Anda di halaman 1dari 14

TUGAS ULANGAN TENGAH SEMESTER

SOSIO-ANTROPOLOGI PENDIDIKAN

Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sosio-Antropologi Pendidikan
Dosen Pengampu: Dr. Serafin Wisni Septiarti, M.Si

Disusun oleh:

Nama : Ayu Tri Astuti


NIM : 15302241027
Kelas : Pendidikan Fisika A’15

JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2018
TUGAS ULANGAN TENGAH SEMESTER
SOSIO-ANTROPOLOGI PENDIDIKAN

A. KARAKTER TOKOH PUNAKAWAN

“Puna” atau “pana” dalam terminologi Jawa artinya memahami, terang, jelas, cermat,
mengerti, cerdik dalam mencermati atau mengamati makna hakekat di balik kejadian-
peristiwa alam dan kejadian dalam kehidupan manusia. Sedangkan kawan berarti
pula pamong atau teman. Jadi punakawan mempunyai makna yang menggambarkan
seseorang yang menjadi teman, yang mempunyai kemampuan mencermati, menganalisa, dan
mencerna segala fenomena dan kejadian alam serta peristiwa dalam kehidupan
manusia. Punakawan dapat pula diartikan seorang pengasuh, pembimbing yang memiliki
kecerdasan fikir, ketajaman batin, kecerdikan akal-budi, wawasannya luas, sikapnya
bijaksana, dan arif dalam segala ilmu pengetahuan. Ucapannya dapat dipercaya, antara
perkataan dan tindakannya sama, tidaklah bertentangan. Khasanah budaya Jawa
menyebutnya sebagai “tanggap ing sasmita, lan limpat pasang ing grahita”. Dalam istilah
pewayangan terdapat makna sinonim dengan apa yang disebut wulucumbu yakni rambut yang
tumbuh pada jempol kaki. Keseluruhan gambaran karakter pribadi Ki Lurah Semar tersebut
berguna dalam upaya melestarikan alam semesta, dan menciptakan kemakmuran serta
kesejahteraan di bumi pertiwi.
Kelompok ini terdiri Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong (Sunda:Cepot). Mereka
menggambarkan kelompok punakawan yang jujur, sederhana, tulus, berbuat sesuatu tanpa
pamrih, tetapi memiliki pengetahuan yang sangat luas, cerdik, dan mata batinnya sangat
tajam. Ki Lurah Semar, khususnya, memiliki hati yang “nyegoro” atau seluas samudra
serta kewaskitaan dan kapramanan-nya sedalam samudra. Hanya satria sejati yang akan
menjadi asuhan Ki Lurah Semar. Semar hakekatnya sebagai manusia setengah dewa, yang
bertugas mengemban/momong para kesatria sejati.
Ki Lurah Semar disebut pula Begawan Ismaya atau Hyang Ismaya, karena
eksistensinya yang teramat misterius sebagai putra Sang Hyang Tunggal umpama dewa
mangejawantah. Sedangkan julukanIsmaya artinya tidak wujud secara wadag/fisik, tetapi
yang ada dalam keadaan samar/semar. Dalam uthak-athik-gathuk secara Jawa, Ki Semar
dapat diartikan guru sejati (sukma sejati), yang ada dalam jati diri kita.Guru sejati merupakan
hakekat Zat tertinggi yang terdapat dalam badan kita. Maka bukanlah hal yang muskil bila
hakekat guru sejati yang disimbolkan dalam wujud Ki Lurah Semar, memiliki
kemampuan sabda pendita ratu, ludahnya adalah ludah api (idu geni). Apa yang diucap guru
sejati menjadi sangat bertuah, karena ucapannya adalah kehendak Tuhan. Para kesatria yang
diasuh oleh Ki Lurah Semar sangat beruntung karena negaranya akan menjadi adil makmur,
gamah ripah, murah sandang pangan, tenteram, selalu terhindar dari musibah.
Kelompok punakawan ini bertugas :
1. Menemani (mengabdi) para bendhara (bos) nya yang memiliki karakter luhur budi
pekertinya. Tugas punakawan adalah sebagai “pembantu” atau abdi sekaligus
“pembimbing”. Tugasnya berlangsung dari masa ke masa.
2. Dalam cerita pewayangan, kelompok ini lebih sebagai penasehat spiritual, pamomong,
kadang berperan pula sebagai teman bercengkerama, penghibur di kala susah.
3. Dalam percengkeramaannya yang bergaya guyon parikena atau saran, usulan dan
kritikan melalui cara-cara yang halus, dikemas dalam bentuk kejenakaan kata dan
kalimat. Namun di dalamnya selalu terkandung makna yang tersirat berbagai saran dan
usulan, dan sebagai pepeling akan sikap selalu eling dan waspadha yang harus
dijalankan secara teguh oleh bendharanya yang jumeneng sebagai kesatria besar.
4. Pada kesempatan tertentu punakawan dapat berperan sebagai penghibur selagi sang
bendhara mengalami kesedihan.
5. Pada intinya, Ki Lurah Semar dkk bertugas untuk mengajak para kesatria asuhannya
untuk selalu melakukan kebaikan atau kareping rahsa (nafsu al mutmainah). Dalam
terminologi Islam barangkali sepadan dengan istilah amr ma’ruf.
Adapun watak kesatria adalah: halus, luhur budi pekerti, sabar, tulus, gemar menolong,
siaga dan waspada, serta bijaksana.
1. Ki Lurah Semar (simbol ketentraman dan keselamatan hidup).

