Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-empat, wayang adalah

boneka tiruan yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan sebagainya, yang

dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama

tradisional (Bali, Jawa, Sunda, dsb), biasanya dimainkan oleh seseorang yang

disebut dalang. Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Sunda, wayang

didefinisikan sebagai boneka atau penjelmaan dari manusia yang terbuat dari

kulit atau pun kayu. Namun ada juga yang mengartikan bahwa perkataan

wayang berasal dari bahasa Jawa, yang artinya perwajahan yang mengandung

penerangan.

Seni Wayang, merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang paling

tua di Indonesia. Pada masa pemerintahan Raja Balitung pertunjukan wayang

telah ada, hal tesebut ditemukan pada prasasti Balitung tahun 907 Masehi.

Sejarah perkembangan seni wayang di Indonesia, yaitu pada abad ke-4 orang-

orang Hindu datang ke Indonesia, melalui jalur perdagangan. Pada

kesempatan tersebut orang-orang Hindu membawa ajarannya dengan Kitab

Weda dan epos cerita maha besar India yaitu Mahabharata dan Ramayana

dalam bahasa Sanskrit. Kemudian ,Abad ke-9, bermunculan cerita-cerita

dengan bahasa Jawa kuno dalam bentuk kakawin yang bersumber dari cerita

Mahabharata atau Ramayana, yang telah diadaptasi.

1
BAB II

PEMBAHASAN

Mahabharata bagian pertama atau Adiparwa mengisahkan seorang putri

bernama Kunti yang pada suatu hari ditugasi menjamu seorang pendeta tamu

ayahnya, yaitu Resi Durwasa. Atas jamuan itu, Durwasa merasa senang dan

menganugerahi Kunti sebuah ilmu kesaktian bernama Adityahredaya, semacam

mantra untuk memanggil dewa. Pada suatu hari, Kunti mencoba mantra

tersebut setelah melakukan puja di pagi hari. Ia mencoba berkonsentrasi

kepada Dewa Surya, dan sebagai akibatnya, sang dewa matahari tersebut

muncul untuk memberinya seorang putra, sebagaimana fungsi mantra yang

diucapkan Kunti. Kunti menolak karena ia sebenarnya hanya ingin mencoba

keampuhan Adityahredaya. Surya menyatakan dengan tegas bahwa

Adityahredaya bukanlah mainan. Sebagai konsekuensinya, Kunti pun

mengandung. Namun, Surya juga membantunya segera melahirkan bayi

tersebut. Surya kembali ke kahyangan setelah memulihkan kembali

keperawanan Kunti.

Dalam bahasa Sanskerta kata karṇa bermakna "telinga". Hal ini

mengakibatkan muncul mitos bahwa Karna lahir melalui telinga Kunti.

Namun, Karna juga dapat bermakna "mahir" atau "terampil". Kiranya nama

Karna ini baru dipakai setelah Basusena atau Radheya dewasa dan menguasai

ilmu memanah dengan sempurna.

A. Masa Kecil dan Pendidikan

Demi menjaga nama baik negaranya, Kunti yang melahirkan sebelum

menikah terpaksa membuang "putra Surya" yang ia beri nama Karna di sungai

Aswa dalam sebuah keranjang. Bayi itu kemudian terbawa arus sampai

2
akhirnya ditemukan oleh Adirata yang bekerja sebagai kusir kereta di Kerajaan

Kuru. Adirata dengan gembira menjadikan bayi tersebut sebagai anaknya.

Karena sejak lahir sudah memakai pakaian perang lengkap dengan anting-

anting dan kalung pemberian Surya, maka bayi itu pun diberi nama Basusena.

Tak lama setelah itu, Kunti disunting Pandu dari Hastinapura dan berputra

tiga orang: Yudistira, Bimasena (Bima), dan Arjuna. Bersama dua putra kembar

Madri (istri kedua Pandu), mereka dikenal sebagai Lima Pandawa.

Basusena diasuh dan dibesarkan dalam keluarga kusir, sehingga ia

dikenal dengan julukan Sutaputra (anak kusir). Namun, julukan lainnya yang

lebih terkenal adalah Radheya, yang bermakna "anak Radha" (istri Adirata).

Meskipun tumbuh dalam lingkungan keluarga kusir, Radheya justru

berkeinginan menjadi seorang perwira kerajaan. Adirata pun mendaftarkannya

ke dalam perguruan Resi Drona yang saat itu sedang mendidik para Pandawa

dan Korawa, pangeran dari kalangan Dinasti Kuru. Drona menolak Radheya

karena ia hanya sudi mengajar kaum kesatria saja. Akhirnya Radheya

memutuskan untuk mencari guru lain. Ia menyamar menjadi seorang

brahmana agar mendapatkan pendidikan dari Parasurama, seorang brahmana-

kesatria yang hanya mau menerima murid dari golongan brahmana.

Parasurama adalah guru dari Bisma—sesepuh Dinasti Kuru—dan Drona,[4]

sehingga Karna mendapatkan guru yang lebih baik dari Drona.

Parasurama memiliki pengalaman yang buruk dengan kaum kesatria,

sehingga Karna harus menyamar sebagai brahmana muda agar bisa menjadi

muridnya. Pada suatu hari, Parasurama tidur di atas pangkuan Karna. Tiba-

tiba muncul seekor serangga menggigit paha Karna. Agar Parasurama tidak

terbangun, Karna membiarkan pahanya terluka sementara dirinya tidak

bergerak sedikit pun. Ketika Parasurama bangun dari tidurnya, ia terkejut

melihat Karna telah berlumuran darah. Kemampuan Karna menahan rasa sakit

3
telah menyadarkan Parasurama bahwa muridnya itu bukan dari golongan

brahmana, melainkan seorang kesatria asli. Merasa telah ditipu, Parasurama

pun mengutuk Karna. Kelak, pada saat pertarungan antara hidup dan mati

melawan seorang musuh terhebat, Karna akan lupa terhadap semua ilmu yang

telah ia ajarkan.

Kutukan kedua diperoleh Karna ketika ia mengendarai keretanya dan

menabrak mati seekor sapi milik brahmana yang sedang menyeberang jalan.

Sang brahmana pun muncul dan mengutuk Karna, kelak roda keretanya akan

terbenam ke dalam lumpur ketika ia berperang melawan musuhnya yang

paling hebat.

B. Pemahkotaan Sebagai Raja Angga

Setelah para pangeran Dinasti Kuru menamatkan pendidikan, Drona

mempertunjukkan hasil didikannya di hadapan para bangsawan dan rakyat

Hastinapura, ibu kota Kerajaan Kuru. Setelah melaui berbagai tahap

pertandingan, Drona akhirnya mengumumkan bahwa Arjuna—Pandawa yang

ketiga—adalah murid terbaiknya, terutama dalam hal ilmu memanah. Tiba-tiba

Karna muncul menantang Arjuna sambil memamerkan kesaktiannya. Resi

Krepa selaku pendeta istana meminta Karna supaya memperkenalkan diri

terlebih dahulu karena untuk menghadapi Arjuna haruslah dari golongan yang

sederajat. Mendengar permintaan itu, Karna pun tertunduk malu. Duryodana

—yang sulung di antara seratus Korawa—maju membela Karna. Duryodana

berkata bahwa keberanian dan kehebatan tidak harus dimiliki oleh kaum

kesatria saja. Ia menambahkan bahwa apabila peraturan mengharuskan

demikian, maka ia sudah memiliki jalan keluar. Ia mendesak ayahnya, yaitu

Dretarastra raja Hastinapura, supaya mengangkat Karna sebagai raja bawahan

4
di Angga. Dretarastra tidak mampu menolak permintaan putra kesayangannya

itu. Pada hari itu juga, Karna resmi dinobatkan menjadi raja Angga.

Adirata muncul menyambut penobatan Karna. Akibatnya, semua orang

tahu bahwa Karna adalah anak Adirata. Melihat hal itu, Bimasena

mencemoohnya sebagai anak kusir sehingga tidak pantas bertanding melawan

Arjuna yang berasal dari kaum bangsawan. Sekali lagi Duryodana tampil

membela Karna. Melihat situasi tersebut, Kunti jatuh pingsan di bangkunya

setelah melihat kehadiran Karna. Kunti langsung mengenalinya sebagai putra

sulung yang pernah ia buang dari pakaian perang dan perhiasan pemberian

Surya yang melekat di tubuh Karna. Suasana yang menegangkan itu diredakan

oleh terbenamnya matahari. Dretarastra membubarkan acara tersebut sehingga

pertandingan antara Karna dan Arjuna dihentikan

C. Penolakan Dropati

Dropadi adalah putri Kerajaan Pancala yang kecantikannya membuat

banyak raja dan pangeran datang untuk melamar, termasuk Duryodana.

Dalam hal ini, Drupada (raja Pancala) telah mengumumkan sebuah sayembara

memanah bagi siapa saja yang ingin memperistri putrinya tersebut. Sayembara

tersebut ialah memanah boneka ikan yang berputar di atas arena, namun tidak

boleh melihatnya secara langsung, melainkan melalui bayangannya yang

terpantul di dalam baskom berisi minyak. Akan tetapi, jangankan membidik

boneka tersebut, mengangkat busur pusaka Kerajaan Pancala saja para peserta

tidak ada yang sanggup, termasuk Duryodana yang perkasa sekalipun.

Karna maju setelah sahabatnya mengalami kegagalan. Dengan penuh rasa

hormat, ia berhasil mengenai sasaran sayembara. Tiba-tiba Dropadi

menyatakan keberatan apabila Karna memenangkan sayembara, karena

dirinya tidak mau menikah dengan anak seorang kusir. Karna sakit hati

5
mendengarnya. Ia menyebut Dropadi sebagai wanita sombong dan pasti

menjadi perawan tua karena tidak ada lagi peserta yang mampu

memenangkan sayembara sulit tersebut selain dirinya. Ucapan Karna membuat

Drupada merasa khawatir. Raja Pancala itu pun membuka pendaftaran baru

untuk siapa saja yang ingin menikahi Dropadi, tanpa harus berasal dari

golongan ksatriya. Arjuna yang saat itu sedang menyamar sebagai brahmana

maju mendaftarkan diri. Sayembara tersebut akhirnya berhasil dimenangkan

olehnya.

D. Pembalasan Untuk Dropati

Arjuna kemudian mempersembahkan Dropadi kepada ibunya sebagai

oleh-oleh terbaik. Tanpa melihat yang sebenarnya, Kunti langsung

memutuskan supaya "oleh-oleh" tersebut dibagi berlima. Akibatnya, kelima

Pandawa pun bersama-sama menikahi Dropadi sebagai istri mereka, demi

melaksanakan amanat sang ibu.

Beberapa waktu kemudian, para Pandawa berhasil membangun sebuah

kerajaan indah bernama Indraprastha yang membuat pihak Korawa merasa iri.

Melalui permainan dadu yang sangat licik, mereka berhasil merebut

Indraprastha dari tangan Pandawa, termasuk kemerdekaan kelima bersaudara

itu. Pada puncaknya, Yudistira (Pandawa tertua) dipaksa mempertaruhkan

Dropadi demi melanjutkan permainan. Dropadi akhirnya jatuh pula ke tangan

Korawa. Duryodana kemudian menyuruh Dursasana, adiknya untuk menyeret

Dropadi dari kamarnya. Dropadi pun dijambak dan diseret oleh Korawa

nomor dua itu menuju ruang permainan.

Karna yang masih menyimpan sakit hati kepada Dropadi

mengumumkan bahwa seorang wanita yang bersuami lima tidak pantas

disebut sebagai istri, melainkan pelacur. Mendengar penghinaan Karna, Arjuna

6
bersumpah kelak akan membunuhnya.[6] Duryodana pun memerintahkan

Dursasana agar menelanjangi Dropadi di depan umum. Namun, berkat

pertolongan rahasia dari Sri Kresna, Dropadi berhasil diselamatkan.

E. Pusaka Indrasta

Apabila Karna dilahirkan Kunti melalui anugerah Dewa Surya, maka,

Arjuna lahir melalui anugerah Dewa Indra. Menyadari kesaktian Karna, Indra

merasa cemas kalau Arjuna sampai kalah jika bertanding melawan putra Surya

itu. Maka, Indra pun bersiasat merebut baju pusaka Karna dengan menyamar

sebagai seorang pendeta. Konon, jika mengenakan pakaian pusaka tersebut,

Karna tidak mempan terhadap senjata jenis apa pun. Rencana Indra diketahui

oleh Surya. Ia pun memberi tahu Karna, namun Karna sama sekali tidak risau.

Ia telah bersumpah akan hidup sebagai seorang dermawan sehingga apa pun

yang diminta oleh orang lain pasti akan dikabulkannya.

Indra yang menyamar sebagai seorang resi tua datang menemui Karna

saat sedang sendirian. Ia meminta sedekah berupa baju perang dan anting-

anting yang dipakai Karna. Karna pun mengiris semua pakaian pusaka yang

melekat di kulitnya sejak bayi tersebut menggunakan pisau. Indra terharu

menerimanya. Ia pun membuka samaran dan memberikan pusaka Indrastra

baru berupa Indrastra (Wasawisakti) atau Konta (yang bermakna "tombak")

sebagai hadiah atas ketulusan Karna. Namun, pusaka Konta hanya bisa

digunakan sekali saja, setelah itu ia akan musnah.

Apabila Karna dilahirkan Kunti melalui anugerah Dewa Surya, maka,

Arjuna lahir melalui anugerah Dewa Indra. Menyadari kesaktian Karna, Indra

merasa cemas kalau Arjuna sampai kalah jika bertanding melawan putra Surya

itu. Maka, Indra pun bersiasat merebut baju pusaka Karna dengan menyamar

sebagai seorang pendeta. Konon, jika mengenakan pakaian pusaka tersebut,

7
Karna tidak mempan terhadap senjata jenis apa pun. Rencana Indra diketahui

oleh Surya. Ia pun memberi tahu Karna, namun Karna sama sekali tidak risau.

Ia telah bersumpah akan hidup sebagai seorang dermawan sehingga apa pun

yang diminta oleh orang lain pasti akan dikabulkannya.

Indra yang menyamar sebagai seorang resi tua datang menemui Karna

saat sedang sendirian. Ia meminta sedekah berupa baju perang dan anting-

anting yang dipakai Karna. Karna pun mengiris semua pakaian pusaka yang

melekat di kulitnya sejak bayi tersebut menggunakan pisau. Indra terharu

menerimanya. Ia pun membuka samaran dan memberikan pusaka Indrastra

baru berupa Indrastra (Wasawisakti) atau Konta (yang bermakna "tombak")

sebagai hadiah atas ketulusan Karna. Namun, pusaka Konta hanya bisa

digunakan sekali saja, setelah itu ia akan musnah.

F. Perselisihan Dengan Bima

Perang besar antara kedua pihak tersebut akhirnya meletus. Pihak

Korawa memilih Bisma (bangsawan senior Hastinapura) sebagai panglima

mereka. Terjadi pertengkaran di mana Bisma menolak Karna berada di dalam

pasukannya, dengan alasan Karna terlalu sombong dan suka meremehkan

kekuatan Pandawa. Sebaliknya, Karna pun bersumpah tidak sudi ikut

berperang apabila pasukan Korawa masih dipimpin oleh Bisma.

Bisma akhirnya roboh pada pertempuran hari kesepuluh. Tokoh tua itu

terbaring di atas ratusan panah yang menembus tubuhnya. Karna muncul

melupakan semua dendam untuk menyampaikan rasa prihatin. Bisma

mengaku bahwa ia hanya pura-pura mengusir Karna supaya tidak bertempur

melawan Pandawa. Bisma mengetahui jati diri Karna sebagai kakak para

Pandawa setelah diberi tahu oleh Narada (maharesi kahyangan). Seperti halnya

8
Kresna dan Kunti, Bisma juga menyarankan supaya Karna bergabung dengan

para Pandawa. Namun sekali lagi Karna menolak saran tersebut.

G. Pertempuran Melawan Gatot Kaca

Kehadiran Karna sejak hari kesebelas segera membangkitkan semangat

pihak Korawa. Ia menyarankan agar Duryodana memilih Drona sebagai

pengganti Bisma, dengan alasan Drona merupakan guru sebagian besar sekutu

Korawa. Dengan terpilihnya Drona maka persaingan antara para pendukung

Korawa memperebutkan jabatan panglima dapat dihindari.

Karna tampil dalam perang besar tersebut sebagai pendamping Drona.

Pada hari ke-14 malam, perang tetap terjadi tanpa dihentikan sehingga

melanggar aturan yang telah disepakati. Duryodana menderita luka parah saat

menghadapi Gatotkaca putra Bimasena. Ia pun mendesak Karna supaya

menggunakan pusaka Vasavi shakti atau Konta untuk membunuh Gatotkaca.

Karena terus didesak, Karna pun melepaskan Konta dan menewaskan

Gatotkaca.

Sesuai janji Indra, Shakti Konta pun musnah hanya dalam sekali

penggunaan. Kresna selaku penasihat pihak Pandawa merasa senang karena

dengan demikian, nyawa Arjuna bisa terselamatkan. Ia mengetahui kalau

selama ini Karna mempersiapkan Shakti Konta untuk membunuh Arjuna.

H. Menjadi Panglima Dalam Pasukan Kurawa

Setelah Drona gugur pada hari kelima belas, Duryodana menunjuk

Karna sebagai panglima yang baru. Karna maju perang dengan Salya raja

Madra sebagai kusir keretanya, dengan harapan bisa mengimbangi Arjuna

yang dikusiri Kresna. Salya sendiri sakit hati karena merasa direndahkan oleh

9
Karna. Sambil mengemudikan kereta ia gencar memuji-muji kesaktian Arjuna

untuk menakut-nakuti Karna.

Pada hari keenam belas, Karna berhasil mengalahkan Yudistira,

Bimasena, Nakula, dan Sadewa, namun tidak sampai membunuh mereka

sesuai janjinya di hadapan Kunti dulu. Karna kemudian bertanding melawan

Arjuna. Keduanya saling berusaha membunuh satu sama lain. Ketika Karna

mengincar leher Arjuna menggunakan panah Nagasatra, diam-diam Salya

memberi isyarat pada Kresna. Kresna pun menggerakkan keretanya sehingga

panah pusaka tersebut meleset hanya mengenai mahkota Arjuna. Pertempuran

tersebut akhirnya tertunda oleh terbenamnya matahari.

Pada hari ketujuh belas, perang tanding antara Karna dan Arjuna

dilanjutkan kembali. Setelah bertempur dalam waktu yang cukup lama,

kutukan atas diri Karna pun menjadi kenyataan. Ketika Arjuna membidiknya

menggunakan panah Pasupati, salah satu roda keretanya terperosok ke dalam

lumpur sampai terbenam setengahnya. Karna tidak peduli, ia pun membaca

mantra untuk mengerahkan kesaktiannya mengimbangi Pasupati. Namun,

kutukan kedua juga menjadi kenyataan. Karna tiba-tiba lupa terhadap semua

ilmu yang pernah ia pelajari dari Parasurama.

Karna meminta Arjuna untuk menahan diri sementara ia turun untuk

mendorong keretanya agar kembali berjalan normal. Pada saat itulah Kresna

mendesak agar Arjuna segera membunuh Karna karena ini adalah kesempatan

terbaik. Arjuna ragu-ragu karena saat itu Karna sedang lengah dan berada di

bawah. Kresna mengingatkan Arjuna bahwa Karna sebelumnya juga berlaku

curang karena ikut mengeroyok Abimanyu sampai mati pada hari ketiga belas.

Teringat pada kematian putranya yang tragis tersebut, Arjuna pun melepaskan

panah Pasupati yang melesat memenggal kepala Karna. Karna pun tewas

seketika.

10
I. KEMATIAN KARNA

Tepat pada perang Bharatayudha yang ke 17 hari, Karna menyuruh Raja

Salya yang menjadi kusir keretanya untuk memacu kencang keretanya agar

bisa mendekat kereta yang ditumpangi oleh Arjuna.

Namun baru berjalan beberapa meter, roda kereta kuda yang dikusiri

Raja Salya terjerembab dalam sebuah lubang berlumpur. Karna menyuruh Raja

Salya untuk mengangkat roda kereta yang masuk dalam lubang tersebut.

Namun Salya menolak karena menurutnya ia hanya bertugas menjadi sais

kereta saja bukan seorang pesuruh dan menyuruh Karna sendiri yang

memperbaiki roda keretanya itu.

Untuk sementara Karna menatap Arjuna dan berharap agar Arjuna mau

menahan diri sebelum dirinya benar-benar siap bertarung kembali. Karna pun

turun dari keretanya itu, lalu menyimpan busurnya dan mencoba mengangkat

sendiri roda kereta yang terjerembab dalam lubang yang penuh lumpur.

Sebagai seorang ksatria, Arjuna faham betul seperti apa tindakan seorang

ksatria ketika menghadapi musuhnya yang belum siap, Ia pun hanya

memandang Karna dari kejauhan.

Krishna yang bertugas menjadi kusir kereta yang ditumpangi Arjuna

berkata, " Inilah waktunya untuk membalaskan kematian Abimanyu, angkat

panahmu sekarang, Arjuna. "  Tidak, bhatin Arjuna menjerit, ia tidak sampai

hati harus menjadi seorang pengecut dengan membunuh musuh yang belum

siap untuk bertempur.

Namun, Krishna tetap mengingatkan Arjuna akan sumpahnya, dan

bagaimana Karna dengan teganya membunuh Abimanyu. Hati Arjuna

bergolak, namun karena ia masih memikirkan tentang Abimanyu anaknya

yang mati muda akhirnya Arjuna pun mengangkat busurnya dan

11
mengarahkan panahnya pada Karna yang masih sibuk mengangkat roda

keretanya itu.

Karna sadar, bahwa ia tidak memiliki waktu untuk mengambil

senjatanya sehingga ia pun memilih untuk diam menunggu, meski dalam versi

lain disebutkan bahwa ia lupa bagaimana memanggil senjata Bramastra.

Akhirnya dengan sekelebat panah yang dilepaskan dari busur Arjuna pun

menembus leher Karna yang membuatnya terpental menjauh dari

keretanya.Sesaat semuanya hening, Arjuna dan saudara-saudaranya yang lain

hanya terdiam menyaksikan tubuh Karna yang terbaring, begitu juga

Duryudana yang terkejut menyaksikan kematian sahabatnya itu.

Dalam keheningan, tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan yang

tampak sedang mencari anaknya, " Anakku .... dimana kau anakku, " katanya

sambil terlihat mencari-cari seseorang. Dan ketika melihat tubuh Karna yang

terbaring ia langsung menjerit, "Anakku...!!,"Para pandawa yang melihat

peristiwa tersebut kaget bukan kepalang, melihat sang ibunda menghampiri

tubuh Karna lalu membaringkan tubuhnya dipangkuannya.

Terdengar dialog antara ibu dengan anak yang sudah lama berpisah itu,

yang intinya adalah penyesalan dari Kunti yang telah membuang anaknya itu.

Bayangan-bayangan lama pun muncul menceritakan bagaimana Kunti merasa

sangat menyayangi anak yang telah dibuangnya itu.

Arjuna, dan para pandawa yang lain kembali terkejut ketika mendapati

kenyataan bahwa Karna yang selama ini menjadi musuh mereka ternyata

adalah saudara kandung dan kakak tertua mereka. Betapa sakitnya hati

mereka menyaksikan kondisi Karna yang tengah sekarat, dan menyesalkan

keadaan yang harus membuat mereka yang adalah saudara kandung menjadi

musuh bebuyutan.

12
Di hadapan Karna yang sekarat, Arjuna dan saudara-saudaranya yang

lain berjanji akan memperlakukan jenazahnya sebagaimana perlakukan

seorang saudara kandung.

Dan mataharipun mulai tenggelam, meninggalkan kepedihan yang

terjadi di antara ibu dan anak-anaknya itu.

J. Kehidupan Di Surga

Mahabharata bagian akhir, atau Swargarohanikaparwa, mengisahkan

perjalanan Yudistira naik ke surga. Di tempat yang serba indah itu ia merasa

kecewa karena yang dijumpainya justru arwah para Korawa, bukan adik-

adiknya. Ia kemudian diantar para Kingkara untuk menemui keempat Pandawa

yang sedang mengalami penyiksaan di neraka. Di tempat mengerikan itu, ia

menjumpai arwah keempat adiknya sedang disiksa bersama para pahlawan

besar lainya, misalnya Karna, Drestadyumna, Abimanyu, Satyaki, dan lain-lain.

Meskipun demikian, Yudistira memilih berada di neraka daripada harus

kembali ke surga. Tiba-tiba keadaan pun berbalik. Yudistira dan para

pahlawan tersebut kemudian dimasukkan oleh ke dalam surga oleh para dewa

sedangkan para penjahat, yaitu Korawa masuk ke dalam neraka. Rupanya

peyiksaan tersebut hanya bersifat sementara, selain untuk menguji keteguhan

hati Yudistira, juga untuk membersihkan dosa-dosa para pahlawan semasa

hidup di dunia dulu. Dengan demikian, meskipun sewaktu di dunia Karna

hidup bersama para Korawa, namun ketika berada di akhirat arwahnya

berkumpul dengan para Pandawa.

K. Adaptasi Dalam Konteks Budaya Indonesia

Dalam pewayangan Jawa, terdapat beberapa perbedaan mengenai kisah

hidup Karna dibandingkan dengan versi aslinya. Menurut versi ini, Karna

13
mengetahui jati dirinya bukan dari Kresna, melainkan dari Batara Narada.

Dikisahkan bahwa, meskipun Karna mengabdi pada Duryodana, namun ia

berani menculik calon istri pemimpin Korawa tersebut yang bernama

Surtikanti putri Salya. Keduanya memang terlibat hubungan asmara. Orang

yang bisa menangkap Karna tidak lain adalah Arjuna. Pertarungan keduanya

kemudian dilerai oleh Narada dengan menceritakan kisah pembuangan Karna

sewaktu bayi dulu. Karna dan Arjuna kemudian bersama-sama menumpas

pemberontakan Kalakarna raja Awangga, seorang bawahan Duryodana. Atas

jasanya itu, Duryodana merelakan Surtikanti menjadi istri Karna, bahkan

Karna pun diangkat sebagai raja Awangga menggantikan Kalakarna. Dari

perkawinan itu lahir dua orang putra bernama Warsasena dan Warsakusuma.

Adapun versi Mahabharata menyebut nama putra Karna adalah Wresasena,

sedangkan nama istrinya adalah Wrusali.

Perbedaan selanjutnya ialah pusaka Konta yang diperoleh Karna bukan

anugerah Batara Indra, melainkan dari Batara Guru. Menurut versi ini Senjata

Konta disebut dengan nama Kuntawijayadanu, sebenarnya akan diberikan

kepada Arjuna yang saat itu sedang bertapa mencari pusaka untuk memotong

tali pusar keponakannya, yaitu Gatotkaca putra Bimasena. Dengan bantuan

Batara Surya, Karna berhasil mengelabui Batara Narada yang diutus Batara

Guru untuk menemui Arjuna. Surya yang menciptakan suasana remang-

remang membuat Narada mengira Karna adalah Arjuna. Ia pun memberikan

Kuntawijaya kepadanya. Setelah menyadari kekeliruannya, Narada pun pergi

dan menemukan Arjuna yang asli. Arjuna berusaha merebut Kuntawijaya dari

tangan Karna. Setelah melewati pertarungan, Arjuna hanya berhasil merebut

sarung pusaka itu saja. Meskipun demikian, sarung tersebut terbuat dari kayu

Mastaba yang bisa digunakan untuk memotong tali pusar Gatotkaca. Anehnya,

sarung Kunta kemudian masuk ke dalam perut Gatotkaca menambah kekuatan

14
bayi tersebut. Kelak, Gatotkaca tewas di tangan Karna. Kuntawijaya musnah

karena masuk ke dalam perut Gatotkaca, sebagai pertanda bersatunya kembali

pusaka dengan sarung pembungkusnya.

Menurut versi Jawa, pusaka pemberian Indra bukan bernama Konta,

melainkan bernama Badaltulak. Sama dengan versi aslinya, pusaka ini diperoleh

Karna setelah pakaian perangnya diminta oleh Indra.

Karna versi Jawa sudah mengetahui bahwa ia adalah kakak tiri para

Pandawa sejak awal, yaitu menjelang perkawinannya dengan Surtikanti. Jadi,

kedatangan Kresna menemuinya sewaktu menjadi duta ke Hastinapura bukan

untuk membuka jati dirinya, namun hanya untuk memintanya agar bergabung

dengan Pandawa. Karna menolak dengan alasan sebagai seorang kesatria, ia

harus menepati janji bahwa ia akan selalu setia kepada Duryodana. Kresna

terus mendesak bahwa dharma seorang kesatria yang lebih utama adalah

menumpas angkara murka. Dengan membela Duryodana, berarti Karna

membela angkara murka. Karena terus didesak, Karna terpaksa membuka

rahasia bahwa ia tetap membela Korawa supaya bisa menghasut Duryodana

agar berani berperang melawan Pandawa. Ia yakin bahwa angkara murka di

Hastinapura akan hilang bersama kematian Duryodana, dan yang bisa

membunuhnya hanya para Pandawa. Karna yakin bahwa jika perang meletus,

dirinya pasti ikut menjadi korban. Namun, ia telah bertekad untuk

menyediakan diri sebagai tumbal demi kebahagiaan adik-adiknya, para

Pandawa. Dalam perang tersebut Karna akhirnya tewas di tangan Arjuna.

Namun versi Jawa tidak berakhir begitu saja. Keris pusaka Karna yang

bernama Kaladite tiba-tiba melesat ke arah leher Arjuna. Arjuna pun

menangkisnya menggunakan keris Kalanadah, peninggalan Gatotkaca. Kedua

pusaka itu pun musnah bersama.

15
Surtikanti datang ke Kurusetra bersama Adirata. Melihat suaminya

gugur, Surtikanti pun bunuh diri di hadapan Arjuna. Adirata sedih dan

berteriak menantang Arjuna. Bimasena muncul menghardik ayah angkat Karna

tersebut sehingga lari ketakutan. Namun malangnya, Adirata terjatuh dan

meninggal seketika.

16
DAFTAR PUSTAKA

 Bowles, Adam, 2006. Mahābhārata: Karna. Published by NYU Press. ISBN 0-


8147-9981-7.
 Brockington, J. L. (1998). The Sanskrit Epics. BRILL. ISBN 9004102604.
Diakses tanggal 25 November 2013.
 Buitenen, Johannes Adrianus Bernardus, 1978. The Mahābhārata. 3 volumes
(translation / publication incomplete due to his death). University of
Chicago Press.
 Kamala Chandrakant (2009). Karna. Amar Chitra Katha. ISBN 81-89999-49-4.
 Desai, Ranjit. Radheya. ISBN 81-7766-746-7
 Dinkar, Ramdhari Singh. The Sun Charioteer: a poetic rendering of Karna's life,
his dharma, his friendship and tragedies. Rashmirathi; रश्मिरथी / रामधारी सिंह
"दिनकर (in Hindi)
 McGrath, Kevin (2004). The Sanskrit Hero: Karna in Epic Mahābhārata. BRILL.
ISBN 90-04-13729-7. Diakses tanggal 25 November 2013.
 Sawant, Shivaji. Mrityunjaya, the death conqueror: the story of Karna. ISBN 81-
7189-002-4
 Subramaniam, Kamala, Smt. The Mahabharata. Bharatiya Vidya Bhavan
Press.

17
18

Anda mungkin juga menyukai