Anda di halaman 1dari 2

PADANG KURUSETRA

Pertempuran antara keluarga Pandawa dan Kurawa berlangsung selama delapan belas
hari. Prajurit dari kedua belah pihak banyak yang berguguran. Pencegahan peristiwa itu sudah
dilakukan, tetapi dari pihak Kurawa bersikukuh mempertahankan Negara Astina yang sebetulnya
bukan hak mereka. Kematian saudarasaudara Duryudana membuat perasaan Duryudana semakin
berang dan keinginan untuk menghancurkan keluarga Pandawa tidak surut. Dendam yang
semakin membara di hati Duryudana membutakan mata hatinya sebagai seorang manusia. Di sisi
lain, Duryudana malu untuk undur diri karena terlanjur mengorbankan banyak prajurit dan juga
saudara-saudaranya. Dia bertindak sebagai pahlawan walau dia memperjuangkan sesuatu yang
tidak benar. Ketika Duryudana sedang kebingungan di pinggir sungai, datanglah Bima dengan
gagah perkasa membawa senjatanya yang terkenal gada rujakpala. “Duryudana, sedang apa
gerangan kau di situ! Pemimpin yang tidak berhati, yang telah mengorbankan saudara dan
prajuritnya, apa yang akan kau lakukan?” “Aku akan bersikap sebagai seorang pemimpin,
Bima.” kata Duryudana sedikit gemetar melihat kegarangan Bima. “Jika sebelumnya kamu
datang menaklukkan hatimu yang angkara itu, dan kamu mau berbagi dengan saudaramu
Pandawa, tentu tidak akan seperti ini nasibmu.” “Tidak usah banyak bicara! Ayo! Penggal saja
kepalaku biar cepat selesai penderitaanku!” jerit Duryudana.
“Sehina itu perbuatan seorang keturunan Maharaja Astina? Ayo lawan aku dengan sikap
pahlawan!” “Aku merasa tidak menyesal, Bima! Walaupun aku sadar perbuatanku salah. Aku
tidak dapat mengubah apa yang seharusnya terjadi,” kata Duryudana. “Ya, tentu saja kau tidak
dapat mengubahnya karena dirimu adalah sumber kebinasaan itu. Ayo lawan aku, jangan seperti
cacing tanah!” tantang Bima sambil melemparkan beberapa lembing ke arah Duryudana.
Mendapat ejekan “seperti cacing” Duryudana menggeram dengan dahsyatnya. Dia lalu meloncat
menubruk Bima dengan pukulan tangannya. Namun, tenaga dan semangat hidupnya sudah agak
memudar, terpukullah Duryudana oleh gada rujakpala pada pahanya. Akhirnya, ia jatuh ke tanah
dan terpukullah kepalanya oleh senjata Bima itu. Duryudana pun tewas di tangan Bima dan
berakhirlah perlawanan para Kurawa dalam mempertahankan kekuasaan atas Kerajaan Astina.
Duryudana adalah raja yang serakah dan tidak tahu tata krama. Dia mengambil kerajaan dari
tangan keluarga Pandawa dengan paksa. Sebetulnya Kurawa dan Pandawa adalah satu keluarga,
tetapi Kurawa serakah dan tidak mau membagi wilayah kerajaan dengan Pandawa sehingga
terjadilah pertarungan memperebutkan kerajaan. Perang antara dua keluarga itu telah usai.
Sebuah padang yang amat luas dengan aliran Sungai Irawadi di tengahnya itu kini menjadi
senyap. Air sungai itu biasanya jernih, di dalamnya beraneka ragam ikan berenang di sela-sela
batu di pinggir-pinggir
Sungai. Kini sungai itu berubah menjadi keruh kemerahan dan berbau anyir menyesakkan
dada. Mayat-mayat prajurit tewas terlentang di tanah. Burung elang dan serigala berkeliaran di
padang itu memakan sisa bangkai yang ada. Udara basah dan bau anyir darah terdapat di mana-
mana. Para prajurit Pandawa memperoleh kemenangan dan berkuasa atas Kerajaan Astina yang
kaya raya. Kemenangan yang memabukkan dan memilukan. Di satu sisi mereka puas dapat
