Taman, Madiun
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM i
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 1
SURYA MATARAM JILID 11
“Eyang...!!”.
Namun tidak ada sahutan.
Diambilnya kain hitam yang terhampar di tanah. Dilipat dan
disimpan baik-baik di kampil yang tersedia di dekat pelana.
Keberadaan Eyang Jenar di jalur jalan itu bukanlah sebuah
kebetulan. Sebagaimana diketahui sejak awal, beberapa waktu
belakangan orang tua ini berkeliaran di sepanjang jalur jalan
tersebut. Seperti yang pernah dilihat beberapa orang Menoreh dan
sudah disampaikan kepada Waskita beberapa waktu lalu.
Bulak yang sangat panjang, sangat sepi. Seringkali terjadi
kejahatan di jalur jalan ini. Tanpa diketahui oleh banyak orang,
beberapa peristiwa yang terjadi di jalur ini dituntaskan oleh orang
tua ini yang selalu menutup dirinya dengan selubung kain hitam.
Peristiwa dimana Pandan Wangi menundukkan sekumpulan
perampok di malam sebelumnya, yang juga memakai selubung
kain hitam menambah daftar panjang cerita dari kedua daerah
yang saling berbatasan. Nilai baiknya, banyak berandal yang
berpikir berulang kali apabila akan bertindak jahat di sepanjang
jalur jalan ini.
Demikian pula halnya disaat Agung Sedayu melintas, orang tua
ini pun mengetahui dengan pasti, utusan Kiai Gringsing sedang
memacu kuda menuju padepokan yang berada di ujung jauh dari
jalan ini. Padepokan yang juga sudah diselidiki dan dikenali
dengan baik oleh eyang Jenar. Sehingga mengetahui pula arah dan
tujuan Pandan Wangi siang itu.
Orang tua ini sudah memahami dengan baik, siapa Kiai
Gringsing dan kedua muridnya itu, bahkan Swandaru pernah
ditolong dan dibawanya pulang ke pendapa di saat pingsan
melawan Sutawijaya. Dan Pandan Wangi sebagai istri dari orang
gemuk ini pun sudah diketahuinya pula.
Rangkaian kejadian yang terjadi belakangan, termasuk
pilihannya jatuh kepada Pandan Wangi untuk diangkatnya sebagai
murid yang bersifat titipan, bukanlah terjadi dengan begitu saja.
Seolah orang tua ini sudah berhitung matang dengan apa yang
dilakukannya saat ini terhadap Pandan Wangi.
ANONIM 2
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 3
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 4
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 5
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 6
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 7
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 8
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 9
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 10
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 11
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 13
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 14
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 16
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 17
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 18
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 19
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 22
SURYA MATARAM JILID 11
“Kakang Sedayu…”
“Silahkan naik Wangi” ucap Agung Sedayu masih tetap dengan
jantung berdebar debar. Bukan hanya kedatangan Pandan Wangi
yang tak terduga dan diluar perkiraan. Banyak sebab yang
menjadikan Agung Sedayu berdebar-debar.
ANONIM 23
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 25
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 26
SURYA MATARAM JILID 11
sakit hati aku yakin tidak mungkin orang berselubung itu demikian
ganas memperlakukan orang ini”.
Pada persoalan dengan orang berselubung, Agung Sedayu
menyela ucapan Rudita yang dirasa makin menyudutkan dirinya
dan Pandan Wangi. Diapun kemudian menyampaikan tanggapan-
nya. “Rudita aku tidak bisa menanggapi terlalu jauh pendapatmu.
Masing-masing tentu mempunyai sudut pandang berbeda.
Meskipun apa yang Adi katakan itu bisa dikatakan benar semua.
Khusus yang berkaitan dengan orang berselubung itu, aku
mempunyai dugaan, dia pasti memendam kekecewaan kepada Adi
Swandaru, dan dendam kepada orang yang terbaring ini karena
dianggapnya telah merusak dan menjerumuskan Adi Swandaru”.
“Orang yang layak mempunyai dendam dan sakit hati satu
satunya adalah aku sebagai istrinya. Apakah kakang menuduh-
ku?” potong Pandan Wangi.
“Wangi aku tidak mengatakan demikian, apalagi menuduhmu.
Aku tidak punya cukup alasan menuduhmu sebagai orang
berselubung itu. Sebab yang aku tahu, apa yang dilakukan orang
itu dengan kemampuannya, tidak mungkin kau lakukan.
Meskipun dalam panggraitaku aku sangat yakin dia adalah
seorang perempuan”.
“Apakah mungkin mbok Ayu Sekar Mirah?” desak Rudita.
