Goddes) yang bukti-buktinya terdapat dalam suatu zeal di Lembah Sindhu dalam
kurun waktu sebelum zaman Weda dengan Konsep Mahanirwana Tantra. Konsep ini
berpangkal pada percakapan Dewi Parwati dengan Sang Hyang Sada-Siwa yang
menyelamatkan dunia dari kehancuran moral dan perilaku. Dalam beberapa sumber
Dewi Durga juga disebut Candi. Dari sinilah pada mulanya muncul istilah “candi”
(candikaghra) untuk menamai bangunan suci sebagai tempat memuja dewa dan arwah
yang telah suci. Peran Dewi Durga dalam menyelamatkan dunia dari kehancuran
moral dan perilaku disebut Kalimosada (Kali-maha-usada) yang artinya Dewi Durga
adalah obat yang paling mujarab dalam zaman kekacauan moral, pikiran dan perilaku.
Dari konsep Dewi itu muncullah Saktiisme yaitu suatu paham yang
Dewa. Di dalam konsep monodualis bahwa Nirguna Brahma dalam Dewa bersifat
pasif yang juga disebut Dewi. Dari sini muncullah istilah Dewa dan Dewi atau
1
dan juga dipersonifikasikan dalam imajinasi manusia secara tersendiri pula. Para
Tantriisme yaitu suatu paham yang memuja Sakti secara ekstrim. Para penganut
paham ini disebut Tantrayana. Istilah “Tantrayana” berasal dari akar kata “tan” yang
artinya ‘memaparkan kesaktian “atau” kekuatan daripada Dewi itu”. Kitab-kitab yang
memuat ajaran Tantrayana banyak sekali, kurang lebih ada 64 macam antara lain
dan lain sebagainya. Tantrayana berkembang luas sampai ke Cina, Tibet dan
Indonesia.
tahun 684, berasal dari India Selatan dan Tibet. Untuk mengungkapkan
perkembangan Tantrayana di Bali maka uraian tidak bisa lepas dari hubungan Bali
dengan Jawa Timur, yang dimulai dengan pertemanan raja Dharma Udayana
Warmadewa di Bali dengan seorang putri raja Jawa Timur yang bernama Sri
Sindok di Jawa Timur Tantrayana telah berkembang. Pada waktu itu telah disusun
atau Mahendradhatta pun telah terpengaruh oleh aliran itu di tempat asalnya di Jawa
timur, sebab di Bali jaman pemerintahan raja Dharma Udayana Warmadewa dan
2
Gunapriyadharmapatni merupakan jaman hidup suburnya perkembangan ilmu-ilmu
gaib. Cerita Calon Arang yang sangat terkenal di Bali dihubungkan dengan
memuja Hyang Bhairawi atau Dewi Durga untuk mendatangkan wabah penyakit di
dalam negeri Kerajaan Airlangga. Calon arang dan muridnya menari-nari di atas
mayat-mayat yang telah dihidupkan kembali untuk persembahan Dewi Durga sebagai
korban agar semua kehendaknya bisa dikabulkan. Cara-cara seperti itu adalah hal
sebagai berikut:
3
PEMBAHASAN
Tantrayana atau yang sering disebut tantrisme adalah ajaran dalam Agama
Hindu yang mengandung unsur mistik dan kekuatan gaib. “Tantra adalah bagian dari
Saktisme, yaitu pemujaan kepada Ibu Semesta. Dalam proses pemujaannya, para
pemuja Sakta tersebut menggunakan mantra, yantra, dan tantra, yoga, dan puja serta
agama Hindu, hal ini tampak pengaruhnya terhadap pemujaan Dewi Durga atau Dewi
Kali yang merupakan sakti dari Dewa Siwa dalam perwujudannya sebagai Mahakala.
kebudayaan lembah sungai Indus ( kurang lebih sekitar 2500 Sebelum Masehi ),
mengutamakan pemujaan kepada Ibu Semesta atau unsure wanita sebagai lambang
kesuburan.
sekitar tahun 684 Masehi. Keterangan ini berdasarkan ungkapan kata dalam prasarsi
Sanjaya yang diketahui dari prasasti Kalasan 778 Masehi. Isinya yang menyebutkan
4
tentang pembangunan candi Kalasan yang bersifat Tantrayana, untuk menuja Dewi
Tara.
dengan Jawa Timur, yang dimulai dengan perkawinan antara raja Dharma Udayana
Warmadewa di Bali dengan seorang putri raja Jawa Timur yang bernama Sri
cucu raja Sindok. Pada masa pemerintahan Raja Sindok di Jawa Timur, Tantrayana
terpengaruh oleh aliran itu di tempat asalnya di Jawa timur, sebab di Bali jaman
merupakan jaman hidup suburnya perkembangan ilmu-ilmu gaib. Cerita Calon Arang
Dharmapatni. Di dalam Lontar Calon arang ada diuraikan bagaimana memuja Hyang
Bhairawi atau Dewi Durga untuk mendatangkan wabah penyakit di dalam negeri
Kerajaan Airlangga. Calon arang dan muridnya menari-nari di atas mayat-mayat yang
telah dihidupkan kembali untuk persembahan Dewi Durga sebagai korban agar semua
kehendaknya bisa dikabulkan. Cara-cara seperti itu adalah hal yang biasa di dalam
Tantrayana.
dan didharmakan di Burwan, Kutri, Gianyar. Di tempat itu beliau diwujudkan dalam
bentuk arca besar Durgamahisasuramardhini. Arca itu merupakan Bhatari Durga yang
5
sedang membunuh asura (setan) yang berada pada badan seekor kerbau besar. Arca
Kendatipun dalam cerita calon arang banyak keadaan yang bercampur baur dan
dilukiskan sebagai Calon Arang. Dengan demikian maka kemungkinan pada sekitar
Kertanegara sebagai raja terakhir kerajaan Singasari. Raja ini terkenal dalam ilmu
politik luar negerinya ingin meluaskan daerah kekuasaannya ke Barat sampai ke Bali.
Menurut kitab Negarakertagama raja Kertagama pada tahun 1280 masehi membunuh
orang jahat yang bernama Mahisa Rangkah dan selanjutnya dikatakan bahwa pada
tahun 1284 beliau telah menyerang Bali dan rajanya ditawan. Hal itu tercantum dalam
Tahun saka : yama sunti hari baginda raja membrantas penjahat Mahisa Rangga,
karena jahat tingkah lakunya dibenci seluruh negara. Tahun saka : badan-badan langit
hari kirim utusan untuk menghancurkan Bali setelah kalah rajanya menghadap
nama raja Bali itu. Prasastinya hingga kini belum ditemukan di Bali, sehingga sulit
bagi kita untuk mengetahui nama-nama raja di Bali pada waktu itu. Dr. R. Goris di
dalam kitabnya Sejarah Bali Kuna (1948) menyebutkan bahwa ada dua buah prasasti
6
yang berangka tahun caka 1218 dan caka 1222, yang tidak menyebutkan nama raja,
tetapi banyak menyebutkan nama “Raja Patih” yakni Kebo Parud. Nama-nama dan
pangkat mentri lainnya juga bercorak Jawa seperti mentri-mentri kerajaan Singasari.
Prasasti pertama yang dikeluarkan oleh Kebo Parud berangka tahun caka 1218
berisikan persoalan dan kebengisan. Patih di dalam prasasti itu dikenal sebagai
“Mwang Ida Raja Patih I mekakasir Kebo Parud”. Berdasarkan nama patih itu dan isi
prasasti ternyata patih itu seorang pegawai negara yang berasal dari Jawa Timur.
Nama semacam itu di Kerajaan Singasari sering dipakai sebagai nama patih raja
Kertanegara antara lain Patih Kebo Arema dan Raganatha, Patih Kebo Tengah atau
Aragani. Kemungkinan Patih Kebo Parud bertugas sebagai seorang Gubernur atau
semacam itu yang mewakili pemeritah Singasari di Bali. Prasasti lainnya dari Kebo
Parud berangka tahun caka 1222 yang menguraikan tentang desa Sukawati yang
Mpukwing, Dharma Anyar, Mpukwing istana raja, Mpukwing dewa istana. Agama
yang dianut Patih Kebo Parud rupa-rupanya adalah Tantrayana. Dalam prasasti-
prasastinya pun tidak terdapat sapatha yang ditujukan kepada Maha Rsi Agastya,
sering terdapat dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di Bali yang dikeluarkan lebih
dahulu.
