Anda di halaman 1dari 17

Perang Bharathayudha, kisah perang besar dalam pewayangan

Perang Bharatayudha
Tentu saja kata-kata ini tidaklah asing bagi kita, apa yang ada di benak kita saat
memikirkan kata “Perang Bharatayudha” ? Wayang, sejarah, sebuah perang hebat?
Kisah peperangan ini adalah kisah perang terhebat dalam cerita pewayangan, perang ini
adalah perang antar saudara yaitu Pandhawa(melambangkan kekuatan baik) dan sepupu
mereka Kurawa(melambangkan kekuatan jahat) akibat perebutan takhta kerajaan yang
seharusnya jatuh ke tangan Puntadewa, malah diberikan pamannya(Destrarestra) ke anaknya
yaitu Duryudana, anak sulung dari para Kurawa. Padahal Destraresta berjanji akan
mengembalikan takhta ke tangan Puntadewa saat mereka sudah cukup dewasa.
Di saat mereka sudah mulai berkuasa, datanglah Kurawa dan Sengkuni yang mencurangi
mereka dalam permainan judi sehingga para Pandawa pun harus pergi ke hutan sebagai
akibat dari kekalahan mereka.
Balatentara Korawa menyerang laksana gelombang lautan yang menggulung-gulung, sedang
pasukan Pandawa yang dipimpin Resi Seta menyerang dengan dahsyat seperti senjata yang
menusuk langsung ke pusat kematian.
Bisma dapat menewaskan Resi Seta. Bharatayuddha babak pertama diakhiri dengan sukacita
pihak Korawa karena kematian pimpinan perang Pandawa.
Setelah Resi Seta gugur, Pandawa kemudian mengangkat Drestadyumna (Trustajumena)
sebagai pimpinan perangnya dalam perang Bharatayuddha. Sedangkan Bisma tetap menjadi
pimpinan perang Korawa. Dalam babak ini kedua kubu berperang dengan siasat yang sama
yaitu Garudanglayang (Garuda terbang).
Dalam pertempuran ini dua anggota Korawa, Wikataboma dan kembarannya, Bomawikata,
terbunuh setelah kepala keduanya diadu oleh Bima. Sementara itu beberapa raja sekutu
Korawa juga terbunuh dalam babak ini. Diantaranya Prabu Sumarma, raja Trigartapura tewas
oleh Bima, Prabu Dirgantara terbunuh oleh Arya Satyaki, Prabu Dirgandana tewas di tangan
Arya Sangasanga (anak Setyaki), Prabu Dirgasara dan Surasudirga tewas di tangan
Gatotkaca, dan Prabu Malawapati, raja Malawa tewas terkena panah Hrudadali milik Arjuna.
Bisma setelah melihat komandan pasukannya berguguran kemudian maju ke medan
pertempuran, mendesak maju menggempur lawan. Atas petunjuk Kresna, Pandawa kemudian
mengirim Dewi Wara Srikandi untuk maju menghadapi Bisma. Dengan tampilnya prajurit
wanita tersebut di medan pertempuran menghadapi Bisma. Bisma merasa bahwa tiba
waktunya maut menjemputnya, sesuai dengan kutukan Dewi Amba yang tewas di tangan
Bisma. Bisma gugur dengan perantaraan panah Hrudadali milik Arjuna yang dilepaskan oleh
istrinya, Srikandi.

Asal Usul Perang Bharatayudha


Istilah Baratayuda berasal dari kata Kisah peperangan ini merupakan bagian dari kitab
Mahabarata yang berasal dari India, beberapa hal dalam peperangan agak berbeda versi
antara Jawa dengan India. Konon, sebelum Pandawa dan Korawa dilahirkan, perang ini sudah
ditetapkan akan terjadi. Selain itu, Padang Kurusetra sebagai medan pertempuran menurut
pewayangan bukan berlokasi di India, melainkan berada di Jawa, tepatnya di dataran tinggi
Dieng. Dengan kata lain, kisah Mahabharata menurut tradisi Jawa dianggap terjadi di Pulau
Jawa, Dalam pewayangan Jawa dikenal adanya sebuah kitab yang tidak terdapat dalam versi
Mahabharata. Kitab tersebut bernama Jitabsara berisi tentang urutan siapa saja yang akan
menjadi korban dalam perang Baratayuda. kitab ini ditulis oleh Batara Penyarikan, atas
perintah Batara Guru, raja kahyangan.
Menurut beberapa sumber, 695 tahun sebelum masehi, muncul banyak pujangga-pujangga
kerajaan yang menulis banyak karya sastra dan menerjemahkan cerita-cerita yang
berkembang, di masa ini, terdapat banyak biksu, nah kitab Mahabharata ini sendiri dikatakan
berasal dari kerajaan Sriwijaya, sebab di sini terdapat biksu-biksu yang lebih banyak dari di
kerajaan lain dan kerajaan Sriwijaya sudah mulai mengelola perpustakaan.
uga muncul dua kitab keagamaan yaitu Brahmandapurana dan Agastyaparwa. Kitab lain yang
terkenal adalah Arjuna Wiwaha yang digubah oleh Mpu Kanwa. Dari uraian tersebut
nyatabahwa sudah ada naskah yang ditulis tangan dalam media daun lontar yang
diperuntukkan bagi pembaca kalangan sangat khusus yaitu kerajaan. Jaman Kerajaan Kediri
dikenal beberapa pujangga dengan karya sastranya. Mereka itu adalah Mpu Sedah dan Mpu
Panuluh yang bersama-sama menggubah kitab Bharatayudha.
Bharatayuddha (Perang Bharata), yaitu judul sebuah naskah kakawin berbahasa Jawa Kuna
yang ditulis pada tahun 1157 oleh Mpu Sedah atas perintah Maharaja Jayabhaya, raja
Kerajaan Kadiri. Sebenarnya kitab baratayuda yang ditulis pada masa Kediri itu untuk
simbolisme keadaan perang saudara antara Kerajaan Kediri dan Jenggala yang sama sama
keturunan Raja Erlangga .
Di Yogyakarta, cerita Baratayuda ditulis ulang dengan judul Serat Purwakandha pada masa
pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana V. Penulisannya dimulai pada 29 Oktober 1847
hingga 30 Juli 1848.

Babak dalam Perang Bharatayudha


• Babak 1: Seta Gugur
• Babak 2: Tawur (Bisma Gugur)
• Babak 3: Paluhan (Bogadenta Gugur)
• Babak 4: Ranjapan (Abimanyu Gugur)
• Babak 5: Timpalan (Burisrawa Gugur atau Dursasana Gugur)
• Babak 6: Suluhan (Gatotkaca Gugur)
• Babak 7: Karna Tanding
• Babak 8: Rubuhan (Duryudana Gugur)
• Babak 9: Lahirnya Parikesit
Pandawa mengakhiri hidupnya di istana alam

Tiga puluh enam tahun telah berlalu sejak pecah perang Baratayuda antara Pandawa
dan Kurawa yang dimenangkan oleh pandawa. Sejak itu kerajaan Astina di bawah
pimpinan prabu Yudhistira berhasil mewujudkan suatu negara yang subur makmur
gemah ripah loh jinawi kerta tur raharja. Jauh daris engketa politik tidak seperti ketika
negara amsih dikuasi kaum Kurawa, dimana Pandawa harus mengalami hidp sengsara
merana di hutan belantaa 13 tahun lamanya.

