Anda di halaman 1dari 3

Destarata

Destarata
Ditulis oleh hery_wae 11:02 PM

Ia dilahirkan dalam kekurangsempurnaan. Dari rahim seorang istri Wicitrawirya, Dewi Ambika, Destarata
dilahirkan. Namun sejatinya ia bukan anak biologis Wicitrawirya yang wafat karena sakit paru dan tanpa
berketurunan, ia adalah anak pujan dari Begawan Abiyasa.

Setelah Wicitrawirya mangkat, Setyawati, ibunda Wicitrawirya, mengutus Dewi Ambika dan Ambalika -
yang kedua-duanya adalah istri Wicitrawirya - untuk menemui Begawan Abiyasa di Gunung Sapta Arga
dengan maksud memohon keberkahan akan keturunan.

Di dalam kamar semedi Begawan Abiyasa, dengan wajah yang teramat dahsyat dengan mata yang
menyala-nyala, Begawan Abiyasa menyelenggarakan upacara pujan untuk memohon keturunan bagi
Ambika dan Ambalika. Ambika menutup matanya atas hal tersebut, sehingga lahirlah dari rahim dirinya
seorang anak yang buta yang kelak dinamakan Destarata. Sementara Ambalika berupaya untuk tidak
menutup matanya atas apa yang ada dihadapannya. Dengan segala dayanya yang walaupun harus
dilaluinya dengan kepucatan, Ambalika akhirnya memperoleh keturunan yang di kemudian hari anaknya
tersebut dinamakan Pandu, yang berarti kulit yang pucat.

Baca Juga
 Caranggana, Bambang
 Pamuksa (Tremboko dan Pandu Gugur)
 Berdirinya Negara Hastina

Destarata dan Pandu tumbuh dan besar di istana Hastinapura. Sampai ketika mereka telah dewasa,
saatnyalah bagi mereka untuk naik ke tampuk singgasana kerajaan yang telah lama vakum.
Semestinyalah Destarata yang menggantikan ayahnya untuk memerintah Hastinapura. Namun karena
keterbatasan yang ia miliki maka Pandu, adiknya, yang dikukuhkan sebagai raja Hastinapura selanjutnya.

Pandu tidak memerintah terlalu lama atas Hastinapura. Pandu gugur dalam perang tanding antara
dirinya dengan muridnya sendiri, Tremboko, raja raksasa dari Pringgondani. Keris Kalanadah telah
merobek paha Pandu yang berujung pada ajalnya, sementara anak panah yang dilesatkan Pandu
memenggal leher Tremboko. Perang tanding yang semestinya tidak terjadi andai saja Tremboko tidak
termakan hasutan Sengkuni.

Sebelum ajal menjemputnya, pesan terakhir yang sempat disampaikan Pandu bahwa singgasana
Hastinapura yang ia tinggalkan untuk dititipkan kepada Destarata sampai anak-anak Pandu tumbuh
dewasa dan dapat melanjutkan dinastinya.

Suatu pesan terakhir, wasiat adalah suatu pendulum yang tidak dapat ditarik kembali ujungnya.
Disampaikan dengan keikhlasan dan penuh harap akan apa-apa yang dikehendakinya. Pesan terakhir,
wasiat merupakan suatu kepercayaan bahwa bagi pemangkunya hal tersebut adalah suatu keniscayaan.
Keniscayaan untuk dan atas nama seorang patron dan keniscayaan akan keberlangsungan harapannya.
Harapan sebagai mana anak panah yang melesat secara pasti pada titik ujungnya sekaligus yang tak
mungkin untuk kembali lagi ke gendewanya.

Destarata, sang pemangku wasiat tersebut mengemban tidak sepenuh hati apa yang telah dipesankan
adiknya. Dalam keterbatasan, Destarata menyadari sepenuhnya bahwa Hastinapura sebagai suatu
kerajaan yang telah diperjuangkan oleh para pendiri wangsa Kuru harus tetap dijaga
keberlangsungannya. Ia bersinggsana di Hastinapura dengan didampingi para pinesepuh wangsa Kuru,
yakni Bisma, Widura, Durna dan Krepa. Namun di sisi lain, bukan demikian halnya akan keberlanjutan
singgasana yang telah ia duduki tersebut.

Para Pandawa, kelima anak Pandu, telah beranjak dewasa dalam bimbingan Kunti, ibundanya dan para
eyangnya. Di istana Hastinapura mereka dibesarkan. Begitupun dengan Kurawa, seratus anak Destarata
dari istrinya, Gendari, telah berangkat dewasa dalam pengasuhan yang sama di istana megah pinggir
telaga tersebut. Kurawa dan Pandawa, bukan sebagai saudara - walaupun hanya sepupu - mereka
tumbuh remaja dan dewasa secara bersama-sama dan dalam pengasuhan yang sama di tempat yang
sama pula. Kurawa secara laten menanamkan semangat kebencian dan iri dengki mereka atas Pandawa
dalam diri mereka. Singgasana Hastinapura yang sekarang diduduki ayah mereka sebagai pemantiknya.

Tampaknya Destarata mulai lupa akan pesan terakhir Pandu kepadanya sebelum Pandu menghembuskan
nafas. Destarata yang telah uzur, Gendari dengan sinar matanya yang silau, menjadikan para Kurawa
leluasa berdiri tegak dengan kepongahannya atas Pandawa. Destarata semakin tak berdaya ketika
Kurawa mengadakan permainan dadu dengan mengundang Pandawa di Bale Sigala-gala. Permainan
dadu yang telah menihilkan hak-hak Pandawa sekaligus yang telah meruntuhkan kehormatan Pandawa.
Tidak terkecuali Drupadi. Permainan dadu pula yang menjadikan Pandawa harus mengasingkan diri
selama tiga belas tahun di hutan Kamiaka.

Di taman istana Hastinapura, di tepian kolam dengan air keperakan tersapu cahaya bulan, sebatang
ranting cemara jatuh, terapung, beriak air berjalan lambat ke tepi. Destarata duduk terpaku ditemani
Gendari yang telah menutup kedua matanya dengan kain hitam. Destarata membayangkan perang yang
akan terjadi antara anak-anaknya dengan para Pandawa di Kurusetra esok hari. Perang yang akan
menghapus satu garis keturunan dari wangsa Kuru. Perang yang seharusnya tidak terjadi jika saja ia
dapat membesarkan anak-anaknya secara baik. Perang yang juga seharusnya tidak terjadi jika saja sinar
mata yang silau dari Gendari tidak menggodanya. Kalaupun sekarang Gendari telah menutup kedua
matanya, semuanya telah terlambat.

Orang tua yang akan memberikan segala warna bagi anak-anaknya. Anak adalah cerminan dari kedua
orang tuanya. Ketika anak telah berjalan di luar dari hak-hak yang ia punya dan seorang istri yang telah
bertindak melebihi batas-batasnya, Destarata tidak berdaya atas semuanya. Destarata, ternyata tidak
hanya buta matanya, namun juga buta hatinya. Hingga akhirnya wasiat itu ia langgarnya dengan segala
akibat yang harus ia tanggung.

Anda mungkin juga menyukai