Anda di halaman 1dari 13

Ajisaka

Dikisahkan, pada sekitar abad ke-7 Masehi, daerah Grobogan termasuk dalam

wilayah Kerajaan Medang Kamolan yang diperintah oleh Dinasti Sanjaya atau

Syailendra. Salah seorang raja dari dinasti ini adalah Dewata Cengkar, seorang

yang konon amat gemar makan daging manusia.

Karena kesukaan Dewata Cengkar yang aneh tersebut, membuat rakyat

merasa ketakutan. Mereka tidak ingin menjadi santapan sang raja yang haus darah

itu.

Berbagai cara dilakukan untuk melawan Dewata Cengkar, tetapi semuanya

sia-sia saja. Tak ada seorang pun yang bisa mengalahkan kesaktian Dewata

Cengkar.

Beberapa waktu kemudian, muncullah Ajisaka, seorang pengembara, yang

merasa prihatin dengan penderitaan yang dialami oleh rakyat. Ajisaka pun

kemudian berusaha untuk menghentikan kebiasaan Dewata Cengkar. Dengan

disaksikan oleh ribuan pasang mata, Ajisaka pun menantang adu kesaktian dengan

Dewata Cengkar.

Banyak orang yang meragukan kemampuan Ajisaka, mengingat tubuhnya

yang kecil.

"Ha ha ha... Kau yakin mau menantangku, anak muda?!" tawa Dewata

Cengkar membahana.
Ajisaka tersenyum sambil menghaturkan sembahnya. Dewata Cengkar

mengerutkan keningnya. Dipandanginya Ajisaka dari atas ke bawah. Ia berputar

mengelilingi Ajisaka.

"Baiklah. Kuterima tantanganmu. Tapi dengan syarat, putus Dewata Cengkar.

"Jika kau mampu mengalahkanku, aku akan memberi hadiah separuh kerajaanku.

Tapi, jika kau yang kalah, maka aku akan memakan tubuhmu. Bagaimana?"

Sambil menyembah takzim, Ajisaka pun menyanggupi syarat yang diberikan. Ia

pun memberikan permintaan terakhir.

Jika ia kalah dan tubuhnya dimakan oleh Dewata Cengkar, Ajisaka memohon

agar tulang-tulangnya nanti ditanam dalam tanah seukuran lebar ikat kepalanya.

Tentu saja Dewata Cengkar segera menyanggupi, ia sama sekali tidak

menduga bahwa ikat kepala Ajisaka itu adalah ikat kepala yang mengandung

kesaktian. Ajisaka pun segera melepas ikat kepalanya dan kemudian

menggelarnya di atas tanah.

Ajaib, ikat kepala itu menjadi melebar. Dewata Cengkar pun menggeser

tempat berdirinya. Hal itu berlangsung terus seiring dengan makin melebarnya

ikat kepala Ajisaka. Hingga akhirnya Dewata Cengkar pun tercebur di Laut

Selatan.

Namun Dewata Cengkar tidak mati, sebaliknya tubuhnya kemudian menjelma

menjadi bajul (buaya) putih.


Sepeninggal Dewata Cengkar, rakyat kemudian menobatkan Ajisaka sebagai

raja di Medang Kamolan dengan gelar prabu Jaka atau Prabu Anom Aji Saka.

Keong Emas

Alkisah hiduplah seorang wanita bernama Dewi Limaran, istri dari Raden

Putra, Hidupnya begitu bahagia bersama suaminya di istana. Walaupun Raden

Putra mempekerjakan beberapa pelayan untuk dirinya, Dewi Limaran terbiasa

melakukan segala sesuatunya sendiri. la mahir memasak, membersihkan kamar,

dan lain-lain.

Selain itu Dewi Limaran juga gemar berkebun. Dia telah menanam beberapa

bunga dan tanaman obat di taman istana.

Raden Putra sangat menyayangi istrinya. Terkadang ia ikut membantu sang

istri berkebun. Bahkan kebun itu tampak lebih rapi dan terawat dari pada kebun

yang ada di istana raja yang diolah oleh beberapa tukang kebun raja.

