingga
ujung langit sebelah barat,” lanjut Gajah Enggon.
Pradhabasu menyimak ucapan Kanuruhan Gajah Enggon itu
dengan sedikit rasa heran. Pradhabasu tentu sudah tahu semua yang
disampaikan Gajah Enggon itu. Jadi, untuk apa Gajah Enggon
menuturkan semua itu?
”Kau menuturkan sesuatu yang tak perlu,” ucap Pradhabasu
mengingatkan.
Kanuruhan Gajah Enggon menarik napas amat panjang.
”Aku bermaksud memberi gambaran bagaimana cara pandang kita
terhadap negara Sunda Galuh. Namun, aku juga akan menceritakan tarik
ulur di antara para pejabat istana saat ini,” kata Gajah Enggon.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tajam sekali pandangan mata Pradhabasu dalam membalas tatapan


mata sahabat karibnya itu.

60
Pasewakan, Jawa, sidang yang digelar atau tempat bersidang
Sanga Turangga Paksowani 79

”Apa di antara para pejabat istana ada yang saling berseberangan


sikap?” tanya Pradhabasu.
Senyum yang mencuat dari bibir Kanuruhan Gajah Enggon terasa
aneh.
”Bukan hanya berseberangan sikap, tetapi saling mengelompok.
Kelompok-kelompok ini terbentuk sejak kematian Ibu Suri Rajapatni
Biksuni Gayatri tujuh tahun yang lalu,” jawab Gajah Enggon.
Pradhabasu merasa baru pertama kali mendengar keterangan itu
sehingga ucapan Kanuruhan Gajah Enggon itu terasa aneh baginya.
Selama ini, yang ia tahu pemerintahan berjalan amat bagus. Gajah Mada
bisa menjalankan amanat yang diterimanya dengan sebaik-baiknya. Ia
juga didukung penuh kedua mantan prabu putri. Namun, mengapa sejak
kematian Ibu Suri Rajapatni, tarik ulur sebagaimana yang disebut Gajah
Enggon bisa terjadi?
”Karena sejak saat itu, Raden Tetep yang naik takhta,” terang Gajah
Enggon bagai bisa menebak apa yang ada di benak Pradhabasu.
Namun, Pradhabasu masih belum paham juga.
”Prabu Hayam Wuruk belum memiliki kemandirian seperti ibunya,”
lanjut Gajah Enggon menerangkan. ” Sang Prabu Hayam Wuruk naik
takhta di usia sangat belia, baru enam belasan tahun saat itu sehingga
kebijakan-kebijakan yang diambil sepenuhnya berada di bawah bayang-
bayang pengaruh Kakang Mahapatih Gajah Mada. Hal yang demikian
itu menyebabkan timbulnya bibit penyakit yang diam-diam menyebabkan
suasana menjadi gerah. Aku melihat tarik ulur itu. Ada kelompok pejabat
yang tak senang dengan semua kebijakan Mahapatih Gajah Mada,
tetapi hanya menyimpan rapat di dalam hati. Kelompok ini ingin Sang
Prabu tidak hanya menjadi sebuah lambang. Mereka ingin Sang Prabu
http://facebook.com/indonesiapustaka

memiliki kekuasaan penuh. Mereka juga menginginkan kekuasaan tak


terpusat di tangan satu orang, Kakang Amangkubumi Gajah Mada.
Mereka berada di kelompok tersendiri yang menundukkan kepala amat
dalam di pasewakan. Namun, tetap saja perbedaan pandangan ini terbaca
sangat jelas.”
80 Gajah Mada

Pradhabasu menyimak apa yang disampaikan Kanuruhan Gajah


Enggon dengan penuh perhatian.
”Apa itu merupakan pertanda hubungan antara Mahapatih dan
Sang Prabu sedang tidak bagus?” tanya Pradhabasu.
”Sama sekali tidak,” jawab Kanuruhan Gajah Enggon tangkas.
”Hubungan Mahapatih Amangkubumi dan Sang Prabu amat bagus. Hanya
saja, orang melihat, seolah apa pun keputusan yang diambil Sang Prabu
berasal dari Gajah Mada. Sang Prabu seperti golek61 yang dikendalikan
orang lain. Dan, orang lain itu adalah Mahamantrimukya.”
Pradhabasu mengatupkan kedua rahang sambil mengucek-ucek
sebelah matanya yang terasa gatal. Pradhabasu mencoba membayangkan
bagaimana suasana di istana yang disebut sedang menghangat dan gerah
itu.
”Lalu, kelompok berikutnya?” tambah Pradhabasu yang merasa
penasaran.
”Yang kedua adalah pendukung Kakang Amangkubumi Gajah Mada
yang terdiri atas dua kelompok, yaitu pendukung yang menggunakan akal
waras dan pendukung yang membabi buta,” jawab Gajah Enggon.
Alis Pradhabasu makin mencuat.
”Aku bisa membayangkan siapa saja yang menggunakan akal waras
itu dan bagaimana mereka menggunakan akal warasnya. Akan tetapi,
siapa saja yang mendukung dengan membabi buta itu? Apa pula latar
belakangnya?” tanya Pradhabasu penasaran.
Gajah Enggon menarik napas amat panjang sambil mengenang
siapa saja orang-orang yang berada di barisan para arya62 yang sedemikian
beringas dalam memaksakan kehendak, menyebabkan hatinya merasa
http://facebook.com/indonesiapustaka

risih. Kebijaksanaan yang diambil Amangkubumi sering menjadi bias


61
Golek, Jawa, boneka
62
Arya, nama strata, kelompok, atau golongan pejabat yang selengkapnya terdiri atas golongan para rakrian,
para arya, para dang acarya, dan para upappati. Darmadyaksa kasogatan dan kasaiwan masuk ke dalam
golongan dang acarya.
Sanga Turangga Paksowani 81

karena diterjemahkan berlebihan, bahkan tak sesuai dengan apa yang


dikehendaki dan digariskan Gajah Mada sendiri.
”Dengan kedudukannya sekarang, Kakang Gajah Mada menjadi
pusat dari tarik ulur beberapa kepentingan. Tarik ulur dari mereka yang
ingin membuat jasa yang sebesar-besarnya karena hanya itulah peluang
yang bisa dilewati untuk menggapai kedudukan atau jabatan yang lebih
tinggi. Hal itu terlihat dengan jelas di kalangan para prajurit. Di medan
peperangan, mereka ingin terlihat paling menonjol. Untuk kepentingan
itu, ketika tak ada perang, perang pun sampai diada-adakan. Supaya
terlihat berjasa, kelompok ini pun menerjemahkan perintah dan
kebijakan Amangkubumi dengan membuta. Orang-orang inilah yang
aku sebut sebagai pendukung yang tidak menggunakan akal waras itu,
yang sebagian tersebar di antara para arya,” jawab Gajah Enggon.
Pradhabasu benar-benar merasa heran.
”Siapa saja para arya itu?” tanya Pradhabasu.
Kanuruhan Gajah Enggon membalas dengan sebuah pertanyaan,
”Sebarapa jauh pengenalanmu terhadap para arya yang menduduki
jabatan sekarang?”
Pradhabasu menggeleng.
”Ada beberapa nama yang naik pangkat. Selanjutnya, kedudukan
yang kosong itu diisi nama-nama baru. Mereka adalah Sang Arya Patipati
Pu Kapat, Sang Arya Wangsaprana Pu Menur, Sang Arya Jayapati Pu
Pamor, Sang Arya Rajaparakrama Ma Panji Elam, Sang Arya Suradhiraja
Pu Kapasa, Sang Arya Rajadhikara Pu Tanga, Sang Arya Dewaraja
Pu Aditya, dan Sang Arya Dhiraraja Pu Narayana.63 Kedelapan nama
itu adalah pendukung Kakang Mahapatih. Empat orang memberikan
dukungannya dengan menggunakan akal waras, sementara empat
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang lain, Pu Kapat, Pu Menur, Ma Panji Elam, dan Pu Kapasa sering


memberikan dukungannya secara membuta. Orang-orang yang membuta
ini memang memberikan dukungan sangat kuat terhadap apa pun yang
63
Nama para arya tersebut tertera dalam Piagam Sidateka
82 Gajah Mada

menjadi keputusan Kakang Mahapatih Amangkubumi Gajah Mada.


Akan tetapi, tak jarang, bahkan aku sering cemas, apa yang mereka
lakukan justru bisa merugikan Sang Mahamantrimukya,” ucap Gajah
Enggon.
Meski agak sulit memahami, Pradhabasu mengangguk-angguk
pendek.
”Sadarkah Amangkubumi atas keadaan macam itu?” tanya
Pradhabasu.
”Berulang kali aku mengingatkannya,” jawab Kanuruhan Gajah
Enggon tegas.
”Lalu, sikap Amangkubumi?” tanya Pradhabasu lagi.
”Ketika aku sampaikan hal itu, Amangkumi Mahapatih Gajah Mada
hanya tertawa dan menganggap peringatanku omong kosong belaka,”
balas Gajah Enggon.
Pradhabasu mengerutkan kening sampai berlipat-lipat, pertanda ia
berpikir amat keras.
”Aku masih belum memahami, ada bahaya macam apa sampai kau
sedemikian cemas,” kata Pradhabasu.
Kanuruhan Gajah Enggon tersenyum dan membuang pandangan
matanya ke pucuk pohon kelapa. Di sana, tampak seorang laki-laki
sedang memanjat pohon kelapa yang sangat tinggi. Tentu, dibutuhkan
nyali yang besar untuk bisa menggapai puncak. Akan tetapi, rupanya
orang itu memang sudah terbiasa dengan jenis pekerjaannya. Gajah
Enggon melihat, tak berapa lama kemudian, beberapa butir kelapa telah
diturunkan. Pradhabasu ikut memerhatikan orang itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Namanya Kiai Sandan Banjir. Yakinlah, ia nanti akan datang kemari


membawa beberapa butir kelapa muda,” ucap Pradhabasu.
Gajah Enggon agak termangu.
”Lanjutkan ceritamu,” sela Pradhabasu.
Sanga Turangga Paksowani 83

”Masalahnya, sekarang pusat perhatian sedang tertuju pada Sunda


Galuh,” ucap Gajah Enggon.
Pradhabasu agak terkejut. Tergambar itu dari gerakan kepalanya
yang menoleh dengan mendadak. Pagi sebelumnya, Kuda Swabaya
pulang memberitahukan rencana keberangkatannya menuju Sunda
Galuh. Sekarang, Kanuruhan Gajah Enggon datang membawa cerita
yang sama.
”Bagaimana sikap pihak-pihak yang berbeda cara pandang itu
dalam menyikapi rencana Sang Prabu untuk mengawini putri dari Sunda
Galuh?” tanya Pradhabasu.
Kanuruhan Gajah Enggon yang duduk itu, kemudian berdiri dan
berjalan mondar-mandir.
”Kakang Gajah Mada mempunyai pandangan dan garis sikap yang
tegas serta tidak bisa ditawar lagi,” berkata Gajah Enggon. ”Aku bisa
memahami kenapa dan dengan latar belakang macam apa Kakang
Mahamantrimukya berkeras mewujudkan keinginannya. Itu karena cerita
lama yang terjadi pada zaman Singasari. Kau tentu ingat, ada utusan
negara Tartar bernama Meng Khi yang datang ke negeri Singasari. Ia
meminta kepada Raja Singasari, Sri Kertanegara, untuk tunduk menjadi
bagian dari negara Tartar. Namun, sebagai jawaban, Raja Kertanegara
justru memerintahkan untuk memotong telinganya. Kejadian itulah yang
selama ini selalu menghantui benak Kakang Mahapatih Amangkubumi.
Kakang Gajah Mada yakin bahwa sebenarnya wilayah di Nusantara ini
selalu dibayang-bayangi oleh kerakusan sebuah negeri yang berada di
sebarang lautan. Negeri itu selalu menunggu kesempatan untuk bisa
menyelinap dan menerkam.”
Gajah Enggon menarik napas sambil menerawang, seolah ia merasa
http://facebook.com/indonesiapustaka

sedang berada di pasewakan dan sedang memerhatikan wajah-wajah


bertopeng yang menyembunyikan wajah lain. Bahkan, mungkin di wajah
lain itu masih ada wajah yang lain.
”Menjelang berdirinya negeri Majapahit,” lanjut Kanuruhan Gajah
Enggon, ”apa yang dilakukan Sang Prabu Kertanegara dibalas Raja
84 Gajah Mada

Tartar. Ia mengirim bala tentara yang dipimpin Shihpi, Kau Hsing, dan
Iheh-Mi-Shih. Untungnya, pasukan Tartar itu berhasil dimanfaatkan
Raden Wijaya untuk membalas dendam menggempur Kediri. Pasukan
dari Tartar itu selanjutnya berhasil dibuat kocar-kacir dan lari terbirit-birit
pulang ke negara asalnya. Menurut kabar yang dibawa para pedagang
yang berniaga sampai ke seberang lautan, ketiga pimpinan pasukan
itu dihukum mati oleh rajanya. Kakang Mahapatih Gajah Mada tak
ingin peristiwa itu terulang kembali. Keinginan Kakang Gajah Mada
untuk menyatukan Nusantara tidak dapat ditawar lagi. Jika perlu, harus
dilakukan pemaksaan. Dan, kita akhirnya melihat apa yang diinginkan
Kakang Gajah Mada itu mewujud menjadi kenyataan.”
Pradhabasu menyimak dengan cermat saksama. Semua yang
disampaikan Gajah Enggon itu, Pradhabasu juga sangat tahu. Yang
belum ia ketahui adalah ke mana Kanuruhan Gajah Enggon akan
membawa pembicaraan itu.
”Lalu, Sunda Galuh,” tambah Gajah Enggon agak mengagetkan.
Pradhabasu merasa lawan bicaranya sudah mulai mengarah pada
persoalan utama yang dibawanya.
”Kakang Mahapatih Gajah Mada merasa kecewa karena sampai
sejauh ini, Sunda Galuh bersikukuh tidak mau menjadi negara jajahan
Majapahit?” Pradhabasu bertanya sambil melirik.
Kanuruhan Gajah Enggon tersenyum, ”Menjadi bawahan, menjadi
jajahan, hanya soal bahasa. Yang menjadi persoalan adalah bahaya nyata
yang mengancam di depan mata. Sangat disayangkan ketika semua
negara di wilayah Nusantara telah menyamakan sikap, ternyata masih
ada Sunda Galuh yang bersikap berbeda. Harga dan biaya yang harus
dikeluarkan untuk menjaga keamanan di lautan ditanggung Majapahit,
http://facebook.com/indonesiapustaka

sementara Sunda Galuh yang secara nyata ikut menikmati ketenteraman


itu, tak ikut mengambil peran dalam kebersamaan itu dan membiarkan
pelabuhannya terbuka.”
Tak jelas bagian mana yang menyebabkan Pradhabasu tersenyum,
bahkan menggeleng-gelengkan kepala. Arah pandang Pradhabasu jatuh
Sanga Turangga Paksowani 85

pada onggokan akar kayu jati yang didapatkan Prajaka entah dari mana.
Dari bongkahan akar kayu jati itu, Sang Prajaka berencana mengukirnya
menjadi benda bernilai seni. Akar kayu itu bisa diraut menjadi sebuah
patung.
Di pekarangan belakang, bahkan ada banyak tonggak kayu yang
sudah dibentuk menjadi patung. Ada pula arca yang terbuat dari batu. Di
antara beberapa arca yang dibuat Sang Prajaka itu, ada yang merupakan
pesanan orang kaya dari kotaraja. Pesanan itu sudah dibayar, tetapi
belum diambil.
”Lalu, kebingunganmu?” tanya Pradhabasu.
”Aku mendapat tugas mendampingi Patih Maduratna pergi ke
Sunda Galuh dan harus memperoleh kesempatan untuk menyampaikan
pesan Kakang Gajah Mada kepada Sang Prabu Maharaja Linggabuana,”
jawab Gajah Enggon.
Pradhabasu masih merasa belum jelas dan kembali alisnya mencuat
sambil tangannya yang digerakkan terlihat gemetar buyutan.
”Bagian mana yang membuatmu bingung? Bukankah kamu tinggal
menyampaikan semua persis seperti yang kauucapkan tadi kepada Sang
Prabu Maharaja Linggabuana?” tanya Pradhabasu.
Gajah Enggon menerawang. Pandangan matanya jatuh di rimbun
pohon bambu. Tiba-tiba, wajah seseorang menyelinap dalam benaknya,
wajah milik seorang pejabat istana yang sangat bernafsu untuk menggapai
apa yang diinginkan. Orang itu adalah Arya Rajaparakrama Ma Panji
Elam. Di belakang Ma Panji Elam, ada orang-orang, seperti Arya Sentong,
Patih Gowi, Patih Marga Lewih, Patih Teteg, Jaran Bhaya, Sang Arya
Suradhiraja Pu Kapasa, Sang Arya Patipati Pu Kapat, dan Sang Arya
Wangsaprana Pu Menur.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Kakang Gajah Mada menugasiku untuk berbicara dengan Prabu


Maharaja dengan didampingi Ma Panji Elam,” ucap Gajah Enggon.
Wajah Pradhabasu agak berubah karena sedikit merasa aneh.
”Kenapa dengan Ma Panji Elam?” tanya Pradhabasu.
86 Gajah Mada

Meski tidak ingin tersenyum, Gajah Enggon terpaksa tersenyum


melihat daya ingat Pradhabasu yang agak tumpul.
”Tadi sudah aku ceritakan kepadamu mengenai dua golongan
orang-orang pendukung Mahapatih Gajah Mada, yaitu golongan mereka
yang menggunakan akal waras dan yang membabi buta,” kata Gajah
Enggon.
”Ooo,” desis Pradhabasu sambil manggut-manggut.
Gajah Enggon kembali menjatuhkan pandangan matanya ke arah
pohon kelapa yang tadi dipanjat seseorang. Gajah Enggon terkejut
melihat orang itu tak ada di sana lagi.
”Ada apa?” tanya Pradhabasu yang membaca kekagetan di wajah
sahabatnya itu.
”Orang yang memanjat kelapa tadi?”tanya Gajah Enggon bingung.
”Kiai Sandan Banjir, kenapa?” tanya Pradhabasu.
”Orang itu sudah tidak ada. Jangan-jangan terjatuh,” meletup Gajah
Enggon dengan hati cemas.
Pradhabasu yang merasa amat tahu bagaimana keperigelan
Kiai Sandan Banjir hanya tersenyum, bahkan sejenak kemudian ia
menggeleng.
”Sebentar lagi, ia pasti datang kemari, lihat saja,” ucap Pradhabasu.
Angin sepoi-sepoi yang semilir sejuk menyapu wajah Kanuruhan
Gajah Enggon dan Pradhabasu. Beberapa jenak, pembicaraan itu
terjeda oleh riuh yang terjadi di benak masing-masing. Pradhabasu
mencoba mengenang seperti apa sosok Ma Panji Elam itu. Pradhabasu
masih bisa mengenang wajah orang yang tidak berasal dari kalangan
http://facebook.com/indonesiapustaka

prajurit itu.
Untuk menggapai kedudukannya sekarang sebagai arya rajaparakrama,
Ma Panji Elam merangkak dari jabatan tandha yang paling rendah.
Rupanya, Ma Panji Elam adalah seorang abdi istana yang sangat ulet hingga
berhasil menapak ke jabatan yang terpandang di Majapahit.
Sanga Turangga Paksowani 87

Gajah Enggon berniat melanjutkan ucapannya, tetapi terpaksa ia


tunda karena pintu rumah Pradhabasu yang semula menutup, terbuka
oleh tiupan maruta.64
Sumringah wajah Dyah Pretiwi yang membawa nampan berisi
beberapa jenis makanan dan sebuah kendi berisi air segar.
”Apa kabar, Paman?” sapa Dyah Pretiwi.
Gajah Enggon tersenyum senang memperoleh sapa dari wajah
sumringah itu.
”Kabarku selalu baik, Pretiwi,” balas Gajah Enggon.
”Bagaimana dengan kabar Kakang Gajah Sagara? Sudah lama
Kakang Sagara tidak datang kemari. Kenapa Paman tidak mengajaknya?”
tanya Dyah Pretiwi.
”Gajah Sagara masih berada di Ujung Galuh. Kapan-kapan akan
aku ingatkan ia agar menengokmu,” balas Gajah Enggon.
Nama Ujung Galuh disebut menyebabkan Pradhabasu mendadak
teringat sesuatu.
”Sagara masih di Ujung Galuh?” tanya Pradhabasu.
Gajah Enggon mengangguk.
”Dengan siapa dia di sana?” kejar Pradhabasu.
”Ibunya,” jawab Gajah Enggon melalui tarikan napas agak panjang.
”Beberapa hari yang lalu, Hyang Widdi akhirnya berkenan memanggil
Kiai Pawagal untuk kembali menghadap kepada-Nya.”
Tentu, berita yang disampaikan Gajah Enggon itu menyebabkan
Pradhabasu kaget. Namun, Pradhabasu segera ingat, usia Kiai Pawagal
sudah tua sekali dan sudah cukup lama ia tergolek di pembaringan tanpa
http://facebook.com/indonesiapustaka

bisa melakukan apa pun.


”Aku ikut berduka, Paman,” ucap Pretiwi sambil mendekat dan
memberi pelukan hangat kepada Gajah Enggon.
64
Maruta, Jawa, angin
88 Gajah Mada

Pretiwi tahu, Gajah Sagara sangat mencintai dan membanggakan


kakek buyutnya. Pretiwi bisa membayangkan, Gajah Sagara tentu amat
kehilangan dengan kematian Kiai Pawagal. Akan tetapi, Pretiwi yang pernah
mengikuti perjalanan ayahnya ke Ujung Galuh memiliki kenangan betapa
Kiai Pawagal itu sangat tua. Ketika itu, Kiai Pawagal banyak mengutarakan
rasa bosannya terhadap usia yang panjang dan mengeluh ingin segera mati.
Kini, apa yang diinginkan Kiai Pawagal itu menjadi kenyataan.
Pretiwi yang tidak ingin mengganggu percakapan ayahnya dengan
tamunya itu bergegas melangkah mundur.
”Silakan diminum, Paman,” ujar Pretiwi.
”Terima kasih, Pretiwi. Jangan khawatir, pasti aku habiskan,” jawab
Gajah Enggon.
Ketika Kanuruhan Gajah Enggon membalikkan badan, ia mendapati
Pradhabasu memandanginya dengan tatapan aneh. Bagaimanapun,
Pradhabasu mengetahui sesuatu yang berkaitan dengan Kiai Pawagal,
keadaan yang mirip dengan apa yang terjadi pada Kiai Medang Dangdi
dan Kiai Wirota Wiragati. Namun, Pradhabasu harus tenggang rasa
untuk tidak membicarakan masalah itu.
Akan tetapi, Gajah Enggon melihat tatapan mata Pradhabasu itu.
”Kiai Pawagal mewariskan kemampuannya kepada Kakang Gajah
Mada,” ucap Gajah Enggon.
Pradhabasu terkejut.
”Malam itu, Kakang Gajah Mada datang menengok dan agaknya
telah menjadi nasib Kakang Gajah Mada. Kelak, Kakang Gajah Mada
akan merasakan keadaan yang sama seperti yang dialami kakek mertuaku.
Akan tetapi, Kakang Gajah Mada mengatakan, ia merelakan dirinya
menjadi semacam penampung karena tidak tega membiarkan Kiai Agal
http://facebook.com/indonesiapustaka

terlampau lama menderita,” lanjut Gajah Enggon.


Keadaan kembali hening karena semua perhatian seperti tersita oleh
dhemit65 yang lewat. Pradhabasu yang memejamkan mata membiarkan
65
Dhemit, Jawa, hantu
Sanga Turangga Paksowani 89

kenangannya terlempar ke kejadian lebih dari dua puluh tahun yang lalu.
Peristiwa itu terjadi di Kadipaten Keta, saat pasukan yang dikirim Majapahit
untuk menggempur Keta dihadang kabul tebal yang sangat aneh.
Kabut itu muncul di saat yang tak pantas, bergulung-gulung tebal.
Kabut itu secara nyata hadir untuk membutakan mata pasukan segelar
sepapan dari Majapahit yang dikirim untuk menjatuhkan hukuman kepada
Adipati Keta. Pada saat yang demikian itu, muncul pusaran angin melibas
kabut tebal itu. Cukup lama kejadian itu menjadi sebuah teka-teki yang
tidak kunjung diketahui jawabnya. Belakangan, Pradhabasu tahu bahwa
Kiai Pawagal berada di belakang peristiswa aneh itu.
Pradhabasu bangkit dan meliukkan tubuh sambil memandang
Gajah Enggon.
”Aku ingat,” kata Pradhabasu yang berusaha mengembalikan
pembicaraan, ”ketika aku masih Bhayangkara, Panji Elam seorang
tandha dengan pangkat paling rendah. Ia nyaris seperti seorang pesuruh
yang ditugasi ke sana kemari. Aku tidak menyangka ia mampu meraih
kedudukan sebagai arya rajaparakrama, pejabat yang mengurusi hal-hal
yang terkait dengan upacara-upacara,”
Gajah Enggon mencoba mencicipi makanan yang disuguhkan tuan
rumah. Tanpa rasa sungkan, Kanuruhan Gajah Enggon menyantapnya
dengan lahap.
”Aku sulit membayangkan bagaimana berbicara dan berusaha
menyampaikan apa yang diinginkan Majapahit jika aku disandingkan
dengan orang macam Ma Panji Elam. Ketika aku harus berbicara
menggunakan kalimat yang harus kutata dengan hati-hati, aku sampaikan
dengan cara yang masuk akal, bayangkan jika tiba-tiba Ma Panji Elam
justru berbicara menggunakan bahasa ancaman,” ujar Gajah Enggon.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Setelah berbicara melingkar-lingkar, akhirnya Pradhabasu melihat


Gajah Enggon telah sampai ke ujung pembicaraannya.
”Kenapa tak kausampaikan persoalanmu itu kepada orang yang
memberimu tugas? Mahamantrimukya Gajah Mada tentu akan
mempertimbangkan,” Pradhabasu memberi saran.
90 Gajah Mada

Gajah Enggon tersenyum.


”Sudah,” ucapnya. ”Telah aku sampaikan kepada Kakang Gajah
Mada. Akan tetapi, ia bersikukuh menyandingkan aku dengan Ma Panji
Elam.”
Kerut di kening Pradhabasu menjadi sebuah tanda ia sedang
berpikir keras. Akan tetapi, sejenak kemudian, Pradhabasu tersenyum.
Pradhabasu merasa menemukan gagasan.
”Aku punya cara yang mungkin bisa kaugunakan,” ucapnya.
”Bagaimana?” tanya Gajah Enggon tak sabar.
”Nanti, aku uraikan,” jawab Pradhabasu.
Apa yang dikatakan Pradhabasu sebelumnya ternyata benar. Dari
arah kanan, tampak seseorang melintas jalan dengan tergopoh-gopoh.
Kiai Sandan Banjir membawa beberapa butir kelapa muda pilihan. Gajah
Enggon tersenyum melihat tebakan Pradhabasu ternyata benar adanya.
”Mengapa harus repot-repot, Kakang Banjir?” ucap Pradhabasu
ramah.
Sandan Banjir memiliki mulut yang lebar. Mulut itu bertambah
lebar ketika tertawa.
”Hanya beberapa butir kelapa muda,” ucap Kiai Sandan Banjir.
”Aku tahu, Adimas Pradhabasu baru pulang dari menempuh perjalanan
panjang. Tentu, Adimas kelelahan. Itu sebabnya, aku berharap kelapa
muda ini bisa memulihkan tenaga Adimas. Apalagi, Adimas Pradhabasu
sedang menerima tamu, monggo silakan. Kalau masih kurang, aku masih
ada banyak sekali, Adimas.”
Oleh sebuah alasan, Kanuruhan Gajah Enggon menyembunyikan
senyumnya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Kalau diizinkan, bolehkah aku berkenalan dengan tamumu,


Adimas?” tanya Kiai Sandan Banjir.
”Oo, silakan, Kakang Sandan Banjir. Beliau adalah Kanuruhan
Gajah Enggon, mantan pimpinan pasukan khusus Bhayangkara, salah
Sanga Turangga Paksowani 91

seorang pejabat Majapahit yang diharap akan menduduki jabatan penting


di barisan Sang Panca Ri Wilwatikta,” Pradhabasu memperkenalkan
Gajah Enggon kepada Kiai Sandan Banjir.
Sandan Banjir tersenyum makin lebar sambil saling mengusapkan
kedua telapak tangannya.
”Sebelum berjabatan, tangan harus bersih,” kata Kiai Sandan
Banjir.
Dengan senang hati, Kanuruhan Gajah Enggon menerima ajakan
berjabat tangan itu. Perhatian Gajah Enggon masih tertuju kepada orang
itu ketika orang itu melenggang pulang sambil membawa kebanggaan
telah berkenalan dengan seorang pejabat penting di Majapahit.
”Orang itu memanggilmu adimas,” celetuk Gajah Enggon.
Digoyang simpul sarafnya, Pradhabasu nyaris meledakkan tawanya.
Akan tetapi, dengan penuh kesadaran, Pradhabasu membungkam
mulutnya sendiri. Jika ia tertawa, Kiai Sandan Banjir bisa berbalik atau
tersinggung.
”Kenapa orang itu memanggilmu adimas?” tanya Gajah Enggon.
Pradhabasu yang tersenyum sambil menundukkan kepala itu,
kemudian mendongak.
”Kamu tergesa-gesa?” balas Pradhabasu.
Gajah Enggon bingung.
”Tergesa-gesa apa maksudmu?” tanya Gajah Enggon yang merasa
aneh.
”Kalau kamu tergesa-gesa, aku akan tanyakan kepada orang itu
kenapa ia memanggil aku dengan panggilan adimas. Maka, persoalannya
http://facebook.com/indonesiapustaka

akan menjadi jelas,” ucap Pradhabasu.


Gajah Enggon agak terlambat menyadari guyonan yang dilontarkan
sejawatnya itu. Dengan senyum merekah, Kanuruhan Gajah Enggon
melolos pedang panjangnya. Sebutir kelapa siap menjadi sasaran pedangnya.
Namun, Gajah Enggon menunda apa yang akan dilakukannya.
92 Gajah Mada

Dari pintu yang terbuka, Nyai Dyah Menur datang mendekat.


”Apa benar Kiai Pawagal telah meninggal, Tuan?” tanya Dyah
Menur.
Selama ini, Kanuruhan Gajah Enggon menempatkan Pradhabasu
sebagai sahabatnya, sahabat yang akrab. Akan tetapi, setiap kali bertemu,
selalu saja Nyai Dyah Menur memanggilnya tuan.
”Benar, Nyai,” balas Gajah Enggon.
Wajah Nyai Dyah Menur bagai tersapu mendung.
”Aku ikut berbelasungkawa, Tuan,” kata Dyah Menur.
Gajah Enggon mengangguk dan mengembangkan senyum.
”Terima kasih, Nyai,” Gajah Enggon menjawab.
Kanuruhan Gajah Enggon melayani jawaban atas beberapa
pertanyaan Nyai Dyah Menur.
Meski sang waktu telah berjalan sedemikian lama dan masing-masing
telah memiliki anak yang sudah dewasa, tetap saja sikap Dyah Menur tak
berubah. Rupanya, pengalaman pahit di masa silam menyebabkan Dyah
Menur menjaga jarak dari kaum lelaki di ruang pergaulannya. Namun,
terhadap Nyai Rahyi Sunelok, Dyah Menur bisa sedemikian akrab
dan berhubungan layaknya terlahir sebagai kakak beradik. Keakraban
Pradhabasu dan Kanuruhan Gajah Enggon yang disertai kedekatan
Nyai Dyah Menur dengan Nyai Rahyi Sunelok, menyebabkan Kuda
Swabaya dan Gajah Sagara bersahabat akrab pula. Ke mana-mana dua
pemuda itu selalu bersama. Mereka juga bersama ketika mengajukan diri
ikut mengabdikan diri pada negara sebagai prajurit.
Tidak jarang, Kuda Swabaya menginap di rumah Gajah Enggon.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Jika sedang libur, Gajah Sagara dan Kuda Swabaya sering beradu balap
dengan memacu kuda masing-masing sampai seharian penuh ke Ujung
Galuh. Kesempatan yang ada itu sekalian digunakan untuk menengok
Kiai Pawagal. Saat-saat macam itu yang amat membahagiakan Kiai
Pawagal ketika masih hidup.
Sanga Turangga Paksowani 93

Kedekatan itu pula yang menyebabkan Kanuruhan Gajah Enggon


dengan sepenuh hati melindungi jati diri dan asal-usul Kuda Swabaya.
Entah apa jadinya jika Mahapatih Gajah Mada sampai tahu siapa
sebenarnya Kuda Swabaya. Dan, entah bagaimana pula sikap Sri Wijaya
Rajasa Sang Apanji Wahninghyun66 jika mengetahui asal-usul prajurit
yang oleh Mahamantrimukya diserahi jabatan untuk selalu mendampingi
paman raja itu. Sebenarnya, ayah dan anak itu bertemu setiap hari setiap
saat tanpa mereka menyadari.
Hampir setiap kali Kanuruhan Gajah Enggon datang berkunjung atau
dalam kunjungan baliknya, Nyai Dyah Menur yang selalu mengkhawatirkan
keselamatan anaknya tak bosan-bosannya menitipkan Kuda Swabaya.
Dengan sekuat tenaga, Kanuruhan Gajah Enggon menjaga keselamatan
Kuda Swabaya dengan menutup rapat-rapat mulutnya.

7
L aki-laki berusia empat puluhan tahun itu merasa bagai baru
terlahir ke dunia ini. Ia dibingungkan banyak hal yang tak bisa ia
dimengerti. Dicari jawabnya dengan cara bagaimanapun, tak pernah
berhasil ditemukan. Bahkan, yang amat sederhana, namanya, ia tidak
pernah ingat.
”Siapa aku? Siapa namaku?”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Masa lalu bagai terhapus dari kenangannya67 dan yang membuatnya


terheran-heran adalah tempat ia berada sekarang. Tempat itu sangat
66
Sri Wijaya Rajasa Sang Apanji Wahninghyun, suami Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa
67
Masa lalu bagai terhapus dari kenangannya, kondisi amnesia
94 Gajah Mada

asing, tidak pernah dikenalnya, apalagi tempat itu adalah tepi sebuah
laut. Ombak yang gemericik membuatnya bingung dan lautan luas
adalah pemandangan yang baru baginya. Sebelum itu, ia merasa belum
pernah melihat laut. Mungkin karena asal-usul atau tempat tinggalnya
tak ada laut.
”Kenapa aku bisa berada di sini?” tanya laki-laki itu sekali lagi sambil
memandangi diri sendiri.
Lelaki itu segera bangkit sambil memerhatikan sisa perapian yang
masih berasap dan membawa bau daging hangus. Tersadar oleh sesuatu
tentang perapian dan sisa-sisa makanan yang tersebar, memaksa pemuda
itu untuk berpikir keras mengumpulkan semua ingatan. Namun, bagai
terganjal sesuatu yang tak bisa ditembus, laki-laki itu tidak mampu mereka
ulang secuil pun kenangannya.
”Aku tidak ingat apa pun,” keluhnya gelisah. ”Setiap kali aku
terbangun dari keadaanku, aku selalu berpindah tempat. Aku siapa, aku
di mana, semua gelap.”
Laki-laki empat puluhan tahun itu kemudian berjalan mendekati
garis pantai yang pasirnya mampu menenggelamkan kaki. Barangkali
karena baru pertama kali di sepanjang hidupnya ia melihat lautan luas,
dipandanginya air yang sedemikian berlimpah itu dengan amat takjub.
Akan tetapi, setakjub apa pun, perhatiannya lebih terpusat pada keadaan
dirinya. Dengan sekuat tenaga, orang itu berusaha memeras otak. Semua
benda yang berserakan di sekitarnya dijadikan pijakan untuk mengingat,
termasuk sisa makanannya, seekor ayam hutan yang dipanggang masih
lengkap dengan bulu-bulunya dan mungkin tanpa dibunuh lebih dulu.
Namun, upaya yang dilakukannya buntu.
Di arah barat, seorang penjala ikan sedang menebar jaring. Lebih
http://facebook.com/indonesiapustaka

ke barat lagi, sebuah perahu dengan layar sederhana tampak terapung-


apung. Dan, lebih barat lagi, tampak sebuah perkampungan. Bagai orang
yang baru terbangun dari tidur tak nyenyak, lelaki itu menguap oleh
kantuk yang masih membayang sambil tak mengalihkan perhatiannya
dari penjala ikan dan perahu secara bergantian.
Sanga Turangga Paksowani 95

Lelaki yang lupa asal-usulnya itu memerhatikan semua benda


yang ia yakini sebagai benda miliknya, kemudian memungutinya
untuk dimasukkan ke sebuah buntalan yang terbuat dari kain. Laki-
laki itu merasa sangat akrab dengan buntalan kain itu, dari jenisnya
atau dari orang yang membuatkan untuknya. Namun, semua upaya
untuk bisa menemukan siapa pembuatnya tak mampu menjebol sekat
ingatannya.
”Siapa namaku, dari mana aku berasal, dan mengapa aku bisa berada
di sini?” keluh orang itu.
Akhirnya, dengan langkah lebar, lelaki lupa asal-usul itu berjalan ke
barat. Ia mendekati orang yang sedang menjala ikan sambil mengikuti
gerak ombak yang menjilat pantai. Ombak pantai itu ia rasakan seperti
akan mengejarnya. Itu sebabnya, ia sampai berlari-lari kecil ketika ombak
itu akan membasahi kakinya.
Ketika orang itu tidak lagi memikirkan soal nama atau asal-usul serta
hal lainnya yang membingungkan hatinya dan memusatkan perhatian
pada semua yang dipandang, takjublah yang ia rasakan. Orang yang lupa
asal-usul itu merasa apa yang ia lihat adalah baru pertama kali dan sangat
indah. Seandainya pandangan matanya ditujukan ke arah kanan, di sana
tampak hutan yang begitu lebat. Sepanjang tepian hutan itu ditumbuhi
pohon bakau.
”Bukan main, ini rupanya yang disebut lautan,” ucap orang itu
dalam hati.
Akhirnya, setelah berada pada jarak cukup, laki-laki itu berhenti dan
memerhatikan penjala ikan dengan penuh perhatian. Diperhatikannya
dengan sangat cermat wujud orang itu, perawakannya, warna kulitnya,
dan kira-kira berapa usianya. Sang penjala ikan itu berbalik dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

melangkah mendekat.
”Punya air?” tanya penjala ikan itu.
Orang yang lupa asal-usul itu seketika mengarahkan pandangan
matanya ke laut luas yang berlimpah air.
96 Gajah Mada

”Maksudku air minum,” lanjut penjala ikan itu dengan tatapan aneh.
”Tidak punya,” jawab orang yang lupa dengan asal-usul dan namanya
itu.
Namun, penjala ikan itu orang yang ramah.
”Bukan orang sini, ya? Berasal dari mana?” tanyanya.
Pertanyaan yang dilontarkan penjala ikan itu sungguh pertanyaan
yang sederhana. Namun, pertanyaan sederhana macam itu ternyata sangat
sulit untuk dijawab. Mulutnya yang berputar sangat sulit mengeluarkan
kata-kata, sementara tatap matanya yang liar amat mewakili suasana
hatinya.
”Aku bukan orang sini,” jawaban yang diberikan terasa lunglai.
”Kalau asalmu dari mana? Namaku Bandar Guris, kalau boleh tahu,
siapa namamu?” tanya orang itu.
Sungguh, itulah jenis pertanyaan yang membuat lelaki yang kehilangan
ingatan atas masa lalunya itu salah tingkah karena tidak mampu menjawab.
Padahal, ketidakmampuan menjawab jenis pertanyaan yang sederhana itu
sangat tidak masuk akal. Padahal, ditanyai nama dan tak mau menjawab
justru bisa memancing anggapan bahwa ia orang yang sombong.
”Aku minta maaf,” ucapnya agak memelas.
Bandar Guris merasa heran.
”Kenapa?” balasnya.
Lelaki kehilangan nama itu berniat menggeleng. Namun, ada sesuatu
yang membuat ia tidak mampu menggeleng, sementara tangannya
bergerak aneh.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Kenapa?” ulang Bandar Guris.


Orang yang lupa pada asal-usulnya itu berancang-ancang untuk
bicara. Ditandai itu dengan apa yang akan dikerjakannya. Ia melakukan
tarikan napas panjang, lalu mengembuskan dengan keras dan agak
kasar.
Sanga Turangga Paksowani 97

”Aku bingung,” untaian kalimat pendek itu akhirnya bisa


dilepaskannya.
Bandar Guris terheran-heran.
”Aku tak tahu kenapa dengan diriku. Aku tak ingat siapa namaku.
Aku tak ingat dari mana aku berasal. Aku sudah berusaha memeras
kenangan, tetapi rasanya ada sesuatu yang mengganjal kepalaku. Aku
tak ingat apa pun. Bahkan, aku tak tahu mengapa aku bisa berada di
sini,” ucap laki-laki itu.
Bandar Guris termangu. Mulutnya terbuka lebar dan matanya sedikit
membelalak. Ia memandang lawan bicaranya.
”Kuberi nama mau?” tanya Bandar Guris.
Orang yang lupa asal-usul itu bingung, tetapi dengan segera ia
mengangguk.
”Aku tak keberatan memberimu nama, toh, aku tidak kehilangan.
Setidaknya, kau bisa menggunakan nama yang aku hadiahkan sampai
saatnya kau menemukan namamu yang hilang itu,” Bandar Guris
melanjutkan kalimatnya.
Orang tanpa nama dan asal-usul itu menunggu. Matanya agak
berbinar.
”Siapa nama yang akan kauberikan?” tanya orang itu.
Bandar Guris memutar tubuh dan memandang laut.
”Lima tahun lalu,” ucapnya, ”aku punya seorang teman akrab. Ia
sama melaratnya dengan aku. Kami punya angan-angan yang sebangun,
yaitu ingin kaya. Namun, keinginan itu belum juga kesampaian. Riung
Sedatu namanya. Ia pergi melaut, tetapi hingga sekarang tidak pernah
http://facebook.com/indonesiapustaka

pulang. Kalau lima tahun pergi melaut dan tak pernah pulang, aku yakini
dia sudah mati, mungkin ditelan badai atau disantap ikan raksasa. Untuk
mengenangnya, pakai saja nama itu.”
Orang yang kehilangan masa lalu itu menggoyangkan mulutnya.
”Sedatu?” ulangnya.
98 Gajah Mada

”Ya, Riung Sedatu,” kata Bandar Guris. ”Bagaimana? Mau? Kalau


kau mau, untuk selanjutnya, jika ada orang bertanya siapa namamu, jawab
saja dengan nama itu. Kalau ada yang bertanya dari mana asal-usulmu,
katakan saja kau berasal dari Alas Roban.”
Riung Sedatu memandang orang itu, kemudian memutar tubuh
menggerataki hutan yang berada di belakangnya. Agaknya, hutan itu
amat lebat dan berbukit-bukit, menyebabkan siapa pun akan berpikir
dua kali untuk memasukinya. Hutan yang amat lebat macam itu tentu
penuh dengan binatang buas.
”Itu Alas Roban?” tanya Riung Sedatu.
”Ya,” jawab Bandar Guris.
”Di mana letak tempat ini?” tanya Riung Sedatu.
”Ya, di sini,” jawab Bandar Guris.
Riung Sedatu mengamati laut di depannya, lalu berputar mengamati
punggung bukit di belakangnya dan mengamati perkampungan di barat
dengan segala kebingungannya. Ia tetap tak habis mengerti mengapa
bisa berada di tempat itu.
”Jangan-jangan, aku punya anak dan istri,” keluh laki-laki itu yang
ditelan tanpa diucapkan. ”Jika benar aku punya anak dan istri, berarti aku
sedang meninggalkan mereka. Tentu, mereka sangat kebingungan.”
Bandar Guris yang melihat kebingungan orang itu percaya bahwa
keadaan yang demikian sama sekali tidak dibuat-buat. Orang di depannya
itu memang sedang kebingungan, meski dengan jenis penyebab yang
aneh. Orang lupa masa lalu, orang bisa lupa dengan nama sendiri,
bahkan lupa dari mana asal-usulnya, keadaan yang seperti itu sungguh
luar biasa.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Jadi, kau pun tak tahu akan ke mana?” tanya Bandar Guris.
Pertanyaan itu sangat mengusik kedalaman hati Riung Sedatu. Ia
sama sekali tak tahu bagaimana cara menjawabnya. Perlahan, Riung
Sedatu menggelengkan kepala.
”Aku juga tak tahu akan ke mana,” jawabnya.
Sanga Turangga Paksowani 99

Bandar Guris merinding oleh sebuah kesadaran betapa orang yang


baru saja diberinya nama Riung Sedatu itu telah kehilangan besar-besaran.
Kehilangan uang masih bisa dicari. Kehilangan istri masih bisa kawin lagi.
Kehilangan harta masih bisa bekerja keras mengumpulkan lagi. Tetapi,
bagaimana dengan kehilangan ingatan, kehilangan jati diri? Adakah yang
lebih mahal dari kehilangan yang satu itu?
”Mungkin aku tahu arah yang sebaiknya kautempuh,” kata Bandar
Guris.
Riung Sedati mengerutkan kening.
”Ke mana?” tanya Riung Sedatu bersungguh-sungguh.
”Arah pulang,” jawab orang itu.
Riung Sedatu memandang lawan bicaranya lebih tajam.
”Dengan keadaanmu yang seperti itu,” kata Bandar Guris,
”menurutku yang harus kaulakukan adalah memusatkan perhatianmu
untuk pulang. Kembali ke arah kau berasal. Pusatkan semua kenangan
pada apa pun yang bisa membawamu pulang. Mungkin ada yang bisa
kauingat atas wajah seseorang, wajah istri atau anakmu, bentuk gunung
atau sungai, atau apa pun yang bisa membawamu pulang. Ke mana kau
harus pergi? Arahkan perhatianmu untuk pulang.”
Riung Sedatu memejamkan mata beberapa saat. Riung Sedatu
berusaha melakukan saran penjala ikan yang baru dikenalnya itu. Bentuk
sebuah gunung? Adakah bentuk sebuah gunung yang bisa dijadikan
pembuka pintu untuk menemukan semua masa lalunya yang hilang?
Atau, wajah seseorang?
Beberapa saat kemudian, Riung Sedatu menggeleng lunglai.
”Kenang wajah istrimu. Pusatkan perhatianmu pada wajah istrimu,”
http://facebook.com/indonesiapustaka

kata Bandar Guris.


Sekali lagi, Riung Sedatu menggeleng.
”Aku tak tahu bagaimana cara mengetahui apa aku punya istri atau
tidak,” balas Riung Sedatu.
100 Gajah Mada

Bandar Guris memandang dengan iba. Akan tetapi, apa yang bisa
dilakukannya untuk menolong orang yang baru dikenalnya itu dari
keadaannya yang sangat aneh?
”Bagaimana kalau kauikut ke rumahku?” Bandar Guris menawarkan.
Dihadapkan pada keadaannya yang sedemikian membingungkan,
tawaran itu benar-benar amat dibutuhkan. Itu sebabnya, Riung Sedatu
langsung mengangguk menerimanya.
Rumah Bandar Guris bukan rumah yang bagus, bahkan boleh
dibilang hanya rumah yang sederhana. Rumah itu tidak menyatu dengan
deretan rumah tetangganya yang rata-rata berimpitan di sepanjang
pantai. Dibayangi mimpi buruk atas peristiwa alam yang pernah terjadi
puluhan tahun lalu, yaitu saat ada ombak besar bergulung menyapu apa
pun, Bandar Guris memilih membangun rumahnya agak di ketinggian.
Bandar Guris berharap jika peristiwa yang banyak menyita korban itu
sampai terulang kembali, ia dan rumahnya akan selamat.
Meski kehilangan sebagian besar ingatannya, Riung Sedatu mampu
menilai wajah Bandar Guris tidaklah tampan. Hidungnya melengkung
tertekuk di bagian ujungnya, menyebabkan siapa pun yang melihatnya
akan berpikir tentang burung betet yang memiliki paruh yang juga
tertekuk. Akan tetapi, Bandar Guris yang berwajah jelek itu ternyata
memiliki istri yang cantik. Riung Sedatu bingung memikirkan, mengapa
seorang perempuan yang begitu cantik mau diperistri lelaki berwajah
jelek seperti wajah Bandar Guris?
”Tak ada gunanya berbicara dengan istriku, ia bisu,” kata Bandar
Guris.
Riung Sedatu kaget. Riung Sedatu hanya bisa menyeringai saat
melihat perempuan berwajah cantik itu berbicara melalui gerakan tangan
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang sama sekali tak ia mengerti. Sebagai jawaban bahwa ia sama sekali
tidak paham, Riung Sedatu menggerakkan bahu. Riung Sedatu membalas
tersenyum ketika perempuan itu tersenyum kepadanya.
”Bagaimana kalau aku tawarkan kepadamu untuk tinggal di sini? Kalau
telah kautemukan ingatanmu, kau boleh pergi,” Bandar Guris berkata.
Sanga Turangga Paksowani 101

Merasa tak tahu apa yang harus dikerjakan dan bagai seekor kerbau
yang diikat lehernya, Riung Sedatu mengangguk menerima tawaran itu.
Meski sederhana, rumah Bandar Guris memiliki tiga buah kamar dengan
dinding sirap yang berlubang-lubang, menyebabkan kegiatan yang terjadi
di kamar itu bisa diintip dari luar. Apa pun yang terjadi di pekarangan
samping rumah bisa diintip pula dari kamar itu.
”Aku tidak keberatan menampungmu tinggal di rumahku. Kau
boleh gunakan kamar itu. Kamu juga akan mendapat makan yang cukup.
Namun, kamu harus membantuku menyelesaikan sebuah pekerjaan,”
ujar Bandar Guris.
Riung Sedatu tidak merasa keberatan. Untuk tumpangan tempat
tinggal yang ia peroleh, wajar jika ia harus membayar dan membalasnya
dengan bekerja.
”Pekerjaan apa yang harus kubantu untuk menuntaskannya?” tanya
Riung Sedatu.
”Nanti kau akan lihat,” kata Bandar Guris. ”Aku punya jenis
pekerjaan yang masih belum tuntas juga pengerjaannya. Aku tidak bisa
mengerjakan sendiri, aku membutuhkan bantuan orang lain.”
Bandar Guris rupanya jenis orang yang bisa menggunakan otaknya,
setidaknya agar bisa memperoleh tenaga tanpa harus membayar. Dengan
bahasa isyarat yang hanya bisa dimengerti istrinya, Bandar Guris meminta
perempuan cantik itu untuk memasak dengan lauk ikan hasilnya menjala.
Entah mendapat dorongan semangat dari mana, perempuan bisu itu
memasak dengan penuh semangat. Tamu berwajah tampan dengan
rambut panjang terurai dan jambang yang lebat itu, sungguh menarik
perhatiannya, menggiring angan-angannya terbang entah ke mana.
”Makan yang banyak, sekenyangmu,” Bandar Guris menyilakan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Riung Sedatu tak sungkan memenuhi tawaran itu. Dengan amat


lahap, ia menyantap makanan yang disajikan. Pandangan mata Nyai
Bandar Guris dengan amat berterang menunjukkan minatnya kepada
tamu suaminya itu. Kiai Bandar Guris ikut makan tak kalah rakus, tambah
dan tambah lagi.
102 Gajah Mada

”Ayo, tambah lagi,” Bandar Guris kembali menawarkan.


Dalam perhitungan Bandar Guris, makin tamunya kenyang perutnya
makin baik. Tamu yang akan diperas tenaganya itu memerlukan tenaga
yang besar untuk pekerjaan berat. Itu sebabnya, perutnya harus diisi
sampai penuh. Kalau di lambung masih ada ruang, harus dijejali sampai
tak ada ruang yang kosong.
Matahari agak doyong ke barat ketika Bandar Guris mengajak
Riung Sedatu kembali ke pantai. Di bawah bayangan pohon gempol,
teronggok sebuah perahu berukuran sedang yang belum usai
pembuatannya. Dengan pandangan mata penuh minat, Riung Sedatu
memerhatikan wujud perahu itu. Bukan sekadar melihat tanpa
maksud, tetapi ia bisa membayangkan dengan cara bagaimana perahu
itu dibuat, menggunakan alat apa antara bilah kayu satu dengan yang
lain disambungkan, dan harus dilapisi dengan cara bagaimana supaya
perahu itu tidak bocor.
Bandar Guris merasa beruntung menemukan Riung Sedatu yang
bekerja penuh semangat ikut membantunya menyelesaikan pembuatan
perahu itu. Sudah cukup lama pembuatan perahu itu terpaksa tertunda
karena beberapa pekerjaan tertentu harus dikerjakan paling tidak dua
orang. Ia tak mungkin minta bantuan kepada para tetangga karena
hubungannya dengan para tetangga kurang baik. Hal itu akibat perilaku
Bandar Guris sendiri yang tidak begitu baik dalam bertetangga. Ketika
tiba gilirannya membutuhkan tenaga orang lain, Bandar Guris mati
langkah. Atau, kalaupun harus mengupah orang, Bandar Guris tak
punya uang untuk itu.
”Beruntung sekali aku mendapatkan orang gila ini,” ucap Bandar
Guris dalam hati dengan perasaan geli.
Dengan giat penuh semangat, Riung Sedatu bekerja. Rupanya,
http://facebook.com/indonesiapustaka

hal itu didorong keinginan Riung Sedatu sendiri yang tidak sabar ingin
segera melihat bentuk akhir dari perahu itu. Padahal, Bandar Guris
menakar, pembuatan perahu berukuran sedang itu akan memakan waktu
lama. Setidaknya, membutuhkan beberapa pekan untuk menyelesaikan
pembuatan perahu itu, kecuali jika dikerjakan beramai-ramai.
Sanga Turangga Paksowani 103

Riung Sedatu sangat tangkas menggunakan semua peralatan yang


tersedia. Riung Sedatu menyempatkan memerhatikan tatah68 di tangannya,
juga gergaji di satu tangan yang lain. Matanya memandang penuh selidik.
Ia merasa benda-benda itu sangat dikenalinya, sangat akrab dengan
tangannya, dan sangat tahu bagaimana cara menggunakannya.
”Ada apa?” tanya Bandar Guris.
Riung Sedatu masih mengamati alat pertukangan di tangannya.
Lamat-lamat, ada sesuatu yang dikenalinya.
”Aku merasa terbiasa dengan benda-benda seperti ini,” ucap
Sedatu.
Berdebar Bandar Guris dalam memandang Riung Sedatu. Sejenak,
Bandar Guris harus menimbang antara untung dan rugi. Bukankah
merugikan andai Riung Sedatu keburu ingat asal-usulnya dan memutuskan
pergi meninggalkan tempat itu?
”Ada sesuatu yang bisa kauingat?” tanya Bandar Guris.
Riung Sedatu memusatkan perhatiannya ke alat-alat pertukangan
yang berada di depannya. Sejenak kemudian, lelaki berusia empat
puluhan tahun itu memejamkan mata dalam upayanya menjebol sekat
yang menyebabkan otaknya terkunci. Akan tetapi, ketika melek, Riung
Sedatu menggeleng lemah. Riung Sedatu tak berhasil menemukan
jejak apa pun. Upaya mati-matian macam apa pun yang ia lakukan
tak membawa hasil. Kekuatan yang mengunci otaknya masih tetap
bergeming di tempatnya, mencengkeram sedemikian kuat dan tidak
bisa ditembus.
Berdebar-debar Bandar Guris ketika seiring perjalanan waktu, ia
melihat betapa orang yang kehilangan masa lalu dan diberinya nama
http://facebook.com/indonesiapustaka

Riung Sedatu itu memiliki kemampuan yang tidak sewajarnya. Semula,


Bandar Guris menduga ia harus terlalu banyak memberi petunjuk apa
yang harus dikerjakan Riung Sedatu. Namun, rupanya Riung Sedatu

68
Tatah, salah satu alat pertukangan yang berfungsi untuk melubangi kayu
104 Gajah Mada

tidak perlu diperlakukan seperti itu. Mengacu pada perahu yang sedang
terapung-apung dipermainkan ombak sebagai contoh, Riung Sedatu
tahu apa yang harus dikerjakan.
Lebih berdebar Bandar Guris melihat cara-cara tertentu yang
digunakan Riung Sedatu dalam menyambung kayu. Cara yang
digunakannya amat berbeda dengan apa yang sering dilakukan para
tukang perahu yang sudah ahli sekalipun. Dan, lebih terbelalak Bandar
Guris melihat Riung Sedatu melakukan pekerjaan yang aneh.
”Apa yang kaulakukan itu?” tanya Bandar Guris.
”Aku akan membuatkan kepala raksasa untuk perahu ini dan
mengukirnya,” jawab Sedatu.
Siang beranjak sore dan bersambung dengan datangnya malam yang
berbulan. Tak lelah dan terus bekerja, Riung Sedatu makin membuat
Bandar Guris merasa heran. Bahkan, untuk selanjutnya, bukan Riung
Sedatu yang melayani Bandar Guris. Akan tetapi, Bandar Guris yang
melayani apa pun yang dibutuhkan Sedatu. Bandar Guris merasa takjub
melihat wujud kepala perahu itu ketika makin membentuk. Jika dibiarkan
apa pun yang dilakukan Riung Sedatu, perahu yang akan dibuat itu
nantinya akan menjadi perahu terbaik yang pernah dimiliki para nelayan
yang tinggal di tepian pantai Alas Roban.
Bandar Guris tidak memberi petunjuk apa pun. Akan tetapi,
Riung Sedatu seolah memang tukang perahu. Ia tahu beberapa bagian
kayu harus dibuat melengkung yang untuk melengkungkannya harus
dibakar.
Bagai kesetanan, Riung Sedatu bekerja. Ketika tengah malam, baru
Riung Sedatu mau diajak beristirahat.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Mau makan lagi?” Bandar Guris menawarkan.


Riung Sedatu tentu mau karena pekerjaan yang dilakukan sejak
siang dan bersambung hingga ke tengah malam benar-benar menguras
tenaganya. Dengan berlimpah semangat pula, Nyai Bandar Guris yang
cantik mempersiapkan makan malam yang diperintahkan suaminya. Di
Sanga Turangga Paksowani 105

kesempatan amat luas yang dimilikinya, Nyai Bandar Guris mencuri


pandang kepada tamu tampan itu sambil mengumbar angan-angan.
Dan, Nyai Bandar Guris telah berkeputusan bulat untuk
mewujudkan angan-angannya. Nyai Bandar Guris merasa apa yang
tidak ia peroleh dari suaminya harus didapat dari lelaki itu. Apalagi, ia
tampan. Telah bertahun-tahun lamanya, ia menjadi istri Bandar Guris,
tetapi belum juga mendapat momongan. Siapa tahu karena benihnya
yang jelek dan siapa tahu benih yang dimiliki Riung Sedatu itu dari jenis
yang baik. Itu sebabnya, manakala Nyai Bandar Guris melihat suaminya
telah tidur pulas, tanpa terlalu menimbulkan banyak gerak, Nyai Bandar
Guris turun dari pembaringan. Dengan mengendap-endap dan kaki
berjingkat, Nyai Bandar Guris menuju bilik depan.
Perlahan, perempuan itu membuka pintu dan berharap menemukan
laki-laki yang amat memenuhi selera hatinya itu. Akan tetapi, Nyai Bandar
Guris terkejut.
”Mana dia?” pertanyaan itu terlontar dari benak perempuan bisu itu.
Nyai Bandar Guris bingung. Dalam bingungnya, ia memeriksa
kolong tempat tidur. Namun, yang dicarinya tak ada di bawah tempat
tidur itu. Nyai Bandar Guris bergegas keluar.
Dalam siraman cahaya bulan, Nyai Bandar Guris melihat bayangan
Riung Sedatu yang mengayunkan kaki menuju perkampungan di depan.
Bergegas, Nyai Bandar Guris berbalik dan membangunkan suaminya. Ia
lakukan itu dengan agak kasar. Bandar Guris yang mengira ada gempa
bergegas menyelamatkan diri ke halaman. Pada saat dibangunkan,
rupanya Bandar Guris sedang bermimpi ada gempa di tengah laut yang
menyebabkan air laut naik tinggi ke daratan.
”Ada apa?” tanya Bandar Guris yang akan masuk lagi ke dalam
http://facebook.com/indonesiapustaka

rumah.
Dengan menggunakan bahasa isyarat tangannya, bahkan dengan
menyeret tubuh suaminya, Nyai Bandar Guris memberitahukan
kepergian Riung Sedatu. Dengan berlari-lari, Bandar Guris menyusul
bayangan Sedatu yang terlihat di kejauhan.
106 Gajah Mada

”Mau pergi tanpa pamit, padahal masih punya pekerjaan yang harus
diselesaikan,” kata Bandar Guris dengan napas tersengal.
Dengan berlari, Bandar Guris berhasil menyusul Riung Sedatu,
bahkan menempatkan diri menghadang. Namun, betapa kaget Bandar
Guris mendapati Riung Sedatu berjalan dengan mata terbuka, tetapi
tanpa disertai kesadarannya.
”Berjalan sambil tidur? Tidur sambil berjalan?” gumam Bandar
Guris.
Melihat ada sesuatu yang tidak wajar pada diri tamunya, Bandar
Guris segera mengambil keputusan untuk mengikuti langkah kaki Riung
Sedatu dari belakang. Kepada istrinya yang menyusul, Bandar Guris
memberi isyarat dengan melekatkan ujung jarinya ke mulut, sebuah isyarat
agar Nyai Bandar Guris diam dan tidak melakukan tindakan apa pun.
Riung Sedatu yang diikuti dari belakang terus berjalan, kemudian
berhenti tidak jauh dari perahu yang terikat pada batang pohon waru.
Riung Sedatu seperti menimbang apa yang selanjutnya akan dikerjakan.
Bandar Guris saling pandang dengan istrinya saat melihat Riung Sedatu
masuk ke dalam perahu itu, kemudian membaringkan diri.
”Kenapa dia?” lewat isyarat tangannya, Nyai Bandar Guris bertanya
kepada suaminya.
Bandar Guris membutuhkan waktu agak lama untuk menjawab.
”Pindah tidur,” jawabnya dengan gerak bibir yang amat jelas.
Nyai Bandar Guris manggut-manggut, tetapi tidak jelas apakah ia
paham atau tidak. Dengan penuh perhatian, Nyai Bandar Guris melihat
bagaimana lelaki yang amat mencuri perhatiannya itu menghela napas
dengan lembut. Laki-laki itu jelas sedang menikmati mimpinya, terlihat
dari senyumnya yang menyungging.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Ayo, pulang. Biarkan saja ia tidur di situ,” ajak Bandar Guris


kepada istrinya.
Pasangan suami-istri yang aneh itu kemudian balik arah dan
meninggalkan Riung Sedatu yang sibuk dengan alur cerita mimpinya,
Sanga Turangga Paksowani 107

mimpi yang mengombak tanpa bentuk. Ada saat dalam mimpi itu, Riung
Sedatu berhadapan dengan perempuan. Entah siapa perempuan yang
sibuk bergaya dalam sikap duduknya itu. Namun, dengan segera wujud
perempuan itu berubah menjadi gumpalan batu dan dengan sebuah
tatah ia memahatnya.

8
K eringat yang terperas bukan hanya karena matahari yang sedang
galak. Akan tetapi, lebih karena kerja keras penuh nafsu yang dilakukan
Riung Sedatu. Ia bagaikan kesetanan mengayunkan palu menghantam
gagang tatah dalam rangka membentuk wujud kepala raksasa.
Dengan hiasan kepala raksasa, Bandar Guris merasa yakin perahunya
nanti akan menjadi perahu terbaik dari semua perahu yang dimiliki para
nelayan Alas Roban. Di dalam hati, Bandar Guris merasa penasaran
terhadap latar belakang macam apa yang dimiliki Riung Sedatu. Dengan
melihat apa yang dilakukan Riung Sedatu semalam, Bandar Guris bisa
menduga mengapa setiap bangun tidur, Riung Sedatu selalu bingung.
Dengan tidur berjalan yang ia alami, Riung Sedatu yang semula merasa
tidur di suatu tempat akan kebingungan ketika terbangun di tempat lain.
Seorang nelayan berjalan melintas di tempat kegiatan tengah
berlangsung riuh itu. Orang itu berhenti dan memberikan perhatiannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Orang itu bahkan terheran-heran.


”Siapa dia?” tanya nelayan yang melintas itu.
Bandar Guris yang kurang begitu suka kepada semua tetangganya,
melengos.
108 Gajah Mada

Melihat sikap Bandar Guris yang demikian, nelayan tetangganya itu


berniat melanjutkan langkah kakinya. Namun, nelayan itu sangat tertarik
dan penasaran pada apa yang dikerjakan Riung Sedatu. Itu sebabnya, ia
tetap berdiri di tempatnya dan melihat bagaimana cara Riung Sedatu
mengukir. Orang itu bahkan melangkah mendekat. Minatnya yang besar
tampak dari pandangan matanya. Melihat itu, Bandar Guris menampakkan
rasa tidak sukanya.
”Jangan mengganggu orang yang sedang bekerja,” ucap Bandar
Guris.
”Aku hanya melihat. Aku tidak menganggu,” jawab orang itu.
Berbeda dengan Bandar Guris yang bersikap tidak bersahabat,
Sedatu justru tersenyum ramah, bahkan menyempatkan mengulurkan
tangan mengajak orang itu berkenalan.
”Namaku Riung Sedatu, namamu siapa?”
Nelayan itu yang kemudian justru terkejut.
”Siapa?” tanya orang itu minta diulang.
Riung Sedatu yang tahu duduk persoalannya segera tersenyum.
”Ketika aku datang ke tempat ini, kemudian bertemu dengan Ki
Bandar Guris, keadaanku sangat menyedihkan. Boleh percaya boleh
tidak, tetapi apa yang kukatakan benar. Aku kehilangan ingatan atas
masa laluku, termasuk namaku. Ki Bandar Guris menganugerahi aku
nama baru. Nama yang katanya milik seorang sahabatnya yang hilang
bertahun-tahun lamanya. Ia berlayar dan tak pernah kembali. Nama
orang itu Sedatu, aku diminta menggunakan nama itu,” ucap Riung
Sedatu.
Orang yang berbicara dengan Riung Sedatu itu pun terdiam
http://facebook.com/indonesiapustaka

beberapa saat lamanya. Sebagaimana yang dirasakan Bandar Guris


sebelumnya, nelayan itu juga merasakan ada yang aneh pada penuturan
itu. Orang bisa lupa pada masa lalunya, pada jati dirinya, pada namanya
sendiri, mungkinkah hal demikian itu bisa terjadi? Meskipun terasa amat
janggal, nelayan itu hanya menyimpannya dalam hati.
Sanga Turangga Paksowani 109

”Namaku Sanjara,” balas orang itu. ”Aku masih bersaudara dengan


Kakang Bandar Guris. Meski aku masih muda, aku menang awu69 darinya.
Bahkan, menurut urut-urutan keluarga, Kakang Bandar Guris mestinya
memanggilku kakang. Namun, karena usianya yang lebih tua, akulah
yang mengalah dengan memanggilnya kakang.”
Apa yang diucapkan Sanjara itu tak mungkin dibantah Bandar Guris.
Pun dalam hatinya, Bandar Guris tidak membantah pemuda bernama
Sanjara itu masih saudara dengannya. Bahkan, hubungan persaudaraan
itu tak berjarak jauh. Namun, apa artinya saudara jika dalam hubungan
sehari-hari justru bermusuhan. Saudara itu mestinya merupakan tempat
berbagi masalah dan berbagi beban. Namun, hampir semua saudaranya
justru mengucilkan dirinya. Hal itu menggiring Bandar Guris sampai
pada sebuah pertanyaan, apa guna bersaudara jika saudara-saudara itu
tidak memberi manfaat apa pun kepada dirinya, bahkan bersikap seperti
orang lain yang tidak berasal dari garis darah yang sama?
”Semua yang kauceritakan itu, soal asal-usul yang hilang dari ingatan,
benarkah semua itu?” tanya Sanjara.
Pertanyaan yang dilontarkan tanpa maksud apa pun itu menyebabkan
Riung Sedatu terdiam dan menghentikan pekerjaannya. Tatapan matanya
menyapu garis laut.
”Aku mengalami kesulitan untuk meyakinkan hal itu kepada orang
lain. Jangankan kepada orang lain, kepada diriku sendiri saja, aku sulit
memahami mengapa mengalami hal yang demikian. Bahkan, kenapa aku
bisa berada di sini, aku tak tahu jawabnya. Kemarin aku di mana dan sedang
melakukan apa, aku tak tahu. Aku lupa semua itu dan untuk memudahkan
dalam berhubungan, Ki Bandar Guris memberiku nama Riaung Sedatu.
Apa ada masalah dengan nama itu, Kisanak?” ucap Riung Sedatu.
Sanjara menggeleng.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Tidak ada masalah dengan nama itu, silakan memakainya. Untuk


selanjutnya, aku akan memanggilmu Sedatu,” balas Sanjara.

69
Menang awu, Jawa, lebih senior
110 Gajah Mada

Bandar Guris merasa tidak senang.


”Cukup, sudahi pembicaraan itu dan pergi sana. Jangan kauganggu
Sedatu yang sedang sibuk bekerja,” ucapnya.
Sanjara tidak mau bersilat lidah dengan orang yang masih bersaudara
dengan dirinya itu. Sanjara segera melanjutkan langkahnya yang tertunda.
Untuk keperluan membuat tiang rumah, Sanjara memerlukan tambahan
kayu jati yang harus ditebang di hutan. Sanjara juga berencana membuat
perahu baru. Dan, ia merasa telah menemukan orang yang tepat yang
diharapkan bisa menerjemahkan rancang gambar dan pembuatan ukiran
pada ujung serta buritan perahu seperti yang pernah dilihatnya di sebuah
tempat bernama Japara. Akan tetapi, bagaimana cara memengaruhi
Riung Sedatu supaya mau bekerja kepada dirinya?
Riung Sedatu terus memerhatikan langkah kaki Sanjara yang kian
jauh dan tidak peduli meski kakinya dijilat air laut.
”Apa benar ia saudaramu?” tanya Riung Sedatu.
”Ya, kenapa?” balas Bandar Guris.
”Kelihatannya kau tidak rukun dengan saudaramu,” ujar Sedatu.
”Memang,” jawab Bandar Guris tanpa ragu. ”Tak ada guna aku
bercampur dengan mereka. Daripada makan hati, lebih baik aku hidup
sendiri,” balas Bandar Guris.
Beberapa saat lamanya, Riung Sedatu memandang lawan bicaranya
tanpa berkedip.
”Apa kau tidak merasa rugi?” tanya Riung Sedatu. ”Hidup itu
tak mungkin sendiri. Hidup itu saling membutuhkan dan harus
berhubungan. Hidup sendiri itu hanya bisa dilakukan di tengah hutan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Apa kamu tidak akan datang melayat kalau mereka mati? Sebaliknya,
apa mereka tidak akan datang melayat jika kau mati? Apalagi, mereka
saudaramu.”
Bandar Guris terdiam karena harus merenungkan ucapan Riung
Sedatu yang sedemikian menggelitik.
Sanga Turangga Paksowani 111

Dengan giat, Riung Sedatu bekerja. Dengan cekatan, tangannya


menari membuat pahatan hingga terbentuklah ukiran yang indah. Bagai
kesetanan, Riung Sedatu bekerja yang sebenarnya hanya penyaluran dari
gelegak jiwa seni yang dimilikinya. Melihat cara Riung Sedatu bekerja
yang adakalanya diselingi dengan berteriak dan melenguh membuat
Bandar Guris terheran-heran.
Ketika hari makin siang, Nyai Bandar Guris datang membawa
nampan berisi makan.
”Makan dulu,” kata Nyai Bandar Guris melalui bahasa isyarat.
Bandar Guris mengangguk. Bandar Guris mengingatkan Riung
Sedatu untuk beristirahat, tetapi Riung Sedatu tetap pada pekerjaannya.
”Nanti,” jawabnya.
Riung Sedatu menolak tawaran untuk makan. Ia pilih tetap
bekerja dengan amat beringas. Tangannya terus bergerak menari, amat
lincah dan terarah. Setiap ayunan palu yang menghajar gagang tatah
selalu mempunyai maksud, menjadi tontonan yang amat menarik bagi
Bandar Guris dan istrinya. Dengan sangat takjub, Nyai Bandar Guris
memerhatikan bagaimana Riung Sedatu bekerja. Namun, sesuatu di laut
segera mencuri perhatiannya. Nyai Bandar Guris meraih tangan suaminya
dan tangannya menunjuk ke arah laut. Hal yang sama dilakukan kepada
Riung Sedatu.
”Kapal banyak sekali,” kata Nyai Bandar Guris dalam bahasa isyarat.
”Satu, dua, tiga .... empat ....”
Riung Sedatu segera menyebar pandangan mata dari batas cakrawala
sebelah timur sampai barat. Selesai apa yang ia lakukan, Riung Sedatu
mengarahkan matanya kembali pada pekerjaannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Enam belas, jika dihitung semua ada empat puluh dua,” Riung
Sedatu memotong.
Bandar Guris bingung. Dengan hati-hati, Bandar Guris menghitung
ulang barisan kapal yang bergerak dari arah barat ke timur. Ternyata,
benar apa yang dikatakan Riung Sedatu, jumlah kapal itu enam belas.
112 Gajah Mada

”Cepat sekali. Bagaimana caramu menghitung?” tanya Bandar Guris.


Riung Sedatu tidak menjawab. Namun, penampilan kapal-kapal itu
memang menarik perhatiannya. Enam belas kapal dengan tanda-tanda
yang sangat jelas, terbaca dari kibaran bendera berwarna gula kelapa dan
lambang negara dalam wujud cihna gringsing lobheng lewih laka. Berarti,
kapal-kapal itu adalah armada kapal perang milik Majapahit.
”Itu kapal perang Majapahit,” kata Riung Sedatu.
Bandar Guris terheran-heran.
”Bagaimana kau bisa tahu?” balasnya.
”Terlihat dari lambangnya. Lihat itu, cihna gringsing lobheng lewih
laka. Lihat itu, bendera gula kelapa. Barisan armada kapal itu jelas milik
Majapahit,” jawab Sedatu.
Berdesir tajam Bandar Guris mendapati pemahat yang terampil
itu memiliki ruang perbendaharaan pengetahuan yang luas. Hal itu
menambah gumpalan rasa penasarannya. Latar belakang macam apa
yang dimiliki orang yang kehilangan ingatan itu? Namun, di samping
semua rasa heran itu, masih ada rasa penasaran yang lain.
”Bagaimana kau bisa menghitung semua kapal itu dengan cepat?”
tanyanya.
Riung Sedatu mengangkat pundaknya sambil menggeleng.
”Tadi, kaubilang jika dihitung semua, jumlah kapal itu ada empat
puluh dua? Apa maksudmu?” kejar Bandar Guris.
Riung Sedatu bangkit sambil meliukkan badan ke kanan dan ke
kiri.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Semua kapal, termasuk perahu kecil milik nelayan, dari barat ke timur,
semuanya empat puluh dua,” jawab Riung Sedatu amat yakin sambil terus
memandangi wujud kapal perang yang terus bergerak ke arah timur.
Bandar Guris terheran-heran. Dengan segera, ia ingin membuktikan
kebenaran apa yang dikatakan Riung Sedatu. Dengan hati-hati dan
Sanga Turangga Paksowani 113

cermat, Bandar Guris menghitung semua kapal dan perahu kecil


milik para nelayan.
”Jumlahnya empat puluh satu,” gumamnya.
Riung Sedatu tersenyum, senyum seperti meremehkan.
”Hitung ulang, jumlahnya empat puluh dua. Aku tak mungkin salah,”
ujar Sedatu yakin.
Bandar Guris kembali menyapu laut dengan matanya. Dengan
lebih cermat, ia menghitung semua kapal dan perahu. Bandar Guris
merasakan desir tajam melihat kenyataan yang boleh dibilang mustahil
itu. Didorong rasa penasarannya, Bandar Guris memunguti puluhan
kerikil yang diletakkan di dua genggaman tangannya.
”Berapa jumlah kerikil ini?” tanya Bandar Guris.
Riung Sedatu melirik sekilas.
”Jangan ada yang bertumpuk, tidak kelihatan,” balas Riung Sedatu.
Bandar Guris memenuhi permintaan itu.
”Dua puluh satu,” kata Riung Sedatu.
Akhirnya, Bandar Guris merasa yakin, lelaki berusia empat puluhan
tahun yang ia beri nama Riung Sedatu itu, di samping pemimpi sambil
berjalan dan lupa asal-usulnya, ternyata juga memiliki kemampuan aneh
yang tidak sembarang orang memilikinya. Hanya sekejap, dalam hitungan
tak lebih lama dari kedipan mata, ia mampu menghitung dengan benar.
Bagaikan meledak kepala Bandar Guris setelah merasa menemukan
sebuah gagasan yang bisa membawanya ke sebuah keadaan yang berbeda,
bisa menjadikannya kaya raya.
”Aku bisa kaya. Kini, aku menemukan jalan untuk bisa kaya,”
http://facebook.com/indonesiapustaka

ucapnya agak gugup dan dengan tangan gemetar.


Riung Sedatu menghentikan pekerjaannya. Pandangan matanya
mengikuti gerak armada kapal laut yang bergerak ke timur itu. Dengan
mata yang tajam dan kemampuan merekam yang juga tajam, Riung
Sedatu mengamati bentuk-bentuk kapal itu.
114 Gajah Mada

Sedatu menoleh.
”Kenapa kau merasa mendadak akan kaya?” tanya Riung Sedatu
heran.
Bandar Guris meremas-remas jari sambil melilitkan lidah untuk
menghapus sesuatu yang terasa kering di bibirnya.
”Akan aku manfaatkan kemampuanmu itu untuk berjudi. Kebetulan,
mulai nanti malam sampai lima belas hari ke depan, akan ada permainan
judi dadu. Kita datangi tempat itu untuk menguras habis harta para botoh
sombong itu,” jawab Bandar Guris
Ajakan aneh itu justru menyebabkan Riung Sedatu menghentikan
pekerjaannya.
”Bagaimana caranya?” tanya Riung Sedatu.
Bandar Guris benar-benar merasa meluap. Dengan melihat
kemampuan Riung Sedatu yang luar biasa macam itu, ia sudah mempunyai
gambaran jenis judi macam apa saja yang pasti bisa dimenangkan.
”Kau pernah melihat dadu, kan?” tanya Bandar Guris.
Riung Sedatu mengangguk.
”Kau bisa menebak nilai yang akan keluar dari dadu yang dikocok
dalam kotak?” kejar Bandar Guris.
Riung Sedatu mengerutkan kening. Dalam kenangannya, ia merasa
pernah dan bisa melakukan pekerjaan itu dengan mudah. Riung Sedatu
berusaha menelusuri kenangan itu, di mana, kapan, dan bagaimana.
Namun, lagi-lagi tembok yang terlalu tebal itu sulit untuk ditembus.
Untuk menjawab pertanyaan Bandar Guris itu, kembali Sedatu
mengangguk.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Aku bisa menebak,” jawabnya.


Meluap isi dada sekaligus isi kepala Bandar Guris. Kemudian, ia berbalik
untuk melihat barisan rumah di arah barat. Lalu, ia memandang matahari
yang masih memanjat tinggi sebagai gambaran ketidaksabarannya
Sanga Turangga Paksowani 115

menunggu datangnya malam. Ketika malam tiba, judi dadu sering


digelar di sebuah rumah. Banyak penjudi yang datang ke sana, tak hanya
penjudi yang berasal dari perkampungan Alas Roban, tetapi dari arah
lebih barat lagi.
Riung Sedatu mengawasi dengan cermat bahasa wajah orang
itu.
”Kamu sering berjudi rupanya?” tanya Sedatu.
Meski Bandar Guris tidak menjawab, sikap dan bahasa wajahnya
membenarkan pertanyaan itu.
”Kalau boleh tahu, apa yang menyebabkan kau tersisih dari
pergaulan? Mengapa para tetanggamu seperti tak mau tahu dengan
keberadaanmu? Kalau aku tak salah tebak, kau seperti sedang dikucilkan
tetanggamu, kenapa?” tanya Sedatu tiba-tiba.
Pertanyaan itu tidak segera dijawab. Bandar Guris menyempatkan
memutar mulut yang tak jelas apa maksudnya. Saat ia berbalik, dibarengi
itu dengan mengangkat kedua tangannya.
”Tak seorang pun dari mereka yang baik kepadaku,” ucapnya.
”Mereka semua musuh. Pasti akan kubalas perbuatan mereka,” jawab
Bandar Guris.
Riung Sedatu segera terangsang rasa ingin tahunya.
”Apa yang mereka lakukan kepadamu?” tanya Sedatu.
”Sudah tak terhitung apa yang kulakukan kepada mereka. Dulu,
aku orang terkaya di sini. Aku kaya, tetapi tidak pelit. Setiap orang yang
mengalami kesusahan pasti aku bantu. Para tetangga yang sebenarnya
masih bersaudara denganku sering datang untuk pinjam uang dan minta
bantuan. Aku membantu mereka dengan tulus. Aku pinjami uang tanpa
http://facebook.com/indonesiapustaka

bunga. Di antara mereka yang pinjam uang itu, ada yang mengembalikan
ada yang tidak. Akan tetapi, giliran aku mengalami kesusahan, aku
dirampok, tidak satu pun dari mereka yang datang menolong. Saat aku
menagih uang yang mereka pinjam, mereka tak mau membayar. Mereka
malah menjauh, ya, sudah,” jawab Bandar Guris.
116 Gajah Mada

Riung Sedatu memandang lelaki di depannya tanpa berkedip,


lurus, dan tajam. Akan tetapi, Riung Sedatu tidak melanjutkan dengan
memberikan pertanyaan susulan sebagai pelampiasan rasa ingin tahunya.
Riung Sedatu kembali menyibukkan diri pada pekerjaannya, jenis
pekerjaan yang bisa digunakan sebagai tempat penyaluran gagasan. Makin
berkeringat Riung Sedatu bekerja, membawa perahu yang dibuatnya
makin mengarah ke bentuknya.
Siang bergeser ke arah datangnya sore dan disusul oleh malam. Di
bawah bayangan cahaya bulan, Riung Sedatu berniat terus bekerja sampai
benar-benar lelah. Akan tetapi, Bandar Guris memaksa ia berhenti.
”Ingat,” kata Bandar Guris, ”tugasmu hanya memberi isyarat
kepadaku melalui gelengan kepala antara nilai besar atau nilai kecil.
Jika nilai besar kepalamu menekuk ke kanan, kalau nilainya kecil, kamu
menekuk leher ke kiri. Paham dengan apa yang aku maksud?”
Riung Sedatu mengangguk. Ia bukan orang bodoh yang tak paham
atas pertanyaan seperti itu. Namun, pandangan mata yang dilontarkan
Bandar Guris sulit dipahami ke mana arahnya.
”Ada apa?” tanya Sedatu.
”Di samping kehilangan masa lalu dan tidur berjalan,” berkata
Bandar Guris, ”apa kau masih punya uang? Masih memiliki artikah uang
bagimu? Atau, jangan-jangan uang tidak mempunyai arti bagimu?”
Riung Sedatu membuka buntalan kain yang ke mana-mana selalu
dibawanya. Tidak salah dugaan Bandar Guris, Sedatu ternyata membekali
diri dengan uang yang tidak sedikit, cukup untuk biaya hidup di sepanjang
perjalanannya. Di antara uang itu, bahkan ada yang terbuat dari emas,
uang buatan Tartar yang pasti memiliki nilai sangat tinggi. Meski buatan
negeri lain, karena terbuat dari emas, uang itu memiliki nilai tersendiri.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Kau keberatan jika kita gunakan uangmu sebagai modal?” tanya


Bandar Guris.
Bandar Guris mengira Riung Sedatu akan mengangguk, ternyata
dugaannya salah. Ringan tanpa beban, Riung Sedatu menyerahkan semua
Sanga Turangga Paksowani 117

uangnya, semua dan tanpa sisa. Dengan modal yang jumlahnya lumayan
itu, Bandar Guris berjalan beriringan dengan Riung Sedatu menuju
sebuah rumah yang terletak paling ujung dari deretan rumah-rumah
penduduk di sepanjang tepian pantai itu. Hanya dalam pandangan sekilas,
Riung Sedatu mampu menghitung jumlah orang yang mengepung dadu
yang digelar seorang lelaki tua yang merawat kumisnya dengan cara aneh.
Kumis laki-laki tua berkepala gundul di bagian tengah itu sangat lebat
dan panjang, amat beda dengan keadaan kepalanya yang tak berambut
di bagian atas, tetapi lebat pada bagian samping dan belakang.
Kumis yang tebal dan panjang itulah yang menarik perhatian
karena dikelabang menjadi tiga bagian. Pada ujungnya diganduli pernik-
pernik aneh mirip tengkorak. Jika orang itu ingin tampak seram, apa
yang ia inginkan telah terpenuhi. Berkepala botak di bagian tengah
dengan pandangan mata sangat tajam dan kumis tebal yang dikelabang,
penampilan macam itu menjadi jaminan bocah kecil pasti akan lari
terbirit-birit. Apalagi, dalam bayangan bocah-bocah jika orang itu
melotot maka dari bola matanya akan keluar api yang menyembur. Jika
api itu mengenai baju, akan terbakar baju itu. jika api yang muncrat itu
mengenai tangan, akan melepuh tangan itu.
Dengan penuh minat, Riung Sedatu memerhatikan semua orang
yang hadir dengan segala macam ciri yang mereka miliki.
Lelaki berkepala botak itu duduk bersila di tengah ruangan
menghadap seperangkat alat judi. Sebilah kayu tipis diletakkan tepat di
tengah. Di atas bilah kayu itu terdapat sebuah tutup terbuat dari batok
kelapa yang digunakan untuk menutupi dadu berbentuk segi empat yang
memiliki enam sisi, masing-masing sisi ditandai lubang kecil-kecil yang
mewakali angka satu hingga enam. Di dalam batok kelapa itu terdapat
tiga buah dadu yang menyebabkan munculnya suara amat khas ketika
http://facebook.com/indonesiapustaka

dikocok agak pelan.


Ada dua puluh lima orang yang mengepung bandar dadu itu.
Semuanya bagai kesetanan dan sangat bernafsu untuk memperoleh
uang banyak dengan cara mudah sekaligus sebuah cara mudah untuk
kalah dan jatuh melarat.
118 Gajah Mada

Bandar dadu berkumis aneh itu dilayani dua orang pembantu.


Mereka bertugas mengocok dadu dan melayani pemasang. Dengan
penuh perhatian, Riung Sedatu memerhatikan bagaimana pengocok
dadu itu menggoyangkan tangan. Sedatu tak hanya memerhatikan gerak
tangan itu. Namun, telinganya juga mengikuti pergerakan dadu yang tak
tampak. Bandar Guris memerhatikan isyarat yang akan diberikan Riung
Sedatu. Namun, dilihatnya Riung Sedatu menggeleng, menyebabkan
Bandar Guris harus menahan diri.
Riung Sedatu memerhatikan bagaimana tiap orang dengan amat
bernafsu melempar uang taruhannya. Tampak amat jelas raut muka
mereka yang amat tegang ketika pengocok dadu dengan perlahan
membuka tutup dadunya. Begitu tutup dadu dibuka, segera disambut
dengan hiruk-pikuk. Yang menang terlonjak dan segera tersenyum,
sementara yang kalah mengumpat amat kasar dengan mengeluarkan
perbendaharaan kata-kata yang tidak pantas untuk diucapkan.
”Aku menang,” teriak seseorang setelah kalah berkali-kali.
Bandar dadu tertawa melihat tingkahnya.
”Ya, pasti dibayar, jangan khawatir. Berapa pun pasti dibayar,” jawab
bandar dadu itu dengan senyum lebar.
Ketika taruhan babak berikutnya dibuka, Riung Sedatu memerhatikan
kedudukan dadu yang kemudian ditutup. Manakala dadu digoyang,
Riung Sedatu memejamkan mata. Selanjutnya, melalui ketajaman
pendengarannya, Riung Sedatu mengikuti pergerakan benda berbentuk
kotak itu. Dengan cara itu, terekam jelas bagaimana pergerakan dadu
di dalam tempurung kelapa, apalagi goyangan yang dilakukan hanya
sekali.
”Taruhan dibuka!” teriak bandar dadu keras. ”Ayo, siapa pun boleh
http://facebook.com/indonesiapustaka

pasang sebanyak-banyaknya. Berapa pun jumlah uang dilayani.”


Uang taruhan pun berjatuhan dari tangan-tangan yang tak sabar.
Tak sabar pula Bandar Guris menunggu isyarat dari Riung Sedatu.
Isyarat itu pun akhirnya diterimanya. Sedatu menekuk kepalanya ke
arah kanan. Itu berarti, yang akan keluar adalah angka besar. Merasa
Sanga Turangga Paksowani 119

yakin isyarat itu pasti benar, Bandar Guris meletakkan semua uangnya
di bagian besar. Semua, tanpa sisa.
Terbelalak mata segenap yang hadir di ruang itu. Uang taruhan
yang diletakkan Bandar Guris amat besar. Jika kalah, Bandar Guris akan
kehilangan uang dalam jumlah yang besar. Sebaliknya, jika menang,
Bandar Guris akan memperoleh uang yang juga berjumlah besar, dengan
nilai dua banding satu.
”Besar sekali taruhanmu kali ini, Guris,” ucap bandar dadu.
Bandar Guris tersenyum.
”Kalau aku menang, kau pasti akan membayar, bukan? Sebagaimana
kalau aku kalah, semua uangku akan kauambil?” tanya Bandar Guris.
Bandar dadu itu tertawa terkekeh.
”Pasti,” jawabnya, ”jangan khawatir.”
Semua orang menata degup jantungnya ketika orang yang bertugas
mengocok dadu itu perlahan membuka tutup dadunya. Bandar Guris
menahan napas ketika tudung itu dibuka.

9
H ampir sepekan Riung Sedatu tinggal di rumah Bandar Guris. Ia
telah membawa perubahan yang luar biasa bagi Bandar Guris. Bandar
http://facebook.com/indonesiapustaka

Guris kaya mendadak. Di hari ketujuh kehadiran Riung Sedatu, Bandar


Guris telah menempatkan diri tak lagi sebagai pemasang, tetapi duduk
bersila di depan dadu dan siap melayani siapa pun yang akan memasang
taruhan. Dalam kedudukannya sebagai bandar, bantuan dari Riung
Sedatu boleh dikata tidak diperlukan lagi.
120 Gajah Mada

Pada hari ketujuh itu pula, Riung Sedatu telah menyelesaikan perahu
yang ia buat. Sungguh, itulah perahu yang sangat bagus dengan ukiran
nyaris di seluruh tubuhnya. Jika tidak dicegah, Riung Sedatu pasti akan
mengukir bagian bawahnya. Maka, perahu itu pun akhirnya menjadi
perahu terbaik di antara semua perahu yang dimiliki segenap penduduk
di tepian pantai Alas Roban. Berita mengenai pembuatan perahu aneh
itu akhirnya menyebar ke mana-mana. Segenap penduduk dari ujung ke
ujung telah mengetahui dan berdatangan silih berganti untuk melihat
dari dekat.
Dengan takjub, Bandar Guris memerhatikan wujud perahunya.
Dari ujung ke ujung, perahu itu dipahat dengan indahnya.
”Bagus sekali,” ucapnya sambil berkacak pinggang.
Melihat hasil kerja Riung Sedatu yang sedemikian dahsyat dan
didukung uang cukup banyak yang sekarang dimilikinya, Bandar Guris
merasa tak puas pada ukuran perahu itu. Ia berencana membuat perahu
yang lebih besar lagi. Namun, disimpannya rencana itu hanya di dalam
hati.
Malam hari ketujuh itu adalah malam yang gelap gulita. Meskipun
demikian, Bandar Guris telah bersiap diri untuk kembali menggelar
dadu.
”Kita berangkat?” tanya Bandar Guris setelah berdandan rapi.
Riung Sedatu yang tidak begitu bernafsu, menggeleng.
”Kenapa?” tanya Bandar Guris heran.
”Aku merasa jenuh,” jawab Sedatu. ”Aku tidak ikut, aku sedang
ingin menyendiri di pantai.”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bandar Guris menempatkan diri berdiri di depan Sedatu.


”Permainan judi itu membuat kepalaku serasa akan pecah. Aku
merasa sangat akrab dengan permainan itu, tetapi tetap saja aku tak
berhasil menembusnya. Aku tidak ingat di mana dan kapan aku
melakukannya,” lanjut Sedatu.
Sanga Turangga Paksowani 121

Bandar Guris menyempatkan berpikir.


”Ya, sudah,” ucapnya.
Bandar Guris dan Riung Sedatu masih berjalan berdampingan.
Namun, mereka segera memisahkan diri karena masing-masing
memiliki arah tujuan yang berbeda. Bandar Guris terus berjalan ke arah
barat, sedangkan Riung Sedatu menuju perahu yang telah ia selesaikan
pembuatannya. Malam kali ini benar-benar gelap gulita, bukan saja karena
telah beberapa hari bulan purnama lewat, tetapi juga karena mendung
yang tebal merata di segala penjuru.
Angin berembus amat deras menyebabkan laut yang biasanya tenang
berubah mengombak, apalagi air sedang pasang.
Riung Sedatu memang berniat menyendiri dengan duduk melamun
di atas perahu buatannya. Dengan penuh kesadaran, Riung Sedatu
bertekad akan menjebol sekat pembatas yang mengganjal otaknya yang
menyebabkan sebagian kenangan di masa lalunya hilang. Permainan
dadu yang diikutinya dalam beberapa hari terakhir sungguh membuat
ia merasa penasaran.
Riung Sedatu telah membulatkan hati untuk menelusuri jejak masa
silam yang hilang itu. Riung Sedatu akan berbaring beralas perahu.
Namun, apa yang akan ia lakukan itu terpaksa ia batalkan. Suara batuk
menyadarkan Sedatu bahwa ia tidak sendiri.
”Selamat malam, Kisanak,” terdengar sebuah sapa.
Riung Sedatu membalikkan tubuh. Di belakangnya, seseorang telah
berdiri.
”Sanjara,” ucap orang itu menyebut namanya sendiri.
”O,” letup Sedatu, ”dari mana?”
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Memasang jebakan ikan,” jawab Sanjara.


Sanjara menempatkan diri duduk menyebelahi Riung Sedatu sambil
mengarahkan pandangan ke laut lepas yang agak galak. Laut di sebelah
utara Jawa tidak seperti laut Jawa di bagian selatan yang ganas dan
122 Gajah Mada

selalu berombak. Laut Jawa amat tenang, ombaknya hanyalah ombak


yang gemericik. Ketika angin sedang deras seperti kali ini pun, tidak
melahirkan gemuruh ombak yang berlebihan.
”Tidak pergi ke kalangan70 dadu?” tanya Sanjara yang usianya sedikit
lebih muda dari Riung Sedatu itu.
Riung Sedatu menggeleng.
”Tidak,” jawabnya. ”Aku sedang ingin menikmati malam mumpung
angin sedang berembus deras. Aku ingin melihat barangkali ada petir
yang akan muncrat.”
Sanjara memerhatikan Riung Sedatu lebih cermat. Lalu, perlahan
Sanjara mengalihkan pandangan matanya ke langit yang sebagian masih
menampakkan bintang dan sebagian yang lain mulai tertutup mendung.
Sangat jauh di utara, langit memang tampak menyala oleh cahaya berantai
dari kilat yang muncrat.
”Kulihat, kau membawa peruntungan yang begitu hebat bagi
Kakang Bandar Guris. Sejak kaudatang, ia menang terus. Sekarang, ia
punya banyak uang. Kau pun mampu membuatkannya sebuah perahu
yang bagus untuknya. Menurutku, kau menyimpan sangat banyak teka-
teki yang menyelubungi dirimu,” ucap Sanjara.
Riung Sedatu tidak menanggapi pendapat itu. Rasa ingin tahu yang
selama ini ia pendam segera ia lontarkan.
”Kenapa orang sekampung di tepian Alas Roban mengucilkannya?”
tanyanya.
Sanjara agak tertegun menghadapi pertanyaan yang dilontarkan dengan
mendadak itu. Ia manggut-manggut. Ia menduga, Bandar Guris mengarang
cerita yang berbeda dan tidak sesuai dengan kenyataan. Apalagi, Sanjara
merasa sangat mengenal orang macam apa Bandar Guris. Pengenalannya
http://facebook.com/indonesiapustaka

terhadap tetangga yang masih saudara itu bagai pengenalannya terhadap


diri sendiri, sangat tahu sampai pada lipatan-lipatan paling kecil.

70
Kalangan, Jawa, istilah yang biasa dipakai para penjudi, arti harfiahnya lingkaran orang-orang yang
mengepung sesuatu
Sanga Turangga Paksowani 123

”Rupanya, Kakang Bandar Guris bercerita sesuatu kepadamu? Apa


yang ia ceritakan?” tanya Sanjara.
Riung Sedatu berbalik. Kemudian, Riung Sedatu menceritakan
semua yang pernah diceritakan Bandar Guris kepadanya.
Apa yang disampaikan Riung Sedatu itu memaksa Sanjara termangu
cukup lama. Di ujungnya, Sanjara menggoyang kepala, senyumnya
kemudian merekah.
”Begitu katanya?” tanya Sanjara.
Riung Sedatu mengangguk.
”Ya,” jawabnya.
Sanjara kemudian tertawa pendek sambil menggeleng kecil.
”Apa yang dikatakan itu,” ucapnya, ”semua tidak betul dan
membalik kenyataan. Justru hampir kepada semua orang di Alas Roban,
ia meminjam uang dan tak pernah mengembalikan. Bahkan, kepada
pengemis pun ia berutang. Perbuatannya itu masih belum menyebabkan
para tetangga yang sebenarnya masih bersaudara mengucilkannya.
Namun, ketika ia mendalangi sebuah perampokan, para tetangga
menghukumnya dengan tidak melibatkannya ke ruang pergaulan. Ia
mengatakan dirinya dirampok, yang terjadi justru sebaliknya. Kakang
Bandar Guris tega mendalangi perampokan terhadap tetangganya
sendiri. Bahkan, bukan sekadar tetangga karena jika diurutkan masih
ada hubungan saudara. Teganya ia melakukan itu.”
Riung Sedatu ternganga. Bingungnya terjadi beberapa kejap.
”Seperti itu?” tanyanya.
”Kalau kamu tidak percaya, tanyakan kepada semua penduduk di
tepian Alas Roban ini. Mereka akan memberikan jawaban sebagaimana
http://facebook.com/indonesiapustaka

jawabanku,” kata Sanjara.


