Anda di halaman 1dari 16

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Banyak anggapan bahwa ada hubungan antara Konsep-Dewi (Mother-

Goddes) yang bukti-buktinya terdapat dalam suatu zeal di Lembah Sindhu dalam

kurun waktu sebelum zaman Weda dengan Konsep Mahanirwana Tantra. Konsep ini

berpangkal pada percakapan Dewi Parwati dengan Sang Hyang Sada-Siwa yang

membentangkan turunnya Dewi Durga ke Bumi pada zaman Kali untuk

menyelamatkan dunia dari kehancuran moral dan perilaku. Dalam beberapa sumber

Dewi Durga juga disebut Candi. Dari sinilah pada mulanya muncul istilah “candi”

(candikaghra) untuk menamai bangunan suci sebagai tempat memuja dewa dan arwah

yang telah suci. Peran Dewi Durga dalam menyelamatkan dunia dari kehancuran

moral dan perilaku disebut Kalimosada (Kali-maha-usada) yang artinya Dewi Durga

adalah obat yang paling mujarab dalam zaman kekacauan moral, pikiran dan perilaku.

Sedangkan misi Beliau turun ke bumi disebut Kalika-Dharma.

Dari konsep Dewi itu muncullah Saktiisme yaitu suatu paham yang

mengkhususkan pemujaan kepada Sakti yang merupakan suatu kekuatan daripada

Dewa. Di dalam konsep monodualis bahwa Nirguna Brahma dalam Dewa bersifat

pasif yang juga disebut Dewi. Dari sini muncullah istilah Dewa dan Dewi atau

Bhatara-Bhatari yang oleh pikiran manusia dipandang sebagai manifestasi tersendiri

1
dan juga dipersonifikasikan dalam imajinasi manusia secara tersendiri pula. Para

pemuja sakti ini disebut Sakta.

Dalam perkembangannya lebih lanjut daripada Saktiisme ini, maka muncullah

Tantriisme yaitu suatu paham yang memuja Sakti secara ekstrim. Para penganut

paham ini disebut Tantrayana. Istilah “Tantrayana” berasal dari akar kata “tan” yang

artinya ‘memaparkan kesaktian “atau” kekuatan daripada Dewi itu”. Kitab-kitab yang

memuat ajaran Tantrayana banyak sekali, kurang lebih ada 64 macam antara lain

Mahanirwana Tantra, Kulanarwana Tantra Bidhana, Yoginihrdaya Tantra, Tantrasara

dan lain sebagainya. Tantrayana berkembang luas sampai ke Cina, Tibet dan

Indonesia.

Di Indonesia masuknya Tantriisme dimulai sejak abad ke-7 melalui kerajaan

Sriwijaya di Sumatera sebagaimana diberikan persaksian oleh prasasti Palembang

tahun 684, berasal dari India Selatan dan Tibet. Untuk mengungkapkan

perkembangan Tantrayana di Bali maka uraian tidak bisa lepas dari hubungan Bali

dengan Jawa Timur, yang dimulai dengan pertemanan raja Dharma Udayana

Warmadewa di Bali dengan seorang putri raja Jawa Timur yang bernama Sri

Gunapriyadharmapatni. Beliau adalah putri Makutawangsawardhana, sedangkan

Makutawangsawardhana adalah cucu raja Sindok. Pada masa pemerintahan Raja

Sindok di Jawa Timur Tantrayana telah berkembang. Pada waktu itu telah disusun

kitab Sang Hyang Kamahayanikan. Kemungkinan bahwa Sri Gunapriyadharmapatni

atau Mahendradhatta pun telah terpengaruh oleh aliran itu di tempat asalnya di Jawa