Suatu hari ada utusan raja yang datang ke istana Raden Putra. Dia membawa

titah sang raja bahwa Raden Putra harus berangkat membawa pasukannya ke

perbatasan karena telah terjadi bentrokan memperebutkan hasil hutan.


Sebagai prajurit tangguh, Raden Putra langsung menyiapkan pasukannya dan

segera berangkat ke perbatasan. Sebelum berangkat tak lupa Raden Putra berpesan

kepada istrinya untuk berhati-hati dan menjaga kebun mereka.

Beberapa hari telah berlalu, Raden Putra belum juga kembali dari perbatasan.

Namun, Dewi Limaran cukup tenang dan yakin suaminya akan segera kembali.

Dia masih tetap merawat kebun bunganya di belakang istana. Saat ia sedang

berjalan-jalan di taman, ia menemukan sebuah keong di salah satu bunga dan

kemudian melemparnya, Keong itu ternyata adalah seorang penyihir jahat yang

sedang menyamar dan memata-matai tindak tanduk Raden Putra.

Ketika cangkangnya terlepas, keong itu pun berubah wujud ke asalnya,

Dewi Limaran tampak kaget melihat hal ini. Sebelum Dewi Limaran sempat

berteriak memanggil pelayannya, sang penyihir telah lebih dulu mengucapkan

matranya, dan mengubahnya menjadi keong emas.

Kejadian hilangnya Dewi Limaran membuat gempar kerajaan. Raden Putra

yang baru kembali dari perbatasan setelah menyelesaikan tugas tampak kalut dan

bersedih. Ia benar-benar tak menyangka akan mendapati istri tercintanya

menghilang dari istana.

Raden Putra lalu mengirimkan mata-mata ke seluruh penjuru kerajaan.

Segala cara ia lakukan. Namun Dewi Limaran tidak juga ditemukan.

Raden Putra tidak lagi mengurus tamannya, tapi dia dengan sejumlah kecil

pasukannya berkelana berkeliling negeri untuk mencari istrinya yang hilang

Taman yang indah tersebut kini hanya diurus oleh beberapa pelayan Raden Putra.
Pada suatu hari, di desa di dekat istana Raden Putra, seorang nenek

memancing di suatu sungai. Saat ia pulang, ia menemukan sebuah keong

berwarna emas di antara tangkapannya. Ini adalah hal aneh. Karena tidak pernah

ia mendapati seekor pun keong dalam jaringnya, apalagi yang berwarna emas.

Sang nenek pun dengan senang hati membawa keong emas itu pulang.

Sesampainya di rumah diletakkannya keong tersebut di dalam baskom berisi air.

Keesokan harinya nenek tadi kembali berangkat ke sungai untuk mencari ikan

guna dijualnya di pasar dan makannya sehari-hari. Namun alangkah terkejutnya

ia ketika pulang ke rumah, la mendapati rumahnya telah dibersihkan. Si nenek tak

habis pikir. Bagaimana rumahnya bisa jadi sebersih ini? Padahal tadi pagi ia pergi

terburu-buru ke sungai. Ia tak sempat membereskan rumahnya karena bangun

kesiangan.

Karena rasa ingintahunya, keesokan harinya, ia pura-pura pergi ke luar.

Namun, baru beberapa langkah, ia kemudian berbalik dan mengintip ke arah

rumahnya.

Alangkah terkejutnya sang Nenek, la melihat seorang anak perempuan cantik

sedang membersihkan rumahnya. Ketika mendengar anak perempuan itu

bercerita, maka dibantinglah keong emas itu ke tanah. Maka, musnahlah kutukan

yang diterima oleh Dewi Limaran.

Sang Nenek kemudian mengantar Dewi Limaran kembali ke istana. Para

pengawal dan pelayan istana Raden Putra kaget setengah mati mendapati sang
Dewi Limaran telah kembali. Beberapa pengawal pun dikirim untuk mencari

keberadaan Raden Putra untuk memberitahukan kabar gembira ini.

Beberapa hari kemudian Raden Putra kembali ke istananya dan bersatu

kembali dengan istri yang sangat dicintainya itu. Mereka pun hidup bahagia dan

taman tersebut kini bersemi kembali dengan bunga-bunga indah warna-warni.