Dari jaman Kebo Parud di Bali, didaerah Pejeng didapatkan sebuah arca
Bhaiwara. Arca itu tingginya 360 cm dengan bentuk badannya yang besar dan tegap,
berdiri di atas mayat manusia. Bentuknya yang demikian menunjukkan dewa Siwa
dalam keadaan marah (krodha). Arca di tempatkan pada satu bangunan yang disebut
7
Pelinggih Bhatara Siwa Bhairawa. Bentuk arca itu serupa dengan arca Bhairawa di
terdapat di daerah Pejeng itu disimpan di daerah Pura Kebo Edan. Sebutan Siwa
Bhairawa oleh penduduk di sekitar pura itu menunjukkan bahwa arca itu adalah
sebuah arca yang dibuat oleh para penganut Tantrayana untuk kepentingan upacara-
upacara kepercayaan.
Selain arca Siwa Bhairawa tersebut di atas, di halaman pura Kebo Edan
terdapat pula arca-arca raksasa. Satu arca itu ditempatkan pada satu bangunan kecil di
muka sebelah kanan arca Siwa Bhairawa, sedangkan satu lagi ditempatkan pada satu
bangunan di sebut Pelinggih Bhatara Kebo Edan. Kedua arca raksasa masing-masing
tengkorak. arca-arca itu dalam sikap berdiri, roman mukanya sangat mengerikan
dengan mata melotot. Demikian pula seluruh kepala dan lehernya dihiasi dengan
rangkaian tengkorak, sambil mengisap darah musuhnya dari mangkok darah yang
sikpanya yang dahsyat dan garang serta menari-nari di atas mayat manusia. Juga arca-
arca raksasa yang membawa mangkuk-mangkuk darah sambil menghisap darah dari
dalam mangkuk-mangkuk darah serta kerbau gila di pura Kebo Edan, kemungkinan
8
Demikianlah pada sekitar abad XIII Tantrayana Siwa Tantra atau Siwa Bhairawa
dalam bentuknya Siwa Tantra atau lebih dikenal dengan Siwa Bhairawa.
kurang abad X. Dalam hal ini Gunapriya Dharmapatni sebagai Calon Arang atau
Dewi Durga untuk mendapatkan ilmu gaib, kesaktian agar terkabul segala
kehendaknya.
Pada sekitar abad ke XIII pada jaman Kebo Parud di Bali Tantrayana juga
dilaksanakan dengan tekun oleh Kebo Parud dan pegawai-pegawai Singasari lainnya
yang bertugas di Bali pada saat itu. Selanjutnya sesudah abad ke XIV tidak terdapat
kemundurannya itu mungkin pula disebabkan oleh kemajuan cara berpikir manusia
sehingga orang-orang menyadari bahwa arca-arca yang demikian atau sama sekali
Tantrayana itu yang sangat bertentangan dengan kesopanan, tata susila, kemanusiaan
9
2.3 Ruang Lingkup dan Peran Tantrayana Dalam Kehidupan Masyarakat Bali
Masa Kini
Dalam beberapa hal faham Tantra hingga kini masih terlihat pengaruhnya,
di Bali baik di bidang kesusastraan maupun seni pengaruh Tantrayana masih terlihat.
Cerita calon arang, cerita yang sangat terkenal dan masih tetap semangat digemari
oleh masyarakat Bali. Cerita calon arang melukiskan pertentangan antara raja
Airlangga dengan para pengikut ilmu gaib dari aliran Tantrayana. Cerita ini hingga
sekarang masih dilakonkan dalam bentuk seni tari. Mungkin banyak yang sangat
terkenal dan masih ada di Bali sekarang merupakan sisa-sisa pengaruh Tantrayana
yang masih terlihat sampai sekarang ialah sengguhu di Bali mempergunakan atribut
kalachakra : sangku putih, genderang tangan dan genta (atribut menari dari Siwa
Bhairawa) tergantung di atas sebuah chakra dengan sebuah pegangan atau tangkai
garuda.