Akan tetapi perjalanan hidup tidak selalu langgeng, situasi dan kondisi turut
menentukan, terutama setelah meninggalnya para pini sepuh seperti Destarata,
Gendari, Kunti dan kresna, Pandawa seperti kehilangan pegangan. Kelezatan dan
kemewahan tak mampu menjamin ketenangan batin. Resah gelisah dan serba salah
akhirnya menimbulkan rasa jenuh, seolah mereka sudah tidak betah lagi tinggal di
dalam istina. Untuk menetralisir keadaan, Yudhistira bersama saudara-saudaranya
sepakat akan minta nasehat Begawan Abiyasa di pertapaan Ukir Retawu.

Bersabdalah sang Begawan: “Cucuku, segala sesuatu yang diciptakan tidak ada yang
sempurna. Begitu pula hidup di dunia tidak ada yang langgeng, cepat atau lambat kita
akan kembali menghadap Yang Maha Kuasa. Karena itu aku menasehatkan agar
kalian segera berpindah dari istana kerajaan dengan segala kelezatan dan
kemewahannya, pindah ke istana alam dengan segala keasliannya untuk mencapai
kemuliaan akherat sambil menunggu kedatangan Hyang Kala,” ujarnya.
Wejangan Abiyasa itu memberi tanda lampu kuning, agar Pandawa meninggalkan
kelezatan duniawi beralih mencari kemuliaan akhirat, mempersiapkan diri bila
sewaktu-waktu dipanggil menghadap Tuhan Maha Kuasa. Atas wejangan itu Pandawa
sepakat akan meninggalkan kerajaan membuang diri menjelajah alam terbuka bertapa
mendekatkan diri dengan Hyang Maha Tungal. Sedang untuk meneruskan tahta
kerajaan telah diangkat Parikesit sebagai raja Astinapura.

Demikianlah pada hari yang telah ditetapkan, para Ksatria Pandawa bersama Drupadi
meningalkan istana dengan perasaan pilu diiringi isak tangis keluarga dan rakyatnya.
Tidak sepotong pun harta dunia yang dibawa, bahkan pakaian pun terbuat dari kulit.
Ketika mereka keluar dari istana seekor anjing mengikuti dari belakang. Mereka
berjalan ke arah timur masuk hutan keluar hutan, kemudian berbelok ke selatan dan
akhirnya sampai di pegunungan Himawan (Himalaya) yang di situ terbentang alam
terbuka gurun pasir yang terhampas luas sejauh mata memandang. Gurun itulah yang
akan mereka tempuh. Setelah bersemadi beberapa saat, mulailah mereka memasuki
istana alam di bawah teriknya sinar matahari menyengat sekujur badan.
Tiba-tiba Drupadi mengaduh dan jatuh terkulai serta tak lama kemudian menemui
ajal, Bima sedih melihatnya dan bertanya: “Kakangku, Drupadi telah mati, apakah ia
membawa dosa?”
Yudhistira: “Adikku Bima, setiap kematian membawa dosa. Semasa hidupnya
Drupadi bertindak pilih kasih. Ia lebih mencintai Arjuna daripada kita. Dosa itulah
yang akan ia bawa,” jelasnya.
Tidak lama kemudian Sadewa pun terjatuh dan ajal seketika. Bima bertanya: “Kakang
lihat, Sadewa pun mati, apa pendapatmu?”

Yudhistira: “Adikku, Tuhan tidak menyukai orang yang sombong. Ketika masih hidup
Sadewa suka menyombongkan diri, bahwa dialah yang paling pintar tak ada yang
mengungguli. Padahal setiap manusia mempunyai keterbatasan. Itulah dosanya.”
Perjalanan diteruskan dan semakin jauh menyelusuri gurun pasir dan kelelahan pun
semakin terasa. Tiba-tiba nakula pun tejratuh dan menghembuskan nafas yang
terakhir. Bima kembali bertanya: “Kakang Yudhis, Nakula pun menyusul, bagaimana
pendapatmu?”

“Jika seseorang merasa dirinya lebih dari yang lain, maka orang itu takabur.
Begitupun Nakula. Ia merasa dirinya yang paling tampan tiada duanya. Itu pertanda
hatinya tak setampan lahirnya. Karena itu ia tak dapat mengikuti kita,” jelasnya.
Belum kering mulut Yudhistira berkata, giliran Arjuna jatuh terkulai mengalami nasib
yang sama. Padahal kesaktiannya seperti Hyang Indra “Apakah dosanya Kang?”
Yudhistira: “Arjuna pun terkena penyakit takabur. Ketika anaknya mati, ia telah
sesumbar sanggup mengalahkan musuh dalam satu hari sebelum matahari terbenam.
Padahal kesanggupannya hanya terdorong oleh nafsu semata, sehingga janjinya tak
dapat dibuktikan. Itulah dosanya.”

Tak berapa lama tiba-tiba Bima mengerang: “Oh, kakang tolong aku, badanku
gemetar aku tak mampu berjalan, tolong aku kang…: “Adikku Bima, engkau makan
sangat gembul tanpa mengindahkan orang lain yang juga butuh makanan. Kata-
katamu kasar tak perduli dengan siapa engkau berbicara. Selain itu engkau selalu
menyombongkan kekuatanmu. Karena itu terimalah apa yang telah engkau lakukan,”
dan sang Bima pun menemui ajalnya. Tinggallah Yudhistira seorang diri hanya
ditemani angjingnya yang sangat setia. Hatinya sedih tak terperikan lalu ia berdoa:
“Duh Maha Agung, terimalah adik-adik hamba menghadap -Mu. Meski mati
membawa dosa, tetapi mereka pun banyak berbuat amal kebaikan semasa hidupnya.
Karena itu ampunilah dosanya, berilah mereka tempat yang layak sesuai dengan amal
perbuatannya.”
Kemudian ia berkata kepada anjingnya: “Anjingku yang setia, engkau telah menjadi
saksi atas kepergian adik-adikku. Tak lama lagi mungkin giliranku. Tapi aku sangat
sedih karena kau harus menyendiri. Padahal selama ini engkau begitu setia
menyertaiku.” Baru saja Yudhistira hendak beranjak, tiba-tiba di angkasa terdengar
suara mengguruh ternyata Hyang Indra datang dengan kereta kencana tiba di hadapan
Yudhsitra seraya bersabda: “Ya Yudhistira, janganlah engkau bersedih atas kematian
adik-adik dan istrimu. Mati telah menjadi bagian setiap manusia. Sekarang naiklah ke
atas kereta, engkau akan kubawa ke swarga tanpa harus meninggalkan jasadmu
sebagai penghargaan atas keutamaanmu.
Yudhistira : “Ya sang Pikulun, hamba sangat bersykur mendapat anugerah yang tak
terhingga besarnya. Hanya ada satu permintaan sebelum paduka membawa hamba.”
“katakan apa yang kau minta?” tanya Indra. “Hamba mohon supaya anjing ini
diperkenankan turut serta naik ke swarga,” pintanya.
Indra : “Yudhistira, ketahuilah bahwa engkau akan kubawa ke alam yang teramat suci
tanpa noda sedikit pun. Seedang anjing adalah hewan yang sangat kotor. Karena itu
jangalah engkau memikirkannya, walaupun ia setia padamu.”