Riung Sedatu sejenak bingung, akan tersenyum dengan jenis senyum
macam apa.
”Ia mendalangi perampokan?” Sedatu kembali bertanya.
124 Gajah Mada

”Ya,” jawab Sanjara. ”Seolah-olah yang melakukan perampokan


adalah orang dari luar. Padahal, ia yang mengundang perampok itu untuk
datang ke tempat ini. Lalu, memberi petunjuk dan arah kepada perampok
itu kapan, lewat mana, dan siapa yang harus didatangi. Itulah Bandar
Guris yang sesungguhnya, yang sanggup memutarbalikkan keadaan.”
Riung Sedatu terbungkam mulutnya untuk beberapa jenak sambil
menyapukan pandangan ke tepian pantai. Kini, matanya makin terbuka.
Ternyata, ada orang seperti Bandar Guris yang sanggup mengatakan
hitam untuk warna merah, sanggup menuduh orang melakukan sesuatu,
padahal tidak demikian kenyataannya.
Riung Sedatu akhirnya tertawa pendek.
”Jadi, begitu?” ucapnya.
Sanjara tidak menjawab, tetapi ikut tersenyum.
”Aku percaya kepadamu,” kata Riung Sedatu.
Hening yang lewat karena mulut Sanjara terkunci. Angin masih
tetap saja deras dan air laut makin mengombak. Lidah air dan buihnya
akhirnya menyentuh kaki Riung Sedatu dan memaksanya masuk ke
dalam perahu. Di sebelahnya, Sanjara memandanginya dengan gumpalan
penasaran yang mengaduk isi dadanya. Sekilas, ia tahu, lelaki bernama
Riung Sedatu itu sedang menyimpan masalah. Di sisi lain, ia mempunyai
kemampuan olah pahat yang luar biasa. Latar belakang tersembunyi
macam apa yang dimiliki orang itu tentu layak dan menarik untuk
diketahui.
”Apa benar seperti yang beberapa hari lalu pernah kauceritakan, kau
tak ingat pada apa pun, pada nama, pada masa lalumu?” tanya Sanjara.
Pertanyaan itu memaksa Riung Sedatu menghirup tarikan napas.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Tak ada apa pun yang aku ingat. Jadi, tolong jangan kauajak aku
membicarakan hal itu,” jawabnya.
Permintaan yang disampaikan dengan amat lugas itu menyebabkan
Sanjara harus menghapus keinginannya. Kini, Sanjara harus memusatkan
Sanga Turangga Paksowani 125

perhatiannya pada bagaimana cara meminta Riung Sedatu agar bersedia


bekerja kepadanya. Dengan persediaan kayu yang sudah ada, Sanjara
ingin membangun sebuah perahu yang lebih besar dari yang dimiliki
Bandar Guris. Orang yang bisa menerjemahkan gagasannya hanya
Riung Sedatu.
”Menurutmu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat
perahu dengan ukuran dua kali lebih besar dari miliki Kakang Bandar
Guris?” tanya Sanjara.
Riung Sedatu mengerutkan kening.
”Kau akan membuat perahu?” tanya Sedatu.
Sanjara mengangguk.
”Ya. Berapa waktu yang dibutuhkan, seberapa banyak kayu
yang dibutuhkan, dan seberapa besar biaya yang harus aku keluarkan
untukmu?” balas Sanjara.
Riung Sedatu tak merasa harus bergegas menjawab pertanyaan
itu. Namun, tampak jelas perubahan raut di wajahnya, sepertinya ada
sesuatu yang jauh lebih penting yang harus mendapatkan perhatiannya.
Keningnya mencuat, bahkan untuk sekejap ia harus memejamkan
mata.
”Berapa kira-kira?” ulang Sanjara.
Riung Sedatu membalas tatapan mata Sanjara.
”Kaudengar suara itu?” balas Riung Sedatu.
Sanjara terkejut. Ternyata, perhatian Riung Sedatu bukan sedang
ditujukan kepadanya, tetapi pada arah lain.
”Suara?” tanya Sanjara.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Kaudengar?” ulang Riung Sedatu.


Sanjara harus memberikan perhatiannya. Beberapa jenak kemudian,
Sanjara berhasil menandai adanya sesuatu yang aneh. Didorong rasa
penasaran dan boleh jadi rasa ngeri yang muncul mendadak dari
126 Gajah Mada

benaknya, Sanjara melompat turun dari perahu, lalu bergegas mundur.


Riung Sedatu masih tetap bertahan. Akan tetapi, sesaat kemudian, ia
menyusul menepi. Dari tempatnya, Riung Sedatu memerhatikan apa
yang akan lewat.
Suara aneh itu makin lama makin dekat, tetapi amat tidak jelas
suara apa. Riuh rendah yang muncul amat sulit ditebak berasal dari
suara apa.
”Kelelawar, banyak sekali,” desis Sanjara.
Riung Sedatu terkejut.
”Kelelawar?” gumamnya.
Sanjara ternyata tangkas untuk segera bertindak. Dengan bergegas,
Sanjara berlari ke arah sebuah perahu besar dan membaliknya. Sanjara
menempatkan diri bersembunyi di bawah perahu itu. Namun, jika benar
yang terdengar riuh rendah itu adalah kelelawar, lantas apa yang harus
ditakutkan? Sesangar apa pun wajah kelelawar, ia bukan jenis hewan
pemakan daging. Kelelawar dan binatang sejenis dengan ukuran yang
lebih besar yang oleh banyak orang disebut kalong adalah pemakan
buah-buahan. Mereka tak akan mencelakai manusia.
Riuh rendah yang datang itu makin menggila yang ternyata benar
berasal dari suara kelelawar dalam jumlah tak mungkin dihitung. Dalam
bayangan malam yang hanya diterangi bintang-bintang di langit, masih
bisa ditandai binatang dalam jumlah banyak yang terbang beriringan
itu memang benar berukuran besar. Kalong-kalong itu tidak hanya
meninggalkan suara mencicit riuh rendah, tetapi juga meninggalkan bau
tak enak yang menyengat hidung.
Bagai ampak-ampak pedhut71 yang bergerak karena bernyawa, barisan
http://facebook.com/indonesiapustaka

kelelawar raksasa itu terbang cepat saling susul dan berebut ruang
karena sedemikian banyaknya. Kebetulan kilat muncrat beberapa kali,

71
Ampak-ampak pedhut, Jawa, kabut tebal
Sanga Turangga Paksowani 127

disusul ledakan gemuruh bledhek72 yang sanggup menyobek gendang


telinga. Dibantu cahaya kilat itu, Sanjara dan Sedatu bisa melihat dengan
jelas kalong-kalong beterbangan itu mirip pasukan dengan kekuatan
segelar sepapan.73 Binatang-binatang itu bergerak cepat ke arah barat
meninggalkan lengking mencicit dengan nada tinggi yang sangat tidak
nyaman di telinga.
Namun, ketika kilat kembali muncrat, itulah saat Sanjara merasa
jantungnya akan meledak. Apa yang ia saksikan hanya layak hadir di
dalam mimpi. Akan tetapi, meski Sanjara mengucek-ucek matanya,
tetap saja apa yang dilihatnya tak berubah. Demikian juga dengan Riung
Sedatu yang seketika berubah menjadi patung batu.
Riung Sedatu agak terlambat menyadari kakinya yang gemetar.
Di langit, bayangan kelelawar raksasa itu melesat cepat. Kilat kembali
muncrat disusul ledakan halilintar, cahayanya masih cukup membantu
menerangi jejak bayangan tak masuk akal yang terus bergerak terbang
ke arah barat.
Riung Sedatu yang tersadar, seketika bergerak mengikuti nurani
dan nalurinya yang sama sekali tidak berasal dari pertimbangan yang
matang.
”He, Sedatu, jangan,” Sanjara berusaha mencegah.
Namun, Sedatu berlari dengan kencang berusaha mengejar sesuatu
yang tak masuk akal itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

72
Bledhek, Jawa, halilintar
73
Segelar sepapan, Jawa, dalam keseharian kalimat tersebut jarang dipakai, artinya ukuran kekuatan
pasukan dalam jumlah yang amat besar
128 Gajah Mada

10
H ujan yang turun dengan deras ikut menjadi saksi atas keadaan
yang berubah dan nasib yang membalik. Tanpa dukungan Riung Sedatu,
Bandar Guris berubah mengalami nasib buruk. Jika selama ini ia selalu
menang dan menang, kini ia merasa dirinya sebagai bangunan yang
tak disangga penopang yang kuat. Ketika bangunan itu ambruk maka
runtuhnya benar-benar tuntas.
Beberapa orang botoh yang memasang semua uangnya membuat
Bandar Guris berdebar-debar. Jumlah uang itu banyak sekali. Padahal,
sebelum itu, Bandar Guris mengalami kekalahan beruntun. Telah
beberapa kali, ia harus membayar dalam jumlah besar. Bandar Guris
melongak-longok. Akan tetapi, ia tak menemukan yang dicarinya. Riung
Sedatu tentu tidak kelihatan batang hidungnya karena ia memang tidak
ikut pergi ke tempat itu.
Lemas Bandar Guris ketika membuka tudung dadunya dan mendapati
kenyataan ia kalah lagi. Ia harus membayar taruhan itu dalam jumlah sama
dengan sisa uang yang ia miliki. Habis sudah uangnya. Dari yang semula
tidak punya apa-apa, Bandar Guris kembali tidak punya apa-apa.
”Mati aku,” gumam Bandar Guris dalam hati.
Bandar Guris adalah orang yang terbiasa berbuat licik dan culas.
Menghadapi keadaan sesulit apa pun, Bandar Guris tidak kehilangan akal
untuk menyiasati. Namun, kali ini, ia mustahil menghindar dari tanggung
jawab. Para penjudi yang mengepungnya adalah para botoh dari luar
wilayah yang semua bersenjata. Jika tak mungkin menyelesaikan semua
http://facebook.com/indonesiapustaka

persoalan dengan kata-kata, senjatalah yang bicara. Bandar Guris tak


mungkin menghindar dari keadaan itu. Berapa pun kemenangan pihak
lawan harus dibayar.
Namun, Bandar Guris tak merasa harus berkecil hati. Bukankah
ia masih memiliki Riung Sedatu yang bisa dimanfaatkan untuk kembali
Sanga Turangga Paksowani 129

memenangkan pertaruhan dan menjungkirbalikkan keadaan? Setelah


ludes semua uang kepeng-nya,74 Bandar Guris mengayun langkah lebar
pulang ke rumah. Ia tidak peduli, meski hujan turun sangat deras.
Tempat yang pertama kali ia tuju adalah perahu yang masih belum
tuntas. Akan tetapi, Bandar Guris tidak mendapati Riung Sedatu di
sana. Bandar Guris segera menarik simpulan, Riung Sedatu tentu sudah
pulang dan memang tidak mungkin masih tetap bertahan di tempat itu,
sedangkan hujan turun sedemikian lebat dengan ombak yang mulai
mengayun.
Namun, di rumah, Bandar Guris tidak menemukan yang dicarinya,
meski semua benda milik Riung Sedatu masih berada di tempatnya. Nyai
Bandar Guris ikut bingung sebagaimana suaminya. Pasangan suami-istri
itu saling berbicara melalui pandangan mata.
”Bukankah tadi ia bersama kamu?” tanya Nyai Bandar Guris dengan
isyarat tangan dan mimik wajahnya.
”Ia tidak bersamaku,” jawab suaminya. ”Ia memisahkan diri ke
pantai. Ia tidur di perahu, tetapi sekarang tidak ada.”
Bandar Guris tidak bisa tenang jika mengenang kekalahan yang
dialaminya. Sungguh, sebuah kekalahan yang menyakitkan. Setelah
menang dan selalu menang hingga menempatkan dirinya sebagai bandar,
tiba-tiba keadaan berubah dengan seketika. Kini, Bandar Guris tidak
mempunyai uang sepeser pun.
”Sial,” Bandar Guris melenguh.
Saat hujan kemudian mereda, juga ketika hari esoknya datang,
Bandar Guris makin gelisah. Sepanjang pantai telah ia telusuri, tetapi
yang ia cari tak ada. Kehilangan Riung Sedatu bagi Bandar Guris
bagaikan kehilangan sebuah permata yang amat mahal harganya. Dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

kemampuannya yang amat langka itu, Riung Sedatu tak ubahnya angsa
yang bertelur emas. Masalahnya, angsa yang bisa bertelur emas itu kini
tidak ada dan entah sedang berada di mana.
74
Uang kepeng, Jawa, uang logam. Di zaman sekarang, uang kepeng sering dianalogikan dengan uang
yang berlaku di zaman dahulu.
130 Gajah Mada

Pontang-panting Bandar Giris mencari, siapa tahu Riung Sedatu


kembali kehilangan kenangan dan sedang kebingungan karena berada
di tempat yang tidak ia kenali. Atau, semalam ia mengalami tidur
berjalan dan kini kebingungan karena berada di tempat yang asing
baginya.
Untuk menemukan Riung Sedatu, Bandar Guris merasa perlu
bertanya kepada semua orang.
”Aku tidak tahu,” jawab salah seorang tetangganya dengan acuh.
Sepanjang pagi hingga siang, Bandar Guris tidak merasa lelah untuk
terus mencari dan mencari sampai kemudian putus asa pun datang
menghampirinya. Dengan mata berkaca-kaca, Bandar Guris menatap
wajah istrinya.
”Tanpa Riung Sedatu, kita tidak akan punya uang lagi. Hanya dia
harapan kita,” ucap Bandar Guris dengan suara parau.
Nyai Bandar Guris melangkah mendekati suaminya dengan niat
akan duduk di sebelahnya. Namun, Nyai Bandar Guris membatalkan
niatnya. Ia melangkah ke arah jendela. Pandangan matanya dibuang lewat
jendela. Tatapan matanya menerawang. Ia mencoba membayangkan
di mana gerangan Riung Sedatu berada. Laki-laki itu sungguh menarik
perhatiannya. Namun, ia telah pergi entah ke mana.
Namun, Bandar Guris tidak patah semangat. Ia masih berharap
Riung Sedatu akan kembali. Setidaknya karena semua barang milik Riung
Sedatu masih tertinggal. Tetapi, bagaimana andaikata semua kenangan
Riung Sedatu atas tempat itu telah terhapus?
Bandar Guris mondar-mandir.
”Dicari pakai perahu ke barat dan ke timur,” usul Nyai Bandar Guris
http://facebook.com/indonesiapustaka

dengan isyarat tangannya.


Gagasan itu sangat masuk akal. Tepian pantai Alas Roban yang
berlatar hutan lebat membuat Riung Sedatu yang hilang itu hanya
memiliki dua pilihan, pergi ke timur atau pergi ke barat.
Sanga Turangga Paksowani 131

”Aku akan mencari ke barat. Kalau di barat tidak ada, aku akan
kembali ke timur,” ucap Bandar Guris.
Bandar Guris segera berlari-lari ke perahunya. Dengan tergesa, ia
memasang layar yang dibutuhkan. Tak berapa lama kemudian, perahu
kecil itu terapung-apung melaju ke arah barat. Bandar Guris amat
berharap akan menemukan tamunya yang hilang, tamu yang baginya
sangat penting karena bisa membuatnya kaya raya. Beberapa kali, Bandar
Guris berpapasan dengan orang. Namun, tiap kali ia menepi, orang itu
ternyata bukan Riung Sedatu.
Bandar Guris terus mendayung perahunya ke barat menyusuri
pantai. Namun, yang ia cari tetap tak kelihatan batang hidungnya. Pada
suatu tempat yang menurut takaran Bandar Guris tempat itu sudah
sangat jauh dan mustahil Riung Sedatu sampai di tempat itu, Bandar
Guris balik arah sambil tetap membelalakkan mata.

11
M alam yang gelap gulita membayangi istana Majapahit. Mendung
memang sedang sangat tebal dengan angin bertiup deras. Angin yang
bertiup sedemikian kencang itu mempermainkan rumpun bambu
dan memunculkan paduan suara yang aneh. Gesekan yang terjadi
antara batang bambu satu dengan yang lainnya menimbulkan suara
http://facebook.com/indonesiapustaka

berderit melengking, seolah jenis irama yang paling disukai para hantu.
Angin yang demikian layak membuat cemas. Jika anak-anak ketakutan
membayangkan kemunculan hantu yang didahului suara gemeresak
macam itu, para orang tua justru cemas jika angin yang amat kuat itu
akan merobohkan rumah mereka.
132 Gajah Mada

Angin sangat deras itu pula yang telah menyebabkan pohon


bramastana75 bergoyang amat dahsyat. Padahal, bramastana itu bukan
pohon sembarangan. Itulah pohon yang dikeramatkan yang terletak
di tengah alun-alun. Angin itu menggoyangnya, menyebabkan daun-
daunnya yang tua berguguran. Namun, rupanya tak hanya daun-daunnya
yang tua yang luruh, daun yang masih muda pun ikut luruh. Angin yang
sangat deras itu juga memberi sumbangsih terhadap betapa kusut sulur-
sulurnya dalam saling membelit.
Apa yang dicemaskan seorang prajurit yang memerhatikan pohon
itu dari kejauhan menjadi kenyataan. Bersamaan dengan mulai turunnya
hujan dari langit yang tumpah dengan mendadak, seolah langit sobek
dibarengi petir yang muncrat menebar cahaya ke segala penjuru, tampak
pohon bramastana itu tidak mampu lagi menahan gempuran yang
sedemikian dahsyat.
Pohon itu meliuk oleh dorongan angin yang amat kuat. Akar yang
berusaha sekuat tenaga mempertahankan diri telah sampai pada batas
akhir kemampuannya. Jebol akar itu tercerabut dari dalam tanah.
”Suara apa itu?” seorang prajurit meletup kaget.
”Bramastana ambruk,” jawab prajurit di sebelahnya, prajurit yang
memang dengan sengaja memerhatikan pohon beringin itu.
Prajurit pertama segera berbalik dan mengarahkan pandang matanya
ke tengah alun-alun. Akan tetapi, hanya ada gelap gulita di sana. Apalagi,
hujan yang turun sedang amat derasnya. Namun, ketika petir kembali
meledak memuncratkan cahaya benderang, terlihat dengan sangat jelas,
pohon bramastana yang paling besar telah tumbang. Sementara itu, jika
empat pohon yang lain tidak bertahan sekuat tenaga, pasti akan ikut
tumbang pula. Terlihat betapa pohon bramastana yang tersisa itu berusaha
http://facebook.com/indonesiapustaka

sekuat tenaga mempertahankan diri supaya jangan sampai ikut-ikutan


tumbang mengekor pendahulunya.
”Benar, roboh,” ucap prajurit berpangkat rendahan itu.
75
Bramastana, Jawa Kuno, pohon beringin
Sanga Turangga Paksowani 133

Prajurit itu rupanya tangkas dalam berpikir. Ia langsung bertindak


setelah melihat sesuatu. Ia berlari menerobos hujan yang turun amat
deras.
”He, kamu akan ke mana?” teriak prajurit yang pertama.
”Melapor ke Balai Perwira,” jawab prajurit itu.
Namun, di Balai Perwira, sebuah bangunan yang diperuntukkan
bagi para perwira yang terletak tidak jauh dari Bale Manguntur,
tidak dilihatnya Mahapatih Gajah Mada. Padahal, sebelumnya, Sang
Mahamantrimukya masih berada di tempat itu. Akan tetapi, prajurit
rendahan itu masih bisa menyampaikan laporannya kepada Senopati
Macan Liwung yang berdiri di dekat pintu sambil memerhatikan
turunnya hujan.
”Izin melapor, Senopati!” ucap prajurit itu tegas.
Macan Liwung mengizinkan prajurit itu mendekat.
”Ada apa?” tanya Macan Liwung.
”Lapor, salah satu pohon bramastana di tengah alun-alun tumbang,”
prajurit itu menyampaikan laporannya.
Senopati Macan Liwung terkejut.
”Apa kamu bilang?” tekan Macan Liwung.
”Angin yang deras menumbangkan pohon bramastana. Tampaknya,
yang roboh adalah pohon yang paling besar,” jawab prajurit itu.
Senopati Macan Liwung menanggapi berita itu dengan sungguh-
sungguh, terlihat dari bagaimana ia tak peduli pada hujan yang sedang
turun sangat deras. Dengan berlari-lari, Macan Liwung melintasi
halaman Tatag Rambat. Prajurit itu mengikuti dari belakang. Berdebar-
http://facebook.com/indonesiapustaka

debar Macan Liwung saat melihat pohon bramastana yang dimaksud.


Semula, ia berpendapat, sekeras apa pun angin bertiup, tak mungkin
menumbangkan pohon itu karena cengkeraman akar-akarnya yang begitu
kuat ke bumi. Jika akar bagai otot yang mencengkeram itu sampai kalah,
pertanda kekuatan angin memang sangat deras.
134 Gajah Mada

Hujan terus turun amat deras. Tak sekadar hujan biasa karena
bercampur dengan angin yang menderu. Keadaan yang demikian itu
menyebabkan Raden Tetep yang sedang menyimak pembacaan macapat76
yang dilantunkan Nyai Rukmigati, seorang emban yang telah tua,
bergegas keluar dan membuka pintu. Beberapa prajurit yang bertugas
jaga sigap memberi hormat. Raden Tetep yang setelah menjadi raja
bergelar Sri Rajasanegara itu melintas ke pendapa dan mendekat ke dua
buah gupala77 yang terletak di kiri dan kanan undak-undakan untuk naik
ataupun turun ke halaman.
Dengan berpegangan pada kepala dari salah satu gupala itu, Raden
Tetep menyapu halaman dengan pandangan matanya. Di antara prajurit
yang bertugas mengawal pintu wisma raja, terdapat seorang prajurit yang
bertugas untuk selalu melekat dan siap menerima perintah apa pun yang
akan diberikan Raja. Prajurit itu menempatkan diri di belakang Raja.
”Bukankah hujan ini terlampau deras, Singgura?” tanya Prabu
Hayam Wuruk.
”Hamba, Tuanku,” jawab prajurit bernama Singgura itu. ”Deras
dan berangin. Hujan yang demikian sudah bisa disebut sebagai badai,
Tuanku.”
Raden Tetep memandang ke luar pendapa untuk mengukur
seberapa kuat angin yang berembus itu. Angin yang sedemikian deras
sangat berpeluang meratakan dengan tanah rumah-rumah yang tidak
kukuh. Raden Tetep bahkan merasa yakin, hal yang demikian amat
mungkin telah terjadi.
Raden Tetep akan berbalik. Namun, bersamaan dengan petir yang
meledak, tertangkap olehnya bayangan orang berlari.
http://facebook.com/indonesiapustaka

76
Macapat, Jawa, seni melantunkan tembang Jawa yang memiliki patokan dan aturan tertentu. Hingga
saat ini, kegiatan macapat masih hidup subur di Surakarta dan Yogyakarta, terutama di kalangan kerabat
istana.
77
Gupala, Jawa, nama patung terbuat dari batu yang bersikap jongkok dengan satu kaki bergelang ular
dan tangannya memegang gada. Contoh dari patung macam itu terdapat di pintu gerbang menuju istana
Kasunanan Surakarta. Orang setempat menyebutnya reca Gladak (arca Gladak).
Sanga Turangga Paksowani 135

”Siapa itu?” tanya Raden Tetep.


Singgura tidak bisa menjawab karena sama sekali tidak tahu.
”Coba kaucari tahu, ada apa mereka berlari-lari melintas hujan?
Aku menunggu di sini,” Raja memberikan perintah.
Singgura tidak perlu menawar perintah itu, meski hujan sedang
turun dengan deras. Singgura tak perlu terlalu lama pergi. Ketika kembali,
ia telah bersama dengan Senopati Macan Liwung. Macan Liwung segera
menyembah dalam sikap tetap berdiri.
”Hamba Senopati Macan Liwung, Prabu,” ucap Macan Liwung
sambil menahan dingin.
Prabu Hayam Wuruk memerhatikan keadaan laki-laki tua di
depannya dari ujung kepala sampai kaki .
”Paman Macan Liwung berhujan-hujanan?” tanya Prabu Hayam
Wuruk.
Macan Liwung kembali merapatkan kedua telapak tangannya di
depan dada.
”Hamba mohon izin untuk melapor. Pohon beringin paling besar
di tengah alun-alun telah tumbang diterjang angin, Tuanku,” kata Macan
Liwung.
Prabu Hayam Wuruk Sri Rajasanegara terkejut. Dipandanginya
Senopati Macam Liwung dengan pandangan mata tajam penuh
perhatian.
”Bramastana yang paling besar roboh?” tanya Sri Baginda Hayam
Wuruk.
Senopati Macan Liwung merapatkan kedua telapak tangannya
http://facebook.com/indonesiapustaka

sambil menunduk.
”Jika bramastana saja roboh,” kata Prabu Hayam Wuruk, ”pastilah
angin kali ini benar-benar angin yang sangat deras. Tak peduli hujan
kali ini adalah hujan yang sangat deras, kuperintahkan kepadamu untuk
menyebar prajurit. Aku khawatir banyak rumah yang roboh dan banyak
136 Gajah Mada

rakyatku yang memerlukan bantuan menghadapi keadaan macam ini.


Kumpulkan semua keterangan apakah benar terjadi bencana sehubungan
dengan badai yang terjadi kali ini atau tidak.”
Senopati Macan Liwung tidak perlu menanyakan ulang perintah
yang telah jatuh itu. Sigap, Senopati Macan Liwung memberikan
penghormatannya dan melangkah mundur.
Macan Liwung yang telah kembali ke Balai Perwira segera
menyalurkan perintah yang baru diterimanya itu. Tak berapa lama
kemudian, beberapa ekor kuda berderap membelah malam. Namun,
seberapa keras pun suara kuda itu, sama sekali tidak mampu meredam
riuhnya hujan yang makin menggila.
Angin yang bertiup kencang menyebabkan pohon kelapa yang
berada di sebelah kanan rumah Mahapatih Gajah Mada meliuk keras,
lalu ambruk. Pada siang hari, pohon kelapa yang berada di luar dinding
istana sisi utara itu terlihat dengan jelas. Untung pohon kelapa ambruk
itu tidak mengenai rumah Sang Mahamantrimukya Mpu Mada.
Tak hanya Prabu Hayam Wuruk yang merasa cemas mendapati
hujan yang sedemikian lebat dan berangin itu. Di wisma kediamannya,
Ibu Suri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan
suaminya tak kurang gelisahnya. Kedua adik Sang Prabu Hayam Wuruk,
Dyah Rajasa Duhitendudewi78 dan Dyah Nrttaja Rajasaduhiteswari,79
memandangi hujan dari balik jendela dengan amat gelisah. Meskipun
masih belia, kedua sekar kedaton yang memiliki kecantikan tak alang
kepalang dan sedemikian gemilang itu telah memiliki calon suami.
Dyah Rajasa Duhitendudewi telah dipacangkan dengan Raden Larang.
Sementara itu, Dyah Nrttaja Rajasaduhiteswari juga telah dipacangkan
dengan Breh Paguhan Singawardana.
http://facebook.com/indonesiapustaka

78
Dyah Rajasa Duhitendudewi, adik Prabu Hayam Wuruk, buah perkawinan Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani dengan Sri Kertawardhana (Raden Cakradara), kelak bersuami Raden Larang
79
Dyah Nrttaja Rajasaduhiteswari, adik Prabu Hayam Wuruk, buah perkawinan Sri Gitarja
Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dengan Sri Kertawardhana (Raden Cakradara), kelak bersuami
Breh Paguhan Singawardana
Sanga Turangga Paksowani 137

”Hujan deras sekali, Ayah,” kata Dyah Nrttaja.


Sri Kertawardhana tidak menjawab. Akan tetapi, tangannya meraih
Breh Pajang dan memeluknya untuk memberikan rasa aman. Melihat
ayahnya memeluk adiknya, Breh Lasem mendekati ibunya.
”Sedang terjadi hujan badai,” kata Ibu Suri Sri Gitarja.
Dengan penuh perhatian sekaligus rasa khawatir, Dyah Nrttaja
mengamati malam yang gelap gulita dengan suara angin yang meliuk
gemuruh. Duhitendudewi memandangi langit-langit istana.
”Istana ini akan roboh?” tanya Dyah Nrttaja. ”Kalau itu terjadi,
apa yang akan kita lakukan, Ibunda?”
Ibu Suri Sri Gitarja tidak segera menjawab pertanyaan itu. Mantan
prabu putri yang menggelar pemerintahan bersama dengan adik
kandungnya itu menyempatkan berpikir.
”Yang bisa kita lakukan,” ucap Sri Gitarja, ”jika hal itu terjadi adalah
kita harus segera berlari keluar. Tak peduli kita akan basah kuyup. Itu
lebih baik daripada kita tetap berada di dalam dan terkena istana yang
roboh.”
Di sebelah Dyah Nrttaja, Duhitendudewi yang bertubuh sedikit
lebih pendek dari adiknya ikut memandang langit-langit. Lidah api
beberapa obor yang berusaha menerangi ruangan itu pontang-panting
menguasai diri agar jangan sampai padam. Namun, beberapa obor yang
ditugasi menerangi tempat itu telah padam.
”Istana ini bisa ambruk, Ayah?” tanya Duhitendudewi.
Sri Kertawardhana yang di masa muda dipanggil dengan nama
Raden Cakradara itu mengangguk.
”Moga-moga tidak,” jawabnya bijak.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Namun, Sri Kertawardhana layak cemas ketika kabut basah


menerjang masuk dan membuat wajahnya basah kuyup.
Di bagian istana yang lain, Ibu Suri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa
dan Wijaya Rajasa Hyang Parameswara Sang Apanji Wahninghyun,
138 Gajah Mada

pasangan suami-istri yang usianya merambat tua itu juga tak kurang
cemasnya. Apalagi, seorang prajurit dengan obor di tangan yang melintasi
teritisan mewartakan tentang kandang kuda yang ambruk. Beruntung
kuda-kuda itu tidak cedera.
”Pernah melihat hujan yang lebih deras dari kali ini?” tanya Wijaya
Rajasa Hyang Parameswara yang dulu amat dikenal dengan sebutan
Raden Kudamerta.
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa menggeleng, ”Baru kali ini
aku melihat hujan yang derasnya seperti ini, angin yang ikut menari
membuatku panik.”
Wijaya Rajasa Hyang Parameswara Sang Apanji Wahninghyun
membenarkan pendapat istrinya. Yang terjadi kali ini benar-benar hujan
badai. Sedikit saja lebih besar, hujan disertai angin itu akan menjadi
topan yang sanggup merobohkan apa pun.
”Anak-anak perlu dibangunkan?” tanya Dyah Wiyat cemas.
Di dalam biliknya, kedua anak Dyah Wiyat tidur amat lelap dan sama
sekali tidak terganggu oleh hujan badai yang turun dengan deras itu. Dyah
Madudewi80 dan Dyah Sri Sudewi81 mungkin sedang bermimpi sangat
indah. Gemeretak badai hanya mereka rasakan sebagai ayunan yang
makin meninabobokan mereka. Kakak beradik yang sama-sama cantik
dan sedang mekar remaja itu sama sekali tak sadar, bahaya barangkali
sedang mengancam keselamatan mereka.
Di depan bilik para ningrat muda yang sedang lelap itu, beberapa orang
emban ikut gelisah mendengar suara angin yang sedemikian ribut.
”Bocor,” desis salah seorang emban itu.
”Waduh,” jawab emban yang lain.
http://facebook.com/indonesiapustaka

80
Dyah Madudewi, anak Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa, buah perkawinannya dengan Raden Kudamerta
Breng Pamotan atau yang juga bergelar Breh Wengker Wijaya Rajasa Hyang Parameswara dan juga disebut
Sri Wijaya Rajasa Sang Apanji Wahninghyun. Kelak Dyah Madudewi bersuamikan Breh Matahun.
81
Dyah Sri Sudewi, anak Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa, buah perkawinannya dengan Raden Kudamerta
Breng Pamotan. Kelak Dyah Sri Sudewi bersuamikan Prabu Hayam Wuruk, saudara sepupunya sendiri,
setelah Hayam Wuruk gagal mengawini Dyah Pitaloka Citraresmi. Dyah Sri Sudewi mendapat gelar Sri
Paduka Sori.
Sanga Turangga Paksowani 139

Suami-istri Raden Kudamerta dan Dyah Wiyat mendatangi mereka


dan layak untuk merasa cemas.
”Hujan menyebabkan genting ada yang bergeser dari tempatnya,”
kata Ibu Suri Dyah Wiyat.
Angin bertiup makin kencang dan makin kencang. Angin yang
sedemikian akan menjadi bahan baku yang berlimpah bagi terciptanya
puting beliung. Belitan kecil saja pada udara jika bahan bakunya sedang
berlimpah, akan membuat pusaran angin itu membesar dan menggila.
Jika beliung telah tercipta, ia akan menjelma menjadi ancaman bagi siapa
saja. Rumah megah sebesar apa pun dan pohon yang berakar sangat
kuat sekalipun, pasti porak-poranda. Pohon raksasa tidak hanya akan
tumbang. Namun, benar-benar tercabut dari akarnya untuk kemudian
terlempar entah ke mana. Apalagi, jika ada pihak yang dengan sengaja
memancing kehadiran angin lesus itu.
Di sebuah tempat di luar batas dinding kotaraja yang oleh Gajah
Mada dianggap sebagai tempat yang tersembunyi dan cukup aman untuk
melakukan uji coba, Sang Mahamantrimukya Rakrian Mahapatih Gajah
Mada yang didampingi Pasangguhan Gagak Bongol dan Gajah Sagara
sedang diam mematung tidak melakukan apa pun. Namun, yang tampak
itu bukanlah yang sebenarnya. Mahapatih Gajah Mada merasa inilah
kesempatan yang ia tunggu untuk menjajal kemampuan yang ia warisi
dari mendiang Kiai Pawagal.
Dalam sikap berdiri bagaikan patung itu, sejatinya Mahamantrimukya
Mpu Mada sedang memusatkan perhatian. Ia memejamkan mata untuk
bisa menerobos dan menguak pintu gerbang alam bawah sadar. Sebab,
di sanalah penggunaan ketajaman mata hati bisa dilakukan.
Melalui alam bawah sadarnya, Mahapatih Gajah Mada mencoba
http://facebook.com/indonesiapustaka

memengaruhi udara yang sedang bergerak. Dipilinnya udara itu bagaikan


memilin selembar kain. Melalui pemusatan pikiran, ia lakukan pekerjaan
aneh itu.
Ternyata, tidak terlampau sulit bagi Mahapatih Gajah Mada untuk
bisa melakukan pekerjaan mustahil itu mengingat kemampuan yang
140 Gajah Mada

berasal dari mendiang Kiai Pawagal telah menyatu dengan tubuhnya.


Nyaris hanya dengan mengangankannya, apa yang diangankan itu akan
muncul.
Berdebar Pasangguhan Gagak Bongol dan Gajah Sagara manakala
mendengar sesuatu yang tidak jelas sedang mendesis seperti mencoba
mencuri perhatian dari riuhnya hujan dan angin yang menderu.
Dirangsang untuk bergerak sedemikian rupa, pada satu titik tepat
di tempat yang menjadi pusat perhatian Sang Mahamantrimukya Mpu
Mada, angin yang bergerak berusaha tetap pada irama berputar. Angin
berputar itu dengan sekuat tenaga berusaha melawan kekacauan udara
akibat hujan dan angin yang terjadi. Gajah Mada merasa bagaikan sedang
melakukan pekerjaan yang berat untuk memulai pekerjaan itu. Akan
tetapi, lambat laun, usahanya membuahkan hasil.
Angin yang memilin makin lama makin besar dan meliuk amat
kencang, kemudian membubung dan dengan segera menyamai ukuran
pohon pisang. Angin memilin itu meliuk-liuk berusaha mencari
pijakan.
Mahapatih Gajah Mada masih tetap dalam sikapnya. Namun,
sejatinya Gajah Mada sedang berusaha mengendalikan kekuatan angin
lesus yang cenderung ingin menjadi diri sendiri itu melalui alam bawah
sadarnya. Bergerak ke mana pun, angin lesus yang telah membesar
menjadi sebesar pohon kelapa itu masih bisa dikendalikan? Akan tetapi,
Gajah Mada kemudian juga merasa angin lesus itu ingin menjadi dirinya
sendiri. Ukurannya terus membesar.
Tegang bagai tidak lagi berjantung, Pasangguhan Gagak Bongol
mengikuti gerak angin itu melalui telinganya karena dalam lebatnya
hujan, apalagi di gelap malam yang seperti itu, wujud angin berpilin itu
http://facebook.com/indonesiapustaka

tidak tampak kecuali saat petir sedang muncrat memberi segenggam


cahaya untuk menandainya. Di sebelah Gagak Bongol, Gajah Sagara
merasakan detak jantungnya ikut berlari kencang.
Gajah Sagara layak merasa tegang karena sangat menyadari,
kemampuan luar biasa yang sedang dijajal Mahapatih Gajah Mada itu
Sanga Turangga Paksowani 141

berasal dari mendiang kakek buyutnya. Untuk menolong Kiai Pawagal,


sebenarnya Gajah Sagara mengikhlaskan diri untuk menjadi wadah baru
bagi kekuatan tersebut. Namun, Kiai Pawagal rupanya tidak ingin cucu
buyutnya mengalami penderitaan seperti dirinya, yang ia pilih untuk
mewarisi kemampuan memutar angin itu justru Gajah Mada.
Betapa terperanjat Sang Mahamantrimukya Rakrian Mahapatih
Mpu Mada ketika menyadari, angin lesus itu makin kuat dan makin sulit
dikendalikan. Beliung berputar itu akhirnya menjadi dirinya sendiri.
”Aku tidak lagi menguasainya,” ucap Gajah Mada mengagetkan
Pasangguhan Gagak Bongol dan Gajah Sagara.
”Apa maksudmu?” tanya Gagak Bongol.
”Angin lesus itu makin besar dan aku tak lagi mampu menguasainya,”
kata Gajah Mada amat tegang.
Pasangguhan Gagak Bongol amat cemas. Gajah Sagara sibuk
menata detak jantungnya, sementara Mahapatih Gajah Mada sendiri
merasa sangat khawatir. Sang Mahamantrimukya Rakrian Mahapatih
Gajah Mada memang layak merasa cemas karena angin yang berasal dari
buah permaiannya itu bisa menjadi sumber bahaya yang tiada terkira bagi
orang lain. Apalagi, saat angin berputar itu telah memorak-porandakan
pepohonan berukuran amat besar.
Hujan yang turun dengan deras dan malam yang gelap gulita
menyebabkan Gajah Mada hanya bisa mengikuti gerak angin itu
menggunakan telinganya.
”Gawat,” desis Mahapatih Gajah Mada dilibas rasa cemas.
Berpatokan pada petunjuk yang diberikan kilat yang muncrat, Gajah
Mada berlari kencang. Dengan segera, Gajah Sagara dan Pasangguhan
http://facebook.com/indonesiapustaka

Gagak Bongol mengikuti. Beruntung Gajah Mada karena kilat yang


muncrat beruntun itu memberi petunjuk ke mana arah yang diambil
pusaran angin itu sekaligus memberikan kecemasan yang bukan alang
kepalang. Nyata-nyata, angin itu punya kemungkinan bergerak menuju
istana.
142 Gajah Mada

Degup jantung Gajah Mada mengombak, demikian juga degup


jantung Pasangguhan Gagak Bongol. Gajah Sagara tak kurang rasa
cemasnya membayangkan apa yang akan terjadi jika pusaran angin itu
benar-benar melabrak lingkungan istana. Dinding setebal apa pun bakal
tumbang porak-poranda.
Jika angin itu melibas Purawaktra, akan hancur berantakan pintu
gerbang Purawaktra. Andai angin itu melintasi candi Bajang Ratu
ataupun candi Wringin lawang, diyakini pasti hancur dua candi yang
hanya terbuat dari bata merah itu. Demikian pula andaikata istana yang
diterjang, Tatag Rambat Bale Manguntur pasti hancur, istana kediaman
Sang Prabu dan semua kerabat istana juga pasti hancur, belum lagi
rumah-rumah penduduk. Tak mungkin ada yang bisa menghadapi
kekuatan raksasa itu.
Hujan deras dan angin yang bertiup kencang menjadi semacam
makanan yang dilahap sampai habis oleh angin berputar itu. Selanjutnya,
ukurannya makin menggila. Ukuran angin lesus itu lebih dari dua depa
pada titik didih pusaran anginnya, sementara bagian atas batang beliung
berukuran jauh lebih besar. Andaikata saat itu siang hari, tentu akan
dapat dilihat dengan jelas benda apa saja yang terisap dan terlempar
tanpa daya.
Entah mimpi apa penduduk yang tinggal di sebuah rumah
terpencil di luar dinding kotaraja itu di malam sebelumnya sehingga
harus mengalami nasib begitu sial. Rumahnya hilang tersapu angin.
Suara menderu yang semula mereka anggap sepasukan lampor,82 tiba-tiba
menerjang rumah mereka dengan sangat keras. Terangkat rumah itu,
cerai-berai dan tersebar ke angkasa. Penghuni rumah itu, pasangan suami-
istri yang sudah tua, sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi.
Mereka hanya merasa sebuah kekuatan raksasa telah mencengkeram
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan melemparkan mereka. Barangkali, telah menjadi pepesthen83 pasangan

82
Lampor, Jawa, nama hantu yang konon berupa api dan bersuara gemuruh
83
Pepesthen, Jawa, nasib, takdir, kodrat
Sanga Turangga Paksowani 143

suami-istri yang sudah tua itu. Yang perempuan terisap amat tinggi dan
ketika jatuh, patah lehernya dan dengan seketika mengantarkannya ke
pintu gerbang kematian.
Nasib perempuan itu mungkin sangat malang. Namun, kemalangan
utamanya adalah ketidaktahuannya terhadap apa yang terjadi, penyebab
yang memaksanya masuk lorong pangrantunan.84 Apalagi, jika perempuan
itu telanjur menganggap penyebab kematiannya adalah barisan lampor
yang menyergap mereka.
Suami wanita tua malang itu bernasib lebih malang. Kematian
sebenarnya merupakan keadaan yang jauh lebih baik daripada apa yang
dialaminya. Laki-laki tua itu terisap pusaran angin setinggi setengah
pohon kelapa dan dengan sangat keras tubuh tua itu dibanting ke tanah.
Remuk tulang lelaki tua itu. Namun, tidak cukup menjadi penyebab ia
harus mati.
Mahapatih Gajah Mada merasakan jantungnya berhenti berdenyut
melihat jejak yang ditinggalkan beliung yang rupanya punya alasan untuk
marah itu. Rintih kesakitan dan dibantu petir yang kembali muncrat,
memudahkan Mahapatih Gajah Mada menemukan keberadaan laki-
laki tua itu. Cekatan, Gajah Mada berusaha menolongnya. Namun,
mengangkat tubuhnya merupakan hal yang tak mungkin karena tulang-
tulangnya yang patah.
”Aduh, mati aku,” sambat amat memelas penghuni rumah terpencil
itu.
Gajah Mada mengusap mukanya yang basah kuyup. Namun, ia
benar-benar tidak tahu apa yang harus ia kerjakan. Sebenarnya, Gajah
Mada terbungkam mulutnya lebih karena penyesalannya. Kecelakaan
yang dialami penghuni rumah terpencil itu jelas buah perbuatannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Apa yang menabrak rumahku, Kisanak?” tanya lelaki tua itu


lemah.

84
Pangrantunan, Jawa, alam penantian. Sebagian orang Jawa dan jagat pewayangan menganggap alam
kematian sebelum memasuki masa pengadilan disebut alam pangrantunan.
144 Gajah Mada

Gajah Mada tak mampu menjawab. Pasangguhan Gagak Bongol


yang merasa harus mewakili Gajah Mada, memberikan jawaban
pertanyaan itu, ”Angin lesus, Kiai, beliung.”
Laki-laki tua itu mencermati rasa sakit yang dialaminya, yang
memunculkan kesadaran amat utuh bahwa keadaan tubuhnya terluka
amat parah. Apalagi, saat kepalanya terasa mengayun. Apa yang dilihatnya
berputar bertambah gelap, semua hitam tanpa ada satu titik pun warna
lain.
”Istriku, tolong istriku,” sisa keluhnya.
Akan tetapi, keberuntungan menghampiri laki-laki tua itu karena
kematian sedang bersahabat dan bergerak cepat memisahkan nyawa
dari raganya. Hanya dalam hitungan kejap, orang itu menarik napas
pamungkasnya, menyebabkan Gajah Mada mendadak merasa dadanya
amat sesak.
Akan tetapi, apa pun yang terjadi, Gajah Mada memang sedang
digelisahkan sebuah hal yang tak bisa ditunda, meski oleh kematian
orang yang bernasib sial itu.
”Urus mereka,” perintah Gajah Mada kepada Pasangguhan Gagak
Bongol dan Gajah Sagara.
Mahapatih Gajah Mada kembali berlari sekencang-kencangnya
melalui jalan yang tidak tampak, tetapi sudah sangat dikenalinya. Gajah
Mada dibantu kilat yang muncrat susul-menyusul dan mengobral gelegar
yang menakutkan, apalagi ditingkah badai yang sangat deras.
Bagai meledek Mahapatih Gajah Mada atau mungkin dengan sengaja
menunggu, pusaran angin raksasa itu berhenti beberapa jenak di suatu
tempat untuk mengeduk tanah. Esok harinya, siapa pun pasti akan
http://facebook.com/indonesiapustaka

bingung mendapati di tempat itu muncul sebuah sumur penuh air.


Gajah Mada yang berlari kencang berhasil menyusul pusaran angin
yang makin besar itu. Namun, ia hanya bisa memerhatikannya tanpa
bisa berbuat apa-apa. Pusaran angin itu meliuk berputar, menyebabkan
Gajah Mada harus mengambil jarak sambil merasakan keterkejutan yang
Sanga Turangga Paksowani 145

bukan alang kepalang melihat benda apa saja yang terlempar. Semburan
tanah berpasir yang melesat dari batang beliung itu sungguh tidak
kalah dari ribuan anak panah yang dilepas dari busurnya. Gajah Mada
meyakini, pasukan dengan kekuatan segelar sepapan yang pasang gelar
perang Diradameta85sekalipun, tak akan mampu menghadapi terjangan
beliung yang menggila itu.
Gajah Mada akhirnya hanya bisa pasrah melihat angin meraksasa
itu benar-benar bergerak menyisir dinding istana menuju pintu gerbang
Purawaktra. Para prajurit yang sedang bertugas jaga amat terkejut.
Namun, mereka tak segera memahami suara apa yang terdengar
menggemuruh itu. Apalagi, ketika sejenak kemudian, ada banyak benda
yang berjatuhan.
Seorang prajurit terkena bongkahan bata. Prajurit itu ambruk dan
langsung tidak sadarkan diri. Bata itu sendiri berasal dari salah satu bagian
dinding istana yang jebol tanpa daya. Para prajurit itu tidak mengerti apa
yang terjadi. Akan tetapi, suara gemuruh itu nyata menyebabkan para
prajurit menduga istana sedang diserang negeri lain. Namun, bukan
negeri manusia, mungkin negeri hantu.
Dalam siraman kilat yang kembali muncrat, Gajah Mada melihat
pusaran angin yang semula berhenti itu kembali bergerak. Pusaran angin
itu meliuk berputar dan menjauhi Mahapatih Gajah Mada.
Gajah Mada rupanya harus membelah perhatiannya. Tiba-tiba,
suara mencicit dengan nada amat tinggi yang sangat menyakitkan
telinga terdengar dari arah kanan. Bersamaan dengan itu, tampak benda
bergerak. Kilat muncrat beruntun menerangi benda itu, membuat Gajah
Mada mampu mengenali benda itu dan merasa bingung setelahnya.
Pusaran angin kedua. Bagaimana bisa muncul pusaran angin kedua?
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mahapatih Gajah Mada sama sekali tidak tahu apa penyebabnya. Pusaran
beliung pertama yang lahir dari buah permainannya sudah meretakkan
kepalanya. Kini, muncul pusaran angin kedua. Meski kecil, pusaran angin

85
Diradameta, salah satu nama gelar perang yang bersumber pada kisah Baratayuda
146 Gajah Mada

kedua itu diyakini bisa meraksasa seperti yang pertama. Jika itu terjadi,
akan kembali memberi sumbangan retakan di dinding kepalanya, bahkan
kepalanya bisa ambyar semburat.
Dengan cepat, pusaran angin kedua itu mengejar beliung pertama
yang makin mendekati pintu gerbang Purawaktra. Mahapatih Gajah Mada
beruntung karena kilat yang kembali muncrat susul-menyusul disertai
bledhek yang menggetarkan udara sekaligus menggetarkan gendang telinga,
memberi cahaya yang cukup jelas saat peristiwa sangat penting itu terjadi
dan berlangsung hanya dalam hitungan kejap. Jika Gajah Mada tidak
memerhatikannya, ia akan kehilangan jawaban dari apa yang terjadi.
Pusaran angin kedua, meski berukuran kecil, berhasil menyusul
pusaran angin pertama, kemudian lebur menyatukan diri dengannya.
Lalu, peristiwa susulan yang terjadi membuat Gajah Mada benar-benar
terbelalak, serasa kedua matanya akan lepas dari kelopaknya.
Akan tetapi, Mahapatih Gajah Mada juga layak bersyukur karena
sejenak setelah itu, pusaran angin yang bisa menghancurkan istana dan
mengancam keselamatan seluruh penghuninya itu bubar. Bergegas Gajah
Mada memerhatikan keadaan di sekitarnya, ke siapa saja yang mungkin
muncul setelah itu. Namun, yang tersisa hanya hujan yang deras dan
badai yang mulai susut.
”Sembrono sekali!”
Gajah Mada terkejut bukan alang kepalang mendengar ucapan yang
berasal dari belakangnya itu. Gajah Mada berbalik, tetapi wajah orang
itu tak tampak karena hitam malam dan karena orang itu mengenakan
caping yang menutupi wajahnya. Kilat yang muncrat dua kali sedikit
membantunya. Sekilas, wajah orang itu tertangkap. Gajah Mada merasa
amat akrab dengan wajah itu. Namun, ia mengalami kesulitan untuk
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengingat dan memastikan wajah siapa.


”Baru menguasai segitu saja sudah mencoba bermain-main
membangunkannya,” ucap orang itu dengan nada sangat tidak senang.
Mahapatih Gajah Mada tidak berkutik. Selama ini, Mahapatih Gajah
Mada merasa berada di titik ketinggian tanpa ada yang bisa mengalahkan
Sanga Turangga Paksowani 147

kecuali raja. Kini, ia merasa sedang berhadapan dengan orang yang tak
boleh diremehkan, tidak boleh dipandang dengan mengesampingkan
rasa hormat. Kepada orang itu, ia tak boleh bersikap sembarangan.
”Siapa kau, Kisanak?” tanya Gajah Mada.
Orang tak dikenal itu melangkah mundur untuk menunjukkan
keajaiban berikutnya. Namun, sebelum hal itu terjadi, orang itu masih
sempat menjawab.
”Yang kaulakukan itu sembrono sekali,” jawaban yang diberikan
orang itu tidak sesuai dengan apa yang ditanyakan.
Kembali dibantu cahaya kilat yang muncrat, tetapi tidak disertai
guntur karena hujan mulai mereda seiring angin yang menghilang entah
ke mana, Mahapatih Gajah Mada terbelalak menyaksikan tontonan yang
tidak masuk akal. Apa yang dilihatnya sulit diterima nalar, tetapi nyata-
nyata terjadi di depannya. Bayangan orang itu menjadi kabur, makin
kabur. Udara yang membungkusnya mengombak dan membuatnya
lenyap dari pandangan mata. Jejaknya kemudian menghilang. Menghilang
bukan karena telah pergi, tetapi menghilang begitu saja, melenyap dari
pandangan mata.
”Jagat Dewa Batara,” desis Gajah Mada yang terbelalak.
Gajah Mada merasa sendiri, tetapi tidak benar-benar sendiri. Orang
yang menghilang itu mungkin telah pergi menjauh. Namun, mungkin
pula masih tetap berdiri di tempatnya. Akan tetapi, yang memenuhi
seluruh rongga di dadanya adalah gemuruh pesona sisa dari apa yang
telah ditontonnya.
Orang mampu menghilang ia yakini hanyalah sebuah cerita omong
kosong yang dilontarkan orang yang gemar berkhayal. Namun, siapa
http://facebook.com/indonesiapustaka

pun orang yang telah menampakkan diri dan telah memarahinya itu
memberinya bukti nyata yang tak bisa ia bantah kebenarannya. Bangkit
bulu kuduk Gajah Mada.
”Menampaklah lagi, Kisanak!” Gajah Mada berteriak. ”Aku masih
mempunyai banyak pertanyaan untukmu.”
148 Gajah Mada

Tak ada jawaban untuk pertanyaan yang dilontarkan itu. Akhirnya,


setelah yakin orang itu tidak akan menampakkan diri lagi, Mahapatih
Gajah Mada mengayunkan langkah bergegas menyisir dinding istana.
Beberapa obor yang semula padam, telah dinyalakan kembali sehingga
bayangan Mahapatih Gajah Mada tertangkap oleh beberapa prajurit
pengawal istana yang berada di bawah kendali langsung Senopati Macan
Liwung.
”Siapa itu?” tiba-tiba terdengar sebuah teriakan.
”Aku, Gajah Mada,” balasnya tak kalah tegas. ”Ambil beberapa
obor dan bawa kemari. Panggil beberapa prajurit.”
Dalam siraman cahaya obor, Gajah Mada bisa melihat dengan
jelas akibat macam apa yang ditinggalkan pusaran angin itu. Gajah
Mada merasakan lengan dan punggungnya dirambati ribuan ekor
semut membayangkan apa jadinya kalau pusaran angin itu bergerak
melibas istana dan menimbulkan kekacauan. Tentu, sebuah bencana
yang mengerikan.
”Apa yang terjadi, Gusti Patih?” tanya seorang prajurit.
”Angin lesus,” jawab Sang Mahamantrimukya. ”Angin lesus yang
besar sekali. Angin lesus terbesar yang pernah terjadi.”

12
http://facebook.com/indonesiapustaka

R uang depan rumah yang cukup megah itu terasa senyap. Gajah
Mada duduk di tempat duduk yang disediakan untuknya. Ia masih
bersikap menunggu. Yang ditunggu jawabannya masih diam seribu
bahasa. Nyai Rahyi Sunelok tidak tahu harus memulai dari mana. Akan
Sanga Turangga Paksowani 149

tetapi, Gajah Mada, sebagaimana Gagak Bongol dan Gajah Sagara yang
hadir di ruang itu, merasa tak sabar.
Di luar rumah, udara berkabut. Meski hujan dan badai sudah
lenyap jejaknya, kabut amat tebal melayang di mana-mana, mengemuli
setiap jengkal tanah. Dalam keadaan lumrah, malam biasanya dihiasi
berbagai suara binatang. Di langit, akan terdengar suara burung bence
yang saling menyapa. Burung hantu akan mewartakan keberadaannya
sambil matanya tak akan lelah melotot. Dengan matanya yang tajam, ia
memelototi apa saja, terutama gerak tikus dan ular kecil yang menjadi
santapan sehari-harinya. Namun, malam itu, entah mengapa suara katak
pun belum terdengar, meski di beberapa tempat lain sudah.
”Kakekku mengaku mempunyai seorang guru. Aku hanya
mengetahui nama orang itu. Selebihnya, aku tak tahu, Gusti Patih,” berkata
Nyai Rahyi Sunelok.
Antara Gajah Mada dan Gagak Bongol saling mbalang liring,86
sementara Gajah Sagara amat larut dalam menatap wajah ibunya.
”Nama orang itu siapa, Nyai?” tanya Gajah Mada.
Nyai Rahyi Sunelok berkomat-kamit sebelum menjawab.
”Eyang Pawagal mengatakan, nama orang itu adalah Ajar
Wintyasmerti,” jawab Nyai Rahyi Sunelok.
Gajah Mada menyimak penuturan Nyai Rahyi Sunelok tanpa
berkedip. Keterangan itu dianggapnya amat penting karena kehadiran
orang tak dikenal itu sangat mengganggu pikirannya. Gajah Mada yang
kemudian menjatuhkan pandang matanya ke pintu diganggu sebuah
pertanyaan, benarkah orang yang muncul dan menemuinya itu sosok
yang kisahnya sekarang sedang digali dari Nyai Rahyi Sunelok?
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Nama orang itu Ajar Wintyasmerti?” ulang Sang Mahamantrimukya.


Nyai Rahyi Sunelok mengangguk.

86
Mbalang liring, Jawa, melirik
150 Gajah Mada

Kembali Gajah Mada dan Gagak Bongol saling melirik. Bagai


bersepakat, dua orang penting di istana Majapahit itu manggut-manggut
berbarengan.
”Asalnya dari mana, Nyai? Di mana orang itu tinggal?” tanya Gagak
Bongol.
Pertanyaan itu menyebabkan Nyai Rahyi Sunelok bingung. Jenis
jawaban yang akan diberikannya yang membuatnya bingung.
Nyai Rahyi Sunelok sendiri serasa tidak percaya pada jawaban yang
ia berikan, ”Mendiang Eyang Pawagal tidak pernah menceritakan dari
mana orang itu berasal.”
Termangu Gajah Mada, termangu pula Pasangguhan Gagak Bongol
dan Gajah Sagara.
Nyai Rahyi Sunelok melanjutkan ucapannya, ”Menurut Eyang
Pawagal, orang itu tidak diketahui asal-usulnya. Orang itu berselubung
teka-teki yang tak pernah terungkap. Hanya itu yang aku dengar dari
Eyang Pawagal, Gusti Patih.”
Gajah Mada bergegas membuka lipatan kenangannya. Ia mencoba
menghadirkan kembali raut muka orang yang secara aneh telah hadir
tiga kali. Kejadian yang pertama telah lewat kira-kira sepuluh tahun yang
lalu, tetapi raut wajah orang itu masih tercatat dalam ingatannya dan tak
mungkin dilupakan.
Gagak Bongol melihat wajah yang tegang itu. Namun, ia tidak berani
bertanya apa yang sedang dikenang Gajah Mada.
”Begitulah yang diceritakan Eyang Pawagal. Soal kebenarannya, aku
tidak tahu, Gusti Patih,” Nyai Rahyi Sunelok melanjutkan ucapannya.
Sayang, Kiai Pawagal sudah tidak ada. Kalau saja Kiai Pawagal
http://facebook.com/indonesiapustaka

masih hidup, mungkin akan banyak teka-teki yang terjawab. Misalnya,


pertanyaan bagaimana perkenalan Kiai Pawagal dengan sosok bernama
Ajar Wintyasmerti itu. Kiai Pawagal hanya mewariskan kemampuan
itu kepadanya. Kiai Pawagal sama sekali tidak punya kesempatan
menceritakan bagaimana cara ia memperolehnya.
Sanga Turangga Paksowani 151

Gajah Mada mengalihkan pandangan matanya kepada Gajah Sagara.


”Kamu ikut kembali atau tinggal?” tanya Gajah Mada kepada Gajah
Sagara.
Sigap, Gajah Sagara bangkit dari duduknya. Sikap itu sudah merupakan
jawaban.
Malam tepat berada di tengahnya saat Gajah Mada berpamitan. Nyai
Rahyi Sunelok mengantar kepulangan dua tamu dan anaknya itu sampai
ke halaman. Langit tidak berbintang karena kabut yang sedemikian
tebal melayang di mana-mana. Hujan yang semula turun amat deras
tidak ada lagi jejaknya kecuali genangan dan sebagian rumah penduduk
yang berantakan diterjang badai. Di jalan-jalan, banyak pohon yang
tumbang.
Rumah Kanurahan Gajah Enggon tidak terlalu jauh dari rumah
Gajah Mada. Itu sebabnya, Gajah Mada yang didampingi Gagak Bongol
dan Gajah Sagara memilih berjalan kaki. Udara dingin amat menggigit
ternyata bukan udara yang tepat untuk dihadapi dengan ngliga.87 Gajah
Mada perlu melindungi diri dari udara dingin dengan mengenakan
pakaian khusus. Pakaian itu memberikan kehangatan karena terbuat
dari kulit harimau. Warna loreng pakaian tebal itu sendiri menyebabkan
tampilan Gajah Mada menjadi lebih sangar.
Gajah Mada tetap pada irama ayunan langkah kakinya. Di
sebelahnya, Pasangguhan Gagak Bongol berusaha menyesuaikan ayunan
langkah kakinya. Jika Mahapatih Gajah Mada mengayunkan kaki kanan
ke depan dengan kaki kiri di belakang, Gagak Bongol menyamakan diri.
Gajah Sagara yang menempatkan diri di kanan Gajah Mada melakukan
hal serupa.
”Angin lesus, orang mampu menghilang, dahulu, aku tidak percaya
http://facebook.com/indonesiapustaka

dengan hal-hal yang tidak masuk akal macam itu,” ucap Gajah Mada.
”Namun, sekarang, bagaimana aku tidak percaya jika aku melihat dengan
mata dan kepalaku secara langsung? Bahkan, kini, aku telah mewarisi

87
Ngliga, Jawa, tidak berpakaian, bertelanjang dada
152 Gajah Mada

kekuatan luar biasa itu dari Kiai Pawagal. Aku percaya sepenuhnya
pada apa yang diceritakan Nyai Rahyi Sunelok. Orang yang menemuiku
mungkin guru Kiai Pawagal. Wajah yang tadi aku lihat adalah wajah
yang sama dengan yang kutemui sepuluh tahun lalu. Tidak berubah
sama sekali.”
Gajah Mada yang mengayunkan langkah itu mendadak berhenti.
”Ada apa?” tanya Gagak Bongol.
Gajah Mada masih termangu.
”Aku rasa aku tahu tempat untuk bertanya, seseorang yang memiliki
banyak ruang pengetahuan. Aku akan langsung ke rumahnya untuk
bertanya. Kalian berdua langsung ke Balai Perwira,” ujar Gajah Mada.
Gagak Bongol sedikit kesal. Ia amat ingin tahu kelanjutan cerita
tentang orang yang memiliki usia sedemikian panjang itu. Akan tetapi,
Gajah Mada menghalanginya.
”Aku tahu siapa orang yang kauperkirakan bisa menjelaskan bagian
hitam itu,” kata Gagak Bongol.
Gajah Mada tidak membalas pertanyaan itu.
”Aku yakin orang itu pastilah Nadendra,” kata Gagak Bongol.
Gajah Mada tersenyum. Namun, senyum itu ditelan malam.

13
http://facebook.com/indonesiapustaka

R asanya, tidak ada persahabatan yang sedemikian kental dan


penuh rasa saling menghormati kecuali hubungan yang terjalin sejak
lama antara Gajah Mada dan anak Dharmadyaksa Kasogatan Samenaka
Sanga Turangga Paksowani 153

Kanakamuni yang kini mewarisi jabatan yang dulu diduduki ayahnya.


Persahabatan itu telah terjalin sejak Gajah Mada masih belum siapa-siapa,
pangkatnya baru seorang bekel.
Menggunakan nama samaran Prapanca88 yang disandikan lewat
Pancaksara,89 Sang Dharmadyaksa Kasogatan Nadendra merupakan
tempat bertanya bagi Gajah Mada yang kini telah menggapai kedudukan
sedemikian tinggi, menjadi orang kedua di bawah Sang Prabu dengan
jabatan mahapatih amangkubumi. Kedudukan itu diwarisinya dari Empu
Krewes atau Mahapatih Amangkubumi Arya Tadah setelah ia berhasil
memadamkan pemberontakan yang dilakukan negara bawahan, Keta
dan Sadeng.
Bagi Dharmadyaksa Kasogatan, tidur adalah bagian dari semadi.
Ia lakukan itu di sanggar pamujan. Tidur bersemadi itu ia lakukan
untuk menyeimbangkan semua kegiatannya yang bertumpuk yang di
sela-selanya, ia masih harus menyempatkan menuntaskan penulisan
Desa Wernana,90 dan beberapa judul tulisannya yang lain, antara lain
Parwasagara, Bismacaranantya, Sugataparwawarnnana, Tahun Saka, dan
Lambang.

88
Prapanca, penggubah Negarakertagama. Prof Dr Slamet Muljana menduga Prapanca adalah nama lain
Darmadyaksa Kasogatan Nadendra.
89
Pancaksara, dalam kitabnya yang berjudul Desa Wernana, Prapanca tidak mencantumkan nama aslinya.
Ia samarkan jati dirinya melalui nama Pancaksara yang tercantum dalam kitab Negarakertagama Pupuh
XXXII.
90
Desa Wernana, judul asli kitab yang kini dikenal sebagai kitab Negarakertagama. Pada permulaan
abad 20, Prof. H. Kern menerjemahkan Negarakertagama dalam BKI 58 sampai 59 yang kemudian
dikumpulkan dalam H. Kern V.G. VII dan VIII, 1917. Teks terjemahan tersebut diterbitkan lagi dengan
perbaikan tambahan oleh Prof. N.J. Krom pada tahun 1919 di bawah judul Het Oudjavaansche Lofdicht
Nagarakertagama Van Prapanca (1365 AD). Negarakretagama sebagai judul menjadi lebih populer dari
judul aslinya berkat judul terbitan J.L.A Brandes tahun 1902 dan terjemahannya oleh Prof H. Kern (1905)
yang maknanya memang sesuai dengan kolophon yang ditambahkan di akhir karya sastra tersebut. Kitab
http://facebook.com/indonesiapustaka

tersebut ditemukan di Puri Cakranegara di Pulau Lombok tahun 1894 yang semula dikenal sebagai satu-
satunya naskah. Naskah tersebut disimpan di Leiden. Pada pertengahan tahun 1971, dalam kunjungannya
ke Indonesia , Ratu Juliana menyerahkan naskah tersebut kepada Presiden Soeharto. Sekarang, naskah itu
disimpan di Jakarta. Namun, pada tanggal 17 Juli 1978, ditemukan naskah Negarakertagama di Amlapura.
Temuan tersebut kemudian disusul pengumuman bahwa di Geria Pidada Kelungkung juga ditemukan
sebuah turunan rontal Negarakertagama. Dua naskah yang lain berturut-turut ditemukan di Geria Carik
Sideman. Konon, salinan serupa pernah dibawa ke Lombok pada waktu kekuasaan Raja Karangasem
meliputi Lombok. Hingga kini, setidaknya telah ditemukan lima naskah Negarakertagama.
154 Gajah Mada

Malam bergulir meninggalkan pusatnya menuju ke arah datangnya


pagi saat kehadiran Mahapatih Gajah Mada yang berbincang dengan
beberapa orang prajurit yang mengawal wisma kediamannya terdengar
cukup jelas dari sanggar semadi. Dengan senyum yang sejuk dan
tidak dibebani sisa rasa kantuk, Dharmadyaksa Kasogatan Nadendra
memutuskan mengakhiri pemusatan nalar dan budinya, lalu bergegas
membuka pintu.
”Angin apa yang membawamu datang kemari?” tanya Prapanca
dengan senyumnya yang khas dan lebar.
Gajah Mada melangkah mendekatinya. Ucapan balasan yang
diberikan dilakukan dengan berbisik, ”Apa kamu sama sekali tak terusik
oleh hujan deras dan badai yang mengguncang istana?”
Pandangan Prapanca agak berubah.
”Mungkin ketajaman pendengaranku agak berkurang,” berkata
Prapanca, ”sehingga suara yang sebenarnya sangat deras terdengar
biasa di telingaku. Suara yang biasa tidak terdengar sama sekali. Apa
yang terjadi?”
Gajah Mada menoleh ke belakang.
”Aku ingin menanyakan sesuatu yang sangat penting,” ucapnya lirih.
Kabut sisa hujan deras melayang di mana-mana, menutupi jarak
pandang. Udara terasa amat dingin dan menyebabkan rasa ngilu di
barisan gigi. Suasana benar-benar senyap. Namun, tidak demikian
dengan isi dada mereka yang mengalami bencana di malam yang disapa
badai kencang itu, terutama mereka yang rumah-rumahnya mengalami
kerusakan.
Beberapa jenak, Dharmadyaksa Kasogatan memerhatikan pakaian
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang dikenakan Gajah Mada yang terbuat dari kulit harimau. Dengan
pakaian macam itu, Gajah Mada tentu tidak perlu terganggu oleh udara
dingin. Ingin memiliki? Tentu tidak karena menurut ajaran Buddha,
tidak dibenarkan membunuh binatang apa pun, apalagi memanfaatkan
kulitnya macam itu.
Sanga Turangga Paksowani 155

Di bawah bayang-bayang candi Buddha yang berada di depan wisma


kediamannya, Pancaksara membawa Gajah Mada berbincang dengan
duduk hanya beralaskan bangku kayu. Gajah Mada menyempatkan
menengadah. Akan tetapi, Sang Mahamantrimukya tidak menemukan
barisan bintang di langit. Langit tampak lebih rendah dengan warna
hanya hitam.
”Pernah mendengar nama Ajar Wintyasmerti?” tanya Gajah Mada
tiba-tiba.
Nadendra atau Prapanca atau yang juga dipanggil dengan nama
Sang Pancaksara itu memandang Gajah Mada dengan tatap mata yang
amat aneh.
”Siapa?” tanyanya.
Gajah Mada tak ingin bertele-tele dalam mengusung persoalannya.
”Ajar Wintyasmerti,” ulangnya.
Nadendra terdiam. Melihat itu, Gajah Mada berdebar-debar. Gajah
Mada menduga, Prapanca tentu tahu apa jawabnya.
”Bagaimana?” pancing Gajah Mada.
Sejenak, Dharmadyaksa Kasogatan Nadendra masih terdiam.
Dibantu cahaya empat buah obor yang ditancapkan di sudut-sudut
halaman, Nadendra memerhatikan lawan bicaranya.
”Pernah mendegar nama itu, bukan?” kejar Gajah Mada.
Prapanca menarik napas.
”Hanya sebuah dongeng. Meski hanya dongeng, ada catatannya,”
jawab Prapanca.
Mata Gajah Mada berbinar. Jawaban itu menjadi pertanda, beberapa
http://facebook.com/indonesiapustaka

pertanyaan yang mengganggunya akan memperoleh jawaban. Dengan


demikian, barangkali benar apa yang dikatakan istri Kanuruhan Gajah
Enggon.
”Orang itu mempunyai kemampuan mengundang angin lesus?”
tanya Gajah Mada.
156 Gajah Mada

Prapanca mengangguk, ”Cerita yang beredar seperti itu. Ada


yang menganggap orang itu manusia setengah hantu, bisa muncul
di mana-mana untuk memberikan pertolongan kepada mereka yang
kesusahan.”
Gajah Mada merasa amat tegang. Apa yang disampaikan
Dharmadyaksa Kasogatan Nadendra itu sejalan dengan apa yang ia
curigai.
”Kenapa kautanyakan itu?” tanya Nadendra.
Gajah Mada berniat bangkit untuk membuang kegelisahan hatinya.
Akan tetapi, ia urungkan itu.
”Aku bertemu orang itu. Malam ini,” jawabnya.
Prapanca memandang Gajah Mada dengan pandangan mata
aneh. Nadendra tersenyum, tetapi bukan dalam rangka menertawakan
pengakuan Gajah Mada yang dianggap lucu. Gajah Mada mengaku
bertemu dengan orang itu, orang yang keberadaannya berbalut dongeng,
hal itu agak sulit dipercaya.
Namun, Gajah Mada punya cara untuk meyakinkan lawan bicaranya.
Hanya sejenak setelah ia memejamkan mata, sebuah pusaran angin
bergerak meliuk memutari obor yang menyala. Empu Prapanca
terbelalak. Ia memerhatikan obor yang kemudian padam dan obor
berikutnya yang kemudian juga padam. Tinggal satu obor, tetapi Gajah
Mada keburu membubarkan pusaran angin yang ia kendalikan dari
pikirannya itu.
Dharmadyaksa Kasogatan Dang Acarya Nadendra menyikapi
tontonan aneh itu dengan takjub. Matanya terbelalak nyaris lepas dari
kelopaknya. Dharmadyaksa Kasogatan akan berdiri, tetapi segera ia
batalkan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Apa dalam catatan itu disebut, Ajar Wintyasmerti adalah orang


yang bisa mengundang datangnya angin lesus?” tanya Gajah Mada.
Nadendra bingung, tidak tahu bagaimana cara menjawab pertanyaan
itu. Belakangan, Nadendra mengangguk.
Sanga Turangga Paksowani 157

Gajah Mada mengalihkan arah pandang matanya dan memerhatikan


sebuah benda yang ada di halaman rumah Sang Dharmadyaksa
Kasogatan, sebuah mandapa91 terisi penuh berjejal, mungkin oleh lebih
dari sepuluh ekor burung merpati.
”Aku sekarang menguasai kemampuan membangunkan angin
lesus. Itu menjadi bukti tak terbantah bahwa aku bertemu dengannya,”
tambah Gajah Mada.
Dengan jelas, Gajah Mada menceritakan apa yang terjadi, mulai
ketika ia mengunjungi Kiai Pawagal yang sedang sakit keras sampai
ke kematiannya setelah Mahamantrimukya Mahapatih Gajah Mada
menyediakan diri menjadi wadah bagi kemampuan kadigdayan yang
dimiliki Kiai Pawagal. Cerita berlanjut ke bagaimana hujan yang turun
malam ini telah mendorong Gajah Mada mencoba kemampuannya.
Hujan turun sangat deras disertai gemuruh badai. Sungguh, keadaan
yang demikian sangat memadai untuk mencoba kemampuannya.
Dharmadyaksa Kasogatan Nadendra menyimak dengan saksama
penuturan Gajah Mada tentang bagaimana uji coba itu menuai bencana
karena menyebabkan sebuah rumah berantakan dan merenggut dua
nyawa penghuninya. Pada saat yang demikian itulah, muncul orang itu.
Sayang, ia tidak menyebut siapa namanya dan dari mana asalnya.
Berdesir sangat tajam isi dada Dharmadyaksa Kasogatan Nadendra
menyadari apa yang disampaikan Gajah Mada itu tidak main-main.
”Tentu, aku tahu kisah tentang Ajar Wintyasmerti itu. Namun,
selama ini, aku tak begitu percaya, khususnya mengenai kemungkinan
orang itu hidup dengan umur sangat panjang tanpa mengalami
perubahan wujud. Jika Kiai Pawagal, Kiai Medang Dangdi, dan Kiai
Wirota Wiragati adalah para muridnya, bisa dibayangkan berapa usia
http://facebook.com/indonesiapustaka

orang itu,” ucap Nadendra.


Gajah Mada segera teringat keadaan yang dialami Kiai Pawagal.
Tentang usia yang sangat panjang, itu berarti orang tersebut luput

91
Mandapa, Jawa Kuno, rumah burung merpati, orang sekarang menyebutnya pagupon
158 Gajah Mada

dari kematian. Bukankah Kiai Pawagal akan mengalami hal yang sama
andaikata ia tidak datang menolongnya? Lalu, bagaimana dengan
dirinya sendiri? Bukankah kelak ia akan mengalami hal yang sama
seperti yang dialami Kiai Pawagal? Berpikir begitu, Gajah Mada merasa
gelisah.
”Ahh, itu urusan nanti,” letupnya dalam hati.
Dalam benak Gajah Mada segera mencuat pertanyaan, penyebab
macam apa yang mengakibatkan orang bernama Ajar Wintyasmerti itu
terbebas dari kematian? Sebuah anugerah atau bencanakah yang terjadi
itu? Kiai Pawagal yang lahir sezaman dengan Sri Sanggramawijaya
atau mungkin sedikit lebih tua, atau sepantaran dengan Maling Wirota
Wiragati dan Kiai Pamandana yang pernah ia kunjungi, penampilannya
sudah amat renta dalam usia delapan puluhan tahun lebih. Namun,
Ajar Wintyasmerti yang diperkirakan hidup sezaman dengan Prabu
Kertanegara tampak sangat muda, seperti orang yang baru berusia tiga
puluhan tahun. Bahkan, tampak jauh lebih muda.
”Tadi, aku menanyakan itu kepada Nyai Gajah Enggon. Aku
tanyakan kepadanya karena ia adalah cucu Kiai Pawagal. Nyai Rahyi
Sunelok hanya menyebut nama Ajar Wintyasmerti. Jika orang itu
adalah orang yang sama dengan orang yang menampakkan wajahnya di
hadapanku ketika angin lesus nyaris menggilas istana, berarti orang itu
telah tua sekali. Usianya telah lebih dari seratus tahun, tetapi wajahnya
masih tampak muda,” kata Gajah Mada.
Halaman wisma Dharmadyaksa Kasogatan kembali terasa hening
dan memberi kesempatan kepada dua pejabat penting istana Majapahit
itu untuk berpikir serta mengumbar angan-angan. Dengan memejamkan
mata, Sang Mahamantrimukya Rakrian Mahapatih Gajah Mada
http://facebook.com/indonesiapustaka

mencoba mengingat raut wajah orang itu sekaligus mengenang apa yang
diucapkannya. Satu kata pun tak mungkin ia lupakan.
”Baru menguasai segitu saja sudah mencoba bermain-main
membangunkannya,” ucapan orang itu terasa masih terngiang-ngiang
di gendang telinganya.
Sanga Turangga Paksowani 159

Mahamantrimukya telah berangan-angan, ke depan, andaikata


ia berhasil bertemu orang itu dan memperoleh kesempatan untuk
belajar serta mewarisi semua ilmu kadigdayan-nya, ia akan manfaatkan
kemampuan itu untuk membangun Majapahit. Jika ada wilayah yang
masih belum mau menyatukan diri di bawah lambang negara cihna
gringsing lobheng lewih laka, akan digilasnya negara itu dengan kekuatan
yang dimilikinya. Siapa orang di dunia ini yang sanggup bertahan
menghadapi gempurannya melalui sapuan pusaran angin sedemikian
dahsyat? Apalagi, orang bernama Ajar Wintyasmerti itu juga memiliki
kemampuan menghilang dari pandangan mata. Betapa akan sempurna
jika semua kemampuan orang itu dapat ia warisi.
”Orang itu bisa menghilang,” tambah Gajah Mada. ”Ia lenyap
dari depanku melalui cara yang tak mampu aku mengerti. Dengan cara
bagaimanapun aku mencoba memahaminya, aku tetap tak bisa mengerti.
Tubuhnya bergoyang, lalu seperti memasuki wilayah antara ada dan
tiada, makin lama makin kabur. Kemudian, ia lenyap, tak tampak jejak
keberadaannya. Orang itu sungguh luar biasa. Kalau saja kemampuan
yang telah aku miliki selama ini dilengkapi dengan kemampuan murca
macam itu, aku akan mampu menyatukan semua negeri di atas jagat ini,
tidak hanya seluas wilayah yang membentang dari Swarnabhumi dan
Tumasek di barat hingga ke Onin di wilayah timur. Ternyata, masih ada
wilayah lebih timur setelah Onin, sebagaimana masih ada wilayah lebih
barat setelah Tumasek. Jika perlu, aku akan mendatangi negeri Tartar.”
Apa yang dilontarkan Gajah Mada itu benar-benar berasal dari
kedalaman hatinya. Namun, ucapan itu oleh Prapanca dirasakan sebagai
ucapan aneh. Prapanca bahkan sedikit tidak nyaman.
”Apakah itu bukan cara pengecut?” balas Prapanca.
Gajah Mada sama sekali tidak tersinggung.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Harus melalui perang?” tanya Gajah Mada.


”Ya,” jawab Prapanca. ”Bukankah itu cara kesatria yang harus
dilakukan?” balas Prapanca.
Gajah Mada akan tertawa, tetapi ia batalkan.
160 Gajah Mada

”Aku tidak melihatnya sebagai tindakan pengecut. Berapa jumlah


korban yang akan jatuh dalam perang? Berapa jumlah korban yang
jatuh ketika beberapa tahun yang lalu, aku menggempur Bali? Hal
semacam itu bisa dihindari. Jumlah korban dapat diperkecil jika aku
mewarisi kemampuan melenyapkan diri dari pandangan mata itu. Apalagi,
sekarang, aku menggenggam sebuah kadigdayan yang luar biasa. Aku bisa
membangun angin lesus. Aku bisa membuat porak-poranda negara yang
membangkang dan tidak mau tunduk menjadi bagian dari Tarik,” 9 2 ucap
Gajah Mada.
Dharmadyaksa Kasogatan Dang Acarya Nadendra memandang
Gajah Mada dengan pandang mata aneh. Ia lakukan itu beberapa
kejap lebih lama. Mahamantrimukya sangat sadar bahwa pendapat dan
keinginannya itu sangat sulit dimengerti lawan bicaranya, dipandang
sebagai hal yang berlebihan atau tak masuk akal.
”Ceritakan, apa saja yang kauketahui tentang sosok bernama Ajar
Wintyasmerti itu? Jika kelak aku bertemu lagi dengannya, aku akan
memohon supaya diizinkan untuk ngangsu kawruh.93 Aku akan meminta
petunjuk dan diajari bagaimana cara melenyapkan diri dari pandangan
mata seperti apa yang tadi nyata-nyata telah kulihat dengan mata dan
kepalaku sendiri,” ujar Gajah Mada.
Masih tidak berkedip pandang mata Dang Acarya Nadendra.
Andai kemampuan melenyapkan diri dari pandangan mata itu
benar ada, Dang Acarya Nadendra melihat, sungguh itu merupakan
kemampuan yang sangat berbahaya. Pemilik kemampuan seperti itu
bisa menyalahgunakannya untuk tindakan kejahatan. Bisa digunakan
mencuri tanpa takut ketahuan. Jika pemiliknya memiliki kegemaran
mengganggu perempuan, ilmu menghilang itu bisa menjadi ancaman
mengerikan bagi para perempuan. Para gadis sungguh berada dalam
http://facebook.com/indonesiapustaka

keadaan berbahaya.
”Benar kau memiliki catatannya?” kajar Gajah Mada.

92
Tarik, tempat ibu kota Majapahit semula dibangun bernama Tarik
93
Ngangsu kawruh, Jawa, belajar
Sanga Turangga Paksowani 161

Nadendra mengangguk. Berbinar pandangan mata Gajah Mada.


”Bukan catatan orang,” jawab Prapanca atau Dang Acarya Nadendra.
”Aku mencatatnya dari penuturan orang yang ditularkan melalui dongeng
dari mulut ke mulut atau turun-temurun. Dari mana asal orang itu, tak
jelas. Ada yang menyebut Ajar Wintyasmerti berasal dari Lumajang. Ada
pula yang menyebut dari Blambangan.”
Gajah Mada mengerutkan dahi sambil mencermati.
”Lumajang?” tanya Gajah Mada.
”Ya,” jawab Dharmadyaksa Kasogatan Dang Acarya Nadendra.
Nama Lumajang disebut menyebabkan Gajah Mada segera teringat
apa yang pernah terjadi di tempat itu. Setidaknya, perjalanan sejarah
Majapahit mencatat, Lumajang dengan wilayah kekuasaan sebanyak tiga
juru94 pernah dibebaskan Raden Wijaya untuk berdiri menjadi negara
merdeka sebagai balas jasa yang dijanjikan Raden Wijaya kepada Banyak
Wide atau yang lebih dikenal dengan sebutan Arya Wiraraja.
Sekian tahun sebelumnya, ketika Raden Wijaya terlunta-lunta dalam
pelariannya, ia ditolong Arya Wiraraja yang ketika itu menjabat sebagai
bupati di Sungenep. Raden Wijaya sama sekali tidak sadar bahwa Arya
Wiraraja adalah salah seorang yang sebenarnya harus bertanggung jawab
terhadap kematian mertuanya dan istana Singasari yang dijarah serta
dibakar sampai hangus.
Namun, kekuasaan yang sempat terbelah itu berhasil disatukan
kembali. Lumajang kini telah bergabung kembali dengan Majapahit.
Gajah Mada yang telah mengupayakan agar Lumajang kembali ke
pangkuan Majapahit.
Setelah Banyak Wide meninggal, para ahli warisnya dipanggil
http://facebook.com/indonesiapustaka

ke Majapahit. Kekuatan Majapahit yang menjadi besar menyebabkan


keturunan Banyak Wide tak ada yang berani bersikukuh mempertahankan

94
Tiga juru, yang dimaksud mungkin tiga wilayah (negara bawahan) kekuasaan
162 Gajah Mada

Lumajang karena dengan terang-terangan, Gajah Mada mengancam akan


mengirim pasukan segelar sepapan jika Lumajang mencoba menolak ajakan
penyatuan kembali itu.
”Pertama kali, kemunculan orang bernama Ajar Wintyasmerti itu,” Dang
Acarya Nadendra berkata, ”adalah bersamaan dengan pemberontakan
yang dilakukan Cayabhaya terhadap kekuasaan Kertanegara. Kertanegara
dianggap telah bertindak tidak adil kepada para wredha mantri. Padahal,
pengabdian dan jasa mereka pada pemerintahan Raja Batara Narasinga
sedemikian besar. Para wredha mantri tersebut, di antaranya adalah
Mahapatih Raganata, Demang Wiraraja, Temenggung Wirakreti, dan
Pujangga Santasmerti. Ajar Wintyasmerti muncul ketika pemberontakan
Cayabhaya dirasa telah membahayakan negara. Setidaknya, Ajar
Wintyasmerti telah menyelamatkan negara sekaligus menjewer telinga
Sri Kertanegara melalui tindakan yang dilakukannya dalam melindungi
Patih Raganata dari bahaya.”
Gajah Mada terkejut. Ia merasa belum memiliki keterangan macam
itu. Patih Raganata dilorot dari jabatannya memang benar, tetapi berada
dalam bahaya?
”Ada sekelompok orang yang memusuhi Patih Raganata. Mereka
adalah wajah-wajah baru pejabat istana yang menginginkan terjadinya
perubahan. Tidak puas karena nama-namanya disebut sebagai orang-orang
baru yang amat bernafsu, kelompok ini mengupah orang untuk menghabisi
rombongan Patih Raganata dan keluarganya. Namun, sebuah angin lesus
berukuran besar mengobrak-abrik orang-orang yang ingin membunuh
Patih Raganata tersebut,” Dang Acarya Nadendra menjelaskan.
Mahapatih Gajah Mada manggut-manggut amat pendek. Kepalanya
bahkan tidak terlihat bergerak. Matanya tak berkedip.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Bagaimana cara Ajar Wintyasmerti itu meredam pemberontakan


Cayabhaya? Kalau tidak salah pemahamanku, sosok Cayabhaya itu
lebih mengarah ke perampok daripada pemberontak” lanjut Mahapatih
Gajah Mada.
Dang Acarya Nadendra merapikan jubahnya.
Sanga Turangga Paksowani 163

”Kenyataannya, perampok bernama Cayabhaya itu berhasil


memanfaatkan kesempatan. Saat banyak orang sedang marah,
kemarahan itu dihimpun Cayabhaya dan berhasil diwadahi menjadi
sebuah kekuatan yang bisa membahayakan. Perbuatannya itu mirip
dengan apa yang dilakukan Ken Arok yang juga sama-sama berasal
dari seorang perampok, hanya nasibnya yang berbeda. Ken Arok
berhasil merobohkan pilar istana Kediri dan membunuh Kertajaya
dalam peperangan itu. Sebaliknya, pasukan yang dipimpin Cayabhaya
kocar-kacir dihadang beliung yang melintas. Konon, perampok itu
bernasib menyedihkan. Ia mati dengan wajah tak lagi bisa dikenali karena
dikeroyok ratusan ekor kelawar raksasa atau kalong yang beterbangan di
atas pertempuran yang terjadi. Kelelawar raksasa itu jumlahnya ribuan,”
ujar Nadendra.
Gajah Mada terhenyak, ”Kelelawar? Kalong?”
Dang Acarya Nadendra mengangguk.
”Kemunculan angin lesus itu menjadi pertanda, Ajar Wintyasmerti
meninggalkan jejaknya di sana. Namun, tak jelas apa ribuan ekor kalong
itu juga berada dalam kendalinya,” jawab Dang Acarya Nadendra.
Gajah Mada berpikir keras. Mendadak, Gajah Mada terbelalak
karena teringat pada sebuah peristiwa.
”Kelalawar?” meletup Mahamantrimukya.
Prapanca mengangguk.
Gajah Mada memejamkan mata dalam rangka memutar kenangan
yang sudah menjadi bagian dari masa lalu. Namun, Gajah Mada merasa
tidak yakin, meski puluhan tahun yang lalu, saat ia masih seorang
prajurit rendahan, bahkan belum menjadi bagian dari pasukan khusus
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bhayangkara, pernah menyaksikan keajaiban yang luar biasa.


Saat itu, di Ganding, sebuah pedukuhan kecil yang berada tidak jauh
dari arah Pasuruan dan merupakan jalan yang pasti dilewati jika bepergian
ke Pajarakan di wilayah Lumajang, Gajah Mada harus menyelamatkan
diri dengan lari sekencang-kencangnya, lalu menceburkan diri ke
164 Gajah Mada

kolam bekas mandi para kerbau ketika barisan kelelawar lewat. Ukuran
kelalawar itu beberapa kali lebih besar daripada lawa95 sehingga ia disebut
kalong.
Gajah Mada membuka matanya kembali. Lalu, ia berkata, ”Aku
pernah bertemu barisan kalong yang boleh diibaratkan berkekuatan
segelar sepapan. Mereka terbang bersama-sama, berarakan menuju ke
arah yang sama. Namun, aku tidak melihat penggembalanya. Aku tidak
melihat orang bernama Ajar Wintyasmerti itu.”
Prapanca tersenyum, pandangan matanya menerawang.
”Aku juga pernah melihat, jumlahnya tak terhitung, tetapi tidak di
pulau Jawa ini,” ucapnya.
Gajah Mada mengerutkan kening dan melirik Prapanca.
”Di mana?” tanya Gajah Mada.
”Tempat itu bernama Maros,” jawab Prapanca.
Gajah Mada merasa belum pernah mendengar nama itu.
”Di mana Maros itu?” tanyanya.
Dharmadyaksa Kasogatan Dang Acarya Nadendra di masa mudanya
adalah orang yang penuh rasa ingin tahu. Dan, ia salurkan itu dengan
melakukan perjalanan mengunjungi banyak negeri. Ia menghimpun
banyak keterangan dari semua orang yang ia kenal. Keterangan yang ia
peroleh, kemudian disimpannya di rontal-rontal.
Dharmadyaksa Kasogatan Dang Acarya Nadendra pernah berkeliling
dari ujung dunia paling barat hingga ke timur. Bumi Maros yang ia kunjungi
itu berada di sebuah pulau besar di seberang lautan sebelah utara pulau Jawa.
Membutuhkan waktu nyaris sebulan untuk mendatangi tempat itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Di tempat itulah, Prapanca menemukan kalong-kalong berukuran


sangat besar. Sedemikian besar binatang berlengan ayun itu sampai ada

95
Lawa, Jawa, nama lain kelelawar. Lawa ijo dalam kisah Nagasasra dan Sabuk Inten karya SH Mintardja
berarti kelelawar hijau.
Sanga Turangga Paksowani 165

yang nyaris menyamai ukuran tubuh bayi, sayapnya membentang lebih


panjang dari tangan laki-laki yang dibentangkan. Wajah binatang itu
mirip wajah anjing. Matanya berwarna merah, menyebabkan Prapanca
benar-benar merasa ngeri ketika pertama kali melihatnya.
”Apa itu berarti, penggembala kelelawar itu sampai ke tempat yang
kaudatangi itu?” tanya Gajah Mada.
Prapanca mencoba mengenang. Pelan, ia menggeleng.
”Yang aku lihat itu hanya binatang biasa. Tidak ada yang luar biasa
pada binatang itu. Tidak aku lihat ada orang yang menggembalakannya.
Namun, aku sulit memahami mengapa binatang itu tinggal dan berkumpul
di sebuah tempat bagaikan sebuah masyarakat. Tidak ada gua di sekitar
tempat itu,” jawab Prapanca.
Udara mengalir dingin, memberi kesempatan kepada dua orang
itu untuk masuk ke wilayah kenangannya. Namun, Gajah Mada tidak
membiarkan diri terlalu larut. Gajah Mada merasa harus memusatkan
diri pada persoalan yang dibawanya.
”Apa arti nama Ajar Wintyasmerti itu?” tanya Gajah Mada.
Nadendra mengembalikan arah pandangnya yang sempat
teralih.
”Aku tidak tahu,” jawabnya.
”Menurut perasaanku,” kata Mahamantrimukya, ”jarak antara
Santasmerti dan Wintyasmerti tidak terlalu jauh. Apa mungkin Ajar
Wintyasmerti masih bersaudara dengan Brahmana Santasmerti?”
Sama dengan Gajah Mada, pertanyaan itu memang telah lama
menggoda hati Dang Acarya Nadendra.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Selama ini, aku digoda pertanyaan itu,” jawab Empu Prapanca.


166 Gajah Mada

14
P agi yang datang adalah pagi dengan keadaan yang sangat bertolak
belakang dari malam sebelumnya. Langit sangat cerah dengan warna
biru jernih di sepanjang mata memandang. Kehidupan pun berjalan
sebagaimana biasa, tidak seperti semalam saat sebagian orang merasa
waktu akan segera berhenti karena kiamat sejenak lagi segera tiba.
Sang Mahamantrimukya Rakrian Mahapatih Gajah Mada melihat
sisa dari yang terjadi semalam sungguh luar biasa. Dari para prajurit, ia
memperoleh banyak laporan tentang rumah-rumah yang rusak atapnya,
beberapa bahkan roboh diterjang angin.
Lewat para pejabat di barisan Sang Panca Ri Wilwatika, Mahapatih
Gajah Mada menyalurkan perintah untuk menolong mereka. Bantuan
berupa makanan dan bahan-bahan untuk memperbaiki rumah-
rumah yang rusak segera disalurkan. Dan, di sela kesempatan yang ia
miliki, Gajah Mada menyempatkan mengunjungi tempat semalam ia
membangkitkan kemampuannya. Namun, Gajah Mada terkejut melihat
ada orang lain yang mendahuluinya datang ke tempat itu.
”Kamu sudah berada di sini?” sapa Gajah Mada.
Gajah Sagara berbalik dan bergegas menjemput orang yang amat
ia hormati itu.
”Kemarin, di tempat ini masih ada sebuah rumah, kini tidak ada
lagi, Paman,” ucap Sagara.
Gajah Mada segera menyebar pandangan matanya memerhatikan
http://facebook.com/indonesiapustaka

tempat itu. Gajah Mada tidak kuasa menahan diri untuk tidak takjub
melihat jejak yang ditinggalkan angin lesus yang luar biasa itu. Tanah
yang dilewati angin lesus itu tergali dan membentuk sumur di tempat
itu. Sumur itu kini tergenangi air sisa hujan.
”Kamu sudah bercerita kepada siapa saja?” tanya Gajah Mada.
Sanga Turangga Paksowani 167

Gajah Sagara memandang Gajah Mada dengan tatapan sedikit


bingung. Namun, Gajah Sagara menggeleng. Itu karena ia merasa
memang tidak pernah bercerita kepada siapa pun. Gajah Mada mengenal
Gajah Sagara dengan baik. Ia anak sahabatnya. Ia tahu jika Gajah Sagara
mengatakan tidak, berarti memang tidak.
”Jika ada yang bertanya apa yang terjadi pada rumah ini dan
bagaimana nasib para penghuninya, harus dikatakan rumahnya memang
diterjang lesus. Jangan sebut aku terlibat dan mendalangi angin lesus
itu,” kata Gajah Mada.
Gajah Segara mencuatkan alis. Namun, Gajah Sagara tidak
memberikan pendapatnya. Ketika Gajah Sagara melirik sekilas, ia melihat
mata yang berbinar di raut wajah Gajah Mada. Sama sekali tidak tampak
penyesalan di wajah itu. Padahal, ada dua nyawa yang menjadi korban
perbuatan Gajah Mada semalam. Rupanya, Mahapatih Gajah Mada
menganggap kematian penghuni rumah yang hilang jejaknya itu sebagai
hal yang tak berarti dibandingkan dengan betapa penting kemampuan
yang sekarang dimilikinya.
”Paman tidak menyesal?” pertanyaan itu terlontar begitu saja bagai
tanpa ditimbang.
Namun, Gajah Sagara tidak melihat perubahan raut muka Gajah
Mada yang menjadi marah atau tidak senang. Gajah Mada bahkan
tersenyum.
”Menyesali apa?” tanya Gajah Mada.
Tanpa ragu, Gajah Sagara berucap, ”Paman telah menyebabkan dua
orang mati melalui kejadian semalam.”
Gajah Mada tidak menggeleng juga tidak mengangguk. Pusat
http://facebook.com/indonesiapustaka

perhatiannya tercurah pada keinginannya untuk menghadirkan kembali


pusaran angin itu. Pusaran angin yang benar-benar dahsyat dan nyaris
menghancurkan istana serta bisa mencederai keluarga raja.
”Mereka mati karena kecelakaan, rumahnya diterjang lesus,” jawab
Gajah Mada.
168 Gajah Mada

Gajah Sagara merasa tidak puas dengan jawaban itu. Namun, ia


tidak berani mengejar dengan pertanyaan lain, apalagi pertanyaan yang
berbau gugatan.
Dalam hening masing-masing, Gajah Mada dan Gajah Sagara tiba-
tiba terlonjak. Sebuah suara yang amat dikenali menyapa gendang telinga
meraka. Namun, suara itu bukan isyarat tanda bahaya.
”Isyarat apa itu?” tanya Gajah Mada.
Melalui pendidikan bersifat khusus yang pernah dijalaninya, Gajah
Sagara tahu isyarat khusus yang lahir dari bende Kiai Samudra yang
bergetar itu adalah pertanda istana kedatangan tamu sangat penting.
Gajah Mada sedikit terlambat menyadari.
”Ada tamu penting?” tanyanya.
Gajah Sagara mengangguk, ”Benar, Paman.”
”Ayo, kita pulang,” ajak Gajah Mada.
Belum lama Sang Mahantrimukya Rakrian Mahapatih Mpu Mada
dan Gajah Sagara mengayun langkah, dari kejauhan tampak seekor
kuda yang dipacu dengan terburu-buru. Rupanya, prajurit itu membawa
tugas menjemput Gajah Mada. Sigap, prajurit itu meloncat turun dan
memberikan penghormatannya ketika sudah dekat.
”Ada apa?” Gajah Mada langsung pada pertanyaannya.
”Temenggung Nala telah kembali, Gusti Patih,” jawab prajurit
itu.
Meluap dan bergetar isi dada Gajah Mada memperoleh laporan
yang telah lama ia tunggu itu.
”Di mana dia sekarang?” tanya Gajah Mada.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Bale Manguntur, kedatangannya telah dilaporkan kepada Sang


Prabu Hayam Wuruk,” jawab prajurit itu lagi.
Gajah Mada bergegas mendekat.
”Kupakai kudamu,” kata Gajah Mada.
Sanga Turangga Paksowani 169

Prajurit itu sigap memberi penghormatan dan menyerahkan kudanya.


Meski sudah berusia di pertengahan abad, Gajah Mada masih memiliki
ketangkasan yang tidak bisa diremehkan. Caranya melompat ke punggung
kuda dan bagaimana ia memacu amat kencang kuda itu, menjadi tanda
Gajah Mada memang mumpuni.
Tak ada debu tebal di belakang Gajah Mada karena debu kemarin
telah menjadi bubur pagi ini. Gajah Mada langsung menuju Tatag
Rambat Bale Manguntur dan mendapati Temenggung Nala sedang
dikerubuti beberapa perwira prajurit yang menyalaminya dan memberi
selamat. Melihat itu, Gajah Mada merasa lega. Agaknya, tugas yang
diemban Temenggung Nala berhasil dilaksanakan dengan baik. Melihat
Mahamantrimukya datang, para perwira itu menyibak. Senopati Macan
Liwung segera menempatkan diri menyiapkan para perwira itu untuk
langsung bersikap baris.
Gajah Mada mendekati Temenggung Nala sambil tersenyum lebar.
Temenggung Nala pun menyambutnya.
”Senyummu sudah mewakili apa pun yang akan kauceritakan, Nala,”
berkata Mahapatih Gajah Mada.
Temenggung Nala tertawa pendek. Senyumnya menampakkan
barisan giginya yang tertata putih dan rapi. Nala adalah prajurit muda
dengan kemampuan langka. Gajah Mada menemukan pemuda itu dalam
pendadaran dan langsung ia tandai. Tak banyak calon prajurit yang
mampu berenang melintas Tambak Segaran. Namun, Nala mampu
melakukan dengan baik.
Atas pertimbangan kemampuan khusus di air itu, Gajah Mada
memberinya kesempatan untuk menjadi pucuk pimpinan pasukan
berkekuatan kecil yang membawahi hanya sekapal prajurit. Akan
tetapi, sepak terjang dan kemampuan Nala benar-benar membuatnya
http://facebook.com/indonesiapustaka

tercengang. Nala adalah sosok yang luar biasa dalam tugas penyusupan,
penghasutan, dan penghancuran. Nala juga terdepan dalam penyelamatan
mereka yang terluka. Kelebihan itu membawa Nala menapaki jabatan
sebagai pucuk pimpinan armada timur dengan wilayah jelajah seluas
separuh Majapahit. Sedangkan, armada barat untuk sementara berada di
170 Gajah Mada

bawah kendali Gajah Mada secara langsung sambil melihat apa Senopati
Prawira Jalasenastri, seorang senopati muda yang sebaya dengan Nala,
layak dinaikkan pangkatnya menjadi temenggung.
Jika Jalasenastri dipandang mampu, Gajah Mada dan Hayam
Wuruk telah siap mengambil keputusan untuk menaikkan pangkatnya
dari senopati menjadi temenggung. Lompatan kenaikan pangkatnya itu
pasti akan membuat iri para perwira lain yang masih berada di tataran
senopati.
Akan tetapi, Gajah Mada dan Hayam Wuruk tidak peduli andai
ada yang keberatan. Dari sisi kemampuan, Prawira Jalasenastri memang
luar biasa. Sejak menjadi bagian prajurit laut Majapahit, tampak betapa
Prawira Jalasenastri memiliki kemampuan di atas rata-rata. Ketika diberi
kesempatan untuk memimpin sebuah kelompok kecil dan melaksanakan
sebuah tugas, Jalasenasri mampu menuntaskan dengan sangat bagus,
demikian pula dengan penugasan-penugasan selanjutnya. Secara pribadi,
Nala dan Jalasenastri menjalin hubungan persahabatan yang sangat
baik.
Jalasenastri saat ini berada di Dharmasraya, diperbantukan di negeri
di Sijunjung itu karena Aji Mantrolot96 sedang banyak menghadapi
masalah.
”Semua tugas telah aku selesaikan dengan baik, tanpa ada sisanya.
Dompo telah ikut mengibarkan panji-panji gula kelapa, lambang negara
cihna gringsing lobheng lewih laka, dan mengakui Sang Prabu Rajasanegara
sebagai rajanya, dengan jumlah korban tak seberapa karena pada saat-saat
terakhir, perang bisa dihindari,” Nala memberikan laporannya.
Gajah Mada memegang pundak Temeng gung Nala dan
memerhatikan tubuh pemuda gagah perwira yang layak menjadi idaman
http://facebook.com/indonesiapustaka

gadis-gadis itu.
”Hadiah apa yang kau kehendaki untuk keberhasilan tugasmu yang
luar biasa ini?” tanya Gajah Mada.

