Anda di halaman 1dari 23

A.

Balungan Lakon Karno Tandhing Versi Ki Cahyo Kuntadi

Pathet Nem
a. Adegan Jejer Pesanggrahan Bulupitu
 Tokoh :
Prabu Duryudana, Prabu Salya, Prabu Karna, dan Patih Sengkuni.
 Iringan :
Ladrang Lara Asmara Sl. Myr.

 Isi Pembicaraan :
Prabu Duryudana kecewa terhadap ketidakadilan para dewa dalam
perang bharatayuda. Menurut Prabu Duryudana dewa memihak para
pandawa sehingga pandawa bisa unggul dalam perang bharatayuda.
Prabu Duryudana juga kecewa terhadap kematian Begawan Bhisma
dan Begawan Durna. Prabu Salya memberikan nasehat kepada Prabu
Duryudana agar tidak menyalahkan siapapun karena gugurnya para
senopati merupakan suratan takdir . Prabu Duryudana menyinggung
Prabu Karna dengan mengatakan bahwa ada seseorang yang
bersumpah untuk membela Prabu Duryudana dan mengaku menjadi
senopati Ngastina namun dalam peperangan bharatayuda orang
tersebut hanya diam saja tidak berani maju perang. Mendengar
perkataan tersebut Prabu Karna merasa tersinggung dan termotivasi
untuk menjadi senopati. Di hari ketiga belas dalam perang bharatayuda
tersebut Prabu Karna meminta ijin Prabu Duryudana agar didaulat
menjadi senopati Ngastina melawan para Pandawa. Prabu Duryudana
mengabulkan permintaan karna. Karna didaulat menjadi senopati.
Prabu Karna meminta Prabu Salya sebagai kusir senopati. Sebagai
seorang mertua Prabu Salya merasa dihina. Prabu Salya marah

1
terhadap menantunya, Prabu Karna. Prabu Karna menjelaskan apa
yang menjadi dasar permintaanya menjadikan Salya sebagai senopati.
Menurut Karna, Prabu Salya lah yang dapat mengimbangi kekuatan
kusir Arjuna yaitu Prabu Kresna. Selain itu Karna beranggapan bahwa
jika Prabu Salya menjadi kusir senopati, ketika Karna gugur dalam
perang bharatayuda nanti jasadnya dipangku oleh kusir senopati yang
tidak lain adalah Prabu Salya. Mendengar perkataan tersebut hati
Prabu Salya merasa tersentuh dan menyanggupi permintaan Karna
tersebut.

b. Adegan Taman Kadi Leng-leng

 Tokoh :
Dewi Banowati dan Raden Dursasana.
 Iringan :
Ketawang Saraswati Sl. Myr.
 Isi Pembicaraan :
Saat terjadi perang Bharatayuda Raden Dursasana diasingkan oleh
kakaknya, Prabu Duryudana. Dursasana tidak diperkenankan untuk
melihat bahkan mengikuti perang. Dewi Banowati menyarankan agar
Dursasana maju ke medan perang dan bertindak mengingat Dursasana
merupakan seorang kesatriya. Banowati menganggap Dursasana
sebagai pengecut karena sikapnya yang acuh terhadap perang
bharatayuda. Banowati mengaggap bahwa Dursasana telah
mengetahui tentang kekalahan kurawa dalam bharatayuda sehingga
Dursasana tidak akan maju dalam perang bharatayuda mengingat jika
kakaknya sudah gugur ia akan mengambil alih kekuasaan Ngastina
dan menjadikan Banowati sebagai istrinya. Mendengar perkataan

2
tersebut Dursasana merasa tersinggung dan marah, seketika itu ia
pamit berangkat ke medan perang untuk membunuh para Pandawa.

c. Candhakan

 Tokoh :
Raden Dursasana, Togog, dan bilung.
 Iringan :
Srepeg Pl. Nem.
 Isi Pembicaraan :
Raden Dursasana meminta pendapat dari Togog dan Bilung mengenai
kemauannya menjadi senopati Ngastina menghadapi Werkudara.
Togog mengingatkan bahwa perang bharatayuda merupakan perang
suci, perang yang menggunakan aturan-aturan tertentu. Dalam perang
bharatayuda seseorang dapat dikatakan senopati apabila orang tersebut
sudah resmi didaulat oleh raja menjadi senopati perang. Raden
Dursasana tidak menghiraukan nasehat Togog. Ia tetap bersikukuh
untuk menjadi senopati Ngastina menghadapi Werkudara. Dursasana
pergi dari Taman Kadi Leng-leng mencari keberadaan Werkudara.

d. Limbukan

e. Candhakan

 Tokoh :
Raden Werkudara, Semar, Gareng, Petruk, Bagong.
 Iringan :
Srepeg Tlutur Sl.Nem.

