Anda di halaman 1dari 3

Adipati Karna

Dalam wiracarita Mahabharata, dikisahkan ada seorang puteri cantik bernama dewi Kunti, ia
adalah puteri dari prabu Kuntiboja atau Basukunti, seorang raja dari bangsa Yadawa. Dewi Kunti
remaja berguru pada seorang resi bernama Durwasa. Karena sang resi sangat sayang kepada anak
muridnya tersebut, akhirnya sang resi memberikan kesaktian berupa mantera Adithyahrehdaya
kepada dewi Kunti. Mantera itu memiliki kesaktian untuk memanggil dewa sekaligus mendapat
anugerah putera dari dewa yang dipanggilnya tersebut.

Karena rasa kuriositasnya yang tinggi, dewi Kunti akhirnya mencoba kesaktian barunya itu kala
terbit sang surya. Tak lama kemudian, turunlah bhatara Surya memenuhi panggilan sang dewi. Karena
dewi Kunti memanggilnya dengan manteraAdithyahrehdaya, maka sang dewa pun menganugerahkan
putera kepada dewi Kunti. Namun, karena saat itu dewi Kunti belum menikah, maka bhatara Surya
pun membantu dewi Kunti untuk melahirkan melalui telinganya agar kegadisan sang dewi tetap
terjaga. Untuk menjaga dari aib yang akan menimpanya, maka jabang bayi yang baru lahir tersebut
kemudian dihanyutkan ke sungai Aswa. Agar kelak dikenali di kemudian hari, jabang bayi itu pun diberi
pakaian serta perhiasan khas bhatara Surya sebagai identitasnya. Tak lama dari peristiwa itu, dewi
Kunti kemudian menikah dengan pangeran dari Hastinapura, bernama Pandu Dewanata. Kelak di
kemudian hari, mereka berdua beserta dewi Madrim akan melahirkan lima orang ksatria yang dikenal
sebagai para Pandawa.

Jabang bayi yang dibuang itu akhirnya ditemukan oleh seorang kusir istana Hastinapura
bernama Adirata. Karena pakaian yang dikenakan oleh si bayi merupakan identitas khas bhatara Surya,
maka Adirata memberi nama bayi tersebut Basusena. Beranjak besar, Basusena pun terkadang
dipanggil Radheya yang berarti anak Radha yang merupakan isteri dari Adirata. Karena menyadari
bahwa anak angkatnya sebenarnya berasal dari kasta ksatria, maka ketika Basusena beranjak dewasa,
Adirata berusaha agar anaknya dapat belajar kepada Begawan Dorna. Tetapi karena Basusena
hanyalah anak seorang kusir, maka Dorna pun dengan mentah-mentah menolaknya. Basusena tidak
putus asa akan hal itu, ia kemudian selalu hadir dan mencuri-curi ilmu ketika Resi Dorna mengajar
para Pandawa dan Kurawa.

Di akhir pendidikan para Pandawa dan Kurawa, resi Dorna mencoba memperlihatkan
kemampuan para anak didiknya tersebut. Sebagai hasilnya, Dorna mengumumkan bahwa Arjuna-lah
yang terbaik, namun pada saat itu, Basusena tiba-tiba maju untuk menantang Arjuna, karena ia
merasa dapat mengalahkannya dalam ilmu memanah. Tantangan dari Basusena kontan saja ditolak
oleh Dorna, alasannya masih sama, karena Basusena adalah putera seorang kusir dan bukan dari
golongan ksatria. Namun pada saat itu, Duryudana yang merupakan sulung dari para Kurawa datang
untuk membela Basusena. Duryudana yang telah mengetahui kemampuan si anak kusir itu meminta
kepada ayahnya, prabu Destarata untuk mengangkat Basusena sebagai Adipati atau raja bawahan di
Awangga. Permintaan Duryudana tersebut bertujuan untuk mengangkat derajat Basusena menjadi
seorang ksatria. Peristiwa inilah yang kemudian menjadi titik balik dari kehidupan Basusena.

Perselisihan antara Karna dan Arjuna memang sudah diramalkan oleh para dewa. Di garisan
nasib, kedua saudara se-ibu tersebut ditakdirkan akan bertempur di padang Kurusetra pada perang
besar Bharatayudha. Takdir itu membuat ayah dari kedua ksatria itu menjadi sangat khawatir. Untuk
menyelamatkan Arjuna, dewa Indra yang adalah ayah kandungnya turun ke bumi dan menyamar
menjadi seorang resi tua. Ia berupaya untuk merebut baju zirah milik Adipati Karna yang merupakan
pemberian dari ayahnya, dewa Surya. Tetapi di luar perkiraannya, Karna ternyata dengan penuh
keikhlasannya memberikan baju zirahnya tersebut, karena ia telah bersumpah untuk menjadi seorang
yang ikhlas dan dermawan. Melihat sifat Karna yang mulia itu, dewa Indra justru terharu dan akhirnya
menganugerahkan senjata pusaka Kontawijayadanu kepadanya. Senjata itu mampu membunuh siapa
saja tak terkecuali para dewa, namun hanya dapat dipakai sekali saja.

Adipati Karna di padang Kurusetra.


Pada pertempuran Bhatarayudha di padang Kurusetra, Karna menjadi panglima perang
Kurawa pada hari ke lima belas. Di pertempuran tersebut, ia bertemu dengan Gatotkaca, putera
Werkudara dan panglima perang terbaik Pandawa. Pasukan Kurawa sangat kesulitan menghadapi
Gatotkaca dan pasukannya, entah berapa banyak korban yang jatuh di pihak Kurawa. Untuk
menjatuhkan Gatotkaca, mau tidak mau Karna harus menggunakan Kontawijayadanu milik dewa
Indra.

Tiba akhirnya ketika Karna bertempur dengan Arjuna. Saat pertempuran itulah, Arjuna
akhirnya dapat membunuh Karna dengan panah Pasupati andalannya. Gugur akhirnya sang putera
Surya di tangan adik kandungnya sendiri.

sebenarnya sebelum perang Bharatayudha terjadi, Karna sempat bertemu dengan dewi Kunti,
ibu kandungnya. Pada pertemuan tersebut dewi Kunti memohon maaf atas kejadian masa lalu dan
meminta agar Karna kembali bersama para Pandawa pada saat perang Bharatayudha nanti. Saat
pertemuan itulah Karna menunjukkan keikhlasannya untuk memaafkan ibu yang pernah
membuangnya. Meskipun ia menolak untuk membela para Pandawa, Adipati Karna menunjukkan
dharma baktinya kepada dewi Kunti dengan bersumpah tidak akan membunuh adik-adiknya sendiri.
Ia menjelaskan bahwa pemihakkannya kepada Kurawa tidak lain daripada pengabdiannya kepada
”kebenaran”, tanpa kehadirannya di pihak Kurawa, ia yakin kejahatan para Kurawa tidak akan pernah
hancur. Alasan ini pula yang disampaikannya kepada Kresna ketika mencoba membujuknya untuk
berada di pihak Pandawa. Meskipun telah ikhlas menerima dan memaafkan masa lalunya serta
menerima posisinya sebagai kakak dari para Pandawa, tetap saja Adipati Karna selalu menunjukkan
keangkuhannya ketika bertemu dengan adik-adik kandungnya itu. Walaupun pada akhirnya ia
memang tetap memegang teguh janjinya kepada dewi Kunti untuk tidak membunuh para Pandawa di
perang Bhatarayudha.

Keistimewaan Sang Basusena.


Adipati Karna dengan segala kompleksitasnya sebenarnya merefleksikan manusia pada
umumnya. Ada nilai-nilai dualisme yang terkandung dalam kompleksitasnya itu. Nilai-nilai itulah yang
selalu hadir dalam sosok manusia pada umumnya. Di sisi yang lain, Adipati Karna menunjukkan sebuah
arti pengorbanan serta pengabdian kepada kebenaran. Sejak kecil ia sudah diminta untuk berkorban,

Dari keistimewaan sang Basusena itu, tentunya kita paham jika pada akhirnya, sosok Adipati
Karna yang erat dengan keikhlasan dan pengorbanan tersebut memiliki posisi istimewa di kalangan
masyarakat Jawa, bahkan Sunda. Keistimewaan sosok Karna dapat kita lihat pula dalam dunia
pewayangan, untuk pertunjukkan dramatari wayang wong Priangan, tokoh Adipati Karna memakai
aksesoris mahkota Ketu Topong. Makhota itu pula yang dipakai oleh tokoh Bhatara Guru, selain kedua
tokoh tersebut, tidak ada lagi yang memakainya. Tentu saja ada alasan tertentu mengapa Karna
mendapat keistimewaan untuk memakai mahkota seperti Bhatara Guru. Padahal jika dilihat dari
status kebangsawanannya, Karna hanyalah raja bawahan di Awangga.

Sebenarnya keangkuhan serta kesombongan yang selalu ia tunjukkan, justru ditunjukkannya


kepada para kaum bangsawan dan ksatria. Sementara hal-hal baik justru ia tunjukkan kepada rakyat
jelata yang memang seharusnya menjadi ayoman para bangsawan dan ksatria. Dari perilakunya
tersebut dapat dilihat bahwa pada dasarnya Adipati Karna melakukan berbagai hal-hal baik hanya
demi kebenaran yang ia percaya, bukan demi penilaian-penilaian baik dari manusia terhadap dirinya.

Anda mungkin juga menyukai