96
Aji Mantrolot, gelar Aditiawarman
Sanga Turangga Paksowani 171

Temenggung Nala tersenyum tersipu, menyebabkan para perwira


yang hadir di halaman Bale Manguntur itu tertawa, sebagian bertepuk
tangan.
”Akan kuhadiahkan seorang istri untukmu,” kata Gajah Mada
dengan raut muka bersungguh-sungguh.
Raut wajah yang demikian menyebabkan Nala bingung. Ia curiga,
Gajah Mada benar-benar akan menghadiahinya seorang istri.
”Aku sudah memiliki calon istri,” kata Nala.
”Tak masalah kau memiliki lebih dari satu,” jawab Gajah Mada
dengan raut muka bersungguh-sungguh yang membuat Nala bingung.
Gajah Mada melepas pegangan tangannya dari pundak Nala dan
kembali menyapu tubuh pemuda berpangkat temenggung itu dari ujung
kepala hingga ke kakinya. Ketika Gajah Mada kemudian tersenyum
bagai orang geli, tahulah Nala, soal hadiah istri itu hanya sebuah
canda.
”Laporan apa saja yang akan kauberikan kepadaku?” tanya Gajah
Mada.
Temenggung Nala membatalkan memberikan jawaban ketika
dilihatnya pintu yang menghubungkan Pagelaran Bale Manguntur
dengan istana raja terbuka. Dari arah itu, tampak Prabu Hayam Wuruk
berjalan diiringi beberapa prajurit dan dayang-dayang. Melihat itu, sigap
Gajah Mada membawa Nala dan para perwira yang ada naik ke Tatag
Rambat dan bergegas menempatkan diri di pasewakan kecil yang digelar
mendadak itu.
Dipimpin Sang Mahamantrimukya Rakrian Mahapatih Gajah Mada,
para perwira bersikap menyembah ketika Raja telah menempatkan diri
http://facebook.com/indonesiapustaka

berdiri di depan para perwira itu. Hayam Wuruk menolak ketika seorang
abdi pengiringnya menggagas membuka kain penutup Bale Witana dan
mempersilakan Sang Prabu untuk masuk.
”Aku berdiri saja,” kata Hayam Wuruk Rajasanegara mempertegas
penolakannya.
172 Gajah Mada

Seluruh perhatian ditujukan kepada Temenggung Nala. Semua


menunggu cerita macam apa yang akan disampaikan Temenggung
Nala.
”Hamba menghaturkan sembah, Sang Prabu,” kata Nala mengawali.
Temenggung Nala merapatkan kedua telapak tangannya dan
merapatkannya, lalu membawa telapak tangan itu ke ujung hidung.
Dengan senyum senang, Prabu Hayam Wuruk mengangkat
tangannya. Itu berarti, Sang Prabu mempersilakan Temenggung Nala
untuk berbicara banyak.
”Hamba, Sang Prabu,” tambah Nala. ”Berkat petunjuk dan
berkah dari Sang Prabu, hamba dan pasukan hamba telah berhasil
mengalahkan Dompo dan menyadarkan raja di wilayah itu untuk mau
menyatu dengan Majapahit. Hamba berhasil mengajak Raja Dompo
untuk bersedia menghadap Sang Prabu. Bersama Raja Dompo, ikut
pula empat gadis cantik dari Dompo. Barangkali, Sang Prabu berkenan
mengambil mereka.”
Prabu Hayam Wuruk Rajasanegara tersenyum. Dengan pandangan
yang susah ditebak maknanya, Prabu Hayam Wuruk melirik Gajah
Mada.
”Kamu pulang dengan mengajak Raja Dompo?” tanya Hayam
Wuruk.
Nala agak bingung.
”Hamba, Sang Prabu. Hamba telah berhasil mengajaknya,” jawab
Nala.
Hayam Wuruk kembali tersenyum.
”Mengajak apa memaksa?” tanya Sang Prabu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pertanyaan itu menyebabkan Nala tidak tahu harus berkata apa.


Melihat itu, Mahapatih Gajah Mada tertawa.
”Nala menjawab tidak jujur, Sang Prabu,” kata Gajah Mada. ”Nala
tidak mengajak Raja Dompo dengan sukarela, tetapi pasti ia lakukan
Sanga Turangga Paksowani 173

itu dengan memaksa. Raja Dompo ditodongnya dengan senjata yang


melekat di punggung.”
Temenggung Nala tersenyum. Namun, ia harus menyembunyikan
senyum itu rapat-rapat.
”Kuhargai apa yang telah kaukerjakan, Kakang Temenggung Nala,”
kata Hayam Wuruk. ”Lalu, di mana tamu-tamu penting yang akan datang
itu sekarang?”
Pertanyaan itu juga menjadi pertanyaan yang ingin dilontarkan
Mahapatih Gajah Mada dan ingin segera diketahui jawabanya oleh
para perwira yang lain. Senopati Macan Liwung memerhatikan wajah
Temenggung Nala dengan penuh kekaguman. Macan Liwung adalah
prajurit pilih tanding dan berpengalaman di dalam banyak medan
pertempuran. Namun, ia masih terkagum-kagum melihat kemampuan
Temenggung Nala. Meski masih muda, Nala sudah seorang temenggung,
pangkat yang setingkat lebih tinggi dari senopati. Namun demikian,
Senopati Macan Liwung sama sekali tidak merasa iri, meski pangkat
dan jabatannya dilampaui.
”Hamba, Tuanku,” jawab Nala. ”Armada pasukan hamba saat ini
sedang membuang jangkar di Ujung Galuh. Sementara itu, tamu-tamu
yang hamba sebut tadi, hamba minta untuk menunggu di luar batas
kotaraja sampai Sang Prabu berkenan menerima mereka. Atau, hamba
akan mengirim mereka kembali ke tempat asalnya.”
Tangkas Hayam Wuruk menjawab, ”O, jangan, aku akan menerima
tamu-tamu itu sebagai tamu terhormat. Perlakukan mereka dengan baik
sebagai tamu negara dan gelar penyambutan sebagaimana layaknya.”
Nala yang melirik mendapati Gajah Mada mengangguk menyetujui.
”Hamba, Tuanku,” kata Nala. ”Di samping tamu-tamu penting dari
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dompo itu, hamba juga bersama dengan seorang brahmana dari Bali.
Dalam perjalanan pulang, hamba menyempatkan singgah di Carik
Sideman. Kebetulan Brahmana Smaranatha berniat berkunjung ke Tarik.
Beliau menumpang di kapal hamba dan saat ini sedang menemani para
tamu dari Dompo.”
174 Gajah Mada

Mendapat laporan itu, mata Hayam Wuruk berbinar. Hayam Wuruk


menoleh kepada Gajah Mada.
”Mungkinkah aku meminta agar besok digelar pasewakan?” tanya
Hayam Wuruk.
”Hamba, Tuanku,” jawab Gajah Mada sigap. ”Hamba akan
memerintahkan itu.”
”Aku akan memberi anugerah kepada Kakang Temenggung Nala
karena jasanya yang luar biasa sekaligus aku akan menggelar jamuan
pasugatan97 kepada para tamu dari Dompo itu agar mereka melihat betapa
Majapahit benar-benar berniat baik dengan ajakan untuk menyatu, agar
mereka tahu, kita menempatkan mereka sebagai tamu agung, bukan tamu
yang telah dikalahkan. Mereka kita undang untuk datang ke tempat ini
tidak untuk dipermalukan,” kata Hayam Wuruk.

15
P erahu itu tak seberapa besar dan layarnya pun tidak sedang
terkembang. Perahu itu terapung-apung tanpa daya dipermainkan ombak.
Ke mana pun ombak bergerak, perahu itu tidak mungkin menolak.
Kebetulan ombak sedang bergerak ke barat dan membawa perahu itu
ke suatu tempat di arah matahari tenggelam, entah di mana.
Seorang laki-laki tergeletak di dalamnya. Tarikan napasnya
http://facebook.com/indonesiapustaka

menjadi pertanda, orang itu sedang kehilangan kesadarannya. Mimpi


membawanya entah ke mana. Ombak yang bergerak perlahan mungkin
malah meninabobokan, menyebabkan ia lebih lama berada di ruang
ketidaksadarannya.
97
Pasugatan, Jawa, suguhan makan
Sanga Turangga Paksowani 175

Gelap tidak lagi gulita karena perjalanan malam telah sampai ke


ujungnya. Langit timur yang semula tampak menerawang akhirnya
makin benderang. Langit tampil gagah dengan warna merah, seolah
siap membakar apa pun. Namun, matahari yang akan muncul bukanlah
matahari yang kejam. Sepanas apa pun udara yang ia berikan, tidak akan
sampai membakar. Kehangatanlah yang ia berikan ketika menyembul
dan mulai memanjat.
Udara hangat itu pula yang membangunkan orang dalam perahu
itu. Orang itu sangat terperanjat. Ia bingung menghadapi keadaan di
sekitarnya.
”Di mana aku?” tanya orang itu kaget.
Tak ada yang menjawab karena ia sedang sendiri. Laki-laki itu
berusaha sekuat tenaga memahami apa yang tersaji di depannya. Namun,
berusaha sekuat apa pun, rupanya ia tak berhasil menemukan jawabnya
kecuali satu hal, kini, ia memiliki nama Sedatu. Nelayan yang tinggal di
tepian Alas Roban memberinya nama Riung Sedatu.
Riung Sedatu memerhatikan sekitarnya. Ketika pandang matanya
diarahkan ke utara, ia tidak melihat apa pun di sana kecuali garis laut
yang memanjang dari timur ke barat. Riung Sedatu segera berbalik. Riung
Sedatu beruntung karena meski lumayan jauh, terlihat punggung bukit
yang memanjang dari timur ke barat. Dengan demikian, ia tidak perlu
bingung ke mana menentukan arah.
”Belakangku selatan, depanku utara, kananku timur, dan di sana
barat,” ucap Sedatu kepada diri sendiri.
Riung Sedatu merasa tak berkepentingan dengan berada di tengah
laut itu. Laki-laki yang masih merasa kehilangan sebagian masa lalunya
itu memerhatikan benda apa saja yang ada dalam perahu. Hanya ada
http://facebook.com/indonesiapustaka

sebuah dayung dan beberapa peralatan untuk mencari ikan di laut, di


antaranya adalah sebuah tombak bertali dengan ujung berkait.
”Perahu siapa pula ini?” tanya Sedatu kepada diri sendiri.
Perahu yang membawanya hanyut ke tengah laut itu jelas bukan
perahu Bandar Guris. Riung Sedatu mencoba mengenang, barangkali
176 Gajah Mada

perahu itu pernah dilihatnya di tepian pantai Alas Roban. Akan tetapi,
seingatnya, tidak satu pun penduduk Alas Roban yang memiliki perahu
yang terlihat masih baru itu. Selama lebih dari sepekan tinggal di Alas
Roban, ia nyaris berkenalan dengan semua penduduknya dan datang
mengunjungi rumah di tepian pantai itu satu per satu. Ia tidak peduli
meski Bandar Guris mencegahnya.
”Apa yang aku alami di Alas Roban aku ingat,” ucapnya kepada
diri sendiri. ”Akan tetapi, aku tak ingat apa yang terjadi selanjutnya.
Ada bagian yang hilang dari benakku, terutama apa yang terjadi setelah
itu.”
Perlahan, Riung Sedatu menggerakkan dayungnya menuju selatan
sambil tidak henti-hentinya menikmati rasa kaget yang menerjangnya.
Riung Sedatu bergegas mengikat kuat-kuat otot jantungnya ketika melihat
ikan berukuran amat besar melintas di bawahnya. Akan tetapi, seganas
apa pun, ikan dengan panjang tiga kali ukuran perahu itu tak berminat
memangsa perahu yang terbuat dari kayu itu. Tentu karena kayu bukan
jenis makanan yang enak. Penumpangnya yang bernama manusia juga
bukan jenis makanan yang enak.
Setidaknya, ikan besar itu masih menyimpan kenangan ketika
beberapa tahun sebelumnya pernah memangsa manusia yang terjatuh
dari kapal. Daging manusia tidak lezat baginya, masih kalah lezat dari
daging ikan kenyar.
Didorong rasa takut ikan besar itu akan kembali, Riung Sedatu
mengayuh dayung sekuat-kuatnya, membawa perahunya makin menepi.
Namun, tempat ia berada bukanlah jarak yang pendek jika diukur dari
pantai di arah selatan.
”Kelelawar,” gumam Sedatu yang mendadak terkejut.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Riung Sedatu yang menemukan jejak segera memusatkan perhatian


untuk mengenang apa yang terjadi di Alas Roban, terutama saat ia
melihat barisan kalong. Saat itu, ia sedang bersama Sanjara, penduduk
Alas Roban yang menawarkan pekerjaan kepadanya.
Riung Sedatu berpikir amat keras.
Sanga Turangga Paksowani 177

”Ada yang hilang dari kenanganku,” desisnya penuh sesal.


Sedatu tidak menemukan celah apa pun yang bisa digunakan untuk
menemukan jejak yang hilang. Dengan sekuat tenaga, Sedatu menggenjot
tenaganya dan mengayuh dayung sekuat-kuatnya.
Keringatnya bagai diperas ketika akhirnya ia sampai ke pantai. Ada
banyak nelayan di pantai itu dengan segala kegiatannya. Sedatu melihat
ada pasar, ada orang yang sedang memperbaiki perahu bocor, juga ada
orang yang sedang membuat jaring. Dengan ayunan langkah ragu, Sedatu
mendekati seorang lelaki yang sedang menyendiri.
”Boleh numpang bertanya, Kiai?” tanya Sedatu.
Orang yang sedang duduk bersandar pohon kelapa itu menoleh.
”Ya?” balasnya.
Riung Sedatu menoleh ke belakang dan menyebar pandangan
matanya. Ia mencoba mengenali tempat itu.
”Apa nama tempat ini?” tanyanya.
Pertanyaan Sedatu dengan logat bahasa yang agak aneh itu
menyebabkan orang yang duduk bersandar pohon kelapa itu bangkit
dan membalas dengan memerhatikan lebih cermat.
”Kau bukan orang sini?” balas orang itu.
Sedatu mengangguk dan bergegas menerima keramahan lawan
bicaranya yang mengulurkan tangan mengajak berjabat tangan.
”Losari,” ucap orang itu.
Riung Sedatu mengira orang itu bernama Losari.
”Kiai Losari?” tanya Sedatu lagi.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Lelaki yang sedikit lebih tua itu tersenyum. Senyumnya lebar karena
merasa agak geli.
”Tempat ini bernama Losari, kalau namaku Enjang Parayun,” balas
orang itu.
178 Gajah Mada

Sedatu merasa nama itu nama yang aneh, tetapi ketika ia merenungkan
di mana letak keanehan nama itu, Sedatu tidak menemukan.
”Namaku Riung Sedatu,” balasnya.
Enjang Parayun mengerutkan kening.
”Namamu aneh,” katanya.
Riung Sedatu segera tersenyum mendapati orang itu menyimpan
isi hati yang sama. Namun, rasa penasaran Sedatu memerlukan obat,
memerlukan jawaban segera.
”Dari sini, di manakah letak Alas Roban?” tanya Sedatu.
Enjang Parayun mengerutkan kening.
”Kamu berasal dari Alas Roban?” balas Enjang Parayun.
Riung Sedatu ingin mengatakan bahwa ia tidak berasal dari Alas
Roban. Namun, jika dibalas dengan jawaban itu, pasti akan menimbulkan
pertanyaan lain, pertanyaan yang aneh-aneh. Menjelaskan dirinya
kehilangan masa lalu merupakan bagian yang paling sulit.
”Benar, aku dari Alas Roban,” jawabnya.
Enjang Parayun termangu sambil manggut-manggut pendek.
”Rupanya, kau tersesat di laut dan ketika merapat ke daratan,
kau menepi di tempat yang salah. Alas Roban berada di timur, jauh
sekali di timur. Butuh beberapa hari dengan berkuda dan butuh dua
hari penuh menempuh perjalanan dengan menggunakan perahu yang
mampu bergerak paling cepat untuk sampai ke sana,” Enjang Parayun
menjelaskan.
Riung Sedatu bingung. Ia memejamkan mata. Melihat itu, Enjang
http://facebook.com/indonesiapustaka

Parayun memandang raut wajah Sedatu dengan lebih teliti.


Riung Sedatu yang termangu itu sedang berpikir atas apa yang
menimpa dirinya. Siapa dirinya yang sebenarnya dan dari mana ia berasal
adalah pertanyaan-pertanyaan yang amat mendesak untuk ditemukan
jawabnya. Akan tetapi, jangankan memusatkan perhatian untuk berupaya
Sanga Turangga Paksowani 179

menembus jejak hitam itu, kejadian-kejadian aneh yang menimpanya


pun tak diketahui bagaimana kejadiannya. Di Alas Roban, Riung Sedatu
merasa baru terlahir. Itu karena apa yang terjadi sebelumnya terhapus
sama sekali. Kini, dengan cara yang aneh dan amat sulit dipahami, ia
mendapati dirinya terbangun dari tidur di atas sebuah perahu, di tengah
laut.
Riung Sedatu yang mencermati diri sendiri itu mendapati perutnya
sedang lapar. Akan tetapi, bagaimana cara memperoleh makanan jika
ia tidak memiliki uang? Yang ia punya hanya apa yang melekat pada
tubuhnya. Atau, perahu? Perahu yang dibawanya itu milik siapa?
”Maukah kau membeli perahuku, Kisanak Enjang Parayun?” tanya
Sedatu agak ragu-ragu.
Enjang Parayun menoleh dan memerhatikan wujud perahu yang
ditawarkan itu.
”Kaujual perahumu?” tanya Enjang Parayun.
”Ya,” jawabnya. ”Aku lapar, aku butuh makan.”
Enjang Parayun berusaha mengukur nilai perahu itu. Laki-laki di
depannya jelas sedang kebingungan dan membutuhkan uang.
”Berapa kaujual perahumu?” tanya Enjang Parayun.
”Terserah, kaunilai berapa,” balas Sedatu.
Sedatu tak peduli berapa pun perahunya dibeli, toh, ia merasa tidak
membutuhkan benda itu. Kebutuhan perutnya lebih mendesak untuk
segera dicarikan pertolongan. Enjang Parayun mengeluarkan kampil dari
balik bajunya dan menyerahkan satu keping uang berwarna mengilat,
uang yang terbuat dari perak. Enjang Parayun menganggap nilai uang itu
sudah pantas dengan harga perahu. Enjang Parayun telah menghitung
http://facebook.com/indonesiapustaka

betapa murah harga perahu itu.


Dengan terheran-heran, Sedatu memerhatikan uang yang telah
berada di telapak tangannya.
”Uang apa ini?” tanya Sedatu dengan segenap rasa heran.
180 Gajah Mada

Enjang Parayun sedikit mendelik.


”Masih kurang?” tanya Enjang Parayun.
Namun, rupanya Riung Sedatu tidak sedang memerhatikan nilai
uang itu. Bentuk uang yang belum pernah dilihat itu yang mencuri
perhatiannya.
”Di negeri mana aku berada saat ini?” tanya Sedatu heran.
Enjang Parayun memerhatikan dengan saksama dan sedikit bingung.
Akan tetapi, Enjang Parayun segera curiga.
”Kau merasa sedang berada di mana, Kisanak Sedatu?” tanya
Enjang Parayun.
Riung Sedatu menggenggam uang yang diterimanya sambil menebar
pandangannya ke segala penjuru, ke kesibukan para nelayan, ke kesibukan
orang-orang yang berjual beli di pasar, ke raut wajah lelaki muda yang
sedang sibuk membuat jala ikan, juga ke wajah laut lepas yang baru saja
membuatnya bingung bukan kepalang, dan terakhir pandangan matanya
berhenti di wajah Enjang Parayun.
”Apakah tempat ini bukan wilayah Majapahit?” tanya Sedatu.
Enjang Parayun tersenyum karena merasa dugaannya benar.
”Kau berada di Galuh. Negeri Sunda Galuh,” Enjang Parayun
menjelaskan.
Riung Sedatu terbelalak.
”Kenapa?” tanya Enjang Parayun.
Namun, Riung Sedatu sedang sibuk dengan kekagetannya. Riung
Sedatu tak tahu dari mana asal kepanikannya. Akan tetapi, ketakutannya
benar-benar nyata. Keadaan aneh yang dialaminya jika tak segera
http://facebook.com/indonesiapustaka

disembuhkan dan dicari penyebabnya akan membuat ia tersesat makin


jauh. Baru kemarin ia merasa sedang berada di suatu tempat bernama
Alas Roban. Hari ini, ia berada di tempat yang berjarak amat jauh dan
memerlukan waktu lama untuk mendatanginya. Jika keadaan itu tak
diatasi, lalu bagaimana dengan besok dan besoknya lagi?
Sanga Turangga Paksowani 181

”Agaknya, ada rentang waktu yang tidak kusadari apa yang kuperbuat.
Jangan-jangan, keberadaanku di Alas Roban itu bukan kemarin, tetapi
telah berjalan berhari-hari lamanya,” kata Riung Sedatu dalam hati.
Enjang Parayun tahu, laki-laki di depannya sedang panik, terlihat
dari langkah kakinya yang mondar-mandir sambil menjambak-jambak
rambut. Riung Sedatu yang mendadak merasa sangat pusing itu
melangkah menjauh dan tidak peduli ia sedang berbicara dengan orang
yang baru dikenalnya serta terasa sangat tak pantas meninggalkannya
begitu saja.
Riung Sedatu duduk bersandar batang pohon jarak, menempatkan
diri berlindung dari panas bagaskara yang agak menyengat di bayangan
pohon pandan laut. Riung Sedatu memandang laut dengan tatapan mata
mulai berkaca-kaca. Dengan sekuat tenaga, lelaki itu berusaha menahan
diri agar jangan sampai menangis.
”Apa yang terjadi denganku?” kembali ia menanyai diri sendiri.
Enjang Parayun yang datang mendekat terkejut. Ia tidak menyangka
orang yang menjual perahu kepadanya itu sedang menyangga beban
yang amat berat.
”Agaknya, kau sedang menyimpan masalah, Kisanak?” tanya Enjang
Parayun dengan logat yang terasa aneh di telinga Sedatu.
Bergegas, Riung Sedatu membasuh basah di matanya. Namun, jelas
masih terlihat sisa jejaknya. Sedatu tersenyum.
”Maaf, Kisanak,” kata Sedatu. ”Aku batalkan niatku menjual perahu.
Kedatanganku ke tempat ini sangat salah. Aku harus kembali ke timur.
Aku harus pulang dan untuk pulang aku membutuhkan perahu.”
Riung Sedatu mengakhiri ucapannya dengan mengembalikan uang
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang semula di terimanya. Enjang Parayun menerima pengembalian uang


itu. Ia sama sekali tak menyesal batal memiliki perahu yang dapat dibeli
dengan harga murah itu.
”Benarkah tempat ini berada di wilayah Sunda Galuh?” tanya Sedatu
meyakinkan diri sendiri.
182 Gajah Mada

Enjang Parayun mengangguk.


”Ya,” jawabnya. ”Ibu kota Sunda Galuh berada di tempat bernama
Kawali yang berada di garis lurus ke arah selatan dari tempat ini.
Sebagaimana tadi aku menyebut, pelabuhan kecil ini bernama Losari.”
Sedatu merasa heran.
”Tempat ini pelabuhan?” tanya Riung Sedatu.
Enjang Parayun mengangguk.
”Para nelayan dari tempat ini dan juga dari tempat-tempat yang
lain menggunakan tempat ini untuk bertemu, berjual beli, berangkat,
dan pulang. Hari ini saja terasa sepi, biasanya ramai. Kalau kita berlayar
setengah hari terus ke selatan, kita akan sampai di sebuah pelabuhan yang
agak lebih besar bernama Rebon. Umumnya orang menyebut tempat
itu dengan sebutan Cairebon,” ujar Enjang Parayun sambil menunjuk
satu arah.
Riung Sedatu menghirup tarikan napas sangat panjang manakala
menyadari telah menempuh jarak yang begitu jauh. Sedatu akhirnya sadar,
di rentang waktu tertentu, ia berada dalam ketidaksadaran. Lenyapnya
semua kenangan yang terjadi sejak ia berada di pantai Alas Roban hingga
kini berada di sebuah tempat bernama Losari, tak jauh dari Cairebon,
menjadi pertanda berhari-hari lamanya, ia berada di rentang waktu
kehilangan kesadaran itu.
”Boleh aku mengetahui apa yang menimpamu, Kisanak Sedatu?”
tanya Parayun.
Riung Sedatu mengangguk. Dengan agak tersendat, ia mulai
bercerita semua yang di alaminya. Cerita yang menimbulkan rasa iba
di hati Enjang Parayun yang kemudian dengan amat ikhlas memberi
http://facebook.com/indonesiapustaka

bantuan. Tanpa meminta imbalan apa pun, Enjang Parayun memenuhi


perahu Riung Sedatu dengan perbekalan yang dibutuhkan.
Sanga Turangga Paksowani 183

16
T ak seorang pun yang tidak bekerja dengan penuh semangat.
Semua bekerja penuh semangat, ditandai itu dari peluh yang berleleran.
Apalagi, pekerjaan mengembalikan keutuhan dinding istana itu ditunggui
Ibu Suri Sri Gitarja dan Ibu Suri Dyah Wiyat.
”Apa pendapatmu?” tanya Sri Gitarja kepada adiknya.
”Tentang?” balas Dyah Wiyat.
”Angin lesus yang menerjang tempat ini semalam,” kata Sri Gitarja.
Dyah Wiyat menebar pandangan matanya sekaligus dengan
memutar tubuhnya.
”Aku hanya membayangkan apa jadinya jika angin lesus menerjang
istana. Jika dinding istana saja bisa dijebol seperti ini, bagaimana dengan
istana? Istana pasti hancur dan kita berada di dalamnya,” balas Dyah
Wiyat.
Sri Gitarja sependapat dengan adiknya. Angin lesus yang biasa
disebut beliung itu ternyata memiliki kekuatan melebihi kekuatan apa
pun. Dinding istana bisa dibuat jebol dan porak-poranda.
Sri Gitarja melambaikan tangannya, meminta Gajah Sagara datang
mendekat.
”Hamba, Tuan Putri Ibu Suri,” berkata Gajah Sagara dengan tidak
lupa memberikan sembahnya.
Sri Gitarja memerhatikan wajah Gajah Sagara yang tampan dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

tubuh yang kekar. Pemuda dengan penampilan demikian tentu menyita


perhatian para gadis yang berangan-angan bersuamikan dirinya.
”Aku tidak melihat ayahmu,” kata Ibu Suri Sri Gitarja.
Gajah Sagara merasa agak aneh. Apakah dengan demikian, kepergian
ayahnya ke istana Sunda Galuh tidak diketahui Ibu Suri Sri Gitarja?
184 Gajah Mada

”Hamba, Tuan Putri,” balas Gajah Sagara sigap. ”Ayah hamba saat
ini sedang melaksanakan perintah negara mendampingi dan mengawal
perjalanan Patih Maduratna menuju Sunda Galuh.”
Ibu Suri Sri Gitarja terkejut. Perjalanan Patih Maduratna ke Sunda
Galuh memang atas kehendaknya. Ibu Suri ingin anaknya segera
mendapat permaisuri yang cantik yang bisa mendampingi Raja dalam
memimpin negara. Namun, Ibu Suri tidak meminta Gajah Enggon
ikut serta. Ibu Suri Sri Gitarja memandang Dyah Wiyat dengan tatapan
mata amat tajam.
”Keikutsertaan Kanuruhan Gajah Enggon pasti atas perintah
Kakang Gajah Mada,” Dyah Wiyat melontarkan dugaannya.
Benak Sri Gitarja segera diriuhkan pertanyaan, kehendak apa
yang disimpan Mangkubumi Gajah Mada dengan menyertakan Gajah
Enggon dalam rombongan Patih Maduratna? Ibu Suri Sri Gitarja merasa
gelisah. Namun, segera dikembalikannya perhatiannya pada kerja keras
membangun kembali dinding istana yang dijebol beliung itu.
”Sagara, bisakah aku meminta bantuanmu?” tanya Ibu Suri Sri
Gitarja.
Gajah Sagara bergegas menyembah.
”Hamba, Tuan Putri,” jawabnya sigap. ”Tuan Putri tidak boleh
meminta bantuan kepada hamba. Yang harus Tuan Putri lakukan adalah
memberikan perintah kepada hamba. Siapa pun akan menjalankan
perintah Tuan Putri dan hamba merasa amat tak layak jika Tuan Putri
meminta bantuan.”
Sri Gitarja dan adiknya tersenyum bersama-sama.
”Sagara,” kata Ibu Suri Sri Gitarja, ”aku sungguh penasaran pada
kekuatan angin lesus yang terjadi tadi malam dan sekarang sedang kita
http://facebook.com/indonesiapustaka

lihat bersama-sama bagaimana jejaknya. Sayang sekali, aku tidak melihat


secara langsung bagaimana angin itu berputar dan dengan kekuatannya
menjebol dinding yang tebal itu. Nah, tolong carikan aku sebuah
keterangan siapa orang yang melihat kejadian ini. Aku akan banyak
bertanya soal itu.”
Sanga Turangga Paksowani 185

Gajah Sagara merapatkan kedua telapak tangannya.


”Hamba, Tuan Putri,” jawab Gajah Sagara. ”Sang Mahamantrimukya
tahu secara langsung karena beliau berada pada jarak yang amat dekat.
Apa hamba diizinkan untuk menyampaikan kepada Mahapatih tentang
keinginan Tuan Putri Ibu Suri itu?”
Sri Gitarja memberikan perhatian penuh. Sejenak, ia terdiam dan
sejenak ia melirik adiknya. Dyah Wiyat maju selangkah.
”Kurasa tak perlu sekarang,” kata Dyah Wiyat. ”Saat ini,
Mahamantrimukya sedang menemani Anakmas Prabu menerima tamu
dari Dompo di Pagelaran.”
Gajah Sagara mengangguk dan kembali menyembah.
Para tukang sibuk bekerja keras memperbaiki dinding istana.
Pekerjaan itu diharap tuntas dalam sehari. Itu sebabnya, banyak sekali
tenaga yang bekerja dan mereka melakukan itu dengan sukarela serta
penuh semangat. Kedua mantan prabu putri yang tak segan-segan
mendekat dan mengajak berbincang, mendorong mereka bekerja lebih
bersemangat. Apalagi, beberapa jenak kemudian, beberapa orang emban
datang membawa berbagai makanan dan buah-buahan.
Dari tempat dinding istana roboh itu, Tatag Rambat Bale Mangguntur
tidak kelihatan. Di Pagelaran sedang berlangsung penyambutan terhadap
Raja Dompo yang didatangkan dari Sumbawa yang berlangsung dengan
meriah.
Raja Dompo semula telah pasrah. Ia dan rombongannya mengira
akan dijebloskan ke penjara. Mereka sama sekali tidak mengira ternyata
sambutan Raja Majapahit benar-benar bertolak belakang. Sang Prabu
bersikap sangat ramah, seolah perang tidak pernah terjadi. Sikap itu
benar-benar sangat mengagetkan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Empat gadis cantik yang dibawa dari Dompo mengingatkan orang-


orang yang hadir di tempat itu pada peristiwa yang terjadi puluhan tahun
yang lalu. Ketika itu, para prajurit Singasari yang melaksanakan tugas
Pamalayu di bawah pimpinan Lembu Anabrang membawa pulang dua
gadis cantik anak raja Dharmasraya, Dara Petak dan Dara Jingga.
186 Gajah Mada

Salah seorang di antara kedua kakak beradik itu diperistri


Sanggramawijaya. Darinya lahir Kalagemet atau Sri Jayanegara, sementara
Dara Jingga yang lebih tua tidak betah tinggal di Majapahit. Oleh karena
itu, ia dikembalikan ke tanah Sijunjung98 dan kawin dengan seorang
pembesar Singasari yang telah lama menetap di negeri itu, Sang Dyah
Adwaya Brahma. Dari perkawinan itu lahir Aditiawarman.
Empat gadis dari Dompo itu memang cantik-cantik. Dua di
antaranya adalah anak Raja Dompo dan dua lainnya berasal dari
kerabat istana. Siapa di antara mereka yang mampu menggugah minat
Rajasanegara dan menempatkannya sebagai seorang permaisuri atau
garwa selir? Semua sibuk menduga-duga. Bisa jadi, keempat-empatnya
akan diambil Dalang Tirtaraju.
Para gadis itu pun tak kalah terkejut menghadapi kenyataan yang
terhampar di depan mereka. Semula, mereka sibuk membayangkan, Raja
Majapahit tentulah raja yang sudah tua, matanya liar jelalatan melihat
kecantikan mereka. Kenyataan yang tersaji justru bertolak belakang.
Raja Majapahit ternyata sangat tampan, santun, dan tidak bertolak
pinggang menampakkan kesombongannya. Raja Majapahit juga tidak
menghina rajanya, bahkan menyelenggarakan sebuah pesta sebagai
penghormatan.
”Bagaimana pendapatmu?” berbisik salah seorang dari empat gadis
itu.
”Tidak terlalu buruk,” jawab gadis kedua.
Gadis ketiga yang mendengar bisikan itu tersenyum, menyebabkan
para perwira yang seba99 di pasewakan bertanya-tanya, apakah gerangan
yang dibicarakan hingga para gadis yang sudah cantik itu tampak makin
cantik dengan senyumnya?
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Aku tidak mau pulang,” kata gadis ketiga.


Gadis pertama dan kedua terbelalak.

98
Sinjunjung, ibu kota Dharmasraya
99
Seba, Jawa, hadir dalam pasewakan
Sanga Turangga Paksowani 187

”Aku juga, aku tidak mau pulang. Aku ingin tinggal di sini,”
tambah gadis keempat dengan senyum ditelan dan ditutupi dengan sapu
tangan.
Dengan penuh minat dan dibantu orang yang mendapat tugas
menerjemahkan apa yang diucapkan Prabu Hayam Wuruk, Raja Dompo
menyimak apa yang akan disampaikan Raja Majapahit itu. Di sebelah
Raja Dompo, duduk Brahmana Smaranatha. Dan, di sebelah Brahmana
Smaranatha, Mahapatih Gajah Mada ikut menyimak apa yang akan
disampaikan Raja. Duduk di kursi masing-masing, Dharmadyaksa
Kasogatan dan Kasaiwan lebih memusatkan perhatian mereka ke raut
muka Brahmana Smaranatha yang selalu sejuk. Di belakang dua pejabat
penting yang mengurusi kehidupan agama Buddha dan Siwa itu, berjajar
tujuh orang upappati.
Orang-orang yang menjadi bagian dari Sang Panca Ri Wilwatikta
juga menempati tempat yang biasa diperuntukkan bagi mereka. Di
pasewakan yang digelar mendadak itu hadir pula ayah dan paman raja.
Namun, baik Kertawardhana maupun Wijaya Rajasa Sang Apanji
Wahninghyun tidak berbicara apa pun. Mereka melihat Raja tak perlu
lagi dibimbing. Raja yang masih muda itu sudah bisa disebut mandiri.
Dalam usia dua puluh tiga tahun, Hayam Wuruk telah memiliki
kecerdasan dan kemampuan yang memadai untuk menjadi raja serta
tak perlu diajari berbicara.
Duduk bersimpuh di tempat terpisah dan dilayani para emban,
kedua adik Narpati100 Agung Hayam Wuruk, Dyah Rajasa Duhitendudewi
dan Dyah Nrttaja Rajasaduhitadewi ikut menyimak apa yang akan
disampaikan Raja.
Tidak hanya anak Ibu Suri Sri Gitarja yang hadir. Di tempat yang
tidak terpisah, anak-anak Ibu Suri Dyah Wiyat juga menghadiri pasewakan
http://facebook.com/indonesiapustaka

itu. Baik Dyah Madudewi maupun Dyah Sri Sudewi duduk bersimpuh
dan saling memberikan isyarat pandang mata kepada kedua saudara
sepupunya.
100
Narpati, Jawa, raja
188 Gajah Mada

Dyah Madudewi memiliki kecantikan yang hanya para bidadari di


langit yang bisa menandingi. Dyah Sri Sudewi juga memiliki kecantikan
yang akan membingungkan jejaka mana pun.
Ketika rangkaian acara pasewakan itu tiba pada saatnya untuk
mendengar titah Raja, suasana menjadi hening. Dengan suara yang
sejuk, tetapi berwibawa, Prabu Hayam Wuruk memberi ucapan selamat
datang kepada para tamunya. Dengan panjang lebar, Sri Rajasanegara
menguraikan betapa penting makna persatuan dan kesatuan yang oleh
Majapahit sedang diupayakan dengan sekuat tenaga.
Raja Dompo yang menunduk mendengar dengan cermat.
”Kepada Raja Dompo, dengan ini aku mengulurkan tangan
persaudaraan. Aku senang karena akhirnya mata Raja Dompo bisa
terbuka dan melihat kepentingan yang sama dan masalah yang sama
yang ujungnya bersedia menyatu dengan Majapahit untuk bersama-
sama menggapai kebesaran. Kepada Raja Dompo, aku persilakan
untuk melanjutkan pemerintahannya sebagaimana biasa. Dengan
persatuan dan kesatuan yang telah lama kita idam-idamkan, marilah kita
cegah upaya apa pun yang dilakukan Tartar yang tak pernah berhenti
berusaha menyelinap dan melebarkan kekuasaannya. Untuk para gadis
cantik yang didatangkan dari Dompo, aku sangat berterima kasih.
Namun, mungkin akan lebih baik jika para gadis itu tetap memiliki
kebebasannya. Siapa tahu para gadis itu telah memiliki calon suami
masing-masing, telah menjalin cinta dengan lelaki dambaan masing-
masing ....”
Raja Dompo benar-benar terkejut. Pada mulanya, ia mengira dengan
dibawa ke Majapahit, kecil kemungkinan baginya untuk bisa kembali ke
Sumbawa. Ia juga tak lagi bermimpi akan tetap menjadi penguasa di
wilayahnya. Raja Dompo juga merasa sedih melihat anak-anak gadisnya
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang akan kehilangan kebebasannya. Namun, siapa sangka Raja Majapahit


mempersilakan ia kembali dan tetap menggelar kekuasaan. Anak-anak
gadisnya pun boleh pulang tanpa harus kehilangan kehormatannya.
Hiruk-pikuk terjadi ketika perhatian kemudian diarahkan kepada
Nala yang oleh Sang Prabu diminta mendekat. Selempang samir merah,
Sanga Turangga Paksowani 189

sewarna dengan warna darah yang tepat pada bagian tengahnya bertuliskan
Sang Arya Wira Mandalika Laksamana Pu Nala diselempangkan melintas
pundak dan dikancingkan di bagian pinggang. Hayam Wuruk tersenyum
melihat semua orang begitu senang, bahkan sebagian melonjak-lonjak
girang. Tepuk tangan pun menggemuruh ketika Prabu Hayam Wuruk
memberi ucapan selamat dengan mengulurkan jabat tangannya. Tulisan
yang terbaca jelas di selempang kain itu menjadi pertanda, kini, Nala
telah naik pangkat menjadi laksamana.
Raja Dompo merasa dadanya kembali merongga. Beban berat yang
semula disangga agak terkurangi. Raja Dompo akhirnya melihat, menyatu
dan menjadi bagian dari Majapahit bukan hal yang buruk. Dengan
kekuataannya yang begitu besar, terutama di laut, Majapahit memberinya
jaminan keamanan yang menyebabkan beberapa negara tetangga di
wilayah Dompo tak akan lagi berani menyerang dan menganggap
Dompo sebagai musuh. Meski arti dari semua itu, Dompo telah terjual
dan menjadi jajahan dari negara di Jawa, Majapahit.

17
D ari sebuah panggungan menghadap ke barat yang untuk naik
harus menggunakan tangga dan terletak di depan Rumah Buddha beratap
tiga, alun-alun istana terlihat amat jelas. Bahkan, dari tempat itu, pintu dan
jendela rumah Menteri Amawa Pinituha juga terlihat jelas. Gajah Mada
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang berdiri di panggungan itu sering merasa kurang nyaman melihat


keberadaan rumah di depan alun-alun itu. Gajah Mada berpendapat,
alun-alun mestinya terbebas dari rumah-rumah. Akan tetapi, rumah
itu dibangun ketika ia masih seorang patih di Kahuripan atas perintah
mendiang Prabu Sri Jayanegara.
190 Gajah Mada

Rumah yang mestinya tidak berada di arah pandang dari Bale


Manguntur itu, antara lain adalah rumah para menteri pegawai yang
menempati luar dinding dan rumah Batara Narapati. Namun, kedua
rumah megah itu telanjur berdiri di sana. Usulan yang pernah ia ajukan
untuk memindahkan rumah-rumah itu mendapat tentangan amat keras
dari Dyah Wiyat dan Sri Gitarja. Padahal, banyak orang berpendapat
bahwa keberadaan rumah di depan Bale Manguntur, baik di dalam
pagar maupun di luar pagar, tidak nyaman dipandang mata. Seharusnya,
pandangan mata yang diarahkan dari Tatag Rambat Bale Manguntur
tidak tertahan bangunan apa pun.
Ditemani Brahmana Smaranatha, Gajah Mada menyapu alun-
alun dengan pandangan matanya. Gajah Mada mengajak Brahmana
Smaranatha naik ke panggungan itu dengan sebuah maksud. Gajah
Mada yang dibayangi rasa penasaran atas sosok Ajar Wintyasmerti yang
pernah muncul dan menemuinya yakin, Brahmana Smaranatha adalah
tempat yang tepat untuk bertanya soal itu.
”Sebenarnya, ada yang ingin aku tanyakan, Bapa Brahmana,” berkata
Patih Gajah Mada mengawali pembicaraan. ”Mungkin Bapa Smaranatha
bisa memberi jawaban atas teka-teki dan berbagai pertanyaan yang
mengganggu benakku akhir-akhir ini.”
Brahmana Smaranatha tidak merasa harus segera menjawab. Ia
mempersiapkan diri untuk menyimak apa yang akan disampaikan Sang
Mahamantrimukya Gajah Mada.
”Bapa pernah mendengar nama Ajar Wintyasmerti?” tanya Gajah
Mada.
Raut wajah Brahmana Smaranatha sedikit berubah. Keningnya yang
keriput agak mengerut. Pertanyaan itu agak mengagetkannya. Namun,
Brahmana Smaranatha memang menyimpan sebagian jawaban, meski
http://facebook.com/indonesiapustaka

belum jawaban menyeluruh.


”Ia hidup di zaman Prabu Batara Narasinga,” balas Brahmana
Smaranatha.
Tajam sekali Gajah Mada dalam memandang.
Sanga Turangga Paksowani 191

”Menurut Bapa, bagaimana caranya supaya aku bisa bertemu dengan


orang itu?” tanya Gajah Mada.
Brahmana Smaranatha merasa belum jelas.
”Maksudku dengan Ajar Wintyasmerti,” Gajah Mada menjelaskan.
Brahmana Smaranatha memamerkan raut mukanya yang sedikit
aneh.
”Anakmas Mangkubumi menganggap cerita tentang Ajar
Wintyasmerti itu benar-benar ada? Anakmas Mangkubumi Pu Mada
percaya?” tanya Brahmana Smaranatha.
Gajah Mada mengangguk.
Puluhan ekor merpati terlihat terbang bersama, berarak dampyak-
dampyak101 yang segera ditepuktangani para prajurit. Disemangati macam
itu, burung-burung itu mengayuh udara dengan menggenjot kekuatannya.
Terjadilah saling balap di antara mereka, berebut saling mendahului dan
masing-masing berusaha tampil sebagai yang terdepan.
”Tak banyak orang yang percaya pada cerita tentang Ajar Wintyasmerti,”
kata Brahmana Smaranatha.
Gajah Mada memandang wajah Brahmana Smaranatha dengan
tatapan mata yang tak berubah.
”Bagaimana dengan Bapa Brahmana sendiri?” tanya Gajah Mada.
”Apa Bapa Brahmana tidak percaya dengan keberadaannya?”
Brahmana Smaranatha yang semula memamerkan wajah datar akhirnya
tersenyum. Namun, senyum yang mengembang dari mulut keriput itu
tetap menyimpan tanda tanya, teka-teki yang membutuhkan jawaban.
”Aku hanya mendengar ceritanya. Katanya, Ajar Wintyasmerti
http://facebook.com/indonesiapustaka

merupakan induk dari beberapa gelintir orang yang menguasai ilmu


kanuragan dan kadigdayan. Orang-orang luar biasa itu kemudian menjadi
pagar yang melindungi dan mengelilingi mendiang Raden Wijaya. Wirota

101
Dampyak-dampyak, Jawa, beramai-ramai
192 Gajah Mada

Wiragati yang menggunakan kemampuannya untuk malang melintang


menjadi maling budiman, Pamandana, Sorahandaka, Rangga Lawe,
Pawagal, dan Medang Dangdi adalah orang-orang yang berurusan
dengan Ajar Wintyasmerti. Entah, imbal balik macam apa yang harus
mereka bayar untuk bisa menguasai ilmu yang aneh-aneh itu,” ujar
Brahmana Smaranatha.
Gajah Mada menyimak dengan saksama. Brahmana Smaranatha
akan melanjutkan tuturannya, tetapi riuh rendah yang berasal dari
tepuk tangan prajurit yang menjaga pintu gerbang Purawaktra dan
pintu gerbang utara menyita perhatian. Tepuk tangan itu menggemuruh
ketika barisan burung merpati yang melayang dari arah timur mendadak
menukik dengan tajam dan melesat amat cepat, lalu mendarat di mandapa
yang berada di halaman rumah para abdi Raja Paguhan. Apalagi, pada
saat bersamaan, Ibu Suri Sri Gitarja dan Ibu Suri Dyah Wiyat melintas
tak jauh. Melihat tontonan yang menarik itu, Ibu Suri Sri Gitarja ikut
bertepuk tangan dan menghadiahkan remah jagung.
Sejak masih remaja, Ibu Suri Sri Gitarja telah mengundangkan
peraturan bahwa siapa pun tidak boleh mengganggu burung-burung
yang dibiarkan hidup bebas itu. Burung-burung dara itu akhirnya menjadi
burung-burung yang jinak dan tidak menganggap manusia sebagai
sumber bahaya baginya. Burung-burung itu bahkan bisa seenaknya
hinggap di pundak siapa pun yang lewat dan ketika membuang kotoran,
ia lakukan itu dengan tidak peduli meski di pundak Ibu Suri.
”Sebenarnya apa yang menyebabkan Anakmas Mangkubumi tertarik
kepada sosok Ajar Wintyasmerti itu, Anakmas Mangkubumi?” bertanya
Brahmana Smaranatha.
Gajah Mada masih mengarahkan pandangan matanya kepada Ibu
Suri Sri Gitarja dan Ibu Suri Dyah Wiyat yang membagikan remah jagung
http://facebook.com/indonesiapustaka

pada burung-burung merpati kesayangannya.


”Aku hanya merasa penasaran, Bapa Brahmana,” jawab Gajah Mada.
”Aku sangat tertarik dengan semua kemampuan itu. Terus terang, aku
berminat dan ingin bisa menguasainya. Ada banyak pekerjaan yang bisa
aku kerjakan dengan mudah jika aku menguasai ilmu kadigdayan itu.”
Sanga Turangga Paksowani 193

Perlahan, Brahmana Smaranatha mengangguk.


”Sayang, aku tidak mempunyai petunjuk, Anakmas Mangkubumi,”
jawab Brahmana Smaranatha. ”Pengetahuanku atas sosok yang menarik
perhatianmu itu sangat sedikit. Aku tidak bisa memberi arahan apa
pun.”
Gajah Mada merasa kecewa manakala menyadari bahwa Brahmana
Smaranatha ternyata bukan tempat bertanya yang baik. Pengetahuan
yang dimiliki Brahmana Smaranatha atas sosok yang menyita
perhatiannya sama sedikitnya dengan apa yang diketahui Dang Acarya
Nadendra.
”Agaknya, keinginanku itu hanya akan menggantung sebagai
keinginan,” kata Gajah Mada dalam hati.
Matahari yang memanjat naik menyebabkan udara terasa hangat.
Tak ingin menjadi penyebab brahmana tua itu tersiksa, Gajah Mada
mengajaknya turun mendekati Ibu Suri Sri Gitarja yang sedang
bercengkerama dengan burung-burung dara kesayangannya.
Melihat Brahmana Smaranatha datang mendekat, Ibu Suri Sri
Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan Ibu Suri Dyah
Wiyat Rajadewi Maharajasa segera memberikan penghormatan. Dengan
wajah bersih, Brahmana Smaranatha menerima penghormatan itu.

18
http://facebook.com/indonesiapustaka

Gajah Mada bertanya-tanya dalam hati ketika memasuki istana


kediaman Ibu Suri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani.
Pesan untuk menghadap kedua mantan prabu putri diterimanya melalui
194 Gajah Mada

Gajah Sagara. Gajah Mada mengira, Prabu Hayam Wuruk berada di tempat
itu pula. Namun, hanya kedua mantan prabu putri yang menerimanya
tanpa didampingi Sri Kertawardhana dan Hyang Parameswara. Dua
orang prajurit yang memegang senjata tombak telanjang tampak siaga
berjaga-jaga di depan pintu.
Di halaman, tampak Sekar Kedaton Duhitendudewi dan Dyah
Nrttaja sedang saling menceritakan lelucon. Tampak hal itu dari wajah
mereka yang sangat sumringah. Tidak berapa lama kemudian, saudara
sepupu mereka, Madudewi dan Sri Sudewi, yang masing-masing diikuti
seorang emban, datang bergabung. Sri Sudewi dan Madudewi meminta
kepada dua emban itu untuk menjauh ketika mereka telah bersama
dengan kakak-kakak sepupunya.
Tak jauh dari mereka berempat, terdapat sebuah sangkar burung
yang dihuni burung rangkok berparuh panjang. Binatang langka itu
merupakan oleh-oleh dari negara bawahan. Untuk makanan burung itu,
abdi istana pengurus satwa harus menyediakan ikan yang dibeli dari pasar.
Di sebelah yang lain, sebuah sangkar yang lebih kecil dihuni beberapa
ekor ayam cebol. Ayam-ayam itu menjadi klangenan para Sekar kedaton
karena jinak dan lucu.
Gajah Mada yang semula mengarahkan pandang matanya ke
halaman, segera memusatkan perhatiannya kepada kedua mantan prabu
putri yang memanggilnya. Mahapatih Gajah Mada sibuk menduga,
persoalan macam apa yang akan disampaikan kepadanya. Akan tetapi,
dengan memeras kepala sekeras apa pun, Gajah Mada tidak mendapat
gambaran.
”Hamba menghaturkan sembah, Tuan Putri,” ucap Gajah Mada
sambil duduk bersila di tempat yang disediakan untuknya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ibu Suri Sri Gitarja dan Ibu Suri Dyah Wiyat duduk di dua buah
kursi yang diatur berdampingan.
”Gajah Mada,” ucap Ibu Suri Sri Gitarja meminta perhatian.
Sigap, Gajah Mada merapatkan kedua telapak tangannya dan
membawa mendekat ke ujung hidung.
Sanga Turangga Paksowani 195

”Hamba, Tuan Putri,” jawab Gajah Mada.


Gajah Mada tidak menunduk. Tanpa merasa sungkan, Gajah Mada
balas menatap pandangan mata kedua perempuan di depannya.
”Kami memangggil Kakang bukan untuk membahas sebuah
persoalan yang terlalu penting. Kami hanya ingin mengetahui bagaimana
sikap Kakang terhadap Sunda Galuh,” tambah Sri Gitarja.
Gajah Mada segera mencuatkan alis.
”Kami dengar kau menyertakan Kanuruhan Gajah Enggon
mendampingi Patih Madu menuju Kawali?” pertanyaan itu datang dari
Dyah Wiyat.
Gajah Mada termangu. Ia mencoba menduga ke mana arah
persoalan yang akan disampaikan kedua mantan prabu putri itu.
”Hamba, Tuan Putri,” jawabnya. ”Hamba memang telah mengirim
Kanuruhan Gajah Enggon ke Sunda Galuh.”
Kakak beradik mantan raja perempuan itu saling pandang.
”Kenapa?” tanya Sri Gitarja.
Gajah Mada siap menjawab dengan penuh keyakinan, ”Yang
pertama,” ucapnya, ”kebetulan, Majapahit sedang mengirim utusan ke
Sunda Galuh untuk menjajaki kemungkinan perjodohan antara Sang
Prabu junjungan hamba dengan anak Raja Sunda Galuh. Keikutsertaan
Kanuruhan Gajah Enggon setidaknya akan memberi jaminan, perjalanan
Patih Madu ke Sunda Galuh itu aman. Di samping itu, Gajah Enggon
memang membawa tugas yang hamba serahkan kepadanya.”
Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan Dyah
Wiyat Rajadewi Maharajasa saling pandang.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Untuk?” tanya Dyah Wiyat.


Gajah Mada menatap Dyah Wiyat dan Sri Gitarja bergantian.
”Hamba tidak bisa tawar-menawar dengan Sunda Galuh. Telah
beberapa kali, hamba mengirim utusan ke Sunda Galuh, meminta
196 Gajah Mada

kepada Raja Sunda Galuh untuk mengambil sikap. Namun, selama ini,
Raja Sunda Galuh hanya mengulur-ulur waktu, menunda dan menunda.
Keikutsertaan Gajah Enggon adalah untuk memastikan bagaimana
jawaban Raja Sunda Galuh,” jawab Gajah Mada tanpa ragu.
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa menghirup tarikan napas berat.
Hal yang sama dilakukan kakak perempuannya.
”Apa Kakang Mahapatih tidak menimbang bahwa saat ini sedang
dikirim utusan ke Sunda Galuh untuk kemungkinan menjodohkan Sang
Prabu dengan putri Raja Sunda Galuh?” tanya Dyah Wiyat.
Gajah Mada mengalihkan pandangan matanya kepada Sri Gitarja.
”Benar, Kakang Gajah Mada,” ucap Sri Gitarja. ”Aku minta janganlah
Kakang Patih membuat sebuah kebijaksanaan yang berbenturan dengan
rencanaku berbesanan dengan Raja Sunda Galuh.”
Mahamantrimukya Rakrian Mahapatih Pu Mada merapatkan kedua
telapak tangannya dan membawanya ke dada.
”Hamba, Tuan Putri,” jawabnya. ”Menurut pemahaman hamba,
saat ini, baru dikirim orang untuk melukis putri Raja Sunda Galuh.
Masih belum ada keputusan apa memang benar Sekar Kedaton Sunda
Galuh yang dikehendaki Sang Prabu Raden Tetep sebagai permaisurinya.
Soal Sunda Galuh, sejak awal, hamba telah sampaikan bahwa tak ada
tawar-menawar untuk penyatuan seluruh negeri di wilayah Nusantara
ini. Seluruh wilayah di Nusantara telah bergabung dengan Majapahit.
Dompo di Sumbawa juga telah menyatakan bergabung dengan Majapahit.
Lautan di Nusantara telah dijaga rapat oleh kapal-kapal perang Majapahit
dan di setiap daratan telah berkibar bendera gula kelapa serta memasang
lambang negara cihna gringsing lobheng lewih laka. Namun, justru di tanah
Jawa, di belakang pekarangan sendiri, ada sepetak kecil negara yang belum
http://facebook.com/indonesiapustaka

menyatakan bergabung dengan Majapahit. Majapahit menanggung


semua biaya yang harus dikeluarkan untuk menjaga lautan, sementara
Sunda Galuh yang ikut menikmati kenyamanan itu tidak memberikan
sumbangsih apa pun.”
Sri Gitarja menghimpun tarikan napas amat berat.
Sanga Turangga Paksowani 197

”Kurasa salah jika Kakang Patih berpendapat Sunda Galuh


tidak memberikan sumbangan apa pun. Ketika perang dengan Bali,
Sunda Galuh ikut menyertakan ribuan prajuritnya. Sunda Galuh juga
memberikan sumbangan tenaga dan bantuan ketika terjadi gempa,”
ujar Sri Gitarja.
Namun, Gajah Mada memiliki jawaban yang tangkas, ”Masih
belum cukup, Tuan Putri. Bukan sumbangsih macam itu yang
dikehendaki Majapahit. Yang Majapahit inginkan adalah Sunda Galuh
segera bergabung dan menjadi bagian tak terpisah dari Majapahit. Maju
bersama-sama, sewarna. Itu sebabnya, Kanuruhan Gajah Enggon
hamba kirim untuk mendapat kepastian jawaban yang diulur-ulur
itu.”
Jawaban itu menyebabkan Sri Gitarja merasa tidak nyaman. Hal
sebangun dirasakan pula Dyah Wiyat. Sikap Mahapatih Gajah Mada
terhadap Sunda Galuh yang demikian benar-benar mencemaskan. Ada
banyak alasan yang harus dipahami mengapa seyogianya Majapahit tidak
menyamakan Sunda Galuh dengan negara-negara yang lain. Jawa dan
Sunda Galuh sedemikian dekat. Kedekatan itu begitu dalam, sampai
ke hati. Sulit membedakan orang Sunda dan Jawa kecuali hanya pada
bahasanya dan sedikit perbedaan budayanya. Lalu lintas hubungan barat
dan timur itu sudah sedemikian lancar dan menyentuh banyak segi.
Orang Sunda Galuh banyak sekali yang memilih mencari penghidupan
di Jawa sebagaimana banyak sekali orang Jawa yang mencari nafkah di
Sunda Galuh.
Banyak pula orang Sunda Galuh yang memilih bersuami
dan beristrikan orang Jawa sebagaimana banyak orang Jawa yang
berkeluarga dengan orang Sunda Galuh. Perdagangan berjalan amat
lancar. Banyak sekali barang kebutuhan Majapahit yang dipasok dari
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sunda Galuh sebagaimana banyak pula kebutuhan Sunda Galuh yang


dikirim dari Jawa. Misalnya, kebutuhan atas gula aren. Di bidang
pertanian, saat ini, banyak sekali orang Sunda yang datang ke Majapahit
untuk belajar bercocok tanam padi. Sebaliknya, banyak sekali orang
Majapahit yang dikirim ke Sunda Galuh untuk belajar beternak ikan air
198 Gajah Mada

tawar. Sebagian yang lain adalah para undagi102 yang tertarik mempelajari
gaya rumah-rumah Sunda.
Sebagai pribadi dan sebagai negara, Sunda Galuh boleh dibilang
bukan ”orang lain”. Sunda Galuh itu masih keluarga sendiri. Jadi,
seyogianya janganlah Majapahit sampai menyerang Sunda Galuh.
Jangankan menyerang, bahkan yang hanya sekadar mengancam pun
sudah sangat melukai hati.
”Mangkubumi,” Ibu Suri Sri Gitarja menyebut pangkat Gajah Mada
untuk meminta perhatian.
Mahapatih Gajah Mada merapatkan kedua telapak tangannya dan
membawa ke tengah dada, kemudian dibawa ke ujung hidung.
”Hamba, Tuan Putri,” jawab Gajah Mada.
Sri Gitarja merasa isi dadanya penuh dengan udara. Perlahan, harus
disalurkan untuk mendapat kelegaan dalam bernapas.
”Aku sangat memahami apa yang kaulakukan selama ini demi
kebesaran Majapahit dan demi kejayaan pemerintahaan anakku. Kau
telah bekerja keras meyakinkan banyak negara untuk mau bersatu
menjadi negara bawahan Majapahit. Namun, Aku mempunyai alasan
memintamu untuk tidak mengusik Sunda Galuh,” ucap Sri Gitarja.
Gajah Mada mengerutkan dahi. Gajah Mada menunggu Sri Gitarja
melanjutkan, tetapi Sri Gitarja terlampau lama dalam diam.
”Apa alasannya, Tuan Putri?” balas Gajah Mada.
”Kedekatan Sunda Galuh dan Majapahit sudah sampai sedemikian
rupa. Sunda Galuh itu keluarga sendiri. Amat sayang jika persaudaraan
ini ternodai oleh keinginanmu menempatkan Sunda Galuh menjadi
http://facebook.com/indonesiapustaka

negara bawahan Majapahit,” jawab Sri Gitarja.


Gajah Mada akhirnya manggut-manggut meski pendek.

102
Undagi, Jawa, kosakata yang berarti tukang kayu atau pembuat rumah ini sudah jarang dijumpai dalam
pergaulan sehari-hari. Namun, para dalang dan orang-orang keraton masih sering menyebutnya.
Sanga Turangga Paksowani 199

”Hamba, Tuan Putri,” jawab Gajah Mada. ”Menjadi sangat tak


sempurna pekerjaan hamba selama ini jika masih ada dua wilayah yang
justru berada di tanah Jawa yang masih belum tunduk di bawah kekuasaan
Majapahit. Tak hanya Sunda Galuh yang harus segera menyatakan tunduk
di bawah pemerintahan Majapahit, Sunda Pakuan juga harus menyatakan
sikapnya. Hamba tidak akan membedakan Sunda Galuh ataupun Sunda
Pakuan dengan negara-negara lain, negara Bali misalnya, atau beberapa
negara di Tanjung Pura yang akhirnya mau mengakui Majapahit sebagai
negara yang membawahi mereka.”
Sri Gitarja merasa lehernya tercekik. Sri Gitarja tak lagi bisa memaksa
Mahapatih Gajah Mada untuk mengubah sikapnya karena kini ia tak lagi
berkuasa. Orang yang memiliki hak memberi perintah kepada Gajah
Mada hanya Prabu Hayam Wuruk. Namun, Sang Prabu yang masih muda
itu mutlak berada di bawah kendali patihnya. Boleh dikata, Prabu Hayam
Wuruk hanya diberi hak untuk duduk manis di singgasananya, sementara
Gajah Mada yang mengatur dan menyelenggarakan jalannya pemerintahan
nyaris tanpa batas kekuasaan. Gajah Mada yang memegang hak atas sabda
pandita ratu.103 Apa pun yang dikehendakinya harus terwujud.
Kenang an Ibu Suri Sri Gitar ja Tribhuanatung g adewi
Jayawisnuwardhani dan Ibu Suri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa
dipaksa untuk terputar kembali pada apa yang terjadi dua puluhan
tahun yang lalu, saat pemberontakan Keta dan Sadeng baru saja berhasil
diredam. Dalam pasewakan yang digelar di Tatag Rambat Bale Manguntur
dan disaksikan segenap pembesar Majapahit, termasuk mendiang
Mahapatih Arya Tadah atau Empu Krewes, Gajah Mada yang telah
diangkat menjadi mahapatih mengumandangkan sumpahnya.
Itulah sumpah yang ditertawakan banyak orang, di antaranya
Jabung Tarewes, Warak, dan Ra Kembar. Bahkan, Arya Tadah juga
http://facebook.com/indonesiapustaka

menertawakannya. Marah karena sumpahnya disepelekan, Gajah Mada


memberi jawaban dengan caranya. Warak dan Kembar dibunuhnya di
alun-alun melalui perang tanding.

103
Sabda Pandita Ratu, Jawa, idiom Jawa mengenai kekuasaan mutlak seorang raja
200 Gajah Mada

Kini, setelah belasan tahun waktu terlampaui, sumpah Gajah Mada


menemukan bentuknya. Panji-panji gula kelapa berkibar di seluruh
wilayah Nusantara dari Onin di timur hingga ke Dharmasraya di barat,
bahkan melintas sampai ke Tumasek. Namun, Gajah Mada merasa
sumpah itu belum selesai. Sumpah itu belum tuntas. Di pekarangan
sendiri, di depan mata, sebuah negara masih belum tunduk. Itu
sebabnya, Gajah Mada sedemikian bernafsu dan tidak sabar ingin segera
mengayun bendera sekaligus memukul bende Kiai Samudra sebagai
tanda pemberangkatan ribuan pasukan yang dikirim ke Sunda Galuh
untuk membekuk negara itu.
”Aku akan menuturkan sesuatu kepadamu, Gajah Mada,” Dyah
Wiyat mengambil alih pembicaraan dari kakaknya agar jelas. ”Sebuah
silsilah harus menjadi bahan pertimbanganmu dalam mengambil sikap
dan keputusan. Bayangkan, seolah kakekmu adalah Raja Sunda. Apakah
kamu akan tega menggilas kakekmu, meski saat ini kau sedang gagah
perkasa?”
Gajah Mada termangu. Cerita tentang kerabat istana yang leluhurnya
berasal dari Sunda memang sudah pernah ia dengar. Namun, bagaimana
urut-urutan trah atau silsilah itu, belum ia ketahui dengan jelas.
”Mohon Tuan Putri berkenan menuturkan,” balas Gajah Mada
tanpa keraguan.
Dyah Wiyat merapikan sikap duduknya.
”Bukan cerita ngawur jika aku mengatakan, di tubuhku mengalir
darah Rajasa, tetapi sebagian lain juga berasal dari Sunda. Nenekku,
Dyah Lembu Tal,104 anak kakek buyutku, Mahisa Cempaka, bersuamikan
bangsawan dari Sunda. Kakekku yang berasal dari Sunda yang bernama
Jayadarma dan bersaudara dengan Jayagiri merupakan anak Raja
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sunda, Prabu Darmasiksa, buah perkawinannya dengan wanita

104
Rangkaian silsilah ini dikutip dari novel berjudul Dyah Pitaloka, Senja di Langit Majapahit karya
Hermawan Aksan terbitan PT Bentang Budaya Pustaka, Yogyakarta. Sementara itu, dalam buku Sejarah
Nasional Indonesia II karya Mawarti Joened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, diterangkan
bahwa Dyah Lembu Tal adalah seorang laki-laki.
Sanga Turangga Paksowani 201

Sriwijaya yang bernama Supraba Wijayatunggadewi. Leluhurku, Sang


Prabu Darmasiksa memiliki istri lain, Putri Darmageng. Dengan
Putri Darmageng ini, Prabu Darmasiksa menurunkan Ragasuci yang
mengawini Dara Puspa. Dari perkawinan Ragasuci dan Dara Puspa
itu lahirlah Citragada yang mempunyai dua keturunan, Uma Lestari
dan Linggadewata. Uma Lestari bersuami Linggawisesa, mempunyai
anak Ragamulya, Dewi Kirana Sari, dan Surya Dewata. Ragamulya
menurunkan dua bersaudara, yaitu Prabu Linggabuana dan Bunisora.
Prabu Maharaja Linggabuana yang sekarang menggelar pemerintahan
di Sunda Galuh. Kau bisa melihat sedemikian dekat hubungan yang
terjadi itu. Lalu, bagaimana kau bisa memaksa Sunda Galuh untuk mau
menjadi bawahan Majapahit?” Dyah Wiyat menjelaskan betapa dekat
hubungan Majapahit dan Sunda Galuh.
Gajah Mada terdiam, agak lama tak menjawab.
”Bagaimana?” tanya Sri Gitarja.
Gajah Mada merapatkan kedua telapak tangannya.
”Hamba, Tuan Putri,” jawab Gajah Mada. ”Sepenuhnya, hamba
bisa memahami bagaimana warna perasaan Tuan Putri. Akan tetapi,
hamba tetap pada keyakinan hamba. Seyogianya, Sunda Galuh tidak
menempatkan diri di luar. Sunda Galuh harus menyangga beban
tanggung jawab yang disangga Majapahit. Sunda Galuh tidak boleh
hanya diam menjadi penonton.”
Gerah Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa menghadapi sikap yang
kaku itu.
”Pokoknya, kami minta jangan perlakukan Sunda Galuh seperti
negara bawahan yang lain. Jangan paksa Sunda Galuh untuk menjadi
negara bawahan Majapahit,” ucap Dyah Wiyat.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mahapatih Gajah Mada mengangkat kedua telapak tangannya yang


saling melekat dan membawanya ke ujung hidung.
”Hamba, Tuan Putri,” jawab Gajah Mada tegas. ”Tidak masalah
untuk tidak menempatkan Sunda Galuh sebagai negara bawahan
202 Gajah Mada

Majapahit. Menurut cara pandang hamba, yang penting Sunda Galuh


harus segera menentukan sikap untuk ikut bergabung, tidak boleh
berada di luar. Menyerbu untuk menyadarkan Sunda Galuh agar segera
menyatakan diri menjadi bagian dari Majapahit yang lebih besar bukan
pilihan hamba. Pilihan itu baru akan hamba laksanakan jika Sunda Galuh
membangkang.”
Penuh isi dada Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani
dan Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa. Penuh yang demikian terasa
terlalu sesak. Kedua mantan prabu putri itu mengalami kesulitan untuk
mendamaikan diri sendiri.
”Juga menurut hamba,” lanjut Gajah Mada, ”menjadi negara
bawahan atau bergabung itu hanya sebuah istilah. Hakikatnya, Sunda
Galuh tak boleh mementingkan diri sendiri. Sunda Galuh harus bisa
lebih mengedepankan persatuan dan pentingnya kesatuan. Ketika dua
hal itu dihayati maka Sunda Galuh tak perlu merasa direndahkan dan
terhina.”
Dada Ibu Suri Sri Gitarja masih mengombak.
”Bagaimana jika Sang Prabu menghendaki anak gadis Raja Sunda
Galuh itu menjadi permaisurinya? Apakah menurutmu lamaran dan
ancaman harus dilakukan sekaligus?” bertanya Ibu Suri Gayatri.
Gajah Mada tidak perlu marasa ragu dan tidak nyaman disudutkan
mantan rajanya seperti itu.
”Hamba, Tuan Putri,” jawab Gajah Mada. ”Kedua hal itu bisa
berjalan seiring. Terjemahannya adalah anak gadis Raja Sunda Galuh
itu harus ditempatkan sebagai putri persembahan, sebagai upeti yang
menandai Sunda Galuh tunduk dan bergabung dengan Majapahit yang
lebih besar.”
http://facebook.com/indonesiapustaka
Sanga Turangga Paksowani 203

19
D yah Wiyat Rajadewi Maharajasa membawa gundah hatinya
pulang ke istananya yang tidak memiliki jarak pandang ke alun-alun
karena terhalang bangunan yang lain. Dyah Wiyat merasa sedemikian
cemas menghadapi sikap Gajah Mada yang tak bisa ditawar itu. Dyah
Wiyat bisa membayangkan, bingung macam apa yang juga dirasakan
kakaknya.
”Ada apa?” tanya Hyang Parameswara melihat bahasa wajah aneh
di muka istrinya.
Dyah Wiyat menggeleng lemah. Breh Wengker Wijaya Rajasa
Hyang Parameswara atau yang lebih dikenal dengan sebutan Raden
Kudamerta segera menyodorkan sebuah kursi untuk duduk istrinya.
Raden Kudamerta kaget melihat tarikan napas Dyah Wiyat yang
sedemikian mengayun.
”Ada masalah apa, Ratu?” tanya Raden Kudamerta sekali lagi.
Dyah Wiyat masih butuh waktu untuk menenangkan diri. Dengan
demikian, Raden Kudamerta tahu, istrinya rupanya baru saja mengalami
impitan masalah yang lumayan berat. Padahal, itu sangat tidak baik bagi
kesehatannya. Sejak berada di usia di atas empat puluh tahun, Dyah Wiyat
memang sering sakit-sakitan. Keadaan itu berbalikan dengan kakaknya.
Sri Gitarja yang di masa muda begitu lemah dan gampang sakit-sakitan,
justru lebih sehat di masa tuanya dibandingkan adiknya.
”Kasihan Kangmbok Ayu,” jawab Dyah Wiyat.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Raden Kudamerta mencuatkan alis.


”Kenapa?” kejar Raden Kudamerta.
”Masalah sikap Gajah Mada terhadap Sunda Galuh,” balas Dyah
Wiyat.
204 Gajah Mada

Hening ruang tengah istana kediaman Raden Kudamerta itu. Raden


Kudamerta mencoba membayangkan bagian mana sikap Gajah Mada
yang dipersoalkan istrinya sampai-sampai menyebabkan kakak iparnya
itu sedemikian kecewa.
”Gajah Mada tidak mau mendengar kata kami berdua. Gajah Mada
rupanya masih belum tenang tidurnya dibayangi mimpi yang tercipta
akibat sumpah yang diucapkannya di Tatag Rambat Bale Manguntur
dua puluh tahun yang lalu,” jawab Dyah Wiyat.
Singkat, gamblang, dan jelas, Dyah Wiyat menceritakan pertemuannya
dengan Gajah Mada.
”Kakekku bangsawan dari Sunda Galuh,” Dyah Wiyat mengeluh.
”Lalu, bagaimana Majapahit bisa bersikap mendua macam itu. Di satu sisi,
Kangmbok Ayu Ratu ingin sekali berbesanan dengan Raja Sunda Galuh
karena itu akan kembali mempererat hubungan yang dulu pernah terjalin
amat baik melalui perkawinan Eyang Dyah Lembu Tal dengan Eyang
Jayadarma. Namun, pada saat yang sama, Majapahit mengacungkan
pedang telanjang mengancam Sunda Galuh untuk segera menyatukan diri
di bawah Majapahit. Gajah Mada menganggap itu sebagai penggabungan
atas nama persatuan dan kesatuan. Namun, orang Sunda Galuh dari yang
paling tolol sekalipun tahu, bergabung dengan Majapahit berarti Sunda
Galuh tidak merdeka lagi. Sunda Galuh harus tunduk dijajah.”
Arah pandang Raden Kudamerta tak bergeser dari tahi lalat yang
hinggap di kulit keriput Dyah Wiyat.
”Kakang mempunyai saran apa? Atau, bagaimana jika Kakang
menemui Gajah Mada dan membujuknya?” tanya Dyah Wiyat.
Beberapa jenak, Raden Kudamerta masih terdiam. Namun, gelengan
kepalanya datang menyusul. Raden Kudamerta amat sadar, terhadap
http://facebook.com/indonesiapustaka

istrinya yang dulu pernah menjadi raja kembar saja, Gajah Mada bisa
membantah. Apalagi, yang hanya kepada dirinya yang tidak memegang
kekuasaan.
”Kilah mana yang bisa kugunakan untuk meyakinkan Gajah Mada
agar mau mengubah sikapnya terhadap Sunda Galuh? Kurasa, satu-
Sanga Turangga Paksowani 205

satunya orang yang bisa hanya Anakmas Prabu. Bukankah Anakmas


Prabu sedang berkepentingan ingin memperistri anak Raja Sunda
Galuh?” balas Raden Kudamerta.
Dyah Wiyat sependapat dengan suaminya. Bahkan, sejak awal Dyah
Wiyat tahu, hanya Hayam Wuruk yang ucapannya tak boleh dibantah,
oleh seorang Gajah Mada sekalipun.
Dyah Wiyat menggeleng lunglai.
”Soal Anakmas Prabu ingin memperistri anak Raja Sunda Galuh
itu masih belum pasti,” jawab Dyah Wiyat. ”Sekarang, sedang dikirim
pelukis pilihan ke Sunda Galuh untuk menggambar wajah Sekar Kedaton
Sunda Galuh agar nanti Prabu Hayam Wuruk mendapat gambaran
seperti apa kira-kira wajahnya. Mungkin Hayam Wuruk tertarik, tetapi
mungkin juga tidak. Namun, berbesanan ataupun tidak dengan Raja
Sunda Galuh, Gajah Mada tidak seyogianya mengancam negeri itu agar
tunduk menjadi bawahan negara Majapahit.”
Raden Kudamerta mengangguk perlahan. Raden Kudamerta
menduga, penyerbuan ke negara Sunda Galuh dan Sunda Pakuan itu hanya
masalah waktu. Cepat atau lambat, serbuan itu akan dilakukan. Berulang
kali dan di beberapa kesempatan, Gajah Mada menyampaikan kepada para
pembesar dan pimpinan prajurit atas pentingnya menundukkan Sunda
Galuh dan Sunda Pakuan dengan dalih untuk kepentingan yang lebih
besar, persatuan dan kesatuan. Agaknya, Gajah Mada merasa risih karena
masih ada warna lain di permukaan Nusantara yang sebagian besar telah
berhasil dihitamkan. Jawa bagian barat masih berwarna merah.
”Aku tidak akan memengaruhi Mahapatih Gajah Mada karena
percuma,” kata Raden Kudamerta. ”Namun, aku berjanji akan mencoba
berbicara dengan Anakmas Prabu Hayam Wuruk. Akan kubuka matanya
http://facebook.com/indonesiapustaka

agar ia bisa melihat dengan jelas. Jika Hayam Wuruk bisa berbicara tegas
karena bagaimanapun ia tetap seorang raja, Gajah Mada tak punya hak
untuk melawan apa yang menjadi keputusannya.”
Dyah Wiyat berpikir sejenak, arah pandangnya bagai melamun
sekaligus keningnya berkerut. Dyah Wiyat menganguk.
206 Gajah Mada

Suara pintu yang berderit menyebabkan Dyah Wiyat menoleh. Seorang


emban telah berjongkok di depan pintu. Emban itu menyembah.
”Ada apa?” tanya Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa.
Emban berusia sebaya dengan Dyah Wiyat itu beringsut lebih
mendekat. Setelah berada pada jarak yang cukup, emban paruh baya
itu menyembah.
”Mohon izin untuk menyampaikan sebuah pawarta layu-layu,105 Tuan
Putri,” kata emban itu.
Dyah Wiyat sedikit berubah wajahnya, demikian juga dengan
suaminya.
”Siapa yang tiada?” balas Dyah Wiyat.
Kembali emban itu menyembah sambil tiba-tiba matanya berkaca-
kaca. Melihat emban itu berusaha menahan tangis, Dyah Wiyat kaget.
”Cepat katakan,” kata Dyah Wiyat. ”Siapa yang meninggal dunia.”
”Emban Prabarasmi, Tuan Putri,” jawab emban itu tersendat.
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa mendadak merasa kulit
punggungnya bagaikan dirambati puluhan ekor semut. Tangannya yang
dengan sekuat tenaga telah ia upayakan agar jangan sampai gemetar,
nyatanya perbawa pawarta layu-layu itu cukup kuat menimbulkan guncangan
yang mengagetkan.
Pelan, Raden Kudamerta menempatkan diri di belakangnya dan
menyentuh pundak istrinya.
”Emban Prabarasmi,” gumam Dyah Wiyat.
Emban itu membungkuk perlahan dan menyembah, ”Emban
Prabarasmi meninggal kemarin, Tuan Putri. Tapi, beritanya baru datang
http://facebook.com/indonesiapustaka

sekarang.”
Bagi Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa, Emban Prabarasmi bukanlah
emban biasa. Usianya hampir sebaya dengan dirinya. Prabarasmi lebih

105
Pawarta layu-layu, Jawa, juga sering disebut lelayu, berita duka
Sanga Turangga Paksowani 207

tua dua atau tiga tahun dari dirinya. Namun, kedekatannya lebih mirip
seorang sahabat. Ketika ia masih remaja, Emban Prabarasmi sering
mendandaninya aneh-aneh agar tidak dikenali. Dengan penyamaran itu,
tak seorang pun yang mengenalinya ketika ia bersama Emban Prabarasmi
keluar dari lingkungan istana. Tak seorang pun yang mengenalinya ketika
ia keluar masuk pasar untuk berbelanja berbagai keperluan. Apalagi,
Dyah Wiyat melengkapi penyamarannya dengan berjalan terpincang-
pincang seolah mengalami cacat kaki bawaan.
Kedekatan itu menempatkan Emban Prabarasmi sebagai tempat
menampung segala macam rahasia yang dimilikinya. Lakon, cerita, atau
keluh kesah serta rahasia macam apa pun, ditampung dengan baik tanpa
ada secuil pun yang bocor. Emban Prabarasmi begitu setia dan sangat
memahami jiwa junjungannya. Itu sebabnya, untuk bertahun-tahun
lamanya, termasuk juga ketika ia dan kakaknya menjadi raja kembar yang
menggelar pemerintahan, hanya Emban Prabarasmi yang dipercayainya.
Tak hanya Dyah Wiyat Rajadewi Maharaja yang merasa kehilangan
dengan kepergian Emban Prabarasmi itu. Tak kalah dari istrinya, Hyang
Parameswara memiliki alasan tersendiri untuk amat menyesali kematian
yang menimpa Emban Prabarasmi itu.
Emban Prabarasmi tidak hanya seorang emban yang bertugas
melayani berbagai keperluannya. Terlalu banyak rahasia yang disimpan
emban itu sebagaimana banyak pula pertanyaan yang diharapkan
diperoleh jawabnya melalui emban itu. Jawaban yang dibutuhkan itu
belum diperoleh, tetapi emban itu keburu mati.
Dengan telah dipanggilnya Emban Prabarasmi oleh Hyang Widdi,
tertutuplah kesempatan untuk bisa menemukan jejak istri dan anaknya.
Jika sang istri itu kini telah bersuami orang lain, Raden Kudamerta tidak
mempersoalkan. Ia berharap Nyai Dyah Menur memperoleh hidup
http://facebook.com/indonesiapustaka

bahagianya, meski dengan lelaki lain karena pada kenyataannya, Raden


Kudamerta tidak mampu memberikan kebahagiaan itu.
Yang amat mengganggu hati Raden Kudamerta adalah dengan
istri terdahulu itu ia memiliki keturunan. Sedemikian lama waktu telah
berlalu hingga Raden Kudamerta lupa nama anaknya. Hal itu sungguh
208 Gajah Mada

mencemaskan. Akan tetapi, Raden Kudamerta juga menyimpan


kecurigaan, amat mungkin Dyah Menur mengganti nama anaknya. Untuk
menghapus jejak suaminya, Dyah Menur pasti mengganti nama Anjar
Paramarta, nama anak itu.
Beberapa tahun yang lalu, Emban Prabarasmi memberi sebuah
keterangan yang amat penting bahwa memang benar Dyah Menur telah
mengganti nama Anjar Paramarta menjadi nama lain. Keterangan lain
yang diberikan Emban Prabaresmi yang tak kalah penting adalah Anjar
Paramarta kini mengabdikan diri di istana Majapahit dengan menjadi
seorang prajurit.
Raden Kudamerta akhirnya diganduli penasaran yang tak
berkesudahan atas nama rasa ingin tahu, seperti apa wajah anaknya yang
telah terpisah dua puluh tahun lebih itu.
Dyah Wiyat Rajadewi Maharaja bukannya tak tahu persoalan
yang mengganggu suaminya itu. Dyah Wiyat sangat tahu, tetapi
sama sekali tidak mempersoalkan masa silam suaminya. Dyah Wiyat
bahkan menyimpan ketulusan hati andaikata Raden Kudamerta akan
menempatkan Dyah Menur sebagai garwa selir. Akan tetapi, saat Raden
Kudamerta tergugah nuraninya untuk menebus kesalahan yang pernah
ia lakukan, semua sudah terlambat. Menurut kabar, Dyah Menur telah
menjadi istri Pradhabasu.
Dyah Wiyat yang mampu membaca raut muka suaminya segera
menyentuh tangannya.
”Adakah berita lain yang kaubawa?” tanya Dyah Wiyat kepada emban
gemuk itu.
Dengan bergegas, emban yang mengenangkan kalung samir
berwarna kuning itu menyembah sambil beringsut agak mendekat. Emban
http://facebook.com/indonesiapustaka

itu rupanya kurang jelas mendengar apa yang disampaikan Dyah Wiyat.
Dyah Wiyat segera ingat, pendengaran emban itu agak terganggu.
”Mohon diulang, Putri,” ucap emban itu.
Dyah Wiyat mengulang pertanyaannya dengan lebih keras, ”Ada
hal lain yang ingin kausampaikan?”
Sanga Turangga Paksowani 209

Emban gemuk itu pun segera mengangguk lebih dalam.


”Hamba, Tuan Putri,” jawabnya. ”Apa hamba diizinkan untuk
menghadapkan Prabasiwi?”
Dyah Wiyat segera teringat, Prabasiwi adalah anak Emban
Prabarasmi. Ketika Prabasiwi berusia tiga belas tahun atau lebih kurang
delapan tahun yang lalu, ia dibawa pulang ke desa asalnya. Sejak itu,
Prabasiwi tidak pernah kembali. Hanya Emban Prabarasmi yang kembali
ke istana untuk melanjutkan tugas dan kewajibannya. Ketika ditanya
mengapa Prabasiwi tidak dibawa kembali ke istana, Emban Prabarasmi
mengatakan, anaknya telah ketemu jodohnya. Berarti, di usia tiga belas
tahun, Prabasiwi telah bersuami.
”Persilakan ia masuk,” kata Ibu Suri Dyah Wiyat Rajadewi
Maharajasa.
Emban gemuk itu beringsut mundur dan merapatkan kedua telapak
tangannya dalam sikap menyembah. Sejenak kemudian, seorang gadis
cantik dengan dandanan sederhana muncul di pintu. Gadis berambut
amat panjang itu langsung berjalan jongkok dan berubah menjadi
beringsut ketika telah sampai pada jarak yang dekat. Prabasiwi berani
lebih mendekat karena Ibu Suri melambaikan tangan dan memintanya
lebih mendekat. Ibu Suri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa melihat,
Prabasiwi tumbuh menjadi gadis cantik, tubuhnya padat berisi. Amat
mungkin, Prabasiwi masih gadis, masih belum bersuami.
Prabasiwi tak mampu membendung matanya yang segera berkaca-
kaca. Ibu Suri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa memberinya pelukan
yang menyebabkan tangis gadis itu pun kemudian jebol. Dengan sekuat
tenaga, Prabasiwi berusaha menguasai diri. Gadis itu sadar benar, ia
berada dalam pelukan Ibu Suri.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Prabasiwi kemudian duduk timpuh106 sambil berusaha menghapus


air mata yang mengalir.

106
Timpuh, Jawa, sikap duduk dengan menekuk lutut, bukan bersila juga bukan dengan sikap kaki saling
tindih
210 Gajah Mada

”Hamba menghaturkan sembah dan bakti, Tuan Putri Ibu Suri,”


kata Prabasiwi dengan suara agak tersendat.
”Kuterima baktimu, Prabasiwi,” balas Dyah Wiyat. ”Aku ikut berduka
dan berbelasungkawa atas kematian ibumu. Aku terima berita itu seperti
ledakan petir.”
Prabasiwi berusaha tersenyum dan mengangguk. Namun, ia masih
membutuhkan waktu untuk mendamaikan duka dan keharuannya.
”Sakit apa yang diderita Mbakyu Prabarasmi?” kali ini pertanyaan
itu datang dari Raden Kudamerta.
Prabasiwi mengarahkan sembahnya kepada Raden Kudamerta.
”Hamba, Tuanku,” jawabnya. ”Sebelumnya, ibu hamba dalam
keadaan sehat tidak kurang suatu apa. Namun, pagi itu, ibu hamba
mengeluh kepalanya pusing, lalu muntah-muntah. Siangnya, keadaannya
memburuk. Dan, ketika matahari baru saja bergulir dari tengah hari, ibu
mengembuskan napasnya yang terakhir.”
Bagian tengah istana Breh Wengker dan Ibu Suri Dyah Wiyat
Rajadewi Maharajasa itu terasa hening. Dengan penuh minat, Ibu Suri
Dyah Wiyat memerhatikan wajah Prabasiwi yang cantik.
”Kamu sudah punya anak berapa?” tanya Dyah Wiyat.
Meski menyembah, Prabasiwi tidak tahu akan mengucapkan apa.
”Kamu sudah bersuami, bukan? Ibumu pernah bercerita tentang
rencana perkawinanmu dengan seorang jejaka yang masih ada hubungan
darah,” kata Dyah Wiyat.
Prabasiwi menengadah.
”Hamba belum menikah, Tuan Putri Ibu Suri,” jawab Prabasiwi.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ibu Suri Dyah Wiyat mengerutkan dahi.


”Apa itu berarti, ibumu dulu berbohong kepadaku?” Ibu Suri Dyah
Wiyat mengejar.
Prabasiwi telah berhasil mengendalikan diri. Ia berusaha untuk
tersenyum.
Sanga Turangga Paksowani 211

”Ibu hamba tidak bohong, Tuan Putri,” jawab gadis itu. ”Hamba
memang hendak dikawinkan dengan seorang pemuda yang masih ada
pertalian darah, meski sudah agak jauh. Namun, saat itu, hamba tidak
menyukainya. Hamba minggat sebulan lamanya.”
Ibu Suri Dyah Wiyat terbelalak. Suaminya tersenyum.
”Saat itu, kamu tidak menyukainya?” tanya Ibu Suri Dyah Wiyat
dengan nada amat sejuk sambil berusaha menghibur Prabasiwi agar
jangan terlampau larut pada dukanya.
Prabasiwi mengangguk, tubuhnya sampai tertekuk.
”Hamba, Tuan Putri. Saat itu, hamba tidak menyukainya,” jawabnya.
”Bagaimana dengan sekarang?” tanya Dyah Wiyat dengan nada
sejuk. ”Kamu masih tidak menyukai laki-laki pilihan ibumu itu?”
Prabasiwi yang memejamkan mata itu, tersenyum ketika membuka
mata.
”Kakang Bintara sekarang sudah beristri dan punya empat anak,
Tuan Putri,” jawab Prabasiwi.
Hening yang berlanjut itu dimanfaatkan Ibu Suri Dyah Wiyat
Rajadewi Maharajasa untuk memerhatikan kecantikan gadis itu dengan
penuh minat. Meski tampil sederhana, gadis itu mutlak memancarkan
daya tarik yang pasti menarik minat lelaki mana pun. Segera Ibu Suri
Dyah Wiyat berpikir, dengan siapa kira-kira gadis itu pantas untuk
dijodohkan? Dalam kelebatan pikirannya, Ibu Suri Dyah Wiyat teringat
kepada Kuda Swabaya, prajurit muda yang gagah dan tampan. Bagaimana
kalau Kuda Swabaya yang bertugas mengawal dan melayani suaminya
itu dipertemukan dengan Prabasiwi? Apa benih rasa saling tertarik akan
tumbuh di antara mereka berdua?
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Dengan telah meninggalnya ibumu, lalu dengan siapa sekarang


kautinggal?” pertanyaan itu dilontarkan Raden Kudamerta.
Prabasiwi mengarahkan tubuhnya menghadap Raden Kudamerta.
Prabasiwi merapatkan kedua telapak tangannya, lalu membawanya ke
ujung hidung.
212 Gajah Mada

”Hamba tidak mempunyai siapa-siapa lagi, Tuanku,” balas Prabasiwi.


”Namun, ibu hamba pernah berpesan kepada hamba, jika saat macam
ini tiba, hamba harus datang menghadap Ibu Suri Dyah Wiyat untuk
memohon petunjuk.”
Raden Kudamerta saling pandang dengan istrinya.
”Begitu kata ibumu?” tanya Dyah Wiyat.
Prabasiwi mengangguk. Ibu Suri Dyah Wiyat termangu untuk
beberapa saat. Ibu Suri bertanya-tanya dalam hati, mengapa Prabarasmi
memberi pesan demikian kepada anaknya?
”Aku ingin mengulang sekali lagi,” kata Dyah Wiyat. ”Benarkah kau
sekarang telah sebatang kara? Kau tidak memiliki siapa-siapa lagi?”
Prabasiwi merapatkan kedua telapak tangannya.
”Hamba masih punya sanak dan kadang dari pihak ayah hamba.
Namun, sudah jauh. Boleh dikata, hamba sebatang kara dan tidak
memiliki siapa pun,” jawab Prabasiwi.
Dyah Wiyat mengangguk perlahan dan mulai bisa membayangkan
pesan yang dimaksud Emban Prabarasmi, emban kinasih yang kematiannya
membuatnya merasa sangat kehilangan. Dengan demikian, ada dua
tawaran yang bisa ia berikan kepada gadis itu. Pertama, mengangkatnya
menjadi emban menggantikan ibunya. Kedua, mencarikannya suami.
Dengan bersuami dan membentuk keluarga sendiri, akan ada orang yang
melindungi Prabasiwi dan juga mencintainya. Bersama orang itu benih
cinta ditabur dan diharapkan terbentuk wangsa baru.
”Aku mempunyai dua tawaran untukmu, Prabasiwi,” kata Dyah
Wiyat. ”Pertama, bagaimana kalau kautinggal di istana dan kuberikan
pekerjaan sebagai emban kepadamu? Kedudukan dan pekerjaanmu
http://facebook.com/indonesiapustaka

sama persis dengan jabatan yang pernah disandang ibumu. Aku merasa
cocok dengan ibumu yang bisa memahami dan mengerti serta gampang
tanggap pada apa saja yang aku kehendaki.”
Dengan raut wajah berbinar, Prabasiwi menekuk tubuh nyaris
menyentuh tanah. Dalam sikap yang demikian, Prabasiwi menyembah.
Sanga Turangga Paksowani 213

”Hamba bersedia, Tuan Putri,” jawab gadis itu.


”Lalu, yang kedua,” tambah Ibu Suri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa,
”barulah sempurna hidupmu manakala kau memiliki kehidupanmu
sendiri. Andaikata aku jodohkan kau dengan seseorang, apakah kau
akan minggat sebulan lamanya?”
Tawaran yang diberikan Ibu Suri Dyah Wiyat itu mengagetkannya
dan bukan pekerjaan gampang untuk memberikan jawabnya. Akan tetapi,
Prabasiwi memang telah belajar dari pengalamannya. Setalah ibunya tiada,
seyogianya ia segera berumah tangga. Dengan demikian, akan ada suami
yang melindunginya, ada anak dan rumah tangga yang harus diurus.
”Jika memang demikian petunjuk Ibu Suri Rajadewi,” jawab
Prabasiwi, ”hamba akan melaksanakan petunjuk itu.”
Ibu Suri Dyah Wiyat segera meraih tubuh Prabasiwi dan
memeluknya.
”Ini bukan petunjuk atau perintah, Prabasiwi,” ucapnya. ”Ini hanya
sebuah tawaran yang boleh kauterima dan boleh kautolak. Dalam hidup
berumah tangga, pasti kau akan lebih mengedepankan kebahagiaan atas
dasar saling mencintai. Apa artinya kau menerima tawaranku jika kau
tidak merasa bahagia?”
Perasaan Prabasiwi segera mengombak oleh penasaran. Jika benar
itulah petunjuk yang harus diterima dari Ibu Suri sebagaimana pesan
ibunya, lalu lelaki mana yang akan menjadi suaminya?
”Apa aku akan menyukainya?” tanya Prabasiwi dalam hati.
Raden Kudamerta pun merasa penasaran. Ia pandangi wajah istrinya
dengan pandang mata agak aneh.
”Dengan siapa Prabasiwi akan kaujodohkan?” tanya Raden
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kudamerta.
Dengan senyum mengembang, Dyah Wiyat menoleh kepada
suaminya.
”Bagaimana jika Prabasiwi kita jodohkan dengan Kuda Swabaya?”
balas Dyah Wiyat.
214 Gajah Mada

Terkejut Raden Kudamerta Breng Pamotan mendengar jawaban


istrinya. Nama Kuda Swabaya disebut, menyebabkan Raden Kudamerta
terbelalak.
”Kau benar,” jawab Raden Kudamerta.
Nama Kuda Swabaya disebut, menyebabkan Prabasiwi tergugah
rasa ingin tahunya. Jika boleh dianggap pantas ia bertanya, tentu akan
ditanyakan siapa Kuda Swabaya itu, bagaimana tampilannya, apa
pekerjaannya, atau anak siapa.
Namun, Prabasiwi memang tak perlu menanyakan.
”Ada seorang prajurit muda dan tampan. Ia dari kesatuan prajurit
pilih tanding yang tidak sembarang orang bisa menjadi bagiannya,
kesatuan Bhayangkara. Ia gagah perkasa, namanya Kuda Swabaya. Ia
punya masa depan yang cerah. Setidaknya, kelak mungkin ia akan bisa
meraih kedudukan sebagai senopati. Sepengetahuanku, ia juga seorang
pemuda yang baik dan belum memiliki calon istri. Bagaimana kalau aku
perkenalkan kau dengan pemuda itu?” tanya Dyah Wiyat.
Prabasiwi tidak menjawab. Yang ia lakukan hanya menundukkan
kepala. Akan tetapi, yang hanya menunduk dan tidak mengatakan
apa pun itu, pada dasarnya sudah merupakan sebuah jawaban. Jika
tawaran perjodohan diberikan kepada seorang gadis, lalu gadis itu hanya
menunduk diam tidak menjawab, apalagi ia tampak menyembunyikan
senyumnya, itu berarti yang bersangkutan tidak keberatan.
Namun, Ibu Suri Dyah Wiyat tak puas dengan jawaban itu. Ibu Suri
Dyah Wiyat butuh jawaban yang lebih tegas.
”Bagaimana? Mau tidak?” tanya Ibu Suri.
Prabasiwi menengadahkan kepala.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Hamba hanya gadis dari desa. Apa pemuda yang Tuan Putri sebut
itu mau dengan hamba?” tanya Prabasiwi.
Ibu Suri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa tersenyum.
”Aku akan atur pertemuanmu dengannya beberapa pekan lagi,
setelah ia kembali dari tugasnya. Ia sedang mengawal rombongan utusan
Sanga Turangga Paksowani 215

Sang Prabu yang dikirim menuju Sunda Galuh. Kamu pasti senang
karena di samping ia pemuda yang tampan, ia juga seorang prajurit yang
tangguh dan gagah perkasa,” jawab Dyah Wiyat.
Prabasiwi kembali menyembah. Namun, bagai diingatkan oleh
sesuatu, Prabasiwi mengeluarkan sebuah gulungan rontal yang diambil
dari dalam buntalannya. Gulungan rontal itu segera diserahkan kepada
Ibu Suri Dyah Wiyat. Dengan kening berkerut, Dyah Wiyat menerima
lipatan rontal itu.
”Apa ini?” tanya Ibu Suri Dyah Wiyat.
”Ketika masih hidup,” kata Prabasiwi, ”mendiang ibu hamba
berpesan kepada hamba untuk menyerahkan rontal ini kepada Tuan
Putri. Hamba hanya ditugasi menyerahkan tanpa mempunyai hak untuk
mengetahui isinya.”
Dyah Wiyat saling lirik dengan suaminya. Prabasiwi segera
menyerahkan lembaran rontal itu sambil kepalanya tetap menunduk.
Sikapnya yang amat santun pastilah berasal dari didikan ibunya.
Prabarasmi pasti memperkenalkan bagaimana tata cara yang berlaku di
istana.
Berubah rona muka Ibu Suri Dyah Wiyat setelah membaca isi surat
yang tertera dalam lembar rontal itu. Tampak jelas dari raut mukanya,
Ibu Suri Dyah Wiyat benar-benar kaget.
Isi surat itu menyebabkan Ibu Suri bertanya, ”Benarkah seperti
yang kaukatakan, kau tidak membaca surat ini?”
Prabasiwi mengangguk.
”Para Dewa di langit akan menjatuhkan kutukan kepada hamba
menjadi serpihan tanah jika hamba berani dan lancang mengetahui isi
http://facebook.com/indonesiapustaka

nawala107 itu, Tuan Putri,” jawab Prabasiwi.

