Anda di halaman 1dari 7

Nyi Roro Kidul

Pada zaman dahulu ada sebuah kerajaan besar di Pulau Jawa. Rakyatnya hidup
makmur dan sejahtera. Kerajaan itu dipimpin dengan bijaksana oleh Prabu
Mundangwangi. Ia mempunyai permaisuri bernama Dewi Rembulan dan dikaruniai
seorang putri yaitu Dewi Kadita yang sangat cantik. Pada zaman itu seorang raja biasanya
mempunyai istri lain yang disebut selir. Demikian pula Prabu Mundangwangi, Ia
mempunyai selir yang bernama Dewi Mutiara. Ternyata Dewi Mutiara memiliki sifat
buruk karena Ia selalu merasa iri terhadap Dewi Rembulan.

Pada suatu hari Pandita Agung menghadap Prabu Mundangwangi. Ia


menyampaikan bahwa tidak lama lagi Prabu Mundangwangi akan memperoleh putra dari
selirnya, yaitu Dewi Mutiara. Prabu Mundangwangi sangat bahagia karena Ia sudah lama
menunggu lahirnya anak keturunannya.

"Meskipun puteraku lahir dari rahim seorang selir, tetapi dengan wewenangku Ia
akan kuangkat menjadi putera mahkota," kata Prabu Mundangwangi kepada Pandita
Agung. Dewi Mutiara yang diam-diam mendengarkan ucapan tersebut menyambut dengan
sangat gembira.

Ternyata ucapan Pandita Agung benar, karena tidak lama kemudian Dewi Mutiara
hamil. Setelah tiba waktunya Ia pun melahirkan bayi laki-laki. Prabu Mundangwangi
sangat gembira menyambut kelahiran puteranya. Ia pun semakin menyayangi Dewi
Mutiara, tetapi juga tetap mencintai Dewi Rembulan dan Dewi Kadita. Ternyata hal itu
membuat Dewi Mutiara merasa iri, Ia ingin dicintai oleh Prabu Mundangwangi seutuhnya.

"Aku harus segera menyingkirkan Dewi Rembulan dan Dewi Kadita sehingga
akhirnya akulah yang akan menjadi permaisuri raja," gumam Dewi Mutiara.

Dewi Mutiara mempersiapkan niat jahatnya dengan matang. Pada suatu malam Ia
pergi ke hutan menemui Nenek Jahil dengan ditemani oleh seorang pengawal setianya.
Nenek Jahil wajahnya sangat buruk, tubuhnya kurus tetapi tampak sehat dan sangat gesit.
Ia juga sangat sakti dan menguasai semua ilmu sihir. Dewi Mutiara menyampaikan niat
buruknya untuk mencelakai Dewi Rembulan dan Dewi Kadita.

"Baiklah, besok malam aku akan ke istana dan Iangsung ke peraduan Dewi
Rembulan dan Dewi Kadita. Jangan khawatir, keiginanmu akan segera terwujud," kata
Nenek Jahil meyakinkan. Mendengar kesanggupan Nenek Jahil maka Dewi Mutiara
Iangsung memberi sekantong emas sebagai upah jasanya.

Pada malam yang ditentukan, Nenek Jahil memasuki lstana Prabu Mundangwangi.
Karena kekuatan sihirnya maka tak seorang pun mengetahui kedatangan Nenek Jahil yang
leluasa masuk ke peraduan Dewi Rembulan dan Dewi Kadita. Nenek Jahil kemudian
membaca mantera penenung untuk memanggil setan agar membantu rencana jahatnya.
Setelah selesai Ia membungkuk dan meniup wajah Dewi Rembulan dan Dewi Kadita yang
sedang tidur lelap.

"Wuuusshh...," hembusan angin keluar dari mulut Nenek Jahil. Setelah itu Ia
meninggalkan istana dengan tenangnya.
“Hah...., apa yang terjadi?" teriak Dewi Rembulan dan Dewi Kadita ketika bangun
tidur. Sekujur tubuh mereka dipenuhi borok dan kudis yang mengeluarkan bau busuk.

"Oh..., apa dosa kami sehingga tubuh kami menjadi begini menjijikkan?" ratap
mereka tiada henti. Seketika seluruh penghuni istana menjadi gempar. Prabu
Mundangwangi merasa sedih, bingung, dan kesal menjadi satu. Pandita Agung dan para
tabib didatangkan untuk menyembuhkan penyakit yang menimpa permaisuri dan anaknya.
Sayang sekali tak seorang pun berhasil menyembuhkan mereka.