Membahas Semar tentunya akan panjang lebar seperti tak ada titik akhirnya. Semar
sebagai simbol bapa manusia Jawa. Bahkan dalam kitab jangka Jayabaya, Semar digunakan
untuk menunjuk penasehat Raja-raja di tanah Jawa yang telah hidup lebih dari 2500 tahun.
Dalam hal ini Ki Lurah Semar tiada lain adalah Ki Sabdapalon dan Ki Nayagenggong, dua
saudara kembar penasehat spiritual Raja-raja. Sosoknya sangat misterius, seolah antara nyata
dan tidak nyata, tapi jika melihat tanda-tandanya orang yang menyangkal akan menjadi ragu.
Ki Lurah Semar dalam konteks Sabdapalon dan Nayagenggong merupakan bapa atau
Dahyang-nya manusia Jawa. Menurut jangka Jayabaya kelak saudara kembar tersebut akan
hadir kembali setelah 500 tahun sejak jatuhnya Majapahit untuk memberi pelajaran kepada
momongannya manusia Jawa (nusantara). Jika dihitung kedatangannya kembali, yakni
berkisar antara tahun 2005 hingga 2011. Maka bagi para satria momongannya Ki Lurah
Semar ibarat menjadi jimat; mung siji tur dirumat. Selain menjadi
penasehat, punakawan akan menjadi penolong dan juru selamat/pelindung tatkala para
satria momongannya dalam keadaan bahaya.
Dalam cerita pewayangan Ki Lurah Semar jumeneng sebagai seorang Begawan,
namun ia sekaligus sebagai simbol rakyat jelata. Maka Ki Lurah Semar juga dijuluki manusia
setengah dewa. Dalam perspektif spiritual, Ki Lurah Semar mewakili watak yang sederhana,
tenang, rendah hati, tulus, tidak munafik, tidak pernah terlalu sedih dan tidak pernah tertawa
terlalu riang. Keadaan mentalnya sangat matang, tidak kagetan dan tidakgumunan. Ki Lurah
Semar bagaikan air tenang yang menghanyutkan, di balik ketenangan sikapnya tersimpan
kejeniusan, ketajaman batin, kaya pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan. Ki Lurah
Semar menggambarkan figur yang sabar, tulus, pengasih, pemelihara kebaikan, penjaga
kebenaran dan menghindari perbuatan dur-angkara. Ki Lurah Semar juga
dijuluki Badranaya, artinya badra adalah rembulan, naya wajah. Atau Nayantaka, naya adalah
wajah, taka : pucat. Keduanya berarti menyimbolkan bahwa Semar memiliki watak rembulan
(lihat thread:Pusaka Hasta Brata). Dan seorang figur yang memiliki wajah pucat, artinya
Semar tidak mengumbar hawa nafsu. Semareka den prayitna:semare artinya menidurkan diri,
agar supaya batinnya selalu awas. Maka yang ditidurkan adalah panca inderanya dari gejolak
api atau nafsu negatif. Inilah nilai di balik kalimat wani mati sajroning urip (berani mati di
dalam hidup). Perbuatannya selalu netepi kodrat Hyang Widhi (pasrah), dengan cara
mematikan hawa nafsu negatif. Sikap demikian akan diartikulasikan ke dalam sikap watak
wantun kita sehari-hari dalam pergaulan, “pucat’ dingin tidak mudah emosi, tenang dan
berwibawa, tidak gusar dan gentar jika dicaci-maki, tidak lupa diri jika dipuji, sebagaimana
watak Badranayaatau wajah rembulan.
Dalam khasanah spiritual Jawa, khususnya mengenai konsepmanunggaling kawula
Gusti, Ki Lurah Semar dapat menjadi personifikasi hakekat guru sejati setiap manusia. Semar
adalah samar-samar, sebagai perlambang guru sejati atau sukma sejati wujudnya samar
bukan wujud nyata atau wadag, dan tak kasad mata. Sedangkan Pendawa Lima adalah
personifikasi jasad/badan yang di dalamnya terdapat panca indera. Karena sifat jasad/badan
cenderung lengah dan lemah, maka sebaik apapun jasad seorang satria, tetap saja harus
diasuh dan diawasi oleh sang guru sejatiagar senantiasa eling dan waspadha. Agar supaya
jasad/badan memiliki keteguhan pada ajaran kebaikan sang guru sejati. Guru sejati
merupakan pengendali seseorang agar tetap dalam “laku” yang tepat, pener dan berada pada
koridor bebener. Siapa yang ditinggalkan oleh pamomong Ki Lurah Semar beserta Gareng,
Petruk, Bagong, ia akan celaka, jika satria maka di negerinya akan mendapatkan banyak
malapetaka seperti : musibah, bencana, wabah penyakit (pageblug), paceklik. Semua itu
sebagai bebendu karena manusia (satria) yang ditinggalkan guru sejati-nya telah keluar dari
jalur bebener.
Jika ditinjau dari perspektif politik, kelompok Punakawan Ki Lurah Semar dan anak-
anaknya Gareng, Petruk, Bagong sebagai lambang dari lembaga aspirasi rakyat yang
mengemban amanat penderitaan rakyat. Atau semacam lembaga legislatif. Sehingga
kelompok punakawan ini bertugas sebagai penyambung lidah rakyat, melakukan kritikan,
nasehat, dan usulan. Berkewajiban sebagai pengontrol, pengawas, pembimbing jalannya
pemerintahan di bawah para Satria asuhannya yakni Pendhawa Lima sebagai lambang badan
eksekutif atau lembaga pemerintah. Dengan gambaran ini, sebenarnya dalam tradisi Jawa
sejak masa lampau telah dikenal sistem politik yang demokratis.
2. Nala Gareng

