Anda di halaman 1dari 84

Panembahan Kampar Raharjo

Taman, Madiun
SURYA MATARAM JILID 11

Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada penulis, saya


melakukan editing tanpa mempengaruhi isi cerita:

1. Typo (salah ketik)


2. Penyesuaian nama: misalnya Jaya Raga menjadi Jayaraga,
sebagaimana nama aslinya di ADBM
3. Windu Jati menjadi Windujati, sebagaimana di ADBM
4. Kyai, menjadi Kiai sebagaimana dalam istilah KBBI
5. Menggabung kalimat dalam paragraf yang sesuai
6. Memotong paragraf yang tercampur (topik yang sudah
berbeda),
7. Penggunaan tanda baca
8. Menghilangkan spasi yang tidak perlu
9. Penggunaan huruf kapital yang tidak tepat
10. dll

ANONIM i
SURYA MATARAM JILID 11

PANDAN WANGI baru meninggalkan tanda patok keluar


dari tlatah Menoreh. Kuda yang dipinjamkan Ki Prapto adalah
kuda yang cukup baik. Ketajaman mata wadag yang kini ikut pula
berubah menjadi sangat tajam, sangat membantu dirinya
mengendalikan laju kuda yang dihelanya dalam kecepatan yang
tinggi. Beberapa tikungan tajam mampu dilihat dan dikenalinya
dalam jarak yang cukup jauh. Sehingga kuda yang ditungganginya
bisa melaju dalam kecepatan tetap.
Beberapa saat berlalu, perasaan terburu membuat Pandan
Wangi kehilangan kewaspadaan.
Tepat ketika akan melintas dibawah pohon beringin yang
sangat besar, kuda yang ditungganginya berhenti mendadak. Kuda
itu mengangkat kaki depan, meringkik ringkik ketakutan,
melempar-kan Pandan Wangi dari punggungnya.
Bagi Pandan Wangi dengan kemampuan seperti sekarang ini,
bukan persoalan sulit untuk menyelamatkan diri dari hentakan
yang melemparkannya dari punggung kuda. Namun kejadian itu
sungguh sangat mengejutkan dirinya.
Kuda yang berlari demikian kencang seolah menabrak dinding
yang tak kasat mata. Diperhatikannya sekeliling tempat. Dan
pandangan matanya tertumbuk pada kain hitam panjang yang
terjulur diantara sela ranting yang rimbun. “Bawa dan pakai kain
ini. Tetap rahasiakan dirimu sampai batas waktu hingga seseorang
memaksamu untuk membuka jati dirimu. Kalau kau merasa
penting untuk tetap pergi ke padepokan anak muda itu, pergilah.
Tapi besok dini hari kau temui aku di tempat biasa. Pergilah, aku
ingin beristirahat”.

ANONIM 1
SURYA MATARAM JILID 11

“Eyang...!!”.
Namun tidak ada sahutan.
Diambilnya kain hitam yang terhampar di tanah. Dilipat dan
disimpan baik-baik di kampil yang tersedia di dekat pelana.
Keberadaan Eyang Jenar di jalur jalan itu bukanlah sebuah
kebetulan. Sebagaimana diketahui sejak awal, beberapa waktu
belakangan orang tua ini berkeliaran di sepanjang jalur jalan
tersebut. Seperti yang pernah dilihat beberapa orang Menoreh dan
sudah disampaikan kepada Waskita beberapa waktu lalu.
Bulak yang sangat panjang, sangat sepi. Seringkali terjadi
kejahatan di jalur jalan ini. Tanpa diketahui oleh banyak orang,
beberapa peristiwa yang terjadi di jalur ini dituntaskan oleh orang
tua ini yang selalu menutup dirinya dengan selubung kain hitam.
Peristiwa dimana Pandan Wangi menundukkan sekumpulan
perampok di malam sebelumnya, yang juga memakai selubung
kain hitam menambah daftar panjang cerita dari kedua daerah
yang saling berbatasan. Nilai baiknya, banyak berandal yang
berpikir berulang kali apabila akan bertindak jahat di sepanjang
jalur jalan ini.
Demikian pula halnya disaat Agung Sedayu melintas, orang tua
ini pun mengetahui dengan pasti, utusan Kiai Gringsing sedang
memacu kuda menuju padepokan yang berada di ujung jauh dari
jalan ini. Padepokan yang juga sudah diselidiki dan dikenali
dengan baik oleh eyang Jenar. Sehingga mengetahui pula arah dan
tujuan Pandan Wangi siang itu.
Orang tua ini sudah memahami dengan baik, siapa Kiai
Gringsing dan kedua muridnya itu, bahkan Swandaru pernah
ditolong dan dibawanya pulang ke pendapa di saat pingsan
melawan Sutawijaya. Dan Pandan Wangi sebagai istri dari orang
gemuk ini pun sudah diketahuinya pula.
Rangkaian kejadian yang terjadi belakangan, termasuk
pilihannya jatuh kepada Pandan Wangi untuk diangkatnya sebagai
murid yang bersifat titipan, bukanlah terjadi dengan begitu saja.
Seolah orang tua ini sudah berhitung matang dengan apa yang
dilakukannya saat ini terhadap Pandan Wangi.
ANONIM 2
SURYA MATARAM JILID 11

Sementara itu, di padepokan Rudita, situasi makin meruncing


dan bertambah panas. Kata-kata Agung Sedayu yang disampaikan
dengan cara terbaik tidak mendapat tanggapan yang sepadan dari
Swandaru.
Rudita sebagai tuan rumah terombang-ambing oleh kenyataan
yang dihadapinya itu. Keduanya tak ubahnya seperti saudara,
bahkan tidak kurang seperti kakaknya sendiri. Namun, untunglah
Agung Sedayu mengambil keputusan bijaksana menyelamatkan
muka Rudita dihadapan anak-anak didiknya yang masih berusia
muda-muda.
Pertempuran yang mungkin akan berlangsung tentu saja akan
bertentangan dengan ajaran yang dia berikan kepada anak-anak
angkatnya itu.
“Swandaru, kalau kata-kataku sudah tidak mungkin lagi
menghapus keinginanmu untuk menguji kerasnya tulang, aku
ikuti apa yang menjadi keinginanmu. Tapi kita laksanakan tidak di
lingkungan padepokan yang asri dan tentram ini. Sangat tidak
pantas aku sebagai tamu mengotori tempat ini”.
“Terserahlah, mau dilakukan dimana. Bagiku tidak penting!”.
“Adi Rudita, keadaan berkembang tidak sesuai dengan
anganku. Aku mohon ijin untuk pergi sejenak. Biarlah kami
selesaikan persoalan dengan cara kami. Meskipun sebenarnya cara
itu tidak aku kehendaki”.
Anak Ki Waskita ini mengangguk, katanya “Aku percaya kepada
kakang Sedayu. Selesaikan dengan cara terbaik. Dalam hal ini Aku
tidak bisa berbuat apa-apa”.
“Kami mohon pamit. Aku berjanji nanti kami akan kembali lagi
kemari dalam keadaan lebih baik”.
“Swandaru, bawa kudamu. Aku menunggumu di bulak panjang
setelah tikungan pertama”.
Kali ini Agung Sedayu berkata dengan raut muka yang sangat
tegang. Kemudian berjalan pergi mendapati kudanya yang
nampak segar setelah dimandikan dan diberi makan oleh anak-
anak asuh Rudita.

ANONIM 3
SURYA MATARAM JILID 11

Agung Sedayu mendahului Swandaru. Pikirannya diperas habis


untuk mencari jalan pemecahan terhadap persoalan yang tidak
diperkirakan sebelumnya ini.
Menundukkan Swandaru bukanlah hal sulit. Namun justru
memahamkan adik seperguruannya terhadap persoalan yang
sedang dihadapi itu yang sangat sulit. Tidak serta merta dengan
ditundukkannya Swandaru akan membuat orang gemuk anak
Demang Sangkal Putung ini menyerah total. Bisa jadi malah
sebaliknya. Ketinggian hati adik seperguruannya ini yang
seringkali dikeluhkan Kiai Gringsing kepadanya. Dan itu bagian
tersulit yang harus diselesaikan dalam diri Swandaru.
Di kelokan jalan pertama dari arah padepokan, Agung Sedayu
menghentikan kuda. Tetap duduk di punggung kuda tegar dengan
termangu-mangu. Pandangan matanya menatap kesana kemari
mencari tempat paling memungkinkan. Sedikit masuk kedalam
ada tempat sedikit lapang dan berumput cukup tebal. Namun kuda
harus ditinggalkan di pinggir jalan. Sebab untuk mencapai tempat
itu terhalang tanaman perdu, dan tanaman berduri. Ada pula
pohon rawe yang lugutnya sangat gatal.
“Berulangkali kejadian seperti ini harus terulang. Sekalipun tak
pernah menjadi pelajaran yang baik bagi Adi Swandaru”.
Kemudian selanjutnya masih dalam diamnya yang sesaat, Agung
Sedayu berdesis pelan seolah ditujukan kepada gurunya.
“Ampunkan aku guru, tidak ada cara lain yang bisa aku tempuh
kali ini”.
Cukup lama Agung Sedayu menunggu, Swandaru belum
nampak atau terdengar detak kaki kudanya. Hatinya bertanya
tanya, bahkan hampir menganggap adik seperguruannya itu
berubah pikiran, membatalkan pertempuran yang tidak perlu
sama sekali itu. Perasaan Agung Sedayu mulai sedikit diliputi
keraguan, namun terbersit pikiran dan perasaan bahagia,
seandainya adik seperguruannya itu benar-benar tidak datang dan
pertempuran menjadi batal.
Namun angan-angan Agung Sedayu tidak bersambut, terdengar
kemudian derap kaki kuda. Tidak hanya kuda seekor tapi lebih dari
satu. Di kelokan jalan, berpacu dua ekor kuda menuju kearahnya.

ANONIM 4
SURYA MATARAM JILID 11

“Seorang sudah pasti Swandaru. Yang seorang lagi belum bisa


dipastikan siapa orang itu. Apakah Adi Rudita ikut datang
kemari?”, desis Agung Sedayu.
Perasaan tidak sabar mendorong kemampuan khusus Agung
Sedayu terlontar dengan sendirinya. Hanya dalam hitungan
kejapan, Agung Sedayu bisa melihat dengan sangat jelas siapa
yang datang.
Orang yang berkuda dibelakang Swandaru memang jelas
terlihat, namun tidak dikenalnya sama sekali. Seketika pikiran
was-was menyelimuti murid tertua Kiai Gringsing ini.
Akhirnya semua menjadi jelas. Setelah mereka menjadi dekat
dan turun dari kuda masing-masing. Swandaru datang dengan
wajah tegang. Nampak berulangkali tangannya terkepal dan
menggenggam erat seolah sedang berusaha meremas sesuatu yang
sangat keras.
“Keadaanku sudah jauh lebih baik dibanding pertama kali aku
datang kemari karena latihan-latihan khusus yang aku ciptakan
sendiri. Kakang akan tahu seberapa jauh kemampuanku sudah
berubah selama beberapa hari terakhir. Semua itu tak lepas dari
bantuan orang yang datang bersamaku ini”.
Kerut merut di kening Agung Sedayu nampak semakin dalam.
Tidak lagi keheranan, tapi kekhawatiran yang justru kini
menyentuh dinding jantungnya.
Untuk beberapa saat Agung Sedayu berdiri terpaku mengamati
orang yang baru turun dari kudanya itu. Seorang yang cukup besar
perawakannya. Kulit hitam dan cambang yang sedikit tebal
melingkari mukanya dari ujung ke ujung yang bersambung dengan
kumis yang cukup tebal pula.
“Elang Jepara, inilah kakak seperguruanku yang pernah aku
ceritakan kepadamu. Hari ini aku hanya ingin tunjukkan
kepadanya, kalau aku tak layak diasingkan seperti sekarang. Kau
tidak usah mencampuri urusan kami, kecuali kakak
seperguruanku ini berbuat curang mengungkap tenaga cadangan
karena tidak mampu menghadapi aku bertempur dengan tenaga
wantah”.

ANONIM 5
SURYA MATARAM JILID 11

Sebuah kenyataan yang sulit diterima nalar oleh murid Kiai


Gringsing tertua ini melihat perilaku adik seperguruannya.
Katanya kemudian, “Kiranya perubahan sikapmu bukan
disebabkan sekedar rasa tidak terimamu terhadap cara guru
dengan membawamu kemari. Tapi ada pihak lain yang telah
meracunimu Adi. Demikian jauh kau melangkah dengan
meninggalkan nalarmu. Tadinya aku berpikir sederhana tentang
semua ini. Namun sekarang aku berfikir lain ".
Kini sikap Agung Sedayu tidak lagi dengan tatapan welas asih
seperti sebelumnya. Mukanya kembali memerah, lebih nyata dari
sebelumnya ketika masih berada di Padepokan Rudita.
Kemudian Agung Sedayu menunjuk dan melangkah menuju
tempat yang dia maksudkan. Ada keinginan segera mengakhiri
keruwetan yang terjadi diluar perkiraan awal. Kuda dengan
terpaksa mereka tinggalkan di pinggir jalan.
Matahari sudah cukup jauh bergeser, panasnya sedikit
berkurang, angin semilir menghantar perasaan Agung Sedayu
yang dilanda ketidak-mengertian dengan sikap adik
seperguruannya itu.
“Kisanak, aku tidak peduli dengan nama dan gelarmu. Yang aku
tahu kau telah memasuki wilayah yang seharusnya tidak layak kau
masuki. Urusan adik seperguruanku adalah persoalan tertutup
dan khusus yang menjadi tanggung jawab guruku. Tapi kau sudah
menginjaknya dengan sengaja. Kau telah menggeser persoalan
khusus perguruan menjadi persoalan terbuka yang justru makin
menginjak injak martabat perguruanku. Entah apa yang melatar-
belakangi tindakanmu kisanak. Menurutku tindakanmu
melampaui batas kepatutan sebuah perguruan yang mestinya
saling menghormati satu sama lain”.
Agung Sedayu adalah sosok pribadi yang sangat lembut dan
selalu berhati hati dalam mengambil setiap langkah. Kali ini
pemahamannya tentang persoalan yang sesungguhnya telah
didapatkan berdasar pada rangkaian yang sangat mudah
disatukan menjadi kesimpulan yang dianggapnya pasti. Tekanan
waktu yang harus dihitung dengan cermat menjadi pertimbangan
yang tidak bisa diabaikan. Dia hanya mempunyai waktu hari ini

ANONIM 6
SURYA MATARAM JILID 11

hingga esok, kemudian harus kembali ke Mataram dan Sangkal


Putung.
Orang yang datang bersama Swandaru itupun tidak tinggal
diam menanggapi sikap Agung Sedayu. Senyum yang sedikit
mengejek mengawali kata-kata yang meluncur kemudian. Katanya
kemudian, “Kata-katamu membuatku gemetar kisanak. Cerita
tentang kelebihanmu membuat aku dan guruku tenggelam dalam
ketakutan. Namun sayang kau terlampau sering bepergian, hingga
kami menunggumu sekian waktu di Sangkal Putung tidak pernah
menjumpaimu. Selama ini di Sangkal Putung setiap malam kami
minum tuak hanya ditemani oleh adik seperguruanmu yang baik
hati ini. Kalau hari ini kau baru mengenal kami, sungguh
langkahmu tertinggal jauh dengan adik seperguruanmu ini yang
telah mengenal dan dekat dengan kami sejak beberapa purnama
yang lalu. Kami bersenang-senang bersama, maka kemudian
ketika dia mengalami bencana, tentu kami tidak tinggal diam”.
Keterangan yang disampaikan orang bercambang itu sangat
mengagetkan. Ternyata dalam kenyataannya persoalan tentang
adik seperguruannya ini adalah tumpukan persoalan yang sudah
berjalan sekian waktu. Jerat yang ditebar oleh mereka telah
dimakan mentah-mentah oleh Swandaru.
Kecurigaan Agung Sedayu menilai sikap adik seperguruannya
inipun berkembang kearah yang lebih khusus. Sikap Swandaru
yang bertolak belakang pasti bukan murni pembawaan Swandaru
seperti biasanya. Sikap yang kini ditunjukkan Swandaru sangat
berlebihan andaikan sebab yang melandasinya hanya sekedar
perasaan kecewa atas keputusan gurunya mengirimnya ke
Padepokan yang terpencil ini. Nalar Swandaru seolah tersumbat
dan tidak bisa berfikir jernih.
“Kau telah meracuni saudara seperguruanku kisanak!”.
Agung Sedaya mempersiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi
orang yang belum diketahuinya.
Dalam waktu singkat calon lawan Agung Sedayu juga telah
mempersiapkan diri. Sementara Swandaru justru bergeser agak
menepi.

ANONIM 7
SURYA MATARAM JILID 11

Namun mereka dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang


tidak diketahui sebelumnya.
“Sedayu untuk menghadapi mereka tidak perlu kau harus
mengotori tanganmu. Cukup Aku yang menghadapi manusia
perusak ini. Lihat dan saksikan bagaimana aku menghukum
manusia biadab ini!”.
Yang datang mendahului adalah suara yang terdengar sangat
pelan, tapi sangat kuat menelusup kedalam gendang telinga. Tak
ubahnya seperti orang yang berkata-kata tepat disamping telinga
orang yang mendengar.
Sebagaimana diketahui sebelumnya, Pandan Wangi dalam
keputusan terakhirnya menyusul Agung Sedayu ke Padepokan
Rudita. Yang datang saat itu memanglah Pandan Wangi dengan
memakai selubung kain sekujur tubuh.
Di saat yang demikian, Pandan Wangi yang sedang menyamar-
kan diri, kesulitan mencari alasan untuk masuk pada persoalan
mereka. Kecuali dia berperan sebagai Pandan Wangi yang
sesungguhnya.
Namun demikian, apapun kenyataannya nanti dia tetap
mencoba agar supaya Agung Sedayu memberi kesempatan dirinya
untuk turun ke gelanggang menggantikan dirinya.
Selanjutnya dengan cara khusus, yang hanya ditujukan kepada
Agung Sedayu, Pandan Wangi berkata “Agung Sedayu, beri aku
kesempatan untuk menghajar orang yang mengaku bernama
Elang Jepara ini. Dan juga untuk mewakilimu memberi pengertian
kepada adik seperguruanmu ini. Aku pastikan, aku hanya sekedar
untuk memberi pelajaran kepada saudara seperguruanmu ini, aku
hanya akan sedikit membuatnya jera, tak lebih. Aku berjanji tidak
akan melukainya, apalagi membunuhnya. Agar diantara kalian
tidak tumbuh dendam di kemudian hari. Percayalah, gurumu
adalah sejalur dengan eyang guruku. Kau nanti akan bisa melihat
buktinya tentang itu. Aku mohon Sedayu...".
Suara yang mengalir tenang dan bernada memohon itu sejenak
menyirap Agung Sedayu yang masih tetap diam. Agung Sedayu
tahu dengan pasti orang tersebut berbicara kepadanya dengan

ANONIM 8
SURYA MATARAM JILID 11

arus kemampuan khusus. Disadarinya pula orang tersebut tidak


bermaksud lebih jauh dari sekedar ingin mengetuk dinding
jantungnya agar permintaannya dituruti. Tidak ada maksud jelek
dari permintaannya itu.
Permintaan yang terasa sangat aneh bagi Agung Sedayu,
dengan alasan apa orang yang menyamarkan dirinya itu ingin
mewakilinya bertempur. Agung Sedayu berusaha meraba-raba
dalam pikiran dan angan-angannya, siapa kira-kira orang ini.
“Tidak mungkin guru bertindak seperti ini. Ki Jayaraga?
Sepertinya bukan. Apalagi Sekar Mirah” batin Agung Sedayu.
Tidak sedikit pun panggraitanya menangkap kemungkinan
bahwa sosok yang menyamar itu adalah Pandan Wangi. Baginya
saat itu tidak menjadi sesuatu yang sangat penting untuk
mengetahui sosok berselubung hitam itu. Dengan demikian Agung
Sedayu tidak ingin mengetahui lebih jauh tentang orang misterius
ini. Kalau benar apa yang dikatakan, pasti dalam kesempatan lain
orang tersebut akan membuka jati dirinya.
Justru kemudian Agung Sedayu berpikir tentang kemungkinan
lain. Bisa jadi sosok tersebut ada kaitan atau dendam dengan orang
yang menamakan dirinya Elang Jepara, sehingga dia bersembunyi
daripadanya. atau mungkin orang tersebut secara khusus
mengenal Swandaru, namun tidak ingin jatidirinya diketahui oleh
Swandaru saat ini.
Namun demikian Agung Sedayu tidak meninggalkan sisi
nalarnya yang berjalan sangat baik untuk menanggapi keadaan
saat itu.
“Aku akan ijinkan kalau kau mempunyai alasan yang bisa aku
terima kisanak. Bagaimanapun ini adalah persoalan khusus antara
aku dengan adik seperguruanku. Tidak ada hak bagi orang lain
untuk turut campur. Dan adalah sangat tidak masuk akal, kisanak
ikut masuk pada persoalan yang tidak kisanak pahami” desis
Agung Sedayu.
Nampak kilatan mata yang begitu dikenal oleh Agung Sedayu,
namun tidak diperhatikan lebih jauh.

ANONIM 9
SURYA MATARAM JILID 11

Setelah hening sejenak, orang berselubung itu pun menjawab.


“Memang sangat tidak masuk akal Sedayu. Sama tidak masuk
akalnya aku bisa memanggil namamu, dengan panggilan yang
sama seperti gurumu biasa memanggilmu ‘Sedayu’. Dan yang
menurutmu tidak masuk akal ini hanyalah sementara. Satu
purnama kedepan semua akan sangat masuk akal bagimu dan
bagiku. Jadi aku mohon kau jangan memaksaku untuk membuka
jati diriku. Andai kau memaksa, dengan mudah itu bisa kau
lakukan dengan kemampuanmu yang nggegirisi itu. Tapi aku
yakin Agung Sedayu yang sekarang berdiri dihadapan ku ini tidak
akan memaksakan kehendaknya, walaupun dengan sangat mudah
itu bisa dilakukan”.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Berusaha
mencerna dan memahami keinginan orang aneh ini. Satu
kesimpulan yang bisa diambilnya, orang ini mengenal dengan baik
siapa dirinya bahkan lingkungannya. Hanya karena alasan
tertentu orang ini terpaksa berselubung kain hitam di sekujur
tubuhnya. Ada sesuatu yang untuk sementara disembunyikan.
Diapun menghormati keinginan orang sepanjang orang ini tidak
mengingkari janjinya.
“Kisanak dengan berat hati aku ijinkan kau masuk dalam
persoalan kami. Dengan ketentuan kau memegang janjimu. Kalau
aku merasa pada titik tertentu kau dengan sengaja atau tidak
sengaja sampai lepas dengan janjimu, akupun akan menarik
ijinku, dan tanpa peringatan aku akan telanjangi dirimu saat itu
juga. Beranikah kau berjanji untuk terakhir kalinya?”.
“Agung Sedayu aku mohon kau memberi ijin kepadaku. Aku
bersumpah demi gurumu, demi yang Maha Agung yang telah
memberi kehidupan padaku. Dan Aku berjanji pada saatnya nanti
aku akan membuka jati diriku dihadapanmu”.
Antara percaya dan tidak atas panggraitanya sendiri, Agung
Sedayu mengangguk. Sebuah dorongan yang terasa asing
memaksanya memberi ijin kepada orang aneh itu. “Baik lakukan-
lah sesuai janjimu”.

ANONIM 10
SURYA MATARAM JILID 11

Pandan Wangi yang berselubung kain hitam itu pun


mengangguk. “Terima kasih kau telah mempercayaiku, silahkan
amati dan perhatikan baik-baik”.
Kemudian Pandan Wangi mengarahkan pandangan kearah
Elang Jepara dan Swandaru yang berdiri membeku.
Selama Pandan Wangi berbicara panjang lebar dengan Agung
Sedayu, selama itu pula mereka berdua seolah memasuki dunia
seperti mimpi. Jiwani mereka seperti terbelenggu oleh kekuatan
dahsyat yang menjeratnya. Hilang kesadaran untuk sementara
meskipun mereka tetap berdiri dengan siaga. Keganjilan yang
tidak mampu mereka urai. Sedikit pun mereka tidak menyadari
sesungguhnya antara orang berselubung ini dengan Agung Sedayu
telah terjadi perbincangan panjang. Seolah tidak terjadi apa-apa,
menurut anggapan Elang Jepara dan Swandaru kedatangan orang
berselubung ini masih sekejapan yang lalu. Mereka tidak tahu dan
tidak menyadari kalau telah terjadi jeda waktu yang cukup lama.
Elang Jepara baru memasuki kesadarannya kembali setelah
mendengar namanya disebut orang berselubung. Demikian pula
yang terjadi dengan Swandaru.
Sesungguhnya yang menimpa mereka adalah ungkapan ajian
kidung keempat dari Pandan Wangi yang ditebar dan ditujukan
kepada mereka berdua. Dan Agung Sedayu mengetahui dengan
pasti dengan itu semua.
“Elang Jepara dengar, kini persoalan ada di tanganku. Kita akan
bertempur itu sudah pasti. Ada pertanyaan yang harus kau jawab
saat ini. Tapi aku tahu kau tidak akan menjawabnya selagi kau
masih bebas. Sekarang bersiaplah, dan kau orang gemuk, aku tidak
ada waktu khusus untuk melayani. Majulah bersama sama dengan
orang laknat yang telah menjerumuskanmu ini”.
“Kau sangat sombong kisanak. Justru aku akan menjawab
pertanyaanmu dimuka kalau kau tanyakan sekarang. Kalau tidak
kau tanyakan sekarang, kau tidak akan sempat lagi bertanya,
apalagi mendengar jawabanku. Sebab kau keburu mati kisanak”.

ANONIM 11
SURYA MATARAM JILID 11

“Baik...! jawab pertanyaanku, apa alasanmu memilih manusia


gemuk itu sebagai kawanmu!” Pandan Wangi mulai terungkat
kemarahannya.
“Pertanyaanmu adalah pertanyaan yang hanya patut
ditanyakan oleh orang bodoh manusia selubung…! sebenarnya aku
tidak perlu memberi jawaban pertanyaan yang tidak berbobot
semacam itu. Tapi aku berbaik hati dan akan menjawabnya agar
roh mu tidak penasaran”.
Dengar, pertama dia anak Demang. Tentu saja dia kaya raya.
Lain dari itu dia dekat Mataram. Yang lebih penting lagi dia sangat
mudah dipengaruhi”.
“Kalau dia dekat dengan Mataram, apa kepentinganmu...!”
“Dengar, sebenarnya ini adalah rahasia kami, tapi mengingat
kau akan mati, bagiku tidak akan membawa resiko dan akibat apa-
apa. Untuk kepentingan khusus kami, aku butuh orang yang dekat
dengan Mataram. Keterangan dari anak Demang itu telah
membuka pengetahuan kami tentang Mataram. Dan kami masih
memerlukan dia untuk jangka waktu yang cukup panjang. Karena
itu dia harus kami jaga hingga ke tempat ini”.
Sejenak Pandan Wangi yang memakai selubung kain hitam itu
menatap lurus kearah Agung Sedayu yang berdiri agak jauh
dengan kemarahan yang tertahan.
“Kau manusia licik! Kalau kau berkepentingan dengan orang
gemuk itu kenapa kau biarkan dia hampir mati ketika bertempur
dengan seseorang yang mengakibatkan dia harus kehilangan
kemampuan tenaga cadangannya seperti sekarang!”.
“Kami terlambat. Berita tentang pertempuran malam itu terjadi
sehari setelah kami membubarkan diri dari markas kami yang di
Sangkal Putung. Dan sesungguhnya kami tidak memerlukan
tenaga dan kemampuan anak Sangkal Putung itu. Yang kami
perlukan darinya hanyalah sekedar keterangan tentang Mataram”.
Swandaru yang merasa ditelanjangi dengan jawaban Elang
Jepara itu timbul pula kejengkelannya. Katanya kemudian, “Kapan
aku membuka rahasia Mataram. Aku tidak pernah mengatakan
apa-apa tentang Mataram. Kau jangan mengada ada!”.
ANONIM 12
SURYA MATARAM JILID 11

Dengan tenang Elang Jepara menjawab. “Kau sangat bodoh


Swandaru. Untung saat ini tidak ada punggawa Mataram. Kalau
ada mungkin saat ini kepalamu bakal dipancung oleh utusan
Mataram”.
Berulangkali Swandaru melihat ke arah Agung Sedayu dan
kepada Elang Jepara. Kebingungan dengan dirinya sendiri. Selama
ini pangkat dan jabatan kakak seperguruannya yang kini berdiri di
pinggir arena itu tidak pernah diketahui oleh Elang Jepara. Selama
ini Swandaru merasa enggan untuk bercerita tentang siapa
sesungguhnya kakak seperguruannya itu terhadap Mataram. Yang
diketahui oleh Elang Jepara tentang orang yang berdiri di pinggir
arena itu tak lebih hanya sebagai kakak seperguruan biasa,
sebagaimana anak murid sebuah padepokan. Itu pun disampaikan
oleh Swandaru beberapa saat lalu menjelang mereka menyusul
Agung Sedayu ke tempat tersebut.
Selanjutnya Elang Jepara melanjutkan kata-katanya yang
justru makin memerahkan wajah Swandaru. “Aku memang tidak
pernah bertanya kepadamu. Yang mengorek keterangan dari
mulutmu adalah Nyai Kembang, yang mendekapmu dalam
pelukannya di saat kau mabuk tuak. Dan itu terjadi hampir tiap
malam. Kau masih menyangkal?”.
Andaikan tidak memakai selubung, semua pasti akan
menyaksikan pemandangan yang mengiris jiwani. Pandan Wangi
berurai air mata. Air bening itu tidak sekedar menetes. Namun
memancar deras dari ujung kelopak matanya. Beberapa kali
pundak Pandan Wangi tersentak keatas menahan Isak tangis.
Apa yang dikatakan oleh Elang Jepara adalah sesuatu yang
sudah diperkirakan selama ini olehnya. Namun ketika dia
mendengarnya tak urung jiwani sebagai seorang istri bagai
tersayat-sayat oleh pengkhianatan suaminya.
Di sisi yang lain, Pandan Wangi yang saat ini berdiri dengan
selubung kain hitam bukanlah Pandan Wangi seutuhnya sebagai
Pandan Wangi yang dikenal sebagai putri Menoreh bersuamikan
Swandaru. Namun kali ini mendekami dia sebagai seorang
misterius yang berselubung kain hitam yang mempunyai
keteguhan dan kemampuan yang berbeda. Sehingga dengan

ANONIM 13
SURYA MATARAM JILID 11

sangat cepat jiwaninya yang sempat goyah kembali pulih dan


menjadi wajar seperti sediakala.
Justru Swandaru lah yang kemudian menjadi seperti orang gila.
Ditelanjangi kelakuannya dihadapan kakak seperguruannya.
Matanya melotot tajam kearah Elang Jepara yang tersenyum
penuh kemenangan.
“Kau tidak perlu khawatir Swandaru. Mereka hanya berdua.
Setelah mereka mati di tanganku, tidak ada lagi yang mengetahui
pengkhianatan mu. Selanjutnya kau bebas. Tidak ada lagi saksi
tentang kelakuanmu.
Sejenak keadaan menjadi beku. Masing-masing tenggelam
dalam arus pikiran yang sulit dicari ujung pangkalnya. Agung
Sedayu didera kekecewaan yang teramat dalam dengan tingkah
perbuatan adik seperguruannya itu. Sementara Pandan Wangi
sudah sampai pada puncak kemarahannya kembali bertanya
dengan nada dalam, “Dari siapa kalian mendapat keterangan,
kalau orang gemuk itu adalah orang yang tepat untuk kalian
manfaatkan untuk kepentingan kalian”.
Saat itu sebenarnya Swandaru ingin berteriak memberitahu
Elang Jepara, bahwa sesungguhnya kakak seperguruannya adalah
orang kepercayaan Mataram. Namun keinginan itu hanya berada
di ujung lidah. Jiwani Swandaru seolah terbelenggu oleh kekuatan
dahsyat yang tidak terlawan olehnya. Mulutnya terkatup, tangan
terkepal gemetar.
“Kisanak berselubung, kau menyembunyikan jati dirimu, tapi
keinginanmu terlalu banyak untuk mengetahui tentang rahasia
kami. Dan ini jawaban terakhirku. Setelahnya aku akan
membunuhmu dengan senjataku ini”.
Kemudian Elang Jepara menarik tangannya dari balik baju.
Kini di tangannya tergenggam sepasang sungging yang nampak
sangat tajam. Berkilat tertimpa cahaya matahari senja.
“Di Sangkal Putung terlalu banyak pengkhianat yang siap
bekerja untuk beberapa kepeng uang. Aku mengenal Swandaru
dari seorang Sangkal Putung yang bernama Riesang, yang
kemudian tugas tugasnya mengatur pertemuan Swandaru dengan

ANONIM 14
SURYA MATARAM JILID 11

kami digantikan oleh seorang laki-laki paruhbaya yang bernama


Hernowo. Kau pasti tidak mengenal mereka berdua. Nah, cukup
sampai disini keteranganku. Bersiaplah menerima nasibmu
kisanak”. Elang Jepara menghunus dua senjata sungging dengan
tata gerak Elang melayang, yang mengepakkan sayapnya. Kedua
tangannya ditarik keatas persis seperti sayap elang dengan ujung
tajam senjata sepasang sungging yang siap merobek-robek
lawannya.
Diluar dugaan justru Swandaru bergerak mendahului Elang
Jepara. Lompatan panjang dilakukan oleh anak Demang Sangkal
Putung ini menyerang bagian pinggang yang nampak terbuka tak
terlindung dari Pandan Wangi.
Serangan pertama Swandaru yang disongsong dengan gerakan
bertahan dan menangkis dari tata gerak Pandan Wangi yang
sangat cepat menimbulkan akibat tidak terduga dan mengejutkan
Agung Sedayu yang berdiri agak jauh dari pusat pertempuran.
Swandaru terlempar balik dengan jerit kesakitan merobek
langit sore. Agung Sedayu menyaksikan dua gerakan yang sangat
cepat dari orang berselubung. Bergeser sedikit kesamping, tangan
kanan dengan jari terkepal memukul bagian mulut Swandaru,
sementara jari tangan kiri yang nampak lentik, menyentil bagian
kemaluan Swandaru. Itulah kemudian yang menyebabkan
Swandaru terlempar dengan jerit kesakitan yang sulit dilukiskan.
Swandaru melingkar lingkar di tanah dengan kedua tangan
memegangi bagian kemaluannya, tidak mempedulikan mulutnya
yang robek berdarah.
Lebih mencengangkan lagi adalah ucapan orang berselubung
itu kemudian. “Luka di mulutmu adalah hukuman bagi
pengkhianatanmu kepada Mataram. Dan sentilan tangan kiriku ke
kemaluanmu adalah peringatan terakhir bagi alat vitalmu yang
nakal.
“Dia seorang perempuan” desis Agung Sedayu. Kemudian
berlari mendekati Swandaru yang merintih rintih.
Ada rasa kasihan, gemas, jengkel bahkan geli. Dia tahu sentilan
itu dilakukan oleh orang berselubung hitam hanya sekedar
membuat Swandaru kesakitan. Tidak sampai pada akibat
ANONIM 15
SURYA MATARAM JILID 11

mencederai atau menghancurkan sama sekali kelelakian


Swandaru yang dikatakannya nakal. Dia sebagai laki-laki tahu
betul betapa sakitnya rasa yang dialami adik seperguruannya ini.
Dulu sewaktu kecil, hal yang demikian adalah jamak lazim terjadi
diantara teman-teman sepermainan. Anak-anak yang usil suka
mengganggu temannya dengan cara menyentil, kalau diketahui
celana di bagian itu robek dan terlihat.
“Sakit kakaaang” rintih Swandaru.
Agung Sedayu tidak bisa melakukan tindakan apa-apa,
mengingat sakit yang dialami Swandaru adalah bagian dimana dia
tidak bisa menyentuhnya.
“Agung Sedayu, bawa minggir orang gemuk itu. Kalau tidak aku
akan menyentuhnya untuk yang kedua kalinya”. Kegemasan yang
ditunjukkan oleh orang berselubung kain hitam itu adalah
kegemasan dan kejengkelan yang dirasakan pula olehnya sebagai
kakak seperguruan. Tapi karena sifat welas asih yang Sedayu
menempel erat dalam jiwaninya, hingga saat ini tak pernah sekali
pun dia bisa melampiaskan segala bentuk rasa terhadap adik
seperguruan ini. Entah kenapa kali ini tanpa disadarinya, dia
merasa setuju dengan tindakan yang diambil oleh orang aneh ini.
Seolah mewakili keinginannya mengingatkan Swandaru dengan
cara sedikit keras, yang itu semua tak mungkin dilakukannya.
Meskipun cara yang diambil oleh orang berselubung itu sedikit
berlebihan. Namun diakuinya pula, orang berselubung itu belum
mengingkari janjinya. Karena akibat yang diderita Swandaru tidak
berakibat lebih jauh dan berbahaya. Tak lebih dari sekedar rasa
sakit yang sangat menyiksa.
Teriakan orang berselubung itu membuat Swandaru hampir
gila. Disaat seperti saat itu, segala daya dan keberanian Swandaru
pupus tak berbekas. Untuk bangkit dan membalas perlakuan
orang sangat tidak mungkin. Untuk bangkit berdiri saja terpaksa
Agung Sedayu harus memapahnya. Agung Sedayu membawa
Swandaru ke tepi arena, kebawah pohon trembesi yang sejuk.
Kemudian kembali membaringkan Swandaru di tanah yang datar
dan berumput.

ANONIM 16
SURYA MATARAM JILID 11

Disaat itulah terdengar dalam pendengaran Agung Sedayu


Lamat-lamat tembang Asmaradana, tembang urutan kelima dari
keseluruhan jumlah tembang yang diketahuinya. Ketertarikannya
pada suara tembang itu, memaksa Agung Sedayu mencari sumber
suara. “Siapakah yang melantunkan tembang itu disaat seperti
ini?”.
Dengan kemapanan kanuragan dan sebangsal aji kesaktian
yang menempel dalam wadagnya, Agung Sedayu merasa pasti asal
suara itu adalah dari mulut orang yang berselubung kain yang kini
sedang meliuk-liuk indah, bertempur dengan Elang Jepara yang
menyerang dengan senjata ganda, sepasang sungging yang sangat
tajam di ujungnya.
Diamatinya baik-baik gerakan yang nampak indah terlihat dari
kibaran kain yang dipakai orang aneh itu. Keningnya berkerut
mengenali beberapa gerakan dasar yang kini diperagakan dalam
pengembangan gerak yang lebih sempurna. Gerakan indah dan
sangat bertenaga. Sumber dari gerakan kanuragan dan aji
kesaktian dahsyat milik perguruan Pengging.
“Pantas dia mengatakan kakek gurunya sejalur dengan guru
Kiai Gringsing” desisnya.
Agung Sedayu makin tenang sehingga dia pun kemudian
kembali menolong Swandaru yang masih tetap melingkar
kesakitan.
“Kisanak, satu hukuman pantas yang harus kau terima.
Kesempatan beberapa jurus telah kau rasakan. Aku tidak
mempunyai waktu banyak. Jaga dirimu baik-baik, kau masih layak
hidup tapi kau sangat tidak layak untuk meneruskan kebejatanmu
kepada orang lain. Orang gemuk itu telah kau jerat dengan
kenikmatan yang membuatnya lupa kepada istri dan keluarganya.
Cukup sampai disini petualanganmu kisanak”.
Kemudian Pandan Wangi yang menutup dirinya dengan
selubung hitam itu menunduk mengambil dua potong ranting
yang dipegangnya sebagai senjata di kedua tangannya. Katanya
kemudian, “Aku butuh dua jurus untuk membuatmu lumpuh
kisanak”.

ANONIM 17
SURYA MATARAM JILID 11

Elang Jepara menggeram marah, berancang-ancang


menyerang dengan jurus yang lebih dahsyat. Namun lantunan
tembang yang mengalun lirih menindih suara geramannya.
Disusul kemudian jurus dahsyat diungkap oleh lawannya yang
tertutup selubung sekujur tubuhnya ini. Gerakan tangan yang
menggenggam ranting itu bergerak bersilangan. Ranting di tangan
kanan mematuk senjata lawan yang berada di tangan kiri, dan
ranting yang berada di tangan kiri menghantam pertengahan
badan sungging yang berada di tangan kiri Elang Jepara.
Sungguh luar biasa, sungging yang berada di tangan kanan
mencelat mental, menancap pada pokok dahan pohon randu alas
yang berdiri kekar tak jauh dari tempat mereka bertempur. Lebih
menakjubkan lagi, sungging yang berada di tangan kiri yang
tersentuh ranting tepat di tengah, patah mencelat entah kemana.
Selanjutnya, tubuh yang berbalut selubung itu meloncat tinggi
melampaui kepala Elang Jepara. Tiga kali sentuhan menyengat
tulang punggung Elang Jepara. Tak ada keluhan, tubuh Elang
Jepara ambruk ke muka dengan bagian tulang belakang putus di
tiga titik. Tubuh Elang Jepara bagai benang basah, melingkar di
tanah tanpa daya.
Setelah melakukan serangan dahsyat, sebelum tubuhnya
menyentuh tanah, Pandan Wangi menjejakkan kaki pada batang
pohon rendah. Laksana terbang meninggalkan arena pertempuran
dengan lantunan tembang Dandanggula yang merdu.
“Sedayu jangan kejar aku, rawat mereka baik-baik. Pada
saatnya kelak aku akan membuka jati diriku hanya kepadamu. Aku
berjanji”.
Manusia misterius itu pun lenyap dari bulak yang sesaat
menjadi sepi.
Agung Sedayu yang berniat mengejar mengurungkan niatnya.
Mengerti dan menuruti keinginan orang berselubung yang tidak
mau diketahui siapa sesungguhnya dirinya untuk saat ini.
“Dia seorang perempuan. Kanuragannya benar-benar
menakutkan” desis Agung Sedayu.

ANONIM 18
SURYA MATARAM JILID 11

Sementara itu Rudita yang gelisah menunggu mereka kembali


akhirnya tidak sabar menunggu. Kekhawatirannya dengan
Swandaru memaksanya keluar padepokan dan yang kemudian
menjumpai Agung Sedayu sedang berusaha menolong Elang
Jepara yang keadaannya sangat menyedihkan.
Pertanyaan bertubi-tubi meluncur dari anak Ki Waskita ini
tentang kejadian yang mereka alami. “Adi, nanti aku jelaskan
semua sesampai di padepokan. Adi bisa juga bertanya kepada
Swandaru agar Adi mendapat jawaban yang adil” pungkas Agung
Sedayu.
Kemudian Rudita mendahului pulang dan mengajak beberapa
anak asuhnya menolong dengan membawa tandu. Kepada anak
didik padepokan yang tidak pernah mengenal kekerasan ini diberi
penjelasan seperlunya, bahwa mereka terjatuh dari kuda, sehingga
mengakibatkan luka yang parah.
Sementara itu Pandan Wangi yang telah berada dimana
kudanya disembunyikan bergegas menyimpan selubung hitam
yang dipakai dan menyimpannya baik-baik.
Bagaimana Pandan Wangi memasuki arena pertempuran yang
baru saja terjadi, berawal disaat Pandan Wangi sampai di jalur
jalan dimana saat ini dia mengambil kudanya. Dari jauh dilihatnya
beberapa titik hitam berada di pinggir jalan yang kemudian
diketahuinya adalah tiga ekor kuda yang sedang merumput.
Dua ekor kuda dikenalnya dengan baik sebagai kuda yang
sebelumnya ditunggangi Agung Sedayu. Sedangkan seekor yang
lain adalah kuda yang sudah akrab dengan dirinya. Sebab kuda itu
adalah milik suaminya, yang sering pula dipakainya. Sementara
kuda yang satunya lagi tidak dikenalnya.
Merasa aneh dengan keberadaan kuda-kuda yang berada di
pinggir jalan itu menumbuhkan kecurigaan di pikiran putri
Menoreh ini. Diapun kemudian berhenti dan menyembunyikan
kudanya di tempat yang cukup tersembunyi. Selanjutnya, dengan
caranya yang khusus menyelidik tempat dimana kuda-kuda itu
berada.

ANONIM 19
SURYA MATARAM JILID 11

Benarlah dugaannya, di tempat tersebut suaminya dan Agung


Sedayu serta seorang lagi sedang bertemu. Dengan caranya yang
khusus pula, diapun mendekati tempat pertemuan yang kemudian
putri Menoreh ini mengerti dan paham duduk persoalan yang
sedang dibicarakan.
Berhitung dengan resiko yang mungkin terjadi apabila apa yang
ada di pikiran dan rencananya gagal, bahkan mungkin termasuk
penyamarannya akan diketahui, Pandan Wangi berkeputusan
memasuki arena yang diketahui sudah pada keadaan runcing.
Selanjutnya semua terjadi. Satu keuntungan hingga kini
penyamarannya belum diketahui Agung Sedayu, meskipun
menurutnya Agung Sedayu sudah pasti curiga tentang diapa
dirinya yang sedang menyamar dengan menutup dirinya dengan
selubung sekujur tubuh.
Untuk mendukung rencana selanjutnya agar tetap terjaga
penyamarannya, Pandan Wangi menunggu beberapa saat hingga
mereka kembali ke padepokan Rudita. Menurutnya Agung Sedayu
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menolong dan
membawa mereka ke padepokan Rudita, meskipun tidak terlalu
jauh.
Di pendapa padepokan Rudita berulangkali Agung Sedayu
menarik nafas panjang melihat keadaan Elang Jepara. Sementara
Swandaru siap dibawa masuk setelah luka dan darah yang menetes
dari mulutnya dibersihkan oleh anak-asuh padepokan. Swandaru
masih tetap merintih kesakitan yang membuat beberapa cantrik
padepokan saling pandang, tidak mengerti sakit yang dikeluhkan
oleh orang gemuk itu.
“Cepat bawa pamanmu Swandaru masuk ke biliknya.
Kemudian tinggalkan, aku akan menyusul”.
Agung Sedayu tercenung melihat keadaan Elang Jepara. Hidup
tidak, mati pun tidak. Matanya terbuka, nafas dan jantungnya
masih berjalan meskipun tersendat-sendat. Saluran tenggorokan
seolah putus, tidak bisa mengeluarkan suara, dengan demikian
tidak ada keluhan atau rintihan yang terdengar.
Agung Sedayu memahami betul keadaan Elang Jepara yang
sedang dalam kesakitan yang amat sangat, justru tidak bisa
ANONIM 20
SURYA MATARAM JILID 11

mengerang dan merintih kesakitan adalah siksaan tersendiri bagi


orang itu.
Tiga bagian tulang belakang dan tulang punggung putus.
Dimana saluran Kundalini sebagai pusat kehidupan yang
terhubung ke otak terputus. Yang tersisa hanya saraf-saraf kecil
penopang kehidupan yang terhubung ke seluruh jaringan bagian
dalam tubuhnya. Itupun dengan keadaan yang sangat kecil.
Keadaan terbaik yang bisa dicapai oleh orang yang mengaku
sebagai Elang Jepara ini apabila sembuh nantinya adalah akan
terjadi kelumpuhan menyeluruh, hanya bisa berbaring tanpa bisa
bergerak sedikit pun.
Kengerian yang terpampang dihadapannya menjadi pelajaran
hebat bagi Agung Sedayu. Tindak perilaku salah atau keputusan
salah di awal akan berakibat berantai yang sulit dikendalikan
kemudian. Orang yang sedang terbaring lumpuh ini adalah
sebagian orang yang bersekongkol ingin merusak tatanan
kehidupan bebrayan dengan menarik adik seperguruannya
kedalamnya. Selanjutnya resiko yang datang kemudian
sebagaimana yang telah terjadi, harus ditebusnya dengan harga
yang teramat mahal. Sebuah resiko dari setiap tindakan yang
selalu disadari oleh setiap orang, namun sulit menghindar
daripadanya.
Dorongan keinginan yang berlebihan, acapkali menjadi sebab
yang menghilangkan daya nalar. Baru menyadari dan disadari
setelahnya, meskipun resiko sudah diketahui dan terbaca
sebelumnya. Demikianlah yang terjadi, pertarungan dan
penandingan antara keinginan dan daya nalar adalah bagian
kehidupan yang selalu dijalani oleh manusia dari detik ke detik.
Setiap tindakan adalah hasil dari sebuah keputusan. Keputusan
adalah hasil ‘penandingan’ antara ingatan dan keinginan-
keinginan yang tersimpan sebelumnya dalam wadah setengah
sadar manusia, dengan kekuatan sadar manusia sebagai sandaran
daya nalar. Diantara keduanya itulah yang akan membentuk pola
pikiran yang menghasilkan keputusan-keputusan kemudian.
Disaat yang demikian, ajaran yang disampaikan oleh gurunya
meresap masuk dalam sanubari Agung Sedayu. Inilah yang dulu
dimaksud oleh gurunya dengan kekuatan sadar.
ANONIM 21
SURYA MATARAM JILID 11

Waktu berjalan beberapa lamanya, sekian waktu dilalui oleh


Agung Sedayu merenungi kejadian-kejadian yang membuatnya
makin memahami tatanan dan pola hidup manusia. Hingga
terdengar lamat-lamat suara kaki kuda memasuki halaman yang
cukup luas.
Dipicingkan matanya melihat keluar. Semakin jelas
penglihatannya, semakin Agung Sedayu tidak percaya. Diusapnya
muka beberapa kali. Kemudian Kembali melihat ke halaman.
Diluar keinginannya, ada keinginan yang lebih kuat memaksa
jantungnya berdesir halus menegakkan bulu-bulu tangan Agung
Sedayu.
“Wangi” desisnya sendat.
“Dua orang cantrik padepokan berlarian menyongsong
kedatangan Pandan Wangi yang sudah dikenalnya dengan baik.
Tali kekang diminta dan kuda yang nampak sedikit lelah itu
dibawanya ke patok-patok yang tersedia. Disana tersedia pula air
minum dan rumput segar yang selalu siap menerima kuda-kuda
tamu kapan pun ada tamu datang.
“Terima kasih Adi, kalian pintar sekali”.
“Bukan pintar mbokayu, tapi kewajiban dan keharusan yang
mesti kami lakukan. Kebahagiaan kami adalah membuat orang
lain senang dan berbahagia”.
Jiwani Pandan Wangi seketika seolah lenyap, menembus
gumpalan awan pekat. Beberapa kejapan terdiam membeku.
Berusaha mencerna kalimat pendek dari anak murid padepokan
yang masih ada pertalian keluarga dengannya ini.
“Prinsip hidup yang sulit dilakukan oleh siapapun, kecuali
mereka yang telah selesai dengan dirinya sendiri”.
Dengan tiba-tiba pula ada dorongan yang mengalir cepat dalam
kepala Pandan Wangi yang membuatnya berpikir cerdas,
menyimpulkan untaian kata yang tadi didengarnya. Sebuah
bentuk suasana baru dalam jiwani Pandan Wangi yang sulit
dijelaskan.
“Wangi...". Getar suara Agung Sedayu sulit disembunyikan.

ANONIM 22
SURYA MATARAM JILID 11

“Kakang Sedayu…”
“Silahkan naik Wangi” ucap Agung Sedayu masih tetap dengan
jantung berdebar debar. Bukan hanya kedatangan Pandan Wangi
yang tak terduga dan diluar perkiraan. Banyak sebab yang
menjadikan Agung Sedayu berdebar-debar.

Sementara sikap Pandan Wangi tak sedikitpun menampakkan


sesuatu yang aneh dan istimewa. Bahkan sedikit kaku dan terlalu
tegas dibanding sikapnya selama ini. “Kakang Sedayu belum
kembali? Bukankah kakang tidak memiliki waktu panjang dan
harus segera kembali ke Mataram?”.
Agung Sedayu menelan ludah dan tercengang untuk beberapa
saat. “Benar Wangi aku harus segera kembali”.
Sesampai didalam pendapa, pandangan Pandan Wangi terarah
ke Elang Jepara yang terbaring. Pura-pura terkejut, “Ada apakah
dengan orang ini? Dia siapa?”.
Dengan singkat Agung Sedayu menceritakan kejadian yang
sudah berlalu.
Kembali Agung Sedayu menangkap sikap asing Pandan Wangi.
Tidak ada keterkejutan atau sikap lain sebagai tanggapan atas
kejadian yang telah berlangsung mengerikan. Sikap perempuan ini
tetap datar dan tidak berlebihan. “Kakang Swandaru sekarang
dimana?”.
Rudita datang kemudian menyapa Pandan Wangi. “Mbok Ayu
kemari bersama siapa?”.
“Aku kemari sendirian Adi. Tiba-tiba saja aku ingin menjenguk
kakang Swandaru. Dimanakah dia sekarang Adi?”.
“Sebentar mbok Ayu, biar aku memberitahu kakang Swandaru
di biliknya”.
Yang terjadi selanjutnya, membuat bingung Rudita. Swandaru
menolak untuk keluar bilik menemui istrinya. Perasaan malu dan
rendah yang dirasakan Swandaru menutup daya nalarnya. Tidak
bisa melihat persoalan dengan semestinya. Harga dirinya masih

ANONIM 23
SURYA MATARAM JILID 11

kuat menguasai alam pikirannya. Rudita berusaha memberi


pengertian, namun Swandaru tetap pada pendiriannya.
“Baiklah kakang, biar mbok Ayu yang datang kemari”.
“Tidak perlu, nanti kalau aku sudah ingin, aku akan menemui
dia. Katakan pada Pandan Wangi”.
“Kakang tidak perlu menolakku, akupun sebenarnya malas
untuk datang kemari. Hanya unggah-ungguh yang mengikatku
sehingga aku harus datang kemari. Jadi selanjutnya kakang tidak
perlu melarangku. Aku pun akan datang menjenguk kemari kalau
aku ingin dan perlu. Aku lebih suka membantu ayah membenahi
Menoreh yang sedang sibuk. Silahkan kakang dengan kehidupan
kakang. Sementara ini kita terpaksa sendiri-sendiri sampai
keadaan membaik”.
Pandan Wangi tiba-tiba saja sudah berada di pintu bilik,
menyentak jiwani Swandaru.
Rudita mengerutkan kening dalam-dalam. Muatan kata-kata
yang disampaikan Pandan Wangi adalah kalimat keras penuh
dengan kekecewaan dan kemarahan, namun putri Menoreh ini
berbicara seolah tanpa beban dan raut muka yang sama sekali
tidak menunjukkan kemarahan atau kekecewaan. Kali ini Rudita
melihat sesuatu yang berbeda dengan Pandan Wangi yang
dikenalnya dengan sangat baik sejak kecil.
Setelah Pandan Wangi berbalik Rudita pun menyusul ke
pendapa.
Makanan dan minuman sudah tersaji, mereka duduk
berbincang sambil menikmati hidangan. Meskipun bagi Agung
Sedayu saat itu lidahnya sulit untuk bisa merasakan lezatnya pecel
ontong pisang dan peyek udang kesukaannya.
Kekakuan suasana sangat terasa, menyusul sikap Swandaru
yang menolak ditemui istrinya, bagi Agung Sedayu adalah tekanan
yang cukup berat. Ditambah kemudian keganjilan sikap Pandan
Wangi. Bukan ketakutan kehilangan sikap lembut Pandan Wangi
selama ini. Namun perubahan pada diri Pandan Wangi
menumbuhkan berbagai macam tafsiran yang sulit ditebak apa
sebab yang sesungguhnya yang menjadi landasan perubahan
ANONIM 24
SURYA MATARAM JILID 11

dalam waktu mendadak. “Ataukah ini sebagian sikap yang selalu


dimiliki perempuan yang suka bersikap sebaliknya?” bisik hati
Agung Sedayu sedikit menghibur diri.
Kesadaran Agung Sedayu sebagai murid Kiai Gringsing pulih
dalam beberapa saat kemudian. Kelembutan, sikap baik, senyum
manis yang selalu melekat dalam diri Pandan Wangi bukanlah
miliknya. Tapi milik adik seperguruannya. Tentu saja harus ikut
dijaga sebaik-baiknya. Pertalian hubungan yang tersambung
antara gurunya, dirinya, Sekar Mirah, Swandaru, Pandan Wangi,
Sangkal Putung dan Menoreh adalah bagai seutas tali yang tidak
mempunyai ujung. Menyatu menjadi satu bagian utuh yang saling
bersilangan dan tarik menarik. Sangat pelik dan membingungkan.
Mereka menjadi satu lingkaran dalam wadah yang besar,
terbentang antara Sangkal Putung dan Menoreh.
Kini sikap Pandan Wangi menanggapi perlakuan suaminya
menjadi bagian yang rumit pula, tidak saja Swandaru sebagai adik
seperguruan, namun sekaligus pula sebagai kakak dalam arti yang
sesungguhnya. Karena Sekar Mirah adalah adik Swandaru. Silsilah
yang terkadang membuatnya sulit bersikap, apakah sebagai kakak
atau sebaliknya.
Terakhir perasaan ganjil dirasakan pula oleh Rudita. Sebagai
tuan rumah Rudita lah yang sangat berhak menentukan dan
menciptakan suasana yang dirasanya terbaik bagi mereka bertiga.
Dalam sejarahnya Rudita juga terlibat sejak awal setiap kejadian
yang dialami oleh Agung Sedayu, Swandaru, Pandan Wangi dan
Sekar Mirah. Dengan demikian, panggraitanya yang tajam
menangkap pancaran kegelisahan dari dua orang yang duduk
bersamanya saat ini adalah suatu kewajaran. Panggraita yang
didasari oleh perhitungan khusus menyangkut mereka berempat.
Maka kemudian pemuda yang sudah agak sedikit berumur inipun
berkata dalam sikap yang serius. “Kakang Sedayu dan Mbok Ayu,
aku ingin sedikit mengingatkan, utamanya mengingatkan diriku
sendiri. Syukur kalau kemudian bermanfaat pula bagi orang lain”.
“Silahkan Adi, aku mendengarkan”.
Hening sejenak, Rudita menunduk mencari kata pembuka yang
tepat untuk arah kemana maksud dan tujuannya berbicara.

ANONIM 25
SURYA MATARAM JILID 11

“Kita semua hidup di alam keinginan, tak satupun manusia


mampu melepaskan diri daripadanya. Dorongan keinginan yang
diperkuat oleh berbagai macam kepentingan makin menjerumus-
kan manusia pada situasi yang makin berat untuk dijalani. Bahkan
dalam waktu sekejap seseorang bisa berubah karenanya.
Seorang cerdik pandai dalam waktu singkat bisa berubah
menjadi orang bodoh. Seorang yang berkedudukan dan terhormat
dalam sekejapan bisa berubah menjadi hina. Seorang yang perkasa
menjelma menjadi orang lemah tak berdaya. Orang yang lembut
hatinya menjadi orang yang tega dan kasar. Keinginan yang
terlampau diumbar mematikan daya nalar. Kepentingan dan
kekuasaan adalah bagian dari lingkup kehidupan alam manusia itu
sendiri. Kalau sudah demikian, berpikir bersih tanpa keberpihak-
an akan sulit digapai. Semua akan dilandasi dengan keinginan.
Sekian ratus purnama aku berusaha menemukan jawab. Kiranya
itulah salah satu yang menyebabkan pertikaian tiada henti. Baik
pertikaian besar yang menyangkut pemerintahan maupun
pertikaian antar pribadi. Dikala masing-masing pribadi memper-
tahankan ukuran kenyamanan dirinya sendiri, maka sepanjang itu
pula kedamaian akan sulit dicapai. Sebab ketidak nyamanan dan
ketidak-damaian itu diukur dengan kepentingan masing-masing.
Meskipun sebenarnya pihak yang berseberangan belum tentu
salah. Hanya karena tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan
seringkali kita salah menilai orang lain”.
“Kakang Swandaru bersikukuh dengan keinginannya, mbokayu
mengambil sikap yang sama, sementara aku tidak bisa berbuat
apa-apa, kakang Sedayu dalam persoalan khusus keluarga
semacam ini tentu juga akan sulit berbuat sesuatu. Itu salah satu
contoh. Dan, orang yang terbaring dengan keadaan mengerikan ini
adalah contoh lain yang bisa kita saksikan.
Entah dengan alasan apa orang berselubung dan misterius itu
begitu tega memperlakukan orang ini sedemikian rupa. Tapi aku
yakin salah satunya alasan adalah dendam yang bersarang dalam
dada orang itu, apapun alasannya. Menurutku pasti ada kaitan
langsung antara orang ini dengan kakang Swandaru dan orang
yang memakai selubung itu. Kalau tidak ada kaitan dendam dan

ANONIM 26
SURYA MATARAM JILID 11

sakit hati aku yakin tidak mungkin orang berselubung itu demikian
ganas memperlakukan orang ini”.
Pada persoalan dengan orang berselubung, Agung Sedayu
menyela ucapan Rudita yang dirasa makin menyudutkan dirinya
dan Pandan Wangi. Diapun kemudian menyampaikan tanggapan-
nya. “Rudita aku tidak bisa menanggapi terlalu jauh pendapatmu.
Masing-masing tentu mempunyai sudut pandang berbeda.
Meskipun apa yang Adi katakan itu bisa dikatakan benar semua.
Khusus yang berkaitan dengan orang berselubung itu, aku
mempunyai dugaan, dia pasti memendam kekecewaan kepada Adi
Swandaru, dan dendam kepada orang yang terbaring ini karena
dianggapnya telah merusak dan menjerumuskan Adi Swandaru”.
“Orang yang layak mempunyai dendam dan sakit hati satu
satunya adalah aku sebagai istrinya. Apakah kakang menuduh-
ku?” potong Pandan Wangi.
“Wangi aku tidak mengatakan demikian, apalagi menuduhmu.
Aku tidak punya cukup alasan menuduhmu sebagai orang
berselubung itu. Sebab yang aku tahu, apa yang dilakukan orang
itu dengan kemampuannya, tidak mungkin kau lakukan.
Meskipun dalam panggraitaku aku sangat yakin dia adalah
seorang perempuan”.
“Apakah mungkin mbok Ayu Sekar Mirah?” desak Rudita.
Agung Sedayu menggeleng lemah. “Aku paham dengan
kanuragan dan aji kesaktian Sekar Mirah Adi. Jadi aku berani
pastikan dia bukan Sekar Mirah”.
Sejenak pembicaraan terhenti. Kemudian Pandan Wangi
bertanya ke Agung Sedayu, “apakah orang itu demikian hebat dan
saktinya sehingga bisa meloloskan diri dari kakang?”.
“Aku tidak tahu seberapa tinggi kemampuannya, apa yang aku
miliki juga bukan kanuragan terhebat. Belum tentu aku mampu
menghentikan orang itu. Tapi kemudian niatku menjadi luruh
ketika orang itu memohon kepadaku untuk turun tangan
mencampuri urusan kami. Dan memohon pula kepadaku untuk
tidak memaksanya membuka jati dirinya saat ini. Dia berjanji akan
membukanya sendiri pada saatnya nanti, dan itu tidak lama”.

ANONIM 27
SURYA MATARAM JILID 11

Pandan Wangi merasakan debaran yang sangat aneh dalam


dadanya. Ucapan Agung Sedayu baru saja adalah ungkapan murni
meskipun tidak mengetahui siapa dia sesungguhnya.
“Rudita, berbicara tentang kebenaran dan sudut pandang, tidak
akan pernah kita temukan ujungnya. Aku setuju dengan
pendapatmu bahwa kita hidup di alam keinginan. Adapun masing-
masing pribadi biarlah melihatnya dari sudutnya masing-masing.
Karena kepentingan dan tuntutan yang melatar-belakangi juga
berbeda. Aku tidak ingin membatasi pendapat orang dengan
memaksa orang lain mengikuti pendapatku. Kalau umpama orang
itu setuju dan berkenan mengikuti jalanku tentu terserah kepada
mereka”.
“Sebelum aku pamit, aku minta tolong kepada Adi. Sesuai pesan
dan amanat guru, aku harus serahkan beberapa obat dan catatan
penting untuk membuat ramuan bagi Adi Swandaru. Karena
situasinya seperti ini, aku mohon Adi Rudita bisa menggantikanku
melaksanakan amanah guru. Waktuku demikian pendek, aku
harus segera kembali ke Mataram”.
“Sejak awal aku sudah menyediakan diri untuk merawat kakang
Swandaru. Jadi perintah Kiai Gringsing kepada kakang Sedayu
sama halnya juga perintah kepadaku. Jadi aku terima amanat Kiai
Gringsing dengan tangan terbuka kakang”. Jawab Rudita.
“Terima kasih Adi” ucap Agung Sedayu sambil menyerahkan
bungkusan kecil dari kantung bajunya.
“Setidaknya untuk hari ini dan besok ada mbok Ayu yang bisa
menjadi teman untuk mencari dedaunan sesuai dengan catatan ini
kakang”.
“Maaf Adi Rudita, sore atau malam ini aku harus kembali ke
Menoreh. Takut ayah akan menyusul kemari”.
Rudita dan Agung Sedayu mengerutkan kening dalam-dalam.
“Maksudnya mbok Ayu tidak menginap?”.
Pandangan Wangi kemudian menceritakan awal mula dia
datang dengan mendadak ke padepokan itu. “Tadinya aku tidak
ada rencana datang kemari, niatan itu muncul ketika aku sedang
berada diluar rumah. Aku tidak pulang, langsung berangkat
ANONIM 28
SURYA MATARAM JILID 11

kemari. Dan menitip pesan ke salah seorang temanku untuk


disampaikan ke ayah”.
“Bukankah kau harus mengambil kuda?”.
Pandan Wangi menggeleng. “Aku meminjam kuda ke salah
seorang bebahu Menoreh yang rumahnya sejalur dengan jalan
menuju kemari.”
“Jadi kau tiba-tiba ingin datang kemari?” Agung Sedayu sedikit
menekan kata-katanya dan menatap tajam ke arah Pandan Wangi.
Pandan Wangi menunduk dan mengangguk kecil.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, panggraita kembali
merambat mengurai “mungkin aku tidak salah membaca,
sesungguhnya dia berpura-pura bersikap sebaliknya dari sikap
batin yang sesungguhnya”.
“Kau juga tidak membawa sepasang pedangmu. Ki Gede pasti
akan kebingungan memikirkanmu. Menurutku kalau memang
tidak ada lagi yang harus dilakukan sebaiknya kita segera
berangkat. Kasihan Ki Gede”.
Pandan Wangi makin menunduk, dan mengangguk malu. Kali
ini dia merasa bersalah seperti anak kecil yang dimarahi orang
tuanya.
Beberapa saat setelah dirasa cukup mereka bermaksud segera
meninggalkan padepokan Rudita menuju Menoreh.
Apa yang dipikirkan Agung Sedayu tentang Ki Gede memang
benar adanya. Setelah mendapat keterangan dari teman Pandan
Wangi, Ki Gede sangat mengkhawatirkan Anak satu satunya itu.
Berita yang diterima ketika sedang di banjar bersama sama dengan
bebahu lain, tentu saja semua ikut mendengar dan ikut khawatir
dengan keselamatan Pandan Wangi.
Tidak lama sesudahnya beberapa orang mohon ijin untuk
pulang. “Pulanglah kalian, beristirahatlah. Nanti malam tenaga
kalian masih dibutuhkan disini”.
“Tolong Panggilkan Wijanarko kemari, aku ingin dia yang
bertanggung jawab untuk malam ini di banjar”.

ANONIM 29
SURYA MATARAM JILID 11

Salah seorang anggota pengamanan Menoreh menjawab,


“kakang Wijanarko sudah pamit duluan Ki Gede, sejenak sebelum
yang lain pamit tadi. Katanya ingin melihat Tegal jagung
sebentar”.
“Baik, nanti sampaikan padanya seperti yang tadi aku katakan”.
“Baik Ki Gede”.
Bersama Ki Waskita dalam perjalanan menuju rumah induk, Ki
Gede dengan sedikit agak segan berkata, “Ki Waskita aku ingin
berkata tentang Pandan Wangi, tapi kali ini aku benar-benar
merasa segan kepada Ki Waskita.
Dengan tersenyum Ki Waskita berkata pelan. “Justru aku akan
menawarkan diri ke Ki Gede, aku saja yang berangkat ke
Padepokan Rudita, Ki Gede tetap di Menoreh memimpin mereka
menyelesaikan pekerjaannya hingga pasukan Mataram datang
kemari ".
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam dan berkata, “inilah
enaknya kalau punya saudara yang menguasai ajian weruh sak
durunge winarah ".
Ki Waskita tertawa kecil dan menjawab, “aku masih ada ajian
lain yang lebih dahsyat Ki Gede.”
Ki Gede mengerutkan kening. “Apa itu?" tanya Ki Gede kembali,
karena Ki Waskita tidak segera mengatakan ajiannya yang lain.
“Ajian, madang sak durunge luwe ".
Di ujung sore, semburat merah cahaya matahari saat itu,
ditingkahi candaan dan tawa-tawa lepas mereka berdua.
Ki Waskita, setelah membersihkan diri dan menikmati
hidangan makan, mempersiapkan diri menyusul Pandan Wangi.
“Mudah mudahan Angger Pandan Wangi menginap di
padepokan Rudita. Itu jauh lebih aman, aku hanya cukup
memastikan keberadaannya saja Ki Gede. Kalau pulang malam ini
tentu sangat beresiko tanpa teman dan pengawalan”.
“Itulah yang menjadi pikiranku Ki Waskita”.

ANONIM 30
SURYA MATARAM JILID 11

“Aku harus segera berangkat, setidaknya kalau bertemu di jalan


belum terlalu gelap”.
Ki Gede mengangguk setuju, kemudian melepas kepergian
sahabat dan juga masih ada hubungan kekerabatan dengan dirinya
itu menjelang matahari hampir tenggelam.
Tidak diduga oleh Ki Gede dan bebahu yang lain, Wijanarko
justru mengambil langkah mendahului dari keputusan Ki Gede.
Mendengar pesan yang disampaikan oleh teman Pandan Wangi ke
Ki Gede. Wijanarko yang sangat disegani diantara pasukan
pengawal Menoreh mengajak beberapa teman temannya untuk
menyusul Pandan Wangi. Yang diketahui beberapa orang
kemudian pamit ke Ki Gede untuk pulang sebentar. Sementara
Wijanarko justru tidak pamit ke Ki Gede agar tidak mencurigai-
kan.
Lima orang nampak memacu kuda dengan cukup kencang
meninggalkan perbatasan Menoreh. Bukan lain Wijanarko dan
empat orang kawannya sesama pengawal.
Seperti sepakat, Agung Sedayu dan Pandan Wangi menjalankan
kudanya dengan tidak terburu-buru. Perbincangan mengalir
diantara mereka tidak seperti saat di Pendapa Rudita yang
berlangsung sangat kaku. Panda Wangi kembali menjadi Pandan
Wangi seperti sedia kala. Lembut, murah senyum dan selalu
mendengarkan dengan serius setiap ucapan lawan bicara.
Semburat warna merah yang membayang diantara dedaunan
sepanjang jalan menumbuhkan rasa yang sulit diungkapkan.
Meskipun tidak menjurus pada keadaan yang tidak pantas dan
tidak semestinya. Perbincangan yang mengangkat persoalan
Menoreh dan Sangkal Putung dalam keadaan sekarang.
“Jadi, saat ini Sangkal Putung sedang dalam keadaan waspada
kakang. Aku memahami keadaan Sangkal Putung disaat terakhir
sebelum berangkat ke Menoreh. Itu pun keadaan belum dipastikan
kapan mereka melakukan gerakan”.
“Itulah Wangi, keadaan berubah dengan sangat cepat. Ki Patih
merasa perlu memegang sendiri komando pasukan yang tersebar
tak berbentuk. Karena gerakan mereka juga tak ubahnya seperti

ANONIM 31
SURYA MATARAM JILID 11

siluman. Suasana yang membingungkan bagi setiap punggawa


kerajaan menanggapi situasi yang sedang berkembang saat ini.
Ditambah lagi sebagian anggota pasukan masuk dalam jerat
mereka dengan banyak sebab”.
“Wangi ada sebuah rahasia yang harus kau ketahui”.
Pandangan sejuk Pandan Wangi memaksa Agung Sedayu
memalingkan mukanya.
“Gupita, kau tetap seperti dulu, pemalu dan terlalu sopan.
Mestinya kau sedikit seperti kakang Swandaru, sedikit berani” jerit
hati putri Menoreh ini.
“Apa yang harus aku ketahui kakang?”.
Setelah beberapa kali menarik nafas panjang Agung Sedayu
berkata dengan hati-hati. “Sebelumnya aku bersama guru mohon
maaf kepadamu, apabila apa yang akan aku katakan membuatmu
tidak enak, dan sulit bersikap”.
“Aku takut dan berdebar debar menunggu kakang bicara”.
“Wangi, apa yang akan aku sampaikan adalah sebagian tugas
dari guru yang harus aku lakukan. Yaitu menemuimu untuk
menyampaikan alasan utama guru mengungsikan Adi Swandaru
ke padepokan Rudita. Jadi sebenarnya alasan guru sebenarnya
bukanlah semata-mata karena keadaan yang dideritanya. Tapi ada
alasan lain yang lebih penting demi keselamatan Adi Swandaru.
Apa yang telah dilakukan Adi Swandaru kepada pihak lawan
adalah sebuah pengkhianatan yang sulit diterima oleh sebagian
pasukan Mataram yang ingin mengaduk persoalan menjadi
persoalan yang lebih luas. Tentu saja mereka adalah sebagian yang
sudah berada pada perangkap kelompok lawan. Keadaan Adi
Swandaru kehilangan kemampuannya seperti sekarang ternyata
telah bocor, persis seperti yang diperkirakan oleh guru dan Ki
Waskita. Dan Panembahan Senopati sebagai penyebab juga telah
diketahui oleh mereka. Jadi kesimpulan pentingnya adalah,
Mereka ingin membunuh Adi Swandaru dengan alasan itu. Dan
melempar berita keluar, seolah olah Panembahan Senopati
melakukannya terhadap adi Swandaru karena merasa jengkel
dengan polah dan tindakan Adi Swandaru. Maka kemudian bisa

ANONIM 32
SURYA MATARAM JILID 11

ditebak, mereka berusaha membenturkan guru dengan


Panembahan Senopati. Sementara itu pengawasan terhadap
mereka menjadi kendor karena terjadinya ketegangan antara guru
dengan pihak istana. Namun itu semua terdengar lucu, karena
Panembahan Senopati sudah meminta maaf kepada guru. Dan
semua sudah selesai. Dengan demikian resiko ini sekarang kita
abaikan. Dan yang terpenting saat ini adalah melindungi nyawa
Adi Swandaru dari rencana jahat mereka”.
“Ada yang janggal kakang. Bolehkah aku katakan?”.
“Justru aku menunggu pendapatmu Wangi, agar kami makin
tau arah”.
“Kakang, bukankah dengan mengungsikan kakang Swandaru
makin membuka peluang mereka makin mudah membunuh
kakang Swandaru, karena jauh dari pelindungnya terutama guru
Kiai Gringsing? Itu kejanggalan pertama yang aku lihat kakang,
mohon kakang bisa menjelaskan kepadaku alasan guru Kiai
Gringsing tentang ini”.
“Memang masuk akal pertanyaanmu wangi. Harap diketahui
mereka yang berkeinginan membunuh Adi Swandaru dan yang
ingin memperkeruh adalah kelompok kecil yang ada dan
berkeliaran di seputar istana dan Sangkal Putung. Satu-satunya
jalan menuju ke Menoreh harus menyeberangi Kali Progo. Dan
mereka terpaksa harus melewati penyeberang Kali Progo. Jadi
intinya ancaman itu datang satu-satunya dari seberang Kali Progo.
Untuk ini secara khusus ditempatkan pasukan telik sandi justru
langsung dibawah perintahku. Jadi siapapun yang menyeberang
Kali Progo dari arah Mataram tidak akan lolos dari pengawasan”.
“Kalau ternyata ada yang berhasil lolos?”.
“Malam ini akan berangkat delapan orang pasukan khusus yang
akan berbaur dengan anak didik Rudita menyamar sebagai petani
yang selama sehari semalam penuh bergantian menjaga
Padepokan Rudita. Ditambah Ki Waskita yang akan berada di
padepokan anaknya hingga waktu dinyatakan aman”.
“Demikian istimewanya penjagaan terhadap kakang
Swandaru?”.

ANONIM 33
SURYA MATARAM JILID 11

“Banyak sebab Wangi, inilah salah satu cara Panembahan


Senopati menebus kesalahannya terhadap guru, sesuai janjinya”.
“Ada yang kau tanyakan lagi?”. Ucap Agung Sedayu.
“Kakang, bukankah keputusan guru Kiai Gringsing
mengungsikan kakang Swandaru, sebelum ada perkembangan
berita semacam ini?”.
Sambil mendesah Agung Sedayu menjawab dengan sungguh-
sungguh. “Tadinya aku berpikir sama denganmu Wangi. Namun
inilah perbedaan kita dengan perhitungan orang-orang sepuh itu.
Apa yang mereka putuskan jauh melampaui apa yang kita
pikirkan. Seolah apa yang mereka putuskan selalu tepat dengan
kehendak alam. Entah alam yang selalu menuruti mereka atau
mereka-mereka yang selalu menyelaraskan dirinya dengan
kehendak alam. Karena sesungguhnya mereka sudah demikian
menyatu dengan alam itu sendiri. Siapa yang meragukan
kemampuan Ki Waskita? Dan siapa pula yang bisa menyangkal
perhitungan cermat guru Kiai Gringsing ketika terjadi kecamuk
Mataram dan Pajang? Bahkan keputusan kakang Untara
menghadapkan mukanya ke Pajang waktu itu adalah salah satu
saran terbaik dari guru yang diakui kakang Untara hingga kini.
Dan itu semua hingga kini tidak mampu aku urai”.
Pandan Wangi mengangguk setuju. Sebenarnya banyak yang
ingin ditanyakan tentang persoalan yang terkait dengan suaminya.
Tapi kemampuan dengarnya yang luar biasa saat ini mendengar
denting senjata beradu.
Walau demikian Pandan Wangi tidak berani berkata-kata
tentang apa yang didengarnya.
“Sejak memasuki tikungan bulak ini telingaku mendengar
denting senjata beradu, apakah kau mendengarnya Wangi?”.
Pandan Wangi pun menggeleng, pura-pura tidak mendengar.
“Kakang Sedayu sudah mendengar duluan beberapa saat lalu”
bisik nya dalam hati.
Niat baik tidak dengan perhitungan yang mapan, itu yang
sedang dialami Wijanarko bersama empat orang temannya. Sesaat
setelah meninggalkan tanda patok perbatasan Menoreh mereka
ANONIM 34
SURYA MATARAM JILID 11

dihadang oleh beberapa orang berkuda yang berhenti di tengah


jalan. Belum termasuk beberapa orang lagi yang masih
bersembunyi di tengah pategalan. Hal ini diketahui dari
pembicaraan mereka. “Itu mereka ketua. Salah satunya saya masih
mengingatnya. Dialah kepala pasukan Menoreh, yang kemarin
malam menggagalkan kita”.
“Teman temanmu yang lain sekarang bersembunyi dimana!”.
“Mereka ada di tengah pategalan ketua”.
Daerah tersebut sudah tidak termasuk dalam wilayah Menoreh,
sehingga pengawal yang nganglang tidak menjangkau tempat
dimana mereka berada saat ini.
Beruntung bagi Pandan Wangi, sebenarnya siang tadi
kehadirannya di jalan tersebut juga diketahui. Tetapi mereka tidak
bisa menghadang. Mereka tidak membawa kuda. Saat ini yang
datang berkuda menghadang itu adalah pimpinan dan beberapa
pembantunya yang datang kemudian atas laporan yang
disampaikan oleh orang yang berbicara tadi.
Setelah gagal dalam tugas menguras harta salah satu penduduk,
sebagian mereka kini ditangkap oleh pasukan pengawal Menoreh,
beberapa yang lain melarikan diri dan melapor. Kemudian serta
merta pimpinan mereka dan beberapa pembantunya bergerak ke
Menoreh untuk membebaskan teman-teman mereka yang
tertangkap. Rencananya mereka akan menyerang Banjar
pedukuhan induk dimana teman mereka ditahan.
Menurut perhitungan, pasukan Mataram tidak akan membawa
mereka ke Mataram dalam waktu cepat. Disamping membutuhkan
waktu untuk melapor, mereka yang tertangkap banyak yang
terluka dan membutuhkan perawatan, meskipun untuk
sementara. Waktu yang pendek itu ingin dimanfaatkan mereka
untuk membebaskan teman-teman mereka yang ditawan pasukan
pengawal Menoreh. Itulah kemudian diantara mereka ada yang
berkuda dan sebagian lagi tidak, dan masih bersembunyi.
Tidak ada yang perlu dibicarakan lebih lanjut. Bagi Wijanarko
dan teman temannya, mereka adalah nyata-nyata sekumpulan
orang yang berniat jahat. Naluri mereka sebagai pengawal yang

ANONIM 35
SURYA MATARAM JILID 11

terlatih bergolak dalam seketika. Meskipun mereka menyadari


jumlah dan kekuatan sedang tidak berimbang. Pedang telah
terhunus ditangan mereka masing-masing, dan telah turun pula
dari punggung kuda.
Sempat terlintas di pikiran Wijanarko untuk berbalik
meninggalkan calon lawan lawannya untuk melapor ke Menoreh.
Namun desakan lain untuk terus maju dan segera mencapai
padepokan Rudita juga tidak mampu diabaikannya.
Lima orang Menoreh ini pun sempat ragu-ragu dengan
kekuatan sendiri yang jauh dibawah kekuatan lawan dari segi
jumlah. Namun tidak ada pilihan, mundur sudah tidak ada
kesempatan. Justru dengan kehadiran kelompok penghadang ini
mereka makin mengkhawatirkan keadaan Pandan Wangi. Itulah
tambahan semangat yang membuat pasukan kecil Menoreh ini
tetap bergerak maju. Maka kemudian pertempuran di bulak
panjang itupun pecah. Denting senjata-senjata beradu terdengar
susul menyusul.
Lima orang Menoreh memang bukan prajurit, tapi kemampuan
mereka tidak bisa dipandang rendah. Dalam pertempuran
kelompok mereka mempunyai ketangguhan yang bisa diandalkan.
Cukup terlatih dan selaras dalam setiap serangan dan bertahan.
Namun, bagaimanapun lawan mereka juga bukan kelompok
sembarangan yang mudah ditundukkan. Sementara keadaan
cukup berimbang, sebab beberapa orang dari kelompok lawan
belum ikut turun ke gelanggang.
Serangan cepat juga diperlihatkan oleh mereka, namun sifat
serangan mereka berdiri sendiri tidak dalam kekuatan kelompok.
Sehingga pasukan Menoreh masih mampu mempertahankan diri
dengan cukup baik.
Beberapa saat kemudian, keadaan mulai berubah. Tanda dari
ketua mereka yang masih duduk diatas punggung kuda yang
berwarna kemerahan membuat beberapa orang lain yang belum
ikut terjun ke pertempuran mempersiapkan diri dan membagi diri
menjadi tiga kelompok yang bersiap menyerang dari tiga sudut
sasaran dari luar lingkaran pertempuran.

ANONIM 36
SURYA MATARAM JILID 11

Keadaan benar-benar berbalik setelah tujuh orang yang lain


mendesak mereka dari sisi luar. Kini pasukan kecil Menoreh yang
sebenarnya tidak siap sepenuhnya untuk bertempur terjepit
diantara dua lawan. Keadaan yang sangat berbahaya, aba-aba dari
Wijanarko sudah sangat sulit untuk dilakukan.
Dalam waktu singkat tatanan gelar pertempuran pasukan kecil
Menoreh kocar kacir. Masing-masing hanya bisa
mempertahankan diri agar tetap selamat.
Denting senjata tidak hanya didengar oleh Agung Sedayu dan
Pandan Wangi. Ki Waskita yang punya panggraita sangat tajam,
sejak keluar dari halaman rumah induk menggebrak kudanya
dengan cukup kencang. Sebuah pertempuran yang belum
diketahui dengan pasti oleh Ki Waskita nampak nyata
dihadapannya. Siapa mereka juga belum bisa dikenali. Tapi jelas
terlihat, salah satu kelompok telah terdesak dengan hebat.
Keraguan menyelimuti Ki Waskita untuk iya atau tidaknya
mendatangi pertempuran. Saat itu mereka berada diluar wilayah
Menoreh. Tentu saja menurut aturan bukan menjadi wewenang
Menoreh. Kademangan lain yang mempunyai wilayah, dirinya
tidak mengenal dekat. Namun nalurinya sebagai bekas seorang
pendekar di masanya tidak mungkin membiarkan hal itu terjadi.
Setidaknya mengetahui sebab musabab kenapa pertempuran itu
harus terjadi. Maka kemudian didekatinya pertempuran itu
dengan diam-diam.
Setelah dekat, mereka yang bertempur tidak dikenalnya dengan
baik. Pandangannya membentur salah seorang yang berteriak
teriak memberi aba-aba teman temannya yang sudah nampak
payah. Aliran darahnya segera berubah kencang, begitu mengenal
salah satu diantara mereka yang sedang terdesak hebat.
“Wijanarko...!”.
Dirinya makin pasti ketika salah satu diantara yang lain
menyebut nama yang sama, meminta agar melarikan diri dari
arena pertempuran.
“Kakang Wijanarko kita bergeser ketengah pategalan, kita
tinggalkan arena ini. Mereka ternyata orang-orang yang curang!”.

ANONIM 37
SURYA MATARAM JILID 11

Ki Waskita sangat pasti siapa mereka yang sedang terdesak


hebat, beberapa saat tentu akan jatuh korban. Ikat kepala
dilepasnya, dibalutkannya ditangan kiri. Sementara di tangan yang
lain timang kulit yang selalu dipakainya, diloloskannya dari
lingkaran pinggangnya
Situasi pertempuran yang sudah berat sebelah memaksa Ki
Waskita menunda keinginannya untuk menghentikan
pertempuran meskipun untuk sementara waktu. Keadaan sudah
tidak mungkin diselesaikan dengan sekedar berunding dan
berbicara mencari kata sepakat. Demikian untuk keinginannya
yang lain, menjauhi dunia kekerasan yang sudah dimasukinya
sejak remaja.
Saat ini nyawa pasukan pengawal Menoreh yang berjumlah
lima orang itu benar-benar berada diantara selamat atau binasa.
Wijanarko menyadari kesalahannya disaat terakhir sebelum ujung
pedang lawan menikam jantungnya. Sempat pula berfikir dan
berharap keadaan yang diluar nalar untuk keselamatan diri dan
teman temannya.
Untuk selamat dibutuhkan bantuan yang saat ini sulit untuk
diharapkan. Hanya nasib baik yang akan menolong mereka. Maka
diapun berteriak sekencang kencangnya, “Tumpahkan seluruh
kemampuan kalian. Kita akan mati dengan terhormat!”.
Teriakan yang merobek tempat pertempuran hingga menggema
jauh. “Selagi nyawa belum lepas dari raga, tentu masih ada jalan
selamat. Wijanarko atur temanmu untuk menghadapi lawan dari
satu arah. Aku akan pecahkan kepungan mereka dari belakang,
Keluar dari lingkaran mereka secepatnya!”.
Suara Ki Waskita yang melengking tinggi menerobos di sela
denting suara senjata yang beradu. Cukup menggetarkan mereka
yang bertempur.
Sesaat setelah suara itu berakhir, dengung senjata seolah ribuan
tawon berbunyi bersamaan. Dengung yang sangat keras disertai
datangnya pusaran cahaya putih yang berputar amat sangat
cepatnya. Hingga bentuk asli dari sesuatu yang berputar itu

ANONIM 38
SURYA MATARAM JILID 11

kehilangan bentuknya. Hanya berupa pancaran cahaya putih yang


cukup terang berupa lingkaran.
Ki Waskita yang bersenjatakan ikat pinggang, dengan timangan
perak putih di ujungnya memutarnya dengan kekuatan penuh.
Meskipun kekuatan Ki Waskita saat ini sudah banyak menurun,
tapi sergapan cahaya lingkaran putih itu terlalu cepat dan terlalu
kuat bagi lawan-lawan Wijanarko dan teman temannya yang
menyerang dari arah belakang.
Denting benturan senjata antar logam keras terdengar tiga kali.
Jerit kesakitan terlontar dari mulut dua orang yang terkena
hantaman putaran ikat pinggang Ki Waskita. Tidak terkena
hantaman langsung. Namun batang pedang yang patah menyasar
pada pundak dan yang satu lagi menggores pinggang pemiliknya.
Yang seorang lagi hanya memegang sisa pedang yang tertinggal
digenggaman. Menyusul serangan lain dari Ki Waskita berupa
dorongan yang sangat kuat kepada tiga orang penyerang yang
sudah kehilangan senjatanya tersebut. Tiga orang itu mencelat
mental beberapa tombak kesamping.
Wijanarko dan teman temannya seolah tak percaya dengan
pertolongan yang datang di detik yang sangat membahayakan itu.
Segera mereka menyesuaikan diri melompat jauh kebelakang
hingga terlepas dari serangan arah depan dan samping. Sembilan
orang yang tersisa, dua orang diantaranya berlari mendapati
kawannya yang masih tergeletak beberapa tombak disamping kiri
dari arena pertempuran.
Ki Waskita menjatuhkan pilihan dan arah serangan bukan
hanya sejalur darimana dia datang. Namun dengan perhitungan,
serangan mereka dari arah belakang itu amat berbahaya bagi
keselamatan Wijanarko dan kawan kawannya yang sedang
berjuang keras menghadapi lawan dari arah depan dan samping.
Bisa dikatakan, tindakan tiga orang itu adalah tindakan pengecut.
Terlebih lagi mereka dalam jumlah yang jauh lebih banyak.
Kecurangan itu yang membangkitkan kemarahan orang yang
sudah cukup tua ini. Darahnya seolah mendidih melihat mereka
bertempur yang tidak memegang paugeran bertempur. Jelas

ANONIM 39
SURYA MATARAM JILID 11

sudah mereka menghendaki sepasukan kecil pengawal Menoreh


itu binasa.
Lima orang pengawal Menoreh sudah menempatkan diri
berjajar berhadap hadapan dengan lawan. Ditambah Ki Waskita
yang berdiri di ujung agak jauh.
Sesuatu yang sulit dipercaya oleh pengawal Menoreh melihat
seseorang yang sudah sangat dikenalnya, bahkan beberapa saat
yang lalu bersama sama mereka merawat para tawanan di banjar.
Meskipun tidak terlalu sering datang mengunjungi Menoreh,
namun cukup mengenal Orang tua ini sebagai saudara jauh Ki
Gede. Orang tua yang pendiam dan tidak menyiratkan sebagai
orang yang mumpuni dalam olah kanuragan. Mereka berlima
hanya bisa menyebut nama orang tua ini didalam batin, yang kini
dipenuhi rasa yang sulit diungkapkan.
“Kau orang tua hebat. Namun sayang, sehebat apapun
kanuragan yang kau miliki aku pastikan kau dan lima orang
Menoreh ini akan sulit lepas dari tajamnya senjata kami. Jumlah
kalian jauh dari mencukupi untuk melawan kami orang tua”.
Dua orang lain yang semenjak tadi duduk diatas kuda
mengawasi jalannya pertempuran cukup kaget dengan kehadiran
Ki Waskita yang tiba-tiba, dan menolong calon korban dari
pembantaian mereka. Mereka berdua memajukan kudanya
beberapa langkah mendekati Ki Waskita yang berdiri dengan sikap
siaga.
“Aku hanya melakukan sesuatu yang harus aku lakukan
kisanak. Jalan kekerasan bukanlah cara yang aku sukai. Tapi aku
yakin kalian tentu akan menolak andaikan aku meminta kalian
untuk berdamai” desis Ki Waskita.
“Yang kau lakukan hanyalah sekedar menunda sedikit waktu
kami untuk membunuh kalian dan menggempur Menoreh untuk
mengambil teman-teman kami yang kini kalian Tawan. Jadi justru
kami ingin berdamai dengan kalian dengan syarat teman-teman
kami kau lepaskan”.
Ki Waskita pun menjawab, “Kalian salah menafsirkan kata-
kataku kisanak. Saat ini mereka bukan tawanan kalian, jadi tidak
ANONIM 40
SURYA MATARAM JILID 11

ada yang namanya tukar menukar tawanan. Tadi aku hanya


berandai andai kisanak. Aku tahu kalian tentu akan memilih
berdamai dari pada kalian makin banyak berkurang. Meskipun
pihak kami belum tentu selamat. Yang lebih tidak mungkin lagi,
pasukan pengawal Menoreh bukanlah anak kemarin sore yang
takut dengan ancaman kalian. Tentu mereka tidak sudi
mempertaruhkan kehormatan mereka hanya sekedar mengharap
ampunan dari kalian. Kalau itu terjadi, mereka akan sulit menaruh
muka dihadapan rakyat Menoreh, kepada Ki Gede terlebih kepada
Agung Sedayu, yang selama ini membangun jiwa dan kanuragan
mereka menjadi pasukan yang tangguh seperti yang kalian lihat.
Belum lagi rasa malu mereka terhadap Pandan Wangi, Putri
Perdikan yang sangat mereka sayangi”.
Dengan sengaja Ki Waskita menyebut nama Pandan Wangi,
dengan harapan Wijanarko merasa terbakar karenanya. Sebab
empat orang yang lain sangat tergantung dari keputusan laki-laki
yang cukup disegani dan menjadi pimpinan pasukan pengawal
Menoreh itu.
“Kalian dengar yang dikatakan oleh orang tua itu. Itulah sikap
kami. Bagi kami mati di tangan pengacau seperti kalian jauh lebih
terhormat daripada hidup menanggung malu!”.
“Nah kalian dengar sendiri apa yang menjadi tekad mereka?”.
Desis Ki Waskita sambil membenahi ikatan kain yang melilit
tangan kirinya.
“Kalian terlalu percaya diri kisanak. Aku tidak mengenal siapa
Ki Gede dan nama-nama lain yang kalian sebutkan.
Kepentinganku kemari adalah membebaskan anak buahku dengan
cara dan resiko apapun. Jadi sepakat atau tidak, tidak akan
merubah rencanaku”.
“Justru kalian sekarang terlalu percaya diri kisanak. Terlalu
yakin dengan jumlah kalian yang banyak. Dengan begitu aku
mengerti, kalian tidak paham tentang kekuatan Menoreh.
Sekarang kami enam orang. Tapi yang akan bertempur cukup lima
orang termasuk aku. Karena salah seorang diantara kami akan
meninggalkan tempat ini untuk memberi laporan ke pedukuhan
induk Menoreh”.

ANONIM 41
SURYA MATARAM JILID 11

“Kau menggertakku kisanak tua, sebelum salah seorang


diantara kalian sampai ke padukuhan, kalian sudah binasa. Butuh
banyak waktu untuk sampai kesana kisanak”. Pimpinan kelompok
itu berusaha menghindar dari gertakan Ki Waskita yang bisa
meruntuhkan semangat anak buahnya. Namun Ki Waskita tidak
kekurangan cara untuk mengulur waktu. Agar wadag Wijanarko
dan teman temannya kembali pulih. Sekaligus berpikir keras
untuk keluar dari pertempuran yang akan sangat berat dalam
hitungannya. Setidaknya mengulur waktu hingga hari makin
gelap, sehingga banyak kesempatan untuk melakukan sesuatu.
“Itulah bukti kalian tidak memahami Menoreh. Mereka tidak
perlu memacu kuda hingga sampai ke pedukuhan induk. Cukup
mereka melapor ke pos ronda terdekat yang kemudian akan
diteruskan secara berantai cukup dengan memukul kentongan
yang tersedia di rumah masing-masing penduduk. Dalam sekejap
barisan pengawal terdekat dari asal kentongan pertama yang
berbunyi akan membentuk barisan dan sampai di tempat ini diluar
perhitungan kalian”.
Keterangan yang cukup menggelisahkan anggota kelompok
yang belum diketahui asal usulnya ini. Sejenak pimpinan mereka
yang masih berada diatas kuda berpikir keras untuk menyangkal
keterangan Ki Waskita.
Nampak wajahnya memerah di rembang petang yang mulai
menyelimuti seputaran tempat mereka yang ditumbuhi oleh
pepohonan yang rimbun.
“Aku memang tidak mengenal Menoreh, aku tidak pula
mengenal Ki Gede yang menjadi kepala tanah Perdikan. Apalagi
Agung Sedayu yang kalian anggap sebagai pembimbing kanuragan
pasukan Menoreh. Akupun tidak tahu apakah nama-nama yang
kalian sebut itu mampu melakukan seperti apa yang aku
lakukan…!”. Ucapnya sambil turun dari kuda dan mendekati batu
sebesar kelapa yang tergeletak di pinggir jalan dan memukulnya
hingga pecah.
Ki Waskita menarik nafas panjang dengan apa yang dilakukan
pimpinan gerombolan itu. Dia tahu seberapa tinggi kekuatan
tenaga cadangan yang dimiliki orang tersebut. Nampak dari raut

ANONIM 42
SURYA MATARAM JILID 11

mukanya yang sedikit menahan sakit, meskipun berhasil


memecahkan batu yang dipukulnya. Artinya orang tersebut belum
sampai pada penguasaan yang matang dalam pengungkapan
tenaga cadangan.
Ki Waskita teringat dengan kemampuan yang dimiliki oleh adik
sepupu Agung Sedayu, Glagah Putih, disaat pertama kali mampu
memecahkan batu yang besarnya hampir sama dengan yang
dipecahkan oleh orang tersebut. Namun untuk saat ini
kemampuan orang ini dipastikannya sudah tertinggal cukup jauh
dari anak muda murid Ki Jayaraga itu.
Kenyataan jikalau benar, adalah cukup menenteramkan Ki
Waskita. Kalau kemampuan yang ditunjukkan itu adalah
kemampuan tertinggi orang tersebut.
“Ilmumu luar biasa dan nggegirisi kisanak. Agung Sedayu pasti
akan gemetar melihatnya”. Sebuah suara tiba-tiba menanggapi
kejadian yang baru saja terjadi.
Agung Sedayu bersama Pandan Wangi telah sampai pula di
tempat tersebut. Mereka sengaja meninggalkan kuda sedikit agak
jauh. Kemudian diam-diam mengamati jalannya pertempuran
yang tinggal di saat-saat akhir sebelum berhenti.
Situasi yang sudah aman, mereka berdua menunda untuk
menampakkan diri dan mengikuti perbincangan yang terjadi
antara Ki Waskita dan pimpinan gerombolan itu.
Sebelum namanya disebut, Agung Sedayu kembali berucap.
“Perkenalkan kisanak yang hebat. Aku adalah saudara tiri Agung
Sedayu. Namaku Agung Sidanti. Aku yang selama ini membantu
saudaraku itu mengajari mereka bertempur”.
Ki Waskita dan lima pengawal Menoreh menahan nafas melihat
kehadiran dua orang ini. Dengan cepat mereka pun maklum dan
paham dengan ucapan Agung Sedayu yang mengganti namanya
dengan Agung Sidanti.
Namun kerut merut di wajah Pandan Wangi sulit disembunyi-
kan. “Kenapa kakang pilih nama itu. Kenapa tidak Agung Gupita
saja?” Pandan Wangi berbisik dengan wajah gemas.

ANONIM 43
SURYA MATARAM JILID 11

“Kau juga sampai di tempat ini Agung Sidanti, bukankah yang


bersamamu itu adik tirimu yang bernama Wandan Sari?”.
Pandan Wangi menyela dengan cepat ucapan Ki Waskita.
“Benar Ki Sidik Paningal, aku Wandan Sari. Kami baru saja
mengunjungi kakang Gupala”.
Bingunglah mereka yang tidak mengerti percakapan mereka.
“Kisanak, aku pernah diajari oleh Kakang Agung Sedayu
memukul batu seperti yang kau lakukan, tapi sampai tulang
tulangku retak aku tidak pernah berhasil. Akupun putus asa untuk
menguasai kanuragan itu. Tapi oleh kakang Sedayu kemudian aku
diajari ilmu yang lain yang sesuai dengan keahlianku
menggembala. Aku diajari memainkan cambuk. Maukah kisanak
melihat permainan cambukku?”.
“Tidak penting bagiku kau siapa, dan juga perempuan cantik
yang bersamamu itu. Tapi aku ingin lihat apa yang bisa kau
lakukan, yang sudah diajarkan oleh Agung Sedayu yang kalian
puja-puja itu”.
“Agung Sidanti... tunjukkan permainan cambukmu yang bisa
berbunyi sekeras petir itu. Biar mereka tahu hebatnya ilmu
cambukmu”.
Ki Waskita yang dipanggil dengan Ki Sidik Paningal oleh
Pandan Wangi yang sudah berganti pula namanya menjadi
Wandan Sari, ikut memanaskan suasana.
“Cepat lakukan, mumpung aku masih memberi kesempatan
kepadamu!” pimpinan gerombolan itu berkata geram.
“Sabar kisanak, aku harus sedikit mengheningkan cipta
sebelum menarik cambukku”.
Warna muka jengkel mulai merayap di wajah mereka. Namun
demikian mereka tetap menunggu Agung Sidanti yang nampak
kemudian meloloskan cambuknya dari lingkaran pinggang.
“Permainan cambukku jelek kisanak. Hanya permainan yang
biasa kami lakukan disaat menggembala”.

ANONIM 44
SURYA MATARAM JILID 11

Kemudian Agung Sedayu memutar mutar cambuknya diatas


kepala, sambil matanya terpejam, tangan kiri ditarik kedepan
dada, dengan mulut komat-kamit seperti merapal mantra.
Sebuah sikap yang menggelikan bahkan menggemaskan bagi
Pandan Wangi yang berdiri dekat dengannya. “Wangi tutup
telingamu” bisikan lembut menyentuh pendengaran Pandan
Wangi.
Perempuan ini pun mengangguk, maklum dengan apa yang
akan dilakukan oleh laki-laki yang sangat dikaguminya ini. Agung
Sedayu tidak ingin telinga Pandan Wangi sakit karena bunyi
cambuk yang akan diledakkannya.
Sesaat kemudian lecutan yang terarah ke langit
menghamparkan suara yang teramat keras. Ledakan menggelegar
susul menyusul. Menghentak dada sekian puluh orang terdekat
dengan sumber suara ledakan cambuk. Dada mereka sendat.
Darah seolah mengalir liar. Beberapa diantaranya menjatuhkan
diri serata dengan jalan tanah sambil menutup telinga erat-erat.
Tidak sampai disitu, cambuk yang masih berputar itu mengarah
datar menuju bongkahan batu besar yang tertanam di tanah.
Ujung cambuk menjilat permukaan batu hitam yang kokoh itu dan
menghancur-leburkan permukaan batu yang menyembul diatas
tanah. Batu sebesar anakan kerbau yang separuh tertanam di
tanah itu pun lebur.
Agung Sedayu masih memutar cambuknya dengan cepat, gaung
suara seperti sowangan memenuhi seluruh arena bekas
pertempuran. “Lihat kisanak, cambukku bisa juga aku jadikan alat
ikat untuk mengangkat benda berat!”.
Sejenak kemudian, cambuk menyusur menuju kuda milik
pimpinan kelompok itu yang berada tak jauh darinya. Cambuk
panjang itu melilit perut kuda, dan sungguh diluar nalar, kuda
yang demikian berat terangkat dengan mudah hanya dengan lilitan
cambuk yang melingkar sepanjang perut hingga badan kuda.
Kemudian diturunkan kembali beberapa tombak dari tempat
semula. Kemudian cambuk terurai lepas. Dan agung Sedayu
kembali melingkarkannya di pinggang.

ANONIM 45
SURYA MATARAM JILID 11

Sepi..., senyap...
Hanya sisa gelegar suara seolah guntur yang masih menyumpal
telinga, serta debu dan asap yang masih nampak menghambur dari
sisa batu yang hancur lebur tertiup angin sore serta kuda yang
tetap merumput di tempat barunya yang nampak lebih hijau
rumput di sekitarnya.
Masih tidak ada yang berani membuka suara hingga kemudian
Agung Sedayu yang berganti nama dengan Agung Sidanti itu
berkata dengan nada dalam yang menyeramkan. “Camkan, aku
adalah sekedar pembantu dari Agung Sedayu. Bayangkan sendiri
seberapa tinggi kanuragan yang dimiliki oleh Agung Sedayu
dengan perbandingan apa yang sudah aku lakukan tadi. Jangan
pernah sekalipun mengganggu Menoreh, kalau kalian masih bisa
lolos adalah sekedar nasib baik. Persilahkan tinggalkan tempat ini,
aku hanya butuh pimpinan kalian tetap tinggal. Jangan coba-coba
membantah, kecuali kalau kalian ingin lumat saat ini juga”.
Hentakan kanuragan yang teramat nggegirisi belum berlalu
dari ruang batin mereka. Kini hentakan lain berupa kalimat seram
meluluh lantakkan jiwani yang sudah setengah mati.
“Aku pastikan, sekali sentak, cambukku mampu melumatkan
kepala kalian sebelum kalian sempat berkedip. Atau kalian ingin
membuktikannya”. Ancam Agung Sedayu sambil tangannya
kembali meraba pinggangnya.
“Jangan kisanak Agung Sidanti, kami menyerah. Aku pimpinan
mereka akan mengikuti perintahmu. Tapi aku mohon biarkan yang
lain meninggalkan tempat ini”.
“Aku turuti permintaanmu, dengan syarat jangan coba-coba
mengganggu Menoreh, apapun bentuknya. Percayalah kakang
Agung Sedayu tidak sesabar diriku menanggapi kesesatan kalian”.
“Baik Agung Sidanti, kami berjanji!”.
Bisikan lembut kemudian menelusup di pendengaran Agung
Sedayu. “Aku ingin tahu dan merasakan bagaimana garangnya
seorang Agung Sedayu, bukan Agung Sidanti yang berdiri di
sampingku saat ini”.

ANONIM 46
SURYA MATARAM JILID 11

Bisikan Pandan Wangi bagai gelombang udara padat yang


menutup daya nalar Agung Sedayu. Terdiam dalam sekejap,
mengendapkan rasa, agar nalar kembali berjalan wajar. Dipilihnya
kata-kata balasan yang pantas dan setimpal. “Aku mengharapkan
Pandan Wangi yang lembut, yang selalu tersenyum dalam dukanya
dan tertawa riang dalam sukanya. Serta mengerti kelemahan dan
kekurangan serta menerima keadaanku sewajarnya. Bukan
Wandan Sari yang kini berdiri di sampingku, yang ingin menggoda
dan mempermainkanku. Ketidak-mungkinan saat ini adalah
keadaan terbaik yang harus diterima. Bagaimanapun Agung
Sedayu adalah manusia wajar, bukan dewa yang bisa salah dan
mungkin pula bisa melewati dan melanggar batas aturan hidup
bebrayan” desis Agung Sedayu pelan.
Sejenak kemudian, pandangan Pandan Wangi sekilas menatap
Agung Sedayu yang berdiri dengan tatapan mata lurus kedepan,
dan menyahut tak kalah sungguh-sungguh.
“Aku tetap sebagai Pandan Wangi yang selalu mengerti dan
memahami kakang seperti sebelumnya. Untuk itu aku akan
tersenyum untuk kakang sebagai bukti pengertianku dan
pemahamanku atas diri kakang Sedayu sebagai seorang kakak
seperguruan suamiku dan sebagai adik dalam trah keluarga”.
Senyum pun merekah sebagai pertanda. Agung Sedayu menarik
napas dalam-dalam, kilatan cahaya sendu menghias pandangan
mata Pandan Wangi yang tetap berusaha tersenyum dalam
dukanya.
Selanjutnya situasi sudah bisa dikendalikan dengan baik. Tidak
perlu harus jatuh korban, meskipun ada beberapa orang yang
terluka, namun tidak mengurangi upaya Agung Sedayu untuk
menyelesaikan kemelut dengan baik. Disaat mereka bersiap untuk
membawa pimpinan dari kelompok pengacau dan kemudian
melepas anak buah yang memang tidak dibutuhkan. Agar tidak
menambah beban Mataram. Perhitungan Agung Sedayu mereka
tidak akan berarti apa-apa tanpa pimpinan, mereka akan menjadi
lemah. Apalagi pimpinan mereka sudah dikuasai maka dengan
demikian sudah menjadi nilai tawar dan jaminan yang kuat bagi
Mataram untuk mengendalikan anak buah mereka yang masih
berkeliaran untuk tidak lagi membuat kerusuhan.
ANONIM 47
SURYA MATARAM JILID 11

Serombongan orang berkuda berderap mendekati tempat


mereka yang mulai gelap. Diketahui kemudian mereka adalah
delapan orang yang akan melakukan tugas senyap di padepokan
Rudita. Sedikit perbincangan di tempat yang terpisah, Agung
Sedayu memberi perintah dan menyampaikan keterangan penting
tentang kejadian yang menimpa Swandaru dan salah seorang yang
kini sedang terbaring lumpuh di Padepokan Rudita. Perintah siaga
lebih dipertegas dengan adanya perkembangan keadaan yang
berkaitan dengan padepokan anak Ki Waskita. Segala sesuatunya
akan bisa diketahui kalau Swandaru mau bekerja sama
mengungkap siapa sebenarnya orang yang menyebut dirinya
dengan Elang Jepara itu.
Panggraita Agung Sedayu lebih terarah pada sekelompok orang
yang kini berkeliaran di seputar istana dan Sangkal Putung.
Termasuk kelompok Elang Jepara. Jadi kekhawatiran tetap berada
pada mereka yang ada di seberang Kali Progo, meskipun Elang
Jepara berkeliaran di seputar daerah padepokan. Bisa jadi dia
bekerja sendiri sebagai yang ditugaskan untuk membayangi
keberadaan Swandaru. Dengan demikian pengawasan terhadap
daerah penyebarangan sebagai titik pusat yang harus diwaspadai
tentunya harus ditingkatkan. “Kalian sudah mengerti situasinya.
Nanti aku bisa meminta tolong kepada Ki Gede untuk membantu
mengawasi daerah penyeberangan. Bila perlu mengganti tukang
satang dengan prajurit atau barisan pengawal Menoreh yang
terpercaya. Laksanakan tugas kalian hingga pada saatnya
Panembahan Senopati menarik kalian kembali ke kesatuan
masing-masing”.
Menjelang Malam persoalan yang terjadi di bulak panjang itu
pun berakhir. Anggota kelompok yang tidak diperlukan dilepas
bebas dengan berbagai syarat dan janji, sementara pemimpin
mereka dibawa ke banjar pedukuhan induk Menoreh untuk
dimintai keterangan.
Mereka meninggalkan arena pertempuran menuju Menoreh
dalam iring-iringan yang cukup banyak. Wijanarko dan teman-
temannya berjalan di depan, kepalanya dipenuhi berbagai macam
pikiran yang membuatnya sulit untuk terlalu dekat dengan Pandan

ANONIM 48
SURYA MATARAM JILID 11

Wangi. Pikiran sadarnya mulai bisa menerima keadaan


sebagaimana yang dikatakan Ki Gede beberapa waktu lalu.
Bertiga dengan Ki Waskita, Agung Sedayu dan Pandan Wangi
mengawal di belakang sambil berbincang bincang. Perjalanan
yang tidak perlu terburu-buru. Meskipun demikian Agung Sedayu
harus cermat membagi waktu untuk melaksanakan tugas yang
bersilisih waktu sangat pendek.
Perjalanan yang cukup jauh namun lancar, sehingga tidak
membutuhkan waktu lama rombongan mereka telah memasuki
Pedukuhan induk Menoreh, dan langsung menuju Banjar.
Selanjutnya bertiga Menuju rumah induk. Kemudian dipersilah-
kan sebagaimana layaknya.
Setelah semuanya mapan, bebersih dan menikmati minuman
dan hidangan ala kadarnya, Ki Gede menemui mereka. Agung
Sedayu dengan resmi menyampaikan semuanya ke Ki Gede
sebagaimana kejadian secara utuh. Demikian pula beberapa
rencana yang akan melibatkan Menoreh secara langsung untuk
beberapa waktu kedepan. “Demikian Ki Gede, secara resmi ini
adalah sikap dan permintaan Panembahan untuk disampaikan
kepada Ki Gede, lain dari itu hanyalah tambahan persoalan yang
datang kemudian yang tidak termasuk dalam permintaan
Panembahan”.
“Aku terima permintaan Panembahan sesuai dengan
kewenanganku selaku kepala tanah Perdikan. Kami akan
menyesuaikan diri dengan langkah Mataram. Termasuk nanti,
bahkan mulai malam ini akan aku tunjuk beberapa orang khusus
dari pengawal Menoreh untuk sementara menggantikan tukang
satang. Biar nanti tukang-tukang satang itu aku minta untuk
membantu di rumah ini, agar tetap bekerja dan mendapatkan
penghasilan sebagaimana seharusnya”.
“Menanggapi sikap Wijanarko aku tidak bisa menyalahkan
sepenuhnya, walau bagaimanapun langkah mereka telah
terhambat untuk membuat rusuh di Banjar. Tindakan yang
diambil anak muda itu sebenarnya adalah tindakan pribadi diluar
kepentingan langsung dari Menoreh. Mereka berhak melakukan

ANONIM 49
SURYA MATARAM JILID 11

apa saja diluar tugas tugasnya. Jadi mereka memang tidak layak
untuk dipersalahkan”.
Beberapa saat kemudian Agung Sedayu pamit dan harus
kembali ke Jati Anom.
“Ngger, apakah tidak bisa ditunda barang sebentar? Setidaknya
sedikit waktu untuk wadagmu kembali pulih dan segar kembali”.
“Maaf Ki Gede, menjelang tengah malam nanti saya harus
sowan kehadapan Panembahan. Selanjutnya saya harus bertemu
guru secepatnya. Setidaknya sebelum Matahari terbit. Jadi saya
tidak bisa menunda untuk kembali ke Mataram”.
Dua orang tua itu mengangguk angguk. Ki Gede berkata dengan
nada gelisah, “ngger, perjalananmu ke Mataram dan ke Jati Anom
bukanlah perjalanan pendek. Terlebih kau lakukan malam hari.
Apakah waktu yang kau miliki cukup ngger?”.
Pandan Wangi datang dengan membawa lagi minuman hangat,
wedang jahe yang baunya terasa di hidung. “Aku buatkan wedang
jahe panas, itu artinya kakang Sedayu harus menunda sedikit
waktu lagi untuk berangkat. Kakang pasti tidak akan tega
membiarkan minuman ini menjadi dingin karena tidak ada yang
meminumnya”. Sambil tangannya menuang wedang jahe
dihadapan Agung Sedayu dan Ki Waskita. Ki Gede menarik nafas
dalam-dalam menyaksikan sikap putrinya ini. Ada sedikit rasa
bahagia, namun goresan perasaan kasihan lebih tajam terasa ke
anak perempuannya ini. Sikap seorang perempuan yang sangat
dipahaminya dengan sangat baik, apalagi dilakukan oleh anak
kandungnya sendiri.
Ki Waskita nampak tersenyum simpul, kemudian berkata
kepada Ki Gede. “Kakang, kalau ukuran jarak itu adalah kakang
yang mengukur atau aku yang harus jalani, maka akan terasa
sangat jauh dan melelahkan untuk ditempuh. Tapi kakang harus
ingat, aku dan kakang bukanlah Kiai Gringsing atau Angger
Sedayu, Yang bisa melipat bumi menjadi lebih pendek dari yang
seharusnya”.

ANONIM 50
SURYA MATARAM JILID 11

“Benar, sejak beberapa peristiwa menimpa Menoreh, aku suka


lupa terhadap hal-hal yang demikian Ki Waskita” jawab Ki Gede
sambil tertawa.
“Ki Gede Jangan mudah mempercayai perkataan siapapun,
meskipun yang berkata itu sudah tua” balas Agung Sedayu.
Pertemuan yang kemudian menjadi sedikit berwarna dengan
candaan ringan diantara mereka.
“Baiklah ngger, kalau ternyata kau tidak sempat menjenguk
rumahmu, biar penjaga cangkul Ki Jayaraga dan joran pancing
serta wuwu Sukro tetap aku perintahkan melakukan tugasnya
hingga semua kembali menjadi wajar seperti sediakala. Aku
khawatir dua tugas itu gagal aku tunaikan”.
Pecahlah tawa mereka menjelang malam itu.
Akhirnya Agung Sedayu mohon pamit. Diperkirakan menjelang
tengah malam nanti sudah bisa sowan di hadapan Panembahan
yang sudah direncanakan sebelumnya. Setelahnya langsung
menemui gurunya di Padepokan Jati Anom.
“Hati-hati kakang”.
“Terima kasih Wangi, Ki Gede dan Ki Waskita, dalam waktu
tidak lama guru pasti berkunjung kemari. Glagah Putih beserta Ki
Jayaraga akan pulang ke Menoreh mendahului kami berkaitan
dengan perkembangan yang sedang berlangsung. Sepertinya tugas
di seputar istana sudah dilaksanakan anak itu dengan baik”.
“Syukurlah ngger, mudah mudahan semua segera berjalan
wajar seperti sediakala”.
Di keremangan malam, kuda tegar Agung Sedayu membelah
jalanan Menoreh menuju penyeberangan.
Sementara itu di Jati Anom, Kiai Gringsing nampak sangat
gelisah semenjak Agung Sedayu berangkat ke Menoreh. Beberapa
saat yang lalu dicobanya untuk mengalihkan perhatian dengan
mengunjungi Sangkal Putung, namun tidak bisa menghilangkan
kegelisahannya.

ANONIM 51
SURYA MATARAM JILID 11

Beberapa waktu yang lalu orang tua ini sempat bertemu dengan
dua orang tua seangkatan dirinya di hutan sebelah timur Jati
Anom. Yaitu Panembahan Linggo Probo dan Kiai Watu Lintang.
Pertemuan yang cukup singkat. Belum sempat berbicara panjang
tentang segala sesuatu yang dirasa penting.
Dan malam ini sesuai janji, dua orang tua itu akan menemui
dirinya di padepokannya. Karena itulah kemudian, Kiai Gringsing
belum bisa mengunjungi Swandaru, dan menyuruh Agung Sedayu
berangkat menggantikannya. Sebuah keterpaksaan yang harus
dijalani. Gambaran jelas tentang sikap Swandaru terhadap
kedatangan kakak seperguruannya tertangkap dalam panggraita
orang tua itu. Rasa yang bergejolak tentang murid-muridnya
itulah, saat ini yang sangat mengganggu pikiran orang sepuh ini.
“Mudah mudahan Angger Sedayu bisa menuntaskan tugasnya,
dan malam ini bisa menemaniku menemui tamu orang-orang
mumpuni itu”.
Malam merangkak pelan dalam kepastian putaran yang tak
terhenti oleh apapun. Agung Sedayu berkejaran dengan
kepentingan yang dibatasi oleh waktu yang sangat sempit.
Beberapa saat lalu dengan sangat terpaksa meminta galah tukang
satang. Dia sendiri yang mendorong perahu dengan satang atau
galah panjang yang menjejakkan ujung satang ke permukaan
tanah dibawah air dengan sangat kuatnya. Perahu melaju jauh
lebih cepat dari yang seharusnya. Dalam waktu singkat demikian
singkat telah sampai di seberang, selanjutnya melajukan kudanya
yang tegar menembus malam.
Dua orang tukang satang yang sudah mengenalnya dengan baik
menggeleng gelengkan kepala, “apa yang merasuki Ki Sedayu. Kita
dua orang saja tak mungkin bisa mendorong perahu sekuat itu”.
“Aku mendengar cerita dari orang-orang yang mengenalnya,
katanya dia mempunyai prewangan yang selalu membantunya
setiap kali dia sedang kesulitan”.
“Kamu ada-ada saja”. Jawab orang pertama.
Beberapa lama kemudian, malam hampir menyentuh titik
tengahnya, Agung Sedayu telah memasuki pintu gerbang utama

ANONIM 52
SURYA MATARAM JILID 11

istana Mataram yang nampak lebih terang dari biasanya. Oncor


nampak dipasang lebih banyak dari sebelumnya. Sehingga
pergerakan dilingkungan khusus itu mudah terlihat dan diawasi.
Dua orang penjaga berdiri tegak di pintu regol kedua setelah
pintu utama. Siapapun harus berhenti untuk melaporkan diri
kepada penjaga yang selalu waspada dan sangat disiplin
memeriksa siapapun yang melintasi pintu Regol ini.
Sebelum Agung Sedayu mencapai pintu ini seorang abdi dalem
berjalan setengah berlari memberitahu dua orang penjaga agar
tidak menghentikan orang yang datang dengan menunggang kuda
tegar itu.
Maka Agung Sedayu tidak perlu lagi harus turun dari kuda
untuk melapor, langsung menuju tambatan kuda yang disediakan
khusus didepan pendapa besar yang terhubung dengan pendapa
utama tempat pisowanan biasa berlangsung.
“Ki Agung Sedayu sudah ditunggu Panembahan Senopati di
ruang khusus. Biar kuda itu kami yang mengurusi”.
“Terima kasih, Aku merepotkan kalian malam-malam begini”.
Ucap Agung Sedayu sambil menyerahkan kekang kuda kepada dua
orang abdi dalem yang datang menyambutnya, kemudian yang
seorang mengantar Agung Sedayu masuk.
Demikianlah, beberapa saat berlalu. Hanya seorang diri Agung
Sedayu menghadap Panembahan Senopati di ruangan khusus.
Nampak kemudian pintu ruangan itu dituang terbuka sedikit.
Agung Sedayu nampak meninggalkan ruang pisowanan khusus
diantar oleh seorang Abdi dalem.
“Kuda Ki Sedayu belum beristirahat cukup. Apakah Ki Sedayu
menghendaki berganti kuda? Kiai Gagak bisa Ki Sedayu pakai
malam ini kalau dikehendaki”.
Agung Sedayu menghentikan langkahnya. “Paman jangan
bergurau. Ada-ada saja”.
“Saya serius Ki Sedayu, Panembahan tadi berpesan kepadaku
demikian”.

ANONIM 53
SURYA MATARAM JILID 11

Agung Sedayu hanya bisa menggeleng gelengkan kepala dan


berlalu dari hadapan abdi yang sudah cukup berumur itu.
“Ki Sedayu, nanti saya mendapat marah besar”.
“Tidak perlu khawatir paman, aku lupa, tadi aku sudah menolak
tawaran Panembahan untuk berganti kuda”.
Orang tua itupun bernafas lega.
Demikianlah, selanjutnya malam itu Agung Sedayu kembali
berpacu menuju Jati Anom.
Kiai Gringsing yang berpindah tempat disamping kolam ikan,
beberapa kali memandang cerahnya langit ketujuh dalam
hitungan bulan. Hawa cukup dingin. Semilir angin Merapi di bulan
yang biasa disebut musim bediding cukup membuat orang enggan
keluar rumah. Saat yang tepat dipilih oleh sekelompok orang
untuk melakukan kejahatan.
Di Padepokan hanya tersisa beberapa orang cantrik terpenting
yang tidak dilibatkan oleh Ki Widura sesuai permintaan Kiai
Gringsing. Sementara yang lain telah disebar di banyak tempat
dengan berbagai macam tugas yang berbeda sesuai dengan tingkat
dan kemampuan masing-masing. Mereka diminta menyebar
menempatkan diri di rumah-rumah penduduk di sepanjang jalur
Sangkal Putung hingga daerah terakhir sebelum memasuki
wilayah keraton Mataram. Dengan berbagai cara mereka mencari
tempat ngenger untuk sementara. Dengan kemampuan yang
sudah dimiliki, mereka diharapkan mampu membantu setiap
pemilik rumah yang ditempati apabila tertimpa kejadian yang
tidak diharapkan. Setidaknya hingga ada bala bantuan dari pos
pasukan Mataram terdekat.
Sekar Mirah pamit menjenguk Ayahnya ke Sangkal Putung,
sementara Ki Widura menjelang surup berangkat menjenguk
rumahnya yang di Banyu Asri. Yang tertinggal hanya Kiai
Gringsing dan beberapa cantrik yang telah ditunjuk.
Kiai Gringsing berdiri dan melangkah kembali ke pendapa.
Duduk diam menuju hening. Tak lama kemudian, mukanya
terangkat dan berucap sangat pelan. “Silahkan masuk saudaraku
berdua. Terima kasih berkenan mengunjungiku”.
ANONIM 54
SURYA MATARAM JILID 11

Entah darimana mereka masuk, kini dua orang itu sudah


berada di undakan pendapa dihadapan Kiai Gringsing yang sedang
duduk diam.
“Selamat datang Panembahan Linggo Probo dan Kiai Watu
Lintang. Aku berharap mendapat kabar dan sedikit cerita tentang
bang Wetan yang sudah lama sekali aku tinggalkan”. Desis Kiai
Gringsing setelah mereka berdua menempatkan diri duduk
dihadapannya. Usia mereka tidak jauh berbeda. Mungkin
berselisih hanya beberapa tahun lebih muda atau lebih tua.
“Terima kasih Raden. Kami diperkenankan bertemu. kini kami
tidak ragu-ragu lagi dengan jatidiri Raden. Meskipun runtutan
cerita dan kebenarannya belum aku ketahui dengan pasti. Tapi
bagi siapa saja yang benar-benar sebagai trah Brawijaya aku bisa
mencium kebenarannya. Beberapa ciri khusus selalu dimiliki oleh
Trah Brawijaya semenjak terjadi kemelut menjelang sendya-
kalaning Majapahit. Karena itu, kemudian bagi orang-orang
tertentu bisa mengenali trah Majapahit dengan mudah. Menurut
eyang buyutku, tanda itu bisa berupa senjata khusus yang dulu
hanya dimiliki oleh keluarga raja atau tanda lain berupa lukisan
atau gambar tertentu yang menempel atau disematkan pada
wadag mereka. Aku meyakini itu”.
Kiai Gringsing masih diam menunggu tamunya sampai selesai
berbicara.
“Kiai, disaat saat akhir kanjeng Prabu keluar dari Istana
Majapahit di ujung perang saudara yang hebat, aku masih kecil,
Adimas Watu Lintang juga masih kecil. Sehingga keterangan
tentang itu sangat kabur bagi kami. Berkaitan dengan ini Kiai,
benarkah saat itu keluarga kerajaan yang melarikan diri dibekali
dengan piyandel dan tanda khusus yang aku katakan tadi?”.
Sejenak setelah menarik nafas, Kiai berkata. “Memang
demikian adanya Panembahan. Tapi untuk selanjutnya semua
menjadi berubah dan bahkan disalahgunakan sebagian pihak yang
ingin mencari hidup dan untung karenanya. Itulah kemudian aku
sebagai pribadi menyayangkan hal yang demikian. Kebesaran
Majapahit menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian orang dan
kelompok”.

ANONIM 55
SURYA MATARAM JILID 11

Dua orang tua itu mengangguk angguk. Kiai Watu Lintang


menyela, “demikian pula ciri khusus tentang kanuragan dan aji
kesaktian. Tidak semua beruntung mendapat warisan. Hanya
orang tertentu yang berjodoh. Apakah Kiai juga mendapatkan
itu?”.
Sebuah pertanyaan yang mudah bagi Kiai Gringsing, tapi
keengganannya menjawab menjadikan itu sebagai pertanyaan
yang sulit diurai. Arah yang ingin dituju oleh Kiai Watu Lintang
tertangkap Panggraitanya. Tentu sebuah pembuktian tentang aji
dan kanuragan yang dimaksud oleh orang tua yang satu ini.
Kiai Gringsing belum memberi jawaban. Beruntung yang
ditunggunya akan segera datang. Baginya menunggu murid
terkasihnya itu menjadi sesuatu yang mendebarkan. Kiai Grinding
sudah mendengar derap kaki kuda yang dipacu cepat. Dia tahu
Agung Sedayu lah disaat sekarang yang sedang memacu kuda.
“Kiai, aku punya seorang murid. Kepada dialah segala
persoalan aku tumpahkan. Mungkin jawaban pertanyaan Kiai ada
padanya”.
Kuda yang berderap itu berhenti didepan pintu regol yang tidak
diselarak. Benarlah yang datang memang Agung Sedayu.
Kiai Watu Lintang melakukan sesuatu dengan diam-diam.
Ingin membuktikan salah satu yang menurutnya penting
dilakukan.
Agung Sedayu yang baru datang, baru saja mengikat kuda di
patok dekat pagar padepokan. Tiba-tiba sesuatu telah
membelenggu dirinya. Tubuhnya menjadi ringan seolah kapas.
Pelan namun pasti tubuhnya terangkat. Agung Sedayu menarik
nafas dalam-dalam menyikapi keanehan yang terjadi dengan
dirinya. Yang dilakukan kemudian oleh murid kesayangan Kiai
Gringsing ini sungguh diluar nalar dua orang tua yang datang
sebagai tamu ini.
Tiga jengkal lebih tubuh Agung Sedayu terangkat mengapung
di udara. Kekuatan yang sungguh dahsyat dipertontonkan oleh
orang tua dari Bang Wetan ini.

ANONIM 56
SURYA MATARAM JILID 11

Berat tubuh Agung Sedayu seolah tak berarti apa. Mampu


diangkat tanpa menyentuh, bahkan dari jarak yang cukup jauh.
“Maaf guru” sebuah pameling dikirim Agung Sedayu secara
khusus hanya kepada gurunya. Ucapan yang bermaksud memohon
ijin.
Selanjutnya, entah dengan cara bagaimana, anak Ki Sadewa ini
tidak nampak melakukan tindakan sesuatu seperti halnya orang
tua yang mengujinya. Terlihat kaki Agung Sedayu sudah kembali
menapak di tanah seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Agung
Sedayu justru berjalan memutari kuda yang baru saja
ditungganginya, dan mengelus-elusnya sambil berucap “Kuda
hebat” dengan sedikit agak keras. Akibatnya sungguh luar biasa,
udara padat yang tadi mengangkat dirinya buyar tak berbekas. Di
serangan ini tingkat ungkapan ajian Kiai Watu Lintang belum
menampakkan bentuknya. Masih berupa getaran kuat yang
mampu mengangkat tubuh murid Kiai Gringsing ini beberapa
jengkal.
Yang dilakukan anak Ki Sadewa ini tidak sedang menangkis
atau menyerang balik. Tidak ada sikap khusus, sebagaimana
kebiasaan yang selalu dilakukan sebagian besar pendekar
kanuragan dalam menyikapi serangan lawan. Itulah kemudian
yang membuat dua orang tamu ini kaget dan terheran-heran.
Lontaran tenaga cadangan Agung Sedayu, yang tersalur lewat
suara dan membuyarkan serangan Kiai Watu Lintang itu
mendapat perhatian penuh dari Panembahan Linggo Probo atau
Panembahan Madakaripura.
“Tidak mungkin ilmu langka Tutur wicara yang setingkat
dengan tiwikrama itu sampai ke wilayah ini. Ajian yang dilepas
oleh murid Raden Timur itu pasti bukan ajian yang sama dengan
ajian yang hanya dimiliki oleh orang setingkat Eyang Mada atau
sinuhun Prabu Brawijaya. Pasti bukan”, batin Panembahan.
Dua ajian yang hampir setingkat, namun berbeda, meskipun
sama-sama bersifat merubah dari bentuk asal ajian itu sendiri.
Tiwikrama merubah bentuk wadag menjadi bentuk lain sesuai
dengan keinginan pemiliknya. Dan Tutur wicara merubah
hamparan suara menjadi gelombang padat yang mempunyai

ANONIM 57
SURYA MATARAM JILID 11

kemampuan menahan serangan dan juga menyerang tak ubahnya


sebentuk senjata logam atau sejenisnya sesuai keinginan
pemiliknya. Sifat suara sebagai asal kekuatan berubah bentuk dan
sifatnya.
Sangat berbeda dengan Gelap Ngampar yang sama-sama
bersumber dari lontaran suara. Gelap ngampar menyerang lawan
tetap dalam sifat dan bentuknya sebagai suara yang termuati oleh
tenaga cadangan yang sangat kuat, sehingga mampu merontokkan
jantung lawan. Setidaknya mempengaruhi jiwani lawan.
Dalam pada itu, sisi lain pandangan Kiai Watu Lintang
terhadap Sikap Agung Sedayu yang demikian, ternyata lambat
laun menaikkan rasa jengkel di dada Kiai Watu Lintang. Meskipun
masih dalam batas wajar.
Selanjutnya yang dilakukan oleh orang tua ini kemudian adalah
makin meningkatkan ungkapan ajian khusus itu berlipat lipat.
Tindakan lanjutan yang dilakukan oleh Kiai Watu Lintang kali ini
bukan lagi sebersih niatan awal, sebab sudah terkotori oleh rasa
jengkel yang makin menguat di jantungnya.
Nampak kemudian sinar pipih selebar sejengkal memancar dari
dua telapak tangan Kiai Watu Lintang yang terbuka menghadap
kedepan di depan perut.
Cahaya pipih itu kemudian menerobos diantara alas kaki dan
tanah yang diinjak oleh Agung Sedayu, kemudian kembali
mengangkat tubuh Agung Sedayu setinggi dua jengkal mengapung
diatas tanah.
Tubuh Agung Sedayu pun terangkat, namun kembali kejadian
serupa seperti kejadian awal kembali terulang. Beberapa kejapan,
Agung Sedayu sudah kembali menapak tanah.
Selanjutnya yang dilakukan Agung Sedayu membuat tamu
gurunya membelalakkan mata lebar-lebar. Nampak oleh mereka
murid orang yang dipanggilnya dengan Raden itu menekankan
kakinya kebawah. Yang terjadi selanjutnya membuat Kiai
Gringsing menarik nafas dalam-dalam. “Kiranya putra kakang
Sadewa ini sudah mampu menelusur asal dari ilmu lawannya”.