mengalahkan Kurawa dan di sisi lain mereka sedih karena tidak sedikit teman-teman mereka
yang gugur sia-sia. Tidak ada kebahagiaan yang sempurna. Tidak ada kesedihan yang tuntas.
Yang ada hanyalah kehambaran hati, ketawaran rasa memandangi sisa kehidupan yang ada.
Setelah beristirahat dan memulihkan tenaga, mereka segera membersihkan padang Kurusetra itu
dari sisa-sisa perang. Yudistira memimpin Pandawa. Dia memerintahkan untuk menyapu bersih
medan Kurusetra itu. Ia berkata. “Mayat-mayat itu perlu disempurnakan dengan upacara
keagamaan yang layak, baik untuk para sahabat maupun musuh.” Beberapa prajurit sibuk
mengumpulkan mayat-mayat yang tersebar di seluruh padang. Bangkai binatang dipisahkankan
dengan mayat manusia. Yudistira memanggil pendeta dari kalangan Kurawa dan dari kalangan
Pandawa. Para pendeta mempersiapkan peralatan untuk upacara pembakaran mayat. Ketika
semua telah tertata rapi, berhamburanlah sanak keluarga untuk mengenali mayat saudara, anak,
atau suami. Tangisan bergaung di Padang Kurusetra itu
“Duh, Kakang, mengapa engkau begitu cepat meninggalkan aku?” jerit salah seorang
perempuan ketika mengenali salah satu mayat itu adalah suaminya. “Anakku, akhirnya
tercapailah cita-citamu untuk menjadi pahlawan,” kata seorang ibu sambil menyusuti air mata
yang meleleh di matanya yang tua. Anak dan suaminya gugur dalam pertempuran di Padang
Kurusetra. Ada perempuan setengah umur berlari ke sana kemari sambil mengangkat kakinya
tinggi-tinggi. Rambutnya yang digelung di atas kuduknya jatuh terbuai angin menjadi kusut
masai terselimuti debu. Setelah kelelahan berlarian tak tentu arah, akhirnya ia terduduk kelu di
pinggir padang. Dia tidak dapat menemukan mayat suaminya, ayah dari tujuh anaknya.
Daundaun dadap luruh ke bumi, bersedih atas duka seorang istri yang kehilangan suaminya. Tak
jauh dari tempat wanita itu tertelungkup berjalan pendeta membawa pasu memercik-mercikkan
air bunga dari pasu ke seluruh penjuru arah mata angin. Dari mulutnya bergaung doa bagi
keselamatan roh-roh manusia yang meninggal di Padang Kurusetra ini. Akhirnya, menjelang
tengah hari, api unggun untuk membakar mayat dinyalakan dan mayat-mayat itu dengan cepat
dibakar serta diupacarai selayaknya. Abu-abu mayat itu dibawa ke tepi Sungai Irawadi dan
disebar ke tengah sungai. Setelah upacara pembakaran mayat selesai, Kurusetra kembali sepi.
Padang yang amat luas itu menyisakan kenangan yang menyedihkan bagi orang-orang yang
ditinggal mati suami atau anak. Burung-burung pemakan bangkai beterbangan kebingungan
karena tidak menemukan lagi sisa-sisa makanan
Yang akan dipatukinya. Semuanya sudah bersih dan rumputrumput teki mulai
memunculkan putiknya ke permukaan bumi, diikuti oleh semak belukar yang semula terinjak-
injak kereta perang Pandawa dan Kurawa. Suara angin bergulung menggema di padang yang
amat luas itu. Hidup harus berlanjut terus, tidak peduli bencana telah menghancurkan sebagian
atau seluruh sarana kehidupan itu. Ada yang harus tetap dijalani. Yang hidup tidak terus meratapi
yang sudah tiada. Semuanya harus bergegas untuk mengisi kehidupan ini. Dunia tidak peduli,
matahari tetap berjalan dari arah timur ke barat dengan waktu yang tetap. Manusia harus berjalan
sesuai dengan waktu yang ada.

Anda mungkin juga menyukai