Anda di halaman 1dari 6

CERITA RAKYAT

Asal-Usul Hutan Kera Di Pantai Nepa Banyuates-Sampang

Pembelajaran SENI Dan BUDAYA


Yang di ampu oleh Bapak M. Ridwan, M.Pd.

MUTMAINNAH
NPM: 21862063A002551

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
STKIP PGRI-SUMENEP
2021

1
ASAL-USUL HUTAN KERA DI PANTAI NEPA BANYUATES-SAMPANG

Konon pada jaman dahulu di tanah Jawa ada sebuah kerajaan yang dikenal
dengan nama Kerajaan Medangkamulan dengan istananya yang bernama Keraton
Gilingwesi. Raja Medangkamulan yang bernama Sangyangtunggal memiliki
seorang puteri yang cantik jelita. Puterinya ini pada suatu malam bermimpi bahwa
bulan purnama jatuh dari langit dan masuk ke dalam tubuhnya. Anehnya, setelah
memperoleh mimpi itu, tidak lama kemudian Sang Puteri hamil. Meskipun Sang
Puteri berusaha menutupinya, tetapi akhirnya berita mengenai kehamilannya
sampai juga ke telinga Baginda Sangyangtunggal. Dengan kemarahan yang
menggelegak, Sang Raja segera mendatangi puterinya untuk menanyakan siapa
gerangan pemuda yang berani menghamilinya itu; tetapi Sang Puteri tidak bisa
memberikan jawaban yang memuaskan ayahnya. Hari demi hari berlalu dengan
lambat, minggu dan bulanpun terlalui, sementara perut Sang Puteripun semakin
membesar seiring dengan bertambahnya usia kandungannya. Melihat keadaan
puterinya itu, Sang Raja semakin marah, apalagi Sang Raja beranggapan bahwa
putrerinya itu sengaja tidak mau berterus terang kepadanya mengenai orang yang
menghamilinya tersebut. Ketika kesabarannya sudah habis berganti dengan
kemurkaan yang tak terbendung, Sang Raja menugaskan patih kerajaan yang
bernama Patih Pranggulang, untuk membawa Sang Puteri ke hutan, memenggal
kepalanya dan membawa kepalanya untuk diperlihatkan pada Sang Raja sebagai
bukti bahwa tugasnya sudah dilaksanakan dengan baik. Kalau Patih Pranggulang
tidak menyanggupinya ataupun tidak berhasil melaksanakan tugasnya itu, maka
Patih Pranggulang tidak diperkenankan untuk kembali lagi ke istana.

Pada waktu yang telah ditentukan, berangkatlah Patih Pranggulang


membawa Sang Puteri ke dalam hutan untuk dibunuh. Tetapi keanehan terjadi . . .
tiap kali Sang Patih mengayunkan pedangnya untuk memenggal leher Sang
Puteri, pedang itu terlepas dari tangannya dan terpental jauh. Beberapa kali hal ini
terjadi, sehingga akhirnya Patih Pranggulang menyadari kalau kehamilan Sang
Puteri bukanlah merupakan kesalahannya, melainkan terjadi karena sesuatu yang
luar biasa. Karena itulah Patih Pranggulang mengurungkan niatnya untuk
membunuh Sang Puteri, bahkan berbalik justru berniat melindunginya. Karena
tidak mungkin kembali ke istana, dan juga supaya tidak mudah dikenali, Sang
Patih kemudian menanggalkan pakaian kebesarannya dan menggantinya dengan
pakaian yang terbuat dari kain poleng, sehingga kemudian Sang Patih lebih
dikenal dengan nama Kyai Poleng. Sejak saat itulah Kyai Poleng bertindak
sebagai pelindung Sang Puteri.

Setelah berlalu beberapa hari dan patihnya belum juga kembali


menghadapnya dengan membawa kepala Sang Puteri, tahulah Baginda
Sangyangtunggal bahwa patihnya yang sakti mandraguna itu telah gagal
menjalankan tugasnya. Baginda yang semakin geram akhirnya memerintahkan
pasukannya untuk mencari tahu dimana keberadaan patih dan puterinya itu, dan
jika telah ditemukan harus segera dibunuh.

2
Dengan kesaktiannya, Kyai Poleng bisa mengetahui akan datangnya
ancaman kepada dirinya dan juga kepada Sang Puteri yang semakin mendekati
waktunya untuk melahirkan. Karena itulah Kyai Poleng mengajak Sang Puteri
semakin menjauhi kota raja, sampai akhirnya tibalah di tepi pantai yang banyak
ditumbuhi pohon bambu. Melihat itu, Kyai Poleng segera membuat sebuah rakit
yang kuat dengan mengambil bahan dari hutan bambu yang ada di situ. Setelah
rakit itu jadi, Kyai Poleng mengumpulkan perbekalan secukupnya dan meletakkan
perbekalan tersebut di atas rakit. Beberapa saat kemudian ketika semuanya
dianggap sudah beres, Kyai Poleng mendudukkan Sang Puteri di atas rakit, sambil
berpesan bahwa di situ Kyai Poleng harus berpisah dengan Sang Puteri demi
keamanan Sang Puteri sendiri, meskipun demikian Kyai Poleng berjanji akan
terus membantu Sang Puteri tiap kali Sang Puteri menemui kesulitan. Kemudian
Kyai Poleng mengajarkan sebuah mantra kepada Sang Puteri, dan meminta Sang
Puteri untuk melafalkan mantra itu sambil menjejakkan kakinya ke bumi tiga kali
tiap kali Sang Puteri memerlukan bantuannya. Jika hal itu dilakukan, maka Kyai
Poleng akan segera muncul untuk membantu. Demikianlah, setelah Sang Puteri
memahami pesannya, Kyai Poleng meminta Sang Puteri berpegangan pada tiang
rakit itu, kemudian dengan kesaktiannya ditendanglah rakit itu, sehingga rakit itu
meluncur deras menyeberangi laut dan mendarat di suatu tempat yang dikenal
dengan nama Gunung Geger. Di tempat itulah Sang Puteri akhirnya tinggal.

Ketika tiba saatnya melahirkan, Sang Puteri merasakan kesakitan yang


amat sangat. Tiba-tiba Sang Puteri teringat akan pesan Kyai Poleng, maka
dilafalkannya mantera yang dahulu diajarkan oleh Kyai Poleng sambil kakinya
menjejak bumi sebanyak tiga kali. Tiba-tiba, tanpa diketahui dari mana asalnya
dan kapan datangnya, Kyai Poleng sudah berada dihadapannya. Dengan bantuan
dan kesaktian Kyai Poleng, Sang Puteri melahirkan seorang putera yang tampan
dan diberinya nama Raden Segoro. Setelah kelahiran Raden Segoro itu, Kyai
Poleng menyertai ibu dan anak ini selama beberapa waktu di sana, dan dipercaya
merekalah yang menjadi nenek moyang penduduk Pulau Madura.

Beberapa waktu kemudian, ketika Raden Segoro dan ibunya dirasa sudah
dapat ditinggalkan, Kyai Poleng kembali menghilang. Sejak itulah para pelaut
yang melewati laut di depan tempat tinggal Raden Segoro dan ibunya pada waktu
malam, kerap melihat cahaya seterang sinar bulan purnama memancar dari tempat
itu. Para pelaut tersebut kemudian banyak yang mengucapkan ‘janji’ atau kaul
bahwa jika tujuan pelayaran mereka sukses, mereka akan mampir dan melakukan
selamatan ataupun menyembah sumber cahaya tersebut sebagai ungkapan
terimakasih dan syukur mereka. Dan itulah yang terjadi, karena banyak dari para
pelaut itu yang sukses dengan urusannya, maka banyak pula ‘hadiah’ yang
diterima ibu dan anak itu.

Raden Segoro kecil hidup berbahagia dengan ibunya di sana, dan sebagai
seorang anak yang dilahirkan di daerah pesisir, maka Raden Segoro sangat suka
bermain-main di pantai. Suatu ketika, ketika sudah berusia 2 tahun, ketika sedang
bermain di pantai seperti biasa, tiba-tiba langit menjadi gelap dan anginpun
semakin kencang bertiup. Ombak juga semakin meninggi dan bergulung liar.
Ketika Raden Segoro yang keheranan dengan perubahan cuaca yang mendadak itu
memandang ke arah laut, dilihatnya dua ekor naga raksasa sedang meluncur

3
dengan cepat ke arahnya. Melihat itu, Raden Segoro segera berlari sekencang-
kencangnya pulang ke rumah dengan ketakutan. Diceritakannya apa yang
dilihatnya itu kepada ibunya. Sang Puteri ikut merasa takut dan kuatir, sehingga
dengan segera dirapalnya mantera untuk memanggil Kyai Poleng.

Pada saat Kyai Poleng muncul, cuaca sudah cerah kembali, meskipun
demikian, Sang Puteri masih merasa takut kalau-kalau kedua naga itu akan
kembali dan mencelakakan dirinya beserta dengan puteranya. Kyai Poleng sendiri
tetap tenang ketika mendengar tutur Sang Puteri mengenai naga yang dilihat oleh
Raden Segara itu. Setelah bersemedi sejenak, Kyai Poleng segera mengajak
Raden Segoro kembali ke pantai. Dan betul saja, tidak lama mereka berdua berada
di pantai, cuaca kembali berubah menyeramkan dan kedua naga raksasa itu
muncul kembali. Kyai Poleng bukannya menghindar, melainkan justru meminta
Raden Segoro kecil untuk maju bertarung dan menangkap kedua naga itu. Raden
Segoro yang ketakutan tentu saja menolak perintah Kyai Poleng. Tetapi Kyai
Poleng terus memaksa, sehingga dengan hati tetap dipenuhi kengerian, Raden
Segoro menyongsong kedua naga yang telah mencapai pantai itu.

Pertempuran yang tidak seimbang antara seorang bocah kecil melawan dua
ekor naga raksasa segera pecah. Raden Segoro yang semula keteter, lambat laun
mulai bisa menguasai keadaan. Akhirnya kedua naga tersebut berhasil
dicengkeramnya erat-erat dan dibantingnya dengan keras ke tanah. Begitu
menyentuh pasir pantai, kedua naga tersebut berubah menjadi dua bilah tombak
yang segera diambil oleh Raden Segoro dan dibawanya kepada Kyai Poleng. Kyai
Poleng menamakan kedua tombak itu Kyai Alugora dan Kyai Nenggala.
Disampaikannya bahwa Kyai Alugora harus diserahkan pada ibunya untuk di
simpan di rumah, sedangkan Kyai Nenggala harus selalu dibawanya, khususnya
jika maju berperang. Sejak itulah Raden Segoro memiliki dua bilah tombak
pusaka yang sangat bertuah.

Ketika Raden Segoro berusia 7 tahun, Sang Puteri memutuskan untuk


meninggalkan daerah Gunung Geger dan mencari tempat tinggal baru. Dalam
perjalanannya, Sang Puteri tiba di sebuah pantai yang banyak ditumbuhi pohon
nipah. Suasana yang tenang di pantai itu membuat Sang Puteri memutuskan untuk
tinggal di situ. Dengan bantuan puteranya, segera dibangunnyalah sebuah pondok.
Tetapi masalah timbul ketika Sang Puteri tidak menemukan bahan yang baik
untuk atap rumahnya. Untunglah masalah ini bisa diatasi ketika dilihatnya bahwa
daun nipah yang lebar itu bisa dimanfaatkannya sebagai atap, bahkan ternyata
atap dari daun nipah itu sangat kuat. Setelah semuanya selesai, Sang Puteri yang
meilihat bahwa tanaman nipah sangat banyak di pantai itu, menamakan tempat itu
dengan nama “Nepa”.

Sementara itu, Keraton Gilingwesi kerap diserang oleh pasukan yang


sangat kuat yang berasal dari seberang lautan. Serangan-serangan tersebut
membuat rakyat Medangkamulan sangat menderita, sementara pertahanan
pasukan kerajaan juga semakin lemah dari hari ke hari. Sang Prabu yang sudah
kehilangan akal dalam menangkal serangan tentara musuh itu, kemudian
melakukan puja semedi kepada Yang Maha Kuasa untuk memohon petunjuk
bagaimana caranya agar bisa keluar dari masalah yang dihadapi negaranya

4
tersebut. Pada suatu hari, Sang Prabu memperoleh wisik bahwa pasukan asing itu
akan dapat dikalahkan, bahkan diusir jauh dengan bantuan seorang pemuda yang
tinggal di sebuah pulau yang tampak antara ada dan tiada, karena ketika laut
pasang maka pulau itu seolah-olah lenyap dari pandangan. Tanah yang tidak nyata
disebut ‘lemah duro’ oleh masyarakat setempat. Nama Lemah Duro lama
kelamaan berubah menjadi Madura, dan itulah asal mula nama Madura yang
dipergunakan untuk menyebut pulau tempat tinggal Raden Segoro sampai
sekarang.

Prabu Sangyangtunggal segera mengutus sepasukan pengawal dengan


dipimpin oleh seorang pejabat tinggi kerajaan untuk mencari pemuda yang
dimaksud dalam wisik yang diterima Sang Baginda. Singkat cerita, mereka
sampai di depan rumah Raden Segoro yang ketika itu sudah beranjak remaja.
Karena prajurit-prajurit itu semula hendak memaksa Raden Segoro untuk ikut ke
Medangkamulan sementara Raden Segoro sendiri menolak, maka pecahnya
keributan di situ. Ibunda Raden Segoro segera merapal mantera untuk memanggil
Kyai Poleng yang segera hadir di situ. Dengan adanya Kyai Poleng, maka
permasalahan menjadi jelas dan Raden Segoro bersedia ikut ke Medangkamulan
untuk membantu memerangi musuh. Sesuai dengan pesan Kyai Poleng, Raden
Segoro berangkat ke medan pertempuran dengan tidak lupa membawa tombak
Kyai Nenggala. Kyai Poleng pun menyertai Raden Segoro dalam perjalanan itu,
hanya saja dengan kesaktiannya, hanya Raden Segoro seoranglah yang bisa
melihat kehadiran Kyai Poleng. Betul saja, dengan bantuan Raden Segoro,
pasukan asing yang menyerbu Keraton Gilingwesi dapat dikalahkan dengan telak.
Tombak Kyai Nenggala betul-betul sakti, karena dengan hanya mengarahkannya
kepada musuh, maka musuhpun bertumbangan, sehingga akhirnya semuanya
terusir dari Bumi Medangkamulan. Dalam pesta yang diadakan untuk menyambut
kemenangannya, Sang Prabu menganugerahi gelar Tumenggung Gemet kepada
Raden Segoro, bahkan Sang Prabu bermaksud mengangkatnya sebagai
menantunya. Untuk itu Sang Prabu berkeinginan untuk mengetahui siapa orang
tua Raden Segoro. Raden Segoro tidak bisa menjawab pertanyaan Sang Baginda,
khususnya mengenai ayahnya karena memang sejak lahir belum pernah mengenal
siapa ayahnya. Oleh karena itulah Raden Segoro meminta ijin kepada Sang
Baginda untuk pulang terlebih dahulu ke Nepa untuk bertanya kepada ibunya.
Sang Baginda mengabulkan permintaan Raden Segoro, dan kemudian
memerintahkan sepasukan prajurit pilihan untuk mengantar Raden Segoro
kembali ke rumahnya di Pulau Madura.

Setiba di Nepa, dimintanya para prajurit yang mengiringinya itu untuk


menunggu sementara Raden Segoro akan bertanya kepada ibunya. Dipesankannya
pula supaya para prajurit tersebut jangan mendekat ke arah rumahnya, apalagi
mencuri dengar pembicarannya dengan ibunya. Para prajurit itu menyanggupinya,
sehingga Raden Segoro langsung masuk ke rumah untuk bertemu dengan ibunya.

Mendapat pertanyaan dari puteranya itu, ibunda Raden Segoro terdiam


beberapa saat. Melihat ibunya hanya terdiam, Raden Segoro terus mendesaknya
untuk menjelaskan siapa ayahandanya, sehingga akhirnya ibu Raden Segoro
mengatakan bahwa ayah Raden Segoro adalah seorang siluman yang sangat sakti.
Tengah Raden Segoro termangu mendengar jawaban ibunya itu, tiba-tiba

5
didapatinya prajurit-prajurit yang ditugaskan mengawalnya tersebut tidak
mematuhi perintahnya untuk tidak mencuri dengar pembicaraannya dengan
ibunya, sehingga Raden Segoro menjadi sangat marah. Dalam kemurkaannya itu,
dikutuklah prajurit-prajurit itu menjadi kera yang secara turun temurun akan
mendiami daerah di sekitar rumah Raden Segoro. Kemudian, dengan
kesaktiannya, rumah dan daerah sekitar tempat tinggalnya juga diubahnya
menjadi hutan, sebelum kemudian Raden Segoro dan ibunya menghilang karena
masuk ke dunia siluman untuk tinggal bersama ayah Raden Segoro yang tiba-tiba
datang menjemput mereka.

Kera-kera yang dahulunya prajurit itu kemudian tinggal di hutan yang


semula adalah kediaman Raden Segoro bersama ibunya, berkembang biak dan
bertambah banyak, sampai sekarang. Karena itulah konon kera-kera tersebut
cukup jinak dan bisa berinteraksi dengan baik kalau bertemu manusia. Sayangnya
waktu aku di sana, aku tidak bertemu dengan seekor kera pun, mungkin karena
cuaca yang cukup terik, menyebabkan kera-kera itu tetap tinggal dalam hutan,
sementara akupun sengaja tidak masuk dan mejelajahi Hutan Kera Nepa karena
waktu yang tidak memungkinkan.

Demikianlah kisah asal mula terbentuknya Hutan Kera Nepa. Konon di


dalam hutan itu masih bisa ditemukan bekas-bekas runtuhan bangunan yang
dipercaya sebagai sisa-sisa bagian bangunan tempat tinggal Raden Segoro dan
ibunya yang tidak ikut berubah menjadi hutan ketika dalam marahnya Raden
Segoro mengubah tempat tinggalnya itu menjadi hutan dimana kera-kera yang
dulunya para prajurit Medangkamulan itu berdiam.

Anda mungkin juga menyukai