107
Nawala, Jawa, surat. Dalam kehidupan sehari-hari, kosakata ini sudah amat jarang digunakan kecuali
di pentas pertunjukan wayang, wayang orang, atau ketoprak.
216 Gajah Mada

Ibu Suri Dyah Wiyat masih menampakkan wajah tegangnya ketika


menyerahkan lembaran rontal yang telah dibuka itu kepada suaminya.
Raden Kudamerta juga amat terkejut begitu membaca lembaran rontal
itu. Prabasiwi bingung dan terheran-heran. Prabasiwi segera diganduli
oleh rasa penasaran, apa gerangan isi surat itu sehingga menyebabkan
Raden Kudamerta sedemikian kaget?

20
R
aden Kudamerta menjatuhkan pandang matanya ke halaman di
samping istana, ke arah beberapa ekor ayam klangenan yang terkurung
dalam kandang. Ayam-ayam itu bukan ayam biasa. Namun, jenis ayam
cebol yang lucu-lucu dan jinak. Ayam-ayam itu tidak merasa takut kepada
manusia karena merena menganggap manusia tidak akan membahayakan
mereka.
Namun, pikiran Raden Kudamerta, juga pikiran Dyah Wiyat
Rajadewi Maharajasa tidak terarah pada hewan piaraan itu. Isi surat
dari Emban Prabarasmi memang benar-benar mengagetkan. Jejaknya
memanjang belum bisa didamaikan.
Lalu, pandangan mata Raden Kudamerta menelusuri bagian atas
benteng yang memanjang yang ujungnya bertemu dengan ujung yang
lain di Purawaktra. Di sudut-sudut benteng, terdapat anjungan yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

dipergunakan para prajurit untuk mengawasi keadaan di luar lingkungan


istana. Anjungan yang demikian juga dibangun di pedukuhan Nglinguk.108
Di tempat itu, benteng dibangun amat tinggi, nyaris menyamai ketinggian
108
Nglinguk, nama ini sekarang berubah menjadi nama desa. Kata nglinguk sendiri berarti mengintai,
sesuai dengan fungsinya untuk melakukan pengintaian ke kejauhan.
Sanga Turangga Paksowani 217

pohon kelapa. Dari ketinggian anjungan itu bisa melihat amat jauh ke
seberang sawah. Belajar dari kesalahan Singasari yang amat mudah
dirobohkan Prabu Jayakatwang dari Gelang-Gelang, Gajah Mada tidak
ingin peristiwa itu terulang kembali. Itu sebabnya, dibangun beberapa
buah sarana pengintaian seperti anjungan itu. Jika ada musuh yang
datang mendekat, kehadiran mereka bisa diketahui lebih dini. Persiapan
penyambutan bisa dilakukan sebelum penyerbu tiba di istana.
”Hamba, Tuanku dan Tuan Putri,” demikian Prabarasmi mengawali
isi suratnya. ”Mohon Tuanku dan Tuan Putri berkenan memberi hamba
ampun karena baru sekarang hamba bisa menghaturkan jawaban atas
pertanyaan yang telah lama sekali Tuanku dan Tuan Putri inginkan
jawabnya. Sedemikian lama hamba baru bisa menjawab karena ada
banyak pertimbangan yang harus hamba takar dan renungkan. Melalui
nawala ini, izinkanlah hamba menyampaikan bahwa benar putra Tuanku
yang terlahir dari Dyah Menur telah diganti namanya. Ia kini seorang
pemuda yang gagah perkasa dan telah mengabdikan diri menjadi seorang
prajurit di Majapahit dengan nama Kuda Swabaya.”
Raden Kudamerta mengalami kesulitan untuk mendamaikan diri
setelah membaca surat itu. Selama ini, lebih dari dua puluh tahun, Raden
Kudamerta diganduli kerinduan dan penasaran di mana gerangan anak
lelakinya kini berada dan bagaimana wujudnya serta bagaimana pula
keadaannya. Siapa sangka, anak lelaki yang hilang itu ternyata begitu
dekat. Siapa sangka, Anjar Paramarta telah berganti nama menjadi Kuda
Swabaya, prajurit muda yang bertugas khusus melekat, melindungi, dan
melayaninya. Prajurit itu ternyata anaknya.
Masih ada lanjutan kalimat dalam surat yang ditulis Emban
Prabarasmi itu.
”Yang perlu hamba sampaikan adalah keberadaan dan jati diri Kuda
http://facebook.com/indonesiapustaka

Swabaya itu harus tetap terlindung karena sungguh berbahaya jika Sang
Mahamantrimukya tahu siapa Kuda Swabaya sebenarnya.”
Raden Kudamerta berjalan mondar-mandir. Tatapan matanya yang
ditujukan kepada Dyah Wiyat menyiratkan rasa takjub yang menyatu
dengan rasa heran tidak alang kepalang.
218 Gajah Mada

”Apa yang kaurasakan?” tanya Raden Kudamerta.


Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa berada di antara akan senyum
dan bingung.
”Aku benar-benar tidak menyangka,” jawab Dyah Wiyat.
Raden Kudamerta menggerayangi kepalanya.
”Apa menurutmu, Kuda Swabaya itu mirip denganku?” tanya
Raden Kudamerta.
Dyah Wiyat mengerutkan dahi dalam rangka mengenang wajah
Kuda Swabaya.
”Ternyata, memang mirip,” jawab Dyah Wiyat. ”Bentuk alis Kuda
Swabaya jelas berasal dari alis Kakang Kudamerta.”
Raden Kudamerta yang sebagian rambutnya telah memutih itu
menuntun istrinya dan diajaknya duduk berdampingan.
”Selama ini, aku selalu dibuat penasaran, dibuat bertanya-tanya
dalam hati, siapa sangka setiap hari aku berhadapan dengannya, bahkan
sering membentaknya,” ucap Raden Kudamerta.
Namun, apa pun warna perasaan yang sedang mengharu biru
mengaduk isi dada Raden Kudamerta dan istrinya, setidaknya setelah
penantian yang sedemikian panjang, rasa penasaran itu akhirnya
memperoleh jawaban. Raden Kudamerta kini bisa merasa bangga dan
tenteram. Bangga melihat wujud anak lelakinya yang ternyata tinggi gagah
pideksa.109
http://facebook.com/indonesiapustaka

109
Pideksa, Jawa, perkasa
Sanga Turangga Paksowani 219

21
M alam selanjutnya adalah malam yang tenang. Beberapa buah
obor sudah menyala sejak petang datang dan para prajurit dari kesatuan
Bhayangkara telah melaksanakan tugas dengan melakukan penjagaan di
tempat masing-masing, antara lain pintu gerbang Purawaktra, di anjungan
dinding istana, di sudut-sudut istana, juga menyebar ke bangunan-
bangunan penting dalam lingkungan istana, terutama istana raja dan
istana para Ibu Suri. Senopati Macan Liwung yang berada di Balai Perwira
mengendalikan secara langsung penugasan tersebut. Sebuah tugas yang
menyimpan tanggung jawab amat berat. Meski suasana tenang seperti
tak ada bahaya yang mengancam, Singasari memiliki kenangan yang
buruk atas keadaan macam itu. Di balik ketenangan suasana itu, ketika
Sang Prabu Sri Kertanegara sedang menyelenggarakan pesta di istana,
bagaikan banjir bandang istana diserang. Sri Kertanegara terbunuh dan
menjadikan dirinya sebagai Raja Singasari pamungkas.
Kewaspadaan harus selalu dipelihara. Setiap saat, setiap waktu,
Mahamantrimukya Rakrian Mahapatih Gajah Mada selalu menekankan
bahwa musuh bisa menyelinap kapan saja. Oleh karenanya, setiap
prajurit dari semua kesatuan harus selalu berada di puncak kesiagaannya.
Dulu, prajurit boleh tinggal menyebar di rumahnya. Kini, hal itu tidak
diizinkan lagi. Supaya bisa digerakkan setiap saat, prajurit harus tinggal
bersama di bangsal yang disediakan untuk mereka. Sementara itu,
sebagai mata dan telinga, di tempat-tempat tertentu di luar dinding
istana, bahkan sampai di Krian sebelah timur dan Mojoagung di sebelah
barat, barisan telik sandi selalu siaga dalam berbagai penampilan. Gajah
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mada bahkan memanfaatkan penduduk untuk dibina menjadi mata-


mata. Mereka dididik secara khusus dan diajari cara mengirim berita
secepatnya.
Macan Liwung dan beberapa anak buahnya, di antaranya beberapa
perwira dan sebagian yang lain prajurit dengan pangkat rendahan,
220 Gajah Mada

serentak bangkit ketika tiba-tiba melihat Mahapatih Gajah Mada


melintas. Akan tetapi, Mahapatih Gajah Mada tidak berhenti. Ia hanya
melambaikan tangan.
”Dari mana, Kakang?” teriak Macan Liwung.
Mahapatih Gajah Mada tidak membalas pertanyaan itu. Ia hanya
melambaikan tangan dan terus berjalan. Langkahnya lurus menuju
tengah alun-alun. Dalam kegelapan malam, tak berapa lama lagi, bayang-
bayang Gajah Mada akan lenyap ditelan warna hitam.
”Ke mana Kakang Gajah Mada itu?” tanya Macan Liwung kepada
para anak buahnya.
Namun, tak seorang pun di antara mereka yang menjawab, juga
ketika Gajah Sagara datang mendekat dan memberi hormatnya kepada
Senopati Macan Liwung. Didorong rasa penasarannya, Macan Liwung
bangkit dan bergegas menyusul Gajah Mada. Di kejauhan, bayang-bayang
tubuh Gajah Mada makin samar.
”Akan ke mana, Senopati?” tanya Gajah Sagara.
”Menyusul Mahapatih. Ia harus ditemani,” balas Macan Liwung.
Gajah Sagara terkejut.
”Paman Patih Gajah Mada?” tanya Gajah Sagara.
”Ya,” balas Senopati Macan Liwung.
”Tak mungkin,” Gajah Sagara meletup.
Senopati Macan Liwung merasa aneh melihat sikap Gajah Sagara
itu.
”Tak mungkin bagaimana?” tanya pimpinan pasukan Bhayangkara
http://facebook.com/indonesiapustaka

itu.
”Aku baru saja dari rumah Mahapatih,” ucap Gajah Sagara. ”Baru
saja. Mustahil Mahamantrimukya Gajah Mada berada di dua tempat
sekaligus. Saat aku pulang, beliau masuk ke biliknya dan berangkat
tidur.”
Sanga Turangga Paksowani 221

Macan Liwung merasa aneh. Baru saja, Gajah Mada melintas.


”Baru saja atau beberapa waktu yang lalu?” tanya Macan Liwung.
”Baru saja,” balas Gajah Sagara.
Macan Liwung segera mengayun langkah lebar, lebih bergegas dari
langkah kaki, tetapi bukan berlari. Gajah Sagara mengikuti dari belakang,
begitu pula semua prajurit yang berada di bangunan penjagaan itu. Macan
Liwung yang merasa amat yakin, orang yang melintas sebelumnya adalah
Gajah Mada, ingin membuktikan apa yang diyakininya. Namun, betapa
bingung Macan Liwung.
”Ke mana dia?” gumam Macan Liwung.
Tidak tampak bayangan Gajah Mada di tengah alun-alun yang
merupakan tempat terbuka itu. Ke mana pun perginya, mestinya bisa
ditemukan jejak bayangannya.
”Kakang Gajah Mada!” teriak Macan Liwung.
Tidak ada jawaban.
”Cari!” perintah Macan Liwung kepada anak buahnya.
Para prajurit itu berlarian untuk memeriksa setiap sudut alun-alun.
Macan Liwung tidak perlu menunggu lama karena sejenak kemudian,
para prajurit bawahannya telah kembali.
”Bagaimana?” tanya Macan Liwung.
”Tidak ada, Senopati,” jawab beberapa prajurit serentak.
”Tetapi, aku menemukan orang mencurigakan. Orang itu bukan
Mahapatih Gajah Mada. Ia sedang tidur,” seorang prajurit memberikan
laporannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Di mana?” tanya Macan Liwung tegang.


Ditemukannya orang tak dikenal di dalam lingkungan istana jelas
bukan masalah kecil. Itu artinya, orang itu menyelinap masuk ke wilayah
terlarang yang dijaga ketat. Dengan berlari-lari, Macan Liwung mengikuti
anak buahnya dan ternyata benar apa yang dilaporkan itu. Di teritisan
222 Gajah Mada

rumah Menteri Amawa Pinituha, seseorang sedang tergeletak. Seorang


prajurit mengambil obor untuk meneranginya. Orang itu memang bukan
Gajah Mada.
Senopati Macan Liwung membangunkan orang itu. Mata yang
semula tertutup itu, kemudian terbuka. Melalui sentuhan tangannya,
Macan Liwung menyimpulkan bahwa orang itu sedang sakit, tubuhnya
hangat. Dengan amat lunglai dan tak bertenaga, orang itu bangun. Macan
Liwung jengkel sekali.
”Istana sudah dikawal dengan ketat,” letupnya dalam hati dengan
perasaan jengkel, ”bagaimana pekerjaan Bhayangkara sampai ada
pengemis yang lolos masuk ke tempat ini?”
”Aku lapar, Kisanak,” meletup orang itu dengan suara memelas.
”Beri aku makanan. Aku lapar sekali.”
Macan Liwung merasa tak ada gunanya mengajak berbincang orang
itu yang nyata-nyata gelandangan peminta-minta. Persoalan besar yang
kini ditemukannya adalah kerja pasukan khusus Bhayangkara yang bisa
dianggap kedodoran. Macan Liwung melangkah mundur diikuti Gajah
Sagara.
”Beri dia makan!” teriak Macan Liwung. ”Setelah itu, tunjukkan
jalan keluar dari tempat ini.”
Sigap para prajurit anak buahnya menerjemahkan perintah itu.
Seorang di antara mereka segera berlari kencang menuju bangsal para
emban dengan harapan bisa memperoleh makanan di sana. Sebagaimana
Senopati Macan Liwung yang bingung, prajurit itu juga sulit memahami
bagaimana istana yang telah dijaga ketat sedemikian rupa bisa dimasuki
gelandangan. Pertanyaan itu membuatnya bingung, apalagi ketika ia
berpikir tentang Gajah Mada yang ia pun melihatnya tadi. Ke mana
http://facebook.com/indonesiapustaka

orang itu pergi karena tidak ditemukan jejaknya?


Macan Liwung mondar-mandir di halaman rumah Menteri Amawa
Pinituha yang sedang kosong itu. Ia berpikir keras.
”Apa ada yang ceroboh tidak memerhatikan adanya orang yang
menyelinap ke lingkungan istana?” tanya Macan Liwung.
Sanga Turangga Paksowani 223

Gajah Sagara yang ditanya tidak bisa menjawab. Ia hanya mengangkat


bahu.
”Kita kembali ke Balai Perwira. Salurkan perintahku untuk
memanggil semua yang memimpin tugas menjaga empat pintu gerbang!”
Senopati Macan Liwung memberikan perintah.
”Baik!” jawab Gajah Sagara sigap.
Di Balai Perwira, Macan Liwung menyalurkan kemarahannya ke
segenap anak buahnya. Tak seorang pun yang tidak mendapat jatah
caci makinya.
”Kalian semua tidak becus kerja!” umpat Macan Liwung. ”Kalian
makan dengan kenyang dan sibuk bermain dakon110 sampai mata kalian
buta, tak tahu istana dimasuki orang yang tak berhak. Bagaimana ceritanya
ada gelandangan yang sekarang tidur lelap di selasar wisma Menteri
Amawa Pinituha?”
Para prajurit yang dikumpulkan itu bingung. Sebagian di antara
mereka kaget dan sebagian yang lain saling pandang.
Namun, belum lagi Macan Liwung tuntas menyelesaikan persoalannya,
seorang prajurit datang berlari-lari. Ia datang membawa bungkusan.
Napasnya tersengal.
”Ada apa?” damprat Macan Liwung.
”Gelandangan itu hilang,” jawabnya.
”Apa?” teriak Macan Liwung dengan suara amat keras.
Mendadak, Macan Liwung merasa ada yang janggal dengan
menghilangnya lelaki gelandangan yang mengaku kelaparan itu.
Gelandangan, bukankah telik sandi bisa saja berada dalam wujud
http://facebook.com/indonesiapustaka

gelandangan, bisa dalam penampilan memelas?

110
Dakon, Jawa, nama permainan yang populer di zaman Majapahit. Papan dakon yang biasanya terbuat
dari kayu ditemukan yang terbuat dari batu.
224 Gajah Mada

Tidak perlu menunggu, Senopati Macan Liwung segera mengambil


alat pemukul yang segera diayunkannya dengan nada tertentu ke
kentongan yang menggantung di depannya. Isyarat khusus itu menggema
sampai ke ujung, bahkan melintasi dinding istana. Isyarat tanda bahaya
itu segera ditangkap para prajurit Bhayangkara yang tersebar. Isyarat itu
juga dipahami kerabat istana.
Para prajurit yang menjaga keselamatan Raja di istananya yang
berhadapan dengan kediaman dharmadyaksa serentak melolos senjata.
Raja Hayam Wuruk yang lelap terkejut mendengar isyarat yang sudah
disepakati bersama itu. Meskipun seorang raja, ia harus mematuhi
pengambilan langkah penyelamatan yang telah disepakati.
Dalam keadaan yang demikian, Hayam Wuruk mendekati meja batu,
meja yang bukan meja sembarangan. Itulah meja yang menyembunyikan
sebuah lorong di bawahnya. Dulu, lorong itu berjasa menyelamatkan Sri
Jayanegara dari janji kematian yang diberikan Ra Kuti.
Para prajurit yang menjaga ketenangan dan keselamatan istana
para Ibu Suri dan keluarganya serentak merentangkan busur dengan
anak panah telah melekat dan siap melesat. Beberapa di antara mereka
segera menelanjangi pedangnya. Telanjang tanpa pakaian, pedang itu
tampak mengilat.
”Ada apa?” tanya seorang prajurit.
Tak berapa lama, jawaban telah diperoleh. Beberapa orang prajurit
berlari menyebar warta yang disampaikan ke siapa saja. Ibu Suri Sri
Gitarja dan Dyah Wiyat berada dalam pengawalan ketat, demikian pula
dengan para anak gadis mereka. Raden Cakradara dan Raden Kudamerta
secara bersama-sama justru turun ke halaman untuk bergabung dengan
para prajurit. Kedua menantu mendiang Raden Wijaya itu memperoleh
http://facebook.com/indonesiapustaka

senjata berupa pedang panjang yang diserahkan seorang prajurit. Sebagai


mantan prajurit di masa mudanya, dua bangsawan itu tidak merasa
canggung dengan senjata yang berada dalam genggaman tangannya.
”Apa yang terjadi?” tanya Raden Cakradara ketika seorang prajurit
penghubung datang.
Sanga Turangga Paksowani 225

”Ada orang tak dikenal yang menyusup ke dalam lingkungan istana


dan tidur di selasar rumah Menteri Amawa Pinituha. Namun, orang
berpenampilan gelandangan itu kemudian menghilang,” jawab prajurit
itu.
Senopati Macan Liwung yang bertanggung jawab mengendalikan
keamanan dan ketenteraman istana merasa isi otaknya bagaikan mendidih
ketika laporan demi laporan beruntun masuk dalam dendang dan
tembang yang sama, gelandangan itu belum berhasil ditemukan. Senopati
Macan Liwung segera memutar otaknya agar berputar dengan kencang
dan keras melebihi pusingan cakramanggilingan.
”Kau merasa yakin, Kakang Patih Gajah berada di rumahnya?”
tanya Macan Liwung kepada Gajah Sagara.
Gajah Sagara mengangguk.
”Pergilah ke rumahnya dan undang Kakang Gajah Mada kemari,”
perintah Senopati Macam Liwung.
Gajah Sagara memberikan penghormatannya dan bergeges
melangkah. Akan tetapi, Gajah Sagara menghentikan langkahnya karena
dari tempatnya terlihat jelas pintu gerbang Purawaktra yang sesaat lalu
diperintahkan ditutup, dibuka kembali. Dalam siraman cahaya obor,
terlihat sosok dengan perawakan yang sangat mudah dikenali. Tak ada
orang yang dalam berjalan bisa seperti langkah gajah kecuali Gajah
Mada.
Melihat Gajah Mada di Purawaktra, Macan Liwung bergegas
mendatangi.
”Apa yang terjadi?” tanya Gajah Mada.
Dengan singkat dan jelas, Senopati Macan Liwung menyampaikan
http://facebook.com/indonesiapustaka

masalah yang baru saja dihadapinya. Gajah Mada bingung ketika Macan
Liwung menyinggung tentang jejak kehadirannya yang dianggap melintas
dan berjalan ke alun-alun, lalu lenyap.
”Kau merasa melihatku berjalan melintas Balai Perwira menuju ke
beringin?” tanya Gajah Mada amat heran.
226 Gajah Mada

Macan Liwung mengangguk.


”Ya,” jawabnya tegas.
”Aku di rumah. Aku sedang tidak enak badan. Aku tidur dan
terbangun oleh suara titir yang dipukul. Jadi, bagaimana kau bisa merasa
melihatku di sini?” tanya Gajah Mada heran.
Macan Liwung benar-benar bingung. Ia pandangi Gajah Mada dengan
pandang mata yang menyiratkan ketidakpercayaannya pada jawaban itu,
seolah Gajah Mada tidak jujur karena nyata-nyata ia melihatnya melintas.
Jadi, bagaimana Gajah Mada bisa bilang, ia berada di rumah dan tidak
ke mana-mana? Macan Liwung yang tak bisa menerima jawaban itu
melambaikan tangannya. Beberapa prajurit yang semula bersama-sama
melihat Gajah Mada melintas, bergegas datang mendekat.
”Ceritakan apa yang kaulihat,” ucap Senopati Macan Liwung.
Prajurit itu memandang Gajah Mada.
”Aku melihat Gusti Patih melintas, aku tak mungkin salah,” jawab
seorang perwira prajurit.
”Aku juga,” tambah perwira yang lain.
”Tak mungkin sepuluh orang lebih bisa salah bersama, termasuk
aku. Saat ini, mataku tidak sedang lamur,” tambah Macan Liwung agak
kasar.
Gajah Mada tidak senang dengan tuduhan yang dirasakan aneh
itu.
”Aku berada di rumah. Apa aku perlu menghadirkan saksi kalau
aku tidak pergi ke mana-mana? Gajah Sagara dari rumahku,” ucap
Gajah Mada.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Gajah Sagara sigap.


”Telah aku sampaikan, Paman Patih,” jawabnya tangkas.
Akhirnya, Senopati Macan Liwung mengulangi menceritakan
temuannya. Gajah Mada menyimak dengan sungguh-sungguh dan
Sanga Turangga Paksowani 227

sependapat, orang tak dikenal dalam wujud gelandangan itu memang


layak dicurigai. Orang itu bisa merupakan telik sandi yang entah berasal
dari mana. Atau, secara pribadi, ia berkemungkinan membahayakan
penghuni istana, entah siapa.
Namun, sesuatu terjadi. Sesuatu yang menyebabkan Gajah Mada
benar-benar kaget.
”Waaah, ada lesus!” teriak seorang prajurit.
Angin lesus berukuran kecil bergerak meliuk mencuri perhatian
siapa pun. Namun, kemunculan angin berputar itu tidak terlalu lama
karena sejenak kemudian, angin yang saling membelit itu mengurai diri,
lenyap di telan malam.
Peristiwa itu boleh jadi hanya peristiwa biasa. Namun, tidak bagi
Gajah Mada. Mahapatih Mangkubumi menganggapnya sebagai sebuah
pesan yang ditujukan kepadanya.
”Gila, orang itu berada di sini,” ucap Gajah Mada tanpa sadar.
Gajah Mada berbicara untuk diri sendiri. Namun, Macan Liwung
menyimaknya.
”Siapa?” tanya Macan Liwung.
”Ahh, tidak,” jawab Gajah Mada.
Jawaban itu menyebabkan Macan Liwung merasa tidak senang.
Sebagai senopati yang membawahi pasukan khusus Bhayangkara, tugas
yang diemban Macan Liwung sedemikian berat karena keselamatan
Raja bersama segenap kerabatnya berada dalam tanggung jawabnya.
Dengan tanggung jawab macam itu, bisa-bisanya Mahapatih Gajah
Mada berusaha menyembunyikan sebuah keterangan penting terkait
wilayah tanggung jawabnya itu. Padahal, nyata-nyata ada gelandangan
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang masuk menyelinap. Gajah Mada bisa menebak siapa orang itu,
tetapi tidak mau menyebutkannya.
”Kakang Gajah Mada,” dengan lugas Macan Liwung mengajukan
rasa tidak senangnya.
Gajah Mada menoleh.
228 Gajah Mada

”Aku ingatkan, Kakang,” Macan Liwung tidak segan mengancam,


”sebagai orang yang ditunjuk untuk paling bertanggung jawab terhadap
keamanan istana, aku orang yang menjadi pusat perhatian ketika ada
gelandangan berhasil masuk ke istana. Aku yang disalahkan dan dicaci
maki. Tetapi, seenaknya Kakang Gajah Mada mengaku mengenal orang
itu dan menyembunyikan keterangan itu dari aku. Siapa orang itu?”
Boleh jadi, Senopati Macan Liwung memang keras kepala. Akan
tetapi, Mahapatih Gajah Mada bisa menjadi orang yang lebih keras
kepala. Namun, saat Gajah Mada menggunakan keheningan hatinya, ia
sadar, apa yang disampaikan Macan Liwung itu benar.

22
K uda tegar itu berlari dengan tenang dan tidak perlu merasa
tergesa. Ayunan kakinya berirama dengan jarak langkah yang tetap sama.
Sementara itu, penunggangnya adalah lelaki yang mungkin kecapaian.
Ia tertidur dengan menelungkup di punggung kuda itu.
Pagi yang datang di Sunda Galuh itu lagi-lagi menjadi pagi yang
membingungkan bagi penunggang kuda yang terbangun itu karena ia
adalah Sedatu, Riung Sedatu.
”Gila, di mana pula aku ini?” tanya Sedatu kepada diri sendiri.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Riung Sedatu terkejut ketika terbangun mendapati dirinya lagi-lagi


bagaikan orang yang baru saja terlahir dari tanah yang terbelah atau
bongkahan batu yang pecah. Riung Sedatu yang merasa kehidupannya
dimulai sejak ia berada di tepian pantai Alas Roban itu merasa tetap
saja ada bagian-bagian dari kenangannya yang hilang. Sebagian lenyap
Sanga Turangga Paksowani 229

di antara ruang dan waktu yang memisahkannya sejak dari Alas Roban
hingga Losari, sebagian jejak itu lenyap lagi hingga mendadak kini ia
berada di tempat yang masih asing. Kini, ketika matahari baru saja
menyembul dan cahayanya terlihat semburat menyelinap di antara
pepohonan dengan kabut yang mulai terusir, Sedatu melihat dirinya
terlambat bangun. Orang-orang yang berpapasan dengannya sebagian
besar telah berkeringat oleh kesibukan yang di antaranya sangat menguras
tenaga.
Riung Sedatu segera menghentikan derap kudanya dan memerhatikan
keadaan di sekitarnya, memerhatikan diri sendiri dan bagaimana
penampilannya.
”Mati aku,” desahnya. ”Apa yang terjadi kemarin terulang lagi.”
Riung Sedatu tidak lupa kepada Bandar Guris karena dari Alas
Roban itulah ia merasa kehidupannya dimulai. Riung Sedatu juga masih
ingat dengan kekagetannya saat mendapati dirinya berada di tengah
laut, terapung-apung dalam perahu. Perahu milik siapa dan dari mana
ia dapatkan, sama sekali tidak ada kenangannya. Kini, ia berada di atas
seekor kuda, kuda milik siapa? Dapat dari mana?
”Kemarin, aku berada dalam keadaan sama sekali tidak punya uang.
Kemarin, Kiai Enjang Parayun membantuku memenuhi semua yang aku
butuhkan tanpa minta imbalan apa pun agar aku bisa kembali ke arah
timur, tetapi kenapa perjalananku membelok tajam seperti ini? Bisa jadi,
yang aku rasakan baru kemarin itu telah berjalan berhari-hari lamanya,”
kata Riung Sedatu dalam hati.
Riung Sedatu melompat turun dari atas punggung kudanya dan
melihat kuda itu dengan penuh perhatian.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Jangan-jangan, aku mencuri kuda ini entah dari siapa,” gumamnya.


Riung Sedatu menuntun kuda itu pelan karena berada di keramaian
sebuah pasar. Riung Sedatu yang memerhatikan percakapan orang-orang
yang berjual beli, mendapati kenyataan bahasa mereka berlogat tak
dikenal, tetapi masih bisa ditandai.
230 Gajah Mada

”Bahasa Sunda,” ucap Sedatu dalam hati.


Pasar itu lumayan ramai. Riung Sedatu yang menyebar pandangan
mata mendapati jalan yang dilewatinya adalah jalan yang rata dan rapi.
Parit di kiri dan kanannya yang berpagar dinding bata ditata rapi pula.
Bentuk semua gerbang rumah yang memanjang dibuat sama. Parit yang
terlindung pagar tanaman pohon beluntas dipangkas dengan tinggi dan
ukuran yang sama pula.
Riung Sedatu menepi ketika mendengar derap rombongan berkuda.
Rupanya, mereka adalah sekelompok prajurit. Ketika melintasinya, para
prajurit itu menyempatkan memerhatikan wajahnya, seolah ada yang
aneh pada dirinya, mungkin penampilannya.
Riung Sedatu mendekati seseorang yang sedang berdiri.
”Boleh aku numpang tanya, Kisanak,” tanya Sedatu kepada orang itu.
”Apa nama tempat ini?”
Yang ditanya sama sekali tidak memahami ucapan lawan bicaranya.
Bahasa yang digunakan Riung Sedatu merupakan bahasa yang aneh di
telinganya.
”Aku tidak paham bahasamu,” kata orang itu dengan bahasanya.
Merasa tak ada gunanya memaksakan diri bertanya, Riung Sedatu
kembali menuntun kudanya. Yang bisa ia lakukan selanjutnya hanya
berharap bisa bertemu dengan orang yang memahami bahasanya.
Dengan tenang, tetapi sebenarnya merasa cemas, Sedatu melintas.
”Jangan-jangan, ini negara Sunda Galuh yang disebut Ki Enjang
Parayun itu,” ucap Sedatu. ”Kalau benar, berarti ada sesuatu yang
mengubah perjalananku yang semula hendak kembali berlayar ke timur
menjadi menempuh perjalanan darat lurus ke selatan. Atau, bisa jadi,
http://facebook.com/indonesiapustaka

aku berada di tempat yang lebih jauh lagi.”


Riung Sedatu terus melangkah sambil memerhatikan apa pun
yang dilihatnya. Ia berhenti karena mendengar percakapan yang bisa
dipahaminya. Percakapan antara dua orang lelaki yang sama-sama
menggunakan bahasa Jawa. Mereka adalah dua laki-laki muda dengan
Sanga Turangga Paksowani 231

usia tak lebih dari dua puluh lima tahun. Di antara riuh ratusan orang
dalam bahasa setempat, ada dua orang yang menggunakan bahasa Jawa.
Hal itu terasa aneh.
Riung Sedatu mendekat, kemudian jongkok sambil memijit-mijit
kepalanya yang sebenarnya tidak pusing. Dua pemuda itu berbicara
dengan percakapan yang cukup jelas singgah di telinganya.
”Jadi kita lakukan?” tanya pemuda yang pertama dalam bahasa Jawa
yang bisa dimengerti.
Pemuda yang kedua tidak segera menjawab. Namun, perhatiannya
tertuju pada raut wajah seorang gadis. Gadis cantik yang ke mana pun
langkahnya selalu diikuti gadis yang lain, gadis yang sebaya dengan
dirinya. Gadis cantik itu, entah mengapa terlihat sedang berusaha
menutupi wajahnya. Barangkali, agar tidak ada yang mengenali siapa
dirinya. Ditutupi selendang yang biasa digunakan sebagai penutup
rambut, sebagian wajahnya tidak tampak. Gadis cantik itu mengenakan
sebuah gelang yang pasti berharga mahal.
Kecantikan gadis itukah yang menarik perhatian dua orang itu?
Ternyata bukan. Bukan kecantikan wajahnya yang mencuri perhatian,
tetapi seuntai kalung yang melekat di lehernya. Kalung yang dikenakan
gadis itu yang menyilaukan mata mereka.
”Jadi,” balas temannya. ”Pergilah dan siapkan diri. Aku akan memecah
perhatian supaya orang-orang sepasar tidak memerhatikanmu.”
Dua orang pemuda itu kemudian berpisah yang dengan seketika
menumbuhkan rasa curiga di benak Sedatu. Sontak, ia yakin, dua orang itu
akan melakukan kejahatan. Riung Sedatu berdebar-debar memerhatikan
apa yang mereka lakukan. Apalagi, ketika orang yang tinggal mendadak
meringis dengan raut muka sedang kesakitan. Pasar pun menjadi geger
http://facebook.com/indonesiapustaka

saat orang itu mulai berguling-guling sambil menjerit-jerit menahan sakit


yang tiada terkira. Mungkin ususnya saling membelit dan saling mengikat,
menyebabkan munculnya sakit bukan kepalang.
”Ada apa ini?” tanya salah seorang dari orang-orang yang
berdatangan.
232 Gajah Mada

”Tidak tahu, tiba-tiba saja ia seperti itu,” jawab seseorang yang


lain.
Perhatian orang-orang yang ingin tahu itu makin tersita ketika
orang yang kesakitan itu berguling makin menjadi. Apalagi, ketika dari
mulutnya keluar busa mirip busa buah lerak. Matanya membeliak dan
napasnya tersengal.
Ketika perhatian banyak orang sedang tertuju ke sebuah arah,
pada saat yang demikian itulah orang kedua bertindak. Apa pun yang
ia lakukan tak luput dari tatapan mata Riung Sedatu. Gadis cantik itu
terkejut ketika sebuah tarikan yang amat kuat membetot kalung yang
dikenakannya. Putus kalung emas dengan bandul permata berkilat-kilat
itu diembat orang yang dengan amat bergegas menyelinap meninggalkan
jejak di antara kerumunan orang banyak.
Gadis cantik itu mestinya menjerit, tetapi ia tidak menjerit.
Kekagetannya menyebabkan otaknya buntu. Oleh karena itu, ia tidak
berbuat apa-apa. Selebihnya, rasa kaget yang tak alang kepalang itu justru
menyebabkan tenggorokannya tersumbat. Gadis yang merasa lehernya
tercekik itu jatuh terduduk dengan tangan gemetaran.
”Aduh, Gusti Ayu!” jerit gadis yang mengawalnya.
Jeritan gadis yang terdengar melengking itu dengan segera membelah
perhatian. Orang-orang yang semula mengarahkan perhatiannya kepada
lelaki yang sedang kesakitan, kini beralih mengalihkan perhatiannya
kepada gadis cantik yang jatuh terduduk itu.
”Gusti Ayu, aduh, Gusti Ayu,” gugup gadis kedua yang berusaha
menenangkan gadis pertama.
Namun, justru sebutan nama gusti ayu itu menyebabkan pasar
http://facebook.com/indonesiapustaka

menjadi gempar. Orang-orang yang memerhatikan gadis malang itu


segera sadar bahwa gadis itu bukan gadis sembarangan. Panggilan gusti
ayu hanya diberikan kepada kembang istana.
”Tuan Putri, apa yang terjadi?” salah seorang penduduk yang
mengenali gadis itu bertanya.
Sanga Turangga Paksowani 233

Dengan bersusah payah, gadis yang dipanggil dengan sebutan tuan


putri atau gusti ayu itu berusaha menguasai diri, berusaha sekuat tenaga
menenangkan pikirannya. Dengan tatapan mata jelalatan, ia mencari-cari.
Akan tetapi, penjambret kalung yang dicarinya sudah tidak kelihatan
jejaknya. Orang-orang di pasar yang akhirnya tahu siapa gadis itu, sama
sekali tidak sadar, lelaki yang semula kesakitan sampai berguling-guling
itu telah menghilang tidak ada jejaknya.
Gadis cantik itu akhirnya mampu berdiri. Ketika orang-orang
di pasar itu sadar betul siapa gadis yang rupanya sedang melakukan
penyamaran agar tidak dikenali orang saat berbelanja itu, serentak mereka
berjongkok. Semua menyembah memberikan hormatnya.
”Kalungku,” gadis cantik itu meletup. ”Kalungku ditarik orang,
aku dirampok.”
Ucapan gadis yang rupanya sangat dihormati itu mengagetkan
orang-orang yang telah mengepung dengan sembahnya. Serentak,
mereka menoleh mencari-cari. Akan tetapi, yang dicari tidak ada.
Tersadar pula orang-orang itu, orang yang semula jatuh kesakitan dan
berguling-guling di tanah itu tidak ada.
Sisa perhatian tertuju kepada Riung Sedatu yang bingung sambil
memegangi kendali kudanya. Dari penampilannya, terlihat jelas ia orang
asing. Dan, karena penampilannya yang aneh, tidak mengenakan ikat kepala
sebagaimana cara orang Sunda memakai, ia layak dicurigai. Karena tidak ada
orang lain yang bisa dicurigai maka Riung Sedatu yang dicurigai. Beberapa
orang di pasar yang berjenis lelaki segera mendekati dan mengepungnya.
”Siapa kau?” tanya salah seorang di antara mereka.
Pertanyaan yang dilontarkan dalam bahasa Sunda itu sama sekali tidak
dipahami. Sedatu yang bingung hanya menampakkan wajah tololnya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Aku tidak tahu apa yang kautanyakan,” jawab Riung Sedatu dalam
bahasa Jawa.
Jawaban Riung Sedatu yang menggunakan bahasa Jawa menyebabkan
orang-orang di pasar itu makin curiga. Riung Sedatu tidak lagi bisa
234 Gajah Mada

menghindar karena dari segala arah, ia telah dikepung rapat. Wajah-wajah


beringas itu sangat membahayakannya. Orang-orang Sunda itu layak
merasa tersinggung karena putri junjungan mereka dijahati orang. Siapa
yang tidak tersinggung gusti ratu sesembahannya mendapat perlakuan
seperti itu?
”Ada yang bisa berbahasa Jawa?” orang yang menanyai Riung
Sedatu berteriak.
”Aku bisa,” jawab seseorang.
Seseorang itu maju dan menyibak kerumunan.
”Siapa kau, Kisanak?” tanya orang itu dengan suara tegas dan
lantang.
Riung Sedatu berusaha menenangkan diri agar tidak kehilangan akal.
Keadaan yang mendadak menghampirinya itu menyebabkan ketakutan
luar biasa.
”Namaku Sedatu,” jawab Riung Sedatu.
”Kau pasti bagian dari komplotan orang yang melakukan kejahatan
kepada Gusti Ayu sesembahanku, Dyah Pitaloka Citraresmi. Ayo,
mengakulah,” kata orang itu.
Riung Sedatu merasa bibirnya mulai bergetar. Itu pertanda, ia
mulai tidak mampu mengendalikan diri. Ketakutannya menyebabkan
gugup. Gugup menyebabkan bahasa wajahnya menjadi aneh dan justru
karena itu, orang-orang di pasar itu makin curiga. Dalam keadaan
sedemikian gugup, Sedatu berusaha menakar keadaan dengan mencari
celah di sekelilingnya. Celah itu tidak ada karena ia telah terkepung.
Pandangan Sedatu kemudian jatuh ke raut wajah gadis cantik yang baru
saja kehilangan kalungnya. Orang yang bertanya kepadanya baru saja
http://facebook.com/indonesiapustaka

menyebut nama gadis cantik itu adalah Dyah Pitaloka Citraresmi.


”Aku tidak tahu apa-apa,” jawab Riung Sedatu. ”Sungguh, aku tidak
tahu apa-apa. Aku bukan bagian dari orang yang melakukan perbuatan
itu.”
Orang yang bertanya tidak percaya begitu saja.
Sanga Turangga Paksowani 235

”Bohong, kau pasti bagian dari mereka,” ucap orang itu.


”Hajar dia!” teriak seseorang menggunakan bahasa Sunda.
”Ya, hajar dia!” balas yang lain.
Riung Sedatu bernasib malang. Ia harus menanggung akibat
dari perbuatan yang tidak ia lakukan. Kepalan tangan demi kepalan
tangan yang entah berasal dari lengan milik siapa, datang bertubi-tubi
menghajarnya. Riung Sedatu melolong-lolong. Akan tetapi, siapa yang
peduli? Tak seorang pun yang peduli.
”Berhenti!” terdengar teriakan keras.
Akan tetapi, orang-orang yang mendadak kalap itu tetap pada
pelampiasan yang dilakukan. Wajah Riung Sedatu seketika bersimbah
darah karena para pengeroyok itu ada yang bertindak kejam. Sebuah batu
sekepalan tangan diayunkan ke wajahnya. Jejaknya mengerikan sekali.
”Berhenti! Aku bilang berhenti!” teriak Dyah Pitaloka keras.
Teriakan yang berasal dari mulut Dyah Pitaloka rupanya masih
menyimpan wibawa dan segera menghentikan tindakan brutal orang-
orang yang kalap itu.
”Orang itu tidak bersalah, bukan dia pelakunya!” kata Dyah Pitaloka
dengan suara amat lantang.
Dengan mulut bergetar, Dyah Pitaloka mendekat dan jongkok di
dekat Riung Sedatu yang meringkuk dengan gumpalan ketakutannya. Riung
Sedatu sangat takut, bibirnya tak lagi bisa dikenali karena nyonyor.
”Siapa yang harus kuseret ke penjara untuk akibat macam ini?”
Dyah Pitaloka sekali lagi berteriak keras.
Pucat pasi orang-orang yang semula kalap dan telah melampiaskan
http://facebook.com/indonesiapustaka

amarah kepada orang tak dikenal yang kini tak bisa lagi dikenali
wujudnya itu. Bibir korban pengeroyokan itu pecah, putih matanya
menjadi merah, dan dari kening darah mengalir deras. Dyah Pitaloka
menjatuhkan tatapan matanya kepada seorang lelaki yang di tangannya
masih tergenggam sebuah batu.
236 Gajah Mada

”Kamu harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu,” kata Dyah


Pitaloka yang membuat orang itu kaget luar biasa. ”Dan, kamu juga,
kamu, kamu, terus kamu. Siang ini juga, datang ke istana menghadap
Tuan Panji Melong untuk minta diadili.”
Pucat pasi orang-orang yang semula mengeroyok Riung Sedatu itu.
Mereka sama sekali tak mengira, Sekar Kedaton sendiri yang langsung
memerintahkan kepada mereka untuk menghadap Panji Melong, pejabat
istana yang berkedudukan sebagai adyaksa yang akan menjatuhi mereka
hukuman.
Riung Sedatu berusaha menahan diri. Akan tetapi, tatapan matanya
makin berkunang-kunang. Segala yang dilihatnya mengombak, makin
kabur dan makin kabur. Riung Sedatu kehilangan kesadaran.
Melihat lelaki yang babak belur dikeroyok itu pingsan, Dyah Pitaloka
panik.
”Aduh, bagaimana, Teh Ihai?” tanya Dyah Pitaloka Citraresmi
kepada abdi yang selalu mengikuti ke mana pun langkahnya.
Ihai Nirasari tak kalah panik. Namun, Ihai Nirasari tak tahu apa
yang harus dikerjakan.

23
S esiang sebelumnya, apa yang telah terjadi menjadi pembicaraan
http://facebook.com/indonesiapustaka

sangat riuh di istana. Diperbincangkan dalam sidang yang digelar khusus


Mahamantrimukya Rakrian Mahapatih Gajah Mada, bahkan dihadiri pula
Prabu Hayam Wuruk. Keberhasilan seseorang dengan penampilan seperti
gelandangan yang diyakini sebagai mata-mata masuk ke lingkungan istana
Sanga Turangga Paksowani 237

Majapahit jelas merupakan sebuah pertanda. Bisa jadi, ada persiapan


menyerang atau ada banyak kemungkinan yang lain.
Penyusupan yang dilakukan orang tak dikenal itu juga diperbincangkan
Ibu Suri Sri Gitarja dan adiknya dengan suami masing-masing, lalu
memunculkan permintaan agar penjagaan atas istana mereka diperketat.
Jumlah prajurit yang bertugas menjaga diminta ditambah menjadi dua
kali lipat. Usulan itu kemudian dibahas di kalangan terbatas di Balai
Prajurit. Senopati Macan Liwung mengelola semua usulan dan masukan,
lalu menerjemahkannya ke dalam tindakan nyata.
Soal yang masih membingungkan Gajah Mada adalah kemunculan
orang yang menyerupai dirinya. Macan Liwung dan beberapa prajurit
yang melihatnya tetap bersikukuh mengaku melihat Mahamantrimukya
Gajah Mada melintas tak jauh dari Balai Perwira, lalu menyeberang
ke alun-alun. Sebaliknya, Gajah Mada bersikukuh mengaku saat itu ia
sedang tidur.
Menghadapi kemungkinan penyusup itu akan menyelinap lagi,
penjagaan pun diperketat. Semua prajurit dari barisan Bhayangkara
dipanggil dan tak seorang pun yang tidak mendapat tugas untuk
menelanjangi senjata. Karena kekuatan dipandang harus ditambah,
ratusan prajurit yang berasal dari kesatuan di luar Bhayangkara
diperintahkan untuk memagar betis sepanjang dinding istana.
Namun, Gajah Mada telah sampai pada sebuah dugaan yang meski
masih samar, ia yakini kebenarannya. Angin lesus yang muncul di
tengah alun-alun dalam ukuran kecil, lalu bubar yang terjadi di malam
ditemukannya penyusup, menggiringnya kepada sosok yang sangat
melekat di benaknya. Gajah Mada berusaha sekuat tenaga agar jangan
sampai wajah itu lenyap dari kenanganya. Jika orang itu yang menyusup ke
istana, tak ada gunanya istana dipagar betis. Orang yang diyakini sebagai
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ajar Wintyasmerti itu memiliki kemampuan melenyapkan diri. Lalu,


pagar betis macam apa yang bisa digunakan untuk menghadangnya?
Ditemani Gajah Sagara dan Pasangguhan Gagak Bongol, malam
itu, Mahapatih Gajah Mada amat berharap bisa bertemu kembali dengan
sosok yang selama ini memang sangat ingin ditemuinya.
238 Gajah Mada

”Kita akan berada di sini sampai pagi,” kata Gajah Mada.


Pasangguhan Gagak Bongol dan Gajah Sagara sama sekali tidak
keberatan dengan ajakan itu. Melekan111 sampai pagi adalah hal biasa bagi
Pasangguhan Gagak Bongol. Andaikata kantuk tidak mungkin dilawan,
tempat yang terlindung lebat pohon bramastana itu bisa digunakan
sebagai tempat yang nyaman untuk tidur. Apalagi, Senopati Macan
Liwung telah memerintahkan kepada seorang prajurit untuk mengirim
selembar tikar, senampan pohung rebus, dan sebumbung minuman untuk
menghangatkan badan.
Namun, apa yang diharapkan Gajah Mada tidak menjadi kenyataan.
Hingga langit timur mulai membiaskan merah, tidak ditemukan orang
yang menyusup ke lingkungan istana itu.
”Bangun,” ucap Gajah Mada membangunkan Gajah Sagara.
Trengginas, Gajah Sagara melenting dan meliukkan badannya.
Namun, kantuk yang membayang memang sulit dicegah. Gajah Sagara
menguap lebar sekali. Pasangguhan Gagak Bongol mengucek-ucek
matanya. Dorongan rasa haus menyebabkan Gagak Bongol meneguk
air dari dalam kendi seperti tidak akan putus.
”Tamunya tidak datang?” tanya Pasangguhan Gagak Bongol yang
bisa menebak isi hati Gajah Mada.
Gajah Mada tidak menjawab pertanyaan itu.
Jalan terdekat untuk pulang adalah melalui pintu gerbang utara yang
dijaga sangat ketat. Namun, Gajah Mada memilih keluar dari lingkungan
istana melalui pintu gerbang Purawaktra. Dengan menyusuri jalan di
sepanjang tepi kolam, Gajah Mada mengumbar angan-angan sambil
pandang matanya tak henti-hentinya memerhatikan langit timur yang
terbakar. Perintah yang disalurkan Senopati Macan Liwung benar-benar
http://facebook.com/indonesiapustaka

dilaksanakan dengan baik. Tak seorang pun prajurit di Purawaktra yang


tidur. Serentak, para prajurit memberikan penghormatannya ketika Gajah
Mada melintas.

111
Melekan, Jawa, begadang
Sanga Turangga Paksowani 239

”Lanjutkan,” ucap Gajah Mada pendek.


Desir amat tajam menggerataki isi dada Mahamantrimukya saat
akan memasuki rumahnya. Seseorang terlihat tidur di emperan rumah.
Mahapatih Gajah Mada bergegas mendekat. Meski masih gelap, Gajah
Mada masih bisa menandai wajah orang itu.
”Siapa kau?” tanya Gajah Mada mendapati orang itu ternyata bukan
orang yang pernah menemuinya saat ia bermain-main dengan angin lesus
beberapa waktu sebelumnya.
Orang itu bangkit dan berniat melangkah. Gajah Mada sangat
curiga, orang itulah yang berhasil menyusup ke lingkungan istana
dan telah membuat pasukan khusus Bhayangkara yang berjaga-jaga,
kelabakan. Dengan bergegas, Gajah Mada meraih tangan orang itu.
Namun, dengan sekuat tenaga, orang itu menepisnya. Orang itu terus
melangkah.
”Berhenti!” teriak Gajah Mada keras. ”Kuperintahkan kau berhenti!”
Orang itu masih berjalan beberapa langkah, kemudian berbalik.
Gajah Mada mendadak merasa kepalanya dihantam dengan palu
godam yang menyebabkan otaknya berhamburan. Gajah Mada tak hanya
merasa kaget. Hilang sebagian tenaga yang dimilikinya, menyebabkan
kakinya gemetar dan nyaris terduduk. Dengan terbelalak, Gajah Mada
memandangi wajah orang di depannya. Melihat orang itu, Gajah Mada
serasa sedang berkaca.
Namun, penampilan menyamai dirinya itu tidak berlangsung lama.
Sejenak kemudian, wajah orang itu berubah menjadi wajah orang yang
selama ini membuatnya penasaran. Penampilan wajah itu pun tidak
berlangsung lama. Amat perlahan, wajah itu berubah makin tua dan
makin tua, kemudian menjadi wajah yang amat dikenalinya, wajah Kiai
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pawagal yang amat renta.


Terbungkam Gajah Mada tak mampu berbicara.
Orang itu kemudian berbalik lagi dan berjalan amat tertatih karena
usianya yang amat tua. Pesona yang ditinggalkannya tak mungkin dilawan
240 Gajah Mada

Gajah Mada. Perlahan, bayangan orang itu mengabur seperti ditelan


kabut tebal dalam udara yang sangat kental. Dengan kesadaran yang
masih tersisa, Gajah Mada terus mengamati apa yang terjadi. Wujud
orang itu makin lama makin kabur dan menembus batas penyekat
antara walayah ada dan tiada. Sejenak kemudian, bayangan orang itu
murca tidak ada jejaknya.
”Kiai Pawagal,” ucap Gajah Mada. ”Ternyata, orang itu badan alus
Kiai Pawagal,” letup Gajah Mada.
Wibawa orang itu menyebabkan Gajah Mada jatuh terduduk.

24
P asangguhan Gagak Bongol dan Gajah Sagara yang masih berada
di Balai Perwira kaget melihat Gajah Mada yang semula pulang, kembali
datang dan mengayunkan langkahnya dengan tergesa. Untuk bertemu
dengan Brahmana Smaranatha, Gajah Mada harus melintasi jalan yang
menyekat istana Raja dengan istana Dyah Nrttaja Rajasaduhiteswari.
Melalui sebuah pintu sempit yang hanya muat dilewati satu orang,
Mahapatih Gajah Mada bergegas menemui Brahmana Smaranatha.
Gajah Mada sama sekali tak keberatan ketika Senopati Macan Liwung,
Pasangguhan Gagak Bongol, dan Gajah Sagara bergabung. Dharmadyaksa
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kasogatan Dang Acarya Nadendra yang sedang menemani Brahmana


Smaranatha ikut menyambut kehadiran Gajah Mada yang pasti membawa
persoalan sangat penting.
”Ada persoalan apa, Anakmas Mahamantrimukya?” tanya Brahmana
Smaranatha.
Sanga Turangga Paksowani 241

Gajah Mada memandang Brahmana Smaranatha dengan tatapan


mata tajam. Lalu, ia mengalihkan pandangan matanya kepada Dang
Acarya Nadendra. Pejabat agama Buddha itu mempersiapkan diri untuk
menyimak pembicaraan yang akan terjadi, demikian pula Macan Liwung.
Pimpinan pasukan khusus Bhayangkara itu merasa yakin, Gajah Mada
menyembunyikan sebuah keterangan penting. Dengan ikut mendengar
pembicaraan itu, Macan Liwung akan memperoleh jawabnya.
”Bapa Brahmana Smaranatha,” Gajah Mada mengawali pembicaraannya,
”apa Bapa telah mendengar bahwa kemarin malam, istana yang dijaga
amat ketat oleh pasukan khusus Bhayangkara dimasuki orang tak
dikenal?”
Brahmana Smaranatha meng geleng. Ketika Gajah Mada
mengalihkan pandangannya ke wajah Dang Acarya Nadendra,
Dharmadyaksa Kasogatan itu mengangguk.
”Aku mendengar itu. Seorang prajurit menceritakan kepadaku,”
berkata Dang Acarya Nadendra.
Sang Mahamantrimukya Mahapatih Gajah Mada mengembalikan
arah pandangan matanya kepada Brahmana Smaranatha. Udara sangat
sejuk yang datang dari Gunung Welirang menyapa semua yang hadir.
Mendadak, Gajah Mada menoleh kepada Macan Liwung. Macan
Liwung kaget dan sigap mempersiapkan diri.
”Ceritakan apa yang terjadi kemarin malam,” ucap Gajah Mada.
Senopati Macan Liwung mengangguk. Dengan ringkas, tetapi
jelas, Macan Liwung menceritakan bagaimana ia dan beberapa perwira
melihat Gajah Mada melintas, lalu berujung ke penemuan gelandangan
kelaparan. Dan, ketika gelandangan itu akan diberi makan, ia menghilang
http://facebook.com/indonesiapustaka

tak ada jejaknya. Namun, ada bagian lain yang tidak diceritakan Senopati
Macan Liwung.
”Lalu, angin lesus muncul, Bapa Brahmana,” tambah Gajah Mada.
”Maka, aku segera menduga orang itu ada kaitannya dengan gelandangan
itu.”
242 Gajah Mada

Brahmana Smaranatha dan Dharmadyaksa Kasogatan Dang Acarya


Nadendra masih menempatkan diri menyimak apa yang akan diucapkan
Gajah Mada selanjutnya. Akan tetapi, bagi Senopati Macan Liwung,
masih ada bagian yang belum jelas.
Gajah Sagara menyimak dengan sungguh-sungguh karena
kemunculan angin lesus itu ada kaitannya dengan eyang buyutnya.
”Malam tadi, Bapa,” tambah Gajah Mada, ”dengan sengaja aku
menunggu, barangkali sosok dari masa silam itu muncul lagi. Namun,
hingga fajar datang, orang itu tidak menampakkan diri. Akan tetapi,
ketika aku pulang, kutemukan gelandangan sedang tidur di emperan
rumahku.”
Apa yang disampaikan Gajah Mada itu menyebabkan Senopati
Macan Liwung kaget seiring dengan sulitnya memahami, apa maksud
Gajah Mada dengan menyebut orang dari masa silam itu? Pertanyaan
itu amat mengganggu. Namun, Macan Liwung tidak berani menyela.
Sebaliknya, Pasangguhan Gagak Bongol dan Gajah Sagara yang sudah
sedikit memahami persoalan tidak harus merasa bingung.
Gajah Mada siap melanjutkan kisahnya. Semua orang yang ada di
tempat itu siap menyimak.
”Aku membangunkannya dan akan menanyainya. Akan tetapi, orang
itu berjalan begitu saja meninggalkanku,” Gajah Mada melanjutkan
ceritanya.
Macan Liwung merasa jawaban Gajah Mada itu sungguh aneh.
Bagaimana bisa orang itu pergi begitu saja? Apalagi, meninggalkan
Gajah Mada.
”Wajahnya?” balas Smaranatha. ”Wajah orang itu?”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Gajah Mada menggeleng, ”Bukan Bapa, tetapi ketika orang itu


berbalik, wajahnya berubah. Wajah dan penampilan orang itu menjadi
penampilan dan wajahku. Sejenak kemudian, wajah itu berubah menjadi
wajah Kiai Pawagal. Agaknya, wajah yang selama ini menghantuiku
adalah wajah Kiai Pawagal saat masih muda. Kesamaan wajah itu menjadi
Sanga Turangga Paksowani 243

jelas setelah berubah menua, menjadi wajah Kiai Pawagal yang aku kenal
di Ujung Galuh.”
Halaman bangunan yang khusus disediakan untuk para dharmadyaksa
dan para upappati itu menjadi amat hening. Setelah merenung beberapa
saat, Nadendra dan Smaranatha saling pandang. Wajah Brahmana
Smaranatha amat datar. Tak ada kesan apa pun yang muncul dari permukaan
wajahnya.
”Apa dengan demikian, dugaanku salah, Bapa?” tanya Gajah Mada.
Brahmana Smaranatha belum memahami maksud pertanyaan itu.
”Maksud Anakmas?” balas Brahmana Smaranatha.
”Aku telanjur menduga orang itu adalah Ajar Wintyasmerti. Orang
itu ternyata Kiai Pawagal,” jawab Gajah Mada.
Brahmana Smaranatha mengangguk perlahan.
”Mungkin dua-duanya, Anakmas,” ucapnya.
Gajah Mada merasa belum jelas.
”Maksudnya bagaimana, Bapa?” balas Gajah Mada.
”Bisa jadi, orang berpenampilan gelandangan yang mampu
mengubah wujud menjadi seperti Anakmas, juga bisa mengubah wujud
menjadi Kiai Pawagal adalah orang yang Anakmas Mahapatih curigai,
Ajar Wintyasmerti. Akan tetapi, bisa juga ia adalah badan alus Kiai Pawagal
yang menampakkan diri menemui Anakmas. Jika benar Kiai Pawagal,
masuk akal ia mengingatkan agar Anakmas tidak sembarangan dalam
menggunakan kemampuan yang kini telah Anakmas Mahapatih warisi
itu,” berkata Brahmana Smaranatha.
Macan Liwung masih belum paham. Gajah Mada mendadak
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengisi paru-parunya hingga penuh melalui desah tarikan napas sangat


panjang.
Macan Liwung yang tidak sabar, meminta perhatian.
”Boleh aku bertanya sesuatu, Bapa?” tanya Macan Liwung.
244 Gajah Mada

Brahmana Smaranatha tidak mengangguk. Namun, pandang


matanya terarah kepada Macan Liwung.
”Apa?” balas Brahmana Smaranatha.
”Agaknya, baik Kakang Gajah Mada maupun Bapa Brahmana tahu
siapa orang yang telah menyusup ke istana dengan penampilan sebagai
gelandangan itu? Apa orang itu bisa menjadi sumber bahaya bagi keluarga
istana?” tanya Macan Liwung.
Brahmana Smaranatha menggeleng.
”Tidak, Anakmas Macan Liwung,” balas Brahmana Smaranatha.
”Orang itu tak akan membahayakan siapa pun. Walau aku bisa mengatakan,
andaikata orang itu mau, tak akan ada yang bisa merintanginya.”
Jawaban Brahmana Smaranatha itu membuat Senopati Macan
Liwung merasa sangat penasaran. Namun, Dang Acarya Nadendra
sependapat dengan ucapan brahmana yang baru datang dari tanah Bali
itu. Gajah Mada, Gajah Sagara, dan Pasangguhan Gagak Bongol juga
sependapat, jika orang yang berselubung teka-teki itu menghendaki, tak
ada kekuatan apa pun yang bisa merintanginya.

25
D ari tiada ke ada itu mengombak. Dari tidak jelas menjadi
http://facebook.com/indonesiapustaka

jelas itu pun terjadi. Wajah di depannya itu sungguh sangat cantik.
Senyumnya merekah, tetapi bukan dari jenis senyum yang menantang
dan menjanjikan gairah. Senyum itu penuh teka-teki. Tentu karena
senyum itu hanya sebuah lukisan tangan seorang lelaki yang tangannya
amat lincah dalam menari menyapukan kuas.
Sanga Turangga Paksowani 245

Orang yang sedang mengguratkan gagasannya di atas kain


berwarna putih yang direntang dengan tali-taki pada bagian kelilingnya
agar menegang itu tentu orang yang sangat menguasai sifat dan lekuk-
lekuk tubuh manusia, mampu mempertegas bagian yang menonjol
sebagaimana ia mampu membedakan mana bayangan terang dan mana
bayangan gelap.
”Kalau aku boleh tahu, siapa namamu, Kisanak?” tanya Riung Sedatu
yang tak pelak pasti mengganggu pemusatan perhatian yang dilakukan
orang itu.
Lelaki berambut lebat terurai tak ubahnya dirinya itu tidak menoleh.
Perhatiannya masih tetap terpusat pada apa yang ia lakukan. Tanpa
menoleh, ia memberikan jawaban.
”Namaku Saniscara, Rishang Saniscara Patriawhura, namamu?”
balas orang yang sibuk menorehkan gambar yang masih berupa
rancangan112 itu.
Setiap kali menghadapi pertanyaan macam itu, Sedatu selalu
bingung.
”Nama asliku atau dari mana aku berasal, aku tidak tahu,” kata
Sedatu. ”Namun, seseorang di Alas Roban memberiku nama Riung
Sedatu. Panggil saja aku dengan nama itu.”
Bagi orang lain, jawaban yang diberikan Riung Sedatu itu pasti
terasa aneh dan akan dikejar dengan pertanyaan-pertanyaan berikutnya.
Namun, Saniscara tidak menggubris kejanggalan itu. Ia masih larut
dengan pekerjaan yang harus dituntaskan.
Riung Sedatu memerhatikan bagaimana orang itu bekerja,
bagaimana tangannya tak henti-hentinya menari, penuh keyakinan serta
tanpa keraguan dan hasilnya memang luar biasa.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Wajah siapa itu?” tanya Riung Sedatu.


Saniscara berputar, kali ini dengan seluruh tubuhnya.

112
Yang dimaksud sketsa
246 Gajah Mada

”Tak bisakah kau berhenti menggangguku? Semua orang di kerajaan


Sunda Galuh ini tahu siapakah pemilik wajah ini,” balas Saniscara.
Riung Sedatu tidak merasa tak nyaman oleh jawaban ketus itu.
”Kalau kau bisa menjawab, apa keberatanmu menjawab pertanyaan
sederhana itu?” tanyanya.
Saniscara kembali memusatkan perhatiannya.
”Namanya Dyah Pitaloka, lengkapnya Dyah Pitaloka Citraresmi. Ia
gadis tercantik di seluruh jagat raya ini. Tak seorang pun yang mampu
menandingi kecantikannya. Tak juga para bidadari di langit, apalagi para
gadis yang tinggal di bumi. Di Majapahit sekalipun, tak ada yang bisa
ngembari113 kecantikannya. Anak-anak Ratu Sri Gitarja dan anak Ratu
Dyah Wiyat yang katanya cantik seperti bintang, tak ada apa-apanya,
tak ada yang bisa menandingi,” kata Saniscara.
Memperoleh jawaban itu, Riung Sedatu seketika memejamkan
mata. Nama-nama yang baru saja disebut lawan bicaranya itu segera
menyelinap ke dalam benaknya. Cekatan, Sedatu menelusuri nama-nama
itu. Ia merasa pernah mengenal nama-nama itu. Akan tetapi, upaya
penelusuran untuk menguak wilayah selanjutnya buntu. Riung Sedatu
tidak mampu mendapatkan jejak yang lebih terang.
”Kamu kenapa?” tanya Sanisacara.
Riung Sedatu menyeringai.
”Tidak apa-apa,” jawabnya perlahan.
Tak ada pembicaraan lanjutan karena Riung Sedatu kemudian
memilih diam ketika kepalanya mulai terasa pening dan berkunang-
kunang. Rishang Saniscara Patriawhura bekerja bagai orang yang
kepanjingan114 dhemit. Saat Saniscara menyempatkan memejam adalah
http://facebook.com/indonesiapustaka

dalam rangka mengenang kembali raut wajah amat cantik yang


pernah dilihatnya. Ingatan atas wajah itu sangat diperlukan untuk bisa
menuangkannya ke dalam gambar yang dibuatnya.
113
Ngembari, Jawa, menyamai, menandingi
114
Kepanjingan, Jawa, kerasukan
Sanga Turangga Paksowani 247

Saniscara makin larut dan tak peduli meski kesibukannya mengundang


rasa ingin tahu banyak orang. Dua orang gadis yang sedang melintas tak
kuasa menahan ayunan langkah kakinya untuk berbelok.
”Waah, bagus sekali, seperti manusia sungguhan,” letup gadis
pertama.
Saniscara hanya tersenyum memperoleh pujian itu. Akan tetapi,
ia tidak berbicara apa pun dan tetap memusatkan perhatian pada
pekerjaannya.
Gadis kedua menjadi gagap. Ia kehilangan kelancaran bicaranya.
”Kamu kenapa?” tanya gadis pertama yang merasa heran.
”Bukankah ... bukankah ...,” terbata ia bicara dan akan menyebut
sesuatu, tetapi tidak berhasil.
”Bukankah apa?” tanya gadis pertama.
Dengan bersusah payah, gadis kedua yang mendadak menjadi gagap
itu berhasil menyebut sebuah nama, ”Gusti Ayu Pitaloka?”
Jawaban itu mengagetkan gadis pertama dan mendorongnya untuk
memerhatikan dengan lebih cermat saksama.
”Kau benar,” jawab gadis pertama dengan jantung berdebar dan
isi dada mendadak meluap.
Dua gadis itu, Euis Nandini dan Nenden Pritaya, terbungkam
mulutnya. Melihat lelaki itu sedang melukis kecantikan Sang Sekar
Kedaton Sunda Galuh, segera memunculkan pertanyaan, atas dasar
dan maksud apa orang itu melukis Dyah Pitaloka? Di samping harus
diakui, lelaki pemilik rambut legam yang dibiarkan terurai itu memiliki
bakat yang luar biasa.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Paman, boleh mengganggu sebentar, Paman? Aku hanya ingin


bertanya,” berkata Nenden Pritaya.
Saniscara menghentikan pekerjaannya dan menoleh. Meski pelukis
itu telah berusia hampir empat puluh tahun, orang itu memiliki pesona
yang sangat menyengat. Wajahnya tampan dengan gigi putih bersih dan
248 Gajah Mada

tampak rapi, membuat malu Nenden Pritaya yang meski seorang gadis,
giginya tidak rapi.
”Apa?” balas Saniscara dengan nada agak kasar. Terlontar itu
mungkin karena rasa kurang senangnya kesibukannya terganggu.
Nenden Pritaya maju selangkah diikuti Euis Nandini.
”Wajah siapa yang sedang Paman gambar ini?” tanya Nenden
Pritaya.
Saniscara memberi jawaban yang sama sebagaimana jawaban yang
ia berikan kepada Riung Sedatu.
”Semua orang di Sunda Galuh tahu siapa pemilik wajah cantik ini,”
jawabnya.
Nenden Pritaya membutuhkan jawaban yang pasti.
”Menurutku itu wajah Sekar Kedaton Sunda Galuh,” ucapnya.
Saniscara berada antara tersenyum dan tidak. Raut wajahnya
memberi gumpalan teka-teki.
”Benarkah itu wajah junjunganku Dyah Pitaloka, Paman?” kali ini
Euis Nandini bertanya lebih tegas dengan menyebut sebuah nama.
Jawaban yang diberikan Saniscara menyebabkan isi dada Euis
Nandini dan Nenden Pritaya menggemuruh.
Di tamansari istana Surawisesa, Sekar Kedaton Dyah Pitaloka
Citraresmi masih belum mampu menghapus kenangan akan bencana
yang menimpanya saat ia melakukan penyamaran di tengah pasar. Dyah
Pitaloka tidak mampu melupakan bagaimana dengan mendadak, orang
tidak dikenal itu menarik kalung yang dipakainya dari belakang. Kalung
itu putus dan dalam waktu sekejap, pelakunya lenyap tak ketahuan
http://facebook.com/indonesiapustaka

jejaknya.
Emban Ihai Nirasari yang menemaninya saat berada di pasar
menyarankan agar Sekar Kedaton melaporkan kejadian yang menimpanya.
Akan tetapi, Dyah Pitaloka tidak dengan segera memutuskan. Jika
kejadian itu dilaporkan kepada Sang Prabu, pasti Sang Prabu akan marah
Sanga Turangga Paksowani 249

dan terkejut mengetahui Dyah Pitaloka keluyuran di tengah pasar tanpa


pengawalan.
”Tidak, aku tidak akan melaporkan kejadian itu kepada Ayahanda
Prabu,” kata Dyah Pitaloka amat yakin.
Namun, Ihai sangat tidak sependapat.
”Penjahat itu terlalu berani dan kurang ajar, Gusti Ayu,” kata Ihai
Nirasari. ”Pelaku perampasan itu harus mendapatkan hukuman karena
yang dijarah adalah perhiasan milik Tuan Putri. Bagaimana perbuatan
itu bisa dibiarkan?”
Dyah Pitaloka menggeleng.
”Tidak!” jawabnya tegas. ”Ayahanda Prabu Maharaja pasti marah
mengetahui aku keluyuran di pasar tanpa pengawalan. Sudahlah, Ihai,
lupakan apa yang terjadi di pasar itu.”
Pembicaraan antara kembang istana Surawisesa dan abdinya itu
terhenti ketika dari halaman samping terlihat Emban Euis Nandini dan
Nenden Pritaya datang membawa bungkusan berisi pakaian. Itulah
pakaian khusus yang harus dikenakan Sekar Kedaton pada saat menerima
tamu penting dari Jawa nanti. Ibu Ratu Permaisuri yang memberi tahu
dan meminta Dyah Pitaloka untuk mempersiapkan diri. Pakaian terbaik
dengan bahan terbaik pun dipesan. Namun, baik Euis Nandini maupun
Nenden Pritaya tidak berbicara soal pakaian yang telah diambilnya.
Dari jauh, Euis Nandini dan Nenden Pritaya sudah menyembah.
Lalu, ketika mendekat, tubuh mereka sedikit merendah dan kepala
menunduk. Ketika berada dalam jarak yang sudah dekat, mereka bersimpuh
dan kembali menyembah. Kedua gadis yang melihat bagaimana Saniscara
melukis itu merasa lebih penting mendahulukan melaporkan tentang
lukisan yang dilihatnya daripada tugas yang telah dilaksanakannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Mohon ampun, Tuan Putri, bolehkah hamba melaporkan sesuatu?”


tanya Nenden Pritaya.
Dyah Pitolaka segera memangkas lamunannya agar tidak terlalu
jauh melayang.
250 Gajah Mada

”Ya?” balasnya.
”Di tepi jalan di seberang istana, hamba melihat seorang lelaki
yang mengaku bernama Saniscara sedang melukis. Lukisan orang itu
menyebabkan hamba amat kaget dan harus melaporkan kepada Tuan
Putri karena orang itu mungkin melukis tanpa seizin Tuan Putri,” kata
Nenden.
Dyah Pitaloka merasa laporan pelayannya itu terlalu berlebihan.
”Kenapa kau ini?” balas Dyah Pitaloka. ”Siapa pun boleh melakukan
itu tanpa harus minta izin kepadaku. Orang boleh melukis bentuk istana,
orang boleh menggambar bukit dan gunung-gunung yang membayangi
istana Surawisesa tanpa harus meminta izin kepadaku,” balas Dyah
Pitaloka.
Euis Nandini dan Nenden Pritaya saling pandang.
”Orang itu melukis wajah Tuan Putri. Dalam lukisan itu, wajah Tuan
Putri tampak cantik sekali. Orang itu melukis tubuh Tuan Putri sedikit
berlebihan, mungkin karena latar belakang seleranya. Lukisan itu jauh
lebih montok,” kali ini Euis Nandini yang berbicara.
Dyah Pitaloka Citraresmi tidak sedang memusatkan perhatian
pada persoalan yang dibawa dua emban pelayannya karena betapa
sulit ia melupakan tindakan kurang ajar yang dilakukan penjahat yang
merampas kalungnya. Saat Dyah Pitaloka menelan laporan itu dengan
utuh, kagetnya muncul belakangan.
”Apa kaubilang?” tanya Dyah Pitaloka.
”Ada orang yang menggambar wajah Tuan Putri, hasilnya sebuah
lukisan yang amat cantik. Namun, secantik apa pun hasil lukisan itu,
masih kalah cantik dari wajah Tuan Putri,” Nandini menjelaskan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dyah Pitaloka Citraresmi bergegas bangkit.


”Siapa nama orang itu?” tanya Dyah Pitaloka.
”Hamba, Tuan Putri,” jawab Nenden Pritaya.
Dyah Pitaloka merasa penasaran.
Sanga Turangga Paksowani 251

”Di mana?” tanya anak Raja Sunda Galuh itu.


”Hamba, Tuan Putri,” jawab Nenden Pritaya. ”Orang itu sekarang
berada di seberang istana.”
”Aku akan lihat,” kata Dyah Pitaloka tak sabar.
Dyah Pitaloka Citraresmi bergegas berganti pakaian sesuai dengan
yang dibutuhkan. Dengan jenis pakaian khusus untuk berkuda, Dyah
Pitaloka yang semula jelita berubah menjadi gagah. Dengan ayunan
langkah lebarnya, Dyah Pitaloka melintas ke belakang istana menuju
ke kandang kuda. Tidak berapa lama kemudian, terdengar derap kuda
yang menggetarkan udara. Andaikata Dyah Pitaloka memilih lewat pintu
gerbang depan, para prajurit yang sedang melakukan pengawalan tidak
akan membiarkan Sekar Kedaton pergi tanpa perlindungan.
Dyah Pitaloka tidak mengambil arah terdekat menuju tempat yang
disebut pelayannya. Namun, ia memilih melewati jalan memutar agar
tidak berpapasan dengan para prajurit. Ternyata, Dyah Pitaloka yang
muncul dari ujung jalan kecil di seberang istana tidak menemukan orang
yang dicarinya.
Tentu Dyah Pitaloka Citraresmi tidak menemukan pelukis yang
diceritakan Nenden karena orang itu telah meninggalkan tempat itu.
Dyah Pitaloka Citraresmi mengarahkan perhatiannya ke arah kanan dan
kiri. Namun, di sepanjang jalan raya tidak tampak orang yang diceritakan
dua abdinya.
”Mana pelukis itu?” tanya Dyah Pitaloka kepada diri sendiri.
Menilik jarak diterimanya laporan itu, tentu pelukis itu pergi belum
terlalu lama. Dyah Pitaloka memutuskan untuk menarik kendali kudanya
dan berderap ke arah kanan. Meski seorang gadis, kemampuan Dyah
Pitaloka berkuda tidak kalah dari lelaki sebagaimana cara pandangnya
http://facebook.com/indonesiapustaka

ke depan, ia tak mau kalah dari lelaki. Dengan cepat, kuda jantan yang
ditungganginya melesat ke arah barat dengan harapan ia temukan jejak
pelukis yang diceritakan Nenden Pritaya dan Euis Nandini itu di sana.
Ke tepi telaga Jalatunda yang dikelilingi nyiur melambai, Rishang
Saniscara Patriawhura pindah tempat. Telaga itu berada dekat dengan
252 Gajah Mada

sumur Jalatunda. Laki-laki usia empat puluh tahun itu memerhatikan


alam di sekelilingnya dan mencoba membaca, gagasan apa yang bisa
diambil dari tempat itu. Sambil bersiul, Rishang Saniscara Patriawhura
mempersiapkan semua peralatan yang dibutuhkan. Gulungan kain
dibukanya kembali dan direntang menggunakan tali yang dikaitkan di
sekeliling kain itu. Telaga indah di depannya menumbuhkan gagasan
di benaknya. Wajah cantik kembang istana Surawisesa yang rambutnya
dibiarkan terurai akan diberi latar belakang telaga dengan airnya yang
tenang dan bercahaya.
Sang surya bergerak makin tinggi, menyebarkan panasnya yang
merata ke permukaan bumi. Saniscara kebagian kehangatannya. Ia tidak
peduli meski peluhnya terpancing keluar. Tangannya terus bergerak
menari-nari. Sesekali, ia bahkan melenguh, menjadi pertanda ia benar-
benar sedang berada dalam keadaan sepenuh hati. Perhatiannya tak
bersisa.
”Kaubawa aku kemari?” terdengar suara memecah keheningan.
Pertanyaan itu berasal dari mulut Riung Sedatu. Saniscara tidak
menjawab.
”Di mana kita?” tanya Sedatu sekali lagi.
”Perhatikan sendiri,” balas Saniscara. ”Perhatikan di mana kita
sedang berada.”
Riung Sedatu menghirup tarikan napas berat untuk dan atas nama
kebingungannya menyadari ia kembali berada di tempat yang tidak
dikenalnya. Riung Sedatu memerhatikan telaga di depannya. Perlahan,
ia mengarahkan pandang matanya ke apa yang dikerjakan Saniscara.
”Kenapa kaubawa aku kemari?” tanya Sedatu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Saniscara tidak menjawab. Pertanyaan macam itu telah didengarnya


berulang kali dan jika diulang-ulang terus tentu terasa membosankan.
”Saharusnya aku pulang,” desah Sedatu.
”Pulang ke mana?” balas Saniscara. ”Apa kau sudah menemukan
arah yang harus kautempuh untuk pulang?”
Sanga Turangga Paksowani 253

Sedatu sadar bahwa ia memang belum berhasil menemukan arah


pulang. Akan tetapi, sejak berurusan dengan Saniscara, ia merasa kehilangan
kebebasannya. Ia terpasung dan tak lagi bisa bergerak bebas, seolah ia
adalah bayangan yang harus mengikuti ke mana pun Saniscara pergi.
Larut bagai kesetanan, Saniscara kembali melanjutkan pekerjaannya.
Ia tidak sadar ada yang memerhatikan apa yang dilakukannya itu. Dari
balik semak, sepasang mata indah mengikuti apa yang ia perbuat.
Pemilik sepasang mata indah itu akhirnya mengakui kebenaran laporan
yang diterimanya dari dua orang emban yang bertugas melayaninya.
”Lukisan itu indah sekali,” gumamnya dalam hati.
Dyah Pitaloka terus mengamati apa yang dilakukan pelukis itu yang
terbukti benar sedang menjadikan dirinya sebagai sosok yang sedang
dilukis.
Dyah Pitaloka Citraresmi akhirnya tidak mampu menahan diri. Ia
berniat keluar dari persembunyiannya dan mewartakan kehadirannya.
Akan tetapi, apa yang dilakukan pelukis itu menyebabkan ia membatalkan
niatnya.
Tiba-tiba, Saniscara berteriak sangat lantang dan dengan sengaja
ditujukan pada telaga luas yang membentang di depannya, ”Citra!
Citraresmi, aku mencintaimu!”
Dyah Pitaloka menggigil mendengar teriakan lantang yang
dilontarkan dengan amat kasar itu. Dyah Pitaloka mendekam dan
berusaha menguasai diri. Kini, jelas baginya, laki-laki yang sedang
menjadikan dirinya sebagai sasaran lukisan itu suka kepadanya. Laki-laki
itu jatuh cinta kepada dirinya.
Setelah menimbang dengan cermat dan saksama, Dyah Pitaloka
http://facebook.com/indonesiapustaka

memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat itu. Dengan mengendap-


endap, ia bergerak menuju ke tempat kudanya disembunyikan. Jantung
gadis itu berdebar melebihi pengalaman ketika ia dijahati orang di pasar.
”Siapa orang yang sedang jatuh cinta kepadaku itu?” tanya gadis
itu dalam hati.
254 Gajah Mada

Nenden Pritaya dan Euis Nandini bergegas menyongsong ketika


Dyah Pitaloka pulang. Cekatan, Nenden Pritaya menerima tali kekang
kendali kuda dan membawanya ke kandang. Ihai Nirasari yang keluar
dari pintu samping bergegas menyembah dan ikut bergabung.
”Bagaimana, Tuan Putri?” tanya Euis Nandini.
Tiga gadis cantik berusia sebaya yang melayani Dyah Pitaloka itu
merasa heran melihat betapa pucat wajah junjungannya. Pasti telah terjadi
sesuatu yang luar biasa yang membuatnya kebingungan.
”Aku tidak menemukannya di depan alun-alun, ia menggambarku
di tepi telaga,” ucap Dyah Pitaloka.
Dyah Pitaloka rupanya masih berusaha mendamaikan diri.
”Apa yang menyebabkan Tuan Putri ketakutan? Apa orang itu
membahayakan Tuan Putri?” tanya Nenden Pritaya.
Ketiga gadis cantik itu menunggu jawaban. Namun, Dyah Pitaloka
bergegas masuk ke lingkungan tamansari dan langsung menuju dapur.
Nenden bergegas berlari-lari kecil, Euis dan Ihai mengikuti dari belakang.
Di dapur, Dyah Pitaloka menenggak air dingin dari dalam kendi.
”Aku mengintip orang itu. Memang benar, ia sedang melukisku.
Sungguh, lukisan yang amat indah. Aku digambar dengan latar belakang
telaga. Oleh rasa penasaranku, aku berniat menemuinya. Tetapi, tiba-tiba
ia berteriak, teriakan yang mengagetkan aku. Benar-benar merontokkan
jantungku,” Dyah Pitaloka bercerita.
Euis Nandini dan Pritaya menempatkan diri di depan Dyah Pitaloka
ketika anak Raja Sunda itu berbalik dan masih berusaha menata degup
jantungnya yang berlarian kencang.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Apa yang diteriakkan orang itu?” tanya Ihai Nirasari.


”Orang itu berteriak, Citraresmi, aku mencintaimu!” jawab Dyah
Pitaloka.
Ruang yang menjadi bagian dari tamansari itu hening. Dyah Pitaloka
tak kunjung mampu menguasai diri. Teriakan ungkapan perasaan cinta
Sanga Turangga Paksowani 255

yang dilontarkan orang yang melukisnya itu sungguh menakutkan.


Luapan perasaan itu bagai sebilah pisau yang sangat tajam yang
diacungkan ke lehernya. Jika pisau itu diayunkan dengan kuat, dengan
sekali tebas akan memisahkan kepala dari lehernya.
”Orang itu menyatakan cintanya kepada Tuan Putri?” tanya Euis
Nandini.
Dyah Pitaloka memandang Nandini dan tak memberinya
jawaban.
”Orang itu tidak tahu Tuan Putri di belakangnya,” kata Ihai Nirasari.
”Tetapi, jelas bahwa latar belakang apa yang dikerjakannya karena ia
jatuh cinta kepada Tuan Putri.”
Berbinar wajah Nenden Pritaya dan Euis Nandini. Pengalaman
yang diceritakan Sekar Kedaton Sunda Galuh itu sungguh cerita yang
indah. Pengalaman yang pasti akan menyebabkan para gadis merasa iri.
Sudah lama Nandini menunggu laki-laki menyatakan cinta kepadanya
dan akan menjadikannya istri. Sekian lama menunggu, lelaki itu masih
belum kunjung datang juga.
”Tuan Putri,” kata Ihai Nirasari, ”sebaiknya, Tuan Putri melaporkan
apa yang Tuan Putri lihat dan alami kepada Paduka Raja supaya orang
itu ditangkap dan dijebloskan ke penjara karena telah berani menyatakan
cinta kepada Tuan Putri.”
Nenden dan Euis merasa heran, Ihai Nirasari memiliki pendapat
yang aneh seperti itu.
”Tak seorang pun di dunia ini yang berhak menghalangi orang
menyatakan cinta. Lalu, bagaimana kalau aku menerima ungkapan
perasaan orang itu? Apalagi, ia melakukan itu dengan kesungguhan hati
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan sangat jujur?” tanya Dyah Pitaloka.


Ihai Nirasari terbungkam mulutnya.
Dyah Pitaloka Citraresmi sama sekali tidak menyangka, ungkapan
perasaan pelukis itu membuatnya bingung, selalu terbayang, dan tidak
mampu mengalihkan perhatian. Celakanya, wajah pelukis itu juga
256 Gajah Mada

menyelinap ke sebagian besar ruang lamunan yang dimilikinya, bahkan


merampok ruang mimpi di dalam tidurnya.
Ketika memeluk guling, Dyah Pitaloka membayangkan orang itulah
yang sedang memeluk dan dipeluknya.
”Kakang Saniscara,” gumamnya menyebut sebuah nama.

26
K edatangan rombongan tamu itu disambut dengan ramah tamah.
Istana Surawisesa telah dihias dengan rangkaian janur. Rombongan
tamu dari Majapahit itu dipimpin Patih Maduratna yang biasa dipanggil
dengan sebutan Patih Madu. Mereka ditempatkan di sebuah bangunan
khusus di sebelah istana Surawisesa. Kepada para tamu yang masih harus
menunggu itu disajikan berbagai jenis makanan dan alunan gamelan
yang indah mendayu.
Ketika mendengarkan alunan gamelan itu, tergambarlah suasana
tenteram alam pedesaan. Melalui suara gamelan yang singgah di telinga,
seolah di depan mereka tersaji suasana pesawahan dengan tanaman
padi yang masih muda dan tampak hijau merata di sepanjang mata
memandang. Dan, jika Kanuruhan Gajah Enggon menyadari, ia akan
terkejut melihat tidak ada sawah di negeri Sunda Galuh. Cara bertanam
padi di Sunda Galuh masih menggunakan cara berladang.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dari gamelan yang dipukul itu juga tergambar gemericik air yang
mengalir, para gadis cantik yang turun ke kali untuk mencuci, atau para
pemuda yang sedang berkuda menyusur lembah dan ngarai.
Kanuruhan Gajah Enggon amat menikmati sajian itu. Di
sebelahnya, Kuda Swabaya bagai orang yang menuntaskan dendamnya
Sanga Turangga Paksowani 257

setelah sekian hari menempuh perjalanan panjang. Awalnya, perahu


dikayuh dari Canggu115 menuju muaranya di Ujung Galuh, lalu dilanjutkan
menggunakan kapal yang membuang jangkar dan berlayar menuju
pelabuhan Losari yang merupakan pelabuhan terdekat dengan istana
Surawisesa. Lalu, perjalanan dilanjutkan dengan berkuda beberapa
hari lamanya karena jalanan yang sulit dan di beberapa tempat harus
menyisir tepian hutan yang tidak memungkinkan rombongan itu terus
berderap. Hingga pada siang itu, Kuda Swabaya yang berkuda paling
depan memasuki tapal batas wilayah ibu kota negara. Dengan lahap,
Kuda Swabaya menyantap sajian makan yang dihidangkan.
Melihat Kanuruhan Gajah Enggon tersenyum sambil memejamkan
mata, Kuda Swabaya mendekat. Kuda Swabaya menyentuh lengan Gajah
Enggon.
”Apa yang menyebabkan Paman Gajah Enggon tersenyum?” tanya
Kuda Swabaya.
Gajah Enggon tidak membuka mata.
”Ikutilah aku,” balasnya.
Kuda Swabaya tidak segera paham.
”Ikutilah aku memejamkan mata. Bersandarlah,” perintah Kanuruhan
Gajah Enggon.
Kuda Swabaya memenuhi perintah itu. Dengan santai, ia
menyandarkan diri pada tembok di belakangnya.
”Dengarkan irama itu,” tambah Gajah Enggon.
Dengan memejamkan mata, Kuda Swabaya menyimak alunan
degung yang berasal dari seperangkat alat gamelan yang dimainkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

beberapa orang. Sejak awal, Kuda Swabaya mendapati jenis dan warna
nada itu berbeda dari suara gamelan yang sering ia dengar di istana
Majapahit.

115
Canggu, nama pelabuhan di Kali Brantas, di utara kompleks istana Trowulan
258 Gajah Mada

”Dengan mendengar suara indah macam itu, apa yang terbayang


di benakmu?” tanya Gajah Enggon.
Kuda Swabaya mencoba memerhatikan. Namun, ia tidak
menemukan jejak yang ditemukan Kanuruhan Gajah Enggon. Yang
didapat hanya warna nada yang tidak seperti yang biasa ia dengar, tak
lebih dan tak kurang.
”Aku tidak menemukan apa-apa, Paman,” kata Kuda Swabaya.
Kanuruhan Gajah Enggon tersenyum memperoleh jawaban itu.
”Dasar tidak memiliki kepekaan jiwa seni,” kata Gajah Enggon.
Kuda Swabaya bangkit dan langsung membuka matanya.
Diperhatikannya sahabat akrab ayahnya itu yang masih saja tersenyum-
senyum.
”Dengan mendengarkan warna suara gamelan itu, terutama pada
alunan serulingnya, aku melihat pesawahan, bukit-bukit dengan gunung
di kejauhan, dan sungai yang mengalirkan air jernih. Aku juga melihat
sawah yang luas dengan tanaman padi yang baru berusia satu bulan.
Nah, bagaimana menurutmu?” tanya Gajah Enggon.
Kuda Swabaya kembali memejamkan mata, mencoba membayangkan
semua yang disebut Kanuruhan Gajah Enggon itu. Namun, tetap saja
ia tak berhasil menemukan. Gajah Enggon lenggut-lenggut menikmati
irama degung sambil menyempatkan melirik Ma Panji Elam. Entah
apa yang ada dalam benak Ma Panji Elam yang tampak keruh wajahnya
itu.
Kanuruhan Gajah Enggon bangkit akan mendekati Ma Panji
Elam. Namun, langkah kakinya terhenti ketika juru kawih116 yang semula
mendendangkan tembang, tiba-tiba berdiri dan menghadang langkahnya
http://facebook.com/indonesiapustaka

sambil menyerahkan sehelai selendang. Kanuruhan Gajah Enggon


bingung. Tepuk tangan yang berasal dari Kuda Swabaya dan Patih Madu
menyebabkan wajahnya agak pias.

116
Juru kawih, Sunda, pesinden
Sanga Turangga Paksowani 259

”Apa yang harus aku lakukan?” tanya Kanuruhan Gajah Enggon.


”Menari, Paman!” teriak Kuda Swabaya lantang.
”Ayo, menarilah. Kali ini, tidak dengan pedang, tetapi dengan
selendang,” kata Patih Maduratna yang duduk bersebelahan dengan
Podang Salisir.117
Podang Salisir bukan prajurit, juga tidak berasal dari tandha. Ia hanya
tukang gambar dari istana Majapahit yang ikut serta dalam rombongan
kecil itu.
Melihat bagaimana Kanuruhan Gajah Enggon menari, Arya
Rajaparakrama Ma Panji Elam yang wajahnya tampak selalu tebal, bisa
mencair. Senyum mengembang dari sudut bibirnya. Arya Suradhiraja Pu
Kapasa tertawa terbahak-bahak menulari Sang Arya Patipati Pu Kapat,
sementara Arya Wangsaprana Pu Menur geli terkial sampai tertekuk
tubuhnya.
”Lelaki sejati adalah lelaki yang berani menari!” teriak Ma Panji
Elam.
Gajah Enggon salah tingkah ketika juru kawih yang sekaligus penari
itu menarik selendang yang telah dikalungkan ke lehernya. Gajah Enggon
tak bisa menolak. Namun, di dalam hatinya, ia menyumpah-nyumpah.
Lebih baik menghadapi musuh dengan kekuatan segelar sepapan daripada
harus menari. Panayagan118 memulai alunan alat gamelan masing-masing,
menjadi sebuah isyarat bagi juru kawih yang masih muda dan suaranya
terdengar indah itu. Juru kawih itu sama sekali tidak mengalami kesulitan
ketika menapaki nada-nada tinggi.
Meski sedikit canggung, Gajah Enggon mampu mengimbangi
apa pun yang dilakukan pesinden itu. Ketika Gajah Enggon melakukan
http://facebook.com/indonesiapustaka

gerak yang sama sekali tidak sesuai irama, tepuk tangan riuh datang dari

117
Podang Salisir, nama ini fiktif. Tak ada satu pun keterangan tentang siapa nama juru gambar dari
Majapahit yang bertugas menggambar Dyah Pitaloka Citraresmi. Namun, Wikipedia yang tidak menyebut
siapa kontributornya, menyebut nama juru gambar itu adalah Sungging Prabangkara.
118
Panayagan, Sunda, penabuh alat musik, di Jawa disebut nayaga
260 Gajah Mada

para prajurit Sunda yang ikut bergabung. Ma Panji Elam dan teman-
temannya yang sering disebut empat serangkai itu merasa tidak telaten
ingin segera memperoleh kesempatan menari. Apalagi, kecantikan juru
kawih itu memang sangat menarik minat mereka.
Ketika akhirnya Ma Panji Elam memperoleh kesempatan untuk
menari, Kanuruhan Gajah Enggon dibuat terheran-heran melihat Ma
Panji Elam sangat luwes saat bergerak mengikuti irama dan mengimbangi
juru kawih di hadapannya yang begitu lentur meliuk-liuk. Sikap Ma Panji
Elam yang berubah ceria itu sangat bertolak belakang dengan raut muka
sebelumnya yang amat keruh. Namun, keasyikan menari itu terganggu
sejenak ketika muncul seorang prajurit yang agaknya mendapat tugas
untuk menyampaikan sesuatu.
”Mohon izin, para tamu yang terhormat dari Jawa,” ucap orang
itu dengan santun. ”Namaku Larang Agung. Aku seorang temenggung.
Atas nama Sri Baginda Prabu Maharaja, aku mengucapkan selamat
datang kepada para tamu terhormat dari tanah Jawa. Atas nama Baginda
Prabu, aku persilakan kepada Tuan-Tuan semua untuk berkenan
menikmati sajian yang kami sediakan sambil beristirahat. Sang Prabu
akan menerima kehadiran Tuan-Tuan di Balairung Surawisesa sejenak
setelah malam datang. Saat ini, Sang Prabu sedang berada di sanggar
pamujan.”
Dengan amat santun, Temenggung Larang Agung mempersilakan
Ma Panji Elam untuk kembali menari, juga mempersilakan yang lain
untuk menikmati hidangan yang telah disajikan. Kanuruhan Gajah
Enggon melihat sikap Temenggung Larang Agung itu sudah semestinya
dan sungguh sangat santun. Akan tetapi, tidak demikian di mata Ma
Panji Elam yang kemudian tidak lagi berminat melanjutkan tariannya.
Kesempatan berikutnya untuk ngibing 119 diberikan kepada Patih
http://facebook.com/indonesiapustaka

Maduratna sebagai pembawa tugas utama Majapahit. Patih Madu juga


membuat Kanuruhan Gajah Enggon terheran-heran. Dari gerak tarinya,
jelas Patih Madu bisa menari dengan gaya Sunda.

119
Ngibing, Sunda, menari mengimbangi penari perempuan
Sanga Turangga Paksowani 261

Kanuruhan Gajah Enggon mendekati Ma Panji Elam ketika


dilihatnya wajah Ma Panji Elam kembali keruh.
”Kamu menari dengan bagus,” kata Kanuruhan Gajah Enggon.
Ma Panji Elam tertawa, tetapi amat pendek. Hanya sejenak setelah
itu, ia melenguh. Dengan sangat jelas, Kanuruhan Gajah Enggon
membaca raut mukanya yang berubah.
”Kita dilecehkan,” ucap Ma Panji Elam.
Meski tahu bagaimana sikap Ma Panji Elam, betapa ia adalah orang
yang paling keras dalam menerjemahkan sikap dan keinginan Mahapatih
Gajah Mada, Gajah Enggon tetap terheran-heran ketika Ma Panji Elam
menuduh tuan rumah telah melecehkan mereka. Pada bagian mana
pelecehan itu terjadi?
”Kita tamu penting dari Majapahit. Seenaknya saja Raja Sunda akan
menerima kita setelah malam datang,” ucap Ma Panji Elam.
Gajah Enggon makin yakin, keikutsertaan Ma Panji Elam
akan menjadi sumber masalah, akan menyebabkan Gajah Enggon
mengalami kesulitan untuk meyakinkan Raja Sunda Galuh supaya mau
menggabungkan diri dengan Majapahit. Pendekatan yang akan dilakukan
sudah terlihat buruk. Apalagi, jika Ma Panji Elam ikut berbicara. Ma Panji
Elam, Pu Kapat, Pu Menur, dan Pu Kapasa jelas bakal mengedepankan
gertakan untuk memaksa Sunda Galuh mau bergabung dengan
Majapahit. Dalam bahasa Ma Panji Elam, Sunda harus mau tunduk
pada Majapahit.
”Aku tidak merasakan apa yang kautuduhkan itu,” kata Kanuruhan
Gajah Enggon. ”Tak pantas kita menghadap Raja Sunda dengan keadaan
seperti ini. Harusnya kita bertemu tuan rumah dalam keadaan segar,
sudah mandi dan berpakaian rapi. Pakaian yang kita kenakan sekarang
http://facebook.com/indonesiapustaka

bukan pakaian yang rapi, bukan pakaian resmi yang bisa digunakan untuk
menghadap raja. Alasan Sang Prabu belum bisa menerima kita adalah
beliau sedang berada di sanggar pamujan untuk menunaikan kewajiban
beragamanya. Sang Prabu Maharaja Linggabuana mempunyai agama
seperti kau juga memilikinya. Ketika seseorang sedang menunaikan
262 Gajah Mada

kegiatan beragamanya, tak ada orang lain di dunia ini yang berhak
menyela mengganggunya. Apalagi, kita yang hanya tamu. Jangan
menyimpan cara pandang seperti itu.”
Ma Panji Elam kaget melihat Kanuruhan Gajah Enggon mempunyai
sikap berbeda.
”Ingat,” kata Kanuruhan Gajah Enggon, ”di luar keperluan Patih
Maduratna yang mengusung tugasnya, ada pertemuan khusus untuk
membicarakan hubungan antara Majapahit dan Sunda. Aku yang ditugasi
Kakang Gajah Mada untuk itu. Aku minta saat menemaniku, kau tak
ikut berbicara. Cukup aku yang menjadi juru bicara Majapahit.”
Ma Panji Elam segera mencuatkan alis. Sontak, ia merasa tak setuju
dengan pendapat Gajah Enggon. Akan tetapi, tidak mungkin bagi Ma
Panji Elam untuk melawan pendapat Kanuruhan Gajah Enggon. Dalam
hal pangkat dan jabatan, kedudukan Kanuruhan Gajah Enggon jelas
lebih tinggi darinya. Ma Panji Elam mampu menggapai pangkatnya
yang ia daki dari seorang tandha karena kepintarannya menjilat. Namun,
melesat bagai kilat pun, jabatannya tak mungkin malampaui Gajah
Enggon, kecuali jika terjadi sebuah keajaiban, Sang Prabu Hayam
Wuruk mencopot kedudukan amangkubumi dari tangan Gajah Mada
dan memberikan kepadanya.
Patih Maduratna memanfaatkan waktu yang ada untuk beristirahat.
Patih Maduratna yang telah membersihkan diri, bahkan menyempatkan
untuk tidur meski barang sejenak. Kuda Swabaya yang telah bersih dan
berganti pakaian, kembali bergabung menyaksikan suguhan tarian. Kuda
Swabaya tidak canggung untuk ikut menari. Wajah Kuda Swabaya yang
tampan menyebabkan juru kawih sekaligus penari itu penuh semangat
melayaninya menari.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Gajah Enggon beranjak bangkit untuk ikut membersihkan diri.


Gajah Enggon segera menarik simpulan ketika melihat Ma Panji Elam
saling berbisik dengan empat serangkainya. Terlihat amat jelas setelah
itu, Pu Kapasa tidak berminat menari. Demikian pula dengan Pu Menur
dan Pu Kapat.
Sanga Turangga Paksowani 263

Di dapur istana, tengah terjadi kesibukan luar biasa. Meski masih


disamarkan, Prabu Maharaja sudah menangkap keperluan macam apa yang
diusung para tamu yang datang dari jauh itu. Sebagai tuan rumah yang baik,
Raja Sunda Galuh tidak ingin ada kekurangan dalam menyelenggarakan
penyambutan. Para emban dikerahkan untuk menyiapkan berbagai
jenis masakan. Balairung Surawisesa pun dibersihkan dan digelari babut
permadani yang terasa lembut ketika diraba dan disebari kembang melati
yang menebarkan bau wangi sampai ke sudut-sudut halaman.
Di biliknya, betapa gelisah Dyah Pitaloka Citraresmi yang duduk
bersimpuh di hadapan ibundanya. Permaisuri yang di masa mudanya
bernama Dewi Lara Linsing itu memandangi anak gadisnya. Anak yang
dulu dibesarkan dengan penuh kasih sayang, disusui sejak bayi dan
digendong dengan penuh kehangatan itu kini telah menjadi gadis remaja,
cantik penuh pesona. Kecantikan Dyah Pitaloka mengingatkan Dewi
Lara Linsing kepada dirinya sendiri di usia yang sama.
” Apa mereka utusan Majapahit yang akan melamarku, Bunda?”
tanya Pitaloka.
Dewi Lara Linsing meraih pundak anaknya dan membawanya ke
pelukan.
”Anggap saja kita belum tahu untuk keperluan apa para tamu
itu datang kemari,” jawab ibunya. ”Namun, andai yang dikatakan
ayahandamu benar, derajatmu akan melambung makin tinggi. Kau akan
menjadi permaisuri dari raja sebuah kerajaan yang sangat besar.”
Dyah Pitaloka layak merasa resah. Itu terjadi sejak hatinya resah oleh
sosok yang masih belum diketahui jati dirinya itu. Laki-laki yang merampas
keutuhan nalar dan budinya, yang menyelinap dalam lamunan, mencuri
ruang dalam mimpi, membuat tak betah oleh munculnya desakan ingin
http://facebook.com/indonesiapustaka

berjumpa. Ingin berjumpa dengan orang yang bahkan belum dikenal


namanya.
Emban Nenden Pritaya datang membawa ramuan lulur yang telah
disiapkan. Tampil setelah mandi lulur akan menjadikan kecantikan anak
Dewi Lara Linsing itu makin gilang-gemilang.
264 Gajah Mada

”Ada apa denganku?” tanya Dyah Pitaloka dalam hati. ”Inikah


yang disebut jatuh cinta itu? Mengapa tiba-tiba aku berangan-angan
bersuamikan orang itu?”
Dyah Pitaloka tak mungkin lupa bagaimana orang itu berteriak.
Citra! Citraresmi, aku mencintaimu! Itulah ungkapan cinta yang
benar-benar keluar dari dasar hati, yang tergambar dari lukisan yang
ditorehkan di atas sehelai kain. Ungkapan cinta itu begitu dahsyat, begitu
menggetarkan, dan mampu menggedor dinding hati.
”Mengapa aku tak mampu melupakan wajahnya?” keluh gadis cantik
Sekar Kedaton Surawisesa itu.
Ketika Dyah Pitaloka merasa sedang jatuh cinta, istana Sunda Galuh
kedatangan rombongan tamu dari Majapahit yang menilik gelagatnya
berniat meminangnya. Sikap macam apa yang harus diambil menghadapi
keadaan itu?
Kepada Nenden Pritaya yang bisa dipercaya, Dyah Pitaloka berbagi
resah setelah ibunya pergi dari ruang keputren itu.
”Apa?” betapa terkejutnya Nenden Pritaya.
Dyah Pitaloka yang menunduk, kemudian menengadah memandang
langit-langit kamarnya.
”Aku selalu memikirkannya. Orang itu berteriak lantang dan tidak
tahu aku berdiri di belakangnya. Ia mengutarakan isi hatinya dengan jujur
bahwa ia mencintaiku. Orang itu mengungkapkannya dengan begitu indah
melalui lukisannya. Aku selalu terkenang dan tak mampu mengenyahkan
bayangannya. Ada apa denganku, Pritaya?” keluh Dyah Pitaloka.
Dengan raut muka sangat aneh, antara percaya dan tidak sekaligus
bingung, Nenden Pritaya menatap wajah Sekar Kedaton Sunda Galuh
http://facebook.com/indonesiapustaka

itu.
”Jagat Dewa Batara,” desis gadis itu cemas.
Dyah Pitaloka menoleh perlahan. Matanya menyiratkan betapa
cemas gadis itu.
Sanga Turangga Paksowani 265

”Tuan Putri,” ucap Nenden Pritaya gelisah. ”Apa Tuan Putri jatuh
cinta kepada orang itu? Orang yang tak jelas dari mana asalnya?”
Dyah Pitaloka tidak menjawab. Pandangan matanya menerawang.
Setelah menimbang beberapa jenak, Dyah Pitaloka berbalik dan
memegang pundak Pritaya.
”Nenden Pritaya,” ucap Dyah Pitaloka tegas, ”hanya kau orang
yang aku percaya. Hanya kepadamu, aku titipkan rahasia ini. Dan,
hanya kepadamu, aku mengharapkan pertolongan. Terserah bagaimana
caramu mengatur, aku ingin bertemu dengan orang itu. Keluarlah dari
istana dan carilah dia. Orang itu pasti tak jauh-jauh dari istana dan hanya
bisa menatapku dari kejauhan. Kasihan kalau ia sampai tidak tahu aku
memiliki warna perasaan yang sama kepadanya. Aku membalas cintanya,
Pritaya.”
Gugup dan bagaikan tercekik leher Nenden Pritaya mendengar
permintaan Dyah Pitaloka itu. Ke depan, Nenden Pritaya melihat
kekacauan luar biasa akan dihadapi Dyah Pitaloka. Lebih-lebih, saat ini,
di istana Surawisesa sedang hadir tamu-tamu penting dari Majapahit.
Meski belum terungkap secara resmi keperluan mereka, telah diperoleh
bocorannya. Kedatangan tamu-tamu itu berkaitan dengan keinginan Raja
Majapahit yang mencari seorang permaisuri.
”Tuan Putri, lupakan orang itu,” pinta Nenden Pritaya.
Dyah Pitaloka menggeleng tegas.
”Hatiku telanjur diketuk orang itu dan aku telah membukanya,
Pritaya. Aku melihat orang itu bersungguh-sungguh dengan ungkapan
perasaan cintanya,” jawab Dyah Pitaloka.
Betapa cemas Nenden Pritaya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
266 Gajah Mada

27
T idak tercegah, Kuda Swabaya memiliki ketertarikan luar biasa
pada kotaraja dan istana Surawisesa. Meski tak sebesar dan semegah
istana Tarik, ada hal-hal tertentu yang mencuri perhatiannya. Dengan
akrab, Kuda Swabaya bergaul dan berkenalan dengan prajurit Sunda
Galuh. Dengan senang hati, prajurit itu melayani apa pun pertanyaan
Kuda Swabaya.
”Bagaimana kalau aku ajak kaukeliling kotaraja ini?” prajurit Sunda
Galuh yang usianya sebaya dengannya itu menawarkan.
Wajah Kuda Swabaya seketika sumringah.
”Terima kasih, aku mau. Tetapi, bolehkah aku mengetahui siapa
namamu, sahabat? Namaku Kuda Swabaya,” ucap Kuda Swabaya.
Prajurit Sunda Galuh itu menerima uluran tangan Kuda Swabaya.
Genggaman tangannya terasa kuat.
”Namaku Rangga Kaweni, pangkatku belum terlampau tinggi. Aku
hanya seorang lurah di sini,” ucapnya.
Berbinar pandang mata Kuda Swabaya.
”Lurah prajurit itu pangkat yang lebih tinggi dariku. Aku hanya
prajurit biasa,” ujar Swabaya.
Menggunakan sebuah kereta yang ditarik seekor kuda yang jika
dikendarai memunculkan suara sangat khas, Kuda Swabaya diajak berkeliling
oleh Rangga Kaweni. Kepada Kanuruhan Gajah Enggon ditawarkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

untuk ikut bergabung. Namun, Kanuruhan Gajah Enggon menolak. Ikut


bergabung dalam kereta berkuda itu Podang Salisir, juru gambar yang
nantinya diberi tugas melukis wajah Sekar Kedaton Dyah Pitaloka.
”Bagaimana awal cerita negeri Sunda Galuh ini?” tanya Kuda
Swabaya.
Sanga Turangga Paksowani 267

Rangga Kaweni dan mungkin seluruh rakyat Sunda Galuh tentu


bisa bercerita bagaimana asal-usul istana Sunda Galuh dengan urutan
yang tercatat cukup rapi. Tidak seperti Kuda Swabaya. Meski sejak
kecil hidup di Majapahit, ia kurang begitu memahami silsilah Raja-Raja
Majapahit dengan cukup jelas. Apalagi, jika trah atau wangsa itu ditarik
mundur hingga ke zaman Singasari.
”Asal mula negeri kami adalah kerajaan Tarumanegara yang
runtuh tidak berkelanjutan lagi,” kata Rangga Kaweni menjelaskan.
”Di tanah Sunda, muncul dua kerajaan baru yang mampu melanjutkan
dan menggantikan peran kerajaan Tarumanegara, yaitu kerajaan Sunda
Pakuan120 yang didirikan Tarusbawa yang menjadi induk Wangsa
Tarusbawa dan kerajaan Sunda Galuh yang didirikan leluhur kami, Prabu
Wretikandayun dan menjadi induk Trah atau Wangsa Wretikandayun.”
Kuda Swabaya dan Podang Salisir menyimak dengan baik sambil
menikmati pemandangan yang indah di sepanjang jalan yang rapi dan
banyak dihiasi tanaman bunga. Di kejauhan, bukit-bukit memanjang
dengan warna sedikit kebiruan. Tak terlihat sawah dengan cara pengairan
yang berlimpah. Agaknya, cara bercocok tanam penduduk Sunda Galuh,
khususnya padi, masih kalah maju dibandingkan cara bercocok tanam
orang Jawa.
Rangga Kaweni dengan santai mengendalikan gerak kuda yang
menarik keretanya.
”Kami, orang Sunda Galuh, beranggapan,” lanjut Rangga Kaweni,
”cikal bakal kehidupan rakyat Sunda berasal dari orang suci bernama
Sang Kandiawan. Ia raja resi di Medang Jati yang memiliki lima putra
lelaki, Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, Sang Katungmaralah,
Sang Sandanggreba, dan Wretikandayun. Lima putra Sang Maharesi
Kandiawan dulunya dikenal sebagai Panca Putra yang dipandang pula
http://facebook.com/indonesiapustaka

sebagai penjelmaan Sang Panca Kusika atau lima dewa pelindung


sekaligus pancabyapara yang merupakan lima unsur asal mula dunia.

120
Kerajaan Sunda, sebagai nama kerajaan diberitakan Prasasti Juru Pangambat dan Prasasti Sang Hyang
Tapak serta naskah-naskah, antara lain Carita Parahyangan, Fragmen Carita Parahyangan, Sanghyang
Siksa Kandang Karesian, dan Amanat Galunggung
268 Gajah Mada

Sang Kusika menjadi pelindung bumi atau pretiwi, Sang Garga menjadi
pelindung air atau apah, Sang Mestri menjadi pelindung cahaya atau
teja, Sang Purusa menjadi pelindung angin atau bayu, dan Sang Patanjala
menjadi pelindung angkasa.”
Benar-benar sebuah wacana baru bagi Kuda Swabaya. Majapahit
dan Sunda Galuh ternyata memiliki latar belakang yang amat berbeda.
Kuda Swabaya dan Podang Salisir menyimak kelanjutan penuturan
itu dengan baik.
”Anak pertama Sang Maharesi Kandiawan, yaitu Sang Mangukuhan
merupakan penjelmaan Sang Kusika. Mangukuhan menekuni pekerjaan
sebagai petani. Karungkalah menjadi tempat penitisan Garga.
Karungkalah menekuni pekerjaan sebagai pemburu atau panggerek.
Berikutnya, Katungmaralah menjadi penjelmaan dari Sang Mestri. Ia
menekuni pekerjaan sebagai penyadap. Sementara itu, Sandanggreba
merupakan jelmaan dari Sang Purusa. Ia menekuni pekerjaan sebagai
pedagang. Terakhir, Wretikandayun yang mendirikan negara Sunda Galuh
yang indah dan permai ini adalah penjelmaan Patanjala. Wretikandayun
menekuni pekerjaan sebagai raja pertama Sunda Galuh.”
Lurah Prajurit Rangga Kaweni selanjutnya menuturkan dengan lebih
lengkap bahwa berbarengan dengan berdirinya negara Sunda Galuh, di
wilayah barat juga berdiri negara Sunda yang dalam kehidupan sehari-
hari, rakyatnya menggunakan bahasa Sunda. Sunda di sebelah barat itu
bernama Sunda Pakuan karena beribu kota di Pakuan. Sedangkan, Sunda
Galuh beribu kota di Kawali. Batas antara kedua kerajaan itu adalah
sungai Citarum.121 Batas wilayah tanah Sunda di barat adalah Selat Sunda
dan sebelah timur adalah tanah Jawa, tepatnya dipagari sungai Cipamali122
bagian utara dan sungai Cisarayu123 bagian selatan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

121
Citarum, batas kekuasaan negara Sunda Galuh dan Sunda Pakuan sebagaimana tercantum dalam
Carita Parahiangan yang berbunyi, ”... ngan siya leumpang maratkeun, husir Tohaan di Sunda; di kulon
di Tuntang Sunda nyabrang ka desa Malayu; ti kulon Tarum, ka kulon alas Tohaan di Sunda.”
122
Cipamali, sekarang sungai Pamali
123
Cisarayu, sekarang sungai Serayu
Sanga Turangga Paksowani 269

Hubungan antara kerajaan Sunda Pakuan dan kerajaan Sunda Galuh


berjalan sangat baik, bahkan seperti dua saudara yang saling melengkapi.
Sering terjadi, raja di satu pihak merupakan keturunan raja dari negara
yang lain. Hubungan kedua kerajaan menjadi amat erat lewat terjadinya
hubungan perkawinan kerabat negara Sunda Galuh dengan kerabat
negara Sunda Pakuan, misalnya Sanjaya dari Sunda Galuh kawin dengan
Tejakancana dari Sunda Pakuan. Sering terjadi pula, Raja Sunda Pakuan
memerintah negara Sunda Galuh atau sebaliknya, seperti yang dialami
Sanjaya pada tahun 723 hingga tahun 732.
”Berarti, hubungan antara Sunda Pakuan dan Sunda Galuh benar-
benar damai? Tak terjadi perebutan kekuasaan di antara keduanya?”
tanya Kuda Swabaya.
Rangga Kaweni menggeleng.
”Gesekan tentu sering terjadi, tetapi boleh dikata sangat kecil,”
jawabnya.
Jika istana Majapahit dibangun di sebuah tempat yang semula
bernama Tarik, tepatnya berada di wilayah Trowulan, istana Galuh yang
bernama Surawisesa terletak di sebuah tempat bernama Bojong Galuh.
Pada perkembangannya, orang lebih senang menyebut Galuh begitu saja.
Sementara itu, Sunda Pakuan beribu kota di Pakuan dengan keraton yang
diberi nama Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati.124
Mewarisi takhta dari raja sebelumnya, raja yang sekarang menggelar
pemerintahan di istana Sunda Galuh adalah Prabu Maharaja Linggabuana.
”Dalam menggelar pemerintahan,” lanjut Rangga Kaweni, ”Sang
Prabu Maharaja didampingi seorang patih yang disebut mangkubumi.
Patih itu adalah adik kandung Sang Prabu sendiri yang bernama Hyang
Bunisora. Sebagai mahapatih, ia disebut dengan Mangkubumi Suradipati.
Atas perintah Sang Prabu, saat ini sedang disusun dua kitab penting,
http://facebook.com/indonesiapustaka

yaitu Bujangga Manik dan Sanghyang Siksa.”


Sanghyang Siksa yang dimaksud adalah Sanghyang Siksa Kandang
Karesian. Saat pemerintahan negara berada di tangan Sang Prabu Maharaja
124
Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran, buku karya Edi S. Ekadjati
270 Gajah Mada

Linggabuana inilah, dua buah kitab penting sedang dibuat sebagai


acuan dan petunjuk hidup. Nantinya, kitab-kitab itu dipelajari orang
banyak. Kearifan dan kebijaksanaan Sang Prabu membuatnya sangat
dihormati segenap rakyatnya. Sang Prabu adalah raja yang adil. Berkat
bimbingannya, rakyat Sunda Galuh bisa hidup makmur, tenteram, kaya
raya, aman, dan sentosa.
”Kearifan yang demikian menyebabkan rakyat Sunda Galuh juga
menyebut rajanya dengan panggilan Sang Prabu Wangi,” kata Rangga
Kaweni.
Kehidupan beragama negara Sunda lebih diwarnai agama Hindu
dan Buddha. Untuk kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan beragama,
ditata melalui aturan-aturan yang disusun seorang wiku bernama
Rahyangta Ri Medang Jati125 yang karyanya diberi nama Sanghyang Watang
Ageung.126
Setidaknya, ada tiga himpunan peraturan atau undang-undang
yang berlaku di Sunda Galuh, yaitu Dewasanana,127 Rajasanana,128 dan
Manusanana,129 yang disusun berdasarkan ajaran agama Buddha dan Hindu
serta leburan dua agama itu yang disebut Jatisunda.130 Masing-masing
dilaksanakan dengan amat mendarah daging dengan selalu mengamalkan
ajaran leluhur atau Sang Rumuhun,131 yang antara lain meliputi Purbatisti,
Purbajati, dan Patikrama.

125
Rahyangta Ri Medang Jati, sebagaimana disebut dalam Carita Parahyangan
126
Sanghyang Watang Ageung, informasi mengenai hal tersebut diperkuat pula Carita Parahyangan dan
Ramayana
127
Dewasanana, aturan tentang penyembahan terhadap dewa serta penerapannya dalam kehidupan manusia. Ada
kemungkinan, Dewasanana itulah yang disebut sebagai Sanghyang Darma dalam Carita Parahyangan.
128
Rajasanana, aturan tentang kehidupan raja. Berupa himpunan peraturan yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban seorang raja dalam mengendalikan pemerintahan. Isi Rajasanana menurut Carita Parahyangan,
http://facebook.com/indonesiapustaka

antara lain termaktub dalam Sanghyang Watang Ageung.


129
Manusanana, aturan mengenai kehidupan manusia secara umum, bersumber pada ajaran agama dan
tradisi leluhur
130
Jatisunda, sinkretisme antara agama Buddha dan Hindu
131
Sang Rumuhun, menurut Carita Parahiyangan, Sang Ratu Jaya Dewata atau Sri Baduga Maharaja
mengalami zaman keemasan masa pemerintahannya karena kesetiaannya pada kebiasaan dan menjalankan
ajaran para leluhur
Sanga Turangga Paksowani 271

”Peranan para leluhur itu sangat penting,” lanjut Rangga Kaweni,


”sehingga bagi orang-orang Sunda Galuh seperti kami, berlaku
keyakinan, ada dahulu ada sekarang. Tidak ada dahulu tidak ada sekarang.
Ada masa lalu ada masa kini. Tidak ada masa lalu tidak akan ada masa kini132
sebagaimana pertama kali diucapkan orang yang amat kami hormati,
Rakeyan Darmasiksa.”
Podang Salisir ikut terpancing rasa ingin tahunya.
”Sebagaimana di Majapahit berlaku sebuah tata krama, pasti
demikian pula dengan di Sunda Galuh. Bagaimana kami memanggil
atau menyebut nama Sang Prabu?” tanya Podang Salisir.
Rangga Kaweni tersenyum dan makin bersemangat dalam berbagi
pengetahuan.
”Raja di Sunda Galuh sering dipanggil dengan sebutan tohaan,” lanjut
Rangga Kaweni. ”Raja Sunda Galuh juga dipanggil dengan sebutan ratu,
raja, haji, atau maharaja. Dalam menggelar pemerintahan, raja dibantu
seorang patih, mangkubumi, para mantri, hingga ke wilayah-wilayah ada
para pangurang desa, para calagara, para upeti, panggeres reuma, dan
wado. Sedangkan, mereka yang mengurusi kegiatan keagamaan, baik di
istana, di kabuyutan, maupun di mandala disebut raja resi, bhagawat resi,
buyuthaden, wikuraja, sang resi guru, dan batara hangiang, sementara
para pejabatnya, antara lain pendeta, resi, wiku, tetega, ebon, ameng,
tiagi, kalpa, dan bujangga. Sebagai pucuk pimpinan dari sebuah negara,
raja kami biasanya memakai gelar, seperti rahiyang, rakeyan, prabu, dan
prebu. Junjungan kami, Raja Linggabuana, lebih sering disebut dengan
nama Sang Prabu Maharaja.”
Kuda Swabaya dan Podang Salisir manggut-manggut bersama
sebagai tanda mengerti. Rangga Kaweni selanjutnya menuturkan bahwa
http://facebook.com/indonesiapustaka

Prabu Maharaja dinobatkan menjadi raja sejak tujuh tahun yang lalu,
pada tahun 1350.

132
Atja & Saleh Danasasmita dalam bukunya, Amanat Galunggung, Bandung, Proyek Pengembangan
Permusiuman Jawa Barat yang teksnya berbunyi, ”Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana
mangke, aya ma beuheula aya tu ayeuna, hanteu ma beuheula hanteu tu ayeune.”
272 Gajah Mada

Prabu Maharaja didampingi permaisurinya yang cantik jelita, Dewi


Lara Linsing. Permaisuri Dewi Lara Linsing memiliki kecantikan khas
Sunda yang menurun lebih sempurna pada wujud anak sulungnya yang
ditandai sebuah nama yang sungguh indah, Dyah Pitaloka Citraresmi.
Di samping Dyah Pitaloka, Prabu Maharaja memiliki anak laki-laki yang
ketika tahun ditandai sengkala sanga turangga paksa wani baru berusia 9 tahun
surya. Kepadanya melekat nama Niskala Wastu Kencana. Ia bocah yang
tampan dan pasti menjadi pusat perhatian karena ke depan, rakyat Sunda
Galuh membayangkan negeri itu akan makmur di bawah pimpinannya.
Nama Dyah Pitaloka disebut, menyebabkan Kuda Swabaya merasa
penasaran. Ia tidak sabar ingin segera tahu bagaimana kecantikan Dyah
Pitaloka yang konon para bidadari pun tak mungkin menandinginya.
Dengan pelan dan tenang, Rangga Kaweni membawa dua orang
tamunya itu terus menyusuri jalan-jalan di kotaraja hingga melebar
melintasi sumur Jalatunda, lalu melewati telaga Jalatunda.
”Apa yang dilakukan orang itu?” bertanya Kuda Swabaya.
Rangga Kaweni menoleh mencari-cari orang yang dimaksud.
”Mana?” balas Rangga Kaweni.
”Itu,” jawab Kuda Swabaya sambil mengarahkan telunjuknya.
Di tepi telaga Jalatunda, seseorang sedang larut oleh kesibukannya.
Rangga Kaweni yang melihat ikut merasa heran, tak biasanya di tempat
itu ada orang yang asyik dengan lembaran kain di depannya, kain
yang direntang menggunakan tali-tali. Namun, dengan segera, Rangga
Kaweni menemukan jawabnya. Siapa pun orang itu, agaknya sedang
sibuk melukis.
”Orang itu sedang melukis,” jawab Rangga Kaweni.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Podang Salisir yang memiliki pekerjaan sebagai pelukis sangat


tertarik. Ternyata, tak hanya dirinya yang menggemari pekerjaan itu. Di
Sunda Galuh, rupanya ada pula orang yang menekuni kegiatan serupa.
”Waah, bagus sekali. Bolehkah aku turun di sini saja? Jangan
khawatirkan aku. Nanti aku pasti kembali,” ucap Podang salisir.
Sanga Turangga Paksowani 273

Rangga Kaweni tak keberatan dengan permintaan itu. Kereta kuda


dihentikan untuk memberi kesempatan kepada Podang Salisir untuk
turun. Kereta kuda itu pun berjalan lagi meninggalkan jejak tanda tanya
di benak Kuda Swabaya. Melihat perawakan laki-laki di tepi telaga itu,
ia merasa seperti melihat punggung kakaknya yang hilang tidak ada
kabar beritanya cukup lama. Nyaris, Kuda Swabaya mengira orang itu
adalah Sang Prajaka yang hilang. Namun, Kuda Swabaya segera menepis
kemungkinan itu. Tidak mungkin kakaknya berada di tempat itu, tempat
yang sangat jauh letaknya, tempat yang butuh waktu berhari-hari untuk
mencapainya.
Rangga Kaweni melecutkan cambuknya perlahan. Cambuk itu
menyentuh pantat kuda penarik keretanya. Setelah menerima perintah
itu, kuda itu pun bergerak lebih cepat. Mendung di langit sebelah utara
menjadi pertanda hujan mungkin akan turun.
Petir yang kemudian meledak di kejauhan menyebabkan Rishang
Saniscara yang sibuk menorehkan adonan pewarnanya ke lembar kain
putih terkejut. Petir muncrat pertanda akan turun hujan. Padahal, hujan
harus dihindari karena bisa menjadi penyebab lunturnya warna, lukisan
yang dibuatnya akan rusak.
Rishang Saniscara puas atas karyanya. Dan, ia merasa telah bulat
akan melaksanakan apa yang digagasnya.
”Malam ini, aku akan menyelinap ke istana. Aku tak peduli meski
prajurit Sunda Galuh menangkapku dan memenggal kepalaku di alun-alun.
Aku akan hadapi semua itu. Aku sanggup mati asal telah kutumpahkan
hasrat cintaku kepada kekasih jantung hatiku,” kata Saniscara dalam
hati.
Saniscara akan menggulung lukisannya. Namun, suara yang muncul
dari belakangnya mencegahnya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Tunggu,” kata Podang Salisir.


Saniscara memandang orang yang mendadak muncul itu penuh
selidik.
”Lukisanmu bagus sekali,” kata Podang Salisir.
274 Gajah Mada

Ucapan yang hangat bersahabat itu menyingkirkan segala rasa curiga.


Saniscara membentangkan hasil karyanya dengan amat bangga.
Podang Salisir takjub bukan kepalang.
”Aku tidak menyangka ada lukisan yang bisa indah seperti ini,”
kata Podang Salisir.
Saniscara tersenyum, ”Kenapa?”
”Aku juga seorang pelukis,” jawab Podang Salisir. ”Akan tetapi,
agaknya aku harus banyak belajar darimu. Aku hanya mampu melukis
wajah dari samping. Namun, kau bisa melukis wajah dari depan.
Bagaimana caramu menggambar?”
Saniscara tidak menjawab. Ia hanya tertawa. Ledakan petir yang
menggemuruh menyebabkan Saniscara harus mengemasi gulungan
lukisannya.
”Kalau boleh tahu, lukisan siapa itu?” tanya Podang Salisir. ”Gambar
siapa yang sedemikian cantik itu?”
Saniscara berhenti tertawa, raut mukanya bersungguh-sungguh.
”Aku tidak bisa menyebut namanya, bahkan aku tidak boleh
membisikkannya. Para dedaunan akan terkejut ketika aku menyebut
namanya. Ia adalah gadis tercantik di jagat ini dan aku sangat mencintainya.
Kulukis kembang cantik ini karena aku mencintainya,” jawab Saniscara.
Dengan tertawa panjang dan tanpa bicara apa pun, Saniscara
meninggalkan orang yang terkagum-kagum pada karyanya itu. Melalui
sebuah pematang kecil dan jalan setapak, laki-laki pemilik kemampuan
langka itu kemudian menghilang. Tubuhnya lenyap setelah membelok
di balik rimbun pohon bambu petung.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Bukan main,” gumam Podang Salisir yang tak mampu menutupi


kekagumannya.
Sanga Turangga Paksowani 275

28
P ara tamu dari Majapahit telah dipersilakan untuk memasuki
balairung yang telah dihias rapi dan disebari kembang melati serta
mawar yang menebarkan wangi. Patih Maduratna yang dituakan dalam
rombongan tamu itu duduk di tengah, diapit Kanuruhan Gajah Enggon
di sebelah kanannya dan Podang Salisir di sebelah kirinya. Di belakang
Patih Maduratna, duduk berjajar Sang Arya Rajaparakrama Ma Panji
Elam, Sang Arya Suradhiraja Pu Kapasa, Sang Arya Wangsaprana Pu
Menur, dan Sang Arya Patipati Pu Kapat.
Para pejabat istana Surawisesa adalah orang-orang yang sangat
menghargai tamu. Mereka berusaha menjadi tuan rumah yang baik.
Temenggung Larang Agung yang pada siang hari tampil sederhana, kini
berubah penampilannya. Ia mengenakan pakaian keprajuritan lengkap
dengan tanda-tanda kebesarannya. Sebuah lencana yang melekat di
pundak kirinya menunjukkan pangkat yang melekat padanya adalah
temenggung.
Kuda Swabaya yang pada siang sebelumnya telah banyak bertanya,
bisa menebak siapa saja pejabat Sunda Galuh yang menemani Prabu
Maharaja menerima tamunya. Rangga Kaweni yang tersenyum kepadanya
segera dibalas dengan senyum seimbang.
Kuda Swabaya tak perlu kesulitan menebak, tiga kursi yang
disiapkan di tengah balairung itu pastilah dampar untuk Prabu Maharaja
Linggabuana, Permaisuri, dan Sekar Kedaton. Sementara itu, kursi
keempat yang agak terpisah jaraknya dari ketiga kursi itu pastilah
http://facebook.com/indonesiapustaka

disediakan untuk Mahapatih Sunda Galuh, Hyang Bunisora atau yang juga
disebut Sang Mangkubumi Suradipati. Mestinya masih ada kursi yang lain
karena Raja masih memiliki anak yang saat ini berusia sembilan tahun.
Semua tebakan itu benar adanya. Dipimpin Kanuruhan Gajah
Enggon yang memberi isyarat, penghormatan pun diberikan begitu
276 Gajah Mada

Raja Sunda Galuh keluar dari pintu yang terbuka. Berdebar-sebar Kuda
Swabaya dan Podang Salisir manakala melihat raut wajah Sekar Kedaton
Sunda Galuh yang memang cantik luar biasa. Sang Prabu Maharaja
terlihat bahagia dengan kehadiran para tamu itu. Apalagi, melihat niat
macam apa yang dibawa para tamu dari negara yang kekuasaannya
melesat amat cepat membentang se-Nusantara itu.
Melihat kecantikan Dyah Pitaloka, Podang Salisir benar-benar
terpesona. Namun, Podang Salisir tersentak kaget ketika mengenali wajah
cantik itu adalah wajah yang dilukis seseorang di tepi telaga Jalatunda.
Tepat ketika Sang Prabu Maharaja, Permaisuri, Dyah Pitaloka, dan
Sang Mangkubumi Suradipati duduk di kursi masing-masing, Kanuruhan
Gajah Enggon memberi isyarat menghentikan penghormatan yang
diberikan. Cara penghormatan yang diberikan tamu-tamu dari Majapahit
itu berbeda dengan cara yang berlaku di Sunda Galuh. Gaya masing-
masing yang berbeda itu merupakan tambahan wacana, baik bagi para
tamu maupun tuan rumah.
Di Majapahit, jika sedang digelar pasewakan agung, pasti digelar pula
gamelan yang mengalunkan gending atau lagu yang disesuaikan dengan
suasana. Di balairung istana Surawisesa pun disajikan suguhan yang sama.
Dari sudut balairung, dengan jarak yang agak jauh, sekelompok panayagan
mengalunkan degung dengan irama lembut dan mendayu-dayu. Juru kawih
yang mendapat tugas untuk memberi suasana indah dalam pertemuan itu
adalah juru kawih terbaik, muda usianya dan berwajah cantik.
Kanuruhan Gajah Enggon yang untuk pertama kalinya melihat Raja
Sunda, mengukur usianya tentu sebaya dengan dirinya. Sang Mahapatih
negeri Sunda pastilah adik kandung Raja karena wajahnya yang mirip.
Namun, Mangkubumi Suradipati tidak setampan kakaknya. Ketampanan
http://facebook.com/indonesiapustaka

Raja dan kecantikan Ratu itulah yang menurun sempurna pada wajah
Dyah Pitaloka.
Permaisuri tetap terlihat cantik, meski kini telah berusia mendekati
empat puluh tahun. Sementara itu, Dyah Pitaloka Citraresmi memang
layak menjadi pusat perhatian.
Sanga Turangga Paksowani 277

”Atas nama pribadi dan atas nama kerajaanku,” ucap Prabu Maharaja
yang ternyata menguasai bahasa para tamunya, ”aku mengucapkan
selamat datang kepada para tamu dari Majapahit. Selanjutnya, aku
persilakan untuk menyampaikan apa keperluan yang dibawa dari Jawa,
aku siap mendengar.”
Patih Maduratna yang menunduk itu, kemudian menengadah sambil
merapatkan kedua telapak tangannya. Sikapnya yang demikian dirasa
sangat santun bagi tuan rumah.
”Hamba, Tuanku,” berkata Patih Madu. ”Untuk melengkapi maksud
kedatangan kami, kami telah mendahului kedatangan kami dengan
mengirim nawala.133 Sekarang, izinkanlah hamba memperkenalkan
diri. Nama hamba Maduratna dengan kedudukan sebagai patih anom134
di sebuah negara bawahan Majapahit. Di sebelah kiri hamba adalah
Kanuruhan Gajah Enggon. Di sebelah kanan hamba adalah seorang
pemuda yang berbakat membuat gambar, namanya Podang Salisir.”
Kanuruhan Gajah Enggon dan Podang Salisir yang disebut namanya
secara bersama-sama memberikan penghormatan dengan merapatkan
dua telapak tangan masing-masing, kemudian dibawa melekat ke ujung
hidung.
”Sementara itu, teman-teman yang menyertai perjalanan hamba
dan duduk di belakang hamba adalah Ma Panji Elam yang menjabat
sebagai Sang Arya Rajaparakrama, Pu Kapasa yang menjabat sebagai
Arya Suradhiraja, Pu Menur yang memangku jabatan sebagai Sang Arya
Wangsaprana, dan Pu Kapat yang memangku jabatan sebagai Sang Arya
Patipati. Mereka adalah para arya yang mendapat tugas khusus dari
Rakrian Mahapatih Gajah Mada untuk melihat dari dekat apa yang bisa
dipelajari dari negara Sunda Galuh, lalu dikembangkan di Majapahit.
Selanjutnya, sahabat hamba, Kanuruhan Gajah Enggon, membawa
http://facebook.com/indonesiapustaka

pesan khusus yang harus disampaikan kepada Sang Prabu,” ucap Patih
Madu sangat santun.

133
Nawala, Jawa Kuno, surat
134
Anom, Jawa, muda
278 Gajah Mada

Prabu Maharaja memandangi wajah para tamunya satu per satu.


Hyang Bunisora belum mengeluarkan ucapan apa pun, tetapi menyimak
pembicaraan itu dengan penuh perhatian. Agaknya, ia seorang patih
yang pendiam.
”Yang pertama, Tuanku,” lanjut Patih Maduratna, ”hamba harus
menyampaikan salam dari Sang Prabu Hayam Wuruk junjungan kami
untuk disampaikan kepada Sang Prabu di Sunda Galuh.”
Prabu Maharaja Linggabuana tersenyum sambil menyempatkan
melirik Permaisuri yang memegang tangan anak gadisnya. Sepanjang
pembicaraan berlangsung, Dyah Pitaloka lebih banyak menunduk.
”Aku terima dengan senang hati salam dari Sang Prabu Rajasanegara,”
jawab Prabu Maharaja. ”Sebaliknya, sekembali kalian dari istana Surawisesa
ini, tolong sampaikan pula aku mengirim salam kepada raja di Jawa dan
segenap punggawanya di sana.”
Patih Madu mengangguk amat dalam sambil kembali merapatkan
kedua telapak tangannya.
”Selanjutnya, izinkanlah hamba mengajukan permohonan atas nama
beliau,” kata Patih Maduratna.
Patih Madu tidak langsung pada pokok persoalan yang dibawanya.
Sikapnya yang terlalu santun membuat Ma Panji Elam merasa jengkel.
Akan tetapi, Ma Panji Elam harus membungkam mulutnya.
”Silakan,” jawab Prabu Maharaja Linggabuana.
Patih Madu masih dalam sikap menyembah.
”Hamba, Tuanku,” lanjut Patih Madu. ”Sri Baginda Prabu Hayam
Wuruk saat ini telah berusia dua puluh tiga tahun dan Ibu Suri Sri Gitarja
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani berpikir bahwa Prabu Hayam


Wuruk sudah saatnya memiliki garwa prameswari.135 Telah banyak gadis
anak para raja bawahan yang diambil gambarnya, tetapi belum satu pun

135
Garwa prameswari, Jawa, permaisuri
Sanga Turangga Paksowani 279

yang membuat Sang Prabu Hayam Wuruk berkenan. Hingga sampailah


kabar yang datang ke Majapahit bahwa Sri Baginda Prabu memiliki anak
gadis yang cantik jelita. Dengan segala kerendahan hati, kami mengajukan
sebuah permohonan agar diizinkan untuk menggambar wajah Sekar
Kedaton Sunda Galuh yang nantinya akan kami sampaikan kepada Sang
Prabu. Jika Sekar Kedaton Sunda Galuh yang menjadi pilihan beliau,
kelak kami akan kembali berkunjung lengkap dengan tata upacara adat
semestinya.”
Hening balairung itu. Tidak seorang pun yang berbicara. Prabu
Maharaja saling lirik dengan istrinya. Sebagai orang tua, Raja dan
Permaisuri Sunda Galuh merasa adanya semacam guncangan di rongga
dadanya. Perasaan seperti itu lazim terjadi pada orang tua yang memiliki
anak gadis, lalu anak gadisnya itu diminta orang. Rasa bahagia sekaligus
sedih menyatu mengharu biru.
Orang yang berniat mengawini Dyah Pitaloka Citraresmi bukanlah
orang sembarangan. Ia adalah raja besar di tanah Jawa dengan wilayah
kekuasaan yang sangat luas, seluas wilayah Nusantara. Jika Dyah
Pitaloka Citraresmi nantinya didudukkan sebagai permaisuri, sungguh
itu kedudukan yang sangat terhormat. Walau melalui permintaan Sekar
Kedaton digambar lebih dulu, yang itu berarti Dyah Pitaloka bisa saja
bukan orang yang dikehendaki Rajasanegara. Namun, kecil kemungkinan
hal itu terjadi karena Dyah Pitaloka Citraresmi memiliki kecantikan yang
sangat gemilang.
Para punggawa keraton Sunda Galuh terdiam. Namun, sejatinya
di dalam hati mereka sedang terjadi pergolakan riuh. Patih Bunisora
tidak menampakkan kesan apa pun di raut wajahnya. Akan tetapi, hati
paman yang dekat dengan Pitaloka itu merasa senang keponakannya
akan memperoleh jodoh yang sepadan. Beberapa orang perwira lain
http://facebook.com/indonesiapustaka

lagi. Ada yang ikut gembira. Namun, ada pula yang seketika merasa
patah hati. Selama ini, beberapa orang perwira muda yang masih lajang
berharap-harap cemas angan-angannya bisa menjadi kenyataan. Dengan
Dyah Pitaloka telah dilamar seperti itu maka tertutup peluang untuk
mereka.
280 Gajah Mada

Podang Salisir yang merasa mengemban tugas berat harus menggambar


wajah Sekar Kedaton Sunda Galuh sangat sulit mengenyahkan gambar
indah luar biasa yang dituangkan di atas selembar kain oleh seseorang di
tepi telaga Jalatunda. Setelah melihat wujud Sekar Kedaton Sunda Galuh
secara langsung, tahulah Podang Salisir, sosok yang digambar itu adalah
kembang istana yang sekarang berada di depannya.
”Orang itu menggambarnya karena ia mencintainya,” ucap Podang
Salisir dalam hati.
Akan tetapi, Podang Salisir menyimpan semua yang ia ketahui itu
hanya dalam hati. Ia belum bercerita kepada siapa pun dan mungkin
tak perlu.
”Selanjutnya, mengenai sesuatu yang harus dibicarakan denganku?”
tanya Prabu Maharaja.
Sadar perhatian Prabu Maharaja sedang ditujukan kepadanya,
menyebabkan Gajah Enggon bergegas memberikan penghormatannya.
”Hamba, Tuanku,” kali ini Gajah Enggon yang berbicara. ”Hamba
hanya diizinkan menyampaikan pesan itu kepada Sri Baginda secara
tersendiri dan tertutup.”
Prabu Maharaja menebar pandangan matanya ke segenap perwiranya,
merayapi raut wajah Temenggung Larang Agung, Rangga Kaweni,
Sutrajali, Panji Melong, dan Jagadsaya.
”Akan kuberikan kesempatan khusus itu besok pagi,” jawab Prabu
Maharaja.
Saat kesempatan diberikan kepada para panayagan dan juru kawih
untuk menguasai acara, suasana malam itu menjadi hangat. Di sebuah
meja, disediakan buah-buahan segar yang baru dipetik dari pohonnya
dalam jumlah berlimpah, menjadi pertanda tuan rumah benar-benar
http://facebook.com/indonesiapustaka

menghargai tamunya. Makan malam yang kemudian disajikan benar-


benar lezat dan memberi wacana baru kepada para tamu dari Majapahit
itu, betapa Sunda Galuh memiliki perbendaharaan masakan yang harus
diakui lebih kaya dari Majapahit. Sambalnya, pepesnya, dan lalapannya,
semua terasa enak di lidah.
Sanga Turangga Paksowani 281

Gajah Enggon mengambil jarak untuk memerhatikan Ma Panji Elam.


Gajah Enggon berpikir, besok pagi, saat Prabu Maharaja memberikan
waktu kepadanya untuk berbicara, Ma Panji Elam harus dihadang agar
jangan sampai ikut menemaninya berbicara dengan tuan rumah.
Kanuruhan Gajah Enggon segera teringat pada ucapan Pradhabasu
saat ia meminta saran bagaimana menyiasati keadaan itu.
”Aku ingat,” kata Pradhabasu ketika itu, ”saat aku masih Bhayangkara,
Panji Elam hanyalah seorang tandha dengan pangkat paling rendah. Ia
nyaris seperti seorang pesuruh yang ditugasi ke sana kemari. Aku tak
menyangka ia mampu meraih kedudukan sebagai arya rajaparakrama,
pejabat yang mengurusi hal-hal terkait dengan penyelenggaraan upacara-
upacara. Aku mempunyai cara yang mungkin bisa kaugunakan. Nanti,
aku uraikan ….”
Gajah Enggon memerhatikan dengan cermat bagaimana Ma Panji
Elam makan dengan lahap sambil melirik penari yang meliuk-liuk lincah
mengikuti irama.

29
D i dalam bilik Sang Prabu usai penyambutan tamu, Dyah Pitaloka
tidak mampu menutupi kegelisahannya. Kemungkinan bakal adanya
http://facebook.com/indonesiapustaka

lamaran dari istana Majapahit agaknya membuat kedua orang tuanya


sangat bahagia, terlihat itu dari senyum mereka yang selalu mengembang.
Namun, jatuh cinta yang sedang dirasakannya telah menjelma menjadi
sebuah keyakinan sehingga lamaran dari Majapahit itu menjadi momok
yang menakutkan.
282 Gajah Mada

”Persiapkan dirimu baik-baik, Pitaloka,” ucap ayahnya dengan


pandang mata amat berbinar.
Dyah Pitaloka yang menunduk itu, kemudian menengadah
memandang ibunya.
”Lamaran itu masih belum tentu, Sri Paduka,” jawab Dyah Pitaloka.
”Boleh jadi, lukisan wajah hamba akan menarik perhatian Sang Prabu
Rajasanegara. Namun, bisa pula beliau tidak tertarik. Jadi, sebaiknya
janganlah Paduka Tuanku Ayahanda Prabu merasa gembira lebih dulu.
Semua masih belum tentu.”
Raja melirik permaisurinya. Dengan tegas, Raja menggeleng.
”Tidak mungkin,” kata Prabu Maharaja Linggabuana. ”Tak mungkin
Raja Majapahit tidak jatuh cinta kepadamu. Kau sedemikian cantik dan
semua orang tergila-gila kepadamu.”
Dyah Pitaloka menunduk. Ibunya datang mendekatinya.
”Mungkin kau benar, Pitaloka,” ucapnya. ”Mungkin saja Prabu
Hayam Wuruk tidak tertarik pada kecantikanmu. Namun, jika Prabu
Hayam Wuruk menjatuhkan pilihan kepadamu, kau harus siap.
Persiapkan dirimu untuk menjadi seorang permaisuri dari raja sebuah
negara yang besar. Harus diakui, Majapahit adalah negara yang kuat
dan besar. Jika selama ini Sunda Galuh selalu berada di bawah bayang-
bayang Majapahit, boleh jadi, perkawinanmu dengan Raja Majapahit
akan menyelamatkan Sunda dari keadaan yang tak nyaman itu.”
Dyah Pitaloka paham sekali apa yang dimaksud ibunya. Setidaknya,
telah lebih dari dua kali Mahapatih Gajah Mada mengirim nawala ke
Sunda Galuh dan meminta agar wilayah itu mau menggabungkan diri
dengan Majapahit. Namun, beberapa perwira Sunda Galuh bergeming.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Jika peringatan itu dituruti, tergadailah Sunda Galuh untuk selamanya.


Itu sama saja dengan dijajah.
Namun, Raja Sunda Galuh dan para perwiranya juga sadar, Majapahit
terlalu kuat untuk dihadapi melalui jalan peperangan. Majapahit memiliki
armada laut yang dahsyat yang mampu bergerak ke tempat-tempat yang
Sanga Turangga Paksowani 283

jauh dalam waktu cepat. Sementara itu, di darat, Majapahit memiliki


prajurit dengan kekuatan mengerikan. Sedangkan, Sunda Galuh hanyalah
negeri kecil. Luasnya hanya sebagian saja dari Jawa. Namun, meski kecil,
Sunda Galuh merupakan negara yang makmur karena bebas berhubungan
dengan siapa saja, termasuk berniaga dengan negara yang amat jauh
letaknya seperti Tartar. Alasan itu yang menyebabkan ada banyak pihak
ingin segera menggilas negara itu, termasuk Gajah Mada .
Itu sebabnya, dua kali surat yang dikirim Gajah Mada dan secara
nyata bisa diartikan sebagai ancaman itu harus disikapi dengan cermat.
Negeri Sunda Galuh telah menggariskan pandangan hidupnya bahwa
Sunda Galuh adalah negara yang cinta damai dan lebih menekankan
menghindari permusuhan. Oleh karena itu, penguatan prajurit tidak
mendapat jatah yang banyak, amat berbeda dengan Majapahit yang
memiliki cara pandang berbeda. Bagi Majapahit, kekuatan prajurit
amat diperlukan tak hanya untuk menghadapi musuh, tetapi juga untuk
memaksa negara tetangganya untuk mau bersatu dengannya.
Beberapa orang perwira telah mengingatkan Prabu Maharaja untuk
memerhatikan hal yang satu itu. Akan tetapi, Prabu Maharaja tetap pada
keyakinannya, Sunda Galuh tak perlu punya musuh. Prabu Maharaja
tidak menganggap Majapahit sebagai ancaman. Cara-cara damai jelas
jauh lebih baik daripada menghimpun prajurit dalam jumlah tak masuk
akal yang pasti akan membutuhkan biaya sangat banyak. Jika ingin
menyamai jumlah prajurit yang dimiliki Majapahit, itu berarti, semua
lelaki di Sunda Galuh, tua, muda, bahkan termasuk perempuan harus
mengangkat senjata.
Dyah Pitaloka kembali menunduk dengan dada sesak karena ia
tak bisa berteriak untuk membuang beban yang dirasakannya. Kalau
ia dibenarkan berteriak untuk mengeluarkan isi hatinya, banyak hal
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang ingin ia lontarkan, setidaknya atas sebuah pertanyaan, kenapa ia


tidak boleh menentukan jalan hidupnya sendiri? Dalam keadaan yang
demikian, wajah Saniscara mencengkeram tajam.
”Apa hamba diizinkan kembali ke keputren, Ayahanda Prabu?”
tanya Pitaloka.
284 Gajah Mada

Prabu Maharaja masih ingin bersama dengan anaknya. Akan tetapi,


lirikan istrinya merupakan isyarat agar permintaan itu dipenuhi. Lamaran
laki-laki pasti menyebabkan terjadinya semacam kekagetan jiwa.
Saat Sekar Kedaton keluar dari bilik itu bersamaan waktu dengan
pamannya datang. Hyang Bunisora menyempatkan memeluk ketika Dyah
Pitaloka menyembah. Selama ini, Dyah Pitaloka amat akrab dengan
Mangkubumi Suradipati. Dalam banyak urusan, biasanya Pitaloka lebih
senang berbagi dengan pamannya itu. Lalu, bagaimana sikap Hyang
Bunisora jika sampai tahu kehadiran seseorang dalam ruang cintanya?
Hyang Bunisora menyembah kakaknya, tetapi tetap berdiri.
”Kaupunya pendapat yang ingin kausampaikan kepadaku?” tanya
Raja kepada adiknya.
Hyang Bunisora Mangkubumi Suradipati mengangguk.
”Hamba, Kakang Prabu,” jawabnya. ”Hamba mohon izin untuk
dilibatkan ketika Kakang berbicara secara terbatas memenuhi permintaan
salah seorang prajurit Majapahit itu.”
Prabu Maharaja Linggabuana mengangguk.
”Ya,” jawabnya.
Masih banyak hal yang dibicarakan antara kakak beradik sekaligus
antara raja dengan patihnya itu. Sementara itu, Permaisuri yang ingin
memastikan para tamu terhormat dari Majapahit memperoleh jamuan
dan penerimaan yang sempurna, langsung memberikan perintah-perintah
yang disalurkan kepada para juru masak yang sibuk di dapur. Permasuri
juga ingin memastikan apakah tempat tidur untuk para tamu telah dilapisi
dengan tilam terbaru dan bersih, juga apakah kamar mandi sudah dalam
keadaan bersih.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dyah Pitaloka telah kembali ke biliknya. Para emban siap menerima


perintahnya.
”Aku ingin tidur dan tak ingin diganggu, kalian semua istrirahatlah,”
perintah Dyah Pitaloka tanpa berbalik.
Sanga Turangga Paksowani 285

Nenden Pritaya, Euis Nandini, dan Ihai Nirasari sebenarnya ingin


menghibur dan menemani Sekar Kedaton sebagaimana biasanya. Akan
tetapi, rupanya Dyah Pitaloka tidak membutuhkan mereka. Apa boleh
buat, Nenden Pritaya membungkuk memberi hormat memimpin yang
lain. Setelah para emban itu pergi, Dyah Pitaloka segera menutup pintu
biliknya dengan rapat. Namun, betapa kaget Dyah Pitaloka.
”Jagat Dewa Batara,” desisnya.
Dyah Pitaloka layak merasa terkejut dengan derajat kekagetan
sama seperti orang yang mendadak dikejutkan oleh meledaknya petir di
saat tak ada mendung atau disengat ular weling. Dalam siraman cahaya
lampu dan juga rembulan yang ikut menyumbang terang di ruang itu
melalui jendela yang terbuka, tampak lukisan dirinya amat cantik. Latar
belakang telaga dengan matahari akan tenggelam di kejauhan membuat
lukisan itu indah sekali.
Dyah Pitaloka gugup mendapati jejak orang yang seharian ini
membuatnya gelisah. Dyah Pitaloka melongok ke jendela, tetapi orang
yang dicarinya tidak ada. Siapa pun orang itu, pasti telah memasuki
biliknya tanpa izin dan meninggalkan lukisan itu.
”Kakang Saniscara,” Dyah Pitaloka menyebut nama itu penuh
cinta.
Dyah Pitaloka mendekatkan lampu ke gambar di depannya
dan memerhatikan wujud lukisan itu dengan segala kekaguman.
Gadis itu makin yakin, pelukis itu benar-benar mencintainya, cinta
yang membuatnya berani menyelinap ke lingkungan istana dan siap
menghadapi akibat apa pun. Betapa besar cinta laki-laki itu kepadanya,
sebagaimana yang ia rasakan. Ia memiliki perasaan yang sama.
Dari kejauhan, mendadak terdengar alunan seruling mendayu-
http://facebook.com/indonesiapustaka

dayu.
”Mati aku,” Dyah Pitaloka meletup.
Alunan seruling itu terdengar amat menyayat, menjadi gambaran
luapan cinta yang amat dahaga.
286 Gajah Mada

”Kakang Saniscara, aku juga mencintaimu, Kakang,” ucap Dyah


Pitaloka.
Dalam kekalutannya, Dyah Pitaloka mondar-mandir. Gadis itu
bingung, tak tahu apa yang harus dilakukan.
”Aku harus menemuinya,” ucap gadis itu kepada diri sendiri.
Dyah Pitaloka masih mondar-mandir sampai kemudian ia berhenti
di depan lemari yang berisi semua pakaiannya. Amat ragu Dyah Pitaloka
ketika menjulurkan tangannya untuk membukanya, sebagaimana ia
merasa sangat ragu saat memutuskan mengambil salah satu dari sekian
banyak pakaian miliknya. Itulah jenis pakaian yang akan membuat orang
mengira dirinya laki-laki jika memergokinya.

30
M alam menukik mendekati pusatnya. Di tepi telaga Jalatunda,
Saniscara menghadapi nyala api yang berasal dari ranting-ranting kering
yang dibakar. Sebagaimana Saniscara memandangnya dengan aneh,
Riung Sedatu balas menatap wajahnya dengan tatapan tak kalah aneh.
”Dari mana kamu?” pertanyaan itu datang dari Riung Sedatu.
Keakraban dalam bentuk yang aneh telah terjalin antara Saniscara
dan Riung Sedatu. Riung Sedatu yang semula selalu berusaha mengingat
masa lalunya yang hilang, akhirnya tak peduli. Ia menganggap hidupnya
http://facebook.com/indonesiapustaka

dimulai sejak ia memperoleh nama Riung Sedatu dari Bandar Guris,


nelayan yang tinggal di pantai Alas Roban.
Perkenalannya dengan Saniscara menjadikan ia tak lagi bisa
meninggalkannya. Ke mana pun selalu bersama. Apa yang dimakan
Saniscara adalah juga yang ia makan. Agaknya, masalah Saniscara menjadi
Sanga Turangga Paksowani 287

masalahnya pula. Itu sebabnya, Riung Sedatu memandang Saniscara


dengan tatapan mata berbeda.
”Dari mana kau?” ulang Sedatu.
Saniscara tidak segera menjawab pertanyaan itu. Pandangan matanya
beralih ke arah api.
”Sebaiknya kaulupakan dia,” kata Riung Sedatu.
Saniscara yang menunduk itu mendadak mendongak. Dengan
pandang mata tajam, ia membalas tatapan mata lawan bicaranya. Larangan
yang dilontarkan Sedatu membuat Saniscara meradang.
”Kenapa?” balas Rishang Saniscara Patriawhura amat tidak senang.
Akan tetapi, Riung Sedatu memang layak mencemaskan sahabatnya
itu. Sahabat? Layakkah Saniscara disebut sahabat? Bukankah selama ini
Saniscara terlalu banyak merepotkannya?
”Kau harus menyadari siapa dirimu,” kata Sedatu mengingatkan.
”Kau hanya orang biasa yang tak tahu diri. Jangan bermimpi menggapai
bintang. Dyah Pitaloka itu anak seorang raja dan ia hanya layak dimiliki
oleh orang yang sepadan. Kau ini siapa sampai berangan-angan ingin
mendapatkannya?”
Saniscara berusaha sekuat tenaga menepis pertanyaan itu. Namun,
sejatinya pertanyaan itu sering pula muncul dari lorong benaknya.
Pertanyaan yang muncul dari dasar kedalaman hati itu tak hanya milik
Riung Sedatu, tetapi juga miliknya. Saniscara sadar penuh dan memang
merasa tak tahu diri.
”Aku mencintainya,” ucapnya dengan suara agak tertahan.
Riung Sedatu memandanginya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Kau akan bertepuk sebelah tangan,” balas Riung Sedatu. ”Dyah


Pitaloka itu terlampau tinggi untuk bisa kauraih. Kau ini siapa? Sadarlah
siapa dirimu dan dari mana kau berasal.”
Rishang Saniscara Patriawhura bergeming. Cinta atau kasmaran
adalah wilayah perasaan yang tak bisa dipagari dengan apa pun. Cinta
288 Gajah Mada

bisa menembus semua sekat. Cinta adalah hak milik semua orang yang
tak boleh dipasung.
”Mungkinkah Dyah Pitaloka akan menerimamu?” tanya Sedatu.
Saniscara tidak mampu menjawab. Ia sadar, ia berdiri tak ubahnya
pungguk merindukan bulan, berangan amat tinggi. Saniscara mengambil
serulingnya dari pinggang dan akan meniupnya. Betapa sebal Riung
Sedatu melihat itu.
”Jangan,” cegahnya.
”Kenapa?” bantah Saniscara.
”Jangan tiup lagi seruling itu. Serulingmu membuatku mengantuk,”
jawab Riung Sedatu.
Saniscara mendengus tak peduli.
”Kalau merasa mengantuk, tidurlah,” balas Saniscara.
Saniscara membawa lubang seruling ke tiupan mulutnya, kemudian
mengalunlah irama yang indah mendayu-dayu. Telaga Jalatunda dan
sumur Jalatunda berada agak jauh dari rumah-rumah penduduk. Namun,
alunan suara seruling itu sampai pula ke telinga para penghuni rumah-
rumah itu. Sepasang suami-istri yang sedang begadang menikmati
indahnya cahaya bulan, tertegun mendengar alunan seruling itu. Pasangan
suami-istri itu sudah terbiasa dengan irama seruling khas Sunda. Akan
tetapi, kali ini, suara seruling itu terasa aneh.
”Kaurasakan ada yang aneh?” tanya lelaki tua itu kepada istrinya.
Istrinya menyimak.
”Ya,” jawabnya.
”Apa?” tanya suaminya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Yang dialunkan lewat seruling itu tembang Jawa, kan?” balas


istrinya.
Setidaknya, untuk waktu lama pasangan suami-istri itu pernah
tinggal di Jawa. Itu sebabnya, irama seruling itu amat dikenalinya.
Sanga Turangga Paksowani 289

”Siapa yang meniup seruling dengan pilihan tembang sedemikian


sedih itu?” tanya laki-laki itu seperti ditujukan pada malam yang diterangi
bulan dan bintang.
Saniscara meniup serulingnya penuh perasaan sebagaimana ketika
ia menumpahkan gagasannya dalam lukisan. Itu sebabnya, suara yang
muncul sangat indah. Apalagi, Saniscara sedang menyimpan gelegak
cinta berlimpah. Maka, alunan nadanya bergerak terus tanpa henti dalam
menyapa malam, menyapa dedaunan, menyapa cenggeret, menyapa
burung hantu, bahkan menyapa ular sanca berukuran besar yang tinggal
di ujung telaga.
Namun, ketika ular itu bergerak mencari sumbernya, mendadak
alunan seruling itu justru terhenti. Geliat ular yang mulai menari itu pun
terhenti.
Saniscara termangu memandangi orang yang bergerak datang
mendekatinya, sebagaimana orang itu juga termangu bingung tak tahu
harus mengucapkan apa ketika telah berhadapan dengan orang yang
dicarinya.
”Kau?” letup Saniscara.
Dyah Pitaloka kini telah berdiri di depannya.
”Malam begini kaudatang menemuiku?” tanya Saniscara gugup,
suaranya seperti daun berbisik.
”Sebagaimana ketika kau menyelinap masuk ke bilikku dan
meninggalkan sebuah lukisan,” jawab Dyah Pitaloka.
Saniscara berusaha menguasai diri, juga ketika Dyah Pitaloka berdiri
sangat dekat, hanya sejarak jangkauan tangannya. Saniscara tidak tahu
akan menyampaikan apa. Sungguh, sama sekali tidak pernah diduganya,
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dyah Pitaloka datang menemuinya. Angan-angan itu menjadi kenyataan.


Dan, ternyata memang mengerikan ketika angan-angan yang diyakini
mustahil terwujud itu dapat menjadi kenyataan.
”Jangan-jangan, aku sedang bermimpi,” kata Saniscara sambil
meraba lengan.
290 Gajah Mada

”Tidak,” jawab Dyah Pitaloka. ”Kehadiranku sungguh nyata dan


pertemuan ini benar-benar nyata. Kakang Saniscara, izinkanlah aku
mendengar sekali lagi, bagaimana perasaan Kakang kepadaku?”
Saniscara benar-benar bingung.
”Kautahu namaku?” tanya Saniscara.
Dyah Pitaloka mengangguk.
”Dua orang embanku bercerita tentang Kakang. Aku sangat
menghargai apa yang Kakang lakukan. Lukisan yang Kakang buat
sungguh indah. Sekarang, izinkanlah aku mengetahui, perasaan macam
apa yang Kakang miliki saat membuat lukisan yang sangat indah itu?”
tanya Dyah Pitaloka.
Saniscara benar-benar bingung. Ia pejamkan mata untuk membuktikan
pertemuan itu bukan nyata. Ia yakin pertemuan itu hanya angan-angannya
yang akan bubar ketika mata yang terpejam kembali terbuka. Namun,
Dyah Pitaloka yang cantik jelita itu malah bergerak lebih mendekat dan
menyentuh tangannya. Dalam siraman cahaya bulan, Dyah Pitaloka
memerhatikan raut wajah laki-laki itu sepuasnya.
”Aku sedang bermimpi,” gumam Saniscara.
”Tidak, Kakang,” jawab Dyah Pitaloka. ”Ketika aku memasuki
bilikku, aku menemukan lukisan yang Kakang tinggalkan. Lalu, aku
putuskan untuk menemui Kakang. Aku tidak perlu merasa runtuh
derajatku ketika harus mengungkapkan bahwa perasaanku sewarna
dengan perasaan Kakang.”
Saniscara menatap Dyah Pitaloka bingung.
”Kau merasa tahu bagaimana perasaanku kepadamu?” tanya
Saniscara heran.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dyah Pitaloka memberikan senyumnya, senyum paling cantik yang


pernah ia berikan kepada orang.
”Kemarin, di tempat ini, aku melihat Kakang melukisku. Aku
melihat Kakang berdiri, lalu berteriak. Ulangi ucapanmu itu, Kakang.
Izinkan aku mendengarnya sekali lagi,” pinta Dyah Pitaloka.
Sanga Turangga Paksowani 291

Saniscara merasa lehernya tercekik atau tersumbat yang menyebabkan


ia kesulitan menarik napas. Seperti orang yang sudah tua, tangannya
gemetar buyutan sejalan dengan bibirnya yang juga gemetar tak
terkendali.
”Aku membuat lukisan itu karena aku jatuh cinta kepadamu,”
ucap Saniscara dengan suara sangat serak. ”Aku benar-benar tidak
tahu diri. Sahabatku, Riung Sedatu, bahkan menyebutku pungguk yang
merindukan bulan.”
Namun, Dyah Pitaloka Citraresmi menggeleng. Dyah Pitaloka
membuka kedua telapak tangan Saniscara yang saling pegang dan
menempatkan diri nyaris di pelukan laki-laki itu.
”Aku memiliki perasaan yang sama seperti Kakang,” ucapnya.
Saniscara bingung. Ia merasa apa yang terjadi itu mimpi dalam
mimpi. Apa guna tersadar dari mimpi jika masih terjerembab dalam
bingkai mimpi yang lain? Dengan amat takut, Saniscara mengulurkan
tangan untuk menyentuh bidadari cantik di depannya untuk membuktikan
apa benar-benar nyata atau semu belaka.

31
Dyah Pitaloka duduk di kursi khusus yang disediakan untuknya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Di kiri dan kanan gadis cantik itu, Nenden Pritaya, Ihai Nirasari, dan
Euis Nandini duduk bersimpuh. Mereka siaga memenuhi apa pun yang
diinginkan Dyah Pitaloka. Dyah Pitaloka harus duduk kaku dan tak
bergerak karena gerakan sedikit saja yang ia lakukan akan menyebabkan
hasil gambar tak sesuai dengan wajahnya. Disaksikan Prabu Maharaja
292 Gajah Mada

Linggabuana yang duduk berdampingan dengan permaisurinya,


Podang Salisir merasa tidak percaya diri dalam menuangkan warna pada
lembaran kain di depannya.
Hal yang paling mengganggunya adalah keberadaan pelukis lain
yang telah lebih dahulu menggambar Dyah Pitaloka. Apalagi, dalam
pandangan sekilas, ia melihat lukisan itu ada di keputren. Saat melintasi
halaman wisma Sekar Kedaton, Podang Salisir melewati pintu yang
terbuka. Podang Salisir kaget melihat lukisan itu berada di ruang depan
wisma Sekar Kedaton.
Sadar tak mungkin mampu membuat lukisan yang lebih baik,
menyebabkan Podang Salisir mati langkah. Ia cemas hasil gambarnya
akan lebih buruk dari wajah aslinya. Ia yakin, kekhawatirannya itu akan
menjadi kenyataan.
Podang Salisir beruntung karena Prabu Maharaja dan Permaisuri
tak berlama-lama menunggui. Para emban serentak menyembah ketika
Prabu Maharaja dan Permaisuri bangkit. Podang Salisir menghentikan
pembuatan rancang gambar yang dilakukan untuk memberikan
penghormatan pula.
Dengan cermat dan saksama, Podang Salisir melanjutkan pekerjaannya.
Tidak jelas apa kecantikan Dyah Pitaloka yang terlalu gemilang atau
karena hal lain yang menjadi penyebab ia merasa gugup. Podang Salisir
mengusap keningnya.
”Bagaimana, Kakang?” tanya Dyah Pitaloka yang mampu berbahasa
Jawa.
Pertanyaan itu menyebabkan Podang Salisir gugup. Ia yang merasa
yakin hasil lukisannya tak akan mampu menandingi lukisan yang sekilas
dilihatnya ada di ruang depan wisma keputren, tidak tahu bagaimana
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengambil sikap. Wajah Podang Salisir pucat pasi. Dyah Pitaloka kembali
pada sikapnya, lurus memandang ke depan. Memenuhi permintaan
Podang Salisir, Dyah Pitaloka tersenyum.
Podang Salisir tidak punya pilihan lain kecuali harus menuntaskan
pekerjaannya. Pemuda dari Majapahit itu membutuhkan waktu cukup
Sanga Turangga Paksowani 293

banyak untuk menguasai dan menenangkan diri. Menggambar adalah


soal bagaimana menggambarkan jiwa. Maka, ketika yang dirasakan
pemuda itu benar-benar sebuah kekacauan, hasil kerjanya pun kacau.
”Mohon ampun, Tuan Putri,” ucap Podang Salisir memecah
keheningan.
Dyah Pitaloka memandang lawan bicaranya.
”Sudah selesai?” tanya Dyah Pitaloka.
Podang Salisir menggeleng.
”Hamba tidak mampu,” jawab Podang Salisir dengan suara amat
rendah, nyaris tak terdengar.
Dyah Pitaloka turun dari kursinya.
”Kenapa?” tanya Citraresmi yang merasa heran.
”Tuan Putri sangat cantik,” ucap Podang Salisir. ”Hamba tak
memiliki kemampuan cukup untuk menerjemahkan wajah Tuan Putri
ke atas kain. Hamba mohon ampun.”
Dyah Pitaloka melirik Nenden Pritaya, yang dilirik membalas
dengan senyum. Tak kepalang rasa malu Podang Salisir ketika Dyah
Pitaloka melihat hasil kerjanya. Rancang gambar itu masih berupa
coretan-coretan yang sama sekali tidak sesuai dengan pemilik wajah.
Namun, Dyah Pitaloka sama sekali tidak tersinggung, meski wajahnya
berubah menjadi amat buruk.
Apa yang diucapkannya sangat bijak, ”Tidak apa, mungkin Kakang
harus menenangkan diri lebih dahulu. Gagasan bisa muncul pada saat
tak terduga, sebagaimana gagasan tak bisa dipaksa. Bukankah demikian,
Kakang?”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Podang Salisir akhirnya memilih meninggalkan selasar halaman


samping wisma keputren, meninggalkan entah apa yang akan menjadi
pembicaraan Dyah Pitaloka dengan para abdinya. Apa yang dicemaskan
Podang Salisir itu benar adanya. Setelah ia meninggalkan tempat itu, para
abdi keputren tertawa cekikikan.
294 Gajah Mada

”Wajah Tuan Putri jadi jelek seperti ini?” ucap Nenden Pritaya.
Euis Nandini mengerutkan kening.
”Tuan Putri tidak tersinggung?” tanya gadis itu.
Dyah Pitaloka mengerutkan dahi.
Wajah Tuan Putri berubah menjadi jelek begini? Tuan Putri tidak
tersinggung? Menghadapi pertanyaan itu, Dyah Pitaloka Citraresmi
hanya tersenyum.
”Lukisan itu tak ada sejumput kuku dibanding dengan lukisan
Saniscara,” ucap Nenden Pritaya.
Mendengar nama Saniscara disebut, Dyah Pitaloka tersenyum.
”Lukisan itu ada di dalam, lihatlah,” ucap Dyah Pitaloka.
Para emban yang usianya sebaya itu terkejut. Mereka bergegas masuk
ke ruang dalam dan mendapati apa yang diucapkan junjungannya benar
adanya. Lukisan yang indah, lukisan yang amat hidup seolah bukan
lukisan, lukisan Dyah Pitaloka berlatar telaga itu sungguh sangat cantik.
Bagaimana lukisan itu bisa berada di wisma keputren? Keberadaan
lukisan itu dengan telak menjadi bukti bahwa telah terjadi pertemuan
antara Dyah Pitaloka Citraresmi dan pembuatnya.
”Tuan Putri,” ucap Nenden Pritaya mendadak cemas.
”Bagaimana?” balas Dyah Pitaloka.
Nenden Pritaya bertukar pandang dengan Euis Nandini, sementara
Ihai Nirasari agak terlambat menyadari.
”Berarti, Tuan Putri dan pelukis itu telah mengadakan pertemuan?”
tanya Pritaya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dyah Pitaloka terdiam beberapa saat dan tak mampu menjawab.


Amat nyata, Dyah Pitaloka sangat bimbang menentukan jawaban macam
apa yang sebaiknya ia berikan.
”Aku memang menemuinya,” jawab Dyah Pitaloka.
Sanga Turangga Paksowani 295

Nenden Pritaya terkejut, matanya terbelalak akan lepas. Ihai Nirasari


tidak kalah cemas sebab ia percaya pertemuan Dyah Pitaloka dengan
pelukis itu akan menjadi awal keadaan yang buruk.
”Tuan Putri menemuinya?” Ihai Nirasari mempertegas.
Dyah Pitaloka mengangguk.
”Di mana Tuan Putri menemuinya?” Ihai Nirasari mengejar dan
menyudutkan.
Dyah Pitaloka agak bingung.
”Kalian semua abdiku, tetapi aku menempatkan kalian sebagai
sahabatku. Jika aku sedang punya masalah, aku berharap kalian akan
memberiku dukungan,” kata Dyah Pitaloka.
Namun, Ihai Nirasari tidak sependapat dengan ucapan majikannya.
”Tuan Putri belum bercerita, di mana Tuan Putri bertemu pelukis
itu dan kapan?” kejar Ihai Nirasari.
Dyah Pitaloka bertambah bingung. Namun, ia memang harus
memberi jawaban.
”Aku mendatanginya di telaga Jalatunda. Aku putuskan untuk
menemuinya agar ia tahu, aku punya perasaan yang sama dengannya.
Dengan lugas dan jujur, ia teriakkan cintanya kepadaku. Apa salahnya
jika aku membalas cintanya? Aku tak peduli ia bukan bangsawan. Aku
tak peduli siapa ia dan bagaimana latar belakangnya. Aku menghargai
ungkapan cinta yang telah diutarakannya. Lukisan itu merupakan bukti
nyata ia menyukaiku. Apa salahnya kalau aku mengimbangi?” jawab
Pitaloka tegas.
Nenden Pritaya tentu tidak sependapat, demikian juga dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

Euis Nandini. Namun, sikap mereka tidak sekeras Ihai Nirasari. Nirasari
melihat betapa amat tak pantas apa yang dilakukan Dyah Pitaloka itu.
Sebagai Sekar Kedaton, Dyah Pitaloka seharusnya menjaga kepatutan
karena ia menjadi panutan bagi para gadis Sunda Galuh. Apa jadinya jika
Sekar Kedaton berbuat murahan macam itu?
296 Gajah Mada

”Tuan Putri bertemu dengannya?” Ihai Nirasari mengulangi


pertanyaannya.
Dyah Pitaloka mengangguk.
”Ya,” jawabnya.
”Itu berarti, Tuan Putri pergi ke sana setelah mengusir kami semalam
dan mengatakan ingin menyendiri?” kejar Nirasari.
Dyah Pitaloka kembali mengangguk.
”Itu berarti,” lanjut Ihai Nirasari, ”Tuan Putri Sekar Kedaton mengusir
kami karena ingin menyendiri ... tepatnya ingin berdua dengan pelukis itu?
Lalu, apa yang Tuan Putri lakukan? Apa kira-kira yang diperbuat sepasang
lelaki perempuan di ... di tepi telaga Jalatunda tengah malam?”
Betapa cemas Ihai Nirasari membayangkan, di tengah malam, tanpa
ada prajurit yang mengawal, Dyah Pitaloka hanya berduaan dengan
lelaki, sementara pihak ketiga di antara mereka adalah nafsu yang bisa
membara. Jika itu terjadi, sungguh mengerikan karena Raja Majapahit
menghendaki Dyah Pitaloka Citraresmi sebagai permaisurinya.
Namun, Dyah Pitaloka Citraresmi sangat kukuh pada keyakinannya.
Bayangan wajah Saniscara sangat kuat mencengkeram benaknya. Ketika
cinta yang berbicara, apalagi Dyah Pitaloka Citraresmi menganggap
cintanya yang sedang membara adalah cinta sejati, hal itu membuatnya
melihat semua orang yang mencoba menghalanginya adalah musuh yang
harus dienyahkan.
”Kakang Saniscara Patriawhura mencintaiku,” berkata Dyah
Pitaloka. ”Ia buktikan cintanya dengan lukisan hasil karyanya. Adakah
cara pengungkapan hasrat cinta yang lebih dahsyat dari lukisan itu?
Tidak ada!”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Nenden Pritaya gelisah. Euis Nandini juga gelisah.


”Jawab, Tuan Putri,” kata Ihai Nirasari.
”Aku terima ajakannya untuk saling mencintai. Kutemui Kakang
Saniscara untuk memberikan jawabnya,” lanjut Pitaloka.
Sanga Turangga Paksowani 297

Ihai Nirasari melotot, tak jelas apa haknya untuk marah macam
itu.
”Tidak boleh, Tuan Putri,” ucapnya dengan nada kasar. ”Tuan
Putri tidak boleh merendahkan martabat macam itu. Saniscara itu hanya
orang biasa. Ia tidak berasal dari golongan bangsawan. Ia tidak memiliki
darah menak.”
Dyah Pitaloka bukan jenis orang yang berhati lembek. Dyah Pitaloka
bisa menjadi batu amat keras ketika tersudutkan.
”Jaga suaramu, Ihai,” balas Dyah Pitaloka dengan perasaan tidak
senang.
Dyah Pitaloka ingat, ibunya sekalipun tak pernah membentaknya.
”Jika aku tersudut pada pilihan yang paling buruk,” jawab Dyah
Pitaloka, ”aku lebih mengedepankan cintaku karena hanya cinta sejati
yang akan membahagiakan, bukan kedudukan sebagai istri raja, bukan
harta benda dan martabat. Kepada siapa aku memberikan cintaku adalah
urusanku yang tidak perlu dicampuri orang lain. Jangan coba-coba
memaksaku karena aku bisa tidak membutuhkanmu dan mengusirmu
pergi dari istana ini. Juga jangan ada yang berani membocorkan rahasiaku
kepada Ayahanda Prabu. Jika ada yang berani melakukan itu, aku tidak
membutuhkannya dan kupersilakan pergi dari keputren.”
Ihai Nirasari terkejut mendapati Dyah Pitaloka menjawab sangat
kasar kepadanya. Namun, jawaban yang diberikan Dyah Pitaloka itu
menyadarkannya bahwa ia hanya seorang pelayan.
”Aku tidak ingin di antara kalian ada yang membocorkan urusan
ini,” ulang Dyah Pitaloka.
Nenden Pritaya dan Euis Nandini hanya bisa saling memandang,
http://facebook.com/indonesiapustaka

sementara Ihai Nirasari terpaksa harus menyesali ucapannya. Ihai sontak


disadarkan pada kedudukannya yang hanya seorang abdi. Jika Dyah
Pitaloka tidak menginginkannya, ia harus keluar dari istana.
Podang Salisir yang telah keluar dari pintu samping berjalan gontai
menuju wisma tamu. Patih Maduratna yang sedang berakrab-akrab
298 Gajah Mada

dengan prajurit pengawal istana, mengarahkan perhatiannya. Patih


Maduratna bahkan menyongsongnya.
”Bagaimana?” tanya Patih Madu.
Podang Salisir menggeleng lunglai.
”Kenapa?” tanya Patih Madu heran.
Podang Salisir mengalami kesulitan menjawab. Namun, bagaimana
pun sulitnya, pertanyaan itu memang harus dijawab.
”Aku tidak mampu, Ki Patih,” jawab Podang Salisir.
Jawaban itu menyebabkan Patih Maduratna terkejut.
”Sekar Kedaton Sunda Galuh sangat cantik,” ucap Podang Salisir.
”Kecantikannya membuatku bingung. Aku ….”
Patih Maduratna memandangi Podang Salisir dengan pandangan
mata tidak senang.
”Sadari siapa dirimu, Podang Salisir,” ucap Patih Maduratna dengan
perasaan tidak senang. ”Jangan kau lancang berani mengangankan Sekar
Kedaton Sunda Galuh. Sang Prabu Hayam Wuruk menghendaki Sekar
Kedaton Sunda Galuh. Bagaimana bisa dalam hatimu muncul perasaan
macam itu?”
Podang Salisir gugup. Tuduhan Patih Maduratna itu menyebabkannya
disergap cemas.
”Aku sama sekali tidak menyimpan perasaan yang demikian, Ki
Patih. Aku hanya takut tak mampu memindahkan wajah Tuan Putri
Dyah Pitaloka ke dalam gambar,” balas Podang Salisir.
Patih Maduratna memandang Podang Salisir dengan tatapan mata
http://facebook.com/indonesiapustaka

sangat aneh.
”Aku mengira, aku seorang penggambar yang tak bisa ditandingi
siapa pun. Akan tetapi, Tuan Putri Dyah Pitaloka memiliki gambar
dirinya yang sangat bagus. Aku dibayangi perasaan malu andaikata tak
mampu mengalahkan keindahan lukisan yang sudah ada itu. Itu sebabnya,
Sanga Turangga Paksowani 299

pemusatan pikiranku pecah. Hasil gambarku jelek sekali,” Podang Salisir


melanjutkan ucapannya.
Patih Maduratna memerhatikan wajah Podang Salisir bagai
menghitung tuntas berapa jumlah jerawat di wajahnya. Patih Madu bisa
menerima kilah itu, tetapi tidak bisa mencegah rasa ingin tahunya.
”Tanpa niat apa pun, aku harus mengatakan, menurutku Tuan Putri
Dyah Pitaloka memiliki wajah yang sangat cantik. Justru karena itu, aku
takut tak mampu menerjemahkan kecantikan itu ke gambar yang kubuat.
Jika Tuan Putri Dyah Pitaloka melihat gambar buatanku jelek, beliau
akan beranggapan aku lancang mengubah raut wajahnya menjadi jelek,”
kembali Podang Salisir menjelaskan.
Patih Maduratna akhirnya bisa menerima alasan itu sepenuhnya.
Tentu amat tidak baik jika tukang gambar yang didatangkan dari Majapahit
tak mampu memindahkan wajah cantik Dyah Pitaloka menjadi cantik di
gambarnya. Pemilik wajah bisa tersinggung jika hasil gambar itu jelek.
”Jadi, Sekar kedaton Sunda Galuh sudah memiliki lukisan dirinya?”
tanya Patih Maduratna.
”Ya,” jawab Podang Salisir. ”Gambar itu sangat bagus. Orang yang
melihat akan mengalami kesulitan membedakan apa itu hanya gambar
atau orang.”
Tentu Podang Salisir memiliki banyak keterangan terkait lukisan
Dyah Pitaloka. Gambar itu pernah dilihatnya di tepi telaga ketika seorang
lelaki sedang asyik menorehkan pewarna di atas lembaran kain.136 Laki-
laki yang mengaku bernama Saniscara itu tak menyebut siapa orang yang
digambarnya. Ia hanya mengatakan lukisan indah itu lahir dari cintanya.
Apa itu berarti, Dyah Pitaloka yang diinginkan Prabu Hayam Wuruk itu
telah menjalin hubungan dengan orang lain? Kemungkinan itu masuk
http://facebook.com/indonesiapustaka

akal karena lukisan itu kini berada di keputren istana Surawisesa. Sejauh
mana hubungan antara pelukis itu dengan Dyah Pitaloka? Bagaimana
kalau hubungan itu melampaui batas?

136
Lembaran kain, yang dimaksud kanvas
300 Gajah Mada

Namun, kecamuk pikiran penuh prasangka itu hanya disimpan


dalam hati. Podang Salisir tidak berniat menceritakan apa yang
diketahuinya kepada Patih Maduratna. Akan tetapi, Podang Salisir yang
gelisah membutuhkan orang yang bisa diajak berbincang.
Patih Maduratna rupanya masih belum yakin.
”Lukisan itu sangat indah?” tanya Patih Maduratna.
”Sangat indah, Ki Patih. Itu lukisan terindah dari yang pernah aku
lihat seumur hidupku. Melihat Tuan Putri Dyah Pitaloka memiliki lukisan
macam itu, bisa diyakini, ia akan menertawakan hasil lukisanku,” jawab
Podang Salisir.
Patih Maduratna berpikir keras.
”Bagaimana kalau kaulanjutkan tugasmu?” tanya Patih Madu.
Podang Salisir membusungkan dadanya dalam rangka mengisi paru-
parunya sampai penuh. Podang Salisir ternyata pilih menggeleng.
”Aku mempunyai gagasan yang mungkin bisa menyelamatkanku, Ki
Patih, sekaligus Prabu Rajasanegara akan memperoleh gambaran nyata
sosok gadis dengan kecantikan macam apa Dyah Pitaloka itu. Bagaimana
kalau lukisan itu yang kita bawa ke Majapahit? Kalau tidak boleh diminta,
lukisan itu dipinjam,” Podang Salisir mengusulkan.
Patih Maduratna berpikir keras dan berjalan mondar-mandir. Dua
orang prajurit Sunda Galuh yang beradu membalapkan kudanya tidak
begitu menarik perhatiannya.
”Bagaimana kalau kita temui Tuan Putri Sekar Kedaton? Aku akan
mencoba memenuhi gagasanmu. Lukisan itu membuatku penasaran,”
ucap Patih Madu akhirnya.
Dyah Pitaloka masih duduk di kursi malasnya. Nenden Pritaya
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan Euis Nandini menempatkan diri di belakangnya. Nenden Pritaya


memijit pundak dan lengan Dyah Pitaloka, sementara Euis Nandini
menggoyang kursi malas dengan tangannya. Tak jauh dari mereka, Ihai
Nirasari duduk bersandar dinding dengan wajah menebal. Tebal wajah
itu setelah ia menyesal berbicara kasar kepada Dyah Pitaloka.
Sanga Turangga Paksowani 301

Dyah Pitaloka bangkit melihat Podang Salisir kembali. Kali ini, ia


tidak sendiri, tetapi bersama Patih Maduratna.
Dyah Pitaloka tersenyum menerima penghormatan yang diberikan
dua orang tamu dari Majapahit itu.
”Apa acara melukisku akan dilanjutkan kembali, Paman?” pertanyaan
kembang taman Surawisesa itu ditujukan kepada Patih Maduratna.
Patih Maduratna mendekat, tetapi masih menjaga jarak. Podang
Salisir berdiri di belakangnya dengan mata berulang kali melirik ke arah
pintu yang sedikit terbuka. Dari tempat ia berada, lukisan itu tampak
jelas. Patih Maduratna juga melihat lukisan itu dengan cukup jelas.
”Hamba, Tuan Putri,” jawab Patih Maduratna. ”Hamba mohon
maaf atas kegagalan juru gambar yang hamba bawa dalam memindahkan
wajah cantik Tuan Putri. Menurut Podang Salisir, Tuan Putri memiliki
lukisan pribadi yang amat indah. Bolehkah hamba mohon izin untuk
melihat lukisan itu, Tuan Putri? Sekaligus, agar Podang Salisir bisa
belajar dari juru gambar Sunda Galuh yang ternyata lebih mumpuni
dalam melukis.”
Hati Dyah Pitaloka begitu bersih, ia tidak keberatan.
”Silakan, Paman,” jawab Dyah Pitaloka.
Dyah Pitaloka memberi isyarat kepada Nenden Pritaya untuk
membawa keluar lukisan dirinya. Patih Maduratna melihat apa yang
diceritakan Podang Salisir benar adanya. Lukisan itu sungguh sangat
indah dan sepenuhnya sama dengan wujud orang yang dilukis. Patih
Maduratna juga sadar, jika Podang Salisir memaksakan diri menggambar
Dyah Pitaloka, hasilnya akan menjadi bahan tertawaan.
Patih Maduratna memerhatikan lukisan itu dengan segenap
http://facebook.com/indonesiapustaka

kekagumannya.
”Aku tidak mengira,” ucap Patih Maduratna, ”ada orang yang bisa
membuat lukisan yang sedemikian indah. Siapa gerangan orang yang bisa
melukis seindah ini? Apa kemampuan yang demikian sudah biasa di negeri
Sunda ini, Tuan Putri?”
302 Gajah Mada

Dyah Pitaloka tak tahu bagaimana cara menjawab pertanyaan itu.


”Tuan Putri Dyah Pitaloka,” ucap Patih Maduratna, ”setelah melihat
lukisan ini, hamba merasa malu. Pelukis yang hamba bawa dari Majapahit
tentu tak akan mampu menggambar seindah ini. Karena lukisan ini
benar-benar mampu mewakili wujud dan kecantikan Tuan Putri, hamba
mengajukan permohoan agar Tuan Putri sudi meminjamkan lukisan ini.
Lukisan ini akan kami tunjukkan kepada Sang Prabu Hayam Wuruk agar
beliau yakin sedang berhadapan dengan siapa. Kelak, jika Prabu Hayam
Wuruk telah melihatnya, hamba sendiri yang akan mengembalikan
lukisan ini utuh seperti sediakala.”
Dyah Pitaloka melirik Euis Nandini dan Nenden Pritaya sambil
berharap kedua emban yang melayaninya itu akan memberikan saran.
Namun, hanya terbungkam mulut dua pelayan itu. Lukisannya dipinjam?
Dyah Pitaloka sangat keberatan. Lukisan dirinya itu sungguh merupakan
benda yang sangat berharga. Lukisan itu jauh lebih mahal dari emas
perhiasan apa pun yang ia punya karena benda itu adalah hadiah dari
orang yang dicintainya.
Dyah Pitaloka bingung bagaimana cara menolak permintaan itu.
Dyah Pitaloka amat keberatan dan karenanya ia harus menyiapkan
jawaban penolakan.
Namun, Dyah Pitaloka tidak memperoleh kesempatan menyampaikan
penolakan itu karena pintu penghubung antara keputren dan kedaton
kediaman raja terbuka. Dua orang prajurit bersenjata tombak keluar
menjadi cucuk lampah,137 disusul Prabu Maharaja Linggabuana yang
berjalan berdampingan dengan Permaisuri Lara Linsing. Di belakang
Prabu Maharaja, berjalan berdampingan Hyang Bunisora Mangkubumi
Suradipati dengan istrinya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Melihat lukisan Dyah Pitaloka yang berdiri berlatar telaga, Prabu


Maharaja tak kuasa mencegah rasa kagumnya. Dipandanginya lukisan

137
Cucuk lampah, Jawa, orang yang berjalan mendahului. Dalam upacara perkawinan adat Jawa, cucuk
lampah juga disebut sang subamanggala.
Sanga Turangga Paksowani 303

itu, lalu dipandanginya pula Podang Salisir dengan penuh perhatian.


Lukisan itu begitu hidup dan amat sempurna dalam mewakili wujud
anaknya. Prabu Maharaja harus mengakui betapa hebat kemampuan
juru gambar bawaan Patih Maduratna itu.
Podang Salisir berdebar menghadapi kesalahpahaman yang akan
terjadi itu.
”Bukan main, mirip sekali,” gumam Prabu Maharaja.
Permaisuri melangkah lebih dekat, bahkan menekuk lutut untuk
bisa melihat gambar itu lebih cermat. Hyang Bunisora Mangkubumi
Suradipati pun tak kuasa mencegah kekagumannya.
”Bukan main, bagus sekali,” ucap Permaisuri sambil kembali berdiri
dan memandang Podang Salisir penuh kekaguman.
Podang Salisir berdebar mendapati kesalahpahaman telah
terjadi.
”Aku tidak mengira ada lukisan seperti ini,” ucap Permaisuri.
Podang Salisir merasa perlu meluruskan keadaan secepatnya. Jika
tidak segera ia lakukan, kesalahpahaman itu akan makin menjadi.
”Hamba mohon izin menyampaikan sesuatu, Tuanku,” kata Podang
Salisir.
Raja Sunda mengarahkan pandangan matanya ke Podang Salisir.
”Bukan hamba pelukis gambar itu,” ucap Podang Salisir.
Ucapan Podang Salisir itu ternyata mengagetkan Prabu Maharaja,
Permaisuri yang berada di sebelahnya, juga Mangkubumi Suradipati
yang telah telanjur menduga lukisan itu hasil karya Podang Salisir. Dyah
Pitaloka sudah membayangkan kekacauan yang akan terjadi. Maka, yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

bisa ia lakukan hanya menundukkan kepala.


”Jadi, siapa yang melukis?” tanya Raja.
Tak ada yang menjawab pertanyaan itu. Ihai Nirasari yang bersimpuh
di sudut tak kuasa mencegah jantungnya berdebar lebih kencang. Ihai
304 Gajah Mada

Nirasari melihat peluang untuk membalas sikap kasar Dyah Pitaloka.


Namun, Ihai Nirasari harus menunggu Raja memberi kesempatan
kepadanya untuk bicara.
”Tuanku Prabu,” Patih Madu menyela, ”pelukis yang hamba bawa
dari Majapahit tidak mampu membuat gambar seindah ini. Melihat
lukisan ini, keberanian Podang Salisir langsung rontok dan tidak
sanggup melanjutkan melukis. Pelukis bawaan hamba merasa malu
dan menyatakan tidak sanggup menggambar Tuan Putri Dyah Pitaloka
karena jika hasil lukisannya jelek, akan merendahkan martabat dan
kecantikan Sekar Kedaton Sunda Galuh dan akan menyebabkan Prabu
Hayam Wuruk tidak memperoleh gambaran sebenarnya mengenai
seperti apa wajah Tuan Putri Dyah Pitaloka. Oleh karena itu, agar
Prabu Hayam Wuruk merasa seolah berhadapan langsung dengan Sekar
Kedaton Sunda Galuh, izinkanlah hamba untuk meminjam lukisan ini.
Kelak, pasti akan kami kembalikan.”
Prabu Maharaja masih bingung, tetapi dengan cepat berusaha
menarik simpulan. Menilik apa yang disampaikan Patih Maduratna,
berarti lukisan itu sudah ada sebelum tamu dari Majapahit itu datang.
Prabu Maharaja saling pandang dengan istrinya. Pikiran Permaisuri
segera tergiring pada pertanyaan, siapa yang melukis anaknya dan kapan?
Apalagi, Permaisuri tidak melihat ada kegiatan apa pun yang dilakukan
anak gadisnya terkait gambar itu.
”Siapa yang membuat gambar ini?” tanya Permaisuri.
Dyah Pitaloka panik. Dyah Pitaloka tidak tahu bagaimana cara
menjawab.
Permaisuri menebar pandangan matanya menjelajah wajah Nenden
Pritaya, Euis Nandini, dan Ihai Nirasari. Permaisuri melihat sikap Ihai
http://facebook.com/indonesiapustaka

Nirasari yang aneh.


”Kautahu jawabnya, Nirasari?” tanya Permaisuri.
Nirasari segera merangkapkan kedua telapak tangannya. Lirikan
sangat tajam yang ia terima dari Dyah Pitaloka membuatnya bingung.
Namun, Ihai Nirasari merasa kepalang basah.
Sanga Turangga Paksowani 305

”Hamba, Permaisuri,” jawab Ihai Nirasari. ”Orang yang menggambar


Tuan Putri Sekar Kedaton bernama Saniscara. Orang yang tak jelas asal
usulnya dan menurut hamba bisa membahayakan Tuan Putri.”
Masih ada banyak pertanyaan yang akan diajukan Permaisuri,
tetapi Prabu Maharaja melangkah ke depan sambil menggamit tangan
istrinya.
”Silakan, Kisanak Patih Maduratna. Anakku tidak akan keberatan
lukisan itu dibawa ke Majapahit,” ucap Prabu Maharaja.
Apa yang diputuskan Raja merupakan harga mati yang tidak bisa
ditawar lagi. Dyah Pitaloka tak mampu menyembunyikan kejengkelannya
ketika lukisan kesayangannya itu dilipat, kemudian dibawa tamunya. Sekar
Kedaton yang merasa kecewa itu tak bisa menyembunyikan matanya
yang berkaca-kaca. Prabu Maharaja merasa heran melihat sikap anaknya
yang demikian. Apalagi, ketika Dyah Pitaloka tiba-tiba berbalik dan
membelakangi Raja dan Permaisuri.
”Ihai Nirasari,” ucap Dyah Pitaloka amat tegas.
Ihai Nirasari sangat kaget dan bergegas menyembah.
”Hamba, Tuan Putri,” jawabnya.
”Kemasi semua benda yang kaumiliki. Aku tidak membutuhkanmu,”
ucap Dyah Pitaloka.
Ihai Nirasari terperanjat. Apa yang disampaikan Sekar Kedaton
langsung di depan Raja itu benar-benar menjadi sebuah palu godam yang
dengan deras menghajar kepalanya, menyebabkan retak tengkoraknya.
Permaisuri dan Sang Prabu tidak kalah terkejutnya mendapati
sikap anaknya yang sangat lugas dan kasar itu. Rupanya, soal lukisan
itu menyebabkan Dyah Pitaloka benar-benar marah. Prabu Maharaja
http://facebook.com/indonesiapustaka

melirik adiknya, yang dilirik mengangkat bahu.


Hyang Bunusora mendekati keponakannya.
”Ada apa?” tanya Mangkubumi Suradipati.
Namun, Dyah Pitaloka tidak menjawab pertanyaan pamannya.
306 Gajah Mada

”Menunggu apa lagi, Nirasari? Bawa semua yang kaumiliki dan kau
tidak perlu berada di istana Surawisesa lagi,” ucap Dyah Pitaloka.
Ihai Nirasari benar-benar tak menyangka, Sekar Kedaton akan
sedemikian marah. Ia tidak punya pilihan lain kecuali harus melaksanakan
perintah itu. Ihai Nirasari bangkit. Akan tetapi, Ihai Nirasari kembali
duduk ketika menerima isyarat perintah dari tangan Permaisuri.
”Tunggu,” kata Permaisuri. ”Sebenarnya ada apa? Mengapa kau
begitu marah kepada emban pelayanmu?”
Dyah Pitaloka adalah Sekar Kedaton yang cantik, lembut, dan welas
asih. Akan tetapi, rupanya ia juga memiliki hati sekeras hati singa.
”Hamba, Ibu Permaisuri,” berkata Dyah Pitaloka. ”Hamba yang
berhak menentukan apa Ihai Nirasari masih dibutuhkan di istana ini
atau tidak karena hamba yang dulu membawanya. Hamba tidak akan
mengubah apa yang telah menjadi keputusan hamba. Ihai Nirasari sudah
boleh pergi sekarang juga.”
Melihat sedemikian keras sikap anaknya, Permaisuri tidak mungkin
memaksakan diri. Ketika Permaisuri mengangguk, Ihai Nirasari merasa
dunia kiamat. Kebanggaan yang selama ini ia miliki adalah kedekatannya
dengan Sekar Kedaton dan bisa melayani kerabat Raja. Kini, kebanggaan
itu lenyap karena ia berani mengambil sikap berseberangan dengan
majikan yang dilayaninya.
”Kamu tidak perlu pergi, Nirasari. Kamu boleh melayani istana
raja,” Permaisuri yang ingin mengajukan beberapa pertanyaan merasa
harus mempertahankan emban muda itu.
”Tidak!” ucap Dyah Pitaloka amat tegas. ”Ihai Nirasari harus keluar
dari istana Surawisesa. Jika ia masih Ibunda pertahankan, hamba yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

akan keluar dari istana.”


Betapa keras Dyah Pitaloka, terlihat dari apa yang kemudian
dilakukannya. Dengan langkah lebar, Dyah Pitaloka menuju pintu.
Permaisuri yang berniat menyusul terpaksa membatalkan niatnya ketika
Sekar Kedaton menutup pintu dan menguncinya dari dalam.
Sanga Turangga Paksowani 307

Prabu Maharaja memandangi adiknya.


”Lukisan itu rupanya benda kesayangannya,” Hyang Bunisora
berkata.
Prabu Maharaja sependapat dengan Mangkubumi Suradipati.
Namun, satu hal yang tetap membuatnya merasa heran adalah dari mana
asal lukisan itu dan siapa pelukisnya. Sebaliknya, Permaisuri melihat
dengan cara yang berbeda. Kemarahan anak gadisnya memang karena
kehilangan lukisan itu. Namun, pengungkapan nama pembuat gambar
itu yang membuat Dyah Pitaloka begitu berang. Apalagi, Ihai Nirasari
beranggapan, pelukis itu justru membahayakan Sekar Kedaton. Ada
apa?
Gugup Nenden Pritaya dan Euis Nandini ketika Prabu Maharaja
memandang wajah mereka. Akan tetapi, Nenden dan Euis pintar belajar
dari apa yang menimpa Ihai Nirasari. Dyah Pitaloka sungguh tak main-
main dengan ancamannya. Jika ada yang membocorkan rahasianya, ia
harus pergi dari keputren.
”Bagaimana denganmu, Nenden Pritaya?” tanya Prabu Maharaja.
Nenden Pritaya hanya butuh waktu sekejap untuk membuang
bingungnya.
”Mohon ampun, Tuanku,” kata Nenden Pritaya. ”Hamba masih
merasa belum jelas maksud pertanyaan Tuanku.”
Prabu Maharaja memandang adiknya.
”Kautahu siapa Saniscara?” Prabu Maharaja kembali bertanya.
Nenden Pritaya mengangguk.
”Ia hanya orang biasa yang punya bakat melukis luar biasa. Orang
http://facebook.com/indonesiapustaka

itu melukis Tuan Putri dengan imbalan sejumlah uang. Hanya itu yang
hamba ketahui, Tuanku,” jawab Pritaya.
Prabu Maharaja akhirnya manggut-manggut dan saling bersirobok
pandang dengan Lara Linsing. Akan tetapi, apa yang ada di benak Prabu
Maharaja dan apa yang ada di benak istrinya amat berbeda. Prabu
308 Gajah Mada

Maharaja tidak melihat ada sesuatu yang aneh. Sebaliknya, Permaisuri


tetaplah seorang ibu yang berhati peka. Ia curiga ada sesuatu yang
disembunyikan anaknya di balik pembuatan lukisan itu.
”Harus kuakui,” kata Raja, ”lukisan itu sangat indah. Kukira wajar
kalau muncul keinginan di hatiku untuk digambar. Aku ingin melihat
seperti apa wajahku di dalam lukisan. Panggil pelukis bernama Saniscara
itu siang ini juga. Aku ingin ia menggambar kami berdua duduk
berdampingan di Singgasana. Kelak, jika aku sudah tiada, anak cucuku
bisa melihat wajahku seperti apa.”
Nenden Pritaya merasa perintah itu ditujukan kepadanya karena
Raja berbicara dengan mengarahkan pandangan mata kepadanya.
Nenden Pritaya merapatkan kedua telapak tangannya sebagai jawaban
ia akan melaksanakan tugas yang diberikan itu.
Tanpa berbicara, Prabu Maharaja berbalik. Jika matahari sudah
bergerak sedikit siang nanti, Prabu Maharaja Linggabuana harus
menerima secara khusus Kanuruhan Gajah Enggon yang membawa
pesan terpisah, pesan dari Mahapatih Gajah Mada. Permaisuri Dewi Lara
Linsing memisahkan diri dari suaminya dan berjalan beriringan dengan
Nyai Bunisora, sementara Hyang Bunisora Mangkubumi Suradipati akan
mendampingi kakaknya menerima Kanuruhan Gajah Enggon.