Yudhistira : “Kalau demikian lebih baik hamba tinggal di sini bersamanya. Hamba
tidak tega meninggalkan dia sendirian di tengah hamparan pasir yang luas sejauh mata
memandang. Dia telah merasakan kelelahan yang amat sangat menempuh perjalanan
yang amat jauh bersama hamba,” jawab Yudhistira bertahan.
Indra : “Kalau begitu engkau tidak menghargai kesetiaan saudara-saudaramu yang
telah pergi lebih dahulu. Selama hidupnya mereka begitu setia kepadamu hingga akhir
hayatnya. Lalu mana kesetiaanmu kepada mereka?” sergahnya.

Yudhistira : “Tidak dapat dikatakan hamba tak akan setia kepada mereka, karena
mereka telah ajal lebih dahulu. Kecuali jika mereka masih hidup kemudian hamba
meninggalkan mereka, barulah itu dikatakan bahwa hamba tidak setia kepada mereka.
Dan kini seekor anjing walaupun hewan kotor, karena dia sangat setia kepada hamba
dan adik-adik hamba, apakah hamba harus tega meninggalkannya sendirian di alam
terbuka tanpa ada yang menemani. Bukankah anjing juga makhluk Tuhan? Oh, tidak
sang Pikulun, lebih baik hamba tak ke swarga daripada harus meninggalkan dia,”
kilahnya.
Tiba-tiba anjing itu menghilang dan Dewa Darma telah berada di hadapan yudhistira
merangkul dan bersabda: “Anakku Yudhistira, telah dua kali aku menguji
keutamaanmu. Pertama ketika saudara-saudaramu mati di tepi hutan karena minum air
kolam. Ketika kau minta supaya Nakula yang dihidupkan bukan Arjuna saudara
sekandungmu, karena engkau lebih mengutamakan keadilan daripada kasih sayang.
Dan sekarang engkau lebih baik tak jadi ke swarga daripada harus meninggalkan
seekor anjing yang setia kepadamu. Mengingat keutamaanmu, engkau diperkenankan
naik ke swarga bersama jasadmu.”
Ringkas cerita Yudhistira telah naik ke alam akhirat. Setibanya di sana ia melihat-lihat
apakah saudara-saudaranya berada di situ. Ternyata taks eorang pun ia lihat. Bahkan
ia kaget ketika melihat Duryudana sedang duudk di singgasana disanjung dan
dimuliakan. Ia berkata dalam hatinya: “Ah, ini tidak sesuai dengan karyanya di dunia.
Walaupun ia raja tapi ia berwatak angkara. Justru dialah yang menyulut api perang
Baratayudha. Tapi mengapa ia justru ditempatkan di swarga?” Batara Narada yang
menyertai terusik rasa tahu apa kata hati si anak Pandu itu lalu berkata: “Wahai
Yudhistira, janganlah engkau heran. Matinya Duryudana di medan perang sebagai
seorang perwira. Maka sudah sepantasnya Maha Kuasa mengganjar dengan
kemulian.”
“Hamba tak berhak mencampuri urusan akhirat, silahkan bila Duryudana diberi
ganjaran kemuliaan. Tetapi kalau tempat ini pantas untuk Duryudana, lalu di manakah
tempat berkumpulnya saudara hamba?” tanya Yudhistira.

Narada lalu menitahkan seorang ahli swarga mengantar Yudhistira ke tempat


saudaranya berkumpul. Ternyata jalannya penuh kerikil dan batu-batuan. Ribuan
nyamuk berterbangan, di sepanjang jalan darah berceceran, daging terkeping-keping
serta tulang-tulang berserakan ditambah bau amis sangat menyengat. Tak lama terlihat
sebuah kancah dengan godongan minyak yang sangat panas sedang menggodog
manusia-manusia yang sedang disiksa. Yudhistira tak sampai hati dan ingin berlalu.
Tetapi tiba-tiba ada suara menghimbau: “Oh, jangan pergi dulu sang Prabu, karena air
minyak yang sangat panas ini, begitu tuand atang mendadak menjadi sangat dingin
bagai hawa di pegunungan.
Ternyata yang berbicaa bukan hanya seorang, tetapi beberapa orang yang sedang
mendapat siksaan. Yudhistira kaget, karena ia mengenal satu-satunya suara itu. Lalu ia
bertanya siapa tadi yang bertanya. Maka mereka menjawab: “Aku Karna, Aku Bima.”
Lalu lainnya: “Saya Arjuna,” demikian seterusnya sampai nama Nakula Sadewa dan
Drupadi. Setelah jelas bahwa mereka yang sedang mendapat siksaan itu adalah
saudara-saudaranya, Yudhistira minta kepada pengiringnya agar meninggalkan tempat
itu. Biarlah dia ingin menyertai mereka, agar godongan minyak itu tetap dingin.

Tetapi tak lama kemudian berdatanganlah para Dewa ke tempat siksaan dan.. seketika
tempat yang semula berupa kancah godongan berubah menjadi suatu tempat yang
amat indah tiada tara, sejuk nyaman dengan semilir angin yang menyejukkan
ditambah tercium harum yang mewangi di sekitarnya. Hyang Indra kemudian
bersabda:
“Yudhistira, jangan engkau masygul, sebab ini adalah suatu rahasia. Setiap manusia
tak dipilih-pilih harus ke neraka. Hanya ada aturan tertentu, siapa yang ke swarga
dahulu, selanjutnya harus ke nereka. . Dan siapa yang ke neraka dahulu, akhirnya akan
ke swarga. Artinya apabila di dunia hidupnya berbuat jahat, maka di akhiratnya akan
diganjar swarga dahulu, kemudian dimasukkan ke nereka. Sedang tuan harus melihat,
sebab tuan pernah berbohong menipu Dorna ketika perang tuan mengatakan bahwa
Aswatama telah mati. Demikian pula saudara-saudara tuan masuk kenera karena ada
dosanya. Tetapi sejak hari ini, hukumannya telah ditutup dan mereka akan masuk
swarga. Nah, biarkan mereka lebih dahulu memasuki gerbang Nirwana.”
Setelah itu sukma Yudhistira medal dari raga badannya dan dengan diiringi para Dewa
masuk ke swarga bertemu dengan saudara-saudara serta para kerabat dan sahabatnya
mendapat sejatining kemuliaan.
kurawa lahir