3
 Isi Pembicaraan :
Raden Werkudara yang sedang sedih atas kematian Gatutkaca,
dihibur oleh para Punakawan, namun Werkudara tetap diam. Semar
memberikan nasehat terhadap Raden Werkudara tentang kematian
seseorang meliputi mati nistha, mati madya, mati utama. Menurut
Semar, sebaiknya Werkudara tidak menyesali kematian Gatutkaca
karena Gatutkaca termasuk dalam bagian mati utama, gugur sebagai
pahlawan yang membela nusa bangsa. Semar meminta Werkudara
agar tidak terlarut dalam kesedihan mengingat perang baratayuda
belum usai. Werkudara tidak menghiraukan perkataan Semar.
Werkudara pergi meninggalkan punakawan.

f. Candhakan

 Tokoh :
Raden Dursasana, Raden Werkudara dan Punakawan.
 Iringan :
Srepeg Tlutur Sl. Nem.
 Isi Pembicaraan :
Dursasana menghina werkudara dan menganggap Werkudara menjadi
gila karena kematian Gatutkaca. Dursasana melepaskan candrasa
dengan sasaran Raden Werkudara. Candrasa mengenai tubuh
Werkudara sehingga membuatnya tidak sadarkan diri. Punakawan
datang menangisi nasib Werkudara. Bagong memotivasi Werkudara
melalui perkataannya yang menceritakan perjalanan hidup Werkudara
sebagai seorang kstriya yang tangguh. Werkudara merasa tergugah
batinya dan bangun dari keterpurukan. Werkudara berangkat
menghadapi Dursasana.

4
g. Adegan Perang Jambakan

 Tokoh :
Raden Dursasana, Raden Werkudara, dan Semar.
 Iringan :
Sampak Sl. Nem.
 Isi Pembicaraan :
Werkudara marah karena tanpa sebab yang pasti Dursasana
melepaskan candrasa . Hal tesebut dilakukan oleh Dursasana agar
Werkudara merasa ditantang dan kembali mau berperang.
Terjadilah perang antara Werkudara dan Dursasana baik perang
kanuragan maupun perang gada. Dalam perang tersebut terjadi kejar –
kejaran antara raden Werkudara dengan Dursasana. Dursasana masuk
ke dalam sungai Cingcing goling, Raden Werkudara berniat untuk
mengikuti namun dilarang oleh Semar. Semar mengingatkan jika
werkudara masuk ke dalam sungai tersebut pandawa akan kalah dalam
baratayuda. Setelah mendengar perkataan semar, Werkudara menjauh
dari sungai tersebut. Saat Dursasana kembali ke daratan ia berteriak
mengolok – olok werkudara. Werkudara merasa tersinggung lalu
mengejar Dursasana. Ketika Dursasana kembali akan masuk ke dalam
sungai Cingcing Goling, Werkudara kembali berusaha mengejar
dengan sekuat tenaga yang dimiliki . Tangan Werkudara berhasil
menarik Rambut Dursasana. Werkudara menangkap dan menghajar
Dursasana. Prabu Duryudana menemui Werkudara untuk meminta
maaf dan meminta agar melepaskan Dursasana. Namun Kresna
memberi sasmita agar Werkudara membunuh Dursasana. Setelah
mendengar sasmita dari Kresna seketika itu Werkudara Membunuh
Dursasana dengan memutilasi tubuh Dursasana menjadi potongan-

5
potongan kecil. Setelah Werkudara berhasil membunuh Dursasana
tiba-tiba datanglah Drupadi meminta darah Dursasana yang akan
digunakan untuk keramas. Hal tersebut dilakukan Drupadi untuk
melunasi sumpahnya di kala itu.

Adegan Pathet Sanga

a. Adegan Tepi Bengawan Gangga


 Tokoh :
Dewi Kunthi dan Prabu Karna.
 Iringan :
Ketawang Karuna Sl. Sanga.
 Isi Pembicaraan :
Dewi Kunthi menerima kedatangan Karna. Dewi Kunthi meminta
maaf atas kesalahannya telah membuang Karna. Karna mengakui
bahwa Dewi Kunthi adalah ibunya. Kedatangan Karna meminta pamit
dan doa restu untuk berperang melawan para pandawa. Dewi Kunthi
sedih karena ia bakal kehilangan anaknya, para pandawa.Dewi Kunthi
meragukan kemenangan pandawa karena ia mengetahui bahwa Karna
memiliki pusaka dari dewa yang memiliki daya kekuatan lebih dan
dapat dengan mudah membunuh pandawa. Karna mengatakan bahwa
kere waja dan anting-anting pemberian dewa telah diminta kembali .
Saat ini ia sudah tidak memiliki kesaktian, sehingga dengan sangat
mudah pandawa dapat membunuh Karna. Oleh karena itu kedatangan
Karna menemui Dewi Kunthi sebagai bentuk penghormatan yang
pertama dan yang terakhir. Setelah mengatakan hal tersebut Karna

6
pamit dan pergi untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang
senopati.

b. Goro-goro
c. Candhakan
 Tokoh :
Raden Sanjaya, Wara Srikandhi dan Semar.
 Iringan Pakeliran :
Sampak Sl. Sanga.
 Isi Pembicaraan :
Dewi Wara Srikandhi menerima kedatangan Raden Sanjaya yang
ingin bergabung di pihak pandawa dalam perang bharatayuda. Dewi
Wara srikandhi curiga dengan Sanjaya yang tiba-tiba ingin bergabung
di pihak pandawa. Menurut Srikandhi tindakan yang dilakukan
Sanjaya bukan merupakan sifat seorang kestriya melainkan sikap
seseorang yang takut mati. Dewi Wara Srikandi menyuruh Sanjaya
untuk perang melawan Prabu Karna sebagai syarat agar Sanjaya dapat
diterima untuk bergabung di pihak pandawa. Syarat tersebut diberikan
Srikandhi tidak lain hanyalah untuk mencoba seberapa besar
kesungguhan Sanjaya untuk bergabung di pihak pandawa. Sanjaya
menyanggupi syarat dari Srikandi.

d. Candhakan
 Tokoh :
Prabu Karna, Raden Sanjaya, Wara Srikandhi.
 Iringan :
Srepeg Sl. Sanga.
 Isi Pembicaraan :

7
Raden Sanjaya menemui Prabu Karna. Terjadilah peperangan, Raden
Sanjaya tewas terkena panah Prabu Karna. Mengetahui bahwa Sanjaya
tewas, Srikandhi marah. Terjadi peperangan antara Karna dengan
Wara Srikandhi. Ketika berperang, Karna tidak membalas pukulan
dari Wara Srikandi mengingat musuhnya adalah wanita. Prabu Karna
hanya berniat membuat Srikandhi mundur dengan melepaskan panah
pada sasaran rambut Dewi Wara Srikandhi. Panah tersebut tepat
terkena rambut Wara Srikandi. Srikandhi merasa malu dan mundur
dari medan perang.

Adegan Pathet Manyura


e. Candhakan
 Tokoh :
Prabu Kresna, Raden Arjuna, dan Wara Srikandhi.
 Iringan :
Ketawang Pamuji Sl. Manyura.
 Isi Pembicaraan :
Ketika Arjuna mengetahui bahwa senopati Ngastina adalah Prabu
Karna, ia merasa bimbang dan berat hati mengingat Karna adalah
kakaknya. Arjuna takut melukai hati Dewi Kunthi. Prabu Kresna
mengingatkan kepada Arjuna tentang darma seorang senopati harus
bisa memilah antara cinta dan kewajiban. Arjuna memahami nasehat
Prabu Kresna. Tiba-tiba datanglah Srikandhi yang menangis karena
merasa dipermalukan oleh Karna di medan perang. Mendengar hal
tersebut Raden Arjuna marah dan berniat untuk mengahadapi Prabu
Karna. Kresna melarang Arjuna menghadapi Karna jika dasar dari
kemauannya berperang melawan karna hanya karena Wara srikandhi
bukan karena kewajibannya menjadi senopati. Arjuna mengakui

8
kesalahannya dan ia mau menjadi senopati atas dasar kewajibannya
sebagai seorang kesatriya. Raden Arjuna berangkat menjadi seorang
senopati perang dengan menggunakan rata Kyai Jaladara dan Prabu
Kresna sebagai kusirnya.

f. Candhakan
 Tokoh :
Prabu Karna, Prabu Salya dan Hardawalika.
 Iringan :
Sampak Sl. Myr
 Isi Pembicaraan :
Prabu Karna menerima kedatangan Hardawalika. Hardawalika ingin
membalas kematian ayahnya dengan membantu Karna untuk
membunuh para pandawa. Prabu Karna tidak menuruti permintaan
Hardawalika dan menyuruhnya untuk pergi. Hardawalika pergi.