Karena khawatir penyakit yang menakutkan itu menular maka Prabu


Mundangwangi segera memerintahkan pengawalnya untuk mengasingkan mereka ke
hutan.

"Aku tidak mau istana ini dikotori penyakit yang menular dan menjijikkan itu!
Mereka harus dibuang jauh-jauh dari istana!" perintah Prabu Mundangwangi kepada para
pengawalnya.

Akhirnya pada suatu pagi Dewi Rembulan dan Dewi Kadita dimasukkan ke dalam
dua tandu besar dan ditutup kain dengan rapat, kemudian dibawanya menuju hutan
belantara. Setibanya di hutan kedua tandu itu dibuka dan para pengawalnya Iangsung lari
meninggalkannya.

Dewi Rembulan dan Dewi Kadita baru menyadari bahwa mereka bukan dibawa
pergi untuk diobati tetapi dibuang di hutan. Dewi Kadita menangis karena tak tahan
menanggung kesedihannya.

"Anakku, janganlah menangis. Kita harus berpasrah diri kepada Sang Dewata. lni
mungkin cobaan yang harus kita terima," kata Dewi Rembulan menghibur putrinya.

Dewi Kadita berusaha membuang kesedihannya dengan berjalan menyusuri hutan.


Tak lama di hutan itu Dewi Rembulan kemudian sakit dan semakin Iemah. Akhirnya Ia
menghembuskan nafas terakhir di pangkuan Dewi Kadita.
Dewi Kadita sangat sedih ditinggalkan ibunya. Tubuhnya semakin kurus dan
penyakitnya semakin parah. Ia berjalan menyusuri hutan menuju arah selatan.
"Lautan!" teriaknya gembira. Ternyata Ia berada di Pantai Selatan. Tiba-tiba Ia melihat
seorang pemuda yang gagah perkasa sedang berdiri tak jauh darinya.

"Aku akan menolongmu, dan penderitaanmu akan segera berakhir," kata pemuda
itu. Dewi Kadita sangat gembira mendengar ucapannya. Ia bersedia menuruti perintah
pemuda itu demi kesembuhan penyakitnya. Tiba-tiba pemuda itu terjun ke laut dan Dewi
Kadita Iangsung mengikutinya terjun ke laut juga. Sungguh ajaib, seketika penyakit borok
dan kudisnya Iangsung hilang.

Dewi Kadita sangat gembira mengetahui ia telah sembuh dari penyakitnya dan
ingin mengucapkan terima kasih kepada pemuda itu. Anehnya pemuda itu hilang lenyap
entah ke mana. Dewi Kadita tersadar bahwa ia sudah sekian lama ada di dalam laut tetapi
tidak tenggelam. Kemudian ia melihat kedua kakinya, dan sangat terkejut melihat apa yang
terjadi terhadap dirinya.

"Hah....?!" teriaknya melihat kedua kakinya telah tertutup sirip sehingga


menyerupai ikan. Dewi Kadita akhirnya berusaha pasrah akan nasibnya. Ia kemudian
hidup di Laut Selatan dan sekali-kali menampakkan diri. Konon, penduduk sekitar Pantai
Selatan kadang melihat putri cantik berambut panjang yang bagian pinggang sampai ke
ujung kakinya menyerupai ekor ikan. Orang-orang menyebutnya Nyai Roro Kidul sebagai
penguasa Pantai Selatan.
Jaka Tarub

Pada zaman dahulu kala, di sebuah desa tinggallah seorang Janda bernama Mbok
Randa. Ia tinggal seorang diri karena suaminya sudah lama meninggal dunia. Suatu hari, ia
mengangkat seorang anak Laki-laki menjadi anaknya. Anak angkatnya diberi nama Jaka
Tarub. Jaka Tarub pun tumbuh beranjak dewasa.

Jaka Tarub menjadi pemuda yang sangat tampan, gagah, dan baik hati. Ia juga
memiliki kesaktian. Setiap hari, ia selalu membantu ibunya di sawah. Karena memiliki
wajah yang sangat tampan banyak gadis-gadis cantik yang ingin menjadi istrinya. Namun,
ia belum ingin menikah.

Setiap hari ibunya menyuruh Jaka Tarub untuk segera menikah. Namun, lagi-lagi ia
menolak permintaan ibunya. Suatu hari Mbok Randa jatuh sakit dan menghembuskan
nafas terakhirnya. Jaka Tarub sangat sedih.

Sejak kematian Mbok Randha, Jaka Tarub sering melamun. Kini sawah ladangnya
terbengkalai.

“Sia-sia aku bekerja. Untuk siapa hasilnya?” demikian gumam Jaka Tarub.


Suatu malam, Jaka Tarub bermimpi memakan Daging Rusa. Pada saat ia terbangun
dari tidurnya, ia pun langsung pergi ke hutan. Dari pagi sampai siang hari ia berjalan.
Namun, ia sama sekali tidak menjumpai Rusa. Jangankan Rusa, Kancil pun tidak ada.

Suatu ketika, ia melewati telaga itu dan secara tidak sengaja ia melihat para
bidadari sedang mandi disana. Di telaga tampak tujuh perempuan cantik tengah bermain-
main air, bercanda, bersuka ria. Jaka Tarub sangat terkejut melihat kecantikan mereka.

Karena jaka Tarub merasa terpikat oleh tujuh bidadari itu, akhirnya ia mengambil
salah satu selendangnya. Setelahnya para bidadari beres mandi, merekapun berdandan dan
siap-siap untuk kembali ke kahyangan.

Mereka kembali mengenakan selendangnya masing-masing. Namun salah satu


bidadari itu tidak menemukan selendangnya. Keenam kakaknya turut membantu mencari,
namun hingga senja tak ditemukan juga. Karena hari sudah mulai senja, Nawangwulan di
tinggalkan seorang diri. Kakak-kakanya kembali ke Khayangan. Ia merasa sangat sedih.

Tidak lama kemudian Jaka Tarub datang menghampiri dan berpura-pura menolong
sang Bidadari itu. Di ajaknya bidadari yang ternyata bernama Nawang Wulan itu pulang
ke rumahnya. Kehadiran Nawang Wulan membuat Jaka Tarub kembali bersemangat.
Singkat cerita, merekapun akhirnya menikah. Keduanya hidup dengan Bahagia. mereka
pun memiliki seorang putri cantik bernama Nawangsih. Sebelum mereka menikah,
Nawang wulan mengingatkan kepada Jaka Tarub untuk tidak menanyakan kebiasan yang
akan dilakukannya nanti setelahnya ia menjadi istri.

Rahasianya Nawang Wulan yaitu, Ia memasak nasi selalu menggunakan satu butir
beras, dengan sebutir beras itu ia dapat menghasilkan nasi yang banyak. Setelah mereka
menikah Jaka Tarub sangat penasaran. Namun, dia tidak bertanya langsung kepada
Nawang wulan melainkan ia langsung membuka dan melihat panci yang suka dijadikan
istrinya itu memasak nasi. Ia melihat Setangkai padi masih tergolek di dalamnya, ia pun
segera menutupnya kembali. Akibat rasa penasaran Jaka Tarub. Nawang Wulan
kehilangan kekuatannya. Sejak saat itu, Nawang Wulan harus menumbuk dan menampi
beras untuk dimasak, seperti wanita umumnya.
Karena tumpukan padinya terus berkurang, suatu waktu, Nawangwulan tanpa
sengaja menemukan selendang bidadarinya terselip di antara tumpukan padi. ternyata
selendang tersebut ada di lumbung gabah yang di sembunyikan oleh suaminya.

Nawang wulan pun merasa sangat marah ketika suaminyalah yang mencuri
selendangnya. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi ke kahyangan. Jaka Tarub pun
meminta maaf dan memohon kepada istrinya agar tidak pergi lagi ke kahyanngan, Namun
Nawangwulan sudah bulat tekadnya, hingga akhirnya ia pergi ke kahyangan. Namun ia
tetap sesekali turun ke bumi untuk menyusui bayinya. Namun, dengan satu syarat, jaka
tarub tidak boleh bersama Nawangsih ketika Nawang wulan menemuinya. Biarkan ia
seorang diri di dekat telaga.

Jaka Tarub menahan kesedihannya dengan sangat. Ia ingin terlihat tegar. Setelah
Jaka Tarub menyatakan kesanggupannya untuk tidak bertemu lagi dengan Nawangwulan,
sang bidadaripun terbang meninggalkan dirinya dan Nawangsih. Jaka Tarub hanya
sanggup menatap kepergian Nawangwulan sambil mendekap Nawangsih. Sungguh
kesalahannya tidak termaafkan. Tiada hal lain yang dapat dilakukannya saat ini selain
merawat Nawangsih dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai