Anda di halaman 1dari 82

PERANG BARATAYUDA (bagian 3 )

Drupadi telah meluwar Janji

Kembali seorang dari saudara Pendawa terkena tekanan


jiwa karena kematian anak tercinta. Padahal mereka tahu, kematian bagi seseorang yang
masuk dalam arena pertempuran pilihannya adalah mukti atau mati. Tetapi tetap saja
terjadi, setelah kematian Abimanyu anak Arjuna yang menjadikan Arjuna kehilangan
pegangan diri, kali ini Sang Bima Sena-pun mengalami hal yang sama.

Tidaklah ia menyalahkan siapapun, Prabu Kresna, Karna atau dirinya sendiri. Kerelaannya
melepas kepergian anaknya menjadi senapati malam itu adalah atas niat suci. Namun
kenyataan yang terjadi tidak urung membuat perasaannya yang teguh sedikit banyak telah
terguncang. Ketiga anak lelakinya telah mendahuluinya meraih surga. Yang pertama ketika
mengikhlaskan Antareja menjadi tawur atas kejayaan trah Pandawa sebelum pecah perang
waktu lalu . Kemudian berita telah sampai pula ditelinganya, ketika Antasena juga telah
merelakannya akhir hidupnya atas keinginannya untuk tidak menyaksikan dan mengalami
perang Barata, asalkan para orang tuanya unggul dalam perang itu. Ia dengan sukarela
tersorot mata api yang tajam Batara Badawanganala, hingga lebur menjadi abu.*)

Maka ketika anak lelaki keduanya tersambut rana dalam peperangan, maka remuk redam
hatinya tanpa dapat mengalirkan air mata. Dengan pikiran yang kosong Werkudara berjalan
menjauhi arena peperangan. Tak terasa langkahnya sampai dipinggir bengawan
Cingcingguling ketika waktu belum lagi menjelang siang. Rasa lelah semalaman dalam
menghadapi barisan raksasa dari Pagerwaja, Pageralun dan Pagerwatangan, membebani
raga sang Bima, ditambah jiwa yang terluka menganga, merana ditinggalkan semua anak
tercintanya. Walau amuknya semalam telah menelan korban kedua adik dari Patih Sengkuni,
Anggabasa dan Surabasanta, namun tetap ia tidak puas sebelum membalas kematian
terhadap Adipati Karna. Rebahlah dibawah randu hutan dipinggir bengawan, sang Bima
melepas lelah.
Satu bingkai demi bingkai bayangan peristiwa masa lalu mengalir bagai kejadian yang baru
saja terjadi. Dibayangkannya sosok sang istri yang begitu menyayanginya dengan segenap
jiwa dan raga. Wanita yang sesuai dengan angan angan ketika ia memilih istri. Wanita yang
lembut namun perkasa dan sakti mandraguna.

Berkelebat bayangan kejadian pahit manis perjalanan


kasih, hidup dan perjuangannya dengan sang istri. Saling bahu membahu dengannya ketika
membangun Negara Amarta dari asal hutan Wisamarta yang demikian angker dengan
penunggu para lelembut sakti. Para Drubiksa penghuni hutan yang ternyata mereka adalah
pemilik negara maya dalam hutan itu, bahkan telah menyatu dalam jiwa masing masing
pribadi para Pandawa. Terpesonanya diri ketika melihat perubahan ujud raseksi Arimbi yang
begitu perkasa dan sakti, menjadi sedemikian cantik karena sabda sang ibu, Prita-Kunti
Talibrata, ketika menyaksikan Arimbi yang demikian cantik budi perilakunya dalam
membantu anak anaknya, sehingga tercetus kata mantra Sabda Tunggal Wenganing Rahsa
ke telinga Arimbi.

Istri yang telah memberikan warna hidup hingga lebih cerah ketika ia melahirkan seorang
putra yang walau masih ujud bayi merah, Jabang Tetuka, tetapi oleh olah para Dewata,
anaknya itu dibuat cepat dewasa dengan kekuatan bagaikan berotot kawat tulang besi. Ia
telah berhasil membebaskan Kahyangan Jonggring Saloka dengan mengenyahkan Prabu
Kalapercona dan para punggawanya yang sedemikian sakti. Putra yang sangat ia banggakan
dengan sosok yang dambaan yang melekat pada angan angannya. Putra sempurna yang
merajai negara tinggalan dari orang tua ibunya, sekaligus musuh Pandu, orang tuanya, yaitu
Prabu Trembuku. Itulah Negara Pringgandani.

Tetapi belum semua kelebat bayangan masa lalunya usai, angan angannya itu buyar, ketika
terdengar suara berisik yang dikenalinya. Warna suara itu, suara teriakan sesumbar itu.
Itulah suara sesumbar dari Dursasana.

Manusia berangasan yang sedang panas hatinya sekembali dari taman Kadilengeng di istana
Astina, nyerocos sepanjang jalan. Tantangan dari iparnya, Banuwati, untuk mengalahkan
Arjuna, serta hinaan kepadanya yang dituduh sebagai manusia yang takut darah,
menjadikannya ia sangat bernafsu untuk segera menaklukkan Pandawa.
Sekarang hati Werkudara menjadi gembira bukan main, seakan ia menjadi anak kecil yang
mendapat mainan baru. Dalam hatinya mengatakan, inilah pelampiasan dendam atas
kematian anaknya tadi malam.

Bangun ia dari rebahannya, segera diketatkan segala pakaian yang melekat ditubuhnya siap
untuk bertempur kembali. Kelelahan jiwa raga yang mendera, berganti dengan kesegaran
yang mengalir dari dalam rasa hati. Melompat sang Bima menuju kearah suara yang
nyerocos sesumbar tak henti hentinya.

Demikan juga dengan Dursasana yang merasa sangat senang, ketika melihat Werkudara
menghadang langkahnya. Tidak disangka, belum sampai dimedan peperangan, orang yang
dicari muncul lebih cepat dari pada yang ia bayangkan.

Hee . . .Wekudara, kamu ternyata ada disini ! Tidak usah repot repot mencarimu ditengah
banyaknya manusia yang sedang menyabung nyawa ! Sekalian aku hendak
membalaskan kematian anakku Dursala karena ulah anakmu Gatutkaca ! kalimat yang
terucap disertai tawa yang mengalir dari mulutnya tanda kegembiraan karena keinginannya
akan segera terwujud.

Apa maumu ?! Bimasena menyahut sekenanya.

Sekarang atau nanti, di Palagan Kurusetra atau disini sama saja. Sekaranglah waktunya
untuk kita mengadu kesaktian, satu lawan satu, siapakah sebenarnya yang mempunyai
kaki yang lebih kokoh, lengan yang lebih kekar dan tenaga yang paling kuat diantara kita
berdua ! yakin Dursasana kali ini dapat menjadi pahlawan ketika nanti ia dapat
merobohkan tulang punggung trah Pandawa ini.

Waspadalah, ayo kita mulai ! Siaga Werkudara setelah ia berhenti berucap.

Maka tanding antara tulang punggung kedua bersaudara Pandawa dan Kurawa mulai
berlangsung. Kaki kanan Dursasana mengayun ke dada Werkudara dielakkan dengan sedikit
memiringkan badan. Merasa tidak akan bisa mengenai sasaran, segera Dursasana menarik
kembali serangannya, kemudian ganti tangan kirinya hendak menyapu pundak Bima.
Gerakan Dursasana yang lurus menyerang pundaknya segera ditangkis dengan tangan
kanan, benturan kedua tangan terjadi. Sentuhan tangan keduanya memulai kontak tenaga
sebagai penjajakan atas kekuatan diantara keduanya. He he he . . . . bagus juga
kekuatanmu, jangan keburu senang dengan berhasil menghindari serangan pertamaku.
Ayolah sekarang ganti kamu yang menyerang, aku tidak akan mengelak seberapapun
kekuatan yang hendak kau kerahkan

Jangan banyak mulut, terimalah kerasnya tapak kakiku !

Kembali keduanya siap dengan kuda kudanya. Kali ini kaki kanan Werkudara diangkat
mengarah dada Dursasana yang mencoba menahan dengan kedua tangannya yang bersilang
didepan dadanya. Ketika kaki Werkudara beradu dengan tangan Dursasana, segera
Werkudara menambah daya kedut pada kakinya hingga Dursasana terpaksa menahan.
Sejenak kemudian kekuatan kaki Werkudara telah mendesak tahanan serangan Dursasana
yang terpaksa menggulingkan diri. Werkudara mencecar dengan hendak menginjaknya,
namun waspada Dursasana yang segera menyapu gerakan kaki Werkudara sambil meloncat
bangun. Benturan kaki keduanya terjadi dengan kerasnya dilambari dengan kekuatan ajian
masing masing.

Terlempar keduanya beberapa langkah kebelakang dengan mulut masing masing mendesis
menahan nyeri tulang kering mereka. Kemudian mulut Dursasana mengalirkan sumpah
serapah seperti kebiasaanya.

Kembali Dursasana mengayunkan kaki mengarah ke lambung Werkudara yang sudah siap
dengan kuda kudanya. Tetap dengan mulut yang tak mau diam dengan caci makinya. Kaki
beradu kaki berulang terjadi, berganti kanan kiri diselingi sambaran kepalan tangan dari
keduanya. Saling serang dan elak berlangsung seimbang pada mulanya. Tanding keduanya
bagaikan perkelahian seekor gajah dengan seekor harimau. Gerak sentosa Werkudara yang
kokoh maju setapak setapak menahan dan menyerang balik Dursasana yang berkelahi bagai
seekor singa. Hutan pinggir sungai bagai terbabat oleh sabetan tangan dan kaki kedua
musuh abadi itu. Tanaman perdu patah rata tanah, sedangkan yang besar besar batangnya
bertumbangan bahkan ada yang rungkat beserta akarnya.

Tapi yang berkembang kemudian adalah akibat dari jejak laku dari keduanya. Werkudara
yang telah tertempa secara fisik dan telah menyerap segala kesaktian dari Ajian Bandung
Bandawasa, Blabag Pengantol-antol hingga menyatunya saudara tunggal bayu serta
kekuatan raksasa Kumbakarna yang ia peroleh di sekitar hutan Kutarunggu. Ketika itu
Kresna yang menyamar menjadi Begawan Kesawasiddi dan memberi wejangan Hastabrata
kepada Arjuna, sehingga Werkudara mendapat tambahan kekuatan selagi ia mencari
keberadaan Kresna dan Arjuna. Usaha tarak brata inilah yang membuat ia lama kelamaan
menjadikannya Werkudara unggul telak daripada Dursasana yang jarang melakukan usaha
peningkatan ilmu kesaktian dengan lebih enak tinggal di istana.

Ketika Dursasana gagal mengungguli dengan kekuatan tangan kosong, berganti ia mencoba
menggunakan limpung dan kemudian gada. Werkudara melayani kemauan Dursasana
dengan kuku pancanaka dan batang gada Lukitasari. Dengan langkah mantap, Werkudara
melayani serangan bertubi tubi dari Dursasana. Namun tetap saja, walau Dursasana
mengerahkan segala kesaktiannya, keteguhan Werkudara tetap tak tergoyahkan.

Merasa keteteran dengan tandang Werkudara, Dursasana mencoba mencari akal lain dengan
berusaha menguras tenaga lawan. Ia berlari dan melawan dengan berulang ulang kemudian
melompati kali Cingcingguling.

Werkudara . . . . Ayuh kejar aku keseberang! Kamu tunjukkan seberapa kuat tenaga
seribu gajah yang kamu miliki ! Ia berharap sebelum kaki Werkudara menapak tebing
seberang ia sudah kembali menyerang sehingga lawannya kehilangan keseimbangan
kemudian serangan beruntun dilancarkan hingga lawan dengan mudah disasarnya.

Ketika perkelahian itu berlangsung, Prabu Kresna yang kehilangan adiknya, segera melacak
jejak Werkudara. Pengalaman ketika ia kehilangan jejak Arjuna ketika adiknya itu terkena
tekanan jiwa atas kematian Abimanyu, membuat intuisi Kresna segera menemukan dimana
adanya Werkudara yang mengalami kesamaan peristiwa seperti Arjuna ketika itu.
Maka ketika dilihatnya yang dicari sedang bertempur diarena yang tidak resmi dan ia
berketapan hati Dursasana akan dikalahkannya, maka diutusnya seseorang untuk
menjemput Drupadi.

Dan memang benar. Tak lama kemudian usaha Dursasana dalam mengubah strategi menjadi
tak berarti karena kalah unggul kekuatan dan kesaktiannya. Tambahan lagi, ketika campur
tangan pihak ketiga juga ikut bermain. Sarka dan Tarka, kedua arwah tumbal yang tak rela
atas kematiannya masih juga melanglang di alam madyantara juga hendak menuntut balas
atas kematiannya.

Maka begitu kesempatan itu datang, juntaian akar pohon tepi sungai menjadi sarana atas
dendam keduanya. Kaki Dursasana yang diperkirakan menginjak tebing sungai dengan
mulus, tersandung akar dan goyah langkahnya. Kesempatan ini digunakan sepenuhnya oleh
Werkudara yang dengan sigap menjambak rambut lawannya, dan kakinyapun mengunci
gerak lawannya. Dengan tenaga penuh dipuntirnya tubuh Dursasana bagaikan seekor buaya
memutar mangsanya, Werkudara memperlakukan tubuh musuhnya.

Pucat pasi wajah Dursasana ketika sudah terkunci tak bisa bergerak lagi dengan tulang yang
sudah patah pada beberapa bagian. Adikku Werkudara, lepaskan aku ! Berikan kakakmu
sedikit rasa kemanusiaanmu. Kendurkan pitinganmu, aku mengaku kalah, ampuni aku,
berikan aku hidup. . . . . . . . Memelas kata kata permohonan ampun meluncur dari mulut
Dursasana.

Tutup mulut buayamu yang kotor ! Kamu harus ingat ketika kamu masih dalam keadaan
jaya, tingkah lakumu sungguh sangat membuat jengkel saudara sepupumu. Sekarang
waktunya kamu menuai tindakanmu dahulu yang selalu mencari kematian kami semua
bersaudara anak Pandu. Bahkan kakak iparku Drupadi hendak kau buat malu ketika
kamu menang dalam judi dadu, hingga sumpahnya harus aku luwar, agar ia dapat
kembali bergelung. Mendengar permohonan ampun tidak digubris, dengan muka yang
memerah marah dan gemetar, kemudian berubah pucat pasi tanda keputus asaan mendera
dadanya.

Maka takdir menjemput akhir hidup manusia yang selalu berjalan dalam kepongahan itu
dengan sumpah serapah yang masih membuncah dari mulutnya. Kekesalan Bima
terlampiaskan dengan memelintir anggauta tubuh lawannya hingga tercerai berai. Tidak
puas juga, bagian anggauta badan Dursasana yang sudah tercerai berai dilemparkan kesegala
penjuru.

Memang demikian, Dewi Drupadi, ia pernah mempunyai janji, ia tak kan pernah bergelung
rambutnya apabila ia belum berkeramas dengan darah Dursasana. Janji itu terucap ketika ia
hendak dipermalukan oleh Dursasana di arena judi dadu. Janji itu terucap disaksikan oleh
semua yang hadir dalam arena itu termasuk Prabu Kresna. Walaupun ia tak dapat
dipermalukan karena pertolongan dewa, kain yang menutup tubuhnya tak dapat dilepas
seakan tiada berujung. Maka kesempatan itu tak hendak dilalukan. Bima yang teringat akan
sumpah kakak iparnya segera menyedot darah Dursasana dengan mulutnya hingga kumis
dan jenggotnya tergenang merah darah. Sampai ditempat kakak iparnya Draupadi,
dituangkannya darah Dursasana dari mulut dan perasan darah dari jenggot dan kumisnya,
yang kemudian dipersembahkan dihadapan Drupadi yang dengan senang hati
menjadikannya luwar atas janjinya ketika itu.
Tekad Durna Menegakkan Kembali Harga Diri

Sejenak kita kembali kepada saat padang Kurusetra


bergejolak, atas kehendak Adipati Karna dalam menjalankan perang di waktu malam. Kita
beralih ke tempat yang lain namun dalam waktu yang bersamaan, di hutan Minangsraya.
Ditempat ini terlihat bentangan suasana alam nan luas. Suasana yang tergelar samar dan
muram, seperti halnya cahaya kunang kunang. Tak berdaya sinarnya, kalah tertelan oleh
cahaya bulan purnama di awang awang. Ketika itu pranata mangsa telah menunjuk pada
musim kemarau dan awan tipis berarak di kaki langit, menjadikan terpesona yang
melihatnya. Bahkan juga mahluk seisi hutanpun ikut terpana, batang pohon kayu besar-pun
terbakar.

Gambaran suasana yang ada di hutan Minangsraya ini, saat Pandita Durna yang terlunta
lunta dan sakit hati, dijatuhi murka sang Duryudana. Duduk bersila dibawah pohon baniyan,
resi Durna mengheningkan cipta. Semua pancaindriya dimatikan, hanya rasa jati yang
dimunculkan. Terseret sukma sang begawan kedalam alam layap leyep, alam samar. Dan
pesatlah laju suksma sang Pandita melesat keharibaan sang gurunadi, guru sejati,
Ramaparasu.

Kaget sang Ramaparasu melihat datangnya Kumbayana yang menampakkan wajah murung.

Sembah bakti telah dihaturkan ke haribaan Ramaparasu atau Ramabargawa. Kemudian


Kumbayana menyampaikan segala isi hatinya.

Guru, hamba telah kehilangan harta yang tak bernilai harganya. Bahkan seluruh raga ini
telah terasa bagai terseret runtuhan gunung Mahameru. Luluh lantak sudah tak berujud
lagi

Apa sebab kamu merasa demikian, segala kesaktian, guna kawijayan kanuragan,
kasantikan telah kau terima dariku waktu lalu, bagaikan telah tertuang habis mengalir
kepadamu. Dan bila kamu merasa telah kehilangan harta yang tak ternilai seperti yang
kau sebutkan tadi, segera jelaskan apa maksudnya. Rama Bargawa menanyakan, namun
dalam hatinya ia tidak syak lagi, bahwa didepan telah menjelang peristiwa besar yang
menanti garis perjalanan Kumbayana muridnya.
Bapa Guru, hamba telah kehilangan kepercayaan dari junjungan hamba Prabu
Duryudana dalam mengemban tugas sebagai seorang senapati. Inilah yang hamba
anggap kehilangan yang terbesar dalam hidup. Kehilangan kepercayaan yang berturut
turut terjadi, setelah putra kesayangan hamba satu satunya Aswatama, telah diusir jauh
dari pandangan mata junjungannya. Dan kini kehilangan kepercayaan dari seorang raja
mengenai kegagalan hamba dalam melakukan tugas, adalah, bagai runtuh dan leburnya
harga diri. Sekali telah runtuh, banyak waktu dan usaha yang teramat sulit untuk
mendirikannya kembali, malah mungkin tak kan pernah lagi terbangun kepercayaan itu
lagi sedih Kumbayana memuntahkan isi hatinya, mukanya tertunduk dalam, menanti jawab
sang guru yang apapun ucapannya nanti, dalam niatnya ia akan menjalankan sepenuh hati.

Jadi apa maksudmu sekarang ? Apalagikah yang harus aku berikan untuk mengatasi
masalahmu ? sang guru sebenarnya berwatak keras sepanjang hidupnya, namun sekarang
tersentuh hatinya menanyakan maksud Kumbayana.

Berilah hamba pencerahan. Krisis kepercayaan yang terjadi pada diri hamba sekarang,
telah menutup nalar hamba terhadap segala pertimbangan dan keputusan yang harus
hamba ambil. Sekali lagi mohon pencerahannya bapa guru. Memohon dengan seribu
hormat Kumbayana kepada sang guru.

Sekarang kamu sedang menimbang perkara apa ? Kembali Ramaparasu menegaskan


pertanyaannya.

Haruskah hamba meneruskan peran yang sedang hamba pikul dipundak ini, apakah
cukup disini riwayat Kumbayana, dan kemudian beban itu kami letakkan ? Kemudian
hamba minta kerelaan paduka guru, agar hamba dapat menjadi abdi paduka guru
selama lamanya ! Kumbayana mengakhiri kalimat itu dengan kesan mendalam bagi sang
guru bahwa ia benar benar ada dalam keputus asaan yang berat.

Kumbayana, pantang bagi manusia sepertimu yang


walaupun pada kenyataanya kamu adalah seorang pandita, namun dalam jiwamu masih
bersemayam jiwa satria yang kuat. Seharusnya kamu tidaklah meletakkan beban yang
disandangkan ke punggungmu, bila belum memperoleh kata perintah berhenti dari yang
memberi beban. Apalagi menyerah kemudian memilih pergi ke alam kesejatian. Sejenak
Rama Parasu berhenti berbicara, ia mengamati perubahan air muka Kumbayana. Lanjutnya
Bila alam kesejatian yang hendak kau raih, jalan kearah itu janganlah dilalui melewati
keputus asaan. Segeralah kembali ke medan Kurusetra. Tak perlulah kamu kembali
kehadapan Duryudana, tapi segeralah kerjakan apa yang menjadi tugasmu. Menang atau
kalah itu adalah darma satria. Menang kamu harus meneruskan darmamu, dan bila
kalah, jalan kesejatianlah itulah benar yang seharusnya kau lalui menuju tepet suci. Itu
adalah seharusnya jalan utama bagi seorang kesatria yang harus dilalui

Baik, hamba akan menuruti segala sabda paduka Guru. Mengangguk Kumbayana,
mengerti yang dimaksudkan oleh gurunya.

Terimalah bekal sarana sakti dalam menuntaskan tugas itu. Bulu merak ini mampu
membuatmu tak kan terlihat dengan mata telanjang. Syaratnya adalah kamu tidak boleh
bicara ketika menggunakannya. Tetapi bila anak anakmu Pandawa kuasa untuk
mengantarmu kealam abadi nanti, itu pertanda bahwa merekalah yang sebenarnya
berlaku benar dan pantas memenangi perang, atau sebaliknya.

Kembali ke raga, sukma sang Kumbayana, setelah mendapatkan pembekalan dari sang
gurunadi. Langkah ringan Pandita Durna diayun kembali ke Kurusetra. Ia telah menimbang
nimbang tentang hal dihadapannya. Mukti dan mati sekarang terlihat bagai hanya tersekat
oleh lembaran setipis kulit bawang. Ketidak percayaan akan kemampuannya sebagai
senapati, akan ia balikkan menjadi keberhasilan bagi negara tempat ia mengayom, bagi
dirinya sendiri dan terpenting bagi anak turunnya Aswatama. Itulah tekad yang menguat di
hatinya. Apapun kejadiannya nanti, telah tidak menjadi beban lagi baginya.

Malam tinggal sepotong. Malam yang ditempat lain, di padang Kurusetra baru saja terhenti
persabungan nyawa, prajurit Pringgandani melawan prajurit dari negara Awangga dan
segenap jajahannya. Malam dengan pemandangan dan peristiwa yang mengerikan. Namun
ditempat ini, langkah Pandita Durna seakan diberkati alam semesta. Pemandangan alam
yang dilalui menampakkan asrinya hamparan keindahan bagai sebuah tamasya. Bulan lepas
purnama mengambang dilangit, sinarnya terbias oleh air telaga bening bagai bayangan
seekor kura kura yang mengambang. Sementara sisa gelap malam masih mengelipkan
bintang bintang yang menyebar bagai terpencarnya sari bunga tertiup angin. Ayam hutan
berkokok merdu dari arah ladang pegagan, ketika sang Pendita telah sampai dipinggir hutan
menjelang terang fajar.

*****

Dan ketika semburat merah matahari kembali menerangi hamparan perdu pinggir hutan
Minangsraya, dilihatnya Patih Sangkuni berjalan diiring oleh anak terkasihnya Aswatama.
Dapat akal ia untuk menguji ilmunya, segera ajian Laring Merak dirapal menurut petunjuk
sang guru. Dicolek patih Sangkuni dengan gaya kocak kebiasaan mereka berdua yang sering
bercanda.

Aswatama, kamu mencolek colek aku, ada apa ?! Sangkuni yang terheran, menanyakan ke
Aswatama ketika punggungnya merasa ada yang menyentuh.

Hamba tidak melakukan itu paman sanggah Aswatama.


Lha kalau begitu, pasti disini banyak jin setan periprayangan yang kerjaannya
mengganggu manusia ! Sangkuni setengah berbisik mengatakan kepada Aswatama.

Tapi hamba tak diganggunya. Mungkin hamba orang yang tidak banyak dosa jadi tidak
diganggu. Jawab Aswatama sekenanya.

Kalau begitu aku ini manusia yang banyak dosa, begitu ? kembali Sangkuni menegaskan.

Ya begitu, memang kenyataannya ! terkekeh Pandita Durna menyahut. Maka tampaklah


sosok Durna dihadapan keduanya.

Gembira Patih Sangkuni segera merangkul Pandita Durna. Kemudian berganti sang Pandita
merangkul anak tunggal kesayangannya, Aswatama.

Lha Wakne Gondel, sudah dua malam aku mencarimu, ayolah kakang, Sinuwun sudah
mengharapkan wakne Gondel untuk meneruskan peran andika sebagai senapati. Sinuwun
Prabu Duryudana menyampaikan rasa sesal yang tak terkira. Maklumlah, beliau banyak
beban dipunggungnya yang kian berat. Apalagi kematian putra lelaki satu satunya, telah
meruntuhkan moral perangnya. Tugas wakne Gondel sekarang adalah, mengangkat
kembali moral sinuwun Prabu Duryudana.

Ya aku sanggupi. Hari ini sebelum matahari tenggelam, aku sanggup menyelesaikan
perang dengan kemenangan !. Pendeta Durna menjanjikan.

Anakku Aswatama, untukmu aku pesankan, jangan dulu kamu ikut dalam pertempuran
ini, pergilah menjauh dari arena. Kalau aku sudah dapat membuktikan kerjaku, pasti
sinuwun Duryudana akan mengampuni kesalahan kamu .

Berita kembalinya Pandita Durna telah memberi bahan bakar semangat baru bagi prajurit
Kurawa. Prabu Duryudana gembira mendengar kedatangan kembali agul agul sakti sebagai
senapati. Melebihi kegembiraan ketika malam tadi, kakak iparnya, Adipati Karna telah
berhasil membunuh Gatutkaca.

Walaupun sang Pendita tidak langsung menghadap, namun kesediaannya kembali mengatur
peperangan yang disampaikan oleh pamannya, Sangkuni, telah menjadikannya Duryudana
bangkit kepercayaan dirinya lagi.

Perang campuh pun kembali berlangsung siang itu. Telah tersedot habis tenaga dalam
peprangan malam kemarin, sisa prajurit Kurawa yang selamat dari kehancuran perang
malam telah kembali bertarung mengadu peruntungan siang ini.

Melihat kelelahan yang mendera para prajurit Bulupitu, sang Senapati tidak tega. Maka
diambil alihlah kendali peperangan dengan peran utama ada pada tangan Pandita Durna
sendiri. Amukan sang Senapati tua, yang kembali dari pengasingan diri kemarin hari,
membawa korban sedemikian besar bagi para prajurit Amarta. Senjata Jayangkunang
ditangannya dengan ajian laring merak yang membuatnya tidak kasat mata. Mengerikan
bagai seberkas api ndaru braja berkobaran ditengah palagan peperangan, menghanguskan
siapapun yang berani menghadang gerakannya. Gerakannya yang kadang mematikan nyala
kerisnya dan berpindah posisi amukannya membuat lawan kerepotan dalam menentukan
dimana arena amukannya akan terjadi.

Melihat keadaan yang tidak menguntungkan bagi prajurit Amarta, Drestajumna segera
menghadap Sri Kresna dan Arjuna.

Dhuh para sekti, kami meminta pertimbangan kepada paduka, apakah yang harus kita
lakukan agar dapat menghentikan amukan senapati yang tak terlihat dengan mata para
prajurit.

Adimas Drestajumna, sudah aku pikirkan sebelum dimas sampai dihadapanku. Aku akan
mengutus kakakmu Arjuna, untuk menghentikan jatuhnya korban dari tangan Pandita
Durna. Tenang Prabu Kresna memberikan ketegaran hati kepada sang senapati Pandawa.

Adikku Arjuna, hanya kamulah yang dapat menghentikan amukan gurumu Resi
Kumbayana. Hanya pesanku, jauhkan rasa yang mengatakan itu adalah gurumu yang
harusnya kamu hormati dan patuhi semua perkataannya. Ingatlah kata kataku waktu
lalu, yang mengatakan, ini adalah perang dimana tidak ada balas budi antara guru
dengan muridnya. Yang ada hanyalah perang dimana tempat itu adalah arena untuk
meluwar segala janji dan memetik yang kita tanam. Kresna mengulangi pesan yang
pernah ia sampaikan ketika perang baru saja berlangsung. Ketika itu ragu hati Arjuna
menyaksikan lawannya adalah para saudara sendiri, paman, eyang, bahkan gurunya sendiri,
hingga membuat semangatnya luluh dan ia jatuh terduduk dengan badan yang gemetar.

Kata kata kanda Prabu akan kami junjung tinggi dan akan hamba laksanakan. Mohon
petunjuk kanda Prabu selanjutnya Mantap Janaka menjawab.

Baiklah. Sarana untuk melihat keberadaan lawanmu adalah rumput Sulanjana yang
kamu miliki sejak lama, pergunakanlah untukmu sendiri dan orang orang yang kamu
percayai dalam membantu usahamu, adimas. Pesan Prabu Kresna mengakhiri
pembicaraan.

Maka beranjaklah Arjuna mengatur barisan dan menggunakan sarana agar dapat melihat
dimana adanya musuh yang tidak terlihat itu. Sementara Kresna memberi pesan juga, agar
mengulur waktu karena dirinya hendak mencari keberadaan Werkudara yang meninggalkan
Tegal Kuru tanpa pamit hendak kemana.

Prabu Drupada yang mendapatkan jatah rumput sulanjana segera menghadang gerakan
Pandita Durna. Ia merasa masih punya ganjalan dengan teman karibnya dahulu. Setengah
memaksa kepada Arjuna dan anaknya Drestajumna, agar ia dapat melayani senapati
Bulupitu itu.

Maka ketika sari rumput sulanjana sudah diteteskan pada matanya, Drupada dengan
mudahnya mendapati dimana Begawan Durna berada.
Heh Kumbayana, tak ada gunanya kamu bersembunyi dalam ajianmu. Ayolah kita
menentukan siapa sejatinya yang lebih benar dalam persoalan trah Barata ini.

Ooh . . kakang Sucitra, baik aku layani segenap kesaktian yang kamu miliki. Lupakan
saat dahulu ketika bersama sama berguru. Lupakan saat kita sudah melewati simpang
jalan dan kamu sudah mukti wibawa di Pancalaradya, yang mengakibatkan kamu kurang
berkenan, karena aku kurang tata susila ketika aku menemuimu. Peristiwa yang
membuat marah adik iparmu Gandamana dan membuat cacat seluruh ragaku. Tapi
dalam pertemuan ini, persahabatan kita harus berakhir dalam permusuhan. Salah satu
dari kita harus berakhir masa pengabdiannya sebagai tokoh yang membawa kebenaran
dalam sudut pandang kita masing masing.

Maka bersiaplah kedua tokoh tua itu. Serangan demi serangan segera mengalir gencar. Pada
mulanya anggauta tubuh sang Drupada yang lebih lengkap ditambah dengan ajiannya
Lembu Sekilan mampu mendesak posisi sang Pandita yang hanya bertangan fungsi tunggal.
Namun pandita Durna adalah seorang guru yang setiap kali menurunkan ilmunya bukan
menjadi berkurang, tetapi malah semakin matang. Sementara Prabu Drupada adalah
seorang raja yang walaupun sakti pada masa mudanya, tetapi kehidupan istana yang lebih
menjanjikan kemewahan pelayanan membuat ia kurang terasah kemampuan fisiknya.

