Anda di halaman 1dari 6

KUMBA KARNA

Karna adalah nama raja Angga yang merupakan tokoh antagonis penting dalam wiracarita Mahabharata. Ia
menjadi pendukung utama pihak Korawa dalam perang besar melawan Pandawa. Padahal sesungguhnya, Karna
merupakan kakak tertua dari tiga di antara lima Pandawa (Yudistira, Bimasena, dan Arjuna). Dalam bagian akhir
perang besar tersebut, Karna diangkat sebagai panglima pihak Korawa, di mana ia akhirnya gugur di tangan Arjuna.
Karna merupakan sosok pahlawan yang memiliki sifat-sifat kompleks. Meskipun berada di pihak antagonis,
namun ia terkenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesatria. Sifatnya angkuh, sombong, suka membanggakan
diri, namun juga seorang dermawan yang murah hati kepada siapa saja, terutama fakir miskin dan kaum brahmana.
Kesaktiannya yang luar biasa membuat namanya terkenal sepanjang masa dan disebut dengan penuh penghormatan.
Kelahiran
Mahabharata bagian pertama mengisahkan seorang putri bernama Kunti yang pada suatu hari ditugasi
menjamu seorang pendeta tamu ayahnya, bernama Resi Durwasa. Atas jamuan itu, Durwasa merasa senang dan
menganugerahi Kunti sebuah ilmu kesaktian bernama Adityahredaya, semacam mantra untuk memanggil dewa dan
dewa yang dipilihnya tersebut akan memberikannya seorang putra yang mempunyai sifat baik menyamai dewa
tersebut
Pada keesokannya Kunti mencoba mantra tersebut sambil memandang matahari terbit. Akibatnya, dewa
penguasa matahari yaitu Surya pun muncul dan siap memberinya seorang putra. Ketika Surya menampakkan diri
didepannya, Kunti terpesona. Karena terikat mantra Durwasa, Surya memberinya seorang anak secemerlang dan
sekuat ayahnya, walaupun Kunti sendiri tidak menginginkan anak. Kunti yang ketakutan menolak karena ia
sebenarnya hanya ingin mencoba keampuhan Adityahredaya saja. Surya menyatakan dengan tegas bahwa
Adityahredaya bukanlah mainan. Dengan sabda sang dewa, Kunti pun mengandung. Dengan kesaktian Surya, Kunti
tetap tidak ternodai keperawanannya. Sang bayi adalah Karna, lahir dengan baju besi dan anting-anting untuk
melindunginya.
Kunti kini berada dalam posisi yang memalukan sebagai seorang ibu seorang anak tanpa ayah. Karena tidak
mau menanggung malu ini, ia meletakkan Karna ke dalam keranjang dan menghanyutkannya bersama dengan
perhiasannya berdoa agar bayi tersebut selamat.
Bayi Karna terhanyut di sungai dan ditemukan oleh seorang pengemudi kereta di Kerajaan Kuru atau Kerajaan
Hastinapura bernama Adhiratha, seorang Suta (campuran antara Brahmin dengan Khsatriya). Adhiratha dan istrinya
Radha membesarkan Karna sebagai anak mereka dan memberinya nama Basusena karena baju besi dan antingnya.
Mereka mengetahui latar belakang Karna dari perhiasan yang ditemukan bersamanya, dan tidak pernah
menyembunyikan kenyataan bahwa mereka bukan orang tua Karna yang sebenarnya. Karna juga disebut Radheya
karena nama ibunya Radha.
Basusena pun diasuh dan dibesarkan dalam keluarga Adirata, sehingga ia dikenal dengan julukan Sutaputra
(anak kusir). Namun, julukan lainnya yang lebih terkenal adalah Radheya, yang bermakna "anak Radha" (istri
Adirata). Meskipun tumbuh dalam lingkungan keluarga kusir, Radheya justru berkeinginan menjadi seorang perwira
kerajaan. Adirata pun mendaftarkannya ke dalam perguruan Resi Drona yang saat itu sedang mendidik para
Pandawa dan Korawa.