timur, sebab di Bali jaman pemerintahan raja Dharma Udayana Warmadewa dan

2
Gunapriyadharmapatni merupakan jaman hidup suburnya perkembangan ilmu-ilmu

gaib. Cerita Calon Arang yang sangat terkenal di Bali dihubungkan dengan

kehidupan Mahendradhatta. Di dalam Lontar Calon arang ada diuraikan bagaimana

memuja Hyang Bhairawi atau Dewi Durga untuk mendatangkan wabah penyakit di

dalam negeri Kerajaan Airlangga. Calon arang dan muridnya menari-nari di atas

mayat-mayat yang telah dihidupkan kembali untuk persembahan Dewi Durga sebagai

korban agar semua kehendaknya bisa dikabulkan. Cara-cara seperti itu adalah hal

yang biasa di dalam Tantrayana. Perkembangan Tantrayana di Bali juga menjurus

kepada dua aliran mistik yaitu Pangiwa dan Panengen.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah

sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan Tantrayana?

2. Bagaimana Perkembangan Tantrayana di Bali?

3. Bagaimana ruang lingkup dan peran Tantrayana dalam kehidupan masyarakat

Bali masa kini?

3
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tantrayana

Tantrayana atau yang sering disebut tantrisme adalah ajaran dalam Agama

Hindu yang mengandung unsur mistik dan kekuatan gaib. “Tantra adalah bagian dari

Saktisme, yaitu pemujaan kepada Ibu Semesta. Dalam proses pemujaannya, para

pemuja Sakta tersebut menggunakan mantra, yantra, dan tantra, yoga, dan puja serta

melibatkan kekuatan alam semesta dan membangkitkan kekuatan kundalini. Dalam

agama Hindu, hal ini tampak pengaruhnya terhadap pemujaan Dewi Durga atau Dewi

Kali yang merupakan sakti dari Dewa Siwa dalam perwujudannya sebagai Mahakala.

2.2 Perkembangan Tantrayana di Bali

Paham atau aliran Tantrayana muncul di India sebenarnya sudah dimulai

sejak zaman kebudayaan lembah sungai Indus. Sebagaimana diketahui bahwa

kebudayaan lembah sungai Indus ( kurang lebih sekitar 2500 Sebelum Masehi ),

mengutamakan pemujaan kepada Ibu Semesta atau unsure wanita sebagai lambang

kesuburan.

Di Indonesia, penyebaran paham Tantra berawal dari kerajaan Sriwijaya

sekitar tahun 684 Masehi. Keterangan ini berdasarkan ungkapan kata dalam prasarsi

Talang Tuwo yang menyebut perkataan Vajrasarira. Sementara pengaruh Tantrayana

di Pulau Jawa nampak di Jawa Tengah sejak pemerintahan Panangkaran, pengganti

Sanjaya yang diketahui dari prasasti Kalasan 778 Masehi. Isinya yang menyebutkan

4
tentang pembangunan candi Kalasan yang bersifat Tantrayana, untuk menuja Dewi

Tara.

Di Bali, perkembangan Tantrayana tidak bisa lepas dari hubungan Bali

dengan Jawa Timur, yang dimulai dengan perkawinan antara raja Dharma Udayana

Warmadewa di Bali dengan seorang putri raja Jawa Timur yang bernama Sri

Gunapriya Dharmapatni atau lebih dikenal dengan nama Mahendradatta. Beliau

adalah putri Makutawangsawardhana, sedangkan Makutawangsawardhana adalah

cucu raja Sindok. Pada masa pemerintahan Raja Sindok di Jawa Timur, Tantrayana

telah berkembang. Kemungkinan bahwa Sri Gunapriya Dharmapatni pun telah

terpengaruh oleh aliran itu di tempat asalnya di Jawa timur, sebab di Bali jaman

pemerintahan raja Dharma Udayana Warmadewa dan Gunapriya Dharmapatni

merupakan jaman hidup suburnya perkembangan ilmu-ilmu gaib. Cerita Calon Arang

yang sangat terkenal di Bali dihubungkan dengan kehidupan Gunapriya

Dharmapatni. Di dalam Lontar Calon arang ada diuraikan bagaimana memuja Hyang

Bhairawi atau Dewi Durga untuk mendatangkan wabah penyakit di dalam negeri

Kerajaan Airlangga. Calon arang dan muridnya menari-nari di atas mayat-mayat yang

telah dihidupkan kembali untuk persembahan Dewi Durga sebagai korban agar semua

kehendaknya bisa dikabulkan. Cara-cara seperti itu adalah hal yang biasa di dalam

Tantrayana.

Permaisuri Gunapriya Dharmapatni mangkat lebih dahulu dari raja Udayana

dan didharmakan di Burwan, Kutri, Gianyar. Di tempat itu beliau diwujudkan dalam

bentuk arca besar Durgamahisasuramardhini. Arca itu merupakan Bhatari Durga yang

5
sedang membunuh asura (setan) yang berada pada badan seekor kerbau besar. Arca

itu menguatkan dugaan orang bahwa Gunapriya Dharmapatni sebagai penganut

ajaran-ajaran ilmu gaib dan Dewi Durgalah yang menganugerahi kesaktian.

Kendatipun dalam cerita calon arang banyak keadaan yang bercampur baur dan

keliru, tapi mungkin ada dasar-dasarnya yang benar bahwa Mahendradhatta

dilukiskan sebagai Calon Arang. Dengan demikian maka kemungkinan pada sekitar

abad X Tantrayana telah berkembang di Bali.

Kemudian pada sekitar abad XIII di Jawa Timur memerintah raja

Kertanegara sebagai raja terakhir kerajaan Singasari. Raja ini terkenal dalam ilmu

politik luar negerinya ingin meluaskan daerah kekuasaannya ke Barat sampai ke Bali.

Menurut kitab Negarakertagama raja Kertagama pada tahun 1280 masehi membunuh

orang jahat yang bernama Mahisa Rangkah dan selanjutnya dikatakan bahwa pada

tahun 1284 beliau telah menyerang Bali dan rajanya ditawan. Hal itu tercantum dalam

kitab Negarakertagama di katakanya sebagai berikut:

Tahun saka : yama sunti hari baginda raja membrantas penjahat Mahisa Rangga,

karena jahat tingkah lakunya dibenci seluruh negara. Tahun saka : badan-badan langit

hari kirim utusan untuk menghancurkan Bali setelah kalah rajanya menghadap

baginda sebagai orang tawanan

Sayang sekali di dalam buku Negarakertagama itu tidak ada disebutkan

nama raja Bali itu. Prasastinya hingga kini belum ditemukan di Bali, sehingga sulit

bagi kita untuk mengetahui nama-nama raja di Bali pada waktu itu. Dr. R. Goris di

dalam kitabnya Sejarah Bali Kuna (1948) menyebutkan bahwa ada dua buah prasasti

6
yang berangka tahun caka 1218 dan caka 1222, yang tidak menyebutkan nama raja,

tetapi banyak menyebutkan nama “Raja Patih” yakni Kebo Parud. Nama-nama dan

pangkat mentri lainnya juga bercorak Jawa seperti mentri-mentri kerajaan Singasari.

Prasasti pertama yang dikeluarkan oleh Kebo Parud berangka tahun caka 1218

berisikan persoalan dan kebengisan. Patih di dalam prasasti itu dikenal sebagai

“Mwang Ida Raja Patih I mekakasir Kebo Parud”. Berdasarkan nama patih itu dan isi

prasasti ternyata patih itu seorang pegawai negara yang berasal dari Jawa Timur.

Nama semacam itu di Kerajaan Singasari sering dipakai sebagai nama patih raja

Kertanegara antara lain Patih Kebo Arema dan Raganatha, Patih Kebo Tengah atau

Aragani. Kemungkinan Patih Kebo Parud bertugas sebagai seorang Gubernur atau

semacam itu yang mewakili pemeritah Singasari di Bali. Prasasti lainnya dari Kebo

Parud berangka tahun caka 1222 yang menguraikan tentang desa Sukawati yang

terletak di perbatasan Min Balingkang. Dalam prasasti ini terdapat kata-kata ;

Mpukwing, Dharma Anyar, Mpukwing istana raja, Mpukwing dewa istana. Agama

yang dianut Patih Kebo Parud rupa-rupanya adalah Tantrayana. Dalam prasasti-

prasastinya pun tidak terdapat sapatha yang ditujukan kepada Maha Rsi Agastya,

sering terdapat dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di Bali yang dikeluarkan lebih

dahulu.