Agung Sedayu menggeleng lemah. “Aku paham dengan
kanuragan dan aji kesaktian Sekar Mirah Adi. Jadi aku berani
pastikan dia bukan Sekar Mirah”.
Sejenak pembicaraan terhenti. Kemudian Pandan Wangi
bertanya ke Agung Sedayu, “apakah orang itu demikian hebat dan
saktinya sehingga bisa meloloskan diri dari kakang?”.
“Aku tidak tahu seberapa tinggi kemampuannya, apa yang aku
miliki juga bukan kanuragan terhebat. Belum tentu aku mampu
menghentikan orang itu. Tapi kemudian niatku menjadi luruh
ketika orang itu memohon kepadaku untuk turun tangan
mencampuri urusan kami. Dan memohon pula kepadaku untuk
tidak memaksanya membuka jati dirinya saat ini. Dia berjanji akan
membukanya sendiri pada saatnya nanti, dan itu tidak lama”.
ANONIM 27
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 29
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 30
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 31
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 32
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 33
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 35
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 36
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 37
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 38
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 39
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 41
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 42
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 43
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 44
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 45
SURYA MATARAM JILID 11
Sepi..., senyap...
Hanya sisa gelegar suara seolah guntur yang masih menyumpal
telinga, serta debu dan asap yang masih nampak menghambur dari
sisa batu yang hancur lebur tertiup angin sore serta kuda yang
tetap merumput di tempat barunya yang nampak lebih hijau
rumput di sekitarnya.
Masih tidak ada yang berani membuka suara hingga kemudian
Agung Sedayu yang berganti nama dengan Agung Sidanti itu
berkata dengan nada dalam yang menyeramkan. “Camkan, aku
adalah sekedar pembantu dari Agung Sedayu. Bayangkan sendiri
seberapa tinggi kanuragan yang dimiliki oleh Agung Sedayu
dengan perbandingan apa yang sudah aku lakukan tadi. Jangan
pernah sekalipun mengganggu Menoreh, kalau kalian masih bisa
lolos adalah sekedar nasib baik. Persilahkan tinggalkan tempat ini,
aku hanya butuh pimpinan kalian tetap tinggal. Jangan coba-coba
membantah, kecuali kalau kalian ingin lumat saat ini juga”.
Hentakan kanuragan yang teramat nggegirisi belum berlalu
dari ruang batin mereka. Kini hentakan lain berupa kalimat seram
meluluh lantakkan jiwani yang sudah setengah mati.
“Aku pastikan, sekali sentak, cambukku mampu melumatkan
kepala kalian sebelum kalian sempat berkedip. Atau kalian ingin
membuktikannya”. Ancam Agung Sedayu sambil tangannya
kembali meraba pinggangnya.
“Jangan kisanak Agung Sidanti, kami menyerah. Aku pimpinan
mereka akan mengikuti perintahmu. Tapi aku mohon biarkan yang
lain meninggalkan tempat ini”.
“Aku turuti permintaanmu, dengan syarat jangan coba-coba
mengganggu Menoreh, apapun bentuknya. Percayalah kakang
Agung Sedayu tidak sesabar diriku menanggapi kesesatan kalian”.
“Baik Agung Sidanti, kami berjanji!”.
Bisikan lembut kemudian menelusup di pendengaran Agung
Sedayu. “Aku ingin tahu dan merasakan bagaimana garangnya
seorang Agung Sedayu, bukan Agung Sidanti yang berdiri di
sampingku saat ini”.
ANONIM 46
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 48
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 49
SURYA MATARAM JILID 11
apa saja diluar tugas tugasnya. Jadi mereka memang tidak layak
untuk dipersalahkan”.
Beberapa saat kemudian Agung Sedayu pamit dan harus
kembali ke Jati Anom.
“Ngger, apakah tidak bisa ditunda barang sebentar? Setidaknya
sedikit waktu untuk wadagmu kembali pulih dan segar kembali”.
“Maaf Ki Gede, menjelang tengah malam nanti saya harus
sowan kehadapan Panembahan. Selanjutnya saya harus bertemu
guru secepatnya. Setidaknya sebelum Matahari terbit. Jadi saya
tidak bisa menunda untuk kembali ke Mataram”.
Dua orang tua itu mengangguk angguk. Ki Gede berkata dengan
nada gelisah, “ngger, perjalananmu ke Mataram dan ke Jati Anom
bukanlah perjalanan pendek. Terlebih kau lakukan malam hari.
Apakah waktu yang kau miliki cukup ngger?”.