Maka kembali lelaku pengasahan ilmu yang berkesinambungan-lah yang unggul. Hal ini
yang membuat Durna berada diatas angin. Apalagi ketika ada kesempatan terbuka, sang
pandita mampu menancapkan senjatanya. Tembus dada sang Sucitra tua hingga
kejantungnya.

Kumbayana, aku mengakui kesaktianmu lebih unggul dariku, dan rasanya sudah dekat
ajalku . . . . . terpatah kata kata Sucitra yang sudah roboh ditanah yang bersimbah darah. Ia
menyampaikan isi hati dihadapan Kumbayana yang masih berdiri mematung. Dengan nafas
yang makin satu satu keluar dari mulut yang berlumur darah, Drupada lirih melanjutkan,
namun . . . persahabatan kita hendaknya tidak berhenti . . . . sampai disini. Aku akan
sabar menungguimu kembali ke alam kelanggengan bersamamu . . . mudah mudahan
waktu tunggu . . . . ini tak akan lama

Termangu sang Kumbayana ketika melihat teman seperguruan tewas ditangannya. Seketika
tersadar ketika sorak sorai membahana mengabarkan tewasnya Prabu Drupada.

Dilain pihak, sesal sang Arjuna melihat mertuanya tewas. Tetapi itu tak lah berguna.
Kehendak keras Prabu Drupada yang memintanya agar diberi kesempatan bertarung dengan
teman lamanya, ternyata adalah saat ia mengantarkan jiwanya menuju keabadian.

Tak ada pilihan lagi bagi Arjuna-Dananjaya untuk mengatasi runtuhnya moral prajuritnya,
karena gugurnya Prabu Drupada. Maka majulah ia kehadapan gurunya.

Sembah baktiku kami haturkan kehadapan Bapa Guru Dananjaya mengaturkan


sembahnya.
Ya, aku terima. Betapapun kamu sebagai musuhku, kamu tidak lupa akan suba sita.
Inilah yang aku kagumi dari watak para anak Pandu Durna terkesima dengan apa yang
terjadi dihadapannya.

Lanjutnya Lain dari itu, kesaktian anak Pandawa tidak aku ragukan lagi. Ajian Laring
Merak yang aku banggakan tidaklah ada artinya dihadapanmu. Marilah kita mengakhiri
cerita masa lalu. Sudah saatnya Baratayuda menentukan, mana pakarti kita sebelumnya
yang harus dipanen pada saat ini.

Sekali lagi Arjuna melakukan sembahnya dan bangkit untuk melakukan kewajiban sebagai
seorang prajurit yang tak lagi mengenal status sebagai guru dan murid.

Pertempuran tangan kosong telah dimulai. Arjuna yang masih ada perasaan sedikit segan
terhadap gurunya, bertempur dengan setengah hati. Pukulan dan gerak yang dilancarkan
tidak dilakukan dengan sepenuh tenaga, maka tak lama kemudian punggungnya terkena
sabetan kaki gurunya hingga ia merasa kesakitan. Tersengat rasa Arjuna yang berubah
menjadi panas karena rasa sakit yang mendera bagian tubuh yang dikenai oleh Pandita
Durna, kali ini ia bersungguh sungguh. Kesempurnaan raga dan timbunan kesaktian yang
ditambah dengan tenaga yang lebih baik karena faktor usia, membuat ia mendesak sang
Pandita.

Mundur Durna sejenak dan mencipta api berkobar dari senjatanya. Kobaran dahsyat api dari
ajian guntur geni melanda medan Kurusetra membuat lari tunggang langgang prajurit
Amarta.

Waspada sang Dananjaya, segera mencipta mendung pekat melayang diatas palagan.
Seketika hujan deras disertai prahara melanda medan Kuru memadamkan kobaran api.
Itulah ajian guntur wersa-prahara dari gurunya sendiri yang disempurnakan oleh Batara
Indra. Adu kesaktian pengabaran berlangsung silih berganti. Segala bentuk kesaktian yang
diciptakan Pandita Durna berhasil dipunahkan Arjuna, bahkan mendesak balik pertahanan
Durna.

Ketika ilmunya dapat dipunahkan, segera Kumbayana melolos keris kecilnya Cis
Jayangkunang dan kembali perang tanding senjata keris berlangsung seru. Perimbangan
pertempuran berlangsung mengagumkan dengan keris Pulanggeni ditangan Arjuna, hingga
banyak prajurit dari kedua pihak berhenti menonton tanding senjata itu.

Kematangan Sang Begawan dalam menggunakan ilmu kesaktiannya menjadikan peperangan


berlangsung dengan seimbang. Hingga Kresna kembali dari pencarian terhadap Werkudara
yang berhasil membunuh Dursasana, pertempuran masih tetap berlangsung sengit. Maka
yang terjadi selanjutnya adalah perang strategi. Bila secara wajar pertempuran akan
memakan waktu dan berlarut larut, maka segera ia menyusun strategi.

Werkudara, ketahuilah, bahwa gurumu itu dalam bertempur mempunyai tujuan


tertentu.

Apa maksudmu ? Werkudara menukas.


Nanti dulu, aku akan menunjukkan kepadamu sesuatu. Ingatlah, beberapa hari ini
gurumu meninggalkan peperangan karena sakit hati atas ketidak percayaan Duryudana
kepada anak bapak Sokalima. Misi dari gurumu sekarang, tidak lain adalah
mengembalikan harga dirinya dan sekaligus mengembalikan kepercayaan junjungannya
kepada anak tercintanya, Aswatama. Semua yang ia lakukan adalah bermuara kepada
kemukten bagi anak yang dicintainya itu. Sejenak Kresna diam dan menyelidik, apakah
kata katanya dimengerti oleh adik sepupunya itu.

Yang dipandanginya mengangguk setengah mengerti. Teruskan dongengmu, biar aku tidak
setengah setengah menelan omonganmu

Kamu lihat siapa yang menaiki gajah dan berperan sebagai senapati pendamping ?
Kresna bertanya, namun kembali ia meneruskan Itu adalah raja dari negara Malawapati,
Prabu Permeya.

Terus apa hubungannya dengan reka dayamu ? Kembali Bima memotong.

Gajah yang dinaiki itu bernama Hestitama, bunuh prabu Permeya dengan gajahnya
sekalian, kemudian kabarkan pada semua prajurit agar mereka mengatakan Aswatama
telah tewas !

Melompat Werkudara dengan menimang gada Rujakpolo. Dihampiri Permeya yang duduk
pongah diatas gajahnya. Terkejut Permeya ketika dihadapannya telah berdiri dengan teguh
sosok Werkudara. Terkesiap darahnya ketika melihat gada ditangan Bima-Werkudara
berputar mengancam dirinya. Tak pelak lagi mentalnya jatuh. Memang demikian, kesaktian
Permeya memang tak sebanding dengan Werkudara. Maka disertai mental yang telah
runtuh, tak sulit Werkudara menebas keduanya, Permeya beserta tunggangannya, gajah
Estitama. Tanpa bisa mengaduh, keduanya tewas dengan isi kepala terburai.

Seperti direncanakan oleh Sri Kresna, geger para prajurit meneriakkan Aswatama telah
tewas. Dan berita itu tak lama kemudian sampai ditelinga Begawan Durna.
Palgunadi dan Janji Sang Guru

Bingung dan gundah rasa Sang Begawan mendengar teriakan


bersahut sahutan yang mengabarkan kematian putranya Aswatama. Ia bertanya kesana
kemari tentang kebenaran berita itu kepada beberapa prajurit yang ditemuinya. Heh
prajurit, apa benar Aswatama tewas ?

Benar begitu, ini yang saya dengar ! jawab beberapa prajurit yang ia tanya.

Ia berketetapan hati ia akan menanyakan kepada para Pandawa yang dianggapnya dapat
berkata jujur. Bertemulah ia dengan Nakula dan Sadewa Anakku kembar, kamu berdua
adalah dua orang yang lugu, cepat katakan, apa benar Aswatama telah tewas ?

Itu yang saya dengar bapa, bahwa Aswatama telah tewas keduanya menjawab seadanya.
Namun jawaban keduanya yang tak mengurangi rasa penasaran, bahkan makin makin
membuat ia bertambah bingung dan tubuhnya menjadi lunglai. Ah . . sama saja, bohong !
Kamu berdua memang tidak bisa dipercaya ! ketus sang Begawan, diputuskannya untuk
mencari Puntadewa yang selamanya tak pernah bohong.

Melihat gelagat bahwa Pendita Durna hendak mencari tahu atas berita kematian anaknya
kepada sepupunya Puntadewa, Kresna mendekati Puntadewa dan mengingatkan. Adimas
Puntadewa, kami hanya mengingatkan kepadamu agar berbuat sesuatu ketika nanti
Bagawan Durna datang kepadamu, dan menanyakan tentang keberadaan Aswatama.
Perbuatan dan perkataan adinda Prabu nanti bila berhadapan dengan Bapa Pandita,
adalah titik dimana Pendawa akan unggul atas Kurawa atau sebaliknya.

Kata kata bersayap Sri Kresna dimengerti oleh Puntadewa, Akan kami lakukan apa yang
diperingatkan oleh kanda Prabu
Demikiankah, memang benar, Begawan Durna yang sudah kalang kabut pikirannya datang
kepada Puntadewa menanyakan perihal anaknya.

Puntadewa anakku, kamu adalah satu diantara manusia langka yang mempunyai darah
yang berwarna putih. Manusia berdarah putih yang bila darah itu menimpa bumi dapat
menyebabkan bumi menjadi terbelah. Hati orang yang berdarah putih mempunyai
kerelaan yang tiada terkira, apapun yang orang minta, tidak memandang itu dari
golongan apapun, pasti akan ia kabulkan. Kata katanya juga tak akan pernah bohong
barang sekalimatpun Durna memuji-muji Puntadewa dan berharap ia mengatakan
sejujurnya apa yang terjadi. Lanjutnya, Sekarang aku sudah berhadapan dengan manusia
semacam itu. Sekarang katakan, apakah benar Aswatama mati? Itu hal yang bohong,
bukan ? Aswatama sekarang masih hidup, bukankah begitu ?! Setengah mendesak agar ia
mengatakan hal yang sebenarnya dan mengharapkan agar anaknya masih dalam keadaan
hidup.

Tetapi terbawa oleh kekalutan pikiran dan riuhnya suasana peperangan, maka ketika
Puntadewa yang pantang berbohong mengatakan, Bapa Guru, yang kami tahu, memang
Hestitama mati dan ia mengatakannya dengan tekanan kalimat pada kata tama sementara
kalimat Hesti terucap pelan. Diterima dengan salah, maka jatuhlah Durna terkulai bersandar
tebing batu. Setengah tega, ditinggalkan gurunya yang ada antara sadar dan tidak. Dalam
hati Begawan Durna, jelaslah, Puntadewa yang tak pernah bohong mengatakan Aswatama
telah tewas.

Ternyata tidak hanya kalutnya hati dan riuhnya suasana perang yang mengakibatkan Durna
salah terima, sukma raja Paranggelung, Prabu Palgunadi yang sewaktu muda bernama
Bambang Ekalaya atau Ekalawiya yang masih membayangi kehidupan Begawan Kumbayana
di alam madyantara-pun, punya peran untuk meniupkan kalimat Aswatama ditelinga sang
Begawan.

Nah Bapa Guru, sekarang adalah waktunya bagi muridmu untuk membawamu ke alam
dimana tak ada lagi aturan yang membatasimu, agar tidak menerima murid selain dari
darah Barata. Bapa guru tak lagi dapat bertindak pilih kasih kepada setiap muridmu.
Mari guru akan kita selesaikan perkara yang masih belum selesai waktu lalu kata Prabu
Palgunadi yang melihat guru imaginasi-nya menjadi tak berdaya atas keyakinan bahwa
anaknya sudah tewas.

****
Demikianlah, diceritakan pada waktu itu, Prabu
Palgunadi yang sangat gandrung dengan ilmu kanuragan. Walau ia sudah menjadi raja
dengan segala kemewahan duniawi dan beristri cantik yang setia, Dewi Anggrahini, tetapi ia
sangat kepincut dengan ilmu jaya kawijayan dan kanuragan yang diajarkan oleh Durna.
Maka ia merelakan meninggalkan kerajaannya dan menyatakan niatnya berguru kepada
Begawan Durna.

Jelas saja ia ditolak, karena Begawan Durna sudah diberi batasan, bahwa yang berhak
menyerap ilmu darinya adalah hanya trah Barata, alias putra putra dari Adipati Drestarastra
dan Prabu Pandu, serta putra Raden Yamawidura.

Dengan perasaan sedih, Palgunadi pergi dari hadapan Begawan Durna.

Kerasnya tekad Palgunadi makin menjadi-jadi ketika ia ditolak berguru di Sokalima. Dengan
ditemani istri setianya ia membangun arca berujud Begawan Durna ditempat
pengasingannya. Dipusatkan pikirannya seakan setiap kali ia ada didepan arca Durna, ia
sedang menerima ilmu kanuragan, kasantikan beserta segenap wejangannya.

Waktu berlalu, dan tahunpun berganti. Ketrampilan tata perkelahian dan olah panah sang
Palgunadi sedemikian hebatnya, oleh karena ketekunannya dalam memusatkan pikiran
dihadapan arca yang direka sebagai sang guru sejatinya.

Maka ketika ia sedang berkelana di hutan, bertemulah ia dengan Permadi-Arjuna. Harga diri
memperebutkan buruan menjadikan perang tanding diantara keduanya.

Berhari hari tanding tiyasa berlangsung dengan imbang. Tetapi dalam olah permainan
panah, Arjuna kalah oleh ketrampilan Palgunadi.

Heh Arjuna, jangan menyesal kamu berhadapan dengan murid Sokalima, Begawan
Durna. Masihkan kamu hendak menyamai kesaktianku ? Taklah kamu bakal mengalahkan
murid terkasihnya ! Masygul dipermalukan, bahkan sumbar sang Palgunadi yang
menyebut nama gurunya adalah juga sebagai guru musuhnya, ia kembali ke pertapaan
Sukalima dan mengadukan peristiwa itu dan menuduh, bahwa gurunya telah secara diam
diam berselingkuh dengan menerima murid selain saudara sedarah Barata-nya.

Tak terima dengan tuduhan itu, ia ingin membuktikan ketidak benaran tuduhan itu,dengan
mengajak Arjuna ketempat Palgunadi berada.

Setelah bertemu, Ekalaya terkesiap hatinya. Sangat bersuka cita ia sehingga tak dapat
berbuat apapun, kekagumannya atas Sang Begawan seakan mengunci segenap tindakannya.
Setelah tersadar, ia menjatuhkan diri berlutut dihadapan Begawan Durna, dan dengan
takzim ia menghaturkan sembah, Guru, perkenankan muridmu menghaturkan bakti atas
kunjunganmu terhadap muridmu ini. Sungguh anugrah yang tak terhingga kedatangan
paduka guru, sehingga sejenak hamba tak dapat berbuat sesuatu apapun dalam menerima
kedatangan paduka guru yang tiba tiba ini

Panas hati Arjuna melihat adegan didepannya, Benarlah ternyata, bahwa bapa Durna
telah menyalahi janji dihadapan para sesepuh kami

Eits, nanti dulu . . .! Inikah orang yang mengaku sebagai muridku? Bila memang sungguh
begitu, lakukan layaknya seorang murid dihadapan gurunya, Durna yang merasa
terdesak oleh tuduhan yang dilontarkan dengan rasa kecemburuan yang besar dari Arjuna
coba berkelit dengan susah payah.

Apakah yang Guru hendak perintahkan kepada muridmu ini, akan hamba kerjakan
sesuai kemampuan kami mantap jawaban Palgunadi mengharap ia tidak disisihkan dari
statusnya sebagai murid Sokalima. Tersenyum ia seakan segenap permintaan sang guru
maya itu bakal ia penuhi. Tak tahu, bahwa olah rekayasa guru Durna mempunyai tujuan
memunahkan segala ketrampilannya dalam olah warastra.

Begini Palgunadi, bila kamu hendak diakui sebagai muridku, maka berikanlah cincin
yang menyatu pada jari manismu itu ! Akal Durna seketika terang sewaktu melihat cincin
Gandok Ampal yang menyatu pada jari manis Ekalaya.

Aduh Sang Resi, adakah cara lain agar hamba dapat menukar permintaanmu, duh sang
Guru ? Memelas kata kata Ekalaya mendengar permintaan itu. Cincin Gandok Ampal yang
melekat pada jarinya adalah penyeimbang gerak jari tangan yang menjadikan ia dapat
dengan jitu membidik sasaran. Bahkan benda itu telah menyatu dalam kulit daging sehingga
bila dilepaskan nanti, maka sama artinya ia menyerahkan kesaktian bahkan nyawanya.

Ketika ia masih berpikir dan gurunya pun berpikir sembari menunggu keputusan kata akhir
dari Palgunadi, Arjuna menyelonong menyampaikan usulnya.

Bapa Guru dan juga Palgunadi, bila tidak keberatan, maka cincin itu dapat
dipertahankan melekat pada jarinya, asalkan ditukar dengan yang ada dibelakangmu itu,
Palgunadi
Apa yang kamu maksudkan Arjuna ? Tanya Palgunadi yang heran dengan permintaan
Arjuna.

Wanita dibelakangmu dapat kamu tukar dengan cincin yang melekat dijarimu. Bukankan
itu hal yang bersifat adil Bapa Guru ? Jelas Arjuna sambil meminta pertimbangan kepada
gurunya dan dijawab Sang Guru dengan menganggukkan kepalanya.

Memerah muka Palgunadi ketika sang istrinya disebut sebagai tanda tetukar atas pengakuan
sebagai murid Sokalima. Kedua permintaan antara guru dan murid Sokalima itu telah
menyudutkan pilihan atas kuatnya hasrat memiliki sesuatu. Ia akan merelakan nyawanya
bila cincin itu ia serahkan, sedangkan kehormatan seorang suami akan memberontak bila
seorang istri diminta lelaki lain

Berpikir keras Palgunadi menimbang yang manakah yang hendak ia pilih. Samar ia
mendengar guru maya-nya mengingatkankan, Palgunadi, aku tak punya cukup waktu aku
menungguimu. Cepat putuskan pertimbanganmu

Kaget Palgunadi, terputus angan angannya ketika ia diminta segera memutuskan pilihannya.
Sejenak ia berbalik badan memandangi Anggraini. Wanita cantik itu tertunduk gelisah.
Pilihan yang berat bagi suaminya. Anggraini adalah istri yang sangat mengerti sekali akan
watak suaminya. Ia tahu betapa suaminya sangat gandrung dengan olah ilmu kanuragan
aliran Sokalima. Pastilah ia tak akan mundur dalam mempertahankan status ilusinya, bahwa
ia adalah murid perguruan Sokalima. Dan saat ini status guru-murid ilusi itu akan berganti
dengan status diakui penuh, bila ia dapat menyerahkan salah satu dari dua pilihan itu.

Angan itu terputus ketika suara istrinya menanyakan beberapa hal,Kanda, apakah rela bila
seorang suami menyerahkan istrinya ? Apakah benar tindakan seorang suami yang
merelakan istrinya dijamah lelaki lain ? Tidakkah seorang suami terusik kehormatannya
bila belahan jiwanya dimiliki oleh orang yang tidak berhak memiliki . . . .

Baiklah . . . , potong Palgunadi sebelum istrinya meneruskan kalimatnya panjang lebar,


Sekarang aku akan memutuskan ! Sejenak ia terdiam dan kembali menghadap Begawan
Durna, yang tersenyum puas terhadap apapun yang Palgunadi hendak pilih. Bila ia memilih
istrinya diserahkan kepada Arjuna, maka ia akan melihat, betapa Palgunadi akan tersiksa
dan goyah lahir-batinnya hingga ia merana, bahkan dapat berujung pada kematiannya. Bila
ia akan menyerahkan cincin dijarinya, ia sangat yakin, cincin itu adalah keseimbangan jiwa
raga bagi Palgunadi, dan ia akan tewas bila ia menyerahkan cincin sekaligus jarinya.

Guru, aku telah memutuskan. Aku serahkan . . . . . cincinku beserta segenap jiwa dan
ragaku Tegar Ekalaya dengan pilihan hatinya. Bagaimanapun status murid Sokalima adalah
kebanggaan tiada tara baginya. Kebanggaan yang sejatinya adalah semu dan membabi buta,
telah mengantarkannya pada keputusan yang tak mengherankan bagi setiap manusia yang
bersikap sangat fanatik terhadap kepercayaan yang sudah tertanam dalam sanubari, sebagai
dogma yang tak mudah diasak. Bahkan, bagi sebagian orang seperti itu, mengorbankan jiwa
raganya sekalipun ia rela melakukannya demi mempertahankan kebanggaan serta kebenaran
yang dipercayainya. Padahal semua kebenaran adalah nisbi, dan kebenaran bagi suatu pihak,
golongan atau perseorangan belum tentu benar bagi yang lain. Kebenaran sejati hanya
terpancar dari hukum alam semesta.
Terkekeh Begawan Durna senang, tak peduli ia sebagai manusia yang timpang rasa
keadilannya. Tak salah, bahwa ia telah diberi batasan serta janji bahwa hanya kepada trah
Barata-lah ia boleh menurunkan ilmunya. Tak terbatas pada orang Pandawa dan Astina serta
trah Yamawidura yang sekarang tinggal di Astina, tetapi Kurawa sabrang yang terpental
pada kejadian Pandawa Traju-pun *) tetap menjadi muridnya. Sekarang ia akan
mengenyahkan satu trubusan yang mencederai janji itu, sekaligus membuktikan kepada
murid terkasihnya, Arjuna, bahwa ia tidak ingkar janji.

Segera letakkan jarimu diatas batu itu, relakan bahwa apa yang terjadi adalah atas
dasar kesungguhanmu dan kesetiaanmu pada perguruan Sokalima

Baik bapa Guru, satu kata kata yang hendak aku sampaikan kepadamu, bila aku mati
karena peristiwa ini, ini adalah suatu tanda bagi seorang guru yang pilih pilih
menjatuhkan kasih bagi murid muridnya.. antara rela dan tidak Palgunadi megutarakan
isi hatinya.

Sudahlah jangan banyak cakap, aku akan melaksanakannya sekarang juga Durna tidak
mau terpengaruh kata kata Palgunadi dengan memotong pembicaraannya.

Segera Palgunadi meletakkan telapak tangannya diatas batu, bersamaan dengan dicabutnya
senjata Cundamanik. Putus jari manis Palgunadi beserta cincin Gandok Ampal dengan sekali
iris. Tak dinyana begitu putus jari, yang seharusnya hanya cedera yang ia alami, tetapi
kemudian yang terjadi adalah tubuh Palgunadi bergetar hebat. Desis kesakitan yang amat
sangat keluar dari mulutnya, kemudian ia terkapar terbujur meregang nyawa. Tewas sang
Palgunadi.

Tertegun Begawan Durna dan Arjuna melihat kejadian dihadapannya, hingga ia lengah.
Cundamanik yang ada ditangan Durna secepat kilat ada pada genggaman Anggraini yang
kemudian menusukkan keris ditangannya ke dada tembus di jantung. Menyusul sang istri
setia kepangkuan suami tercinta ke alam sunya ruri. Terbujur dua orang yang saling
mencinta itu dengan meninggalkan bau harum memenuhi sekitar tubuh keduanya.

Belum lagi tersadar sepenuhnya Begawan Durna, ia dikejutkan denga suara yang terngiang
di telinganya, Bapa Guru, telah sempurna aku sebagai muridmu. Tetapi ajaranmu yang
sebenarnya masih aku tunggu, sampai aku melihat waktu yang tepat untuk kembali
mencecap ilmu darimu

******

Melihat sang Drestajumna diatas kereta senapati dengan pikiran kosong, sedih dan rasa
duka mendalam setelah kematian ayahnya Prabu Drupada, maka bergeraklah sukma
Palgunadi menuju kearah Drestajumna. Segera berubah raut muka Drestajumna menjadi liar
ketika sukma Ekalaya menyatu dalam raganya.

Durna ! dimana kamu? Aku akan bela pati atas kematian ayahandaku. Ini adalah
anaknya yang dari lahir sudah menggenggam busur ditangan kiri dan menggendong
anak panah dipunggungku. Aku yang akan meringkusmu dan akan aku jadikan bulan
bulanan kepalamu ! Sesumbar Drestajumna liar dengan mata jelalatan mencari dimana
Durna berada.

Maka gembira hati Drestajumna ketika melihat Begawan Durna mengeluh panjang pendek
menyesali kematian anaknya semata wayang.Aswatamaaaaa . . . . , huuu . . . kamu adalah
harapanku, satu satunya penyambung keturunan Atasangin. Kamu yang siang malam
aku gadang gadang bakal menggantikan peran bapakmu. Sukur kalau kamu dapat aku
jadikan raja agung binatara dan menguasai jagad. Anakku bagus tampan Aswatama
,kamu adalah anak yang bukan sembarangan, tetapi kamu adalah manusia linuwih.
Kamulah anak setengah dewa, karena ibumu Wilutama adalah seorang bidadari. Maka
kamu pasti akan dapat dengan mudah menguasai banyak jajahan. Bahkan negara
Astinapun dapat kamu kuasai bila kamu sudah bertahta di Atasangin nanti. Anakku . . . ,
dimana jasadmu sekarang. Bila mungkin akan aku mintakan kepada ibumu agar kamu
dapat dihidupkan kembali. Wilutama . . . , pertemukan aku dengan anak tampanmu. . .
menangis mengenaskan Durna sambil mulutnya meracau, berdiri condong bersandar tebing
batu.

Malang begawan Durna, Drestajumna yang dalam penguasaan arwah Palgunadi melihat
keberadaan Begawan Durna yang menangis meraung raung mengenang nasib anaknya. Tak
satupun sosok Kurawa didekatnya karena mereka sibuk mencari keberadaan Aswatama yang
diperintahkan untuk menjauh dari medan peperangan. Para Kurawa sebenarnya bermaksud
untuk mempertemukan Aswatama dengan ayahnya agar selesai masalah kekalutan jiwa yang
menimpa Begawan Durna.

Tanpa sepatah kata, Drestajumna segera meraih tubuh renta dan menjadikan tubuh itu
sebagai layaknya kucing memainkan seekor tikus. Tak hanya sampai disitu, ditebasnya leher
Begawan Durna. Kepala menggelinding ditanah berdebu dan dijadikan bola tendang dan
kemudian dilemparkan jauh jauh.

Tewas Sang Kumbayana dan sukmanya dijemput oleh sahabatnya, Sucitra, yang tidak
menunggu lama kedatangan karibnya itu ketika muda. Lhadalah, tidak usah terlalu lama
aku menunggumu, sahabat sambut Sucitra dengan senyum mengambang di bibirnya dan
kedua tangan mengembang menyambut kehadiaran Kumbayana. Keduanya berangkulan,
layaknya sahabat kental yang sudah lama tidak saling jumpa.

Kumbayana yang menyambut uluran kedua tangan Sucitra dan dengan hangat
membalasnya. Hebatlah anakmu yang mengerti kemauan ayahnya, yang tak harus lama
menunggu kedatanganku. Walaupun aku juga tahu bahwa muridku Palgunadi-pun sudah
lama menunggu dan menyatu dalam raganya Kumbayana memuji anak Sucitra yang telah
mengantarkan ke hadapan sahabatnya. Bergandengan tangan dengan ceria keduanya
melangkah menapaki tangga suci keabadian.

******

Diceritakan, ketika kepala itu telah hilang dari pandangan mata Drestajumna, barulah ia
merasakan keletihan yang tiada terkira. Sukma Ekalawiya yang telah meninggalkan raganya
menyadarkannya apa yang terjadi dihadapannya. Aduh betapa berdosanya aku yang telah
tega membunuh guru para pepundenku Pandawa. Betapa nistaku yang telah menghajar
manusia sepuh yang sudah tak berdaya, walaupun ia telah menewaskan ayahandaku,
tetapi ia melakukan dengan jiwa kesatrianya. Drestajumna menyesali tindakannya.

Dipejamkan matanya seolah hendak mengusir bayangan yang memperlihatkan betapa ia


telah secara keji membunuh guru para darah Barata. Betapa ia menjadi giris ketika ia
membayangkan bila murid muridnya tidak terima atas perilaku yang telah ia lakukan. Tetapi
semakin dalam dipejamkan mata itu, semakin kuat bayangan yang menghantui hatinya.

Ketika ia membuka kembali matanya, dihadapannya telah berdiri Prabu Kresna dan
Werkudara.

Geragapan, ia kaget setengah mati karena rasa bersalah. Tetapi sejenak kemudian ia menjadi
merasa sejuk hatinya, ketika Prabu Kresna meraihnya dan memeluk tubuhnya. Dan
mengatakan, Drestajumna, tidak ada yang perlu kamu sesali. Segalanya adalah sudah
garis takdir dari yang maha kuasa. Bukan salahmu, sebagai titis Wisnu aku mengetahui
bahwa tindakan kamu bukan atas kehendakmu sendiri. Sukma Palgunadi yang telah
membalas ketidak adilan perilakunya dalam memperlakukan dirinya sebagai murid,
adalah ganjaran yang setimpal. Segera ambil kembali kereta senapati perang, sebelum
sore menjelang

Ketika itu, berita kematian Pendita Durna telah sampai ketelinga Aswatama yang tengah
bersembunyi. Ia langsung memperlihatkan diri dan bertemu ia dengan Patih Sengkuni.
Paman Harya, benarkah ayahandaku telah gugur ? tak sabar ia menanti jawaban
Sengkuni.

Benar anakku, kematian orang tuamu sungguh membuat siapapun menjadi miris dan
menimbulkan rasa tak tega. Dipenggalnya kepala orang tuamu dan dijadikannya bola
sepak yang ditendang kesana kemari. Sengkuni menceritakan peristiwa yang terjadi
dengan dibumbui cerita yang didramatisir.

Siapa yang melakukan, Paman Harya ! muntap kemarahan Aswatama, kembali ia


memerah mukanya dengan mata yang menyala nyalang, gemeratak giginya dan sudut
bibirnya bergetar.

Pelakunya adalah Drestajumna . . . . !. belum selesai Sangkuni mengucapkan nama


pelaku pembunuh orang tuanya, Aswatama telah melompat kearah palagan peperangan,
sambil menghunus keris warisan orang tuanya, kyai Cundamanik. Dicarinya Drestajumna
dengan kobaran api dari bilah keris yang menyala berkobar menyambar nyambar dengan
bunyi yang menggelegar bergemuruh ditangannya.

Gentar Drestajumna yang melihat amukan anak Durna, dan ia berlari mundur karena
merasakan tenaganya yang telah terkuras tadi dirasakannya tak kan lagi cukup untuk
menghadapi amukan Aswatama.Dan selagi ia mundur, ia bertemu dengan Setyaki yang
segera mencengkeram bahu sang senapati dengan kemarahan, Inikah senapati
Hupalawiya? Ketika menghadapi orang tua yang dalam keadaan tanpa daya telah tega
memenggal kepalanya? Inikah Senapati Randuwatangan? Yang dengan gagah berani
membulan bulani kepala dari guru para pepunden Pandawa. Tetapi apa yang terjadi,
ketika melihat amukan anaknya, senapati gagah itu ia telah tinggal gelanggang colong
playu dengan muka pias pucat bagai segumpal kapas !

Setyaki, aku menjadi senapati bukan atas kemauanku sendiri. Aku jadi senapati adalah
karena jejak laku sepanjang hidupku dimasa lalu yang dapat mengatasi segala kesulitan
yang menghadang dihadapanku dan tak pernah gagal dalam melakukan tugas.
Janganlah mencercaku tanpa dasar. Apakah kamu akan berusaha menggantikanku?
Langkahi dulu mayatku sebelum kamu melakukan itu!