Dari jaman Kebo Parud di Bali, didaerah Pejeng didapatkan sebuah arca

Bhaiwara. Arca itu tingginya 360 cm dengan bentuk badannya yang besar dan tegap,

berdiri di atas mayat manusia. Bentuknya yang demikian menunjukkan dewa Siwa

dalam keadaan marah (krodha). Arca di tempatkan pada satu bangunan yang disebut

7
Pelinggih Bhatara Siwa Bhairawa. Bentuk arca itu serupa dengan arca Bhairawa di

Singasari. Kemungkinan besar bahwa latihan-latihan Tantrayana dilakukan pula pada

masa pemerintahan pegawai-pegawai kerajaan Singasari di Bali. Arca Bhairawa yang

terdapat di daerah Pejeng itu disimpan di daerah Pura Kebo Edan. Sebutan Siwa

Bhairawa oleh penduduk di sekitar pura itu menunjukkan bahwa arca itu adalah

sebuah arca yang dibuat oleh para penganut Tantrayana untuk kepentingan upacara-

upacara kepercayaan.

Selain arca Siwa Bhairawa tersebut di atas, di halaman pura Kebo Edan

terdapat pula arca-arca raksasa. Satu arca itu ditempatkan pada satu bangunan kecil di

muka sebelah kanan arca Siwa Bhairawa, sedangkan satu lagi ditempatkan pada satu

bangunan di sebut Pelinggih Bhatara Kebo Edan. Kedua arca raksasa masing-masing

tangannya membawa mangkok-mangkok darah yang dihiasi dengan hiasan-hiasan

tengkorak. arca-arca itu dalam sikap berdiri, roman mukanya sangat mengerikan

dengan mata melotot. Demikian pula seluruh kepala dan lehernya dihiasi dengan

rangkaian tengkorak, sambil mengisap darah musuhnya dari mangkok darah yang

dibawanya. Telinganya menggunakan anting-anting dengan hiasan tengkorak pula.

Kedua arca itu mempunyai tinggi sama yaitu 130 cm.

Dengan demikian rupanya pembuatan arca-arca Siwa Bhairawa dengan

sikpanya yang dahsyat dan garang serta menari-nari di atas mayat manusia. Juga arca-

arca raksasa yang membawa mangkuk-mangkuk darah sambil menghisap darah dari

dalam mangkuk-mangkuk darah serta kerbau gila di pura Kebo Edan, kemungkinan

besar dibuat adalah dalam hubungan kepentingan melakukan upacara Tantrayana.

8
Demikianlah pada sekitar abad XIII Tantrayana Siwa Tantra atau Siwa Bhairawa

berkembang luas di Bali.

Jadi Tantrayana pernah berkembang luas di Indonesia khususnya di Bali

dalam bentuknya Siwa Tantra atau lebih dikenal dengan Siwa Bhairawa.

Perkembangannya telah mulai terlihat sejak pemeritahan raja Dharma Udayana

Warmadewa yang didampingi permaisurinya Gunapriya Dharmapatni pada lebih

kurang abad X. Dalam hal ini Gunapriya Dharmapatni sebagai Calon Arang atau

Rangda ing girah bersama murid-muridnya sebagai penganut Tantrayana memuja

Dewi Durga untuk mendapatkan ilmu gaib, kesaktian agar terkabul segala

kehendaknya.

Pada sekitar abad ke XIII pada jaman Kebo Parud di Bali Tantrayana juga

dilaksanakan dengan tekun oleh Kebo Parud dan pegawai-pegawai Singasari lainnya

yang bertugas di Bali pada saat itu. Selanjutnya sesudah abad ke XIV tidak terdapat

bukti-bukti lagi mengenai perkembangan Tantrayana itu. Kemungkinan bahwa

setelah mengalami perkembangan yang meluas baik di Jawa, Sumatra, maupun di

Bali, maka Tantrayana setelah abad XIV mengalami kemunduran. Sebab-sebab

kemundurannya itu mungkin pula disebabkan oleh kemajuan cara berpikir manusia

sehingga orang-orang menyadari bahwa arca-arca yang demikian atau sama sekali

tidak sesuai dengan kemajuan jaman selanjutnya. Banyak upacara-upacara

Tantrayana itu yang sangat bertentangan dengan kesopanan, tata susila, kemanusiaan

dan hal yang tidak pantas dilakukan oleh orang biasa.

9
2.3 Ruang Lingkup dan Peran Tantrayana Dalam Kehidupan Masyarakat Bali

Masa Kini

Dalam beberapa hal faham Tantra hingga kini masih terlihat pengaruhnya,

di Bali baik di bidang kesusastraan maupun seni pengaruh Tantrayana masih terlihat.

Cerita calon arang, cerita yang sangat terkenal dan masih tetap semangat digemari

oleh masyarakat Bali. Cerita calon arang melukiskan pertentangan antara raja

Airlangga dengan para pengikut ilmu gaib dari aliran Tantrayana. Cerita ini hingga

sekarang masih dilakonkan dalam bentuk seni tari. Mungkin banyak yang sangat

terkenal dan masih ada di Bali sekarang merupakan sisa-sisa pengaruh Tantrayana

yang masih terlihat sampai sekarang ialah sengguhu di Bali mempergunakan atribut

kalachakra : sangku putih, genderang tangan dan genta (atribut menari dari Siwa

Bhairawa) tergantung di atas sebuah chakra dengan sebuah pegangan atau tangkai

garuda.

Apabila kita perhatikan dan kita amati secara lebih mendalam lagi pada

buku Panca Yadnya khususnya mengenai upacara Bhuta Yadnya. Bahwa Bhuta

Yadnya yang tidak lain adalah korban kepada Bhutakala, adalah bersumber dari

ajaran keagamaan Tantrayana. Tantrayana termasuk sekta atau saktiisme, karena yang

dijadikan objek persembahannya adalah sakti. Sakti dilukiskan sebagai Dewi sumber

kekuatan atau tenaga. Sakti adalah simbol dari bala atau kekuatan (Sakti is the

symbol of Bala or strength). Dalam sisi lain sakti juga disamakan dengan energi atau

kala (This sakti or energi is also regarded as “kala” or time)

10
Ajaran Tantrayana dibentangkan dalam kitab-kitab Tantra-Sastra yang juga

disebut kitab-kitab agama yang banyaknya kurang lebih 64 buah. Pada dasarnya

Konsepsi-Ketuhanan (Theisme) dalam Tantrayana adalah Monoisme yaitu pemujaan

terhadap satu Tuhan yang disebut Brahman. Konsep ini dijelaskan dalam

Mahanirwana Tantra (12) dengan suatu kalimat berbunyi “Om Saccidekam Brahman”

(Om, hanya satu kesadaran tertinggi yang disebut Brahman), Konsep Monisme ini

muncul dari pandangan Advaita dalam Wedanta Darsanam. Fokus ajaran Tantrayana

adalah wujud suatu keseimbangan dalam kehidupan di dunia ini. Ditekankannya

bahwa keseimbangan kesejahteraan material dengan kesejahteraan rohani adalah

sangat penting untuk terwujudny jagadhita, karena jagadhita ini memotivasi

munculnya ketenangan batin yang merupakan suatu syarat mutlak untuk mencapai

ketenangan jiwa (bhukti) yang selanjutnya akan menuju moksa (mukti), untuk

terwujudnya keseimbangan itu, Tantrayana mengajarkan dua sistem yang ditempuh

yaitu : wahya dan adhyatmika (sekala dan niskala). Pernyataan produk kedua sistem

ini akan dapat mewujudkan jagadhita dalam kehidupan. Dalam konteks sistem ini,

maka konsep Monisme itu dikembangkan menjadi konsep Monodualis yaitu : satu itu

dijadikan dua dan dua itu disatukan. Dari sini dapat diketahui ruang lingkup dan

peran Tantrayana dalam kehidupan Agama Hindu khususnya di Bali yaitu:

1. Upacara

Tantrayana menekankan betapa pentingnya upacara agama (ritual)

dilakukan, karena peran upacara agama merupakan suatu aktivitas untuk

11
memujudkan keseimbangan hidup di dunia ini. Di dalam kitab Mahanirwana

Tantra dibentangkan prinsip-prinsip upacara Panca-Yajna yang perlu

dilaksanakan. Disebutkan pula materi atau sarana-sarana yang digunakan

upakara termasuk penggunaan binatang korban dalam kaitannya dengan caru.

Tantrayana secara rinci menjelaskan tata-cara melakukan yajna serta kepada

siapa yajna itu dipersembahkan. Dengan memperhatikan isi kitab-kitab Tantra

Sastra yang memuat ajaran Tantrayana dapat dipahami, bahwa bentuk-bentuk

upakara dan upacara yajna yang diselenggarakan di Bali, secara jelas terlihat

adanya pengaruh dari Tantrayana, di samping juga mendasakan kepada

berbagai Sastragama Hindu sebagai penjabaran dan Catur Weda, serta

disemarakkan oleh produk sosial budaya daerah yang berasal dari alam

pikiran pra-Hindu di Indonesia.

2. Tapa dan Brata

Pengendalian diri melalui tapa dan brata sangat ditekankan dalam

Tantrayana. Istilah tapa berasal dan akar kata tap artinya panas. Bertapa

artinya memusatkan pikiran (cita) kepada Hyang Widhi dalam manifestasi

tertentu, Di dalam melaksanakan pemusatan pikiran itu badan akan merasa

panas. Menurut Yoga-Kundalini, bahwa panas yang muncul pada diri kita

ketika memusatkan pikiran itu akan membakar kekotoran (mala) yang melekat

pada Sthulasarira, suksmasarira dan antahkarana (malatraya).

Brata adalah suatu disiplin batin yang memuat dua hal yaitu :

keharusan dan larangan; apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh

12
dilakukan. Tantrayana mengajarkan suatu brata yang patut dilakukan yaitu :

Panca tattwa yang terdiri dari:

1). Matsya : memakan ikan;

2). Mamsa : memakan daging

3). Madhya : meminum minuman yang menghangatkan badan;

4). Maithuna : melakukan hubungan seks yang benar.

5. Mudra : melakukan sikap tangan yang mengandung kekuatan

gaib.

Sesungguhnya Pancatattwa ini adalah rasional dan alamiah serta

mengandung filosofi yang dalam. Arthur Avalon mengkaji hal ini secara

panjang lebar dan mendalam dalam bukunya Sakti and Sakta. Pada prinsipnya

Pancatattwa ini merupakan suatu filosofi hubungan bhuwana agung dan

bhuwana alit yang mengandung nilai selaras serasi dan seimbang. Kendatipun

demikian, namun penerapan Pancatattwa ini sering menyimpang dari

filosofinya, dikarenakan oleh kelemahan manusia menghadapi pengaruh

sadripu sehingga seringkali Pancatattwa itu diartikan sebagai

Mahakamapancikam yaitu pemenuhan lima macam nafsu yang amat besar.

3. Puja-Mantra

Mahanirwana Tantra yang dijadikan dasar pegangan oleh Tantrayana

sangat karya dengan Puja dan Mantra, Mantra-mantra seperi : Mula Mantra,

Bija-Mantra, Kutha Mantra, Astra Mantra, dan Kawaca Mantra serta berbagai

Wijaksara yang digunakan oleh Sulinggih di Bali, menurut basil penelitian

13
berasal dari Mahanirwana Tantra. Demikian pula Stuti dan Stawa yang

digunakan di Bali, sebagian berasal dan Puja Mantra Tantrayana. Mudra dan

Siwa-upakarana yang yang digunakan oleh Sulinggih di Bali, berasal dari

Mahanirwana Tantra. Selain mengambil sumber dari Mahanirwana Tantra,

bahwa Puja-Parikrama di Bali mengambil sumber dari Catur Weda dan dari

berbagai Upanisad.

Mistik Hindu selain dimunculkan oleh konsep Tantrayana, namun

juga dimunculkan oleh Atharwa-Weda. Sebagaimana dimaklumi, bahwa

Atharwa-Weda memuat formula-formula untuk menguasai kekuatan gaib

dalam rangka mengamankan pelaksanaan upacara agama. Dari sini dapatlah

dipahami mengapa agama Hindu menggunakan Wijaksara (magic sylable).

Mudra dan Nyasa (lambang-lamhang gaib) dalam konteks upacara agama. Di

Bali, munculnya upacara yang bersifat khusus dengan menggunakan upakara

yang khusus pula dan spesifik seperti : Caru Lebur Sangsa, Caru

Nwagempang, Pangelukatan Dyus Kinurungan, Labaan Babahi, dan lain

sebagainya, dapat dipandang berasal dari kedua konsep tersebut tadi.

4. Mewarnai kebudayaan dan keagamaan

Prinsip-prinsip Tantra terdapat dalam buku bernama Nigama,

sedangkan praktek-prakteknya dalam buku Agama. Sebagian buku-buku kono

itu telah hilang dan sebagian lagi tak dapat dimengerti karena tertulis dalam

tulisan rahasia untuk menjaga kerahasiaan Tantra terhadap mereka yang tak

memperoleh inisiasi. Ada beberapa jenis kitab yang memuat

14
ajaran Tantrayana, yaitu antara lain :Maha Nirwana Tantra, Kularnawa

Tantra, Tantra Bidhana, Yoginirdaya Tantra, Tantra sara, dsb. Dalam

perkembangannya, praktik tantra ini juga selalu mewarnai kebudayaan dan

keagamaan yang berkembang di nusantara. Hal ini dapat dilihat dari berbagai

jenis peninggalan prasasti, candi dan arcaarca bercorak tantrik.

Karakteristik tantrisme di India secara alami ajaran-ajarannya yang

berpedoman pada Veda, mengalir ke Indonesia. Konsekuensinya, bahwa

ajaran-ajaran Tantra yang bersumber pada Veda, di Indonesia berkembang

sebagaimana yang diharapkan oleh para pengikutnya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. Cet

ke- I 1988.

Anonym. Tt. Jejak-jejak Tantrayana di Indonesia


http://www.wacananusantara.org/1/kepercayaan/Jejak-Jejak-Tantrayana-Di-
Indonesia

Arifin. Menguak Misteri Alaran Agama-agama Besar.

Madra, I Ketut. Tuhan Siva dan Pemujaannya. Surabaya: Paramita, 2007

Gede Pemaron Mandhara, Ida Pedanda. 2011. Tantrayana.


http://insanberpijar.blogspot.co.id/2011/04/tantrayana.html. Diakses tanggal 6 April
2016

Parbasana, I Noman. Panca Sradha: Sebagai Dasar Kepercayaan yang

Universal. Denpasar: Widya Dharma, 2009

Sivananda, Sri Swami. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya: Paramita, 2003

Made. 2008. Tantrayana dan Perkembangannya.


http://blackbali.blogspot.co.id/2008/04/tantrayana-dan-perkembangannya-di.html.
Diakses tanggal 6 April 2016

16

Anda mungkin juga menyukai