Panji Semirang

Kerajaan Daha. Hiduplah seorang putri bernama Dewi Candra Kirana. Ia

putri yang sangat cantik sekali. Sayang, ia hidup sangat menderita akibat

perlakuan selir ayahandanya.

Konon, Dewi Candra Kirana sangat ingin memiliki adik. Namun,

keinginannya tak mungkin terkabulkan. Ini dikarenakan ibundanya tercinta telah

menginjak usia tua.

Ayahnya kemudian mengambil seorang selir, bernama Dewi Liku. Dari Dewi

Liku inilah Dewi Candra Kirana mendapatkan seorang adik, Dewi Ajeng.

Pada awalnya Dewi Candra Kirana sangat berbahagia. Namun, kian lama ia

dibuat menderita oleh Dewi Liku. Ada saja cara dan upaya dari Dewi Liku untuk

membuat Dewi Candra Kirana tak bahagia dan menderita.

Apalagi, ketika Dewi Candra Kirana dipertunangkan dengan putra Raja

Kahuripan, Raden Inu Kertapati. Dewi Liku makin bertindak kejam padanya.
Hal ini pun dilakukan Dewi Liku pada sang Permaisuri. Entah kenapa, sang

Baginda begitu terpengaruh pada selirnya ini, sehingga setiap keinginan Dewi

Liku selalu terpenuhi.

Melihat tindak-tanduk dari Dewi Liku, membuat sang Permaisuri jatuh sakit,

dan kemudian meninggal.

Setelah kematian ibundanya, hidup Dewi Candra Kirana benar-benar seperti

di neraka. Apalagi setelah pesta pertunangannya dengan Raden Inu Kertapati akan

dilangsungkan.

Berbagai upaya dilakukan oleh Dewi Liku demi menggagalkan pesta

pertunangan itu. Setiap hadiah dan benda yang dikirim oleh Raden Inu Kertapati

kepada Dewi Candra Kirana selalu diambilnya, dan diberikan kepada putrinya,

Dewi Ajeng. Tentu saja ini membuat sedih Dewi Candra Kirana. Apalagi, ketika

ayahnya tak membela dirinya.

Entah kenapa Baginda Raja Daha begitu terpengaruh oleh selirnya itu. Ia

begitu berpihak pada Dewi Liku. Raja Daha begitu mudahnya menjadi murka

pada Dewi Candra Kirana. Hingga suatu ketika, karena terlalu marahnya ia

mengambil gunting lalu memotong rambut Dewi Candra Kirana.

Bersama dengan abdi setianya, Dewi Candra Kirana lalu memutuskan untuk

keluar dari istana. Mereka berjalan menuju rimba yang terletak diantara

kerajaannya dan kerajaan Raden Inu Kertapati, tunangannya. Ia pun kemudian

menyamar menjadi seorang satria, bernama Panji Semirang.


Bersama para abdinya itu ia kemudian beraksi menghadang orang-orang yang

berlalu lalang ke rimba itu. Mengajaknya untuk bermukim di sana.

Entah sampai kapan Dewi Candra Kirana akan menetap di sana. Yang ia tahu

hanya satu, ia hanya ingin berada lebih dekat dengan kekasihnya, Raden Inu

Kertapati.

Putri dan Gamelan Ajaib

"Ananda bersedia menjadi istri Raden Josari, asalkan pada malam pernikahan

nanti diramaikan oleh pergelaran wayang kulit yang didalangi oleh Ki Dalang

Bambang Soponyono," putus Putri Rayungwulan.

Itu adalah syarat yang diucapkan oleh Putri Rayungwulan ketika Raden Josari

melamarnya. Bukan tanpa sebab Putri Rayungwulan menetapkan syarat seperti

itu. Karena sebenarnya, kalau boleh jujur Putri Rayungwulan sama sekali tak

berniat menerima pinangan dari putra Raja Yudopati.

Siapapun tahu, jika Raden Josari bukanlah lelaki yang baik. Namun, ia tak

punya daya untuk menolaknya.

Hingga suatu ketika, Putri Rayungwulan mendengar suara itu. Suara gamelan

yang ditabuh. Terdengar merdu dan membuai di telinga.


Putri Rayungwulan begitu penasarannya. Hingga ia memerintahkan

senopatinya untuk mencari asal suara itu. Selang beberapa waktu kemudian, ia

hanya berhasil menemukan nama Ki Dalang Bambang Soponyono, tanpa berhasil

menemui orangnya.

Putri Rayungwulan gundah. Pikirannya terus menuju ke suara yang begitu

membuai itu. Hingga akhirnya ia menyatakan syarat itu sebagai cara Raden Josari

dapat menikahinya.

Pada akhirnya, Raden Josari dapat memenuhi syarat dari calon istrinya itu. Ki

Dalang Bambang Soponyono hadir di balairung paranggaruda untuk memberi

pergelaran wayan kulitnya yang istimewa.

Dikatakan istimewa karena perangkat gamelan dan nayaganya tidak terlihat.

Akan tetapi suaranya terdengar sangat merdu dan jelas. Belum lagi suara juru-juru

tembangnya. Sangat merdu dan tak ada tandingannya.

Pada hari yang ditentukan, Ki Dalang Bambang Soponyono pun memberikan

pertunjukan di depan tamu-tamu agungnya. Termasuk di depan Putri

Rayungwulan.

Akan tetapi, sesuatu terjadi di sana. Putri Rayungwulan yang sedari awal

sudah terpesona pada Ki Dalang Bambang Soponyono pun makin terpikat ketika

bertemu muka.

Dengan keberanian luar biasa, Putri Rayungwulan meminta Ki Dalang

Soponyono untuk melindunginya dari Raden Josari. Tentu saja ini membuat
Raden Josari tersinggung. Kericuhan pun terjadi. Dengan berbagai cara Raden

Josari berusaha sekuat tenaga untuk membunuh Ki Dalang Bambang Soponyono.

"Tak akan kubiarkan kalian berdua hidup di atas penderitaanku! teriak Raden

Josari marah.

"Jika aku tak berhasil mendapatkan Putri Rayungwulan, maka tak

seorangpun juga yang akan memilikinya." Perkelahian yang tak seimbang pun

terjadi. Ki Dalang Bambang Soponyono dikepung oleh Raden Josari dan

pasukannya. Ketika Ki Dalang Bambang Soponyono semakin terdesak, Putri

Rayungwulan kemudian meminta bantuan kepada senopatinya. Dengan bantuan

dari bala tentara ayahnya, akhirnya, selamatlah Ki Dalang Bambang Soponyono.

Keduanya kemudian menikah. Dan, jika disuatu saat kau mendengar suara

merdu gamelan, maka itu berarti Ki Dalang Bambang Soponyono sedang

menghibur istrinya.

Timung Mas

Pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri petani Mereka tinggal di

sebuah desa di dekat hutan. Mereka hidup bahagia. Sayangnya mereka belum saja

dikaruniai seorang anak pun.

Setiap hari mereka berdoa pada Yang Maha Kuasa. Mereka berdoa agar

segera diberi seorang anak. Suatu hari seorang raksasa melewati tempat
tinggalmereka. Tanpa sengaja Raksasa mendengar doa suami istri itu. Raksasa itu

kemudian memberi mereka biji mentimun.

"Tanamlah biji ini, Nanti kau akan mendapatkan seorang anak perempuan,"

kata sang Raksasa. "Terima kasih, Raksasa," kata suami istri itu berbarengan.

"Namun, ada syaratnya. Pada usia 17 tahun, anak perempuan itu harus kalian

serahkan padaku," sahut Raksasa Suami istri itu sangat merindukan seorang anak.

Karena itu tanpa berpikir panjang mereka setuju. Sesuai perintah dari sang

Raksasa, sepasang suami istri itu kemudian menanam biji-biji mentimun. Setiap

hari mereka merawat tanaman yang mulai tumbuh itu dengan sebaik mungkin.

Berbulan-bulan kemudian tumbuhlah sebuah mentimun berwarna keemasan.

Buah mentimun itu semakin lama semakin besar dan berat. Ketika buah itu

masak, mereka memetiknya. Dengan hati-hati mereka memotong buah itu.

Betapa terkejutnya mereka, di dalam buah itu mereka menemukan bayi

perempuan yang sangat cantik. Suami istri itu sangat bahagia. Mereka memberi

nama bayi itu Timun Mas.

Tahun demi tahun berlalu. Timun Mas tumbuh menjadi gadis yang cantik

Kedua orangtuanya sangat bangga padanya. Namun, mereka menjadi sangat takut.

Karena pada ulang tahun Timun Mas yang ke-17, sang raksasa akan datang

kembali. Raksasa itu menangih janji untuk mengambil Timun Mas. Petani itu

mencoba tenang. "Tunggulah sebentar. Timun Mas sedang bermain. Istriku akan

memanggilnya," katanya.
Petani itu segera menemui anaknya. "Anakku, ambillah ini," katanya sambil

menyerahkan sebuah kantung kain.

"Ini akan menolongmu melawan Raksasa. Sekarang larilah secepat mungkin,"

katanya. Maka, Timun Mas pun segera melarikan diri.

Raksasa menunggu cukup lama. Ia menjadi tak sabar Akhirnya, ia tahu, jika

telah dibohongi suami istri itu. Dengan amarahnya, ia lalu menghancurkan

pondok petani itu, dan mengejar Timun Mas ke hutan.

Raksasa segera berlari mengejar Timun Mas. Semakin dekat dan semakin

dekat. Timun Mas segera mengambil segenggam garam dari kantung kainnya.

Lalu garam itu ditaburkan ke arah Raksasa. Tiba-tiba saja laut yang luas pun

terhampar Raksasa terpaksa berenang dengan susah payah.

Timun Mas berlari lagi. Sang Raksasa pun hampir berhasil menyusulnya.

Timun Mas kembali mengambil benda ajaib dari kantungnya. Diambilnya

segenggam cabai. Cabai itu dilemparnya ke arah raksasa. Seketika pohon dengan

ranting dan duri yang tajam memerangkap Raksasa. Raksasa berteriak kesakitan.

Sementara Timun Mas berlari menyelamatkan diri. Namun, Raksasa sungguh

kuat. Lagi-lagi ia berhasil meloloskan diri dan mengejar Timun Mas, Maka,

Timun Mas pun mengeluarkan benda ajaib ketiga. Ia menebarkan biji-biji

mentimun ajaib.

Seketika tumbuhlah kebun mentimun yang sangat luas. Raksasa sangat letih

dan kelaparan. la pun makan mentimun-mentimun yang segar itu dengan lahap

Karena terlalu banyak makan, Raksasa pun tertidur Timun Mas kembali melarikan
diri. Ia berlari sekuat tenaga. Namun, lama kelamaan tenaganya habis. Lebih

celaka lagi karena Raksasa terbangun dari tidurnya. Raksasa lagi-lagi hampir

menangkapnya. Timun Mas sangat ketakutan. Ia pun melemparkan senjatanya

yang terakhir, segenggam terasi udang.

Lagi-lagi terjadi keajaiban. Sebuah danau lumpur yang luas terhampar

Raksasa terjerembab ke dalamnya. Tangannya hampir menggapai Timun Mas.

Namun, danau lumpur itu menariknya ke dasar. Raksasa panik"Tolong!!! Tolong

aku!!!" teriak sang Raksasa.

Timun Mas yang sudah hendak melarikan diri kembali sempat terhenti

langkahnya. Ia menoleh ke tengah danau. Hatinya tak tega. Akhirnya, dengan

kebaikan hati yang dimilikinya, diambilnya sebatang kayu. Dengan bersusah

payah, dijulurkannya kayu itu ke arah sang Raksasa. "Pegang kayu ini!" pinta

Timun Mas.

Namun, sang Raksasa sudah terlalu panik la terus meronta-ronta. Semakin

lama ia semakin tenggelam. Pada akhirnya ia pun mati tenggelam Timun Mas

selamat. Walaupun dengan hati yang sedih karena tak berhasil menyelamatkan

sang Raksasa, ia kembali ke rumah orangtuanya. Ayah dan lbu Timun Mas senang

sekali melihat Timun Mas selamat.

"Terima Kasih, Tuhan. Kau telah menyelamatkan anakku," kata mereka

gembira. Sejak saat itu Timun Mas dapat hidup tenang bersama orangtuanya.

Mereka dapat hidup bahagia tanpa ketakutan lagi.

Anda mungkin juga menyukai