Anda di halaman 1dari 6

ADIPATI KARNA

Kakek yang kuhormati, aku tahu aku ini anak Dewi Kunti, bukan anak sais kereta. Tetapi,
aku berhutang budi kepada Duryodana. Aku hidup dan makan dari hasil bumi tanah milik
Kurawa. Aku harus jujur kepadanya dan menepati janjiku sebagai ksatria. Tidak mungkin bagiku
menyeberang ke pihak Pandawa sekarang. Ijinkan aku membalas jasa Duryodana dengan jiwaku.
Ijinkan aku membalas hutangku terhadap kepercayaan dan cintanya kepadaku. Engkau pasti
memahami ini dan memaafkan aku. Aku mohon restumu.

Itulah yang diucapkan oleh Karna kepada Bisma, sesaat sebelum dia maju ke medan Kurusetra
untuk bertempur melawan Arjuna. Meski dia tahu Kurawa berada di pihak yang salah. Karna
yang menjunjung tinggi nilai kesetiaan dan tahu membalas budi menyatakan memihak Kurawa
yang telah mengangkatnya sebagai saudara dan membesarkan namanya.

Karna, adalah salah satu tokoh dari Mahabharata yang sangat menarik. Ia sebenarnya masih
saudara satu ibu dengan para Pandawa yaitu Yudistira, Bhima dan Arjuna. Sebab ibunya, yaitu
Dewi Kunti pernah mencoba sebuah aji pada masa kecilnya untuk memanggil seorang Dewa.
Yang dipanggilnya adalah Dewa Matahari (Batara Surya) dan beliau membuatnya hamil.
Putranya akan keluar dari telinga untuk menjaga keperawanan Kunti, maka dinamakannya
Karna. Nama-nama Karna lainnya berhubungan dengan statusnya sebagai putra Dewa Matahari
antara lain adalah Arkasuta dan Suryatmaja.

Oleh ibunya, Karna dihanyutkan di sungai sampai ia ditemukan oleh seorang Prabu Radeya dan
diangkat anak, sayangnya kerajaan Prabu Radeya tunduk kepada Hastinapura dan ia dibesarkan
oleh seorang sais prabu Drestarasta, yang bernama Nandana atau Adirata.

Meskipun Karna masih saudara seibu dengan Yudistira, Werkodara, dan Arjuna, tetapi para
Pandawa tidak mengetahuinya sampai ia gugur di perang Bharatayudha. Sehingga mereka suka
menghinanya.

Karna sangat mahir menggunakan senjata panah. Kesaktiannya setara dengan Arjuna.
Mempunyai senjata andalan bernama Kunta. Suatu ketika, ketika terjadi uji tanding antara
Kurawa dengan Pandawa sebagi murid-murid Dorna, Karna berhasil menandingi kesaktian
Arjuna. Namun karena Karna bukan raja atau anak raja maka dia diusir dari arena. Karena
mengetahui kesaktiannya, maka Duryodana, ketua para Kurawa mengangkatnya menjadi raja
Awangga. Sejak itu Karna bersumpah setia kepada Duryodana.

Karna dilahirkan memakai anting-anting dan baju kebal pemberian ayahnya (Batara Surya).
Kunti, ibunya, mengenal dirinya saat adu ketrampilan murid-murid Dorna karena melihat anting-
anting tersebut. Selama memakai kedua benda ini Karna tidak akan mati oleh senjata apapun.
Hal ini diketahui oleh Batara Indra yang sangat menyayangi Arjuna. Oleh karena itu beliau
meminta benda tersebut dengan menyamar sebagai seorang pengemis. Batara Surya
mendahuluinya dengan menemui Karna terlebih dulu dan memperingatkan Karna. Tapi Karna
menganggap mati dalam perang tanding lebih terhormat daripada panjang umur. Batara Surya
kemudian menyarankan Karna untuk meminta senjata ampuh sebagai kompensasi atas kedua
benda tersebut. Hal ini disanggupi Karna. Ketika pengemis itu datang, Karna langsung
mengenalinya dan memberi hormat dan pengemis itu berubah kembali menjadi Batara Indra.
Sebagai kompensasi, Batara Indra memberi senjata Kunta kepada Karna.