Keduanya segera berhadapan dengan kuda kuda kaki yang siap menyerang. Tetapi hardikan
yang keras telah menghentikan langkah keduanya. Suara hardikan itu datang dari mulut
Prabu Kresna, Setyaki, Drestajumna berhentilah! Alangkah memalukan bila ini menjadi
tontonan musuh. Betapa hinanya kamu berdua yang tak urung juga akan mendera aku
sebagai seorang penasihat perang.

Kedua orang yang bersengketa itu akhirnya sama sama duduk bersimpuh menghadap Sang
Prabu. Setyaki, jangan menjadi pandir dan seolah olah kamulah yang paling benar.
Tanyakan dulu latar belakang peristiwa pada yang bersangkutan. Jangan sesuatu dibawa
dalam hawa amarah. Mengertikah kamu, Setyaki? Setyakipun mengangguk.Mintalah
maaf atas kelancanganmu kembali Setyaki mengangguk dan meminta maaf atas
kelakuannya tadi.

Werkudara! Temui Aswatama cegahlah amukannya! Kresna memberikan perintah


kepada Werkudara yang selalu mengikuti kemana Kresna pergi. Kembali Werkudara masuk
kedalam arena pertempuran yang masih berlangsung sengit menjelang usai sore hari.
Dengan langkah tegap dan kembali menimang gada Rujakpolo dihampirinya Aswatama yang
dengan garang ingin memburu Derstajumna.

Aswatama yang dihadang Werkudara makin marah. Segala usaha dikerahkan untuk
mendesak lawannya, tetapi ia bagaikan sedang berusaha menembus kokohnya benteng baja.

Merasa tak ada urusan dengan Werkudara, ia memutuskan untuk mundur dengan
mengucapkan sumpah, Ingat orang orang Pancala, aku akan datang kembali menuntut
balas atas kematian ayahku. Aku tak akan mati sebelum membasmi orang Pancala lelaki
ataupun perempuan, beserta turunnya, tumpes kelor !
Mimpi Besar Aswatama

Kembali remuk hati Aswatama. Belum lagi jelas pulihnya kepercayaan Prabu Duryudana
kepadanya setelah terjadinya kericuhan di Bulupitu waktu lalu hingga menewaskan paman
terkasihnya, Resi Krepa, kembali kematian ayahnya bagaikan meremuk redamkan sisa
bagian hatinya yang masih utuh. Remuknya hati dibawanya menyingkir dari palagan
peperangan disore yang mulai mendung. Seribu hitungan langkah yang ia rencanakan
selanjutnya berkecamuk dalam pikirannya. Rencana bagaimana cara membalaskan sakit hati
atas pokal orang Pancalaradya utamanya, dan orang Pandawa bersaudara atas kematian
orang tuanya secara keseluruhan.

Bapa, disini aku akan bersumpah untukmu atas perilaku Drestajumna. Belum merasa
lega hati anakmu, bila belum bisa menumpas anak anak Pancalaradya. Sanggup anakmu
ini melakoni usaha apapun, bahkan menjadi hewan paling hina-pun anakmu akan tetap
berusaha menuntut balas atas kematianmu .kilat dan serentak suara gelegarnya menjadi
saksi sumpah Aswatama.

Sedih hati Aswatama membawanya mengenang orang orang yang dicintainya. Pamannya,
Krepa, yang menganggapnya sebagai anak kandungnya sendiri, pamannya itu yang telah
mencurahkan segala kasih sayang kepada dirinya, tak terbatas pada rasa sayang seorang
paman. Dirinya yang ditinggal ayahnya sedari kecil di Timpuru telah mendekat-lekatkan
hatinya kepada pamannya itu.

Sedangkan ayahnya yang menikahi ibu sambungnya, Krepi, bukan atas nama cinta, tetapi
semata mata hanyalah berdasar usaha melepas beban mengasuh dirinya sebagai anak bayi
Aswatama kecil. Dalih menikahi Krepi adalah perilaku yang menghindari diri dari kerepotan
itu, demi mengejar angan tinggi seorang perantau muda yang haus akan pengalaman dan
cecapan kebebasan masa mudanya.

Angan kebebasan berpetualang yang membawa ayahnya menjadi rusak raga atas hajaran
Raden Gandamana, namun ayah tercintanya juga diberkati kesaktian pinunjul ketika
berguru kepada Rama Bargawa dan menjadi guru ilmu kanuragan para Kurawa dan
Pandawa.

Kemudian bayangan angan Aswatama menerawang mengenang kasih sayang sang ayah
ketika ia menyusul ke Sokalima. Ayahnya yang merasa bangga dengan sosok dirinya yang
merupakan keturunan satu satunya. Bagi ayahnya adalah pelecut semangat hidup, ketika
raganya telah rapuh dan tak lagi sempurna. Sosok dirinya yang mengingatkan atas sosok
muda ayahnya, hingga ia dilimpahi kasih sayang tak terhingga dari ayahnya itu.

Tidak berpanjang panjang angan Aswatama, ketika Harya Suman yang mencari dirinya telah
menemukannya.

Aswatama, jangan lagi menyesali kematian orang tuamu berpanjang panjang, marilah
anakku, aku iring langkahmu menuju balairung Bulupitu. Sinuwun Prabu Duryudana
berkenan memanggilmu

Ragu Aswatama mendengar perkataan Harya Suman. Dalam benaknya masih tersimpan
ingatan, bagaimana junjungannnya Prabu Duryudana sangat marah, ketika ia berusaha
membela pamannya terkasih, Resi Krapa, ketika pertengkaran pamannya itu dengan Adipati
Karna, yang berujung pada kematian pamannya.

Harya Suman sangat mengerti perasaan Aswatama, maka ia melanjutkan.

Sinuwun Prabu Duryudana memanggilmu atas kemurahan hati beliau, yang


menganggap orang tuamu telah menjadi pahlawan atas gugurnya dalam membela para
Kurawa dan melihat kesetiaanmu kepada negara. Ayolah anakku, jangan ragukan kata
kata pamanmu. Aku yang akan menjadi jaminan atas sabda Prabu Duryudana.

Baiklah paman, hamba mengerti akan keadaan ini Aswatama menuruti kata kata Patih
Sangkuni. Ia ingin mengumpulkan kembali kekuatannya lahir dan batin. Dengan bergabung
kembali ke barisan Kurawa, seribu kemungkinan akan ia dapatkan dalam usahanya
membalaskan sakit hati kepada trah Pancala. Hitungan dalam kepalanya juga mengarah
kepada suatu agenda tersendiri yang hanya ia yang tahu.

******

Malam kembali jatuh. Di Pesanggrahan Bulupitu, Prabu Duryudana sangat berduka dengan
apa yang terjadi pada peperangan hari tadi. Kematian demi kematian para sanak saudara
bahkan gurunya, telah membuat ia merasa telah terlolosi otot dan tulang tulang dari sekujur
tubuhnya. Kematian gurunya Pendita Durna-lah yang membuat serasa lumpuh. Ditambah
lagi dengan kematian adiknya Dursasana yang sudah ia terima dari abdi telik sandi.
Kematiannya yang diluar arena resmi sangat ia sesalkan. Ditambah lagi dengan kematiannya
yang sangat menyedihkan dengan badan yang tercerai berai, membuahkan dendam kepada
Werkudara.
Rama Prabu, sekaranglah waktunya putramu untuk maju sendiri kemedan pertempuran
Duryudana tidak lagi terkendali rasa hatinya ketika orang orang terkasihnya tewas satu
persatu.

Pikirkanlah baik baik langkah yang hendak kau ambil, anak mantu Prabu. Salya
mencoba menyabarkan hati menantunya. Kemudian ia mencoba memberikan pilihan.
Barangkali dengan telah tewasnya banyak andalan pihak kita, anak Prabu mempunyai
pertimbangan untuk mengakhiri saja perang ini. Dan bila anak Prabu berkenan akan
tindakan ini, aku sanggup untuk menjadi perantara dalam menyampaikan pesan
perdamaian kepada adik adikmu Pandawa.

Tidak rama Prabu, akan sia sia pengorbanan yang telah diberikan oleh para prajurit dan
senapati yang telah gugur. Tidak layak putramu berdamai dengan Para Pandawa dengan
landasan bangkai para prajurit dan bergelimang dengan darah para bebanten perang.
Duryudana menjawab dengan tegas. Perasaan dendam yang membara didadanya atas
kematian adik terkasihnya, Dursasana, telah mendorongnya mengatakan bantahan atas
pilihan tawaran dari Prabu Salya.

Baiklah, bila demikian. Anak Prabu masih mempunyai satria agul-agul yang kiraku
dapat mengatasi keadaan ini dengan memenangi perang. Disini masih berdiri kokoh
seorang calon senapati yang bukan orang sembarangan. Orang itu adalah anak dewa
penerang hari, yang telah kuasa memenangi pertempuran malam dengan korban yang
tak terkira jumlahnya termasuk senapati muda Gatutkaca. Tutur Salya sambil melirik
mantunya yang paling ia tidak sukai dari ketiga mantu yang lain sambil tersenyum penuh
arti. Senyum yang keluar bukan dari hati yang tulus. Senyum yang setengah mengejek,
karena rasa yang terlanjur tidak suka terhadap mantu itu. Juga senyum sinis itu disebabkan
atas hasil kemenangan yang dicapainya baru baru ini yang tidak dilakukan dengan cara
kesatria, layaknya perang yang terjadi di waktu waktu sebelumnya yang terjadi diwaktu yang
wajar, siang hari.

Adipati Karna yang berperasaan halus, telah tersentuh oleh perkataan mertuanya. Dalam
pikirannya,ia ingin membalas apa yang sudah diperlakukan atas dirinya. Disamping itu,
kematian lawannya, Gatutkaca telah berbuntut panjang. Werkudara pasti masih
mendendam. Maka telah ia rancang sesuatu tindakan tertentu bila ia disetujui menjadi
senapati.

Benarlah demikian, Prabu Duryudana menyetujui pilihan berikutnya yang ditawarkan oleh
mertuanya itu.

Terimakasih rama Prabu, anakmu setuju atas kehendak rama. Hanya kepada kanda
Adipati, kami menyandarkan kekuatan para Kurawa dalam memenangi perang ini. Kami
harap kanda Adipati dapat melaksanakan segala gelar perang yang akan terlaksana
besok pagi.

Kehormatan yang tiada terkira yang saya cadang siang dan malam telah terucap dari
sabda paduka adinda Prabu. Ada satu permintaan yang akan kami sampaikan kepada
adinda Prabu, dalam perang nanti, kami pasti akan berhadapan dengan adimas Arjuna.
Ini sudah menjadi takdir yang sudah terucap dari sabda Batara Narada waktu lalu,
bahwa kami berdua adimas Arjuna bakal bertemu kembali dalam medan Baratayuda.
Dari itu, para Pandawa akan menampilkan adimas Arjuna sebagai senapati dari pihak
Hupalawiya. Kembali Adipati Karna mengingatkan akan peristiwa masa lalu ketika
anugrah Kuntawijayandanu yang hendak diberikan kepada Arjuna sebagai pemutus tali
pusar Gatutkaca, telah salah diterimakan kepada Karna-Suryatmaja. Perkelahian keduanya
terjadi ketika Arjuna tidak terima atas kesalahan pemberian pusaka itu, dan bahwa ia juga
telah dibebani tugas oleh kakaknya, Bratasena Werkudara, untuk mendapatkan senjata yang
bisa memutus tali pusar keponakannya. Pertempuran yang kemudian dipisah oleh Narada,
dijanjikannya bakal terlaksana hingga salah satunya tewas pada saat Perang Baratayuda
berlangsung nanti.

Permintaan apakah yang hendak kanda sampaikan. Kalau masih dalam jangkauan kami,
pasti akan kami kabulkan Duryudana setengah menyanggupi permintaan yang hendak ia
sampaikan.

Adinda Prabu, Bila terjadi perang tanding dengan kereta perang nanti antara kami
dengan dimas Arjuna, tidak urung adimas Arjuna akan dikusiri oleh Prabu Kresna. Bila ini
yang terjadi, mohon kesanggupannya agar kami dikusiri juga oleh manusia yang
setimbang dengan derajat Prabu Kresna. Sejenak Karna diam, ragu dalam hati ia hendak
menyampaikan maksudnya kepada adik iparnya itu.

Jeda kesunyian itu kemudian diseling dengan pertanyaan sang Prabu. Kanda, apakah
kanda hendak dikusiri oleh Kartamarma, ataukah oleh paman Harya Sangkuni? Akan
kami perintahkan kapanpun, pasti keduanya dengan senang hati akan memenuhi
kehendak kanda Adipati.

Adipati Karna tersenyum hambar. Perasaan sungkan yang ia pendam sedari tadi telah ia
keluarkan dan ia buang sedikit demi sedikit. Keinginan membalas perlakuan mertuanya yang
selalu tidak cocok dihatinya, dalam peristiwa ini, bagaikan suatu sarana untuk melawan balik
sikap mertuanya itu. Bagaimanapun permintaan seorang senapati akan dipenuhi tanpa
harus tercampuri oleh urusan pribadi. Dan urusan negara ini akan dijadikan dalih dalam
melawan sikap mertuanya itu. Inilah saatnya, pikir Karna.

Adinda Prabu, bukan seorang Kartamarma atau Paman Sengkuni yang aku kehendaki.
Keduanya belum setimbang dengan derajat yang disandang oleh Prabu Kresna. Satu
satunya orang yang dapat menyamai derajatnya, adalah . . . Rama Prabu Salya.

Terkejut Salya dengan permintaan yang diajukan oleh menantunya. Tidak senang ia berkata.
Ooh . . , inikah ujud bakti seorang menantu terhadap mertuanya? Aku ini dianggap apa?
Derajat Prabu Kresna yang kau anggap sebagai dalih agar mertuamu ini mau kau
perintahkan aku sebagai kusirmu? Sekali menjadi mantu kualat, tetap menjadi menantu
kualat juga. Belum juga sembuh rasa hati atas tuduhanmu diawal perang, telah kau lukai
hati ini sekali lagi dengan permintaanmu yang merendahkan derajat raja Mandaraka.
Tanpa diduga sebelumnya oleh Karna, rayuannya atas derajat yang ia lontarkan kepada
mertuanya, tidak mempan mengatasi anggapan rendah seorang kusir bagi dirinya. Bahkan
kembali Salya mengungkit ungkit sakit hatinya atas tuduhan menantunya diawal perang.

Rama Prabu, bila rama tidak berkenan atas permintaan kanda Adipati, baiklah sekarang
putramu sendiri yang akan maju kemedan Kurusetra. Saya relakan jiwaku demi
kemenangan yang hendak aku raih. Putramu minta diri untuk berangkat malam ini juga.
Duryudana mencoba untuk menarik perhatian ayah mertuanya. Ia berharap mertuanya akan
menyanggupi permintaan kakak iparnya bila ia mengancam akan bertindak sendiri.

Kembali diluar dugaan, Salya berkata sambil tertawa sumbang. Anak mantu Duyudana,
aku ini orang tua yang sudah makan asam garam kehidupan. Tidak usahlah merajuk
seperti itu. Dalam pendengaranku, kata kata anakmas Duryudana tadi, bukan keluar dari
lubuk hati anakmas sendiri. Tidak usahlah memaksa dengan ancaman halus seperti yang
anak Prabu katakan, aku akan menuruti keinginan menantuku Awangga yang tampan itu,
anak mantu yang membuat anakku Surtikanti mabuk kepayang. Akhirnya Salya
menyanggupi permintaan itu. Karna yang mendengar permintaannya dikabulkan bukannya
senang, namun ia malah tersenyum kecut penuh arti.

Terimasih rama Prabu, yang telah mengabulkan permintaan anakmu ini. Mohon
perkenannya adinda Prabu Duryudana, mulai malam ini kanjeng rama ada dalam tugas
sebagai kusir senapati Awangga. Adipati Karna akhirnya mengatakan kalimat seperti itu.
Telah telanjur basah ia dalam melawan rasa benci dari sang mertua, maka sekalianlah basah
dengan memerintahkan peran itu dari saat ini juga.

Baiklah anakku tampan, perintahkan kepada kusirmu tugas apa yang hendak kau
perintahkan untuk mengantarmu? Salya sudah muak dengan tingkah menantunya sekalian
memanjakan semu kemauan menantunya.

Mohon maaf rama, mohon rama menemani kami untuk kembali sejenak ke Awangga.
Anakmu mantu ingin ketemu sejenak dengan putri rama, Surtikanti. Sudah lama anakmu
tidak memberi kabar ataupun berita. Dan pasti ia ingin mengetahui keselamatan
suaminya. Sekali lagi mohon perkenannya. Ketemu dengan istri bukanlah masalah
pribadi, ini sebagian dari tugas seorang senapati. Ketemu dengan istri adalah sebagai
penguat jiwa, sebagai penambah moral bagi seorang lelaki sekaligus suami dalam
menjalankan tugas. Apalagi ini adalah tugas luar biasa, tugas yang taruhannya adalah
nyawa. Karna mencoba memberi penjelasan kepada mertuanya.

Namun sang mertua yang sudah pegal hatinya setengah hati menjawah. Dalih apapun yang
kamu hendak berikan kepadaku, taklah menjadi sebuah arti. Mari ikuti aku, kita segera
berangkat ke Awangga

Anak mantu Duryudana, perkenankan kami mohon diri sejenak. Kusir ini akan
mengantarkan senapati agung. Prabu Salya meminta diri.

Semoga keselamatan rama Prabu dan Kanda Adipati menyertai perjalanan ini nanti
demikian Duryudana mengakhiri sidang dan beranjak mengikuti Prabu Salya dan Adipati
Karna sampai di gapura pesanggrahan.

Lenyap bayang dua sosok menantu dan mertua itu di keremangan malam. Tetapi dua sosok
tubuh yang lain muncul. Mereka adalah Harya Sangkuni dan Aswatama. Segera keduanya
menghaturkan sembah kepada junjungannya . Diajaknya kemudian keduanya menuju
balairung pesanggrahan.
Setelah basa basi sejenak, dan menceritakan apa yang terjadi baru saja, berkata Prabu
Duryudana, Aswatama, telah saya cabut kata kataku mengenai pengusiranmu dari
hadapanku. Kematian ayahmu sebagai seorang tawur peperangan adalah labuh seorang
pahlawan sejati. Sebagai seorang anak pahlawan, selayaknya kamu harus aku berikan
perlakuan layaknya seorang anak pahlawan. Sedangkan perilakumu semasa
pembuangan, aku lihat tetap bersikap sebagaimana prajurit yang setia terhadap negara.
Itulah yang mendasari kamu aku dekatkan kembali dihadapanku.

Terimakasih atas kepercayaan gusti Prabu terhadap hamba. Akan kami pelihara sikap
kesetiaan kami terhadap negara ini dengan kesanggupan hamba sebagai mata mata atas
kedua parampara paduka gusti Prabu. Kenapa hamba mengatakan sanggup menjadi
orang yang setia, dan hubungannya dengan kedua parampara paduka yang barusan
pergi. Mohon seribu maaf, karena keduanya adalah masih ada hubungan batin dan jiwa
dengan musuh paduka para Pandawa. Prabu Salya adalah uwak dari kembar Nakula dan
Sadewa. Sedangkan kanda Adipati Karna adalah saudara tunggal wadah dengan para
Pandawa melalui bibi paduka Dewi Kunti. Maka menurut hamba, keduanya harus diawasi
benar benar pergerakannya. Sekali lagi sinuwun Prabu, hamba mohon maaf. Hubungan
gusti Prabu dengan mertua paduka kali ini hamba kesampingkan. Aswatama
menghaturkan kata kata itu dengan hati hati.

Sebenarnya ia khawatir mengatakan itu. Namun angin mengarah kepada dirinya hingga
diberanikan dirinya mengutarakan isi hatinya.

Takut ia dengan kemurkaan kembali gustinya, ia menunduk dalam. Tetapi hatinya menjadi
besar, ketika Patih Sengkuni mengamini kata katanya. Anak Prabu, benar apa yang
dikatakan Aswatama. Segala sesuatu dapat saja terjadi dengan keduanya. Kami
sependapat, dan Aswatama akan membuktikan keterangan yang diberikan besok hari
ketika perang esok hari telah usai.

Maka malam itu ketika sudah larut, Aswatama tak segera dapat memejamkan matanya.
Kenangan masa lalu dan rencana kedepan hilir mudik mengisi kepalanya. Tapi putusannya
adalah, siapapun yang akan memenangi Baratayuda tidaklah menjadi persoalan baginya. Tak
ada lagi untung rugi yang ia hitung hitung dalam perkara ini. Yang utama adalah bagaimana
ia dapat membalaskan sakit hati terhadap pembunuh ayah dan pamannya, baik itu melalui
tangannya sendiri maupun melalui tangan orang lain. Sekarang telah diputuskan, bahwa
dirinya akan menjadi seorang oportunis sejati. Kurawa menang, dirinya aman, tetapi bila
Pandawa yang menang, kembali ke Timpuru atau Atasangin menjadi pilihan terakhir.
Bahkan dibayangkannya ia dapat menggulung kedua pihak yang sedang berperang, Pendawa
dan Kurawa sekaligus, dan kemudian bertahta diatas bangkai mereka, nyakrawati mbahu
denda di kerajaan Astina dengan permaisuri Dewi Banuwati. Entahlah ini dipikirkan ketika
ia masih terjaga atau sudah terlelap dalam mimpi besarnya.
Atas Nama Darma Satria

Tak diceritakan bagaimana suasana ketika Adipati Karna bertemu dengan istri tercintanya,
Surtikanti. Yang terjadi kemudian adalah waktu pagi yang terik, dimana pertempuran sengit
berkecamuk kembali di padang Kurukasetra yang sudah berhari hari menjadi panggung
ajang drama pertempuran yang mengerikan. Sisa sisa tenaga prajurit yang kini mulai jenuh
dan lelah, hanya punya pilihan, segera perang selesai. Entah dirinya yang menjadi korban
atau ia membunuh lawan lawannya dengan cepat.

Hawa panas menjelang penghujan menyengat menguatkan bau anyir darah dan busuk
bangkai manusia dan hewan tunggangan para adipati serta segenap pembesar perang yang
tak lagi sempat dirawat oleh sesama prajurit. Berserakan senjata yang bergeletakan mencuat
diantara reruntuhan kereta perang, sungguh membuat meremang bulu kuduk orang orang
yang bermental lemah. Belum lagi erangan para prajurit terluka menahan rasa sakit yang tak
terkira, tetapi tidak kunjung ajal menjemput. Suara rintihan itu bagai nyanyian peri
prayangan. Sementara burung gagak pemakan bangkai berputar kekitar diangkasa yang biru
dengan gumpalan awan disana sini, menanti kapan waktunya untuk kembali berpesta pora.

Di salah satu sisi medan pertempuran, terdengar pembicaraan dua orang prajurit yang sama
sama terluka, entah kepada sesama teman atau lawan. Yang mengalami luka serius
menyandar pada pokok pohon kering, sementara lawan bicaranya tadi tertelungkup dengan
sesekali terbatuk memuntahkan darah segar dari mulutnya.

Sesungguhnya apakah yang kita dapat dari peperangan yang kita jalani, kisanak?

Inilah yang kita dapat! Kebinasaan! Hukum alam telah menuliskan, keseimbangan alam
telah mengharuskan manusia melakukan kekerasan, saling baku bunuh untuk kembali ke
keseimbangan baru, baik itu melewati perang seperti ini, bencana alam, atau manusia
dengan sadar mengerem lajunya jumlah turun. Kita ini sedang ada didalam bagian dari
putaran proses itu, kisanak.

Keduanya berbincang diantara desing anak panah dan denting senjata serta gelegarnya
meriam dengan sesekali berhenti menahan rasa sakit, suara pembicaraan keduanya kadang
tertelan oleh kemeretak roda kereta dan derap ladam kuda yang melintas disekitar mereka.
Sementara kepulan debu dan asap sendawa mengepul menyesakkan nafas.

***

Diceriterakan, adalah Raden Sanjaya. Yang merasa tertantang setelah bertemu dengan Wara
Srikandhi dan menyatakan hendak memberi sesumbang jiwa raga terhadap para Pandawa.
Akan tetapi niat baik Randen Sanjaya telah dianggap sebagai manusia yang bersifat
oportunis.

Sanjaya, kalau kamu hendak membela para Pandawa, kenapa tidak dari semula, kenapa
baru sekarang ketika Kurawa sudah lemah, ketika kamu sudah merasa, tak akan para
Kurawa menang atas Pandawa. Apakah itu jiwa dan watak seorang prajurit?. Apakah itu
bukan manusia yang bertujuan untuk mencari kemuliaan dan kesenangan belaka?.
Apakah sekiranya bila kamu tidak bergabung dengan para Pandawa, Pandawa tidak
akan menang? Malah aku kira, permintaan bergabungnya kamu dengan para Pandawa
adalah sebagai mata mata. Kenapa aku sebut begitu, karana sejak lahir, kamu adalah
warga Panggombakan yang ada dalam wilayah Astina !.

Tersentuh rasa panas hati Sanjaya yang dituding mencari kemuliaan atas kemenangan
Pandawa, maka ia bersumpah akan menandingi kesaktian Adipati Karna. Berangkat ke
medan perang Sanjaya dengan hati terluka oleh tuduhan yang tidak beralasan dari Wara
Srikandi. Andai saja Sumbadra tidak terlambat dalam mencegah keberangkatan Sajaya yang
sudah melangkah ke medan Kuru, maka mungkin kejadiannya akan berbeda. Memang Wara
Sumbadra tahu, betapa ayah dari Senjaya, Raden Yamawidura, adalah seorang yang berjasa
sangat besar pada Pandawa. Ketika terjadi peristiwa bale Sigala-gala, orang tua Sanjaya telah
membaui hal yang mencurigakan ketika pesta itu diadakan oleh usul Sengkuni. Ketika itu
Raden Yamawidura menyelamatkan para Pandawa dari api yang membakar pesanggrahan
mereka, ketika mereka terbius tidur oleh para Kurawa. Kemudian mereka membakar habis
seluruh pesanggrahan.

Yamawidura yang menjelma menjadi garangan putih, telah membuat lubang bawah tanah
menembus sapta pratala dan menyelamatkan kemenakannya. Kemenakan yang selalu
terlihat benar dimatanya, tetapi karena sesuatu hal ia harus sembunyi sembunyi
menyelamatkannya. Hal itulah yang dikatakan Wara Sumbadra kepada Wara Srikandi, yang
kemudian telah membuat sesal dihati Srikandi.

Namun rasa bersalah Wara Srikandi ketika mendengar keterangan dari Sumbadra, menjadi
tidak berarti, ketika putra Yamawidura itu telah melangkah ke palagan.

Maka didalam peperangan Kurusetra itu, Sanjaya mencari sosok Adipati Karna. Ia hendak
memperlihatkan kesungguhannya dalam menyatakan diri ada di pihak Pandawa. Ia berteriak
lantang menantang Adipati Karna.
Ketika putra Awangga kedua yaitu Raden Wersasena mengetahui ayahnya ditantang oleh
Raden Sanjaya, kemarahan anak muda itu terbangkit. Dihampirinya Sanjaya, ia tidak rela
bila ayahnya ditantang oleh sesama anak muda lain.

Heh Sanjaya! Sejak kapan kamu telah memberontak terhadap negara yang telah
menghidupimu, yang telah memberi kumuliaan terhadap orang tuamu dan keluargamu?.

Sejak dulu memang aku lebih bersimpati terhadap putra uwa Pandu Dewanata.
Sekaranglah aku hendak memperlihatkan betapa aku telah merasa salah, membiarkan
saudara tuaku para Padawa ada dalam kesengsaraan yang berlarut larut. Sekarang
katakan, dimana senapati Kurawa berada?

Tak usah kamu mencari dimana senapati itu, hadapi dulu putra Awangga sebagai putra
senapati. Langkahi dulu mayatku sebelum kamu bisa berhadapan dengan ayahku!.

Baik, akan aku turuti kata katamu. Waspadalah!

Pertempuran dua anak muda itu berlangsung sengit. Kelihatan mereka mencoba
mengerahkan segenap kesaktiannya, untuk menentukan siapa salah satunya yang harus
tewas ditangan masing masing.

Sumber Gambar : http://jepara-ukir-relief.blogspot.com/2009/06/karno-tanding.html

Semakin lama semakin tegas terlihat, bahwa Sanjaya lebih unggul daripada Warsasena.
Ketika sampai di puncak kemampuannya, Sanjaya menyudahi perlawanan Warsasena
dengan menewaskannya. Kemarahan Adipati Karna tidak terbendung ketika mendengar
anak lelakinya yang tinggal satu telah tewas. Sorak sorai bala tentara telah mengatakan akhir
dari pertempuran kedua anak muda itu. Segera Adipati Karna mendekati Sanjaya untuk
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Pertempuran kembali terjadi. Tetapi kesaktian
Sanjaya ternyata tidaklah imbang dihadapan Adipati Karna. Sekarang berganti, terdesak
Sanjaya, dan tak lama kemudian keris Kyai Jalak mengakhiri hidup Raden Sanjaya. Ia gugur
dalam usahanya membuktikan darma baktinya terhadap saudara saudara sepupunya para
Pandawa.

Diceriterakan, telah tiba saat kedua satria pilihan dari kedua pihak akan bertemu dalam
pertempuran atas nama darma satria. Ketika telah terdengar aba-aba bahwa Senapati dari
Pihak Wirata telah siap siaga, maka segera Adipati Karna meloncat menaiki kereta
perangnya. Tetapi oleh suasana hati Prabu Salya yang masih tetap panas, ada saja masalah
kecil yang menjadikannya tidak berkenan. Ketika melihat menantunya telah menaiki kereta,
dan ia masih ada dibawah, kemarahannya kembali meledak. Apakah kamu bukan manusia
yang mengerti tata bagaimana menghormati orang tua, keparat! Orang tua masih
dibawah, kamu sudah duduk nangkring diatas kereta!.

Namun Adipati Karna mencoba membela diri, serba salah telah mendera hatinya dari waktu
ke waktu Mohon seribu maaf rama Prabu, maksud hamba dari semula, adalah hanya
menetapi darma. Disini derajat kusir ada dibawah senapati.

Sudah tak terhitung berapa kali rasa sakit yang pernah melukai hatiku karena
kelakuanmu. Sewaktu Prabu Kresna menjadi duta di awal perang kemarin, kamu sudah
melukai hatiku dalam pasamuan agung. Belum sembuh luka itu, sekarang kamu
melakukan hal yang sama, aku kamu jadikan seorang kusir. Kalau tidak sungkan dengan
anak Prabu Duryudana, aku tidak sudi melihat mukamu yang membuat aku muak. Dan
kamu tidak berwenang untuk memerintah aku!. Kejengkelan Prabu Salya tidak juga reda.

Rama, sekali lagi putra paduka mohon maaf, kami persilahkan rama Prabu untuk
menaiki kereta. Ketahuilah rama, sudah ada tanda tanda dalam diri putramu, detak
jantung didada ini mengisyaratkan kematian putramu sudah menjelang. Kami persilakan
rama Prabu untuk mengantarkan kematianku, rama Prabu . . . . . Campur aduk perasaan
kedua manusia menantu dan mertua itu mengawali langkahnya menuju ke palagan
peperangan. Inilah titik dimana perasaan yang tidak sepenuhnya bulat telah melemahkan
moral perang senapati Kurawa.

Baru saja kereta bergerak, mendadak melayang bagai awan hitam bergulung diatas palagan.
Itulah Naga Raja Guwa Barong, Prabu Hardawalika. Seekor naga yang mengincar kematian
Arjuna. Adipati Karna yang melihat keanehan naga mengarah ketempat ia bersiap, segera
menghentikan laju geraknya dan menanyakan maksudnya Heh kamu mahluk yang
mencurigakan, siapa kamu dan apa maksudmu membuat keruh suasana peperangan!.

Aku penjelmaan raja raksasa dari Guwa Barong. Aku bermaksud hendak membantu
kamu menandingi Arjuna. Naga raksasa itu dengan tidak ragu mengatakan maksudnya.

Tetapi sungguh tidak disangka, jawaban yang diterima adalah bentakan yang menyuruhnya
ia pergi. Heh naga mrayang, Arjuna adalah saudaraku. Kalaupun aku berselisih sehari
tujuh kalipun, tak akan pecah persaudaraanku. Menyingkirlah atau akan aku percepat
sempurnanya kematianmu!.

Haaah . . perbuatan yang sia sia. Ternyata aku mengatakan hal ini kepada tempat
mengadu yang salah. Tetapi hal ini tidak akan menghalangiku untuk membalas
kematianku moyangku. Melayang kembali Hardawalika kearah berlainan untuk mencari
keberadaan Arjuna.

Kresna yang tidak pernah terhalangi kewaspadaanya sedikitpun, segera tahu apa yang ada
dihadapannya, ketika awan mendung tiba tiba membayang diatasnya.

Arjuna, diatas pertempuran itu ada seekor naga penjelmaan Prabu Hardawalika.
Lepaskan panahmu, sempurnakan kematian Prabu Hardawalika.

Tidak lagi membuang waktu, segera dipentangnya busur yang telah diisi anak panah.
Melesat anak panah menempuh bayangan naga, sirna seketika ujud dari naga Hardawalika
yang kembali membuat suasana palagan menjadi terang.

Syahdan, kedua Senapati dari kedua belah pihak telah sama sama bergerak mendekat. Maka
suasana palagan peperangan menjadi gaduh, kemudian setelah jarak keduanya menjadi
semakin dekat kejadiannya justru menjadi terbalik. Peperangan segera terhenti bagai
dikomando. Suasana yang berkembang menjadikannya Arjuna termangu. Prabu Kresna yang
melihat suasana hati Arjuna segera dapat menebak apa yang dipikirkannya.

Arjuna, tatalah rasa hatimu! Hari ini sudah sampai waktumu harus meladeni tanding
dengan kakakmu, Adipati Karna.

Kanda, bagaimankah hamba dapat melayani tanding yuda dengan kanda Adipati Karna.
Suasana beginilah yang selalu mengingatkan akan Ibu Kunti keluh Arjuna.

Kresna telah tahu apa yang melatar belakangi maksud dari keberpihakan Karna terhadap
Kurawa. Hal itu telah ia dengar sendiri tatkala ia bertemu dengannya empat mata, ketika ia
telah usai menjadi duta terakhir sebelum pecah perang. Semuanya bagi Kresna sudah tidak
ada hal yang meragukan. Namun ia tidak mengatakan apapun tentang itu terhadap Arjuna.

Adikku, hari ini pejamkan matamu, tutuplah telingamu. Kamu hanya wajib mengingat
satu hal, darma seorang satria yang harus mengenyahkan kemurkaan. Walaupun
saudaramu itu adalah salah satu saudara tuamu, tetapi ia tetaplah ada pada golongan
musuh. Dan ketahuilah, bahwa majunya kakakmu Adipati Karna itu, tidak seorangpun
yang ditunggu, kecuali dirimu. Dan tidak ada seorangpun di dunia ini yang diwajibkan
untuk mengantarkan kematiannya, kecuali dirimu.

Mari aku dandani kamu sebagaimana layaknya seorang senapati, dan akulah yang akan
menjadi kusirmu. Selesai berdandan busana Keprajuritan, segera mereka menaiki kereta
Prabu Kresna, kereta Jaladara. Kereta perang dengan empat ekor kuda yang berasal dari
empat benua yang berwarna berbeda setiap ekornya, merupakan hadiah Para Dewa. Bila
dibandingkan dengan kereta Jatisura milik Adipati Karna yang telah remuk dilanda tubuh
Gatutkaca, kesaktian kereta Jaladara bisa berkali kali lipat kekuatannya.

Suasana berkembang makin hening, diangkasa telah turun para dewata dengan segenap para
durandara dan para bidadari. Mereka hendak menyaksikan peristiwa besar yang terjadi
dipadang Kuru. Sebaran bunga bunga mewangi turun satu satu bagai kupu kupu yang
beterbangan.

Karna yang melihat kedatangan Arjuna berhasrat untuk turun dari keretanya. Kresna yang
melihat keraguan memancar dari wajah Arjuna mengisyaratkan untuk menyambut
kedatangannya. Berkata ia kepada Arjuna

Lihat! Kakakmu Adipati Karna sudah turun dari kereta perangnya, segera sambut dan
ciumlah kakinya.

Arjuna segera turun berjalan mendapatkan kakak tertua tunggal wadah dengannya

Baktiku kanda Adipati, Arjuna duduk bersimpuh dihadapan Adipati Karna setelah
menghaturkan sembahnya.

Arjuna, seumpama aku seorang anak kecil, pastilah aku sudah menagis meraung raung.
Tetapi beginilah orang yang menjalani kewajiban. Aku bela bela diriku membutakan mata
menutup rasa hati untuk mencapai kamukten. Sekarang aku sudah mendapatkannya dari
Dinda Prabu Duryudana. Dan sekarang aku harus berhadapan dan tega berkelahi sesama
saudara sekandung!. Karna menumpahkan isi hatinya.

Kanda Adipati, hamba disini memakai busana senapati bukan untuk menandingi paduka
kanda Prabu. Tetapi membawa pesan dari ibu kita, Kunti, untuk kembali berkumpul
bersama saudara paduka Para Pandawa. Air mawar bening pembasuh kaki sudah
disiapkan oleh adik adik paduka, Kanda Adipati. Arjuna mencoba meluluhkan hati kakak
tunggal ibu itu.

Kembali Adipati Karna menegaskan apa yang terrasa didalam hatinya. Lihat, air mataku
jatuh berlinangan. Tetapi aku katakan, tidak tepat apa yang kamu katakan. Sudah
berulang kali kamu memintaku untuk berkumpul bersama sama dengan saudaraku
Pandawa. Begitu juga dengan Kanda Prabu Kresna, yang ketika itu datang kepadaku dan
bicara empat mata. Sekarang sama halnya dengan dirimu, yang juga kembali
mengajakku untuk berkumpul bersama. Bila aku menuruti permintaanmu, hidupku akan
seperti halnya burung yang ada dalam sangkar emas. Tetapi hidupku tidak bisa bebas.
Hidupku hanya kamu beri makan dan minum belaka. Apakah kamu senang bila
mempunyai saudara dengan keadaan seperti yang aku katakan?.

Sejenak mereka berdua saling berdiam diri. Sesaat kemudian Karna melanjutkan.Tak ada
seorangpun didunia ini yang dapat mengantarkan aku menuju alam kematianku, kecuali
hanyalah dirimu, dinda Arjuna! Dan bila aku nanti mati dalam perang tanding itu,
sampaikan baktiku pada ibunda Kunti, yang tak sekalipun aku memberi ketentraman
batin dalam hidupnya . . .
Serak terpatah patah suara Adipati Karna ketika ia melanjutkan curahan isi hati terhadap
Arjuna.

Kembali susana menjadi hening. Akan tetapi tiba tiba ia berkata dengan nada tegas. Hari
ini adalah hari yang baik. Ayolah kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih
perwira, lebih bertenaga, lebih sakti!.

Kanda, berikan kepadaku seribu maaf atas kelancangan hamba berani dengan saudara
yang lebih tua. Kembali Arjuna menghaturkan sembah, berkata ia, yang kemudian
mengundurkan diri kembali menaiki kereta Jaladara.

Maka perang tanding dengan andalan ketepatan menggunakan anak panah berlangsung
dengan seru. Keduanya sesama putra Kunti tidak sedikitpun berbeda ujudnya dalam busana
keprajuritan. Keduanya menggunakan topong yang sama, sehingga banyak prajurit yang
sedari tadi berhenti menonton sulit untuk membedakan yang mana Arjuna dan manakah
yang Karna, kecuali pada kereta yang dinaikinya.

Pada suatu ketika topong kepala Adipati Karna terpental terkena panah Arjuna. Sejenak
Karna meminta Prabu Salya untuk berhenti, dan berkata.

Rama prabu, hampir saja hamba menanggung malu. Topong kepala hamba terpental
oleh panah adi Arjuna.

Sudah aku katakan, tak hendak aku ikut campur dalam peristiwa ini. Aku hanya kusirmu.
Tapi kali ini mari aku benahi rambutmu biar aku gelung. Setengah hati Prabu Salya
mendandani kembali putra menantunya.

Kembali adu ketangkasan olah warastra berlangsung. Kali ini Kunta Wijayandanu ada
ditangan Karna. Waspada Prabu Salya dengan melihat senjata kedua setelah Kunta Druwasa
yang telah sirna digunakan oleh Adipati Karna ketika berhadapan dengan Gatutkaca. Maka
pada saat menantunya itu melepas anak panah, kendali kereta ditarik, kemudian kuda
melonjak. Panah yang sejatinya akan tepat mengenai sasaran, hanya mengenai topong
kepala Arjuna dan mencabik segenggam rambutnya.

Aduh Kanda Prabu, topong hamba jatuh terkena panah kanda Adipati. Apakah ini
sebagai perlambang kekalahan yang akan menimpa hamba?. Arjuna menanyakan.

Bukan ! Itu peristiwa biasa. Biarlah aku tambal rambutmu dengan rambutku. Sekarang
aku akan menggelung rambutmu kembali. Jawab Kresna, yang kemudian menerapkan
kembali gelung rambut baru pada kepala Arjuna.

Kembali kedua putra Kunti berdandan dengan cara yang sama. Semakin bingung para yang
melihat pertempuran dua satria yang hampir kembar itu. Bahkan para dewata dan segenap
bidadari dan durandara, melihatnya dengan terkagum.
Adu kesaktian telah berlangsung lama, segala macam kagunan dan ilmu pengabaran telah
dikeluarkan. Saling mengimbangi dan saling memunahkan kawijayan antara kesaktian
mereka berdua.

Namun Arjuna masih memegang satu senjata yang belum digunakan. Itulah panah Kyai
Pasupati, yang bertajam dengan bentuk bulan sabit.

Arjuna !, Kresna memberikan isyarat, Sekaranglah saatnya!. Hanya sampai disini hidup
kakakmu Adipati. Segera lepaskan senjatamu Pasupati untuk mengantarkan kakakmu ke
alam kelanggengan!.

Panah Pasupati telah tersandang pada busur gading Kyai Gandewa, lepas anak panah
berdesing bagai tak terlihat. Walau Arjuna melepaskannya sambil memejamkan mata karena
tak tega dan rasa bersalah, namun panah dengan bagian tajam yang menyerupai bulan sabit
itu mengenai leher Adipati Karna. Tajamnya Kyai Pasupati tiada tara, sampai-sampai, kepala
Adipati Karna dengan senyum yang masih tersungging dibibirnya tak bergeser sedikitpun
dari lehernya. Jatuh terduduk jasad Adipati Karna bersandarkan kursi kereta. Geragapan
Prabu Salya yang merasa khawatir dan setengah bersalah. Turun dari kereta ia, kemudian
menghilang dari pabaratan, kembali ke Bulupitu.

Namun kejadian sejak dari awal pertempuran tadi, tidak terlepas dari sepasang mata yang
selalu mengawasi setiap gerakan sekecil apapun yang dilakukan Prabu Salya. Itulah sepasang
mata Aswatama!
Ketika Rahasia itu Terungkap

Kidung layu layu kembali mengalun di Padang Kuru, awan mendung yang menandai
pergantian musim telah menitikkan airnya walau hanya rintik rintik. Meski begitu, rintik
hujan itu sudah cukup menandai kesedihan yang melingkupi Para Pandawa. Bagaimanapun
Karna-Suryatmaja adalah saudara sekandung, walau ia terlahir bukan atas keinginan sang
ibu. Meski demikian, ia adalah sosok yang sudah memberi warna kepada orang orang
disekitarnya dan para saudara mudanya. Ia adalah sosok yang tegar dan teguh dalam
memegang prisip kesetiaan kepada Negara yang telah memberinya kemuliaan hidup. Tetapi
sekaligus ia tokoh yang kontroversial, sebab ia adalah tokoh yang secara tersamar
menegakkan prinsip, bahwa keangkaramurkaan harus tumpas oleh laku kebajikan. Ia telah
menyetujui bahwa perang Baratayuda harus terjadi, sebab dengan demikian ia telah
mempercepat tumpasnya laku angkara yang disandang oleh Prabu Duryudana. Raja yang
telah memberinya kemukten.

Dengan terbunuhnya Adipati Karna yang menyisakan dendam pembelaan dari Kyai Jalak
yang gagal, maka secara kenyataan adalah, telah terhenti perang campuh para prajurit di
arena padang Kurusetra. Dikatakan demikian karena jumlah prajurit Kurawa yang tinggal,
boleh diumpamakan telah dapat dihitung dengan jari saja. Ditambah lagi kenyataan, bahwa
para Kurawa seratus, yang tinggal hanya duapuluh orang termasuk Prabu Duryudana dan
Kartamarma. Maka lengkaplah apa yang disebut sebagai kenyataan, bahwa perang
Baratayuda sebenarnya sudah berakhir. Tetapi pengakuan terhadap kekalahan itu, belumlah
terucap dari bibir Prabu Duryudana.

Sore ketika Adipati Karna telah gugur, mendung gelap yang disusul oleh rintik hujan, juga
seakan mentahbiskan suasana dalam hati Panglima Tertinggi Kurawa yang juga terlimput
oleh gelap. Dihadapannya Prabu Salya dengan sabar menunggu ucapan apa yang hendak
terlontar dari bibir menantunya. Demikian juga Patih Harya Suman dan Raden Kartamarma,
hanya tertunduk lesu. Keduanya berlaku serba canggung menyikapi keadaan dihadapannya.
Keraguan akan hasrat menyampaikan usulan dan pemikiran, telah dikalahkan oleh rasa
takut akan murka junjungannya.

Hal ini juga berlaku pada perasaan Aswatama yang sesungguhnya hanya berderajat rendah,
hanya sebagai tuwa buru. Sebuah derajat rendah yang hanya mengurus segala keperluan
para Kurawa dalam menyelenggarakan kegemaran mereka berburu dihutan. Derajat rendah
itulah yang diberikan oleh penguasa Astina, ketika mendiang ayahnya diangkat menjadi guru
bagi sekalian anak anak Pandawa dan Kurawa. Derajat yang sampai saat inipun masih tetap
tersandang, walaupun waktu demi waktu telah berlalu. Apalagi ketika ia harus kehilangan
kepercayaan dari Prabu Duryudana, pada saat ia membela pamannya Krepa. Juga tewasnya
ayah tercinta yang merupakan gantungan baginya dalam mengabdi kepada Prabu
Duryudana, telah lengkap meruntuhkan ketegaran dirinya terhadap penguasa tertinggi
Astina. Lengkap sudah perasaan takut yang mencekam jiwanya. Padahal sesuatu yang
hendak diajukan sebagai saksi mata atas suatu peristiwa di medan perang, telah mendesak
kuat dalam hati untuk disampaikan. Tetapi mulutnya terkunci, tetap tak berani mengatakan
sesuatu apapun. Dan iapun hanya diam tertunduk, duduk di tempat paling belakang dari
pembesar yang hadir.

Dalam ketidak sabaran menunggu sabda Prabu Duryudana, akhirnya Prabu Salya berbicara.
Anak Prabu, walaupun paduka anak Prabu tidak mengatakan dengan sepatah kata,
namun saya sudah merasa, pastilah perkiraan saya benar. Pasti anak Prabu merasa
kehilangan Senapati yang menjadi bebeteng negara, kakak iparmu, anak menantuku,
Adipati Karna.

Tetap bergeming Prabu Duryudana mendengarkan kata kata pemancing dari Prabu Salya,
sehingga kembali ia melanjutkan.

Menurut tata cara, seharusnya aku tetap diam menunggu. Tetapi oleh karena terdorong
oleh gemuruh dalam dada, perkenankan aku mertuamu menyampaikan isi hati ini

Rama Prabu, itulah yang sebenarnya yang aku nanti. Besar hati anakmu tanpa dapat
diumpamakan, karena sebegitu besarnya perhatian yang rama Prabu berikan terhadap
putramu. Akhirnya beberapa patah kata meluncur dari bibir Prabu Duryudana, terbawa
oleh rasa penasaran, apakah yang hendak dikatakan oleh ayah mertuanya.

Mencoba tersenyum Prabu Salya. Senyum getir, karena suasana yang dihadapi tidaklah
nyaman dirasakan. Tetapi ia tetap berusaha menguatkan hati Prabu Duryudana .Kalaupun
aku tidak memperhatikan anak Prabu, aku ini seakan menjadi manusia yang tidak
lengkap panca indraku. Setelah saya timbang timbang, ternyata pancaindriaku masih
lengkap. Oleh karena itu, aku akan menyampaikan sesuatu.

Waktu sepenuhnya aku serahkan kepada rama Prabu. Duryudana kali ini mencoba pula
tersenyum, walau terasa hambar.

Melihat menantunya serba kikuk, Prabu Salya tertawa. Walaupun tawa itu terdengar
sumbang, namun Ia mencoba memecah kebuntuan suasana. Terhitung selama perang
berlangsung, aku baru bisa tertawa kali ini. Begitu anak Prabu mengatakan bahwa waktu
telah sepenuhnya anak Prabu berikan, itu artinya anak Prabu masih mempunyai
kepercayaan kepadaku.

Prabu Salya kemudian mengangkat dan mengungkit peristiwa yang berlangsung pada masa
lalu, ketika ia sedang ada pada balairung istananya di Mandaraka. Ketika itu ia sedang
merembuk bagaimana ia berrencana hendak memberikan negara kepada anak turun, serta
bagaimana ia menyampaikan cara dalam menata negara. Ketika itu, tiba tiba ia dikejutkan
dengan kedatangan dua orang utusan yang belum dikenalnya. Ketika mereka mendekat dan
memberikan surat. Ternyata mereka berdua mengundang untuk mendatangi pahargyan di
suatu tempat yang merupakan pesanggrahan yang baru dibangun, pesanggrahan yang begitu
indah. Disitu telah menunggu para wanita yang muda muda dan begitu cantik cantik.
Disitulah aku disuguhi makanan yang serba nikmat diiring tetabuhan dan kidung yang
menyenangkan hati. Prabu Salya meneruskan, Tanpa ragu makanan yang serba nikmat
itu aku makan dengan begitu lahapnya . Bawaannya aku belum makan ketika berangkat,
maka sekejap aku telah menghabiskan sebagian besar hidangan yang telah tersaji.

Setelah merenung sejenak, Prabu Salya menyambung, Begitu aku sudah merasa kenyang,
tiba tiba anak Prabu Duryudana datang dari belakang tanpa aku ketahui, dan memeluk
aku. Sebagai orang yang mengerti akan tata krama dan balas budi dan terdorong oleh
rasa puas karena semua kesenangan yang tersaji telah aku nikmati, maka ketika paduka
anak Prabu meminta saya untuk bersedia berdiri di pihak anak Prabu ketika perang
Baratayuda berlangsung nanti, seketika aku menyanggupi. Dan ini adalah peristiwa yang
mengharuskan aku menyaksikan darah yang tertumpah. Darah yang mengalir dari tubuh
tubuh anak kemenakanku sendiri.

Suasana kembali hening ketika Prabu Salya mengakiri cerita yang berujung sesal. Kejadian
awal dari mengapa ia terseret-seret dalam peristiwa besar ini. Maka ketika tak ada lagi yang
membuka mulut, Prabu Duryudana memanggil Patih Harya Sangkuni.

Paman, tinggal berapakah Kurawa sekarang?

Geragapan Patih Sangkuni menjawab pertanyaan itu, setelah rasa terkejutnya hilang. Kalau
tidak salah hitung, tinggal duapuluh orang saja.

Apakah mereka menjadi ketakutan karena jumlah yang tinggal sedikit itu?

Sama sekali tidak, bahkan mereka mengharap, kapan gerangan hendak diperintah untuk
beradu dada dengan para Pandawa.

Bagus! Kenapa begitu? Prabu Duryudana mempertegas pertanyaannya.

Mereka itu mengingat dan merasa, bahwa hidup mereka semua adalah ada dalam
perlindungan dari anak Prabu. Kenikmatan yang mereka terima selama ini, adalah berkat
pemberian dari anak Prabu. Maka ketika mereka dihadapkan dalam peristiwa seperti ini,
tak lain dan tak bukan, bahwa mereka telah rela menjadi tetameng, bahkan bebanten
dalam membela kejayaan anak Prabu. Jawab Sangkuni, yang adalah manusia super licik.
Maka kata katanya kemudian lancar nyinyir mengalir menggelincirkan lawan bicaranya.

Jagad dewa batara! Bila demikian, walaupun Kurawa cuma tinggal duapuluh orang, itu
sudah cukup memberiku rasa besar hati. Mereka itulah manusia yang mengerti akan rasa
kemanusiaan, manusia yang mengerti akan rasa kebaikan, manusia yang mengerti apa
itu kewajiban. Bila demikian Paman, semua orang yang masih hidup di Astina, ternyata
masih punya rasa bela negara, tanpa memandang dari mana asal muasalnya. Seumpama
ada seseorang pembesar, seseorang yang menjadi sesembahan. Walaupun ia tidak dalam
peperintahan negara Astina, tetapi ia memiliki kulit daging yang mukti wibawa di negara
Astina ini. Hidupnya diliputi oleh segala kemewahan, dipuji puji dan diagung agungkan
orang senegara. Namun ketika negara itu menjadi ajang kebrutalan musuh, menurut
Paman Sangkuni bagaimana seharusnya manusia itu bersikap?

Prabu Duryudana yang sedari kecil ada pada asuhan pamannya, sangat mengerti, umpan
apakah yang tengah ia pasang. Maka semakin lancarlan kata katanya mengikuti arah
pembicaraan pamannya itu.

Wah, kalau saya . . . . ini kalau saya . . ., saya akan segera bertindak! Segera saya akan
melangkah ke palagan peperangan, mengatasi musuh yang hendak berbuat semena mena
atas negara ini. Ini kalau saya . . .! dengan jumawa Patih Harya Suman menjawab.

Apakah ada Paman, orang yang saya telah berikan semua rasa mukti wibawa, tetapi
tidak mengerti akan balas budi itu?

Ada saja ! itulah istri paduka sendiri, Dewi Banuwati!

Prabu Salya yang sudah kenyang makan asam garam, sebenarnya sudah tahu apa maksud
pembicaran mereka berdua. Tetapi ia masih dengan sabar dan senyum mengembang di bibir
mengikuti pembicaraan mereka. Ia menjadi penasaran, sandiwara itu akan sampai mana
ujungnya. Maka ia tetap terdiam ketika Prabu Duryudana kembali mengajukan pertanyaan
kepada pamannya. Apakah ada orang yang lain selain istriku?

Tidak, tidak ada lagi! Walaupun istri Paduka anak Prabu adalah wanita yang pada
mulanya juga sudah mukti wibawa di Negara Mandaraka, tetapi ketika ia diperistri oleh
paduka anak Prabu, ia telah mendapatkan jauh lebih tinggi derajat dan kemukten yang
tiada taranya. Itulah, dari rasa sayang Paduka Angger Anak Prabu yang tiada terkira,
sebetulnya dalam kenyataannya, negara Astina telah dipasrahkan seutuhnya kepada istri
Paduka , Dewi Banuwati.

Itulah memang yang menjadi niat saya! Kalau demikian, yayi Banowati itu , seberapapun
bobotnya harus menanggung semua baik buruk atas negara Astina ini?.

Tak jauhlah dari yang paduka kehendaki.

Tetapi paman, ia adalah seorang wanita. Apakah mungkin, wanita yang seharusnya
hanya aku manjakan, bersolek, mempercantik diri, harus maju ke medan perang adu
kesaktian dengan para Pendawa.

Lho kalau perlu memang demikian! Kalau semua para luhur sudah tidak mau tutun
tangan, maka istri sendiripun harus ikut. Saya kira istri Paduka pun tidak akan rela
melihat paduka kerepotan. Sandiwara dengan dialog antar keduanya masih berlangsung,
masih mengalir lancar. Dan Prabu Salya masih tetap sabar dalam duduknya.
Dan sampai disini Duryudana sedikit mentok, keteteter dengan kepiawaian pamannya
mengolah kata. Ya . . . . . tetapi . . . . . apakah ini . . . . . . , apakah aku harus menangis
dihadapan istriku? Si Paman jangan menyangka aku takut akan darah, tetapi istri itu . . .
yang sejatinya bukan sanak, tapi ia sudah merasakan enak, sudah aku ajak menikmati
kenikmatan dan mukti wibawa. Waktu dalam keadaan enak, ia sudah merasakan
kenikmatan. Tetapi ketika menemukan papa sengsara, seharusnya ia tidak menghindar
dari segala kesulitan. Tetapi saya tak bisa hidup tenang tanpa dia, paman. Seumpama
saya melangkah ke medan pertempuran berdua dengan istriku, Dewi Banowati, menurut
si paman bagaimana?

Saya sangat setuju . . .sangat setuju!

Tidak syak lagi, Prabu Salya yang mendengarkan dengan seksama dan tadinya tak hendak
memotong pembicaraan mereka, sudah mengerti kemana gerangan arah pembicaraan itu.
Tetapi saat ini ia menjadi gerah. Dan berkatalah Prabu Salya, setelah menarik nafas dalam
dalam. Ia berusaha menekan perasaannya yang tiba tiba panas bagai terbakar bara api.

Jagad Dewa Batara! Aku merasakan tidak ada sesuatu apapun terjadi. Tetapi kepala
saya bagai terbakar panasnya bara api. Panasnya sedemikian menyengat hingga sampai
ke dada ini. Di seluruh jagad ini tidak ada yang menandingi kepiawaian dari anak Prabu,
apalagi bila sudah dipadukan dengan kepiawaian mengolah kata dari Patih Sengkuni.
Tetapi kepintaran itu. bila sudah manunggal, dan kemudian dipakai di jalan yang tidak
sesuai dalam keutamaan, bisa menjadi kabur dan ludes terbakar api. Saya mengerti.
Kalau saya dibolehkan menggambarkan, anak Prabu saat ini sedang dalam posisi
berpeluk tangan, tapi kelihatan olehku dari sini, Paduka anak Prabu seperti melambaikan
tangannya. Melempar sesuatu kearah utara, tapi yang dikenai adalah benda yang diarah
selatan, seperti halnya orang yang sedang memancing di air keruh. Yah, saya sudah tua.
Tak usahlah disindir, saya ini sudah kenyang makan asam garam. Gambalangnya begini,
paduka anak Prabu sekarang sedang bersedih atas gugurnya anak mantuku Adipati
Karna. Paduka sebetulnya mengatakan, kenapa, orang tua yang sudah dibuat mukti
wibawa karena anak nya, tetapi orang itu sekarang diam saja. Bukankah itu yang Paduka
maksudkan?

Sudah disengaja Prabu Duryudana menyindir mertuanya itu. Tetapi ia sudah kadung basah,
maka walau dengan debaran dada, ia mengatakan, Silakan bila rama Prabu mengatakan
demikian. Tetapi itu memang benar!.

Saya sudah mengatakan tadi, apakah saya hendak mengangkat muka melihat tingginya
sosok para Pandawa? Apakah saya tidak kuasa untuk merangkul betapapun besarnya
ujud para Pandawa? Apakah saya harus gemetar melihat kesaktian Pandawa? Yang
terlihat olehku, Pandawa itu adalah sebagai anak anak belaka. Bila aku mau, tandang
para Pandawa dapat aku hentikan kurang dari setengah hari! Dalam setengah hari itu,
mereka sudah pulang ke kahyangan Batara Yama. Oleh sebab itulah, saya hendak
menjalankan sabda paduka dengan dua landasan. Ketika bebanten para Kurawa dimulai
dari gugurnya Eyang Bisma, sampai Resi Durna, jagad sudah mengingatkan kepada
paduka anak mantu, bahwa Baratayuda seharusnya dihentikanlah! Apakah sebenarnya
pokok persoalannya? Siapakah sebenarnya yang menang, dan siapakah sebenarnya yang
dikalahkan? Oleh sebab itu, silakan anak Prabu merasakan, betapa sengsaranya yang
sudah gugur dalam perang ini. Itu yang pertama!
Kedua siapapun akan mengerti. Siapakan Prabu Karna itu? Adipati Karna itu manusia
bukan manusia selayaknya manusia. Ia adalah anak Batara Surya yang menerangi jagat.
Walaupun ini hanya cerita yang kadung dilebih lebihkan, tapi sewaktu terlahir dari goa
garba Kunti, ia sudah mengenakan anting anting dan permata kawaca. Belum lagi jumlah
pusakanya, kunta Druwasa, Wijayandanu, siapakah yang kuat menadahkan dadanya
pada pusaka itu? Keris kyai Jalak, siapapun tak mampu menadahkan dadanya. Bahkan
bila ditujukan ke gunung , gunung itu akan menjadi runtuh, dan bila dikenakan terhadap
lautan, samudra itupun akan mendidih. Walau demikian, Arjuna dapat mengalahkan
dengan panah bertajam bentuk bulan sabit, Kyai Pasupati. Lepasnya panah Arjuna telah
membawa kematian baginya. Bila anak Prabu hanya menuruti kehendak hati, aku hanya
bisa berharap, anakku Banuwati kelak tidak menjadi janda.

Diceritakan, Aswatama yang sedari tadi menahan beban perkara yang menghimpit dadanya,
lama kelamaan ia menggeser duduknya maju mendekati Prabu Duryudana. Ia seakan
terpicu, ketika mendengar peristiwa tanding satria sakti linuwih itu diungkap kembali.
Keberaniannya tumbuh saat ia harus mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Melihat
gerak dan raut muka Aswatama yang mengandung sejuta keinginan untuk mengatakan
susuatu, Prabu Duryudana memberikan sasmita kepadanya untuk mendekat.

Aswatama adakah sesuatu yang hendak kamu katakan?

Perkenankan Paduka memberi seribu maaf, karena hamba berani beraninya memutus
pembicaraan para agung. Beriring sembah, Aswatama meminta waktu.

Bila memang ada sesuatu yang penting untuk disampaikan, saya memberimu maaf.
Silakan apa yang hendak kamu katakan?!

Sejenak Aswatama terdiam. Bagaiamanapun ia harus menata hati untuk menyampaikan


cerita yang menyangkut pembesar negara. Dalam pikirnya, sekarang atau tidak sama sekali.
Dan ia telah terlanjur maju, tak ada lagi jalan kembali terbentang dihadapannya. Maka
dengan tatag ia berkata, Ketika sedang ramainya tetanding antara Sinuwun Adipati
Karna dan Arjuna, mestinya Arjunalah yang mati.

Apa sebab kenapa kamu bicara terbalik dengan kenyataan? terheran Prabu Duryudana
mendengar kata kata Aswatama.

Jalannya kereta yang dikendarai oleh sinuwun Adipati yang dikusiri oleh Prabu Salya,
saya lihat sudah benar. Dan lepasnya panah kunta seharusnya telah pas mengenai leher
Arjuna. Tetapi arah panah itu meleset, oleh sebab adanya seseorang pembesar yang telah
melakukan kecurangan
Sampai disini Prabu Duryudana sudah dapat menebak. Tetapi ia hendak mendengar sendiri,
beranikah Aswatama menyampaikan dengan mulutnya sendiri. Siapa pembesar yang
melakukan itu?

Tidak lagi hamba menutup nutupi, jalannya kereta yang seharusnya sudah benar.
Namun tiba tiba kendali kekang kuda ditarik, sehingga kuda menjadi binal dan kereta
menjadi oleng. Panahpun tidak mengenai leher Arjuna, hanya mengenai sejumput
rambutnya saja. Maka hamba berani bicara, bahwa gugurnya gusti Adipati Karna bukan
karena Arjuna, tetapi oleh pakarti Prabu Salya!

