Anda di halaman 1dari 5

Duryudana : Selamanya Cinta Untuk Banowati

Dalam kisah Mahabarata, Duryudana


dikenal sebagai tokoh antagonis. Dia memiliki sifat dan sikap
yang buruk. Berbagai watak yang tidak baik seperti tidak
peduli,mau menang sendiri.kejam dan tidak menghargai dan
mengindahkan nasehat para sesepuh dan berbagai watak yang
tidak baik lainnya sudah menjadi watak kesehariannya.

Namun Untuk urusan cinta dan kasih sayang kepada istrinya,


Duryudana sangat berbeda dengan sifat kesehariannya.
Duryudana menjadi sosok yang luar biasa dan mungkin bisa
menjadi contoh yang baik dalam mencintai dan mampu
menerima cinta apa adanya. Bahkan kesetiaan dia terhadap
istrinya tidak masuk akal.

Berikut sepenggal kisah yang menandakan betapa cinta dan


setianya Duryudana dengan istrinya Banowati.
“Suamiku bagaimana kabar dari perang Baratayuda? Apakah
sudah berakhir? Apakah Kanda telah menyerahkan sebagian
negri Astina kepada Pandawa?”

Mendengar pertanyaan dari bibir indah istrinya Banowati,


seakan menusuk perih jiwa Duryudana. Ia sadar, apa maksud
dari pertanyaan istrinya, yang sebenarnya ingin memastikan
keselamatan dari kekasih abadinya, Arjuna.

“Istriku tercinta, perang masih berlangsung. Banyak sudah


pepunden dan orang-orang terkasih telah gugur dalam
peperangan ini. Eyang Bisma, telah gugur membela negri. Guru
kami Durna, pun telah tiada. Dan suami dari kakakmu
Surtikanti, Kanda Karna, pun telah gugur setelah menjadi
senapati Astina. Kakakmu Surtikanti, mati bela pati,” geram
Duryudana membayangkan gugurnya para andalannya yang
gugur dalam pertempuran itu.

“Lalu apa kata dunia, bila mereka-mereka yang telah


memberikan nyawa untuk negri ini sementara aku kemudian
menyerah kalah? Sungguh aku akan dicap menjadi orang tak
tahu diri. Termasuk golongan pecundang. Berpesta pora di atas
darah dan peluh orang-orang yang membantu kemulyaan kita.
Ingat Banowati istriku, selama tubuh Duryudana ini masih tegak
berdiri. Selama nyawaku masih berada dalam jasadku, selama
itu pula aku akan tetap melanjutkan peperangan ini,” tekat
Duryudana dengan menahan amarah dan dendam membara.

“Namun bukankah Pandawa masih saudara kita sendiri


Kangmas ? Bukankah sebenarnya Kangmas dapat menghindari
perang saudara ini dengan memberikan hak mereka akan
sepenggal tanah di Astina ini. Bukankah sebagai gantinyapun,
rama Prabu Salya telah bersedia memberikan negeri Mandraka
bila Kangmas menghendakinya ?” pedih Banowati tidak
berdaya.

“Oooo Banowati, dinda tidak mengerti bagaimana perih hati ini


menyaksikan kemenangan sedikit demi sedikit diraih Pandawa.
Meskipun itu juga tidak diperoleh dengan percuma. Banyak
ksatria mereka yang tewas juga. Namun Pandawa masih lengkap
berjumlah lima, sedangkan Kurawa ? Tinggal berjumlah lima,
dinda. Seratus tinggal lima. Bagaimana pertanggungjawabanku
terhadap adik-adikku yang berkorban demi kemulyaan
kakaknya, kalau aku saat ini menyerah begitu saja. Tidak,
dinda ! Tidak saat ini dan tidak untuk selamanya ! Meskipun
Pandawa masih bersaudara dekat denganku, meskipun masa
kecil kami lalui bersama, namun saat ini keyakinanlah yang
membuat peperangan antara kami harus terjadi”

“Oleh karenanya, kanda pamit kepadamu dinda. Ijinkanlah


suamimu ini tuk maju ke medan laga. Perang pastilah
menghasilkan hanya ada dua pilihan. Antara menang atau
sebagai pecundang, antara masih hidup atau meregang nyawa.
Itu yang kanda sadarai dan tentunya juga si Adi. Dinda tahu
bagaimana cinta kanda kepadamu. Dari awal kita menikah
hingga kini tiada berkurang, bahkan terus bertambah dari waktu
ke waktu. Cintaku buta, tidak peduli akan terpaan kejadian
apapun ataupun gejolak di hatimu yang setidaknya aku ketahui,”
lembut Duryudana mengungkapkan hal itu.

Kembali tergambar, masa dimana Banowati akhirnya berhasil


dinikahinya meskipun dia tahu bahwa tak akan pernah mampu
memiliki hati dan cintanya. Cinta kasih Banowati telah
terengkuh dibawa pergi oleh Arjuna. Duryudana sadar akan
kelemahan dirinya. Namun cintanya begitu telah tertanam dan
tertancap kuat dalam relung hatinya. Biarlah apa kata orang
tentang istrinya ataupun apapun sikap istrinya terhadap dirinya
yang adakalanya tersirat mengungkapkan harapan sejatinya,
baginya Banowati adalah satu-satunya wanodya (wanita) yang
dikasihinya sepenuh hatidan tiada tergantikan. Meskipun bila dia
maum puluhan bahkan ratusan wanita yang tidak kalah cantik
dengan Banowati mampu didapatkannya, namun Duryudana
tiada mampu melakukan itu, karena Banowati selalu memenuhi
pandangan di setiap sisi hatinya.

Dan saat dia harus maju perang sendiri ke medan perang, yang
diingatnya hanyalah Banowati. Keselamatan Banowati adalah
yang paling utama, maka dia memerintahkan prajurit kerajaan
untuk mengamankan istri tercintanya ke tempat persembunyian.
Sebelum dia maju berperang melawan Pandawa, Duryudana
harus yakin akan keselamatan Banowati, meskipun dia maju
untuk menjemput maut.
Diposkan oleh dalang 666
Label: cerita pewayangan

Anda mungkin juga menyukai