Kresna mengetahui bahwa Karna adalah pandawa sulung, namun lain ayah. Dan semua tahu
bahwa Karna lah pemilik Kunta. Kresna sempat ingin membuat Karna memihak Pandawa pada
Bharatayuda mendatang dan ia mengatur sebuah pertemuan rahasia antara Karna dan ibunya
Kunti. Karna pun memelas setelah ia melihat ibunya menangis namun ia menganjurkan ibunya
untuk tetap tegar karena ia melakukan kewajiban bela negara, ia juga memberi tahu ibunya
bahwa selain dia berkorban demi negara ia juga akan menyelamatkan para Pandawa lima karena
ia tidak akan menggunakan panah kunta untuk membunuh Arjuna dan saat ia berperang dengan
Arjuna dia memastikan bahwa Arjuna tidak tahu bahwa Karna adalah kakaknya sendiri sehingga
tidak segan membunuhnya.

Pada perang Bharatayudha, ia membunuh Gatotkaca dan hampir membunuh Arjuna. Tetapi
Arjuna menang bertanding dan Karnapun gugur. Baru setelah Karna gugur, para Pandawa
mengetahui asal usulnya dan mereka sangat terpukul oleh hal ini.

GATOTKACA, KESENDIRIAN SANG PANGLIMA

Putra kedua Bima dengan seorang putri bangsa Raksasa dari negri Pringgandani.
Kelahirannya dianggap sebagai buah dari sebuah rekayasa bangsa Dewa. Demi wibawa bangsa
Dewa, Bima dijodohkan dengan Arimbi, dengan sebuah pamrih akan melahirkan seorang bayi
yang kuat dan berani seperti bangsa Raksasa, serta pandai dan cerdas seperti seorang bangsa
Manusia.

Bangsa Dewa yang kala itu mendapat rongrongan wibawa dari Prabu Kalapracona, raja negri
Gilingwesi. Gatotkaca pun dibuat cepat dewasa, agar segera bisa menjadi jago bangsa Dewa
menghadapi serangan bangsa Gilingwesi. Gatotkaca juga diberi kesaktian yang luar-biasa.
Kecepatan terbang yang jauh diatas rata-rata kecepatan terbang ksatria pada umumnya. Kulit dan
badannya sekeras baja. Tak ada senjata tajam yang mampu melukainya.
Tapi pada saat yang sama, bangsa Dewa juga mencipta senjata Konta Wijayadanu, satu-satunya
senjata yang bisa melukai Gatotkaca, dan hanya bisa digunakan sekali pakai.

Gatotkaca adalah seorang patriot. Dia begitu patuh pada negrinya, pada keluarganya, dan pada
kebenaran yang dipegangnya. Dia juga tidak mau berkompromi dengan Sitija atas sengketa batas
wilayah negrinya, Pringgandani dengan wilayah Trajutrisna. Sengketa di wilayah Tunggarana.
Dia sangat berdisiplin dalam menjaga wilayah kedaulatan negrinya dan keluarganya, dari
wilayah negrinya paling utara perbatasan Pringgandani, ke selatan ke wilayah Amarta, sampai
wilayah Dwarawati paling selatan.

Dia juga membantu Arjuna menggagalkan penyerbuan Prabu Niwatakawaca, dari negri
Imaimantaka, ke kahyangan Jonggring Saloka. Dia hanya diam, walaupun semua bangsa Dewa
hanya tahu bahwa yang berjasa atas penggagalan penyerbuan itu hanya Arjuna seorang. Bangsa
Dewa menganggap biasa saja peran Gatotkaca atas peristiwa itu, karena menurut mereka,
memang demikianlah tujuan Gatotkaca dilahirkan.

Gatotkaca sendiri yang memadamkan pemberontakan di negrinya yang dipimpin oleh paman-
pamannya sendiri, Brajadenta, Brajamusti, Brajalamatan, dan Brajawikalpa. Gatotkaca juga
menanggung rasa bersalahnya sendiri, ketika tanpa sengaja membunuh pamannya yang lain
Kalabendana, yang sangat mencintainya.

Gatotkaca belajar banyak tentang ilmu kautaman dengan Petruk dan Resi Hanoman. Pernah juga
berguru kepada Resi Seta, seorang ksatria dari negri Wirata.

