Anda di halaman 1dari 15

PEMIMPIN

MASA KINI &


BUDAYA JAWA
Menghidupkan Kembali Nilai-Nilai Kepribadian
dan Kepemimpinan dalam Perspektif Jawa
PEMIMPIN
MASA KINI &
BUDAYA JAWA
Menghidupkan Kembali Nilai-Nilai Kepribadian
dan Kepemimpinan dalam Perspektif Jawa

Wawan Susetya

Penerbit PT Elex Media Komputindo


PEMIMPIN MASA KINI & BUDAYA JAWA
Menghidupkan Kembali Nilai-Nilai Kepribadian dan Kepemimpinan
dalam Perspektif Jawa
Penulis: Wawan Susetya

Copyright © Wawan Susetya


Hak Cipta Indonesia dilindungi Undang-Undang
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Elex Media Komputindo
Kelompok Gramedia - Jakarta
Anggota IKAPI, Jakarta 2016.

716081072
ISBN: 978-602-02-8794-2

Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh


isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta


Isi di luar tanggung jawab percetakan
Daftar Isi

Pengantar Penulis ix

Bagian 1: Kearifan Lokal Jawa tentang Kepribadian


dan Kepemimpinan 1
01. Meneladani Kepemimpinan Kanjeng Panembahan Senapati 3
02. Konsep Kepemimpinan Dan ‘Taksonomi Cipta, Rasa, Karsa’
Ki Hadjar Dewantara 11
03. Menelaah Ajaran Luhur RMP Sosrokartono 21
04. Asthagina; Konsep Keserasian Dan Keseimbangan
Pandangan Orang Jawa 31
05. Refleksi Filosofi Kepemimpinan Aji Saka 41
06. Pentingnya Identitas Bagi Pemimpin Jawa;
Manfaat, Etika-Estetika dan Simbolis-Filosofi 51
07. Antara ‘Ngelmu Kasekten’ Dan ‘Karomah’
Bagi Sang Pemimpin Sejati 67
08. Angger-Anggering Rahayu’ Bagi Calon Atau Seorang
Pemimpin 75
09. Persyaratan Pemimpin: “Aja Kagetan, Aja Gumunan,
Aja Dumeh!” 85
Pemimpin Masa Kini dan Budaya Jawa

10. ‘Menggugat’ Konsep Ajaran Leluhur Jawa?! 101


11. Tipologi Kepemimpinan Kharismatik Dan Kuat 107
12 Ajaran Panembah ‘Sembah Catur’ Sri Mangkunegara IV 121
13. Para Pujangga Bicara Soal Kepemimpinan Nasional 137
14. ‘Sembah Lima’ Bagi Sang Pemimpin 147
15. Pemimpin Dituntut Menjauhi Segala Sifat
Dan Watak Durgama! 153
16. Pemahaman dan Persepsi Mawas Diri (Tepa Sarira)
Bagi Pemimpin Jawa 161
17. ‘Kesusilaan Batin’ Orang Jawa: ‘Agama Ageming Aji’ 171
18. Pemimpin Sejati: ‘Manungsa Utama’ Berbudi Pekerti Luhur 179
19. Pengajaran Seorang Pemimpin Bijaksana 185

Bagian 2. Kearifan Lokal (Pewayangan)


Jawa tentang Kepribadian Dan Kepemimpinan 191
01. Raden Wibisana, Pewaris ‘Ngelmu Hasthabrata’
dari Prabu Rama Wijaya 193
02. Bercermin dari Gambaran Empat Nafsu Manusia:
Dasamuka, Kumbakarna, Sarpakenaka dan Wibisana 203
03. Panakawan; Kepemimpinan Alternatif dalam ‘Tapa Ngrame’ 215
04. Lima Tugas Ksatria dalam ‘Darmaning Satriya’ 233
05. Falsafah Lakon ‘Bima Suci’;
Perjalanan Menggapai ‘Ngelmu Kasampurnan’ 239
06. Arjuna Menjadi ‘Jago’-nya Dewa dalam Lakon ‘
Arjuna Wiwaha’ (Begawan Ciptaning/Mintaraga) 245
07. ‘Sura Dira Jayaningrat Lebur dening Pangastuti’
dalam Bratayuda Jayabinangun 251