Apabila kita perhatikan dan kita amati secara lebih mendalam lagi pada
buku Panca Yadnya khususnya mengenai upacara Bhuta Yadnya. Bahwa Bhuta
Yadnya yang tidak lain adalah korban kepada Bhutakala, adalah bersumber dari
ajaran keagamaan Tantrayana. Tantrayana termasuk sekta atau saktiisme, karena yang
dijadikan objek persembahannya adalah sakti. Sakti dilukiskan sebagai Dewi sumber
kekuatan atau tenaga. Sakti adalah simbol dari bala atau kekuatan (Sakti is the
symbol of Bala or strength). Dalam sisi lain sakti juga disamakan dengan energi atau
10
Ajaran Tantrayana dibentangkan dalam kitab-kitab Tantra-Sastra yang juga
disebut kitab-kitab agama yang banyaknya kurang lebih 64 buah. Pada dasarnya
terhadap satu Tuhan yang disebut Brahman. Konsep ini dijelaskan dalam
Mahanirwana Tantra (12) dengan suatu kalimat berbunyi “Om Saccidekam Brahman”
(Om, hanya satu kesadaran tertinggi yang disebut Brahman), Konsep Monisme ini
muncul dari pandangan Advaita dalam Wedanta Darsanam. Fokus ajaran Tantrayana
munculnya ketenangan batin yang merupakan suatu syarat mutlak untuk mencapai
ketenangan jiwa (bhukti) yang selanjutnya akan menuju moksa (mukti), untuk
yaitu : wahya dan adhyatmika (sekala dan niskala). Pernyataan produk kedua sistem
ini akan dapat mewujudkan jagadhita dalam kehidupan. Dalam konteks sistem ini,
maka konsep Monisme itu dikembangkan menjadi konsep Monodualis yaitu : satu itu
dijadikan dua dan dua itu disatukan. Dari sini dapat diketahui ruang lingkup dan
1. Upacara
11
memujudkan keseimbangan hidup di dunia ini. Di dalam kitab Mahanirwana
upakara dan upacara yajna yang diselenggarakan di Bali, secara jelas terlihat
disemarakkan oleh produk sosial budaya daerah yang berasal dari alam
Tantrayana. Istilah tapa berasal dan akar kata tap artinya panas. Bertapa
panas. Menurut Yoga-Kundalini, bahwa panas yang muncul pada diri kita
ketika memusatkan pikiran itu akan membakar kekotoran (mala) yang melekat
Brata adalah suatu disiplin batin yang memuat dua hal yaitu :
keharusan dan larangan; apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh
12
dilakukan. Tantrayana mengajarkan suatu brata yang patut dilakukan yaitu :
gaib.
mengandung filosofi yang dalam. Arthur Avalon mengkaji hal ini secara
panjang lebar dan mendalam dalam bukunya Sakti and Sakta. Pada prinsipnya
bhuwana alit yang mengandung nilai selaras serasi dan seimbang. Kendatipun
3. Puja-Mantra
sangat karya dengan Puja dan Mantra, Mantra-mantra seperi : Mula Mantra,
Bija-Mantra, Kutha Mantra, Astra Mantra, dan Kawaca Mantra serta berbagai
13
berasal dari Mahanirwana Tantra. Demikian pula Stuti dan Stawa yang
digunakan di Bali, sebagian berasal dan Puja Mantra Tantrayana. Mudra dan
bahwa Puja-Parikrama di Bali mengambil sumber dari Catur Weda dan dari
berbagai Upanisad.
yang khusus pula dan spesifik seperti : Caru Lebur Sangsa, Caru
itu telah hilang dan sebagian lagi tak dapat dimengerti karena tertulis dalam
tulisan rahasia untuk menjaga kerahasiaan Tantra terhadap mereka yang tak
14
ajaran Tantrayana, yaitu antara lain :Maha Nirwana Tantra, Kularnawa
keagamaan yang berkembang di nusantara. Hal ini dapat dilihat dari berbagai
15
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. Cet
ke- I 1988.
16