Iblis keparat kamu Aswatama!

Memerah muka Prabu Salya. Tak disangka seseorang mengamati dengan sempurna
perbuatannya. Hendak dikemanakan muka itu bila rahasia itu terbongkar, maka yang bisa
diperbuat adalah memaki sejadi jadinya Aswatama dan bertamengkan kekuasaan anak
menantunya itu.

Heh Asatama! Kamu anak Durna kan? Kamu disini pangkatmu hanya tuwa buru. Paling
tinggi tugasmua hanya memberi makan kuda kuda kendaraan para Kurawa! Tahukah
kamu, bahwa derajatmu hanya dibawah celanaku yang aku pakai ini. Kamu telah
melakukan kesalahan. Kesalahanmu, pertama, kamu sudah berani beraninya memotong
pembicaraan para agung. Kedua kamu sudah berani mengatakan yang bukan bukan!
Kamu sudah berani menuduh aku telah menyebabkan gugurnya mantuku. Dimana ada
mertua yang tega terhadap anak menantu. Kemana kamu ketika gugurnya Bapakmu
ketika itu? Kelihatan batang hidungmupun tidak! Kamu berniat merenggangkan
hubungan antara aku dengan Prabu Duryudana, begitukah maksud dari kata katamu
tadi?! Hayoh iblis, kalau kamu memang anak Durna, segera ucapkan japa mantramu,
hunus kerismu Cundamanik pemberian ibumu Batari Wilutama, bidadari yang berlaku
selingkuh selamanya! Dalam hitungan yang ketujuh kamu tidak berani melangkah
menghadapi Prabu Salya, akan kutebas batang lehermu!

Aduh rama Prabu, rama kami persikan berlaku sabar! Aswatamu itu hanya berderajat
rendah. Tidak sepantasnyalah rama Prabu melayani Aswatama maka Prabu Duryudana
segera menghentikan langkah Prabu Salya ketika melihat mertuanya seakan telah kehilangan
pengamatan dirinya.

Belum lega rasanya bila aku tidak memenggal kepala Aswatama. Masih dengan kata
marah Prabu Salya dalam hadangan Prabu Duryudana.

Rama Prabu, jangankan hanya seorang Aswatama, dewapun tak akan mampu bila
berhadapan dengan rama Prabu ketika sedang murka seperti itu. Mohon diingat rama
Prabu, jangan mendengarkan suara orang cari muka seperti Aswatama.

Rama mesti mengingat, masih banyak kewajiban yang harus dijalankan. Mohon bersabar
rama Prabu.
Huh Aswatama, bila tidak dalam sidang agung ini, kepalamu sudah terpisah dari
tubuhmu. Jangankan kamu, bila orang tuamu masih adapun, tak akan mundur sejangkah
menghadapi orang tuamu itu! masih juga belum berhenti kemarahan Prabu Salya, bahkan
ia mengungkit ungkit ayah Aswatama.

Setelah suasana terkendali, Prabu Duryudana mendekati Aswatama. Ia telah membuat


keputusan dengan menimbang bobot antara kedua orang yang bersilang pendapat itu.
Aswatama, jangan membuat suasana menjadi bertambah ruwet. Aku sudah tak lagi
membutuhkan kamu. Pergilah!

Aduh Sinuwun, bila sudah tak lagi sinuwun mendengarkan kenyataan yang terjadi di
palagan peperangan, kami minta diri sinuwun. Luka hati Aswatama kembali kambuh,
bahkan sekarang semakin parah. Keputusan hari kemarin bahwa ia akan menjadi seorang
oportunis sejati telah mengeras. Dirinya yang dibobot ringan oleh Prabu Duryudana,
mundur dari hadapannya dengan sejuta rencana tumbuh didalam rongga kepalanya.

Saat Saat Terakhir

Aswatama segera pergi ke istal. Melepas kuda terbaik dari dalamnya, melepas tali yang
mengikat ke toggak, kemudian ia memacu kudanya dengan kecepatan penuh meninggalkan
percikan lumpur kotor. Ia seakan ingin membuang segala keruwetan yang mendera dadanya.
Beban yang menindihnya, seakan hendak ia angkat dan campakkan, dengan cara memacu
kuda itu sekencang kencangnya bagai dikejar setan. Tujuan yang semula telah ia rancang
dengan rasa was-was, saat ini tidak lagi mendera dadanya. Sepenuh hati rencana telah
digenggamnya tanpa keraguan sedikitpun. Banuwati, ya, Banuwati! Ia hendak menuju ke
hadapannya. Ia adalah anak dari Prabu Salya dan istri dari Prabu Duryudana. Setelah
kejadian di balairung tadi, sebuah rencana yang tertanam dari hari hari terakhir kemarin
telah tumbuh subur. Dihatinya juga telah timbul tekad bahwa ia tak lagi merasa sebagai
bawahan Prabu Duryudana. Junjungannya dimasa lalu yang telah menilai kecil perannya
selama ini. Ia merasa sadar sekarang bahwa dimasa lalunya ia telah dikerdilkan dengan
hanya diberi derajat yang hanya dipandang sebelah mata. Kekesalan yang terpendam
mencapai puncaknya ketika ia telah dibobot ringan dengan pengusiran yang kedua kali
terhadap dirinya.

Dendam membara juga berkobar dalam dadanya kepada Prabu Salya, orang tua Banowati. Ia
hanya bisa berkata dalam hati, jangankan kepada menantunya Prabu Salya tega, kepada
mertuanya-Resi Bagaspati-pun ia sampai hati menghabisi hidupnya hanya karena perasaan
malu mempunyai mertua berujud raksasa. Tapi kata katanya tersekat pada korongkongan,
tak terlahirkan oleh perasaan tidak enak kepada Prabu Duryudana. Maka ia hanya dapat
mendendam, kepada Banuwati-lah ia hendak lampiaskan. Dan malam dengan hujan rintik
itu telah membawanya menuju taman Kadilengeng. Malam ketika melintas kutaraja Astina,
ia tak menemui kesulitan apapun. Semua prajurit tunggu istana telah mengenal Aswatama
dengan baik. Dan taman Kadilengeng telah ada didepan mata.

Sementara itu di balairung Bulupitu, sepeninggal Aswatama, perasaan marah dan setengah
dipermalukan oleh Aswatama., masih mendekam didalam hati Prabu Salya. Hingga ia tak
lagi berminat mengatakan sesuatu apapun. Suasana hening melimputi suasana sidang.
Mereka yang hadir seperti terpaku ditempatnya. Hanya dalam pikiran masing masing yang
berputar putar menanggapi peristiwa yang baru saja terjadi. Ketika kesunyian itu masih saja
terjadi, Prabu Duryudana akhirnya berkata kepada pamannya.

Paman Harya Sengkuni, sungguh tidak masuk akal apa yang dikatakan oleh Aswatama.
Seorang ayah menegakan kematian anaknya, walau itu hanya anak menantu. Apakah ia
hanya bercerita atas karangan ia sendiri? Apakah ada di dunia peristiwa semacam itu
Paman?

Patih Sengkuni kemudian mengangkat wajahnya. Dipandangi wajah Prabu Duryudana


dengan perasaan ragu. Ia hendak menyelami apa sesungguhnya kehendak keponakannya
dengan mengatakan demikian. Tapi ini memang menjadi watak Sengkuni, bahkan dengan
nada meyakinkan ia mengipaskan kembali suasana yang sudah mengendap dengan
jawabannya, Ooooh Sinuwun, ada saja! Jangankankan mertua yang tega atas
menantunya, sebaliknya menantu yang melakukan pembunuhan terhadap mertuanya
juga juga ada. Bahkan ia telah membunuh mertuanya dengan tangannya sendiri.

Dimana peristiwa itu terjadi Paman? Siapakah orang yang telah tega berbuat demikian?
Prabu Duryudana kembali terbawa oleh arus pembicaraan Pamannya. Ia telah tahu apa
yang dikehendaki pamannya.

Dan jawaban Patih Harya Sangkuni dengan tidak lagi ragu Tidak jauh dari sini, bahkan . . .

Cukup . . . . . ! Kali ini Prabu Salya menukas dengan ketus. Bara kemarahan yang belum
sempurna padam kini sudah kembali berkobar. Bahkan ia sudah tak lagi dapat
mengendalikan nalarnya. Maka tak lagi ia berpikir panjang dan segera menyambung kata
katanya, Jangan lagi sandiwara seperti yang kau ucapkan tadi itu diteruskan. Aku sudah
mengerti arah pembicaraan itu, Suman! Bukankah engkau hendak mengatakan bahwa
pada masa lalu aku telah membunuh ayah mertuaku sendiri? Itukah yang kamu
maksudkan dan kamu hubungkan dengan kematian anakku Basukarna? Sudahlah, aku ini
sudah tahu arah tujuan dengan kata katamu. Kamu hendak memanasi aku kembali, agar
aku mau maju ke Medan Kurukasetra ! Tanpa kamu panasi dengan kata kata itupun aku
sudah mempunyai tekad, besok aku akan maju ke palagan peperangan. Lihatlah, esok
anak anak Pandawa akan aku kirimkan ke alam kelanggengan. Aku ulangi, tidak perlu
mamakan waktu lama, tak sampai setengah hari semua keinginanmu akan terwujud!

Lho Sinuwun Prabu Salya, bukan maksud kami menceritakan tentang Paduka Prabu
Salya, tapi bila paduka merasakan itu, ya silakan saja Patih Sangkuni menjawab dengan
nada merendah. Tetapi dalam hatinya ia tertawa terbahak bahak, menyaksikan
pancingannya berhasil diasambar sasarannya.

Sesak didalam dada Prabu Salya mendengar Patih Sangkuni yang masih saja memberi
jawaban. Namun kini yang bicara adalah paman dari Prabu Duryudana. Maka ia tidak bisa
gegabah menyalurkan kemarahan sebagaimana dilakukan terhadap Aswatama. Tidak
hendak berlarut larut dalam kemarahan, ia menghela nafas panjang. Ia berusaha sekuat
tenaga untuk memadamkan bara yang membakar hatinya. Karena ia tak lagi mau termakan
provokasi Sangkuni, ia berkata kepada Prabu Duryudana dengan berusaha setenang yang ia
bisa.

Baiklah anak Prabu Duryudana, saya meminta waktu sekejap saja. Aku ingin kembali
dulu menemui ibumu, Setyawati. Rasa kangenku terhadap ibumu tak lagi dapat ditahan.
Mohon jangan bergerak dulu ke medan Kuru sebelum aku kembali dari Mandaraka.

Baiklah rama Prabu, doa kami menyertai kepulangan rama Duryudana melepaskan
kepulangan sementara Prabu Salya dengan rasa keraguan yang tetap menekan dadanya.
Bahkan dalam hati kecilnya rasa frustrasi telah menuntunnya ke tindakan seorang pengecut.

Paman Harya Sangkuni, segala merah hijaunya perang dan jalannya pertempuran aku
serahkan kepada si paman untuk besok hari. Ikuti segala perintah dari Rama Prabu Salya.
Besok aku tidak akan ikut campur urusan perang yang sudah aku berikan sepenuhnya
kepada si paman dan rama Prabu Salya.

Malam itu juga kereta kebesaran Prabu Salya bergerak kencang menuju ke keputren
Mandaraka. Prabu Salya pulang ke Mandaraka dengan hati masgul.

Dan kedatangan Prabu Salya pada saat lepas sore itu benar benar mengejutkan Prameswari
Mandaraka, Dewi Setyawati.

Sinuwun kanda Prabu, kaget dan gembira rasa hati ini, ketika melihat Paduka Sinuwun
telah berada kembali di Mandaraka. Apakan perang sudah selesai? Siapakah yang unggul
dalam perang yang pasti melelahkan jiwa dan raga itu?

Pastilah kedatanganku membuat kamu berdua menjadi kaget. Dan perlu dinda
Setyawati, bahwa perang belumlah benar benar selesai. Kedatanganku sesungguhnya
hanya melepas kangen, sebab, aku merasa sudah terlalu lama, sejak pecah perang, baru
kali ini aku kembali ke Mandaraka meninggalkanmu. Ketahuilah, bahwa esok hari aku
akan menjadi senapati perang. Dan sebagai seorang senapati, ibaratnya adalah seperti
orang yang siap bepergian. Karena rasa sayangku terhadapmu, bila aku pergi nanti,
maka kita harus pergi berdua. Secara kebetulan, bahwa kita berdua adalah orang yang
punya hari lahir yang sama, maka bila kita pergi, sebaiknya juga kita pergi juga bersama-
sama.

Mendengar kata kata suaminya, Dewi Setyawati nampak tertegun. Sebagai seorang wanita
anak Resi Bagaspati, yang tidak lain seorang pandita yang tak diragukan kewaskitaanya, ia
sudah mempunyai firasat buruk terhadap apa yang dikatakan suaminya. Ia telah merelakan
anak anak lelakinya habis dalam peperangan itu, tapi kali ini, ia tidak akan lagi rela melepas
suaminya menjadi bebanten perang seperti yang terjadi pada anak anaknya. Maka ia bangkit
dari duduknya dan bergelayut pada selendang suaminya. Prabu Salya yang melihat tingkah
istrinya itu, kemudian tersenyum kepadanya. Apa yang menjadi kekhawatiranmu Dinda
Ratu, aku akan mendengarkan apa yang menjadi isi hatimu, kata Salya masih dengan
senyumnya.

Kanda, anak anak lelaki kita, satu demi satu sudah gugur dalam membela Negara Astina.
Bahkan anak perempuan kita Surtikanti juga telah bela pati atas kematian suminya
Basukarna. Terlepas dari siapakah yang benar dalam perang itu, hamba sudah pasrah.
Tapi, untuk kali ini, hamba tidak akan melepas kepergian paduka kemedan perang.
Cukuplah sudah pengorbanan kita untuk mukti wibawa anak kita Banuwati. Malah bila
mungkin, mintalah anak mantu kita menyudahi pertempuran, dan anak kita sekalian
diminta untuk kembali ke Mandaraka. Negara Mandaraka sudah tidak lagi mempunyai
Pangeran Pati, biarkan anak mantu Prabu Duryudana-lah yang sekiranya dapat kita
turunkan negara ini untuknya. Dan kita sudah saatnya untuk menikmati hari tua ini di
Pertapaan Argabelah dengan memasrahkan diri kepada dat yang maha kasih. Mohon
maaf kanda Prabu untuk kelancangan hamba memberikan pilihan kemungkinan yang tak
lagi mengorbankan seorangpun.

Masih dengan senyumnya, Prabu Salya malah berkata memuji. Makin rapat sang istri
memeluk suaminya. Prabu Salya pun membalas dengn memegang tangan istrinya Itulah
kenapa dari dulu aku menyayangimu, seorang anak gunung, yang jauh dari keramaian
kota dan tata krama kerajaan. Tetapi dalam dirimu yang dikaruniai kecantikan yang
sempurna, yang telah mampu merampas segenap sukmaku. Sampai sekarang walaupun
engkau sudah berputra putri dewasa, kecantikan itu tidak pudar dimakan oleh waktu,
malah semakin bersinar. Dan tak kalah dari yang telah aku ucapkan tadi, adalah
mengenai sosok dirimu secara keseluruhan. Dasar pemikiran cemerlang yang kamu punya
itu, selalu muncul setiap kali aku merasa buntu dalam menjalankan tata kenegaraan.
Hingga segala pertimbangan atas buah pikiranmu selalu menuntun aku keluar dari
masalah pelik. Maka, walaupun kita dikatakan tidak pernah terpisah sejengkalpun
seumpamanya, dari muda hingga rambut kita sudah dua warna, tetapi ketika aku
berpisah walau sekejap, rasa kangen ini selalu saja memenuhi dadaku. Dan bukan oleh
karena permintaan rama Resi Bagaspati, bila aku memperistrimu aku tidak boleh
menduakan dinda Setyawati. Tetapi memang tidak ada gunanya aku menduakanmu. Dari
dirimu, semua rasa tentram, rasa bahagia dalam mengarungi bahtera kehidupan ini,
rasanya sudah dinda berikan tanpa henti hari demi hari, tahun demi tahun. Jangan lagi
dipikirkan yang akan terjadi besok, lihat, malam ini suasana sangat indah! Kenapa kita
tidak menikmati karunia yang telah dewata limpahkan?

Jatuh kedalam pelukan mesra, Dewi Setyawati ke dada suaminya. Sanjungan suaminya yang
dikenalnya sejak lama dan selalu saja dengan nada yang romantis telah berkali-kali ia
dengar. Tapi kali ini sungguh ia dibuat terbang sukmanya. Dibimbingnya sang istri ke
peraduan. Sudah tidak muda lagi keduanya, tetapi kemesraan diantaranya tetap terjalin
waktu demi waktu. Tidak heran, bahwa lima orang putra putri telah lahir dari buah kasih
mereka. Dan nama Setyawati adalah benar-benar sebagai ujud dari nama Endang Pujawati
semasa gadisnya. Mereka berdua adalah manusia manusia yang dikaruniai kasih setia yang
dalam satu sama lain.

Dipandangnya wajah istrinya ketika ia sudah terlelap terbuai mimpi indah. Dalam hatinya
tak dapat dipungkiri, ia sangat mencintai istrinya. Dan Prabu Salya sangat memanjakan
istrinya dengan berlaku setia penuh. Mungkin ia hendak membayar kesalahan yang telah
dilakukan atas permintaannya dulu ketika rasa malunya mempunyai mertua berujud
raksasa. Tetapi sesampainya di Mandaraka ketika memboyong istrinya, ia malah mendapat
murka dari ayahnya, Prabu Mandrapati. Ia mengatakan hal yang sebenarnya terjadi atas
mertuanya, tetapi ia tidak mengetahui bahwa Resi Bagaspati adalah saudara seperguruan
ayahnya. Diusirlah Narasoma, Salya muda, ketika itu, yang diikuti oleh Madrim adiknya.
Dari situlah ia menyerahkan Dewi Madrim dan Dewi Kunti ke tangan Pandu, atas pengakuan
kekalahannya. Padahal ia telah memenangkan sayembara pilih dan berhak memboyong
Kunti puteri Mandura. Kenangan masa lalu Salya terhenti ketika ia memutuskan sesuci dan
masuk ke sanggar pamujan, meninggalkan sang istri yang masih terlelap tidur.

Kokok ayam yang pertama di pagi buta telah lama berlalu. Matahari di hari belum lagi
bersiap menerangi semesta dengan cahaya merah diufuk timur. Dalam balutan busana putih
di sanggar itu, Prabu Salya dikejutkan dengan kedatangan seorang utusan yang mengatakan
telah menunggu dua orang tamu yang hendak menghadap.

Siasat Sang Pecundang


Kita tinggalkan malam di Mandaraka. Ditempat yang lain, Aswatama dengan kebulatan
tekad telah memasuki Taman Kadilengeng di lepas sore itu. Dan di taman itu, Dewi
Banuwati tengah duduk didampingi oleh para dayang dayang-nya. Mereka dengan setia
memberikan bermacam hiburan yang ditujukan agar junjungannya dapat melupakan
kemelut yang sedang menyelubungi negaranya. Ketika Aswatama masuk ke Taman
Kadilengeng, suasana hingar bingar mendadak terhenti. Hampir semua mata menuju kearah
kedatangan Aswatama. Semua menerka nerka, pasti ada sesuatu yang sangat penting hendak
disampaikan oleh sang tamu. Sosok tamu yang semua sudah mengenalnya sebagai anak
Pedanyang Sokalima, anak dari Sang Pujangga Astina.
Begitu pula dengan Dewi Banuwati, yang memendam seribu tanya. Ada apakah gerangan
berita yang dibawa dari peperangan. Dalam suasana perang yang sudah berhari hari
berlangsung, maka pastilah kejadian demi kejadian akan cepat berganti waktu demi waktu
dan segala kemapanan pasti goyah dengan cepat. Tidak menunggu lama, diperintahkan oleh
Dewi Banuwati para dayang dayang-nya untuk segera menjauh darinya. Berita mengenai
segala perubahan di peperangan hendak ia bicarakan empat mata saja dengan Aswatama.

Sembah bakti Aswatama telah dihaturkan. Basa basi telah diucapkan oleh keduanya. Bagi
Aswatama, kebiasaan pada waktu waktu yang telah lampau, tetap ia lakukan demi siasat
yang hendak ia jalankan. Kebiasaan yang masih berlaku hormat kepada istri Prabu
Duryudana. Walau dalam hatinya ia mengatakan bahwa ia tak akan lagi menjadi abdi negara
Astina, tetapi pesona kecantikan Sang Dewi masih membuat dirinya juga tak berdaya
dihadapan Banuwati.

Pada masa lalu, kekagumannya kepada kecantikan Banowati dipendamnya dalam-dalam.


Karena dalam pikirannya, tidak sepantasnyalah ia mengagumi kecantikan dari
junjungannya. Padahal dalam hatinya yang paling dalam, senyum Banuwati telah lama
mengguncangkan hatinya. Setiap kali ia menyaksikan kemanjaan sikap dari Banuwati,
ketidak berdayaannya atas keinginannya untuk memiliki Sang Dewi semakin menindih
perasaannya. Tidak pantaslah juga, ia mengidam idamkan Banuwati yang cantik, Banuwati
yang manja, Banuwati yang sorot matanya menyinarkan pesona bagi siapa saja yang
menapnya. Tapi bagi Aswatama, tidak ada keberanian baginya untuk menatap mata itu.
Ketika itu, keberaniannya hanya sebatas memandang pesona itu dari sudut matanya saja.

Tetapi saat ini sekuat tenaga ia hendak meruntuhkan tabu tabu atas masa lalu. Dan pada saat
yang dipandang tepat nanti, ia ingin mereguk dengan segenap isi jiwanya, pesona yang
terpancar dari sosok seorang Banuwati.

Aswatama, apakah perang sudah usai? Itulah yang setiap kali diucapkan Sang Dewi
ketika ada seseorang yang kembali dari peperangan. Kembali pertanyaan itu diucapkan.
Aswatama dengan getar di dadanya mendengarkan ucapan dari bibir merah Banuwati masih
dengan angan angannya. Sangat jarang Aswatama berhadapan langsung dengan Sang Dewi,
bisa dikatakan tak lebih dari hitungan jari sebelah tangannya. Maklumlah jabatan yang ia
sandang tidak memungkinkan sering bertemu, walau ia sudah berada di istana sejak dari
muda. Pertanyaan Banuwati dengan nada yang kenes, sesuai sifat dasarnya, membuat
runtuh jantung Aswatama yang berdentang keras. Begitu kuat ternyata pesona yang
terpancar dari sosok Banuwati dari dekat. Hal inilah yang membuat kata-kata yang disusun
sebelumnya, menjadi berantakan tak karuan.

Tetapi gugupnya Aswatama dimata Dewi Banuwati dartikan lain. Dimatanya, kegugupan itu
mengisyaratkan telah terjadi sesuatu hal dalam peperangan yang menentukan yang
kehidupan negara selanjutnya. Dan Aswatama merasakan kesan yang memancar dari mata
Banuwati itu. Maka timbullah keberaniannya untuk segera melakukan tindakan yang semula
dirancangnya. Kembali ia dikejutkan dengan pertanyaan Banuwati mengulang.

Serta merta Aswatama menjawab, setelah terkaget dengan ulangan pertanyaan itu.

Memang ada yang hamba akan laporkan Sang Dewi, mengenai kejadian penting di
palagan peperangan.

Cepat katakan, Aswatama! Tak sabar Banuwati segera menyahut.

Apakah Paduka Ratu berkenan dengan apa yang hendak hamba katakan?.

Ya ya. . . segera katakanlah.

Saat sekarang kekuatan Kurawa sudah dapat dikatakan lumpuh, dan tinggal menunggu
saat saat terakhir perlawanan. Maka Baginda Prabu Duryudana memerintahkan kepada
hamba untuk membawa Paduka Sang Dewi, keluar dari taman Kadelengeng.

Oooh begitukah? Biarkan saja aku tetap di Keputren ini. Tak akan ada sesuatu yang
membuat aku khawatir akan keselamatan diriku. Datar saja ucapan Dewi Banuwati, tak
ada sedikitpun kecemasan membayang di wajahnya oleh sebab dari berita yang disampaikan
Aswatama. Berita kekalahan Kurawa, sepertinya adalah hanya merupakan masalah kecil
baginya. Aswatama hanya mengangguk anggukkan kepalanya, dan ia tidak terlalu heran
dengan sikap Banuwati.

Sejenak Aswatama terdiam, kemudian otaknya kembali bekerja. Katanya kemudian.

Tetapi ini adalah perintah dari Gusti Prabu Duryudana. Hamba akan bersalah bila tidak
menjalankan titah yang telah digariskan.

Kembalilah ke Kurusetra. Katakan kepada kanda Prabu. Bahwa tak perlu ada yang
dikhawatirkan tentang keselamatanku. Musuh Kurawa pada perang Baratayuda adalah
para Pandawa. Mereka itu adalah para kesatria yang tahu bagaimana memperlakukan
musuh, mereka tak akan mungkin mencelakakan aku. Apalagi sifat dimas . . . . Terhenti
ucapan yang sudah ada dikerongkongannya dan segera ditelan kembali. Dan warna merah
dadu menghiasi wajah Sang Dewi atas ketelanjurannya, walau terputus. Namun Aswatama
segera tahu apa yang hendak Banuwati ucapkan. Dan ini telah membuat otak Aswama
seketika terang benderang
Tetapi perkenankan hamba berterus terang. Gusti Prabu Duryudana sudah berada di
suatu tempat. Mereka sudah menunggu jemputan ini. Disana sudah menunggu pula
ayahnda Paduka Prabu Salya beserta Para Pandawa. Atas kehendak ayahanda Paduka
Sang Dewi, perdamaian diantara yang sedang berperang hendak diselenggarakan. Dan
diperkenankan Gusti Ratu sebagai saksi atas perdamaian itu. Dari pihak Kurawa akan
langsung dipimpin oleh Gusti Prabu Duryudana, sedangkan dari Pihak Pandawa akan
dipimpin oleh Raden Arjuna. Sengaja Aswatama menyebut nama Arjuna untuk memancing
kenangan terhadap kekasih gelapnya.

Ah . . ., Banuwati berdesah, senyum dibibirnya hampir saja terkembang, tetapi segera


dipalingkan mukanya untuk menyembunyikan perasaannya. Dari sudut matanya, Aswatama
mencuri pandang terhadap raut muka Sang Dewi Banuwati yang dengan susah payah
hendak menyembunyikan perasaan yang berkecamuk dihatinya. Namun senyum sekilas tadi
telah mengembangkan sejuta asa di hati Aswatama. Dalam hatinya mengatakan, Inilah
saatnya! .

Sejenak hening disekitar mereka. Aswatama membiarkan saja perasaan Banuwati melayang
layang. Namun Aswatama sudah tahu, apa pikiran yang membayang di rongga kepala
Banuwati.

Tetapi tak lama suasana itu hening itu berlangsung, kemudian Banuwati memecahkan
kesunyian.

Bila begitu yang akan terjadi, apapun yang menurut rama Prabu Salya lakukan,
hendaknya dilakukan. Tetapi yang aku sesalkan, kenapa baru sekarang kanda Prabu
hendak berdamai setelah kekalahan nampak dipelupuk matanya. Perdamaian yang
sebelumnya telah membawa banyak korban! Sejenak Dewi Banowati terdiam, kemudian
ia menyambung. Tetapi baiklah, Aswatama, kapan kita hendak berangkat?

Sinuwun Prabu Duryudana tidak mau membuang-buang waktu lagi. Malam ini juga
hamba dititahkan untuk segera mengantarkan Kusuma Dewi ke hadapannya. Jawab
Aswatama setelah menarik napas panjang. Kelegaan memenuhi dadanya, setelah sekian
lama merasa tertindih beban yang begitu berat.

Kita perlu pengawal untuk perjalanan malam ini Aswatama!

Tidak perlu Gusti Ratu, ini akan memperlambat perjalanan kita. Sedangkan malam terus
berjalan dan akan semakin larut bila waktu dibuang untuk mempersiapkan segala
sesuatu. Toh kita besok sudah kembali lagi ke Astina. Berpikir tangkas Aswatama segera
menolak usul yang disampaikan Dewi Banuwati.

Baiklah Aswatama, kita pergi sekarang!.

Maka dengan persiapan singkat, Dewi Banuwati berganti busana dan segera menaiki kuda.
Dan Aswatama menaiki kudanya pula. Tak kecurigaan apapun ketika mereka melewati
penjagaan demi penjagaan, pengawalan terakhirpun telah melepasnya. Dan tak terasa
malam makin merambat dan perjalanan mereka semakin cepat.
Batas negara telah terlewat dan sawah kemudian ladang pegagan sudah mereka lalui. Hujan
yang turun sore tadi telah lama reda,langit hanya menyisakan awan bergumpal di sana sini.
Namun sebagian, masih menampakkan bintang bintang yang berkelipan malu malu.
Kemudian tibalah mereka di padang perdu dan kemudian hutan dengan tumbuhan kayu
besar yang makin pepat. Dan malam semakin merambat larut, sementara perjalanan terus
berlanjut.

Aswatama, apakah tempat itu masih jauh? tanya Banuwati yang merasa curiga dengan
perjalanan malam yang seperti tak berujung.

Tinggal beberapa yojanya kita akan sampai? Aswatama berkilah

Benarkah? Aku lihat kita malah berputar putar arah tidak karuan bahkan kita memasuki
hutan dan jurang yang curam di kanan kiri kita! tanya Banuwati ketika sampai pada
tempat yang lapang ditumbuhi beberapa pohon pohon perdu ditepi jurang.

Mhmm . . . , baiklah! Sekarang aku tidak lagi hendak menyembunyikan apa sejatinya
yang kulakukan terhadapmu. Sejenak Dewi Banuwati bagai terhenti jantungnya. Ia
mendengar ucapan Aswatama yang bernada lain dari biasanya. Tetapi sekuat tenaga
ditenangkan hatinya. Doa akan keselamatannya ia panjatkan untuk mengatasi kejadian yang
tidak diperhitungkan sebelumnya. Dilain pihak, Aswatama yang sudah sekian lama bersikap
hormat sebagai anak Pedanyangan, ketika mengabdi pada Prabu Duryudana, kini berusaha
bersikap tegak. Secara naluri Banuwati menjauhkan kudanya dari kuda tunggangan
Aswatama.

Aswatama turun dari kudanya dan menambatkan di sebatang pohon. Tempat yang agak
lapang ini memungkinkan aku berterus terang terhadap Banuwati., demikian pikirnya
dengan debar dada yang masih bergemuruh. Tetapi setelah diingat bahwa ia hanya berdua
saja dengan Banuwati, dan apalah artinya wanita tanpa pendamping dihadapan lelaki yang
terkodrat lebih kuat. Maka jebol-lah keraguan yang semula melimputi dirinya.
Dipandangnya Banuwati dari ujung rambut hinggga ke ujung kaki dengan mata nyalang.
Senyum aneh tersungging di bibir Aswatama bagai orang yang mabuk tuak.

Banuwati yang dipandang seperti itu merasa risih, dan ketakutan mulai membayang
diwajahnya. Kembali hatinya dibesarkan, walau degup jantungnya masih juga tidak hendak
reda. Setelah menarik nafas dalam dalam, ia menanya, dengan tetap duduk diatas punggung
kuda.

Sekarang katakan apa sebenarnya yang kamu kehendaki, Aswatama? bergetar bibir
Banuwati menanyakan maksud Aswatama. Padahal sebenarnya pertanyaan itu telah
diketahui jawabnya. Namun ia masih menunggu jawab Aswatama yang masih dengan
senyum kemenangan dibibirnya. Kemudian dilihatnya Aswatama berdiri didepan kuda, dan
berkata dengan dada tengadah.