vi
Daftar Isi

08. Gambaran Perjalanan ‘Manusia Agung’ dalam Filosofi


Perang ‘Bratayuda Jayabingun’ 259
09. Sayembara ‘Alap-Alap Dewi Sukesi’:
Wejangan Sastra Jendra Hayuningrat! 271
10. ‘Filosofi Dhalang’; Ngudhal Piwulang
(Mengajar Pitutur Becik Kepada Masyarakat) 283
11. Figur Kepemimpinan Perempuan; Kunthi Talibranta
Dan Dewi Srikandhi 293
12. Tiga Tokoh Pemimpin Jagad Titisan Bathara Whisnu 299
13. Cita-Cita Pemimpin: Menggapai Kamardikan Pribadi 311
14. Murka Resi Gutama Melihat ‘Cupu Manik Asthagina’
Diobral 315
15. Begawan Wiyasa; Sesepuh yang Bijaksana 323
16. Kepemimpinan Prabu Parikesit Raja Ngastina Pasca
Perang Bratayuda Jayabinangun 327
17. Kharakteristik Para Dewa (Bathara) dalam Mengatur
Madyapada 335
18. ‘Jamus Kalimasada’; Senjata Prabu Puntadewa
Dan ‘Jimat’ Ngamarta 349
19. ‘Pilihan Terbaik’ Prabu Baladewa 367
20. Kepemimpinan Prabu Pandhu yang Sempat Ternoda 375

Daftar Pustaka 387


Tentang Penulis 395

vii
Bagian 1
1
Meneladani Kepemimpinan
Kanjeng Panembahan Senapati

Bagi orang Jawa, mencari figur seorang pemimpin sejati tidaklah su-
lit. Sebab, para leluhur Jawa telah banyak memberikan teladan atau
contoh yang baik mengenai kepemimpinan. Salah satunya adalah
sebagaimana yang dicontohkan Kanjeng Panembahan Senapati ing
Mataram; Danang Sutawijaya. Sebagai seorang Raja Mataram—raja
besar di Tanah Jawa—ia bukan saja dikenal sebagai raja yang adil
dan bijaksana, tetapi juga memberikan contoh dalam hal pengenda-
lian diri; yakni mengendalikan hawa nafsunya siang dan malam.
Lelalu tirakat atau keprihatinan Kanjeng Panembahan Senapati
ing Mataram tersebut diilustrasikan dengan apik oleh Sri Mang-
kunegara IV dalam bukunya Serat Wedhatama; “Nuladha laku
utama; tumraping wong tanah Jawi, wong agung ing Ngeksi ganda,
Panembahan Senapati, kapati amarsudi, sudaning hawa lan nafsu,
pinesu tapa brata tanapi ing siyang ratri, amamangun karyenak
tyasing sesama.”
Artinya: “Teladanilah lelaku utama (tindakan baik), bagi orang
(masyarakat) Jawa, orang agung di Ngeksi Ganda (Mataram),
Pemimpin Masa Kini dan Budaya Jawa

Panembahan Senapati (Danang Sutawijaya), yang sangat mendalam


usaha belajarnya, mengurangi (mengendalikan) hardaning hawa dan
nafsu, dengan menjalankan tapa brata, baik pada siang hari atau malam
hari, bersikap bijaksana serta menyenangkan sesama manusia.”
Siapa pun pasti bangga jika melihat leluhurnya memiliki ke-
teguhan dan kekuatan batin sebagaimana yang telah dicontohkan
Kanjeng Panembahan Senapati ing Mataram seperti itu. Meski se-
bagai seorang raja, tetapi Kanjeng Panembahan ing Ngeksi Ganda
(Mataram) senantiasa belajar mengekang dan mengendalikan hawa
nafsunya; yakni dengan menjalani tapa brata siang dan malam. Se-
mua itu diarahkan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Lebih-lebih, pasca menjalani praktik tapa brata-nya, Kanjeng
Panembahan Senapati ing Mataram bersikap ‘amamangun karyenak
tyasing sesama’ (bersikap bijaksana serta menyenangkan sesama ma-
nusia), baik kepada para pembesar Kerajaan ataupun kepada pra
kawula (rakyat) Kerajaan Mataram. Jadi, jika ditelaah secara Islami,
maka peranan dan tindakan Kanjeng Panembahan Senapati ing
Mataram tersebut mencakup dua jalur sekaligus; yakni jalur vertikal
(hablum minallah; hubungan dengan Tuhan) dan jalur horizontal
(hablum minannas; hubungan dengan sesama manusia).
Ada akses yang bersifat ke dalam diri, yakni dimaksudkan untuk
menundukkan hawa nafsu sebagai pembersihan angan-angan kotor
di dalam diri dan akses yang bersifat ke luar, yakni bersikap positif
dengan ditunjukkan ‘karyenak tyase sesama’ (bersikap bijaksana serta
menyenangkan sesama manusia).
Dalam pandangan orang Jawa, pembicaraan tentang ‘tapa brata’
(bertapa) memang bukan sesuatu yang asing. Orang Jawa sudah
lama mengenal perbendaharaan ‘tapa brata’ sebagaimana dilakukan
Kanjeng Panembahan Senapati Mataram.
“Samangsane pasamuan, mamangun marta martani, sinambi
ing saben mangsane, kala-kalaning ngasepi, lalana teteki, nggayuh

4
1. Meneladani Kepemimpinan Kanjeng Panembahan Senapati

geyonganing kayun, kayungyun eninging tyas, sanityasa pinrihatin,


pungguh panggah cegah dhahar lawan nendra.” (Sri Mangkunegara
IV; Serat Wedhatama).
Artinya, Dalam setiap pergaulan, membangun sikap tahu diri,
setiap ada kesempatan, di saat waktu longgar, mengembara untuk
bertapa, menggapai cita-cita hati, hanyut dalam keheningan kalbu,
senantiasa menjaga hati untuk prihatin (menahan hawa nafsu), de-
ngan tekad kuat, membatasi makan dan tidur.
Begitulah, pengejawantahan atau aplikasi keseharian Kan-
jeng Panembahan Senapati ing Mataram senantiasa ‘membangun
jiwa’ ke jalan yang lurus; yakni mendekatkan diri kepada Tuhan.
Kadang-kadang Sang Raja mengadakan ‘lalana teteki’ (berjalan-jalan
sendirian) di hutan belantara untuk merenungkan kebesaran Tuhan
dengan kebeningan hati. Dan, semua itu dilakukannya dengan
‘cegah dhahar lawan nendra’ (mengurangi makan dan tidur), karena
rasa keprihatinannya yang mendalam.
Dalam Serat Wedhatama, Sri Mangkunegara IV juga menutur-
kan tentang lelaku (keprihatinan) Kanjeng Panembahan Senapati ing
Mataram: “Saben mendra saking wisma, lelana laladan sepi, nging-
sep sepuhing sopana, mrih pana pranaweng kapti, tis-tising tyase mar-
sudi, mardawaning budya tulus, mesu reh kasudarman, neng tepining
jalanidi. Sruning brata kataman wahyu jatmika.”
Artinya: Setiap mengembara meninggalkan rumah (istana),
berkelana ke tempat yang sunyi (dari hawa nafsu), menghirup
tingginya ilmu, agar jelas apa yang menjadi tujuan (hidup) sejati,
hati bertekad selalu berusaha dengan tekun, memperdayakan akal
budi menghayati cinta kasih, di tepinya samudra, kuatnya bertapa
diterimalah wahyu dyatmika (hidup yang sejati).
Kanjeng Panembahan Senapati ing Mataram, dalam tapa brata-
nya, senantiasa berusaha menyelaraskan kehendak dirinya terhadap

5
Pemimpin Masa Kini dan Budaya Jawa

Kehendak-Nya; yakni dimaksudkan menyesuaikan dengan Iradating


Pangeran.
Pengamalan Kanjeng Panembahan Senapati ing Mataram seperti
itu, jelas R Soedjonoredjo—dalam bukunya Wedatama Winardi
(1937)—disebut lelaku tajem-jenjem (keprihatinan yang mendalam)
menuju pada Kaenengan (kesunyian bersama Tuhan). Dan, Eneng
(kesunyian bersama Tuhan) Sang Panembahan Senapati sama sekali
tidak kamomoran (tidak tercampur) dengan gerak angan-angan dan
nafsunya. Ini sungguh luar biasa, karena kebanyakan orang banyak
tidak bisa melakukan konsentrasi seperti ini.
R Soedjonoredjo menjelaskan, Kanjeng Panembahan Senapati
ing Mataram ketika keluar rumah sendirian di malam hari, biasanya
pergi ke tempat yang sepi untuk mengosongkan angan-angannya,
sehingga dalam waktu relatif singkat, rasa-pangrasa (perasaan) di
dalam hatinya menjadi ‘gumolong gumeleng’ (memusat) menuju
telenging batos (hati nurani yang terdalam). Digambarkan, dalam
pengembaraannya, Kanjeng Panembahan ing Ngeksi Ganda berusa-
ha memasuki ‘alam kebatinan’-nya sendiri; yakni dimaksudkan me-
nuju ‘wismaning papadhang’ (induk pencerahan hati) yakni Hyang
Pramana (simbolisasi hati nurani, Tuhan).
Demikianlah, tapa brata yang dilakukan Kanjeng Panembahan
Senapati ing Mataram. Menurut H. Murtadho—dalam bukunya
Islam Jawa; Keluar dari Kemelut Santri Vs Abangan (2002)—tapa
brata adalah ibadah yang dianggap penting dengan anggapan bahwa
dengan menjalankan kehidupan yang ketat dan disiplin tinggi, serta
menahan hawa nafsu, sehingga orang dapat mencapai tujuan yang
lebih tinggi; yakni mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dan,
biasanya dalam perspektif Jawa, tapa brata ini berbentuk semedi atau
laku (ekspresi keprihatinan) tertentu.
Memang, dalam praktik kehidupan sehari-hari orang Jawa kuno,
pengamalan tapa brata—sebagaimana yang dijalankan Kanjeng

6
1. Meneladani Kepemimpinan Kanjeng Panembahan Senapati

Panembahan Senapati ing Mataram—banyak yang dimaksudkan


untuk tujuan-tujuan tertentu; misalnya tujuan pencapaian drajat
(derajat), pangkat (pangkat, kedudukan) dan semat (kewibawaan).
Namun, tidaklah demikian bagi seorang Raja di Jawa. Sebab,
biasanya para Raja di Tanah Jawa dituntut memiliki ‘kelebihan’—
bersifat lahiriyah dan batiniah—sebelum dinobatkan sebagai Raja.
Menurut Murtadho (2002), seorang calon Raja dituntut me-
menuhi tiga syarat yang harus dipenuhinya, yakni sebagai berikut:

Pertama, menguasai ilmu (wilayah rasional).


Kedua, ngelmu (kesaktian; wilayah batin).
Ketiga, unsur wahyu yang merupakan legitimasi alam.

Tanpa memiliki tiga syarat tersebut, jelas Murtadho, seorang


Raja yang diangkat tidak memiliki kekuasaan yang efektif. Itulah
sebabnya, dalam perspektif ‘kepemimpinan Jawa’ seorang Raja yang
banyak melakukan tirakat (ekspresi keprihatinan) dalam kesehari-
annya, karena ia memegang amanat besar untuk rakyatnya.
Sementara, Dr. Seno Sastroamidjojo—dalam bukunya Renung-
an tentang Pertunjukan Wayang Kulit (1964)—mengklasifikasikan
tingkatan tapa brata (bertapa, bersemadi) sebagai berikut:

a. Tarak Brata
Tarak brata adalah lelaku (ekspresi keprihatinan) yang maksud-
nya ‘cegah dhahar lawan guling’ (mencegah atau mengurangi ma-
kan dan tidur) sebagaimana yang dijalankan Kanjeng Panembah-
an Senapati ing Mataram.