g. Candhakan
 Tokoh :
Prabu Kresna dan Raden Arjuna.
 Iringan :
Sampak Sl. Myr
 Isi Pembicaraan :
Prabu Kresna memerintah Arjuna untuk melepaskan panah dengan
sasaran mendung yang menyelimuti. Raden Arjuna melaksanakan
perintah Prabu Kresna. Setelah terkena panah, mendung tersebut jatuh
berwujud ular yang telah mati yaitu jelmaan dari Prabu Hardawalika
yang menginginkan kematian Arjuna. Prabu Kresna dan Arjuna
melanjutkan perjalanan menuju Tegal Kurusetra.

9
h. Adegan Karna tandhing
 Tokoh :
Prabu Karna dan Raden Arjuna.
 Iringan :
Sampak Sl. Myr.
 Isi Pembicaraan :
Prabu Karna memberikan semangat terhadap Arjuna agar jangan sedih
ketika menjalankan peperangan ini mengingat mereka berdua adalah
senopati yang sama-sama menjalankan kewajiban. Terjadilah
peperangan antara Prabu Karna dan Raden Arjuna. Prabu Karna
berniat melepaskan panah Kyai Bromastra dengan sasaran Raden
Arjuna. Namun terjadi keanehan ketika Prabu Karna akan melepaskan
panahnya. Panah Kyai Bromastra tiba-tiba saja hilang dari genggaman
Prabu Karna. Musnahnya Kyai Bromastra dari genggaman Karna
merupakan akibat dari sikap Karna yang tidak melaksanakan perintah
gurunya yaitu Rama Bargawa. Rama Bargawa pernah berpesan kepada
Karna agar menggunakan kesaktiannya untuk menjaga ketentraman
jagad bukan untuk kesenangan pribadi dan menuruti hawa nafsu
belaka. Jika Karna tidak melakukan perintah tersebut maka semua
ilmu dan pusaka yang diberikan Rama Bargawa akan hilang
bersamaan dengan hilangnya nyawa Karna. Melihat Karna sedang
lengah dan tidak fokus terhadap musuh, Seketika itu Arjuna
melepaskan Pasopati. Pasopati tepat terkena leher Karna. Pasopati
menembus leher Karna, sehingga antara leher dan kepala Karna
terpotong. Prabu Salya belum menyadari bahwa menantunya telah
tewas. Melihat Karna yang hanya terdiam, Prabu Salya mendekati

10
Karna. Seketika itu tubuh Karna jatuh tepat pada pangkuan Prabu
Salya.
i. Tanceb Kayon

11
B. Pengertian Estetika Secara Umum
Estetika merupakan cabang ilmu yang berisi mengenai hakikat
keindahan, dengan kata lain estetika digunakan sebagai tolok ukur untuk
mencari nilai bagi sesuatu yang dianggap indah, mencari lebih dalam
mengenai prinsip-prinsip yang digunakan untuk menciptakan kesan indah, dan
mengenai pengalaman yang berhubungan dengan kesan indah. (Katsoff dalam
soemargono, 2004: 366).

C. Ruang Lingkup Estetika Pedalangan


Dunia pedalangan sebagai salah satu jenis pertunjukan yang
menggunakan media wayang, juga memiliki ukuran dalam mencapai rasa
estetis.Capaian rasa estetis ini tentunnya tidak bisa lepas dari dua pakem
pedalangan yakni Sastramiruda tulisan Kusumadilaga dan Pakem Irawan Rabi
tulisan atmatjendana atau yang lazim disebut Nayawirangka. Sastramiruda
tulisan Kusumadilaga menuliskan bahwa capaian estetika dapat ditempuh
dengan memiliki Sembilan syarat yakni :
1. Awicarita, Pandai bercerita.
2. Paramakawi, ahli bahasa kawi.
3. Mardawalagu yakni menguasai gending.
4. Amardibasa, menguasai bahasa pewayangan, atau Antawecana.
5. Paramengsastra, atau banyak menguasai literatur.
6. Renggep, pakelirannya tidak kendhor dan berkesinambungan.
7. Mardawabasa, dapat menciptakan suasana.
8. Jangan sampai kebogelan, atau masih malam namun lakon sudah selesai,
dan karahinan yakni sudah pagi namun lakon belum selesai.
9. Sabet, dapat menguasai gerak wayang secara hidup (Kusumadilaga dalam
kamajaya, 1981: 187-188).