Nala adalah hati, Gareng (garing) berarti kering, atau gering, yang berarti menderita.
Nala Gareng berarti hati yang menderita. Maknanya adalah perlambang “laku” prihatin.
Namun Nala Gareng diterjemahkan pula sebagai kebulatan tekad. Dalam serat Wedhatama
disebutkan gumeleng agolong-gilig. Merupakan suatu tekad bulat yang selalu mengarahkan
setiap perbuatannya bukan untuk pamrih apapun, melainkan hanya untuknetepi kodrat Hyang
Manon. Nala Gareng menjadi simbol duka-cita, kesedihan, nelangsa. Sebagaimana yang
tampak dalam wujud fisik Nala Gareng merupakan sekumpulan simbol yang menyiratkan
makna sbb:
Mata Juling:
Mata sebelah kiri mengarah keatas dan ke samping. Maknanya Nala Gareng selalu
memusatkan batinnya kepada Hyang Widhi.
Lengan Bengkok atau cekot/ceko :
Melambangkan bahwasannya manusia tak akan bisa berbuat apa-apa bila tidak berada pada
kodrat atau kehendak Hayng Widhi.
Kaki Pincang, jika berjalan sambil jinjit :
Artinya Nala Gareng merupakan manusia yang sangat berhati-hati dalam melangkah atau
dalam mengambil keputusan. Keadaan fisik nala Gareng yang tidak sempurna ini
mengingatkan bahwa manusia harus bersikap awas dan hati-hati dalam menjalani kehidupan
ini karena sadar akan sifat dasar manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan.
Mulut Gareng :
Mulut gareng berbentuk aneh dan lucu, melambangkan ia tidak pandai bicara, kadang
bicaranya sasar-susur (belepotan) tak karuan. Bicara dan sikapnya serba salah, karena tidak
merasa percaya diri. Namun demikian Nala Gareng banyak memiliki teman, baik di pihak
kawan maupun lawan. Inilah kelebihan Nala Gareng, yang menjadi sangat bermanfaat dalam
urusan negosiasi dan mencari relasi, sehingga Nala Gareng sering berperan sebagai juru
damai, dan sebagai pembuka jalan untuk negosiasi. Justru dengan banyaknya kekurangan
pada dirinya tersebut, Nala Gareng sering terhindar dari celaka dan marabahaya.