Pandan Wangi datang dengan membawa lagi minuman hangat,
wedang jahe yang baunya terasa di hidung. “Aku buatkan wedang
jahe panas, itu artinya kakang Sedayu harus menunda sedikit
waktu lagi untuk berangkat. Kakang pasti tidak akan tega
membiarkan minuman ini menjadi dingin karena tidak ada yang
meminumnya”. Sambil tangannya menuang wedang jahe
dihadapan Agung Sedayu dan Ki Waskita. Ki Gede menarik nafas
dalam-dalam menyaksikan sikap putrinya ini. Ada sedikit rasa
bahagia, namun goresan perasaan kasihan lebih tajam terasa ke
anak perempuannya ini. Sikap seorang perempuan yang sangat
dipahaminya dengan sangat baik, apalagi dilakukan oleh anak
kandungnya sendiri.
Ki Waskita nampak tersenyum simpul, kemudian berkata
kepada Ki Gede. “Kakang, kalau ukuran jarak itu adalah kakang
yang mengukur atau aku yang harus jalani, maka akan terasa
sangat jauh dan melelahkan untuk ditempuh. Tapi kakang harus
ingat, aku dan kakang bukanlah Kiai Gringsing atau Angger
Sedayu, Yang bisa melipat bumi menjadi lebih pendek dari yang
seharusnya”.
ANONIM 50
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 51
SURYA MATARAM JILID 11
Beberapa waktu yang lalu orang tua ini sempat bertemu dengan
dua orang tua seangkatan dirinya di hutan sebelah timur Jati
Anom. Yaitu Panembahan Linggo Probo dan Kiai Watu Lintang.
Pertemuan yang cukup singkat. Belum sempat berbicara panjang
tentang segala sesuatu yang dirasa penting.
Dan malam ini sesuai janji, dua orang tua itu akan menemui
dirinya di padepokannya. Karena itulah kemudian, Kiai Gringsing
belum bisa mengunjungi Swandaru, dan menyuruh Agung Sedayu
berangkat menggantikannya. Sebuah keterpaksaan yang harus
dijalani. Gambaran jelas tentang sikap Swandaru terhadap
kedatangan kakak seperguruannya tertangkap dalam panggraita
orang tua itu. Rasa yang bergejolak tentang murid-muridnya
itulah, saat ini yang sangat mengganggu pikiran orang sepuh ini.
“Mudah mudahan Angger Sedayu bisa menuntaskan tugasnya,
dan malam ini bisa menemaniku menemui tamu orang-orang
mumpuni itu”.
Malam merangkak pelan dalam kepastian putaran yang tak
terhenti oleh apapun. Agung Sedayu berkejaran dengan
kepentingan yang dibatasi oleh waktu yang sangat sempit.
Beberapa saat lalu dengan sangat terpaksa meminta galah tukang
satang. Dia sendiri yang mendorong perahu dengan satang atau
galah panjang yang menjejakkan ujung satang ke permukaan
tanah dibawah air dengan sangat kuatnya. Perahu melaju jauh
lebih cepat dari yang seharusnya. Dalam waktu singkat demikian
singkat telah sampai di seberang, selanjutnya melajukan kudanya
yang tegar menembus malam.
Dua orang tukang satang yang sudah mengenalnya dengan baik
menggeleng gelengkan kepala, “apa yang merasuki Ki Sedayu. Kita
dua orang saja tak mungkin bisa mendorong perahu sekuat itu”.
“Aku mendengar cerita dari orang-orang yang mengenalnya,
katanya dia mempunyai prewangan yang selalu membantunya
setiap kali dia sedang kesulitan”.
“Kamu ada-ada saja”. Jawab orang pertama.
Beberapa lama kemudian, malam hampir menyentuh titik
tengahnya, Agung Sedayu telah memasuki pintu gerbang utama
ANONIM 52
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 53
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 55
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 56
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 57
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 58
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 59
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 61
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 65
SURYA MATARAM JILID 11
masa Demak ini. Beberapa kali tangan orang tua ini mengusap
telapak kaki hingga pergelangan kaki Pandan Wangi. Tangan
orang tua itu bergerak mengusap sejari diatas kulit kaki. Terasa
oleh perempuan Menoreh ini rasa hangat dan makin panas
berputar putar di daerah yang diusap.
“Mungkin kau akan membutuhkan kakimu lebih dari biasanya
nduk. Aku sekedar membantu agar kemampuanmu berlari cepat
sejajar dengan kuda yang tadi siang itu. Bahkan mungkin
kecepatan larimu sejajar dengan penunggang kuda yang kau
kagumi itu”.