12
Kategori indah menurut Sastramiruda, selanjutnya juga diimplementasikan
dalam Pakem Irawan Rabi tulisan Atmatjendana (1952:22). Adapun capaian
estetis dalam membangun suasana dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Regu. Adalah suasana yang dapat dibangun dalang ketika sore hari,
suasana ini dibangun pada adegan jejer pertama yang dapat
menampilkan kesan wibawa.
b. Sem. Adalah suasana yang dibangun oleh dalang yang menimbulkan kesan
romantis (teruntuk adegan cinta kasih).
c. Nges. Adalah suasana yang dibangun oleh dalang yang menimbulkan kesan
sedih. Teruntuk adegan-adegan yang bersifat tragedi.
d. Renggep. Adalah suasana yang dibangun dalang untuk menimbulkan kesan
serius.
e. Lucu. Dalang dapat membawakan suasana humor.
Sedangkan pencapaian kesan indah secara tekhnis, yang berhubungan
dengan ketrampilan dasar dalang dalam membawakan sebuah pementasan,
dapat digolongkan sebagai berikut:
f. Greget. Adalah suasana yang dibangun oleh dalang yang
menimbulkan kesa seolah-olah seperti nyata.
g. Antawacana. Adalah kemampuan dalang untuk ber tutur.
h. Unggah-ungguh. Dalang harus bisa menguasai tata negara, yang
berkaitan dengan sikap yang ditampilkan wayang. Juga mengenai
bahasa yang digunakan.
i. Tutuk. Jelas ketika bercerita.
j. Trampil. Artinya mampu membawakan gerak wayang dan aspek- aspek lain
dengan baik.

13
D. Aplikasinya dalam lakon Dursasana Jambak-Karna Tandhing Sajian Ki
Cahyo Kuntadi
Adapun sajian Cahyo Kuntadi hubunganya dengan pencapaian
rasa estetis dari sudut pandang estetika pedalangan adalah sebagai
berikut:
a. Nges
Nges adalah capaian estetis untuk adegan-adegan yang
bernuansa sedih, menyayat hati, suasana ini berkaitan dengan suasana
hati tokoh yang sedang kalut. Bangunan suasana nges dapat dilihat
dari pemilihan kata yang disampaikan tokoh, suasana gendhing yang
mengiringi, serta gerak sabet wayang. Pada pakeliran Ki Cahyo
Kuntadi, suasana nges ditimbulkan pada salah satu adegan di pathet
nem yakni adegan jejer pisan Pesanggrahan Bulupitu. Keadaan
Pesanggrahan Bulupitu menggambarkan suasana hati Prabu
Duryudana yang sedang kalut dan sedih karena banyak senopati
kurawa yang gugur ketika perang Bharatayuda. Dalam adegan ini
Prabu Duryudana juga terlihat marah, kemarahan tersebut diluapkan
melalui anggapan Duryudana bahwa para dewa tidak adil dalam
perang bharatayuda. Menurut Prabu Duryudana dewa memihak para
pandawa sehingga pandawa bisa unggul dalam perang bharatayuda.
Prabu Duryudana juga kecewa terhadap kematian Begawan Bhisma
dan Begawan Durna. Prabu Salya memberikan nasehat kepada Prabu
Duryudana agar tidak menyalahkan siapapun karena gugurnya para
senopati merupakan suratan takdir.
Ki Cahyo Kuntadi membangun suasana nges dimulai dengan
Janturan yang mengkisahkan keadaan Pesanggrahan Bulupitu yang
yang berbunyi demikian:

14
Kumricik tirtanarmada manempuh kang selo-selo, sinela
maruta mintir midid, mentar temah kekitir roning mandera. Pating
krosak gegosokan godhong pandan, suket lan lulangan dadya tintrim
jroning Pesanggrahan Bulupitu. Kedadak ana jawah riwis-riwis
kesisan maruta kengis, satemah swasana Bulupitu saya tis-tis kekes
kang sarta miris.
Selain dibangun oleh janturan, suasana sedih juga dibangun
melalui ginem antara tokoh Duryudana dengan Salya yang
mengungkapkan kesedihan dan kekecewaan atas gugurnya senopati
Kurawa, Ki Cahyo Kuntadi juga membangun suasana sedih dengan
penggunaan sendhon tlutur yang dilagukan sebelum ginem.

