Anda di halaman 1dari 29

CERITA MAHABRATA DAN NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG

DALAM CERITA MAHABRATA

NAMA KELOMPOK II
1.NI WAYAN YUNI ANTARI 23
2.NI PUTU EKA DAMAYANTI 20
3.INTEN SRI SUKANTI 21
4.INDAH AYU WIDA SUGIARTI 19

Mahabharata
Pandawa dan Kurawa
Pandawa dan Korawa hidup bersama-sama di istana Hastinapura. Istilah Korawa yang digunakan dalam
MahaBharata memiliki dua pengertian, yaitu
merujuk kepada seluruh keturunan Kuru (termasuk pandawa didalamnya), arti lainnya merujuk kepada
anak-anak Dretarastra, sebab ia merupakan keturunan yang tertua dalam garis keturunan Kuru (Pandawa
tidak termasuk). Rsi Drona mendidik mereka semasa kanak-kanak, bersama dengan puteranya yang
bernama Aswatama. Selain itu mereka diasuh pula oleh Bhisma dan Bagawan Kripa. Setelah Pandu
mangkat, kakaknya yang bernama Drestarastra melanjutkan pemerintahan. Drestarastra melihat talenta
para Pandawa dan hendak mencalonkan Yudistira sebagai Raja, namun hal tersebut justru menimbulkan
sikap iri hati dalam diri Duryodana, salah satu Korawa.
Karna seharusnya adalah anak pertama dari Kunti (ibu Pandawa). Secara harfiah karna bermakna
telinga, sehingga muncul anggapan bahwa tokoh Karna lahir melalui telinga. Namun nama Karna baru
dipakai setelah ia dewasa, karena nama ini juga bermakna terampil atau pandai. Dengan kata lain,
nama Karna bukanlah nama asli sejak bayi, melainkan julukan yang ia sandang atas kepandaiannya itu.
Karna juga memiliki berbagai panggilan, yaitu Basusena, Radheya, Suryaputra, Sutaputra, Wresa dan
Anggaraja Selain nama-nama tersebut dalam versi pewayangan Jawa masih dikenal beberapa nama
tambahan lagi yaitu Basukarna, Suryatmaja, Arkasuta, Rawisuta, Pritasuta, Bismantaka, Talidarma dan
Anggadipa
Dalam versi jawa kunti melahirkan putera Surya itu melalui telinga sehingga keperawanannya tetap
terjaga. Kisah versi Jawa ini mungkin terpengaruh oleh makna harfiah dari Karna, yaitu telinga.
Sementara versi asli menyebut Kunti melahirkan secara normal dengan bantuan Surya.
Demi menjaga nama baik negaranya, Kunti yang melahirkan anak sebelum menikah terpaksa membuang
putera Surya di sungai Aswa dalam sebuah keranjang. Bayi itu kemudian terbawa arus dan ditemukan
oleh Adirata yang bekerja sebagai kusir kereta Drestarasta.
Adirata dengan perasaan gembira memungut bayi tersebut sebagai anaknya. Karena sejak lahir sudah
memakai pakaian perang lengkap dengan anting-anting, kalung dan Baju besi pemberian Surya, maka
bayi itu pun diberi nama Basusena. Sejak saat itu Basusena menjadi anak angkat keluarga Adirata,
sehingga ia dikenal dengan sebutan Sutaputra atau anak kusir. Namun, namanya yang lebih terkenal
adalah Radheya, yang bermakna anak Radha. Adapun Radha adalah nama istri Adirata.
Meskipun tumbuh dalam lingkungan keluarga kusir, Radheya justru bersita-cita ingin menjadi perwira
kerajaan. Adirata pun mendaftarkannya ke dalam perguruan Resi Drona yang saat itu sedang mendidik
para Pandawa dan Korawa. Akan tetapi Drona menolak Radheya karena ia hanya sudi mengajar kaum
ksatriya saja. Radheya yang sudah bertekad bulat memutuskan tetap belajar meskipun secara diam-diam.
Ia sering mengintai Drona saat sedang mengajarkan ilmu perang kepada murid-muridnya, terutama ilmu
memanah atau Danurweda. Meskipun berguru secara tidak resmi, namun kehebatan Radheya dalam
memanah melebihi murid-murid Drona, kecuali Arjuna. Bakat keterampilan inilah yang membuat
Radheya dijuluki sebagai Karna.
Pada suatu hari Karna bertemu seorang pendeta bernama Parasurama yang dulu pernah mengajar Drona.
Pendeta gagah berumur panjang, dari zaman Tretayuga (zaman Ramayana) sampai zaman Dwaparayuga
(zaman MahaBharata). Parasurama memiliki pengalaman yang buruk dengan kasta ksatriya, sehingga ia
terkenal sebagai pembenci kaum ksatriya. Hal itu membuat Karna harus menyamar sebagai brahmana
muda untuk bisa mendekatinya. Dengan cara itu Karna berhasil menjadi murid Parasurama.
Pada suatu hari, saat Parasurama ingin beristirahat, Karna menyediakan pangkuannya sebagai bantal.
Ketika Parasurama tertidur pulas, tiba-tiba muncul seekor serangga menggigit paha Karna. Karena rasa
baktinya pada sang guru, Parasurama agar tidak mengganggu tidur nyenyaknya, Karna membiarkan
pahanya terluka hingga darah mengucur sedangkan dirinya tidak bergerak sedikit pun. Ketika Parasurama
bangun dari tidurnya, ia terkejut melihat kaki Karna telah berlumuran darah. Kemampuan Karna dalam
menahan rasa sakit telah mengherankan Parasurama dan ia berkata pada Muridnya, Karena engkau
memiliki kekuatan sedemikan hebatnya untuk menahan rasa sakit, pastilah engkau bukan keturunan
Brahmana. Karna kemudian membenarkan, Ya, hamba terlahir di dalam keluarga kusir kereta. Merasa
telah ditipu, Parasurama pun mengutuk Karna. Kelak, pada saat pertarungan antara hidup dan mati
melawan seorang musuh terhebat, Karna akan lupa terhadap semua ilmu yang telah diajarkan Parasurama.
Setelah menerima kutukan dari Parasurama, Karna dengan sedih dan bergerak meninggalkan asrama.
Setelah berjalan tanpa tujuan, ia pun tiba di tepi pantai. Sambil termangu-mangu memikirkan jati dirinya,
dia duduk di sana untuk beberapa lama, kemudian bangun lalu pergi. Ketika ia kembali ke tempat
tersebut, ia melihat sesosok binatang yang melaju dengan cepat. Karena mengira hewan tersebut seekor
rusa, ia pun melepaskan panah untuk membunuhnya. Setelah melihat dari dekat, barulah Karna sadar
kalau hewan yang dibunuhnya bukan rusa, melainkan sapi milik seorang brahmana. Karna pun pergi
menemui si pemilik untuk meminta maaf atas kecerobohannya. Namun, brahmana itu terlanjur marah dan
mengutuk kelak Karna akan mengalami kematian saat sedang lengah sebagaimana ia telah membunuh
sapi kesayangannya yang juga dalam keadaan lengah.
Versi lain mengisahkan, suatu hari Karna mengendarai sendiri keretanya dan melaju kencang hingga
menewaskan seekor sapi yang sedang menyeberang jalan. Brahmana pemilik sapi menjadi marah, lalu
mengutuk Karna supaya kelak roda keretanya akan terbenam dalam lumpur ketika bertarung melawan
musuh terberatnya.
Karna merupakan sosok dengan sifat-sifat yang lengkap. Ia dikenal sebagai seorang yang penuh percaya
diri, tegas, pemberani, kejam terhadap lawan, setia terhadap kawan, dan murah hati kepada kaum miskin.
Karna memiliki kemahiran dalam ilmu memanah yang hampir setara dengan Arjuna. ia mahir berperang,
namun bakatnya terperangkap dalam status sosial yang rendah. Hal itu membuatnya haus akan status
yang memberikannya identitas. Meskipun Karna diasuh dalam keluarga yang berkasta rendah, ia memiliki
sikap seorang ksatria, meskipun jarang yang mengakuinya. Ia memiliki hubungan persahabatan yang erat
dengan Duryodana, yang telah mengangkatnya menjadi raja di Kerajaan Anga, sekaligus menaikkan
statusnya. Atas perlakuan baik yang dilakukan Duryodana terhadap dirinya, Karna berjanji bahwa ia akan
selalu berada di pihak Duryodana. Kebencian Karna terhadap Arjuna bertemu dalam satu jalan dengan
kebencian Duryodana terhadap para Pandawa.
Karna memiliki persaingan yang sangat hebat dengan Arjuna, dan berambisi bahwa ia akan membunuh
Arjuna saja saat Bharatayuddha, bukan Pandawa yang lain. Sebelum Bharatayuddha, Kunti datang ke
hadapan Karna dan mengatakan bahwa ia sebenarnya ibunya. Kunti menyuruh Karna agar memihak
Pandawa. Karna mengatakan bahwa ia hanya mengakui Radha sebagai ibunya dan tetap memihak
Korawa. Karna juga mengatakan, bahwa ia hanya mau membunuh Arjuna, bukan Pandawa yang lain.
Ketika tiba waktunya, Drona mempertunjukkan hasil pendidikan para Pandawa dan Korawa di hadapan
segenap kaum bangsawan dan rakyat Hastinapura, ibu kota kerajaan Kuru. Setelah melaui berbagai tahap
pertandingan, Drona akhirnya memutuskan bahwa Arjuna adalah murid terbaiknya, terutama dalam hal
ilmu memanah. Tiba-tiba Karna muncul menantang Arjuna sambil memamerkan kesaktiannya. Resi
Krepa sang pendeta istana meminta Karna supaya menjelaskan asal-usulnya terlebih dahulu karena untuk
menghadapi Arjuna haruslah dari kaum yang sederajat. Mendengar permintaan itu, Karna pun tertunduk
malu.
Duryodana sang pemimpin Korawa maju membela Karna. Menurutnya, keberanian dan kehebatan tidak
harus dimiliki oleh kaum ksatriya saja. Namun apabila peraturan memang mengharuskan demikian,
Duryodana bersedia mematuhinya. Ia lalu mendesak ayahnya, yaitu Dretarastra raja Hastinapura, supaya
Karna diberi kedudukan sebagai raja bawahan di Angga. Dretarastra yang berhati lemah tidak mampu
menolak permintaan itu. Akhirnya pada saat itu juga, Karna dinobatkan menjadi Raja Angga. Para
brahmana membacakan weda-weda dan Duryodana memberi mahkota, pedang, dan air penobatan kepada
Karna. Karna terharu dengan kemurahan hati Duryodana. Balasan yang diinginkan oleh Duryodana
hanyalah persahabatan yang kekal.
Adirata muncul bersuka cita menyambut penobatannya. Akibatnya, semua orang pun tahu kalau Karna
adalah anak Adirata. Melihat hal itu, Bimasena mengejek Karna sebagai anak kusir sehingga tidak pantas
jika bertanding melawan Arjuna yang berasal dari kaum bangsawan. Melihat ulah Bimasena, Duryodana
pun kembali tampil membela Karna. Suasana semakin tegang dan memanas. Namun tidak seorang pun
yang menyadari kalau Kunti jatuh pingsan di bangku penonton setelah melihat putra sulung yang ia buang
sejak lahir itu, kini telah dewasa dan saling berhadapan dengan putranya yang lain. Ciri-ciri yang
membuat Kunti langsung mengenalinya adalah pakaian perang dan perhiasan pemberian Surya yang
selalu dikenakan Karna. Senja pun tiba. Dretarastra membubarkan acara tersebut sehingga pertandingan
antara Karna melawan Arjuna tertunda. Namun sejak saat itu dimulailah persahabatan antara Karna
dengan Duryodana, pemimpin para Korawa. Karna memiliki putera bernama Wresasena.
Nama istri Karna dalam versi pewayangan Jawa, yaitu Surtikanti, puteri ketiga Prabu Salya, raja kerajaan
Madra (Mandaraka). Dikisahkan, Surtikanti menjalin cinta dengan Karna meskipun dirinya telah
bertunangan dengan Duryudana (ejaan Jawa untuk Duryodana). Karna yang serba salah akhirnya
menculik Surtikanti dan membawanya kabur. Tuduhan penculikan Surtikanti pun jatuh kepada Arjuna
yang saat itu sedang bertamu ke istana Mandaraka, karena wajahnya mirip dengan Karna. Untuk
membersihkan namanya, Arjuna berjanji akan segera menangkap pelaku yang sebenarnya.
Arjuna akhirnya berhasil menemukan persembunyian Karna. Keduanya bertarung seru sampai akhirnya
berhasil dipisah oleh Batara Narada yang turun dari kahyangan. Narada memberi tahu kalau keduanya
masih bersaudara, yaitu sama-sama putera Kunti. Arjuna gembira mengetahui hal itu. Ia pun berniat
membantu Karna supaya dapat menikahi Surtikanti. Kebetulan pada saat itu, Kerajaan Hastina
(Hastinapura) sedang menghadapi pemberontakan dari seorang raja bawahan di Awangga yang bernama
Prabu Kalakarna. Pemberontakan tersebut akhirnya berhasil ditumpas oleh Karna dengan bantuan Arjuna.
Atas kemenangan itu, Duryudana mengangkat Karna sebagai Raja Awangga dan merelakan Surtikanti
untuknya. Kemudian, Duryudana menikah dengan adik Surtikanti yang bernama Banowati sehingga
hubungan persaudaraannya dengan Karna semakin erat. Dari perkawinan antara Karna dengan Surtikanti
kemudian lahir dua orang putera bernama Warsasena dan Warsakusuma.
Dengan demikian terdapat dua perbedaan penting dalam kedua versi di atas. Versi asli mengisahkan
pengangkatan Karna sebagai Raja Angga terjadi sewaktu ia muncul dalam arena pertandingan murid-
murid Resi Drona. Sementara itu, versi Jawa menyebut Karna menjadi Raja Awangga sebagai hadiah atas
jasanya menumpas pemberontakan Kalakarna. Perbedaan kedua ialah, Karna versi Jawa mengetahui
kalau Pandawa merupakan adik-adiknya berkat pemberitahuan Batara Narada, sedangkan menurut versi
asli, Karna baru mengetahui hal itu dari Kresna sesaat menjelang Bharatayuddha meletus. Meskipun
berbeda waktu kejadiannya, namun sikap Karna tetap tegas yaitu berpihak pada Korawa.
Karna merupakan kekuatan utama pendukung Korawa. Ia banyak melakukan penaklukkan terhadap
negeri-negeri yang menolak mengakui kedaulatan Duryodana. Berkat kesaktiannya, wilayah Hastinapura
semakin luas dan bertambah kaya.
Dewa Indra khawatir membayangkan jika anaknya, Arjuna kelak sampai kalah saat menghadapi Karna. Ia
pun merencanakan tipu muslihat untuk merebut pusaka Karna yang diberikan Surya sejak bayi, yaitu baju
perang, kalung, dan sepasang anting. Surya yang mendengar rencana tersebut segera memberi tahu Karna
bahwa Indra akan datang menyamar sebagai pendeta tua yang akan meminta semua pusaka Karna.
Mendengar hal itu, Karna tidak khawatir dan tetap menjalani hidup seperti biasa, Karna terkenal sebagai
seorang dermawan. Pendeta samaran Indra pun muncul di hadapan Karna.
Terjadilah tanya jawab, Karna berkata, Apa yang Paduka inginkan? Uang, pakian atau apakah?. Pendeta
samaran itu berata, Tidak, saya tidak memerlukan itu semua, Apapun yang ditawarkan Karna, Pendeta
itu terus menolak. Pendeta samaran itu merasakan kedemawanan yang luarbiasa tidak juga tega
mengungkapkan keinginan yang sebenarnya dan akhirnya Pendeta samaran berkata, Saya pergi, jika
demikian. Namun Karna berkata, Tuan telah datang padaku, jadi tidak pantas kalau aku tidak
memberikan sesuatu kepada tuan, lebih-lebih tuan pergi denga perasaan aku masih Hidup. Pendeta itu
berkata bahwa ia menginginkan semua yang melekat di badan Karna. Ia tahu dengan pasti apa yang
sebenarnya diminta oleh pendeta samaran itu namun tetap ia laksanakan tanpa rasa menyesal sama sekali
padahal Ia sedang diambang perang besar. Karna kemudian melepas baju perangnya menggunakan pisau
karena telah melekat di kulitnya sejak bayi hingga lecet-lecet dan berdarah. Kalung dan anting juga ia
berikan semua.
Karna mengatahui bahwa baju perang nya dan Anting pusakanya telah membuat tidak ada satupun yang
mampu melukai dirinya. Namun Ia tetap memberikannya! Indra terharu melihat ketulusan Karna. Demi
ingin menyaksikan Arjuna menang, ia telah berbuat tidak adil terhadap Karna. Indra pun melepas
samarannya dan memberi Karna pusaka baru berupa Konta (yang bermakna tombak). Namun, pusaka
tersebut hanya bisa digunakan sekali saja. Karna berterima kasih dan menyediakan Konta hanya untuk
menghadapi Arjuna kelak.
Versi Jawa
Pusaka pemberian Indra tersebut bukan bernama Konta, melainkan bernama panah Badal Tulak. Adapun
senjata Konta versi Jawa, atau yang lebih terkenal dengan sebutan Kuntawijayadanu, sudah didapatkan
Karna jauh sebelumnya, yaitu ketika kelahiran Gatotkaca, putera Bimasena. Dikisahkan bahwa bayi
Gatotkaca sampai berusia satu tahun tidak juga terpisah dengan ari-arinya (plasenta). Tidak ada satu
pusaka pun yang dapat memotong tali pusar Gatotkaca. Arjuna kemudian pergi bertapa demi menolong
keponakannya itu. Batara Guru memerintahkan Batara Narada untuk menyerahkan panah
Kuntawijayadanu kepada Arjuna. Pada saat yang sama, Karna juga sedang bertapa. Batara Surya
membantunya dengan menutupi cahaya matahari dan menyuruh Karna supaya mengaku sebagai Arjuna
saat Narada tiba nanti. Narada akhirnya tiba di hadapan Karna yang dikiranya Arjuna.
Sesuai rencana, panah Kunta pun jatuh ke tangan Karna. Menyadari telah tertipu, Narada pergi mencari
Arjuna yang asli. Arjuna yang mendengar hal itu segera mengejar Karna. Pertarungan terjadi di mana
Arjuna hanya mampu merebut sarung pembungkus pusaka tersebut. Meskipun demikian, sarung panah itu
dapat digunakan untuk memotong tali pusar bayi Gatotkaca. Anehnya, benda itu ikut masuk ke dalam
perut si bayi. Kelak ketika perang Bharatayuddha terjadi, panah Kunta digunakan Karna untuk
membunuh Gatotkaca, sebagai simbol pusaka bertemu sarungnya.
Yudistira dikenal yang paling sulung dari Pandawa, Ia seharusnya anak Kedua Kunti bukan anak pertama.
Yudistira bermakna teguh atau kokoh dalam peperangan. Nama lainnya adalah Dharmaraja, yang
bermakna raja Dharma, karena ia selalu berusaha menegakkan dharma sepanjang hidupnya. Julukan
lain yang dimiliki Yudhisthira adalah: Ajataatru, yang tidak memiliki musuh, Bhrata, keturunan
Maharaja Bharata, Dharmawangsa atau Dharmaputra, keturunan Dewa Dharma, Kurumukhya,
pemuka bangsa Kuru, Kurunandana, kesayangan Dinasti Kuru, Kurupati, raja Dinasti Kuru,
Pandawa, putera Pandu, Partha, putera Prita atau Kunti.
Beberapa di antara nama-nama di atas juga dipakai oleh tokoh-tokoh Dinasti Kuru lainnya, misalnya
Arjuna, Bisma, dan Duryodana. Dalam versi pewayangan Jawa julukan yang lain lagi untuk Yudistira,
adalah: Puntadewa, derajat keluhurannya setara para dewa. Yudistira, pandai memerangi nafsu
pribadi, Gunatalikrama, pandai bertutur bahasa, Samiaji, menghormati orang lain bagai diri sendiri.
Kunti yang menguasai mantra Adityahredaya segera mewujudkan keinginan suaminya itu. Mantra
tersebut adalah ilmu pemanggil dewa untuk mendapatkan putera. Dengan menggunakan mantra itu, Kunti
berhasil mendatangkan Dewa Dharma (Yama) dan mendapatkan anugerah putera darinya tanpa melalui
persetubuhan. Putera pertama itu diberi nama Yudistira. Dengan demikian, Yudistira menjadi putera
sulung Pandu, sebagai hasil pemberian Dharma, yaitu dewa keadilan dan kebijaksanaan.
Sifat-sifat Yudistira tercermin dalam nama-nama julukannya, sebagaimana telah disebutkan di atas.
Sifatnya yang paling menonjol adalah adil, sabar, jujur, taat terhadap ajaran agama, penuh percaya diri,
dan berani berspekulasi. Kesaktian Yudistira dalam MahaBharata terutama dalam hal memainkan senjata
tombak.
Versi Jawa
Kisah dalam pewayangan Jawa agak berbeda. Menurut versi ini, Puntadewa merupakan anak kandung
Pandu yang lahir di istana Hastinapura. Kedatangan Bhatara Dharma hanya sekadar menolong kelahiran
Puntadewa dan memberi restu untuknya. Berkat bantuan dewa tersebut, Puntadewa lahir melalui ubun-
ubun Kunti. Dalam pewayangan Jawa, nama Puntadewa lebih sering dipakai, sedangkan nama Yudistira
baru digunakan setelah ia dewasa dan menjadi raja. Versi ini melukiskan Puntadewa sebagai seorang
manusia berdarah putih, yang merupakan kiasan bahwa ia adalah sosok berhati suci dan selalu
menegakkan kebenaran. Ia pernah dikisahkan menjinakkan hewan-hewan buas di hutan Wanamarta
dengan hanya meraba kepala mereka.
Yudistira mempunyai beberapa pusaka, antara lain Jamus Kalimasada, Tunggulnaga, dan Robyong
Mustikawarih. Kalimasada berupa kitab, sedangkan Tunggulnaga berupa payung. Keduanya menjadi
pusaka utama kerajaan Amarta. Sementara itu, Robyong Mustikawarih berwujud kalung yang terdapat di
dalam kulit Yudistira. Pusaka ini adalah pemberian Gandamana, yaitu patih kerajaan Hastina pada zaman
pemerintahan Pandu. Apabila kesabaran Yudistira sampai pada batasnya, ia pun meraba kalung tersebut
dan seketika itu pula ia pun berubah menjadi raksasa besar berkulit putih bersih.
Pandawa dan Korawa kemudian mempelajari ilmu agama, hukum, dan tata negara kepada Resi Krepa.
Dalam pendidikan tersebut, Yudistira tampil sebagai murid yang paling pandai. Krepa sangat mendukung
apabila tahta Hastinapura diserahkan kepada Pandawa tertua itu. Setelah itu, Pandawa dan Korawa
berguru ilmu perang kepada Resi Drona. Dalam pendidikan kedua ini, Arjuna tampil sebagai murid yang
paling pandai, terutama dalam ilmu memanah. Sementara itu, Yudistira sendiri lebih terampil dalam
menggunakan senjata tombak.
Bima orang kedua dari Pandawa dan anak ke 3 Kunti. Bima artinya adalah mengerikan. Sedangkan
nama lain Bima yaitu Wrekodara, artinya ialah perut serigala, dan merujuk ke kegemarannya makan.
Nama julukan yang lain adalah Bhimasena yang berarti panglima perang.
Kunti (istri Pandu) berseru kepada Bayu, (marut/Maruta) dewa angin. Dari hubungan Kunti dengan Bayu,
lahirlah Bima. Atas anugerah dari Bayu, Bima akan menjadi orang yang paling kuat dan penuh dengan
kasih sayang.
Pada masa kanak-kanak Pandawa dan Korawa, kekuatan Bima tidak ada tandingannya di antara anak-
anak sebayanya. Kekuatan tersebut sering dipakai untuk menjahili para sepupunya, yaitu Korawa. Salah
satu Korawa yaitu Duryodana, menjadi sangat benci dengan sikap Bima yang selalu jahil. Kebencian
tersebut tumbuh subur sehingga Duryodana berniat untuk membunuh Bima.
Pada usia remaja, Bima dan saudara-saudaranya dididik dan dilatih dalam bidang militer oleh Drona.
Dalam mempelajari senjata, Bima lebih memusatkan perhatiannya untuk menguasai ilmu menggunakan
gada, seperti Duryodana. Mereka berdua menjadi murid Baladewa, yaitu saudara Kresna yang sangat
mahir dalam menggunakan senjata gada. Dibandingkan dengan Bima, Baladewa lebih menyayangi
Duryodana, dan Duryodana juga setia kepada Baladewa.
Pada suatu hari ketika Korawa serta Pandawa pergi bertamasya didaerah sungai Gangga, Duryodana
menyuguhkan makanan dan minuman kepada Bima, yang sebelumnya telah dicampur dengan racun.
Karena Bima tidak senang mencurigai seseorang, ia memakan makanan yang diberikan oleh Duryodana.
Tak lama kemudian, Bima pingsan. Lalu tubuhnya diikat kuat-kuat oleh Duryodana dengan menggunakan
tanaman menjalar, setelah itu dihanyutkan ke sungai Gangga dengan rakit. Saat rakit yang membawa
Bima sampai di tengah sungai, ular-ular yang hidup di sekitar sungai tersebut mematuk badan Bima. Bisa
ular tersebut menjadi penangkal racun yang dimakan Bima. Keadaan ini dalam Ayurveda disebut samah
samam shamayati atau racun melawan racun atau yang menyebabkan sakit dan yang menyembuhkannya
sama. Ketika sadar, Bima langsung melepaskan ikatan tanaman menjalar yang melilit tubuhnya, lalu ia
membunuh ular-ular yang menggigit badannya. Beberapa ular menyelamatkan diri untuk menemui
rajanya, yaitu Naga Basuki.
Saat Naga Basuki mendengar kabar bahwa putera Pandu yang bernama Bima telah membunuh anak
buahnya, ia segera menyambut Bima dan memberinya minuman ilahi. Minuman tersebut diminum
beberapa mangkuk oleh Bima, sehingga tubuhnya menjadi sangat kuat. Bima tinggal di istana Naga
Basuki selama delapan hari, dan setelah itu ia pulang. Saat Bima pulang, Duryodana kesal karena orang
yang dibencinya masih hidup. Ketika para Pandawa menyadari bahwa kebencian dalam hati Duryodana
mulai bertunas, mereka mulai berhati-hati.
Versi Jawa
Bima adalah seorang tokoh yang populer dalam khazanah pewayangan Jawa. Suatu saat mantan presiden
Indonesia, Ir. Soekarno pernah menyatakan bahwa ia sangat senang dan mengidentifikasikan dirinya
mirip dengan karakter Bima. Nama lain Bima adalah Bratasena, Balawa, Birawa, Dandungwacana,
Nagata, Kusumayuda, Kowara, Kusumadilaga, Pandusiwi, Bayusuta, Sena, Wijasena dan Jagal Abilowo
Bima memiliki sifat gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur, serta menganggap semua orang
sama derajatnya, sehingga dia digambarkan tidak pernah menggunakan bahasa halus (krama inggil) atau
pun duduk di depan lawan bicaranya. Bima melakukan kedua hal ini (bicara dengan bahasa krama inggil
dan duduk) hanya ketika menjadi seorang resi dalam lakon Bima Suci, dan ketika dia bertemu dengan
Dewa Ruci. Ia memiliki keistimewaan dan ahli bermain gada, serta memiliki berbagai macam senjata,
antara lain: Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, Alugara, Bargawa (kapak besar) dan Bargawasta.
Sedangkan jenis ajian yang dimilikinya antara lain: Aji Bandungbandawasa, Aji Ketuklindu, Aji
Bayubraja dan Aji Blabak Pangantol-antol.
Bima juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu: Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot
Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggang Nagabanda dan Celana Cinde
Udaraga. Sedangkan beberapa anugerah Dewata yang diterimanya antara lain: Kampuh atau Kain Poleng
Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, Sumping Surengpati dan Pupuk Pudak Jarot Asem.
Bima tinggal di kadipaten Jodipati, wilayah Indraprastha. Ia mempunyai tiga orang isteri dan 3 orang
anak, yaitu: Dewi Nagagini, berputera (mempunyai putera bernama) Arya Anantareja, Dewi Arimbi,
berputera Raden Gatotkaca dan Dewi Urangayu, berputera Arya Anantasena. Menurut versi Banyumas,
Bima mempunyai satu istri lagi, yaitu Dewi Rekatawati, berputera Srenggini.
Arjuna adalah yang ketiga dari Pandawa dan merupakan Putra Bungsu Kunti (ke 4), Kunti menerima
anugerah dari Resi Durwasa agar mampu memanggil Dewa-Dewa sesuai dengan keinginannya, dan juga
dapat memperoleh anak dari Dewa tersebut. Pandu dan Kunti memanfaatkan anugerah tersebut kemudian
memanggil Dewa Indra (Sakra) yang kemudian memberi mereka anak yang dinamakan Arjuna. Arjuna
berarti bersinar terang, putih , bersih. Dilihat dari maknanya, kata Arjuna bisa berarti jujur di
dalam wajah dan pikiran. Arjuna mendapat julukan Kurures t ha yang berarti keturunan dinasti Kuru
yang terbaik. Ia merupakan manusia pilihan yang mendapat kesempatan untuk mendapat wejangan suci
yang sangat mulia dari Kresna, yang terkenal sebagai Bhagawadgita (nyanyian Tuhan). Ketika ia ditanya
tentang sepuluh namanya ia menjawab:
Sepuluh namaku adalah: Arjuna, Phlguna, Jishnu, Kirti, Shwetawhana, Wibhatsu, Wijaya, Prtha,
Sawyashachi dan Dhananjaya. Aku dipanggil Dhananjaya ketika aku menaklukkan seluruh raja pada saat
Yadnya Rajasuya dan mengumpulkan harta mereka. Aku selalu bertarung sampai akhir dan aku selalu
menang, itulah sebabnya aku dipanggil Wijaya. Kuda yang diberikan Dewa Agni kepadaku berwarna
putih, itulah sebabnya aku dipanggil Shwetawhana. Ayahku Indra memberiku mahkota indah ketika aku
bersamanya, itulah sebabnya aku dipanggil Kriti. Aku tidak pernah bertarung dengan curang dalam
pertempuran, itulah sebabnya aku dipanggil Wibhatsu. Aku tidak pernah menakuti musuhku dengan keji,
aku bisa menggunakan kedua tanganku ketika menembakkan anah panah, itulah sebabnya aku disebut
Sawyashach. Raut wajahku unik bagaikan pohon Arjun, dan namaku adalah yang tak pernah lapuk,
itulah sebabnya aku dipanggil Arjuna. Aku lahir di lereng gunung Himawan, di sebuah tempat yang
disebut Satsringa pada hari ketika bintang Uttar Phlgun berada di atas, itulah sebabnya aku disebut
Phlguna. Aku disebut Jishnu karena aku menjadi hebat ketika marah. Ibuku bernama Prith, sehingga
aku disebut juga Prtha. Aku bersumpah bahwa aku akan menghancurkan setiap orang yang melukai
kakakku Yudistira dan menaburkan darahnya di bumi. Aku tak bisa ditaklukkan oleh siapa pun.
Arjuna memiliki karakter yang mulia, berjiwa kesatria, imannya kuat, tahan terhadap godaan duniawi,
gagah berani, dan selalu berhasil merebut kejayaan sehingga diberi julukan Dananjaya. Musuh seperti
apapun pasti akan ditaklukkannya, sehingga ia juga diberi julukan Parantapa, yang berarti penakluk
musuh. Di antara semua keturunan Kuru di dalam silsilah Dinasti Kuru, ia dijuluki Kurunandana, yang
artinya putera kesayangan Kuru. Ia juga memiliki nama lain Kuruprwira, yang berarti kesatria Dinasti
Kuru yang terbaik, sedangkan arti harfiahnya adalah Perwira Kuru. Di antara para Pandawa, Arjuna
merupakan kesatria pertapa yang paling teguh. Pertapaannya sangat kusuk. Ketika ia mengheningkan
cipta, menyatukan dan memusatkan pikirannya kepada Tuhan, segala gangguan dan godaan duniawi tak
akan bisa menggoyahkan hati dan pikirannya.
Arjuna didik bersama dengan saudara-saudaranya yang lain (para Pandawa dan Korawa) oleh Bagawan
Drona. Kemahirannya dalam ilmu memanah sudah tampak semenjak kecil. Pada usia muda ia sudah
mendapat gelar Maharathi atau kesatria terkemuka. Ketika Guru Drona meletakkan burung kayu pada
pohon, ia menyuruh muridnya satu-persatu untuk membidik burung tersebut, kemudian ia menanyakan
kepada muridnya apa saja yang sudah mereka lihat. Banyak muridnya yang menjawab bahwa mereka
melihat pohon, cabang, ranting, dan segala sesuatu yang dekat dengan burung tersebut, termasuk burung
itu sendiri. Ketika tiba giliran Arjuna untuk membidik, Guru Drona menanyakan apa yang ia lihat. Arjuna
menjawab bahwa ia hanya melihat burung saja, tidak melihat benda yang lainnya. Hal itu membuat Guru
Drona kagum bahwa Arjuna sudah pintar.
Pada suatu hari, ketika Drona sedang mandi di sungai Gangga, seekor buaya datang mengigitnya. Drona
dapat membebaskan dirinya dengan mudah, namun karena ia ingin menguji keberanian murid-muridnya,
maka ia berteriak meminta tolong. Di antara murid-muridnya, hanya Arjuna yang datang memberi
pertolongan. Dengan panahnya, ia membunuh buaya yang menggigit gurunya. Atas pengabdian Arjuna,
Drona memberikan sebuah astra yang bernama Brahmasirsa. Drona juga mengajarkan kepada Arjuna
tentang cara memanggil dan menarik astra tersebut. Menurut MahaBharata, Brahmasirsa hanya dapat
ditujukan kepada dewa, raksasa, setan jahat, dan makhluk sakti yang berbuat jahat, agar dampaknya tidak
berbahaya.
Arjuna memiliki senjata sakti yang merupakan anugerah para dewata, hasil pertapaannya. Ia memiliki
panah Pasupati yang digunakannya untuk mengalahkan Karna dalam Bharatayuddha. Busurnya bernama
Gandiwa, pemberian Dewa Baruna ketika ia hendak membakar hutan Kandawa. Ia juga memiliki sebuah
terompet kerang (sangkala) bernama Dewadatta, yang berarti anugerah Dewa.
Versi Jawa
Arjuna banyak memiliki nama dan nama julukan, antara lain: Parta (pahlawan perang), Janaka (memiliki
banyak istri), Pemadi (tampan), Dananjaya, Kumbaljali, Ciptaning Mintaraga (pendeta suci), Pandusiwi,
Indratanaya (putra Batara Indra), Jahnawi (gesit trengginas), Palguna, Indrasuta, Danasmara (perayu
ulung) dan Margana (suka menolong). Begawan Mintaraga adalah nama yang digunakan oleh Arjuna
saat menjalani laku tapa di puncak Indrakila dalam rangka memperoleh senjata sakti dari dewata, yang
akan digunakan dalam perang yang tak terhindarkan melawan musuh-musuhnya, yaitu keluarga Korawa.
Arjuna seorang kesatria yang gemar berkelana, bertapa dan berguru menuntut ilmu. Selain menjadi murid
Resi Drona di Padepokan Sukalima, ia juga menjadi murid Resi Padmanaba dari Pertapaan Untarayana.
Arjuna pernah menjadi brahmana di Goa Mintaraga, bergelar Bagawan Ciptaning. Ia dijadikan kesatria
unggulan para dewa untuk membinasakan Prabu Niwatakawaca, raja raksasa dari negara Manimantaka.
Atas jasanya itu, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Kahyangan Dewa Indra, bergelar Prabu Karitin.
Jasanya bukan Cuma itu ia juga mendapat anugrah pusaka-pusaka sakti dari para dewa, antara lain:
Gendewa (dari Bhatara Indra), Panah Ardadadali (dari Bhatara Kuwera), Panah Cundamanik (dari
Bhatara Narada) Keris Kiai Kalanadah diberikan pada Gatotkaca saat mempersunting Dewi Pergiwa
(putera Arjuna), Panah Sangkali (dari Resi Drona), Panah Candranila, Panah Sirsha, Panah Kiai
Sarotama, Panah Pasupati, Panah Naracabala, Panah Ardhadhedhali, Keris Kiai Baruna, Keris Pulanggeni
(diberikan pada Abimanyu), Terompet Dewanata, Cupu berisi minyak Jayengkaton (pemberian Bagawan
Wilawuk dari pertapaan Pringcendani) dan Kuda Ciptawilaha dengan Cambuk Kiai Pamuk. Sedangkan
ajian yang dimiliki Arjuna antara lain: Panglimunan, Tunggengmaya, Sepiangin, Mayabumi, Pengasih
dan Asmaragama. Arjuna juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu Kampuh atau Kain
Limarsawo, Ikat Pinggang Limarkatanggi, Gelung Minangkara, Kalung Candrakanta dan Cincin Mustika
Ampal (dahulunya milik Prabu Ekalaya, raja negara Paranggelung).
Arjuna memiliki sifat cerdik dan pandai, pendiam, teliti, sopan-santun, berani dan suka melindungi yang
lemah. Ia memimpin Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta. Setelah perang Bharatayuddha,
Arjuna menjadi raja di Negara Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata. Akhir riwayat Arjuna diceritakan, ia
moksa (mati sempurna) bersama keempat saudaranya yang lain di gunung Himalaya.
Ia adalah petarung tanpa tanding di medan laga, meski bertubuh ramping berparas rupawan sebagaimana
seorang dara, berhati lembut meski berkemauan baja, kesatria dengan segudang istri dan kekasih meski
mampu melakukan tapa yang paling berat, seorang kesatria dengan kesetiaan terhadap keluarga yang
mendalam tapi kemudian mampu memaksa dirinya sendiri untuk membunuh saudara tirinya. Bagi
generasi tua Jawa, dia adalah perwujudan lelaki seutuhnya. Sangat berbeda dengan Yudistira, Arjuna
sangat menikmati hidup di dunia. Petualangan cintanya senantiasa memukau orang Jawa, tetapi secara
aneh dia sepenuhnya berbeda dengan Don Juan yang selalu mengejar wanita. Arjuna begitu halus dan
tampan sosoknya sehingga para puteri begitu, juga para dayang, akan segera menawarkan diri mereka.
Merekalah yang mendapat kehormatan, bukan Arjuna. Ia sangat berbeda dengan Wrekudara. Arjuna
menampilkan keanggunan tubuh dan kelembutan hati yang begitu dihargai oleh orang Jawa berbagai
generasi. Arjuna mempunyai 15 orang istri dan 14 orang anak. Adapun istri dan anak-anaknya adalah:
Dewi Subadra, berputera Raden Abimanyu, Dewi Larasati, berputera Raden Sumitra dan Bratalaras, Dewi
Ulupi atau Palupi, berputera Bambang Irawan, Dewi Jimambang, berputera Kumaladewa dan
Kumalasakti, Dewi Ratri, berputera Bambang Wijanarka, Dewi Dresanala, berputera Raden Wisanggeni,
Dewi Wilutama, berputera Bambang Wilugangga, Dewi Manuhara, berputera Endang Pregiwa dan
Endang Pregiwati, Dewi Supraba, berputera Raden Prabakusuma, Dewi Antakawulan, berputera
Bambang Antakadewa, Dewi Juwitaningrat, berputera Bambang Sumbada, Dewi Maheswara, Dewi Retno
Kasimpar, Dewi Dyah Sarimaya, Dewi Srikandi
Nakula dan Sahadewa, merupakan yang ke empat dan kelima dari pandawa. Nakula adalah anak pertama
dari Dewi Madri (Istri kedua Pandu). Ia adalah saudara kembar Sadewa. Dewi Kunti mengajarkan Dewi
Madri mantra Adityahredaya untuk memanggil Dewa Aswin, Dewa tabib kembar dan lahirlah Nakula dan
Sahadewa. Nakula sangat tampan dan sangat elok parasnya. Menurut Dropadi, Nakula merupakan suami
yang paling tampan di dunia. nakula merupakan nama lain dari Dewa Siwa, dalam bahasa Sansekerta
merujuk kepada warna Ichneumon, sejenis tikus atau binatang pengerat dari Mesir. Nakula juga dapat
berarti cerpelai, atau dapat juga berarti tikus benggala. Nakula dan Sadewa memiliki kemampuan
istimewa dalam merawat kuda dan sapi.
Nakula digambarkan sebagai orang yang sangat menghibur hati. Ia juga teliti dalam menjalankan
tugasnya dan selalu mengawasi kenakalan kakaknya, Bima, dan bahkan terhadap senda gurau yang terasa
serius. Nakula juga memiliki kemahiran dalam memainkan senjata pedang.
Versi Jawa
Nakula dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Pinten (nama tumbuh-tumbuhan yang daunnya
dapat dipergunakan sebagai obat). Ia merupakan putera keempat Prabu Pandudewanata, raja negara
Hastinapura dengan permaisuri Dewi Madri, puteri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati, dari negara
Mandaraka. Ia lahir kembar bersama adiknya, Sahadewa atau Sadewa. Nakula juga menpunyai tiga
saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura bernama Puntadewa
(Yudistira), Bima alias Werkudara dan Arjuna
Nakula adalah titisan Batara Aswin, Dewa tabib. Ia mahir menunggang kuda dan pandai mempergunakan
senjata panah dan lembing. Nakula tidak akan dapat lupa tentang segala hal yang diketahui karena ia
mepunyai Aji Pranawajati pemberian Ditya Sapujagad, Senapati negara Mretani. Ia juga mempunyai cupu
berisi Banyu Panguripan atau Air kehidupan pemberian Bhatara Indra.
Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan
rahasia. Ia tinggal di kesatrian Sawojajar, wilayah negara Amarta. Nakula mempunyai dua orang isteri
yaitu: Dewi Sayati puteri Prabu Kridakirata, raja negara Awuawulangit, dan memperoleh dua orang putera
masing-masing bernama Bambang Pramusinta dan Dewi Pramuwati. Istri kedua Nakula adalah Dewi
Srengganawati, puteri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa yang tinggal di sungai Wailu (menurut
Purwacarita, Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra alias Ekapratala) dan memperoleh
seorang putri bernama Dewi Sritanjung. Dari perkawinan itu Nakula mendapat anugrah cupu pusaka
berisi air kehidupan bernama Tirtamanik.
Setelah selesai perang Bharatayuddha, Nakula diangkat menjadi raja negara Mandaraka sesuai amanat
Prabu Salya kakak ibunya, Dewi Madrim. Akhir riwayatnya diceritakan, Nakula mati moksa di gunung
Himalaya bersama keempat saudaranya.
Sadewa merupakan anggota Pandawa yang paling muda, yang memiliki saudara kembar bernama Nakula.
Meskipun kembar, Nakula dikisahkan memiliki wajah yang lebih tampan daripada Sadewa, sedangkan
Sadewa lebih pandai daripada kakaknya itu. Terutama dalam hal perbintangan atau astronomi, kepandaian
Sadewa jauh di atas murid-murid Resi Drona lainnya. Sadewa merupakan ahli perbintangan yang ulung
dan mampu mengetahui kejadian yang akan datang. Namun ia pernah dikutuk apabila sampai
membeberkan rahasia takdir, maka kepalanya akan terbelah menjadi dua. Selain itu ia juga pandai dalam
hal ilmu peternakan sapi.
Meskipun Sadewa merupakan Pandawa yang paling muda, namun ia dianggap sebagai yang terbijak di
antara mereka. Yudistira bahkan pernah berkata bahwa Sadewa lebih bijak daripada Brihaspati, guru para
dewa.
Setelah kemenangan Arjuna atas sayembara memanah di Kerajaan Pancala, maka semua Pandawa
bersama-sama menikah dengan Dropadi, putri negeri tersebut. Dari perkawinan tersebut Sadewa memiliki
putra bernama Srutakirti. Selain itu, Sadewa juga menikahi puteri Jarasanda, raja Kerajaan Magadha.
Kemudian dari istrinya yang bernama Wijaya, lahir seorang putra bernama Suhotra.
Tokoh Utama Sudamala
Sadewa merupakan tokoh utama dalam Kakawin Sudamala, yaitu karya sastra berbahasa Jawa Kuna
peninggalan Kerajaan Majapahit. Naskah ini bercerita tentang kutukan yang menimpa istri Batara Guru
bernama Umayi, akibat perbuatannya berselingkuh dengan Batara Brahma.
Umayi dikisahkan berubah menjadi Rakshasi bernama Ra Nini, dan hanya bisa kembali ke wujud asal
apabila diruwat oleh bungsu Pandawa. Maka, Sadewa pun diculik dan dipaksa memimpin prosesi
ruwatan. Setelah dirasuki Batara Guru, barulah Sadewa mampu menjalankan permintaan Ra Nini.
Sadewa pun mendapat julukan baru, yaitu Sudamala yang bermakna menghilangkan penyakit. Atas
petunjuk Ra Nini yang telah kembali menjadi Umayi, Sadewa pun pergi ke desa Prangalas menikahi putri
seorang pertapa bernama Tambrapetra. Gadis itu bernama Predapa.
Versi Jawa
Sadewa dikisahkan lahir di dalam istana Kerajaan Hastina, bukan di dalam hutan. Kelahirannya
bersamaan dengan peristiwa perang antara Pandu melawan Tremboko, raja raksasa dari Kerajaan
Pringgadani. Dalam perang tersebut keduanya tewas. Madrim ibu Sadewa melakukan bela pati dengan
cara terjun ke dalam api pancaka.
Versi lain menyebutkan, Sadewa sejak lahir sudah kehilangan ibunya, karena Madrim meninggal dunia
setelah melahirkan dirinya dan Nakula.
Sewaktu kecil, Sadewa memiliki nama panggilan Tangsen. Setelah para Pandawa membangun Kerajaan
Amarta, Sadewa mendapatkan Kasatrian Baweratalun sebagai tempat tinggalnya.
Istri Sadewa versi pewayangan hanya seorang, yaitu Perdapa putri Resi Tambrapetra. Dari perkawinan itu
lahir dua orang anak bernama Niken Sayekti dan Bambang Sabekti. Masing-masing menikah dengan
anak-anak Nakula yang bernama Pramusinta dan Pramuwati.
Versi lain menyebutkan Sadewa memiliki anak perempuan bernama Rayungwulan, yang baru muncul
jauh setelah perang Baratayuda berakhir, atau tepatnya pada saat Parikesit cucu Arjuna dilantik menjadi
raja Kerajaan Hastina. Rayungwulan ini menikah dengan putra Nakula yang bernama Widapaksa.
Tokoh Lain Bernama Sama
Dalam mitologi Hindu dan sejarah India, terdapat beberapa tokoh lain yang bernama Sahadewa, yaitu:
Nama putra Jarasanda, raja Kerajaan Magadha. Dengan demikian ia adalah saudara ipar Sahadewa putra
Pandu. Salah satu raja dari kalangan Dinasti Surya, putera Dharmanandana juga bernama Sahadewa.
Nama putra Sudasa atau ayah Somaka, raja Kerajaan Pancala. Nama seorang raksasa putera Dumraksa
dan juga ayah dari Kresawa. Nama seorang Paman Gautama Buddha.
Dalam legenda Jawa juga terdapat seorang bernama Sadewa dari zaman yang lebih tua. Ia merupakan
cucu dari Watugunung raja Kerajaan Gilingwesi. Sadewa yang ini menderita kelainan seksual, yaitu
mencintai sesama laki-laki atau homoseksual. Ia akhirnya berhasil menjadi raja di Kerajaan
Medangkamulan bergelar Cingkaradewa.
Cingkaradewa merupakan raja serakah yang ingin menguasai seluruh Pulau Jawa. Antara lain ia berhasil
merebut Kerajaan Gilingwesi peninggalan kakeknya, yang saat itu dikuasai oleh Parikenan. Parikenan
yang merupakan leluhur para Pandawa versi Jawa dikisahkan tewas di tangan Cingkaradewa.
Cingkaradewa sendiri akhirnya berhasil dikalahkan seorang pertapa dari India bernama Resi Wisaka,
yang merupakan samaran dari Aji Saka, seorang manusia setengah dewa yang melegenda.
Para Korawa (putera Dretarastra) yang utama berjumlah seratus. Kemudian Dewi Gandari melahirkan
seorang putra lagi bernama Duskampana dan seorang putri bernama Dursala (atau Duala atau Dussala).
Nama-nama Kurawa yang lain di sini
Duryodana atau Suyodana merupakan yang sulung dari 100 Kurawa. Ia adalah inkarnasi dari Kali
sedangkan Sakuni merupakan inkarnasi dari Dwapara. Ia lahir dari pasangan Dretarastra dan Gandari.
Duryodana merupakan saudara yang tertua di antara seratus Korawa. Secara harfiah, nama Duryodana
memiliki arti sulit ditaklukkan atau dapat pula berarti tidak terkalahkan.
Tubuh Duryodana dikatakan terbuat dari petir, dan ia sangat kuat. Ia dihormati oleh adik-adiknya,
khususnya Dursasana. Dengan belajar ilmu bela diri dari gurunya, yaitu Krepa, Drona dan Balarama atau
Baladewa, ia menjadi sangat kuat dengan senjata gada, dan setara dengan Bima, yaitu Pandawa yang kuat
dalam hal tersebut.
Saat para Korawa dan Pandawa unjuk kebolehan saat menginjak dewasa, munculah sesosok ksatria gagah
perkasa yang mengaku bernama Karna. Ia menantang Arjuna yang disebut sebagai ksatria terbaik oleh
Drona. Namun Krepa mengatakan bahwa Karna harus mengetahui kastanya, agar tidak sembarangan
menantang seseorang yang tidak setara.
Duryodana membela Karna, kemudian mengangkatnya menjadi raja di Kerajaan Anga. Semenjak saat itu,
Duryodana bersahabat dengan Karna. Baik Karna maupun Duryodana tidak mengetahui, bahwa Karna
sebenarnya merupakan putera Kunti. Karna juga merupakan harapan Duryodana agar mampu meraih
kemenangan saat Bharatayuddha berlangsung, karena Duryodana percaya bahwa Karna adalah lawan
yang sebanding dengan Arjuna.
Duryodana menikah dengan puteri Prabu Salya dan mempunyai putera bernama Laksmana
(Laksmanakumara). Duryodana digambarkan sangat licik dan kejam, meski berwatak jujur, ia mudah
terpengaruh hasutan karena tidak berpikir panjang dan terbiasa dimanja oleh kedua orangtuanya. Karena
hasutan Sangkuni, yaitu pamannya yang berotak dan berlidah tajam, ia dan saudara-saudaranya senang
memulai pertengkaran dengan pihak Pandawa.
Dalam perang Bharatayuddha, bendera keagungannya berlambang ular kobra. Ia dikalahkan oleh Bima
pada pertempuran di hari kedelapan belas karena pahanya dipukul dengan gada.
Pandangan lain
Dalam pandangan para sarjana Hindu masa kini, Duryodana merupakan raja yang kuat dan cakap, serta
memerintah dengan adil, namun bersikap licik dan jahat saat berusaha melawan saudaranya (Pandawa).
Seperti Rawana, Duryodana sangat kuat dan berjaya, dan ahli dalam ilmu agama, namun gagal untuk
mempraktekkannya dalam kehidupan. Namun kebanyakan umat Hindu memandangnya sebagai orang
jahat yang suka mencari masalah.
Duryodana juga merupakan salah satu tokoh yang sangat menghormati orangtuanya. Meskipun dianggap
bersikap jahat, ia tetap menyayangi ibunya, yaitu Gandari. Setiap pagi sebelum berperang ia selalu mohon
doa restu, dan setiap kali ia berbuat demikian, ibunya selalu berkata bahwa kemenangan hanya berada di
pihak yang benar. Meskipun jawaban tersebut mengecilkan hati Duryodana, ia tetap setia mengunjungi
ibunya setiap pagi.
Di wilayah Kumaon di Uttranchal, beberapa kuil yang indah ditujukan untuk Duryodana dan ia dipuja
sebagai dewa kecil. Suku Kumaon di pegunungan memihak Duryodana dalam Bharatayuddha. Ia dipuja
sebagai pemimpin yang cakap dan dermawan.
Dursasana atau Duhsasana merupakan adik dari Duryodana. Dursasana terdiri dari dua kata, yaitu dur
atau duh, dan sana. Secara harfiah, kata Dussana memiliki arti sulit untuk dikuasai atau sulit untuk
diatasi.
Yuyutsu adalah saudara para Korawa, dari ibu yang lain, seorang dayang-dayang. Berbeda dengan para
Korawa, ia memihak Pandawa saat perang di Kurukshetra. Hal itu membuatnya menjadi penerus garis
keturunan Drestarastra, sementara saudaranya yang lain (Korawa) gugur semua di medan Kuru atau
Kurukshetra. Setelah Yudistira mengundurkan diri dari dunia, Yuyutsu diangkat menjadi raja di
Indraprasta.
Perseteruan Pandawa dan Kourawa
Suatu hari Duryodana berpikir ia bersama adiknya mustahil untuk dapat meneruskan tahta Dinasti Kuru
apabila sepupunya masih ada. Mereka semua (Pandawa lima dan sepupu-sepupunya atau yang dikenal
juga sebagai Korawa) tinggal bersama dalam suatu kerajaan yang beribukota di Hastinapura. Akhirnya
berbagai niat jahat muncul dalam benaknya untuk menyingkirkan Pandawa lima beserta ibunya.
Drestarastra yang mencintai keponakannya secara berlebihan. Ketika Ia mengangkat Yudistira sebagai
putra mahkota tetapi ia langsung menyesali perbuatannya yang terlalu terburu-buru sehingga ia tidak
memikirkan perasaan anaknya. Hal ini menyebabkan Duryodana iri hati dengan Yudistira. Irihati
Duryodaya berkembang menjadi rencana pembunuhan. Sangkuni-pun memfasilitasinya. Duryodana
mengundang Pandawa beserta ibunya berlibur ke tempat di dekat Hutan Waranawata. Di sana terdapat
bangunan yang megah yang dinamakan Jatugraha yang dibuat oleh pesuruh Duryodana, yaitu Purocana,
Bangunan itu dibuat dengan bahan seperti lilin sehingga cepat terbakar. Kemudian Sakuni akan
membakar Gedung Jatugreha ketika Pandawa dan Ibunya terlelap tidur. Rencana itu sudah dipersiapkan
sangat matang oleh Duryodana dan Sakuni namun diketahui dan dibocorkan oleh Widura yang juga
merupakan paman dari Pandawa lima. Dalam pewayangan, peristiwa pembakaran ini terkenal dengan
nama Balai Sigala-Gala.
Sebelum sampai di tempat peristirahatan tersebut Yudistira juga telah diingatkan oleh seorang petapa yang
datang ke dirinya bahwa akan ada bencana yang menimpannya oleh karena itu Yudistira pun sudah
berwaspada terhadap segala kemungkinan. Ketika Pandawa dan ibu sampai disana Yudistira dan Bima
sadar bahwa rumah penginapan yang disediakan untuk mereka, telah dirancang untuk membunuh mereka
serta ibu mereka. Bima hendak segera pergi, namun atas saran Yudistira mereka tinggal di sana selama
beberapa bulan.
Pada suatu malam, Kunti mengadakan pesta dan seorang wanita yang dekat dengan Purocana turut hadir
di pesta itu bersama dengan kelima orang puteranya. Ketika Purocana beserta wanita dan kelima anaknya
tersebut tertidur lelap karena makanan yang disuguhkan oleh Kunti, Bima segera menyuruh agar ibu dan
saudara-saudaranya melarikan diri dengan melewati terowongan yang telah dibuat sebelumnya.
Kemudian, Bima mulai membakar rumah lilin yang ditinggalkan mereka. Oleh karena ibu dan saudara-
saudaranya merasa mengantuk dan lelah, Bima membawa mereka sekaligus dengan kekuatannya yang
dahsyat. Kunti digendong di punggungnya, Nakula dan Sadewa berada di pahanya, sedangkan Yudistira
dan Arjuna berada di lengannya.
Ketika keluar dari ujung terowongan, Bima dan saudaranya tiba di sungai Gangga. Di sana mereka
diantar menyeberangi sungai oleh pesuruh Widura, yaitu menteri Hastinapura yang mengkhwatirkan
keadaan mereka. Setelah menyeberangi sungai Gangga, mereka melewati Sidawata sampai Hidimbawana.
Dalam perjalanan tersebut, Bima memikul semua saudaranya dan ibunya melewati jarak kurang lebih
tujuh puluh dua mil.
Di Hidimbawana, Bima bertemu dengan Hidimbi/arimbi yang jatuh cinta dengannya. Kakak Hidimbi
yang bernama Hidimba, menjadi marah karena Hidimbi telah jatuh cinta dengan seseorang yang
seharusnya menjadi santapan mereka. Kemudian Bima dan Hidimba berkelahi. Dalam perkelahian
tersebut, Bima memenangkan pertarungan dan berhasil membunuh Hidimba dengan tangannya sendiri.
Lalu, Bima menikah dengan Hidimbi. Dari perkawinan mereka, lahirlah seorang putera yang diberi nama
Gatotkaca. Bima dan keluarganya tinggal selama beberapa bulan bersama dengan Hidimbi dan Gatotkaca,
setelah itu mereka melanjutkan perjalanan.
Setelah melewati Hidimbawana, Bima dan saudara-saudaranya beserta ibunya tiba disebuah kota yang
bernama Ekacakra. Di sana mereka menumpang di rumah keluarga brahmana. Pada suatu hari ketika
Bima dan ibunya sedang sendiri, sementara keempat Pandawa lainnya pergi mengemis, brahmana pemilik
rumah memberitahu mereka bahwa seorang raksasa yang bernama Bakasura meneror kota Ekacakra. Atas
permohonan penduduk desa, raksasa tersebut berhenti mengganggu kota, namun sebaliknya seluruh
penduduk kota diharuskan untuk mempersembahkan makanan yang enak serta seorang manusia setiap
minggunya. Kini, keluarga brahmana yang menyediakan tempat tinggal bagi mereka yang mendapat
giliran untuk mempersembahkan salah seorang keluarganya. Merasa berhutang budi dengan kebaikan hati
keluarga brahmana tersebut, Kunti berkata bahwa ia akan menyerahkan Bima yang nantinya akan
membunuh raksasa Baka. Mulanya Yudistira sangsi, namun akhirnya ia setuju.
Pada hari yang telah ditentukan, Bima membawa segerobak makanan ke gua Bakasura. Di sana ia
menghabiskan makanan yang seharusnya dipersembahkan kepada sang raksasa. Setelah itu, Bima
memanggil-manggil raksasa tersebut untuk berduel dengannya. Bakasura yang merasa dihina, marah lalu
menerjang Bima. Seketika terjadilah pertarungan sengit. Setelah pertempuran berlangsung lama, Bima
meremukkan tubuh Bakasura seperti memotong sebatang tebu. Lalu ia menyeret tubuh Bakasura sampai
di pintu gerbang Ekacakra. Atas pertolongan dari Bima, kota Ekacakra tenang kembali.
Ia tinggal di sana selama beberapa lama, sampai akhirnya Pandawa memutuskan untuk pergi ke
Kampilya, ibukota Kerajaan Panchala, karena mendengar cerita mengenai Dropadi dari seorang
brahmana.
Dropadi merupakan anak yang lahir dari hasil Putrakama Yadnya, yaitu ritual untuk memperoleh
keturunan. Dalam kitab MahaBharata diceritakan bahwa setelah Drupada dipermalukan oleh Drona, ia
pergi ke dalam hutan untuk merencanakan pembalasan dendam. Kemudian ia memutuskan untuk
memperoleh seorang putera yang akan membunuh Drona. Atas bantuan dari Resi Jaya dan Upajaya,
Drupada melangsungkan Putrakama Yadnya dengan sarana api suci. Dropadi lahir dari api suci tersebut.
Pada mulanya, Dropadi diberi nama Kresna, merujuk kepada warna kulitnya yang kehitam-hitaman.
Dalam bahasa Sanskerta, kata Krishna secara harfiah berarti gelap atau hitam. Lambat laun ia lebih
dikenal sebagai Dropadi, yang secara harfiah berarti puteri Drupada. Nama Pacali juga diberikan
kepadanya, yang secara harfiah berarti puteri kerajaan Panchala. Karena ia merupakan saudari dari
Drestadyumna, maka ia juga disebut Yadnyaseni
Tersiar kabar bahwa Raja Drupada menyelenggarakan sayembara memperebutkan Dewi Dropadi. Bentuk
pertandingannya adalah sebuah boneka ikan dari kayu yang dipasang pada sebuah roda yang berputar di
atas arena. Tepat di bawah sasaran tersebut terdapat kolam berisi minyak. Para peserta sayembara harus
dapat memanah mata boneka ikan tersebut melalui bayangan di dalam kolam, bukan melihat ke atas
secara langsung.
Banyak ksatria di penjuru Bharatawarsha turut menghadiri seperti misalnya Karna dan Salya. Para
Pandawa berkumpul bersama para kesatria lain di arena, namun mereka tidak berpakaian selayaknya
seorang kesatria, melainkan menyamar sebagai brahmana.
Saat sayembara, tidak ada seorang pun yang mampu mengangkat busur berat pusaka negara Panchala,
apalagi memanah sasaran sulit tersebut. Karna kemudian maju mewakili Duryodana setelah sahabatnya
itu mengalami kegagalan. Dengan penuh penghormatan, ia berhasil mengangkat busur pusaka tersebut
dan siap memanah sasaran sayembara. Tiba-tiba Dropadi menyatakan keberatan apabila Karna sampai
berhasil memenangkan sayembara, karena dirinya tidak mau menikah dengan anak seorang kusir. Karna
sakit hati mendengar penghinaan itu. Ia menyebut Dropadi sebagai wanita sombong dan pasti menjadi
perawan tua karena tidak ada lagi peserta yang mampu memenangkan sayembara sulit tersebut selain
dirinya.
Ucapan Karna membuat Drupada (ayah Dropadi) merasa cemas. Ia pun membuka pendaftaran baru untuk
siapa saja yang ingin menikahi Dropadi tanpa harus berasal dari golongan ksatriya. Arjuna yang saat itu
sedang menyamar sebagai brahmana maju mendaftarkan diri.
Para Pandawa yang diwakili oleh Arjuna turut serta. Arjuna tampil ke muka dan mencoba memanah
sasaran dengan tepat. Panah yang dilepaskannya mampu mengenai sasaran dengan tepat, dan sesuai
dengan persyaratan, maka Dewi Dropadi berhak menjadi miliknya. Namun para peserta lainnya
menggerutu karena seorang brahmana mengikuti sayembara sedangkan para peserta ingin agar sayembara
tersebut hanya diikuti oleh golongan kesatria. Karena adanya keluhan tersebut maka keributan tak dapat
dihindari lagi. Arjuna dan Bima bertarung dengan kesatria yang melawannya sedangkan Yudistira,
Nakula, dan Sadewa melarikan Dropadi ke rumah mereka. Sesampainya di rumah Dewi Kunti, ibu
mereka. Kresna yang turut hadir dalam sayembara tersebut tahu siapa sebenarnya para brahmana yang
telah mendapatkan Dropadi dan ia berkata kepada para peserta bahwa sudah selayaknya para brahmana
tersebut mendapatkan Dropadi sebab mereka telah berhasil memenangkan sayembara dengan baik.
Arjuna dan Bima pun berkelahi dengan para ksatria di sana, sementara Yudistira, Nakula dan Sadewa
melarikan Dropadi ke rumah mereka. Sesampainya di rumah, Walaupun Arjuna pun mengikuti sayembara
itu dan berhasil memenangkannya, tetapi Bima yang berkata kepada ibunya, lihat apa yang kami bawa
ibu!. Kunti, ibu para Pandawa, tidak melihat apa yang dibawa oleh anak-anaknya karena sibuk dan
berkata, Bagi dengan rata apa yang kalian peroleh. Ketika ia menoleh, alangkah terkejutnya ia karena
anak-anaknya tidak saja membawa hasil sedekah, namun juga seorang wanita. Kunti yang tidak mau
berdusta, membuat anak-anaknya untuk berbagai istri. Karena perkataan ibunya maka Pancali (Dropadi)
pun bersuamikan lima orang. Mereka juga berjanji tidak akan mengganggu Dropadi ketika sedang
bermesraan di kamar bersama dengan salah satu dari Pandawa. Hukuman dari perbuatan yang menggangu
adalah pembuangan selama 12 tahun. Dari kelima Pandawa Droupadi memiliki lima putera, yakni:
Pratiwinda (dari hubungannya dengan Yudistira)
Sutasoma (dari hubungannya dengan Bima)
Srutakirti (dari hubungannya dengan Arjuna)
Satanika (dari hubungannya dengan Nakula)
Srutakama (dari hubungannya dengan Sadewa)
Kelima putera Pandawa tersebut disebut Pancawala atau Pancakumara.
Versi Jawa
Dalam budaya pewayangan Jawa, Dewi Dropadi dinikahi oleh Yudistira saja dan bukan milik kelima
Pandawa. Cerita tersebut dapat disimak dalam lakon Sayembara Gandamana. Dalam lakon tersebut
dikisahkan, Yudistira mengikuti sayembara mengalahkan Gandamana yang diselenggarakan Raja
Dropada. Siapa yang berhasil memenangkan sayembara, berhak memiliki Dropadi. Yudistira ikut serta
namun ia tidak terjun ke arena sendirian melainkan diwakili oleh Bima. Bima berhasil mengalahkan
Gandamana dan akhirnya Dropadi berhasil didapatkan. Karena Bima mewakili Yudistira, maka
Yudistiralah yang menjadi istri Dropadi. Dalam tradisi pewayangan Jawa, putera Dropadi dengan
Yudistira bernama Raden Pancawala. Pancawala sendiri merupakan sebutan untuk lima putera Pandawa.
Terjadinya perbedaan cerita antara kitab MahaBharata dengan cerita dalam pewayangan Jawa karena
pengaruh perkembangan agama Islam di tanah Jawa. Setelah kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu
runtuh, munculah Kerajaan Demak yang bercorak Islam. Pada masa itu, segala sesuatu harus disesuaikan
dengan hukum agama Islam. Pertunjukan wayang yang pada saat itu sangat digemari oleh masyarakat,
tidak diberantas ataupun dilarang melainkan disesuaikan dengan ajaran Islam. Menurut hukum Islam,
seorang wanita tidak boleh memiliki suami lebih dari satu. Maka dari itu, cerita Dewi Dropadi dalam
kitab MahaBharata versi asli yang bercorak Hindu menyalahi hukum Islam.
Setelah menikahi Dropadi, para Pandawa kembali ke Hastinapura dan memperoleh sambutan luar biasa,
kecuali dari pihak Duryodana. Persaingan antara Pandawa dan Korawa atas tahta Hastinapura kembali
terjadi. Setelah melalui perundingan, dan atas saran Bisma, Kerajaan Kuru dibagi dua.
Korawa mendapatkan istana Hastinapura, sedangkan Pandawa mendapatkan hutan Kandawaprastha
sebagai tempat untuk membangun istana baru. Meskipun daerah tersebut sangat gersang dan angker,
namun para Pandawa mau menerima wilayah tersebut. Selain wilayahnya yang seluas hampir setengah
wilayah kerajaan Kuru, Kandawaprastha juga merupakan ibukota kerajaan Kuru yang dulu, sebelum
Hastinapura. Atas bantuan dari sepupu Yudistira, yaitu Kresna dan Baladewa, mereka mengubah daerah
gersang tersebut menjadi makmur dan megah, dan dikenal sebagai Indraprastha.
Indraprastha adalah sebuah kota besar di India utara pada zaman dahulu kala. Kota ini terletak di tepi
sungai Yamuna, lokasinya dekat dengan ibukota India zaman sekarang, Delhi. Sebelum dikenal sebagai
Indraprastha, kota ini dikenal sebagai Kandawaprastha yang merupakan ibukota kerajaan besar di India
pada zaman dahulu kala, dan diperintah oleh para leluhur Pandawa dan Korawa, seperti misalnya
Maharaja Pururawa, Nahusa, dan Yayati. Namun kota tersebut menjadi gersang akibat kutukan para resi,
untuk menghukum putera Budha.
Saat diberikan kepada Pandawa, Kandawaprastha merupakan kota gersang. Melihat keadaan itu, Sri
Kresna memanggil Indra, pemimpin para Dewa, untuk membantu Yudistira memperbaiki keadaan negeri
tersebut. Dewa Indra memunculkan Wiswakarman, arsitek para Dewa yang merancang kota megah.
Dengan suatu upacara, Wiswakarman berhasil mengusir segala penyakit di negeri tersebut dan
menyuburkan kembali daerah yang gersang. Sesuai janji Kresna, Kandawaprastha akan diberi nama
Indraprastha jika Indra mampu mengubah keadaan Kandawaprastha. Perlahan-lahan kota tersebut
menjadi kota yang makmur dan berduyun-duyun orang-orang dari negeri tetangga bermigrasi ke negeri
baru tersebut. Kota Indraprastha pun menjadi kota besar. Setelah Yudistira naik tahta, kota Indraprastha
tetap mendapat pengawasan dari Hastinapura.
Catatan sejarah
Indraprastha berumur 50.000 tahun. Legenda mengatakan bahwa Indraprastha terletak di wilayah Purani
Choot sekarang ini. Sebuah desa bernama Indraprat ada di Delhi sampai permulaan abad ke-20, kemudian
digusur dan kota New Delhi dibangun di atasnya. Penggalian di wilayah perbukitan Indraprastha, ibukota
para Pandawa, seperti yang ditunjukkan Purana Qila menemukan bukti bahwa daerah itu pernah didiami
selama hampir 2.500 tahun. Indraprastha sempat menjadi kota besar selama berabad-abad, dari zaman
Kerajaan Maurya sampai Kerajaan Gupta di India, namun kurang terkenal karena berdirinya kota-kota
seperti Pataliputra, di sebelah tenggara daerah aliran sungai, yang menjadi sumber dua kerajaan terkuat di
India. Indraprastha diserbu oleh bangsa Hun setelah jatuhnya Kerajaan Gupta. Raja Hindu bernama
Dhilon konon membangun kota Delhi Kuno, dekat dengan Indraprastha.
Versi Jawa
Dalam versi pewayangan Jawa, nama Indraprastha lebih terkenal dengan sebutan kerajaan Amarta.
Menurut versi ini, hutan yang dibuka para Pandawa bukan bernama Kandawaprastha, melainkan bernama
Wanamarta.
Versi Jawa mengisahkan, setelah sayembara Dropadi, para Pandawa tidak kembali ke Hastinapura
melainkan menuju kerajaan Wirata, tempat kerabat mereka yang bernama Prabu Matsyapati berkuasa.
Matsyapati yang bersimpati pada pengalaman Pandawa menyarankan agar mereka membuka kawasan
hutan tak bertuan bernama Wanamarta menjadi sebuah kerajaan baru. Hutan Wanamarta dihuni oleh
berbagai makhluk halus yang dipimpin oleh lima bersaudara, bernama Yudistira, Danduncana, Suparta,
Sapujagad, dan Sapulebu. Pekerjaan Pandawa dalam membuka hutan tersebut mengalami banyak
rintangan. Akhirnya setelah melalui suatu percakapan, para makhluk halus merelakan Wanamarta kepada
para Pandawa.
Sejarah ini dikenal dengan kisah atau lakon Babad Alas Wanamarta. Korawa yang telah merasa berhasil
membunuh Pandawa dalam cerita Bale Sigalagala terkejut ketika mengetahui ternyata Pandawa masih
hidup. Prabu Duryudana yang tidak ingin kerajaan Astina atau Hastina diminta oleh Pandawa selaku
penguasa yang sah mencari berbagai cara agar bisa membunuh kembali Pandawa. Untuk memperhalus
niatan tersebut, Pandawa diberikan daerah yang masih berupa hutan yang bernama hutan Wanamarta
(Wana berarti Hutan). Hutan tersebut terkenal keangkerannya, begitu angkernya sehingga digunakan
istilah Manusia Datang, Manusia Mati, Hewan Datang, Hewan Mati (Jalma Mara, Jalma Mati, Sato
Mara, Sato Mati) untuk menggambarkan keangkerannya.
Pandawa kesulitan dalam membuka hutan Wanamarta karena dikuasai oleh lima makhluk halus yang
wajahnya mirip dengan para Pandawa. Kelima makhluk halus tersebut adalah Yudistira yang mirip
dengan Prabu Puntadewa, Dandungwacana yang mirip dengan Bima, Dananjaya yang mirip dengan
Arjuna, Nakula dan Sadewa yang mirip dengan si kembar Pinten dan Tansen. Kelima penguasa
Wanamarta ini tidak sudi diganggu ketenangannya. Arjuna yang mempunyai minyak Jayengkaton
mengoleskannya ke setiap mata Pandawa agar dapat melihat kelima makluk halus penguasa Wanamarta.
Akhirnya Pandawa dapat mengalahkan kelima penguasa hutan Wanamarta tersebut dan kelimanya menitis
masuk kedalam tubuh para Pandawa sehingga Pandawa memiliki nama yang sama dengan para penguasa
hutan Wanamarta tersebut serta seketika itu juga hutan Wanamarta berubah menjadi kerajaan yang megah
luar biasa bernama Indraprastha atau Amarta.