Akan tetapi, Drona menolak menjadikan Radheya sebagai murid karena ia hanya sudi mengajar kaum ksatriya
saja. Radheya yang sudah bertekad bulat memutuskan tetap belajar ilmu perang meskipun secara diam-diam. Ia
sering mengintai Drona saat sedang mengajar murid-muridnya, terutama dalam hal ilmu memanah atau Danurweda.
Meskipun berguru secara tidak resmi, kehebatan Radheya dalam memanah melebihi murid-murid resmi Drona,
kecuali Arjuna.
Menjadi raja Angga
Ketika tiba waktunya, Drona mempertunjukkan hasil pendidikan para Pandawa dan Korawa di hadapan para
bangsawan dan rakyat Hastinapura, ibu kota Kerajaan Kuru. Setelah melalui berbagai tahap pertandingan, Drona
akhirnya mengumumkan bahwa Arjuna (Pandawa nomor tiga) adalah murid terbaiknya, terutama dalam hal ilmu
memanah. Tiba-tiba Karna muncul menantang Arjuna sambil memamerkan kesaktiannya. Resi Krepa selaku
pendeta istana meminta Karna supaya memperkenalkan diri terlebih dahulu karena untuk menghadapi Arjuna
haruslah dari golongan yang sederajat. Mendengar permintaan itu, Karna pun tertunduk malu.
Duryodana (Korawa tertua) maju membela Karna. Menurutnya, keberanian dan kehebatan tidak harus dimiliki
oleh kaum ksatriya saja. Namun apabila peraturan mengharuskan demikian, Duryodana memiliki jalan keluar. Ia
mendesak ayahnya, yaitu Dretarastra raja Hastinapura, supaya mengangkat Karna sebagai raja bawahan di Angga.
Dretarastra yang berhati lemah tidak mampu menolak permintaan putra kesayangannya itu. Maka pada hari itu juga,
Karna pun resmi dinobatkan menjadi raja Angga.
Adirata muncul menyambut penobatan Karna. Akibatnya, semua orang pun tahu kalau Karna adalah anak
Adirata. Melihat hal itu, Bimasena (Pandawa nomor dua) mengejeknya sebagai anak kusir sehingga tidak pantas
bertanding melawan Arjuna yang berasal dari kaum bangsawan. Sekali lagi Duryodana tampil membela Karna.
Suasana semakin tegang dan memanas. Namun tidak seorang pun yang menyadari kalau Kunti jatuh pingsan
di bangkunya setelah melihat kehadiran Karna. Kunti langsung mengenalinya sebagai putra sulung yang pernah ia
buang dari pakaian perang dan perhiasan pemberian Surya yang melekat di tubuh Karna.
Suasana yang menegangkan itu diredakan oleh terbenamnya matahari. Dretarastra membubarkan acara
tersebut sehingga pertandingan antara Karna melawan Arjuna pun tertunda. Sejak saat itu dimulailah persahabatan
antara Karna dengan Duryodana, pemimpin para Korawa.
Penolakan Dropadi
Dropadi adalah putri Kerajaan Pancala yang kecantikannya membuat banyak raja dan pangeran datang untuk
melamar, termasuk Duryodana. Dalam hal ini, Drupada (raja Pancala) telah mengumumkan sebuah sayembara
memanah bagi siapa saja yang ingin memperistri putrinya tersebut.
Sayembara tersebut ialah memanah boneka ikan yang berputar di atas arena, namun tidak boleh melihatnya
secara langsung, melainkan melalui bayangannya yang terpantul di dalam baskom berisi minyak. Akan tetapi,
jangankan membidik boneka tersebut, mengangkat busur pusaka Kerajaan Pancala saja para peserta tidak ada yang
sanggup, termasuk Duryodana yang perkasa sekalipun.
Karna kemudian maju setelah sahabatnya itu mengalami kegagalan. Dengan penuh rasa hormat, ia berhasil
mengangkat busur pusaka mahaberat itu dan siap membidik sasaran sayembara. Tiba-tiba Dropadi menyatakan
keberatan apabila Karna sampai berhasil memenangkan sayembara, karena dirinya tidak mau menikah dengan anak
seorang kusir. Karna sakit hati mendengarnya. Ia menyebut Dropadi sebagai wanita sombong dan pasti menjadi
perawan tua karena tidak ada lagi peserta yang mampu memenangkan sayembara sulit tersebut selain dirinya.
Ucapan Karna membuat Drupada merasa khawatir. Raja Pancala itu pun membuka pendaftaran baru untuk
siapa saja yang ingin menikahi Dropadi, tanpa harus berasal dari golongan ksatriya. Arjuna yang saat itu sedang
menyamar sebagai brahmana maju mendaftarkan diri. Sayembara tersebut akhirnya berhasil dimenangkan olehnya.
Pembalasan untuk Dropadi
Arjuna kemudian mempersembahkan Dropadi kepada ibunya sebagai oleh-oleh terbaik. Tanpa melihat yang
sebenarnya, Kunti langsung memutuskan supaya "oleh-oleh" tersebut dibagi berlima. Akibatnya, kelima Pandawa
pun bersama-sama menikahi Dropadi sebagai istri mereka, demi melaksanakan amanat sang ibu.
Beberapa waktu kemudian, para Pandawa berhasil membangun sebuah kerajaan indah bernama Indraprastha
yang membuat pihak Korawa merasa iri. Melalui permainan dadu yang sangat licik, mereka berhasil merebut
Indraprastha dari tangan Pandawa, termasuk kemerdekaan kelima bersaudara itu. Pada puncaknya, Yudistira
(Pandawa tertua) dipaksa mempertaruhkan Dropadi demi melanjutkan permainan. Dropadi akhirnya jatuh pula ke
tangan Korawa. Duryodana kemudian menyuruh Dursasana untuk menyeret Dropadi dari kamarnya. Dropadi pun
dijambak dan diseret oleh Korawa nomor dua itu menuju ruang permainan.
Karna yang masih menyimpan sakit hati kepada Dropadi mengumumkan bahwa seorang wanita yang bersuami
lima tidak pantas disebut sebagai istri, melainkan pelacur. Mendengar penghinaan Karna, Arjuna bersumpah kelak
akan membunuhnya. Duryodana pun memerintahkan Dursasana agar menelanjangi Dropadi di depan umum.
Namun, berkat pertolongan rahasia dari Sri Kresna, Dropadi berhasil diselamatkan.
Kutukan para brahmana
Karna pernah berguru kepada Parasurama yang juga pernah mengajar Drona. Brahmana gagah berumur
panjang tersebut memiliki pengalaman yang buruk dengan kaum ksatriya. Untuk itu, Karna harus menyamar sebagai
brahmana muda agar bisa mendekatinya. Dengan cara tersebut Karna berhasil menjadi murid Parasurama.
Pada suatu hari, Parasurama tidur di atas pangkuan Karna. Tiba-tiba muncul seekor serangga menggigit paha
Karna. Demi menjaga agar Parasurama tidak terbangun, Karna membiarkan pahanya terluka sedangkan dirinya tidak
bergerak sedikit pun. Ketika Parasurama bangun dari tidurnya, ia terkejut melihat Karna telah berlumuran darah.
Kemampuan Karna menahan rasa sakit telah menyadarkan Parasurama bahwa muridnya itu bukan dari golongan
brahmana, melainkan seorang ksatriya asli.
Merasa telah ditipu, Parasurama pun mengutuk Karna. Kelak, pada saat pertarungan antara hidup dan mati
melawan seorang musuh terhebat, Karna akan lupa terhadap semua ilmu yang telah ia ajarkan.
Kutukan kedua diperoleh Karna ketika ia mengendarai keretanya dan menabrak mati seekor sapi milik
brahmana yang sedang menyeberang jalan. Sang brahmana pun muncul dan mengutuk Karna, kelak roda keretanya
akan terbenam ke dalam lumpur ketika ia berperang melawan musuhnya yang paling hebat.