Contoh lain, misalnya saat adegan Prabu Salya marah dengan


Karno. Kemarahan tersebut karena Prabu Salya diminta menjadi kusir
senopati, derajat Prabu Salya sebagai seorang ratu Mandraka sekaligus
mertua dari Karno merasa direndahkan. Kemarahan Prabu Salya tidak
lantas membuat Karno juga marah namun dalam adegan ini Ki Cahyo
Kuntadi membangun karakter tokoh Karno dengan baik. Karno
mengutarakan alasannya meminta Prabu Salyo sebagai Kusir. Alasan
Karno dalam ginem berbunyi demikian :

Karno : Menapa durananipun dening ingkang putra nyuwun


berkah pangestu dumateng paduka kanjeng rama
supados dados kusir kula ing pabaratan kurusetra?
Dhasar kula ingkang sepisan, tartamtu kula mangke
badhe tetandingan kaliyan yayi Janaka. Mangka
menawi yayi Janaka madeg Senopati, tartamtu bade
nitih kyai Jaladara dipun kusiri dening Nalendra
Dwarawati Prabu Sri Batara Kresna, mangka menawi
saking petang kula lumahing jagad kureping langit

15
mboten wonten ratu ingkang timbang bobotipun
kaliyan narendra Dwarawati kejawi namung paduka
kanjeng rama. Angka kalihipun nadyanta kula mboten
matur mesthinipun kanjeng rama sampun pirsa bilih
wontening bharatayuda jayabinangun menika perang
suci sapa sing bener bakal jejer sing luput bakale
mawut . Gandeng kula manjing dados golonganing
para kurawa tartamtu kula bade alit kasor ageng
dumugining pejah rama, nadyan ta anggen kula madeg
senopati mangke kedah gumlundhung sirah kula, kula
anggadahi gegayuhan menawi Karno Basuseno
kapagut ing rananggana, bangke kula dipun pangku
dening paduka kanjeng rama Salyapati.

Salya : Karno kowe guneman apa? ( Salya merangkul Karno)

Janturan yang menggambarkan kesedihan hati yang dialami


oleh Duryudana, disebabkan gugurnya para senopati agung di medan
perang. Sendhon tlutur yang dilagukan menambah kesan kesedihan
yang dialami oleh Duryudana, begitu juga dengan dialog antara Karno
dan Prabu Salya. Alasan Karno meminta tolong Prabu Salya untuk
menjadi kusir senopati tidak pernah terbesit di benak Prabu Salya
sehingga membuat Prabu Salya merasa sedih atas ucapan anak
menantunya, Karno. Kesedihan tersebut didukung dengan iringan
sampak tlutur serta sulukan sendhon tlutur yang dilagukan. Dari
kedua contoh berikut dapat terlihat capaian nges dapat tersampaikan
dengan sistematis yakni janturan, ginem serta penggunaan iringan

16
sampak tlutur, suluk sendhon tlutur sehingga suasana sedih dapat
dicapai dan diterima dengan baik oleh penonton.

b. Greget
Greget, ditampilkan pada adegan-adegan yang bersifat

menegangkan. Menghasilkan kesan yang seolah-olah seperti nyata.


Greget terletak pada adegan-adegan tokoh yang sedang marah, atau
adegan peperangan. Kesan greget ini biasanya dibangun dengan
didahului penggunaan ada-ada sebagai penguat suasana. Sebagai
contoh pada adegan jejer, ketika Karno merasa tersinggung oleh
perkataan Duryudana. Sebelum Karno berdialog, diawali dengan ada-
ada yang menambah suasana greget lalu dilanjutkan ginem Karno
dengan pemilihan kata-kata yang membangun suasana greget.
Contoh lain, adegan Taman Kadi leng-leng ketika Banowati
menganggap Dursasana sebagai pengecut karena sikapnya yang acuh
terhadap perang bharatayuda. Banowati mengaggap bahwa Dursasana
telah mengetahui tentang kekalahan kurawa dalam bharatayuda
sehingga Dursasana tidak akan maju dalam perang bharatayuda
mengingat jika kakaknya sudah gugur ia akan mengambil alih
kekuasaan Ngastina dan menjadikan Banowati sebagai istrinya.
Mendengar perkataan tersebut Dursasana merasa tersinggung dan
marah. Kemarah Dursasana tersebut membuat suasana menjadi greget,
terlihat dalam ginem yang berbunyi:
Dursasana : Sampeyan niku kudune kula ajeni, sampeyan niku
kudune kula kurmati, kudune kula pundhi-pundhi, ning ya gene
tembunge sugal kaya ula kang mawa wisa. Kakang mbok!
Nadyan kula menika wong degleng, Dursasana wong edan,
ning sak edan-edane Dursasana ngerti karo paugeran. Kok
kaya ra ana wong wadon liya, mbok anggep lamun ta