Destarastra (saat istrinya hamil belum menjadi raja bahkan prabu pandu masih
hidup) merasa sangat bersedih hati, lebih-lebih isterinya yaitu dewi gendari. kesedihan
mereka disebabkan kandungan dewi gendari yang telah mencapai usia tiga tahun
lamanya. walau telah mencapai 1000 hari lebih, melampaaui batas kenormalan usia
hamil, akan tetapi belum juga ada tanda-tanda akan melahirkan si jabang bayi.

selama mengandung angan-angan dewi gendari tak pernah lepas dari rasa dendam dan
sakit hati kepada prabu pandudewanata,ambisi untuk menumpas keturunan sang
pandu sebagai pelampiasan dendam sakit hatinya selalu tak pernah lupa diucapkan
dalam permohonan doa dewi gendari kepada dewata. aan tetapi saat itu belum juga
ada dampak terkabulnya doa permintaan isteri adipati negara hastinapura ini. pagi,
siang, sore hingga malamhari, hatinya senantiasa dirundung perasaan resah gelisah;
gundah gulana; dan bahkan hampir putus asa, mengingat antara apa yang menjadi
cita-cita dendam hatinya, maupun ingat akan kandungannya yang telah melampaui
kenormalan itu, sama sekali belum membawa hasil seperti apa yang diharapkannya.
pendek kata selama masa kehamilan, dewi gendari tak pernah ada rasa ketentraman di
hati puteri yang berasal dari plasajenar ini. apa lagi setelah mengetahui dewi kunti,
permaisuri prabu pandu telah melahirkan puteranya yang pertama, y ang diberi nama
raden puntadewa atau juga disebut raden wijakangka. bahkan dewi kunti kini telah
dan hampir melahirkan puteranya yang kedua. kecemasan serta seribu satu macam
perasaan gelisah dan tidak enak terkandung dalam hati dewi gendari ini semakin
menjadi-jadi.
ketiada menentuan perasaan hati dewi gendari yang sedang berbadan dua itu,
mengakibatkan tubuhnya terasa gerah dan tidak betah tinggal dalam bangsal
kaputren,. dewi gendari kemudian melangkahkan kakinya, dengan langkah-langkah
gontai menuruni tangga pualam di bangsalnya menulusuri jlan setapak diantara
hijaunya rerumputan, menuju ke tamans ari kerajaan hastinapura yang luas dan asri,
diikuti oleh empat orang emban sebagai abdi pengiringnya. kala itu surya telah
condong ke barat, saat dewi beserta empat orang abdinya menulusuri jalan setapak
yang terbuat dari pualam, diantara semerbak harum aneka bunga, serta rimbunnya
pohon buah-buahan yang menghiasi taman kerajaan, gerbang-gerbang sebagai batas
bagian-bagian taman yang luas itu telah dilewati dewi gendari, pandangan matanya
yang sayu lurus memandang ke depan seakan-akn tak peduli dengan segala keindahan
taman di sekelilingnya. tak lama kemudian dewi gendari telah melalui gerbang taman
yang ke tujuh dan merupakan bagian taman yang tekrahir. dalam bagian taman ini
berisi aneka macam binatang buas maupun jinak serta beragam unggas sebaga
hiasannya, tak ubahnya seperti isi kebun binatang layaknya namun tampat terawat
bersih dan rapi. di tengah petamanan margasatwa ini terdapat sebuah kolam besar
yang terbuat dari batu pualam dengan dihiasi kelompok bunga teratai nan mekar
dengan indahnya. ikan-ikan yang berwarna-warni berlari berpasangan berkejar-
kejaran d bawah warna biru jernihnya air. tanpa sepengetahuan dewi gendari bahwa
kedatangannya di taman satwa itu, telah membuat seluruh binatang buas yang ada di
taman menjadi beringas, sementara binatang yang jinak serta unggas seperti gelisah
dan ketakutan,semua ini merupakan firasat buruk.

hembusan angin keras membuyarkan lamunan dewi gendari, mengetahui cuaca buru,
dew gendari mengajak para emban kembali ke kaputren. Langkah dewi gendari
semakin dipercepat karena renai gerimis telah mulai turun, tiba tiba saja dewi gendari
yang sedang mengandung ini tersentak kaget saat mendengar suara harimau mengaum
begitu keras. karena rasa kaget yang teramat sangat tubuh dewi gendari gemetar,
wajauh pucat, tak terasa dewi gendari telah melahirkan di tempat di mana ia berdiri,
yaitu bebrapa jengkal sebelum mencapai gerbang kaputren tempat tinggalnya. dewi
gendari bukan melahirkan bayi sehat dan mungil, melainkan adalah segumpal daging
yang bercampur darah mengental, berwarna mrah kehitam-hitaman, daging yang baru
lahir dari rahim dewi gendari itu bergerak-gerak serta berdenyut-denyut seakan-akan
bernyawa.
setelah melihat dan mengetahui hal ini, bukan main marah dewi gendari, karena
emosinya gumpalan daging itu diinjak injah hingga terpecah belah, lalu ditendang-
tendang dengan kakinya ke arah yagn tak menentu, pcahans erta serpihan daging yang
dilahirkan dewi gendari tercerai berai berserakan di atas rerumputan taman. dewi
gendari merasa emosi, geram dan marah setelah itu iapun menjerit mengangis histeris
lalu pingsan, lalu dibawa masuk ke kaputren tempat kediamannya. anehnya, setiap
serpihan daging yang berserakan itu besar atau kecil tetap berdenyut dan bergerak-
gerak.
atas nasehat begawan abiyasa yang telah datang secara gaib dari pertapaannya,
meminta agar adipati destarasta memerintahkan para badinya untuk menutupi setiap
serpihan daging itu dengan daun ajti. dengan was-was serta perasaan takut yang
tertahan, maka para emban serta beberapa orang prajurit pengajaga taman
melaksanakan tugas ya ng diperintahkan adipatadi destarasta, menutupi serpihan
daging itu dengan daun jati, jumlahnya mencapai 99 keping. bersamaan dengan
kejadian itu, suasana taman di hastinapura berubah menjadi sangat menyeramkan,
binatang buas mengeluarkan suaranya, disusul dengan lolongan anjing hutan yang
berkepanjangan bersahutan, burung hantu, kelelawar, burung gagak serta binatang
malam lainnya. binatang-binatang yang lelolong tak kunjung berhenti, suasana seram
dan menakutkan meliputi hastinapura, banyak para emban dan prajurit penjaga malam
ketakuan, wajahnya pucat, badannya menggigil, merinding bulu romanya. dewi
gendari yang telah siuman dari pingsannya turun dari tempat peraduannya menuju
tempat pemujaan, ia memohon kepada dewa,a gar cita-citanya untuk berputera
banyak, bisa terkabul. tiba-tiba saja batari durga muncul secara gaib dan
memberitahukan, apabila lewat tengah malam mendengar tangisan bayi di taman,
dewi gendari agar cepat-cepat menghampiri bayi tsb, karena itu adalah puteranya.
setelah memberikan pesan batari durgapun menghilang dari hadapan dewi gendari
secara gaib, kembali ke kahyangan di wukir pidikan.
Gatotkaca gugur

Setelah burisrawa gugur, kurawa mengangkat adipati karna dari awangga sebagai
senopati. Hari sudah gelap, sang surya sudah lama meninggalkan jejak sinarannya di
ladang Kurusetra. Harusnya perang dihentikan, masing – masing pihak beristirahat
dan mengatur strategi untuk perang esok hari. Namun entah mengapa Kurawa
mengirim senopati malam – malam begini.