Menjelang perang Baratayudha, Gatokaca diangkat oleh Yudhistira menjadi panglima pasukan
pihak Pandawa. Gatotkaca juga diberi kepercayaan untuk menjaga seluruh wilayah Kurusetra,
tempat berlangsungnya perang, agar bisa dijaga bahwa perang akan dilakukan secara ksatria.

Gatotkaca juga patuh, ketika Kresna, penasihat perang pihak Pandawa, justru memintanya agar
tidak mengeluarkan seluruh kesaktiannya saat perang di Kurusetra. Gatotkaca lebih banyak
diminta menjaga dari udara, dan turun bila memang perlu benar. Dia juga patuh ketika diminta
untuk mengeluarkan kesaktiannya justru disaat pihak Kurawa, di medan laga dipimpin langsung
oleh sang panglima, Adipati Karna, yang telah dihadiahi senjata Konta Wijayadanu oleh Batara
Indra, beberapa bulan sebelum perang.

Gatotkaca sadar betul bahwa saat diminta maju ke medan laga, bahwa itu berarti dia akan
sengaja dikorbankan menjadi tumbal bagi pihak Pandawa. Agar senjata Konta yang hanya bisa
dipakai sekali itu, terhujam ke tubuhnya, sehingga Arjuna selamat dari ancaman Karna.

Dihari menjelang kematiannya, Gatotkaca menggempur prajurit pihak Kurawa secara luar biasa,
Hari itu adalah hari dimana Kurawa kehilangan prajuritnya dalam jumlah yang sangat luar biasa
besar dibanding dengan hari-hari lain selama Baratayudha. Membuat Karna geram, dan
berkeputusan melepas Konta. Gatotkaca mati dengan Konta menembus dadanya.

NAKULA SADEWA LAHIR

Raja Pandhudewanata berwawancara dengan Resi Bisma, Yamawidura, Patih Kuruncana,


Puntadewa, Sena dan Permadi. Sang raja minta petunjuk dan nasihat kepada Resi Bisma, bahwa
Madrim ingin naik Lembu Andini kendaraan Batara Guru. Resi Bisma memberi saran agar raja
minta nasihat kepada Bagawan Abyasa di Saptaarga, di pertapaan Wukir Retawu. Raja
Pandhudewanata menerima saran Resi Bisma, Patih Kuruncana diperintahkan mempersiapkan
perajurit. Setelah selesai perundingan, raja masuk ke Gupitmandragini menemui dua isteri raja
memberi tahu tentang hasil pertemuan, dan rencana kepergian raja ke Saptaarga.
Yamawidura mengumumkan perintah dan rencana kepergian raja kepada para perajurit. Para
perajurit diperintah supaya menghormat keberangkatan raja. Sebagian perajurit dipersiapkan
untuk mengawal kepergian raja ke Wukir Retawu. Raja bersama perajurit berangkat ke
Saptaarga, dipimpin oleh Yamawidura.

Bogadata raja negara Turilaya berunding dengan Gandapati, Kartipeya, Patih Hanggadenta,
Gendhingcaluring, Togog dan Sarawita. Mereka membicarakan amanat Arya Dhestharastra yang
disampaikan oleh Kartipeya, tentang perang Baratayuda. Mereka menginginkan urungnya perang
itu. Mereka mengambil putusan untuk menyerang negara Ngastina, membunuh raja
Pandhudewanata beserta anak-anaknya. Patih Hanggadenta ditugaskan menyerang negara
Ngastina. Gendhingcaluring ditugaskan menjaga tapal batas, dan siapa saja yang akan membantu
Ngastina supaya dihancurkannya. Raja Bogadata dan Kartipeya akan pergi ke Ngastina secara
sembunyi-sembunyi. Gandapati ditugaskan menjaga keamanan negara Turilaya. Setelah siap,
mereka berangkat menjalankan tugasnya masing-masing. Perajurit Turilaya bertemu dengan
perajurit Ngastina, terjadilah pertempuran. Pertempuran padam setelah mereka menghentikan
perang. Masing-masing menyimpang jalan mencari selamat.