32
http://facebook.com/indonesiapustaka

M enunggu pertemuan yang akan terjadi menyebabkan Ma Panji


Elam merasa gerah dan tak sabar. Sebagaimana perintah yang diterima
dari Sang Mahamantrimukya Rakrian Mahapatih Gajah Mada, ia harus
menemani Gajah Enggon yang akan diterima secara khusus oleh Prabu
Sanga Turangga Paksowani 309

Maharaja Linggabuana. Yang boleh ia lakukan hanya menemani, tak


lebih dari itu. Apa pun pembicaraan yang akan terjadi antara Kanuruhan
Gajah Enggon dan Prabu Maharaja, Ma Panji Elam tidak boleh ikut
campur.
Larangan tidak boleh ikut bicara itu tidak berasal dari Mahapatih
Gajah Mada, tetapi dari Kanuruhan Gajah Enggon. Tentu larangan itu
menyebabkan Ma Panji Elam merasa tidak puas. Ma Panji Elam ingin
dilibatkan dalam pertemuan itu. Ma Panji Elam akan dengan lugas
meminta kepada Raja Sunda untuk mau menyatu dengan Majapahit.
Ma Panji Elam punya bahasa sendiri untuk ajakan penyatuan itu. Jika
Kanuruhan Gajah Enggon punya istilah, demi menghadapi kepentingan
bersama dibutuhkan persatuan dan kesatuan, Ma Panji Elam punya
bahasa yang lebih blak-blakan, Sunda Galuh harus mau menjadi bawahan
Majapahit, kalau tidak bersedia, digempur. Jika menolak ajakan itu
pilihan yang diambil Sunda Galuh, kekuatan mana yang dipunyai untuk
menghadapi Majapahit?
”Bagaimana? Sudah ada keterangan kapan kita akan menghadap?”
tanya Ma Panji Elam melihat Pu Kapasa yang datang mendekat.
Pu Kapasa menggeleng sambil mengangkat kedua tangannya.
”Aku menjadi tidak sabar untuk menyampaikan kepada Prabu
Maharaja betapa besar kekuatan Majapahit. Harus aku jelaskan kepada
Prabu Maharaja betapa Majapahit kini memiliki pasukan yang tak
terbayangkan besarnya, memiliki armada laut yang juga tak terbayangkan
besarnya. Sunda Galuh hanya negara kecil, hanya seujung kuku. Raja
Sunda Galuh itu harus tahu, terlalu besar yang harus ia bayar jika menolak
apa yang dikehendaki Majapahit,” ucap Ma Panji Elam.
Pu Kapasa sama tidak sabarnya. Pu Kapasa memandang matahari
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang bergerak kian tinggi, pertanda hari makin siang. Sebagaimana Ma


Panji Elam, Pu Kapasa telah merancang kalimat apa saja yang akan
disampaikan ke hadapan Sang Prabu Maharaja.
Pu Menur yang bersandar dinding menguap.
”Aku mengantuk,” ucapnya.
310 Gajah Mada

Tak hanya Pu Menur yang ikut gelisah karena tak sabar menunggu
waktu. Pu Kapat berjalan mondar-mandir sambil memerhatikan
beberapa prajurit yang sedang terlibat latihan perang. Bentuk latihan
perang yang sangat sederhana.
”Lihat itu,” kata Pu Kapat.
Pu Menur menoleh sejenak, lalu melanjutkan memejamkan mata
sambil merasa geli. Latihan perang yang sedang dilakukan sekelompok
prajurit itu dirasa menggelikan.
Ma Panji Elam serentak berdiri ketika Kanuruhan Gajah Enggon
datang sambil membawa minuman.
”Kalian pernah mendengar kata bandrek?”138 tanya Kanuruhan
Gajah Enggon.
Ma Panji Elam menggeleng.
”Jangan pernah menyebut pernah datang ke Sunda Galuh jika belum
pernah minum bandrek. Juga jangan pernah menepuk dada pernah
datang ke Sunda Galuh jika belum tahu seperti apa rasa minuman bajigur
yang menghangatkan tubuh. Tanpa dua jenis minuman itu, sama halnya
kalian baru mendatangi tepian Sunda Galuh,” ujar Gajah Enggon.
Ma Panji Elam menyeruput minuman dalam cangkir yang
dipegangnya.
”Di mana bisa mendapatkan minuman itu?” tanya Ma Panji Elam.
Kanuruhan Gajah Enggon tak perlu menjawab karena sejenak
kemudian, seorang abdi perempuan muncul dari pintu yang terbuka.
Abdi perempuan yang sudah tua itu berjalan agak terbungkuk-bungkuk.
Ma Panji Elam merasa tak sabar ingin segera mencicipi jenis minuman
yang disajikan, demikian pula dengan Pu Kapasa, Pu Menur, dan Pu
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kapat. Mereka harus mengakui, jenis minuman itu amat enak di lidah.

138
Bandrek, jenis minuman khas Sunda. Sudah adakah bandrek pada zaman Sunda Galuh? Agaknya,
memang demikian menilik di sebuah tempat tak jauh dari Cibatu dan Garut ada sebuah desa bernama
Bandrek. Keberadaan nama itu pasti berkaitan dengan bandrek sebagai minuman. Di samping bandrek,
di Sunda juga ada jenis minuman yang terkenal, yaitu bajigur
Sanga Turangga Paksowani 311

”Waah, enak sekali,” puji Ma Panji Elam.


Dengan berdebar-debar, Kanuruhan Gajah Enggon memerhatikan
para arya yang datang bersamanya dari Majapahit itu. Ma Panji Elam
tak cukup puas dengan secangkir bandrek, demikian pula para arya
yang lain.
”Moga-moga obat pemberian Pradhabasu benar-benar manjur,”
kata Kanuruhan Gajah Enggon dalam hati.

33
R uang yang dipergunakan Prabu Maharaja untuk menerima
Kanuruhan Gajah Enggon adalah ruang amat khusus. Ruang itu biasa
digunakan untuk menerima pengaduan rakyat yang merasa ditindas
atau sedang menuntut keadilan. Tak sebagaimana ketika menerima para
tamunya di balairung istana, kali ini, Prabu Maharaja tidak menempatkan
Kanuruhan Gajah Enggon duduk bersila dalam menghadap. Justru
karena itu, Gajah Enggon merasa agak canggung.
”Silakan,” Prabu Maharaja mempersilakan tamunya untuk duduk
di kursi yang telah disediakan untuknya.
Gajah Enggon masih belum merasa yakin. Namun, Gajah Enggon
akhirnya merasa yakin setelah sekali lagi Prabu Maharaja mempersilakan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Gajah Enggon bergegas memberikan penghormatannya sebelum ia


menarik kursi. Di depannya, Prabu Maharaja dan Hyang Bunisora duduk
berdampingan.
Gajah Enggon tak tahu harus memulai dari mana untuk bisa
menyampaikan pesan Mahapatih Gajah Mada.
312 Gajah Mada

”Silakan, Kisanak Kanuruhan,” kata Prabu Maharaja. ”Aku dan adikku


telah siap mendengarkan pesan apa yang kaubawa dari Majapahit.”
Kanuruhan Gajah Enggon merasa, betapa sulit untuk bisa
menyampaikan pesan khusus yang dibawanya. Sikap terbuka yang
diberikan Prabu Maharaja sudah sedemikian membuatnya sulit berbicara.
Entah apa jadinya jika Ma Panji Elam ikut nimbrung dalam pembicaraan
yang terjadi itu.
”Hamba, Tuanku Baginda,” Kanuruhan Gajah Enggon berkata.
”Mohon Tuanku berkenan memberi maaf kepada hamba. Kedudukan
hamba kali ini hanya seorang duta semata.”
Prabu Maharaja dan adiknya saling pandang. Hening yang menyelinap
berjalan agak lama sampai Raja Sunda Galuh itu mengangguk.
”Apa isi pesan dari Mahamantrimukya?” Hyang Bunisora memecah
keheningan.
Kanuruhan Gajah Enggon memejamkan mata beberapa kejap.
Betapa tak nyaman ia rasakan ketika harus menyampaikan pesan itu. Akan
tetapi, Kanuruhan Gajah Enggon memang harus menyampaikan.
”Sebagaimana diketahui, Tuanku,” kata Kanuruhan Gajah Enggon
dengan suara datar, ”betapa Jawa, Swarnabhumi, Tanjung Pura, dan
semua wilayah Nusantara dibayang-bayangi oleh nafsu negeri Tartar
yang ingin menguasai.”
Prabu Maharaja meletakkan kedua telapak tangannya yang saling
kait di atas meja. Pandangan matanya jatuh tepat di ujung hidung lawan
bicaranya. Gajah Enggon agak gugup menghadapi wibawa sedemikian
besar itu. Namun, Gajah Enggon bukan bocah kemarin sore yang
mudah gentar.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Hyang Bunisora melirik kakaknya.


”Menghadapi kenyataan yang tak mungkin bisa dibantah
tersebut,” lanjut Gajah Enggon, ”Majapahit di bawah binaan Kakang
Mahamantrimukya Gajah Mada merasa perlu mengimbau semua negeri
di wilayah Nusantara untuk bersatu padu. Semua negeri di wilayah
Sanga Turangga Paksowani 313

Nusantara harus merasakan masalah yang sama dan menghadapi


musuh yang sama karena bala tentara Tartar tak pernah lelah mencuri
kesempatan untuk melebarkan kekuasaan. Mereka gentayangan dalam
wujud orang-orang yang berniaga.”
Hening ruang khusus itu ketika Gajah Enggon mencari jeda. Hening
yang terjadi karena Raja Sunda Galuh menyimak dengan saksama tanpa
ada niat untuk menyela.
”Dengan latar belakang yang demikian, Sang Prabu,” kata
Kanuruhan Gajah Enggon lebih lanjut, ”Majapahit meminta agar Sang
Prabu memutuskan hubungan dagang dalam bentuk apa pun dengan
negeri Tartar. Majapahit mengimbau agar negeri Sunda Galuh segera
bergabung dengan yang lain, menyatu dengan Majapahit tanpa harus
merasa direndahkan. Semua semata-mata demi kepentingan yang
sama dan untuk menghadapi ancaman yang jelas telah berada di depan
mata.”
Kanuruhan Gajah Enggon merasa telah tuntas menyampaikan
pesan yang ia bawa dari Majapahit. Namun, ada bagian tertentu dari
pesan yang ia bawa yang tidak ia sampaikan. Gajah Enggon melihat, ke
depan, tak ada masalah dengan penyatuan Sunda Galuh dan Majapahit.
Bukankah Prabu Hayam Wuruk akan menempatkan Dyah Pitaloka
sebagai permaisuri?
”Demikianlah pesan yang harus hamba sampaikan, Prabu,” kata
Gajah Enggon di pungkasan139 ucapannya.
Prabu Maharaja terdiam seiring dengan waktu yang bergeser
beberapa jengkal ke depan. Menyimak apa yang disampaikan Kanuruhan
Gajah Enggon, Hyang Bunisora tak bisa menutupi raut mukanya yang
memerah. Namun, sebagaimana kakaknya yang mampu menguasai diri,
http://facebook.com/indonesiapustaka

Hyang Bunisora berusaha mengendalikan diri.


Hening yang lewat itu akhirnya pecah juga.

139
Pungkasan, Jawa, akhir
314 Gajah Mada

”Telah kusimak dengan cermat pesan itu, Kanuruhan,” kata Prabu


Maharaja. ”Aku minta waktu untuk menjawabnya. Jawaban itu tidak bisa
kuberikan dalam sehari atau dua hari. Terkait persoalan yang kaubawa
itu, aku tidak bisa memutuskan sendiri. Aku harus membicarakan
dengan para punggawa Sunda Galuh. Aku tak bisa meninggalkan suara
mereka.”
Kanuruhan Gajah Enggon mengangguk.
Ruang khusus itu kembali hening sepeninggal Gajah Enggon. Prabu
Maharaja berdiri bersedekap, sementara Hyang Bunisora melangkah
mondar-mandir.
”Pilihan macam apa yang masih kita miliki?” tanya Prabu Maharaja
kepada adiknya.
Prabu Maharaja yang selama ini terus mengikuti sepak terjang Gajah
Mada harus menerima kenyataan, Majapahit bukan negara yang layak
dihadapi dalam benturan perang secara langsung. Majapahit mampu
melebarkan wilayahnya sedemikian luas karena memiliki bala tentara
yang kuat dengan kemampuan tempur luar biasa. Apalagi, bala tentara
Majapahit saat ini sedang amat bergairah berperang. Dihadapkan pada
bala tentara Majapahit dengan armada lautnya yang amat besar, Sunda
Galuh ibarat telur berhadapan dengan gajah.
”Apa yang harus aku lakukan untuk menjaga kehormatan negara
ini agar jangan sampai terhina?” tanya Prabu Maharaja.
Hyang Bunisora yang semula berdiri membelakangi kakaknya itu,
kemudian berbalik.
”Kita akan menjadi negeri yang terjajah jika memenuhi permintaan
itu. Kita tidak boleh memenuhinya. Jika memang harus berperang, kita
lakukan,” ucap Hyang Bunisora.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Namun, semangat Hyang Bunisora tidak menulari kakaknya. Terlalu


banyak hal yang harus ditimbang.
”Di mana pun itu dan apa pun alasannya,” ucap Sang Prabu Maharaja,
”perang hanya akan menyebabkan rakyat yang tidak tahu apa-apa
Sanga Turangga Paksowani 315

menderita. Perang harus ditebus dengan kematian. Akan ada banyak


prajurit yang terbunuh. Itu berarti, akan ada banyak perempuan yang
menjadi janda, ayah dan ibu yang kehilangan anaknya, atau bocah yang
kehilangan ayahnya. Tembang kematian pun dilantunkan di mana-mana.
Perang akan menyebabkan negeri ini tenggelam di kubangan air mata.
Menghadapi keadaan yang demikian, Sunda Galuh harus memberi
jawaban yang masuk akal.”
Tarikan napas Prabu Maharaja terasa sangat berat. Hyang Bunisora
menunggu apa yang akan dikatakan Prabu Maharaja selanjutnya.
Namun, Prabu Maharaja diam agak lama. Hyang Bunisora memecah
keheningan.
”Lalu, bagaimana dengan jawaban yang masuk akal itu, Kakang
Prabu?” bertanya Mangkubumi Suradipati.
Cukup lama pandangan mata Prabu Maharaja jatuh ke satu
titik sehingga ia tampak seperti orang yang melamun. Perlahan,
Prabu Maharaja menoleh kepada adiknya. Raja yang merasa letih itu
menggelengkan kepala. Boleh jadi, itu gelengan kepala lunglai, tetapi
amat tegas.
”Aku akan mengangkat derajat Dyah Pitaloka menjadi raja,” ucap
Prabu Maharaja.
Matahari jatuh dari langit. Hyang Bunisora merasakan tanah tempat
kakinya berpijak bergoyang keras bagai dilibas gempa bumi yang amat
keras. Hyang Bunisora melangkah mundur untuk mengambil jarak dari
kakaknya sambil merapatkan kedua telapak tangannya dalam sikap
menyembah. Hening memberangus ruang itu sangat kasar, menyebabkan
beberapa ekor cecak yang merayap di dinding tidak kedengaran suaranya.
Dinding bata yang diraba terasa dingin membeku. Lapangan luas di
http://facebook.com/indonesiapustaka

halaman istana biasanya berangin deras. Namun, angin pun rupanya


terkejut mendengar ucapan Raja Sunda yang dilontarkan dengan suara
serak itu sehingga mendadak mereka berhenti bergerak.
”Apa pun yang terjadi,” berkata Prabu Maharaja, ”kita harus menjaga
kehormatan negeri ini.”
316 Gajah Mada

Ucapan Sang Prabu Maharaja itu menggema bagai gaung sebuah


gong raksasa yang memantul-mantul tak berkesudahan. Lamat-lamat,
Hyang Bunisora seperti memahami keputusan kakaknya yang berniat
mengangkat derajat Dyah Pitaloka Citraresmi menjadi raja itu. Apalagi,
manakala hal itu dikaitkan dengan ucapan Sang Prabu tentang upaya
apa pun yang harus dilakukan untuk menjaga kehormatan. Jika akhirnya
Hyang Bunisora merasa dadanya bagai retak, adalah ketika membayangkan
keponakannya yang lain.
Hyang Bunisora mempunyai panggilan khusus, Wastu, kepada
keponakannya berusia 9 tahun dan amat dekat dengannya. Untuk
membantu kakaknya, dengan sepenuh hati, Suradipati telah menyiapkan
jiwa dan raga Niskala Wastu Kencana agar kelak bisa menjadi raja yang
sempurna saat pergantian kekuasaan tiba. Pendidikan terhadap Wastu
terkait sikap kesatria dan berbagai pengetahuan serta kemampuan
yang harus dimiliki seorang pangeran pati ia ambil alih dan ia ditangani
langsung. Para guru terbaik dikumpulkan untuk mengasah Wastu supaya
bisa menguasai ilmu baca tulis serta pengetahuan sastra dan bahasa, tidak
hanya Sunda, tetapi juga bahasa Jawa, termasuk mengasah kemampuannya
agar pilih tanding dalam olah kanuragan.
Hyang Bunisora puas melihat hasilnya. Meski usianya masih belum
layak disebut remaja, Wastu mampu membaca dan menulis melebihi
kemampuan anak sebayanya, bahkan melebihi orang yang jauh lebih tua.
Meski ia seorang pangeran pati yang itu berarti kepada dirinya melekat
kedudukan sebagai calon raja, Wastu mampu bersikap santun kepada
siapa pun. Dalam keadaan tertentu, ia bahkan meminta dianggap sebagai
orang biasa, bukan anak raja dan calon raja.
Kini, tiba-tiba Prabu Maharaja berniat mengangkat derajat anak
perempuannya menjadi raja. Hal demikian memang bukan hal yang tabu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Majapahit pernah memiliki raja perempuan yang mampu menjalankan


tugas sebagai raja dengan baik. Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani dan Dyah Wiyat Rajadewi Maharaja bisa menjalankan
tugas tanpa cacat dan cela. Namun, jika Dyah Pitaloka yang menjadi raja,
bagaimana dengan Niskala Wastu Kencana?
Sanga Turangga Paksowani 317

Hyang Bunisora bagai orang yang kehilangan mulut. Hyang


Bunisora tidak berbicara apa pun saat siang itu juga, ia ikut melepas
para tamu dari Majapahit yang berangkat pulang.

34
S ore itu, sebagaimana yang dikehendaki Sang Prabu dan
Permaisuri, Saniscara telah berada di istana dengan sikap cemas dan
bingungnya. Nenden Pritaya yang ditugasi memanggil pelukis itu tidak
mengalami kesulitan menemukannya di tepi telaga Jalatunda. Semula,
Saniscara cemas mengira ia dipanggil karena kelancangannya. Namun,
hatinya kembali tenang setelah Nenden Pritaya menjelaskan apa yang
diketahui.
”Jadi, lukisan itu kini tidak berada di tangan Tuan Putri?” tanya
Saniscara setelah berhadapan langsung dengan Dyah Pitaloka.
Dyah Pitaloka mengangguk sambil tak kuasa mencegah matanya
berkaca-kaca. Saniscara tidak berbicara. Namun, ia mencerna apa yang
terjadi itu. Rishang Saniscara segera mengambil keputusan.
”Apa hamba diizinkan untuk melukis ulang? Hamba akan
membuat yang lebih bagus dari lukisan yang dibawa tamu itu,” tanya
Saniscara
Seketika, berubah raut wajah Dyah Pitaloka. Dyah Pitaloka yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

semula murung itu kembali riang. Andaikata tidak ada Nenden Pritaya
dan Euis Nandini yang berdiri di sebelahnya, tentu ia akan menjerit
melonjak-lonjak. Nenden Pritaya dan Euis Nandini saling lirik melihat
raut muka Dyah Pitaloka yang secara lugas menunjukkan keadaannya
yang lagi kasmaran.
318 Gajah Mada

Cekatan, Nenden Pritaya dan Euis Nandini menyiapkan selembar


kain putih yang dibutuhkan. Mereka juga cekatan menyiapkan semua
peralatan yang dibutuhkan untuk melukis. Sekar Kedaton Dyah Pitaloka
Citraresmi duduk dengan sikap memenuhi yang diinginkan pelukisnya.
Sebagai seorang seniman, Rishang Saniscara Patriawhura melihat,
rambut Sekar Kedaton yang digelung rapi justru jelek diterjemahkan ke
dalam lukisan. Dyah Pitaloka meluap gembira saat diminta mengurai
mahkotanya yang hitam legam melalui menggoyangkan kepalanya
dengan kasar. Rambut yang dibiarkan terurai itu nantinya justru menjadi
bagian terindah dalam lukisan itu. Apalagi, Saniscara memberi kesan
seolah angin mempermainkannya.
Menggunakan alat lukisnya, Rishang Saniscara memindahkan Dyah
Pitaloka ke lembaran kain di depannya. Cekatan tangannya menari
membuat rancang gambar. Meski berupa coretan, tidak ada keraguan
sama sekali bagi Saniscara dalam membuatnya. Ketika dada Saniscara
sedang bergolak oleh dorongan penumpahan gelegak jiwa, ia tak peduli
pada apa pun, bahkan pada kedatangan Raja.
Dengan jongkok, dengan berdiri, bahkan dengan duduk bersila,
Saniscara tidak sudi memecah perhatiannya. Dyah Pitaloka mengimbangi
dengan mengubah diri menjadi patung batu dalam upaya menjaga sikap.
Dyah Pitaloka juga tidak menoleh ketika Raja, Permaisuri, dan pamannya
datang untuk melihat kegiatan melukis itu.
Dengan sangat kagum, Prabu Maharaja menikmati tontonan langka
itu. Meski masih berupa rancangan, gambar itu sudah kelihatan indah
dan hidup. Prabu Maharaja dan istrinya tersenyum mendapati ukuran
tubuh anaknya sedikit lebih gemuk dari ukuran sebenarnya.
Tidak sebagaimana lukisan sebelumnya yang dibuat dengan latar
belakang telaga, kali ini, Saniscara melukis Dyah Pitaloka dalam sikap duduk
http://facebook.com/indonesiapustaka

di atas dampar kencana, menjadikan Sekar Kedaton bak seorang ratu.


Ketika kegiatan melukis itu harus diakhiri untuk dilanjutkan di lain
waktu, Saniscara terkejut mendapati Prabu dan Permaisuri di belakangnya.
Dengan gugup, Saniscara duduk bersila dan menyembah.
Sanga Turangga Paksowani 319

”Hamba menghaturkan sembah, Sang Prabu,” ucapnya.


Prabu Maharaja mengangguk menerima penghormatan yang
diberikan kepadanya itu. Dengan rasa kagum yang tak perlu ditutupi,
Raja dan Permaisuri memerhatikan lukisan itu dengan penuh
minat.
Permaisuri tak mampu mencegah keinginannya untuk juga dilukis.
”Berapa hari yang kaubutuhkan untuk menyelesaikan lukisan ini,
Kisanak Saniscara?” tanya Dewi Lara Linsing.
Dengan santun, Saniscara merapatkan kedua telapak tangannya.
”Hamba, Tuan Putri,” jawab Saniscara. ”Hamba membutuhkan
waktu sepekan untuk menuntaskannya, mungkin lebih.”
Permaisuri dan suaminya saling lirik.
”Berarti, kau akan menggambar kami sepekan lagi?” tanya Raja.
Saniscara kembali menyembah, tetapi tidak segera menjawab.
”Bagaimana?” kejar Permaisuri.
”Hamba akan mengerjakannya bersamaan, Tuanku,” jawab
Saniscara.
Ada banyak pertanyaan yang diajukan Raja dan Permaisuri,
sebagaimana ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan Saniscara petang
itu. Di bangsal raja, Saniscara kembali bekerja. Kali ini, ia menggambar
empat orang sekaligus, yaitu Raja dan Permaisuri duduk bersebelahan,
diapit kedua anaknya, Dyah Pitaloka di sebelah kanan dan Niskala Wastu
Kencana di sebelah kirinya.
Hari itu dan hari-hari berikutnya adalah hari yang membahagiakan
http://facebook.com/indonesiapustaka

bagi Dyah Pitaloka karena ia bisa berdekatan dengan Saniscara. Tertarik


pada bakat luar biasa yang dimiliki Saniscara dan karena membutuhkan
waktu agak lama untuk menyelesaikan pekerjaannya maka disediakan
tempat khusus untuk laki-laki itu di sebuah bangsal yang dihuni para
abdi pelayan istana.
320 Gajah Mada

Di samping bakat melukis yang luar biasa, Saniscara juga berbakat


meniup seruling dengan suara mengalun. Dari balik jendela yang terbuka,
Dyah Pitaloka tahu, Saniscara sedang mengungkapkan gelegak asmaranya
melalui alunan nada seruling kepadanya. Dyah Pitaloka yakin karena
nada-nada lagu itu diciptakan ketika mereka sedang berdua.
Di Sela waktunya, Saniscara tak pernah lupa kepada sahabatnya. Di
tepi telaga Jalatunda, Saniscara menemuinya.
”Apa yang bisa kauceritakan hari ini?” tanya Riung Sedatu.
Saniscara memerhatikan gemerlap kunang-kunang di kejauhan.
Amat banyak jumlah kunang-kunang itu, berarak-arak di sepanjang
tepi telaga.
”Hari yang luar biasa,” jawab Saniscara. ”Hari ini, Prabu Maharaja
memanggilku. Aku diminta menggambar Raja bersama segenap
keluarganya. Besok dan hari-hari yang akan datang masih ada pekerjaan
karena adik Raja dan keluarganya juga ingin dilukis. Dengan demikian,
aku punya waktu makin banyak untuk bisa berdekatan dengan Dyah
Pitaloka kekasih hatiku.”
Riung Sedatu menyimak cerita itu bukan sebagai hal yang luar biasa.
”Aku juga melukis ulang Dyah Pitaloka karena lukisan sebelumnya
diminta tamu dari Majapahit. Tamu itu utusan Prabu Hayam Wuruk
yang ingin tahu bagaimana kecantikan Sekar Kedaton Dyah Pitaloka.
Jika Raja Hayam Wuruk tertarik, ia akan melamar Dyah Pitaloka,” lanjut
Saniscara.
Riung Sedatu mengerutkan kening.
”Itu berarti, kamu akan kehilangan?” tanya Sedatu sambil
tertawa.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Saniscara tidak menjawab pertanyaan itu. Di hamparan rumput, ia


berbaring sambil memandangi bintang-bintang.
”Cinta memang indah,” kata Sedatu. ”Apalagi, cinta yang berbalas.
Namun, kau harus siap merasakan bagaimana sakitnya saat kehilangan.”
Sanga Turangga Paksowani 321

Saniscara tidak menoleh. Ucapan Riung Sedatu itu sejatinya juga


berkecamuk di benaknya, menyudutkannya karena ia tak tahu bagaimana
cara menjawabnya. Cintanya kepada Sekar Kedaton, di luar dugaan, tak
bertepuk sebelah tangan. Cinta itu berbalas. Bagaimana setelah itu? Apa
cukup hanya sampai di situ? Bukankah dua orang manusia berlainan jenis
jika saling mencintai pasti berkeinginan meningkatkan derajat hubungan
itu ke tingkat yang lebih tinggi? Berhasil menggapai cinta Dyah Pitaloka
ternyata bukan hal yang sulit. Namun, meningkatkan derajat hubungan
itu menjadi suami istri, itulah yang sulit.
”Aku ingin pulang,” tiba-tiba Riung Sedatu membelokkan
persoalan.
Saniscara terkejut.
”Apa?” tanyanya.
”Aku ingin pulang,” ulang Sedatu.
Saniscara mencerna ucapan sahabatnya itu.
”Apa itu berarti, kau sudah menemukan ingatanmu yang hilang?”
tanya Saniscara.
Riung Sedatu menggeleng.
”Belum,” jawabnya. ”Tetapi, aku merasa telah menemukan sebagian
ingatanku.”
Saniscara terkejut.
”Apa yang berhasil kauingat?” kejar Saniscara.
Riung Sedatu tidak segera menjawab. Yang ia lakukan justru
memejamkan mata.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Aku melihat tamu-tamu dari Majapahit saat mereka pulang dengan


berkuda. Salah seorang di antaranya seorang pemuda. Sayang, aku hanya
melihatnya sekilas. Kalau saja aku melihat wajahnya sedikit lebih lama,
barangkali belenggu yang mengganjal di benakku bisa jebol. Aku merasa
mempunyai hubungan dengan pemuda itu,” jawab Sedatu.
322 Gajah Mada

Saniscara tidak berbicara apa pun.


”Aku harus pulang. Arahku kembali ke Majapahit,” ucap Riung
Sedatu.

35
S ang waktu bergerak menapaki kodratnya, tidak ada yang mampu
menghadang lajunya. Dua puluh hari telah lewat, rombongan duta
yang dilepas Prabu Hayam Wuruk telah kembali ke kotaraja Trowulan.
Orang yang paling berkepentingan dengan kepulangan Patih Maduratna
adalah Ibu Suri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan
suaminya. Ibu Suri didampingi suaminya menerima Patih Madu di istana
mereka sambil menunggu Prabu Hayam Wuruk yang telah diberi tahu.
Sejenak kemudian, Prabu Hayam Wuruk muncul dikawal dua orang
prajurit di kiri dan kanannya. Pusat perhatian Prabu Hayam Wuruk
langsung tertuju pada gulungan kain di tangan utusannya. Prabu Hayam
Wuruk melirik ibunya, lalu beralih kepada ayahnya.
Sri Kertawardhana mengangguk.
”Buka, aku ingin tahu seperti apa wajah Sekar Kedaton Sunda. Aku
ingin tahu apa kecantikannya seimbang dengan yang diberitakan orang
selama ini,” kata Rajasanegara.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Patih Maduratna mendahului dengan kembali menyembah. Pelan


sekali ia membuka gulungan kain agar tidak menyebabkan lukisan itu
rusak. Gulungan kain itu segera dihamparkan di atas permadani. Jika
Prabu Hayam Wuruk mempersoalkan apa kecantikan Dyah Pitaloka
seimbang dengan yang digunjingkan orang, dugaan itu salah. Yang benar,
Sanga Turangga Paksowani 323

Dyah Pitaloka memiliki kecantikan bidadari. Hanya Dewi Tara yang bisa
menandangi kecantikannya.
Tertegun Prabu Hayam Wuruk. Ia tak mampu bicara begitu melihat
lukisan itu. Gambar yang sangat hidup itu menyebabkan telinganya
mendenging keras. Denging itu belum juga hilang ketika Prabu Hayam
Wuruk bergerak mendekat untuk bisa melihat dengan lebih jelas lukisan
itu. Ketika Prabu Hayam Wuruk berniat menyentuh lukisan itu, muncul
keraguan luar biasa. Prabu Hayam Wuruk cemas sentuhan tangannya
akan menyebabkan kecantikan gambar itu hilang.
Perbawa kecantikan yang luar biasa itu juga menyebabkan Ibu
Suri Sri Gitarja yang amat berkepentingan menemukan jodoh yang
tepat bagi anaknya, terhenyak. Ibu Suri yang semula duduk, kemudian
berdiri bersamaan dengan Sri Kertawardhana. Di kala muda, Sri Gitarja
adalah gadis dengan kecantikan tiada tara. Namun, lukisan di depannya
menumbuhkan pertanyaan, apa ia pernah lebih cantik dari anak Prabu
Maharaja di Sunda Galuh itu?
Patih Maduratna tersenyum. Ia sudah menduga, Prabu Hayam
Wuruk kali ini akan bersikap berbeda. Jika semula semua gambar para
gadis tercantik anak para raja di seluruh wilayah bawahan Majapahit
tidak ada yang membuatnya berkenan, kali ini Prabu Hayam Wuruk
pasti kebingungan.
”Patih Madu,” ucap Prabu Hayam Wuruk.
”Hamba, Baginda,” jawab Patih Madu sigap dan siap menjawab
semua pertanyaan yang akan diberikan Raja dan orang tuanya.
”Tinggalkan tempat ini,” ucap Raja.
Patih Madu terkejut karena yang disampaikan Raja sama sekali
http://facebook.com/indonesiapustaka

tidak seperti yang ia duga. Patih Madu mengira Raja akan mengajukan
banyak pertanyaan, ternyata tidak. Patih Madu bergegas menyembah
dan meninggalkan ruang itu.
Sepeninggal Patih Madu bukan berarti ruang itu pecah dari
keheningan yang datang menyelinap. Senyap yang terjadi, bahkan makin
324 Gajah Mada

menjadi. Prabu Hayam Wuruk jarang bingung menghadapi keadaan


macam apa pun. Namun, menghadapi lukisan itu, ia bingung, kakinya
gemetar. Tangannya yang saling merapat juga gemetar. Keringat dingin
membasahi telapak tangannya.
”Bagaimana, Anakmas Prabu?” bertanya ibunya.
Prabu Hayam Wuruk menoleh.
”Ibunda Suri,” Prabu Hayam Wuruk menjawab, ”hamba bersedia.
Setelah melihat lukisan ini, hamba tak menyimpan keraguan sama sekali.
Lihatlah Ibunda, betapa cantik Dyah Pitaloka. Hamba yakin, kecantikan
dan kelembutan Dyah Pitaloka tak hanya ada di luarnya, tetapi cantik
dan lembut pula hatinya. Mohon Ibunda berkenan mewujudkan apa
yang hamba impikan itu dengan mengirim utusan ke Sunda Galuh guna
melamarnya.”
Ibu Suri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani
mendekat dan memeluk anak lelakinya yang sangat dibanggakannya
itu. Sri Kertawardhana tersenyum. Sebagai ayah, Sri Kertawardhana
berkewajiban mengiringi perjalanan hidup anaknya sampai bertemu
jodohnya.
Kepulangan Patih Maduratna yang disusul keputusan Ibu Suri Sri
Gitarja akan kembali mengirim duta ke Sunda Galuh dengan segera
menjadi gunjingan. Patih Maduratna menjadi tempat bertanya banyak
pihak yang ingin tahu bagaimana atau seperti apa kecantikan yang dimiliki
anak Raja Sunda Galuh yang katanya gemilang itu. Semua pertanyaan
itu tidak perlu merepotkan Patih Madu dalam menggambarkannya
karena Ibu Suri Sri Gitarja memberi perintah untuk memajang lukisan
cantik dan indah itu di depan Bale Witana di Tatag Rambat Bale
Manguntur.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Yang bisa diceritakan Patih Madu hanyalah sisanya, yaitu tentang


bagaimana sulitnya medan yang harus ditempuh untuk bisa sampai ke
Sunda Galuh, bagaimana bentuk istana Surawisesa, bagaimana cara
berpakaian dan adat istiadat setempat, bagaimana sikap Raja dan Ratu
dalam menerima kedatangannya, suguhan makanan macam apa saja yang
Sanga Turangga Paksowani 325

disajikan, dan yang paling heboh adalah bagaimana suguhan hiburan


gamelan serta tari. Ketika Patih Madu bercerita tentang Kanuruhan
Gajah Enggon yang tidak bisa menari gaya Sunda, semua yang menyimak
penuturan Patih Madu itu tertawa.
Namun, tak semua cerita selalu ceria. Jika ada yang merasa resah,
itulah Kuda Swabaya yang mendapat kesempatan pulang untuk bertemu
dengan ayahnya. Bukan soal kakaknya yang lenyap yang menjadi sumber
keresahannya. Akan tetapi, sosok yang diceritakan Podang Salisir.
Begitu sampai di rumah, Kuda Swabaya bersimpuh mencium kaki
ayah dan ibunya. Dyah Menur bergegas mengangkat pundak anaknya.
”Ibu pikir, kamu masih lama berada di Sunda Galuh,” ucap Dyah
Menur. ”Seperti apa kecantikan yang dimiliki Dyah Pitaloka Citraresmi
itu? Kamu berhasil melihat secara langsung?”
Kuda Swabaya mengangguk.
”Tak salah berita yang terbawa angin itu,” jawab Kuda Swabaya.
”Dyah Pitaloka benar-benar memiliki kecantikan yang gemilang.
Menurutku hanya Dewi Dersanala140 yang bisa menyaingi kecantikan
Dyah Pitaloka. Luar biasa cantik.”
Pradhabasu tersenyum.
”Apa kamu sudah pernah bertemu dengan Dersanala sampai bisa
membandingkan mereka?” tanya Pradhabasu.
Kuda Swabaya terdiam. Pretiwi yang ikut menyimak, tidak bertanya
apa pun. Pretiwi menyimpan semua rasa ingin tahunya dalam hati. Hal-
hal yang menyangkut Prabu Hayam Wuruk selalu membuat hatinya
gundah gulana. Namun, Pretiwi sangat sadar, memimpikan Prabu Hayam
Wuruk benar-benar tidak masuk akal.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Karena begitu cantiknya, Ayah,” jawab Kuda Swabaya, ”hari ini,


istana Ibu Suri Sri Gitarja telah melepas sebuah wara-wara yang menyebut

140
Dersanala, dalam cerita wayang Jawa, bidadari tercantik adalah Dersanala yang berputra Wisanggeni dari
perkawinannya dengan Arjuna. Dalam babon kitab Mahabarata, nama Wisanggeni tidak ditemukan.
326 Gajah Mada

Majapahit akan kembali mengirim utusan ke Sunda Galuh untuk


melamar Dyah Pitaloka. Akan tetapi, ada sebuah hal yang membuatku
agak kecewa.”
Pretiwi terusik rasa ingin tahunya.
”Apa itu?” tanya gadis itu.
Pertanyaan itu menyebabkan Kuda Swabaya bingung bagaimana
cara memberi jawaban.
”Apa yang aku resahkan,” Kuda Swabaya berkata, ”mungkin sudah
menyangkut rahasia negara. Maafkan aku terpaksa bercerita kepada
Ayah saja.”
Pretiwi dan ibunya mengangguk tanpa harus merasa tersinggung.
Sebagai keluarga prajurit, keluarga itu tahu persis tentang adanya hal-hal
khusus yang menjadi rahasia negara.
”Ayo, Pretiwi, kita ke dapur. Kita memasak,” kata ibunya sambil
merangkul anaknya.
Berdua dengan ayahnya, Kuda Swabaya mencurahkan sebagian
beban rahasia yang sangat mengganggunya.
”Rahasia apa?” tanya Pradhabasu.
Kuda Swabaya mendahului dengan menghirup tarikan napas
berat.
”Putri Dyah Pitaloka menurutku memang memiliki kecantikan
yang luar biasa. Tak ada tandingannya. Kecantikan Sekar Kedaton Dyah
Pitaloka Citraresmi itu bisa menjadi jelek jika diterjemahkan oleh pelukis
yang tidak mampu memindahkan kecantikannya. Hal itulah yang terjadi
pada Podang Salisir,” jawab Kuda Swabaya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pradhabasu mengerutkan kening. Pradhabasu masih belum merasa


jelas ke mana arah ucapan anak lelakinya.
”Ketidakmampuan Podang Salisir sebagian besar karena ia melihat
di keputren istana Surawisesa sudah ada lukisan Sekar Kedaton. Lukisan
itu dibuat jauh lebih indah, jauh lebih hidup, menyebabkan palukis
Sanga Turangga Paksowani 327

bawaan Paman Maduratna tak mampu berbuat apa-apa. Lukisan indah


itulah yang kemudian dipinjam dan sekarang sedang dipamerkan di Bale
Manguntur,” Kuda Swabaya melanjutkan.
Pradhabasu makin membungkam mulutnya karena merasa masih
belum paham apa yang dipersoalkan anaknya yang katanya sampai pada
derajat rahasia itu.
”Masalahnya,” kata Kuda Swabaya, ”sebagaimana aku mengutip
kata Podang Salisir, lukisan yang sangat hidup itu dibuat seseorang yang
mempunyai hubungan dengan Sekar Kedaton Sunda Galuh.”
Meski Kuda Swabaya telah makin mengarah, Pradhabasu belum
merasa yakin dugaannya benar.
”Orang itu menjalin hubungan khusus dengan Sekar Kedaton Sunda
Galuh?” tanya Pradhabasu.
Kuda Swabaya mengangguk.
”Ya,” jawabnya.
Pandangan Pradhabasu makin tajam, bahkan tak berkedip.
”Hubungan asmara?” kejar Pradhabasu.
Kuda Swabaya mengangguk.
”Seberapa jauh hubungan itu?” tanya Pradhabasu.
Kuda Swabaya mencoba mengenang.
”Saat itu, aku dan Podang Salisir memperoleh kesempatan untuk
berkeliling, melihat dari dekat keadaan kotaraja Sunda Galuh. Di tepi
sebuah telaga yang belakangan aku tahu telaga itu bernama Jalatunda,
Podang Salisir tertarik melihat seorang laki-laki sedang melukis. Podang
Salisir minta diturunkan di tempat itu dan melihat kenyataan betapa amat
http://facebook.com/indonesiapustaka

indah lukisan itu, lukisan seorang gadis yang jelita. Ketika Podang Salisir
menanyai orang itu, ia tidak mau menyebut nama gadis yang dilukisnya.
Ia hanya mengatakan latar belakang lukisan itu adalah perasaan cintanya.
Esoknya, Podang Salisir terkejut saat bertemu dengan Dyah Pitaloka. Ia
segera ingat, wajah itu yang dilukis orang di tepi telaga Jalatunda. Lukisan
328 Gajah Mada

itu esok harinya sudah berada di keputren Surawisesa. Bukankah itu


berarti telah terjalin hubungan khusus antara pelukis dan yang dilukis?”
ucap Swabaya.
Pradhabasu akhirnya memahami penuh apa yang menyebabkan
anak lelakinya itu gelisah. Kegelisahan itu masuk akal.
”Prabu Hayam Wuruk akan melamar gadis yang sedang menjalin
hubungan asmara dengan orang lain?” tanya Pradhabasu
”Benar,” jawab anaknya.
Kegelisahan Kuda Swabaya akhirnya berpindah menjadi kegelisahan
Pradhabasu. Ada yang ia rasakan tidak seharusnya. Sebuah pertanyaan
segera menyeruak di benak mantan Bhayangkara Pradhabasu, tahukah
Raja Sunda Galuh bahwa anak gadisnya sedang menjalin hubungan
dengan seseorang?
”Akan ada utusan yang dikirim ke Sunda Galuh lagi?” Pradhabasu
kembali bertanya.
”Ya,” jawab Kuda Swabaya.
”Sampaikan kepada Gajah Enggon, aku akan ikut. Dan, jangan
kauceritakan masalah Dyah Pitaloka itu kepada siapa pun. Kamu sudah
telanjur bercerita kepada orang lain?” tanya Pradhabasu.
”Tidak, Ayah,” jawab Kuda Swabaya.
”Bagaimana dengan Podang Salisir, apa ia bisa menjaga mulutnya?
Atau, ia telanjur bercerita kepada orang lain?” tanya Pradhabasu
lagi.
”Tidak,” jawab Kuda Swabaya. ”Podang Salisir justru memintaku
agar jangan bercerita kepada siapa pun. Ia sendiri mengatakan tidak
http://facebook.com/indonesiapustaka

berani bercerita kepada siapa pun. Ia takut apa yang diketahuinya itu
akan melebar dan mengganggu lamaran yang akan berlangsung.”
”Begitu?” tanya Pradhabasu.
Kuda Swabaya mengangguk.
Sanga Turangga Paksowani 329

Dalam beberapa hari terakhir, Pradhabasu tergoda oleh keinginan


untuk menempuh perjalanan lagi. Hal itu telah ia utarakan kepada
istrinya. Dyah Menur Hardiningsih merasa maklum dan tidak mencegah.
Bagaimanapun juga, hilangnya Sang Prajaka telah membuat kehidupan
rumah tangga mereka tidak tenang. Tak ada Sang Prajaka yang mampu
menghitung dengan cepat benda apa pun yang disebar berserakan,
menyebabkan rumah itu terasa tidak lengkap. Apalagi, kepergian Sang
Prajaka dilatari sebuah kesalahpahaman.
Pradhabasu yang telah berniat menempuh perjalanan lagi merasa
tidak ada salahnya bergabung dengan rombongan yang akan kembali
dikirim ke Sunda Galuh. Alasan lain adalah petunjuk yang telah
diterimanya dari orang yang memiliki ketajaman mata hati, tetapi tidak
mau disebut dukun.
Masih terngiang di telinganya ucapan orang itu, ”Anakmu sedang
lupa pada jati dirinya. Anakmu bingung, tidak tahu ke mana akan pergi
dan tak tahu pula ke mana jalan pulang. Ia berada di barat.”

36
K uda Swabaya sedang melintasi alun-alun ketika Senopati Macan
Liwung menghadang langkahnya. Kuda Swabaya segera memberikan
penghormatannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Dari mana?” tanya Senopati Macan Liwung.


Kuda Swabaya melangkah selangkah lebih mendekat.
”Dari menyempatkan pulang lebih dulu, Senopati,” jawab Kuda
Swabaya. ”Ada perintah yang harus aku terima, Senopati?”
330 Gajah Mada

Senopati Macan Liwung mengangguk.


”Sebenarnya, aku ingin banyak bertanya bagaimana pengalamanmu
selama menempuh perjalanan ke Sunda Galuh. Akan tetapi, lupakan
dulu hal itu. Sekarang, pergilah menghadap Tuanku Raden Kudamerta.
Raden Kudamerta dan Ibu Suri Dyah Wiyat memanggilmu,” berkata
Senopati Macan Liwung.
Kuda Swabaya terkejut.
”Jangan bertanya kepadaku untuk keperluan apa, tetapi segeralah ke
sana,” ucap Senopati Macan Liwung yang mampu membaca keterkejutan
di wajah Kuda Swabaya.
Kuda Swabaya memberikan penghormatannya dan bergegas berlari.
Beberapa ekor kijang yang sedang merumput sama sekali tidak terganggu
meski Kuda Swabaya melintas amat dekat. Sekor di antara kijang itu,
entah apa yang ada dalam benaknya atau menganggap Kuda Swabaya
sebagai apa, tiba-tiba kijang itu berancang-ancang, lalu mengejar Kuda
Swabaya sambil mengancamkan tanduknya. Apa boleh buat, Kuda
Swabaya segera lari lintang-pukang menyelamatkan diri. Para prajurit
di pintu gerbang Purawaktra yang memerhatikan peristiwa itu tertawa
terbahak-bahak.
Di pendapa istananya, Raden Kudamerta sedang duduk di sebuah
lincak panjang yang terbuat dari bambu. Dengan saksama, Raden
Kudamerta memerhatikan Kuda Swabaya yang datang mendekat. Di
sebelahnya, seorang emban duduk bersimpuh. Berdebar jantung Raden
Kudamerta melihat prajurit muda itu dari jauh sudah merapatkan kedua
telapak tangannya dalam sikap menyembah, lalu beringsut mendekat.
Sekali lagi, ia menyembah sebelum duduk bersila.
Seorang emban baru berwajah cantik sedang menunduk di sebelah
http://facebook.com/indonesiapustaka

kanan Ibu Suri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa. Kuda Swabaya segera
mengerutkan dahi karena merasa baru kali itu ia melihat wajah emban
itu.
Dengan takjub dan degup jantung yang agak sulit dikendalikan,
Raden Kudamerta memerhatikan pemuda di depannya. Kali ini,
Sanga Turangga Paksowani 331

yang berada di depannya bukan lagi seorang prajurit yang bertugas


mengawal dan melayaninya, tetapi anak kandungnya yang terlahir dari
benihnya.
”Hamba menghaturkan sembah, Tuanku,” ucap Kuda Swabaya
santun.
Raden Kudamerta mengangguk, tetapi tak bisa berkata-kata.
Rasa takjub itu amat membelenggunya. Justru Dyah Wiyat Rajadewi
Maharajasa, meski tak kurang rasa gelisahnya, mampu menguasai diri.
Tak ada jejak kesan apa pun di wajahnya.
”Bagaimana perjalanan yang telah kautempuh ke Sunda Galuh,
Swabaya?” tanya Dyah Wiyat.
Kuda Swabaya yang menunduk, kemudian menengadah dan tanpa
sengaja bersirobok pandang dengan emban muda dan cantik yang duduk
menekuk lutut di samping Ibu Suri Dyah Wiyat. Mata gadis itu begitu
berbinar memancing rasa penasarannya.
”Hamba, Tuan Putri,” jawab Kuda Swabaya. ”Perjalanan ke Sunda
Galuh benar-benar merupakan perjalanan yang amat menyenangkan.
Pengetahuan hamba atas dunia luar menjadi bertambah luas. Banyak
cerita yang masih tersimpan rapi di benak hamba selama berada di Sunda
Galuh, tentang orang-orangnya, istananya, prajuritnya, makanannya, juga
raja dan segenap keluarganya.”
Dyah Wiyat tersenyum. Dyah Wiyat amat menghayati raut muka
suaminya yang amat gelisah. Di kedalaman hati Dyah Wiyat, sama sekali
tidak ada keraguan untuk menerima Kuda Swabaya sebagai anaknya, tak
ubahnya Madudewi dan Sri Sudewi yang terlahir dari kandungannya.
”Apa gadis-gadis Sunda memang cantik sebagaimana desas-desus
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang selama ini dibicarakan orang banyak?” tanya Dyah Wiyat lagi.
Raden Kudamerta tidak mampu bertanya apa pun. Raden Kudamerta
membiarkan istrinya yang mengajukan berbagai pertanyaan.
”Berita itu benar adanya, Tuan Putri,” ucap Kuda Swabaya. ”Para
gadis Sunda Galuh memang terkenal cantik, sama cantiknya dengan para
332 Gajah Mada

gadis Wilwatikta. Sungguh, amat berbahagialah Sang Prabu junjungan


hamba karena akan memperistri gadis sekar kedaton yang kecantikannya
benar-benar luar biasa.”
Tanpa setahu Kuda Swabaya, Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa
menggamit lengan suaminya dan mempersilakannya untuk berbicara.
Akan tetapi, Raden Kudamerta benar-benar tak tahu lagi caranya
berbicara.
Kuda Swabaya yang menengadah menyempatkan melirik Prabasiwi.
Hal itu tertangkap Dyah Wiyat. Ibu Suri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa
menyembunyikan senyumnya, tetapi tidak mampu menyembunyikan rasa
senang di permukaan wajahnya.
”Bagaimana dengan dirimu, Kuda Swabaya? Apa kau tidak merasa
tertarik kepada gadis Sunda Galuh?” Dyah Wiyat kembali bertanya.
Pertanyaan itu menyebabkan Kuda Swabaya mengerutkan kening,
disusul senyumnya yang merekah. Kuda Swabaya tidak menjawab dengan
kata-kata, yang dilakukannya justru merapatkan kedua telapak tangannya
dalam sikap menyembah.
”Tidak ada gadis Sunda yang tertarik kepadamu?” tanya Ibu Suri
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa lagi.
Kuda Swabaya mengakhiri tawanya.
”Hamba belum berpikir ke sana, Tuan Putri,” jawab Kuda Swabaya.
”Hamba hanya seorang prajurit rendahan. Penghasilan hamba belum
cukup untuk hidup berdua dengan seorang istri.”
Prabasiwi menyimak pembicaraan yang terjadi itu dengan hati
berdebar-debar. Setelah melihat secara langsung, Prabasiwi tak mampu
menutupi rasa tertariknya kepada prajurit muda bernama Kuda Swabaya
http://facebook.com/indonesiapustaka

itu. Meski seorang prajurit, Kuda Swabaya tampak amat santun, tak
sebagaimana prajurit umumnya yang gemar memelintir kumis dan
memelototkan mata hingga nyaris keluar dari kelopaknya.
Raden Kudamerta mulai mampu menguasai keadaan. Ia mulai bisa
meredam keinginan untuk memeluk pemuda itu. Raden Kudamerta sadar
Sanga Turangga Paksowani 333

betul bahwa ia tak boleh meluap lepas kendali. Namun, keharuannya


karena telah bertemu dengan anaknya memang menyebabkan jantungnya
berderak-derak.
”Pikiran para pemuda umumnya memang begitu,” Raden
Kudamerta memecah kebisuannya. ”Takut menghadapi segala hal yang
mungkin muncul ketika harus membangun rumah tangga. Namun,
sebenarnya rasa takut yang demikian tidak perlu. Istri adalah orang yang
amat pintar mengatur pemberian suami. Dalam banyak hal, para istri
sering mengagetkan suami ketika ia mampu mengolah uang pemberian
sang suami itu sedemikian rupa melalui warungnya atau melalui banyak
cara. Jadi, kurasa kau tak perlu merasa khawatir.”
Kuda Swabaya terkejut melihat pembicaraan itu amat mengarah.
”Bagaimana kalau aku tawarkan kepadamu untuk mengakhiri masa
lajangmu?” pertanyaan yang makin mengagetkan itu datang dari Ibu Suri
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa.
Perlahan bagai bukan atas kehendaknya, Kuda Swabaya mengangkat
kedua tangan dan merapatkan di depan dada. Perlahan dan amat santun
pula, Kuda Swabaya membawa telapak tangan yang saling melekat itu
ke ujung hidung. Kuda Swabaya menoleh agak lama kepada emban
yang duduk timpuh di sebelah Ibu Suri. Kuda Swabaya segera menduga,
emban itu yang akan dijodohkan dengannya
Raut muka pada dasarnya adalah bahasa wajah yang amat mudah
bisa dibaca. Ibu Suri tahu, Kuda Swabaya tertarik kepada Prabasiwi.
”Prabasiwi,” ucap Dyah Wiyat.
Gugup Prabasiwi menyembah.
”Hamba, Tuan Putri,” jawab Prabasiwi.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ibu Suri Dyah Wiyat tersenyum melihat Kuda Swabaya tersipu dan
bergegas menunduk.
”Aku ingin memperkenalkanmu dengan pemuda ini,” tambah Ibu
Suri Dyah Wiyat. ”Namanya Kuda Swabaya. Sebaiknya, kalian saling
334 Gajah Mada

menjajagi kemungkinan untuk saling dekat. Ketahuilah kalian berdua,


masing-masing ibu kalian adalah sahabat yang amat dekat.”
Kuda Swabaya segera mengerutkan kening. Selama ini, atas
permintaan ibu dan ayahnya, ia harus menyembunyikan jati dirinya amat
rapat. Bagaimana bisa Ibu Suri berbicara tentang ibunya seolah benar-
benar mengetahui?
Akan tetapi, Kuda Swabaya tak sempat menelisik soal itu karena
tiba-tiba Ibu Suri Dyah Wiyat berdiri sambil menarik tangan suaminya.
Diajaknya Raden Kudamerta untuk berdiri. Raden Kudamerta tidak
menolak.
”Kita jangan mengganggu yang muda-muda,” kata Ibu Suri.
”Ya,” jawab suaminya.
Ketika mantan prabu putri dan suaminya telah meninggalkan
pendapa, yang tinggal hanya Kuda Swabaya dan Prabasiwi yang
kebingungan. Kuda Swabaya diam, Prabasiwi pun diam. Kuda Swabaya
lupa bagaimana cara membuka mulut. Prabasiwi pun lupa cara berbicara.
Kuda Swabaya dan Prabasiwi yang sama-sama menunduk, terkejut ketika
tiba-tiba dengan bersamaan mereka saling melirik.

37
D erap kuda yang membalap kencang itu mengagetkan Dyah
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pretiwi yang sedang duduk di dingklik panjang bersama ibunya. Dyah


Menur kaget melihat anaknya muncul lagi. Segera alis perempuan yang
masih terlihat cantik meski usianya mendekati lima puluh tahun itu
mencuat. Kuda Swabaya melompat turun dari kudanya dan bergegas
mendekati ibunya tanpa melepas tali kendali kudanya.
Sanga Turangga Paksowani 335

”Ada apa?” tanya Dyah Menur.


Sikap Kuda Swabaya agak membuatnya heran karena langsung
bersimpuh jongkok sebagaimana sikapnya ketika sedang meminta restu.
Ibunya segera tersenyum sambil mengerutkan kening. Namun,
Kuda Swabaya tak tahu bagaimana cara menyampaikan persoalan yang
sedang membingungkannya. Kuda Swabaya juga tak tahu apa ibunya
akan berkenan atau tidak pada berita yang dibawanya. Kuda Swabaya
melongok ke arah kandang kuda. Tak tampak kuda ayahnya di sana. Itu
berarti, ayahnya tidak ada di rumah.
”Ayahmu pergi baru saja,” kata ibunya.
”Ke mana?” balas Kuda Swabaya.
”Ke rumah Paman Tanggar. Paman Tanggar dikabarkan sakit keras.
Ayah datang menengoknya,” jawab Dyah Pretiwi.
Jawaban itu menyebabkan kuda Swabaya termangu. Paman Tanggar
dulunya tetangga sebelah. Ia tetangga yang baik dan hidup menyendiri.
Namun, sejak sakit-sakitan, Paman Tanggar diminta ikut adiknya yang
tinggal di desa sebelah agar ada yang bisa mengurus. Kepada Paman
Tanggar, Kuda Swabaya amat dekat. Itu sebabnya, berita itu cukup
mencemaskan hatinya.
”Ada apa?” ibunya mengulang pertanyaannya.
Kuda Swabaya menyempatkan mengikat kudanya sebelum
menyampaikan masalah yang dibawanya pulang.
”Tuanku Breng Pamotan Sri Wijaya Rajasa Sang Apanji Wahninghyun
dan Tuan Putri Ibu Suri memanggilku untuk diperkenalkan dengan
seorang gadis,” ucap Kuda Swabaya.
Nama Breng Pamotan disebut menyebabkan Dyah Menur langsung
http://facebook.com/indonesiapustaka

merasa dadanya menjadi sesak. Breng Pamotan ketika masih seorang


bangsawan rendahan dan hanya seorang Kudamerta merupakan wilayah
kenangan yang amat ingin ia hapus dari permukaan hatinya.
Akan tetapi, kebersamaan yang pernah dijalani dengan Raden
Kudamerta bukan di wilayah angan-angan yang dengan demikian bisa
336 Gajah Mada

dihapus. Kebersamaan dengan Raden Kudamerta itu, bahkan telah


menjelmakan sebuah prasasti yang tak mungkin dilenyapkan. Prasasti
itu adalah anak lelakinya yang kini menjelma menjadi seorang pemuda
gagah pideksa yang mewarisi beberapa ciri khusus ayahnya.
Dengan rinci tanpa ada yang tertinggal satu kalimat pun, Kuda
Swabaya mengulang pembicaraan yang terjadi dengan Ibu Suri Dyah
Wiyat dan suaminya.
”Yang tidak aku ketahui, bagaimana bisa Ibu Suri mengatakan
bahwa antara ibu gadis itu dan Ibu saling mengenal dan bersahabat di
masa muda?” tanya Kuda Swabaya.
Dyah Menur segera mencuatkan alis.
”Anak siapa gadis itu?” tanya Dyah Menur.
”Prabasiwi mengatakan, nama ibunya adalah Prabarasmi,” jawab
Swabaya.
Berdesir tajam permukaan hati Dyah Menur.
”Emban Prabarasmi? Anak gadisnya bernama Prabasiwi?”
tanya Dyah Menur serasa tidak dapat memercayai apa yang baru saja
didengarnya.
Kuda Swabaya mengangguk, ”Baru kemarin ibunya meninggal.”
Dyah Menur terhenyak oleh pesona yang ditinggalkan berita yang
ia terima itu. Untuk beberapa jenak, Dyah Menur terbungkam mulutnya.
Berita kematian Prabarasmi yang pernah menjadi sahabat akrabnya,
mengagetkannya, sebagaimana tawaran perjodohan yang datang dari Ibu
Suri Dyah Wiyat mampu membuatnya terhenyak. Kalau hal itu benar
terjadi, apa memang sudah menjadi nasibnya? Dulu, Raden Kudamerta
http://facebook.com/indonesiapustaka

adalah suaminya. Akankah kini ia harus berbesanan dengannya karena


agaknya Raden Kudamerta dan Ibu Suri akan menempatkan diri sebagai
orang tua gadis itu.
”Bagaimana Ibu? Ibu merestui?” tanya Kuda Swabaya membuyarkan
lamunan Dyah Wiyat.
Sanga Turangga Paksowani 337

Dyah Menur tidak segera menjawab, pandangan matanya jatuh ke


gapura.
”Kakang sendiri bagaimana?” pertanyaan itu datang dari Dyah
Pretiwi.
”Aku mau. Gadis itu menderita dan butuh perlindungan. Jika aku
menjadi suaminya, aku akan menjadi pelindungnya. Apalagi, tawaran
itu berasal langsung dari Ibu Suri. Adakah kehormatan yang sedemikian
membanggakan selain memperoleh kesempatan itu?” balas Kuda
Swabaya.
Dyah Menur merasa dadanya amat sesak. Pandangan mata anaknya
membuatnya bingung. Bagi Kuda Swabaya, apa susahnya merestui
keinginannya? Kuda Swabaya tidak tahu, Dyah Pretiwi pun tidak tahu
bahwa ada bagian cerita yang disimpan amat rapat agar jangan sampai
seorang pun tahu.
”Ibu akan memikirkan,” jawab Dyah Menur. ”Tawaran dari
Kudamerta dan Dyah Wiyat itu boleh ditimbang, tetapi jangan tergesa-
gesa. Satu hal lagi, jangan kausampaikan masalahmu ini kepada ayahmu.
Nanti, aku yang akan menyampaikan kepada ayahmu.”
Kuda Swabaya mengerutkan kening karena merasa ada yang aneh
pada sikap ibunya. Tak seorang pun rakyat Majapahit yang menyebut
nama Dyah Wiyat begitu saja, juga menyebut nama Kudamerta tanpa
dilengkapi sebutan kehormatannya. Namun, ibunya berani menyebut
dua bangsawan itu seolah mereka tak berarti apa-apa.
”Jangan ceritakan kepada ayahmu. Ibu minta waktu sebulan untuk
merenungkan,” kata Dyah Menur lagi.
Kuda Swabaya dan Dyah Pretiwi saling lirik. Kakak beradik itu
http://facebook.com/indonesiapustaka

akhirnya merasa yakin memang ada yang aneh pada sikap ibunya, seolah
ada sebuah rahasia yang ia sembunyikan.
338 Gajah Mada

38
P ertanyaan bernada berat dilontarkan Mahamantrimukya Gajah
Mada kepada empat arya di depannya, ”jadi, kalian tak tahu bagaimana
pembicaraan itu terjadi?”
Sang Arya Patipati Pu Kapat, Sang Arya Wangsaprana Pu Menur,
Sang Arya Rajaparakrama Ma Panji Elam, dan Sang Arya Suradhiraja Pu
Kapasa, tidak tahu bagaimana cara menjawab pertanyaan itu. Kejengkelan
yang selama ini dipendam tidak mungkin mereka tumpahkan kepada
Kanuruhan Gajah Enggon.
”Kanuruhan Gajah Enggon membuat kami semua tertidur,” kata
Ma Panji Elam.
”Ya,” tambah Pu Kapat.
”Seharusnya jangan salahkan kami,” tambah Arya Wangsaprana
Pu Menur. ”Kami dicekoki minuman yang orang Sunda menyebutnya
bandrek. Entah benda apa yang diselinapkan ke dalam minuman itu
yang menyebabkan aku tertidur begitu lelap. Amat lelap sampai sulit
bangun.”
Mahapatih Gajah Mada berjalan mondar-mandir.
”Kalian benar mengalami seperti itu?” tanya Gajah Mada.
Para arya tertawa, kecuali Pu Menur yang merasa wajahnya amat
tebal. Apa yang dilakukan Kanuruhan Gajah Enggon membuatnya
marah, sangat marah. Namun, tak ada yang bisa dilakukan menghadapi
Kanuruhan Gajah Enggon yang memiliki pangkat dan kedudukan lebih
http://facebook.com/indonesiapustaka

tinggi.
”Di mana Gajah Enggon sekarang, suruh dia menghadap aku,”
Gajah Mada memberikan perintah.
Ma Panji Elam langsung berdiri dan berkacak pinggang.
Sanga Turangga Paksowani 339

”Beri aku tugas lain, jangan suruh aku mencari Kanuruhan Gajah
Enggon,” jawab Ma Panji Elam.
Namun, perintah itu tidak perlu dilaksanakan. Derap kuda yang
memecah siang itu berasal dari kuda yang dinaiki Kanuruhan Gajah
Enggon. Dengan senyum lebar, Gajah Enggon melompat turun dari
kudanya dan langsung naik ke pendapa Balai Prajurit. Ma Panji Elam
dan para arya yang lain berharap Mahamantrimukya Rakrian Mahapatih
Gajah Mada akan mendamprat Gajah Enggon. Namun, tindakan yang
demikian tidak dilakukan.
Gajah Mada menerima penghormatan yang diberikan bawahannya
itu. Tentu merupakan kesalahan amat besar jika Ma Panji Elam berharap
Gajah Mada mendamprat Gajah Enggon karena kedekatan yang luar
biasa di antara mereka telah terjalin sejak mereka masih sama-sama
muda. Gajah Mada yang sekarang menduduki jabatan mahapatih dulunya
hanya seorang bekel. Sedangkan, Gajah Enggon dulunya hanya prajurit
biasa dengan pangkat lebih rendah.
”Apa yang bisa kaulaporkan?” tanya Gajah Mada santai.
Gajah Enggon melirik para arya.
”Yang pertama aku laporkan, ketika berada di Sunda, aku telah
membius para arya ini. Aku melakukan itu dengan pertimbangan agar
mereka tidak menyebabkan aku salah tingkah dalam menerjemahkan
pesanmu di hadapan Prabu Maharaja,” ucap Gajah Enggon.
Gajah Mada termangu beberapa saat. Diam yang dilakukannya
adalah dalam rangka menimbang apakah yang dilakukan Gajah Enggon
itu menyalahi perintahnya atau tidak.
”Padahal,” kata Gajah Mada, ”aku berharap kau dan Ma Panji Elam
http://facebook.com/indonesiapustaka

akan saling melengkapi dalam memberi gambaran kepada Raja Sunda


betapa pentingnya menyatu menjadi satu kesatuan dengan Majapahit.
Kau berbicara halus, Ma Panji Elam yang berbicara kasar.”
Kanuruhan Gajah Enggon tidak menampakkan perubahan raut
wajah macam apa pun, juga tidak perlu merasa takut. Kanuruhan Gajah
340 Gajah Mada

Enggon justru merasa geli melihat wajah para arya yang merah padam
menahan kejengkelan luar biasa.
Gajah Mada akhirnya menjatuhkan perintah yang sama sekali tidak
terduga, ”Kalian berempat sudah boleh meninggalkan tempat ini.”
Wajah Ma Panji Elam yang menahan marah makin tebal. Selama
ini, Ma Panji Elam dibayangi rasa penasaran terhadap isi pembicaraan
yang terjadi antara Kanuruhan Gajah Enggon dan Prabu Maharaja.
Kini, kesempatan itu hilang pula karena Mahapatih Gajah Mada mengusir
mereka. Akan tetapi, Ma Panji Elam, Pu Kapasa, Pu Kapat, dan Pu Menur
tak mungkin menolak. Dengan bersungut-sungut, mereka pergi.
Dengan ringkas, jelas, dan rinci tanpa ada satu pun yang harus
disembunyikan, Kanuruhan Gajah Enggon menyampaikan laporannya.
Mahamantrimukya Rakrian Mahapatih Gajah Mada menyimak dengan
cermat dan saksama. Gajah Mada mencerna laporan itu sambil melangkah
mondar-mandir.
”Bagaimana menurut pendapatmu?” tanya Gajah Mada.
”Bagian mana?” balas Kanuruhan Gajah Enggon.
”Apa Sunda Galuh akan memenuhi permintaan Majapahit?” balas
Gajah Mada.
Kanuruhan Gajah Enggon tidak segera menjawab. Ia yakin, Gajah
Mada pasti akan melontarkan pertanyaan itu. Kanuruhan Gajah Enggon
yang telah menimbang dari banyak sudut telah bulat dengan jawabnya.
”Kurasa kau tak bisa memaksakan kehendakmu,” kata Gajah
Enggon.
Gajah Mada segera mencuatkan alis.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Majapahit tidak bisa memaksa Sunda Galuh seperti Majapahit


menggilas Dompo di Sumbawa. Sunda Galuh lebih lemah daripada
Dompo, tetapi kelemahan Sunda Galuh itulah justru kekuatannya,”
lanjut Gajah Enggon.
Gajah Mada penasaran.
Sanga Turangga Paksowani 341

”Kau akan berhadapan dengan banyak kerabat istana yang tidak


mendukung rencanamu,” berkata Gajah Enggon. ”Apa menurutmu
Ibu Suri Sri Gitarja akan setuju menempatkan Sunda Galuh sebagai
negara tetangga yang harus ditundukkan? Aku yakin, Ibu Suri Sri Gitarja
tidak setuju. Itu karena Ibu Suri Sri Gitarja ingin menempatkan Prabu
Maharaja sebagai besan yang harus dihormati. Sejalan dengan Ibu Suri
Sri Gitarja, Ibu Suri Dyah Wiyat pun mustahil setuju kau melebarkan
Majapahit dengan menyentuh Sunda Galuh. Para suami Ibu Suri, baik Sri
Kertawardhana maupun Sri Wijaya Rajasa Sang Apanji Wahninghyun juga
tidak akan setuju, lebih-lebih Sang Prabu. Apa menurutmu Prabu Hayam
Wuruk mau menyetujui langkah yang kauambil yang akan melukai hati
calon istri dan calon mertuanya?”
Ucapan Kanuruhan Gajah Enggon terdengar lugas, tak perlu ada
yang ditutup-nutupi, apalagi harus menjilat. Gajah Mada yang merenung
amat dalam mendapati kenyataan, betapa sangat masuk akal semua yang
disampaikan Kanuruhan Gajah Enggon itu. Sunda Galuh menempati
kedudukan tersendiri, menyebabkan perlakuan terhadap Sunda Galuh
tidak bisa seperti terhadap beberapa negara di Bali.
”Jika aku boleh memilih,” kata Gajah Mada datar, ”aku lebih
senang Sang Prabu tidak mengawini anak Raja Sunda itu. Perkawinan itu
akan menyebabkan terhambatnya langkah-langkah yang harus diambil
dan dipandang perlu. Perempuan atau istri bagiku merupakan sebuah
kelemahan yang harus dihindari.”
Gajah Enggon tertawa.
”Aku percaya karena kau yang berbicara, Kakang Gajah Mada,”
jawab Gajah Enggon. ”Namun, aku justru berharap jangan sampai hal
itu terjadi pada Sang Prabu. Aku tidak bisa membayangkan apa jadinya
http://facebook.com/indonesiapustaka

Majapahit kelak jika Sang Prabu tidak memiliki permaisuri sehingga tidak
memiliki anak. Siapa yang akan diangkat menjadi raja menggantikan
pendahulunya?”
Gajah Mada terbungkam. Lama ia terdiam karena terlalu banyak
masalah yang harus ditimbang.
342 Gajah Mada

”Kau berangkat lagi ke Sunda Galuh bersama utusan yang akan


dikirim untuk melamar,” kata Gajah Mada.
Ucapan Gajah Mada itu menyebabkan Gajah Enggon terkejut.
”Majapahit memerlukan jawaban. Aku harus mendapat kepastian
bahwa Sunda Galuh mau menyatu dengan Majapahit itu tak ada
hubungannya dengan rencana perkawinan anak Raja Sunda dengan
Prabu Hayam Wuruk. Anak Raja Sunda Galuh harus ditempatkan sebagai
persembahan,” ujar Gajah Mada.
Kanuruhan Gajah Enggon merasakan dadanya sesak.
”Beri aku tugas lain, aku tidak bersedia,” ucap Gajah Enggon.
Jawaban itu menyebabkan Gajah Mada kaget. Tidak disangkanya,
Kanuruhan Gajah Enggon akan menolak perintah yang ia berikan.
”Menurutku ada sebuah cara yang patut dilakukan untuk menyatukan
negeri Sunda dengan Jawa tanpa harus merendahkan martabat salah
satu pihak. Bukankah perkawinan antara Prabu Hayam Wuruk dan
Dyah Pitaloka Citraresmi dengan sendirinya akan menggabungkan
Majapahit dan Sunda? Kau tak boleh memperlakukan Sunda seperti
memperlakukan negeri yang lain. Sunda tidak seperti negeri-negeri yang
berserakan di Tanjung Pura. Sunda Galuh bukan negeri yang berserakan
di Tanah Perca. Sunda tidak bisa dan tidak boleh kauperlakukan seperti
itu,” lanjut Gajah Enggon.
Akan tetapi, peringatan yang diberikan Kanuruhan Gajah Enggon
itu tidak mengubah sikap dan keyakinan Gajah Mada. Gajah Mada tetap
bergeming. Untuk persatuan dan kesatuan Nusantara, tak ada tawar-
menawar lagi. Jika sebuah negeri tidak bersedia memenuhi imbauan,
apa boleh buat, negara itu harus digebuk.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Kutawarkan sekali lagi untuk menemui Prabu Maharaja. Kalau


Prabu Maharaja tak juga menanggapi, Majapahit akan memperlakukan
Sunda Galuh sama dengan negeri-negeri yang lain,” kata Gajah
Mada.
Gajah Enggon tersenyum.
Sanga Turangga Paksowani 343

”Apa itu berarti, kau akan melakukan lamaran dan perkawinan di


satu sisi dan penghancuran di sisi lain dalam waktu bersamaan?” tanya
Gajah Enggon.
Gajah Mada melangkah mondar-mandir. Sayang, Gajah Mada tak
melihat persoalan dengan keheningan mata hatinya.
”Kalau kamu tak bersedia tidak apa-apa. Aku masih memiliki banyak
pilihan untuk mengirim orang ke Sunda Galuh. Ma Panji Elam pasti bisa
bersikap lebih tegas daripada kamu,” balas Gajah Mada.
Gajah Enggon merasa berada di simpang jalan. Tidak tercegah,
rencana yang disampaikan Gajah Mada itu memberi sumbangsih atas
kecemasan yang muncul dan mekar di hatinya. Dengan mengirim Ma
Panji Elam yang bersikap keras, bisa jadi, rencana lamaran temanten
akan kacau. Jika perkawinan Prabu Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka
sampai batal, sangat besar alasan yang dimiliki Gajah Mada untuk
mengerahkan armada lautnya ke Sunda Galuh. Negeri Sunda Galuh
lebih mengedepankan hubungan damai dengan negara tetangganya. Itu
sebabnya, Sunda Galuh tidak memiliki prajurit yang kuat karena tidak
merasa memerlukan prajurit. Sementara itu, bagi Majapahit, melibas
Sunda Galuh bagai suwe mijet wohing ranti.141
”Bagaimana? Apa aku harus mengirim Ma Panji Elam?” tanya
Gajah Mada.
Gajah Enggon tersenyum, senyum yang terasa aneh.
”Jika niat Kakang Mahapatih adalah untuk menjegal lamaran yang
sedang diajukan, silakan. Aku tidak bisa menentang kata hatiku. Hati
nuraniku mengatakan, tindakan itu tidak diperlukan. Aku yakin, jika
Prabu Hayam Wuruk telah mengawini Dyah Pitaloka, dengan sendirinya
Sunda Galuh menyatu dengan Majapahit. Lalu, mengapa harus kaukirim
http://facebook.com/indonesiapustaka

Elam?”

141
Suwe mijet wohing ranti, peribahasa Jawa, lebih lama waktu yang dibutuhkan untuk memijat buah
tomat, artinya mudah sekali
344 Gajah Mada

Gajah Mada mondar-mandir maju mundur. Gajah Mada menyapu


apa pun melalui pandangan matanya, seolah melihat lautan luas dan
pulau-pulau. Nyaris tidak ada lagi negara tersisa di bentangan Nusantara
yang tidak tunduk dan menyatu dengan Majapahit. Dari ujung barat
tempat matahari tenggelam sampai ujung timur tempat matahari terbit,
semua negara tunduk dan telah menggabungkan diri dengan Wilwatikta.
Tetapi, negeri Sunda yang berada sepulau dengan Majapahit, Sunda yang
ibarat berada di belakang pekarangan rumah, justru belum menyatakan
bergabung dengan Majapahit.
Setiap kali diajukan rencana menyerbu negeri Sunda, ada banyak
tentangan dengan alasan, antara lain leluhur Majapahit sebagian berasal
dari Sunda, orang-orang Sunda seperti kerabat keluarga sendiri, dan
Sunda juga ikut membantu mengirim pasukan saat menggempur Bali.
Terakhir, akan makin sulit mencari alasan menggilas Sunda karena Prabu
Hayam Wuruk berniat mengambil Sekar Kedaton Sunda Galuh sebagai
permaisuri.
”Sunda itu seperti bisul,” kata hati Gajah Mada yang amat ingin
memijat bisul itu sampai keluar nanahnya.
Gajah Mada masih berada di Balai Prajurit meski akhirnya ia
sendirian di tempat itu. Dengan duduk di kursi berukir yang dibuat
khusus untuknya, Mahamantrimukya Gajah Mada sibuk merenungkan
apa dan bagaimana pendapat Gajah Enggon. Dalam menjalankan
roda pemerintahan, boleh dikata Gajah Mada dan Rajasanegara
sudah satu hati. Namun, Gajah Mada selalu saja menemui batu
sandungan jika yang dibicarakan adalah keputusan macam apa yang
akan diambil menghadapi Sunda Galuh yang keras kepala. Apalagi,
kini, Prabu Hayam Wuruk sedang kasmaran kepada Sekar Kedaton
istana Surawisesa itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Sanga Turangga Paksowani 345

39
P radhabasu mirip tempat sampah. Setidaknya, itu perumpamaan
guyonan yang acap kali diucapkan setiap Kanuruhan Gajah Enggon
datang mengunjunginya. Sebagai teman sejak masih muda dan sama-
sama berjuang bahu-membahu di pertengahan pemerintahan Sri
Jayanegara, Pradhabasu selalu menampung semua keluh kesah yang
ujungnya dengan ringan tangan, ia ikut membantu memecahkan semua
persoalan melalui tindakan langsung, tak sekadar memberikan saran.
Pun kali ini, dengan saksama dan penuh perhatian, Pradhabasu
menempatkan diri mendengarkan apa yang disampaikan Gajah Enggon.
Kanuruhan Gajah Enggon makin merasa tidak nyaman dengan cara
pandang dan langkah-langkah yang akan diambil Mahamantrimukya
Rakrian Mahapatih Gajah Mada.
Melihat tindakan sepihak yang akan dilakukan Gajah Mada itu,
Pradhabasu layak ikut merasa cemas.
”Bagaimana saranmu?” tanya Gajah Enggon.
Pradhabasu termangu. Perlahan, ia menggeleng.
”Kaubiarkan Gajah Mada menunjuk Ma Panji Elam, itu sama halnya
kaubiarkan bencana terjadi di depan mata. Jika kauminta pendapatku,
jangan biarkan hal itu terjadi. Kembalilah ke Sunda Galuh untuk
memuluskan niat suci dan mulia Sang Prabu dengan Sekar Kedaton
Sunda. Kalau kau berangkat, aku ikut,” ucap Pradhabasu.
Kanuruhan Gajah Enggon menyaring dan mengunyah saran itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kembali menempuh perjalanan panjang ke Sunda Galuh boleh jadi


merupakan pekerjaan yang menyebalkan. Namun, membiarkan Gajah
Mada mengirim para arya dengan menumpang rombongan orang yang
membawa mandat dan segala kelengkapan adat untuk meminang Sekar
Kedaton Sunda Galuh, akan menjadi bahaya. Apalagi, jika Mahapatih
346 Gajah Mada

Gajah Mada dengan mimpi-mimpi dan tujuannya sampai menggagalkan


rencana lamaran itu.
”Kau akan ikut?” tanya Gajah Enggon.
”Ya,” balas Pradhabasu. ”Sambil aku berupaya menemukan jejak
anakku. Aku berharap petunjuk yang aku peroleh benar.”
Gajah Enggon merasa aneh.
”Petunjuk?” tanyanya.
Pradhabasu mengangguk.
”Ya,” jawabnya.
”Petunjuk dari siapa?” Gajah Enggon bertanya. ”Dari dukun? Kau
memercayai petunjuk dukun untuk hal-hal yang demikian itu?”
”Kali ini, aku percaya. Aku merasa arahnya benar. Ke barat,” jawab
Pradhabasu.
Gajah Enggon akan tertawa, tetapi diurungkannya niat itu. Namun,
Pradhabasu tanggap bahasa wajah sahabatnya itu.
”Memang terasa aneh dan sulit untuk dipercaya. Aku tidak pergi
mendatangi bocah yang memberiku arahan itu. Namun, justru bocah
itu yang mendatangiku,” lanjut Pradhabasu.
Gajah Enggon bertambah heran.
”Bocah?” tanyanya.
Pradhabasu mengangguk yakin.
”Bagaimana kau bisa percaya kepada seorang bocah?” tanya
Kanuruhan Gajah Enggon.
”Agak sulit menjelaskan, tetapi bocah itu mampu menunjukkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

sesuatu yang luar biasa. Ketika diminta memejamkan mata dengan tangan
membentang seperti elang, aku menurut saja. Aku diminta menirukan
membaca mantra-mantra aneh yang dibisikkan ke telingaku. Itulah
saat yang seumur-umur, aku baru mengalaminya dan tak akan pernah
aku lupakan. Aku terhuyung-huyung jatuh karena kehilangan sebagian
Sanga Turangga Paksowani 347

kesadaranku. Aku merasa melesat amat cepat menembus batas ruang dan
waktu, lalu terhempas di tempat lain, tempat yang tidak aku kenali sama
sekali. Hanya sekejap saja apa yang kualami itu, lalu aku pun kembali
tersadar,” Pradhabasu menuturkan pengalamannya.
Gajah Enggon memandang dengan heran. Selama ini, ia percaya
kepada Pradhabasu, percaya pada pengalaman apa pun yang dialaminya.
Namun, pengalaman aneh macam yang diceritakan itu, baru kali ini
Pradhabasu membagikannya.
”Menurut bocah aneh yang perginya seperti menghilang itu, apa
yang aku lihat melalui cara luar biasa itu sebenarnya adalah apa yang
dilihat Prajaka,” lanjut Pradhabasu.
Halaman rumah Pradhabasu yang asri karena banyak tanaman
itu pun menjadi hening. Dua sahabat yang akrab itu kemudian terseret
ke dalam lamunan masing-masing. Selama ini, Pradhabasu mengalami
kesulitan memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan yang dalam
keseharian mengakrabinya. Sebagian besar ruang rasa penasarannya
dipenuhi pertanyaan, di mana keberadaan Sang Prajaka? Itulah
pertanyaan terbesar yang ingin diketahui bagaimana jawabnya.
”Orang itu masih sering ke sini?” tiba-tiba Gajah Enggon membelokkan
pertanyaan.
Pradhabasu menoleh.
”Siapa?” tanya Pradhabasu.
”Orang itu, orang yang memanggilmu adimas,” jawab Gajah
Enggon.
Pradhabasu seketika tersenyum dan berbalik. Semua pohon kelapa
diperhatikan, tetapi tetangga yang punya kegesitan memanjat pohon kelapa
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang bernama Sandan Banjir itu tidak kelihatan batang hidungnya.


”Dua hari ini, aku tidak melihatnya. Mungkin Ki Sandan Banjir
sedang sakit,” balas Pradhabasu.
”Mestinya kau menengoknya. Siapa tahu ia benar sakit,” kata Gajah
Enggon.
348 Gajah Mada

Pradhabasu agak mengerutkan kening. Pradhabasu berpikir, jangan-


jangan Sandan Banjir benar sakit.
”Aku akan sempatkan menengok orang itu,” kata Pradhabasu.
”Sekalian kaubawakan obatnya. Aku tahu obat yang manjur untuk
orang yang amat luwes dalam memanggilmu adimas itu,” ujar Gajah
Enggon.
Pradhabasu menoleh sambil agak mengernyitkan mata.
”Apa obatnya kalau benar ia sakit?” tanya Pradhabasu.
”Datangi dan panggil ia kakangmas,” balas Gajah Enggon.
Pradhabasu nyaris tersedak. Senyumnya berubah menjadi tawa,
tetapi tidak perlu sampai berlepotan.
Ada banyak hal yang kemudian dibicarakan dua orang mantan
anggota pasukan khusus Bhayangkara itu. Akan tetapi, sampai sejauh
itu, Pradhabasu sama sekali tidak menyinggung persoalan yang dibawa
anaknya, soal kemungkinan Dyah Pitaloka yang diharapkan menjadi
pendamping Prabu Hayam Wuruk itu ternyata menjalin hubungan
asmara dengan orang lain. Ia telah berniat untuk menelisik sendiri hal
itu dan merahasiakannya dari Gajah Enggon.

40
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Jodoh adalah wilayah Hyang Widdi, terlihat itu dari perjalanan


hidup ini. Ketika Raden Tetep masih bayi, muncul banyak pertanyaan,
misalnya bagaimana saat ia dewasa nanti, lalu siapa pula jodohnya. Kini,
kita akan tahu jawaban dari pertanyaan terakhir itu. Ternyata, jodoh
Sanga Turangga Paksowani 349

Raden Tetep atau Prabu Sri Rajasanegara terselip di tanah Sunda Guluh.
Sungguh, Hyang Widdi amat rapi dalam mengatur dan menyembunyikan
jodoh seseorang dalam bingkai teka-teki.”
Rombongan dalam kapal besar itu menyimak dengan cermat apa
yang diucapkan Brahmana Smaranatha. Laksamana Nala yang mendapat
tugas mengawal perjalanan lamaran ke Sunda Galuh menyimak dengan
penuh minat. Duduk di sebelahnya, juga ikut mendengarkan dengan
penuh perhatian, Sang Daharmadyaksa Kasogatan Dang Acarya
Nadendra. Nadendra memerhatikan semua ucapan sejawatnya itu sambil
memerhatikan laut tanpa tepi.
Dalam rombongan itu ada Kanuruhan Gajah Enggon dan terselip
pula seorang laki-laki yang tidak menarik perhatian siapa pun, tak banyak
orang yang mengenalinya. Laksamana Nala juga tak mengenali orang itu.
Orang itu pendiam dan cenderung menyendiri. Namun, sebenarnya ia
selalu mengikuti apa saja yang dibicarakan orang-orang di sekitarnya.
Pradhabasu memerhatikan wajah Ma Panji Elam yang rupanya ikut
kembali ke Sunda. Tidak hanya Ma Panji Elam, Sang Arya Wangsaprana
Pu Menur ikut pula. Pu Kapasa dan Kapat yang sebelumnya ikut
ke Sunda, tak terlihat di rombongan itu. Dengan penuh perhatian,
Pradhabasu memerhatikan wajah kedua orang itu dan mencermati apa
pun pembicaraan yang terjadi di antara mereka.
Kanuruhan Gajah Enggon tidak tahu apa Ma Panji Elam dan Arya
Wangsaprana Pu Menur ikut ke Sunda atas prakarsanya sendiri atau
karena tugas yang diembannya dari Mahapatih Gajah Mada.
Kapal yang dipergunakan untuk mengantar rombongan pelamar
menuju Sunda Galuh itu adalah kapal paling besar yang dimiliki Majapahit.
Dari kapal terbesar itu pula, Laksamana Nala mengendalikan ratusan
kapal lain yang kini sepenuhnya berada di genggaman kekuasaannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Separuh kekuatan armada semula berada di tangan seorang temenggung


muda bernama Jalasena atau Jalasenastri. Temenggung Jalasenastri yang
telah dipanggil pulang mendapat penugasan baru untuk memimpin
sebuah pasukan sandi laut yang dipusatkan di Dharmasraya dalam rangka
memimpin pengintaian kekuatan musuh dari daratan Tartar.
350 Gajah Mada

Dengan demikian, kekuatan armada yang semula ada dua, yaitu


armada barat dan armada timur, kini digabung dalam satu kendali. Semua
di tangan Laksamana Nala. Atas kehendak dan prakarsa Laksamana
Nala, di beberapa tempat dibangun pelabuhan untuk mempermudah
pergerakan ketika diperlukan dukungan atas kebutuhan kapal.
Sedemikian penting acara melamar gadis Sekar Kedaton Sunda
Galuh itu sehingga harus mendapat jaminan tak akan ada gangguan
dalam bentuk apa pun. Laksamana Nala bertanggung jawab memberikan
pengawalan dalam jumlah cukup agar rombongan itu selamat sampai
di tujuan.
Kerabat istana tidak main-main dalam menjaga martabat, tergambar
itu dari benda-benda perlengkapan lamaran yang dibawa rombongan
pelamar dengan dimasukkan ke dalam tandu khusus. Seorang prajurit
yang mengawal secara khusus semua harta paningset142 itu telah sampai
pada simpulan bahwa di sepanjang zaman tidak akan pernah ada acara
lamaran dengan seserahan sebanyak itu dengan nilai sebesar itu.
Perjalanan laut berakhir di pelabuhan Losari, dilanjutkan dengan
perjalanan darat lurus ke arah selatan. Dibutuhkan waktu beberapa
hari untuk sampai ke tujuan karena harus melintasi hutan. Para prajurit
yang ditugasi memberi jaminan atas keamanan perjalanan itu benar-
benar menjalankan tugasnya dengan baik. Mereka tak hanya selalu siaga
jika perjalanan itu mengalami gangguan, tetapi juga ikut membantu
membawa semua benda peningset.
Sebagian tanda tali asih143 tidak merepotkan dan bisa diletakkan
di dalam kereta kuda yang dibawa langsung dari Majapahit. Namun,
sebagian yang lain diletakkan dalam tandu. Itu sebabnya, perjalanan
darat menjadi tersendat.
Laksamana Nala ternyata tidak mau duduk manis menunggu di
http://facebook.com/indonesiapustaka

kapalnya.Pimpinan armada laut itu memutuskan untuk mengawal


langsung perjalanan itu sampai Surawisesa.

142
Harta paningset, Jawa, mas kawin dan barang hadiah bawaan ketika lamaran dilaksanakan
143
Tanda tali asih, Jawa, hadiah
Sanga Turangga Paksowani 351

Butuh waktu beberapa hari untuk bisa mencapai Kawali jika dihitung
dari Losari. Akan tetapi, jarak yang jauh itu makin lama makin dekat.
Ketika memasuki batas kotaraja, beberapa orang yang menjalankan
tugas melamar Sekar Kedaton Surawisesa itu merasakan benar apa yang
dikatakan Brahmana Smaranatha.
”Jodoh memang susah untuk ditebak,” kata seorang prajurit
bertubuh kurus, tetapi tinggi. ”Siapa sangka calon istri Sang Prabu berasal
dari tempat yang sedemikian jauh seperti ini.”
Prajurit di sebelahnya yang berbadan gemuk tertawa, ”Berbeda
dengan jodohku. Gara-gara aku makan tidak menggunakan piring,
tetapi menggunakan cobek, aku dapat tetangga sendiri, tetangga sebelah
rumahku. Terlalu mudah bagiku untuk bisa menebak siapa calon istriku,
tidak seperti menebak calon istri raja.”
Prajurit pertama mengerutkan kening.
”Jadi, istrimu adalah tetanggamu sendiri?” tanya prajurit bertubuh
kurus itu.
”Ya,” jawab temannya.
”Apa enaknya mengawini tetangga sendiri, tetangga dekat lagi,”
ucap prajurit bertubuh kurus itu lagi.
Prajurit yang beristri tetangga sendiri itu tertawa. Namun, ia
bergegas menutup mulut karena tiba-tiba Kanuruhan Gajah Enggon
menoleh kepadanya. Prajurit berpangkat sangat rendah itu bingung
ketika Kanuruhan Gajah Enggon mendekatkan kudanya.
”Apa yang kalian bicarakan?” tanya Gajah Enggon sambil memacu
kudanya pelan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Prajurit beristri tetangga sendiri itu gugup menghadapi pertanyaan


yang tak terduga itu.
”Ia membandingkan dirinya dengan Sang Prabu, Gusti Kanuruhan,”
jawab prajurit yang bertubuh kurus. ”Ia menemukan jodohnya tak
jauh-jauh, hanya tetangganya sendiri yang bersebelahan rumah.
352 Gajah Mada

Sementara itu, jodoh Gusti Prabu jauh sekali. Brahmana Smaranatha


benar, betapa jodoh memang sulit ditebak. Bagaimana menurut Gusti
Kanuruhan?”
Kanuruhan Gajah Enggon terdiam karena mendadak teringat
pada perjodohannya sendiri. Benar bahwa jodoh memang sulit ditebak.
Perkawinannya dengan Rahyi Sunelok yang kini dikaruniai seorang anak,
bahkan merupakan perjodohan yang paling aneh. Di samping seperti
tanpa direncanakan, sebenarnya mendiang Ibu Suri Biksuni Gayatri ikut
campur dengan merancang perjodohan itu.
Kanuruhan Gajah Enggon tak menjawab pertanyaan itu. Yang
dilakukannya justru tertawa. Gajah Enggon merasa tidak ada perkawinan
yang lucu, bagaimanapun rangkaian terjadinya, kecuali perkawinan
yang dialaminya. Direstui Kiai Pawagal, juga direstui Ibu Suri Gayatri,
perkawinannya terasa indah dan langgeng hingga sekarang.
Kedatangan rombongan tamu dari Majapahit yang kali ini
jumlahnya lebih besar dan membawa berbagai hadiah yang secara adat
jelas menyiratkan apa makna serta tujuannya itu, disambut tuan rumah
yang segera menyesuaikan diri pula. Para tamu tidak langsung diterima
Raja. Namun, mereka diberi kesempatan untuk mandi lebih dulu.
Kesempatan itu digunakan para tamu dari Majapahit untuk berpakaian
secara adat.
Kesempatan untuk bertemu Prabu Maharaja itu pun datang. Patih
Madu segera menempatkan diri.
”Hamba, Prabu Maharaja,” kata Patih Maduratna. ”Sebagaimana
keputusan yang telah disepakati bersama antara hamba atas nama
Prabu Hayam Wuruk dan Tuanku Prabu Maharaja, dengan ini hamba
menyampaikan bahwa raja kami, Sri Rajasanegara, telah menjatuhkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

pilihan kepada Sekar Kedaton Surawisesa. Selanjutnya, hamba atas


nama Prabu Hayam Wuruk ingin mendapatkan jawaban, apa lamaran
itu diterima?”
Selanjutnya, Patih Maduratna menyampaikan apa keperluan
tamu-tamu dari Majapahit itu. Semua tamu dari Majapahit menyimak.
Sanga Turangga Paksowani 353

Laksamana Nala yang duduk di sebelah kanan Patih Maduratna dan


Kanuruhan Gajah Enggon di sebelah kiri, siap untuk mendengar jawaban
Raja Sunda Galuh.
Prabu Maharaja Linggabuana tersenyum menebar wibawa. Prabu
Maharaja akan menjawab ucapan Patih Maduratna itu. Akan tetapi,
pandangan matanya jatuh kepada dua orang yang berpakaian berbeda di
antara para tamu. Melihat ada seorang brahmana dan seorang pemuka
agama Buddha, Prabu Maharaja Linggabuana sedikit menekuk tubuh
untuk memberikan penghormatan.
Brahmana Smaranatha dan Darmadyaksa Kasogatan membalas
penghormatan itu dengan cara yang sama.
”Sebelum aku menjawab apa yang diucapkan Patih Madu, bolehkah
aku mengetahui sedang berhadapan dengan Bapa Brahmana siapa?”
tanya Prabu Maharaja.
Brahmana Smaranatha tersenyum sejuk menebar kedamaian.
”Aku Brahmana Smaranatha, datang dari Bali, Sang Prabu. Aku
sedang berada di Majapahit bersamaan dengan adanya kunjungan
ini. Maka, aku sempatkan untuk ikut. Aku merasa senang karena bisa
melihat keagungan dan kedamaian negeri Sunda Galuh yang memiliki
jenis gamelan dengan suara indah yang mampu menjelaskan seperti
apa suasana pedesaan itu. Salamku, Prabu,” Brahmana Smaranatha
memperkenalkan diri.
Prabu Maharaja mengangguk dan kembali memberi penghormatan.
”Mohon Bapa Brahmana Smaranatha berkenan mendoakan
semoga Sunda Galuh selalu berada dalam kedamaian,” lanjut Prabu
Maharaja.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Brahmana Smaranatha mengangguk.


Perhatian Prabu Maharaja Linggabuana kemudian beralih kepada
Dharmadyaksa Kasogatan.
”Jika tidak salah menebak, apa aku berhadapan dengan Dharmadyaksa
Kasogatan Samenaka Kanakamuni?” tanya Prabu Maharaja.
354 Gajah Mada

Dharmadyaksa Kasogatan Dang Acarya Nadendra tersenyum.


”Aku terharu, Prabu Maharaja mengenal ayahku. Izinkan aku
memperkenalkan diri, Sang Prabu. Aku Nadendra. Benar, aku memang
Dharmadyaksa Kasogatan. Kuwarisi jabatan itu dari ayahku. Salam,
Prabu,” balas Nadendra.
Sang Prabu Maharaja mengangguk, lalu mengalihkan perhatiannya
kepada Patih Maduratna.
”Kisanak Patih Maduratna,” ucap Prabu Maharaja, ”karena lamaran
untuk berkeluarga itu menyangkut Dyah Pitaloka Citraresmi, ia yang
akan menjalani maka aku minta waktu untuk menanyainya.”
Jawaban itu sudah diduga dan amat dimaklumi karena memang
demikianlah tata cara yang benar dalam menerima lamaran.
Selama Prabu Maharaja Linggabuana meninggalkan balairung
untuk berbicara dengan anak dan kerabat keluarga, kepada tamu
disuguhkan hidangan yang mengalir tanpa henti, dilengkapi alunan
musik angklung dan degung yang indah. Alat-alat musik itu dimainkan
panayagan yang benar-benar perigel. Juru kawih yang mendendangkan
lagu tampak belia dan cantik jelita. Namun, memiliki suara yang benar-
benar memukau.
Agak menyendiri, Ma Panji Elam dan Arya Wangsaprana Pu
Menur menikmati hidangan yang disajikan. Di belakangnya, Pradhabasu
berdiri membelakangi sambil memerhatikan lapangan istana yang ditata
indah.
”Apa yang kita lakukan?” berbisik Ma Panji Elam.
”Kita harus mendapatkan kesempatan berbicara dengan Prabu
Maharaja. Kita harus mengupayakan agar rencana perkawinan ini gagal,”
http://facebook.com/indonesiapustaka

jawab Arya Wangsaprana Pu Menur.


”Kita perlu memilih orang untuk menyampaikan permohonan
berbicara dengan Raja Sunda Galuh,” balas Ma Panji Elam.
Pandangan mata Ma Panji Elam mencari sosok orang Sunda yang
mungkin bisa dimintai bantuan untuk menyampaikan pesan. Pandangan
Sanga Turangga Paksowani 355

itu jatuh ke wajah Temenggung Larang Agung. Bagai bersepakat, Arya


Wangsaprana Pu Menur juga memerhatikan wajah itu.

