Anda di halaman 1dari 17

Sejarah Kerajaan Mataram Kuno Lengkap

( Hindu-Budha)

TENDASEJARAH.com - Kerajaan Mataram berkuasa di Jawa Tengah bagian selatan


antara abad ke-8 dan abad ke-10.Nama Mataram sendiri pertama kali disebut pada
prasasti yang ditulis di masa raja Balitung. kerajaan Mataram Kuno atau disebut
dengan Bhumi Mataram. Pada awalnya terletak di Jawa Tengah. Daerah Mataram
dikelilingi oleh banyak pegunungan dan juga dialir banyak sungai besar diantaranya
sungai Progo, Bogowonto, Elo, dan Bengawan Solo. kerajaan maratam kuno memiliki
banyak peninggalan candi bisa dilihat disini, Kerajaan ini sering disebut dengan
Kerajaan Mataram Kona sebagai pembeda dengan Mataram Baru atau Kesultanan
Mataram (Islam). Kerajaan Mataram merupakan daerah yang subur yang memudahkan
terjadinya pertumbuhan penduduk yang cukup pesat dan merupakan kekuatan utama
bagi Negara darat

Mataram Hindu Wangsa Sanjaya (732 M) Prabu Harisdarma seorang raja dari Kerajaan
Sunda. Ia juga merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah. Ayahnya bernama
Bratasenawa yang merupakan raja ketiga Kerajaan Galuh. Saat pemerintahan
Bratasenawa pada tahun 716 M, Kerajaan Galuh dikudeta oleh Purbasora. Purbasora
dan Bratasena adalah saudara satu ibu, tetapi lain ayah. Bratasenawa beserta
keluarga melarikan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta bantuan pada
Tarusbawa. Tarusbawa sendiri adalah teman dekat Prabu Harisdarma sendiri adalah
suami dari cucu Tarusbawa.

Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh menyerang Purbasora yang saat itu
menguasai Kerajaan Galuh dengan bantuan dari Tarusbawa dan berhasil
melengserkannya. Prabu Harisdarma pun menjadi raja Kerajaan Sunda Galuh. Prabu
Harisdarma yang juga ahli waris dari Kalingga, kemudian menjadi penguasa Kalingga
Utara yang disebut Bumi Mataram dan dikenal dengan nama Sanjaya pada tahun 732
M. Sanjaya atau Prabu Harisdarma, raja kedua Kerajaan Sunda (723-732 M), menjadi
raja Kerajaan Mataram (Hindu) (732-760 M). ia adalah pendiri Kerajaan Mataram Kuno
sekaligus pendiri Wangsa Sanjaya.

Prasasti Canggal merupakan salah satu bukti sejarah kerajaan mataram kuno Prasasti
yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di desa Canggal berangka Tahun 732
M dalam bentuk Candrasangkala. Menggunakan huruf pallawa dan bahasa sangsekerta.
Isi dari prasasti tersebut menceritakan tentang pendirian Lingga (lambang Syiwa) yang
merupakan agama Hindu beraliran Siwa di desa Kunjarakunja oleh Raja Sanya serta
menceritakan bahwa yang menjadi raja mula-mula adalah sena yang kemudian
digantikan oleh Sanjaya.

Prasasti Metyasih/Balitung Prasasti ini ditemukan di desa Kedu, berangka tahun 907
M. Prasasti Metyasih yang diterbitkan oleh Rakai Watukumara Dyah Balitung (Wangsa
Sanjaya ke-9) terbuat dari tembaga.. Prasasti ini dikeluarkan sehubungan dengan
pemberian hadiah tanah kepada lima orang patihnya di Metyasih, karena telah berjasa
besar terhadap Kerajaan serta memuat nama para raja-raja Mataram
Kuno, Adapun nama raja dari Wangsa Sanjaya yang pernah berkuasa, diantaranya :

1.Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (732-760 M)


Masa Sanjaya berkuasa adalah masa-masa pendirian candi-candi siwa di Gunung Dieng.
Kesusasteraan tidak menjadi monopoli kelas profesional. Pendidikan puisi merupakan
pendidikan yang wajib diikuti oleh umum, terlebih bagi kalangan pegawai istana dan
pemuka masyarakat.
Sanjaya memberikan wejangan-wejangan luhur untuk anak cucunya. Apabila sang Raja
yang berkuasa memberi perintah, maka dirimu harus berhati-hati dalam tingkah laku,
hati selalu setia dan taat mengabdi pada sang raja. Bila melihat gerak lirik raja,
tenagkanlah dirimu menerima perintah dan tindakan dan harus menangkap isinya. Bila
belum mampu mengadu kemahiran menagkap tindakan, lebih baik duduk terdiam
dengan hati ditenangkan dan jangan gentar dihadapan sang raja.
Sanjaya selalu menganjurkan perbuatan luhur kepada seluruh punggawa dan prajurit
kerajaan. Ada empat macam perbuatan luhur untuk mencapai kehidupan sempurna,
yaitu:
Tresna (Cinta Kasih)
Gumbira (Bahagia)
Upeksa (tidak mencampuri urusan orang lain)
Mitra (Kawan, Sahabat, Saudara atau Teman)
Sri Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya mangkat kira-kira pertengahan abad ke-8 M. Ia
digantikan oleh putranya Rakai Panangkaran.