ANONIM 58
SURYA MATARAM JILID 11

Sinar atau cahaya berbentuk pipih lebar sejengkal itu tertindih


bobot tubuh Agung Sedayu, dan bergerak turun, tak ubahnya
seperti sebuah papan jungkitan, yang bisa naik turun sesuai
tekanan atau bobot yang menindihnya. Pameran kekuatan yang
dilakukan oleh orang tua dari bang wetan itu seolah tidak
berpengaruh apa-apa terhadap suami Sekar Mirah ini.
Selanjutnya hamparan cahaya putih lebar sejengkal dari tangan
terbuka Kiai Watu Lintang itu menjadi retak-retak seperti benda
padat sesungguhnya, kemudian rontok hancur berkeping-keping,
tak ubahnya seperti papan kayu yang tidak kuat menahan tekanan
dan beban sangat kuat.
Sesuatu yang sangat mustahil, sifat cahaya berubah menjadi
benar-benar padat dan bisa rontok berkeping-keping, meskipun
kemudian hilang tak berbekas, setelah balik kembali ke sifat asal
sebagai cahaya.
Pemilik ilmu itu sendiri dibuat tak percaya dengan apa yang
dilakukan murid orang yang baru mereka kenal beberapa hari lalu
itu. Sesuatu yang sangat mustahil, meskipun sebenarnya sangat
bisa dijelaskan dengan nalar biasa bagi mereka yang bergelut pada
keilmuan serupa.
Yang terjadi sesungguhnya adalah, hamparan tenaga cadangan
Agung Sedayu tidak hanya sebagai alat bertahan dan menyerang,
namun mempunyai sisi kekuatan lain, yaitu merubah hamparan
cahaya yang bersifat panas dari Kiai Watu Lintang, menjadi benar-
benar padat ketika bersentuhan dengan tenaga cadangan Agung
Sedayu yang sengaja melontarkan hamparan tenaga cadangannya
dengan sifat dingin. Maka ketika terjadi pertemuan dan sentuhan
dua sifat yang berbeda ini, hamparan sifat panas cahaya menjadi
beku dan memadat.
Kenapa hal yang demikian benar-benar terjadi dan benar-benar
nyata? Sesungguhnya cahaya yang tercipta dari tangan Kiai Watu
Lintang bukanlah cahaya sesungguhnya, tidak sama dengan yang
telah tercipta oleh Yang Maha Agung. Tetapi sebentuk cahaya yang
berasal dari ungkapan kemampuan ajian Kanuragan yang telah
diolah sedemikian rupa. Sehingga bisa dipahami, asal cahaya itu
bukan dari cahaya itu sendiri tapi dari bentuk padat tenaga

ANONIM 59
SURYA MATARAM JILID 11

cadangan yang terurai menjadi sangat lembut, seolah olah


menyerupai sinar. Jadi sesungguhnya asal cahaya ajian Kiai Watu
Lintang adalah berasal dari bentuk padat yang dilontarkan keluar
dalam bentuk seperti cahaya atau sinar.
Cara yang dilakukan Agung Sedayu menanggapi ujian yang
kedua ini benar-benar membuat basah punggung Kiai Watu
Lintang. Keringat orang tua ini pun seolah terperas habis.
Melihat teman sejawatnya yang kesulitan, Panembahan Linggo
Probo berusaha membantu dengan caranya yang khusus pula.
Sebuah ajian yang bernama Gajah Panewu diungkapnya untuk
menarik tubuh Agung Sedayu mendekat ke arah mereka yang
berada diatas pendapa. Gajah Panewu terkenal sebagai ajian yang
memiliki kekuatan menarik dan mendorong seperti kekuatan
ratusan gajah. Ilmu dan ajian yang dipercaya sebagai warisan dari
eyang Mada.
Dengan ajian ini pada masa lampau Patih kawentar pengiring
Majapahit itu menghadapi lawan-lawannya yang berjumlah
ratusan seorang diri.
Hal itu kini dibuktikan oleh Agung Sedayu, bagaimana kuatnya
kekuatan yang dilepas oleh orang dari bang wetan ini. Beberapa
saat terjadi tarik menarik dua kekuatan yang sangat besar, yang
hanya bisa disaksikan oleh mereka yang berada pada tingkatan
khusus. Kekuatan menarik yang dilakukan oleh Panembahan
Linggo Probo tidak hanya menyeret tubuh Agung Sedayu beberapa
langkah mendekati pendapa.
Kuda yang tertali di patoknya ikut pula tertarik dan menjebol
patok sebagai tempat pengikat dan tambatan kuda itu. Tidak
sampai disitu, baik tubuh Agung Sedayu maupun tubuh kuda yang
demikian tegar, saat itu menjadi lumpuh dan tidak berdaya
melepas jiratan tak kasat mata dari ungkapan ajian Panembahan
Madakaripura ini, hingga terseret beberapa langkah lagi. Namun
hingga beberapa saat Agung Sedayu masih bertahan pada titik
terakhir dimana dirinya mampu bertahan.
Menanggapi tindakan dua orang tamu ini, tidak hanya Agung
Sedayu, Kiai Gringsing pun merasakan kekecewaan yang sama.
Apa yang dilakukan tamunya tentulah dalam pengamatannya yang
ANONIM 60
SURYA MATARAM JILID 11

seksama, meskipun tamu yang bernama Kiai Watu Lintang dan


Panembahan Linggo Probo ini memiliki cara yang khusus dalam
mengungkapkan kelebihannya.
Bagi orang biasa mungkin akan sulit melihat, kalau
sesungguhnya dalam diamnya orang tua ini sedang mengungkap-
kan ajian yang nggegirisi. Kiai Gringsing dan Agung Sedayu pun
paham pula kalau orang tua dari bang Wetan ini tidak bermaksud
jelek, namun kalau sekedar untuk menilai dirinya tidaklah harus
dengan cara yang demikian. Apalagi Kiai Gringsing sudah tidak
lagi mempedulikan asal usul dan keturunan. Dengan demikian apa
yang dilakukan oleh tamunya ini adalah sesuatu yang sangat tidak
penting dan hanya tindakan yang sia-sia.
Sebelum berangkat ke Menoreh, Agung Sedayu sudah
mendapat keterangan dari gurunya, kalau menjelang dini hari,
saat ini ada tamu dua orang dari bang wetan yang harus ditemui
sekaligus disambut kedatangannya dengan rasa hormat sesuai niat
baik mereka. Demikian pesan gurunya.
Tidak pernah terlintas dalam pikiran sebelumnya akan
mendapati kenyataan seperti saat ini. Kiai Gringsing merasa
bersyukur dengan sikap yang ditunjukkan Agung Sedayu. Yang
terjadi saat ini, untuk beberapa kepentingan, kehormatan
perguruan haruslah tetap dijaga. Sehingga apa yang dilakukan
oleh murid kesayangannya itu kemudian bisa dimengertinya
sebagai upaya sekedar menjaga nama baik perguruan yang telah
membesarkannya. Dan memberikan gambaran kepada mereka,
Mataram sebagai penerus Majapahit bukanlah sebuah kekuasaan
yang lemah. Kalaupun tidak saat ini, yang terjadi kali ini suatu saat
akan terjadi pula dengan maksud dan tujuan yang mungkin
berbeda.
Sesuatu yang wajar terjadi di kalangan banyak orang dan
kelompok untuk menempatkan diri pada tingkatan tertentu agar
diakui kelebihan dan ketinggian atas kelompok lain., dengan saling
menguji atau bahkan saling bertempur dalam arti sesungguhnya
hanya untuk menentukan siapa yang dianggap terkuat diantara
yang lain.

ANONIM 61
SURYA MATARAM JILID 11

Kebiasaan demikian tidak berlaku lagi bagi dua orang


padepokan Jati Anom ini. Namun malam ini mereka terpaksa
merasakan sesuatu yang selama ini tidak ingin dirasakan. Menguji
kemampuan hanya sekedar dianggap lebih mumpuni dari yang
lain. Demikianlah yang harus terjadi. Tidak hanya alasan pribadi
dan perguruan, tapi kepentingan yang jauh lebih besar menjadi
alas tindakan Agung Sedayu kali ini, yaitu kehormatan Mataram.
“Lakukan yang terbaik untuk Mataram ngger, meskipun tetap
dalam batas-batas tertentu”. Pameling gurunya memperkuat tekad
Agung Sedayu untuk bertindak lebih lanjut menanggapi serangan
dua orang tamu gurunya itu. Sebelumnya ada perasaan enggan
untuk betul-betul menanggapi ujian tamunya dengan cara serius.
Melihat dan mengamati keadaan yang makin runcing, Kiai
Gringsing tidak ingin pula mengorbankan murid kesayangannya
ini. Hingga pada batas tertentu dia sangat berhak untuk
menghentikan cara yang menurutnya sudah tidak layak ini.
Bahkan mungkin meminta pertanggungan jawab kepada kedua
tamunya, apabila cara mereka ini melukai dan beresiko buruk bagi
muridnya.
Dua kekuatan saling tarik menarik masih tetap berlangsung.
Tidak sekedar itu saja, sesungguhnya pertempuran yang mereka
lakukan jauh lebih beresiko dan berbahaya dibanding bertempur
dengan senjata tajam dan sejenisnya. Bahkan luka yang akan
timbul akibat pertempuran yang tidak perlu ini akan berakibat
sangat parah bagi masing-masing pihak yang kalah. Luka dalam
yang ditimbulkan oleh gempuran tenaga cadangan dalam
tingkatan yang sangat tinggi sangat berbahaya bagi keselamatan
mereka.
Beberapa kali tubuh Agung Sedayu berhasil mundur beberapa
jengkal, namun kemudian tertarik ke depan beberapa jengkal pula.
Bahkan makin lama makin mendekat kearah pendapa.
Sampai pada keadaan mampu menarik tubuh Agung Sedayu
dan kuda yang juga ikut terseret ini, Panembahan Madakaripura
mengerahkan kemampuan hampir mencapai puncaknya.
Demikian pula Agung Sedayu. Dalam mempertahankan diri
agar tidak terseret lebih jauh, sudah mengungkap pula kekuatan
ANONIM 62
SURYA MATARAM JILID 11

yang hampir mencapai puncaknya. Disaat keadaan yang


mengkhawatirkan saat itu, terpikir olehnya nasib kuda pinjaman
dari Panembahan Senopati. Bukan berarti keselamatan nyawa
kuda itu lebih penting dari nyawanya sendiri, namun rasa
tanggung jawabnya terhadap kepercayaan dari raja Mataram itu
diperhitungkannya pula.
Pertempuran yang sesungguhnya sangat tidak adil baginya.
Apabila dalam kesempatan ini dia menumpahkan kemarahan
dengan menyerang kedua lawannya, bukanlah sesuatu yang
berlebihan. Pameling yang baru saja dikirim gurunya,
memberikan jalan terang bagi keputusan yang harus diambilnya
kemudian. Sebisa mungkin secepatnya mengakhiri pertempuran
ini dengan resiko sekecil kecilnya.
Detik-detik selanjutnya, di halaman pendapa nampak tubuh
Agung Sedayu makin terseret sejengkal demi sejengkal.
Dibelakangnya nampak guratan yang cukup dalam di tanah dari
kaki kuda yang ikut terseret. Apabila tidak dalam perlindungan
Agung Sedayu, pastilah tubuh kuda itu sudah tertarik dan
terlempar menabrak tiang pendapa.
Disaat yang benar-benar kritis, nampak mata Panembahan
Linggo Probo terpejam, berusaha mencapai puncak tertinggi ajian
Gajah Panewu yang diungkapnya. Disaat yang sama, nampak
kemudian tubuh Agung Sedayu duduk bersila kemudian bergerak
sedikit bergeser kesamping melepaskan diri dari jalur yang sejajar
dengan kuda yang tadi ada di belakangnya.
Dengan geseran tempat yang dilakukan oleh Agung Sedayu ini,
maka kini kuda tegar itu tidak lagi terkena sentuhan daya tarik
ajian orang bang wetan itu.
Tanpa sepengetahuan Panembahan Linggo Probo yang sedang
memejamkan matanya, tubuh Agung Sedayu nampak mengabur
seperti kabut. Nampak tubuh yang sebentar mengabur itu terseret
makin jauh kedepan.
Orang bang wetan itu pun tersenyum dalam pejaman matanya,
karena merasakan perlawanan lawan yang makin mengendor. Hal
yang demikian berlangsung beberapa lama hingga Panembahan
kehabisan nafas. Namun dipastikan lawannya sudah menyerah.
ANONIM 63
SURYA MATARAM JILID 11

Diapun melepas ajiannya, dan berkata, “Akhirnya murid Raden


menyerah dengan ajianku”. Panembahan dari bang wetan ini
berkata senang atas usahanya. Matanya melihat seseorang yang
tadi diserangnya sudah berada di undakan pendapa. Duduk diam
sambil menunduk.
“Aku ikut senang kisanak, sehingga permainan ini tidak perlu
diteruskan. Tidak ada guna dan manfaat bagi kita. Tapi Kalian
salah kisanak. Tidak ada yang menyerah, tengoklah kemari” desis
Kiai Gringsing.
Saat itu mereka bertiga memang menghadap kearah halaman
pendapa, dan posisi duduk mereka berdua membelakangi Kiai
Gringsing. Mereka berdua pun menengok kebelakang. Nampak
seseorang duduk diam dengan menundukkan mukanya.
Pakaian, ikat kepala serta potongan tubuh sama persis dengan
yang duduk di depan pendapa. Bahkan kemudian seseorang yang
sama berjalan dari arah pintu regol padepokan, kemudian
membawa kuda pada patok tambatan kuda yang tersisa.
Mereka berdua memandang pulang balik ke beberapa orang
yang sama. “Apakah aku tadi menghadapi orang dengan ilmu ajian
kakang kawah yang nggegirisi itu Raden?”.
“Silahkan dinilai sendiri”.
“Apa yang telah membuat kisanak berdua melakukan itu
semua. Kalau kebetulan yang kisanak perlakukan demikian orang
yang tidak memiliki kemampuan cukup, apa kira-kira yang
terjadi?” kata Kiai Gringsing sedikit mengungkapkan
kejengkelannya.
“Bukankah dia murid Raden yang terkenal itu? Aku merasa
pasti siapa dia adanya. Kalau orang lain kami berdua tentu tidak
akan melakukannya”.
“Untung angger Sedayu yang kalian perlakukan begitu. Dia
cukup sabar menanggapi persoalan. Aku tidak bisa bayangkan
kalau yang kalian perlakukan demikian adalah pamannya, apalagi
adik seperguruannya. Pasti di padepokan ini terjadi karang
Abang”. Ucap Kiai Gringsing dengan perasaan perih mengingat
kemampuan Swandaru yang terlampau jauh dari harapannya.
ANONIM 64
SURYA MATARAM JILID 11

Namun ucapan Kiai Gringsing makin menempatkan padepokan


Jati Anom sebagai padepokan yang memiliki anak-anak murid
yang mumpuni. Dan itu adalah salah satu cara mempengaruhi
jiwani orang lain.
“Cara kami memang salah Raden, namun dengan demikian
keyakinan kami menjadi mantap. Dengan siapa kami berhadapan.
Tentulah kami tidak salah orang, sesuai dengan keterangan yang
kami terima. Raden lah orang yang harus kami temui menyikapi
gerakan kelompok yang mengaku-aku sebagai penerus
Majapahit”.
“Tadinya kami berharap akan mendapat serangan balasan
dengan senjata cambuk yang sangat terkenal itu Raden” sela Kiai
Watu Lintang.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam kemudian
menjawab. “Kalau angger Sedayu mempergunakan cambuknya
menanggapi serangan kisanak berdua, mungkin akan berbeda
hasil dan akibatnya!” jawaban yang sangat tegas diberikan Kiai
Gringsing.
Mereka berdua cukup maklum dengan maksud pemilik
padepokan ini. Meskipun dengan keyakinan tipis, mereka merasa
sanggup menahan kedahsyatan ilmu cambuk itu dengan ajian-
ajian mereka yang lain. Meskipun di titik akhir nyawa adalah
taruhannya.
“Sudahlah kisanak, tidak perlu lagi segala sesuatunya
diperpanjang. Masa lalu cukuplah sebagai kenangan. Kalau saat ini
masa lalu yang kurang baik ingin diperbaiki saat ini, masih tetap
terbuka kemungkinan selagi nyawa masih kerasan di wadag kita”.
Kediaman sejenak membekukan pendapa kecil padepokan Jati
Anom.
Ditengah malam disaat Agung Sedayu memacu kuda menuju
Mataram, sesuai yang telah disepakati, Pandan Wangi menemui
eyang Jenar sebagaimana biasanya. Di akhir pertemuan setelah
mengajarkan bagian terakhir dari tembang kesembilan, eyang
Jenar meminta Pandan Wangi untuk mengambil sikap duduk
berselonjor kaki. Sesuatu dilakukan oleh orang hebat angkatan

ANONIM 65
SURYA MATARAM JILID 11

masa Demak ini. Beberapa kali tangan orang tua ini mengusap
telapak kaki hingga pergelangan kaki Pandan Wangi. Tangan
orang tua itu bergerak mengusap sejari diatas kulit kaki. Terasa
oleh perempuan Menoreh ini rasa hangat dan makin panas
berputar putar di daerah yang diusap.
“Mungkin kau akan membutuhkan kakimu lebih dari biasanya
nduk. Aku sekedar membantu agar kemampuanmu berlari cepat
sejajar dengan kuda yang tadi siang itu. Bahkan mungkin
kecepatan larimu sejajar dengan penunggang kuda yang kau
kagumi itu”.
Wajah Pandan Wangi nampak memerah sesaat. “Eyang suka
meramal. Darimana kakek tahu?”.
“Aku telah hidup lebih lama dari ayahmu sendiri nduk. Aku
tahu segalanya. Kau tidak usah bohong soal yang satu ini”.
Waktu demikian singkat dilalui oleh eyang Jenar untuk
merubah Pandan Wangi. Kanuragan yang sekedar menempel pada
wadag Pandan Wangi yang hanya bersifat sementara. Arus
kekuatan khusus yang dicipta dengan cara khusus pula oleh eyang
Jenar melalui bait-bait kidung dengan tata cara pembacaan yang
sudah ditentukan sesuai sifat yang dimiliki oleh kidung yang
bersangkutan. Pengaturan dan olah napas yang disesuaikan
dengan lafadz dan bunyi tembang adalah sekedar landasan untuk
menempelkan arus kekuatan yang sudah dimiliki oleh eyang Jenar
sebelumnya. Dengan kata lain “sesuatu” yang dipinjamkan ke
Pandan Wangi membutuhkan tempat atau wadah bergantung.
Dan wadag Pandan Wangi berfungsi sebagai penghantar bagi
pembuktian dari “sesuatu” yang telah dipinjamkan oleh eyang
Jenar tersebut.
Pertemuan mereka berdua hampir selesai. Sesuatu yang
penting ingin disampaikan oleh orang tua ini, namun masih
menunggu sejenak hingga jiwani Pandan Wangi siap.
“Ada sesuatu yang ingin eyang sampaikan?”.
“Nduk yang kulakukan mungkin akan menjerumuskanmu pada
kubangan pertikaian yang tidak perlu. Tapi jiwa prajuritku tidak
pernah bisa aku padamkan. Aku ingin berbuat sendiri, tapi tempat

ANONIM 66
SURYA MATARAM JILID 11

dan kesempatanku untuk itu sudah habis. Itulah kemudian yang


mendorongku untuk mencari seseorang yang bisa menggantikan-
nya. Dan itu jatuh pada dirimu. Apakah ini sebuah kebetulan atau
keterpaksaan aku tidak tahu. Memilih seorang perempuan adalah
kesempatan yang harus aku ambil. kalau pilihanku ini tepat, maka
dia bisa melanjutkan memperdalam kanuragannya pada
seseorang dengan cara nyata dan sewajarnya. Karena kebetulan
pewaris tunggal ilmu induk dari sempalan ajian itu saat ini adalah
juga seorang perempuan. Dan perempuan yang sudah aku pilih itu
adalah kamu nduk. Aku berharap kau adalah pilihanku yang
benar”.
Alam sedang diam, berada pada titik tengah. Eyang Jenar
berhenti berbicara menunggu saat putaran waktu bergeser
sejenak. “Aku mempunyai kakak seperguruan, kakang Kanigoro,
dialah pemilik kanuragan dan ajian ini, aku satu-satunya yang
mendapat bimbingannya untuk menguasai ajian ini hingga tuntas.
Aku yakini kakang Kanigoro masih hidup. Sebab aku menemukan
ciri-ciri dan tanda yang ditinggalkan. Tanda itu pernah aku jumpai
di rumahmu Sangkal Putung”.
“Orang tua yang membawa joran pancing?”.
“Kau menjumpainya?”.
“Disaat itu aku seperti orang tak sadar dengan diriku, tapi aku
mengingat orang tua sesudahnya setelah orang tua itu berlalu.
Orang yang sangat tua itu yang menyuruhku masuk kedalam
rumah saat itu” Pandan Wangi tiba-tiba menggigil, tubuhnya
bergetar.
“Kalau benar orang yang membawa joran pancing itu adalah
orang yang eyang maksud, aku memang menjumpainya”.
Sejenak eyang Jenar terdiam, mengurai tanda-tanda yang dia
jumpai.
“Sekali lagi, entah kebetulan atau memang sudah menjadi
nasibmu. Aku melihat tanda yang ditinggalkan oleh kakang Kebo
Kanigoro itu di rumahmu Sangkal Putung. Mungkin artinya aku
memang harus menemuimu”.

ANONIM 67
SURYA MATARAM JILID 11

“Bukankah ada kakang Swandaru sebagai pewaris rumah


Sangkal Putung, aku hanyalah anak mantu?”.
“Aku mencari yang perempuan seperti kataku tadi”.
Kebahagiaan yang sulit diurai oleh eyang Jenar mendengar
Pandan Wangi bertemu orang yang sangat dihormatinya itu.
Dengan demikian keyakinannya tentang Kebo Kanigoro masih
hidup hingga saat ini benar adanya. Dan sangat mungkin untuk
ditemuinya.
“Berkaitan dengan ini semua, Sangkal Putung membutuhkan
seseorang yang bisa membantu memulihkan keadaan untuk
beberapa waktu kedepan. Bukan Mataram tidak mampu menjaga
wilayahnya, tapi situasinya yang membuat Mataram kerepotan
untuk menjaga ketentraman hidup penghuninya. Saat ini kaulah
salah satu yang aku harapkan bisa membantu Mataram dengan
membantu kesulitan Sangkal Putung dan sekitarnya. Wilayah
Mataram terlalu luas untuk diselesaikan orang bercambuk dan
muridnya itu nduk”.
“Aku harus bagaimana eyang? Menoreh demikian jauh dengan
Sangkal Putung. Pulang kembali ke Sangkal Putung juga tidak
mungkin untuk saat ini. Tentu ayah akan melarang ku”.
“Kau tidak perlu pulang ke Sangkal Putung, tidak perlu pula
pamit untuk ikut membantu Sangkal Putung. Kau tetap berada di
Menoreh. Hanya disaat khusus kau pergi ke Sangkal Putung
dengan cepat dan diam-diam”.
“Aku tidak mengerti eyang”.
“Kau bisa melakukan perjalanan tanpa kuda, bolak balik
Menoreh Sangkal Putung dalam waktu cepat. Ilmu lari cepatmu
sudah meningkat berlipat lipat dari sebelumnya”.
“Benar demikian eyang?!”.
Orang tua itu tidak menjawab hanya menarik nafas panjang.
“Setelah ini kau bisa mempergunakan sesuai kebutuhanmu”
pungkas eyang Jenar.
“Satu hal yang harus kau ingat dan kau jaga. Kerahasiaan
dirimu pertahankan sebisa mungkin. Dunia Kanuragan dalam
ANONIM 68
SURYA MATARAM JILID 11

tataran tertentu dipenuhi dendam yang tak pernah putus. Setiap


kali kau berbuat sesuatu untuk kepentingan penyelamatan
kehidupan bebrayan, pakai selubung kainmu. Agar dirimu tidak
menjadi korban dendam sesudahnya. Karena yang ada dalam
dirimu saat ini hanya bersifat sementara. Aku tidak menghendaki
dendam orang-orang itu datang disaat kau berada dalam keadaan
lemah, atau kau sudah tidak lagi dalam selubung ilmu dan ajian
yang aku pinjamkan. Dan itu tentu sangat berbahaya bagi dirimu”.
Pandan Wangi tertunduk lesu. Tidak bisa menanggapi ucapan
orang tua ini. Berbagai macam bayangan tentang kemungkinan di
hari-hari mendatang seolah hadir disaat itu.
“Itulah kemudian aku menginginkanmu untuk selanjutnya bisa
ngangsu kawruh babagan kanuragan dan aji kesaktian sebagai
pengganti kanuragan yang nantinya aku ambil kembali”.
“Aku menunggu petunjuk eyang, kepada siapa aku mencari
tentang itu semua untuk selanjutnya. Tadi Eyang katakan
pewarisnya adalah seorang perempuan?”.
“Benar, seorang perempuan, dan sekarang sudah disini, lihat
kesana”.
Tentu saja Pandan Wangi kaget luar biasa, dan menoleh kearah
yang ditunjuk eyang Jenar. Seorang perempuan cukup tua
kemudian melangkah ringan menuju mereka.
Dalam remang malam, sisa kecantikan di masa muda masih
cukup nampak dalam pandangan Pandan Wangi sebagai sesama
perempuan. Kerutan di wajah menghiasi wajah yang nampak
bening bersinar.
Endang Widuri di saat anak-anak yang selalu ceria dan sangat
cerewet, di usia dewasa telah berubah menjadi perempuan matang
dan sangat pendiam, semenjak berpisah dengan ayahandanya
yang tidak pernah diketahui berada dimana.
Kini titik terang kembali muncul di angkasa luas, harapan
bertemu dengan ayah kandungnya kembali menjadi bagian
penting dalam kisah disaat saat akhir perjalanan hidupnya.

ANONIM 69
SURYA MATARAM JILID 11

Semua diketahuinya melalui eyang Jenar disaat terakhir


beberapa kali mengunjunginya. Dan permintaan guru suaminya
itu untuk menjadi pembimbing Pandan Wangi disetujuinya pula.
“Suamimu tidak ikut kemari?”.
Perempuan itu menggeleng. “Kakang Arya Salaka sedang malas
pergi ayah”.
“Nduk, sambut dia, dialah nanti yang akan menjadi
pembimbingmu”.
Pandan Wangi dengan tergesa mendatangi dan berjongkok
dihadapan perempuan itu dan meraih tangannya, serta
menciumnya.
“Perkenalkan nduk, dia kanjeng ibumu yang baru, kanjeng ibu
Endang Widuri. Dia berkenan mengangkatmu sebagai anak.
Meskipun tidak untuk diberitahukan kepada yang lain. Kecuali ke
ayah kandungmu Ki Argapati” desis eyang Jenar dengan sedikit
tergetar.
“Salam hormat kepada kanjeng ibu Endang Widuri. Ananda
Pandan Wangi merasa ini semua bagai mimpi ibu”.
“Aku terima salam hormatmu nduk, mari kita duduk”.
Sejenak kemudian eyang Jenar kembali berkata, “Kanjeng
ibumu adalah putri satu-satunya dari kakang Kebo Kanigoro. Sejak
dulu terbiasa memanggilku ayah. Karena suaminya Arya Salaka
adalah muridku satu-satunya”.
Pertemuan yang luar biasa, lepas dari tangkapan dan perkiraan
siapapun, kalau ternyata perjalanan hidup Pandan Wangi akan
menjadi sedemikian rupa. Tentu saja saat-saat mendatang
bukanlah saat yang mudah untuk dilalui. Pusaran waktu yang akan
menjadi saksi selanjutnya.
“Banyak yang harus kau ketahui pada saat ini nduk. Malam ini
saat terakhir aku membimbingmu, mungkin kita tidak bertemu
lagi hingga batas waktu nanti aku datang kembali mengambil
sesuatu yang telah aku titipkan kepadamu. Selanjutnya tugasku
digantikan oleh kanjeng ibumu ini. Satu hal penting yang harus
kau ketahui diantaranya tentang Sangkal Putung dan daerah
ANONIM 70
SURYA MATARAM JILID 11

seputar istana Mataram yang terancam oleh kelompok yang


menghendaki kekayaan Mataram tanpa mau bersusah payah.
Semua akan aku ceritakan, keputusan nantinya ada di tanganmu.
Kau rela berbuat atau sekedar menunggu pihak Mataram
menunaikan kewajibannya sebagai pelindung rakyatnya”.
Jadilah malam itu, menjadi malam keramat bagi Pandan
Wangi. Petunjuk dan berbagai macamnya diterima dan
dipahaminya dengan baik. Namun demikian semua akan terlewati
seiring kepentingan dan waktu yang sedang berputar pasti.
Penempatan pasukan Mataram di seputar wilayah Sangkal
Putung dan Kademangan yang saling berbatasan menciptakan
kesulitan tersendiri bagi Mataram dalam hal ini Ki daganganmu
Patih yang memegang kepemimpinan prajurit Mataram dalam
tugas khusus ini. Membangun hubungan yang terus menerus guna
menyampaikan hasil pengamatan dan penyampaian hasil kerja
pasukan telik sandi menjadi bagian yang sangat penting.
Padepokan Jati Anom menyebar cantrik cantriknya untuk
ngawulo di rumah-rumah penduduk untuk sementara demi
kepentingan ini.
Glagah Putih dan gurunya terpaksa mondar mandir dalam jarak
yang jauh untuk bisa berhubungan dengan pos penjagaan yang
ditetapkan oleh Ki Patih sebagai pos prajurit yang dipercaya.
Petinggi Mataram saling memandang curiga antara satu sama
lain menanggapi persoalan diluar istana yang ternyata
menciptakan suasana didalam wilayah dalam keraton ikut terasa
gerah.
Keadaan yang sengaja diciptakan dalam suasana senyap, agar
cara yang sedang diterapkan Ki Patih berhasil baik tidak semudah
yang diharapkan. Keadaan yang cukup ganjil terhadap senyapnya
suasana Mataram menjadi sesuatu yang diperhitungan oleh
kelompok penyusup yang kini telah berhasil mempengaruhi
beberapa pejabat istana. Bahkan Pangeran Benowo yang berada
diluar persoalan ini ikut pula menjadi bagian langsung secara tidak
sengaja.

ANONIM 71
SURYA MATARAM JILID 11

Siang yang sangat terik memaksa Glagah Putih dan gurunya


beristirahat di sudut pasar Kademangan Janti, dibawah pohon
beringin yang sangat besar dimana beberapa penjual dawet
menjual dagangannya.
Beberapa orang memanfaatkan rindangnya pohon beringin
besar itu untuk sekedar beristirahat dan merasakan sejuknya
angin semilir di siang hari itu.
Dalam pandangan mereka berdua, ada beberapa orang patut
dicurigai. Namun tentu harus dipastikan dengan mengorek
keterangan setelah ada pintu masuk untuk kepentingan itu.
Ki Jayaraga mencoba memancing suasana yang tadinya saling
berdiam diri. Meskipun diketahuinya dengan jelas tatapan mata
beberapa orang diantaranya adalah tatapan mata yang beringas
dan menakutkan. Ada satu orang yang memisahkan diri dari
sekumpulan orang-orang yang sedang membeli dawet, dengan
tiduran diatas akar yang besar menonjol. Akar yang sangat tidak
rata dan tentunya sangat tidak enak untuk dipakai tiduran seperti
itu. Namun orang tersebut nampak sangat lelap.
Semua nampak berjalan biasa, beberapa waktu mereka berdua
belum memesan minuman yang segar itu. Masih mencoba
mengamati keadaan dengan cara mereka yang tidak mencolok.
Seperti orang-orang lain yang berteduh dibawah terik Matahari
yang cukup panas.
Hingga kemudian penjual dawet menawari mereka minum.
“Kisanak hanya berteduh atau ingin memesan dawet. Kalau tidak
cepat memesan kalian tidak kebagian, ini tersisa tinggal beberapa
mangkok”.
Dalam waktu yang singkat, dalam pikiran Ki Jayaraga timbul
keinginan untuk memancing suasana. Ingin melihat tanggapan
orang-orang yang ada ditempat itu.
“Kami ingin minum dawetmu yang nampak segar itu kisanak,
tapi hari ini kami mengalami kejadian yang membuat kami
kehilangan bekal. Kalau kisanak tidak berkeberatan, bolehkah
kami berutang dua mangkuk dawet? Besok pasti kami bayar.
Rumahku tidak jauh dari sini”.

ANONIM 72
SURYA MATARAM JILID 11

Penjual dawet itu nampak menarik nafas dalam-dalam,


diambilnya dua mangkuk yang baru saja dicucinya untuk wadah
dawet yang diberikan kepada Ki Jayaraga dan Glagah Putih.
Terdengar kemudian seseorang berkata, “kisanak berdua
minumlah dawet sepuasmu, nanti aku yang bayar. Kalau kalian
masih lapar, di buntalan kain sebelahku ini ada jajan klepon yang
bisa kalian makan”. Orang yang tadi berbaring itu berkata sambil
sedikit membuka caping bambunya, kemudian kembali tidur
dengan memiringkan tubuh membelakangi mereka.
Ki Jayaraga dan Glagah Putih saling berpandangan. Sementara
penjual dawet itu beberapa kali mengerutkan kening dalam-
dalam. Kemudian berkata setengah berbisik. “Kalian adalah orang
kelima yang minum dawet gratis. Sebelumnya orang itu pula yang
membayar tiga orang yang lain sebelum kalian. Uangnya banyak”.
“Kisanak kenal orang itu?”.
Tukang dawet itu menggeleng. Aku tidak pernah melihat orang
itu sebelumnya”.
Ki Jayaraga berkata dengan agak keras, “kisanak terima kasih
atas kemurahan hatimu. Hausku akan hilang dengan dawet yang
kau belikan”.
Namun tidak terdengar jawaban. Orang itu kembali tidur.
Terdengar dengkur halus dari orang tersebut.
“Dia mungkin orang kaya, tapi sombong. Kita rampas uangnya,
mumpung keadaan jalanan sedang sepi”.
Suara bisik-bisik itu cukup pelan, tapi tidak cukup pelan bagi Ki
Jayaraga dan Glagah Putih. Segera saja Glagah Putih menghabis-
kan dawet yang tinggal beberapa teguk.
Nampak kemudian tiga orang berdiri. Dan beberapa yang lain
saling bergeser mengatur tempat duduknya. Ki Jayaraga mengeluh
dalam hati. “Ternyata beberapa orang ini adalah orang-orang
segolongan”.
Sementara orang yang tidur membelakangi mereka itu tetap
tidur, bahkan dengkurnya makin keras.

ANONIM 73
SURYA MATARAM JILID 11

“Ambil bungkusan itu. Uangnya pasti disimpan disitu”.


Perintah salah satu orang yang duduk sambil mengelus jenggotnya
yang jarang-jarang.
Dua orang bergegas mendatangi orang yang sedang berbaring
miring membelakangi itu. Namun secepat mereka bergerak
Glagah Putih sudah meloncat menghadang. Ki Jayaraga tidak
sempat melarang muridnya untuk menahan diri. Yang terjadi
kemudian adalah adu mulut diantara mereka. “Anak monyet apa
maksudmu menghadangku, kau pikir dirimu siapa?”.
“Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya tidak rela orang yang telah
menolongku kalian ganggu”.
“Begini saja dawetmu aku yang bayar. Tapi kemudian kau
jangan ganggu keinginanku mengambil barang orang yang sedang
tidur itu. Bagaimana?” kata orang tersebut yang ditutup dengan
tawa dari teman-temannya yang lain.
Nampak sudah, mereka ternyata memang ada hubungan satu
sama lain. Tentu saja tawaran orang itu cukup menggelikan
sekaligus menjengkelkan bagi Glagah Putih yang merasa
dipermainkan.
Dengan tergesa Ki Jayaraga menyahut. “Bukan begitu kisanak.
Kalau kami atau anakku itu menghalangi niat kalian bukan berarti
karena kami merasa berutang budi karena dibelikan dawet.
Memang dawet harganya berapa sehingga harus ditukar dengan
resiko yang mungkin kurang baik bagi kami?”.
“Kalau bukan karena hutang budi karena dawet, lantas apa yang
membuat kalian menghalangi kami. Atau mungkin tawaran jajan
klepon yang tadi dikatakan orang itu?”.
Kembali tawa keras meluncur dari orang-orang yang berjumlah
tujuh orang itu.
Sementara penjual dawet melihat keadaan yang makin tidak
menguntungkan terburu-buru membereskan dagangannya
bermaksud segera pergi dari tempat tersebut. Namun dia sedikit
bimbang untuk segera pergi, karena beberapa orang yang sudah
minum dawet atas tanggungan orang yang tidur itu belum
terbayar.
ANONIM 74
SURYA MATARAM JILID 11

Ki Jaya Raga melihat kebimbangan tukang dawet itu yang kini


bahkan berdiri dengan sedikit pucat karena melihat semua yang
ada di tempat tersebut sudah berdiri dengan tangan memegang
ujung landean golok yang masih terselip di pinggang masing-
masing.
“Kisanak cepatlah pergi, akupun akan segera pergi dari tempat
ini. Terimalah pembayaran dua mangkok dawet yang tadi aku
minum bersama anakku itu”.
“Jangan kisanak aku sudah berjanji membayar dawet kalian”.
Orang yang tadi tiduran itu ternyata telah bangun dan berjalan
mendatangi tukang dawet.
Betapa terkejutnya Ki Jayaraga dan Glagah Putih. Hampir
mereka menyebut nama orang yang sangat diseganinya itu.
Mereka berdua berusaha menahan keterkejutan dengan
berbagai cara. Bahkan Ki Jayaraga pura-pura duduk kembali di
lincak kecil di depan penjual dawet, dan Glagah Putih mengibas-
kibaskan kain yang tidak kotor. Keduanya menunggu tanda dari
orang itu yang bukan lain Pangeran Benowo adanya.
“Terimalah uangmu kisanak. Segeralah pergi. Jangan hiraukan
kami”.
Penjual itu pun bergegas pergi sambil terseok-seok membawa
dagangannya. Demikian pula dengan dua orang pedagang yang
lain, ikut pula meninggalkan tempat berjualan mereka.
Setelahnya, Pangeran Benowo berdiri menghadap tujuh orang
yang masih berdiri dengan sikap siaga berkelahi.
“Kalau kalian menghendaki uangku, ambillah. Aku hanya butuh
klepon yang ada didalam kampilku ini. Uangnya ambillah untuk
kalian. Tapi dengan sarat biarkan aku pergi dengan dua orang ini”.
Sambil tangannya melempar kampil setelah mengambil
bungkusan daun pisang berisi sisa klepon yang belum habis
dimakannya.
Kemudian mengajak pergi Glagah Putih dan Ki Jayaraga dari
tempat tersebut. Setelah beberapa langkah menjauh Pangeran
berbisik “Ikuti aku, kita bawa mereka ke ujung pategalan itu”.
ANONIM 75
SURYA MATARAM JILID 11

Perintahnya singkat. Mereka berdua menangkap maksud adik


Panembahan Senopati ini.
Orang yang menangkap lemparan kampil itu tidak segera
memeriksa isi dalam kampil tapi justru makin marah melihat tiga
orang itu pergi tidak menunggu persetujuannya.
“Kalian mau lari kemana. Berhenti…!” teriaknya.
Namun mereka bertiga berjalan makin kencang, kemudian
setengah berlari. “Kalian ikuti permainanku, mereka kita kelabui”.
“Baik Pangeran” jawab mereka berbarengan.
“Ingat jangan keliru memanggilku nanti kalau ada mereka di
dekat kita, panggil saja aku Ki Putut Demak”.
“Ingat Glagah Putih, jangan sampai keliru kau sebut Adipati
Demak!”.
Glagah Putih menanggapi ucapan gurunya dengan mencibirkan
mulutnya.
Ditempat yang dikehendaki Pangeran Benowo mengajak
mereka berhenti, menunggu tujuh orang yang mengejar. Mereka
kini berada di ujung jauh dari jalan utama. Tempat yang cukup
aman apabila terjadi sesuatu diluar perhitungan.
“Mau lari kemana kalian?!”.
Mereka telah sampai pula di tempat mereka bertiga, berdiri
berjajar dengan nafas terengah-engah. Beberapa orang memang
berbadan agak gemuk. Sehingga mudah sekali menjadi lelah.
Dari kenyataan ini mereka bertiga pun maklum, bahwa mereka
bukan dari kelompok yang memiliki kemampuan yang cukup
dalam Kanuragan. Hanya wadag dan muka mereka saja yang
cukup menakutkan.
“Kami tidak berlari kisanak, kami hanya takut kalau ada
prajurit Mataram yang lewat. Sementara kita sedang bertengkar.
Kalau disini aku pastikan cukup aman”.

ANONIM 76
SURYA MATARAM JILID 11

Jawaban yang cukup aneh bagi mereka, mereka berlari justru


mencari tempat untuk berkelahi agar tidak diketahui banyak orang
atau Prajurit Mataram.
“Apa maksud kalian. Kalian menantang kami?”.
“Tidak kisanak, kami tentu tidak akan bertempur dengan kawan
segolongan dan satu tujuan. Hanya saja kami khawatir, kalau
kalian tidak percaya dan memaksa kami bertempur dengan kalian,
maka kita semua akan ditangkap pasukan Mataram”.
Mereka bertujuh saling pandang. Keraguan mulai nampak di
wajah mereka. Alasan yang diberikan sangat mungkin terjadi dan
masuk akal mereka.
“Kalian siapa dan kami siapa, dengan alasan apa kalian sebut
kami kawan segolongan, kenal pun tidak!”.
“Kepada orang lain kalian bisa bersembunyi, tapi kepada teman
segolongan tentu tidak bisa. Sebenarnya kami bertiga adalah
bagian kelompok yang sekarang menginap dan bersembunyi di
rumah Nyai Jinong pimpinan Panembahan Gumbolo. Apakah
kalian masih tidak percaya?”.
Tentu saja tujuh orang ini kaget, dan langsung percaya. Sebab
keberadaan kelompok itu di Padukuhan Janti sangatlah rahasia,
dan orang itu bisa mengatakan tepat seperti kenyataannya. Oleh
karenanya sikap mereka seketika berubah.
“Kalian sembrono. Kalau tadi kita terjadi salah paham dan
berkelahi dibawah pohon beringin itu pasti akan menarik
perhatian dan kemudian ditangkap pasukan Mataram. Kalau itu
benar-benar terjadi kalianlah yang dianggap merusak rencana
kami. Dan aku bisa melaporkan kalian kepada orang yang sakti itu.
Kalian pasti mati. Apa jawab kalian!”.
Pucat pasilah mereka mendengarnya, salah seorang pemimpin
mereka itu kemudian berkata. “Kami mohon maaf, kami ceroboh.
Tapi kami tetap setia mengikuti perintah dari pimpinan tertinggi”
ucapnya dengan takut.
“Sementara ini, apa yang telah diperintahkan kepada kalian.
Katakan, sebab ada perintah susulan yang harus kalian ketahui.

ANONIM 77
SURYA MATARAM JILID 11

Tapi katakan dulu perintah apa yang telah sampai kepada kalian”
desak Pangeran Benowo.
Setelah beberapa saat berunding dengan teman-temannya
orang yang dianggap mewakili dari mereka itu pun berkata
kemudian, “untuk diketahui kisanak, kami yakin dengan adanya
kalian sebagai petugas khusus yang diterjunkan oleh orang tua
yang pilih tanding itu. Keberadaan kami di tempat tadi adalah
untuk mengawasi keluar masuknya prajurit Mataram, sehingga
kami bisa menentukan lebih jauh kesiagaan prajurit Mataram.
Dengan demikian kami bisa tentukan berapa besar kekuatan yang
akan diturunkan untuk mengimbangi prajurit Mataram”.
“Menurutmu seberapa kuat dan seberapa siapnya Mataram”.
Sambil tertawa orang itu berkata selanjutnya. “Mataram sedang
tertidur kisanak. Sejak pagi tidak ada satu pun prajurit yang
nampak berbaris, apalagi pasukan yang mengambil sikap siaga.
Semua adem tidak ada pergerakan apa-apa. Gerakan senyap kami
tak sedikit pun terendus oleh telik sandi Mataram. Menurut kami
kekuatan yang kita miliki terlalu kuat bagi Mataram, apalagi hanya
untuk sekedar membuat rusuh dan perampokan biasa”.
Maka kemudian selanjutnya seluruh rencana untuk besok
malamnya disampaikan semua oleh mereka.
“Kalian sudah tahu sendiri keadaan Mataram, justru karena
keadaan yang aman itu aku diperintah oleh panembahan Gumbolo
untuk sedikit merubah rencana dan harus sampai kepada kalian”.
Ketujuh orang itu saling pandang, keraguan sedikit
mengganggu pikiran mereka. Sebelum keraguan itu makin
menguasai pikiran, Pangeran Benowo memungut batu sebesar
kelapa yang ada di dekatnya. Dan berkata kemudian. “Kalian
mungkin ragu-ragu denganku. Dan itu adalah sesuatu yang wajar.
Aku akan buktikan kalau aku adalah utusan yang diserahi penuh
oleh Panembahan Gumbolo untuk mengatur seluruh kelompok
yang berada dibawahnya”.
“Benar, kami memang ragu dengan perubahan rencana itu.
Tapi kalau kisanak bisa membuktikan, aku tidak akan ragu lagi.
Menurut kami orang kepercayaan Panembahan tentulah orang

ANONIM 78
SURYA MATARAM JILID 11

yang pilih tanding, meskipun kemampuannya tidak akan berada


diatas Panembahan itu”.
“Itulah yang akan aku buktikan, kalau aku layak menjadi orang
kepercayaan Panembahan yang menyeramkan itu. Periksalah batu
ini, batu sungguhan atau sekedar batuan lembek yang mudah
pecah”.
Orang itu kemudian maju dan menerima batu hitam yang keras
itu. Dan mengangguk, “itu batu hitam yang sangat keras kisanak,
apa yang ingin kau lakukan dengan batu yang sangat keras ini”.
Setelah batu berada di tangannya kembali, sebelah tangan yang
kiri memegang batu, sementara tangan kanan mengayun
memukul batu hitam yang sangat keras itu. Seketika batu terbelah
menjadi dua. Kemudian batu yang sudah pecah dan menjadi lebih
kecil hingga terjangkau oleh genggaman tangannya, maka batu
yang berada di kedua tangan itu kemudian diremasnya hingga
lumat menjadi debu. Dan lenyap dihembus angin.
“Kalian masih belum percaya?! Aku bisa meremas kepalamu
saat ini juga” tantang Pangeran Benowo.
“Cukup kisanak kami percaya sepenuhnya, kami siap
melaksanakan perintah. Tolong katakan kepada kami perintah
yang baru itu”. Ucap orang tersebut gemetar.
“Dengar baik-baik, seluruh kekuatan kalian termasuk
kelompok lain yang ada seputar kota raja yang akan bergerak
besok malam supaya bergeser ke barat, di hutan sebelum kali
Progo sampai ada perintah selanjutnya. Sebab yang akan bergerak
besok malam di Kademangan Janti cukup kekuatan yang dibawa
panembahan Gumbolo dan pasukan kecil pendukung yang kini
menyebar di beberapa rumah penduduk. Mulai sekarang kalian
harus bergerak menyingkir dengan diam-diam, jangan
menimbulkan kecurigaan pasukan Mataram. Selanjutnya akan
ada penghubung yang memberitahu kepada kalian kapan ikut
bergerak”.
“Kami siap laksanakan, segera kami akan diremas nya bergeser
sesuai perintah”.
“Kalian ada berapa orang!”.
ANONIM 79
SURYA MATARAM JILID 11

“Kelompok kami tidak kurang lima puluh orang. Ditambah dua


puluh orang dari perguruan yang berasal dari pesisir Utara”.
“Perguruan Paus putih?” tiba-tiba Ki Jayaraga teringat lawan
yang pernah bertempur dengannya dua malam lalu.
“Benar kisanak, mereka dari perguruan Paus putih”.
“Dan ingat, waktunya sudah mendesak, urusan dengan
Panembahan Gumbolo adalah urusanku, kalian bisa langsung
bergeser, sebelum pasukan Mataram mencium gelagat kalian”.
“Baiklah kami bergerak saat ini juga, kami pastikan besok siang
semua sudah meninggalkan tempat”.
“Cepat kalian temui kawan-kawan kalian yang lain. Kami akan
melanjutkan tugas kami memastikan kelompok yang lain”.
Mereka pun pergi dengan tergesa. Kemudian Pangeran Benowo
memberi perintah kepada Glagah Putih dan Ki Jayaraga yang
sudah menunggu.

-----oOo-----

Bersambung ke jilid 12

ANONIM 80
SURYA MATARAM JILID 11

ANONIM 81
SURYA MATARAM JILID 11

ANONIM 82

Anda mungkin juga menyukai