Pusaka Konta
Apabila Karna dilahirkan Kunti melalui anugerah Dewa Surya, maka, Arjuna lahir melalui anugerah Dewa
Indra. Menyadari kesaktian Karna, Indra merasa cemas kalau Arjuna kelak sampai kalah jika bertanding melawan
putra Surya itu. Maka, Indra pun merencanakan merebut baju pusaka Karna dengan menyamar sebagai seorang
pendeta. Konon, jika mengenakan pakaian pusaka tersebut, Karna tidak mempan terhadap senjata jenis apa pun.
Rencana Indra terdengar oleh Surya. Ia pun memberi tahu Karna. Namun Karna sama sekali tidak risau. Ia
telah bersumpah akan hidup sebagai seorang dermawan sehingga apa pun yang diminta oleh orang lain pasti akan
dikabulkannya.
Indra yang menyamar sebagai seorang resi tua datang menemui Karna saat sedang sendirian. Ia meminta
sedekah berupa baju perang dan anting-anting yang dipakai Karna. Karna pun mengiris semua pakaian pusaka yang
melekat di kulitnya sejak bayi tersebut menggunakan pisau. Menyaksikan Karna menyayat baju zirah dan anting-
antingnya (yang melekat) dari badannya, maka seluruh bala tentara kahya-ngan, orang-orang dan Danawa-Danawa
menyuarakan pekik mengaung-ngaung seperti singa, dan Karna tidak sedikitpun menarik mukanya ketika badannya
disayat itu. Seketika itu pula terdengarlah suara rebana kahyangan dan jatuhlah hujan bunga dari langit. Dan untuk
perbuatan inilah beliau disebut “Karna” (Orang yang mengupas kulitnya). Indra terharu menerimanya. Ia pun
membuka samaran dan memberikan pusaka baru berupa Konta (yang bermakna "tombak") sebagai hadiah atas
ketulusan Karna. Namun, pusaka Konta hanya bisa digunakan sekali saja, setelah itu ia akan musnah.
Terbukanya jati diri
Setelah masa hukuman atas kekalahan dalam permainan dadu berakhir, para Pandawa pun muncul kembali
untuk mendapatkan hak mereka atas Kerajaan Indraprastha. Pihak Korawa menolak dan memaksa Pandawa
merebutnya dengan jalan perang. Pandawa pun mengirim Kresna sebagai duta menuju Hastinapura. Dalam
kesempatan itu, Kresna menemui Karna dan mengajaknya berbicara empat mata. Ia menjelaskan bahwa Karna dan
para Pandawa sebenarnya adalah saudara seibu. Apabila Karna bergabung dengan Pandawa, tentu Yudistira akan
merelakan takhta Hastinapura untuknya.
Karna sangat terkejut mendengar jati dirinya terungkap. Ia menghadapi dilema yang sangat besar. Dengan
penuh pertimbangan ia memutuskan tetap pada pendiriannya yaitu membela Korawa. Ia tidak mau meninggalkan
Duryodana yang telah memberinya kedudukan, harga diri, dan perlindungan saat dihina para Pandawa dahulu.
Rayuan Kresna tidak mampu meluluhkan sumpah setia Karna terhadap Duryodana yang dianggapnya sebagai
saudara sejati.
Karna memberitahu Khrisna ia mengetahui bahwa Duryodhana tidak mengikuti kebenaran, dengan
mendukungnya berarti ia juga tidak mengikuti kebenaran, dan pada akhirnya ia akan menghadapi kekalahan dan
kematian karenanya. Tapi ia tetap memutuskan untuk membela Duryodhana. Ia berkata kepada Khrisna "Sepanjang
hidupku orang menganggapku anak seorang tukang kuda dahulu, baru kemudian sebagai seorang prajurit dan raja.
Duryodhana adalah satu-satunya orang yang tidak hanya memandangku sebagai seorang prajurit dan raja, tetapi juga
sebagai seorang yang setara dengan dirinya. Tidak pernah ia memandangku sebagai seorang anak tukang kuda.
Ketika temanku ini membutuhkan dukungan, masihkah engkau mengharapkanku untuk meninggalkannya?".
Setelah pertemuan dengan Kresna, esok harinya Karna bertemu dengan Kunti. Kunti menemui putra sulungnya
itu saat bersembahyang di tepi sungai. Ia merayu Karna supaya mau memanggilnya "ibu" dan sudi bergabung
dengan para Pandawa. Karna kembali bersikap tegas. Ia sangat menyesalkan keputusan Kunti yang dulu
membuangnya sehingga kini ia harus berhadapan dengan adik-adiknya sendiri sebagai musuh. Ia menolak
bergabung dengan pihak Pandawa dan tetap menganggap Radha sebagai ibu sejatinya. Meskipun demikian, Karna
tetap menghibur kekecewaan Kunti. Karna berjanji bahwa setelah perang Bharatayudha, lima anak Kunti akan tetap
hidup, Kunti lega mendengar janji Karna ini. Yang tersembunyi dari janji ini adalah bahwa sebenarnya Kunti
memiliki enam orang anak (termasuk Karna sendiri), maka bila Karna bertemu dengan para Pandawa ia akan
melepaskan mereka kecuali satu orang: Arjuna. Karena Karna adalah salah satu dari sedikit yang sanggup
menghadapi Arjuna dan di antara mereka telah terjadi persaingan yang sengit.
Perselisihan dengan Bisma
Perang besar antara kedua pihak tersebut akhirnya meletus. Pihak Korawa memilih Bisma (bangsawan senior
Hastinapura) sebagai panglima mereka. Terjadi pertengkaran di mana Bisma menolak Karna berada di dalam
pasukannya, dengan alasan Karna terlalu sombong, berasal dari kasta yang lebih rendah dan suka meremehkan
kekuatan Pandawa. Alasan sebenarnya Bhisma untuk tidak memperbolehkan Karna bertempur bersamanya ketika ia
menjadi senapati adalah rasa cintanya kepada Pandawa. Jika Bhisma dan Karna muncul bersamaan di medan perang,
Pandawa tidak akan mampu memenangkan Bharatayudha. Sebaliknya, Karna pun bersumpah tidak sudi ikut
berperang apabila pasukan Korawa masih dipimpin oleh Bisma.
Bisma akhirnya roboh pada pertempuran hari kesepuluh. Tokoh tua itu terbaring di atas ratusan panah yang
menembus tubuhnya. Karna muncul melupakan semua dendam untuk menyampaikan rasa prihatin. Bisma mengaku
bahwa ia hanya pura-pura mengusir Karna supaya tidak bertempur melawan Pandawa. Bisma mengetahui jati diri
Karna sebagai kakak para Pandawa setelah diberi tahu oleh Narada (maharesi kahyangan). Seperti halnya Kresna
dan Kunti, Bisma juga menyarankan supaya Karna bergabung dengan para Pandawa. Namun sekali lagi Karna
menolak saran tersebut.
Pertempuran melawan Gatotkaca
Kehadiran Karna sejak hari kesebelas segera membangkitkan semangat pihak Korawa. Ia menyarankan agar
Duryodana memilih Drona sebagai pengganti Bisma, dengan alasan Drona merupakan guru sebagian besar sekutu
Korawa. Dengan terpilihnya Drona maka persaingan antara para pendukung Korawa memperebutkan jabatan
panglima dapat dihindari. Karna tampil dalam perang besar tersebut sebagai pendamping Drona.

Pada perang hari ketigabelas, Drona mengatur formasi pasukan yang disebut Chakravyuha. Hanya Khrisna dan
Arjuna di pihak Pandava yang mengetahui cara membuyarkan formasi ini; tetapi Khrisna dan Arjuna dengan sengaja
dialihkan perhatiannya oleh pihak Kaurava ke bagian lain dari pertempuran. Abhimanyu, anak Arjuna, memiliki
sebagian pengetahuan tentang formasi ini. Ia mendengarnya ketika masih dalam kandungan saat Khrisna
menjelaskan tentang formasi ini kepada ibunya (ibu Abhimanyu adalah Subhadra, adik Khrisna). Tetapi saat itu
Khrisna tidak menjelaskan samapi selesai. Sehingga Abhimanyu mengetahui cara memasuki formasi tersebut, tetapi
tidak mengetahui cara keluar darinya. Pada hari itu tidak seorang pun sanggup mengalahkan Abhimanyu yang telah
berada di dalam formasi Chakravyuha. Sendirian ia menandingi jendral-jendral pihak Kaurava termasuk Karna,
Drona, dan Duryodhana. Atas perintah Drona, Duryodhana dan Karna mengeroyok Abhimanyu (Karna memanah
busur Abhimanyu dan melumpuhkan keretanya, kemudian para Kaurava membunuh Abhimanyu. Jadi bukan Karna
sendiri yang membunuh Abhimanyu).
Pada hari ke-14 malam, perang tetap terjadi tanpa dihentikan sehingga melanggar aturan yang telah disepakati.
Duryodana menderita luka parah saat menghadapi Gatotkaca putra Bimasena. Ia pun mendesak Karna supaya
menggunakan pusaka Konta untuk membunuh Gatotkaca. Karena terus didesak, Karna pun melepaskan Konta dan
menewaskan Gatotkaca.
Sesuai janji Indra, pusaka Konta pun musnah hanya dalam sekali penggunaan. Kresna selaku penasihat pihak
Pandawa merasa senang karena dengan demikian, nyawa Arjuna bisa terselamatkan. Ia mengetahui kalau selama ini
Karna mempersiapkan pusaka Konta untuk membunuh Arjuna.
Menjadi panglima pasukan Korawa
Setelah Drona gugur pada hari kelima belas, Duryodana menunjuk Karna sebagai panglima yang baru. Karna
maju perang dengan Salya raja Madra sebagai kusir keretanya, dengan harapan bisa mengimbangi Arjuna yang
dikusiri Kresna. Salya sendiri sakit hati karena merasa direndahkan oleh Karna. Sambil mengemudikan kereta ia
gencar memuji-muji kesaktian Arjuna untuk menakut-nakuti Karna.
Pada hari keenam belas, Karna berhasil mengalahkan Yudistira, Bimasena, Nakula, dan Sadewa, namun tidak
sampai membunuh mereka sesuai janjinya di hadapan Kunti dulu. Karna kemudian bertanding melawan Arjuna.
Keduanya saling berusaha membunuh satu sama lain. Ketika Karna mengincar leher Arjuna menggunakan panah
Nagasatra, diam-diam Salya memberi isyarat pada Kresna. Kresna pun menggerakkan keretanya sehingga panah
pusaka tersebut meleset hanya mengenai mahkota Arjuna. Pertempuran tersebut akhirnya tertunda oleh terbenamnya
matahari.
Pertempuran terakhir
Pada hari ketujuh belas, perang tanding antara Karna dan Arjuna dilanjutkan kembali. Setelah bertempur
dalam waktu yang cukup lama, kutukan atas diri Karna pun menjadi kenyataan. Ketika Arjuna membidiknya
menggunakan panah Pasupati, salah satu roda keretanya terperosok ke dalam lumpur sampai terbenam setengahnya.
Karna tidak peduli, ia pun membaca mantra untuk mengerahkan kesaktiannya mengimbangi Pasupati. Namun,
kutukan kedua juga menjadi kenyataan. Karna tiba-tiba lupa terhadap semua ilmu yang pernah ia pelajari dari
Parasurama. Karna meminta Arjuna untuk menahan diri sementara ia turun untuk mendorong keretanya agar
kembali berjalan normal. Pada saat itulah Kresna mendesak agar Arjuna segera membunuh Karna karena ini adalah
kesempatan terbaik. Arjuna ragu-ragu karena saat itu Karna sedang lengah dan berada di bawah. Kresna
mengingatkan Arjuna bahwa Karna sebelumnya juga berlaku curang karena ikut mengeroyok Abimanyu sampai
mati pada hari ketiga belas.
Teringat pada kematian putranya yang tragis tersebut, Arjuna pun melepaskan panah Pasupati yang melesat
memenggal kepala Karna. Karna jatuh ke tanah dengan luka yang mematikan. Tetapi ujian untuknya belumlah
berakhir. Khrisna menyamar sebagai seorang pertapa dan meminta sedekah kepadanya. Karna yang terluka parah
tidak memiliki apa pun untuk diberikan, kemudian ia ingat masih memiliki satu gigi emas. Dengan penuh kesakitan
Karna melepaskan gigi emasnya, membersihkannya kemudian memberikannya kepada Khrisna. Dengan demikian
Karna menjadi satu-satunya manusia yang telah memberikan sedekah kepada Vishnu sendiri. Terharu dengan
kemurahan hati Karna, Khrisna memberikan kesempatan kepada Karna untuk mengajukan satu permintaan
kepadanya. Karna meminta agar jenasahnya diperabukan di tempat yang paling suci di dunia. Sebagai Vishnu,
Khrisna kemudian memperabukan jenasah Karna ditelapak tangannya.
Keris pusaka Karna yang bernama Kaladite tiba-tiba melesat ke arah leher Arjuna. Arjuna pun menangkisnya
menggunakan keris Kalanadah, peninggalan Gatotkaca. Kedua pusaka itu pun musnah bersama.
Surtikanti datang ke Kurusetra bersama Adirata. Melihat suaminya gugur, Surtikanti pun bunuh diri di
hadapan Arjuna.

Surat Terakhir dari seorang Ksatria


Beberapa jam sebelum sebelum pagi, sebelum gelombang pertempuran meledak lagi di Kurusetra, Karna
tepekur sendirian di dalam kemahnya. Istrinya tidur pulas di peraduan. Karna tahu, hidupnya tak lama lagi. Karena
itu, ia menulis sepucuk surat kepada Surtikanti istrinya.
“Peramal menujum aku akan tewas dalam perang ini. Tapi jangan dengarkan mereka, Surtikanti.
Dengarkanlah aku. Nasib mungkin memihak musuh. Tapi aku akan menghadapi mereka - juga bila harus melalui
mati.
“Mati, saat ini, rasanya bukan lagi soalku, Istriku. Mungkin karena alasan perangku lebih besar ketimbang
hidup. Atau setidaknya alasan itu adalah alasan kehidupan sendiri: aku berperang untuk mengukuhkan siapa aku.
Di pagi nanti, Karna tewas atau Karna menang, keduanya akan menentukan siapa dia. Sebab, siapa sebenarnya
aku, Surtikanti, selama ini, selain seorang yang tak jelas kastanya, tak jelas asal-usul, tak jelas kaumnya?
“Jangan kau sedih. Aku memang mengulang kegetiranku. Di dunia kita yang telah dinubuat ini, Istriku,
seseorang hanya mendapatkan dirinya tak jauh dari pintunya berangkat. Betapa menyesakkan! Sebab itu, Istriku,
aku harus membuktikan bahwa seseorang ada, seseorang menjadi, karena tindakannya, karena pilihannya - bukan
karena ia telah selesai dirumuskan.
Seorang resi pernah berkata: pada mulanya adalah Sabda, dan Sabda menjadi Kodrat. Bagiku, pada mulanya
adalah perbuatan. Dari perbuatan lahir pengetahuan, dan dengan pengetahuan itu aku bisa merumuskan diriku.
Bagiku, Surtikanti, Kodrat adalah sesuatu yang tidak ada; dewa-dewa tak pernah menyabdakannya. Telah kuduga
itu ketika namaku masih Si Radheya. Dulu.
“Kini bisa kuceritakan kepadamu apa yang terjadi pada Si Radheya, ketika ia berumur 16 tahun: hari itu ia
tahu bahwa ibunya bukanlah ibunya yang sebenarnya, dan bapaknya — seorang sais — bukanlah bapaknya yang
sebenarnya. Ia anak pungut, Surtikanti.
Ada yang menduga, seorang putri bangsawan tinggi melahirkan bayi yang tak dikehendaki dan membuangnya
ke air. Dan itulah aku. Aku menangis ketika semua itu dituturkan padaku oleh wanita yang selama ini kusebut
ibuku. Ternyata, aku bukan lagi bagian seasal dari dirinya, betapapun ikhlasnya kasih sayang.
Dan mulai saat itu, aku kembali terbuang, seorang bocah yang hanyut, di sepanjang tepian.
“Lalu kucari ilmu, istriku. Kau tahu, mengapa? Ilmu akan mengukuhkan aku bukan cuma anak suta yang
hina. Meskipun kukatakan kepada Radha, ibuku, bahwa ilmu tak mengenal kasta, tak memandang harta — dan
karena itu di sanalah aku akan bebas — sesungguhnya aku berjusta, juga pada diriku sendiri: diam-diam aku ingin
ingkar kepada kelas orang-orang yang mengasihiku. Sebab, ternyata di dunia kita yang menyesakkan ini,
Surtikanti, ilmu pun telah jadi lambang tentang mana yang rendah, mana yang tinggi.
“Aku datang berguru kepada Durna, tapi Durna menolakku karena aku bukan ningrat, bukan kesatria. Aku
datang kepada Bhargawa, mengaku anak brahmana dan jadi muridnya - tapi kemudian ia mengutukku ketika ia
menuduhku anak kesatria, kelas yang dibencinya itu, yang berbohong.
“Memang, setelah kukuasai semua astra dan semua senjata, aku tahu ilmu bisa melepaskan kita dari
perbedaan susunan rendah dan tinggi. Tapi akhirnya hanya tindakan besar yang membebaskanku, tindakan
Pangeran Duryudana. Dialah yang mengangkatku jadi penguasa di Angga, istriku, dan dari sanalah aku seakan
lahir kembali: kini benar aku bukan anak kasta yang dihinakan. Dan aku meminangmu.
“Ya, aku tahu mengapa Duryudana mengangkatku, ketika para Pandawa menghinaku, di pertandingan
memanah di arena Hastina belasan tahun yang lalu itu; mereka menolak melawanku karena bagi mereka, anak sais
tak berhak bertanding dengan anak raja.
Duryudana ingin memperlihatkan, di depan rakyat yang menonton, betapa tak adilnya para Pandawa. Dan
Putra Mahkota Kurawa itu mungkin juga memperhitungkan aku bisa digunakannya buat menghadap musuhnya
yang lima itu.
“Tapi apa pun niat hatinya, tindakannya adil dan kata-katanya benar: ‘Keberanian bisa datang dari siapa
saja, karena seorang kesatria ada bukan hanya karena ayahbundanya, tapi toh bisa keluar dari batu gunung yang
tak dikenal.
“Rasanya, akulah salah satu batu gunung itu, Surtikanti, yang menerbitkan perciknya sendiri. Inilah
kemerdekaanku. Arjuna memilih pihaknya karena darah yang mengalir di tubuhnya, aku memilih pihakku karena
kehendakku sendiri. Arjuna berperang untuk sebidang kerajaan yang dulu haknya, aku berperang bukan untuk
memperoleh. Maka, jika aku esok mau, istriku, kenanglah kebahagiaan itu. Satu-satunya kesedihanku ialah bahwa
aku tak akan lagi bisa memandangmu, ketika kau memandangku.”
Sampai di situ Karna berhenti; tangannya tergetar. Tapi segera ia mengusap busur panah di sisi duduknya.
Kurusetra senyap. Malam mengerang kesakitan. Keesokan harinya, Karna memang gugur di tangan Arjuna, saudara
seibunya.

Anda mungkin juga menyukai