Wajah Pandan Wangi nampak memerah sesaat. “Eyang suka
meramal. Darimana kakek tahu?”.
“Aku telah hidup lebih lama dari ayahmu sendiri nduk. Aku
tahu segalanya. Kau tidak usah bohong soal yang satu ini”.
Waktu demikian singkat dilalui oleh eyang Jenar untuk
merubah Pandan Wangi. Kanuragan yang sekedar menempel pada
wadag Pandan Wangi yang hanya bersifat sementara. Arus
kekuatan khusus yang dicipta dengan cara khusus pula oleh eyang
Jenar melalui bait-bait kidung dengan tata cara pembacaan yang
sudah ditentukan sesuai sifat yang dimiliki oleh kidung yang
bersangkutan. Pengaturan dan olah napas yang disesuaikan
dengan lafadz dan bunyi tembang adalah sekedar landasan untuk
menempelkan arus kekuatan yang sudah dimiliki oleh eyang Jenar
sebelumnya. Dengan kata lain “sesuatu” yang dipinjamkan ke
Pandan Wangi membutuhkan tempat atau wadah bergantung.
Dan wadag Pandan Wangi berfungsi sebagai penghantar bagi
pembuktian dari “sesuatu” yang telah dipinjamkan oleh eyang
Jenar tersebut.
Pertemuan mereka berdua hampir selesai. Sesuatu yang
penting ingin disampaikan oleh orang tua ini, namun masih
menunggu sejenak hingga jiwani Pandan Wangi siap.
“Ada sesuatu yang ingin eyang sampaikan?”.
“Nduk yang kulakukan mungkin akan menjerumuskanmu pada
kubangan pertikaian yang tidak perlu. Tapi jiwa prajuritku tidak
pernah bisa aku padamkan. Aku ingin berbuat sendiri, tapi tempat
ANONIM 66
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 67
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 69
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 71
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 72
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 73
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 76
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 77
SURYA MATARAM JILID 11
Tapi katakan dulu perintah apa yang telah sampai kepada kalian”
desak Pangeran Benowo.
Setelah beberapa saat berunding dengan teman-temannya
orang yang dianggap mewakili dari mereka itu pun berkata
kemudian, “untuk diketahui kisanak, kami yakin dengan adanya
kalian sebagai petugas khusus yang diterjunkan oleh orang tua
yang pilih tanding itu. Keberadaan kami di tempat tadi adalah
untuk mengawasi keluar masuknya prajurit Mataram, sehingga
kami bisa menentukan lebih jauh kesiagaan prajurit Mataram.
Dengan demikian kami bisa tentukan berapa besar kekuatan yang
akan diturunkan untuk mengimbangi prajurit Mataram”.
“Menurutmu seberapa kuat dan seberapa siapnya Mataram”.
Sambil tertawa orang itu berkata selanjutnya. “Mataram sedang
tertidur kisanak. Sejak pagi tidak ada satu pun prajurit yang
nampak berbaris, apalagi pasukan yang mengambil sikap siaga.
Semua adem tidak ada pergerakan apa-apa. Gerakan senyap kami
tak sedikit pun terendus oleh telik sandi Mataram. Menurut kami
kekuatan yang kita miliki terlalu kuat bagi Mataram, apalagi hanya
untuk sekedar membuat rusuh dan perampokan biasa”.
Maka kemudian selanjutnya seluruh rencana untuk besok
malamnya disampaikan semua oleh mereka.
“Kalian sudah tahu sendiri keadaan Mataram, justru karena
keadaan yang aman itu aku diperintah oleh panembahan Gumbolo
untuk sedikit merubah rencana dan harus sampai kepada kalian”.
Ketujuh orang itu saling pandang, keraguan sedikit
mengganggu pikiran mereka. Sebelum keraguan itu makin
menguasai pikiran, Pangeran Benowo memungut batu sebesar
kelapa yang ada di dekatnya. Dan berkata kemudian. “Kalian
mungkin ragu-ragu denganku. Dan itu adalah sesuatu yang wajar.
Aku akan buktikan kalau aku adalah utusan yang diserahi penuh
oleh Panembahan Gumbolo untuk mengatur seluruh kelompok
yang berada dibawahnya”.
“Benar, kami memang ragu dengan perubahan rencana itu.
Tapi kalau kisanak bisa membuktikan, aku tidak akan ragu lagi.
Menurut kami orang kepercayaan Panembahan tentulah orang
ANONIM 78
SURYA MATARAM JILID 11
-----oOo-----
Bersambung ke jilid 12
ANONIM 80
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 81
SURYA MATARAM JILID 11
ANONIM 82