Resi Darmana dan anaknya yang bernama Endang Darmi berbicara dengan para cantrik di
padepokan Hargasana. Sang Resi membicarakan surat lamaran Brahmana Kamindana. Endang
Darmi menurut kehendak ayahnya. Brahmana Kamindana datang, menagih kesanggupan dan
jawaban Resi Darmana tentang lamarannya. Brahmana Kamindana amat kasar tutur katanya,
Resi Darmana marah, terjadilah perkelahian. Para cantrik tidak mampu mengeroyok Brahmana
Kamindana. Mula-mula Brahmana Kamindana kalah, kemudian menggunakan pusaka saktinya
berupa tombak pendek. Resi Darmana ditangkap akan dibunuhnya. Sebelum terbunuh, Resi
Darmana mengutuk, Brahmana Kamindana dikatakan seperti rusa. Bersamaan dengan jatuhnya
pusaka Brahmana Kamindana ke dada Resi Darmana, Brahmana Kamindana berubah menjadi
rusa dan Resi Darmana meninggal dunia.

Setelah mendengar kematian ayahnya, Endang Darmi pergi meninggalkan padepokan. Brahmana
Kamindana mengejarnya, tetapi ia tidak dapat menangkapnya. Dikatakan oleh sang brahmana,
Endang Darmi lari cepat seperti rusa. Seketika Endang Darmi berubah menjadi rusa betina. Rusa
Kamindana berhasil menangkap rusa Darmi, mereka masuk ke hutan.

Raja Pandhudewanata bersama Semar, Gareng, Petruk dan Bagong menghadap Begawan Abyasa
di Saptaarga. Raja menyampaikan maksud kedatangannya. Bagawan Abyasa memberi petunjuk
dan nasihat, bahwa permintaan Madrim itu kelewat batas, dan besar bahayanya. Bagawan
Abyasa menyerahkan kepada sikap Pandhudewanata sendiri. Pandhu ingin menuruti keinginan
Madrim, lalu minta diri bersama para panakawan. Bagawan Abyasa mengawal dari kejauhan,
menuju ke Ngastina.

Di tengah perjalanan Pandhu dan para panakawan bertemu dengan perajurit raksasa dari
Turilaya. Terjadilah pertempuran. Perajurit yang dipimpin Gendhingcaluring kalah, Togog dan
Sarawita kembali ke Turilaya. Pandhu meneruskan perjalanan ke Suralaya.

Bathara Narada dan Bathara Srita, Bathara Yama, Bathara Aswi, Bathara Aswin dan Lembu
Andini menghadap Bathara Guru. Bathara Guru bertanya kepada Bathara Aswi dan Bathara
Aswin, sebab apa mereka berdua turun ke Ngastina. Mereka menjawab, bahwa mereka datang
atas panggilan Madrim isteri Raja Pandhu, yang ingin mempunyai anak. Bathara Guru menyuruh
agar mereka berdua turun ke Ngastina, untuk bertanggungjawab atas kelahiran bayi yang akan
datang. Bathara Aswi dan Bathara Aswin berangkat ke Ngastina.

Sepeninggalnya Bathara Aswi dan Bathara Aswin, raja Pandhu datang, menghadap Bathara
Guru, minta pinjaman Lembu Andini. Bathara Guru marah, sebab raja Pandhu pernah
mendirikan taman larangan dewa yang disebut Taman Kadilengleng, yang mirip dengan taman
Tinjomaya. Pandhu minta maaf, tetapi Bathara Guru bertambah marah, karena ia hanya menuruti
keinginan perempuan isterinya. Pandhu minta maaf dan menyampaikan beberapa sanggahan
dengan berbagai pertanyaan. Apakah ia bersalah karena menuruti permintaan isteri? Makhluk
yang mengajukan permohonan kepada Dewa itu bersalah? Apakah salah bila raja minta
perlindungan kepada raja semua raja? Apakah sudah benar raja Tribuana menolak permintaan
raja kecil? Bukankah raja besar wajib mengabulkan permintaan raja kecil dan melindunginya?
Akhirnya Bathara Guru mengabulkan permintaan Pandhu dengan syarat, Pandhu tidak akan
berbuat salah lagi. Bila berbuat salah Pandhu akan dicabut nyawanya. Pandhu sanggup menerima
hukuman bila ia bersalah, lalu mohon diri. Para panakawan dan Lembu Andini mengikutinya.
Sepeninggal Pandhu dari Suralaya, Bathara Guru mengutus Bathara Narada supaya turun
ke Ngastina. Nyawa Pandhu harus dicabut sesudah mengendarai Lembu Andini. Bathara Yama
diberi tugas untuk mengikuti Bathara Narada. Mereka berdua berangkat ke Ngastina. Pandhu
mengikuti jalannya Lembu Andini masuk ke hutan Kandhawa. Di tengah hutan Pandhu melihat
sepasang Rusa yang sedang memadu kasih. Ia iri melihatnya. Rusa jantan dipanah, berubah
menjadi Brahmana Kamindana. Brahmana Kamindana mengutuk, pandhu akan mati bila
memadu kasih dengan isterinya. Rusa betina juga dipanahnya, lalu kembali menjadi Endang
Darmi. Endang Darmi mengutuk, isteri Pandhu akan mati setelah melahirkan bayi
kandungannya. Brahmana Kamindana dan Endang Darmi musnah dari pandangan Pandhu.
Pandhu kembali ke negara Ngastina.

Bagawan Abyasa dihadap oleh Resi Bisma, Yamawidura, Patih Kuruncana dan Sena, mereka
memperbincangkan kepergian Pandhu ke Suralaya. Pandhu dan panakawan datang bersama
Lembu Andini. Pandhu melapor segala usahanya, kemudian masuk ke istana menemui Dewi
Kunthi dan Dewi Madrim. Setelah memberi tahu tentang hasil yang diperoleh, Pandhu dan Dewi
Madrim naik Lembu Andini. Mereka melayang-layang di angkasa, di atas negara Ngastina. Di
atas angkasa Pandhu dan Madrim berwawan asmara, kemudian turun ke bumi Ngastina. Lembu
Andini kembali ke Suralaya. Pandhu masuk istana, bercerita kepada Begawan Abyasa, Resi
Bisma, Yamawidura, Patih Kuruncana, Sena dan Arjuna. Mereka asyik mendengarkan cerita
Pandhu di istana. Bathara Narada dan Bathara Yama menjalankan tugas mereka, nyawa Pandhu
dicabutnya. Pandhu meninggal dunia, orang seistana gempar kesedihan. Bathara Aswi dan
Bathara Aswin menjelma kepada bayi yang dikandung oleh Dewi Madrim. Setelah Dewi
Madrim tahu bahwa raja Pandhu telah meninggal, ia bunuh diri, sebuah patrem dimasukkan ke
dalam perutnya. Dua bayi lahir melalui luka perut Dewi Madrim. Bathara Narada dan Bathara
Yama datang, menemui Abyasa, minta agar bayi itu diberi nama Nakula dan Sadewa. Kemudian
mereka berdua mengangkat jenasah Pandhu dan Madrim dibawa ke Tepetloka. Begawan Abyasa
meminta agar Kunthi mengasuh dua bayi itu seperti anaknya sendiri. Kunthi menerima kedua
bayi dengan senang hati.

Raja Bogadata, Kartipeya dan perajurit Turilaya bersiap-siap menggempur negara Ngastina.
Bagawan Abyasa berunding dengan Resi Bisma. Yamawidura, Sena, Patih Kuruncana dan
Arjuna. Mereka membicarakan kekacauan negara dan serangan musuh. Bogadata dan perajurit
telah menyerang. Patih Kuruncana ditugaskan untuk menyiapkan perajurit. Sena, Arjuna dan
Yamawidura ikut berperang. Bogadata dipanah oleh Arjuna, Kartipeya kena panah Yamawidura,
Hanggadenta mati oleh Patih Kuruncana, para perajurit Turilaya musnah oleh amukan Sena.
Perang pun selesai.

Bagawan Abyasa, Resi Bisma, Yamawidura dan Patih Kuruncana berunding, mereka akan
menobatkan Dhestharasta sebagai pemegang pemerintahan sampai para Pandhawa dewasa.
Mereka mengadakan pesta penobatan.

Anda mungkin juga menyukai