17
Dursasana bakal duwe rasa tresna arep ngepek karo
mbakyuku dewe. Aku sejatine ya duwe panggrahita lamun
Duyudana mati tan wurunga Pandawa jaya, kowe bisa ndilati
tungkake Janaka.
Banowati : Minggata koe! minggata! ( Iringan sampak,
Dursasana di entas ke kiri)
Dari dialog diatas dapat dilihat, dalam membangun suasana greget Ki
Cahyo Kuntadi memilih kata-kata yang dapat memberikan gambaran
atas bobot kemarahan Dursasana. Hal tersebut juga didukung dengan
ucapan dalang dalam memberikan penekanan terhadap kalimat-
kalimat yang disampaikan, serta iringan sampak yang menambah
suasana greget dalam pakeliran.

c. Antawecana
Antawecana adalah kemampuan dalang dalam bertutur. Ki
Cahyo Kuntadi membawakan cerita dengan baik dan jelas.
Menyajikan narasi dan ginem sesuai dengan alur melodi gendhing
yang dibawakan pengucapan narasi mengikuti alur lagu. Dengan
demikian penggunaan nada yang mengikuti alur lagu karawitan
pakeliran pada janturan menambah kesan harmoni antara janturan
dengan gending yang mengiringi.
d. Unggah-ungguh
Unggah-ungguh berkaitan dengan penguasaan dalang terhadap
tata negara, etika yang diwujudkan dalam sikap wayang serta bahasa
yang digunakan. Pemahaman Ki Cahyo Kuntadi terhadap unggah-
ungguh dapat dilihat
melalui adegan Jejer Pesanggrahan Bulupitu. tancepan wayang
berbeda, yakni Prabu Duryudana di debog bagian atas, Prabu Salya

18
sebagai sesama ratu sekaligus mertua Duryudana di debog bagian atas,
Prabu Karno di debog bagian atas, patih atau pejabat negara yang
memiliki pangkat dibawah raja, ditancapkan pada debog bagian
bawah. Penggunaan bahasa juga berpengaruh terhadap unggah-
ungguh. Sebagai
contoh potongan dialog pada adegan jejer sebagai berikut:
Salya : Nuwun sewu, anak Prabu Duryudana. Sampun
sawetawis dangu pun bapa Mandraka tuwin para
sentana praja Ngastina seba wonten Pesanggrahan
Bulupitu mriki. Ingkang wigati inggih namung mituhu
dawuh timbalan paduka anak prabu. Sedaya namung
jinem permanem mboten wonten ingkang wanton
guneman nadyan namung sakkecap, amargi namung
ngentosi sabda pangandika anak Prabu Duryudana.
Dari ginem diatas dapat dilihat, meskipun Prabu Salya merupakan
ayah mertua dari Prabu Duryudana namun Prabu Salya tetap
menggunakan bahasa Jawa Krama. Hal tersebut dikarenakan
kedudukan Prabu Duryudana sebagai seorang raja. Unggah-ungguh
digambarkan Ki Cahyo Kuntadi dengan penggunaan undha-usuk basa,
atau kaidah penerapan tataran bahasa dalam budaya Jawa.

e. Trampil
Trampil artinya mampu membawakan gerak wayang dengan
baik. Dalam sajian pakeliran Cahyo Kuntadi lakon Dursasana jambak-
Karno Tandhing, gerak wayang digarap dengan baik sesuai dengan
suasana batin tokoh. Misalnya Ketika Prabu Duryudana sedang
gundah dan kalut, gerak sabet Duryudana digambarkan menendang
kayon sehingga penonton dapat memahami suasana batin tokoh
Duryudana saat itu. Contoh lain , ketika Dursasana berperang dengan

19
Werkudara. Dursasana ditarik rambutnya oleh werkudara, gerak sabet
yang disajikan Cahyo Kuntadi menggambarkan bahwa Dursasana
terlihat benar-benar dijambak oleh Werkudara. Gerak tersebut sesuai
dengan lakon yang dibawakan yaitu Dursasana Jambak. Selain itu
ketika Werkudara membunuh Dursasana dengan memotheng-
motheng tubuh Dursasasana terlihat secara jelas oleh penonton
sehingga ketrampilan Ki Cahyo Kuntadi dalam mengerakkan wayang
terkesan hidup dan menarik.
E. Nilai Estetik Dalam Pagelaran Wayang Kulit Lakon Dursasana Jambak-
Karno Tandhing Sajian Ki Cahyo Kuntadi

Pagelaran wayang sebagai seni pertunjukan yang menyajikan falsafah


kehidupan tentunya tidak terlepas dari apa yang disebut nilai. Begitu juga
dengan pagelaran wayang kulit lakon Dursasana Jambak-Karno Tandhing
sajian Ki Cahyo Kuntadi juga mengandung nilai-nilai Estetik.
a. Nilai Cinta Kasih
Ki Cahyo Kuntadi menampilkan nilai cinta kasih dalam lakon
Karno Tandhing. Nilai cinta kasih antara ibu dan anak ditampilan
dalam adegan Tepi Bengawan Gangga. Kedatangan Karna meminta
pamit dan doa restu untuk berperang melawan para pandawa. Karna
juga mengatakan bahwa kere waja dan anting-anting pemberian dewa
telah diminta kembali . Saat ini ia sudah tidak memiliki kesaktian,
sehingga dengan sangat mudah pandawa dapat membunuh Karna.
Oleh karena itu kedatangan Karna menemui Dewi Kunthi sebagai
bentuk penghormatan yang pertama dan yang terakhir. Setelah
mengatakan hal tersebut Karna pamit dan pergi untuk melaksanakan
kewajibannya sebagai seorang senopati. Dalam adegan tersebut
tergambar nilai cinta kasih anak terhadap orang tua. Meskipun Karno

20
pernah merasa sakit hati terhadap ibunya namun ia tidak pernah
melupakan Dewi Kunthi sebagai ibu yang pernah mengandung dan
melahirkannya, hal terebut terbukti ketika Karno meminta doa restu
sebelum berperang melawan Pandawa. Bahkan dalam adegan ini juga
terlihat cinta kasih Karno terhadap saudaranya, Pandawa. Hal tersebut
terbukti ketika Karna mengatakan privasinya kepada Dewi Kunthi
bahwa saat ini ia sudah tidak memiliki kesaktian, sehingga dengan
sangat mudah pandawa dapat membunuh Karno. Jika Karno tidak
cinta terhadap saudarannya tidak mungkin ia membeberkan
kelemahannya kepada Dewi Kunthi yang tidak lain berada di pihak
Pandawa. Dari hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa lakon
Dursasana Jambak-Karna Tandhing sajian Cahyo Kuntadi memuat
nilai cinta kasih seorang anak terhadap ibunya. Doa restu orang tua
merupakan wujud cinta kasih kepada anak yang sangat berguna untuk
kehidupan.

b. Nilai Keikhlasan.
Lakon Dursasana Jambak-Karna Tandhing sajian Cahyo
Kuntadi memperlihatkan bahwa sebenarnya Karna mengetahui bahwa
Kurawa pihak yang salah Pandawa pihak yang benar. Kesaguhan
Karna menjadi senopati Kurawa bukan semata-mata karena memihak
Kurawa namun merupakan wujud keikhlasannya demi kemenangan
para Pandawa. Karakter tokoh Karna dalam sajian tersebut memuat
nilai keikhlasan. Demi sebuah kebaikan seorang Karna rela dianggap
menjadi musuh oleh saudara-saudara yang dikasihinya, para Pandawa.
c. Nilai Kehidupan
Pagelaran wayang kulit lakon Dursasana Jambak-Karna Tandhing
sajian Ki Cahyo Kuntadi merupakan bagian lakon dari perang
bharatayuda. Dalam lakon tersebut memuat nilai-nilai kehidupan.

21
Pandawa sebagai figur tokoh baik, Kurawa sebagai figur tokoh jelek.
Dalam lakon ini Pandawa sebagai pihak yang unggul dalam
peperangan. Nilai kehidupan yang terkandung dalam lakon tersebut
adalah kebaikan akan mengalahkan keburukan, siapa yang berbuat
baik akan mendapat kebaikan begitu juga sebaliknya. Nilai tersebut
juga masih relevan dengan nilai kehidupan orang jawa misalnya ada
kalimat yang berbunyi : “Sura dira jayaningrat lebur dening
pangastuti.”

22
DAFTAR PUSTAKA

Kusumadilaga, Sastramiruda. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1981

Kattsoff, Louis O, Element of Philosophy. Terjemahan Soejono Sermargono.

Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004

23

Anda mungkin juga menyukai