41
P ucat pasi wajah Dyah Pitaloka di siang dengan matahari yang
terik itu. Apa yang beberapa hari terakhir dicemaskan, akhirnya menjelma
menjadi kenyataan, sementara ia merasa tak punya kilah apa pun untuk
menghindar.
”Mati aku,” letup Dyah Pitaloka ketika menerima laporan dari
Nenden Pritaya.
Nenden Pritaya dan Euis Nandini mampu merasakan kepanikan yang
melanda majikannya. Tentu Sekar Kedaton Surawisesa kebingungan saat
harus mengambil keputusan karena ia sedang menikmati indahnya asmara
dengan pelukisnya. Kedudukannya sebagai anak raja, kedudukannya
sebagai Sekar Kedaton, juga kedudukannya sebagai panutan para gadis se-
Sunda Galuh menyebabkan Dyah Pitaloka merasa terpenjara, terpasung
kebebasannya.
”Banyak sekali tamu yang datang, Tuan Putri. Mereka membawa
seserahan yang ditata dalam berbagai bentuk. Bahan pakaian dari sutra
mengilat dilipat mirip angsa, mirip buaya, dan macam-macam. Pada
http://facebook.com/indonesiapustaka

tempat yang amat khusus dilengkapi pula dengan perhiasan emas


permata yang tak ternilai harganya. Lalu, entah hadiah macam apa lagi
yang berada dalam tandu,” ucap Euis Nandini.
Dyah Pitaloka makin pucat. Ketika angan-angannya sedang
membubung tentang indahnya menjadi istri Saniscara, ketika ia sedang
356 Gajah Mada

mencari cara entah bagaimana agar bisa bersama selamanya dengan lelaki
yang dicintainya itu, mendadak bencana datang dalam wujud lamaran
yang amat sulit untuk ditolak. Menolak? Bisa jadi, penolakan itu bisa
berujung pada sebuah perang.
Bergegas, Dyah Pitaloka duduk bersimpuh di tengah ruang saat
Prabu Maharaja dan Permaisuri datang menemuinya. Di belakang
Permaisuri, Mangkubumi Suradipati ikut menyimak apa yang akan
disampaikan kakaknya. Hyang Bunisora berdiri bersebelahan dengan
Niskala Wastu Kencana.
Dua buah kursi disiapkan dengan bergegas oleh Nenden Pritaya
dan Euis Nandini sebagai tempat duduk rajanya. Sembah pun diberikan
ketika Raja dan Permaisuri telah duduk sambil menyapu seisi ruang
dengan tatapan matanya.
”Kau sudah tahu kita kedatangan tamu?” tanya Prabu Maharaja.
Dyah Pitaloka mengangguk amat perlahan, amat ragu.
”Mereka utusan Majapahit yang meminangmu secara resmi, meminta
agar kamu bersedia menjadi istri Raja Hayam Wuruk. Bagaimana jawabmu,
Pitaloka? Apa kamu bersedia atau menolak?” tanya Prabu Maharaja.
Amat hening ruang itu. Dyah Pitaloka mengisi paru-parunya melalui
tarikan napas amat panjang, tetapi perlahan. Meski Dyah Pitaloka telah
merapatkan kedua telapak tangannya dalam sikap menyembah, tidak
segera keluar ucapan dari bibirnya. Beban amat berat menyebabkan Dyah
Pitaloka pontang-panting berupaya menguasai diri. Mungkin karena
masih bocah, Niskala Wastu Kencana memandang Dyah Pitaloka dengan
heran. Niskala Wastu Kencana tidak mampu memahami alasan apa yang
menyebabkan kakak perempuannya menjadi sedemikian ketakutan.
”Sebelum hamba menjawab, apa hamba diizinkan mengajukan
http://facebook.com/indonesiapustaka

pertanyaan?” tanya Dyah Pitaloka.


Prabu Maharaja Linggabuana mengangguk.
”Pilihan apa yang hamba miliki terhadap lamaran itu, Ayahanda?”
tanya Pitaloka lagi.
Sanga Turangga Paksowani 357

Prabu Maharaja tidak segera menjawab. Pertanyaan Dyah Pitaloka


itu harus dicerna lebih dulu. Meski Dyah Pitaloka Citraresmi adalah anak
kandungnya, adakalanya sulit menebak isi benaknya.
”Kaupunya dua pilihan, menerima atau menolak,” jawab Prabu
Maharaja.
Dyah Pitaloka memandang wajah ibunya. Degup jantung Permaisuri
Dewi Lara Linsing berkejaran. Saat Dyah Pitaloka memandang pamannya,
Mangkubumi Suradipati mengangguk, bagai menyarankan kepada Dyah
Pitaloka untuk mau menerima lamaran itu.
”Kalau hamba menerima?” tanya Dyah Pitaloka sambil menundukkan
kepala.
Untuk selanjutnya, Dyah Pitaloka tetap menunduk, pandang
matanya jatuh ke pangkuan.
”Jika kau menerima, sebagai orang tua, aku akan melaksanakan
kewajibanku mengantarmu memasuki gerbang rumah tanggamu.
Kalau kau menerima, kau akan menjadi istri Raja Hayam Wuruk, kau
akan meninggalkan Surawisesa untuk mendampingi suamimu dengan
kedudukan sebagai permaisuri,” jawab Prabu Maharaja
Dyah Pitaloka masih tetap dalam sikapnya, masih menunduk ke
satu arah tanpa ada niat menengadahkan kepala. Dengan Dyah Pitaloka
menyembunyikan wajahnya seperti itu, Prabu Maharaja dan Permaisuri
serta Hyang Bunisora kehilangan jejak bahasa wajah gadis cantik itu.
Dalam menunduk itu, Dyah Pitaloka Citraresmi tak bisa menahan
matanya yang mengabut. Pangkuannya tidak jelas karena ada air yang
menggenang di kelopak mata.
”Bagaimana kalau hamba menolak?” tanya Dyah Pitaloka.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pertanyaan itu mengagetkan ayahnya, menyebabkan Permaisuri


terhenyak, juga menyebabkan Mangkubumi Suradipati bingung.
”Kau tak mungkin menolak pinangan itu, Pitaloka,” kata ayahnya.
”Kalau kau tidak bersedia, mestinya kauutarakan itu sejak kedatangan
mereka yang pertama.”
358 Gajah Mada

Dyah Pitaloka Citraresmi sobek hatinya. Ternyata, terlalu berat


ketebalan dinding yang harus dilawannya.
”Sejujurnya, aku harus mengatakan kepadamu, Dyah Pitaloka anakku,”
kata Prabu Maharaja. ”Bersamaan dengan kehadiran pertama para tamu
dari Majapahit itu, aku kembali menerima pesan yang dikirim Mahapatih
Gajah Mada yang meminta agar Sunda Galuh segera menyatakan sikap,
memilih satu dari dua pilihan, mau menyatukan diri dengan Majapahit
atau tidak. Jika Ayah memilih tidak bersedia, Majapahit pasti akan
menggempur Sunda Galuh seperti apa yang dilakukan pada negara-
negara lain. Jika kita memilih bersedia, harus ada sebuah cara yang tak
harus menyebabkan kita kehilangan kehormatan. Perkawinanmu dengan
Raja Majapahit akan menyelamatkan Sunda Galuh dari pelecehan itu.”
Akhirnya, tetes pertama air matanya jatuh. Permaisuri bergegas
bangkit dan mendekati anaknya. Dengan tangan kanannya, Permaisuri
menyentuh dagu Dyah Pitaloka dan mengangkatnya agar menengadah.
Permaisuri kaget mendapati anaknya menitikkan air mata karena ada
banyak alasan dan arti di balik air mata yang tumpah.
Prabu Maharaja pun terkejut sebagaimana Hyang Bunisora yang
sama sekali tak mengira Dyah Pitaloka ternyata menangis.
”Ada apa di hatimu, Pitaloka?” tanya Permaisuri Lara Linsing.
Dyah Pitaloka kembali menunduk menyembunyikan wajahnya.
Namun, Dewi Lara Linsing adalah seorang perempuan yang peka.
”Katakan dengan jujur, Pitaloka,” ucap ibunya. ”Apa penolakanmu
karena telah ada orang yang menempati hatimu?”
Pertanyaan itu tentu mengagetkan. Dyah Pitaloka Citraresmi
terhenyak karena tak menduga akan mendapatkan pertanyaan macam itu.
Namun, muatan pertanyaan itu juga mengagetkan Prabu Maharaja yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

sama sekali tak menduga akan adanya kemungkinan latar belakang macam
itu. Jika benar dugaan istrinya, Sang Prabu Maharaja merasa kecolongan.
Baginya, sebagai anak, Dyah Pitaloka harus dijaga kehormatannya. Dan,
sebagai seorang Sekar Kedaton, Dyah Pitaloka harus ditempatkan sebagai
pusaka yang harus dijaga kekeramatannya. Jika bobot kekeramatan itu
Sanga Turangga Paksowani 359

hilang, akan rendah nilainya. Jadi, bagaimana Dyah Pitaloka bisa menjalin
asmara tanpa diketahuinya. Siapa orang itu? Bagaimana derajatnya?
”Benarkah kau telah menjalin hubungan asmara dengan seseorang?
Benarkah kau telah membangun angan-angan menjadi istri seseorang
sehingga kau menolak pinangan Raja Majapahit? Tidak sadarkah kau,
Dyah Pitaloka, apa yang akan menimpa Sunda Galuh jika sampai terjadi
perang? Majapahit akan merasa memiliki alasan untuk menggempur
Sunda Galuh. Dan, Sunda Galuh tidak memiliki kekuatan untuk
menahan serangan bala tentara yang tak terhitung jumlahnya itu,” kata
Permaisuri.
Dyah Pitaloka Citraresmi mulai mampu mengukur seberapa tebal
dinding pembatas yang memberangus angan-angannya.
”Siapa laki-laki yang mencuri hatimu itu, Pitaloka? Kau harus
jujur kepada ayah dan ibumu. Kami berhak mengetahui siapa orang itu
karena kau tidak boleh menentukan nasibmu sendiri. Kau bukan hanya
milikmu, kaumilik Sunda Galuh. Kau tidak boleh seenaknya seperti itu,”
Permaisuri melanjutkan ucapannya.
Dyah Pitaloka makin bersimbah air mata. Rona wajahnya berubah
memerah seperti matanya yang juga menjadi merah ketika Sekar Kedaton
membasuhnya dengan selembar kacu.144
”Ayahanda Prabu,” kata Dyah Pitaloka mengabaikan pertanyaan
ibunya.
Permaisuri melangkah mundur untuk mengambil jarak dari anaknya.
Hyang Bunisora tak kuasa menahan debur jantungnya. Hyang Bunisora
rupanya telah sampai pada dugaan, laki-laki mana dan siapa yang telah
menyelinap meracuni keponakannya itu melalui dendang asmara.
”Pasti pelukis itu,” kata hati Mangkubumi Suradipati.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Perhatian Hyang Bunisora dan Niskala Wastu Kencana terpusat pada


apa yang akan diucapkan Dyah Pitaloka.

144
Kacu, Jawa, sapu tangan
360 Gajah Mada

”Hamba akan menerima lamaran itu, tetapi hamba mengajukan


syarat,” kata Dyah Pitaloka.
Tajam pandangan mata Dyah Pitaloka, menjadi gambaran
kemarahannya dalam menghadapi belenggu yang tidak bisa ia
hindari, hambatan yang tidak bisa dijebol, dan keangkuhan yang sulit
dijinakkan.
”Apa syaratmu?” tanya Prabu Maharaja.
”Hamba menghendaki, hambalah nanti yang diangkat menjadi raja
jika Ayahanda turun dari dampar,” jawab Dyah Pitaloka.
Ucapan Dyah Pitaloka Citraresmi itu menggetarkan udara,
menyebabkan Permaisuri nyaris tersedak sekaligus merasa sangat tidak
nyaman. Prabu Maharaja dan adiknya saling pandang, sementara Niskala
Wastu Kencana yang dalam sehari-hari telah disebut-sebut sebagai calon
pewaris takhta, tidak bisa menutupi rasa kagetnya.
”Permintaanmu tidak masuk akal, Pitaloka,” desis Permaisuri Dewi
Lara Linsing.
Dengan wajah memerah, Permaisuri memandang wajah suaminya.
Namun, betapa kaget Permaisuri melihat suaminya justru tersenyum.
”Kau akan mendapatkannya, Pitaloka,” jawab ayahnya. ”Itu juga
sebuah cara yang harus ditempuh untuk menyelamatkan negara ini dari
penghinaan.”
Jawaban itu mengagetkan Dyah Pitaloka sekaligus menyebabkan
Permaisuri Dewi Lara Linsing tersentak. Ibu dan anak itu sama sekali
tidak menyangka, permintaan itu akan dikabulkan. Dengan pandangan
mata paling aneh, Permaisuri menatap wajah Prabu Maharaja.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Prabu bersungguh-sungguh?” tanya Dewi Lara Linsing.


Berbinar wajah Sang Prabu ketika mengangguk. Meski telah mencoba
memahami dengan cara apa pun, Dewi Lara Linsing tetap tidak bisa
mengerti latar belakang macam apa yang mendorong suaminya memenuhi
permintaan itu. Dewi Lara Linsing dan Dyah Pitaloka Citraresmi sama
Sanga Turangga Paksowani 361

sekali tidak tahu bahwa tanpa diminta pun, sebenarnya telah diambil
keputusan untuk mengangkat derajat Dyah Pitaloka dari yang semula
Sekar Kedaton tanpa hak apa-apa menjadi seorang prabu putri.
Rasa penasaran Dewi Lara Linsing telah sampai pada puncaknya
dan merasa harus segera memperoleh jawaban. Retak isi dada Dewi Lara
Linsing ketika melirik anak lelakinya, ia mendapati mata Niskala Wastu
Kencana berkaca-kaca.
”Sunda Galuh berada di simpang jalan,” berkata Prabu Maharaja.
”Sunda Galuh bisa diibaratkan sedang memakan buah simalakama
dengan akibat tidak mengenakkan. Malakama itu menyebabkan jika
dimakan, ibu akan mati. Jika tidak dimakan, bapak yang mati. Pilihan
sulit itu harus diambil salah satu tanpa bisa dihindari. Majapahit saat
ini memberlakukan dua sikap berbeda sekaligus, yaitu melamar dan
mengancam. Prabu Hayam Wuruk menghendaki Dyah Pitaloka sebagai
istrinya. Di sisi yang lain, telah berulang kali, Gajah Mada mengancam
Sunda Galuh. Sunda Galuh diminta untuk segera mengambil sikap,
memilih satu dari dua pilihan, menyatakan bersedia atau meneriakkan
kata tidak sudi. Menghadapi keadaan yang demikian itu, menaikkan
derajat Dyah Pitaloka menjadi prabu putri akan menyelamatkan martabat
Sunda Galuh. Jika Sunda Galuh harus menyatu dengan Majapahit, biarlah
Sunda Galuh lenyap tak ada jejaknya lewat Dyah Pitaloka Citraresmi yang
seorang prabu putri melebur menjadi istri Hayam Wuruk yang seorang
raja. Apa pun bentuk Sunda Galuh kelak, yang akan menjadi raja adalah
keturunanku, keturunan Dyah Pitaloka.”
Dyah Pitaloka pucat pasi. Ia sama sekali tidak mengira, ayahnya
akan memenuhi permintaannya tanpa harus melalui tarik ulur sebuah
perdebatan. Dyah Pitaloka Citraresmi tiba-tiba merasa melayang,
terapung di atas pertanyaan, layakkah ia menerima keputusan itu?
http://facebook.com/indonesiapustaka

Setelah memperoleh jawaban dari anak gadisnya, Prabu Maharaja


pun siap dengan jawaban yang akan diberikan kepada para tamu utusan
negeri tetangga itu. Dikawal beberapa abdi dan prajurit yang selalu
melekat serta siap menerima perintah, Raja Sunda Galuh kembali ke
balairung didampingi Permaisuri yang masih terganggu pertanyaan, siapa
362 Gajah Mada

gerangan laki-laki yang nyelonong dari arah samping sebagai pengganggu


yang menggerogoti isi hati Dyah Pitaloka, yang ulahnya tak ubahnya
tikus pencuri makanan itu?
Langkah Prabu Maharaja yang akan melewati pintu samping terhenti
ketika Larang Agung menghadang dan minta bicara. Prabu Maharaja
mengangguk ketika Temenggung Larang Agung menyembah.
”Ada apa?” tanya Raja.
”Hamba, Tuanku,” jawab Temenggung Larang Agung. ”Di antara
para tamu, ada dua orang yang mengajukan permohonan untuk berbicara
dengan Sang Prabu. Mereka adalah Arya Rajaparakrama Ma Panji Elam
dan Arya Wangsaprana Pu Menur yang membawa pesan terpisah.”
Prabu Maharaja berdiri terpaku. Untuk beberapa jenak, ia tidak
berbicara apa pun. Hyang Bunisora yang pendiam segera mendekati
saudara tuanya, mempersiapkan diri jika kakaknya itu membutuhkan
sarannya.
”Baik, akan aku tanggapi itu menjadi bagian yang tak perlu dipisah.
Sekarang, kita bersama-sama menemui para tamu,” jawab Prabu
Maharaja.

42
B
http://facebook.com/indonesiapustaka

alairung Surawisesa terasa senyap meski dijejali banyak orang.


Para tamu kembali duduk dengan rapi di tempat masing-masing. Tidak
seorang pun yang berbicara. Para prajurit dan pembesar istana Sunda
Galuh yang duduk terpisah juga menempatkan diri siap menyimak apa
yang akan disampaikan raja mereka.
Sanga Turangga Paksowani 363

Ada sebuah dampar berukuran besar dengan ketinggian melebihi


kepala siapa pun yang duduk di atasnya yang biasa digunakan Raja. Ada
pula kursi yang lebih rendah yang biasanya digunakan Permaisuri. Di
sebelah kursi untuk Permaisuri, ada dua buah kursi yang biasanya diduduki
Sekar Kedaton Dyah Pitaloka Citraresmi dan Pangeran Pati Niskala Wastu
Kencana. Sementara itu, satu kursi lagi yang ditata agak berjauhan adalah
tempat duduk yang disediakan untuk Mangkubumi Suradipati.
Namun, para tamu dan para prajurit serta pembesar Sunda Galuh
merasa heran melihat Prabu Maharaja Linggabuana menempatkan diri
berdiri, tidak duduk di singgasananya.
Laksamana Nala memerhatikan keadaan itu dengan segenap rasa
ingin tahu yang tidak bisa dibendung, mengapa tuan rumah bersikap
demikian?
Mengapa Raja mengambil jarak dari singgasananya? Pertanyaan itu
menggantung tak hanya di benak Laksamana Nala, tetapi juga di hati
Pradhabasu dan Kanuruhan Gajah Enggon. Oleh pemandangan itu pula,
Brahmana Smaranatha dan Dang Acarya Nadendra saling menggamit.
Berbeda dengan orang-orang yang awas itu, Sang Arya Rajaparakrama Ma
Panji Elam dan Sang Arya Wangsaprana Pu Menur tidak menganggapnya
sebagai hal yang aneh. Ma Panji Elam dan Pu Menur berdebar-debar
diganggu pertanyaan, akan dikabulkankah permintaan itu? Apa yang akan
disampaikan kepada Raja Sunda Galuh jika permintaan itu dikabulkan?
Kalimat pedas macam apa yang harus diucapkan agar Prabu Maharaja
tersinggung dan murka yang ujungnya diharapkan menyebabkan lamaran
itu berantakan. Perkawinan antara Prabu Hayam Wuruk dan Dyah
Pitaloka diyakini justru menjadi penghambat bagi negara Majapahit
untuk melebarkan kekuasaannya di wilayah itu.
”Dengan demikian, diperoleh alasan untuk menyulut perang,” kata
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pu Menur dalam hati.


Patih Maduratna yang menjadi pokok rombongan dari Wilwatikta
menempatkan diri siap menerima apa yang akan disampaikan tuan
rumah. Prabu Maharaja Linggabuana menyempatkan menyapu para
tamunya satu per satu melalui tatap matanya sebelum bicara.
364 Gajah Mada

”Kisanak para tamu semua,” kata Prabu Maharaja dalam bahasa


Jawa, ”aku telah menyampaikan lamaran untuk berumah tangga itu
kepada anakku, Dyah Pitaloka Citraresmi. Dyah Pitaloka Citraresmi
merasa tidak keberatan dan bersedia memenuhi ajakan membangun
rumah tangga itu. Untuk selanjutnya, sebagai orang tua, aku akan
merancang kapan perkawinan itu diselenggarakan dan semua hal yang
terkait.”
Patih Maduratna segera merapatkan kedua telapak tangannya dan
mempersiapkan diri akan menjawab.
Namun, rupanya Prabu Maharaja masih belum tuntas.
”Selanjutnya, terkait permohonan Kisanak Arya Rajaparakrama Ma
Panji Elam dan Kisanak Arya Wangsaprana Pu Menur yang mengajukan
permintaan berbicara denganku,” lanjut Prabu Maharaja, ”aku harus
menyampaikan bahwa kewenangan untuk membahas pesan khusus
dari Mahapatih Gajah Mada itu sudah tidak berada di tanganku. Sunda
Galuh telah mengambil keputusan mengangkat Dyah Pitaloka sebagai
prabu putri. Oleh karena itu, dalam kesempatan yang ada nanti, silakan
hal itu dibicarakan dengan Prabu Putri Dyah Pitaloka.”
Jika ada petir yang meledak menggelegar memekakkan telinga,
itu belum seberapa dibandingkan udara yang bergetar di balairung.
Kekagetan itu menyentakkan para tamu dari Majapahit, terutama Arya
Rajaparakrama Ma Panji Elam dan Arya Wangsaprana Pu Menur yang
sama sekali tidak menduga namanya akan disebut di kesempatan itu.
Kedua arya itu mendadak merasa wajahnya amat tebal karena menjadi
pusat perhatian. Apalagi, Laksamana Nala memandang mereka dengan
tatapan mata penuh selidik.
Di tempat duduknya, Pradhabasu menampakkan wajah datar,
http://facebook.com/indonesiapustaka

menyembunyikan hati yang mengombak.


Kekagetan itu juga menyengat kerabat Sunda Galuh sendiri. Para
prajurit dan para pembesar yang ikut hadir di paseban balairung itu tak
kalah terkejutnya. Tak ada hujan dan tak ada angin, mendadak mereka
dikagetkan keputusan yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Sanga Turangga Paksowani 365

Prabu Maharaja yang baru tujuh tahun duduk di dampar istana,


memutuskan turun dari singgasananya dan menyerahkan kekuasaan
kepada Dyah Pitaloka.
Temenggung Larang Agung terhenyak di tempat duduknya,
demikian juga dengan para prajurit Sunda yang lain. Sohan, Gempong,
Panji Melong, Orang Pangulu, Orang Saya, Rangga Kaweni, Orang
Siring, Sutrajali, Jagadsaya, Tuan Usus, Naradipati, Sura Wiramarta,
Rangga Anepaken, semua terhenyak bingung di tempat bersilanya.
Sungguh, keputusan Prabu Maharaja Linggabuana untuk turun
takhta dan menempatkan Dyah Pitaloka sebagai raja yang baru dengan
sangat kasar mengguncang isi dada mereka, memorak-porandakan semua
benda yang ada di dalamnya, mengguncang jantung, juga mengguncang
paru-paru, pun mengguncang isi kepala.
Rangga Kaweni yang cerdas segera mencari-cari latar belakangnya,
mengapa atau dengan alasan apa Prabu Maharaja mengambil keputusan
yang tidak pernah diduga siapa pun sebelumnya itu.
”Hamba mohon izin berbicara, Sang Prabu,” berkata Patih Maduratna
memecah senyap yang memberangus balairuang Surawisesa itu.
Semua perhatian segera tertuju kepada Patih Maduratna. Semua
orang mempersiapkan diri untuk menyimak apa yang akan disampaikan
Patih Maduratna. Ma Panji Elam dan Pu Menur merasa wajahnya
masih panas. Mereka merasa belum sembuh dari sakit kulit menebal
yang tebalnya melebihi tebal dinding sumur. Wajah dua orang dari
Majapahit itu memerah bagai kepiting yang terjebak dalam kubangan
air mendidih.
”Setelah hamba menerima kesediaan Tuan Putri Sekar Kedaton
Dyah Pitaloka,” berkata Patih Madu, ”selanjutnya, izinkanlah
http://facebook.com/indonesiapustaka

hamba menyampaikan pesan berikutnya dari Ibu Suri Sri Gitarja


Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan junjungan hamba,
Sri Paduka Kertawardhana, yang memohon supaya diperkenankan
memboyong Sekar Kedaton Sunda Galuh ke Majapahit bersama
kepulangan kami dari Sunda Galuh sekaligus mengundang Sang Prabu
366 Gajah Mada

bersama keluarga untuk berkenan hadir di Majapahit. Atas perintah


Ibu Suri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani, saat ini,
Majapahit telah merias diri dalam rangka menggelar pesta perkawinan
terbesar sepanjang sejarah umat manusia. Pesta itu nanti akan digelar
sebulan penuh terhitung dari lima belas hari yang akan datang. Demikian,
Tuanku Prabu Maharaja.”
Permintaan itu mengagetkan tuan rumah.
”Majapahit telah merancang sampai sejauh itu?” Prabu Maharaja
Linggabuana bertanya.
Patih Maduratna mengangguk.
”Hamba, Tuanku,” jawab Patih Maduratna. ”Mohon maaf, Tuanku,
Majapahit telanjur menyusun rangkaian tata upacara dan mengirim
sedahan145 ke segala penjuru untuk mengundang raja-raja se-Nusantara.
Maka, akan sangat merepotkan jika jadwal yang telah tersusun rapi
itu berubah. Oleh karena itu, hamba atas nama Tuan Putri Ibu Suri
Sri Gitarja, memohon dengan hormat agar Prabu Maharaja berkenan
memenuhi permohonan kami tersebut. Untuk selanjutnya, dengan segala
penghormatan, Tuan Putri Sri Gitarja Tribuanatunggadewi sendiri yang
akan mengantar temanten ke Sunda Galuh manakala tiba giliran Sunda
Galuh menyelenggarakan pesta yang sama.”
Prabu Maharaja Linggabuana diam untuk menimbang dengan
saksama permintaan itu. Secara adat, biasanya pihak perempuan
yang menyelenggarakan pesta perkawinan lebih dulu. Setelah pesta
diselenggarakan pihak perempuan, selanjutnya temanten akan diboyong
ke pihak laki-laki. Pesta yang diselenggarakan pihak laki-laki disebut
ngundhuh mantu.146 Jika permintaan Majapahit itu dipenuhi, rangkaian
upacara pernikahan macam itu terbalik.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Kembali aku minta waktu lebih dulu, Kisanak para tamu semua.
Sebagai orang tua dari calon temanten perempuan, aku berkeinginan
145
Sedahan, Jawa, undangan
146
Ngundhuh mantu, Jawa, pesta perkawinan yang diselenggarakan pihak keluarga pengantin pria setelah
lebih dulu acara pesta digelar keluarga pengantin perempuan
Sanga Turangga Paksowani 367

menyelenggarakan pesta perkawinan di Sunda Galuh. Namun, karena


Majapahit telah menyusun rancangan perkawinan dan telanjur menentukan
harinya, aku harus berbicara dengan keluargaku. Silakan, Kisanak semua
melanjutkan menikmati hidangan yang telah disediakan,” kata Prabu
Maharaja Linggabuana.
Para tamu dari Majapahit dan para prajurit serta para pejabat Sunda
Galuh serentak memberikan penghormatan ketika Prabu Maharaja
Linggabuana meninggalkan balairung dengan masih meninggalkan
gonjang-ganjing atas keputusannya lengser keprabon.147
Selanjutnya, para tamu Majapahit dipersilakan menuju wisma tamu.
Di tempat itu, seluruh perhatian segera tertuju kepada Ma Panji Elam
dan Pu Menur. Dua orang arya itu kelabakan dikepung wajah-wajah yang
tak sabar meminta penjelasan, terutama Laksamana Nala yang matanya
melotot nyaris lepas dari kelopaknya.
”Apa arti semua ini?” tanya Laksamana Nala.
Wajah Ma Panji Elam pucat karena Laksamana Nala tak sekadar
bertanya. Namun, jari telunjuknya menyentuh tepat di tengah dadanya.
Sang Arya Wangsaprana Pu Menur sama gelisahnya.
”Kau harus menjelaskan ada apa di balik semua ini!” bentak
Laksamana Nala.
Ma Panji Elam berusaha menguasai diri. Akan tetapi, tarikan
napasnya yang sedikit bergetar dengan jelas menandai gugupnya.
”Aku hanya menjalankan tugas dari Mahapatih Gajah Mada,” jawab
Ma Panji Elam. ”Aku harus melanjutkan pembicaraan yang sebelumnya
telah dilakukan Kanuruhan Gajah Enggon.”
Laksamana Nala menoleh kepada Kanuruhan Gajah Enggon.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Tugas apa?” tanya Laksamana Nala.


”Tugas sama seperti yang dilakukan untuk meyakinkan Dompo
sebelum kauserbu kemarin itu,” jawab Kanuruhan Gajah Enggon.

147
Lengser keprabon, Jawa, mundur dari kekuasaan, turun takhta
368 Gajah Mada

”Namun, bukan berarti aku sependapat dengan apa yang diinginkan


Kakang Gajah Mada. Aku sudah meyakinkan Kakang Gajah Mada bahwa
langkah itu tidak perlu diberlakukan terhadap Sunda Galuh. Dengan
Prabu Hayam Wuruk mengambil Sekar Kedaton Surawisesa sebagai
permaisurinya, dengan sendirinya, Sunda Galuh akan menyatu dengan
Majapahit.”
Pradhabasu batuk-batuk, lalu menyela, ”Kakang Gajah Mada
mungkin menugasi dua orang ini untuk melanjutkan pembicaraan
Kanuruhan Gajah Enggon dengan Prabu Maharaja. Aku memaklumi
sikap Mahamantrimukya Rakrian Mahapatih Gajah Mada. Hanya saja,
aku tidak yakin, Mahapatih Gajah Mada sampai tega menggagalkan
rencana perkawinan rajanya.”
Ucapan Pradhabasu itu mengagetkan Laksamana Nala. Sontak, ia
menoleh dan memerhatikan wajah orang yang belum dikenalnya itu.
Kanuruhan Gajah Enggon pun terkejut mendengar pendapat yang
benar-benar tak terduga itu. Ma Panji Elam dan Pu Menur seketika
pucat pasi. Namun, Pu Menur segera menghapus kesan dari wajahnya.
Pu Menur siap membantah tuduhan dari orang yang tak dikenalnya
itu. Pu Menur dan Ma Panji Elam sebenarnya mengenal orang itu.
Akan tetapi, karena sudah lama sekali tidak berjumpa, apalagi wajah
Pradhabasu telah berubah, menyebabkan mereka tidak mampu lagi
mengenali sosok Pradhabasu.
”Aku yakin, bagaimanapun sikap dan cara pandang Kakang
Mahapatih Gajah Mada terhadap Sunda Galuh, Kakang Gajah Mada tak
mungkin menugasi kalian untuk menggagalkan perkawinan Sang Prabu
Hayam Wuruk,” Pradhabasu kembali berkata.
Mengombak wajah Sang Arya Wangsaprana Pu Menur dan Ma
Panji Elam.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Jangan memfitnah Ma Patih Gajah Mada,” ucap Pu Menur.


Namun, sebelum Pu Menur melanjutkan ucapannya, Pradhabasu
memotong, ”Rencana untuk menggagalkan perkawinan itu datang dari
kalian sendiri, bukan? Berani sekali kalian melakukan itu.”
Sanga Turangga Paksowani 369

Pu Menur gugup. Laksamana Nala membaca bahasa wajah itu


dengan jelas.
”Ketika kalian tadi membicarakan hal itu, aku berada di belakang
kalian. Jadi, tak ada gunanya kalian ingkar,” ucap Pradhabasu lagi.
Pu Menur tidak mampu berbicara, demikian juga dengan Ma Panji
Elam. Yang selanjutnya merasa cemas adalah Kanuruhan Gajah Enggon.
Ia khawatir apa yang dilakukan dua orang arya itu benar berasal dari
Mahapatih Gajah Mada. Kanuruhan Gajah Enggon tak akan lupa dengan
apa yang diucapkan Gajah Mada di Balai Prajurit saat ia menyampaikan
laporan sekembalinya dari Sunda Galuh.
”Jika aku boleh memilih,” Gajah Mada ketika itu berkata, ”aku lebih
senang Sang Prabu tidak mengawini anak Raja Sunda itu. Perkawinan itu
akan menyebabkan terhambatnya langkah-langkah yang harus diambil
dan dipandang perlu.”
Sangat masuk akal jika ucapan Gajah Mada itu mendorong
munculnya gagasan seperti yang diterjemahkan Pu Menur dan Elam.
Tetapi, benarkah Mahapatih Gajah Mada akan setega itu, menggagalkan
perkawinan Prabu Hayam Wuruk?
”Tidak mungkin Kakang Gajah Mada menjatuhkan perintah itu,”
ucap Kanuruhan Gajah Enggon dalam hati.
Apa yang terungkap itu dengan telak menumbuhkan keprihatinan
di hati Brahmana Smaranatha dan Dharmadyaksa Kasogatan Dang
Acarya Nadendra. Namun, kedua orang yang sangat dihormati dalam
rombongan itu tidak mengeluarkan pendapat apa pun.
Laksamana Nala menumpahkan rasa penasarannya kepada Kanuruhan
Gajah Enggon ketika mendapat kesempatan berbicara hanya berdua.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Ada apa?” tanya Kanuruhan Gajah Enggon.


”Orang itu siapa?” tanya Laksamana Nala.
Kanuruhan Gajah Enggon tersenyum. Pandang matanya tertuju
kepada pemilik tubuh kurus, tetapi sorot matanya tajam melebihi tajamnya
mata elang itu.
370 Gajah Mada

”Mendiang Prabu Sri Jayanegara sangat menghormati orang itu.


Mendiang Ibu Suri Gayatri menempatkannya sebagai sahabat. Ibu
Suri Sri Gitarja dan Ibu Suri Dyah Wiyat pun sangat menghormatinya
sebagai teman bicara dan berbagi masalah. Mahapatih Gajah Mada juga
akan kelabakan berhadapan dengan orang itu karena keberaniannya
menyuarakan kebenaran. Pernah mendengar nama Pradhabasu, salah
seorang yang amat berperan dalam pembentukan pasukan khusus
Bhayangkara? Jika kau pernah mendengar, ia orangnya.”
Betapa tegang wajah Sang Aryya Wira Mandalika Laksamana Nala.
”Andaikata Pradhabasu masih tetap berada di lingkungan
keprajuritan, ia yang akan menjadi bayang-bayang Mahapatih Gajah
Mada, sosok yang tepat menggantikan Gajah Mada jika Gajah Mada
berhalangan. Pradhabasu memilih mengabdikan diri ke negeri tumpah
darahnya dengan menempatkan diri di luar. Banyak sekali medan dan
bentuk pengabdian yang bisa ia lakukan,” Gajah Enggon melanjutkan
kalimatnya.
Laksamana Nala masih terdiam beberapa jenak.

43
P embicaraan dengan wajah-wajah tampak membeku terjadi di
http://facebook.com/indonesiapustaka

bangunan khusus bernama Bumi Kencana. Hadir di bangunan yang


menyatu tepat di belakang istana raja itu para pejabat negara dan
perwira. Temenggung Larang Agung tidak duduk seperti yang lain.
Larang Agung berjalan mondar-mandir, ke kiri dan ke kanan. Perwira
Sohan duduk bersila sambil bersedekap dengan pandangan mata lurus
Sanga Turangga Paksowani 371

ke depan. Gempong tak kalah gelisah. Gempong yang berperawakan


sama dengan Panji Melong, tubuhnya tinggi besar, terlihat resah, terbaca
itu dari kepalan tangannya. Demikian juga dengan Rangga Anepaken,
Orang Pangulu, Orang Saya, apalagi Rangga Kaweni. Para prajurit muda
itu merasa sedang dilibas tanda tanya dan tak segera tahu jawabnya.
Orang Siring, Sutrajali, Jagadsaya, Tuan Usus, Naradipati, dan Sura
Wiramarta nyaris tak sabar menunggu kehadiran Prabu Maharaja yang
telah menyatakan diri turun dari kekuasaan itu.
Sejenak kemudian, Hyang Bunisora masuk ke ruangan itu, disusul
Prabu Maharaja. Para perwira dan pejabat istana itu segera menyembah.
Dilakukan itu secara sigap dan serentak, dipimpin Temenggung
Larang Agung. Semua diam ketika Prabu Maharaja memandang wajah
mereka.
”Satu per satu,” kata Prabu Maharaja.
Semua mengangkat tangan. Prabu Maharaja menunjuk Temenggung
Larang Agung.
”Pertimbangan apa yang Paduka gunakan sehingga memutuskan
turun dari dampar dan menyerahkannya kepada Tuan Putri Sekar Kedaton.
Ketika Tuan Putri Pitaloka menjadi istri Raja Majapahit, bukankah dengan
sendirinya negeri Sunda Galuh bubar?” tanya Temenggung Larang
Agung.
Betapa blak-blakan dan tidak perlu merasa canggung Temenggung
Larang Agung dalam menyampaikan pertanyaannya.
”Begini,” jawab Prabu Maharaja, ”keputusan itu aku ambil setelah
melewati pertimbangan yang matang. Itu adalah satu-satunya cara yang
bisa digunakan untuk menyelamatkan harkat dan martabat Sunda Galuh
dalam menghadapi Majapahit.”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tuan Sohan merasa tidak jelas. Ia segera mengacungkan jari.


”Apa Tuanku kembali menerima ancaman dari Majapahit?” tanya
Sohan.
Prabu Maharaja mengangguk. Serentak, semua mengangkat tangan.
372 Gajah Mada

”Mengapa tidak kita lawan saja?”


”Kita punya martabat yang tak bisa diinjak-injak!”
”Kita hadapi orang Majapahit yang sombong itu. Aku tidak takut
mati!”
Prabu Maharaja mengangkat tangan, meminta suara-suara yang
bersahutan itu untuk diam.
”Sunda Galuh memang sedang diancam,” kata Prabu Maharaja.
”Akan tetapi, jangan sampai hal itu menyebabkan kita kehilangan
perhitungan. Saat ini, Majapahit memang memiliki kekuatan yang luar
biasa. Dalam penyerbuan ke Bali, kita ikut mengirim prajurit ke sana,
kita melihat betapa dahsyat bala tentara Majapahit yang jumlahnya telah
mencapai ratusan ribu itu. Kita memang marah karena diancam. Kita
memang layak tersinggung ditekan untuk mau mengakui kebesaran
Majapahit. Akan tetapi, bukan berarti kita lalu membutakan mata
sehingga tidak bisa mengukur kenyataan. Perang melawan Majapahit
benar-benar akan menjadi bencana bagi Sunda Galuh. Kita memiliki
kemarahan, kita memiliki perasaan tersinggung, tetapi Majapahit
mempunyai kekuatan yang tak terukur untuk menggilas kemarahan
itu.”
”Aku tidak peduli!” teriak Rangga Kaweni.
Prabu Maharaja kembali mengangkat tangannya, meminta semua
orang untuk diam.
”Jangan begitu,” ucap Raja berusaha menenangkan para
punggawanya.
Riuh di Bumi Kencana itu kembali tenang setelah Raja mengangkat
tangannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Jika perang terjadi, istana ini akan hangus. Sunda Galuh akan
terkubur dalam genangan air mata dan darah. Akan banyak orang yang
menangis karena kehilangan keluarganya, tangis ibu yang kehilangan
anaknya, tangis istri yang tak lagi bertemu suaminya, tangis bocah yang
kehilangan ayahnya. Bencana mengerikan macam itu harus dihindari.
Sanga Turangga Paksowani 373

Aku berterima kasih kepada kalian semua yang tersinggung dan tak
bisa menerima ancaman Majapahit. Akan tetapi, aku minta kalian
memahami keadaan yang sedang kalian hadapi. Lamaran yang kita
terima, keinginan Prabu Hayam Wuruk untuk mengawini anakku dan
menempatkannya sebagai permaisuri, itulah celah yang kita harapkan
bisa menyelamatkan Sunda Galuh dari nista penghinaan,” ucap Prabu
Maharaja.
Hampir semua orang yang hadir di Bumi Kencana itu tidak paham
pada keputusan yang diambil rajanya.
”Aku menatap jauh ke depan,” kata Prabu Maharaja. ”Jika Dyah
Pitaloka bersuamikan Prabu Hayam Wuruk, pada dasarnya itu adalah
penyatuan dua keluarga, yaitu keluargaku, keluarga Linggabuana,
dengan keluarga mantan Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani. Pemahaman yang demikian berlaku pula bagi kalian.
Jika terjadi perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan, pada
dasarnya merupakan penyatuan dua keluarga, pihak mempelai pria dan
pihak mempelai wanita. Aku adalah Raja Sunda Galuh dan besanku
adalah mantan Prabu Putri Majapahit. Perkawinan antara anakku dan
Prabu Hayam Wuruk juga memiliki semangat yang sama, yaitu penyatuan
dua negara, Sunda Galuh dan Majapahit.”
Tidak seorang pun yang tidak menyimak apa yang disampaikan
Prabu Maharaja. Semua menunggu Prabu Maharaja Linggabuana
menyelesaikan kalimatnya.
Prabu Maharaja Linggabuana menyempatkan menarik napas
sebelum melanjutkan, ”Perkawinan Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka
itulah celah yang bisa kita gunakan untuk menyelamatkan Sunda Galuh.
Dengan menempatkan Dyah Pitaloka sebagai Raja Sunda, derajat temanten
telah seimbang. Jika Gajah Mada atau siapa pun berniat memaksakan
http://facebook.com/indonesiapustaka

keinginannya, ia tidak akan berhadapan denganku, tetapi dengan Dyah


Pitaloka. Berhadapan dengan Dyah Pitaloka nantinya akan berhadapan
dengan Hayam Wuruk, suaminya. Dengan meleburnya Sunda dan
Jawa, tidakkah kalian semua melihat, nantinya yang akan menjadi raja
adalah cucuku? Anak Dyah Pitaloka dari Sunda Galuh yang memerintah
374 Gajah Mada

Majapahit di Jawa? Siapa orang Sunda Galuh yang tidak ikhlas negerinya
diperintah keturunan Pitaloka?”
Para perwira prajurit dan pejabat istana yang hadir di Bumi Kencana
itu saling pandang. Kini, mereka merasa bisa memahami keputusan yang
diambil Prabu Maharaja Linggabuana.
Rangga Kaweni mengangkat tangannya.
”Bagaimana dengan Putra Mahkota Pangeran Pati Niskala Wastu
Kencana?” tanya Rangga Kaweni.
Tarikan napas amat panjang dilakukan Prabu Maharaja.
”Kelak, jika Dyah Pitaloka telah menjadi seorang permaisuri di
Majapahit, bisa saja Dyah Pitaloka mengembalikan kekuasaan kepada
adiknya. Atau, Niskala akan menyelanggarakan pemerintahan di Sunda
Galuh mewakili kakaknya,” kata Prabu Maharaja.
Tak seorang pun yang tidak sependapat dengan rajanya. Akan tetapi,
masih tetap ada yang menjadi ganjalan. Panji Melong berdiri. Melihat
itu, Prabu Maharaja mengangguk.
”Silakan,” kata Maharaja Linggabuana.
”Soal penyelenggaraan perkawinan yang dilakukan Majapahit
lebih dulu, mengapa tidak menggunakan tata cara yang lazim berlaku?
Mestinya, Baginda yang menggelar upacara mantu. Setelah itu, barulah
temanten berdua diantar ke Majapahit.”
Prabu Maharaja Linggabuana tidak segera menjawab. Namun,
disempatkannya merenung lebih dulu. Sejenak setelah itu, barulah
Maharaja Linggabuana berbicara, ”Aku tidak akan berburuk sangka
kepada besanku, kecuali jika aku berhadapan dengan Mahapatih Gajah
Mada. Ibu Suri Sri Gitarja Tunggadewi berencana menyelenggarakan
http://facebook.com/indonesiapustaka

pesta perkawinan yang disebut sebagai pesta terbesar sepanjang


sejarah itu pasti dilandasi niat ingin mengantarkan anaknya memasuki
pintu gerbang rumah tangganya. Aku tak perlu merasa tersinggung
karena acara itu digelar lebih dulu di Majapahit. Majapahit telah
mempersiapkannya lebih dulu. Jika kita memaksakan diri, pesta
Sanga Turangga Paksowani 375

perkawinan harus diselenggarakan di Sunda Galuh lebih dulu, bisa


menggagalkan rencana perkawinan itu. Aku tidak keberatan pesta
diselenggarakan di Majapahit lebih dulu.”
Panji Melong kembali mengangkat tangan.
”Apa itu berarti, kita akan berangkat ke Majapahit bersama-sama
dengan rombongan tamu itu?” tanya Panji Melong.
Maharaja Ling gabuana mengunyah pertanyaan itu, lalu
mengembalikannya dalam wujud pertanyaan pula, ”Bagaimana menurut
kalian?”
Sutrajali berdiri.
”Apa pendapatmu, Sutrajali?” tanya Maharaja Linggabuana.
”Hamba, Tuanku,” berkata Sutrajali. ”Menurut hamba, kita tidak
perlu berangkat ke Majapahit bersama para tamu itu. Biarlah para tamu
itu pulang lebih dulu karena kita memerlukan waktu barang sehari dua
hari untuk semua persiapan. Tentu banyak yang akan kita bawa ke
Majapahit sebagai balasan atas seserahan yang mereka bawa ke Sunda.”
Suasana menjadi hening.
”Aku setuju,” kata Rangga Kaweni.
”Aku juga,” tambah Orang Saya.
”Benar baginda,” ucap Orang Siring. ”Hamba berpendapat sama
dengan Sutrajali. Kita memerlukan persiapan sebagaimana yang disebut
Sutrajali.”
Maharaja Linggabuana mengangguk.
”Baiklah kalau begitu, aku sependapat dengan kalian. Sekaligus,
http://facebook.com/indonesiapustaka

aku perintahkan supaya semua persiapan diatur mulai sekarang,” ucap


Prabu Maharaja.
376 Gajah Mada

44
M alam terasa dingin, tak sebagaimana hari-hari biasanya.
Namun, sungguh terasa amat gerah bagi Dyah Pitaloka Citraresmi
ketika di hadapannya berdiri Hyang Bunisora dengan tatapan mata
penuh selidik.
”Jawablah dengan jujur, Pitaloka,” kata Hyang Bunisora dengan
suara sejuk. ”Jika benar kecurigaan ibumu, saat ini hatimu telah terisi
oleh seseorang, siapa orang itu?”
Dyah Pitaloka menggeleng. Meski lemah, terasa tegas gelengan
itu.
”Tidak ada siapa pun dalam hatiku, Paman,” jawab Dyah Pitaloka.
”Mohon Paman jangan menyudutkan aku untuk mengakui sesuatu yang
tidak pernah ada atau tak pernah aku lakukan.”
Hyang Bunisora memerlukan waktu sedikit lama untuk mengunyah
jawaban itu. Pandangan Hyang Bunisora dengan blak-blakan menyiratkan
bahwa ia tidak percaya pada apa yang diucapkan Dyah Pitaloka.
”Jika memang benar tidak ada orang yang telah menempati hatimu,
mengapa kau merasa keberatan dengan lamaran itu?” kejar Hyang
Bunisora
Dyah Pitaloka mengisi paru-parunya sampai penuh. Pertanyaan
itu mudah sekaligus sulit untuk dijawab. Jika Dyah Pitaloka menjawab,
bagaimana mungkin ia bisa menerima lamaran orang yang belum pernah
dilihatnya, belum diketahui bagaimana wajahnya, tampan dan buruknya,
http://facebook.com/indonesiapustaka

pasti Hyang Bunisora akan menyudutkannya karena sebagai putri raja,


ia tak punya hak mempersoalkan itu. Hyang Bunisora akan menguraikan
banyak hal tentang Sunda Galuh yang berada dalam ancaman Majapahit
atau tentang derajatnya yang menjulang tinggi karena akan didudukkan
sebagai permaisuri.
Sanga Turangga Paksowani 377

”Bagi Paman dan bagi Prabu, bukankah yang penting adalah aku
telah menerima lamaran itu? Jadi, untuk apa Paman masih mengejar siapa
orang yang mendahului mencuri hatiku,” balas Dyah Pitaloka.
Hyang Bunisora terbungkam mulutnya. Namun, bukan berarti surut
niatnya mencecar Dyah Pitaloka dengan pertanyaan yang lebih tajam.
”Benar apa yang dikatakan Ihai Nirasari? Pasti pelukis itu, bukan?”
kejar Hyang Bunisora.
Dyah Pitaloka yang menunduk, kemudian menengadah. Agak lama,
Dyah Pitaloka memandang wajah pamannya dengan tatapan mata agak
tajam dan berbau sinis.
”Pasti dia,” ucap Hyang Bunisora.
Dyah Pitaloka merasa amat tidak senang, ”Paman akan melakukan
apa kepadanya?”
Hyang Bunisora Mangkubumi Suradipati mendekat, lalu berkata,
”Aku akan mengingatkannya agar jangan mengganggumu. Aku akan
menanyai apa derajatnya sehingga berani-beraninya menyentuh permukaan
hatimu. Atas kesalahannya yang lancang telah mengganggumu, barangkali
ia harus mempersiapkan diri menghadapi hukuman.”
Dyah Pitaloka yang semula duduk, lalu bangkit.
”Paman jangan coba-coba lakukan itu,” ucap Pitaloka.
”Kenapa?” tanya Suradipati.
”Jika Paman melakukannya, aku akan mengubah keputusanku. Aku
tidak akan bersedia menjalani perkawinan itu. Andaikata kedudukanku
dilorot dari Sekar Kedaton menjadi orang biasa, aku tidak keberatan.
Dihukum mati pun tidak masalah, bahkan andai Majapahit menggempur
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sunda Galuh sampai berdarah-darah, aku tidak peduli,” jawab Dyah


Pitaloka.
Jawaban itu benar-benar mengagetkan Hyang Bunisora. Mangkubumi
Suradipati sama sekali tak menyangka, racun asmara menyebabkan Dyah
Pitaloka tidak bisa melihat segala sesuatu dengan mata jernih. Ucapan
378 Gajah Mada

Dyah Pitaloka itu sekaligus mengingatkannya untuk jangan coba-coba


membahayakan Saniscara. Jika hal itu terjadi, Pitaloka tak akan segan-
segan membuktikan ancamannya. Andaikata Dyah Pitaloka Citraresmi
sampai mengubah keputusan, perang tak akan bisa dihindari. Majapahit
punya alasan yang kuat untuk menyerbu Sunda Galuh.
Sikap Dyah Pitaloka itu memunculkan pertanyaan di hati Hyang
Bunisora, sejauh mana hubungan asmara antara Dyah Pitaloka dengan
juru gambar yang usianya nyaris dua kali lipatnya itu? Bagaimana andai
hubungan itu sampai pada tingkat kebablasan dan menempatkan Dyah
Pitaloka Citraresmi tidak lagi memiliki mahkota kebanggaannya?
Hyang Bunisora membawa rasa penasarannya itu kembali ke
istananya, membuat hatinya resah. Hyang Bunisora akan bertindak, tetapi
mati langkah. Ia sangat mengenal keponakannya itu sejak kecil. Hyang
Bunisora tahu dan hafal seberapa keras hati gadis itu. Hyang Bunisora
yakin, jika ia menghukum Saniscara, Dyah Pitaloka akan mewujudkan
ancamannya.
Malam makin menukik ketika Dyah Pitaloka yang tidak bersedia
ditunggui Euis Nandini dan Nenden Pritaya, memutuskan untuk berganti
pakaian pria. Penampilan Sekar Kedaton telah berubah menjadi pria.
Jika berpapasan dengannya di gelap malam, tidak akan ada orang yang
menduga ia seorang wanita. Setelah mondar-mandir, Dyah Pitaloka
akhirnya mendengar suara yang amat dikenalinya, suara melolong mirip
anjing. Orang akan mengira itu betul-betul suara anjing. Itulah isyarat
yang diberikan Saniscara untuknya. Orang tidak akan menduga suara
itu bukan milik anjing sebenarnya karena sejenak kemudian, suara itu
berbalas. Dari beberapa tempat, terdengar suara anjing yang membalas.
Dyah Pitaloka tersenyum karena anjing-anjing itu sangat riuh dan
bersahut-sahutan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Setelah merasa yakin keadaan aman, Sekar Kedaton melompat turun


dari jendela yang telah terbuka, lalu berjalan mengendap-endap menyusur
dinding. Tentu tak akan ada orang yang membayangkan bagaimana
mungkin Dyah Pitaloka mampu melakukan itu. Anak gadis Prabu
Maharaja Linggabuana itu memanjat pohon talok yang membawanya
Sanga Turangga Paksowani 379

ke atas dinding. Di luar dinding, rupanya telah ada sebuah tangga yang
membawa Dyah Pitaloka turun di bangsal para abdi pria.
Dengan mengendap-endap, Dyah Pitaloka Citraresmi menyusur
dinding panjang itu sambil menjaga kemungkinan berpapasan dengan
prajurit yang melakukan tugas. Dyah Pitaloka akhirnya sampai di
bangsal pustaka. Di bangunan khusus itu, tersimpan berbagai benda
pustaka, penuh tumpukan rontal yang mencatat ratusan kakawin. Selain
benda-benda pustaka, di tempat itu juga terdapat dua lembar lukisan
yang belum tuntas. Itulah lukisan dirinya dalam keadaan duduk di atas
batu berlatar air terjun yang memuncratkan air ke mana-mana. Lukisan
kedua juga lukisan dirinya yang seolah baru saja keluar dari air laut yang
menggemuruh.
Sebuah lampu ublik kecil menerangi tempat itu. Menggunakan
kunci yang ia bawa, tanpa setahu siapa pun, Dyah Pitaloka Citraresmi
memasukinya. Dyah Pitaloka Citraresmi duduk di sebuah kursi sambil
menenangkan diri. Tak seperti pengalaman pertama saat menyelinap ke
bangsal pustaka itu, ketika itu jantungnya nyaris putus. Untuk selanjutnya,
Sekar Kedaton mampu menyelinap ke bangsal itu dengan lebih tenang.
Andaikata ada prajurit yang memergokinya, Dyah Pitaloka siap berkilah
sedang membaca kakawin atau sedang ingin menyendiri di tempat itu.
Tidak berapa lama setelah itu, orang yang diharap akan datang
menemuinya telah menyusul.
”Kakang,” Dyah Pitaloka menghambur kepada lelaki yang datang
menyusul itu.
Tak ada yang perlu dibicarakan. Dyah Pitaloka membagikan sesak
yang tidak tertahankan kepada lelaki di depannya.
”Aku sudah mendengar semua,” bisik Saniscara.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Aku harus bagaimana?” tanya Dyah Pitaloka dengan suara serak.


Saniscara tidak segera menjawab pertanyaan itu. Lelaki tampan
berambut panjang itu memerhatikan bintang-bintang yang bertebaran,
juga tanah lapang yang luas dari balik jendela yang sedikit terbuka.
380 Gajah Mada

”Aku mencintaimu, Kakang,” bisik Dyah Pitaloka. ”Menghadapi


keadaan yang tak bisa kuhindari ini, aku harus melakukan apa?”
Saniscara menyentuh pundak gadis itu dan mengalami kesulitan
luar biasa untuk berbicara.
”Bagaimana kalau kaubunuh saja aku, Kakang Saniscara?” tanya
gadis itu.
Saniscara memberanikan diri tak sekadar menyentuh pundak
gadis itu. Saniscara meraih dan memeluknya. Dyah Pitaloka berusaha
menguasai diri, tetapi tetap saja pundaknya mengombak. Menghadapi
hari-hari yang makin dekat, bahkan secara nyata tinggal separuh bulan
lagi ia akan menjadi istri orang yang tak dicintainya, benar-benar
membuatnya ketakutan. Andaikata suami yang tersedia di depan mata
adalah Saniscara, lelaki yang memang dicintainya, menyeberangi lautan
api pun tak masalah baginya. Hidup melarat jauh dari serba kecukupan
tidak masalah.
”Jangan berbicara seperti itu, Citra,” bisik Saniscara.
Dyah Pitaloka memandang kekasihnya dengan tatapan mata tidak
jelas karena ada genangan air di kelopak matanya.
”Aku harus bagaimana? Aku takut sekali menghadapi hari-hari yang
akan segera datang. Ke depan, aku akan menjadi istri orang. Aku tak
akan bisa bertemu lagi dengan Kakang. Bagaimana aku bisa menghadapi
keadaan macam itu? Seseorang yang hanya kukenal namanya akan
menjadikan aku sebagai istrinya. Bunuh aku supaya aku terbebas dari
bencana itu,” ucap Dyah Pitaloka memelas.
Dyah Pitaloka menangis sesenggukan di pelukan lelaki yang
dicintainya. Rishang Saniscara Patriawhura membiarkan hal itu terjadi
http://facebook.com/indonesiapustaka

sampai akhirnya tangis yang ditahan agar tidak terdengar keras itu
mereda.
”Dengar, Citra,” bisik Saniscara. ”Aku bangga denganmu.
Aku merasa bangga karena memperoleh kesempatan kaucintai dan
mendapatkan kenyataan cintaku kepadamu tidak bertepuk sebelah
Sanga Turangga Paksowani 381

tangan. Namun, kini tiba saatnya untuk bangun dari mimpi yang semu,
lalu kembali berpijak pada kenyataan. Kuminta jalanilah hidupmu dengan
bahagia. Aku akan menjadi hantu yang melindungimu. Aku tak mungkin
bisa menjadi suamimu, Dyah Pitaloka kekasihku. Aku tidak memiliki
syarat-syarat untuk menjadi suami seorang sekar kedaton sebuah negeri.
Aku bukan seorang raja. Aku hanya berasal dari kasta yang terendah dari
semua derajat kasta yang ada.”
Dyah Pitaloka merasa lehernya bagai tercekik.
”Tidak,” jawab Dyah Pitaloka sambil mengambil jarak. ”Aku ingin
hidup bersama denganmu. Bawalah aku pergi jauh, Kakang Saniscara.
Bawalah aku ke tempat yang di sana tak ada orang yang mengenal
kita.”
Suasana hening menyelinap di bangsal pustaka itu ketika Saniscara
memberi ruang kepada kekasihnya untuk menenangkan diri.
”Tidak boleh, Citra,” jawab Saniscara. ”Sunda Galuh akan berada
dalam bayang-bayang perang diserbu Majapahit jika kau menghindari
perkawinan yang telah disepakati bersama itu.”
Pandangan Dyah Pitaloka jatuh ke titik pusat cahaya lampu ublik.
Semula, titik api itu kelihatan jelas. Namun, seiring dengan kelopak
matanya yang kembali menggenang, titik api itu menjadi tidak jelas,
menjadi makin kabur dan makin kabur. Titik nyala api itu kembali jelas
ketika dengan telapak tangannya, Dyah Pitaloka mengusap matanya.
Sebuah gagasan mendadak mletik dari benak Sekar Kedaton. Dyah
Pitaloka Citraresmi mendekat dengan sikap dan tindakan yang segera
menumbuhkan tanda tanya. Saniscara mencuatkan alis. Saniscara bahkan
melangkah mundur. Namun, Saniscara tidak bisa lagi melangkah mundur
karena di belakangnya terdapat sebuah dinding.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Apa yang akan kaulakukan?” tanya Saniscara dalam bisikan.


Dyah Pitaloka Citraresmi menengadah dan mengalungkan tangan
ke leher kekasih yang dicintainya itu. Saniscara gugup ketika tiba-tiba
gadis itu dengan kuat memeluknya. Saniscara makin tidak mengerti
382 Gajah Mada

ketika dengan sangat gugup, Dyah Pitaloka bertindak lebih jauh. Dalam
keadaan yang demikian, Dyah Pitaloka tidak lagi berpikir soal adanya
batas yang boleh dan yang tidak boleh, yang patut dilakukan dan yang
belum pantas.
”Tunggu, tunggu,” cegah Saniscara. ”Apa yang mau kaulakukan?”
Dyah Pitaloka berbisik, suaranya nyata-nyata terdengar mesra.
”Ayo, kita lakukan,” jawab Dyah Pitaloka amat gugup. ”Ayo, kita
lakukan, Kakang Saniscara kekasihku. Kau harus menjamah tubuhku.
Kau harus menodaiku. Aku harus mempersembahkan yang aku
miliki kepadamu dan aku siap untuk menghadapi pahitnya kehidupan
macam neraka sekalipun. Ayo, kita lakukan suamiku. Aku ingin kelak
bisa menertawakan Majapahit yang tidak menyadari, raja berikutnya
bukanlah keturunan mereka, bukan keturunan Prabu Hayam Wuruk.
Akan tetapi, sepenuhnya keturunanku dan keturunanmu. Buah cinta
kita,”
Saniscara terhenyak amat kaget. Makin membuncah bingung yang
dialaminya dan memaksanya kembali melangkah mundur bersandar
dinding. Saniscara mendorong Dyah Pitaloka supaya terdapat jarak.
Sejujurnya, Saniscara merasa sangat takjub dan tergoda menghadapi
tawaran luar biasa itu.
Namun, kesadaran dan akal waras Saniscara masih mampu
mencegahnya untuk tidak menerima persembahan yang tidak mungkin
diukur dengan nilai apa pun itu. Saniscara mengangkat tangan berusaha
mencegah Dyah Pitaloka bertindak lebih jauh. Saniscara juga mencegah
diri sendiri agar jangan sampai kehilangan kendali.
”Tidak boleh,” ucap Saniscara tegas. ”Aku tidak boleh melakukan
itu.”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Saniscara nyaris putus asa melihat betapa gemerlap tatapan mata


Dyah Pitaloka.
Mencintai pada dasarnya adalah penyatuan dua hati, dilengkapi
dengan sifat saling menginginkan, saling meminta dan memberi. Dalam
Sanga Turangga Paksowani 383

saling mencintai itu pula muncul keinginan bawah sadar atau sepenuh
sadar untuk nantinya melakukan hubungan badani dengan orang yang
sungguh-sungguh dicintai saat telah sah menjadi suami istri. Lebih
sempurna dan indah lagi jika itu dilakukan setelah resmi terikat dalam
bingkai keluarga. Akan tetapi, tidak jarang pula tuntutan atas nama cinta
itu mendahului dan dilakukan sebelum saatnya tiba.
Dalam mencintai ada rasa keakuan yang kuat untuk menjadi satu-
satunya pemilik dengan tidak memberi kesempatan kepada orang lain
merampas atau terlibat masuk terlalu jauh. Itu sebabnya, Dyah Pitaloka
ketakutan ketika di sela asmaranya dengan Saniscara, tiba-tiba muncul
Hayam Wuruk. Dalam benak Dyah Pitaloka, muncul kekalutan luar biasa.
Selanjutnya, di benak Dyah Pitaloka muncul perasaan hanya Saniscara
seorang yang berhak atas tubuhnya, berhak menjamah menodai dirinya
karena kepadanya ia meletakkan cinta, bukan kepada Hayam Wuruk.
Dorongan itulah yang melatari keputusan yang diambil Pitaloka.
”Dengan perkawinanku nanti,” Dyah Pitaloka berkata, ”aku sadar
akan memasuki kehidupan seperti neraka. Aku akan memasuki dunia
yang tidak aku kehendaki, tetapi tidak bisa menghindar. Aku akan
mengering di tempat itu dan mati. Maka, berilah aku kekuatan, Kakang
Saniscara. Aku ingin memiliki keturunan darimu. Aku jamin, anakmu
yang kelak akan duduk di dampar istana Majapahit. Aku amat ingin
anakmu yang kelak menjadi raja di bumi Wilwatikta.”
Dyah Pitaloka tak mampu mencegah air matanya yang membanjir.
”Tidak!” Saniscara menggeleng tegas. ”Kita tak boleh melakukan itu.
Sungguh sebuah dosa besar jika perbuatan itu kita lakukan. Kembalikan
kesadaranmu, Dyah Pitaloka. Jangan sudutkan aku ke pilihan yang
membingungkan ini.”
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Aku menginginkanmu, Kakang,” Dyah Pitaloka meminta dengan


memelas.
”Tidak boleh, Citra,” jawab Saniscara tegas.
Menggigil Dyah Pitaloka Citraresmi menghadapi penolakan itu,
penolakan yang bisa diterjemahkan sebagai penghinaan.
384 Gajah Mada

Bantahan yang muncul dari mulut Saniscara nyaris merupakan


letupan perasaan yang ditujukan kepada dirinya sendiri. Saniscara
mundur mengambil jarak dan berdiri bersandar dinding. Saniscara yang
sebenarnya tidak kalah remuk hatinya, memejamkan mata. Ia berusaha
keras berdamai dengan diri sendiri. Dengan memejamkan mata, Saniscara
berupaya untuk tidak melihat apa pun, tidak melihat Dyah Pitaloka.
Suasana menjadi amat hening, senyap, kemudian tak terdengar
suara apa pun.
Saniscara terkejut saat kembali membuka mata, ia mendapati sedang
sendiri di ruang itu. Dyah Pitaloka tidak ada. Saniscara bergegas mencari,
tetapi Dyah Pitaloka telah menghilang.
Saniscara memeriksa tiga ruang lain di bangsal pustaka itu. Namun,
yang dicari rupanya telah keluar. Saniscara bergegas menyusul. Namun,
tidak ada kesempatan bagi Saniscara untuk menyusul karena Dyah
Pitaloka tidak kembali lewat jalan semula. Dyah Pitaloka melintas lewat
halaman istana. Di sana, di pintu gerbang, ada banyak prajurit yang sedang
melaksanakan tugas menjaga keamanan.
Dari balik pagar, Saniscara melihat Dyah Pitaloka yang berjalan
melintas halaman itu, menarik perhatian puluhan prajurit yang sedang
menjaga pintu gerbang istana. Beberapa prajurit mendatanginya dengan
senjata terhunus. Namun, Saniscara yakin, para prajurit itu akan terkejut
melihat orang yang melintas halaman itu adalah Dyah Pitaloka. Apalagi,
bukankah Dyah Pitaloka telah diumumkan sebagai prabu menggantikan
ayahnya?
Saniscara berbalik. Saniscara terkejut melihat seseorang berdiri di
kejauhan. Orang itu baru saja meloncat turun dari pohon talok.148 Siapa
pun orang itu, andaikata dirinya dan Dyah Pitaloka sampai lepas kendali,
http://facebook.com/indonesiapustaka

orang itu pasti akan memergoki mereka. Sungguh akan menjadi bencana
mengerikan jika sampai ia tertangkap basah hanya berdua dengan Dyah
Pitaloka.

148
Talok, di Sunda disebut kersen, di Surabaya pohon berbuah merah kecil ini disebut keres
Sanga Turangga Paksowani 385

Saniscara tak perlu menimbang. Melihat kemungkinan adanya bahaya,


dengan cepat, ia berbalik dan menyelinap di antara lorong. Orang tak
dikenal itu rupanya merasa sangat berkepentingan dengannya. Orang itu
langsung berlari mengejar. Akan tetapi, Saniscara beruntung karena ia
sejengkal lebih cepat. Ia lenyap tak meninggalkan jejak. Tanpa menarik
perhatian, Saniscara telah kembali berada di bilik pribadinya.
”Ternyata, benar apa yang dikatakan Kuda Swabaya,” ucap orang
itu. ”Calon istri Prabu Hayam Wuruk sedang menjalin hubungan asmara
dengan orang lain. Hingga sejauh mana hubungan Dyah Pitaloka dengan
orang itu?”
Orang itu adalah Pradhabasu yang sedang memanfaatkan
kemampuannya sebagai telik sandi. Ringan bagai tanpa bobot, Pradhabasu
menjelajahi semua sudut istana Sunda Galuh tanpa diketahui siapa
pun.
”Bagaimana aku bersikap mendapati temuan ini? Jika aku ungkapkan
apa yang terjadi, bukankah sama halnya aku sedang mendukung apa
yang dikehendaki Ma Panji Elam dan Arya Wangsaprana Pu Menur
yang ingin menggagalkan perkawinan Prabu?” kata Pradhabasu dalam
hati.
Tepat lewat tengah malam, tanpa menarik perhatian siapa pun,
Pradhabasu telah kembali ke wisma tamu dengan melompati jendela
yang telah terbuka. Para tamu dari Majapahit bergelimpangan tidur di
ranjang masing-masing, sebagian tidur di lantai yang dihampari babut
permadani.
Rupanya, Pradhabasu tak mampu menyangga beban itu sendiri.
Pradhabasu butuh teman untuk berbagi. Apalagi, dilihatnya Gajah
Enggon masih terjaga. Kanuruhan Gajah Enggon duduk sendiri.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Dari mana saja kamu?” tanya Gajah Enggon melihat Pradhabasu


muncul.
Pradhabasu duduk menempatkan diri berdampingan dengan Gajah
Enggon, tangannya saling meremas.
386 Gajah Mada

”Aku ingin berbicara sangat penting. Ini menyangkut masa depan


Majapahit. Aku minta jangan ada orang lain yang mendengar temuanku,”
bisik Pradhabasu.
Kanuruhan Gajah Enggon mengerutkan dahi.
”Masalah apa?” tanya Gajah Enggon.
Pradhabasu menoleh ke kanan, ke kiri, dan ke belakang untuk
meyakinkan jangan sampai ada hantu atau dhemit yang ikut mendengarkan
pembicaraan yang terjadi itu.
”Kautahu bagaimana sikap Arya Rajaparakrama Ma Panji Elam dan
Arya Wangsaprana Pu Menur?” tanya Pradhabasu.
Kanuruhan Gajah Enggon yang juga bernama Gajah Pradamba
itu mengangguk.
”Mereka mungkin menerjemahkan perintah Kakang Gajah
Mada secara berlebihan,” kata Kanuruhan Gajah Enggon. ”Perintah
Kakang Gajah Mada kepada mereka pasti sebangun dengan perintah
yang kuterima. Kakang Gajah Mada tak mungkin tega menjegal rencana
perkawinan Prabu Hayam Wuruk. Dua orang itu yang menggagas rencana
penggagalan itu.”
Pradhabasu mengangguk.
”Temuanku mengarah sama dengan apa yang diharap Ma Panji
Elam dan Pu Menur. Jika kusampaikan apa yang kuketahui kepada Prabu
Hayam Wuruk atau kepada Kakang Mahamantrimukya Rakrian Mapatih
Gajah Mada, akan bermuara ke sana pula. Bermula dari kecurigaan Kuda
Swabaya, kini terbukti benar. Sekar Kedaton Dyah Pitaloka sedang menjalin
hubungan asmara dengan lelaki yang bisa menempatkan Prabu Hayam
Wuruk tak lagi layak mengawini perempuan itu,” ucap Pradhabasu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Raut muka Gajah Enggon berubah tegang. Raut muka Pradhabasu


juga tidak kalah tegang karena ternyata ia salah. Pradhabasu mengira
pembicaraan itu tidak disimak dhemit atau setan sekalipun, ternyata hal
itu keliru. Laksamana Nala yang berada di balik dinding mendengar
cukup jelas pembicaraan itu dan memutuskan bergabung.
Sanga Turangga Paksowani 387

”Jangan risaukan aku, Paman Pradhabasu,” berkata Laksamana


Nala ramah. ”Aku ikut menjamin akan merahasiakan apa yang Paman
temukan. Tetapi, izinkan aku untuk ikut mengetahui apa yang terjadi.”
Pradhabasu menoleh kepada Gajah Enggon. Gajah Enggon
mengangguk.
”Aku berjanji,” kata Laksamana Nala.
Pradhabasu merasa kurang nyaman karena Laksamana Nala ikut
mendengarkan. Namun, Pradhabasu menilai Nala adalah orang yang bisa
dipercaya. Dengan singkat, tetapi cukup jelas, Pradhabasu menceritakan
apa yang sebelumnya menjadi kecurigaan Kuda Swabaya. Gajah Enggon
merasa heran karena Kuda Swabaya tidak bercerita kepadanya.
”Berbekal kecurigaan Kuda Swabaya itu, aku menemukan bukti
bahwa benar calon temanten perempuan ternyata telah menjalin hubungan
asmara dengan lelaki lain. Suara mirip anjing yang melolong beberapa
saat yang lalu, merupakan isyarat pertemuan antara mereka. Sayang
sekali, aku tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk menangkap
pihak laki-laki. Dengan temuanku itu, apa yang harus kita lakukan?”
tanya Pradhabasu.
Pradhabasu menunggu jawaban yang tidak dengan serta-merta
diterimanya, baik dari Kanuruhan Gajah Enggon maupun dari
Laksamana Nala.
”Tidak baik melaporkan masalah ini kepada Prabu Hayam Wuruk
atau Kakang Mahapatih Gajah Mada. Akibatnya akan sama-sama buruk.
Rencana perkawinan itu akan batal dan memang itulah yang diinginkan
kelompok Ma Panji Elam,” kata Kanuruhan Gajah Enggon.
Pradhabasu mengangguk, tatapan matanya tajam tertuju kepada
http://facebook.com/indonesiapustaka

Gajah Enggon.
”Namun, juga tidak baik membiarkan Prabu Hayam Wuruk
mengawini wanita yang ternyata menjalin hubungan asmara dengan lelaki
lain. Prabu Hayam Wuruk akan mendapat apa?” tambah Laksamana
Nala.
388 Gajah Mada

Pradhabasu menyapukan pandangan ke alun-alun depan istana


dengan perasaan tidak nyaman. Hal yang sama dilakukan Gajah
Enggon.
”Ada sebuah jalan untuk menyelamatkan keadaan ini,” Laksamana
Nala berkata. ”Rencana perkawinan Prabu Hayam Wuruk dan Dyah
Pitaloka jalan terus. Namun, di saat yang sama, digelar tindak dan gerak
pelacakan149 untuk menemukan laki-laki lain itu. Jika kita ditemukan,
langsung bunuh! Itu bisa dilakukan sebelum upacara perkawinan
berlangsung atau bisa pula setelahnya.”
Pradhabasu memandang Laksamana Nala dan mengunyah
usulannya. Pradhabasu tidak mendapat kesan apa pun dari wajah
Kanuruhan Gajah Enggon.
”Aku setuju,” kata Pradhabasu datar. ”Keterangan awal tentang siapa
orang yang kita curigai itu adalah ia seorang pelukis yang menggambar
Dyah Pitaloka. Lukisannya memang sangat bagus. Lukisan itulah yang
kemudian dibawa ke Majapahit beberapa hari yang lalu.”
Pradhabasu mengisi paru-parunya melalui tarikan napas tuntas.
”Bagaimana kalau aku menawarkan diri untuk tinggal. Aku yang
akan menelusuri jejak itu? Akan aku tuntaskan usulan Adi Laksamana
Nala untuk menemukan sekaligus membungkam mulutnya untuk
selamanya,” Pradhabasu menawarkan diri.
Kanuruhan Gajah Enggon dan Laksamana Nala saling pandang.
Kanuruhan Gajah Enggon menggeleng, pertanda tidak setuju.
”Jangan kau,” kata Gajah Enggon. ”Persoalan yang mendadak
muncul ini sangat rumit dan amat mungkin terjadi perang antara
Majapahit dan Sunda Galuh. Aku percaya kemampuanmu sebagai
telik sandi tak ada yang menandingi. Tetapi, saat ini, kau berada di luar
http://facebook.com/indonesiapustaka

semua itu. Aku tidak ingin kau menanggung beban yang mestinya bukan
tanggung jawabmu. Kau tak boleh tinggal. Biarlah Laksamana Nala yang
mengambil alih dengan meninggalkan beberapa prajurit sandinya.”

149
Digelar tindak dan gerak pelacakan, digelar operasi
Sanga Turangga Paksowani 389

Laksamana Nala mengangguk.


”Ya, aku setuju,” ucapnya.
Namun, Pradhabasu memiliki alasan sendiri.
”Bukan aku memandang rendah,” kata Pradhabasu. ”Tetapi,
derajat tugas yang dihadapi ini sangat berat. Oleh karena itu, biarlah aku
yang tinggal. Aku memiliki bekal dan kemampuan yang cukup untuk
melaksanakan tugas itu.”

45
Ada beberapa benda berserakan di ruang yang menjadi bagian dari
bangsal para abdi istana Surawisesa itu. Ada cermin retak, tetapi masih
bisa memantulkan wajah, buntalan kain berisi pakaian, tongkat panjang,
dan beberapa rancang gambar lukisan serta lukisan yang telah jadi.
Saniscara memandang kaca retak bersandar dinding di depannya.
Dengan cara itulah, Saniscara mencermati wajahnya sendiri, wajah yang
tampan meski telah berusia empat puluh tahun. Dengan kegelisahan yang
tidak terukur, Saniscara memandang salah satu lukisannya. Lukisan itu
sangat cantik dan itulah lukisan yang paling disukainya.
Dyah Pitaloka Citraresmi ia lukis sedang berbaring dengan kepala
beralaskan tangan kanan sambil tersenyum amat cantik.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Bagaimana perkembangannya?” suara itu terdengar dari


belakangnya.
Saniscara menoleh ke kaca retak yang bersandar di dinding itu. Melalui
kaca retak itu, ia melihat Riung Sedatu sedang memerhatikannya.
”Sangat buruk,” jawab Saniscara.
390 Gajah Mada

”Sangat buruk bagaimana?” tanya Sedatu.


Saniscara mengarahkan perhatiannya pada lukisan yang telah
tuntas ia buat. Lukisan itu digulung dan diikatnya dengan seutas tali,
lalu dibungkus dengan selembar kain berwarna merah.
”Dyah Pitaloka ingin memiliki anak pertama dariku, anak yang
diharapkan kelak menjadi raja. Aku menolak ajakan itu, ia marah.
Pertemuanku dengan Dyah Pitaloka sudah ada yang mengendus.
Rupanya, selama ini ada orang yang mengawasiku,” kata Saniscara.
Riung Sedatu tampak berpikir. Sejenak kemudian, ia tersenyum.
”Kau mengambil langkah yang benar. Aku tak bisa membayangkan
apa yang akan terjadi jika Dyah Pitaloka kaunodai. Prabu Hayam Wuruk
akan marah dan mengusirnya jika mendapati istrinya sudah tidak suci
lagi. Menurutku, secepat mungkin kau harus meninggalkan tempat ini.
Kau sudah tidak aman,” balas Sedatu.
Saniscara mengangguk. Apa yang diucapkan Riung Sedatu memang
benar adanya. Ia sudah tak aman. Dyah Pitaloka sendiri sudah menyampaikan
bagaimana Hyang Bunisora mencurigainya.
”Cepat tinggalkan tempat ini,” kata Sedatu. ”Ambil keputusan itu,
tinggalkan Dyah Pitaloka supaya tidak terbayang-bayangi.”
Saniscara tidak menjawab, tetapi dengan bergegas menuntaskan
mengemasi semua benda miliknya. Tempat tidur telah dirapikan, bantalnya
juga telah dirapikan. Lukisan yang telah dibungkus akan diletakkan di atas
bantal. Namun, oleh sebuah pertimbangan, Saniscara membatalkan niat itu.
Lukisan itu dibawanya. Dengan mata agak berkunang-kunang, Saniscara
menyapu semua benda di ruang itu dengan pandangan matanya.
”Kita tinggalkan tempat ini?” tanya Saniscara.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Ya,” jawab Riung Sedatu siap. ”Aku ikut. Bantulah aku untuk kembali
ke timur agar aku bisa menemukan jejak masa laluku yang hilang.”
Sanga Turangga Paksowani 391

46
D yah Pitaloka Citraresmi gundah karena apa yang diinginkan
tidak terwujud. Sejak semalam hingga pagi kemudian datang, gadis itu
tidak mampu memejamkan mata. Dyah Pitaloka berdiam diri di kamar. Ia
tidak mau keluar ketika diminta ayahnya untuk ikut melepas rombongan
tamu Majapahit yang akan kembali.
Dari jendela yang terbuka, Dyah Pitaloka mengamati alun-alun.
Tampak di sana, para tamu dari Majapahit telah berada di atas kuda
masing-masing. Rombongan tamu itu akan bergerak lurus ke utara. Atas
pesan Prabu Hayam Wuruk saat rombongan itu berangkat, kereta kuda
yang dibawa ke Sunda Galuh tak dibawa pulang. Kereta itu ditinggalkan
di Sunda Galuh dengan harapan bisa digunakan Dyah Pitaloka atau
Prabu Maharaja Linggabuana.
Dyah Pitaloka Citraresmi menoleh ketika terdengar suara batuk
dari belakangnya. Nenden Pritaya berdiri dengan sebuah benda yang
dibungkus kain berwarna merah.
”Apa itu?” tanya Dyah Pitaloka.
Nenden Pritaya maju selangkah.
”Hamba, Tuan Putri,” kata Nenden Pritaya. ”Hamba menerima
titipan benda ini dari Saniscara. Hamba diminta menyerahkan kepada
Tuan Putri.”
Gugup Dyah Pitaloka.
”Kakang Saniscara?” gumam Dyah Pitaloka.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Saniscara sudah pergi, Tuan Putri,” kata Pritaya.


Dyah Pitaloka Citraresmi merasa kakinya bagai melayang tak
berpijak. Kecemasan itu datang dengan mendadak. Dyah Pitaloka
Citraresmi amat cemas jika Saniscara pergi meninggalkan dirinya dan
tak akan pernah kembali.
392 Gajah Mada

”Kamu tahu apa isinya?” tanya Dyah Pitaloka.


”Hamba tak berani membuka, Tuan Putri,” jawab Pritaya.
”Apa pesan yang dititipkan Kakang Saniscara kepadamu?” tanya
Dyah Pitaloka tak sabar.
Nenden Pritaya meletakkan benda berbungkus kain merah itu di
atas meja.
”Saniscara berpesan agar Tuan Putri berkenan melupakannya. Tuan
Putri diminta untuk bersama-sama sadar dari mimpi yang terlampau
muluk. Demikian isi pesan itu,” ucap Nenden Pritaya
Dyah Pitaloka sama sekali tidak merasa ragu pada isi pesan itu
karena memang itu pula kata-kata yang diucapkan Saniscara di bangsal
pustaka. Dengan tangan gugup oleh kesadaran ia tak akan pernah
bertemu lagi dengan kekasih yang dicintai, Dyah Pitaloka membuka
bungkusan itu.
Membeku bagai patung batu, Dyah Pitaloka memerhatikan lukisan
dirinya yang amat indah itu.
”Kakang Saniscara,” Dyah Pitaloka membisikkan nama itu.
Nenden Pritaya bersimpuh ikut memerhatikan lukisan yang
luar biasa itu. Dengan latar belakang ruang kosong berwarna merah
kekuningan di bagian tengah yang menjadi agak terang di bagian luarnya,
Dyah Pitaloka tampil luar biasa.
Dyah Pitaloka melipat lukisan itu dan meletakkan di dalam laci.
Matanya basah.
”Kapan kau menerima titipan ini?” tanya Dyah Pitaloka.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Semalam, Tuan Putri,” jawab Nenden Pritaya. ”Tengah malam,


Saniscara menemui hamba untuk menyerahkan lukisan itu dan meminta
hamba menyerahkan kepada Tuan Putri pagi ini.”
”Kakang Saniscara menyebut ke mana ia pergi?” Dyah Pitaloka
kembali bertanya.
Sanga Turangga Paksowani 393

Nenden Pritaya menggeleng. Dyah Pitaloka merasa lehernya


tercekik, menyebabkan ia merasa sulit bernapas.
”Nenden Pritaya,” ucap Dyah Pitaloka nyaris tidak terdengar.
”Hamba, Tuan Putri,” jawab Nenden Pritaya.
Dyah Pitaloka memejamkan mata dalam upaya mengenang wajah
kekasihnya.
”Terima kasih untuk apa yang telah kaulakukan. Kuminta, kau
mengerti bagaimana harus bersikap,” ucap Dyah Pitaloka.
Nenden Pritaya menyembah sambil membetulkan sikap
bersimpuhnya.
”Tuan Putri jangan khawatir,” berkata Nenden Pritaya. ”Hamba
tak akan bercerita kepada siapa pun. Hamba akan mengunci rapat-rapat
mulut hamba.”
”Kau boleh meninggalkanku, Pritaya,” kata Dyah Pitaloka.
Sekar Kedaton Sunda Galuh melangkah perlahan menuju jendela.
Dari tempat itu, ia melihat alun-alun telah sepi. Para tamu dari Majapahit
telah pergi meninggalkan Sunda Galuh, meninggalkan gerak waktu yang
ke depan akan memberikan impitan yang tak tertahankan bagi Dyah
Pitaloka.
Dyah Pitaloka melirik meja di sampingnya. Sebuah pisau tajam
mengilat dengan gagang terbuat dari emas tergeletak di meja itu. Ibu
Permaisuri Dewi Lara Linsing menghadiahkan kujang150 itu sebagai
penjaga pamungkas atas kehormatannya jika ada pihak yang hendak
menjarah.
http://facebook.com/indonesiapustaka

150
Kujang, Sunda, nama senjata yang menjadi kebanggaan orang Parahyangan, sebagaimana celurit
kebanggaan orang Madura, dan rencong senjata kebanggaan orang Aceh
394 Gajah Mada

47
S ebagaimana telah menjadi keputusannya, Pradhabasu tidak
ikut pulang bersama rombongan yang dipimpin Patih Maduratna.
Atas kehendak sendiri, Pradhabasu masih tinggal di sekitar kotaraja.
Menggunakan kemampuan sebagai telik sandi, Pradhabasu telah berniat
masuk kembali ke istana Sunda Galuh. Ia bertekad untuk menemukan
sasarannya, orang berkemampuan luar biasa dalam melukis. Orang
itu diyakini mempunyai hubungan pribadi dengan Dyah Pitaloka
Citraresmi. Jika hubungan asmara antara mereka itu melampaui batas,
akan menempatkan Prabu Hayam Wuruk sebagai orang yang terhina.
Di sebuah hutan yang tidak jauh dari kotaraja, Pradhabasu menunggu
datangnya malam sambil menganyam angan-angan dalam bentuk
pertanyaan, di mana gerangan anak lelakinya berada? Telah beberapa
bulan lamanya, Prajaka tak bersamanya, hilang jejaknya bagai ditelan
bumi. Untuk keperluan kembali ke Majapahit jika Pradhabasu telah
selesai melaksanakan tugasnya, Laksamana Nala meninggalkan seekor
kuda. Pradhabasu segera akrab dengan kuda itu.
Petang membayang ketika Pradhabasu melihat keanehan.
”Banyak sekali,” ucap Pradhabasu.
Saat menengadah, Pradhabasu menyaksikan kalong-kalong dalam
ukuran besar terbang tinggi sekali.
Kalong-kalong itu tentu ribuan jumlahnya, bergerak dari utara
ke selatan. Sayang, binatang bersayap lebar itu terbang amat tinggi.
Andaikata para kalong itu terbang rendah, tentu akan menjadi tontonan
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang sangat menarik.


”Akan ke mana mereka?” gumam Pradhabasu.
Sejengkal kemudian, petang yang menerawang itu berubah menjadi
gelap dengan kabut melayang di mana-mana. Pradhabasu bangkit dan
Sanga Turangga Paksowani 395

siap untuk melaksanakan rencananya. Setidaknya, sebagai langkah awal,


Pradhabasu harus berada pada jarak dekat dengan istana Surawisesa.
Namun, Pradhabasu keget luar biasa saat menyadari ia tak sendiri di
tempat itu.
”Kau berada di sini?” tanya Pradhabasu kepada bocah di depannya.
Bocah itulah yang memberi petunjuk agar Pradhabasu melacak jejak
anaknya di arah barat. Pradhabasu amat sulit memahami, bagaimana
bocah itu bisa muncul menemuinya di tempat yang amat jauh? Mencoba
menggunakan nalar yang paling masuk akal macam apa pun, Pradhabasu
tidak bisa menerimanya.
”Sudah bertemu dengan yang kaucari?” tanya bocah itu.
Pradhabasu menggeleng. Pradhabasu masih memandang dengan
tatap mata takjub.
”Belum,” jawabnya.
”Kembalilah ke timur. Anakmu sudah mengarah ke perjalanan
pulang,” kata bocah itu.
Pradhabasu terhenyak.
”Benarkah?” tanya Pradhabasu.
Bocah kecil itu mengangguk, ”Kurasa kau masih memiliki waktu
untuk mengejar rombonganmu yang telah pulang lebih dulu. Tidak ada
gunanya kau menyelinap ke istana Sunda Galuh. Kau tidak akan bisa
bertemu dengan orang yang kaucari.”
Pradhabasu terkejut. Bocah kecil di depannya ternyata mengetahui
tugas rahasia yang sedang diembannya.
”Kautahu apa yang akan kulakukan di istana Sunda Galuh?” tanya
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pradhabasu.
Bocah yang belum diketahui namanya itu mengangguk.
”Aku tahu banyak, di antaranya pelukis yang kaucari itu sudah
pergi meninggalkan Dyah Pitaloka yang menangisi nasibnya. Kalau
396 Gajah Mada

kaupercaya pada saranku, pulang saja. Anakmu sudah berada dalam


arah yang benar. Anakmu sedang menuju pulang,” berkata bocah kecil
itu.
Pradhabasu memandang bocah kecil itu amat heran.
”Sebenarnya siapa kamu?” tanya Pradhabasu. ”Kau masih merasa
keberatan aku ingin mengetahui siapa namamu?”
Bocah itu mengangguk, ”Apa arti sebuah nama? Aku bisa bernama
Agal, aku juga bisa bernama Dangdi, atau nama apa pun. Aku juga
bisa bernama Pradhabasu. Apa kau keberatan jika aku menggunakan
namamu?”
Terbungkam mulut Pradhabasu. Meski yang berada di depannya
hanyalah seorang bocah, ia benar-benar tak boleh diremehkan.
”Pulanglah, jangan lanjutkan rencanamu,” ucap bocah itu, kemudian
berjalan menjauh, mungkin karena ia menganggap pembicaraan itu
telah usai.
Dengan saksama, Pradhabasu memerhatikan jejak bayangan bocah
itu karena ia yakin sesuatu akan terjadi. Dugaan Pradhabasu benar, bocah
itu tiba-tiba berhenti dan melakukan sesuatu yang luar biasa. Tiba-tiba,
bocah itu berbalik untuk memamerkan wajah lain, bukan wajahnya
semula, tetapi wajah yang sudah tua sekali.
Pradhabasu membeku bagai patung batu saat memerhatikan wujud
orang itu mulai kabur dan makin kabur, berada di antara ada dan tiada,
kemudian lenyap tak ada jejaknya.
”Bukan main, mengerikan sekali,” desis Pradhabasu.
Masih dilibas rasa kaget dan dibelit pesona yang tak terlawan, suami
Dyah Menur itu mendekat ke jejak terakhir yang ditinggalkan bocah
http://facebook.com/indonesiapustaka

aneh itu. Pradhabasu mengira, bocah itu menghilang begitu saja. Cukup
lama Pradhabasu menikmati rasa bingungnya. Suasana di tempat itu pun
menjadi sepi. Yang tertinggal hanya suara binatang malam yang saling
bersahutan. Suara hewan itu berbeda-beda, tetapi saling melengkapi
antara satu dengan yang lain.
Sanga Turangga Paksowani 397

Tanpa keraguan sama sekali, Pradhabasu membatalkan semua


rencananya. Diterangi bintang-bintang di langit, apalagi jalan yang
ditempuhnya lumayan bagus, Pradhabasu memacu kudanya dengan
kencang. Tengah malam terlampaui dan sang waktu bergerak mendekati
datangnya pagi. Namun, Pradhabasu tidak berniat berhenti. Dari
penduduk yang ditemui, Pradhabasu bisa mendapatkan keterangan jarak
dari rombongan berkuda yang mendahului.
Saat pagi datang, Pradhabasu menyempatkan berhenti di sebuah
warung.
”Sarapan?” bertanya pemilik warung.
Pradhabasu mengangguk.
Dengan perut lapar, Pradhabasu sangat menikmati jenis sarapan
sederhana dengan minuman teh hangat yang dijual pemilik warung itu.
”Dari mana asalmu, Kisanak?” tanya pemilik warung itu ramah.
”Dari Majapahit,” jawab Pradhabasu ramah pula.
Pemilik warung itu terkejut.
”Tengah malam tadi, serombongan orang yang juga dari Majapahit
lewat. Mereka beristirahat di pendapa pedukuhan ini beberapa tabuh.
Setelah itu, mereka berangkat lagi. Katanya, mereka kembali dari Kawali
setelah melamar Tuan Putri Sekar Kedaton Dyah Pitaloka,” kata pemilik
warung itu.
Pradhabasu mengangguk di sambil menelan makanannya.
”Benar,” kata Pradhabasu. ”Rombongan tamu dari Majapahit itu
memang baru kembali dari Kawali. Mereka telah selesai melaksanakan
tugas meminang Sekar Kedaton Sunda Galuh. Perkawinan akan
http://facebook.com/indonesiapustaka

diselenggarakan setengah bulan lagi di Majapahit.”


Pemilik warung yang belum banyak didatangi pembeli itu
mengangguk perlahan dan tampak berpikir. Pradhabasu mencoba
menebak apa yang ada di benak pemilik warung itu. Akan tetapi, wajah
tua itu amat datar.
398 Gajah Mada

Pradhabasu menyapukan pandangan ke halaman warung. Tatapannya


kemudian jatuh ke tonggak kayu yang ditancapkan di halaman. Tonggak
kayu itu biasanya digunakan untuk mengikat kuda pengunjung. Nyaris
berhenti denyut jantung Pradhabasu melihat ada sesuatu yang bisa
dikenalinya.
”Prajaka pernah berada di sini,” ucap Pradhabasu tegang.
Pradhabasu yang belum tuntas makan itu melompat dan bergegas
mendekati tonggak kayu itu. Melihat ciri-ciri yang tertinggal, Pradhabasu
yakin bahwa Sang Prajaka pernah berada di tempat itu.
Sikap aneh tamunya menyebabkan pemilik warung mendekatinya.
”Ada apa?” tanya pemilik warung itu.
Wajah Pradhabasu berubah tegang. Ukiran kayu itu dengan jelas
menunjukkan siapa pembuatnya. Ada ciri-ciri khusus yang masih bisa
ditandainya, misalnya Prajaka selalu membuat bentuk burung yang
melayang membentangkan sayap.
”Siapa yang membuat ukiran ini?” tanya Pradhabasu.
Pemilik warung itu mengerutkan kening. Ia merasa aneh ada orang
yang tertarik pada ukiran kayu itu. Namun, pertanyaan yang diterimanya
itu menggiring pemilik warung untuk mengingat wajah orang yang
memiliki bakat luar biasa. Dengan amat terampil, bonggol kayu jati di
tangannya bisa berubah dipenuhi ukiran memet.151
”Pembuatnya seorang laki-laki yang mengaku kehilangan masa
lalunya. Tidak hanya masa lalunya, laki-laki itu juga bercerita bahwa ia
tidak ingat siapa namanya, tak ingat dari mana ia berasal. Tetapi, katanya
pula, seseorang memberinya nama Riung Sedatu,” jawab pemilik warung
itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Jantung Pradhabasu terpacu lebih kencang. Petunjuk yang diterimanya


dari bocah aneh itu ternyata benar.

151
Memet, Jawa, penuh detail
Sanga Turangga Paksowani 399

”Bagaimana ciri-cirinya?” kejar Pradhabasu.


Pradhabasu terhenyak ketika merasa yakin, Sang Prajaka meninggalkan
jejaknya di tempat itu. Semua ciri yang disebut pemilik warung mengarah
kepada anaknya. Hal yang membuatnya sangat terpukul adalah Sang
Prajaka menempuh perjalanannya dengan kebingungan lupa nama, lupa
asal-usul, dan lupa masa lalunya.
”Aku yang membuat keadaan Prajaka seperti itu. Akulah yang
bersalah,” ucapnya penuh penyesalan.
Mendapatkan bukti itu, Pradhabasu percaya, petunjuk yang diberikan
bocah itu benar adanya. Bagai tidak sabar, Pradhabasu menyudahi
sarapannya untuk mengejar rombongannya yang telah mendahului ke
Losari. Jika tak terkejar, Pradhabasu akan dibayangi kesulitan karena
ia akan membutuhkan waktu yang panjang untuk pulang ke Majapahit
melalui jalan darat dengan medan yang amat berat.

48
P elabuhan Losari menjadi lebih ramai. Puluhan kapal telah
disiapkan untuk menempuh perjalanan panjang ke Majapahit. Kapal
yang paling besar dihias indah. Di kapal itulah Maharaja Linggabuana,
Dewi Lara Linsing, dan Dyah Pitaloka berada. Penampilan Maharaja
http://facebook.com/indonesiapustaka

Linggabuana berubah. Ia tak lagi menggunakan mahkota. Rambutnya


dibiarkan terurai panjang. Maharaja Linggabuana mengenakan jubah,
pertanda ia telah siap memasuki kehidupan brahmana.
Penampilan Dyah Pitaloka Citraresmi juga berubah dan menjadi
perhatian siapa pun. Dyah Pitaloka Citraresmi tak lagi mengurai
400 Gajah Mada

rambutnya. Rikma-nya152 yang panjang digelung, sebuah mahkota


menghiasi kepalanya. Mahkota itulah yang menarik perhatian. Penghias
kepala itu mempunyai makna bahwa siapa saja yang memakainya pasti
berkedudukan sebagai raja. Maharaja Linggabuana tidak mengenakan
mahkota. Dengan demikian, Maharaja Linggabuana bukan lagi seorang
raja.
Pantai Losari benar-benar ramai dijejali ribuan orang yang ikut
menyaksikan keberangkatan Prabu Putri Dyah Pitaloka menuju
Majapahit. Berita rencana perkawinan Dyah Pitaloka sama bergaungnya
dengan berita turun takhtanya Sang Prabu Maharaja. Apalagi, berita itu
menyebut, Dyah Pitaloka Citraresmi yang mewarisi kekuasaan ayahnya,
bukan Niskala Wastu Kencana.
Negara tidak boleh dibiarkan kosong tanpa ada yang mengendalikan.
Oleh karena itu, Hyang Bunisora diminta untuk tetap tinggal di Surawisesa.
Niskala Wastu Kencana yang ingin ikut juga tidak diperbolehkan.
Dewi Lara Linsing menolak permintaan Niskala Wastu Kencana itu
berdasarkan firasat. Tetapi, firasat apa, Dewi Lara Linsing tidak mampu
menerka atau menembus sekat rahasia yang rupanya memang menjadi
wilayah kewenangan para Dewa.
Persiapan masih terus dilakukan, meski waktu telah bergeser lama. Hal
itu karena banyak bawaan yang harus dimasukkan ke dalam kapal, termasuk
ke dalam kapal berukuran paling besar. Sejumlah kuda dimasukkan pula
ke dalam kapal. Kuda-kuda itu akan dipergunakan untuk melanjutkan
perjalanan darat setelah tiba di pelabuhan Ujung Galuh. Jika sungai Mas
yang berujung ke sungai Brantas tidak sedang kering, perahu-perahu
berukuran kecil bisa digunakan terus berlayar hingga ke pelabuhan
Canggu, pelabuhan sungai yang berada di luar Trowulan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Namun, entah mengapa Dewi Lara Linsing merasa gamang terhadap


perjalanan yang akan ditempuhnya itu.

152
Rikma, Jawa halus, rikma adalah kata lain dari rambut dalam tingkat krama inggil, bahasa Jawa halus
atau tingkat tinggi
Sanga Turangga Paksowani 401

”Kenapa perasaanku menjadi tidak enak? Apa akan terjadi sesuatu


yang buruk di Majapahit?” gelisah Dewi Lara Linsing.
Akan tetapi, Dewi Lara Linsing tidak membagikan kegelisahan itu
kepada siapa pun, tak pula kepada suaminya. Kegelisahan itu makin
menjadi ketika ia melihat warna laut yang semula biru, berubah. Bukan
warna biru yang menyapa matanya, tetapi warna merah.
”Tidak salahkah pandangan mataku ini?” tanya Dewi Lara Linsing
memerhatikan permukaan laut.
”Ada apa?” tanya Maharaja Linggabuana sambil mendekat.
”Aku melihat lautan darah. Firasat apa ini, Kakang Maharaja?” tanya
Dewi Lara Linsing amat cemas.
Maharaja Linggabuana memerhatikan permukaan laut dan mencoba
mencari jawaban, mengapa istrinya melihat air berlimpah itu seperti
lautan darah?
”Tak ada yang aneh pada air laut itu, istriku,” kata Maharaja
Linggabuana. ”Saat ini, langit sedang berwarna kemerahan. Itu yang
menyebabkan kamu melihat laut seperti darah.”
Dewi Lara Linsing menutup mata dan menggoyang kepalanya. Akan
tetapi, ketika ia kembali membuka matanya, apa yang dipandangnya tak
berubah. Bukan air laut yang terlihat, tetapi benar-benar darah. Betapa
gugup Dewi Lara Linsing, tampak dari bagaimana wanita itu mendadak
mencengkeram wajah.
”Jagad Dewa Batara,” letup perempuan itu.
Melihat istrinya gugup, Maharaja Linggabuana penasaran. Namun,
dilihat dari sisi mana pun, air laut itu terlihat tetap sebagai air laut,
warnanya biru gelap ke biru terang. Warnanya tidak merah seperti darah,
http://facebook.com/indonesiapustaka

meski sebagian langit tampak merah.


”Akan terjadi sesuatu yang amat buruk di Majapahit, Kakang
Maharaja,” Dewi Lara Linsing berkata dengan suara serak.
Maharaja Linggabuana menelan kata-kata istrinya tanpa berniat
menjawab. Dengan isyarat tangannya, Maharaja Linggabuana yang
402 Gajah Mada

melihat semua persiapan telah usai, memerintahkan untuk berangkat.


Suara sangkakala melengking tinggi menggetarkan udara terdengar ke
segala penjuru. Isyarat perintah yang berasal dari kapal paling besar itu
bersambut. Semua kapal yang ada, baik besar maupun kecil menjawab
dengan sangkakala masing-masing. Ada yang nadanya rendah, tetapi ada
pula yang nadanya tinggi, bahkan ada sangkakala yang mejen, tak bersuara
meski telah ditiup keras, ditiup sampai mulut peniupnya melembung.
Matahari senja menyaksikan rombongan yang berangkat dari arah
barat itu. Di seluruh penjuru, langit tampak bersih. Namun, angin
berembus kencang dari belakang, mendorong semua kapal untuk bisa
mencapai Majapahit lebih cepat daripada yang diperkirakan.
Di biliknya, di dalam kapal yang paling besar, Dyah Pitaloka
memandang panorama di sebelah kanannya melalui jendela yang terbuka.
Di sana, tampak bibir pantai dengan pasir berwarna putih memanjang ke
timur bersambung dengan pasir berwarna hitam. Di latar belakangnya,
ada perbukitan memanjang ke arah timur, sebagian besar ditumbuhi
nyiur. Angin kencang menyebabkan nyiur itu melambai-lambai.
Akan tetapi, pikiran Dyah Pitaloka bukan pada semua yang
dilihatnya. Angan Dyah Pitaloka tidak sejengkal pun bergeser dari wajah
Saniscara. Pertanyaan menggantung itu sungguh mengganggunya. Di
mana Saniscara? Sedang apa Saniscara? Dyah Pitaloka dilibas rasa rindu
yang nyaris tak tertahankan. Rindu yang telah menguras habis air matanya
yang tumpah membasahi bantal dan guling.
”Kakang Saniscara,” Dyah Pitaloka menggumamkan nama itu
dengan segala rasa resah.
Berulang kali, Dyah Pitaloka menyebut nama itu.
Didorong angin yang cukup deras dari belakang, kapal-kapal
http://facebook.com/indonesiapustaka

berukuran besar dan kecil itu terus melaju ke arah timur dan terus melaju
ketika esok harinya tiba dengan matahari pagi menyapa. Perjalanan kapal-
kapal dengan bendera Sunda Galuh itu menarik perhatian penduduk
yang tinggal di pantai.
Seorang bocah melonjak-lonjak girang melihat rombongan itu.
Sanga Turangga Paksowani 403

”Oeee, kapal!” teriak seorang bocah. ”Beri aku uang!”


”Kapal besar, beri aku uang!” seorang bocah lain menirukan ucapan
itu.
Dyah Pitaloka yang sedang gundah hatinya, agak terhibur saat
melihat banyak ikan lumba-lumba yang lucu melaju berpacu balap
dengan kapalnya. Ikan berkulit hitam dan putih itu sama sekali tidak
takut karena mereka tahu, orang-orang di kapal berukuran besar itu
pada umumnya tidak mengganggu mereka, malah menganggapnya
sebagai sahabat.

49
D i sebuah rumah besar yang terletak berimpitan dengan gapura
tapal batas kotaraja, Ma Panji Elam duduk dikelilingi tiga orang lain.
Mereka adalah Pu Kapasa, Pu Kapat, dan Pu Menur.
”Jadi, kalian belum berbicara dengan Mahapatih?” tanya Pu
Kapasa.
Arya Rajaparakrama Ma Panji Elam dan Arya Wangsaprana Pu
Menur bersamaan menggeleng.
”Menurut Gajah Sagara yang menjaga rumahnya,” kata Ma Panji
Elam, ”Kakang Mahapatih Gajah Mada sudah dua hari dua malam
http://facebook.com/indonesiapustaka

melakukan puasa pati geni dan tidak keluar dari sanggar pamujan.
Katanya, Kakang Mahapatih Gajah Mada berencana melakukan puasa
pati geni itu selama lima hari lima malam. Agak mengherankan juga, tak
biasanya Mahapatih mengambil puasa lebih dari dua hari. Namun, kita
justru bisa memanfaatkan ini untuk mempermainkan keadaan. Kita bisa
404 Gajah Mada

mematangkan rencana menggagalkan perkawinan Prabu Hayam Wuruk


dengan mengambil langkah-langkah yang kita inginkan.”
Sang Arya Suradhiraja Pu Kapasa kaget. Sang Arya Patipati Pu
Kapat langsung mengerutkan kening.
”Menggagalkan? Apa Kakang Gajah Mada memerintahkan itu?”
tanya Pu Kapasa.
Ma Panji Elam tertawa pendek, mencicil rasa geli atas permainan
yang dirancang akan digelarnya nanti.
”Anggap saja Kakang Gajah Mada memberi perintah itu. Tak salah
kita menggagas upaya menggagalkan perkawinan Prabu Hayam Wuruk
karena masih sejalan dengan apa yang dikehendaki Kakang Mahapatih
Gajah Mada. Penyatuan Sunda Galuh dan Jawa dalam imbangan
sederajat seolah sama tinggi benar-benar merugikan Majapahit. Jika
rencana perkawinan itu bisa dibatalkan, dengan sendirinya akan
berubah menjadi rencana penyerbuan ke Sunda Galuh,” berkata Ma
Panji Elam.
Dengan berbisik karena cemas pintu dan daun jendela bertelinga,
empat arya pendukung Gajah Mada itu merangkai rencana dan menyusun
langkah yang akan diambil.
”Kita harus memberikan keterangan susulan yang menyesatkan,
seolah keterangan itu berasal dari Sunda Galuh. Kita kabarkan bahwa
Sunda Galuh meminta pengunduran waktu sampai tujuh hari supaya
persiapan Majapahit mundur tujuh hari. Dengan demikian, ketika Sunda
Galuh tiba, Majapahit masih lengang. Amat mudah mempermainkan
keadaan macam itu,” Ma Panji Elam menjelaskan rencananya.
Pu Kapasa mengangguk.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Ingat, kemarahan harus berasal dari Sunda Galuh, bukan Majapahit.”


berkata Ma Panji Elam. ”Kita pancing supaya Sunda Galuh kehilangan
kendali dan lebih dulu menyerbu. Jika hal itu terjadi, tanpa diketahui siapa
pun, Arya Sentong telah menyiapkan pasukan yang digelar seolah sedang
menyelenggarakan latihan di alun-alun bagian luar. Jaran Bhaya dengan
Sanga Turangga Paksowani 405

pasukan berkuda yang ia pimpin juga sedang menyelenggarakan latihan.


Ketika pasukan Sunda Galuh telah mendidih dan memberi kita alasan
untuk menyerbu, kita bantai pasukan Sunda Galuh itu yang dengan
sendirinya akan menempatkan Majapahit menguasai Sunda.”
Pu Kapat mencerna apa yang disampaikan Ma Panji Elam dan
sepenuhnya setuju tanpa ada secuil pun yang tidak.
”Siapa yang bertugas menyampaikan keterangan yang menyesatkan
itu?” tanya Pu Kapat.
”Kau yang bertanggung jawab atas hal itu. Terserah siapa yang
kaupilih seolah menerima pesan dari utusan Sunda Galuh yang meminta
pengunduran waktu selama tujuh hari,” jawab Ma Panji Elam.
Pu Kapat merenung sejenak. Namun, dengan segera ia mengangguk.
”Baik, aku laksanakan,” kata Pu Kapat.
Ma Panji Elam melihat langit. Ia menandai letak matahari untuk
mengukur waktu.
”Sudah saatnya kita bergabung dengan yang lain menghadap Sang
Prabu,” kata Ma Panji Elam.
Dengan langkah lebar, Sang Arya Rajaparakrama Ma Panji Elam,
Sang Arya Patipati Pu Kapat, Sang Arya Wangsaprana Pu Menur, dan
Sang Arya Suradhiraja Pu Kapasa melangkah menuju Balairung Bale
Manguntur yang mampu menampung orang sebanyak apa pun. Ma Panji
Elam dan tiga temannya datang agak terlambat. Namun, masih belum
kedahuluan Prabu Hayam Wuruk. Di tempat duduk yang disediakan
untuk para arya, sudah terlihat Sang Arya Jayapati Pu Pamor, Sang Arya
Rajadhikara Pu Tanga, Sang Arya Dhiraraja Pu Narayana, dan Sang Arya
Dewaraja Pu Aditya. Di kursi tanpa sandaran yang disediakan untuknya,
http://facebook.com/indonesiapustaka

Brahmana Smaranatha duduk berdampingan dengan Dharmadyaksa


Kasogatan Dang Acarya Nadendra dan Dharmadyaksa Kasaiwan Dang
Acarya Dharmaraja.
Laksamana Nala tidak tampak di antara mereka yang menghadap
itu karena ia tidak turun dari kapalnya di Ujung Galuh. Laksamana Nala
406 Gajah Mada

harus mengendalikan gerakan armadanya karena baru saja ia mendengar


laporan tentang adanya armada tak dikenal yang berlayar melewati laut
di antara Tanjung Pura dan Sulawesi.
Duduk di tengah, Patih Madu duduk bersila diapit Kanuruhan Gajah
Enggon dan Pasangguhan Gagak Bongol. Pertemuan itu terasa tidak
lengkap karena Mahapatih Gajah Mada berhalangan hadir. Gajah Mada
telah menyampaikan kepada Prabu Hayam Wuruk rencananya untuk
melakukan tapa pati geni beberapa hari sehingga ia tak bisa hadir di
beberapa pertemuan. Hayam Wuruk mengabulkan permohonan itu.
Terselip di antara para prajurit yang ikut hadir di pasewakan yang
digelar mendadak itu, dua prajurit muda yang bersahabat, Kuda Swabaya
dan Gajah Sagara. Mereka berdiri agak jauh dengan memegang tombak
dalam sikap siaga. Di dekatnya, Senopati Macan Liwung menempatkan
diri ikut mendengarkan. Macan Liwung sama sekali tidak memerhatikan
orang bertubuh kurus dengan penampilan sederhana yang duduk tak
jauh darinya. Andaikata ia bisa mengenalinya, tentu Macan Liwung akan
kaget bukan kepalang.
Setelah menunggu berapa jenak, terdengar bende Kiai Samudra
dipukul sekali. Serentak, mereka yang hadir di Bale Manguntur
mengambil sikap masing-masing. Sebagai pejabat yang memiliki pangkat
paling tinggi, Gajah Enggon memimpin pemberian hormat kepada Raja
beserta segenap keluarganya yang keluar dari sebuah pintu.
Prabu Hayam Wuruk berjalan dengan wibawa yang luar biasa,
didampingi dua adiknya yang tampil amat cantik. Dyah Nrttaja
begitu cantik dengan cahaya gemerlapan laksana bintang, sedangkan
Duhitendudewi begitu anggun bagaikana bidadari. Prabu Hayam Wuruk
menempatkan diri duduk di atas singgasananya di dalam bangunan kecil
yang diberi nama Bale Witana. Sementara itu, kedua adiknya telah tahu
http://facebook.com/indonesiapustaka

di mana harus duduk. Dua buah kursi di luar Bale Witana yang tertutup
tirai disediakan untuk dua putri cantik kembang taman Majapahit itu.
Ibu Suri Sri Gitrarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani
memisahkan diri dari suaminya dan duduk berdampingan dengan Dyah
Wiyat Rajadewi Maharajasa yang juga memisahkan diri dari suaminya.
Sanga Turangga Paksowani 407

Di dampar terpisah, Sri Kertawardhana duduk bersebelahan dengan Sri


Wijaya Rajasa Hyang Parameswara Sang Apanji Wahninghyun.
Sebuah kursi tampak kosong. Kursi dengan sandaran diukir
berbentuk burung garuda membentangkan sayap itu mestinya
menjadi tempat duduk Mahapatih Gajah Mada. Akan tetapi, Sang
Mahamantrimukya sedang berhalangan hadir. Dengan demikian, laporan
kepadanya harus dilakukan tersendiri dan terpisah.
Suara gamelan yang dipukul dengan irama pelan berusaha menguasai
ruangan dan itu berhasil. Warna suara gamelan itu menyebabkan tak
seorang pun yang berbicara. Dalam hening, semua menyimak warna
suara indah itu, juga menyimak pembicaraan apa yang akan terjadi.
Prabu Hayam Wuruk merasa telah tiba saatnya untuk mengangkat
tangannya, sebuah isyarat agar mereka yang menabuh gamelan
menghentikan kegiatannya.
”Silakan, Patih Madu,” kata Prabu Hayam Wuruk.
”Hamba, Sri Baginda,” kata Patih Madu. ”Berkat doa restu Sri Baginda
Prabu, juga berkat iringan doa para mantan prabu putri, para suami
mantan prabu putri, dan seluruh kerabat istana, hamba serombongan
telah sampai ke Sunda Galuh dan kembali dengan tak kurang suatu
apa. Yang pertama hamba sampaikan adalah sebuah perkembangan
baru. Sang Prabu Hayam Wuruk nantinya tak sekadar mengawini Sekar
Kedaton Sunda Galuh, tetapi mengawini Prabu Putri Sunda Galuh.
Sebagaimana telah disampaikan Prabu Maharaja Linggabuana yang
memutuskan lengser keprabon, beliau menunjuk Tuan Putri Dyah Pitaloka
Citraresmi sebagai raja baru untuk menggantikannya.”
Ibu Suri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani
dan Ibu Suri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa terperanjat mendengar
http://facebook.com/indonesiapustaka

keterangan itu dan bergegas menyimpulkannya. Akan tetapi, dengan


berbarengan, kedua mantan ratu itu mengangguk, menjadi pertanda bahwa
mereka sama sekali tak keberatan. Diangkatnya Dyah Pitaloka menjadi raja
dengan sendirinya juga mengangkat derajat Prabu Hayam Wuruk karena
Prabu Hayam Wuruk tidak mengawini perempuan sembarangan.
408 Gajah Mada

”Lalu?” tanya Prabu Hayam Wuruk.


Patih Madu menyembah.
”Prabu Maharaja telah menanyai anak gadisnya sehubungan lamaran
yang hamba sampaikan. Dan, Dyah Pitaloka memberi jawaban bersedia
menjadi istri Tuanku Prabu Hayam Wuruk. Kemudian, Prabu Maharaja
berniat menggelar pesta perkawinan di keraton Surawisesa sekaligus
hari itu akan menjadi hari sukacita bagi segenap rakyatnya. Menghadapi
rencana tersebut, hamba lalu menyampaikan pesan berikutnya
sebagaimana yang dikehendaki Ibu Suri Sri Gitarja bahwa mulai lima
belas hari ke depan, di Majapahit justru akan digelar pesta perkawinan
yang telah telanjur dirancang lebih dulu. Majapahit telah mengundang
banyak tamu, termasuk raja-raja dari mancanegara. Berbagai rangkaian
upacara yang telah dirancang juga tidak mungkin ditunda. Hamba
menyampaikan permohonan agar diizinkan memboyong calon temanten
putri sekaligus mengundang Prabu Maharaja bersama segenap keluarga
dan kerabat istana, termasuk para pejabatnya untuk berkenan hadir
di Majapahit. Akhirnya, Maharaja Linggabuana bersedia memenuhi
permohonan tersebut dan menjanjikan lebih kurang lima hari setelah
kami meninggalkan Sunda Galuh, rombongan dari Sunda itu akan
berangkat ke Majapahit. Dengan demikian, tepat di hari ke empat belas
sejak kami meninggalkan Sunda Galuh, rombongan tamu yang dipimpin
Prabu Maharaja akan tiba.”
Urut dan jelas penyampaian laporan yang dilakukan Patih
Maduratna. Ibu Suri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani
dan Ibu Suri Dyah Wiyat Rajadewi tak habis-habisnya menebar
senyum kebahagiaan. Di balik tirai tipis terbuat dari kain sutra di
Bale Witana, Prabu Hayam Wuruk tak mampu menyembunyikan
kebahagiaannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pertemuan di pasewakan terbatas itu selanjutnya diambil alih Ibu


Suri Sri Gitarja dan suaminya. Mereka menginginkan pesta perkawinan
anak lelakinya berjalan dengan megah sekaligus menjadi pesta untuk
segenap rakyat. Pembagian tugas dilakukan dan biaya yang diperlukan
untuk mendukung pesta dibuat rancangannya. Pesta pekawinan Prabu
Sanga Turangga Paksowani 409

Hayam Wuruk Sri Rajasanegara dengan Raja Putri Dyah Pitaloka


Citrasesmi akan dihadiri banyak tamu. Oleh karena itu, alun-alun akan
disulap menjadi kepanjangan Bale Manguntur dengan dipasangi tratag
tarup berukuran raksasa.
Dibimbing bibinya, Prabu Hayam mempersiapkan diri untuk
melaksanakan upacara perkawinan dengan menjalani banyak hal, dimulai
dengan mengunjungi makam Eyang Biksuni dan para leluhur lainnya.
Prabu Hayam Wuruk selanjutnya juga diminta untuk menjalani laku
prihatin sebagaimana petunjuk agama yang dianut. Dalam beberapa hari,
Prabu Sri Rajasanegara yang muda dan tampan itu diminta melakukan
pemusatan semadi di sanggar pamujan.
Acara telah dirancang sedemikian rupa. Ratusan prajurit telah
dikirim ke beberapa negara bawahan, khususnya di wilayah Jawa untuk
menyampaikan nawala undangan yang meminta raja bawahan itu hadir di
istana Tarik. Ratusan juru masak pun disiapkan dan dibagi-bagi menurut
tugasnya. Ratusan ekor sapi dikandangkan untuk disembelih. Ribuan
ekor ayam dan itik disiapkan. Pembongkaran lumbung juga dilakukan
karena diperlukan beras dalam jumlah yang amat banyak.
Namun, pada hari ketiga kepulangan rombongan utusan yang
dipimpin Patih Maduratna, Lurah Prajurit Arya Sentong memaksa
meminta izin menghadap Ibu Suri Sri Gitarja.
Bergegas, Lurah Prajurit Arya Sentong menyembah ketika
permohonannya itu telah diterima.
”Untuk keperluan apa kau meminta menghadap?” bertanya Sri
Gitarja.
Arya Sentong merasa harus menguasai gugupnya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Hamba, Tuan Putri Ibu Suri,” jawab Arya Sentong. ”Hamba harus
menyampaikan sebuah pesan penting yang hamba terima dari orang
Sunda. Utusan dari keluarga calon mempelai wanita mengatakan bahwa
karena ada banyak hal yang harus diselesaikan dan disiapkan, kehadiran
rombongan dari Sunda itu mundur tujuh hari,” ucap Arya Sentong.
410 Gajah Mada

Sri Gitarja terkejut.


”Mundur tujuh hari?” tanyanya.
Arya Sentong menjawabnya dengan menyembah.
”Di mana utusan itu?” tanya Sri Gitarja.
”Hamba, Tuanku. Utusan dari Sunda Galuh itu masih berada di
Canggu. Hamba telah mempersilakannya untuk naik. Akan tetapi,
karena utusan itu merasa penampilannya tak layak untuk dipergunakan
menghadap setelah perahunya dihajar ombak besar. Mereka meminta
kepada hamba agar menyampaikan pesan itu,” jawab Arya Sentong.
Sri Gitarja memandang adiknya.
”Jadi, mundur tujuh hari?” ulang Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa.
Arya Sentong mengangguk.
Sri Gitarja menoleh kepada adiknya.
”Bagaimana, Wiyat?” tanya Sri Gitarja.
Dyah Wiyat tidak perlu menimbang.
”Kita harus memaklumi. Kita di sini merasakan sendiri betapa
banyak hambatan yang kita hadapi dalam menyiapkan berbagai hal agar
pesta perkawinan nanti berjalan dengan sempurna. Hal yang sama pasti
dialami pula oleh Sunda Galuh. Apalagi, mereka berada di pihak yang
akan menempuh perjalanan jauh. Ada bagusnya juga keterlambatan
itu karena dengan demikian, Majapahit memiliki banyak waktu untuk
menyempurnakan segala sesuatunya,” ucap Sri Gitarja.
Sri Gitarja sependapat dan menoleh kepada Arya Sentong, lalu
berucap, ”Baik, aku terima pesan itu dan kembalilah ke Canggu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sampaikan kepada utusan dari Sunda itu, Majapahit akan menyesuaikan


diri.”
Sanga Turangga Paksowani 411

50
S etelah menempuh perjalanan panjang dan tidak ada penyambutan
sama sekali di pelabuhan Ujung Galuh, sebagaimana yang dijanjikan Patih
Maduratna, Maharaja Linggabuana merasa tidak nyaman. Namun, Raja
Sunda Galuh yang telah menyerahkan kekuasaan kepada anak gadisnya
itu tidak berburuk sangka. Ajakan berbesanan yang diterimanya dari
Majapahit pastilah dilandasi dengan kesungguhan hati, tak mungkin ada
perubahan, tak mungkin ada pelecehan.
Maharaja Linggabuana terheran-heran mendapati tidak ada
penyambutan sama sekali, bahkan hingga rombongan dari Sunda
Galuh telah melintasi batas kotaraja dan makin mendekati lapangan
Bubat. Matahari sore hari barangkali kaget melihat rombongan besar
yang baru datang itu. Lapangan Bubat tampak sepi. Yang ada hanya
ratusan tukang kayu yang sedang menuntaskan pekerjaan membuat
bangunan pesanggrahan dalam ukuran cukup besar yang nantinya akan
dipergunakan sebagai tempat menginap para raja dari negara bawahan,
juga sebagai tempat peristirahatan rombongan tamu dari Sunda Galuh.
Kebetulan, di pinggir lapangan Bubat yang luas sedang melintas dua
orang prajurit. Mereka adalah Kuda Swabaya dan Gajah Sagara. Betapa
terkejut dua prajurit muda itu ketika melihat kedatangan rombongan
dari Sunda Galuh.
”Orang-orang dari Sunda,” meletup Kuda Swabaya.
Kuda Swabaya bergegas memacu kuda amat kencang untuk
mendatangi rombongan tamu yang baru datang itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Tuanku Baginda?” Kuda Swabaya memberi hormat setelah


menyembah.
Maharaja Linggabuana mengangguk. Di sebelahnya, Dewi Lara
Linsing tampak amat cemas. Dyah Pitaloka tidak berbicara apa pun.
Semua orang Sunda Galuh menyimak pembicaraan yang akan terjadi.
412 Gajah Mada

Dari tepian lapangan Bubat, penduduk yang tinggal di sekeliling lapangan


itu memerhatikan dengan heran.
”Ternyata, Tuanku dan rombongan datang hari ini?” tanya Kuda
Swabaya.
Maharaja Linggabuana merasa heran.
”Kenapa?” balasnya.
”Bukankah sebagaimana yang disampaikan utusan Tuanku, Tuanku
akan tiba tujuh hari lagi? Kami telah menerima utusan Sunda Galuh yang
mengabarkan rombongan akan datang tujuh hari lagi. Apa yang terjadi,
Tuanku?” tanya Kuda Swabaya.
Betapa terkejut Maharaja Linggabuana dan rombongannya. Mereka
saling pandang.
”Aku tidak mengirim utusan itu. Aku datang sesuai waktu yang telah
disepakati dengan Patih Madu,” ucap Maharaja Linggabuana.
Kuda Swabaya dan Gajah Sagara bingung. Dua prajurit muda itu
saling pandang.
”Ada yang tidak beres,” kata Gajah Sagara. ”Arya Sentong pasti
menyampaikan laporan palsu.”
Kuda Swabaya berpikir keras untuk mengambil simpulan.
”Kaulaporkan kehadiran para tamu dari Sunda Galuh kepada Ibu
Suri Sri Gitarja. Aku akan menyampaikan kehadiran para tamu dari Sunda
Galuh ini kepada Mahamantrimukya,” berkata Kuda Swabaya.
Gajah Sagara sependapat. Dengan cekatan dan tangkas, Gajah
Segara melompat ke atas punggung kudanya dan langsung melesat
melaksanakan tugas yang telah dibagi dua. Namun, Kuda Swabaya masih
http://facebook.com/indonesiapustaka

belum naik ke punggung kudanya.


”Hamba mohon ampun, Tuanku,” berkata Kuda Swabaya. ”Hamba
dan barangkali juga sesembahan hamba, Ibu Suri Sri Gitarja, amat
terkejut karena utusan itu menyebut Tuanku akan datang terlambat
tujuh hari. Namun, karena Tuanku telah datang, atas nama Ibu Suri Sri
Sanga Turangga Paksowani 413

Gitarja, hamba memohon agar Tuanku bersama rombongan berkenan


menunggu sejenak. Hamba akan mengatur penyambutan.”
Maharaja Linggabuana yang merasa amat tidak nyaman, mengangguk.
Namun, ia tidak berbicara sepatah kata pun. Kuda Swabaya kembali
memberi hormat, lalu berlari ke arah kudanya. Debu mengepul tebal
ketika kuda itu berderap melintasi lapangan Bubat.
Maharaja Linggabuana menoleh ke segenap pengiringnya,
menyapu satu per satu semua wajah yang ada. Maharaja Linggabuana
menarik napas berat manakala menatap wajah Dyah Pitaloka yang kini
menyandang tanggung jawab sedemikian berat.
”Apa tanpa sepengatahuanku, ada di antara kalian yang telah
mengirim utusan untuk memberi tahu kita minta waktu mundur tujuh
hari?” bertanya Maharaja Linggabuana.
Satu per satu wajah para pengiring itu disapu dengan tatapan mata
yang berwibawa. Sebenarnya, Maharaja Linggabuana tahu, tak seorang
pun pengiringnya yang berbuat itu. Tak seorang pengiring pun yang
mengaku telah mengirim utusan itu.
”Kita harus berhati-hati,” kata Maharaja. ”Keadaan ini benar-benar
aneh. Aku yakin, ada orang di pihak Majapahit sendiri yang mengarang
cerita tentang utusan itu.”
Apa yang disampaikan Maharaja Linggabuana benar. Sesungguhnya,
para tamu dari Sunda Galuh itu telah dipantau kedatangannya sejak
masih berada di Ujung Galuh. Beberapa telik sandi yang dikendalikan
Lurah Prajurit Arya Sentong dan Lurah Prajurit Jaran Bhaya terus
mengamati perjalanan mereka. Kini, dari balik pintu rumah yang
terbuka, puluhan mata-mata terus mengamati tamu dari negeri Sunda
Galuh itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Di sudut barat alun-alun, sepasang mata juga sedang memerhatikan


rombongan tamu itu. Sepasang mata itu milik seorang laki-laki yang
membiarkan rambut panjangnya terurai. Sedemikian lebat rambut yang
terurai hingga ke bahu itu.
”Dyah Pitaloka,” gumamnya.
414 Gajah Mada

Ada sesuatu yang tidak mungkin dilupakan lelaki yang menutupi


wajahnya dengan caping lebar itu. Dilupakan dengan cara bagaimanapun,
ia tak mungkin lupa. Makin dilupakan justru makin teringat dan bergema
di gendang telinganya.
”Ayo, kita lakukan,” ucap Dyah Pitaloka yang tak mungkin ia lupakan.
”Ayo, kita lakukan, Kakang Saniscara kekasihku. Kau harus menjamah
tubuhku. Kau harus menodaiku. Aku harus mempersembahkan yang
aku miliki kepadamu. Aku siap menghadapi pahitnya kehidupan macam
neraka sekalipun. Ayo, kita lakukan suamiku. Aku ingin kelak bisa
menertawakan Majapahit yang tidak menyadari raja berikutnya bukanlah
keturunan mereka, bukan keturunan Prabu Hayam Wuruk. Akan tetapi,
sepenuhnya keturunanku dan keturunanmu, buah cinta kita.”
Dari tempatnya berada yang sedemikian jauh, Saniscara
memerhatikan wajah Dyah Pitaloka yang sangat dirindukannya. Dyah
Pitaloka yang memerhatikan luas lapangan Bubat, rumah-rumah yang
menyebar di luar lapangan, dan mereka yang menggerombol menjadikan
dirinya serta rombongannya sebagai tontonan, sempat memerhatikan
orang yang berdiri sendiri itu. Dyah Pitaloka Citraresmi bahkan sempat
berandai-andai, andaikata orang bercaping itu memang benar kekasihnya.
Andaikata Saniscara bertindak sebagaimana pangeran yang datang
menyelamatkannya dari kesulitan yang sedang dihadapinya.

51
http://facebook.com/indonesiapustaka

A mat kaget Ibu Suri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi


Jayawisnuwardhani manakala memperoleh laporan dari Gajah Sagara.
”Para tamu itu sekarang berada di mana?” tanya Ibu Suri Sri Gitarja.
Sanga Turangga Paksowani 415

”Hamba, Tuan Putri,” jawab Gajah Sagara sambil menyembah.


”Para tamu dari Sunda Galuh itu saat ini sedang menunggu penyambutan
di lapangan Bubat.”
Ibu Suri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani jarang
gugup. Namun, laporan yang diterimanya itu menyebabkannya gugup.
Kini, sadarlah Ibu Suri Gitarja bahwa ada sesuatu yang tidak beres terkait
kedatangan tamu itu. Beberapa hari sebelumnya, Lurah Prajurit Arya
Sentong menyampaikan kabar bahwa para tamu akan datang terlambat
sampai tujuh hari. Ternyata, tamu-tamu penting itu kini telah berada di
lapangan Bubat. Dengan demikian, benar ada upaya dari beberapa pihak
yang berniat menggagalkan perkawinan Prabu Hayam Wuruk dan Dyah
Pitaloka.
Ibu Suri Sri Gitarja memandang suaminya.
”Anakmas Prabu harus dibangunkan,” ucap Sri Gitarja.
Prabu Hayam Wuruk sedang melakukan puja semadi untuk meminta
petunjuk dan mendekatkan diri kepada Penciptanya. Sri Kertawardha
bimbang karena merasa tak selayaknya mengganggu apa yang dikerjakan
Hayam Wuruk.
”Kurasa aku bisa mewakilinya,” kata Sri Kertawardhana.
Akan tetapi, apa yang terjadi pada hari itu bergerak dalam hitungan
kejap. Rangkaian peristiwa yang terjadi bergerak amat cepat dan tak
terduga oleh siapa pun. Apalagi, suasana itu diperkeruh pihak yang
memainkan perannya sendiri. Tergambar hal itu dari apa yang dialami
Kuda Swabaya. Ia dicegat beberapa orang tepat di pintu gerbang rumah
Mahapatih Gajah Mada.
”Ada apa, Kuda Swabaya?” tanya Lurah Jaran Bhaya menghadang.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kuda Swabaya merasa heran melihat ada banyak orang di halaman


rumah Gajah Mada.
”Aku harus melaporkan kehadiran para tamu dari Sunda Galuh.
Saat ini, mereka sedang menunggu penyambutan di lapangan Bubat,”
jawab Kuda Swabaya.
416 Gajah Mada

Namun, Kuda Swabaya mendapatkan jawaban yang mengagetkan.


”Kami semua sudah tahu,” jawab Lurah Prajurit Jaran Bhaya.
”Teman-teman semua, amankan Kuda Swabaya!”
Kuda Swabaya terkejut mendapatkan perlakuan yang sama sekali
tidak terduga itu. Namun, Kuda Swabaya memang tidak memiliki
kesempatan untuk melawan. Amat tidak terduga, para prajurit di bawah
kendali Jaran Bhaya meringkusnya dan menyeret ke halaman belakang
rumah Mahapatih Gajah Mada. Kuda Swabaya makin heran melihat
puluhan ekor kuda yang diikat di halaman belakang rumah Gajah
Mada.
Kuda Swabaya dijebloskan ke dalam sebuah bilik dengan pintu
kayu yang amat kuat dan dirampas kebebasannya. Bersamaan dengan
itu, Gajah Mada telah keluar dari bilik semadinya. Telah beberapa hari,
Gajah Mada meninggalkan kesibukan sehari-harinya karena ada hal
pribadi yang harus didahulukan. Itu terjadi sejak Gajah Mada merasakan
munculnya rasa gatal di tangan kanannya. Gajah Mada sadar sepenuhnya,
karena berurusan dengan orang yang kepadanya ia rela menempatkan
diri sebagai murid, ia harus tertular masalah gurunya pula.
Pilihan atas dua buah tanda, ular melingkar dan bulatan berbentuk
cakra yang muncul di telapak tangan kanannya, menyebabkan Gajah
Mada terjebak pada rangkaian persoalan yang sebenarnya tidak perlu
terjadi. Terlambat bagi Gajah Mada untuk menghindarinya.
Dengan perut lapar, Gajah Mada keluar dari bilik semadinya. Gajah
Mada merasa kaget mendapati ada banyak orang di rumahnya.
”Ada apa?” tanya Gajah Mada heran.
Arya Rajaparakrama Ma Panji Elam menuntun Gajah Mada yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

agak terhuyung langkah kakinya.


”Rombongan tamu dari Sunda Galuh telah datang dengan dada
membusung karena merasa memiliki derajat sama tinggi dengan
Majapahit. Saat ini, mereka sudah berada di lapangan Bubat,” kata Ma
Panji Elam.
Sanga Turangga Paksowani 417

Gajah Mada yang masih belum menyadari sepenuhnya ucapan


Ma Panji Elam itu melambaikan tangan sambil memberi isyarat tangan
menirukan gerakan makan dan minum. Berarti, Gajah Mada minta
disiapkan makan dan minum. Abdi kepatihan bergegas melaksanakan
tugasnya.
Mahamantrimukya Gajah Mada menyempatkan menoleh ke
belakang untuk melihat siapa saja yang hadir. Tampak Pu Kapasa, Pu
Menur, dan Pu Kapat. Meski Mahapatih Gajah Mada mencari-cari,
ia tidak berhasil menemukan wajah Gajah Enggon. Dari pintu yang
terbuka, di halaman rumah tampak Lurah Prajurit Arya Sentong dan
Jaran Bhaya.
”Kenapa kau mengatakan Sunda Galuh merasa memiliki derajat
yang sama dengan Majapahit?” tanya Gajah Mada.
Arya Rajaparakrama Ma Panji Elam rupanya tak hanya pintar
bersilat lidah, ia juga pandai mengambil hati Gajah Mada dengan memijat
pundak dan lengannya.
”Kakang telah menugasi aku untuk berbicara berdua dengan Raja
Sunda Galuh, melanjutkan pembicaraan sebelumnya yang dilakukan
Kanuruhan Gajah Enggon. Prabu Maharaja Linggabuana menolak
permintaan itu dengan dalih telah meletakkan jabatan. Ia telah lengser
keprabon dan menempatkan Dyah Pitaloka sebagai prabu putri. Prabu
Maharaja menyuruhku berbicara dengan Dyah Pitaloka. Apa itu bukan
sebuah penghinaan?” kata Ma Panji Elam.
Gajah Mada mengerutkan kening dan mengangkat tangannya
sebagai isyarat agar Ma Panji Elam diam. Gajah Mada segera menimbang
laporan yang diterimanya itu.
”Jadi, orang-orang Sunda Galuh telah datang?” tanya Gajah Mada.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Gajah Mada berusaha mengais persoalan satu demi satu.


”Ya,” jawab beberapa orang serentak.
”Mereka sudah berada di lapangan Bubat,” tambah Arya Wangsaprana
Pu Menur.
418 Gajah Mada

Gajah Mada mengangguk.


”Bagaimana hasil perjalanan tugasmu ke Sunda Galuh?” tanya Gajah
Mada kepada Ma Panji Elam.
Dengan ringkas, Ma Panji Elam menceritakan hasil perjalanan yang
dipimpin Patih Maduratna ke Sunda Galuh. Namun, apa yang diceritakan
itu sangat bias, terutama terkait bagaimana cara pandang Ma Panji Elam
menyikapi pergantian kekuasaan yang terjadi di Sunda Galuh.
”Lalu, bagaimana keadaan sekarang?” tanya Gajah Mada.
”Kita masih memiliki kesempatan untuk mencegah perkawinan itu
agar jangan sampai terjadi. Soal itu, aku sudah mempersiapkan segala
sesuatunya,” jawab Ma Panji Elam.
Gajah Mada terkejut, pandangan matanya menyelidik.
”Aku tidak pernah memberi perintah untuk menggagalkan
perkawinan Prabu Hayam Wuruk dan putri dari mana pun yang
dikehendakinya. Siapa yang menggagas itu?” tanya Gajah Mada tak
dapat menyembunyikan kemarahan.
Mahapatih Gajah Mada memandang Sang Arya Rajaparakrama Ma
Panji Elam. Yang dipandang bergegas menyembunyikan wajahnya ke
arah lain, demikian juga dengan Pu Kapasa.
”Keputusanku sudah tegas dan jelas,” teriak Gajah Mada dengan
nada tinggi. ”Aku hanya menghendaki Sunda Galuh tunduk dan menyatu
dengan Majapahit. Tidak adakah yang bisa menjelaskan kepada Raja Sunda
Galuh mengapa negaranya harus menyatukan diri dengan Majapahit?
Bagaimana bisa ada di antara kalian yang menerjemahkan itu sebagai
penggagalan perkawinan Sang Prabu? Siapa yang menggagas?”
Rupanya, pertanyaan Gajah Mada itu harus menjadi pertanyaan yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

tidak ada jawabnya karena pergerakan peristiwa memang berlangsung


cepat dan tidak terduga. Gajah Mada bergegas bangkit dan berjalan ke
halaman ketika melihat dua ekor kuda berderap. Dua orang penunggang
kuda itu meloncat turun dan mengikat kudanya di balok kayu yang
disediakan untuk keperluan itu.
Sanga Turangga Paksowani 419

Yang segera merampas perhatian Gajah Mada adalah cara berpakaian


kedua orang itu yang berbeda. Agaknya, mereka adalah bagian dari para
tamu dari Sunda Galuh.
”Aku ingin menghadap, Mahapatih,” kata Temenggung Larang
Agung yang tidak sendiri, di sebelahnya berdiri Rangga Anepaken.
Gajah Mada keluar dari tengah pintu.
”Aku Gajah Mada,” kata Gajah Mada.
Dengan tata cara yang berlaku di Sunda, Temenggung Larang
Agung memberikan penghormatan yang diikuti dengan sigap oleh
Rangga Anepaken. Gajah Mada mengangguk menerima penghormatan
itu. Rupanya, waktu yang berjalan dirasa amat lambat oleh Maharaja
Linggabuana dan segenap pengiringnya. Itu sebabnya, diputuskan untuk
mengirim Temenggung Larang Agung dan Rangga Anepaken untuk
meminta penjelasan.
”Izinkan aku memperkenalkan diri, Gusti Patih,” Larang Agung
berkata. ”Namaku Larang Agung. Aku seorang temenggung dan
yang menemaniku ini adalah Lurah Prajurit Rangga Anepaken. Aku
menghadap Mahapatih Gajah Mada atas nama Prabu Putri Dyah Pitaloka
Citraresmi untuk menyampaikan sesuatu.”
Gajah Mada memandang Larang Agung dengan tatapan mata tajam
bagaikan tatapan mata burung rajawali, membuat risih yang dipandang.
Namun, Temenggung Larang Agung tak harus merasa gentar. Dengan
sikap ramah, Temenggung Larang Agung bahkan menebar senyum
kepada semua yang hadir di halaman kepatihan. Tak seorang pun yang tak
menyimak percakapan itu. Keadaan sedemikian hening sehingga Kuda
Swabaya yang terpenjara di ruang belakang lamat-lamat bisa menyimak
pembicaraan yang terjadi.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Aku ucapkan selamat datang di Majapahit, Temenggung Larang


Agung,” Gajah Mada membalas. ”Apa aku tidak salah dengar, pesan itu
datang dari Prabu Putri Dyah Pitaloka?”
”Benar,” jawab Temenggung Larang Agung.
420 Gajah Mada

”Dengan demikian, bolehkah aku menegaskan berita yang kaubawa


bahwa Prabu Maharaja Linggabuana telah turun dari takhtanya dan
menyerahkan kekuasaan kepada anak gadisnya yang akan segera menjadi
istri Prabu Hayam Wuruk?” tanya Gajah Mada.
Sekali lagi, Temenggung Larang Agung mengangguk.
”Benar, Mahapatih,” jawabnya.
Sang Arya Rajaparakrama Ma Panji Elam berharap Mahapatih Gajah
Mada akan menampakkan rasa tak senangnya mendengar keterangan
mengenai pergantian kekuasaan itu.
”Sekembalimu dari tempat ini, sampaikan kepada rajamu, aku,
Mahapatih Gajah Mada, mengucapkan selamat kepada Tuan Maharaja
Linggabuana yang ternyata memiliki cara pandang yang tidak sempit.
Selama ini, ada banyak raja yang meremehkan anak perempuannya.
Padahal, cara pandang itu tidak sepenuhnya benar. Banyak wanita yang
ternyata mampu berhati harimau dalam menjalankan tugas sebagai raja.
Majapahit pernah memiliki Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani dan Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa yang mampu
menjalankan pemerintahan tak kalah dari raja pria. Di masa silam, ada
Ratu Shima yang sanggup menjatuhkan perintah untuk memotong
tangan adiknya sendiri yang melakukan kesalahan. Dari kedalaman hati
sanubariku, aku menyampaikan selamat atas diangkatnya Sekar Kedaton
Dyah Pitaloka menggantikan ayahandanya. Sekarang, pesan apa yang
kaubawa untuk kuterima?” bertanya Gajah Mada.
Larang Agung dan Rangga Anepaken sedikit terkejut melihat Gajah
Mada yang ternyata bisa bersikap tidak terduga.
”Sesuai kesepakatan dengan Patih Maduratna ketika datang ke Sunda
Galuh beberapa hari lalu, hari ini, kami datang memenuhi janji dan jadwal
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang telah disusun. Namun, agaknya kami tak menerima penyambutan


sebagaimana yang dijanjikan Patih Maduratna. Seorang prajurit Majapahit
mengatakan bahwa ada utusan dari Sunda Galuh yang meminta agar
acara diundur sampai tujuh hari. Hal itu tidak benar. Kami datang sesuai
dengan waktu yang sepakati. Kami tidak pernah mengirim utusan untuk
Sanga Turangga Paksowani 421

menyampaikan bahwa kedatangan kami ke Majapahit mundur dari hari


yang telah ditentukan,” berkata Temenggung Larang Agung.
Mahapatih Gajah Mada mengerutkan kening. Gajah Mada baru
saja menuntaskan urusan pribadinya sehingga ada banyak keterangan
yang belum diketahui duduk persoalannya. Namun, Gajah Mada yang
tangkas dalam olah pikir itu segera menoleh kepada Ma Panji Elam.
Dipandanginya Ma Panji Elam dengan amat tajam. Meski demikian,
Gajah Mada tidak bertanya apa pun kepada Ma Panji Elam.
”Tolong dipertegas lagi, Kisanak Temenggung Larang Agung,” kata
Gajah Mada. ”Kisanak Temenggung membantah telah mengirim utusan
ke Majapahit yang bertugas memberi tahu Majapahit bahwa kedatangan
para tamu dari Sunda Galuh terlambat tujuh hari?”
Temenggung Larang Agung mengangguk.
”Berita itu telah beredar di Majapahit,” jawab Larang Agung.
”Dengan ini kami tegaskan, utusan itu sama sekali tidak ada. Kami
tidak tahu pihak mana yang menyebar berita bohong itu. Tapi, yang
jelas berasal dari Majapahit sendiri.”
Gajah Mada terbungkam mulutnya untuk beberapa waktu. Ada
di antara anak buahnya yang telah memelintir perintahnya. Hal itu
membuatnya sangat marah. Nyaris tak terkendali ketika Gajah Mada
kemudian melampiaskan kemarahannya.
”Siapa yang membawa berita susulan seolah datang dari Sunda itu?”
teriak Mahapatih Gajah Mada dengan suara lantang sambil memutar
dan menyebar pandang.
Arya Sentong yang sama sekali tidak menduga Gajah Mada akan
melontarkan pertanyaan macam itu menjadi sangat gugup. Ia bertambah
http://facebook.com/indonesiapustaka

gugup ketika semua orang menoleh kepadanya. Gajah Mada pun dengan
mudah dapat mengetahui bahwa orang yang menyampaikan berita palsu
itu Arya Sentong.
”Jangan mengarang cerita baru di atas kebohongan yang telanjur
terbentuk saat kau berhadapan denganku, Arya Sentong. Aku bisa
422 Gajah Mada

menjatuhkan hukuman menyeretmu di belakang empat ekor kuda yang


dibiarkan lepas berpacu berlawanan arah. Kujamin tubuhmu akan
sempal berserakan. Katakan, atas perintah siapa kaulakukan itu? Benar
kau yang menyebarkan berita bahwa tamu dari Sunda Galuh minta waktu
mundur tujuh hari?” tanya Gajah Mada dengan nada tinggi.
Arya Sentong gugup. Akan tetapi, Arya Sentong cukup pintar untuk
tidak bersedia menanggung beban itu sendiri.
”Aku melakukannya atas permintaan Sang Arya Patipati Pu Kapat,”
jawab Arya Sentong. ”Aku mengira berita itu benar. Bagaimana duduk
persoalannya, mohon Mahapatih berkenan menanyai Pu Kapat.”
Gajah Mada merasa dadanya sesak. Tidak disangkanya, perintah
yang diberikan bisa menjadi amat bias. Ke depan, Gajah Mada rupanya
harus menyisihkan waktu untuk menelusuri jejak pelintiran perintah
yang diberikannya. Apalagi, di antara pendukungnya sampai ada yang
menyimpulkan bahwa perkawinan Prabu Hayam Wuruk dan Dyah
Pitaloka Citraresmi itu harus dibatalkan. Upaya membatalkan perkawinan
Prabu Hayam Wuruk dengan Dyah Pitaloka Citraresmi bisa dianggap
sebagai bentuk kejahatan yang tak terampuni.
Gajah Mada memandang Pu Kapat. Pu Kapat tampak tak tenang.
Ia memandang Ma Panji Elam yang juga tak bisa menyembunyikan
gugupnya.
”Nanti, kalian harus menjawab beberapa pertanyaanku,” ucap
Gajah Mada kepada Ma Panji Elam dan Pu Kapat bergantian. ”Jika
benar kalian berada di belakang berita palsu itu, aku sendiri yang akan
menjamin kalian dijebloskan ke tahanan.”
Mahapatih Gajah Mada berbalik dan berdiri tegak menghadapi dua
orang tamunya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Terima kasih untuk keterangan yang kauberikan itu, Kisanak


Temenggung,” ucap Mahapatih Gajah Mada. ”Aku jamin pasti aku
temukan siapa orang yang menyampaikan berita palsu itu. Dan, kujamin
pula, orang itu pasti kujebloskan ke penjara. Namun, mumpung aku
bertemu langsung dengan utusan dari Sunda Galuh, aku tetap bersikukuh
Sanga Turangga Paksowani 423

pada permintaanku yang telah kukirim berulang kali. Aku tetap meminta
agar Sunda segera menyatakan diri bergabung dengan Majapahit karena
ke depan, masalah yang dihadapi Sunda Galuh sama dengan yang akan
hadapi Majapahit. Sampaikan kepada rajamu, hari inilah saatnya untuk
menentukan sikap, akan tetap berdiri sendiri atau tunduk pada kehendak
kelompok yang lebih besar. Tidak ada tawar-menawar lagi. Kehadiran
temanten dari Sunda Galuh kali ini sekaligus merupakan pernyataan bahwa
Sunda Galuh bersedia tunduk menjadi bagian dari Majapahit.”
Tenang sekali Mahapatih Gajah Mada dalam mengucapkan
rangkaian kalimat itu. Sebaliknya, menjanjikan guncangan luar biasa di
hati Temenggung Larang Agung dan Lurah Prajurit Rangga Anepaken.
Sulit menebak raut wajah Gajah Mada. Sulit menebak, tahukah
Gajah Mada ucapannya itu melukai perasaan orang?
”Ada lagi yang perlu disampaikan, Kisanak Temenggung Larang
Agung?” Gajah Mada kembali bertanya.
Betapapun sulitnya, betapapun wajahnya terasa tebal melebihi
tebalnya dinding, Temenggung Larang Agung mampu menyembunyikan
isi dadanya yang sangat bergolak.
”Tidak ada, Mahapatih. Kami mohon diri,” jawab Temenggung
Larang Agung.
”Silakan,” kata Gajah Mada.
Temenggung Larang Agung dan Lurah Prajurit Rangga Anepaken
yang telah berada di atas kuda masih sempat melihat kejadian susulan
yang nyaris tidak berjarak waktu. Nasib sial harus diterima Sang Arya
Rajaparakrama Ma Panji Elam dan Sang Arya Patipati Pu Kapat. Mereka
menerima ayunan tangan raksasa berkekuatan penuh dari tangan kanan
http://facebook.com/indonesiapustaka

Gajah Mada. Terjengkang Pu Kapat ketika tangan Gajah Mada yang


sangat besar melampaui ukuran tangan siapa pun itu menghantam
dagunya. Pu Kapat jatuh untuk tak sadarkan diri.
Temenggung Larang Agung nyaris terlonjak melihat pemandangan
itu. Apalagi, tak berapa lama kemudian, Gajah Mada kembali
424 Gajah Mada

menghunjamkan ayunan tangan menghantam dua orang yang lain,


entah siapa. Rangga Anepaken yang berkuda sambil tak mengalihkan
perhatian melihat beberapa orang mengikat Ma Panji Elam. Pasti atas
perintah Gajah Mada.
Saat Temenggung Larang Agung membawa hatinya yang bergolak
sambil mencoba menganyam bagaimana kira-kira sikap Maharaja
Linggabuana yang meski telah memutuskan lengser keprabon, masih
memegang perintah dan kebijaksanaan mewakili anak perempuannya.
Pada saat bersamaan, Gajah Mada dikagetkan oleh suara pintu
yang digedor amat keras dari bagian belakang rumahnya. Gajah Mada
mengayunkan langkah lebar untuk melihat siapa yang terkunci di salah
satu bilik rumahnya. Saat pintu dibuka atas perintahnya, Mahapatih
Gajah Mada terkejut melihat Kuda Swabaya yang telah dirampas
kebebasannya.
”Siapa yang melakukan perbuatan ini kepadamu?” berteriak
Mahapatih Gajah Mada yang benar-benar marah.
Kuda Swabaya menoleh mencari-cari, tetapi orang yang dicarinya
tak terlihat.
”Lurah Prajurit Jaran Bhaya yang melakukan,” jawab Kuda Swabaya.
Mahapatih Gajah Mada menggigil melihat langkah yang diambil
para pendukungnya benar-benar telah kebablasan dan menyimpang
jauh dari perintahnya.
”Cari Jaran Bhaya. Seret dia ke sini, tak peduli diseret di belakang
kuda sekalipun,” ucap Gajah Mada amat lantang.
Gajah Mada benar-benar marah dan kecewa. Gajah Mada merasa
membutuhkan penyaluran atas kemarahan itu. Pelintiran yang dilakukan
http://facebook.com/indonesiapustaka

anak buahnya dianggapnya hal yang keterlaluan. Tak secuil pun Gajah
Mada punya niat menggagalkan perkawinan Prabu Hayam Wuruk.
Sanga Turangga Paksowani 425

52
”A ku tetap bersikukuh pada permintaanku yang telah kukirim
berulang kali. Aku tetap meminta agar Sunda segera menyatakan diri
bergabung dengan Majapahit karena masalah yang akan dihadapi Sunda
Galuh sama dengan yang harus dihadapi Majapahit. Sampaikan kepada
rajamu, hari inilah saatnya untuk menentukan sikap, akan tetap berdiri
sendiri atau tunduk pada kehendak kelompok yang lebih besar. Tidak
ada tawar-menawar lagi. Kehadiran temanten dari Sunda Galuh kali ini
sekaligus merupakan pernyataan bahwa Sunda Galuh bersedia tunduk
menjadi bagian dari Majapahit.”
Pengulangan ucapan Gajah Mada yang disampaikan Temenggung
Larang Agung itu memaksa udara ikut berhenti bergerak dan menyihir
orang-orang Sunda Galuh untuk terjerembab dalam kubangan perasaan
sewarna, marah! Serentak, para pengiring Maharaja Linggabuana
mengambil sikap. Semua menyingsingkan kain wiron153 dan mengubah
letak kujang ke pinggang masing-masing serta melepas tali pengikat
pedang untuk memudahkan ketika melolos pedang itu dari sarungnya.
”Untuk apa kita jauh-jauh datang ke tempat ini jika hanya untuk
dinistakan?”
Teriakan itu terdengar dari arah belakang. Di sana, seseorang terlihat
mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Ketika Maharaja Linggabuana
mengamati, teriakan itu berasal dari mulut Orang Siring.
”Siap untuk mati!” terdengar lagi teriakan dari arah lain.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Maharaja Linggabuana melihat Usus yang menyuarakan kemarahan


itu.

153
Wiron, Jawa, di masa silam, lelaki juga menggunakan kain panjang (tidak bercelana panjang sebagaimana
sekarang ). Wiron adalah lipatan kain itu.
426 Gajah Mada

Pucat pasi Dewi Lara Linsing. Wajahnya memutih dan mulutnya


gemetar. Kecemasannya yang muncul sejak merasa melihat lautan darah
di Losari, agaknya segera mewujud menjadi kenyataan.
Prabu Putri Dyah Pitaloka justru terlihat tenang. Entah terlahir dari
dorongan kejiwaan macam apa, Dyah Pitaloka yang telah menggenggam
gagang kujang dalam ukuran kecil, amat menikmati keadaan itu. Kujang
dalam genggaman tangannya ada dua. Kujang berbilah tajam dengan
warna putih mengilat, itulah kujang yang diasah amat tajam dan dibuat
dari baja pilihan. Sedangkan, kujang kedua tidak bergagang mewah seperti
kujang pertama yang bergagang emas. Kujang kedua bergagang kayu
sederhana, bahkan tanpa ukiran. Bilahnya pun karatan. Namun, justru
karena itu, kujang itu menjadi sangat mematikan karena di balik karatnya
bersembunyi racun yang bisa menghancurkan butir-butir darah, meski
hanya melalui luka kecil saja.
Dari tempatnya berada, Dyah Pitaloka menjatuhkan pandangan
matanya kepada seseorang yang mengenakan caping lebar menutupi
kepalanya. Orang itu amat menarik perhatian Dyah Pitaloka karena
bentuk pekerjaan yang sedang dilakukannya.
Siapa orang di ujung lapangan Bubat yang sedang asyik menorehkan
gagasannya ke atas selembar kain itu? Sasaran yang dibidik dalam
lukisannya adalah lapangan Bubat yang luas nyaris tanpa tepi.
”Rupanya, aku masih diberi kesempatan untuk bertemu meski
dalam keadaan seperti ini,” kata hati Dyah Pitaloka yang bergema hanya
di telinganya sendiri.
Maharaja Linggabuana mengangkat tangan dan melambai-
lambaikannya. Ia meminta kepada para pengiringnya untuk tenang.
Namun, para prajurit Sunda Galuh yang tersinggung itu sulit untuk
http://facebook.com/indonesiapustaka

dikendalikan. Orang Saya tidak lagi mengenakan pakaian yang biasa ia


gunakan untuk menghadiri pesta. Pakaian yang dikenakannya berubah
menjadi pakaian prajurit yang siap menghadapi apa pun. Orang Saya
telah memegang gendewa dan anak panah dalam jumlah tak terbatas
siap dihamburkan menghadapi musuh dengan jumlah berapa pun.
Sanga Turangga Paksowani 427

”Tenang, tenang, kalian semua. Dengarkan aku. Kumohon beri


kesempatan aku bicara,” kata Maharaja Linggabuana.
Wibawa Maharaja Linggabuana yang berpakaian layaknya brahmana
ternyata tidak pernah dilawan para pengiringnya. Kecintaan para prajurit
Sunda kepada mantan rajanya itu melebihi kecintaan terhadap nyawanya
sendiri, bahkan terhadap keluarganya. Para pengiring yang sebagian besar
adalah prajurit, benar-benar siap jiwa dan raga menghadapi pilihan paling
pahit yang akan terjadi. Orang Saya yang berada di belakang bergegas
mendekat.
”Gunakan akal sehat, gunakan pikiran kalian!” teriak Maharaja
Linggabuana sangat lantang. ”Kekuatan yang kita miliki tak sepadan
dengan kekuatan tuan rumah. Aku tidak menghendaki perang ini terjadi.
Jika kalian masih menghormatiku, ikuti perintahku!”
Semua diam, semua menunggu perintah Maharaja Linggabuana.
”Kita turuti apa yang menjadi kehendak Gajah Mada itu,” lanjut
Maharaja.
Hiruk-pikuk dan gemuruh gemeretak terjadi di kedalaman dada
semua pengiring calon temanten. Akan tetapi, sebagian besar pengiring
temanten yang terancam bahaya itu tidak sependapat dengan keinginan
mantan rajanya. Dan, Orang Saya tak segan untuk menyuarakan
keyakinan.
”Tak bisa, aku tidak takut mati. Apa gunanya hidup kalau terhina.
Penyatuan Sunda Galuh dengan Majapahit, dibahasakan dengan
cara apa pun adalah penjajahan. Adakah yang lebih nista dari hidup
dijajah? Tak ada! Setinggi-tingginya kehormatan adalah kemerdekaan.
Aku tidak sudi hidup dengan cara nista macam itu,” ucap Orang Saya
http://facebook.com/indonesiapustaka

menggelegar.
Orang Saya telah melolos senjatanya yang khas, sebuah cambuk
dengan jangkauan panjang, tetapi mematikan karena pada ujungnya
terdapat sebuah bandul besi dengan ukuran separuh ukuran kepalan
tangan. Jika ayunan cambuk itu mengenai kepala, pasti pecah berantakan.
428 Gajah Mada

”Sudahlah, Tuanku,” Panji Melong bersuara. ”Tak ada gunanya


kita berada di sini. Lebih baik kita kembali saja. Kita pulang ke Sunda
Galuh.”
Maharaja Linggabuana tersudut pada pilihan yang menyulitkan.
Maharaja Linggabuana tak semata-mata memikirkan kehormatan
yang terancam. Maharaja lebih mencemaskan banyaknya korban yang
akan jatuh jika perang benar-benar terjadi. Jika menuruti keinginan
Gajah Mada bisa menghindarkan perang, pilihan pahit itu akan
diambil.
”Dengarkan kataku, aku minta dengarkan kataku sekali ini saja!”
teriak Maharaja Linggabuana keras. ”Sadarilah, kita bukan lawan sepadan
menghadapi Majapahit. Aku minta kalian mengikuti apa yang menjadi
kemauanku, kecuali jika kalian menganggap Maharaja Linggabuana
sudah tidak ada.”
Ucapan itu rupanya mampu meredam semua gejolak, meski belum
mampu meredam semua amarah.
”Ingat apa yang pernah aku katakan,” kata Maharaja Linggabuana.
”Dengan Dyah Pitaloka menjadi permaisuri Prabu Hayam Wuruk,
suka atau tidak suka, Sunda Galuh memang harus melebur dengan
Majapahit, menjadi satu dan tidak terpisah lagi. Ingatlah kalian semua,
kelak, penguasa Majapahit adalah keturunan Dyah Pitaloka.”
Meski dengan susah payah, Maharaja Linggabuana akhirnya mampu
meyakinkan para pengikutnya. Semua pedang disarungkan kembali,
semua anak panah dimasukkan ke wadah masing-masing, dan semua
langkap telah dilipat. Akan tetapi, sungguh menghina serombongan
pasukan berkuda yang berderap di ujung yang lain lapangan Bubat yang
amat luas itu. Pasukan berkuda itu mengacung-acungkan pedang sambil
http://facebook.com/indonesiapustaka

melakukan gerakan-gerakan yang amat melecehkan.


Maharaja Linggabuana masih berniat menenangkan pengiringnya.
Namun, sebuah kereta kuda tampak muncul dari kejauhan. Kereta kuda
itu membawa beberapa orang penumpang. Makin dekat kereta kuda itu
makin tampak jelas penumpangnya berpakaian brahmana.
Sanga Turangga Paksowani 429

”Brahmana Smaranatha,” Temenggung Larang Agung meletup.


Temenggung Larang Agung benar. Orang yang berada di dalam
kereta kuda yang dipacu kencang itu memang Brahmana Smaranatha,
tetapi ia tidak sendirian. Brahmana Smaranatha datang bersama dua
orang yang lain, yaitu Dharmadyaksa Kasogatan Dang Acarya Nadendra
dan Dharmadyaksa Kasaiwan Dang Acarya Dharmaraja. Bergegas,
seorang pendeta dan dua pejabat agama Buddha dan Siwa itu turun
dari kereta.
”Mohon tenang, Sang Prabu,” kata Brahmana Smaranatha gugup.
”Oleh Ibu Suri Sri Gitarja, aku diminta menyampaikan kepada Sang
Prabu agar berkenan bersabar karena persiapan penyambutan sedang
dilaksanakan. Sungguh, rupanya telah terjadi sebuah kesalahpahaman
yang besar dan perlu diluruskan.”
Maharaja Linggabuana merasa lega oleh kehadiran Brahmana
Smaranatha itu. Para pengiringnya yang marah pun mulai bisa
menguasai diri. Mereka melihat, rupanya ada sikap yang terbelah di
pihak tuan rumah. Raja dan kedua orang tuanya menerima dengan
tulus kehadiran rombongan tamu dari Sunda Galuh itu, sementara
ada pihak lain yang berusaha mengaitkan kehadiran tamu-tamu dari
Sunda itu dengan pengakuan Sunda berada di bawah kekuasaan
Majapahit.
”Jika demikian Bapa Brahmana,” Wong Pangulu yang tak banyak
bicara buka suara, ”barangkali Majapahit menyediakan tempat untuk
kami. Di mana kami diizinkan untuk beristirahat?”
Brahmana Smaranatha dan Dharmadyaksa Kasogatan Dang
Acarya Nadendra saling pandang. Mereka bingung. Sebenarnya, sesuai
rencana, yang akan digunakan sebagai tempat peristirahatan para tamu
http://facebook.com/indonesiapustaka

agung adalah bangunan khusus yang sedang dibuat di lapangan Bubat


itu pula. Dharmadyaksa Kasaiwan Dang Acarya Dharmaraja juga tak
bisa memberi jawaban.
”Kami memohon agar para tamu berkenan bersabar. Kekacauan
ini terjadi karena acara yang diselenggarakan benar-benar besar-besaran,
430 Gajah Mada

apalagi kami mengira Sri Baginda baru akan datang tujuh hari lagi,” ucap
Brahmana Smaranatha.
Agaknya, upaya pencegahan agar kesalahpahaman tidak berlanjut
yang dilakukan para pemuka agama itu harus berbenturan dengan
apa yang menjadi kehendak Mahapatih Gajah Mada. Terlihat itu
dari munculnya seorang penunggang kuda yang memacu kudanya
dengan kencang sambil tangan kirinya mengibarkan bendera lambang
kepatihan.
”Aku Patih Teteg!” teriak pembawa bendera itu ketika telah dekat.
”Atas nama Mahapatih Gajah Mada, aku ingin memastikan bagaimana
sikap Sunda Galuh. Jika Sunda Galuh belum menyatakan tunduk dan
menjadi bagian dari Majapahit, Sunda Galuh tidak diizinkan masuk ke
istana Majapahit.”
Brahmana Smaranatha merasakan desir amat tajam di dadanya.
Perasaan senada juga bergolak dengan mendadak di hati Dang Acarya
Nadendra dan Dang Acarya Dharmaraja. Mereka kecewa dan amat
menyayangkan sikap Gajah Mada itu.
Selanjutnya, perhatian kembali tertuju kepada Maharaja Linggabuana.
Maharaja Linggabuana sendiri sudah pasrah, tak akan menolak
secuil pun permintaan Gajah Mada itu, meski ia telah terhina bukan
kepalang.
Akan tetapi, Dyah Pitaloka yang duduk di sebelah ibunya di dalam
kereta, tiba-tiba turun dan melangkah maju. Dyah Pitaloka menatap
wajah utusan bernama Patih Teteg itu dengan pandangan mata berkilat-
kilat. Lalu, Dyah Pitaloka mendekati Temenggung Larang Agung yang
membuat temenggung itu bingung. Apalagi, ketika Dyah Pitaloka dengan
isyarat tangannya meminta Temenggung Larang Agung turun dari
http://facebook.com/indonesiapustaka

kudanya. Bertambah bingung Temenggung Larang Agung karena Prabu


Putri Dyah Pitaloka mencabut pedang miliknya dan mengangkatnya
tinggi-tinggi.
Dyah Pitaloka yang kemudian duduk di atas kuda milik Larang
Agung, memacu kudanya berderap mengitari Patih Teteg.
Sanga Turangga Paksowani 431

”Akulah rajanya!” teriak Dyah Pitaloka amat keras. ”Aku yang


berhak memutuskan bagaimana sikap yang akan kami gunakan untuk
menghadapi kesombongan Gajah Mada itu.”
Desir amat tajam menggerataki punggung para prajurit Sunda
Galuh. Dyah Pitaloka memberi semangat yang membakar maka
terbakarlah mereka. Dyah Pitaloka yang bergerak mengelilingi Patih
Teteg itu akhirnya berhenti dan menempatkan diri tepat di depan
utusan Gajah Mada itu. Tatapan matanya yang tajam dan sangat marah
menyebabkan Patih Teteg agak gugup.
”Mahapatih Gajah Mada meminta Sunda Galuh supaya takluk
menjadi bagian dari negara Majapahit? Sampaikan kepada Gajah Mada
untuk menelan mimpinya. Meski kami, orang Sunda Galuh, tertumpas
habis, jangan harap kami sudi memenuhi permintaan itu,” ucap Dyah
Pitaloka lantang.
Seketika, ucapan Dyah Pitaloka itu merontokkan jantung Dang
Acarya Nadendra dan Brahmana Smaranatha. Akhirnya, mereka
meyakini bahwa upaya mencegah perang yang mereka dilakukan tidak
akan membuahkan hasil.
Sebuah anak panah yang melesat, entah siapa yang melepaskan,
menyebabkan Patih Teteg terhenyak dan terjungkal. Kuda tunggangannya
melonjak dan menginjak dadanya. Patih Teteg langsung tidak sadarkan
diri. Jaran Bhaya yang memimpin pasukan berkuda dan menempatkan
diri di bagian lain alun-alun, terkejut melihat Patih Teteg diterjang
anak panah. Sontak, Lurah Prajurit Jaran Bhaya menggerakkan
pasukan berkuda bersenjata anak panah untuk menyerang orang-
orang Sunda. Dari arah lain, serombongan orang yang ternyata
adalah para patih dari negara bawahan Majapahit, terpanggil untuk
http://facebook.com/indonesiapustaka

ikut melibatkan diri dalam pertempuran yang terjadi. Dengan senjata


di tangan, Patih Gowi dan Patih Marga Lewih mengacung-acungkan
senjatanya.
Dengan gigih dan gagah berani, rombongan pengiring tamu dari
Sunda Galuh, baik prajurit maupun bukan memberikan perlawanan.
432 Gajah Mada

Perang campuh154 yang tidak seimbang itu diratapi Brahmana Smaranatha,


disesali Dharmadyaksa Kasogatan yang mengangkat tangannya berusaha
mencegah. Akan tetapi, Brahmana Smaranatha ambruk karena lengannya
tersambar anak panah yang memunculkan rasa pedih bukan kepalang. Dang
Acarya Nadendra juga mengalami nasib buruk, punggungnya disambar
warastra. Beruntung, Dang Acarya Dharmaraja berhasil menyelamatkan
diri dengan berlari-lari menjauh dari perang yang mulai berkecamuk.
Prajurit berkuda bersenjata anak panah yang dipimpin Lurah Prajurit
Jaran Bhaya mampu membuat kekacauan karena ruang gerak mereka
yang lebih lapang dan lebih gesit. Anak panah yang melesat berhamburan
itulah yang menerjang dada Maharaja Linggabuana dan Usus secara
bersamaan. Tak butuh waktu lama bagi mantan Raja Sunda Galuh itu
untuk menarik napas pamungkasnya.
Melihat mantan rajanya mendahului gugur di medan pertempuran,
para prajurit Sunda mengamuk sejadi-jadinya. Tanpa perlindungan
tameng, mereka mengejar para prajurit berkuda sehingga mereka menjadi
sasaran empuk anak panah yang dilepaskan susul-menyusul. Tuan Sohan
ambruk sambil menggeliat saat sebuah anak panah dengan ujung tajam
menembus tengkuknya, disusul Temenggung Larang Agung yang ambruk
di belakangnya. Amat gigih dan kesetanan, Gempong dan Panji Melong
mencoba memberi balasan. Akan tetapi, Gempong dan Panji Melong harus
mengalami nasib buruk ketika dari arah belakang, Patih Marga Lewih dan
Patih Gowi menerjang dengan kudanya. Tombak tajam tenggelam di tubuh
dua orang yang ambruk itu. Orang Pangulu yang marah membentangkan
gendewanya. Akan tetapi, belum lagi anak panahnya melesat, ia kedahuluan
diterjang anak panah yang dilepas langsung Lurah Prajurit Jaran Bhaya.
Serombongan prajurit Sunda di bawah pimpinan Rangga Anepaken
memisahkan diri ketika dari kejauhan terlihat sebuah kereta kuda dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

lambang bendera kepatihan. Diyakini, Gajah Mada berada di dalam


kereta itu. Tak perlu pertimbangan apa pun bagi Rangga Anepaken
untuk mengarahkan kudanya ke sasaran yang dituju.

154
Campuh, Jawa, seru dan kacau. Campuh hanya melekat pada kata perang
Sanga Turangga Paksowani 433

”Di kereta itu ada Gajah Mada!” teriak Rangga Anepaken.


Orang Saya yang telah melompat ke atas kuda segera berderap
menyusul, diikuti gerak itu oleh Orang Siring dan Sutrajali. Di dalam
kereta kuda itu memang benar ada Gajah Mada yang dengan penuh
keyakinan mempersiapkan diri menjemput mereka yang akan datang.
Gajah Mada merentang langkap, beberapa anak panah pun melesat
berhamburan. Terjengkang Orang Saya, terjengkang Rangga Kaweni,
dan ambruk pula Orang Siring serta Sutrajali. Empat prajurit itu tertolong
karena tak perlu menahan sakit terlampau lama. Sejenak kemudian,
gerbang kematian terbuka untuk mereka.
Jagadsaya menangis sesenggukan melihat akhir dari perjalanan
panjang itu. Jagadsaya yang tak mampu melihat semua kematian segera
menenggelamkan kujang tajam ke perutnya. Rupanya, Jagadsaya harus
menderita lebih lama karena kematian yang diharapkan tidak segera
kesampaian.
Tak berubah rona wajah Dyah Pitaloka ketika menengok ke dalam
kereta mendapati ibunya tidak lagi bernapas. Meski ada dua anak panah
yang menancap di tubuh ibunya, Dyah Pitaloka melihat, kematian ibunya
lebih karena kujang yang menancap tepat di tengah dada.
Dyah Pitaloka yang masih tertinggal, menoleh mencari-cari. Akan
tetapi, orang yang dicarinya tidak ada, entah berada di mana dia.
”Selamat tinggal, Kakang Saniscara,” ucapnya.
Tanpa keraguan, Dyah Pitaloka menenggelamkan kujang yang tajam,
bukan kujang yang karatan, ke perutnya. Dyah Pitaloka dengan sengaja
menjemput kematiannya. Namun, ia tetap menginginkan wajahnya cantik
jelita. Jika kujang beracun yang dipilih, akan mengubah warna tubuhnya
menjadi hitam.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dyah Pitaloka ambruk bersandar keretanya.


434 Gajah Mada

53
T umpukan mayat dan sebagian yang menyebar di tempat itu
mengundang tanya, mengapa saling bunuh yang sedemikian bisa terjadi?
Puluhan burung gagak dan burung-burung pemakan bangkai yang
terbang tak seberapa tinggi, merasa tak sabar ingin segera mendarat dan
meneguk genangan darah untuk memuaskan dahaga yang mereka alami.
Jauh tinggi di ujung langit, paksi cataka membentangkan sayap dengan
segenap rasa heran.
Para rajawali memang jenis burung yang ganas. Namun, tak pernah
sekalipun mereka saling bantai dengan sesamanya. Sementara itu, pada
jarak yang cukup dekat, puluhan anjing yang keluar dari hutan merasa
gelisah. Mereka ingin segera menghambur untuk berpesta. Namun,
para anjing itu sadar atas adanya bahaya. Akibat ketidaksabarannya,
seekor anjing ambruk disambar anak panah. Kemalangan yang menimpa
temannya itu menjadi contoh bagi para anjing yang lain.
Para anjing itu berpikir, mereka harus menunggu datangnya malam
untuk bisa menyantap salah satu saja dari tubuh-tubuh teronggok tak
lagi bernyawa dan tak lagi berharga itu. Jantungnya, hatinya, atau semua
isi perutnya tentu merupakan bagian yang lezat untuk dimakan.
Namun, tidak sebagaimana cataka, para anjing liar itu tidak perlu
bertanya, untuk apa manusia saling bunuh? Burung cataka di langit itu
penasaran, ada apa dengan para manusia itu? Sayang, para cataka yang
memiliki bentangan sayap amat lebar itu tidak mengerti bahwa binatang
bernama manusia itu tak cukup puas sebatas kenyang perutnya. Tak satu
http://facebook.com/indonesiapustaka

pun dari para cataka, kalangkyang, dan gagak serta jenis burung pemangsa
bangkai yang terbang melayang itu yang tahu bahwa ada jenis nafsu yang
tak berbatas yang menjadi sumber kesanggupan manusia untuk saling
berbunuh. Luas dunia rupanya masih kalah dibandingkan luas wilayah
nafsu yang berdampingan dengan daya khayal mereka.
Sanga Turangga Paksowani 435

Saniscara mengencangkan ikat pinggangnya. Dengan genangan


darah di telapak tangan, ia membasuh muka. Darah merah itu tidak
terasa anyir baginya. Setidaknya karena darah itu milik kekasih dambaan
hatinya, Citra.
Berulang kali, Saniscara menyebut nama itu, berulang dan berulang
sambil tangannya menggigil, mulutnya menggigil, jantung di rongga
dadanya menggigil, dan otak di benaknya menggigil.
”Untuk apa lagi aku hidup?” desisnya dengan segala gemeretak
jiwanya.
Saniscara telah merasa bulat dengan keputusannya. Dengan sangat
berhati-hati, Saniscara meletakkan tubuh tanpa nyawa yang berada
dalam pelukannya. Ia dahului itu dengan mencium keningnya dan
mendekap lebih erat, sangat erat untuk menyatukan jiwanya dengan
jiwa Citra.
Tangannya menggeratak kasar, menyebabkan wajah cantik yang
semula putih pucat itu menjadi merah, mirip sebuah lukisan.
Air mata Saniscara tak lagi bercucuran saat matahari di langit
yang ikut marah memberinya isyarat bahwa telah tiba waktunya untuk
bertindak.
”Tunggu aku, kekasihku. Di tempat lain, aku akan melukismu
sepuas hatiku. Di tempat lain, akan aku penuhi permintaanmu. Aku akan
menggambarmu di mega-mega, malang-melintang sambil tanganmu
memetik bintang-bintang,” ucap Saniscara lirih.
Saniscara meletakkan mayat itu di dekat mayat ayahnya. Kemudian,
ia melangkah mundur tanpa mengalihkan pandangan matanya. Saniscara
terus berjalan ke belakang hingga tubuhnya tersentuh kudanya yang
datang mendekat.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bendung Humalang meringkik sebagai ungkapan belasungkawa


dan rasa dukanya.
”Tunggu aku, Citra. Aku segera menyusulmu,” ucap Saniscara dalam
bisikan bisu.
436 Gajah Mada

Sentakan keras yang diberikan merupakan isyarat bagi Bendung


Humalang untuk bergerak. Bendung Humalang langsung mengayunkan
kakinya kencang.
Saniscara tak perlu mengambil jalan melingkar untuk menghindari
segenap mayat. Dianggapnya jarak terdekat menyongsong kematian
adalah lurus ke depan. Lagi pula, bukankah para mayat tidak lagi
merasakan apa pun, tidak keberatan meski tubuhnya dilintasi dan
diinjak-injak kudanya?
Sekali lagi, Saniscara menyentakkan tali kendali kudanya dengan
kasar sebagai isyarat untuk bekerja lebih keras. Bendung Humalang
menerjemahkan perintah itu dengan baik. Bendung Humalang juga tak
lagi peduli, meski sekelompok prajurit di depan sana siap menyongsongnya
dengan hujan anak panah.
Bendung Humalang bergerak dalam derap yang membawa
penunggangnya makin dekat dengan tempat para prajurit itu berada.
Ketika telah berada dalam jangkauan, ratusan gendewa serentak ditarik
ke atas setelah sebuah isyarat diberikan. Gendewa tetap terentang dengan
arah bidik menyesuaikan dengan calon korbannya.
”Tunggu! Turunkan anak panah!” berteriak seseorang yang rupanya
cukup memiliki pengaruh.
Perintah itu dituruti. Semua prajurit dengan amat sigap menurunkan
anak panah dari gendewa masing-masing. Langkap-langkap yang memula
melengkung, diluruskan. Anak panah yang semula terarah lurus dan
tegang, diistirahatkan. Semua orang, baik prajurit yang berbaris rapi
maupun para penonton yang dengan hati getir menyaksikan perang
yang terjadi sejak awal sampai akhir, kembali terayun jantung masing-
masing. Di langit, bagaskara kembali mempersiapkan diri menjadi saksi
http://facebook.com/indonesiapustaka

atas apa yang akan terjadi. Haruskah korban mati masih ditambah
seorang lagi?
Rupanya, tidak semua orang memenuhi perintah untuk menurunkan
anak panah. Seorang mantan prajurit berusia tua merasa memiliki
alasan untuk mengambil tindakan atas nama rajanya. Diam-diam, ia
Sanga Turangga Paksowani 437

mempersiapkan dua batang anak panah sekaligus. Mantan prajurit


itu tidak ingin nama rajanya ternista. Satu anak panah ia arahkan tepat
ke jantung penunggang kuda itu dan sebatang yang lain ke arah kuda
tunggangannya.
Ketika jarak jangkau terpenuhi, orang itu melepas gagang anak
panah dari jepitan jarinya. Dua anak panah itu melesat dengan cepat,
masing-masing menuju arah sasarannya. Laki-laki tua itu memiliki
kemampuan bidik luar biasa. Hal itu terbaca dari betapa akurat hasilnya.
Salah satu anak panah mengarah ke kepala kuda yang amat kencang
dalam berderap. Kuda itu tersentak ketika tiba-tiba merasa kepalanya
ditembus sesuatu.
Kuda itu terjengkang bersamaan dengan Saniscara yang mendadak
merasakan nyeri luar biasa karena dadanya juga tertembus anak panah.
Saniscara menggeliat dan berusaha keras mengubah rasa sakit itu menjadi
sesuatu yang indah. Betapa indah sakit itu ia rasakan. Bukankah sejenak
kemudian akan terpenuhi apa yang diinginkan untuk bertemu kembali
dengan Citra? Di atas, tampak seseorang yang berada dalam bayangan
antara ada dan tiada melayang turun untuk menjemputnya. Orang itu
mirip bidadari. Mirip Amba yang menjemput Bisma.
”Citra,” desis Saniscara menahan indahnya rasa nyeri.
Namun, agaknya Hyang Widdi berkehendak lain. Garis nasib
memang tidak selalu sama dengan apa yang dikehendaki manusia.
Saniscara merasa apa pun yang dilihatnya mengombak, mengombak
membentuk gelombang, bergerak cepat dalam ribuan warna-warni
pelangi, melesat cepat bagai menembus ruang dan waktu. Adakah
demikian yang selalu terjadi pada kematian?
Sosok tubuh itu makin terkulai. Napasnya tersengal. Matanya tidak
menutup, tetapi malah terbuka, sebagaimana napasnya tidak berhenti,
http://facebook.com/indonesiapustaka

tetapi malah mengayun. Kematian yang diharapkan tidak segera datang,


tetapi malah tersendat. Maka, anak panah yang menggapai jantung
itu sungguh menimbulkan rasa nyeri. Napasnya tersengal karena
tenggorokan mendadak menyempit, menyebabkan udara yang keluar
masuk tak lagi lega.
438 Gajah Mada

Dengan tatapan mata bingung, sosok kesakitan itu memerhatikan


keadaan di sekitarnya. Ia bingung, terbaca itu dari matanya yang menatap
keadaan tubuhnya, mencermati gagang anak panah melalui sentuhan
tangannya.
”Kenapa denganku?” tanya pemilik tubuh sekarat itu kepada diri
sendiri.
Namun, yang dilihatnya adalah keadaan yang tak bisa dipahami.
Pemilik tubuh itu selalu bingung. Selama ini, ia telah banyak dibingungkan
oleh banyak pertanyaan yang sangat membutuhkan jawaban, tetapi tak
kunjung ditemukan. Keadaan terakhir yang ia rasakan setelah bangun dari
ketidaksadaran atau semacam tidur panjang dengan mimpi-mimpi aneh,
benar-benar tak bisa dimengerti, sebagaimana yang ia alami sekarang ini.
”Terakhir, namaku Riung Sedatu, tetapi siapa sebenarnya aku?
Kenapa aku tidak ingat siapa sebenarnya aku? Mengapa ada anak panah
menembus dadaku tanpa aku tahu sebabnya? Haruskah aku mati tanpa
bisa mengingat siapa sebenarnya aku?”
Di sela rasa sakitnya, pemilik tubuh itu masih menyempatkan
bertanya atas sesuatu yang membuatnya selalu penasaran. Bahkan, ketika
kematian sudah sedemikian dekat, pertanyaan itu belum kunjung didapat
jawabnya. Hyang Widdi di langit diam seribu bahasa.
”Mengapa tiap kali aku bangun dari mimpi, selalu menemukan
keadaan yang tak bisa aku mengerti macam ini?”
Pemilik tubuh sekarat itu benar-benar bingung. Sudah lama sekali, ia
dibayangi banyak pertanyaan atas siapa dirinya, semua jati dirinya, asal-
usulnya, bahkan sampai pada pertanyaan yang paling sederhana, siapa
namanya. Akan tetapi, pertanyaan itu tidak segera diperoleh jawabnya.
Kini, tiba-tiba dengan alasan yang tidak ia mengerti, ada anak panah
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang menghunjam di dada menimbulkan rasa sakit luar biasa.


”Aku akan mati rupanya? Sakit sekali!” desisnya.
Ternyata, yang berhasil menjebol belenggu otaknya justru orang
yang semula melepas anak panah. Dengan bingung, dengan langkah kaki
Sanga Turangga Paksowani 439

amat ragu dan bagai melayang, pelepas warastra155 itu dilanda ketakutan
luar biasa, sangat takut menghadapi kenyataan paling mengerikan di
depannya.
Namun, apa yang dihadapi orang itu merupakan sesuatu yang
nyata. Maka, ketika langkah kakinya makin dekat, lelaki tua itu merasa
dirinya ambyar oleh sesal yang bukan alang kepalang. Anak panah telanjur
dilepas, sasaran telanjur menggeliat terkapar. Sungguh, anak panah itu
melesat dari kemampuan yang luar biasa, menandai betapa luar biasa
kemampuan laki-laki tua itu. Kemampuan bidiknya menjadi acuan bagi
siapa pun yang ingin belajar. Namun, kemampuan luar biasa itu telah
menjadi perantara kematian anaknya.
”Anakku!” teriak lelaki tua itu.
Hanya beberapa kejap menjelang kematiannya, tubuh tertembus
anak panah itu membuka matanya. Ia amat lega karena terobati rasa
penasarannya.
Ia memang sangat terkejut.
”Ayah?” suaranya lirih.
”Anakku!” balas orang itu sambil melempar gendewa dan membuang
semua anak panahnya.
Dengan amat gugup, amat sangat gugup, lelaki tua itu meraihnya
dengan tangan nyaris menggagas mencabut anak panah yang menancap.
Namun, untunglah masih ada akal warasnya. Jika anak panah itu dicabut,
justru bakal mempercepat kematian. Anak panah memiliki sifat seperti
pancing dengan pengait. Jika ditarik kaitnya, akan makin merobek,
menjadikan luka yang timbul akan makin parah.
Udara panas di padang Kurusetra itu mengombak. Para prajurit
berlarian mendekat untuk melihat apa yang sesungguhnya terjadi.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Matahari rupanya ikut terkejut. Ia makin terbelalak, terlihat itu dari


panasnya yang makin menyengat. Debu berhamburan oleh angin yang
juga tahu ada persoalan apa. Namun, di sudut lapangan nan luas itu
155
Warastra, Jawa, anak panah
440 Gajah Mada

terlihat angin memilin membelit apa pun. Lesus berukuran kecil itu
segera bubar karena tak berhasil mencuri perhatian.
”Akhirnya, aku ingat,” desis pemuda yang sedang sekarat itu. ”Aku
lega sekali. Aku ingat semuanya, aku tahu siapa aku, aku tahu siapa
namaku.”
Gemetar mulut lelaki tua yang melalui anak panahnya telah
membunuh anaknya itu, gemetar pula tangannya, jantungnya, dan
isi benaknya ketika menyaksikan tarikan napas yang makin berat,
makin tersengal, kemudian terpejam. Namun, laki-laki tua itu tak bisa
berbuat apa-apa. Penyesalan yang menggilas serasa meretakkan dinding
kepalanya. Laki-laki itu memejamkan mata dengan semua ototnya
bertarikan, menjadikan rahangnya kaku dan tangannya yang mengepal
keras membatu.
”Bagaimana keadaan Ibu Menur, Ayah? Pratiwi bagaimana? Aku
kangen kepadanya. Kuda Swabaya juga bagaimana, Ayah? Masakan Ibu,
aku kangen sekali masakan Ibu Menur, Ayah. Bagaimana kabar Paman
Sandan Banjir, Ayah? Apa Paman Sandan masih suka memberi kelapa?
Mengapa Paman Sandan Banjir memanggil anakmas kepadaku, Ayah?”
Pradhabasu lupa bagaimana cara bernapas. Leher anaknya yang
tercekik adalah lehernya yang juga tercekik.
Akhirnya, ketika tubuh yang terluka parah itu sampai pada batas
kemampuannya, matanya pun kehilangan cahaya. Mulutnya yang tiba-
tiba bergetar adalah upayanya untuk mengucapkan sesuatu.
”Prajaka!156 Anakku!” meledak Pradabasu dengan teriakan yang
berusaha memecah keheningan lapangan Bubat.
http://facebook.com/indonesiapustaka

156
Sebagaimana diketahui, sejak lahir, Sang Prajaka memiliki kelainan Jiwa. Ia memiliki kemampuan
menghitung cepat. Namun, Sang Prajaka juga mengalami kepribadian ganda. Dalam satu tubuhnya
tinggal dua jiwa, jiwa Sang Prajaka sendiri dan Jiwa Saniscara.
Sanga Turangga Paksowani 441

54
T idak seorang pun yang berbicara, tidak perlu ada atau janganlah
ada yang pernah bicara karena untuk apa? Nasi telah menjadi bubur, apa
yang terjadi tidak bisa diputar kembali, sudah lewat, sudah basi.
Mahapatih Gajah Mada duduk tafakur di tempatnya, di tengah ruang
wisma Ibu Suri Sri Gitarja. Matanya menghunjam ke lantai di depannya.
Gajah Mada merasa untuk apa berbicara. Lurus di depannya, Prabu
Hayam Wuruk memandangnya dengan tatapan mata berkunang-kunang.
Hayam Wuruk bingung, tak tahu bagaimana cara melampiaskan rasa
kecewanya terhadap Gajah Mada, orang yang amat diandalkan sebagai
pundak dan bahunya. Ia juga bertanya, untuk apa berbicara?
Ibu Suri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan
Ibu Suri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa apalagi. Mereka juga tidak
memiliki sisa rangkaian kalimat karena penyesalan macam apa pun,
tidak mungkin menghidupkan kembali yang telah mati, tidak mampu
membangkitkan kembali tubuh Dyah Pitaloka yang telanjur membeku
dan pasti akan melapuk. Juga untuk apa melanjutkan menghias Tatag
Rambat Bale Manguntur dengan untaian janur? Untuk apa melanjutkan
membangun tarub yang lebih besar? Kedua Ibu Suri itu juga merasa tak
tahu lagi apa gunanya berbicara.
Dan, untuk apa memerintahkan kepada para penari bedaya untuk
tetap berlatih dan berlatih menari? Haruskah geliat indah gerakan tari
itu disuguhkan kepada Prabu yang sedang dililit duka?
http://facebook.com/indonesiapustaka
http://facebook.com/indonesiapustaka
TENTANG PENULIS

LANGIT KRESNA HARIADI (LKH), lahir


di Banyuwangi tahun 1959 pada posisi bungsu
dari sebuah keluarga besar dan satu-satunya dari
keluarga itu yang memilih dunia tulis-menulis sebagai
pelampiasan hobi, emosi, dan profesi, membentang
dari cerpen, novel, cerita bersambung silat, artikel,
skenario sinetron, dan drama radio.
Baginya, menulis adalah napas hidupnya. Menulis seperti orang
memetik gitar, seperti penyanyi mendendangkan lagu, atau seperti
perokok yang kecanduan. ”Tidak boleh menulis boleh dibilang matilah
saya.” Itulah sebabnya, kegiatan menulis itu akhirnya bermetamorfosis
dari yang semula hobi menjadi kebutuhan hidup. ”Lha wong kalau tidak
menulis tidak makan.” Jika ada kegiatan di luar tulis-menulis yang juga
ditekuni, masih berada di wilayah seni, menjadi MC misalnya.
Setelah Balada Gimpul, buku pertamanya yang diterbitkan Balai
Pustaka Jakarta, berturut-turut dengan kepala dinginnya (benar seperti
artinya karena harus dikompres jika sudah mendidih, indikasinya pusing)
lahir Kiamat Para Dukun diterbitkan oleh PT Era Intermedia, lalu Libby 1,
Libby 2, De Castaz, Alivia, Serong, Melibas Sekat Pembatas, Antologi Manusia
Laminating, yang masing-masing diterbitkan oleh Qalam Press. Gama
Media juga menerbitkan salah satu karyanya yang senapas dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

karyanya yang lain, yang lahir atas keprihatinannya terhadap pembantaian


dukun santet di kampung halamannya, Banyuwangi, Kiamat Dukun Santet.
Melalui koran yang terbit di Solo, Langit Kresna Hariadi menjadi dalang
atas karya berupa cerita bersambung silatnya yang berjudul Beliung dari
Timur.
Malu disebut tak tahu diri karena juga menulis novel remaja,
padahal, ”Berpikir seperti remaja sulitnya minta ampun, dunia mereka
aneh sekali,” disiasatilah melalui menggunakan nama samaran Amurwa
Pradnya Sang Indraswari, lahirlah karya yang menyimpang jauh dari
pakem, berjudul Siapa yang Nyuri Bibirku? dan Diary of Jaka Tarup
terbitan Diva Press. Satu lagi melalui Smart Media berjudul Selamatkan
Sang Pangeran.
Gajah Mada adalah buku pertamanya yang diterbitkan oleh Penerbit
PT Tiga Serangkai yang lumayan mencuri perhatian dan mengundang
apresiasi. Karena saran dari sana sini untuk melanjutkannya maka lahirlah
Gajah Mada, Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara, Gajah Mada,
Hamukti Palapa, dan Gajah Mada, Perang Bubat. Gajah Mada, Madakaripura
Hamukti Muksa yang akan segera menyusul adalah lakon Gajah Mada
berikutnya yang segera ia tuntaskan. Satu lagi karyanya berupa petunjuk
praktis menulis buku berjudul Mengarang? Ah Gampang, juga diterbitkan
oleh penerbit yang sama.
http://facebook.com/indonesiapustaka
A da beberapa rakrian yang merasa tak puas dengan kedudukan
dan jabatan yang mereka miliki. Para kesatria di bawah pimpinan Kuti
ini akhirnya menggelar makar berdarah.
Beruntung, Gajah Mada telah mendapat informasi penting tentang
akan adanya makar. Telik sandi tak dikenal terus menyalurkan beberapa
keterangan penting dengan menggunakan kata sandi, Bagaskara Manjer
Kawuryan, hingga Gajah Mada dan pasukan Bhayangkara yang hanya
berjumlah tak lebih dari dua puluh orang, berhasil menyelamatkan Raja
yang terus diburu. Gajah Mada harus menyelamatkan Jayanegara hingga
ke Bedander di Bojonegoro. Di Bedander, mata-mata yang menyusup
dalam pasukan Bhayangkara, berhasil diungkap jati dirinya, tetapi telanjur
meminta korban. Gajah Mada dan pasukan Bhayangkara selanjutnya
http://facebook.com/indonesiapustaka

menyerang balik dan berhasil menjungkalkan Ra Kuti dari dampar yang


bukan haknya.
Klimaks cerita ini adalah kalimat sandi Bagaskara Manjer Kawuryan
ternyata keluar dari mulut orang yang tak terduga. Sungguh penuntasan
yang mengejutkan.
Kembali Langit Kresna Hariadi (LKH) bermain-main dengan
teka-teki dan menjadi tengara betapa piawai pengarang ini.
Setelah Jayanegara mati, hanya ada dua calon yang salah satunya pasti
diangkat menjadi prabu putri, mereka adalah Sri Gitarja dan Dyah Wiyat,
kakak beradik anak Gayatri, istri keempat mendiang Raden Wijaya.
Masalahnya, para Sekar Kedaton itu memiliki calon suami yang
sama-sama memiliki pendukung. Raden Cakradara, calon suami Sri
Gitarja, mempunyai banyak pendukung yang menginginkan Sri Gitarja
yang diangkat menjadi prabu perempuan. Sementara itu, Raden
Kudamerta, calon suami Sekar Kedaton Dyah Wiyat, juga memiliki
pendukung dengan kepentingan sama.
Pembunuhan demi pembunuhan yang dilakukan orang tak dikenal
membawa Gajah Mada menelusuri kenyataan-kenyataan yang tak
terduga. Apalagi, Gajah Enggon pingsan berhari-hari karena lemparan
batu. Semua pihak mencemaskannya tak akan selamat dari kematian.
Namun, pingsan yang dialami Gajah Enggon justru menjadi pemecahan
semua teka-teki. Siapa saja mereka dan bagaimana ulah mereka?
http://facebook.com/indonesiapustaka
M ajapahit dihajar kemarau yang menyengat sehinggga rakyat
mengalami penderitaan yang luar biasa karena sulit memperoleh air
untuk berbagai keperluan. Keadaan yang demikian masih diperparah
dengan terjadinya bencana alam. Gunung Kampud meletus dan gempa
bumi terjadi di Pabanyu Pindah. Istana juga mengalami guncangan luar
biasa ketika gedung pusaka dibobol maling.
Dua benda yang dikeramatkan, cihna gringsing lobheng lewih laka dan
payung Udan Riwis hilang. Gajah Enggon yang berkewajiban melacak
pusaka itu hanya mendapat petunjuk yang membingungkan, “Ikuti
ledakan petir dan di mana hujan turun.” Petunjuk yang aneh, tetapi tak
bisa diabaikan karena berasal dari Ibu Suri Gayatri.
Ketika Senopati Gajah Enggon disibukkan oleh upaya pencarian
benda pusaka yang hilang, Gajah Mada harus mengatur strategi untuk
menghadapi pemberontakan Keta dan Sadeng. Sayang sekali, di balik
kerja kerasnya itu ada pihak yang menelikung. Namun, keberhasilan
dalam mengatur strategi perang itu akhirnya membawa Gajah Mada
mendaki jabatan lebih tinggi sekaligus mengantarkannya ke sumpah
yang nggegirisi, Hamukti Palapa.
Di akhir cerita, pengarang benar-benar menyajikan penuntasan yang
mengejut yang akan membuat Anda terperangah.
http://facebook.com/indonesiapustaka
P erang Bubat tentu meninggalkan luka yang sangat mendalam
bagi orang Sunda Galuh. Raja, Ratu, dan Sekar Kedaton ditambah
kira-kira seratus pengiring terbunuh. Logis jika pengarang bermajinasi
tentang adanya pihak yang ditugasi menyusup ke Majapahit dengan tugas
khusus membunuh Gajah Mada. Di sisi lain, Perang Bubat menyebabkan
Gajah Mada harus meninggalkan jabatannya dan melakukan intropeksi
di Madakaripura, pesanggrahan yang ia terima sebagai hadiah dari Raja
Hayam Wuruk. Di Madakaripura, Gajah Mada yang kembali menerima
tampuk pimpinan, jatuh sakit. Gajah Mada benar-benar menjelajahi
puncak penderitaan justru di hari tuannya.
Dalam buku ini juga dikisahkan tentang Kuda Swabaya yang
mengalami kesulitan untuk meyakinkan Pradhabasu dan Dyah Menur
untuk mau menerima calon istrinya. Apalagi, Pradhabasu tidak bisa
menerima pertemuan kembali yang terjadi antara Dyah Menur dan
Raden Kudamerta.
Gajah Sagara juga mengalami kesulitan meyakinkan Gajah Enggon
bahwa cintanya kepada Dyah Ganitri yang seorang penari tayup tidak
http://facebook.com/indonesiapustaka

main-main.
Namun, Gajah Sagara yang mengira telah mengenal istrinya
rupanya salah. Dyah Ganitri yang memberinya seorang anak itu rupanya
sosok yang tidak pernah dikenalnya, kecuali sebatas sebagai istri yang
melayaninya.
S ebuah penggambaran watak hitam-putih, telah diterjemahkan
dari Babad Tanah Jawi. Penangsang, sosok yang gila kekuasaan dan sangat
berangasan, hatinya selalu panas dan jiwanya mudah marah. Sifat itulah
yang kemudian menjadi penyebab kekalahan, bahkan kematiannya. Mas
Karebet, sosok pemimpin bijak dan berjiwa arif. Seorang tokoh yang
kemudian menjadi pemenang dalam pertarungan dengan Penangsang.
http://facebook.com/indonesiapustaka
N ovel sejrah yang mengisahkan perjalanan hidup pahlawan
nasional, Untung Surapati, sejak masa kanak-kanak sebagai budak
hingga menjadi tokoh pejuang yang gigih melawan penjajah Belanda,
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan akhirnya gugur demi membela tanah airnya.


N ovel ini mengelaborasikan secara apik fakta sejarah, romantisme
kisah cinta, dan cerita silat ke dalam karya sastra yang imajinatif. Liku-liku
perjalanan hidup sang pahlawan yang penuh nestapa dan haru biru, juga
keteladanan sosok pejuang yang kuat, tegas, dan tabah dikemas secara
memikat dalam novel ini.
N ovel berbalut sejarah ini menceritakan sepak terjang seorang
pendekar budiman yang bertugas mengamankan wilayah Lamongan
Utara. Tak hanya mengumbar kekerasan terhadap penjahat, dia juga
memberi pencerahan kepada masyarakat dengan bahasa dakwah yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

lembut dan damai.


M eskipun Mataram sudah menjadi negeri subur makmur gemah
ripah loh jinawi, murah sandang murah pangan, negeri yang tanggap,
http://facebook.com/indonesiapustaka

tangguh, dan tanggon, Panembahan Senopati tidak pernah puas dengan


apa yang telah dicapainya. Ia tidak mau diam dan hanya pasrah pada
keadaan. Ia terus berjuang agar pada saatnya nanti, Mataram menjadi
sebuah negeri yang disegani. Ditakuti, baik kawan maupun lawan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

ISBN 978-602-320-678-0

Anda mungkin juga menyukai