Didunia ini tidak genap dua hitungan jumlah perempuan yang memiliki pesona yang
begitu hebat. Pesona yang kamu miliki itu! Raja Astina yang begitu agung-pun bertekuk
lutut. Menurut apa yang kamu perintahkan dengan tidak ada suatu katapun yang
bernada menentang. Bahkan suatu contoh, bila keinginanmu untuk ketemu Arjuna tidak
diturut, hanya sedikit kata rayuan dan seribu alasan, permintaan itu akhirnya
dikabulkan. Benar benar Prabu Duryudana bagai kerbau yang dicocok hidungnya. Dan
pesona dari dirimu tidak urung telah menebar keseluruh lingkunganmu. Pesonamu juga
telah menyusup menembus dalam dijantungku. Setiap dirimu lewat didekatku, terasa
dadaku hendak pecah. Ya, terus terang saja! Sudah lama aku memendam perasaan ini
terhadapmu, Banuwati. Perasaan cinta yang tadinya hampir tak mungkin kesampaian
karena aku dulu mengabdi kepada Prabu Duryudana! Dan sekarang, Duryudana ada
dalam keadaan sekarat. Daripada keduluan yang lain, terimalah takdirmu bahwa
Aswatama adalah pemilik yang sah dari Banuwati untuk selanjutnya he he he . . . . ! Masih
dengan ketawanya, Aswatama mendekat dan memandang dengan nyalang sosok Banuwati
yang tertegun duduk diatas kuda. Tanpa berkedip, di kegelapan yang hanya tersinari
bintang, sosok siluet Banuwati dikeremangan itu makin mempesona dimata anak
Pedanyangan yang dimabuk keberhasilan itu. Hilang kewaspadaannya, dan tidak terpikir
bahwa suatu saat, kuda itu dapat dilecut hingga lari dan tak dapat dikejar.

Sementara di dalam otak Banuwati berputar mencari celah untuk dapat melarikan diri.
Tanpa sesadarnya kuda diarahkan mundur kembali menjauhi Aswatama yang selalu
mengikuti langkah kemana saja kuda Banuwati bergerak.

Banuwati yang lambat laun bisa menguasai dirinya, kemudian berusaha tersenyum. Ia sudah
dapat melihat dengan jelas, langkah apa yang seharusnya dilakukan untuk mengatasi
kesulitan yang menjepit dirinya.

Ooh . . . begitukah? Siapapun, termasuk kamu dapat saja menjadi suamiku bila ia
memiliki kecekatan berpikir. Dan gerak cepatmu telah membawamu untuk memboyong
aku kemana kamu suka. Bawalah aku ke Timpuru atau ke Atasangin, kesanalah kita akan
mukti wibawa meneruskan kejayaan Astina! Lihat bintang bintang dilangit adalah
saksinya!

Sang Dewi mengatakan sambil menunjuk ke langit dimana bintang-bintang masih


bergelayutan.

Tanpa sadar bagai tersihir, Aswatama juga ikut mendongak ke langit. Dan saat yang sedikit
itu digunakan dengan sempurna oleh Banuwati. Secepat kilat ditariknya kendali dan dipacu
kuda itu tanpa menoleh kanan kiri. Kaget setengah mati Aswatama dan terlanggar kuda
Banuwati. Bergulingan ia menahan sakit didadanya, dan merah padam mukanya oleh
perasaan marah yang tidak terkirakan. Segera ia menuju kearah kudanya dengan tertatih
tatih, dilepaskan ikatannya dengan terburu buru. Sumpah serapah membuncah dari
mulutnya. Terlambat sedikit, kuda yang ditunggangi Banowati telah menghilang dikelebatan
hutan dan pekatnya malam. Derap kaki kuda yang bergulung gulung menggema diantara
tebing telah memperlambat usaha Aswatama dalam menelusuri jejak Banuwati. Sementara
kabut telah turun setelah malam menjadi dingin menjelang pagi. Sempurnalah kesulitan
Aswatama dalam melacak jejak buruannya.

Dewi Banuwati yang terlepas dari tangan Aswatama ternyata tidak mahir mengendalikan
kudanya. Terpental pental ia diatas punggung kuda yang menjadi liar menyelusup diantara
pepatnya pepohonan hutan. Walau sekuat tenaga Banuwati bergayut, namun tetap ia tak
berhasil menguasai keseimbangan badan diatas pelana. Ia terhempas dan terperosok ke
dalam kelebatan perdu yang tumbuh menyebar ditebing jurang.
Jujurlah, Pinten, Tangsen!
Bayangan jingga belum lagi terbias diantara mega mega di langit timur, ketika Aswatama
telah berada jauh jaraknya dalam pencarian jejak Banuwati. Kelamnya hutan dan kabut
menjelang pagi amat mempersulitnya dalam melacak lari kuda yang ditumpangi Banuwati.
Jejak kaki kuda dan patahan ranting yang masih baru kadang masih dapat terlihat sebagai
tanda lacaknya, namun sejatinya kuda itu telah lama kehilangan penumpangnya yang
terperosok jatuh di tempat yang sudah jauh tertinggal.

Keparat Banuwati, kau telah membuat dendamku makin dalam! Ya, tidak ada yang
dapat aku katakan, belum akan mati dengan dada lapang Aswatama, jika aku belum
berhasil membunuh perempuan celaka yang berlindung dibalik kecantikan parasnya!
Perasaan sesal dan dendam melonjak lonjak dalam dada Aswatama. Segenap sisi hutan telah
ia selusuri meneliti dengan seksama tanda tanda dimana adanya Dewi Banowati, namun
Sang Dewi seolah ditabiri oleh kekuatan gaib yang tak kasat mata.

Sementara itu di Mandaraka, abdi istana telah menghadirkan kedua orang tamu yang sedari
lepas tengah malam menunggu, kapan kiranya akan ditemui oleh tuan rumah. Prabu Salya
yang masih belum beranjak dari tempat sesuci telah mengira, siapa sebenarnya yang hendak
menghadap. Firasatnya mengatakan, bukan orang lain yang hendak bertemu dengannya.
Maka ia masih tetap dalam busana putih yang ia kenakan ketika ia memuja Hyang Maha
Agung, dan juga belum hendak beranjak dari sanggar pemujan.

Prabu Salya menarik nafas panjang ketika ia melihat dihadapannya berjalan dua sosok yang
sangat ia kenal dengan baik. Dialah kemenakannya, Nakula dan Sadewa. Kemenakannya
yang lahir dari gua garba adik perempuannya Madrim. Adik perempuan satu satunya yang
sangat ia kasihi. Seketika tangannya dilambaikan kearah kedua satria yang baru saja
dipanggilnya menghadap. Sambil tetap duduk ditempat semula, tangannya mengusap usap
kepala kemenakannya dengan sepenuh kasih ketika Nakula dan Sadewa bersimpuh dan
menghaturkan sembah bakti kepadanya.
Pinten, Tangsen, duduklah dekat kemari Masih disertai senyum, Sang Uwak, ketika
melepaskan elusan tangannya. Prabu Salya terbiasa memanggil kemenakannya dengan
panggilan kecil, Pinten dan Tangsen, kepada Nakula dan Sadewa. Ia masih saja menganggap
kemenakannya masih saja selayaknya kanak kanak, walau mereka sebetulnya sudah lepas
dewasa. Panggilan itu seakan ia ucapkan sebagaimana ia dengan segenap kasih ingin
menumpahkannya kepada anak yang terlahir piatu itu. Dan masih tercetak kuat dalam
benaknya, betapa sejak kecil keduanya telah ditinggalkan oleh sepasang orang tuanya,
sehingga tak terkira betapa kasihSang Uwak tertumpah kepada kedua kemenakannya itu.

Nakula dan Sadewa beringsut sejengkal memenuhi keinginan uwaknya. Tanya seputar
keselamatan masing masing telah mereka ucapkan dengan singkat, hingga kemudian Prabu
Salya membuka pembicaraan ke hal selain basa basi.

Kedatanganmu kemari, aku merasakan seperti halnya ibumu hadir dalam diri kamu
berdua. Kembar, alangkah malangnya kamu berdua ditakdirkan terlahir sebagai anak
piatu. Sejenak Prabu Salya yang baru saja membuka kata, terdiam. Matanya menerawang
mengingat adiknya Madrim dengan segala tingkah polahnya.

Didunia ini, siapakah orangnya yang tidak mengenal Prabu Pandu Dewanata, ayahmu.
Tidak ada seorangpun yang bisa memberikan keterangan selengkap yang aku berikan
mengenai keberadaan ayahmu, kecuali keterangan itu datang dari diriku. Dulu sewaktu
ibumu hamil, ia ngidam kepengin naik Lembu Andini. Padahal ia tahu, Lembu Andini itu
kendaraan Hyang Guru. Itupun ia mengendarainya hanya sendirian saja.

Yang diajak bercerita masih diam sambil sesekali mengangguk anggukkan kepalanya.
Dibiarkannya uwaknya berceritera. Walaupun cerita itu sudah berkali kali ia dengar dari
mulut uwaknya, Prabu Salya.

Pinten, Tangsen, aku akan menceritakan kembali apa yang terjadi pada kedua orang
tuamu. Dengarkan ya. Prabu Salya menyambung, Ibumu, Madrim, ternyata meniru
tindakan Istri Batara Guru, yaitu Dewi Uma, yang juga ingin menaiki Lembu Andini
berdua dengan Batara Guru, suaminya. Walau banyak suara sumbang ingin
menggagalkan permintaan Uma atas keinginannya itu, tetapi cinta Batara Guru terhadap
Dewi Uma mengalahkan keberatan parampara kahyangan Jonggiri Kaelasa.

Cerita yang diceritakan Prabu Salya melebar, namun demikian Nakula dan Sadewa masih
saja mendengarkan dengan sesekali mengangguk kecil. Waktu demi waktu berlalu, berdua
melanglang jagat menaiki lembu Andini. Tak lah aneh, bila segala keinginan Batari Uma
dituruti, karena cinta mereka sebagai suami istri yang baru mereka jalani. Mereka lupa
bahwa berdua ada punggung Lembu Andini. Kekuatan asmara telah menggiring mereka
melakukan olah asmara diatas punggung Lembu Andini. Hingga kemudian meneteslah
kama salah, jatuh kelautan dan menjelma menjadi raksasa yang dinamai Batara Kala.
Dialah putra Batara Guru dengan Dewi Uma, yang membuat jagat yang semula tentram
menjadi kisruh, yang suci-bening menjadi tercemar, yang tegak menjadi berantakan.

Tetapi ternyata perbuatan itu telah ditiru mentah mentah oleh ayahmu, Pandu. Walau
Dewa telah memberi peringatan, tetapi ayahmu telah berlaku terlalu tinggi hati, mentang-
mentang ayahmu telah sangat berjasa bagi Kahyangan. Ayahmu lupa bahwa ia telah
diberikan anugrah ketika ia telah berhasil menyingkirkan musuh Kahyangan, Prabu
Nagapaya. Ganjaran yang telah Dewa berikan berupa Minyak Tala. Bahkan ayahmu telah
berjudi dengan nasibnya, dengan menyanggupi diri untuk menjadi kerak Kawah
Candradimuka. Itulah ayahmu, watak tinggi hati dan rasa cinta terhadap ibumu yang
tiada terkira, membuat ia lupa segalanya.

Walau mereka berdua telah berkali kali mendengar cerita tentang kedua orang tuanya, tetapi
tidak urung Nakula dan Sadewa telah meruntuhkan air matanya. Kali ini uwaknya
menceriterakan kembali peristiwa yang mengiringi riwayat kejadian atas diri mereka berdua.

Perlukah aku ceritakan bagaimana kematian kedua orang tuamu? Sejenak Nakula
Sadewa terdiam. Mereka teringat, kedatangan mereka sebenarnya adalah dalam tugas
negara. Seperti perintah yang diberikan oleh Prabu Kresna, mereka diberikan kewajiban
untuk bagaimana melululuhkan hati uwaknya, agar dalam perang di terang hari nanti,
uwaknya akan merelakan hidupnya untuk kejayaan Para Pandawa. Kresna telah mengetahui,
bila tidak ada usaha untuk membuat Prabu Salya merelakan kematiannya, maka Para
Pandawa tak akan dapat mengalahkan senapati bentukan Prabu Duryudana kali ini, yaitu
Prabu Salya.

Maka Nakula dan Sadewa telah mengambil keputusan untuk mengulur perasaan Prabu
Salya, agar nanti dengan gampang masuk mengutarakan maksudnya. Mereka pun
menjawab, Uwa Prabu, kami akan mendengarkan apa yang hendak Uwa Prabu
ceriterakan

Baiklah. Ketika kamu dikandung ibumu menjelang kelahiranmu, terjadi pemberontakan


oleh sebuah negara yang ada dalam bawahan Negara Astina. Negara Pringgondani yang
dipimpin oleh Prabu Trembuku hendak memisahkan diri dari kekuasaan Astina. Prabu
Trembuku yang merasa sudah kuat dan mampu mengalahkan ayahmu telah dengan
berani melakukan pememberontakan. Dalam perang tanding antara ayahmu dan Prabu
Trembuku, ayahmu dapat mengalahkan kesaktian Prabu Trembuku yang kala itu
menggunakan pusaka berujud keris yang bernama Kala Nadah. Sekali lagi kukatakan,
ayahmu adalah orang yang tinggi hati. Prabu Trembuku, oleh ayahmu, sudah dianggap
tak berdaya, hingga ayahmu Pandu lengah. Ketika sesumbar atas kemenangannya,
ayahmu melangkah hendak berdiri diatas tubuh Kala Trembuku, sebagai tanda atas
kemenangannya. Namun Trembuku ternyata masih kuat untuk menusukkan senjata keris
Kala Nadah ke telapak kaki ayahmu. Berhari hari Keris Kyai Kala Nadah mengeram
dikakinya. Tak ada seorangpun yang mampu mencabut keris Kala Nadah, hingga
membuat kesehatan ayahmu menurun hari demi hari. Dan akhirnya, ketika kamu berdua
terlahir kedunia, yang disertai kematian ibumu karena kehabisan darah, ayahmu juga
ikut wafat setelah memberi nama buat kamu berdua.

Sebentar prabu Salya membenahi tempat duduknya dan bergeser duduknya. Kemudian ia
melanjutkan ceritanya. Kegaiban terjadi, ketika kedua orang tuamu telah wafat, tiba tiba
saja jasad keduanya telah hilang tak berbekas. Sudah menjadi suratan takdir bahwa
kematian kedua orang tuamu adalah menuai apa apa yang mereka tanam. Janji ayahmu
Pandu untuk sanggup menjadi kerak Neraka Yomani, telah berbuah. Ucapan orang tuamu
ketika meminjam Lembu Andini, sanggup mukti waktu itu, dan sanggup sengsara
kemudian telah menjadi kenyataan.

Keris perenggut nyawa ayahmu diberikan oleh pamanmu,Yamawidura, kepada Arjuna


kakakmu. Sejak saat kamu berdua menghirup udara dunia, kamu sudah ada dalam
asuhan ibu dari Puntadewa, Werkudara dan Arjuna, ya Kunti itulah yang memberi
perlindungan atasmu sebagaimana ia memperlakukan kasihnya terhadap anak
kandungnya.

Maka itu Pinten, Tangsen, perlakukan ibumu, Kunti, dengan kasih yang sepenuh hati.
Perlakukan ibumu Kunti, seperti saudara saudaramu tua menyayangi ibunya.

Semua titah Uwa Prabu sudah hamba lakukan, sebagaimana Ibu Kunti dengan tak
membeda bedakan kasihnya antara kami berdua dengan saudara saudara kami yang
lahir dari rahim ibu Kunti. Jawab Nakula dan Sadewa serentak dengan suara yang sedikit
serak, ketika uwaknya menghentikan ceritanya sesaat.

Baik, sekali ini Prabu Salya kembali menghela nafas panjang dengan senyum puas, Selain
dari pada itu anak anakku, kamu berdua hendaklah tidak pernah menyerah dalam
menjalani Perang Baratayuda ini. Tetaplah ada pada kedekatan jarakmu dengan
kakakmu Puntadewa. Aku lihat kamu sekarang malah datang kehadapanku di
Mandaraka. Apa yang hendak kau sampaikan Pinten, Tangsen.

Kedua bersaudara kembar itu saling berpandangan. Keduanya merasa pintu telah terbuka.
Kemudian bersepakat dengan sinar matanya, siapakah yang hendak menyampaikan hal
penting sebagai utusan dari Prabu Kresna. Siapakah diantara kami Para Pandawa yang
tidak merasa khawatir, sebab kami telah mendengar bahwa terang tanah hari ini, Uwa
Prabu sudah diangkat wisuda sebagai senapati perang Astina. Tak lain yang akan
dihadapi adalah kami semua saudara Pandawa.

Berdebaran dada Nakula yang hendak menyatakan inti dari maksud kedatangannya.
Kembali dengan suara parau ia mengatakan, Maka Uwa Prabu, dari pada memperpanjang
cerita, yang tidak urung nanti Para Pandawa akan runtuh di medan Kuru, maka kami
akan menyerahkan kematian kami sekarang juga, Uwa. Dan akan jelaslah bahwa
kematian kami, kemenakan Paduka Uwa Prabu, adalah atas tangan Paduka Uwa Salya.

Terkaget sejenak Prabu Salya mendengarkan uraian kedua kemenakannya, dengan suara
meninggi ia mengatakan, Heh . . . apa yang kamu ucapkan? Sedari tadi aku
menceriterakan bagaimana keperwiraan orang tuamu, Pandu, juga dengan segala
kelemahannya. Bagaimana orang tuamu yang semua orang di jagat ini telah tahu,
ternyata ia juga adalah bagaikan seekor harimau yang sangat ditakuti. Kesaktian dan
kewibawaan orang tuamu ibarat bisa menunduk-runtuhkan gunung Himawan. Tetapi
apa yang terjadi terhadapmu, tidaklah membekas apa yang ada pada Pandu yang melekat
pada dirimu. Harimau itu ternyata hanya beranak dua ekor tikus!

Hening melimputi suasana sanggar pamujan, dengan pikiran berputar putar pada rongga
kepala ketiga manusia didalam sanggar itu. Namun sejenak kemudian dengan suara berat
Salya bertanya kepada kedua kemenakannya, Baratayuda itu sebenarnya siapa yang
berperkara?

Hampir serempak kedua satria itu menjaawb, Itu perkara hamba Para Pandawa dan
Kurawa.
Bila benar begitu, kenapa perkara itu justru merembet kepada para pepundenmu, para
orang tua orang tua yang seharusnya kamu beri kemukten. Kamu berikan kebahagian.
Malah orang tua orang tua itu telah kamu jadikan korban. Dan bila kamu adalah manusia
manusia yang berakal, tentunya kamu tidak akan menghadapku dan menyatakan minta
aku bunuh disini. Itu seperti halnya kamu sudah melihat hal yang sudah pasti, sehingga
kamu telah mengambil kesimpulan. Kata Prabu Salya dengan kalimat yang bertekanan.

Kalau kamu berdua datang bukan kepada Prabu Salya, maka tentu yang kau datangi
sudah menumpahkan rasa iba. Tapi bagiku, kedatangan kamu berdua hanya merupakan
gambaran dari betapa kamu berdua adalah sebetul betulnya manusia yang berjiwa
kerdil. Ketus Prabu Salya menyambung.

Werkudara kakakmu, adalah seorang manusia yang teguh bukan hanya tergambar dari
kewadagannya, tetapi keteguhannya merasuk jauh hingga ke lubuk hati dan jiwanya yang
paling dalam. Aku telah menjadi saksi, betapa dengan keteguhannya, dengan segala
kekuatannya ia berrenang dalam banjir darah yang ia ciptakan. Arjuna yang begitu titis
dalam olah panah, sehingga sudah begitu banyak para sraya Prabu Duyudana yang
tumbang oleh ketepatan olah warastra. Mereka adalah sebenar benarnya anak Pandu
Dewanata. Dan tak kalah dari orang tuanya, orang muda Pandawa seperti Abimanyu dan
Gatutkaca, telah bersimbah darah, dengan gagah berani mereka telah merelakan jiwanya,
gugur menjadi kusuma bangsa.

Lho sedangkan kamu itu apa? Datang berdua ke Mandaraka menyerahkan jiwa! Kamu
takut menjalani peperangan heh?

Terserahlah yang Uwak katakan . . . . Nakula menjawab dengan lesu.

Pinten, Tangsen, bukan Prabu Salya, bila menjadi samar dengan segala ulahmu. Dari aku
mendengar berita kedatanganmu, melihat sosok kamu berdua, melilhatmu mencium kaki
dengan air mata yang berlinangan; aku sejatinya sudah tahu. Itu bukan gambaran sosok
anak Pandu !!

Keheningan kembali menyungkup. Hanya pandangan mata tajam Prabu Salya menghujam
kearah kedua kemenakannya berganti ganti. Namun sebentar kemudian Prabu Salya
mengatakan dengan nada tinggi hal yang membuat kedua satria kembar itu terhenyak,
Kedatanganmu kemari adalah ada yang menyuruhmu, iya apa iya . . ?!

Menohok rasa kalimat tanya yang dilontarkan Prabu Salya, tak ada kata lain, Sadewa kali ini
yang menjawab setelah terbungkam beberapa saat, Kami mohon maaf yang sebesar-
besarnya Uwa Prabu . . . . .

Tidak . . , aku tidak akan memberimu maaf. . ! Masih dengan suara tinggi Prabu Salya
menjawab ketus. Ia kecewa dengan kedua kemenakannya.

Harus bagaimana hamba berdua Uwa Prabu? Tanya Sadewa.


Kamu berdua harus mengaku dulu, kamu sebetulnya disuruh seseorang untuk berbuat
seperti itu? Prabu Salya masih bersikeras.

Ini hal yang sebenar-benarnya hamba lakukan atas kemauan kami sendiri . . . Nakula
dan Sadewa masih mencoba ingkar.

Tidak . . . . tidak mungkin!! Kenyataan yang terjadi sekarang adalah macan yang
beranak tikus. Ooooh Pandu, apa yang terjadi dengan anak kembarmu. Apakah bila kamu
sudah berlinangan air mata dihadapanku, maka Salya akan larut. Ketahuilah, dalam
perang nanti, siapa yang menjadi musuh Duryudana, ia akan menjadi musuh Salya pula!
Prabu Salya masih mencoba mengancam

Silakan Uwa memarahi kami berdua . . . Tetapi biar bagaimanapun, silakan uwa Prabu
untuk membunuh hamba berdua, sekarang juga di Mandaraka ini. Sadewa tetap pada
pendiriannya. Bagaimanapun pembekalan dari Prabu Kresna ketika ia hendak pergi ke
Mandaraka telah ia coba lakukan dengan sepenuh kekuatan untuk memenuhinya.

Ketahuilah Pinten, Tangsen, aku masih berharap besar kepadamu berdua sepeninggal
kakakmu Burisrawa dan Rukmarata. Aku masih berharap akan ada sejumput
ketenteraman yang bisa kau berikan kepada uwakmu ini, sebab kamu berdua adalah
masih darah dagingku sendiri.

Dari tata lahirku, aku ada di pihak Kurawa. Tapi tertanam dalam dalam dihati ini,
Pandawa adalah kebenaran sejati dalam perang Barata ini.

Hmm . . Prabu Salya menggeram menahan pepatnya rasa hati. Akhirnya dengan nada
datar ia mengatakan kepada kedua kemenakannya. Kalimat yang ia reka dan akan ia katakan
inilah yang seharusnya Nakula dan Sadewa katakan terus terang kepada dirinya. Sekarang
katakan kepadaku, begini, Pinten, Tangsen. Tirukan kata kataku: Uwa Prabu, bila nanti
Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati Astina, kami para Pandawa
minta kepada Uwa, hendaknya Uwa Prabu menyerahkan nyawanya; Ayo katakan itu
kepadaku . . . !
Salya dan Bunga Cempaka Mulia
Nakula dan Sadewa kembali saling pandang. Namun tak ada kata sepakat apapun yang
tersimpul dari pandangan sinar mata masing masing.

Keduanya mengalihkan pandangannya ketika Prabu Salya kembali memecah kesunyian,


dengan pertanyaan disertai suara yang dalam. Kamu berdua menginginkan unggul dalam
perang Baratayuda, begitu bukan? Sekarang jawablah!

Tidak salah apa yang uwa Prabu tanyakan. Jawab Sadewa.

Sebab itu, tirukan kata kata yang aku ucapkan tadi. Kembali Salya memerintahkan
kepada kedua kemenakannya dengan setengah memaksa.

Kedua satria kembar itu kembali saling pandang. Kali ini Nakula bertanya kepada adiknya,
Sadewa. Bagaimana adikku, apa yang harus aku lakukan?

Tersesrahlah kanda, saya akan duduk dibelakang kanda saja. Jawab Sadewa lesu

Kembali Nakula bersembah dengan mengatakan, Dosa apakah yang akan menimpa kami .
. . . Baru berapa patah kata Nakula berkata , namun dengan cepat Prabu Salya memotong
ucapan yang keluar dari bibir Nakula

Bukan!! Bukan itu yang harus kamu katakan! Tetapi katakan dan tirukan kalimat yang
telah aku ucapkan tadi.

Sinar mata memaksa dari Prabu Salya telah menghujam ke mata Nakula ketika ia
memandang uwaknya. Seakan tersihir oleh sinar mata uwaknya, maka ketika Prabu Salya
menuntun kalimat demi kalimat itu, Nakula menuruti kata yang terucap dari bibir Prabu
Salya bagai kerbau yang tercocok hidungnya.

Uwa Prabu . .

Uwa Prabu, tiru Nakula

Bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati Astina . . . .,

Bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati Astina,

Kami para Pandawa minta kepada Uwa . . . .

Kami para Pandawa minta kepada Uwa


Hendaknya Uwa Prabu menyerahkan nyawa Uwa di peperangan. . . .

Sesaat Nakula tak berkata sepatah katapun, hingga kalimat terakhir itu diulang oleh Prabu
Salya. Dengan kalimat yang tersendat, akhirnya Nakula menggerakkan bibirnya,
Hendaknya Uwa Prabu menyerahkan nyawa di peprangan nanti.

Bangkit Prabu Salya begitu kemenakannya mengucapkan kalimat terakhir itu. Dirangkulnya
Nakula, dielusnya kepala kemenakannya itu dengan penuh kasih. Setelah beberapa saat
berlalu dengan keheningan, Prabu Salya melepas pelukan, kemudian duduk kembali.
Katanya, Kembar, itulah kalimat yang aku tunggu. Aku rela mengorbankan jiwa untuk
kejayaan Para Pandawa. Dari semula aku tidak berlaku masa bodoh terhadap peristiwa
yang terjadi dalam perang ini. Aku tidak samar dengan siapa sejatinya yang benar dan
siapa yang salah, siapa yang jujur dan siapa yang curang. Dalam hal ini, Pandawa berhak
mengadili siapa yang salah dalam perang Barata ini. Keduanya hanya menganggukkan
kepala dengan lemah.

Begini Pinten, Tangsen, mulai saat ini, uwakmu akan turun tahta. Dengarkan kata
kataku, aku akan turun tahta keprabon Mandaraka. Nakula dan Sadewa menatap mata
uwaknya dengan pandangan tidak mengerti. Sejurus kemudian Prabu Salya meneruskan,
Setelah aku, uwakmu, turun tahta, seisi Kerajaan Mandaraka dengan segenap jajahan
dan bawahannya, aku akan serahkan kepada kamu berdua. Mulai saat ini, kamu berdua
aku wisuda sebagai Raja-raja baru di Mandaraka. Kamu berdua akan aku beri nama
Prabu Nakula dan Prabu Sadewa.

Sejenak Nakula dan Sadewa terdiam. Dengan sang uwak mengatakan hal ini, maka jelaslah
bahwa Prabu Salya tidak lagi bermain dalam tata lahir. Dengan menyerahkan Negara
Mandaraka, maka sudah begitu terang benderang, kesanggupannya menyerahkan nyawa di
Medan Kurusetra adalah tumbuh dan terlahir dari dalam hati yang terdalam. Maka Nakula
dan Sadewa yang diberi kepercayaan hanya berkata menyanggupi Hamba, uwa Prabu,
semua yang uwa Prabu katakan akan hamba junjung tinggi.
Kemudian Prabu Salya melanjutkan, Kewajiban kamu berdua adalah; Nakula, kamu akan
aku berikan tugas sebagai raja yang menangani urusan di dalam negara. Sedangkan
Sadewa, kamu kuberikan kewajiban sebagai raja yang menangani urusan di luar negara.
Yang saya maksudkan adalah, Sadewa, melakukan hubungan ketatanegaraan denga raja
raja diluar Mandaraka. Sedangkan Nakula, lakukan penggalangan dengan raja raja
jajahan yang ada dalam lingkup Negara Mandaraka.

Menjadi raja itu sebenarnya tidaklah mudah tetapi juga tidak sulit. Tetapi ibarat orang
yang hendak bepergian, ia haruslah membawa bekal yang cukup. Bila selayaknya orang
yang bepergian dengan arti yang sebenarnya, cukuplah dengan bekal uang dan barang
barang tertentu. Tetapi bila berbicara mengenai bekal bagi orang yang hendak menjadi
pemimpin negara, haruslah kamu berdua memiliki sedikitnya empat hal yang harus kamu
berdua kuasai.

Uwa Prabu, kami akan mendengarkan segala petuah yang hendak paduka berikan
kepada kami berdua, keduanya mengatakan kesanggupannya.

Pertama, pujilah Asma yang Maha Agung atas kekuasaannya terhadap alam semesta.
Mengertilah, bila kamu menjumpai sesuatu yang ada, pastilah ada yang menciptakan.
Pencipta itu langgeng namun yang diciptakan akan rusak atau berganti oleh berlalunya
waktu. Ikuti perubahan yang terjadi dan janganlah tetap tinggal dalam sesuatu yang
tidak langgeng. Bergeraklah dalam perubahan bila tidak ingin terlindas oleh perubahan
itu. Maka benarlah sebagian orang mengatakan perubahan itulah, langgeng yang
sebenarnya..

Kedua, lakukan tata cara bersembah, menurut tata cara yang telah digariskan atas
kepercayaan masing masing. Jangan pernah memaksa tata cara dan kepercayaan lain
yang sudah mereka anggap benar. Tetapi tegakkan terlebih dulu tata cara bersembah
yang telah menjadi kepercayaanmu itu. Dan hendaknya kamu berdua jangan mengatur
segala hal mengenai kepercayaan secara resmi dalam negara. Dengan keresmian
pembentukan wadah kepercayan kepada yang Maha Tunggal oleh negara, ini akan
mengakibatkan kapercayan yang telah terbentuk oleh negara akan menguasai dan
bertindak sewenang wenang atas kepercayaan kelompok kepercayaan kecil yang lain.
Awasi saja agar kepercayaan itu tumbuh dengan kewajaran dalam jalur yang lurus, tidak
saling mengalahkan atas kebenaran menurut kepercayaan masing masing. Ciptakan
kebebasan terhadap setiap pribadi dalam menentukan kepercayaan yang dipilih. Katakan
kepada setiap pribadi dan golongan; jangan kalimat dalam kitab suci mereka, dipahami
secara sempit, hingga mereka terkungkung oleh langit yang mereka ciptakan sendiri dari
ajaran yang dianut.

Ketiga, pahami kebenaran sejati. Jangan pernah menyalahkan kebenaran yang dianut
orang lain dan jangan menyalahkan juga kebenaran yang sudah menjadi kepercayaanmu
sendiri. Bila kamu senang menyalahkan kebenaran yang dianut orang lain apalagi
kelewat mengatakan kepada pihak lain, bahwa kebenaran yang paling benar adalah
kebenaran yang kau anut, maka mereka yang kau katai akan kembali menyalahkan
kebenaran yang kau anut. Tentu kamu sudah tahu apa akibatnya.

Bila itu yang kau lakukan, maka kamu sudah bersifat Adigang, Adigung dan Adiguna.
Sifat yang dimiliki oleh watak tiga binatang, yaitu; Adigang, sifat atau watak kijang,
Adigung, watak seekor gajah dan Adiguna watak ular. Kijang yang menyombongkan
dirinya dengan mengandalkan kecepatan larinya. Gajah yang mengandalkan dirimya
yang paling besar dan kuat sedangkan ular yang sombong mengandalkan bisa atau
racunnya yang mematikan. Bila sifat itu yang kamu majukan dalam menata negara, itu
seperti halnya kamu tidak akan dapat menata negara dengan berlandaskan rasa keadilan.
Kedilan yang sebenar benarnya adil dan dapat dirasakan oleh orang banyak adalah,
tetaplah dalam perilaku yang berlapang dada terhadap perbedaan dan mengertilah akan
rasa peri kemanusiaan.

Nakula dan Sadewa yang mendengarkan petuah uwaknya tetap ditempat bagai terpaku pada
lantai sanggar. Keduanya hanya duduk tertunduk dan mengangguk kecil bila sang uwak
memandangnya meminta apakan ia memahami apa yang dikatakannya.

Dan keempat, tetaplah selalu mencari ilmu dan pengetahuan yang selalu baru. Bisalah
kamu berdua menyatukan antara ilmu dan pengetahuan. Orang yang menguasai imu itu
sebenarnya bagaikan manusia yang berjalan dalam pekat malam namun diterangi
dengan sinaran yang cukup terang, atau orang yang berjalan dalam licin namun ia
bertongkat. Dan ilmu itu sejatinya berkuasa mengurai sesuatu barang atau keadaan yang
kusut. Ilmu itu harus kamu jalankan atas landasan budi pekerti yang luhur. Orang yang
berilmu dan berpengetahuan tinggi, akan menghancurkan sesamanya bila tidak berjalan
diatas landasan budi pekerti yang luhur. Sebaliknya perilaku luhur budi yang didorong
oleh ilmu pengetahuan akan menciptakan tata dunia yang tentram tertib dan adil .

Sampai disini Prabu Salya diam dan memandang kembali kedua kemenakannya. Yang
dipandang hanya mengangguk tanda mengerti.

LanjutnyaSedikitnya empat hal inilah yang kamu harus penuhi ketika kamu menjadi
raja.Sekarang kembalilah. Kembalilah ke pesanggrahan Hupalawiya. Terang tanah yang
sebentar lagi datang, aku sudah akan datang kembali ke medan Kurukasetra sebagai
seorang senapati perang.

Baiklah Uwa Prabu, kami berdua undur diri, hendaklah kejadian nanti di Medan Kuru
tidaklah menjadi timbulnya dosa baru bagi kami sendiri atau Para Saudara kami
Pandawa nanti. Serempak keduanya memohon diri setelah dianggap cukup semua
peristiwa yang akan menentukan masa depan keduanya, uwaknya Prabu Salya serta
saudaranya Para Pandawa.

Ya, ya anakku, semoga semua akan berjalan baik. Puja keselamatan aku panjatkan
kepada yang Maha Adil untuk kejayaan Para Pandawa.

Undur diri Nakula dan Sahadewa dengan perasaan campur aduk. Kebesaran hati sang uwak
telah mengusik ketidak tegaan kemenakannya. Terpikir bagaimana saudara saudaranya
harus menyingkirkan rasa tega terhadap orang tua yang sebenarnya tidak condong dalam
mengayomi Para Kurawa, walau uwaknya itu telah menyatakan kesanggupannya
menyerahkan jiwa untuk kemenangan Para Pandawa.

Prabu Salya yang ditingalkan oleh kedua kemenakannya segera beranjak dari Sanggar
Pemujaan. Ia teringat dengan kewajibannya bahwa hari ini harus segera kembali ke medan
Kurukasetra. Ketika ia menengok kedalam tilam sari, dilihatnya istrinya Dewi Setyawati
masih tertidur pulas memeluk guling. Termangu Prabu Salya memandang tubuh istrinya
yang tergolek bagai boneka kencana. Ragu dalam hati Salya meninggalkan tempat istrinya
berbaring diam dengan tarikan nafas yang teratur. Tetapi ia segera menetapkan diri akan
kewajiban dan kesanggupannya terhadap menantunya, Prabu Duryudana. Tanpa membuang
waktu lagi, bergegas ia berganti busana pamujan ke busana keprajuritan. Diperhatikan
pusakanya seksama dengan perasaan yang tidak menentu. Berangkatlah Prabu Salya dengan
tanpa pamit dengan istrinya. Namun perasaan bersalah menghentak dalam dadanya. Ia telah
meninggalkannya dengan sembunyi-sembunyi. Sepucuk surat telah ia letakkan di sisi
pembaringan.

Kereta yang ditumpangi Prabu Salya yang melaju pesat di dini hari yang masih berembun.
Semilir angin pagi yang menusuk tulang namun memberi kesegaran baru. Segala yang
dilalui seakan akan bergerak cepat kearah belakang bagai scene cerita yang berkeradapan
bingkai demi bingkai. Gambaran masa lalu, ketika ia pertama kali ketemu dengan istri
tercintanya, Setyawati. Tidaklah mengherankan bahwa masa lalu itu terlintas, kegalauan hati
masih berkecamuk ketika ia meninggalkan sang istri, telah membawanya mengenang masa
lalu ketika dirinya masih muda.

Bingkai gambar itu dimulai saat pertama kali tatapan mata Salya muda itu saling bertumbuk
dengan sinar mata Endang Pujawati, nama muda Setyawati. Kejadian di Pertapaan
Argabelah ketika dirinya tersuruk suruk meninggalkan kerajaan Mandaraka, setelah diusir
oleh ayahndanya, Prabu Mandrakesywara. Ayahnya yang kecewa dengan perintah kepada
dirinya agar segera menikah telah ditolaknya dengan halus. Permintaan itu disodorkan oleh
ayahnya waktu itu, agar ketika ayahndanya menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada
putranya, maka dirinya sudah bertaut dengan seorang wanita. Namun dirinya yang waktu itu
masih bernama Narasoma, mengajukan syarat, bahwa dirinya harus menikah dengan wanita
yang serupa persis dengan ibunya. Ayahnya yang salah memahami permintaan dirinya
akhirnya mengusir dirinya hingga terlunta lunta sampai di Pertapaan Argabelah.

Tumbukan sinar mata di pertapaan Argabelah itu telah memercikkan api dan mengobarkan
asmara keduanya. Maka ketika Endang Pujawati pun terbakar api itu, diseretnya sang ayah,
Begawan Bagaspati, untuk menemui dirinya. Terperanjat dirinya waktu itu, ketika melihat
ayah Pujawati yang ternyata berujud seorang raksasa. Dalam hati bergolak sebuah
pertanyaan, benarkah Pujawati, wanita dengan sejuta pesona, berayah seorang pendeta
raksasa? Tetapi pertanyaan ketidak mungkinan itu ditepisnya sendiri. Seketika akalnya
berputar, bagaimana caranya memetik bunga cempaka mulia indah nan mewangi, tetapi
ditunggui oleh seekor buaya putih. Apa kata ayahnya bila ia berbesan dengan seorang
raksasa?!

Pujawati, inikah satria yang kau katakan telah mempesonamu? Begawan Bagaspati
menanyakan kepada anaknya. Namun pertanyaan itu hanya basa basi saja. Dalam
kenyataannya Begawan Bagaspati telah mengetahui apa yang sedang terjadi pada keduanya.
Maka tanpa menunggu jawaban ayahnya, Begawan Bagaspati menanyakan kepada
Narasoma.

Raden siapakah andika sebenarnya? Sapa Bagaspati.

Heh Pendeta Raksasa, siapakah namamu?, Sifat tinggi hati Salya muda tak mau kalah.
Ooh tidak mau mengalah rupanya satria ini. Baiklah, namaku adalah Begawan
Bagaspati. Sedangkan siapakah nama andika, Raden? Tanya Bagaspati kembali.

Akulah anak Raja Mandaraka, Prabu Mandrakesywara. Namaku Narasoma. Kata


Narasoma waktu itu dengan muka tengadah. Dirinya tak memungkiri bahwa dimasa muda,
berwatak degsura. Namun dilain pihak Begawan Bagaspati seakan terhenyak.
Mandrakesywara adalah salah seorang saudara seperguruannya, bertiga bersama seorang
saudara seperguruan yang lain, yang bernama Begawan Bagaskara yang juga berujud
seorang raksasa. Namun ia tak mengatakana sesuatau apapun. Sifat Narasoma dan alasan
yang tidak bisa ia ungkapkan, menuntunnya untuk tidak mengatakan sedikitpun mengenai
jati dirinya.

Raden, perkenankan andika menyembuhkan sakit yang diderita oleh anakku ini.
Bagaspati menjelaskan.

Lho, kamu itu seorang pendita, yang pasti memiliki segala ilmu agal alus. Tidakkah kamu
dapat menyembukan penyakit anakmu sendiri?

Tapi penyakitnya adalah penyakit asmara, Raden. Hanya seorang yang dapat
menyembuhkan penyakit itu kecuali andika Raden. Bersediakah Raden mengobati
anakku?. Bagaspati berterus terang dengan bahasa halus. Tanyanya mengharap.

Sepercik sinar telah menerangi akal pikiran Narasoma ketika itu. Terbuka kesempatan
bagaimana cara melenyapkan duri yang menghalangi hubunganku dengan wanita yang
menjadi pujaan hati. Baiklah, aku mempunyai syarat agar putrimu dapat sembuh dari
sakit itu. Syaratnya kamu harus menjawab teka teki dariku. Sanggupkah?
UTANG PIUTANG BAGASPATI NARASOMA

Silakan Raden memberi teka teki kepadaku. Akan kujawab semampuku, bila aku tahu
jawabannya. Begawan Bagaspati adalah seorang Pendeta yang sudah tak lagi samar dengan
polah tingkah manusia. Ia adalah manusia sakti yang mengetahui setiap keadaan didepan
dengan penglihatannya yang tajam berdasarkan getar isyarat dan gelagat yang ia terima.
Meskipun demikian ia masih juga ingin melihat dengan seutuhnya getaran itu dengan lebih
jelas. Maka ia masih tetap ingin mendengarkan langsung kata teka teki dari mulut
Narasoma.

Ini teka-teki ku, dengarkan baik baik. Suatu hari ada seekor kumbang jantan yang sedang
terbang tak bertujuan. Terlihat olehnya ada setangkai bunga cempaka yang sedang mekar
dengan indahnya. Penuh dengan sari madu yang membuat sang kumbang begitu
terpesona dan terbitlah rasa lapar ingin menghisap sari madu itu. Namun ternyata
didekat bunga mekar itu, terdapat seekor buaya putih yang sedang menunggui.
Sedangkan kumbang hanya dapat menghisap sari madu bunga cempaka itu, bila buaya
putih penunggu telah terbunuh.

Sampai disini Begawan Bagaspati menarik nafas panjang. Ia sudah mengetahui maksud dari
teka teki yang diberikan oleh Narasoma. Maka katanya kepada Pujawati, Raden, tidak usah
kau teruskan teka teki itu hingga selesai. Aku sudah dapat menebak teka teki itu. Pujawati,
pergilah ke sanggar pamujan, siapkan segenap perangkat upacara kematian. Bentangkan
selembar mori putih dan kekutug kemenyan beserta mertega sucinya. Segeralah anakku
Pujawati.

Seketika tercekat kerongkongan Pujawati. Kegelisahan telah merayapi jantungnya, namun ia


masih saja meminta keterangan kepada ayahnya.

Untuk apa dan siapa yang hendak diupacarai, Bapa? Gemetar suara Pujawati.
Sudahlah nanti kamu juga akan tahu sendiri. Bukankah engkau menghendaki Narasoma
menjadi kekasih hatimu? Inilah syarat yang harus kamu sediakan dalam menjawab teka
teki dari calon suamimu, Pangeran Pati Mandaraka, Raden Narasoma. Segeralah kamu
lakukan apa permitaanku Pujawati. Dipandangnya Pujawati dengan sinar mata yang
seakan menyihir Pujawati agar segera meninggalkan keduanya.

Sebagai anak yang selalu patuh, Pujawati mohon diri disertai pandangan Narasoma yang
terpesona dengan tingkah dan kecantikannya. Dilain pihak Pujawati lengser dengan
dihinggapi perasaan yang amat gundah.

Sepeninggal Pujawati, Begawan Bagaspati melangkah lebih dekat ke depan Narasoma.


Kemudian ia mengatakan Raden Narasoma, calon menantuku yang bagus, aku tidak
samar dengan apa yang kau maui dengan teka teki yang kau ucapkan. Baiklah, aku akan
meminta syarat bila menghendaki Pujawati sebagai istrimu.

Katakan Begawan, tentu aku akan kabulkan semua persyaratan yang kau ajukan.
Narasoma penuh percaya diri menyanggupi.

Bila nanti kamu sudah beristrikan Pujawati, cintai dia dengan sepenuh kasih sayang.
Janganlah kau perlakukan anakku dengan sia sia, walaupun ia hanya seorang anak
perempuan gunung yang jauh dari suba sita dan kekurangan tata pergaulan kerajaan.
Selanjutnya, bila nanti kamu sudah kembali ke Mandaraka, tidak urung nanti kamu akan
menggantikan kedudukan ayahmu, Prabu Mandrakesywara. Walaupun kamu berwenang
untuk mengambil selir seberapapun banyaknya, tetapi hendaknya engkau tetap setia
dengan seorang Pujawati saja. Peganglah teguh janjimu bila tidak ingin menemui petaka.

Persyaratan yang mudah. Baiklah begawan, sekarang katakan jawaban atas pertanyaan
teka-teki itu. Jawab Narasoma, masih terbawa oleh pesona terhadap kecantikan seorang
wanita. Maka segalanya mudah saja baginya menyangupi. Tetapi sesaat kemudian kembali
Narasoma mengungkit tentang pertanyaan teka teki yang belum terjawab. Pertanyaan yang
sebenarnya mudah jawabannya bagi seorang Bagaspati.

Jawabannya gampang gampang susah. Gampang untuk mengucapkan dengan lidah,


tetapi tidak gampang menyelesaikan dengan tindakan. Begini bagus Narasoma, kumbang
jantan yang kau maksud disini adalah dirimu itu. Sedangkan rasa lapar pada si kumbang
dan ingin menghisap madu itu adalah, rasa asmara yang tak tertahankan. Kembang
cempaka mulya disini diartikan sebagai anakku Pujawati. Tidaklah samar lagi, siapa
yang kau sebut sebagai buaya putih penunggu kembang cempaka, itu adalah aku sendiri.
Sejenak Begawan Bagaspati diam. Diamati raut wajah Narasoma yang tegang dan
memendam gejolak pada matanya. Lanjut Begawan Bagaspati.

Penjelasannya adalah, kamu kepengin menyunting anakku Pujawati, tetapi dirimu malu
mempunyai mertua semacam aku ini. Maka kamu menginginkan, agar aku disingkirkan
dari madyapada ini, agar kamu tidak mendapat malu didepan orang tuamu. Itukah yang
kau maksud dengan teka teki itu, raden?

Getaran hebat menjalari seluruh jantung Narasoma. Walaupun perumpamaan itu sudah
yakin akan dijawab dengan mudah oleh Begawan Bagaspati, namun tak urung ia terjerumus
dalam jurang rasa salah yang teramat dalam. Setelah diredam rasa itu dengan segala
kekuatannya ia menjawab dengan gemetar; Aduh Panembahan, benar tanpa sedikitpun
yang tertinggal. Namun aku memintakan seribu maaf atas keinginanku yang sedemikian
itu. Aku tidak ingkar, itulah sejatinya maksud dari teka teki itu.

Sedikitpun tak ada raut marah atau kecewa Begawan Bagaspati terbayang diwajahnya
Bahkan ia mengatakan kepada Narasoma, Aku tidak kecewa dengan apa yang menjadi
kehendakmu. Tetapi sungguhkah persyaratanku atas keinginanmu menyunting anakku
dapat kau pegang teguh?

Ya, aku berjanji untuk memegang teguh persyaratan yang kau minta. Serta merta
Narasoma menjawab terdorong keterkejutan karena sikap Bagaspati yang dialaminya.

Baiklah lega rasanya hati ini. Menantuku yang tampan, perkenankan aku menyebutmu
menantuku sekarang. Tak ada waktu lagi kedepan aku menyebutkan kau sebagai
menantuku, karena aku telah mengiklaskan jiwaku sekarang. Lekaslah agar tidak
membuang waktu, segeralah cabut pusakamu, tancapkan ke dada ini.

Maafkan aku rama Begawan, semoga semua yang aku lakukan kalis dari semua dosa
dosa. Narasoma mencoba menjawab sambil tetap meredam getar di dada.

Maka keris pusaka Narasoma telah dihunus. Dipandangnya sejenak keris pusaka yang
selama ini tak pernah mengecewakan dirinya. Tetapi ketika keris itu menyentuh dada
Begawan Bagaspati, keris pusaka itu bagai menumbuk lembaran baja yang begitu tebal.
Berdentang memercikkan api, ujung keris yang menerpa dada Begawan Bagaspati, tetapi
segores lukapun tak nampak pada dada Sang Begawan. Tetapi tidak kalah kaget begawan
Bagaspati dengan kegagalan yang dialami oleh Narasoma.

Dengan murka Narasoma berkata. Heh Begawan Bagaspati, ternyata ucapanmu tidak
lahir terus ke batinmu. Janjimu hanya sebatas sampai ke bibir saja, tidak terus ke hatimu.
Kenapa kamu tidak juga merelakan jiwamu? Malah kamu mempertontonan kesaktianmu!

O o o . . . , Sabar Raden, ada suatu yang terlupa. Didalam tubuhku masih terpendam ajian
yang dinamai Aji Candabhirawa. Ujudnya hanyalah manusia kerdil berwajah raksasa,
tetapi bila ia dilukai oleh senjata, maka ia akan bertambah jumlahnya menjadi seratus.
Bila mereka dilukai kembali, mereka akan berlipat jumlahnya menjadi seribu dan
seterusnya. Ajian ini akan sekalian aku serahkan kepadamu dengan syarat kamu harus
memelihara Candabirawa dengan sebaik-baiknya.

Ya,Baklah, rama Begawan, aku akan menerima segala yang kau kehendaki. Katakan
syarat itu.

Sebentar aku hendak semadi, untuk menyuruh Candabhirawa keluar dari dalam hatiku.

Beberapa saat Begawan Bagaspati mengatupkan tangannya, terpejam mata dalam


khusuknya tepekur, menguncupkan empat panca indera, hanya indera perasa yang ia
kerahkan dengan tajam. Sesaat terloncat ujud manusia kerdil dengan wajah yang
menakutkan! Itulah Candabhirawa!
Mencium kaki seketika Candabhirawa dengan takzim. Kemudian ia menanyakan Oooh
Begawan . . , ada apakah gerangan, hamba disuruh keluar dari gua garba paduka Sang
Resi?

Sudah sampai waktuku untuk aku pergi ke keabadian sejati. Untuk itu sudah aku
sediakan sosok pengganti untuk kamu mengabdi. Lihat, siapakah yang berdiri didepanmu.
Itulah sosok yang akan kau huni sebagai penerus dari kejayaan Candabhirawa.

Namun terbayang kekecewaan Candabhirawa, ketika ia melihat sosok yang dilihatnya. Sosok
yang dilihatnya menyiratkan manusia yang kurang melakoni tindak prihatin. Sosok yang
lebih mementingkan kesenangan pribadi belaka dan terkesan sombong. Maka dengan
memelas ia mengatakan kepada Bagaspati. Aduh Bapa Resi, bisakah hamba ikut Bapa
untuk selama lamanya? Hamba melihat hal yang berbeda dari pada yang biasanya
hamba alami ketika bersama dengan kebiasaan Bapa Begawan. Yang aku lihat pada sosok
itu tidaklah akan membuat aku betah tinggal pada raganya meratap Candabirawa dikaki
Sang Begawan. Begitu kecewa ia membayangkan perpisahan dengan Bagaspati.

Raden! Raden sudah mendengar sendiri keluhan dari Candabirawa. Maka bila raden
berkenan untuk diikuti oleh Candabhirawa bersama dengan kesaktiannya yang tiada tara,
maka Raden harus berjanji sekali lagi untuk menyanggupi permintaan Aji
Candabhirawa.

Akan aku penuhi perminatanmu Begawan, dengan segala kemampuan yang ada padaku.
Apakah permintaannya?

Candabhirawa akan lapar, bila raden kenyang. Candabhirawa akan sedih bila Raden
senang senang berlebihan dan segala sesuatu akan terbalik bila Raden merasakan
kenikmatan yang berlebihan. Sanggupkah Raden hidup dalam suasana yang serba
sederhana?

Baik, aku bersedia! Hendaknya bumi dan langit menjadi saksi. kembali Narasoma
mengucap janji.

Sekarang ulangi lagi apa yang sudah Raden lakukan tadi. Segeralah, mumpung Pujawati
belum kembali. Sinar mata Begawan Bagaspati menerobos dinding hati Narasoma yang
sedang terguncang menerima peristiwa yang datang secara bertubi tubi. Maka tanpa berpikir
panjang, kembali keris pusakanya dicocokkan ke dada Begawan Bagaspati. Tak ayal lagi
percobaan kedua ini telah berhasil. Tembus dada raksasa Bagaspati. Darah menyembur dari
luka Begawan Bagaspati, bergetar seluruh tubuh sang Begawan. Tetapi ia tewas sesaat
kemudian dengan bibir tersenyum puas.

Rasa bersalah yang berusaha ia tepiskan tak segera pergi. Gemetar tangannya yang masih
menggenggam kerisnya, hingga ia tidak dapat melakukan apapun. Ia masih berdiri termangu
mangu, hingga ia dikejutkan dengan suara yang menyapanya.

Narasoma menantuku, aku titipkan anakku Pujawati sesuai dengan janjimu. Hingga
nanti bila perang besar tiba dan kau jumpai senapati yang berdarah putih, pada saat
itulah aku hendak menjemputmu bersama sama dengan anakku Pujawati. Aku akan
menunggu di alam madya, hingga waktu itu tiba. Terkesiap Narasoma ketika terdengar
suara itu.

Tetapi seketika angan Salya buyar oleh suara gemuruh prajurit yang menunggu
kedatangannya hingga siang hari di medan Kuru. Ya, kedatangan Salya di Tegal Kuru itu
telah terlambat. Matahari di hari itu telah menuntaskan basah embun sedari lama.

Pada saat yang sama, kesiangan Sang Dewi Satyawati terbangun dari mimpi indah, ketika
sinar matahari menerobos celah jendela kamarnya. Geragapan Sang Dewi membenahi
pakaiannya yang kusut, menyisir rambunya dengan jari. Tatapan matanya seketika tertuju
pada sepucuk surat yang tergeletak di pembaringan. Dibacanya dengan seksama surat itu
yang menyatakan ia telah pergi kembali ke Kurusetra dan telah diserahkan negara
Mandaraka kepada kemenakannya Nakula dan Sadewa.

Setengah teriak ia memanggil Endang Sugandini, saudara dekat putri dari Begawan
Bagaskara. Endang Sugandini telah menjadi kawan setia Setyawati sejak ia dikalahkan oleh
Prabu Salya dan diruwat dari ujudnya semula, raseksi bernama Tapayati, emban Prabu
Kurandageni dari negara Girikedasar.

Yang dipanggil buru-buru datang. Yang dijumpainya, sedang menangis tersedu, Sugandini,
tenyata malam tadi adalah malam yang penuh kenangan. Aku sudah merasa bahwa
malam tadi adalah malam terakhir bagi aku bersama kanda Prabu Salya. Sugandini aku
akan pergi menyusul Kanda Prabu ke peperangan.

Kusumaratu, hamba tidak mau paduka pergi seorang diri. Hamba akan ikut bersama
paduka kemedan Kuru.

Sementara itu di Pandawa Mandala Yudha, Nakula dan Sadewa telah kembali dari
Mandaraka. Telah diceritakan dengan lengkap apa yang terjadi sepanjang lepas tengah
malam hingga ia tiba kembali di Pesanggrahan Hupalawiya. Setelah semuanya menjadi jelas
bagi Prabu Kresna, ia membuka pembicaraan penting dengan Prabu Puntadewa.

Sudah tiba waktu yang dijanjikan paman Prabu Salya, dinda Puntadewa!.

Apakah yang kanda Kresna maksudkan? Tanya Prabu Puntadewa.

Dinda, sudah saatnya dinda maju menjadi Senapati, menandingi senapati Kurawa,
Paman Prabu Salya.

Kanda hamba tidak ingin lagi melihat mengalirnya darah yang tertumpah dari dada
orang-orang tua kami yang hamba hormati. Kembali Kresna melihat sifat asli dari Prabu
Puntadewa.

Tetapi ingatlah, berkali kali sudah kanda katakan, perang ini bukan lagi tempat untuk
berbakti antara orang muda terhadap orang yang lebih tua, tetapi perang yang terjadi
adalah perang yang berdasar atas keutamaan dan berpayungkan atas keadilan. Jurus
pertama Kresna ajukan dalam membujuk Prabu Puntadewa untuk mau maju sebagai
senapati.

Bila begitu kanda, kanda Prabu telah menentukan bahwa Uwa Prabu Salya adalah orang
yang tidak berlaku adil. Dimanakah letak ketidak adilan yang terdapat pada diri Uwa
Salya. Jawab Prabu Puntadewa tenang.

Tidakkah dinda melihat, bahwa Prabu Duryudana adalah sosok yang melakukan tindak
angkara. Tetapi dinda lihat sendiri, paman Prabu Salya tetap membela tingkah pakarti
yang dilakukan oleh kanda Duryudana. Terus mendesak Kresna untuk meyakinkan Prabu
Puntadewa.

Tetapi hamba tidak bisa mengatakan bahwa Prabu Salya tidak bertindak adil. Mestinya
kanda Prabu Kresna tahu, bahwa kanda Prabu Duryudana adalah salah seorang dari
menantu Prabu Salya. Bila ada seorang mertua yang membela menantu, apakah ini bisa
desebut salah Prabu Puntadewa menjawab.

Benar disatu sisi tapi tidak benar disisi yang lain. Memang benar bahwa Prabu
Duryudana adalah menantu pada garis kekeluargaan. Tetapi dalam sisi kebenaran
semesta, tindakan Prabu Salya adalah salah. Prabu Duryudana yang tidak bertindak
dalam garis kebenaran, tidak selayaknya dibela oleh Paman Prabu Salya. Tidakkah dinda
ketahui siapa yang seharusnya memiliki bumi Astina. Mestinya bukankah dinda
Puntadewa?!. Kresna masih ngotot merayu Prabu Punta.

Tetapi kanda, saya sudah merelakan hal itu. Biarkan kanda Prabu Duryudana tetap
menikmati manisnya madu yang terkulum. Perang Baratayuda dimualai bukan atas
kemauan hamba, diakhiri sekarangpun juga bukan kemauan hamba.

Krena menghela nafas panjang. Sulit sekali merasakan bagaimana ia harus menundukkan
hati manusia yang begitu kukuh dalam memegang kesucian. Namun sejenak kemudian,
rayuannya kembali mengalun, Dinda, ini adalah perang Baratayuda. Yang sudah banyak
memakan korban bukan saja dari prajurit kecil, tapi sudah meluas mengorbankan para
orang orang tua kita dan anak anak kita yang harus kita lindungi dan orang yang
seharusnya kita beri kemukten. Bila dahulu sewaktu peprangan dimulai dinda diam saja,
sekarang begitu sudah banyak makan korban dengan mudahnya dinda hendak
menghentikan. Mengapa pada awal pecah perang dinda diam saja.

Masih dengan tenang Puntadewa menjawab, Bila dulu hamba diam saja, itu tidak berarti
hamba setuju. Tapi apalah saya ini, bila saudara kami yang empat sudah mempunyai
kemauan yang tak dapat dihalangi, maka peristiwa yang seharusnya terjadi itu terjadilah.
Biarlah semua orang didunia mengatakan, bahwa Puntadewa adalah seorang raja yang
tidak teguh dalam menjalankan negara, dan tidak becus dalam memimpin adik adiknya.
Hamba adalah orang yang siap untuk diberi cap sebagai raja yang pantas untuk dicela,
tidak bisa dijadikan tauladan. Hamba menjadi raja bukan atas kemauan hamba, dan
semua pengaturan tata negara sudah hamba berikan kepada saudara kami yang empat.
Diam, suasana balairung kembali sunyi. Kresna setengah putus asa. Akhirnya ia berkata
kepada Werkudara, Werkudara, bisakah kamu memberi usulan bagaimana kakakmu itu
bisa maju menandingi senapati Astina paman Prabu Salya?.

Hlaaa, jangankan aku. Yang sebagai adiknya. Kamu sendiri yang selalu menjadi tempat
untuk mengurai kekusutanpun, tak lagi diturut omongannya! . Jawaban Werkudara tidak
membuat Kresna puas.

Arjuna, kamu tentunya bisa memberikan sumbang saran?. Pertanyaan Kresna beralih ke
Arjuna.

Aduh kanda, hamba yang sebaga saudara muda, apalah daya yang hamba miliki kanda
Kresna.

Dimas Nakula Sadewa, bagaimana? Kresna menanya kepada kembar dengan jawaban
yang sudah ia perkirakan.

Yang disebut namanya hanya saling pandang.

Jadi bagaimana Werkudara? Kembali pertanyaan ditujukan kepada Werkudara.

Baiklah, kanda Puntadewa. Bila sudah tidak ada rasa memiliki adik adikmu ini. Sekarang
aku dan saudaramu yang empat akan melakukan bakar diri.

Silakan dinda. Tetapi setahuku, orang yang hendak bunuh diri dengan mengatakan
kepada orang lain, itu biasanya perbuatan yang tidak sungguh sungguh. Jawab
Puntadewa. Kresna yang mendengar jawaban Puntadewa tersenyum kepada Werkudara
penuh arti.

Kresna, aku sudah tidak sanggup! keluh Bima seenaknya.

Kesunyian kembali menggenang, keputus asaan Kresna membuat ia tak kuasa untuk
memutar otak yang seakan kusut. Tapi tiba tiba Puntadewa berkata, Kanda, bila hamba
diminta menjadi senapati menandingi senapati dari Astina hamba sanggup, tetapi hamba
harus tetap kalis dari dosa. Hamba sanggup melakukan itu bila jaminan itu ada, kanda.

Terang pikiran Prabu Kresna seketika mendengar kalimat kalimat yang tak terduga
meluncur dari bibir Prabu Punta. Maka dengan sepenuh hati ia meyakinkan keinginan yang
tertuang dari hati Prabu Puntadewa. Baiklah dinda, saya pastikan dinda akan tetap suci
dan tidak terlumuri dosa, bila yang memerintah paduka adalah Sang Hyang Wisnu.
Lihatlah dinda, kanda akan memperlihatkan diri dalam bentuk Wisnu, dan dengarkan apa
yang pukulun Sang Hyang Wisnu hendak katakan.

Perlahan Prabu Kresna memuja semedi, dikerahkan kekuatan untuk membuka pintu
batinnya dan mampu memperlihatkan kesejatian dirinya dalam rupa Batara Wisnu. Telah
tercapai maksudnya, berkata ia kepada Prabu Puntadewa, Heh titah ulun Puntadewa,
hendaknya kamu segera maju ke medan perang. Tandingi kekuatan Prabu Salya dengan
sarana Pusaka Jamus Kalimasadda. Lepaskan pusakamu untuk menyirnakan jasad Prabu
Salya.

Tersenyum Kresna ketika ia telah berhasil membujuk Prabu Puntadewa. Canggung gerak
Prabu Puntadewa ketika menaiki kereta dengan sepasang kuda perang putih dengan
didampingi oleh Nakula dan Sadewa. Sedangkan Arjuna dan Werkudara pun tidak
mengambil jarak yang cukup jauh dalam menjaga keselamatan kakak sulungnya.

Sementara di padang Kurusetra, amuk Prabu Salya seakan tak terbendung. Berbagai macam
senjata telah mengenai sosok Prabu Salya, namun tak satu senjata yang mampu melukai
kulit Sang Senapati.Tak diketahui orang yang sedang berada di peperangan, Sukma Sang
Bagaspati melayang menunggu saat yang ditunggu tunggu. Salya menantuku, sekarang
sudah saatnya bagiku untuk menjemput kamu. Narasaoma, aku tidak membenci kamu
walaupun kamu telah membunuhku. Tapi kehendakku, belum akan kembali ke tepet suci
bila tidak bersama dengan anak dan menantuku. Nah sekarang lah waktunya. Aku akan
menyatu dalam tubuh Puntadewa. Salya tunggu kedatanganku. Melayang sukma
Bagaspati menyatu dalam diri Prabu Punta.

Ketika melihat kedatangan Puntadewa yang menaiki kereta itu, hatinya tercekat. Ia sudah
merasa terdapat aura aneh yang terpancar pada diri lawannya.

BARATAYUDA JAYABINANGUN
(babak akhir)
Semakin dekat Prabu Puntadewa, semakin berdebar jantung Prabu Salya. Firasatnya
mengatakan inilah saat yang ia janjikan. Namun kemudian Prabu Salya teringat kembali
akan keberadaan ajiannya yang diturunkan oleh mertuanya, Begawan Bagaspati. Aji
Candabirawa.

Sejurus kemudian dipusatkannya segenap rasa dalam pamuja, meloncat dari goa garba ujud
mahluk bajang berwajah raksasa. Itulah Aji Candhabhirawa!

Raden Narasoma, hendak menyuruh apa kepadaku, Raden?! Tanya Candabirawa.

Sekali lagi aku meminta kerjamu. Lihat didepanku, dialah musuhku, Prabu Puntadewa.
Bunuh dia! Tanpa membantah, Candabirawa segera berlalu dari hadapan Prabu Salya. Ia
kemudian mengamuk sejadi jadinya kearah para prajurit pengawal Prabu Puntadewa.
Sementara Prabu Puntadewa sendiri telah rapat dijaga oleh para prajurit dan Arjuna serta
Werkudara. Terkena senjata para prajurit yang terbang bagaikan gerimis yang tercurah dari
langit, Candabirawa membelah diri. Menjadi sepuluh, seratus, seribu dan tanpa hitungan
lagi yang dapat terlihat. Geger para prajurit Hupalawiya lari salang tunjang melihat kejadian
disekelilingnya yang begitu nggegirisi. Kresna segera bertindak menghentikan rangsekan
musuh dalam ujud mahluk kerdil yang begitu menyeramkan itu. Perintah Kresna untuk
bertindak tanpa melawan amukan Candabirawa disebarkan ke seluruh prajurit yang segera
menyingkir.
Ketika serangan berhenti, maka para mahluk kerdil itupun ikut terhenti, saling berpandang
dan termangu mangu sejenak. Sebagian lagi larut menjadi semakin sedikit. Tetapi tak lama
kemudian mereka bergerak kembali kearah dimana Prabu Puntadewa berada. Ketika sudah
dekat jarak antara para manusia kerdil itu, tiba-tiba gerombolan itu berhenti mendadak.
Mereka kemudian saling berbisik. Heh teman temanku semua, kita sudah memperbanyak
diri. Tapi begitu aku melihat ke arah Prabu Puntadewa, kelihatan olehku disitu
bersemayam sesembahanku yang lama, Begawan Bagaspati. Teman, kita telah lama
merasakan lapar dan capek ikut Prabu Salya yang kurang memperhatikan kita, terbawa
oleh kesenangan yang ia jalankan sehari hari. Prabu Salya kebanyakan bersuka ria dari
pada melakukan olah penyucian diri. Akan lebih baik bila kita ikut kepada sesembahan
kita yang lama! Mari kawan semua, kita kembali ke haribaan Begawan Bagaspati.

Bagai arus bah mengalir, para mahluk kerdil berwajah raksasa segera larut dalam raga Prabu
Puntadewa. Peristiwa ajaib yang dilihat Prabu Salya membuatnya jantung Prabu Salya
semakin berdebar. Guncang moral Prabu Salya, hingga terasa menyentuh dasar jantungnya
yang terdalam. Semakin yakin ia bahwa saat yang djanjikannya telah tiba.

Prabu Puntadewa telah bersiap melepaskan panah dengan pusaka Jamus Kalimasadda yang
disangkutkan pada bedhor anak panah. Busur telah terpegang pada tangan kirinya dan
terutama ketetapan hati telah diambil. Tak akan menjadi dosa bila Batara Wisnu yang
memerintahkan membunuh musuh.

Walau Prabu Puntadewa tidak sesering para saudaranya berolah warastra, tetapi sejatinya ia
adalah salah satu murid Sokalima yang tidak jauh kemampuan olah senjata panah dibanding
dengan Arjuna. Sebagaimana Arjuna yang mempunyai hati lebih tegar, maka Puntadewa
sejatinya adalah pemanah jitu, baik menuju sasaran diam setipis rambut maupun sasaran
bergerak secepat burung sikatan. Hatinya yang suci dan cenderung peragu-lah yang
membuat ia tidak seterkenal adiknya, Arjuna, dalam olah warastra.

Maka ketika anak panah meluncur dari busurnya, tidaklah ia melakukannya untuk kedua
kali. Sekali ia melepaskan anak panah kearah Prabu Salya, maka menancaplah anak panah
itu kedada bidang Prabu Salya. Kulit Salya yang kebal terhadap berbagai macam senjata
telah terpecah, rebah Prabu Salya!
Sakit di dada Prabu Salya tak terasakan, hanya kepuasan hati yang terasa ketika ia telah
menyender di bangkai gajah. Ia telah memenuhi janji terhadap kemenakannya, Nakula dan
Sadewa. Janji itu telah terlaksana dengan sempurna. Senyum lemah di bibir Prabu Salya
ketika menarik nafas dan menghembuskannya untuk terakhir kalinya.

Seketika perang berhenti. Prabu Punta yang tidak lagi ingin melihat tumpahnya darah segera
memberi aba aba kembali ke pakuwon, sedangkan prajurit Kurawa dengan sendirinya telah
mundur mencari pembesar yang sekiranya masih bisa menaungi.

Hanya Patih Sengkuni yang merasa telah putus asa telah berbuat nekad. Kenyataan yang
begitu pahit seakan tidak dapat diterimanya dengan akal sehatnya. Kurawa seratus dengan
bantuan begitu banyak raja seberang, telah tumpas oleh krida Para Pandawa. Dengan
sesumbarnya yang mengesankan sebagai manusia yang telah kehilangan asa, ia gentayangan
mengincar kematian Para Pandawa.

Patih Sengkuni adalah seseorang yang sejak kelahirannya telah ditakdirkan membawa watak
culas. Kelahirannya ditandai dengan terusirnya seorang dewa dari pusat Kahyangan,
Paparjawarna. Dewa yang memang memangku sifat culas yaitu Batara Dwapara. Terusirnya
Batara Dwapara itu bersamaan dengan lahirnya Harya Suman, nama kecil dari Sengkuni
atau Sakuni.

Putra Prabu Gandara itu telah disusupi oleh Batara Dwapara yang diperbolehkan oleh Sang
Hyang Wenang untuk menitis kepada seorang anak manusia yang tertakdir sebagai tukang
memanasi suasana. Maka sepanjang hidupnya, ia telah berlaku mengipas segala bentuk bara
angkara sekecil apapun menjadi berkobar liar menyambar-nyambar.

Dengan tidak lebih duapuluh Kurawa yang tersisa, Harya Sengkuni mengamuk menarik
perhatian Prabu Kresna dan Werkudara yang masih saja siaga menghadapi suasana yang
mungkin saja terjadi.

Werkudara! Lihat Sangkuni mengamuk! Jangan dikira ia yang bertubuh bungkuk dan
lemah, dapat kamu kalahkan dengan segenap kekuatan tenagamu. Tetapi sebenarnyalah
ia adalah seorang yang kebal senjata. Tetapi otakmu harus kau gunakan juga. Mungkin
kamu dulu sudah ketahui, bahwa ia telah berlumurkan minyak Tala ketika cupu berisi
minyak Tala peninggalan orang tuamu Prabu Pandu menjadi rebutan dan jatuh ke sumur
dalam. Ketika itu Pendita Kumbayana telah berhasil mengangkat cupu itu, tetapi karena
masih jadi rebutan dan minyak Tala itupun tumpah. Sangkuni telah melumuri dirinya
dengan minyak Tala dengan bergulingan diatas tumpahan minyak. Tetapi ada yang
terlewat, yaitu bagian duburnya. Bagian itulah yang kamu dapat jadikan sasaran awal
untuk menyobek kulit dagingnya!

Melompat Werkudara tidak sabar untuk menyelesaikan tugas di ujung sore itu. Didekati
Sangkuni yang terbungkuk bungkuk sesumbar maciya ciya tanpa memperhatikan
sekelilingnya. Ilmu kebalnya telah membuat ia bagaikan tak ada yang bisa mengalahkannya.
Lengah Arya Suman!
Dan sejumlah Kurawa yang mencoba menghadang menjadi sasaran amukan Werkudara.
Mereka bagaikan laron yang masuk kedalam kobaran api. Tumpas Kurawa yang
menghadang.

Hayoh keparat Pandawa! Maju kemari bila masih bernyali melawan Harya Suman . . . .
! Belum habis kata kata Sangkuni, Werkudara telah menyambar tubuh lawannya yang
memang tidak lagi gesit setelah raganya dirusak oleh Patih Gandamana. Patih Astina ketika
Prabu Pandu Dewanata bertahta.

Pundak Harya Sangkuni dipegang erat, kemudian diangkat kakinya sehingga ia terbalik.
Sejurus kemudian kuku Pancanaka Werkudara telah mendarat di sela sela bokong Sengkuni.
Sementara kaki Werkudara telah menahan salah satu kaki Sengkuni yang satu lagi. Belah
raga Sengkuni dengan jerit mengiring kematiannya.

Werkudara, belum cukup kamu menangani raga Sengkuni. Ingat sumpah ibumu, Kunti,
ketika ia telah dilecehkan olehnya, sehingga kemben ibumu melorot dan menjadi tontonan
dan sorakan orang-orang Kurawa. Ketika itu ibumu bersumpah, tak akan berkemben bila
tidak menggunakan kulit dari Patih Sengkuni yang telah mempermalukannya. Kuliti
sekalian dinda!

Senja telah menjelang usai gugurnya sang senapati utama, Prabu Salya. Layung senja oleh
terbawa awan mendung melayang menyorotkan cahaya jingga, ketika Dewi Setyawati telah
sampai di medan Kurukasetra. Berdua dengan Endang Sugandini, Dewi Satyawati seakan
berenang dalam genangan darah. Sebentar sebentar ia membolak balik jenazah yang
terkapar, mencari cari jangan jangan jenazah itu adalah sang suami. Sementara mendung
makin tebal terkadang seleret petir menyambar menerangi walau sesaat sosok demi sosok
yang ia perkirakan adalah raga Prabu Salya.

Ketika untuk kesekian kali kilat menerangi medan perang itu, Dewi Setyawati tak lagi ragu
terhadap sosok yang ia perkirakan sebagai jenazah suaminya. Menjerit Dewi Setyawati
memanggil nama suaminya. Dipeluk sosok yang belum lagi kering darah didadanya. Kanda
Prabu, paduka telah meninggalkan hamba. Paduka gugur sebagai tawur perang ini.
Walau paduka telah tidak lagi bernyawa, namun sikap tubuh dalam gugur paduka,
seakan akan melambai mengajak hamba turut serta. Sejenak Setyawati menciumi jenazah
suaminya yang sudah semakin dingin. Ditetapkannya hatinya untuk menyusul kematian
suami tercintanya, Marilah kanda, ajakan kanda untuk pergi bersama seperti yang
Paduka ucapkan semalam, tak kan kuasa hamba tolak. Segera diraih cundrik, sejenis keris
kecil yang terselip di pinggang Dewi Setyawati, tewas Sang Dewi menyusul kekasih hatinya.
Sementara Begawan Bagaspati dengan senyum menjemput dan menggandeng anak dan
menantunya menapaki keabadian.

Endang Sugandini yang sama sama mencari jenazah Prabu Salya tak jauh dari Dewi
Setyawati segera datang menghampiri, ketika mendengar jerit saudara sekaligus temannya
karibnya. Melihat Prabu Salya dan Dewi Setyawati yang keduanya saling berpeluk, terpekik.
Tanpa pikir panjang segera ia juga melepas cundrik yang menancap di dada Dewi Setyawati,
kemudian menyusul Salya dan Setyawati.
Sepi menguak di Kurukasetra setelah peristiwa itu. Awan mendung yang menggantung telah
berubah menjadi hujan yang demikian lebat. Air hujan itu seakan telah mensucikan ketiga
raga manusia yang memiliki kesetiaan tanpa cela.

Malam itu di Pesanggrahan Pandawa Mandalayuda, Prabu Puntadewa masih duduk di


bangunan yang dirupa sebagai pendapa. Diantaranya duduk Prabu Matswapati dan Prabu
Kresna.

Eyang Baginda, tak ada rasa sedih seperti yang terjadi pada saat ini. Kemenangan demi
kemenangan telah kami dapatkan hari demi hari disepanjang Perang Baratayuda
Jayabinangun ini. Namun kemenangan demi kemenangan telah dibeli dengan jatuhnya
tawur para saudara, orang tua, guru, dan semua orang yang sepantasnya hamba beri
kemukten. Puncaknya, hari ini, tangan hamba telah mengantarkan Uwa Prabu Salya ke
tepet suci. Sekecil ujud debupun, hamba tidak mengira, bahwa gerak tangan hamba ini
akan menjadi lantaran perginya Uwa Mandaraka.

Prabu Matswapati menarik nafas panjang. Apa yang dikatakan oleh Prabu Puntadewa adalah
hal yang sangat dipahaminya. Sesal sekecil apapun pasti membekas di dada Puntadewa yang
begitu teguh memegang kesucian diri. Maka sejurus kemudian ia berkata, Cucu Prabu,
sebagaimana telah terjadi pada trah Matsya, tumpasnya anak anak lelaki yang aku
punyai Seta, Utara dan Wratsangka pada mulanya telah membuat sesal dan sedih. Tetapi
semoga cucu Prabu menjadikan contoh dari perasaanku terhadap takdir. Semua kejadian
yang telah terjadi hendaknya dipasrahkan saja kepada Yang Maha Mengatur. Berikanlah
jiwa ini keringanan beban, serahkan segalanya kembali kepada-Nya, sehingga kita
menjadi ringan dalam melangkahi hari hari didepan.

Kalimat yang dikatakan Eyangnya yang sangat dihormati telah sedikit memberi pencerahan
di hati Prabu Puntadewa yang segera mengatakan isi hatinya yang masih terpendam Sabda
Eyang Baginda Matswapati sedapat mungkin akan hamba akan lakukan. Tetapi Eyang,
masih ada beberapa saudara kita Kurawa termasuk Kanda Prabu Duryudana masih
belum kelihatan dalam perang hari ini. Maka perkenankan hamba mohon kepada Kanda
Prabu Kresna, mumpung dalam pertemuan ini juga hadir, agar besok hari untuk bersama
sama membimbing saudara saudara kami Pandawa, untuk mencari keberadaan kanda
Prabu Duryudana. Ajaklah kanda Prabu untuk kembali ke Astina.

Sejenak Prabu Puntadewa terdiam, seakan ada sesuatu yang penting hendak disampaikan;
Eyang, hamba akan pasrahkan seutuhnya Negara Astina untuk membangun kembali
diatas reruntuhan yang terjadi dalam perang. Hamba bersaudara telah mengambil
keputusan untuk hanya menempati Negara yang kami bangun dengan keringat dan darah
kami sendiri, Negara Indraparahasta atau Amarta!

Tersenyum Prabu Matwapati, sangat mengerti ia akan keluhuran budi cucu yang satu itu.
Keputusan yang sebenarnya telah disampaikannya pada sebelum korban berjatuhan dan
menjadi luluh lantak. Walau kemenangan sudah dikatakan telah ada di tangan, tetapi
keputusan semula masih saja ia pegang Cucu Prabu Punta, begitu luhur budimu. Untukmu
kaki Kresna, segera setelah sidang sore ini terlaksana, bersiaplah untuk mencari
keberadaan Prabu Duryudana. Eyangmu sangat setuju dengan putusan yang diambil oleh
cucu Puntadewa, yang hanya mengambil Negara yang dibangun atas landasan hutan
Mertani ketika itu.
Maka ketika cerah mentari pagi telah menerangi hari, Prabu Kresna telah berada diluar
Medan Kuru yang hari itu menjadi demikian sepi. Hiruk pikuk peperangan yang telah
berlangsung sejak delapan belas hari telah menyisakan pemandangan yang begitu
mengerikan.

Namun Prabu Kresna teringat akan ucapannya ketika Prabu Baladewa yang disisihkan
dengan tipu dayanya, agar tidak ikut ikutan dalam perang, dan harus bertapa di Grojogan
Sewu atau air terjun dengan seribu alur. Tetapi ia berjanji bahwa walaupun hanya sekejap
sajapun, kakaknya diberi waktu untuk menyaksikan perang itu.

Disitu Prabu Baladewa bertapa memuja ke hadapan Dewa, agar diberikanlah kerukunan
antara saudara saudaranya Kurawa dan Pandawa. Ketika itulah Kresna sudah sampai di
tempat Prabu Baladewa bersemedi.

Dosa besarlah namanya, Werkudara, bila seseorang membangunkan orang yang sedang
bertapa. Tetapi kali ini ada hal yang tidak dapat ditunda lagi. Mari dinda, bantu aku
mengheningkan cipta untuk membangunkan kanda Baladewa dengan aji Pameling. Kata
Kresna kepada Werkudara setelah berada di hadapan Prabu Baladewa yang selalu dijaga
putranya Raden Setyaka.

Segera Prabu Kresna bersemadi membisikkan aji Pameling kearah telinga hati Prabu
Baladewa. Demikianlah pesat cipta Prabu Kresna telah mampu mengubah jalannya waktu.
Terkena aji Pameling, Prabu Baladewa seketika terbangun dari tapa. Bagai bangun dari tidur
dengan mimpi yang nggegirisi, dihadapannya telah berdiri Kresna dan Werkudara.

Dinda kamulah yang aku tunggu, apakah Baratayuda sudah dimulai. Atau bahkan
perang sudah selesai?

Kurawa sudah tumpas hari ini kanda Prabu. Tetapi ada satu yang masih kita cari, Prabu
Duyudana. Jawab Kresna.

Jagad dewa batara, ternyata tragis akhir hidup para Kurawa. Sudahlah, sekian saja
Werkudara, cukup sampai disini kita menyudahi pertengkaran yang membawa
kehancuran. Kamu harus ingat bahwa Pandawa dan Kurawa adalah berasal dari satu
turun. Turun dari Eyang Wiyasa. Betapapun pasti Eyang Wiyasa sangat sedih melihat
apa yang sudah terjadi.

Sudah aku ingatkan kanda Prabu Duryudana sejak semula tapi itulah yang terjadi
Jawab Werkudara.

Mari Kanda, kita cari dimana dinda Duryudana sekarang berada. Dinda Punta sudah
merelakan Negara Astina tetaplah menjadi milik Kurawa. Ajak Kresna

Perjalanan kemudian dilanjutkan kembali dengan mengerahkan ketajaman insting Kresna.


Tak lama kemudian terlihat seekor gajah yang dengan tenangnya merumput.
Lihat kanda, kita bertemu dengan gajah yang tidak asing lagi. Gajah Kyai Pamuk. Tetapi
lihat lagi, dipunggung gajah itu terlihat busana dari Prabu Duryudana, serta bermacam
senjata. Hamba pikir di telaga itulah Prabu Duryudana bersembunyi dibawah rimbunnya
tanaman teratai merah yang mengambang.

Aku juga berpikir begitu. Biarlah aku akan memanggil Prabu Duryudana. Betapa
kangennya rasa hati ini walau tidak sampai sebulan aku telah terpisah. Dan akan aku
tebus tapaku untuk kedamaian antara saudara saudaraku Pandawa dan Kurawa.
Baladewa menimpali.

Dengan lantang kemudian Baladewa memanggil manggil Prabu Duryudana , Dinda Prabu,
ternyata dinda ada disini. Sudah kangen rasa ini untuk bertemu dengan dinda Prabu
Duryudana. Saya kakakmu Prabu Baladewa. Dinda, perkenankan dinda keluar dari air
telaga walaupun hanya sebentar. Kita dapat berbicara dari hati kehati.

Suara itulah yang ditunggu tunggu Prabu Duryudana. Walau sayup suara Prabu Baladewa
karena lebarnya telaga, namun ia telah yakin, yang ditunggu sudah tiba. Keluar dari tempat
persembunyian ditengah telaga dan segera mendekati arah Prabu Baladewa. Berrangkulan
keduanya tanpa menghiraukan sekelilingnya.

Terimakasih kanda telah bersusah payah mencari kami, kanda. Kandalah yang selama
ini hamba tunggu. Bukannya hamba lari dari tanggung jawab, ngeri atau pengecut, tetapi
hamba ingin melawan musuh hamba dengan olah gada. Olah gada yang kanda Prabu
ajarkan. Selayaknya kanda Prabu menjadi saksi ketrampilan olah gada yang aku tekuni.
Sepantasnya guru menjadi saksi kesaktian muridnya.Duryudana berkilah.

Oooh dinda, kami datang bukan untuk menantang perang. Tetapi justru kami datang
dengan ajakan berdamai. Telah banyak para orang tua tua kita yang menjadi tawur
perang! Kami beserta para Pandawa telah bersepakat untuk mengajak paduka dinda
untuk kembali ke Astina, dan melupakan kejadian yang telah lalu, yang sejatinya kita bisa
jadikan pelajaran kita melangkah kedepan. Baladewa mencoba memberikan penjelasan.

Para Pandawa sudah menerima bahwa mereka rela menyerahkan Negara Astina dan
hanya meminta negara Amarta yang mereka bangun dengan jerih payah sendiri.

Namun jawaban Prabu Duryudana tidak menjadikannya persoalan selesai Tidak, tidak
kanda! Kanda telah mengecilkan hamba. Prajurit kami telah gugur berribu ribu
jumlahnya. Apa gunanya hamba yang tinggal sendirian takut mati. Tidak! Hamba adalah
raja besar. Raja yang sudah bertahun tahun hidup dalam kemuliaan. Tidak selayaknya
hamba melepaskan begitu saja tanggung jawab itu.

Dibiarkannya Prabu Duryudana menumpahkan rasa hatinya oleh Baladewa, sesat kemudian
Duryudana menyambung Kalah atau menang, Pandawa akan kecewa. Seumpama saya
yang menang itu sudah menjadi kewajiban kami untuk membangun kembali kemuliaan
kami, dan kemuliaan Prabu Duryudana akan menyudul hingga kelangit tujuh. Tetapi bila
Pandawa yang menang, mereka akan kecewa. Negara Astina sudah hancur. Mereka
hanya akan merawat anak anak yatim dan janda janda korban perang. Mereka hanya
akan menemukan reruntuhan demi reruntuhan.
Menarik nafas panjang Prabu Baladewa yang kemudian menggelengkan kepala lemah,
katanya Keterlaluan dinda Duryudana yang mempunyai watak gunung. Tak bisa
diperlakukan rendah. Baiklah sekarang kanda akan menuruti kemauan dinda Prabu.

Paduka Kanda Prabu Baladewa hendaknya menjadi saksi, kami minta perang tanding
gada dengan salah seorang Pendawa, yang mempunyai sosok seimbang. Jawab
Duryudana.

Demikianlah, setelah selesai mengenakan kembali busana keprajuritan yang terletak


dipunggung gajah, maka Duryudana telah berhadapan dengan Werkudara. Satu lawan satu!
Kresna mendekati Werkudara sebelum perang tanding dimulai dengan membisikkan sesuatu
yang disusul anggukan kepala Werkudara penuh arti.

Ketika Prabu Duryudana bergeser, maka Werkudara-pun bergeser pula. Ia menyadari


sepenuhnya, bahwa Duryudana itu sudah siap untuk meloncat menyerangnya.
Tetapi Werkudara-pun sadar, bahwa Duryudana mulai serangan gadanya dengan menjajagi
kemampuannya, sebagaimana juga akan dilakukan oleh Werkudara.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Duryudana meloncat menyerang dengan penggada
tepat kearah dada. Namun seperti yang diduga oleh Werkudara, Duryudana belum
mempergunakan tataran ilmunya yang tertinggi. Meskipun demikian namun pukulan itu
seakan-akan telah meluncur secepat lidah api dan melontarkan angin yang keras
mendahului gerak tangan Duryudana yang terjulur itu.
Werkudara bergeser selangkah menyamping. Meskipun ia tahu bahwa lawannya belum
menyerang dengan sepenuh kemampuan, namun Werkudara tidak mau merendahkannya.
Karena itu, sejak awal ia telah mulai mengetrapkan ilmu kebalnya Bandung Bandawasa.
Ilmu yang dapat melindungi ujud wadagnya, meskipun ia masih belum yakin jika serangan
lawannya cukup kuat dengan lambaran ilmu yang sangat tinggi, hingga serangan itu akan
dapat menyusup, dan memecahkan perisai ilmu kebal itu.
Berapa saat, pertarungan berjalan semakin seru.Tetapi baik Werkudara maupun Duryudana
tidak mau tergesa-gesa. Justru karena masing-masing melihat kelebihan lawannya, mereka
harus mebuat perhitungan yang sebaik-baiknya dalam pertempuran itu. Bagaimanapun
mereka tidak boleh membuat kesalahan yang akan dapat menjerumuskan mereka kedalam
kesulitan yang gawat.
Serangan-serangan Duryudana itu semakin cepat menyambar nyambar Werkudara dari
segala arah. Langkahnya seakan-akan sama sekali tidak diberati oleh bobot tubuhnya.
Seperti seekor burung sikatan Duryudana itu meloncat menyambar dan sekali sekali
mematuk dengan gadanya.

Sengitnya perang tanding masih diawasi dengan tegang oleh Prabu Kresna dan Baladewa.
Sebentar sebentar mimik muka keduanya menegang, sebentar kemudian kembali cair.
Terasa kesiur angin panas dari ayunan gada mulai menampar tubuh keduanya dan
memaksanya sedikit menjauh dari arena pertempuran. Sementara pukulan gada keduanya
dari waktu ke waktu semakin dahsyat. Keduanya telah sampai pada tataran teringgi
kemampuannya. Kekuatan yang bagaikan taufan saling menghantam badan keduanya, tetapi
mereka adalah manusia manusia pilihan yang telah tertempa oleh pengalaman berguru dan
pengalaman tempur yang panjang.

Duryudana melontarkan gelombang-gelombang pukulan gada yang dahsyat beruntun susul


menyusul. Namun Werkudara dengan ajian Blabak Pengantol antol dan dibantu sukma
Kumbakarna yang menyatu selagi Werkudara ada di lereng gunung Kutarunggu, sangat sulit
ditaklukkan. Sementara tamparan serangan itupun mulai terasa bagaikan panasnya uap air
yang sedang mendidih menyengat tubuhnya. Arena perang tanding telah menjadi hangus
bagai terkena sengatan halilintar. Bahkan suara gelegar benturan kedua gada pusaka
terdengar membahana bagai sejuta guruh dilangit berpetir.

Namun kekuatan Duryudana adalah kekuatan simbol dari angkara murka yang tidak begitu
saja dapat diatasi oleh laku kebaikan. Maka perang tanding itu sudah seharian tanpa ada
kelihatan siapa yang bakal unggul. Setingkat demi setingkat Duryudana itu meningkatkan
ilmunya yang nggegirisi. Kekuatan angin yang melanda Werkudara oleh kesiur gadanya
menjadi semakin dahsyat. Bahkan kemudian angin itu mulai berputar, Werkudara mulai
merasa dirinya dihisap oleh pusaran angin yang begitu panas. Seolah-olah pusaran air yang
mempunyai kekuatan tidak terbatas telah menghisapnya keatas. Sedangkan udara panas
semakin lama menjadi semakin panas menerpa kulitnya. Namun aji Blabak Pangantol antol
telah menerapkan dirinya bagai terpaku dalam tanah. Dalam satu kesempatan ketika
Duryudana melompat menyerang, maka dikenai pahanya sebelah kiri Prabu Duryudana
dengan penggada yang bagai bobot gunung Semeru. Dengan keluh terahan, disusul kata kata
kotor, ambruk Prabu Duryudana!

Tetapi begitu Duryudana mencoba bangkit, sekali dua kali, tiga kali gada Werkudara masih
saja menggempur tubuhnya. Remuk rempu tubuh Duryudana tak berujud lagi.

Prabu Baladewa murka melihat Prabu Duryudana yang sudah tidak berdaya terkena hajaran
gada Werkudara. Walau ia mengerti bahwa kekuatan Duryudana tiada tara namun kekuatan
gada Werkudara yang bagai bobot gunung Mahameru pasti akan menghancurkan sosok
Duryudana.

Keparat Werkudara ayoh tandingi aku Baladewa. Jangan mentang mentang kamu
menang, sehingga kamu berlaku sia sia terhadap pihak yang kalah. Duryudana sudah
tidak berdaya kamu perlakukan seperi layaknya binatang buruan! Ayoh tandingi
Baladewa!

Kresna yang dari tadi siaga menjaga agar tidak ada peristiwa yang mengkhawatirkan terjadi,
telah menyongsong gerak Prabu Baladewa, Sabar kanda, sabar. Hamba sudah bilang
sebelumnya, kemauan hati tak lah kuasa untuk membelokkan takdir. Baratayuda dalah
peristiwa luwarnya kaul atau janji, itu hal yang pertama. Kedua adalah arena tagih
menagih antara yang menghutangi dan yang diberi hutang, baik dalam hal rasa ataupun
budi pekerti. Dan ketiga adalah, syarat bagi hilangnya angkara murka. Hilangnya
angkara itu kanda, tidaklah bisa sirna bila tidak bersamaan dengan yang
menyandangnya.

Kresna yang melihat di mata kakaknya sudah surut kemarahannya segera menyambung,
Mestinya ada banyak peristiwa yang tentunya kanda Prabu sudah mengerti bahwa
Prabu Duryudana juga mempunyai hutang budi, hutang pati dan hutang seribu malu
yang disandang manusia manusia yang telah ia hutangi. Maka kanda, ikhlaskan kematian
Prabu Duryudana. Marilah kita bersama melangkah kedepan dalam satu tindakan
bersama sama para saudara kita Pandawa, yang telah terbukti menjadi sarana hilangnya
angkara.
Hari kembali buram di sore itu sewaktu perang tanding berakhir. Kembali langit
membiaskan layung senja yang entah kapan sore berlayung itu akan berakhir. Demikianlah,
setelah merawat jenazah Duryudana maka ketiganya telah kembali menghadap Baginda
Matswapati di Hupalawiya.

Golongan Kurawa, Kartamarma dan Aswatama masih berkeliaran. Namun Perang Dunia ke
empat ini praktis telah berakhir . . . .

Surak surak manengker gumuruh


Swaraning wadya surak gambira
Unggul Baratayuda para Pandawa
Labuh Negara Astina balane
Kurawa gugur tengahing palagan
Pandawa . . . Pandawa ungguling prang Baratayuda.

************************************************

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai