Anda di halaman 1dari 61

Duryodana Duryodana (Sansekerta: ??? ?????

; Duryodhana) atau Suyodana adalah tokoh antagon is yang utama dalam wiracarita Mahabharata, musuh utama para Pandawa. Duryodana merupakan inkarnasi dari Iblis Kali. Ia lahir dari pasangan Dretarastra dan Gand ari. Duryodana merupakan saudara yang tertua di antara seratus Korawa. Ia menjabat sebagai raja di Kerajaan Kuru dengan pusat pemerintahannya di Hastinapura. Duryodana menikah dengan puteri Prabu Salya dan mempunyai putera bernama Laksmana (Laksmanakumara). Duryodana digambarkan sangat licik dan kejam, meski berwatak jujur, ia mudah terpengaruh hasutan karena tidak berpikir panjang dan t erbiasa dimanja oleh kedua orangtuanya. Karena hasutan Sangkuni, yaitu pamannya yag lici k dan berlidah tajam, ia dan saudara-saudaranya senang memulai pertengkaran dengan pih ak Pandawa. Dalam perang Bharatayuddha, bendera keagungannya berlambang ular kobra. Ia dikalahkan oleh Bima pada pertempuran di hari kedelapan belas karena pahanya dipukul dengan gada. Arti nama Secara harfiah, nama Duryodana dalam bahasa Sansekerta memiliki arti "sulit ditaklukkan" atau dapat pula berarti "tidak terkalahkan". Kelahiran Saat Gandari hamil dalam jangka panjang yang tidak wajar, ia memukul-mukul kandungannya dalam keadaan frustasi dn cemburu terhadap Kunti, yang telah memberikan Pandu tiga orang putera. Atas tindakannya, Gandari melahirkan gumpala n daging berwarna keabu-abuan. Kemudian Gandari memuja Byasa, seorang pertapa sakt i, yang kemudian memberi berkah seratus orang anak kepada Gandari. Kemudian Byasa memotong gumpalan daging tersebut menjadi seratus bagian, dan memasukkannya ke dalam pot. Kemudian pot-pot tersebut ditanam di dalam tanah selama satu tahun. S etelah satu tahun, pot tersebut digali kembali. Yang pertama kali dikeluarkan dari pot tersebut adalah Duryodana, diiringi oleh Dursasana, dan adik-adiknya yang lain. Tanda-tanda yang buruk mengiringi kemunculannya dari dalam pot. Para brahmana di keraton merasakan adanya tanda-tanda akan bencana yang buruk. Widura mengatakan bahwa jika tanda-tanda seperti itu mengiringi kelahiran putranya, itu tandanya k ekerasan akan mengakhiri dinasti tersebut. Widura dan Bisma menyarankan agar putera terse but dibuang, namun Dretarastra tidak mampu melakukannya karena rasa cinta dan ikatan emosional terhadap putera pertamanya itu. Pendidikan Tubuh Duryodana dikatakan terbuat dari petir, dan ia sangat kuat. Ia dihormati o leh adikadiknya, khususnya Dursasana. Dengan belajar ilmu bela diri dari gurunya, yaitu Krepa, Drona dan Balarama atau Baladewa, ia menjadi sangat kuat dengan senjata gada, da n setara dengan Bima, yaitu Pandawa yang kuat dalam hal tersebut. Persahabatan dengan Karna Saat para Korawa dan Pandawa unjuk kebolehan saat menginjak dewasa, munculah sesosok ksatria gagah perkasa yang mengaku bernama Karna. Ia menantang Arjuna ya ng disebut sebagai ksatria terbaik oleh Drona. Namun Krepa mengatakan bahwa Karna h arus mengetahui kastanya, agar tidak sembarangan menantang seseorang yang tidak setar a. Duryodana membela Karna, kemudian mengangkatnya menjadi raja di Kerajaan Anga.

Semenjak saat itu, Duryodana bersahabat dengan Karna. Baik Karna maupun Duryodan a tidak mengetahui, bahwa Karna sebenarnya merupakan putera Kunti. Karna juga merupakan harapan Duryodana agar mampu meraih kemenangan saat Bharatayuddha berlangsung, karena Duryodana percaya bahwa Karna adalah lawan yang sebanding dengan Arjuna. Perebutan kerajaan Duryodana memiliki sifat iri hati terhadap kekayaan Yudistira serta kemegahannya di Indraprastha. Terlebih lagi kepada para Pandawa lainnya yang selalu membuat hati nya jengkel. Berbagai usaha ingin dilakukannya untuk menyingkirkan para Pandawa, nam un selalu gagal berkat perlindungan Kresna. Duryodana memiliki seorang paman bernam a Sangkuni. Sifatnya sangat licik dan senang melontarkan ide-ide buruk untuk mempengaruhi keponakannya tersebut. Saat Duryodana datang berkunjung ke Istana Indraprastha, ia terkagum-kagum denga n kemegahan istana tersebut. Saat memasuki sebuah ruangan, ia mengira sebuah kolam sebagai lantai. Tak pelak lagi ia tercebur. Kejadian tersebut disaksikan oleh Dr opadi. Ia tertawa terpingkal-pingkal dan menghina Duryodana. Ia mengatakan bahwa anak oran g buta ternyata ikut buta juga. Mendengar hal itu, Duryodana sangat sakit hati. Da lam hati, ia marah besar terhadap Dropadi. Setelah pulang dari Indraprastha, Duryodana termenung memikirkan bagaimana cara mendapatkan harta Yudistira. Melihat keponakannya murung, Sangkuni menawarkan id e licik untuk mengajak Yudistira main dadu dengan taruhan harta dan kerajaan. Niat tersebut disetujui oleh Duryodana, termasuk Dretarastra yang terkena rayuan dan hasutan Sangkuni yang berlidah tajam. Pada hari yang dijanjikan, Yudistira bermain dadu dengan Duryodana yang diwakilkan oleh Sangkuni. Di awal permainan, Sangkuni membiarkan Yudistira menikmati kemenangan, namun pada pertengahan permainan, kemenangan terus dimenangkan oleh Sangkuni berkat kelicikannya. Akhirnya Yudistira menyerah kan harta, kerajaan, bahkan adik-adiknya sendiri, termasuk Dropadi, istrinya. Saat Dropadi disuruh untuk menanggalkan bajunya karena Yudistira sudah kalah tar uhan, ia tidak mau melakukannya. Dengan kasar Dursasana menarik kain Dropadi. Namun berkat pertolongan gaib dari Kresna, kain yang dikenakan Dropadi tidak habis mes ki terusmenerus ditarik dan diulur-ulur. Akhirnya Bima bersumpah bahwa ia akan memukul paha Duryodana kelak, karena Duryodana menghina Dropadi dengan menyuruh waniat terseb ut berbaring di atas pahanya. Pertempuran di Kurukshetra Saat Yudistira dan Pandawa lainnya sudah menjalankan masa pembuangan selama 12 tahun dan masa penyamaran selama setahun, mereka kembali ke Hastinapura dan meminta kembali kerajaan mereka sesuai dengan perjanjian yang sah. Namun Duryoda na bersikap sombong dan menolak permohonan Yudistira mentah-mentah. Yudistira kemudian meminta agar mereka diberikan lima buah desa saja, karena sudah merupak an kewajiban Pandawa untuk turut serta dalam pemerintahan sebagai pangeran Kerajaan Kuru. Duryodana pun bersikeras bahwa ia tidak akan mau memberikan tanah kepada Pandawa bahkan seluas ujung jarum pun. Duryodana menantang Pandawa untuk

melakukan peperangan. Sebelum pertempuran dimulai, Kresna datang ke hadapan Duryodana dan sesepuh Kerajaan Kuru seperti Dretarastra, Widura, Bisma, dan Drona. Ia datang untuk menyampaikan misi perdamaian. Namun usul Kresna ditolak juga oleh Duryodana. Dal am kesempatan tersebut, ia memiliki niat jahat untuk menculik Kresna. Namun Kresna mengetahui niat jahat Duryodana tersebut dan menampakkan wujud aslinya. Dengan gagalnya usaha Kresna, peperangan tak dapat dipungkiri lagi. Dalam pertempuran besar di Kurukshetra, Duryodana didampingi ksatria-ksatria kua t dan dengan segenap tenaga melindunginya, seperti misalnya Bisma, Drona, Karna, Aswatama, Salya, dan lain-lain. Ia menggantungkan harapannya untuk meraih kemenangan kepada Bisma dan Karna, karena mereka adalah ksatria yang unggul dan setara, atau bahkan melebihi Arjuna. Karna yang bersumpah setia akan selalu memi hak Duryodana, berusaha memberikan yang terbaik bagi sahabatnya tersebut. Namun satu persatu ksatria besar yang memihak Duryodana, gugur di medan laga dalam usaha membela Raja Hastinapura tersebut, termasuk ksatria yang sangat diharapkan Duryodana, yaitu Bisma dan Karna. Begitu pula saudara-saudaranya, seperti misaln ya Dursasana, Wikarna, Bima, Citraksa, dan lain-lain. Akhirnya, hanya beberapa ksatria besar di pihak Korawa masih bertahan hidup, sep erti misalnya Kretawarma, Krepa, Aswatama, dan Salya. Pada pertempuran di hari kedela pan belas, ia mengangkat Salya sebagai senapati pihak Korawa, namun pada hari itu ju ga Salya gugur di tangan Yudistira. Menjelang akhir peperangan tersebut, Duryodana mulai merasa cemas akan kekalahannya. Anugerah Gandari Ratu Gandari yang sedih dengan kematian putera-putranya, merasa cemas dengan Duryodana, putera satu-satunya yang masih bertahan hidup dalam peperangan. Agar puteranya tersebut mencapai kemenangan, ia memberikan sebuah kekuatan ajaib. Kekuatan tersebut berasal dari kedua matanya yang ia tutup. Jika kekuatan terseb ut dilimpahkan kepada tubuh Duryodna, maka ia akan kebal terhadap berbagai macam serangan. Ia menyuruh Duryodana agar mandi dan memasuki tenda dalam keadaan telanjang. Saat Duryodana ingin menghadap ibunya, ia berpapasan dengan Kresna yang baru saj a datang mengunjungi ibunya. Kresna mencela dan mengejek Duryodana yang mau datang ke hadapan ibunya sendiri dalam keadaan telanjang. Karena malu, Duryodana menutu pi bagian bawah perutnya, termasuk bagian pahanya. Saat Duryodana memasuki tenda, Gandari sudah menunggunya, kemudian wanita itu membuka penutup matanya. Saat matanya terbuka, kekuatan ajaib dilimpahkan ke tub uh Duryodana. Namun ketika Gandari melihat bahwa Duryodana menutupi bagian bawah perutnya, ia berkata bahwa bagian tersebut tidak akan kebal dari serangan musuhn ya karena bagian tersebut ditutupi saat Gandari melimpahkan kekuatan ajaibnya. Pertempuran terakhir dan kematian Saat Duryodana bertarung sendirian dengan Pandawa, Yudistira mengajukan tawaran, bahwa ia harus bertarung dengan salah satu Pandawa, dan jika Pandawa itu dikalah kan, maka Yudistira akan menyerahkan kerajaan kepada Duryodana. Duryodana memilih bertarung dengan senjata gada melawan Bima. Kedua-duanya memiliki kemampuan yang setara dalam memainkan senjata gada karena mereka berdua menuntut ilmu kepada gu

ru yang sama, yaitu Baladewa. Pertarungan terjadi dengan sengit, keduanya sama-sama kuat dan sama-sama ahli bergulat dan bertarung dengan senjata gada. Setelah bebe rapa lama, Duryodana mulai berusaha untuk membunuh Bima. Pada waktu itu, Kresna mengingatkan Bima akan sumpahnya bahwa ia akan mematahkan paha Duryodana karena perbuatannya yang melecehkan Dropadi. Atas petunjuk Kresna tersebut, Bima mengingat sumpahnya kembali dan langsung mengarahkan gadanya ke paha Duryodana. Setelah pahanya dipukul dengan keras, Duryodana tersungkur dan roboh. Ia mulai mengerang kesakitan, sebab bagian tubuhnya yang tidak kebal tela h dipukul oleh Bima. Saat Bima ingin mengakhiri riwayat Duryodana, Baladewa datang untuk mencegahnya dan mengancam bahwa ia akan membunuh Bima. Baladewa juga memarahi Bima yang telah memukul paha Duryodana, karena sangat dilarang untuk memukul bagian itu dalam pertempuran dengan senjata gada. Kresna kemudian menyadarkan Baladewa, bahwa sudah menjadi kewajiban bagi Bima untuk menunaikan sumpahnya. Kresna juga membeberkan kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh Duryodana. Duryodana lebih banyak melanggar aturan-aturan perang daripada Bima. Ia melakukan penyerangan secara curang untuk membunuh Abimanyu. I a juga telah melakukan berbagai perbuatan curang agar Indraprastha jatuh ke tangan nya. Duryodana gugur dengan perlahan-lahan pada pertempuran di hari kedelapan belas. Hanya tiga ksatria yang bertahan hidup dan masih berada di pihaknya, yaitu Aswat ama, Krepa, dan Kretawarma. Setelah Duryodana gugur, ia masuk neraka, namun kemudian menikmati kesenangan di surga karena ia gugur di Kurukshetra, tanah suci yang di berkati. Pandangan lain Dalam pandangan para sarjana Hindu masa kini, Duryodana merupakan raja yang kuat dan cakap, serta memerintah dengan adil, namun bersikap licik dan jahat saat ber usaha melawan saudaranya (Pandawa). Seperti Rawana, Duryodana sangat kuat dan berjaya, dan ahli dalam ilmu agama, namun gagal untuk mempraktekkannya dalam kehidupan. Namun kebanyakan umat Hindu memandangnya sebagai orang jahat yang suka mencari masalah. Duryodana juga merupakan salah satu tokoh yang sangat menghormati orangtuanya. Meskipun dianggap bersikap jahat, ia tetap menyayangi ibunya, yaitu Gandari. Set iap pagi sebelum berperang ia selalu mohon do'a restu, dan setiap kali ia berbuat demikia n, ibunya selalu berkata bahwa kemenangan hanya berada di pihak yang benar. Meskipun jawab an tersebut mengecilkan hati Duryodana, ia tetap setia mengunjungi ibunya setiap pa gi. Di wilayah Kumaon di Uttranchal, beberapa kuil yang indah ditujukan untuk Duryod ana dan ia dipuja sebagai dewa kecil. Suku Kumaon di pegunungan memihak Duryodana dalam Bharatayuddha. Ia dipuja sebagai pemimpin yang cakap dan dermawan. Dursasana Dursasana atau Duhsasana (ejaan Sansekerta: Dussasana) merupakan adik dari Duryodana, salah seorang Korawa yang cukup terkenal. Ia putra Prabu Dretarasta d engan Dewi Gandari. Badannya gagah, mulutnya lebar dan mempunyai sifat sombong, suka bertindak sewenang-wenang, menggoda wanita dan senang menghina orang lain. Ia mempunyai seorang istri bernama Dewi Saltani, dan berputra satu orang yakni Durs ala. Arti nama Nama Dursasana terdiri dari dua kata Sansekerta, yaitu dur atau duh, dan sasana. Secara

harfiah, kata Dussasana memiliki arti "sulit untuk dikuasai" atau "sulit untuk d iatasi". Kelahiran Saat Gandari hamil dalam jangka panjang yang tidak wajar, ia memukul-mukul kandungannya dalam keadaan frustasi dan cemburu terhadap Kunti, yang telah memberikan Pandu tiga orang putera. Atas tindakannya, Gandari melahirkan gumpala n daging berwarna keabu-abuan. Kemudian Gandari memuja Byasa, seorang pertapa sakt i, yang kemudian memberi berkah seratus orang anak kepada Gandari. Kemudian Byasa memotong gumpalan daging tersebut menjadi seratus bagian, dan memasukkannya ke dalam pot. Kemudian pot-pot tersebut ditanam di dalam tanah selama satu tahun. S etelah satu tahun, pot tersebut digali kembali. Yang pertama kali dikeluarkan dari pot tersebut adalah Duryodana, diiringi oleh Dursasana, dan adik-adiknya yang lain. Pelecehan Dropadi Saat Yudistira kalah main dadu dengan Duryodana, Dropadi yang menjadi taruhannya jatuh ke tangan Duryodana. Duryodana mengutus pengawalnya untuk menjemput Dropadi, namun Dropadi menolak. Kemudian Duryodana mengutus adiknya sendiri, yai tu Dursasana. Dengan kasar ia datang ke kediaman Dropadi kemudian menjambak rambut Dropadi serta menyeretnya sampai di arena dadu, dimana suami beserta ipar-iparny a berkumpul. Kemudian Duryodana menyuruh Pandawa dan Dropadi untuk menanggalkan pakaian mereka sebab harta mereka sudah menjadi milik Duryodana. Dropadi yang menolak untuk melepaskan pakaiannya, dipaksa oleh Dursasana. Dropad i memuja-muja Tuhan agar mendapatkan pertolongan. Kemudian Kresna muncul secara gaib (kasat mata) dan memberi keajaiban kepada pakaian Dropadi agar kain yang dikenakannya tidak habis-habis meski ditarik terus-menerus. Saat Dursasana menar ik pakaian Dropadi dengan paksa, kain sari yang melilit di tubuhnya tidak habis-hab is meski terus diulur-ulur. Akhirnya Dursasana merasa lelah dan pakaian Dropadi tidak ber hasil dilepas. Atas tindakan tersebut, Bima bersumpah bahwa kelak ia akan membunuh Dursasana, merobek dadanya, dan meminum darahnya. Kematian Dalam pertempuran besar di Kurukshetra, Bima membunuh Dursasana, merobek dadanya, dan meminum darahnya. Kemudian Bima membawa darah Dursasana kepada Dropadi. Dropadi mengoleskan darah tersebut pada rambutnya, sebagai tanda bahwa dendamnya terbalas. Kemattian Dursasana mengguncang perasaan Duryodana. Ia sanga t sedih telah kehilangan saudaranya yang tercinta tersebut. Semenjak itu ia bersum pah akan membunuh Bima. Dursasana dalam pewayangan Jawa Dursasana dikenal pula dalam khazanah pewayangan Jawa. Misalkan menurut cerita pedalangan Yogyakarta ia tewas dalam kisah Bratayuda babak 5 lakon Timpalan / Burisrawa Gugur atau lakon Jambakan / Dursasana Gugur. Menurut tradisi Jawa ia berkediaman di wilayah Banjarjungut, peninggalan mertuanya. Dalam kisah "Pandawa Dadu" (Sabhaparwa), Yudistira kalah bermain dadu sehingga kekayaan, keraton, saudara-saudara, dan istrinya telah berada dalam kekuasaan Ko rawa sebagai pembayaran taruhan. Dursasanalah yang paling bernafsu untuk menelanjangi Dropadi (istri Yudistira), sehingga Drupadi bersumpah akan menggulung rambutnya yang panjang jika telah keramas dengan darah dari Dursasana, begitu pula Bima bersump

ah akan meminum darah Dursasana sebelum mati. Dursasana tewas di tangan Bima dalam perang Bharatayuddha. Yuyutsu Yuyutsu (Dewanagari ??????? yuyutsu) adalah seorang tokoh protagonis dari wiraca rita Mahabharata. Ia adalah saudara para Korawa, dari ibu yang lain, seorang dayang-d ayang. Berbeda dengan para Korawa, ia memihak Pandawa saat perang di Kurukshetra. Hal i tu membuatnya menjadi penerus garis keturunan Drestarastra, sementara saudaranya ya ng lain (Korawa) gugur semua di medan Kuru atau Kurukshetra. Setelah Yudistira mengundurkan diri dari dunia, Yuyutsu diangkat menjadi raja di Indraprasta. Arti nama Nama Yuyutsu dalam bahasa Sansekerta artinya ialah "yang memiliki kemauan untuk berperang/bertempur". Dursala Dursala (alias Dushala, atau Dussala, dll) adalah nama adik perempuan Duryodana dalam kisah wiracarita India, Mahabharata. Ia satu-satunya Korawa yang berjenis kelami n wanita. Ia menikahi Jayadrata, Raja Kerajaan Sindhu dan Kerajaan Sauwira. Jayadr ata dibunuh oleh Arjuna saat perang di Kurukshetra. Dursala memiliki seorang putera bernama Suratha. Cucunya bertarung dengan Arjuna, ketika ia mengunjungi Kerajaan Sindhu setelah perang di Kurukshetra, untuk mengumpulkan upeti demi mendukung upacara Aswameddha yang diselenggarakan Yudistira. Dursala dalam pewayangan Jawa Dalam budaya pewayangan Jawa, Dursala juga disebut Dursilawati. Ia satu-satunya Korawa yang berjenis kelamin wanita. Dalam pewayang Jawa, ia memiliki sifat buru k, yaitu sangat menyukai lelaki suami orang dan suka menggoda. Bahkan ia pernah menggoda Arjuna, Pandawa yang paling tampan. Dropadi Dropadi atau Draupadi (Sansekerta: ?????; Draupadi) adalah salah satu tokoh dari Wiracarita Mahabharata. Ia adalah putri Prabu Drupada, Raja Kerajaan Panchala. P ada kitab Mahabharata versi aslinya, Dropadi adalah istri daripada para Pandawa lima semuanya. Tetapi dalam tradisi pewayangan Jawa di kemudian hari, ia hanyalah permaisuri prabu Yudistira saja. Arti nama Pada mulanya, Dropadi diberi nama "Kresna", merujuk kepada warna kulitnya yang kehitam-hitaman. Dalam bahasa Sanskerta, kata Krishna secara harfiah berarti gel ap atau hitam. Lambat laun ia lebih dikenal sebagai "Dropadi" (ejaan Sanskerta: Draupadi ), yang secara harfiah berarti "puteri Drupada". Nama "Pacali" juga diberikan kepadanya, yang secara harfiah berarti "puteri Kerajaan Panchala". Karena ia merupakan saudari d ari Drestadyumna, maka ia juga disebut Yajaseni. Kelahiran Dropadi merupakan anak yang lahir dari hasil Putrakama Yadnya, yaitu ritual untu k memperoleh keturunan. Dalam kitab Mahabharata diceritakan bahwa setelah Drupada dipermalukan oleh Drona, ia pergi ke dalam hutan untuk merencanakan pembalasan dendam. Kemudian ia memutuskan untuk memperoleh seorang putera yang akan membunuh Drona, serta seorang puteri yang akan menikah dengan Arjuna. Atas bantu

an dari Resi Jaya dan Upajaya, Drupada melangsungkan Putrakama Yadnya dengan sarana api suci. Dropadi lahir dari api suci tersebut. Perkawinan dengan para Pandawa Dalam kitab Mahabharata versi India dan dalam tradisi pewayangan di Bali, Dewi D ropadi bersuamikan lima orang, yaitu Panca Pandawa. Pernikahan tersebut terjadi setelah para Pandawa mengunjungi Kerajaan Panchala dan mengikuti sayembara di sana. Sayembara tersebut diikuti oleh para kesatria terkemuka di seluruh penjuru daratan Bharata warsha (India Kuno), seperti misalnya Karna dan Salya. Para Pandawa berkumpul bersama p ara kesatria lain di arena, namun mereka tidak berpakaian selayaknya seorang kesatri a, melainkan menyamar sebagai brahmana. Di tengah-tengah arena ditempatkan sebuah sasaran yang harus dipanah dengan tepat oleh para peserta dan yang berhasil melakukannya akan menjadi istri Dewi Dropadi. Para peserta pun mencoba untuk memanah sasaran di arena, namun satu per satu gag al. Karna berhasil melakukannya, namun Dropadi menolaknya dengan alasan bahwa ia tid ak mau menikah dengan putera seorang kusir. Karna pun kecewa dan perasaannya sangat kesal. Setelah Karna ditolak, Arjuna tampil ke muka dan mencoba memanah sasaran dengan tepat. Panah yang dilepaskannya mampu mengenai sasaran dengan tepat, dan sesuai dengan persyaratan, maka Dewi Dropadi berhak menjadi miliknya. Namun para peserta lainnya menggerutu karena seorang brahmana mengikuti sayembara sedangkan para peserta ingin agar sayembara tersebut hanya diikuti oleh golongan kesatria. Karena adanya keluhan tersebut maka keributan tak dapat dihindari lagi. Arjuna dan Bima bertarung dengan kesatria yang melawannya sedangkan Yudistira, Nakula, dan Sahadewa pulang menjaga Dewi Kunti, ibu mereka. Kresna yang turut hadir dalam sayembara tersebut tahu siapa sebenarnya para brahmana yang telah mendapatkan Dropadi dan ia berkata kepada para peserta bahwa sudah selayaknya para brahmana tersebut mendapatkan Dropadi sebab mereka telah berhasil memenangkan sayembara dengan baik. Setelah keributan usai, Arjuna dan Bima pulang ke rumahnya dengan membawa serta Dewi Dropadi. Sesampainya di rumah didapatinya ibu mereka sedang tidur berselimu t sambil memikirkan keadaan kedua anaknya yang sedang bertarung di arena sayembara . Arjuna dan Bima datang menghadap dan mengatakan bahwa mereka sudah pulang serta membawa hasil meminta-minta. Dewi Kunti menyuruh agar mereka membagi rata apa yang mereka peroleh. Namun Dewi Kunti terkejut ketika tahu bahwa putera-puterany a tidak hanya membawa hasil meminta-minta saja, namun juga seorang wanita. Dewi Ku nti tidak mau berdusta maka Dropadi pun menjadi istri Panca Pandawa. Upacara Rajasuya Pada saat Yudistira menyelenggarakan upacara Rajasuya di Indraprastha, seluruh k satria di penjuru Bharatawarsha diundang, termasuk sepupunya yang licik dan selalu iri, yaitu Duryodana. Duryodana dan Dursasana terkagum-kagum dengan suasana balairung Istana Indraprastha. Mereka tidak tahu bahwa di tengah-tengah istana ada kolam. Air kolam begitu jernih sehingga dasarnya kelihatan sehingga tidak tampak seperti ko lam. Duryodana dan Dursasana tidak mengetahuinya lalu mereka tercebur. Melihat hal it u,

Dropadi tertawa terbahak-bahak. Duryodana dan Dursasana sangat malu. Mereka tida k dapat melupakan penghinaan tersebut, apalagi yang menertawai mereka adalah Dropa di yang sangat mereka kagumi kecantikannya. Ketika tiba waktunya untuk memberikan jamuan kepada para undangan, sudah menjadi tradisi bahwa tamu yang paling dihormati yang pertama kali mendapat jamuan. Atas usul Bisma, Yudistira memberikan jamuan pertama kepada Sri Kresna. Melihat hal itu, Sisupala, saudara sepupu Sri Kresna, menjadi keberatan dan menghina Sri Kresna. Penghinaan itu diterima Sri Kresna bertubi-tubi sampai kemarahannya memuncak. Sisupala dibunuh dengan Cakra Sudarsana. Pada waktu menarik Cakra, tangan Sri Kresna mengeluarkan darah. Melihat hal tersebut, Dewi Dropadi segera menyobek ka in sarinya untuk membalut luka Sri Kresna. Pertolongan itu tidak dapat dilupakan Sr i Kresna. Dropadi dipermalukan di muka umum Setelah menghadiri upacara Rajasuya, Duryodana merasa iri kepada Yudistira yang memiliki harta berlimpah dan istana yang megah. Melihat keponakannya termenung, muncul gagasan jahat dari Sangkuni. Ia menyuruh keponakannya, Duryodana, agar mengundang Yudistira main dadu dengan taruhan harta, istana, dan kerajaan di Indraprastha. Duryodana menerima usul tersebut karena yakin pamannya, Sangkuni, merupakan ahlinya permainan dadu dan harapan untuk merebut kekayaan Yudistira ad a di tangan pamannya. Duryodana menghasut ayahnya, Dretarastra, agar mengizinkanny a bermain dadu. Yudistira yang juga suka main dadu, tidak menolak untuk diundang. Yudistira mempertaruhkan harta, istana, dan kerajaannya setelah dihasut oleh Dur yodana dan Sangkuni. Karena tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan, maka ia mempertaruhkan saudara-saudaranya, termasuk istrinya, Dropadi. Akhirnya Yudistir a kalah dan Dropadi diminta untuk hadir di arena judi karena sudah menjadi milik Duryodana. Duryodana mengutus para pengawalnya untuk menjemput Dropadi, namun Dropadi menolak. Setelah gagal, Duryodana menyuruh Dursasana, adiknya, untuk menjemput Dropadi. Dropadi yang menolak untuk datang, diseret oleh Dursasana yan g tidak memiliki rasa kemanusiaan. Rambutnya ditarik sampai ke arena judi, tempat suami dan para iparnya berkumpul. Karena sudah kalah, Yudistira dan seluruh adiknya di minta untuk menanggalkan bajunya, namun Dropadi menolak. Dursasana yang berwatak kasar , menarik kain yang dipakai Dropadi, namun kain tersebut terulur-ulur terus dan ta k habishabis karena mendapat kekuatan gaib dari Sri Kresna yang melihat Dropadi dalam bahaya. Pertolongan Sri Kresna disebabkan karena perbuatan Dropadi yang membalut luka Sri Kresna pada saat upacara Rajasuya di Indraprastha. Kematian Dalam kitab Mahaprasthanikaparwa diceritakan, setelah Dinasti Yadu musnah, para Pandawa beserta Dropadi memutuskan untuk melakukan perjalanan suci mengelilingi Bharatawarsha. Sebagai tujuan akhir perjalanan, mereka menuju pegunungan Himalay a setelah melewati gurun yang terbentang di utara Bharatawarsha. Dalam perjalanan menuju ke sana, Dropadi meninggal dunia. Suami dan keturunan Dalam kitab Mahabharata versi aslinya, dan dalam tradisi pewayangan di Bali, sua mi Dropadi berjumlah lima orang yang disebut Pandawa. Dari hasil hubungannya dengan kelima Pandawa ia memiliki lima putera, yakni:

1. Pratiwinda (dari hubungannya dengan Yudistira) 2. Sutasoma (dari hubungannya dengan Bima) 3. Srutakirti (dari hubungannya dengan Arjuna) 4. Satanika (dari hubungannya dengan Nakula) 5. Srutakama (dari hubungannya dengan Sadewa) Kelima putera Pandawa tersebut disebut Pancawala atau Pancakumara. Dropadi dalam pewayangan Jawa Dalam budaya pewayangan Jawa, khususnya setelah mendapat pengaruh Islam, Dewi Dropadi diceritakan agak berbeda dengan kisah dalam kitab Mahabharata versi asli nya. Dalam cerita pewayangan, Dewi Dropadi dinikahi oleh Yudistira saja dan bukan mil ik kelima Pandawa. Cerita tersebut dapat disimak dalam lakon "Sayembara Gandamana". Dalam lakon tersebut dikisahkan, Yudistira mengikuti sayembara mengalahkan Gandamana yang diselenggarakan Raja Dropada. Siapa yang berhasil memenangkan sayembara, berhak memiliki Dropadi. Yudistira ikut serta namun ia tidak terjun k e arena sendirian melainkan diwakili oleh Bima. Bima berhasil mengalahkan Gandamana dan akhirnya Dropadi berhasil didapatkan. Karena Bima mewakili Yudistira, maka Yudis tiralah yang menjadi istri Dropadi. Dalam tradisi pewayangan Jawa, putera Dropadi dengan Yudistira bernama Raden Pancawala. Pancawala sendiri merupakan sebutan untuk lim a putera Pandawa. Akulturasi budaya Terjadinya perbedaan cerita antara kitab Mahabharata dengan cerita dalam pewayan gan Jawa karena pengaruh perkembangan agama Islam di tanah Jawa. Setelah Kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu runtuh, munculah Kerajaan Demak yang bercorak Isla m. Pada masa itu, segala sesuatu harus disesuaikan dengan hukum agama Islam. Pertunjukan wayang yang pada saat itu sangat digemari oleh masyarakat, tidak dib erantas ataupun dilarang melainkan disesuaikan dengan ajaran Islam. Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh memiliki suami lebih dari satu. Maka dari itu, cerita Dewi Dropadi dalam kitab Mahabharata versi asli yang bercorak Hindu menyalahi hukum I slam. Untuk mengantisipasinya, para pujangga ataupun seniman Islam mengubah cerita tersebut agar sesuai dengan ajaran Islam. Hidimbi Dalam wiracarita Mahabharata, Hidimbi adalah seorang rakshasi. Ia merupakan saud ara Hidimba, seorang rakshasa. Hidimbi menikah dengan Bima, salah satu Pandawa, dan melahirkan seorang putera bernama Gatotkaca. Dalam budaya pewayangan Jawa, tokoh ini dikenal juga dengan nama Arimbi. Hidimbi dalam Mahabharata Hidimbi bertemu dengan Bima saat ia berkelana dalam hutan bersama Pandawa bersaudara dan ibu Kunti. Kakak Hidimbi yang bernama Hidimba, menyuruhnya untuk membawa daging manusia, namun ketika menjumpai Bima yang sedang duduk di tengah hutan, ia jatuh cinta dan tidak tega membunuhnya. Ia berubah menjadi wanita cant ik, tinggi, berkulit gelap, dan menghampiri Bima. Ketika Hidimba datang untuk membun uh Bima, ia mencoba untuk menyerang Hidimbi namun Hidimbi dilindungi oleh Bima, yan g kemudian membunuh Hidimba. Kemudian Bima melamar Hidimbi. Hidimbi tinggal di hut an bersama para Pandawa dan kemudian memberi Bima seorang putera bernama Gatotkaca. Saat Pandawa meninggalkan hutan, Bima harus meninggalkannya sebab

mereka dalam persiapan perang. Bertahun-tahun kemudian mereka bertemu kembali. Dengan kemiripan nama, Hidimba dan Hidimbi dianggap merupakan saudara kembar. Hidimbi dalam pewayangan Jawa Dalam Mahabharata, Dewi Arimbi atau Hidimbi adalah putri kedua Prabu Arimbaka, r aja rakshasa negara Pringgandani, dengan Dewi Hadimba. Ia mempunyai tujuh orang saudara kandung, bernama Arimba alias Hidimba, Arya Prabakesa, Brajadenta, Brajamusti, Brajalamatan, Brajawikalpa dan Kalabendana. Dewi Arimbi menikah dengan Bima alias Werkudara, salah seorang dari lima ksatria Pandawa, putra Prabu Pandu, raja negara Astina dari permaisuri Dewi Kunti. Dari perkawinan itu ia mempunyai seorang putera yang diberi nama Gatotkaca. Dewi Arimbi menjadi ratu negara Pringgandani, menggantikan kedudukan kakaknya, Prabu Arimba, yang tewas dalam peperangan melawan Bima. Namun karena Dewi Arimbi lebih sering tinggal di Kesatrian Jodipati mengikuti suaminya, kekuasaan negara Pringgandani diwakilkan kepada adiknya, Brajadenta sampai Gatotkaca dewasa dan diangkat menjadi raja negara Pringgandani bergelar Prabu Kacanegara. Dewi Arimbi mempunyai kesaktian, antara lain dapat beralih rupa dari wujudnya be rupa rakshasa menjadi putri cantik jelita. Kesaktian ini ia dapatkan dari sabda Dewi Kunti karena Werkodara menolak mengawini Dewi Arimbi yang saat itu masih berujud rasha ksi (rakshasa perempuan) yang menyeramkan. Ia mempunyai sifat jujur, setia, berbakti dan sangat sayang terhadap puteranya. Akhir dari kehidupannya diceritakan, dia gugur di medan Perang Bharatayuddha membela putranya, Gatotkaca, yang sebelumnya gugur terkena Panah Kunta Wijayandanu atau Konta milik Adipati Karna, raja negara Awan gga. Gatotkaca Gatotkaca atau Gatutkaca (Sansekerta: ???????; ejaan: Gha?otkacha) adalah seoran g tokoh dalam wiracarita Mahabharata. Ia adalah putra Bima (Werkodara) dan Hidimbi . Karena menurun dari wujud ibunya, maka separuh badannya merupakan raksasa yang mana hal ini banyak memberi kesaktian dan membuat dirinya menjadi seorang ksatri a penting di medan Kuru (medan perang) pada saat terjadinya Bharatayuddha. Arti nama Dalam bahasa Sansekerta, kata Ghatotkacha secara harfiah berarti "memiliki kepal a seperti kendi". Nama Gatotkaca sebenarnya merupakan julukan (nama panggilan seha rihari). Kata ini diambil dari bahasa Sansekerta gha?am yang berarti "buli-buli" atau "ke ndi", karena sewaktu lahir kepalanya dianggap mirip dengan benda ini. Keluarga Gatotkaca adalah putra dari Bima dan Arimbi (Hidimbi). Ia sendiri menikah dengan Dewi Pergiwa dan mempunyai putra bernama Sasikirana. Dari istri yang lain, Ahilawati, Gatotkaca memiliki anak bernama Barbarika. Cerita pernikahan antara Gatotkaca de ngan Pergiwa sangat dikenal dalam cerita wayang dengan lakon "Gatotkaca gandrung" (ma sa jatuh cinta dari Gatotkaca). Gatotkaca dalam budaya pewayangan Jawa Dalam khazanah pewayangan Jawa Baru, tokoh Gatotkaca juga sangat populer. Gatotkaca dikatakan bahwa ia memiliki kesaktian yang sanggup terbang dan mempuny ai "otot kawat baja dan tulang besi". Nama lain Gatotkaca yang juga populer dalam

khazanah sastra Jawa Baru adalah Tutuka atau Tetuka. Gatotkaca mempunyai pusaka berupa Keris Kalanadhah yang didapat dari pamannya, Arjuna. Selain itu, pakaiannya merupakan pemberian dari para Dewa, antara lain p akaian Caping Basunandho (tidak akan kehujanan ataupun kepanasan), pakaian Kotang Ontokusumo (bisa terbang), dan Trumpah (sandal) Probokacermo (tidak akan tergang gu jika melalui jalan atau tempat yang angker). Masa kecil Pada masa kecil Gatotkaca, yang bernama Bambang Tetuka, dijadikan jago para Dewa untuk menghadapi penyerang kahyangan (nirwana), yakni Patih Sekipu Montro. Gatot kaca lalu dimasukkan oleh batara Narada ke kawah Candradimuka bersama dengan berbagai pusaka baja kahyangan, sehingga saat keluar dari kawah Candradimuka, Gatotkaca k ecil (Bambang Tetuka) yang tadinya masih berwujud raksasa (buto bajang), sekarang tel ah menjadi ksatriya yang gagah dan pilih tanding. Dari sinilah, kemudian, Gatotkaca menjadi berotot kawat dan bertulang besi. Gatotkaca juga diberi berbagai macam pusaka se rta diberi nama "Raden Krincing Wesi" (nama Gatotkaca pun di peroleh dari sini, seba gai pemberian dari Dewa). Raden Gatotkaca lalu menjadi raja menggantikan ibunya Dewi Arimbi di negara Pringgondani. Negara ini kemudian menjadi bagian dari negara Amarta atau Indrapr astha, dan Raden Krincing Wesi ini mengambil gelar "Prabu Anom Gathutkaca". Masa dewasa Gatotkaca memiliki beberapa ajian di antaranya: Aji Narantaka, Aji Brajadenta, A ji Brajamusti. Selain itu, dia menjadi penanggung jawab keamanan udara di kerajaan amarta, karena kemampuannya yang bisa terbang. Di angkasa ini, Gatotkaca mempuny ai markas yang disebut Mego Malang (awan yang melintang). Gatotkaca juga mempunyai kendaraan berupa sepasang burung Garuda bernama Wilmuka (yang dulu ketika masih kecil ditaruh di atas kepala pangeran Palasara s aat sedang bertapa), dan burung garuda satunya bernama Arimuka yang dimiliki oleh Pr abu Bomanarakasura (Raja Trajutresna, putra Prabu Kresna) yang secara kebetulan juga menjadi musuh bebuyutan dari Gatotkaca. Pada masa dewasanya Gatotkaca memperistri Dewi Pergiwa, dan terpilih menjadi senopati negara amarta pada perang Bharatayuddha, dan setelah menerima wahyu Jayaningrat serta Topeng Waja. Bharatayuddha Dalam cerita wayang dengan nama lakon "Gathotkaca Gugur", pada saat perang Baratayudha, diceritakan bahwa Adipati Karna (dari keluarga Astina) berangkat pe rang pada waktu malam hari, dan hanya Gatotkaca yang dianggap bisa menandinginya, kar ena dada Gatotkaca bisa bersinar akibat dari daya kotang Antakusuma (baju yang dimil iki). Namun, akhirnya Gatotkaca kalah dalam perang melawan Adipati Karna ini, karena Adipati Karna memiliki Pusaka ampuh bernama, Kuntawijayadanu. Warangka dari pusa ka Kunta (Wijayadanu) ini masih tertanam di pusar Raden Gatotkaca sendiri, sejak di a lahir (yang waktu itu dipakai untuk mengiris tali pusarnya). Sebenarnya pusaka atau se njata

Kuntawijayandanu ini tidak sampai menyentuh ke tubuh Gatotkaca, tetapi Kalabenda na (roh paman dari Gatotkaca) membawa senjata ini sampai ke pusar Gatotkaca (sebaga i balas dendam karena dahulu Gathotkaca telah membunuhnya). Sebelum mati Gatotkaca mempunyai permintaan, yaitu bersedia mati tetapi harus di ganti dengan kematian dari 1000 prajurit musuh. Tubuh Gatotkaca lalu jatuh dari angkas a karena terkena pusaka Kunta (Wijayandanu) tersebut, kemudian, tepat mengenai ker eta Adipati Karna (lawan perangnya). Sebagai akibatnya, pecahan kereta ini mencedera i 1000 prajurit Astina (musuhnya) sehingga semuanya tewas seketika. Ahilawati Ahilawati adalah nama seorang tokoh wanita dalam wiracarita Mahabharata. ia merupakan seorang Nag Kanya atau "gadis naga" dan menikahi putera Bima yang bernama Gatotkaca. Sebelum pernikahannya, ia dikenal sebagai Maurwi. Ia dimenang kan oleh Gatotkaca setelah melewati ujian berat. Maurwi mengajukan berbagai macam pertayaan dan Gatotkaca berhasil menjawab semuanya. Ia merupakan ibu dari Barbar ika yang lebih dikenal sebagai Khatushyamji. Ia memberi pelajaran kepada Barbarika s upaya membantu para pecundang dan oleh karena itu, Barbarika mendapat nama Hare Ka Sahara. Utara (Mahabharata) Dalam wiracarita Mahabharata, Utara adalah nama putera dan puteri dari Raja Wira ta atau Matsyapati dari Kerajaan Wirata, yang termasuk wlayah Kerajaan Matsya. Utara Utara (Sansekerta: ???; Uttara) adalah nama salah satu putera Raja Wirata. Ia tu rut serta dalam pertempuran besar di Kurukshetra dan memihak Pandawa. Ia terbunuh pada har i pertama oleh Salya dari pihak Korawa. Saudaranya yang lain, yaitu Sweta dan Wretsangka, terbunuh di tangan Bisma. Utara memiliki adik perempuan bernama Utar aa. Utaraa Utaraa (Sansekerta: ????; Uttara) atau Utari, adalah nama puteri Raja Wirata. Ia menikah dengan Abimanyu, putra Arjuna. Dari perkawinannya ia memiliki seorang putera ber nama Parikesit. Utara mempunyai tiga saudara bernama Sweta, Utara, dan Wratsangka. Me reka bertiga tewas di tangan Bisma Dewabrata dalam perang Bharatayuddha. Pada saat Ut ara mengandung Parikesit, senjata sakti yang dilepaskan oleh Aswatama mengarah ke janinnya. Namun atas perlindungan gaib dari Kresna, janin tersebut terlindungi. Dengan selamat, bayi tersebut lahir sebagai penerus Dinasti Kuru dan bernama Parikesit. Ulupi Ulupi atau Uloopi, dalam wiracarita Mahabharata, merupakan salah satu istri Arju na. Ia merupakan ibu dari Irawan. Ia juga mampu menghidupkan Arjuna setelah dibunuh ole h Babruwahana dalam pertempuran. Citranggada Dalam wiracarita Mahabharata, Citrangada (Sansekerta: ???????) adalah adik perem puan

Raja Manipur dan merupakan salah satu istri Arjuna. Mereka pertama kali bertemu pada saat masa pengasingan diri Arjuna di Manipur. Anaknya bernama Citrangad dan Babruwahana. Amba Amba (Sansekerta: ??? ??; Amba) adalah puteri sulung dari raja di Kerajaan Kasi dalam wiracarita Mahabharata. Bersama dengan tiga adiknya yang lain, yaitu Ambika dan Ambalika, Amba diboyong ke Hastinapura oleh Bisma untuk diserahkan kepada Satyaw ati dan dinikahkan kepada adiknya yang bernama Wicitrawirya, raja Hastinapura. Amba dalam Mahabharata Penolakan Bisma Kedua adik Amba menikah dengan Wicitrawirya, namun hati Amba tertambat kepada Bisma. Amba berkata, "Dewabrata, saya tidak mau diberikan kepada adikmu. Tujuanm u dahulu adalah mengambil kami bertiga untukmu, dan ayahku memberikan kami untukmu saja, setelah sayembara itu". Bisma yang bersumpah untuk tidak kawin seumur hidup, menolak untuk menikah denga n Amba karena takut melanggar sumpah. Namun kemanapun ia pergi, Amba selalu mengikutinya. Akhirnya Bisma mengungsi ke tempat gurunya, yaitu Rama Bargawa ata u Parasurama. Cukup lama ia tinggal di sana, jauh dari Hastinapura, meninggalkan keluarganya. Parasurama heran dengan puteri cantik yang selalu mengikuti Bisma. Atas penjelasan Bisma, Parasurama tahu bahwa puteri cantik tersebut bernama Amba. Parasurama membujuk Bisma agar mau menikahi Amba. Karena terus-menerus mengatakan sesuatu yang membuat Bisma tidak nyaman, Bisma mendorong gurunya tersebut hingga jatuh. Semenjak itu, Parasurama mengusir Bisma dan bersumpah bah wa ia tidak akan menerima murid dari kasta Kshatriya lagi. Kematian Amba Dalam pengembaraan Bisma, Amba selalu mengikutinya. Akhirnya Bisma menodongkan panah ke arah Amba, untuk menakut-nakutinya agar ia segera pergi. Namun Amba berkata, "Dewabrata, saya mendapat bahagia atau mati, karena tanganmu. Saya malu jika harus pulang ke tempat orang tuaku ataupun kembali Hastinapura. Dimanakah tempat bagiku untuk berlindung?" Bisma terdiam mendengar perkataan Amba. Lama ia merentangkan panahnya sehingga tangannya berkeringat. Panah pun terlepas karena tangannya basah dan licin oleh keringat. Panahnya menembus dada Amba. Dengan segera Bisma membalut lukanya. Ia menangis tersedu-sedu. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Amba berpesan kepada Bisma, bahwa ia akan menjelma sebagai anak Raja Drupada yang banci, yang ikut serta dalam pertempuran akbar antara Pandawa dan Korawa. Setelah Amba berpesan kepada Bisma untuk yang terakhir kalinya, ia pun menghembuskan nafas terakhirnya, seperti tidur nampaknya. Dalam kehidupan selanjutnya, Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi, yang memihak Pandawa saat pera ng di Kurukshetra. Srikandi adalah anak Raja Drupada dari Kerajaan Panchala yang berkelamin netral atau waria (wanita+pria). Amba dalam pewayangan Jawa Kisah hidup Amba antara kitab Adiparwa (buku pertama Mahabharata) dan pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan, seperti misalnya nama-nama tokoh maupun keraja an di India yang diubah agar bernuansa Jawa, namun perbedaan tersebut tidak terlalu besar karena inti ceritanya sama. Riwayat Amba Dewi Amba adalah putri sulung dari tiga bersaudara, putri Prabu Darmahumbara, ra

ja negara Giyantipura dengan peramisuri Dewi Swargandini. Kedua adik kandungnya bernama: Dewi Ambika (Ambalika) dan Dewi Ambiki (Ambaliki). Dewi Amba dan kedua adiknya menjadi putri boyongan Resi Bisma (Dewabrata), putra Prabu Santanu dengan Dewi Jahnawi (Dewi Gangga) dari negara Astina yang telah berhasil memenangkan sayembara tanding di negara Giyantipura dengan membunuh Wahmuka dan Arimuka. Karena merasa sebelumnya telah dipertunangkan dengan Prabu Citramuka, raja negara Swantipura, Dewi Amba memohon kepada Dewabrata agar dikembalikan kepada Prabu Citramuka. Persoalan mulai timbul. Dewi Amba yang ditolak oleh Prabu Citramuka karena telah menjadi putri boyongan, keinginannya ikut ke Astina juga ditolak Dewabarata. Kar ena Dewi Amba terus mendesak dan memaksanya, akhirnya tanpa sengaja ia tewas oleh panah Dewabrata yang semula hanya bermaksud untuk menakut-nakutinya. Sebelum meninggal Dewi Amba mengeluarkan kutukan, akan menuntut balas kematiannya dengan perantaraan seorang prajurit wanita, yaitu Srikandi. Kutukan Dewi Amba terhadap Dewabrata menjadi kenyataan. Dalam perang Bharatayuda arwahnya menjelma dalam tubuh Dewi Srikandi yang berhasil menewaskan Resi Bisma (Dewabrata). Barbarika Dalam wiracarita Mahabharata, Barbarika (IAST: Barbarika) adalah putera Gatotkac a dan Maurwi, puteri Muru, seorang Raja Yadawa. Barbarika sebenarnya seorang yaksha, dan terlahir sebagai manusia. Ia bertarung dalam pertempuran akbar di pihak Korawa. Meskipun ia ingin bertarun g di pihak Pandawa, ia teguh pada prinsipnya untuk bertarung di pihak yang mengalami kekalahan, maka dari itu ia memihak Duryodana karena Duryodana menderita kekalah an lebih banyak daripada Pandawa. Maka ia bertarung dengan ayahnya, Gatotkaca, dan kakeknya, Bima, dan mengalahkan mereka berdua. Ia menjadi tak terkendali dalam pertempuran, dan bahkan mengalahkan ksatria yang konon tak dapat ditaklukkan sep erti misalnya Arjuna dan Satyaki. Akhirnya ia dibunuh oleh Kresna, yang memakai senja ta Sudarshana Chakra miliknya. Ia bergabung dengan pasukan Korawa pada hari ke-14 Bharatayuddha setelah kematian Jayadrata di tangan Arjuna. Untuk versi lain tentang kisah dan kehidupannya, lihat Khatushyamji. Babruwahana Babruwahana adalah salah satu putera Arjuna, buah hatinya dengan Chitrangada, pu teri dari Manipur. Babruwahana diadopsi oleh kakeknya dari Manipur dan menjadi Raja d i sana. Pada masa pemerintahannya, negaranya makmur dan kehidupannya dikelilingi o leh kejayaan. Babruwahana membunuh ayahnya sendiri (Arjuna) pada saat Arjuna datang ke Manipur untuk upacara Aswamedha. Mengetahui bahwa ia telah melakukan dosa besar, ia berusaha untuk bunuh diri. Namun Ibu tirinya, Ulupi, mencegahnya dan menghidupka n kembali Arjuna dengan sebuah pusaka. Kejadian ini disebabkan oleh kutukan para W asu karena Arjuna membunuh Bhisma (reinkarnasi salah satu Wasu) pada saat perang di Kurukshetra. Irawan Irawan atau Irawat ( Sansekerta: ???? ), merupakan putera dari pasangan Arjuna d an Ulupi. Ia ikut berpartisipasi dalam perang di Kurukshetra dan memihak Pandawa. P ada hari kedelapan pertempuran, ia terbunuh oleh Rakshasa Alumwusha.

Abimanyu Abimanyu (Sanskerta: ????????, abhiman'yu) adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata. Ia adalah putera Arjuna dari salah satu istrinya yang bernama Subad ra. Ditetapkan bahwa Abimanyu-lah yang akan meneruskan Yudistira. Dalam wiracarita Mahabharata, ia dianggap seorang pahlawan yang tragis. Ia gugur dalam pertempura n besar di Kurukshetra sebagai kesatria termuda dari pihak Pandawa, karena baru be rusia enam belas tahun. Abimanyu menikah dengan Utara, puteri Raja Wirata dan memiliki seorang putera bernama Parikesit, yang lahir setelah ia gugur. Arti nama Abimanyu terdiri dari dua kata Sanskerta, yaitu abhi (berani) dan man'yu (tabiat ). Dalam bahasa Sansekerta, kata Abhiman'yu secara harfiah berarti "ia yang memiliki sifa t tak kenal takut" atau "yang bersifat kepahlawanan". Kelahiran, pendidikan, dan pertempuran Saat belum lahir karena berada dalam rahim ibunya, Abimanyu mempelajari pengetah uan tentang memasuki formasi mematikan yang sulit ditembus bernama Chakrawyuha dari Arjuna. Mahabharata menjelaskan bahwa dari dalam rahim, ia menguping pembicaraan Kresna yang sedang membahas hal tersebut dengan ibunya, Subadra. Kresna berbicar a mengenai cara memasuki Chakrawyuha dan kemudian Subadra (ibu Abimanyu) tertidur maka sang bayi tidak memiliki kesempatan untuk tahu bagaimana cara meloloskan di ri dari formasi itu. Abimanyu menghabiskan masa kecilnya di Dwaraka, kota tempat tinggal ibunya. Ia d ilatih oleh ayahnya yang bernama Arjuna yang merupakan seorang ksatria besar dan diasuh di bawah bimbingan Kresna. Ayahnya menikahkan Abimanyu dengan Uttara, puteri Raja Wirata, untuk mempererat hubungan antara Pandawa dengan keluarga Raja Wirata, sa at pertempuran Bharatayuddha yang akan datang. Pandawa menyamar untuk menuntaskan masa pembuangannnya tanpa diketahui di kerajaan Raja Wirata, yaitu Matsya. Sebagai cucu Dewa Indra, Dewa senjata ajaib sekaligus Dewa peperangan, Abimanyu merupakan ksatria yang gagah berani dan ganas. Karena dianggap setara dengan kemampuan ayahnya, Abimanyu mampu melawan ksatria-ksatria besar seperti Drona, Karna, Duryodana dan Dursasana. Ia dipuji karena keberaniannya dan memiliki rasa setia yang tinggi terhadap ayahnya, pamannya, dan segala keinginan mereka. Kematian Abimanyu Pada hari ketiga belas Bharatayuddha, pihak Korawa menantang Pandawa untuk mematahkan formasi perang melingkar yang dikenal sebagai Chakrawyuha. Para Pandawa menerima tantangan tersebut karena Kresna dan Arjuna tahu bagaimana cara mematahkan berbagai formasi. Namun, pada hari itu, Kresna dan Arjuna sibuk bertarung dengan laskar Samsaptaka . Oleh karena Pandawa sudah menerima tantangan tersebut, mereka tidak memiliki pil ihan namun mencoba untuk menggunakan Abimanyu yang masih muda, yang memiliki pengetahuan tentang bagaimana cara mematahkan formasi Chakrawyuha namun tidak tahu bagaimana cara keluar dari dalamnya. Untuk meyakinkan bahwa Abimanyu tidak akan terperangkap dalam formasi tersebut, Pandawa bersaudara memutuskan bahwa mereka dan sekutu mereka akan mematahkan formasi itu bersama Abimanyu dan membantu sang pemuda keluar dari formasi tersebut. Pada hari penting itu, Abimanyu menggunakan kecerdikannya untuk menembus formasi tersebut. pandawa bersaudara dan sekutunya mencoba untuk mengikutinya di dalam

formasi, namun mereka dihadang oleh Jayadrata, Raja Sindhu, yang memakai anugera h Siwa agar mampu menahan para Pandawa kecuali Arjuna, hanya untuk satu hari. Abimanyu ditinggal sendirian untuk menangkis serangan pasukan Korawa. Abimanyu membunuh dengan bengis beberapa ksatria yang mendekatinya, termasuk putera Duryodana, yaitu Laksmana. Setelah menyaksikan putera kesayangannya terbunuh, Duryodana marah besar dan menyuruh segenap pasukan Korawa untuk menyerang Abimanyu. Karena gagal menghancurkan baju zirah Abimanyu, atas nasihat Drona, Karna menghancurkan busur Abimanyu dari belakang. Kemudian keretanya dihancurkan, kusir dan kudanya dibunuh, dan seluruh senjatanya terbuang. Putera Dursasana mencoba untuk bertarung dengan tangan kosong dengan Abimanyu. Namun tanpa menghiraukan aturan perang, pihak Korawa menyerang Abimanyu secara serenta k. Abimanyu mampu bertahan sampai pedangnya patah dan roda kereta yang ia pakai sebagai perisai hancur berkeping-keping. Tak berapa lama kemudian, Abimanyu dibu nuh oleh putera Dursasana dengan cara menghancurkan kepalanya dengan gada. Arjuna membalas dendam Berita kematian Abimanyu membuat Arjuna sangat sedih dan sakit hati. Ia sadar, b ahwa seandainya Jayadrata tidak menghalangai para Pandawa memasuki formasi Chakrawyuha, Abimanyu pasti mendapat bantuan. Ia kemudian bersumpah akan membunuh Jayadrata pada hari berikutnya sebelum matahari tenggelam. Menanggapi h al itu, pihak Korawa menempatkan Jayadrata sangat jauh dari Arjuna. Ribuan prajurit dan ksatria mengelilingi dan melindungi Jayadrata. Arjuna berusaha menjangkau Jayadr ata, namun ribuan pasukan Korawa mengahalanginya. Hingga matahari hampir terbenam, Jayadrata masih jauh dari jangkauan Arjuna. Melihat hal ini, Kresna menggunakan kecerdikannya. Ia membuat gerhana matahari, sehingga suasana menjadi gelap seola holah matahari sudah tenggelam. Pihak Korawa maupun Pandawa mengira hari sudah malam, dan sesuai aturan, mereka menghentikan peperangan dan kembali ke kubu masing-masing. Dengan demikian, pihak Korawa tidak melanjutkan pertarungan dan Jayadrata tidak dalam perlindungan mereka lagi. Saat kereta Arjuna dekat dengan kereta Jayadrata, matahari muncul lagi dan Kresna menyuruh Arjuna agar menggunakan kesempatan tersebut untuk membunuh Jayadrata. Arjuna mengangkat busurnya dan meluncurkan panah, memutus leher Jayadrata. Tepat pada saat tersebut, hari sudah sore, matahari sudah tenggelam dan Arjuna berhasil menuntaskan sumpahnya untuk membunuh Jayadrata. Penjelasan mengenai kematiannya Abimanyu adalah inkarnasi dari putera Dewa bulan. Ketika Sang Dewa bulan ditanya oleh Dewa yang lain mengenai kepergian puteranya ke bumi, ia membuat perjanjian bahwa puteranya tinggal di bumi hanya selama 16 tahun sebagaimana ia tak dapat menahan perpisahan dengan puteranya. Abimanyu berusia 16 tahun saat ia terbunuh dalam pertempuran. Putera Abimanyu, yaitu Parikesit, lahir setelah kematiannya, dan menjadi satu-sa tunya kesatria Keluarga Kuru yang selamat setelah Bharatayuddha, dan melanjutkan garis keturunan Pandawa. Abimanyu seringkali dianggap sebagai kesatria yang terberani dari pihak Pandawa, yang sudi melepaskan hidupanya saat peperangan dalam usia yang masih sangat muda. Abimanyu dalam pewayangan Jawa Dalam khazanah pewayangan Jawa, Abimanyu, sebagai putra Arjuna, merupakan tokong penting. Di bawah ini dipaparkan ciri khas tokoh ini dalam budaya Jawa yang suda

h berkembang lain daripada tokoh yang sama di India. Riwayat Dikisahkan Abimanyu karena kuat tapanya mendapatkan Wahyu Makutha Raja, wahyu yang menyatakan bahwa keturunannyalah yang akan menjadi penerus tahta Para Raja Hastina. Abimanyu dikenal pula dengan nama Angkawijaya, Jaya Murcita, Jaka Pangalasan, Partasuta, Kirityatmaja, Sumbadraatmaja, Wanudara dan Wirabatana. Ia merupakan p utra Arjuna, salah satu dari lima ksatria Pandawa dengan Dewi Subadra, putri Prabu Basudewa, Raja Mandura dengan Dewi Dewaki. Ia mempunyai 13 orang saudara lain ib u, yaitu: Sumitra, Bratalaras, Bambang Irawan, Kumaladewa, Kumalasakti, Wisanggeni, Wilungangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Prabakusuma, Wijanarka, Anantadew a dan Bambang Sumbada. Abimanyu merupakan makhluk kekasih Dewata. Sejak dalam kandungan ia telah mendapat "Wahyu Hidayat", yang mamp membuatnya mengerti dalam segala hal. Setelah dewasa ia mendapat "Wahyu Cakraningrat", suatu wahyu yang da pat menurunkan raja-raja besar. Abimanyu mempunyai sifat dan watak yang halus, baik tingkah lakunya, ucapannya terang, hatinya keras, besar tanggung jawabnya dan pemberani. Dalam olah kepraju ritan ia mendapat ajaran dari ayahnya, Arjuna. Sedang dalam olah ilmu kebathinan menda pat ajaran dari kakeknya, Bagawan Abiyasa. Abimanyu tinggal di kesatrian Palangkawati, setelah dapat mengalahkan Prabu Jayamurcita. Ia mempunyai dua orang istri, yaitu: 1. Dewi Siti Sundari, puteri Prabu Kresna, Raja Negara Dwarawati dengan Dewi Pratiwi; 2. Dewi Utari, puteri Prabu Matsyapati dengan Dewi Ni Yutisnawati, dari negara Wirata, dan berputera Parikesit. Bharatayuddha Abimanyu gugur dalam perang Bharatayuddha setelah sebelumnya seluruh saudaranya mendahului gugur, pada saat itu kesatria dari Pihak Pandawa yang berada dimedan laga dan menguasai strategi perang hanya tiga orang yakni Bima, Arjuna dan Abimanyu. Gatotkaca menyingkir karena Karna merentangkan senjata Kuntawijayandanu. Bima da n Arjuna dipancing oleh kesatria dari pihak Korawa untuk keluar dari medan pertemp uran, maka tinggalah Abimanyu. Ketika tahu semua saudaranya gugur Abimanyu menjadi lupa untuk mengatur formasi perang, dia maju sendiri ketengah barisan Korawa dan terperangkap dalam formasi mematikan yang disiapkan pasukan Korawa. Tak menyiakan kesempatan untuk bersiaps iap, Korawa menghujani senjata ke tubuh Abimanyu sampai Abimanyu terjerembab dan jatuh dari kudanya (dalam pewayangan digambarkan lukanya arang kranjang = banyak sekali). Abimanyu terlihat seperti landak karena berbagai senjata di tubuhnya. K onon tragedi itu merupakan risiko pengucapan sumpah ketika melamar Dewi Utari, bahwa dia masih belum punya istri dan apabila telah beristri maka dia siap mati tertusuk b erbagai senjata ketika perang Bharatayuddha. Abimanyu berbohong karena ketika itu sudah beristrikan Dewi Siti Sundari. Dengan senjata yang menancap diseluruh tubuhnya sehingga dia tidak bisa jalan la gi tidak membuat Abimanyu menyerah dia bahkan berhasil membunuh putera mahkota Hastinapura (Laksmanakumara putera Duryodana) dengan melemparkan keris

Pulanggeni setelah menembus tubuh empat prajurit lainnya. Pada saat itu pihak Ko rawa tahu bahwa untuk membunuh Abimanyu, mereka harus memutus langsang yang ada didadanya, kemudian Abimanyu pun gugur oleh gada Kyai Glinggang atau Galih Asem milik Jayadrata, ksatria Banakeling. Kakawin Bharatayuddha Kutipan di bawah ini diambil dari Kakawin Bharatayuddha, yang menceritakan pertempuran terakhir Sang Abimanyu. Sloka Terjemahan Ngka Sang Dharmasuta t?g?g mulati tingkahi g?larira natha Korawa, apan tan hana Sang Wr?kodara Dhanajaya w?nanga rumampakang g?lar. Nghing Sang Parthasutabhimanyu makusara rumusaka g?lar maha dwija, mangg?h wruh lingirang rusak mwang umasuk tuhu i wijili raddha tan tama Pada saat itu Yudistira tercengang melihat formasi perang Raja Korawa, sebab Bima dan Arjuna tak ada padahal merekalah yang dapat menghancurkannya. Hanya Putera Arjuna, yaitu Abimanyu yang bersedia merusak formasi yang disusun pendeta Drona itu. Ia berkata bahwa ia yakin dapat menggempur dan memasuki formasi tersebut, hanya saja ia belum tahu bagaimana cara keluar dari formasi tersebut. Sampun mangkana ighra sahasa masuk marawaa ri g?lar maha dwija. Sang Parthatmaja ura sara rumusuk sak?k?sika linacaran panah, ir?a ngwyuha lilang t?kap Sang Abhimanyu t?ka ri kahanan Suyodhana. ?ang Hyang Dro?a Kr?papulih kara?a Sang Kurupati malayu marinusi. Setelah demikian, mereka segera membelah dan menyerang formasi pendeta Drona tersebut dengan dahsyat. Sang Abimanyu merupakan kekuatan yang membinasakan formasi tersebut dengan tembakan panah. Sebagai akibat serangan Abimanyu, formasi tersebut hancur sampai ke pertahanan Duryodana. Dengan ini Dona dan Krepa mengadakan serangan balasan, sehingga Duryodana dapat melarikan diri dan tidak dikejar lagi. ?da tan dwalwang i atru akti mangaran Kr?tasuta sawat?k Wr?hadbala. Mwang Satyarawa ura manta k?na tan pangu?ili pinanah linacaran. Lawan wira wiesha putra Kurunatha mati malara kokalan panah. Kyati ng Korawa wanga Lakshmanakumara ngaranika kaish Suyodhana. Dengan ini tak dapat dipungkiri lagi musuh yang sakti mulai berkurang seperti Kretasuta dan keluarga Wrehadbala. Juga Satyaswara yang berani dan gila bertarung tertembak sebelum dapat menimbulkan kerusakan sedikit pun karena dihujani panah. Putera Raja Korawa yang berani

juga gugur setelah ia tertusuk panah. Putera tersebut sangat terkenal di antara keluarga Korawa, yaitu Laksmanakumara, yang disayangi Suyodhana. Ngka ta krodha sakorawalana manah panahira lawan awa sarathi. Tan waktan tang awak tangan suku gigir ?a?a wadana linaksha kinr?pan. Mangkin Parthasutajwalamur?k anyakra makapalaga pungg?ling laras. Dhiramuk mangusir ?aangg?t?m at?n p?jaha makiwuling Suyodhana. Pada waktu itu seluruh keluarga Korawa menjadi marah, dan dengan tiada hentinya mereka memanahkan senjatanya. Baik kuda maupun kusirnya, badan, tangan, kaki, punggung, dada, dan muka Abimanyu terkena ratusan panah. Dengan ini Abimanyu makin semangat. Ia memegang cakramnya dan dengan panah yang patah ia mengadakan serangan. Dengan ketetapan hati ia mengamuk untuk mencari keharuman nama. Dengan hati yang penuh dendam, ia gugur di tangan Suyodhana. Ri pati Sang Abhimanyu ring ra?angga. T?nyuh araras kadi waling tahas mas. Hanana ngaraga kalaning pajang lk. inaah alindi sahantimun ginint?n. Ketika Abimanyu terbunuh dalam pertempuran, badannya hancur. Indah untuk dilihat bagaikan lumut dalam periuk emas. Mayatnya terlihat dalam sinar bulan dan telah tercabik-cabik, sehingga menjadi halus seperti mentimun. Parikesit Parikesit (Sansekerta: ????????; parik?ita, parik?it) atau Pariksita adalah seor ang tokoh dari wiracarita Mahabharata. Ia adalah raja Hastina dan cucu Arjuna. Ayahnya adalah Abimanyu sedangkan putranya adalah Janamejaya. Dalam kitab Adiparwa, akhir riwayatnya diceritakan bahwa Prabu Parikesit meningg al karena digigit Naga Taksaka yang bersembunyi di dalam buah jambu, sesuai dengan kutukan Brahmana Granggi yang merasa sakit hati karena Prabu Parikesit telah mengkalungkan bangkai ular hitam di leher ayahnya, Bagawan Sarmiti. Parikesit tewas digigit oleh Naga Taksaka, setelah beliau diramalkan akan dibunu h oleh seekor ular. Maka beliaupun menyuruh untuk mengadakan upacara sarpayajna untuk mengusir semua ular. Tetapi karena sudah takdirnya, beliau pun digigit sampai wa fat. Peristiwa sebelum kelahiran Saat Maharaja Parikesit masih berada dalam kandungan, ayahnya yang bernama Abimanyu, turut serta bersama Arjuna dalam sebuah pertempuran besar di daratan Kurukshetra. Dalam pertempuran tersebut, Abimanyu gugur dalam serangan musuh yan g dilakukan secara curang. Abimanyu meninggalkan ibu Parikesit yang bernama Utara karena gugur dalam perang. Pada pertempuran di akhir hari kedelapan belas, Aswatama bertarung dengan Arjuna . Aswatama dan Arjuna sama-sama sakti dan sama-sama mengeluarkan senjata Brahmastra. Karena dicegah oleh Resi Byasa, Aswatama dianjurkan untuk mengarahka

n senjata tersebut kepada objek lain. Maka Aswatama memilih agar senjata tersebut diarahkan ke kandungan Utara. Senjata tersebut pun membunuh Parikesit yang maish berada dalam kandungan. Atas pertolongan dari Kresna, Parikesit dihidupkan kemba li. Aswatama kemudian dikutuk agar mengembara di dunia selamanya. Ramalan kehidupan Resi Dhomya memprediksikan kepada Yudistira setelah Parikesit lahir bahwa ia aka n menjadi pemuja setia Dewa Wisnu, dan semenjak ia diselamatkan oleh Bhatara Kresn a, ia akan dikenal sebagai Vishnurata (Orang yang selalu dilindungi oleh Sang Dewa). Resi Dhomya memprediksikan bahwa Parikesit akan selamanya mencurahkan kebajikan, ajaran agama dan kebenaran, dan akan menjadi pemimpin yang bijaksana, tepatnya seperti Ikswaku dan Rama dari Ayodhya. Ia akan menjadi ksatria panutan seperti A rjuna, yaitu kakeknya sendiri, dan akan membawa kemahsyuran bagi keluarganya. Raja Hastinapura Saat dimulainya zaman Kali Yuga, yaitu zaman kegelapan, dan mangkatnya Kresna Awatara dari dunia fana, lima Pandawa bersaudara pensiun dari pemerintahan. Pari kesit sudah layak diangkat menjadi raja, dengan Krepa sebagai penasihatnya. Beliau menyelenggarakan Aswameddha Yaja tiga kali di bawah bimibingan Krepa. Kehidupan selanjutnya Pada suatu hari, Raja Parikesit pergi berburu ke tengah hutan. Ia kepayahan mena ngkap seekor buruan, lalu berhenti untuk beristirahat. Akhirnya ia sampai di sebuah te mpat pertapaan. Di pertapaan tersebut, tinggalah Bagawan Samiti. Beliau sedang duduk bertapa dan membisu. Ketika Sang Raja bertanya kemana buruannya pergi, Bagawan Samiti hanya diam membisu karena pantang berkata-kata saat sedang bertapa. Karen a pertanyaannya tidak dijawab, Raja Parikesit marah dan mengambil bangkai ular den gan anak panahnya, lalu mengalungkannya ke leher Bagawan Samiti. Kemudian Sang Kresa menceritakan kejadian tersebut kepada putera Bagawan Samiti yang bernama Sang Srenggi yang bersifat mudah marah. Saat Sang Srenggi pulang, ia melihat bangkai ular melilit leher ayahnya. Kemudia n Sang Srenggi mengucapkan kutukan bahwa Raja Parikesit akan mati digigit ular setelah tujuh hari sejak kutukan tersebut diucapkan. Bagawan Samiti kecewa terhadap perbuatan puteranya tersebut, yang mengutuk raja yang telah memberikan mereka tempat berlindung. Akhirnya Bagawan Samiti berjanji akan mengakhiri kutukan tersebut. i a mengutus muridnya untuk memberitahu Sang Raja, namun Sang Raja merasa malu untuk mengakhiri kutukan tersebut dan memilih untuk berlindung. Kemudian Naga Taksaka pergi ke Hastinapura untuk melaksanakan perintah Sang Srenggi untuk menggigit Sang Raja. Penjagaan di Hastinapura sangat ketat. Sang R aja berada dalam menara tinggi dan dikelilingi oleh prajurit, brahmana, dan ahli bis a. Untuk dapat membunuh Sang Raja, Naga Taksaka menyamar menjadi ulat dalam buah jambu. Kemudian jambu tersebut diduguhkan kepada Sang Raja. Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Raja Parikesit wafat setelah digigit Naga Taksaka yang menyamar menja di ulat dalam buah jambu. Keturunan Raja Parikesit Parikesit menikahi Madrawati, dan memiliki seorang putera bernama Janamejaya. Janamejaya diangkat menjadi raja pada usia yang masih muda. Janamejaya menikahi

Wapushtama, dan memiliki dua putera bernama Satanika dan Sankukarna. Satanika diangkat sebagai raja menggantikan ayahnya dan menikahi puteri dari Kerajaan Wid eha, kemudian memiliki seorang putra bernama Aswamedhadatta. Para keturunan Raja Parikesit tersebut merupakan raja legendaris yang memimpin Kerajaan Kuru, namun riwayatnya tidak muncul dalam Mahabharata. Parikesit dalam pewayangan Jawa Parikesit adalah putera Abimanyu alias Angkawijaya, kesatria Plangkawati dengan permaisuri Dewi Utari, puteri Prabu Matsyapati dengan Dewi Ni Yustinawati dari K erajaan Wirata. Ia seorang anak yatim, karena ketika ayahnya gugur di medan perang Bharatayuddha, ia masih dalam kandungan ibunya. Parikesit lahir di istana Hastin apura setelah keluarga Pandawa boyong dari Amarta ke Hastinapura. Parikesit naik tahta negara Hastinapura menggantikan kakeknya Prabu Karimataya, nama gelar Prabu Yudistira setelah menjadi raja negara Hastinapura. Ia berwatak bijak sana, jujur dan adil. Prabu Parikesit mempunyai 5 (lima) orang permasuri dan 8 (delapan) orang putera, yaitu: 1. Dewi Puyangan, berputera Ramayana dan Pramasata 2. Dewi Gentang, berputera Dewi Tamioyi 3. Dewi Satapi alias Dewi Tapen, berputera Yudayana dan Dewi Pramasti 4. Dewi Impun, berputera Dewi Niyedi 5. Dewi Dangan, berputera Ramaprawa dan Basanta. Wirata Wirata (Sansekerta: ?????; vira?a) alias Matsyapati (Raja Matsya) merupakan seor ang raja yang menolong para Pandawa untuk bersembunyi selama masa pengasingannya. Ia berasal dari Dinasti Kerajaan Matsya dan mendirikan kerajaan baru bernama Keraja an Wirata. Raja Wirata memiliki tiga putera bernama Utara, Sweta dan Sangka. Ia tur ut serta dalam perang di Kurukshetra dan memihak Pandawa. Dalam pertempuran, ia dan selur uh puteranya terbunuh oleh para kesatria Korawa. Kicaka Kicaka (Sansekerta: ????), dalam Wiracarita Mahabharata, merupakan saudara Sudesna, permaisuri dari raja Wirata, raja di Kerajaan Matsya. Kicaka dibunuh ol eh Bhima selama masa satu tahun penyamaran para Pandawa di negeri Raja Wirata. Krepa Krepa atau Kripa (K?pa) atau Kripacharya (Guru Kripa), adalah seorang tokoh dala m wiracarita Mahabharata. Ia merupakan putera Resi Bharadwaja, dan menjadi guru pa ra pangeran Kuru di Hastinapura. Pada mulanya, ia hidup dihutan bersama dengan adiknya yang bernama Kripi. Suatu ketika Prabu Santanu dari Hastinapura berburu ke tengah hutan. Karena merasa kas ihan dengan keadaan mereka, ia memungut Krepa dan Kripi, lalu diberi pendidikan. Kare na kemahiran Krepa dalam ilmu menggunakan senjata, akhirnya ia diangkat menjadi pej abat di Hastinapura dan diberi kepercayaan untuk mendidik para pangeran Kuru (Pandawa dan Korawa). Ia berperang pada pihak Korawa pada perang Bharatayuddha. Ia salah seorang kawan Aswatama yang membalas dendam kekalahan Korawa.

Drona Dalam wiracarita Mahabharata, Drona (Sansekerta: ???, Dro?a) atau Dronacharya (Sansekerta: ?????????, Dro?acharya) adalah guru para Korawa dan Pandawa. Ia merupakan ahli mengembangkan seni pertempuran, termasuk devastras. Arjuna adalah murid yang disukainya. Kasih sayang Drona terhadap Arjuna adalah yang kedua jika dibandingkan dengan rasa kasih sayang terhadap puteranya, Aswatama. Kelahiran dan kehidupan awal Drona dilahirkan oleh seorang brahmin (kaum pendeta Hindu), putera dari pendeta Bharadwaja, di masa sekarang disebut Dehradoon (modifikasi dari kata dehra-dron, guci tanah liat), yang berarti bahwa ia (Drona) berkembang bukan di dalam rahim, namu n di luar tubuh manusia, yakni dalam Droon (tong atau guci). Kisah kelahiran Drona diceritakan secara dramatis dalam Mahabharata.[1] Bharadwa ja pergi bersama rombongannya menuju Gangga untuk melakukan penyucian diri. Di sana ia melihat bidadari yang sangat cantik datang untuk mandi. Sang pendeta dikuasai na fsu, menyebabkannya mengeluarkan air mani yang sangat banyak. Ia mengatur supaya air mani tersebut ditampung dalam sebuah pot yang disebut drona , dan dari cairan terse but Drona lahir kemudian dirawat. Drona kemudian bangga bahwa ia lahir dari Bharadwa ja tanpa pernah berada di dalam rahim. Drona menghabiskan masa mudanya dalam kemiskinan, namun belajar agama dan milite r bersama-sama dengan pangeran dari Panchala bernama Drupada. Drupada dan Drona kemudian menjadi teman dekat dan Drupada, dalam masa kecilnya yang bahagia, berj anji untuk memberikan setengah kerajaannya kepada Drona pada saat menjadi Raja Panchala. Drona menikahi Kripi, adik Kripa, guru di keraton para pangeran Hastinapura. Kri pi dan Drona memiliki Aswatama sebagai putera. Belajar kepada Parasurama Mengetahui bahwa Parasurama mau memberi pengetahuan yang dimilikinya kepada para brahmana, Drona mendatanginya. Sayangnya pada saat Drona datang, Parasurama tela h memberikan segala miliknya kepada brahmana yang lain. Karena tersentuh oleh kesanggupan hati Drona, Parasurama memutuskan untuk memberikan pengetahuannya tentang ilmu peperangan kepada Drona.[1] Drona dan Drupada Demi keperluan istri dan puteranya, Drona ingin bebas dari kemiskinan. Teringat kepada janji yang diberikan oleh Drupada, Drona ingin menemuinya untuk meminta bantuan. Tetapi, karena mabuk oleh kekuasaan, Raja Drupada menolak untuk mengakui Drona (sebagai temannya) dan menghinanya dengan mengatakan bahwa ia manusia rendah. Dalam Mahabarata, Drupada memberi penjelasan yang panjang dan sombong kepada Drona tentang masalah kenapa ia tidak mau mengakui Drona. Drupada berkata, "Persahabatan, adalah mungkin jika hanya terjadi antara dua orang dengan taraf h idup yang sama". Dia berkata bahwa sebagai anak-anak, adalah hal yang mungkin bagi di rinya untuk berteman dengan Drona, karena pada masa itu mereka sama. Tetapi sekarang Drupada menjadi raja, sementara Drona berada dalam kemiskinan. Dalam keadaan seperti ini, persahabatan adalah hal yang mustahil. Tetapi ia berkata bahwa ia a kan memuaskan hati Drona apabila Drona mau meminta sedekah selayaknya para Brahmin daripada mengaku sebagai seorang teman. Drupada menasihati Drona supaya tidak

memikirkan masalah itu lagi dan ingin ia hidup menurut jalannya sendiri. Drona p ergi membisu, namun di dalam hatinya ia bersumpah akan membalas dendam.[2] Legenda Dronacharya Legenda tentang Drona sebagai guru besar dan ksatria tak terbatas pada Mitologi Hindu saja, namun dengan kuatnya mempengaruhi tradisi sosial India. Drona memberi insp irasi perdebatan tentang moral dan dharma dalam Wiracarita Mahabharata. Bola dan cincin Drona pergi ke Hastinapura dengan harapan dapat membuka sekolah seni militer bag i para pangeran muda dengan memohon bantuan Raja Dretarastra. Pada suatu hari, ia melihat banyak anak muda, yaitu para Korawa dan Pandawa yang sedang mengelilingi sumur. Ia bertanya kepada mereka tentang masalah apa yang terjadi, dan Yudistira , si sulung, menjawab bahwa bola mereka jatuh ke dalam sumur dan mereka tidak tahu bagaimana cara mengambilnya kembali. Drona tertawa, dan menasihati mereka karena tidak berdaya menghadapi masalah yan g sepele. Yudistira menjawab bahwa jika Sang Brahmin (Drona) mampu mengambil bola tersebut maka Raja Hastinapura pasti akan memenuhi segala keperluan hidupnya. Pertama Drona melempar cincin kepunyaannya, mengumpulkan beberapa mata pisau, dan merapalkan mantra Weda. Kemudian ia melempar mata pisau ke dalam sumur seper ti tombak. Mata pisau pertama menancap pada bola, dan mata pisau kedua menancap pad a mata pisau pertama, dan begitu seterusnya, sehingga membentuk sebuah rantai. Perlahan-lahan Drona menarik bola tersebut dengan tali. Dengan keahliannya yang membuat anak-anak sangat terkesima, Drona merapalkan mantra Weda sekali lagi dan menembakkan mata pisau itu ke dalam sumur. Pisau itu menancap pada bagian tengah cincin yang terapung kemudian ia menariknya ke atas sehingga cincin itu kembali lagi. Karena terpesona, para bocah membawa Drona ke kota dan melaporkan kejadian tersebut kepada Bisma, kakek mereka. Bisma segera sadar bahwa dia adalah Drona, dan keberaniannya yang memberi contoh , ia kemudian menawarkan agar Drona mau menjadi guru bagi para pangeran Kuru dan mengajari mereka seni peperangan. Kemudian Drona mendirikan sekolah di dekat kot a, dimana para pangeran dari berbagai kerajaan di sekitar negeri datang untuk belaj ar di bawah bimbingannya.[3] Diskriminasi kasta Ekalawya adalah seorang pangeran muda dari suku Nishadha, yang datang mencari Drona karena minta diajari. Drona tidak mau menerimanya karena ia tidak berasal dari golongan Warna Kshatriya (kasta). Ekalawya tidak terkejut, kemudian memasuki hut an, dan ia mulai belajar dan berlatih sendirian, dengan sebuah patung tanah liat men yerupai Drona dan ia sembah. Dengan menyendiri, Ekalawya menjadi ksatria dengan kehebata n yang luar biasa, setara dengan Arjuna. Pada suatu hari, seekor anjing menggonggo ng saat ia serius melakukan latihan, dan tanpa melihat, sang ksatria menembakkan pa nah lalu menancap di mulut anjing tersebut. Para Pandawa melihat anjing itu lari, da n heran karena ada yang mampu melakukan perbuatan tersebut. Mereka melihat Ekalawya, yan

g mengaku bahwa ia adalah murid Drona. Drona kaget karena merasa tidak memiliki mu rid seperti Ekalawya. Kemudian Ekalawya menjelaskan bahwa setiap hari ia belajar den gan patung yang menyerupai Drona yang ia anggap sebagai guru. Karena merasa prestasi Arjuna akan tersaingi, Drona meminta agar Ekalawya mempersembahkan dakshina kepada sang guru sebagai tanda bahwa pelajarannya telah sempurna. Dakshina yang diminta Drona adalah ibu jari Ekalawya. Ekalawya pun memotong jarinya sendiri se hingga ia tidak bisa lagi menggunakan senjata panah. Karna yang ingin belajar di bawah bimbingan Drona juga ditolak dengan alasan bah wa Karna tidak berasal dari kasta ksatria. Karena merasa terhina, Karna belajar kep ada Parasurama dengan menyamar sebagai brahmana. Pembalasan terhadap Drupada Saat para Korawa dan Pandawa menyelesaikan pendidikannya, Drona menyuruh agar mereka menangkap Raja Drupada yang memerintah Kerajaan Panchala dalam keadaan hidup-hidup. Duryodana, Dursasana, Wikarna, dan Yuyutsu mengerahkan tentara Hastinapura untuk menggempur Kerajaan Panchala, sementara Pandawa pergi ke Kerajaan Panchala tanpa angkatan perang. Arjuna menangkap Drupada dan membawanya ke hadapan Drona. Drona mengambil separuh dari wilayah kekuasaan Drupada, dan separuhnya lagi dikembalikan kepada Drupada. Dengan dendam membara, Drupada melaksanakan yaja untuk memohon anugerah seorang putera yang akan membunuh Drona dan seorang puteri yang akan menikahi Arjuna. Maka, lahirlah Drestadyumna, pembunuh Drona dalam Bharatayuddha, dan Dropadi, yang menikahi Arjuna dan para Pandawa. Pertempuran di Kurukshetra Saat perang di Kurukshetra berkecamuk, Drona menjadi komandan pasukan Korawa. Ia merencanakan cara yang curang untuk membunuh Abimanyu pada pertempuran di hari ketiga belas. Kematian Drona Sebelum perang, Bagawan Drona pernah berkata, "Hal yang membuatku lemas dan tida k mau mengangkat senjata adalah apabila mendengar suatu kabar bencana dari mulut seseorang yang kuakui kejujurannya". Berpedoman kepada petunjuk tersebut, Sri Kr esna memerintahkan Bhima untuk membunuh seekor gajah bernama Aswatama, nama yang sama dengan putera Bagawan Drona. Bhima berhasil membunuh gajah tersebut lalau berteriak sekeras-kerasnya bahwa Aswatama mati. Drona terkejut dan meminta kepas tian Yudistira yang terkenal akan kejujurannya. Yudistira hanya berkata, "Aswatama ma ti". Sebetulnya Yudistira tidak berbohong karena dia berkata kepada Drona bahwa Aswat ama mati, entah itu gajah ataukah manusia (dalam keterangannya ia berkata: "naro va, kunjaro "entah gajah atau manusia"). Gajah bernama Aswatama itu sendiri sengaja dibu va" nuh oleh Pendawa agar Yudistira bisa mengatakan hal itu kepada Drona sehingga Drona kehilangan semangat hidup dan Korawa bisa dikalahkan dalam perang Bharatayuddha. Drona dalam pewayangan Jawa Riwayat hidup Drona dalam pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan dengan kisah aslinya dari kitab Mahabharata yang berasal dari Tanah Hindu, yaitu India, dan berbahasa Sansekerta. Beberapa perbedaan tersebut meliputi nama tokoh, lokasi, d an kejadian. Namun perbedaan tersebut tidak terlalu besar sebab inti ceritanya sama . Perlu

digarisbawahi juga, bahwa kepribadian Drona dalam Mahabharata berbeda dengan ver si pewayangan. Kepribadian Resi Drona berwatak tinggi hati, sombong, congkak, bengis, banyak bicaranya, tet api kecakapan, kecerdikan, kepandaian dan kesaktiannnya luar baisa serta sangat mahi r dalam siasat perang. Karena kesaktian dan kemahirannya dalam olah keprajuritan, Drona dipercaya menjadi guru anak-anak Pandawa dan Kurawa. Ia mempunyai pusaka sakti berwujud keris bernama Keris Cundamanik dan panah Sangkali (diberikan kepada Arjuna). Riwayat Bhagawan Drona atau Dorna (dibaca Durna) waktu mudanya bernama Bambang Kumbayana, putra Resi Baratmadya dari Hargajembangan dengan Dewi Kumbini. Ia mempunyai saudara seayah seibu bernama Arya Kumbayaka dan Dewi Kumbayani. Beliau adalah guru dari para Korawa dan Pandawa. Murid kesayangannya adalah Arju na. Resi Drona menikah dengan Dewi Krepi, putri Prabu Purungaji, raja negara Tempuru , dan memperoleh seorang putra bernama Bambang Aswatama. Ia berhasil mendirikan padepokan Sokalima setelah berhasil merebut hampir setengah wilayah negara Panca la dari kekuasaan Prabu Drupada. Dalam peran Bharatayuda Resi Drona diangkat menjadi Senapati Agung Kurawa, setel ah gugurnya Bisma. Ia sangat mahir dalam siasat perang dan selalu tepat menentukan gelar perang. Resi Drona gugur di medan pertempuran oleh tebasan pedang Drestadyumena, putra Prabu Drupada, yang memenggal putus kepalanya. Konon kematian Resi Drona akibat dendam Prabu Ekalaya raja negara Parangggelung yang arwahnya menyatu dala m tubuh Drestadyumena. Akan tetapi sebenarnya adalah dikarenakan taktik perang yan g dilancarkan oleh pihak Pandawa yang melancarkan tipu muslihat karena kerepotan menghadapi kesaktian dan kedigjayaan sang Resi. Pelajaran yang dapat diambil dari sini adalah bagaimanapun saktinya sang resi, b eliau sangat sayang terhadap keluarganya sehingga termakan siasat tipu dalam peperanga n yang mengakibatkan kematiannya. Dalam perjalanannya mencari Sucitra, ia tidak dapat menyeberang sungai dan ditol ong oleh seekor kuda terbang jelmaan Dewi Wilutama, yang dikutuk oleh dewa. Kutukan itu akan berakhir bila ada seorang satria mencintainya dengan tulus. Karena pertolon gannya, maka sang Kumbayana menepati janjinya untuk mencintai kuda betina itu. Namun kar ena terbawa nafsu, Kumbayana bersetubuh dengan kuda Wilutama hingga mengandung, dan kelak melahirkan seorang putra berwajah tampan tetapi mempunyai kaki seperti kud a (bersepatu kuda), yang kemudian diberi nama Bambang Aswatama. Setelah bertemu Sucitra yang telah menjadi Raja bergelar Prabu Drupada, ia tidak diakui sebagai saudara seperguruannya. Kumbayana marah merasa dihina, kemudian balik menghina Raja Drupada. Namun sang Mahapatih Gandamana] (dulu adalah Patih Hastinapura di bawah pemerintahan Pandu) menjadi murka sehingga terjadi peperang an

yang tidak seimbang. Meskipun Kumbayana sangat sakti ternyata kesaktiannya masih jauh di bawah Gandamana yang memiliki Aji Bandung Bondowoso (ajian ini diturunka n pada murid tercintanya, Raden Bratasena) yang memiliki kekuatan setara dengan 10 00 gajah. Kumbayana menjadi bulan-bulanan sehingga wajahnya rusak seperti yang ada sekaran g ini. Namun dia tidak mati dan ditolong oleh Sakuni yang bernasib sama (Baca semp alan Mahabharata yang berjudul Gandamana Luweng). Hingga akhirnya ia diterima di Hastinapura dan dipercaya mendidik anak-anak Hastina (Pandawa dan Korawa). Aswatama Dalam wiracarita Mahabharata, Aswatama (Sansekerta: ?????????? , Asvatthama) ata u Ashwatthaman (Sansekerta: ekerta: ?????????? ? , Asvatthaman) adalah putera guru Dronacharya dengan Kripi. Sebagai putera tunggal, Dronacharya sangat menyayanginya. Ia juga merupakan salah satu dari tujuh Chiranjiwin, karena dikutuk untuk hidup selamany a tanpa memiliki rasa cinta. Saat perang di Kurukshetra berakhir, hanya ia bersama Kreta warma dan Krepa yang bertahan hidup. Oleh karena dipenuhi dendam atas kematian ayahnya , ia menyerbu kemah Pandawa saat tengah malam dan melakukan pembantaian membabi buta. Aswatama dalam Mahabharata Sebagian kisah hidup Aswatama dimuat dalam kitab Mahabharata. Kisahnya yang terkenal adalah pembunuhan terhadap lima putera Pandawa dan janin yang dikandung oleh Utara, istri Abimanyu. Janin tersebut berhasil dihidupkan kembali oleh Kres na namun lima putera tidak terselamatkan nyawanya. Riwayat Aswatama merupakan putera dari Bagawan Drona dengan Kripi, adik Krepa. Semasa kecil ia mengenyam ilmu militer bersama dengan para pangeran Kuru, yaitu Korawa dan Pandawa. Kekuatannya hampir setara dengan Arjuna, terutama dalam ilmu memanah. Saat perang di antara Pandawa dan Korawa meletus, ia memihak kepada Korawa, sama dengan ayahnya, dan berteman dengan Duryodana. Aswatama adalah ksatria besar dan konon pernah membangkitkan pasukan Korawa dari duka cita dengan cara memanggil Narayanastra . Namun Kresna menyuruh pasukan Pandawa agar menurunkan tangan dan karenanya senjata itu berhasil diatasi. Ia ju ga memanggil Agneyastra untuk menyerang Arjuna namun berhasil ditumpas dengan Brahmastra. Pertarungannya dengan Bima dalam Bharatayuddha berakhir secara skakmat . Kabar angin yang salah mengenai kematiannya dalam perang di Kurukshetra membuat ayahnya meninggal di tangan pangeran Drestadyumna. Aswatama yang menaruh dendam mendapat izin dari Duryodana untuk membunuh Drestadyumna secara brutal setelah perang berakhir secara resmi. Saat akhir peperangan, Aswatama berjanji kepada Duryodana bahwa ia akan membunuh Pandawa, dan menyerang kemah Pandawa saat tengah malam, namun karena kesalahan ia membunuh 5 putera Pandawa dengan Dropadi (Pancawala). Pandawa yang marah dengan perbuatan tersebut memburu Aswatama dan akhirnya ia bertarung dengan Arjuna. Saat pertarungan, Aswatama memanggil senjata 'Brahmashi ra' yang sangat dahsyat, yang dulu ingin ditukar dengan chakra milik Kresna namun ti dak berhasil. Dengan senjata itu ia menyerang Arjuna dan Arjuna membalasnya dengan mengeluarkan senjata yang sama. Takut akan kehancuran dunia, Bagawan Byasa

menyuruh agar kedua ksatria tersebut mengembalikan senjatanya kembali. Sementara Arjuna berhasil melakukannya, Aswatama (yang mungkin kurang pintar) tidak bisa melakukannya dan diberi pilihan agar senjata menyerang target lain untuk dihancu rkan. Dengan rasa dendam, Aswatama mengarahkan senjata menuju rahim para wanita di keluarga Pandawa. Di antara mereka adalah Utara, menantu Arjuna. Oleh karena itu Utara tidak bisa melahirkan Parikesit, putera Abimanyu, yang kel ak akan meneruskan keturunan para Pandawa bersaudara. Senjata Brahmastra berhasil membakar si jabang bayi, namun Kresna menghidupkannya lagi dan mengutuk Aswatama agar menderita kusta dan mengembara di bumi selama 3.000 tahun sebagai orang buangan tanpa rasa kasih sayang. Dalam versi lain, dipercaya bahwa ia dikutuk ag ar terus hidup sampai akhir zaman Kali Yuga. Aswatama juga harus menyerahkan batu permata berharga ( Mani ) yang terletak di dahinya, yaitu permata yang membuatnya tidak takut terhadap segala senjata, peny akit, atau rasa lapar, dan membuatnya tak takut terhadap para Dewa, danawa, dan naga. Aswatama dalam pewayangan Jawa Riwayat hidup Aswatama dalam pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan dengan kisah aslinya dari kitab Mahabharata yang berasal dari Tanah Hindu, yaitu India, dan berbahasa Sansekerta. Beberapa perbedaan tersebut meliputi nama tokoh, lokasi, d an kejadian. Namun perbedaan tersebut tidak terlalu besar sebab inti ceritanya sama . Riwayat Aswatama adalah putra Bagawan Drona alias Resi Drona dengan Dewi Krepi, putri Pr abu Purungaji dari negara Tempuru. Ia berambut dan bertelapak kaki kuda karena ketik a awal mengandung dirinya, Dewi Krepi sedang beralih rupa menjadi kuda Sembrani, dalam upaya menolong Bambang Kumbayana (Resi Drona) terbang menyeberangi lautan. Aswatama dari padepokan Sokalima dan seperti ayahnya memihak para Korawa pada perang Bharatayuddha. Ketika ayahnya, Resi Drona menjadi guru Keluarga Pandawa dan Korawa di Hastinapu ra, Aswatama ikut serta dalam mengikuti pendidikan ilmu olah keprajuritan. Ia memili ki sifat pemberani, cerdik dan pandai mempergunakan segala macam senjata. Dari ayahnya, Aswatama mendapat pusaka yang sangat sakti berupa panah bernama Panah Cundamanik. Cerita dalam khazanah Sastra Jawa Baru dikenal sebagai lakon wayang: "Aswatama Gugat". Aswatama pada kesempatan itu ingin membalas dendam kematian ayahnya, bagawan Drona. Pada perang Bharatayuddha, Drona gugur karena disiasati oleh para Pandawa . Mereka berbohong bahwa "Aswatama" telah gugur, tetapi yang dimaksud bukan dia melainkan seekor gajah yang bernama Hestitama (Hesti berarti Gajah) namun terden gar seperti Aswatama. Lalu Drona menjadi putus asa setelah ia menanyakannya kepada Yudistira yang dikenal tak pernah berbohong pun mengatakan iya. Aswatama juga merasa kecewa dengan sikap Prabu Duryudana yang terlalu membela Prabu Salya yang dituduhnya sebagai penyebab gugurnya Adipati Karna. Aswatama memutuskan mundur dari kegiatan perang Bharatayudha. Setelah Perang Bharatayuda berakhir dan keluarga Pandawa pindah dari Amarta ke Astina, secara bersembunyi Aswatama masuk menyelundup ke dalam istana Astina. Ia berhasil membunuh Drestadyumena (pembunuh ayahnya, Resi Drona), Pancawala (putra Prabu Puntadewa), Dewi Banowati (Janda Prabu Duryodana) dan Dewi Srikandi, sebelum akhirnya ia mat i

oleh Bima, badannya hancur dipukul Gada Rujakpala. Ekalawya Ekalawya (Sansekerta: ??????, kalavya), adalah seorang pangeran dari kaum Nisada. Kaum ini adalah kaum yang paling rendah yaitu kaum pemburu, namun memiliki kemampuan yang setara dengan Arjuna dalam ilmu memanah. Bertekad ingin menjadi pemanah terbaik di dunia, lalu ia pergi ke Hastina ingin berguru kepada Bagawan Drona. Tetapi ditolaknya. Arti nama Dalam bahasa Sansekerta, kata Ekalavya secara harfiah berarti "ia yang memusatka n pikirannya kepada suatu ilmu/mata pelajaran". Sesuai dengan arti namanya, Ekalaw ya adalah seorang kesatria yang memusatkan perhatiannya kepada ilmu memanah. Penolakan Guru Drona Keinginannya yang kuat untuk menimba ilmu panah lebih jauh, menuntun dirinya unt uk datang ke Hastina dan berguru langsung pada Drona. Namun niatnya ditolak, dikare nakan kemampuannya yang bisa menandingi Arjuna, dan keinginan dan janji Drona untuk menjadikan Arjuna sebagai satu-satunya ksatria pemanah paling unggul di jagat ra ya, yang mendapat pengajaran langsung dari sang guru. Ini menggambarkan sisi negatif dari Drona, serta menunjukkan sikap pilih kasih Drona kepada murid-muridnya, dimana D rona sangat menyayangi Arjuna melebihi murid-murid yang lainnya. Belajar dibawah bayangan patung Drona Penolakan sang guru tidak menghalangi niatnya untuk memperdalam ilmu keprajurita n, ia kemudian kembali masuk kehutan dan mulai belajar sendiri dan membuat patung Dron a serta memujanya dan menghormati sebagai seorang murid yang sedang menimba ilmu pada sang guru. Berkat kegigihannya dalam berlatih, Ekalawya menjadi seorang pra jurit yang gagah dengan kecapakan yang luar biasa dalam ilmu memanah, yang sejajar bahkan lebih pandai daripada Arjuna, murid kesayangan Drona. Suatu hari, ditenga h hutan saat ia sedang berlatih sendiri, ia mendengar suara anjing menggonggong, t anpa melihat Ekalawya melepaskan anak panah yang tepat mengenai mulut anjing tersebut . Saat anjing tersebut ditemukan oleh para Pandawa, mereka bertanya-tanya siapa or ang yang mampu melakukan ini semua selain Arjuna. Kemudian mereka melihat Ekalwya, yang memperkenalkan dirinya sebagai murid dari Guru Drona. Pengorbanan seorang murid Mendengar pengakuan Ekalawya, timbul kegundahan dalam hati Arjuna, bahwa ia tida k lagi menjadi seorang prajurit terbaik, ksatria utama. Perasaan gundah Arjuna bis a dibaca oleh Drona, yang juga mengingat akan janjinya pada Arjuna bahwa hanya Arjuna-lah murid yang terbaik diantara semua muridnya. Kemudian Drona bersama Arjuna mengunjungi Ekalawya. Ekalawya dengan sigap menyembah pada sang guru. Namun ia malahan mendapat amarah atas sikap Ekalawya yang tidak bermoral, mengaku sebagai murid Drona meskipun dahulu sudah pernah ditolak untuk diangkat murid. Dalam kesempatan itu pula Drona meminta Ekalwya untuk melakukan Dakshina, permintaan guru kepada muridnya sebagai tanda terima kasih seorang murid yang telah menyelesaikan pendidikan. Drona meminta supaya ia memotong ibu jarinya, yang tan pa

ragu dilakukan oleh Ekalawya serta menyerahkan ibu jari kanannya kepada Drona, meskipun dia tahu akan akibat dari pengorbanannya tersebut, ia akan kehilangan kemampuan dalam ilmu memanah. Ekalawya menghormati sang guru dan menunjukkan "Guru-bhakti". Namun tidak setimpal dengan apa yang didapatkannya yang akhirnya kehilangan kemampuan yang dipelajari dari "Sang Guru". Drona lebih mementingkan dirinya dan rasa ego untuk menjadikan Arjuna sebagai prajurit utama dan tetap ya ng terbaik. Kematian sang prajurit Kematian Ekalawya termuat dalam Srimad Bhagawatam. Ekalawya bertempur untuk Raja Jarasanda dalam peperangan melawan Sri Kresna dan Balarama, dan terbunuh dalam pertempuran oleh pasukan Yadawa. Ekalawya dalam versi pewayangan Jawa Dalam pewayangan Jawa, Ekalawya atau Ekalaya atau Ekalya (dalam cerita pedalanga n dikenal pula dengan nama "Palgunadi") adalah Raja negara Paranggelung. Ekalaya mempunyai isteri yang sangat cantik dan sangat setia bernama Dewi Anggraini, put eri hapsari (bidadari) Warsiki. Ekalaya seorang raja kesatria, yang selalu mendalami olah keprajuritan dan menek uni ilmu perang. Ia sangat sakti dan sangat mahir mampergunakan senjata panah. Ia ju ga mempunyai cincin pusaka bernama Mustika Ampal yang menyatu dengan ibu jari tanga n kanannya. Ekalaya berwatak jujur, setia, tekun dan tabah, sangat mencintai istri nya. Ekalaya adalah seseorang yang gigih dalam menuntut ilmu. Suatu ketika Prabu Ekal aya mendapatkan bisikan ghaib untuk mempelajari ilmu atau ajian Danurwenda yang kebetulan hanya dimiliki oleh Resi Drona. Sedangkan Sang Resi sudah berjanji tid ak akan mengajarkan ilmu tersebut kepada orang lain melainkan kepada para Pandawa dan Korawa saja. Dengan kegigihannya Prabu Ekalaya belajar sendiri dengan cara membu at patung Sang Resi dan belajar dengan sungguh-sungguh sehingga berhasil menguasai ajian tersebut. Istri Prabu Ekalaya sangat cantik jelita sehingga membuat Arjuna berhasrat padan ya, Dewi Anggraini mengadukan hal tersebut kepada suaminya sehingga terjadi perselis ihan dengan Arjuna. Prabu Ekalaya mempertahankan haknya sehingga bertarung dengan Arjuna yang menyebabkan Arjuna sempat mati yang kemudian dihidupkan kembali oleh Prabu Batara Sri Kresna Dalam perselisihannya dengan Arjuna, Ekalaya ditipu untuk merelakan ibu jari tan gan kanannya dipotong oleh 'patung' Resi Drona, yang mengakibatkan kematiaannya kare na cincin Mustika Ampal lepas dari tubuhnya. Menjelang kematiaanya, Ekalaya berjanj i akan membalas kematiannya pada Resi Drona. Dalam perang Bharatayuddha, kutuk dendam Ekalaya menjadi kenyataan. Arwahnya menyatu dalam tubuh Arya Drestadyumena, kesatria Panchala, yang memenggal putus kepala Resi Drona hingga menemui ajalnya. Kertawarma Kertawarma (Sansekerta: ?? ?????; K?tavarma) atau Kritawarman adalah seorang tok oh dari wiracarita Mahabharata. Ia merupakan golongan Wangsa Wresni-Yadawa yang tinggal di Dwaraka. Dalam perang di Kurukshetra, ia memihak Duryodana (Korawa).

Kertawarma merupakan salah satu kesatria Korawa yang berhasil bertahan hidup bersama Aswatama dan Krepa. Bersama-sama dengan mereka berdua, ia membunuh para kesatria pihak Pandawa yang sedang tidur, yaitu kelima putera Dropadi, Drestadyumna, dan Srikandi. Peristiwa tersebut dilakukan pada akhir Bharatayuddh a (perang di Kurukshetra). Tiga puluh enam tahun setelah perang besar terjadi, ia tewas dalam perang saudar a yang terjadi antara Wangsa Wresni dan Yadawa. Kepalanya dipenggal oleh Satyaki dan dilakukan di hadapan Sri Kresna. Jarasanda Dalam wiracarita Mahabharata, Jarasanda (Sansekerta: ??????; Jarasandha) adalah seorang raja di Kerajaan Magadha, putera dari Raja Brihadrata. Ia merupakan tema n Sisupala, raja di Kerajaan Chedi. Ia bermusuhan dengan Kresna dari Dwaraka. dala m suatu pertempuran, ia dibunuh oleh Bima. Satyaki Satyaki (Sansekerta: ??????) (alias Yuyudhana) adalah seorang tokoh dari wiracar ita Mahabharata. Ia adalah saudara ipar Kresna. Ia berperang pada pihak Pandawa dala m perang Bharatayuddha. Ia merupakan salah satu tokoh dari Wangsa Wresni, selain Kertawarma dan Kresna. Pertempuran di Kurukshetra Dalam pertempuran besar di Kurukshetra, Satyaki memihak Pandawa. Pada pertempura n di hari keempat belas, Satyaki terlibat duel sengit dengan Burisrawa yang sudah lama bermusuhan dengan Satyaki. Burisrawa menyerang Satyaki bertubi-tubi sampai ia ja tuh pingsan karena lelah. Saat Burisrawa bersiap-siap untuk membunuh Satyaki, Arjuna datang dan memanah lengan Burisrawa sampai putus. Burisrawa kesakitan dan mencaci maki Arjuna yang menyerang tiba-tiba. Arjuna ber kata bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk melindungi nyawa Satyaki atas dasar persahabatan. Ketika Satyaki mulai sadar dari pingsannya, ia mengambil senjata kemudian memenggal Burisrawa. Kematian Tiga puluh enam tahun setelah pertempuran di Kurukshetra berakhir, Wangsa Wresni dan Yadawa berpesta hingga mabuk. Dalam peristiwa tersebut, Kertawarma dan Satyaki saling mengejek. Satyaki menghina Kretawarma yang tega membunuh prajurit dalam keadaan tidur sedangkan Kertawarma menghina Satyaki yang membunuh Burisrawa dalam keadaan tak bersenjata. Setelah perang mulut dengan sengit, mereka bertemp ur, begitu pula yang dilakukan Wangsa Wresni lainnya. Atas kutukan Gandari, Wangsa Wresni saling bertarung dengan sesamanya sampai binasa, kecuali Kresna dan Balad ewa serta para wanita. Satyaki dalam pewayangan Jawa Kelahirannya di waktu ibu Satyaki mau dibawa oleh pencuri, tidak ada yang mampu mengalahkan pencuri itu bahkan para Pandawa. Setelah lahir Satyaki ia dido'akan agar cepat tumbuh, seketika ia menjadi ksatria yang gagah, suaranya mantap mirip Bima , tapi tubuhnya kecil, dialah yang mampu mengalahkan maling tersebut yang bernama Singomulanjoyo, kemudian nama itu dipakai oleh Satyaki. Nama lainnya adalah Yuyudana, Bimo Kunthing, Singomulanjoyo. Mempunyai senjata Gada Wesi Kuning pemberian Prabu Kresna.

Mayasura Dalam mitologi Hindu, Maya (??), atau Mayasura (??????) adalah raja besar yang menguasai ras Asura, Daitya dan Rakshasa di muka bumi. Ia juga merupakan arsitek mahir bagi penduduk di bawah tanah. Ia juga membangun istana megah di Indraprast ha. Ia berguru kepada Sukracarya, guru para daitya dan asura. Ramayana Dalam Ramayana, Mayasura merupakan ayah dari Mandodari, istri Rahwana. Ia membangun sebuah istana megah di tengah gua. Hanoman bersama para wanara menjumpai istana tersebut dalam kitab Sundarakanda. Di tengah gua tersebut, hidu p seorang wanita bernama Swayampraba. Wanita itu menolong Hanoman dan para wanara agar sampai di pantai selatan India. Mahabharata Dalam Mahabharata, pada saat Pandawa membuka sebuah hutan untuk dijadikan kota Indraprastha, Kresna memanggil Wiswakarma untuk menciptakan kota dengan struktur megah. Mayasura turut serta dalam pekerjaan itu dengan membangun sebuah balairun g besar bernama Mayasabha untuk Raja Yudistira pada saat pembangunan kota Indraprastha. Durwasa Dalam Agama Hindu, Durwasa (Sansekerta: ?????? ? ; Durvasa) adalah seorang perta pa pada zaman dulu kala, yang dikenal dengan sifatnya yang mudah marah. Kutukan yan g ia berikan saat marah (dikenal dengan Shapa) telah menghancurkan banyak kehidupan. Maka dari itu, kemana pun ia pergi, ia sangat dihormati oleh manusia maupun dewa . Contohnya, dalam Abigyana Shakuntala, yang ditulis oleh Kalidasa mengatakan bahw a ia mengutuk Sakuntala bahwa kelak cintanya akan melupakannya. Hal itu menjadi kenyataan. Sanjaya (Mahabharata) Sanjaya (Sansekerta: ????, Sajaya) adalah putera Gavalgana. Dalam struktur pemerintahan kerajaan Hastinapura, Sanjaya adalah seorang penasihat, sekaligus k usir pribadi dari Raja Dretarastra. Sanjaya diberkati penglihatan istimewa oleh Resi Byasa, sehingga ia mampu melihat kejadian yang jaraknya amat jauh. Keahlian tersebut digunakannya untuk melaporkan kejadian-kejadian di medan perang Kurukshetra seca ra langsung kepada Dretarastra. Janamejaya Dalam wiracarita Mahabharata, Janamejaya (Sansekerta: ??????; Janamjaya) adalah nama seorang raja, memerintah Kerajaan Kuru dengan pusat pemerintahannya yang bernama Hastinapura. Ia adalah anak dari Maharaja Parikesit, sekaligus buyut Arj una. Ia diangkat menjadi raja pada usia yang masih muda karena ayahnya tewas digit Naga Taksaka. Cerita Mahabharata konon dikisahkan oleh Bagawan Wesampayana kepada beliau. Penuturan Mahabharata Mahabharata merupakan kisah kilas balik yang dituturkan oleh Resi Wesampayana. Maharaja Janamejaya merupakan tokoh yang dengan setia mendengarkannya. Penuturan Wesampayana dimulai dari kisah para leluhur Sang Raja, yaitu Bharata, serta nene k moyangnya yang bernama Maharaja Yayati, keturunan Sang Pururawa, yang menurunkan lima putera dan mendirikan lima suku besar di India. Lima suku tersebut diturunk an oleh Yadu, Tuwasu, Druhyu, Anu, dan Puru. Leluhur Raja Janamejaya diturunkan oleh San g

Puru. Garis keturunan berlanjut kepada Bharata Kuru Pratipa Santanu dan keluarga keraton Hastinapura (Pandu, Dretarastra, Pandawa, Korawa, dan lain-lain ). Raja Janamejaya juga menyuruh Resi Wesampayana untuk menuturkan kisah Kakek buyutnya yaitu Arjuna, yang bertarung dengan sepupu mereka yaitu para Korawa, ya ng dipimpin oleh Duryodana. Pertempuran tersebut kemudian dikenal sebagai pertempur an besar di daratan Sang Kuru (Kurukshetra) atau Bharatayuddha (perang antara ketur unan Sang Bharata). Upacara pengorbanan ular Pada suatu ketika, Sang Uttangka dari Takshiladesa menghadap Maharaja Janamejaya yang aru saja selesai menaklukkan wilayah tersebut. Sang Uttangka memberitahu Maharaja Janamejaya mengenai penyebab kematian ayahnya, yaitu digigit Naga Taksa ka. Sang Raja meneliti kebenaran cerita tersebut, dan para menterinya membenarkan. Akhirnya Sang Raja mengadakan upacara pengorbanan ular untuk menyapu seluruh spesies mereka dari muka bumi. Upacara tersebut dikenal dengan sebutan Sarpahoma . Para brahmana tahu bahwa kelak upacara tersebut akan digagalkan oleh seorang brahmana, namun mereka tidak memberitahukannya kepada Sang Raja. Setelah sarana dan prasarana sudah lengkap, Sang Raja menyelenggarakan upacara. Api di tungku pengorbanan berkobar-kobar. Dengan mantra-mantra suci yang dibacakan o leh para brahmana, beribu-ribu ular (naga) melayang di langit (bagaikan terhisap) da n lenyap ditelan api pengorbanan. Pada saat pengorbanan berlangsung, munculah seorang brahmana bernama Astika. Ia memohon dengan sangat tulus kepada Maharaja Janamejaya agar menghentikan pengorbanan ular tersebut. ia mengatakan bahwa upacara tersebut tidak pantas untuk dilakukan. Karena merasa terharu dengan ketu lusan Astika, Maharaja menghentikan upacaranya. Setelah Astika pulang, Sang Raja merasa kecewa karena upacaranya tidak sempurna. Sebagai gantinya, Resi Wesampayana menuturkan sebuah kisah panjang untuk Sang hingga pertempuran Raja, yaitu kisah para kakek buyutnya Pandawa dan Korawa besar di Kurukshetra. Selain itu Resi Wesampayanan menuturkan kisah para leluhur Sang Raja sesuai permohonannya. Peninggalan Sang Raja Upacara pengorbanan dilakukan di tepi sungai Arind di Bardan, sekarang dikenal s ebagai Parham. Sebuah kolam batu konon dibangun oleh Maharaja Janamejaya untuk menandai lokasi upacara, dikenal sebagai Parikshit kund, masih ada di Distrik Mainpuri. D i dekat kota tersebut ada khera yang besar dan tinggi berisi reruntuhan sebuah benteng d an beberapa pahatan di atas batu ditemukan. Konon berasal dari zaman Maharaja Parik esit. Keturunan Raja Janamejaya Janamejaya menikahi Wapushtama, dan memiliki dua putera bernama Satanika dan Sankukarna. Satanika diangkat sebagai raja menggantikan ayahnya dan menikahi put eri dari Kerajaan Wideha, kemudian memiliki seorang putra bernama Aswamedhadatta. Pa ra keturunan Raja Janamejaya tersebut merupakan raja legendaris yang memimpin Keraj aan Kuru, namun riwayatnya tidak muncul dalam Mahabharata. Byasa

Byasa (Sansekerta: ?????; Vyasa) (dalam pewayangan disebut Resi Abyasa) adalah f igur penting dalam agama Hindu. Beliau juga bergelar Weda Wyasa (orang yang mengumpulkan berbagai karya para resi dari masa sebelumnya, membukukannya, dan dikenal sebagai Weda). Beliau juga dikenal dengan nama Krishna Dwaipayana. Belia u adalah filsuf, sastrawan India yang menulis epos terbesar di dunia, yaitu Mahabh arata. Sebagian riwayat hidupnya diceritakan dalam Mahabharata. Kelahiran Dalam kitab Mahabharata diketahui bahwa orangtua Byasa adalah Resi Parasara dan Satyawati (alias Durgandini atau Gandawati). Diceritakan bahwa pada suatu hari, Resi Parasara berdiri di tepi Sungai Yamuna, minta diseberangkan dengan perahu. Satya wati menghampirinya lalu mengantarkannya ke seberang dengan perahu. Di tengah sungai, Resi Parasara terpikat oleh kecantikan Satyawati. Satyawati kemudian bercakap-ca kap dengan Resi Parasara, sambil menceritakan bahwa ia terkena penyakit yang menyebabkan badannya berbau busuk. Ayah Satyawati berpesan, bahwa siapa saja lel aki yang dapat menyembuhkan penyakitnya boleh dijadikan suami. Mendengar hal itu, Re si Parasara berkata bahwa ia bersedia menyembuhkan penyakit Satyawati. Karena kesaktiannya sebagai seorang resi, Parasara menyembuhkan Satyawati dalam sekejap . Setelah lamaran disetujui oleh orangtua Satyawati, Parasara dan Satyawati melangsungkan pernikahan. Kedua mempelai menikmati malam pertamanya di sebuah pulau di tengah sungai Yamuna, konon terletak di dekat kota Kalpi di distrik Jal aun di Uttar Pradesh, India. Di sana Resi Parasara menciptakan kabut gelap nan tebal agar pul au tersebut tidak dapat dilihat orang. Dari hasil hubungannya, lahirlah seorang ana k yang sangat luar biasa. Ia diberi nama Krishna Dwaipayana, karena kulitnya hitam (kri shna) dan lahir di tengah pulau (dwaipayana). Anak tersebut tumbuh menjadi dewasa dengan c epat dan mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang resi. Weda Wyasa Umat Hindu memandang Krishna Dwaipayana sebagai tokoh yang membagi Weda menjadi empat bagian (Caturweda), dan oleh karena itu ia juga memiliki nama Weda Wyasa yang artinya "Pembagi Weda". Kata Wyasa berarti "membelah", "memecah", "membedakan". Dalam proses pengkodifikasian Weda, Wyasa dibantu oleh empat muridnya, yaitu Pulaha, Jaimini, Samantu, dan Wesampayana. Telah diperdebatkan apakah Wyasa adalah nama seseorang ataukah kelas para sarjan a yang membagi Weda. Kitab Wisnupurana memiliki teori menarik mengenai Wyasa. Menurut pandangan Hindu, alam semesta adalah suatu siklus, ada dan tiada berulan g kali. Setiap siklus dipimpin oleh beberapa Manu, satu untuk setiap Manwantara, y ang memiliki empat zaman, disebut Caturyuga (empat Yuga). Dwaparayuga adalah Yuga ya ng ketiga. Kitab Purana (Buku 3, Chanto 3) berkata: Dalam setiap zaman ketiga (Dwapara), Wisnu, dalam diri Wyasa, untuk menjaga kualitas umat manusia, membagi Weda, yang seharusnya satu, menjadi beberapa bagian. Mengamati terbatasnya ketekunan, energi, dan dengan wujud yang tak kekal, ia membuat Weda empat bagian, sesuai kapasitasnya; dan raga yang dipakainya, dalam menjalankan tugas untuk

mengklasifikasi, dikenal dengan nama Wedawyasa. Tokoh Mahabharata Selain dikenal sebagai tokoh yang membagi Weda menjadi empat bagian, Byasa juga dikenal sebagai penulis (pencatat) sejarah dalam Mahabharata, namun ia juga meru pakan tokoh penting dalam riwayat yang disusunnya itu. Ibunya (Satyawati) menikah deng an Santanu, Raja Hastinapura. Dari perkawinannya lahirlah Citranggada dan Wicitrawi rya. Citranggada gugur dalam suatu pertempuran, sedangkan Wicitrawirya wafat karena s akit. Karena kedua pangeran itu wafat tanpa memiliki keturunan, Satyawati menanggil By asa agar melangsungkan suatu yadnya (upacara suci) untuk memperoleh keturunan. Kedua janda Wicitrawirya yaitu Ambika dan Ambalika diminta menghadap Byasa sendirian u ntuk diupacarai. Sesuai dengan aturan upacara, pertama Ambika menghadap Byasa. Karena ia takut melihat wajah Byasa yang sangat hebat, maka ia menutup mata. Karena Ambika menut up mata selama upacara berlangsung, Byasa berkata bahwa anak Ambika akan terlahir b uta. Kemudian Ambalika menghadap Byasa. Sebelumnya Satyawati mengingatkan agar Ambalika tidak menutup mata supaya anaknya tidak terlahir buta seperti yang terj adi pada Ambika. Ketika Ambalika memandang wajah Byasa, ia menjadi takut namun tidak mau menutup mata sehingga wajahnya menjadi pucat. Byasa berkata bahwa anak Ambalika akan terlahir pucat. Anak Ambika yang buta bernama Dretarastra, sedangkan anak Ambalika yang pucat bernama Pandu. Karena kedua anak tersebut tidak sehat jasman i, maka Satyawati memohon agar Byasa melakukan upacara sekali lagi. Kali ini, Ambik a dan Ambalika tidak mau menghadap Byasa, namun mereka menyuruh seorang dayangdayang untuk mewakilinya. Dayang-dayang itu bersikap tenang selama upacara, maka anaknya terlahir sehat, dan diberi nama Widura. Ketika Gandari kesal karena belum melahirkan, sementara Kunti sudah memberikan keturunan kepada Pandu, maka kandungannya dipukul. Kemudian, seonggok daging dilahirkan oleh Gandari. Atas pertolongan Byasa, daging tersebut dipotong menjad i seratus bagian. Lalu setiap bagian dimasukkan ke dalam sebuah kendi dan ditanam di dalam tanah. Setahun kemudian, kendi tersebut diambil kembali. Dari dalamnya mun culah bayi yang kemudian diasuh sebagai para putera Dretarastra. Byasa tinggal di sebuah hutan di wilayah Kurukshetra, dan sangat dekat dengan lo kasi Bharatayuddha, sehingga ia tahu dengan detail bagaimana keadaan di medan perang Bharatayuddha, karena terjadi di depan matanya sendiri. Setelah pertempuran bera khir, Aswatama lari dan berlindung di asrama Byasa. Tak lama kemudian Arjuna beserta p ara Pandawa menyusulnya. Di tempat tersebut mereka berkelahi. Baik Arjuna maupun Aswatama mengeluarkan senjata sakti. Karena dicegah oleh Byasa, maka pertarungan mereka terhenti. Penulis Mahabharata Pada suatu ketika, timbul keinginan Resi Byasa untuk menyusun riwayat keluarga Bharata. Atas persetujuan Dewa Brahma, Hyang Ganapati (Ganesha) datang membantu Byasa. Ganapati meminta Wyasa agar ia menceritakan Mahabharata tanpa berhenti, sedangkan Ganapati yang akan mencatatnya. Setelah dua setengah tahun, Mahabharat a

berhasil disusun. Murid-murid Resi Byasa yang terkemuka seperti Pulaha, Jaimini, Sumantu, dan Wesampayana menuturkannya berulang-ulang dan menyebarkannya ke seluruh dunia. Karna Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia. Langsung ke: navigasi, cari Karna (Sansekerta: ????; Kara) alias Radheya adalah salah satu tokoh dari wiracar ita Mahabharata yang terkenal. Ia sebenarnya adalah masih saudara satu ibu dengan ti ga Pandawa, yaitu Yudistira, Werkodara dan Arjuna (Nakula dan Sadewa bukan saudara langsung Karna, melainkan saudara sepupunya). Arti nama Dalam bahasa Sansekerta, nama Karna secara harfiah berarti telinga. Dalam makna yang tersirat, kata "Karna" dapat juga berarti "terampil" atau "pandai". Karna juga m enyandang nama "Radheya" saat masih kecil. Nama itu diberikan oleh orangtua tirinya, yaitu Adirata dan Radha. Nama "Radheya" secara harfiah berarti "putera Radha". Anggapan terkenal mengatakan bahwa kata "Karna" dipilih sebab ia dilahirkan mela lui telinga, namun anggapan tersebut tidak selamanya benar sebab beberapa versi mengatakan bahwa Karna lahir normal, dan keperawanan ibunya (Kunti) kembali lagi setelah melahirkan. Setelah bayi tersebut dilahirkan, Kunti tidak memberinya nam a dan menghanyutkannnya ke sungai Aswa, lalu dipungut oleh Adirata sebagai hadiah bagi Radha. Semenjak saat itu, bayi yang dipungut oleh Adirata diberi nama Radheya. T idak ada yang mengetahui asal-usul Karna dan bagaimana Karna dilahirkan, sampai Kunti membeberkan rahasia yang sebenarnya. Kelahiran Karna merupakan putera dari Kunti, ibu para Pandawa, dan ayahnya adalah Dewa Sur ya. Dalam Mahabharata diceritakan bahwa pada masa mudanya, Kunti diberi suatu anuger ah oleh Resi Durwasa, agar mampu memanggil para Dewa dan memohon anugerah darinya. Setelah menerima anugerah tersebut, Kunti mencoba memanggil Dewa Surya. Dewa Surya pun datang ke hadapan Kunti dan menanyakan apa keinginannya. Dewi Kunti berkata bahwa ia hanya mencoba anugerah yang diberikan kepadanya, dan ia meminta agar Sang Dewa kembali ke tempat beliau. Namun Dewa Surya menolak untuk pergi ke kahyangan sebab mantra yang diberikan oleh Resi Durwasa juga berfungsi untuk mem inta anak dari dewa yang telah dipanggil. Kunti yang tidak mengetahui hal tersebut me njadi terkejut. Ia tidak ingin menikah di usia muda. Akhirnya Dewa Surya berjanji bahw a kelak setelah Kunti melahirkan puteranya, keperawanannya akan dikembalikan lagi. Kemudian Dewa Surya kawin dengan Kunti, setelah itu Sang Dewa kembali ke asalnya . Beberapa lama kemudian, seorang putera lahir. Tanda-tanda bahwa kelak ia akan menjadi kesatria besar sudah tampak dari bentuk fisiknya. Sejak lahir, Karna tel ah menerima anugerah berupa sepasang pakaian perang, lengkap dengan sebuah kalung yang indah terpasang di lehernya. Karena tidak ingin menimbulkan desas-desus, se telah Kunti melepaskan seluruh pakaian perang yang dikenakan Karna, Kunti memasukkan putera tersebut ke dalam keranjang dan menghanyutkannya ke sungai Aswa. Putera tersebut dipungut oleh seorang kusir (kasta Suta) di keraton Hastinapura bernama Adirata.

Sejak saat itu, Karna menjadi putera Adirata dan Radha, yang sebenarnya merupaka n orangtua tirinya. Karena diasuh di keluarga yang berkasta Suta, Karna pun sering mendapat diskriminasi. Kepribadian Karna memiliki kemahiran dalam ilmu memanah yang hampir setara dengan Arjuna. ia mahir berperang, namun bakatnya terperangkap dalam status sosial yang rendah. Ha l itu membuatnya haus akan status yang memberikannya identitas. Meskipun Karna diasuh dalam keluarga yang berkasta rendah, ia memiliki sikap seorang ksatria, meskipun jarang yang mengakuinya. Ia memiliki hubungan persahabatan yang erat dengan Duryodana, yang telah mengangkatnya menjadi raja di Kerajaan Anga, sekaligus menaikkan statusnya. Atas perlakuan baik yang dilakukan Duryodana terhadap dirinya, Karna berjanji bahwa ia akan selalu berada di pihak Duryodana. Kebencian Karna terhadap Arjuna bertemu dalam satu jalan dengan kebencian Duryodana terhadap para Pandawa. Karna memiliki persaingan yang sangat hebat dengan Arjuna, dan berambisi bahwa i a akan membunuh Arjuna saja saat Bharatayuddha, bukan Pandawa yang lain. Sebelum Bharatayuddha, Kunti datang ke hadapan Karna dan mengatakan bahwa ia sebenarnya ibunya. Kunti menyuruh Karna agar memihak Pandawa. Karna mengatakan bahwa ia hanya mengakui Radha sebagai ibunya dan tetap memihak Korawa. Karna juga mengatakan, bahwa ia hanya mau membunuh Arjuna, bukan Pandawa yang lain. Berguru pada Parasurama Karena ingin menjadi seorang kesatria, Karna berguru kepada Parasurama. Parasura ma adalah seorang Brahmana-Kshatriya yang sudah sangat berpengalaman dalam ilmu peperangan, dan sudah berumur panjang, dari zaman Treta Yuga (zaman Ramayana) sampai zaman Dwapara Yuga (zaman Mahabharata). Parasurama memiliki pengalaman yang buruk dengan kasta ksatria, dan sejak itu ia enggan untuk mengajar para kes atria. Karna yang sebenarnya seorang kesatria, menyamar sebagai seorang brahmana agar mendapat pendidikan dari Parasurama. Pada suatu hari, saat Parasurama ingin beristirahat, Karna melayaninya dengan membiarkan sang guru tertidur di pahanya. Ketika Parasurama sedang tertidur, dat anglah seekor serangga menggigit kaki Karna. Karna tidak ingin membiarkan gurunya terba ngun, maka ia biarkan serangga tersebut mengigit kakinya. Darah segar mengucur dari ka ki Karna, namun ia tidak bergeming. Saat Parasurama terbangun, ia terkejut karena m elihat kaki Karna mengeluarkan banyak darah. Ia kemudian bertanya pada Karna, kenapa ia tidak mengusir laba-laba tersebut dan membiarkan serangga itu mengigit kakinya. Karna menjawab, bahwa ia tidak ingin membiarkan gurunya terbangun. Parasurama berkata, "Kekuatan seperti itu hanya dimiliki oleh kaum kesatria, dan bukan seorang brahm ana. Engkau telah berbohong kepadaku dengan menyamar sebagai anak brahmana. Aku mengutukmu agar kelak segala ilmu yang kuberikan kepadamu tidak akan berguna saa t kau sangat membutuhkannya". Setelah menerima kutukan tersebut, Karna sedih dan meninggalkan asrama gurunya dengan hati hancur. Setelah berjalan tanpa tujuan, Karna duduk di tepi pantai sa mbil termangu-mangu memikirkan jati dirinya. Dia duduk di sana untuk beberapa lama, kemudian bangun lalu pergi. Ketika ia kembali ke tempat tersebut, ia melihat ses osok binatang yang berlalu cepat sekali. Karena ia merasa bahwa hewan tersebut adalah

seekor rusa, ia melepaskan anak panahnya ke arah sosok tersebut. Ketika ia mendekatinya, ia terkejut bahwa yang dipanahnya bukanlah seekor rusa, melainkan sapi milik seorang brahmana. Karna meminta ma'af kepada si pemilik sapi sebab ia tela h ceroboh, tetapi brahmana itu tidak memafkannya, malah sebaliknya menjadi sangat marah. Brahmana tersebut berkata, "Apabila engkau berperang melawan musuhmu yang hebat, roda keretamu akan terjerembab ke tanah. Dan karena engkau telah membunuh sapiku yang sedang lengah, engkau juga akan dibunuh oleh musuhmu sangat engkau lengah". Setelah mendengar kutukan yang ditujukan kepadanya, Karna lunglai. Lalu ia pulan g menemui Radha, ibu yang sangat dicintainya. Di sana ia menceritakan segala kisah sedih yang menimpa dirinya. Akhirnya Karna bertekad bahwa ia akan pergi mengadu nasib di Hastinapura, ibukota kerajaan para keturunan Kuru. Penobatan sebagai Raja Angga Di Hastinapura diadakan pertandingan dan adu kekuatan untuk menunjukkan bahwa pendidikan para pangeran di sana sudah berhasil. Karna yang percaya diri datang ke stadion dimana pertandingan diadakan dan menantang Arjuna ketika Arjuna sedang menunjukkan kepandaiannya dalam ilmu memanah. Para hadirin yang ada di stadion heran melihat Karna yang berani menantang Arjuna, kesatria bangsa Kuru. Saat mel ihat Karna, Kunti menjadi lunglai. Arjuna menerima tantangan Karna untuk menunjukkan yang terbaik. Ketika kedua kes atria bersiap-siap, Krepa naik ke atas panggung dan menanyakan identitas Karna. Ia jug a berkata bahwa Karna boleh bertanding dengan Arjuna apabila mereka sederajat. Set elah mendengar kata-kata Krepa, Karna diam dan menunduk malu sebab ia merupakan seorang anak kusir. Duryodana yang bersimpati, berdiri dan berkata, "Guruku, keb eranian bukanlah milik para kesatria saja. Tetapi kalau Arjuna ini dijadikan patokan bah wa seorang kesatria harus bertarung dengan kesatria, maka keinginanmu akan kupenuhi. Kami a kan menobatkan pendatang baru itu sebagai Raja Angga, sebab kerajaan itu belum memil iki raja". Akhirnya pada saat itu juga, Karna dinobatkan menjadi Raja Angga. Para brahmana membacakan weda-weda dan Duryodana memberi mahkota, pedang, dan air penobatan kepada Karna. Karna terharu dengan kemurahan hati Duryodana. Balasan yang diinginkan oleh Duryodana hanyalah persahabatan yang kekal. Semenjak persahabata n itu terjalin, Yudistira merasa cemas sebab kekuatan sepupunya yang jahat (Korawa ) menjadi semakin kuat karena dibantu oleh Karna, kesatria yang setara dengan Arju na. Penolakan Dropadi Pada saat Karna sudah cukup dewasa, ia mengikuti sebuah sayembara di Kerajaan Panchala. Sayembara tersebut memperebutkan puteri Dropadi. Para Pandawa turut se rta dalam sayembara tersebut, namun mereka menyamar dengan pakaian kaum brahmana. Sebuah ikan dari kayu dipasang pada sebuah cakram berputar di atas arena, di baw ahnya terdapat kolam yang memantulkan bayangan ikan tersebut. Para hadirin yang mengik uti

sayembara harus menembak mata ikan yang berputar tersebut hanya dengan melihat pantulannya di bawah kolam. Banyak kesatria yang gagal melakukannya, hingga Karna tampil ke muka. Ia memusat kan pikirannya pada bayangan ikan tersebut dan mengarahkan panahnya ke atas, namun pandangannya ke bawah, tertuju pada bayangan ikan yang terpantul pada air kolam. Kemudian Karna melepaskan panahnya dan menembus mata ikan tersebut. Sesuai dengan aturan, Karna berhasil memenangkan sayembara tersebut dan Dropadi berhak menjadi istrinya. Namun Dropadi menolak hasil sayembara tersebut, karena ia tida k mau menikah dengan Karna yang seorang anak kusir. Mendengar hal itu, Karna menjadi s akit hati dan menerima keputusan tersebut, namun dalam hatinya ia sangat marah. Beberapa versi mengatakan bahwa Karna tidak mampu untuk menaklukkan tantangan tersebut, hanya Arjuna yang sangggup melakukannya. Peran Karna dalam Bharatayuddha Kresna mengetahui bahwa Karna adalah Pandawa sulung, namun lain ayah. Dan semua tahu bahwa Karna-lah pemilik Panah Kunta. Kresna sempat ingin membuat Karna memihak Pandawa pada Bharatayuddha mendatang dan ia mengatur sebuah pertemuan rahasia antara Karna dan ibunya Kunti. Karna pun memelas setelah ia melihat ibun ya menangis namun ia menganjurkan ibunya untuk tetap tegar karena ia melakukan kewajiban bela negara. Ia juga memberi tahu ibunya bahwa selain dia berkorban de mi negara, ia juga akan menyelamatkan para Pandawa lima karena ia tidak akan menggunakan panah Kunta untuk membunuh Arjuna dan saat ia berperang dengan Arjuna dia memastikan bahwa Arjuna tidak tahu bahwa Karna adalah kakaknya sendir i sehingga tidak segan membunuhnya. Pada perang Bharatayuddha, ia membunuh Gatotkaca dan hampir membunuh Arjuna. Tetapi Arjuna menang bertanding dan Karna pun gugur. Baru setelah Karna gugur, p ara Pandawa mengetahui asal usulnya dan mereka sangat terpukul oleh hal ini. Karna dalam pewayangan Jawa Karna dalam pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan dengan kisah aslinya dar i kitab Mahabharata yang berasal dari Tanah Hindu, yaitu India, dan berbahasa Sansekerta. Beberapa perbedaan tersebut meliputi nama tokoh, lokasi, dan kejadia n. Namun perbedaan tersebut tidak terlalu besar sebab inti ceritanya sama. Kelahiran Ibu dari Karna dan Panca Pandawa yaitu Kunti, pernah mencoba sebuah aji pada mas a kecilnya untuk memanggil seorang Dewa. Yang dipanggilnya adalah Dewa Matahari (Surya) dan beliau membuatnya hamil. Puteranya akan keluar dari telinga untuk me njaga keperawanan Kunti, maka dinamakannya Karna. Nama-nama Karna lainnya berhubungan dengan statusnya sebagai putera Dewa Matahari, yaitu Arkasuta, Suryatmaja dan la in sebagainya. Oleh ibunya, Karna dihanyutkan di sungai sampai ia ditemukan oleh Prabu Radeya d an diangkat anak, sayangnya kerajaan Prabu Radeya tunduk kepada Hastinapura dan ia dibesarkan oleh seorang sais prabu Dretarastra, yang bernama Nandana atau Adirat a. Oleh Adirata, Karna kemudian diberi nama Aradea. Nama itu digunakan Karna sampai dewasa, hingga ia mengetahui identitas diri yang sesungguhnya. Meskipun Karna masih saudara seibu dengan Yudistira, Werkodara (Bima), dan Arjun a, tetapi para Pandawa tidak mengetahuinya sampai ia gugur di perang Bharatayuddha,

sehingga mereka suka menghinanya. Kemahiran Karna sangat mahir menggunakan senjata panah. Kesaktiannya setara dengan Arjuna. Ia mempunyai panah andalan bernama Kunta. Suatu ketika, ketika terjadi uji tanding antara Korawa dengan Pandawa sebagi murid-murid Drona, Karna berhasil menandingi kesaktian Arjuna. Namun karena Karna bukan raja atau anak raja maka beliau diusi r dari arena. Karena mengetahui kesaktiannya, maka Duryodana, ketua para Korawa mengangkatnya menjadi Raja Awangga. Sejak itu Karna bersumpah setia kepada Duryodana. Senjata andalannya, yaitu panah Kunta adalah pemberian Batara Narada sebab belia u mengira bahwa Karna adalah Arjuna karena kemiripannya. Panah tersebut adalah sen jata yang paling ampuh, bahkan melebihi Cakra milik Prabu Kresna dan panah Pasupati Arjuna, namun untungnya hanya sekali pakai. Sarung dari panah tersebut yang masi h disimpan Batara Narada kemudian dititpkan ke Bima untuk diberikan ke Arjuna adal ah saat para pandawa mengetahui bahwa Batara Narada salah alamat. Sarung dari Kunta tersebut kemudian dipakai untuk memutus tali pusar bayi Tetuka alias Gatotkaca. Kesaktian Karna dilahirkan memakai anting-anting dan baju kebal pemberian ayahnya (Batara Surya). Kunti, ibunya, mengenal dirinya saat adu ketrampilan murid-murid Dorna k arena melihat anting-anting tersebut. Selama memakai kedua benda ini Karna tidak akan mati oleh senjata apapun. Hal ini diketahui oleh Batara Indra yang sangat menyayangi Arjuna. Oleh karena itu beliau meminta benda tersebut dengan menyamar sebagai seorang pengemis. Batara Surya mendahuluinya dengan menemui Karna terlebih dulu dan memperingatkan Karna. Tapi Karna menganggap mati dalam perang tanding lebih terhormat daripada panjang umur. Batara Surya kemudian menyarankan Karna untuk meminta senjata ampuh sebagai kompensasi atas kedua benda tersebut. Hal ini disanggupi Karna. Ketika pengemis itu datang, Karna langsung mengenalinya dan memberi hormat dan pengemis itu berubah kembali menjadi Batara Indra. Sebagai kompensasi, Batara Indra memberi senjata Kunta kepada Karna. Jayadrata Dalam wiracarita Mahabharata, Jayadrata (Sansekerta: ????; Jayadratha) adalah seorang raja di Kerajaan Sindhu. Dia menikahi Dursala, adik perempuan Korawa bersaudara. Jayadrata merupakan tokoh penting di balik pembunuhan Abimanyu. Ia menghadang para ksatria Pandawa saat mereka berusaha menyelamatkan Abimanyu. Atas kematian Abimanyu, Arjuna berusaha membunuh Jayadrata. Akhirnya pada Bharatayuddha hari keempat belas, Jayadrata gugur di tangan Arjuna. Anugerah Siwa Jayadrata menghina Dropadi, istri para Pandawa, karena berusaha menculik dan mengawininya. Setelah Arjuna memburu dan menangkapnya hidup-hidup, nyawanya diselamatkan oleh Yudistira, dan ia dijadikan budak. Kemudian Bima mencukur ramb utnya sehingga Jayadrata botak. Karena dendam terhadap perlakuan tersebut, Jayadrata melakukan tapa ke hadapan Siwa. Ia memohon kekuatan untuk menaklukkan Pandawa, namun Siwa mengatakan bahwa itu hal yang mustahil namun ia menganugerahkan Jayadrata agar mampu mengalahkan seluruh Pandawa bersaudara pada hari pertama kecuali Arjuna. Maka, akhirnya Arjuna berhasil mengalahkan Jayadrata. Perang di Kurukshetra Raja Sindhu Jayadrata memihak Duryodana dalam perang di Kurukshetra. Pada hari ketiga belsa, Jayadrata menggunakan kekuatannya ketika menghentikan Pandawa di dekat formasi Cakrawyuha yang sulit ditembus, yang dimasuki oleh Abimanyu putera

Arjuna. Di dalam formasi tersebut, Abimanyu bertarung sendirian. Ia dikepung ole h para ksatria Korawa dan terdesak, sementara ksatria-ksatria Pandawa yang ingin menyelamatkan Abimanyu dihadang oleh Jayadrata. Saat terjebak dan kesusahan, Abimanyu dibunuh dengan curang. Arjuna terkejut dan pingsan setelah mendengar kematian Abimanyu. Atas penjelasan para ksatria Pandawa, Abimanyu dikurung dalam formasi Cakrawyuha dan dibunuh dengan serangan serentak. Beberapa ksatria ingin membantu dan menyelamatkan Abimanyu, namun dihadang oleh Jayadrata. Mendengar hal itu, Arjuna bersumpah bahwa ia akan membakar dirinya sendiri pada akhir hari keempat belas apabila ia tidak berhasil membunuh Jayadrata. Dendam Arjuna Pada hari keempat belas, Arjuna berencana untuk membunuh Jayadrata. Namun ribuan ksatria dan prajurit dari pihak Korawa melindungi Jayadrata dan memisahkannya de ngan Arjuna. Sampai hari menjelang sore, Arjuna belum berhasil menjangkau Jayadrata d an membunuhnya, dan apabila setelah malam tiba Arjuna belum berhasil membunuh Jayadrata maka ia akan membakar dirinya sendiri. Kresna yang melihat Arjuna dala m kesusahan mencoba membantunya dengan membuat gerhana matahari buatan. Saat suasana menjadi gelap, pihak yang bertarung merasa bahwa perang pada hari itu su dah berakhir karena malam sudah tiba. Pasukan Korawa yang melindungi Jayadrata pulan g ke kemah mereka. Pada saat Jayadrata tak terlindungi, matahari muncul kembali dan ternyata hari belum malam. Pada kesempatan itu, Arjuna menyuruh Kresna agar menjangkau Jayadrata. Saat mendekat, ia melepaskan anak panahnya dan memutuskan leher Jayadrata. Riwayat selanjutnya Setelah perang berakhir, Arjuna bertarung dengan pasukan Sindhu ketika mereka menolak untuk mengakui Yudistira sebagai Maharaja dunia. Ketika Dursala, istri Jayadrata, keluar untuk melindungi puteranya, yaitu raja muda penerus tahta Sind hu, Arjuna menghentikan pertarungan. Jayadrata dalam pewayangan Jawa Antara kisah Jayadrata dalam kitab Mahabharata dan pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan, namun tidak terlalu besar karena inti ceritanya sama. Perbed aanperbedaan tersebut antara lain disebabkan oleh proses Jawanisasi, yaitu membuat kisah wiracarita dari India bagaikan terjadi di pulau Jawa. Riwayat Jayadrata adalah seorang ksatria yang sangat sakti dari pihak Korawa. Misteri menyelubungi asal usulnya. Kisahnya bermula ketika Wrekudara lahir, ari-ari yang membungkusnya dibuang. Pertapa tua, yaitu Bagawan Sapwani, secara kebetulan memungutnya, mendoakannya, dan mengubahnya menjadi seorang bocah lelaki, yang tumbuh dewasa dengan nama Jayadrata. Dari pandangan sekilas saja tampak jelas kemiripan kekerabatan dengan Wrekudara dan putra Wrekudara, Raden Gatotkaca. Ketika Jayadrata beranjak dewasa, ia dibujuk untuk datang ke Hastina oleh Sangku ni yang cerdik, yang memandang perlu seorang sekutu yang seperti itu untuk melawan Pandawa. Di sana Jayadrata diberi suatu kedudukan yang tinggi dan dikawinkan den gan saudara perempuan Duryodana, Dewi Dursilawati. Hal ini mengikatnya dengan kuat p ada pihak Kiri. Dalam Perang Bharatayuddha, dialah yang membunuh ksatria muda Abiman yu, dan setelah itu pada gilirannya ia dibunuh oleh Arjuna yang kehilangan anaknya. Karakter

Jayadrata adalah jujur, setia, dan terus terang bagaikan Gatotkaca di antara Kor awa. Ia mahir mempergunakan panah dan sangat ahli bermain gada. Oleh Resi Sapwani ia dib eri pusaka gada bernama Kyai Glinggang. Jayadrata nama sesungguhnya adalah Arya Tirtanata atau Bambang Sagara. Arya Tirtanata kemudian dinobatkan sebagai raja negara Sindu, dan bergelar Prabu Sind uraja. Karena ingin memperdalam pengetahuannya dalam bidang tata pemerintahan dan tata kenegaraan, Prabu Sinduraja pergi ke negara Hastina untuk berguru pada Prabu Pan du Dewanata. Untuk menjaga kehormatan dan harga diri, ia menukar namanya dengan nam a patihnya, Jayadrata. Di negara Hastina Jayadrata bertemu dengan Keluarga Korawa, dan akhirnya diambil menantu Prabu Dretarastra, dikawinkan dengan Dewi Dursilawati d an diangkat sebagai Adipati Buanakeling. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra bernama Arya Wirata dan Arya Surata. Jayadrata gugur di tangan Arjuna di medan perang Bharatayuddha sebagai senapati perang Korawa. Kepalanya terpangkas lepas dari badannya oleh panah sakti Pasupat i Kresna Kresna atau Krishna (Devanagari: ?? ??; dilafalkan ka menurut IAST; dilafalkan 'k.n? dalam Bahasa Sansekerta) adalah salah satu Dewa yang banyak dipuja oleh umat Hindu karena dianggap merupakan aspek dari Brahman.[1] Ia disebut pula Nara yana, yaitu sebutan yang merujuk kepada perwujudan Dewa Wisnu yang berlengan empat di Waikuntha. Ia biasanya digambarkan sebagai sosok pengembala muda yang memainkan seruling (seperti misalnya dalam Bhagawatapurana) atau pangeran muda yang memberikan tuntunan filosofis (seperti dalam Bhagawad Gita). Dalam Agama Hindu p ada umumnya, Kresna dipuja sebagai awatara Wisnu, yang dianggap sebagai Dewa yang paling hebat dalam perguruan Waisnawa. Dalam tradisi Gaudiya Waisnawa, Kresna di puja sebagai sumber dari segala awatara (termasuk Wisnu).[2] Menurut Mahabharata, Kresna berasal dari Kerajaan Surasena, namun kemudian ia mendirikan kerajaan sendiri yang diberi nama Dwaraka. Dalam wiracarita Mahabhara ta, ia dikenal sebagai tokoh raja yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Dalam ajaran ag ama Hindu, ia dikenal sebagai awatara Dewa Wisnu yang kedelapan. Dalam Bhagawad Gita , beliau adalah perantara kepribadian Brahman (Tuhan Yang Maha Esa) yang menjabark an ajaran kebenaran mutlak (dharma) kepada Arjuna. Beliau mampu menampakkan secercah kemahakuasaan Tuhan yang hanya disaksikan oleh tiga orang pada waktu perang keluarga Bharata akan berlangsung. Ketiga orang tersebut adalah Arjuna, S anjaya putera Widura, dan Byasa. Namun Sanjaya dan Byasa tidak melihat secara langsung, melainkan melalui mata batin mereka yang menyaksikan perang Bharatayuddha. Asal usul nama "Krishna" Dalam bahasa Sansekerta, kata Krishna berarti "hitam" atau "gelap", dan kata ini umum digunakan untuk menunjukkan pada orang yang berkulit gelap. Dalam Brahma Samhita dijabarkan bahwa Krishna memiliki warna kulit gelap bersemu biru langit.[3] Dan umumnya divisualkan berkulit gelap atau biru pekat. Sebagai Contoh, di Kuil Jaganatha, d i Puri,

Orissa, India (nama Jaganatha, adalah nama yang ditujukan bagi Krishna sebagai penguasa jagat raya) di gambarkan memiliki kulit gelap berdampingan dengan saudaranya Baladewa dan Subadra yang berkulit cerah. Nama lain Kresna sebagai Awatara sekaligus orang bijaksana memiliki banyak sekali nama panggilan sesuai dengan kepribadian atau keahliannya. Nama panggilan tersebut digunakan untuk memuji, mengungkapkan rasa hormat, dan menunjukkan rasa persahabatan atau kekeluargaan. Nama panggilan Kresna di bawah ini merupakan nam anama dari kitab Mahabarata dan Bhagawad Gita versi aslinya (versi India). Nama panggilan Kresna adalah: 1. Achyuta (Acyuta, yang tak pernah gagal) 2. Arisudana (penghancur musuh) 3. Bhagavan (Bhagawan, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa) 4. Gopala (Pengembala sapi) 5. Govinda (Gowinda, yang memberi kebahagiaan pada indria-indria) 6. Hrishikesa (Hri-sikesa, penguasa indria) 7. Janardana (juru selamat umat manusia) 8. Kesava (Kesawa, yang berambut indah) 9. Kesinishudana (Kesi-nisudana, pembunuh raksasa Kesi) 10. Madhava (Madawa, suami Dewi Laksmi) 11. Madhusudana (Madu-sudana, penakluk raksasa Madhu) 12. Mahabahu (Maha-bahu, yang berlengan perkasa) 13. Mahayogi (Maha-yogi, rohaniawan besar) 14. Purushottama (Purusa-utama, manusia utama, yang berkepribadian paling baik) 15. Varshneya (Warsneya, keturunan wangsa Wresni) 16. Vasudeva (Wasudewa, putera Basudewa) 17. Vishnu (Wisnu, penitisan Batara Wisnu) 18. Yadava (Yadawa, keturunan dinasti Yadu) 19. Yogesvara (Yoga-iswara, penguasa segala kekuatan batin) Kehidupan Sang Kresna Ikthisar kehidupan Sri Kresna di bawah ini diambil dari Mahabharata, Hariwangsa, Bhagawata Purana, dan Wisnu Purana. Lokasi dimana Kresna diceritakan adalah Indi a Utara, yang mana sekarang merupakan wilayah negara bagian Uttar Pradesh, Bihar, Haryana, Delhi, dan Gujarat. Kutipan pada permulaan dan akhir cerita merupakan t eologi yang tergantung pada sudut pandang cerita. Penitisan Kutipan di bawah ini menjelaskan alasan mengapa Wisnu menjelma. Dalam sebuah kalimat dalam Bhagawatapurana: Dewa Brahma memberitahu para Dewa: Sebelum kami menyampaikan permohonan kepada Beliau, Beliau sudah sadar terhadap kesengsaraan di muka bumi. Maka dari itu, selama Beliau turun ke bumi demi menuntaskan kewajiban dengan memakai kekuatan-Nya sendiri sebagai sang waktu, wahai kalian para Dewa semuanya akan mendapat bagian untuk menjelma sebagai para putera dan cucu dari keluarga wangsa Yadu.[4] Kitab Mahabharata (Adiparwa, bagian Adiwansawatarana) memberikan alasan yang serupa, meskipun dengan perbedaan yang kecil dalam bagian-bagiannya. Kelahiran Kepercayaan tradisional yang berdasarkan data-data dalam sastra dan perhitungan astronomi mengatakan bahwa Sri Kresna lahir pada tanggal 19 Juli tahun 3228 SM.[ 5] Kresna berasal dari keluarga bangsawan di Mathura, dan merupakan putera kedelapa n yang lahir dari puteri Dewaki, dan suaminya Basudewa. Mathura adalah ibukota dar i wangsa yang memiliki hubungan dekat seperti Wresni, Andaka, dan Bhoja. Mereka biasanya dikenali sebagai Yadawa karena nenek moyang mereka adalah Yadu, dan kadang-kadang dikenal sebagai Surasena setelah adanya leluhur terkemuka yang lai

n. Basudewa dan Dewaki termasuk ke dalam wangsa tersebut. Raja Kamsa, kakak Dewaki, mewarisi tahta setelah menjebloskan ayahnya ke penjara, yaitu Raja Ugrasena. Kar ena takut terhadap ramalan yang mengatakan bahwa ia akan mati di tangan salah satu p utera Dewaki, maka ia menjebloskan pasangan tersebut ke penjara dan berencana akan membunuh semua putera Dewaki yang baru lahir. Setelah enam putera pertamanya terbunuh, dan Dewaki kehilangan putera ketujuhnya, lahirlah Kresna. Karena hidup nya terancam bahaya maka ia diselundupkan keluar dan dirawat oleh orangtua tiri bern ama Yasoda dan Nanda di Gokul, Mahavana. Dua anaknya yang lain juga selamat yaitu, Balarama (putera ketujuh Dewaki, dipindahkan ke janin Rohini, istri pertama Basu dewa) dan Subadra (putera dari Basudewa dan Rohini yang lahir setelah Balarama dan Kre sna). Tempat yang dipercaya oleh para pemujanya untuk memperingati hari kelahiran Kres na kini dikenal sebagai Krishnajanmabhoomi, dimana sebuah kuil didirikan untuk memb eri penghormatan kepadanya. Masa kanak-kanak dan remaja Nanda merupakan pemimpin di komunitas para pengembala sapi, dan ia tinggal di Vrindavana. Kisah tentang Kresna saat masa kanak-kanak dan remaja ada di sana termasuk dengan siapa dia tinggal, dan perlindungannya kepada orang-orang sekita r. Kamsa yang mengetahui bahwa Kresna telah kabur terus mengirimkan rakshasa (seper ti misalnya Aghasura) untuk membinasakannya. Sang raksasa akhirnya terkalahkan di tangan Kresna dan kakaknya, Balarama. Beberapa di antara kisah terkenal tentang keberanian Kresna terdapat dalam petualangan ini serta permainannya bersama para gopi di desa, termasuk Radha. Kisah yang menceritakan permainannya bersama para gopi kemudian dikenal sebagai Rasa lila. Kresna Sang Pangeran Kresna yang masih muda kembali ke Mathura, dan menggulingkan kekuasaan pamannya Kamsa sekaligus membunuhnya. Kresna menyerahkan tahta kembali kepada ayah Kamsa, Ugrasena, sebagai Raja para Yadawa. Ia sendiri menjadi pangeran di keraja an tersebut. Dalam masa ini ia menjadi teman Arjuna serta para pangeran Pandawa lai nnya dari Kerajaan Kuru, yang merupakan saudara sepupunya, yang tinggal di sisi lain Yamuna. Kemudian, ia memindahkan kediaman para Yadawa ke kota Dwaraka (di masa sekarang disebut Gujarat). Ia menikahi Rukmini, puteri dari Bhishmaka dari Keraj aan Widarbha. Menurut beberapa sastra, Kresna memiliki 16.108 istri, delapan orang di antarany a merupakan istri terkemuka, termasuk di antaranya Radha, Rukmini, Satyabama, dan Jambawati. Sebelumnya 16.000 istri Kresna yang lain ditawan oleh Narakasura, sam pai akhirnya Kresna membunuh Narakasura dan membebaskan mereka semua. Menurut adat yang keras pada waktu itu, seluruh wanita tawanan tidak layak untuk menikah sebagaimana mereka masih di bawah kekuasaan Narakasura, namun Kresna dengan gembira menyambut mereka sebagai puteri bangsawan di kerajaannya. Dalam tradisi Waisnawa, para istri Kresna di Dwarka dipercaya sebagai penitisan dari berbagai wujud Dewi Lakshmi. Bharatayuddha dan Bhagawad Gita

Kresna merupakan saudara sepupu dari kedua belah pihak dalam perang antara Pandawa dan Korawa. Ia menawarkan mereka untuk memilih pasukannya atau dirinya. Para Korawa mengambil pasukannya sedangkan dirinya bersama para Pandawa. Ia pun sudi untuk menjadi kusir kereta Arjuna dalam pertempuran akbar. Bhagavad Gita merupakan wejangan yang diberikan kepada Arjuna oleh Kresna sebelum pertempuran dimulai. Kehidupan di kemudian hari Setelah perang, Kresna tinggal di Dwaraka selama 36 tahun. Kemudian pada suatu perayaan, pertempuran meletus di antara para Yadawa yang saling memusnahkan satu sama lain. Lalu kakak Kresna Balarama melepaskan raga dengan cara melakukan Yoga. Kresna berhenti menjadi raja kemudian pergi ke hutan dan duduk di bawah po hon melakukan meditasi. Seorang pemburu yang keliru melihat sebagian kaki Kresna sep erti rusa kemudian menembakkan panahnya dan menyebabkan Kresna mencapai keabadian. Menurut Mahabharata, kematian Kresna disebabkan oleh kutukan Gandari. Kemarahannya setelah menyaksikan kematian putera-puteranya menyebabkannya mengucapkan kutukan, karena Kresna tidak mampu menghentikan peperangan. Setelah mendengar kutukan tersebut, Kresna tersenyum dan menerima itu semua, dan menjelaskan bahwa kewajibannya adalah bertempur di pihak yang benar, bukan mencegah peperangan. Menurut referensi dari Bhagawatapurana dan Bhagawad Gita, ditafsirkan bahwa Kres na wafat sekitar tahun 3100 SM.[6] Ini berdasarkan deskripsi bahwa Kresna meninggal kan Dwarka 36 tahun setelah peperangan dalam Mahabharata terjadi. Matsyapurana mengatakan bahwa Kresna berusia 89 tahun saat perang berkecamuk. Setelah itu Pandawa memerintah selama 36 tahun, dan pemerintahan mereka terjadi saat permula an Kali Yuga. Selanjutnya dikatakan bahwa Kali Yuga dimulai saat Duryodana dijatuhk an ke tanah oleh Bima berarti tahun 2007 sama dengan tahun 5108 (atau semacam itu) semenjak Kali Yuga.[7] Hubungan keluarga Ayah Kresna adalah Prabu Basudewa, yang merupakan saudara lelaki (kakak) dari Ku nti atau Partha, istri Pandu yang merupakan ibu para Pandawa, sehingga Kresna bersau dara sepupu dengan para Pandawa. Saudara misan Kresna yang lain bernama Sisupala, putera dari Srutadewa atau Srutasrawas, adik Basudewa. Sisupala merupakan musuh bebuyutan Kresna yang kemudian dibunuh pada saat upacara akbar yang diselenggarakan Yudistira. Kresna dalam pewayangan Jawa Dalam pewayangan Jawa, Prabu Kresna merupakan Raja Dwarawati, kerajaan para Yadu dan merupakan titisan Dewa Wisnu. Kresna adalah anak Basudewa, Raja Mandura. Ia (dengan nama kecil Narayana) dilahirkan sebagai 3 bersaudara dengan kakaknya dik enal sebagai Baladewa (Kakrasana) dan adiknya dikenal sebagai Subadra, yang tak lain adalah isteri dari Arjuna. Ia memiliki tiga orang isteri dan tiga orang anak. Is teri isterinya adalah Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Satyabama. Anak anaknya adalah Raden Boma Narakasura, Raden Samba, dan Siti Sundari. Pada perang Bharatayuddha, beliau adalah sais atau kusir Arjuna. Ia juga merupak an salah satu penasihat utama Pandawa. Sebelum perang melawan Karna, atau dalam babak yang dinamakan Karna Tanding sebagai sais Arjuna beliau memberikan wejanga n panjang lebar kepada Arjuna. Wejangan beliau dikenal sebagai Bhagawad Gita. Kresna dikenal sebagai seorang yang sangat sakti. Ia memiliki kemampuan untuk meramal, mengubah bentuk menjadi raksasa, dan memiliki bunga Wijaya Kusuma yang

dapat menghidupkan kembali orang yang mati. Ia juga memiliki senjata yang dinama kan Cakrabaswara yang mampu digunakan untuk menghancurkan dunia, pusaka-pusaka sakti, antara lain Senjata Cakra, Kembang Wijayakusuma, Terompet kerang (Sangkal a) Pancajahnya, Kaca paesan, Aji Pameling dan Aji Kawrastawan. Setelah meninggalnya Prabu Baladewa (Resi Balarama), kakaknya, dan musnahnya seluruh Wangsa Wresni, Prabu Kresna menginginkan moksa. Ia wafat dalam keadaan bertapa dengan perantara panah seorang pemburu bernama Jara yang mengenai kakinya. Kresna dalam Bhagawad Gita Kresna dianggap sebagai penjelmaan Sang Hyang Triwikrama, atau gelar Bhatara Wis nu yang dapat melangkah di tiga alam sekaligus. Ia juga dipandang sebagai perantara suara Tuhan dalam menjalankan misi sebagai juru selamat umat manusia, dan disetarakan dengan segala sesuatu yang agung. Kutipan di bawah ini diambil dari kitab Bhagaw ad Gita (percakapan antara Kresna dengan Arjuna) yang menyatakan Sri Kresna sebagai Awatara. Kutipan Terjemahan yada yada hi dharmasya, glanir bhavati bharata, abhyutthanam adharmasya tadatmana sjamy aham Kapan pun kebenaran merosot dan kejahatan merajalela, pada saat itu Aku turun menjelma, wahai keturunan Bharata (Arjuna) paritraaya sadhuna, vinasaya ca duktam, dharmasa sthapanarthaa, sambhavami yuge yuge Untuk menyelamatkan orang saleh dan membinasakan orang jahat, dan menegakkan kembali kebenaran, Aku sendiri menjelma dari zaman ke zaman aham atma guakesa sarvabhutasayasthita, aham adis ca madhya ca bhutanam anta eva ca O Arjuna, Aku adalah Roh Yang Utama yang bersemayam di dalam hati semua makhluk hidup. Aku adalah awal, pertengahan dan akhir semua makhluk purodhasa ca mukhya ma viddhi partha bhaspatim, senaninam aha skanda, sarasam asmi sagara Wahai Arjuna, di antara semua pendeta, ketahuilah bahwa Aku adalah Brihaspati, pemimpinnya. Di antara para panglima, Aku adalah Kartikeya, dan di antara segala sumber air, Aku adalah lautan prahladas casmi daityana, kala kalayatam aham mgaa ca mgendro ha vainateyas ca pakiam Di antara para Detya, Aku adalah Prahlada, yang berbakti dengan setia. Di antara segala penakluk, Aku adalah waktu. Di antara segala hewan, Aku adalah singa, dan di antara para burung, Aku adalah Garuda. dyuta chalayatam asmi tejas

tejasvinam aham jayo smi vyavasayo smi sattva sattvavatam aham Di antara segala penipu, Aku adalah penjudi. Aku adalah kemulian dari segala sesuatu yang mulia. Aku adalah kejayaan, Aku adalah petualangan, dan Aku adalah kekuatan orang yang kuat vina vasudevo smi paavanam dhanajaya, muninam apy aha vyasa kavinam usana kavi Di antara keturunan Wresni, Aku ini Kresna. Di antara Panca Pandawa, Aku adalah Arjuna. Di antara para Resi, Aku adalah Wyasa. Di antara para ahli pikir yang mulia, aku adalah Usana. Baladewa Baladewa (Sanskerta: ?????) atau Balarama (Sanskerta: ?????; Balarama), disebut juga Balabhadra dan Halayudha, adalah Kakak dari Kresna, putera Wasudewa dan Dewaki. Dalam filsafat Waisnawa dan beberapa tradisi pemujaan di India selatan, ia dipuj a sebagai awatara keenam dari Maha Awatara dan termasuk salah satu dari 25 Awatara dalam purana. Menurut filsafat Waisnawa dan beberapa pandangan umat Hindu, ia merupaka n manifestasi dari Shesha, ular suci yang menjadi ranjang Dewa Wisnu. Kemunculan Baladewa Baladewa sebenarnya merupakan Kakak kandung Kresna karena terlahir sebagai puter a Wasudewa dan Dewaki. Namun karena takdirnya untuk tidak mati di tangan Kamsa, ia dilahirkan oleh Rohini atas peristiwa pemindahan janin. Kamsa, Kakak dari Dewaki, takut akan ramalan yang mengatakan bahwa ia akan terbunuh di tangan putera kedelapan Dewaki. Maka dari itu ia menjebloskan Dewaki beserta suaminya ke penjara dan membunuh setiap putera yang dilahirkan oleh Dewa ki. Secara berturut-turut, setiap puteranya yang baru lahir mati di tangan Kamsa. Pa da saat Dewaki mengandung puteranya yang ketujuh, nasib anaknya yang akan dilahirkan tid ak akan sama dengan nasib keenam anaknya terdahulu. Janin yang dikandungnya secara ajaib berpindah kepada Rohini yang sedang menginginkan seorang putera. Maka dari itu, Baladewa disebut pula Sankarsana yang berarti "pemindahan janin". Akhirnya, Rohini menyambut Baladewa sebagai puteranya. Pada masa kecilnya, ia bernama Rama. Namun karena kekuatannya yang menakjubkan, ia disebut Balarama (Rama yang kuat) atau Baladewa. Baladewa menghabiskan masa kanak-kanaknya sebagai seorang pengembala sapi bersama Kresna dan teman-temannya. Ia menikah dengan Rewati, puteri Raiwata dari Anarta. Baladewa mengajari Bima dan Duryodana menggunakan senjata Gada. Dalam perang Mahabharata, Baladewa bersikap netral. Seperti kerajaan Widarbha dan Raja Rukmi, ia tidak memihak Pandawa maupun Korawa. Namun, ketika Bima hendak membunuh Duryodana, ia mengancam akan membunuh Bima. Hal itu dapat dicegah oleh Kresna dengan menyadarkan kembali Baladewa bahwa Bima membunuh Duryodana adalah sebuah kewajiban untuk memenuhi sumpahnya. Selain itu, Kresna mengingatkan Baladewa akan segala prilaku buruk Duryodana. Ciri-ciri fisik larama seringkali digambarkan berkulit putih, khususnya jika dibandingkan dengan saudaranya, yaitu Kresna, yang dilukiskan berkulit biru gelap atau bercorak hita m. Senjatanya adalah bajak dan gada. Secara tradisional, Baladewa memakai pakaian b

iru dan kalung dari rangkaian bunga hutan. Rambutnya diikat pada jambul dan ia memak ai giwang dan gelang. Baladewa digambarkan memiliki fisik yang sangat kuat, dan kenyataannya, 'bala' dalam bahasa Sansekerta berarti 'kuat'. Baladewa merupakan teman kesayangan Kresna yang terkenal. Baladewa dalam susastra Hindu Bhagawatapurana Pada suatu hari, Nanda Maharaja menyuruh Gargamuni, pendeta keluarga, untuk mengunjungi rumah mereka dalam rangka memberikan nama kepada Kresna dan Baladewa. Ketika Gargamuni tiba di rumahnya, Nanda Maharaja menyambutnya dengan ramah dan kemudian menyuruh agar upacara pemberian nama segera dilaksanakan. Gargamuni memperingatkan Nanda Maharaja bahwa Kamsa mencari putera Dewaki dan jika upacara dilaksanakan secara mewah maka akan menarik perhatian Kamsa, dan ia akan mencurigai Kresna sebagai putera Dewaki. Maka Nanda Maharaja menyuruh Gargamuni untuk melangsungkan upacara secara rahasia, dan Gargamuni memberi alasan mengenai pemberian nama Balarama sebagai berikut: Karena Balarama, putera Rohini, mampu menambah pelbagai berkah, namanya Rama, dan karena kekuatannya yang luar biasa, ia dipanggil Baladewa. Ia mampu menarik Wangsa Yadu untuk mengikuti perintahnya, maka dari itu namanya Sankarshana. (Bhagavata Purana 10.8.12) Mahabharata Balardewa terkenal sebagai pengajar Duryodana dari Korawa dan Bima dari Pandawa seni bertarung menggunakan gada. Ketika perang meletus antara pihak Korawa dan Pandawa, Baladewa memiliki rasa sayang yang sama terhadap kedua pihak dan memutuskan untuk menjadi pihak netral. Dan akhirnya ketika Bima (yang lebih kuat ) mengalahkan Duryodana (yang lebih pintar) dengan memberikan pukulan di bawah perutnya dengan gada, Baladewa mengancam akan membunuh Bima. Hal ini dicegah oleh Kresna yang mengingatkan Baladewa atas sumpah Bima untuk membunuh Duryodana dengan menghancurkan paha yang pernah ia singkapkan kepada Dropadi. Akhir riwayat hidup Dalam Bhagawatapurana dikisahkan setelah Baladewa ambil bagian dalam pertempuran yang menyebabkan kehancuran Dinasti Yadu, dan setelah ia menyaksikan Kresna yang menghilang, ia duduk bermeditasi di bawah pohon dan meninggalkan dunia dengan mengeluarkan ular putih besar dari mulutnya, kemudian diangkut oleh ular tersebu t, yaitu Shesa. Tradisi dan pemujaan Dalam tradisi Waisnawa dan beberapa sekte Hindu di India, Baladewa dipuja bersam a Sri Kresna sebagai kepribadian dari Tuhan yang Maha Esa dan dalam pemujaan mereka sering disebut "Krishna-Balarama". Mereka memiliki hubungan yang dekat dan selal u terlihat bersama-sama. Jika diibaratkan, Kresna merupakan pencipta sedangkan Baladewa merupakan potensi kreativitasnya. Baladewa merupakan saudara Kresna, da n kadang-kadang dilukiskan sebagai adik, kadang-kadang dilukiskan sebagai kakaknya . Baladewa juga merupakan Lakshmana pada kehidupan Wisnu sebelum menitis pada Kresna, dan pada zaman Kali, beliau menitis sebagai Nityananda, sahabat Sri Cait anya. Dalam Bhagawata Purana diceritakan, setelah Baladewa ambil bagian dalam pertempu ran antara wangsa Yadu dan Wresni, dan setelah ia menyaksikan Kresna mencapai moksa, ia duduk untuk bermeditasi agar mampu meninggalkan dunia fana lalu mengeluarkan ula r

putih dari dalam mulutnya. Setelah itu ia diangkut oleh Sesha dalam wujud ular. Baladewa dalam Pewayangan Jawa Baladewa adalah saudara Prabu Kresna. Prabu Baladewa yang waktu mudanya bernama Kakrasana, adalah putra Prabu Basudewa, raja negara Mandura dengan permaisuri De wi Mahendra atau Maekah. Ia lahir kembar bersama adiknya, Narayana dan mempunyai ad ik lain ibu bernama Dewi Sumbadra atau Dewi Lara Ireng, putri Prabu Basudewa dengan permaisuri Dewi Badrahini. Baladewa juga mempunyai saudara lain ibu bernama Arya Udawa, putra Prabu Basudewa dengan Ken Sagupi, seorang swarawati keraton Mandura Prabu Baladewa yang mudanya pernah menjadi pendeta di pertapaan Argasonya bergel ar Wasi Jaladara, menikah dengan Dewi Erawati, putri Prabu Salya dengan Dewi Setyaw ati atau Pujawati dari negara Mandaraka. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra bernama Wisata dan Wimuka. Baladewa berwatak keras hati, mudah naik darah tapi pemaaf dan arif bijaksana. I a sangat mahir dalam olah keterampilan mempergunakan gada, hingga Bima dan Duryodana berguru kepadanya. Baladewa mempunyai dua pusaka sakti, yaitu Nangggal a dan Alugara, keduanya pemberian Bathara Brahma. Ia juga mempunyai kendaraan gaja h bernama Kyai Puspadenta. Dalam banyak hal prabu Baladewa adalah lawan daripada prabu Kresna. Kresna berwarna hitam sedangkan Baladewa berkulit putih. Pada perang Bharatayuddha sebenarnya prabu Baladewa memihak para Korawa, tetapi berkat siasat Kresna, beliau tidak ikut dan malahan bertapa di Grojogan Sewu (Gr ojogan = Air Terjun, Sewu = Seribu) dengan tujuan agar apabila terjadi perang Bharatayuda Baladewa tidak dapat mendengarnya karena tertutup suara gemuruh air terjun selai n itu dijanjikan oleh Kresna akan dibangunkan ketika nanti Bharatayuda terjadi, padaha l keesokan harinya setelah bertapa di Grojogan Sewu terjadilah perang Bharatayuda. Jika tidak pasti para Pandawa kalah, karena prabu Baladewa sangatlah sakti. Baladewa ada yang mengatakan sebgai titisan daripada naga sementara yang lainya meyakini sebagai titisan Sanghyang Basuki , Dewa keselamatan. Ia berumur sangat panjang. Setelah selesai perang Bharatayudha, Prabu Baladewa menjadi pamong dan penasehat Prabu Parikesit, raja negara Astina setelah Prabu Kalimataya atau Prab u Puntadewa, dengan gelar Resi Balarama. Ia mati moksa setelah punahnya seluruh Wangsa Wresni. Drupada Drupada (Sansekerta: ??? ?; Drupada), juga disebut Yajasena (Yadnyasna), adalah nama salah satu tokoh Mahabharata. Ia merupakan raja di Kerajaan Panchala. Pada masa mudanya merupakan teman Drona, guru para Pandawa dan Korawa di Hastinapura. Drupada memiliki seorang putera, seorang puteri, dan sorang anak waria. Masing-m asing bernama Drestadyumna, Dropadi, dan Srikandi. Drupada dibunuh oleh Drona dalam pertempuran akbar di Kurukshetra. Drupada merupakan ayah Amba, yang dalam reinkarnasi berikutnya menjelma sebagai seorang pria bernama Srikandi. Karena Srikandi mengingat kehidupan masa lalunya sebagai wanita, kadangkala ia disebut Srikandini. Drupada dalam Mahabharata Saat masih muda, Drupada belajar bersama Drona dan menjadi temannya. Drona membuatnya berjanji untuk membagi segala kekayaannya. Kemudian, saat Drupada menjadi raja di Panchaladesa, Drona mengingatkan janjinya dan meminta kekayaanny a.

Drupada mengejek Drona karena janji mereka yang tak dapat dipertanggungjawabkan saat di masa muda. Dengan sangat marah, Drona menjadi guru para pangeran Kuru di Hastinapura. Setelah mereka tamat, Drona menyuruh mereka untuk mengalahkan Drupada. Dalam penyerangan yang tiba-tiba, Arjuna, salah satu Pandawa, melucuti senjata Drupada dan memaksanya untuk menyerahkan separuh kerajaannya. Drupada dalam pewayangan Jawa Prabu Drupada yang waktu mudanya bernama Arya Sucitra, adalah putra Arya Dupara dari Hargajambangan, dan merupakan turunan ke tujuh dari Bathara Brahma. Arya Su citra bersaudara sepupu dengan Bambang Kumbayana atau Resi Drona dan menjadi saudara seperguruan sama-sama berguru pada Resi Baratmadya. Untuk mencari pengalaman hidup, Arya Sucitra pergi meninggalkan Hargajembangan, mengabdikan diri ke negara Astina kehadapan Prabu Pandudewanata (Pandu). Ia menekuni seluk beluk tata kenegaraan dan tata pemerintahan. Karena kepatuhan dan kebaktiannya kepada negara, oleh Prabu Pandu ia dijodohkan atau dikawinkan denga n Dewi Gandawati, putri sulung Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandarini dari negara Pancala. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh tiga orang putra masing-masing bernama Dewi Drupadi, Dewi Srikandi dan Arya Drestadyumena. Ketika Prabu Gandabayu mangkat, dan berputra mahkota Arya Gandamana menolak menjadi raja, Arya Sucitra dinobatkan menjadi raja Pancala dengan gelar Prabu Dr upada. Dalam masa kekuasaanya, Prabu Drupada berselisih dengan Resi Drona, dan separuh dari wilayah negara Pancala direbut secara paksa melalui peperangan oleh Resi Dr ona dengan bantuan anak-anak Pandawa dan Korawa. Di dalam perang besar Bharatayudha, Prabu Drupada tampil sebagai senapati perang Pandawa. Ia gugur melawan Resi Drona karena terkena Panah Cundamanik. Hidimba Dalam wiracarita Mahabharata, Hidimba (Sansekerta: ?????? ??) (kadangkala disebu t Hidimbasura dan Hdimba) adalah seorang rakshasa, kakak Hidimbi dan merupakan seorang penghuni hutan. Ia dan adiknya, Hidimbi, tergoda di kediaman Pandawa dan hendak memakan mereka. Kemudian Hidimbi berubah menjadi wanita cantik dan membawa Pandawa ke hadapan Hidimba. Namun, Hidimba terlibat konflik dengan Bima dan tewas dalam perkelahian. Drestadyumna Drestadyumna (Sansekerta: ????????????, dhrishtadyumna) adalah seorang tokoh dar i wiracarita Mahabharata. Dia merupakan kakak bagi Dropadi dan Srikandi, keturunan Raja Drupada yang berasal dari Kerajaan Panchala. Ia berada di pihak Pandawa saat per ang di Kurukshetra. Dialah yang membunuh Resi Drona. Saat Sang Resi tertunduk lemas dan kehilangan seluruh daya kekuataanya, sebagai akibat dari kabar bohong tentang meninggalnya sang putera Aswatama, Drestadyumena maju dan memenggal leher Sang Resi. Arti nama Dalam bahasa Sansekerta, nama Dhristadyumna secara harfiah berarti "diagungkan karena keberaniannya". Kelahiran Saat Drona berhasil merebut separuh Kerajaan Panchala dari tangan Drupada, keben cian Drona terhadap Drupada lenyap, namun sebaliknya Drupada membenci Drona untuk selama-lamanya dan berambisi untuk membalas dendam. Ia tahu bahwa Drona sulit dikalahkan sebab Drona merupakan murid Bhargawa dan memiliki senjata ilahi. Akhi rnya Drupada memutuskan untuk menyelenggarakan upacara yadnya yang disebut Putrakama supaya memperoleh putera yang bisa membunuh Drona. Dengan dibantu oleh para resi ,

upacara tersebut terselenggara dengan baik. Dari dalam api upacara, munculah seo rang pemuda gagah, lengkap degan baju zirah dan senjata. Atas sabda dari langit, anak tersebut diberi nama Drestadyumna. Kematian Setelah perang besar berakhir, putera dari Resi Drona, yaitu Aswatama, bersama d engan Krepa dan Kertawarma, melakukan pembalasan dendam dengan membantai hampir semua putera-puteri, cucu, dan kerabat Pandawa, termasuk yang menjadi korban ada lah Drestadyumena sendiri, Srikandi, dan Pancawala. Pembantaian tersebut dilakukan p ada malam hari, ketika pasukan Pandawa sedang tertidur lelap. Kisah tersebut terdapa t dalam kitab Sauptikaparwa. Drestadyumna dalam pewayangan Jawa Dalam pewayangan Jawa, Arya Drestadyumena atau Trustajumena adalah putra bungsu Prabu Drupada, raja negara Panchala dengan permaisuri Dewi Gandawati, putri Prab u Gandabayu dengan Dewi Gandini. Ia mempunyai kakak kandung dua orang masingmasing bernama Dewi Drupadi, istri Prabu Yudistira, Raja Amarta (Indraprastha), dan Dewi Srikandi, istri Arjuna. Konon Arya Drestadyumna lahir dari tungku pedupaan hasil pemujaan Prabu Drupada kepada Dewata yang menginginkan seorang putera lelaki yang dapat membinasakan Re si Drona yang telah mengalahkan dan menghinanya. Drestadyumna berwajah tampan, memiliki sifat pemberani, cerdik, tangkas dan trenginas. Ia menikah dengan Dewi Suwarni, putri Prabu Hiranyawarma, raja negara Dasarna. Dari perkawinan tersebut ia mempe roleh dua orang putra lelaki bernama Drestaka dan Drestara. Drestadyumna ikut terjun dalam kancah perang Bharatayuddha. Ia tampil sebagai senapati perang Pandawa, menghadapi senapati perang Korawa, yaitu Resi Drona. Pa da saat itu roh Ekalaya, raja negara Parangggelung yang ingin menuntut balas pada R esi Drona menyusup dalam diri Drestadyumna. Setelah melalui pertempuran sengit, akhi rnya Resi Drona dapat dibinasakan oleh Drestadyumna dengan dipenggal lehernya. Drestadyumna mati setelah berakhirnya perang Bharatayudha. Ia tewas dibunuh Aswatama, putera Resi Drona, yang berhasil menyusup masuk istana Hastina dalam usahanya menuntut balas atas kematian ayahnya. Burisrawa Burisrawa (Sansekerta: ???????; Bhurisrava) adalah seorang antagonis dari wiraca rita Mahabharata. Ia merupakan pangeran dari Kerajaan Bahlika yang berperang pada pih ak Korawa saat perang Bharatayuddha. Ia tewas karena dipenggal oleh Arjuna saat ia hendak menyerang Satyaki. Salya Salya (Sansekerta: ????; Shalya) merupakan kakak Madri, yaitu ibu Nakula dan Sad ewa, dalam wiracarita Mahabharata. Salya pemimpin Madra-desa atau Kerajaan Madra. Ia merupakan paman Nakula dan Sadewa dari keluarga ibunya dan dicintai serta disaya ngi oleh para Pandawa. Salya merupakan pemanah mahir serta ksatria yang sangat tangg uh. Dalam pertempuran akbar di Kurukshetra, ia memihak Korawa. Ia Salya dalam Mahabharata Salya merupakan raja di Kerajaan Madra atau Madra-desa, yaitu salah satu kerajaa

n India Kuno yang terletak di sebelah barat Asia Selatan. Ia merupakan ksatria yang sang at tangguh pada zamannya. Ia sangat disegani oleh keponakannya, yaitu Pandawa. Sebenarnya, Salya memihak Pandawa saat pertempuran akbar di Kurukshetra. Salya mengirimkan pasukannya dengan jumlah besar menuju markas Pandawa. Dalam perjalanan, ia dijamu oleh Duryodana yang ia kira adalah Yudistira. Hal itu sebe narnya merupakan siasat Duryodana agar mau membantu Korawa dalam pertempuran nantinya. Karena merasa berhutang budi, Salya pun mau memihak Korawa. Kemudian Salya bertemu dengan Yudistira dan meminta ma'af atas kekeliruannya. Dengan segan, Salya terjun ke medan laga Kurukshetra di pihak Korawa. Salya berp eran sebagai kusir kereta Karna dalam peperangan tersebut. Saat Karna terbunuh pada h ari ketujuh belas, Salya diangkat menjadi pemimpin pasukan Korawa. Namun ia memegang jabatan tersebut hanya setengah hari, sebab ia berhasil dibunuh oleh Yudistira d engan menggunakan senjata tombak. Salya dalam pewayangan Jawa Prabu Salya ketika mudanya bernama Narasoma, adalah putera Prabu Mandrapati, raj a Negara Mandaraka dari permaisuri Dewi Tejawati. Prabu Salya adalah saudara kandu ng bernama Dewi Madrim yang kemudian menjadi isteri kedua Prabu Pandu, raja negara Astina. Prabu Salya menikah dengan Dewi Pujawati alias Dewi Setyawati. Putri tunggal Bag awan Bagaspati, brahmana-raksasa di pertapan Argabelah, dengan Dewi Darmastuti, seora ng hapsari atau bidadari. Dari perkawinan tersebut, ia dikaruniai lima orang putra, yaitu: Dewi Erawati, Dewi Surtikanti, Dewi Banowati, Arya Burisrawa dan Bambang Rukmarata. Prabu Salya mempunyai sifat tinggi hati, sombong, congkak, banyak bicara, cerdik dan pandai. Ia sangat sakti, lebih-lebih setelah mendapat warisan Aji Candrabirawa d ari mendiang mertuanya, Bagawan Bagaspati yang mati dibunuh olehnya. Prabu Salya naik tahta kerajaan Mandaraka menggantikan ayahnya, Prabu Mandrapati yang meninggal bunuh diri. Pada perang Bharatayuddha, Salya memihak Korawa dan menjadi pemimpin pasukan setelah Karna. Akhir riwayatnya diceritakan, Prabu Salya gugur di medan pertempu ran Bharatayudha oleh Prabu Yudhistira alias Prabu Puntadewa dengan pusaka Jamus Kalimasada. Adirata Dalam Wiracarita Mahabharata, Adirata (?????; Adhiratha) adalah seorang kusir da n merupakan ayah angkat Adipati Karna. Ia menjabat sebagai kusir Raja Drestarastra . Karna menjadi ksatria tangguh sekaligus raja di Anga dan turut Anaknya berpartisipasi dalam perang di Kurukshetra. Srikandi Srikandi (Sanskerta: ???????; Sikhai) atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangka la

berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang ha mpir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupaka n perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata versi Indi a. Arti nama Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Sikhain, bentuk feminimnya adalah Sikhaini. Secara harfiah, kata Sikhandin atau Sikhandini berarti "memiliki rumbair umbai" atau "yang memiliki jambul". Srikandi dalam Mahabharata Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang dit olak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi. Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menik ah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan me miliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa. Perang di Kurukshetra Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tah u bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di bela kang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh o leh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha. Srikandi dalam Pewayangan Jawa Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupad a dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakakny a, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirka n dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna. Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera. Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penang gung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Bisma.

Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddh a. Radha (Mahabharata) Radha adalah ibu tiri Karna dalam Mahabharata, yang tidak sama dengan Radha sang pengembala wanita. Ia merupakan istri kusir bernama Adirata, yang menemukan anak lelaki terbuang yang baru lahir, yang ia beri nama Karna. Kemudian Adirata and R adha menjadi orangtua tirinya. Sejak saat itu, dan karena Karna yang dewasa menunjukk an kesetiannya kepada orangtua tirinya, yang berbeda terhadap ibu kandungnya yaitu Kunti yang telah membuangnya setelah ia lahir, ia kadangkala dipanggil Radheya, yang b erarti putera Rada. Adiparwa Adiparwa (Sansekerta ???????) adalah buku pertama atau bagian (parwa) pertama da ri kisah Mahabharata. Pada dasarnya bagian ini berisi ringkasan keseluruhan cerita Mahabharata, kisah-kisah mengenai latar belakang ceritera, nenek moyang keluarga Bharata, hingga masa muda Korawa dan Pandawa). Kisahnya dituturkan dalam sebuah cerita bingkai dan alur ceritanya meloncat-loncat sehingga tidak mengalir dengan baik. Penuturan kisah keluarga besar Bharata tersebut dimulai dengan percakapan antara Bagawan Ugrasrawa yang mendatangi Bagawan Sonaka di hutan Nemisa. Bagian-bagian kitab Adiparwa itu di antaranya: Cerita Begawan Ugrasrawa (Ugrarawa) mengenai terjadinya pemandian Samantapacaka dan tentang dituturkannya kisah Mahabharata oleh Begawan Waisampayana (Waiampayana). Kisah panjang tersebut dituturkan atas permintaan maharaja Janamejaya, raja Hastinapura, anak mendiang prabu Parikesit (Pariksit) dan cicit Pandawa. Begawan Waisampayana bermaksud menghibur sang maharaja atas kegagalan kurban ular (sarpayaja) yang dilangsungkan untuk menghukum naga Taksaka, yang telah membunuh raja Pariksit. o Selain itu sang Ugrasrawa juga menjelaskan ringkasan delapan belas parwa yang menyusun Mahabharata; jumlah bab, seloka (loka) dan isi dari masing-masing parwa. Cerita dikutuknya maharaja Janamejaya oleh sang Sarama, yang berakibat kegagalan kurban yang dilangsungkan oleh sang maharaja. Cerita Begawan Dhomya beserta ketiga orang muridnya; sang Arunika, sang Utamanyu dan sang Weda. Dilanjutkan dengan ceritera Posya, mengenai kisah asal mula sang Uttangka murid sang Weda bermusuhan dengan naga Taksaka. Oleh karenanya sang Uttangka lalu membujuk Maharaja Janamejaya untuk melaksanakan sarpayaja atau upacara pengorbanan ular. Cerita asal mula Hyang Agni (dewa api) memakan segala sesuatu, apa saja dapat dibakarnya, dengan tidak memilah-milah. Serta nasihat dewa kepada sang Ruru untuk mengikuti jejak sang Astika, yang melindungi para ular dan naga dari kurba n maharaja Janamejaya. Ceritera Astika; mulai dari kisah sang Jaratkaru mengawini sang Nagini (naga perempuan) dan beranakkan sang Astika, kisah lahirnya naga dan garuda, dikutuknya para naga oleh ibunya agar dimakan api pada kurban ular, permusuhan naga dengan garuda, hingga upaya para naga menghindarkan diri dari kurban ular. o Di dalam ceritera ini terselip pula kisah mengenai upaya para dewa untuk mendapatkan tirta amrta atau air kehidupan, serta asal-usul gerhana matahari dan bulan. Cerita asal-usul Raja Parikesit dikutuk Begawan runggi dan karenanya mati digigit naga Taksaka. Cerita pelaksanaan kurban ular oleh maharaja Janamejaya, dan bagaimana

Begawan Astika mengurungkan kurban ular ini. Cerita asal-usul dan sejarah nenek moyang Kurawa dan Pandawa. Kisah Sakuntala (akuntala) yang melahirkan Bharata, yang kemudian menurunkan keluarga Bharata. Sampai kepada sang Kuru, yang membuat tegal Kuruksetra; sang Hasti, yang mendirikan Hastinapura; maharaja Santanu (antanu) yang berputra Bhsma Dewabrata, lahirnya Begawan Byasa (Bysa atau Abiyasa) sang pengarang kisah ini sampai kepada lahirnya Dhrestarastra (Dhrtarastra) ayah para Kurawa, Pandu (Pndu) ayah para Pandawa, dan sang Widura. Cerita kelahiran dan masa kecil Kurawa dan Pandawa. Permusuhan Kurawa dan Pandawa kecil, kisah dang hyang Drona, hingga sang Karna menjadi adipati di Awangga. Cerita masa muda Pandawa. Terbakarnya rumah damar, kisah sang Bima (Bhma) mengalahkan raksasa Hidimba dan mengawini adiknya Hidimb (Arimbi) serta kelahiran Gatutkaca, kemenangan Pandawa dalam sayembara Drupadi, dibaginya negara Hstina menjadi dua untuk Kurawa dan Pandawa, pengasingan sang Arjuna selama 12 tahun dalam hutan, lahirnya Abimanyu (Abhimanyu) ayah sang Pariksit, hingga terbakarnya hutan Kandhawa tempat naga Taksaka bersembunyi. Catatan: Cerita-cerita ini dianyam dalam bentuk cerita bingkai. Ringkasan isi Kitab Adiparwa Adiparwa dituturkan seperti sebuah narasi. Penuturan isi kitab tersebut bermula ketika Sang Ugrasrawa mendatangi Bagawan Sonaka yang sedang melakukan upacara di hutan Nemisa[1]. Sang Ugrasrawa menceritakan kepada Bagawan Sonaka tentang keberadaan sebuah kumpulan kitab yang disebut Astadasaparwa, pokok ceritanya adalah kisah perselisihan Pandawa dan Korawa, keturunan Sang Bharata. Dari penuturan Sang Ugrasrawa, mengalirlah kisah besar keluarga Bharata tersebut (Mahabharata). Perhatian: Bagian di bawah ini mungkin akan membeberkan isi cerita yang penting atau akhir kisahnya. Mangkatnya Raja Parikesit Dikisahkan, ada seorang Raja bernama Parikesit, putera Sang Abimanyu, yang berta hta di Hastinapura. Ia merupakan keturunan Sang Kuru, maka disebut juga Kuruwangsa[1]. Pada suatu hari, beliau berburu kijang ke tengah hutan. Kijang diikutinya sampai kehi langan jejak. Di hutan beliau berpapasan dengan seorang pendeta bernama Bagawan Samiti. Sang Raja menanyakan kemana kijang buruannya pergi, namun sang pendeta membisu (bertapa dengan bisu). Hal tersebut membuat Raja Parikesit marah. Ia mengambil b angkai ular, kemudian mengalungkannya di leher sang pendeta. Putera sang pendeta yang bernama Srenggi, mengetahui hal tersebut dari penjelasa n Sang Kresa, kemudian ia menjadi marah. Ia mengutuk Sang Raja, agar beliau wafat karena digigit ular, tujuh hari setelah kutukan diucapkan. Setelah Sang Raja men erima kutukan tersebut, maka ia berlindung di sebuah menara yang dijaga dan diawasi de ngan ketat oleh prajurit dan para patihnya. Di sekeliling menara juga telah siap para tabib yang ahli menangani bisa ular. Pada hari ketujuh, yaitu hari yang diramalkan menjadi hari kematiannya, seekor naga yang bernama Taksaka menyamar menjadi ulat pada jambu yang dihaturkan kepada Sang Raja. Akhirnya Sang Raja mangkat setelah digigit Nag a Taksaka yang menyamar menjadi ulat dalam jambu[1]. Raja Janamejaya mengadakan upacara korban ular Setelah Maharaja Parikesit mangkat, puteranya yang bernama Janamejaya menggantik an tahtanya. Pada waktu itu beliau masih kanak-kanak, namun sudah memiliki kesaktia

n, kepandaian, dan wajah yang tampan. Raja Janamejaya dinikahkan dengan puteri dari Kerajaan Kasi, bernama Bhamustiman. Raja Janamejaya memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga dunia tenteram, setiap musuh pasti dapat ditaklukkannya. Keti ka Sang Raja berhasil menaklukkan desa Taksila, Sang Uttangka datang menghadap Sang Raja dan mengatakan niatnya yang benci terhadap Naga Taksaka, sekaligus menceritakan bahwa penyebab kematian ayahnya adalah karena ulah Naga Taksaka. Sang Raja meneliti kebenaran cerita tersebut dan para patihnya membenarkan cerit a Sang Uttangka. Sang Raja dianjurkan untuk mengadakan upacara pengorbanan ular untuk membalas Naga Taksaka. Singkat cerita, beliau menyiapakan segala kebutuhan upacara dan mengundang para pendeta dan ahli mantra untuk membantu proses upacara. Melihat Sang Raja mengadakan upacara tersebut, Naga Taksaka menjadi gelisah. Kemudian ia mengutus Sang Astika untuk menggagalkan upacara Sang Raja. Sang Astika menerima tugas tersebut lalu pergi ke lokasi upacara. Sang Astika menyembah-nyembah Sang Raja dan memohon agar Sang Raja membatalkan upacaranya. Sang Raja yang memiliki rasa belas kasihan terhadap Sang Astika, membatalkan upacaranya. Akhirnya, Sang Astika mohon diri untuk kembali ke Nagalo ka. Naga Taksaka pun selamat dari upacara tersebut. Wesampayana menuturkan Mahabharata Maharaja Janamejaya yang sedih karena upacaranya tidak sempurna, meminta Bagawan Byasa untuk menceritakan kisah leluhurnya, sekaligus kisah Pandawa dan Korawa ya ng bertempur di Kurukshetra. Karena Bagawan Byasa sibuk dengan urusan lain, maka Bagawan Wesampayana disuruh mewakilinya. Ia adalah murid Bagawan Byasa, penulis kisah besar keluarga Bharata atau Mahabharata. Sesuai keinginan Raja Janamejaya, Bagawan Wesampayana menuturkan sebuah kisah kepada Sang Raja, yaitu kisah sebelum sang raja lahir, kisah Pandawa dan Korawa, kisah perang di Kurukshetra, dan kisah silsilah leluhur sang raja. Wesampayana mula-mula menuturkan kisah leluhur Maharaja Janamejaya (Sakuntala, Duswanta, Bharata, Yayati, Puru, Kuru), kemudian kisah buyutnya, yaitu Pandawa dan Korawa. Garis keturunan Maharaja Yayati Leluhur Maharaja Janamejaya yang menurunkan pendiri Dinasti Puru dan Yadu bernam a Maharaja Yayati, beliau memiliki dua permaisuri, namanya Dewayani dan Sarmishta. Dewayani melahirkan Yadu dan Turwasu, sedangkan Sarmishta melahirkan Anu, Druhyu , dan Puru. Keturunan Sang Yadu disebut Yadawa sedangkan keturunan Sang Puru disebut Paurawa.[1] Dalam silsilah generasi Paurawa, lahirlah Maharaja Dushyanta, menikahi Sakuntala , yang kemudian menurunkan Sang Bharata. Sang Bharata menaklukkan dunia dan daerah jajahannya kemudian dikenal sebagai Bharatawarsha[1]. Sang Bharata menurunkan Dinasti Bharata. Dalam Dinasti Bharata lahirlah Sang Kuru, yang menyucikan sebua h tempat yang disebut Kurukshetra, kemdian menurunkan Kuruwangsa, atau Dinasti Kur u[1]. Setelah beberapa generasi, lahirlah Prabu Santanu, yang mewarisi tahta Hastinapu ra. Prabu Santanu memiliki dua istri, yaitu Dewi Gangga dan Satyawati. Dewi Gangga melahirkan Bhisma, sedangkan Satyawati melahirkan Chitrangada dan Wicitrawirya. Karena Chitrangada wafat di usia muda dan Bhisma bersumpah tidak akan mewarisi tahta, maka Wicitrawirya melanjutkan pemerintahan ayahnya. Wicitrawirya memiliki dua permaisuri, yaitu Ambika dan Ambalika. Dari Ambika lahirlah Drestarastra dan dar i Ambalika lahirlah Pandu. Drestarastra memiliki seratus putera yang disebut Koraw

aata (seratus Korawa) sedangkan Pandu memiliki lima putera yang disebut Panca Pandawa (lima putera Pandu). Kisah Prabu Santanu dan keturunannya Tersebutlah seorang Raja bernama Pratipa, beliau merupakan salah satu keturunan Sang Kuru atau Kuruwangsa, bertahta di Hastinapura. Raja Pratipa memiliki permaisuri bernama Sunandha dari Kerajaan Siwi, yang melahirkan tiga putera. Di antara keti ga putera tersebut, Santanu dinobatkan menjadi Raja. Raja Santanu menikahi Dewi Gan gga, kemudian berputera 8 orang. Tujuh puteranya yang lain ditenggelamkan ke sungai o leh istrinya sendiri, sedangkan puteranya yang terakhir berhasil selamat karena perb uatan istrinya dicegah oleh Sang Raja. Puteranya tersebut bernama Dewabrata, namun di kemudian hari bernama Bhisma. Raja Santanu menikah sekali lagi dengan seorang pu teri nelayan bernama Satyawati. Satyawati melahirkan 2 putera, bernama Chitrangada da n Wicitrawirya. Chitrangada mewarisi tahta ayahnya. Namun karena ia gugur di usia muda pada suat u pertempuran melawan seorang Raja Gandharva, pemerintahannya digantikan oleh adiknya, Wicitrawirya[1]. Wicitrawirya menikahi Ambika dan Ambalika dari Kerajaa n Kasi. Tak lama setelah pernikahannya, Wicitrawirya wafat. Untuk memperoleh keturunan, kedua janda Wicitrawirya melangsungkan upacara yang dipimpin oleh Bagawan Byasa. Ambik a melahirkan Drestarastra yang buta sedangkan Ambalika melahirkan Pandu yang pucat . Atas anugerah Bagawan Byasa, seorang pelayan yang turut serta dalam upacara ters ebut melahirkan seorang putera, bernama Widura yang sedikit pincang[1]. Drestarastra menikahi Gandari kemudian memiliki seratus putera yang disebut Korawa. Pandu menikahi Kunti dan Madri. Kunti melahirkan Yudistira, Bhima, dan Arjuna. Madri melahirkan Nakula dan Sadewa. Keturunan Pandu tersebut disebut Pandawa. Kisah masa kecil Pandawa dan Korawa Pandawa dan Korawa hidup bersama-sama di istana Hastinapura. Bagawan Drona mendidik mereka semasa kanak-kanak, bersama dengan puteranya yang bernama Aswatama. Selain itu mereka diasuh pula oleh Bhisma dan Bagawan Kripa. Setelah Pandu mangkat, kakaknya yang bernama Drestarastra melanjutkan pemerintahan. Drestarastra melihat talenta para Pandawa dan hendak mencalonkan Yudistira sebag ai Raja, namun hal tersebut justru menimbulkan sikap iri hati dalam diri Duryodana, salah satu Korawa. Tingkah laku Bima yang tanpa sengaja merugikan para Korawa juga ser ing membuat Duryodana dan adik-adiknya kesal. Terbakarnya rumah damar Suatu hari Duryodana berpikir ia bersama adiknya mustahil untuk dapat meneruskan tahta Dinasti Kuru apabila sepupunya masih ada. Mereka semua (Pandawa lima dan sepupus epupunya atau yang dikenal juga sebagai Korawa) tinggal bersama dalam suatu kerajaan yang beribukota di Hastinapura. Akhirnya berbagai niat jahat muncul dal am benaknya untuk menyingkirkan Pandawa lima beserta ibunya. Drestarastra yang mencintai keponakannya secara berlebihan mengangkat Yudistira

sebagai putra mahkota tetapi ia langsung menyesali perbuatannya yang terlalu ter buruburu sehingga ia tidak memikirkan perasaan anaknya. Hal ini menyebabkan Duryodana iri hati dengan Yudistira, ia mencoba untuk membunuh pandawa lima beserta ibu mereka yang bernama Kunti dengan cara menyuruh mereka berlibur ke tempat yang bernama Ekacakra. Di sana terdapat bangunan yang megah, yang telah disiapkan Duryodana u ntuk mereka berlibur dan akan membakar bagunan itu di tengah malam pada saat pandawa lima sedang terlelap tidur. Segala sesuatunya yang sudah direncanakan Duryodana dibocorkan oleh Widura yang merupakan paman dari Pandawa lima. Sebelum itu juga Yudistira juga telah diingatkan oleh seorang petapa yang datang ke dirinya bahwa akan ada bencana yang menimpannya oleh karena itu Yudistira pun sudah berwaspada terhadap segala kemungkinan. Untuk pertama kalinya Yudistira lolos dalam perangk ap Duryodana dan melarikan diri ke hutan rimba. Pandawa mendapatkan Dropadi Pada suatu hari, Pandawa mengikuti sayembara yang diselenggarakan Raja Drupada d i Kerajaan Panchala. Sayembara tersebut memperebutkan Dewi Dropadi. Banyak ksatria di penjuru Bharatawarsha turut menghadiri. Para Pandawa menyamar sebagai seorang Brahmana. Sebuah sasaran diletakkan di tengah-tengah arena, dan siapa yang berha sil memanah sasaran tersebut dengan tepat, maka ialah yang berhasil mendapatkan Dropadi. Satu-persatu ksatria maju, namun tidak ada satu pun yang berhasil meman ah dengan tepat. Ketika Karna dari Kerajaan Anga turut serta, ia berhasil memanah s asaran dengan baik. Namun Dropadi menolak untuk menikahi Karna karena karna anak seoran g kusir yang tentu lebih rendah kastanya. Karna kecewa tetapi juga kesal terhadap Dropadi. Para Pandawa yang diwakili oleh Arjuna turut serta. Arjuna berpakaian seperti Br ahmana. Ketika ia tampil ke muka, ia berhasil memanah sasaran dengan baik, maka Dropadi berhak menjadi miliknya. Namun hal tersebut menimbulkan kericuhan karena seorang Brahmana tidak pantas untuk mengikuti sayembara yang ditujukan kepada golongan ksatria. Arjuna dan Bima pun berkelahi dengan para ksatria di sana, sementara Yu distira, Nakula dan Sadewa melarikan Dropadi ke rumah mereka. Sesampainya di rumah, Pandawa berseru, "Ibu, kami datang membawa hasil meminta-minta". Kunti, ibu para Pandawa, tidak melihat apa yang dibawa oleh anak-anaknya karena sibuk dan berkat a, "Bagi dengan rata apa yang kalian peroleh". Ketika ia menoleh, alangkah terkejut nya ia karena anak-anaknya tidak saja membawa hasil meminta-minta, namun juga seorang wanita. Kunti yang tidak mau berdusta, membuat anak-anaknya untuk berbagai istri [1]. Arjuna mengasingkan diri ke hutan Para Pandawa sepakat untuk membagi Dropadi sebagai istri. Mereka juga berjanji t idak akan mengganggu Dropadi ketika sedang bermesraan di kamar bersama dengan salah satu dari Pandawa. Hukuman dari perbuatan yang mengganggu adalah pembuangan selama 12 tahun. Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang memerintah kerajaannya di Indraprastha, seorang pendeta masuk ke istana dan melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh par a rakshasa. Arjuna yang merasa memiliki kewajiban untuk menolongnya, bergegas mengambil senjatanya. Namun senjata tersebut disimpan di sebuah kamar dimana

Yudistira dan Dropadi sedang menikmati malam mereka. Demi kewajibannya, Arjuna r ela masuk kamar mengambil senjata, tidak mempedulikan Yudistira dan Dropadi yang sed ang bermesraan di kamar. Atas perbuatan tersebut, Arjuna dihukum untuk menjalani pembuangan selama 12 tahun. Arjuna menerima hukuman tersebut dengan ikhlas. Arjuna menghabiskan masa pengasingannya dengan menjelajahi penjuru Bharatawarsha atau daratan India Kuno. Selama masa pengasingannya, Arjuna memiliki tiga istri lagi. Mereka adalah: Subadra (adik Sri Kresna), Ulupi, dan Citrangada. Dari hubunganny a dengan Subadra anaknya bernama Abimanyu. Dengan Ulupi anaknya bernama Irawan. Dengan Citrangada anaknya bernama Babruwahana. Kisah lain dalam Kitab Adiparwa Selain kisah Pandawa dan Korawa, Sang Ugrasrawa juga menuturkan kisah lain kepad a Bagawan Sonaka, yang berbentuk cerita bingkai, sehingga alur ceritanya campuran, tidak mengalir ke depan melainkan meloncat-loncat[1]. Kisah Bagawan Dhomya menguji tiga muridnya Dikisahkan seorang Brahmana bernama Bagawan Dhomya, tinggal di Ayodhya. Ia memiliki 3 murid, bernama: Sang Utamanyu, Sang Arunika, dan Sang Weda. Ketiganya akan diuji kesetiaannya oleh Sang Guru. Sang Arunika disuruh bersawah. Dengan be rhatihati Sang Arunika merawat biji padi yang ditanamnya. Ketika biji-bijinya sedang tumbu h, datanglah hujan membawa air bah yang kemudian merusak pematang sawahnya. Ia khawatir kalau air tersebut akan merusak tanamannya, maka ia perbaiki pematangny a untuk menahan air. Berkali-kali usahanya gagal dan pematangnya jebol, maka ia merebahkan dirinya sebagai pengganti pematang yang jebol untuk menahan air. Kare na kesetiannya tersebut, Sang Arunika diberikan anugerah kesaktian oleh Bagawan Dho mya. Sementara itu, Sang Utamanyu disuruh mengembala sapi. Sang Utamanyu tidak diperbolehkan untuk meminta-minta air kalau ia sedang haus saat mengembala sapi, maka ia menjilat susu sapi yang digembalanya. Hal tersebut juga ditentang oleh S ang Guru, maka Sang Utamanyu menghisap getah daun waduri untuk menghilangkan dahaga. Hal tersebut mengakibatkan matanya buta. Ia tidak tahu jalan sehingga terperosok ke dalam sumur kering. Sampai sore, Sang Utamanyu tidak juga kembali pulang, gurunya menjadi cemas. Ketika dicari, didapatinya Sang Utamanyu berada d alam sebuah sumur. Bagawan Dhomya kemudian mendengarkan cerita Sang Utamanyu. Karena kesetiannya terhadap kewajiban, Sang Utamanyu diberikan mantra sakti yang mampu menyembuhkan penyakit oleh Bagawan Dhomya. Sementara itu, Sang Weda disuruh tinggal di dapur untuk menyediakan hidangan yan g terbaik buat gurunya. Sang Weda selalu menuruti perintah gurunya, meski yang bur uk sekalipun. Segala perintah gurunya dikerjakan dengan baik. Maka dari itu, Sang W eda dianugerahi segala macam ilmu pengetahuan, mantra Veda, dan kecerdasan. Kisah Sang Winata dan Sang Kadru Dikisahkan terdapat seorang Maharsi bernama Bagawan Kasyapa, putera bagawan Marici, cucu Dewa Brahma. Ia diberi oleh Bagawan daksa empat belas puteri. Keemp at belas puteri tersebut bernama: Aditi, Diti, Danu, Aristi, Anayusa, Kasa, Surabhi , Winata, Kadru, Ira, Parwa, Mregi, Krodhawasa, Tamra. Di antara empat belas puteri terseb

ut, Sang Winata dan Kadru tidak memiliki anak. Mereka berdua kemudian memohon belas kasihan Bagawan Kasyapa. Sang Kadru memohon seribu anak sedangkan Sang Winata hanya memohon dua anak. Kemudian Bagawan Kasyapa memberikan Sang Kadru seribu butir telur sedangkan Sang Winata diberikan dua butir telur. Kedua puteri terseb ut kemudian merawat telur masing-masing dengan baik. Singkat cerita, seribu butir telur milik Sang Kadru menetas, dan lahirlah para N aga. Yang terkemuka adalah Sang Anantabhoga, Sang Wasuki, dan Sang Taksaka. Sementara telu r Sang Kadru sudah menetas semuanya, telur Sang Winata belum menetas. Karena tidak sabar, maka telurnya dipecahkan. Ketika pecah, terlihatlah seorang anak yang bar u setengah jadi, bagian tubuh ke atas lengkap sedangkan dari pinggang ke bawah tid ak ada. Sang anak marah karena ditetaskan sebelum waktunya. Anak tersebut kemudian mengutuk ibunya supaya diperbudak oleh Sang Kadru berlebih-lebihan. Kelak, saudaranya yang akan menetas akan menyelamatkan ibunya dari perbudakan. Anak tersebut kemudian diberi nama Sang Aruna, karena tidak memiliki kaki dan paha. S ang Aruna menjadi sais (kuir) kereta Dewa Surya[1]. Kisah pemutaran Mandaragiri Dikisahkan, pada zaman dahulu kala, para Dewa, detya, dan rakshasa mengadakan ra pat untuk mencari tirta amerta (air suci). Sang Hyang Narayana (Wisnu) mengatakan ba hwa tirta tersebut berada di dasar laut Ksira. Cara mendapatkannya adalah dengan men gaduk lautan tersebut. Para Dewa, detya, dan rakshasa kemudian menuju laut Ksira. Untu k mengaduknya, Naga Wasuki mencabut gunung Mandara (Mandaragiri) di pulau Sangka sebagai tongkat pengaduk. Gunung tersebut dibawa ke tengah lautan. Seekor kura-k ura (Kurma) besar menjadi penyangga/dasar gunung tersebut. Sang Naga melilit gunung tersebut, kemudian para Dewa memegang ekornya, sedangkan rakshasa dan detya memegang kepalanya. Dewa Indra berdiri di puncaknya agar gunung tidak melambung ke atas. Beberapa lama setelah gunung diputar, keluarlah Ardhachandra, Dewi Sri, Dewi Lak shmi, kuda Uccaihsrawa, dan Kastubhamani. Semuanya berada di pihak para Dewa. kemudian , munculah Dhanwantari membawa kendi tempat tirta amerta. Para detya ingin agar ti rta tersebut menjadi milik mereka sebab sejak awal tidak pernah dapat bagian. Tirta amerta pun menjadi milik mereka. Para Dewa memikirkan cara untuk merebut tirta tersebut . akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang wanita cantik, kemudian mendekati para rakshasa dan detya. Para rakshasa-daitya yang melihatnya menjadi terpesona, dan menyerahkan kendi berisi tirta tersebut. Wanita cantik itu kemudi an pergi sambil membawa tirta amerta dan berubah kembali menjadi Dewa Wisnu. Para detya yang melihatnya menjadi marah. Tak lama kemudian terjadilah pertempur an antara para Dewa dan rakshasa-detya. Kemudian Dewa Wisnu teringat dengan senjata chakra-nya. Senjata chakra kemudian turun dari langit dan menyambar-nyambar para rakshasa-detya. Banyak dari mereka yang lari terbirit-birit karena luka-luka. Ak hirnya ada

yang menceburkan diri ke laut dan masuk ke dalam tanah. Para Dewa akhirnya berha sil membawa tirta amerta ke surga. Kisah Sang Garuda dan para Naga Dikisahkan, pada suatu hari Sang Winata dan Sang Kadru, istri Bagawan Kasyapa, mendengar kabar tentang keberadaan seekor kuda bernama Uccaihsrawa, hasil pemutaran Gunung Mandara atau Mandaragiri. Sang Winata mengatakan bahwa warna kuda tersebut putih semua, sedangkan Sang Kadru mengatakan bahwa tubuh kuda tersebut berwarna putih sedangkan ekornya saja yang hitam. Karena berbeda pendap at, mereka berdua bertaruh, siapa yang tebakannya salah akan menjadi budak. Mereka berencana untuk menyaksikan warna kuda itu besok sekaligus menentukan siapa yang salah. Sang Kadru menceritakan masalah taruhan tersebut kepada anak-anaknya. Anakanakny a mengatakan bahwa ibunya sudah tentu akan kalah, karena warna kuda tersebut putih belaka. Sang Kadru pun cemas karena merasa kalah taruhan, maka dari itu ia mengutus anak-anaknya untuk memercikkan bisa ke ekor kuda tersebut supaya warnan ya menjadi hitam. Anak-anaknya menolak untuk melaksanakannya karena merasa perbuata n tersebut tidak pantas. Sang Kadru yang marah mengutuk anak-anaknya supaya mati ditelan api pada saat upacara pengorbanan ular yang diselenggarakan Raja Janamej aya. Mau tak mau, akhirnya anak-anaknya melaksanakan perintah ibunya. Mereka pun memercikkan bisa ular ke ekor kuda Uccaihsrawa sehingga warnanya yang putih kemudian menjadi hitam. Akhirnya Sang Kadru memenangkan taruhan sehingga Sang Winata harus menjadi budaknya. Sementara itu, telur yang diasuh Sang Winata menetas lalu munculah burung gagah perkasa yang kemudian diberi nama Garuda. Sang Garuda mencari-cari kemana ibunya . Pada akhirnya ia mendapati ibunya diperbudak Sang Kadru untuk mengasuh para naga . Sang Garuda membantu ibunya mengasuh para naga, namun para naga sangat lincah berlari kesana-kemari. Sang Garuda kepayahan, lalu menanyakan para naga, apa yan g bisa dilakukan untuk menebus perbudakan ibunya. Para naga menjawab, kalau Sang Garuda mampu membawa tirta amerta ke hadapan para naga, maka ibunya akan dibebaskan. Sang Garuda menyanggupi permohonan tersebut. Singkat cerita, Sang Garuda berhasil menghadapi berbagai rintangan dan sampai di tempat tirta amerta. Pada saat Sang Garuda ingin mengambil tirta tersebut, Dewa Wisnu datang dan bersabda, Sang Garuda, jika engkau ingin mendapatkan tirta tersebut, mintalah kepadaku, nanti pasti aku berikan . Sang Garuda menjawab, Tidak selayaknya jika saya meminta kepada anda sebab anda lebih sakti daripada saya. Karena tirta amerta anda tidak mengenal tua dan mati, sedangkan saya tidak. Untuk itu, berikanlah ke pada saya anugerah yang lain . Dewa Wisnu berkata, Jika demikian, aku memintamu untuk menjadi kendaraanku, sekaligus menjadi lambang panji-panjiku . Sang Garuda setuju dengan permohonan tersebut sehingga akhirnya menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Kemudian Sang Garuda terbang membawa tirta, namun Dewa Indra tidak setuju kalau tirta tersebut diberikan kepada para naga. Sang Garuda mengatakan bahwa tirta te rsebut akan diberikan kalau para naga sudah selesai mandi. Sampailah Sang Garuda ke tempat tinggal para naga. Para naga girang ingin segera meminum amerta, namun Sang Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut boleh diminum jika para naga mandi terlebih dahulu. Para naga pun mandi sesuai dengan syarat y ang diberikan, tetapi setelah selesai mandi, tirta amerta sudah tidak ada lagi karen

a dibawa kabur oleh Dewa Indra. Para naga kecewa dan hanya mendapati beberapa percikan ti rta amerta tertinggal pada daun ilalang. Para naga pun menjilati daun tersebut sehin gga lidahnya tersayat dan terbelah. Daun ilalang pun menjadi suci karena mendapat ti rta amerta. Sementara itu Sang Garuda terbang ke surga karena merasa sudah menebus perbudakan ibunya. Bahasa dan sejarah Sebagaimana kisah induknya, Mahabharata, kitab Adiparwa ini semula dituliskan da lam bahasa Sansekerta dan dianggap sebagai cerita suci bagi pemeluk agama Hindu. Tid ak tercatat kapan persisnya kisah ini masuk ke Indonesia. Akan tetapi, sebagaimana disebutkan dalam bagian pendahuluan Adiparwa versi Jawa Kuna, kitab ini telah di salin ke dalam bahasa Jawa kuna atau juga dikenal sebagai bahasa Kawi pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh (kerajaan Kediri, tahun 991-1016) (Zoetmuld er, 1994). Pengaruh dalam budaya Kitab Adiparwa yang diterjemahkan dari Bahasa Sansekerta ke Bahasa Jawa Kuno ata u Bahasa Kawi, banyak digubah menjadi cerita pewayangan[2]. Dalam kitab Adiparwa y ang diterjemahkan dari Bahasa Sansekerta mungkin terdapat perbedaan dengan lakon pewayangannya, yang kadang-kadang besar sekali, sehingga memberi kesan bahwa segala sesuatunya terjadi di Jawa.[2] Hal ini disebabkan oleh kecerdasan para pu jangga masa lampau yang mampu memindah alam pikiran para pembaca atau pendengarnya dari suasana India menjadi Jawa Asli[2]. Jika Hastinapura sebenarnya terdapat di India, maka nama-nama seperti Jonggringsalaka, Pringgandani, Indrakila, Gua Kiskenda, sampai Gunung Mahameru dibawa ke tanah Jawa[2]. Begitu pula dengan tokoh Pancawala (Pancakumara). Jika dalam versi aslinya merek a terdiri dari lima orang, maka dalam pewayangan mereka dikatakan hanya satu orang saja. Menurut Mulyono dalam artikelnya berjudul Dewi Dropadi:Antara kitab Mahabharata d an Pewayangan Jawa , ia menyatakan bahwa terjadinya perbedaan cerita tentang Pancawala antara kitab Mahabharata dengan cerita dalam pewayangan Jawa karena pengaruh perkembangan agama Islam di tanah Jawa[3]. Hal serupa juga terjadi pada kisah Dewi Dropadi dalam kitab Adiparwa. Jika dalam Adiparwa ia bersuami lima orang, m aka dalam pewayangan Jawa (yang sudah terkena pengaruh Islam) Dropadi hanya bersuami satu orang saja. Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh memiliki suami lebih dari satu. Maka dari itu, cerita Dewi Dropadi dalam kitab Mahabharata versi asli yang bercorak Hindu menyalahi hukum Islam. Untuk mengantisipasinya, para pujangga ata upun seniman Islam mengubah cerita tersebut agar sesuai dengan ajaran Islam[3]. Panca wala yang sebenarnya merupakan lima putera Pandawa pun diubah menjadi seorang tokoh yang merupakan putera Yudistira saja[3].

Anda mungkin juga menyukai