Setelah menjadi Raja Amarta, Puntadewa berusaha keras untuk memakmurkan negaranya. Konon
terdengar berita bahwa barang siapa yang bisa menikahi puteri Kerajaan Slagahima yang bernama Dewi
Kuntulwinanten, maka negeri tempat ia tinggal akan menjadi makmur dan sejahtera. Puntadewa sendiri
telah memutuskan untuk memiliki seorang istri saja. Namun karena Dropadi mengizinkannya menikah
lagi demi kemakmuran negara, maka ia pun berangkat menuju Kerajaan Slagahima. Di istana Slagahima
telah berkumpul sekian banyak raja dan pangeran yang datang melamar Kuntulwinanten. Namun sang
puteri hanya sudi menikah dengan seseorang yang berhati suci, dan ia menemukan kriteria itu dalam diri
Puntadewa. Kemudian Kuntulwinanten tiba-tiba musnah dan menyatu ke dalam diri Puntadewa.
Sebenarnya Kuntulwinanten bukan manusia asli, melainkan wujud penjelmaan anugerah dewata untuk
seorang raja adil yang hanya memikirkan kesejahteraan negaranya. Sedangkan anak raja Slagahima yang
asli bernama Tambakganggeng. Ia kemudian mengabdi kepada Puntadewa dan diangkat sebagai patih di
kerajaan Amarta.
Sebagai bentuk syukur atas berdirinya kerajaan Indraprastha atau Amarta ini atas petunjuk Sri Batara
Kresna maka dilakukan upacara yang disebut dengan Sesaji Raja Surya atau Sesaji Rajasuya.
Makna Filosofis Babad Alas Wanamarta
Lawan adalah diri kita sendiri (wujud yang sama dengan Pandawa)
Untuk mengetahuinya digunakan cara atau sudut pandang yang lain (penggunaan minyak Jayengkaton)
Jika mampu mengalahkan diri sendiri maka akan terjadi hal yang luar biasa (berubahnya hutan
Wanamarta menjadi kerajaan yang megah)
Rajasuya
Rajasuya adalah sebuah upacara yang diselenggarakan oleh Para Raja pada zaman India Kuno. Upacara
tersebut sangat terkenal, selayaknya upacara Aswamedha. Rajasuya maupun Aswamedha sama-sama
merupakan upacara yang hanya bisa dilakukan apabila seorang Raja merasa cukup kuat untuk menjadi
penguasa.
Seperti Aswamedha, selama persiapan upacara Rajasuya, para jendral ( patih, saudara, atau ksatria yang
masih sekerabat) melakukan kampanye dengan menaklukkan daerah-daerah (kerajaan) di sekitar mereka,
sekaligus mengambil upeti dari kerajaan yang berhasil ditaklukkannya. Raja yang kalah harus bersedia
untuk memberikan upeti dan mau menghadiri penyelenggaraan upacara.
Terdapat perbedaan antara upacara Aswamedha dengan Rajasurya. Pada saat upacara Aswamedha,
kampanye militer dilakukan dengan melepaskan seekor kuda lalu para prajurit mengikuti kuda tersebut
dan daerah yang dilalui kuda tersebut ditaklukkan, sedangkan dalam upacara Rajasuya, kuda tidak
diperlukan. Para prajurit menaklukkan kerajaan sekitar sesuai dengan apa yang sudah mereka rencanakan.
Upacara Rajasuya yang terkenal diselenggarakan Rajasuya yang diselenggarakan oleh Yudistira, putera
tertua Pandu di antara para Pandawa. Hal tersebut dijelaskan dengan detail dalam kitab Mahbhrata.
Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang memerintah kerajaannya di Indraprastha, seorang pendeta masuk
ke istana dan melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh para raksasa. Arjuna yang merasa memiliki
kewajiban untuk menolongnya, bergegas mengambil senjatanya. Namun senjata tersebut disimpan di
sebuah kamar dimana Yudistira dan Dropadi sedang menikmati malam mereka. Demi kewajibannya,
Arjuna rela masuk kamar mengambil senjata, tidak mempedulikan Yudistira dan Dropadi yang sedang
bermesraan di kamar. Atas perbuatan tersebut, Arjuna dihukum untuk menjalani pembuangan selama 1
tahun.
Arjuna menghabiskan masa pengasingannya dengan menjelajahi penjuru Bharatawarsha atau daratan
India Kuno. Ketika sampai di sungai Gangga, Arjuna bertemu dengan Ulupi, puteri Naga Korawya dari
istana naga atau Nagaloka. Arjuna terpikat dengan kecantikan Ulupi lalu menikah dengannya. Dari hasil
perkawinannya, ia dikaruniai seorang putera yang diberi nama Irawan. Setelah itu, ia melanjutkan
perjalanannya menuju wilayah pegunungan Himalaya. Setelah mengunjungi sungai-sungai suci yang ada
di sana, ia berbelok ke selatan. Ia sampai di sebuah negeri yang bernama Manipura. Raja negeri tersebut
bernama Citrasena. Beliau memiliki seorang puteri yang sangat cantik bernama Citrnggad. Arjuna jatuh
cinta kepada puteri tersebut dan hendak menikahinya, namun Citrasena mengajukan suatu syarat bahwa
apabila puterinya tersebut melahirkan seorang putera, maka anak puterinya tersebut harus menjadi
penerus tahta Manipura oleh karena Citrasena tidak memiliki seorang putera. Arjuna menyetujui syarat
tersebut. Dari hasil perkawinannya, Arjuna dan Citrnggad memiliki seorang putera yang diberi nama
Babruwahana. Oleh karena Arjuna terikat dengan janjinya terdahulu, maka ia meninggalkan Citrnggad
setelah beberapa bulan tinggal di Manipura. Ia tidak mengajak istrinya pergi ke Hastinapura.
Setelah meninggalkan Manipura, ia meneruskan perjalanannya menuju arah selatan. Dia sampai di lautan
yang mengapit Bharatawarsha di sebelah selatan, setelah itu ia berbelok ke utara. Ia berjalan di sepanjang
pantai Bharatawarsha bagian barat. Dalam pengembaraannya, Arjuna sampai di pantai Prabasa
(Prabasatirta) yang terletak di dekat Dwaraka, yang kini dikenal sebagai Gujarat. Arjuna mampir ke
Dwaraka dan disana ia mendapatkan Subadra sebagai istrinya yang ke-empat.
Pada suatu ketika, Arjuna dan Kresna berkemah di tepi sungai Yamuna. Di tepi hutan tersebut terdapat
hutan lebat yang bernama Kandawa. Di sana mereka bertemu dengan Agni, Dewa Api. Agni berkata
bahwa hutan Kandawa seharusnya telah musnah dilalap api, namun Dewa Indra selalu menurunkan
hujannya untuk melindungi temannya yang bernama Taksaka, yang hidup di hutan tersebut. Maka, Agni
memohon agar Kresna dan Arjuna bersedia membantunya menghancurkan hutan Kandawa. Kresna dan
Arjuna bersedia membantu Agni, namun terlebih dahulu mereka meminta Agni agar menyediakan senjata
kuat bagi mereka berdua untuk menghalau gangguan yang akan muncul. Kemudian Agni memanggil
Baruna, Dewa Lautan. Baruna memberikan busur suci bernama Gandiwa serta tabung berisi anak panah
dengan jumlah tak terbatas kepada Arjuna. Untuk Kresna, Baruna memberikan Cakra Sudarsana. Dengan
senjata tersebut, mereka berdua menjaga agar Agni mampu melalap hutan Kandawa sampai habis.
Pengaruh dalam budaya
Kitab Adiparwa yang diterjemahkan dari Bahasa Sansekerta ke Bahasa Jawa Kuno atau Bahasa Kawi,
banyak digubah menjadi cerita pewayangan. Dalam kitab Adiparwa yang diterjemahkan dari Bahasa
Sansekerta mungkin terdapat perbedaan dengan lakon pewayangannya, yang kadang-kadang besar sekali,
sehingga memberi kesan bahwa segala sesuatunya terjadi di Jawa. Hal ini disebabkan oleh kecerdasan
para pujangga masa lampau yang mampu memindah alam pikiran para pembaca atau pendengarnya dari
suasana India menjadi Jawa Asli. Jika Hastinapura sebenarnya terdapat di India, maka nama-nama seperti
Jonggringsalaka, Pringgandani, Indrakila, Gua Kiskenda, sampai Gunung Mahameru dibawa ke tanah
Jawa.
Begitu pula dengan tokoh Pancawala (Pancakumara). Jika dalam versi aslinya mereka terdiri dari lima
orang, maka dalam pewayangan mereka dikatakan hanya satu orang saja. Menurut Mulyono dalam
artikelnya berjudul Dewi Dropadi:Antara kitab MahaBharata dan Pewayangan Jawa, ia menyatakan
bahwa terjadinya perbedaan cerita tentang Pancawala antara kitab MahaBharata dengan cerita dalam
pewayangan Jawa karena pengaruh perkembangan agama Islam di tanah Jawa. Hal serupa juga terjadi
pada kisah Dewi Dropadi dalam kitab Adiparwa. Jika dalam Adiparwa ia bersuami lima orang, maka
dalam pewayangan Jawa (yang sudah terkena pengaruh Islam) Dropadi hanya bersuami satu orang saja.
Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh memiliki suami lebih dari satu. Maka dari itu, cerita
Dewi Dropadi dalam kitab MahaBharata versi asli yang bercorak Hindu menyalahi hukum Islam. Untuk
mengantisipasinya, para pujangga ataupun seniman Islam mengubah cerita tersebut agar sesuai dengan
ajaran Islam. Pancawala yang sebenarnya merupakan lima putera Pandawa pun diubah menjadi seorang
tokoh yang merupakan putera Yudistira saja.
________________________________________
Sabhaparwa
Sabhaparwa adalah buku kedua MahaBharata. Buku ini menceritakan alasan mengapa sang Pandawa
Lima ketika diasingkan dan harus masuk ke hutan serta tinggal di sana selama 12 tahun dan menyamar
selama 1 tahun. Di dalam buku ini diceritakan bagaimana mereka berjudi dan kalah dari Duryodana.
Kitab MahaBharata bagian kedua atau Sabhaparwa mengisahkan niat Yudistira untuk menyelenggarakan
upacara Rajasuya demi menyebarkan dharma dan menyingkirkan raja-raja angkara murka. Bima, Arjuna,
Nakula, dan Sadewa memimpin tentara masing-masing ke empat penjuru Bharatawarsha (India Kuno)
untuk mengumpulkan upeti dalam penyelenggaraan upacara agung tersebut.
Pada saat yang sama, seorang raja angkara murka juga mengadakan upacara mengorbankan seratus orang
raja. Raja tersebut bernama Jarasanda dari kerajaan Magadha. Yudistira mengirim Bima dan Arjuna
dengan didampingi Kresna sebagai penasihat untuk menumpas Jarasanda. Akhirnya, melalui sebuah
pertandingan seru, Bima berhasil membunuh Jarasanda.
Setelah semua persyaratan terpenuhi, Yudistira melaksanakan upacara Rajasuya di Indraprastha, seluruh
kesatria di penjuru Bharatawarsha diundang, yang dihadiri sekian banyak kaum raja dan pendeta. Dalam
kesempatan itu, Yudistira ditetapkan sebagai Maharajadhiraja. Hadir pula seorang sekutu Jarasanda
bernama Sisupala dan juga Kurawa.
Duryodana dan Dursasana terkagum-kagum dengan suasana balairung Istana Indraprastha. Mereka tidak
tahu bahwa di tengah-tengah istana ada kolam. Air kolam begitu jernih sehingga dasarnya kelihatan
sehingga tidak tampak seperti kolam. Duryodana dan Dursasana tidak mengetahuinya lalu mereka
tercebur. Melihat hal itu, Dropadi tertawa terbahak-bahak. Duryodana dan Dursasana sangat malu.
Mereka tidak dapat melupakan penghinaan tersebut, apalagi yang menertawai mereka adalah Dropadi
yang sangat mereka kagumi kecantikannya.
Ketika tiba waktunya untuk memberikan jamuan kepada para undangan, sudah menjadi tradisi bahwa
tamu yang paling dihormati yang pertama kali mendapat jamuan. Atas usul Bisma, Yudistira memberikan
jamuan pertama kepada Sri Kresna. Melihat hal itu, Sisupala, saudara sepupu Sri Kresna, menjadi
keberatan dan menghina Sri Kresna di depan umum. Penghinaan itu diterima Sri Kresna bertubi-tubi
hingga melewati penghinaan ke-100 maka Kemarahan Sri Kresna memuncak. Ia mengeluarkan Cakra
Sudarsana danmemenggal kepala Sisupala di depan umum.
Pada waktu menarik Cakra, tangan Sri Kresna mengeluarkan darah. Melihat hal tersebut, Dewi Dropadi
segera menyobek kain sari-nya untuk membalut luka Sri Kresna. Pertolongan itu tidak dapat dilupakan
Sri Kresna.
Pamannya (Dretarastra) yang mengetahui bahwa Pandawa lima ternyata belum mati pun mengundang
mereka untuk kembali ke Hastinapura dan memberikan hadiah berupa tanah dari sebagian kerajaannya,
yang akhirnya Pandawa lima membangun kota dari sebagian tanah yang diberikan pamannya itu hingga
menjadi megah dan makmur yang diberi nama Indraprastha.
Ketika menjadi tamu dalam acara Rajasuya, Duryodana sangat kagum sekaligus iri menyaksikan
keindahan istana Indraprastha. Timbul niatnya untuk merebut kerajaan itu, apalagi setelah ia tersinggung
oleh ucapan Dropadi dalam sebuah pertemuan. Duryodana sering termenung memikirkan usaha untuk
mendapatkan kemegahan dan kemewahan yang ada di Indraprastha. Duryodana melihat bangunan yang
begitu indah, megah dan artistik itu. Setelah pulang ke Hastinapura ia langsung memanggil arsitek
terkemuka untuk membangun pendapa yang tidak kalah indahnya dari pendapa di Indraprastha. Ia ingin
sekali mendapatkan harta dan istana milik Pandawa. Namun ia bingung bagaimana cara mendapatkannya.
Terlintas dalam benak Duryodana untuk menggempur Pandawa, namun dicegah oleh Sangkuni.
Sangkuni berkata, Aku tahu Yudistira suka bermain dadu, namun ia tidak tahu cara bermain dadu dengan
akal-akalan. Sementara aku adalah rajanya main dadu dengan akal-akalan. Untuk itu, undanglah dia,
ajaklah main dadu. Nantinya, akulah yang bermain dadu atas nama anda. Dengan kelihayanku, tentu dia
akan kalah bermain dadu denganku. Dengan demikian, anda akan dapat memiliki apa yang anda
impikan.
Duryodana tersenyum lega mendengar saran pamannya. Bersama Sangkuni, mereka mengajukan niat
tersebut kepada Dretarastra untuk mengundang Pandawa main dadu. Duryodana juga menceritakan
sikapnya yang iri dengan kemewahan Pandawa. Dretarastra ingin mempertimbangkan niat puteranya
tersebut kepada Widura, namun karena mendapat hasutan dari Duryodana dan Sangkuni, maka
Dretarastra menyetujuinya tanpa pertimbangan Widura.
Pandawa dan Korawa main dadu
Dretarastra menyiapkan arena judi di Hastinapura, dan setelah selesai ia mengutus Widura untuk
mengundang Pandawa bermain dadu di Hastinapura. Yudistira sebagai kakak para Pandawa,
menyanggupi undangan tersebut. dengan disertai para saudaranya beserta istri dan pengawal, Yudistira
berangkat menuju Hastinapura. Sesampainya di Hastinapura, rombongan mereka disambut dengan ramah
oleh Duryodana. Mereka beristirahat di sana selama satu hari, kemudian menuju ke arena perjudian.
Yudistira berkata, Kakanda Prabu, berjudi sebetulanya tidak baik. Bahkan menurut para orang bijak,
berjudi sebaiknya dihindari karena sering terjadi tipu-menipu sesama lawan. Setelah mendengar
perkataan Yudistira, Sangkuni menjawab, Maaf paduka Prabu. Saya kira jika anda berjudi dengan
Duryodana tidak ada jeleknya, sebab kalian masih bersaudara. Apabila paduka yang menang, maka
kekayaan Duryodana tidaklah hilang sia-sia. Begitu pula jika Duryodana menang, maka kekayaan paduka
tidaklah hilang sia-sia karena masih berada di tangan saudara. Untuk itu, apa jeleknya jika rencana ini kita
jalankan?
Yudistira yang senang main dadu akhirnya terkena rayuan Sangkuni. Maka permainan dadu pun dimulai.
Yudistira heran kepada Duryodana yang diwakilkan oleh Sangkuni, sebab dalam berjudi tidak lazim kalau
diwakilkan. Sangkuni yang berlidah tajam, sekali lagi merayu Yudistira. Yudistira pun termakan rayuan
Sangkuni.
Mula-mula Yudistira mempertaruhkan harta, namun ia kalah. Kemudian ia mempertaruhkan harta lagi,
namun sekali lagi gagal. Begitu seterusnya sampai hartanya habis dipakai sebagai taruhan. Setelah
hartanya habis dipakai taruhan, Yudistira mempertaruhkan prajuritnya, namun lagi-lagi ia gagal.
Kemudian ia mempertaruhkan kerajaannya, namun ia kalah lagi sehingga kerajaannya lenyap ditelan
dadu. Setelah tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan, Yudistira mempertaruhkan adik-adiknya.
Sangkuni kaget, namun ia juga sebenarnya senang. Berturut-turut Sahadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima
dipertaruhkan, namun mereka semua akhirnya menjadi milik Duryodana karena Yudistira kalah main
dadu.
Dropadi dihina di muka umum
Harta, istana, kerajaan, prajurit, dan saudara Yudistira akhirnya menjadi milik Duryodana. Yudistira yang
tidak memiliki apa-apa lagi, nekat mempertaruhkan dirinya sendiri. Sekali lagi ia kalah sehingga dirinya
harus menjadi milik Duryodana. Sangkuni yang berlidah tajam membujuk Yudistira untuk
mempertaruhkan Dropadi. Karena termakan rayuan Sangkuni, Yudistira mempertaruhkan istrinya, yaitu
Dewi Dropadi. Banyak yang tidak setuju dengan tindakan Yudistira, namun mereka semua membisu
karena hak ada pada Yudistira.
Duryodana mengutus Widura untuk menjemput Dropadi, namun Widura menolak tindakan Duryodana
yang licik tersebut. karena Widura menolak, Duryodana mengutus para pengawalnya untuk menjemput
Dropadi. Namun setelah para pengawalnya tiba di tempat peristirahatan Dropadi, Dropadi menolak untuk
datang ke arena judi.
Setelah gagal, Duryodana menyuruh Dursasana, adiknya, untuk menjemput Dropadi. Dropadi yang
menolak untuk datang, diseret oleh Dursasana yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Dropadi menangis
dan menjerit-jerit karena rambutnya ditarik sampai ke arena judi, tempat suami dan para iparnya
berkumpul.
Dengan menangis terisak-isak, Dropadi berkata, Sungguh saya tidak mengira kalau di Hastina kini telah
kehilangan banyak orang bijak. Buktinya, di antara sekian banyak orang, tidak ada seorang pun yang
melarang tindakan Dursasana yang asusila tersebut, ataukah, memang semua orang di Hastina kini telah
seperti Dursasana?, ujar Dropadi kepada semua orang yang hadir di balairung. Para orangtua yang
mendengar perkataan Dropadi tersebut tersayat hatinya, karena tersinggung dan malu.
Wikarna, salah satu Korawa yang masih memiliki belas kasihan kepada Dropadi, berkata, Tuan-Tuan
sekalian yang saya hormati! Karena di antara Tuan-Tuan tidak ada yang menanggapi peristiwa ini, maka
perkenankanlah saya mengutarakan isi hati saya. Pertama, saya tahu bahwa Prabu Yudistira kalah bermain
dadu karena terkena tipu muslihat paman Sangkuni! Kedua, karena Prabu Yudistira kalah
memperteruhkan Dewi Dropadi, maka ia telah kehilangan kebebasannya. Maka dari itu, taruhan Sang
Prabu yang berupa Dewi Dropadi tidak sah!
Para hadirin yang mendengar perkataan Wikarna merasa lega hatinya. Namun, Karna tidak setuju dengan
Wikarna. Karna berkata, Hei Wikarna! Sungguh keterlaluan kau ini. Di ruangan ini banyak orang-orang
yang lebih tua daripada kau! Baliau semuanya tentu tidak lebih bodoh daripada kau! Jika memang tidak
sah, tentu mereka melarang. Mengapa kau berani memberi pelajaran kepada beliau semua? Lagipula,
mungkin memang nasib Dropadi seperti ini karena kutukan Dewa. cobalah bayangkan, pernahkah kau
melihat wanita bersuami sampai lima orang? Mendengar perkataan Karna, Wikarna diam dan membisu.
Duryodana menghina Dropadi dengan menyuruh wanita tersebut berbaring di atas pahanya.
Karena sudah kalah, Yudistira dan seluruh adiknya beserta istrinya diminta untuk menanggalkan bajunya.
Dropadi menolak untuk melepaskan pakaiannya, dipaksa oleh Dursasana. Dursasana yang berwatak
kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi. Dropadi berdoa kepada para Dewa agar dirinya diselamatkan.
Sri Kresna mendengar doa Dropadi. Secepatnya ia menolong Dropadi secara gaib. Sri Kresna mengulur
kain yang dikenakan Dropadi, Saat Dursasana menarik pakaian Dropadi dengan paksa, kain sari yang
melilit di tubuhnya tidak habis-habis meski terus diulur-ulur. Akhirnya Dursasana merasa lelah dan
pakaian Dropadi tidak berhasil dilepas. Pertolongan Sri Kresna disebabkan karena perbuatan Dropadi
yang membalut luka Sri Kresna pada saat upacara Rajasuya di Indraprastha.
Melihat perbuatan Dursasana yang asusila, Bima bersumpah ia akan merobek dada Dursasana dan
meminum darahnya dan ia akan memukul paha Duryodana kelak kelak dalam Bharatayuddha. Setelah
bersumpah, terdengarlah lolongan anjing dan srigala, tanda bahwa malapetaka akan terjadi. Dretarastra
mengetahui firasat buruk yang akan menimpa keturunannya, maka ia segera mengambil kebijaksanaan. Ia
memanggil Pandawa beserta Dropadi. Dretarastra berkata, O Yudistira, engkau tidak bersalah. Karena
itu, segala sesuatu yang menjadi milikmu, kini kukembalikan lagi kepadamu. Maafkanlah saudara-
saudaramu yang telah berkelakuan gegabah. Sekarang, pulanglah ke Indraprastha.
Ratapan Dropadi saat dipermalukan di depan umum terdengar oleh Gandari, ibu para Korawa. Ia
memerintahkan agar Duryodana menghentikan permainan dan mengembalikan semuanya kepada
Pandawa. Dengan berat hati, Duryodhana terpaksa mematuhi perintah ibunya itu. Setelah mendapat
pengampunan dari Dretarastra, Pandawa beserta istrinya mohon diri.
Duryodana kecewa, ia menyalahkan perbuatan ayahnya yang mengembalikan harta Yudistira. Dengan
berbagai dalih, Duryodana menghasut ayahnya. Bersamaan dengan pembangunan pendapa di Hastinapura
ia pun merencanakan sesuatu untuk menjatuhkan Yudistira dan adik adiknya. Yang pada akhirnya Yudistra
pun terjebak dalam rencananya Duryodana dan harus menjalani pengasingan selama 14 Tahun. Karena
Dretarastra berhati lemah, maka dengan mudah sekali ia dihasut, maka sekali lagi ia mengizinkan rencana
jahat anaknya. Duryodana menyuruh utusan agar memanggil kembali Pandawa ke istana untuk bermain
dadu. Kali ini, taruhannya adalah siapa yang kalah harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun,
dan setelah masa pengasingan berakhir (yaitu pada tahun ke-13), yang kalah harus menyamar selama 1
tahun. Pada tahun yang ke-14, barulah boleh kembali ke istana.
Pandawa tidak menolak undangan Duryodana untuk yang kedua kalinya tersebut. Harapannya adalah
apabila menang, maka ini merupakan pelajaran bagi Kourawa, namun Sekali lagi, Pandawa kalah. Sesuai
dengan perjanjian yang sah, maka Pandawa beserta istrinya mengasingkan diri ke hutan, hidup dalam
masa pembuangan selama 12 tahun. Setelah itu menyamar selama satu tahun. Setelah masa penyamaran,
maka para Pandawa kembali lagi ke istana untuk memperoleh kerajaannya.
________________________________________
Wanaparwa
Kitab Wanaparwa merupakan kitab ketiga dari seri Astadasaparwa. Kitab Wanaparwa menceritakan kisah
pengalaman para Pandawa bersama Dropadi di tengah hutan.
Yudistira yang merasa paling bertanggung jawab atas apa yang menimpa keluarga dan negaranya
berusaha untuk tetap tabah dalam menjalani hukuman. Ia sering berselisih paham dengan Bima yang
ingin kembali ke Hastinapura untuk menumpas para Korawa. Meskipun demikian, Bima tetap tunduk dan
patuh terhadap perintah Yudistira supaya menjalani hukuman sesuai perjanjian.
Krisna, Dhrishtadyumna dan para kerabat wangsanya datang menjenguk mereka di hutan Kamyaka.
Melihat Krisna, Droupadi menangis dan menceritakan penghinaan yang diterimanya. Saat itulah Krisna
bersumpah bahwa siapapun yang terlibat dipenghinaan itu akan menerima ganjarannya secara berdarah-
darah dan ia akan membantu Pandawa setiap harinya
Dhrishtadyumna menambahkan,Aku akan membunuh Drona, Srikandi akan membunuh Bisma, Bhima
akan membunuh Duryodana, Dursasana dan adik-adiknya, Arjuna akan membunuh karna si anak kusir
itu!
Pandawa juga bertemu dengan Rsi Byasa, seorang guru rohani yang mengajarkan ajaran-ajaran Hindu
kepada Pandawa dan Dropadi, istri mereka. Atas saran Rsi Byasa, Arjuna bertapa di gunung Himalaya
agar memperoleh senjata sakti yang kelak digunakan dalam Bharatayuddha. Kisah Sang Arjuna yang
sedang menjalani masa bertapa di gunung Himalaya menjadi inspirasi untuk menulis Kakawin Arjuna
Wiwaha.
Arjuna memilih lokasi bertapa di gunung Indrakila. Dalam usahanya, ia diuji oleh tujuh bidadari yang
dipimpin oleh Supraba, namun keteguhan hati Arjuna mampu melawan berbagai godaan yang diberikan
oleh para bidadari. Para bidadari yang kesal kembali ke kahyangan, dan melaporkan kegagalan mereka
kepada Dewa Indra. Setelah mendengarkan laporan para bidadari, Indra turun di tempat Arjuna bertapa
sambil menyamar sebagai seorang pendeta. Dia bertanya kepada Arjuna, mengenai tujuannya melakukan
tapa di gunung Indrakila. Arjuna menjawab bahwa ia bertapa demi memperoleh kekuatan untuk
mengurangi penderitaan rakyat, serta untuk menaklukkan musuh-musuhnya, terutama para Korawa yang
selalu bersikap jahat terhadap para Pandawa. Setelah mendengar penjelasan dari Arjuna, Indra
menampakkan wujudnya yang sebenarnya. Dia memberikan anugerah kepada Arjuna berupa senjata sakti.
Setelah mendapat anugerah dari Indra, Arjuna memperkuat tapanya ke hadapan Siwa. Siwa yang terkesan
dengan tapa Arjuna kemudian mengirimkan seekor babi hutan berukuran besar. Ia menyeruduk gunung
Indrakila hingga bergetar. Hal tersebut membuat Arjuna terbangun dari tapanya. Karena ia melihat seekor
babi hutan sedang mengganggu tapanya, maka ia segera melepaskan anak panahnya untuk membunuh
babi tersebut. Di saat yang bersamaan, Siwa datang dan menyamar sebagai pemburu, turut melepaskan
anak panah ke arah babi hutan yang dipanah oleh Arjuna. Karena kesaktian Sang Dewa, kedua anak
panah yang menancap di tubuh babi hutan itu menjadi satu.
Pertengkaran hebat terjadi antara Arjuna dan Siwa yang menyamar menjadi pemburu. Mereka sama-sama
mengaku telah membunuh babi hutan siluman, namun hanya satu anak panah saja yang menancap, bukan
dua. Maka dari itu, Arjuna berpikir bahwa si pemburu telah mengklaim sesuatu yang sebenarnya menjadi
hak Arjuna. Setelah adu mulut, mereka berdua berkelahi. Saat Arjuna menujukan serangannya kepada si
pemburu, tiba-tiba orang itu menghilang dan berubah menjadi Siwa. Arjuna meminta maaf kepada Sang
Dewa karena ia telah berani melakukan tantangan. Siwa tidak marah kepada Arjuna, justru sebaliknya ia
merasa kagum. Atas keberaniannya, Siwa memberi anugerah berupa panah sakti bernama Pasupati.
Setelah menerima anugerah tersebut, Arjuna dijemput oleh para penghuni kahyangan untuk menuju
kediaman Indra, raja para dewa. Di sana Arjuna menghabiskan waktu selama beberapa tahun. Di sana
pula Arjuna bertemu dengan bidadari Urwasi. Karena Arjuna tidak mau menikahi bidadari Urwasi, maka
Urwasi mengutuk Arjuna agar menjadi banci.
Suatu ketika para Korawa datang ke dalam hutan untuk berpesta demi menyiksa perasaan para Pandawa.
Namun, mereka justru berselisih dengan kaum Gandharwa yang dipimpin Citrasena. Dalam peristiwa itu
Duryodana tertangkap oleh Citrasena. Akan tetapi, Yudistira justru mengirim Bima dan Arjuna untuk
menolong Duryodana. Ia mengancam akan berangkat sendiri apabila kedua adiknya itu menolak perintah.
Akhirnya kedua Pandawa itu berhasil membebaskan Duryodana. Niat Duryodana datang ke hutan untuk
menyiksa perasaan para Pandawa justru berakhir dengan rasa malu luar biasa yang ia rasakan.
Bukan Cuma itu saja, para Brahmana banyak berkunjung dan memberikan wejangan selama 12 tahun ini,
ada Brahmana Lomasa, Maitreya, markandeya dll.
Dikisahkan juga bahwa sejak awal mereka menjalani pembuangan di Hutan,
Pandawa mendapat anugerah dari Dewa Surya yaitu kendaraan Akshayapatra yang selalu membawa
makanan yang lebih dari cukup untuk mereka dan para tamu mereka di setiap harinya
Peristiwa lain yang terjadi adalah penculikan Dropadi oleh Jayadrata, adik ipar Duryodana. Bima dan
Arjuna berhasil menangkap Jayadrata dan hampir saja membunuhnya. Yudistira muncul dan memaafkan
raja kerajaan Sindu tersebut.
Peristiwa lainnya, adalah ketika Droupadi menemukan bunga yang sangat harum dan meminta Bhima
untuk mencarikan bunga tersebut untuk ditanam. Bhima pergi mencari hingga sampailah ia di kaki suatu
gunung dan ia melihat seekor kera besar bersinar-sinar berbaring tidur menghalangi jalannya. Ia coba
mengusirnya dengan berteriak-teriak agar mahluk itu takut. Mahluk itu hanya membuka sebelah matanya
dengan malasnya dan berkata, aku lagi kurang nyaman makanya aku tidur disini mengapa engkau
membangunkanku, Engkau adalah manusia bijaksana dan aku hanya binatang, seharusnya manusia yang
rasional berbelas kasih pada bnatang sepertiku. Aku khawatir engkau ini tidak mengindahkan mana
kebenaran dan kejahatan. Siapa kamu? Ngga mungkin engkau melanjutkan perjalanan lebih lanjut lagi,
karena ini merupakan jalan dewa2, manusia ngga boleh melewati batas ini. Makan saja buah2 yang ada
disini sesukamu dan pergilah dengan damai.
Bhima yang tidak biasa dianggap enteng menjadi marah dan berteriak,Lho kamu ini siapa, kamu ini
hanyalah kera namun sok berbicara tinggi, aku adalah Ksatriya, pahlawan keturuna Kuru dan anak dari
Kunti. Aku adalah anak dari Deva Vayu, Ayo menyingkir!. Mendengar ini, kera itu hanya tertawa dan
berkata Saya ini hanya kera, namun engkau akan mengalami kehancuran apabila memaksa jalan terus.
Bima berkata, itu bukan urusanmu, menyingkirlah atau aku singkirkan engkau!. Kera itu berkata,Aku
tidak punya kekuatan untuk berdiri, jika engkau bersikeras untuk terus untuk pergi, lompati saja aku
Bima berkata,Ya itu sih mudah, namun kitab suci melarang iu, kecuali aku melompatimu dan gunung
dalam satu lompatan seperti yang dilakukan Hanuman menyebrangi lautan. Kera itu berkata, Siapa
Hanuman yang menyebrangi Lautan itu, ceritakanlah cerita itu padaku.
Bima berkata Belum pernah dengar Hanuman? Ia adalah kakak ku, yang dengan loncatanya menyebrangi
lautan untuk mencari Sita istri Rama, Aku setara dengannya dalam hal kekuatan dan Kegagahan. Ah
sudah cukup berbicara, ayo menyingkirlah dan memberi jalan, jangan memprovokasiku untuk
menyakitimu. Kera itu berkata, Ah orang gagah, bersabarlah, lembutlah karena engkau kuat, berbelas
kasihlah pada yang lemah dan tua. Aku tak berkekuatan untuk berdiri, karena kitab mu melarang untuk
melompatiku, ya sudah singkirkan saja ekorku ini agar engkau dapat melanjutkan perjalanan.
Bangga dengan kekuatannya, Ia pikir dapat dengan mudahnya menarik ekor Kera itu ke sisi jalan, namun
ternyata hingga ia menggunakan seluruh kekuatannya ekor itu tidak bergerak sama sekali kemudian
dengan malu ia berkata,Maafkan aku, Apakah engkau adalah orang sakti, Gandharva atau Dewa?
Hanuman berkata, Oh Pandava, Aku adalah kakakmu yang engkau sebut tadi, jika engkau melewati jalan
yang merupakan jalan menuju dunia fana dimana Yaksha dan raksasa tinggal, engkau akan menghadapi
bahaya dan itulah sebabnya aku menghalangimu. Tidak ada manusia yang dapat melewati jalan ini dan
tetap hidup, namun di bawah sana ada aliran sungai dimana engkau akan temukan bunga saugandhika
yang engkau cari itu.
Bima menjawab dengan senangnya, Aku termasuk orang yang beruntung bertemu dengan mu, Kakak Ku,
Aku memohon dapat melihat wujud-Mu saat engkau melompati lautan itu dan ia bersujud dihadapan
hanuman. Hanuman tersenyum dan mulai membesarkan ukuran tubuhnya yang berdiri kokoh seperti
gunung dan terlihat menutupi seluruh area. Bhima gemetar melihat wujud Dewa dari kakaknya itu, tak
dapat lagi ia membuka mata, silau oleh radiasi sinar yang menyilaukan dari tubuh kakaknya itu. Hanuman
berkata,dihadapan musuhku, tubuhku dapat membesar lebih dan lebih lagi. Kemudian ia menyusutkan
kembali tubuhnya di ukuran asalnya dan ia dengan lembut merangkul Bhima.
Bhagawan Vyasa berkata, Bhima kemudian sepenuhnya segar dan bertambah kuat lagi setelah dirangkul
oleh Hanuman. Hanuman berkata, Orang gagah, kembalilah dan pikiran aku ketika engkau
membutuhkan bantuanku, aku sesenangmu ketika aku menyentuh tubuh Sri Rama, Deva-Ku, mintalah
sesuatu berkat yang engkau inginkan. Bhima berkata, berilah berkat pada pandawa agar dapat
menaklukan musuh2nya. Hanuman memberikan berkat dan berkata,Teriakanmu bagaikan Singa di
medan pertempuran, suaraku akan berada di suaramu dan memberikan teror ketakukan di hati setiap
musuhmu. Aku akan hadir di bendera yang ada dikereta Arjuna, Engkau akan memperoleh kemenangan.
Itu adalah jalur ke sungai terdekat dimana tumbuh bunga Saugandhika Bhim segera ingat bahwa
Droupadi menunggu kepulangannya dan segera mengambil bunga2 itu untuknya.
Pada suatu hari menjelang berakhirnya masa pembuangan 12 tahun, Yudistira dan keempat adiknya
membantu seorang brahmana yang kehilangan peralatan upacaranya karena tersangkut pada tanduk
seekor rusa liar. Dalam pengejaran terhadap rusa itu, kelima Pandawa merasa haus. Yudistira pun
menyuruh Sadewa mencari air minum. Karena lama tidak kembali, Nakula disuruh menyusul, kemudian
Arjuna, lalu akhirnya Bima menyusul pula. Yudistira semakin cemas karena keempat adiknya tidak ada
yang kembali.
Yudistira kemudian berangkat menyusul Pandawa dan menjumpai mereka telah tewas di tepi sebuah
telaga. Muncul seorang raksasa yang mengaku sebagai pemilik telaga itu. Ia menceritakan bahwa
keempat Pandawa tewas keracunan air telaganya karena mereka menolak menjawab pertanyaan sang
raksasa. Sambil menahan haus, Yudistira mempersilakan Sang Raksasa untuk bertanya. Satu per satu
pertanyaan demi pertanyaan berhasil ia jawab. Akhirnya, Sang Raksasa pun mengaku kalah, namun ia
hanya sanggup menghidupkan satu orang saja. Dalam hal ini, Yudistira memilih Nakula untuk dihidupkan
kembali. Raksasa heran karena Nakula adalah adik tiri, bukan adik kandung. Yudistira menjawab bahwa
dirinya harus berlaku adil. Ayahnya, yaitu Pandu memiliki dua orang istri. Karena Yudistira lahir dari
Kunti, maka yang dipilihnya untuk hidup kembali harus putera yang lahir dari Madri, yaitu Nakula.
Raksasa terkesan pada keadilan Yudistira. Ia pun kembali ke wujud aslinya, yaitu Dewa Dharma.
Kedatangannya dengan menyamar sebagai rusa liar dan raksasa adalah untuk memberikan ujian kepada
para Pandawa. Berkat keadilan dan ketulusan Yudistira, maka tidak hanya Nakula yang dihidupkan
kembali, melainkan juga Bima, Arjuna, dan Sadewa.
________________________________________
Wirataparwa
Kitab Wirataparwa merupakan kitab keempat dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah
penyamaran para Pandawa beserta Dropadi. Sesuai dengan perjanjian yang sah, setelah 12 tahun masa
pengasingan, maka pada tahun ke 13 Pandawa mesti tidak diketahui keberadaannya selama 1 tahun
penuh, apabila gagal maka pengasingan akan diulangi lagi selama 12 tahun berikutnya. Pandawa
kemudian melakukan penyamaran dan menuju ke kerajaan Wirata.
Yudistira menyamar sebagai Brahmana dengan nama Kanka dan menemani raja bermain dadu setiap
harinya. Bima menjadi Balawa sebagai tukang masak bernama Valala salah satu kegiatannya adalah
menemani Raja bergulat. Arjuna memanfaatkan Kutukan Bidadari Urwasi dengan menyamar sebagai
guru tari yang banci, dengan nama samaran Brihanala. Mengajarkan tari dan musik pada Putri Uttara
(kakaknya juga bernama Uttara, namun dipewayangan jawa yang perempuan menjadi Utari). Nakula
menyamar sebagai perawat kuda dengan nama samaran Grantika atau Dharmagranthi. Sadewa pun
memilih peran sebagai seorang gembala sapi bernama Tantripala. Droupadi menyamar sebagai dayang
istana bernama Sailandri melayani ratu Sudhesna.
Kichaka adalah kakak dari ratu Suhesna, Pengaruhnya ia di Istana adalah luar biasa, bahkan masyarakan
menyatakan bahwa Ia adalah raja yang sebenarnya dari kerajaan Matsya daripada Wirata sendiri. Ia naksir
Droupadi. Ia menolak dengan halus dengan menyatakan bahwa Suaminya adalah Gandharwa yang
membunuh siapa saja yang bersikap tidak sopan terhadapnya. Kichaka tidak mempercayai itu dan tetap
merayu Droupadi.
Droupadi menyatakan berkeberatan dengan tindakan kakak ratu tersebut. Ratu permulaan membelanya,
namun kakaknya dengan berbagai cara berbicara dengan adiknya betapa menderitanya Ia karena
merindukan Droupadi. Akhirnya mereka membuat rencana untuk menjebak Droupadi. Ia menjebak
Droupadi untuk datang kerumah Kinchaka membawakan Minuman dan makanan, Droupadi menolak dan
meminta agar dikirim orang lain, Ratu marah sehingga terpaksa droupadi kesana. Benarlah! Kichaka
dalam keadaan mabu dan bernafsu memaksanya, mendorongnya, menendangnya dan mengeluarkan kata-
kata yang tidak senonohnya dihadapan yang hadir di rumah Kichaka. Ia melupakan bahaya terbongkarnya
penyamaran dan pergi ketempat Bhima menceritakan keadaan itu.
Mereka kemudian melakukan rencana, bahwa malam keesokan harinya Droupadi akan membawa
Kichaka ke ruang tari. Disana Bhima sudah menunggunya. Saat itu yang seimbang bertarung gulat
dengan Kichaka hanyalah Bhima dan Balarama saja. Perkelahian terjadi dan Kichaka tewas.
Droupadi membangunkan penjaga dan menceritakan gangguan dari Kichaka padahal telah diberitahu
bahwa suami Gandharwanya akan menghabisi siapapun yang mengganggunya sambil menunjukan mayat
Kichaka yang remuk mengecil yang hanya dapat dilakukan oleh bukan kekuatan manusia biasa. Cerita
kematian Kichaka berkembang dimasyarakat kerajaan Matsya dan sangat menakutkan bagi mereka bahwa
Droupadi yang begitu cantiknya mempunyai suami Gandarwa yang pencemburu sehingga berpotensi
menyakiti siapa saja terutama keluarga kerajaan. Droupadi di minta di usir dari kerajaan Wirata, padahal
tinggal 1 bulan saja dari akhir masa pembuangan 12 tahun plus 1 para Pandawa.
Sementara itu mata-mata Duryodana hampir mulai menyerah untuk menemukan Pandawa dan mereka
mendengar kabar bahwa Kichaka tewas ditangan Gandharwa yang Istrinya diganggu. Mereka tahu yang
dapat membunuh Kichaka adalah Cuma dua orang di muka bumi ini. Salah satunya adalah Bima dan
Duryodana juga yakin bahwa istri Gandharwa itu adalah Droupadi.
Akhirnya Duryodana sampai pada rencana untuk menyerang Wirata. Melihat sifat Pandawa, mereka pasti
akan menolong kerajaan Wirata sebagai ucapan terima kasih dan apabila Pandawa tidak ada di sana,
paling tidak pundi kekayaan Duryodana menjadi meningkat. Raja Trigarta, Susarma juga hadir saat itu
dan kerajaan tersebut sudah lama merasa terganggu dengan Kichaka, saat ini Kichaka telah tiada sehingga
Wirata dalam keadaan lemah. Diputuskan Raja Susarma akan menyerang dari Selatan dan Hastina dari
Utara.
Yudistira, bertindak seperti pikiran Duryodana, kecuali Arjuna mereka semua membatu Kerajaan Matsya
beserta seluruh kekuatan kerajaan Matsya dikerahkan menghadapi tentara kerajaan Trigartha, sekutu
Duryodhana. Akibatnya, istana Matsya menjadi kosong dan dalam keadaan terancam oleh serangan
pasukan Hastinapura.
Utara putera Wirata yang ditugasi menjaga istana, berangkat ditemani Brihanala (banci, samaran Arjuna)
sebagai kusir. Di medan perang, Uttara sangat ketakutan melihat pasukan Kurawa yang saat itu dlihatkan
ada Bhisma, Drona, Kripa, Awatama, karna, Durydana dan ribuan lainnya. Ia membuang busur dan lari,
kemudian dikejar oleh Brhidnala kemudian dipaksa masuk Kereta. Sesampainya mereka di dekat sebuah
pohon Uttara diminta naik keatas untuk mengambil persenjataan Pandawa yang disembunyikan di sana.
Kemudian Brihanala menyentakan Busur Gendewanya yang bunyinya bergema di seluruh tempat. Bunyi
itu sangat menakutkan pasukan Kourawa Kemudian ia meniupkan Terompetnya, Dewadatta yang
berkumandang dan makin menggentarkan pasukan Kourawa. Saat itu mereka berteriak-teriak bahwa
Pandava datang berkali2. Trompet itu menandakan berakhirnya masa pengasingan yang jatuh tempo satu
hari sebelumnya. Bhisma juga memberitahukan pada Duryodana bahwa menurut pengetahuannya dan
juga para ahli perbintangan maka tahun ke 13 masa pengasingan telah berakhir kemarin. Duryodana di
sarankan untuk segera berdamai, namun ia menolak dan mengatakan tidak akan menyerahkan bahkan satu
desapun kepada Pandawa serta memerintahkan mereka untuk segera berperang. Kemudian Duryodana,
sang putera Mahkota dillindungi bersama kumpulan sapi2 yang hendak dijadikan hasil kemenangan saat
itu.
Arjuna tampil seorang diri melawan seluruh pasukan Korawa. Sebelum mengejar Duryodana Arjuna
menyalami para Gurunya dan Bhisma dengan membidik Panah dekat kaki mereka. Saat ia mengejar
Duryodana, seluruh pasukan bergerak melindungi Duryodana, Arjuna membuat Karna keluar dari arena,
Ia mengalahkan Drona, Kripa, Aswatama dan akhirnya berperang Melawan Bisma. Pertempuran antara
Bisma dan Arjuna disaksikan para Dewa.
Kemudian Arjuna mengeluarkan sebuah panah yang membuah mereka semua menjadi tak sadarkan diri.
Kemudian ia merenggut semua pakaian merka. Kumpulan pakaian itu sebagai tanda kemenangan di hari
itu. Pasukan korawa pulang kandang dengan kekalahan memalukan ditangan satu orang, Arjuna.
Peristiwa kemenangan Arjuna atas serangan Hastinapura tersebut telah membuat Utara berubah menjadi
seorang yang pemberani. Ia ikut terjun dalam perang besar di Kurukshetra membantu pihak Pandawa.
Sementara itu, pasukan Wirata juga mendapat kemenangan atas pasukan Trigartha. Wirata dengan bangga
memuji-muji kehebatan Utara yang berhasil mengalahkan para Korawa seorang diri. Kanka alias
Yudistira menjelaskan bahwa kunci kemenangan Utara adalah Wrihanala. Hal itu membuat Wirata
tersinggung dan memukul kepala Kanka sampai berdarah.
Saat batas waktu penyamaran telah melebih batas waktu, kelima Pandawa dan Dropadi pun membuka
penyamaran. Mengetahui hal itu, Wirata merasa sangat menyesal telah memperlakukan mereka dengan
buruk. Wirata merasa bersalah karena telah memperlakukan mereka dengan kurang baik. Ia pun
menyerahkan putrinya, Utaraa kepada Arjuna sebagai tanda penyesalan dan minta maaf. Namun Arjuna
menolaknya karena ia telah mengajar tarian dan kesenian pada mereka (dua uttara), untuk itu Utaraa
(putri) pun diambil sebagai menantu untuk dinikahkan dengan Abimanyu, putranya yang tinggal di
Dwaraka. Wirata pun berjanji akan menjadi sekutu Pandawa dalam usaha mendapatkan kembali takhta
Indraprastha. Saat itu ada utusan dari Duryodana yang meminta mereka.
Versi jawa
Dalam versi pewayangan Jawa, Wirata adalah nama kerajaan, bukan nama orang. Sedangkan rajanya
bernama Matsyapati. Dalam kerajaan tersebut, Yudistira atau Puntadewa menyamar sebagai pengelola
pasar ibu kota bernama Dwijakangka.
Ketika naskah MahaBharata disadur ke dalam bahasa Jawa Kuna, tokoh Utaraa pun diganti namanya
menjadi Utari, misalnya dalam naskah Kakawin Bharatayuddha yang ditulis tahun 1157. Ketika kisah
MahaBharata dipentaskan dalam pewayangan, para dalang lebih suka memakai nama Utari daripada
Utaraa.
Perkawinan Abimanyu dan Utari dalam pewayangan dihiasi dengan tipu muslihat. Ketika keduanya masih
pengantin baru, paman Gatutkaca dari pihak ibu yang bernama Kalabendana datang menjemput
Abimanyu untuk dibawa pulang karena istri pertamanya, yaitu Sitisundari putri Kresna merindukannya.
Mendengar ajakan itu, Abimanyu langsung bersumpah di hadapan Utari bahwa dirinya masih perjaka dan
belum pernah menikah. Ia bahkan menyatakan jika ucapannya adalah dusta maka kelak ia akan mati
dikeroyok senjata.
Gatutkaca yang membela Abimanyu memukul Kalabendana. Pukulan tidak sengaja itu justru
menewaskan pamannya tersebut. Kelak dalam perang Baratayuda, Abimanyu benar-benar tewas dalam
keadaan dikeroyok musuh. Sementara itu, arwah Kalabendana juga datang menjemput keponakannya
dengan cara memegang senjata Konta milik Karna dan menusukkannya ke pusar Gatutkaca.
Di saat itu pula, tiba utusan Duryodana yang menyatakan bahwa tindakan Arjuna itu telah membongkar
penyamaran mereka dan minta Pandawa untuk mengasingkan diri kembali selama 12 tahun, karena telah
terbongkar sebelum waktunya. Yudistira tergelak tertawa, dan melalui utusan tersebut untuk
menyampaikan pesan bahwa Yang terhormat kakek Bisma dan Mereka-mereka yang belajar perbintangan
sangat mengetahui bahwa 13 tahun itu telah berlalu sebelum Arjuna meniupkan Terompet kerangnya dan
menyentilkan tali gendewa yang membuat pasukan kurawa kucar-kacir ketakutan.
________________________________________
Udyogaparwa
Kitab Udyogaparwa merupakan kitab kelima dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan sikap
Duryodana yang tidak mau mengembalikan kerajaan para Pandawa yang telah selesai menjalani masa
pengasingan selama 13 tahun berakhir. Pandawa kembali untuk mengambil kembali negeri mereka dari
tangan Korawa. Namun pihak Korawa menolak mengembalikan Kerajaan Indraprastha dengan alasan
penyamaran para Pandawa di Kerajaan Wirata telah terbongkar.
Pandawa yang selalu bersabar mengirimkan Krisna sebagai duta perdamaian ke pihak Korawa, namun
usaha mereka tidak membuahkan perdamaian. Sebagai seorang pangeran, Pandawa merasa wajib dan
berhak turut serta dalam administrasi pemerintahan, maka akhirnya hanya meminta lima buah desa saja.
Tetapi Duryodana sombong dan berkata bahwa ia tidak bersedia memberikan tanah kepada para Pandawa,
bahkan seluas ujung jarum pun. Jawaban itu membuat para Pandawa tidak bisa bersabar lagi dan perang
tak bisa dihindari. Duryodana pun sudah mengharapkan peperangan.
Dalam kesempatan itu, Kresna menemui Karna dan mengajaknya berbicara empat mata. Ia menjelaskan
bahwa para Pandawa sebenarnya adik seibu Karna. Apabila Karna bergabung dengan Pandawa, maka
Yudistira pasti akan merelakan takhta Hastinapura untuknya.
Karna sangat terkejut mendengar jati dirinya terungkap, Dengan penuh pertimbangan ia memutuskan
tetap pada pendiriannya yaitu membela Korawa. Ia tidak mau meninggalkan Duryodana yang telah
memberinya kedudukan, harga diri, dan perlindungan saat dihina para Pandawa dahulu. Rayuan Kresna
tidak mampu meluluhkan sumpah setia Karna terhadap Duryodana yang dianggapnya sebagai saudara
sejati.
Versi jawa
Kedatangan Kresna bukan untuk membuka jati diri Karna, melainkan hanya untuk penegasan saja. Seperti
telah dikisahkan sebelumnya, Karna sudah mengetahui jati dirinya dari Batara Narada menjelang
perkawinannya dengan Surtikanti. Jadi, Kresna hanya ingin memastikan sikap Karna membela Korawa
atau Pandawa. Jawaban dan alasan Karna pun sama persis dengan versi MahaBharata.
Kresna dengan kepandaiannya berbicara akhirnya berhasil mengetahui alasan karna yang paling rahasia.
Karna mengaku memihak Korawa demi kehancuran angkara murka. Ia sadar kalau Korawa adalah pihak
yang salah. Setiap hari ia berusaha menghasut Duryodana supaya tidak takut menghadapi para Pandawa.
Karna menjadi tokoh yang paling menginginkan perang terjadi, karena hanya dengan cara itu Korawa
dapat mengalami kehancuran. Karna sadar sebagai seorang penghasut, dirinya harus memberi contoh
berani dalam menghadapi Pandawa. Ia rela jika dalam perang nanti dirinya harus tewas bersama para
Korawa. Ia bersedia mengorbankan jiwa dan raga demi untuk kemenangan para Pandawa dan
kebahagiaan adik-adiknya itu. Kresna terharu mendengar rahasia Karna. Ia yakin meskipun selama di
dunia Karna hidup bersama Korawa, namun kelak di akhirat pasti berkumpul bersama Pandawa.
Setelah pertemuan dengan Kresna, Karna ganti mengalami pertemuan dengan Kunti, ibu kandungnya.
Kunti menemui Karna saat putera sulungnya itu bersembahyang di tepi sungai. Ia merayu Karna supaya
mau memanggilnya ibu dan sudi bergabung dengan para Pandawa. Karna kembali bersikap tegas. Ia
sangat menyesalkan keputusan Kunti yang dulu membuangnya sehingga kini ia harus berhadapan dengan
adik-adiknya sendiri sebagai musuh. Ia menolak bergabung dengan Pandawa dan tetap menganggap
Radha istri Adirata sebagai ibu sejatinya. Meskipun demikian, Karna tetap menghibur kekecewaan Kunti.
Ia bersumpah dalam perang Bharatayuddha kelak, ia tidak akan membunuh para Pandawa, kecuali
Arjuna.
Pandawa dan Korawa mempersiapkan kekuatannya dengan mencari bala bantuan dan sekutu ke seluruh
pelosok Bharatawarsha (India Kuno). Arjuna dan Duryodana pergi ke Dwaraka untuk memohon bantuan
dari Krishna
Duryodana datang terlebih dahulu, kemudian Arjuna. Krishna sedang beristirahat. Mereka masuk
kekamarnya. Durodana duduk disisi Krishna, Arjuna berdiri tepat diujung kaki Krisna. Krisna kemudian
terbangun dan membuka matanya melihat arjuna terlebih dahulu dan menyapanya Baru kemudian
menyapa Duryodana. Ia menanyakan apa yang membuat mereka datang ke Dwaraka. Duryodana
berbicara pertama bahwa Perang akan dimulai dan mereka meminta agar Krishna dan pasukannya
membantu mereka, Ia juga menyampaikan bahwa Ia darang duluan. Krishna menyatakan bahwa mungkin
benar Duryodana datang duluan, namun ia melihat Arjuna terlebih dahulu ketika terbangun, lagi pula adat
yang berlaku selalu mempersilakan yang lebih muda untuk duluan. Untuk itu Krishna menyatakan bahwa
Ia tidak bersedia bertempur secara pribadi. Sri Kresna mengajukan tawaran kepada Pandawa dan Korawa,
bahwa di antara mereka boleh meminta satu pilihan: pasukannya atau tenaganya.
Pandawa yang diwakili Arjuna menginginkan Sri Kresna tanpa senjata Ia memohon Krishna bersedia
mengendarai kereta perangnya dan menjadi penasihat Pandawa sedangkan Korawa yang diwakili
Duryodana memilih pasukan Sri Kresna. Sri Kresna bersedia mengabulkan permohonan tersebut, dan
kedua belah pihak merasa puas terlebih lagi Duryodana merasa pilihan arjuna merupakan suatu
kebodohan karena ia tahu ketangguhan dari pasukan Krisna namun setibanya Duryodana dikerajaan
dengan gembira ia ceritakan keberuntungannya itu dihadapan Sangkuni. Sangkuni justru memakinya
sebagai orang paling Bodoh dan mengatakan 1 orang Krisna tidak dapat dibandingkan dengan ratusan
ribu Prajuritnya walaupun sekuat apapun Prajuritnya itu.
Pandawa telah mendapatkan tenaga Kresna, sementara Korawa telah mendapatkan tentara Kresna.
Persiapan perang dimatangkan. Sekutu kedua belah pihak yang terdiri dari para Raja dan ksatria gagah
perkasa dengan diringi pasukan yang jumlahnya sangat besar berdatangan dari berbagai penjuru India dan
berkumpul di markasnya masing-masing. Pandawa memiliki tujuh divisi sementara Korawa memiliki
sebelas divisi. Beberapa kerajaan pada zaman India kuno seperti Kerajaan Dwaraka, Kerajaan Kasi,
Kerajaan Kekeya, Magada, Matsya, Chedi, Pandya dan wangsa Yadu dari Mandura bersekutu dengan
para Pandawa; sementara sekutu para Korawa terdiri dari Raja Pragjyotisha, Anga, Kekaya, Sindhudesa,
Mahishmati, Awanti dari Madhyadesa, Kerajaan Madra, Kerajaan Gandhara, Kerajaan Bahlika, Kamboja,
dan masih banyak lagi.
Pihak Pandawa
Melihat tidak ada harapan untuk berdamai, Yudistira, kakak sulung para Pandawa, meminta saudara-
saudaranya untuk mengatur pasukan mereka. Pasukan Pandawa dibagi menjadi tujuh divisi. Setiap divisi
dipimpin oleh Drupada, Wirata, Drestadyumna, Srikandi, Satyaki, Cekitana dan Bima. Setelah berunding
dengan para pemimpin mereka, para Pandawa menunjuk Drestadyumna sebagai panglima perang pasukan
Pandawa. MahaBharata menyebutkan bahwa seluruh kerajaan di daratan India utara bersekutu dengan
Pandawa dan memberikannya pasukan yang jumlahnya besar. Beberapa di antara mereka yakni: Kerajaan
Kekeya, Kerajaan Pandya, Kerajaan Chola, Kerajaan Kerala, Kerajaan Magadha, dan masih banyak lagi.
Pihak Korawa
Duryodana meminta Bisma untuk memimpin pasukan Korawa. Bisma menerimanya dengan perasaan
bahwa ketika ia bertarung dengan tulus ikhlas, ia tidak akan tega menyakiti para Pandawa. Bisma juga
tidak ingin bertarung di sisi Karna dan tidak akan membiarkannya menyerang Pandawa tanpa aba-aba
darinya. Bisma juga tidak ingin dia dan Karna menyerang Pandawa bersamaan dengan ksatria Korawa
lainnya. Ia tidak ingin penyerangan secara serentak dilakukan oleh Karna dengan alasan bahwa kasta
Karna lebih rendah. Bagaimanapun juga, Duryodana memaklumi keadaan Bisma dan mengangkatnya
sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa. Pasukan dibagi menjadi sebelas divisi. Seratus Korawa
dipimpin oleh Duryodana sendiri bersama dengan adiknya Duhsasana, putera kedua Dretarastra, dan
dalam pertempuran Korawa dibantu oleh Rsi Drona dan putranya Aswatama, kakak ipar para Korawa
Jayadrata, guru Kripa, Kritawarma, Salya, Sudaksina, Burisrawa, Bahlika, Sangkuni, dan masih banyak
lagi para ksatria dan Raja gagah perkasa yang memihak Korawa demi Hastinapura maupun Dretarastra.
Pihak netral
Kerajaan Widarbha dan rajanya, Raja Rukma dan juga kakak Kresna, Baladewa, berada pada pihak yang
netral dalam peperangan tersebut. Balacewa netral karena kasih dan perdamaiannya pada duabelah pihak,
namun netralnya Raja Rukma bukan karena ia tidak mau memihak, namun justru karena kesal dan merasa
terhina oleh duabelah pihak
Kerajaan Widharba dahulunya dipimpin oleh Raja Bhismaka Ia mempunyai lima anak satu diantaranya
wanita bernama Rukmini. Ia telah mendengar tentang Krisna dan kemasyurannya dan berharap dapat
bersatu dengannya dalam satu perkawinan. Keluarganya menyetujui ide itu kecuali kakak tertuanya
Rukma yang lebih mengingikan Rukmini dikawinkan dengan Sisupala raja Chedi.Karena raja semakin
tua, Rukma menjadi dominan kehendaknya di kerajaan tersebut Rukmini menjadi takut bahwa ayahnya
menjadi tidak berdaya. Kemudian ia mencari jalan mengatasi keadaan yang sulit ini. Ia kemudian
meminta saran kepada seorang Brahmana yang kemudian pergi ke Drawaka untuk bertemu Krisna dan
menyampaikan surat yang dikirim Rukmini.
Hatiku telah menerimamu sebagai Tuhan dan pemimpin, Aku memintamu untuk datag dan
menyelamatkanku dari Sisupala yang akan membawa ku dengan paksa. Hal ini tidak dapat ditunda lagi,
datanglah esok. Pasukan Sisupala dan jarasandha akan berusaha menghadangmu sebelum engkau
mendapatkanmu. Semoga engkau berkenan menyelamatkan ku. Dan sebagai bagian dari upacara
perkawinan Aku akan berada di kuil untuk memuja Parvati (shakti Siva) bersama rombongan. Itu adalah
saat yang terbaik untuk datang dan menyelamatkanku. Jika Engkau tidak hadir maka aku akan mengakhiri
hidupku dan semoga akau akan bersatu dengan mu di kehidupan mendatang
Setelah Krisna membaca itu, Ia segera menaiki keretanya menuju Kundinapura, Ibukota Widarbha.
Balarama tahu kepergian yang tiba-tiba dan rahasia Krisna dan kemudian ia segera menyiapkan pasukan
dan menuju Kundinapura. Di kuil Rukmini berdoa, Oh Dewi, kuserahkan hidupku padamu. Melangkah
keluar kuil. Rukmini melihat Kereta Krisna dan segera berlari melayang bagikan jarum tersedot magnet
menuju kereta Krisna. Krisna mengemudikan kereta dibawah pandangan kagum semua yang melihat
mereka
Pengawal segera memberitahu Rukma mengenai apa yang terjadi, kemudian berkata Aku tidak akan
kembali sebelum membunuhnya! dan segera mengejar Krisna dengan pasukan yang besar. Sementara itu
Balarama telah tiba dengan pasukannya dan pertempuran pun terjadi. Balarama dan Krisna pulang dengan
memperoleh kemenangan.
Rukma yang telah kalah malu pulang kandang dan mendirikan kerajaan diantara Dwaraka dan
menamakannya menjadi Bhojakata. Ketika Ia mendengar akan diadakan perang Khurkshetra, Rukma
datang dengan pasukan besar berpikir untuk memperbaiki hubungannya dengan Krisna (Basudeva) dan
menawarkan bantuan pada Pandawa
Oh, Pandawa, Pasukan musuh begitu besarnya. Aku datang untuk menawarkan bantuan padamu.
Berikan aku perintah dan aku akan menyerang semua tempat yang engkau perintahkan. Aku punya
kekuatan untuk melawan Drona, Kripa dan bahkan Bhisma. Ku berikan kemenangan bagimu, katakanlah
kehendakmu Ujarnya pada Arjuna
Menoleh pada Basudeva, Arjuna tertawa
Oh penguasa Bhojakata, Kami tidak mengkhawatirkan jumah musuh. Kami belum memerlukan
bantuanmu. Engkau boleh menyingkir atau tetap di sekitar sini sesukamu, Ujar Arjuna
Rukma yang merasa marah dan malu, pergi ke Duryodana dengan pasukannya, Pandawa menolak
bantuan ku, Pasukanku terserah engkau akan apakan, katanya pada Duryodana
Jadi, setelah Pandawa menolakmu bantuanmu makanya engkau datang kemari? Saya tidak setakut itu
untuk menerimamu setelah mereka membuangmu jawab Duryodana
Rukma merasa terhina oleh duabelah pihak dan ia kembali kekerajaannya tanpa ambil bagian dari perang
besar itu
Di kisahkan juga perjalanan Salya Sang Raja Madra menuju markas Pandawa karena memihak
mereka, Salya membawa pasukan besar menuju Upaplawya untuk menyatakan dukungan terhadap
Pandawa menjelang meletusnya perang besar di Kurukshetra atau Baratayuda. Di tengah jalan
rombongannya singgah beristirahat dalam sebuah perkemahan lengkap dengan segala jenis hidangan.
Salya menikmati jamuan itu karena mengira semuanya berasal dari pihak Pandawa. Tiba-tiba para
Korawa yang dipimpin Duryodana muncul dan mengaku sebagai pemilik perkemahan tersebut beserta
isinya. Duryodana meminta Salya bergabung dengan pihak Korawa untuk membalas jasa. Sebagai
seorang raja yang harus berlaku adil, Salya pun bersedia memenuhi permintaan itu.
Salya kemudian menemui para keponakannya, yaitu Pandawa Lima untuk memberi tahu bahwa dalam
perang kelak, dirinya harus berada di pihak musuh. Para Pandawa terkejut dan sedih mendengarnya.
Namun Salya menghibur dengan memberikan restu kemenangan untuk mereka.
Untuk kesekian kalinya sebelum keputusan berperang, sekali lagi para Pandawa berusaha mencari sekutu
dengan mengirimkan surat permohonan kepada para Raja di daratan India Kuno agar mau mengirimkan
pasukannya untuk membantu para Pandawa jika perang besar akan terjadi. Begitu juga yang dilakukan
oleh para Korawa, mencari sekutu. Hal itu membuat para Raja di daratan India Kuno terbagi menjadi dua
pihak, pihak Pandawa dan pihak Korawa.
Sementara itu, Kresna mencoba untuk melakukan perundingan damai. Kresna pergi ke Hastinapura untuk
mengusulkan perdamaian antara pihak Pandawa dan Korawa. Namun Duryodana menolak usul Kresna
dan merasa dilecehkan, maka ia menyuruh para prajuritnya untuk menangkap Kresna sebelum
meninggalkan istana. Tetapi Kresna bukanlah manusia biasa. Ia mengeluarkan sinar menyilaukan yang
membutakan mata para prajurit Duryodana yang hendak menangkapnya. Pada saat itu pula ia
menunjukkan bentuk rohaninya yang hanya disaksikan oleh tiga orang berhati suci: Bisma, Drona, dan
Widura.
Setelah Kresna meninggalkan istana Hastinapura, ia pergi ke Uplaplawya untuk memberitahu para
Pandawa bahwa perang tak akan bisa dicegah lagi. Ia meminta agar para Pandawa menyiapkan tentara
dan memberitahu para sekutu bahwa perang besar akan terjadi.
Perang di Kurukshetra merupakan klimaks dari Mahbhrata, sebuah wiracarita tentang pertikaian Dinasti
Kuru sebagai titik sentralnya. Kurukshetra sendiri bermakna daratan Kuru, yang juga disebut
Dharmakshetra atau daratan keadilan. Lokasi ini dipilih sebagai ajang pertempuran karena merupakan
tanah yang dianggap suci. Dosa-dosa apa pun yang dilakukan di sana pasti dapat terampuni berkat
kesucian daerah ini.
Dataran Kurukshetra yang menjadi lokasi pertempuran ini masih bisa dikunjungi dan disaksikan sampai
sekarang. Kurukshetra terletak di negara bagian Haryana, India.
MAHABHARATA merupakan sastra klasik India yang besar sekali pengaruhnya terhadap khasanah
sastra Jawa Kuna, disamping Ramayana. Mahabharata disebut juga Astadasaparwa karena ceritanya
dibagi kedalam 18 parwa buah karya Bhagawan Krsna Dwipayana Wyasa. Dalam tulisan ini tidak
membahas cerita masing-masing parwa, tapi lebih menekankan pada kajian nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya, yang dapat dijadikan pedoman dalam tuntunan kehidupan sehari- hari. Adapun nilai-nilai yang
terkandung di dalam teks Astadasaparwa diantaranya adalah: Nilai ajaran dharma, nilai kesetiaan, nilai
pendidikan dan nilai yajna (korban suci). Nilai-nilai ini kiranya ada manfaatnya untuk direnungkan dalam
kehidupandewasaini.

Pertama, Nilai Dharma (kebenaran hakiki), inti pokok cerita Mahabharata adalah konflik (perang) antara
saudara sepupu (Pandawa melawan seratus Korawa) keturunan Bharata. Oleh karena itu Mahabharata
disebut juga Maha-bharatayuddha. Konflik antara Dharma (kebenaran/kebajikan) yang diperankan oeh
Panca Pandawa) dengan Adharma (kejahatan/kebatilan ) yang diperankan oleh Seratus Korawa. Dharma
merupakan kebajikan tertinggi yang senantiasa diketengahkan dalam cerita Mahabharata. Dalam setiap
gerak tokoh Pandawa lima, dharma senantiasa menemaninya. Setiap hal yang ditimbulkan oleh pikiran,
perkataan dan perbuatan, menyenangkan hati diri sendiri, sesama manusia maupun mahluk lain, inilah
yang pertama dan utama Kebenaran itu sama dengan sebatang pohon subur yang menghasilkan buah yang
semakin lama semakin banyak jika kita terus memupuknya. Panca Pandawa dalam menegakkan dharma,
pada setiap langkahnya selalu mendapat ujian berat, memuncak pada perang Bharatayuddha. Bagi siapa
saja yang berlindung pada Dharma, Tuhan akan melindunginya dan memberikan kemenangan serta
kebahagiaan. Sebagaimana yang dilakukan oleh pandawa lima, berlindung di bawah kaki Krsna sebagai
awatara Tuhan. " Satyam ewa jayate " (hanya kebenaran yang menang).
Kedua, nilai kesetiaan (satya), cerita Mahabharata mengandung lima nilai kesetiaan (satya) yang diwakili
oleh Yudhistira sulung pandawa. Kelima nilai kesetiaan itu adalah: Pertama, satya wacana artinya setia
atau jujur dalam berkata-kata, tidak berdusta, tidak mengucapkan kata-kata yang tidak sopan. Kedua,
satya hredaya, artinya setia akan kata hati, berpendirian teguh dan tak terombang-ambing, dalam
menegakkan kebenaran. Ketiga, satya laksana, artinya setia dan jujur mengakui dan bertanggung jawab
terhadap apa yang pernah diperbuat. Keempat, satya mitra, artinya setia kepada teman/sahabat. Kelima,
satya semaya, artinya setia kepada janji. Nilai kesetiaan/satya sesungguhnya merupakan media penyucian
pikiran. Orang yang sering tidak jujur kecerdasannya diracuni oleh virus ketidakjujuran. Ketidakjujuran
menyebabkan pikiran lemah dan dapat diombang-ambing oleh gerakan panca indria. Orang yang tidak
jujur sulit mendapat kepercayaan dari lingkungannya dan Tuhan pun tidak merestui.

Ketiga, nilai pendidikan, sistem Pendidikan yang di terapkan dalam cerita Mahabharata lebih
menekankan pada penguasaan satu bidang keilmuan yang disesuaikan dengan minat dan bakat siswa.
Artinya seorang guru dituntut memiliki kepekaan untuk mengetahui bakat dan kemampuan masing-
masing siswanya. Sistem ini diterapkan oleh Guru Drona, Bima yang memiliki tubuh kekar dan kuat
bidang keahliannya memainkan senjata gada, Arjuna mempunyai bakat di bidang senjata panah, dididik
menjadi ahli panah.Untuk menjadi seorang ahli dan mumpuni di bidangnya masing-masing, maka faktor
disiplin dan kerja keras menjadi kata kunci dalam proses belajar mengajar.

Keempat, nilai yajna (koban suci dan keiklasan), bermacam-macam yajna dijelaskan dalam cerita
Mahaharata, ada yajna berbentuk benda, yajna dengan tapa, yoga, yajna mempelajari kitab suci ,yajna
ilmu pengetahuan, yajna untuk kebahagiaan orang tua. Korban suci dan keiklasan yang dilakukan oleh
seseorang dengan maksud tidak mementingkan diri sendiri dan menggalang kebahagiaan bersama adalah
pelaksanaan ajaran dharma yang tertinggi (yajnam sanatanam). Kegiatan upacara agama dan dharma
sadhana lainnya sesungguhnya adalah usaha peningkatan kesucian diri. Kitab Manawa Dharmasastra
V.109 menyebutkan.:

"Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kejujuran (satya), atma disucikan dengan tapa
brata, budhi disucikan dengan ilmu pengetahuan (spiritual) "

Nilai-nilai ajaran dalam cerita Mahabharata kiranya masih relevan digunakan sebagai pedoman untuk
menuntun hidup menuju ke jalan yang sesuai dengan Veda. Oleh karena itu mempelajari kita suci Veda,
terlebih dahulu harus memahami dan menguasai Itihasa dan Purana ( Mahabharata dan Ramayana),
seperti yang disebutkan dalam kitab Sarasamuscaya sloka 49 sebagai berikut :

"Weda itu hendaknya dipelajari dengan sempurna, dengan jalan mempelajari itihasa dan purana, sebab
Weda itu merasa takut akan orang-orang yang sedikit pengetahuannya."**

Anda mungkin juga menyukai