2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran (760-780 M)


Rakai Panangkaran yang berarti raja mulia yang berhasil mengambangkan potensi
wilayahnya. Rakai Pangkaran berhasil mewujudkan cita-cita ayahandanya, Sri Rakai
Mataram Sang Ratu Sanjaya dengan mengambangkan potensi wilayahnya.
Nasehatnya yang terkenal tentang kebahagiaan hidup manusia adalah :
Kasuran (Kesaktian)
Kagunan (Kepandaian)
Kabegjan (Kekayaan)
Kabrayan (Banyak Anak Cucu)
Kasinggihan (Keluhuran)
Kasyuwan (Panjang Umur)
Kawidagdan (Keselamatan)
Menurut Prasati Kalasan, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran dibangun
sebuah candi yang bernama Candi Tara, yang didalamnya tersimpang patung Dewi
Tara. Terletak di Desa Kalasan, dan sekarang dikenal dengan nama Candi Kalasan.

3. Sri Maharaja Rakai Panaggalan (780-800 M)


Rakai Pananggalan yang berarti raja mulia yang peduli terhadap siklus waktu. Beliau
berjasa atas sistem kalender Jawa Kuno. Rakai Panggalan juga memberikan rambu-
rambu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti berikut iniKeselamatan
dunia supaya diusahakan agar tinggi derajatnya. Agar tercapai tujuannya tapi jangan
lupa akan tata hidup

Visi dan Misi Rakai Panggalan yaitu selalu menjunjung tinggi arti penting ilmu
pengetahuan. Perwujudan dari visi dan misi tersebut yaitu Catur Guru. Catur berarti
empat Guru berarti berat. Jadi artinya empat guru yang mempunyai tugas berat. Catur
Guru terdiri dari :
Guru Sudarma, orang tua yang melairkan manusia.
Guru Swadaya, Tuhan
Guru Surasa, Bapak dan Ibu Guru di sekolah
Guru Wisesa, Pemerintah pembuat undang-undang untuk kepentingan bersama
Pemberian penghormatan dalam bidang pendidikan, maka kesadaran hukum dan
pemerintahan di Mataram masa Rakai Pananggalan dapat diwujudkan.

4. Sri Maharaja Rakai Warak (800-820 M)


Rakai Warak, yang berarti raja mulia yang peduli pada cita-cita luhur. Pada masa
pemerintahannya, kehidupan dalam dunia militer berkembang dengan pesat. Berbagai
macam senjata diciptakan. Rakai Warak sangat mengutamakan ketertiban yang
berlandaskan pada etika dan moral. Saat Rakai Warak berkuasa, ada tiga pesan yang
diberikan, yaitu :
1. Kewajiban raja adalah jangan sampai terlena dalam menata, meneliti, memeriksa
dan melindungi.
2.Pakaian raja adalah menjalankanlah dengan adil dalam memberi hukuman dan
ganjaran kepada yang bersalah dan berjasa.
3. Kekuatan raja adalah bisa mengasuh, merawat, mengayomi dan memberi anugrah.

5. Sri Maharaja Rakai Garung (820-840 M)


Garung memiliki arti raja mulia yang tahan banting terhadap segala macam rintangan.
Demi memakmurkan rakyatnya, Sri Maharaja Rakai Garung bekerja siang hingga
malam. Hal ini dilakukan tak lain hanya mengharap keselamatan dunia raya yang
diagungkan dalam ajarannya.
Dalam menjalankan pemerintahannya Rakai Garung memiliki prinsip tri kaya parasada
yang berarti tiga perilaku manusia yang suci. Tri Kaya Parasada yang dimaksud, yaitu :

Manacika yang berarti berfikir yang baik dan benar.


Wacika yang berarti berkata yang baik dan benar.
Kayika yang berarti berbuat yang baik dan benar.
6. Sri Maharaja Rakai Pikatan (840 856 M)
Dinasti Sanjaya mengalami masa gemilang pada masa pemerintahan Rakai Pikatan.
Dalam Prasasti Tulang Air di Candi Perut (850 M) menyebutkan bahwa Rakai Pikatan
yang bergelar Ratu mencapai masa kemakmuran dan kemajuan. Pada masa
pemerintahannya, pasukan Balaputera Dewa menyerang wilayah kekuasaannya. Namun
Rakai Pikatan tetap mempertahankan kedaulatan negerinya dan bahkan pasukan
Balaputera Dewa dapat dipukul mundur dan melarikan diri ke Palembang.
Pada zaman Rakai Pikatan inilah dibangunnya Candi Prambanan dan Candi Roro
Jonggrang. Pembuatan Candi tersebut terdapat dalam prasasti Siwagraha yang
berangka tahun 856 M. Rakai Pikatan terkenal dengan konsepnya Wasesa Tri Dharma
yang berarti tiga sifat yang mempengaruhi kehidupan manusia.

7. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi (856 882 M)


Prasasti Siwagraha menyebutkan bahwa Sri Maharaja Rakai Kayuwangi memiliki gelar
Sang Prabu Dyah Lokapala. Tugas utamanya yaitu memakmurkan, mencerdaskan, dan
melindungi keselamatan warga negaranya.
Pada masa pemerintahannya, Rakai Kayuwangi menuturkan bahwa ada enam alat
untuk mencari ilmu, yaitu :

1.Bersungguh-sungguh tidak gentar


Semua tutur kata dan budi bahasa dilakukan dengan baik, selaras dan menyatu.
2.Bertenggang rasa
Memperhatikan sikap yang kurang baik dengan kebenaran.
3.Ulah pikiran
Menimbang-nimbang dengan memperhatikan tujuan kemampuan dan kemauan yang
diterapkan harus atas pemikiran yang tepat.
4.Penerapan ajaran
Dalam setiap melaksanakan kehendak harus dipertimbangkan, jangan sampai tergesa-
gesa. Jangan melupakan ajaran terdahulu, ajaran masa kini perlu untuk diketahui
5.Kemauan
Sanggup sehidup semati, mematikan keinginan dan membersihkan diri. Dalam kata
lain, tekad dan niat harus dilakukan dantidak segan-segan dalam melakukan pekerjaan
6.Menguasai berbagai bahasa
Memahami semua bahasa agar mampu mengatasi perhubungan serta mampu
mengakrabi siapa saja.

8. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang (882 899 M)


Sri Maharaja Rakai Watuhumalang memiliki prinsip dalam menjalankan
pemerintahannya. Prinsip yang dipegangnya adalah Tri Parama Arta yang berarti tiga
perbuatan untuk mengusahakan kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain. Tri Parama
Arta terdiri dari :
1. Cinta Kasih, menyayangi dan mengasihi sesama makhluk sebagaimana mengasihi diri
sendiri.
2.Punian, perwujudan cinta kasih dengan saling tolong menolong dengan memberikan
sesuatu yang dimiliki secara ikhlas.
3.Bakti, perwujudan hati nurani berupa cinta kasih dan sujud Tuhan, orang tua, guru
dan pemerintah.

9.Sri Maharaja Watukumara Dyah Balitung (898 915 M)


Pada masa pemerintahannya beliau memiliki seorang teknokrat intelektual yang
handal bernama Daksottama. Pemikirannya mempengaruhi gagasan Sang Prabu Dyah
Balitung. Masa pemerintahannya duja menjadi masa keemasan bagi Wangsa Sanjaya.
Sang Prabu aktif mengolah cipta karya untuk mengembangkan kemajuan
masyarakatnya. Dalam mengolah cipta karya, tahun 907 Dyah Balitung membuat
Prasasti Kedu atau Metyasih yang berisikan nama-nama raja Kerajaan Mataram Wangsa
Sanjaya. Serta menjelaskan bahwa pertunjukan wayang (mengambil lakon Bima di
masa muda) untuk keperluan upacara telah dikenal pada masa itu.

10. Sri Maharaja Rakai Daksottama (915 919 M)


Daksottama yang berarti sorang pemimpin yang utama dan istimewa. Pada masa
pemerintahan Dyah Balitung, Daksottama dipersiapkan untuk menggantikannya
sebagai raja Mataram Hindu.

11.Sri Maharaja Dyah Tulodhong (919 921 M)


Rakai Dyah Tulodhong mengabdikan dirinya kepada masyarakat menggantikan
kepemimpinan Rakai Daksottama. Keterangan tersebut termuat dalam Prasasti Poh
Galuh yang berangka tahun 809 M. Pada masa pemerintahannya, Dyah Tulodhong
sangat memperhatikan kaum brahmana

12. Sri Maharaja Dyah Wawa ( 921 928 M)


Rakai Sumba Dyah Wawa dinobatkan sebagai raja Mataram pada tahun 921 M. Beliau
terkenal sebagai raja yang ahli dalam berdiplomasi, sehingga sangat terkenal dalam
kancah politik internasional.
Roda perekonomian pada masa pemerintahannya berjalan dengan pesat. Dalam
menjalankan pemerintahannya Dyah Wawa memiliki visiTri Rena Tata yang berarti tiga
hutang yang dimiliki manusia. Pertama hutang kepada Tuhan yang menciptakannya,
Kedua hutang jasa kepada leluhur yang telah melahirkannya. Dan ketiga, hutang ilmu
kepada guru yang telah mengajarkannya.

13. Sri Maharaja Rakai Empu Sendok (929 930 M)


Empu Sendok, terkenal dengan kecerdasan, ketangkasan , kejujuran dan
kecakapannya. Manajemen dan Akuntansi dikuasai, psikologi diperhatikan.

Keruntuhan Wangsa Sanjaya


Pada abad ke-10, Dyah Wawa mempersiapkan stategi suksesi Empu Sendok yang
memiliki integritas dan moralitas sebagai calon pemimpin Mataram. Pada saat itulah
pemerintahan Dyah Wawa mengalami kemunduran. Empu Sendok yang memegang
pemerintahan setelah Dyah Wawa meninggal merasa khawatir terhadap serangan yang
dilancarkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Empu Sendok memindahkan pusat
pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur Sumber lain menyebutkan
perpindahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur disebabkan oleh meletusnya gunung
merapi di Jawa Tengah.