b. Mesu Brata
Mesu brata adalah lelaku (ekspresi keprihatinan) yang secara kua-
litas lebih meningkat dari lelaku tarak brata. Dalam mesu brata

7
Pemimpin Masa Kini dan Budaya Jawa

ini, seseorang sudah berusaha meningkatkan ke tahapan lelaku


(ekspresi keprihatinan) secara ruhaniahnya. Ia berusaha men-
jauhkan angan-angan atau pikiran-pikiran kotor, keinginan dan
syahwat rendah yang bersifat kemakhlukan dan keduniawiaan,
sehingga hatinya bisa konsentrasi, menep (konsentrasi), hening
(konsentrasi lebih mendalam) dan eling (mengingat Tuhan).

c. Tapa Brata
Tapa brata adalah lelaku (ekspresi keprihatinan) yang sudah ter-
fokus pada tujuan hidup; ‘sangkan-paraning dumadi’ (darimana
asalnya dan akan menuju ke mana) atau menuju pada Tuhan se-
bagaimana konsep “Inalillahi wainailaihi roji’uun” (artinya, kami
berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya jua). Atau
identik pula dengan manunggaling kawula-Gusti (melebur ber-
sama Tuhan), sehingga hatinya menjadi hati sanubari dan rasa
hatinya menjadi bersih. Pada strata tapa brata ini, seseorang yang
melakukannya sudah mencapai pada pengenalan terhadap sub-
stansi, esensial, dan hakikat lantaran ‘makarti’ (perbuatan) jiwa.

d. Pati Brata
Pati Brata adalah lelaku (ekspresi keprihatinan) yang bertujuan
mencapai tahapan tertinggi; yakni sudah sampai pada pengenalan
kepada Allah yang haq. Jika ditinjau dari sudut pandang ilmul
yaqin (keyakinan berdasarkan ilmu), ainul yaqin (keyakinan ber-
dasarkan penglihatan) dan haqqul yaqin (keyakinan yang haq atau
sejati) maka tahapan pati brata ini sudah mencapai tahap haqqul
yaqin (keyakinan yang haq, benar yang sejati). Atau dapat dikata-
kan keyakinan yang tak terbantahkan. Pada perspektif pati brata
ini, seseorang sudah berhasil mencapai strata tapa brata yang ter-
tinggi; yakni mengenal Tuhannya.

8
Tentang Penulis

WAWAN SUSETYA dilahirkan di Desa Tanggung, Kec. Campur-


darat, Kab. Tulungagung-Jawa Timur tanggal 1 Desember 1969.
Penulis merampungkan studinya di salah satu Perguruan Tinggi
jurusan Bahasa Inggris di ‘kota pendidikan’ Malang lulus tahun
1994. Pada tahun yang sama, penulis lebih banyak berkiprah dalam
dunia jurnalistik (kewartawanan) di Jawa Pos News Network (JPNN)
Biro Malang-Jawa Timur sejak tahun 1994-1998.
Penulis juga bergabung dengan Prof. Dr. A. Malik Fadjar
(Rektor UMM dan mantan Menteri Agama RI), yakni sebagai staf
pengajar di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Selain
itu, penulis juga mengajar di Stikma Internasional Malang-Jatim.
Di ‘Kota Pendidikan’ Malang, penulis aktif mengisi berbagai
kegiatan kemahasiswaan—baik menjadi nara sumber, pembi-
cara, pemateri atau moderator—seperti seminar, sarasehan, diklat
kepemimpinan, diklat jurnalistik, dan sebagainya di kampus-kampus
Malang, antara lain Universitas Brawijaya (Unibraw), IKIP Malang,
Unmer (Universitas Merdeka), Universitas Gajayana (Uniga), UMM
(Universitas Muhammadiyah Malang), IKIP PGRI, UWG (Univer-
sitas Widyagama), Unisma (Universitas Islam Malang), Universitas
Wisnuwardhana, dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai