Anda di halaman 1dari 3

Basukarna atau nama kecilnya Karna dilahirkan ke mayapada, akibat kesalahan Dewi Kunti.

Putri
Mandura itu bermain-main dengan mantra Druwasa. Ia ingin bertatap muka dengan Batara Surya yang
cakap dan tampan. Dari perbuatannya yang kurang hati-hati itu, akhirnya beberapa bulan ia
mengandung. Alangkah aib peristiwa itu. Beruntung, Resi Druwasa berkenan untuk menolong. Sang bayi
dilahirkan lewat telinga. Itulah sebabnya, dia dinamakan Karna yang berarti telinga. Lengkapnya
Basukarna, karena sesungguhnya, ia putra seorang basu. Dalam hal ini dimaksudkan sebagai putra Resi
Druwasa, karena dialah penyebabnya. Disebut pula dengan nama Suryaputra, karena putra Dewa Surya,
sang penguasa matahari.

Demi menjaga nama keluarga dan kehormatan negeri Mandura, Karna harus dibuang. Sebelum
dibuang dengan air mata bercucuran layaknya seorang ibu Dewi Kunti mendekap bayi itu erat-erat
sembari menciuminya dengan penuh kasih sayang. Diam-diam ia menyematkan kalung berliontin
separuh pada lehernya. Yang separuhnya disimpannya. Siapa tahu, Karna dapat diketemukan kembali di
kemudian hari. Sedangkan liontin yang terbagi dua dengan diukir setengah namanya pula, akan menjadi
tanda bukti yang tak terbantahkan lagi. Dengan hati-hati, anak itu dimasukkan ke dalam kotak. Sepintas
ketika mengamati untuk terakhir kalinya, Kunti melihat anak itu ternyata beranting-anting dan dadanya
mengenakan perisai yang bersembunyi dibalik kulit dagingnya.

Kotak itu membawa Karna terapung-apung di atas sungai Gangga.Adirata yang sedang mencari
ikan menemukannya dan dengan girang anak itu dipelihara layaknya anak sendiri, karena sudah sekian
lama berkeluarga ia belum dikaruniai momongan. Adirata adalah seorang sais istana Hastina. Dengan
penuh kasih sayang, ia membesarkan Basukarna. Dan Basukarna tumbuh menjadi seorang pemuda yang
cekatan dan berotak cerdas. Ia tidak hanya pandai menyerap semua ajaran ayah angkatnya sebagai sais
kereta, tetapi ia juga mengenal ilmu bintang. Dengan mudah ia menguasai dan menaklukkan kuda
betapa binalpun. Bahkan harimau yang masih ganas tunduk pada perintah-perintahnya.

Pada suatu hari ia ikut Adirata ke istana. Ia tertarik kepada para Kurawa dan Pandawa yang
sedang belajar ilmu perang. Dengan penuh perhatian ia mengamati mereka. Tampak di hadapannya, ia
melihat kesalahan dan kecanggungan Kurawa melakukan petunjuk Resi Druna dan ajaran Resi Krepa.
Sebaliknya, ia kagum menyaksikan ketangkasan dan kecerdasan Pandawa berolah berbagai senjata.
Timbullah suatu kegelisahan di dalam hatinya.

“ Dapatkah aku ikut berlatih bersama mereka ayah ?” tanya Karna.

“ Oh tidak, anakku,” jawab Adirata.

“ Mengapa ayah ?” kejar anak angkatnya itu

Dengan terbata-bata sang ayah menjawab,”Karena engkau hanya anak seorang sais kereta kerajaan.”

Pedih dan pahit benar bunyi jawaban itu. Tetapi ayah angkatnya menjawab dengan jujur. Menghadapi
kenyataan itu, terjadilah suatu pemberontakan dalam hatinya. Kenapa ia dilahirkan sebagai anak
seorang kusir ?
Jiwa yang berontak itu melebihi perasaan rendah diri. Ia tak mau kalah, karena merasa lebih mampu
daripada ketangkasan Pandawa. Mulailah ia mencari akal. Diam-diam ia selalu hadir untuk mengintip
semua ajaran Resi Druna dan Resi Krepa ketika memberi pelajaran kepada keturunan darah Bharata itu.
Sesampainya di rumah, ia berlatih dengan tekun. Tujuannya, ia ingin mempunyai kepandaian sejajar
dengan mereka. Dengan didukung kemauan kuat, kekerasan hati dan ketekunannya, jadilah ia berhasil
mengatasi perasaan rendah diri. Semua pelajaran Resi Druna dan Krepa dapat dikuasai dalam waktu
relatif singkat. Kemudia ia menjelma menjadi seorang pemuda yang berhak mengangkat diri di tengah
pergaulan masyarakatnya. Hal itu terjadi tak lama kemudian.

Pada suatu hari, penduduk berbondong-bondong memenuhi arena laga putra-putra Raja Hastina.
Kurawa dan Pandawa hendak mempertontonkan ketangkasannya berolah senjata yang diajarkan Resi
Druna dan Krepa. Ketika pertandingan dimulai, segala macam keahlian dipertunjukkan. Kurawa merasa
gelisah, resah, cemburu, iri, mendongkol, dan dendam karena menyaksikan betapa Pandawa jauh lebih
tangkas dan mahir daripada kelompok mereka. Apalagi Arjuna. Ksatria berwajah tampan ini, kelihatan
paling menonjol. Segala macam senjata dikuasainya dengan sempurna. Bidikan anak panahnya tak
pernah meleset dari sasaran. Bahkan mampu menembus sasaran berlapis tujuh sekali bidik. Semua
penonton berdiri mengelu-elukan dan menyanjungnya tiada henti.

Dalam kegemparan yang diliputi tarik ulur tersebut, tiba-tiba semua hadirin dikejutkan oleh suara
lantang yang bergema laksana halilintar menyambar. Ternyata ada seorang penonton yang masih muda
belia telah meloncat masuk gelanggang. Itulah Basukarna yang sudah tak kuasa menahan diri melihat
kesuksesan Arjuna dan menyaksikan Kurawa junjungannya selalu mendapat kekalahan, hatinya
berontak.

Tanpa pikir panjang, ia kemudian memperlihatkan semua apa yang dilakukan oleh Arjuna dengan sangat
sempurna. Penonton pun dibuat kagum dibuatnya termasuk para ketua Hastina. Sedangkan Kunti yang
berada di atas panggung sudah berdebar-debar hatinya. Kemiripan wajah Basukarna dengan Arjuna tak
lepas dari perhatiannya. Dan setelah melihat dengan jelas pemuda itu memakai anting-anting bergambar
matahari bercahaya, persis dengan kalung yang ia pakai sendiri. Kunti tak ragu-ragu lagi, itulah
Suryaputra putra pertamanya. Bahkan ketika Arjuna dan Karna siap berlaga dilindungi simbol-simbol
kekuatan Batara Surya dan Batara Indra yakni matahari dan guntur saling berkejaran, seketika itu mata
Dewi Kunti menjadi berkunang-kunang.

Dalam keadaan kalut Resi Krepa melerai mereka, dan menegur Karna yang tak pantas masuk ke
gelanggang karena bukan dari golongan ksatria. Seketika itu dada Basukarna seperti terbelah, karena
menahan kepedihan yang tak terkira. Beruntung Duryudana tanggap, saat itu juga derajat Basukarna
diangkat menjadi Adipati di Awangga. Kedudukannya sejajar dengan golongan ksatria. Kata-kata
Duryudana inilah yang menyebabkan Basukarna setia kepadanya. Sebab kata-kata itu sendiri berarti
memberinya hak hidup. Sekaligus ia terangkat dari lembah hina sebagai seorang yang mulia. Kemuliaan
sekaligus kehormatan itu pantas ditebus dengan taruhan jiwa dan raga.

Sebelum pecah perang besar Bharatayuda, Batara Surya memberi khabar bahwa Dewi Kunti adalah ibu
kandungnya, dan Pandawa itu saudara mudanya. Basukarna seketika itu kaget. Jadi Kunti itu adalah ibu
kandungnya ? Pantaslah putri itu pernah berjuang dengan gigihnya tatkala mendapatkan Surtikanti dari
Prabu Salya sebagai istrinya. Tiba-tiba rasa naluriahnya timbul dan menjalari seluruh tubuhnya. Ingin ia
dipeluk tangan ibunda, diciuminya, dibujuk, ditimang-timang. Pendek kata ia sangat haus kasih sayang.

Dan Pandawa yang hidup sengsara itu, ternyata adik-adiknya sendiri. Sekiranya hal itu diketahuinya
semenjak dulu, tentunya ia tidak ambil bagian di pihak Kurawa. Sekarang semuanya sudah terlanjur. Ia
terlanjur menjadi orang kepercayaan Kurawa. Ia terlanjur bersumpah akan behadap-hadapan dengan
Arjuna pada perang besar Bharatayuda. Dapatkah ia mengingkari semuanya itu begitu saja. Tidak ! Ia
akan ditertawakan banyak orang dan diejek sejarah. Ia akan menurunkan kehormatan Ibunda Kunti
Talibrata sebagai seorang ksatria berhati pengecut. Tekadnya sudah bulat ! Ia akan maju ke medan laga,
dalam memegang teguh darma ksatrianya. Ia rela berkorban, manakala baju tamsir yang tak tembus
berbagai senjata diminta oleh Batara Indra. Basukarna pun menyadari tanpa baju tamsir itu, senjata
Arjuna dapat menembus dirinya.

Dua kali, keteguhan Basukarna mendapat ujian. Pertama kali ibunya Dewi Kunti membujuknya untuk
bergabung ke Pandawa. Kedua Sri Kresna, ketika menjadi duta Pandawa yang terakhir ke Hastina. Semua
itu ditolaknya. Karena dia berprinsip, dengan dia bergabung ke Kurawa tersebut hanya karena menepati
janjinya sebagai ksatria. Sedangkan dalam nuraninya ingin membrantas keangkaramurkaan Kurawa
dengan caranya. Basukarna berkeyakinan bahwa selama golongan angkara seperti Kurawa masih
bercokol, dunia tak akan tenteram. Ia merasa sayang bila negeri Hastina terlalu lama dicengkeram
Kurawa. Pecahnya perang Bharayuda berarti kekuasaan Kurawa sudah diambang kehancuran.

Tokoh Basukarna ini merefleksikan pada kita, bahwa dia adalah sosok ksatria yang konsisten akan janji.
Dan juga tak silau pada kedudukan. Waktu itu pernah dibujuk oleh Sri Kresna, bila mau bergabung pada
Pandawa nantinya akan diangkat menjadi raja Hastina. Namun semuanya ditolaknya, karena ia merasa
tak pantas menjadi raja besar. Hanya adiknya Ajathasatru yang pantas memangku jabatan tersebut. Ia
menyadari bahwa tugas yang lebih penting dan suci adalah memimpin dan mempercepat musnahnya
angkara murka. Walaupun untuk itu harus bertempur sampai ajal menjemputnya melawan saudara-
saudara kandungnya sendiri.

Anda mungkin juga menyukai