Mataram Budha Wangsa Syailendra (752 M) Syailendra adalah wangsa atau dinasti
Kerajaan Mataram Kuno yang beragama Budha. Wangsa Syailendra di Medang, daerah
Jawa Tengah bagian selatan. Wangsa ini berkuasa sejak tahun 752 M dan hidup
berdampingan dengan Wangsa Sanjaya.
Nama Syailendra pertama kali dijumpai dalam Prasasti Kalasan yang berangka tahun
778 M. Ada beberapa sumber yang menyebutkan asal-usul keluarga Syailendra, Yaitu :
Nilakanta Sastri dan Moes yang berasal dari India dan menetap di Palembang
menyatakah bahwa pada tahun 683 M keluarga Syailendra melarikan diri ke Jawa
karena terdesak oleh Dapunta Hyan merupakan salah satu sumber sejarah

Kumudian ada Codes beranggapan bahwa Syailendra yang ada di Nusantara berasal
dari Funan (Kamboja). Kerusuhan yang terjadi di Funan mengakibatkan keluarga
Kerajaan Funan menyingkir ke Jawa dan menjadi penguasa di Mataram pada abad ke-8
M dengan menggunakan nama Syailendra.

Menurut Purbatjaraka, Keluarga Syailendra adalah keturunan dari Wangsa Sanjaya di


era pemerintahan Rakai Panangkaran. Raja-raja dari keluarga Sayilendra adalah asli
dari Nusantara sejak Rakai Panangkaran berpindah agama menjadi penganut agama
Budha Mahayana. Pendapatnya tersebut berdasarkan Carita Parahiyangan yang
menyebutkan bahwa Sanjaya menyerahkan kekuasaanya di Jawa Barat kepada
puteranya dari Tejakencana, yaitu Rakai Tamperan atau Rakeyan Panambaran dan
memintanya untuk berpindah agama, Selain dari teori tersebut di atas dapat dilihat
dari beberapa Prasasti yang ditemukan, Yaitu :

1. Prasasti Sojomerto
Prasasti yang berasal dari pertengahan abad ke-7 itu berbahasa Melayu Kuno di desa
Sojomerto, Kabupaten Pekalongan yang menjelaskan bahwa Dapunta Syailendra adalah
penganut agamat Siwa

2.Prasasti Kalasan
Prasasti yang berangka tahun 778 M merupakan prasasti peninggala Wangsa Sanjaya.
Prasasti ini menceritakan tentang pendirian Candi Kalasan oleh Rakai Panagkaran atas
permintaan keluarga Syailendra serta sebagai penghadiahan desa Kalasan untuk umat
Budha.
3.Prasasti Klurak
Prasasti yang berangka tahun 782 M, di daerah Prambanan menyebutkan tentang
pembuatan Arca Manjusri yang merupakan perwujudan Sang Budha, Wisnu dan
Sanggha. Prasasti ini juga menyebutkan nama raja yang berkuasa saat itu yang
bernama Raja Indra.

4.Prasasti Ratu Boko


Prasasti berangka tahun 865 M menyebutkan tentang kekalahan Raja Balaputra Dewa
dalam perang saudara melawan kakaknya Pradhowardhani dan melarikan diri ke
Palembang.

Nama Syailendra juga muncul dalam Prasasti Klurak (782 M)


Syailendrawansantilakena, Prasasti Abhayagiriwihara (792 M)
Dharmmatunggadewasyasailendra, Prasasti Kayumwunan (824 M)
Syailendrawansatilaka,

Kehidupan sosial Kerajaan Mataram Dinasti Syailendra ditafsirkan telah teratur. Hal
ini dilihat dari pembuatan Candi yang menggunakan tenaga rakyat secara bergotong
royong. Dari segi budaya Kerajaan Dinasti Syailendra juga banyak meninggalkan
bangunan-bangunan megah dan bernilai.
Adapun Raja-raja yang pernah berkuasa, yaitu :

1. Bhanu (752 775 M)


Raja Banu merupakan Raja pertama sekaligus pendiri Wangsa Syailendra

2. Wisnu (775 782 M)


Pada masa pemerintahannya, Candi Borobudur mulai dibangun tepatnya 778 M.

3.Indra (782 812 M)


Pada masa pemerintahannya, Raja Indra membuat Klurak yang berangka tahun 782 M,
di daerah Prambanan

4.Samaratungga ( 812 833 M)


Raja Samaratungga berperan menjadi pengatur segala dimensi kehidupan rakyatnya.
Sebagai raja Mataram Budha, Samaratungga sangat menhayati nilai agama dan budaya
Pada masa pemerintahannya Candi Borobudur selesai dibangun.

5.Pramodhawardhani (883 856 M)


Pramodhawardhani adalah putri Samaratungga yang dikenal cerdas dan cantik. Beliau
bergelar Sri Kaluhunan, yang artinya seorang sekar kedhaton yang menjadi tumpuan
harapan bagi rakyat. Pramodhawardhani kelak menjadi permaisuri raja Rakai Pikatan,
Raja Mataram Kuno dari Wangsa Sanjaya.

6.Balaputera Dewa (883 850 M)


Balaputera Dewa adalah putera Raja Samaratungga dari ibu yang bernama Dewi Tara,
puteri raja Sriwijaya. Dari Prasasti Ratu Boko, terjadi perebutan tahta kerajaan oleh
Rakai Pikatan yang menjadi suami Pramodhawardhani. Balaputera Dewa merasa
berhak mendapatkan tahta tersebut karena beliau merupakan anak laki-laki berdarah
Syailendra dan tidak setuju terhadap tahta yang diberikan kepada Rakai Pikatan yang
keturunan Sanjaya. Dalam peperangan saudara tersebut Balaputera Dewa mengalami
kekalahan dan melarikan diri ke Pelembang.

a. Kehidupan politik Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Kuno dikenal sebagai kerajaan yang toleran dalam hal beragama.
Sebab, di Kerajaan Mataram Lama berkembang agama Buddha dan Hindu secara
berdampingan. Kerajaan ini diperintah oleh dua dinasti, yaitu Dinasti Sanjaya yang
beragama Hindu dan Dinasti Syailendra yang beragama Buddha.

Berdasarkan interpretasi terhadap prasasti-prasasti bahwa kedua dinasti itu saling


bersaing berebut pengaruh dan kadang-kadang memerintah bersama-sama. Asal usul
Dinasti Sanjaya tercantum dalam prasasti Canggal (732 M) yang menyebutkan bahwa
Sanjaya adalah keponakan Sanna (anak dari Sannaha). Dinasti Syailendra sendiri
tercantum dalam prasasti Sojomerto (tidak berangka tahun), isinya menceritakan
tentang Dapuntahyang Syailendra.

Berdasarkan Prasasti Canggal (732 M),


terletak di atas Gunung Wukir, Kecamatan Salam Magelang, diketahui bahwa raja
pertama dari Dinasti Sanjaya adalah Sanjaya yang memerintah di ibu kota bernama
Medang. Prasasti itu juga menceritakan tentang pendirian sebuah lingga (lambang dewa
Syiwa) di atas bukit di wilayah Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya pada tanggal 6 Oktober
732.

Disebutkan juga tentang Pulau Jawa yang subur dan banyak menghasilkan gandum atau
padi dan kaya akan tambang emas, yang mula-mula diperintah oleh Raja Sanna. Setelah
Raja Sanna meninggal, ia digantikan oleh Raja Sanjaya, anak saudara perempuan Raja
Sanna. Raja Sanjaya adalah seorang raja yang gagah berani yang telah menaklukkan raja
di sekelilingnya dan menjadikan kemakmuran bagi rakyatnya . Menurut Carita
Parahyangan (buku sejarah Pasundan), disebutkan Sanna berasal dari Galuh (Ciamis).

Selain prasasti Canggal, ada juga prasasti Kalasan (778 M) yang terdapat di sebelah
timur Yogyakarta. Dalam prasasti itu disebutkan Raja Panangkaran dengan nama
Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Rakai Panangkaran. Hal itu menunjukkan
bahwa raja-raja keturunan Sanjaya termasuk keluarga Syailendra.

Prasasti Kedu ( Prasasti Mantyasih ) berangka tahun 907 M mencantumkan silsilah raja-
raja yang memerintah di Kerajaan Mataram. Prasasti Kedu dibuat pada masa Raja Rakai
Dyah Balitung. Adapun silsilah raja-raja yang pernah memerintah di Mataram yaitu
sebagai berikut.
1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran
3. Sri Maharaja Rakai Panunggalan
4. Sri Maharaja Rakai Warak
5. Sri Maharaja Rakai Garung
6. Sri Maharaja Rakai Pikatan
7. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
8. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang
9. Sri Maharaja Rakai Dyah Balitung.
Menurut prasasti Kedu dapat diketahui bahwa Raja Sanjaya digantikan oleh Rakai
Panangkaran. Selanjutnya salah seorang keturunan raja Dinasti Syailendra yang
bernama Sri Sanggrama Dhananjaya berhasil menggeser kekuasaan Dinasti Sanjaya
yang dipimpin Rakai Panangkaran pada tahun 778. Sejak saat itu, Kerajaan Mataram
dikuasai sepenuhnya oleh Dinasti Syailendra.

Tahun 778 sampai dengan tahun 856 sering disebut sebagai pemerintahan selingan.
Sebab, antara Dinasti Syailendra dan Dinasti Sanjaya silih berganti berkuasa. Dinasti
Syailendra yang beragama Buddha mengembangkan Kerajaan Mataram Lama yang
berpusat di Jawa Tengah bagian selatan, sedangkan Dinasti Sanjaya yang beragama
Hindu mengembangkan kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah bagian Utara.

Puncak kejayaan Dinasti Sanjaya terjadi pada masa pemerintahan Raja Dyah Balitung
yang menguasai Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia mendirikan candi Prambanan dan
Loro Jonggrang menurut model candi-candi Syailendra. Masa pemerintahan raja-raja
Mataram setelah Dyah Balitung tidak terlalu banyak sumber yang menceritakannya.
Yang dapat diketahui adalah nama-nama raja yang memerintah, yakni, Daksa (913-919),
Wawa (919-924), Tulodhong (924-929), sampai Mpu Sindok pada tahun 929 M
memindahkan ibu kota kerajaan dari Medang ke Daha (Jawa Timur) dan mendirikan
dinasti baru yaitu Dinasti Isanawangsa.

b. Pemerintahan wangsa Sanjaya


Raja-raja wangsa Sanjaya, seperti dimuat dalam prasasti Mantyasih (Kedu), sebagai
berikut.

1) Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (717 746 M)


Raja ini adalah pendiri Kerajaan Mataram sekaligus pendiri wangsa Sanjaya. Setelah
wafat, ia digantikan oleh Rakai Panangkaran.

2) Sri Maharaja Rakai Panangkaran (746 784 M)


Dalam prasasti Kalasan (778 M) diceritakan bahwa Rakai Panangkaran (yang
dipersamakan dengan Panamkaran Pancapana) mendirikan candi Kalasan untuk
memuja Dewi Tara, istri Bodhisatwa Gautama, dan candi Sari untuk dijadikan wihara
bagi umat Buddha atas permintaan Raja Wisnu dari dinasti Syailendra.

Ini menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan raja ini datanglah dinasti Syailendra
dipimpin rajanya, Bhanu (yang kemudian digantikan Wisnu), dan menyerang wangsa
Sanjaya hingga melarikan diri ke Dieng, Wonosobo. Selain itu, Raja Panangkaran juga
dipaksa mengubah kepercayaannya dari Hindu ke Buddha. Adapun penerus wangsa
Sanjaya setelah Panangkaran tetap beragama Hindu.

3) Sri Maharaja Rakai Panunggalan (784 803 M)

4) Sri Maharaja Rakai Warak (803 827 M)


Dua raja ini tidak memiliki peran yang berarti, mungkin karena kurang cakap dalam
memerintah sehingga dimanfaatkan oleh dinasti Syailendra untuk berkuasa atas
Mataram. Setelah Raja Warak turun takhta sebenarnya sempat digantikan seorang raja
wanita, yaitu Dyah Gula (827 828 M), namun karena kedudukannya hanya bersifat
sementara maka jarang ada sumber sejarah yang mengungkap peranannya atas
Mataram Hindu.

5) Sri Maharaja Rakai Garung (828 847 M)


Raja ini beristana di Dieng, Wonosobo. Ia mengeluarkan prasasti Pengging (819 M) di
mana nama Garung disamakan dengan Patapan Puplar (mengenai Patapan Puplar
diceritakan dalam prasasti Karang Tengah Gondosuli).

6) Sri Maharaja Rakai Pikatan (847 855 M)


Raja Pikatan berusaha keras mengangkat kembali kejayaan wangsa Sanjaya dalam masa
pemerintahannya. Ia menggunakan nama Kumbhayoni dan Jatiningrat (Agastya).
Beberapa sumber sejarah yang menyebutkan nama Pikatan sebagai berikut.

a) Prasasti Perot, berangka tahun 850 M, menyebutkan bahwa Pikatan adalah raja yang
sebelumnya bergelar Patapan.
b) Prasasti Argopuro yang dikeluarkan Kayuwangi pada tahun 864 M.
c) Tulisan pada sebelah kanan dan kiri pintu masuk candi Plaosan menyebutkan nama
Sri Maharaja Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan.

Diduga tulisan tersebut merupakan catatan perkawinan antara Rakai Pikatan dan Sri
Kahulunan. Sri Kahulunan diduga adalah Pramodhawardhani, putri Samaratungga, dari
dinasti Syailendra. Mengenai pernikahan mereka dikisahkan kembali dalam prasasti
Karang Tengah.

Rakai Pikatan sendiri mengeluarkan tiga prasasti berikut.


1) Prasasti Pereng (862 M), isinya mengenai penghormatan kepada Syiwa dan
penghormatan kepada Kumbhayoni.
2) Prasasti Code D 28, berangka tahun Wulung Gunung Sang Wiku atau 778 Saka (856
M). Isinya adalah
(1) Jatiningrat (Pikatan) menyerahkan kekuasaan kepada putranya, Lokapala
(Kayuwangi dalam prasasti Kedu);
(2) Pikatan mendirikan bangunan Syiwalaya (candi Syiwa), yang dimaksud adalah candi
Prambanan;
(3) kisah peperangan antara Walaputra (Balaputradewa) melawan Jatiningrat (Pikatan)
di mana Walaputra kalah dan lari ke Ungaran (Ratu Boko).
3) Prasasti Ratu Boko, berisi kisah pendirian tiga lingga sebagai tanda kemenangan.
Ketiga lingga yang dimaksud adalah Krttivasa Lingga (Syiwa sebagai petapa berpakaian
kulit harimau), Tryambaka Lingga (Syiwa menghancurkan benteng Tripura yang dibuat
raksasa), dan Hara Lingga (Syiwa sebagai dewa tertinggi atau paling berkuasa).

Sebagai raja, Pikatan berusaha menguasai seluruh Jawa Tengah, namun harus
menghadapi wangsa Syailendra yang saat itu menjadi penguasa Mataram Buddha.
Untuk itu, Pikatan menggunakan taktik menikahi Pramodhawardhani, putri
Samaratungga, Raja Mataram dari dinasti Syailendra. Pernikahan ini memicu
peperangan dengan Balaputradewa yang merasa berhak atas tahta Mataram sebagai
putra Samaratungga. Balaputradewa kalah dan Rakai Pikatan menyatukan kembali
kekuasaan Mataram di Jawa Tengah.
7) Sri Maharaja Kayuwangi (855 885 M)
Nama lain Sri Maharaja Kayuwangi adalah Lokapala. Ia mengeluarkan, antara lain, tiga
prasasti berikut.
a) Prasasti Ngabean (879 M), ditemukan dekat Magelang. Prasasti ini terbuat dari
tembaga.
b) Prasasti Surabaya, menyebutkan gelar Sajanotsawattungga untuk Kayuwangi.
c) Prasasti Argopuro (863 M), menyebutkan Rakai Pikatan pu Manuku berdampingan
dengan nama Kayuwangi.
Dalam pemerintahannya, Kayuwangi dibantu oleh dewan penasihat merangkap staf
pelaksana yang terdiri atas lima orang patih. Dewan penasihat ini diketuai seorang
mahapatih.