Adipati Awonggo ngamuk punggung menerabas dan menghancurkan perkemahan


pasukan Pandawa di garda depan. Penjaga perkemahan kalang kabut tidak kuasa
menandingi krida Sang Adipati Karno. Secepat kilat berita ini terdengar di
perkemahan Pandawa Mandalayuda. Sri Kresna tahu apa yang harus dilakukan.
Dipanggilnya Raja Pringgondani Raden Haryo Gatotkaca, putra kinasih Raden
Brataseno dari Ibu Dewi Arimbi. Disamping Sri Kresna, Raden Brataseno berdiri
layaknya Gunung memperhatikan dengan seksama dan waspada pembicaraan Sri
Kresna dengan putranya.

”Anakku tersayang Gatotkaca….Saat ini Kurawa mengirimkan senopati nya di tengah


malam seperti ini. Rasanya hanya kamu ngger yang bisa menandingi senopati Hastina
di malam gelap gulita seperti ini”
”Waduh, wo prabu…..terimakasih Wo. Yang saya tunggu – tunggu akhirnya sampai
juga kali ini. Wo prabu, sejak hari pertama perang baratayuda saya menunggu perintah
wo prabu untuk maju ke medan perang. Wo prabu Kresna, hamba mohon do’a restu
pamit perang. Wo hamba titipkan istri dan anak kami Danurwindo. Hamba berangkat
wo, Rama Wrekudara mohon pamit….”
“Waaa………Gatot iya…..“
Sekejap Gatotkaca tidak terlihat. Sri Kresna merasakan bahwa inilah saatnya
Gatotkaca mati sebagai pahlawan perang Pandawa. Dia tidak mau merusak suasana
hati adik – adiknya Pandawa dengan mengutarakan apa yang dirasakannya dengan
jujur. Namun perasaan wisnu nya mengatakan Wrekudara harus disiapkan untuk
menerima kenyataan yang mungkin akan memilukannya nanti.
“Wrekudoro…“
“Kresna kakangku, iya ….“
“Aku kok agak merasa aneh dengan cara pamitan Gatotkaca, mengapa harus
menitipkan istri anaknya ??“
“Wah…Kakang seperti anak kecil. Orang berperang itu kalau nggak hidup ya mati.
Ya sudah itulah anakku Gatotkaca, dia mengerti tugas dan akibatnya selaku satria.“
“Oo..begitu ya, ya sudah kalau begitu. Kita sama – sama doakan mudah-2an yang
terbaik yang akan diperoleh anakmu Gatotkaca.“. Sebenarnya Kresna hanya
mengukur kedalaman hati dan kesiapan Wrekudara saja. Paling tidak untuk saat ini,
Wrekudara terlihat sangat siap dengan apapun yang terjadi.
Malam gelap gulita, namun di angkasa ladang Kurusetra kilatan ribuan nyala obor
menerangi bawana. Nyala obor dari ribuan prajurit dua belah pihak yang saling
hantam gada, saling sabet pedang, saling lempar tombak, saling kelebat kelewang dan
hujan anak panah. Gatotkaca mengerahkan semua kesaktian yang dimilikinya.
Dikenakannya Kutang Antakusuma, dipasangnya terompah basunanda, dikeluarkan
segala tenaga yang dimilikinya. Terbang mengangkasa layaknya burung nazar
mengincar mangsa. Sesekali berkelebat menukik merendah menyambar buruannya.
Sekali sambar pululan prajurit Hastina menggelepar tanpa daya disertai terpisahnya
kepala – kepala mereka dari gembungnya.
Semenjak lahir, Gatotkaca sudah menunjukkan tanda-tanda kedidgyaannya. Ari –
arinya berminggu – minggu tidak bisa diputus dengan senjata tajam apapun. Kuku
pancanaka Wrekudara mental, Keris Pulanggeni Arjuna tiada arti, Semua senjata
Amarta sudah pula dicobai. Namun ari – ari sang jabang bayi seperti bertambah alot
seiring bertambahnya usia si jabang bayi. Para pinisepuh Amarta termasuk Sri Kresna
pun kehabisan reka daya bagaimana menolong Sang jabang bayi Dewi Arimbi ini.
Maka lelaki kekasih Dewata – Sang Paman Raden Arjuna – menyingkirkan sejenak
dari hiruk piruk dan kepanikan di Kesatrian Pringgondani. Atas saran Sri Kresna,
Raden Arjuna menepi. Semedi memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar kiranya
memberikan kemurahannya untuk menolong Pandawa mengatasi kesulitan ini.
Di Kayangan Suralaya, permintaan Arjuna didengar oleh para dewa. Bethara Guru
mengutus Bethara Narada untuk memberikan senjata pemotong ari – ari berupa keris
Kunta Wijayandanu. Bethara Narada turun dengan membawa senjata Kunta
bermaksud menemi Arjuna yang kala itu diiringi oleh para punakawan, abdi
tersayang.
Sahdan di tempat lain, Adipati Karno sedang mengadu kepada Ayahnya Dewa Surya,
dewanya Matahari. Adipati Karno, memohon welas asih kepada Sang Ayah untuk
memberikan kepadanya senjata andalan guna menghadapi perang besar nanti. Dewa
Surya menyarankan anaknya untuk merampok Senjata Kunta dari Bethara Narada.
Karno dan Arjuna adalah saudara seibu yang wajah dan perawakkanya sangat mirip
melebihi saudara kembar. Hanya suara saja yang membedakan keduanya. Maka ketika
Adipati Karno dirias oleh Dewa Surya menyerupai Arjuna, Bathara Narada tidak akan
mengenal Adipati Karno lagi melainkan Arjuna.
Kelicikan Dewa Surya tidak cukup di situ. Siang yang terik dan terang benderang itu
tiba – tiba meredup seolah menjelang malam. Dengan upaya dan rekayasanya,
terjadilah gerhana surya. Narada, dewa yang sudah tuwa dengan wajah yang selalu
mendongak ke atas itu, semakin rabun karena gerhana ini.
Adipati Karno mencegat Bethara Narada, tanpa perasaan curiga diberikannya senjata
Kunta kepada ”Arjuna”. Merasa tugas selesai Narada berniat kembali ke Kahyangan.
Ternyata masih ditemuinya Arjuna lagi yang kali ini tidak sendiri melainkan diiring
para punakawan. Sadar Narada tertipu, diperintahkannya Arjuna untuk merebut
senjata kunta dari Sang Adipati Karno. Perang tanding tak bisa dielakkan, namun
hanya warangka senjata yang dapat direbut oleh Arjuna dari kakak tertuanya itu.
Dengan warangka senjata itulah ari – ari jabang bayi arimbi yang kelak bernama
Raden Gatotokaca dapat diputus. Keanehan terjadi ketika sesaat setelah ari – ari
jabang bayi diputus, seketika warangka hilang dan menyatu ke badan si jabang bayi.
Sekarang, saat perang besar terjadi takdir itu sudah sampai waktunya. Senjata Kunta
mencari warangkanya, di tubuh Raden Gatotkaca. Tidak berarti sesakti apapun
Gatotkaca, setajam pisau cukur tangannya memancung leher musuhnya. Konon pula
otot gatotkaca sekuat kawat tembaga, tulangnya sealot besi tempa. Kesaktiannya
ditempa di Kawah Candradimuka. Namun garis tangan Gatotkaca hanyalah sampai di
sini.
Di gerbang yang memisahkan antara alam fana dengan alam baka, sukma
Kalabendono, paman yang sangat menyawangi Gatotkaca menunggu “sowan ke
pengayunan yang Maha Pemberi Hidup”. Begitu sayangnya Kalabendono kepada
keponakannya, sukmanya berjanji tidak akan kembali ke asal kehidupan jika tidak
bersama sang keponakan.
Di sisi seberang ladang pertempuran, Karno telah siap dengan busur panahnya dengan
anak panah Kunta Wijayandanu. Dalam hatinya berbisik “Anakku bocah bagus, belum
pupus bekas ari – arimu….berani – beraninya kamu menghadapi uwakmu ini. Bukan
kamu yang aku tungggu ngger…Arjuna mana? Ya ya ..sama – sama menjalani darma
satria, ayo aku antarkan kepergian syahidmu dengan Kunta Wijayandanu”.
Gatotkaca, mata elangnya sangat tajam melihat gerak – gerik seekor tikus yang baru
keluar dari sarangnya. Pun meski dia melihatnya dari jarak ribuan tombak diatas liang
tikus itu. Begitu pula, dia tahu apa yang sedang dilakukan Sang Adipati Karno. Dia
tahu riwayatnya, dia tahu bahwa warangka senjata Kunta ada di tubuhnya dan
menyokong kekuatannya selama ini. Dicobanya mengulur takdir. Dia terbang diantara
awan – awan yang gelap menggantung nun di atas sana. Dicobanya menyembunyikan
tubuhnya diantara gelapnya awan yang berarak – arakan di birunya langit.
Namun takdir kematian sama sekali bukan di tangan makhluk fana seperti dia. Takdir
itu sejengkal pun tidak mungkin dipercepat atau ditunda. Sudah waktunya Gatotkaca,
sampai di sini pengabdian kesatriaanmu. Kunta Wijayandanu dilepaskan dari
busurnya oleh Adipati Karno. Di jagad ini hanya Arjuna yang mampu menyamai
keahlian dan ketepatan Basukarno dalam mengolah dan mengarahkan anak panah dari
busurnya. Kuntawijandanu melesat secepat kilat ke angkasa, dari Kereta perang
Basukarno seolah keluar komet bercahaya putih menyilaukan secepat kilat melesat.
Di angkasa….Kalabendono yang sudah siaga menunggu tunggangan, dengan sigap
menumpang ke senjata Kunta. Senjata kunta dan Kalabendono, menghujam ke dada
Gatotkaca, membelah jantung Sang Satria Pringgandani. Dalam sekaratnya, Gatotkaca
berucap ”Aku mau mati kalau dengan musuh ku….”. Seperti bintang jatuh yang
mencari sasaran, jatuhnya badan Gatotkaca tidak lah tegak lurus ke bawah, namun
mengarah dan menghujam ke kereta perang Basukarno. Basukarno bukanlah prajurit
yang baru belajar olah kanuragan setahun dua tahun. Dengan keprigelan dan
kegesitannya, sebelum jasad Gatotkaca menghujam keretanya dia melompat seperti
belalang menghindar dari sergapan pemangsa.
Jasad gatotkaca menimpa kereta, Keretapun hancur lebur, pun delapan kuda dengan
kusirnya tewas dengan jasad tidak lagi bebentuk. Selesailah episode Gatotkaca dengan
perantaraan Uwaknya, Adipati Karno Basuseno.
Gugurnya Gatotkaca menjadi berita gembira di kubu kurawa. Para prajurit bersorak
sorai mengelu – elukan sang Adipati Karno. Kepercayaan diri mereka berlipat,
semangat perang mereka meningkat. Keyakinan diri bertambah akan memenangi
perang dunia besar yang ke empat ini.
Sebaliknya, kesedihan mendalam tergambar di kubu Pandawa. Wrekudara hampir –
hampir tidak mampu menguasai diri ”Gatot…, jangan kamu yang mati biar aku saja
bapakmu…Hmmm Karno…..!!! beranimu hanya dengan anak kemarin sore..Ayo
lawanlah Bapaknya ini kalau kamu memang lelaki sejati…!”. Arimbi, sang ibu, tidak
kuasa menahan emosi. Selagi para pandawa meratapi dan merawat jasad Gatotkaca,
Arimbi menceburkan ke perapian membara yang rupanya telah disiapkannya. Sudah
menjadi tekatnya jika nanti anak kesayangannya mati sebelum kepergiannya ke alam
kelanggengan, dia akan nglayu membakar diri. Dan itu dilakukannya sekarang.
Pandawa, dengan demikian kehilangan dua keluarga dekat sekaligus di malam
menjelang fajar ini. Wrekudara kehilangan anak tersayang dan istri tercintanya.
Namun keturunan tidaklah terputus, karena baik Antareja maupun Gatotkaca telah
mempunyai anak laki – laki sebagai penerus generasi Wrekudara.
Fajar menjelang, jenazah Gatotkaca dan abu Arimbi telah selesai diupakarti sesuai
dengan ageman dan keyakinan mereka. Sri Kresna sudah bisa menenangkan
Wrekudara dan para pandawa yang lain. Sekarang saatnya mengatur strategi. Tugas
harus dilanjutkan. Pekerjaan harus diselesaikan, perang harus dituntaskan. Dunia akan
segera mengetahui, gunjingan dunia mengenai perang besar antar dua saudara kembar
akan segera terjadi siang ini.

Dursasana gugur
Werkudara melihat anaknya, Gatutkaca gugur di Tegal Kurusetra menjadi marah.
Werkudara menyapu para Kurawa dengan gada Rujakpolonya. Banyak korban
berjatuhan.
Akhirnya Werkudara mendapatkan Dursasana dalam posisi sudah terpojok. Dursasana
adalah pendamping Senapati Adipati Karna. Werkudara dan Dursasana berkelahi
habis-habisan.
Werkudara teringat waktu Perang dadu. Yaitu tantangan Kurawa bermain judi kepada
Pandawa, namun dengan kecurangan Patih Sengkuni maka semua harta benda, Istana
sampai dengan Dewi Drupadi menjadi taruhan. Sampai Pandawa menjadi budak.
Harus melepaskan seluruh pakaian kerajaan. Sedangkan Dursasana belum puas
dengan itu, masih berbuat kurang ajar. Ia menjambak rambut Dewi Drupadi dan
menyeret Dewi Drupadi ketengah tengah kerumunan Kurawa sampai sanggulnya
lepas, dan Dursasana berusaha menelanjangi Dewi Drupadi.
Para Pandawa yang telah menjadi budak tidak bisa berbuat apa-apa, mereka tidak bisa
menolong Dewi Drupadi.Namun atas pertolongan Sanghyang Wisnu, maka setiap
lapis kain yang lepas selalu diganti , sehingga Dursasana sampai bercucuran keringat
ketika melepas kain Dewi Drupadi. Pakaian Drupadi sudah menumpuk, namun kain
yang dibadan Dewi Drupadi tidak pernah habis.

Disinilah Dewi Drupadi bersumpah, bahwa selama hidupnya tidak akan menyanggul
rambutnya, sebelum keramas dengan darah Dursasana Sedangkan Werkudara
bersumpah untuk membunuh Dursasana dan menghirup darahnya.
Ahirnya Werkudara dengan kekuatan amarah, bagai serigala hutan, memukul
Dursasana dengan Gada Rujakpolo. Berkali kali dihantamkannya Gada Rujakpala ke
tubuh dan kepala Dursasana, sehingga tubuh dan kepalanya hancur. Werkudara
menghirup darah Dursasana untuk memenuhi sumpahnya. Setelah itu dengan sebuah
topi baja prajurit,yang tergeletak didekatnya, Werkudara mengambilnya, untuk
dijadikan sebagai bokornya, untuk menampung darah Dursasana dan dibawanya pergi
menjumpai Dewi Drupadi yang sedang menunggu di perkemahan Tegal Kurusetra.
Werkudara memberikan bokor berisi darah Dursasana kepada Dewi Drupadi. Dewi
Drupadi segera membasuh rambutnya dengan darah Dursasana, maka Dewi Drupadi
telah memenuhi sumpahnya. Dewi Drupadi berterima kasih kepada Werkudara.

Batara guru
GURU, BATARA atau juga disebut Sang Hyang Manikmaya adalah putra ketiga Sang Hyang Tunggal
dengan Dewi Wirandi/Rekatawati, putri Prabu Yuyut/Resi Rekatama, Raja Samodralaya. Dia
mempunyai 2 saudara kandung yaitu Sang Hyang Tejamaya/Antaga dan Sang Hyang Ismaya. Batara
Guru juga mempunyai 3 orang saudara seayah lain ibu putra Dewi Darmani, putri Sang Hyang
Darmayaka dari Selong, yaitu : Sang Hyang Rudra/Dewa Esa, Sang Hyang Dewanjali dan Sang Hyang
Darmastuti.

Sang Hyang Antaga, Ismaya dan Manikmaya terlahir berupa sebutir telur. dari telur tersebut
kemudian oleh Sang Hyang Wenang (kakek mereka, ayah Sang Hyang Tunggal) terciptalah Antaga
dari kulit telur, Ismaya dari putih telur, dan Manikmaya dari kuning telur.

Batara Guru mempunyai 27 nama gelar, tapi yang dikenal diantaranya : Sang Hyang Jagadnata, Sang
Hyang Jagadpratingkah, Sang Hyang Pramesti Guru, Sang Hyang Siwa, Sang Hyang Girinata. Dalam
dunia pewayangan Sang Hyang Manikmaya mempunyai kekuasaan tertinggi. Ia menguasai 3 lapisan
jagat raya yaitu : Mayapada (dunia kadewatan), Madyapada (dunia makhluk halus) dan Arcapada
(dunia manusia di bumi).

Batara Guru tinggal di kahyangan Jong Giri Kelasa (dalam pewayangan sering disebut Jonggring
Salaka atau Suralaya). Ia beristri Dewi Uma atau Umayi yang sangat cantik jelita dan sakti. Awalnya
Dewi Uma tidak bersedia diperistri, kecuali apabila Batara Guru berhasil menangkapnya. Berkali-kali
usaha dilakukan Guru untuk memenuhi keinginan itu dengan menangkap Dewi Uma namun selalu
gagal karena “kelicinan” gerak Dewi Uma. Hingga setelah sekian lama belum berhasil maka Batara
Guru memohon kepada Hyang Wenang, kakeknya, agar ia diberi tambahan sepasang tangan lagi
untuk mempermudah menangkap Dewi Uma. Setelah terkabul dan tangan Batara Guru berubah
menjadi empat, maka Dewi Uma berhasil ditangkapnya dan kemudian menjadi istrinya. Karena
bertangan empat inilah maka Batara Guru sering disebut Sang Hyang Caturbuja.

SEMAR MBANGUN KAHIYANGAN


Pagi itu, di Desa Karangkabuyutan, Semar terlihat murung dan bingung, terlihat dari raut wajahnya
bahwa ia sedang memikirkan sesuatu dan ada yang ia cemaskan. Melihat hal itu, Petruk bertanya
kepada ramandanya itu, gerangan apa yang sedang terjadi dan yang membuat ayahnya sering
melamun.

Semar menjelaskan bahwa sebenarnya ia tidak apa-apa, ia hanya mencemaskan nasib kerajaan
Amarta, ada sesuatu hal yang mengganjal di hatinya tetapi ia tidak bisa mengungkapkannya. Semar
lalu meminta Petruk untuk pergi ke Amarta untuk menemui para punggawa Amarta dan
menyampaikan bahwa Ia ingin meminjam tiga pusaka Keraton Amarta yaitu Jamus Kalimasada,
Payung Kencana dan Tombak untuk membangun kayangan. Selain itu,Ia juga mengundang Para
pandawa untuk segera datang ke Karangkabuyutan. Petruk menerima tugas yang diberikan
ayahandanya, dan langsung berangkat menuju negara Amarta.

Sementara di Amarta, Prabu Yudhistira, dihadapan para saudara-saudaranya sedang membahas


sebab kegagalan mereka dan membangun negaranya , datanglah raja Dwarati, Kresna yang
kemudian menanyakan ketidakhadiran Semar dalam keraton Amarta dan menyatakan bahwa itulah
yang menjadi kegagalan tersebut. Oleh karena itu, Kresna memerintahkan Arjuna untuk memanggil
Semar dari Karangkabuyutan untuk menghadap ke Amarta.

Namun, belum Arjuna beranjak dari tempat duduknya, datanglah Petruk menghadap dan
memberitahukan bahwa ia diperintahkan Semar untuk mengundang kelima Pandawa untuk menuju
Karangkabuyutan dengan membawa tiga pusaka kerajaan untuk membantu Semar mbangun
(membangun) kahyangan.
Mendengar hal itu, Kresna langsung melarang Para Pandawa untuk berangkat ke Karangbuyutan,
karena ia menganggap bahwa rencana Semar  itu bertentangan dengan kodrat Semar yang
diturunkan ke dunia. Terjadilah perdebatan antara Kresna dengan Petruk. Petruk menolak untuk
kembali ke karangkabuyutan , dia hanya akan kembali apabila mendapat titah dai Pandawa.
Yudhistira pun  akhirnya menyuruh Petruk untuk menunggu di luar paseban untuk menanti
keputusan rapat para Pandawa.

Petruk akhirnya menuruti perintah Yudistira, di luar paseban, Petruk bertemu dengan Antasena,
putra Bima. Petruk menceritakan semua kejadian yang ada di dalam paseban tadi, Antasena yang
memiliki watak bijaksana dan tahu bahwa yang akan dilakukan Semar itu adalah benar, maka ia
berjanji akan membantu Petruk menghadapi tindakan Kresna.

Kresna kemudian mengajak Arjuna pergi ke kahyangan Suralaya untuk melapor kepada Batara Guru,
dan memerintahkan Gatotkaca, Antareja dan Setyaki mengusir Petruk kembali agar  ke
Karangkabuyutan.

Sementara Prabu Yudhistira bersama Bima, Nakula dan Sadewa, merasa bimbang. Sadewa,
kemudian memberi usul agar mereka bersemedi di depan tempat penyimpanan pusaka kerajaan
untuk meminta petunjuk Yang Maha Kuasa. Jika pusaka itu tetap berada di tempatnya setelah
mereka bersemedi berarti Kresna lah yang benar, namun apabila pusaka itu jengkar dari tempatnya
setelah mereka bersemedi maka Semar lah yang benar.

Mereka kemudian menuju ke tempat pusaka Kraton untuk bersemedi mencari petunjuk. Dan
ternyata ketiga pusaka kraton Amarta melesat hilang menuju Karangkabuyutan. Melihat kejadian
itu, akhirnya keempat bersaudara ini segera menyadari dan diam-diam berangkat ke Karangbuyutan
melalui pintu belakang tanpa sepengatuhuan Kresna.

Gatotkaca, Antareja dan Setyaki yang diperintahkan Kresna mengusir Petruk ternyata tidak mampu
menghadapi Petruk yang telah bersatu dengan Antasena di dalam tubuhnya. Petruk baru mau
kembali ke Karangkabuyutan, setelah Arjuna memerintahkannya. Ia terbang ke Karangkabuyutan
dibantu Antasena bersama, Gatotkaca, Antareja dan Abimanyu.

Kresna tiba di Suralaya dan menghadap Bathara Guru, ia melaporkan rencana Semar yang ingin
membangun kahyangan menyaingi Suralaya. Mendengar laporan itu, Bathara Guru langsung
memerintahlan Betari Durga dan Kresna untuk menghalangi rencana Semar tersebut.

Sementara di Karangkabuyutan, Semar menerima kedatangan Prabu Yudhistira, Bima, Nakula dan
Sadewa bersama ketiga pusaka Kraton Amarta yang telah tiba lebih dulu bersama Petruk dan putera-
putera Pandawa. Sebenarnya Semar sedikit kecewa karena kedatangan Pandawa hanya empat orang
. Namun, semar segera melakukan upacara ritual dengan memasukkan keempat bersaudara
tersebut menjadi satu ke dalam tubuh Semar.

Ternyata di dalam tubuh Semar bersemayam Sanghyang Wenang yang memberikan petunjuk
wejangan hidup dan ilmu yang sangat berarti bagi para Pandawa, dan memerintahkan mereka untuk
bertapa selama sepuluh hari .

Sementara para putera Pandawa bersama Petruk, Bagong dan Gareng  yang bertugas menjaga
diganggu oleh makhluk halus Maling Sukma, namun Semar segera memberikan mantra untuk
menghadapi segala kejahatan yang datang.

Kresna yang ditugaskan Bathara Guru untuk menghalangi rencana Semar Membangung Kahyangan
menyamar menjadi Raksasa sebesar bukit. Namun ia tidak mampu menghadapi mantra yang
diberikan Semar, begitu pula dengan Arjuna yang menyamar menjadi harimau yang sangat besar. Ia
menjadi lemas dan tertangkap oleh para putera Pandawa dan meminta ampun kepada Semar.

Kresna pun  tidak luput dari kemarahan Semar, karena sebagai raja ia tidak waspada dan melakukan
tindakan tanpa memeriksa terlebih dahulu apa duduk perkaranya.

Bahkan Semar pun marah kepada Bathara Guru dan berangkat ke Suralaya. Semar mengobrak-abrik
kahyangan Suralaya, tidak ada satupun senjata yang memapu melumpuhkan Semar, sehingga
Bathara Guru melarikan diri ke Karangkabuyutan, namun kemarahan Semar tidak bisa dihindari,
dimanapun Bathara Guru bersembunyi pasti berhasil ia temukan. Hingga akhirnya Bathara Guru
meminta perlindungan para Pandawa dan meminta ampun kepada Semar.
Setelah kemarahan Semar sudah mereda, akhirnya Bathara Guru diampuni, dan kembalilah beliau ke
kahyangan Suralaya.
Sanghiyang ismaya

SANGHYANG ISMAYA adalah putra kedua Sanghyang Tunggal dengan Dewi Wirandi/Rekatawati,
putri Prabu Yuyut/Resi Rekatama, raja Samodralaya. Ia mempunyai dua saudara kandung bernama
Sanghyang Tejamaya/Sanghyang Antaga dan Sanghyang Manikmaya. Sanghyang Ismaya juga
mempunyai tiga orang saudara kandung seayah lain ibu, putra Dewi Darmani, putri Sanghyang
Darmayaka dari Selong, masing-masing bernama ;  Sanghyang Rudra/Dewa Esa, Sanghyang
Dewanjali dan Sanghyang Darmastuti.

Sanghyang Ismaya dikenal pula dengan nama Sanghyang Punggung (Purwakanda). Ia menikah
dengan Dewi Senggani, putri  Sanghyang Wening. Dari perkawinan tersebut ia mendapatkan 10
orang putra masing-masing bernama ; Bathara Wungkuam, Bathara Tembora, Bathara Kuwera,
Bathara Wrahaspati, Bathara Syiwah, Bathara Surya, Bathara Chandra, Bathara Yama/Yamadipati,
Bathara Kamajaya dan Bathari Darmastutri

Sanghyang Ismaya berwajah tampan. Suatu ketika ia berkelahi dengan Sanghyang Tejamaya karena
memperebutkan siapa yang tertua diantara mereka dan yang berhak menjadi raja Tribuana.
Akibatnya wajah mereka menjadi jelek. Oleh Sanghyang Tunggal mereka diberitahu, bahwa dahulu
mereka lahir berwujud telor. Yang tertua Sanghyang Tejamaya  (tercipta dari kulit telur| kemudian
Sanghyang Ismaya (tercipta dari putih telur) dan Sanghyang Manikmaya yang tercipta dari kuning
telur.

Karena kesalahannya itu, Sanghyang Ismaya dan Sangyang Tejamaya harus turun ke Marcapada.
Sanghyang Tejamaya mendapat tugas memberi tuntunan para angkara dan berganti nama menjadi
Togog. Batahara Ismaya mendapat tugas  menjadi pamong trah Witaradya. Ia turun ke pertapaan
Paremana menjelma pada cucu nya sendiri, Smara/Semar putra Bathara Wungkuam, yang menjadi
saudara ipar Resi Manumayasa.

Anda mungkin juga menyukai