3. Petruk Kanthong Bolong

Ki Lurah Petruk adalah putra dari Gandarwa Raja yang diambil anak oleh Ki Lurah
Semar. Petruk memiliki nama alias, yakni Dawala. Dawa artinya panjang, la, artinya ala atau
jelek. Sudah panjang, tampilan fisiknya jelek. Hidung, telinga, mulut, kaki, dan tangannya
panjang. Namun jangan gegabah menilai, karena Lurah Petruk adalah jalma tan kena kinira,
biar jelek secara fisik tetapi ia sosok yang tidak bisa diduga-kira. Gambaran ini merupakan
pralambang akan tabiat Ki Lurah Petruk yang panjang pikirannya, artinya Petruk
tidak grusah-grusuh (gegabah) dalam bertindak, ia akan menghitung secara cermat untung
rugi, atau resiko akan suatu rencana dan perbuatan yang akan dilakukan. Petruk Kanthong
Bolong, menggambarkan bahwa Petruk memiliki kesabaran yang sangat luas, hatinya bak
samodra, hatinya longgar, plong dan perasaannya bolongtidak ada yang disembunyikan, tidak
suka menggerutu dan ngedumel.
Dawala, juga menggambarkan adanya pertalian batin antara para leluhurnya
di kahyangan (alam kelanggengan) dengan anak turunnya, yakni Lurah Petruk yang masih
hidup di mercapada. Lurah Petruk selalu mendapatkan bimbingan dan tuntunan dari para
leluhurnya, sehingga Lurah Petruk memiliki kewaskitaan mumpuni dan mampu menjadi abdi
dalem (pembantu) sekaligus penasehat para kesatria.
Petruk Kanthong Bolong wajahnya selalu tersenyum, bahkan pada saat sedang
berduka pun selalu menampakkan wajah yang ramah dan murah senyum dengan penuh
ketulusan. Petruk mampu menyembunyikan kesedihannya sendiri di hadapan para
kesatria bendharanya. Sehingga kehadiran petruk benar-benar membangkitkan semangat dan
kebahagiaan tersendiri di tengah kesedihan. Prinsip “laku” hidup Ki Lurah Petruk adalah
kebenaran, kejujuran dan kepolosan dalam menjalani kehidupan. Bersama semua
anggota Punakawan, Lurah Petruk membantu para kesatria Pandhawa Lima (terutama Raden
Arjuna) dalam perjuangannya menegakkan kebenaran dan keadilan.

4. Bagong

Bagong adalah anak ketiga Ki Lurah Semar. Secara filosofi Bagong adalah bayangan
Semar. Sewaktu Semar mendapatkan tugas mulia dari Hyang Manon, untuk mengasuh para
kesatria yang baik, Semar memohon didampingi seorang teman. Permohonan Semar
dikabulkan Hyang Maha Tunggal, dan ternyata seorang teman tersebut diambil dari bayangan
Semar sendiri. Setelah bayangan Semar menjadi manusia berkulit hitam seperti rupa
bayangan Semar, maka diberi nama Bagong. Sebagaimana Semar, bayangan Semar tersebut
sebagai manusia berwatak lugu dan teramat sederhana, namun memiliki ketabahan hati yang
luar biasa. Ia tahan menanggung malu, dirundung sedih, dan tidak mudah kaget serta heran
jika menghadapi situasi yang genting maupun menyenangkan. Penampilan dan lagak Lurah
Bagong seperti orang dungu. Meskipun demikian Bagong adalah sosok yang tangguh, selalu
beruntung dan disayang tuan-tuannya. Maka Bagong termasuk punakawan yang dihormati,
dipercaya dan mendapat tempat di hati para kesatria. Istilahnya bagong diposisikan
sebagai bala tengen, atau pasukan kanan, yakni berada dalam jalur kebenaran dan selalu
disayang majikan dan Tuhan.
Dalam pagelaran wayang kulit, kelompok punakawan Semar, Gareng, Petruk, Bagong
selalu mendapatkan tempat di hati para pemirsa. Punakawan tampil pada puncak acara yang
ditunggu-tunggu pemirsa yakni goro-goro, yang menampilkan berbagai adegan dagelan,
anekdot, satire, penuh tawa yang berguna sebagai sarana kritik membangun sambil
bercengkerama (guyon parikena). Punakawan menyampaikan kritik, saran, nasehat, maupun
menghibur para kesatria yang menjadi asuhan sekaligus majikannya. Suara punakawan
adalah suara rakyat jelata sebagai amanat penderitaan rakyat, sekaligus sebagai “suara”
Tuhan menyampaikan kebenaran, pandangan dan prinsip hidup yang polos, lugu namun
terkadang menampilkan falsafah yang tampak sepele namun memiliki esensi yang sangat
luhur. Itulah sepak “terjang punakawan” bala tengenyang suara hatinuraninya selalu didengar
dan dipatuhi oleh para kesatria asuhan sekaligus majikannya.

B. NILAI-NILAI EDUKASI DARI TOKOH PUNAKAWAN

1. Semar

Semar bentuknya samar-samar dan mukanya pucat. Karakter yang disimbolkan oleh
wujud semar adalah kesederhanaan, kejujuran, mengasihi sesama, rendah hati, tidak terlalu
bersedih ketika mengalami kesulitan, dan tidak terlalu senang ketika mengalami
kebahagiaan. Kesederhanaan sangat sulit ditemui di masa sekarang, banyak orang hidup
tujuan utamanya adalah material, makin banyak material yang didapatkan atau makin kaya
maka makin merasa hidupnya sukses dan bahagia. Namun ukuran kebahagiaan tidak selalu
ditentukan oleh materi, kesederhanaan dalam menjalani hidup lebih diutamakan. Dengan
kesederhanaan kita bisa merasakan berbagi dengan orang lain, kita bisa merasakan nikmat
yang diberikan Tuhan kepada kita, dengan kesederhanaan mampu membuat kita tidak hidup
selalu dengan tuntutan harus lebih dari yang sekarang didapatkan secara materi dan tidak
berat meninggalkan materi dunia ketika tiba waktunya meninggal.
Semar dalam pewayangan menjadi rujukan para kesatria untuk meminta nasihat dan
menjadi tokoh yang dihormati. Namun karakter tetap rendah hati, tidak sombong, jujur, dan
tetap mengasihi sesame dapat menjadi contoh karakter yang baik. Penuh kelebihan tetapi
tidak lupa diri karena kelebihan yang dimiliki. Tokoh semar mengingatkan bahwa ketika kita
mengalami kesedihan kita akan terus bersedih secara mendalam, maka kita tidak akan pernah
berpikiran bahwa kesedihan akan berakhir, tidak ada usaha untuk mengatasi kesedihan,
sehingga akhirnya terlambat untuk menyadari bahwa kita sudah terlalu lama menangisi
kesedihan tanpa melakukan apa-apa. Saat mengalami kebahagiaan, kita sangat bahagia
sehingga tidak waspada atau lupa bahwa suatu saat kita akan mengalami kesusahan, dan kita
tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi kesesuahan sehingga saat mengalami kesusahan
kita merasa bahwa menjadi orang paling susah, dan mengalami nasib buruk.

2. Gareng

Nala gareng merupakan tokoh punakawan yang memiliki ketidaklengkapan bagian


tubuh. Nala gareng mengalami cacat kaki, cacat tangan, dan mata. Karakter yang disimbolkan
adalah cacat kaki menggambarkan manusia harus berhati-hati dalam menjalani kehidupan.
Tangan yang cacat menggambarkan manusia bisa berusaha tetapi Tuhan yang menentukan
hasil akhirnya. Mata yang cacat menunjukkan manusia harus memahami realitas kehidupan.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa Nala Gareng menyimbolkan karakter hidup
prihatin dalam menjalani kehidupan baik senang maupun duka, dan selalu berhati-hati dalam
berperilaku.

Gareng, lambang cipta (akal) manusia. Gareng berasal dari bahasa Arab ”naala
qariin” (nala gareng) yang berarti memperoleh banyak kawan. Walaupun tiada memiliki fisik
yang sempurna, Gareng mampu memiliki banyak kawan. Hal itu membuktikan bahwa
hakikat manusia terdapat dalam hatinya, bukan fisiknya. Gambaran fisik tokoh Gareng yaitu
memiliki mata juling yang berarti simbol berpikir, memiliki tangan bengkok sebagai simbol
nalar berlikuliku, tidak hanya satu sudut pandang saja, kakinya yang gejig, menunjukkan
sikap kehatihatian. Sikap yang dimiliki Gareng ini sangat cocok jika dikaitkan dengan
fenomena yang ada di masyarakat kita saat ini yang cenderung membesarbesarkan perbedaan,
bahkan ribut dengan saudara sendiri hanya karena tidak sepaham ataupun tidak satu
pandangan. Gareng mengajarkan kita bagaimana perbedaan itu sebagai rahmat bukan laknat.
3. Petruk

Kanthong Bolong. Tokoh petruk digambarkan dengan bentuk panjang yang


menyimbolkan pemikiran harus panjang. Nama Kanthong Bolong menunjukkan kesabaran
yang dalam. Dalam menjalani hidup manusia harus berpikir panjang (tidak grusa-grusu) dan
sabar. Bila tidak berpikir panjang, biasanya akan mengalami penyesalan di akhir. Konsep
psikologi kognitif menjelaskan bahwa saat mengalami masalah, manusia akan membuat suatu
keputusan untuk penyelesaian masalah. Saat berpikir panjang digambarkan dengan membuat
berbagai alternatif penyelesaian masalah dengan perhitungan kelebihan dan kekurangannya.
Dengan adanya alternatif penyelesaian masalah manusia bisa mengambil keputusan yang
tepat. Sabar, menggambarkan penerimaan terhadap apa yang sudah digariskan Tuhan setelah
manusia berusaha, bukan hanya sekadar pasrah menerima tanpa usaha. Istilah jawa nerimo
ing pandum sering diartikan bahwa pasrah menerima tanpa usaha. Arti ini keliru, nerimo ing
pandum artinya menerima apapun hasil dari usaha yang telah dilakukan karena manusia
hanya bisa berusaha dan berdoa tetapi Tuhan yang menentukan akhirnya. Petruk, lambang
rasa. Petruk juga berasal dari bahasa Arab, yaitu Fatruk yang berarti, tinggalkanlah.
Tinggalkanlah sesuatu yang bukan dari Allah. Dengan kata lain, menjalankan segala
perintahNya dan menjauhi sehala laranganNya. Sederhana tetapi sangat mengena.

4. Bagong

Bentuknya mirip semar tetapi hitam gelap sehingga disebut sebagai bayangan semar.
Karakter yang disimbolkan dari bentuk bagong adalah manusia harus sederhana, sabar, dan
tidak terlalu kagum pada kehidupan di dunia. Makna mendalam dari karakter Bagong adalah
tidak terlalu kagum dengan kehidupan dunia. Saat ini kehidupan manusia termasuk di
Indonesia mulai bergeser dari kehidupan kolektivisme dan relationisme menjadi
individualism yang sangat khas materialismenya. Kehidupan dunia dengan harta dan jabatan
menjadi target utama yang harus dicapai. Karakter Bagong dapat menjadi model bahwa
kehidupan dunia tidak abadi. Manusia harus selalu belajar dari bayangannya yang memiliki
makna manusia harus selalu introspeksi diri dengan kekurangan atau kejelekan diri sendiri
untuk memperbaiki perilaku yang lebih baik. Bukannya selalu melihat kejelekan orang lain
tanpa melihat kekurangan diri sendiri sehingga diri menjadi sombong. Bagong berasal dari
bahasa Arab, “baghaa” yang berarti memberontak terhadap sesuatu yang zalim. Berat sekali
menyandang nama Bagong ini. Tetapi walaupu berat tetap harus berbuat dan itulah yang
disebut perjuangan. Sebagai bagian dari bangsa besar ini, karakter Punakawan mampu
menjawab tantangan zaman. Kita boleh maju, dan memang harus terus maju. Kita harus
berperan, dan harus berperan sesuai aturan. Kita harus berkarya walaupun dilahirkan tidak
sempurna. Kita harus mempu beramar ma’ruf nahi munkar.

C. HAL-HAL YANG BISA DIPELAJARI DARI TOKOH PUNAKAWAN DAN


TOKOH PUNAKWAN IDOLA

Sebagai abdi yang setia kepada majikannya, ada banyak hal yang bisa kita pelajari
dari tokoh punakawan. Punawakawan sendiri memiliki arti, Puna artinya tahu, Kawan yang
berarti teman. Sehingga Punakawan artinya tahu apa yang harus dilakukan ketika
mendampingi tuan (majikannya) dalam keadaan susuh atau senang, penuh cobaan dan godaan
menuju kea rah kemuliaan. Memang punakawan adalah abdi setia yang diperintahkan untuk
mendampingi, menasihati serta mengarahkan para ksatria.
Para panakawan tidak hanya sekadar abdi atau pengikut biasa, namun mereka juga
memahami apa yang sedang menimpa majikan mereka. Bahkan seringkali mereka bertindak
sebagai penasihat majikan mereka tersebut. Punakawan dapat pula diartikan seorang
pengasuh, pembimbing yang memiliki kecerdasan fikir, ketajaman batin, kecerdikan akal-
budi, wawasannya luas, sikapnya bijaksana, dan arif dalam segala ilmu pengetahuan.
Ucapannya dapat dipercaya, antara perkataan dan tindakannya sama
Genk Punakawan sendiri sebenarnya adalah keluarga. Gareng, pethruk dan bagong
adalah anak angkat dari semar. Karakter para punawakan beragam, semar adalah lambing
kebijaksanaan seorang sesepuh, gareng menggambarkan kerendah hatian yang tamak.
Pethruk adalah lambing kecerdsan berpikir dan penasihat ulung, bagong merupakan tokoh
penyeimbang dari punakawan yang lain. Sosok bagong yang suka bercanda kelewatan,
tergesa-gesa dan terkadang sedikit lancang.
Semar adalah putra Sanghyang Tunggal dan dewi Wiranti yang masih saudara dengan
sanghyang Antaga (Togog) dan sanghyang Manikmaya (Batara Guru). Sebutan lain dari
semar adalah ki Lurah badranaya atau kadang disebut ismoyo. Semar yang merupakan ttitisan
dewa khayangan yang diturunkan ke bumi untuk menjadi abdii yang memberi bimbingan
para ksatria yang kelak dikenal dengan Pandhawa lima adalah sosok yang sabar, jujur, ramah
dan rasa humor tinggi. Gareng adalah anak tertua dari semar, dari sebangasa jin. Nama lain
dari gareng adalah pancalpamor artinya menolak godaan duniawi, pegatwaja berarti gigi yang
melambangkan tidak suka makan makanan yang enak yang memboroskan dan mengandung
penyakit. Nala gareng artinya hati yang kering, kering dari keangkaramurkaan. Ciri fisik
gareng dibuat sangat penuh makna. Tangan gareng yang ceko adalah perlambangan dari tidak
mau mengambil hak orang lain. Mata juling artinya tidak melihat kecuali yang baik, dan sikil
gejik (berjalan dengan tumit) adalah lambing penuh kewaspadaan dalam segala perilaku.
Banyak pelajaran yang bisa diambil dari karakter tokoh punakawan yaitu dari tugas-
tugas para punakawan yang mereka jalankan dengan baik, antara lain;
1. Menemani (mengabdi) para bendhara (bos) nya yang memiliki karakter luhur budi
pekertinya. Tugas punakawan adalah sebagai “pembantu” atau abdi sekaligus
“pembimbing”. Tugasnya berlangsung dari masa ke masa.
2. Dalam cerita pewayangan, kelompok ini lebih sebagai penasehat spiritual,
pamomong, kadang berperan pula sebagai teman bercengkerama, penghibur di kala
susah.
3. Dalam percengkeramaannya yang bergaya guyon parikena atau saran, usulan dan
kritikan melalui cara-cara yang halus, dikemas dalam bentuk kejenakaan kata dan
kalimat. Namun di dalamnya selalu terkandung makna yang tersirat berbagai saran
dan usulan, sikap selalu eling dan waspadha yang harus dijalankan secara teguh
oleh bendharanya yang jumeneng sebagai kesatria besar.
4. Pada kesempatan tertentu punakawan dapat berperan sebagai penghibur selagi sang
bendhara mengalami kesedihan.
5. Pada intinya, Semar dkk bertugas untuk mengajak para kesatria asuhannya untuk
selalu melakukan kebaikan.
Karakter keempat tokoh tersebut memang berbeda, namun mereka memiliki kesamaan
yaitu sikap tulus dan ikhlas dalam menjalani hidup. Semar yang tidak gila kekuasaan
walaupun sering dimintai petuah oleh para penguasa, Gareng yang tidak pernah mengeluh
menjadi tokoh di balik layar dengan ide-idenya yang sering dijalankan orang lain, Petruk
yang murah senyum walaupun sering disebut bodoh, dan Bagong yang tidak pernah berhenti
melawan ketidakadilan walaupun sering dicerca oleh penguasa. Mereka adalah sosok-sosok
yang selalu mengingat Sang Pemberi Hidup dan tidak pernah berhenti bersyukur.

Apabila disuruh memerankan salah satu tokoh punakawan saya akan memilih menjadi
Semar. Semar merupakan pusat dari punakawan sendiri dan asal usul dari keseluruhan
punakawan itu sendiri. Semar disegani oleh kawan maupun lawan Semar menjadi rujukan
para kesatria untuk meminta nasihat dan menjadi tokoh yang dihormati. Namun karakter
tetap rendah hati, tidak sombong, jujur, dan tetap mengasihi sesame dapat menjadi contoh
karakter yang baik. Penuh kelebihan tetapi tidak lupa diri karena kelebihan yang dimiliki.
Karakter yang disimbolkan oleh wujud semar adalah kesederhanaan, kejujuran,
mengasihi sesama, rendah hati, tidak terlalu bersedih ketika mengalami kesulitan, dan tidak
terlalu senang ketika mengalami kebahagiaan. Kesederhanaan sangat sulit ditemui di masa
sekarang, banyak orang hidup tujuan utamanya adalah material, makin banyak material yang
didapatkan atau makin kaya maka makin merasa hidupnya sukses dan bahagia. Namun
ukuran kebahagiaan tidak selalu ditentukan oleh materi, kesederhanaan dalam menjalani
hidup lebih diutamakan. Dengan kesederhanaan kita bisa merasakan berbagi dengan orang
lain, kita bisa merasakan nikmat yang diberikan Tuhan kepada kita, dengan kesederhanaan
mampu membuat kita tidak hidup selalu dengan tuntutan harus lebih dari yang sekarang
didapatkan secara materi dan tidak berat meninggalkan materi dunia ketika tiba waktunya
meninggal.

Anda mungkin juga menyukai