8) Sri Maharaja Watuhumalang (894 898 M)

Masa pemerintahan Kayuwangi dan penerus-penerusnya sampai masa pemerintahan


Dyah Balitung dipenuhi peperangan perebutan kekuasaan. Itu sebabnya, setelah
Kayuwangi turun takhta, penggantinya tidak ada yang bertahan lama.

Di antara raja-raja yang memerintah antara masa Kayuwangi dan Dyah Balitung yang
tercatat dalam prasasti Kedu adalah Sri Maharaja Watuhumalang. Raja-raja
sebelumnya, yaitu Dyah Taguras (885 M), Dyah Derendra (885 887 M), dan Rakai
Gurunwangi (887 M) tidak tercatat dalam prasasti tersebut mungkin karena masa
pemerintahannya terlalu singkat atau karena Balitung sendiri tidak mau mengakui
kekuasaan mereka.

9) Sri Maharaja Watukura Dyah Balitung (898 913 M)

Raja ini dikenal sebagai raja Mataram yang terbesar. Ialah yang berhasil
mempersatukan kembali Mataram dan memperluas kekuasaan dari Jawa Tengah
sampai ke Jawa Timur. Dyah Balitung menggunakan beberapa nama:

a) Balitung Uttunggadewa (tercantum dalam prasasti Penampihan),


b) Rakai Watukura Dyah Balitung (tercantum dalam kitab Negarakertagama),
c) Dharmodaya Mahacambhu (tercantum dalam prasasti Kedu), dan
d) Rakai Galuh atau Rakai Halu (tercantum dalam prasasti Surabaya).

Prasasti-prasasti yang penting dari Balitung sebagai berikut.


a) Prasasti Penampihan di Kediri (898 M).
b) Prasasti Wonogiri (903 M).
c) Prasasti Mantyasih di Kedu (907 M).
d) Prasasti Djedung di Surabaya (910 M).

Sebenarnya, Balitung bukan pewaris takhta Kerajaan Mataram. Ia dapat naik takhta
karena kegagahberaniannya dan karena perkawinannya dengan putri Raja Mataram.
Selama masa pemerintahannya, Balitung sangat memerhatikan kesejahteraan rakyat,
terutama dalam hal mata pencaharian, yaitu bercocok tanam, sehingga rakyat sangat
menghormatinya.

Tiga jabatan penting yang berlaku pada masa pemerintahan Balitung adalah Rakryan i
Hino (pejabat tertinggi di bawah raja), Rakryan i Halu, dan Rakryan i Sirikan. Ketiga
jabatan itu merupakan tritunggal dan terus dipakai hingga zaman Kerajaan Majapahit.

Balitung digantikan oleh Sri Maharaja Daksa dan diteruskan oleh Sri Maharaja
Tulodhong dan Sri Maharaja Wana. Namun, ketiga raja ini sangat lemah sehingga
berakhirlah kekuasaan dinasti Sanjaya.

c. Pemerintahan dinasti Syailendra

Ketika Mataram diperintah oleh Panangkaran (wangsa Sanjaya), datanglah dinasti


Syailendra ke Jawa. Ada beberapa pendapat mengenai asal-usul dinasti Syailendra ini.
Dr. Majumdar, Nilakanta Sastri, dan Ir. Moens berpendapat bahwa dinasti Syailendra
berasal dari India. Adapun Coedes berpendapat bahwa dinasti Syailendra berasal dari
Funan.

Dinasti ini lalu berhasil mendesak wangsa Sanjaya menyingkir ke Pegunungan Dieng,
Wonosobo, di wilayah Jawa Tengah bagian utara. Di sanalah wangsa Sanjaya kemudian
memerintah. Sementara itu, dinasti Syailendra mendirikan Kerajaan Syailendra
(Mataram Buddha) di wilayah sekitar Yogyakarta dan menguasai Jawa Tengah bagian
selatan.

Sumber-sumber sejarah mengenai keberadaan dinasti Syailendra sebagai berikut.


1) Prasasti Kalasan (778 M)
2) Prasasti Kelurak (782 M)
3) Prasasti Ratu Boko (856 M)
4) Prasasti Nalanda (860 M)

Raja-raja dinasti Syailendra sebagai berikut.


1) Bhanu (752 775 M)
Bhanu berarti matahari. Ia adalah raja Syailendra yang pertama. Namanya disebutkan
dalam prasasti yang ditemukan di Plumpungan (752 M), dekat Salatiga.

2) Wisnu (775 782 M)


Nama Wisnu disebutkan dalam beberapa prasasti.

a) Prasasti Ligor B menyebutkan nama Wisnu yang dipersamakan dengan matahari,


bulan, dan dewa Kama. Disebutkan pula gelar yang diberikan kepada Wisnu, yaitu
Syailendravamsaprabhunigadata Sri Maharaja, artinya pembunuh musuh yang gagah
berani.

b) Prasasti Kalasan (778 M) menyebutkan desakan dinasti Syailendra terhadap


Panangkaran.

c) Prasasti Ratu Boko (778 M) menyebutkan nama Raja Dharmatunggasraya.

3) Indra (782 812 M)


Raja Indra mengeluarkan prasasti Kelurak (782 M) yang menyebutkan pendirian patung
Boddhisatwa Manjusri, yang mencakup Triratna (candi Lumbung), Vajradhatu (candi
Sewu), dan Trimurti (candi Roro Jongrang). Setelah wafat, Raja Indra dimakamkan di
candi Pawon. Nama lain candi ini adalah candi Brajanala atau Wrajanala. Wrajanala
artinya petir yang menjadi senjata dewa Indra.

4) Samaratungga (812 832 M)


Raja ini adalah raja terakhir keturunan Syailendra yang memerintah di Mataram. Ia
mengeluarkan prasasti Karang Tengah yang berangka tahun Rasa Segara Krtidhasa atau
746 Saka (824 M). Dalam prasasti tersebut disebutkan nama Samaratungga dan
putrinya, Pramodhawardhani. Disebutkan pula mengenai pendirian bangunan Jimalaya
(candi Prambanan) oleh Pramodhawardhani.

Nama Samaratungga juga disebutkan dalam prasasti Nalanda (860 M) yang


menceritakan pendirian biara di Nalanda pada masa pemerintahan Raja Dewapaladewa
(Kerajaan Pala, India). Pada masa pemerintahannya, Samaratungga membangun candi
Borobudur yang merupakan candi besar agama Buddha. Samaratungga kemudian
digantikan oleh Rakai Pikatan, suami Pramodhawardhani yang berasal dari wangsa
Sanjaya. Kembalilah kekuasaan wangsa Sanjaya atas Mataram Kuno sepenuhnya.

d. Kehidupan ekonomi Kerajaan Mataram Kuno


Letak kerajaan Mataram yang terisolasi menyebabkan perekonomian kerajaan itu sulit
untuk berkembang dengan baik. Selain itu, transportasi dari pesisir ke pedalaman sulit
untuk dilakukan karena keadaan sungainya. Dengan demikian, perekonomian rakyat
banyak yang mengandalkan sektor agraris daripada perdagangan, apalagi perdagangan
internasional. Dengan keadaan tersebut, wajar bila Raja Kayuwangi berusaha untuk
memajukan sektor pertanian, sebab dengan sektor inilah, perekonomian rakyat dapat
dikembangkan.

Berdasarkan prasasti Purworejo (900 M) disebutkan bahwa Raja Belitung


memerintahkan pendirian pusat-pusat perdagangan. Pendirian pusat-pusat
perdagangan tersebut dimaksudkan untuk mengembangkan perekonomian masyarakat,
baik di sektor pertanian dan perdagangan. Selain itu, dimaksudkan agar menarik para
pedagang dari daerah lain untuk mau berdagang di Mataram.

Prasasti Wonogiri (903 M) menceritakan tentang dibebaskannya desa-desa di daerah


pinggiran sungai Bengawan Solo apabila penduduk setempat mampu menjamin
kelancaran lalu lintas di sungai tersebut. Terjaminnya sarana pengangkutan atau
transportasi merupakan kunci untuk mengembangkan perekonomian dan membuka
hubungan dagang dengan dunia luar. Dengan demikian, usaha-usaha mengembangkan
sektor perekonomian terus diusahakan oleh raja Mataram demi kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakatnya.

e. Kehidupan sosial-budaya Kerajaan Mataram Kuno

Struktur sosial masyarakat Mataram Kuno tidak begitu ketat, sebab seorang Brahmana
dapat menjadi seorang pejabat seperti seorang ksatria, ataupun sebaliknya seorang
Ksatria bisa saja menjadi seorang pertapa. Dalam masyarakat Jawa, terkenal dengan
kepercayaan bahwa dunia manusia sangat dipengaruhi oleh alam semesta (sistem
kosmologi). Dengan demikian, segala yang terjadi di alam semesta ini akan berpengaruh
pada kehidupan manusia, begitu pula sebaliknya.

Oleh karena itu, untuk keserasian alam semesta dan kehidupan manusia maka harus
dijalin hubungan yang harmonis antara alam semesta dan manusia, begitu pula antara
sesama manusia. Sistem kosmologi juga menjadikan raja sebagai penguasa tertinggi dan
penjelmaan kekuatan dewa di dunia. Seluruh kekayaan yang ada di tanah kerajaan
adalah milik raja, dan rakyat wajib membayar upeti dan pajak pada raja. Sebaliknya raja
harus memerintah secara arif dan bijaksana.
Dalam bidang kebudayaan, Mataram Kuno banyak menghasilkan karya yang berupa
candi. Pada masa pemerintahan Raja Sanjaya, telah dibangun beberapa candi antara
lain: Candi Arjuna, Candi Bima dan Candi Nakula. Pada masa Rakai Pikatan, dibangun
Candi Prambanan. Candi-candi lain yang dibangun pada masa Mataram Kuno antara
lain Candi Borobudur, Candi Gedongsongo, Candi Sambisari, dan Candi Ratu Baka.

f. Kepercayaan Kerajaan Mataram Kuno

Pada masa pemerintahan Rakai Pikatan, banyak didirikan candi-candi yang bercorak
Hindu dan Buddha. Pernikahannya dengan Pramodhawardhani tidak menyurutkan
Rakai Pikatan untuk berpindah agama. Ia tetap memeluk agama Hindu dan
permaisurinya beragama Buddha. Pembangunan candi-candi dilakukan dengan bekerja
sama. Pramodhawardhani yang bergelar Sri Kahulunan banyak mendirikan candi yang
bersifat Buddha, sedangkan suaminya (Rakai Pikatan) banyak mendirikan candi yang
bersifat Hindu.

Anda mungkin juga menyukai