Anda di halaman 1dari 817

Page |1

Panasnya Langit Demak jilid 1 ( 1 s/d 13 )


Jilid 1 bag 1.

Pertapaan Pucangan yang terletak di lereng gunung Penanggungan kian


hari semakin redup ditinggalkan oleh penghuninya. Sebuah pertapaan yang
dulu di bangun oleh sang prabu Airlangga raja titisan sang Wisnu ini, kini tinggal
ditempati oleh kakek tua dan dua muridnya saja.

Resi Puspanaga dengan setia tetap meneruskan semua ajaran dan tuntunan
dari Resi Gentayu, nama lain dari Prabu Airlangga setelah menjadi pertapa di
candi Belahan itu.

Sudah empat puluh hari lamanya, resi Puspanaga melakukan tapabrata


memanjatkan do'a dan memasrahkan diri kepada Hyang Tunggal untuk
mengetahui mengapa hatinya selalu dilanda keresahan. Malam terakhir saat
orang tua itu melakukan tapabrata, tiba-tiba segumpal kabut menyelubungi
sanggar tempat resi Puspanaga melakukan semedinya. Ruangan itu semakin
lama seakan-akan berubah menjadi sebuah taman yang indah bagaikan di
Indraloka, tempat sang dewa Indra berada.

" Bukalah matamu, ngger."

Sebuah suara yang sejuk penuh kehalusan dan kebijakan membangunkan


pertapa Pucangan itu, dengan perlahan resi Puspanaga membuka matanya
dan saat memandang kedepan dirinya bagaikan terkena dahsyatnya
perbawa seorang yang memakai pakaian putih bersih layaknya pertapa suci.

Dengan segera resi Puspsnaga menghaturkan sembah hormatnya, dengan


ngapurancang terhadap sosok suci itu.

"Mohon ampun Pikulun, hamba telah mengganggu ketenangan Pikulun."


ucap resi Puspanaga.

"Sudahlah, ngger. Aku mengetahui apa yang kau rasakan akhir-akhir


ini,tenangkanlah hatimu untuk menjalani kehidupan yang fana ini." sahut sosok
suci itu.
Page |2

"Oh jagat Dewa Bathara, mohon kiranya Pikulun memberikan petunjuk,


Pikulun."

"Baiklah, ngger. Memang keyakinan tanah leluhur ini semakin hari akan terus
menyusut seiring berkembangnya waktu,d engan adanya keyakinan baru yang
dibawa dari tlatah berpadang pasir itu. Seharusnya membawa kedamaian di
bumi jawadwipa ini, namun manusia tetaplah manusia yang memiliki nafsu dan
keinginan yang kadangkala terlalu berlebihan dan membawa ataupun
menyeret penderitaan kepada sesama. Dan memang tak bisa dipungkiri setiap
kekuasaan akan mendatangkan keserakahan dalam jiwa yang lemah dan
ringkih ini." ucap sosok pertapa itu.

"Begitupun denga masa ini, ngger. Demak yang telah menggantikan


Majapahit akan pudar oleh waktu,namun untuk mencegah kehancuran yang
lebih parah,aku menitipkan batangan baja pilihan ini dan kitab ini,carilah
seorang yang akan cocok dengan dua pusaka ini."

Lalu sosok itu telah mengeluarkan dua benda berwujud baja pilihan yang
memancarkan cahaya putih benderang dan kitab dari kulit,yang diserahkan
kepada resi Puspanaga.
Namun betapa terkejutnya resi Puspanaga,saat akan menerima dua benda
itu,benda itu telah melesat kedalam tubuhnya dan hilang.
Sosok pertapa suci melihat kebingungan resi Puspanaga,hanya tersenyum lalu
katanya,

"Sudahlah jangan bingung ngger,sekarang aku akan kembali ke alam


kelanggengan dan ingatlah carilah seorang yang cocok dengan dua pusaka
itu."

"Kasinggihan dawuh,pikulun."

Kembali resi Puspanaga dibuat tercengang manakala seekor burung garuda


besar menukik dari udara dan berdiri disamping sosok pertapa suci yang tak
lain resi Gentayu atau prabu Airlangga.Dengan sigap resi Gentayu menaiki
garuda itu dan membuat garuda suci itu mengangkasa menembus
langit.Bersamaan dengan itu taman indah itu kembali diselimuti kabut yang
tebal dan pekat hingga membuat resi Puspanaga tak sadarkan diri.Dan saat
sadar orang tua pertapa Pucangan itu madih duduk bersila di sanggarnya.
Page |3

"Oh terimakasih Hyang Agung."desisnya mengucap syukur.

Dan ketika ia memandang kedepan,dihadapannya telah tergeletak


bungkusan kain putih.Segera bungkusan itu ia buka dan betapa senangnya isi
dalam bungkusan kain putih itu,dua benda berwujud kitab kulit dengan ada
goresan cakra segi enam dengan tengahnya terdapat lambang garuda
terbang dan satunya lagi benda berwujud sebatang besi pilihan yang
memancarkan cahaya putih terang.

Jilid 1 bag 2

Ki palon pagi itu telah menyiapkan makanan dan minuman untuk resi
Puspanaga,yang baru saja menyelesaikan semedinya.Punakawan satu ini sejak
kecil sudah mengabdi pertapa dari Pucangan tersebut.

"Silahkan,resi.Wedang jahe ini semoga memberikan kehangatan untuk


resi."ucap ki Palon.

"Terima kasih,Palon.Oh ya tolong panggil Sabdho kemari."

"Inggeh."

Ki palon pun kemudian meninggalkan bilik itu untuk mencari kawannya,ki


Sabdho.

Di belakang bangunan pertapaan Pucangan,seorang lelaki berbadan tegap


sedang sibuk menarik tali senggot sambil menembang dengan suara merdu.

"Wah pagi-pagi adi sudah nembang asmaradhana."tegur ki Palon,ĺalu katanya


kemudian,"apakah adi lagi wuyung dengan bidadari dari nirwana.?"

Dan gelak tawa meriuhkan pertapaan di lereng gunung Penanggungan itu.

"Hahaha kakang bisa saja."

"Oh ya adi,resi Puspanaga memanggilmu unruk menghadapnya."


Page |4

Mendengar itu,ki Sabdho segera menghentikan kegiatannya dan menemui


panutannya selama ini.
Dengan perlahan dan sopan,ki Sabdho mengetuk bilik resi Puspanaga.

"Masuklah Sabdho".

Ki Sabdho yang diiringi oleh ki Palon memasuki bilik yang tidak terlalu luas
itu,dan duduk di depan resi Puspanaga.

"Kalian berdua sudah lama mengikuti dalam mengarungi kehidupan ini,dan aku
telah menganggap kalian berdua seperti keluargaku sendiri."dengan sareh resi
Puspanaga mengawali perkataannya.

"Hari ini aku kembali meminta kesediaan kalian untuk membantuku,apakah


kalian bersedia.?"

Kedua punakawan itu bingung saling pandang untuk beberapa saat.

"Resi,kami berdua telah menyerahkan jiwa raga ini untuk mengabdi kepada
resi,oleh karena itu apapun perintah dari resi akan kami jalankan sesuai
kemampuan kami,tentunya."kata ki Sabdho,yang diikuti oleh anggukan kepala
ki Palon.

"Oh jagat dewa bathara,terima kasih atas ketulusan kalian berdua."

"Baiklah,Palon aku meminta tolong kepadamu untuk pergi menemui ki Mahesa


Anabrang yang sekarang berada di kadipaten Pranaraga,katakan padanya
untuk kesini membawa putranya Arya Dipa."

"Baik resi."

"Dan untukmu Sabdho,tolong panggilah pamanmu empu Citrasena


kemari,katakanlah ada bahan bagus di patirtan Penanggungan."

"Baik resi,hari ini juga kami akan berangkat ke kademangan Tegowangi dan
kakang Palon ke kadipaten Pranaraga."sahut ki Sabdho selanjutnya.
Page |5

"Berhati-hati kalian berdua di perjalanan,khususnya kau Palon,jalan yang kau


lalui akan bersimpangan dengan pasukan Demak."

"Baik resi,kami akan menjaga diri."ucap ki Palon.

Dan hari itu juga ki Palon dan ki Sabdho siap berangkat dengan tujuan masing-
masing.Dua kuda berbadan sedang akan menjadi tunggangan keduanya.

"Resi,kami mohon diri."

"Berangkatlah kalian berdua dan berhati-hatilah."kats resi Puspanaga,melepas


kepergian keduanya di regol pertapaan Pucangan.

Setelah memberi hormat,dua punakawan itu menaiki kuda masing-masing dan


membedal kudanya.
Keduanya membedal kudanya dengan pelan dan hati-hati ketika menuruni
jalan yang tak terlalu lebar dan berbatu itu,hingga keduanya sampai
dipersimpangan jalan,kuda mereka berhenti.

"Adi sampai disini kita akan berpisah,berhati-hatilah."

"Baik kakang,begitu juga dengan kakang yang berjalan kearah barat."sahut ki


Sabdo.

Akhirnya mereka pun berpisah untuk melakukan tugas masing-masing.


Udara di siang itu terasa panas dan menyengat,ki Sabdho yang melakukan
perjananan menuju kademangan Tegowangi baru memperoleh setengah
perjalananannya.Walaupun jalan yang dilaluinya jalur utama antara Ujung
Galuh dan Daha,namun jalan itu sudah banyak rusak dikarenakan perang
saudara antara Majapahit dan Kediri,apalagi ditambah campur tangan
kadipaten Glagahwangi yang kini menjadi kesultanan Demak Bintoro,keadaan
semakin runyam.
Penguasa pura Kediri sepeninggalnya prabu Giriwardana,semakin pudar dan
mundur.Banyak bekas prajurit menjadi begal dan kecu.

Ki Sabdho dengan santainya duduk di pinggir jalan yang terdapat pohon


trembesi rindang.Dalam ketenangannya itu,sayup-sayup terdengar derap kaki
kuda.
Page |6

"Siapa mereka.?"desis ki Sabdho perlahan.

Derap kaki kuda itu makin lama makin mendekat dan nampak,yang ternyata
berjumlah dua kuda dengan penunggang dua orang lelaki berbadan tegap
dan sangar.Sesampainya dekat pohon trembesi,keduanya menghentikan kuda
mereka dan turun menghampiri ki Sabdho.

Kedua pendatang itu sesaat saling pandang,setelah memperhatikan buntalan


yang menggelantung di samping pelana kuda ki Sabdho.

"Maaf apakah kisanak juga dalam perjalanan jauh seperti kami.?tanya salah
seorang pendatang itu.

"begitulah kisanak,apakah kisanak berdua juga begitu.?"

"benar,kami berdua ingin menemui kerabat kami yang berada di Daha."jawab


orang yang ada tahi lalat di dagunya,"apakah kisanak seorang diri.?
"iya ki."

Orang yang mempunyai tahi lalat di dagunya,mengerutkan keningnya,lalu


katanya,"apakah kisanak tak mengetahui desas-desus di bulak depan itu.?"

"Desas-desus apa ki.?"tanya balik ki Sabdho dengan mengrenyitkan keningnya.

Kedua penunggang kuda yang baru datang itu saling pandang mengetahui
ketidak tahuan ki Sabdho tentang desas-desus di bulak Gambiran.

"Wah untung kisanak bertemu kami sebelum memasuki bulak Gambiran


itu,ketahuilah kisanak di lebatnya bulak yang panjang itu,di huni oleh sepasang
begal yang ganas dan keji."kata kawan orang yang ada tahi lalatnya.

"Benar apa yang dikatakan temanku ini kisanak,oleh karena itu kami melakukan
perjalanan berdua,dan supaya kisanak aman lebih baik bersama dengan
kami."ajak orang yang bertahi lalat.

Mendengar hal itu,ki Sabdho termangu untuk sesaat.


Page |7

"kalau kisanak ragu-ragu,lebih baik memutari bulak ini lewat pertigaan jalan
yang tentunya kisanak lalui tadi.itupun akan lama dan menyita banyak waktu"

"Baiklah kisanak,aku menyetujui usul kisanak berdua."kata ki Sabdho,menyetujui


usul kedua penunggang kuda yang baru datang itu.

"Baiklah,kalau begitu mari kita berangkat sebelum sang surya semakin ke barat."

Ketiganya kemudian bersama-sama melanjutkan perjalanan melewati bulak


dowo Gambiran.Bulak itu memang mempunyai letak yang baik untuk para
begal melakukan perampasan harta benda yang dibawa para pedagang
maupun orang yang lalu lalang.
Kuda ketiganya tak terasa sudah memasuki bulak Gambiran,semakin kedalam
banyak ilalang setinggi orang dewasa tumbuh di kanan kiri jalan,dan hal yang
menggetarkan telah terjadi.

Jilid 1 bag 4

Desiran angin yang cukup tajam yang ditimbulkan oleh tebasan pedang
mengarah leher ki Sabdho,begitu cepat bagai tatit.Namun ki Sabdho bukan
orang kebanyakan yang begitu saja membiarkan lehernya putus oleh pedang
itu,dengan gerak yang mengagumkan ia telah mencabut pedangnya dan
menangkis serangan licik itu.
Bunyi tangkisan itu mengejutkan orang yang mempunyai tahi lalat di
dagu,yang berkuda di depan.

"Apa yang kau lakukan,ki Lodra.?"tanyanya kebingungan.

Orang yang di panggil ki Lodra dan yang menyerang ki Sabdho itu,tak


menanggapi pertanyaan dari orang yang mempunyai tahi lalat di
dagunya.Dengan tertawa ki Lodra berteriak memanggil seseorang.

"Mangsa telah tiba adi Barong.!"

Sesaat dari balik rimbunnya ilalalang,seorang bagai raksasa dengan hidung


melengkung seperti paruh gagak telah muncul dengan gada di tangannya.

"Lama kita tidak berjumpa ki Simo."ucap orang yang di panggil ki Barong itu.
Page |8

Mengetahui sesuatu yang tak dimengerti itu,ki Sabdho segera mendekati kuda
ki Simo,orang yang mempunyai tahi lalat di dagu tersebut.

"Apakah kisanak mengenal orang itu dan ada apa ini semua.?"tanya ki
Sabdho,setelah berada di samping kuda ki Simo.

Walau masih dalam keterkejutannya,ki Simo segera menjelaskan dengan


singkat siapa ki Barong sebenarnya.

"Dia bekas prajurit Daha."

"Kau tak usah bisik-bisik ki Simo,dan untuk kau kisanak lebih baik tak ikut campur
dengan urusan kami.!"teriak ki Lodra,yang sudah di samping ki Barong berdiri.

"Benar apa yang dikatakan ki Lodra,kisanak,sebaiknya kisanak melanjutkan


perjalanan kisanak."desis ki Simo.

Tidak ki,aku sudah terlibat dengan apa yang terjadi di bulak ini,dan orang itu
yang memulai terlebih dahulu."tukas ki Sabdho.

Mendengar perkataan ki Sabdho,ki Simo hanya menghela nafas lalu turun dari
kudanya.

"Kalau begitu berhati-hatilah,kisanak."

Sementara itu ki Barong dengan mata tajam memandang ke arah ki


Simo.Dengan wajah penuh kemarahan,dia berkata kepada ki Lodra,"kakang
urus orang asing itu,hari ini juga aku akan menuntaskan dendamku.!"

"Baik adi."jawab ki Lodra,yang bergerak menyerang ki Sabdho.

Tentu saja ki Sabdho yang tak menghilangkan kewaspadaan menanggapi


serangan itu dengan menghindari dan menggeser tempatnya ke tempat yang
lebih lapang.

Sementara itu ki Simo,yang sesaat termangu memperhatikan tata gerak ki


Page |9

Sabdho,telah dikejutkan oleh datangnya serangan ki Barong yang ganas dan


hampir saja mengenai lambungnya.

"Tak kusangka seorang bekas panji gampang terlena oleh suasana."ucap ki


Barong.

"Sudahlah ki rangga Barong,apa maksud semua ini.?"tanya ki Simo,yang


dulunya prajurit Kediri dan kini menjadi prajurit kadipaten Japanan.

"Cih dasar gedibal Demak yang tak tahu diri dan penghianat,dengan
mudahnya kau menjilat penguasa Glagah wangi dan menjadi menantu
tumenggung Japanan itu.!"

"Cukup kakang Barong,aku menjadi prajurit bukan semata karena penguasa


yang kuat,namun aku mangabdi hanya kepada penguasa yang benar
menjalankan pranatan dan paugeran yang benar dan baik untuk kawula alit.!"

"Sebaliknya dengan kakang yang ternyata berada di bulak Gambiran ini,yang


mungkin kakang merupakan orang yang di desas-desuskan dengan sepasang
begal ganas itu."lanjut ki panji Simo.

"Hahaha,apa itu paugeran dan pranatan.?memang benar,akulah salah


seorang yang disebut sepasang begal bulak Gambiran,lalu kau mau apa he.?"

"Hentikanlah kakang dan kembalilah ke jalan yang dikehendaki oleh Yang


Maha Agung."

"Tutup mulutmu setan alas,tak usah sesorah di hadapanku,apakah jika aku


kembali kau mau mengembalikan anak tumenggung itu kepadaku.?kurasa
tidak."sahut ki Barong.

Ki panji Simo hanya menghela nafas,mendengar masalah anak tumenggung


Japanan yang kini menjadi istrinya,diungkit-ungkit.

"Sudahlah,sekarang kita tuntaskan dengan dada tengadah melalui kuatnya


wadag kita."setelah mengakhiri kata-katanya,ki Barong dengan cepat
menjulurkan tangannya yang terkepal mengarah dada lawan.
P a g e | 10

Namun kali ini,ki panji Simo dengan sungguh-sungguh melawan serangan


lawan.Dua kekuatan yang dilambari tenaga besar itu,membuat keduanya
terhentak setelah beradu kepalan,masing-masing mundur tiga tindak dan
merasakan kesemutan di tangan mereka.

Tak jau dari tempat ki panji dan ki rangga Barong bertarung,terjadi pertarungan
yang tak kalah seru.Ki Sabdho yang dipandang sebelah mata oleh ki
Lodra,ternyata selalu bisa mengikuti kecepatan tandangnya.

"Setan alas,rupanya kau juga mampu meloncat layaknya kera.!"umpat ki Lodra.

"Hahaha,memang inilah yang mampu aku perbuat kisanak,menirukan tata


gerak seekor kera.Jauh berbeda dengan kisanak yang menirukan wataj kera
bahkan melebihinya."sahut ki Sabdho,dengan sindiran tajam.

"Tutup mulutmu,bajingan.!"maki ki Lodra seraya membabat mulut lawan


dengan pedangnya.

Tapi kerangkasan ki Sabdho sungguh mengagumkan,babatan pedang lawan


dengan mudah dihindari denga merundukkan kepalanya.Tidak hanya itu
saja,dengan menggunakan daun pedangnya,ki Sabdho memukul lengan
lawan dan menyarangkan satu pukulan di lambung lawan.

"Bangsat setan tethekan"kembali umpatan kasar keluar dari mulut ki Lodra.

jilid 1 bag 5

Hampir saja pedang ki Lodra terlepas dari tangannya,kalau ia tidak


menggenggamnya dengan erat.Dan bibirnya masih terlihat meringis kesakitan
menyengat lengan dan lambungnya.

"Maafkan aku ki Lodra,bukankah nama kisanak ki Lodra.?"ucap ki Dabdho.

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut ki Lodra,kemarahannya saja yang
menimbulkan bunyi gemeretak giginya yang terdengar.Wajahnya memerah
P a g e | 11

bagaikan tersiram air mendidih siap melumat lawan yang tak diduga
sebelumnya.

Kini ki Lodra dengan sungguh-sungguh mengetrapkan ilmu yang selama ini


diserapnya dari seorang resi di gunung Arjuno.Dengan loncatan panjang ki
Lodra menyerang ki Sabdho. Kembali pertarungan terjadi dengan seru dan
sengit.Tandang keduanya pun selapis demi selapis meningkat seiring
berjalannya waktu.

Suatu ketika pedang ki Lodra dengan sebatnya mengarah ke lambung ki


Sabdho yang hampir bisa ditangkis,namun dengan cepat pedang itu di tarik
lalu dengan meloncat ki Lodra berhasil mendepak dada lawannya.
Walau tak begitu menyakitkan tubuhnya,tetap saja tubuh ki Sabdho terdorong
beberapa tindak kebelakang.

Melihat serangannya mendapatkan hasil,saudara seperguruan ki Barong


menjadi bertambah semangat untuk menuntaskan lawannya.
Perkelahian di bulak dowo Gambiran yang terbagi dua kalangan itu,membuat
tempat itu bagaikan terkena bajakan,tanah jalan teraduk dan rumput-rumput
yang tak ikut campurpun terkena imbasnya. Denting besi terdengar dengan
seringnya dan kadangkala pwrcikan api akibat dari gesekan dua pedang anak
manusia itu.

Di kalangan satunya sangat berbeda,perkelahian tangan kosong tanpa


senjata terlihat seru dan sengit.Saling pukul dengan tenaga wadag yang
menakjubkan terjadi beberapa kali.Kecepatan yang mengagumkan dari dua
bekas sahabat terungkap seiring bertambahnya tingkat tataran. Siapa lengah
dialah yang kalah,sebuah perkataan yang pantas untuk menggambarkan
tandang ki rangga Barong dengan ki panji Simo.

Gerakan ki Barong laksana burung camar yang terbang menukik tajam dan
berubah-rubah.Tapi ki panji Simo yang merupakan seorang prajurit khusus
kadipaten Japanan,merupakan seorang prajurit yang mumpuni dalam olah
kanuragan.Kegesitan tandangnya layaknya burung alap-alap yang merajai
dirgantara,tubuhnya bagai kapas tak berbobot layaknya kapas.
P a g e | 12

"Bukan main,ilmumu meningkat walau kau sibuk di dunia keprajuritan."puji ki


Barong,tanpa memperlambat serangannya.

"Jangan terlalu memuji kakang,aku takut diri ini tak kuat menahan besarnya
hati."balas ki panji Simo.

"Hahaha jangan kuatir ki panji,kau tak akan merasakan beban itu,karena


sebentar lagi nyawamu akan mengangkasa.!"

Usai mengakhiri perkataannya,ki Barong telah meningkatkan ilmunya yang


merambah tenaga cadangannya. Tata gerak dari perguruan resi di gunung
Arjuno yang rumit,telah melibat ki panji Simo.Sebuah tata gerak dari ilmu yang
mengagumkan itu telah membuat ki panji Simo terdesak.

Ki Sabdho yang masih melayani serangan ki Londra,sesaat meloncat jauh


kebelakang untuk memperhatikan keadaan ki Simo yang keteteran.

"Ki Simo akan tewas jika begini terus,jika aku tak segera menyelesaikan ki
Lodra."kata ki Sabdho dalam hati.

"Bangsat kau meremehkan aku,iblis.!"teriak ki Lodra yang tak diperhatikan oleh


lawannya itu.

Pedang ki Lodra dengan ganasnya membabat leher ki Sabdho.Hampir saja


pedang itu berhasil memapas leher lawannya jika ki Sabdho tidak segera
menghindari dengan melentingkan tubuhnya. Tak sampai disitu saja,tanpa
memberi kesempatan kepada ki Sabdho,saudara seperguruan ki Barong itu
terus merangsek kedepan menusuk tubuh lawan.

Kembali percikan bunga api memercik tatkala dua pedang tajam itu
bertemu.Namun hal yang tak terduga telah terjadi,pedang ki Lodra bisa
dipatahkan oleh tangkisan ki Sabdho.Bukan itu saja,dengan gerakan cepat ki
Sabdho berhasil menyarungkan pedangnya ke tubuh naas ki Lodra.
Erangan yang mengerikan keluar dari mulut ki Lodra,dan tubuh itupun terkulai
tak berdaya setelah ki Sabdho menarik senjatanya.

Bersamaan dengan itu,ki Simo yang berhadapan dengan ki Barong,telah


P a g e | 13

terkena hantaman yang membuat tubuhnya jatuh terlentang dengan darah


merembes dari bibirnya. Dengan sekuat tenaga,ki Simo berusaha
bangun,namun luka dalamnya begitu parah hingga ia jatuh kembali.

"Kau akan mampus,Simo.!"teriak ki Barong,seraya mencabut pisau belatinya


dan di lemparkan ke tubuh yang tak berdaya itu.

Desiran angin dari pisau belati itu begitu hebat dan pasti membawa
kebinasaan ki Simo.Tapi Yang Maha Agung belum menghendaki,sebutir kerikil
telah memapas pisau belati itu hingga patah dan jatuh di samping kanan kiri
tubuh ki Simo.

"Setan alas tethekan.!"umpat ki Barong dengan kasarnya,mengetahui ada


orang yang mengganggu rencananya.

jilid 1 bag 6

Tanpa memperdulikan makian dari ki Barong,ki Sabdho dengan cepat


menolong ki panji Simo yang mengalami luka dalam.Kesigapan punakawan resi
Puspanaga dalam memeriksa keadaan tubuh ki Simo,telah meredakan luka
dalam itu.

"Minumlah butir ramuan ini,ki."kata ki Sabdho,sambil memberikan sebutir obat


kepada prajurit Japanan.

"Terima kasih,ki."

Setelah membawa ki panji Simo dan menyandarkan di bawah pohon mahoni,ki


Sabdho kembali menghadapi salah satu dari sepasang begal bulak Gambiran.

"Aku tak mengira kalau kakang Lodra dengan cepat kau kalahkan,namun kau
jangan sombong dulu kisanak."ucap ki Barong,lala lanjutnya,"walau dia kakak
seperguruanku,namun dalam mendalami ilmu jaya kawijayan,ia telah tertinggal
jauh dariku."

"Hem maaf ki,bukannya aku menyombongkan diri,mungkin kisanak memang


P a g e | 14

mempunyai ilmu sundul langit dan aji yang bisa menghancurkan gunung,tapi
aku akan berusaha semampuku untuk menghadapi kisanak."sahut ki Sabdho.

"Hahaha,baiklah kalau kau ingin mengakhiri hidupmu.,aku akan meluluskannya


dengan cepat."

Dan kuda-kuda yang kokoh pun telah diperagakan oleh murid kinasih resi
Gangsiran.Kaki kanan agak ditekuk kedepan dan kaki kiri mendoyong
dibelakang,tangan kanan terbuka menyembah di depan dada lalu tangan kiri
terkepal disamping tubuh agak ditekuk menyiku.Sorot matanya begitu tajam
mengarah tubuh lawan,seolah bisa menembus sampai dalam dada.
Sebaliknya dengan ki Sabdho,walau tak memperlihatkan kuda-kuda,namun
sebenarnya kaki yang kuat itu begitu kuat mengakar kebumi.Hanya tangannya
saja dengan jari terbuka miring saling disilangkan di depan dada

"Hiiat..!!!"teriakan ki Barong mengiringi kakinya menjejak tanah dan meluncur


menyerang lawannya.Kaki kanannya dengan sebat menyapu lambung kiri ki
Sabdho,namun lawannya telah menangkis menggunakan tangan kanannya
yang betbentuk siku.Segera kaki kanan ki Barong ia tarik kembali lalu
menggeser tubuhnya kesamping yang dibarengi tangan kiri menggaplok ubun-
ubun lawam.

Gaplokan cepat dan ganas itu hampir saja mengenai sasaran,jikalau ki Sabdho
tak segera menggeser kakinya kebelakang,walau begitu lawannya takmau
melepaskan begitu saja.Tangan kanan lawan yang terkepal mengarah
dadanya,serta kaki kiri tertekuk menyerang perutnya.

Walau terus diserang dengan gencar dan bertubi-tubi,ki Sabdho mampu


menangkisnya dan membalasnya.
Perkelahian pun berlanjut dengan seru dan sengit,tataran demi tataran
meningkat selapis demi selapis.Tanah yang mereka pijak pun bagai teraduk
bajakan sawah,daun-daun yang menguning juga tak luput berguguran terkena
hempasan dari dua burung elang yang saling menyambar dan mencakar
saling susul menyusul.

Sementara itu ki panji Simo yang bersandar di bawah pohon mahoni,terpana


P a g e | 15

memperhatikan tata gerak yang rumit yang diperlihatkan ki Barong maupun ki


Sabdho.

"Siapa sebenarnya orang yang menghadapikakang Barong itu.?tata geraknya


mampu mengatasi tandang kakang Barong."desis menantu tumenggung Braja
Wasiso itu.

Sudah sekian lamanya perkelahian itu berlangsung,keduanya kini mulai


merambah tenaga cadangan.Hempasan angin yang ditimbulkan pun semakin
dahsyat.

Loncatan kaki mereka begitu ringan seolah tak berbobot sehingga nembuat
tubuh mereka bergerak layaknya bayangan.Jikalau hal itu dilakukan di malam
hari dan terlihat orang kebanyakan,niscaya orang itu lari terbirit-birit ketakutan
mengira melihat sepasang hantu.

Setelah dirasa sudah waktunya mengakhiri pertarungan itu,keduanya tanpa


mendapat aba.-aba dengan cepat melompat kebelakang menjaga jarak.
Nalar dan budi nenyatu terpusat yang bisa membangkitkan tenaga limpahan
Yang Maha Agung dan diterapkan sebagai aji pamungkas.

ki Barong yang berdiri dengan kaki sedikit renggang dan telapak tangan saling
digosokan,hingga mengeluarkan asap tipis mengepul dari sela-sela telapak
tangannya,tak sampai disitu saja kedua tangannya sebatas pergelangan
tangan telah membara.

."Aji Tapak Dahana."desis ki Sabdho,disela dirinya mempersiapkan


ilmunya,"Semoga Tameng Wajaku mampu menahannya."

Ki Sabdho dengan menyilangkan tangannya dan kuda kuda yang kokoh siap
menahan gempuran aji Tapak Dahana.

Sebuah teriakan yang keras disertai loncatan,telah mengantarkan ki Barong


menggempur lawannya yang berdiri bertahan.

Suara dentuman telah mengoyak bulak dowo yang sepi itu.Daun-daun dan
ranting telah meranggas terkena aji yang dahsyat itu. Sementara itu ki Sabdho
yang mendapatkan gempuran itu terdorong dua tombak kebelakang dan
P a g e | 16

dengan sekuat tenaga menjaga keseimbangannya supaya tak jatuh.


Lain halnya dengan ki Barong,aji Tapak Dahana miliknya seakan-akan
membentur tembok baja dan membal mengarah dirinya,naas tubuhnysa
dengan deras terhempas mengenai pohon jati.Sesaat tubuhnya menggelepar
dan sebuah tarikan nafas telah membuat nyawa ki Barong lepas dari raganya

jilid 1 bag 7

Suasana di bulak Gambiran sesaat menjadi sunyi,hanya desau angin yang


menggerakkan pucuk daun dan rerumputan. Dua sosok tubuh tanpa nyawa
mulai diselenggarakan oleh ki Sabdho dengan alat seadanya.Satu lubang
yang tak terlalu dalam dibuat dengan banyak menyita waktu dan tenaga.
Walau keadaan ki panji Simo masih payah,namun ia ikut membantu
mengangkat mayat sepasang begal dari bulak dowo itu.

Setelah mayat itu dimasukan dan dikubur kembali dengan tanah,serta


diatasnya ditimbuni batu supaya tak digali kembali hewan liar,kedua orang itu
beristirahat di bawah pohon jati.

"Terima kasih ki Sabdho,jika waktu diujung bulak itu ki Sabdho tak mau bersama
denganku,mungkin mayatku yang akan berbaring di bulak ini."ucap ki panji
Simo.

"Ah ini semua hanyalah kebetulan saja ki panji,dan tentunya atas kehendak
Yang Maha Agung."sahut ki Sabdho,merendah.

Oh ya ki panji,apakah ki Lodra itu benar seorang begal di bulak ini.?"

"aku rasa tidak ki,ki Lodra selama ini seorang prajurit pengawal adipati
Japanan.Mungkin ia memang saudara seperguruan kakang Barong yang
dimintanya membawaku kemari untuk membalaskan sakit hatinya
terhadapku."jelas ki panji Simo.

Mendengar penjelasan serta dugaan keterlibatan ki Lodra,ki Sabdho


termenung.

"Adakah yang mengganjal hatimu,ki.?tanya ki panji Simo.


P a g e | 17

"Benar ki panji,jika ki Lodra bukan salah satu orang yang bergelar sepasang
begal bulak Gambiran,lalu siapa orang itu dan apakah dia tak berada di tlatah
ini.?"

Prajurit pasukan khusus Japanan iru mengangguk-anggukkan kepalanya.


"Entahlah ki,tapi yang jelas ki Lodra bukan salah satunya."

"Baiklah,o ya apa keadaan ki panji sudah baikan.?"

"Kurasa sudah mendingan ki,butir obat dari ki Sabdhi sangat manjur."

"Syukurlah,kalau begitu mari kita lanjutkan perjalanan ini."ajak ki Sabdho,yang


kemudian membantu ki panji Simo menaiki kudanya.

Sesaat kamudian derap kaki kuda terdengar meninggalkan bulak Gambiran


yang menakutkan.

***********

Malam yang gelap tanpa adanya sang candra telah menyelimuti


kademangan Tegowangi.Seorang lelaki yang sudah berusia paruh
baya,sedang sibuk membaca aksara pallawa yang tergurat di lembaran
rontal. Di depannya seorang gadis kecil dengan sungguh-sungguh
mendengarkan apa yang terucap dari lelaki tua itu.

"Ayah,apakah dewi Srikandi itu hebat.?"tanya gadis kecil itu polos.

Senyum mengembang menghiasi bibir orang tua itu,yang dikenal oleh orang
sekitar candi Tegowangi empu Citrasena.

"Benar cah ayu,dewi Srikandi seorang wanita yang ikut dalam sebuah perang
besar di Kurusetra antara Pandawa dan Kurawa.Dengan senjata panah ia
berani menghadapi resi Bisma putra prabu Sentanu dan dewi Gangga."jelas
empu Citrasena.

"wah,apakah aku bisa seperti dewi Srikandi,ayah.?"


P a g e | 18

"Hahaha tentu anakku,bila kau giat berlatih kau pasti bisa."

Keceriaan gadis kecil terasa menyerebak keluar menghiasi wajahnya yang ayu
itu.
Di saat seperti itu dari luar rumah,terdengar derap kuda perlahan dan berhenti
di depan halaman rumah empu Citrasena. Seekor kuda yang ditunggangi oleh
lelaki berbadan tegap dengan pedang menghiasi samping
lambungnya.Sebelum memasuki regol halaman,orang itu yang tak lain ki
Sabdho telah turun dari kudanya dan masuk ke dalam regol.

"Oh kaukah itu,Sabdho.?"ucap empu Citrasena yang sudah berdiri di


pringgitan.

"Iya paman,maaf malam-malam begini mengejutkan paman."sahut ki Sabdho


yang mengikat tali kudanya di sebuah tonggak yang ada di halaman rumah
empu Citrasena.

"Ah ini belumlah larut malam,lihat saja Ayu Andini masih terjaga."

ki Sabdho segera menaiki tlundhak dan menghampiri pamannya itu. Usai saling
menanyakan kabar masing-masing,empu Citrasena menyuruh Ayu Andini untuk
mengambil minuman dan beberapa potong ketela rebus yang masih tersisa di
dapur.Dan sesaat kemudian Ayu Andini telah kembali dengan membawa
nampan berisi minuman dan sepiring ketela rebus.

"Silahkan kakang.,maaf ketelanya sudah dingin."kata Ayu Andini menyilahkan.

"Ah kau begitu repot adikku yang ayu."sahut ki Sabdho,seraya menggoda putri
angkat empu Citrasena itu.

"Ah kakang."

"Sudahlah Sabdho,makanlah dan jika sudah selesai dan ingin bebersih,kau


masih ingatkan letak pakiwan di gubuk pamanmu ini.?"

"tentu aku ingat paman,semua sudut istana paman ini,bukan begitu adi
Andini.?"
P a g e | 19

Gurauan itupun membuat suasana di rumah empu Citrasena,semakin hidup


dan semarak.

Dan malam pun berjalan mengikuti waktu yang ditentukan.Di luar suasana
yang sepi dan sunyi terasa kental menghiasi keadaan di pedesaan.Hanya
suara binatang malam saja yang tanpak terdengar. Tanpa terasa dari ujung
langit timur,cahaya kuning kemerahan terlihat menghiasi cakrawala itu.Kokok
ayam pun ikut menyuarakan kegembiraan menyongsong hari baru itu.

Di pakiwan ki Sabdho telah selesai membersihkan diri dan melaksanakan


kewajibannya. Sementara Ayu Andini tanpa mengeluh telah memasak di dapur
dan mempersiapkan sarapan di pagi itu.kesigapannya dalam mempersiapkan
sarapan,begitu cepat dan sigap layaknya wanita dewasa.

Dan akhirnya nasi beserta sayur bayam,sambel korek dengan lauk ikan
terhidang di ruang dalam. Empu Citrasena pun mengajak ki Sabdho dan putri
angkatnya untuk menyantap hidangan di pagi itu.

"Tak ku sangka ternyata adi Andini sangat tetampil seperti ini."puji ki Sabdho.

Mendengar pujian itu,ayu Andini hanya tersenyum.

Ketiganya dengan lahap menyantap hidangan itu hingga tuntas.Dan setelah


usai,Ayu Andini segera membereskan sisa makanan itu dan membawa kembali
ke dapur.

"Paman kedatanganku kemari selain menengok keadaan paman


sekeluarga,juga atas permintaan dari resi Puspanaga."kata ki
Sabdho,mengawali.

"Paman,resi Puspanaga yang masih berada di Pucangan ingin meminta


bantuan paman."

"Bantuan apa,Sabdho.?"tanya empu Citrasena,yang mengerutkan keningnya.

"Entahlah paman,sang resi hanya memberikan pesan kepada paman bahwa di


gunung Penanggungan ada bahan yang akan nembuat paman takjub."
P a g e | 20

Tampak orang tua itu mengernyitkan dahinya,lalu katanya,"baiklah aku akan


memenuhi permintaan dari resi Puspanaga,tapi tentunya Ayu Andini akan ikut
juga."

"Benarkah ayah akan mengajakku.?"tiba-tiba Ayu Andini menekankan kembali


ucapan yang ia dengar itu.

"Iya nduk,asal kau menurut."

"Memangnya aku seorang gadis bengal ayah.?"sahut Ayu Andini,dengan


wajah cemberut.

Namun hal itu membuat empu Citrasena dan ki Sabdho tertawa.

jilid 1 bag 8
.
Perjalanan ki Palon hari itu sampai di tanah perdikan Anjuk Ladang,yang
berada di barat kali Brantas dan timur alas Saradan.Perjalanannya yang
panjang itu masih setengah perjalanan dan masih melewati telatah perdikan
Sagaten,Ngurawan dan baru di kadipaten Prana Raga.

Di siang itu,punakawan pertapaan Pucangan itu beristirahat di sebuah kedai


yang berada di depan pintu regol padukuhan Sukomoro,sebuah padukuhan
pinggir telatah tanah perdikan Anjuk Ladang.

"Silahkan kisanak,mau pesan makan apa.?"tanya pemilik kedai,dengan ramah.

"Terima kasih ki,aku pesan nasi Megana dan air degan."sahut ki Palon yang
kemudian duduk di dingklik bambu petung dekat lubang angin-angin.

"Baiklah tuan,tunggu sebentar akan aku siapkan."

Dan tak lama kemudian apa yang dipesan ki Palon,terhidang di


hadapannya.Dengan lahapnya orang dari gunung Penanggungan
itu,menikmati nasi megana yang masih hangat dan segarnya air kelapa muda
itu.
P a g e | 21

Namun suasana yang tenang itu terusik dengan datangnya anak pemilik kedai
itu.Kedatangannya yang buru-buru dan dengan raut wajah kegelisahan,telah
mencuri perhatian ki Palon.

"Bapak,lebih baik kedai ini ditutup saja.!"teriaknya dengan kegelisahan


mencengkam hati pemuda itu.

"Memangnya ada apa Landong.?"

"Gawat pak,ki Jalak Pethak yang kalah sambung ayam dengan anak ki bekel
ingin melumatkan padukuhan ini,lebih baik kita segera mengungsi."jelas
Landong,yang masih gemetar tubuhnya.

Pemilik kedai itu pun langsung pucat mendengar perkataan dari anaknya
itu,lalu katanya,"Apakah ki Jagabaya tak bertindak,ngger.?"

"Sudah pak,tapi ki Jagabaya bukan tandingan murid kyai Bagor itu,bahkan


para bebahu pun dengan mudahnya dapat dirobohkan."

"Baiklah kalau begitu cepat kau kemasi dagangan,aku akan berbicara dengan
kisanak itu."ucap pemilik kedai akhirnya.

Dengan berat hati pemilik kedai itu menghampiri ki Palon,yang pura-pura tak
mengetahui keadaan sebenarnya.

"Tuan,mohon maaf bukannya aku mengusir tuan,tapi ini semua demi kebaikan
dan keselamatan kisanak,silahkan pergi dari tempat ini."

"Memangnya ada apa ki.?"

"Sudahlah tuan,cepatlah pergi dari sini,sebelum orang yang bernama ki Jalak


Pethak datang kemari."

Tak ingin menyusahkan pemilik kedai itu,maka ki Palon bangkit dari dingklik dan
merogoh uang dari kampil dan membayar makanan dan minumannya.
P a g e | 22

"Baiklah ki,aku akan pergi."kata ki Palon dan membayar.

"Tak usah tuan,makanan dan minuman itu akan aku kasih cuma-cuma."pemilik
kedai itu menolak uang pembayaran dari ki Palon.

"Terima kasih ki,atas kebaikannya."ucap ki Palon,lalu mengambil kain


bungkusan di atas bangku dan keluar dari kedai itu.

Sepeninggalnya ki Palon,pemilik kedai itu segera mengemasi mangkuk dan


piring yang terbuat dari tanah liat bekas makanan ki Palon.Tapi betapa
terkejutnya pemilik kedai itu mengetahui ada beberapa keping uang yang
betada di bawah piring itu.

"Ah orang itu memang orang yang berbudi luhur."ucapnya.

Tapi sebuah suara bantingan pintu kedai telah mengagetkan pemilik kedai dan
anaknya.Setelah mengetahui siapa yang membanting daun pintu kedai
itu,wajah kedua orang itu tampak memucat layaknya kapas putih. Di depan
pintu seorang laki-laki yang sebaya dengan Landong berdiri dengan bertolak
pinggang.

"He mengapa kalian berdiri mematung seperti tikus sawah.?cepat hidangkan


tuak yang paling enak dan ayam panggang.!"teriak ki Jalak Pethak.

Betapa bingung dan gelisahnya pemilik kedai itu mendengar permintaan yang
tak masuk akal itu.

"Ma maaf anakmas,kalau ayam panggang dengan cepat aku hidangkan,tapi


kalau tuak di sini tak menyediakan,anakmas."

Bangsat ,beraninya kau menentang keinginanku,apa kau bosan


hidup.?!"bentak ki Jalak Pethak,seraya menghantam daun pintu.

Akibatnya daun pintu itu pecah betantakan,dan membuat pemilik kedai dan
anaknya menggigil ketakutan.
P a g e | 23

"Ampunilah aku anakmas,bukannya aku menentang kemauan anakmas,tapi


sesungguhnya memang kedai ini tak menyediakan minuman..."

Belum sempat pemilik kedai itu menuntaskan perkataannya,sebuah tangan


kekar telajh mencekik leher pemilik kedai itu,hingga membuat nafasnya sesak.

"Denmas,ampunilah bapakku.jika perlu biarlah aku yang menggantikan


bapakku."pinta Landong.

"Hahaha baik kalau itu maumu,kunyuk.!"ki Jalak Pethak segera melepas


cengkramam tangannya dan melempar pemilik kedai itu dengan kerasnya.

"Bapaaak.!"teriak Landong cemas.


Sesaat tubuh pemilik kedai itu akan membentur tiang kedai,namun sebuah
bayangan dengan cepat menyambar tubuh pemilik kedai itu.

"Kau tak apa-apa kisanak.?"tanya bayangan yang menyelamatkan bapak


Landong.

"Oh kau tuan,terima kasih aku tak apa-apa berkat tuan.."jawab pemilik kedai.

jilid 1 bagian 9

Rasa bersyukur telah menyelinap di hati Landong,yang mendapatkan orang


tuanya selamat dari ulah ki Jalak Pethak.
Namun jauh berbeda dengan ki Jalak Pethak,kedatangan orang asing yang
telah menyelamatkan pemilik kedai,membuat hatinya mendidih laksana kawah
gunung Kelud.Matanya seketika memerah dan ingin melumat orang asing itu.

"He setan alas,siapa kau beraninya menghalang-halangi kesenanganku.!"hardik


ki Jalak Pethak.

"Adi,bantulah bapakmu,aku akan berbicara dengan kisanak ini."kata orang


yang menyelamatkan pemilik kedai,yang tak lain ki Palon.

Pada saat ia meninggalkan kedai,sebenarnya ia tak berjalan jauh.ki Palon yang


P a g e | 24

ingin mengetahui kelanjutan dari permasalahan padukuhan Sukomoro,dengan


diam-diam menyembunyikan kudanya dan selanjutnya kembali ke kedai.

"He apa kau tuli setan alas.!"bentak ki Jalak Pethak,yang merasa dirinya tak
dihiraukan oleh ki Palon.

"Janganlah kau berteriak-teriak seperti itu kisanak,aku tidak tuli namun aku
masih meminta adi ini merawat bapaknya."jawab ki Palon,tenang.

"Mengapa kisanak marah-marah tak karuan seperti itu kepada pemilik kedai
yang memang tak menyediakan minuman keras.?"lanjut ki Palon.

"Itu bukan urusanmu,di tepian barat kali Brantas ini merupakan wilayahku,dan
semua yang aku inginkan harus ada.!"

Mendengar perkataan ki Jalak Pethak,telinga ki Palon seperti mendengar


dengung lebah dan ingin memukul lebah itu secepatnya.Tapi ia teringat
petuah dari resi Puspanaga,untuk berlaku sabar dan mengedepankan
kedamaian.

"Maaf kisanak,perbuatanmu itu jauh dari paugeran bebrayan,bahkan jika hal


itu diperbuat oleh penguasa sekalipun itu tetaplah salah.Maka dari itu sadarlah
dan minta maaflah kepada pemilik kedai ini."

"Tutup mulut,beraninya kau sesorah dihadapan Jalak Pethak murid kyai Bagor.!"

"Hem,jadi kisanak ini murid kyai Bagor.?tapi yang aku ketahui kyai
Bagor,seorang yang berjiwa besar tak melakukan sesuatu yang merugikan
orang lain."kata ki Palon.

Kening ki Jalak Pethak,terlihat mengernyit disaat mendengar kalau orang di


depannya mengetahui kepribadian gurunya.

"Gawat jika orang ini dibiarkan hidup,dia bisa mengadu perbuatanku kepada
guru."kata ki Jalak Pethak dalam hati,"lebih baik orang ini aku binasakan saja."

Tanpa suatu peringatan,murid kyai Bagor itu meloncat menyerang ki Palon.


P a g e | 25

Dengan tangan mengembang menyerupai cakar ,ki Jalak Pethak menyerang


wajah lawannya.Untung saja lawannya bukan orang kebanyakan,dengan
menggeser kakinya dan memutar tubuhnya,ki Palon lepas dari serangan
mematikan itu. Tapi ki Jalak Pethak yang merupakan gegedhuk barat tepian
kali brantas itu yak tinggal diam.Ia pun berbalik dan menyerang kembali
dengan tendangan memutar.Dan lagi-lagi ki Palon berhasil menghindari
dengan merendahkan tubuhnya sekaligus menyerampang kaki kiri lawan.
Akibatnya murid kyai Bagor itu berhasil tersapu dan jatuh.Walau begitu ki Jalak
Pethak dengan cepatnya melenting dan kembali berdiri dengan sikap
sempurna.

"Pantas kau begitu sombong,ternyata kau mempunyai bekal olah kanuragan


.Tapi janganlah kau keliwat bangga,karena aku hanya mengeluarkan tenaga
sebesar biji sawi.!"kata ki jalak Pethak.

"Oh pantas,ungkapan tenaga kisanak tadi seperti silirnya angin."sahut ki


Palon,memancing kemarahan lawannya.

Dan benar saja,bagai api yang tersiram minyak,ki Jalak Pethak menggeram
dan melibat punakawan dari gunung Penanggungan itu. Selapis demi lapis
ungkapan tenaga dari ki Jalak Pethak membadai,serangan tangannya yang
kokoh itu seolah-olah menutup gerak dari lawannya. Oleh karena itu,ki Palon
pun telah meningkatkan kemampuannya untuk melayani tandang dari murid
kyai Bagor.

Sementara itu tanpa terasa perkelahian itu melumatkan seisi kedai,dingklik dan
bangku rusak berantakan terkena gempuran ki Jalak Pethak. Mengetahui
barang-barangnya hancur,pemilik kedai hanya pasrah dan menjauhi
kedainya,supaya tak terkena sambaran tenaga ki Palon maupun ki Jalak
Pethak.
Perkelahian yang makin lama bertambah seru dan sengit itu,telah bergeser di
halaman kedai.Sergapan dan serangan keduanya begitu cepat dan
trengginas,debu pun terangkat terkena sambaran kaki kokoh keduanya.

Jilid 1 bagian 10

Suasana saat itu sungguh membuat orang yang melihat akan berdebar-debar
P a g e | 26

jantungnya.Terkaman dan serangan dari tata gerak olah kanuragan yang


begitu rumit dan trengginas seakan-akan tiada henti mencari kelengahan atau
pun titik lemah lawan.

Memang sungguh tepat jika orang-orang dari telatah tepi barat kali Brantas
akan takhluk dengan seseorang yang bernama ki Jalak Pethak,ketangkasan
dan kelincahannya sungguh mengagumkan.Tapi lawannya pun juga bukan
orang kebanyakan,ki Palon yang merupakan punakawan dari resi
Penanggungan sekaligus muridnya,mempunyai ilmu yang ngedab-ngedabi.

"Siapa sebenarnya orang ini.?tak ku sangka hingga membuat diriku mencapai


tataran setinggi ini."desis ki Jalak Pethak,dalam hati.

Tataran ilmu ki Jalak Pethak pun mulai merambah tenaga


cadangan,ungkapan ilmunya telah menyeruak kepermukaan dan membuat
udara disekitarnya terasa hangat dan kecepatan geraknya meningkat.

"Bukan main,inikah ilmu yang bersumber dari perguruan Kali Bening itu.?"kata ki
Palon,memuji tenaga lawan.

"Ternyata kau mengetahui ketangguhan ilmuku yang bersumber dari Kali


Bening,lebih baik kau menyerahkan kepalamu supaya kau tidak mengalami
sakitnya ilmu tertinggiku.!"teriak ki Jalak Pethak,dengan angkuhnya.

"oh maaf kisanak,dari pada aku menyerahkan kepalaku lebih baik kisanak saja
yang berlaku begitu."sahut ki Palon lantang.

"Setan alas,akan ku cincang kau dan akan aku lempar mayatmu di besarnya
kali Brantas.!"

Sebuah sambaran yang sangat cepat mengarah tubuh ki Palon dengan


gencarnya,hingga membuat orang dari lereng gunung Penanggungan itu
terdesak hebat. Serangan yang membadai dari ki Jalak Pethak dengan
ungkapan tenaga cadangan yang terus menanjak,telah tertuju telak
mengenai dada ki Palon yang terbuka bebas.Akibatnya tubuh ki Palon
terpental kebelakang,namun dengan sigapnya sebelum tubuh itu jatuh ke
tanah,ki Palon mematukkan kedua tangannya dan melenting ke udara dan
mendarat dengan sempurna di tanah.
P a g e | 27

"Hampir saja."desis ki Palon,sambil mengusap dadanya yang terkena gempuran


tangan lawan.

Tapi lawannya tak membiarkan ki Palon begitu saja,kembali serangan tangan


terbuka miring mengarah leher dengan cepat.Tapi ki Palon tak mengendurkan
kewaspadaannya,serangan itu dengan cepat telah ia tangkis dengan
lengannya.Tentu saja ki Jalak Pethak yang tak ingin serangannya
dimentahkan,segera menarik tangannya dan mengganti mengayunkan
tangan kanan mengarah dada lawan.Tapi lagi-lagi ki Palon bisa membaca
serangan lawan. Dan dua kepalan tangan telah bertemu menimbulkan
hempasan angin di sekeliling kedua orang itu.Dari hasil pertemuan dua tenaga
itu membuat keduanya membal.

Ki Jalak Pethak merasakan tangan kanannya nyeri luar biasa hingga sampai
terasa di dada.Begitu juga dengan ki Palon,tangannya seperti dirambati
tenaga panas menyengat,hingga membuatnya menyeringai.

"Setan mana yang merasuki orang itu,hingga ia mampu menahan gempuran


yang aku lambari aji Tapak Geni."desis ki Jalak Pethak,"Aku rasa perkelahian
yang berlarut-larut ini,segera ku akhiri."

Setelah dengan mantap maka ki Jalak Pethak,segera memusatkan nalar dan


budinya untuk mengungkap aji pamungkas dari perguruan Kali Bening.Sebuh
aji yang bersumber dari api yang dinamai aji Tapak Geni.
Mendapati lawannya dengan sungguh-sungguh akan mengakhiri perkelahian
dengan sikap yang ngedab-ngedabi,maka ki Palon pun juga mengungkap
ilmu pertahanan hingga tinggkat teratas,agar dirinya tak hangus terkena ilmu
lawan.

Dengan menyilangkan kedua tangan di dada dan kaki yang agak renggang
mengakar ke bumi,ki Palon telah mengungkap aji Tameng Waja untuk
membentengi seluruh tubuhnya.
Dan saat yang mendebarkan telah terjadi,ki Jalak Pethak dengan telapak
tangan yang membara meloncat menggempur tubuh lawannya.

Sebuah hentakan yang dahsyat mengguncang tempat itu.Daun dan ranting


P a g e | 28

meranggas dan debu membumbung memenuhi halaman kedai itu. Setelah


debu kembali larut ketanah,tampak ki Palon jatuh terduduk dengan kedua
tangan menyangga tubuhnya dan di pinggir bibirnya tampak darah
merembes.Segera saja ia duduk bersila untuk mengatur ilmu pernapasanya
dan mengembalikan tenaganya.

Di lain pihak,nasib lebih parah di derita oleh ki Jalak Pethak.Ternyata ilmunya


selapis lebih rendah dari ki Palon.aji Tapak Geni yang ia lontarkan,kembali
membalik ketubuhnya dan membuat dadanya terasa panas seperti terkena
lelehan lahar.Dan perlahan-lahan membuat dirinya tak kuat bertahan untuk
terus membuka mata,hingga akhirnya orang itu pingsan.

Saat seperti itulah,sesosok bayangan menyambar tubuh ki Jalak Pethak dan


membawanya pergi dari tempat itu.

"Oh siapakah orang yang menyelamatkan ki Jalak Pethak,apakah kyai


Bagor.?"tanya ki Palon,setelah ia membuka mata dan melihat bayangan yang
menyambar ki Jalak Pethak.

Sementara itu pemilik kedai dan anaknya segera menghampiri ki Palon.

"Bagaimana keadaan tuan.?"tanya pemilik kedai,setelah berada di samping ki


Palon.

"Syukur ki,aku masih mendapat kemurahan dari Yang Maha Agung,tapi maaf ki
karena ulahku,kedai kisanak rusak."ucap ki Palon,seraya meminta maaf.

"Ah sudahlah,tuan.jika tuan tak bertindak seperti itu,mungkin nyawaku telah


melayang.Dan akulah yang harus berterima kasih kepada tuan."

"Sudahlah ki,kalau begitu aku akan melanjutkan perjalanan,tapi mohon ini


diterima sebagai modal membenahi kedai kisanak."kata ki Palon,sambil
mengangsurkan bebetapa keping uang perak.

"Oh tak usah tuan."tolak pemilik kedai.

"Terimalah jika kau benar-benar menghargaiku."desak ki Palon.


P a g e | 29

Akhirnya pemilik kedai itu menerima uang pemberian ki Palon dan


mengucapkan banyak terima kasih.Setelah dirasa cukup,ki Palon pun pamit
dan kembali melanjutkan perjalanannya yang terhenti untuk beberapa saat.

Jilid 1 bagian 11

Langit di kademangan Wilangan mulai temaram,para penghuni


kademangan mulai menyalakan pelita dari biji jarak. Di gardu samping regol
padukuhan induk beberapa pengawal kademangan mulai
berdatangan,kebanyakan mereka anak muda yang mempunyai bekal olah
kanuragan walau tak terlalu tinngi.
Di wayah sepi wong itulah,seekor kuda yang di tunggangi seorang berpakaian
prajurit memasuki regol itu.

"Selamat sore kisanak,apakah aku memasuki kademangan Wilangan.?"tanya


prajurit itu,setelah turun dari kuda.

"Benar tuan,siapakah kisanak ini.?"jawab anak muda dan sekaligus balik


bertanya.

"Aku Pramono,kisanak.Prajurit dari kadipaten Pranaraga."jelas prajurit muda itu.

Mengetahui kalau orang berkuda itu seorang prajurit,anak muda yang menjadi
pemimpin pengawal itu segera mengangguk hormat.

"Oh maafkan kami yang tak mengetahui jika tuan ini seorang prajurit."ucap
pemimpin pengawal itu.

"Sudahlah kisanak,oh ya kedatanganku kesini diutus oleh putra ki Demang,yang


kini menjadi seorang Rangga di kadipaten Prana Raga."

"Oh maksud tuan,kakang Arya Sena.?"

"Benar kisanak."

"Baiklah mari ke kademangan tuan,ki Demang pasti akan senang mendengar


P a g e | 30

kabar itu."kata pengawal kademangan,dan mengantar prajurit dari kadipaten


Prana Raga.

Di pendopo kademangan,ki Demang bersama para bebahu berkumpul untuk


merundingkan pembuatan bendungan yang akan dialirkan ke sawah para
penghuni kademangan sisi lor. Dan ditengah-tengah suasana perundingan
itulah,kedatangan pemimpin pengawal beserta seorang anak muda menaiki
pendopo.

"Ampun ki Demang,tuan prajurit ini ingin menghadap ki Demang."lapor


pemimpin pengawal.

"Oh,terima kasih sudah kau antarkan kemari,Kerti.kembalilah ke gardu


Parondan."ucap ki Demang,dengan senyum mengembang.

Setelah kepergian pengawal kademangan,ki Demang pun dengan ramah


mengucapkan selamat datang kepada prajurit muda itu di kademangan yang
ia pimpin.

"Terima kasih ki Demang,atas penyambutannya.Perkenalkan saya


Pramono,prajurit kadipaten Prana Raga yang berada di bawah pimpinan ki
rangga Arya Sena."kata ki Pramono.

"Ah apakah aku tadi tak salah dengar,putra ku menjadi seorang


rangga.?"tanya ki Demang,merasa tak yakin.

"Begitulah ki Demang,dan kedatangan saya kemari mendapat perintah dari ki


rangga Arya Sena untuk menyampaikan hal ini,sekaligus meminta ki Demang
untuk menghadiri wisuda ki rangga Arya Sena dalam pekan ini."kata ki
Pramono.

Sesaat ki Demang memandang ki Jagabaya dan para bebahu lainnya.

"Ki Demang,lebih baik memang ki Demang menghadiri wisuda anakmas Arya


Sena."kata ki Jagabaya.
P a g e | 31

"Tapi kakang,apakah hal itu tak mengganggu rencana kita untuk


membendung kali lor.?"

"Tenanglah ki,biarlah kami para bebahu saja yang merampungkan pembuatan


bendungan kali lor.Jika ki Demang tak menghadiri wisuda anakmas Arya
Sena,putra ki demang itu pasti akan kecewa."kembali ki Jagabaya angkat
bicara.

Setelah merenung beberapa saat dan tak ingin mengecewakan


putranya,maka ki Demang bersedia menghadiri hari wisuda anaknya.

"Baiklah tuan prajurit,aku akan menghadiri hari wisuda putraku."

"Syukurlah jika ki Demang bersedia hadir,tapi mohon maaf ki Demang


janganlah ki Demang memanggil saya tuan,lebih baik panggilah nama saya
saja."sahut ki Pramono.

Setelah memastikan waktu pemberangkatan ke kadipaten Prana Raga,yang


akan berangkat keesok harinya,maka prajurit muda itu oleh ki Demang telah
disediakan tempat istirahat di gandok dan juga disuguhi makan malam.

Berjalannya waktu yang terus berlanjut itu,telah merubah gelapnya malam


menjadi secercah sinar sang surya di ujung langit timur.

Kokok ayam jantan dan kicau burung pun memeriahkan pagu yang cerah
itu.Di depan pendopo kademangan empat ekor kuda telah disiapkan untuk
mengantar ki Demang dan ki Pramono,serta dua pengawal kademangan
Wilangan menuju kadipaten Prana Raga.

"Marilah ki Demang,mumpung hari masih pagi."ucap ki Pramono,usai


menyantap hidangan di pagi hari.

"Mari Pramono,kurasa kedua pengawalku juga sudah siap."sahut ki Demang.

Keduanya pun berdiri dan berjalan menuruni tlundak pendopo.Di bawah


tlundak,ki jagabaya dan beberapa bebahu telah berdiri menunggu.
P a g e | 32

"Kakang Jagabaya,ku titipkan kademangan ini untuk beberapa kedapan


sampai aku kembali."ucap ki Demang.

"Baik ki Demang,semoga perjalanan ki Demang lancar dan pulang


secepatnya."sahut ki Jagabaya.

Setelah memberikan beberapa pesan kepada ki Jagabaya dan para


bebahu,maka rombongan ki Demang berangkat menuju kadipaten Prana
Raga.

Jilid 1 bagian 12

Derap kaki kuda rombongan ki Demang Wilangan semakin pelan tatkala


melewati jalan setapak memasuki alas Saradan.Alas yang banyak ditumbuhi
pohon jati sebesar pelukan tangan orang dewasa menjulang tinggi seakan
membelah angkasa. Karena itulah ki Demang Wilangan dan ki Pramono
beserta dua pengawalnya berjalan sangat perlahan,apalagi jika ada pohon
yang tumbang maka mereka pun turun dan mengangkar dan memindah
pohon itu.Dan kadang kala dengan menggunakan pedang,mereka
memotong dan membabar sulur-sulur akar pohon.

Semakin masuk kedalam hutan,sinar matahari semakin terhalang oleh lebatnya


daun-daun jati dan lainnya.
Di kanan kiri suara kicau burung dan suara binatang pun ikut mengisi
kelangsungan hidup alam.

"Apakah pohon jati di alas ini tak dimanfaatkan untuk keperluan


pembangunan,ki Demang."tanya ki Pramono,prajurit muda dari kadipaten
Prana Raga.

"Kalau jalan masuk tadi sampai kesina tidak,Pramono.Tapi ujung utara oleh
para penghuni kademangan sering di ambil pohonnya,itu pun dengan syarat
harus menanam kembali setelah satu pohon di tebang."ucap ki Demang
Wilangan,"Apakah waktu kau datang tak lewat jalur ini.?"

"Tidak ki,aku lewat ujung yang lain dengan sedikit memutar."


P a g e | 33

Saat seperti itulah,tiba-tiba sebuah teriakkan mengagetkan rombongan itu.


"Berhenti kalian.!"

Teriakan itu telah membuat ki Demang dan pengiringnya menarik kekang kuda
mereka,hingga membuat kaki depan kuda itu terangkat.

"Siapa kisanak ini.?"tanya ki Pramono.

Orang itu tak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh ki Promono,malah


dengan garangnya ia menarik pedangnya.Bersamaan dengan itu,dari
berbagai penjuru beberapa orang muncul dan memperlihatkan tampang tak
bersahabat.

"Ku ulangi,siapa sebenarnya kalian ini.?"sekali lagi ki Pramono bertanya.

"Kami raja wilayah alas Saradan ini,kisanak.Julukanku Suro Adikara."Seoarang


berbadan tinggi besar dengan memakai topeng menjawab.
Ki Demang dan rombongannya pun mengerutkan keningnya.

"Janganlah kau bergurau,kisanak.Alas Saradan sebelah timur ini masih telatah


kademangan Wilangan yang aku pimpin.Sedangkan sebelah barat masuk
wilayah Segaten,yang dipimpin oleh kyai Rekso Gati."Sergah ki Demang
Wilangan.

"Hahaha aku tak mengakui dirimu atau pun orang Demak yang bernama Rekso
Gati.Hutan ini kerajaanku dan semua yang memasuki harus membayar
upeti.!"ucap ki Suro Adikoro lantang.

"Kalau kami tak mau,apa yang akan kalian lakukan.?"ki Pramono angkat
bicara.

"Tentu saja kalian akan kami jadikan santapan hewan buas yang ada ditempat
ini.!"

"Kurang ajar,apa kau buta hingga tak bisa melihat pakaian keprajuritan bumi
Wengker.!"kata ki Pramono.
P a g e | 34

Orang bertopeng yang mengaku Suro Adikoro itu tersenyum dan memandang
tajam ke arah ki Pramono.

"Jangankan kau prajurit rendahan,bahkan adipati pangeran Anom pun aku tak
gentar."

Mendengar ucapan dari ki Suro Adikoro itu,darah ki Pramono langsung


menggelegak dan meloncat menyerang orang bertopeng itu. Namun
seseorang anak buah ki Suro Adikoro telah menghadangnya.Benturan dua
tenaga pun terjadi di dalam hutan lebat itu.
Ki Pramono terkejut bukan kepalang akibat dari benturan yang baru saja
terjadi.Tangannya terasa kesemutan dan nyeri.

"Ternyata hanya ini kemampuan yang dipunyai kadipaten Prana Raga.?"ucap


orang yang menghadang ki Pramono,"Kakang biar Suro Werdi saja yang
melumatkan kunyuk - kunyuk ini."

"Terserah kau saja adi,tapi lakukan dengan cepat."

"Baik kakang."

Dirasa situasi itu tak menguntungkan,maka ki Demang dan dua pengiringnya


segeta turun dari kudanya dan mendekati ki Pramono.Kini mereka dalam
kepungan ki Suro Werdi dan kawan-kawannya,sementara ki Suro Adikoro berdiri
agak jauh.

Sesaat kemudian di dalam lebatnya hutan itu mulai terdengar teriakan kasar
dari komplotan orang yang mengaku raja alas Saradan,sebagai awal dari
serangan mereka.

Pedang dari warangka segera jengkar untuk menuntaskan pertempuran yang


berat sebelah itu.Denting suara dari gesekan pedang makin sering terdengar
dan percikan bunga api juga ikut mewarnai.

Empat orang melawan tujuh kawanan perampok dengan tata gerak yang
kasar dan ganas itu,membuat repot ki Demang dan ki Pramono beserta dua
pengawal kademangan Wilangan. Di pihak ki Demang,hanya ki Pramono dan
P a g e | 35

ki Demang sendiri yang diunggulkan.Sedangkan dipihak kawanan perampok


alas Saradan,ki Suro Werdi merupakan hantu yang menakutkan,dan anak
buahnya yang sebenarnya ilmu olah kanuragannya belum seberapa,tapi
karena banyaknya pengalaman bertempur,mereka sangat menentukan.

Dan benar saja,sebuah teriakan telah keluar dari salah satu pengiring ki
Demang.Sebuah goresan walau tak dalam telah mengenai lengan
kirinya,darah segar mulai menitik membasahi tanah alas Saradan.

"Apakah kau masih sanggup,Bongol.?"ucap ki Demang,cemas.

"Ini belum seberapa,ki Demang."jawab pengawal itu,sambil terus menghadapi


dua lawannya.

Tak berapa lama,kembali sebuah rintihan terdengar dari pengawal


kademangan lainnya.Sebuah tendangan menyarang tepat mengenai
lambungnya,hingga membuat pengawal itu tersuruk kebelakang.

Mendapat lawannya tersuruk,salah seorang kawanan perampok dengan


ganas mengayunkan pedangnya mengarah leher pengawal. Sekejap pedang
itu hampir mengenai leher pengawal kademangan,sekelebat bayangan telah
menendang tangan perampok itu,dan membuat pedang dalam
genggamannya tak bisa dipertahankan dan lepas dari tangannya. Tak hanya
itu saja,sebuah pukulan menghantam pelipis orang itu dan membuat orang itu
jatuh terjengkang tak berkutik.

"Kau tak apa-apa,kisanak.?"tanya laki-laki yang baru saja menyelamatkan


pengawal kademangan.

Meskipun masih mengernyit menahan sakit,pengawal kademangan itu


berusaha berbicara.

"Terima kasih kisanak."

"Sudahlah lebih baik kisanak beristirahat agak jauh kepinggir."saran orang itu.

"Tapi mereka..."
P a g e | 36

"Sudahlah,aku akan berusaha menghadapu mereka."sahut orang itu yang tak


lain ki Palon.

Kedatangan ki Palon menarik perhatian semua orang yang ada di situ dan
memancing dua orang yang tadinya membantu ki Suro Werdi dan satu lagi
yang menghadapi ki Pramono.

Jilid 1 bagian 13

Kedatangan ki Palon membuat ki Demang Wilangan dan ki Pramono


bernafas lega.Walau tak mengetahuu jati diri sang penolong,namun ki Demang
dan para pengiringnya merasa yakin kalau orang itu secara tulus membantu.

Di luar kalangan ki Suro Adikoro,mengernyitkan dahinya.Betapa mudahnya


orang yang baru datang itu menghalau anak buahnya.Kini yang tersisa dari
anak buahnya hanya ki Suro Werdi dan kawannya yang mwnghadapi ki
Pramono,lalu dua anak buahnya menghadapi ki Demang.
Tanpa menunggu lagi maka ki Suro Adikoro dengan satu loncatan panjang
telah berdiri di hadapan ki Palon.

"Bukan main kau kisanak,dengan mudahnya kau melumpuhkan empat anak


buahku layaknya menepuk seekor lalat."ucap ki Suro Adikoro,yang masih
melipat tangannya di depan dada.

Ketenangan dari raja perampok alas Saradan ini,membuat ki Palon waspada.

"Ah itu semua hanyalah kebetulan saja kisanak,mungkin juga kawan-kawan


kisanak yang lengah."

"Mungkin..mungkin..Oleh karena itu kau harus membayar dengan nyawamu.!"

"Ah mengapa harus dengan nyawa kisanak,lebih baik hentikan perbuatan


kisanak dan hidup damai sesama manusia."kata ki Palon.

"Cih mulutmu begitu mudahnya berkata,apa kau akan mampu


mempertahankan selembar nyawamu..!"ucap orang bertopeng itu.
P a g e | 37

Lalu kemudian ki Suro Adikoro mulai bergerak menyerang punakawan resi


Puspanaga itu. Tata gerak dasar yang diperagakan oleh orang bertopeng
itu,mengawali adu kerasnya tulang dan liatnya daging.Dan ki Palon pun
mencoba melayani dengan mengeluarkan tata gerak dasarnya.
Tangan terbuka yang miring dari ki Suro Adikoro mencoba menusuk dada ki
Palon yang terlihat terbuka,namun sesaat tangan itu akan sampai di tujuan,ki
Palon memapas dengan tangan kanannya.

Tentu saja ki Suro Adikoro dengan cepat merubah serangannya dan


mengganti kaki kiri menginjak kaki kanan lawan dan sebuah pukulan mengarah
kepala lawan.
Tapi orang dari gunung Penanggungan itu segera menggeser kaki kanannya
dan menghindari pukulan di kepalanya,sekaligus dengan cepat menjejak
tanah hingga membuat badannya membal keatas serta menendang kepala
pemimpin perampok itu.

Mendapat serangan dari atas itu,ki Suro Adikoro,segera mendoyongkan


tubuhnya kebelakang yang meloloskan serangan itu.
Semakin lama seiring berjalannya waktu,pertempuran kedua orang itu
bertambah seru.Tataran demi tataran telah meningkat keatas.
Ungkapan tenagan mereka mengakibatkan tanah yang mereka pijak rusak
layaknya terkena bajak.Daun dan rumput pun terkulai lemas akibat benturan
tenaga keduanya.
Sementara itu ki Demang yang mendapatkan bantuan dari
pengiringnya,dengan leluasa mendesak lawannya.Dan ayunan pedangnya
berhasil menggores lengan dan lambung lawannya,yang kemudian membuat
tubuh perampok itu terkulai lemah.
Sesaat ki Demang memerhatikan tandang dari ki Suro Adikoro yang
mendapatkan lawan sebanding.
"Bukan main orang itu."desis ki Demang.

"Ki Demang,mari kita bantu ki Pramono."ucap pengawal kademangan


Wilangan,yang telah selesai mengalahkan lawannya.

"Bagaimana dengan lawanmu.?"

"Dia pingsan,ki Demang."jawab pengawal itu.


P a g e | 38

"Baiklah,mari kita bantu Pramono."kata ki Demang Wilangan,yang berlari


kearah dimana ki Pramono terdesak oleh ki Suro Werdi dan kawannya.

"Majulah kalian,supaya pekerjaanku cepat tuntas.!"tantang ki Suro Werdi,yang


terus mendesak prajurit muda dari bumi Wengker itu.

Yang terjadi kemudian adalah pertempuran berpasangan yang melibatkan


dua orang melawan tiga orang.

Di lain tempak yang tak terlalu hauh,ki Suro Adikoro dibuat penasaran oleh
lawannya.Bagaimana tidak,setiap ia meningkatkan tatarannya maka
lawannya pun mampu menandinginya.

Kini orang bertopeng pemimpin gerombolan alas Saradan itu mulai merambah
ilmu simpanannya.Deru angin yang awalnya silir semilir itu tiba-tiba berkumpul
menjadi satu tenaga dan menghentak ke arah ki Palon.

Seleret warna putih samar-samar itu mengagetkan ki Palon.Walau ia mampu


menghindari,tapi ia pun masih terkena hempasannya yang terasa pedih di kulit.

"Ilmu apa itu tadi,hingga membuat lenganku terasa pedih tak terkira.?"ucap ki
Palon dalam hati,"Aku harus hati-hati."

Tak ingin membahayakan dirinya,maka ki Palon dengan cepat mengungkap aji


Tameng Wajanya untuk melindungi tubuhnya.

"Bagaimana kisanak,apakah kau bisa mempertahanjan nyawamu itu.?"ledek ki


Suro Adikoro.

"Akan aku coba kisanak,sampai tetes darahku."

"Besar juga semangatmu itu,walau mungkin penalaranmu itu salah.!"kata ki Suro


Adikoro.

Di lain kalangan sebuah erangan telah keluar dari mulut kawan ki Suro Werdi.Ki
Pramono berhasil menggoreskan senjatanya di paha lawan.
Namun pengawal ki Demang pun tak luput dari sodokan tangkai pedang dari
P a g e | 39

ki Suro Werdi dan membuat pengawal itu jatuh tak sadarkan diri.

(Bersambung......)

Panasnya Langit Demak Jilid 2 ( 1 -15 )

ilid 2 bag 1
Karya : Marzuki
�����
.
Udara malam itu terasa dingin luar biasa,angin yang mengalun lembut itu
membuat semua orang malas untuk keluar dari rumah.Suasana itu membuat
semua orang meringkuk dalam hangatnya selimut kain panjang atau jarit.
Di gardu parondan pun yang di tempati oleh beberapa anak muda yang
harusnya berjaga,tampak kosong.
Di tengah malam yang gelap dan dingin itu,seorang yang berjalan kaki
menghentikan langkahnya.
"Sepertinya malam ini hujan akan turun."desis orang itu.
Sesaat orang itu memerhatikan gardu parondan di ujung regol padukuhan itu.
"Lebih baik aku bermalam di gardu ini."berkata orang itu yang kemudian
menaiki gardu itu dan meletakkan buntalannya.
Tak berapa lama orang itu merebahkan diri,derap kaki kuda terdengar di
telinganya.Lantas orang itu kembali bangun dan duduk.
Dari ujung lorong dua kuda yang ditunggangi oleh tiga orang,yang terdiri dua
orang lelaki dan satu orang remaja.Kuda itu berjalan pelan karena tak ingin
mengganggu ketenangan padukuhan yang akan mereka lewati.
"Paman,sepertinya hujan akan segera tiba.Lebih baik kita berteduh di gardu
parondan itu."salah seorang dari mereka berkata.
"Baiklah sepertinya Dipa juga sudah lelah."sahut orang yang dipanghil paman
itu.
Maka mereka pun bersepakat untuk berteduh di gardu yang gelap itu.Tapi saat
salah seorang turun dari kudanya,sebuah dehem telah mengejutkan mereka.
"Oh maaf kisanak,aku kira gardu ini kosong.Kami bertiga ingin minta ijin
berteduh disini,itupun jika kisanak ijinkan."ucap penunggang kuda yang masih
muda.
Orang yang lebih dulu di gardu parondan itu menganggukkan kepalanya
perlahan.
P a g e | 40

"Silahkan kisanak,kita sama-sama orang yang kemalaman."ucap.orang itu.


"Oh jadi kisanak juga kemalaman seperti kami.?"ucap penunggang kuda yang
disebut paman,yang tak lain ki Mahesa Anabrang.
"Benar kisanak,o ya namaku Sawung Rana.Kalau boleh tahu kisanak ini siapa
dan dari mana.?"tanya orang yang mengaku Sawung Rana itu.
"Kami bertiga berasal dari kadipaten Prana Raga,namaku Mahesa Anabrang
dan ini anakku Dipa.Sedangkan yang ini kerabatku,Palon.
namanya."kata ki Mahesa Anabrang,yang menerangkan jati dirinya.

"Palon.."desis Sawung Rana dalam hati.


"Oh ya silahkan naik paman,gerimis sudah turun."lanjut Sawung Rana.
Benar saja,gerimis dari langit itu telah turun membasahi bumi.Suara guntur dan
kilatannya pun mewarnai cuaca di malam itu.
Dipa yang kedinginan itu meringkuk di pojokan gardu dan berselimut kain
panjang,saking lelahnya ia sudah terlelap tidur dengan pulasnya.
"Apakah angger ini seorang pengembara.?"
"Tidak paman,aku baru saja berpergian ke rumah kerabat yang berada di
tanah perdikan Anjuk Ladang dan akan kembali pulang ke Ploso."jawab
Sawung Rana.
"Hanya berjalan kaki.?"tanya Palon,yang mengerutkan dahinya.
"Awalnya tidak,aku berkuda waktu berangkat kesana,tapi saat sampai di
rumah kerabatku ternyata ia lebih memerlukan kuda itu.Maka aku pinjamkan
kuda itu kepadanya."
"Wah ternyata angger berjiwa besar dan tulus bersih."kata ki Mahesa
Anabrang,memuji kebaikan pemuda itu.
"Ah tidak paman,itu sudah selayaknya."
Tanpa terasa malam pun makin menusuk ke dalam,maka mereka pun telah
merebahkan tubuhnya dan memejamkan mata mereka.Tapi walau mata
terpejam,sebenarnya ki Mahesa Anabrang dan Palon tetap waspada dan hati-
hati,meskipun tampaknya orang yang bernama Sawung Rana itu terlelap
dalam tidurnya.

ilid 2 bag 2
Karya : Marjuki
�����
.
Malam itu pun berlalu tanpa ada sesuatu yang membuat
P a g e | 41

ketegangan,semuanya berjalan dengan semestinya hingga secercah sinar


mentari muncul di mega-mega timur.
Hujan yang turun di malam,membuat hari itu tampak semakin tentram di
padukuhan itu.Para penghuni padukuhan mulai bekerja sesuai dengan tugas
mereka masing-masing.
Petani dengan memanggul Cangkul dan sebilah arit yang tergenggam di
tangan kanan dan tak lupa tudung terbuat dari anyaman bambu,melindungi
kepala petani yang berangkat ke sawah mereka.
Para pedagang dengan barang dagangannya berupa hasil bumi dan hasil
kerajinan pun mulai meramaikan jalan padukuhan itu.
Suara senggot di dekat pakiwan berderit dan suara ikatan lidi yang menyatu
untuk menyapu pekarangan juga riuh terdengar di kanan-kiri pemikiman itu.
Di gardu parondan ki Mahesa Anabrang telah lama terjaga dan duduk
dipinggir parondan.
Palon pun yang juga telah terjaga menggeliatkan badannya.
"Cerahnya hari ini."desis Palon.
"Benar kisanak,dan air hujan malam tadi membuat pagi ini makin indah.Para
petani akan gembira melihat sawahnya yang mendapat siraman air yang baru
tiba ini."kata Sawung Rana.
"Oh kau sudah bangun ngger.?"
"Iya ki,dan aku akan segera melanjutkan perjalanan ini."sahut Sawung
Rana,yang telah merapikan pakaiannya.
"Mengapa buru-buru ngger.?,hari masih terlalu pagi."
"Mumpung masih pagi,ki.Serta ada keperluan di padukuhan di depan ini."kata
Sawung Rana.
"Baiklah ngger.Mudah-mudahan lain waktu kita bisa berjumpa lagi."
Maka Pemuda yang mengaku Sawung Rana itu beranjak pergi untuk
melanjutkan langkahnya.
Setelah kepergian anak muda itu,ki Mahesa Anabrang dan Palon masih duduk
di gardu parondan ujung padukuhan itu.Sementara itu Arya Dipa masih tidur di
balik kain panjangnya.
"Apakah kita berangkat sekarang,ngger.?"tanya ki Mahesa Anabrang.

Nanti saja paman,kasihan Dipa,ia tentu sangat kelelahan dengan perjalanan


berkuda ini."jawab Palon,sambil memerhatikan wajah polos Dipa.
Ki Mahesa Anabrang juga memerhatikan anak angkatnya dan sebuah senyum
menghiasi bibirnya.
"Anak ini sebenarnya mempunyai badan yang baik dan sangat bagus jika
P a g e | 42

mendapat gemblengan olah kanuragan."desis lirih orang tua itu.


"Bukankah paman bisa menuntunnya.?"kata Palon sambil mengerutkan
keningnya.
Orang tua itu menghela napas,lalu katanya.
"Memang pernah aku menuntunnya,tapi ada satu keanehan."
"Maksud paman.?"
Dan ki Mahesa Anabrang pun mulai menceritakan kejadian aneh itu.Kejadian
yang berawal dari dirinya yang ingin menuntun anak angkatnya dalam ilmu
kanuragan untuk bekal perjalanan hidupnya.
Kala itu di saat pagi hari,ki Mahesa Anabrang memanggil Dipa dan
mengajaknya ke belakang rumahnya yang lapang.Disitu ki Mahesa Anabrang
memeragakan beberapa gerak dasar olah kanuragan dari jalur
perguruannya,setelah selesai ia menghampiri Dipa dan menanyakan,apakah
Dipa tertarik dengan olah kanuragan yang baru sajaki Mahesa Anabrang
tunjukkan.
Ternyata gayung bersambut,Dipa kagum dengan apa yang diperagakan oleh
ayah angkatnya itu,dan mau diajari.Maka karena itu,di malamnya ki Mahesa
mengajak anak itu kembali di belakang rumahnya yang berada di padukuhan
Pudak.
Awalnya gerak demi gerak telah ia peragakan dan di tiru oleh anak itu.Tapi
saat malam makin larut,tiba-tiba di kesibukan ki Mahesa Anabrang melatih
anak itu,sayup-sayup sebuah desir halus terdengar.
Tapi ki Mahesa Anabrang tak memperdulikan hal itu dan terus melatih
Dipa.Hingga sekali lagi desiran halus itu muncul lagi dan makin kentara.
Dan saat itulah tiba-tiba anak remaja itu jatuh pingsan tak sadarkan diri.Tentu
saja ki Mahesa Anabrang yang secara naluri bergerak menangkap tubuh anak
angkatnya itu.Tapi sebuah tenaga yang tak terlihat menghempaskan
tubuhnya,sampai tubuh orang tua itu terjerembab di tanah.
Dalam kekagetannya,ki Mahesa Anabrang kembali terbelalak tatkala dari
ubun-ubun anak remaja itu berkelebat sesosok bayangan yang menyerupai
hewan bersayap sebesar gajah.
"Ah apakah itu.?"desis ki Mahesa Anabrang.
Dan bayangan itu mencuit keras lalu pudar dan menghilang.
"Apakah ini benar-benar nyata.?"ucap ki Mahesa Anabrang yang berusaha
bangkit berdiri dan berjalan menghampiri anak angkatnya dan memeriksa
keadaannya.
"Syukurlah ia tak apa-apa."kata ki Mahesa Anabrang,yang kemudian
membawa anaknya masjk ke dalam rumah.
P a g e | 43

Pagi harinya setelah Dipa terbangun,maka ki Mahesa Anabrang menanyakan


kejadian tadi malam kepada anak itu.Namun ternyata Dipa.tak ingat sedikit
pun dan ki Mahesa Anabrang tak ingin memaksa anak angkatnya untuk
mengingat kembali kejadian yang dialami itu.
"Baiklah nanti malam kita berlatih olah kanuragan seperti yang ayah tunjukkan
di pagi kemarin."
Hari kembali menjadi malam dan mereka kembali berlatih olah kanuragan.Dan
Malam yang memucak itu telah kembali mengulang kejadian sebelumnya.
Sosok itu makin terlihat nyata,sebuah burung sebesar gajah dengan mahkota
menghiasi kepala burung raksasa.

jilid 2 bag 3
Karya : Marzuki
�����
.
Seekor burung Garuda dengan mahkota terbuat dari permata.Mata tajam
memancarkan kewibaaan dan keperkasaan burung ajaib itu.Kepakan
sepasang sayapnya membuat angin dahsyat yang bisa memporak-
porandakan apapun yang ada di belakang rumah ki Mahesa Anabrang.
Sementara itu ki Mahesa Anabrang,dengan sekuat tenaga menjaga
keseimbangannya agar tak tersapu oleh kibasan angin yang ditimbulkan
burung itu.
"Kaaaaak..!"suara burung bermahkota itu telah mengoyak udara di malam itu.
Suara yang bagaikan mengandung gelombang aji Gelap Ngampar itu
membuat jantung ki Mahesa Anabrang bagaikan akan lepas dari
tangkainya.Dengan sekuat tenaga orang tua angkat Arya Dipa mengerahkan
tenaga cadangan dan berusaha menutup segala lubang panca indranya.
Di depan terlihat burung Garuda bermahkota permata itu mengangkasa
setinggi dua tombak dan berputar-putar di atas tubuh Dipa yang tak sadarkan
diri.Tak selang beberapa lama,kabut tipis telah keluar di sekitar tubuh anak
itu,yang semakin lama menjadi pekat hingga burung Garuda itu pun tak
terlihat.
Apa yang terjadi itu telah mendebarkan jantung ki Mahesa Anabrang,dengan
hati was-was ia mencemaskan keselamatan anak angkatnya.
Tapi sebuah suara yang berasal dari dalam kabut,membuat hati orang tua itu.
"Tak usah kau kawatir dengan keselamatan anak ini.Dan ingatlah,jangan kau
ajarkan anak ini dengan ilmu olah kanuragan,biarlah ia mendapatkan tuntunan
P a g e | 44

itu dari sebuah tuntunan Cakra Paksi Jatayu."


"Siapakah kau.?"tanya ki Mahesa Anabrang,tanpa sadarnya.
"Aku putra Mahendradatta dari Bedahulu,ngger."jawab suara itu,yang
mengandung wibawa.
Mendengar suara itu menyebutkan putra Mahendradatta,lantas saja membuat
ki Mahesa Anabrang menjatuhkan dirinya untuk duduk bersila dan
menggerakkan tangannya yang ngampurancang.
"Mohon ampuni kelancangan hamba,gusti prabu."sembah ki Mahesa
Anabrang.

"Sudahlah,ngger.Aku kini bukanlah seorang raja,dan kini pun aku hanyalah


seoarang hamba Sang Pencipta yang berada di alam kelanggengan.Ingatlah
janganlah kau tuntun anak itu dengan ilmu kanuraganmu,walau sebenarnya
ilmumu juga masih sejalur dari ilmuku.Karena sebenarnya anak itu sudah
digariskan mendapat tuntunan dari sebuah kitab Cakra Paksi Jatayu,yang akan
tiba pada waktunya."kata suara dari kabut itu.
"Kasinggihan dawuh pikulun,hamba tentu akan mematuhi sabda
pikulun."jawab ki Mahesa Anabrang.
"Baiklah,rawatlah anak ini dengan baik."
Usai perkataan itu,kabut itu memudar dan sesosok bayangan putih berada di
atas punggung garuda yang secepat tatit mengangkasa dirgantara.
Setelah kepergian bayangan putih yang mengaku putra prabu Mahendradatta
dari kerajaan Bedahulu,maka ki Màhesa Anabrang mendekati putra angkatnya
dan membawa tubuh anak itu,masuk dalam rumahnya.
"Bukankah putra prabu Mahendradatta itu prabu Airlangga,paman."tanya
Palon,setelah mendengarkan cerita aneh menyangkut diri Arya Dipa.
"Benar Palon,walau putra prabu Mahendradatta berjumlah tiga,tapi yang
mempunyai lambang garuda terbang hanyalah prabu Airlangga atau resi
Gentayu,yang moksa di gunung Penanggungan.
"Apakah ini berhubungan dengan pesan dari resi Puspanaga,yang menyuruh
paman dan Arya Dipa ke pertapaan Pucangan.?"desis Palon.yang lirih seakan
berkata pada dirinya sendiri.
"Entahlah."sahut ki Mahesa Anabrang.
Tàk selang lama,remaja yang dibicarakan itu menggeliatkan badannya dan
bangun dari tidurnya.Dengan polosnya remaja itu mengucek-ngucek matanya.
"Kau sudah bangun,ngger.?"
"Iya ayah,ah hari sudah begini panasnya,mengapa ayah dan kakang Palon
tidak membangunkanku.?"ucap anak itu
P a g e | 45

"Tak apa ngger,kau terlihat lelah dan tidurmu begitu lelap."


"Tapi sekarang aku sudah baikan,ayah.Dan aku sudah sanggup untuk menaiki
Jatayu."
Palon mengerutkan keningnya."Jatayu.."
"Iya kakang,kuda hitam itu bila dipacu oleh ayah,kencangnya bagai burung
garuda tunggangan Batara Wisnu."kata Dipa,polos.
Ki Mahesa Anabrang hanya tersenyum mendengar celoteh anak angkatnya
itu.
"Baiklah nanti kita adu cepatapa benar Jatayu itu lebih cepat dari Bayu
Turangga milikku."tantang Palon,yang di sambut tawa ki Mahesa Anabrang.
"Wah nama kudamu begitu bagus,Palon."ucap ki Mahesa Anabrang,yang
masih tersenyum.
"Hahaha,entahlah paman.tanpa sadar akupun juga memberi nama kuda itu
dengan nama itu."sahut Palon.
Karena hari makin terang,ketiganya kemudian beranjak naik ke kuda masing-
masing dan melanjutkan langkah mereka.

ilid 2 bag 4
Karya : Marzuki
�����
.
Dua kuda itu dengan perlahan menaiki tangkis sungai. Penunggangnya
seorang berperawakan kekar dengan tombak menghiasi punggungnya.
Sedangkan yang satunya, seorang perempuan dengan pakaian merah tua
dan sebuah pedang panjang di samping pinggangnya.
Di atas tangkis berjarak dua tombak, bangunan kecil yang terbuat dari bambu
kuning dengan atap rumbia terlihat tampak sepi.
"Apakah kakang Sawung Rana belum kembali.?" ucap lelaki itu, yang sudah
turun dari kudanya.
"Mungkin dia masih dalam perjalanan kakang." sahut si wanita.
"Kalau begitu aku akan ke sungai kembali, badanku penuh dengan debu."
kembali lelaki itu bersuara.
"Baiklah kakang, aku akan menunggu di sini saja."
Lelaki itu pun kemudian berjalan kembali kearah sungai yang agak berwarna
kecoklatan, karena hujan semalam.
Sedangkan si wanita, dengan menyandarkan badannya di tiang untuk
mengurangi rasa lelahnya. Namun wanita itu segera berdiri tatkala dari balik
P a g e | 46

pohon, seseorang telah muncul.


"Oh kakang Sawung Rana, aku kira siapa." suara wanita itu, tampak lega.
Orang yang disebut Sawung Rana itu tersenyum dan duduk di amben dekat
wanita itu.
"Kau sendirian, Sumirah.?"
"Tidak kakang, aku bersama kakang Menak Raung. Ia sedang membersihkan
diri di sungai." jawab Sumirah.
"Oh ya kakang, bagaimana pengamatan kakang selama di bumi Bintara itu.?"
tanya Sumirah.
"Di sana sudah banyak perubahan setelah sepeninggal raden Lembu Kenanga,
sekarang tampuk pemerintah berada di tangan putra mahkota, raden Pati
Unus."
"Apakah ini saat yang baik untuk menggerakkan pasukan dari Puger kakang.?"
Seaat orang itu terdiam, setelah menghela napas maka Sawung Rana
memandang arah sungai, di mana dari situ Menak Raung berjalan sambil
menyeka air di mukanya.
"Ah kakang Sawung Rana,sudah lamakah kakang tiba.?"
"Baru saja adi, duduklah."
"Bagaima kakang, setelah kakang menyelidiki Demak.?"
Dan sekali lagi Sawung Rana menjelaskan hasil penyelidikannya ketika berada
di kesultanan Demak yang merupakan sebuah ancaman bagi kadipaten
Puger.Terlihat keduanya mengangguk-anggukan kepala mereka setelah
mendengar rincian dari Sawung Rana, yang merupakan seorang prajurit telik
sandi kadipaten Puger.

"Apakah kita tidak sanggup untuk menggempur Demak, kakang.?" tanya


Menak Raung.
"Sangat sulit adi, banyak kadipaten dan tanah perdikan yang berada di
kuasaan Demak, belum lagi perjalanan yang di tempuh."kata Sawung Rana.
"Tapi bukankah kanjeng Adipati sudah bekerja sama dengan kadipaten
Penarukàn dan Blambangan, kakang.? dan itu merupakan sebuah
penggabungan pasukan segelar sepapan." Sumirah angkat bicara.
"Serta beberapa padepokan tlatah wetan dan juga para bekas pasukan
Giriwardana." lanjut Menak Raung.
"Memang penggabunggan pasukan itu cukup besar, tapi apakah kalian tidak
memandang kadipaten Ujung Galuh dan kedaton Giri.? dan kita pun harus
memandang kadipaten Japanan yang merupakan Benteng terdepan dari
Demak." ucap Sawung Rana.
P a g e | 47

"Selain itu Terung pun tentu tak akan tinggal diam begitu saja, karena adipati
Terung yang juga di sebut raden Kusen itu sudah berada di Demak dan
mendukung pemerintahan keturunan kakaknya, raden Patah atau raden
Lembu Kenanga." kembali Sawung Rana berkata.
"Lalu bagaimana selanjutnya rencana kakang.?"
"Aku akan menetap di sini, sekaligus melakukan penyelidikan di kadipaten
Japanan. Siapa tahu ada peluang untuk membujuk para bangsaawan
kadipaten ini."
"Baiklah kakang, tapi ijinkan kali ini aku menemani kakang." ucap Sumirah,
dengan suara agak bergetar.
Sawung Rana memandang wajah wanita itu, sehingga membuat wajah wanita
itu bersemu merah dan menunduk.
"Bertanyalah pada kakangmu, apakah ia mengijinkan jika adik gadisnya tinggal
di tempat yang terpencil ini."
Mendengar itu, Sumirah memandang kakangnya. Tapi belum ia menggerakkan
bibirnya, kakangnya tersenyum dan berkata.
"Tentu saja aku tak keberatan jika adikku yang bersedia dan tinggal bersama
dengan Arjunanya..."
Tapi sebuah cubitan telah hinggap dipinggangnya dan menghentikan kata
yang belum tuntas itu.
"Aduh...sudah Sumirah, aku kapok..."
Pemandangan itu membuat Sawung Rana tersenyum.

jilid 2 bag 5
Karya : Marzuki
.
Malam mulai menggelayuti langit di sekitar sungai itu. Di dalam gelapnya
malam, seberkas sinar dian yang memancar dari sela - sela dinding rumah yang
terbuat dari bambu kuning itu.
Di dalamnya tiga orang yang terdiri dua lelaki dan satu wanita tampak duduk
di amben menikmati ganyong dan wedang.
"Bila esok kau berangkat, lewatlah sisi selatan kadipaten Penarukan dan
mampirlah di padepokan Lemah Jenar." ucap Sawung Rana.
"Baik kakang, apakah ada pesan untuk ki Ajar Lodaya.?" kata Menak
Raung,lalu diteruskan dengan bertanya.
Tampak Sawung Rana sesaat termenung dan menghela napas, lalu katanya.
"Katakan pada ki Ajar Lodaya, kalau aku berpapasan dengan seseorang yang
P a g e | 48

bernama Palon. Mungkin orang itu berada di sekitar kadipaten Japanan ini."
"Baik kakang." sahut Menak Raung, yang kemudian menyruput wedang.
"Kakang, aku tidur dulu, mata ini sudah ingin terpenam." suara Sumirah yang
halus itu, terdengar.
"Tidurlah, kami masih ingin berbincang - bincang."
Setelah kepergian Sumirah, Sawung Rana dan Menak Raung semakin
bersungguh - sungguhpembicaraan mereka.
"Kakang, jika kau ingin mencari hubungan di kadipaten Japanan ini, carilah
seorang pedagang kuda di pusat kota. Namanya ki Ganjur, ia masih kerabat
jauhku." kata Menak Raung.
"O baik, terima kasih adi."
Di luar rumah, suara jangkrik dan bermacam serangga malam riuh terdengar.
Agak di kejauhan suara kodok bangkak terdengar begitu keras, sebuah suara
untuk menarik pasangannya. Dan malam yang larut semakin memuncak
ketitiknya.
Sementara itu di suatu tempat yang berjarak ratusan tombak, di bawah lereng
gunung penanggungan, suasana gembira memenuhi ruangan di bangunan
utama pertapaan Pucangan.
Resi Puspanaga dengan ditemani empu Citrasena dan Sabdho, menyambut
kedatangan ki Mahesa Anabrang, Palon dan Arya Dipa.
Usai menanyakan kabar masing - masing dan kesehatan, maka pembicaraan
berlanjut dengan kelakar ringan.

"Ah malam sudah semakin larut, lebih baik kalian membersihkan badan kalian
di pakiwan dan beristirah di gandok kiri." ucap resi Puspanaga.
"Baik, resi." sahut ki Mahesa Anabrang.
Ketiga orang yang baru tiba dari kadipaten Prana Raga itu kemudian berdiri
dan beranjak ke pakiwan.
Ketika Arya Dipa berjalan paling belakang, resi Puspanaga memerhatikan
punggung anak remaja itu.
"Empu Citrasena, itulah anak yang aku ceritakan."
"Maksud resi, anak yang kau temukan disamping suami istri yang sudah tak
bernyawa di puncak gunung Bancak itu.?" tanya empu Citrasena.
"Iya, empu.Kasihan anak itu, kedua orang tuanya tewas di tangan Begawan
Jambul Kuning, kakek anak itu sendiri."
"Memang begawan satu ini sering berubah - ubah wataknya. Aku sendiri
pernah di selamatkan oleh begawan Jambul Kuning, tapi di lain waktu aku pun
hampir mati ditangan orang sakti itu. Apakah resi Puspanaga bertemu dengan
P a g e | 49

orang itu.?"
"Iya, kami bertarung seharian penuh. Dan anehnya, yang membuat kami
berhenti bertarung karena mendengar tangis bayi Arya Dipa. Dan begawan
Jambul kuning kembali berubah wataknya menjadi seorang yang berhati baik
dan memungut cucunya itu." kata resi Puspanaga.
Mendengar itu, empu Citrasena hanya menghela napas dan manggut -
manggut, begitu juga dengan Sabdho.
"Lalu ketika ia memandang anak dan menantunya, ia bertanya, mengapa
keduanya diam.Tentu saja aku menceritakan kejadian sebenarnya, kalau ialah
yang membunuhnya. Perasaan sedih yang tak terhingga telah memenuhi hati
begawan itu dan ia pun menyerahkan bayi yang berada di pelukannya
kepadaku, lalu dengan cepatnya orang itu menyambar kedua anak
menantunya dibawa pergi dari puncak gunung Bancak. Namun lama aku
menunggu, orang itu tak kunjung tiba, maka aku pun pergi dari tempat itu dan
membawa bayi Dipa dan aku serahkan kepada ki Mahesa Anabrang." tutur resi
Puspanaga.
"Dan semenjak itu aku belum berjumpa dengan begawan Jambul Kuning, O ya
empu apakah bahan besi itu sudah berbentuk.?"
"Bahan itu sulit ditempa, resi. Malam ini aku akan melakukan semedi, mudah -
mudahan mendapat kemudahan." jawab empu Citrasena.
"Baiklah aku pun akan menemani empu."
"Terima kasih, resi."

jilid 2 bag 6
Oleh : Marzuki
.......................
Suasana yang hening itu menambah pemusatan nalar budi empu Citrasena
dan resi Puspanaga untuk melakukan lelaku khusus dalam langkah
memperlancar pembuatan sebuah wesi aji menjadi senjata untuk menunjang si
pemakai benda itu, semakin dalam. Dua orang yang linuwih dalam
penguasaan ilmu yang merambah ke kedalaman diri itu, berusaha sekuat
tenaga dengan memasrahkan kekerdilan jiwa, kehadapan Yang Maha Agung,
agar supaya mendapat tuntunan dan pertolongan berupa kemudahan dalam
mewujudkan sesuatu yang mereka inginkan.
Sementara itu, di gandok yang sudah dipersiapkan untuk Arya Dipa dan ki
Mahesa Anabrang, keduanya segera merebahkan tubuh mereka yang terasa
letih akibat perjalanan siangnya. Sedangkan Palon dan Sabdho, keduanya
duduk di amben dalam biliknya.
P a g e | 50

"Tidurlah kakang, perjalananmu mungkin menguras tenaga kakang." desis


Sabdho.
"Tubuhku sudah merasa segar, setelah tadi tersiram dinginnya air dari sumber
patirtan itu." sahut Palon, sambil menyeruput wedang sere.
"O ya kakang, coba ceritakan perjalanan kakang menuju tlatah wengker itu,
pasti menyenangkan, bukan.?"
"Hahaha, menyenangkan bagaimana.? aku hampir mati di tangan orang tua
gerombolan dari alas Saradan."
"Gerombolan alas Saradan.?" ulang Sabdho.
"Benar, mereka menyebut raja yang menguasai alas yang berada di tlatah
Segaten itu." kata Palon.
"Siapa mereka kakang.?" kejar Sabdho.
"Namanya Suro Adikara yang merupakan anak ki Menak Sriti dari padepokan
Blambangan." jawab Palon, lalu lanjutnya, "Untungnya seorang kakek yang
memimpin padepokan Kali Bening, ikut membantuku."
"Maksud kakang, kyai Bagor.?"
"Iya, dengan murit tertuanya, Putut Lesmana."
Tak terasa waktu mendekati dini hari.
"Kakang, beristirahatlah meskipun barang sejenak. Aku akan keluar untuk
memastikan pertapaan aman." ucap Sabdho, yang melangkahkan kakinya
menuju pintu.

"Baiklah."
Dan suara derit pintu terdengar terbuka, dan kembali tertutup setelah salah
satu punakawan resi Puspanaga, keluar dari bilik itu.
............
Pagi itu merupakan pertama kalinya, Arya Dipa menghirup segarnya udara
lereng gunung Penanggungan. Remaja itu dengan riang berjalan ke arah
pakiwan dan sesampainya di pakiwan, segera ia mengerek tali senggot dan
menuangkan ke dalam padasan di pakiwan.
Setelah dirasa penuh maka remaja itu akan memasuki pakiwan itu, tapi betapa
terkejutnya ketika seseorang mengguyur air dari dalam pakiwan.
"Hee, jangan kurang ajar.!" bentak sebuah suara dari dalam pakiwan.
"Ooo, maaf - maaf aku tak tahu." kata Dipa, yang langsung mengurungkan
niatnya dan berdiri agak jauh dari pintu pakiwan.
Sesaat kemudian seorang gadis keluar dari pakiwan dengan wajah merengut
dan langsung menghajar Dipa dengan perkataan.
"Sungguh aku tak tahu jika kau berada di dalam, aku berani beraumpah." kata
P a g e | 51

Dipa.
"Ah dasar hidung belang, masih kecil saja sudah begitu, kau pantas mendapat
tamparan." balas gadis remaja itu, yang tak lain Ayu Andini.
Benar saja, sebuah tamparan dengan cepat mengarah Dipa. Karena Dipa tak
mengerti ilmu kanuragan, maka tamparan Ayu Andini tepat mengenai pipinya.
"Aduuh...!" keluh Dipa.
"Ooh, mengapa kau tak menghindar.?" tanya Ayu Andini, yang menyesali
perbuatannya setelah tamparannya tak bisa dihindari remaja di depannya.
"Bagaimana aku menghindar, tanganmu begitu cepat seperti angin." sahut
Dipa,yang masih mengusap - usap pipinya.
"Maaf, tapi apa benar kau tak tahu jika aku berada di dalam.?" ucap Ayu
Andini yang kemudian masih bertanya.
"Sungguh demi yang Maha Agung, bila aku berbohong aku siap diceburkan
dalam sumur."
"Benar, kau berani diceburkan dalam sumur..?"
"E...e..itu.." suara Dipa terputus - putus.
"Yee....dasar, ya sudah, aku tidak sungguh - sungguh kok." kata Ayu Andini,
sambil tersenyum.
Arya Dipa merasa lega, mengetahui hati gadis itu melunak.
"Oh kalian disini, apakah kalian sudah saling mengenal.?" tegur resi Puspanaga.
Kedua anak remaja itu saling menggelengkan kepala mereka.
"Baiklah, Dipa ini Ayu Andini, putri dari empu Citrasena." kata resi Puspanaga,
memperkenalkan.
"Dan Andini, anak yang berada di sampingmu ini Arya Dipa, tadi malam ia
bersama ayahnya ki Mahesa Anabrang, baru tiba dari telatah Prana Raga."
lanjut resi Penanggungan.
Sesaat keduanya saling pandang, namun keduanya dengan cepat menunduk
malu.
"Ada apa dengan kalian.?" tanya resi Puspanaga, tersenyum.
"Tidak apa - apa, eyang." sahut keduanya, bersamaan.
"Hahaha, jawaban kalian kompak, kalian ternyata cepat akrab. Baiklah aku
akan kehalaman depan." kata pemimpin pertapaan itu, dan meninggalkan
kedua remaja itu.
Setelah kepergian resi Puspanaga, keduanya masih berdiri mematung.
"Maafkan aku tadi, kakang." desis lirih Ayu Andini.
"Aku pun juga begitu, Ayu. Yang dengan sembrono memasuki pakiwan."
"Ah sudahlah, aku duluan kakang."
"I..iya Ayu."
P a g e | 52

Ayu Andini kemudian beranjak dari pakiwan menuju gandok yang ia tempati.
Sementara itu, Dipa masih memandang belakanv punggung gadis yang sudah
menampar pipinya, hingga bayangan tubuh gadis itu tak tampak.

jilid 2 bag 7
Oleh : Marzuki
.
"Wah anak gadis itu sangat perkasa, tanganya bagaikan besi gligen." desis
Arya Dipa, sambil masih mengusap - usap pipinya yang kena tampar Ayu
Andini.
"Mungkin jika marahnya tak cepat reda, mungkin aku sudah lumat, hehehe..."
lanjut remaja itu, yang kemudian melangkahkan kakinya ke pakiwan.
Tak lama kemudian, suara guyuran air pun terdengar dari dalam pakiwan.
Sementara itu di ruang depan, tampak ki Mahesa Anabrang dan empu
Citrasena duduk beralaskan tikar mendong.
"Apakah Dipa belum bangun, ki Mahesa.?"
"Sudah, empu. Mungkin ia berada di pakiwan." sahut ki Mahesa Anabrang.
Orang tua dari candi Tegowangi itu manggut - manggut, ia masih teringat
dengan cerita yang dituturkan oleh resi Puspanaga.
"Ki Mahesa Anabrang, apakah kau pernah mengatakan sebenarnya kalau
anak itu cucu begawan Jambul Kuning.?" tanya empu Citrasena.
"Begitulah, empu. Namun aku tak mengatakan jika sebenarnya anak itu pun
juga merupakan cucu tumenggung Lembu Kumbara."
"Ah.... benarkah itu, ki Mahesa.?" ucap empu Citrasena, kaget.
Ki Mahesa Anabrang mengangguk perlahan.
"Pantas wajah anak itu mirip dengan senopati Demak yang berjuluk banteng
Bintoro itu."
"Benar empu Citrasena, ki tumenggung Lembu Kumbara dalam medan perang
selalu berhasil membuat lawan - lawannya kecut dan ia pun disegani oleh
kawan - kawanya, sehingga ia dekat dengan Sultan Jimbun." kata ki Mahesa
Anabrang.
"Namun ketika ia mendengar putri tunggalnya tewas bersama suaminya, maka
ia pun mendadak sakit dan menemui ajalnya." lanjut ki Mahesa Anabrang,
"Karena itulah Arya Dipa sampai sekarang aku rawat dan aku anggap anak
sendiri."
"Oh jadi ki Mahesa sebenarnya berniat mengembalikan anak itu kepada
eyangnya.?"
"Iya, empu."
P a g e | 53

Keduanya memadang halaman yang penuh dengan bermacam - macam


bunga, walau sebenarnya keduanya merasa kasihan terhadap anak yang
sebenarnya keturunan bangsawan Demak, dan kini sebatang kara. Sedangkan
kakek yang satunya, tak diketahui keberadaannya danjika tahu pun, masih di
sangsikan kejiwaan kakek yang selalu berubah - ubah tabiatnya.
"Ah, aku tinggal dulu ki Mahesa. Hari ini aku akan memulai penempaan." kata
empu Citrasena, yang berdiri dari duduknya.
"Silahkan empu, aku pun juga ingin menemui Dipa."
........
"Dipa, mari kita menghadap resi Puspanaga." ajak ki Mahesa Anabrang.
"Mari ayah."
Keduanya kemudian melangkahkan kaki mereka ke sanggar pertapaan
Pucangan.
Dari dalam sanggar, resi Puspanaga yang menunggu kedatangan ki Mahesa
Anabrang dan anak angkatnya itu, segera mempersilahkan keduanya, saat
keduanya mengetuk pintu sanggar itu.
"Baiklah, sekarang aku ingin mengatakan kepada kalian berdua, khususnya
angger Dipa." kata resi Puspanaga, mengawali perkataannya.

jilid 2 bag 8
oleh : Marzuki
........
Dengan sungguh - sungguh Arya Dipa dan ki Mahesa Anabrang, menunggu
apa yang akan dikatakan oleh orang tua dari pertapaan Pucangan itu. Suara
hening untuk beberapa saat dan hanya desir halus angin saja yang terdengar.
Perlahan resi Puspanaga berkata, "Arya Dipa, bukankah kau mengetahui jika ki
Mahesa Anabrang ini hanyalah ayah angkatmu.?"
Mendengar pertanyaan itu, Dipa mengangkat kepalanya dan memandang
orang tua itu dan kembali menundukkan kepalanya.
"Benar, Eyang. Ayah Mahesa sudah menjelaskan mengenai jati diriku sejak lima
tahun yang lalu, kalau diriku ini anak dari ayah Arya Wila dan ibu Retnowati,
dan kakekku seorang begawan dari gunung Bancak, eyang begawan Jambul
Kuning, orang tua dari ayah Arya Wila." kata Dipa, yang tampak sayu menahan
kesedihan.
Melihat keadaan putra angkatnya itu, ki Mahesa Anabrang memegang
pundak remaja itu.
"Tabahkan hatimu, bukan maksud eyangmu mengingatkan kesedihan yang
P a g e | 54

telah berlalu itu."


Dipa remaja hanya mengangguk perlahan, dan sekuat tenaga menahan air
matanya yang ingin menyeruak keluar.
"Kepahitan anak ini memang begitu besar, bila yang membunuh orang tuanya
itu orang lain, mungkin masih bisa ia menuntut balas dengan hati yang ringan.
Tapi kenyataanya, eyangnya sendiri yang berbuat begitu." desis resi Puspanaga
dalam hati.
"Ngger cah bagus, tabahkan hatimu dan sekali lagi aku akan bertanya. Jika
suatu hari kau bertemu dengan eyangmu dan dirimu mempunyai ilmu
kanuragan yang sundul langit, apa yang akan kau perbuat.?"
Pertanyaan itu bagaikan petir di siang bolong, di telinga ki Mahesa Anabrang.
Orang tua angkat Arya Dipa itu tak mengetahui apa yang ada dalam hati
pertapa Pucangan itu, hingga meluncurkan pertanyaan yang bisa - bisa
menimbulkan sesuatu yang diinginkan dan mempengaruhi jiwani Dipa.
Di sampingnya, Dipa menunduk semakin dalam. Kematian ayah dan ibunya
ditangan kakeknya sendiri merupakan pukulan yang begitu berat. Ingin
rasanya bila ia memang mempunyai ilmu kanuragan, maka tentu saja ia akan
membalas dendam. Tapi dalam hatinya berkata lain.

"Bila keinginanku terwujud dan bisa membunuh kakekku, apakah aku tak ada
bedanya dengan perbuatan kotor yang dilakukan oleh kakekku..? Dan apakah
ayah dan ibuku akan hidup kembali..? Ah tidak..tidak..tidak, aku harus
menyirnakan niat buruk itu..!"
Dan anak itu pun mengangkat kepalanya perlahan, terlihat senyum
mengembang menghiasi bibir remaja itu.
"Tidak eyang, mengapa aku harus mengulang kembali pembunuhan yang
dilakukan oleh eyang begawan Jambul Kuning.? Bila aku berbuat seprti itu,
tentu aku pun akan terkutuk seumur hidupku dan mendapatkan karma yang
serupa."
Jawaban itu bagaikan siraman air yang sangar sejuk di hati resi Puspanaga dan
tentunya ki Mahesa Anabrang, yang tak menyangka ternyata jiwani remaja di
sampingnya berjiwa ksatria.Karena itu secara naluri maka Dipa telah ia peluk
dengan eratnya.
Suasana keharuan itu terasa menyejukkan ruang sanggar Pucangan, hingga
kemudian resi Puspanaga mendehem.
"Semoga yang kau katakan itu terus tersimpan dalam sanubarimu, ngger.
Sekarang mendekatlah dan menghadap ke arah ayahmu."
P a g e | 55

Dipa pun menggeser duduknya hingga mendekat tempat duduk resi


Puspanaga, lalu tak lupa menghadap ke arah ayahnya.
Setelah itu resi Puspanaga menyingkap pakaian Dipa tepat di tengah
punggungnya.
"Ternyata benar, tanda cakra ini sama persis dalam kitab Cakra Peksi Jatayu."
desis perlahan resi Puspanaga.
"Kitab Cakra Peksi Jatayu..." ulang ki Mahesa Anabrang.
Dan pakaian itu pun kembali di turunkan.
"Ki Mahesa Anabrang mengetahui kitab itu.?"
"Ceritanya panjang resi." jawab ki Mahesa Anabrang, yang kemudain
menceritakan pengalaman yang dirasanya sangat aneh itu.
Orang tua dari Penanggungan itu mendengar dengan seksama, yang kadang
manggut bila cerita itu menyinggung sebuah burung yang bermahkota, lalu
tampak tegang manakala burung itu mencuit dan suara cuitannya
mengakibatkan getaran layaknya aji Gelap Ngampar dan kepakan sayapnya
bagaikan angin Prahara. Dan ketika ki Mahesa Anbrang menyebut putra prabu
Mahendradatta, maka semakin teguhlah hati resi Puspanaga, bahwa Dipalah
anak pilihan itu.
"Begitulah resi Puspanaga." kata ki Mahesa Anabrang, mengakhiri ceritanya.
Mendengar penuturan itu, Dipa tampak bingung. Apakah benar bahwa
bayangan seekor burung raksasa itu kelur dari ubun - ubunnya.
"Syukurlah, ternyata hyang widi memberikan kemudahan kepadaku." ucap resi
Puspanaga.
"Semua itu benar ki Mahesa, memang Dipa inilah yang mendapat karunia dan
sekaligus ujian dalam masa peralihan ini." kembali resi Puspanaga berkata.
"Dipa, apakah kau siap mengabdikan dirimu untuk berusaha berbuat kebajikan
di atas buana ini..?" tanya resi Puspanaga.

Remaja itu tampak bingung, itu terlihat dari tatapan matanya.


"Hahaha, betapa bodohnya aku. Maafkan eyangmu ini Dipa, lupakan
pertanyaanku tadi, kini aku ingin dirimu mempelajari sebuah kitab. Mau kah
kau..?"
Mendengar kalau dirinya ditawari untuk mempelajari kitab, Dipa
mengganggukkan kepalanya.
"Baiklah sebentar aku akan mengambil kitab itu." kata resi Puspanaga, sambil
bergerak berdiri dan mengambil sebuah kitab yang terbungkus kain mori putih
dan ia bawa kembali ke tengah sanggar.
P a g e | 56

jilid 2 bag 9
oleh : Marzuki
.........
Pandangan dua pasang mata itu tak lepas dari bungkusan kain mori itu.
"Inilah kitab Cakra Paksi Jatayu." ucap resi Puspanaga, sambil menaruh
dihadapan mereka bertiga.
Dengan pelan bungkusan itu dibuka oleh resi Puspanaga, Sebuah kitab dari
kulit binatang dengan gambar burung garuda bermahkota yang
mengepakkan kedua sayapnya dengan sebuah lingkaran berbentuk cakra
melingkari burung itu.
"Sungguh simbol yang begitu menakjubkan." desia ki Mahesa Anabrang.
Kini resi dari penanggungan itu membuka halaman pertama, yang berisi
sebuah petunjuk orang yang bisa mempelajari kitab itu. Yaitu seorang yang
berjiwa sabar jauh dari dendam dan mempunyai simbol garuda bermahkota
dalam lingkaran cakra.
"Bacalah ki Mahesa, bukankah Dipa memenuhi syarat ini." kata resi
Penanggungan, kepada ki Mahesa Anabrang.
Maka ki Mahesa Anabrang pun membaca tulisan Sansekerta itu, dan ia pun
menggangguk - anggukkan kepalanya.
"Kau beruntung Dipa, ternyata dirimu berjodoh dengan kitab ini." ucap ki
Mahesa Anabrang.
Arya Dipa hanya diam membisu dan pandangannya terus tertuju ke kitab itu.
Kembali resi Puspanaga membuka halaman selanjutnya, tapi di halaman
selanjutnya kosong, dan ini membuat ki Mahesa Anabrang mengerutkan
keningnya, tapi ia diam saja.
Lembaran demi lembaran terbuka, namun tetap kosong sampai halaman
terakhir.
"Maaf resi, mengapa kitab itu berisi tulisan hanya selembar saja dan itupun
hanya petunjuk seseorang yang bisa mempelajari kitab ini.?" tanya ki Mahesa
Anabrang, yang tak bisa menahan keheranannya.
Tapi resi Puspanaga hanya tersenyum saja dan memandang Dipa, seraya
membuka halaman ketiga yang menurut ki Mahesa Anabrang kosong.
"Apa yang kau lihat, ngger.?"
"Gambar seorang yang kakinya merenggang dan kedua tangannya
membentuk siku - siku di samping badannya, dengan jari - jari mengepal."
jawab Dipa.
"Hanya itu saja.?" kembali resi Pusanaga bertanya.
"Tidak eyang, masih ada sembilan gambar lainnya yang menggambarkan
P a g e | 57

sebuah tata gerak."


Mendengar penjelasan putra angkatnya, ki Mahesa Anabrang termangu
keheranan.
"Hahaha.. kau mendengar sendiri ki Mahesa.? Hanya orang terpilihlah yang
mampu melihat isi kitab ini."
"Dan resi.?"
"Aku pun juga tak dapat melihatnya." sahut resi Puspanaga, yang
menggelengkan kepalanya.
"Lalu, apakah Dipa akan mempelajari sendiri kitab ini tanpa adanya seorang
yang menuntunnya.?" tanya ki Mahesa Anabrang.
"Aku akan berusaha mendapinginya dengan mengamati dan memberinya
nasehat - nasehat." janji resi Puspanaga.
"Syukurlah kalau begitu." kata ki Mahesa Anabrang, dengan wajah lega.
"Baiklah, besok kita akan memulainya. Hari sudah semakin siang, mungkin Palon
dan Sabdho sudah mempersiapkan makan siang." kata resi Puspanaga.
Dan ketiganya beranjak keluar sanggar, setelah sebelumnya resi Puspanaga
menyimpan kembali kitab Cakra Paksi Jatayu ditempat yang dirasa aman.
.......

Sementara itu di padepokan Lemah Jenar, ki Ajar Lodaya sedang menerima


tamunya, yaitu Menak Raung, lurah prajurit kadipaten Puger.
"Bagaimana kabar kakak seperguruanmu itu, anak mas.?" tanya ki Ajar Lodaya.
"Atas doa dari ki Ajar, kakang dalam keadaan sehat, ki Ajar. Dan
kedatanganku kemari karena permintaan dari kakang Sawung Rana, yang kini
berada di kadipaten Japanan."
"Oh begitu, tapi pesannya nanti saja, lebih baik anak mas menikmati makan
malam dahulu."
"Terima kasih ki Ajar, tapi....." ucap lurah Menak Raung, yang tak selesai.
"Anakmas, tolonglah walau makanan ini hanyalah makanan desa, tapi
janganlah kau tolak." kata ki Ajar Lodaya, sambil menggamit lurah muda itu.
Karena tak ingin membuat sahabat kakak seperguruannya itu kecewa, maka
lurah Menak Raung mengikuti ki Ajar Lodaya ke ruang dalam. Yang ternyata di
situ telah tersedia hidangan malam yang menggugah selera.
Setelah jamuan itu selesai, mereka pun kembali ke pendopo padepokan.
Ternyata tak jauh dari pendopo, seorang putut sedang menuntun beberapa
cantrik dalam olah kanuragan.
"Ternyata mereka sangat terampil dan cekatan, ki Ajar." puji lurah Menak
Raung.
P a g e | 58

"Hahaha mereka hanya pandai meloncat - lancat saja, anakmas. Masih kalah
jauh di bandingkan dengan perguruan yang di pimpin oleh ki Ajar Bajulpati."
sahut ki Ajar Lodaya, merendah.
"Hahaha ki Ajar Lodaya dan guru merupakan orang pinunjul di bang wetan ini,
mungkin ilmu ki Ajar dan guru imbang."
"Tidak anakmas, waktu muda dulu aku kalah telak oleh ki Ajar Bajulpati, hingga
aku mengalami luka dalam yang parah, untunglah ki Ajar Bajulpati berbaik hati
kepadaku dengan merawatku sampai luka itu sembuh. Dan beberapa tahun
kemudian, saat aku berhadapan dengan ki rangga Sawung Rana, hasilnya
imbang." tutur pemimpin Lemah jenar itu.
Lurah Menak Raung manggut - manggut, pikirannya melayang ke masa lalu, di
mana gurunya ki Ajar Bajulpati yang masih berdiam di timur alas Baluran.
"Jika guru tidak pergi, mungkin kakang dan aku akan menjadi orang yang pilih
tanding." desis lurah Menak Raung.
Melihat tamunya melamun, ki Ajar Lodaya mendehem hingga membuat lurah
Menak Raung menyadari.
"Maaf ki Ajar."
"Tak apa anakmas, aku tahu kalau anakmas sedang merindukan ki Ajar
Bajulpati, yang kini tak tahu rimbanya."
"Begitulah ki Ajar. Oh ya ki Ajar mengenai pesan dari kakang Sawung Rana, ia
mengatakan jika ia bertemu dengan seseorang yang bernama Palon." kata
lurah Menak Raung.
"He..." Orang tua itu tampak kaget.
"Benarkah itu, anakmas.?" tanya orang tua itu, tak percaya pendengarannya.
"Benar, ki Ajar. Mungkin saat ini orang yang bernama Palon itu berada di
Japanan."
Keterkejutan orang tua pemimpin padepokan Lemah Jenar itu berangsur -
angsur berubah menjadi kegembiraan, namun ia berusaha tak memperlihatkan
kepada tamunya itu.
"Terima kasih, anakmas. Syukurlah anak itu bisa di temukan." ucap ki Ajar
Lodaya.
Dan pembicaraan demi pembicaran terus berlanjut hingga wayah sepi wong.
Lalu ki Ajar Lodaya mempersilahkan tamunya itu beristirahat di bilik yang telah
dipersiapkan.
Sayup sayup suara binatang malam mulai terdengar dengan irama yang
semestinya. Malam yang begitu gelap karena mendung yang begitu tebal,
mendung yang mengandung uap air laut dan akan kembali menetesi bumi ini.
P a g e | 59

jilid 2 bag 10
oleh : Marzuki Magetan
.....
Loncatan demi loncatan dilakukan oleh Arya Dipa, di bebatuan yang
berserakan belakang pertapaan Pucangan. Atas tuntunan dari resi Puspanaga
yang bersumber dari kitab Cakra Paksi Jatayu, dalam sepekan ini sudah
menampakkan perkembangan yang pesat.
Walau tubuh anak itu sudah berkucuran keringat, namun anak itu tak
menampakkan keletihan sedikitpun.
"Sungguh tak kusanggka anak ini mempunyai tenaga yang begitu besar.." desis
rasi Puspanaga, memuji tenaga Arya Dipa.
Tubuh Dipa dengan entengnya berjumpalitan dari batu yang satu ke batu
yang lainnya. Di suatu saat, ketika kaki itu menginjak batu sebesar anak kerbau,
batu itu ambles beberapa kilan kedalam tanah.
"Oh Bathoro agung.." gumam resi Puspanaga.
"Cukup ngger.!" teriak resi Puspanaga, menghentikan latihan Dipa.
Anak remaja itu dengan perlahan menata pernapasannya untuk memulihkan
kembali tenaganya yang terkuras dalam latihan, lalu ia melangkah
menghampiri orang tua penunggu pertapaan Pucangan di lereng gunung
Penanggungan tersebut.
Orang tua itu tersenyum dam menepuk pundak Dipa perlahan.
"Ternyata kau mempunyai bakat yang bagus dalam olah kanuragan, ngger."
ucap resi Puspanaga.
"Terima kasih, eyang, ini semua atas kemurahan eyang dalam menuntun cucu
eyang ini." jawab Dipa.
"Hahaha..aku senang mendengarkan itu, tetap jagalah sifat rendah diri dalam
tubuhmu, dan jangan mudah menepuk dada." kata resi Puspanaga.
"Ingatlah, ilmu itu hanyalah titipan dari Yang Kuasa semata dan hendaknya
digunakan untuk kebenaran yang hakiki saja, ngger." kata orang tua itu lagi
dengan sareh.
"Terima kasih, eyang. Semua petuah dari eyang akan senantiasa cucu ingat
dan lakukan."
Orang tua itu lalu membalikkan badan dan berjalan ke gubuk pinggir kolam,
yang di ikuti oleh Dipa. Keduanya duduk dengan pandangan menghadap
kolam yang dihuni beberapa ikan.
"Dipa, coba kau buka lembar selanjutnya dari kitab itu." perintah resi Pusanaga.
"Iya, eyang."
P a g e | 60

Dalam lembaran itu, menurut penglihatan Dipa terdapat lukisan seseorang


yang bertarung dengan ular besar yang mempunyai jampang dikedua sisi
kepalanya.
"Apa yang kau lihat, Dipa.?"
"Dalam lembaran ini, menggambarkan seseorang yang bertarung dengan
seekor ular, Eyang." jawab Dipa.
"Ular.?"
"Begitulah, eyang. Dan anehnya ular ini mempunyan jampang dikedua sisi
kepalanya? yang mirip sebuah telinga."
"Ah benarkah itu..? apakah ada petunjuk lainnya dalam lembaran itu.?" tanya
resi Puspanaga.
Ternyata di bawahnya terdapat aksara yang menerangkan lukisan itu.
"Di arah terbenamnya sang surya, sebuah lubang di atas bukit menganga
dalam lindungan sang Boga Dentha...." ucap Dipa, "begitulah eyang,
penjelasan aksara itu."
Orang tua itu mengerutkan keningnya, memikirkan aksara yang tentunya
mempunyai sebuah makna.
"Arah terbenamnya sang surya, itu arah barat dan sebuah lubang di atas bukit,
apakah itu gua..?"
"Sang Boga Dentha, mempunyai kemiripan dengan hyang Anta Boga, Dewa
berwujud naga. Mungkinkah itu.....?"
"Ada apa, eyang.?" tanya Dipa, keheranan .
Resi Puspanaga mengangkat kepalanya dan memejamkan mata sesaat dan
kembali membuka matanya.
"Ngger ini merupakan ujian pertama yang akan kau terima, dan taruhannya
iyalah nyawamu. Apakah kau siap.?"
Tampak wajah Dipa menegang sesaat, namun wajah itu kembali tenang.
"Aku akan selalu berusaha, eyang. Bila memang Yang Maha Agung
menakdirkan diri ini mati saat inipun, walau tak berada dalam medan tempur,
nyawa ini tentu akan kembali kehadapanNya. Dan bila Sang Kuasa
berkehendak baik, maka diri ini akan mendapat lindungannya."
Orang tua itu tak kuasa memeluk tubuh kokoh itu.
"Bagus, ngger. Besok kita akan melanjutkan pendadaran yang akan kau lalui."
kata resi Puspanaga.
Ikan dalam kolam berenang kian kemari tanpa menghiraukan adanya dua
orang yang duduk di gubuk itu. Warna - warni ditubuhnya membuat orang
P a g e | 61

yang melihat akan mengagumi. Apalagi jika tubuh itu dibakar ataupu dimasak
dengan cara lainnya, tentu akan mendatangkan manfaat bagi yang
melahapnya, itulah ciptaaan dari Yang Maha Agung.

jilid 2 bag 11
oleh : Marzuki Magetan
.........
Di tengah malam yang begitu dingin itu, tiga sosok bayangan orang
melangkahkan kaki ke arah barat pertapaan Pucangan. Ketiganya walau di
kegelapan malam dan rimbunnya semak tanpa kesulitan melangkahkan kaki
dengan cepat.
Tanpa terasa tempat yang dituju yang berjarak ratusan tombak itu telah
sampai. Di depan mereka kini banyak ditumbuhi beraneka macam tumbuhan
empon - empon dan sejenisnya. Dan bila dicermati dengan tajamnya panca
indra, berjarak lima langkah, terdengar desis hewan melata.
"Ular.." desis ki Mahesa Anabrang.
"Tak hanya satu ki, di sana pun juga ada." sahut resi Puspanaga, sambil
menunjuk ular yang berwarna belang.
Mengetahui banyaknya ular - ular yang berada di depannya itu, tengkuk Dipa
meremang.
"Dipa kami hanya bisa mengantarmu sampai disini, kini kau harus berjalan ke
depan sampai kau menemukan mulut gua itu. Semuanya tergantung tekad
dan keberununganmu." ucap resi Puspanaga.
Anak remaja itu hanya menganggungkan kepalanya.
"Berdo'alah kepada Hyang Agung, supaya mendapat lindungannya dan bisa
menyelesaikan lakumu yang pertama ini." lanjut orang tua dari gunung
Penanggungan itu.
"Baik eyang, aku mohon restunya." kata Dipa, lalu menghadap ayah
angkatnya, "Ayah, akupun juga meminta pangestu dari ayah."
"Terimalah pangestu kami, ngger."
Setelah meminta restu dari eyang resi Puspanaga dan ki Mahesa Anabrang,
maka Dipa berbalik badan dan melangkahkan kakinya.
Tiga langkah kemudian, kaki Dipa telah menotol tanah sehingga membuat
tubuhnya membal keatas dan melewati beberapa ular berbisa. Atas keuletan
selama sepekan ini mampu membuat tubuh anak remaja itu seringan kapas
layaknya sang garuda mengarungi dirgantara.
Ki Mahesa Anabrang yang memperhatikan gerak anak angkatnya itu,
P a g e | 62

terkagum - kagum. Ternyata ilmu peringan tubuh anaknya itu, telah berada di
atasnya.
Sementara itu, Dipa dengan cermat dan tangkas, selalu melompat dari batu
ataupun batang pohon kesatu ke lainnya untuk menghindari marabahaya dari
bisa ular yang begitu banyaknya, hingga sampai di tanah rerumputan
berbatasan gerumbul tinggi
Anehnya di tanah rerumputan itu, tiada satupun ular yang berani
mendekatinya. Dengan wajah termangu - mangu Dipa memperhatikan ular -
ular yang hanya berdesis tanpa mengganggunya. Lalu Dipa membalikkan
badannya dan menghadap rerimbunnya gerumbul.

"Aneh, di sini tak ada lubang pintu gua." desis Dipa, perlahan.
Sekian lama memperhatikan dan dengan menyibak rerimbunan gerumbul itu
menggunakan tangannya, akhirnya lubang mulut gua itu nampak.
Sebuah mulut gua yang tak terlalu besar membuat Dipa kembali
melangkahkan kakinya dengan hati - hati dan perlahan.
Gelap yang begitu pekat tak menyurutkan tekad dihati Arya Dipa, walau agak
sulit dalam melangkahkan kakinya ia terus maju ke depan.
Saat melangkahkan kakinya beberapa tindak, Dipa mendengarkan desis yang
keras dari dalam gua.
"Mungkinkah itu yang dimaksud dengan Anta Denta itu.?" ucapnya dalam hati.
Kembali suara itu kembali terdengar, dan kini semakin keras.
"Duh Gusti Agung, berikanlah hambamu ini kekuatan dan ketabahan untuk
menuntaskan lelaku ini." do'a Dipa dalam hati.
Langkahnya kini semakin dalam yang ternyata sampai di tikungan gua.Dari situ,
lamat - lamat terlihat seekor ular besar mengerikan.
Badan ular bersisik merah dengan ekor melingkar, lalu diatas kepalanya
nampak tanduk bercabang, layaknya tanduk rusa. Kedua sisi kepala terdapat
jampang kuning keemasan dan mata yang terpejam
"Apakah ini kenyataan ataukah hanya mimpi...?" desis Dipa, seraya mengucek -
ucek matanya.
"Ah ini memang nyata..." sanggahnya.
Di awali dengan kepasrahan kepada sang Agung, kembali Dipa mencoba
melangkahkan kakinya lebih dekat lagi.
Tiba - tiba ular itu telah bergerak meregangkan lilitan ekornya, dan kembali
terdiam tanpa membuka matanya.
Jantung Dipa yang berdetak kencang itu, agak lega manakala menyaksikan
P a g e | 63

ular itu kembali terdiam.


"Kelihatannya, ular itu sedang menjaga sesuatu di balik badannya. Tadi di saat
ia mereganggkan ekornya, tampak sesuatu di mataku." ucapnya dalam hati.

jilid 2 bag 12
oleh : Marzuki Magetan
.........
Sesungguhnya di balik tubuh naga itu, tumbuh sebuah tanaman ajaib yang
selalu direbutkan oleh semua makhluk. Itu terbukti dari adanya tulang - tulang
kerangka yang berserakan di sekitar dalam gua itu, entah itu dari kalangan
manusia atau hewan.
Ular itu kembali bergerak walau hanya sesaat. Dan Dipa sangat yakin dengan
apa yang ada di balik ular raksasa itu.
Segera anak itu memutar otak untuk memancing ular sebesar batang kelapa
itu meninggalkan tumbuhan yang ia tunggu. Karena itu, Dipa memungut sebutir
kerikil dan dengan tenaga penuh, kerikil itu ia sentilkan ke arah kepala naga.
Begitu derasnya laju kerikil mengarah tepat di tengah dahi ular raksasa itu,
hingga membuat ular itu membuka matanya dan dengan keras mendesis
penuh kemarahan.
Sorot mata sang ular begitu tajam mengarah anak remaja yang telah berani
memasuki dan bahkan mengganggunya. Tubuh ular itu menggeliat begitu
hebat, dan ekornya dengan ganas menyabet tubuh anak manusia yang
berada di depannya.
Tapi datangnya serangan dari ekor ular itu sudah dierkirakan oleh Arya Dipa.
Kakinya segera bergeser kebelakang beberapa tindak, lalu menotol tanah
untuk melambungkan tubuhnya kebelakang dan berhenti di depan mulut gua.
Mengetahui mangsanya bisa dengan mudah menghindari serangan ekornya,
ular jampang bersisik merah itu marah bukan kepalang. Kembali ekor itu
menyabet seonggok tanah yang padat di depannya, hingga membuat
onggokan tanah padat itu mencelat kearah Dipa.
Sungguh kecepatan lesatan onggokan tanah padat itu melampaui pemikiran
orang awam. Tapi itu tak membuat Dipa kehilangan akal, ia tetap dalam
keseimbangan nalar dan dengan tenang menggulingkan badannya untuk
menghindari cipratan tanah padat itu.
Dan tanah itu melaju terus hingga mengenai gerumbul semak di depan gua.
Pemandangan mendebarkan terlihat dari akibat tanah itu, gerumbul itu rusak
parah tak karuan. Mungkin jika onggokan tanah padat itu mengenai manusia
P a g e | 64

yang terdiri dari seonggok daging, bisa dipastikan tubuh itu akan mengalami
luka arang kranjang.
Tubuh Dipa kini sudah bertumpu dengan kakinya kembali dan suap
menghadapi ular yang mungkin juga disebut naga itu. Supaya mendapat
tempat yang luas dan menguntungkan, anak angkat ki Mahesa Anabrang itu
menggeser kakinya ke tanah yang agak lapang dan supaya ular itu terpancing
keluar dari gua yang berbentuk siku itu.

Desisan yang panjang dan keras sering terdengar seiring kemarahan sang ular
naga yang merasa diganggu oleh mahkluk berkaki dua. Gesekan badan ular
itu cukup membuat tanah yang dilewati meninggalkan bekas panjang
sedalam satu kilan orang dewasa.
Sesampai ular naga itu berada di luar gua, ular naga yang disebut Anta Denta
dalam kitab Cakra Paksi Jatayu itu, mengamuk dengan mengibaskan ekornya
mengarah Dipa. kibasan demi kibasan itu membuat tumbuhan yang
terjangkau dari serangan dahsyat itu, porak poranda.
Hal itu juga membuat beberapa ular yang mulanya berada di sekitar gua itu,
tunggang langgang menjauhi pertempuran di tengah malam dan berada di
punggung gunung Penanggungan.
Bahkan suara gemeretak cabang - cabang ranting yang terkena serangan
ekor Anta Denta, sampai terdengar dari tempat ki Mahesa Anabrang dan resi
Puspanaga berada, namun kedua orang tua itu tak bisa berbuat apa - apa.
Kembali di depan gua, Arya Dipa dengan gesit dan lincah menghindari kibasan
dan lilitan ular Anta Denta. Suatu kali anak itu yang menotolkan kakinya hingga
melampaui tubuh sang ular naga, kaki Dipa sempat mendepak kepala
belakang ular itu. Tapi depakan itu, bagi Anta Denta seperti terkena semilir
angin saja. Lain halnya dengan Dipa, kakinya bagaikan mendepak besi gligen,
hingga anak itu meringis.
" Apakah bagian belakang kepala ular naga itu, terbuat dari besi gligen..?"
keluh Arya Dipa.
Kelengahan yang hanya sesaat itu, mengakibatkan kerugian Dipa. Begitu
tersadar tubuh anak itu terhempas dua tombak, terkena kibasan ekor ular.
Dengan tertatih - tatih Dipa berusaha sekuat tenaga berdiri, namun lagi - lagi
ekor ular itu berhasil membuatnya tehempas dengan luka memar - memar
menghiasi tubuhnya. Namun tekad dan semangt yang besar menguatkan diri
anak itu. Kakinya kembali dengan kokoh berdiri di atas bumi.
Tapi Ular itu kini bergerak cepat ingin melahap anak itu, mulut itu terbuka lebar
P a g e | 65

dengan dua taring yang mengerikan siap menancap kepala Dipa.


Namun semua itu sirna manakala anak pilihan resi Gentayu itu melesat
layaknya burung garuda dan hinggap naga Anta Denta. Dipa yang tak mau
nyawanya berhenti di mangsa ular naga, dengan keras tangannya
mencengkram tonjolan merah yang tepat di dahi ular itu. Akibatnya ular itu
menggeliat - geliatkan badannya tak karuan. Ekornya pun berusaha mengibas
anak yang memeluk badannya.
Bertubi - tubi ekor itu mengenai tubuh Dipa, tapi Dipa dengan sekuat tenaga
menahan sakit akibat kibasan ekor itu dengan mencengkram tonjolan merah
itu lebih keras lagi.
Karena usaha kibasan ekornya tak berujung hasil, kini ular naga Anta Denta
mengguling - gulingkan tubuhnya, agar manusia yang berada di atas tubuhnya
bisa terlepas. Usaha itu membuahkan hasil, tangan kanan Dipa terlepas dari
cengraman, tapi tangan Dipa kini mengarah pada belakang kepala ular itu. Di
situ ada sisik yang bergaris panjang menyerupai sabuk. Dengan keras Dipa
menggapainya dan menarik dengan kekuatan penuh.
Sebuah keuntungan tak terkira didapat anak itu, ia berhasil mendapatka sisik
bergaris panjang itu, walau tubuhnya terpelanting dan jatuh. Lain halnya
dengan Anta Denta, ular itu merasakan tubuhnya bagai tersiksa dikarenakan
tonjolan sisik bergaris panjang itu, merupakan kelemahan keduanya.
Sementara itu Dipa memperhatikan bekas tonjolan sisik bergaris panjang yang
berada di genggamannya.
"Inikah tadi yang membuat kakiku sakit ketika aku mendepak belakang kepala
ular itu, walua begitu sisik ini lentur layaknya kain." desis pemuda itu.
Di depannya, Anta Denta yang berangsur meredakan rasa sakit yang tak
terkira, kembali menatap penuh kemarahan dan menyergap anak yang sudah
berlaku berlebihan itu. Serangan yang menggunakan mulut itu kembali
terulang dengan cepat dari serangan pertama.

Dipa yang tak menghilangkan kewaspadaannya, telah menyilangkan sabuk


sisik naga itu ke depan tepat ke mulut yang menganga lebar itu.
Saling dorong pun telah terjadi dengan dahsyatnya. Tapi tenaga ular itu sangat
besar, hingga hamir membuat Dipa kewalahan. Tapi sebuah pemikiran yang
tak terduga melintas dibenak kepala Dipa. Anak itu menggunakan hasil
dorongan lawan untuk mengangkat tubuhnya yang kemudian menggunakan
mulutnya, Dipa menggigit tonjolan merah yang berada tepat di tengah dahi
ular naga Anta Denta.
P a g e | 66

Tonjolan merah itu pecah dan darah yang ada dalam tonjolan itu tanpa bisa
ditahan telah tertelan oleh Dipa dan menyusup ke dalam perut dan menyebar
ke seluruh daging tubuh Dipa, yang mengakibatkan tubuh anak itu panas
bukan kepalang.
Disisi lain ular naga Anta Denta bagai terserap tenaganya, hingga ular itu lemas
dan lunglai yang kemudian mengantarkan nyawa ular naga itu melayang.

jilid 2 bag 13
oleh : Marzuki Magetan
........
Rasa panas menyengat yang sangat dirasakan oleh Arya Dipa. Tubuhnya
bagaikan tersiram lahar panas tumpahan gunung berapi hingga anak itu
menjerit - jerit dan tingkahnya tak karuan.
Sementara itu ditempat ki Mahesa Anabrang dan resi Puspanaga yang sedang
menunggu, tampak kegusaran yang sangat menyelimuti hati keduanya.
Apalagi saat terdengar jeritan yang menyayat dari arah gua, hati keduanya
sudah tak tahan lagi untuk menghampiri serta mengetahui apa yang terjadi
pada diri Arya Dipa. Maka keduanya setelah saling pandang, keduanya lantas
bergerak dengan loncatan panjang yang disertai ilmu peringan tubuh.
Betapa terkejutnya kedua orang tua itu, manakala kedua orang tua itu melihat
apa yang ada dihadapan mereka.
" Resi, inikah wujud dari Anta Denta itu.?" tanya ki Mahesa Anabrang, yang
memerhatikan bangkai ular naga di depan gua.
Tapi sang resi diam saja, orang tua itu tertegun tatkala memerhatikan kobaran
api yang menyelimuti seorang anak yang ia kenal sedang berlari memasuki
gua.
"Ada apa, resi.?" tanya ki Mahesa Anabrang.
"Dipa..Dipa, ki. Dalam keadaan berlari memasuki gua, ia seperti diselimuti
kobaran api. Ayo kita kesana." kata resi Puspanaga, sekaligus berlari ke mulut
gua.
Tapi ketika orang tua itu hampir sampai mulut gua, betapa terkejutnya. Sebuah
kekuatan yang tak kasat mata telah menghalangi dan menghentikan
pergerakan orang tua pemimpin pertapaan Pucangan itu.
"Apakah ini, resi Puspanaga.?" tanya ki Mahesa Anabrang, setelah ayah angkat
Dipa itu merasakan adanya kekuatan yang menghalanginya memasuki mulut
gua.
"Duh Gusti Agung, inilah kuasaMu. Entahlah ki, rupanya mulut gua ini telah
P a g e | 67

terselimuti oleh sebuah kekuatan penghalang layaknya dinding tebal." jawab


resi Penanggungan, pasrah.
Di dalam gua, Arya Dipa yang sekujur tubuhnya terselimuti kobaran api, tanpa
sadar menghampiri sebuah tumbuhan yang berbunga layaknya bunga teratai
dengan warna keemasan dan daun berwarna merah menyala.

Sebuah kekuatan yang tak nampak telah menuntun anak itu untuk menggapai
bunga itu dan memetiknya, lalu memakannya.
Kunyahan bunga itu dengan perlahan memasuki tenggorokannya dan terus ke
dalam lambung anak itu. Sesaat kemudian anak itu tersadar lagi dan ia
kembali menjerit merasakan hawa panas yang tak terkira. Tapi sesaat
kemudian, sebuah hawa yang sejuk berputar - putar dalam tubuhnya yang
kemudian menyebar keseluruh tubuhnya. Dan dengan perlahan kobaran api
yang menyelimuti Dipa menghilang.
"Duh Gusti Agung, ku haturkan syukur yang tak terkira atas lindunganMu." desis
Dipa, yang duduk bersila dengan tangan yang masih memegang tangkai
bunga.
Sejenak anak itu memerhatikan dirinya degan teliti. Anak itu tertegun,
manakala mengetahui luka - luka lebam dan goresan dari batu ataupun
ranting waktu bertempur dengan naga Anta Denta telah pulih.
"Terima kasih, Gusti Agung." ucap anak itu kehadapan Sang Nata.
Lalu anak itu bangkit berdiridan memerhatikan sekeliling gua itu, ternyata di
ujung gua itu memiliki pintu di lain sisinya. Setelah itu kemudian ia bergegas
kembali menyusuri lorong menuju pintu mulut gua dimana ia memasuki
pertama. Wajah anak itu tampak cerah tatkala di depan mulut gua ada dua
sosok orang tua, yaitu resi Puspanaga dan ki Mahesa Anabrang.
"Eyang, ayah..." teriak Dipa sambil berlari memeluk kedua orang tua itu.
"Bagaimana keadaanmu, ngger.?" tanya ki Mahesa Anbrang, yang
mencemaskan keadaan anak angkatnya.
"Aku tidak apa - apa ayah, bahkan aku merasakan adanya kesejukan dalam
tubuh ini."
"Baiklah kalau begitu lebih baik kita segera kembali ke pertapaan." ajak resi
Puspanaga.
Namun Dipa sesaat berlari mendekati bangkai naga Arya Denta, dan
mengambil sebuah benda yaitu bekas tonjolan sisik bergaris panjang mirip
sabuk.
"Apa itu, Dipa.?" kini giliran resi Puspanaga bertanya.
P a g e | 68

"sisik naga Anta Denta eyang. bolehkah aku membawanya untuk aku jadikan
sabuk.?"
"Hehehe...tentu ngger."
Lalu ketiganya bergegas kembali ke pertapaan Pucangan.
Kini gua itu tampak sepi, bahkan serangga pun seperti lenyap di telan bumi.
Hanya suara desau bayu saja yang hilir mudik memenuhi. Malam pun berlalu
sesuai kodratnya digantikan dengan kemunculan sinar bagaskara di ujung
langit timur.

jilid 2 bag 14
oleh : Marzuki Magetan
............
Pagi itu setelah mengisi perut dengan masakan khas pegunungan, seisi
pertapaan Pucangan di gunung Penanggungan berkumpul di ruang utama
pertapaan.
Empu Citrasena yang sudah menuntaskan pekerjaannya dalam membantu resi
Puspanaga, telah memberikan hasil yang gemilang dalam menempa wesi aji
yang kini berbentuk pedang tipis dengan guratan yang menyerupai bulu
burung garuda, sedangkan tangkainya terbuat dari kayu cendana berbentuk
kepala burung garuda.
Dengan cermat resi Puspanaga mengamati pusaka itu dan ia nampak senang
dengan hasil itu.
"Sungguh hasil tempaan empu, sangat bagus. Ternyata ilmu dari empu Supa
yang terkenal itu bisa engkau teruskan, empu Citresena." puji resi Puspanaga.
"Ah, itu hanya sekuku ireng dari paman Supa, resi...." kata empu Citrasena.
"Hahaha... tak hanya ilmu empu Supa saja yang menurun di tubuh empu
Citrasena, tapi jiwa rendah hatinya pun juga ia tiru.." sela ki Mahesa Anabrang,
yang disambut tawa yang hadir di ruang utama itu.
"Karena pedang itu tipis dan lentur, maka pedang itupun bisa menjadi ikat
pinggang dan mudah dibawa, resi." terang empu Citrasena.
Resi Puspanaga mengangguk, lalu ia bertanya kepada keponakan empu Supa
itu.
"Resi kau sebagai pembuatnya, dengan senang hati aku ingin memberi
kesempatan dan rasa hormat berupa pemberian nama yang cocok dengan
pusaka ini."
Mendengar itu, empu Citrasena termangu dan menggelengkan kepalanya.
"Maaf resi Puspanaga, aku tak bisa mengusulkan barang satu nama pun, lebih
P a g e | 69

baik resi sendiri atau orang yang berhak menggunakan pusaka itu, yaitu
angger Arya Dipa."
"Hem..." lalu resi Penanggungan itu memandang Arya Dipa.
"Angger Dipa, kau sudah mendengar sendiri apa yang dikatakan pamanmu
empu Citrasena, dan karena aku pun juga sulit untuk memberikan nama
pusaka yang akan kau terima ini, maka kaulah yang akan menamai pusaka
yang akan mendukung perjalananmu nanti.."
Tampak remaja itu terdiam sesaat dan menundukkan kepalanya. Tak lama
kemudian kepala itu terangkat dan memandang semua orang yang hadir di
tempat itu.

"Terima kasih eyang dan paman, karena wesi aji yang kini berbentuk pedang
tipis itu, anugrah sang prabu Airlangga atau resi Gentayu yang mempunyai
lambang garuda, maka pusaka ini aku beri tetenger, kyai Jatayu.."
Semua yang mendengar nama yang disebut remaja itu, merasa senang karena
memang cocok nama kyai Jatayu dengan ilmu kanuragan dari kita cakra Peksi
Jatayu.
"Wah nama yang bagus, kakang. lalu apa nama sabuk yang dari kulit naga
itu...?" sela Ayu Andini.
Arya Dipa tak menyangka akan mendapat pertanyaan mengenai sabuk kulit
naga itu, sehingga anak remaja itu tampak bingung dan membuat orang -
orang disekitarnya tersenyum.
"Kenapa kakang tampak bingung seperti itu.? aku punya usul dengan kyai Anta
Denta. Bagaimana.?" kata Ayu Andini.
"Wah itu bagus, kau sungguh pintar Andini." puji Sabdho," Benarkan Dipa.?"
"Baik, sabuk kulit naga ini aku namai kyai Anta Denta." sahut Dipa, seraya
menyentuh sabuk yang kini melekat di pinggangnya itu.
Maka mulai hari itu, Arya Dipa mempunyai senjata pedang kyai Jatayu dan ikat
pinggang kyai Anta Denta. Dalam hari - hari selanjutnya, kedua pusaka itu pun
mulai dipergunakan dalam latihan.
Ternyata keserasian dari kedua senjata itu melebur menjadi satu tata gerak dan
mendukung pesatnya ilmu kanuragan Arya Dipa. Pedang yang sangat tipis dan
lentur itu mampu memotong daun yang sangat tipis sekalipun dan mampu
membabat pohon sebesar paha orang dewasa sekali tebas. Sedangkan ikat
pinggang kyai Anta Denta, yang terlihat lentur itu bila dikibaskan dan
mengenai batu, maka batu itu akan remuk. Tak hanya itu saja, tatkala sebuah
serangan dari tajamnya pedang mengenai ikat pinggang itu, keuletan serat
P a g e | 70

kulit naga itu layaknya besi gligen.


"Sungguh sangat besar karunia Hyang Agung terhadapmu, ngger." ucap resi
Puspanaga," Selain ilmu tata gerak Cakra Peksi Jatayu dan pusaka kyai Jatayu,
kau mendapatkan ikat pinggang kyai Anta Denta serta tak sengaja kau
menelan darah naga Anta Denta yang mengakibatkan engkau kebal racun
dan menambah tenaga cadanganmu."
"Tapi itu semua jangan membuatmu merasa terkuat di jagat ini, karena di atas
langit masih ada langit, bukankah kau ingat tentang seorang raja dari Alengka
yang mempunyai aji pancasona itu.?"
"Cucu selalu ingat, eyang."
"Bagus, karena sifat angkara murkanya, maka Hyang Agung membinasakan
melalui Sri Rama." tutur resi Puspanaga.
"Jadikan ilmu itu berguna dengan membantu sesama yang memerlukan
pertolongan dan hindarilah sifat angkuh jumawa dan mementingkan diri
sendiri." lanjut Orang tua itu.
"Baik eyang, semua nasehat eyang akan terpatri dalam hati cucumu ini."
"Bagus ngger, kini tata gerak dasar Cakra Peksi Jatayu sudah kau kuasai
dengan baik, selanjutnya dalam tahap yang lebih tinggi akan dapat kau
telusuri sendiri seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu besok ayahmu akan
kembali ke barat dan kau dapat menentukan untuk mengikutinya atau kau
akan tinggal disini untuk sementara."
Remaja yang kini tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan badan tinggi
besar itu menatap jauh kebarat, lalu katanya.
"Aku akan tinggal di sini, Eyang."
"Baiklah, itulah yang sebenarnya aku harapkan. Mungkin ayahmu akan sedih
untuk beberapa saat, tapi aku yakin jika ia akan tabah karena ia pun
merupakan seorang berjiwa besar dan penuh bijak."
Di ke esok harinya, ki Mahesa Anabrang sudah siap menaiki pelana kudanya
untuk kembali ke padukuhan Pudak di kadipaten Prana Raga yang kini
berganti menjadi kadipaten Ponorogo.
"Jagalah dirimu, ngger. Jika kau berjalan ke barat, singgahlah di gubuk kita."
"Iya ayah, suatu saat aku akan pulang ke padukuhan Pudak dan kembali
menyirami bunga di halaman depan."
Ki Mahesa Anabrang tersenyum seraya menepuk pundak anak angkatnya, lalu
setelah berpamitan kepada semuanya, ia pun segera menaiki kudanya dan
memacu kuda itu.
P a g e | 71

jilid 2 bag 15
oleh : Marzuki Magetan
........
Sudah setahun lamanya Arya Dipa mendalami olah kanuragan di pertapaan
Pucangan, kini ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah dan kokoh.
Begitu juga dengan Ayu Andini, gadis ini layaknya bunga yang mekar dan
membuat kumbang - kumbang terpesona di buatnya. Namun bunga ini
bukanlah bunga sembarangan, berkat keuletan dan niat yang besar dari gadis
ini, ia menjadi gadis yang memiliki olah kanuragan yang tak bisa dipandang
sebelah mata. Empu Citrasena dengan tekun menuntun putri angkatnya
dengan menurunkan ilmunya dari perguruan Kumbara Agni.
Sementara itu timur kadipaten Japanan, ki Ajar Lodaya bersama dua muridnya
sedang duduk menanti seseorang di sebuah kedai.
"Guru, apakah yang dikatakan nyi Cempaka itu benar.?" tanya muridnya yang
membawa tombak pendek.
"Nyi Cempaka tak mungkin berdusta, setiap ramalannya pasti mendekati
kenyataan." jawab ki Ajar Lodaya.
"Tapi sampai dua hari ini ia tak menampakkan batang hidungnya, guru.
Apakah ia sudah bergerak mendahului kita dan merebut kitab Cakra Peksi
Jatayu dari orang yang bernama Palon itu.?" kini giliran murid satunya yang
berbibir tebal.
"Kau keliru Putut Lembayung, orang yang bernama Palon itu bukanlah yang
memiliki kitab itu, tapi ia memiliki kedekatan dengan pemilik sah kitab itu."
"Apakah sebaiknya aku kembali ke perguruan Kembang Wisa, guru.?!" Bayu
Sengoro, angkat bicara.
"Sabarlah barang sejenak, Sengoro. Lihatlah akhirnya para kembang itu muncul
juga.... hehehe."
Memang benar apa yang dikatakan oleh pemimpin padepokan Lemah Jenar
itu, Lima wanita cantik - cantik dengan pemimpinnya yang berwajah ayu
memasuki kedai itu.
Kedatangan kelima wanita itu menarik perhatian orang - orang yang sudah
duduk terlebih dahulu di kedai itu, tapi kebanyakan dari mereka tak berani
terus memandang wanita - wanita yang cantik - cantik itu.

"Selamat datang di kedai kami, nyi Cempaka. Hidangan apakah yang nyai
inginkan akan segera kami siapkan." ucap pelayan kedai dengan tergopoh -
gopoh menerima kedatangan pemimpim padepokan Kembang Wisa itu.
P a g e | 72

"Hidangkan makanan khas kedai ini, kisanak. Mereka akan kami traktir." sahut ki
Ajar Lodaya.
Namun pelayan kedai itu tampak bingung dan memandang bergantian ke
arah ki Ajar Lodaya dan nyi Cempaka. Namun ketika melihat anggukan kepala
wanita cantik dihadapannya, maka pelayan itu segera kembali kebelakang
dan mempersiapkan makanan khas kedai itu.
"Maafkan aku, kakang Ajar Lodaya. Hingga membuat kakang lama
menunggu." suara merdu wanita itu terucap manakala sudah duduk di amben
besar dalam kedai itu.
"Hahaha.. Kau dari dulu tak pernah berubah nyai, lihatlah rambutku sudah
berwarna dua dan kulitku sudah keriput, namun kau tetap cantik seperti dua
puluh tahun silam."
"Ah kakang Ajar terlalu memuji." kembali nyi Cempaka berucap dengan
senyum menghiasi bibir tipisnya.
"Aku tak sekedar memujimu, nyai, seharusnyai padepokanmu lebih cocok
dengan sebutan Kembang Nirwana. Karena murid - muridmu yang semuanya
wanita tak ada celanya."
"Sudahlah kakang Ajar, kita kembali ke pokok intinya saja."
"Hahaha, baik - baik. Nyai setahun yang lalu aku mendapat kabar dari murid
sahabatku yang menjadi telik sandi kadipaten Puger, saat ia pulang dari
tugasnya ia bertemu dengan seorang pemuda yang bernama Palon bersama
dua rekannya. Dan menurut petunjuk dari nyai, kita akan bisa mendapatkan
sebuah kitab kuno bila kita akan bertemu pemuda Palon yang mempunyai
kedekatan dengan pemilik kitab itu." terang ki Ajar Lodaya.
"Dan menurut murid sahabatku itu, kemungkinan besar pemuda itu berada di
kadipaten Japanan ini." lanjut pemimpin padepokan Lemah Jenar.
Sesaat nyai Cempaka memejamkan matanya, lalu perlahan mata itu terbuka
dan menatap penuh keceriaan.
"Ia kakang, dalam mata batinku aku melihat titik terang pemuda itu dan kitab
Cakra Peksi Jatayu itu. Namun orang - orang yang berada dikelilingnya
bukanlah orang sembarangan." sesaat nyai Cempaka terdiam," sebuah titik
terang memancar dilereng gunung Penanggungan, dan kakang tahu jika
disana ada seorang resi yang sangat dusegani."
"Maksudmu, resi Puspanaga.?" tanya ki Ajar Lodaya.
"Benar kakang."
"Apakah orang tua itu masih hidup.?"
"Entahlah, sudah sepuluh tahun ini aku tak mendengar namanya disebut -
sebut."
P a g e | 73

Namun pembicaraan itu terhenti manakala pelayan kedai menghidangkan


berbagai makanan khas kedai itu.
"Silahkan tuan dai nyai." kata pelayan kedai itu, mempersilahkan dan kembali
ke ruang belakang.
Mereka dengan lahap menyantap hidangan itu, sambil berbicara ringan.
"Tapi aku rasa kita bisa mengatasi pertapa itu, apalagi kita delapan orang."
kata ki Ajar Lodaya, setelah selesai makan.
"Baik kakang, kalau begitu kapan kita berangkat kesana.?"
Orang dari bang wetan itu termenung sesaat.
"Karena hari sudah hampir senja, besok saja kita berangkat."
"Baik kakang, kapanpun kami siap."

( Bersambung...

Panasnya Langit Demak jilid 3 ( 1 - 15 )

jilid 3 bag 1
Oleh : Marzuki Magetan
........
Menginjak tahun kedua sejak kedatangan Arya Dipa di pertapaan Pucangan,
dan usainya gejolak yang ditimbulkan oleh ki Ajar Lodaya dan kawann -
kawannya, pertapaan itu tampak tenang.
Lain halnya suasana di kotaraja Demak, tampak prajurit hilir mudik menyiapkan
beberapa kereta dan gerobak yang ditarik oleh sapi dan kuda. Beberapa
rontek, tunggul dan umbul - umbul juga meramaikan barisan yang mengekor
itu.
"Dugaan para telik sandi terdahulu memang benar, keberangkatan pasukan ini
ke Malaka akan membuat pertahanan Demak akan longgar." desis seseorang
yang ikut bergerombol diantara banyaknya orang.
"Benar kakang, bahkan kanjeng Sultan sendiri bersama kedua putranya juga
P a g e | 74

ikut dalam pembebasan tanah Malaka dari orang - orang bermata biru itu."
sahut kawannya lirih.
"Mari kita segera melaporkan hal ini kepada tumenggung Harya Kumara." ajak
orang pertama, seraya berjalan menjauhi desakan orang - orang yang melihat
iringan pasukan Demak menuju bandar di pantai utara.
Iring - iringan pasukan yang dipimpin langsung oleh Sultan Demak kedua yang
dahulu bernama raden Adipati Yunus dalam lidah jawa lebih dikenal dengan
sebutan Pati Unus itu, merupakan pelayaran kedua bagi pasukan Jalapati atau
pasukan tempur laut kesultanan Demak Bintárá. Kali ini sang Sultan diiringi
beberapa senopati pilihan dan dua putranya, raden Aryawangsa dan raden
Suryadiwang yang masih remaja. Selain itu, pasukan dari bang kulon juga akan
mendampingi Sultan Demak, itu semua sudah atas restu para waliullah di bang
wetan, tengah, maupun kulon.
Sesampai di bandar, sebuah pemandangan yang membanggakan telah
nampak. Berderet - deret kapal besar yang berjumlah kurang lebih 375 yang
terdiri dari kapal - kapal Demak, Cirebon dan Banten. dan atas restu kanjeng
sunan Gunung Jati, gabungan tiga armada tempur itu, telah terpilih sultan
Demak atau raden Pati Unus sebagai panglima tertinggi dengan gelar,
Senopati Sarjawálá dan dua senopati pengapit yaitu, raden Tubagus Pasai dan
raden Hidayat.
Setelah memberikan pesan - pesan penting kepada patih Wanasalam dan
beberapa pangeran, maka sang Sultan menaiki kapal perang yang diiringi
suara tambur dan sangkakala sebagai penyemangat para armada jawa itu.
Di tempat yang begitu jauh, beberapa orang berkumpul dengan suasana yang
tegang.
.

"Ini saatnya kakang tumenggung bertindak." ucap seseorang yang berbadan


tambun dengan kumis tebal.
"Tidak adi, kita harus mendapat persetujuan dari Panembahan Bhre Wiraraja
yang merupakan orang yang sah melanjutkan kebesaran Majapahit." sahut
orang yang disebut kakang oleh orang pertama.
"Apakah benar orang yang menyebut dirinya Panembahan Bhre Wiraraja itu
berdarah trah Majapahit, ki tumenggung Harya Kumara.?" tanya orang tua
yang memakai ikat kepala lurik.
"Jaga bicaramu, ki Gede Bawean.! Panembahan itu telah membuktikan sendiri
dengan menunjukkan tanda kebesaran berupa lencana khusus yang hanya
dipunyai oleh garis lurus wangsa Kertarajasa." sergah ki tumenggung Harya
P a g e | 75

Kumara, berat.
"Tak sepantasnya kalian sangsi dengan perjuangan yang tentu mendapat restu
dari Yang Agung ini." lanjut tumenggung itu.
Kini giliran seorang lelaki yang berpakain layaknya bangsawan dengan keris
terselip disamping kiri ikat pinggangnya, berdehem.
"Ada apa raden Sajiwo.?" tanya orang tambun, yang disebut ki tumenggung
Sarduloyudo.
"Lantas kapan orang yang disebut Panembahan itu muncul dihadapan kami
dan menyerang Demak yang kosong itu.?"
"Tunggulah, mungkin dua tiga hari ini ia akan tiba dari kadipaten Puger." sahut ki
tumenggung Sarduloyudo.
Pembicaran ini terus berlangsung hingga malam menaungi alam disekitar
tempat itu, pembicaraan yang menjerumus tindakan mbalelo terhadap
keutuhan Demak bintoro yang besar itu.
Malam yang berjalan sesuai jalur yang ditentukan Sang Kuasa itu, kini telah
digantikan dengan terangnya sang surya. Di pertapaan Pucangan, resi
Puspanaga nampak resah menghiasi wajahnya. Mimpi kelam selama tiga hari
ini kembali terulang sama. Sebuah mimpi berupa api yang berkobar melahap
atap sebuah keraton dengan korban terus mengalir tak terhingga.
"Apakah ini mimpi dara dasih.?" desisnya.
Ketermenungan sang Pertapa itu mendapat perhatian yang sungguh -
sungguh dari Arya Dipa, yang tanpa sengaja melihat resi Puspanaga ketika ia
melewati pringgitan.
"Selamat pagi eyang." sapa pemuda itu.
"Oh kau Dipa, kemarilah."
Segera pemuda anak angkat ki Mahesa Anabrang itu duduk di samping resi
Puspanaga.
"Dipa, ini mungkin waktunya kau melawat ke bang tengah."
"Maksud eyang.?"
"Ingatkah tatkala pertama kau menerima kitab Cakra Paksi Jatayu dulu.?"
tanya resi Puspanaga, mengingatkan kejadian dua tahun silam.
"Masih selalu terngiang dihati cucu, eyang."
"Bagus, dan dalam rangka ini juga kau harus melawat bang tengah sekaligus
memastikan mimpi buruk yang aku alami akhir - akhir ini." sesaat resi tua itu
berhenti untuk mengambil napas, lalu, "Sebuah prahara api mulai menjilati
pusat pemerintahan di bang tengah itu, meskipun kau bukan seorang senopati,
tapi kau mempunyai darah senopati dan berdarma bakti bagi negerimu,
ngger."
P a g e | 76

Memang cepat atau lambat, Arya Dipa telah menyadari jikalau dirinya
mendapat tugas menjaga keamanan dari negeri yang baru itu, walaupun
nyawa sebagai taruhannya.
"Baiklah eyang, aku akan mengamati dan berusaha memberikan tenaga
sebisa dan semampu diri ini." kata Arya Dipa, menyanggupi.

jilid 3 bag 2
oleh : Marzuki Magetan
.
Setelah semuanya dipersiapkan dengan pertimbangan yang matang, maka di
keesokan harinya Arya Dipa dengan Ayu Andini sebagai kawan perjalanan
mulai meninggalkan pertapaan di lereng gunung Penanggungan. Perjalanan
yang membentang tanpa adanya batas waktu itu akan menjadi
pengembaraan pertama bagi sepasang pemuda tersebut. Tanpa terasa
setelah matahari di ujung barat, mereka berdua telah memasuki tlatah
perdikan Anjuk Ladang.
"Kita bermalam di padukuhan ini, Ayu, besok kita lanjutkan lagi." ucap Arya
Dipa.
"Iya kakang, mungkin pemilik rumah di ujung padukuhan ini mau menerima kita
untuk berteduh barang satu malam." sahut Ayu Andini, menyetujui ajakan Arya
Dipa.
Lantas keduanya dengan rendah hati meminta ijin kepada pemilik rumah yang
ternyata dihuni oleh dua pasang orang tua.
"Silahkan ngger, nduk. Tapi beginilah gubuk kakek, kecil dan kotor."
"Terima kasih, kek. Ini sudah lebih cukup."
Ternyata kedatangan Arya Dipa dan Ayu Andini membuat hati sepasang orang
tua itu, terobati rasa rindu keduanya kepada anaknya.
"Anak kakek lima orang, namun yang tiga sudah menghadap Gusti Pengeran
dalam usia yang masih kecil, sedangkan anak yang tersisa sudah berkeluarga
sendiri - sendiri." kata kakek tua itu.
"Apakah rumah anak kakek di luar padukuhan ini.?"
Kakek itu beringsut lalu mengambil minuman di gelas yang terbuat dari
potongan bambu.
"Ayo sambil diminum," ucapnya, dengan meneguk air itu, lalu lanjutnya, "Anak
keempat kakek menjadi pedagang pecah belah di padukuhan induk tanah
perdikan. Sedangkan adiknya wanita, bersama suaminya tinggal di Pengging."
"Apakah mereka jarang menengok kakek dan nenek.?" tanya Ayu Andini,
P a g e | 77

dengan raut muka sedih.


"Jarang ngger, tapi kakek tak menyalahkan mereka, mungkin jarak yang
panjanglah yang membuat anak kakek tak sempat menengok kesini. Tapi
kalau si Ranu, sepekan sekali ia kemari dengan membawa anaknya." jawab
kakek itu.
Perbincangan itu terhenti ketika malam semakin dalam, dan keduanya
mendapatkan tempat berbaring dikamar yang terdapat amben lebar.
"Tidurlah, biar aku yang berjaga barang sesaat" kata Arya Dipa, sambil
meluruskan kakinya dipinggir amben.
"Nanti bangunkan aku, kakang."
"Hem, istirahatlah."
Walau suasana aman, namun Arya Dipa yang mendapat nasehat dari resi
Puspanaga maupun mpu Citrasena, selalu diwanti - wanti untuk waspada
ditempat yang belum mereka kenal. Hingga suara kokok ayam jantan
pertama, keadaan tak mencurigakan maka pemuda itu pun memejamkan
mata barang sekejap sampai datangnya sinar mentari di ujung timur.
Sementara itu di kadipaten Jipang, tumenggung Harya Kumara dan
tumenggung Sardulo dengan menaiki kuda, memasuki barak keprajuritan.
Setelah memberikan tali kekang kuda kepada prajurit, keduanya memasuki
ruang utama barak.
"Apakah kakang Metahun menyetujui rencana itu, adi tumenggung.?" tanya ki
tumenggung Harya Kumara kepada seorang yang duduk di ruang itu.
Orang itu menggelengkan kepalanya.
"Tidak kakang."

jilid 3 bag 3
oleh : Marzuki Magetan
.
"Ki patih Metahun tak akan ikut campur selama pangeran Kinkin ada." lanjut
tumenggung Wanapati.
"Mengapa ia lebih mementingkan pangeran anak menantu adipati Jipang itu.?
dibandingkan dengan kita saudara seperguruannya.?" geram ki tumenggung
Sardulo, sambil menggebrak bangku meja.
Ki tumenggung Wanapati hanya membisu diam. Sesaat dalam ruang utama
barak itu diam.
"Kalau begitu kita tunggu Panembahan Bhre Wiraraja saja, mungkin ia memiliki
rencana yang kedua, setelah kita gagal membujuk kakang Metahun." kata ki
P a g e | 78

Tumenggung Harya Kumara, "Aku akan kembali ke pesangrahan di tengah


hutan, bila ada sesuatu cepat adi kirim seseorang."
"Baik kakang."
.....
Betapa senangnya ki Mahesa Anabrang, saat sepasang anak muda memasuki
regol halaman rumahnya.
"Pantas saja sejak pagi burung prenjak itu berkicau terus, tak tahunya anakku
dan kekasihnya pulang kemari." sambut orang tua itu, ramah.
Sesaat warna semburat merah menghiasi pipi Ayu Andini yang menunduk malu.
Keduanya menaiki tlundak dan menyalami ki Mahesa Anabrang bergantian.
"Bagaimana keadaan eyangmu dan lainnya.?"
"Eyang dalam keadaan baik - baik saja ayah, begitu pula dengan paman
Citrasena, kakang Palon dan Sabdho." terang Arya Dipa.
"Syukurlah, baiklah aku akan merebus air."
Tapi dengan sigap Ayu Andini telah berdiri.
"Biar aku saja paman."
"Tapi kau baru datang, dan lelah."
"Tidak mengapa paman, aku akan canggung jika paman yang melakukan
pekerjaan itu."
"Baiklah, biar Dipa yang menunjukkan dapurnya."
Dengan diantar Arya Dipa, Ayu Andini ke dapur untuk merebus air minuman.
"Semoga berjodoh." desis ki Mahesa Anabrang, perlahan.
.

Walau Ayu Andini dalam asuhan mpu Citrasena, namun dalam pekerjaan
wanita ia sangat cekatan dan trampil. Tangannya yang lembut itu mampu
mengolah makanan dan sayuran dengan bumbu rempah - rempah yang
akrab dengan lidah orang jawa.
"Wah masakanmu sungguh nikmat, Ayu." puji Arya Dipa, sambil melahap
makanannya.
"Iya kakang, tapi ingat jangan dihabiskan, ini khusus buat paman."
"Jadi aku tidak.?"
"Sudah habis satu piring, baru tanya." gerutu gadis itu.
"Hahaha..tak kukira jika kau cemberut, wajahmu sangat cantik.." goda Arya
Dipa, sambil berbisik di telinga gadis itu.
Gadis itu diam, namun tangannya telah bergerak mencubit pinggang
kekasihnya itu.
"Aduh ampun, Ayu. Kulitku akan terkelupas nanti."
P a g e | 79

Melihat tingkah laku anak - anaknya, ki Mahesa Anabrang tersenyum dan


menggeleng - gelengkan kepalanya.
Suasana yang damai telah melingkupi rumah di padukuhan Pudakan tlatah
kadipaten Ponorogo.
Di malam harinya, Arya Dipa telah mengatakan kepada ayah angkatanya
bahwasannya ia mulai melakukan tugas yang diembannya dari resi
Puspanaga.
"Apa ini ada sangkut pautnya dengan kepergian kanjeng Sultan ke Malaka.?"
desis ki Mahesa Anabrang.
"Berhati - hatilah ngger, kotaraja tentunya dikelilingi orang - orang pinunjul yang
mempunyai kepentingan yang begitu samar." nasehat orang tua itu.
"Lalu kapan kau akan berangkat.?"
"Besok pagi ayah."

jilid 3 bag 4
oleh : Marzuki Magetan
.
Saat Arya Dipa berpamitan dengan ayah angkatnya, di sebuah tempat yang
masih dalam lingkup bekas kadipaten Pengging, seorang pemuda duduk
termenung di bekas reruntuhan pendopo kadipaten.
"Sudahlah, ngger. Itu semua sudah kehendak Allah, janganlah kau berlarut -
larut dalam kesedihan."
"Terima kasih, uwa. Aku sudah menerima itu semua dan menghilangkan semua
dendam dari hati ini." sahut pemuda itu, yang memiliki mata setajam elang
jawa.
"Bagus, Karebet. Bagaimana kau bisa berkunjung kemari.? Apakah kanjeng
Sunan Kalijaga tak mengajakmu ke Demak.?" tanya orang paruh baya itu.
"Tidak, uwa, menurut kanjeng guru belum waktunya aku memasuki lingkup
keraton." jawab pemuda itu, yang tak lain Karebet, putra ki Ageng Pengging
Anom atau raden Kebo Kenanga. "uwa Kanigara, aku minta dalam sepekan ini,
uwa mau menemaniku untuk memperdalam jalur ilmu Pengging."
"Hahaha, putraku angger Karebet, sebenarnya ilmu mu sudah sundul langit,
tapi jika itu maumu, aku akan menyanggupinya."
"Terima kasih, uwa."
"Marilah kita ke rumah ki Manyar, kasihan orang tua itu, ia tentu menunggu
kedatangan kita." ajak raden Kebo Kanigara, sambil melangkahkan kakinya
meninggalkan reruntuhan pendopo keraton, dimana masa kecilnya pernah
P a g e | 80

tinggal disitu.
Pemuda anak angkat ki Ageng Tingkir pun mengikuti langkah uwanya.
Di rumah yang tak terlalu besar, ki Manyar telah menyambut kedua uwa dan
kemenakan itu dengan keramahtamahan.
"Kau tak usah repot - repot, ki Manyar. Janganlah kau berlaku layaknya aku
seorang bangsawan, aku hanyalah Kanigara yang setiap hari juga
menggenggam cangkul dan pergi ke sawah. Bukankah kau masih ingat
dengan ndoromu itu.?"
"Tentu raden.."
"Tolong ki Manyar, jangan panggil aku begitu, panggil layaknya aku orang
padukuhan." potong ki Kebo Kanigara cepat.
"Ah..baiklah jika raden, eh ki Kebo Kanigara meminta seperti itu."
Tak lama kemudian istri ki Manyar datang dengan membawa masakan untuk
makan di siang itu. Setelah menyantap hidangan yang disajikan oleh keluarga
ki Manyar, perbincangan ringan mengalir rancak dengan suasana padukuhan
tlatah Pengging itu sebagai bahannya.
Ternyata kehidupan di tlatah Pengging mengalami kemunduran di segala
bidang. Banyak penghuninya pergi ke daerah yang lebih menjanjikan daripada
di tanah itu. Namun ada juga yang masih setia meneruskan cita - cita ki Ageng
Pengging dalam memujudkan kedamaian tlatah Pengging.
Benar saja, ketika ada kabar kedatangan ki Kebo Kanigara dan Karebet atau
Jaka Tingkir, penghuni tlatah Pengging berduyun - duyun ingin bertemu kakak
dan anak pemimpin mereka.
Betapa terharunya ki Kebo Kanigara dan Karebet mengetahui kesetiaan
mereka kepada keluarga adipati Kebo Kenanga itu.
"Aku berjanji akan mengembalikan tanah ini berjaya seperti masa eyang
adipati Handayaningrat." desis Karebet lirih.
Ternyata perkataan yang pelan itu tertangkap telinga ki Kebo Kanigara, yang
ditanggapi dengan senyum di bibirnya.
"Semoga cita - citamu terkabul, putraku."
.

Panasnya Langit Demak


jilid 3 bag 5
oleh : Marzuki Magetan
.
Di malam harinya, ki Kebo Kanigara bersama Karebet telah menuju tempat
P a g e | 81

lapang dan sepi. Di sini keduanya mulai mempersiapkan seluruh wadah dan
jiwanya untuk memanjatkan do'a kepada sang Khaliq untuk meminta
perlindungannya.
Sesaat kemudian setelah ki Kebo Kanigara memberi isyarat untuk memulai,
maka Jaka Tingkir meloncat ke tengah tanah lapang. Tarikan napas sejalan
peredaran darah yang mengalir keseluruh nadi mengawali tata gerak dasar
dari jalur perguruan Pengging, loncatan yang lincah telah terungkap mewarnai
tata gerak bak alap - alap yang mengarungi dirgantara. Namun sekejap
kemudian tubuh tegap itu terasa kokoh layaknya gunung Lawu tak goyah
terjangan prahara.
Tataran demi tataran semakin meningkat sejalan dengan tata gerak yang rumit
dan mengagumkan, apalagi saat anak ki Ageng Pengging anom itu menjejak
tanah dan terbang berputar, layaknya gangsingan.
"Dalam usia semuda ini, peningkatan ilmunya telah melampaui aku dan adi
Kenanga, pasti ayahnya akan bangga melihat perkembangan putranya."
ucap ki Kebo Kanigara dalam hati.
Di saat kemudian, gerakan pemuda itu semakin pelan namun penuh tenaga.
Lalu perlahan dengan mantap dan pemusatan nalar dan budi, gerakan tingkat
atas jalur Pengging mulai menyeruak.
Tampak kaki kanan berdiri tegak, kaki kiri terangkat menekuk dilanjutkan
tangan kiri menyilang di depan dada dan tangan kanan mengepal ke atas.
Sinar putih kebiruan terlihat membungkus kepalan tangan Karebet, yang
kemudian di lontarkan mengarah sebuah batu sebesar anakan kerbau.
Suara gelegar mengiringi lontaran aji pamungkas perguruan Pengging, yang
membuat batu itu hancur berkeping - keping.
Tiba - tiba suara tepukan tangan terdengar mengagetkan Karebat, karena
tepukan tangan itu bukan dari arah uwanya.
"Tak kusangka jalur Pengging memiliki jago baru dalam meneruskan
kebesarannya." sebuah suara terdengar dari mulut orang tua, yang berpakaian
layaknya begawan.
.

"Siapa kisanak ini.?" tanya ki Kebo Kanigara, memerhatikan wajah orang yang
baru datang itu.
"Angger Kanigara, siapa pemuda itu.? Yang mampu mengungkap Sasra
Birawa.?" tanya orang tua itu, tanpa memperdulikan pertanyaan ki Kebo
Kanigara.
Rasa heran melintasi pikiran anak tertua ki Ageng Pengging sepuh itu,
P a g e | 82

kemunculan seorang kakek yang mengetahui jati diri dan ilmu jalur Pengging.
"Dia kemenakan ku kisanak, siapa sebenarnya kisanak ini.?"
"Oh jadi ini putra angger Kenanga dan di angkat anak oleh dalang Ageng
Tingkir itu. E..e..e tobil, aku akan mencoba kemampuannya angger Kanigara."
kata orang aneh itu, lalu kembali berkata, "Windujaya, keluarlah. Tunjukanlah
kemampuanmu sebagai murid Jambul Kuning.!"
Betapa kagetnya ki Kebo Kanigara mendengar kata terakhir orang tua itu,
namun ia tak mampu berbuat manakala seorang pemuda dengan lincah
meloncat menerjang Jaka Tingkir.
Mendapati serangan dadakan itu, Karebet tak mati kutu, dengan sigap
serangan itu telah ia hindari dengan mudah seraya menangkap tangan lawan.

Panasnya Langit Demak


jilid 3 bag 6
oleh : Marzuki Magetan
.
Namun Windujaya segera menarik pukulannya dan mengganti lututnya
menohok lambung lawan, seraya dibarengi dua tangan menggemplang
kepala Karebet.
Kesigapan Karebet teruji dengan baik manakala dengan lincah pemuda itu
melenting kebelakang dan mulai waspada kembali.
Pertarungan keduanya sangat sengit dengan jiwa kemudaan mereka.
Tendangan dan pukulan silih berganti mengincar titik - titik lemah tubuh lawan
hingga salah satunya terkena, tapi keuletan yang tak mau mengalah membuat
sasaran yang di tuju sulit di jangkau serangan keduanya.
Semakin lama tata gerak ciri khas jalur ilmu kanuragan kedua pemuda itu,
tanpa sadar menyeruak keluar dengan sendirinya.
Di luar kalangan, ki Kebo Kanigara sudah mulai dapat mengetehaui siapa
lawan kemenakannya itu.
"Ilmu dari gunung Bancak itu semakin meningkat di tangan pemuda yang tak
lain murid paman Begawan Jambul Kuning, ilmu trah Kadiri dari raden Panji
Bancak, saudara tua raden Panji Asmara Bangun." kata ki Kebo Kanigara.
Di sisi lain orang tua aneh yang disebut begawan Jambul Kuning mengerutkan
keningnya, di saat terlihat olehnya serangan muridnya selalu meleset sekilan
dari tubuh lawan.
"Angger Kanigara, dari mana ia mendapatkan aji Lembu Sekilan itu.?!"
"Paman ingat dengan seseorang mulia yang selalu memakai blangkon hitam
P a g e | 83

serta pakaian lurik dari kadipaten Tuban.?"


"Ah..maksudmu raden Said yang kini disebut sunan Kalijaga.?" tanya begawan
itu, setengah tak percaya.
"Iya paman." jawab ki Kebo Kanigara singkat.
Karena serangannya selalu meleset, Windujaya meloncat ke belakang dan
menarik napas pelan. Tak lama kemudian sebuah pekikan telah menggetarkan
tempat itu. Seakan - akan bumi di guncang oleh tenaga dahsyat, yang
membuat Karebet hampir jatuh terduduk.
"Pekik Sardulo mampu dikuasinya." desis Karebet, sambil mempertahankan
tubuhnya agar tak jauh terseret pusaran tenaga lawan.
Mengetahui lawannya masih mampu berdiri, Windujaya menggerakkan
tangannya memutar di depan dada, dan meloncat memukul dada lawan. Kini
ia menggunakan pukulan Serat Bayu untuk menggebrak aji Lembu Sekilan
lawan.
Sesaat kemudian dua benturan tak dapat dihindari, Karebet merasakan
pukulan Serat Bayu itu mampu menembus lapisan Lembu Sekilan walau hanya
seujung jarum, telah membuatnya tergeser dua tindak, dan membuat
wajahnya pucat.
Lain halnya dengan Windujaya, pukulannya seakan - akan kembali kepadanya
hingga membuat tubuhnya mencelat ke belakang jatuh berguling - guling.
Namun ketahanan tubuhnya baik, walau tertatih - tatih ia mampu berdiri dan
siap bertarung kembali.
"Cukup..! Obati lukamu Windujaya." teriak begawan Jambul Kuning, sambil
melangkah ke arah ki Kebo Kanigara.
Windujaya telah menyeka darah segar yang meleleh di bibir dengan
lengannya, lalu menelan sebutir pil untuk memulihkan tenaganya.
Di depan agak jauh Karebet sudah pulih seperti sediakala, wajah yang sesaat
pucat kembali memerah.

Panasnya Langit Demak


jilid 3 bag 7
oleh : Marzuki Magetan
.
"Bagaimana keadaanmu Windujaya.?"
P a g e | 84

"Berkat pil ramuan guru, tenagaku sudah pulih kembali."


"Syukur." ucap Begawan Jambul Kuning, yang beralih menatap Karebet, lalu
lanjutnya, "Maaf Angger, kami bukanlah musuh, aku sahabat eyangmu sejak
usia muda. Bukan begitu angger Kanigara.?"
Ki Kebo Kanigara mengangguk pelan dengan perasaan yang simpang siur,
karena ia tahu watak sahabat ayahnya itu yang suka angin - anginan.
"Kenapa kau seperti itu Kanigara.? Apakah aku salah kata dan berkata dusta.?"
tanya orang tua itu, sambil melototkan matanya.
"Ah paman salah paham saja." tukas ki Kebo Kanigara, "O ya paman, siapa
pemuda ini.?"
"E..e..e apa kamu tuli.? Bukankah aku tadi sudah bilang kalau dia muridku.?
Kenapa semuda ini telingamu sudah kurang fungsinya, Kanigara.?" kata
Begawan Jambul Kuning, agak geram.
Mendapatkan jawaban yang tak mengenakkan telinga seperti itu, anak ki
Ageng Pengging Sepuh hanya menghela napas saja dan duduk di batu.
"Hehehe apakah kau marah Kanigara.?"
"Tidak paman, itu tidak baik."
"Bagus..bagus o ya, ini muridku satu - satunya, namanya Windujaya."
Windujaya menggangguk hormat kepada ki Kebo Kanigara dan Karebet, yang
di balas oleh uwa dan kemenakan dari Pengging.
Percakapan di malam itu telah menumbuhkan keakraban tersendiri bagi
Karebet dan Windujaya, yang mempunyai kesamaan umur. Tapi lain halnya
dengan ki Kebo Kanigara, kakak dari raden Kebo Kenanga ini selalu menghela
napasnya jika Begawan dari gunung Bancak itu berbicara kadang keras
bahkan kasar.
"Hehehe, baiklah aku pamit Kanigara, semoga kita berjumpa lagi." habis
berkata, bayangan orang itu dengan cepat telah pergi.
Sementara itu Windujaya masih berada di tanah lapang itu.
"Maafkan perilaku guru, paman dan kakang Karebet, sebenarnya watak guru
sudah jauh lebih baik di bandingkan di masa lalunya." pinta Windujaya.
"Iya, ngger. Aku tak mengapa, semoga paman begawan semakin jernih dalam
berperilaku."
Tiba - tiba sebuah suara yang menggema mengagetkan orang - orang yang
berada di tanah lapang itu.
"Sontoloyo di kira aku edan ya.! Windujaya cepat kemari, atau ku tinggal kau di
tanah orang ini.!"
"Baik paman dan kakang aku mohon diri." pamit Windujaya yang kemudian
mengejar arah gema dari begawan Jambul Kuning.
P a g e | 85

Kepergian kedua guru dan murid itu telah menumbuhkan rasa di hati ki Kebo
Kanigara dan Karebet.
"Kau harur berhati - hati jika berpapasan dengan orang tua dari timur itu,
Karebet." desis ki Kebo Kanigara, "Ilmu orang tua itu bisa disejajarkan dengan
eyangmu Handaningrat dan beberapa sesepuh kanuragan."
"Iya uwa, pantas aku tak merasakan kehadirannya, begitu juga dengan adi
Windujaya, ia mampu menyerap getar suara."
"Baiklah, mari kita kembali ke rumah ki Manyar."
Langkah keduanya semakin lama jauh dari tanah lapang yang kini sepi dan
hanya meninggalkan bekas rumput, batu dan tanah yang semrawut terkena
imbas dari setitik ilmu manusia yang berasal dari sumber Maha Sakti yang
berlaku Maha Bijak.

Panasnya Langit Demak


jilid 3 bag 8
oleh : Marzuki Magetan
.
Di dalam sebuah warung yang penuh pelanggannya itu, seorang lelaki
berbadan tinggi tengah bercakap dengan kawannya.
"Lebih baik kita terima pekerjaan dari tumenggung Sardulo, untung - untung
dapat merubah derajat kita menjadi seorang demang." desis orang berbadan
tinggi.
"Tapi sasarannya seorang pangeran, kakang." sahut kawannya.
"Hahaha sejak kapan kau menjadi pengecut seperti ini Yuyu Sangkrah.? Kita
sebagai sepasang malaikat alas Ketonggo bukanlah pembunuh bangsa tikus.
Kita pernah melenyapkan bangsawan Jepara, bupati bang wetan, dan
beberapa demang."
"Tapi kakang, raden Trenggono bukan orang sembarangan, menurut warta ia
memiliki aji Bajra Geni dan beberapa ilmu lainnya."
"Ah itu hanyalah bualan semata, walaupun memang benar kalau raden
Trenggono memiliki aji itu, aku tak gentar. Aku Kidang Angkup yakin bisa
membinasakannya, kalau perlu kita bisa bekerja sama dengan orang dari
Kendal." kata orang tinggi itu.
"Baiklah kalau kakang memang yakin mampu, aku sebagai saudara akan ikut
serta, tapi aku akan meminta bantuan ki Jembawan dan ki Padas Gempal."
ujar Yuyu Sangkrah.
"Bagus, semakin banyak kawan akan cepat pekerjaan kita. Jabatan demang
P a g e | 86

dan lima kampil uang akan menjadi milik kita."


Setelah membayar pesanan, keduanya keluar dari warung itu.
Di sudut ruangan, dua pemuda sempat mendengar rencana sepasang
malaikat alas Ketonggo itu.
"Bagaimana kakang, apa kita melaporkan rencana jahat mereka kepada yang
berwenang.?" tanya salah satu.
"Jangan, Ayu. Kita tak memiliki banyak bukti untuk mendapat kepercayaan dari
para prajurit. Lebih baik kita ikuti mereka sebelum kedua orang itu pergi jauh."
sahut kawannya.
Untuk itu sepasang pemuda pemudi itu mengikuti langkah sepasang malaikat
alas Ketonggo, sesudah membayar hidangan kepada pemilik warung.
Rencana dari sepasang malaikat alas Ketonggo untuk melenyapkan raden
Trenggono, mendapat dukungan dari kawan - kawan mereka yaitu, ki
Jembawan dan Ki Padas Gempal lalu tiga serangkai dari Kendal dan Subala,
seorang pembunuh dari Jipang.
"Aku tegaskan, rencana ini akan kita lakukan di saat adik sultan Demak itu
pulang dari pesantren Giri, yang akan lewat jalan ini dua hari kedepan." kata
Kidang Angkup.
"Subala, aku dan Yuyu Sangkrah akan menghadapi raden Trenggono,
sedangkan ki Jembawan lawanlah senopati yang memimpin pengawal, dan
sisanya akan dibinasakan oleh ki Padas Gempal dan Tiga Serangkai dari
Kendal."
"Apakah pasti jalan ini yang di lalui rombongan itu, Kidang Angkup.?" tanya ki
Jembawan.
Dengan di awali senyum, Kidang Angkup menjawab.
"Telik sandi bawahan tumenggung Sardulo yang melaporkan hal itu, tentu
mereka dapat kita percaya sepenuhnya."
Pembicaraan yang bertujuan menyingkirkan orang terdekat penguasa Demak
itu tak lepas dari pengamatan sepasang muda mudi yang berkeyakinan untuk
membantu pangeran dari Demak.
"Untung saja kita tanpa sengaja mendengar rencana mereka kakang."
"Hemm, ternyata mimpi eyang itu jadi kenyataan." sahut Arya Dipa.

Panasnya Langit Demak


jilid 3 bag 9
oleh : Marzuki Magetan
......
P a g e | 87

Hari yang mendebarkan itu pun telah datang, jalan yang tadinya sepi itu,
sayup - sayup dari kejauhan mulai terdengar suara kuda lebih dari sepuluh ekor.
"Mereka datang." desis ki Jembawan.
Dari ujung jalan, barisan kuda yang terdiri dari lurah prajurit dengan tiga
bawahannya, berselang jarak satu depa dua orang yang diteruskan oleh
senopati dan seorang berpakaian bangsawan, berselang satu depa seekor
kuda kokoh yang ditunggangi seorang lelaki yang tampan dengan keris
bersalut emas intan terselip di belakang pinggang, dengan dua orang
pengapit. Selanjutnya di belakang lagi enam prajurit pengawal bersenjatakan
dua pedang di belakang punggung.
Ketika iringan pengawal prajurit Demak itu sampai di tengah kelokan jalan, tiba
- tiba sebuah pohon besar sepelukan orang dewasa tumbang ke jalan dan
menghalangi perjalanan orang - orang Demak itu. Maka keterkejutan telah
menyusup di hati para pengawal itu dan kuda yang ditunggangi terlonjak
sampai mengangkat kaki depan. Namun dengan segera prajurit pengawal itu
dengan sigap mengendalikan dan menenangkan kuda - kuda tunggangan
mereka.
Di saat kuda - kuda itu tenang, kembali iringan - iringan dari Demak itu
dikejutkan dengan tumbangnya pohon yang berada di ekor rombongan.
"Waspada..!!" teriak lurah prajurit.
Peringatan dari lurah prajurit itu ditanggapi dengan cepat oleh para prajurit
pengawal.
Sesaat kemudian dari sela - sela rerumputan di pinggir jalan, beberapa orang
telah muncul dengan wajah sangar.
"He orang - orang Demak.! Serahkan Trenggono kepada kami, jika kalian ingin
selamat.!" teriak pemimpin orang yang mencegat prajurit Demak.
"Lancang..! Beraninya mulutmu berkata kepada kami.!" bentak lurah prajurit
Demak, dengan wajah merah menyala.
"Tutup mulutmu gedibal Demak, daerah ini kekuasaan kami, bila mulut lebarmu
itu tak kau jaga, maka akan aku sobek.!" kembali Kidang Angkup mengancam,
"Cepat serahkan Trenggono.!"
"Bangsat.!" maki lurah prajurit itu, dengan sigap meloncat menyerang Kidang
Angkup.
Namun salah satu dari Tiga Serangkai maju menghadapi lurah prajurit itu yang
dibantu dua bawahannya.
Serangan itu tak lama kemudian menjalar ke semua orang, tak kecuali dengan
pangeran Trenggono dan seorang kerabatnya yang dihadapi oleh Kidang
Angkup dan Yuyu Sangkrah beserta Subala, pembunuh dari Jipang.
P a g e | 88

Sementara senopati Reksotani berhadapan dengan ki Jembawan. Lalu ki


Padas Gempal dengan cepat menggeprak dua prajurit bersenjata pedang
rangkap,Sisanya berhadapan dengan dua anggota Tiga Serangkai.
Pertempuran itu sangat seru dan riuh, suara denting senjata beradu mulai
terdengar diwarnai percikan - percikan api dari gesekan senjata mereka.
Ternyata tandang anggota Tiga Serangkai begitu dahsyat, hingga pengawal
khusus dari prajurit Demak itu terdesak hebat.
"Mampus kau monyet.!" teriak salah satu Tiga Serangkai, seraya menyabetkan
pedang anehnya ke salah satu pengawal prajurit.
Teriakan kesakitan telah memecah pertarungan di jalan itu, goresan panjang
telah hinggap di dada pengawal prajurit itu.
"Hahaha tinggal kalian.!"
Dan sekali lagi, sebuah tendangan keras melayang ke lawan Tiga Serangkai
yang membuat lawannya jatuh tersungkur.
"Yang satu ini biar aku saja, kakang. Kau bantu kakang Lampit, menhadapi
lurah dan dua prajurit itu." kata salah satu Tiga Serangkai.
Setelah menggangguk kawannya itu segera meloncat ke arah seseorang yang
bernana Lampit, pemimpin Tiga serangkai dari Kendal.
Di ujung yang lain, ki Padas Gempal juga menunjukkan kemampuannya yang
ngedab - ngedapi, lawannya kocar - kacir tak karuan.
"Hahaha kemampuan kalian masih sekuku ireng, beraninya kalian memasuki
lingkungan keraton he.! Modalmu sangatnya menyedihkan.!" kata ki Padas
Gempal, merendahkan lawannya.
Ejekan itu membuat kedua prajurit panas dan meningkatkat semangat mereka
untuk menghadai orang dari lereng Lawu itu. Tapi walau pun tenaga mereka
meningkat, namun mereka tak mampu menyentuh tubuh lawan mereka,
bahkan tubuh mereka menjadi bulan - bulanan dari ki Padas Gempal.
"Cukup, aku sudah bosan.!" teriak ki Padas Gempal sambil menyerang ganda
ke arah dua pengawal prajurit itu.
Namun sebelum serangan itu sampai tujuan dua muda - mudi tiba - tiba berdiri
di depannya dan menangkap kedua pergelangan orang dari gunung Lawu itu.

Panasnya Langit Demak


Jilid 3 bag 10
Oleh : Marzuki Magetan
..........................................
Kedatangan sepasang muda - mudi itu menyedot perhatian orang - orang
P a g e | 89

yang bertempur itu. Khususnya ki Padas Gempal, yang secara langsung


berhadapan dengan keduanya.
Setelah melepas kedua tangannya dalam cengkraman dua muda - mudi itu, ki
Padas Gempal meloncat mundur menjaga jarak.
"Siapa kalian ini yang berani - beraninya menghalangi ku untuk menghabisi
mereka.?"
Tapi anak muda itu tak memperdulikan pertanyaan dari ki Padas Gempal,
malah seakan - akan tak ada sesuatu pemuda itu memerhatikan sekitar tempat
itu, lalu berpaling ke arah gadis di sampingnya.
"Ayu, bantulah prajurit berpangkat lurah itu. Aku akan berusaha melayani
kisanak ini seorang diri."
"Baik, kakang. Berhati - hatilah." sahut gadis itu, sambil berjalan ke arah lurah
prajurit yang terdesak menghadapi Lampit.
"Sombongnya kau anak muda, kau akan menyesali tindakanmu ini.!" Geram ki
Padas Gempal, yang meloncat menyerang pemuda di depannya.
Tapi dengan gesit pemuda yang tak lain Arya Dipa itu mendoyongkan
tubuhnya, sehingga kaki ki Padas Gempal lewat selapis di wajah Arya Dipa.
Namun ki Padas Gempal kembali menyusul tendangan selanjutnya dengan
cepat. Maka untuk menghindari serangan mematikan itu, Arya Dipa
berjumpalitan dengan manggunakan tangannya untuk menopang tubuhnya,
sampai dua kali dan berdiri kembali dengan kuda - kuda mantap.
Selanjutnya orang dari gunung Lawu itu dengan gencar dan cepat
menghujami pemuda anak angkat ki Mahesa Anabrang. Pertarungan
keduanya sangat seru, membuat pangeran Trenggono yang sempat melirik,
memuji kegesitan pemuda yang baru datang dan memihaknya.
Sementara itu Lampit yang merupakan salah satu anggota Tiga Serangkai,
menyunggingkan senyum saat seorang gadis menghampirinya.
"Wah.. mimpi apa aku semalam.? Siang begini ada dara manis
menghampiriku.? Hehehe." ucap Lampit, sambil tertawa terkekeh - kekeh.

Panasnya Langit Demak


jilid 3 bag 11
oleh : Marzuki Magetan.
.........................................
Lain halnya dengan ki lurah Anggoro, kedatangan Ayu Andini membuat dirinya
takjub, apalagi saat tadi ia sempat melirik gadis itu mampu menangkap lengan
ki Padas Gempal.
P a g e | 90

"Maaf ki lurah, bukannya aku merendahkan tuan, namun karena keadaanlah


aku harap tuan membantu prajurit lainnya untuk berpasangan menghadapi
para penghadang lainnya. Biarlah aku menghadapi kisanak ini." ucap Ayu
Andini halus.
"Baiklah nduk, tapi bila tak memungkinkan berilah isyarat supaya kami
membantu." sahut ki lurah Anggoro.
"Baik paman."
Kini tinggal Ayu Andini berhadapan dengan Lampit, yang tersenyum sendiri.
"Kita tak usah bertempur di sini, cah ayu. Minggirlah biar aku menuntaskan
tugas ini. Tunggulah di pinggir dan aku berjanji akan bergulat denganmu di
tempat yang nyaman, hahaha...."
Di saat Lampit masih tertawa lepas, sebuah benda dengan cepat mengarah
kepalanya dan membuat tawa itu berhenti berganti makian kasar.
"Jangkrik sundal bolong..!" maki Lampit, sambil mengusap jidatnya kerena
terkena sambitan batu dari Ayu Andini.
"Ah.. Akhirnya kau sadar dari mimpi, kisanak." kata Ayu Andini, dengan senyum
menghiasi bibirnya.
"Awas kau gadis tak tahu diri.!"
Usai berkata begitu, Lampit dengan garang menghunus pedangnya dan
menyerang Ayu Andini. Tak ingin meremehkan kemampuan lawan, Ayu Andini
lantas mencabut sepasang pedangnya dan menghadang serangan lawan.
Denting senjata telah terdengar saat senjata - senjata mereka beradu. Sabetan
dan tangkisan serta tajamnya pedang yang terhunus itu dengan cepat
mencari mangsa dari badan yang terdiri dari segumpal darah dan daging.
Perkelahian diantara Ayu Andini dan Lampit mempertaruhkan ilmu pedang dari
jalur perguruan masing - masing. Jalur Kumara Agni dan jalur Tiga Serangkai dari
Kendal.
Di ujung yang lain, pertarungan sengit juga dialami oleh senopati Reksotani.
Senopati Demak itu mendapat lawan yang mumpuni, yaitu ki Jembawan
saudara seperguruan ki Padas Gempal.
"Menyerahlah kau senopati, sayangilah nyawamu yang masih muda ini.!"

Hahaha... Itu tidak mungkin, kisanak. Aku akan menyerah jika nyawa ini sudah
jauh dari raga."
"Hemm.. Ku akui ksatriaanmu, Senopati. Baiklah aku akan menjadikan
kenyataan itu.!"
Kembali keduanya bergelut laksana macan dan singa yang tak ingin
daerahnya direbut. Tingkatan demi tingkatan terus menanjak semakin ke atas
P a g e | 91

hingga tak terasa tenaga cadangan keduanya menyeruak keluar.


Di sisi lain Arya Dipa meloncat mundur tatkala melihat lawannya mengeluarkan
senjatanya berupa rantai panjang dengan ujung berbandul.
Ki Padas Gempal dengan tangan kanan memegang rantai ujung berbandul
telah memutar - mutar senjata itu.
"Keluarkan senjatamu, supaya aku tak dianggap curang.!" teriak ki Padas
Gempal.
Sesaat Arya Dipa menghela napas.
"Apa boleh buat.." desisnya, sambil mengurai ikat pinggangnya kyai Anta
Denta.

Jilid 3 bagian 12.

Panasnya Pangit Demak


jilid 3 bag 15
oleh : Marzuki Magetan
........................................
Kekalahan ki Subala oleh Arya Dipa, menambah semangat senopati Reksotani
untuk segera mengakhiri lawannya. Pedang keprajuritannya terjulur lurus
menusuk paha ki Jembawan hingga orang dari lereng Lawu itu mengerang
kesakitan.
Saudara ki Padas Gempal itu lantas mundur menjaga jarak dan
mempersiapkan ilmu pamungkasnya, namun senopati Reksotani yang sudah
membaca apa yang akan dilakukan oleh lawannya telah meloncat dengan
cepat dan kembali menjulurkan pedangnya mengarah leher orang tua itu.
"Urungkan niatmu kisanak jika lehermu tak mau tergores oleh tajamnya pusaka
ku.!" ancam senopati Reksotani, berat.
Maka tangan ki Jembawan itu pun lunglai pasrah menerima nasib selanjutnya
menjadi pangewan - ewan prajurit Demak.
"Bagus ki, itu lebih baik." kata senopati Reksotani, lalu mengikat tangan ki
Jembawan dengan ikat kepalanya sendiri.
Tinggalah pangeran Trenggono yang masih melayani Kidang Angkup dan Yuyu
Sangkrah dengan tata gerak memukau semua yang hadir di situ. Sebagai putra
ketiga dari raden Patah, kemampuan pangeran Trenggono tak diragukan lagi.
Tubuhnya masih dalam keadaan segar bugar walaupun sudah bertarung
begitu lamanya.
"Setan dari mana yang manjing di tubuh pangeran ini.?" tanya Kidang Angkup
P a g e | 92

dalam hati.
Kesiur angin yang ditimbulkan terasa panas menyengat membuat kedua
lawannya mandi keringat yang terlihat membasahi pakaian mereka. Semakin
lama tata gerak pangeran itu makin rumit dan mengejutkan lawannya.
"Lihat tanganku.!" teriak pangeran Trenggono, kepada Yuyu Rumpung.
Namun peringatan itu pun tak mampu dihindari Yuyu Rumpung, akibatnya
orang alas Ketonggo itu terjungkal dengan memegangi dadanya yang terkena
pukulan lawannya.
"Sialan.!" umpatnya.
Tak lama kemudian ganti Kidang Angkup yang mendapatkan sodokan di
lambungnya hingga membuat dirinya terbungkuk - bungkuk kesakitan.
"Bagaimana kisanak.? Apakah masih dilanjutkan.?"
Kedua seperguruan dari alas Ketonggo itu saling pandang dan keduanya
mengangguk perlahan sambil meloncat menjaga jarak. Pedang mereka telah
disarungkan kembali, lalu dengan cepat keduanya bergerak bersamaan untuk
memusatkan nalar dan budi. Kedua telapak tangan menutup rapat menempel
dahi, mulut keduanya bergerak perlahan merapal mantra.
Tiba - tiba terdengar desisan keras, angin yang sebelumnya hanya silir - silir
semakin kencang, udara di sekitar perkelahian mendadak panas menyengat,
dan ubun - ubun keduanya nampak mengeluarkan asap tipis.
"Ilmu apa yang mereka gunakan.?" pertanyaan itu menyelimuti semua orang
yang ada di ujung jalan sepi itu.
Sementara itu pangeran Trenggono dengan kewaspadaan tinggi telah
melindungi tubuhnya dengan aji Tameng Waja dan menerapkan aji Bajra Geni.
Di awali dengan teriakan keras dan loncatan panjang, Sepasang Malaikat
Maut dari alas Ketonggo telah membenturkan aji Bayu Geni dengan pangeran
Trenggono yang sudah mantap dengan aji Bajra Geni serta aji Tameng Waja.
Tak ayal lagi, dentuman keras menggelegar mengoyak udara di jalan sepi itu.
Debu telah mengepul menghalangi pandangan dimana ketiga orang beradu
nyawa.
Sesaat kemudian setelah angin mampu menghanyutkan debu yang
ditimbulkan oleh ledakan dahsyat itu, nampak pangeran Trenggono berdiri
kokoh. Sebaliknya dengan kedua lawannya, tubuh mereka hangus layaknya
terbakar api prahara.
"Ah.. tiada jalan lagi, semoga Yang Maha Agung mengampuniku." desis
pangeran Trenggono.
P a g e | 93

Panasnya Langit Demak


jilid 3 bag 14
oleh : Marzuki Magetan
........................................
Walau kerugian sudah di depan mata para penghadang itu tidak gentar,
malah keberanian yang pantas disebut dengan kenekatan telah menyelimuti
hati mereka.
Ki Jembawan dengan ganas menyerang senopati Reksotani menggunakan
pedang besarnya. Sementara itu Subala yang menggunakan bindinya selalu
mengancam kepala lawan yang masih muda darinya. Sedangkan pangeran
Trenggono, walau menghadapi Kidang Angkup dan Yuyu Sangkrah masih
tampak segar dan bahkan dengan cepat mampu mendesak kedua lawannya.
Panasnya matahari di siang itu menjadi saksi betapa trengginasnya manusia
dalam berusaha melenyapkan seseorang, di lain pihak berusaha
mempertahankan nyawa yang melekat di raga.
"Menyerahlah kisanak, lihatlah kawan - kawanmu sudah dalam penguasaan
para prajurit Demak." kata Arya Dipa, yang mengendurkan serangannya untuk
memberi kesempatan kepada kawannya untuk memperhatikan keadaan.
Tapi Subala yang merupakan pembunuh yang ditakuti di kadipaten Jipang
Panolan terus mengayun - ayunkan bindinya, layaknya Raden Duryudana
melawan raden Bimasena yang merupakan musuh bebuyutannya.
"Bukalah matamu kisanak, kau akan mati kehabisan darah jika terus begini."
sekali lagi Arya Dipa memberi peringatan.
"Aku tak akan mati dengan luka kecil ini.!" teriak Subala.
"Apa boleh buat." desis putra angkat ki Mahesa Anabrang, yang meningkatkan
kecepatan tata geraknya.
"Bangsat..! Jangan menghindar kau.!" umpat Subala, saat lawannya selalu
meloncat kesana - kemari dengan cepatnya.
Memang ini pemikiran Arya Dipa untuk mengalahkan lawan dengan menguras
tenaga lawan hingga tak berdaya. Benar saja dalam beberapa kejap
lawannya sudah kelelahan dan terjungkal oleh tenaganya sendiri dan
wajahnya menyusruk tanah yang keras.
"Bunuh aku.! Bunuh aku.! jangan kau hina aku seperti ini.!" teriak Subala sambil
berusaha berdiri, namun tenaganya sudah tak memungkinkan.
"Tangkap dia.!" perintah ki lurah Anggoro kepada prajurit pengawal.
"Jangan sentuh aku dengan tangan kalian.! Bunuhlah dengan pedangmu.!"
berontak Subala, namun itu sia - sia belaka.
P a g e | 94

Panasnya Pangit Demak


jilid 3 bag 15
oleh : Marzuki Magetan
........................................
Kekalahan ki Subala oleh Arya Dipa, menambah semangat senopati Reksotani
untuk segera mengakhiri lawannya. Pedang keprajuritannya terjulur lurus
menusuk paha ki Jembawan hingga orang dari lereng Lawu itu mengerang
kesakitan.
Saudara ki Padas Gempal itu lantas mundur menjaga jarak dan
mempersiapkan ilmu pamungkasnya, namun senopati Reksotani yang sudah
membaca apa yang akan dilakukan oleh lawannya telah meloncat dengan
cepat dan kembali menjulurkan pedangnya mengarah leher orang tua itu.
"Urungkan niatmu kisanak jika lehermu tak mau tergores oleh tajamnya pusaka
ku.!" ancam senopati Reksotani, berat.
Maka tangan ki Jembawan itu pun lunglai pasrah menerima nasib selanjutnya
menjadi pangewan - ewan prajurit Demak.
"Bagus ki, itu lebih baik." kata senopati Reksotani, lalu mengikat tangan ki
Jembawan dengan ikat kepalanya sendiri.
Tinggalah pangeran Trenggono yang masih melayani Kidang Angkup dan Yuyu
Sangkrah dengan tata gerak memukau semua yang hadir di situ. Sebagai putra
ketiga dari raden Patah, kemampuan pangeran Trenggono tak diragukan lagi.
Tubuhnya masih dalam keadaan segar bugar walaupun sudah bertarung
begitu lamanya.
"Setan dari mana yang manjing di tubuh pangeran ini.?" tanya Kidang Angkup
dalam hati.
Kesiur angin yang ditimbulkan terasa panas menyengat membuat kedua
lawannya mandi keringat yang terlihat membasahi pakaian mereka. Semakin
lama tata gerak pangeran itu makin rumit dan mengejutkan lawannya.
"Lihat tanganku.!" teriak pangeran Trenggono, kepada Yuyu Rumpung.
Namun peringatan itu pun tak mampu dihindari Yuyu Rumpung, akibatnya
orang alas Ketonggo itu terjungkal dengan memegangi dadanya yang terkena
pukulan lawannya.
"Sialan.!" umpatnya.
Tak lama kemudian ganti Kidang Angkup yang mendapatkan sodokan di
lambungnya hingga membuat dirinya terbungkuk - bungkuk kesakitan.
"Bagaimana kisanak.? Apakah masih dilanjutkan.?"
Kedua seperguruan dari alas Ketonggo itu saling pandang dan keduanya
P a g e | 95

mengangguk perlahan sambil meloncat menjaga jarak. Pedang mereka telah


disarungkan kembali, lalu dengan cepat keduanya bergerak bersamaan untuk
memusatkan nalar dan budi. Kedua telapak tangan menutup rapat menempel
dahi, mulut keduanya bergerak perlahan merapal mantra.
Tiba - tiba terdengar desisan keras, angin yang sebelumnya hanya silir - silir
semakin kencang, udara di sekitar perkelahian mendadak panas menyengat,
dan ubun - ubun keduanya nampak mengeluarkan asap tipis.
"Ilmu apa yang mereka gunakan.?" pertanyaan itu menyelimuti semua orang
yang ada di ujung jalan sepi itu.
Sementara itu pangeran Trenggono dengan kewaspadaan tinggi telah
melindungi tubuhnya dengan aji Tameng Waja dan menerapkan aji Bajra Geni.
Di awali dengan teriakan keras dan loncatan panjang, Sepasang Malaikat
Maut dari alas Ketonggo telah membenturkan aji Bayu Geni dengan pangeran
Trenggono yang sudah mantap dengan aji Bajra Geni serta aji Tameng Waja.
Tak ayal lagi, dentuman keras menggelegar mengoyak udara di jalan sepi itu.
Debu telah mengepul menghalangi pandangan dimana ketiga orang beradu
nyawa.
Sesaat kemudian setelah angin mampu menghanyutkan debu yang
ditimbulkan oleh ledakan dahsyat itu, nampak pangeran Trenggono berdiri
kokoh. Sebaliknya dengan kedua lawannya, tubuh mereka hangus layaknya
terbakar api prahara.
"Ah.. tiada jalan lagi, semoga Yang Maha Agung mengampuniku." desis
pangeran Trenggono.

BERSAMBUNG...

PANASNYA LANGIT DEMAK jilid 4


PANASNYA LANGIT DEMAK 4

Panasnya Langit Demak


jilid 4 bag 1
oleh : Marzuki Magetan.

Pada hari Anggara di Demak Bintara tampak suasana berbeda di hari - hari
sebelumnya, khususnya di alun -alun Demak Bintara telah didirikan
panggungan yang cukup lebar dan memanjang dengan hiasan umbul dan
P a g e | 96

rontek serta tunggul ciri kebesaran kesultanan Demak, di depan panggungan


berbaris berbagai pasukan dari Wira Tantamayuda, Wira Manggalayuda, Wira
Braja, Wira Jalapati, dan Wira Radya dengan pakaian kebesaran mereka juga
di samping setiap barisan terdapat tunggul bergambar simbol pasukan masing
- masing kelompok pasukan Demak Bintara.

Suasana semakin semarak saat pangeran Trenggono beserta kerabat


keraton menaiki panggungan, tampak pangeran ketiga itu bangga
menyaksikan prajurit Demak yang menyorakan nama pangeran.

"Hidup Demak...! Hidup pangeran Trenggono..!" sorak para pasukan


beberapa kali.

"Silahkan pangeran." sambut ki tumenggung Gajah Pungkuran yang


memakai pakaian dari Wira Tantama.

"Terima kasih, paman tumenggung." sahut pangeran Trenggono, sambil


menyalami tumenggung itu dan tumenggung lainnya, yaitu ki tumenggung
Gagak Kukuh dari pasukan Wira Braja, ki tumenggung Suranata dari pasukan
Wira Manggala, ki tumenggung Siung Samudro dari pasukan Wira Jalapati, dan
ki tumenggung Pideksa dari Wira Radya, sedangkan pasukan Patang Puluhan
tak nampak dikarenakan ikut bersama kanjeng sultan ke Malaka.

Di situ juga ada tamu undangan dari berbagai telatah kadipaten, tanah
perdikan atau simo dan beberapa kademangan. Kadipaten Jipang Panolan
diwakili oleh pangeran Sekar, kadipaten Ponorogo diwakili oleh ki tumenggung
Tunggul Manik, kadipaten Jepara diwakili oleh adipati Kalinyamat atau raden
Hadiri suami ratu Kalinyamat, dan masih banyak lainnya.

Pelaksanaan wisuda itu dibuka dengan pemukulan bende kebesaran Demak,


lalu sambutan dari ki rangga Gajah Sora yang merupakan pimpinan pengawas
yang bertanggungjawab atas pelaksanaan pendadaran calon prajurit baru.
Setelah itu barulah kanjeng pangeran Trenggono menyatakan bahwa calon
prajurit baru itu sah menjadi prajurit Demak seutuhnya dengan kewajiban
membela serta menegakkan keutuhan kerajaan di tanah Jawadwipa ini.

Tak hanya itu saja, beberapa calon prajuritakan mendapatkan sebuah


jenjang keprajuritan lurah prajurit, selain itu beberapa perwira juga mendapat
P a g e | 97

kenaikan jenjang keprajuritan sesuai pengabdiannya selama ini. Ki lurah


Tohjaya yang sebelumnya berada di barak pasukan Wira Tantama,
mendapatkan jenjang keprajuritan rangga dan bertugas mengepalai pasukan
penjaga gedung perbendaharaan sekaligus pusaka sipat kandel keraton. Ki
lurah Anggoro pun juga menjadi seorang rangga yang bertugas mengepalai
pasukan Patang Puluhan menggantikan ki panji Kalayuda, juga ki lurah
Angkayuda, ki lurah Yudapati, ki lurah Lembu Pangraron, dan masih banyak
lainnya.
Sementara itu Arya Dipa, Wiratsemi, Bojang Geni, Bangau Lamatan, dan
Banyak Wide telah diangkat menjadi lurah prajurit di pasukan masing - masing.

Sorak gemuruh menggetarkan bumi Demak atas pewisudaan itu serta


pemberian kekancingan keprajuritan bagi calon prajurit baru itu. Seorang lelaki
merasa terharu ketika menyaksikan anaknya telah menjadi prajurit yang akan
ikut andil dalam memperkuat negerinya itu.

"Berbanggalah kakang demang, anakmu sekarang seorang lurah prajurit


yang memimpin empatpuluh prajurit." desis seseorang kepada kawannya.

"Iya adi, aku tak mengira anak bengal yang dulu selalu mengganggu dan
merepotkan diriku yang tua ini, telah menjadi lurah prajurit. Aku harap angger
Bojang Geni dapat mengharumkan kademangan yang aku pimpin."

Di lain tempat tanpa diketahui oleh Arya Dipa, seseorang berkaca - kaca
memerhatikan anak angkatnya bisa menjadi seorang lurah prajurit.

"Sudah waktunya ia mengetahui jati diriku selama ini." desis orang itu yang tak
lain ki Mahesa Anabrang.

Di sampingnya seseorang menggamitnya, seraya bertanya, "Kau mengenal


pemuda itu, ki panji.?"

"Bagaimana aku tak mengenalinya, ki panji Sambipati. ia anak angkatku yang


aku rawat selama bertugas di kadipaten Ponorogo."

"Apakah ia tak mengetahui jika ayah angkatnya ini prajurit telik sandi
Demak.?"
P a g e | 98

Ki Mahesa Anabrang menggeleng perlahan.

"Tidak ki panji, saat aku pergi meninggalkan gubuk di padukuhan Pudakan


aku selalu bilang ingin mengunjungi kawanku dan ia kutitipkan kepada
tetanggaku."

"Cek..cek..cek bahkan kepada anak angkatmu pun kau merahasiakan jati


dirimu, ki panji. Pantas kau selalu bisa melakukan penyusupan tanpa diketahui
oleh lawan." ujar ki panji Sambipati.

"Ah.. kau ini, o ya bukankah anakmu juga diwisuda, ki panji.?"

"Hem, tapi ia tak seberuntung putramu, mungkin anak itu berulah waktu
pendadaran, biarlah itu menjadi pelajaran baginya." sahut ki panji Sambipati
sambil memerhatikan anaknya, Sambi Wulung yang berdiri berkerumun dengan
kawan - kawannya.

"Marilah kita kembali ke barak, wisuda ini sudah usai." ajak ki Mahesa
Anabrang, yang ternyata seorang panji dari pasukan telik sandi Demak Bintara.

"Hahaha, kau takut jika putramu itu mengetahui jati dirimukan..?" goda ki panji
Sambipati, sambil berjalan mengikuti ki panji Mahesa Anabrang.

Panasnya Langit Demak


jilid 4 bag 2
oleh : Marzuki Magetan

Udara di malam itu terasa panas luar biasa, entah mengapa pangeran
Trenggono terbangun dari tidurnya dan melangkah keluar dari peraduannya
menuju gedong pembatas bilid dan ruang dalam kesatrian. Di luat langit
sangat cerah dan bila memandang langit nampak bulan bersinar terang
dengan lintang yang menyertainya. Namun beberapa saat kemudian angin
berhembus kencang membawa awan menutupi sinar bulan.

"Ada apa ini.? perasaanku mengapa seperti ini.?" batin pangeran dalam
hati.

Kegelisahan terasa melanda hati pangeran Trenggono itu. Seorang


P a g e | 99

pangeran yang pilih tanding itu tak luput mengalami perasaan janggal di
hatinya.
Sementara itu jauh dari kotaraja Demak, sebuah kejadian tak terduga melanda
kapal yang ditumpangi oleh Sultan Demak kedua, lambung kapal itu terkena
bola baja api dari kapal kerajaan Pahang.

"Cepat selamatkan kanjeng Sultan.!" teriak Senopati pengapit di kapal yang


lain.

Tapi suasana sangat tak menguntungkan bagi mereka, sebuah kapal dari
Portugis juga mulai berdatangan menyerang kapal yang ditumpangi oleh
kanjeng Sultan.
Di kapal utama Demak, sebuah bayangan memanggul tubuh yang penuh
dengan luka dengan tangkas berlari dan melompat menuju kapal pengapit
dan meletakkan tubuh yang dipanggulnya ke lantai kapal.

"Senopati, sebaiknya segera perintahkan kapal ini mundur." ucap orang yang
memanggul tubuh itu.

"Tapi bagaimana dengan kedua pangeran.?" tanya senopati pengapit.


Sekali lagi sesosok bayangan dengan tangkas berjumpalitan dan hinggap ke
kapal itu dan menghambur memeluk tubuh yang tergeletak penuh luka.

"Ayahanda sultan...!" pekik bayangan itu, yang tak lain pangeran Arya
Jepara.

"Tabahkan hati ananda pangeran, tabib akan merawat luka ayahanda


sultan..." kata raden Tu Bagus Pasai, menenangkan pangeran Arya Jepara.
Bersamaan dengan mundurnya kapal senopati pengapit, tubuh lemah kanjeng
Sultan yang lebih dikenal dengan pangeran Sabrang Lor dibawa ke bilik dalam
kapal dan mendapat rawatan dari seorang tabib. Luka itu sangat parah dan
tak ada harapan lagi untuk menyelamatkan nyawa kanjeng Sultan Demak
kedua.

Tangis pilu mewarnai mangkatnya sang Sultan kehadapan Illahi, semua


prajurit menundukkan kepala mereka tanpa kecuali. Dan sesegera mungkin
kapal itu diarahkan menuju Demak Bintara yang diikuti oleh kapal - kapal kecil
lainya yang kini kepemimpinannya dibawah raden Tu Bagus Pasai.
Tak terceritakan dikala kapal kapal itu mengarungi laut hingga akhirnya sampai
di bandar Demak Bintara, kedatangan kapal - kapal itu mengejutkan para
P a g e | 100

nelayan dan kepala bandar serta penghuni padukuhan dekat bandar itu.
Seorang kepala bandar segera menyambut kedatangan iring - iringan kapal
itu, dan betapa terkejutnya saat dirinya diberitahu kalau kanjeng Sultan telah
gugur di medan pertempuran.

"Cepat utus prajurit penghubung untuk mewartakan keadaan ini kepada


kerabat kerajaan." perintah raden Tu Bagus Pasai kepada kepala bandar itu.

"Sendiko, senopati."
Maka seorang utusan dengan menggunakan kuda yang paling cepat
menggeprak kudanya ke kotaraja Demak bagaikan sipat angin. Sementara
raden Tu Bagus Pasai memerintahkan prajurit bandar untuk mempersiapkan
kereta beserta kuda untuk mengangkut jenasah kanjeng Sultan ke kotaraja.
Gerak cepat dari kepala bandar dalam mempersiapkan kereta dan beberapa
kuda segera terpenuhi sehingga jenasah kanjeng Sultan dipindahkan ke kereta
itu dan segera diberangkatkan dengan pengawalan pasukan yang baru turun
ke darat itu menuju kotaraja.
Iringan yang panjang mendapat sambutan dari kawula yang berdiri berjejer di
jalan yang dilalui paaukan yang pulang dari Malaka. Kesedihan terlihat dari
raut wajah kawula yang berdiri berjejer itu saat mengetahui pasukan yang
lewat itu membawa jenasah raja mereka yang gugur dalam medan perang.

Sementara itu prajurit penghubung yang berkejaran dengan waktu terus


menggebrakkan kudanya untuk sesegera mungkin sampai di kotaraja. Kuda
tunggangan yang kokoh dan tangguh itu akhirnya sampai di gerbang utara
kotaraja dan terus berlari di lorong - lorong dalam kotaraja menuju istana.
Di depan pintu gerbang istana, dua orang prajurit menghentikan kuda itu.

"Mengapa kau seperti dikejar setan.? bukankah kau prajurit Wira Jalapati di
bandar.?" tanya prajurit penjaga pintu gerbang istana.

"Menyingkirlah, aku tak sempat memberi alasan, ini sangat genting.!" teriak
prajurit penghubung, sambil menggebrak kudanya dan hampir melanggar
prajurit itu jika tak segera menghindar.

"Hoi... dasar wong edan...!" teriak prajurit penjaga itu, mengumpat sejadinya.

Panasnya Langit Demak


P a g e | 101

jilid 4 bag 3
oleh : Marzuki Magetan

Prajurit penghubung tanpa berpaling terus mengendalikan kudanya


mengarah ke keraton dan segera turun dari kudanya menuju gardu penjagaan
depan balai manguntur. Seorang prajurit telah menghentikan langkahnya yang
tergesa - gesa itu.

"Semi kau kah itu..?" tanya prajurit penjaga yang mengenali prajurit
penghubung.

"Oh syukur aku bertemu denganmu, kakang Banyak. Ada berita yang harus
aku sampaikan kepada kerabat ataupun ki patih yang bertanggung jawab
mengendalikan pemerintahan sementara ini."

"Bisa kau ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi, Semi.?"

"Tak ada waktu kakang, cepat laporkan hal ini aku akan menghadap sendiri."
desak prajurit penghubung.

"Baiklah tunggulah di gardu, aku akan memberitahukan prajurit


Narpacundaka tentang kedatanganmu." kata prajurit itu, yang langsung berlari
ke dalam balai Manguntur dan melaporkan kedatangan prajurit penghubung
dari Bandar, yang diteruskan laporan itu ke ki tumenggung Suranata.

"Suruh prajurit penghubung itu menghadap." perintah ki tumenggung


Suranata, lalu memanggil ki lurah Banyak Wide, "ki lurah, perintahkan prajuritmu
untuk memanggil patih Wanasalam serta kerabat keraton lainnya."

"Sendiko dawuh ki tumenggung." sahut ki lurah Banyak Wide, dan segera


menjalankan perintah.

Di malam itu Balai Manguntur semua Nayaka Praja dan beberapa kerabat
keraton telah hadir semuanya, tak ketinggalan ki tumenggung Gajah
Pungkuran dan ki tumenggung Suranata.
"Katakanlah warta itu, prajurit." perintah ki tumenggung Suranata.

Prajurit penghubung dari kesatuan Jalapati itu beringsut ke depan dan


ngapurancang menghadap pangeran Trenggono dan patih Wanasalam
Anom.
P a g e | 102

"Ampun kanjeng pangeran dan ki patih, sebuah kenyataan yang


mengejutkan telah melanda tanah ini, ka...kanjeng Sultan gugur di medan
perang." lapor prajurit itu dengan menundukkan kepala.

Balai Manguntur bagaikan diguncang gempa tak terkira, semua yang hadir
tak percaya atas apa yang mereka dengar.

"Coba katakan sekali lagi.!"

"Ampun kanjeng pangeran, kanjeng Sultan telah pralaya dan saat ini jenasah
beliau sedang menuju ke kotaraja bersama sisa pasukan yang dipimpin oleh
senopati raden Tu Bagus Pasai dan pangeran Arya Jepara."

Walau hal itu sangat mengejutkan semua pihak, tapi pangeran Trenggono
kembali menguasai dirinya dan memerintahkan penyambutan jenasah
kakaknya dan memerintahkan agar mengirim utusan ke berbagai pelosok
kerajaan mengabarkan gugurnya sang Sultan Demak kedua.

Malam itu juga ki tumenggung Gajah Pungkuran dan ki Suranata membagi


tugas penyambutan jenasah kanjeng Sultan, serta tak lupa mengirim prajurit
penghubung ke kadipaten, tanah perdikan atau simo dan beberapa
kademangan.

Ternyata kabar gugurnya sang nata Demak itu begitu cepat tersebar dan
sampai ke beberapa pihak, salah satunya terdengar telinga kaki tangan
Panembahan Bhre Wiraraja.

"Ini saat yang bagus menggerogoti Demak dengan melenyapkan beberapa


pihak." gumam seseorang berwajah tampan.

"Apa maksudmu raden, masih banyak adipati yang berada dibawah


kekuasaan Demak.?" tanya orang tua yang rambutnya sudah memutih.

"Hahaha, kita akan menghacurkan satu demi satu serta membujuk adipati -
adipati itu, bahwa sepeninggal Sultan Sabrang Lor Demak akan ringkih dan tak
mempunyai taring lagi." kata orang yang disebut raden, yang tak lain raden
Sajiwo bangsawan dari Kadiri.

"Benar apa yang dikatakan raden Sajiwo, aku menyetujuinya." kata ki


tumenggung Harya Kumara.
P a g e | 103

"Apakah kau tak takut menghadapi saudara seperguruanmu yang kini


menjadi patih Jipang itu.?" tanya ki Ageng Bawean, menyindir.

"Jaga mulutmu, ki Ageng. Aku tak takut dengan siapa pun, bahkan
denganmu.!" bentak ki tumenggung Harya Kumara.

Mendengar tantangan itu, orang dari Bawean itu segera bangkit dari
duduknya, namun suara batuk kecil membuat dirinya mengurungkan niatnya.

"Apa kalian tak memandang sedikitpun kehadiranku.!" suara itu terasa berat.

"Maafkan kami Lintang Kemukus, ini hanyalah salah paham biasa." pinta ki
tumenggung Sardulo.

"Hindari setiap ketegangan di antara kawan sendiri bila kalian masih ingin
mukti bersama Panembahan Bhre Wiraraja." sesaat orang yang memakai
cadar itu diam, lalu lanjutnya kepada raden Sajiwo, "Apa rencanamu, raden.?"
Raden Sajiwo berdiri dan membisikkan rencananya itu ke telinga Lintang
Kemukus Pangrampung, yang di tanggapi dengan anggukan.

"Bagus."

Semua yang hadir saling memandang tak mengerti dengan apa yang
dibisikkan oleh raden Sajiwo kepada Lintang Kemukus. Orang bercadar itu bisa
membaca hati mereka, lalu ia berkata,
"tenangkan hati kalian, kita akan melakukan sebuah pertunjukan yang akan
merugikan keturunan trah Demak, hahaha..."

Panasnya Langit Demak


jilid 4 bag 4
oleh : Marzuki Magetan

Kedatangan kereta jenasah kanjeng Sultan Demak kedua di kotaraja membuat


kotaraja bagai lautan manusia. Berbondong - bondong berbagai penghuni
kotaraja ikut berbela sungkawa untuk melihat jenasah raja mereka, namun tak
sembarang orang dapat memasuki gerbang keraton yang dijaga ketat oleh
prajurit pasukan Wira Braja dan Wira Manggala.
"Maafkan kami ki patih, hamba tak bisa melindungi kapal yang ditumpangi
kanjeng Sultan, serangan itu tak pernah kami perhitungkan sedikitpun." ucap
raden Tu Bagus Pasai, sesampainya di balai Manguntur.
P a g e | 104

"Bagaimana itu bisa terjadi, anakmas raden.?"


"Waktu itu kami bersama dengan armada kerajaan sahabat bertemu dengan
kapal perang kerajaan Pahang yang sudah kami anggap saudara sendiri,
namun hal yang tak kami duga itu terjadi, ternyata mereka berkhianat dan
menyerang kapal yang ditumpangi oleh kanjeng Sultan di malam buta. Tak
hanya itu saja ternyata kami terperangkap dengan datangnya armada musuh
sehingga kami terdesak mundur." jelas pangeran dari tanah Malaka itu.
Gemeratak gigi pangeran Trenggono tatkala mendengar penghianatan
kerajaan Pahang yang mengakibatkan saudaranya itu gugur.
"Sebaiknya raden membersihkan diri terlebih dahulu, biarlah pasukan dari Wira
Tantama yang akan mengambil alih ini semua."
"Baik ki patih." jawab raden Tu Bagus Pasai.
Maka pasukan yang baru datang itu di antar oleh ki rangga Yudapati ke
tempat peristirahatan.
Sementara itu pangeran Arya Jepara dengan wajah murung selalu disamping
jenasah ayahandanya, hal itu mengetuk hati seorang pangeran yang masih
muda, yang melangkah mendekati pangeran Arya Jepara.
"Tabahkan hatimu, kakanda pangeran."
Pangeran Arya Jepara menoleh ke arah suara yang ada di sampingnya.
"Kau adinda Mukmin, lihatlah adinda kini aku sendiri, ayahanda dan kakandaku
telah mendahuluiku menghadap Sang Pencipta." kesedihan pangeran Arya
Jepara membuat suaranya parau.
"Tidak kakanda pangeran, disini masih ada kerabat kerajaan yang masih
sedarah denganmu, aku Mukmin, nimas Retna Kencana, nimas Cempaka, dan
adinda Timur dan di Jipang ada kakanda Arya Jipang dan adinda Arya
Mataram, serta yang lainnya." hibur raden Mukmin.
"Terima kasih adinda, tapi setelah ini mungkin aku akan ke pergi ke ujung kulon,
menghadap eyang kanjeng sunan Gunung Jati."
"Tapi bukankah kakanda akan meneruskan tugas dari pamanda kanjeng
Sultan.?" raden Mukmin bingung.
Pangeran Suryadiwang atau pangeran Arya Jepara menggelengkan
kepalanya.
Semakin siang para kerabat jauh dan adipati atau pun kepala tanah perdikan,
kabuyutan, dan kademangan mulai berdatangan. Adipati Jipang bersama
pangeran Kikin serta dua anaknya. Randu Sanga diwakili raden Kanduruwan,
Jepara diwakili oleh adipati Hadiri dan ratu Kalinyamat, Ponorogo diwakili oleh
pangeran Adipati Anom, Sagaten oleh ki Ageng Rekso Gati, ki Ageng Selo dari
Selo, dan masih banyak lainnya, dan dari waliullah telah hadir Sunan Kudus,
P a g e | 105

Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Giri dan masih banyak lagi.
Sementara itu seorang lurah muda dari pasukan Wira Tantama yang bertugas
mengamankan para tamu telah dikejutkan dengan hadirnya seseorang yang
sangat ia kenal.
"Ayah..." desis pemuda itu, sambil melangkah menuju orang yang dianggap
ayahnya itu.
"Ayah Mahesa Anabrang." tegur lurah muda itu.
Orang yang memang ki panji Mahesa Anabrang itu menoleh dan tersenyum.
lurah muda itu memerhatikan ki panji Mahesa Anabrang mulai dari ujung
rambut sampai ujung kaki, pemuda itu merasa heran memerhatikan pakaian
yang dikenakan oleh ayahnya itu merupakan pakaian perwira prajurit Demak.
"Jadi ayah merupakan prajurit Demak..." tanyanya.
"Maafkan aku, ngger. Selama ini aku menutupi jati diriku ini."
"Mengapa ayah..?"
"Ah sudahlah, nanti aku akan ceritakan kepadamu." janji ki panji Mahesa
Anabrang.
"Tapi.." kata - kata itu terpotong.
"Lihatlah aku seorang panji, ngger jangan membantah." potong ki panji Mahesa
Anabrang dengan senyum dibibirnya.
Terpaksa ki lurah Arya Dipa mengurung niatnya untuk mendesak ayah
angkatnya.
"Lanjutkan tugasmu, nanti aku akan pergi ke barakmu."
Setelah semua kerabat keraton dan para nayaka praja berkumpul serta
jenasah kanjeng Sultan sudah dibersihkan dan dirawat secara semestinya,
maka jenasah itu dibawa ke masjid Agung Demak untuk di sholatkan yang
dipimpin oleh sunan Giri. Selanjutnya jenasah itu dimakamkan di lingkungan
makam kerabat keraton bersebelahan dengan kanjeng Sultan sebelumnya,
yaitu raden Patah.
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 5
oleh : Marzuki Magetan
.
.
Kematian kanjeng Sultan Demak II di selat Malaka yang sudah berlalu sepekan
itu masih dipergunjingkan oleh kerabat kesultanan maupun kawulo alit, di
ksatrian, katumenggungan, barak prajurit, pasar maupun tempat umum
lainnya, bahkan di sawah dan tegalan para petani ikut mempersoalkan
kematian raja yang sangat mereka kagumi itu.
P a g e | 106

"Aku tak mengira jika kanjeng Sultan akan pergi di usia terlalu muda bila
dibandingkan dengan mendiang kanjeng Sultan sebelumnya." gumam seorang
petani.
"Itulah takdir, kang. ingatkah dengan jlitheng anaknya ki jagabaya.? usianya
baru seumur jagung, tapi anak itu sudah menghadap Sang Kuasa." sahut
kawannya, sambil menikmati makanan siang di gubuk.
Petani yang lebih tua itu mengangguk, memang namanya lahir, rejeki, jodoh
dan kematian sudah di atur Gusti Agung, manusia sepertinya hanya berusaha
saja.
Sementara itu di barak pasukan Wira Tamtama, Arya Dipa telah kedatangan
pangeran Trenggono dengan didampingi ki panji Mahesa Anabrang bersama
ki rangga Reksotani. Dengan tergopoh - gopoh pemuda itu menyambut
pangeran Trenggono.
"Sudahlah kau tak usah berlaku begitu, Arya Dipa." kata pangeran Trenggono
sambil duduk di amben.
"Aku sudah tahu semuanya mengenai dirimu, dari ayahmu angkatmu ini aku
tahu jika sebenarnya kau cucu dari paman tumenggung Lembu Kumbara."
lanjut pangeran itu.
Pemuda itu memandang ayahnya sejenak dan melihat ki panji Mahesa
Anabrang mengangguk perlahan.
"Sebenarnya kau berhak mendapatkan tanah dimana paman tumenggung
pernah berdiam, apakah kau berkenan Dipa.?"
"Terima kasih atas kebaikan, kanjeng pangeran. Namun apakah nantinya tidak
akan menimbulkan masalah bagi kerabat mendiang eyang tumenggung
Lembu Kumbara.? Bila itu akan terjadi, lebih baik hamba tak memintanya,
kanjeng pangeran."
Pangeran putra raden Patah ini mengerti jalan pikiran pemuda di depannya,
memang tanah ki tumenggung Lembu Kumbara saat ini ditempati oleh
saudaranya yang sehari - harinya bekerja sebagai saudagar. Dan jika Arya
Dipa mengaku cucu ki tumenggung Lembu Kumbara, tak ada bukti atau yang
meyakinkan.
"Baiklah jika kau tak menghendaki hal itu." sejenak pangeran Trenggono
berhenti, lalu lanjutnya, "kedatanganku selain hal itu ingin meminta
kesediaanmu untuk berada di dekat putraku, Angger Mukmin. Apakah kau
bersedia, ngger.?"
"Sendiko dawuh, pangeran, hamba akan menjalankan perintah dari pangeran
dengan senang hati."
"Terima kasih, sebenarnya aku mendapat laporan dari ayahmu ki panji Mahesa
P a g e | 107

Anabrang, akan adanya sekelompok orang yang ingin mencelakakan putraku


itu, sebenarnya aku bisa memerintahkan satu bergadha untuk mengawalnya,
namun anakku tak mau dan menganggap itu berlebihan, dan aku rasa kau
yang sebaya dengannya akan cocok ." terang pangeran Trenggono.
"Sendiko, pangeran."
"Bagus, kalau begitu nanti malam kau bisa langsung ke ksatrian dimana putraku
berada."
"Sendiko, pangeran."
Setelah itu pangeran Trenggono keluar dari barak bersama ki lurah Reksotani,
sementara itu ki panji Mahesa Anabrang masih tinggal di barak.
"Kau pasti bertanya - tanya mengenai ayahmu inikan, Dipa.?"
"Begitulah ayah, aku tak mengira bahkan bermimpi pun tidak, jika ayahku
seorang perwira Demak."
"Maafkan ayahmu ini, ngger. Tapi itu semua demi kebaikanmu, aku tak ingin
mempengaruhi watakmu di masa kecil hingga remaja."
"Ah ayah pasti mengira jika aku tahu kalau ayahku seorang perwira prajurit, aku
akan berlaku sombong saat bersama kawan - kawanku di padukuhan
Pudakan, bukankah begitu ayah.?"
"Hahaha, tapi jika kau akan berlaku begitu kau akan ditertawakan oleh kawan -
kawanmu."
pemuda itu pun ikut tertawa.
"O ya ki panji, siapakah yang berani mencelakakan raden Mukmin.?" tanya ki
lurah Arya Dipa, berlagak berbicara dengan atasannya.
"Kau harus memijit badanku dulu, ki lurah. Nanti kau akan kuberi tahu." goda ki
panji Mahesa Anabrang.
Walau senyum mengembang di bibir lurah Wira Tamtama, tapi tangannya
bergerak memijit pundak ayahnya yang jenjang keprajuritannya dua tingkat di
atasnya, sambil berkata, "Sendiko ki panji."
Ki panji Mahesa Anabrang tak bisa menahan tawanya, sehingga bilik bagian
barak itu riuh tawa antara ayah dan anak dan mengundang penasaran kawan
- kawan ki lurah Arya Dipa.
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 6
oleh : Marzuki Magetan
.
.
Di senja hari ki lurah Arya Dipa bergegas pergi ke ksatriyan tepatnya di sebuah
bangunan yang di tinggali oleh raden Bagus Mukmin. Saat lurah muda itu
P a g e | 108

berjalan melewati lorong dalam lingkungan ksatriyan, beberapa prajurit


mengangguk hormat kepadanya yang balas senyuman dengan ramah.
Sesampainya di depan sebuah bangunan dengan ukiran ekor menjangan, dua
orang prajurit penjaga mengangguk hormat kepada ki lurah Arya Dipa.
"Tolong sampaikan kedatanganku ini kepada raden Bagus Mukmin." pinta ki
lurah Arya Dipa.
"Baik ki lurah."
Lantas prajurit penjaga itu bergegas melangkahkan kakinya menaiki tlundak
melewati pringgitan dan memasuki pintu gebyok. Tak berselang lama prajurit itu
keluar lagi menemui ki lurah Arya Dipa.
"Silahkan menunggu barang sejenak ki lurah, raden Bagus Mukmin sedang
berbenah."
"Terima kasih, prajurit." ucap ki lurah Arya Dipa, sembari melangkahkan kakinya
menaiki tlundak dan duduk menunggu di pringgitan.
Saat lurah anak angkat ki panji Mahesa Anabrang memerhatikan indahnya
ukiran di gebyok, seorang pemuda sebaya dengannya telah keluar dari pintu
ruang dalam yang dibatasi gebyok, maka dengan sigap ki lurah Arya Dipa
bangkit dari duduknya sambil menggerakkan tangannya dengan kedua
telapak tangan saling merapat menempel di dahi.
"Apakah kau ki lurah Arya Dipa dari pasukan Wira Tamtama.?" tanya pemuda
yang tak lain raden Bagus Mukmin.
"Kasinggihan dalem, raden. Dan kedatangan hamba atas perintah ayahanda
raden, pangeran Trenggono untuk selalu menemani raden."
"Hemm, duduklah ki lurah, aku tahu mengenai perintah dari ayahanda, tapi
selain itu ayahanda memerintahkanmu untuk menjagaku dari seseorang yang
ingin mencelakakan ku, bukankah begitu.?"
"Maafkan laku daksura hamba, raden. Sebenarnya kemampuan raden sangat
mumpuni dalam menanggapi ancaman itu, dan hamba hanyalah bumbu
bawang semata." kata ki lurah Arya Dipa, merendah.
"Hahaha, walau begitu aku sudah mengetahui jika kemampuanmu dalam olah
kanuragan sangat tinggi, itu terbukti dengan jenjang yang kau sandang ini, ki
lurah." sahut raden Bagus Mukmin, lalu lanjutnya, "Mungkin jika kita
berhadapan, aku akan kelelahan dan pingsan."
Mendengar perkataan dari putra pangeran Trenggono ki lurah Arya Dipa
tersenyum, ia tak mengira jika dia mendapat perlakuan yang begitu akrab dari
putra seorang pangeran Demak. Tanpa terasa keduanya asyik berbicara
seputar masa muda yang mereka alami, hingga akhirnya raden Bagus Mukmin
berkata.
P a g e | 109

"Aku sudah lama tak keluar dari kotaraja, ki lurah maukah kau menemaniku
melihat - lihat suasana di luar tembok kotaraja.?"
Sontak saja permintaan dari seorang putra pangeran itu mengejutkan
pendengaran ki lurah Arya Dipa, sehingga lurah muda itu terdiam.
"Bagaimana, ki lurah.?" tanya raden Bagus Makmun, mengejutkan lurah di
depannya.
"Ta..tapi hal itu akan membahayakan raden, dan pangeran Trenggono pasti
tak menyetujui hal ini, raden."
"Ah, bilah ayahanda murka, aku akan bertanggungjawab tanpa menyeret
namamu, ki lurah, percayalah." desak raden Bagus Mukmin.
Akhirnya setelah terus di desak, ki lurah Arya Dipa menyanggupi permintaan
raden Bagus Mukmin.
"O ya, apakah kau mengetahui siapa orang yang ingin mencelakakan diriku.?"
Sejenak ki lurah Arya Dipa menggeser letak duduknya dan akan menjawab,
namun sebuah langkah telah mengurungkannya. Seorang emban pelayan
datang membawa nampan dan meletakkan isi nampan di hadapan raden
Bagus Mukmin dan ki lurah Arya Dipa.
"terima kasih mbok emban." ucap raden Bagus Mukmin.
Dan emban pelayan itu kembali masuk menuju dapur ksatriyan. Lalu
sepeninggal emban itu raden Bagus Mukmin memersilahkan ki lurah Dipa
menikmati hidangan itu. Wedang hangat itu telah menyegarkan tenggorokan
lurah yang masih muda itu, lalu setelah meletakkan gelasnya anak ki panji
Mahesa Anabrang kembali teringat apa yang akan dituturkan kepada raden
Bagus Mukmin.
"Raden, ayah panji Mahesa Anabrang mengatakan kepadaku apa yang ia
ketahui mengenai sekelompok orang yang saat ini dalam pengawasan
pasukan telik sandi."
"Tunggu sebentar, kau tadi menyebut ki panji Mahesa Anabrang sebagai
ayahmu.?"
"Sesungguhnya memang begitu, raden. Hamba anak angkat dari ayah panji
Mahesa Anabrang."
Saudara tertua dari raden Timur itu, mengangguk, "Teruskan mengenai
kelompok itu tadi."
"Sekelompok orang itu diperkirakan dari bang wetan, yang akan mengancam
jiwa kerabat keraton, salah satunya diri raden."
"Mengapa tak dilakukan penangkapan sesegera mungkin, ki lurah.?" kejar
raden Bagus Mukmin.
"Sebenarnya pasukan Wira Braja akan bertindak, raden. Namun seorang lurah
P a g e | 110

telik sandi mencurigai kalau sekelompok orang itu hanyalah umpan saja, untuk
mengelabui perwira Demak untuk tertuju satu titik saja, sedangkan tujuan
utama mereka menyingkirkan beberapa kerabat keraton." terang ki lurah Arya
Dipa.
"Siapa saja tujuan yang ingin mereka lenyapkan selain diriku.?"
"Pangeran Sekar dari Jipang Panolan beserta kedua putranya, pangeran
Trenggono dan raden sendiri, pangeran Arya Jepara yang tak lain putra
mendiang kanjeng Sultan, dan seorang pangeran dari Randhu Sanga."
"Paman Kanduruwan.? bukankah paman Kanduruwan selama ini jauh dari
keraton.?"
"Entahlah raden."
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 7
oleh : Marzuki Magetan
.
.
Di waktu yang bersamaan menjelang wayah sepi bocah, di Balai Manguntur
terjadi sesuatu yang mengejutkan semua yang berada di tempat itu. Sebuah
penuturan dari pangeran Arya Jepara yang berniat ingin menetap di tlatah
jawa bang kulon.
"Kau jangan bercanda, ananda pangeran." kata pangeran Sekar.
"Tahta keraton ini merupakan kewajiban yang ananda pikul setelah gugurnya,
ayahandamu." pangeran Trenggono ikut membujuk kemenakannya itu.
Sementara itu sunan Giri menatap tajam putra Sultan Demak II, waliullah itu
merasakan tanda - tanda peralihan kekuasaan kali ini pasti akan menimbulkan
guncangan bagi keutuhan Demak.
"Apakah kau sungguh - sungguh, cucunda pangeran.? Pertimbangkanlah
dengan hati jernih dan matang, karena semuanya ini akan menentukan
keberlangsungan dan keutuhan kerajaan yang telah di bangun oleh eyangmu,
Sultan Demak I." kata sunan Giri.
"Maafkan cucunda ini, kanjeng Sunan. Suara hati cucunda mengatakan serta
memberikan petunjuk sebuah jalan terang yang akan cucunda lalui di ujung
kulon, cucunda akan menyerahkan tahta kerajaan ini kepada kerabat disini."
Semua yang hadir saling berpandangan satu dengan yang lainnya.
Penyarahan tahta itu tentu membingungkan semua pihak, entah itu dari
sesepuh sekaligus penasehat keraton, kerabat keraton maupun nayaka praja
dengan jenjang tumenggung dan panji.
"Dimas sunan Gunung Jati, cobalah kau bujuk cucu mu ini, hanya suara dimas
P a g e | 111

saja dapat didengar oleh pangeran Arya Diwang." kata sunan Giri sambil
memandang sunan Gunung Jati.
Waliullah sekaligus pemimpin Cirebon itu hanya menghela napas, sebelumnya
ia sendiri sudah mendengar niat dari cucunya itu dan pernah membujuk
pangeran Arya Jepara untuk mengurungkan niatnya, tapi niat pemuda itu
sekokoh gunung Merbabu.
"Maafkan aku kangmas sunan Giri, aku pun pernah membujuknya saat
cucunda mengatakan niatnya itu, tapi tiada dayaku untuk membujuknya,
pendirian cucunda pangeran sangat kuat dan kokoh." ucap sunan cucu dari
prabu Siliwangi ini.
Jalan buntu menghadang pikiran para sesepuh dan waliullah untuk membujuk
calon penerus Demak. Tak ada jalan lain selain memilih siapa yang pantas
memimpin roda pemerintahan di kerajaan yang baru berdiri ini.
Rundingan demi rundingan dilakukan demi mendapatkan calon yang pantas
memegang tampuk kerajaan, namun perundingan para sesepuh dan
penasehat itu diwarnai perdebatan dari beberapa pihak. Ada yang
mencalonkan pangeran Sekar sebagai sultan selanjutnya, tapi usulan itu
mendapat tentangan dari seorang sesepuh Demak.
"Tapi pangeran Sekar hanyalah putra ketiga, aku lebih condong jika pangeran
Kanduruwan lah yang pantas menjadi sultan Demak." kata sesepuh itu.
"Kau keliru adimas, walau pangeran Sekar hanya putra ketiga tapi aku yakin jika
ia pun mampun." bantah sesepuh yang memihak pangeran Sekar.
"Tenanglah kalian, disini telah hadir seorang waliullah yang menjadi panutan
kita, biarlah sunan Giri memberikan pendapatnya." seseorang kerabat keraton
menengahi.
Sementara itu jauh dari kotaraja, dua orang prajurit mengenakan ciri dari
pasukan Wira Manggala memacu kudanya ke sebuah pondok pesantren yang
ada sebuah menara bercorak hindu berdiri di depan pondok pesantren itu.
Penunggang kuda itu dengan tangkas turun dari kuda mereka dan
mengucapkan salam kepada seorang santri yang berjaga di panggungan
samping dalam regol pondok pesantren.
"Selamat malam kisanak, adakah ada yang bisa aku bantu.?" tanya santri itu.
"Selamat malam, kisanak. Kami dari kotaraja Demak mendapat perintah dari
kanjeng sunan Kudus untuk mengambil pusaka beliau."
Santri yang ada di atas panggungan mengerutkan keningnya, memang saat ini
kanjeng sunan Kudus berada di kotataja Demak, tapi ia menyangsikan
keterangan dua orang itu.
Mengetahui santri di atas panggungan mencurigai, salah satu dari
P a g e | 112

penunggang kuda itu mengeluarkan benda berbentuk bintang dan saat


terkena cahaya obor, telah memantulkan cahaya gemerlapan. Dan benda itu
membuat santri di atas panggungan berteriak kepada kawannya yang berada
di bawah.
"Bukakan pintu regol.!"
Selarak pintu regol segera diangkat oleh santri yang ada di bawah, lalu pintu
regol itu terbuka lebar.
"Silahkan tuan prajurit."
Salah seorang santri meminta tali kekang kuda untuk dibawa ke tempat kuda
ditambatkan pada sebatang patok, sementara kawannya membawa kedua
prajurit itu ke pendaoa pondok pesantren Kudus.
"Silahkan tuan, aku akan memberitahukan kedatangan tuan kepada
panembahan Kudus, putra kanjeng sunan Kudus." Lalu santri itu bergegas
masuk ke dalam mencari panembahan Kudus.
Sepeninggal santri Kudus, dua orang yang memakai pakaian keprajuritan
dengan ciri pasukan Wira Manggala duduk dan mengamati sekitar pendapa.
"Yakinkah adi dengan rencanamu ini." desis prajurit yang mempunyai tahi lalat
di bawah bibir.
"Ssstt... " balas prajurit satunya.
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 8
oleh : Marzuki Magetan
.
.
"Kakang tak usah kawatir."
Suara langkah kaki dari dalam membuat keduanya terdiam dan menanti
kedatangan tuan rumah, tapi keduanya mengumpat dalam hati manakala
yang keluar santri yang tadi mempersilahkan keduanya.
"Mohon kisanak berdua bersabar, panembahan Kudus masih khusyuk
beribadah." kata santri itu.
Kedua prajurit itu saling berpandangan, lalu sahut prajurit berwajah tampan,
"Baik kisanak, kami akan menunggu."
Mulut memang tak bertulang dan kadang kala bertolak belakanh dengan hati,
sama dengan prajurit tampan itu.
"Adi tak dapat menyembunyikan isi hatimu yang sebenarnya, adi pasti memaki
dalam hati kan...?" celetuk kawannya.
"Jangan kau berisik, kakang." geram parjurit berwajah tampan.
"Hahaha, redakan amarahmu adi, lihatlah santri itu kembali membawa
P a g e | 113

minuman dan makanan." kata kawannya sambil memandang kedatangan


seorang santri yang membawa nampan makanan dan minuman.
"Silahkan dinikmati tuan berdua." kata santri itu, mempersilahkan hidangan.
"Terima kasih."
Tak lama kemudian dari arah dalam seorang lelaki berbadan tegap berjalan ke
arah dua prajurit itu.
"Maaf menunggu lama, tuan sekalian." sapa orang itu, yang tak lain putra
sunan Kudus.
"Tak mengapa, panembahan." balas prajurit berwajah tampan, yang
selanjutnya menerangkan kedatangan mereka ke pondok pesantren Kudus.
"Begitulah, panembahan."
Putra sunan Kudus itu tampak mencerna setiap kata - kata dari tamu yang
mengaku utusan dari Demak.
"Apakah bapa sunan membawakan sebuah benda atau apapun yang bisa
meyakinkanku, kisanak.?"
"Jika yang dimaksud panembahan adalah aksara sandi, kami akan
menunjukkannya." kata prajurit berwajah tampan, seraya mengambil secarik
kain dengan tulisan aksara jawa kuno tergores di kain itu, dan menyerahkan
kepada panembahan Kudus.
Secarik kain putih dengan tulisan aksara jawa kuno itu membuat putra sunan
Kudus menganggukkan kepalanya.
"Baiklah kisanak, kain ini meyakinkan diriku kalau kalian memang diutus oleh
bapa sunan, tunggulah aku akan mengambil pusaka itu."
Panembahan Kudus berdiri dan masuk ke ruang dalam, tak lama kemudian
panembahan itu muncul kembali dengan membawa bungkusan kain putih
bersih dan duduk di depan kedua prajurit Demak.
Udara hangat tiba - tiba melanda ruang pendapa itu, padahal angin
berhembus menggoyangkan daun pohon jambu air yang tumbuh di halaman.
Keanehan itu bersamaan dengan panembahan membuka bungkusan yang
saat dibuka, terlihat sebuah keris dengan pamor menakjubkan bagi mereka
yang memandang.
"Inilah pusaka itu, kisanak. Pusaka berwujud keris dengan nama tetenger, kyai
Brongot Setan Kober." ujar panembahan Kudus, "Bawalah dengan hati - hati,
dan untuk amannya pusaka ini, sebaiknya simpanlah rapat - rapat di balik
pakaian kisanak."
"Baik, Panembahan. Kami akan menjaga dengan taruhan nyawa kami sampai
pusaka ini berada di genggaman sunan Kudus."
Akhirnya pusaka keris kyai Brongot Setan Kober itu berhasil dibawa prajurit
P a g e | 114

berpakaian layaknya prajurit pasukan Wira Manggala. Keduanya setelah pamit


dan berjalan keluar dari pondok pesantren bumi Kudus, keduanya lantas
memacu kudanya bagaikan di kejar hantu, apalagi jika melewati bulakan,
kuda mereka seperti tak menapak tanah.
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 9
oleh : Marzuki Magetan
.
..
...
Ratusan tombak dilalui oleh dua prajurit yang sedang memacu kudanya
dengan cepatnya, di sebuah pertigaan jalan keduanya membelok ke arah
kanan hingga sampai di sebuah gubuk kecil beratapkan daun blarak.
Seseorang muncul dari dalam gubuk mengenakan pakaian lurik serta ikat
kepala hitam arang, di balik pinggangnya terselip keris menggunakan
warangka dari kayu cendana.
Kedua prajurit itu turun dari kudanya dan mengikat di batang pohon turi yang
tumbuh di samping gubuk itu, lalu keduanya menghampiri orang yang keluar
dari gubuk dan mengangguk hormat.
"Apakah kalian berhasil membawa pusaka itu.?" tanya orang itu.
"Kasinggihan dawuh, raden. Kami bisa meyakinkan putra sunan Kudus sehingga
berhasil membawa kyai Brongot Setan Kober." jawab prajurit berwajah tampan.
"Bagus Lanjar dan kau Danur, kalian akan mendapat kenaikan jenjang
keprajuritan di pasukanmu, mari masuk kedalam." ajak orang itu, yang masuk
ke dalam gubuk dan diiringi oleh prajurit Lanjar dan Danur.
Di dalam gubuk ketiganya duduk di atas amben yang cukup bila diduduki oleh
empat orang.
"Mana pusaka itu.? aku ingin meyakinkan apa pusaka itu memang benar kyai
Brongot Setan Kober."
Prajurit Lanjar mengambil bungkusan kain putih yang ia simpan di balik pakaian
dan dengan perlahan menyerahkan kepada orang yang disebut seorang
bangsawan oleh prajurit Lanjar. Bungkusan itu diterima oleh seorang
bangsawan itu yang kemudian membuka keris pusaka tersebut.
Udara hangat memenuhi gubuk, pertanda keampuhan dari keris pusaka
kanjeng sunan Kudus memberikan kenyataan yang dirasakan oleh ketiganya,
apalagi saat sebilah keris itu ditarik dari warangkanya sinar dari pamornya
begitu terang menyilaukan mata yang memandang.
"Cek...cek..cek.. kalian berdua memang bernasib baik, malam ini juga kalian
P a g e | 115

akan merasakan ganjaran dariku.!" ucap seorang yang disebut raden itu,
sambil menggerakkan keris itu dengan cepat menggorok kedua leher prajurit
tanpa adanya perlawanan sedikitpun.
Kedua prajurit itu ambruk seketika dengan mata melotot dan napasnya terhenti
untuk selamanya.
"Jiwa kalian tak akan sia - sia, karena bebanten dari kalian berdua akan
menjadi pupuk kelancaran dalam menjalankan rencana ini." gumam orang itu.
Orang itu bangkit dari duduknya, lalu membersihkan noda darah di daun keris
kyai Brongot Setan Kober dan memasukan kembali ke warangkanya, sesaat
keris itu ditempelkan ke kening sambil mulutnya merapalkan sesuatu yang
mengakibatkan udara di dalam gubuk terasa dingin seperti udara di luar
gubuk, setelah itu memasukkan keris pusaka ke dalam balik pakaian luriknya.
Tangannya meraih ublik dalam gubuk, kakinya bergerak keluar dan sejarak satu
tombak orang yang di sebut raden itu membalikkan tubuhnya dan
memandang gubuk, helaan napasnya bersamaan tangan yang memegang
ublik bergerak melemparkan ublik dari biji jarak ke arah atap gubuk. Cahaya
terang dari si jago merah mulai terlihat melahap gubuk yang masih tergeletak
dua prajurit dari Wira Manggala.
Orang itu kemudian melepas tali kedua kuda dan menepuk tubuh kedua ekor
kuda itu, tentu saja tepukan itu mengagetkan hewan tunggangan prajurit
Lanjar dan Danur, hingga kedua ekor kuda itu lari tunggang langgang. Setelah
apa yang dilalukannya, orang itu bersuit memanggil sesuatu, dan tak lama
seekor kuda putih datang dari balik rerimbunan. Kuda itu dielus sesaat lalu
dinaiki oleh orang itu, kemudian memacu kuda putih meninggalkan gubuk
yang kini hampir habis dilahap api.
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 10
oleh : Marzuki Magetan
.
..
Seperti yang diinginkan oleh raden Bagus Mukmin saat menerima kehadiran ki
lurah Arya Dipa di senja harinya, yaitu ingin melihat suasana di luar tembok
kotaraja Demak, keduanya dengan memakai pakaian layaknya orang biasa
berjalan menyusuri pagar tembok setinggi tiga tombak dan berhenti di dekat
pohon waru yang dahannya menjorok ke luar.
Keduanya dengan cekatan memanjat pohon itu hingga ke dahan yang
menjorok melintasi pagar tembok, seutas tali diikatkan pada dahan dengan
lilitan kuat, lalu ki lurah Arya Dipa menuruni tembok itu dan memastikan kalau
P a g e | 116

keadaan di bawah aman.


"Silahkan raden, hamba rasa tempat ini tak dijangkau orang." kata ki lurah Arya
Dipa.
"Baik, aku segera turun." sahut raden Bagus Mukmin, sambil menuruni tembok
bata.
"Ki lurah, sebaiknya nanti jika kau memanggilku jangan menyebut jati diriku,
panggilah aku Kidang Alit." ucap raden Bagus Mukmin, saat sampai di bawah.
"Sendiko raden."
"Awas jangan kau lupa." ingat putra pangeran Trenggono.
"Baik, kakang Kidang Alit, sekarang kita kemana.?"
Kini giliran raden Bagus Mukmin yang memilih nama Kidang Alit nampak
bingung. Melihat kebingungan ndoronya itu, Dipa tersenyum dan akhirnya ia
yang menentukan mau kemana.
"Maaf kakang, marilah kita menyusuri lorong jalan itu saja." ajak ki lurah Arya
Dipa.
"Ah untung kau cepat berkata, Dipa. Jika tidak, mungkin semalaman aku terus
memikirkan kita mau kemana."
"Hahaha.. mari kakang."
Lantas keduanya menyusuri lorong jalan dekat tembok yang baru saja mereka
turuni. Walau hari sudah semakin gelap, tapi keadaan padukuhan di luar
tembok kotaraja masih terasa ramai oleh hilir mudik beberapa orang. Seorang
pedagang ada yang kemalaman saat menuju kotaraja, maka ia terpaksa
menginap di padukuhan itu. Ada juga seorang penghuni kotaraja keluar dari
pintu gerbang untuk menengok saudaranya yang berada di padukuhan luar
kotaraja. Tak ketinggalan beberapa pemuda bermain ditengah sinar sang
rembulan bersama kekasihnya, atau anak kecil bermain petak umpet bersama
kawannya.
"Keadaan di padukuhan ini masih tenang semenjak uwa Sultan gugur di selat
Malaka." desis Kidang Alit.
"Iya kakang, para nayaka praja dengan bekerja sama dengan ki demang dan
para bebahu lainnya berusaha menenangkan hati kawula melalui penyuluhan
pentingnya menjaga kesatuan dan keamanan di bumi Demak ini." sahut Dipa,
yang selalu mengiringi Kidang Alit.
"Semoga hal ini tetap terjaga, tanpa adanya keonaran."
"Kami para prajurit akan berusaha menjaga kedamaian ini, kakang."
"Itu yang aku harapkan, Dipa. Tapi tahukan kau, jika kakanda pangeran Arya
Jepara tak mau menduduki Dampar Kencana bumi Demak.?"
"Ah benarkah itu, kakang.? Lalu siapa pengganti kanjeng Sultan selanjutnya jika
P a g e | 117

pangeran Arya Jepara tak berkenan.?"


"Itulah yang ada dalam pikiranku, tentu hal ini akan mengakibatkan keresahan
di hati para sesepuh maupun kerabat keraton. Dan yang aku takutkan jika hal
ini bisa menimbulkan riak dipermukan Demak." kata Kidang Alit selanjutnya.
"Apakah kakang bisa menerka siapa yang pantas menjadi pengganti kanjeng
Sultan Sabrang Lor.?" tanya Dipa.
Kidang Alit atau raden Bagus Mukmin menghela napas seraya menatap
rembulan di langit.
"Jika sesepuh kesultanan memilih putra eyang Patah, maka yang akan terpilih
uwa pangeran Sekar. Tapi jika memilih dari garwo padmi, tentu ayahanda
pangeran Trenggono menjadi Sultan Demak selanjutnya. Atau malah paman
raden Kanduruwan sebagai pilihan terakhir dari sesepuh keraton, tapi siapa pun
yang memegang tampuk pemerintahan, aku harap tak ada gejolak terjadi,
karena pada umumnya kami semua masih sedarah."
Anak angkat ki panji Mahesa Anabrang mengangguk dan setuju dengan apa
yang diucapkan oleh Kidang Alit.
"Ah sebaiknya kita ke kedai itu, Dipa. Aku ingin merasakan makanan di luar
kotaraja." ajak Kidang Alit.
"Mari ra.. eh kakang." hampir saja Dipa keceplosan.
Keduanya berjalan beriringan menuju kedai yang masih buka walau hari
merambat malam, seorang pelayan kedai dengan berlari kecil menyambut
keduanya dengan ramah tamah.
"Silahkan denmas, ingin memesan makanan atau minuman.?" tanya pelayan
kedai.
"Keduanya saja, kisanak. Kami merasa lapar dan dahaga setelah mengantar
pesanan di kotaraja." sahut Kidang Alit, sekenanya.
"Silahkan, kami akan mempersiapkannya." ucap pelayan dan masuk ke dalam.
Sementara Kidang Alit dan Dipa menuju tempat duduk dekat lubang angin -
angin, tempat itu terasa cocok untuk melihat ke luar halaman kedai hingga
jalan. Di dalam kedai itu selain Kidang Alit dan Dipa, juga ada beberapa
pembeli menunggu hidangan atau menikmati makanan pesanan mereka.
Saat itulah terdengar percakapan seseorang kepada kawan di sampingnya.
"Lama sekali orang itu." desis seseorang dengan perawakan jangkung.
"Mungkin dia sedang menghadapi pertanyaan penjaga gerbang." sahut
kawannya.
"Mengaa harus lewat pintu gerbang.? seharusnya ia dengan mudah meloncati
pagar tembok itu." gerutu si Jangkung.
"Hahah... kau tak tau jalan pikirannya, ki Landung Galih." sejenak kawannya itu
P a g e | 118

mengunyah makanannya, lalu lanjutnya, "Tapi walau pun begitu ia dalam


bekerja selalu berhasil."
Percakapan kedua orang itu walau pelan namun dapat ditangkap Kidang Alit
dan Dipa, dan keduanya merasa.curiga dengan kedua orang itu.
"Apa yang mereka kerjakan di sini.?" desis Dipa, "Sepertinya mereka sedang
mengerjakan sesuatu, kakang."
Anggukkan terlihat dari Kidang Alit.
"Biarlah orang yang dimaksud itu datang, siapa tahu kita mengenalinya." sahut
Kidang Alit tanpa memperhatikan kedua orang itu dengan memandang ke luar
halaman.
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 11
oleh : Marzuki Magetan
.
..
Di kala Kidang Alit memandang halaman, saat itu terdengar derap seekor kuda
yang mengarah memasuki regol kedai yang ditunggangi seorang lelaki
berperawakan tegap dengan dada bidang. Lelaki yang baru turun itu
memasuki kedai setelah sebelumnya mengikatkan tali kekang kudanya di
patokan yang disediakan oleh pemilik kedai.
Arya Dipa mengernyitkan dahinya saat mengenali orang yang baru masuk itu,
"Ki lurah Lembu Suro..."
"Kau mengenalinya Dipa.?" tanya Kidang Alit.
"Iya, kakang, ia merupakan lurah pasukan Wira Manggala." jawab Dipa, lantas
dirinya berpindah ke lincak membelakangi bangku yang dituju oleh ki lurah
Lembu Sura.
Kedatangan ki lurah Lembu Sura disambut oleh kawan ki Landung Galih
dengan mempersilahkan lurah dari Wira Manggala.
"Silahkan ki lurah Lembu Sura."
"Aku tak mengira akan bertemu denganmu disini, ki Pracona."
"E.. aku sedang mengunjungi saudara angkatku di padukuhan ini, ki lurah. Oh
ya perkenalkan ini sahabatku, ki lurah." ki Pracona memperkenalkan kawannya
kepada ki lurah Lembu Sura.
"Selamat datang di padukuhan ini, kisanak."
"Terima kasih ki lurah, padukuhan ini terasa nyaman." ucap ki Landung Galih.
"Baiklah, silahkan menikmati makanan kakakku ini." kata ki lurah Lembu Sura
selanjutnya, "Aku akan menemuinya untuk meminta nasi barang sepincuk."
"Silahkan, ki lurah."
P a g e | 119

Ternyata ki lurah Lembu Sura merupakan adik dari pemilik kedai itu, yang
mampir setelah seharian melakukan tugasnya di luar kotaraja.
"Oh aku kira ki lurah Lembu Sura merupakan dari mereka, ternyata bukan. Jadi
siapa yang mereka tunggu.?" Dipa tampak bingung.
"Settt.. ki lurah Lembu Sura berjalan kemari." Kidang Alit memberi isyarat kepada
Dipa, tapi ia pun semakin menunduk sambil menjumput nasi.
Hal yang sama dilakukan Dipa untuk menyembunyikan wajahnya tanpa
diketahui oleh ki lurah Lembu Sura.
Kedua pemuda itu bernapas lega, ternyata lurah dari Wira Manggala itu tak
mengenali mereka. Begitu juga saat ki lurah Lembu Sura kembali melewati
samping meja mereka yang kemudian keluar dari kedai dan terdengar kembali
derap kuda meninggalkan halaman kedai.
Sepeninggal ki lurah Lembu Sura, di bangku meja yang ditempati oleh ki
Landung Galih dan ki Pracona, keduanya menarik napas lega atas kepergian
lurah itu.
"Untung lurah itu cepat keluar dari kedai ini." gumam ki Pracona.
"Setan alas orang itu, sudah habis wedangku ia juga belum muncul batang
hidungnya.!" gerutu ki Landung Galih.
"Benar juga ki, tak seperti biasa - biasanya orang itu membuatku juga hilang
kesabaran."
Tiba - tiba seorang pelayan kedai menghampiri meja bangku ki Landung Galih
dan ki Pracona dan menyerahkan selembar kain putih.
"Dari siapa ini, kisanak.?" tanya ki Pracona kepada pelayan kedai.
"Seorang lelaki yang memakai pakain lurik dengan ikat kepala berwarna hitam
arang, tuan." jawab pelauan kedai.
"Hemm, ini untukmu." kata ki Pracona sambil mengangsurkan dua kepeng
perunggu.
"Terima kasih, tuan" dan pelauan itu pergi ke belakang.
Ki Pracona membuka lipatan kain putih itu, sebuah pesan tertulis membuat
keduanya mengumpat penuh kekesalan.
"Ayo kita kesana." ajak ki Landung Galih.
Keduanya bergegas keluar dari kedai setelah membayar pesanan mereka.
Di dekat lubang angin - angin, Kidang alit berdiri memanggil pelauan kedai
dan memberikan uang kepeng untuk pembayaran pesanan mereka dan
bergegas mengikuti kedua orang yang mereka curigai. Tanpa membuat
kesalahan, kedua pemuda itu berhasil mengikuti ki Landung Galih dan ki
Pracona menuju kesebuah gumuk di luar padukuhan terluar kotaraja.
P a g e | 120

Di gumuk itu terdapat dua pohon besar tumbuh menjulang menambah


keangkeran dari gumuk itu, gumuk yang bagi penghuni padukuhan
merupakan tempat yang dikeramatkan, karena menurut mereka di situ dihuni
oleh Banaspati, sosok hantu berwujud api menyala, dan bila seseorang di
hantui maka orang itu esok harinya akan mati.
Tapi bagi ki Landung Galih dan ki Pracona, tiada rasa gentar atau pun takut
dengan hal seperti itu, dengan tatag keduanya menaiki gumuk itu dan bahkan
ki Landung yang tak sabaran lantas berteriak keras.
"Ki Sengguruh, keluarlah jangan bermain petak umpet.!"
Hening..senyap..sepi..
"He keluarlah ki Sengguruh, jangan membuatku membakar tempat ini.!" ancam
ki Landung Galih.
Semilir angin berhembus pelan, pucuk dedaunan bergoyang seirama
datangnya sesosok memakai pakaian lurik serta ikat pinggang hitam arang,
kumis tipis menambah ketampanan orang yang turun dari pohon walau
usianya tak muda lagi.
"Hahaha... kalian terlalu tegang." desia orang itu.
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 12
oleh : Marzuki Magetan
.
..
"Sampai - sampai kalian lengah jika seseorang sedang membuntuti kalian.."
lanjut orang yang disebut ki Sengguruh.
Menyadari kelengahannya, ki Pracona dan Landung Galih tergagap dan
memerhatikan arah kedatangannya. Panca indra penglihatan dipertajam
untuk melihat siapa yang membuntuti keduanya, namun karena sinar candra
terhalang awan, wujud yang disebutkan olah ki Sengguruh tak nampak. Lantas
keduanya menajamkan pendengaran dan pranggaita untuk menangkap
getar yang ditimbulkan oleh gerak wadah atau napas apapun yang ada
disekitar gumuk itu.
Kelambatan yang dilakukan oleh ki Pracona dan ki Landung Galih dalam
menyikapi keadaan membuat ki Sengguruh geli, orang itu melangkah ke
depan beberapa tindak, lalu berucap perlahan.
"Keluarlah kau yang ada di bawah pohon keluwih..."
Suara itu sebenarnya terucapkan pelan, namun sebuah getar yang ditimbulkan
menggema keseluruh gumuk, seakan - akan suara itu membentur benda lalu
P a g e | 121

dipantulkan lagi berurutan, sebuah pertunjukan landasan ilmu tingkat tinggi


dipamerkan ki Sengguruh.
Sapaan itu mengejutkan seseorang yang sebenarnya memang bersembunyi
dibalik pohon keluwih sebesar dua pelukan orang dewasa. Karena itu maka
orang dibalik pohon, melangkah menampakkan dirinya.
Kini giliran ki Pracona dan ki Landung Galih yang dibuat kaget oleh seseorang
yang baru keluar dari persembunyiannya.
"Kau.. ki lurah Lembu Sura."
"O.. kalian mengenali orang ini.? apakah ia kawan kalian, ki Pracona dan ki
Landung Galih.?" tanya ki Sengguruh.
"Sebatas tahu saja, ki Sengguruh." ucap ki Pracona, lalu katanya sambil terus
memandang ki lurah Lembu Sura, "Apa yang kau lakukan disini, ki lurah.?"
Tapi lurah prajurit dari pasukan Wira Manggala itu tak menanggapi pertanyaan
dari ki Pracona, malah dirinya memerhatikan wajah orang yang disebut ki
Sengguruh, dirinya merasa pernah melihat raut muka orang itu, tapi dimana ia
tak ingat. Sehingga ki Pracona kembali mengulang pertanyaannya.
"He.. ki lurah apa kau tuli.? Apa yang sedang kau lakukan disini.?!" kata ki
Pracona kali ini lebih keras dan kasar.
Namun ki lurah Lembu Sura mengendapkan gejolak di hatinya dan setelah
menghela napas maka ia pun berkata kepada ki Sengguruh.
"Maaf tuan yang memakai pakain lurik, jika tak salah apakah aku berhadapan
dengan seorang senopati bang wetan, yaitu ki panji Menak Sengguruh.?"
Orang yang disebut ki Sengguruh itu mengerutkan alisnya, ia tak mengira jika
seseorang mengetahui jati dirinya, begitu juga dengan ki Pracona maupun ki
Landung Galih.
Sementara itu tak jauh dari situ, ki lurah Arya Dipa dan raden Bagus Mukmin
yang awalnya mengira jika keduanya yang diketahui keberadaannya oleh ki
Sengguruh dan ternyata itu salah, masih mengendap dan menyerap semua
getar disekelilinggnya sehingga masih tak diketahui keberadaannya. Kedua
anak muda itu terus mengikuti apa yang terjadi dan jika diperlukan keduanya
akan memihak ki lurah Lembu Sura.
Kembali di tengah gumuk, ki Sengguruh mengangguk dan senyum menghiasi
bibirnya.
"Benar kisanak aku memang orang yang kau sebutkan, lalu apa tindakanmu
selanjutnya.?"
"Tentu tuan senopati paham yang akan aku lakukan, yaitu menghadapkan
tuan senopati ke senopati Demak."
P a g e | 122

"Hahaha, baru saja keluar dari pintu gerbang timur kotaraja, dan tak ada yang
mempersoalkannya, mengapa kau merepotkan dirimu sendiri, ki lurah.?"
"Karena ini sudah menjadi pengabdianku, tuan senopati. Jika seorang prajurit
Demak yang berkeliaran di kadipaten Puger, tentu tuan senopati akan berlaku
seperti yang aku lakukan, bukankah begitu.?" tanya ki lurah Lembu Sura.
Senopati kadipaten Puger itu tersenyum, lalu membalikkan tubuhnya kepada
kedua kawannya, "Kalian berdua uruslah prajurit ini.!"
"Jangan kau memerintah aku layaknya bawahanmu, ki Sengguruh.!" gerutu ki
Landung Galih, meskipun orang itu melangkah menghampiri ki lurah Lembu
Sura.
Kesigapan dan kewaspadaan nampak digerak ki lurah dari pasukan Wira
Manggala, kuda - kuda kokoh siap menyambut serangan yang dilancarkan
oleh ki Landung Galih. Sebuah ayunan tangan mendatar bergerak cepat
mengancam ulu hati prajurit Demak itu, tapi serangan penjajagan itu mudah
dielakkan dibarengi serangan balasan tendangan kaki kanan ke arah lambung
lawan.
Serangan balasan itu sudah terbaca oleh ki Landung Galih, maka ia dengan
cepat menangkap kaki itu. Tentu saja si pemilik kaki tak membiarkan hal itu
terjadi, oleh sebab itu kakinya ia tarik dengan berputar bertumpukan kaki
satunya terus dilanjutkan mengganti tumpuan kaki kanan, kaki kiri terangkat
menendang pinggang kanan ki Landung Galih.
"Setan alas.!" umpat ki Landung Galih, yang tak mengira gerakan aneh lawan.
Kembali perkelahian itu terjadi dengan sengitnya, ternyata ki lurah Lembu Sura
memiliki kemampuan yang tak bisa dipandang remeh. Arya Dipa dan Kidang
Alit yang memerhatikan daru kejauhan memastikan jika ki lurah bisa
mengungguli kemampuan lawannya.

Panasnya Langit Demak


jilid 4 bag 13
oleh : Marzuki Magetan
.
..
Tandang ki lurah Lembu Sura terasa semakin menekan lawannya hingga
lawannya itu keteter tak karuan. Suatu kali tendangan mendatar mengenai
dada ki Landung Galih dan membuat orang tua itu jatuh bergulingan, tapi
dengan cepat orang itu melenting berdiri dengan sikap sempurna.
Mata memerah yang menandakan kemarahan mewarnai lingkaran bola
matanya, mulutnya mengumpat lirih lalu berganti merapalkan sesuatu yang
P a g e | 123

dimengerti oleh dirinya sendiri. Sikap itu semakin lama mencengangkan mereka
yang berada di sekitar gumuk itu, dua buah bayangan secara perlahan
muncul disamping orang dari gunung kidul itu, sosok wujud itu berpenampilan
serta berperawakan menyerupai ki Landung Galih tanpa adanya perbedaan
sedikit pun.
"Kakang pambarep adi wuragil.." desis ki Pracona.
"Nampaknya begitu.." sahut ki panji Menak Sengguruh.
Sekejap kemudian sosok itu bergerak cepat saling bertukar tempat satu
dengan lainnya, sebuah rencana pengaburan mata lawan diterapkan oleh ki
Landung Galih.
"Rasakan ini...!" teriak salah satu bayangan menyerang ki lurah Lembu Sura.
Serangan itu sempat dilihat oleh lurah prajurit Demak itu, tapi betapa
terkejutnya saat dua serangan bertemu, bayangan itu tertembus dan
membuat lurah itu terdorong terbawa tenaganya sendiri, dan saat itulah
serangan wujud asli ki Landung Galih tepat mengenai pundak ki lurah Lembu
Sura, yang mengakibatkan tubuhnya terjungkal ke tanah.
"Bangunlah wahai lurah prajurit..!" teriak ki Landung Galih sambil bertolak
pinggang.
Walau punggungnya bagaikan terkena hantaman besi gligen, lurah dari Wira
Manggala segera berdiri dan menghadap lawannya yang berdiri pongah.
"Majulah."
Tarikan napas dilakukan untuk mengurangi rasa sakit yang dideritanya, setelah
dirasa berkurang maka ki lurah menajamkan pranggaitanya untuk mengetahui
wujud asli dari ki Landung Galih berdiri. Di depannya tiga sosok itu saling
bertukar tempat lalu berpencar ke tiga penjuru bertujuan mengurung ki lurah
Lembu Sura, tiga sosok itu lantas mencabut trisula dengan menghunuskan ke
arah prajurit Demak itu.
Oleh karena melihat lawan sudah mencabut senjatanya, ki lurah Lembu Sura
juga mencabut pedang keprajuritannya, senjata dari besi gligen pilihan
dengan tangkai ada guratan ciri pasukan Wira Manggala.
Semilir angin menerpa tubuh mereka, di langit awan yang sebelumnya
menutupi cahaya bulan, kini mulai bergerak sehingga cahaya itu mampu
menyinari seluruh gumuk itu. Kilaun cahaya itu juga mengenai senjata dari
mereka dan memantulkan cahaya itu. Pantulan cahaya sang candra
membuat ki lurah Lembu Sura menyunggingkan senyum, menandakan dirinya
mengetahui keberadaan sesungguhnya dari lawan.
"He mengapa kau tersenyum seperti itu.? Apakah kau sudah siap mati di ujung
trisula ku ini.?!"
P a g e | 124

"Mati hidupnya seseorang hanya Sang Pencipta semata yang mengetahui,


kisanak."
"Tutup mulutmu, tak usah sesorah di depanku.!"
Bersamaan dengan kata terakhir dari salah satu sosok ki Landung Galih, ki lurah
Lembu Sura meloncat ke sisi kananya mengarah sosok yang dipastikan sosok
sesungguhnya dan menggoreskan pedang mengenai lengan lawan yang tak
sempat menghindari serangan dadakan dari ki lurah Lembu Sura.
"Setan alas, kau licik Lembu Sura.!" umpat ki Landung Galih kasar, seraya
bergerak mundur. keberhasilan mengoreskan senjata di lengan lawannya tak
membuat lurah dari pasukan Wira Manggala itu bernapas lega, itu dikarenakan
adanya serangan dari sosok lain ki Landung Galih yang mampu membuat
dirinya terpental saat kaki lawannya mengenai tubuhnya.
"Ah aku kira sosok - sosok itu semu, tapi mereka juga mampu menyakiti
wadahku." keluh ki lurah Lembu Sura dalam hati, sambil menggelinding
menghindari injakan kaki sosok lainnya.
Setelah berada jauh dari lawan, dengan cepat ki lurah Lembu Sura melenting
berdiri, tapi sebuah gempuran menghantam dada lurah itu hingga dirinya
kembali jatuh lagi.Tak hanya itu saja ancaman nyata terlihat dari trisula yang
dipegang oleh sosok asli ki Landung Galih.
Saat itulah sebuah bayangan bagaikan terbang datang mendepak tangan ki
Landung Galih serta sebuah tendangan menghantam orang tua itu dengan
kerasnya. Selain itu tanpa berhenti bayangan orang yang baru muncul itu terus
menerjang sosok lain ki Landung Galih hingga sosok itu pecah tak berbentuk,
setelah menginjak tanah kaki itu kembali melenting ke atas dan berjumpalitan
ke arah sosok lainya, sebuah tendangan memutar di udara kembali berhasil
menghamburkan sosok lain dari ki Landung Galih.
Bayangan itu lalu menghampiri ki lurah Lembu Sura dan membantunya berdiri.
"Terima kasih ki lurah." ucap ki lurah Lembu Sura.
"Nanti saja, ki lurah. musuh kita masih berdiri lengkap." sahut orang itu, yang
tandangnya mengejutkan ki panji Menak Sengguruh dan kedua kawannya.

Pansnya Langit Demak


jilid 4 bag 14
oleh : Marzuki Magetan
.
..
Munculnya pemuda yang membantu ki lurah Lembu Sura, memberi angin
segar bagi lurah dari Wira Manggala itu, yang mengenali penolongnya di kala
P a g e | 125

musim pendadaran waktu lalu. Sebaliknya dengan ki panji Menak Sengguruh


berserta kedua kawannya, terutama ki Pracona dan ki Landung Galih. Kedua
orang itu merasa pernah menjumpai seorang pemuda yang berdiri di samping
lawannya.
"Kau... pemuda yang duduk di dekat lubang angin di kedai itukah.?" tanya ki
Pracona.
"Begitulah, kisanak."
Rasa geram, kesal, marah bercampur aduk mewarnai hati ki Landung Galih,
yang merasakan sentuhan langsung dari pemuda itu, apalagi lengannya masih
terasa sakit.
"Bukankah kau berdua.?"
"Benar kisanak...!" teriak seorang pemuda sambil berlari menghampiri tempat
perkelahian.
Semua mata memandang ke wajah pemuda yang berlarian itu, semuanya
mengerutkan kening kecuali pemuda yang menolong ki lurah Lembu Sura saat
memperhatikan wajah penuh lumpur itu.
"Siapa dia, ki lurah.?" bisik ki lurah Lembu Sura ditelinga penolongnya.
Tak ada tanggapan dari pemuda disampingnya, malah pemuda itu menahan
senyumnya.
Sedangkan orang dengan wajah kotor itu cengar cengir layaknya orang tak
waras.
"He siapa sebenarnya kalian ini.!" gertak ki Pracona tak sabar.
"Aku kawan ki lurah Lembu Sura ini, kisanak." kata orang itu, "Sedangkan
kawanku ini, anak petani pedukuhan pinggir kotaraja."
"Mengapa wajahnya penuh lumpur seperti itu.?" tanya ki lurah Lembu Sura, tak
mengenali wajah pemuda itu.
"He.. bangsat tengik.! kalian terlalu meremehkan kami sehingga kalian
berbicara sendiri tanpa menghiraukan kami.!" bentak ki Pracona, " kalian
pantas mendapat imbalan dari kami."
Bersamaan dengan itu, ki Pracona mengambil pisau kecil dan membidikkan
kearah ketiganya dengan cepat. Kesiur angin yang ditimbulkan menandakan
tenaga cadangan melambari laju dari pisau - pisau itu.
Tapi yang dibidiknya bukanlah burung perkutut, melainkan mereka orang pilih
tanding dan mengetahui dasar olah kanuragan, ketiganya mampu
menghindar sehingga pisau - pisau kecil itu terus melaju menghujam dalam ke
tanah.
"cek..cek..cek, wah jika pisau itu jika mengenaiku pasti menyakitkan." gumam
pemuda berwajah kotor yang tak lain Kidang Alit.
P a g e | 126

Dengus ki Pracona terdengar bersamaan dengan meluncurnya tubuh itu


layaknya gasing ke arah Kidang Alit. Luncuran tubuh itu begitu cepat dan
dahsyat melumat pemuda kotor wajahnya, walau begitu Kidang Alit mampu
mengelak dan membiarkan tubuh itu meluncur terus mengenai kayu sebesar
paha orang dewasa. Bunyi berderaknya pohon membuat ki lurah Lembu Sura,
dan kedua pemuda yang baru datang kagum oleh apa yang ditimbulkan dari
gempuran ki Pracona, kayu itu patah.
Sementara itu ki Landung Galih kembali mengeluarkan ilmu Kakang Pambarep
Adi Wuragil, dimana dua sosok muncul menyerang ki lurah Lembu Sura. Tak
ingin kesukaran dialami oleh lurah dari Wira Manggala, pemuda penolong yang
tak lain ki lurah Arya Dipa akan ikut ambil bagian menghadang sosok itu, tapi
langkahnya terhenti manakala k panji Menak Sengguruh berada di dekatnya.
"Mari kita buat kalangan sendiri, anak muda."
Terpaksa ki lurah Arya Dipa mengurungkan niatnya dan berdo'a supaya ki lurah
Lembu Sura mampu bertahan dari lawannya sampai Kidang Alit berhasil
menundukkan lawannya.
"Baiklah ki panji."
Maka di gumuk itu terjadi tiga kalangan perkelahian sengit dan seru. Tata gerak
dan tandang dari ilmu masing - masing menyeruak kepermukaan untuk
mengungguli lawan dari masing - masing.
Perasaan aneh menghinggapi hati ki Pracona, setiap serangannya mampu
dihindari oleh lawannya yang berwajah kotor itu dengan mudahnya, bahkan
seakan - akan orang itu menikmati perkelahian ini. Tenaga banteng ki Pracona
yang mampu menumbangkan pohon seakan tertumbuk dengan lawan satu ini.
Selapis demi selapis tenaga terus meningkat seiring waktu berlalu.

Panasnya Langit Demak


jilid 4 bag 15
oleh : Marzuki
.
..
Juluran tangan ki Pracona yang bertujuan merengkuh tubuh Kidang Alit dan
mencengkeram tubuh itu dan diangkat, tapi sesuatu terjadi yang membuat ki
Pracona melenguh karena tak mampu mengangkat tubuh pemuda berwajah
penuh lumpur itu.
"Apa yang akan kau lakukan kepadaku, kisanak.?" tanya Kidang Alit diselngi
tawa kecil.
P a g e | 127

Dengan sekuat tenaga orang dari bang wetan itu terus berusaha mengangkat
dan membanting tubuh lawannya, tapi tubuh lawannya bagaikan mengakar
ke perut bumi.
"Hiaaat...!!" teriak Kidang Alit, sambil mengangkat tubuh lawan dan melempar
tubuh itu melewati atas tubuhnya.
Suara debuman ke tanah terdengar saat tubuh ki Pracona jatuh dibanting oleh
lawannya yang masih muda. Orang dari bang wetan itu menyeringai seraya
memegangi pinggangnya yang sakit bukan main, dengan masih mendeprok
orang itu mengumpat dengan kasarnya.
Tak jauh dari kalangan pertama, tiga sosok menyerang ki lurah Lembu Sura
dengan gencarnya. Tubuh lurah dari Wira Manggala itu dibeberapa tempat
tergores tajamnya trisula milik ki Landung Galih. Ternyata kemampuan ki
Landung Galih dalam pengetrapan aji Kakang Pambarep Adi Wuragil, mampu
membuat lawannya mengalami kesulitan dan terdesak, sosok bayangannya
selain membuat lawannya bingung juga merupakan persoalan yang harus
dihadapi dengan pemusatan tersendiri.
Disisi lain, ki panji Menak Sengguruh merupakan seorang prajurit sandi yang
ngedab - ngedabi tandang dalam olah kanuragannya, setiap pukulannya
selalu membuat angin disekitarnya bergolak hebat, bahkan terasa perih
mengenai kulit.
"Bukan main orang ini." puji ki lurah Arya Dipa dalam hati.
Tangan kanan ki panji Menak Sengguruh menjulur layaknya ular mematuk -
matuk tubuh lawan dengan gesitnya, tapi pemuda yang merupakan prajurit
dari pasukan Wira Tantama itu seorang pemuda yang sudah mempunyai
pengalaman dalam menghadapi tata gerak mirip gerak ular, bahkan dulu
pemuda ini pernah bertempur mati - matian dengan naga Anta Denta di
lereng Penanggungan.
Setiap tangan lawannya mematuk, ki lurah Arya Dipa dengan cepat dan gesit
menyerang pergelangan tangan lawan sisi luar, sehingga ia mampu membuat
lawannya merubah tata geraknya yang lebih mantab. Perubahan tata gerak
lawan kini lebih rumit dan cepat dua kali lipat dari serangan sebelumnya.
Tanah yang mereka pijak menjadi tak karuan dengan rumput tercerabut dari
akarnya. Begitu juga dengan udara disekitar mereka bergolak hebat dengan
putaran tak terarah.
Perkelahian mereka berdua ini merupakan perkelahian yang paling seru dan
sengit. Bila diibaratkan sebangsa binatang, ki panji Menak Sengguruh bagaikan
ular naga yang menghadapi ki lurah Arya Dipa layaknya burung garuda. Si ular
dengan ekornya terus mengibas keras tubuh garuda yang terbang rendah, tapi
P a g e | 128

garuda ini dengan gesit mengepakkan sayapnya terbang tinggi menukik


menyambar dengan cakar kuat mengarah tubuh sang ular, bila sang ular
mengelak maka garuda itu terbang mendatar mengarah kepala untuk
mematuk dengan paruhnya.
Serang menyerang silih berganti dengan elakan lincah, kembali mendesak
hebat menyudutkan lawan tanpa ampun. Peluh yang mulai merembes tak
membuat keduanya berniat istirahat, tapi malah sebaliknya, peluh itu bagai
pemanasan saja dan meningkatkan ilmu mereka selapis demi selapis untuk
mengungguli lawan.
Dalam hati ki panji Menak Sengguruh, pujian mengalir terhadap lawannya
yang masih muda itu. Di kadipaten Puger saja yang mampu menyamai ilmunya
hanya segelintir orang saja, salah satunya ki rangga Sawung Rana murid ki Ajar
Bajulpati yang kini berada dekat dengan raden Sajiwo dan seorang yang
menyebut dirinya Lintang Kemukus Pangrampung. Namun disini ia bertemu
dengan pemuda yang selalu mampu menandinginya walau ia terus
meningkatkan ilmunya.
"Bila anak ini dibiarkan, maka ia akan menjadi batu sandungan dari pergerakan
panembahan Bhree Wiraraja." desia ki panji Menak Sengguruh.
Dalam hati sebenarnya panji ini berkecamuk perasaan bercabang, ingin
rasanya membunuh pemuda itu jika dirinya mampu, namun dilain sisi ia sangat
menyayangkan ilmu pemuda itu. Lalu ada sebuah pikiran melintas dalam
kepalanya.
"Anak muda, siapa namamu.?" tanyanya denhan terus menyerang.
"Arya Dipa, ki panji."
"Apakah kau seorang prajurit.?"
"Hemm, begitulah ki, aku memang prajurit Demak. Kenapa.?"
"Tidak, aku hanya mengagumi ilmu kanuraganmu itu." sejenak ki panji Menak
Sengguruh berhenti, lalu lanjutnya, "Bergabunglah dengan kami, maka kau
akan mendapat harta dan derajat.!"
Bujukan itu hanya ditanggapi senyum dengan terus menggebrak lawannya.
"Apa jawabmu.?" desak ki panji Menak Sengguruh.
Tapi lurah muda itu terus menyerang dengan dahsyatnya. Bahkan kakinya
mengenai pinggang lawan yang terbuka dan membuat lawannya tergeser.
"Hemm, terpaksa aku membunuhmu, agar kau tak menjadi batu sandungan.!"
dengus ki panji Menak Sengguruh.
Bersaman dengan itu orang dari bang wetan itu mulai merambah tenaga
cadangan, udara disekitarnya terasa panas menyengat.
P a g e | 129

Panasnya Langit Demak


jilid 4 bag 16
oleh : Marzuki
.
..
Gelembung - gelembung aneh nampak disekitar tempat ki panji Menak
Sengguruh berdiri, sebuah gelembung berwarna kuning kemerahan dan bila
saling bergesekan satu dengan lainnya, menimbulkan suara letupan. Saat
tangan orang dari bang wetan itu bergerak menghadap lawannya,
gelembung itu mengikuti mengambang mengarah tubuh lawannya.
Serangan dari gelembung itu tak dipandang sebelah mata oleh ki lurah Arya
Dipa, dengan gesit pemuda anak angkat ki panji Mahesa Anabrang mengelak
ke samping sejauh satu tindak. Gelembung itu berbenturan satu sama lain di
udara dimana sebelumnya ki lurah Arya Dipa berdiri, sudah dapat
dibayangkan gelembung berwarna kuning kemerahan itu meletup dengan
kerasnya, walau begitu ki lurah dari Wira Tamtama masih merasakan hawa
panas menyengat kulitnya.
"Hemm.. kali ini kau bisa lolos dari ilmu ku, anak muda, tapi aku akan
menerapkan serangan dengan lebih cepat dari sebelumnya.!" gertakan itu
memang nyata.
Sekejap kemudian tempat itu terkurung oleh gelembung yang tiba - tiba
muncul dikalangan tersebut. Ancaman menjurus kekematian tak terelakkan bila
puluhan gelembung itu mengenai sebongkah daging serta segumpal darah
manusia. Sebuah ilmu kuno pada wangsa Sanjaya pendiri kerajaan Mataram
kuno, telah muncul kembali di tangan panji dari kadipaten Puger ini. Dan hal itu
mengejutkan Arya Dipa, yang serba sedikit mengetahui ilmu itu di kitab Cakra
Paksi Jatayu, bahwasanya ilmu nggegirisi itu dinyatakan sesat.

"Prahara Kalageni..!" desis ki lurah Arya Dipa.


"He..kau mengetahui ilmu ku ini.? Siapa kau sebenarnya anak muda.?" suara ki
panji Menak Sengguruh bergetar.
"Sudah aku bilang aku lurah prajurit Demak, dan ilmu mu merupakan ilmu
terlarang di jaman Medang Kamulan dahulu hingga jaman Kadiri ilmu itu
dilarang keras untuk dipelajari."
"Huh itu hanya bualan semata, mengapa ilmu ini dilarang.? bukankah itu hanya
ketakutan segelintir orang saja.?" sangkal ki panji Menak Sengguruh.
Masih dalam kewaspadaan tinggi dan bahkan aji Niscala Praba mulai
P a g e | 130

diterapkan, ki lurah Arya Dipa menjawab dengan sebuah pertanyaan.


"Sudah berapa nyawa bayi yang kau tumbalkan untuk lelaku itu, ki panji.?"
Tak ayal lagi bagi ki panji Menak Sengguruh untuk menutupi mengenai ilmunya
yang merupakan ilmu sesat.
"Kau terlalu banyak mengetahui ilmu ini anak muda, pasti kau mempunyai
bekal untuk menghadapinya, tapi aji ini sudah hampir tingkat sempurna."
gertak ki panji Menak Sengguruh, yang tak menyadari jika lawannya
terselubungi oleh lapisan kuning kemilau, dikarenakan sinar gelembung dari aji
Prahara Kalageni miliknya menyamarkan.
"Mati kau anak muda..!!!!" teriak ki panji seraya menggerakkan kedua
tangannya, menandakan serangan gelembung kuning kemerahan
mengeroyok sasaran yang sudah terkepung.
Suara letupan maha dahsyat mengetarkan gumuk pinggiran padukuhan luar
kotaraja, dimana ki lurah Arya Dipa berdiri terkurung oleh api menyala
membumbung setinggi pohon kelapa. Sehingga hal itu membuat perkelahian
disekitarnya terhenti menatap api yang membumbung tinggi di tengah gumuk.

Bahkan api itu terlihat dari rumah penghuni padukuhan, satu dua peronda
jatuh lemas menyaksikan api yang mereka sangka berasal dari sosok yang
mereka takuti.
"Ba..naspati..!" teriak seorang pemuda sambil berlari tunggang langgang,
sedangkan kawannya pingsan tak sadarkan diri.

Panasnya Langit Demak


jilid 4 bag 17
oleh : Marzuki
.
..
Teriakan dari para peronda itu terdengar oleh seorang pemuda yang
mempunyai keberanian melebihi kawan - kawannya, pemuda itu meraih
pemukul kentongan dan memukul kentongan dengan irama bertalu - talu.
Padukuhan itu langsung terjadi keributan menanggapi suara kentongan yang
saling bersahutan dari parondan satu ke parondan lainnya, bahkan sampai
pintu gerbang kotaraja. Seorang lurah segera membawa sepuluh prajurit
berkuda dan menggebrak perut kuda berlari pintu gerbang yang terpaksa
dibuka untuk melihat apa yang terjadi di padukuhan itu.
Derap kaki kuda yang ditunggangi oleh prajurit Demak semakin membuat
P a g e | 131

penghuni padukuhan yang bernyali kecil, semakin meringkuk sembunyi di bilik


kamar mereka. Akhirnya sepuluh prajurit beserta beberapa peronda
padukuhan sampai di gardu peronda ujung padukuhan.
"Ada apa.?" tanya lurah prajurit, yang masih diatas punggung kuda.
"Api ki lurah, gumuk itu terbakar." jawab pemuda yang memukul kentongan.
Tapi kawannya menyahut dengan suara bergetar.
"Bu.. bukannya itu tadi Banaspati, Wawa.?"
"Ah.. kau ini, itu tadi pasti api biasa yang mungkin membakar pohon keluwih
atau trembesi di gumuk." bantah Wawa.
"Sudahlah aku dan prajurit akan melihat gumuk itu, jika kalian berani, ikutlah."
kata lurah prajurit, sambil menarik kekang kuda, meneruskan ke gumuk.

Hanya beberapa pemuda saja yang ikut ke gumuk, salah satunya Wawa. Jarak
puluhan tombak itu akhirnya bisa mereka tempuh beberapa saat saja.
Keheranan nampak di raut muka lurah prajurit yang turun dari kuda dan
mengamati keadaan di gumuk itu.
"Kakang lurah, sepertinya baru terjadi sebuah pertempuran yang dahsyat."
seorang prajurit mengungkapkan pendapatnya.
"Hem.. sepertinya apa yang kau katakan memang benar adi, lihatlah disini ada
ceceran darah yang masih segar, sementara disitu tanah hangus dan masih
terasa hawa panas.."
"Apa yang akan kita lakukan, kakang.?" tanya seorang prajurit.
Lurah itu terdiam sesaat, lalu kemudian memberi perintah kepada prajuritnya.
"Selidiki tempat ini dengan teliti dan cermat, apabila ada yang mencurigakan.,
segera beritahu kepadaku." lalu lurah itu berkata kepada seorang prajurit
berbadan tinggi, "Sukra kau kembali ke gardu parondan gerbang timur, dan
beritahu ki lurah Banyak Wide agar memperketat penjagaan."
"Baik ki lurah." lalu prajurit itu bergegas menaiki kuda dan memacu kudanya ke
gerbang timur.
....

Gumuk itu memang sudah kosong dari orang - orang yang sebelumnya terlibat
pertempuran. Suara kentongan dari padukuhan membuat ki panji Menak
Sengguruh bergegas meninggalkan gumuk setelah sebelumnya memberi
isyarat kepada ki Pracona dan ki Landung Galih tanpa menunggu apa yang
terjadi dengan lawannya.
Saat ketiga orang yang disangka penyusup itu meninggalkan tempat, Kidang
Alit terlambat untuk bertindak jauh dikarenakan dirinya mencemaskan Arya
P a g e | 132

Dipa yang terkurung oleh aji Prahara Kalageni milik ki panji Menak Sengguruh.
Sedangkan ki lurah Lembu Sura keadaannya juga tak memungkinkan, bahkan
lurah itu tampak kelelahan.
Di dalam kepungan api Prahara Kalageni, Arya Dipa sebenarnya mampu
menahan ilmu lawan dengan menggunakan aji Niscala Praba, yang
menyelubungi tubuhnya sehingga tak tersentuh oleh aji yang menakutkan itu.
Setelah menunggu beberapa saat akhirnya ilmu lawan dapat ia padamkan,
namun saat ia melihat kesekitar tak nampak batang hidung lawannya.
"Mereka melarikan diri, ki lurah." suara Kidang Alit menyadarkanya.
"Oh.. ra eh kakang.." kata Arya Dipa.
"Bagaimana keadaanmu.?"

"Aku tak mengapa, kakang." sahut ki lurah Arya Dipa, lalu, "Oh ki lurah Lembu
Sura."
Pemuda itu berlari ke arah tubuh ki lurah Lembu Sura yang pingsan.
"Mari kita tinggalkan tempat ini, mungkin api tadi akan mengundang para
peronda." ajak Kidang Alit atau raden Bagus Mukmin, sambil ikut membopong
ki lurah Lembu Sura.
"Biar aku saja, raden."
Keduanya lantas pergi dari gumuk sambil mendukung tubuh ki lurah Lembu
Sura yang jatuh pingsan.

Panasnya Langit Demak


jilid 4 bag 18
oleh : Marzuki
.
..
Dua orang dengan mendukung sesosok tubuh berlari melewati pemantang
sawah tanpa adanya kesulitan sedikitpun. Mereka tak lain ki lurah Arya Dipa
dan Kidang Alit atau raden Bagus Mukmin, sedangkan dalam dukungan di atas
pundak ki lurah Arya Dipa tubuh ki lurah Lembu Sura masih tak sadarkan diri.
Melalui tembok yang mereka berdua lewati sebelumnya, yang dimana seutas
tali kuat masih terikat kuat di pohon waru, keduanya kembali menaiki tembok
tinggi kotaraja.
"Bagaimana dengan ki lurah Lembu Sura.? Apa harus harus di bawa ke
Ksatriyan.?"
"Jangan raden, sebaiknya akan hamba bawa ke rumah ki Bonangan." sahut ki
P a g e | 133

lurah Arya Dipa, "Dan sebaiknya, raden kembali ke ksatriyan sekarang juga."
"Baik.. berhati - hatilah, dan segera kau ke ksatriyan."
"Sendiko raden." ki lurah Arya Dipa, menyanggupi.
Setelah kepergian raden Bagus Mukmin dari bawah pagar tembok, ki lurah
Arya Dipa dengan hati - hati bergegas menuju rumah ki Bonangan yang
pernah dirinya menginap sebelum menjadi prajurit Demak. Sampai di regol
rumah ki Bonangan, seorang pembantu ki Bonangan yang duduk di pringgitan
mengerutkan kening saat memandang ke arah regol.
Pembantu ki Bonangan berdiri dengan kewaspadaan, tangannya tanpa sadar
menyentuh keris yang terselip di pinggangnya sambil berjalan ke arah regol.
"He siapa kau.?!" hardik pembantu rumah tangga itu.

"Aku paman Sentanu, Dipa.." jawab orang yang memang ki lurah Arya Dipa.
"Oh denmas, ada apa ini.?"
"Nanti saja paman, tolong buka pintu regolnya."
"Oh... maaf paman lupa." kata ki Sentanu sambil membuka pintu regol.
Setelah memasuki halaman rumah ki Bonangan, keduanya membawa tubuh ki
lurah Lembu Sura ke pringgitan.
"Paman beritahukan kepada ki Bonangan, aku menitipkan tubuh ki lurah Lembu
Sura disini untuk malam ini, besok aku akan menjelaskan kepada ki Bonangan."
Tapi sebuah langkah membuat keduanya menengok ke arah langkah itu.
"Oh ki Bonangan." desis ki Sentanu.
Orang itu memang ki Bonangan, salah satu kepercayaan pangeran Trenggono
yang rumahnya di ujung kotaraja.
"Oh kau denmas Arya Dipa." sapa ki Bonangan.
"Benar ki, maaf mengganggu ketenangan rumah ki Bonangan."
"Siapa dia, denmas.? apa yang terjadi.?" tanya ki Bonangan setelah melihat
seorang yang masih dalam dukungan ki lurah Arya Dipa.
Tapi sebelum Arya Dipa menjawab, ki Bonangang kembali berkata,
"Sebaikanya bawa masuk orang ini ke gandok kanan, supaya mendapat
perawatan."
Maka segera tubuh ki lurah Lembu Sura di bawa ke gandok kanan dan
direbahkan di sebuah amben.

"Sebelumnya aku sudah memeriksa keadaanya, ki. Dan berhasil memampatkan


lukanya."
"Syukurlah, ada apa sebenarnya denmas.?" kembali ki Bonangan bertanya.
Lalu pemuda itu menceritakan kejadian yang ia alami di gumuk ujung
P a g e | 134

padukuhan luar kotaraja tanpa menyangkutkan nama raden Bagus Mukmin.


"Begitulah paman, tapi saat hendak mengejar para penyusup itu keadaan ki
lurah Lembu Sura menguwatirkan, maka aku membawanya kemari."
Orang tua kepercayaan pangeran Trenggono itu manggut setelah
mendengarkan penjelasan dari ki lurah Arya Dipa dan berjanji akan merawat ki
lurah Lembu Sura.
"Baiklah ki Bonangan, aku mohon diri dan besok aku akan kemari."
"Iya denmas."
Malam hampir sampai di ujungnya, pemuda itu berjalan menyusuri lorong sepi
dan kecil untuk menghindari prajurit peronda yang bertugas di malam itu.
Walau agak memutar akhirnya ki lurah Arya Dipa sampai di Ksatriyan dan
melaporkan kalau ki lurah Lembu Sura dalam perawatan ki Bonangan.
"Baiklah ki lurah, bersihkan tubuhmu ke pakiwan dan beristirahatlah di gandok
kanan."
"Injeh raden.." dan ki lurah menuju ke pakiwan untuk membersihkan tubuhnya.
Gemericik air membuat tubuh pemuda itu kembali segar, walau hari malam
dengan hembusan angin membuat air terasa dingin.

Panasnya Langit Demak


jilid 4 bag 19
oleh : Marzuki
.
..
Kicau burung terasa merdu di telinga, berbagai jenis burung tampak di
pepohonan sedang melompat dari satu pohon ke pohon lainnya, kadangkala
kepakan sayap membuat burung - burung itu terbang rendah dan hinggap lagi
ke dahan atau pun ke ranting pohon.
Pagi yang cerah dengan adanya sinar sang fajar tanpa adanya awan yang
menutupi, semakin menambah kecerahan di pagi itu. Dan sinar itu menerangi
bilik di mana ki lurah Lembu Sura berbaring, melewati sela - sela lubang angin.
Desuhan napas mulai terdengar seiring keriyapan mata lelaki paruh baya itu.
Semakin nyata mata itu terbuka sehingga dipenglihatan lurah Wira Manggala
nampak kayu usuk di langit - langit.
"Uuh..." desuh kembali terdengar lirih.
Ketika tubuh itu bergerak dan ingin berdiri dari pembaringan, pintu bilik gandok
berderit dan seseorang membuka pintu itu dengan membawa nampan.
"Berbaringlah, ki lurah." sapa orang itu, yang tak lain ki Bonangan.
P a g e | 135

Mata yang masih merasakan sakit itu memandang penuh keheranan terhadap
orang yang menyapanya.
"Jangan bingung, ki lurah. Kau di tempat yang aman dan masih di lingkungan
kotaraja Demak." kata ki Bonangan, yang dapat memahami apa yang ada
dalam hati ki lurah Lembu Sura.
Setelah merasa yakin dengan apa yang dikatakan oleh orang yang memasuki
bilik dimana ia berbaring, ki lurah Lembu Sura menyandarkan tubuhnya.
Sementara ki Bonangan mengangsurkan nasi sepiring dengan lauk sederhana
kepada ki lurah Lembu Sura.
"Makanlah ki lurah, supaya tubuhmu cepat pulih."

"Terima kasih, kyai." ucap ki lurah, sambil menerima piring yang terbuat dari
tanah liat.
"Tadi malam, denmas Arya Dipa membawa ki lurah kemari dan memintaku
merawat ki lurah yang mengalami cedera."
Demi mendengar penuturan itu, ki lurah teringat apa yang ia alami tadi malam
di gumuk luar padukuhan. Memang saat itu dirinya mengalami beberapa
goresan luka di tubuhnya, saat lawannya meninggalkan gumuk sebenarnya
dirinya akan mengejar walau mungkin itu akan membahayakan dirinya, namun
darah yang keluar terlalu banyak, maka ia pun jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Dan saat itulah hanya ki lurah Arya Dipa dan kawannya yang menolongnya
dan membawa dirinya kepada seseorang yang belum ia kenal.
"Tapi mengapa aku dibawa kemari.? tidak ke barak atau rumahku.?" tanya ki
lurah Lembu Sura dalam hati.
"Maaf kyai, sebenarnya siapa kyai ini.?" tanya ki lurah setelah menghabiskan
makanan dalam piring.
"Minumlah ramuan ini." tanpa memberi jawaban, ki Bonangan mengulurkan
bumbung gelas yang berisi ramuan kepada lurah prajurit.
Seteguk demi seteguk ramuan itu memasuki tenggorokan ki lurah, walau terasa
pahit di lidah, namun setelah masuk dalam lambung tubuhnya terasa hangat
dan nyaman.
"Bagaimana keadaan ki lurah.?"
"Sepertinya rasa sakit semakin berkurang, kyai. Dan tubuhku terasa nyaman."
"Syukurlah." ucap ki Bonangan, "Aku sering disebut dengan Bonangan oleh
tetangga disekitar sini, ki lurah. Dan ki lurah Arya Dipa merupakan salah seorang
yang kawan baikku."

Kepala ki lurah manggut, dalam hati ia berterima kasih kepada lurah muda dari
P a g e | 136

Wira Tamtama itu, jika tiada lurah muda itu muncul, mungkin nyawanya
sekarang akan tertanam tanah gumuk atau hal yang mengenaskan lainnya,
yaitu menjadi santapan burung gagak atau binatang buas lainnya.
Sementara itu dari balik bilik gandok, ki Sentanu yang merupakan pembantu ki
Bonangan muncul dan mengatakan kalau ki lurah Arya Dipa datang.
"Suruh ia masuk, Sentanu."
"Baik, ki."
Tak lama kemudian ki lurah Arya Dipa memasuki bilik itu dengan menyapa
salam tuan rumah dan ki lurah Lembu Sura. Dan tak lupa menanyakan
keadaan dari ki lurah Lembu Sura.
"Terima kasih, ki lurah. Jika kau tak berada di gumuk itu, mungkin aku tak lagi
berbicara sebebas ini."
"Ah sudahlah, ki lurah. Itu semua hanyalah kebetulan saja, jika bukan aku
mungkin orang lain, karena aku merasakan seseorang bersembunyi di balik
rerumputan tak menampakkan dirinya." sahut ki lurah Arya Dipa, sambil melirik
ke arah ki Bonangan.
"Ah benarkah itu.? ternyata aku tak merasakan keberadaan seseorang."

Panasnya Langit Demak


jilid 4 bag 20
oleh : Marzuki
.
..
Senyum menghiasi bibir ki Bonangan manakala memerhatikan raut muka ki
lurah Lembu Sura yang menandakan ketidakmampuannya dalam membaca
situasi di malam sebelumnya.
"Sudahlah ki lurah, tak usah kau pikirkan hal itu. Sekarang sebaiknya kau
menmanfaatkan waktu ini untuk penyembuhan tenaga maupun luka yang ki
lurah derita." akhirnya ki Bonangan bersuara.
Anggukan terlihat dari prajurit Wira Manggala itu, dengan merebahkan kembali
tubuhnya di atas pembaringan, untuk mengikuti petunjuk dari ki Bonangan
yang mengerti mengenai ilmu pengobatan melalui tata pernapasan demi
melancarkan peredaran darah dalam tubuh. Sesudah memberikan beberapa
petunjuk kepada ki lurah Lembu Sura, ki Bonangan mengajak ki lurah Arya Dipa
menuju ruang utama rumahnya.
Di ruang utama terdapat beberapa perkakas dan pajangan kepala seekor
harimau loreng dengan mulut menganga, di sudut ruangan terlihat dua
P a g e | 137

tombak yang ujungnya tertutup selongsong berdiri tegak di tempatnya.


Keduanya duduk di tikar anyaman pandan saling berhadapan. Tak berapa
lama, seorang pembantu wanita ki Banongan muncul membawa nampan
dengan berisikan minuman dan sepiring ketela rebus yang masih hangat, dan
menaruh di tengah ki Bonangan dan ki lurah Arya Dipa. Setelah
mempersilahkan maka pembantu wanita itu kembali masuk ke ruang dalam
menuju dapur.
"Silahkan Anakmas lurah, mumpung masih hangat." ki Bonangan
mempersilahkan.
"Terima kasih, ki." ucap lurah muda itu sambil meraih gelas yang terbuat dari
tanah liat dan meneguk wedang sere itu.
Sambil menikmati hidangan itu, ki lurah Arya Dipa mengeser letak duduknya
dan bertanya keada tuan rumah, "Apakah kyai bisa menduga apa yang akan
terjadi di Demak ini.?"

Helaan napas orang tua itu terasa berat sambil mengerjapkan matanya.
"Tentu kau bisa menduganya anakmas, kekosongan tahta ini mungkin akan
dimanfaatkan oleh pihak berseberangan khususnya orang - orang dari bang
wetan." kata ki Bonangan, "Apalagi orang - orang itu mempunyai ilmu aneh
seperti yang kau hadapi semalam, mungkin kalau aku yang menghadapi
orang yang kau hadapi itu, aku akan hangus tak tersisa."
"Memang tepat kalau pangeran Trenggono memilihmu untuk mengawal raden
Bagus Mukmin, selain pemomongnya yang kini sedang kembali ke
padukuhannya." lanjut orang tua itu.
"Oh jadi raden Bagus Mukmin mempunyai seorang pemomong sampai saat ini,
kyai.?"
"Iya, namanya ki Surayata."
"Oh ya apakah kyai memberitahukan situasi tadi malam kepada kanjeng
pangeran Trenggono.?"
"Tenanglah anakmas, aku masih merahasiakan tindakan raden Bagus Mukmin
yang keluar hanya bersamamu, tapi seandainya pangeran Trenggono tahu
pun, ia tak akan melarangnya."
Kelegaan menyelimuti pemuda itu, andai ki Bonangan melaporkan tindakan
tadi malam kepada pangeran Trenggono dan saat itu raden Bagus Mukmin
mengalami sesuatu, maka dirinya tentu mendapat hukuman.
"Apa yang kau pikirkan, anakmas.?"
"Ah tidak kyai, aku hanya membayangkan sesuatu yang mengacam nyawa
kerabat keraton sepertinya semakin nyata."
P a g e | 138

"Hem.. memang hal itu patut diwaspadai, semoga tak ada situasi
menggemparkan terjadi di tanah Demak ini." sebuah doa terlontar dari orang
tua itu.
........

Saat bersamaan di pinggiran sungai, Seorang berpakain hitam dengan topeng


menutupi wajahnya sedang duduk bersama tiga orang yang tak lain ki panji
Menak Sengguruh, ki Pracona dan ki Landung Galih.
"Hemm, siapa sebenarnya pemuda yang kau hadapi itu, ki panji.?"
"Dia menyebut dirinya Arya Dipa, seorang lurah prajurit." jawab ki panji Menak
Sengguruh, " Tapi aku yakin jika anak itu pasti hangus tak tersisa dari Prahara
Kalageni milikku."
"Kita harus semakin waspada, jangan sampai gerakan ini tercium oleh orang
Demak." tegas orang bertopeng itu.
"Baik Lintang Kemukus, lalu bagaimana dengan rencana dari raden Sajiwo."
Senyum mengembang menghiasi bibir orang bertopeng yang disebut Lintang
Kemukus.
"Usahakan orang dalam menggiring sasaran, untuk rencana pengambilan
pusaka berjalan mulus dan semoga kawan lainnya mampu menghasut
seseorang untuk melakukan puncak dari rencana ini."
Semua orang tersenyum dan mulai membayangkan keberhasilan rencana itu,
sebuah rencana adu domba melemahkan kekuatan sang singa lalu batu
disergap secara bersamaan. Kehancuran Demak dan keturunannya akan
melahirkan sebuah kerajaan baru yang akan dikendalikan oleh Panembahan
Bhre Wiraraja dengan memberikan imbalan kepada pendukungnya berupa
pangkat dan harta kekayaan.

Walau pendukung paling bawah sebenarnya masih gelap dalam memahami


jati diri dan bahkan penampilan sosok Panembahan itu pun belum mereka
ketahui, jangankan sosok Panembahan, raut muka tangan kanannya saja yang
sekarang berada diantara mereka dengan sebutan Lintang Kemukus
Pangrampu saja masih rahasia.
Pernah ada seorang pendukung dari lembah pantai kidul mempersoalkan
kehadiran Panembahan Bhre Wiraraja, tak ayal orang itu mendapat perlakuan
yang membuat nyawanya terbang. Dan di lain hari seorang tumenggung bang
wetan tak mengakui kekuasaan dari seorang yang menyebut dirinya Lintang
Kemukus Pangrampung, hal serupa dialami oleh tumenggung itu. Di tengah -
tengah suasana perkumpulan, tumenggung itu tewas di tangan Lintang
P a g e | 139

Kemukus dengan kepala putus dari lehernya.


"Siapa yang tak mengakui kekuasaan yang aku emban dari Panembahan Bhre
Wiraraja dan menyangsikan ke absahan dari Panembahan, maka ia akan
mengalami hal ini.. cam kan hal ini..!"
Sejak saat itu tiada yang mengusik atau mempersoalkan jati diri Lintang
Kemukus maupun Panembahan Bhre Wiraraja dalam kelompok ini.

Panasnya Langit Demak


jilid 4 bag 21
oleh : Marzuki
.
..
Pertemuan kerabat keraton dengan sesepuh serta penasehat kesultanan
dalam membahas kelanjutan tahta, terasa alot dan rumit. Belum usai
menemukan kesepakatan yang nyata, kini terdengar adanya kegiatan yang
menggemparkan dibeberapa kadipaten di bang wetan.
Prajurit telik sandi melaporkan adanya kekuatan berpusat di Penarukan mulai
bergerak ke barat menyusuri kademangan Grati terus ke pinggir kadipaten
Japanan. Berselang sepekan warta mengejutkan menyatakan pertahanan
kadipaten Japanan jebol sehingga membuat adipati dan kerabat kadipaten
beserta para nayaka praja Japanan mengungsi ke kadipaten Tuban dan
Ponorogo.
"Adimas pangeran Trenggono, ini tak bisa dibiarkan, aku akan kembali ke
Jipang Panolan untuk menyusun kekuatan menghadang pasukan itu." suara
tegas terdengar dari pangeran Sekar atau raden Kikin.
Rasa yang sama dirasakan oleh raden Kanduruwan dan beberapa utusan dari
kadipaten bang wetan yang masih menanti hasil penunjukan sultan di Demak,
untuk kembali ke kadipaten masing - masing demi mempertahankan tanah
kelahiran mereka dari ancaman penguasa ujung timur.
Sebenarnya pangeran Trenggono juga mengkwatirkan pasukan gabungan dari
tiga kadipaten bang wetan yang menurut warta dipimpin oleh seorang yang
menyebut dirinya Panembahan Bhre Wiraraja. Bahkan dirinya juga siap
mengikuti kakaknya, namun oleh para sesepuh hal itu tidak diijinkan.
"Aku rasa cukup anakmas pangeran Sekar saja yang bertindak melakukan
penghadangan pasukan itu, dan untuk mengimbangi kekuatan dari bang
wetan, biarlah pasukan dari Ponorogo, Ujung Galuh, dan Jipang Panolan serta
Tuban dipusatkan dibarat kali Brantas." kata ki patih Wanasalam anom.
P a g e | 140

"Tapi biarkan diriku juga ikut membantu kakanda pangeran Sekar, kakang
patih." pangeran Trenggono masih mendesak ingin pergi ke garis depan.
"Sudahlah adimas, tak baik juga bila disini terjadi kekosongan pemimpin, dan
aku rasa kemampuan adimas sangat dibutuhkan di kotaraja. Biarlah aku saja
yang memimpin pasukan segelar sepapan menghancurkan pasukan di
Japanan." akhirnya pangeran Sekar ikut membujuk.
Saat pembicaran berlangsung di balai Manguntur masih berlangsung, tiba -
tiba seorang lurah prajurit datang menghadap melaporkan adanya utusan dari
Jipang Panolan.
"Suruh prajurit itu menghadap."
"Sendiko dawuh gusti." lalu lurah prajurit itu memanggil utusan Jipang dan
dihadapkan ke balai Manguntur.
Utusan itu dengan laku layaknya seorang prajurit menghadap gusti, dengan
unggah ungguh kesopanan melaporkan kejadian yang semakin
menggemparkan.
"Ampun gusti pangeran, ketiwasan.."
"Ada apa prajurit.? katakanlah supaya yang hadir ini bisa mendengar dengan
jelas."
Prajurit itu beringsut agak maju dengan kedua tangan merangkap di depan
melekat di dahi.
"Ketiwasan, kanjeng gusti.. kadipaten Tuban dan Ujung Galuh kini diduduki oleh
pasukan Panembahan Bhre Wiraraja." jawab prajurit itu dengan suara bergetar.

Balai Manguntur bagaikan dilanda gempa, semua yang hadir terkejut dengan
warta yang di bawa oleh utusan dari Jipang itu. Bila Ujung Galuh dan Tuban
telah direbut oleh pihak lawan, maka kini kadipaten garis depan ialah
kadipaten Jipang Panolan untuk sisi utara.
Seketika pangeran Sekar berdiri dari tempat duduknya, dan menghadap ke
arah duduk pangeran Trenggono, ki patih Wanasalam anom dan seorang
sesepuh Demak.
"Kakang patih Wanasalam, adimas pangeran dan paman Ngabehi Arya
Wiratanu, biarlah aku mendahului ke timur untuk mengumpulkan segenap
kawula kadipaten Jipang." seru pangeran Sekar, "Dan bila adimas atau siapa
pun yang ingin memimpin pasukan dari Demak juga bergerak ke timur, aku
akan menunggu di Jipang Panolan. Tapi aku harap bantuan dari Demak
sesegera mungkin."
"Baiklah kakang, aku akan berjanji segera menyusun pasukan bantuan dan
memimpin sendiri." sanggup pangeran Trenggono.
P a g e | 141

Maka pangeran Sekar yang tak lain ayah Arya Jipang dan Arya Mataram,
bergegas kembali menuju Jipang Panolan. Sepeninggal pangeran Sekar,
pemimpin tertinggi sementara di Demak, mengumpulkan nayaka praja untuk
menyusun pasukan yang akan diperbantukan menggedor pasukan bang
wetan yang telah menguasai kadipaten Tuban.
Derap belasan kaki kuda mulai terdengar keluar dari gerbang kesultanan,
dipaling depan kuda itu ditunggangi oleh pangeran Sekar dengan dikawal
oleh belasan prajurit pilihan dari Jipang Panolan. Iringan dari pangeran Sekar
itu, membuat seseorang yang berdiri di pinggir jalan yang dilalui iringan,
tersenyum.
"Bagus, sasaran sudah keluar dari kotaraja.." desis orang itu yang melangkahkan
kakinya meninggalkan tempat itu.

Panasnya Langit Demak


jilid 4 bag 22
oleh : Marzuki
.
..
Iringan dari pangeran Sekar terus memacu kuda mereka melintasi
kademangan luar gerbang kotaraja, walau sang matahari sudah sepenggalah,
iringan itu tanpa beristirahat tetap melanjutkan perjalanan yang panjang itu.
Bahkan saat makan pun, tetap berada dipunggung kuda sambil mencongklak
kuda demi mengejar waktu.
Hingga akhirnya menjelang senja, iringan yang dipimpin oleh pangeran Sekar
memasuki sebuah padang ilalang yang tumbuh dipinggir telatah kadipaten
Jepara.
"Berhenti..!" isyarat dari pangeran Sekar, sambil mengangkat tangan kiri.
Semua pengawal prajurit menarik kekang kuda untuk menghentikan laju kuda
mereka. Senopati Rakai Welar menggiring kudanya mendekati kuda
tunggangan raden Kikin hingga sebaris berdekatan.
"Senopati, perintahkan kepada para pengawal, kita akan bermalam disini."
"Baik, pangeran. Kami akan mendirikan tenda serta membuat pagar
penghalang dari gangguan hewan liar." sahut senopati Rakai Welar.
Senopati dan kemenakan patih Mentahun itu lantas memerintahkan para
pengawal untuk mendirikan tenda dan yang sebagian memangkas dahan
sebesar lengan untuk membuat pagar mengitari tenda, lalu sisanya membabat
ilalang supaya tanah lapang dan rata.
P a g e | 142

Kesigapan terlihat dari pengawal prajurit pilihan itu. Dengan cepat tugas dapat
dilakukan sehingga empat tenda berdiri melingkari tanah lapang seluas empat
tombak bila dilingkarkan, tanah lapang itu nantinya akan dijadikan tempat api
unggun. Selain itu dahan hasil memangkas beberapa pohon yang tumbuh di
pinggir padang ilalang, mulai ditanam berjajar membentuk pagar yang
berguna membatasi adanya gangguan binatang buas.
Setelah senja sepuluh obor dinyalakan dan diikatkan di seputar pagar untuk
menerangi sekitar tenda, selain itu berguna menghalau binatang buas supaya
tak mendekati sekitar tenda. Di tengah - tengah dimana tenda berdiri, api
unggun juga dinyalakan untuk menghangatkan tubuh dari hembusan angin
padang ilalang itu.

Dalam pada itu di dalam tenda khusus bagi pangeran Sekar, senopati Rakai
Welar memasuki sambil membawa makanan dan minuman bekal mereka.
"Ini pangeran, untuk sekedar mengisi perut." senopati itu mempersilahkan.
"Terima kasih, senopati. Makanlah terlebih dahulu, aku belum lapar." gumam
pangeran Sekar, sambil menghela napas.
"Ah... maaf pangeran, adakah sesuatu yang pangeran pikirkan." senopati itu
memberanikan diri bertanya.
Helaan napas terdengar dari anak raden Patah itu, tatapan mata terlihat
menerawang jauh menembus dinding tenda.
"Apakah pangeran mencemaskan pertahanan di Jipang.? Percayalah,
pangeran. Hamba kira paman patih Mentahun dapat mengulur waktu hingga
kita dan bantuan dari Demak tiba." kembali senopati Rakai Welar angkat
bicara.
"Hem.. Sebenarnya aku juga mempercayai kalau kakang patih Mentahun
dapat bertindak dengan cepat, namun hati ini merasakan adanya sesuatu
yang sangat mengkwatirkan.."
Sejenak pangeran Sekar berhenti untuk meraih wadah air yang terbuat dari
kulit, lalu meneguk air secara perlahan.
"Aku masih memikirkan sesorang yang menyebut dirinya Lintang Kemukus itu."
"Oh.. maksud pangeran, orang yang berkerudung hitam itu.?" tanya senopati
Rakai Welar.
"Benar.. orang itu juga merupakan ancaman yang patut diperhitungkan."
"Maafkan hamba, pangeran. Sampai saat ini tak ada warta mengenai jati diri
orang itu." senopati merasa dirinyalah yang patut disalahkan.
"Sudahlah, kau tak usah berlaku seperti itu, Rakai Welar. Selama ini aku tahu
bahwasannya pengabdianmu sangat besar kepada kadipaten."
P a g e | 143

Di luar angin berhembus membuat udara terasa dingin dikulit para pengawal
yang bertugas berjaga. Api unggun pun nampak berliuk - liuk seirama
hembusan angin yang mempermainkannya. Sementara dikejauhan lolongan
anjing liar saling bersahutan menggetarkan udara malam dan membuat
beberapa hewan mangsanya lari tunggang langgang. Di sekitar pagar
nampak dua orang prajurit berjaga - jaga mengawasi sekitar mereka.

"Aduh, nyamuk sialan tak tahu diri.." gerutu seorang prajurit, sambil menggaruk
tengkuknya.
"Ah.. baru seekor nyamuk saja kau sudah heboh seperti ini.." ucap kawannya,
"Untung bukan anjing liar itu yang menggigit tengkukmu."
"Huh kau ini.. Sebelum anjing itu mendekat, tentu aku sudah melempar pisau
kearah anjing itu." bantah prajurit pengawal.
"Hohoho.. Iya kalau mengenainya, jika tidak.? kau yang akan diterkam
kawanan anjing liar itu beramai - ramai." goda kawannya sekali lagi.
Prajurit pertama menggeram sambil berlalu meninggalkan kawannya yang
masih tertawa.
"He.. tunggu, kau nanti akan dikeroyok kawanan hewan buas itu.." teriak
kawannya sambil mengikuti prajurit pertama.
Malam terus merangkak sesuai kodratnya, dan petugas berjaga berganti sesuai
apa yang telah ditentukan. Malam itu tiada hal yang mencurigakan ataupun
membahayakan, hingga sang Bagaskara merekah menyinari tanah di padang
ilalang itu.
Seusai menyantap sarapan di pagi hari seadanya, senopati Rakai Welar
memerintahkan para prajurit berkemas untuk kembali melanjutkan perjalanan
yang masih panjang. Tak berselang lama derap langkah kuda mulai terdengar
mengguncang bekas perkemahan dan meninggalkan debu membubung
dibelakang kuda.
Pada hari sukra, iringan dari pangeran Sekar sampai di sebuah padukuhan
yang sudah dalam lingkup telatah kadipaten Jipang Panolan. Walau jarak dari
padukuhan itu dengan kotaraja kadipaten tak terlalu jauh, tapi pangeran Sekar
ingin berhenti di padukuhan itu untuk melakukan ibadah bersama penghuni
padukuhan setempat.
"Kita sebaiknya melepas lelah di padukuhan ini, senopati. Mumpung hari ini hari
sukra, kita akan beribadah bersama penghuni padukuhan di langgar
setempat."
"Baik, pangeran. Kalau begitu hamba akan bicara kepada ki bekel setempat."
Lalu senopati Rakai Welar mencari rumah ki Bekel untuk menyampaikan
P a g e | 144

keinginan dari pangeran Sekar. Tiada kira senangnya ki Bekel mengetahui


kedatangan iringan menantu adipati Jipang, maka ia melakukan
penyambutan serta menjamu iringan pangeran Sekar di rumahnya. Tentu saja
raden Kikin tak enak bati menampik kebaikan dari ki Bekel.

"Terima kasih atas jamuan ki Bekel." ucap pangeran Sekar.


"Ini semua kami haturkan atas kebaikan pangeran serta para nayaka praja
Jipang dalam menjaga keamanan padukuhan ini, pangeran." kata ki Bekel,
"Bilamana tiada ronda dari pasukan berkuda Jipang melewati padukuhan ini,
mungkin padukuhan ini selalu disatroni oleh kawanan perampok."
"Itu sudah menjadi tugas kami sebagai pejabat kadipaten Jipang, ki Bekel.
Demi ketentraman dan kesejahteraan para kawula, kami berusaha bertindak
sesuai paugeran yang telah ditentukan."
Jamuan itu terasa sangat menyenangkan bagi iringan dari Demak yang akan
kembali ke Jipang. Hingga suatu saat terdengar suara bedug bertalu - talu dari
langgar, yang menandakan sudah waktunya beribadah dilaksanakan.
"Oh.. mari pangeran, sudah waktunya.."ajak ki Bekel.
"Mari, ki Bekel.."
Dengan segenap hati maka mereka menuju padasan untuk sesuci dan segera
memasuki langgar untuk beribadah di hari sukra itu.

Panasnya Langit Demak


jilid 4 bag 23
oleh : Marzuki
.
..
Tatkala sang surya semakin bergerak ke barat, seusai melukakan sembahYang
di langgar padukuhan, pangeran Sekar mengucapkan ucapan terima kasih
sekaligus berpamitan kepada ki Bekel dan bebahu padukuhan.
"Selamat jalan pangeran, hamba harap lain waktu jika pangeran melewati
padukuhan ini, berkenan singgah di gubuk hamba." pinta ki Bekel sekaligus
mengantar keberangkatan pangeran sampai gapura ujung padukuhan.
"Tentu ki Bekel." dan pangeran menaiki punggung kuda yang diikuti oleh
pengawal prajurit dengan diiringi oleh lambaian tangan ki Bekel dan bebahu
padukuhan.
Kuda - kuda itu bergerak menyusuri jalan yang kanan dan kiri terhampar sawah
sebatas mata memandang, sawah dengan tanaman jagung yang siap panen
P a g e | 145

di musim mangsa ketigo itu terlihat berhasil, itu terlihat dari tongkol jagung besar
memanjang. Sedangkan lebih ke timur tanaman padi tumbuh dengan
suburnya, ini dikarenakan tanah sawah dekat dengan aliran sungai, walaupun
di musim kemarau air tetap melimpah dan dialirkan ke parit - parit yang dibuat
oleh penghuni padukuhan.
Iringan itu membelok ke hilir menyusuri tepian sungai mencari permukaan
sungai yang dangkal supaya dapat menyeberang ke sisi bagian timur. Di
teriknya sang bagaskara itulah ada keinginan raden Kikin untuk membasuh
muka dengan air jernih sungai, oleh sebab itu maka menantu adipati Jipang
Panolan turun dari kuda, dan tanpa menghiraukan para pengawalnya raden
Kikin menghampiri tepian dan meraup air lalu membasuhkan ke wajahnya.
Keheranan terlihat diseluruh para prajurit pengawal, tak seperti biasanya
junjungan mereka bertingkah seperti di siang itu. Bukankah sebelumnya di
padukuhan berjarak ratusan tombak dari sungai ini, raden sudah membasuh
wajahnya.? Itulah dalam pikiran mereka.
Sekali lagi raden Kikin kembali membasuh wajahnya, bahkan seteguk air jernih
sungai itu masuk dalam mulutnya .
"Ah.... sungguh segar air ini." gumam pangeran Sekar, setelah meneguk air
sungai.
Di belakangnya senopati Rakai Welar berdiri ragu.
"Pangeran..." hanya itu saja suara yang keluar dari mulut kemenakan ki patih
Mentahun.
Saura itu membuat pangeran Sekar menoleh dan menatap abdi setianya itu,
lalu ia perlahan berdiri melangkahkan kakinya ke sebuah batu sebesar kerbau
dan duduk menghadap sungai.

"Rakai Welar.."
"Dhalem..pangeran." jawab senopati Rakai Welar.
"Kau pasti heran dengan apa yang aku lakukan, bukan.?" tanya ayah dari Arya
Jipang.
Bergayut rasa heran di benak sang senopati atas apa yang ditanyakan oleh
junjungannya itu.
"Maafkan hamba pangeran, begitulah yang hamba rasakan saat ini, begitu
juga dengan para prajurit lainnya." ucap senopati Rakai Welar, sambil
mengunjuk sembah.
"Aku sendiri pun juga bingung, Rakai Welar.. tapi aku merasakan tempat ini
terasa sangat nyaman dan akan menjadi tetenger akan diriku."
Ini menambah kebingungan yang menggunung di hati senopati Rakai Welar,
P a g e | 146

bahkan kebingungan itu berganti menjadi kegelisahan tersendiri di hatinya,


walau dirinya sulit memahami arti dari kegelisahan yang tak berujung itu. Tapi
sebuah derap kuda memecah alam pikiran dan mengembalikan ke alam
sadar dari senopati Rakai Welar.
Kernyit dahi terlihat di dahi senopati muda itu saat mengedarkan pandang
matanya yang menumbuk seekor kuda hitam dengan penunggang yang tak
asing.
"Pangeran, bukankah itu pemomong raden Bagus Mukmin.?" tanya senopati
Rakai Welar, meminta penegasan.
Memang tak salah lagi apa yang diucapkan oleh senopati andalan Jipang
Panolan itu, memang penunggang itu ki Surayata.
Bibir pangeran Sekar, berdesis lirih " ki Surayata."
Penunggang kuda itu dengan tangkas turun dari kuda dan menghormat
kepada pangeran Sekar dan mengucapkan salam pangabekti.
"Kau dari mana, ki Surayata.?"
"Ampun pangeran, hamba baru menjenguk kampung halaman dan tanpa
sengaja melihat iringan yang bercirikan prajurit Jipang Panolan." kata ki
Surayata
"Lalu.?"
"Begini pangeran, hamba sebagai utusan ingin menghaturkan sesuatu kepada
pangeran."
Alis pangeran nampak mengernyit ke atas.
"Siapa yang mengutusmu dan apa yang akan kau haturkan itu, ki Surayata.?"
Orang yang merupakan pemomong dari raden Bagus Mukmin itu beringsut
mendekat dan mengambil sesuatu dari balik pakaiannya, dan secepat kilat
tanpa terduga benda yang berwujud keris meluncur menghujam dada
pangeran Sekar.
"Keparat licik...!!!" teriak pangeran Sekar sambil melayangkan pukulan
menghantam ki Surayata.
Pemomonh raden Bagus Mukmin itu terpental dua tombak, tak hanya itu saja
beberapa prajurit yang kaget serentak menghujamkan senjata mereka ke
tubuh ki Surayata, sehingga tubuh itu bagai gedebog dicacah. Dan nyawanya
amblas meninggalkan raga.
Sementara itu pangeran Sekar merintih menahan rasa sakit di dadanya.
Tangannya memegangi gagang keris yang menghujam dalam.
"Pangeran.. bertahanlah.." senopati Rakai Welar bingung sambil menyangga
kepala pangeran Sekar.
"Ra..kai ca..butlah ke..ris ini.." desis pangeran Sekar, terbata - bata menahan
P a g e | 147

sakit tak terkira.


"Tapi raden..."
"Ce..patlah."
Walau terasa berat dan sedih, demi apa yang diperintahkan oleh
junjungannya, maka tangan senopati Rakai Welar yang gemetar dengan
perlahan mencabut keris itu. Darah deras menyembur manakala keris itu
tercabut seluruhnya, dan dengan cepat senopati Rakai Welar menyobek kain
panjangnya dan mendekapkan ke luka itu.
Para pengawal prajurit setelah mengakhiri nyawa ki Surayata, segera
mengerubut disekitar junjungannya yang ada dalam pangkuan Rakai
Welar.Kepala tunduk dengan mata mengembun saat mereka melihat
junjungannya lunglai tak berdaya.
"Mengapa Ba..gus Muk..min mengu..tus dia mem..bunuhku..?" di sela - sela rasa
sakit itu, pangeran menguatkan tenaganya, "Ra..kai We..lar.."
"Dalem pangeran."
"Sim..panlah ke..ris itu dan se..rahkan kepa..da pa..man kanjeng Ku..dus.."

"Sendiko dawuh, pangeran.


Bibir pangeran terlihat bergerak lirih, sehingga senopati Rakai Welar
mendekatkan telinganya ke bibir sang pangeran. "ja..galah anak - anakku......."
Hening kesedihan menggelayuti hati para prajurit pengawal Jipang Panolan,
kelengahan mereka telah memakan korban utama dari kekuatan Demak
ditangan seorang yang terkena hasutan dari musuh Demak. Layon kematian
menggemparkan kadipaten Jipang Panolan dan kerabat dari pangeran Sekar.

Panasnya Langit Demak


jilid 4 bag 24
oleh : Marzuki
.
..
Kadipaten Jipang Panolan di hari itu menunjukan kesibukan di pendopo
kadipaten, Adipati Sepuh yang sebelumnya meletakan palungguhannya dan
menyerahkan kepada menantunya, pangeran Sekar, terpaksa menduduki
dampar palungguhan utama kadipaten Jipang Panolan.
Kematian putra mantunya di tepian sungai, merupakan kejadian yang
mengejutkan orang tua itu. Karena itulah maka di hari radite dua hari setelah
kematian pangeran Sekar Sedo ing Lepen, pasewakan diadakan yang harus
dihadiri oleh nayaka praja, demang, dan kepala perdikan di telatah Jipang
P a g e | 148

Panolan.
Adipati Sepuh duduk di dampar palungguhan beralaskan kain beludru
berwarna merah masih terlihat berwibawa diusia yang makin senja, diapit oleh
perwira yang berdiri agak dibelakang. Sementara ki patih Mentahun duduk
sebelah kanan berjejer dengan ki tumenggung Surataka, ki panji Rakai Welar
dan ki panji Tohjaya. Sedangkan di sebelah kiri berjejer ki tumenggung Harya
Kumara, ki tumenggung Sardula dan ki panji Jaran Tangkis. Agak di belakang
beberapa demang dan kepala tanah perdikan duduk bersila.
Setelah beberapa saat maka pasewakan itu dimulai oleh penuturan juru wicara
yang mengatakan ihwal dari diadakan pasewakan mendadak itu. Pasewakan
itu tiada lain mempersoalkan kematian pangeran sekar oleh seorang ki
Surayata yang tiada lain orang kepercayaan raden Bagus Mukmin, putra
pangeran Trenggono.
"Panji Rakai Welar, cobalah kau kembali menuturkan kejadian itu secara
runtut.." ujar Adipati Sepuh.
Usai unjukan sembah hormat, senopati Rakai Welar mulai menuturkan saat
pangeran Sekar beserta sebelas prajurit pengawal termasuk ki panji Rakai
Welar, keluar dari kotaraja setelah mendengar adanya pasukan bang wetan
yang kini berada di kadipaten Tuban. Perjalanan iringan itu tiada halangan
sampai akhirnya tiba di pinggiran sungai wates kadipaten, dimana saat itu
raden Kikin turun dari kuda dan menghampiri tepian yang berair jernih, lalu
membasuh mukanya. Ketika sang pangeran duduk disebuah batu sebesar
anak sapi, muncul seorang penunggang kuda yang dikenal pangeran dan
seluruh prajurit pengawal, tiada lain orang itu ki Surayata. Tanpa diduga setelah
berbasa basi, dengan cepat ki Surayata menusukan keris sakti kyai Brongot
Setan Kober.

"Sebelum beliau menghembuskan napas terakhir, beliau memerintahkan


hamba untuk menyerahkan pusaka itu kepada kanjeng Sunan Kudus, serta
menjaga putra Jipang, kanjeng Adipati Sepuh." ucap ki panji Rakai Welar,
mengakhiri penuturannya.
Desuh napas Adipati Sepuh terasa berat.
"Kalian semuanya kini sudah mendengar dengan jelas apa yang terjadi dengan
junjunganmu, kini apa yang akan kalian lakukan..?"
Semua yang hadir saling berpandangan satu dengan lainnya, darah
bergejolak mencari jalan pencurahan demi membalas kematian dari pangeran
Sekar Sedo ing Lepen, tapi mulut masih sungkan untuk bersuara.
"Ampun, kanjeng Adipati Sepuh. Hamba Haryo Kumara, siap bela pati demi
P a g e | 149

tegaknya keadilan." kata ki tumenggung Haryo Kumara.


"Maksudmu....?"
"Bila diijinkan, hamba akan ke Demak untuk mengakhiri hidup dari sang
pengutus yang tentunya anak bernama Bagus Mukmin itu, kanjeng Adipati.."
jawab ki tumenggung Haryo Kumara.
Suara tegas yang dilontarkan oleh tumenggung adik seperguruan ki patih
Mentahun itu, membuat semua yang hadir berkenan, kecuali seseorang.
"Ampunkan diri ini yang penuh kesalahan ini, kanjeng Adipati Sepuh." suara
sareh terdengar dari kanan kanjeng Adipati Sepuh.
"Oh, anakmas patih, mengapa berucap begitu, anakmas..?"
"Perkenankan hamba yang hina dina ini, mengutarakan beberapa kalimat
dalam persoalan ini." pinta ki patih Mentahun.
"Katakanlah, anakmas patih. Siapa tahu kau memiliki tanggapan yang
berbeda." kanjeng Adipati sepuh mengijinkan.
Patih dari Jipang sesaat beringsut dari duduknya, dengan suara halus ia pun
berucap.
"Kematian dari adimas adipati anom memang pukulan bagi kadipaten Jipang,
apalagi pembunuhnya hanyalah satu orang yang dikenal merupakan orang
kepercayaan anakmas raden Bagus Mukmin."
Sejenak patih itu berhenti seraya memandang semua yang hadir, lalu lanjutnya.
"Tapi apakah benar putra pangeran Trenggono yang menyuruh ki Surayata.?"
"Kakang patih, bukankah sudah jelas jikalau anak itu menyuruh Surayata.?"
potong ki tumenggung Haryo Kumara.

"Tunggu dulu, adi menggung, kita harus membuktikan kebenaran itu dengan
menugaskan nayaka terpercaya Jipang ke Demak, setelah terbukti, tentu
orang Demak akan memberi keadilan." kata ki patih Mentahun, "Selain itu kita
pun harus menanyakan pusaka kyai Setan Kober kepada sang pemilik, yaitu
kanjeng Sunan Kudus. Bagaimana bisa pusaka itu sampai ditangan ki Surayata."
Tanggapan dari ki patih Mentahun ini dapat dimengerti oleh Adipati Sepuh dan
sebagaian nayaka praja, namun rasa kesal juga menyelimuti hati ki
tumenggung Haryo Kumara beserta orang - orangnya.
"Hemm... baiklah anakmas patih, masalah ini akan ku serahkan kepadamu. Lalu
siapa yang akan kau tugaskan dalam penyelidikan ini.?"
"Ampun, kanjeng Adipati Sepuh. Tugas itu hamba serahkan kepada ki panji
Tohjaya, dan nanti saat pasukan Demak sampai disini, hamba akan
memperbincangkan dengan pangeran Trenggono." kata ki patih Mentahun.
Akhirnya pasewakan itu menghasilkan dua tugas kepada ki panji Tohjaya dan ki
P a g e | 150

patih Mentahun untuk mengungkap kematian dari pangeran Sekar Sedo ing
Lepen. Walau sebenarnya beberapa orang tak sepaham, khususnya orang -
orang ki tumenggung Haryo Kumara.

Panasnya Langit Demak


jilid 4 bag 25
oleh : Marzuki
.
..
Semburat warna merah membias raut muka ki tumenggung Haryo Kumara,
kemengkalan hatinya terhadap ki patih Mentahun semakin meluap, bagaikan
permukaan air bengawan di musim penghujan. Rencananya dalam
mempengaruhi Adipati Sepuh untuk menyerang Demak kembali dipupuskan.
"Adi menggung Sardulo, ini tak bisa dibiarkan lagi, kakang patih terlalu berpikir
lunak dalapm menanggapi permasalahan..." dengus ki tumenggung Haryo
Kumara sambil menggebrak meja.
"Hemm.. Lalu apa yang selanjutnya kita lakukan kakang.?" tanya ki
tumenggung Sardulo.
Murid ke dua Panembahan Sekar Jagat itu terlihat berpikir beberapa saat.
Tumenggung itu berdiri berjalan menuju ke dekat lubang angin - angin, dan
menghirup udara.
"Ki panji Jaran Tangkis, kirimlah orang untuk mencegat Tohjaya yang akan
menyelidiki raden Bagus Mukmin, dan lenyapkan dia.."
"Ah... Kakang, tapi anak itu masih keluarga perguruan kita.. Apakah itu tidak
berlebihan.?" ki tumenggung Sardulo mengunjukan keterkejutannya.
Namun hal itu membuat ki tumenggung Haryo Kumara tertawa hambar,
membuat yang ada ditempat itu mengerutkan kening mereka.
"Memang anak itu masih saudara seperguruan dengan kita, begitu juga
dengan kakang patih Mentahun dan Rakai Welar, tapi jika berseberangan
dalam memperjuangkan gegayuhan, terpaksa nyawa mereka sebagai
bebanten itu.!
Semua yang hadir terdiam, hanya helaan napas semata terurai tanpa adanya
bantahan. Memang sebelumnya kelompok mereka sudah mengucapkan janji
ikrar, demi mencapai kemuktian diperlukan pengorbanan harta dan bahkan
nyawa sekalipun.
"Ki panji Jaran Tangkis, segeralah kau susul panji Tohjaya, bunuhlah di wilayah
kotaraja, dan itu akan kita jadikan alat bahwasanya panji Tohjaya tewas
P a g e | 151

ditangan pengawal raden Bagus Mukmin." perintah ki tumenggung Haryo


Kumara, sambil terus menerangkan rencana yang ia susun untuk kembali
menyebarkan fitnah keji.
Maka dengan perintah itu, ki panji Jaran Tangkis segera memanggil prajurit
pilihan yang berjumlah tiga orang, kemudian dengan menunggangi kuda
maka ki panji Jaran Tangkis dan ketiga prajurit pilihan itu mencongklang kuda
mereka, mengejar ki panji Tohjaya menuju Demak Bintoro.
Sementara itu seorang pemuda yang mempunyai kumis tipis duduk dengan
gagahnya diatas kuda berwarna hitan legam. Pemuda itu tiada lain ki panji
Tohjaya, orang kepercayaan ki patih Mentahun yang akan menunaikan tugas
menyelidiki kebenaran dari kematian pangetan Sekar yang tewas ditangan ki
Surayata.
Kuda yang ia tunggangi berlari kecil melewati jalan - jalan luar induk kadipaten
Jipang Panolan dan akhirnya dikejauhan nampak sebuah tapal batas berupa
batu setinggi satu tombak. Di hari itu jalan tak terlalu ramai seperti hari - hari
pasaran, oleh karena itu ki panji Tohjaya bisa memacu kudanya dengan lancar.
Tapi betapa terkejutnya, manakala seorang lelaki tua berjalan yang kelihatan
pelan di depannya, tak mampu dilampaui.

"Ah.. apa mataku sudah lamur.?" desis ki panji Tohjaya, sambil menyentak
kekang kudanya untuk mempercepat langkah kaki kuda.
Keanehan itu semakin nyata dan membuat perwira prajurit itu penasaran,
sehingga melarikan kudanya bagai angin.
Namun, hatinya bagai dilecut keterkejutan saat dikelokan sosok orang tua di
depannya hilang bagai ditelan bumi. Kekang kuda ditariknya untuk
menghentikan kudanya, lalu perwira itu turun dari kudanya dan meliarkan
pandangnya kesekitar kelokan itu, demi mencari wujud orang tua yang
diselimuti misteri dalam hatinya.
Desau angin semata yang menunjukan keberadaanya melalui bergeraknya
rumpun daun bambu yang tumbuh disekitar kelokan jalan tersebut. Di langit
sang elang terbang mengintai mangsa tanpa memperdulikan prajurit muda,
entah apa yang sedang dicari pemuda itu.
Tiba - tiba desir udara dari arah belakang membuat ki panji Tohjaya kaget,
sebuah desir yang ditimbulkan oleh meluncurnya daun bambu dengan cepat
mengancam pemuda itu. Untunglah dengan gerak cepat ki panjinTohjaya
mengisar kepalanya, sehingga daun itu melewatinya dan berhenti mengenai
pohon bambu.
Kembali kejut meluap memenuhi rongga hati murid dari perguruan Sekar Jagat,
P a g e | 152

ketika memandang daun bambu itu menusuk dalam mengenai bambu petung
yang keras.
"Oh... "
"Hehehe.." kini terdengar suara bergema memekakan telinga.
"He Kisanak, siapa kau.? keluarlah..!" teriak ki panji sambil mempertebal daya
tahan tubuhnya dengan menutup lubang panca inderanya.
Hening.. Tawa lenyap tak lagi terdengar, hal ini membuat ki panji Tohjaya bagai
terperangkap dalam permainan orang yang belum diketahui jati dirinya dan
apa maksud itu semua. Ki panji Tohjaya berusaha mempertajam panggraita,
pangrungu demi mengetahui dimana temoat orang yang menyerangnya. Saat
itulah dari arah utara sekelebat bayangan mengerah kepadanya, dengan
sebuah tendangan dua kaki memutar meluncur dengan keras dan cepat.
"Uh.." dengus ki panji seraya mengisar kakinya menghindari serangan itu.
Tapi lawannya setelah menginjakkan kaki ke tanah, langsung menyerang
kembali dengan tendangan memutar ke kepala perwira muda itu, yang
mampu dihindari dengan merundukan kepala seraya menjegal kaki kiri lawan.
Dan lawannya pun mampu berbuat cekatan menghindari jegalan itu, dengan
gerakan indah bagai melayang langsung mengebrak batok kepala ki panji
Tohjaya.
Mengetahui ancaman berbahaya itu, prajurit Jipang itu surut kebelakang
melenting menerjang lawan dengan serangan balasan. Maka keduanya
menunjukan tata gerak cepat dan trengginas mencari kelengahan lawan.

Panasnya Langit Demak


jilid 4 bag 26
oleh : Marzuki
.
..
Rentetan dari tata gerak keduanya semakin menggila dan terasa begitu
dahsyat, udara bagaikan diamuk oleh prahara membuncah segala - galanya.
Sudah lebih dari sepengunyah sirih, belum nampak adanya siapa yang
terdesak maupun tertekan, keduanya masih menunjukan keseimbangan dalam
segala unsur.
Semakin lama dari pergulatan aneh itu, ki panji Tohjaya merasakan adanya
sesuatu yang menggelitik sanubarinya. Untuk itu maka dengan sebuah
serangan cepat perwira muda dari Jipang Panolan berusaha menyelidiki lebih
dalam tentang lawannya. Kepalan tangan kanan mengarah ke ulu hati,
P a g e | 153

namun ketika saat lawannya mingisar tubuhnya, serangan itu dengan cepat
ditariknya dan mengganti sodokan tangan kiri menjurus ke tulang rusuk lawan.
"Uh...." desuh kejut menghampiri murid termuda dari Panembahan Sekar Jagat,
lantas meloncat mundur menjaga jarak.
"Tunggu kisanak... Siapa kau sebenarnya ?" Perwira Jipang menghentikan
perkelahian dan mengunjuk pertanyaan.
Lawanya berdiri agak kebunggkukan sambil tertawa berat. Ternyata orang itu
memakai sebuah topeng berbahan getah, tapi didengar dari suara tawanya,
menunjukan bahwasanya orang itu berumur mendekati senja.
"Kenapa kau menanyakan namaku, anak muda ? Apakah bila kusebutkan
namaku, kau akan berlutut memohon ampun ? hehehe.."
"Ah.. kisanak ini ternyata suka berseloroh. Bukankah sudah selayaknya aku
menanyakan nama lawan yang begitu dahsyatnya mengunjukan tata gerak
dari Sekar Jagat." balas ki panjinTohjaya, "Dan itu menunjukan kisanak ini satu
ilmu denganku, walau sebenarnya ilmu kisanak beberapa tingkat diatasku, bila
kisanak akan bersungguh - sungguh."
"Hohoho... Sekar Jagat." suara orang itu parau, "Kau murid siapa, ngger ? Kebo
Salaksa ataukah Danurpati ?"
"Oh aku tak mengenal nama yang kisanak sebutkan itu, guruku mendapat
sebutan Panembahan Sekar Jagat semata, kisanak."
"Hemm apakah di amempunyai bekas luka di lengan kiri ?" tanya orang itu.
Ki panji Tohjaya berusaha mengingat tubuh gurunya, tepatnya lengan kiri
dimana ada sebuah luka seperti yang dikatakan oleh lawannya. Sejenak
kemudian pemuda itu berhasil mengingat.
"Benar kisanak, memang dilengan kiri guru terdapat guratan memanjang."
"Sudah lama aku tak melihat Danurpati, ternyata ia mampu meneruskan
peninggalan guru." sejenak orang itu terdiam, lalu kayanya, "Jadi gurumu
Danurpati, murid ketiga dari Panembahan Sekar Jagat Purwo, kalau begitu
terimalah ini !"
Usai berkata orang itu meloncat bagai harimau menerkam mangsa. Gerakan
dahsyat dilambari ilmu Bayu Salaksa membuat tubuh orang itu tak berbobot
bagai angin.
Walau sebenarnya ki panji Tohjaya tak pernah meninggalkan
kewaspadaannya, namun gerakan orang itu tak mampu dihindari, sehingga
tubuhnya terhenyak kebelakang beberapa tindak dan hampir roboh.

Walau sebenarnya ki panji Tohjaya tak pernah meninggalkan


kewaspadaannya, namun gerakan orang itu tak mampu dihindari, sehingga
P a g e | 154

tubuhnya terhenyak kebelakang beberapa tindak dan hampir roboh.


"Apakah hanya itu saja kemampuan dari murid Danurpati ?" ejek orang itu.
Jiwa muda murid termuda Panembahan Sekar Jagat yang disebut dengan
Danurpati oleh lawanya, telah menimbulkan percik - percik kemarahan dihati
pemuda itu. Tanpa memperdulikan siapa sebenarnya lawan yang ia hadapi, ki
panji Tohjaya mengungkap tenaga cadangannya yang memiliki kesamaan
dari lawannya. Udara terkoyak oleh laju setiap serangan pemuda itu, membuat
lawannya mengimbangi setiap serangan menuju kearahnya.
Angin bergetar mengayunkan tenaga menjamah dedaunan rumpun bambu
petung, mengangkat debu bagai ikut menari menyemarakan dua anak
manusia yang sedang berkutat dengan ilmu tata gerak olah kanuragan jalur
Sekar Jagat. Merambahnya ilmu ki panji Tohjaya meningkatkan kecepatan dan
daya gedor pemuda tersebut, namun lawannya juga menyamai bahkan selalu
dapat mengungguli kedahsyatan pemuda murid perguruan yang letaknya di
lereng gunung Lawu dekat sebuah grojokan atau air terjun.
Sepakan, sodokan, gemplangan, jegalan dan berbagai cara tata gerak
terungkap kepermukaan dengan satu tujuan menindih kekuatan dan
kemampuan lawan. Peluh deras menyeruak laksana perasan baju basah
membasahi kulit ki panji Tohjaya, tapi dirinya tak mampu mendesak lawannya
yang memakai topeng berbahan getah pohon. Oleh karena itu keputusan
yang diambil pemuda tersebut, tiada lain bertaruh keberuntungan nyawa
melalui ilmu pungkasan jalur Sekar Jagat.

Mengetahui pemuda di depannya menjaga jarak dan melakukan tata gerak


yang mendebarkan, orang bertopeng itu tersenyum dibalik topengnya.
"Biarlah ini menjadi terjadi, semoga anak itu tak mengalami keadaan yang
parah." batin orang itu, sambil mempersiapkan ilmunya.
Di depan ki panji Tohjaya bersedekap dengan kaki renggang, lalu tangannya
wudar atau lepas ditarik kebelakang dengan kepalan setara pinggang,
kemudian tangan kanan terangkat ke atas. Suara gemeretak dari beradunya
sebuah tenaga yang terkumpul dikepalan tangan memendarkan cahaya
putih. Di awali dengan sebuah teriakan maka pemuda itu meloncat ke depan
dengan pukulan aji Bajradaka, aji berlambarkan dari tenaga petir dan angin
siap mengarah ke lawan.
Dentuman di kelokan jalan dekat rumpun bambu petung itu menggelegar
membuat debu berhamburan menutupi kalangan perkelahian tingkat
pamungkas. Daun - daun meranggas berguguran menambah dahsyatnya
P a g e | 155

akibat yang ditimbulkan.


Sejenak kemudian debu kembali luruh ke tanah, pemuda yang tiada lain ki
panji Tohjaya terlihat jatuh terduduk dengan darah merembes dari bibirnya,
seraya memegangi dada. Sedangkan lawannya, orang yang sebelumnya
bertopeng, berdiri dibelakang ki panji Tohjaya sambil melipat tangan di depan
dada.
Wajah tanpa topeng itu sudah berkeriput menandakan usia yang mendekati
senja dengan kumis dan jenggot berwarna putih kapas. Terlihat senyum
menggayuti bibir tua atas apa yang baru saja terjadi. Dengan gerak cepat
orang tua itu memijat urat ditubuh ki panji Tohjaya, membuat pemuda itu lemas
tak berdaya, lalu setelah itu dipanggulnya tubuh itu dan dibawa pergi.
Kini kelokan itu sepi, hanya angin yang leluasa memainkan perannya dalam
menjahili rumpun bambu ataupun tetumbuhan yang ada dikelokan tersebut.
Ringkikan kuda tunggangan ki panji Tohjaya ikut menyumbangkan warna
tersendiri, seolah menanyakan kemana perginya sang tuan.

Panasnya Langit Demak


jilid 4 bag 27
oleh : Marzuki
.
..
Sepeninggal ki panji Tohjaya yang pingsan dan dilarikan oleh lawannya, jalan
berkelok itu tak berselang lama telah muncul empat orang berkuda. Orang
yang paling depan dengan tangkas menarik tali kekang, sehingga kuda yang
ia tunggangi meringkik seraya mengangkat kedua kaki depannya, begitu juga
dengan ketiga kawannya
"Ada apa kakang ?" tanya kawannya, seraya mengelus leher kudanya supaya
tenang.
"Lihatlah, bukankah itu kuda Tohjaya ?" jawab orang yang menghentikan kuda
pertama, sambil menunjuk kuda ki panji Tohjaya yang dengan asyiknya
mengunyah rumput di pinggir jalan.
Keempat orang itu lantas turun dari kuda dan menghampiri kuda tanpa
adanya sang pemillik. Betapa terkejutnya mereka saat mata mereka tanpa
sengaja melihat adanya bekas tanah dan rerumputan semrawut tak karuan.
"Uh... Apa yang terjadi di tempat ini ?" suara dari seorang lelaki yang pertama
berhenti.
"Supala, coba kau teliti di balik rumpun bambu itu !" kembali orang yang
P a g e | 156

disebut kakang bersuara, memberi perintah.


Orang yang dipanggil Supala bergegas meneliti di balik rumpun bambu
petung, semakin ke dalam bekas yang ditimbulkan semakin parah dengan
adanya bekas daun meranggas akibat ilmu Brajadaka.
"Kakang, sepertinya Tohjaya terlibat suatu perkelahian dahsyat dengan
seseorang." ucap Supala, setelah memeriksa keadaan, "tapi wujudnya tiada
nampak disekitar sini."
"Coba periksa lagi, kalian juga " perintah orang yang disebut kakang.
Sementara itu tubuh ki panji Tohjaya tak mengetahui kalau tubuhnya dipanggul
oleh orang tua, yang berlari menggunakan aji Sepi Angin. Seolah - olah tapak
kaki orang tua itu tak menyentuh tanah dan seperti mengambang sejarak satu
ruas jari.
Sesampainya di pinggir sungai, tubuh itu diletakan dengan perlahan, lalu
tangan tua itu dengan lembutnya menyentuh titik syaraf di dekat tengkuk.
Seketika mata perwira muda tersebut berkerjab - kerjab menandakan
kesadarannya mulai kembali.
"Uh... " desuhnya mengiringi mata yang perlahan membuka.
Saat mata itu terbuka, pandangan yang terlihat ialah batang pohon nymplung.
Rasa nyeri mulai kembali terasa menggerayangi dadanya dan kepalanya
terasa berputar - putar, seolah - olah bumi terayun.
"Minumlah, ngger." suara orang yang disertai angsuran air dalam pincuk daun,
mengangetkan panji Tohjaya.
"Si siapa kisanak ?"
"Sudahlah, minumlah walau hanya seteguk, nanti akan aku jelaskan." ucap
orang tua yang membuat panji itu mulai bisa menilai kesungguhan orang yang
menolongnya.
Dengan pelan air jernih dalam pincukan terteguk sampai habis dan membuat
badannya agak segar. Kemudian pemuda dari Jipang Panolan itu duduk
bersila untuk mengatur pernapasannya demi memulihkan tenaga dan
ketahanan raganya. Sedangkan orang tua disampingnya menanti tanpa
mengganggu pemusatan oleh panji Tohjaya, seolah - olah orang tua itu
menjaga pemuda itu dari marabahaya.

Selang beberapa saat ki panji Tohjaya mengakhiri pemusatan dirinya yang


kemudian memandang orang tua yang duduk di sampingnya.
"Terima kasih, paman." ucapnya, tak mengetahui jika lawannya adalah orang
yang ada di sampingnya.
Orang tua itu mengangguk perlahan sambil mengedarkan matanya ke hilir
P a g e | 157

sungai, tangannya mengambil sebutir batu dan di lemparkan ke atas.


"Buuuk !"
"Oh.. " kejut dirasakan oleh Tohjaya, manakala seekor burung sejenis bangau
jatuh tepat di depan orang yang menolongnya.
"Hari ini kita mendapat buruan cukup besar untuk kita berdua, tunggulah aku
akan mencari ranting kering." kata orang tua itu, seraya bangkit berdiri.
"Oh biar aku saja paman." cepat - cepat panji Tohjaya berdiri.
"Kalau kau ingin membantu, bersihkan saja buruan itu." sahut orang tua itu
sambil tersenyum.
Anggukan kepala menandakan panji Tohjaya menyanggupi apa yang
dikatakan orang itu. Sedangkan orang itu mengumpulkan ranting yang
ditumpuk menjadi satu dan sambil menunggu panji Tohjaya membersihkan
burung bangau, orang tua itu mengambil suling yang terselip disamping ikat
pinggangnya.
Alunan bunyi suling mengayun dengan kidung atau tembang Asmaradhana.
Menggambarkan seorang lelaki yang menginjak usia muda terpesona dengan
wanita yang berwajah ayu bagaikan dewi Ratih. Cinta bersemi bersambut
merubah isi dunia seakan milik sepasang muda - mudi itu, bahagia semata
yang nampak dirasa tanpa adanya seoarang yang mengganggu, bahkan
dewa pun terasa sungkan untuk sekedar berlintas didekat sepasang muda -
mudi yang dilanda getar asmara.
Rasa kagum ikut dirasakan oleh panji Tohjaya, akibat mendengarkan suara
suling dari penolongnya, hatinya ikut gembira seakan - akan dia sendirilah
pelaku dari kandungan tembang itu.
Tapi betapa trenyuh hati pemuda itu, manakala memerhatikan mata
penolongnya berkaca - kaca, tak hanya itu saja, lantunan kidung itu berubah
menjadi kidung keresahan dan pilu. Dan akirnya berhenti.
"Oh.. kau sudah selesai ngger ?" tanya orang itu, seraya membalikan tubuh dan
menyeka air matanya. Kemudian seakan - akan tiada terjadi sesuatu, orang tua
itu menyalakan titikan api ke ranting.
"Biar aku saja, paman yang membakar burung ini."

Panasnya Langit Demak


jilid 4 bag 28
oleh : Marzuki
.
..
P a g e | 158

Gurihnya daging tercium membuat hidung kembang kempis penuh


kenikmatan, ingin mencicipi dengan suka cita. Bau yang menunjukan daging
bangau itu siap dilahap memenuhi selera perut siapa pun. Itulah yang terjadi di
pinggir sungai dimana panji Tohjaya dan penolangnya berada.
"Silahkan paman." ucap Tohjaya sambil mengangsurkan sebagian potongan
daging bangau kepada orang yang belum ia ketahui namanya.
"O ya, paman, mohon kiranya paman sudi memperkenalkan diri kepadaku."
pinta Tohjaya.
Orang tua itu menggigit daging bakar yang ia terima, setelah itu barulah ia
berkata.
"Angger, tahukah lawan yang kau hadapi tadi ?" orang itu balik bertanya.
"Entahlah, paman. Tapi dari tata gerak yang ia tunjukan, telah menunjukan
kesamaan jalur perguruan ku." jawab Tohjaya, sambil menggelengkan
kepalanya.
"Cermatilah diriku, ngger..." kata orang itu, seraya berdiri.
"Oh.. Paman... Jadi orang tadi.."
"Benar, ngger." potong orang itu, lalu lanjutnya ketika panji Tohjaya berdiri
siaga, "Duduklah.."
Karena orang tua itu kembali duduk tiada berbuat yang membuat dirinya
curiga, panji Tohjaya kemudian kembali duduk, meskipun tak meninggalkan
kewaspadaannya.
"Akulah yang bermain - main denganmu tadi. Aku sering dipanggil Wijang
Pawagal, saudara tua dari gurumu Danurpati yang kini kau kenal dengan
Panembahan Sekar Jagat Anom." terang orang tua itu.
Betapa terkejutnya pemuda itu, dirinya tak menyangka akan berjumpa dengan
murid tertua dari Panembahan Sekar Jagat Sepuh ditempat itu, bahkan sempat
menjajal kemampuan ilmu dari orang yang menyebut dirinya Wijang Pawagal.

"Sembah sungkemku, paman guru."


"Sudahlah, kau tak usah berlebihan, ngger."
Lalu kemudian ki Wijang Pawagal menuturkan apa yang terjadi dengan panji
Tohjaya pada saat dirinya keluar dari kadipaten Jipang, hingga perkelahian
yang membuatnya tak berdaya dan dibuat dirinya tak sadarkan diri, sampai
akhirnya ia siuman dipinggir sungai.
"Maafkan kemampuan diriku yang tak mampu mengembangkan ilmu jalur
Sekar Jagat, paman." suara panji Tohjaya gemetar, menyesali keadaannya.
"Hahaha... Janganlah kau berkecil hati, dulu sewaktu aku semuda dirimu, aku
hanya mampu meloncat layaknya kijang." hibur ki Wijang Pawagal, "Itulah yang
P a g e | 159

membuat diriku dipanggil Wijang."


Kata - kata bernada candaan itu membuat panji Tohjaya tersenyum ringan.
"Ayo sambil dimakan, mumpung masih hangat, jika kau tak mau aku mampu
menghabiskan semuanya tanpa tersisa." seloroh ki Wijang Pawagal, membuat
suasana mencair.
Saat keduanya asyik melahap daging bangau, gemerisik dedaunan membuat
ki Wijang Pawagal berkata.
"Bersiaplah, kita kedatangan tamu kehormatan."
"Oh.." desuh panji Tohjaya, yang tak manyadari keadaan.
Tak berselang lama dari balik semak belukar, empat orang berpakain hitam
dengan sebagain wajah tertutup oleh kain berwarna merah, muncul dengan
sebuah hardikan.
"Tohjaya, serahkan kepalamu dengan sukarela, agar kau tak mengalami rasa
sakit tajamnya pedangku !"
"Huh.. Siapa kalian ? Berlaku lancung seperti itu !" balas panji Tohjaya, seraya
berdiri menghadap orang - orang itu.
Sementara ki Wijang Pawagal tetap menyantap daging dalam
genggamannya, tanpa memperdulikan pendatang itu.
"Tak usah kau berlantang kata, menunduklah segera !" bentak orang yang
paling depan.
Demi mendengar perkataan yang memanaskan telinga, perwira muda itu
tertawa lantang.

"Bangsat, mengapa kau menjadi gila ?" umpat pemimpin pendatang itu, lalu,
"Bunuh dia !"
Perintah itu tak perlu diulang lagi, ketiga orang yang berada dibelakang
bergegas mengepung panji Tohjaya dengan menghunuskan pedang mereka.
Maka perkelahian yang tidak diketahui ujung pangkalnya oleh panji Tohjaya,
mulai dengan serunya.
Ketiga pedang dengan cepat menghujam panji Tohjaya, tapi pemuda itu
dengan tenang melenting tinggi dan mendarat diatas ketiga pedang itu,
sambil melayangkan tendangan bertubi - tubi kesetiap penyerang.
"Memalukan !" bentak pemimpin mereka, saat ketiganya jatuh mencium
kerasnya tanah.
Demi mendapat dampratan pemimpinnya, ketiga lantas segera melenting
berdiri dan bersiap menyerang pemuda yang membuat malu didepan sang
pemimpin. Ketiganya kini bersungguh - sungguh dengan menampilkan tata
gerak seirama dan sehati, seolah - olah tiga tubuh digerakan satu pikiran.
P a g e | 160

Bahkan ki Wijang Pawagal yang sempat memerhatikan, memuji kekompakan


ketiga penyerang itu.

Panasnya Langit Demak


........jilid 4 bag 29............
........oleh : Marzuki..........
..........................................
Perlahan namun pasti ketiganya bergerak memutar dengan tangan
menggenggam pedang dengan mata pedang menghujam tanah, sehingga
menimbulkan goresan sepanjang putaran mereka. Di dalam kepungan panji
Tohjaya, yang keheranan dengan perilaku lawan - lawannya terus mengikuti
tanpa meninggalkan kewaspadaan. Dalam pemikiran perwira muda itu
meyakini adanya pergerakan yang mengejutkan dari lawan - lawannya, yang
terus berputar semakin cepat.
Dan apa yang diperkirakan memang terjadi, salah seorang lawan tiba - tiba
meloncat menyabetkan pedangnya. Hampir saja pedang itu mengenai
sasaran, jikalau panji Tohjaya tak mengisar kakinya untuk menghindari serangan
tiba - tiba tersebut.
Lawannya yang hanya mengenai angin, dengan cepat kembali keputaran
dan kini kawannya yang lain mengulangi serangan dengan serangan
mendatar segaris dada.
"Uuh....." desuh panji Tohjaya, yang melompat tinggi dan ingin keluar dari
kepungan.
"Masuk !" teriak seorang penyerang, sekaligus menghalangi melelui tendangan.
Demi menjauhi cedera, maka dengan memutar tubuh di udara, panji Tohjaya
mundur kembali dalam kepungan lawan.
Tiada celah sekecil lubang semut kepungan yang diperagakan oleh penyerang
- penyerang itu, dan baru kali ini panji dari tlatah Jipang Panolan mengalami
peristiwa dimana lawannya menunjukan kerjasama yang apik, seolah - olah
tiga tubuh senyawa dalam satu otak.
"Dari mana orang - orang ini ?" bantin pemuda itu, dengan mata tajam.
Pertanyaan tinggalah pertanyaan, karena lawannya kembali menyerang lebih
dahsyat dari sebelumnya. Secara acak silih berganti ketiganya membacok,
masuk kembali kedalam putaran, berganti menggores dan masuk kembali
kedalam putaran, meloncat silang menyilang membingungkan lawan demi
memperoleh hasil berupa kekalahan lawan.
"Bila begini terus, tentu aku akan kelelahan dan akhirnya binasa ditangan
P a g e | 161

mereka." desis panji Tohjaya.

Setelah mempertimbangkan waktu yang tepat, laksana burung elang pemuda


itu menggenjot tubuhnya ke udara, lalu menukik ke salah satu lawan yang
dirasa paling terlemah, dengan sekuat tenaga panji Tohjaya membacokan
pedangnya.
"Traang !"
Benturan senjata dengan sekuat tenaga itu membuat lawannya terhenyak dan
tak mampu mempertahankan senjatanya, sehingga terlepas jauh. Mengetahui
lawan tiada senjata, panji Tohjaya meneruskan dengan sambaran pedang
menyilang, tapi seorang kawan penyerang dari kanan dan kiri membantu
dengan melakukan tebasan.
"Wuus !" kedua pedang hanya mengenai angin, karena panji Tohjaya menarik
mundur serangan demi menghindari tajamnya dua pedang.
Kini kedua orang penyeranglah yang lebih sebat dan gencar menyarangkan
senjata dibarengi dengan sodokan, pukulan, maupun tendangan. Sementara
kawannya yang kehilangan pedang, berlari mengambil senjatanya dan
bergegas ikut kawan - kawannya untuk mengerubut musuh yang liat tubuhnya.
Saat itulah kembali orang itu kembali mengalami kesialan sekali lagi, bahkan
lebih parah dari sebelumnya. Baru dirinya akan menyerang, tiba - tiba saja
lawan yang sebelumnya berdiri membelakangi, telah berkisar dari tempatnya
untuk menghindari tusukan, dan tusukan itu terus menghujam penyerang yang
baru datang.
"Kau....." tak mampu orang itu mengakhiri katanya, dikarenakan terburu oleh
sang maut.
"Oh.." desuh kawannya yang menusuk tanpa sengaja, sambil mencabut
pedangnya.
Tinggalah dua orang yang tersisa, sedangkan pemimpin dari para penyerang
itu masih berdiri di tempat semula, hanya suara geram semata yang terdengar.
"Bantulah anak buahmu !" seseorang tiba - tiba muncul dari belakang
pemimpin penyerang itu dan memberi perintah.
Suara itu membuat orang yang memimpin penyerangan terkejut, dan segera
membalikan tubuhnya.
"Paman Suro Pakisan !" seru pemimpin penyerangan, yang mengenali orany
yang baru datang itu.
Begitupun dengan ki Wijang Pawagal, yang sebelumnya hanya duduk makan
daging blekok, terpancing untuk memerhatikan orang yang baru tiba itu.
P a g e | 162

"Oh tak nyana kalau seorang warok dari kadipaten Ponorogo, sudi bermain ke
kadipaten Jipang !" seru Ki Wijang Pawagal.
Seruan itu sesaat telah menghentikan perkelahian demi ingin tahu wujud orang
yang disebut warok oleh ki Wijang Pawagal. Wujud dari orang itu, berbadan
tinggi tegap layaknya raksasa, kumis dan jambang tumbuh subur dengan akar
bahar melingkar di kedua lengan dan yang terakhir adanya ikat pinggang
putih ciri seorang warok, melingkar di pinggang, usus - ususan.

Panasnya Langit Demak


jilid 4 bag 30
oleh : Marzuki
.
..
Orang yang disebut warok oleh ki Wijang Pawagal, menyeringai dan menatap
tajam kepada ki Wijang Pawagal, seakan - akan ingin melumatkan jantung
orang tua itu. Selangkah demi selangkah kaki itu mendekat dan berhenti dua
tindak di depan ki Wijang Pawagal.
"Hemm betapa sempitnya dunia ini, akhirnya kita bertemu kembali Pawagal."
seru warok Suro Pakisan.
"Hahaha benar apa yang kau katakan, ki Suro Pakisan, tapi apakah kau
membawa oleh - oleh untuk ku ?"
"Tentu, bila kau mau bersabar, sebuah oleh - oleh akan kau terima setelah
kemenakanku mampu menyembelih pemuda itu." jawab warok Suro Pakisan.
"Oh.. Mengapa harus seperti itu ? Kau sejak dulu tak pernah meninggalkan
kebiasaan burukmu itu, sadarlah ki Suro Pakisan, kita yang semakin tua ini sudah
mendekati hari senja." ujar ki Wijang Pawagal.
"Sudahlah kau tak usah sesorah di depanku, seakan - akan seorang pandito
menasehati orang. Bila kau tak segera pergi dari sini, tentu kau akan melihat
kebinasaan anak itu."
"Hemm, itu bertentangan dengan pendirianku, ki. Apalagi anak itu masih murid
dari adik seperguruanku, tentunya aku akan melindunginya." sahut ki Wijang
Pawagal, sambil melempar tusukan daging bakar ke arah sebuah pohon.
Sebuah pertunjukan kesaktian telah terjadi, tusukan itu menancap tajam
kedalam pohon gayam sebesar sepelukan orang dewasa. Hal itu membuat
ketiga penyerang dan panji Tohjaya, terpukau. Lain halnya dengan warok Suro
Pakisan, orang itu tertawa hambar.
"Kau bermain layaknya anak kecil saja, Pawagal. Aku tak silau dengan apa
P a g e | 163

yang kau tunjukan itu." kata warok Suro Pakisan, "Aku ulangi sekali lagi, pergilah
dari tempat ini."
Namun murid utama dari Panembahan Sekar Jagat Sepuh itu, tak bergeser
setindakpun, hanya gelengan kepala saja yang dilakukan.
"Hem, baiklah jika itu maumu." sesaat warok dari tlatah wengker itu menatap
pemimpin penyerang, "Tangkis, bunuh anak itu ! Sedangkan orang tua ini aku
yang mengurusnya !"

"Baik paman." Sahut pemimpin penyerang yang disebut Tangkis, yang tiada lain
dari ki panji Jaran Tangkis, sambil menghambur menuju panji Tohjaya.
Sementara warok Suro Pakisan berseru kepada ki Wijang Pawagal, "Mari kita
beradu liatnya daging dan kerasnya tulang !"
"Hahaha Aneh sekali kita ini, sudah memasuki usia senja masih berlaku
kekerasan." desis ki Wijang Pawagal.
"Rasakan ini !" seru warok Suro Pakisan, dengan cengkraman keras ingin
menangkap tubuh orang tua di depannya.
Tapi lawannya tak mau dengan mudah menyerahkan tubuhnya, dengan
sedikit mengeser kakinya, tubuh agak merendah disertai kibasan keras
mengarah dada warok, menunjukan perlawanan sungguh - sungguh. Demi
mengetahui serangan balasan itu, warok Suro Pakisan menotol tanah meloncat
melewati tubuh lawannya dibarengi tendangan gejik.
"Uuh..." desuh warok itu, saat serangannya hanya mengenai tempt kosong.
Setelah kakinya menginjak tanah dengan kewaspadaan dari serangan lawan,
warok itu memutar tubuhnya. Dan perkelahian dari dua orang tua itu semakin
seru meniti tingkatan demi tingkatan. Keduanya walau usia semakin menanjak
usia senja, namun tata gerak kanuragan keduanya sungguh mendebarkan, itu
semua didukung oleh banyaknya perbendaraan pengalaman di segala
suasana dan bidang. Keduanya diibaratkan antara keperkasaan banteng
yang ditunjukan oleh warok Suro Pakisan menghadapi lincahnya kijang ki
Wijang Pawagal. Serudukan banteng dengan mudah selalu dapat dielakan
oleh kijang, bahkan kijang itu mampu membuat banteng kebingungan tatkala
tanpa diduga - duga berlari menjauh dan muncul dibelakangnya.
Di sisi yang lain ki panji Jaran Tangkis, yang masih menutupi wajahnya
memimpin pengeroyokan terhadap ki panji Tohjaya. Pedang yang keluar dari
warangkanya siap memakan korban sampai titik darah membasahi bumi.
Serangan selang - seling dari sisi berlawanan selalu dilakukan dengan gencar
dan cepat, seolah - olah tak memberi kesempatan mangsa beristirahat.
P a g e | 164

Denting senjata beradu lebih sering dengan menimbulkan percik - percik api
dari gesekan besi pilihan itu. Sementara genggaman tangan kadangkala
terasa linu dan panas saat mempertahankan senjata dikala sama - sama
berbenturan.
Perkelahian itu sudah memakan waktu sepengunyah sirih, peluh bagai terperas
membasahi tubuh, bahkan luka memar mulai mewarnai perkelahian di pinggir
sungai itu. Di atas sang surya berjalan semakin rendah ke barat menunu
peraduannya, diam membisu menatap perilaku yang ditunjukan oleh makhluk
yang disebut, manusia.
Pergolakan demi pergolakan sudah sering diketahui oleh sang surya, di tanah
ini, hanya menatap semata yang ia lakukan tanpa mampu memisahkan apa
yang digarisakn.
Dalam pada itu sebuah gerakan aneh diterapkan oleh ki Wijang Pawagal saat
dirinya hampir terpojok oleh sergapan lawannya, tiba - tiba tubuhnya seperti
lenyap dari pandangan lawannya dan beralih dibelakang tubuh lawan, sambil
memukul keras tulang punggung lawan.
"Uuh... " keluh warok Suro Pakisan, dan cepat - cepat menjaga jarak.
"Ilmu apa yang kau tunjukan itu, Pawagal ? seakan - akan dirimu lenyap dalam
sekejap."
"O Itu tadi hanyalah aji Alang - Alang Kumitir." ucap Ki Wijang Pawagal,
"Mengapa kau kesakitan seperti itu, ki Suro Pakisan ? bukankah ilmu kebalmu
selalu kau bangga - banggakan ?"
"Huh " dengus warok itu, memang dirinya tadi meremehkan lawan sehingga ia
tak menerapkan aji Tamengwesinya. Kini matanya semakin terbuka lebar dan
akan bersungguh - sungguh menghadapi murid padepokan lereng Lawu.

Panasnya Langit Demak jilid 5


Panasnya Langit Demak jilid 5

Panasnya Langit Demak


jilid 5 bag 1
oleh : Marzuki
.
..
Sekali loncat tangan kekar dari warok Suro Pakisan mencoba mencengkeram
bahu lawan, namun lagi - lagi lawan yang menerapkan aji Alang Alang Kumitir
P a g e | 165

dengan mudah terhindar dari terkamannya. Raut wajah memerah bak tersiram
air mendidih, oleh karenanya warok itu merambah ilmu simpanannya semakin
tinggi, dan hasilnya mampu membuat tubuhnya ringan dan cepat mengejar
kemana lawan menghindar.
Suatu kali pukulan keras mengarah ki Wijang Pawagal dan tak mampu dikecoh
oleh kemampuan dari aji Alang Alang Kumitir, sehingga tubuhnya terhenyak ke
belakang dua tindak. Sekuat tenaga orang tua itu mencoba mempertahankan
dirinya agar tak terjungkal, tapi sekali lagi lawannya meloncat menjejak
dengan kedua kaki.
"Desss... " Benturan keras tak dapat dielakan, kaki kokoh terhalang tenaga
tangkisan kedua tangan menyilang ki Wijang pawagal. Benturan tersebut
membuat warok Suro Pakisan mental dan bergulingan di tanah, lalu dengan
cepat melenting berdiri. Sementara ki Wijang Pawagal, tak luput jatuh meskipun
dengan sigap kembali melenting.
Kedudukan keduanya masih imbang sama - sama kuat dan masing - masing
merasakan linu dibagian anggota badan berbenturan.
Tak menunggu lama keduanya lantas bergulat semakin dahsyat hingga
keadaan sekitar terkena imbas dari pergulatan sepenuh tenaga. Kaki
menyepak, tubuh menghindar. Pukulan terarah, kaki mengisar menghindari
dilanjutkan serangan balasan mencari titik terlemah lawan.
Dirasa pergulatan memakan waktu lama, seketika tangan warok Suro Pakisan
menggapai ikat pinggang koloran dan mengurainya.
"Pawagal, gunakan senjatamu agar aku tak dipandang licik !" seru warok
Pakisan.
"Baiklah, sekarang mari bermain dengan senjata." sahut ki Wijang Pawagal,
sambil mengambil senjatanya dibalik punggung.
Senjata sejenis tombak pendek dengan ujung mirip keris terlihat dicekalan
tangan ki Wijang Pawagal. Senjata ciri khas padepokan Sekar Jagat mulai
diperlihatkan oleh orang tua itu. Di dalam padepkan Sekar Jagat, yang memiliki
senjata itu hanya tiga orang saja dan salah satunya ki Wijang Pawagal.

"Oh.. Pusaka itu, tombak kyai Giri..." desis ki panji Tohjaya, saat melirik
perkelahian diluar kalangannya.
"Mati kau anak muda !" seru ki panji Jaran Tangkis, yang mengayunkan
pedangnya ke tubuh lawannya.
"Uuuh..." kejut ki panji Tohjaya, yang hampir terkena ayunan mendatar
tajamnya pedang.
Sejenak perwira muda itu mundur, tapi kedua anak buah ki panji Tohjaya tak
P a g e | 166

membiarkan pemuda itu leluasa, serangan silang bagai gunting mengarah


leher lawannya.
"Auch.... " teriakan mengerikan terdengar dari dua mulut.
Hal itu diakibatkan oleh tebasan ki panji Tohjaya ketika merendahkan dirinya
dan menebas mendatar ke perut kedua lawannya. Darah segar membajir dari
luka memanjang di perut kedua anak buah ki panji Jaran Tangkis, yang
dilanjutkan oleh rubuhnya kedua tubuh yang tak akan mampu berdiri lagi untuk
selamanya.
"Bangsat, kau telah membunuh pengawalku !" umpat ki panji Jaran Tangkis,
yang masih menutupi jati dirinya.
"Apa boleh buat, kisanak. Jika bukan mereka tentu tubuhku yang akan
berbaring." balas ki panji Tohjaya.
"Kau harus membayar dengan nyawamu, Tohjaya !" seru panji Jaran Tangkis.
"Siapa kau sebenarnya, dan mengapa kau menginginkan nyawaku ?"
"Tak perlu kau banyak tingkah !" usai berkata panji suruhan tumenggung Haryo
Kumara mencerca lawan dengan libatan pedangnya.
Tak jauh dari keduanya, warok Suro Pakisan mulai memutar ikat pinggang yang
lentur itu di atas kepalanya, ayunan senjata lentur itu menimbulkan kesiur angin
dan bunyi mendesis layaknya ular.

Panasnya Langit Demak


jilid 5 bag 2
oleh : Marzuki
.
..
Lalu dengan cepat ikat pinggang itu menjulur menggapai tubuh ki Wijang
Pawagal, tentu saja orang tua itu mengisarkan kakinya ke samping untuk
menghindari senjata lentur lawan, dan sesegera mungkin menyerang lawan
dengan tombak pendeknya.
Dikarenakan serangan senjatanya tak bertemu lawan, maka ikat pinggang
seanjang dua tangan disentak pulang berganti sisi yang lainnya memapaki
tajamnya tombak. Rencananya ikat pinggang itu akan dililitkan ke landean
tombak lawan, namun rencana itu terbaca lawan dan lawannya menarik
serangannya sambil memutar tubuh, menggemplang ke kepala lawan.
"Dessss " batang tombak mengenai lengan warok Suro Pakisan, membuat orang
itu bergetar saja.
"Ia sudah menerapkan aji Tamengwesi." desis ki Wijang Pawagal, seraya
P a g e | 167

merendahkan tubuhnya supaya tak terkena sabetan ikat pinggang lawan.


Serangan demi serangan telah dilakukan oleh keduanya dengan pengerahan
tenaga cadangan yang mendebarkan. Senjata keduanya bukan olah - olah
benda mati, tetapi didalamnya telah dilambari tenaga inti yang berpusat dari
pusar dan disalurkan ke lengan yang kemudian merambat ke senjata mereka.
Itu terbukti saat ikat pinggang atau koloran itu menyabet dan mengenai batu
sebesar kepala kerbau, batu itu hancur berkeping - keping. Begitupun dengan
tombak kyai Giri milik ki Wijang Pawagal, saat tombak mengenai batang pohon
nyamplung sebesar dua paha orang dewasa, batang pohon itu berderak dan
roboh.
Sungguh dahsyat penggambaran pertempuran dua orang yang memasuki usia
senja itu, tenaga yang dilontarkan kembuat udara menyibak, tanah terjungkit
layaknya terkena bajak, daun - daun berguguran membuat keadaan semakin
parah.
"Mati kau Pawagal !" seru warok Suro Pakisan, yang melihat celah terbuka dan
mengayun koloran tepat ke pundak lawan.
"Desss !" "Uuuh..." keluh ki Wijang Pawagal.
Tubuh orang tua itu jatuh bergulingan ke tanah, dan sekuat tenaga berdiri
kembali.Tangannya memegangi pundaknya yang bagaikan terkena
hantaman besi gligen.
"Oh, liat juga kau Pawagal, kau mampu berdiri kembali setelah terkena
pusakaku ini."
"Hemm." desuh ki Wijang Pawagal, "Pusaka dan lambaran tenagamu memang
hebat."
"O.. sekarang kau sadar juga, kalau begitu cepat kau angkat kaki dari sini !" seru
warok Suro Pakisan.
"Kau salah, malah aku akan bersungguh - sungguh, supaya senjatamu tak
memakan korban lagi." sahut ki Wijang Pawagal, yang sudah mampu
mengendalikan rasa sakit di pundaknya.

"Keras kepala kau tua bangka !" damprat warok itu.


Namun ki Wijang Pawagal malah tertawa geli atas dampratan dari lawannya,
bukankah dia juga sama tua dengan dirinya ?
"Bangsat kau " kemarahan membobol menembus ubun - ubun warok Suri
Pakisan.
Koloran tergenggam erat mulai kembali bergerak mematuk lawan, walau
lawan mampu menghindar, koloran itu terus mengejar kemana saja lawan
bergerak. Patukan, sabetan, sentakan terus mengayun kembali diluncurkan
P a g e | 168

tiada henti demi keberhasilan dirinya melumpuhkan lawan.


Tapi kini ki Wijang Pawagal bersungguh - sungguh, dan memperhitungkan
setiap langkah yang diambilnya. Tombak kyai Giri pun mulai mengunjukan
kedahsyatannya dari sebelumnya. Ujung tombak telah berpijar memancarkan
cahaya agak kemerahan, menandakan lambaran aji Brajadaka mulai
menyatu sepenuhnya.
"Wuss... dess... " tombak memapas koloran pusaka warok menjadi dua bagian,
tak hanya itu saja, kaki ki Wijang Pawagal pun ikut andil menumbuk dada
lawan, hingga membuat tubuh raksasa itu terjengkang mencium tanah.
"Bangkitlah, ki Suro Pakisan" ki Wijang Pawagal memberi kesempatan lawan.
Merah padam raut wajah warok Suro Pakisan, senjata andalannya terpapas
tajamnya tombak lawan menjadi dua. Sekuat tenaga orang itu berdiri dan
meregangkan kakinya, memasang kuda - kuda kuat layaknya berakar ke bumi.
Tangan kanan dan kiri merapat di depan dada, layaknya menyembah, lalu
mengurai seperti membuat segaris lingkaran di udara dan merapat kembali di
atas kepala.
"Oh..." kejut ki Wijang Pawagal, ketika tahu apa yang akan dilakukan oleh
lawannya. Secepat mungkin tombak dimasukan ke warangka panjang dibalik
punggungnya, lalu ia pun mulai memusatkan nalar budi demi mengungkap aji
simpanan jalur Sekar Jagat, aji Bajradaka yang dilambari aji Bayu Mandala,
untuk mempertahankan diri dari amukan ilmu lawan.

Panasnya Langit Demak


jilid 5 bag 3
oleh : Marzuki
.
..
Sesaat kemudian dengan lengkingan keras pertanda curahan tenaga dahsyat,
meluncur dari kepalan kedua tangan warok Suro Menggolo. Aji Guntur Agni,
perpaduan dahsyatnya petir dibarengi api kehitaman melabrak sasaran yang
tiada lain, ki Wijang Pawagal.
"Buuuum.....!"
Bumi terasa diguncang tangan raksasa, tanah dan tetumbuhan berhamburan
ke udara membuat keadaan kelam seketika. Suara menggelegar itu telah
memancing perhatian ki panji Tohjaya dan ki panji Jaran Tangkis, sehingga
keduanya meloncat surut dan mengeliarkan pandang ke arah benturan
tenaga dahsyat yang tak jauh dari keduanya.
P a g e | 169

Namun karena debu dan rerumputan serta dedaunan masih mengudara,


maka sulit bagi keduanya untuk mengetahui keadaan sumber tenaga yang
ada dalam pusaran debu tersebut. Barulah setelah debu luruh ke bumi, remang
- remang dua sosok tubuh berdiri saling berhadapan dengan jarak dua
tombak.
"Huuuok...." darah menyembur dari mulut ki Wijang Pawagal.
Orang tua itu walau sudah menerapkan aji Alang - Alang Kumitir untuk
menghindari pukulan lawan, tak bisa sepenuhnya menghindar, sehingga ia pun
terkena dampaknya. Kakinya pun kemudian goyah dan jatuh terduduk dengan
menopang kedua tangan, membelakangi lawan.
Sementara itu warok Suro Pakisan yang masih berdiri tegap, membuat ki panji
Jaran Tangkis gembira, dan dirinya sesumbar.
"Mampus kau orang tua, ilmu gunung Bungkuk mengungguli ilmu padepokan
Sekar Jagat !"
Sehabis sesumbar, niat hati ki panji Jaran Tangkis akan kembali menggempur
lawannya, namun betapa kejut yang sangat telah mencengkam hatinya, saat
melihat pamannya warok Suro Pakisan jatuh dengan kerasnya menghujam ke
tanah.
"Oh.. Paman !" serunya seraya melompat ke arah pamannya yang rebah
dengan tubuh tengkurap.
Sesampainya maka dengan cepat tubuh itu dibalikan, kembali desuh keluar
dari mulut ki panji Jaran Tangkis. Tubuh pamannya berlubang dibagian dada,
dan anehnya lubang itu tak mengeluarkan darah, melainkan kering hangus.
Tanpa berpikir panjang lebar, dan cepatnya ia membaca keadaan yang tak
menguntungkan dirinya, maka dengan cepat panji itu berlari membawa jasad
pamannya.
"Jangan lari kau !" teriak ki panji Tohjaya, yang akan berlari mengejar.
"Tak usah kau kejar, ngger !" seru ki Wijang Pawagal, yang masih duduk sambil
memegangi dadanya.
"Oh..." desis ki panji Tohjaya, mengurungkan niatnya dan seruan paman
gurunya itu membuat pemuda itu mengkwatirkan keadaan paman gurunya.
"Bagaimana keadaan paman ?" tanya panji Tohjaya, setelah berada di dekat
ki Wijang Pawagal.
"Dadaku bagai tersiram panasnya lahar gunung." desis perlahan ki Wijang
Pawagal.

"Tolonglah jaga tempat ini barang sesaat, aku akan memulihkan tenaga dan
menindih serta melenyapkan rasa sakit ini." pinta ki Wijang Pawagal.
P a g e | 170

"Silahkan, paman. Tanpa diminta pun keponakanmu ini akan menjaga


keselamatan paman." sanggup panji Tohjaya.
Lantas ki Wijang Pawagal mengambil sebutir reramuan dan menelannya,
setelah itu ia duduk bersila untuk mengatur pernapasan yang bertujuan
memperbaiki peredaran darah dalam tubuhnya, seklaigus melenyapkan
tenaga lawan yang masih tersisa dalam tubuhnya.
Desau angin di sore hari mengantarkan ki Wijang Pawagal dalam tata
pemulihan raga atau wadagnya. Gemericik air sungai terus mengalir ke hulu
mencari tempat yang rendah dan tiba di samudra raya.

Panasnya Langit Demak


jilid 5 bag 4
oleh : Marzuki
.
..
Wayah sepi bocah di hari itu, nampak berbeda dengan hari sebelumnya. Dari
panggungan samping pintu gerbang kadipaten Jipang Panolan, prajurit
pengawas menyalangkan mata disaat dari seberang jalan muncul iringan
pasukan berkuda.
"Parda, cepat kau lapor ki lurah, sepasukan berkuda dengan umbul, rontek dan
tunggul bercirika Demak, telah tiba !" seru prajurit pengawas kepada
kawannya.
Prajurit yang bernama Parda bergegas melaporkan hal itu kepada lurah prajurit
yang memimpin penjagaan itu. Dengan cepat maka laporan segera
hadapkan kepada nayaka praja berpangkat lebih tinggi di pendopo
kadipaten.
"Biarlah hamba yang menyambut kedatangan pasukan itu, gusti Adipati." kata
ki patih Mentahun, setelah mendengar laporan yang diunjukan oleh prajurit
yang bertugas di pintu gerbang.
"Sambutlah mereka, ki patih. Dan bawalah ke Sasana ini." Adipati Sepuh
memberikan perintahnya.
Dengan dikawal lima perwira kadipaten, ki patih Mentahun menuju pintu
gerbang kadipaten demi menyambut pasukan dari Demak.
"Rakai Welar." kata ki patih Mentahun, saat dalam perjalanan.
"Iya, paman patih." sahut ki panji Rakai Welar.
"Kendalikan hati para prajurit, supaya tiada tindakan yang mendahului langkah
gusti Adipati Sepuh dan aku." perintah ki patih Mentahun, "Khususnya orang -
P a g e | 171

orang dari adi menggung Haryo Kumitir dan Sardulo."


"Baik paman..." usai berkata, ki panji Rakai Welar membelokan kudanya.
Sementara itu di depan pintu gerbang kadipaten, pasukan Demak
menghentikan langkah kuda dan pemimpin iringan itu menyapa prajurit
pengawas.
"Selamat petang, prajurit. Kami dari Demak ingin singgah semalam di induk
kadipaten." sapa seorang berpakaian tumenggung, "Maka perkenankan kami
menghadap gusti Adipati Sepuh."
"Silahkan ki menggung."
Prajurit yang berada diatas panggungan lantas memerintahkan prajurit yang
berada dibawah untuk membuka pintu gerbang. Suara berderit mengiringi
gerak pintu setinggi tiga tombak dan selebar tiga tombak. Bersamaan
masuknya iringan pasukan Demak, dari arah kadipaten ki patih Mentahun dan
empay perwira tiba dan melakukan penyambutan dengan hangat.
"Oh, jadi ini sebagian pasukan induk Demak saja, ki tumenggung Gagak Kukuh
?"
"Benar ki patih, sedangkan pasukan induk yang dipimpin langsung oleh
pangeran Trenggono, menyusuri jalan pinggir Bengawan." tegas ki tumenggung
Gagak Kukuh, pemimpon dari kesatuan Wira Braja.

"Hemm... Baiklah, ki tumenggung, marilah menuju pendopo kadipaten, gusti


Adipati sudah menanti pasukan ini."
Iringan itupun akhirnya menuju pusat kadipaten, di sepanjang jalan walau hari
makin gelap namun langkah iringan dari Demak menjadi perhatian segenap
penghuni kadipaten. Berbagai tanggapan memenuhi relung hati mereka yang
menonton pasukan yang diiringi oleh orang kedua kadipaten Jipang. Ada yang
mencibir dalam hati, dikarenakan sakit hati mereka kepada orang - orang
Demak yang sudah membunuh Adipati Anom. Sedangkan untuk anak kecil
atau orang yang kurang mengetahui sebab kematian dari pangeran Sekar,
pada umumnya mereka bangga dengan kegagahan prajurit yang duduk
diatas punggung kuda, yang tegar dan besar itu.
Semakin mendekati pusat kadipaten, penjagaan semakin diperketat dengan
adanya beberapa unsur kesatuan prajurit Jipang. Hal itu membuat pengawal ki
tumenggung Gagak Kukuh mengerutkan keningnya.
"Apa maksud mereka, ki tumenggung ?" tanya ki lurah Bangau Lamatan, yang
tak kuat menahan dirinya untuk bertanya.
"Endapkan perasaanmu, ki lurah. Tentunya kau mengetahui sebab
musababnya walau sedikit." desis ki tumenggung Gagak Kukuh, lirih.
P a g e | 172

Meskipun ki lurah Bangau Lamatan bisa mengendapkan perasaannya, tidaklah


dengan beberapa prajurit lainnya, terutama prajurit muda yang darahnya
masih menggelora.
"Setan, mereka seperti menyambut musuh saja." gerutu seorang prajurit.
"Mungkin mereka benar - benar menganggap raden Bagus Mukmin yang telah
membunuh uwanya itu." sambut kawannya.
"Uh.. mereka tak mampu berpikir lebih panjang." tanggap lainnya.
"Stt.. sudahlah, bicaralah mengenai hal lain, jangan kau bicarakan perkara
tadi." seorang prajurit yang rambutnya mulai memutih, meredakan gunjingan
prajurit muda.
"Ah paman ini..." desuh prajurit muda, namun tak melanjutkan kata - katanya.
Sesampainya di halaman depan kadipaten, pasukan itu bawa atau
ditempatkan di alun - alun, sementata ki tumenggung Gagk Kukuh dan
beberapa senopati dihadapkan ke Adipati Sepuh yang sudah menanti di
pendopo kadipaten.
"Selamat datang di kadipaten Jipang, ki tumenggung." sambut Adipati Sepuh.
"Terima kasih, gusti Adipati. Hamba kemari atas perintah dari sesepuh Demak
untuk bergabung dengan pasukan Jipang menghadang pasukan dari bang
wetan."

"Jadi pasukan ini dalam wewenangmu, ki tumenggung ?"


"Tidak sepenuhnya, gusti Adipati, hanyalah sebagian pasukan sayap saja yang
berada dalam wewenang hamba, sedangkan induk pasukan dipimpin oleh
pangeran Trenggono, yang kini berada dipinggir bengawan." kata ki
tumenggung Gagak Kukuh, lanjutnya, "Kemungkinan beliau besok menyusul
kemari menghadap gusti Adipati."
"Hemm.. baiklah ki tumenggung, ki patih Mentahun akan memberikan tempat
istirahat dan sedikit jamuan kepadamu dan seluruh pasukan Demak."
"Terima kasih, gusti Adipati. Dan mohon maaf telah merepotkan gusti Adipati
dan seluruh nayaka praja Jipang." ucap pemimpin Wira Braja.
Kemudian setelah usai semuanya dengan diantar oleh ki patih Mentahun, ki
tumenggung Gagak Kukuh dan para senopati telah ditempatkan dibagian
samping balai kadipaten.

Panasnya Langit Demak


jilid 5 bag 5
oleh : Marzuki
P a g e | 173

.
..
Sejak dari Demak pembagian pasukan telah dilakukan oleh usulan dari raden
ngabehi Arya Wiratanu, salah satu sesepuh yang pandai membaca keadaan
pelik atas tewasnya pangeran Sekar. Demi menghindari kejadian yang tak
diinginkan itu, maka pasukan dari Demak telah dibagi menjadi tiga bagian.
Pasukan induk yang dipimpin sendiri oleh pangeran Trenggono, dengan
tumenggung Suranata dan Pideksa sebagai senopati pengapit, berjalan
menyusuri bengawan. Lalu pasukan kedua diserahkan kepada tumenggung
Gagak Kukuh dari Wira Braja, lewat jalur tengah melewati pusat kadipaten
Jipang. Dan terakhir ialah pasukan yang dipimpin oleh seorang rangga dari
Wira Jalapati, melalui jalur laut.
Seperti yang telah diceritakan sebelumnya, dimana tumenggung Gagak Kukuh
bermalam di kadipaten Jipang, diwaktu bersamaan pasukan induk telah
mendirikan tenda disepanjang tepi bengawan.
Puluhan tenda menghiasi tepian bengawan itu, tak pelak diketahui oleh telik
sandi lawan, dan hal ini memang disengaja oleh pasukan Demak.
"Huh.. hanya itu sajakah pasukan Demak ?" desis seorang lelaki, yang tiada lain
prajurit telik sandi bang wetan, "Cukup dengan mengerahkan pasukan dari ki
tumenggung Plangkrongan, pasukan itu akan tergilas."
"Tapi bila pasukan kita menyeberangi bengawan ini, tentu akan menelan
korban dipihak kita walau kita bisa memukul mundur pasukan itu." timpal
kawannya.
"Kita serahkan semuanya kepada senopati yang berwenang, tugas kita hanya
mengintai dan melapor saja, adi Sembung." ucap prajurit telik sandi pertama.
Setelah dirasa cukup maka kedua prajurit telik sandi dari bang wetan itu
kembali menyeberangi bengawan secara sembunyi - sembunyi dan
melaporkan kepada senopati yang mempunyai wewenang. Kepergian kedua
prajurit sandi itu sebenarnya diketahui oleh seseorang yang memakai pakaian
serba hitam, sehingga tak terlihat oleh orang.
"umpan telah dimakan, semoga rencana dari pangeran Trenggono berhasil
dengan baik." desis orang itu, yaitu ki panji Mahesa Anabrang.
Dirasa keadaan sudah aman, maka ki panji Mahesa Anabrang bergegas
menuju perkemahan dimana sebuah tenda khusus telah didirikan. Masuklah
perwira dari pasukan sandi itu dan melaporkan percakapan dari telik sandi
lawan, kepada panglima dan senopati yang ada di tenda tersebut.
"Bagus, semua sesuai dengan rencana. Bila besok lawan tak menyeberangi
bengawan, aku akan menemui paman Adipati Sepuh di Jipang. Barulah
P a g e | 174

setelah itu kita kerahkan pasukan menggempur orang - orang diseberang."


kata pangeran Trenggono.

Ternyata dipagi harinya tiada tanda - tanda pasukan lawan memulai


peperangan, maka pangeran Trenggono dengan diiringi lima perwira menuju
pusat kadipaten Jipang. Kedatangan pangeran Trenggono segera mendapat
sambutan dan langsung dipertemukan dengan Adipati Sepuh beserta
beberapa nayaka praja.
"Maafkan ananda, paman Adipati. Atas keterlambatan ananda dalam
menghadiri upacara pemakaman kakanda pangeran Sekar." ucap pangeran
Trenggono, seusai menghaturkan salam dan kabar.
"Tak mengapa, anakmas. Itu semua dikarenakan jarak serta keinginan keluarga
di Jipang yang menghendaki pemakaman mendiang anakmas Sekar
disegerakan."
"Terima kasih atas permakluman paman Adipati beserta kerabat Jipang
Panolan, ananda harap tiada sesuatu yang menganjal atas tewasnya
kakangmas Sekar." sejenak pangeran Trenggono berhenti untuk mengatur
napas, lanjutnya, "Oleh karena itu kedatangan ananda selanjutnya, ialah untuk
meluruskan permasalahan yang kini menjadi desas - desus yang memojokan
putra ananda, yaitu jebeng Bagus Mukmin."
Semua yang hadir dari pihak Jipang Panolan mengerutkan keningnya dan
menunggu kata - kata selanjutnya dari putra mendiang raden Patah, raja
pertama Demak Bintara.
"Paman Adipati, ketahuilah jika putra ananda tiada mengetahui persoalan ini."
"Mohon beribu ampun, kanjeng Adipati, pangeran Trenggono. Hamba Harya
Kumara ingin mengutarakan perihal." sebuah suara yang tak terduga,
membuat semua orang mengarah pandang keorang itu.
"Oh kau tumenggung Harya Kumara, katakanlah." ucap Adipati Sepuh,
menginjinkan.
Diawali dengan tangan ngampurancang, mulut ki tumenggung Harya Kumara
mulai bertutur kata.
"Maaf gusti pangeran, kiranya pembunuh itu bukan ki Surayata tentu kami
mempercayai jikalau raden Bagus Mukmin tak terlibat. Tapi kenyataannya
pembunuh itu ialah ki Surayata, orang kepercayan dari raden Bagus Mukmin."
tutur tumenggung Harya Kumara.
Perkataan dari tumenggung Harya Kumara mendapat tanggapan beragam
dari orang - orang Jipang, sebagian dari mereka yakin jika raden Bagus Mukmin
terlibat dalam peristiwa tersebut. Sedangkan yang lainnya masih meragu.
P a g e | 175

Sebenarnya gejolak dihati pangeran Trenggono seakan - membuncah, namun


sekuat tenaga ia berusaha mengendapkan perasaannya dan menanggapi
perkataan dari tumenggug yang berbadan tinggi itu.

"Memang ku akui ki Surayata merupakan orang kepercayaan anakku dan


bahkan orang tua itu sudah dari kecil mengasuh atau menjadi pemomong
jebeng Bagus Mukmin. Tapi ketahuilah ki tumenggung, ki Surayata sudah
beberapa candra ini kembali ke asalnya, yaitu di kademangan Gunung Kidul
dipesisir selatan jawa."
Suasana di pendopo sejenak hening, sebagian nayaka praja berusaha
mencerna kata - kata dari pangeran Trenggono.
"Paman Adipati, jikalau terbukti jebeng Bagus Mukmin melakukan kesalahan,
walau ia putra ananda tentu ananda akan bertindak dengan menghukumnya
tanpa pandang bulu." tegas pangeran Trenggono.
"Baiklah, anakmas. Walau begitu kami akan terus menyelidiki dan menelusuri
siapa dalang yang berada dibalik layar atas tewasnya anak mantu sekaligus
kakak dari ananda sendiri." akhirnya Adipati Sepuh, memutuskan perkara
tersebut hingga penyelidikan tuntas.
Geraman dihati ki temunggung Harya Kumara hampir tak tertahankan lagi,
demi mendengar keputusan dari Adipati Sepuh yang ia anggap terlalu lemah
dalam bertindak.
"Gawat, jika seperti ini Jipang akan ikut menggempur pasukan dari bang
wetan." batinnya dalam hati.
Percakapanpun telah bergeser kepersoalan yang akan tiba, dimana perang
sudah diambang mata. Pasukan segelar sepapan dari pihak lawan yang
mengatas namakan penerus Wilwatikta menjadi bahan utama dalam
pertemuan itu.
"Pasukan kami yang dipimpin oleh tumenggung Surataka telah siap
diperbatasan timur bagian tengah kadipaten, sedangkan diutara oleh ki
tumenggung Sardulo." kata Adipati Sepuh.
"Baiklah, paman Adipati. Ki tumenggung Gagak Kukuh biarlah
menggabungkan diri dengan pasukan Jipang yang berada di utara.
Sedangkan pasukan yang ananda pimpin berusaha menggempur pasukan
lawan yang kini menduduki kademangan selatan Tuban." sahut pangeran
Trenggono.
Rencana itu membuat semua orang mengiakan kecuali tumenggung Harya
Kumara.
"Maaf pangeran, sebaiknya pasukan Demak berada disatu titik saja. Bukankah
P a g e | 176

pasukan lawan disisi selatan sangat besar ?."


Helaan napas meluncur dari pangeran Trenggono.
"Yakinlah, ki tumenggung, aku rasa pasukan lawan disisi utara patut
diperhitungkan. Apalagi dibelakang pasukan berjarak ratusan tombak terdapat
pasukan induk lawan. Hal inilah yang mendorong jika pasukan Jipang akan
didukung pasukan berkuda dari Wira Braja yang dipimpin oleh ki tumenggung
Gagak Kukuh, mampu menahan gelombang dahsyat lawan."
"Setan alas, apa rencana dari pangeran ini ?" umpat ki tumenggung Harya
Kumara, dalam hati. Walau begitu ia tak berani menyanggah lagi, supaya tak
dicurigai.
"Benar apa yang dikatakan oleh, adimas pangeran Trenggono. Bantuan dari
pasukan ki tumenggung Gagak Kukuh sangat menguntungkan disisi utara."
Akhirnya patih Mentahun angkat bicara.
"Dan aku rasa pasukan tumenggung Surataka mampu menahan pasukan
lawan di sisi tengah." lanjut patih Mentahun, karena dalam hatinya ia tak
sepenuhnya percaya kepemimpinan tumenggung Sardulo yang berada di
utara, walau orang itu masih adik seperguruannya.
Hari sudah sepenggalah, pangeran Trenggono dan kelima perwiranya kembali
menuju perkemahan di selatan. Sedangkan ki tumenngung Gagak Kukuh
beserta pasukannya mengikuti rencana yaitu menggabungkan diri ke sisi utara.
Sesaat sebelum berpisah, pangeran Trenggono membisiki tumenggung dari
kesatuan Wira Braja agar bertahan sampai pasukan Wira Jalapati tiba.

.......
Seekor kuda dilarikan dengan kencangnya oleh seorang penunggang menuju
garis depan, mendahului pasukan Demak yang dipimpin oleh tumenggung
Gagak Kukuh.
"Berhenti...!" teriak seorang prajurit jaga sambil menyilangkan tombak.
Kuda itu meringkik, kaki depan terangkat karena tali kekang ditarik oleh
penunggangnya.
"Buka matamu lebar - lebar !" seru penunggang itu.
"Oh.." kejut prajurit penjaga, "Maafkan hamba, ki rangga."
Penunggang kuda yang disebut rangga itu kembali memacu kudanya menuju
perkemahan pasukan Jipang Panolan yang dipimpin oleh tumenggung
Sardulo. Dengan tangkas penunggang kuda itu turun dari kudanya, dan
menyerahkan tali kekang kepada seorang prajurit. Kemudian bergegas
memasuki tenda dimana ki tumenggung Sardulo berada.
"Ketiwasan ki tumenggung."
P a g e | 177

"Ada apa, rangga Puranta ?"


"Kanjeng Adipati berkenan memperbantukan pasukan Demak ke pasukan ini."
"Siapa senopatinya ?"
"Ki tumenggung Gagak Kukuh dari Wira Braja Demak, ki tumenggung." lapor
rangga Puranta, "Sebenarnya ki tumenggung Harya Kumara tak berkenan,
namun ki patih Mentahun yang mendesak dan menyetujuinya."
"Hm.." desuh ki tumenggung Sardulo, "Baiklah, katakan kepada kakang Harya
Kumara, persoalan ini akan aku tangani."
"Sendiko dawuh, ki tumenggung." rangga Puranta kemudian keluar, dan tak
lama terdengar kuda dipacu menuju kadipaten Jipang.

Panasnya Langit Demak


jilid 5 bag 6
oleh : Marzuki
.
..
Sekembalinya pangeran Trenggono dari kotaraja Jipang, maka para senopati
dikumpulkan demi mengatur penyerangan yang akan dilakukan
keesokharinya. Beberapa satang sudah dipersiapkan secara sembunyi -
sembunyi oleh sepasukan kecil Wira Jalapati yang dipimpin oleh ki lurah Bojang
Geni, untuk alat penyeberangan.
Maka digelapnya malam secara beruntun pasukan bergerak menaiki satang
tanpa mengemasi sebagian tenda - tenda, yang bertujuan mengelabui pihak
lawan. Sesampainya diseberang bengawan pasukan mengarah ke
kademangan Trucuk, melalui lebatnya rumpun bambu yang tumbuh
disepanjang tanah yang berbatasan dengan pategalan penghuni padukuhan.
"Paman Pideksa, bawalah pasukanmu mendekati padukuhan pertama,
pancing pasukan lawan dengan siasat Jemparing Playon menuju tanah lapang
berdebu, selatan gumuk Watujajar." perintah pangeran Trenggono.
"Sendiko dawuh, pangeran." dengan sigap tumenggung Pideksa membawa
pasukan berkuda menuju tempat yang ditunjuk.
Sepeninggal tumenggung Pideksa, pasukan induk menuju gumuk watu jajar
dan mengatur siasat perang dengan gelar Cakra Byuha. Namun ini bukan
Cakra Byuha biasa, melainkan dipadu dengan pengaturan bentuk yang mirip
guratan cangkang bulus. Selain itu ditengah gelar telah didirikan panggungan
setinggi satu tombak dan luas empat tombak persegi.
"Lapor kanjeng pangeran, siasat Cakra Byuha dengan paduan cangkang bulus
P a g e | 178

sudah siap." lapor prajurit berpangkat lurah.


"Bagus, katakan kepada seluruh pasukan supaya melebur menjadi satu dengan
alam, untuk menjebak pasukan lawan yang terpancing nanti di saat pertama
mentari muncul."
"Sendiko pangeran." lalu lurah prajurit menyampaikan perintah kepada
kesatuan - kesatuan yang menempati tempat masing - masing.
Sementara itu pasukan yang berjumlah seratus orang yang dipimpin oleh
tumenggung Pideksa, mendekati pagar padukuhan pertama dari
kademangan Trucuk. Seratus prajurit menyebar dengan busur dan anak panah
siaga, tinggal menanti aba - aba dari senopati Pideksa.

"Lepas....!" seru tumenggung Pideksa.


Seruan tersebut laksana suara guntur yang mengawali datangnya hujan,
namun hujan kali ini bukanlah hujan air melainkan hujan anak panah yang
membuat pasukan lawan kocar - kacir akibat serangan dadakan dipagi buta.
Teriakan ngeri menyusul atas tewasnya beberapa prajurit pasukan bang wetan
yang tak sempat berlindung.
Sedangkan bagi prajurit bang wetan yang masih berpikir, serta merta meraih
pemukul kentongan dan mulai memukul kentongan bertalu - talu.
"Ada apa ?" seru seorang prajurit yang baru bangun dari tidurnya.
"Demak, Demak menyerang dengan licik !" jawab kawannya.
"Oh cepat bangunkan ki tumenggung dan para senopati !" ucap prajurit yang
baru bangun, yang kemudian meraih senjatanya dan berlari kearah serangan.
Sejenak kemudian para senopati bang wetan yang dipimpin oleh tumenggung
Plangkrongan berhasil menyusun kembali pasukannya, dan bersiap
menghadapi pasukan dari Demak. Dalam pada itu ki tumenggung Pideksa,
mengetahui pasukan lawan siap melawan pasukannya yang hanya berjumlah
seratus, maka ia berseru, "Mundur perlahan !"
Tak perlu diulangi seratus prajurit Wira Radya bergerak mundur dengan rapi,
sambil sekali - kali meluncurkan anak panah.
"Kejar terus !" seru tumenggung Plangkrongan.
"Tunggu kakang tumenggung, mereka terlalu sedikit dalam penyerangan ini,
aku rasa ini hanyalah pancingan semata." tegur ki Pracona.
"Aku tahu ini hanya pancingan semata, namun mereka akan menjadi lumat
seperti ular mendekati alu." sahut tumenggung Plangkrongan, yang merasa
yakin kalau pasukannya mampu menggilas kekuatan lawan.
Di depan seratus pasukan Wira Radya memacu kudanya dengan menjaga
jarak, supaya lawan tetap mengetahui kemana mereka mengarah. Hingga
P a g e | 179

akhirnya pasukan Wira Radya melewati tanah lapang berdebu dekat gumuk
Watujajar.
"Sendaren !" seru tumenggung Pideksa.
Tak menunggu lama terdengar lengkingan panah sendaren menjulang
keudara, yang disambut oleh munculnya barisan prajurit berkuda dengan
menarik ikatan ranting yang masih berdaun.

Rasa kaget melingkupi hati dan pikiran pasukan bang wetan saat barisan
prajurit berkuda Demak, bergerak melintasi mereka segaris melintang yang
menimbulkan debu membumbung. Tapi pasukan itu tak mampu berhenti,
sehingga memasuki kepulan debu yang pekat dipagi hari itu sampai barisan
ekor pasukan. Tidak hanya itu saja, saat pasukan pimpinan tumenggung
Plangkrongan keluar dari kepulan debu, kembali kejut menggayuti hati mereka.
Di depan nampak lingkaran - lingkaran dengan tombak menjulang mengarah
kedepan dengan sela - sela disekitarnya. Maka dengan terpaksa pasukan itu
memasuki sela - sela sampai barisan terakhir supaya tak terhujam tajamnya
tombak.
Dengan masuknya keseluruh pasukan bang wetan kedalam gelar Cakra Byuha,
sebuah tambur bertalu sebagai isyarat kesatuan menutup setiap lubang yang
dimana mengurung pasukan lawan sampai bagian terpisah - pisah.
Berbarengan munculnya sinar mentari tambur kedua dipukul dari tengah gelar,
sehingga memancing pasukan bang wetan untuk mengarahkan mata kearah
bunyi tambur tersebut.
"Oh..." desuh tumenggung Plangkrongan, saat melihat sebuah panggungan
berdiri dengan empat orang berada diatasnya.

Panasnya Langit Demak


jilid 5 bag 7
oleh : Marzuki
.
..
Empat orang yang berada diatas panggungan ialah, pangeran Trenggono, ki
tumenggung Suranata, ki panji Reksotani yang memegang rontek dan seorang
prajurit pemukul tambur. Dengan suara lantang pangeran Trenggono
memperingatkan pasukan lawan supaya menyerah, agar tak ada korban
bertambah banyak.
"Wahai senopati bang wetan ! Aku peringatkan sekali lagi, sebaiknya kalian
P a g e | 180

menyerahkan diri !"


Tentu saja seruan itu membuat telinga senopati lawan memanas, karena di
dalam hati mereka tertanam sebuah sumpah prajurit yang harus dipegang
teguh dan erat.
"Kami pantang menyerah hai orang Demak ! Bila mukti susah dicari tentu lebih
baik kami mati berkalang tanah !" seru tumenggung Plangkrongan, yang masih
diatas kudanya.
"Oh kau sungguh perwira, kisanak. Namun pikirkanlah engkau bersama ribuan
nyawa yang berada dalam kandang macan !" balas pangeran Trenggono,
yang masih memberi kesempatan.
Tapi panglima pasukan bang wetan yang berada di kademangan Trucuk ini,
seorang yang keras kepala. Tangan kanannya semakin erat memegang
pedang berdaun lebar. Sekali gebrak kaki ke tubuh kuda, telah mengisyaratkan
perlawanan dimulai. Demi melihat itu, pangeran Trenggono memberi isyarat
anggukan kepala kepada ki panji Reksotani, yang ditanggapi dengan
menggerakkan rontek sebagai isyarat kepada semua kesatuan.
Kesatuan pertama yang mengurung para senopati utama terbuka, memberi
jalan kepada lima perwira Demak yang salah satunya ki rangga Gajah Sora.
"Kau lawanku kisanak !" seru ki rangga Gajah Sora, seraya meloncat ke arah
tumenggung Plangkrongan.
"Uh kau hanyalah seorang rangga, tak sepadan melawan kakang
tumenggung." seorang meloncat menghadang pergerakan dari rangga Gajah
Sora.
Terpaksa rangga Gajah Sora mengisar kakinya demi menghindari pukulan
lawan yang menimbulkan desiran angin.
Begitu pun dilingkaran yang lainnya pertempuran mulai terasa mendebarkan.
Erangan, rintihan dan jeritan ngeri mulai terdengar menyayat hati. Darah dari
sayatan maupun goresan telah membasahi tanah lapang dekat gumuk
Watujajar. Penerapan gelar Cakra Byuha dengan polesan cangkang bulus
penuh dengan jebakan mematikan bagi lawan yang terkurung dalam gelar
tersebut. Musuh dalam lingakaran terluar terkejut manakala saat kurungan
terbuka, berganti dengan pasukan jemparing yang menghujami mereka
dengan puluhan anak panah. Lingkaran selanjutnya saat segerombol pasukan
bang wetan akan bergerak menyerang, tiba - tiba dari sela - sela barisan
pengurung, muncul tombak - tombak panjang melebihi tombak biasa, yang
mengakibatkan dada dan tubuh mereka bagai daging dalam tusukan
panggang. Disisi lain segerombolan pasukan bang wetan tak berkutik dengan
adanya seutas tali panjang dan kuat yang dilapisi tajamnya besi pipih
P a g e | 181

memanjang, memotong kaki mereka.


Teriakan pilu itu memang dahsyat akibatnya, sebenarnya pasukan Demak tak
menginginkan ini terjadi, namun bagaimana lagi. Lawan yang sudah
diperingatkan tak mengindahkan sama sekali, bahkan dengan dada
membusung mereka tetap bergerak. Bisa dibayangkan lautan manusia di
tanah lapang itu laksana birunya samudra yang tercemar buih berwarna
merah darah nan mengerikan.
Sementara itu ki Pracona yang menghadapi ki rangga Gajah Sora, terkejut
dengan tandang perwira itu. Kekuatannya laksana gajah yang mampu
menghempaskan tingginya pohon sampai ke akar - akarnya. Tak jauh darinya
ki tumenggung Plangkrongan melawan dua orang lurah yang mampu bekerja
sama dengan serasi, walau keduanya hanya memiliki kemampuan kanuragan
lebih rendah dari tumenggung Plangkrongan, namun atas kerjasama yang
serasi itu mampu mengimbangi dan menutupi kelemahan masing - masing.

Di panggungan panglima utama Demak semakin yakin sekejap lagi


pasukannya mampu menguasai kademangan Trucuk. Dan kenyataanya
memang demikian yang terjadi, pasukan lawan yang mampu berpikir jernih
dan membaca keadaan, telah melemparkan senjata mereka tatkala ada
seruan untuk menyerah.
"Pengecut kalian !" teriak ki tumenggung Plangkrongan, saat melihat
disekelilingnya para parjuritnya banyak yang menyerah.
"Bukannya begitu, tuan senopati." tukas salah satu lurah prajurit yang
melawannya, "sebaiknya tuan senopati mengikuti langkah mereka."
"Tutup mulutmu !" bentak tumenggung dari Lasem yang menjadi nayaka praja
di Tuban, seraya menerapkan ilmunya.
Ilmu andalanya menyeruak melibas lawannya, aji Rog Rog Asem membuat
lurah prajurit itu mencelat dan tewas.
"Oh... " kejut lurah prajurit satunya.
"Majulah agar kau ikut menyusul kawanmu itu !" sumbar tumenggung
Plangkrongan.
Disisi lain rangga Gajah Sora yang sempat melirik kearah dimana tumenggung
Plangkrongan mampu menghempaskan prajuritnya, membuat rangga itu
mencemaskan keadaan lurah satunya.
"Dia lawan yang kuat..." desisnya.
"He lawanlah aku jika kau sendiri tak mau mengalami keadaan seperti lawan
kakang tumenggung !" seru ki Pracona, sambil meluncurkan pukulan sama
seperti tumenggung Plangkrongan.
P a g e | 182

"He... " kejut rangga Gajah Sora, namun dirinya mampu menghindari terjangan
aji Rog Rog Asem.

Panasnya Langit Demak


jilid 5 bag 8
oleh : Marzuki
.
..
Kesiur pukulan aji Rog Rog Asem terasa tajam menusuk kulit rangga Gajah Sora,
untung saja nalurinya bekerja cepat dan dengan cepat melenting kesamping
sejarak beberapa depa, untuk selanjutnya bersiaga penuh.
Sementara itu lurah yang menghadapi ganasnya tumenggung Plangkrongan
semakin terdesak hebat. Walau banyak prajurit ikut mengerubut tumenggung
itu, tiada hasil merubah keadaan, malah korban bertambah banyak dari
ganasnya tumenggung Plangkrongan. Hingga suatu saat seorang pemuda
yang memakai pakaian biasa muncul menyambar tumenggung senopati bang
wetan. Hal itu membuat semua orang heran, bagaimana mungkin seseorang
dengan gampangnya memasuki lingkaran demi lingkaran gelar Cakra Byuha.
"He siapa kau anak muda ? Tahukah kau ini medan perang ?" seru tumenggung
Plangkrongan kepada pemuda yang baru muncul itu.
Di depan, seorang pemuda berbadan tegap dengan wajah tampan menatap
tajam kearah tumenggung dari Lasem.
"Hamba Windujaya, tuan. Hamba mengerti tanah ini menjadi gelanggang
tempur antara pasukan bang wetan dan Demak." jawab pemuda itu.
"Hm.. Lalu mengapa kau ikut campur dengan urusan kewirayudaan ini ?
Menyingkirlah sebelum aku berubah pikiran."
"Tuan senopati Tuban, aku akan menyingkir setelah tuan mau bertanggung
jawab atas kematian paman Wirajaya." seru pemuda yang menyebut dirinya
Windujaya, murid dari Begawan Jambul Kuning.
Rona merah membias di wajah tumenggung Plangkrongan, dada berdetak
kencang akibat ucapan yang terucap dari pemuda didepannya.
"Huh, si bangsat Wirajaya !" maki tumenggung Plangkrongan, "Apa
hubunganmu dengan demang Lasem itu ?"
"Memang benar dugaan kami selama ini, ternyata kau serigala berbulu domba
!" kata tajam meluncur dari Windujaya.
"Jaga bicaramu anak ingusan ! Atau ku robek mulutmu !" bentak tumenggung
Plangkrongan.
P a g e | 183

Pembicaraan yang tak berujung itu telah menarik semua prajurit disekitar
kalangan tersebut, termasuk lurah yang baru saja melawan kekuatan
tumenggunh Plangkrongan. Oleh karena itu, lurah prajurit itu mendekati
Windujaya dan membujuk agar pemuda itu sebaiknya menyingkir dari tempat
itu.
"Anak muda, aku yakin engkau memiliki ilmu kanuragan yang hebat, tapi
sebaiknya engkau menyingkir dari medan tempur ini."

"Mohon maaf, tuan. Ijinkanlah aku menghadapi orang ini, soal bahaya dari
akibatnya akan aku tanggung sendiri." pinta Windujaya.
Lurah itu tampak berpikir dan menimbang sejenak, walau berat akhirnya lurah
prajurit itu meluluskan kemauan dari pemuda yang ia rasa ilmu kanuragan yang
dimiliki pemuda itu berada di atasnya.
"berhati - hatilah, ngger."
Anggukan diunjukan oleh Windujaya yang kemudian menghadap kearah
tumenggung Plangkrongan. Sementara lurah prajurit tadi menerjunkan diri
menghadapi senopati lainnya.
Dari panggungan pangeran Trenggono sempat memperhatikan pemuda yang
dengan ringan meloncat dari tubuh prajurit satu ke lainnya dan menyambar
tumenggung Plangkrongan. Hatinya berkenan dengan kemampuan yang
ditunjukan oleh pemuda yang tak dikenal itu dan ini menguntungkan pihak
Demak, walau tanpa kehadirannya pun pihak Demak mampu menggilas
pasukan bang wetan yang dipimpin oleh tumenggung Plangkrongan.
"Ki tumenggung Suranata, perintahkan prajuritmu untuk mengawasi pemuda
itu."
"Sendiko pangeran."
Kejadian seru terjadi manakala tumenggung Plangkrongan menghadapi lawan
yang hanya seorang pemuda. Ternyata kemampuan dari pemuda yang
menyebut dirinya Windujaya itu, memiliki kemampuan meringankan tubuh luar
biasa. Tubuhnya seakan - akan tak berbobot dan menyatu dengan pergerakan
angin.
"Tenyata kau tak bermulut besar anak muda, kau memiliki modal kanuragan
sehingga berani melawanku !" seru tumenggung Plangkrongan sembari
menghindari tamparan maut.
"Hm, inilah ilmu sesungguhnya dari perguruan Cakra Ningrat, jika kau
menghadapi paman Wirajaya dengan jantan !" balas Windujaya.
"Apa maksudmu ?!"
"Huh.. Dasar manusia setan, dengan liciknya engkau meracuni paman Wirajaya
P a g e | 184

sehari sebelum perang tanding, sehingga dengan mudahnya paman Wirajaya


kau tundukan hingga kematiannya !" geram Windujaya.
Merahlah wajah tumenggung Plangkrongan, kini aibnya yang tersimpan rapat
telah berhasil dibongkar seorang pemuda yang berada di depannya. Maka ia
berpikir untuk melenyapkan pemuda di depannya demi rahasianya.

"Bagus anak muda, sudah sepantasnya kau mendapat ganjaran berupa


kenikmatan di alam kelanggengan. Oleh karena itu aku akan membantumu
dengan melepas nyawa dari ragamu !" seru tumenggung Plangkrongan.
Usai berkata tandang dari tumenggung Plangkrongan meningkat tajam, kesiur
angin yang ditimbulkan mengakibatkan prajurit disekitarnya menyibak memberi
ruang tersendiri. Pukulan demi pukulan meluncur menggedor tubuh lawan.
Namun lawan kali ini seorang yang digodok oleh sesepuh kanuragan yang
mempunyai watak angin - anginan. Latihan yang diterapkan sangat berat dan
ganas, bahkan nyawa pemuda itu hampir melayang tatkala dilatih di puncak
gunung Bancak yang berada timur gunung Lawu.
Ilmu warisan panji Bancak saudara panji Asmoro Bangun luluh dalam diri
pemuda itu. Sebuah ilmu yang berlandaskan inti angin menyatu dengan jiwa
raga yang membuat pergerakan anggota tubuh, selaras dengan ayunan
angin.
"Bangsat ! kau hanya terayun - ayun saja !" bentak tumenggung Plangkrongan.
"Baiklah jika itu mau mu !" sahut Windujaya seraya melancarkan serangan keras
ke tubuh lawan.
"Dessss !"
Tubuh ki tumenggung Plangkrongan mencelat bagaikan layang - layang putus
dari talinya. Tapi dengan cepat tumenggung Plangkrongan melenting berdiri
sambil mengibas - ngibas dadanya bekas pukulan lawan.
"Hanya ini sajakah kemampuanmu !" sumbar tumenggung Plangkrongan.
"Hm... Aji Tameng Waja tuan mampu menahan pukulan Serat Bayu tingkat
pertama."
"Hiaaat !" kembali Windujaya menyerang.
Kini serangan yang dilakukan setahap demi setahap, tangan menjulur lurus
mengarah dada. Tapi lawan dengan cepat akan menangkis, karena akan
ditangkis dengan cepat tangan ditarik mundur sambil mengisarkan kaki
kesamping dengan memutar tubuh melakukan tendangan memutar.
"Oh... " desuh tumenggung Plangkrongan, saat punggungnya terkena sapuan
lawan walau tak merasa sakit, namun itu merupakan hal yang memalukan
bagianya. Sudah dua kali lawan berhasil mengenainya.
P a g e | 185

Panasnya Langit Demak


jilid 5 bag 9
oleh : Marzuki
.
..
Seleret warna merah membias diwajah tumenggung dari Lasem, yang merasa
dihinakan dihadapan prajuritnya oleh seorang pemuda biasa. Rasa itulah yang
mengakibatkan nyala api membara dihati seorang tumenggung membuncah
mencari sasaran yang harus diluapkan sesegera mungkin. Kakinya menotol
tanah dengan dua kali pantulan mengangkasa setinggi tiga tombak, langsung
menukik deras dengan kepala dibawah kaki diatas menggebrak kepala lawan.
Serangan itu tiada menyurutkan Windujaya, dengan tatag gebrakan tangan
lawan ia hadapi dengan pukulan juga. Sebuah pemandangan yang sangat
jarang terjadi, telah membuat mata para Perwira meregangkan lubang mata
dan memelototkan bola mata demi menyaksikan pemandangan didepan
mereka. Dimana tubuh tumenggung Plangkrongan mengambang dengan kaki
diatas tegak lurus kepala dibawah membenturkan kedua tangannya dengan
tangan Windujaya. Udara menyibak terhempas oleh getaran dari pertemuan
gempuran dua tenaga aji Rog Rog Asem dan aji Serat Bayu.
Sejenak kemudian tubuh tumenggung Plangkrongan membal ke atas dan
dengan susah payah ia berusaha mendaratkan tubuhnya ke tanah untuk
berpijak kembali. Sedangkan akibat lain juga dialami oleh Windujaya, kakinya
ambles ketanah sampai lutut, walaupun pemuda itu mampu mencabutnya
dan telah siap siaga.
Di lain tempat nampak ki rangga Gajah Sora tertumbuk dengan kerasnya
tangan ki Pracola, dimana aji Tapak Waja yang diterapkan ke sepanjang
tangannya. Meskipun begitu adik seperguruan dari tumenggung Plangkrongan
sempat mendesis merasakan lapisan ilmunya tertembus walau hanya seujung
jari.
Rupanya ki rangga Gajah Sora juga tak segan - segan menerapkan aji Tapak
Liman, yang ia yakini mampu menghadapi ilmu lawan. Sekali gerak langkah
kakinya meloncat kembali mengatah dada lawan yang masih termangu.
Kembali benturan terulang lebih dahsyat dari sebelumnya. Tubuh ki Pracola
surut dua depa dan mengunjukan rasa sakit diderita melanda dadanya,
padahal ia mampu menahan dengan kedua tangan didepan dada dengan
menerapkan aji Tapak Waja.
P a g e | 186

"Uaaag... " darah segar menyembur dari mulut ki Pracola.


Sebaliknya dengan Rangga Gajah Sora, rasa sesak menggerogoti dadanya
akibat pantulan tenaga lawan, dan iapun melelehkan darah dari sela sela
bibirnya.
"Tangkap orang itu !" seru ki rangga Gajah Sora, memberi perintah kepada
prajuritnya.
Tanpa diulang prajurit yang berada disekitar kalangan langsung melakukan
penyergapan. Tentu saja ki Pracola tak mau begitu saja menyerahkan dirinya,
dengan sekuat tenaga ia melakukan perlawanan, namun karena wadagnya
sudah demikian lemahnya maka ia pun akhirnya dapat ditangkap dan diikat
oleh prajurit Demak.
Tinggallah satu kalangan saja yang masih menyisakan pertempuran yang
menyerupai perang tanding. Dimana sodokan keras melancar ke ulu hati
Windujaya, yang membuat pemuda itu bergerak maju menyambut sodokan
tangan lawan, namun ketika jarak semakin dekat pemuda itu menangkap
sodokan itu seraya mengisar tubuhnya kesamping dan menelikung tangan
lawan.
"Oh... " kejut menghujam hati pemuda itu, saat lawannya dengan cepat
mampu melepaskan tangannya seraya mendepak tubuh Windujaya.
Tapi kejelian dan naluri Windujaya mampu menghindari depakan lawan
sehingga depakan itu hanya mengenai udara kosong.
Tumenggung Plangkrongan kemudian mencabut keris berdaun lebar dengan
lekukan sebelas. Bersamaan dengan keluarnya pusaka berjenis keris, udara
disekitar terasa panas menyengat bak lautan api.
"Keluarkan senjatamu anak muda, jika kau tak menyesal berhadapan dengan
keris kyai Samudra Geni milikku." seru ki tumenggung Plangkrongan.
"Huh... Pusaka itu bukan milikmu ki tumenggung." kata Windujaya, "Kau rebut
pusaka itu dari paman Wirajaya, oleh karena itu aku akan merebutnya kembali
dari tangan yang tak seharusnya memegang."
"Rebutlah jika kau mampu domba kecil !" tantang tumenggung Plangkrongan
seraya menghujamkan keris pusakanya.
Ayunan tangan yang memegang pusaka tersebut cepat mengarah tubuh
Windujaya, yang berusaha berkelit menghindari tusukan dan sabetan keris
yang mempunyai pamor merah menyala menimbulkan udara panas. Hanya
seujung rambut pusaka itu hampir menggores tubuh Windujaya, murid dari
Begawan Jambul Kuning menitik beratkan aji Serat Bayu dan Bayu Mandala di
kedua tangannya untuk memapaki pusaka itu.
P a g e | 187

"Cessss !"
Panasnya Bilah keris kyai Samudro Geni pudar terhembus tenaga inti Serat Bayu
dan Bayu Mandala. Tak hanya itu saja, tendangan telak melemparkan tubuh
tumenggung Plangkrongan dengan kerasnya.
Dada terasa sesak, urat bagaikan putus dan melumpuhkan tenaga dari
tumenggung Plangkrongan, yang hanya mendesuh saat memandang
lawannya yang telah memegang keris kyai Samudro Geni. Tubuhnya lemah
lunglai tak berdaya dan menanti lawannya menghujamkan keris yang dahulu
pernah ia gunakan untuk membunuh pemiliknya.
"Apakah ini karma yang pernah aku lakukan ?" batin tumenggung itu.
Penantian itu terasa lama, seakan - akan malaikat maut mempermainkan
dirinya dan bahkan menertawakannya. Bayang - bayang orang yang pernah
ia bunuh muncul satu demi satu, menagih hutang dengan bayaran nyawanya.
Namun sekian lama tiada rasa hujaman maupun tikaman yang mengarah
tubuhnya. Malah sebaliknya pemuda yang berhasil merebut kerisnya hanya
berdiri dan mengambil warangka dari balik pinggangnya.
"Aku tak akan membunuhmu, ki tumenggung. Ilmumu sudah tiada dan aku rasa
itu sebuah hukuman yang harus engkau terima." kata Windujaya.
Tanpa menunggu jawaban pemuda itu lantas bergegas meninggalkan tempat
itu dengan cepat dan mudahnya. Walau seoarang prajurit berusaha
menghentikannya, tapi tak dihiraukan sama sekali hingga pemuda itu berhasil
menjauhi medan tempur dan berhenti dilebatnya pepohonan.
"Kau terlalu lembek Windujaya." tegur seorang kakek yang menyangga
tubuhnya dengan sebatang tongkat dari bambu kuning.
"Ah aku rasa itu sudah cukup untuk menghukum tumenggung itu, guru."
"Huh... sudahlah mari kita pergi dari tempat ini." ucap kakek itu yang kemudian
melangkahkan kakinya ke arah barat.
Dan Windujaya terpaksa mengikuti langkah gurunya itu sambil menyelipkan
keris kyai Samudro Geni diikat pinggangnya.

Panasnya Langit Demak


jilid 5 bag 10
oleh : Marzuki
.
..
Kademangan Kenduruan merupakan sebuah kademangan bertanah subur
P a g e | 188

dengan hasil pertanian yang melimpah setiap tahunnya. Sejak turun temurun
kademangan ini menjadi pemasok pertanian utama bagi kadipaten Tuban.
Kerena itulah Panembahan Bhre Wiraraja setalah menguasai Tuban telah
menempatkan pasukannya lebih besar daripada ditempat lainnya. Disini
seorang panji yang disegani dan merupakan tangan kanan Panembahan Bhre
Wiraraja mendapat tugas sebagai panglima , meskipun oleh Nayaka Praja
yang mempunyai tingkatan lebih tinggi dari sang panji tersebut.
"Kakang panji, pasukan Jipang dibawah pimpinan ki tumenggung Sardulo telah
tiba dan siap bergabung." lapor Rangga Rawes.
"Sambut mereka dengan baik, Rawes. Dan suruh ki tumenggung Sardulo
menghadapku." sahut orang yang disebut kakang panji, dengan suara berat
penuh wibawa.
Lantas rangga Rawes undurkan diri untuk menyambut pasukan Jipang Panolan
yang dipimpin oleh tumenggung Sardulo. Sepeninggal rangga Rawes, seorang
lelaki yang memakai pakaian resi bertanya kepada panji itu.
"Anakmas panji Senggageng, apakah penunjukan tumenggung Plangkrongan
di kademangan Trucuk itu, tidak terlalu gegabah ?" tanya resi itu.
"Maksud paman resi ?" panji Senggageng balik tanya.
"Anakmas, bukankah semuanya mengetahui kalau tumenggung dari Lasem itu
selalu bertindak grusa - grusu." sejenak resi itu menyelidiki kesan diwajah panji
Sengganggeng, lalu lanjutnya, "Ingatkah anakmas saat penyerangan kita ke
Tuban dulu ? Hampir saja pasukan kita hancur gara - gara kecerobohan
tumenggung Plangkrongan."
Wajah panji Sengganggeng menunjukan kerut merut, dan rasa sesal pun
menyelimuti perasaannya.
"Sebenarnya akupun tak menyetujui penunjukan itu, paman resi Padutapa. Tapi
semuanya wewenang dari Panembahan Bhre Wiraraja sendiri, dan tiada yang
berani membantahnya, meskipun ia kakak iparku." ucap panji Sengganggeng.
"Oh... semoga tumenggung dari Lasem itu tak mengulangi kesalahannya."
harap resi Padutapa, lirih.
Bersamaan dengan kata terakhir dari resi Padutapa, lurah prajurit datang
menghadap.
"Ada apa lurah Sempeno ?" ki rangga Tandes, mendahului bertanya.
"Ampun ki rangga, ada warta dari kademangan Trucuk." jawab lurah Sempeno.
"Katakanlah... !"
"Ampun, ki panji. Pasukan tumenggung Plangkrongan berhasil dihancurkan
pasukan Demak."
"Braaak !"
P a g e | 189

Meja di depan ki panji Sengganggeng pecah seketika terkena gebrakan


tangannya.
"Oh jagat Baratha, apa yang aku cemaskan terbukti sudah..." desis resi
Padutapa.

"Rangga Tandes, kumpulkan pasukan Demit dan pergilah ke padukuhan


Kanten. Awasi dengan seksama pasukan lawan, bila mereka bergerak kemari
sebagian dari kalian cepat meminta bantuan pasukan induk di kademangan
Kedungmulyo barat grojokan Nglirep." perintah panji Sengganggeng.
"Baik kakang panji." kata rangga Tandes, lalu bergegas menjalankan perintah.
"Kakang tumenggung Ra Yuyu dan ki Banyak Wedi, perkuat telatah barat
padukuhan terdepan dari kademangan ini. Bila ada sesuatu mencurigakan
segeralah beri isyarat."
"Baik, adi Sengganggeng." dan tumenggung Ra Yuyu dan ki Banyak Wedi
langsung menuju ke padukuhan pertama yang berjarak tiga ratus tombak dari
kademangan Kenduruan.
Saat itulah masuk ki tumenggung Sardulo dan ki rangga Rawes yang
mengambil tempat duduk berseberangan.
"Mengapa kakang tumenggung merubah rencana kita ?" tanya panji
sengganggeng.
Tumenggung Sardulo mendesuh sesaat seraya memperbaiki duduknya.
"Maafkan aku adi panji Sengganggeng, ini dikarenakan ulah patih Mentahun
yang menyetujui bergabungnya pasukan Demak dari Wira Braja."
"Oh jadi pasukan mereka dibagi dua ?"
"Begitulah menurut yang aku dengar dari kakang tumenggung Harya Kumara,
yaitu pasukan utama di selatan yang dipimpin sendiri oleh pangeran Trenggono
dan pasukan kedua dipimpin oleh tumenggung Gagak Kukuh." tutur
tumenggung Sardulo.
"Pantas jika tumenggung Plangkrongan dapat dilumpuhkan."
"Oh... " kejut tumenggung Sardulo, "Apa telingaku salah mendengar ?"
"Tidak anakmas Sardulo, baru saja seorang prajurit mewartakan kekalahan di
medan selatan itu." resi Padutapa yang menyahuti.
"Oh ya kakang, dimana kakang Harya Kumara ?" tanya panji Sengganggeng.
"Dia masih di Jipang, adi."
"Apakah ia tak akan mengalami kesulitan dengan adanya kakang disini ?"
"Aku sudah mengatur semuanya, adi. Sehingga pihak Demak dan Jipang tak
akan menyentuhnya."
"Maksud kakang ?"
P a g e | 190

Maka tumenggung itupun menjelaskan apa yang sudah ia lakukan di


padukuhan ujung kadipaten Jipang.
.......

Di kala mentari memasuki peraduannya waktu itu bersamaan dengan


datangnya pasukan Demak yang dipimpin oleh tumenggung Gagak Kukuh, di
padukuhan yang dijadikan pertahanan orang Jipang. Tapi betapa terkejutnya
saat melihat keadaan padukuhan itu tak karuan. Rumah rumah banyak yang
dibakar, dan semakin ke dalam banyak bergelimpangan prajurit Jipang
beserta kuda mereka tak bernyawa.
"Kita terlambat, ki tumenggung." kata ki panji Sambipati, yang berkuda
disebelah tumenggung Gagak Kukuh.
"Sepertinya begitu, ki panji." sahut tumenggung Gagak Kukuh, "Lurah Bangau
Lamatan, bawalah prajurit dan periksa keadaan dengan teliti."
"Baik ki tumenggung."
Sementara itu sebagian prajurit mendapat tugas untuk mengumpulkan mayat
mayat yang mulai dikerubuti oleh lalat, dan segera diselenggarakan. Sebagian
lagi memadamkan api supaya tak merembet semakin luas.
Tugas prajurit Demak meskipun berat saat menjumpai padukuhan ujung Jipang
itu tak membuat mereka lengah. Di malam itu semuanya dikerjakan dengan
cepat serta tak melupakan penjagaan demi menjaga kemungkinan yang tak
terduga. Untunglah sampai matahari terbit tiada sesuatu yang membahayakan
bagi mereka.
"Lurah Saroyo, bawalah dua kawanmu menuju Jipang. Kabarkan kalau
pasukan mereka banyak yang tewas, dan sebagian lagi kemungkinan menjadi
tawanan musuh." perintah ki tumenggung Gagak Kukuh.
"Baik, ki tumenggung."
Lalu tumenggung dari Wira Braja itu beralih kepada seorang lurah dari pasukan
telik sandi.
"Adakah laporan yang kau katakan, lurah Kuda Lirboyo ?"
"Iya, ki tumenggung. Pertama dari pasukan induk yang berada di selatan telah
mendapat kemenagan mutlak, ki tumenggung." sejenak lurah Kuda Lirboyo
mengambil napas, lalu lanjutnya, "Yang kedua yaitu tanpa sengaja hamba
melihat sebuah iringan pasukan menuju kademangan Kanduruan."
"Tahukah kau, siapa dan dari mana pasukan itu ?"
"Melihat panji ataupun umbul dan ronteknya, sepertinya dari kadipaten Jipang,
ki tumenggung."
"Baiklah, ada yang lainnya ?"
P a g e | 191

"Cukup untuk sementara, ki tumenggung."


"Terima kasih ki lurah, beristirahatlah dahulu sebelum engkau melanjutkan
tugasmu." ucap tumenggung Gagak Kukuh.
Di hari itu pasukan yang dipimpin tumenggung Gagak Kukuh, untuk sementara
waktu tinggal di padukuhan ujung timur kadipaten Jipang, menanti
perkembangan keadaan selanjutnya.

Panasnya Langit Demak


jilid 5 bag 11
oleh : Marzuki
.
..
Usai menuntaskan pertempuran di utara gumuk Watujajar, pasukan induk
Demak bergerak ke kademangan Trucuk. Tenyata di kademangan itu sudah
kosong menyisakan bekas - bekas jejak pasukan bang wetan yang tersisa,
berupa bekal makanan dan beberapa kuda, sedangkan penghuni
kademangan sudah lama mengungsi keluar kademangan.
"Tempatkan tawanan di banjar kademangan, dan awasi mereka." perintah
tumenggung Suranata kepada prajuritnya.
Meskipun menjadi tawanan, sisa pasukan bang wetan diperlakukan tak
semena - mena. Mereka ditempatkan di banjar serta mendapatkan makanan
sama seperti yang dimakan oleh pasukan Demak.
Di pendopo kademangan yang tak jauh dari banjar kademangan, pangeran
Trenggono berkumpul dengan para senopatinya demi merundingkan tugas
selanjutnya dalam penggempuran pusat pertahanan lawan, yang berada di
kademangan Kenduruan, Kedungmulyo ataupun di Jatirogo.
Saat itulah seorang utusan dari Demak datang menghadap untuk
menyampaikan keputusan dari sesepuh Demak.
"Ampun, kanjeng pangeran. Hamba diutus para sesepuh Demak untuk
mengharapkan pangeran kembali ke kotaraja Bintara." ucap prajurit
mengunjukan sembah.
Kerut merut menghiasi dahi pangeran Trenggono, yang kemudian bertanya
kepada prajurit utusan, "Tahukah engkau, mengapa para sesepuh mengharap
aku kembali."
Sejenak prajurit itu memperbaiki duduknya, seraya memasukan tangannya ke
dalam pakaian, dimana saat tangan itu keluar kembali, sebuah bumbung
dihaturkan kepada pangeran.
P a g e | 192

"Silahkan, kanjeng pangeran membaca surat yang berada dalam bumbung


ini."
Diraihlah bumbung itu, lalu perlahan dibuka penutupnya dan secarik kertas
bergulung diurai sehingga berderet aksara tertera membentuk kalimat. Helaan
napas mengakhiri pangeran Trenggono membaca kalimat yang tertera di
secarik kertas yang kembali digulung dan dimasukan kembali ke dalam
bumbung.
"Prajurit, bilamana kau kembali ke kotaraja katakan Besok aku akan kembali ke
kotaraja."
"Kasinggihan dawuh, kanjeng pangeran." kata prajurit itu, setelah
diperkenankan meninggalkan tempat, maka ia pun mengundurkan diri dan
kembali ke kotaraja.
Sepeninggal utusan dari Demak, pangeran Trenggono memberi penjelasan
kepada senopati yang berada di pendopo kademangan Trucuk.
"Paman sekalian pasti bertanya - tanya mengenai utusan sesepuh Demak yang
mana memanggilku kembali ke Demak." sejenak pangeran Trenggono berhenti
demi mencari kesan disetiap senopati yang hadir.

"Maksud dari sesepuh ialah tiada lain akan mengumumkan seseorang yang
berhak menjadi penerus dari kakangmas Sultan Pati Unus, demi melanjutkan
roda pemerintahan Demak. Oleh karena itulah para sesepuh mengharapkan
aku kembali." lanjut pangeran Trenggono.
"Ampun pangeran, jikalau hamba boleh tahu, siapakah kira - kira yang akan
dinobatkan menjadi sultan selanjutnya ?" tumenggung Pideksa memberanikan
diri bertanya.
Putra raden Patah itu menggelengkan kepala, "Aku sendiri juga gelap
mengenai hal itu, paman Pideksa."
Ruang pendapa terasa hening beberapa jenak, semua yang hadir tenggelam
dalam ruang pengandaian masing - masing. Tetapi kebanyakan dari senopati
itu mengharapkan pangeran Trenggono lah yang diangkat sebagai raja yang
memangku bumi Demak peninggalan mendiang orang tuanya.
Selanjutnya pangeran Trenggono merencanakan akan berangkat besok pagi
bersama tumenggung Suranata dan seratus pasukannya. Sedangkan tampuk
pimpinan pasukan yang akan menggempur pasukan bang wetan akan
diserahkan kepada tumenggung Pideksa. Dan atas pertimbangan yang baik
sepeninggal pangeran Trenggono, sebaiknya pasukan ini nantinya menyatu
dengan pasukan yang dipimpin oleh tumenggung Gagak Kukuh.
Seperti yang telah direncanakan sebelumnya, maka di pagi harinya seratus
P a g e | 193

prajurit mengawal pangeran Trenggono kembali ke kotaraja. Iringan berkuda


itu bergerak ke selatan menyeberangi bengawan dan selanjutnya berjalan
melewati jalur selatan dari kadipaten Jipang Panolan. Namun iringan itu sejak
mendarat dari bengawan, telah diamati seorang telik sandi yang bergegas
melaporkan hal itu kepada atasannya.
"Terus awasi iringan pasukan itu."
"Sendiko, ki lurah." dan telik sandi itu kembali mengintai pergerakan iringan yang
mengawal pangeran Trenggono.
Sementara orang yang disebut lurah oleh telik sandi, bergegas menuju sebuah
bangunan dimana di dalam bangunan telah duduk beberapa orang.
"Mohon maaf, ki tumenggung. Prajurit sandi kita melaporkan adanya pasukan
kecil melintas selatan bengawan mengarah ke barat." lapor lurah prajurit itu.
"Tahukah siapa yang memimpin pasukan itu ?"
"Pangeran Trenggono, ki tumenggung." jawab lurah itu.
"Bagus, tak disangka kitalah yang akan membinasakan pangeran itu. Lurah
Puranta, kumpulkan pasukan yang memadai, kita kejar pasukan itu dan kita
hancurkan." kata tumenggung yang tiada lain ki tumenggung Harya Kumara.
"Sendiko dawuh, ki tumenggung." sahut lurah Puranta.
Lalu tumenggung Harya Kumara mengedarkan mata ke arah seseorang yang
duduk di pojok.
"Panji Jaran Tangkis, kali ini kau masih aku butuhkan, tebuslah kesalahanmu
dengan membunuh pengiring pangeran Trenggono sebanyak - banyaknya."
"Baik, ki tumenggung."
Dengan cepat orang - orang bawahan tumenggung Harya Kumara
dipersiapkan tanpa meninggalkan senjata andalan mereka, maka pasukan itu
bergerak mengejar iringan dari Demak.

Panasnya Langit Demak


jilid 5 bag 12
oleh : Marzuki
.
..
Pengejaran kali ini melibatkan beberapa perwira serta orang - orang pinunjul
dari dunia olah kanuragan yang mau menggabungkan diri demi
mengharapkan imbalan jasa berupa harta dan jabatan. Salah satunya seorang
pemimpin padepokan di telatah Jipang Panolan, yaitu ki Rambatan pemimpin
padepokan Kedung Banteng.
P a g e | 194

Sudah dua hari pengejaran dilakukan oleh pasukan yang dipimpin oleh
tumenggung Harya Kumara, dan jarak dari dua pasukan itu semakin dekat
hanya menyisakan ratusan tombak. Apalagi ketika iringan pangeran Trenggono
beristirahat demi memberi kesempatan kepada kuda yang mereka tunggangi,
maka kesempatan itu dipergunakan dengan baik oleh pasukan tumenggung
Harya Kumara, kuda itu mereka pacu secepat mungkin demi mencapai
sasaran.
Ketika berada disekitar bukit tanah kapur maka semakin jelas dan nampak
terlihat sebuah perkemahan didirikan.
"Bagus, itu mereka sedang bermalam di bawah bukit kapur." seru tumenggung
Harya Kumara.
Lalu tumenggung itu mengatur siasat demi melumpuhkan lawan yang hanya
berjumlah kurang lebih seratus orang. Ki panji Jaran Tangkis dengan dibantu
oleh ki Rambatan, memutar jalan turun menyusuri anak sungai kering demi
melakukan hadangan di esok hari.
"Bilamana kalian sudah berada dikelokan jalan melingkar bukit kapur, segeralah
lepaskan isyarat." kata tumenggung Harya Kumara memberi perintah.
Anggukan kepala mengiringi penyahutan dari ki panji Jaran Tangkis, "Baik ki
tumenggung."
Maka seratus pasukan mengikuti ki panji Jaran Tangkis menyusuri anak sungai
yang mengering di gelapnya malam. Meskipun hari semakin gelap, hal itu tak
menyurutkan langkah kuda mereka. Perlahan namun pasti iringan yang
bertujuan mencegat iringan pangeran Trenggono, semakin dekat dengan
tempat yang telah disepakati, yang kemudian menanti hingga datangnya
mentarai pagi.
Dalam keadaan gawat menghantui perjalanan dari pangeran Trenggono,
sejumlah kecil prajurit Demak dari arah barat juga mendekati jalan dikelokan
dimana ki panji Jaran Tangkis dan pasukannya bermalam.
"Berhenti... " seru seorang prajurit muda yang memimpin sejumlah prajurit,
seraya meloncat turun dari kudanya.
Perilaku prajurit muda itu membuat sepuluh prajurit yang mengikutinya, menarik
tali kekang kuda mereka dan mengelus bagian leher kuda agar tenang.
"Ada apa ki lurah ?" tanya seorang prajurit.
"Cepat sembunyikan kuda kalian, sepertinya ada sesuatu yang menarik di
depan jalan itu." kata prajurit yang dipanggil lurah seraya memberi perintah.

Usai menyembunyikan kuda mereka, maka lurah prajurit diiringgi dua prajurit
lainnya, berjalan mengendap mendekati arah yang ditunjuk oleh lurah
P a g e | 195

tersebut. Dari balik gerumbul, ketiga prajurit itu mengerutkan dahi mereka
manakala memandang ke jalan di depan. Sebuah pasukan pangatus
menyebar memenuhi jalan itu.
"Siapa mereka ki lurah ?" desis salah satu dari prajurit yang menyertai lurah
muda, "Sepertinya mereka bukan iringan prajurit Demak."
"Aku akan mencoba lebih dekat, siapa tahu salah satu dari mereka berbincang
dengan kawannya dan tanpa sengaja menunjukan siapa mereka sebenarnya."
sahut lurah prajurit itu, "Tunggulah di sini."
Tanpa menunggu jawaban dari kawannya, lurah prajurit itu menggeser
langkahnya mendekati sekumpulan prajurit yang sedang berkasak kusuk di
antara mereka.
"Kenapa kau memandangi terus pedangmu, Simo ?" tanya seorang prajurit.
Orang yang dipanggil Simo itu memandang ke arah kawannya sambil terus
mengelus pedang yang ia pegang.
"Wiru, tahukah kau sudah berapa lama pedang ini menyertaiku di medan
peperangan ?" Simo balik bertanya.
"Mana aku tahu, itu pedangmu bukan milikku."
"Huh, kau... ketahuilah pedang ini peninggalan kakekku dan sudah menyertaiku
puluhan kali di medan tempur menghadapi begal ataupun perampok. Namun
besok merupakan pengalaman pertama pedang ini mengayun dan
menggores tubuh prajurit Demak."
Kata terakhir dari orang yang bernama Simo itu, membuat kejut menyelinap
dihati lurah prajurit yang sedang mengintai.
"Benarkah apa yang aku dengar tadi, mereka akan menghadapi prajurit
Demak ? Siapa yang mereka maksud itu ? Apakah prajurit yang aku pimpin
yang hanya berjumlah sepuluh orang ?" batin lurah prajurit itu.
Di depan dua prajurit itu masih meneruskan percakapan mereka.
"Hahaha yang kita hadapi ini bukan prajurit biasa Simo, melainkan sepasukan
khusus yang mengawal seorang pangeran, bila kau tak berhati - hati bukan
pedangmu yang menggores di tubuh lawan, tapi kau lah yang terluka arang
kranjang."
"Huh gayamu seperti ilmumu sundul langit, sehingga mengguruiku, Wiru. Aku
Simo murid seorang ajar memiliki segudang ilmu kanuragan." seru orang itu
sambil membusungkan dada.
Sudah cukup bagi lurah itu untuk menarik sebuah kesimpulan mengenai
pasukan dihadapannya yang mempunyai tujuan melakukan penghadangan
terhadap iringan pangeran Trenggono. Maka dari itu ia kembali kepada kedua
kawannya dan mengajak keduanya kembali ketempat dimana kawan -
P a g e | 196

kawannya berada.

"Lalu bagaimana menurut pendapat, ki lurah ?" tanya seorang prajurit, setelah
selesai mendapat penuturan lurah muda mengenai pasukan yang berada di
depan mereka.
"Malam semakin mendekati tengah malam, sebaiknya hal ini diberitahukan
kepada iringan pangeran Trenggono yang saat ini berada di depan pasukan
musuh. Tapi kita harus melewati pasukan itu." kata lurah itu.
"Adi Arya Dipa." seorang prajurit mendekatinya, "Aku tadi tanpa sengaja
menemukan anak sungai yang mengering, dan aku rasa sungai itu bila kita
menyusuri ke hilir kemungkinan mendekati tempat disekitar bukit kapur. Apakah
sebaiknya kita mencoba melewati anak sungai itu ?"
Wajah lurah yang ternyata ki lurah Arya Dipa, berubah cerah.
"Oh.. dimana jalur sungai itu, kakang ?"
"Mari aku tunjukkan." prajurit itu kemudian menunjukan dimana dirinya tanpa
sengaja menemukan jalur sungai yang mengering kepada lurah Arya Dipa.
Keduanya kemudian menuju sungai itu setelah sebelumnya memberi pesan
kepada kawan - kawannya, untuk menunggu di tempat itu. Setelah ditelusuri
memang sungai itu mendekati tempat dimana pangeran Trenggono dan
kawannya bermalam, dan jika terus dilanjutkan tentu sampai juga di tempat ki
tumenggung Harya Kumara berada.
Lurah Arya Dipa dan kawannya dengan hati - hati mendekati perkemahan
tanpa mengejutkan penghuninya. Tapi tetap saja hal itu membuat prajurit yang
sedang berjaga menghardiknya.
"Siapa kau !?!" seru prajurit itu.
"Aku prajurit Demak, ki prajurit. Ingin menghadap kanjeng Pangeran." jawab
lurah Arya Dipa.
Prajurit yang mendapat tugas berjaga itu mempertajam penglihatannya dan
memerhatikan dengan teliti pakaian dua orang dihadapannya.
"Oh... " desuhnya saat mengetahui pakaian yang dikenakan oleh salah satu
orang itu, bercirikan lurah prajurit Tamtama.
"Oh.. Mari ki lurah, maaf telah mencurigai ki lurah."
"Tak mengapa ki prajurit, itu memang tugas yang engkau emban." lurah Arya
Dipa, memaklumi dengan apa yang dilakukan prajurit itu terhadapnya.

Panasnya Langit Demak


jilid 5 bag 13
P a g e | 197

oleh : Marzuki
.
..
Debur kejut mengombak dihati pangeran Trenggono manakala dua pemuda
telah dihadapkan kepadanya di malam menjelang puncaknya. Apalagi salah
satunya, pemuda itu tiada lain seorang lurah prajurit yang selama ini ditugaskan
untuk mengawal putranya.
"Kau lurah Arya Dipa."
"Hamba, kanjeng Pangeran." sahut lurah Arya Dipa, seraya merapatkan kedua
telapak tangan menempel di hidung.
"Adakah sesuatu yang menyangkut putraku, si Bagus Mukmin ?"
Sejenak lurah Arya Dipa mengemasi letak duduknya dan kemudian dengan
perlahan memyampaikan maksud kedatangannya.
"Ampunkan hamba, kanjeng pangeran. Bilamana kedatangan hamba di
tengah malam ini telah mengganggu istirahat kanjeng pangeran." lurah Arya
Dipa mulai berkata, lalu lanjutnya, "Kedatangan hamba sebenarnya tak
menyangkut perihal diri raden Bagus Mukmin, melainkan perihal yang lain."
"Oh... " kelegaan hati terasa manakala pangeran Trenggono mendengarkan
tiada sesuatu yang menyangkut dengan putranya, "lalu gerangan apakah itu
?"
"Kanjeng pangeran, sebenarnya hamba saat ini mendapat tugas dari kesatuan
hamba untuk berkunjung ke tanah perdikan Sembojan. Namun dalam
perjalanan, hamba menjumpai sesuatu yang aneh." sejenak pemuda itu
berhenti demi mengatur napas, lalu lanjutnya, "Setelah hamba dan kawan
hamba selidiki, ternyata di kelokan jalan seberang bukit kapur ini terdapat
pasukan pangatus."
Tawa renyah mengiringi bibir pangeran Trenggono.
"Maksudmu pasukan itu ialah pasukan yang mengiringiku ini ?" sangka
pangeran itu.
"Oh bukan, kanjeng pangeran." jawab ringkas lurah Arya Dipa.
"Hah... jadi ?" kejut pangeran Trenggono dengan menampakan kerut dalam di
keningnya.
Lurah muda itu menggeser letak duduknya supaya lebih nyaman.
"Ampun, kanjeng pangeran. Pasukan itu berada di barat yang mana di sana
juga terdapat kelokan. Dan disanalah pasukan pangatus yang hamba ketahui
dari kadipaten Jipang Panolan yang bertujuan menunggu pasukan yang
mengiringi kanjeng pangeran ini."
P a g e | 198

Bilamana terdengar halilintar hal itu jamak bilamana mengejutkan telinga


seseorang, namun tiada badai dan halilintar malam itu tetsp mengejutkan dan
mengagetkan sang pangeran demi mendengar laporan dari lurah wira
Tamtama, Arya Dipa. Maka dari itu pangeran Trenggono beralih memandang
tumenggung Suranata.
"Ki tumenggung, bagaimana pandanganmu mengenai pasukan yang tidak
kita ketahui maksud dan tujuannya itu ?"
Tumenggung Suranata sejenak berpikir dan memulai menduga apa maksud
dari pasukan itu, lalu katanya, "Pangeran, mohon kiranya hamba ingin
menanyakan sesuatu kepada lurah Arya Dipa."
"Silahkan, ki tumenggung."
Karena ijin sudah didapat, maka tumenggung dari kesatuan Wira Manggala
mengisarkan pandang kearah dimana lurah Arya Dipa duduk bersila.
"Lurah Arya Dipa, tentunya kau menyelidiki lebih teliti mengenai pasukan
pangatus itu, bukan ?" tanya tumenggung Suranata.
"Benar, ki tumenggung." jawab lurah Arya Dipa.
"Lalu tahukah engkau dengan maksud dari pasukan pangatus itu, yang
menghadang di kelokan seberang bukit kapur ?"
"Saat hamba mendekat demi mencari keterangan yang lebih, tanpa sengaja
dua orang dari pasukan itu mengatakan akan melakukan penyerangan
terhadap pasukan ini, ki tumenggung." terang lurah muda itu.
"Begitukah, prajurit Wasis ?" tanya tumenggung Suranata kepada pemuda
yang berada disamping lurah Arya Dipa.
"Benar apa yang diucapkan ki lurah Arya Dipa, ki tumenggung." jawab prajurit
Wasis, tegas.
Demi mendengar hal itu tumenggung Suranata menganggukan kepala, lalu
menoleh terhadap pangeran Trenggono.
"Pangeran, sudah tegas tindakan kita untuk menghadapi pasukan itu, jika
memang kenyataanya mereka akan menyerang kita."
"Tapi ki tumenggung, bukankah hal itu akan memperuncing keadaan antara
Demak dan Jipang Panolan ? Dan apakah pasukan itu benar - benar
sepengetahuan dari paman Adipati Sepuh ?"

Memang apa yang dikatakan oleh pangeran Trenggono menjadi sesuatu yang
patut mendapat perhatian lebih, karena akan menyangkut keutuhan kerajaan
Demak nantinya. Apalagi di bang wetan keadaan masih panas dan
menguatirkan.
"Mohon beribu ampun, kanjeng pangeran." suara lurah Arya Dipa telah
P a g e | 199

memecah ketermenungan pangeran dan tumenggung.


"Apakah kau akan memberikan pendapat, lurah Arya Dipa ?"
"Jika kanjeng pangeran berkenan, hamba akan menyampaikan sesuatu yang
mungkin dapat dipertimbangkan."
"O... Katakanlah." seru pangeran Trenggono.
"Begini, kanjeng pangeran. Hamba yang lancang ini telah memahami jikalau
pangeran merasa enggan menghadapi pasukan itu." lalu terusnya ketika
melihat tumenggung Suranata akan menukas, "Tunggu dulu ki tumenggung,
bukan maksud hamba mengecilkan keengganan kanjeng pangeran.
Melainkan hamba mengerti keengganan kanjeng pangeran dikarenakan tak
ingin merusak hubungan Demak dengan kanjeng Adipati Sepuh, yang sangat
dihormati kanjeng pangeran."
Penuturan dari lurah muda itu tak disangka oleh semua yang hadir dalam
tenda tersebut. Ternyata seorang lurah yang masih berumur sangat muda itu
mampu merangkai kata demikian.
"Lanjutkan ki lurah."
"Oleh karena itulah hamba yang hina ini, mengharap agar pasukan ini tak
berbenturan seperti yang diharapkan oleh kanjeng pangeran, sebaiknya
meninggalkan perkemahan ini secara diam - diam."
Hiruk pikuk terdengar dari seluruh senopati yang ikut mengawal pangeran
Trenggono. Dan hal itu sudah diterka sebelumnya oleh anak angkat ki panji
Mahesa Anabrang, maka dari itu ia pun menyusuli dengan kata - kata
selanjutnya.
"Mohon kiranya kanjeng pangeran dan tuan senopati sekalian, menganggap
hamba pengecut. Namun sebaliknya, disaat kanjeng pangeran Trenggono dan
pasukan ini menyingkir, maka esok hari hamba dan kawan - kawan hamba
akan bertindak mengacaukan pasukan itu."
"He... Lurah Arya Dipa, apakah kau hilang kiblat ? menyarankan pasukan yang
berjumlah banyak dari prajurit yang kau bawa untuk tak berbenturan, tapi
malah kau ingin mengacau." seru ki panji Surayada.
Seruan itu mewakili hati beberapa senopati yang menganggap lurah muda
yang berada dihadapan mereka, terlalu sembrono dan sombong.
"Benar apa yang dikatakan kakang panji Surayuda dan hal itu juga akan
terbaca jika prajurit Demaklah yang melawan mereka." celetuk ki rangga
Lembu Pangraron.

"Maaf ki panji dan ki rangga, bukan maksud hamba mengecilkan kemampuan


dari pasukan ini. Tapi kami pun hanya melakukan pengacauan untuk memberi
P a g e | 200

waktu supaya pasukan ini semakin dekat dengan kotaraja dan pasukan
mereka akan mengurungkan niat mereka." kembali pemuda itu terdiam untuk
mengatur napas sekaligus mencari kesan disetiap mereka yang hadir.
"Dan hamba dan kawan - kawan dalam melakukan pengacaun, tentunya tak
mengunjukan ciri dari keprajuritan kami."
Akhirnya pangeran Trenggono memahami dan mengerti maksud dari lurah
Arya Dipa, "Lalu bagaimana caranya pasukan ini bisa melanjutkan jalan tanpa
diketahui oleh mereka ?"
"Kanjeng pangeran, saat kami kemari, kami melintasi sebuah anak sungai yang
mengering. Dimana hilir dari jalur itu berada di seberang bukit kapur di depan
pasukan Jipang. Dan itulah jalan terbaik untuk penghindaran."
Setelah disepakati maka dimalam itu juga, pasukan yang mengiringi pangeran
Trenggono, bergerak menyingkir demi menghindari pertumpahan darah melalui
jalur anak sungai yang mengering. Sehingga pasukan itu lepas dari pantauan
pihak tumenggung Harya Kumara dan ki panji Jaran Tangkis.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 5 BAG 14
Oleh : MARZUKI
.
..
Secara bergiliran dan perlahan pasukan Demak yang mengiringi pangeran
Trenggono telah melewati anak sungai kering dengan dipandu oleh lurah Arya
Dipa dan prajurit Wasis. Serta suatu kali dengan sangat hati - hati, pangeran
Trenggono menyempatkan mengintai pasukan yang memang banyak itu. Dan
setelah yakin maka ia pun melanjutkan menyusuri jalur sungai mengering.
Hingga akhirnya iringan itu sampai di tempat teraman dari jangkauan pasukan
Jipang yang dipimpin oleh ki panji Jaran Tangkis.
"Hamba hanya mengantar sampai disini, kanjeng pangeran." ucap lurah Arya
Dipa.
"Apakah kau akan tetap meneruskan rencana yang akan kau pilih itu, Arya
Dipa ?" tanya pangeran Trenggono, mencari ketegasan sekaligus
mengawatirkan keselamatan pemuda itu.
"Kasinggihan, kanjeng pangeran."
"Baiklah jika itu kemauanmu, tapi janganlah bertindak terlalu dalam."
"Hamba, kanjeng pangeran."
Walau hati sebenarnya terasa berat untuk meninggalkan lurah yang masih
P a g e | 201

muda serta kawan - kawannya yang hanya berjumlah sepuluh, tapi demi
menjaga hubungan dengan kanjeng Adipati Sepuh tetap utuh dan supaya
cepat sampai di kotaraja, maka pangeran Trenggono telah mengambil
keputusan melecut kudanya mengarah ke Demak. Tindakan itu ditirukan oleh
para senopati serta prajurit pengawal lainnya.
Sepeninggal iringan pangeran Trenggono, ki lurah Arya Dipa mengajak prajurit
Wasis untuk kembali ke tempat dimana kawan - kawannya berkumpul.
Sesampai dihadapan kawan - kawan yang tiada lain bawahannya, lurah Arya
Dipa menerangkan perihal pertemuannya dengan pangeran Trenggono. Tak
lupa juga membeberkan rencana yang ia susun dalam menindak lanjuti
pasukan dari Jipang, guna melakukan pengacauan demi menahan jarak
pasukan musuh dan mengakibatkan pasukan itu gagal dalam penyerangan
terhadap pangeran Trenggono.

"Ganti pakaian kalian dengan pakaian biasa." lurah Arya Dipa memberi
perintah.
Segera kesepuluh prajurit itu bergegas menanggalkan pakaian keprajuritan
untuk berganti dengan pakaian pada umumnya, begitu juga dengan lurah
Arya Dipa. Setelah itu prajurit kesatuan dari Wira Tamtama mendapati kuda
mereka dan membawa ke bekas perkemahan pasukan Demak sebelumnya. Di
sana mereka menyelidiki tempat itu serta membaca tata letak dan keadaan
alam dari bukit kapur itu, untuk merancang siasat lebih lanjut.
"Sebelum aku memberikan beberapa tindakan, kita akan memutuskan tempat
pertemuan setelah memberikan kejutan kepada pasukan yang berada di
barat kelokan." kata lurah Arya Dipa.
"Di mana itu, adi lurah ?" tanya prajurit Wasis, putra ki panji Reksotani.
"Usahakan kalian menyeberangi sungai yang kering itu, dan lanjutkan langkah
kalian hingga dua ratus tombak ke selatan."
Kesepakatan itu ditanggapi dengan anggukan yang mengartikan kesemuanya
setuju.
"Kakang Wasis bawalah dua kawan ke jalan arah barat, berikanlah tanda saat
kokok ayam pertama berkokok dan segera berlindung ke semak - semak.
Bilamana pasukan itu sampai disini dan Sambi Wulung mulai menggelindingkan
batu, cepatlah serang mereka dengan panah berapi." kata lurah Arya Dipa,
mulai menjalankan siasatnya.
"Baik, adi." sahut prajurit Wasis, kemudian melanjutkan katanya, "Sakri dan Kerta,
akan aku bawa."
Usai mengangguk menyetujui permintaan prajurit Wasis, lurah Arya Dipa
P a g e | 202

berpaling kepada seorang prajurit yang dulu pernah bersitegang dengannya.


"Sambi Wulung, seperti yang kau dengar tadi dimana aku katakan kepada
kakang Wasis, agar kau menggelindingkan batu - batu di atas itu. Oleh karena
itu ajaklah kakang Truno, Wiji dan Pahang ke atas lereng bukit demi
membantumu."
"Baik, ki lurah." dengan tegas prajurit Sambi Wulung, menerima tugas yang
diberikan kepadanya.
Kini tinggalah lurah Arya Dipa dan tiga prajurit tersisa.

"Lalu bagaimana dengan kita ki lurah ?" tanya seorang prajurit.


"Kita akan sembunyi di alur sungai. Siapkan panah serta lapisi ujungnya dengan
serabut kering, kita serang dengan panah api supaya mereka bingung." jawab
lurah Arya Dipa, seraya membelokan kuda mengarah alur sungai.
Hembusan angin mengiringi pergerakan sang waktu. Para anak buah ki lurah
Arya Dipa merasakan waktu itu terasa lamban bagai sang bayi baru mampu
merangkak. Tapi walau pelan dan lamban, sang waktu tak pernah ingkar akan
kodrat yang harus dilalui dengan seijin Sang Kuasa. Kokok ayam hutan
terdengar memecahkan keheningan fajar yang menandakan alam akan
berganti. Dan itu juga yang dinantikan oleh prajurit Wasis.
"Sekarang...!" serunya.
Lengkingan panah sendaren membuncah ke angkasa mengakibatkan bunyi
tersendiri dan memancing setiap telinga curiga dengan suata yang
ditimbulkan.
"Sendaren !" seru seorang prajurit yang berada di pasukan pimpinan
Tumenggung Harya Kumara.
Dan suara kejut itu merambat sampai ditelinga tumenggung Harya Kumara,
"Gilakah panji Jaran Tangkis !?"
"Bagaimana ini, ki tumenggung ?" tanya rangga Puranta.
"Perintahkan pasukan bergerak." seru ki tumenggung Harya Kumara sembari
menaiki kuda dan memimpin pasukannya.
Hal yang sama dirasakan oleh ki panji Jaran Tangkis, sesaat setelah mendengar
lengkingan panah sendaren.
"Ada apa ini ? bukankah seharusnya pasukanku yang memberikan isyarat
panah sendaren ?" tanyanya.
Seorang lelaki mendatanginya dan menampakan raut muka terkejut.
"Apa yang sebenarnya terjadi, ki panji ?"
"Entahlah, ki Rambatan." jawab ki panji Jaran Tangkis, "Tapi sebaiknya kita
bergerak saja."
P a g e | 203

"Bila itu perintah ki panji, aku menurut saja."


"Baiklah, kita kumpulkan pasukan." lalu ki panji Jaran Tangkis memberi perintah
kepada bawahannya supaya mengumpulkan pasukan dan mulai bergerak
menyongsong arah perkemahan pasukan Demak

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 5 BAG 15
oleh : MARZUKI
.
..
Tempat ki panji Jaran Tangkis dengan jalan dimana ada perkemahan pasukan
Demak memanglah yang terdekat bila dibandingkan tumenggung Harya
Kumara, karena itulah kehadirannya ditempat yang dituju menjadikan pasukan
panji itu tiba paling awal. Bersamaan dengan tibanya pasukannya, keheranan
merasuk dalam diri panji Jaran Tangkis beserta pasukannya.
"He.. dimana mereka !" kejut ki panji Jaran Tangkis, "Apa mataku lamur ?"
"Tidak ki panji, kenyataannya memang begitu." timpal ki Rambatan.
Walaupun begitu keduanya dan pasukannya tetap melangkahkan kudanya
sampai tepat di bekas perkemahan yang kini ditinggalkan oleh para
penghuninya. Dan saat itulah tiba - tiba suara gemuruh mendekati pasukan
pangatus itu, yang membuat mereka kebat - kebit ketika kesadaran mulai
mengembang, dari atas bukit puluhan batu sebesar kepala kerbau
menggelinding mengancam nyawa tanpa pandang bulu.
"Menyingkir !" seru ki panji Jaran Tangkis, seraya menghindari terjangan
longsoran batu.
Teriakan - teriakan mulai terdengar dari mulut beberapa prajurit yang tak
sempat menghindar, sehingga terlindas beratnya batu.
"Cepat mengarah ke aliran sungai !" seru ki panji lagi, sambil memberi contoh.
Tetapi betapa malangnya saat ia hampir sampai di bibir rerimbunan semak
belukar, panah berapi melayanh dengan deras mengarahnya.
"Ouh... bangsat !" desuh ki panji saat panah api mengenai pakaiannya.
Maka ki panji menjatuhkan diri untuk kemudian berusaha memadamkan api
yang mulai melahap pakaiannya dengan menggulingkan tubuhnya ke semak -
semak. Tak terkecuali ki Rambatan dan beberapa anak buahnya. Sehingga
tempat itu kacau balau menyisakan umpatan dan makian yang membucah
dari mulut - mulut prajurit Jipang.
Oleh karena panah api terus mencurah dari balik - balik gelap dan pekatnya
P a g e | 204

rerimbunan, prajurit pangatus tersebut tak berani meneruskan langkahnya dan


hanya berlindung dari ganasnya panah berapi.
Keributan itu memancing telinga dari tumenggung Harya Kumara yang datang
kemudian. Tapi kerut merut didahinya melintang saat matanya yang tajam
memandang di depannya. Tempat yang dalam angan - angannya terdapat
dua pasukan sedang bertempur hebat, ternyata tak seperti yang ia duga. Di
sana hanya ada pasukannya yang dipimpin oleh ki panji Jaran Tangkis, sedang
direpotkan oleh serangan panah api lawan.

"Rangga Puranta, bawa prajurit dan memutarlah mengarah sisi lain."


perintahnya kepada rangga Puranta.
"Baik ki tumenggung." sahut rangga Puranta, sambil memutar kudanya demi
mencari jalan sisi lain bersama anak buahnya.
Baru kaki kuda melangkah dua tombak kembali suara gemuruh menghentikan
rangga Puranta dan prajuritnya. Jalan yang akan ia lewati tertutup oleh
longsoran bebatuan dari atas tebing bukit.
Rasa was - waslah yang kini bersarang dihati kebanyakan pasukan Jipang,
membuat hati mereka menciut sebesar biji sawi.
"Mati aku, jika orang yang berada di atas tebing ini juga melongsorkan batu di
atas." batin seorang prajurit.
Lain orang lain pula keberaniannya, begitulah pada diri tumenggung Harya
Kumara. Dirinya segera dapat membaca apa yang telah terjadi, maka dari itu
dengan melantang kata dirinya memerintahkan prajuritnya yang membawa
busur dengan endong, segera melakukan serangan balasan, mengarah ke
atas tebing dan ke arah gerumbul tepi aliran sungai.
Setelah panah mulai berkata beberapa jenak dan tiada balasan, ki
tumenggung Harya Kumara memerintahkan untuk mendekati dua sumber
penyerang gelap. Namun betapa murkanya, ketika prajuritnya melapor apa
yang ia lihat.
"Setan alas, panggil panji Jaran Tangkis kemari !" seru tumenggung Harya
Kumara.
Tanpa menunda waktu ki panji Jaran Tangkis bergegas menghadap atasannya
yang menampakan wajah bagai kepiting direbus.
"Panji Jaran Tangkis, tahukah mengapa aku memanggilmu ?"
Panji itu menyadari apa yang ada di hati tumenggung Harya Kumara, dan ia
pun mulai berucap, "Maafkan aku, ki tumenggung. Namun berilah aku waktu
untuk menjelaskan kepada tuan."
"Apanya yang harus dijelaskan ?" sanggah tumenggung Harya Kumara,
P a g e | 205

"Kenyataannya kau gagal dalam menunaikan perintahku serta menyalahi


perintah yang aku berikan."
"Ki tumenggung, itu semua bukan kesalahan ki panji Jaran Tangkis." ucap
seseorang yang berjalan dari belakang panji Jaran Tangkis.
"Oh kau ki Rambatan."
"Benar ki tumenggung." jawab ki Rambatan, yang kemudian menjelaskan apa
yang telah terjadi dengan pasukannya.
"Tapi bukankah kau menempatkan beberapa prajuritmu di sekitar aliran sungai,
ki panji ?" ki tumenggung Harya Kumara melempar pertanyaan, setelah
memahami penjelasan dari ki Rambatan.
"Sebenarnya memang begitu, ki Tumenggung. Namun mereka di lumpuhkan
dan terikat di semak - semak."

"Uh... Licin benar pangeran itu." gerutu tumenggung Harya Kumara, "Dan kita
tak dapat mengejar mereka, hal ini banyak memakan waktu."
Kepala ki panji Jaran Tangkis menunduk menatap bumi, tapi hatinya bersyukur
manakala dirinya tahu bahwa pasukannya tiada yang tewas dan hanya
terluka saja.
"Aneh, mereka hanya membuat kami terluka saja. Padahal mereka berpeluang
melakukan pembunuhan." batin panji Jaran Tangkis.
Sementara itu di sisi selatan aliran sungai yang berjarak ratusan tombak, lurah
Arya Dipa bersama prajuritnya duduk di atas punggung kuda.
"Kita tunggu Sambi Wulung dan yang lainnya." kata ki lurah Arya Dipa.
"Jangan - jangan mereka tertangkap ?" cemas prajurit Wasis.
"Semoga tidak kakang, karena jalan melingkarlah yang mengakibatkan mereka
terlambat." sahut lurah Arya Dipa.
Benar apa yang diperkirakan oleh lurah Arya Dipa. Memang keadaan alam
yang dilewati oleh prajurit Sambi Wulung dan lainnya, mengakibatkan langkah
mereka agak memutar menempuh sisi timur dan kemudian baru menyeberangi
aliran sungai kering. Setelah menemukan kuda mereka, barulah ke empat
prajurit itu memacu kuda mereka ke tempat yang telah ditetapkan.
"Maaf kami terlambat." ucap prajurit Sambi Wulung.
"Tak mengapa, alam yang kau lalu memang berat." lurah Arya Dipa
memaklumi, "Dan mungkin kalian mendapat perlawanan dari mereka juga ?"
"Benar, pasukan yang baru tiba kemudian itu juga menyerang kami dengan
panah. Untunglah kami masih mendapat perlindungan dari Sang Pencipta,
sehingga kami sampai disini tanpa luka." jawab prajurit Sambi Wulung.
Dirasa telah cukup, prajurit Demak yang dipimpin oleh ki lurah Arya Dipa
P a g e | 206

kembali melanjutkan tugas mereka yang tertunda demi menyelamatkan


pasukan Demak. Kesebelas prajurit itu mencongklangkan kuda ke timur di
mana sebuah jalan membentang. Tiba di pertigaan kemudian kuda - kuda
membelok ke kanan atau selatan mengarah ke tanah perdikan Sembojan.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 5 BAG 16
oleh : MARZUKI
.
..
Tak terceritakan akhirnya rombongan ki lurah Arya Dipa sampai di telatah
tanah perdikan Sembojan, setelah melewati daerah yang mana terdapat api
abadi atau Mrapen dan menyeberangi sungai Tuntang. Pada waktu itu tanah
perdikan Sembojan dipimpin oleh seorang lelaki paruh baya dengan sebutan ki
gede Sembojan, serta seorang jagabaya sebaya dengan ki gede Sembojan.
Kala itu hari tepat di puncaknya, di mana sinar sang surya bersinar terik tanpa
terhalang awan atau pun mendung. Tapi untunglah jalan yang membelah
lorong - lorong dipinggirnya ditanami rindangnya pohon turi dan lamtoro,
sehingga keteduhannya bisa terasa melindungi mereka yang lalu lalang. Selain
itu pohon lamtoro maupun turi bisa dijadikan makanan. Kembang turi yang
segar akan nikmat bila dijadikan kulup bercampur sambal kambil. Lalu lamtoro
biasanya oleh orang padukuhan diolah menjadi bothok, yaitu sejenis lauk
perpaduan antara lamtoro, daun muda mlinjo serta irisan lombok tak lupa
dikasih parutan kambil muda yang kemudian dibungkus atau istilah orang
padukuhan, yaitu digenemi, lantas dimasak.
"Lihatlah adi lurah, kembang - kembang turi itu memancingku untuk
memetiknya." kata prajurit Wasis.
"Ah kau ini, ingatnya cuma makanan saja." prajurit Sawunglah yang menyahuti
kata prajurit Wasis.
"Hahaha.. Siapa yang tak mengenal putra ki panji Reksotani ? Dia lah yang
disebut Macan lapar dari Merbabu." seloroh prajurit Pahang, yang disambut
tawa prajurit lainnya.
Memang berbeda dengan kesatuan prajurit Demak lainnya, kesatuan prajurit
ini bila sehari - harinya nampak membaur penuh canda tawa, meskipun
terhadap Arya Dipa yang menjabat lurah prajurit. Tapi dikala keadaan genting
prajurit dibawah pimpinan ki lurah Arya Dipa merupakan kesatuan yang
mendebarkan tandang dan kemampuannya.
P a g e | 207

"Huh, kau ini Pahang. Bukan aku saja yang mendapat gelar itu, kau ingat
dengan ki lurah Wiratsemi dari kesatuan Wira Radya ?"
"Oh, iya aku baru ingat. Tapi dia bukan macan melainkan gajah, sehingga
wajar jika ia lapar terus karena tubuhnya yang tinggi besar, berbeda dengan
dirimu yang tam...."

"Tampan maksudmu, kakang Pahang ?" cepat - cepat ki lurah Arya Dipa
menukas.
Namun wajah prajurit Wasis nampak memerah dan mata melotot memandang
prajurit Pahang.
"Maaf Wasis, aku hanya bercanda." ucap prajurit Pahang, saat menyadari
kalau prajurit Wasis tak berkenan.
Tapi semuanya salah dengan apa yang terlihat dari wajah prajurit Wasis. Putra
ki panji Reksotani itu ternyata malah tertawa terpingkal - pingkal, layaknya
orang kerasukan.
"Sialan... " gerutu semuanya.
"Ayo lekas ke padukuhan induk, dan segera melapor ki gede Sembojan." kata ki
lurah Arya Dipa sembari mencongklang kudanya.
Kuda putih yang dinamai Bayu Seta itupun melaju pesat meninggalkan kuda
lain yang ditunggangi oleh prajurit ki lurah Arya Dipa.
"Tunggu ki lurah... " seru prajurit Pahang lantas mengejarnya.
Begitu juga dengan prajurit lainnya yang kemudian memacu kuda mereka
mengejar pemimpin sebagian kesatuan Wira Tamtama Demak. Debu
mengepul lah yang kini tersisa di jalan ujung padukuhan tertinggal bersama
semilir angin dan kemudian larut kembali menghujam tanah.
Sejenak kemudian rombongan kecil prajurit Demak itu sampai di padukuhan
induk. Sebuah bangunan yang agak besar dari yang lainnya dan di depannya
terdapat gardu parondan, menghentikan langkah kesebelas prajurit Demak.
Seorang pemuda keluar dari gardu ronda demi menyambut kedatangan tamu
berkuda tersebut.
"Selamat siang, tuan prajurit." sapa pemuda yang merupakan pengawal tanah
perdikan.
"Selamat siang, kisanak." balas ki lurah Arya Dipa, setelah turun dari kudanya,
juga dengan prajurit lainnya. Kemudian, "Perkenalkan kami kisanak, kami dari
Demak ingin menghadap ki gede Sembojan. Adakah beliau dirumah ?"
"Oh... Mari tuan prajurit, kebetulan ki gede baru tiba dari kunjungannya di
padukuhan selatan." pengawal prajurit itu mempersilahkan dan mengantar ke
pendopo.
P a g e | 208

Ki lurah Arya Dipa dan yang lainnya mengikuti langkah pengawal perdikan
Sembojon, setelah sebelumnya menyerahkan kuda mereka kepada para
pengawal yang bertugas ronda walau disiang hari. Kesebelas prajurit itu duduk
di pendopo untuk menunggu ki Gede Sembojan yang masih berada di ruang
dalam.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 5 BAG 17
oleh : MARZUKI
.
..
Sejenak kemudian dari pintu ruang dalam seorang lelaki keluar diiringi oleh dua
orang lelaki, yang satu lebih muda dari orang pertama dan satunya lagi
seorang pemuda. Orang pertama yang tiada lain ki Gede Sembojan memberi
salam dan menyapa tamunya dengan ramah.
"Selamat datang di tanah perdikan Sembojan, ki lurah." sapa ki Gede
Sembojan.
"Terima kasih, ki Gede. Mohon maaf bila kedatangan kami agak terlambat dari
apa yang telah ditentukan." sahut ki lurah Arya Dipa.
"Hahaha.. Tak mengapa ki lurah. O.. ya silahkan duduk."
Maka mereka pun kembali duduk bersila di atas tikar pandan buatan penghuni
padukuhan induk telatah Sembojan. Tak berselang lama dari pintu ruang
dalam, dua orang pembantu wanita ki Gede muncul membawa minuman
beserta makanan pedesaan, dan menaruh di hadapan tetamu. Setelah itu
mereka pun kembali beranjak ke ruang dalam terus menuju dapur.
"Silahkan, ki lurah dan kisanak semuanya." ki Gede kembali mempersilahkan
jajanan jenang alot dan wedang sere.
"Terima kasih, ki Gede. Telah merepotkan saja."
"Ah tak mengapa ki lurah."
Lalu kemudian ki lurah Arya Dipa pun mulai membicarakan kepentingannya
yang mana ki Gede Sembojan sudah mengetahui dari pemberitahuan
sebelumnya dari utusan Demak pertama.
"Ki Gede, seperti yang ki Gede ketahui dari petugas sebelumnya, dimana kami
dari nayaka praja Demak meminta kesediaan andika sebagai kepala tanah
perdikan, untuk ikut menyumbangkan tenaga dari pemuda penghuni perdikan
dalam mengatasi kemelut di bang wetan. Oleh karena itu, kami telah dipilih
untuk memberikan tuntunan dalam bidang keprajuritan berupa olah senjata,
P a g e | 209

gelar maupun perorangan." kata ki lurah Arya Dipa.


"Baiklah ki lurah, memang sudah sepantasnya kami sebagai kawula ikut andil
dalam menegakan tiang kerajaan ini. Sudah menjadi kewajiban setiap kawula
nagari ikut menyumbangkan apa yang ia mampu, oleh karena itu sejak
pemberitahuan nawala beberapa waktu yang lalu, kami sudah
mempersiapkan pemuda yang siap ikut berbakti bagi tanah kelahiran mereka."
kata ki Gede, lalu kemudian, "Mudah - mudahan kemampuan mereka
berkenan dihati ki lurah."

"Baiklah, ki Gede. Kalau begitu kapankah aku boleh menilik secara langsung
dari pemuda - pemuda perdikan ini ?"
Ki Gede menoleh kepada seorang lelaki yang berada di sisi kanannya.
"Adi Jagabaya, apakah pemuda - pemuda itu telah siap ?" tanya ki Gede.
"Kapanpun bila dibutuhkan mereka siap, kakang Gede." jawab ki Jagabaya,
"Biarlah nanti anakmas Damarjaya yang merupakan pemimpin pengawal
perdikan Sembojan memanggil mereka."
Ki Gede menggangguk perlahan, semuanya dirasa berjalan sesuai apa yang
diinginkan.
"Kalau begitu biarlah nanti malam mereka dikumpulkan di halaman depan
saja." kata ki Gede, lalu katanya kepada seorang pemuda di sebelahnya,
"Damarjaya, beritahukan secara beranting kepada pengawal dan pemuda
perdikan Sembojan, jika nanti malam mereka diharap berkumpul di sini."
"Baik paman, kalau sekarang aku akan menyampaikannya." setelah itu
pemuda yang bernama Damarjaya lantas beranjak meninggalkan pendopo.
Siang itu udara terasa sejuk dengan angin semilir membuai rasa nyaman di
tubuh. Di ranting ranting pohon, burung - burung berkicau berdendang dengan
riuhnya tak menyadari di sekitar mereka akan diadakan pembajaan diri para
pengawal dan pemuda perdikan yang akan ikut menyongsong musuh di
Segaten, timur laut kadipaten Ponorogo.
Di pendopo ki Gede dan ki Jagabaya masih berbincang dengan ki lurah Arya
Dipa dan prajuritnya, yang mana pembicaraan bergeser ke arah tahta
kesultanan.
"Ki lurah, lalu apakah sesepuh kesultanan sudah menetapkan siapa yang
pantas menduduki tahta ?" tanya ki Gede, yang penasaran siapa penerus dari
sultan Demak selanjutnya.
"Mungkin beberapa hari kedepan akan tersiar wartanya, ki Gede. Dan
kemungkinan yang terpilih ialah pangeran Trenggono." jawab ki lurah Arya
Dipa.
P a g e | 210

Ki Gede Sembojan mengangguk, dalam penilaiannya pun memang pantas jika


pangeran dari putra ketiga dari raden Patah menjadi sultan selanjutnya. Selain
cakap dalam tata negara pangeran Trenggono terkenal sebagai seorang
yang mumpuni dalam ilmu jaya kawijayan. Segudang pembedaharaan
ilmunya nggegirisi dengan aji Tameng Waja dan aji Bajramusti ataupun
Bajrageni.
"Tapi ki lurah, apakah pihak Jipang menyetujui hal itu ?"
"Semoga saja, ki Gede. Masalah yang pelik itu masih diselidiki oleh petugas
yang mendapat emban dari sesepuh kesultanan. Selama tiada bukti yang
akurat mengarah pihak pangeran Trenggono, tentu kanjeng Adipati Sepuh tak
akan bertindak."

"Memang sangat disayangkan atas tewasnya pangeran Sekar. Apakah itu


tindakan dari pasukan lawan, ki lurah ?"
Lurah yang masih muda itu memahami apa yang terpikirkan oleh ki Gede
Sembojan. Memang bisa saja hal itu terjadi, untuk mengadu domba pihak
pangeran Trenggono dan pihak keturunan pangeran Sekar. Namun untuk
mengungkap hal itu tidak semudah membalik telapak tangan, semuanya harus
menggunakan bukti - bukti yang nyata. Sedangkan selama ini, bukti maupun
saksi sebagian besar telah memberatkan pihak raden Bagus Mukmin.
Semua orang tahu jika ki Surayata adalah orang kepercayaan raden Bagus
Mukmin. Yang kedua keris Brongot Setan Kober, walau itu milik kanjeng Sunan
Kudus tapi pusaka itu dibawa oleh dua orang prajurit dari Demak yang
membawa secarik kain dimana tulisan itu pernah diberikan kepada putra
pertama pangeran Trenggono. Padahal raden Bagus Mukmin tak mengetahui
kesemuanya itu.
"Bisa jadi apa yang ki Gede pikirkan, tapi apakah pihak Jipang
mempercayainya ? Atau bahkan menuduh itu hanya alasan yang tepat
dengan keadaan dimana pasukan bang wetan mengangkat senjata ? Sangat
sulit, ki Gede." kata ki lurah Arya Dipa.
Perbincangan itu terhenti manakala hari makin tenggelam memasuki senja.
Para tamu kemudian ditempatkan di gandok kanan sebagai tempat
peristirahatan selama berada di perdikan Sembojan.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 5 BAG 18
Oleh : MARZUKI
P a g e | 211

.
..
Rembang mulai mewarnai langit tanah perdikan Sembojan, penerangan
berupa dian dan oncor mulai dinyalakan untuk membuat suasana yang
remang - remang semakin hidup. Lorong - lorong jalan pun mulai mendapat
penerangan dari dian yang berada di kediaman atau rumah penghuni
padukuhan induk.
Kedamaian terasa melingkupi telatah perdikan Sembojan, kehidupan para
penghuninya terjalin erat satu dengan yang lainnya. Bila ada selisih paham itu
terjadi dikala pembagian pengairan di sawah ataupun ladang saja, dan
secepat mungkin para bebahu dapat menyelesaikan selisih paham itu untuk
kembali menyatukan rasa persatuan para rakyatnya.
Seperti yang telah diberitahukan secara beranting oleh Damarjaya kepada
para pengawal dan pemuda untuk berkumpul di halaman bangunan rumah ki
Gede Sembojan, secara beruntun satu dua pengawal itu mulai terlihat
berkumpul di depan halaman rumah ki Gede Sembojan. Kebanyakan dari
mereka ialah pemuda yang memperlihatkan tenaga yang cukup dari
kewadaghannya.
Sampai menjelang wayah sepi wong telah berkumpul sebanyak seratus
pemuda. Mereka terdiri dari pemuda - pemuda beberapa padukuhan dalam
telatah perdikan Sembojan.
Damarjaya sebegai kepala pengawal tanah perdikan telah mengatur mereka
dengan berbaris rapi sehingga membuat para bebahu yang hadir, berbangga
hati melihat putra - putra bumi pertiwi. Begitu pun yang dirasa oleh ki Gede
Sembojan, dalam hatinya tersirat rasa bangga atas kemauan mereka dengan
sukarela untuk ikut mengawal kesatuan Demak. Walau pun mereka tahu jika
menuju medan perang, nyawalah sebagai taruhannya. Karena di palagan
pedang, tombak, panah, keris dan sebagainya tak pilih kasih dalam menggores
kulit seseorang.

"Ki lurah, mari." ajak ki Gede Sembojan.


Ki Gede Sembojan lalu berdiri di tlundak di dampingi oleh ki lurah Arya Dipa dan
ki Jagabaya, sementara dibelakang berdiri para bebahu dan prajurit Demak.
"Anak - anak ku sekalian, pada malam ini kita kedatangan senopati Demak
yang akan menilik kemampuan tata kanuragan serta akan memberikan
tuntunan dalam tata gelar keprajuritan." ki Gede sejenak berhenti untuk
memperhatikan tanggapan di hati pemuda pengawal tanah perdikan, "Dan
inilah ki lurah Arya Dipa."
P a g e | 212

Para anak muda dan pengawal segera menatap dimana ki lurah Arya Dipa
berdiri menganggukan kepala seraya mengembangkan senyum. Berbagai
tanggapan muncul di benak setiap orang, manakala mengetahui jikalau orang
yang disebut lurah prajurit itu masih muda sebaya sebagaian dari mereka.
"Oleh karena itulah, aku harap kalian selalu meresapi ilmu yang akan diberikan
oleh ki lurah beserta tuan prajurit lainnya." lanjut Ki Gede.
Kemudian ki Gede Sembojan memberikan waktu selanjutnya kepada ki lurah
Arya Dipa. Kesempatan itu dimanfaatkan dengan segera, yang mana ia
memperkenalkan diri pribadi serta para prajuritnya. Tak lupa dengan rendah
hati lurah muda itu mengharapkan kerjasamanya antara prajurit Demak
dengan para pengawal tanah perdikan, sehingga akan menumbuhkan
kesatuan yang erat dalam penjajagan dan gladi keprajuritan nantinya.
"Tanpa mengurangi rasa hormat, mohon kiranya para kisanak semuanya untuk
mengunjukan kemampuan dasar dari olah kanuragan perseorangan maupun
secara berkelompok." kata ki lurah Arya Dipa meminta para pengawal itu
mengunjukan kemampuannya.
Nyala terangnya obor di halaman menjadi saksi atas pengunjukan kemampuan
dari para pengawal perdikan Sembojan. Berawal kerjasama kelompok yang
mana memperlihatkan tata gerak yang apik saling mengisi satu dengan
lainnya, dimana pergerakan mereka bagai perputaran cakra yang bergerigi
tajam mengancam lawan. Saat yang lain kelompok itu dengan tiba - tiba
memencar bersilang dengan pedang teracu mendebarkan.
Ki lurah Arya Dipa menganggukan kepalanya dan merasa senang atas apa
yang dilihatnya, walau sebenarnya masih terdapat celah dari kelemahan tata
gerak berkelompok itu, sehingga bagi lawan yang mempunyai mata tajam dan
kemampuan tinggi, akan dengan mudah memporak - porandakan kerjasama
kelompok itu.

Lain waktu kemudian giliran kemampuan peroranganlah yang diperlihatkan


oleh para pemimpin kelompok pengawal. Seorang lelaki berkumis layaknya
raden Gatotkaca dengan lincahnya bergerak bagai alap - alap. Kemudian
berganti seorang pemuda yang mempunyai tahi lalat di bawah bibir, pemuda
ini yang membekal sebilah pedang mulai memutar - mutar senjatanya, yang
mana pantulan sinar obor berkilat - kilat mengenai daun pedang yang
bergerak mendatar, mengayun ataupun menusuk. Berbagai kemampuan
dasar maupun olah kanuragan itu memang cukup sebagai bekal para
pengawal telatah perdikan dalam mengawal kampung halaman mereka.
"Terima kasih atas kesediaan kalian. Kemampuan kalian lebih dari cukup dan
P a g e | 213

membanggakan." kata ki lurah Arya Dipa, "Tapi dalam kerja kelompok, maaf
aku harus berkata yang sebenarnya. Bahwasannya pergerakan yang
menyerupai perputaran cakra itu tadi masih terdapat celah kelemahannya."
Sekalian para pengawal terkejut dengan apa yang diucapkan oleh lurah muda
itu. Apakah itu kesalahan penilaian lurah muda itu saja dalam memberi
penilaian ? Karena kerjasama kelompok itu sudah pernah dibuktikan dengan
penerapan nyata saat menghadapi gerombolan perampok waktu yang lalu,
dan terbukti gerombolan itu porak - poranda.
Kesan di wajah para pengawal itu terbaca oleh mata ki lurah Arya Dipa, dan
hal itu dapat ia maklumi. Oleh karenanya ia beralih pandang kepada ki Gede
Sembojan.
"Ki Gede, sebelumnya aku ingin meminta ijin kepada ki Gede." pinta ki lurah
Arya Dipa.
"Dalam hal apa itu, ki lurah ?"
"Bila diijinkan, kami akan menunjukan kelemahan dari tata gerak kelompok
yang baru saja di tampilkan. Maaf bukannya kami menyombongkan diri,
melainkan itu semua demi sempurnanya tata gerak kelompok tadi."
"Oh.. bila itu menguntungkan demi kebaikan tata gerak kelompok Cakra
murda, silahkan ki lurah. Malah kamilah yang berterima kasih." ki Gede
Sembojan berkenan.
"Terima kasih, ki Gede." ucap ki lurah Arya Dipa, yang kemudian mengarah
kepada prajurit Wasis, "Kakang Wasis, ajaklah kakang Jaka Ungaran, Sambi
Wulung, Kerta dan Pahang untuk memberikan kerjasama kalian dalam
menghadapi putaran Cakra Murda."
"Baik, ki lurah." sahut prajurit Wasis, yang kemudian mengajak prajurit yang telah
disebut untuk turun ke halaman.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 5 BAG 19
OLEH : MARZUKI
.
..
Lima prajurit dari kesatuan Wira Tamtama mempersiapkan diri di dalam
lingkaran Cakra Murda yang diterapkan oleh pengawal tanah perdikan
Sembojan. Awal persiapan para pengawal perdikan Sembojan menarik
pedang dari sarungnya, dan dari lingkaran kedua sepuluh pengawal yang
membekal tombak pun juga siaga menunggu aba - aba.
P a g e | 214

"Sekarang !" seru Damarjaya, kepala pengawal tanah perdikan.


Seruan itu selain isyarat aba - aba yang ditunjukan kepada para pengawal,
juga tanda kepada kelima prajurit untuk menyongsong pergerakan dari
kelompok Cakra Murda. Prajurit Wasis lantas segera mencabut pedangnya
yang diikuti oleh kawan - kawannya.
"Usahakan jangan melukai mereka, ingat ini hanya penjajagan semata." desis
putra ki panji Reksotani perlahan.
"Kami mengerti, kawan." sahut Sambi Wulung.
Lima prajurit saling berdiri membelakangi merapat menghadap ke semua
penjuru. Ketajaman mata dari kelima prajurit Wira Tamtama yang sudah terlatih
itu siap sedia menanti serangan lawan, yang ini masih mengisar langkah
mereka secara teratur.
Pedang tergenggam erat dari sepuluh pengawal di lingkaran depan seraya
memutar - mutar pedang di depan dada.
"Hiaaat !" seru ke sepuluh pengawal berbarengan sambil mengayunkan
pedang mereka.
Tajamnya pedang menyasar ke pusat di mana di tengah kepungan terdapat
kelima manusia yang terdiri dari segumpal daging dan sekerat tulang. Bila
pedang itu tepat mengenai tubuh, bisa dipastikan tubuh itu akan tercacah.
Tapi kenyataannya sangatlah beda apa yang dibayangkan, kelima prajurit itu
menangkis sembari saling bergerak memutar, sehingga suara denting gesekan
logam baja terdengar gemerontangan. Tak sampai di situ saja, gerakan kelima
prajurit terus menyerampaki dengan serangan kaki.
"Dess.. dess.. dess.."

Tiga tubuh terlempar keluar gelanggang bagai dihempaskan kaki gajah.


Untunglah tujuh pengawal lainnya mampu menghindari terjangan lima prajurit,
dengan cara menyurutkan tubuh mereka ke belekang, terus dilanjutkan para
pengawal yang membekal tombak maju ke depan menusukan tombak.
Apa yang terjadi membuat orang - orang tanah perdikan Sembojan terpana
saat melihat kelima prajurit bagai terbang menghindari tajamnya ujung
tombak. kelima prajurit sesaat melenting ke atas dan sejenak kemudian
mendaratkan tubuh mereka di atas tombak yang mendatar, kemudian
menyusuli dengan tebasan pedang mengarah lendean tombak sejarak
pegangan tangan.
"Hiaat..... !" seru kesepuluh pengawal sembari menarik tombak mereka sehingga
lolos tak putung akibat tebasan.
Bersamaan dengan ditariknya tombak dan kelima prajurit sudah menginjakan
P a g e | 215

kaki di tanah, kembali ketujuh pengawal yang bersenjatakan pedang


menyerang. Namun kelima prajurit sudah bersiap yang mana Jaka Ungaran,
Pahang, Kerta maju seolah menyongsong lawan, sedangkan Pahang serta
Kerta berdiri tegap di belakang. Hal itu membuat heran para pengawal tapi
langkah mereka sudah tak dapat diurungkan, oleh karenanya betapa rasa
kejut dirasakan mana kala Wasis dan Sambi Wulung, tiba - tiba meloncat lalu
terus merendahkan diri sebatas pinggang lawan, dan memukulkan daun
pedang mengarah pergelangan tangan dua pengawal setiap serangan. Tak
ayal empat pengawal tak mampu mempertahankan senjata mereka dan
pergelangan tangan mereka seperti terkena hantaman besi gligen.
Sementara Jaka Ungaran, Pahang dan Kerta dengan mudahnya menguasai
tiga pengawal yang tersisa. Sehabis dengan para pengawal yang membekal
pedang, kini giliran pengawal bertombak. Walau kesepuluh kawannya dapat
ditumbangkan, para pengawal bertombak tak gentar sedikitpun, bahkan rasa
ingin membalas muncul di setiap hati mereka. Apalagi kekalahan mereka
dihadapan kepala tanah perdikan serta ditonton oleh para bebahu tanah
perdikan Sembojan. Karenanya semangat tempur mereka semakin bergelora
untuk sedapat - dapatnya melumpuhkan lawan.
Di luar gelanggang seorang pemuda menampakan wajah buram atas
menyaksikan apa yang ia saksikan itu. Dirinya yang yakin atas kemampuan dari
para pengawal dan dibangga - banggakan, malam ini bagai disaput angin
hingga berantakan tak menyisakan apa pun.

"Huh mereka memalukan saja." desis pemuda itu, yang tak lain Damarjaya
kepala pengawal sekaligus kemenakan dari ki Gede Sembojan.
Sedangkan bagi Ki Gede Sembojan, kekalahan dari para pengawalnya sangat
ia maklumi. Memang kemampuan dari kelima prajurit Wira Tamtama sangat
hebat, dan ki Gede Sembojan memahami kalau di Demak kesatuan Wira
Tamtama merupaka kesatuan yang paling menonjol daripada kesatuan
lainnya.
Kembali di penjajagan keadaan semakin mendekati akhir. Walau semangat
para pengawal besar, tapi kenyataannya tata gerak kelompok Cakra Murda
sudah rapuh, oleh karenanya tak sampai sepenginang mereka pun tumbang
dengan akibat terpapasnya tombak - tombak mereka.
"Cukup !" seru ki lurah Arya Dipa, saat melihat tiga orang pengawal akan maju.
"Aku rasa sebaiknya sampai disini, bila dilanjutkan tak akan elok dilihat. Maaf
bukannya kami menyombongkan diri, tapi itu karena adanya lubang - lubang
kecil dari Cakra Murda." lanjut ki lurah Arya Dipa.
P a g e | 216

"Terima kasih, ki lurah. Tuan telah membuka mata kami, pengawal tanah
perdikan. Bila tuan tak keberatan, sudi kiranya untuk membagi ilmu
perorangan."
Suara itu membuat ki lurah Arya Dipa menoleh kepada sumber suara, di mana
berasal dari kepala pengawal perdikan, Damarjaya.
"Apa maksudmu, Damarjaya ?" tanya ki Gede Sembojan, agak mengkal.
"Tak mengapa, paman Gede. Aku ingin mendapat ilmu barang secuil dari ki
lurah." kata Damarjaya.
"Ah... Hari sudah malam, hendaknya kau tak begitu." ki Gede masih berusaha
membujuk kemenakannya itu.
"Baiklah jika ki lurah sudah letih aku tak akan memaksa." kata pemuda itu
seraya mengembangkan senyum sejuta arti, "Silahkan ki lurah, mungkin hari
kedepan masih ada waktu."
Kata - kata dari Damarjaya membuat telinga para prajurit terasa panas
menyengat, oleh karenanya prajurit Sambi Wulung akan bergerak jikalau tak
segera digamit oleh ki lurah Arya Dipa.
"Ki Gede Sembojan, tak mengapalah jika malam ini aku ingin bermain - main
sebentar dengan adi Damarjaya." akhirnya ki lurah Arya Dipa angkat bicara,
"Mohon diijinkan."
Kepala tanah perdikan itu sangat menyayangkan sikap kemenakannya, tapi
itulah yang terjadi di malam pertama bagi utusan Demak sebagai prajurit yang
akan melatih dan membina kekuatan dan kemampuan para pengawal tanah
perdikan Sembojan. Hanya desuhan napaslah yang ia tampakan sembari
berkata, "Baiklah ki lurah, mohon tuntunlah kemenakanku ini."
Anggukan rasa hormat ki lurah Arya Dipa kepada ki Gede Sembojan telah
ditunjukan dengan sepenuh hati. Lalu lurah muda itu turun dari tlundak menuju
ke tengah halaman, begitu juga dengan Damarjaya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 5 BAG 20
OLEH : MARZUKI
.
..
"Mari ki lurah silahkan tuan mulai dahulu." kata Damarjaya.
"Oh... hendaknya tuan rumahlah berkenan untuk mengawalinya, adi." sahut ki
lurah Arya Dipa.
"Tapi aku hanyalah seorang kepala pengawal, tak patutlah bila bersikap
P a g e | 217

bertindak memulainya." bantah Damarjaya.


Mendengar kata - kata dari pemuda tanah perdikan Sembojan ini,
mengakibatkan tawa geli di hati ki lurah Arya Dipa. Tutur katanya seolah - olah
berlaku sopan, namun kenyataannya dirinyalah yang mengawali tindakan
dalam olah kanuragan ini.
"Tak mengapa, memang jiwanya masih muda dan darahnya masih
menggelora ingin mencari ruang sebagai wadag pelampiasan jalur gelora
masa - masa muda." batin ki lurah Arya Dipa, lalu kemudian, "Hahaha... Aku
sendiri bukankah tak terpaut jauh dari usianya ?"
Senyum geli di bibir ki lurah Arya Dipa diartikan lain oleh Damarjaya, bagi
pemuda itu senyum lawannya merupakan senyum tak memandang dirinya.
"Uh.. Dia belum mengetahui siapa aku sebenarnya." geram Damarjaya dalam
hati, "Walau ia seorang lurah prajurit, kemungkinan itu ia dapat dari menyogok
atasannya, atau ia mempunyai kerabat di keraton."
"Baiklah adi, aku akan mulai. Persiapkan dirimu dengan baik." akhirnya ki lurah
Arya Dipa mempersiapkan serangan.
Hanya seperempat tenaga yang diterapkan ki lurah Arya Dipa saat memulai
bergerak memukul lawan, kepalan tangannya dengan mudah dihindari lawan
dengan cara berkisar ke kiri seraya mengayunkan tangan kanannya ke arah
leher. Tentu saja serangan tangan mendatar itu mudah dielakan oleh lurah
muda itu sembari menyurut dua tindak kebelakang dan kemudian mengisar ke
kanan menyerang Damarjaya.
Awal pertarungan dari kedua pemuda yang tak terpaut usia itu masih sebatas
penjajagan dari masing - masing. Gerakan dasar dari dua perguruan berbeda
latar maupun sumber membuat keduanya selalu berlaku waspada, oleh
karenanya setiap kaki berpijak tangan bergerak dan indera waspada dalam
membaca setiap serangan lawan saat menyerang atau pun serangan
selanjutnya.
Di luar kalangan beberapa pengawal tanah perdikan bangga manakala
mengetahui kemampuan dari kepala pengawalnya, mampu mengimbangi
seorang lurah prajurit dari kesatuan Wira Tamtama. Namun berbeda dengan ki
Gede Sembojan, orang tua yang sudah kenyang dengan berbagai
pengalaman di dunia olah kanuragan, mampu membaca tindakan dari ki lurah
Arya Dipa yang bergerak melayani kemenakannya.

"Walau ia seorang lurah dan masih terbilang muda, tapi jiwaninya ikut
berkembang seperti tumbuhnya padi. Betapa bahagianya orang tua atau
gurunya." batin ki Gede, memuji perilaku ki lurah Arya Dipa.
P a g e | 218

"Jika anakku masih hidup, mungkin sekerang sebesar ki lurah Arya Dipa." lanjut ki
Gede Sembojan, menunjukan rona sedih, "Tapi kini yang aku harapkan ialah
putra adikku itu. Walau kadangkala sifatnya masih selalu membara."
Kehidupan ki Gede Sembojan memang tak beruntung. Lima belas tahun yang
lalu tatkala istrinya melahirkan, sebuah malapetaka menimpanya, putranya
terlahir tak normal dan hanya melihat indahnya dunia hanya satu bulan saja.
Kematian putranya itu ternyata membuat nyi Gede Sembojan sedih hingga ia
sakit - sakitan, sudah banyak dukun didatangkan untuk mengobatinya, entah
itu dari tanah perdikan sendiri bahkan dari luar tanah perdikan. Namun semua
sudah kehendak Sang Pencipta, istri yang ia sayangi telah menghadap Sang
Maha Agung mendahuluinya. Untung tak dapat diraih, rugi siapa menduga ?
Semua sudah tergaris di telapak tangan, manusia hanya berusaha, berdoa
semata, tapi Gusti Agunglah yang berwenang.
"Oh.. Duh Gusti Allah, tabahkan hati hambamu ini. Semoga engkau memilihkan
penerus dari pemangku tanah perdikan ini yang baik dan mengayomi
penghuni tanah perdikan Sembojan." doa ki Gede dalam hati, saat sadar kini ia
berdiri di tlundak menyaksikan perkelahian kemenakannya dengan lurah
prajurit Demak.
Penjajagan kini berubah semakin meningkat seiring gemelincirnya bintang di
langit. Tandang dari Damarjaya semakin mantap dan cepat. Serangannya
mulai meningkat lebih tajam dan terarah kemana lawan bergerak. Tataran
demi tataran perguruan Surya Kencana menggeliat mencari mangsa tatkala
diterapkan oleh pemuda itu.

Namun kepala pengawal itu tak menyangka jikalau yang dihadapinya bukan
saja seorang lurah muda, melainkan pemuda dari kesatuan Wira Tamtama itu
seorang pemuda pilih tanding. Berbagai laku mesu diri dilakukan saat masih di
gunung Penanggungan. Bahkan nyawa pemuda itu pernah dipertaruhkan
tatkala menghadapi ganasnya sang ular naga Anta Denta, seekoar ular
penghuni gua lereng Penanggungan. Karenanya ki lurah Arya Dipa nampak
selalu dapat melayani apa yang dilakukan Damarjaya.
Di kala Damarjaya meningkatkan tenaganya selapis, hal itu juga dapat disusul
ki lurah Arya Dipa tanpa kesulitan sedikit pun. Saat kecepatan Damarjaya
laksana Harimau menerkam lawan, rasa kejut malah ia rasakan ketika
lawannya mampu menggerakkan kakinya layaknay kaki yang berpegas.

PANASNYA LANGIT DEMAK


P a g e | 219

JILID 5 BAG 21
OLEH : MARZUKI
.
..
"Setan alas, orang ini masih mampu mengimbangiku !" geram Damarjaya
dalam hati seraya mengembangkan tangan mengarah muka lawan.
Tamparan dari jari - jari terbuka itu begitu cepat dan sudah dekat dengan
sasaran hanya sejarak satu ruas jari saja, dan dipastikan akan mengenai
sasaran.
"Oh... " kejut Damarjaya.
Tak tahunya tamparan yang keras itu hanya mengenai tempat kosong karena
lawan tahu - tahu sudah dibelakangnya seraya menempelkan telapak tangan
sesaat dan bergerak menjaga jarak. Sentuhan yang seharusnya merupakan
serangan mematikan dari ki lurah Arya Dipa merupakan peringatan semata
kalau sebenarnya lurah muda itu telah dapat dengan mudah melukainya bila
lurah prajurit itu, berkenan. Tapi pemikiran kepala pengawal tanah perdikan
berbeda, sentuhan kecil itu ia anggap angin berlalu saja, sehingga Damarjaya
masih melanjutkan serangannya kembali.
Dan sentuhan - sentuhan seperti tadi terulang beberapa kali menimpa
kemenakan dari ki Gede Sembojan. Akhirnya kemenakan ki Gede itu sadar
kalau lawan memang menghendaki seperti itu, tapi hal itu membuat
tanggapan lain yang mana sentuhan itu merupakan tindakan meremehkan
dirinya.
Demi untuk membalas ulah dari ki lurah Arya Dipa yang berbuat tak
mengenakan itu, maka Damarjaya mulai merambah ilmunya. Sebuah ilmu tata
gerak menyilangkan tangan membentuk layaknya sebuah gunting yang
menyongsong tubuh lawan.
"Oh... Esmu Gunting." seru ki lurah Arya Dipa sembari melambari tangannya
dengan aji Niscala Praba, demi menghindari remuknya tulang tangan.
"Krataaak.... Wussss.. !"
Bunyi benturan tulang tangan terdengar keras manakala pertemuan dari dua
tenaga bersinggungan tak terelakan. Bahkan tenaga itu telah menyibakan
angin disekitar keduanya. Sedangkan dari keduanya mengakibatkan tubuh
keduanya bergeser saling menyurut beberapa tindak kebelakang.
"Imbang... " desis salah seorang pengawal.
"Uh.. Anakmas Damarjaya mampu mengimbangi ki lurah Arya Dipa." kata
seorang bebahu dengan pelan.
Tapi ki Gede Sembojan malah menggelengkan kepala demi mendengar
P a g e | 220

tanggapan dari bebahu yang berada di belakangnya. Mata orang tua itu
sangat tajam saat memperhatikan apa yang telah terjadi di depannya.
Sebenarnya ki lurah Arya Dipa mampu memunahkan tenaga dari Esmu Gunting
jika aji Niscala Praba yang digunakan setengahnya, tapi putra angkat dari ki
panji Mahesa Anabrang itu hanya menggunakan seperempat tenaganya saja,
supaya lawan tak mengalami cedera parah sehingga akan mempengaruhi
hubungan Demak dengan para penghuni perdikan Sembojan.

"Ah.. Betapa bijaknya ki lurah." puji ki Gede dalam hati.


Sementara itu Damarjaya merasakan kedua lengannya sakit menyusup sampai
ke tulang. Tadi ia melihat dengan jelas tangannya yang menyilang dapat
mengenai tangan lawan, tapi yang ia rasa kemudian tangan lawan bagai
dilapisi baja dan anehnya penglihatannya memerhatikan ada sinar kuning
berkilauan menyelimuti tangan lawan.
"Ki lurah, tuan memiliki ilmu yang tak aku mengerti, dengan ilmu itu tuan mampu
mementahkan aji Esmu Guntingku." kata Damarjaya, yang masih terengah
diburu napas.
"Ah.. Kekuatan adi sungguh hebat, hingga membuat tubuhku mental
beberapa tindak." sahut ki lurah Arya Dipa, sambil menunjukan napas terengah
- engah meniru lawan. Kemudian lanjutnya, "Puaskah adi dengan permainan ini
?"
"Ki lurah, kita akan melanjutkan ke puncak ilmu dari jalur kanuragan kita."
"Oh.. Itu terlalu berbahaya adi, bukankah kita hanya melakukan penjajagan
saja ?" ki lurah Arya Dipa berusaha melunakan hati Damarjaya.
"Mengapa ki lurah berkata begitu ? marilah ki lurah." Damarjaya mendesak dan
tanpa menunggu jawaban pemuda itu sudah berlaku menerapkan ilmunya.
Tindakan itu membuat ki Gede kaget bukan kepalang, tata gerak yang
ditunjukan oleh kemenakannya itu merupakan puncak ilmu dari jalur Surya
Kencana. Ilmu yang di ciptakan dari seorang yang disebut kyai Sekar Aji, pendiri
padepokan Surya Kencana di sekitar sungai Pideksa. Aji Bledeg Sanga yang
nggegirisi dan jarang digunakan oleh ki Gede Sembojan selama ini.
Terpaksa ki lurah Arya Dipa menuruti tindakan dari Damarjaya. Ia pun mulai
menerapkan aji Niscala Praba sepenuhnya untuk melindungi tubuhnya saja
tanpa tenaga serangan. Lurah Arya Dipa yakin akan mampu menahan
gempuran ilmu lawan tanpa memantulkan serangan lawan.
Sejenak kemudian halaman rumah kepala tanah perdikan terdengar suara
gemuruh keras menguncang bumi. Aji Bledeg Sanga menyambar tubuh yang
diselimuti warna kuning kemilau yang terang benderang hingga bagi yang
P a g e | 221

melihat aka silau. Pemandangan selanjutnya sungguh mencengangkan bagi


orang - orang manakal sinar yang menyilaukan itu lenyap, ki lurah Arya Dipa
yang sebelumnya berdiri kini tiada terlihat.
"Musnahkah ki lurah Arya Dipa ?" kata prajurit Kerta, dengan rasa was - was.
Tapi sesaat kemudian suara hiruk pikuk melanda orang - orang dikala mata
mereka memandang seseorang yang berdiri tepat dibelakang Damarjaya
dengan bersedekap menyilangkan tangan.
"Ah.. Syukurlah adi lurah tak mengalami apa - apa." ucap prajurit Wasis lega.
"Benar kakang, aku tadi sudah was - was." kata prajurit Kerta.

Di belakang tubuh Damarjaya, ki lurah Arya Dipa berkata pelan kepada kepala
pengawal sekaligus kemenakan ki Gede Sembojan.
"Adi, ilmu adi sungguh mendebarkan jika mengenai seseorang. Bisa
dibayangkan akibat yang ditimbulkan akan mengerikan terhadap orang yang
dikenainya. Aku mohon kepadamu, adi, untuk menggunakan aji itu dalam
keadaan tertentu dan mendesak, demi menghindari korban yang sia - sia."
Demi mendengar suara yang tak ia sangka dibelakangnya, niat hati
Damarjaya akan memutar balik seraya melayangkan serangan, tapi batapa
terkejutnya manakala tubuhnya tak dapat bergerak sedikitpu .
"Jangan bergerak adi dan lihatlah di depan kakimu." kata ki lurah Arya Dipa.
Suara itu tanpa sadar membimbing mata Damarjaya untuk memerhatikan di
depan kakinya.
"Oh... " desuh terdengar dari mulut Damarjaya ketika melihat tanah yang hanya
berjarak sekilan itu amblong.
Dan yang membuatnya semakin terkejut ialah amblongnya tanah itu
merupakan ciri dari akibat ajinya sendiri.
"Bukannya aku menyombongkan diri, adi. Memang ilmu mu mampu aku
kembalikan dengan sesuka hatiku, tapi aku hanya bertindak seperti itu saja,
karena aku tak ingin mencelakai seseorang dan itu akan membuat hubungan
tanah perdikan Sembojan dan Demak akan renggang." kata ki lurah
selanjutnya.
Kata - kata itu bagai air dingin merasuk dalam hati pemuda tanah perdikan
Sembojan, kini pikirannya mampu berpikir jernih demi melihat kenyataan yang
ia hadapi. Ternyata kemampuan dari lurah muda itu bagai awan yang berada
diangkasa sehingga tak mampu ia jangkau. Oleh karenanya pemuda itu
dengan suara lirih mengakui kesalahannya.

"Maafkan tindakanku ini, ki lurah. Yang sudah berlaku deksura kepada utusan
P a g e | 222

Demak." ucap Damarjaya.


"Sudahlah, lupakan yang lalu dan berbuatlah lebih baik dikehidupan
selanjutnya." kata ki lurah Arya Dipa seraya melepaskan kekakuan tubuh
Damarjaya dengan menyentuh titik di bawah tengkuk pemuda itu.
"Marilah kita menghadap ki Gede." ajak ki lurah Arya Dipa.
Seperti anak kecil Damarjaya mengikuti ajakan ki lurah Arya Dipa menaiki
tlundak dan menghadap ki Gede Sembojan. Sementara ki Jagabaya yang bisa
membaca keadaan telah menyuruh para pengawal untuk istirahat di
bangunan sebelah untuk kemudian menikmati hidangan yang telah
disediakan. Sedangkan ki Gede, beberapa bebahu, ki lurah Arya Dipa dan
lainnya kembali duduk di pendapa.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 5 BAG 22
OLEH : MARZUKI
.
..
Beberapa saat ki Gede masih menjamu para prajurit utusan Demak yang akan
bertugas menyiapkan bekal bagi para pengawal. Dan suasana sudah mencair
seperti sediakala tanpa menyinggung persoalan yang baru terjadi antara
Damarjaya dan ki lurah Arya Dipa.
Hidangan sederhana yang dipersiapkan oleh para pembantu ki Gede lah yang
kini menjadi pusat perhatian sekaligus sebagai santapan yang memenuhi
selera. Ki Gede dengan ramah mempersilahkan kepada ki lurah Arya Dipa dan
para prajuritnya serta kepada para bebahu.
"Silahkan ki lurah dan tuan sekalian." kata ki Gede.
"Terima kasih, ki Gede. Bila setiap hari terus dihidangkan seperti ini, mungkin aku
akan minta ijin untuk dijadikan penghuni perdikan ini." ucap prajurit Wasis
disertai candaan.
"Oh.. Aku akan senang jika tuan prajurit berkenan tinggal disini." sambut ki Gede
Sembojan.
Namun prajurit Jaka Ungaran yang dari tadi diam saja, telah menyahuti
kawannya itu, "Kalau kau menetap di sini, bagaimana dengan Sulastri putra ki
Demang Bergota ? Bukankah kau oleh ki Demang disuruh meneruskan
jabatannya ?"
"Oh itu mudah saja." celetuk prajurit Sambi Wulung.
Hal itu membuat semua mata menuju ke arah putra ki panji Sambipati itu.
P a g e | 223

"Bagaimana maksudmu, Sambi ?" tanya prajurit Wasis.


Sambil melahap makanannya prajurit Sambi Wulung tersenyum yang kemudian
meneguk air dari kendi.
"Wasis itu seorang ksatria yang tak silau dengan jabatan itu, bukankah begitu
kawan ?"
"Hm... " desuh prajurit Wasis, "Lalu... "
"Oleh karenanya biarlah salah satu dari kami saja yang menggantikan dia
sebagai Demang Bergota, sedang putri ki demang Bergota tetap menjadi
istrinya." kata prajurit Sambi Wulung.
"Bagus, itu pemikiran yang cemerlang kawan." sahut prajurit Jaka Ungaran.
"Benar.. "jawab lainnya.
"Huh.. Dasar kalian, memangnya semudah itu." gerutu prajurit Sambi Wulung,
yang disambut tawa oleh semuanya.

Begitulah suasana di pendopo bangunan ki Gede Sembojan. Malam pun


semakin menanjak, para bebahu pun akhirnya mulai pamit satu persatu pulang
ke rumah masing - masing. Sementara Damarjaya minta diri kepada pamannya
untuk ngangklang keliling telatah perdikan Sembojan.
"Bolehkah aku ikut, ki Gede dan adi Damarjaya ?" pinta ki lurah Arya Dipa, "Aku
ingin mengetahui lebih dekat dengan suasana di perdikan ini."
Kepala pengawal perdikan Sembojan itu memandang paman sekaligus kepala
tanah perdikan, untuk mendapatkan jawaban yang akan diberikan kepada ki
lurah Arya Dipa.
"Apakah ki lurah tak lelah ?" tanya ki Gede.
"Ah.. Tidak ki Gede, hidangan dari ki Gede tadi sudah memulihkan tenagaku
seperti sediakala." jawab ki lurah Arya Dipa.
"Baiklah kalau itu kemauan ki lurah." kata ki Gede, yang kemudian berkata
kepada kemenakannya, "Iringlah ki lurah berkeliling telatah ini, ngger."
"Baik paman Gede." sahut Damarjaya, "Mari ki lurah."
Setelah memberikan beberapa pesan kepada anak buahnya, ki lurah Arya
Dipa kemudian mengikuti Damarjaya yang akan ngangklang telatah perdikan
dengan menunggang kuda. Kuda keduanya dengan perlahan menyusuri
lorong - lorong jalan padukuhan induk. Kadang kala bila melewati sebuah
gardu perondan dimana terdapat para pemuda petugas ronda, keduanya
singgah barang sejenak sekaligus menanyakan keadaan di sekitar gardu
perondan.
"Tiada hal yang mencurigakan, kakang Damarjaya." kata Sarju, salah seorang
pemuda yang bertugas ronda.
P a g e | 224

"Syukurla kalau begitu."ucap Damarjaya.


"Oh iya, perkenalkan ini ki lurah Arya Dipa. Senopati yang akan menuntun kita
dalam ilmu tempur kelompok maupun perorangan di tanah perdikan kita." kata
Damarjaya memperkenalkan orang yang berdiri disampingnya.

Para pemuda di gardu itu mengangguk hormat manakala mengetahui jika


yang ada dihadapannya adalah seorang lurah prajurit. Dan ki lurah Arya Dipa
pun telah membalas dengan menggangguk ramah.
"Janganlah kalian lengah meskipun perdikan kita tiada suatu gangguan." ingat
Damarjaya.
"Baik, kakang."
Setelah memberi pesan maka kedua pemuda itu menaiki kuda dan kembali
mencongklang kuda mereka dengan perlahan ke padukuhan selanjutnya.
Padukuhan demi padukuhan telah dilalui tanpa ada kejanggalan, yang
membuktikan kalau tanah perdikan Sembojan merupakan telatah yang aman
sentosa.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 5 BAG 23
OLEH : MARZUKI
.
..
Pemanggilan pangeran Trenggono dari garis depan memang wajib dilakukan
oleh para sesepuh Demak serta ulama, alasan yang pokok dan mendasar
dikarenakan adanya satu pendapat dimana para sesepuh dan ulama Demak
telah menjatuhkan pilihan demi berkelanjutannya roda pemerintahan Demak
Bintara.
Yang mana atas hasil akhir keputusan itu ialah menetapkan putra ketiga dari
raden Patah sebagai raja Demak ketiga menggantikan sang kakak yang gugur
di selat Malaka. Pangeran dari permaisuri itulah yang kini secara sah menaiki
dampar kencana dan mempunyai kewajiban memayu hayuning bawono
Demak khususnya.
Oleh karenanya Sultan Trenggono dilantik oleh Sunan Gunung Jati dengan
Gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin, namun beliau lebih dikenal dihati kawula
dengan sultan Trenggono. Seorang sultan yang digadhang - gadhang akan
mengayomi kawula kecil, berlaku adil dalam memutuskan segala kebijakannya
serta memajukan kesultanan Demak.
P a g e | 225

Di tengah pelantikan atau penobatan sang nata di pusat kesultanan, serta


suasana di bang wetan masih terasa panas dengan adanya perlawanan yang
ingin kembali mewujudkan kembali kejayaan Wilwatikta, maka nayaka praja
Demak memutuskan untuk segera mengirimkan pasukan segelar sepapan ke
Sogaten yang disebut Purbaya. Telatah yang dahulunya oleh kanjeng sultan
Pati Unus merupakan tanah pengawasan yang ditugaskan kepada kyai Rekso
Gati, terancam oleh kekuatan Panembahan Bhre Wiraraja yang terdesak
mundur dari Tuban.
Pasukan Demak selain dari pusat kotaraja juga diikutkan para pengawal dari
beberapa kadipaten, tanah perdikan, dan kademangan. Dan dari tanah
perdikan itu salah satunya dari tanah perdikan Sembojan, dimana para
pengawalnya dibawah kendali ki lurah Arya Dipa.
"Anakmas, aku titipkan anak - anak perdikan Sembojan ini dalam
pengamatanmu." kata ki Gede Sembojan, melepas keberangkatan anak
muda pengawal perdikan atau pun orang dewasa yang masih mampu
memegang senjata.

"Anakmas, aku titipkan anak - anak perdikan Sembojan ini dalam


pengamatanmu." kata ki Gede Sembojan, melepas keberangkatan anak
muda pengawal perdikan atau pun orang dewasa yang masih mampu
memegang senjata.
"Aku akan berusaha semampuku untuk menjaga mereka, ki Gede." kata ki lurah
Arya Dipa, "Kami mengharapkan seluruh penghuni tanah perdikan Sembojan ini
untuk memanjatkan do'a kepada kami semuanya, sehingga kami kembali
dengan selamat."
"Tentu anakmas, kami akan senantiasa memanjatkan do'a kepada Gusti
Agung."
Setelah itu pasukan dari perdikan Sembojan mulai bergerak ke selatan yang
mana akan bergabung dengan pasukan lainnya. Iringan pasukan yang
nampak gagah dengan umbul, rontek dan panji bercirikan tanah perdikan
Sembojan, membuat mereka yang memandang akan bangga. Tapi selain itu
pun ada juga yang merasa sedih atau pun takut bilamana mereka yang
berangkat itu tak kembali lagi.
"Tabahkan hatimu, nduk. Berdoalah agar suami mu itu kembali dengan
selamat." kata lelaki yang rambutnya sudah beruban kepada anak gadisnya.
Anak gadisnya hanya mengangguk walau air mata tetap mengalir membasahi
pipinya. Suaminya yang baru menikah dengannya itu seorang suami yang baik
dan lembut dalam bertutur kata dengannya, oleh karena itu betapa sedihnya
P a g e | 226

jika seorang suami yang ia cintai itu akan pergi ke medan perang.
Tak hanya gadis itu saja yang sedih, ada seorang ibu yang mengkwatirkan
anaknya, atau seorang anak yang menangis meraung - raung tak ingin
bapaknya pergi tanpa mengajakanya. Dan masih banyak lainnya, tapi demi
panggilan ibu pertiwi mereka dengan langkah mantap terus maju ke depan.
Derap langkah pasukan dari tanah perdikan Sembojan semakin lama semakin
jauh dari padukuhan, dan kini langkah mereka menapak di jalan antara bulak
panjang. Ki lurah Arya Dipa berada di depan pasukan didampingi olah prajurit
Wasis dan kepala pengawal tanah perdikan Damarjaya. Sementara prajurit
lainnya membaur menjadi satu dengan pengawal tanah perdikan lainnya.
Ratusan tombak dilalui tanpa adanya hambatan yang berarti, pasukan itu
sampai dipinggir sungai. Pasukan itu berhenti manakala ki lurah Arya Dipa
mengangkat tangannya.

"Malam ini kita bermalam disini. Perintahkan pasukan untuk mempersiapkan


semuanya." perintah ki lurah Arya Dipa.
"Baik, ki lurah." sahut prajurit Wasis.
Sepeninggal prajurit Wasis, ki lurah Arya Dipa duduk di atas batu sebesar kerbau
seraya melayangkan pandang keseberang.
"Adakah yang ki lurah pikirkan ?" tanya Damarjaya.
Helaan napas keluar dari mulut lurah muda itu, memang lurah anak angkat ki
panji Mahesa Anabrang itu memikirkan seorang wanita yang membuat dirinya
terpesona. Ki lurah Arya Dipa teringat awal pertemuanny dengan sang gadis
tatkala masih di pertapaan Pucangan, yang mana waktu itu dirinya disangka
akan mengintip sang gadis, sehingga dirinya mendapatkan pukulan di pipinya.
"Ki lurah.. " kembali Damarjaya memanggil.
"Oh... Kau adi Damarjaya." ki lurah gelagapan dan sadar dari lamunannya.
"Maaf bila mengganggu ki lurah."
"Oh.. tak apa, adi." kata ki lurah Arya Dipa, "Aku hanya teringat dengan
kawanku."
Walau tak mengatakan sebenarnya apa yang sedang dipikirkan oleh ki lurah
Arya Dipa, Damarjaya dapat memahami isi hati lurah muda itu, oleh karenanya
ia hanya tersenyum sembari ikut duduk memandang arus sungai.
"Kakang lurah, Air ini sangat berhubungan erat dengan ikan yang mana antara
ikan dan air itu mengisi kehidupan."
Dahi ki lurah Arya Dipa mengerut atas apa yang diucapkan oleh Damarjaya.
"Oh.. Kiranya apa yang kau maksudkan, adi ?"
"Begini kakang lurah, maaf kata ini pun aku dengar dari orang tua." sejenak
P a g e | 227

pemuda itu berhenti sedangkan tangannya meraih pecahan batu dan


melemparkan ke sungai, lalu kemudian lanjutnya, "Di dunia ini Gusti Agung
menciptakan malam dan siang, berjenis hewan jantan dan betina, besar - kecil,
tua - muda berpasangan. Dan kita sebagai manusia sudah sepantasnya jika
menyukai lawan janis kita sebagai lelaki, yaitu wanita."
"Ah.. Adi terlalu berbelit - belit." tukas ki lurah Arya Dipa sambil menundukan
kepala.
"Hahaha Kakang Ikan dan Air sudah menjadi kodrat Sang Nata Buana saling
mengisi di alam ini, dan begitu pun dengan kakang yang aku yakini sedang
memikirkan seorang kenya." kembali Damarjaya berkata.

"Kakang lurah, bila aku tahu siapakah gadis itu ? Bila gadis itu di tanah perdikan
Sembojan, biarlah paman Gede yang akan melamar untuk kakang."
"Ah kau ini, memang aku memikirkan seorang gadis yang aku cintai, dan ia pun
menanggapi cintaku ini sejak beberapa bulan dari pertemuannku dengannya.
Tapi dia tidak bertempat di perdikan Sembojan, melainkan di kotaraja. Ia juga
seorang prajurit srikandi." akhirnya ki lurah Arya Dipa berkata sebenarnya.
"Oh... Lalu apakah kakang sudah mempunyai rencana untuk meminangnya ?"
"Bila tiada halangan setelah tugas ini aku kan meminta orangtua ku untuk
melamar kepada keluarganya."
"Hm.. Ingat kakang, jika hal itu terjadi jangan lupa mengundangku."
"Hahaha..." hanya tawa itulah yang keluar.
Di saat ki lurah Arya Dipa dan Damarjaya berbincang, tak berselang lama
datang sebuah pasukan yang dari ciri digunakan menandakan pasukan dari
tanah perdikan Menoreh. Pasukan itu dipimpin oleh ki panji Trunopati dan
pemimpin pengawal tanah perdikan Menoreh.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 5 BAG 24
OLEH : MARZUKI
.
..
Segera ki lurah Arya Dipa menyambut kedatangan pasukan Menoreh,
kemudian membaurkan pasukan itu di sekitar tepian sungai.
"Kapan ki lurah berangkat dari Sembojan ?" tanya ki panji Trunopati setelah
mengenalkan siapa yang ia bawa dari Menoreh.
"Tadi pagi, ki panji. Setelah sang fajar mulai menggeliatkan sinarnya." jawab ki
P a g e | 228

lurah Arya Dipa.


"Ki lurah, tahukah kau tentang hilangnya dua pusaka Demak dari gudang
perbendaharaan ?" kembali ki panji Trunopati bertanya.
Tentu saja pertanyaan itu bagai kalajengking yang menyengat tubuh ki lurah
Arya Dipa. Pusaka peninggalan Majapahit itu merupakan sipat kandel kerajaan
yang disimpan di gedung yang dijaga ketat oleh pasukan Wira Tamtama, dan
kala itu dikepalai oleh seorang rangga yang digdaya, yaitu ki rangga Tohjaya.
"Benarkah itu, ki panji ? Sesungguhnya aku belum mendapat warta itu."
keterkejutan terdengar dari suara ki lurah Arya Dipa.
Ki panji menganggukan kepala seraya mendesuh, "Aku pun juga tak habis pikir,
ki lurah. Jikalau bukan seorang maling aguna, tak mungkin orang itu kabur dari
ki rangga Tohjaya. Padahal ku tahu bahwa ki rangga Tohjaya seorang perwira
yang memiliki segudang ilmu kanuragan."
"Lalu bagaimana nasib selanjutnya dengan ki rangga Tohjaya, ki panji ?" nada
ki lurah Arya Dipa agak cemas.
"Ah.. Ia memang seorang perwira, demi mempertanggung jawabkan kejadian
itu ia rela pergi melacak keberadaan maling Aguna itu. Selama belum
menemukan kedua pusaka itu, ia tak akan menginjakan kaki di kotaraja."
"Oh.. Betapa berat tugas itu." desuh putra angkat ki panji Mahesa Anabrang,
"Andai aku tak ditugaskan melawat ke timur, tentu aku akan membantu ki
rangga Tohjaya."
"Hm.. Aku pun juga sepaham denganmu ki lurah, tapi kita sebagai prajurit
hendaknya selalu menjunjung setiap tugas yang dibebankan dipundak kita."
sahut ki panji Trunopati.

Pemuda yang sebenarnya juga cucu seorang tumenggung Demak di masa


raden Patah itu, hanya mampu menghela napas saja. Memang kejadian yang
berada disekitarnya tak pernah ia duga sebelumnya. Dirinya dengan ki rangga
Tohjaya yang dulu pernah menjadi pengawas kelompok prajurit, penuh
kenangan tersendiri bagi anak muda itu. Kadangkala dirinya dan ki rangga
Tohjaya melakukan latihan kanuragan dikala waktu luang, sehingga dirinya
merasa kagum dengan perwira murid ki Ageng Pengging, yang mempunyai
ilmu Sasra Birawa.
"Bila di dalam perjalanan aku mendengar keberadaan pusaka itu, aku akan
berusaha mengabarkan kepada ki rangg Tohjaya." batin ki lurah Arya Dipa,
"Tapi dimana ia berada ? Pasti ia akan berpindah pindah dalam
pengembaraannya."
Persoalan itu hanya terbawa ke renungan di hati pemuda itu, karena malam
P a g e | 229

semakin dalam ia pun berusaha melelapkan matanya setelah sepanjang hari


melangkahkan kaki dengan pasukan Sembojan.
Tapi walau mata terpejam namun pikiran tak bisa diajak berdamai, rasa
penasaran muncul menyeruak ke benak dan menimbulkan dugaan tentang
siapa yang melakukan pencurian pusaka sakti tersebut.
"Apakah ini salah satu tindakan orang bang wetan ? atau kabar yang pernah
aku dengar dari ayah itu ? dimana tersebar warta dari kelompok penjahat
yang mengatakan, siapa yang bisa menguasai kedua pusaka itu akan menjadi
penguasa di tanah jawa ini." batin ki lurah Arya Dipa.
"Jika ini tindakan orang - orang kanuragan garis kiri, ini akan menjadikan
kekacauan yang mendebarkan. Oh Gusti Agung, kenapa manusia ini terlalu
serakah dengan kekuasan ? Sehingga mengesahkan segala cara meskipun
menyalahi paugeranMu." suara lirih penuh kesedihan meluncur dari ki lurah Arya
Dipa.
Semuanya itu hanya terbawa oleh semilir angin malam yang membuat rasa
dingin menyerang kulit, walau tubuh sudah diselimuti kain panjang. Selain itu
nyamuk pun ikut menggoda dengan liarnya menggigit gigit dan menyedot
cairan darah manusia.
Tak terasa kemudian suara kokok ayam hutan memecah keheningan ujung
malam, pertanda sang surya akan segera menggantikan pekerjaan sang
malam. Prajurit dan pengawal yang bertugas sebagai juru adang segera
bergegas mempersiapkan sarapan bagi pasukan itu, demi menjaga kekuatan
pasukan yang akan segera melanjutkan langkah mereka ke timur.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 5 BAG 25
OLEH : MARZUKI
.
..
Selepas mengisi tenaga di pinggiran sungai yang berada di timur gunung
merapi, maka kedua pasukan dari Menoreh dan Sembojan mulai bergerak bak
liukan ular raksasa ke arah selatan. Semakin ke selatan pasukan itu bertambah
banyak dikarenakan penggabungan dari beberapa tanah perdikan atau pun
kademangan dan kabuyutan. Apalagi ketika sampai selatan Prambanan yang
mana di kademangan itu telah menunggu pasukan segelar sepapan dari
Demak, dengan tumenggung Suranata sebagai panglima perang.
Oleh karenanya di sebuah tenda khusus, para senopati dikumpulkan untuk
P a g e | 230

merundingkan rencana yang akan dilakukan oleh pasukan Demak.


"Kisanak sekalian, syukurlah kita sampai di kademangan Prambanan ini dengan
selamat." ki tumenggung Suranata mengawali pertemuan itu.
Semua orang dengan tenang menunggu selanjutnya apa yang akan
dijabarkan oleh panglima tertinggi pasukan Demak.
"Aku yang ditunjuk kanjeng Sultan Demak sebagai panglima perang kali ini,
mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas sumbangsih yang akan
diberikan oleh para perwakilan dari tanah perdikan, kabuyutan dan
kedemangan di telatah Demak ini." lanjut ki tumenggung Suranata, "Karena kali
ini bukan hanya harta semata yang akan kita unjukan demi kelangsungan
negeri kita, melainkan nyawa pun akan kita korbankan."
Perasaan semua senopati serta para pemimpin tanah perdikan maupun
kademangan, sama dan sudah mengerti akan kata - kata dari ki tumenggung
Suranata. Demi negeri memang segalanya akan diserahkan tanpa terkecuali.

"Tujuan yang kita capai masih jauh di timur gunung Lawu, yaitu di Purbaya.
Seperti yang kisanak semua ketahui, pasukan bang wetan yang ingin kembali
mewujudkan kejayaan Majapahit, mulai lagi bergerak mendekati alas
Caruban." Sejenak ki tumenggung Suranata berdiam seraya memandang
kesegenap mereka yang hadir.
"Agar kisanak mendapatkan gambaran, ki panji Mahesa Anabrang sebagai
perwira dari telik sandi akan memaparkan kepada kisanak sekalian." kata ki
tumenggung Suranata, yang kemudian memberikan isyarat kepada ki panji
Mahesa Anabrang untuk memberi keterangan.
"Terima kasih, ki tumenggung." sahut ki panji Mahesa Anabrang yang kemudian
mengatakan keterangan penting mengenai situasi alam alas Caruban,
banyaknya pasukan bang wetan maupun perihal lainnya.
Penuturan ki panji Mahesa Anabrang itu kadangkala membuat senopati dan
pemimpin kelompok mengerutkan kening. Saat yang lain rasa geram
menghujam hati, ketika ki panji Mahesa Anabrang menceritakan penderitaan
yang dialami oleh kawula kecil yang dilewati oleh pasukan Panembahan Bhre
Wiraraja.
"Sudah jelas bagi kita kalau orang - orang dari Panembahan Bhre Wiraraja itu
hanya berkedok dengan gemilangnya Wilatikta, namun tak bisa dipungkiri
kebanyakan dari mereka hanya mencari kepuasan pribadi semata. Dan
kawula yang menjadi korban." kata ki tumenggung Suranata, setelah
mendengarkan apa yang dikatakan oleh perwira telik sandi.
"Kisanak sekalian. Besok pasukan ini akan bergerak ke timur, kita akan menyusuri
P a g e | 231

jalur selatan yang mana kadipaten Ponorogo sebagai pancadan utama dari
langkah kita."
"Maaf ki tumenggung." kata seorang lelaki berbadan pendek namun gempal,
"Mengapa kita tidak melewati Pengging saja, lalu menyusuri alas Mantingan ?"
"Oh ki panji Sambipati, memang bila kita lewat Pengging jalan yang dilalui akan
mudah, tapi apakah ki panji sudah melupakan peristiwa antara Demak dan
Pengging ?"
"Masih jelas dalam ingatanku, ki tumenggung. Bukankah itu sudah dan berlalu
beberapa tahun yang lalu ? Lalu adakah keterkaitannya dengan pasukan ini ?"
kata ki panji Sambipati.
"Begini, ki panji. Memang telatah Pengging dewasa ini lepas dari ke tata praja
nagari sejak kematian ki Ageng Pengging Anom. Namun sebenarnya para
penghuninya bagai macan yang terlelap oleh sirep." sejenak ki tumenggung
menarik napas.

"Kakang tumenggung, hendaknya kakang jangan bermain kata." celetuk ki


tumenggung Gagak Kukuh.
"Adi tumenggung dan kisanak semua, Pengging merupakan salah satu telatah
yang mana dahulu merupakan wewengkon dari adipati Handaningrat,
menantu dari prabu Brawijaya. Dan sudah umum sebagai pengetahuan
kalayak ramai, jika penguasa selanjutnya yang memilih menjadi seorang ulama
daripada adipati berseteru dengan kanjeng Sultan Jimbun atau raden Patah,
yang kemudian pralaya di tangan kanjeng Sunan Kudus."
"Benar yang ki tumenggung katakan itu, lalu kemudian ?" tanya ki tumenggung
Pideksa.
Sebelum menjawab, panglima pasukan Demak itu mengambil gelas dari tanah
dan meneguk air hangat dari dalam gelas, lalu barulah ia melanjutkan.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 5 BAG 26
OLEH : MARZUKI
.
..
Perlu kisanak semua ketahui, kawula Pengging merupakan kawula yang
manunggal dengan pemimpinnya, yaitu ki Ageng Pengging Anom. Waktu aku
masih muda, aku pernah mengunjungi Pengging ke rumah kawanku yang
bernama ki Singo Luwuk, dari dirinyalah aku mendapat keterangan yang
P a g e | 232

mengagumkan mengenai ki Ageng Pengging dalam memimpin kawulanya."


kembali ki tumenggung Suranata menghirup napas.
"Raden Kebo Kenongo dalam memimpin kawulonya sangat berbeda dengan
kanjeng adipati Handaningrat. Ia lebih mengutamakan agama dengan penuh
kedamaian serta hidup bertani. Bahkan ia membubarkan prajurit Pengging dan
menyuruh mereka untuk bergelut dengan lumpur di sawah saja." lanjut ki
tumenggung Suranata.
"Apakah para bekas prajurit kadipaten itu menerima dengan perintah itu, ki
tumenggung ?" tanya ki Rangga Angkayudu.
"Itulah hebatnya raden Kebo Kenongo." puji ki tumenggung Suranata,
"Kewibawaannya telah membuat para bekas prajurit dan abdinya bagai
kerbau dicocok hidungnya. Dengan hati lapang mereka mengikuti perintah itu,
serta dalam hati mereka tetap menganggap ki Ageng Pengging tetap seorang
pemimpin sejati dan berikrar setia kepada ki Ageng Pengging Anom yang
berpakaian layaknya kawulo pada umumnya."
"Maaf, ki tumenggung. Lalu Adakah hubungannya dengan keengganan ki
tumenggung melewati telatah itu ?" akibat rasa penasaran, ki rangga
Angkayuda memberanikan bertanya.
"Baiklah, ada sebuah rahasia yang ditimbulkan dari akibat kematian ki Ageng
Pengging. Yaitu pasukan Demak dilarang memasuki telatah Pengging, kecuali
melepas senjatanya" jawab ki tumenggung Suranata dengan sarat.

Semua orang yang hadir tampak bergeremang satu dengan lainnya. Hal itu
pun tak lepas dari pengamatan ki tumenggung Suranata.
"Kalian tentu berpikir hal itu mustahil, bukan ?" panglima Demak bergegas
menyerampaki pertanyaan, "Namun itulah kenyataan yang tak boleh dilanggar
oleh Demak, dan itu sudah disepakati oleh kanjeng Sultan Jimbun demi
menghormati ki Ageng Pengging yang masih kerabat sendiri."
Demi mendengar kata terakhir yang menyangkut mendiang kanjeng Sultan
Jimbun disebut, akhirnya mereka yang hadir di dalam tenda itu tiada lagi
mempermasalahķan jalan yang akan mereka tempuh.
Sementara itu di luar tenda yang letaknya paling pinggir, ki lurah Arya Dipa
duduk menyendiri memikirkan mengenai hiĺangnya dua keris pusaka Demak,
kyai Naga Sasra dan kyai Sabuk Inten.
"Mengapa kejadian itu bertepatan dengan perang ini ?" tanyanya dalam hati,
"Apakah ini perbuatan orang bang wetan ? Ataukah ada kaitannya seperti
peristiwa hilangnya keris kyai Setan Kober dari Pesantren Kudus ?"
Malam itu langit cerah dengan adanya lintang gemintang yang berkelip indah
P a g e | 233

memamerkan keindahan yang tak terkira, tapi ki lurah Arya Dipa yang sedang
di alam rasa penasaran menyangkut hilangnya dua pusaka Demak dan
kepergian ki rangga Tohjaya, tak tertarik sama sekali. Bahkan angin dingin yang
menusuk - nusuk serta ganasnya nyamuk, tak ia rasakan.
"Kenapa kau ngger ?" tiba - tiba seseorang menegur seraya menepuk
pundaknya.
"Oh paman ?" kejut ki lurah Arya Dipa, sambil mengucek matanya tanda tak
percaya, "Benarkah ini, paman ?"
"Hahaha, lalu kalau bukan aku, siapa ngger ?" sahut orang itu dengan tawa
renyah.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 5 BAG 27
OLEH : MARZUKI
.
..
Kedatangan orang yang sangat dikenal oleh ki lurah Arya Dipa, membuat hati
pemuda itu bagai bertemu orang tuanya sendiri. Karena sesungguhnya orang
tua yang kini berada di depannya itu memang sudah ia anggap sebagai
orang tuannya dan ia hormati, dan tiada lain orang ini yaitu empu Citrasena
ayah angkat Ayu Andini. Lalu keduanya saling melepas rasa rindu dan
menanyakan kabar masing - masing, serta orang yang ditinggalkan.
"Oh paman, mari ke tenda." ajak ki lurah Arya Dipa.
"Terima kasih, ngger. Lebih baik disini saja, karena aku ingin segera melanjutkan
langkah kakiku." Empu Citrasena berusaha menolak.
"Mengapa paman buru - buru ? Apakah paman akan ke Demak ?"
"Tidak ngger, sudah sepekan yang lalu aku di Demak dan mempunyai
kesempatan bertemu dengan putriku." jawab Empu Citrasena, "Dia menitipkan
ini untukmu."
Usai berkata demikian, empu dari Kadiri itu mengambil sesuatu dibalik
pakaiannya dan menyerahkan kepada ki lurah Arya Dipa. Secarik surat dengan
lipatan rapi mengandung aroma wangi dihidung.
Sambil menerima secarik surat itu, sekilas menghias rona merah di raut wajah
pemuda yang berbadan kokoh itu.
"Bukalah nanti saja, ngger." kata Empu Citrasena, "O ya, kau tadi sepertinya
sedang memikirkan sesuatu, bolahkah kalau pamanmu ini mengetahui barang
sedikit ?"
P a g e | 234

"Oh.. " desuh ki lurah Arya Dipa sambil menyimpan lipatan surat itu, lalu
kemudian mengutarakan apa yang ia pikirkan kepada Empu Citasena,
"Paman, hati ini terasa ada sesuatu yang mengganjal sehingga membuat
pikiran ini gelisah. Ini dikarenakan aku sedang mengurai sebuah peristiwa yang
menyangkut Demak."

"Maksudmu perang ini ?"


"Itu salah satunya paman, tapi yang tak kalah menggelisahkan ialah hilangnya
dua pusaka Demak." ucap ki lurah Arya Dipa.
Empu Citrasena mengangguk perlahan sambil menggeser letak duduknya,
empu keponakan dari Empu Supa ipar kanjeng Sunan Kalijaga itu melempar
pertanyaan.
"Angger Dipa, yang kau maksud itu bukankah kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten
kah ?"
"Benar paman. Bagaimana paman mengetahui hal itu ?" rasa heran
menyelimuti rona ki lurah Arya Dipa.
"Begini ngger, waktu aku berangkat ke Demak tanpa sengaja aku mendengar
adanya sebuah pertempuran seru. Di mana seorang lelaki yang sebaya
denganku menghadapi segerombolan perampok yang terkenal kejam dan
ganas." Orang tua itu berhenti sejenak demi melihat kesan yang ditimbulkan
oleh ki lurah Arya Dipa.
"Apakah paman membantu orang tua itu ?" tanya ki lurah Arya Dipa.
"Awalnya aku hanya melihat saja, ngger. Karena orang tua yang aku kenal
sebagai Buyut Banyubiru..."
"Oh.. maksud paman, Ki Ageng Sora Dipayana ?" potong ki lurah Arya Dipa,
yang kemudian menyadari kesalahannya yang telah memotong kata Empu
Citrasena, "Maaf, paman."
"Hahaha... Tak mengapa,ngger." sahut Empu Citrasena dengan tawa renyah,
"Benar apa yang kau sangkakan tadi. Orang itu memang ki Ageng Sora
Dipayana, buyut Banyubiru. Sedangkan lawannya ialah gerombolan Lowo Ijo."
"Oh... " kembali ki lurah Arya Dipa terkejut demi disebut nama gerombolan Lowo
Ijo.
Sebuah gerombolan besar dan kejam yang masuk buruan kerajaan Demak.

"Ki Ageng Sora Dipayana memang seorang yang pinunjul dalam olah
kanuragan, kemampuannya sekelas ki Ageng Sela, ki Ageng Pandan Alas, Resi
Puspanaga, Panembahan Ismoyo, Ki Ajar Bajulpati, ki Singo lodra, Adipati
Handaningrat, Panembahan Sekar Jagat, Kyai Bagor dan Begawan Jambul
P a g e | 235

Kuning yang tak lain kakekmu sendiri."


"Oh, termasuk eyang Jambul Kuning.. "
"Benar ngger." tegas Empu Citrasena, "Termasuk para orang suci yang kita kenal
dengan sebutan Sunan."
"Kembali ke pokok cerita tadi, dimana ki Ageng Sora Dipayana menghadapi
para gerombolan Lowo Ijo ternyata sedang merebutkan sebuah bungkusan
dari kain putih bersih. Yang mana setelah aku ketahui kemudian, ternyata isi
bungkusan kain putih itu yaitu pusaka sipat kandel Demak."
Bila terdengar suara gemuruh, hentakannya tak akan keras seperti rasa kejut di
hati ki lurah Arya Dipa. Ledakan kejut di bumi rasa hati anak muda itu begitu
riuh dan mengguncang geloranya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 5 BAG 28
OLEH : MARZUKI
.
..
"Begitulah, ngger. Buntalan itu keris kyai Naga Sasra dan Sabuk Intan, yang
dicuri oleh Lowo Ijo dan para anak buahnya. Perampok dari alas Mentaok itu
berhasil melumpuhkan prajurit Wira Tamtama dengan aji sirep yang kuat lalu
berhasil memasuki gedung perbendaharaan dan mengambil keris pusaka
Demak." tutur Empu Citrasena.
"Untunglah hal itu dicurigai oleh ki Ageng Sora Dipayana yang saat itu bersama
salah satu muridnya waktu di luar gerbang Demak, dan segera melakukan
pengejaran gerombolan Lowo Ijo." lanjut Empu Citrasena.
Kemudian orang tua itu terus menuturkan penuturannya, dimana ia melihat ki
Ageng Sora Dipayana bergelut dengan serunya menghadapi lawan tangguh,
Lowo Ijo. Perkelahian antara keduanya sangat seru dan dahsyat, yang mana
telah mengakibatkan sekitar keduanya porak poranda. Dari tenaga biasa
hingga selapis demi selapis memasuki tataran tenaga cadangan, serta
pengungkapan aji yang nggegirisi telah menyeruak tindih menindih menekan
lawan.
Ketika Empu Citrasena akan bergeser lebih dekat, dari sisi yang lain dirinya
dikejutkan oleh sesuatu yang tak kalah mendebarkan. Seorang pemuda yang
ia yakini murid dari Buyut Banyubiru, dengan trengginas menghadapi beberapa
anak buah Lowo Ijo. Kemampuan dari anak muda itu tak olah - olah, walau
menghadapi lawan yang banyak, tapi ia mampu melontarkan lawan yang
P a g e | 236

menyerang, sehingga banyak lawan yang mengerang - erang tak karuan demi
mendapat tendangan maupun pukulan.
Karena tak ingin menelan kekalahan, sebuah isyarat terlontar dari mulut ki Lowo
Ijo, sebuah isyarat memanggil bantuan. Tak berapa lama dari rimbunnya semak
belukar telah muncul belasan orang yang menampakan kekasaran mereka,
dengan senjata beraneka jenis.

Tiba - tiba tempat itu dikejutkan kembali adanya ratusan prajurit berkuda dan
mengepung tempat itu.
"Apakah mereka pasukan Demak yang melakukan pengejaran, paman ?"
tanya ki lurah Arya Dipa.
"Bukan, ngger. Melainkan itu sebuah ilmu dari pemuda murid ki Ageng Sora
Dipayana." jawab Empu Citrasena.
"Ilmu apakah itu, paman ?" rasa heran nampak dari wajah ki lurah Arya Dipa.
"Ilmu Semu, yaitu sebuah ilmu yang mampu mewujudkan apa yang
diangankan oleh si pengguna." terang Empu Citrasena.
Anggukan kepala mengiringi rasa kagum ki lurah Arya Dipa demi mengetahui
sebuah ilmu tua yang mampu diterapkan oleh seorang pemuda.
Kembali Empu Citrasena melanjutkan ceritanya.
Demi mengetahui adanya pasukan berkuda yang begitu banyaknya, tentu
saja anak buah ki Lowo Ijo ciut nyalinya dan siap angkat kaki, kalau tiada
teriakan dari pimpinannya.
"Jangan takut, itu hanya permainan semu !" lantang ki Lowo Ijo sembari
melambari teriakannya dengan aji Gelap Ngampar, untuk memunahkan
perwujudan semu itu.
Benar saja bersamaan dengan teriakan ki Lowo Ijo, perwujudan semu itu bagai
dihembus angin luruh tak tersisa. Maka anak buah gerombolan alas Mentaok
itu mulai bangkit kembali semangat mereka dan langsung menyerbu si
pemuda.
Saat itulah dengan rasa kemanusiaan, Empu Citrasena keluar dari
persembunyiaannya dan dengan tangan kanan menggenggam keris besar,
empu dari Kadiri mulai menyambuti gerombolan itu.
"Oh.. terima kasih kisanak." ucap pemuda murid ki Ageng Sora Dipayana.
"Hehehe.. Sudahlah anakmas, sudah sepantasnya kita saling membantu." sahut
Empu Citrasena sambil menangkis ayunan pedang dan menghindari tusukan
tombak lawan.
ISementara di sisi yang lain, rasa geram merambati hati ki Lowo Ijo karena
melihat kedatangan seseorang dengan kemampuan olah kanuragan tak bisa
P a g e | 237

dipandang sebelah mata.


"Bangsat, setan dari mana lagi itu ?!" serunya disusul dengan umpatan.
"Mengapa kau sejak dahulu selalu begitu, Lowo Ijo ? Sadarlah apa yang kau
lakukan ini salah dan menyimpang dari paugeran agama maupun tatanan
hidup bernegara." kata ki Ageng Sora Dipayana.
"Tutup mulutmu kakek tua !" bentak Lowo Ijo dengan marahnya.
Kepala kabuyutan Banyubiru hanya mampu menghela napas seraya
menggelengkan kepalanya demi melihat tingkah laku lawannya. Dan sesaat
kemudian Ki Ageng Sora Dipayana bersiaga tatkala memandang ke depan,
lawannya sudah memegang senjata yang mendebarkan.
"Kakek tua, pakailah senjatamu bila tak ingin mampus di tempat ini !" seru ki
Lowo Ijo.
"Baiklah, kalau itu maumu." sahut ki Ageng Sora Dipayana seraya mengambil
senjatanya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 5 BAG 29
OLEH : MARZUKI
.
..
Tangan tua itu mengurai ikat kepalanya dan dipegang ujung satu dengan
ujung lainnya dan direntang depan dada.
"Sombong kau orang tua, kau berani melawan belati ini dengan sehelai ikat
kepala lusuh !" seru ki Lowo Ijo, sambil memainkan kedua belatinya.
"Bukannya aku sombong, memang inilah senjata yang aku bawa." sahut ki
Ageng Sora Dipayana.
"Hm.. Mampus kau kakek tua !"
Murid dari Pasingsingan itu pun meloncat seraya mengayunkan belati
panjangnya ke tubuh ki Buyut Banyubiru. Ayunan yang sangat deras itu
menimbulkan desiran angin menandakan lambaran kekuatan ki Lowo Ijo,
sungguh ngedabi. Tapi lawannya bukanlah orang sembarangan, melainkan
seorang yang setara dengan guru pemimpin gerombolan perampok alas
Mentaok itu sendiri. Dengan gerak indah mengisar langkah kaki ke kiri seraya
melayangkan cambukan kain ikat kepala.
"Hordah.... " kejut ki Lowo Ijo sambil memiringkan tubuh.
Secepat ki Lowo Ijo menghindar, segesit tangan kiri menebas tangan lawan.
Hampir saja tajamnya pisau belati panjang itu menebas tangan lawan,
P a g e | 238

andaikata tangan lawan lambat dalam bergerak, karena si empu tangan


sangat cepat menarik lengannya seraya melayangkan tendangan ke
pinggang ki Lowo Ijo.
Sungguh keduanya bagai bukan manusia jikalau tak terlihat kaki keduanya
menapak tanah. Kesebatan gerak layaknya bayang - bayang yang kadang
terhalang gelap, sesaat kemudian tersinari cahaya bila berkelanjutan, seperti
timbul tenggelam. Tandang ki Lowo Ijo memang mengagumkan karena ia
sudah berhasil menyerap sebagian besar ilmu dari gurunya yang menyebut
dirinya Pasingsingan.
Setiap melihat gerak dari ki Lowo Ijo, ki Ageng Sora Dipayana tak habis pikir
terhadap guru pemimpin perampok itu. Karena waktu mudanya, dirinya pernah
menjumpai seorang Pasingsingan yang selalu membela kebenaran, hingga
suatu kali terdengar kabar burung adanya seseorang yang menyebut dirinya
juga Pasingsingan telah berlaku tak sepantasnya.
Renungan orang tua itu hampir menyelakainya jikalau dirinya terlambat
menghidari sebuah serangan lawan.
"Hampir saja kuku itu menggores kulitku." batin orang tua itu.
Di lain tempat murid ki Ageng Sora Dipayana dengan lincah bergerak dari satu
sisi ke sisi lain. Kadang kala dalam setiap gerakannya, pemuda itu menerapkan
aji Semunya untuk mengelabuhi lawan - lawannya. Seperti gurunya yang
memakai ikat kepala sebagai senjata, ia juga mengurai ikat kepalanya dan
menggunakan ikat kepala itu layaknya pusaka ampuh.

Lawan yang sebelumnya meremehkan perbuatan si pemuda terbeliak ketika


senjata pedangnya tak mampu menebas ikat kepala yang terbuat dari kain
biasa itu. Ikat kepala yang dilambari tenaga prana itu menjadi keras layaknya
besi gligen dan mampu membuat pedang anak buah ki Lowo Ijo, gompal.
Empu Citrasena yang berkelahi tak jauh dari anak muda itu, tersenyum bangga
menyaksikan kehebatan si pemuda yang ahli menggerakan ikat kepalanya.
"Anakmas, kalau boleh tau siapakah nama anakmas ?" tanya Empu Citrasena.
"Oh.. orang tua ku memberi nama Jaka Raras, kisanak." jawab pemuda itu
seraya terus menghadapi musuh - musuhnya, "Bolehkah paman ini
menyebutkan gelar paman ?"
Tanpa ragu Empu Citrasena menyebut jati dirinya, "Citrasena, tapi orang -
orang menambahi dengan awalan Empu."
Karena lawannya bagai tak menganggap dirinya, anak buah ki Lowo Ijo
semakin geram dan marah yang kemudian meningkatkan kemampuan
mereka, tapi apalah daya mereka menghadapi kedua orang itu, malah
P a g e | 239

mereka seperti anak ayam di sarang musang yang siap diterkam mentah -
mentah.
Kembali di perkelahian ki Buyut Banyubiru dengan ki Lowo Ijo mulai mendekati
akhir. Upaya ki Lowo Ijo dalam memakai senjata pisau belati panjang dan akik
Kelabang Sayuta tak menemui hasil, maka kini ia akan mengeluarkan ilmu
andalannya aji Alas Kobar yang berintikan panasnya lautan api.
Begitu lawan bergerak dengan tata gerak yang aneh, secepat itu pula ki
Ageng Sora Dipayana juga memusatkan nalar budinya, meminta perlindungan
Sang Pencipta dengan perantara usaha penerapan aji Lebur Saketi.
Tak lama kemudian dua tenaga dahsyat terlontar bertemu di satu titik, saling
dorong - mendorong mencari daya terlemah dari sumbernya. Seleret warna
merah membara kadang mampu mendesak seleret lontaran aji Lebur Saketi,
tapi sumber aji Lebur Saketi sangat mantab sehingga menimbulkan tenaga
kuat untuk kembali mendorong dan menekan aji Alas Kobar.

Apalah daya tatkala ketangguhan aji Lebur Saketi terus mendesak aji Alas
Kobar, hingga menumbuk sumbernya yang mengakibatkan ki Lowo Ijo
terlempar bagai layang - layang putus dari benangnya. Tubuh itu meluncur
deras beberapa tombak dan sejenak kemudian hampir menumbuk batang
kayi Jati.
Waktu itulah sesosok tubuh menyambar tubuh ki Lowo Ijo dan membawanya
kabur dengan loncatan panjang meninggalkan tempat itu. Tapi ternyata orang
yang membawa kabur itu tak mengetahui jika sebuah bungkusan yang dibawa
ki Lowo Ijo terjatuh.
Sementata itu demi melihat pemimpinnya kalah dan dibawa kabur seseorang,
para anak buah gerombolan Lowo Ijo tanpa berpikir panjang, lari tunggang
langgang tak karuan mencari selamat. Hal itu membuat murid ki Ageng Sora
Dipayana atau Jaka Raras ingin mengejarnya, jikalau gurunya tak
melarangnya.
"Biarkan mereka, apa yang kita cari sudah kita dapatkan." seru ki Ageng Sora
Dipayana.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 5 BAG 30
OLEH : MARZUKI
.
..
P a g e | 240

Jaka Raras mengajak Empu Citrasena menghampiri gurunya, yang berlutut


mengambil bungkusan kain putih dan memegangnya dengan hati - hati.
Sekilas dari luar sudah nampak lekuk dua bentuk pusaka berjenis keris, yang
setelah di teliti memang nyata dua keris sipat kandel Demak.
"Oh.. " tanpa disadari Empu Citrasena mendesuh kejut.
Betapa tidak, orang yang bertempat tinggal di kademangan Tegowangi
telatah Kadiri itu merupakan seorang empu. Maka sekilas pandang melihat
pendok serta tangkai kedua keris saja, dirinya mampu menilai keris itu bukanlah
keris biasa.
Dan desuh kejut tadi pun menyadarkan ki Ageng Sora Dipayana untuk
memandang wajah orang yang mengiringi muridnya. Ki Buyut Banyubiru lantas
mengangguk hormat dan menanyakan jati diri orang yang berdiri disamping
muridnya, walau dirinya yakin jikalau orang tua itu dapat dipercaya.
Empu Citrasena pun dengan jujur mengungkap dirinya dengan sebenarnya
tanpa ia tutupi sedikitpun. Serta mengutarakan jika dirinya habis berkunjung ke
Demak dan akan melanjutkan langkah ke pesisir kidul.
"Jadi, Empu masih keponakan Empu Supa ?" tegas ki Ageng Sora Dipayana,
sehabis mendengarkan perkenalan diri Empu Citrasena, lalu, "pantas dengan
sekilas saja mampu menilai pusaka ini."
"Ah.. Tapi aku masih jauh dari kemampuan paman Supa, ki Ageng." Empu
Citrasena merendah.
Ketiganya kemudian duduk di tempat yang agak lapang seraya melepas lelah
setelah bertempur.
"Keris ini pasti akan menjadi rebutan golongan hitam, bila terus di luar istana." ki
Ageng Sora Dipayana kembali mengawali pembicaraan.
"Lalu bagaimana rencana, ki Ageng ?"
Orang tua dari Banyubiru itu sebenarnya ingin segera mengembalikan kedua
keris itu ke istana Demak, namun dirinya pernah mendengar adanya rencana
dari pihak golongan hitam selain Lowo Ijo, untuk mencuri keris kyai Naga Sasra
dan Sabut Inten. Keraguan telah menyerabut dihatinya, yang membuahkan
dua cabang pemikiran. Sejenak ki Ageng Sora Dipayana memejamkan mata
demi mengambil keputusan yang tepat. Akhirnya keputusan yang dia rasa baik
meskipun mungkin akan menjadikan kegawatan kabuyutannya dan
keluarganya, terpaksa diambilnya.

"Untuk sementara pusaka ini akan aku bawa, adi Empu. Tapi aku meminta
bantuanmu."
"Maksud, ki Ageng ?" tanya Empu Citrasena.
P a g e | 241

"Begini, adi Empu. Sebarkan kepada setiap orang jika keris kyai Naga Sasra dan
Sabuk Inten disimpan oleh Buyut Banyubiru yang baru, yaitu putraku Gajah
Sora." jawab ki Ageng Sora Dipayana.
"Oh... " Empu Citrasena dan Jaka Raras kaget.
"Bukankah itu akan merugikan kabuyutan Banyubiru dan keluarga Ki Buyut ?"
rasa cemas dirasakan oleh Empu Citrasena.
"Hm.. "Ki Ageng menghela napas, "Tak mengapa, adi Empu. Tapi tujuanku untuk
memancing semua golongan hitam keluar untuk meluruk ke kabuyutan, tapi
saat itulah kami akan berusaha menangkap mereka sehingga bila kedua
pusaka itu kembali ke gedung perbendaharaan, tak akan hilang kembali."
"Baiklah kalau itu sudah menjadi tekad, ki Buyut. Aku akan mengikuti rencana
itu, dan jika perlu aku akan ikut membantu dengan ilmuku yang tak seberapa
ini."
Kemudian setelah pembicaraan dirasa cukup, mereka berpisah jalan dimana ki
Ageng Sora Dipayana dan Jaka Raras kembali ke kabuyutan Banyubiru
sedangkan Empu Citrasena sambil berjalan ke selatan, mulai menyiarkan
adanya kedua pusaka Demak ke golongan orang - orang kanuragan, dan
tanpa disangka telah menjumpai ki lurah Arya Dipa diselatan kademangan
Prambanan.
"Begitulah, ngger." ucap Empu Citrasena mengakhiri ceritanya.
Perwira muda itu termangu - mangu. Di satu sisi ia sudah senang dengan
keberadaan kedua keris pusaka Demak, namun disisi lain rasa cemas
andaikata rencana yang disusun oleh ki Ageng Sora Dipayana gagal.

"Angger, aku pun juga meminta uluran tanganmu dibidang keprajuritan."


"Oh.. Mengapa paman harus memakai peradatan segala ?"
"Hahaha.. ini memang harus begitu, ngger. Carilah hubungan dengan perwira
atas untuk membawa pasukan segelar sepapan menuju Kabuyutan Banyubiru."
"Oh.. dengan maksud apa, paman ?" tanya ki lurah Arya Dipa.
"Dengan alasan menangkap buyut baru Banyubiru, yang mungkin saat ini
sudah resmi diangkat, yaitu ki Ageng Gajah Sora anak sulung ki Ageng Sora
Dipayana." terang Empu Citrasena yang kemudian membisiki pemuda itu.
Wajah ki lurah Arya Dipa yang awalnya tegang berangsur - angsur pudar dan
menampakan kecerahan.
"Baiklah kalau begitu, paman. Aku akan berusaha semampuku serta meminta
bantuan ayah." kata ki lurah Arya Dipa.
"Baiklah titipkan salam kepada ayahmu ki panji Mahesa Anabrang, maaf aku
tak bisa berlama - lama disini."
P a g e | 242

Lantas orang tua angkat Ayu Andini itu pergi dari sisi luar perkemahan pasukan
Demak. Kini tinggalah ki lurah Arya Dipa yang masih berdiri memandang arah
kepergian Empu Citrasena. Tanpa sengaja tangannya memegang lipatan surat
dibalik pakaiannya.
"Oh... Hampir aku melupakan surat dari Ayu. Aku berjanji akan segera
meminangnya." batin pemuda itu, "Tapi aku pun harus mencari ayah dan
meminta pertimbangannya."
Perwira itu pun bergegas melangkahkan kaki menuju sebuah tenda yang
diperuntukan bagi perwira menengah.

BERSAMBUBG......

Panasnya Langit Demak jilid 6


Panasnya Langit Demak jilid 6

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 1
OLEH : MARZUKI
.
..
Di kala sang surya menampakan sinar kemilaunya di cakrawala ujung timur,
tiga orang penunggang kuda memacu kudanya ke utara. Ketiga penunggang
kuda yang memakai ciri keprajuritan Wira Tamtama Demak itu ialah, ki lurah
Arya Dipa, prajurit Jaka Ungaran dan Sambi Wulung. Yang mana setelah
malamnya ki lurah Arya Dipa mencari hubungan dengan ayahnya ki panji
Mahesa Anabrang, dan menceritakan rencana yang telah disusun oleh ki
Ageng Sora Dipayana lewat Empu Citrasena, maka atas perkenan dari
tumenggung Suranata diutuslah ki lurah Arya Dipa untuk kembali ke Demak.
"Ki lurah, sebenarnya ada apa ini ? Mengapa kita kembali ke Demak ?" tanya
prajurit Jaka Ungaran.
"Benar, aku pun penasaran ki lurah." sambung prajurit Sambi Wulung.
Ki lurah Arya Dipa memperpelan laju kuda demi memberi keterangan kepada
kedua prajuritnya yang ia percayai dari sepuluh prajurit Wira Tamtama.
"Kakang Jaka dan Sambi, tadi malam aku mendengar warta dari seseorang
mengenai keberadaan kedua pusaka Demak yang hilang." kata ki lurah Arya
Dipa, pelan.
P a g e | 243

"Oh... Benarkah itu ki lurah ?" prajurit Sambi Wulung menegas.


"Iya, dan kali ini kita akan menghadap kanjeng Sultan untuk menjalankan
rencana dari ki tumenggung Suranata demi mengamankan kedua pusaka itu."
"Mengapa tidak kita bertiga saja, ki lurah ? Apakah kita tak akan mampu ?"
prajurit Jaka Ungaran menyerampaki pertanyaan.
"Bukan masalah mampu atau tidak, kakang. Tapi ini akan menyangkut sebuah
kabuyutan yang berada di sekitar rawa Pening serta golongan kanuragan."
"Maksud ki lurah kabuyutan Banyubiru yang dipimpin oleh ki Ageng Sora
Dipayana itu ?"
"Benar, tapi sekarang kabuyutan itu telah beralih kepemimpinan, kini ki Ageng
Gajah Sora lah yang menjabatnya." ucap ki lurah Arya Dipa, "Mari kita
bergegas memacu langkang kuda kita."
Usai berkata ki lurah Arya Dipa telah menggebrak kudanya, seketika kuda itu
langsung memesatkan langkah menuruti kehendak tuannya. Prajurit Jaka
Ungaran dan Sambi Wulung pun meniru perbuatan pemimpinnya dan
berusaha menyusulkan kuda ke arah utara.

Jalan - jalan terjal maupun landai terlalui tanpa adanya aral rintangan yang
berarti, ketiga kuda tangguh prajurit Wira Tamtama Demak dengan pesat
berlari mengejar sang waktu menyusuri tanah yang beraneka jenis keadaan
alam. Setelah Seharian tanpa hentikan langkah, demi tetap menjaga keadaan
kuda tunggangannya, ki lurah Arya Dipa mengajak kedua prajuritnya untuk
beristirahat barang sejenak serta membiarkan kuda mereka memakan rumput
liar dekat sebuah parit yang airnya mengalir jernih.
"Ini ki lurah." kata prajurit Jaka Ungaran sambil mengangsurkan bungkusan daun
pisang.
"Terima kasih, kakang." ucap ki lurah Arya Dipa, yang kemudian membuka
bungkusan daun pisang berisikan jenang alot.
Sementara itu prajurit Sambi Wulung memetikan api di undukan ranting yang
sebelumnya sudah dia kumpulkan. Api pun mulai membara dan menyala
memberi penerangan di tepian parit itu. Rasa hangat mulai dirasakan
menghilangkan rasa dingin di ambang malam itu serta menghalau nyamuk.
Tiba - tiba dari arah depan muncul seorang dangan langkah mantab dan terus
mendekat.
"Ada seseorang yang mendekat, waspadalah kita tak tahu tentang orang itu."
ki lurah Arya Dipa memberi peringatan.
"Baik, ki lurah." sambut kedua prajurit bebarengan.
Orang itu ternyata seorang lelaki tua berbadan agak bungkuk, oleh karenanya
P a g e | 244

ditangannya membekal tongkat dari kayu yang mana ujung atasnya ada
lekukan menyerupai kepala ular.

"O.. Gusti Allah hang karya jagat... "


"Ingsun manungsá hang dáyá upáyá.."
"Kanthi dedungá riná kelawan wengi..."
"Mugi Antuk kawelasan anggenipun ngelampahi.."
.
"Oh... Rupanya aku yang tua ini mampu melangkahkan kaki sampai disini." kata
orang itu setelah mengakhiri senandungnya, tanpa menghiraukan ki lurah Arya
Dipa dan kedua prajurit.
"Maaf, kakek. Kami prajurit dari Demak yang sedang dalam perjalanan kembali
ke Demak, kalau boleh tahu siapakah kakek ini ?" tanya ki lurah Arya Dipa
dengan ramah.
.
"Asmá hamung tetenger.."
"Hang deduwéni pangarep - arep bisá lumebur ing solah tingkah nirá.."
"Ananging Manungsá kurang tátá lan sembrono..."
.
"Duh manusia yang hanya menuruti hawa nafsu duniawi sepertiku ini, masihkah
harus mengenalkan nama yang cemar, ngger ?"
"Demi mendengar dan mengetahui perilaku yang diunjukan oleh orang tua itu,
membuat ki lurah Arya Dipa semakin penasaran siapa sesungguhnya orang tua
itu.
"Mengapa kakek berkata seperti itu ? Mohon kiranya kakek menceritakan diri
kakek kepada kami yang muda - muda ini."
"Tua muda sama saja, kaya ataupun miskin tetap sama, bagus dan jelek juga
sama. Sama - sama ciptaan Sang Illahi yang mempunyai jiwa, akal dan hati.
Angger bertiga, aku yang tua dan bangkotan ini hanyalah seorang
pengembara semata, yang senang melangkahkan kaki kemana saja. Apakah
perlunya aku mengenalkan nama yang mungkin akan jadi tertawaan saja."
kata orang tua bungkuk itu.
"Baiklah jika kakek tak mau menyebutkan gelar atau pun jati diri, tapi bila kakek
berkenan silahkan duduk bersama kami menikmati bekal kami." ki lurah Arya
Dipa menawari kakek tua itu dengan makanan yang mereka bawa.

"Alhamdulillah, Anakmas sekalian sungguh seorang prajurit yang baik. Rejeki


P a g e | 245

pantang aku menolak, itu tak bersyukur namanya jika Gusti Allah sudah
memberi dan aku menolak." sambut orang tua itu, lalu duduk menghadap api
unggun.
Tapi rasa heran menghinggapi hati ki lurah Arya Dipa dan kedua prajurit,
manakala melihat orang tua itu hanya diam tak memakan jenang alot yang
sudah ia pegang. Hanya pandangan matanya saja mencurah menatap
jenang alot, seakan - akan menikmatinya.
"Oh... " desuh ki lurah Arya Dipa.
"Hahaha... " orang tua itu tertawa, sehingga menampakan giginya yang sudah
tak genap lagi.
Melihat orang tua itu tertawa dan menampakan gigi yang tak utuh lagi, prajurit
Sambi Wulung dan Jaka Ungaran tak bisa menahan tawa lagi. Sedangkan ki
lurah Arya Dipa hanya tersenyum simpul.
"Maafkan kami yang kurang sopan ini, kakek. Tentu jenang alot itu akan
menyusahkan kakek, tapi kami membawa ketela rebus." ucap ki lurah Arya
Dipa seraya menyuruh prajurit Sambi Wulung untuk mengambilnya.
"Ini, kakek." kata Sambi Wulung seraya menyerahkan sebungkus Ketela rebus,
"Mengapa kakek diam saja dan tak bilang kalau gigi... "
"Hus.. " potong prajurit Jaka Ungaran sambil mengerakan jari tangan didepan
mulut.
"Hehehe.. Tak mengapa, ngger. Ini aku tiru dari Baginda Rasulullah, beliau selalu
begitu bila mengahadapi makanan bila tak mampu mengunyah. Aku tak
berani berkata tak sepantasnya dengan makanan apa pun, bila aku mencela
makanan berarti aku juga akan mencela Si Pencipta, yaitu Gusti Allah. Dan
betapa dosanya diri ini." ucap orang tua itu dengan sarehnya.

"Oh.. Kakek sungguh seorang mulia." puji prajurit Jaka Ungaran.


"Aduh, ngger. Janganlah kau memujiku seperti itu, hal seperti itu akan
mengungkap ke-akuan dalam diri dan menimbulkan keinginan sering di puji."
kata kakek bongkok yang kemudian menyantap ketela rebus.
Sungguh hal itu membuat ki lurah Arya Dipa tersentuh dengan kata - kata bijak
dari orang tua itu. Dan ia pun menaruh hormat dengan perilaku orang tua yang
mencerminkan kesederhanaan, namun tetap memegang teguh rasa imannya
kepada sang pencipta.
"Terima kasih, ngger atas makanan ini. Semoga Gusti Allah memberi balasan di
dunia ini dan akherat kepada kalian, dengan nikmatNya. Angger, aku hanya
memberikan sebuah kata semoga dari kalian bisa memahaminya, yaitu Yèn
sang nátá lumaku mituju panggonan bagaskárá, buana bakal gonjing gumanti
P a g e | 246

ing ksatriyá Handaningrat." kata kakek tua itu, lalu lanjutnya, "Semoga angger
sekalian bisa menempatkan diri. Baiklah aku pamit dulu, ngger."
Dan orang tua itu berlalau meninggalkan kesan dan seribu rahasia.
"Aneh, siapa sebenarnya orang tua itu ? Dan apa maksud dari perkataan
orang itu tadi ?" prajurit Jaka Ungaran bersuara.
"Entahlah.. " sambut prajurit Sambi Wulung dengan mengankat bahu.
Tapi lain dengan ki lurah Arya Dipa, perwira muda itu meyakini tentang akan
terjadinya perubahan di tanah jawa ini di masa yang akan datang.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 2
OLEH : MARZUKI
.
..
Agak dikejauhan orang tua bongkok itu menghentikan langkah di bawah
rimbunnya pohon Ketapang. Tubuh yang mulanya bungkuk menampakan
perubahan, tubuh itu mulai tegak lurus berdiri kokoh. Tangan orang itu bergerak
menguak selaput tipis yang menutupi raut wajahnya dan tersembulah wajah
yang memancarkan kebeningan dan kesejukan dari wajah orang itu.
Habis itu tangannya meraih sesuatu dari mulutnya yang kemudian setelah
tangan itu keluar, digenggamannya terlihat benda pipih hitam dimana
kegunaannya untuk menyamarkan giginya.
"Mudahan anak itu nantinya berdampingan dengan Mas Karebet, dikala putra
anakmas Kebo Kenanga menjadi seorang raja." desis orang itu.
"Arya Dipa, nama yang bagus yang mengingatkan aku dengan seorang anak
dari desa Mada, seorang anak menurut anggapan orang umum merupakan
anak kaum sudra, tapi tidak bagiku karena sesungguhnya ia putra dari raden
Gajah Pagon putra prabu Kertanegara dari selir." lanjut orang itu, kemudian
orang itu teringat kembali dengan penuturan orang tuanya mengenai si Dipa
Gajah.
Dipa si gajah seorang anak yang bersuwita ke Kahuripan dan menjadi prajurit
bayangkara. Lalu setelah terjadinya pertempuran besar antara mahapatih
Nambi dan pasukan Majapahit yang dipimpin sendiri oleh Kala Gemet atau
prabu Jayanegara, prajurit Kerta Dipa oleh rani Kahuripan dikirim ke Majapahit
untuk menjadi pengawal kakandanya prabu Jayanegara. Nasib baik
mengiringi langkah Kerta Dipa dengan pangkat bekel atau lurah prajurit
Majapahit, tak hanya itu saja jenjang keprajuritannya semakin meningkat
P a g e | 247

setelah dirinya mampu mengamankan prabu Jayanegara dari makarnya tujuh


Darmaputera wineh suka yang dikepalai rakyan Kuti, dengan membawa sang
prabu menyingkir sampai telatah Kudadu. Atas jasanya prabu Jayanegara
menganugerahi sang Dipa menjadi patih Daha, lalu Kahuripan. Jenjangnya
semakin meningkat di masa Majapahit di bawah raja Hayam Wuruk, si Dipa
diangkat sebagai Mahapatih kerajaan besar menaungi nusantara dengan
gelar mahapatih Gajah Mada.

"Semoga anak muda yang kini menjadi lurah Wira Tamtama itu, mau
melangkah bersama anakmas Jaka Tingkir." kembali orang tua itu berkata.
Orang tua itu kemudian melanjutkan langkahnya menemui sang murid yang
kini menjadi seorang lurah Wira Tamtama di Demak.
Malam bergerak sesuai kodratnya mengiringi langkah manusia di buana raya
ini. Tatkala kokok ayam hutan dengan riuhnya memeriahkan alam hutan, disaat
itu pula ki lurah Arya Dipa mengajak prajuritnya untuk berkemas dan tak lupa
memadamkan bara bekas api unggun, supaya tak membahayakan alam
hutan seisinya.
"Mari kakang Jaka Ungaran dan Sambi Wulung, mumpung hari masih pagi, sinar
sang bagaskara belumlah terlalu terik." ajak ki lurah Arya Dipa.
"Mari ki lurah." sambut prajurit Jaka Ungaran dan Sambi Wulung berbarengan.
Ketiganya lantas menaiki pelana kuda yang terikat kuat di punggung kuda.
Sejenak kemudian ketiga kuda itu sudah dicongklangkan perlahan dan lama
kelaman semakin pesat, ketika melewati jalan yang agak lapang.
Kuda - kuda itu terus dipacu secepat mungkin, tapi bila dirasa melihat kuda
tunggangan sudah menampakan keletihan, maka demi menjaga kesegaran
sang kuda segera mereka meluangkan waktu bagi sang kuda untuk sekedar
memberi makan rumput liar atau meminum air di parit atau aliran air yang
dilewati.
Hingga suatu kali ketiga prajurit itu sampai di Mrapen, sebuah tempat dimana
terdapat sebuah api yang menyembur dari bumi. Dikala akan mendekati
Mrapen itulah, tiba - tiba dari kanan kiri lorong jalan muncul beberapa orang
yang dari penampilannya, terlihat kekasaran yang diunjukan. Apalagi dari
salah seorang yang bergerak maju dua tindak, orang yang diyakini sebagai
pemimpin dari orang - orang itu menghardik dengan kerasnya.

"Berhenti...!!!"
Demi mendengar kemunculan orang - orang itu dan hardikan, membuat ketiga
prajurit Demak menarik kekang kuda hingga kaki depan kuda terangkat saking
P a g e | 248

terkejutnya.
"Siapa kalian berani menghentikan kami ?!" sahut prajurit Sambi Wulung.
"Tutup mulutmu ! Kamilah yang seharusnya memberi pertanyaan dan bertindak
sesuka hati kami !" bentak orang yang diyakini sebagai kepala penghadang itu.
"Beraninya kalian lewat kawasanku, anak muda !" serunya , "Nyata kalian
mempunyai nyawa rangkap kalau tak mau menyerahkan barang - barang
kalian."
"Ho.. Rupanya kalian seorang bromocorah telatah Mrapen, kisanak ketahuilah
dan lihatlah pakaian yang kami kenakan. Kami prajurit Wira Tamtama Demak !"
seru ki lurah Arya Dipa.
Orang - orang itu saling pandang satu dengan lainnya, namu kemudian
terdengar tawa bergemuruh dari orang - orang itu.
"Hahaha... Tak ada gunanya kau mengatakan jika kau prajurit dari kesatuan
Wira Tamtama, bahkan jikalau kau seorang adipati pun, kami tak gentar !" Tukas
pemimpin kepala Bromocorah, "Cepat serahkan barang kalian dan kuda kalian
!"
Prajurit Sambi Wulung yang berwatak keras, menggerakan kudanya mendekati
kuda ki lurah Arya Dipa.
"Orang - orang macam ini harus kita kasih pelajaran, ki lurah." desisnya.
"Benar, ki lurah. Tanganku pun sudah terasa gatal." sela prajurit Jaka Ungaran.
"Hm.. Baiklah, tapi hindari adanya korban nyawa." kata ki lurah Arya Dipa.
"Baik, ki lurah." sahut prajurit Jaka Ungaran dan Sambi Wulung bersamaan.
"He.. Apa yang kalian bisikan itu !" hardik pemimpin bromocorah, yang bergelar
ki Kebo Mrapen.
Namun bukanlah kata yang menjadi jawaban, melainkan sebuah loncatan
kedua prajurit dari atas kuda menyerang orang - orang itu.
"Bangsat ! Bunuh mereka !" teriak ki Kebo Mrapen memberi perintah.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 3
OLEH : MARZUKI
.
..
Sebanyak sepuluh orang anak buah gerombolan bromocorah siap
menangepung ki lurah Arya Dipa dan dua prajuritnya, berbagai jenis senjata
yang aneh terpegang erat di tangan mereka. Begitu pun dengan ki Kebo
Mrapen yang menggunakan sebuah rantai dengan bandul sebesar dua kali
P a g e | 249

lipat kepalan tangan, mulai di urai satu tangan memegang pangkal rantai,
sedangkan tangan satunya memegang rantai dekat dengan ujung bandul.
Tatkala kedua prajurit meloncat dari kuda, keduanya langsung menerjang
kepungan itu dengan tendangan. Akibatnya empat orang terlempar
beberapa tindak, tapi selekas itu anak buah gerombolan ki Kebo Mrapen
kembali melenting berdiri.
Di atas punggung kuda putihnya, ki lurah Arya Dipa memperhatikan dengan
seksama pertempuran yang terjadi. Tata gerak dari gerombolan itu walau
terlihat kasar, namun memiliki kesamaan gerak satu dengan lainnya, ini
mempertandakan gerombolan itu satu aliran olah kanuragan.
"Mungkinkah mereka ini dari sebuah padepokan atau perguruan ?" desis ki
lurah Arya Dipa.
Prajurit Jaka Ungaran dengan gesit mengisar langkah lalu dilanjutkan merunduk
demi menghindari tajamnya ujung tombak salah satu lawan, berhasil
melakukan penghindaran tak membuat prajurit Jaka Ungaran aman, karena
dari belakang sekonyong - konyong seorang anak buah ki Kebo Mrapen, yang
berbadan raksasa menggunakan gadanya hampir berhasil menggemplang
kepala prajurit itu.
"Uh... " desuh prajurit Jaka Ungaran, yang melempar dirinya bergulingan dan
secepatnya melenting berdiri dengan tangan sudah mencabut pedang
keprajuritan.
Perkelahian cukup menarik juga terjadi dengan prajurit Sambi Wulung. Pemuda
anak ki panji Sambipati ini tak mampu mengekang gejolak hatinya yang berapi
- api. Pedang di tangan kanannya mulai berbicara nyata, manakala mampu
menggores lawan - lawannya.

"Jangkrik.... !" gerutu seorang lawan yang berjambang lebat.


Dada orang itu tergores menyilang walau tak dalam, hal itu cukup membuat
orang itu marah dan dengan cepatnya mengayunkan kapaknya ke arah
prajurit Sambi Wulung.
"Mati kau... !" seru orang bersenjata kapak itu.
Dari sambaran anginnya saja sudah dipastikan tenaga orang berjambang
lebat itu, sungguh sangat menggetarkan bagaikan tenaga kerbau. Tapi
lawannya merupakan seorang prajurit Wira Tamtama dan juga mempunyai
bekal olah kanuragan. Oleh karenanya tak semudah membalikan telapak
tangan keinginan orang itu, kapaknya hanya mengenai tempat kosong.
Demi mengetahui lawannya mampu menghindari kapaknya, segera orang
berjambang itu memutar kapaknya dan meluncul mencari mangsa.
P a g e | 250

"Aughh... " keluh orang berjambang itu, karena lawannya kembali menggores
lengan serta melempar kapaknya.
"Rasakan ini... !" seru prajurit Sambi Wulung sambil memukul tengkuk lawan.
"Augh... "Kembali orang berjambang mengeluh dan tak sadarkan diri.
Kekalahan orang berjambang itu tak membuat anak buah ki Kebo Mrapen,
ciut nyalinya. Tapi sebaliknya hati mereka semakin dicengkam kemarahan dan
menyalurkan dengan mengerubut para prajurit itu.
Bila dari dilihat dari kemampuan perorangan, prajurit Jaka Ungaran dan Sambi
Wulung tentu mampu menekan, tapi jika dikerubut sembilan orang seperti itu
jelas akan membuat kedua prajurit itu tertekan.
"Mereka memang sudah keterlaluan." desis ki lurah Arya Dipa terus meloncat
dari kudanya.
Kaki ki lurah Arya Dipa menjejak pelana kuda untuk kemudian melambungkan
tubuhnya, terus meluncur ke arah kerumunan perkelahian.

"Dess... dess... dess... dess... "


Empat tendangan telah melemparkan empat anak buah ki Kebo Mrapen
sejarak enam langkah. Sedangkan akibat dari tendangan itu membuat empat
anak buah ki Kebo Mrapen, merintih kesakitan.
"Terima kasih, ki lurah." desis prajurit Jaka Ungaran.
"Nanti saja, lawan masih ada." sahut ki lurah Arya Dipa, "Uruslah mereka berlima,
aku akan mencoba melawan orang itu."
Dengan langkah tenang ki lurah Arya Dipa menghampiri ki Kebo Mrapen, yang
berdiri dengan memandang tajam ke arah prajurit yang baru saja
melemparkan para anak buahnya.
"Huh.. Pantas kau berlaku sombong, tak tahunya kau mempunyai bekal untuk
menyombongkan diri, anak muda !" ucap ki Kebo Mrapen ketus.
"Bukan maksud hati, kisanak." sambut ki lurah Arya Dipa, "Jika kalian tak
mengawali, mana mungkin kami bertindak sejauh ini."
"Huh.. " desuh campur geram ki Kebo Mrapen.
Orang itu memutar rantai berbandulnya dengan cepat, "Gunakan senjatamu !"
"Baik.. " balas ki lurah Arya Dipa dan kemudian tangannya bergerak mengambil
senjatanya pedang lentur kyai Jatayu.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 4
OLEH : MARZUKI
P a g e | 251

.
..
Rantai bandul yang awalnya berputaran di tangan ki Kebo Mrapen secepat
kilat meluncur ke depan, gerakannya mampu menyibak udara yang
dilewatinya dengan menimbulkan deru tak dapat diremehkan. Sejurus rantai
bandul itu akan mengenai tubuh ki lurah Arya Dipa, pemuda itu mengisar kaki
sambil menetak rantai. Tetapi ki Kebo Mrapen sudah membaca sebelumnya,
maka dari itu rantai bandul dilemaskan yang mana mengakibatkan rantai itu
jatuh ke tanah dan secepatnya tangan yang memegang pangkal rantai
menarik searah pijakan lawan.
Pedang tipis kyai Jatayu hanya mengenai angin kosong saja dan si empunya
terancam sabetan rantai di kakinya, oleh karenanya ki lurah Arya Dipa
menotolkan kaki ke tanah demi melenting ke udara dengan mengarah tubuh
ke depan lawan. Inilah gerakan menghindar dengan diteruskan menyerang
lawan yang masih merunduk. Ayunan kyai Jatayu mengincar pundak lawan.
"Augh... " jerit ki Kebo Mrapen.
Kepala gerombolan itu tak mampu menghindari secara penuh dan akibatnya
lengannya terserempet daun pedang kyai Jatayu. Rasa panas menyengat
dirasakan sampai tulang sumsum ki Kebo Mrapen.
"Jangkrik.. Setan alas.. " maki ki Kebo Mrapen.
Orang itu tak menyadari jikalau lawannya yang masih muda itu tak berniat
mencelakakan, itu dikarenakan ki lurah Arya Dipa sengaja menggunakan sisi
daun pedang untuk memukulnya, jika menggunakan sisi tajamnya pedang,
niscaya lengan ki Kebo Mrapen akan puntung.
"Kisanak, sudahilah usahamu untuk merugikan seseorang, dan bergantilah
mencari rejeki semestinya. Ingatlah selain larangan negara, merampok juga
larangan Hyang Agung." ki lurah Arya Dipa menasehati orang itu.
"Hm.. " dengus ki Kebo Mrapen, "Tak usah kau sesorah di depanku si Kebo
Mrapen, serahkan barang - barangmu atau nyawamu !"
Ki lurah Arya Dipa hanya mampu menggelengkan kepala atas keras kepala
orang yang menyebut dirinya Kebo Mrapen. Sejenak perwira muda itu akan
kembali bersuara, tapi lawannya sudah mendahului dengan serangan rantai
mengancam dirinya.
Juluran rantai berbandul itu sangat cepat dan ganas, tapi kembali ki lurah Arya
Dipa berhasil menghindari terjangan rantai berbandul. Secepat ki lurah Arya
Dipa menghindar, selekas itu pula lawan menyusuli tendangan ke pinggang ki
lurah Arya Dipa seraya menarik rantainya untuk mempersiapkan serangan
selanjutnya.
P a g e | 252

Perkelahian itu makin seru dan dahsyat mencari kelengahan lawan dan
mengarah titik - titik kelemahan lawan. Rantai Bandul ki Kebo Mrapen semakin
ganas dengan ayunan yang mendebarkan setiap senjata itu mengarah lawan.
Tapi ki lurah Arya Dipa bukanlah lawan yang sebanding dengan pemimpin
bromocorah itu, yang sesungguhnya hanya melayani setiap langkah dan
serangannya.
Sementara itu para anak buah ki Kebo Mrapen sudah dapat dilumpuhkan oleh
prajurit Sambi Wulung dan Jaka Ungaran. Keduanya selanjutnya mengawasi
perkelahian yang dilakukan oleh ki lurah Arya Dipa dan ki Kebo Mrapen.

Keadaan tak menguntungkan dialami oleh ki Kebo Mrapen, tenaganya mulai


menyusut serta peluh membasahi tubuhnya, tak terasa napasnya pun juga
mulai ngos - ngosan tak beratutar. Manakala menggunakan tenaga yang
tersisa untuk mengayunkan rantainya, matanya terbeliak dikarenakan pedang
tipis lawannya telah memutus rantai yang terbuat dari besi itu. Tinggalah
rantainya hanya sepanjang empat kilan saja akibat tebasan pedang tipis kyai
Jatayu.
Tubuh ki Kebo Mrapen langsung lunglai dan jatuh terduduk untuk menerima
apa yang akan dilakukan lawannya untuk selanjutnya. Tenaganya sudah tak
berdaya lagi untuk sekedar beringsut barang sejengkal saja.
"Bunuhlah aku, ki prajurit." serunya.
"Apakah dengan membunuhmu, akan menyelesaikan semuanya ?" tanya ki
lurah Arya Dipa.
Mendapati pertanyaan itu ki Kebo Mrapen mengerutkan dahinya, "Tentu
begitu, dengan terbunuhnya aku tiada lagi tindakan kejahatan di Mrapen ini."
"Oh.. Apa yang kau tahu dengan tindakan kejahatan ?"
"Kejahatan ya kejahatan, anak kecil saja pasti mengerti." jawab ki Kebo
Mrapen.
"Aneh kau ki Kebo Mrapen. Kau bilang anak kecil saja akan mengerti dengan
tindakan kejahatan, tapi kau yang setua ini tak memahami arti dari kejahatan."
kata ki lurah Arya Dipa.
"Itu... " kata ki Kebo Mrapen terputus.
"Mengapa kisanak ? Bukankah apa yang aku duga itu benar ? Bahwasanya
dirimu kalah dengan anak kecil dalam memahami makna kejahatan." tukas ki
lurah Arya Dipa, "Aku rasa dalam hati kisanak pasti ada secercah sinar yang
mampu memahami dan membedakan apa itu kejahatan dan kebaikan.
Kisanak kita ini manusia yang mendapat anugerah lebih daripada makhluk
lainnya, yaitu akal dan hati."
P a g e | 253

"Oh.. " kepala ki Kebo Mrapen menunduk, seakan - akan ia duduk di ruang
pesakitan.
"Tuhan menciptakan manusia untuk berpikir menggunakan akal dan
menghayati dengan hati, sehingga akan mampu membedakan mana yang
baik dan buruk. Sudahilah perbuatan merugikan sesama itu dan gunakan apa
yang kisanak punya itu untuk kebaikan atau kerja yang dikehendaki oleh Sang
Nata Buana." sejenak ki lurah Arya Dipa berhenti demi memandang orang
yang lebih tua darinya, "Maaf kisanak, bukannya aku menggurui kisanak yang
sudah mempunyai pengalaman hidup lebih panjang dariku."
"Oh.. tidak anakmas." desis ki Kebo Mrapen yang mulai terketuk hatinya, "Bukan
ukuran jika yang tua itu lebih baik dari yang muda, malah aku mengucapkan
permintaan maaf, dan aku siap menerima hukuman yang anakmas jatuhkan."
"Oh Gusti Yang Maha Agung.. " ucap ki lurah Arya Dipa, senang demi
mendengar adanya perubahan yang dialami oleh ki Kebo Mrapen.
"Tidak untuk kali ini, kisanak. Kami akan memberi kesempatan kepada kisanak
serta yang lainnya, dengan syarat meninggalkan tindakan merugikan orang
lain." kembali ki lurah Arya Dipa berkata.
"Oh.. Terima Kasih - terima kasih anakmas prajurit." ucap ki Kebo Mrapen seraya
menyembah hormat.
"Sudahlah, kisanak. Tapi jika kami mengetahui kisanak atau yang lainnya masih
berlaku seperti ini di telatah mana pun, kami tak segan untuk berlaku keras."

"Kami berjanji anakmas, kami akan bekerja bertani atau pun menggunakan
kemampuan kami sebagai pengawal para pedagang." janji ki Kebo Mrapen.
"Baik kami pegang janji kisanak, kalau begitu kami akan melanjutkan
perjalanan kami."
Sebenarnya ki Kebo Mrapen mempersilahkan ki lurah Arya Dipa untuk singgah
di gubuknya, tapi dengan halus ki lurah Arya Dipa menolak dan akan segera
melanjutkan langkahnya ke Demak.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 5
OLEH : MARZUKI
.
..
Perjalanan ki lurah Arya Dipa dan kedua prajurit kepercayaannya akhirnya
sampai juga di telatah Demak. Di depan, pintu gerbang sudah terlihat
P a g e | 254

menampakan kekokohannya yang diapit dengan panggungan bagi prajurit


penjaga berdiri di atas panggungan.
Ketiganya memasuki gerbang dengan mendapat sambutan prajurit penjaga
yang mana tangan kanan memegang tombak dan tangan kiri memegang
tameng baja menambah kegagahan prajurit penjaga, berupa sikap tegak dan
menundukan kepala.
"Selamat datang di kotaraja, ki lurah." sambut prajurit penjaga.
Dengan ramah ki lurah Arya Dipa membalas sapaan prajurit penjaga, lalu
segera berlalu dari pintu gerbang.
"Ki lurah, kita langsung ke barak atau ke keputren ?" tanya prajurit Sambi
Wulung dengan senyum menggoda.
"Ah.. Kau mulai lagi Sambi Wulung. Memangnya ada yang kau cari disana ?"
sahut ki lurah Arya Dipa seraya melempar pertanyaan.
"Hehehe.. Sebenarnya begitu, ki lurah. Aku ingin mencarikan lurahku seorang
bidadari yang bertugas mengawal gusti putri Cempaka."
"Oh.. Benarkah itu Sambi Wulung ? Kalau kanjeng Sultan menyewa seorang
bidadari untuk mengawal gusti putri Cempaka ?" prajurit Jaka Ungaran ikut
menggoda.
Ulah berupa godaan dari kedua prajuritnya itu membuat ki lurah Arya Dipa
tersipu malu, selintas warna semburat merah menghiasi pipinya, namun dengan
cepat ia mampu menghilangkan kesan itu seraya menarik kekang kudanya
supaya berhenti.
"Kakang berdua memang keterlaluan, aku sebagai lurah tidak ada
perbawanya sama sekali." kata ki lurah Arya Dipa mengkal.
"Oh.. Maafkan hamba ki lurah yang terhormat, bukan maksud hamba berdua
untuk berlaku deksura terhadap ki lurah yang bijaksana." ucap prajurit Sambi
Wulung, "Jikalau kata - kata kami membuat hati ki lurah mengkal, hamba
berdua siap menerima hukuman seberat - beratnya."
"Begitu pun dengan hamba ini, ki lurah. Nyawa ini siap menebus kesalahan
yang hamba perbuat." sela prajurit Jaka Ungaran.
"Bagus, prajurit. Nyata kalian sudah sadar dan akan menerima hukuman yang
aku beri. Apakah kalian benar - benar ikhlas menerimanya ?"
"Hamba duh gusti.. " sahut prajurit Jaka Ungaran dan Sambi Wulung
bersamaan.
"Bagus.. Kalau begitu sampai di barak kalian cuci Jatayu Pethak dan kasih
makan, lalu cuci pakaianku dan pijati kakiku !" seru ki lurah Arya Dipa dengan
lagak dibuat - buat.
"Ah.. kalau begitu tidak jadi, ki lurah."
P a g e | 255

"Hahaha... Dasar kalian !" seru ki lurah Arya Dipa, lalu katanya, "Ayo kita ke
barak menemui ki tumenggung Gajah Pungkuran."

Begitulah diantara prajurit itu yang masih sempat berkelakar tanpa melihat
perbedaan jenjang kepangkatan. Ketiganya lantas menuju ke barak untuk
menemui ki tumenggung Gajah Pungkuran, yaitu pemimpin dari kesatuan Wira
Tamtama Demak.
Di bangunan barak Wira Tamtama yaitu tepat di ruang dimana ki tumenggung
Gajah Pungkuran berada, ki lurah Arya Dipa diterima sendiri oleh ki
tumenggung Gajah Pungkuran.
"Bukankah ki lurah Arya Dipa bertugas mengikuti pasukan ke Purbaya ?" tanya ki
tumenggung Gajah Pungkuran.
"Benar, ki tumenggung. Kami yang awalnya memberi tuntunan bagi para
pengawal tanah perdikan Sembojan, kemudian melanjutkan tugas bersama
pasukan Demak ke Purbaya. Namun ketika berada di selatan kademangan
Prambanan, kami mendengar sebuah warta yang mana menyangkut
keberadaan dari dua pusaka Demak yang saat ini jengkar dari gedung
perbendaraan." tutur ki lurah Arya Dipa, yang kemudian melanjutkan tujuannya
kembali ke Demak, yang tiada lain mendapat perintah dari ki tumenggung
Suranata untuk meminta sebuah pasukan menuju tanah perdikan Banyubiru.
"Oh.. " ki tumenggung Gajah Pungkuran nampak kaget demi mendengar warta
itu.
"Apa kau membawa nawala dari adi tumenggung Suranata, ki lurah ?"
Setelah mengiyakan maka perwira muda itu menyerahkan nawala kepada ki
tumenggung Gajah Pungkuran.
"Baik, ki lurah. Sekarang juga kau ikut denganku, menghadap kanjeng Sultan di
Balai Agung." kata tumenggung Wira Tamtama.
"Sendiko, gusti tumenggung." sahut ki lurah Arya Dipa.
Keremangan malam mulai menyelimuti kotaraja Demak, tapi nyala dimar mulai
dinyalakan untuk memberi penerangan kotaraja. Sekelompok prajurit dengan
gagah berada di tempat - tempat yang ditentukan, khususnya digardu
perondan depan rumah para nayaka praja, barak pasukan, pintu gapura,
balai - balai di dalam keraton, kaputren, kasatryan dan sebagainya. Lorong -
lorong jalan yang membujur serta membelah kotaraja mulai nampak
menyusutnya orang yang melintas.

Di bawah kanjeng Sultan Trenggono, suasana kesultanan Demak mulai


berbenah diri meskipun kemelut yang masih bergejolak di bang wetan.
P a g e | 256

Keamanan mulai ditingkatkan demi menjaga ketenangan dan ketentraman


para penghuninya, walau waktu yang lalu kegemparan sempat mengguncang
kotaraja. Yaitu atas berhasilnya maling sakti mencuri dua sipat kandel
peninggalan Majapahit, keris kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten. Hal itu
merupakan pelajaran yang berharga serta sebuah lecutan bagi prajurit Demak,
untuk meningkatkan kemampuannya disegala bidang.
Di sebuah lorong yang segaris lurus dengan gedung istana, dua orang yang
menunggang kuda terlihat mengarah menuju gedung istana. Dua orang itu
tiada lain dan bukan, yaitu ki tumenggung Gajah Pungkuran dan ki lurah Arya
Dipa. Seperti yang telah dikatakan keduanya ingin sowan menghadap kanjeng
Sultan Demak, demi melaporkan perihal penting mengenai dua pusaka Demak
yang hilang.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 6
OLEH : MARZUKI
.
..
Prajurit penjaga bagian gardu utama yang mengetahui adanya dua orang
pendatang, segera turun dari gardu menuju pintu regol gapura istana.
"Oh.. ki Tumenggung" kata prajurit itu seraya mengangguk hormat.
"Prajurit, katakan kepada pemimpinmu, aku ingin menghadap kanjeng Sultan."
"Sendiko, gusti Tumenggung."
Prajurit itupun lantas melaporkan kedatangan ki Tumenggung Gajah
Pungkuran, kepada atasannya yaitu Lurah Tambakmas. Dan Lurah Tambakmas
segera membawa ki Tumenggung Gajah Pungkuran dan ki Lurah Arya Dipa
menaiki tlundak istana yang kemudian mengarah sebuah ruangan.
"Mohon kiranya gusti Tumenggung dan ki Lurah menunggu barang sesaat." kata
ki Lurah Tambakmas, "Hamba akan menyalurkannya kepada prajurit Dalem,
gusti."
"Iya, ki Lurah. Silahkan."
Lurah itu kemudian masuk ke dalam dan mengatakan kepada prajurit Dalem,
kalau ki Tumenggung Gajah Pungkuran ingin menghadap kanjeng Sultan.
Memang di dalam istana peraturan sangat ketat, bila seseorang ingin
menghadap kanjeng Sultan harus melalui beberapa prajurit atau pengawal
kanjeng Sultan. Tak semua tamu dengan mudah langsung menghadap raja
begitu saja.
P a g e | 257

Malam itu kanjeng Sultan berkenan menemui ki Tumenggung Gajah Pungkuran


dan ki Lurah Arya Dipa di ruang dalam.
"Tak sehari - harinya kakang Tumenggung menghadap pada malam hari seperti
ini, Kiranya pasti ada sesuatu yang tentunya sangat mendesak ?" ucap kanjeng
Sultan.
Tumenggung Wira Tamtama itu menunduk seraya merangkai telapak tangan
merapat di kening, dengan penuh hormat ia pun mulai bertutur.
"Duh kanjeng Sultan, kedatangan hamba kemari tiada maksud lain kecuali
ingin mengunjukan sebuah warta yang mengenai hilangnya pusaka Demak."
"Hm.. Apakah prajurit sandi sudah mendapatkannya, kakang Tumenggung ?"
"Mohon beribu maaf, kanjeng Sultan. Sampai saat ini belum ada laporan dari
adi Tumenggung Sandiyuda, melainkan warta keberadaan ini berasal dari ki
Lurah Arya Dipa." jawab ki Tumenggung Gajah Pungkuran.
Kanjeng Sultan Trenggono baru menyadari jikalau perwira yang dari tadi
menundukan kepala, ialah ki Lurah Arya Dipa. Kanjeng Sultan masih ingat
dengan sepak terjang pemuda itu yang beberapa kali memberikan
sumbangsihnya, yang terakhir saat dirinya terkekepung oleh dua pasukan dari
Jipang Panolan di bukit kapur Grobokan.

"Kau kah, ki Lurah.. " seru kanjeng Sultan.


"Sembah hamba, kanjeng Sultan." sahut ki Lurah Arya Dipa.
"Benarkah kau mengetahui keberadaan dua pusaka kyai Naga Sasra dan kyai
Sabuk Inten, yang berhasil dicuri maling sakti ?"
"Hamba, kanjeng Sultan."
"Coba terangkan, ki Lurah." perintah kanjeng Sultan Trenggono.
Maka ki Lurah Arya Dipa dengan penuh hormat mulai menuturkan semua yang
ia ketahui tanpa dikurangi atau dilebihi. Serta tak lupa mengatakan jika
tindakan dari ki Ageng Sora Dipayana merupakan jalan untuk menuntaskan
golongan hitam supaya tak menjadi ganjalan kesultanan Demak, di waktu
yang akan datang.
Kanjeng Sultan menganggukan kepala demi mendengar penuturan dari Lurah
muda itu. Kanjeng Sultan juga memahami bahwa tindakan dari ki Buyut
Banyubiru itu sebenarnya sangat berbahaya, tapi demi mengingat
pengabdian dari putra ki Ageng Sora Dipayana, yaitu Gajah Sora maka
kanjeng Sultan berkenan.
Dahulu waktu kanjeng Sultan Sabrang Lor melakukan penyerangan pertama ke
selat Malaka, Gajah Sora ikut dalam rombongan Armada itu. Bahkan pemuda
Gajah Sora mampu memberikan sumbangsih yang baik, sehingga kanjeng
P a g e | 258

Sultan Sabrang Lor berkenan menganugerahi pusaka tombak kepada Gajah


Sora.
"Kakang Tumenggung, besok panggilah kakang Arya Palindih dari Bergota. Aku
harap ia mampu mengambil tindakan dalam permasalahan ini."
"Sendiko dawuh, kanjeng Sultan."
"Dan kau, ki Lurah."
"Hamba, kanjeng Sultan." sahut ki Lurah Arya Dipa.
"Aku ingin kau nantinya ikut pasukan yang dipimpin oleh kakang Arya Palindih
ke Banyubiru." titah kanjeng Sultan.
"Sendiko dawuh, kanjeng Sultan.
"Baiklah kalian boleh meninggalkan istana."
Keduanya kemudian mengundurkan diri dan kembali ke barak kesatuan Wira
Tamtama, tapi di tengah jalan ki Lurah Arya Dipa berpisah dengan ki
Tumenggung Gajah Pungkuran, karena ada kepentingan pribadi.
"Cepatlah kembali ke barak, ki Lurah. Besok kau akan ke istana kembali." kata ki
Tumenggung Gajah Pungkuran.
"Hamba, ki Tumenggung."
Lantas keduanya berpisah jalan menurut tujuan masing - masing.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 7
OLEH : MARZUKI
.
..
Sejak awal ki Lurah Arya Dipa memang berkeinginan untuk melepas rasa
rindunya kepada sang pujaan hati, yaitu Ayu Andini. Seorang gadis putri angkat
Empu Citrasena yang saat ini menjadi prajurit Srikandi dengan tugas mengawal
di Kaputren Demak.
Langkah kuda ki Lurah Arya Dipa memutar kembali menuju lingkungan keraton
sebelah barat, yaitu sebuah lingkungan khusus diperuntukan untuk putri - putri
raja. Sampai di depan regol gapura alit, ki Lurah Arya Dipa turun dari kuda dan
memasukinya.
"Berhenti.. !" seru seorang prajurit dengan tombak menyilang.
"Oh.. Kau Prajurit Widagdo, ini aku Arya Dipa." kata ki Lurah Arya Dipa,
tersenyum.
Prajurut itu memperhatikan dengan seksama orang yang menuntun kuda putih
dengan seksama. Sejenak kemudian prajurit Widagdo baru mengenali jikalau
P a g e | 259

orang itu seorang Lurah dari Wira Tamtama.


"Maaf, ki Lurah atas ketidaktahuan diri ini." ucap Prajurit Widagdo.
"Tak mengapa prajurit Widagdo, kau sudah berlaku dengan semestinya sesuai
tugas yang kau emban." sahut ki Lurah Arya Dipa, lalu kemudian, "Siapa saat ini
yang memimpin tugas ronda ?"
"Ki Lurah Mas Karebet, ki Lurah." jawab prajurit Widagdo.
Ki Lurah Arya Dipa mengerutkan dahinya demi mengingat nama yang
disebutkan oleh prajurit Widagdo, tapi tak kunjung diri lurah muda itu mengenal
nama yang baru ia dengar itu. Kemudian ki Lurah Arya Dipa mengeliarkan
pandang ke arah gardu parondan. Di situ terdapat lima prajurit yang juga
melihat ke arah ki Lurah Arya Dipa, tapi tak satu pun yang ia kenali.
Demi melihat pandang yang dilontarkan seorang prajurit dengan ciri pakaian
seorang Lurah, prajurit di gardu Parondan segera berdiri dan mengangguk
hormat, dan ki Lurah Arya Dipa telah membalasnya.
"Mereka semua prajurit baru, ki Lurah. Begitu juga dengan ki Lurah Mas Karebet
merupakan seorang pemuda yang mampu menarik perhatian kanjeng Sultan
Trenggono, ki Lurah mendapat anugerah pangkat Lurah Wira Tamtama."
prajurit Widagdo, memberi penjelasan.
"O begitukah.." sahut ki Lurah Arya Dipa, "Lalu di manakah pemimpinmu ?"
"Ki Lurah Mas Karebat sedang dipanggil gusti putri, ki Lurah."

"Baiklah, sebenarnya kedatanganku kali ini ingin menemui nini Ayu Andini.
Tolong laporkan hal ini kepada pimpinanmu untuk memberikan ijin kepadaku
untuk menemui nini Ayu Andini."
"Baik, ki Lurah. Mohon tunggu sejenak di gardu Parondan." ucap prajurit
Widagdo, kemudian beranjak ke dalam Keputren.
Setelah kepergian prajurit Widagdo, ki Lurah Arya Dipa menghampiri gardu
yang disambut oleh para prajurit petugas di malam itu.
"Silahkan ki Lurah." kata salah seorang prajurit.
"Terima kasih, ki prajurit." ucap ki Lurah Arya Dipa sambil mengambil tempat
duduk.
Sambil menunggu kembalinya prajurit Widagdo, ki Lurah Arya Dipa mengisi
waktu untuk sekedar bertanya kepada prajurit - prajurit penjaga.
"O jadi kalian mengikuti pendadaran prajurit yang selesai candra ini ?"
"Benar, ki Lurah. Dalam pendadaran kali ini kami mendapat rintangan untuk
mengalahkan seekor banteng, yaitu dipendadaran paling akhir." jawab
seorang prajurit.
"O.. Begitu rupanya, pasti hal itu mendebarkan."
P a g e | 260

"Benar, ki Lurah. Nyawaku saat itu hampir melayang terkena serudukan


banteng, jika saja ki Lurah Mas Karebet tak menolongku."
"Sejak awal ki Lurah Mas Karebet memang sangat meyakinkan daripada calon
prajurit lainnya. Perawakannya yang tegap dan kokoh ternyata diimbangi
dengan ilmu yang mengagumkan." sambung prajurit lainnya.
Saat itulah prajurit Widagdo telah keluar mengiringi seorang pemuda tampan
yang berperawakan tinggi tegap dengan dada bidang.
"Selamat malam ki Lurah, aku Lurah Mas Karebet yang bertugas saat ini." ucap
pemuda itu.
"Selamat malam juga, ki Lurah." sahut ki Lurah Arya Dipa berdiri menyalami
pemuda yang tak lain ki Lurah Mas Karebet.
"Prajurit Widagdo sudah mengatakan semuanya dan karena ki Lurah sudah
sangat dikenal di lingkungan ini, maka aku tak keberatan untuk mengijinkan ki
Lurah untuk bertemu nini Ayu Andini."

"Terima kasih, ki Lurah." ucap ki Lurah Arya Dipa.


Dengan langkah pasti maka ki Lurah Arya Dipa menuju taman lingkungan
Kaputren. Taman yang ditumbuhi bermacam bunga dan tetumbuhan yang
membuat mata memandang, akan takjub dengan keindahan bunga itu.
Beberapa lampu yang berasal dari negeri Atas Angin melalui perantara
pedagang atau saudagar yang singgah di bandar Bergota, Tuban, dan Ujung
Galuh.
Suasana yang indah ditambah dengan bermunculan sang bintang -
gemintang yang berkedip di angkasa raya, serta sebuah lingkaran bercahaya
tanpa selang memancarkan sinarnya menerangi bumi, yaitu sang candra atau
rembulan.
"Aneh, kata ki Lurah Mas Karebet tadi Ayu Andini akan menemuiku disini. Tapi
tiada seorangpun yang nampak." desis ki Lurah Arya Dipa.
Pemuda itu duduk di sebuah bangku yang menghadap kolam, di dalam kolam
ikan - ikan berenang kian kemari seolah - olah tak merasakan rasa lelah.
Tingkah ikan itu telah memancing perhatian ki Lurah Arya Dipa, pandangannya
tertuju dengan dua ikan yang saling bekejaran.
Sangking terpesonanya ki Lurah Arya Dipa dengan ciptaan Sang Nata, tanpa
ia sadari seorang gadis berpakain merah dengan pelan menghampirinya dari
arah belakang. Entah mengapa pada saat seperti itu, seorang Lurah yang
mempunyai segudang ilmu tak menyadari sama sekali, hingga Lurah muda itu
kaget bukan kepalang.
"Oh.. Ayu, kau mengagetkan diriku." desis ki Lurah Arya Dipa.
P a g e | 261

Gadis itu tersenyum manis dengan dua lesung menghiasi pipi si gadis, sebuah
lesung pipi indah yang membuat ki Lurah Arya Dipa semakin terpesona untuk
terus memandangnya. Pandangan seorang lelaki kepada sang gadis pujaan
hati, penuh dengan arti cinta berjuta rasa.
Si gadis yang sesungguhnya sangat mengharapkan tatapan kasih sayang dari
sang lelaki, tak kuat untuk terus membalas tatapan itu dan membuat kepala si
gadis menunduk dengan rona wajah bersulam warna merah, tersipu malu.

"Kapan kakang datang dari bang wetan ?" tanya Ayu Andini, berusaha
menghilangkan rasa kaku.
"Tadi siang, Ayu." jawab ki Lurah Arya Dipa, lalu katanya, "Surat yang kau
titipkan kepada paman Citrasena telah berada ditanganku. Terima kasih kau
masih memegang erat rasa diantara kita berdua."
"Oh syukurlah bila kakang sudah berjumpa dengan ayah Citrasena."
Dua insan itu selanjutnya saling mencurahkan rasa rindu dengan kata ataupun
ucapan indah dan mesra. Ucapan mengandung sejuta asmara diselingi
dengan goda kecil terbalas cubitan mesra nan indah.
Sesungguhnya kata nikmat itu memang tah hanya hal yang enak saja,
nyatanya sebuah rasa sakit itu terasa nikmat manakala munculnya dari sesuatu
yang dicintainya.
Salah satunya ialah yang dialami oleh ki Lurah Arya Dipa pada malam itu,
walau kulitnya terkena cubitan, nyatanya pemuda itu selalu tersenyum senang.
Ada lagi sebuah rasa nikmat walau diri seorang itu sangat payah, yaitu seorang
wanita hamil, yang mana perut membesar karena hamil sebenarnya sangat
payah. Tidur miring kanan tak enak, tidur ke kiri tak enak, bahkan tidur
telungkup malah susah. Tapi si wanita hamil sangat gembira dan nikmat,
karena si jabang bayi yang ada dalam kandungannya hasil dari cinta dengan
lelaki pujaannya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 8
OLEH : MARZUKI
.
..
Dua kasih berlabuh dalam dermaga cinta, saling melepas cumbu rayu
semerbak wewangian di indraloka. Para Dewa tersipu malu dan mencoba tak
mengganggu dua insan anak manusia yang asyik, syahdu berbagi rasa. Panah
P a g e | 262

Dewa Kamajaya menusuk dalam tersambut dewi Kama Ratih yang cantik jelita.
Dunia yang penuh dengan manusia seakan kosong tinggal dua insan itu saja.
Ikan di kolam, bunga di taman, bulan dan bintang di angkasa seakan ikut
berbahagia.
Itulah gambaran dari rasa cinta ki Lurah Arya Dipa dan Ayu Andini di taman
Kaputren Demak di kala malam itu.
"Kakang Dipa, kita sudahi dahulu." desis perlahan Ayu Andini, yang bersandar di
dada bidang ki Lurah Arya Dipa.
Ki Lurah Arya Perlahan mengelus rambut hitam panjang sang kekasih seraya
berkata, "Apakah kau ingin kembali, Ayu ?"
Tubuh Ayu Andini bergerak sehingga terlepas dari pelukan tangan ki Lurah Arya
Dipa, lalu menyender ke kursi taman. Sejenak terdengar helaan napas putri
angkat Empu Citrasena itu.
"Tidak kakang, sebenarnya aku ingin meminta pertimbangan dari kakang."
Kerut menghiasi dahi ki Lurah Arya Dipa, "Mengenai apa, Ayu ?"
"Kakang, pastinya kakang sudah bertatap muka dengan ki Lurah Mas Karebet
?"
"Oh Lurah muda yang tampan itu, lalu ?"
"Sejak ki Lurah Mas Karebet bertugas di Kaputren ini, ia mendapat perhatian
lebih dari Gusti Putri Cempaka. Gusti Putri setiap hari selalu melamun dan
makannya tidak teratur, hingga suatu hari ia sakit." Ayu Andini sesaat berhenti
demi menilai kesan dari kekasihnya, "Tapi anehnya saat ki Lurah Mas Karebet
berada di Kaputren, sakit yang diderita Gusti Putri seketika hilang. Wajahnya
yang pucat lemah berangsur pulih sediakala, wajah gusti Putri bersinar kembali,
kakang."
"Mengapa kakang tersenyum seperti itu ? Adakah kata yang aku ucapkan itu
lucu ?" kata Ayu Andini dengan nada agak mengkal.
"Hahaha.. Janganlah kau cemberut seperti itu, bidadariku. Sungguh aku tak
menertawakan dirimu."
"Tapi nyatanya kakang tersenyum dan tertawa !"
"Dengarlah penjelasanku ini, mengapa aku tersenyum tiada lain maksud ialah
menangkap apa yang dialami oleh gusti Putri." ucap ki Lurah Arya Dipa.
"Gusti Putri Cempaka saat ini sedang dilanda gelombang Asmara, Ayu. Tidakah
engkau dapat merasakan saat kita berjumpa pertama di pertapaan Pucangan
dulu ?" kata ki Lurah Arya Dipa, "Aku juga mengalami rasa sakit dari tamparan
seorang gadis perkasa...."
Kata ki Lurah Arya Dipa terputus tergantikan keluhan yang menimpa kulit
pinggangnya, akibat cubitan dari Ayu Andini.
P a g e | 263

"Sudah.. Sudah Ayu, bisa - bisa pinggangku berlubang.. " ki Lurah Arya Dipa
memohon ampun.
"Biar saja, salah kakang yang terus menggodaku. Walaupun kakang
mempunyai aji Niscala Praba, pasti mampu aku tembus dengan aji Segoro
Geni !" seru Ayu Andini.
"Aku mohon, Ayu. Bisa - bisa aku besok tak bisa bertugas dan akan digantung
oleh Kanjeng Sultan Trenggono."
"Kakang janji tak mengulangi lagi ?!"
"Iya, aku berjanji."
Cubitan itu akhirnya terlepas, tapi si gadis masih cemberut mengkal. Hal itu
membuat ki Lurah Arya Dipa bergeser sedikit menjauh.
"Bahagianya aku malam ini, Dewata menganugerahiku seorang bidadari yang
duduk cemberut..."
Kembali kata ki Lurah Arya Dipa tak terselesaikan karena pemuda itu bergerak
menghindari cubitan si gadis dengan meloncat menjauh.
"Ayu sudah, jika kau mencubitku aku akan pergi.. " ancam ki Lurah Arya Dipa.
"Pergi saja jika kakang kehendaki." sahut Ayu Andini seraya duduk kembali di
kursi.
Walau agak geli dengan tingkah laku Ayu Andini, ki Lurah Arya Dipa beringsut
menuju kursi kembali dan duduk di dekat gadis pujaannya.
"Maaf Ayu, itu semua karena rasa cintaku kepadamu. Sungguh dalam hati ini
hanya kau seorang yang menempati." suara ki Lurah Arya Dipa terdengar
bersungguh - sungguh.
"Aku pun juga menyadarinya, kakang. Namun tangan ini ingin rasanya
membelai pinggang kakang." sahut Ayu Andini.
"Belaian tanganmu tentu akan meninggalkan bekas selamanya kan ?" seraya
bibir pemuda itu terkulum senyum.
"Ah kakang." wajah itu menunduk tersipu.
Desir angin semakin dingin menusuk kulit. Malam semakin memuncak menghiasi
persada bumi. Ki Lurah Arya Dipa menyadarinya, oleh sebab itu ia pun berkata
dengan sungguh - sungguh mengenai apa yang dialami oleh Gusti Putri
Cempaka.

"Itu semua memang garis cinta, kita tak sepatutnya untuk mencegah. Usahakan
agar keduanya jangan terlalu berlebihan, Ayu." kata ki Lurah Arya Dipa.
"Aku akan berusaha, kakang."
"Baiklah, hari sudah malam aku harus kembali ke barak. Ki Tumenggung Gajah
P a g e | 264

Pungkuran tentu akan menanti diriku, karena esok hari aku akan kembali
menghadap Kanjeng Sultan Trenggono."
"Adakah tugas yang akan kakang emban ?"
"Begitulah, pastinya kau mendengar peristiwa keris kyai Naga Sasra dan Sabuk
Inten, dan inilah yang nantinya akan berusaha kami dapatkan di telatah
Kabuyutan Banyubiru." ucap ki Lurah Arya Dipa.
"Berhati - hatilah, kakang. Seandainya aku diijinkan, tentu aku ingin sekali
mendampingi kakang ke Kabuyutan itu." kata Ayu Andini.
"Sudahlah, disini pun kau juga mempunyai tugas yang tak kalah ringannya,
keselamatan Gusti Putri juga harus terlindungi." sahut pemuda anak angkat ki
Panji Mahesa Anabrang, "Sudahlah, aku pamit dahulu."
"Baik kakang."
Pemuda itupun beranjak dari taman Kaputren mengarah ke halaman depan.
Di situ ki Lurah Mas Karebet menyambutnya dengan menghampiri.
"Kiranya kakang Lurah ingin kembali ke barak ?"
"Hari sudah malam, adi Lurah. Terima kasih atas kemurahan adi meluangkan
waktu untuk kami berdua." ucap ki Lurah Arya Dipa.
"Hahaha.. Sudahlah kakang, jangankan aku yang berpangkat Lurah prajurit
seperti kakang, Gusti Putri dan Gusti Pangeran Bagus Mukmin saja berkenan
dan menghendaki jika kakang berkunjung ke Kaputren maupun Kekasatryan."
sahut ki Lurah Mas Karebet.
"Ah.. adi Lurah terlalu berlebihan. Baiklah aku akan kembali ke barak, oh iya
apakah adi Lurah juga tinggal di barak Wira Tamtama ?"
"Tidak kakang, aku tinggal dengan paman Ganjur di Suranatan. Karena paman
mengabdi kepada ki tumenggung Suranata dan aku oleh paman disuruh untuk
menemaninya di sana." jawab ki Lurah Mas Karebet.

"O.. Kalau begitu lain kali ingin aku berkunjung ke Suranatan, untuk sekedar
berbincang dengan adi Lurah dan ki Ganjur." kata ki Lurah Arya Dipa
"Aku akan menanti dengan senang hati, kakang Lurah." sambut ki Lurah Mas
Karebet.
Kemudian ki Lurah Arya Dipa pamit untuk kembali ke barak kesatuan Wira
Tamtama. Perlahan kuda yang ia namai Jatayu Pethak berjalan melewati
lorong jalan yang membelah kotaraja Demak.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 9
P a g e | 265

OLEH : MARZUKI
.
..
Dua hari setelah ki Tumenggung Gajah Pungkuran dan ki Lurah Arya Dipa
menghadap Kanjeng Sultan Trenggono, untuk melaporkan keberadaan dua
pusaka Demak yang dipastikan berada di Kabuyutan Banyubiru, maka Kanjeng
Sultan Trenggono menitahkan ki Panji Arya Palindih memimpin pasukan segelar
sepapan menuju Kabuyutan yang berdiri sejak Prabu Brawijaya Pamungkas
mas Majapahit, yaitu Kabyutan Banyubiru.
Sebelumnya dalam pisowanan ki Panji Arya Palindih mengungkapkan rasa
yang menganjal dalam hatinya mengenai prajurit yang akan mengiringinya.
Mengapa harus membawa pasukan sebanyak itu kalau hanya mengambil dua
pusaka yang jelas keberadaannya berada di lingkungan sendiri. Karena ki Panji
Arya Palindih sangat memahami pambeg dari ki Ageng Gajah Sora yang
dimasa mudanya ikut menyeberang ke Malaka. Inilah yang merisaukan hati
seorang perwira yang sebelumnya bertugas di bandar Bergota.
Tapi saat itu Kanjeng Sultan hanya memberikan jawaban yang tak mudah
dimengerti oleh ki Panji Arya Palindih. Tapi untuk kembali mengutarakan uneg -
unegnya, ki Panji tak berani, bisa - bisa Kanjeng Sultan akan murka kepadanya.
Oleh karenanya Perwira tua itu segera bergegas mengemban tugas itu serta
mempersiapkan pasukan yang akan mengiringinya ke telatah Kabuyutan
Banyubiru.
"Kakang Panji, kali ini tak usah kakang membawa pasukan dari Bergota. Biarlah
pasukan dari Wira Tamtama yang menyertai kakang menuju Banyubiru." kata ki
Tumenggung Gajah Pungkuran.
"Ki Tumenggung, prajurit dari kesatuan manapun juga tentu tak masalah. Tapi
tolong berilah titik terang kepadaku ini, mengapa hanya mengambil dua
pusaka yang berada di tangan anakmas Gajah Sora saja harus mengerahkan
pasukan sebanyak ini ? Apakah Buyut baru mempunyai hati kotor untuk
memberontak ?" tanya ki Panji Arya Palindih.
"Hm.. " Tumenggung dari kesatuan Wira Tamtama itu menghela napas,
"Entahlah kakang Panji, tapi yakinlah bahwa pasukan itu nantinya akan
membantu dan melapangkan jalan kakang untuk tugas kali ini."
"Lalu siapa saja perwira yang akan menyertaiku ?"
"Karena sebagian perwira maju ke Purbaya dan sebagian lagi harus berada di
kotaraja, serta atas perkenan dari Kanjeng Sultan, kakang akan ditemani oleh ki
Panji Reksotani, ki Rangga Gajah Sora, ki Lurah Saroyo dan ki Lurah Arya Dipa
ini." ucap ki Tumenggung Gajah Pungkuran sambil menunjuk ki Lurah Arya Dipa
P a g e | 266

yang belum dikenal oleh ki Panji Arya Palindih.

Demi dirinya ditunjuk, ki Lurah Arya Dipa mengangguk hormat kepada perwira
tua dari kesatuan Jalapati tersebut. Dan ki Panji Arya Palindih menyambutinya
dengan anggukan.
"Baik, ki Tumenggung. Sesuai dengan titah Kanjeng Sultan, esok dikala sang
cakrawala bersinar di ujung timur maka kami siap berangkat." sahut ki Panji Arya
Palindih, mantap.
Lantas siang itu di barak kesatuan Wira Tamtama terjadi kesibukan dalam
mempersiapkan pasukan yang siap mengiringi duta dalam mengemban
pengambilan keris kyai Naga Sasra dan kyai Sabuk Inten di Banyubiru.
Persiapan - persiapan mulai ditata dan diteliti secara cermat oleh para perwira,
mulai dari persenjataan, tunggangan, perlengkapan berupa umbul, rontek,
panji, dan tak lupa bendera Gula Kelapa telah terikat kuat di sebatang tombak
panjang setinggi pertengahan pohon kelapa. Juga masalah perbekalan pun
tak ketinggalan.
Hal itu mengundang tanda tanya di sebagian besar para prajurit yang akan
ikut.
"Sebenarnya kita ini ke Banyubiru atau menyusul kawan kita ke Purbaya ?"
tanya seorang prajurit muda.
"Bukankah sudah jelas seperti yang dikatakan oleh, ki Lurah Saroyo kalau
pasukan ini mengawal ki Panji Arya Palindih ke Banyubiru." jawab prajurit yang
mempunyai kumis tipis.
"Tapi mengapa sebanyak ini ?" kembali prajurit muda bertanya.
"Iya, apalagi perlengkapan dan perbekalan yang dibawa begitu lengkap." sela
prajurit berbadan jangkung.
"Mengapa kalian mempermasalahkan seperti itu ?" seorang prajurit yang sudah
berumur tiba - tiba mengangkat suara, "Itu semua sudah tugas kita sebagai
prajurit rendahan seperti ini, sepantasnya kita mengikuti perintah atasan kita
kemana saja pemimpin kita bergerak."
"Ah kau kakang Siman, tapi tak salahnya jika kita tahu arah jalan yang akan
ditapaki. Ibarat seorang buta jikalau disuruh ke jurang, tentu ia pun akan
menolak." kata prajurit yang berbadan jangkung.
"Itu berbeda Wapang Jangkung, hidup kita ini sebagai seorang prajurit yang
sudah bersumpah sejak kita menggeluti bidang keprajuritan ini. Perintah atasan
adalah harga mati yang tak bisa ditolak."

"Walau itu harus melanggar rasa kemanusiaan, kakang Siman ?" tanya prajurit
P a g e | 267

yang muda.
"Ah.. Aku rasa pemimpin kita tak seperti itu dalam memberi perintah, Kajar."
jawab Prajurit Siman. "Ah sudahlah, sebaiknya kita berkemas dan segera
melapor ke ki Lurah Saroyo."
Itulah yang digunjingkan sebagian prajurit di lingkungan kesatuan Wira
Tamtama, khususnya prajurit dibawah pimpinan ki Lurah Saroyo. Begitu juga
halnya di ruang lainnya, setiap prajurit sambil berkemas sempat menjadikan
kepergian mereka ke Banyubiru sebagai bahan pergunjingan.
Sementara itu di ruang utama barak terjadi sebuah pertemuan, dimana
seorang petugas telik sandi baru datang dari sekitar Rawa Pening yang
jaraknya dekat dengan Kabuyutan Banyubiru.
"Siapa saja orang - orang itu, prajurit ?" tanya ki Tumenggung Gajah Pungkuran
kepada prajurit yang baru datang itu.
"Mereka pemimpin gerombolan perampok dan perompak, ki Tumenggung."
lapor prajurit sandi itu. "Salah satunya Lowo Ijo dari alas Mentaok yang kini
melebarkan ruang jelajahnya sampai ke alas Tambakboyo, Sepasang Uling
Rawa Pening dan ada lagi seorang gegedug dari gunung Ciremai."
"Ki Bugel Kaliki.. !" seru ki Lurah Saroyo.
"Kau mengenal orang itu, ki Lurah ?" tanya ki Tumenggung Gajah Pungkuran.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 10
OLEH : MARZUKI
.
..
"Kami pernah berselisih dengan orang itu, ki Tumenggung. Dia seorang sakti
yang sangat jarang tandingannya, kemampuannya membuat pasukan ronda
yang aku pimpin porak - poranda ditangan ki Bugel Kaliki. Bahkan nyawaku
pada saat itu sudah di ujung tanduk jikalau saja tak muncul seorang tua sakti
dari tanah Baluran." kata ki Lurah Saroyo.
"Siapa orang itu, ki Lurah."
"Awalnya orang itu enggan untuk menunjukan jati dirinya, tetapi rupanya ki
Bugel Kaliki mengenali orang itu dengan sebutan ki Ajar Bajulpati." jawab ki
Lurah Saroyo.
"Begitu kuatkah orang - orang itu, ki Tumenggung ?" kini giliran ki Panji Arya
Palindih yang bertanya.
"Itulah kenapa Kanjeng Sultan mengiringkan pasukan ini kepada kakang Panji.
P a g e | 268

Tentunya kelompok di Rawa Pening itu orang - orang pinunjul dalam olah
kanuragan." jawab ki Tumenggung Gajah Pungkuran.
Sejenak ruang itu hening dan hanya terdengar desau angin yang mampu
menerobos lewat lubang angin - angin. Ki Tumenggung lalu kemudian
memerintahkan prajurit sandi itu untuk kembali ke tempat penyelidikannya di
dekat Rawa Pening.
"Bagaimana menurut kakang Panji, selaku perwira yang akan memimpin
pasukan ini ?" tanya ki Tumenggung, setelah kepergian prajurit telik sandi.
"Kita pusatkan pasukan ini ke Banyubiru dahulu, jikalau orang - orang yang
berada di Rawa Pening itu nampak bergerak menghadang kita, barulah kita
bertindak." terang ki Panji Arya Palindih.
"Baiklah jika itu yang terbaik, aku percayakan tugas ini di pundak kakang Panji
seperti yang diyakini oleh Kanjeng Sultan."
Pertemuan itu dibubarkan untuk hari ini, segala rancangan telah disepakati
dengan berbagai tindakan, mulai yang wajar ataupun pengerahan pasukan
Demak.
Matahari pada hari itu seolah - olah bergerak merangkak layaknya bayi
sehingga terasa lamban, itulah yang dirasakan oleh sebagian prajurit kesatuan
Wira Tamtama. Namun tidaklah bagi ki Lurah Arya Dipa, pemuda ini
memanfaatkan waktu itu dengan sungguh - sungguh. Di biliknya pemuda itu
duduk bersila memusatkan nalar dan budi memasrahkan diri kehadapan Sang
Pencipta, tubuh tenang pemuda itu menyatu dengan ruang lain, mata
terpejam, telinga tertutup dari hiruk pikuk dunia, hidung menanggalkan kerja
penciuman. Sehingga benar - benar dirinya memasuki sebuah alam lain yang
tak mampu ditembus oleh akal.

Dalam alam itu, ki Lurah Arya Dipa mampu melihat sosoknya sendiri yang
sedang duduk bersila dengan mata terpejam dan tangan bersedekap.
Sejenak pemuda itu menjauhi wadagnya yang masih bersila, dengan langkah
ringan ki Lurah Arya Dipa bergeser ke depan sejarak satu tombak. Tubuhnya
secara perlahan bergerak mengunjuk sebuah tata gerak dasar dari ilmu yang
ia pelajari di gunung Penanggungan. Tata gerak dari kitab Cakra Paksi Jatayu
peninggalan Prabu Airlangga raja pertama Kadiri. Gerak dasar diperagakan
dengan mantap dan sigap sesuai alur ilmu Prana tingkat tinggi, semakin
membuat gerakan itu bertenaga. Desiran tenaga yang ditimbulkan mampu
menyibak udara di alam itu. Selapis demi selapis kemampuan ki Lurah Arya
Dipa semakin meningkat, hingga tenaga cadangan terungkap menyatu dan
melebur kesetiap geraknya. Aji perlindungan kasat mata yaitu Niscala Praba
P a g e | 269

ikut muncul membuat alam itu berkilauan. Tak berhenti disitu saja, gerakan
perwira pemuda itu terasa ringan bak kapas karena aji Sepi Angin pun ikut
andil.
Dan sebuah keanehan muncul di alam itu manakala dari depan, segumpal
batu besar mencelat mengarah Lurah muda itu. Tetapi ki Lurah Arya Dipa selalu
waspada, dengan gerak tangkas pemuda itu meloncat tinggi dengan kaki
merentang dan tangan memukul batu hitam itu dengan pukulan Aji Sepi Angin.
"Desss..... !!!"
Batu hitam besar itu hancur berkeping - keping.
Selesai memukul hancur batu hitam ki Lurah Arya Dipa masih mengambang di
udara, kaki kanannya tiba - tiba bergerak menendang ke samping.
"Dess... !!" disusul bunyi keluhan.
"Hrrr.. Anak manusia beraninya kau memasuki alam ini !" sebuah suara dari
sesosok tinggi besar menyeramkan.
"Hm.. " hanya desuhan dari mulut ki Lurah Arya Dipa.
"Tulikah kau ?! Atau mulutmu tak bisa bicara !" bentak sosok itu.
"He.. Makhluk hitam, seharusnya akulah yang bertanya kepadamu. Siapa kau
ini dan bagaimana kau bisa memasuki alam ini ?"
"Tobil manusia kerdil, aku Mahesa Sura akan melumatkan dirimu. Karena
seorang berpakaian layaknya Resi suci telah menyuruhku untuk menguji dirimu
!" seru sosok hitam yang menyebut dirinya sebagai Mahesa Sura.
"Maksudmu Gusti Resi Gentayu ?" ucap ki Lurah Arya Dipa keheranan.
"Hrrr... Tak usah banyak tingkah, rasakan pukulanku !" Mahesa Sura langsung
mencecar lawan dengan pukulan ganas.
Untunglah ki Lurah Arya Dipa tak melepaskan kewaspadaanya dengan sosok
itu, Lurah muda itu dengan sebat menghindari terjangan pukulan Mahesa Sura.
Tapi memang dahsyat sosok yang menyebut utusan dari Resi Suci, pukulan
yang mampu dihindari lawan masih mampu membuat kulit lawan bagai
tersulut api. Udara dari tebasan tangannya mampu menimbulkan tenaga
dahsyat.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 11
OLEH : MARZUKI
.
..
Sosok itu kadang kala menggerung memekakan telingan. Gerungan yang tak
P a g e | 270

wajar karena dilambari tenaga dahsyat dari sosok hitam Mahesa Sura.
Sudah sering ki Lurah Arya Dipa melakukan lelaku ini disetiap waktu
senggangnya, tapi baru kali ini dirinya mengalami peristiwa yang membuat
dadanya berdebar, karena sosok hitam sebagai lawannya. Oleh karenanya
pemuda yang pernah berada dalam pengawasan Resi Puspanaga itu, telah
meningkatkan kemampuannya untuk menekan lawan yang selalu bergerak
cepat dan tak dapat diperitungkan langkahnya. Aji Sepi Angin diungkap
semakin dalam demi mengejar langkah cepat lawan.
Maka dalam alam sunyi itu timbul sebuah angin menderu - deru mengoyak
udara disekitar lingkup Mahesa Sura. Sebuah angin dari kemampuan tingkat
tinggi yang mampu diungkit dari aji Sepi Angin oleh ki Lurah Arya Dipa.
"Dess... Buuum !!!"
Hentakan itu menimbulkan bunyi keras manakala mengenai tubuh Mahesa
Sura. Serta alam itu menjadi gelap sekali sehingga untuk melihat ujung tangan
sendiri, tak nampak. Tentu hal itu membuat ki Lurah Arya Dipa berjaga dengan
cara melindungi tubuhnya dengan aji Niscala Praba. Warna kuning kemilau
memancar menyelimuti diri pemuda itu dari serangan yang terduga.
"Cukup angger cah bagus." sebuah suara tiba - tiba terdengar penuh perbawa.
Perbawa suara itu sungguh dahsyat sampai - sampai ki Lurah Arya Dipa bagai
tercucuk hidungnya, yang mana diri pemuda itu secara perlahan menyimpan
kembali aji Niscala Praba. Dikala sinar kemilau dari aji Niscala Praba sirna,
tergantilah di depan sesosok tua tinggi besar, penuh perbawa dengan pakaian
putih layaknya pakaian yang dikenakan oleh seorang Resi.
"Angger cah bagus.." desis.sosok itu.
"O.. Gusti Prabu, terimalah sembah bekti hamba." ucap ki Lurah Arya Dipa
seraya duduk bersila dengan tangan ngampurancang.
Sosok itu mendekat dan berhenti dua kilan di depan ki Lurah Arya Dipa, tangan
orang itu memegang kepala pemuda itu.
"Ku terima sembah bektimu, Angger." kata sosok itu, "Angger Dipa, memang
akulah yang menyuruh Mahesa Sura untuk mengujimu di alam ini, dan aku
merasa bangga manakala kau mampu mengungkap aji Sepi Angin sampai
tingkatan itu."
Sosok itu kembali diam tapi tangan kanannya mengelus punggung ki Lurah
Arya Dipa, dimana disitu terdapat sebuah goresan berbentuk cakra dengan
seekor garuda merentangkan sayapnya. Lalu kemudian sosok itu melangkah
mundur yang selanjutnya berdiri tegak menghadap ki Lurah Arya Dipa.
"Angger Dipa, apakah kau pernah berjumpa dengan seorang tua dengan
tubuh bongkok tapi bicaranya penuh makna ?" tanya sosok itu.
P a g e | 271

Pertanyaan itu oleh ki Lurah Arya Dipa diresapi secara dalam dan
menumbuhkan ingatannya manakala dirinya bersama prajurit Sambi Wulung
dan Jaka Ungaran di sebuah hutan di malam hari, seorang tua dengan tongkat
menyerupai kepala ular berjalan terseok - seok serta melantunkan tembang
yang penuh arti.
"Hamba, Gusti Prabu." sahut ki Lurah Arya Dipa.
"Hm.. Bagaimana tanggapanmu dengan orang itu ?"
"Ampun, Gusti Prabu... "
"Panggilah aku Eyang Resi saja, angger." cepat sosok itu memotong kata
pemuda di depannya.
"Oh.. Baik, Eyang Resi." sahut ki Lurah Arya Dipa, "Bagi hamba, orang tua itu
tentu seorang yang dekat dengan Sang Pencipta."
"Hm.. Bagus, angger. Memang begitulah nyatanya, orang itu merupakan salah
seorang wali yang mengajarkan ilmu keyakinan dengan cara bijaksana. Bila
kau berjumpa lagi dengannya mintalah petunjuk kepadanya, supaya engkau
mendapatkan ketenangan yang nyata." kata sosok yang tak lain Resi Gentayu.
"Baik, Eyang Resi. Hamba akan menjalankan apa yang Eyang ucapkan."
"Oh.. Keliru angger, bila kau menjalankan apa yang aku ucapkan, itu berarti itu
hanya perintah semata yang kau lakukan. Hendaknya engkau renungkan dari
ucapanku tadi mengenai orang tua itu, secara benar."
"Oh Eyang Resi, mohon kiranya Eyang memberi penerangan kepada cucumu
ini. Supaya dalam tindakan selanjutnya tak salah langkah." pinta ki Lurah Arya
Dipa.
"Angger, Keyakinan kita dengan orang tua itu dalam bentuknya sangat
berbeda, tapi dalam tujuannya sebenarnya nyata. Namun ku akui jika yang
dianut oleh orang tua itu sebenarnya sebuah keyakinan yang sempurna dari
keyakinan yang dianut oleh kaum terdahulu. Oleh karenanya pelajari dan
tuntutlah keyakinan itu darinya." kata Resi Gentayu dengan sareh.
Kepala pemuda itu menunduk dengan sikap masih ngampurancang, tapi
ketika mata kembali membuka, dirinya kembali berada di bilik barak.
"Oh.. " hanya desuh saja yang ia suarakan.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 12
OLEH : MARZUKI
.
P a g e | 272

..
Saat ki Lurah Arya Dipa terjaga dari semedinya, ruang biliknya terlihat remang -
remang. Menandakan hari menginjak petang, di luar para prajurit mulai
menyalakan dimar dari getah jarak.
Di biliknya ki Lurah Arya Dipa masih duduk di atas dipan kayu dengan masih
mengenang peristiwa yang baru ia alami. Pertemuannya dengan Resi Suci
Gentayu, telah kembali membuka mata batinnya serta keinginannya untuk
menemui seorang Wali, yang menurut Resi Gentayu keberadaan orang itu di
Kadilangu.
"Semoga setelah tugas dari Banyubiru, aku bisa berjumpa dengan Kanjeng
Sunan." desis pemuda itu.
Tak lama dari arah pintu bilik terdengar sebuah ketukan.
"Siapa ?" tanya ki Lurah Arya Dipa.
"Jaka Ungaran, ki Lurah." jawab seorang yang mengetuk pintu dari luar.
"Oh.. Masuklah kakang."
Derit daun pintu terdengar seiring terbukanya daun pintu itu, seorang prajurit
muda memasuki bilik itu.
"Apakah ki Lurah tertidur dan tak sempat menyalakan dimar ?" tanya prajurit
Jaka Ungaran sambil melangkah mendekati dimar, lalu menyalakannya.
"Iya, kakang." sahut ki Lurah Arya Dipa, berbohong, "Adakah sesuatu yang akan
kakang bicarakan denganku ?"
Prajurit yang akrab dengan ki Lurah Arya Dipa itu mengambil duduk di dingklik
dekat lubang angin - angin. Sejenak prajurit Jaka Ungaran menarik napas yang
kemudian berkata, "Ki Lurah, tadi ketika aku berjalan - jalan di lorong jalan
dekat Suranatan, aku melihat seorang tua yang mirip dengan orang bongkok
dipinggiran hutan dikala itu."
"Oh.. Apakah kakang sempat menyapa dan berbincang dengan orang itu ?"
tanya ki Lurah Arya Dipa, tertarik sekali dengan pembicaraan yang
menyangkut dengan orang bongkok yang diduga seorang Wali.
Tapi prajurit Jaka Ungaran menggelengkan kepalanya, "Tidak, ki Lurah. Orang
tua itu keburu masuk ke Suranatan. Sudah lama aku menunggu dekat pintu
regol, tapi orang itu tak kunjung keluar dari kediaman ki Tumenggung
Suranata."
"Apakah kakang tak bertanya dengan penghuni Suranatan, pembantu atau
penjaga misalnya ?"
"Sudah, ki Lurah. Salah seorang penjaga mengatakan jikalau orang itu
menemui kemenakan ki Ganjur, Lurah yang mengurusi masjid Agung Demak."
jawab prajurit Jaka Ungaran.
P a g e | 273

"Oh.. ki Lurah Mas Karebet." desis perlahan ki Lurah Arya Dipa, seolah - olah
bicara dengan dirinya sendiri.
"Ki Lurah, mengenal kemenakan Lurah tua itu ?"
Anggukan terlihat dari perwira Tamtama itu, "Dua hari yang lalu ketika aku ke
Kaputren, aku bertemu dengan seorang Lurah baru, Mas Karebet namanya.
Dan ia mengatakan jika ia tinggal dengan ki Ganjur di Suranatan."
"Terima kasih, kakang."
"Tentang apa ki Lurah ?"
"Orang tua bongkok itu, aku sangat penasaran dengan orang tua itu. Mungkin
aku bisa mengorek lebih jelas mengenai orang itu melalui adi Lurah Mas
Karebat." kata ki Lurah Arya Dipa.
"Ah...Aku hanya sekedar memberitahu saja keberadaan orang itu, ki Lurah. O
ya bagaimana rencana ki Lurah dengan nini Ayu Andini seoanjutnya ?"
"Ah.. Kakang." suara ki Lurah Arya Dipa agak bergetar.
"Hahaha.. Adi Lurah, segeralah ketika ada waktu luang." kata prajurit Jaka
Ungaran, lalu prajurit itu mohon diri.
Tinggalah kini ki Lurah Arya Dipa sendiri lagi di bilik barak kesatuan Wira
Tamtama. Pemuda itu merenung sesaat apa yang akan ia lakukan di petang
ini. Sejenak kemudian dirinya berkeinginan untuk berkunjung ke Suranatan
menemui ki Lurah Mas Karebet, sekaligus ingin mengetahui siapa sebenarnya
orang yang ia duga seorang Wali yang bertempat di Kadilangu.
"Siapa tahu adi Lurah Mas Karebet tahu banyak mengenai jati diri orang tua
itu." batinnya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 13
OLEH : MARZUKI
.
..
Seusai berbenah diri dengan mengenakan pakaian pada umumnya, ki Lurah
Arya Dipa keluar dari barak kesatuan Wira Tamtama seorang diri. Langkahnya
terasa pelan seakan - akan menikmati keadaan sekitar lorong jalan yang
dilaluinya. Namun kadangkala ki Lurah Arya Dipa dalam berjalan itu sesekali
berpapasan dengan penghuni kotaraja yang mempunyai urusan keluarga, dan
juga berpapasan dengan kelompok - kelompok prajurit yang bertugas
meronda.
P a g e | 274

Di simpang jalan Perwira muda itu membelokan kakinya ke kiri dimana arah itu
menujuh ke lingkungan para Nayaka Praja. Berderet bangunan kokoh dengan
halaman yang luas di sekitar lingkungan itu, menunjukan betapa makmurnya
para penghuninya. Hal itu dirasakan juga oleh ki Lurah Arya Dipa betapa
perbedaan sangat mencolok antara kehidupan Nayaka Praja dan kawula alit
yang tinggal di pelosok - pelosok. Bila di kotaraja bangunan sepenuhnya
menggunakan bahan - bahan bangunan kokoh terbuat dari tembok dengan
pohon jati sebagai tiangnya serta atap yang kuat, sedangkan di padukuhan
terpencil bangunan atau bahkan layak disebut gubuk terbuat dari dinding
bambu yaitu gedek dengan atap alang - alang ataupun blarak yang disebut
ketepe.
"Namun itu semua tak sepenuhnya kesalahan dari sang penguasa, perbedaan
antara orang priagung dengan wong mlarat sampai kapanpun tentu terus
berkelanjutan." desis ki Lurah Arya Dipa.
Kaya dan miskin itu semua merupakan ujian dan cobaan dari Gusti Agung. Si
kaya akan bahagia jika mendermakan sebagian hartanya untuk sesama,
sehingga terjalin ikatan yang rukun saling bahu membahu, dan si kaya akan
hancur jika menyombongkan kekayaannya, karena murka dari Si Pencipta.
Begitu dengan si miskin, kemiskinannya ialah sebuah ujian semata untuk
mengetahui sebetapa tabahkah dirinya dalam menyikapinya, oleh karenanya
seorang miskin akan bahagia manakala dengan tenaganya berusaha bekerja
secara baik sesuai garis Illahi serta diiringi dengan ibadah memanjatkan do'a
dan puji keharibaan Sang Maha Tunggal.

Renungan - renungan demikian mengiringi langkah daripada pemuda itu.


Begitu juga dengan dirinya yang dalam hati kecilnya terpatri sebuah janji
pengabdian kepada negara dan Sang Pencipta. Sebagai prajurit hendaknya
selalu memegang teguh sumpah setia kepada negara dengan pengabdian
tulus tanpa pamrih, jujur dalam berbuat, berani bertindak membela negara
dan menjaga perdamaia dari rongrongan perusuh dari dalam negara maupun
luar negara.
Sementara dalam pengabdian kepada Sang Pencipta, seorang insan
hendaknya selalu menjunjung agama kemana orang itu berada. Dan
menghayati bahwasannya Sang Kholik menyertainya kemanapun dirinya
melangkah, sehingga akan tertanam sebuah rasa takut dan malu dalam
bertindak diluar paugeran. Dan tertanam rasa cinta yang mendalam kepada
keagungan Sang Pencipta.
Tanpa dirasa langkah kaki ki Lurah Arya Dipa sampai disebuah bangunan
P a g e | 275

dengan halaman luas yang diperindah berbagai tetumbuhan bunga warna -


warni, dan itulah kediaman ki Tumenggung Suranata.
Regol halaman itu masih terbuka lebar, menandakan tuan rumah masih
berkenan jikalau seorang tetamu berkunjung. Dimar regol nampak terang
sehingga dari luar bisa melihat adanya sebuah gardu terbuka setengah berdiri
di samping regol, di situ dua orang pembantu ki Tumenggung duduk sambil
sesekali berkelakar.
Keduanya bergegas berdiri manakala terdengar langkah kaki menghampiri
regol halaman.
"Selamat malam, kisanak." sapa orang yang mendekati regol, yaitu ki Lurah
Arya Dipa.
"Selamat malam, kisanak. Siapakah kisanak ini ? Dan kiranya ada tujuan
apakah berkunjung ke Suranatan ini ?" sahut seorang lelaki yang berperawakan
tinggi, dengan melanjutkan pertanyaan.
Karena ki Lurah Arya Dipa tak memakai pakaian keprajuritan, sudah sewajarnya
pembantu yang bertugas jaga di kediaman Suranatan, tak mengenali jikalau
pemuda itu Lurah prajurit.
"Aku Arya Dipa, kisanak. Kedatanganku yaitu ingin menghadap ki Lurah Mas
Karebet, kemenakan dari ki Lurah Ganjur." jawab ki Lurah Arya Dipa.
Kedua orang itu saling berpandangan dan meneliti pemuda di hadapan
mereka. Lalu kawan dari penjaga pertama bertanya mencari ketegasan,
"Angger, teman ki Lurah Mas Karebet ?"

"Bisa dibilang begitu, paman.." jawab pemuda itu, ramah.


Karena merasa yakin dengan perangai pemuda yang terlihat baik, maka
keduanya berkenan menerima tamu itu.
"Silahkan, angger. Ki Prenjak akan mengantarkan ke bangunan yang ditinggali
oleh ki Ganjur dan kemenakannya itu." kata penjaga Suranatan yang bertubuh
tinggi.
"Terima kasih, paman."
Lantas dengan diantar oleh ki Prenjak, ki Lurah Arya Dipa sampai di bangunan
yang ditempati oleh ki Ganjur yang masih dalam lingkungan Suranatan. Sebuah
bangunan di belakang bangunan induk Suranatan, sebuah bangunan yang
sederhana dengan dimar biji jarak sebagai penerangan.
"Mari, ngger. Itu bangunannya." kata ki Prenjak.

PANASNYA LANGIT DEMAK


P a g e | 276

JILID 6 BAG 14
OLEH : MARZUKI
.
..
Salam yang merdu terucap dari mulut ki Prenjak seraya mengetuk pintu
bangunan yang di tempati ki Lurah Ganjur. Dari dalam sambutan atau balasan
salam terdengar bergemuruh, yang menandakan beberapa oranglah yang
menjawab salam ki Prenjak.
Tak berselang lama derit daun pintu terdengar dan seorang pemuda tampan
muncul dari balik daun pintu sisi dalam.
"O paman Prenjak... " kata itu terputus manakala si pemuda menatap orang
yang berdiri di belakang ki Prenjak, "Kau kakang Lurah.. "
Mendengar pemuda dari dalam menyebut nama Lurah kepada orang yang
diantarnya, ki Prenjak terkejut dan segera memutar badan menatap pemuda
yang ia antar. Tampak wajahnya terlihat takut bercampur rasa sesal. Untunglah
sentuhan tangan di pundaknya disusul kata lembut membuat hati ki Prejak,
lega.
"Jangan paman pikirkan, aku juga seperti paman yang terdiri dari segumpal
darah dan daging."
"Oh.. maafkan kelancanganku, ki Lurah. Itu semua karena ketidaktahuanku."
ucap ki Prenjak.
"Sudah aku bilang, paman. Aku tak mempermasalahkan, karena aku
berkunjung juga tak menggunakan pakaian dan tugas keprajuritan." kata ki
Lurah Arya Dipa dengan lembut, "Malah aku mengucapkan terima kasih
karena paman berkenan mengantarku."
Kelegaan merayapi hati ki Prenjak dengan sikap pemuda yang tak tahunya
seorang perwira prajurit. Kemudian penjaga Suranatan itu kembali ke gardu
dekat regol halaman, sampai di gardu ki Prenjak mengatakan kepada
kawannya bahwasannya tamu muda itu seorang Lurah.
Sementara itu ki Lurah Arya Dipa dipersilahkan memasuki bangunan yang
ditempati oleh ki Ganjur. Bangunan itu terdiri dari ruang tamu, lalu tiga bilik dan
dapur paling belakang. Di ruang untuk tamu itu ada dua orang tua yang
sebelumnya duduk beralaskan tikar mendong, bangkit berdiri menyambut ki
Lurah Arya Dipa.
"Selamat datang di lingkungan Suranatan, anakmas." sapa seorang yang
rambutnya bersulam uban.
"Terima kasih, paman." ucap ki Lurah Arya Dipa
Lalu ki Lurah Mas Karebet memperkenalkan ki Lurah Arya Dipa kepada kedua
P a g e | 277

orang tua itu, yaitu orang tua yang menyapa pertama ialah ki Ganjur paman
dari telatah Tingkir, sedangkan orang disampingnya adalah ki Sembada yang
diaku uwa oleh Mas Karebet.

"Jadi anakmas ini Lurah prajurit yang pernah bertugas di Ksatriyan waktu gusti
Pangeran Bagus Mukmin masih belum diangkat Adipati Anom ?" tanya ki
Ganjur.
"Benar, paman." jawab ki Lurah Arya Dipa.
Ki Ganjur menganggukan kepala karena senang dengan tamu kemenakannya
itu, karena dikalangan kotaraja perwira muda itu terkenal dengan
kecerdikannya dalam menghadapi setiap medan pertempuran. Pertama saat
menghadapi gerombolan perampok di pesisir utara Jepara, lalu yang kedua
saat kedatangannya di bukit Kapur Grobokan menghadapi pasukan yang
diduga dari Jipang hanya bersama sepuluh prajurit saja.
"Tak aku sangka hari ini aku kedatangan seorang pemuda sakti seperti
anakmas."
"Ah.. Paman terlalu berlebihan, aku tak seperti yang paman Ganjur
bayangkan." kata ki Lurah Arya Dipa, merendah.
"Hehehe.. Inilah tanda orang yang berkemampuan tinggi, semakin berisi
semakin merendah." sekali lagi ki Ganjur berkata.
Percakapan itu terhenti manakala seorang gadis keluar dari ruang dalam,
membawa nampan berisi minuman dan sepiring makanan. Perlahan hidangan
itu disajikan di atas tikar mendong, oleh gadis itu. Lalu kemudian gadis itu
mempersilahkan hidangan itu yang kemudian akan bangkit berdiri untuk
kembali ke dapur. Tapi ki Ganjur menahan gadis itu untuk bergabung duduk di
ruang tamu.
"Sudahlah, nduk kamu disini saja. Biarlah urusan dapur dikerjakan bibimu."
"Benar, nimas Widuri." sela Mas Karebet, lalu, "O ya nimas, kenalkan ini kakang
Arya Dipa. Lurah prajurit Wira Tamtama."
"Kakang Dipa, ini Endang Widuri kakak sepupuku, putri uwa Sembada." lanjut
Mas Karebat, "Tapi ia biasa memanggilku kakang."
Gadis itu mengangguk hormat agak tersipu malu. Ki Lurah Arya Dipa membalas
dengan anggukan pula.
"Lebih baik aku membantu bibi di dapur, paman dan kakang." sahut gadis itu,
lalu, "Kasihan bibi bila sendirian."
"Bantulah nyi Ganjur, Widuri." sahut ki Sembada, "Bila disini ia akan mengantuk,
karena di tak biasa mengobrol dengan banyak orang."
"Ah.. Ayah." desis gadis itu.
P a g e | 278

Sepeninggal gadis yang bernama Endang Widuri perbincangan terus berlanjut


semakin asyik dan rancak. Dengan cepat telah terjalin keakraban diantara
keempat orang itu. Hingga suatu kali Arya Dipa menanyakan seorang tua
kepada tuan rumah.
"Paman dan adi, apakah tadi sore ada seorang yang bertamu ke sini ?" tanya
Arya Dipa.
"Benar, anakmas." jawab ki Ganjur, "Memang sore tadi kami kedatangan tamu
yang tak lain guru anakmas Karebet. Adapakah anakmas mempertanyakan
tamu itu ?"
Ki Lurah Arya Dipa menggeser letak duduknya supaya terasa nyaman, lalu
barulah ia berucap, "Begini paman dan adi, orang yang bertamu itu sangat
mirip dengan seseorang yang pernah aku jumpai dipinggiran hutan Prawoto,
tapi saat itu yang aku jumpai seorang tua berbadan bongkok dengan tongkat
sebagai penyangga saat orang itu berjalan."
"Oh.. Tapi guru anakmas Karebet sangat lain dengan perawakan yang
anakmas sebutkan tadi." kata ki Sembada.
"Itulah yang aku rasakan keanehannya, paman." sahut ki Lurah Arya Dipa,
sambil tertegun.
"Adi Karebet, siapakah nama guru adi, jika aku boleh tahu ?"
"Kanjeng guru memang seorang yang mempunyai kebiasaan yang aneh,
kakang. Begitu halnya dengan namanya yang ribuan jumlahnya. Apakah
kakang pernah mendengar nama Lokajaya ?"
"Maksud adi, brandal yang pernah membuat geger di jaman Majapahit itu ?!"
kejut ki Lurah Arya Dipa.
Anggukan diunjukan oleh Mas Karebet.
"O.. Jagad Batara Agung." ucap ki Lurah Arya Dipa, Akhirnya aku
mendapatkan titik terang itu."
Kerut merut mewarnai Mas Karebet serta Ki Ganjur dan Ki Sembada, atas
ucapan pelan dari pemuda Arya Dipa.
"Sebenarnya ada apa, kakang ?" tanya Mas Karebet.
Lalu ki Lurah Arya Dipa menceritakan pertemuannya dengan orang yang
berbadan bongkok yang dipastikan kanjeng Sunan Kalijaga atau raden Said,
juga terkenal dengan Bagus Lokajaya, seorang brandal yang mendermakan
hasil rampokannya kepada rakyat kecil. Serta tak lupa dan karena percaya
kepada orang - orang yang saat ini duduk satu ruang itu, ki Lurah Arya Dipa
mengatakan mendapat tuntunan dari gurunya untuk berguru kepada Kanjeng
Sunan Kalijaga.
P a g e | 279

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 15
OLEH : MARZUKI
.
..
Demi mendengar penuturan ki Lurah Arya Dipa mengenai kenapa Lurah muda
itu menanyakan perilahal salah satu guru ki Lurah Mas Karebet, membuat
semua orang yang ada di ruang bangunan itu takjub. Sungguh sangat jarang
seorang anak manusia yang mempunyai seorang penuntun olah kanuragan di
alam lain, seperti yang dialami oleh ki Lurah Arya Dipa. Apalagi orang yang
menuntun pemuda itu bukanlah orang yang tak dikenal oleh ki Ganjur dan ki
Sembada, nama itu sudah lama menggetarkan tanah jawa di masa akhir
Medang Kamulan hingga sekarang ini, semua orang pasti sangat tahu dengan
Prabu Airlangga menantu Prabu Darmawangsa Teguh yang kerajaannya
hancur oleh kerajaan Wura Wari dan Sriwijaya. Seorang raja dengan lambang
Garuda sebagai kendaraan Sang Wisnu, dan setelah menepi menggati jati diri
seorang pertapa dengan gelar Resi Gentayu.
.
Rasa kagum itulah yang dirasakan oleh ki Ganjur, ki Sembada dan Jaka Tingkir
terhadap Lurah muda dari Wira Tamtama, yang pengabdiannya sudah terbukti
sejak Kanjeng Sultan Trenggono masih belum menduduki tahta kesultanan
Demak ini.
.
"Kakang Dipa." ucap Jaka Tingkir, "Bila kakang mau, besok aku bisa
mengantarkan kakang menghadap kanjeng guru di Kadilangu."
.
"Sungguh senang hatiku, adi." sahut ki Lurah Arya Dipa, "Tapi mungkin belum
waktunya aku berjumpa kembali dengan kanjeng Sunan, karena esok hari aku
akan ikut rombongan ki Panji Arya Palindih ke Banyubiru."
.
Alis ki Sembada mencuat manakala disebut nama tanah perdikan Banyubiru.
Tanah dimana dirinya mengenal seorang yang setara dengan orang tuanya,
yaitu kakek Jaka Tingkir.
.
"Adakah suatu tugas disana, anakmas ?" tanya ki Sembada.
.
P a g e | 280

"Benar paman, Kanjeng Sultan memerintahkan kami untuk mengambil dua


benda kesultanan, yang saat ini berada di Banyubiru."
.
"Apakah yang anakmas maksudkan kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten ?"
kembali ki Sembada bertanya.
.
"Oh.. Paman juga mengetahui dua pusaka Demak yang jengkar dari gedung
perbendaharaan itu?"
Orang tua yang merupakan uwa dari ki Lurah Mas Karebet, menghela napas.

"Tanpa sengaja aku mendengar kabar hilangnya benda pusaka itu ketika
dalam pengembaraanku. Di setiap kedai ataupun warung, hal itu dijadikan
bahan pembicaraan oleh kalayak ramai. Bahkan para begal, rampok, kecu
dan gegedug di rimba rayapun mengetahui dua pusaka itu, anakmas." kata ki
Sembada.
.
"Ternyata paman Empu Citrasena berhasil menyebarkan kabar itu kepada
kalangan golongan hitam dan kalayak ramai." batin ki Lurah Arya Dipa.
.
Sementara itu ki Sembada kembali berkata, "Anakmas, apakah kabar itu
hanyalah kabar burung saja ? Mana mungkin seorang kepala tanah pedikan
yang dimasa mudanya sangat tinggi pengabdiannya kepada kesultanan
Demak, menyimpan pusaka itu tanpa langsung mengantarkan ke hadapan
Kanjeng Sultan ?"
.
Sebenarnya ki Lurah Arya Dipa akan gamblang dalam memberi jawaban
sebenarnya, tapi demi menjaga kerahasiaan apa dalam pemikiran ki Ageng
Sora Dipayana, terpaksa Lurah muda itu mengelaknya.
.
"O.. Kalau hal itu, aku kurang mengerti paman. Karena sebenarnya aku belum
mengenal siapa sebenarnya ki Ageng Gajah Sora itu."
.
"Hm.. Perlu kau tahu, anakmas. Adi Gajah Sora yang kini mendapat
palungguhan di Banyubiru, di masa mudanya merupakan kawan baik dari adik
seperguruanku." kata ki Sembada.
.
"Oh.. " desuh ki Lurah Arya Dipa.
.
P a g e | 281

"Ia mengabdi ke Demak pada masa Demak akan melakukan penyerangan ke


selat Malaka, yang dipimpin mendiang Kanjeng Sultan Sabrang Lor. Aku dengar
adi Gajah Sora sangat gemilang dalam penyerangan dengan Armada Demak,
hingga ia mendapat anugerah dari Pangeran Sabrang Lor sebuah pusaka kyai
Bancak." tutur ki Sembada, "Oleh karena itulah aku sangat sangsi jika adi Gajah
Sora berbuat tak sepantasnya dengan dua pusaka Demak, yang selama ini
ramai dibicarakan."
.
"Hm.. Tapi itu bukan salah anakmas, karena anakmas hanyalah seorang prajurit
yang harus tunduk dengan perintah semata. Tapi aku mohon kepada
anakmas, untuk memberi pertimbangan - pertimbangan kepada pimpinan
anakmas. Karena aku yakin, suara anakmas tentu akan didengar." pinta ki
Sembada.
.
"Aku akan berusaha, paman." kata ki Lurah Arya Dipa.
.

Sudah lama ki Lurah Arya Dipa berkunjung di lingkungan Suranatan, oleh


karenanya pemuda itu pamit untuk kembali ke barak kesatuan Wira Tamtama.
Dengan diantar oleh ki Lurah Mas Karebet sampai di pintu regol, ki Lurah Arya
Dipa beranjak. Sampai di pintu regol Suranatan, ki Prenjak dan kawannya yang
bertugas jaga berdiri untuk menghormati Lurah muda itu.
.
"Ki Lurah akan pulang ?"
.
"Iya paman, malam semakin memuncak. Dan mata ini sudah mengantuk, oleh
karenanya aku minta diri." sahut ki Lurah Arya Dipa.
.
"O.. Seringlah ki Lurah singgah di Suranatan."
.
"Iya, paman. Terima kasih, kalau begitu aku pamit." pamit Lurah muda itu.
.
"Mari - mari, ki Lurah." sahut ki Prenjak dan kawannya berbarengan.
.
Pemuda itupun kemudian melangkahkan kakinya melewati lorong - lorong
jalan kotaraja Demak. Tinggalah kini kepekatan malam yang menemani
pemuda itu dalam langkah menuju baraknya.
P a g e | 282

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 16
OLEH : MARZUKI
.
..
Pagi hari membentang memenuhi cakrawala Demak, sinar sang surya terasa
segar mengenai kulit di tubuh. Di dapur barak kesatuan Wira Tamtama,
kesibukan telah terjadi sejak fajar hari, dimana para prajurit juru adang
mempersiapkan makanan ransum bagi para prajurit penghuni barak itu,
khususnya pasukan yang akan berangkat menuju Banyubiru.
.
Dan ransumpun akhirnya dibagikan kepada pasukan setelah makanan sudah
matang. Walau ransum sangat sederhana tapi dikala makan bersama, terasa
nikmat dan lezat tak terkira.
.
Seiring dengan waktu persiapan pun mulai dilakukan dengan cermat. Pasukan
yang akan menyertai ki Panji Arya Palindih telah mulai berbaris di halaman
depan barak. Para pimpinan kelompok dengan sigap menyiapkan
kelompoknya sesuai urutannya.
.
Baris terdepan kelompok berkuda sebagai pasukan perintis tampak gagah
duduk diatas kuda keprajuritan. Disusul dengan prajurit pembawa bendera
Gula Kelapa yang diapit oleh dua prajurit di sisinya serta tiga prajurit di
belakang dengan senjata tombak. Kemudian prajurit yang membawa umbul,
rontek, panji serta tunggul dengan ciri kesatuan Wira Tamtama Demak, berkibar
dengan megahnya.
.
Selanjutnya ki Panji Arya Palindih yang menunggang kuda hitam, diapit oleh ki
Panji Reksotani dan ki Rangga Gajah Sora. Menyusul dibelakangnya ki Rangga
Gajah Alit, ki Lurah Saroyo dan ki Lurah Arya Dipa. Baris selanjutnya terdiri dari
pasukan Bertombak, pedang, perbekalan, panah dan kuda
.
Sejenak kemudian setelah mendapat isyarat, iringan itu mulai bergerak keluar
dari barak Wira Tamtama menyusur lorong - lorong kotaraja. Saat iringan itu
melewati lorong jalan kotaraja, mendapat pekik sorak gegap gempita dari
rakyat yang merasa bangga dengan pasukan itu. Hal itu menjadi semangat
para prajurit yang akan melaksanakan tugas itu.
P a g e | 283

.
Maka terlihatlah sebagian prajurit muda dengan langkah tegap
membusungkan dada mereka yang bidang. Apalagi ketika melewati
sekumpulan gadis yang berdiri berbaris, semakin berkembanglah kebanggaan
di hati prajurit muda itu.
.
Iringan pasukan itu semakin lama mendekati pintu gerbang kotaraja bagian
selatan, dan kemudian pasukan perintis mulai bergerak mendahului pasukan
induk untuk mengamankan jalan yang akan dilalui oleh pasukan Demak.
.
Perjalanan yang sebenarnya bisa ditempuh cepat itu, tak mampu ditempuh
dengan semestinya. Ini dikarenakan karena banyaknya pasukan dan barang
yang dibawa. Sehingga iringan pasukan itu seperti siput yang merapat, sangat
perlahan.

Ki Lurah Arya Dipa yang merupakan perwira paling muda telah ditugaskan
untuk mengawasi semua pasukan, oleh karenanya dirinya selalu hilir mudik
berpindah tempat. Disuatu kali perwira itu di depan iringan, lain waktu berada
di ujung belakang pasukan dan memberi laporan kepada ki Panji Arya Palindih
yang berada di tengah pasukan.
.
Walau ki Lurah Arya Dipa sebagai seorang perwira, namun pemuda itu tak
segan - segan ikut berjalan dengan para prajurit yang berjalan kaki. Dengan
ramah mengajak prajurit bercakap untuk mengurangi rasa tegang atau lelah.
Dan kepada prajurit yang tua darinya, ki Lurah Arya Dipa menaruh hormat.
Maka terjalinlah sebuah hubungan yang harmonis antara pimpinan dan yang
dipimpin, tanpa adanya rasa yang tak dikehendaki ataupun rasa iri. Bagi
prajurit akan tertanam rasa segan terhadap pimpinan, dan itu lebih baik
daripada seorang prajurit yang dalam hatinya takut kepada pimpinan.
.
Pasukan Demak yang dipimpin oleh ki Panji Arya Palindih akhirnya sampai di
luar batas Kabuyutan Banyubiru dan dengan sebuah isyarat dihentikan. Lalu ki
Panji Arya Palindih mengumpulkan para perwira demi meminta pertimbangan
yang terbaik untuk langkah selanjutnya.
.
"Baiklah kalau begitu." kata ki Panji Arya Palindih setelah melakukan
pembicaraan dengan para perwira, "Ki Panji Reksotani dan ki Rangga Gajah
Sora tetap disini untuk memimpin para pasukan."
P a g e | 284

.
"Baik, ki Panji." sahut ki Panji Reksotani dan ki Rangga Gajah Sora.
.
Kemudian ki Panji dari Bergota itu beralih kepada perwira yang lain, katanya, "Ki
Rangga Gajah Alit, ki Lurah Saroyo dan ki Lurah Arya Dipa akan mengiringiku ke
padukuhan induk Banyubiru."
.
Ketiga perwira yang disebut dengan serentak siap sedia untuk mengiringi ki
Arya Palindih menghadap ki Ageng Gajah Sora, di padukuhan induk Banyubiru.
Kuda ke-empat perwira telah disiapkan dan sekelompok prajurit juga
menyertai.

Iringan kelompok prajurit itu saat memasuki padukuhan pertama telah disambut
oleh pimpinan pengawal Kabuyutan, dan kelompok prajurit itu kemudian
diantar oleh salah satu pimpinan pengawal Kabuyutan ke padukuhan induk.
.
Semenjak memasuki padukuhan pertama iringan dari ki Panji Arya Palindih
telah memancing perhatian dari penghuninya. Dalam hati mereka menumpuk
berbagai pertanyaan setelah di Kabuyutan mereka baru saja mengalami
persoalan. Dimana sekelompok orang melakukan kerusuhan.
.
"Kakang, Prajurit yang datang kali ini apakah ada hubungannya dengan
peristiwa yang baru terjadi kemarin di padukuhan induk ?" tanya seorang lelaki
kepada tetangganya.
.
"Entahlah, adi. Tapi kita harus cepat bertindak manakala ada isyarat dari
padukuhan induk." sahut tetangga orang pertama.
.
"Apa tak sebaiknya kita mempersiapkan para pemuda padukuhan ini, kakang
? Aku merasa akan ada sesuatu yang akan terjadi. Ingat kakang, adik ki Ageng
Gajah Sora itu lenyap bersamaan dengan mundurnya para perusuh."
.
"Maksudmu ki Lembu Sora ?" orang kedua meminta penegasan.
.
"Begitulah yang terjadi, kakang. Tentu ki Lembu Sora tak rela jika ki Ageng Sora
Dipayana menyerahkan kepemimpinan Kabuyutan ini kepada ki Ageng Gajah
Sora."
.
P a g e | 285

"Oh.. " desuh tetangga orang pertama, "Sebegitukah sifat ki Lembu Sora ?"

"Hati manusia siapa yang mampu menduga kakang."


.
"Baiklah, kumpulkan para pemuda dan lelaki dewasa yang masih mampu
memegang senjata di banjar padukuhan. Tapi ingat semuanya harus
menunggu perintah." akhirnya orang yang ternyata seorang Bekel itu, memberi
perintah.
.
"Baik, kakang Bekel." dan orang itupun bergegas mengumpulkan para pemuda
dan para lelaki dewasa di banjar.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 17
OLEH : MARZUKI
.
..
Saat yang bersamaan ketika kelompok prajurit yang dipimpin oleh ki Panji Arya
Palindih baru memasuki padukuhan pertama, suara kentongan dara muluk
telah terdengar merembet ke padukuhan induk. Sebuah pertanda seorang
Nayaka Praja datang berkunjung ke telatah itu. Dan hal itu membuat ki Ageng
Gajah Sora bergegas mengumpulkan para pembantunya untuk menyambut
tamu priyagung itu.
.
Sangkakala dengan kerasnya terdengar manakala ki Panji Arya Palindih
memasuki halaman sebuah bangunan yang diyakini ditempati oleh ki Buyut
Banyubiru. Di bawah tlundak beberapa orang nampak berdiri menyambut
iringan kelompok prajurit dari kotaraja Demak Bintoro.
.
"Selamat datang di telatah Banyubiru, paman Arya." sambut seorang lelaki,
yaitu ki Ageng Gajah Sora putra ki Ageng Sora Dipayana.
.
"Terima kasih, anakmas." sahut ki Panji Arya Palindih.
.
Setelah kuda - kuda para prajurit Demak diserahkan kepada pembantu ki
Ageng Gajah Sora untuk ditambatkan dipatok - patok yang tersedia, maka
mereka dipersilahkan naik ke bangunan padukuhan induk.
P a g e | 286

"Anakmas, kedatanganku ke Banyubiru ini atas titah Kanjeng Sultan." kata ki


Panji Arya Palindih, lalu lanjutnya, "Kanjeng Sultan mengucapkan selamat atas
pengangkatan anakmas sebagai kepala Kabuyutan Banyubiru ini."
.
"O.. Terima kasih, paman. Sembah pangabekti selalu tetap kepada Kanjeng
Sultan semata." sahut ki Ageng Gajah Sora.
.
Ki Panji Arya Palindih tersenyum atas ucapan dari ki Ageng Gajah Sora, yang
dimasa lalu pernah bersama - sama bertugas mengiringi Adipati Pati Unus
menghalau kaum kulit putih di selat Malaka. Kepala pengawas bandar Bergota
itu sangat mengagumi betapa Gajah Sora muda seorang yang pinunjul dari
sekian prajurit Demak yang bergabung satu armada Jalapati. Tandangnya
dalam menghadapi musuh sangat ngedab - ngedabi.
.
"Selain itu, Anakmas. Kanjeng Sultan melalui diriku mengucapkan banyak terima
kasih kepada anakmas, karena keberhasilan anakmas dalam merebut pusaka
piandel Demak, yaitu kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten." kembali ki Panji Arya
Palindih berkata.
.
Sementara itu hati ki Ageng Gajah Sora telah tercekat dan susah untuk
menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Di raut wajahnya sekilas terjadi
perubahan yang mendalam, untunglah dengan cepat putra pertama ki Ageng
Sora Dipayana itu mampu mengendalikan perasaannya.

"O.. paman, maafkan diriku ini."


.
"Tentang apa, anakmas." tanya ki Panji Arya Palindih, dengan kerut di dahinya.
.
"Paman, sebenarnya memang pusaka itu awalnya mampu diselamatkan oleh
ayah Sora Dipayana, tatkala ayah berada ditepian hutan Prawoto dari tangan
seorang perampok besar." ki Ageng Gajah Sora sejenak berhenti demi melihat
kesan yang timbul diwajah ki Panji Arya Palindih dan pengiringnya, lalu katanya,
"Namun ditengah jalan pusaka itu mampu direbut oleh seorang tokoh
kanuragan dari gunung Tidar."
.
"Apakah maksud ki Ageng, Sima Rodra ?" tanya ki Rangga Gajah Alit.
.
"Benar ki Rangga." jawab ki Ageng Gajah Sora, "Bila Sima Rodra saja tentu ayah
P a g e | 287

mampu mempertahankan. Tapi Sima Rodra selain dibantu oleh istrinya, juga
dibantu oleh seorang pertapa dari gunung kelud."
.
"O.. Resi Gangsiran kah, maksud ki Ageng ?" kini yang terkejut seorang perwira
muda, yaitu ki Lurah Arya Dipa.
.
"Anakmas Lurah mengenal orang itu ?"
.
"Hm..." desuh ki Lurah Arya Dipa, "Hanya mendengar sepak terjangnya saja, ki
Ageng. Resi Gangsiran merupakan seorang tokoh kanuragan dari bang wetan
yang digolongkan ke golongan hitam."
.
Semua yang ada dalam ruangan itu mengangguk, tak terkecuali seorang lelaki
yang berada dibalik sekat ruang pendapa itu. Seorang yang dari awal telah
mengikuti pembicaraan yang sedang berlangsung.
.
"Mengapa Demak mengutus perwira utama seperti ki Panji Arya Palindih dari
Bergota, adi Gajah Alit dan kakang Saroyo, serta Arya Dipa ?" desis orang
dibalik sekat.
.
Dari lubang kecil disekat itulah, orang itu mengintip. Tapi betapa kejut hatinya
manakala orang itu mengeliarkan pandang kearah ki Lurah Arya Dipa,
matanya membentur tatapan mata Lurah muda itu.
.
"Aneh, apakah ia mampu merasakan kehadiranku ?" tanyanya dalam hati.

Orang itu membalikan badannya ketika dari dalam terdengar langkah kaki,
segera orang itu bergegas menjauhi sekat. Dan baru lima langkah, orang yang
mengintip tadi disapa oleh seorang remaja.
.
"Paman Mahesa.. " sapa remaja itu.
.
"Oh.. Kau Arya Salaka." desis orang yang dipanggil paman Mahesa itu.
.
"Sedang apa paman di situ ?"
.
"Ah.. Sudahlah mari kita ke belakang." ajak orang itu, yang tak lain ki Rangga
Tohjaya.
P a g e | 288

.
Maka keduanya lantas menjauhi ruang dalam itu untuk menuju ke ruang
belakang.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 18
OLEH : MARZUKI
.
..
Masih di dalam ruang kediaman ki Ageng Gajah Sora, pembicaraan yang
terjadi masih terus berlanjut antara utusan Demak dengan kepala tanah
perdikan Banyubiru. Dimana ki Ageng Gajah Sora masih melanjutkan
penuturannya mengenai apa yang terjadi di telatahnya.
.
"Memang aku akui paman Arya, pusaka itu kembali aku rebut dari tangan ki
Sima Rodra anom dan.aku bawa ke Banyubiru ini." terang ki Ageng Gajah Sora,
"Dan kemarin sekelompok orang dengan mengaku menjadi prajurit Demak,
telah membuat kerusuhan dengan membakar rumah di sebuah padukuhan."
.
"Ah.. Anakmas jangan mengada - ada !" seru ki Arya Palindih, "Karena kami
baru sampai di telatah ini baru tadi. Dan kami pantang untuk melakukan
tindakan yang tak sepantasnya itu !"
.
"Maaf paman, kami tidak menuduh itu pihak paman atau Demak yang
sebenarnya. Karena aku pun juga meragukan pengakuan mereka. Oleh
karenanya ketika aku mendapat laporan, aku segera memimpin sendiri
menghadapi mereka." ki Ageng Gajah Sora sejenak berhenti.
.
Dengan seksama kepala tanah perdikan itu memandang ke segenap utusan
dari Demak. Suasana yang agak panas memang terasa menyelimuti ruang
yang sebenarnya terdapat lubang - lubang angin yang cukup untuk udara
melewatinya.
.
"Sesampainya di padukuhan dimana terjadinya kerusuhan, aku semakin
mencurigai kelompok yang mengaku prajurit Demak, karena tindakan mereka
terlalu kasar tak mencerminkan seorang prajurit. Bila dicermati lebih lanjut
tindakan mereka menyerupai kawanan perampok yang liar dan ganas." ki
P a g e | 289

Ageng Gajah Sora kembali berhenti demi mengambil napas, "Saat itulah
sekelompok orang muncul dengan menyerang kami. Dan aku mengenali
mereka dari golongan hitam."

"Walau begitu tentu anakmas bisa menghadapi mereka serta membuat


mereka kocar - kacir, apalagi anakmas di kandang sendiri." kata ki Panji Arya
Palindih.
.
Tetapi yang diunjukan ialah gelengan kepala dari seorang Gajah Sora, "Mereka
tokoh - tokoh golongan hitam yang tinggi ilmu kanuragannya, paman. Tentu
paman sedikitnya mengenal Lowo Ijo dari alas Mentaok, sepasang Uling dari
Rawa Pening, sepasang suami istri Sima Rodra dari gunung Tidar, Resi Gangsiran
dari gunung Kelud, ki Bugel Kaliki dari Ciremai.."
.
"Bukankah mereka hanyalah orang - orang liar saja, anakmas ? Masakan
anakmas yang cakap dalam menyusun sebuah gelar, tak bisa menerapkan
dengan ratusan pengawal Kabuyutan ?"
.
Demi mendengar kata - kata dari pengawas bandar Bergota itu, jantung ki
Ageng Gajah Sora berdebur keras seakan ingin menyalurkan dengan
mengumpat orang itu. Namun ia bukanlah Gajah Sora yang usianya masih
muda, maka dengan sekuat tenaga berusaha mengendapkan gejolak di
dadanya. Tergantilah helaan napas semata untuk mengurangi rasa amarah
yang memuncak itu, dan dadanya kembali lapang seperti sediakala.
.
Dalam pemikiran ki Ageng Gajah Sora ialah bahwasanya seorang Perwira tinggi
seperti ki Panji Arya Palindih, tentu sangat sedikit waktu luangnya untuk
memerhatikan perkembangan dunia Kanuragan di luar sana. Hal itu bisa dilihat
dari tanggapan pengawas bandar Bergota yang terlihat meremehkan orang
dari golongan yang disebut oleh ki Gajah Sora.
.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tokoh - tokoh tadi merupakan murid dari
orang - orang pinunjul. Lowo Ijo ialah murid seorang Pasingsingan, sepasang
Uling murid dari Kala Srenggi dan sepasang Sima Rodra murid Simo Rodra
sepuh. Masih ada lagi seorang pemuda yang mengaku murid dari kyai Naga
Pasa dari Nusakambangan, ki Bugel Kaliki sendiri dan Resi Gangsiran. Mereka -
mereka ini setingkat dengan orang - orang kanuragan golongan putih, seperti ki
Ageng Sora Dipayana dari Banyubiru, ki Ageng Pandan Alas dari Gunung Kidul,
P a g e | 290

Resi Puspanaga dari gunung Penanggungan, ki Ageng Nis dari Sela, ki Ageng
Butuh, ki Ageng Pengging dan yang lainnya. Dan juga setingkat dengan
Begawan Jambul Kuning, seorang linuweh namun memiliki watak yang angin -
anginan.

"Lalu bagaimana dengan kedua pusaka itu, anakmas ?"


.
"Saat itulah di padukuhan induk terjadi sesuatu yang tak kami perhitungkan.
Ruang tempat kami menyimpan kedua pusaka itu berhasil dibobol oleh
seorang dengan ciri berjubah dengan wajah tertutup topeng."
.
"Oh.. Apakah itu Pasingsingan ?" celetuk ki Lurah Saroyo.
.
"Bukan, ki Lurah. Pasingsingan saat itu mampu dihadang oleh ki Ageng Pandan
Alas."
.
"Oh.. Ki Ageng Pandan Alas juga hadir di Kabuyutan ini." desuh ki Rangga
Gajah Alit.
.
"Benar, ki Rangga. Bahkan ayah pun turut ikut turun menghadapi tokoh - tokoh
tua seangkatannya itu." tegas ki Ageng Gajah Sora.
.
Dalam pada itu, ki Lurah Arya Dipa tampak sedang memikirkan sesuatu yang
menyangkut orang bertopeng itu, "Apakah orang itu tangan kanan
Panembahan Bhre Wiraraja yang menyebut dirinya Lintang Kemukus
Pangrampung ?"
.
Tapi angan - angan itu hanyalah sebatas bayangan yang tak tentu
jawabannya. Bisa saja itu iya atau sebaliknya, karena di telatah jawa ini banyak
sekali orang - orang kanuragan yang menyamarkan jatidiri mereka dengan
menggunakan topeng. Selain Pasingsingan dan Lintang Kemukus, Lurah muda
itu pernah mendengar seorang bertopeng yang selalu berbuat kebajikan.
Orang - orang yang pernah melihat secara langsung, mengatakan orang
bertopeng itu sangat piawai dalam menggunakan senjata lentur yang disebut
cambuk. Setiap lecutannya mampu menggugurkan gunung dan membelah
lautan, itulah ungkapan yang menggambarkan betapa dahsyatnya orang
bertopeng itu.
P a g e | 291

Bila dalam masa kemarau terpancar teriknya sang bagaskara, dan saat itu juga
jatuh siraman air dari langit mengenai tubuh, rasa sejuklah yang dirasa. Itupun
juga dirasakan oleh ki Ageng Gajah Sora, disaat mendengar ucapan terakhir
dari ki Panji Arya Palindih.
.
"Terima kasih atas pengertian paman Arya Palindih. Aku harap Kanjeng Sultan
melimpahkan pengampunan ke diri ku ini, atas keteledoran dan kekhilafanku
yang tak mampu menjaga pusaka itu." kata ki Gajah Sora.
.
Maka utusan dari Demak pamit undur diri untuk melaporkan kejadian hilangnya
pusaka Demak ke hadapan Kanjeng Sultan.
.
Sementara itu dari ruang dalam orang yang disebut paman oleh putra ki
Ageng Gajah Sora keluar menghampiri ki Ageng Gajah Sora.
.
"Apa rencana kakang di hari - hari mendatang, setelah utusan Demak itu ?"
.
"Aku tak mengerti, adi Mahesa Jenar. Bagaimana mungkin ini semua terjadi
secara beruntun seperti ini ?" sahut ki Ageng Gajah Sora.
.
Keduanya tampak termenung demi memikirkan hari - hari yang akan datang.
Bilamana Demak tak mempercayai ucapan dari ki Ageng Gajah Sora, tentu
akan terjadi sebuah kejadian yang akan meluluhlantahkan Kabuyutan
Banyubiru.
.
Di malam harinya di pendopo Kabuyutan diadakan pembicaraan untuk
membahas apa yang terjadi siang harinya. Tampak hadir para bebahu
Kabuyutan serta pemimpin laskar Banyubiru, yaitu ki Wanamerta dan Penjawi
serta Mahesa Jenar atau ki Rangga Tohjaya.

Dalam pembicaraan itu disepakati untuk mempertahankan pernyataan yang


nyata bagi kepala tanah perdikan itu, yang benar dalam berkata mengenai
peristiwa hilangnya kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten. Tiada rasa sedikitpun
dalam diri penguasa Banyubiru untuk memiliki kedua pusaka itu. Oleh
karenanya jika suatu kali Demak akan mengirim kembali pasukannya, tentu
Banyubiru akan menghadapi.
.
Dan malam pun berlalu dengan cepatnya, tergantikan cerahnya sinar mentari.
P a g e | 292

Saat itu ki Rangga Tohjaya yang kini memerkenalkan diri sebagai Mahesa Jenar
turun ke halaman samping, dirinya telah dikejutkan manakala seorang
pengawal dengan tergesa - gesa menaiki tlundak menemui ki Ageng Gajah
Sora.
.
"Siapa mereka !?!"
.
"Prajurit Demak, ki Ageng." jawab pengawal itu.
.
"Tunjukan padukuhan yang dibakar itu !" seru ki Ageng Gajah Sora kepada
pengawal itu.
.
Ki Ageng Gajah Sora dan pengawal itu dengan terburu - buru menuruni tlundak
ke arah kandang kuda. Kala itulah ki Ageng Gajah Sora berpapasan dengan
Mahesa Jenar.
.
"Ada apa, kakang ?" tanya Mahesa Jenar dengan herannya.
.
"Demak sudah keterlaluan, mereka membakar rumah di padukuhan Paminggir
!" seru ki Ageng Gajah Sora sambil menaiki punggung kuda.
.
"Sabarlah, kakang. Itu tentu bukan orang Demak." Mahesa Jenar berusaha
membujuk supaya ki Ageng Gajah Sora tak terbawa amarah.
.
"Maka dari itu, adi. Aku harus kesana untuk membuktikan !" seru ki Ageng Gajah
Sora serta mencongklang kudanya.
.
Derap kuda pun terdengar manakala dengan cepat kuda tunggangan ki
Ageng Gajah Sora menjejakan kaki di halaman dan terus keluar menyusuri
lorong jalan.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 19
OLEH : MARZUKI
.
..
Lamunan ki Lurah Arya Dipa terhenti manakala terdengar pembicaraan antara
P a g e | 293

ki Panji Arya Palindih dan ki Ageng Gajah Sora, semakin tegang.


.
"Anakmas sekali lagi aku tegaskan, Kanjeng Sultan mengharapkan kesediaan
anakmas untuk menhembalikan kedua pusaka itu." kata ki Panji Arya Palindih.
.
"Hm.." desuh ki Ageng Gajah Sora, "Paman Palindih, bila paman tak percaya
silahkan cari di seluruh rumah bahkan telatah ini." sahut ki Gajah Sora.
.
"Itu tak perlu, anakmas. Aku hanya mengharapkan kesediaanmu untuk
menunjukan pusaka itu saja. Dan Kanjeng Sultan sudah mempersiapkan hadiah
untuk anakmas dan kesejahteraan bagi telatah Banyubiru tentunya."
.
Ucapan dari ki Panji Arya Palindih sesungguhnya tak terpikirkan atau diduga
oleh ki Ageng Gajah Sora. Pernyataan itu membuat penyesalan yang sangat
dialami oleh ki Buyut Banyubiru. Rasa penyesalan kedua ialah kekeliruannya
didalam membawa pusaka yang kini lenyap.
.
Awalnya ki Ageng Gajah Sora berkeinginan ingin memberikan kejutan bagi
Kanjeng Sultan, yaitu ingin mengantar sendiri pusaka itu ke hadapan Kanjeng
Sulan, manakala keadaan sudah terasa tenang. Hal yang kedua, kekeliruan itu
ialah dimana ki Ageng Gajah Sora terlalu membanggakan kekuatan laskar
pengawal Banyubiru tentu mampu menjaga keamanan di telatah Banyubiru,
tapi kenyataan yang terjadi sungguh - sungguh mengakibatkan kerugian besar
bagi dirinya.
.
Oleh karenanya dengan nada penyesalan ki Ageng Gajah Sora berkata,
"Maafkan aku, paman Palindih. Semuanya sungguh kekhilafan diriku semata.
Mungkin bila sejak awal aku mengantarkan pusaka itu tentu tak seperti ini yang
terjadi."

Perkataan yang mengandung penyesalan serta ki Panji Arya Palindih


merasakan ketulusan kita itu, hatinya mulai dirayapi keraguan untuk memaksa
pusaka Demak untuk diserahkan. Namun karena ia seorang prajurit, maka ia
dengan tegas telah berkata, "Baiklah anakmas, aku percaya dengan kata -
katamu tadi. Dan karena aku hanyalah seorang duta, maka aku akan
melaporkan kejadian ini kepada Kanjeng Sultan."
.
Bila dalam masa kemarau terpancar teriknya sang bagaskara, dan saat itu juga
P a g e | 294

jatuh siraman air dari langit mengenai tubuh, rasa sejuklah yang dirasa. Itupun
juga dirasakan oleh ki Ageng Gajah Sora, disaat mendengar ucapan terakhir
dari ki Panji Arya Palindih.
.
"Terima kasih atas pengertian paman Arya Palindih. Aku harap Kanjeng Sultan
melimpahkan pengampunan ke diri ku ini, atas keteledoran dan kekhilafanku
yang tak mampu menjaga pusaka itu." kata ki Gajah Sora.
.
Maka utusan dari Demak pamit undur diri untuk melaporkan kejadian hilangnya
pusaka Demak ke hadapan Kanjeng Sultan.
.
Sementara itu dari ruang dalam orang yang disebut paman oleh putra ki
Ageng Gajah Sora keluar menghampiri ki Ageng Gajah Sora.
.
"Apa rencana kakang di hari - hari mendatang, setelah utusan Demak itu ?"
.
"Aku tak mengerti, adi Mahesa Jenar. Bagaimana mungkin ini semua terjadi
secara beruntun seperti ini ?" sahut ki Ageng Gajah Sora.
.
Keduanya tampak termenung demi memikirkan hari - hari yang akan datang.
Bilamana Demak tak mempercayai ucapan dari ki Ageng Gajah Sora, tentu
akan terjadi sebuah kejadian yang akan meluluhlantahkan Kabuyutan
Banyubiru.
.
Di malam harinya di pendopo Kabuyutan diadakan pembicaraan untuk
membahas apa yang terjadi siang harinya. Tampak hadir para bebahu
Kabuyutan serta pemimpin laskar Banyubiru, yaitu ki Wanamerta dan Penjawi
serta Mahesa Jenar atau ki Rangga Tohjaya.
.
Dalam pembicaraan itu disepakati untuk mempertahankan pernyataan yang
nyata bagi kepala tanah perdikan itu, yang benar dalam berkata mengenai
peristiwa hilangnya kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten. Tiada rasa sedikitpun
dalam diri penguasa Banyubiru untuk memiliki kedua pusaka itu. Oleh
karenanya jika suatu kali Demak akan mengirim kembali pasukannya, tentu
Banyubiru akan menghadapi.

Dan malam pun berlalu dengan cepatnya, tergantikan cerahnya sinar mentari.
Saat itu ki Rangga Tohjaya yang kini memerkenalkan diri sebagai Mahesa Jenar
P a g e | 295

turun ke halaman samping, dirinya telah dikejutkan manakala seorang


pengawal dengan tergesa - gesa menaiki tlundak menemui ki Ageng Gajah
Sora.
.
"Siapa mereka !?!"
.
"Prajurit Demak, ki Ageng." jawab pengawal itu.
.
"Tunjukan padukuhan yang dibakar itu !" seru ki Ageng Gajah Sora kepada
pengawal itu.
.
Ki Ageng Gajah Sora dan pengawal itu dengan terburu - buru menuruni tlundak
ke arah kandang kuda. Kala itulah ki Ageng Gajah Sora berpapasan dengan
Mahesa Jenar.
.
"Ada apa, kakang ?" tanya Mahesa Jenar dengan herannya.
.
"Demak sudah keterlaluan, mereka membakar rumah di padukuhan Paminggir
!" seru ki Ageng Gajah Sora sambil menaiki punggung kuda.
.
"Sabarlah, kakang. Itu tentu bukan orang Demak." Mahesa Jenar berusaha
membujuk supaya ki Ageng Gajah Sora tak terbawa amarah.
.
"Maka dari itu, adi. Aku harus kesana untuk membuktikan !" seru ki Ageng Gajah
Sora serta mencongklang kudanya.
.
Derap kuda pun terdengar manakala dengan cepat kuda tunggangan ki
Ageng Gajah Sora menjejakan kaki di halaman dan terus keluar menyusuri
lorong jalan.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 20
OLEH : MARZUKI
.
..
"Aku harus menyusul kakang Gajah Sora." bathin Mahesa Jenar, lalu ia pun
dengan sigap menaiki kuda dan memacu ke arah dimana ki Ageng Gajah
P a g e | 296

Sora melarikan kudanya.


.
Derap kaki kuda Mahesa Jenar menggetarkan tanah yang dipijaknya,
meninggalkan debu membumbung di belakangnya. Semakin jauh kuda itu
meninggalkan padukuhan induk, semakin nampaklah asap hitam
membumbung di langit dan ketika langkah kaki kuda bertambah, terlihat api
berkobar - kobar menjilat atap bangunan.
.
Bersamaan dengan derap kuda itu dari arah depan banyak para pengungsi
yang berjalan tergesa - gesa bahkan berlarian sambil membawa anak, harta
benda dan bahkan hewan peliharaan. Melihat itu Mahesa Jenar turun dari
kudanya dan bertanya dengan salah seorang pengungsi.
.
"Tunggu sebentar paman, apa yang sebenarnya terjadi di padukuhan
Paminggir ?" tanya ki Mahesa Jenar.
.
Orang itu tampak cemas dan ada rasa takut yang sangat demi melihat orang
yang tak ia kenal. Untunglah hal itu mampu terbaca oleh Mahesa Jenar,
sehiggga ia berusaha meyakinkan orang itu dengan menyebut dirinya teman ki
Ageng Gajah Biru.
.
"Oh.. Maaf anakmas, aku terlalu mencurigai anakmas. Di sana prajurit Demak
dengan kasar dan ganas membakar rumah dan merampoki harta benda
kami.." ucap orang itu.
.
"Bagaimana paman mengetahui kalau orang - orang itu prajurit Demak ?"
.
"Itu pangakuan mereka, anakmas."
.
"Apakah paman bisa menunjukan ciri pakaian mereka ?"
.
Orang itu mencoba mengingat pakaian yang dikenakan oleh para perusuh itu,
lalu katanya, "Mereka mengenakan pakaian merah, celana merah, ikat kepala
merah dan kain hitam."
.
"Terima kasih paman, silahkan paman ke padukuhan induk." ucap Mahesa
Jenar.
.
P a g e | 297

Setelah orang itu pergi dan kini tinggal Mahesa Jenar yang berdiri mematung di
samping kudanya. Tampak dirinya sedang memikir apa yang disebutkan oleh
paman tadi dengan ciri - ciri pakaian prajurit yang membuat kerusuhan.

"Prajurit Wira Tamtama-lah yang mengenakan pakaian itu, memang hampir


mirip dengan prajurit Wira Manggala hanya saja prajurit Wira Manggala
menggunakan ikat pinggang kuning dan ikat kepala biru seperti yang aku
kenakan disaat terakhir aku bertugas." desis Mahesa Jenar.
.
Teringatlah bagaimana dahulu dirinya memasuki dunia keprajuritan dari dasar,
dimana dirinya dengan tekun dan sabar mulai meningkat jenjang
kepangkatannya. Awalnya Mahesa Jenar ditempatkan sebagai pemimpin
kelompok, lalu meningkat menjadi Pangatus, kemudian Lurah pengawas
Tamtama, Rangga Tamtama dibidang pengawas gedung perbendaharaan
dan yang terakhir menjadi pengawal Kanjeng Sultan dalam kesatuan Wira
Manggala.
"Semuanya kini tinggal kenangan," desis Mahesa Jenar seraya tangannya
menyingkap pakaian, sehingga tersembulah ikat pinggang berwarna kuning
dengan timang ciri Wira Manggala.
.
Kemudian ia pun bergegas mendekati padukuhan Paminggir. Betapa terkejut
dan marahnya saat memandang seorang yang mengenakan pakaian
keprajuritan sedang mengambili harta milik penghuni padukuhan. Maka
dengan cepat Mahesa Jenar berdiri di punggung kuda yang kemudian
meloncat menerjang orang itu.
.
"Dess.. dess.. dess.. "
.
Terdengar keluhan dari tiga orang yang memakai pakaian keprajuritan Demak,
setelah menerima tendangan dari Mahesa Jenar.
.
"Kurang ajar, kalian telah mencemari prajurit Demak ! Siapa kalian ini, he ?"
bentak Mahesa Jenar.
.
Seseorang yang masih mengusap dadanya memandang dengan rasa bangga
seraya berkata lantang, "Lebarkan matamu, Kami prajurit Wira Tamtama
Demak !"
P a g e | 298

Tetapi betapa terkejutnya orang - orang itu ketika jawaban dari orang yang
membuat mereka jatuh jungkir balik, yang dikira gentar dengan menyebut diri
mereka sebagai prajurit Demak.
.
"Penipu busuk ! Kalian jangan membohongiku seperti kanak - kanak ! Lihat ini
dan buka mata kalian !" seru Mahesa Jenar seraya menyingkap pakaiannya.
.
"Oh... " kejut orang - orang itu, manakala melihat orang di depannya
memperlihatkan ikat kepala keprajuritan.
.
"Apa kata kalian ?!"
.
Ketiga orang itu saling berpandangan satu dengan lainnya. Sesaat kemudian
salah seorang bersiul keras. Dan kemudian dari beberapa arah muncul orang -
orang yang berpakaian mirip ketiga orang pertama.
.
"Cincang orang ini !" perintah orang yang bersiul tadi.
.
Tak menunggu lama semua orang mencabut pedang dan bergerak mendekati
Mahesa Jenar. Pedang tajam dan berujung runcing mereka bolak - balik seperti
memainkan dan memberi rasa jerih terhadap lawan, yang hanya satu orang.
.
Tiba - tiba dari arah alun - alun Kabuyutan terdengar kentongan bertalu - talu.
Sehingga menimbulkan berbagai tanggapan di hati Mahesa Jenar dan lawan -
lawannya. Pertanda apakah itu ? Dalam hati Mahesa Jenar timbul dugaan
kalau pihak musuh semakin gencar dalam membuat kerusuhan, sehingga
menimbulkan perlawanan dari laskar Banyubiru.
.
Sementara dari orang yang berpakaian keprajuritan, sebaliknya. Bisa saja itu
akan membuat mereka kesulitan di waktu yang akan datang. Sebab dari itu
seorang yang terlihat sebagai pemimpin, segera memberi isyarat dan berlarian
kocar - kacir.
.
Melihat tindakan mereka yang kabur, Mahesa Jenar membiarkan saja. Karena
ia ingin mengetahui apa yang terjadi di alun - alun Banyubiru. Segera ia
meloncat menaiki kudanya untuk menuju alun - alun. Sesampainya disana
betapa terkejutnya dirinya ketika mengetahui di alun - alun sudah berkumpul
laskar Banyubiru dalam kesiagaan. Tak hanya berhenti disitu saja, dalam
P a g e | 299

genggaman ki Ageng Gajah Sora terlihat sebuah tombak pusaka tergenggam


erat.
.
"Oh.. Kyai Bancak !" kejut Mahesa Jenar.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 21
OLEH : MARZUKI
.
..
Perlahan Mahesa Jenar mendekati Ki Ageng Gajah Sora yang diapit oleh ki
Wanamerta dan Penjawi.
.
"Kakang, para perusuh itu sudah kabur. Tetapi mengapa kakang
mengumpulkan laskar Banyubiru layaknya pergi berperang ?" tanya Mahesa
Jenar.
.
"Kau keliru adi Mahesa, orang - orang Demak sudah bersiap di bawah lembah
Telomoyo." kata ki Ageng Gajah Sora.
.
"Mana mungkin itu, kakang ? Perusuh di padukuhan Paminggir bukanlah prajurit
sebenarnya, mereka hanyalah orang - orang yang mencari keuntungan di air
keruh semata."
.
Putra ki Ageng Sora Dipayana itu mengerutkan kening serta mencuatkan
alisnya. Dipandanginya sahabatnya itu dengan seksama.
.
"Adi, para pengawas di atas tebing telah melaporkan adanya pergerakan dari
pasukan Demak saat aku hendak ke padukuhan Paminggir. Dan Penjawi telah
meyakinkan dengan dirinya melihat sendiri." kata ki Ageng Gajah Sora.
.
"Tapi ini semua tentu hanya salah paham saja, kakang. Bila kakang terus
menggerakan laskar Banyubiru, Demak akan menganggap kakang dan
Banyubiru berbohong dalam hal yang menyangkut dua pusaka itu. Kabuyutan
yang berdiri sejak Prabu Brawijaya Pamungkas akan hilang dari peradaban
seperti kadipaten Pengging." Rangga Tohjaya masih berusaha membujuk
sahabat yang juga sudah ia anggap sebagai saudara sendiri itu.
P a g e | 300

.
"Terima kasih atas perhatianmu, adi. Tapi aku juga tak mau jika aku serta tanah
kelahiranku ini diinjak - injak oleh mereka. Bila aku salah tentu aku akan
menurut, dan aku yakin diriku sudah bertindak semestinya, oleh karena itu aku
akan tetap maju." sejenak ki Buyut itu berhenti berkata dan nada yang
sebelumnya meledak - ledak, berubah halus, "Adi Mahesa, aku cuma meminta
tenagamu."

"Hm.. " desuh Mahesa Jenar, "Baiklah kakang, aku akan ikut bersamamu untuk
menghalau mereka."
.
Ki Gajah Sora tertawa renyah, lalu katanya, "Bukan itu adi, melainkan jagalah
Arya Salaka dan bimbinglah ia dalam menekuni ilmu kanuragan dan kajiwan."
.
"Oh.. Kakang.. "
.
Kata Mahesa Jenar terputus karena ki Ageng Gajah Sora melambaikan tangan
memberi isyarat kapada laskar Banyubiru untuk bergerak.
.
"Tunggu kakang !" seru Mahesa Jenar seraya mengikuti langkah sahabatnya itu.
.
Tetapi ki Ageng Gajah Sora terus melangkahkan kaki kudanya menuju sebuah
lembah dimana pasukan Demak dalam kesiagaan tertinggi.
.
Waktu di padukuhan Paminggir mengalami kerusuhan dengan adanya rumah -
rumah terbakar, terlihatlah api itu membumbung menggapai langit, sehingga
dari lembah Telomoyo api itupun terlihat juga. Apalagi tak berselang lama
terdengar kentongan bertalu - talu dengan kerasnya.
.
"Oh.. Mereka benar - benar ingin memberontak ! Cepat siapkan pasukan !"
perintah ki Panji Arya Palindih.
.
Perintah itu sungguh mengejutkan bagi beberapa perwira, dan salah satunya
ialah ki Lurah Arya Dipa. Oleh karenanya perwira muda itu memberanikan diri
untuk berbicara dengan Senopati Demak.

"Mohon kiranya ki Panji menyelidiki dahulu. Bukankah ki Panji kenal benar


dengan tabiat dari ki Ageng Gajah Sora ?"
P a g e | 301

.
"Hm.. Memang aku mengenalnya, ki Lurah. Tetapi dia sudah keterlaluan
dengan mempersiapkan laskarnya di alun - alun Banyubiru !"
.
"Dari mana ki Panji mengetahuinya ?"
.
Namun sebelum ki Panji Arya Palindih menjawab, seorang lelaki berbadan
tinggi dengan mata tajam dan hidung bagai paruh burung Kakaktua muncul
dari balik kain penyekat tenda, "Aku sendiri yang melihatnya, ki Lurah."
.
"Oh.. ki Tumenggung Prabasemi.." kejut ki Lurah Arya Dipa, sedikit heran, "Kapan
ki Tumenggung tiba di telatah ini ?"
.
"Mengapa kau mempertanyakan hal itu, ki Lurah." ucap orang yang disebut
Tumenggung Prabasemi, agak ketus dan selanjutnya tanpa menghiraukan ki
Lurah Arya Dipa, Tumenggung itu berkata kepada ki Panji Arya Palindih "Kakang
Panji, walau aku setingkat lebih tinggi daripada kakang, namun aku hanyalah
sebagai pendamping saja. Pasukan ini tetap berada dibawah pimpinanmu,
begitu pun dengan pasukan Manggala dan Jalapati yang aku bawa."
.
"Oh.. " kembali ki Lurah Arya Dipa terkejut.
.
Namun lain halnya dengan ki Panji Arya Palindih, orang tua dari Bergota ini
menyambut baik atas bantuan dari Tumenggung Prabasemi. Lantas ki Panji
Arya Palindih dengan sikap tegas memberi perintah kepada ki Lurah Arya Dipa
untuk bersiap - siap.
.
Tugas adalah tugas dan harus ditaati untuk kemudian dikerjakan. Maka ki Lurah
Arya Dipa keluar dari tenda menuju pasukannya dan mempersiapkan
segalanya, walau hatinya masih terusik dengan kehadiran Tumenggung
Prabasemi di lembah Telomoyo ini, apalagi Tumenggung itu tanpa memakai
pakaian bercirikan seorang prajurit Tumenggung.

"Oh.. Bila terjadi sesuatu dengan ki Ageng Banyubiru, akulah yang bersalah.
Semuanya sudah tak sejalan dengan rencana dari ki Ageng Sora Dipayana
dan paman Empu Citrasena." keluh Lurah yang sangat muda itu.
.
Pemuda itu tampak termenung ditengah hiruk pikuknya prajurit yang
P a g e | 302

mempersiapkan diri. Kembali teringat dirinya dengan orang yang datang pada
saat malam hari di timur Prambanan. Ki Lurah Arya Dipa sangat yakin kalau
orang itu benar - benar Empu Citrasena, ayah angkat Ayu Andini. Dan saat itu
memberikan secarik surat yang nyata dari Ayu Andini, serta menceritakan
mengenai adanya dua pusaka ditangan ki Ageng Sora Dipayana. Kemudian
membisikan sesuatu rencana untuk membawa pasukan Demak ke Banyubiru
untuk membawa ki Gajah Sora demi memancing gerombolan para perusuh.
.
Namun kenyataannya sangat berlainan sama sekali, karena dalam rencana itu
ki Ageng Sora Dipayana dan Empu Citrasena akan muncul disaat ki Panji Arya
Palindih berkunjung di pendopo Kabuyutan, tetapi hal itu tak terbukti.
.
"Oh.. Mungkinkah orang itu.. " suara ki Lurah Arya Dipa tercekat, tak mampu
dirinya untuk melanjutkannya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 22
OLEH : MARZUKI
.
..
"Mungkin perwujudan dari paman Empu Citrasena merupakan perwujudan dari
ilmu seseorang.. " desis ki Lurah Arya Dipa, "Aku harus menyelidiki dan bila perlu
aku akan menghadap kepada Kanjeng Sultan."
.
Lurah muda itu kemudian sibuk dengan mengatur kelompoknya, bersama ki
Rangga Gajah Sora dan ki Lurah Saroyo. Pasukan Wira Tamtama mulai terlihat
teratur dengan pakaian serba merah, dan yang paling mencolok yaitu dengan
adanya dua pedang disisi pinggang prajurit itu.
.
Pasukan yang awalnya dari pasukan Wira Tamtama dan Wira Radya, kini
bertambah dengan adanya Wira Jalapati dan Wira Manggala. Semakin
banyaklah pasukan itu untuk menggempur Laskar Banyubiru yang berada di
dataran agak tinggi darioada pasukan Demak.
.
Pergerakan mulai terlihat secara perlahan mendekati sebuah dataran yang
lapang di bukit Telamaya. Rumpun tetumbuhan yang hijau segar terinjak - injak
oleh kaki - kaki sekian banyaknya, entah itu dari manusia ataupun kuda
P a g e | 303

tungganngan.
.
Di depan Laskar Banyubiru yang bergerak dengan gelar Dirada Meta tak kalah
gagahnya. Ki Ageng Gajah Sora diapit oleh ki Wanamerta dan Penjawi,
nampak begitu tatag dalam menghadapi pasukan yang lebih besar dari
Laskarnya. Agak di belakang panji - panji juga ikut berkibar memberi semangat
tersendiri, apalagi di dalam gelar itu terdapat panji Dirada Sakti, yaitu sebuah
panji dengan dasaran merah berlukiskan seekor gajah berwarna kuning
keemasan. Panji kebesaran Kabuyutan Banyubiru.
.
Sekelompok Laskar dipimpin oleh seorang kepercayaan ki Ageng Gajah Sora,
yaitu ki Pandan Kuning dipercaya mengawal panji Dirada Meta. Sementara di
sisi kanan gelar telah ditempatkan Bantaran yang berbadan layaknya raden
Gathotkaca. Sedangkan di sisi kiri dipimpin oleh Sawungrana, seorang lelaki
jujur namun setiap tindakannya dalam bertempur sigap dan trengginas.

Pergerakan antara dua pasukan itu semakin dekat antara keduanya. Dan hal
itu membuat Mahesa Jenar bagai dipersimpangan jalan, yang saat itu duduk
diatas kudanya di luar gelar Laskar Banyubiru. Menatap ke depan, jantungnya
berdebar sangat kencang. Bagaimana tidak ? Di depan pasukan Demak yang
menerapkan gelar Cakra Byuha tersusun dari berbagai kesatuan yang sangat
ia kenal.
.
Di depan terlihat pasukan dari kesatuan Wira Tamtama dengan Tunggul
Dahana, yaitu sebuah bendera atau panji dengan dasaran merah dengan
garis bercorak lintang yang melintang. Lalu di sisi kanan ada kesatuan Wira
Jalapati dengan ciri panji Sura Pati, yaitu sebuah panji berlukiskan ikan sura
raksasa menggigit sebilah keris berwarna putih.
.
Kemudian di sisi kiri terdapat kesatuan Wira Manggala, salah satu kesatuan
yang tak asing bagi Mahesa Jenar, yang mana dalam tugas terakhirnya ia
ditempatkan dalam kesatuan ini, tepatnya di pasukan pengawal raja. Dan
yang ini pasukan penggempur dengan panji Garuda Rekta, yaitu sebuah panji
warna dasar kuning dengan lukisan garuda berwarna merah. Serta tak
ketinggalan pasukan penjaga kota yaitu, Manggala Sraya dengan tunggul
Mega, bendera dengan dasaran merah terdapat garis silang berwarna putih.
.
"Begitu dahsyatnya pasukan yang diturunkan, apalagi di tengan gerigi tak
P a g e | 304

ketinggalan bendera sang Gula Kelapa dengan dikawal pasukan bertombak


dari Wira Radya." desis Mahesa Jenar atau Rangga Tohjaya.
.
Lalu Mahesa Jenar memandang Laskar Banyubiru, ia pun merasa bangga
melihat bagaimana pasukan sahabatnya itu, tak menampakan rasa gentar
meskipun akan menghadapi pasukan yang hampir lengkap dari Demak.
Kegagahan Laskar Banyubiru dengan menggunakan gelar Dirada Meta,
menunjukan keyakinan mereka dengan kemampuan yang dimilikinya mampu
mengoyak cakra raksasa dengan gading - gading sang gajah.

"Sebuah adu taktik perang yang mendebarkan bagi keduanya." batin Mahesa
Jenar.
.
Ketika Mahesa Jenar dengan sungguh - sungguh memperhatikan gelar kedua
pasukan, ia dikejutkan dengan hadirnya seorang remaja yang menunggangi
seekor kuda hitam dengan riangnya.
.
"Oh.. Arya Salaka, kenapa kau kemari ?"
.
Remaja itu dengan senyum mengembang dan mata berbinar - binar menatap
kedua pasukan yang baru ia lihat selama hidupnya, menjawab dengan
enteng, "Hanya ikut melihat latihan perang - perangan itu, paman."
.
Jawaban itu sungguh membuat Mahesa Jenar bingung tak karuan. Bagaimana
tidak, di depan nyata - nyata sebuah gelar sesungguhnya, bukan permainan
untuk dipamerkan. Tapi ia pun tak berhak untuk menyalahkan dengan
jawaban dari remaja yang memang tak mengerti urusan orang dewasa.
.
"Salaka, sebaiknya kau cepat pulang."
.
"Kenapa paman ? Aku masih ingin melihat latihan pasukan itu dengan pasukan
ayah Gajah Sora."
.
"Salaka itu.. "
.
Kata Mahesa jenar tak diteruskan, karena saat memerhatikan ke depan yiatu di
pasukan Demak terjadi perubahan gelar.
.
P a g e | 305

"Oh.. Garuda Nglayang.. " desis Mahesa Jenar.


.
Lalu Mahesa Jenar mengalihkan pandangannya ke Laskar Banyubiru. Namun
tiada perubahan gelar yang ditunjukan, malah terlihat ki Ageng Gajah Sora
nampak terdiam. Hal itu membuat Mahesa Jenar gelisah bukan main.

"Kenapa kakang Gajah Sora tak menggambil tindakan ?" batin Mahesa Jenar,
"Apakah ia putus asa ? Oh...Gawat jika ia mengambil tindakan tanpa
perhitungan mantap, semoga ia tak mengganti gelarnya dengan Samudra
Rob atau pun Glatik Neba. Aku harap ia mampu menerapkan gelar Wulan
Punanggal."
.
Tetapi yang terlihat masih tiada perubahan sedikit pun. Malah ki Ageng Gajah
Sora terlihat sedang berbicara dengan ki Wanamerta dan Panjawi. Lalu
kemudian Buyut dari Banyubiru itu memandang ke Mahesa Jenar yang berada
di luar gelar dan melambaikan tangannya.
.
"Ada apa ?" desis Mahesa Jenar yang kemudian melecut kudanya demi
menghampiri Ki Ageng Gajah Sora, tanpa menghiraukan lagi keberadaan Arya
Salaka.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 23
OLEH : MARZUKI
.
..
Setibanya Mahesa Jenar, ia langsung melontarkan pertanyaan mengapa
dirinya dipanggil oleh sahabat sekaligus seorang yang dianggap sebagai
kakaknya sendiri.
.
"Adi, kedatanganmu ini sebagai saksi yang mana aku akan menyerahkan
pimpiman Laskar Banyubiru ini kepada paman Wanamerta." kata ki Ageng
Gajah Sora tenang.
.
"Ki Ageng.. " ucap Penjawa tercekat.
.
Begitu juga dengan ki Wanamerta, orang itu bingung dengan ucapatan dari ki
P a g e | 306

Ageng Gajah Sora. Maka katanya, "Apa yang anakmas katakan ini ?"
.
"Paman Wanamerta, Laskar Banyubiru dan juga penghuninya diwaktu yang
akan datang sangat memerlukan bimbingan dari paman. Aku memohon
kepada paman untuk selalu memberikan tuntunan kepada penghuni
Kabuyuyan Banyubiru." lalu ki Ageng Gajah Sora menatap Penjawi, "Penjawi,
kau sebagai pemuda harapan telatah Banyubiru, hendaknya diwaktu yang
akan datang selalu meningkatkan kemampuan didalam memberikan rasa
aman disetiap telatah Banyubiru."
.
Kata - kata itu masih memberikan tanda tanya besar bagi ki Wanamerta dan ki
Penjawi, serta ki Pandan Kuning yang berada di dekat Tunggul Dirada Sakti.
.
"Setelah aku pikirkan secara cermat dan matang, telah bulat keputusan yang
aku ambil, yaitu aku akan ikut dengan Pasukan Demak." sambung ki Ageng
Gajah Sora.
.
"Oh.. Ki Ageng, perintahkan kami bergerak menyerang mereka ! Karena kami
akan puas jika mati membela tanah Banyubiru, daripada melihat ki Ageng
sebagai tawanan mereka !" seru Penjawi yang berkobar - kobar.
.
Tetapi gelengan kepala ki Ageng Gajah Sora yang kemudian terlihat, "Tidak,
Penjawi. Aku akan ikut dengan mereka. Bukannya aku takut dengan pasukan
Demak yang hampir lengkap itu, melainkan lihatlah Sang Gula Kelapa yang
berkibar dengan gagahnya tertiup oleh bayu."

Mata ki Ageng Gajah Sora terlihat berkaca - kaca saat mengatakan Sang Gula
Kelapa. Bagaimana tidak ? Dahulu dibawah naungan Sang Gula Kelapa,
Gajah Sora muda telah berdiri di samping Adipati Pati Unus dalam menghalau
bangsa Portugis di selat Malaka. Apakah ia sekarang akan mampu jika harus
bertempur menghadapi pasukan yang membawa bendera pusaka itu?
.
Tidak. Walau dalam tubuhnya tersimpan segudang ilmu kanuragan jaya
kawijayan, tetapi saat itu juga ilmunya bagai sirna terserap oleh wibawa pusaka
Gula Kelapa. Darahnya terasa mengering, dagingnya bagai digerogoti ulat,
tulangnya terasa rapuh hancur menjadi debu. Itu semua dikarenakan jiwa
seorang Gajah Sora sudah menyatu dengan Sang Gula Kelapa. Oleh
karenanya maka keputusan itulah yang diambilnya.
P a g e | 307

.
"Aku tak ingin mengotori kesucian dari Sang Gula Kelapa, maka dari itu lebih
baik perang ini diurungkan saja."
.
Dalam pada itu diraut wajah Penjawi dan ki Wanamerta masih menyimpan
rasa yang tak puas dengan keputusan yang diambil oleh ki Ageng Gajah Sora.
.
Dan rasa itu mampu dibaca oleh putra Ki Ageng Sora Dipayana, lalu katanya,
"Mungkin kalian berdua tak begitu mengerti dengan apa yang aku rasakan
saat ini, tapi tidaklah dengan adi Mahesa Jenar. Ia tentu memahaminya."
.
"Aku tegaskan sekali lagi. Paman Wanamerta, setelah aku pergi nanti,
perintahkan kepada Laskar Banyubiru untuk mundur. Dan kau Penjawi,
bantulah paman Wanamerta dalam pemerintahan di Kabuyutan, khususnya
dalam mendidik pengawal Banyubiru untuk selalu menjaga ketenangan di
dalamnya." sambung ki Ageng Gajah Sora, yang kemudian beralih kepada
sahabatnya, "Oh ya adi, dimana Arya Salaka ? aku lihat tadi bersama dirimu ?"
.
Sadarlah Mahesa Jenar dengan Arya Salaka yang tak ada di sampingnya. Ia
pun mengeliarkan pandang, dan betapa kagetnya ketika ia melihat anak itu
menunggang kuda yang berada di garis serang pasukan Demak.
.
"Oh.. Aku telah melupakan kehadirannya. Untung saja tiada pergerakan
pasukan Demak." batinnya, yang kemudian memanggil anak itu.

Pada panggilan pertama Arya Salaka diam saja, panggilan kedua anak itu
masih takut, lalu panggilan ketiga barulah anak itu membedalkan kudanya
menuju dimana ayahnya, Mahesa Jenar, ki Wanamerta dan Penjawi sedang
berkumpul.
.
Sesampai anak itu, ki Ageng Gajah Sora berkata kepadanya, "Arya Salaka,
ayah akan pergi hingga waktu yang tak dapat ayah tentukan. Dan karena
sebelumnya kau mampu bermain dengan kyai Bancak ini, hari ini aku
menyerahkan kepadamu. Tapi untuk sementara biarlah eyangmu Wanamerta
yang membawanya."
.
Anak itu girang bukan main, tanpa menyadari makna sebenarnya dari kata -
kata itu, apalagi selanjutnya masih mendengarkan apa yang dikatakan
P a g e | 308

ayahnya.
.
"Untuk selanjutnya dengarlah perkataan eyangmu Wanamerta dan juga
pamanmu Mahesa Jenar yang mana akan menuntunmu dalam olah
kanuragan selanjutnya."
.
Ki Wanamerta maupun Mahesa Jenar tak mampu berbuat sesuatu untuk
mencegah kepergian ki Ageng Gajah Sora. Setelah memberikan beberapa
nasehat kepada orang kepercayaannya, perlahan ki Ageng Gajah Sora
memacu kuda itu melangkah ke depan, menuju garis pasukan Demak.
.
Setelah kepergian ki Ageng Gajah Sora, Mahesa jenar mengajak Arya Salaka
untuk mundur. Awalnya Arya Salaka mengikuti sampai empat tindak kaki kuda,
tetapi anak itu merasakan keanehan saat terdengar hiruk pikuk yang terjadi
digelar Dirada Meta. Pemuda itu melihat para pemimpin Laskar Banyubiru
menenangkan kelompok demi kelompok dalam gelar.
.
"Ada apa ini paman ?" tanya Arya Salaka.
.
"Ayo kita mundur." ajak Mahesa Jenar.
.
"Mengapa harus mundur, paman ? Bukankah ayah sudah menyerahkan kyai
Bancak padaku sebagai simbol aku diperbolehkan ikut berperang ?" bantah
Arya Salaka.

Saat itulah anak itu mengeliarkan mata ke arah pasukan Demak, heran
menggrogoti anak itu manakala ayahnya dikawal oleh Senopati pasukan
Demak yang kemudian memasuki gelar.
.
"Ayah... Ayah.. Ayah.. !" teriak Arya Salaka seraya melecut kudanya.
.
"Jangan Salaka.. !" teriak Mahesa Jenar seraya meraih tali kekang kuda anak
itu, dengan kuatnya.
.
"Lepaskan paman.. Lepaskan.. !" Arya Salaka berusaha meronta.
.
Tapi apalah daya, tangan Mahesa terlalu kuat bagi anak remaja itu. Sehingga
karena kelelahan, Arya Salaka tak kembali meronta.
P a g e | 309

.
"Mari kita pulang, ibumu pasti menanti kedatanganmu." ajak Mahesa Jenar.
.
Keduanya lantas berjalan beriringan diatas kuda bersama dengan Laskar
Banyubiru, dengan hati berat karena merasa telah menyerahkan kepala
Kabuyutan tanpa perlawanan.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 24
OLEH : MARZUKI
.
..
Dalam pada itu ki Ageng Gajah Sora yang berjalan mendekati pasukan
Demak, telah mendatangkan tanda tanya bagi pasukan Demak, khususnya
para senopati utama. Ki Panji Arya Palindih dan Tumenggung Prabasemi saling
berpandangan, dan kembali menatap sosok yang duduk di kuda tegar
dengan tenangnya.
.
"Kakang Panji, kalau orang itu ingin berdamai, harap kakang tak memberinya."
ucap Tumenggung Prabasemi.
.
Ki Panji Arya Palindih mengerutkan keningnya, "Alasannya apa, ki Tumenggung
?"
.
"Hm.. Kakang seharusnya memahami kesalahan seorang Gajah Sora dalam
bertindak sejauh ini. Ia dengan angkuhnya mengumpulkan orang - orangnya
untuk menghadapi kekuasaan Demak, namun disaat akhir dirinya seperti
pengecut. Maka untuk menebus kesalahannya, ia pantas dibunuh beserta
orang - orang kepercayaannya." kata Tumenggung Prabasemi.
.
"Itu bukan pada tempatnya, ki Tumenggung. Bila anakms Gajah Sora mau
menyerahkan diri, sebaiknya kita membawanya ke Demak untuk dihadapkan
kepada Kanjeng Sultan Trenggono. Biarlah Kanjeng Sultan yang akan
menentukan nasib dirinya dan Kabuyutan Banyubiru."
.
"Kakang terlalu lembek, sudah jelas Buyut itu melakukan kesalahan besar
dengan berani mengumpulkan pasukan sebanyak itu. Kita harus
P a g e | 310

membunuhnya disini." Tumenggung Prabasemi bersikeras dengan


keinginannya, "Ingat kakang, bukannya aku ingin berlaku tak sepantasnya, tapi
aku seorang Tumenggung."
.
Hal itu menimbulkan tawa yang keluar dari mulut ki Panji Arya Palindih, tawa
tawar, "Memang aku hanyalah seorang Panji saja, ki tumenggung. Tapi aku
membawa tanda sebagai utusan Kanjeng Sultan."
.
Usai berkata begitu ki Panji Arya Palindih merogoh sesuatu dari balik ikat
pinggangnya, sebuah lencana emas dengan corak Lintang berjumlah dua.
Dan lencana itu diperlihatkan kepada Tumenggung Prabasemi.

"Selain ini, bukankah tadi ki Tumenggung berkata kepadaku bahwa ki


Tumenggung hanya pendamping saja ?"
.
Sejenak ki Tumenggung mengisar kudanya sehingga menghadap senopati dari
Bergota. Raut wajahnya terlihat aneh dengan senyum sejuta arti menghiasi
bibirnya.
.
"Hm.. Kakang Panji, memang kau membawa Lencana Dwi Lintang sebagai
tanda duta Kesultanan dan akan membuatku tunduk. Tetapi apakah kakang
Panji setelah membawa itu akan mengacuhkan cincin ini ?" ucap Tumenggung
Prabasemi sambil mengunjukan cincin emas yang ada permata merah, jika
terkena cahaya nampak berkilauan.
.
"Oh... " desuh ki Panji Arya Palindih.
.
"Bagaimana kakang ? Apakah kau masih bersikeras menentang perintahku ?"
.
"Tidak ki Tumenggung.. " jawab Senopati dari Bergota, hambar.
.
"Bagus, persiapkan pasukan dan tunggu perintahku." seru Tumenggung
Prabasemi, penuh kemenangan.
.
Sementara itu agak dikejauhan seorang Lurah muda begitu geramnya
mendengar kata - kata Tumenggung Prabasemi terhadap ki Panji Arya Palindih.
Sejak awal Lurah muda itu telah menerapkan aji Pangrungu untuk selalu
memantau apa saja yang dibicarakan oleh kedua Senopati. Dan dugaannya
P a g e | 311

selama ini benar adanya. Kemunculan Tumenggung satu ini tentu akan ada
kelanjutannya demi keuntungan pribadi Tumenggung itu sendiri.
.
"Apa yang harus aku lakukan ? Di depan sepertinya ki Ageng Gajah Sora ingin
menyerah, tetapi ki Tumenggung akan tetap menghancurkan pasukan
Banyubiru.. " batin Lurah muda yang tak lain ki Lurah Arya Dipa.

Saat - saat terakhir semakin menegangkan bagi Ki Lurah Arya Dipa dengan
bersamaan dekatnya ki Ageng Gajah Sora menghampiri senopati Demak.
.
Dan akhirnya ki Ageng Gajah Sora sampai dihadapan kedua senopati Demak.
Sesampainya, Ki Ageng Gajah Sora mengangguk hormat kepada ki Panji Arya
Palindih. Kemudian ki Ageng Gajah Sora mengungkapkan bahwa dirinya akan
mempertanggungjawabkan apa yang sebenarnya terjadi kepada Kanjeng
Sultan. Karenanya ia rela dan mau dibawa ke Demak, asal pasukan Demak tak
mengganggu Kabuyutan Banyubiru.
.
Tetapi betapa terkejutnya Buyut Banyubiru itu, ketika seorang yang tak
memakai pakaian prajurit Demak di samping ki Panji Arya Palindih, berkata,
"Tidak, Gajah Sora. Kau dan Kabuyutan Banyubiru harus
mempertanggungjawabkan !"
.
Saking herannya ki Ageng Gajah Sora menatap ki Panji Arya Palindih, untuk
meminta keterangan terhadap orang yang berdiri disamping Senopati Bergota.
.
"Dia Senopati tertinggi Demak di bukit Telamaya ini, anakmas. Ki Tumenggung
Prabasemi, ia membawa cincin dari Kanjeng Sultan."
.
"Oh.. " desuh ki Ageng Gajah Sora, "Aku mohon ki Tumenggung, janganlah tuan
menjatuhkan hukuman kepada Laskar Banyubiru. Biar aku saja yang menerima
hukuman seberat apapun itu."
.
"Tidak Gajah Sora !" seru ki Tumenggung Prabasemi.
.
Ketegangan semakin memuncak. Ki Ageng Gajah Sora tak mengira akan
berakhir seperti itu. Di lain tempat ki Lurah Arya Dipa juga sangat gelisah
dengan tindakan Tumenggung Prabasemi, begitu juga dengan ki Panji Arya
Palindih. Saat itulah dari dalam gelar muncul seseorang yang menaiki kuda
P a g e | 312

hitam, diiringi dua orang yang memakai pakaian seorang Nayaka Praja tingkat
tinggi.

"Paman Tumenggung, kau berlebihan !" seru penunggang kuda hitam itu.
.
Demi terdengar suara yang sangat dikenal oleh ki Tumenggung Prabasemi,
Tumenggung langsung menoleh untuk meyakinkan pendengarannya terhadap
seruan dari arah belakangnya.
.
"Oh.. " desuh ki Tumenggung Prabasemi.
.
Begitu juga dengan ki Panji Arya Palindih dan yang lainnya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 25
OLEH : MARZUKI
.
..
Semua senopati menghormat kepada orang yang menegur Tumenggung
Prabasemi. Seorang pemuda yang pantas disebut remaja, karena usianya
masih terlalu muda sekali. Tetapi wajahnya memancarkan kalau remaja itu
seorang keturunan ningrat penuh kewibawaan.
.
"Oh... Gusti Pangeran Timur." Kata Tumenggung Prabasemi, "Hamba akan
menjelaskan persoalan ini."
.
"Nanti saja, paman Tumenggung." kata orang yang disebut Pangeran Timur itu,
yang merupakan putra bungsu Kanjeng Sultan Trenggono.
.
"Eyang, Palindih. Bawalah ki Ageng Gajah Sora ke Demak." sambung Pangeran
Timur kepada Senopati Bergota, "Karena kaulah pemimpin sah pasukan dalam
tugas di Banyubiru."
.
"Sendiko, Gusti Pangeran." sahut ki Panji Arya Palindih, yang kemudian
memerintahkan bawahannya untuk membawa ki Ageng Gajah Sora memasuki
gelar pasukan dan memerintahkan kepada para senopati untuk menarik
pasukan.
.
P a g e | 313

Sementara itu rasa kesal dirasakan oleh Tumenggung Prabasemi, yang tak
mengira rencana yang sudah ditata dengan rapi telah mengalami kegagalan.
Selain itu rasa malu juga dideritanya karena Pangeran Timur menyangkal
kepemimpinan pasukan Demak itu dihadapan para senopati.
.
"Uh.. Pasti ini ulah si tua Wiratanu itu.. " geram Tumenggung Prabasemi, yang
kemudian berjalan agak dibelakang kelompok kesatuan Wira Sraya Manggala.
.
Di lain tempat ki Lurah Arya Dipa merasa lega atas kemunculan Pangeran Timur
serta Raden Arya Ngabehi Wiratanu dan Tumenggung Sandiyuda di tempat itu.
Kedatangan Pangeran Timur dapat menghindarkan bentrokan pasukan Demak
dan Laskar Banyubiru, sehingga tak menimbulkan korban sia - sia dari kedua
belah pihak.
.
Tetapi dirinya juga masih heran atas kemunculan para petinggi Demak yang
membawa pasukan segelar sepapan di lembah Telamaya itu. Pertanyaan itu
terus berkumandang dalam hati seorang Arya Dipa, yang sangat kecil
pengetahuannya mengenai seluk beluk Nayaka Praja Demak.

Sebenarnya pasukan Demak dari kesatuan Jalapati dan Manggala Yuda itu
akan menuju Purbaya, yaitu untuk mengiringi Pangeran Timur serta sebagai
bala bantuan untuk pasukan yang dipimpin oleh Tumenggung Suranata yang
terdesak di Ngurawan, sebuah telatah antara Purbaya dan Ponorogo.
Ditengah jalan, pasukan itu berhenti untuk bermalam disebuah pinggiran
sungai. Saat itulah dua orang yang memakai cadar dengan tangkas dan
cekatan mampu memasuki perkemahan serta mendekati tenda dimana
Pangeran Timur tidur. Ternyata kedua orang itu sebelumnya mampu
melepaskan aji Sirep yang luar biasa dahsyatnya, hingga membuat seluruh
pasukan tertidur dengan pulasnya.
.
Jelas adanya maksud dari keduanya tentu menjurus perbuatan yang akan
merugikan pasukan Demak, khususnya bagi jiwa Pangeran Timur. Penghilangan
nyawa orang penting Demak yang masih remaja adalah tugas inti dari kedua
orang bercadar itu. Bila tugas itu berhasil, akan berakibat parah bagi pasukan
Demak itu, sehingga pasukan itu tak akan melanjutkan perjalanan dan akibat
yang lain ialah senopati tertinggi yang mengawal Pangeran Timur tentu
mendapat hukuman akibat kelalaian mereka. Dan hal itu merugikan kekuatan
Demak, karena di pasukan itu yang sebagai pengawal Pangeran Timur
P a g e | 314

merupakan orang - orang yang diperhitungkan oleh kedua orang bercadar


dan pemimpin mereka.
.
Tetapi masalah hidup matinya seseorang berada di tangan Sang Pencipta.
Ketika kedua orang itu sesaat lagi menghunuskan keris mengarah dada
seorang yang berbaring dibalik selimut, keduanya terkejut bukan main.
Serangkum angin menerjang keduanya hingga terpelanting keluar tenda. Habis
terguling di tanah keduanya dengan sigap melenting berdiri dan siap siaga
menanti serangan selanjutnya.
.
Di depan seorang remaja dan seorang lelaki yang mendekati usia.senja berdiri
penuh percaya diri menatap kedua orang bercadar yang memasuki
perkemahan.
.
"Siapa kalian ?" seru remaja itu.
.
Suara dari remaja itu menimbulkan getaran yang mampu menggoyahkan batin
kedua orang itu.

"Sebaiknya kita menyingkir, adi." desis seorang bercadar yang berdiri dikanan.
.
"Hm.. Baik kakang."
.
Keduanya siap pergi dari perkemahan itu, tetapi sebelumnya keduanya
mempersiapkan sebuah gerakan yang aneh agar rencana keduanya berhasil.
Sejurus kemudian keduanya meloncat bersamaan seperti menyerang remaja
dan orang tua di dekat tenda Pangeran Timur.
.
Serangan itu sebenarnya sudah diduga oleh keduanya, hanya saja maksud
dari serangan itulah yang luput dari rekaan keduanya. Yang mana serangan
yang awalnya gencar dilakukan oleh kedua orang bercadar, tiba - tiba
berubah penuh keanehan dan membingungkan, sehingga kebingungan yang
sesaat itu dimanfaatkan oleh dua orang bercadar untuk menghindar dari
perkemahan.
.
"Pengecut jangan lari.. !" seru remaja itu.
.
"Jangan dikejar Pangeran.. !" cegah orang tua kawan si remaja.
P a g e | 315

.
Namun si remaja itu tetap mengejar seraya melempar benda yang berkelipan
ke arah orang tua tadi, seraya berkata, "Eyang berikan cincin itu kepada
paman Tumenggung Prabasemi, katakan supaya ia melanjutkan perjalanan ke
Purbaya !"
.
Walau remaja itu jauh di depan tetapi suaranya masih bergaung. Sebuah ilmu
dahsyat ditunjukan oleh remaja itu.
.
"Ah.. jiwa Anakmas Pangeran Timur masih terlalu muda, dia terpancing dengan
lawannya." desis orang tua itu.
.
Kemudian orang tua itu sadar kalau dirinya harus mengejar Pangeran Timur.
Tetapi sebelumnya dirinya harus membangunkan Tumenggung Prabasemi dan
Tumenggung Sandiyuda. Kepada kedua Tumenggung, orang tua itu
menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan memerintahkan supaya untuk
sementara pasukan dibawah perintah Tumenggung Prabasemi, yang mana
akan langsung ke Purbaya.
.
"Bila persoalan sudah selesai, aku dan anakmas Pangeran Timur akan segera
menyusul." kata orang itu.
.
"Apakah Raden tak membawa sekelompok prajurit ?" tanya Tumenggung
Sandiyuda.

Orang tua itu tampak berpikir barang sesaat, lalu akhirnya ia berkata, "Cukup
kau saja yang ikut denganku ki Tumenggung Sandiyuda."
.
Maka kedua orang tua itu kemudian mengejar Pangeran Timur dan
mempercayakan pasukan Demak kepada Tumenggung Prabasemi.
.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, Tumenggung Prabasemi itu lantas dengan
membusungkan dada memimpin pasukan itu. Ketika dirinya dan pasukan
Demak dekat sungai Tuntang, salah seorang bawahannya memberitahukan
adanya perkembangan situasi di Kabuyutan Banyubiru.
.
"Hm.. Sebuah keuntungan bagiku jika Banyubiru luluh lantah." desis
Tumenggung Prabasemi setelah mendengarkan penuturan bawahannya.
P a g e | 316

.
Begitulah awal mulanya mengapa pasukan itu berada di lembah Telamaya,
jauh dari jalur pergerakan ke Purbaya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 26
OLEH : MARZUKI
.
..
Kembali dengan mundurnya pasukan Demak yang sangat rapi meninggalkan
bukit kecil, maka Laskar Banyubiru juga ditarik mundur atas perintah ki
Wanamerta yang mendapat amanah dari ki Ageng Gajah Sora. Perasaan
Laskar Banyubiru yang tak karuan dapat ditenangkan oleh ki Wanamerta,
meskipun awalnya terjadi perbedaan pendapat. Itu karena pusaka kyai
Bancak diperlihatkan kepada Laskar itu, yang membuat mereka yakin kalau
memang itu semua dikehendaki oleh ki Ageng Gajah Sora.
.
Begitu juga dengan pasukan Demak pun juga terjadi silang pendapat setelah
penyerahan ki Gajah Sora. Untunglah diwaktu genting itu muncul Pangeran
Timur, yang mampu meredam dan mengokohkan kepemimpinan ki Panji Arya
Palindih sebagai senopati tertinggi pasukan yang membawahi kesatuan Wira
Tamtama dan Wira Radya. Khususnya dalam tugas yang menyangkut tanah
perdikan Banyubiru, yang kini harus membawa kepala tanah perdikan untuk
dihadapkan kepada Kanjeng Sultan Demak, di kotaraja Bintoro.
.
Di persimpangan jalan pasukan Demak terpisah menjadi dua pasukan. Pasukan
yang sebelumnya dibawah pimpinan Tumenggung Prabasemi, mengarah ke
timur laut. Sedangkan pasukan yang membawa ciri Tunggul Dahana mengarah
jalur kiri.
.
"Eyang Palindih, maafkan paman Tumenggung Prabasemi yang telah
menyalahi tatanan keprajuritan. Namun sebenarnya akulah yang bersalah
karena meninggalkan pasukan demi mengejar seseorang." kata Pangeran
Timur.
.
"Oh... Tak sepantasnya gusti Pangeran meminta maaf kepada hamba." sahut ki
Panji Arya Palindih, "Hamba tak mempersoalkan, karena semuanya sudah
berlalu, Pangeran."
P a g e | 317

.
Pangeran yang masih remaja itu tersenyum, lalu kemudian mengajak Raden
Arya Ngabehi Wiratanu dan pasukannya untuk melanjutkan tujuan mereka
yang tertunda karena pokal Tumenggung Prabasemi.

Sepeninggal Pasukan Pangeran Timur, Ki Panji Arya Palindih memerintahkan


pasukannya untuk bergerak. Jalur jalan kirilah yang dituju oleh pasukan itu.
Pasukan yang kini membawa seorang kepala tanah perdikan, yang
ditempatkan di tengah bersampingan dengan tunggul Dahana, tunggul Radya
dan bendera Sang Gula Kelapa, yang berkibar - kibar dengan megahnya.
.
Iringan pasukan perlahan merayap bak liukan seekor ular raksasa. Sebuah
iringan yang merupakan sebagian dari kekuatan kesultanan Demak yang
selesai dalam tugas, walaupun sebenarnya tugas itu tak sepenuhnya berhasil.
Karena sebenarnya tugas mereka ialah membawa pusaka kyai Naga Sasra
dan Sabuk Inten.
.
Saat itulah dari atas bukit nampak bintik - bintik warna hitam yang bergerak
menuruni lereng bukit. Jalan yang diapit dua bukit kecil itu tiba - tiba tercurah
sebuah pasukan dari berbagai lereng yang dengan cepat membentuk gelar
perang, Samudra Rob.
.
"Serang.. ! Serang.. ! Serang..!" teriakan melantang dari pasukan yang menuruni
lereng - lereng bukit.
.
Sergapan bergelombang terus menerus bak debur ombak lautan itu, tak
membuat pasukan Demak gentar ataupun gugup. Ki Panji Arya Palindih
dengan sigap memberi isyarat untuk melawan dengan menerapkan gelar
perang Gedong Minep. Maka dengan cepat para senopati meneruskan
kepada para pemimpin kelompok dan dilanjutkan kepada prajurit
bawahannya.
.
Gerakan dari pasukan yang terlatih itu sungguh mengagumkan. Dalam waktu
singkat gelar Gedong Minep sudah mapan yang sulit ditembus gelombang air
bah dari lautan para penyerang. Hal itu mengagetkan para penyerangnya
yang tak mengira jika serangan dadakan mereka mampu tertahan.
Denting senjata mulai terdengar dari segala titik, disambut dengan teriakan
umpatan maupun keluhan yang dialami oleh kedua pihak.
P a g e | 318

.
"Ki Panji Reksotani, bawa anakmas Gajah Sora ke sini." seru ki Panji Arya Palindih.
.
"Jangan, ki Panji. Itu sangat bahaya dan akan merugikan kita." bujuk ki Panji
Reksotani.

"Mengapa berbahaya ? Malah dengan adanya dia di depan, ia akan mampu


meredam orang - orangnya ini yang berbuat gila."
.
"Tapi para penyerang sepertinya tidak seperti pasukan yang berada di atas
bukit tadi, ki Panji." masih ki Panji Reksotani memberikan uraiannya.
.
Sejenak ki Panji Arya Palindih mengeliarkan pandang ke arah para penyerang,
lalu katanya, "Hm.. Gantikan posisiku, aku akan mencoba bertanya kepada
Gajah Sora."
.
"Baik, ki Panji."
.
Lantas ki Panji Arya Palindih menghampiri ki Ageng Gajah Sora yang berada di
tengah gelar dan kemudian melontarkan pertanyaan.
.
"Bukan, paman Palindih. Mereka bukan orang - orang Banyubiru." jawab ki
Ageng Gajah Sora, setelah ditanya mengenai orang - orang yang melakukan
penghadangan kepada pasukan Demak.
.
"Anakmas jangan berbohong."
.
"Aku bersumpah paman, mereka bukan orang - orangku." jawab ki Ageng
Gajah Sora, tegas.
.
"Hm...Untuk saat ini aku percaya, anakmas. Tapi sepanjutnya tentu kami akan
melakukan penyelidikan." kata ki Panji Arya Palindih.
.
Kemudian ki Panji Arya Palindih melalui senopati memberi isyarat. Secepat kilat
isyarat itu menjalar dari satu kelompok ke kelompok lainnya. Sebuah isyarta
untuk melakukan tata gerak berkelompok.
.
Pemandangan tata gerak pasukan yang awalnya rapi, tiba - tiba mengalami
P a g e | 319

perubahan yang mana gelar terdepan terlihat mengalami kelemahan dan


menimbulkan lubang - lubang kecil.
.
"Hancurkan pasukan Demak !" seru penyerang, "Lihat meraka mulai
kewalahan.. !"

Teriakan itu membangkitkan semangat juang bagi penyerang, yang mampu


merobek gelar terdepan pasukan Demak. Lantas dengan berani mereka terus
merangsek membobol pertahanan gelar lawan dengan segenap kekuatan.
.
Garis pertama pasukan Demak akhirnya jebol dan membuat lawan mampu
merangsek semakin dalam, hingga garis kedua dan ketiga. Dan inilah yang
ditunggu oleh pasukan Demak, yang memang sengaja membiarkan garis
pertahanan terdepan jebol. Sebuah isyarta dari lambaian tunggul merupakan
kelanjutan taktik ki Panji Arya Palindih. Jebakan dengan melempar umpan
dengan rakusnya dimakan buruan. Gelar Gedong Minep tanpa disadari oleh
para penyerang, berubah menjadi gelar Jurang Grawah. Menelan lawan
sebanyak - banyaknya.
.
Teriakan demi teriakan melengking mengerikan dari pasukan penyerang. Darah
membasahi jalan di bawah bukit menjadi merah dengan bergelimpangan
mayat manusia. Sebuah pemandangan yang mengerikan akibat peperangan
antar anak manusia. Nyawa terasa murah dan tak berharga, setelah loncat
dari raga.
.
Di atas burung - burung pemakan bangkai berkoak - koak menanti selesainya
pertumpahan darah yang sangat memguntungkan bagai burung pemakan
bangkai. Perut mereka sebentar lagi akan terpuaskan dengan santapan yang
begitu melimpah ruah. Daging lezat dari mahkluk yang disebut manusia,
mahkluk yang katanya mempunyai akal dan hati nurani, tapi perbuatan
mereka masih seperti binatang.
.
Dalam pada itu di atas tebing sekelompok orang memandang ke bawah
tebing dengan duduk diatas kuda - kuda mereka.
.
"Laskarmu sepertinya akan terbantai, ki Ageng." desis seorang pemuda dengan
senyum aneh.
.
P a g e | 320

Orang yang disebut ki Ageng itu lantas menatap tajam kearah pemuda yang
menegurnya, lalu serunya, "Diamlah kau Jaka Soka !"
.
Pemuda Jaka Soka itu malah mengumbar tawa yang membuat telinga panas.
Tapi Orang yang disebut ki Ageng hanya diam saja. Malah orang lainlah yang
bersuara.
.
"Hentikan tawamu itu, Jaka Soka. Supaya aku tak kelepasan tangan !"

"Huh...Hanya tangan selunak sidat saja, mana mungkin mampu melukai


mulutku." ejek Jaka Soka.
.
"Bangsat kau, Jaka Soka !" teriak orang itu, yang tak lain Uling Muda dari Rawa
Pening.
.
"Sudahlah, adi. Tak usah kau hiraukan mulut licin ikan Nusakambangan itu."
cegah Uling Tua, menenangkan saudaranya, "Lihatlah pasukan kita semakin
terdesak."
.
Memang benar di bawah pertempuran semakin sengit, dimana pasukan
Demak mampu menekan pasukan pernyerang, yang tak tahunya sebuah
pasukan gabungan dari orang - orang golongan hitam. Walau kedua pihak
telah berjatuhan korban, namun korban dari penyeranglah yang paling banyak
berjatuhan.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 27
OLEH : MARZUKI
.
..
Pasukan Demak semakin hebat mendesak lawan - lawannya, khususnya dari
kesatuan Wira Manggala kelompok ki Lurah Arya Dipa. Kelompoknya yang
paling dekat dengan tempat ki Ageng Gajah Sora berada. Karena tempat
inilah tujuan utama pasukan gabungan dari tokoh - tokoh golongan hitam dan
ki Ageng Lembu Sora, pada saat gelar Gedong Minep terbuka.
.
Seorang lelaki berperawakan tinggi tegap dengan bulu dada lebat, berusaha
P a g e | 321

melakukan serangan gelap terhadap ki Ageng Gajah Sora dengan melempar


pisau kecil.
.
"Wuuuss... !!!"
.
"Triiing.. !!!" sebatang pedang menghalangi laju pisau belati orang tadi.
.
"Bangsat !" maki orang tadi dengan menyalangkan matanya kepada seorang
pemuda, "Minggir anak muda, jangan mengganggu pekerjaanku !"
.
"Hm.. Kau aneh, kisanak. Ini medan perang, bukanlah ladang atau sawah !"
seru pemuda itu.
.
"Hm.. " dengus orang itu, "Ingin mati rupanya kau, anak muda. Tak tahukah kau
berhadapan dengan siapa ?"
.
Pemuda yang tak lain ki Lurah Arya Dipa itu, tersenyum simpul, "Kisanak, jika aku
tahu namamu tentu kau akan datang kepadaku untuk berguru dalam ilmu
Weruh Sakdurungè Winarah."
.
"Hordah.. Kau jangan berkelakar, anak ingusan !"
.
"Hehehe.. Siapa yang berkelakar, kisanak ? Bukankah malah kisanak ini yang
berkelakar ? Dengan menyebut diriku seorang anak yang ingusan ?"
.
Sungguh panas kuping dan hati orang yang berperawakan tingge tegap itu,
maka amarah yang tak mampu dibendung telah jebol meluap memuntahkan
api kemarahan mengarah lawannya. Dengan teriakan nyaring orang itupun
menyerang ki Lurah Arya Dipa, menggunakan bindi berduri.
.
Kesiur angin bindi orang itu tak olah - olah dahsyat tenaganya. Bila mengenai
sebuah batu, tentu akan hancur berkeping - keping, apalagi jika orang yang
terdiri dari gumpalan daging dan cairan darah, pasti lumat mengerikan.

Untunglah serangan itu mengarah seorang Arya Dipa, seorang pemuda yang
ditempa dengan lelaku berat oleh guru gaibnya, serta tuntunan seorang resi
dari Penanggungan. Gerakan mengisar kaki ringannya mampu menghindari
bindi aneh dari lawan serta bersiap membalas serangan secara langsung.
P a g e | 322

.
"Hebat juga kau anak muda !" puji orang itu, yang kemudian mampu
membaca kalau lawannya akan membalas serangan, maka orang itu telah
mendahului menyodok perut lawan, "Awas !"
.
Sungguh mengherankan orang itu, jarak yang sulit untuk melakukan sodokan
mampu diperagakan dengan sempurna. Bindinya yang begitu berat juga tak
menyulitkan tata geraknya untuk melakukan sodokan kepada ki Lurah Arya
Dipa.
.
Tak sempat ki Lurah Arya Dipa untuk menghindar ataupun melakukan serangan
balik. Tinggalah pemuda itu menanti sodokan tangan lawan yang terlihat
kokoh.
.
"Huup.. dess.. !"
.
Kejut merayapi hati lawan ki Lurah Arya Dipa, yang tak menyangka siku
tangannya kesakitan bagai mengenai tumpukan baja saat mengenai
pinggang ki Lurah Arya Dipa. Keanehan tak berhenti di situ saja, tangannya
terasa panas bagai tersulut bara. Tanpa malu - malu orang itu meniup - niup
sikunya.
.
Sedangkan di depan ki Lurah Arya Dipa juga merasakan keanehan ketika
melihat lawannya berbuat seperti yang nampak di depannya. Alis pemuda itu
mencuat naik tak menyangka sodokan lawannya itu malah membuat
lawannya kesakitan. Tanpa disadari tangan ki Lurah Arya Dipa menyibak
pakaiannya.
.
"Oh.. Ikat pinggang kyai Naga Denta. Pantas orang itu kesakitan." desis ki Lurah
Arya Dipa.
.
Demi merasakan panas dan kesakitan yang dideritanya mulai reda, orang itu
kembali menyerang. Kini tenaga yang diterapkan dingkatkan beberapa lapis.
Tak ingin lagi dirinya mengalami hal serupa untuk kesekian kalinya.

"Jangan berbangga dahulu, anak muda. Kala Ditya tak segan lagi melumatkan
dirimu !" seru orang itu.
.
P a g e | 323

"Hm.. Jadi kisanak ini yang pernah mengacaukan telatah perdikan Anjuk
Ladang ?" tanya ki Lurah Arya Dipa.
.
"Syukurlah jika kau mendengar, anak muda. Apakah kau sekarang menyesal ?"
.
"Sangat menyesal ki Kala Ditya." jawab ki Lurah Arya Dipa.
.
Orang yang bernama Kala Ditya langsung membusungkan dadanya seraya
tertawa terkekeh - kekeh, "Hehehe.. Kalau begitu cepat kau menyingkir, anak
muda."
.
"Mengapa harus menyingkir, ki Kala Ditya ?"
.
"He...Bukankah kau menyesal melawan diriku ?" ki Kala Ditya malah bertanya
balik seraya mengerutkan keningnya.
.
Senyum menghias dibibir ki Lurah Arya Dipa, lalu katanya, "Memang aku
menyesal, ki Kala Ditya. Tapi yang aku sesali ialah pokal kisanak terhadap
telatah perdikan Anjuk Ladang."
.
"Cukup !" bentak ki Kala Ditya, "Mulutmu perlu mendapat hajaran, anak muda !"
.
Usai berkata ki Kala Ditya melakukan serangan dengan dahsyatnya. Bindi
berduri dengan ganas mengayun - ayun mencari sasaran. Tenaga ayunan ki
Kala Ditya sudah tak ditahan - tahan lagi. Kemarahan sudah menguasai seluruh
jiwa raganya. Hanya kematian lawanlah yang bisa membuat amarah nafsu
reda dan puas. Perihal inilah yang ditakuti oleh setiap manusia. Nafsu yang tak
mampu dikendalikan sangat menakutkan bagi orang itu dan orang yang
berada disekitarnya. Dan nafsu yang berlebihan tentu akan menyeret
siempunya menderita dunia dan akhirat. Oleh karenanya, hanya orang yang
bersungguh - sungguh dalam memegang erat ajaran Sang Pencipta itulah
yang bisa mengendalikan nafsu di dalam dirinya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 28
OLEH : MARZUKI
.
P a g e | 324

..
Kedua orang itu membuat orang - orang disekitarnya menyibak, seakan - akan
memberi tempat bagi keduanya untuk beradu kerasnya tulang dan liatnya
daging. Selain itu dikarenakan hempasan tenaga dalam setiap tata gerak
keduanya juga mempengaruhi keadaan dimana keduanya bertempur. Seakan
- akan udara menjadi hangat dalam pusaran badai api, yang siap menggilas
siapa pun yang mendekati perkelahian itu.
.
Ki Kala Ditya masih terus mengayun - ayunkan bindi berduri dengan serangan
gencar. Kemana saja lawan bergerak menghindar, bindi itu selalu mengejar
seolah - olah memiliki bola mata, sebagai penglihatan senjata aneh itu.
Sungguh menakjubkan ilmu senjata daripada ki Kala Ditya, setiap ayunan yang
luput berlanjut dengan serangan seoanjutnya dan selanjutnya. Susul - menyusul
tiada henti kecuali sasaran lumat tercabik - cabik oleh kerasnya bindi dan
tajamnya duri - duri di sekeliling bindi.
.
Untuk itu ki Lurah Arya Dipa terus memusatkan perhatiannya dengan
menerapkan ilmu meringankan tubuh, untuk mengimbangi kecepatan
serangan lawan. Pemuda satu ini selalu tak ingin meremehkan kemampuan
lawannya, apalagi lawannya seorang tokoh golongan hitam di telatah bang
wetan, yang pernah membuat ki Gede Anjuk Ladang tewas dalam perang
tanding di lereng gunung Wilis, satu tahun silam. Padahal sudah terkenal
dikalangan dunia kanuragan, ki Gede Anjuk Ladang seorang yang mempunyai
ilmu mendebarkan, yaitu aji Bandung Bondowoso yang mampu meluluh
lantahkan gunung anakan dengan sekali pukul. Dan inilah yang membuat ki
Lurah Arya Dipa berhati - hati.
.
Suatu kali bindi berduri itu melesat dengan pesatnya mengarah lambung ki
Lurah Arya Dipa.
.
'' Mampus kau anak muda !" seru ki Kala Ditya.
.
"Wuuusss !"
.
Sekali lagi bindi itu hanya mengenai tempat kosong, karena dengan lincahnya
ki Lurah Arya Dipa melenting layaknya belalang. Hal itu semakin membuat kesal
dihati ki Kala Ditya, yang kembali melakukan loncatan panjang seraya
melakukan gemplangan ke arah kepala ki Lurah Arya Dipa.
P a g e | 325

.
Kembali bindi itu mengenai udara kosong, dikarenakan ki Lurah Arya Dipa
mendoyongkan tubuhnya ke belakang. Namun secepat kilat ki Kala Ditya
menggerakan bindinya meluncur ke tubuh lawan yang masih dalam keadaan
mendoyong. Sungguh ini sangat berbahaya bila mengenai sasaran empuk itu.
Ki Kala Ditya yakin kalau lawan sudah dalam keadaan mati gerak, dan ini akan
menjadi akhir dari perkelahiannya itu.

"Takk !"
.
Suara benturan tulanglah yang terdengar kemudian, serta lepasnya bindi di
tangan ki Kala Ditya yang meluncur jauh entah dimana jatuhnya. Mengapa
bisa terjadi demikian ?
.
Itu dikarenakan saat ki Lurah Arya Dipa masih dalam keadaan tubuh
mendoyong ke belakang dan mengetahui adanya kesiur angin menerpa
tubuhnya, segera Lurah Wira Tamtama itu menggunakan tangannya sebagai
landasan untuk menopang berat tubuhnya, kemudian kedua kaki terangkat
menendang tepat mengenai pergelangan tangan lawan. Namun kaki Lurah
muda itu tak hanya memakai tenaga biasa, melainkan pemuda itu
menerapkan tenaga cadangan yang dipusatkan di kedua kakinya. Akibat
yang ditimbulkan membuat lawannya terperangah serta rasa ngilu di
pergelangan tangannya, dan juga ki Kala Ditya kehilangan senjata yang
selama ini selalu menemani kemana saja orang itu melalang buana dalam
dunia kanuragan.
.
"Hm..... !!!" geram ki Kala Ditya.
.
Bersamaan dengan menggeram, orang itu dari bang wetan itu melakukan
sebuah tata gerak aneh. Entah dari mana tiba - tiba ditangan orang itu terlihat
sebuah benda berkilauan. Dibarengi sebuah gerungan keras ki Kala Ditya
meloncat tinggi segaris lurus cahaya sinar bagaskara. Dan tubuh itupun terasa
lenyap entah ke mana.
.
Kejutlah yang dirasakan oleh ki Lurah Arya Dipa kemudian. Saat itulah dalam
keadaan masih dicengkam keterkejutan, sebuah goresan dirasa mengenai
punggung ki Lurah Arya Dipa.
.
P a g e | 326

"Uh.. " keluh ki Lurah Arya Dipa seraya meloncat menjauh menjaga jarak dari
lawan, supaya terhindar dari serangan lanjutan lawan.
.
Dan lawannya memberikan waktu luang kepada Lurah muda itu. Bahkan
terdengar tawa bergemuruh dari orang tinggi tegap itu.

"Walau kau memiliki ilmu setinggi langit, jika terkena pusaka Kala Brahu miliku ini,
ilmu mu tak akan mampu membendung racun yang terkandung dalam pusaka
ku ini, anak muda." ucap ki Kala Ditya, dengan menunjukan sebuah keris kecil
atau yang disebut patrem.
.
Di depan ki Lurah Arya Dipa berdiri dengan kuda - kuda kokoh dan mata tajam
menatap lawannya. Tangan kanannya meraba punggung yang terkena
goresan patrem milik lawan. Terasa sebuah cairan merembes dari luka itu,
cairan berupa darah dari ki Lurah Arya Dipa. Cairan yang melekat di jari
tangan, setelah diperhatikan berwarna merah kehitam - hitaman, menandakan
sebuah racun ganas.
.
"Hm.. Ini kesalahanku yang tak menerapkan aji Niscala Praba, sehingga patrem
itu mampu menggores kulitku." desis ki Lurah Arya Dipa, agak terengah - engah.
.
"Oh... Ki Kala Ditya, jadi kau mengalahkan ki Gede Anjuk Ladang seperti yang
kau lakukan saat ini ?" tanya ki Lurah Arya Dipa agak kesal.
.
Ki Kala Ditya tersenyum, "Benar, hanya dengan patrem inilah orang timur alas
Caruban itu aku singkirkan !"
.
"Licik kau, Kala Ditya !" teriak ki Lurah Arya Ditya, "Dalam perang tanding itu
sudah diatur tak boleh menggunakan senjata !"
.
"Huh.. Tahu apa kau anak muda !? Tenangkanlah dirimu yang sebentar lagi
akan menemui Bethara Yamadipati.. !" seru ki Kala Ditya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 29
OLEH : MARZUKI
.
P a g e | 327

..
Demi mengetahui kelicikan ki Kala Ditya terhadap ki Gede Anjuk Ladang dalam
sebuah perang tanding yang dilakukan, Ki Lurah Arya Dipa tak bisa
membiarkan orang selicik itu berlalu lalang dengan angkuhnya. Karenanya
pemuda itu lantas meloncat tinggi bak mengudara ke langit tujuh, yang
kemudian meluncur dengan putaran pedang kyai Jatayu langsung membabat
senjata lawan.
.
"Hait.. !" pekik ki Kala Ditya, seraya menangkis luncur tubuh lawan.
.
"Tring.. Thees.. Buukk !"
.
Patrem ki Kala Ditya putung dengan menyisakan tangkainya saja, akibat
tertebas libatan pedang tipis kyai Jatayu. Tak sampai di situ saja, tubuh ki Kala
Ditya terlempar dua tombak akibat gempuran di lambungnya, hingga tubuh itu
jatuh mengenai kawan - kawannya.
.
"Aucgh.. " darah menyebur dari mulut orang itu.
.
Pucatlah wajah ki Kala Ditya akibat gempuran lawan yang tak disangkanya
masih mempunyai tenaga, setelah terkena goresan Patrem kyai Kala Brahu
miliknya. Orang dari Bang Wetan itu semakin heran melihat lawannya tak
mengalami adanya turunnya daya tahan tubuh atau kepucatan di raut
wajahnya. Biasanya lawan jika terkena goresan patremnya akan pucat raut
wajahnya, hingga keluarnya keringat yang berbau busuk. Tapi tidak dengan
lawannya kali ini. Malah lawannya terlihat segar bugar.
.
"Tidak.. Tidak mungkin orang ini memiliki kekebalan terhadap racun.." desis ki
Kala Ditya.
.
"Menyerahlah ki Kala Ditya. Lihatlah kawan - kawanmu telah ditarik mundur !"
seru ki Lurah Arya Dipa, yang membiarkan ki Kala Ditya memerhatikan
sekitarnya.

Sebenarnya memang pasukan gabungan itu ditarik mundur oleh para


pemimpinnya. Entah karena tahu bila diteruskan pasukan penyerang itu akan
hancur atau bagaiman, tiba - tiba pasukan penyerang melakukan gerakan
mengejutkan dengan menyusun gelar Gelatik Neba, berlanjut dengan ditarik
P a g e | 328

mundur pasukan itu.


.
Sebenarnya para pemimpin kelompok pasukan Demak akan melakukan
pengejaran, tetapi segera para senopati mencegah tindakan itu. Tergantikan
penugasan untuk mengumpulkan korban yang terluka maupun yang tewas
dari pasukan Demak ataupun pasukan penyerang.
.
"Apa tanggapanmu sekarang, ki Kala Ditya ? Tenagamu saat ini tak lagi
memungkinkan kau untuk melawan." kembali ki Lurah Arya Dipa bersuara.
.
"Huh.. Lebih baik aku mati daripada menjadi pangewan - ewan di alun - alun
Demak, anak muda !" seru ki Kala Ditya sambil akan bangkit berdiri, tapi,
"Aucgh.. "
.
Tenaganya terasa lenyap, tulang dalam tubuhnya terasa melunak tak mampu
menopang tubuh tinggi tegap itu. Dan jatuhlah orang tua itu.
.
"Prajurit ikat dan rawat orang itu." perintah ki Lurah Arya Dipa kepada seorang
prajurit.
.
"Baik ki Lurah."
.
"Bunuh aku.. Bunuh aku.. Jangan permalukan aku seperti ini, kisanak !" teriak ki
Kala Ditya, berusaha meronta. Tapi tak berdaya untuk melawan dan akhirnya
tangannya terikat dengan ikat kepalanya sendiri.
.
Pertempuran itu telah usai, meninggalkan korban tak sedikit dari pihak
penyerang. Walau begitu pihak Demak juga tak lepas dari korban nyawa, lima
prajurit gugur dalam serangan kali ini, serta korban luka tak sedikit. Setelah
mengumpulkan mereka yang tewas atau pun luka, Senopati pasukan Demak
mengambil keputusan untuk membawa korban yang tewas dari pihak Demak
serta puluhan tawanan. Sedangkan korban tewas atau yang mengalami luka
parah dari pihak musuh dibiarkan berada di pinggir jalan bawah lereng, karena
ki Panji Arya Palindih meyakini kawan - kawan mereka akan kembali mengurus
korban itu.

"Ki Lurah Saroyo, perintahkan pasukan bergerak dalam gelar Gedong Minep."
perintah ki Panji Arya palindih.
P a g e | 329

.
"Sendiko, ki Panji."
.
Demi menjaga keamanan dari ki Ageng Gajah Sora sampai di Demak, maka
diputuskan menerapkan pergerakan pasukan itu memakai gelar Gedong
Minep. Bergeraklah pasukan Demak dari kesatuan Wira Tamtama dan Wira
Radya dalam sebuah gelar. Kali ini semakin perlahan pasukan itu dalam
menyusuri jalan - jalan yang mereka lalui, dikarenakan dalam pasukan itu
terdapat beberapa prajurit yang terluka dan puluhan tawanan.
.
Saat matahati di ufuk barat, pasukan Demak sampai di telatah Merapen. Untuk
itu Senopati Demak memutuskan untuk berkemah disekitaran api abadi. Tenda
- tenda didirikan sesegera mungkin. Para Juru adang dengan cepat
mempersiapkan tugas mereka untuk menanak nasi dan mengolah lauk pauk
perbekalan. Prajurit menebar berjaga - jaga disekitar berdirinya perkemahan,
khusunya dimana tawanan itu berada.
.
Sementara itu para senopati berkumpul dalam satu tenda. Di situ juga ada ki
Ageng Gajah Sora, yang duduk menunduk menatap bumi.
.
"Minumlah, anakmas." kata ki Panji Arya Palindih.
.
"Terima kasih, paman." sahut ki Ageng Gajah Sora, yang kemudian meneguk air
dalam gelas dari tanah liat.
.
"Anakmas, apa kau benar tak mengetahui pusaka itu ?"
.
Ki Ageng Gajah Sora menghentikan dirinya menyruput minuman, lalu
memandang ki Panji Arya Palindih yang duduk di depannya.

"Sudah aku katakan apa adanya, paman Palindih. Pusaka itu dibawa seorang
yang memakai topeng saat terjadi kerusuhan di Banyubiru ketika kedatangan
gerombolan orang - orang golongan hitam itu." jawab ki Ageng Gajah Sora,
lalu, "Pantang bagi Gajah sora untuk berlaku bohong dalam setiap
tindakannya."
.
"Hm... " desuh ki Panji Arya Palindih.
.
P a g e | 330

Lalu tiba - tiba Panji dari Bergota itu menatap seorang perwira muda yang
duduk paling ujung. Ki Panji Arya Palindih berdiri dan beranjak keluar seraya
berkata, "Lurah Arya Dipa, ikutlah sebentar dengan ku."
.
"Baik, ki Panji." sahut ki Lurah Arya Dipa, yang kemudian mengikuti perginya ki
Panji Arya Palindih.
.
Sesampainya di luar dan agak jauh dari tenda, ki Panji Arya Palindih menatap
tajam ke arah Lurah muda itu.
.
"Ki Lurah, Kanjeng Sultan pernah mengatakan kepadaku mengenai gerakan ini
adalah atas anjuran darimu." sejenak ki Panji Arya Palindih menghentikan
perkataannya demi memerhatikan kesan dari ki Lurah Arya Dipa, "Apakah
benar begitu ?"
.
Helaan nafas terdengar dari ki Lurah Arya Dipa, "Demikianlah kenyataannya, ki
Panji."
.
"Apakah ini hanyalah tindakanmu yang mempunyai masalah pribadi dengan
anakmas Gajah Sora ?"
.
Pertanyaan itu sungguh tak diperkirakan sebelumnya oleh Lurah muda itu.
Bagaimana mungkin ? Dirinya tiada sangkut paut dengan pribadi ki Ageng
Gajah Sora, yang baru ia tahu wujudnya saat di Banyubiru.
.
"Oh.. Mengapa ki Panji Bisa berkata begitu ?"

"Ini karena tak sesuai apa yang direncanakan oleh Kanjeng Sultan yang
mendapat anjuran darimu, ki Lurah." kata ki Panji, "Aku bisa menuntutmu untuk
mempertanggunkan permasalahan ini kepada Kanjeng Sultan."
.
"Ki Panji, ku akui kesalahan ini terletak pada pundaku. Memang pada saat itu,
seseorang yang sangat aku kenal datang kepadaku dan menuturkan rencana
atas pemikiran dari ki Ageng Sora Dipayana...."
.
"Mustahil itu, ki Lurah." potong ki Panji Arya Palindih, "Mana mungkin seorang
ayah tega berbuat begitu kepada anak dan kampung halamannya sendiri. Itu
semua hanyalah bualanmu sendiri"
P a g e | 331

.
"Demi Hyang Agung, aku berkata sebenarnya ki Panji.."
.
"Cukup, ki Lurah. Sesampainya di kotaraja kau harus
mempertanggungjawabkan tindakanmu !" suara ki Panji agak tinggi.
.
Memang sebenarnya ki Lurah Arya Dipa akan menjelaskan masalah itu
terhadap Kanjeng Sultan. Oleh karenanya ki Lurah Arya Dipa pasrah saja atas
perkataan dari Panji Bergota.
.
"Baik, ki Panji. Aku tak akan lari dari kenyataan itu."
.
Kini ki Panji Arya Palindih yang dibuat terkejut oleh suara dari Lurah yang masih
sangat muda itu. Suara yang begitu pasrah dan tulus tiada adanya maksud
terpendam.
.
"Hm.. Baiklah untuk sekarang bertindaklah sewajarnya.. "
.
"Baik, ki Panji."

Keduanya lantas kembali ke tenda dan masuk ke dalamnya.


.
"Di mana anakmas Gajah Sora, ki Panji Reksotani ?" tanya ki Panji Arya Palindih,
setelah duduk di dalam tenda.
.
Ki Panji Reksotani mengerutkan alisnya, "Jangan berkelakar kakang Panji,
bukankan tadi kakang mengajaknya keluar."
.
"He.. !" suara ki Panji Arya Palindih sarat dengan keterkejutan dan kaget.
.
Sebentar Panji Bergotan menatap ki Lurah Arya Dipa, dalam raut wajah
pemuda itu juga nampak rasa kejut. Sebelum ki Panji Arya Palindih bersuara, ki
Lurah Arya Dipa telah mendahului.
.
"Ki Panji, ijinkan aku untuk mencarinya."
.
Ki Panji Arya Palindih menganggukan kepalanya, "Berhati - hatilah, ki Lurah."
.
P a g e | 332

Segera ki Lurah Arya Dipa berlari keluar tenda. Sedangkan ki Panji Arya Palindih
telah menerangkan kalau dirinya sejak tadi terus bersama dengan ki Lurah Arya
Dipa. Terkejutlah semua perwira yang ada dalam tenda mengetahui penuturan
daripada ki Panji Bergota. Bagaimana tidak ? Tadi seorang yang sungguh mirip
dengan ki Panji Arya Palindih masuk dan mengajak ki Ageng Gajah Sora untuk
keluar.
.
Gemparlah perkemahan Demak itu. Prajurit segera disebar demi menemukan
kembali ki Ageng Gajah Sora.
.
"Apakah hal ini yang terjadi dengan ki Lurah Arya Dipa ? Seseorang mampu
malih rupa seperti diriku ?" batin ki Panji Arya Palindih dengan hati gusar.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 6 BAG 30
OLEH : MARZUKI
.
..
Setelah mendapat ijin dari ki Panji Arya Palindih, ki Lurah Arya Dipa memesatkan
langkah kakinya. Ilmu Sepi Angin melambari setiap langkah kakinya, sehingga
membuat laju tubuhnya cepat seringan kapas terbawa angin. Selain itu
Pandulu dan Prangungu dipertajam untuk melihat bayangan benda di
kegelapan malam dan menangkap segala bunyi, entah itu gesekan daun
sekalipun.
.
Semak belukar dan rerumpun tetumbuhan disibak serta dibabat menggunakan
kyai Jatayu, namun tiada hasil yang memuaskan.
.
"Ki Ageng Gajah Sora... !" teriak ki Lurah Arya Dipa yang dilambari aji Gelap
Ngampar.
.
Sepi dan sepi, tiada orang yang menyahut. Bahkan serangga pun enggan
untuk mengkerik menampakan wujudnya.
.
Teriakan yang diulang - ulang oleh ki Lurah Arya Dipa hanya mendengung
terbawa angin malam. Namun ki Lurah Arya Dipa tak putus asa dan terus
berusaha mencari jejak orang yang membawa ki Ageng Gajah Sora dengan
P a g e | 333

cara malih rupa menyerupai ki Panji Arya Palindih. Tak terasa langkah Lurah
muda itu sampai di sekitar rumpun bambu. Mata yang dilandasi ilmu Pandulu,
tanpa sengaja tertumbuk sebuah bayangan yang bergerak meluncur ke balik
lebatnya rumpun bambu.
.
"Berhenti... !" teriak ki Lurah Arya Dipa seraya mengejar.
.
Sampai di balik rumpun bambu ternyata terdapat tanah yang agak lapang
dengan rerumputan menyelimuti tanahnya. Yang mengejutkan di situ ialah,
terjadi perkelahian seru dua orang melawan empat orang bercadar serta satu
orang yang wajahnya mirip dengan ki Panji Arya Palindih.
.
"Ki Panji.. " desis ki Lurah Arya Dipa, yang masih berdiri di pinggir.
.
Orang yang mirip dengan ki Panji Arya Palindih mendengar desis dari ki Lurah
Arya Dipa. Orang itu meloncat menjauhi lawannya seraya berteriak, "Oh kau ki
Lurah, cepat bantu kami menghadapi dua orang itu !"

Namun sebelum ki Lurah Arya Dipa bergerak, seseorang yang dikeroyok oleh
empat orang bercadar mencegah pemuda itu dengan berseru, "Dia bukan
paman Palindih, anakmas !"
.
"Oh.. "desuh ki Lurah Arya Dipa yang mengenali suara seruan itu.
.
Dan Lurah Wira Tamtama itu percaya dengan suara dari orang yang
menyerunya tadi, yang tak lain ki Ageng Gajah Sora. Lantas pemuda itu
bergerak menghadapi orang yang mirip dengan ki Panji Arya Palindih.
.
"Hati - hati ki Lurah." sebuah suara memberi peringatan kepada ki Lurah Arya
Dipa, "Dia seorang tokoh penting dari bang wetan, si Arya Singasari"
.
"Tutup mulutmu Bajulpati !" bentak orang yang malih rupa menyerupai ki Panji
Arya Palindih.
.
Peringatan dari orang pertama sudah membuat ki Lurah Arya Dipa kaget
bukan kepalang. Kini kembali Lurah muda itu terkejut saat orang yang malih
rupa itu menyebut nama Bajulpati. Nama Bajulpati merupakan seorang tokoh
tua dari bang wetan, yang terkenal dengan ilmu andalannya mirip dengan
P a g e | 334

ilmu Kanjeng Sultan Trenggono, aji Brajamusti.


.
Masih dalam ketercengannya, ki Lurah Arya Dipa hampir saja terkena
serangkum serangan orang yang disebut Arya Singasari. Untung saja ki Ajar
Bajulpati memapas serangan itu dengan pukulan jarak jauh.
.
Gelegar terdengar dari tumbukan dua tenaga dahsyat dari Raden Arya
Singasari dan ki Ajar Bajulpati. Sampai - sampai kedahsyatannya menerpa ki
Lurah Arya Dipa, sehingga pemuda itu terlontar dua tindak. Tetapi dengan
cepat ki Lurah Arya Dipa melenting berdiri dan mempersiapkan segala ilmu
yang berada dalam tubuhnya.

Sayup - sayup rupa dari Raden Arya Singasari kembali ke wujud aslinya.
Seorang bangsawan dari telatah bekas Tumapel Atau Singasari, mempunyai
raut muka tampan walau usianya sudah tak muda lagi.
.
"Majulah kalian berdua supaya pekerjaanku cepat tuntas !" seru Raden Arya
Singasari.
.
Ki Ajar Bajulpati tak langsung menanggapi tantangan bangsawan itu,
melainkan menatap ki Lurah Arya Dipa dan meminta tanggapan dari pemuda
itu.
.
"Bagaimana ki Lurah ? Apakah kita mengahadapi orang ini secara bersamaan
? Sehingga jika ia kalah, ia tentu akan menyebut kita orang licik ?"
.
"Tutup mulutmu, Orang tua !" seru Raden Arya Singasari seraya meluncur deras
ke arah ki Ajar Bajulpati.
.
Walau kecepatan luncuran itu begitu cepat dan dahsyat, ki Ajar Bajulpati tak
pernah kendor kewaspadaannya terhadap bangsawan itu. Maka orang tua
dari timur alas Baluran itu dapat mengimbangi kecepatan lawan dengan
melakukan penghindaran, yang kemudian diteruskan serangan kejut.
.
Sambil terus mengimbangi gerakan lawan, ki Ajar Bajulpati berseru, "Ki Lurah,
bantulah ki Ageng Gajah Sora. Lawannya bukanlah orang - orang biasa !"
.
"Oh.. "
P a g e | 335

Seruan itu menyadarkan ki Lurah Arya Dipa, bahwa ditempat itu juga ada ki
Ageng Gajah Sora yang dikeroyok oleh empat orang bercadar. Segera ki Lurah
Arya Dipa menghampiri dimana ki Buyut Banyubiru tampak terdesak oleh lawan
- lawannya. Hampir saja ki Ageng Gajah Sora terkena sabetan pedang oleh
salah seorang bercadar, jikalau ki Lurah Arya Dipa tak meloncat dan menebas
pedang orang bercadar itu.
.
"Tring... "
.
"Terima kasih, anakmas." ucap ki Ageng Gajah Sora.
.
"Belum saatnya, ki Ageng. Lawan masih ada." sahut ki Lurah Arya Dipa yang
kemudian bergerak menusuk orang bercadar lainnya.
.
Kini di balik rumpun itu terdapat dua kalangan perkelahian, yaitu Ki Ajar
Bajulpati berhadapan dengan Raden Arya Singasari, lalu ki Ageng Gajah Sora
dan ki Lurah Arya dipa yang masing - masing melawan dua orang. Sungguh
orang - orang bercadar dan Raden Arya Singasari bukanlah orang biasa.
Kelima orang dari bang wetan itu mempunyai ilmu kanuragan yang
mendebarkan. Tata gerak penuh dengan kembangan dan tipuan mengelabui
lawan - lawannya.
.
Akibat yang ditimbullan dari setiap sapuan tenaga orang - orang itu membuat
rerumputan tercerabut dari tanah. Desiran anginnya mampu merontokan daun
- daun bambu yang kering dari ranting. Bahkan jika tangan atau kaki mengenai
tanah atau batang bambu atau pohon kecil lainnya, menyisakan lubang
sebesar tangan.
.
Dalam pada itu di sekitar perkemahan ki Panji Arya Palindih dan para senopati,
gusar bukan main. Walau sudah melakukan pencarian sampai masuk ke dalam
hutan, namun tak seorang pun yang dapat menemukan ki Ageng Gajah Sora.
Kebingungan semakin bertambah, manakala saat para senopati ataupun
perwira berkumpul semua, hanya ki Lurah Arya Dipa yang belum kembali.

"Ki Lurah Saroyo, perintahkan prajuritmu untuk melakukan pencarian lagi."


perintah ki Panji Arya Palindih, "Cobalah sisir arah timur."
.
P a g e | 336

"Sendiko, ki Panji." sahut ki Lurah Saroyo, yang kemudian mengajak prajuritnya


ke arah timur.
.
Sepeninggal ki Lurah Saroyo, seorang Rangga dari kesatuan Wira Tamtama
meminta untuk menyusul ki Lurah Saroyo.
.
"Hati - hatilah ki Rangga Gajah Sora. Bila ada sesuatu yang mencurigakan,
cepat kirim isyarat."
.
"Baik, ki Panji."
.
Kesiagaan di perkemahan itu semakin diperketat, khususnya tempat dimana
tawanan berada.

BERSAMBUNG....

Panasnya Langit Demak jilid 7


Panasnya Langit Demak jilid 7

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 1
OLEH : MARZUKI
.
..
Perkelahian di balik rumpun bambu semakin seru dan sengit. Terutama antara ki
Ajar Bajalpati dan Raden Arya Singasari, dua orang ini dalam setiap
gempurannya sudah melambari tenaga cadangan yang mendebarkan. Yaitu
terlihat samar - samar adanya warna semburat merah melingkupi tubuh ki Ajar
Bajulpati. Sedangkan pada diri Raden Arya Singasari sekilas terlihat adanya
kabut tipis selalu mengitari dan mengikuti setiap serangannya.
.
Suatu kali tangan ki Ajar Bajulpati meluncur menerpa dada bidang lawannya,
walau bukan berbentuk pukulan namun jika punggung tangan itu dapat
mengenai sebuah benda, niscaya benda itu akan leleh. Itu semua dikarenakan
akibat lambaran dari aji Brajamusti.
P a g e | 337

.
Akan tetapi bangsawan lawannya juga bukan sembarang manusia.
Bangsawan ini selain seorang Nayaka Praja dari kadipaten bang wetan, ia juga
seorang yang putus dalam ilmu jaya kawijayan. Itu terbukti dengan adanya
kabut yang menyeruak dari badannya dan menjadi penghalang bagi terpaan
ki Ajar Bajulpati.
.
"Ceess... wuss.. " terdengar suara api yang terkena embun dan buyar seketika.
.
"Hm.. Braja Bayu milik orang ini mampu mengimbangi Barajamusti'ku.. " desis ki
Ajar Bajulpati.
.
Tata gerak keduanya semakin rumit dan aneh. Pertemuan dua jalur ilmu
kanuragan berbeda dasar, seakan - akan berlomba saling mengungguli satu
dengan yang lainnya. Tak hanya saling adu lambaran aji semata, kadang kala
keduanya mengadu kegesitan dan kepiawaian dalam menentukan langkah
untuk mengecoh lawan.

Ketika sebuah tendangan mengarah lambung dan lawan berusaha


menangkis, secepat kilat serangan itu ditarik yang kemudian berganti pukulan
dengan pelipis sebagai titik serangan. Ketajaman mata si empunya pelipis
menyadari jikalau pelipisnya dalam bahaya, tentu tak tinggal diam
membiarkan pelipisnya remuk, oleh karenanya dengan sedikit melengos
menghindari serangan lawan, seraya melakukan sapuan tangan ke leher
musuh.
.
"Huh.. " desuh Raden Arya Singasari, sembari beringsut jauh ke belakang yang
kemudian meloncat tinggi berusaha menyergap lawan.
.
Sergapan ini merupakan salah satu ilmu yang disebut Nágábándhá, sebuah
ilmu penguncian untuk menghentikan langkah lawan. Sekali lawan terkena ilmu
ini, maka tubuh lawan bagai dililit seekor naga.
.
"Cukup sampai disini pergerakanmu, orang tua !" seru raden Singasari.
.
Sergapan bangsawan itu begitu erat dan mencekam tubuh ki Ajar Bajulpati.
Meskipun tubuh orang tua itu terlapisi lambaran aji Brajamusti, tiada akibat
yang melukai Raden Singasari yang telah melambari tubuhnya dengan aji Braja
P a g e | 338

Bayu. Maka terlihatlah tubuh meronta dari ki Ajar Bajulpati dan disisi yang lain
adanya usaha untuk menahan rontaan daripada orang tua timur alas Baluran
tersebut.
.
Adu kekuatan-lah yang kemudian terjadi antara kedua orang yang sudah
kenyang dengan dunia kanuragan itu. Saling mengoyak dan saling mengerat
tenaga terus berlanjut, hingga suatu kali tubuh ki Ajar Bajulpati terasa licin dirasa
oleh tangan Raden Singasari.
.
"Uh.. " Desuh Raden bang wetan itu, "Aji Welut putih."
.
Sementara itu tak kalah serunya dirasakan dikedua kalangan lainnya. Empat
orang yang bercadar kini sudah terlihat wajah - wajah mereka. Ini dikarenakan
keberhasilan ki Ageng Gajah Sora dan ki Lurah Arya Dipa, dalam setiap langkah
serangnya selalu berusaha menyibak cadar para lawan - lawannya.

"Kau, ki Panji !" seru ki Lurah Arya Dipa, mengenali salah seorang diantara
lawannya.
.
"Hm.. Kau masih ingat denganku, anak muda ?" tanya orang yang disebut
seorang Panji.
.
"Masih segar dalam ingatanku saat tuan berusaha membunuh ki Lurah Lembu
Sora di gumuk luar gapura kotaraja." jawab ki Lurah Arya Dipa.
.
"Hm.. Bagus anak muda, ingatanmu masih bekerja dengan baik. Tapi kali ini aku
akan membayar kekeliruanku kala itu, yang mengira kau musnah ditelan
dahsyatnya aji Prahara Geni." seru ki Panji Menak Sengguruh.
.
"O jadi orang ini yang kakang ceritakan itu ?" tanya seorang yang berada di
samping ki Panji Menak Sengguruh.
.
Ki Lurah Arya Dipa memperhatikan orang yang bertanya itu, namun ia tak
mengenalnya sama sekali.
.
"Benar adi Rawes, berhati - hatilah."
.
Demi mengetahui lawan - lawannya orang yang membahayakan, ki Lurah Arya
P a g e | 339

Dipa selalu waspada dan menyiapkan aji Niscala Praba untuk melindungi
tubuhnya. Apalagi lawannya ialah ki Panji Menak Sengguruh, yang ia tahu
memiliki aji Prahara Geni. Gelembung - gelembung api yang tercipta dari
ilmunya merupakan serangan jarak jauh mematikan. Dan satu lagi ialah lawan
satunya tentu juga memiliki ilmu yang nggegirisi.
.
Debar jantung pemuda itu berdetak semakin kencang, manakala lawannya
mulai melancarkan serangan secara serempak. Sisi kanan yaitu ki Panji Menak
Sengguruh menyerang dengan sebuah pukulan. Di sisi kiri ki Rangga Rawes,
yang berbadan pendek tetapi gempal dengan gesit melakukan dua pukulan
sekaligus. Inilah kerjasama yang ditunjukan oleh dua Nayaka Praja dari bang
wetan untuk melahap mangsanya.

Serangan kedua lawan itu segera ditanggapi oleh ki Lurah Arya Dipa. Pertama
segera pemuda itu menekan debar jantungnya supaya tetap tenang dalam
menentukan langkah selanjutnya. Karena ketenangan jiwa dan pikiran
merupakan kunci utama untuk menentukan langkah - langkah yang baik
dalam setiap tindakan. Sehingga dalam setiap langkah itu tak ternodai oleh
sesuatu yang merugikan jiwa orang itu sendiri. Bisa dibayangkan saat orang
mengalami kesusahan dan berpikir secara grusa - grusu, tentu hasilnya jauh dari
kata memuaskan. Bahkan malah menjadi lebih parah dari sebelumnya.
.
Oleh karenanya disetiap masalah yang dihadapi saat ini, putra angkat dari ki
Panji Mahesa Anabrang mencoba menekan debar jantungnya, dan
menghadapi serangan lawan dengan tenang. Pukulan ki Panji Menak
Sengguruh dihindari dengan mengisar langkah ke kiri, yang kemudian
membuka telapak tangan untuk menangkis serta menangkap pukulan tangan
kiri ki Rangga Rawes dan menyiak serangan berikutnya.
.
"Krek.. " bunyi tangan ki Rangga Rawes dalam genggaman tangan kanan ki
Lurah Arya Dipa. Yang kemudian berusaha dipelintir ke belakang. Tetapi si
empunya tangan yang awalnya melemaskan tangan, tiba - tiba menyentakan
dengan tenaga kuat, maka lepaslah tangan itu.
.
"Hebat... " puji ki Lurah Arya Dipa, sembari meloncat menjauhi serangan dari ki
Panji Menak Sengguruh.
.
Keadaan semakin seru dan sengit mengiringi setiap adu tenaga dan ilmu
P a g e | 340

antara ki Lurah Arya Dipa yang dikeroyok oleh dua orang yang sangat tinggi
ilmunya. Kerjasama yang apik sangat - sangat membuat Lurah muda dari
Demak, agak tertekan. Hanya ketenangan dan keuletannya saja yang masih
membuatnya mampu bertahan sampai sejauh ini.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 2
OLEH : MARZUKI
.
..
Sama hal-nya keadaan yang dialami oleh ki Ageng Gajah Sora, dua musuhnya
juga sangat menakutkan dalam setiap tandangnya. Setiap gerakan tangan
atau kakinya mengandung hawa kematian. Bahkan kain panjang keduanya
bila mengenai kulit membuat rasa nyeri sampai ke tulang.
.
Apa sebenarnya maksud daripada orang - orang itu ? Yang dengan mati -
matian berusaha melenyapkan ki Ageng Gajah Sora ?.
.
Pertanyaan itulah yang membuat hati dan pikiran ki Buyut Banyubiru itu
menemui jalan buntu. Oleh karenanya kesempatan itu ia gunakan untuk
melontarkan pertanyaan kepada lawan - lawannya.
.
"Kisanak, apa yang kalian inginkan dari ku ?" tanya ki Ageng Gajah Sora seraya
mengimbangi gerak lawan.
.
"Hm.. " geram salah seorang, yang mempunyai hidung bagai paruh burung
kakak tua, "Nyawamu, Buyut !"
.
Walau sudah menduga dengan jawaban lawannya, tetap saja hati ki Ageng
Gajah Sora berdesir, "Lalu apa untungnya setelah aku mati ?"
.
"Hahaha... Kau kira kami akan terpancing dengan kata - katamu itu, Buyut
bodoh !" kali ini orang satunya.
.
"He.. Galih Lumintang, jangan kau kurang tata terhadap seorang Buyut !" seru
orang berhidung mancung.
.
P a g e | 341

Orang yang disebut Galih Lumintang itu, tertawa sinis seraya mengejek, "Itu
dulu, Kuda Krida. Sekarang ia hanyalah seorang tawanan Demak saja."

Panas terasa menyengat telinga ki Ageng Gajah Sora, mendengar ejekan dari
Galih Lumintang. Kemarahan Buyut Banyubiru bagai gunung Merbabu yang tak
kuat menahan limpahan lahar dari inti bumi. Begitu cepat geraknya dalam
melakukan serangan, hingga Galih Lumintag kaget bukan kepalang. Pundak
Galih Lumintang dapat diterkam erat, lalu tubuh orang itu diangkat dan diputar
demikin cepatnya.
.
"Mati aku... !" batin Galih Lumintang.
.
Melihat kawannya dalam bahaya, Kuda Krida berniat menyelamatkan
kawannya. Tetapi baru melangkah satu tindak, serangkum angin mengarah
kepadanya.
.
"Oh.. " desuh Kuda Krida sambil menyambut serangkum angin yang berasal dari
hempasan tubuh Galih Lumintang.
.
Walau agak keteteran untung saja Kuda Krida mampu menahan tubuh Galih
Lumintang. Dan segera siap menanti sergapan lawan selanjutnya.
.
"Licik kau Gajah Sora !" seru Galih Lumintang, ketika kakinya sudah menginjak
tanah.
.
"Tahu apa kau dengan kata licik, kisanak ?!" seru ki Ageng Gajah Sora yang
kembali menyerang.
.
Hanya dengusan yang terdengar dari Galih Lumintang. Orang itu
memerhatikan kawannya yang sedang meladeni serangan laksana badai dari
ki Buyut Banyubiru. Rasa kagum sempat menusuk hati Galih Lumintag, tetapi
secepatnya rasa itu ia singkirkan dan berganti rasa dengki serta ingin membuat
lawan Kuda Krida menyesali tindakannya.
.
Majulah dia ikut mengeroyok seorang yang harus mati di malam itu juga. Bila
Buyut itu mati, maka kerjasama kelompoknya dengan telatah Banyubiru akan
menguntungkan di masa yang akan datang. Dan ia akan menerima ganjaran
berupa uang atau bahkan kedudukan dari junjungannya. Oleh karenanya
P a g e | 342

Galih Lumintang sangat bernafsu dalam melancarkan setiap serangannya.


Begitu juga dengan Kuda Krida yang tak mau kalah dengan kawannya.

Peluh sudah membasahi tubuh mereka yang bertempur, sampai - sampai


merembes ke pakaian mereka. Namun memang orang - orang itu lain dari
orang pada umumnya. Tenaga mereka sungguh mengagumkan. Sepasang
kaki mereka mampu membuat tanah bagai terbajak. Sepasang tangan
mereka bisa meremukan batu ataupun membuat batang pohon berukuran
sedang, terpapas.
.
Sudah sekian lama perkelahian itu belum ada ujungnya. Keuletan dan
ketangguhan ki Lurah Arya Dipa dan ki Ageng Gajah Sora masih mampu
melayani lawan - lawannya. Sama halnya dengan ki Ajar Bajulpati, meskipun
wadagnya lebih tua dari lawannya, orang tua itu masih bisa berloncatan
dengan begitu gampangnya.
.
Gelapnya malam semakin kelam manakala di langit, segumpal awan tebal
beriring - iring memayungi hutan bambu itu. Air yang terkandung di awan
dengan rintik - rintik mulai turun. Tetapi perkelahian masih berlanjut dengan
sengitnya. Malah air gerimis itu membuat tubuh mereka kembali segar.
.
"Huh.. Sudah sekian lama, apa yang diperbut oleh Galih Lumintang dan Kuda
Krida ? Hanya menghadapi seorang saja, sampai sebegitu lamanya ?" batin
Raden Singasari, "Juga dengan Panji Menak Sengguruh, padahal Rangga
Rawes membantunya."
.
"Apa yang sedang kau pikirkan, Raden ?" tanya ki Ajar Bajulpati.
.
"He, ki Ajar. Mengapa kau berlainan dengan murid - muridmu dalam menyikapi
tekad Panembahan Bhre Wiraraja ?" Raden Singasari malah balik bertanya.
.
"Hm... Aku ya aku, sedangkan muridku ya muridku. Juga tak semua muridku ikut
- ikutan dengan junjunganmu itu." jawab ki Ajar Bajulpati.

"Apa kau tak takut jika padepokan yang kau tinggalkan itu akan karang abang
?!" ancam Raden Singasari.
.
Tiada terlihat rasa cemas di raut wajah orang tua pendiri padepokan Bajulpati,
P a g e | 343

ketenangannya dalam menyikapi kejadian yang dialami sungguh


mengagumkan.
.
"Hohoho.. Padepokan itu sudah tak ada sangkut pautnya denganku, Raden.
Aku sudah menyerahkan padepokan itu kepada murid termudaku, Raganata.
Dan bila kau berusaha mengusik padepokan itu, kau akan berurusan dengan
kadipaten Puger dan Blambangan."
.
"Omong kosong !"
.
"Coba saja jika kau penasaran." tantang ki Ajar Bajulpati, "Raganata itu
kemenakan Adipati Blambangan dan calon menantu Adipati Puger."
.
Sejenak hati Raden Singasari tercekat, tapi ia malu untuk mengunjukan di
wajahnya. Yang ada ialah semakin gencarnya serangannya. Namun kali ini
ada yang berbeda dari tubuh bangsawan dari bang wetan itu.
.
"Hm.. Kakang Pambarep Adi Wuragil.." desis ki Ajar Bajulpati.
.
Semakin nyatalah perkelahian antara dua orang itu. Semakin lama ilmu
simpanan keluar satu demi satu. Raden Singasari yang sudah melambari aji
Braja Bayu, pernah mengeluarkan aji Nágábándhá dan kini aji yang nggegirisi,
yaitu aji Kakang Pambarep adi Wiragil.
.
Sementara orang tua dari alas Baluran itu tak mau kalah. Aji Brajamusti yang
melambari setiap gerakannya, juga telah mengungkap aji Welut putih, dan kini
orang itu juga mengejutkan lawannya.
.
"He.. " kejut salah satu tubuh Raden Singasari.
.
"Mengapa kau begitu pucatnya, Raden ?" kata ki Ajar Bajulpati, yang tak
terlihat wujudnya.

"Pengecut kau orang tua ! Ilmumu itu hanya cocok disandangkan bagi seorang
maling kampungan !"
.
"Hahaha... Terserah kau berkata Raden, yang penting aku tak berbuat hal
serendah itu dengan ilmuku ini." sahut suara ki Ajar Bajulpati.
P a g e | 344

.
Ketiga tubuh Raden Singasari terlihat bingung menentukan arah sumber suara
lawannya. Suara lawan seolah - olah terdengar disegala penjuru.
.
"Keluar kau !" teriak salah satu tubuh Raden Singasari.
.
"Hm.. Baik jika itu mau mu.. " sahut suara ki Ajar Bajulpati.
.
Sejenak kemudian sesosok tubuh dengan cepat bagai mengudara dari langit,
menerjang salah satu dari tubuh Raden Singasari.
.
"Dess.. ! Bukk.. "
.
Tubuh seorang Raden Singasari mencelat jauh mengenai rimbunnya batang
bambu.
.
"Byaar.. Cess.. !" tubuh itu terbakar dan kemudian lenyap.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 3
OLEH : MARZUKI
.
..
Sekali lagi tubuh ki Ajar Bajulpati lenyap dan muncul secara tiba - tiba di dekat
tubuh Raden Singasari lainnya. Kejadian mengerikan kembali terulang dengan
tubuh Raden Singasari itu. Saat kepalan tangan ki Ajar Bajulpati mendarat di
dada bangsawan itu, tubuh itu terbakar dan lenyap.
.
"Kini tinggal kau dan aku lagi, Raden !" seru ki Ajar Bajulpati.
.
"Kau salah, orang tua. Lihatlah di belakangmu !"
.
Segera ki Ajar Bajulputih menengok ke belakang. Bersamaan dengan diri orang
tua itu menoleh, kesiur angin dari sebuah pukulan mengarah dadanya. Dengan
gerak naluriah orang tua itu mengisar kakinya untuk menghindari pukulan dari
sosok yang mirip daripada Raden Singasari. Walau ki Ajar Bajulpati sempat
menghindar, tiada sepenuhnya berhasil, malah pundaknya kini yang menjadi
P a g e | 345

bulanan pukulan tangan sosok kembaran Raden Singasari.


.
"Dess.. "
.
Tubuh orang tua itu bagai layang - layang putus dari benangnya. Mencelat
jauh dan hampir jatuh dibibir jurang. Bergegas orang dari timur alas Baluran itu
bangkit seraya menyeka darah yang merembes dari bibirnya. Dan tak lama
kemudian tubuhnya raib tak nampak oleh mata wadag.
.
"Kurang ajar, orang itu hilang kembali !" gerutu Raden Singasari.
.
Sementara itu di sisi selatan ki Panji Menak Sengguruh mulai mengeluarkan aji
Prahara Geni. Gelembung - gelembung bola api menghujam tubuh Ki Lurah
Arya Dipa. Begitu juga dengan ki Rangga Rawes, ilmu Tapak Dahana
menyeruak dari telapak tangannya.
.
"Dess.. Dess.. Dess.. !"
.
Dua gelembung Prahara Geni dan pukulan Tapak Dahana mendarat di tubuh
Lurah muda Demak itu. Untunglah sebelumnya aji Niscala Praba sudah
melindungi diri pemuda itu. Sehingga ki Lurah Arya Dipa mampu menahan
semua gempuran tenaga dahsyat dari kedua orang itu.

"Edan.. !" maki ki Rangga Rawes sembari meloncat menjauh dari lawannya,
"Ilmuku membal. Cahaya apa kuning kemilau yang menyelimuti pemuda itu ?"
.
"Hati - hati, adi Rawes. Pemuda ini sangat sakti." seru ki Panji Menak Sengguruh.
.
Keduannya kembali memusatkan nalar dan budinya untuk melontarkan ilmu
masing - masing. Di depan pun ki Lurah Arya Dipa tak tinggal diam. Kuda - kuda
yang mantab dan kokoh, lalu kemudian aji Niscala Praba masih terus
menyelimuti pemuda itu, dan kini aji Sepi Angin siap ia lontarkan.
.
"Buuummmmm... !!!!"
.
Tanah bagai dilanda gempa dan terdengar ledakan yang memekakan telinga
bagi siapapun yang mendengarkan. Air hujan seakan - akan buyar bersamaan
dengan muncratnya rumput, tanah, dan bebatuan kecil. Dimana tempat
P a g e | 346

berdirinya ki Lurah Arya Dipa, tak terlihat karena terhalang oleh bekas ledakan
itu.
.
Ki Panji Menak Sengguruh sudah tak berada di tempatnya juga. Tubuhnya
mencelat dua tombak dan terlihat payah. Dari mulutnya merembes darah
segar dan dadanya selalu ditekan. Sama juga dengan ki Rangga Rawes, saat
pertemuan tenaga itu dan terjadi ledakan yang dahsyat, tenaganya terasa
membalik ke arahnya dan membuat isi dalam dadanya nyeri sekali. Darah
segar pun terlihat membasahi bibirnya. Kedua orang itu segera duduk
memusatkan nalar dan budi untuk mengendalikan pernafasan dan meredakan
rasa sakit dalam dada mereka.
.
Bekas tempat ki Lurah Arya Dipa berdiri kini tinggalah lubang besar, tiada wujud
anak muda itu secuil pun. Sehingga ki Ageng Gajah Sora dan ki Ajar Bajulpati
yang sempat memerhatikan adu tenaga tadi, terlihat cemas dangan keadaan
ki Lurah Arya Dipa.
.
"Ah.. Hancurkah anak muda tadi ?" batin ki Ageng Gajah Sora.

"Sekarang kau akan menyusul juga, ki Buyut !" seru Kuda Krida sambil
menjulurkan pedang yang sudah ada ditangannya.
.
Hampir saja pedang itu memengal kepala ki Buyut Banyubiru, andai tak segera
merendahkan tubuhnya. Namun lawannya tak tinggal diam, ditariknya
pedangnya dan mengayun ke bawah. Untung saja ki Ageng Gajah Sora cepat
bertindak dengan melentingkan tubuhnya ke belakang agak jauh. Tetapi
lawan yang lainnya sudah memperhitungkan langkah selanjutnya daripada
Orang Banyubiru itu. Tangan kuat dari Galih Lumintang langsung menumbuk
punggung anak ki Ageng Sora Dipayana.
.
"Duukk... !"
.
Rasa nyeri menjalar punggung ki Ageng Gajah Sora, akibat jotosan dari Galih
Lumintang. Tak sempat orang itu untuk mengeluh, karena lawan satunya sudah
siap mengancam nyawanya dengan sebilah pedang tajam. Sekali ia lengah
maka matahari indah di esok hari, tentu tak akan ia lihat kembali. Dengan
menggelindingkan tubuhnya ki Ageng Gajah Sora menghindari terjangan
tajamnya pedang, lalu setelah dirasa aman bergegas ia melenting berdiri dan
P a g e | 347

waspada.
.
"Nafasku hampir putus.. " keluh ki Ageng Gajah Sora.
.
Mendadak Galih Lumintang sudah meloncat tinggi dan Kuda krida juga
merangsek mengayun - ayunkan pedangnya. Walau nafas sudah saling
berkejaran, ki Ageng Gajah Sora siap menanti serangan dua lawannya.
Pertama dengan kedua tangan menyilang, ia tahan gempuran dari Galih
Lumintang. Selanjutnya setelah berhasil mengatasi gempuran lawan, dengan
gerak ringan badan ki Ageng Gajah Sora melenggak demi menghidari tusukan
pedang Kuda Krida, lalu dengan kerasnya memukul pergelangan tangan dan
satu lagi memukul dada lawannya.
.
"Heegg.. " dada Kuda Krida bagai tersodok batang besi dan tangannya terasa
nyeri terkena tebasan alu, sehingga pedangnya jatuh ke tanah. Tetapi orang ini
tak ingin dirinya sendiri yang menderita. Sambil membungkukan badan, ia
sundul lambung lawan dengan kerasnya.

Ki Ageng Gajah Sora hampir saja terjatuh. Namun secepatnya ia mengokohkan


kakinya untuk menjaga keseimbangan tubuhnya.
.
Debar jantung masih berdetak kencang bila menyaksikan apa yang terjadi
kemudian. Dimana tangan kanan Galih Lumintang sudah tergenggam sebuah
nanggala dan dengan gerakan cepat mengarah tengkuk ki Ageng Gajah
Sora.
.
Meskipun terasa kesiur angin menerpa tengkuknya, ki Ageng Gajah Sora tak
sempat untuk menghindar atau pun menangkis. Jantungnya bagai tercekat
berhenti berdetak, menanti ajal yang akan datang kepadanya.
.
"Oh.. Inikah ajalku ?" batinnya.
.
Saat itulah sebuah bayangan sudah dekat dengan tubuh ki Ageng Gajah Sora.
Sebuah pedang tipis tepat menempel ditengkuk ki Buyut Banyubiru.
.
"Tring.. Bukk.. Bukk.. "
.
Pertama bunyi bertemunya nanggala dan pinggang daun pedang, lalu disusul
P a g e | 348

dua tumbukan mendarat di tubub Galih Lumintang hingga membuat orang itu
mencelat.
.
"Ki Ageng tak apa - apa ?" tanya orang itu, cemas.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 4
OLEH : MARZUKI
.
..
"Oh.. A.. anakmas, kau kah ini ?!" ucap ki Ageng Gajah Sora sambil
mengguncang tubuh ki Lurah Arya Dipa tanpa membalas pertanyaan Lurah
muda itu.
.
Lurah muda itu tersenyum dengan tindakan ki Ageng Gajah Sora, "Yang Maha
Agung masih bermurah hati melindungiku, ki Buyut."
.
Gerimis masih turun membasahi hutan bambu itu. Bahkan semakin lama
bertambah deras. Tak jauh dari hutan itu terdengar suara air mengalir dengan
derasnya, mungkin malah dikatakan banjir. Memang hutan bambu itu
berdekatan dengan anak sungai yang berada di bawah tebing curam.
.
"Bersiaplah, ki Buyut. Sepertinya mereka akan melanjutkan tindakan mereka."
kata ki Lurah Arya Dipa.
.
"Hm.. Iya anakmas, begitu juga dengan lawanmu itu." sahut ki Ageng Gajah
Sora, mengarahkan pandangannya ke arah ki Panji Menak Sengguruh dan ki
Rangga Rawes.
.
"Maaf, ki Ageng. Aku akan melawan dua orang lawanku yang sebelumnya.
Semoga ki Ageng tak segan - segan untuk memberi pelajaran kepada ki
Ageng."
.
"Hahaha.. Pergilah, anakmas. Aku akan berusaha mengatasi dua orang ini."
kata ki Ageng Gajah Sora, sambil memandang kepergian anak muda yang
umurnya lima tahun lebih tua dari anaknya.
.
P a g e | 349

"Murid siapa dia sebenarnya ? Tak ku sangka ia semuda itu mampu melawan aji
- aji yang mendebarkan." sambung putra ki Ageng Sora Dipayana.

Kepala tanah perdikan Banyubiru itu harus menghentikan rasa kagumnya


kepada pemuda yang dua kali menyelamatkan nyawanya. Karena lawannya,
Kuda Krida dan Galih Lumintang sudah bergerak. Kembalilah perkelahian itu
terulang dengan serunya.
.
Sementara ki Lurah Arya Dipa bersungguh - sungguh menangani lawannya.
Pedang kyai Jatayu tergenggam erat di tangan kanan. Mata tajam setajam
burung garuda. Selapis warna kuning kemilau selalu melindungi tubuh perwira
muda itu. Sebuah sikap dan tata gerak yang membuat lawan terkesima.
.
Ki Rangga Rawes mengeraskan hatinya, agar lepas dari pengaruh perbawa
dari lawannya, sambil berucap perlahan,."Dia hanya anak - anak yang baru
belajar berloncatan."
.
Dari balik kain pakaiannya tersembul keris panjang luk sebelas. Pusaka
andalannya yang ia warisi dari gurunya di telatah pulau selatan. Keris kyai Sisik
Jangkung.
.
Sedangkan di tangan ki Panji Menak Sengguruh, Tergenggam senjata berwujud
pedang, pedang lengkung dengan ujung berkait. Sekali pedang itu
menghujam daging, apabila ditarik tentu akan menimbulkan luka mengerikan,
daging robek dan sangat menyakitkan.
.
Walau terlihat dalam kewadahan rasa tatag dan jauh dari rasa gentar,
kenyataannya dalam hati kecil seorang Lurah Arya Dipa sungguh miris.
Mengapa seorang bernama manusia masih menggunakan kekerasan untuk
menyelesaikan setiap masalah ?
.
Tapi itulah yang terjadi sejak manusia terlahir dan kehidupan selanjutnya.
Kekerasan dengan mengucurkan darah sesama tak terhenti. Sudah terukir
dengan jelas di rontal - rontal, kitab - kitab kuno, kakawin dan sejenisnya
bagaimana kejadian itu terus berlangsung.
.
"Hiatt.. !" teriak ki Rangga Rawes, seraya mengayunkan keris panjangnya.
.
P a g e | 350

"Tring.. Tring.. Tring.. "

Suara beradunya logam pilihan mulai terdengar bersamaan berpercikan api


dari dua batang besi pilihan. Ilmu senjata keduanya sangat mengagumkan
dengan bermacam corak dan kembangan.
Apalagi saat ki Panji Menak Sengguruh memasuki perkelahian, perkelahian itu
semakin seru dan sengit. Pedang berkait milik Panji dari bang wetan itu sungguh
ngedab - ngedabi. Sekali pedang itu menusuk saat ditarik, pedang itu
berusaha mengait senjata lawan atau tubuh lawan.
.
"Mati Riko !" teriak ki Panji Menak Sengguruh dengan logat Blambangan.
.
Pedang berkait itu menebas tangan ki Lurah Arya Dipa, saat pemuda itu masih
menahan serangan ki Rangga Rawes. Demi menghindari tebasan pedang
berkait, terpaksa ki Lurah Arya Dipa melepas pedang kyai Jatayu. Dan pedang
itu jatuh, tetapi secepat kilat kaki pemuda itu menendang tangkai pedangnya
dan dengan meloncat tinggi, pedang kyai Jatayu telah kembali dalam
genggaman.
.
"Hebat benar kau, anak muda !" puji ki Rangga Rawes yang sudah melakukan
serangan ganda.
.
"Tring.. Tring.. Dess.. Dess..!"
.
Dua kali tajamnya keris panjang dan dua kali tendangan dan pukulan dari ki
Rangga Rawes, berhasil dimentahkan. Selanjutnya kedua orang dari bang
wetan itu terus merangsek menghalau ki Lurah Arya Dipa. Beradunya tajam
senjata disertai pukulan atau pun tendangan semakin sering terlihat.
.
Tak jauh, ki Ageng Gajah Sora berusaha meladeni kedua lawannya. Kedua
lawannya dengan mati - matian terus malakukan serangan mematikan dan
bahkan disebut buas. Tata gerak Kuda Krida dan Galih Lumintang terlihat kasar
dengan umpatan - umpatan kasar.
.
"Apa kedua orang ini seorang perampok atau berandal ?" batin ki Ageng
Gajah Sora sembari menghindari sergapan senjata Kuda Krida.
.
"Wuts.. "
P a g e | 351

Sembari menghindar tadi, ki Ageng Gajah Sora berhasil melontarkan pedang


lawan dengan menggunakan kain panjangnya. Meskipun begitu ia pun harus
membayar dengan tumbukan kepalan tangan Galih Lumintang tepat di
pinggangnya. Tak sempat ki Buyut itu untuk mengeluh demi melihat lawan
satunya lagi akan menendang tubuhnya. Kain panjangnya segera ia kibaskan
dan melilit kaki Kuda Krida. Disentaklah kain itu dengan kerasnya.
.
"Heeg.. Duk.. Duk.."
.
Tubuh Kuda Krida terjengkang dan rubuh. Tak hanya itu saja, punggungnya
juga terkena sabetan kain panjang ki Ageng Gajah Sora.
.
Mengetahui kawannya dihajar babak belur, Galih Lumintang yang sudah
menerapkan aji Hasta Wesi langsung menumbuk putra ki Ageng Sora
Dipayana. Tetapi ki Ageng Gajah Sora tak lengah atas lawannya itu. Kakinya
bergegas mengisar ke samping seraya melintangkan kain panjangnya dan
segera melilitkan ke tangan itu.
.
Terjadilah adu tenaga dari dua orang itu, yang kini tiada yang mengganggu.
Dikarenakan Kuda Krida tak mampu bergetak akibat dari sentuhan kain
panjang ki Ageng Gajah Sora yang mengenai titik simpul.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 5
OLEH : MARZUKI
.
..
Dirasa dirinya tak kuat untuk mempertahankan pijakannya atau pun melepas
lilitan kain panjang milik ki Ageng Gajah Sora, terpaksa Galih Lumintang
mengendorkan tenaganya. Sudah bisa dibayangkan tubuh itu terseret tenaga
tarikan dari lawan dengan kencangnya. Dan ini memang diharapkan oleh
Galih Lumintang untuk melakukan rencananya. Yaitu sekali kaki tak lagi
menginjak tanah, serta tubuh melayang ke depan akibat tarikan tenaga
lawan, kecepatan pikiran menggerakan kakinya lurus menggejik dada ki
Ageng Gajah Sora.
.
P a g e | 352

Adanya serangan kaki dari Galih Lumintang tak membuat gugup ki Ageng
Gajah Sora. Kedua tangan yang masih memegang kain panjang, ia gerakan
memutar kain panjang itu. Akibat yang ditimbulkan semakin membuat lilitan tak
hanya di tangan Galih Lumintang saja, malah ke tubuh orang itu. Sembari
beringsut di hentakan kain itu sedemikian kuatnya.
.
"Hegg.. Blukk.. "
.
Tubuh Galih Lumintang terbanting ke tanah. Sebelum orang itu menyadari
keadaan, secepat kilat ki Ageng Gajah Sora meloncat dan menyentuh simpul
di tubuh orang itu.
.
"He lepaskan sentuhanmu dan kita lanjutkan perkelahian kita sampai kematian
mengakhiri sapah satu dari kita.. !" seru Galih Lumintang penuh kegeraman dan
mata memerah.
.
"Istirahatlah, kisanak." sahut ki Ageng Gajah Sora, singkat.
.
Kemudian ki Buyut Banyubiru itu memperhatikan lingkungan disekitar tempat itu.
Hujan sudah reda, tinggalah perkelahian yang masih berlangsung dengan
serunya. Manakala ki Ageng Gajah Sora memandang ke sisi selatan,
tatapannya tertumbuk dengan pandangan salah satu sosok dari Raden
Singasari.
.
"Kedalaman ilmu dari orang itu, sungguh mendebarkan." batin ki Ageng Gajah
Sora, dengan menyiagakan diri jikalau sesuatu terjadi.
.
Di sisi selatan perkelahian terlihat aneh. Dikatakan aneh karena munculnya dua
sosok Raden Singasari yang menghadapi sosok timbul tenggelam ki Ajar
Bajulpati. Kadangkala diselingi beradunya tenaga dahsyat aji Braja Bayu dan
Brajamusti. Juga adanya pergumulan adu kekuatan aji Nágábándhá yang
dapat dimentahkan licinnya aji Welut putih.

Sementara tak jauh dari situ, beradunya senjata berdenting keras disertai
pecikan bunga api. Darah dari luka sudah mulai ikut berbicara dari salah satu
dari mereka. Ki Rangga Rawes mengumpat ketika ia merasakan pedang tipis
lawan meliuk dan menggores pundaknya. Senjata pedang tipis itu sangat luwes
ditangan lawannya yang masih berusia dua puluhan tahun. Ini yang membuat
P a g e | 353

dirinya tak mengakui kekalahannya.


.
Untuk itu ki Rangga Rawes dengan meng-eratkan pegangan keris panjangnya,
yang kemudian menebas dengan sepenuh tenaga.
.
"Tak.. !"
.
"He.. " kejut perwira bang wetan itu.
.
Di ulangi serangannya untuk meyakinkan apa yang ia lihat benarkah terjadi.
.
"Tuk.. "
.
Kerisnya bagai mengenai lapisan besi gligen. Tak mampu menembus sejarak
seruas tubuh lawan, yang berwarna kuning kemilau. Dirinya tak sempat untuk
melanjutkan keheranannya, karena pedang tipis lawan kembali menggores
lengan tangan kanannya. Seketika ki Rangga Rawes meloncat surut menjaga
jarak. Senjatanya sudah lepas dari tangannya tergantikan rasa pedih
dilengannya, terkena goresan pedang Jatayu.
.
"Jangkrik.. Demit cilik.. " makinya dengan kasar.
.
Ki Lurah Arya Dipa tak menghiraukan umpatan dari lawannya itu, karena ia
harus menyambuti pedang berkait dari ki Panji Menak Sengguruh. Mata
pedang dengan ujung berkait itu sungguh mendebarkan. Apalagi ilmu yang
diterapkan juga penuh ancaman terhadap keselamatan nyawa.
.
Tak hanya itu saja, sembari menyerang menggunakan senjata, ki Panji Menak
Sengguruh juga menerapkan aji Prahara Geni. Gelembung - gelembung kecil
itu berusaha memecah perhatian dari ki Lurah Arya Dipa. Andai saja Lurah
muda itu tak mempunyai aji Niscala Praba, tubuhnya akan leleh terkena
gelembung Prahara Geni.
.
Tandang ki Panji Menak Sengguruh semakin cepat. Aji Prahara Geni yang
dirasa tak menemui hasil, segera ia pusatkan ke senjatanya untuk menambah
gedor tenaganya. Selapis semburat merah menghiasi daun pedangnya, yang
kemudian ia ayunkan dengan kerasnya ke tubuh lawan.
.
P a g e | 354

"Traaaang.... !"

Bunyi keras disertai percikan bunga api sekaligus mencelatnya tubuh ki Lurah
Arya Dipa. Aji Niscala Praba tergetar hebat hingga membuat sang pemiliknya
merasakan rasa nyeri yang sangat.
.
Di depan ki Panji Menak Sengguruh menganggukan kepala dan tatapan tajam
ke depan. Pedang ia tancapkan ke tanah, kemudia dengan sikap sempurna ia
memusatkan nalar dan budinya. Segelombang hawa panas tiba - tiba terlihat
dari segenap penjuru dan berkumpul di depan ki Panji Menak Sengguruh.
Gelompak itu semakin membesar membentuk pusaran badai api setinggi
pohon kelapa.
.
"Hiaat... !" seru ki Panji Menak Sengguruh seraya melepas pusaran badai api ke
depan.
.
Di depan sebenarnya ki Lurah Arya Dipa sudah siap melepas aji Sepi Angin. Tapi
betapa kagetnya ketika ia melihat bayangan ki Ageng Gajah Sora berusaha
menggempur pusaran itu dengan aji Lebur Saketi.
.
"Wuts.. Byaaar.. "
.
Aji Lebur Saketi tak mampu menahan gempuran aji Prahara Geni tingkat tinggi
itu. Tubuh ki Ageng Gajah Sora terhempas jauh bagai layang - layang putus.
.
"Ki Ageng.... !" teriak ki Lurah Arya Dipa seraya mengejar dan menangkap tubuh
itu.
.
Berhasil diri pemuda itu menangkap tubuh ki Ageng Gajah Sora. Tetapi, untung
tak dapat diraih, sial tak mampu dihindari. Kakinya menginjak tanah gembur
ujung tebing yang rawan longsor.
.
Akibatnya tubuh itu meluncur deras ke bawah tebing yang tinggi.
.
"Mampus kalian !" seru ki Panji Menak Sengguruh.
.
Teriakan itu membuat ki Ajar Bajulpati dan Raden Singasari menghentikan
pertarungan dan memperhatikan apa yang terjadi.
P a g e | 355

.
"Oh .." kejut ki Ajar Bajulpati seraya meloncat jauh ketika menyaksikan tubuh ki
Lurah Arya Dipa dan ki Ageng Gajah Sora terjun ke bawah tebing.
.
Sementara Raden Singasari meloncat membebaskan kedua bawahannya
yang tak mampu bergerak akibat sentuhan tangan lawannya.

"Ki Panji, lekas tinggalkan tempat ini.." serunya.


.
Kepergian orang - orang itu dibiarkan saja oleh ki Ajar Bajulpati. Orang tua itu
lebih mencemaskan nasib ki Ageng Gajah Sora dan ki Lurah Arya Dipa.
Bergegas ia mencari jalan untuk menuruni tebing dekat hutan bambu itu.
.
"Aku harus bergegas.. " desisnya, " Ya Gusti, semoga welas asihMu menyertai
mereka... "

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 6
OLEH : MARZUKI
.
..
Alam mulai terlihat sumringah dengan bersinarnya surya di langit nan biru.
Mendung di malam hari telah tertiup angin ke arah utara setelah mencurahkan
kandungan air hasil uap di samudera selatan. Sungai ber-air keruh dari luapan
air akibat hujan semalam. Terus mengalir menyusuri alur tanah rendah dan
akhirnya akan sampai di samudera.
.
Di pinggiran sungai dua sosok tubuh tersangkut sebatang batang pohon waru,
yang menjorok ke bibir sungai. Dua tubuh itu tiada bergerak, entah mati atau
hanya pingsan saja.
.
Teriknya sinar mentari-lah yang ikut andil memberikan tanda adanya kehidupan
dengan sosok tubuh itu. Awalnya ada gerakan perlahan dari tangan salah satu
sosok itu. Kemudian dilanjutkan secara perlahan mata itu mulai terbuka.
.
Sejenak terlihat bingung mencuat di raut wajah sosok yang masih muda itu.
Rasa pening di kepala berdenyut memainkan rasa dengan liarnya. Untuk
P a g e | 356

mengurangi rasa pening, si pemuda mengangkat tangan dan memijit perlahan


peningnya, juga mencoba menghirup segarnya udara di pagi hari itu.
.
Akhirnya pening di kepalanya berangsur reda dan ingatannya kembali mengisi
relung pikiran dan hatinya. Apalagi ketika pemuda itu bangkit duduk dan
menoleh ke samping kanan.
.
"Ki Buyut.. " serunya sambil menggoyang tubuh yang terlentang itu.
.
Tubuh itu tetap diam. Segera pemuda yang tak lain ki Lurah Arya Dipa,
mengangkat tubuh ki Buyut yang tak berdaya ke tempat yang mapan.
Dibaringkan tubuh itu di tanah yang ditumbuhi serumpun rumput hijau. Ia
tempelkan telinganya di dada orang tua itu.
.
"Syukurlah, ki Buyut hanya pingsan." desis ki Lurah Arya Dipa.

Selanjutnya ki Lurah Arya Dipa berlari kecil memetik daun pohon jati dan
menuju ke sungai, berniat mengambil air.
.
"Ah.. Terlalu keruh." desis ki Lurah Arya Dipa, lalu saat meliarkan pandang ke
pinggir sungai arah hulu, "Ha.. Air terjun."
.
Ia pun berlari ke air terjun yang keluar dari rembesan padas tebing. Dengan
menggunakan daun untuk menampung air itu dan di bawa ke tempat ki
Ageng Gajah Sora terbaring.
.
Setitik demi setitik air diteteskan ke mulut Buyut Banyubiru itu. Segarnya air
perlahan meresap membasahi bibir kemudian masuk ke tenggorokan terus
berlanjut ke dalam lambung, dicerna ke segenap alat karunia Illahi di dalam
tubuh manusia, diubah menjadi tenaga.
.
"E... e.. " bibir ki Buyut Banyubiru sudah mulai bergerak.
.
Rasa syukur terucap dari mulut ki Lurah Ary Dipa sampai dalam hati.
Menunjukan ketulusan dalam arti ucapan syukur itu, atas keadaan ki Ageng
Gajah Sora. Harapan adanya kehidupan selanjutnya semakin besar.
.
Sesaat kemudian nyatalah ki Ageng Gajah Sora siuman dengan membuka
P a g e | 357

kedua panca penglihatannya.


.
"Berbaringlah, ki Ageng." kata ki Lurah Arya Dipa ketika ki Buyut itu akan bangkit
duduk.
.
"A.. anakmas, apa yang terjadi selanjutnya ?" tanya ki Ageng Gajah Sora.
.
Lurah muda itu menghela napas, "Entahlah Ki Buyut. Saat aku hendak
menangkap tubuh ki buyut dan berhasil menangkapnya, kakiku menginjak
tanah bibir tebing yang gembur. Sehingga kita berdua terjatuh ke bawah
tebing."

Uraian dari pemuda itu masih belum dipahami benar oleh ki Ageng Gajah Sora,
"Anakmas apakah tak menyadari sepenuhnya ?"
.
"Benar, ki Ageng..."
.
"Panggil aku paman saja, anakmas." potong ki Ageng Gajah Sora sambil
berusaha duduk yang dibantu oleh ki Lurah Arya Dipa.
.
"Baik, paman." sahut ki Lurah Arya Dipa, yang kemudian menerangkan apa
yang juga ia alami.
.
"Jadi anakmas juga pingsan dan hanyut bersamaku ?"
.
"Iya, paman. Saat aku menangkap paman dan kaget ketika akan terperosok
ke bawah tebing, seleret sinar menghentak dadaku. Dan kemudian aku tak
menyadari selanjutnya, sampai akhirnya aku siuman." kata ki Lurah Arya Dipa.
.
"Maafkan aku, anakmas. Itu semua karena kesalahanku." pinta ki Ageng Gajah
Sora.
.
"Tidak, paman. Karena paman Gajah Sora sebenarnya berniat baik dengan
tindakan yang paman lakukan." kata Lurah muda itu.
.
"Ilmu lawan anakmas sungguh mendebarkan. Selama hidupku baru dua kali
aku merasaka kekuatan seperti itu." ucap ki Ageng Gajah Sora, "Yaitu saat aku
beradu tenaga dengan sahabat, adi Mahesa Jenar yang kemudian sering
P a g e | 358

dipanggil Tohjaya."
.
"He.. " seru ki Lurah Arya Dipa, kaget.
.
"Ada apa, anakmas ?"
.
"Pa...man tadi menyebut Tohjaya ?" tanya ki Lurah Arya Dipa, lalu, "Maksud
paman, ki Rangga Tohjaya ?"
.
"Benar, anakmas. Apa kau mengenalnya ?"
.
"Tentu, paman. Saat masih dalam pendadaran prajurit, ki Rangga yang masih
seorang Lurah menjadi pembimbing kelompok ku." jawab Lurah muda itu,
"Tahukah paman dengan keberadaannya saat ini ?"

Putra ki Ageng Sora Dipayana itu tersenyum, "Adi Mahesa Jenar berada di
Banyubiru, anakmas."
.
"He.. Benarkah itu paman ?"
.
"Mengapa aku harus bohong dengan orang yang sudah tiga kali
menyelamatkan ku ? Saat kita saling berhadapan di bukit Telamaya, ia juga
hadir bersamaku. Bahkan dialah yang meredakan dan membujuku untuk tidak
gegabah dalam menanggapi persoalan Banyubiru dengan Demak." kata ki
Ageng Gajah Biru, dan orang itu terbatuk.
.
"Ah.. Paman sepertinya terkena luka dalam ?" cemas ki Lurah Arya Dipa.
.
"Hm.. Tak apa - apa, mungkin dengan mengatur pernapasan keadaanku akan
segera pulih."
.
Dengan duduk bersila, ki Ageng Gajah Sora memusatkan nalar dan budinya
untuk memperbaiki simpul - simpul alur darah yang mengalami sumbatan
akibat dirinya membenturkan aji Lebur Saketi dengan aji Prahara Geni, milik ki
Panji Menak Sengguruh. Sementara ki Lurah Arya Dipa duduk sekaligus
menjaga keadaan di sekitar tebing itu.
P a g e | 359

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 7
OLEH : MARZUKI
.
..
"Kreshekk...Kreshekk.. Kreshekk.. "
.
Terdengar bunyi gremeseknya semak belukar, terkena gesekan entah itu orang
atau hewan. Hal itu membuat ki Lurah Arya Dipa waspada dan siap
menyongsong kemunculan makhluk dari balik semak belukar.
.
"Angger, ini aku Ajar Bajulpati." seru seorang dari balik semak belukar itu.
.
"Oh, ki Ajar." kata ki Lurah Arya Dipa sambil mengangguk hormat.
.
Saat bersamaan, ki Ageng Gajah Sora sudah menyelesaikan dirinya dalam
melancarkan perputaran darah dan pernapasannya. Kepala perdikan
Banyubiru itu berdiri dan ikut menyambut sesepuh kanuragan dari timur alas
Baluran itu. Segera ia mengucapkan terima kasih atas pertolongan ki Ajar
Bajulpati dari ancaman Raden Singasari yang mengelabuinya, menggunakan
aji malih rupa.
.
"Sudahlah, anakmas. Semua itu atas kehendakNYA." kata ki Ajar Bajulpati, lalu
orang tua itu memandang ki Lurah Arya Dipa, "Ki Lurah, bukankah kau tadi
malam memperagakan tata gerak dari sebuah kitab kuno ?"
.
Kerut mendalam terlihat di dahi anak muda itu, atas pertanyaan ki Ajar
Bajulpati. Mungkinkah orang ini juga mengetahui mengenai kitab Cakra Paksi
Jatayu ? Ah.. Pemuda itu ingat saat dirinya sudah mewarisi ilmu itu baru satu
tahun. Seorang ajar dari padepokan Lemah Jenar juga mengetahui dan ingin
merebut kitab itu.
.
"Angger, Sedikit banyak aku pernah mendengar dan milhat dari kawanku yang
tinggal di Penarukan. Yaitu selembar lontar dengan guratan tata gerak dari
ilmu yang angger peragakan." sejenak orang tua itu berhenti, lalu sambungnya,
"Namun tata gerak itu putus - putus tak selengkap tata gerak angger. Ia pun
mengatakan itu hanyalah lembaran tiruan dari kitab aslinya."
P a g e | 360

Sambil duduk beralaskan rumput, ki Ajar Bajulpati kemudian menceritakan apa


yang ia dengar dari kawannya tentang sebuah kitab kuno peninggalan raja
Bedahulu di pulau dewata.
.
Sri Raja Mahendradatta adalah seorang raja yang bijaksana dalam
memerintah kerajaannya. Raja yang masih ada pertalian keluarga dengan
Medang Kumalan ini, mempunyai tiga orang anak. Anak pertama seorang
pemuda tampan yang bernama Airlangga, dan setelah remaja dinikahkan
dengan putri Raja Medang Kamulan atau Mataram kuno di jawa bagian timur.
Memang awalnya Mataram kuno di masa pendahulunya, yaitu Sri Sanjaya
terletak dekat dengan gunung Merapi, tetapi karena adanya letusan gunung
merapi oleh Prabu Mpu Sendok di pindah ke timur gunung Lawu tepatnya saat
ini di Maospati sampai raja terakhir, prabu Teguh Darmawangsa yang tak lain
mertua Airlangga muda.
.
Karena Airlangga muda harus mengikuti sang istri, sang Prabu Mahendradatta
mewariskan sebuah kitab Cakra Paksi Jatayu. Tetapi kedua adiknya iri dengan
Ramandanya menyerahkan kitab itu kepada Airlangga, namun untuk merebut
secara langsung keduanya tidak berani.
.
Untunglah sang Prabu selain seorang yang putus dalam ilmu sastra dan nagari,
beliau juga seorang wicaksana dan mampu membaca isi hati seseorang. Oleh
karenanya sehari sebalum Airlangga berangkat ke Jawa Dwipa, sang Prabu
memanggil ketiga putranya di balai agung.
.
"Putranda sekalian, pada hari Sukra ini kalian aku panggil untuk menghadap di
balai agung Bedahulu ini." sejenak Prabu Mahendradatta menghentikan
ucapannya demi melihat kesan dari ketiga anaknya.
.
"Tahukah putranda sekalian dengan maksud ramanda ini memanggil kalian ?"
.
Ketiga pangeran itu saling berpandangan satu dengan lainnya. Kenyataannya
memang tiada yang tahu maksud hati ramandanya.
.
Airlangga yang merupakan putra tertua memberanikan diri untuk mewakili adik
- adiknya, "Ampun, Ramanda. Sungguh putranda ini picik dari segala - galanya,
oleh karenanya jika ramanda melimpahkan kemurahan hati, mohon kiranya
ramanda memberitahukan supaya putranda sekalian ini, lebih terang dengan
P a g e | 361

semuanya."
.
Mengangguklah kepala sang Prabu atas ucapan putra sulungnya itu.

"Ananda sekalian tahukan kalain dengan rontal ini ?" tanya sang Prabu yang
sudah memegang sebuah kitab dari lembaran rontal.
.
"Ampun, ramanda prabu. Kalau tidak salah bukankah itu kitab Cakra Paksi
Jatayu ?"
.
"Hm.. Bagaimana dengan ananda berdua ?" selanjutnya tanya Prabu
Mahendradatta kepada kedua adik Airlangga.
.
"Ampun, Ramanda Prabu. Kami berdua sependapat dengan kakanda
Airlangga."
.
"Bagus.. " seru sang Prabu, "Kalian bertiga merupakan putra yang sangat aku
sayangi dan cintai. Tiada dalam hati kecilku untuk memanjakan salah satu dari
kalian bertiga, semua sama dalam segala hal. Dan hari ini aku akan
mewariskan kitab ini kepada salah satu diantara kalian, jika kitab ini berjodoh
dengan salah satu dari kalian."
.
Kedua adik Airlangga mendongakan kepala saat mengetahui ramandanya
merubah niatnya untuk tidak menyerahkan kitab itu langsung kepada
kakandanya. Hati kedua pangeran itu senang bukan main, masih ada peluang
bagi mereka berdua untuk mendapatkan kitab sakti itu. Terlihat wajah
keduanya berseri - seri layaknya sinar mentari di pagi hari.
.
Sangat jauh berbeda dengan pangeran Airlangga. Dalam hati pangeran
sulung itu sebenarnya tiada maksud secuil pun untuk mendapatkan kitab itu.
Oleh karenanya dengan tatag Pangeran Airlangga bersembah kepada
ramandanya, "Duh Ramanda Prabu, yang sangat hamba cintai. Bukannya hati
ananda ini berlaku deksura atas kemurahan ramanda yang sangat besar ini.
Namun bila ramanda berkenan, biarlah kedua adinda saja yang berhak
mewarisi kitab itu."
.
Alis sang Prabu mencuat, walau dalam hatinya sudah memahami perkataan
dari putra sulungnya itu. Lalu katanya, "Hm.. Tidak, kalian bertiga harus
P a g e | 362

mencobanya dahulu, apa yang akan aku katakan ini."


.
"Sudah ku katakan dari awal, kitab ini bukan sembarang kitab. Di lembar
pertama ada sebuah guratan cakra yang melingkari seekor burung garuda
yang mengepakan sayapnya." sambung sang Prabu, sambil memperlihatkan
guratan itu, lalu kemudian, "Bukalah pakaian atas kalian."

Ketiga pangeran itu nampak bingung dengan perintah dari ramandanya,


tetapi perintah itu keluar dari seorang Prabu Bedahulu, oleh karenanya ketiga
pangeran itu kemudian membuka pakaian yang menutupi dada bidang
mereka.
.
"Menghadaplah putranda ke timur." seru sang Prabu.
.
Kembali ketiganya bingung, karena jika menghadap ke timur maka ketiganya
akan membelakangi Prabu Mahendradatta.
.
"Cepat kalian bertiga menghadap ke timur !" seru sang Prabu agak keras.
.
Seketika ketiganya menghadap ke timur. Keajaiban muncul melingkupi balai
agung. Cahaya kuning kemilau bersinar terang mengelilingi ketiga pangeran
itu, dan secara mendadak setelah berputaran cahaya itu menusuk salah satu
dari pangeran Bedahulu.
.
"Cess.. Cess.. Cess.."
.
Cahaya kuning kemilau menggores punggung salah satu pangeran dengan
kerasnya, tetapi tiada terdengar rintihan dari pangeran itu. Sebuah goresan
membentuk Cakra melingkari seekor burung garuda yang mengepakan sayap.
Dan yang terpilih ialah pangeran Airlangga.
.
Kemudian setelah sinar itu sirna, sang Prabu menyuruh kedua adik pangeran
Airlangga untuk melihat punggung kakandanya. Kejut menghinggapi hati
keduanya, tubuh kakandanya yang sebelumnya putih bersih, kini terdapat
sebuah simbol yang mirip dengan simbol di kitab Cakra Paksi Jatayu.

Sang Prabu pun kemudian mengumumkan bahwa kitab itu berjodoh dengan
Pangeran Airlangga. Tetapi ketika memandang kedua pangeran yang lain,
P a g e | 363

raut wajah mereka masih belum puas dengan keputusan yang ia ambil. Maka
sang Prabu berdiri dan mendekati ketiga putranya.
.
"Hm.. Putranda sekalian, aku akan berlaku adil untuk kedua kalinya. Yaitu akan
aku tunjukan kitab ini kepada kalian bertiga. Salinlah kitab ini di sebuah
lembaran kulit, dan serahkan kepadaku di esok hari. Siapa yang jodoh dengan
kitab ini akan dengan gamblang menyalinnya."
.
Ke esok harinya ketiga pangeran itu menghadap kembali ke Balai Agung.
Ketiganya kemudian memperlihatkan hasil dari salinan kitab Cakra Paksi Jatayu
kepada sang Prabu. Keanehan terjadi kembali, ketiga pangeran itu
sebenarnya seorang yang mempunyai ingatan bagus dan dalam membuat
goresan tata gerak sangat mahir. Tetapi kali ini sangat lain dengan hari - hari
yang lalu. Hanya Pangeran Airlangga saja yang sama persis.
.
Kembali Pangeran Airlangga yang berjodoh dengan kitab Cakra Paksi Jatayu.
Demi melihat keanehan - keanehan itu, kedua saudaranya dengan ikhlas
menerima keputusan sang Prabu. Maka hari itu juga pangeran sulung
berangkat ke Jawa Dwipa setelah menerima warisan berharga dari Prabu
Mahendradatta. Bukan kerajaan tetapi sebuah kitab kanuragan yang memuat
tata gerak, jaya kawijayan, dan kebatinan tingkat tinggi. Sedangkan kerajaan
Bedahulu dilanjutkan oleh adik - adik Airlangga.
.
"Begitulah, ngger. Dan salah satu salinannya berada di sahabatku." kata ki Ajar
Bajulpati, mengakhiri ceritanya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 8
OLEH : MARZUKI
.
..
Penuturan dari ki Ajar Bajulpati membuat kesan tersedendiri bagi ki Lurah Arya
Dipa dan ki Ageng Gajah Sora. Bagi ki Lurah Arya Dipa, riwayat asal - usul dari
kitab Cakra Paksi Jatayu hampir serupa dengan apa yang dikatakan oleh ki
Ajar Bajulpati, namun itu hanya secuil saja bila dibandingkan dengan
penuturan dari eyang Resi Puspanaga yang merupakan keturunan langsung
dari Resi Gentayu.
P a g e | 364

.
Sedangkan bagi ki Ageng Gajah Sora, cerita itu bagai dongeng saja. Walau ia
dengan hal itu semakin mengagumi sosok pemuda yang kini disampingnya.
Sosok pemuda yang sudah beberapa kali menyelamatkan nyawanya dari
ancaman maut. Bila pemuda itu benar - benar mewarisi ilmu dari kitab kuno
peninggalan Prabu Airlangga, tentu pemuda itu bukan orang biasa.
.
"Apakah anak ini keturunan ningrat ?" batin ki Ageng Gajah Sora dalam hati.
.
"Angger, selain tata gerak Cakra Paksi Jatayu, aku pun juga melihat adanya
ilmu tata gerak yang sangat aku kenal dari sahabatku yang berada di
Penanggungan. Adakah hubungan kau dengan Resi Puspanaga ?" tanya ki
Ajar Bajulpati.
.
Demi disebut Resi Puspanaga sebagai kawan ki Ajar Bajulpati, maka tiada rasa
curiga lagi Lurah muda itu terhadap orang dari bang wetan itu, lalu katanya
dengan santun, "Ki Ajar, aku yang bodoh ini beruntung atas kemurahan eyang
Resi Puspanaga, dengan memberikan tuntunan ilmu Prana."
.
Ditepuklah pundak anak muda itu, "Sungguh kau sangat beruntung, ngger.
Usiamu semuda ini sudah mendapatkan ilmu Prana pemimpin pertapaan
Pucangan itu dan kau juga berkesempatan dengan mempelajari kitab Cakra
Paksi Jatayu."
.
"Ah.. Ilmu ku masih mentah bila dibandingkan dengan kemampuan ki Ajar dan
paman Gajah Sora." kata ki Lurah Arya Dipa, merendah.

Tawa renyah mengiringi ki Ageng Gajah Sora untuk menyahuti, "Hahaha.. Kau
merendah tapi kalau membandingkan denganku, kau berbohong besar,
anakmas. Bukankah kau tahu sendiri dengan mudahnya orang yang bernama
Menak Sengguruh itu membuatku pingsan ?"
.
"Hahaha.. Anakmas Gajah Sora, sebenarnya jalur ilmu keluargamu sangat
tinggi. Maafkan aku jika aku akan berkata jujur." ucap ki Ajar Bajulpati.
.
"Berkatalah, ki Ajar."
.
Sejenak orang tua timur alas Baluran itu menggeser duduknya, lalu kemudian
P a g e | 365

berkatalah ia, "Anakmas belum sepenuhnya menemukan pengembangan


dasar ilmu ki Ageng Sora Dipayana."
.
Kerut melintang di dahi ki Buyut Banyubiru.
.
"Anakmas, kekuatan aji Lebur Saketi dalam puncaknya sangat mendebarkan.
Aji itu bila menumbuk sebuah batu sebesar kerbau, batu itu terlihat masih utuh
tiada sesuatu yang terjadi. Namun saat batu itu tersentuh, batu itu luruh
menjadi debu halus." orang tua itu berhenti.
.
Sayup angin semilir membuai daun muda dibagian pucuk tanaman. Bergerak
melambai seiring gemulainya sang bayu, yang asyik memerankan perannya di
buana raya. Gemericik air terjun menambah suasana syahdu di alam raya.
Membuat pikiran tenang dan menemukan pencerahan sampai menyusup ke
dalam kalbu.
.
Begitu pun dengan keadaan ki Buyut Banyubiru. Hatinya menyadari betul
dengan apa yang diucapkan oleh ki Ajar Bajulpati. Memang selama ini dirinya
terlalu sibuk dengan tanah perdikan Banyubiru dan keluarganya. Gajah Sora
muda yang gemar tapa brata, lelaku nepi di tempat - tempat yang wingit dan
sepi dari keramaian manusia. Tapi setelah pulang dari selat Malaka,
ketekunannya dalam melihat kedirian itu luntur secuil demi secuil. Dirinya
setelah menjadi seorang Buyut, terlalu mengandalkan kekuatan laskar
Banyubiru semata. Dan tindakan itu sangat merugikan dirinya, atas
kegagalannya dalam menjaga dua pusaka Demak.
.
"Terima kasih, ki Ajar. Ucapan ki Ajar telah memberikan keterangan dalam
hatiku. Ku akui selama ini diriku bagai mandeg dalam melihat kedirian dari ilmu
yang diwariskan oleh ayah ki Ageng Sora Dipayana." ucap ki Ageng Gajah
Sora.

"Syukurlah jika mendengar dengan baik apa yang aku tuturkan tadi, anakmas."
kata ki Ajar Bajulpati, "Semuanya belum terlambat, selama nafas masih ada."
.
Putra ki Ageng Sora Dipayana itu memandang ke arah ki Lurah Arya Dipa, yang
kemudian katanya, "Tapi aku sekarang seorang yang diamankan oleh Demak.
Bukankah begitu ki Lurah ?"
.
P a g e | 366

Suara dari ki Ageng Gajah Sora itu menyadarkan ki Lurah Arya Dipa. Dirinya
merupakan seorang prajurit Demak yang mempunyai tugas untuk ikut
membawa ki Ageng Gajah Sora. Tetapi ia juga menyadari semua ini adalah
ulah dari Raden Singasari yang memperalat dirinya dengan malih rupo menjadi
Empu Citrasena.
.
"Paman, ini semua kesalahanku." desis pemuda itu.
.
"Apa maksudmu, anakmas ?" ki Ageng Gajah Sora heran.
.
Untuk mengurangi rasa bersalahnya, ki Lurah Arya Dipa menjelaskan semua
yang ia alami saat akan menuju ke Purbaya. Dimana dirinya dikelabui oleh aji
dari Raden Singasari.
.
"Itu semua bukan kesalahanmu, anakmas. Aji itu memang sulit sekali dalam
membandingkan wujud yang asli maupun yang tiruan." kata ki Ageng Gajah
Sora, setelah mendengarkan cerita pemuda di sampingnya.
.
"Betul, ngger. Ilmu itu hanya mampu terlihat dengan aji Netra Kinasih dan
sejenisnya." sela ki Ajar Bajulpati.
.
"Apakah ki Ajar memiliki aji itu "

Orang tua itu mengangguk, "Syukur diriku waktu masih muda bertemu seorang
sakti yang berdiam di pulau Menjangan."
.
Ki Ageng Gajah Sora dan ki Lurah Arya Dipa mengangguk - angguk.
.
Tiba - tiba orang tua itu bangkit berdiri dan menghadap kedua orang itu.
.
"Anakmas Gajah Sora dan Angger Dipa, karena kalian tak mengalami suatu
apa pun dan tiada lagi yang harus dicemaskan, aku akan melanjutkan langkah
kakiku."
.
"Kemanakah tujuan ki Ajar ?" tanya ki Ageng Gajah Sora.
.
Dengan senyum tulus ki Ajar Bajulpati berkata, "Mengikuti langkah kaki ini,
anakmas."
P a g e | 367

.
"Baiklah, ki Ajar. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih dan bila sempat
mohon sekiranya ki Ajar singgah di Banyubiru." kata ki Ageng Gajah Sora.
.
"Iya anakmas," sahut ki Ajar Bajulpati, lalu kepada ki Lurah Arya Dipa, "Angger,
berhati - hatilah dengan orang yang bernama Lodaya. Dialah yang
mempunyai salinan kitab Cakra Paksi yang tak utuh itu."
.
"Baik ki Ajar Bajulpati."
.
Setelah sekali lagi ki Ajar Bajulpati mohon diri, dia pun dengan langkah ringan
meninggalkan tepian sungai itu. Dan kini tinggalah ki Ageng Gajah Sora dan ki
Lurah Arya Dipa.
.
"Anakmas, bawalah aku ke perkemahan pasukan Demak."
.
"Tapi, ki Ageng ?"

"Sudahlah, bila aku dan kau menjelaskan semua yang terjadi kepada Kanjeng
Sultan, Beliau tentu akan memahami." terang ki Ageng Gajah Sora.
.
Lantas keduanya mencari jalan ke perkemahan pasukan Demak di bawah
senopati Panji Arya Palindih. Setibanya di perkemahan, ki Lurah Arya Dipa
menuturkan apa yang terjadi tanpa mengurangi atau melebihkan.
.
Penuturan itu bagi ki Panji Arya Palindih merupakan bahan yang harus dijadikan
pertimbangan mengenai adanya Banyubiru dan orang yang disebut seorang
bangsawan dari telatah bang wetan, Raden Singasari. Dan ki Panji Arya
Palindih segera memerintahkan pasukannya untuk melanjutkan perjalanan
kembali ke Demak Bintoro.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 9
OLEH :MARZUKI
..............................
..............................
Udara terasa memanaskan ruang Balai Manguntur dan sang Nata yang duduk
P a g e | 368

di dampar kencana, manakala terdengar laporan dari ki Panji Arya Palindih


mengenai tugas yang diembannya. Dengan sepenuh tenaga Kanjeng Sultan
berusaha menekan kemarahannya melalui helaan nafas panjang.
.
Kepala Panji Arya Palindih menunduk membeku hanya mampu melihat
keindahan ubin tanpa bergerak sedikit pun dari tempat duduknya. Dalam hati
sudah mantab andaikata dirinya akan mendapat murka berupa pidana hukum
badan atau pencopotan pangkat keprajuritannya. Namun Senopati Bergota
itu sangat heran tiada mendengar suara dari Kanjeng Sultan untuk
menjatuhkan hukuman kepadanya, hingga terasa waktu begitu lama.
.
"Paman Panji, walau engkau tiada membawa pusaka kyai Naga Sasra dan
Sabuk Inten, syukurlah paman bisa membawa ki Buyut Banyubiru kehadapanku
tanpa adanya korban." akhirnya Kanjeng Sultan bersuara walau nadanya
begitu bergetar, "Oleh hal itulah aku mengucapkan terima kasih."
.
Wajah yang sebelumnya sudah membeku, seketika mencair manakala
mendengar ucapan dari sang Sultan. Tak kurang - kurangnya, Panji Arya
Palindih mengucapkan syukur kepada Yang Maha Agung dalam hatinya. Serta
ia juga mengucapkan terima kasih atas kemurahan sang Nata.
.
"Sekarang, kalian boleh meninggalkan tempat. Dan untuk ki Buyut dan Arya
Dipa, kalian tetap disini."
.
"Hamba, Kanjeng Sultan !" serempak suara para Nayaka Praja.
.
Tinggalah kini Kanjeng Sultan Trenggono dan ki Buyut Banyubiru serta Lurah Arya
Dipa. Kedua orang itu memang sengaja akan ditanyai sendiri oleh Sultan
Trenggono, mengenai peristiwa yang baru terjadi di Banyubiru maupun
rentetan terjadinya kejadian yang berkesinambungan.

Pertama - tama Kanjeng Sultan menatap tajam Lurah Arya Dipa. Pemuda yang
sangat berkesan dalam hatinya, tetapi kali ini membuatnya sedikit kecewa.
.
"Lurah Arya Dipa." seru Kanjeng Sultan.
.
"Hamba, Kanjeng Sultan."
.
P a g e | 369

"Sekarang coba kau jelaskan dengan rencana yang kau beberkan waktu itu.
Mengapa berakhir seperti ini ?"
.
Sejenak pemuda itu menggeser letak duduknya, seraya mengankat kedua
tangan dimana telapak tangan saling menempel dan kedua ibu jari
menyentuh hidung, lalu katanya, "Ampun Kanjeng Sultan, hamba yang picik
dan bodoh ini telah melakukan kesalahan yang sangat besar dan sungguh
layak, jikalau hamba dijatuhui hukum seberat - beratnya."
.
"Masalah pidana itu gampang, ki Lurah. Tetapi semuanya harus dilihat secara
jelas dengan meneliti dahulu kesalahan yang nyata dari orang itu. Karena itu
aku akan mendengarkan apa yang akan kau katakan, dan menilainya apakah
perkataanmu itu jujur atau tidak. Sekarang coba kau terangkan lagi."
.
"Kanjeng Sultan, yang hamba muliakan. Kala itu, hamba kedatangan orang
yang sangat hamba kenal yaitu, paman Empu Citrasena." kata ki Lurah Arya
Dipa, yang kemudian menceritakan kembali kejadian dimana dirinya berjumpa
dengan Empu Citrasena, di perkemahan selatan kademangan Prambanan.
.
Malam itu sosok yang mengaku Empu Citrasena mendatangi Lurah Arya Dipa.
Dalam pembicaran itulah Empu Citrasena berkata, kalau dirinya berjumpa
dengan ki Ageng Sora Dipayana dan muridnya.
.
"Oh.. " kejut ki Ageng Gajah Sora, ketika dalam penuturan itu menyebut adanya
ayahnya.
.
"Ada apa, ki buyut ?" tanya Kanjeng Sultan seraya melirik ke arah ki Ageng
Gajah Biru.

"Ampun, Kanjeng Sultan. Memang ayah Sora Dipayana-lah yang merebut


kedua pusaka Demak dari tangan Lowo Ijo, tetapi tidak di sekitar Demak,
melainkan di Alas Mentaok." jawab Buyut Banyubiru.
.
Kanjeng Sultan mengangguk, tetapi ia pun memerintahkan kepada Lurah Arya
Dipa untuk melanjutkan ceritanya.
.
Selanjutnya Orang yang mirip dengan Empu Citrasena berbincang - bincang
dengan ki Ageng Sora Dipayana, setelah mengalahkan gerombolan Lowo Ijo.
P a g e | 370

Pada waktu itulah ki Ageng Sora Dipayana mempunyai siasat untuk


mengembalikan kedua pusaka itu lewat putra yang nantinya akan diangkat
sebagai penerusnya, yaitu ki Ageng Gajah Sora.
.
"Begitulah, Kanjeng Sultan. Tetapi ketika hamba bersama ki Panji Arya Palindih
bertamu ke Banyubiru, paman Empu Citrasena dan ki Ageng Sora Dipayana
tak nampak hadir sama sekali." akhir dari penuturan Lurah Arya Dipa.
.
"Ki Buyut, kini giliranmu berkata mengenai kedua pusaka itu. Dari mana kau
memperoleh dan mengapa kedua pusaka itu lenyap ?!" perintah Kanjeng
Sultan Trenggono.
.
Suara ki Buyut Banyubiru terdengar mantab dalam setiap katanya. Secara
terperinci diceritakan mengenai kedua pusaka Demak yang merupakan sipat
kandel kesultanan yang pernah ia abdi.
.
Naga Sasra dan Sabuk Inten. Ya kedua benda pusaka yang membuatnya
terkagum - kagum, saat pertama kali Gajah Sora diperlihatkan dengan kedua
pusaka itu. Ayahnya, ki Ageng Sora Dipayana yang baru pulang dari
kebiasaannya jajah milang kori, membawa buntalan besar yang berisi selain
kain pakaian, juga dua keris yang begitu elok dipandang.
.
Tanpa ditanya ki Ageng Sora Dipayana menceritakan kalau keris itu ia dapat
dari orang - orang yang menginginkan kedua pusaka itu. Yaitu Lowo Ijo dan
seorang pemuda yang mengaku murid sesepuh kanuragan dari Blambangan.
Kedua orang itu bertempur habis - habisan demi mendapatkan kedua pusaka
yang diyakini mampu menampung wahyu keprabon di Jawa Dwipa ini. Tetapi
ternyata keduanya sama - sama sebanding, dalam kecepatan maupun
kekuatan tandangnya.

"Disaat itulah seorang pemuda yang mengaku murid ki Ageng Menak Muncar
berhasil mendepak buntalan yang ada dalam lindungan Lowo Ijo, hingga
mencelat jauh." kata ki Ageng Gajah Sora.
.
"Hm.. Lalu ayahmu, ki Ageng Sora Dipayana mengambilnya ?" tanya Kanjeng
Sultan.
.
"Hamba, Kanjeng Sultan."
P a g e | 371

.
"Lalu.. ?"
.
Kemudian ki Ageng Gajah sora melanjutkan ceritanya, yaitu ayahnya yang
berhasil mengambil bungkusan itu segera dibawa pergi. Awalnya ki Ageng Sora
Dipayana ingin membawa ke Demak, tetapi karena jalan yang dilalui melewati
kampung halamannya, ia pun singgah sambil melepas rindu kepada
keluarganya.
.
Setelah merasa terobati rasa rindu dengan kampung halaman, ki Ageng Sora
Dipayana berangkat ke Demak seorang diri saja. Awalnya tiada sesuatu yang
mencurigakan diperjalanan, hingga suatu kali di sebuah gumuk tak kurang dari
empat orang menghadang langkah ki Buyut Banyubiru sepuh. Orang - orang
yang membuat seorang Sora Dipayana tergetar hatinya. Bagaimana tidak ?
Kelima orang itu ialah, Sima Rodra dan kedua anak menantunya serta
kawannya dari gunung Kelud, Resi Gangsiran.
.
Tanpa basa basi keempat orang itu menyerang ki Ageng Sora Dipayana,
dengan tujuan mendapatkan kedua pusaka yang mereka yakini di bawa oleh
orang dari Banyubiru itu. Sekuat seorang Sora Dipayana tentulah akan sulit jika
menghadapi empat pengeroyok yang ilmunya tak jauh beda dengan dirinya.
Tak bisa dipungkiri keberuntungan berpihak kepada empat orang lawannya,
dengan mengandalkan kerjasama yang apik, lawannya mampu mendobrak
pertahanan ki Ageng Sora Dipayana. Sekaligus berhasil membawa kabur
kedua pusaka Demak.
.
Terpaksa ki Ageng Sora Dipayana pulang dengan kekecewaan yang
mendalam. Apalagi sesampainya di rumah, seorang utusan dari sahabatnya
mengabarkan warta yang membuat ki Ageng Sora Dipayana semakin sedih.
Yaitu sahabatnya telah pulang keharibaan Sang Pencipta.
.
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Maka dengan berat hati ki Ageng
Sora Dipayana memerintahkan putranya, Gajah Sora untuk mencari
keberadaan kedua pusaka Demak.
.
"Syukurlah, hamba mampu merebut kembali kedua pusaka itu dengan
bantuan sahabat hamba, Kanjeng Sultan." ucap ki Ageng Gajah Sora.
.
P a g e | 372

"Siapa nama sahabatmu itu, ki Buyut ?"

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 10
OLEH : MARZUKI
.............................
.............................
"Mahesa Jenar, Kanjeng Sultan." jawab ki Ageng Gajah Sora.
.
Nama itu seperti tak asing ditelinga Kanjeng Sultan. Namun wajah dari nama itu
tak terkilas dibenak Kanjeng Sultan Demak. Hanya anggukan kepala saja yang
kemudian terlihat dari sang Nata Demak.
.
"Lanjutkan ceritamu, ki Buyut." kata Kanjeng Sultan Trenggono selanjutnya.
.
"Tiga hari sebelum kedatangan pasukan yang dipimpin oleh paman Arya
Palindih, terjadi penyerangan yang dilakukan oleh gerombolan orang - orang
golongan hitam, Kanjeng Sultan. Mereka tiada lain ingin merebut kedua pusaka
Demak untuk mereka gunakan sebagai wadah wahyu keprabon."
.
"Hm... " dengus Kanjeng Sultan sambil mengeraskan kepalan tangan, sehingga
terdengar jemari bergemeretakan.
.
"Sekali lagi hamba mohon beribu maaf, atas ketidak becusan hamba dalam
mempertahankan kedua pusaka itu, Kanjeng Sultan." ucap ki Buyut Banyubiru,
lalu, " Pusaka yang hamba simpan, berhasil diambil oleh seorang yang masih
gelap jati dirinya."
.
Kali ini Kanjeng Sultan mencoba mengurai setiap kata dari ki Ageng Gajah Sora
dan ki Lurah Arya Dipa. Juga mengaitkan dengan laporan ki Panji Arya Palindih,
dari keberangkatan ke Banyubiru, sesampainya di Banyubiru, kedatangan
pasukan dari Tumenggung Prabasemi, dan yang terakhir seorang bangsawan
telatah Singasari yang mampu mengungkap aji Malih Rupá.
.
"Kemungkinan itu memang ada. Raden Singasari, hm.. nama itu kembali
mencuat lagi, setelah sekian lama hilang." batin Kanjeng Sultan.
.
P a g e | 373

Kemudian Kanjeng Sultan berkata, "Buyut Banyubiru, kata - katamu dapat aku
percayai."
.
"Hamba, Kanjeng Sultan."
.
"Dan kamu, ki Lurah Arya Dipa.."
.
"Hamba, Sinuwun."

"Kemungkinan engkau memang dikelabui oleh ilmu Malih Rupá, milik Raden
dari telatah Singasari itu." kata Kanjeng Sultan, "Walau begitu, engkau tetap
salah. Karena menelan dari orang yang kau sangka pamanmu itu, tanpa harus
meneliti terlebih dahulu."
.
Lurah muda itu menggeser tempat duduknya. Dengan hati tatag menyadari
kesalahan yang ia perbuat, maka ia pun berkata, "Hamba, Kanjeng Sultan.
Hamba siap menerima hukuman yang terberat dengan hati lapang."
.
"Hm.. Baiklah, aku akan menghukummu. Mulai hari ini kau akan melepas
keprajuritanmu."
.
Bumi bagai bergetar dan suara petir saling bersahut - sahutan memekakan
telinga. Cahaya yang menerangi Balai Manguntur tiba - tiba sirna tergantikan
kabut hitam pekat menyelimuti penglihatan Arya Dipa.
.
"Di mana aku ?" desisnya.
.
Semua sungguh gelap. Bahkan tangannya sendiri tiada nampak, walau samar
sedikit pun.
.
"Aneh.. " desis Arya Dipa, "Tadi aku berada dihadapan sang Nata, tetapi
sekarang dimanakah diriku ini ?"
.
Lamat - lamat terdengar suara tembang mengalun lembut mengusik telinga.
Tembang itu terus meluncur masuk ke hati, membuat hati tenteram. Tak
berhenti disitu saja, selanjutnya tembang itu berputar mencuat ke arah pikiran
dan bersarang di mahkota insan.
.
P a g e | 374

"Jalanmu angger." sebuah suara halus terdengar, setelah berakhirnya tembang.


.
"Oh.. Eyang Pikulun.. " desis Arya Dipa.
.
Seketika pemuda itu kembali keadaannya dimana ia duduk di Balai Manguntur.
Anehnya, walau Arya Dipa mendengarkan tembang di alam yang begitu
gelap, namun dirinya tak mendapat teguran dari Kanjeng Sultan. Seperti hanya
kilatan cahaya saja, karena ia kemudian hanya mendengar lanjutan dari
Kanjeng Sultan.
.
"Kau tak berpangkat Lurah Prajurit, sampai kau dapat mendapatkan keris kyai
Naga Sasra dan kyai Sabuk Inten." seru Kanjeng Sultan saraya memberi perintah
kepada Arya Dipa.

Dengan sikap lapang, pemuda itu menerima perintah itu, "Sendiko, Kanjeng
Sultan. Hamba siap menjalankan perintah dari Sinuwun."
.
"Bagus, sekarang juga kau harus meninggalkan Demak."
.
Setelah memintah pangestu dari junjungannya, Arya Dipa pamit langsung
menjalankan perintah sekaligus hukuman yang disandangnya. Walau begitu
tak ada secuil rasa mangkel di hati pemuda itu, terhadap Kanjeng Sultan
Trenggono. Arya Dipa menyadari kesalahannya yang tak meneliti dahulu
sebenarnya yang terjadi.
.
"Memang aku yang harus menyandang hukuman itu, daripada paman Gajah
Sora." desis Arya Dipa, saat ia sudah berada di luar istana.
.
Sesampainya di lorong luar istana, pemuda itu berhenti dan menoleh ke
belakang, yaitu ke arah lorong menuju Kaputren.
.
"Tidak." desisnya, lalu, "Bila ia tahu keadaanku, tentu ia akan sedih. Biarlah untuk
sementara waktu dia menganggapku sedang melaksanakan tugas yang lalu."
.
Arya Dipa pu kembali melangkahkan kakinya. Tetapi di sebuah tikungan dirinya
bimbang. Antara langsung mencari keberadaan kedua pusaka Demak, atau
ke Suranatan dimana lurah Mas Karebet berada.
.
P a g e | 375

"Aku akan ke sana terlebih dahulu."


.
Langkahnya kemudian mengarah ke Suranatan. Dengan ramah Arya Dipa
disambut oleh penjaga gardu Suranatan.
.
"Lama sekali, ki Lurah tak main ke sini." kata penjaga gardu Suranatan.
.
"Iya, paman. Aku baru datang dari Banyubiru." sahut Arya Dipa, "Oh iya paman,
adi Karebet ada di rumah ?"
.
"ki Lurah, sehari setelah kepergian ki Lurah ke Banyubiru, ki Lurah Mas Karebet
bagai lenyap tertelan bumi." jawab orang penjaga gardu.

"He.. " kejut Arya Dipa, "Lalu bagaimana dengan paman Ganjur ?"
.
Penjaga gardu itu menggeleng, "Ki Ganjur telah pulang ke kampung
halamannya, ki Lurah."
.
"Pengging ?"
.
"Bukan, melainkan ke Tingkir."
.
Arya Dipa mengerutkan keningnya, dalam ingatannya Mas Karebet
mengatakan kalau dirinya berasal dari Pengging, tetapi mengapa ki Ganjur di
katakan orang Tingkir oleh penjaga Gardu itu ?
.
"Ada apa, ki Lurah ?"
.
"O.. tidak." kata Arya Dipa, "Baiklah, paman berdua. Kalau begitu aku pamit."
.
"Eh.. Mengapa ki Lurah buru - buru ?" tanya penjaga gardu.
.
"Sebaiknya, ki Lurah ikut menyantap ketela rebus dengan kami." sela kawan
penjaga pertama.
.
"Terima kasih, paman. Lain kali saja, karena aku sedang mendapat tugas."
.
Setelah pamit dengan kedua penjaga gardu Suranatan, Arya Dipa berjalan ke
P a g e | 376

arah gapura kotaraja. Rasa heran menggelayuti hati pemuda itu, mengenai
hilangnya Mas Karebet serta perginya ki Ganjur dari Demak.
.
"Semuanya tak berjalan seperti mestinya. Perkenalanku dengan adi Mas
Karebet, seakan - akan ada sesuatu dengan dirinya." desisnya, "Ia pun juga
seorang murid dari Kanjeng Sunan Kalijaga.
.
"Hm.. Apakah ia berada di Kadilangu ?" lanjut Arya Dipa, "Ah aku akan ke sana,
siapa tahu ada titik terang."
.
Lapanglah perasaan pemuda itu. Rencana pertama ialah menuju Kadilangu,
menghadap Kanjeng Sunan Kalijaga sekaligus mencari keberadaan keris Kyai
Naga Sasra dan Sabuk Inten.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 11
OLEH : MARZUKI
..............................
..............................
Gerimis di pagi hari membuat langkah seorang pemuda tertahan dalam
menjalankan tugas dan hukuman. Untunglah disekitar tempatnya berdiri ada
sebuah lekukan tanah yang dapat dijadikan tempat berteduh. Selain itu di
dalam lekukan tanah yang tak terlalu dalam itu, tumbuh pohon pisang yang
sudah matang walau hanya terdiri dari tiga lirang.
.
"Sungguh Yang Maha Agung melimpahkan nikmat tak terkira." desis pemuda
itu, sambil memetik buah pisang dan memakannya.
.
Daging manis dari buah pisang perlahan memasuki mulut dan terkunyah oleh
gigi, sehingga bisa lancar memasuki tenggorokan untuk dicerna alat dalam
tubuh. Dua buah sudah cukup membuat tubuh pemuda itu kenyang.
.
Beristirahatlah pemuda itu sambil menunggu hujan reda. Namun, sayup - sayup
terdengar suara seorang wanita berteriak memilukan..
.
"Jangan.. Jangan tuan... Ampuni aku... "
.
P a g e | 377

Pemuda yang tak lain Arya Dipa, langsung berdiri dan mempertajam
pendengarannya. Sejenak kemudian setelah memastikan arah suara teriakan,
Arya Dipa berlari menerobos lebatnya hujan ke arah sumber suara.
.
"Hehehe.. Semakin kau melawan, semakin asyik diriku menikmatimu wong ayu...
" Kata seoarang lelaki berwajah sangar.
.
"Jangan tuan, aku mohon.... "
.
Tetapi orang berwajah sangar tak menghiraukan ratapan dari wanita itu.
Tangan kokohnya dengan kasar menarik pakaian di betis wanita.
.
"Sreeeek.... "

Pakaian itu robek dan menontonkan betis yang indah. Mata orang itu langsung
melotot penuh nafsu. Diraih lagi pakaian wanita di hadapannya, untuk
mendapatkan pemandangan yang akan membangkitkan gelora nafsu
bejatnya.
.
"Hentikan..... !"
.
Sebuah teriakan dari arah belakang membuat orang berwajah sangar kaget
dan berpaling.
.
"Bangsat.. Munyuk kecil tak tahu diri !" umpat orang itu dengan kasarnya.
.
"Pergi kau dari sini, sebelum kau kucincang dengan golokku ini !" lanjut orang
berwajah sangar seraya menodongkan golok besar.
.
Tetapi orang yang baru muncul itu malah masuk ke dalam tanpa menunjukan
rasa jerih.
.
"Berhenti kau monyet !" hardik orang berwajah sangar.
.
Tiada tanggapan dari orang yang baru muncul. Kaki orang itu terus melangkah
lebih dalam.
.
"Memang minta mampus kau.... !" teriak orang berwajah sangar seraya
P a g e | 378

mengayunkan goloknya.
.
"Sriingg...!"
.
Tajamnya golok selapis ujung rambut lewat di depan wajah orang yang baru
muncul. Hal itu membuat orang berwajah sangar semakin marah, segera ditarik
kembali goloknya dan menebas orang yang mengganggu kesenangannya.
.
Arya Dipa hanya melakukan penghindaran kecil - kecil saja dengan tujuan
melihat sampai dimana kemampuan lawan dalam olah senjata. Sejenak
kemudian setelah dengan cermat memperhatikan kemampuan lawan,
ternyata hanya tenaganya saja yang besar tanpa didukung ilmu tata senjata
yang memadai. Maka sekali tangan Arya Dipa bergerak, golok itu sudah
berpindah di tangannya.
.
"Nyawamu akan lepas jika kau teruskan !" ancam Arya Dipa sambil
menghunuskan golok di leher orang itu.
.
Mata orang itu memerah menandakan kemarahan yang sangat. Tetapi
tubuhnya tak bergerak untuk melanjutkan perlawanannya.
.
"Tinggalkan tempat ini, sebelum aku berubah pikiran !"
.
Orang itu menggeretakan giginya, lalu dengan meninggalkan tempat itu ia
mengancam, "Awas, lain kali kau yang akan kucincang kisanak !"

Sepeninggal orang itu, Arya Dipa mengambil sebuah kain dan memberikan
kepada wanita yang masih menangis.
.
"Sudahlah, nyai Orang itu sudah pergi." kata Arya Dipa, mencoba
menenangkan wanita muda di hadapannya.
.
Walau masih terisak - isak, wanita itu mengucapkan terima kasih kepada Arya
Dipa, "Terima kasih, tuan."
.
Arya Dipa mengangguk, "Dari mana asal, nyai ?"
.
Sambil menyeka air mata, wanita itu menjawab, "Kademangan Mlanding,
P a g e | 379

tuan."
.
"Jauhkah dari sini ?"
.
"Tidak, tuan. Setelah menyeberangi kali Tuntang sudah sampai."
.
Arya Dipa mengangguk, dilihat keluar hujan sudah reda. Lalu ia pun mengantar
wanita itu untuk ke pulang ke rumahnya, di kademangan Mlanding. Tak
memakan waktu banyak, sampailah keduanya di regol kademangan.
.
"Nyi Surkanthi.. " desis seorang pemuda yang duduk di depan rumah.
.
Pemuda itu pun langsung berteriak, "Nyi Surkanthi kembali... Nyi Surkanthi
kembali.. Nyi Surkanthi kembali..!"
.
Teriakan pemuda itu memancing penghuni kademangan keluar semua. Entah
itu lelaki atau perempuan, tua atau muda, besar atau kecil. Semuanya berlari
ke arah regol.
.
"Nyai, kau.. Se..lamat... !?" seorang lelaki mengguncang bahu wanita di
samping Arya Dipa.
.
Wanita itu meneteskan air matanya, dan memeluk lelaki itu, "Berkat tuan ini, aku
selamat kakang Demang."
.
Dilepasnya pelukan nyi Surkanti oleh orang yang disebut Demang. Lelaki itu
kemudian menatap Arya Dipa, "Terima kasih, tuan. Tuan telah menyelamatkan
istri saya."
.
"Semua kemurahan dari Sang Pencipta, ki." sahut Arya Dipa.

Bergembiralah penghuni kademangan Mlanding atas keselamatan dari nyi


Surkanthi, istri ki Demang Mlanding. Oleh karenanya, ki Demang mengundang
Arya Dipa ke rumahnya.
.
"Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih, tuan." ucap ki Demang, setelah
berada di rumahnya.
.
P a g e | 380

"Sudahlah, ki Demang. Sudah sepantasnya sesama insan saling membantu


terhadap kesulitan yang diderita oleh sesamanya."
.
"Baiklah. Kalau boleh tahu, siapakah nama tuan ? dan dari mana ? mau
kemana ?" ki Demang melontarkan berbagai pertanyaan.
.
"Ah, kakang Demang terlalu banyak tanya." desis Nyu Surkanthi.
.
Arya Dipa tersenyum, "Jangan memanggil tuan, ki Demang. Aku Arya Dipa
yang berasal dari kadipaten Ponorogo dan saat ini ingin melihat luasnya tanag
Jawa Dwipa ini."
.
"Oh, jadi anakmas ini seorang pengembara ?"
.
"Begitulah, ki Demang."
.
Pembicaraan itu terhenti manakala pembantu ki Demang menghidangkan
berbagai makanan dan minuman.
.
"Silahkan, anakmas."
.
"Terima kasih, ki Demang."
.
Sambil melahap nikmatnya hidangan, Arya Dipa mengajukan pertanyaan
yang menyangkut orang yang membawa nyi Surkanthi.
.
"Kemunkinan salah seorang gerombolan padepokan Kalamuda, anakmas.
Sudah sepekan ini mereka melakukan tindakan yang membuat kami cemas."

"Apakah ki Demang tidak menindaknya ?"


.
"Sudah, anakmas. Tetapi kami tak berdaya menghadapai mereka. Bahkan ki
Jagabaya dan anaknya, tewas oleh mereka." kata ki Demang, sambil
menundukan kepala.
.
"Dimana padepokan itu berada, ki Demang ?"
.
"Di hulu kali Tuntang, anakmas." jawab ki Demang, "Tetapi sebaiknya anakmas
P a g e | 381

jangan kesana."
.
"Kenapa ?"
.
"Padepokan itu sarang orang - orang yang kejam dan bengis." jawab ki
Demang, lalu lanjutnya, "Sejak kematian kyai Kalaseta, padepokan itu bukan
lagi padepokan yang mengayomi hidup bebrayan."
.
"Lalu siapa sekarang yang menjadi pemimpin mereka ?"
.
"Murid durhaka, ki..... "
.
Kata ki Demag tak terselesaikan, dikarenakan adanya seorang bebahu
kademangan berlari memasuki pendopo.
.
"Ki Demang ketiwasan.. " kata bebahu itu dengan nafas terengah - engah.
.
"Ada apa ki Kamituwo ?"
.
"Orang - orang Kalamuda mengancam akan membakar kademangan
keseluruhannya jika tuntutan mereka tak dipenuhi."
.
Wajah ki Demang terlihat pucat, "Apakah mereka melakukan pengrusakan ?"
.
"Benar, ki Demang. Rumah ki Siwi telah mereka bakar."
.
Arya Dipa bangkit berdiri.
.
Tetapi ki Demang segera mencegahnya, "Duduklah kembali, anakmas."

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 12
OLEH : MARZUKI
..............................
..............................
"Tapi mereka... " gumam Arya Dipa.
.
P a g e | 382

"Duduk-lah, anakmas." sekali lagi ki Demang menenangkan Arya Dipa.


.
Akhirnya Arya Dipa kembali duduk ditempatnya.
.
"Ki Kamituwo, perintahkan para pemuda untuk bersiaga di regol kademangan."
perintah ki Demang.
.
"Baik, ki Demang." sahut ki Kamituwo yang kemudian bergegas melaksanakan
perintah.
.
Tinggalah ki Demang dan Arya Dipa di pendopo itu. Nyi Surkanthi bersama
pembantunya sudah berada di ruang dalam, setelah membersihkan hidangan
di pendopo.
.
"Anakmas, ki Plosorejo yang merupakan murid dari ki Kalaseta kini yang
menguasai padepokan Kalamuda. Sepekan yang lalu ia ingin menjadikan
dirinya sebagai Demang di Mlanding ini." kata ki Demang, "Sebenarnya aku tak
mempersoalkan keinginan kakang Ploso Slangkrah itu."
.
"Tunggu dulu, ki Demang." kata Arya Dipa sambil mengerutkan keningnya, "Apa
maksud dari ki Demang dengan tak mempersoalkan keinginan orang yang ki
Demanh sebut tadi ? Bukankah itu ber-arti ki Demang menyia - nyiakan
kewenangan dari pelungguhan yang ki Demang peroleh dari turun - menurun
?"
.
Helaan nafas begitu berat terhembus dari muluy ki Demang. Mata lelaki berusia
kepala empat itu menatap pelatatan dengan kosong, seolah - olah mata itu
memandang tempat lain.
.
"Anakmas Arya Dipa, ayahku ki Demang sebelumnya mempunyai dua anak
lelaki. Yaitu kakang Ploso Slangkrah dan aku, Danurejo."
.
"Jadi orang itu masih saudara, ki Demang ?"
.
Ki demang Danurejo mengangguk, "Benar, ia kakak yang aku banggakan sejak
masa kanak - kanak. Seorang kakak yang selalu menyayangi adiknya dan
melindungi dari ancaman anak - anak nakal."
.
P a g e | 383

Sambil berkata begitu, ki Demang tersenyum. Seakan - akan masa kanak itu
terlihat di depannya. Di mana suasana damai yang pernah ia rasakan bersama
kakaknya. Tetapi helaan kembali terulang.

"Kakang Ploso Slangkrah yang juga murid kesayangan ki Kalaseta berubah


sejak ia mengenal seorang perempuan itu. Ia menjadi sosok yang menakutkan
bagi kademangan ini. Oleh karena itu, ayah mengusir kakang dari
kademangan ini." kata ki Demang, lalu sambungnya, "Kemudian akulah yang
menggantikan kedudukan ayah sebagai Demang Mlanding."
.
Arya Dipa mendengarkan dengan sungguh - sungguh setiap kata dan kalimat
yang keluar dari mulut ki Demang Danurejo.
.
"Sebenarnya aku hampir melupakan kakang Ploso Slangkrah, andaikata
sebuah kabar tak aku dengar. Kakang muncul di seberang kali Tuntang
dengan orang - orang yang tak kami kenal. Selanjutnya aku segera bergegas
ke sana, tetapi kakang dan kawan - kawannya sudah pergi meninggalkan
sesosok tubuh yang sangat aku kenal, yaitu ki Kalaseta."
.
Sejenak ki Demang berhenti. Tangannya mengepal seolah - olah meremas
sebuah benda di dalam genggamannya, "Dia telah membunuh gurunya
dengan kejam ! Kakang tega momotong kepala ki Kalaseta !"
.
"Oh.. " Arya Dipa terbeliak dengan perkataan ki Demang.
.
"Mungkinkah hal itu terjadi, ki Demang ?" Arya Dipa mencoba mencari
ketegasan.
.
"Kalau aku tak membaca sebuah pesan yang ia tinggalkan, aku tak akan
menuduhnya, anakmas." kata ki Demang dengan suara agak berat, "Ia
meminta aku menyerahkan kedudukan Demang kepadanya."
.
"Lalu bagaimana tanggapan dari ki Demang ?"
.
"Jelas aku menolaknya. Bukan karena aku gila kedudukan, tetapi adanya
sebuah pertimbangan untuk kebaikan kademangan selanjutnya. Dan hal itulah
yang mengakibatkan ki Jagabaya dan anaknya tewas di tangan gerombolan
kakang Ploso Slangkrah."
P a g e | 384

.
Semilir angin tak membuat ruangan pendopo kademangan terasa sejuk di hati.
Apalagi ki Demang Mlanding masih mengingat ancaman dari kakaknya. Masih
terngiang di telinganya suara kakak yang kini telah berubah watak dan
tabiatnya.
.
"Besok malam jika aku tak menyerahkan kademangan ini kepadanya, ia akan
menyerang dengan seluruh gerombolannya."
.
Tergugahlah hati Arya Dipa dengan permasalahan yang dialami oleh ki
Demang. Permasalahan yang menyangkut hak waris dari sebuah palungguhan
berupa Demang.
.
"Mengapa Kanjeng Sunan menyuruh aku melewati daerah ini ?" batin Arya
Dipa, "Adakah ini akan mempertemukan aku dengan adi Mas Karebet ?"

Pikiran pemuda itu masih ingat dengan jelas akan kata - kata dari seorang suci
di Kadilangu setelah ia pergi dari Demak. Ia di suruh ke arah kali Tuntang, di
sana akan ada sebuah peristiwa yang memerlukan bantuan. Serta di seberang
kali itu nantinya ia akan berjumpa dengan seorang yang ia cari, yaitu Mas
Karebet.
.
"Anakmas..." seru ki Demang.
.
"Oh.. Maaf, ki Demang." kata Arya Dipa, setelah dirinya sadar dari lamunannya.
.
"Adakah yang anakmas pikirkan ?"
.
Arya Dipa tampak berpikir, lalu kemudian ia pun berkata, "Ki Demang, berapa
banyakah gerombolan Kalamuda itu ?"
.
Ki Demang tak mengerti jalan pikiran dari Arya Dipa. Tetapi tanpa ia sadari
mulutnya menjawab, "Sekitar seratus orang, anakmas."
.
"Lalu berapakah pengawal Kademangan ini ?"
.
"Hanya lima puluh saja, anakmas."
.
P a g e | 385

Sebuah perbedaan yang banyak di dalam jumlah dan tentu kemampuan


gerombolan itu juga patut diwaspadai, bila melakukan perlawanan. Untuk
melakukan penyerangan ke pusat lawan, tak menguntungkan. Andai meminta
bantuan ke prajurit Demak sangat mustahil di dapat, selain dirinya bukan lagi
seorang Lurah prajurit, letak Demak jauh.
.
"Ki Demang, maaf bila aku ingin mengusulkan sesuatu.. "
.
"Maksud anakmas ?"
.
"Bila ki Demang ingin melakukan perlawanan, aku ingin membantu tenaga dan
pikiran dalam menyelesaikan ancaman di kademangan Mlanding ini."
.
"Oh.. Anakmas, kau terlalu baik. Sebaiknya anakmas menghindar saja dari
pertikaian ini." kata ki Demang.
.
"Mudah itu ki Demang. Tetapi selanjutnya aku akan dihantui dengan sikap
penghindaran itu, ki Demang." Arya Dipa masih mencoba bertahan untuk
membantu.
.
"Bukannya aku menyombongkan diri, ki Demang. Kekuatanku ini hanyalah
secuil saja. Tetapi jika ikut bersama ki Demang, tentu akan menambah
kekuatan ki Demang walau itu hanya satu orang." sambung Arya Dipa.
.
"Baiklah bila itu keinginan, anakmas sendiri. Sebelumnya aku mengucapkan
terima kasih." Akhirnya ki Demang menerima uluran tangan Arya Dipa." Kalau
begitu besok kita akan menghadapi mereka."

"Ki Demang, kalau boleh mengusulkan sebaiknya kita menyusun siasat."


.
Ki Demang mengernyitkan alisnya tiada terpikir dirinya akan menggunakan
sebuah siasat. Dalam pemikirannya ia dan para pengawalnya akan lansung
bertempur begitu saja.
.
"Siasat bagaimana, anakmas ?" tanyanya kemudian.
.
"Sebaiknya ki Demang memanggil seluruh bebahu dan para pemimpin
pengawal ke pendopo."
P a g e | 386

.
Usul itu mendapat tanggapan yang baik oleh ki Demang. Bertepuklah ia untuk
memanggil pembantunya dan segera memberikan perintah untuk memanggil
seluruh bebahu dan pemimpin pengawal.
.
"Baik, ki Demang." kata pembantu ki Demang yang kemudian bergegas
menyampaikan perintah ki Demang.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 13
OLEH : MARZUKI
..............................
..............................
Seperti yang sudah disepakati ki Demang Mlanding, Arya Dipa dengan
gamblang membeberkan rencana yang ia susun dalam melakukan sebuah
perlawanan menghadapi gerombolan yang dipimpin oleh ki Ploso Slangkrah.
Waktu sehari yang tersisa digunakan dengan baik oleh para penghuni
kademangan itu. Bahu - membahu penghuni kademangan mempersiapkan
sambutan kepada lawannya, yaitu membuat berbagai jebakan bagi musuh
yang mengancam ketenangan tempat tinggal mereka.
.
Pengawal pilihan disebar ke setiap penjuru kademangan demi mengamankan
wilayah kademangan dari para penyusup. Lalu bebahu dan para pengawal
serta pemuda mengikuti arahan dari Arya Dipa, mengerjakan berbagai
macam jebakan bagi lawan mereka.
.
Regol kademangan diperbaiki dan membuat lebih kokoh dari sebelumnya.
Lima langkah dari pintu regol, sebuah lubang dibuat sedalam satu tombak
yang kemudian ditutupi kembali dengan ranting, jerami serta paling atas tanah.
Tak hanya itu saja, dua rumah penghuni paling dekat dengan regol
dikosongkan, yang nantinya akan digunakan sebagai tempat bagi pengawal
yang piawai dalam menggunakan panah.
.
"Ki Demang, siapakah sebenarnya anakmas Arya Dipa ?" tanya ki Bayan lirih.
.
"Entahlah, ki Bayan. Ia hanya mengatakan kalau dirinya hanyalah seorang
pengembara dari kadipaten Ponorogo." jawab ki Demang.
P a g e | 387

.
"Memangnya kenapa kakang ?" ki Kamituwo heran dengan pertanyaan dari ki
Bayan.
.
"Lihatlah anak muda itu, adi. Ia sangat piawai dalam mengerjakan segala hal
yang sulit kita lakukan."
.
"Ah, bukankah pengawal lainnya juga bisa ? Lihat itu si Arja dan Boma.. "
.
Pandangan mata ki Bayan mengarah kepada kedua pemuda yang disebut
oleh ki Kamituwo. Memang keduanya juga dapat berbuat seperti arahan dari
Arya Dipa, tetapi bukanlah itu yang dipertanyakan oleh ki Bayan.

"Bukan itu, adi. Coba lihat anakmas Arya Dipa." kata ki Bayan, "Lihatlah, dengan
mudahnya pemuda itu menebas pohon sekali tebasan golok. Dan menyusun
pohon tak beraturan setinggi tiga tombak itu."
.
Ki Kamituwo dan ki Demang mengangguk penuh takjub dengan apa yang
mereka lihat itu. Dimana Arya Dipa membuat sesuatu yang belum dibuat oleh
para penghuni kademangan. Serta mereka pun tak mengerti kegunaan dari
batang pohon tersusun itu.
.
Seorang pemuda yang tak tahan lagi dengan pertanyaan membebani pikiran,
memberanikan diri bertanya kegunaan batangan itu kepada Arya Dipa.
.
"Adi, susunan batang ini nantinya akan dililitkan tali tambang yang kuat untuk
menarik tali tambang sehingga susunan batang yang masih ada ranting itu
bergerak." kata Arya Dipa.
.
"Bagaimana itu bisa, kakang ?"
.
"Lihatlah dasaran dari susunan batang itu dilandasi kayu bulat sebagi roda di sisi
- sisinya." kembali Arya Dipa menerangkan, "Nantinya lima orang masing -
masing akan menarik dua susunan batang di sisi berbeda, untuk membuat
lawan yang akan memasuki kademangan terjepit dan susah melewati.
.
Pemuda itu mengangguk, "Kakang, akibat yang ditimbulkan akan mengerikan."
.
P a g e | 388

"Carilah kain sebanyak - banyaknya dan lilitkan dengan erat disetiap ujung
batang yang melintang disusunan itu."
.
"Buat apa kakang ?"
.
"Supaya korban tak sampai mati, karena tumpukan kain itu hanya akan
menyesakan dada korban yang terjepit."
.
"Baik kakang." pemuda itu pun berlari mencari kain bekas di rumah - rumah
penghuni kademangan.
.
Matahari di langit semakin menggelincir ke barat. Pekerjaan membuat
berbagai jebakan tingal sedikit lagi selesai. Kerjasama yang ditunjukan oleh
penghuni kademangan dalam mempertahankan tempat tinggalnya, terlihat
begitu semangatnya. Hal itu membuat seorang yang berdiri di balik pohon
trembesi, tersenyum.
.
"Terampil sekali mereka dalam menyusun siasat." desis orang dibalik pohon,
"Hm.. Pasti anak muda itu. Tetapi sayang, pengawal yang bertugas
mengamankan penyusup lengah, sehingga aku lolos dan mampu menyaksikan
apa yang dikerjakan oleh orang - orang kademangan.

Tak lama sehabis memperhatikan keadaan di kademangan, orang itu


bergegas pergi. Kakinya sangat lincah dan cekatan. Hanya beberapa
loncatan saja orang itu telah lenyap dibalik semak belukar.
.
Akhirnya malam pun tiba. Langit terasa kelam di malam itu. Mendung hitam
melapisi langit menutupi sinar rembulan dan bintang - gemintang. Ditambah
lagi angin ikut mengoyak udara dan menimbulkan rasa dingin menyengat kulit.
Rintik - rintik air hujan membasahi tanah walau hanya sekejap, karena segera
tersapu sang bayu.
.
Malam itu tak seperti biasanya, dimana serangga yang biasanya meramaikan
malam - malam sebelumnya tak nampak batang hidungnya. Bahkan suara
cengkerik lenyap bak ditelan bumi. Heninglah malam itu dari segala bunyi.
Sunyilah malam itu tiada rasa. Tetapi sejatinya keheningan, kesunyian itu
mempunyai tanda bagi setiap insan yang memiliki hati peka terhadap alam.
.
P a g e | 389

Seorang manusia yang peka dengan alam akan mampu membaca setiap
kejadian yanh ditimbulkan oleh alam itu sendiri. Seakan alam dengan murah
hati mengabarkaan adanya seseuatu kejadian kepada orang itu. Tetapi bila
manusia mencemohkan alam, berlaku kasar dengan alam, tentu alam juga
akan membuat manusia itu menyesal.
.
Sudah banyak kejadian dimana manusia melakukan pengrusakan terhadap
alam. Pohon ditebang membabi buta, tanah digali tanpa perhitungan,
sampah berserakan membuat tanah tak mampu mencerna sehingga tanah
menjadi tandus dan kering. Itu semua merupakan kesalahan tangan - tangan
manusia yang tak peka dengan alam.
.
Begitu juga di malam itu. Alam memberikan pertanda adanya kejadian di
kademangan Mlanding. Sebuah kejadian yang akan membuat darah menetes
membasahi bumi nan suci ini, karena keserakahan seorang terhadap
palungguhan Demang yang berdiri di atas bumi, yang merupakan bagian dari
alam.
.
Derap kuda mulai terdengar dari luar regol kademangan. Tak hanya satu,
melainkan lebih dari lima kuda dan masih juga diikuti oleh berlarinya
banyaknya orang di belakang penunggang kuda.
.
"Mereka datang.. " bisik seorang pengawal.
.
"Bersiaplah.. "
.
Derap kaki kuda itu pun berhenti tepat lima tindak di luar regol.
.
"Hmm... " geram penunggang kuda paling depan, "Hai buka regol ini !!''
.
Teriakan itu berkumandang mengalun mengikuti aliran udara. Namun tiada
sahutan yang menjawabnya. Seakan - akan kademangan yang dituju kosong
ditinggalkan penghuninya.

"Kakang, sepertinya mereka lari dari kademangan ini." seorang wanita


bersuara.
.
"Hm.. Kincang, buka pintu regol itu !"
P a g e | 390

.
"Baik, ki Lurah."
.
Lelaki berwajah sangar turun dari kudanya dan mendekati pintu regol.
Dirabanya regol itu, kemudian ia buka buka dengan pelan.
.
"Hekk.. "
.
Pintu tak bergerak seujung rambut pun. Hal itu membuat Kincang bersungguh -
sungguh untuk membukanya. Tetapi tak menampakan hasil.
.
"Apa yang kau lakukan, Kincang ?!" tegur penunggang kuda yang paling
depan.
.
Teguran itu membuat Kincang gelagapan, lalu ia kembali berusaha membuka
regol itu. Kembali tenaga yang ia kerahkan sia - sia. Pintu regol kokoh dan
membuat Kincang tak berkutik.
.
Tiba - tiba sebuah suara terdengar menegur dari atas panggungan, "Kakang
Ploso, tinggalkan kademangan ini."
.
"Hm..Danurejo, apa maksudmu ini?" geram penunggang kuda yaitu, ki Ploso
Slangkrah, "Jadi kau ingin melakukan perlawanan denganku, he !!!"
.
Orang yang berdiri di atas panggungan memang ki Danurejo, Demang
Mlanding. Ki Demang mencoba membujuk agar saudaranya itu tak
melanjutkan tindakan yang akan merusak hubungan mereka sebagai saudara
kandung. Tetapi itu akan sia - sia saja, karena ki Ploso Slangkrah sudah
dibutakan hati dan pikirannya.
.
"Kakang, kita ini saudara se-ayah dan se-ibu, mengapa kita harus meneteskan
darah karena hal semacam ini ?"
.
"Huh.. Bila kau sadar dengan omonganmu, lekas buka pintu regol dan kau
cepat angkat kaki dari tanah yang memang menjadi hak-ku ini." kata ki Ploso
Slangkrah dengan ketusnya.
.
"Kau salah, ki Ploso Slangkrah." sebuah suara menentang, "Walau kau anak
P a g e | 391

sulung, tetapi watakmu tak berkenan dihati ki Demang terdahulu, oleh


karenanya ia mengusirmu dan mengangkat kakang Danurejo sebagai
penggantinya."
.
"Tikus busuk, kau bayan. Sepantasnya kau menyusul Jagabaya dan anaknya ke
liang lahat !!" teriak ki Ploso Slangkrang.
.
"Kakang jangan terlalu lunak kepada mereka, sebaiknya lumatkan orang -
orang itu. " kata wanita yang berdiri disamping ki Ploso Slangkrah.
.
Dalam pada itu sebuah suara mengagetkan wanita itu, "Jadi kau di sini nyai
Cempaka ?"

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 14
OLEH : MARZUKI
..............................
..............................
Suara teguran itu kembali mengingatkan nyi Cempaka kepada seorang remaja
di pertapaan Pucangan. Dadanya berdebar kencang bersamaan dengan
timbulnya gejolak dendam menggelora memenuhi ruang dadanya. Pemuda
yang membuat dirinya dan kawan - kawannya tercemar rasa malu memenuhi
guratan dunia olah kanuragan.
.
"Kau mengenalnya, nini ?" tanya ki Ploso Slangkrah.
.
Nyi Cempaka mengangguk, "Dia yang membunuh murid kakang Ajar Lodaya,
kakang."
.
"Berhati - hatilah, pemuda itu pewaris kitab kuno Prabu Airlangga." sambung nyi
Cempaka.
.
"He.. Benarkah itu ?" kejut ki Ploso Slangkrah.
.
"Jangan kau takut, Ploso Slangkrah." kata seorang berambut putih, lanjutnya,
"Biar aku urus anak itu, tetapi imbalannya ialah kitab yang mungkin ia bawa..
hahaha.. "
P a g e | 392

.
Tawa orang itu telah menggetarkan udara malam. Sebuah pertanda betapa
ilmu yang diungkap oleh orang itu tak bisa dipandang sebelah mata.
.
"Baik, ki Jara Mudra. Aku serahkan anak itu kepadamu." kata ki Ploso Slangkrah.
.
Sementara itu di atas panggungan Arya Dipa memerhatikan dengan sungguh -
sungguh ke arah orang yang dipanggil ki Jara Mudra. Seorang berperawakan
tinggi besar dengan muka bengis terhias diraut wajahnya.
.
"Orang - orang ini tak mampu dipandang sebelah mata. Selain nyi Cempaka
dan orang tua itu, pemuda yang dibelangkang itu juga patut aku waspadai."
batin Arya Dipa.
.
"Ki Demang, suruhlah dua atau tiga orang bebahu untuk menghadapi
perempuan dan pemuda yang berada di belakang orang tua yang tertawa
tadi." Arya Dipa mencoba memberi petunjuk kepada ki Demang.
.
"Baik, anakmas." sahut ki Demang Mlanding, "ki Bayan katakan hal itu kepada
bebahu dan pemimpin pengawal."
.
"Iya, ki Demang."
.
Bersamaan dengan turunnya ki Bayan dari panggungan, ki Ploso Slangkrah
kembali memerintahkan Kincang dan anak buahnya untuk membuka pintu
regol dengan paksa. Tetapi bahan pintu regol terlalu kokoh walau empat orang
sudah mendobrak pintu itu.
.
"Minggir !" teriak pemuda penunggang kuda di belakang kuda ki Jara Murda,
seraya turun dari kudanya.

Pemuda itu berdiri kokoh memusatkan nalar dan budi. Jemari mengepal itu pun
sesaat memukul ke arah pintu regol, sebuah serangan jarak jauh melontarkan
tenaga mendebarkan dan menggebrak pintu regol.
.
"Byaaarr !!!"
.
Pintu dari kayu besi itu hancur berkeping - keping terkena lontaran dahsyat dari
P a g e | 393

si pemuda. Sorak membahana memekik dari mulut anak buah ki Ploso


Slangkrah. Sorak kesombongan yang akan menciutkan nyali lawan yaitu
penghuni kademangan.
.
"Jangan takut !" seru ki Kamituwo, menenangkan pengawal kademangan yang
bersembunyi tak jauh dari pintu regol.
.
Rusaknya regol segera disambut dengan teriakan perintah dari ki Ploso
Slangkrah, "Serbu.... !!!"
.
Seketika anak buak gerombolan Kalamuda menghambur memasuki regol yang
rusak. Tetapi baru satu tombak, jerit membahana keluar dari mulut gerombolan
yang memasuki regol. Ternyata lebih dari sepuluh orang jatuh ke dalam lubang
yang menganga.
.
"Licik kau, Danurejo !!" umpat ki Ploso Slangkrah.
.
"Hindari lubang !" seru Kincang memberi aba - aba kepada bawahannya,
"Menyebar !"
.
Tak ingin mengalami kesialan yang sama, anak buah gerombolan Kalamuda
mencari jalan memutar dari lubang jebakan.
.
"Sekarang... !" seru ki Kamituwo sambil menggerakan tangannya.
.
Dari balik dua rumah penghuni yang sebelumnya sudah dikosongkan,
berhamburanlah anak panah mengincar tubub yang berlarian ke dalam
kademangan. Jeritan pilu kembali meraung menggetarkan bumi Mlanding.
Tajamnya panah menghujam di tubuh anak buah gerombolan Kalamuda,
tetapi kebanyakan menyasar paha ke bawah. Itu seperti permintaan dari Arya
Dipa, supaya mengurangi korban nyawa sebanyak - banyaknya.
.
"Kurang ajar !" umpat Kincang seraya memutar goloknya demi melindungi
tubuhnya dari sasaran panah lawan.
.
"Mari ki Demang." ajak Arya Dipa untuk terjun menghadang lawan.

"Kincang, pimpin kawan - kawanmu memasuki kademangan lebih dalam dan


P a g e | 394

bakar kademangan ini !" perintah ki Ploso Slangkrah sambil turun dari kuda dan
siap menghadapi adiknya, ki Danurejo Demang Mlanding.
.
Kincang memanggil kawan - kawannya untuk memasuki kademangan lebih
dalam. Tetapi orang berwajah sangar itu terkejut bukan kepalang saat
terdengar adanya bunyi berderak dari samping kanan dan kirinya.
.
"Awas jebakan !!!"
.
Tubuh Kincang berhasil menghindari susunan batang menjulang tinggi itu,
tetapi puluhan kawannya terjepit keras susunan batang kayu dengan landasan
bawah beroda. Selain itu, Kincang dan kawan - kawannya tak mampu
memasuki lorong jalan dikarenakan lorong itu telah tertutup oleh susunan
batang tersebut.
.
Walau gerombolan Kalamuda berkurang banyak, tetapi kekuatan mereka
masih terlalu banyak bagi para penghuni kademangan. Terjadilah kini
pertempuran brubuh di segenap jalan terdepan kademangan. Suara denting
benda tajam menggema mencari mangsa tak pandang bulu.
.
"Lawan terlalu banyak, paman. Sebaiknya kita keluar membantu mereka." desis
seorang pemuda.
.
"Hm.. Mari, ngger."
.
Kedua orang itu lantas muncul dari kegelapan dan menyerang serbuan dari
gerombolan Kalamuda. Tandang keduanya sangat mengagumkan sehingga
sekali gerak, satu dua orang jatuh terjerembab.
.
"Bangsat ! Siapa kalian ?" teriak Kincang.
.
"Kami penghuni kademangan ini, kisanak." jawab orang yang dipanggil paman.
.
"Tepatnya danyang kademangan ini, kisanak.. hehehe.. " celetuk pemuda
lainnya.
.
"Lancang kau pemuda edan !" maki Kincang, "Akan ku buat kau menyesal atas
kelancangan mulutmu !"
P a g e | 395

.
Sementara itu ki Demang sudah bergerak menghadapi kakaknya. Keduanya
bergerak tangkas dengan menggunakan tata gerak berbeda jalur. Walau
begitu Ki Danurejo atau ki Demang sedikit banyak mengetahui dasar dari ilmu
kakaknya itu, yaitu ilmu dari perguruan Kalamuda.

"Lumayan juga kau, Danurejo." puji Ki Ploso Slangkrah, lalu, "Tapi hal itu lumrah.. "
.
Kerut menghiasi dahi ki Demang Mlanding atas ucapan kakaknya. Tentu kata -
kata itu mempunyai kelanjutan dari tindakan kakaknya selanjutnya. Benar saja,
Tata gerak kakaknya berubah menjadi lain dan sulit ia baca arahnya.
.
"Ilmumu dangkal, Danurejo."
.
Dua pukulan bersarang di dada ki Demang Mlanding. Tubuh itu bergeser dari
tempatnya dan wajah ki Demang seperti menahan rasa sakit. Dadanya bagai
ditumbuk besi gligen.
.
Walau begitu ki Demang tak segera menyerah. Semangatnya muncul seiring
datangnya kesadaran yang melintas di benaknya. Dimana tanggung jawab
dari ayahnya untuk memakmurkan kademangan yang diwariskan kepadanya.
Semangat itulah yang menjadi pendorong untuk meningkatkan
kemampuannya untuk mencegah perbuatan kakaknya.
.
"Kau tak sadar juga, anak cengeng !" seru ki Ploso Slangkrah.
.
"Kau keliru, kakang. Kita sudah sama - sama memutih rambut kita dan bukanlah
seorang anak bengal lagi."
.
"Hm.. Bagus, kalau begitu tunjukan ilmu yang kau warisi dari orang tua mu itu."
.
"Kakang, jangan kau berlaku durhaka. Ayah demang juga ayahmu juga !"
.
"Cuh.. Itu dahulu, sekarang tidak !"
.
"Kakang... "
.
"Diam kau !" bentak ki Ploso Slangkrah sambil meloncat menyerang ki Demang.
P a g e | 396

.
Keduanya kembali beradu liatnya daging dan kerasnya tulang. Semakin
sengitlah tandang keduanya dalam setiap gerak. Kerasnya hamtaman
dielakan gesitnya langkah menghindar. Lajunya tendangan terhenti denga
kuatnya cengkraman tangan.
.
Di sisi lain Ki Jara Murda memandang tajam ke arah Arya Dipa. Pamuda yang
dikatakan menyimpan ilmu dari kitab kuno peninggalan Prabu Airlangga. Oleh
karena itu orang tua itu berhati - hati dalam menentukan setiap langkahnya.
Walau musuh masih muda, tetapi bila nyi Cempaka telah memperingatkan
dirinya, tentu itu menjadikan pertimbangan di hatinya.
.
"Bersiaplah, anak muda !" seru ki Jara Murda.
.
"Baik, kisanak." sahut Arya Dipa sembari membuka kuda - kuda dengan
kokohnya.
.
"Hm.. Kuda - kuda yang bagus." desis ki Jara Murda, "Majulah !"

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 15
OLEH : MARZUKI
.............................
.............................
Setapak demi setapak kaki Arya Dipa bergeser memulai penyerangan
terhadap lawan yang ia pandang mempunyai kemampuan olah kanuragan
mumpuni. Di cobanya untuk melakukan penjajagan terlebih dahulu, guna
mengetahui besarnya tenaga lawan. Dengan sebuah ayunan tangan ke
depan, digunakan sebagai serangan tipuan.
.
Tipuan ayunan tangan termakan oleh ki Jara Murda, yaitu orang tua itu
bermaksu menangkap tangan Arya Dipa. Pada saat itulah, tangan Arya Dipa
lekas ditarik kembali dan mengubah serangan dengan tendangan mendatar.
.
Ternyata ki Jara Murda sudah memperhitungkan kalau serangan lawan
hanyalah tipuan belaka, maka secepat serangan lawan berganti, orang tua itu
mengisar kakinya seraya melakukan serangan balik. Sengitlah perkelahian dua
P a g e | 397

orang itu, tangan dan kaki begitu cepat dan kuat dalam setiap serangannya.
Udara disekitar keduanya pun bagai terkena prahara dan menyibak semua
yang ada dijangkauan ki Jara Murda dan Arya Dipa.
.
Sedangkan di sisi yang lainnya lagi, sesuatu yang berat sebelah dialami oleh
kerumunan pengawal kademangan Mlanding. Nyi Cempaka dan murid ki Jara
Murda mengamuk mengobrak - abrik pertahanan pengawal kadekangan
yang hanya mempunyai dasar kanuragan cethek. Dua orang itu sekali
bergerak mengakibatkan beberapa korban tak berdaya.
.
"Cukup, kisanak !" seru seorang pemuda yang keluar dari kegelapan bersama
pamannya.
.
"Hm.. Mau apa kau ?" bentak murid ki Jara Murda.
.
"Mencoba menghentikan tingkah lakumu yang kasar tak sesuai tatanan ini !"
seru pemuda yang mempunyai sorot mata tajam.
.
"Hehehe.. Kau belum tahu siapa calon lawanmu ini, he !" sahut pemuda murid ki
Jara Murda, "Aku Bagus Sagopa, murid kinasih ki Jara Murda."
.
"Nama yang bagus, kisanak." ucap pemuda bersorot tajam, "Namun sayang,
namamu tak sesuai perilakumu."
.
"Tutup mulutmu ! Sebelum kau mati, sebutkan siapa kau ini !"

"Aku hanyalah anak Tingkir, Bagus Sagopa. Kawan - kawanku sering menyebut
namaku, Jaka Tingkir."
.
Bagus Sagopa mengerutkan keningnya. Ia teringat dengan cerita sepekan
yang lalu, dimana seorang pemuda mampu membunuh buaya putih di kedung
dekat sebuah perkampungan.
.
"Huh.. Hanyalah cerita ngayawara saja." batin Bagus Sagopa.
.
"Mengapa kau terlihat termenung seperti itu, Bagus Sagopa ? Sakitkah kau ?"
.
Pemuda murid ki Jara Murda itu menggeretakan giginya, seraya meloncat ke
P a g e | 398

arah Jaka Tingkir atau Mas Karebet. Dua pemuda itu pun kemudian terlibat adu
kecepatan, kegesitan dan kuatnya tenaga. Sama - sama muda dan tangkas
menjadikan perkelahian itu seru. Apalagi disetiap serangan yang dilakukan
keduanya tak menahan kekuatan masing - masing. Maka kekuatan itu bagai
bendungan yang jebol sehingga meluruk aliran dibawahnya.
.
Tak kalah seru juga dialami oleh nyi Cempaka. Wanita dari bang wetan itu
bertemu dengan lelaki yang sangat lihai dalam setiap gerakannya. Sehingga
hal itu sangat menjadi perhatian dari nyi Cempaka untuk berhati - hati.
.
"Aku tak mengira jikalau kademangan ini menyimpan seekor banteng
sepertimu, kisanak !" seru nyi Cempaka.
.
"Hahaha.. Bukan hanya kademangan ini saja, nyai. Di setiap kademangan
yang mengalami perilaku seperti yang dilakukan oleh orang bernama Ploso
Slangkrah, tentu akan lahir beribu macan untuk memberikan ketenangan."
sahut paman Jaka Tingkir, yaitu ki Sembada atau Raden Kebo Kanigara.
.
"Cih.. Omong kosong, kau !" geram nyi Cempaka seraya melanjutkan
serangannya.
.
Para bebahu yang menyaksikan lawan - lawan yang mereka anggap
menakutkan telah mendapat lawan seimbang, membuat mereka tenang dan
memusatkan perhatian mereka kepada anak buah gerombolan Kalamuda.
Kedudukannya kini menjadi imbang, dikarenakan anak buah gerombolan
Kalamuda semakin berkurang sejak terkena jebakan dan kedatangan Jaka
Tingkir dan ki Sembada.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 16
OLEH : MARZUKI
.............................
.............................
Denting beradunya senjata sering terjadi disusul erangan maupun jeritan yang
menyayat kalbu. Luka tergores tajamnya pedang, belati panjang, nanggala,
tombak dan senjata tajam lainnya nampak mewarnai tubuh masing - masing
pihak yang lengah. Luka memar juga didapat oleh kedua belah pihak.
P a g e | 399

.
Dalam pada itu, Arya Dipa merasakan tekanan hebat dari ki Jara Murda.
Serangan orang tua itu seoalah - olah mampu mendahului wadagnya.
.
"Untung saja aji Niscala Praba sudah aku ungkap sejak tadi." batin Arya Dipa.
.
Jikalau Arya Dipa tak melindungi tubuhnya dengan aji yang mampu
memberikan benteng kasat mata itu, tentu tubuhnya akan remuk terkena
tangan ki Jara Murda yang sudah dilambari aji Hasta Wesi. Yaitu sebuah aji
yang dapat membuat si pengguna bagaikan terbuat dari besi gligen.
.
Demikian pula yang dirasakan oleh orang tua guru Bagus Sagopa, rasa heran
menyelimuti hatinya manakala merasakan tangannya bagai menumbuk
sesuatu yang keras dan tebal.
.
"Gila, jadi inikah kesaktian dari seseorang yang menyerap ilmu dari kitab Cakra
Paksi Jatayu ?" ucapnya dalam hati.
.
"Ah, aku akan mendobrak dengan aji Waja Geni " lanjut ki Jara Murda.
.
Sehabis berkata, orang tua itu melompat menjaga jarak demi menerapkan ilmu
andalannya setelah aji Hasta Wesi, yaitu aji Waja Geni. Secepat kilat tangan
yang sebelumnya berwarna hitam kelam, berubah menjada merah membara
berselang seling dengan warna hitam pekat.
.
"Mampus kau, anak muda !!!!" teriak ki Jara Murda sambil menyongsongkan
kedua tangan kepada lawannya.
.
Sejak ki Jara Murda meloncat menjaga jarak, Arya Dipa sudah
memperhitungkan kalau lawannya tentu akan berbuat sesuatu yang akan
mengejutkan dirinya. Oleh sebab itulah, Arya Dipa sudah menempatkan dirinya
dengan baik. Yaitu mempertebal aji Niscala Praba sampai tingkatan teratas.
.
Suara menggelegar menghentakan udara malam di kademangan Mlanding.
Dua ilmu berbeda penerapan, yaitu aji Wesi Geni sebagai pendobrak melawan
aji Niscala Praba yang dikhususkan sebagai benteng, menjadi penyebab suara
keras itu.
.
P a g e | 400

Sesaat setelah suara hentakan itu reda, dua orang sebagai sumber kedua
kekuatan masih terlihat berdiri kokoh ditempat masing - masing.
.
"Gila !" seru ki Jara Murda, "Setan kecil itu mampu menahan pukulanku."
.
Sementara Arya Dipa mengucap syukur dalam hati, "Ya Gusti, Engkau masih
memberikan perlindungan kepada hamba-mu ini."
.
"Edan... !" umpat Bagus Sagopa, ketika menyaksikan lawan gurunya mampu
menahan serangan aji Wesi Geni.

"Mengapa kau mengumpat seperti itu, Bagus Sagopa ?" tanya Jaka Tingkir
yang memberikan waktu bagi lawannya untuk memperhatikan keadaan
disekitarnya, "Masih untung kakang Arya Dipa itu tak menggunakan tenaga
penuh."
.
Bagi Bagus Sagopa, suara yang keluar dari mulut lawannya merupakan ejekan
yang perlu ia balas dengan sebuah hajaran. Lalu ia pun dengan cepat
menampar mulut lawannya tanpa ampun. Tetapi yang ia dapat malah rasa
mangkel dihati, bukan tangannya menyentuh mulut lawan, melainkan batang
pohon randu-lah yang terkena gamparan tangannya.
.
Secepatnya ia membalikan tubuh dan kembali menyerang Jaka Tingkir dengan
segenap kemampuannya. Tetapi ia salah lawan, karena pemuda anak angkat
nyi Ageng Tingkir itu merupakan pemuda yang rajin mesu diri diberbagai
tempat dan mempunyai guru lebih dari satu.
.
Betapa mudahnya Jaka Tingkir dalam memperlakukan lawannya yang
mempunyai kemampuan menggetarkan itu. Setiap serangannya mampu
dimentahkan dengan gamblangnya. Kecepatan Bagus Sagopa bagi Murid ki
Ageng Sela itu bagai sekuku ireng. Padahal Bagus Sagopa mempunyai ilmu
meringankan tubuh mengagumkan, tetapi hal itu jauh dari kemampuan murid
ki Ageng Sela itu, dimana kelincahan ki Ageng Sela mampu menghindari
kilatan petir dan menangkapnya, mampu diserap oleh Jaka Tingkir.
.
"Sudahlah, Bagus Sagopa. Sebaiknya kau menyadari kekeliruanmu ini.
Janganlah kau mengikuti perbuatan dari gurumu." ucap Jaka Tingkir perlahan.
.
P a g e | 401

Namun Bagus Sagopa tak mendengarkan perkataan dari lawannya. Malah


tangannya telah menggenggam sebilah keris dengan pamor menakjubkan.
Sinar hijau memancar dari keris ditangan pemuda itu.
.
"Bagus Sagopa, sadarkah kau jika yang ada di tanganmu itu sebuah benda
tajam ?"
.
"Hahaha.. Menyesalkah kau berhadapan denganku, Jaka Tingkir ?" kata Bagus
Sagopa dengan sinis, "Ketahuilah, jika kyai Sagopa ini sudah keluar dari
sarangnya, darahlah sebagai tumbalnya. Dan darahmu-lah sebagai
tumbalnya."
.
Mata tajam dari Jaka Tingkir semakin tajam. Tubuh pemuda itu selapis nampak
samar warna hijau kebiru - biruan. Menandakan aji Lembu Sekilan sudah
manjing dalam setiap langkahnya. Cucu Adipati Handayaningrat itu kini mulai
bersungguh - sungguh demi menghadapi keris kyai Sagopa di tangan
lawannya.

Selanjutnya sudah dipastikan kedua pemuda itu memulai kembali perkelahian


yang telah meningkat lebih seru dan mendebarkan. Kini nyawalah yang
dipertaruhkan dalam perang itu, nyawa yang tiada orang memperjual belikan
harus menjadi harta yang harus mereka pertahankan.
.
Kembali dengan Arya Dipa. Pemuda itu kali ini terlihat menghindari pukulan ki
Jara Murda. Kedua tangan lawan yang membara berselang warna hitam,
dihindari dengan berjumpalitan tiga kali sambil menjauh dari jangkauan lawan.
.
"Pengecut !!!" seru ki Jara Murda, "Kenapa kau melompat terus ? Bukankah kau
mempunyai ilmu kasat mata ?"
.
"Hm.. Kyai, Kau selalu berkata begitu terus sejak tadi. Bila aku menahan, kau
memaki dengan kasar. Dan bila aku menghindar, kau menganggap aku
pengecut." kata Arya Dipa, "Ingatlah, kisanak. Usia yang sudah setua kisanak ini
seharusnya mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, dengan berkata memuji
kebesaran-NYA."
.
Wajah ki Jara Murda seketika memerah. Baru kali ini dirinya disesorahi oleh
seorang anak yang usianya masih hijau. Beginilah jika seseorang yang
P a g e | 402

mempunyai harga diri terlalu berlebihan. Nasehat kebaikan dari seorang yang
usianya lebih muda, dianggapnya berlaku kurang tata. Dan ini merupakan
yang dialami oleh kebanyakan orang dimasa ini.
.
"Diam kau, anak setan !!" umpat ki Jara Murda dengan kasarnya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 17
OLEH : MARZUKI
..............................
..............................
Seleret warna merah membara terlontar dari tangan ki Jara Murda setelah
mengakhiri umpatannya. Aji Waja Geni atau Wesi Geni meningkat pada sifat
dan kemampuannya, lebih dahsyat dari sebelumnya. Selain itu, ilmu ini ialah
hasil dari penempaan diri ki Jara Murda selama ini untuk mencari
kesempurnaan ilmunya.
.
Di depan Arya Dipa yang tak pernah mengendorkan kewaspadaannya, terus
tetap bersiaga. Maka lontaran aji dari ki Jara Murda dapat ia hindari dengan
cara melentingkan tubuhnya ke samping kanan.
.
Alangkah terkejutnya Arya Dipa, saat dirinya yakin akan terhindar dari
terjangan tenaga lontaran dahsyat, ternyata lontaran lawan tak berhenti
sampai di situ saja. Seleret warna merah membara kembali terlontar dari ki Jara
Murda tanpa henti.
.
"Mampus kau anak setan !" seru ki Jara Murda dengan keyakinan tinggi.
.
"Bluum.. Bluum.. Bluum.. Bluum.. Bluum.. "
.
Tenaga dari aji Waja Geni terarah ke satu titik, yaitu dimana Arya Dipa berdiri di
atas tanah semula. Kobaran api membara meluluh lantahkan tanah beserta
rumput sejarak empat kali tangan merentang. Serta tanah itu berlubang cukup
besar menyisakan bara yang masih terlihat dari kegelapan malam.
.
"Luar biasa orang ini." desis seorang pemuda yang duduk di atas batang
pohon.
P a g e | 403

.
Sementara ki Jara Murda setelah memerhatikan disekitarnya, ia menyeringai
bagaikan serigala yang kenyang seusai melahap mangsanya. Dadanya
membusung lebih maju, seolah - olah menunjukan kalau di dunia ini tiada yang
mampu menyainginya.
.
"Kebesaran kitab Prabu Airlangga ternyata hanyalah omong kosong belaka !"
serunya disusul dengan tawa menggelora.
.
Mengetahui ki Jara Murda terbuai dengan kemenangannya, orang yang
duduk di cabang pohon hanya menggeleng - gelengkan kepalanya. Sejenak
orang itu mengambil nafas untuk melonggarkan rasa sesak di dada. Lalu
dengan gerak ringan orang itu menjejak cabang pohon, kemudian
melontarkan tubuhnya ke udara dengan berjumpalitan dua kali, dan kemudian
menginjakan kakinya di bumi.

Saat sepasang kaki orang itu menginjak tanah, kegusaran melanda hati ki Jara
Murda. Untuk meyakinkan bahwa orang yang berdiri dihadapannya benar -
benar orang, tangan ki Jara Murda mengucek - ucek kelopak matanya.
.
"Ka.. Kau masih hidup ?!"
.
"Lihatlah kakiku, ki. Bukankah kakiku masih menapak di tanah ?" balas orang
yang baru turun dari cabang pohon.
.
"Te.. ta.. pi Ah mustahil kau mampu menahan aji Waja Geni-ku !"
.
Orang yang berdiri di depan ki Jara Murda tiada lain Arya Dipa, memandang
dengan perasaan lembut. Sekali lagi pemuda itu mencoba memberi
peringatan kepada ki Jara Murda untuk menyadari kekeliruannya.
.
"Lebih baik kisanak mengundurkan diri dari tempat ini. Ajaklah murid kisanak itu,
bila kisanak kasihan dengannya."
.
Tanpa sadar ki Jara Murda memandang ke arah muridnya yang mengalami
tekanan hebat dari lawannya. Orang tua itu kembali terkejut saat matanya
dengan cermat memperhatikan adanya sinar aneh dari lawan muridnya.
.
P a g e | 404

"Sebuah ciri aji Lembu Sekilan." desis ki Jara Murda, "Siapa sebenarnya anak
muda itu ?"
.
Demi mendengar disebut sebuah aji yang langka, tak pelak Arya Dipa juga
kaget bukan kepalang. Tadi dirinya hanya memperhatikan bagaimana Bagus
Sagopa terdesak oleh Jaka Tingkir tanpa meneliti sinar samar yang menyelimuti
murid Kanjeng Sunan Kalijaga itu.
.
"Lembu Sekilan.. "ucapnya lirih mengulang kata dari ki Jara Murda.
.
Sementara itu, ki Jara Murda yang mampu berpikir untung ruginya, telah
memutuskan untuk menghindar dari kademangan Mlanding. Oleh sebab itu, ia
dengan tangkas melenting ke arah muridnya dan menyambar membawa
Bagus Sagopa pergi.

Perginya ki Jara Murda dan Bagus Sagopa, merupakan pukulan berat bagi
gerombolan Kalamuda. Karena orang tua dan muridnya itu salah satu
kekuatan yang mendukung gerombolan dari hulu sungai Tuntang sekaligus
sahabat dari ki Ploso Slangkrah. Hal itulah yang kemudian mengakibatkan
sebagaian dari anak buah gerombolan Kalamuda menyerah.
.
"Bagus, bila kalian menyerah kami akan menjamin keselamatan kalian !" teriak
Jaka Tingkir.
.
Lain halnya dengan ki Ploso Slangkrah dan nyi Cempaka, kaburnya ki Jara
Murda dan Bagus Sagopa membuat keduanya semakin menggila. Tandang
keduanya bagai malaikat pencabut nyawa yang haus dengan nyawa lawan -
lawannya.
.
Bila ki Sembada mampu mengimbangi nyi Cempaka, tak begitu dengan ki
Demang Mlanding. Ki Demang Mlanding jauh tertinggal dari ilmu kakaknya, ki
Ploso Slangkrah. Tubuhnya bertubi - tubi terkena hantaman dan tendangan
yang sulit dielakan. Serta darah merembes dari mulutnya saat sebuah
gamparan mengenai pipi kanannya.
.
Darah yang keluar dari mulut ki Demang itu membuat ki Ploso Slangkrah lebih
bernafsu untuk segera mengakhiri hidup adiknya. Tangan kanan ki Ploso
Slangkrah meraih keris di balik pinggang adiknya, dan mencabut dari
P a g e | 405

warangkanya. Tajamnya keris nampak berkilat ketika sebuah cahaya obor


mengenainya, dan sejenak kemudian keris itu mulai terayun menebas leher ki
Demang Mlanding.
.
"Plaakkk... Dess.. !"
.
Tubuh kokoh itu terguling menghantam pagar pembatas halaman rumah
penduduk. Tubuh itu berusaha bangkit seraya menahan rasa pedih menyengat
pergelangan tangan yang sebelumnya memegang keris.
.
"Sadarkah kau, kisanak ?!" sebuah suara mengelora menghentak udara,
"Betapa kejamnya kau ini. Bukankah ki Demang itu adik kandung, kisanak ?"
.
Ki Ploso Slangkrah terdiam. Entah sadar akan ucapan orang yang memapas
tangannya dengan daun pedang, ataukah menahan rasa pedih di tangannya
?
.
Sementara ki Demang yang mengetahui siapa penolongnya, bernafas lega,
"Terima kasih, anakmas Arya Dipa."

Arya Dipa sesaat menengok ke arah ki Demang dan mengangguk perlahan.


Selanjutnya pemuda itu kembali menatap tajam kepada ki Ploso Slangkrah.
Baru kali ini dirinya merasakan adanya kemarahan yang menyesak dalam
hatinya, manakala melihat ki Ploso Slangkrah akan menebas leher adiknya
sendiri.
.
"Kau hanyalah orang luar, anak muda !" seru ki Ploso Slangkrah, lanjutnya, "Ini
urusan keluarga kami."
.
"Tidak !" kata Arya Dipa lantang, "Ini sudah menjadi urusan umum !"

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 18
OLEH : MARZUKI
..............................
..............................
Ki Slangkrah tertawa hambar demi menanggapi teriakan dari pemuda yang
P a g e | 406

telah memukul pergelangan tangannya. Rasa pedih yang menyengat


pergelangan tangan dan tubuhnya sudah mulai reda. Murid durhaka dari ki
Kalaseta berdiri tegap dengan mendongak menatap langit di malam hari.
.
"Danureja, berapakah upah yang kau berikan kepada nya ?" tanya ki Ploso
Slangkrah.
.
Ki Danureja atau ki Demang hanya menggelengkan kepalanya.
.
"Mustahil bila tiada uang yang kau berikan kepada orang - orang ini, sehingga
mereka membelamu !"
.
"Kau keliru, kisanak. Tak semua orang seperti itu, yang berbuat keliru demi
mendapatkan uang atau pun harta." Arya Dipa-lah yang menjawab.
.
Ki Ploso Slangkrah kembali tertawa, tawa yang sangat memuakan bagi
pendengarnya. Habis tertawa tangan orang itu mencabut senjata di balik
pinggangnya. Sebuah keris agak besar dengan warna hitam pekat,
menandakan keris itu telah dilumuri warangan yang mematikan.
.
"Hiaat... !" teriak ki Ploso Slangkrah sambil menghunuskan keris ke dada lawan.
.
"Trang.. Trang.. Trang..!"
.
Tiga kali keris itu bergerak, tiga kali senjata Arya Dipa mampu menghadang
pula. Maka percikan bola api timbul dari gesekan dua senjata berbeda jenis
dan bahannya. Keris ki Ploso Slangkrah terbuat dari besi baja pilihan dari bumi.
Sedangkan senjata tipis kyai Jatayu terbuat dari pecahan batu lintang langit
yang ditempa oleh seorang empu, yang masih keponakan dari empu Supa.
.
Beradunya kedua senjata yang juga dilambari ilmu olah senjata, menimbulkan
adanya tenaga dahsyat mengoyak udara dalam jangkauan kedua senjata.
Selain itu desir angin yang ditimbulkan juga tak kalah dahsyatnya,
dibandingkan dari senjata sesungguhnya.

Suatu kali keris ki Ploso Slangkrah melaju lurus mengarah dada lawan, tetapi
saat lawan berusaha menebas tajamnya keris, ki Ploso Slangkrah dengan cepat
menarik serangan seraya memutar tubuhnya. Niatnya yaitu menyasar
P a g e | 407

pinggang samping lawannya.


.
"Tuuk.. !"
.
"He.. " kejut ki Ploso Slangkrah, karena kerisnya mengenai benda tajam di balik
pakain lawannya.
.
Saat itu memang nyata keris ki Ploso Slangkrah tepat mengenai pinggang Arya
Dipa. Dan Arya Dipa sengaja tak menghindar dari serangan itu, karena ia yakin
dengan kerasnya ikat pinggang kyai Anta Denta yang ia pakai.
.
Namun lawannya tak berhenti sampai di situ saja. Perasan penasaran dalam
hati disertai kemarahan, membuat ki Ploso Slangkrah melakukan tindakan yang
disebut licik. Tangan kiri dengan cepat merogoh sesuatu dari balik pakaiannya.
Yaitu sebuah bumbung kecil dengan sumbatan kain merah. Selekasnya orang
itu mencabut sumbat kain merah sekaligus menebarkan isi di dalam bumbung
ke arah Arya Dipa.
.
"Byaaar..... !"
.
Serbuk pekat bertaburan ke muka Arya Dipa, sehingga pemuda itu menjadi
bingung sesaat. Tepat bersamaan dengan bingungnya Arya Dipa, ki Ploso
Slangkrah menendang keras tubuh lawan sebanyak dua kali. Maka tubuh
pemuda itu terdorong lima tindak, walau tak sepenuhnya tubuh itu
terjerembab.
.
"Mati kau, anak muda. Kau sudah menghirup serbuk Kalapati !!" seru ki Ploso
Slangkrah.
.
"Oh.. "Kejut ki Demang dengan tegangnya, lalu kemudian ia mendekat seraya
berkata, "Kakang ampuni jiwa anakmas Arya Dipa. Berikanlah penawar itu
kepadanya. Aku akan melakukan apa pun yang kau pinta, walau itu nyawaku."
.
"Hahaha... Baik sekali hatimu Danureja, tepatnya hatimu terlalu lunak !" sahut ki
Ploso Slangkrah sambil menuding dengan kerisnya.
.
"Semua sudah terlambat, karena kematiannya juga akan kau susul dengan
kematianmu beserta orang - orang yang berpihak padamu !" kembali ki Ploso
P a g e | 408

Slangkrah berseru.
.
"Ka.. Kakang.. !"

Sebuah tangan menyentuh pundak ki Demang Mlanding dan terdengar suara


yang lembut, "Ki Demang tak usah mengkwatirkan diriku. Aku tak apa - apa, ki
Demang."
.
Ki Demang tak percaya dengan kata - kata dari Arya Dipa. Oleh sebab itulah ki
Demang memperhatikan tubub Arya Dipa, dari ujung rambut sampai ujung
kaki. Memang tak ada sesuatu yang menimbulkan rasa kawatir. Pada tubuh itu
tiada timbul tanda - tanda keracunan akibat serbuk Kalapati dari perguruan
Kalamuda.
.
"Bagaimana ini bisa terjadi, anakmas ?"
.
"Gusti Agung telah melimpahkan kekebalan racun dalam diriku, ki Demang."
jawab Arya Dipa.
.
"Oh.. Syukur Ya Tuhan.. " desis ki Demang Mlanding.
.
Bila ada petir menghentak di malam itu, tak-kan mengagetkan ki Ploso
Slangkrah sekaget ketika menyaksikan racun yang ia handalkan mampu
dimentahkan lawannya, apalagi lawannya masih terlalu muda. Inilah pukulan
yang menyakitkan hatinya. Seakan - akan wajahnya telah tersuruk ke dalam
kotoran binatang peliharaan.
.
Semburat warna merah membias dalam wajahnya. Giginya bergemeretakan
dibarengi tarikan nafas susul menyusul. Selekas itulah ia memusatkan segenap
tenaganya dalam satu titik, di tangannya.
.
"Mohon ki Demang menyingkir." desis Arya Dipa, setelah mengetahui lawan
sudah dalam tahap akhir dari sebuah pertarungan.

Ki Demang menurut saja demi memberikan kesempatan kepada Arya Dipa


untuk menghadapi ilmu kakangnya, yang ia anggap sudah jauh dari jalur
kebenaran. Ia sudah memasrahkan semuanya kepada Sang Pencipta, dari
akhir perseteruan antara ia dan kakangnya di malam ini.
P a g e | 409

.
Arya Dipa sudah melindungi dirinya dengan aji Niscala Praba dan juga
menerapkan aji Sepi Angin untuk mengimbangi tenaga lawan. Karena tak
mengetahui seberapa tinggi kekuatan lawan, Arya Dipa menerapkan ajinya
sampai tingkatan mendebarkan.
.
Di depan ki Ploso Slangkrah juga menerapkan aji kebanggaannya yang
mampu ia gunakan dalam pembunuhan kepada gurunya, ki Kalaseta. Sebuah
aji bersumber dari api, yaitu aji Guntur Geni.
.
Tak dapat terelakan tenaga dahsyat dari keduanya bertemu di satu titik, yaitu
saat kedua tangan dari orang berbeda menempel satu dengan lainnya.
Bergemuruhlah tanah Mlanding sekali lagi. Udara panas menghentak ke segala
arah dan mengakibatkan benda disekitarnya tumpah ruah tak karuan. Daun
dan ranting meranggas luluh ke bumi. Tanah dan kerikil muncrat memenuhi
sekitar titik pertemuan tenaga dahsyat. Begitu-pun dengan debu juga turut
andil mewarnai keadaan yang membuat orang terbelalak dan menganga.
.
Angin malam-lah yang kemudian memberikan kesegaran pada saat itu. Yang
mampu meluruhkan kembali debu seperti sediakala, sehingga samar - samar
terlihat seorang yang masih berdiri kokoh memandang tubuh di depannya.
.
"Kakang.... !" dua teriakan berbeda sumber berlari ke arah tubuh yang tak
berdaya.
.
Sementara itu, ki Sembada membiarkan lawannya berlari ke arah tubuh itu
berbaring lesu dan ia kemudian mengikuti dengan perlahan.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 19
OLEH : MARZUKI
..............................
..............................
Rasa haru menyelimuti suasana di ujung kademangan Mlanding. Waktu dini hari
sudah merambat mendekati waktu fajar. Satu dua kokok ayam mulai
bersahutan dari kandang milik penghuni kademangan maupun dari dalam
hutan.
P a g e | 410

.
Ki Demang pada saat itu memangku kepala ki Ploso Slangkrah yang tak
mampu lagi untuk menegakan badan, atau pun kepalanya. Sementara di sisi
yang lain, nyi Cempaka dengan mata berlinang sembari memegang erat
tangan ki Ploso Slangkrah, terus menyebut orang yang ia cintai itu.
.
Dalam pada itu pertempuran sudah usai. Anak buah gerombolan Kalamuda
sudah tak dapat lagi melanjutkan perlawanan. Dengan pasrah mereka
melempar senjata dan menerima kedua tangan mereka diikat dengan
menggunakan ikat kepala mereka sendiri. Tetapi ada juga sebagian kecil dari
gerombolan Kalamuda yang lari tunggang langgang mencari keselamatan diri,
dari tawanan pengawal kademangan Mlanding.
.
Kembali pada tubuh di pangkuan ki Demang, sang kakak sudah dalam
keadaan yang parah. Nafasnya mulai sesak dikarenakan aji Guntur geni senduri
dan ilmu pukulan lawan telah merontokan isi dalam dadanya. Darah segar
terus merembes dari bibirnya, meluber ke pakaiannya.
.
"Kakang.. " desis ki Demang.
.
Kepala ki Ploso Slangkrah bergerak disertai kelopak mata yang mencoba
memandang wajah adiknya. Bibir ki Ploso Slangkrah tampak bergerak lirih, ingin
mengucapkan sesuatu.
.
"Hatimu selembut kapas, adi." desis ki Ploso Slangkrah terbata - bata, "Maukah
kau memaafkanku ?"
.
"Tentu, kakang." jawab ki Demang dengan tulus, "Kuatkan kakang, kakang
akan sembuh seperti sedia kala. Ki Panut sudah dipanggil kemari."
.
Putra sulung dari mendiang Demang Mlanding hanya tersenyum. Matanya
berbinar terkenang masa - masa yang lampau, dimana ia selalu menjaga
adiknya dari gangguan anak - anak nakal. Dirinya-lah yang selalu memberikan
rasa aman kepada adiknya, tetapi kini justru dirinya yang membuat adiknya
hampir tewas ditangannya.

Kemudian ia teringat kepada seorang wanita yang ada di sampingnya, wanita


yang selama ini ia cintai dan kasihi. Di dalam rahimnya ada benih hasil kasihnya
P a g e | 411

yang suci dan murni.


.
"Adi, maukah kau menjaga calon jabang bayiku ?"
.
Ki Demang mengerutkan dahinya sambil menatap nyi Cempaka. Nyi Cempaka
yang ditatap hanya mampu menundukan kepalanya mencium tangan
suaminya saja.
.
Dan sekali lagi ki Ploso Slangkrah bertanya kepada adiknya, "Tolong adi, anak
itu tak bersalah."
.
Akhirnya ki Demang Mlanding mengangguk, "Baik, kakang. Aku akan menjaga
anak itu dan ikut merawatnya."
.
Kesanggupan dari ki Demang, membuat dada ki Ploso Slangkrah lapang.
Rasanya ia tenang jika ia menghadap kepada Sang Pencipta.
.
"Nyai.. "
.
"Iya, kakang. Aku disini... "
.
"Jagalah anak kita dan tinggalah di kademangan ini sebagai penebus
kesalahanku. Berikanlah ilmu mu untuk melindungi kademangan ini dari
ancaman yang mengganggu. Maukah kamu ?"
.
Nyi Cempaka memandang ke arah ki Demang, dimana ki Demang
menganggukan kepala, mengisyaratkan kalau pemimpin kademangan itu tak
keberatan. Lantas Nyi Cempaka tanpa terbebani kemudian menyanggupi
permintaan dari suaminya itu.
.
"Aku berjanji kakang, aku akan memberikan apa yang aku punya untuk
ketenangan kademangan ini. Aku akan membantu ki Demang."
.
"Ah.. Andai saja waktu itu aku tak tergoda dengan rayuan dari nyi Saroya untuk
menguasai kademangan ini, tentu kedamaian menyelimuti kita." sesal ki Ploso
Slangkrah, yang kemudian terbatuk mengeluarkan darah.

"Sudah, kakang. Jangan banyak bicara dahulu, supaya kakang cepat pulih."
P a g e | 412

kata ki Demang dengan perasaan yang cemas.


.
Tetapi ki Ploso Slangkrah menggelengkan kepalanya, "Ajalku sudah mendekat
adi, sekali lagi maafkan aku. Dan jadikan istriku, sebagian dari kademangan
ini..."
.
Dan akhirnya, ki Ploso Slangkrah tak mampu lagi untuk melanjutkan kata -
katanya. Namun sebuah senyum tersungging dalam bibirnya, ke arah seorang
pemuda yang berdiri. Seolah - olah memuji keperkasaan pemuda yang telah
menekan kemampuannya.
.
Tak pelak lagi, nyi Cempaka menjerit memanggil - manggil suaminya.
Penyesalan yang sangat ia rasakan dalam kehidupan ini. Wanita itu sedikitpun
tak memimpikan kalau perpisahan begitu cepat terhadap suaminya. Untunglah
seorang wanita yang dipanggil oleh seorang bebahu, berusaha menenangkan
guncangan yang diderita wanita yang perkasa di medan perang itu.
.
"Mari nyai, ikhlaskan kepergian ki Ploso." desis wanita itu.
.
Kemudian dengan hati - hati jasad ki Ploso Slangkrah di bawa ke rumah ki
Demang untuk dirawat secara semestinya. Sementara para bebahu memimpin
pengawal kademangan, mengurus kawan dan tawanan yang terluka mau pun
yang tewas.
.
Korban tewas terdapat pada gerombolan penyerang yang kebanyakan
terkena tikaman dari amukan para pengawal kademangan. Sedangkan bagi
pengawal hanya mengalami luka saja dan tak sampai adanya korban jiwa.
Setelah jasad dimandikan, kemudian segera dibawa ke pemakaman untuk
dikuburkan, begitu juga dengan jenasah ki Ploso Slangkrah.
.
Di waktu selanjutnya, nyi Cempaka yang sudah berubah mulai menata
kehidupan yang baik bersama penghuni kademangan Mlanding. Begitu juga
dengan bekas gerombolan Kalamuda, mereka menyadari kesalahan mereka
dan ingin menebus kesalahan dengan hidup semestinya.
Sementara itu Arya Dipa bersama dengan Jaka Tingkir atau Mas Karebet dan ki
Sembada, meninggalkan kademangan Mlanding setelah berpamitan dengan
ki Danureja, Demang Mlanding. Ketiganya berjalan ke arah sebuah bukit yang
dihuni oleh seorang tua dari keturunan Majapahit.
P a g e | 413

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 20
OLEH : MARZUKI
.............................
.............................
Ketiga orang itu menaiki undakan tinggi yang terbuat dari susunan batu.
Sesampai di ujung undakan, terdapat regol sebuah padepokan yang tak
terlalu besar. Tetapi padepokan itu terlihat asri dan nyaman, dikarenakan
ketrampilan pemilik atau-pun para cantriknya dalam menyusunnya.
.
Halaman depan dengan kanan kiri ditanami beraneka ragam bunga dan
tetumbuhan. Sedangkan di tengah halaman sebuah pohon bramasta atau
beringin, berdiri kokoh dan rindang dedaunnya. Sehingga di atas dahan itu,
dijadikan sarang oleh burung yang merasa betah tinggal di pohon beringin itu,
karena pohon itu selain aman untuk tempat tinggal mereka, di pohon itu juga
tumbuh buah sebagai makanan burung - burung itu.
.
Di saat ketiga orang itu memasuki regol, seorang cantrik berlari menyambut
kedatangan mereka.
.
"Selamat datang kembali di Karang Tumaritis, kakang." sambut cantrik itu, ketika
mengenali dua orang dari ketiga orang itu.
.
"Bagaimana keadaan padepokan saat kami tinggalkan ?"
.
"Sama seperti sebelumnya, kakang. Kedamaian suasana pegunungan masih
menyejukan."
.
"O.. Syukurlah. Di mana Panembahan ?"
.
"Beliau berada dalam sanggar tertutup sejak dua hari ini, kakang. O ya, beliau
memberikan pesan jika kakang dan angger Karang Tunggal datang bersama
seseorang, harap menunggu di bangunan belakang."
.
Orang yang disebut kakang itu menoleh kepada dua pemuda di belakangnya,
lalu katanya, "Hm.. Ayo Karang Tunggal dan anakmas Arya Dipa."
P a g e | 414

.
Terlihat Arya Dipa mengernyitkan alisnya, ketika ki Sembada menyebut Mas
Karebet dengan Karang Tunggal. Sudah dua kali ia mengetahui dua nama
yang digunakan oleh Mas Karebet. Yaitu Jaka Tingkir dan sekarang Karang
Tunggal. Tetapi ia tak banyak bicara, diikuti saja ki Sembada dan Mas Karebet.

Ketiganya lantas memenuhi pesan dari seorang Panembahan untuk menunggu


di bangunan belakang itu. Sementara tak berselang lama, cantrik yang tadi
menyambutnya, datang dengan membawa nampan berisi jajanan dan
minuman.
.
"Silahkan kakang Kanigara, angger Karang Tunggal dan anakmas..."
.
"Oh.. Panggilah pemuda ini Arya Dipa." kata ki Sembada yang mengetahui
kalau cantrik itu bingung menyebut nama Arya Dipa.
.
"O.. Silahkan anakmas Arya Dipa." kembali cantrik itu mengulang.
.
"Terima kasih ki cantrik." ucap Arya Dipa.
.
Lalu cantrik itu keluar dari bangunan untuk melanjutkan tugasnya.
.
Sepeninggal cantrik, Arya Dipa tak tahan untuk mengetahui kebenaran dari
nama yang disebut cantrik tadi terhadap ki Sembada dan Mas Karebet. Tetapi
sebelum ki Sembada angkat bicara, pintu bangunan itu berderit. Dari luar pintu
muncul sosok orang tua yang sudah memutih rambutnya.
.
"Selamat datang di padepokan terpencil ini, anakmas Arya Wila Dipa ." ucap
orang tua itu.
.
Sungguh rasa kejut hinggap di hati Arya Dipa, saat mendengar orang tua itu
menyelipkan nama ayahnya. Siapakah orang ini ?
.
Orang itu tersenyum demi melihat rau wajah Arya Dipa, sehingga ada rasa
kasihan menyentuh sanubarinya. Tak terasa air mata menetes membasahi
pipinya yang sudah mulai mengeriput.
.
"Tenangkan hatimu, anakmas." kata orang tua itu sambil menoleh kearah ki
P a g e | 415

Sembada dan Mas Karebet, tersenyum menganggukan kepala.


.
"Panembahan." desis ki Sembada.
.
"Eyang Panembahan." kata Mas Karebet mengangguk hormat.
.
Arya Dipa menyadari kalau ia berada dihadapan seorang linuwih, maka ia pun
mengangguk hormat pula.

"Sudahlah, marilah menikmati makanan gunung ini." desis orang tua itu, lalu
lanjutnya, "Anakmas Arya Dipa, maaf jika tadi aku menyebut nama seseorang
yang aku kenal dan menyelipkan diantara namamu. Karena wajahmu sangat
mirip dengan anak menantu kawanku itu."
.
"Oh ya aku sering dipanggil sebagai Ismaya dan para cantrik memberikan
nama depan Panembahan. Hm.. sebuah gelar yang memberatkan." desis
orang itu.
.
"Oh.. Mohon terima salam bektiku, eyang Panembahan. Sungguh aku tak
mengira seberuntung kali ini, berjumpa dengan seorang sesepuh kanuragan."
kata Arya Dipa dengan gopohnya.
.
Hal itu membuat Panembahan Ismaya tertawa, "Hehehe, kau mengenal nama
ku itu ?"
.
"Benar, eyang Panembahan. Waktu pertama aku turun dari gunung, eyang
guru memberikan bekal selain ilmu kanuragan dan kajiwan, beliau juga
memberitahukan beberapa nama tokoh kanuragan di Jawa Dwipa ini."
.
"Hm.. Kalau boleh tahu, siapakah guru dan orang tua mu anakmas ?"
.
Sejenak Arya Dipa mengambil nafas, kemudian tanpa sungkan lagi ia katakan
apa adanya menyangkut jati dirinya terhadap Panembahan Ismaya.
.
"Pantas kau terlihat sangat kokoh., tak tahunya kau didikan dari pertapaan
Pucangan. Selain itu ternyata aku tak salah jika menyelipkan nama Wila
diantara namamu, karena kau anak Arya Wila." kata Panembahan Ismaya
setelah mendengar penuturan Arya Dipa.
P a g e | 416

.
Kemudian orang tua itu tersenyum seraya memandang kepada ki Sembada,
"Tak perlu kau tutupi jati dirimu terhadap anakmas Arya Dipa, Kanigara."
.
Ki Sembada mengangguk lalu katanya, "Jika Panembahan Ismaya percaya
dengan anakmas Arya Dipa, tentu aku tak keberatan."
.
"Anakmas Arya Dipa, memang selama ini aku dan Mas Karebet menutupi jatidiri
kami yang sebenarnya. Tetapi tiada maksud lain yang membuat kerusuhan
kepada Demak."

Arya Dipa mengernyitkan alisnya, "Maksud, ki Sembada ?"


.
"Bukankah anakmas prajurit sejati Demak ?" tanya ki Sembada. Tetapi sebelum
Arya Dipa berkata, ki Sembada telah kembali berkata, "Namaku ialah Kebo
Kanigara, kakak kandung dari adimas Kebo Kenanga."
.
"He.. " kejut Arya Dipa.
.
"Dan Mas Karebet keponakanku ini putra dari adimas Kebo Kenanga."
.
Lantai yang diduduki Arya Dipa, seolah amblong demi mendengar kenyataan
yang ia dengar itu. Di hadapannya berkumpul seorang berdarah ningrat
Majapahit. Sama dengan keturunan dengan trah Demak.
.
"O.. ampuni hamba yang berlaku kurang tata ini, Raden." seketika Arya Dipa
menghormat kepada ki Sembada dan Mas Karebet.
.
"O.. Tak usah anakmas berlaku begitu, aku sudah lama menanggalkan
kebangsawananku. Bahkan sejak ayahanda Handaningrat masih hidup." kata
ki Sembada atau raden Kebo Kanigara.
.
Arya Dipa masih menunduk, hal itu membuat Mas Karebet menegurnya, "Jika
kakang seperti itu, ber-arti kakang tak menghargai hubungan kita sebagai
sahabat."
.
"Tetapi.. "
.
P a g e | 417

"Sudahlah kakang, bukankah kita ini seorang sahabat dan aku hanyalah prajurit
yang diusir oleh Kanjeng Sultan." sambung Mas Karebet.
.
"He.. Benarkah itu, Raden ?"
.
"Sekali lagi kakang menyebutku seperti itu, persahabatan kita cukup sampai
disini saja !" nada Mas Karebet meninggi.
.
"Oh.. maaf Ra.. eh Adi." kata Arya Dipa gelagapan.
.
Hal itu membuat Panembahan Ismaya dan ki Kebo Kanigara tersenyum Hati
mereka senang dengan ketulusan diantara kedua pemuda itu.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 20
OLEH : MARZUKI
.............................
.............................
Ketiga orang itu menaiki undakan tinggi yang terbuat dari susunan batu.
Sesampai di ujung undakan, terdapat regol sebuah padepokan yang tak
terlalu besar. Tetapi padepokan itu terlihat asri dan nyaman, dikarenakan
ketrampilan pemilik atau-pun para cantriknya dalam menyusunnya.
.
Halaman depan dengan kanan kiri ditanami beraneka ragam bunga dan
tetumbuhan. Sedangkan di tengah halaman sebuah pohon bramasta atau
beringin, berdiri kokoh dan rindang dedaunnya. Sehingga di atas dahan itu,
dijadikan sarang oleh burung yang merasa betah tinggal di pohon beringin itu,
karena pohon itu selain aman untuk tempat tinggal mereka, di pohon itu juga
tumbuh buah sebagai makanan burung - burung itu.
.
Di saat ketiga orang itu memasuki regol, seorang cantrik berlari menyambut
kedatangan mereka.
.
"Selamat datang kembali di Karang Tumaritis, kakang." sambut cantrik itu, ketika
mengenali dua orang dari ketiga orang itu.
.
"Bagaimana keadaan padepokan saat kami tinggalkan ?"
P a g e | 418

.
"Sama seperti sebelumnya, kakang. Kedamaian suasana pegunungan masih
menyejukan."
.
"O.. Syukurlah. Di mana Panembahan ?"
.
"Beliau berada dalam sanggar tertutup sejak dua hari ini, kakang. O ya, beliau
memberikan pesan jika kakang dan angger Karang Tunggal datang bersama
seseorang, harap menunggu di bangunan belakang."
.
Orang yang disebut kakang itu menoleh kepada dua pemuda di belakangnya,
lalu katanya, "Hm.. Ayo Karang Tunggal dan anakmas Arya Dipa."
.
Terlihat Arya Dipa mengernyitkan alisnya, ketika ki Sembada menyebut Mas
Karebet dengan Karang Tunggal. Sudah dua kali ia mengetahui dua nama
yang digunakan oleh Mas Karebet. Yaitu Jaka Tingkir dan sekarang Karang
Tunggal. Tetapi ia tak banyak bicara, diikuti saja ki Sembada dan Mas Karebet.

Ketiganya lantas memenuhi pesan dari seorang Panembahan untuk menunggu


di bangunan belakang itu. Sementara tak berselang lama, cantrik yang tadi
menyambutnya, datang dengan membawa nampan berisi jajanan dan
minuman.
.
"Silahkan kakang Kanigara, angger Karang Tunggal dan anakmas..."
.
"Oh.. Panggilah pemuda ini Arya Dipa." kata ki Sembada yang mengetahui
kalau cantrik itu bingung menyebut nama Arya Dipa.
.
"O.. Silahkan anakmas Arya Dipa." kembali cantrik itu mengulang.
.
"Terima kasih ki cantrik." ucap Arya Dipa.
.
Lalu cantrik itu keluar dari bangunan untuk melanjutkan tugasnya.
.
Sepeninggal cantrik, Arya Dipa tak tahan untuk mengetahui kebenaran dari
nama yang disebut cantrik tadi terhadap ki Sembada dan Mas Karebet. Tetapi
sebelum ki Sembada angkat bicara, pintu bangunan itu berderit. Dari luar pintu
muncul sosok orang tua yang sudah memutih rambutnya.
P a g e | 419

.
"Selamat datang di padepokan terpencil ini, anakmas Arya Wila Dipa ." ucap
orang tua itu.
.
Sungguh rasa kejut hinggap di hati Arya Dipa, saat mendengar orang tua itu
menyelipkan nama ayahnya. Siapakah orang ini ?
.
Orang itu tersenyum demi melihat rau wajah Arya Dipa, sehingga ada rasa
kasihan menyentuh sanubarinya. Tak terasa air mata menetes membasahi
pipinya yang sudah mulai mengeriput.
.
"Tenangkan hatimu, anakmas." kata orang tua itu sambil menoleh kearah ki
Sembada dan Mas Karebet, tersenyum menganggukan kepala.
.
"Panembahan." desis ki Sembada.
.
"Eyang Panembahan." kata Mas Karebet mengangguk hormat.
.
Arya Dipa menyadari kalau ia berada dihadapan seorang linuwih, maka ia pun
mengangguk hormat pula.

"Sudahlah, marilah menikmati makanan gunung ini." desis orang tua itu, lalu
lanjutnya, "Anakmas Arya Dipa, maaf jika tadi aku menyebut nama seseorang
yang aku kenal dan menyelipkan diantara namamu. Karena wajahmu sangat
mirip dengan anak menantu kawanku itu."
.
"Oh ya aku sering dipanggil sebagai Ismaya dan para cantrik memberikan
nama depan Panembahan. Hm.. sebuah gelar yang memberatkan." desis
orang itu.
.
"Oh.. Mohon terima salam bektiku, eyang Panembahan. Sungguh aku tak
mengira seberuntung kali ini, berjumpa dengan seorang sesepuh kanuragan."
kata Arya Dipa dengan gopohnya.
.
Hal itu membuat Panembahan Ismaya tertawa, "Hehehe, kau mengenal nama
ku itu ?"
.
"Benar, eyang Panembahan. Waktu pertama aku turun dari gunung, eyang
P a g e | 420

guru memberikan bekal selain ilmu kanuragan dan kajiwan, beliau juga
memberitahukan beberapa nama tokoh kanuragan di Jawa Dwipa ini."
.
"Hm.. Kalau boleh tahu, siapakah guru dan orang tua mu anakmas ?"
.
Sejenak Arya Dipa mengambil nafas, kemudian tanpa sungkan lagi ia katakan
apa adanya menyangkut jati dirinya terhadap Panembahan Ismaya.
.
"Pantas kau terlihat sangat kokoh., tak tahunya kau didikan dari pertapaan
Pucangan. Selain itu ternyata aku tak salah jika menyelipkan nama Wila
diantara namamu, karena kau anak Arya Wila." kata Panembahan Ismaya
setelah mendengar penuturan Arya Dipa.
.
Kemudian orang tua itu tersenyum seraya memandang kepada ki Sembada,
"Tak perlu kau tutupi jati dirimu terhadap anakmas Arya Dipa, Kanigara."
.
Ki Sembada mengangguk lalu katanya, "Jika Panembahan Ismaya percaya
dengan anakmas Arya Dipa, tentu aku tak keberatan."
.
"Anakmas Arya Dipa, memang selama ini aku dan Mas Karebet menutupi jatidiri
kami yang sebenarnya. Tetapi tiada maksud lain yang membuat kerusuhan
kepada Demak."

Arya Dipa mengernyitkan alisnya, "Maksud, ki Sembada ?"


.
"Bukankah anakmas prajurit sejati Demak ?" tanya ki Sembada. Tetapi sebelum
Arya Dipa berkata, ki Sembada telah kembali berkata, "Namaku ialah Kebo
Kanigara, kakak kandung dari adimas Kebo Kenanga."
.
"He.. " kejut Arya Dipa.
.
"Dan Mas Karebet keponakanku ini putra dari adimas Kebo Kenanga."
.
Lantai yang diduduki Arya Dipa, seolah amblong demi mendengar kenyataan
yang ia dengar itu. Di hadapannya berkumpul seorang berdarah ningrat
Majapahit. Sama dengan keturunan dengan trah Demak.
.
"O.. ampuni hamba yang berlaku kurang tata ini, Raden." seketika Arya Dipa
P a g e | 421

menghormat kepada ki Sembada dan Mas Karebet.


.
"O.. Tak usah anakmas berlaku begitu, aku sudah lama menanggalkan
kebangsawananku. Bahkan sejak ayahanda Handaningrat masih hidup." kata
ki Sembada atau raden Kebo Kanigara.
.
Arya Dipa masih menunduk, hal itu membuat Mas Karebet menegurnya, "Jika
kakang seperti itu, ber-arti kakang tak menghargai hubungan kita sebagai
sahabat."
.
"Tetapi.. "
.
"Sudahlah kakang, bukankah kita ini seorang sahabat dan aku hanyalah prajurit
yang diusir oleh Kanjeng Sultan." sambung Mas Karebet.
.
"He.. Benarkah itu, Raden ?"
.
"Sekali lagi kakang menyebutku seperti itu, persahabatan kita cukup sampai
disini saja !" nada Mas Karebet meninggi.
.
"Oh.. maaf Ra.. eh Adi." kata Arya Dipa gelagapan.
.
Hal itu membuat Panembahan Ismaya dan ki Kebo Kanigara tersenyum Hati
mereka senang dengan ketulusan diantara kedua pemuda itu.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 21
OLEH : MARZUKI
.............................
.............................
Untuk memberikan penjelasan kepada Arya Dipa yang masih bingung dengan
keadaan Mas Karebet, maka putra ki Ageng Pengging anom menuturkan
bagaimana dirinya diusir oleh Kanjeng Sultan Demak. Kebenaran dari cerita itu
ialah adanya seseorang yang memergoki dirinya sedang bermesra - mesraan
dengan gusti Putri Cempaka, di taman Kaputren.
.
"Sebenarnya Kanjeng Sultan tak melarang hubungan kami itu, karena diantara
P a g e | 422

kami terjalin hubungan cinta yang tulus dan murni. Tetapi adanya seorang
ketigalah, maka Kanjeng Sultan telah menjatuhkan titah supaya aku keluar dari
kotaraja." Kata Mas Karebet.
.
"Namun untuk menutupi kesalahanku dalam mempermalukan kaputren,
Kanjeng Sultan menyebarkan kalau aku telah membunuh seorang prajurit
dalam pendadaran." Sambung Mas Karebet.
.
Arya Dipa mengangguk, "Kita berdua sama adi, aku pun kini dalam
pengasingan juga. Namun selain itu aku juga mendapat tugas dari Sang Nata."
.
"He.. Betulkah itu kakang ? Apa yang menyebabkan kakang bisa seperti itu ?"
tanya Mas Karebet.
.
"Ini semua karena kurang cermatnya diriku, adi. Ada seseorang yang
mengelabui diriku untuk melakukan rencana besar dalam menyangkut dua
pusaka Demak dan Banyubiru oleh bangsawan bang wetan."
.
Semua orang di bangunan itu terkejut, kecuali Panembahan Ismaya. Di
sebutnya dua pusaka Demak yang tentu itu kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten
telah dikaitkan dengan Banyubiru oleh bang wetan, bagi Mas Karebet dan ki
Kebo Kanigara terlalu mengejutkan kedua orang itu. Sedangkan bagi
Panembahan Ismaya hal itu ia anggap sesuatu hal yang lumrah saja.
.
"Dan aku pun masuk dalam perengkap mereka, termasuk paman Gajah Sora.
Karena tujuan sebenarnya ialah menguasai tanah perdikan itu untuk pijakan
selanjutnya dari Purbaya."
.
"Lalu Kanjeng Sultan menghukum, anakmas ?"
.
"Begitulah, paman Kanigara. Tetapi aku boleh kembali ke Demak, asalkan
mampu membawa kembali kedua pusaka itu." kata Arya Dipa.
.
Kata terakhir tadi membuat Panembahan Ismaya sedih, "Anakmas, sungguh
sulit dan tak mungkin anakmas dapat menemukan kedua keris itu."

"Oh.. Mohon eyang Panembahan memberikan penjelasan mengapa hal itu


sulit, eyang ?"
P a g e | 423

.
Orang tua yang menyepi di bukit Karang Tumaritis itu menghela nafas. Mata
yang tajam memandang seolah mampu menembus tebalnya dinding kayu
bangunan itu. Sekejap kemudian ia menghela nafas kembali dan menatap
Arya Dipa.
.
"Bukan jodohmu, anakmas. Kedua pusaka itu sulit bersatu kembali jika salah
satu dapat kau bawa menghadap ke Kanjeng Sultan."
.
Arya Dipa tak membantah lagi untuk sekedar menanyakan kenapa hal itu bisa
terjadi. Kepala anak muda itu terlihay tiada dapat tersangga, sehingga kepala
itu menunduk lesu dengan mata terpejam.
.
Saat itulah tiba - tiba dirinya terasa terbang ke dalam alam yang sangat jauh.
Dan terhempas di sebuah padang yang ditumbuhi oleh beragam bunga
dengan aroma semerbak menyegarkan hidung. Samar - samar seberkas
cahaya putih cemerlang memudarkan asap putih, dan munculah seorang
berjubah dengan rambut tergelung ke atas. Wajahnya terlihat putih bersih
memancarkan wibawa nan agung.
.
"Eyang Resi... " desia Arya Dipa.
.
"Hm.. Angger, cucuku. Mengapa wajahmu bermuram durja ? Adakah
kesusahan melanda sanubarimu ?" tanya orang tua itu dengan senyum
mengembang.
.
Arya Dipa menunduk hormat dan bersimpuh di depan kaki orang tua itu.
Dengan kata yang halus ia tumpahkan segala beban yang ia rasa
menyesakan dadanya.
.
"Eyang Resi, mohon beribu ampunan atas ketidak becusan, cucu dalam
melaksanakan tugas yang eyang berikan kepada cucu ini."
.
"Hohoho.. Teruskan."
.
"Cucu sekarang jauh dari lingkup Kanjeng Sultan, sehingga akan sulit dalam
memberikan tenaga dan secuil ilmu cucu dalam melakukan pengabdian ini,
Eyang Resi."
P a g e | 424

.
Orang tua itu tersenyum dan menepuk pundak anak muda di hadapannya,
ujarnya dengan sareh, "Angger, cah bagus. Trenggono seorang nata praja
yang mendapat wahyu keprabon yang sah dari Gusti Agung. Di jaman inilah
Demak akan jaya dan termasyur sampai beberapa tahun ke depan. Walau
bagitu, memang duri - duri kecil akan terus tumbuh membuat rasa pedih dalam
tubuh di istana."

Sejenak orang tua itu terdiam demi melihat kesan yang timbul di raut wajah
anak muda yang ia banggakan itu. Lalu lanjutnya, "Aku berharap kepadamu
untuk tak putus asa dalam mewujudkan pengabdianmu kepada tanah pertiwi
ini. Tak usah kau kau berlarut dalam kesedihan, angger. Walaupun kau tak
berjodoh dengan kedua pusaka itu, tetapi kau akan tetap dekat dengan
Kanjeng Sultan. Sebuah jalan akan menuntunmu menuju ke istana walau jalan
itu berliku - liku dan penuh kerikil tajam."
.
Ketika Arya Dipa akan mengangkat kepala, yang nampak kemudian bukan
lagi orang tua yang ia panggil Eyang Resi, tetapi ia kembali di bangunan
padepokan Karang Tumaritis.
.
"Oh.. Terima kasih, Eyang Resi." ucap Arya Dipa dalam hati.
.
Dipandanglah Panembahan Ismaya dengan senyum ramah. Seolah tiada
sesuatu yang memberatkan hatinya kembali. Karena kini hatinya terasa lapang
bagaikan padang nun luas.
.
Hal itu juga membuat Panembahan Ismaya tersenyum, "Kau sudah mendapat
jawabannya, anakmas ?"
.
Arya Dipa mengangguk, "Terima kasih eyang Panembahan sudah menunjukan
kalau kedua keris itu tak berjodoh denganku. Jalan itu berbeda eyang
Panembahan."
.
Panembahan Ismaya mengangguk perlahan. Sedangkan ki Kebo Kanigara
dan Mas Karebet terlihat tak mengerti dengan kedua orang itu.
.
"Baiklah, kalau begitu aku tinggal dahulu. Beristirahatlah kalian di sini." kata
Panembahan Ismaya dan meninggalkan bangunan itu.
P a g e | 425

.
Tak terasa waktu cepat berlalu. Kodrat alam berjalan sesuai dengan garis Sang
Pencipta. Matahari bergerak dari timur ke barat menerangi segenap bumi yang
dilewatinya. Satwa - satwa bersuka cita dengan berbagai ragam suara yang
ditimbulkan, mewarnai indahnya buana ini. Udara semilir terasa bersahabat
membuai mahkluk untuk mengucap syukur kehadapan Illahi.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 22
OLEH : MARZUKI
..............................
..............................
Di malam harinya, Arya Dipa dipanggil secara terpisah oleh Panembahan
Ismaya. Tiada lain maksud orang tua itu ialah untuk memberikan jalan keluar
bagi Arya Dipa dalam permasalahannya dengan Kanjeng Sultan Demak.
.
"Anakmas Arya Dipa, tahukah mengapa aku memanggilmu di malam ini ?"
Panembahan Ismaya mengawala dengan sebuah pertanyaan.
.
Pemuda itu menatap Panembahan Ismaya dengan tatapan yang menyimpan
seribu macam tanda tanya.
.
"Mohon kiranya eyang Panembahan memberikan kejelasan tentang maksud
pemanggilanku ini."
.
"Baiklah anakmas, aku akan menunjukan jalan yang akan membawamu
kembali ke Demak." suara Panembahan Ismaya nampak bersungguh -
sungguh. "Tetapi sebelumnya aku akan meyakinkan dirimu untuk tidak terlalu
memikirkan keris kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten. Lihatlah ini.. "
.
Usai berkata, Panembahan Ismaya membuka kotak peti yang sejak tadi
berada di depannya. Dari dalam kotak peti, tersembulah bungkusan putih
bersih yang diambil oleh orang tua itu.
.
"Oh.. " Arya Dipa memekik perlahan.
.
"Kau mengenali benda ini, anakmas ?"
P a g e | 426

.
Arya Dipa menggeleng, tetapi ia menjawab walau terlihat ragu - ragu, "Aku tak
tahu, eyang Panembahan. Namun aku mengira itulah kedua pusaka Demak
yang hilang..."
.
"Hm.. Memang inilah kedua pusaka itu, anakmas. Pusaka ini akulah yang
menyimpannya."
.
"Apa maksud semua ini, eyang Panembahan ?"
.
Orang tua itu tersenyum, lalu katanya, "Kedua pusaka ini merupakan benda
yang sangat dikeramatkan bagi beberapa golongan. Sehingga tersiarlah kabar
kalau siapa yang mendapatkan kedua pusaka ini, maka orang itu akan
menerima pulung keprabon. Namun bukan itu yang menjadikan aku
menyimpan benda ini anakmas, karena aku tak silau dengan sesuatu yang
menyangkut dengan keraton."
.
Karena dilihatnya ada kesan yang tak pas dihati Arya Dipa, Panembahan
Ismaya telah mengambil sebuah benda dari balik pakaiannya. Benda kuning
keemasan dengan simbol matahari dan di hadapkan kepada Arya Dipa.

"Lencana Surya Kencana... !" desis Arya Dipa tak percaya.


.
"Bukannya aku ingin menyombongkan diri, anakmas. Aku sebenarnya masih
kerabat kanjeng Sultan Trenggono. Namaku Buntaran dari Wilwatikta."
.
"Oh... " kejut Arya Dipa.
.
Pemuda itu berulang kali dibuat tercengang manakala disekitarnya dikelilingi
oleh keturunan Wilwatikta. Dari pertemuannya dengan seorang kakek bongkok
di pinggiran hutan, yang ternyata Kanjeng Sunan Kalijaga, putra adipati Tuban
Arya Wilwatikta. Lalu ki Sembada dan Mas Karebet, puyra dan cucu adipati
Handaningrat Pengging. Dan sekarang dihadapannya duduk bangsawan dari
Wilwatikta, yaitu Raden Buntaran.
.
Untuk membuat suasanan mencair, Panembahan itu kemudian kembali
berkata, "Aku akan mengembalikan pusaka ini pada saatnya, tetapi pusaka ini
kurang lengkap, anakmas. Dan kaulah yang berjodoh dengan pusaka itu."
P a g e | 427

.
Seketika kepala Arya Dipa mendongak demi Panembahan mengatakan kalau
dirinya akan berjodoh dengan pusaka yang akan melengkapi keris kyai Naga
Sasra dan Sabuk Inten. Pusaka jenis apakah itu ?
.
"Besok pagi berangkatlah ke arah matahari terbit. Tembuslah pertahanan
pasukan bang wetan di Purbaya. Dan telusurilah aliran Brantas hingga kau
menemui onggokan tanah yang menyerupai emas bila terkena sinar sang
surya." kata Panembahan Ismaya.
.
"Baiklah, eyang Panembahan. Mohon restunya supaya aku dapat memenuhi
keinginan eyang dalam mendapatkan pusaka itu." kata Arya Dipa mantab.
Lalu katanya selanjutnya, "Namun apakah tak sebaiknya aku minta diri kepada
paman Kanigara dan adi Mas Karebet ?"
.
Panembahan itu menggelengkan kepala, "Tidak anakmas, pamanmu Kanigara
dan Karang Tunggal saat ini sedang melakukan lelaku di gua belakang
padepokan."
.
"Dan supaya jalanmu tak terganggu oleh seseorang yang kau kenal, lewatlah
jalan tikus selatan bukit ini. Sekarang beristirahatlah"
.
"Baik, eyang Panembahan."
.
Selanjutnya Arya Dipa kembali ke bangunan yang ia tempati sebelumnya.
Disana ki Kebo Kanigara dan Mas Karebet sudah tak ada. Oleh karena itu Arya
Dipa segera membaringkan tubuhnya untuk mempersiapkan tenaga untuk
esok hari. Sebuah perjalanan panjang akan ia tempuh.

Sekejap kemudian ia pun terlelap dengan buaian mimpi. Kokok ayam pagi
harilah yang membuat pemuda itu terjaga dan segera ke pakiwan untuk
membersihkan diri dan sesuci. Ketika Arya Dipa memasuki bangunan
tempatnya istirahat, di atas bangku sudah tersedia sarapan yang diperuntukan
baginya.
.
Kini saatnya ia pamit kepada Panembahan Ismaya untuk meminta restu dari
orang tua keturunan bangsawan Majapahit itu.
.
P a g e | 428

"Berhati - hatilah, anakmas. Semoga Gusti Agung selalu melindungimu."


.
"Terima kasih, eyang. Kalau begitu aku pamit."
.
Kepergian Arya Dipa diantar sendiri oleh Panembahan Ismaya sampai di depan
regol padepokan. Kemudian pemuda itu menuruni undakan tangga tersusun
dari batu. Sampailah ia di pertigaan lorong, Arya Dipa mengambil jalan tikus
menghindari jalan utama.
.
Saat itulah dari jalan utama terlihat seorang lelaki dengan anak remaja
melewati pertigaan jalan itu dan naik ke arah regol padepokan.
.
"Ayo cepat Bagus Handoko !" tegur lelaki itu.
.
"Baik paman Mahesa." sahut remaja itu seraya mengikuti langkah orang
berbadan tegap di depannya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 23
OLEH : MARZUKI
..............................
..............................
Debur ombak di tepian pantai selatan di sore hari terus menerus menghempas
karang tiada henti. Gelombang air samudera itu mengombak dahsyat bagai
diaduk oleh kekuatan tenaga selaksa raksasa. Buih yang ditimbulkan nampak
timbul tenggelam tergantikan dengan yang baru.
.
Di atas karang yang menjorok ke bibir laut itulah, seorang pemuda duduk
dengan sekali - kali menggaruk rambutnya. Pemuda yang berusia delapan
belasan tahun ini sudah satu purnama melakukan pengembaran yang hanya
ia dan seorang saja yang mengetahuinya.
.
Sejak pagi hari setelah memasuki pesisir selatan, ia berniat bermalam di pantai
yang masuk telatah gunung kidul itu. Entah mengapa hatinya mengatakan
kalau akan ada sesuatu terjadi di telatah pesisir selatan itu. Padahal ia harus
segera ke bang wetan menembus benteng pertahanan pasukan bang wetan
di Purbaya.
P a g e | 429

.
"Karang ini terlalu terjal untuk dituruni." desis pemuda itu sembari mengeliarkan
pandang ke sekitarnya.
.
"Oh itu ada sebuah belik di balik bebatuan karang yang memisahkan dengan
bibir pantai." kembali pemuda itu berkata sambil melangkahkan kaki menuruni
bebatuan yang agak landai.
.
Jalan yang ia lalui ternyata licin dikarenakan adanya lumut hijau tumbuh di
permukaan bebatuan. Selain itu di sela bebatuan juga tumbuh semak berduri
kecil - kecil. Maka pemuda itu mengurai benda yang melingkar di
pinggangnya, yang ternyata itu sebuah pedang tipis dan lentur.
.
Digunakanlah pedang tipis itu untuk membabat semak yang menghalangi
langkahnya, sehingga memudahkan dirinya melewati permukaan tanah
berbatu itu. Dan tibalah ia dibawah, dimana di situ terdapat belik atau mata air
yang tawar dan jernih sekali air itu.
.
Segera pemuda itu menyiduk air itu dengan kedua tangannya dan ia dekatkan
dengan bibirnya. Seteguk dua teguk air dalam cangkupan kedua tangannya,
mulai memasuki bibir dan membasahi rongga mulut dan kerongkongannya.

"Hm.. Sungguh segar sekali air ini." ucapnya perlahan.


.
Setelah dirasa cukup pemuda yang tak lain Arya Dipa, membuka pakaian
atasnya dan diletakan di batu samping belik. Selanjutnya ia mandi
membersihkan tubuhnya dengan menceburkan di belik itu. Rasa lelah seketika
lenyap manakala air membasahi dada yang bidang itu.
.
Bersamaan waktu Arya Dipa mandi di belik, di atas karang terdengar ringkikan
seekor kuda. Ringkikan itu membuat Arya Dipa waspada dan segera naik dari
belik dan memakai pakaiannya, untuk selanjutnya mengetahui siapa
penunggang kuda diatas batu karang. Untunglah hari mulai remang sehingga
menyamarkan Arya Dipa dari penglihatan orang dari atas karang.
.
"Siapa mereka ?" tanya Arya Dipa dalam hati.
.
Di atas karang, seorang penunggang kudaturun dari kudanya dan
P a g e | 430

menyerahkan tali kendali kepada orang lain.


.
"Duaji, benarkah kalau mereka akan ke sini ?" tanya orang yang turun dari
kuda.
.
"Aku yakin mereka segera muncul, Denmas." sahut orang yang memegang tali
kekang kuda, "Mereka tak akan berani bertindak tanpa kehadiran kita."
.
Orang yang dipanggil Denmas itu mematung, tangannya mengelus janggot
tipis yang tumbuh menghiasi janggutnya. Wajah orang itu terlihat cakap
apalagi dengan tumbuh jenggot tipis meruncing, menambah kesan yang
ditimbulkan.
.
Sudah sepenginang lamanya kedua orang itu berdiri di atas karang, tetapi
orang yang dinantikan juga belum menunjukan batang hidungnya. Sehingga
hal itu membuat orang yang dipanggil Denmas itu, gelisah dan berjalan
mondar - mandir.
.
"Huh apa mereka mempermainkan diriku ? Berjanji di senja hari tetapi sampai
gelap juga belum muncul !!" geramnya.
.
"Bersabarlah, denmas. Kita tunggu sesaat lagi, jika mereka melanggar janji, aku
akan mendatangi tempat mereka satu persatu." kata Duaji.

Tiba - tiba sebuah suara menggelegar menghentak udara di atas karang itu,
"Hahaha.. Mulutmu besar juga, Serigala pesisir selatan !"
.
Habis dari suara itu, sesosok tubuh bagai terbang meluncur menjotoskan
tangannya kepada Duaji. Kesiur angin dari pukulan itu bukan olah - olah. Tetapi
Duaji bukanlah orang biasa, sebutan yang ia sandang Serigala dari pesisir tak
kosong mlompong. Tubuhnya masih berdiri di samping kuda, tetapi kepalanya-
lah yang bergerak menghindar dari sergapan sosok itu.
.
"Wuuuss.... !"
.
Tangan sosok orang yang baru datang itu hanya mengenai udara kosong.
Bahkan hempasan udaranya tak membuat Duaji cedera sedikitpun.
.
P a g e | 431

"Bango Banaran, sekali lagi kau berbuat seperti itu akan ku buat kau pincang !"
ancam Duaji.
.
Orang yang dipanggil Bango Banaran hanya tertawa terkekeh, "Hehehe..
Janganlah kau begitu kaku, Duaji. Aku hanya ingin melemaskan otot - ototku
saja."
.
"Sudah.. !" seru orang yang dipanggil denmas oleh Duaji, "Mana yang lainnya
?!"
.
Bango Banaran mengangguk hormat kepada orang itu, walau hanya basa -
basi. Selanjutnya sambil menunjuk ke arah timur ia berkata, "Itu mereka,
Sanjaya."
.
Dari arah timur bermunculan lima tiga orang yang berbadan tinggi tegap
dengan wajah menunjukan kalau orang orang itu menyimpan ilmu dalam
tubuhnya. Seorang dengan rambut panjang namun tengahnya botak,
bernama Ki Widarba. Selanjutnya lelaki dengan tongkat di tangan kanan,
disebut Gonggang Keling. Yang terakhir berwajah penuh bulu dan kedua
lengan terdapat akar bahar melingkar, bernama Pandak Wengker.
.
Selintas Arya Dipa yang mencoba menyembunyikan getar keberadaannya,
mempertajam apa yang dibicarakan oleh orang - orang itu. Awalnya keenam
orang itu hanya saling mengumpat satu dengan yang lainnya, hingga orang
yang disebut Sanjaya menghentakan kakinya. Padahal kaki itu hanya sekedar
menghentak saja, tetapi kekuatan yang ditimbulkan membuat daerah itu
bagai diterjang lindu.

"Bukan main tenaga orang itu." desis Arya Dipa, semakin menekan getar
keberadaannya.
.
Usai hentakan kaki dari Sanjaya, kelima orang lainnya terlihat bersungguh -
sungguh. Selanjutnya kelima orang itu menanti apa yang akan keluar dari mulut
lelaki berjenggot runcing.
.
Sanjaya yang dinanti akan suaranya, tak kunjung mengangkat suara. Orang itu
malah memusatkan segala panca inderanya untuk memlerhatikan keadaan di
tempat itu. Untunglah orang itu tak mendengar detak jantung atau pun
P a g e | 432

keberadaan Arya Dipa, maka orang itu mulai bersuara.


.
"Keberadaan benda itu memang nyata." ucapnya perlahan sambil
memperhatikan kesan dari setiap wajah yang hadir.
.
"Tetapi benda itu sudah tak disekitar tempat ini lagi." sambungnya.
.
"He.. " kejut dari Gonggang Keling, "Ah, jauh - jauh aku datang kemari, hanya
kesia - sia'an saja yang aku dapat."
.
"Hm.. " desuh ki Widarba dan Pundak Wengker berbarengan.
.
"Tunggu sebentar, biarlah denmas Sanjaya selesai bicara." kata Duaji, mencoba
menenangkan.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 24
OLEH : MARZUKI
.............................
:::::::::::::::::::::::::::::
Wajah - wajah dari orang - orang itu berkesan kecewa, apalagi raut muka dari
Gonggang Keling yang sudah jauh meninggalkan tempat tinggalnya di utara
pulau jawa, yaitu pulau Karimun.
.
Kaki Gonggang Keling sudah akan beranjak pergi meninggalkan karang, tetapi
saat itulah Sanjaya mengucapkan kata yang membuat orang Karimun itu
menghentikan langkah kakinya.
.
"Biarlah ia pergi, Jadi harta yang menyertai benda itu akan mudah kita bagi."
kata Sanjaya.
.
Gonggang Keling langsung membalik menghadap Sanjaya, "He.. Kau tadi
bilang kalau benda itu berikut hartanya ? Harta apakah yang kau maksud,
Sanjaya ?"
.
"Bukannya kau akan pergi, Cleret Lor ?" celetuk Bango Banaran kepada
Gonggang Keling, diselingi tawa menyindir.
P a g e | 433

.
Wajah Gonggang Keling memerah dan melototi Bango Banaran. Diantara ke-
enam orang itu, hanyalah Bango Banaran yang mempunyai sifat usilan. Maka
tak heran jika setiap ia bicara pasti membuat orang yang belum tahu betul
dengan orang ini, akan mudah tersulut kemarahannya. Jangankan orang yang
belum kenal, Gonggang Keling yang sudah mengenal bertahun - tahun itu saja
masih mampu dibuat jengkel dengan ulah Bango Banaran.
.
"Diam kau bocah gemblung !!" umpat Gonggang Keling.
.
"Hehehe.. Walau aku gemblung, tetapi wajahku tampan dan banyak gadis
perawan yang mengerubutiku, Cleret Lor."
.
"Sudahi permainan kalian !" lerai Sanjaya, "Baiklah aku akan menjelaskan
kepada kalian semuanya."
.
"Dua hari yang lalu, orang yang membawa benda dan harta itu mengetahui
rencana yang kita susun. Maka dia meninggalkan gua di bawah karang ini,
dan pergi ke timur."
.
"Apa kau tak mengejarnya, Sanjaya ?" tanya Pandak Wengker.
.
Lelaki dengan Jenggot tipis runcing itu menghela nafas sambil menggeleng,
"Orang itu sangat sakti, hanya menggunakan pelepah pisang ia mengarungi
derasnya ombak lautan."

"He.. " seru sekalian orang.


.
Begitu juga dengan Arya Dipa yang berada di balik gundukan batu. Pemuda
itu kagum dengan adanya orang yang mampu menyebrangi lautan luas
hanya menggunakan pelepah pisang. Berarti orang itu mempunyai ilmu
meringankan tubuh mengagumkan.
.
"Kemungkinan orang itu di pesisir Wengker atau bahkan memasuki pedalaman.
Karena itulah aku mempunyai rencana untuk melakukan pencarian orang itu
dengan lelaku di malam ini. Apakah kalian ingin terus mendapatkan benda itu
atau tidak ? terserah kepada kalian." Kata Sanjaya.
.
P a g e | 434

Semua orang kecuali Duaji terlihat merenung memikirkan keuntungan dari


benda dan harta yang dibawa orang dalam gua.
.
"Sanjaya," desis Ki Widarba, "Mengapa orang itu membawa benda dan harta
tetapi terus sembunyi dari keramaian ? Bukankah lebih baik ia menggunakan
harta itu untuk membangun istana dan hidup bermewah - mewahan ?"
.
"Hahaha.. ki Widarba, orang itu sudah bosan hidup seperti yang kau sebutkan
tadi. Dahulu orang tua itu seorang bangsawan Majapahit yang hidup di
kotaraja Wilwatikta. Sejak kematian ayahnya ditangan Prabu Kadiri, ia lari ke sini
dan menetap di gua itu untuk melupakan masa lalunya." Jawab Sanjaya.
.
"Dan kau mencoba menghianatinya, Sanjaya ?" kini giliran Pandang Wengker.
.
"Sudahlah, itu urusanku dengan orang tua itu. Yang terpenting kita akan
merebut benda dan harta orang itu."
.
Semua orang mengangguk menyetujui apa yang direncanakan Sanjaya.
Kelima orang itu kemudian mengikuti Sanjaya yang berjalan ke timur untuk
melakukan lelaku dalam menyusuri keberadaan orang tua yang membawa
benda dan harta peninggalan Majapahit.
.
Tempat di atas karang itu kembali sunyi. Angin laut leluasa mempermainkan
tempat disekitar itu, sekehendak hatinya. Sayup - sayup suara binatang malam
mulai meramaikan suasana di atas karang.

Di rasa keadaan sudah aman, Arya Dipa melangkah keluar dari


persembunyiannya ke tengah karang. Tak habis pikir dirinya dengan apa yang
ia dengar tadi. Ternyata sebuah benda dan harta kembali menjadi
permasalahan yang panjang dengan akhir sebuah perebutan.
.
"Harta dan benda apa yang membuat orang - orang itu berlaku seperti itu ?"
desisnya.
.
"Oh iya, tadi orang yang bernama Sanjaya mengatakan kalau di bawah
karang ada sebuah gua. Ah aku ternyata tak cermat mengamati keadaan di
bawah karang tadi."
.
P a g e | 435

Selesai berkata, Arya Dipa beranjak kembali ke bawah karang. Yang ia tatap
pertama hanyalah belik yang ia gunakan untuk mandi tadi. Kemudian ia teliti
satu demi satu setiap dinding karang itu, dengan cara meraba dan
mempertajam panca inderanya.
.
"Oh.. Ini dia." serunya manakala sebuah mulut gua yang tersamarkan oleh
tetumbuhan menggelantung di mulut gua.
.
Ruang di dalam gua sangat gelap dan pekat. Sinar rembulan terhalang oleh
rerumputan yang menggelantung di mulut gua. Secepatnya Arya Dipa
merogoh batu titikan dan sejumput rumput kering untuk kemudian dia bakar.
.
Ternyata ruang di dalam gua agak luas setelah cahaya menerangi tempat itu.
Tiada yang aneh dalam gua itu, semuanya sama dengan gua - gua yang
pernah Arya Dipa lihat.
.
"Malam ini sebaiknya aku tidur di gua ini." desisnya, sembari melangkah
mengumpulkan ranting di atas karang.
.
Tetapi langkah kaki belum sampai di mulut gua, pandangan matanya
tertumbuk ke permukaan lantai gua. Samar - samar ada sebuah goresan
aksara di atas lantai gua itu.
.
"Terlalu kecil nyala api, " desis Arya Dipa, manakala ia tak mampu membaca
goresan dikarenakan api semakin redup.
.
Segera ia bergegas naik kembali ke atas karang dan mengumpulkan ranting
kering untuk dibawa kembali ke dalam gua. Ranting yang banyak itulah yang
kemudian memberikan nyala api yang memadai setelah dibakar oleh Arya
Dipa. Dan nyala api itulah yang membuat mata Arya Dipa semakin mudah
membaca setiap goresan di dasar lantai.
.
"Sebuah ungkapan penyesalan atas keserakahan." desis Arya Dipa, setelah
membaca sebaris goresan itu.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 25
P a g e | 436

OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
"Gambar ini ?" desis Arya Dipa ketika meneliti sebuah goresan di bawah
goresan aksara dalam gua.
.
Sebuah lambang yang sama dengan apa yang pernah ia lihat ketika berada
di Padepokan Karang Tumaritis satu bulan yang lalu. Lambang Surya Kencana
menandakan ciri dari darah biru keraton Wilwatikta. Tak hanya itu saja, di
bawah lambang itu tergores juga sebuah benda yang menyerupai sebilah
keris.
.
"Apakah benda ini yang diperebutkan oleh mereka ?" batin pemuda itu sambil
menyentuh goresan di permukaan lantai gua.
.
"Bluuk.."
.
Lantai itu amblong sebesar tiga kilan dan membuat tangan Arya Dipa jatuh ke
dalam dasar lubang itu, walau sebatas siku.
.
Kaget dan bingung sempat hinggap dalam hati Arya Dipa, tetapi sekejap
kemudian telapak tangannya yang berada dalam lubang menyentuh sebuah
benda dalam bungkusan kain. Secepatnya ia tarik tangan sembari menjumput
benda itu keatas.
.
Ketika tangan keluar seluruhnya, nampaklah sebatang benda terbungkus kain
hitam mewah dengan simbol Surya Kencana. Tangan Arya Dipa bergetar dan
jantung berdegub keras. Sebuah getaran halus merambat pada tangannya,
memasuki urat dan nadi menuju jantungnya.
.
Meskipun begitu, Arya Dipa tetap bertahan untuk menjaga kesadarannya dan
menekan getaran halus itu untuk tidak merusak simpul di jantungnya. Upayanya
berhasil dengan baik. Maka selanjutnya ia dekatkan benda itu ke dahinya
seraya memejamkan mata sesaat, dan kemudian menyingkap kain pembukus
itu.
.
Arya Dipa melebarkan kelopak matanya demi melihat benda dalam
bungkusan itu, yang ternyata berwujud warangka keris yang bersalut intan
berlian.
P a g e | 437

.
"Apa maksud dari ini semua ?" batin Arya Dipa.
.
Diamati warangka itu secara cermat. Indah memang dan tentunya mahal jika
benda itu dijual kepada pedagang. Namun getaran benda itu sangat kuat, itu
membuktikan kalau benda itu tentu sebuah warangka dari keris pusaka.
.
Akal pemuda itu terus berpikir mengenai guratan penyesalan dari si-empunya
penulis dan mengkaitkan dengan warangka keris.
.
"Penyesalan - Bangsawan Wilwatikta - Warangka keris." kata Arya Dipa lirih
sambil memutar warangka terbalik.

Tanpa disadari dari dalam warangka, secarik kertas putih terjatuh ke lantai. Di
jumput kertas itu dan di buka lipatan secarik kertas itu. Ternyata dalam
permukaan kertas terdapat sebuah pesan bagi orang yang mampu
menemukan warangka keris yang disembunyikan oleh empunya keris.
.
Dalam pesan itu, si-empunya keris mengatakan kalau warangka itu akan
berjodoh dengan seorang yang berhati lurus dalam pengabdian terhadap
negerinya. Dan hendaknya, ia berjalan ke matahari terbit menyusuri sungai
brantas sampai di sebuah gundukan tanah berkilau kuning keemasan saat
disenja hari.
.
"He.. Ada persamaan dengan tempat yang ditunjukan oleh eyang
Panembahan Ismaya !" seru Arya Dipa sekaligus membuat tubuhnya berdiri.
.
Di lihat kertas itu dan dibaca ulang. Setelah yakin benar dengan tulisan itu, ia
lipat kembali dan ia masukan ke dalam warangka tadi, serta membungkus
warangka dengan kain hitam seperti semula.
.
Malam semakin dalam memasuki peraduannya. Di luar debur ombak terus
menghentak kerasnya karang. Cahaya rembulan terus menerangi buana,
namun kadangkala sang awan mencoba menggoda dengan menghalingi
sinar rembulan, sehingga sulit menembus ke permukaan buana raya. Untunglah
sang bayu muncul sebagai sang penolong, memukul sang awan supaya pergi
meninggalkan indahnya sang rembulan. Tetapi segalanya segera buyar
manakala dari arah timur, warna kemerahan menyeruak dari atas cakrawala.
P a g e | 438

Sang surya tertawa terbahak - bahak untuk melanjutkan singgasana di siang


hari itu.
.
Pesisir selatan dimana Arya Dipa bermalam dalam gua telah mendapat sinar
fajar. Bersamaan dengan riuhnya ayam hutan dekat pesisir selatan. Arya Dipa
segera memadamkan bara dari ranting yang ia bakar tadi malam. Kemudian
ke belik untuk membersihkan diri dan sesuci ke hadapan sang Illahi.
.
Hari yang masih pagi telah ia manfaatkan untuk melanjutkan perjalanan ke
timur. Namun kali ini ia akan lebih berhati - hati terhadap rombongan orang
yang tadi malam berkumpul di atas karang. Bila perlu menghindari bentrokan
yang akan menyita waktunya sampai di tujuan.
.
Lembah, ngarai, dan pegunungan pesisir selatan di lalui oleh pemuda itu
selama berhari - hari. Dan pada hari itu sampailah ia di telatah Wengker bagian
selatan. Untuk itu kemudian ia mengarah ke utara mendaki bukit terjal yang
bagai dinding tebal dari alam.
.
Sungguh perjalanan yang menguras banyak tenaga. Namun tiada keluhan
yang keluar dari prajurit yang dalam masa hukuman itu. Ketetapan hatinya
telah membawanya memasuki sebuah padukuhan kecil di balik bukit.

Kedatangan Arya Dipa ditempat itu menarik perhatian para penghuninya.


Penghuni padukuhan itu memandang dengan tatapan penuh kecurigaan,
apalagi akhir - akhir ini di timur kadipaten terjadi perang besar. Sehingga
adanya penyusup dan pengganggu sangat meresahkan penghuni padukuhan
itu.
.
Sebenarnya Arya Dipa sendiri mengetahui kalau dirinya dicurigai oleh mereka
yang berjumpa dengan dirinya. Tetapi ia berusaha tak menghiraukan dan terus
melangkah memasuki padukuhan makin dalam.
.
Rasa lapar mempengaruhi langkahnya untuk mencari sebuah kedai ataupun
warung di padukuhan yang termasuk dalam kadipaten Ponorogo atau
Wengker.
.
"Ah, akhirnya ketemu juga." desis Arya Dipa saat mendapati sebuah kedai.
.
P a g e | 439

Masuklah ia ke kedai dan disambut oleh pelayan kedai.


.
"Kisanak ini siapa ?" tanya pelayan itu kurang bersahabat.
.
Arya Dipa mencoba menjawab dengan ramah, "Aku hanyalah pengembara,
kisanak. Dan ingin membeli hidangan yang ada di kedai ini."
.
"Hm.. Masuklah. Tetapi jika berbuat mencurigakan, kisanak akan berurusan
dengan penghuni padukuhan ini." kata pelayan dengan ketusnya.
.
"Baik, kisanak." sahut Arya Dipa dan duduk di dingklik dalam kedai.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 26
OLEH : MARZUKI
:::::::::::::::::::::::::::::::
Sembari menunggu makanan yang ia pesan, Arya Dipa mengeliarkan
pandangannya memperhatikan keadaan di dalam kedai. Ruang yang tak
terlalu lebar dengan sekat dari anyaman bambu memisahkan dapur dan ruang
untuk pembeli. Ruang muka menampilkan meja panjang yang berisi jajanan
ringan dan buah - buahan dan dingklik memanjang di depan meja, dua deret
meja kecil bersama dua dingklik mengintari setiap meja kecil tersebut.
.
Arya Dipa memilih meja dekat dengan lubang angin, yang berhadapan
langsung dengan pelataran kedai juga jalan. Di situ ia bisa mengetahui orang
berlalu lalang ataupun mereka yang akan memasuki kedai.
.
"Ini anak muda." kata pelayan kedai sambil menghidangkan nasi kehadapan
Arya dipa.
.
"Terima kasih, kisanak." ucap Arya Dipa, "Kisanak, kalau boleh tahu apa nama
padukuhan ini ?"
.
Pelayan ini ternyata bukanlah pelayan yang menyambutnya tadi. Ia termangu
sesaat dan memperhatikan penampilan Arya Dipa. Dalam hatinya
mengatakan kalau orang ini berbeda dengan orang - orang yang sempat
singgah di kedai itu. Karenanya ia pun dengan ramah menjawab.
P a g e | 440

.
"Denmas saat ini memasuki padukuhan Bungkul, Denmas."
.
"Apakah jalan menuju kadipaten Ponorogo masih jauh, kisanak ?" sekali lagi
Arya Dipa bertanya.
.
Pelayan itu nampak kebingungan untuk menjawabnya.
.
"Kenapa kisanak kebingungan ?"
.
"E.. Aku belum pernah kesana, Denmas." jawab pelayan itu, tersipu malu.
.
Arya Dipa tersenyum dengan perilaku pelayan yang seumurnya itu. Di ambilnya
uang kepeng dan ia berikan kepada pelayan itu.

"Terima-lah."
.
"Terima kasih, Denmas." ucap pelayan itu.
.
Sepeninggal pelayan kedai, Arya Dipa memusatkan untuk menikmati makanan
yang sudah terhidang. Perut yang sejak tadi sudah berkeroncongan, kini
bersyukur lega mendapatkan apa yang sudah diidam - idamkan. Tak lupa air
putih dalam kendi tertuang ke gelas dan selanjutnya melancarkan sisa
makanan di mulut dan tenggorokan.
.
Pada saat Arya Dipa menyantap makanan di kedai, tiga penunggang kuda
berjalan pelan memasuki pelataran kedai. Suara ringkikan kuda membuat Arya
Dipa menoleh demi mengetahui siapa penunggang kuda itu.
.
Ketiga penunggang kuda itu segera turun dari kuda mereka dan memberikan
kepada pelayan yang tadi menyambut Arya Dipa dengan ketus. Tapi kali ini
sangat lain apa yang diperlihatkan oleh pelayan itu. Dengan ramahnya
pelayan itu menyambut ketiga penunggang kuda tersebut. Bahkan menunduk
hormat kepada salah seorang yang lengannya ada gelang akar bahar
melingkar sebagai hiasan.
.
"Mereka.. " desis Arya Dipa yang mengenali ketiga orang itu.
.
P a g e | 441

Namun kemudian Arya Dipa tak menghiraukan lagi dan sibuk dengan
makanan di atas meja.
.
Sementara itu ketiga orang itu segera memasuki kedai dan duduk di meja
dekat pojokan.
.
"Pahing, cepat kau siapkan makanan yang paling enak di kedai ini !" seru si
lengan akar bahar.
.
"Segera, ki Pandak Wengker." sahut si pemilik kedai dan berlari ke dapur.
.
"He Gonggang Keling, apa tidak apa - apa kita berpisah dengan rombongan
Sanjaya ?" kata ki Widarba.
.
Gonggang Keling tak langsung menjawab. Orang dari Karimun itu mengunyah
pisang sampai habis dan meneguk air dari kendi. Barulah ia menjawab.

"Ki, kita ini sudah dewasa. Mengapa kau merengek layaknya anak kecil ?"
.
"Tampangmu..! Bukan itu maksudku !" bentak ki Widarba, "Jika si murid durhaka
itu menemukan benda dan harta itu, kita akan dikhianati juga."
.
Gonggang Keling terdiam, tetapi bibirnya tersenyum tak terlalu memikirkan
kegelisahan ki Widarba. Sama halnya dengan si lengan bergelang akar bahar,
orang itu dengan asyiknya memothel pisang hijau dan mengupas kulitnya.
.
"Uh, kalian terlalu meremehkan pemuda itu." desuh ki Widarba.
.
"Sudahlah, ki. Kita berempat tentu dapat menangani Sanjaya dan Duaji. Di
sana juga ada Bango Banaran yang menjadi mata dan telinga kita." kata ki
Pandak Wengker.
.
Orang tua bersenjata tongkat itu ingin berkata lagi, tetapi kedatangan pemilik
kedai dan pelayan yang menghidangkan makanan telah mengurungkan
niatnya. Berganti dengan menyantap hidangan yang menimbulkan nafsu
perutnya.
.
Sambil menikmati makanan itulah, ki Pandak Wengker berkata, "Kita sebaiknya
P a g e | 442

mencari bantuan kepada kawan kita."


.
"Ah, bertambahnya orang akan membuat pembagian harta semakin sedikit."
sahut Gonggang Keling.
.
"He, kau lupa dengan orang yang kita bunuh kemari ?" tanya ki Pandak
Wengker, lalu, "Benda dan harta itu sekarang tak rahasia lagi. Banyak orang
yang menginginkan dan merebutnya."
.
Kata terakhir itu telah mengejutkan Arya Dipa. Sepertinya permasalahan
semakin runyam menyangkuy benda itu. Tetapi apakah mereka sudah
mengetahui dimana letak benda itu ? Inilah yang masih membuat Arya Dipa
agak tenang bilamana orang - orang itu tak mengetahuinya.

Kembali Arya Dipa mengikuti setiap kata yang terucap dari ketiga orang di
pojokan tanpa membuat mereka curiga dengan dirinya. Maka dari itu ia
dengan lahap memakan nasinya.
.
Di meja dekat pojokan, pembicaraan ketiganya semakin mengarah terhadap
tujuan dari orang - orang itu.
.
"Kita pikirkan nanti saja setelah sampai di rumahku." kata ki Pandak Wengker.
.
"Ah kau sudah merindukan belaian anak muda itu, ya ?"
.
"Dasar kelakuan warok sepertimu tak pernah berubah, Pandak Wengker !"
celetuk ki Widarba.
.
"Biarkan saja, ki Widarba. Memang hal itu akan menambah kesaktiannya."
sahut Gonggang Keling, dan tanpa sengaja menatap ke arah Arya Dipa.
.
Melalui sebuah isyarat orang dari Karimun itu memberitahukan kepada kawan -
kawannya. Ki Widarba dan ki Pandak Wengker yang diberitahu, mengikuti
tatapan itu. Dan ki Pandak Wengker langsung berdiri melangkah ke meja Arya
Dipa.
.
"Cah bagus, sepertinya kau bukan dari padukuhan ini. Siapa kau dan dari
mana ?"
P a g e | 443

.
Arya Dipa menatap ki Pandak Wengker dengan ketakutan dan gemetar, "A..
aku dari Ngurawan, kisanak."
.
Jawaban itu membuat ki Pandak Wengker mengerutkan dahinya, "He
benarkah ?"
.
"Iya, kisanak. Bekas perdikan itu saat ini menjadi benteng pasukan Demak dan
kadipaten Ponorogo, hal itu membuat aku mengungsi ke sini."
.
Ki Pandak Wengker memperhatikan seluruh tubuh Arya Dipa, mulai dari ujung
rambut sampai ujung kaki. Raut wajah itu berseri gembira dengan lekuk tubuh
bidang dari Arya Dipa.

"Hm.. Bila kau ingin hidupmu enak, ikutlah kau bersamaku, cah bagus."
.
Tetapi sebuah tawa membuat ki Pandak Wengker menoleh ke arah tawa yang
menyakitkan telinganya.
.
"Hehehe.. Wong edan wis mulih, marai nggawe pagebluk... !"
.
Seorang lelaki berpakaian penuh tambalan berdiri di pelataran sambil
mencoret - coretkan ranting ke tanah, itulah yang tertawa dan berbicara.
.
Tak hanya ki Pandak Wengker saja yang dibuat terkejut, ki Widarba dan
Gonggang keling juga berdiri dan berlari keluar kedai. Sementara dengan hati -
hati Arya Dipa terus mengamati orang aneh itu.
.
"Begawan edan !" bentak ki Pandak Wengker setelah di luar kedai, "Mau apa
kau ikut campur urusanku, he ?!"
.
"Hehehe.. Pandak Wengker, Widarba dan juga Gonggang Keling. Bila Pandak
Wengker berkeliaran di sini itu sudah lumrah." kata orang berpakaian tambalan
itu, "Namun adanya orang Karimun dan Jipang membuatku bertanya - tanya,
hehehe... "
.
"Bangsat kau Begawan edan !" maki ki Pandak Wengker yang merasa
perkataannya tak di gubris oleh orang itu, "Kau rupanya sudah bosan hidup, ya
P a g e | 444

?"
.
"E ladalah, wong ra duwè tátá.. !" seru orang yang disebut begawan itu, "Sudah
bertingkah buruk dengan menggendak lelaki muda, kini berucap kasar kepada
orang tua sepertiku."
.
Perkataan dari orang tua itu membuat wajah ki Pandak Wengker sudah
memerah bagai kepiting rebus. Tanpa sebuah aba - aba, warok itu meluncur
deras menyasar batok kepala si orang tua.
.
Sekilas kedua tangan kokoh ki Pandak Wengker akan mendarat di batok
kepala orang aneh itu. Tetapi seperti tak menghiraukan, orang tua yang masih
asyik menggores ranting ke tanah, membiarkan batok kepalanya terkena
gempuran.
.
"Whuus.. Dhuukk.. !"
.
Kedua tangan ki Pandak Wengker berhasil menggempur batok kepala si orang
tua aneh. Dan ki Pandak Wengker telah mendarat kembali di tanah dan
menatap tajam dimana kakek aneh tadi berdiri.
.
"Hehehe........ "
.
Semua mata mengarah ke arah si kakek aneh tadi.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 27
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::::
Semua mata tercengang ketika menyaksikan akibat gempuran ki Pandak
Wengker. Bukannya batok kepala yang pecah, tetapi mulut ki Pandak
Wengker-lah yang meringis menahan sakit yang sang dikedua tangannya.
Entah mengapa seakan - akan tangannya telah membentur besi gligen dan
membuat nyeri tangan warok tersebut.
.
Tadi ketika serangan ki Pandak Wengker hanya sejarak seruas jari, kakek
P a g e | 445

Begawan aneh itu menggerakan ranting yang ia pegang sejak tadi.


Kecepatan tangan dalam menggerakan ranting itulah yang tak banyak orang
mengetahuinya, sehingga dalam pandangan orang awam akan sulit mengikuti
langkah itu. Tak hanya itu saja, kakek Begawan juga menyalurkan tenaga
cadangan ke ranting biasa itu, dan mampu menjadikan ranting itu sekeras baja
gligen. Tak ayal lagi penderitaan yang sangat dialami oleh ki Pandak Wengker.
.
Ketangkasan dan kehebatan kakek Begawan itu sempat diketahui Arya Dipa
yang menatap tajam dan jeli. Sudah dari awal Arya Dipa meyakini kalau orang
tua aneh itu mempunyai bekal olah kanuragan yang mumpuni. Oleh
karenanya ia merasa lega untuk tidak menunjukan jati dirinya kehadapan
mereka dan hanya menanti hingga akhir dari permainan itu.
.
Kedatangan kakek Begawan yang tiba - tiba itu, sebenarnya mengagetkan ki
Pandak Wengker dan kawan - kawannya. Mereka mengenal dengan benar
siapa kakek Begawan satu ini. Dan hati mereka sebenarnya sejak awal sudah
menciut bagai kapas yang terkena air, tetapi rasa jerih itu ditindih rasa malu bila
meninggalkan gelanggang.
.
Di depan pintu kedai, ki Widarba dan Gonggang Keling sudah bersiap
meloncat. Tangan keduanya mulai memper-erat pegangan di senjata masing -
masing.
.
"Hehehe... Yang satu bawa penthung celeng, satunya lagi mau
mengembalakan wedhus." sindir kakek Begawan, lalu, "He Cleret Keling, di
Karimun wedhus-mu sudah beranak pinak, ya ?!"
.
Sindiran itu membuat Arya Dipa tersenyum. Ia merasakan adanya sifat usilan
dari Begawan satu ini. Bila tak mempunyai bekal yang cukup tentu ia akan
mendapat akibat yang parah dari lawan yang sudah terungkit rasa
kemarahannya.
.
Itulah yang terjadi, Gonggang Keling tak mampu lagi untuk bersabar. Kawah
kemarahan dalam dadanya tak mampu terbendung lagi. Sehingga meletuslah
kemarahan itu dan meluberkan panasnya hawa kemarahan dari puncak
gunung berapi. Sehingga dengan loncatan bagaikan burung elang,
Gonggang Keling melecutkan cambuknya.
P a g e | 446

"Taarr.. Taarr.. Taarr.. !"


.
Tiga lecutan cambuk ekor pari menggetarkan udara disekitar tubuh kakek
Begawan. Sudah tentu sang kakek Begawan tak tinggal diam, kakinya
beringsut beberapa kali seraya menangkis dengan ranting di tangan
kanannya. Terjadilah adu lecutan dari dua senjata berbeda.
.
Cambuk khusus terbuat dari ekor ikan pari milik Gonggang Keling, mempunyai
kekuatan yang menakutkan. Dan lawannya hanya menggunakan ranting biasa
yang diambil dari pohon yang tumbuh dipinggiran jalan. Inilah yang
membedakan keduanya melalui kemampuan dan tenaga dari masing -
masing. Terbukti jelas siapa dari mereka yang hebat dalam melambari senjata
mereka dengan tenaga sakti.
.
Cambuk ekor pari ditangan Gonggang Keling begitu lentur dan kuat, melecut
dengan cepat bagai kilat. Sementara ranting kakek Begawan yang bercabang
- cabang tak kalah hebat, ranting yang masih muda dilambari dengan tenaga
cadangan mampu menjadikan senjata mendebarkan bagi lawan. Setiap
lecutan dari Gonggang Keling mampu dimentahkan oleh kakek Begawan
aneh ini.
.
Di luar gelanggang, ki Pandak Wengker mulai mengurai ikat pinggangnya,
yaitu koloran berwarna putih. Koloran ini bukan sembarang koloran, melainkan
terbuat dari kulit binatang yang sangat jarang dilihat oleh manusia. Dan hewan
itu hanya berada di puncak gunung Wilis serta hidup di alam lain. Jika koloran
itu mengenai gunung, niscaya gunung itu akan gugur dan lautan akan
mengering, itulah yang diyakini oleh ki Pandak Wengker.
.
Lain lagi dengan ki Widarba, orang tua dari Jipang itu berdiri dengan tegang
memperhatikan keadaan yang tak menguntungkan bagi kelompoknya.
Kemunculan Begawan yang ia kenal sebagai Begawan Kakrasana dari alas
Parang timur laut gunung Kidul itu, saudara seperguruan dari seorang begawan
yang sifatnya tak kalah edannya. Untuk itu ia bersiaga dan menunggu waktu
yang tepat mengajak kawan - kawannya menyingkir.
.
Dan waktu yang ditunggu - tunggupun tiba juga. Ki Widarba mengambil
sesuatu dari kantong ikat pinggangnya. Lima benda tajam secepatnya ia
lemparkan mengarah Begawan Kakrasana, dilambari tenaga cadangan.
P a g e | 447

Sembari melempar itulah ki Widarba memberikan isyarat kepada kawannya


untuk menghindari Begawan Kakrasana.
.
"Hehehe, kampret kalian... !" seru Begawan Kakrasana seraya memapas seluruh
senjata rahasia ki Widarba dan membiarkan musuhnya kabur.
.
Sesudah kaburnya ki Widarba dan kawan - kawannya, Begawan Kakrasana
termenung menatap arah kepergian lawannya. Seolah mengikuti tubuh
mereka menyusuri lorong - lorong jalan, lari terbirit - birit.

"Hehehe... " Begawan Kakrasana masih tertawa.


.
"Terima kasih, eyang Begawan." ucap Arya Dipa, yang lekas mendekati kakek
Begawan.
.
Begawan Kakrasana membalikan tubuhnya dan melotot dengan tajamnya,
"He, kau hanya mengucap dengan lisan saja, bocah gemblung ?"
.
Tindakan Begawan itu tentu membuat Arya Dipa bingung kepalang. Ia tak
mengerti dengan maksud ucapan dari Begawan tua ini. Sehingga tanpa ia
sadari, Arya Dipa hanya melongo saja.
.
"E.. Ladalah, malah diam saja. Kau kesambet danyang Bungkul, bocah
gemblung..'" seru Begawan Kakrasana sembari memukul pemuda di depannya
menggunakan ranting.
.
"Plaak.. !"
.
Keduanya terkejut setelah ranting itu mengenai tubuh Arya Dipa. Begawan
Kakrasana heran dengan apa yang ia rasakan, tangannya bagai kesemutan
seolah - olah adanya tenaga yang menyakiti tangannya. Sementara Arya Dipa
merasakan pundaknya bagai terkena besi, padahal ia tadi sempat
menerapkan aji Niscala Praba.
.
Begawan Kakrasana menggelengkan kepalanya, "He bocah gemblung,
apakah kau akan mendiamkan aku seperti ini ? Tidak menghidangkan sesuap
nasi kepada orang yang menolongmu ?!"
.
P a g e | 448

"He.. " desuh Arya Dipa, lalu ia tersenyum dan mempersilahkan kakek Begawan
memasuki kedai.
.
Dimintanya pelayan kedai untuk menyediakan makanan yang enak untuk
kakek Begawan. Dan setelah hidanhan tersedia, kakek itu segera melahab
dengan nafsunya. Seolah - olah perutnya belum terisi sejak sepekan, sehingga
meraup dam menjejalkan makanan itu ke mulutnya.
.
Tingkah laku kakek Begawan itu membuat hati Arya Dipa senang. Entah
mengapa ia merasakan kegembiraan bila memandang wajah kakek Begawan
itu.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 28
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::::
Di kala Arya Dipa menjamu Begawan Kakrasana di kedai padukuhan Bungkal,
ki Widarba bersama kedua kawannya berjalan keluar menjauhi padukuhan
tersebut. Ki Widarba mengajaka kawannya untuk tak berurusan dengan
Begawan dari alas Parang, yang ia ketahui mempunyai sebidang ilmu
kanuragan yang mendebarkan.
.
"Bila tadi tak kau tarik, aku sudah meloncat melecut orang tua itu dengan Sasra
Geni ini, ki Widarba." gerutu ki Pandak Wengker sembari merapikan ikat
pinggangnya.
.
"Sudahlah, lebih baik kita tak berurusan dengannya untuk sementara waktu,
Wengker." sahut ki Widarba, "Sebaiknya kita bergegas saja ke timur."
.
Sementara itu Gonggang Keling masih menenangkan gelora amarahnya,
"Sudah sering orang tua itu menghina diriku, ingin rasanya aku meremas
wajahnya !"
.
Ki Widarba tersenyum, "Sudahlah Gonggang Keling, bukalah matamu lebar -
lebar. Sejak kau bertarung dengannya, apakah kau mampu mengungguli
Begawan edan itu ?"
P a g e | 449

.
Pertanyaan yang tak disangka - sangka itu membuat Gonggang Keling
terdiam. Memang diakuinya kalau setiap ia beradu ilmu dengan Begawan
Kakrasana, ia bagai anak kecil yang terus dipermainkan oleh Begawan itu.
Oleh karenanya ia hanya berjalan menunduk menyusuri jalan yang membelah
persawahan itu.
.
Di kedai padukuhan Bungkal, Begawan Kakrasana menyudahi makannya.
Perutnya sudah tak sanggup lagi menampung makanan yang dipesan untuk
katiga kalinya itu. Sembari menepuk perutnya ia menghela nafas panjang.
.
"Tak hari - harinya perutku dilayani seperti siang ini." ucapnya perlahan,
sementara matanya terkatup - katup.

"Kalau begitu kita sudah impas bukan, eyang ?" kata Arya Dipa.
.
Suara dari Arya Dipa itu telah menyadarkan Begawan Kakrsana. Bukannya
berkata baik - baik, melainkan tangan kakek itu bergerak menjewer pemuda di
sampingnya dengan kerasnya.
.
"Aduh... Aduh...Aduuuh.. !" keluh Arya Dipa, tak menyangka kalau ia akan
diperlakukan seperti itu.
.
"Anak edan, kau mengganggu ketenanganku dalam menikmati perutku yang
kenyang !" bentak Begawan Kakrasana, lalu kemudian, "Cepat kau bayar dan
ikuti aku !"
.
Entah mengapa Arya Dipa tak menolak perintah Begawan yang uring - uringan
itu. Tanpa menunggu lagi setelah tangan Begawan Kakrasana melepas tangan
dari kupingnya, Arya Dipa memanggil pelayan kedai dan membayar semua
makanan tadi. Sehabis itu mengikuti langkah kakek Begawan.
.
Semenjak keluar dari kedai, keduanya tak banyak bicara. Keduanya terus
berjalan menyusuri jalan setapak yang kanan kiri ditumbuhi semak belukar
berselang tanaman luntas. Setelah sepengunyah sirih, sampailah di sebuah
gubuk yang berdiri di pinggir kolam.
.
"Masuklah anak muda." kata Begawan Kakrasana mempersilahkan Arya Dipa.
P a g e | 450

.
Di dalam gubuk itu hanya terdapat amben besar yang menyisakan tempat
berjalan ke pintu bekakang. Di dinding gubuk yang terbuat dari potongan
bambu, terdapat dua arit terselip ke bawah dan caping besar.
.
"Duduklah." kata Begawan Kakrasana dan terus berjalan ke belakang.
.
Duduklah Arya Dipa di amben sambil menunggu kemunculan Kakek tadi. Tak
berselang lama munculah kakek itu sambil membawa kendi dan selirang
pisang hijau.
.
"Hanya ini yang aku sajikan, cah bagus."
.
"Terima kasih, eyang. Lebih dari cukup."

"Ya jelas lebih dari cukup to cah edan, hehehe." kata Begawan itu sambil
melototkan matanya dan tertawa riang.
.
"He cah edan, siapa kamu ini ?" sambung Begawan dengan pertanyaan.
.
"Aku hanya seorang yang ingin melihat luasnya tanah jawa ini, eyang. Ayahku
sering memanggilku dengan Dipa."
.
"Dipa.. " desis Begawan Kakrasana, sambil meneliti setiap lekuk pemuda di
hadapannya.
.
"Nama yang bagus, mengingatkan aku dengan putra Gajah Pagon yang
menjadi benteng Wilatikta." kata Begawan dalam hati, "Seorang mahapatih
yang mampu menyatukan nusantara walau akhirnya ia menjadi korban
kepentingan dari kerabat keraton Wilatikta, gara - gara ingin menyatukan
Prabu Hayam Wuruk dan putri Dyah Pitaloka."
.
"Mengapa eyang melamun ?" tegur Arya Dipa ketika melihat Begawan
Kakrasana termenung.
.
Begawan itu menghela nafas seakan - akan ingin melapangkan dadanya yang
sesak. Dirinya tak menyangka kalau pengabdian seorang nayaka praja yang
sangat setia kepada negerinya, disudutkan karena pokal seorang saja.
P a g e | 451

Sehingga seorang Gajah Mada meninggalkan tujuan yang lebih gemilang bagi
Wilatikta mengasingkan diri dan tak diketahui rimbanya.
.
"Tidak, ngger. Namamu tadi telah mengingatkan diriku ini terhadap orang yang
aku bangakan. Semoga kelak kau mampu sepertinya dalam melakukan
pengabdian yang benar." kata Begawan Kakrasana dengan diiringi sebuah
do'a yang tulus.
.
"Ah sudahlah." desisinya, "O ya, mengapa kau tadi diam saja terhadap tiga
begundal tadi ? Aku rasa kau tentu mampu melawan mereka."
.
"Ah, eyang terlalu berlebihan. Ketiga orang itu sangat lihai dalam ilmu tata
kenuragan. Jika aku melawan mungkin dalam beberapa gebrakan akan
terbujur pingsan."
.
"Hehehe.. Bila itu terjadi, mungkin aku akan mendukung tubuhmu yang pingsan
dan ku ceburkan ke kolam !" seru Begawan Kakrasana.

Arya Dipa tersenyum.


.
Begawan itu memothel pisang hijau dan mengupas kulitnya untuk ia makan.
Masih mengunyah pisang hijau, orang tua itu berkata, "Aku yakin kau seorang
ahli kanuragan, entah dari perguruan mana. Mungkin kau juga ingin ikut
merebutkan benda yang saat ini diperebutkan oleh dunia kanuragan."
.
"Maksud, eyang... ?"
.
Begawan itu menggeser letak duduknya, "Akhir - akhir ini, selain pertempuran
pasukan Demak dan pasukan kadipaten Bang Wetan, juga mulai menyerabak
adanya desas - desus sebuah benda peninggalan Majapahit yang
menggetarkan dunia olah kanuragan. Banyak golongan - golongan dari
kalangan padepokan ataupun bangsawan yang mencari kebenaran itu."
.
"Apakah eyang juga tertarik dengan benda itu ?"
.
"Hm.. Sebenarnya aku tak mengharapkan untuk memilikinya. Tetapi ada
perasaan yang menggelitik hatiku ingin mengetahui apakah kebenaran benda
itu nyata." sejenak Begawan Kakrasana berhenti untuk mengambil nafas,
P a g e | 452

kemudian, "Yang aku takutkan jikalau benda itu jatuh ke tangan yang salah.
Tentu sesuatu akan semakin mengeruhkan keadaan di Bang Wetan ini, ngger."
.
Arya Dipa menganggukan kepalanya. Kegelisahan Begawan Kakrasana itu
bisa ia rasakan juga. Dirinya sudah mengetahui kenyataan jika benda itu jatuh
ke tangan Sanjaya atau penguasa dari Bang Wetan, yaitu Panembahan Bhre
Wiraraja.
.
"Sudahlah, ngger. Istirahatlah disini dahulu. Aku akan pergi sebentar."
.
"Baik, eyang." kata Arya Dipa yang kemudian ditinggal Begawan Kakrasana.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 29
OLEH : MARZUKI
:::::::::::::::::::::::::::::::
:::::;::::::::::::::::::::;::::
Menjelang malam di tepian kolam di luar padukuhan Bungkul, Arya Dipa dan
Begawan Kakrasana membicarakan adanya gerakan dari tokoh - tokoh
kanuragan ke gumuk emas, pinggiran kali Brantas.
.
"Semakin hari banyak dari mereka mulai bergerak, ngger. Desas - desus itu
semakin santer menunjukan kalau benda itu berada di sebuah gumuk kalau
disenja hari menyerupai bongkahan emas." Begawan Kakrasana mulai
pembicaraannya.
.
"Apakah eyang mengetahui siapa yang menyebarkan letak benda itu ?"
.
"Seorang pemuda tampan yang dagunya berbulu runcing."
.
"Sanjaya.." desis Arya Dipa perlahan.
.
"Kau mengenalnya, ngger ?"
.
Arya Dipa kemudian menceritakan awal pertemuannya tatkala di pesisir pantai
Gunung Kidul, walau tak bertatap mata secara dekat.
.
P a g e | 453

Begawan Kakrasana mengangguk setelah mendengarkan cerita dari Arya


Dipa. Orang tua dari alas Parang itu terlihat sedang memikirkan sesuatu.
.
"Hm.. Sepertinya pemuda itu mempunyai rencana yang mendebarkan.."
.
Tanpa disadari Arya Dipa menoleh ke Begawan Kakrasana, "Apa maksud dari
eyang ?"
.
"Coba kau renungkan, ngger. Pemuda bernama Sanjaya itu ingin merebut
benda dari gurunya. Awalnya ia bekerja sama dengan Pandak Wengker,
Widarba, Gonggang Keling dan Bango Banaran, lalu kemudian ia malah
membeberkan rencana itu kepada orang lainnya. Bukankah ia hanya
membuat palagan luas bagai tokoh - tokoh kanuragan dan kemudian ia akan
merebut benda itu dari tangan orang yang terakhir ?"
.
"Hm.. Sungguh culas sekali anak itu." sambung Begawan Kakrasana.
.
"Lalu apa rencana eyang sekarang ?"

Orang tua itu terlihat memikirkan sesuatu, lalu kemudian jawabnya, "Andai akan
mengatakan kepada mereka yang mengincar barang, tentu mereka tak
percaya dan menuduh kita sebaliknya. Tetapi bila membiarkan, tentu darah
akan membanjiri gumuk pinggir Brantas.
.
Orang tua itu memukul kepalanya dengan perlahan sambil mengumpat sendiri,
"Bodoh.. Bodoh.. Bodoh.. "
.
"Dari dulu kau memang Bebal, Kakrasana !" seru sebuah suara dan disusul dua
sosok.
.
Arya Dipa segera waspada atas kemunculan dua orang yang terdiri dari
seorang kakek dan anak muda hampir sebaya dengan dirinya.
.
"Tenang, ngger. Ia kakang seperguruanku." desis Begawan Kakrasana perlahan.
.
Walaupun suara Begawan Kakrasana tadi perlahan, tetapi orang tua yang
baru datang itu bisa mendengar dengan jelas dan membentak, "Huh kau
menganggap saudara terhadapku ?!"
P a g e | 454

.
Tiada jawaban terdengar, melainkan sebuah terjangan deras mengarah kakek
tua yang baru muncul.
.
"Dess.. Dess.. Dess.. "
.
"Edan kau Kakrasana.... !" seru orang tua itu sambil menangkis setiap gempuran
dari Begawan Kakrasana.
.
Sehabis menyerang dengan tiga gebrakan, Begawan Kakrasana mumbul ke
udara dua kali putaran dan sepanjutnya meluncul ke tempatnya berdiri sejak
awal.
.
"Hehehe.. Walaupun tulang kakang sudah termakan usia, ternyata masih
mampu menahan gempuran Tri Bayu Murda." seru Begawan Kakrasana.
.
Orang itu menoleh kepada pemuda disampingnya, "Windujaya, ternyata bila
dibandingkan dengan paman gurumu, masih hebat gempuran Tri Bayu Murda
yang kau miliki.. Hehehe."
.
Pemuda disamping orang tua itu menunduk hormat kepada Begawan
Kakrasana seraya berucap, "Maafkan kedatangan kami berdua paman, yang
mengganggu ketenangan paman Begawan."

Begawan Kakrasana tertawa riuh, sementara orang tua disamping Windujaya


mencak - mencak tak karuan. Sedangkan Arya Dipa hanya menggelengkan
kepalanya saja.
.
"Sudahlah kakang Bancak marilah ke gubuk. Di sana udara tak terlalu dingin."
ajak Begawan Kakrasana sambil berjalan ke gubuk seraya menggamit Arya
Dipa.
.
"Baik jika kau buatkan aku wesang sere dan nasi megana." sahut Orang tua itu.
.
Sesampainya di dalam gubuk, Begawan Kakrasana mengenalkan Arya Dipa
kepada kakak seperguruannya dan murid kinasihnya itu, begitupun sebaliknya.
Arya Dipa mengangguk hormat kepada kedua guru murid itu.
.
P a g e | 455

Windujaya membalasnya dengan ramah, lain halnya dengan orang tua yang
dipanggil kakang Bancak, orang tua itu tak menoleh sedikitpun kepada Arya
Dipa. Untunglah Arya Dipa tak menanggapi dengan sungguh - sungguh.
.
"Apakah kau mengambilnya sebagai murid, Kakrasana ?" tanya orang tua itu.
.
Begawan Kakrasana yang masih di ruang belakang tak segera menjawab.
Barulah saat ia muncul kembali dan membawa suguhan, ia menjawab, "Tidak,
kakang Bancak. Dia pemuda yang aku rasa menyimpan ilmu lebih dari cukup."
.
Kakang Bancak itu sekilas melirik ke Arya Dipa memperhatikan tubuh pemuda
itu. Memang benar apa yang dikatakan oleh adiknya, sekilas melihat saja ia
mampu mengetahui adanya tumpukan ilmu berada dalam tubuh anak itu.
.
"Siapa yang mendidikmu, bocah ?"
.
Arya Dipa dengan terus terang menjawab, "Eyang Puspanaga, eyang."

Suara Arya Dipa sebenarnya lirih dan halus, tetapi ditelinga kakang Bancak
bagaikan gemuruh kilat yang meledak diatas kepalanya.
.
"Puspanaga..." desis orang tua itu dengan muka memerah, walau hanya sekilas.
.
"Wah, jadi kau murid pertapa Pucangan, ngger." kata Begawan Kakrasana.
.
"Hanya sebatas ilmu dasar saja, eyang."
.
"Hm.. Seorang pertapa yang benar - benar dahsyat ilmunya." puji Begawan
Kakrasana.
.
"Huh.. Hanya ilmu setetes sempalan Ningrat kau terlalu memuji, Kakrasana."
desuh kakang Bancak.
.
Arya Dipa mengerutkan keningnya lebih dalam. Kata - kata itu terlalu tajam
sehingga membuat telinganya panas. Dengan sekuat tenaga ia mencoba
menenangkan amarah yang hampi terungkit itu.
.
"Maafkan jika aku berlaku kasar, eyang Bancak. Mengapa eyang mencemoh
P a g e | 456

diri eyang Puspanaga ?"


.
Orang tua itu menatap tajam ke arah Arya Dipa, "Kau tersinggung bocah ?"
.
Keadaan semakin tegang dan panas. Begawan Kakrasana yang mampu
membaca suasana segera bertindak.
.
"Ayo minumannya diminum dan ini kakang nasi megana yang tadi aku
hangatkan." kata Begawan itu, lalu menoleh kepada Arya Dipa "Dipa,
minumlah."
.
Kakak Begawan Kakrasana mengambil gelas wedang sere dan meneguknya,
sehabis itu memakan nasi megana. Dan Arya Dipa setelah mendapat isyarat
dari Begawan Kakrasana, mengikutinya demi menghormati orang tua itu.
Sedangkan Windujaya yang tadinya merasa tak enak, akhirnya bisa bernafas
lega.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 7 BAG 30
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
Orang tua kakak dari Begawan Kakrasana menyudahi makannya. Ia berdiri
kemudian berjalan keluar untuk selanjutnya duduk di dingklik depan gubuk.
Orang tua itu mengambil suling yang diselipkan diikat pinggangnya.
.
Suling yang terbuat dari bambu gading itu, ia pandang lekat - lekat. Seakan
dicermati kalau suling itu mengalami kerusakan, sehingga nantinya akan
merusak suara dari hasil tiupan tembang.
.
Di dalam, Begawan Kakrasana yang ingat setiap tindak tanduk kakak
seperguruannya, mulai bergumam lirih kepada Windujaya, "Ngger, gurumu
mulai lagi dalam mengidungkan tembang yang membuatku merinding."
.
Benar saja, tak lama kemudian mulailah bunyi suara suling menceritakan
sebuah cerita pilu menyayat hati. Bunyi tembang itu mengalun tinggi penuh
dengan sayatan luka yang menggores daging hati.....
P a g e | 457

.
.... Gunung tentram berubah membara....
.... Keluarga kecil lenyap seketika....
.... Darah berceceran membasahi buana....
.... Luka menganga menggores dada....
.... Si wanita tak bernyawa sekali tebas....
.... Nyawa si lelaki akhirnya lepas....
.... Bayi mungil entah kemana....
.... Kakek berilmu tak mampu jua....
.... O kenapa tua bangka ini masih bernyawa....
.
Suara suling itu pun berhenti berganti dengan desau angin malam, angin yang
menyeret awan untuk menutupi cahaya rembulan. Suasana malam itu seolah -
olah mengikuti hati Begawan Bancak dalam menuangkan kegundahan dalam
hatinya. Masa lalu suram yang sulit ia lupakan sampai usianya sudah mendekati
senja.
.
"Hm.. Semua menganggap akulah yang berbuat. Mungkin ini adalah karma
dari masa mudaku." keluh Begawan Bancak.
.
Sebuah tepukan dipundak Begawan Bancak membuat orang tua itu menoleh
kepada tangan yang menepuknya.
.
"Hidup adalah sebuah perjalanan pencarian bekal, kakang Bancak. Bila kau
menyesali masa mudamu, saat inilah kita mendekatkan diri kepada Gusti
Agung." desis Begawan Kakrasana.

Begawan Bancak menunduk dalam, "Hehehe.. Dahulu, seorang raden Kadiri


selalu berlaku sesuka hatinya. Tanpa menghiraukan orang lain kesusahan
dalam kehidupannya. Sangat berbeda dengan seorang putra patih Udara, ia
selalu menghormati sesama insan, entah itu bangsawan atau pun kawula alit."
.
"Raden Kuda Mapanji sejak kecil sudah berlaku benar, kakang. Ia sangat
berbeda dengan patih Udara yang tamak dengan kekuasaan. Sampai saat ini
ia selalu bersembunyi menjauhkan diri dari kehidupan duniawi." sahut Begawan
Kakrasana, "Karena dirinyalah kita mengerti dengan adanya titik putih dari
pancaran Sang Nata."
.
P a g e | 458

Begawan Bancak menghela nafas, "Sulit Kakrasana, diriku ini kadang lepas
kendali dan sering membuat ulah. Padahal kawan - kawan kita banyak yang
telah kembali keharibaanNYA. Handaningrat pun dengan cepatnya
meninggalkan kita tanpa berpamit kepadaku."
.
"Kalau begitu cobalah kakang mengirim warta kepadanya..." celetuk Begawan
Kakrasana.
.
Seketika Begawan Bancak meraup tanah di bawah dingklik dan dilempar
kepada adiknya itu. Lemparan pasir itu bukanlah lemparan biasa, terbukti
adanya kesiur angin yang menyertainya.
.
Adapun Begawan Kakrasana yang sudah menduha serangan itu, menotolkan
kedua kaki ke tanah untuk melambungkan tubuhnya.
.
"Sruut.. Byaar.. "
.
Dinding gubuk jebol seukuran pasir sejauh lingkup serangan. Sedangkan
Begawan Kakrasana tertawa terkekeh - kekeh duduk di batu depan gubuk
dengan santainya.
.
Bersamaan dengan itu, Arya Dipa dan Windujaya berlari keluar untuk melihat
apa yang sedang terjadi. Namun keduanya terkejut manakala melihat bekas
serangan yang mengenai dinding tembok. Keduanya saling bertatap muka
dengan tegangnya bercampur rasa bingung.

"He, kalian berdua jangan menampakan wajah bagai kunyuk seperti itu !" seru
Begawan Kakrasana, "Kami berdua hanya bermain melemaskan otot."
.
Windujaya yang mengerti watak guru dan paman gurunya itu, menggamit
Arya Dipa untuk diajaknya ke dalam lagi. Niat hati ingin melanjutkan
pembicaraan diantara keduanya, tetapi baru berbalik Begawan Bancak
berseru kepada keduanya.
.
"Keluarlah kalian berdua." seru Begawan Bancak yang kemudian lanjutnya, "He,
kau anak muda. Coba kau tunjukan sejauh mana kau menguasai ilmu dari
Pucangan."
.
P a g e | 459

Arya Dipa tak mengerti, oleh karenanya Begawan Bancak kembali berkata
kepada muridnya.
.
"Windujaya, tunjukan kemampuan Cakra Ningrat kepada murid Puspanaga !"
.
"Tetapi, guru... "
.
"Cepat.. !" bentak Begawan Bancak.
.
Arya Dipa masih diam mematung, sementara Windujaya dalam kebimbangan
dalam hatinya.
.
"Hehehe.. Lakukanlah, ngger. Hitung - hitung kalian membuat senang hati
seorang yang mau sekarat." tiba - tiba Begawan Kakrasana bersuara.
.
"O kau mau mati Kakrasana ?!" kata Begawan Bancak, lalu lanjutnya kepada
kedua pemuda, "Dengar bukan, ini permintaan dari adik seperguruanku yang
sudah sekarat."
.
"Wong tuo gemblung !" maki Begawan kakrasana.
.
Tetapi Begawan Bancak membalas dengan usilnya, "Apa matamu lamur,
Kakrasana ? Kau sendiri juga tua, jelek, gemblung, dan tadi mengaku bebal..
Hehehe."

Ejekan itu membuat Begawan Kakrasana mengkal, sehingga ia mendupak


potongan bambu sepanjang tiga ruas.
.
"Wyuuut.. Dess.. "
.
Bambu itu meluncur menghujam Begawan Bancak dengan derasnya, tetapi
saat bambu sejarak sekilan, tangan Begawan Bancak bergerak dan meremas
bambu itu hingga hancur berderak.
.
"Hehehe.. Tangan kakang masih sekuat di keraton dahulu."
.
Begawan Bancak tak menghiraukan ocehan adik seperguruannya, ia kembali
berseru kepada kedua pemuda untuj menunjukan kemampuan keduanya.
P a g e | 460

Dan keduanya pun akhirnya mengikuti kemauan orang tua itu.


.
"Kakang Dipa, mohon bimbingannya." ucap Windujaya.
.
"Ah.. Akulah yang harus memperhatikan apa yang akan kau tunjukan, adi."
balas Arya Dipa, tak kalah merendah.
.
Maka keduanya mulai memasang kuda - kuda sesuai jalur masing - masing.
Kaki mulai bergeser setapak demi setapak menggores tanah memutar. Tangan
dan kaki selalu berpindah seiring bergesernya tempat keduanya.
.
Inilah gerak penantian dalam mengekang rasa. Yaitu rasa bosan yang timbul
dari lamanya waktu dalam penantian gerak selanjutnya. Dan yang menang
ialah siapa yang bertahan dalam penantian serangan.

BERSAMBUNG..

Panasnya Langit Demak jilid 8


Panasnya Langit Demak jilid 8

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 8 BAG 1
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
NAFAS terhenti sesaat dengan adanya sebuah pergerakan kaki Windujaya.
Pemuda itu sudah lepas dari kekangan tembok tebal berupa kesabaran dalam
penantian. Dikarenakan waku terbuang lama dan lawan tak menunjukan
adanya sebuah niatan mengawali adu ilmu itu, maka ialah yang termakan
keinginan mendahului.
.
Walau begitu, murid kinasih Begawan Bancak atau Begawan Jambul kuning
masih melakukan penjajagan terlebih dahulu, yaitu mengetahui sebatas mana
kemampuan pemuda di depannya. Karenanya pukulan seper-empat sajalah
yang ia luncurkan melalui tangan kanan, mengarah dada lawan. Sementara
untuk memberikan serangan susulan, Windujaya sudah mempersiapkan berupa
P a g e | 461

tendangan yang ia arahkan jikalau lawan menghindarinya, atau pukulan


tangan kiri seraya menarik tangan kanan andai lawan mencoba menahan.
.
Dan ternyata yang terjadi ialah lompatan kecil Arya Dipa ke kiri sesuai perkiraan
Windujaya. Tak pelak rencana yang sudah terbayang ia lakukan untuk
melakukan tendangan kaki kokohnya. Tetapi Arya Dipa juga mampu
membaca serangan itu, dan Arya Dipa tak menghindar melainkan ia tekuk
kakinya sebagai landasan penyangga tubuhnya, seraya menghadang laju
tendangan menggunakan tangannya yang menyiku.
.
Saat tendangan itu hampir mengenai lengan Arya Dipa, tiba - tiba saja
Windujaya secepat kilat menarik tendangannya dan kemudian mengganti
sodokan ke lambung. Tarik kaki, berganti tumpuan dengan menekuk kaki,
tangan bergerak, sodokan ke lambung tujuan berikutnya.
.
Bila Windujaya bergerak secepat kilat, tak kalah hebat yang ditunjukan oleh
Arya Dipa. Tekukan penyangga tetap, tangan kanan bergerak sebat, dan
hap.. Jemari terbuka bagai jala menangkap ikan dengan erat, lalu tangan kiri
mencaplok pundak erat - erat.
.
Kali ini terlihat tubuh Windujaya tak menginjak tanah dikarenakan adanya
tenaga besar menari dan mengangkat tubuh pemuda itu.
.
Memang kenyataannya seperti itu. Arya Dipa mengerahkan tenaga ke-kedua
tangan untuk mengangkat tubuh lawan dengan tujuan menunjukan kalau
dasar dari bimbingan Resi Puspanaga tak pantas dijadikan cemohan oleh
Begawan Bancak atau orang lain. Dan tiada rasa menyakiti tubuh Windujaya,
karena nantinya bila tubuh itu sudah melewati kepala, tubuh itu akan ia taruh
seperti sediakala.
.
Beda orang beda pemikiran, dan ini dialami oleh Windujaya. Walau pada
awalnya ia menyayangkan sikap gurunya dalam memulai penjajagan ini,
namun apa yang diperlakukan oleh Arya Dipa menggelitik rasa ke-aku-annya.
Inilah yang mengawali adanya keinginan mementahkan tindakan lawan
kepadanya. Yaitu melalui adu ilmu jaya kawijayan.

Perubahan mulai terjadi diantara kedua pemuda itu. Yang paling merasakan
ialah Arya Dipa, yang menunjukan perubahan rona merah dikarenakan
P a g e | 462

kekuatan menghimpit tangan dan tubuhnya.


.
"Liman satubondo... " desis Arya Dipa.
.
"Maafkan aku kakang, aku terpaksa menerapkan aji ini, karena aku tak ingin
tubuhku engkau jadikan gedebok yang lumat setelah kau lemparkan." seru
Windujaya, kemudian lanjutnya, "Lebih baik kakang berseru kepada guru
mengaku kalah.."
.
Suara Windujaya terdengar pelan saja, tetapi kata kalah yang terucap tadi
bagai tajamnya mata pisau. Walau begitu sebanarnya Arya Dipa tak terlalu
memasukan dalam hati, jikalau teringat adanya cemohan dari Begawan
Bancak diawal tadi, mengenai ilmu Resi Puspanaga.
.
"Cepatlah kakang... " ulang Windujaya, "Lihat, kakimu sudah tenggelam sampai
lutut.."
.
Betapa menakjubkan kekuatan Windujaya berupa ilmu Liman Satubondo, yang
membuat kaki Arya Dipa ambles dalam tanah sebatas lutut.
.
Di bawah, Arya Dipa yang awalnya merasa dalam kesulitan, kini ia
mengerahkan ilmu sesungguhnya. Ilmu dasar dari pertapaan Pucangan ia
poles dengan ilmu kitab Cakra Paksi Jatayu. Tenaga dalam tubuhnya mulai
kembali seperti sediakala dan siap merubah keadaan.
.
Tarikan nafas dalam mengawali sebuah tenaga disalurkan di telapak kaki yang
masih dalam tanah. Tubuh Arya Dipa merendah sedikit dan.....
.
"Wuuuss.... "
.
Tubuh dengan masih menyangga beban Windujaya bagai terbang
mengangkasa menembus gelapnya malam. Hanya seleret warna putih
meluncur sesaat dan kemudian berpindah tempat dengan keadaan berubah.
.
"Edan.... !" seru Begawan Kakrasana dan Begawan Bancak, bersamaan.
.
"Adi, masihkah kau menganggap aku akan berlaku diluar batas ?" tanya Arya
Dipa, pelan.
P a g e | 463

Windujaya membisu. Pemuda itu masih takjub dengan apa yang telah terjadi.
Bagaimana mungkin seorang yang sudah dibawah himpitan tenaga gajah,
bisa lepas dan bahkan membawa beban ratusan gajah mengudara setinggi
pohon Bramasta ?
.
"Bila aku ingin, ketika masih di udara tadi aku tentu mampu melakukan apa
yang kau tuduhkan tadi, membuat tubuhmu bagai batang pisang yang lumat."
kata Arya Dipa, "Tetapi itu akan penyesalan tiada akhir, adi.
.
Tepuk tangan terdengar keras dari Begawan Kakrasana. Orang tua itu
tersenyum sambil melirik kakak sepeeguruannya. Hatinya setuju dengan apa
yang dilakukan dan dikatakan oleh Arya Dipa.
.
"Kau dengar, kakang. Anak muda ini mirip dengan mendiang putramu." kata
Begawan Kakrasana, "Apakah kau masih ingin melanjutkan keinginanmu tadi ?
Mengapa kau selalu marah jika mendengar nama Resi Puspanaga ?"
.
Keadaan masih belum menunjukan titik terang. Masih samar tertutup awan
tebal sehingga sinar gemintang tak mampu menembus secara langsung.
Begitupun dengan Begawan Bancak. Orang tua itu masih berdiri menatap
tajam ke arah Arya Dipa dan Windujaya.
.
Dalam pikiran orang tua itu terdapat dua lorong yang berbeda. Lorong
pertama ia masih ingin melanjutkan penjajagan itu sampai tingkat selanjutnya,
karena muridnya belum mengeluarkan segenap ilmu yang ia wariskan.
Sedangkan lorong satunya, ialah menuntaskan sampi disini saja.
.
Pertimbangan dari lorong terakhir dikarenakan adanya beberapa hal. Yaitu,
kata Arya Dipa sangat mirip dengan mendiang putranya. Selain itu perkataan
tadi juga mengingatkan dirinya dengan putra Patih Udara, yaitu Raden Kuda
Mapanji. Selanjutnya mengenai Resi Puspanaga, sebenarnya keduanya adalah
kawan seperti dirinya dengan Adipati Handaningrat, perbedaannya hanyalah
dikarenakan adanya kesalahpahaman semata.
.
Sepercik ingatannya kembali menyusur ke masa yang lalu. Ketika dirinya
kembali dari Tingkir, ia dikejutkan adanya suara erangan dari anak
menantunya. Erangan putri seorang Banteng Demak, dikarenakan sayatan
P a g e | 464

mengerikan di tubuhnya. Tak hanya itu saja, tubuh mengerikan juga terlihat
jelas dimatanya, manakala ia menyaksikan putra semata wayangnya tak
berkepala lagi.
.
Begawan yang suka berbuat urakan itu marah bagai singa yang kehilangan
anaknya. Dengan tubuh gemetaran ia berlari ke arah anak menantunya yang
masih bernapas walau darah membasahi tanah dibawahnya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 8 BAG 2
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
KEDATANGAN Begawan Jambul Kuning bukannya membuat menantunya
senang, melainkan perempuan itu dalam kesakitannya memohon belas
kasihan kepada ayah mertuanya itu.
.
"Ayah Begawan, cukup kami berdua saja yang mengalami penderitaan ini. Aku
mohon, biarkan bayi itu tetap hidup..." ucap perempuan dengan terbata -
bata.
.
"Apa maksudmu, Dyah ? Siapa yang melakukan ini ?" Begawan Jambul Kuning
tak mengerti.
.
Putri menantunya tak menjawab. Perrmpuan itu hanya menunjuk buntalan kain
di sisi kanannya. Dan kemudian nyawa perempuan itu lepas dari raganya.
.
"Dyah.. Dyah.. Dyah.. !" panggil Begawan Jambul Kuning sambil mengguncang
tubuh putri menantunya.
.
"Oh Bathara Yang Agung..... " teriak Begawan Bancak.
.
Sekali lagi orang tua itu melihat menantunya itu. Wajah cantik perempuan istri
anaknya, perlahan mulai memucat. Tubuh dalam dekapan semakin dingin.
Diletakan tubuh itu perlahan ke tanah seraya merapikan kedua tangan di atas
perut. Kemudian ia alihkan pandangan di sisi kanan tubuh yang mulai
membeku, dimana sebuah bungkusan kain membalut tubuh mungil.
P a g e | 465

.
Perlahan diraih bungkusan itu. Di dalamnya, bayi mungil terlelap dalam mimpi.
Wajah si jabang bayi bersinar cerah berpadu antara sang ayah dan sang ibu.
.
"Cucuku, kau tampan seperti Arya Wila dan putih mirip ibumu Dyah Ratna."
desis Begawan Jambul Kuning sembari mengelus pipi mungil cucunya.
.
Saat itulah berkelebat bayangan putih berdiri tegap menghadap Begawan
Jambul Kuning.
.
"Jambul Kuning, Janganlah kau sakiti bayi yang tak berdosa itu." tegur sosok
yang baru datang.
.
Mendengar teguran itu, Begawan Jambul Kuning mengerutkan alisnya dalam -
dalam. Tak mengerti apa yang diucapkan oleh orang itu.
.
"Kau gila apa, Puspanaga ?!" seru Begawan Jambul Kuning, "Dia cucuku... !"

Orang yang berada di depan itu menghela nafas. Mencari peluang waktu
yang tepat menyelamatkan anak yang berada dalam ancaman kakeknya.
Lantas tubuh itu perlahan beringsut melangkahkan kaki ke depan dan berhenti
satu tombak dari tubuh Begawan Jambul Kuning.
.
"Lihatlah putramu Arya Wila, betapa menyedihkan ini. Tataplah Dyah Wulan,
perempuan yang tak mengerti apa - apa walau ia putri Nayaka Praja Demak.
Dan sekarang kau tega membunuh cucumu sendiri, Jambul Kuning ?"
.
"He.. Kau bicara apa, Puspanaga ? Janganlah kau berbicara tanpa ujung
pangkalnya !"
.
"Jambul Kuning, kini kau berubah lagi tak seperti tadi saat membabat putramu
sendiri dengan pedang yang menggeletak itu. Tak segarang saat kau
menyayat menantumu."
.
"Diam... !" seru Begawan Jambul Kuning seraya meloncat menyerang orang di
depannya.
.
Loncatan dengan pukulan walau tak mendebarkan dari Begawan Jambul
P a g e | 466

Kuning, tak membuat orang berpakaian resi lengah sedikitpun. Kakinya


mengisar surut ke belakang dan selanjutnya ujung kaki menotol tanah demi
melambungkan tubuhnya. Tak berhenti disitu saja, tubuh resi sembari
melambung berhasil merebut bayi dalam gendongan Begawan Jambul
Kuning.
.
Dirasa cucunya berhasil direbut oleh resi itu, tak pelak membuat Begawan
Jambul Kuning melakukan tebasan tangan mengarah tubuh resi yang masih
berdiri membelakang. Tubuh itu membalik dan tak menyangka tebasan begitu
cepatnya, dan tak mampu lagi dirinya menghindar.
.
Tetapi yang membuat resi itu takut bukanlah karena tebasan itu mengenai
dirinya, melainkan tebasan Begawan Jambul Kuning segaris lurus dengan tubuh
bayi dalam gendongannya.
.
"Whuutss.. Byaaar.. "
.
Sebuah kejadian aneh terjadi di atas gunung Bancak. Begawan Jambul Kuning
terpental deras dan jatuh ke semak belukar dengan tanah gembur. Maka
tubuh Begawan Bancak menggelinding jatuh ke bawah.
.
"Oh.. " desis Begawan Bancak yang sadar dirinya berada di depan gubuk milik
Begawan Kakrasana.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 8 BAG 3
OLEH : MARZUKI
:::::::::::::::::::::::::::::::
:::::::::::::::::::::::::::::::
KEMBALINYA kesadaran dari Begawan Bancak dari lamunan masa lampau,
menempatkan diri pribadi yang sesungguhnya. Orang itu berjalan mendekati
kedua pemuda yang masih dalam sikap Arya Dipa berdiri dibelakang tubuh
Windujaya yang duduk di tanah.
.
Selangkah demi selangkah kaki Begawan Bancak terus bergerak mendekati
kedua pemuda itu. Tepat lima langkah, orang tua itu menoleh ke arah adik
seperguruannya sembari melambaikan tangannya dan kemudian ia kembali
P a g e | 467

berjalan.
.
Isyarat itu dapat dipahami sepenuhnya oleh Begawan Kakrasana. Ia yakin apa
yang akan terjadi sudah lepas dari permasalahan kecil layaknya permainan
kanak - kanak. Maka dari itulah, Begawan Kakrasana ikut melangkahkan kaki
menyusul Begawan Bancak.
.
Selanhkah di depan Windujaya inilah, Begawan Bancak bertepuk tangan
sembari mengangguk tulus. Hal itu cukup membuat Arya Dipa dan Windujaya
mengendorkan otot dari ketegangan.
.
"Kau mampu mengungguli muridku, anak muda." desis Begawan Bancak,
"Tetapi ada sesuatu yang membuatku bertanya - tanya."
.
Suara Begawan Bancak awalnya terkesan bersahabat, tetapi diakhrinya dapat
diartikan adanya sesuatu yang mengganjal dan bahkan berujung kembalinya
ketegangan. Dan orang pertama yang cepat merasakan ialah Begawan
Kakrasana. Tak dapat dipungkiri bagi Begawan dari alas Parang itu dapat
menyikapi jalan pikiran kakak seperguruannya, yang terkesan ugalan disetiap
tindakannya. Ini merupakan watak dari masa remaja dan sangat sulit dirubah,
karena sudah mendarah daging berpadu dengan jiwa raga.
.
"Semuanya sudah selesai kakang, marilah kita kembali ke gubuk. Lihatlah
lintang panjerino semakin menjauh." Begawan Kakrasana mencoba
mengalihkan.
.
"Hehehe... Kakrasana, ah bukan. Brajang Mas, kau sejak dahulu memang
menjadi begawan tak seperti aku ini. Sebenarnya kau memang mempunyai
hati bersih dan lurus, tetapi kau meniru tindak tandukku yang urakan dan usilan.
Bahkan kau belajar berkata kasar dengan umpatan atau makian..."
.
Nada suara Begawan Bancak sarat dan bersungguh - sungguh. Sehingga
Begawan Kakrasana yang biasanya akan membalas dengan perkataan, kali ini
dibuat terdiam.

"Adi Branjang Mas, luangkanlah aku waktu untuk sekedar bertanya terhadap
anak muda yang kau katakan mirip kakang Kuda Mapanji ini." kata Begawan
Bancak, sambil menatap sungguh - sungguh adik seperguruannya.
P a g e | 468

.
"Hm.. Silahkan kalau kakang Arya Bancak berkeinginan seperti itu." sahut
Begawan Kakrasana.
.
"Terima kasih, adi." ucap Begawan Bancak.
.
Orang tua itu duduk di batu tak jauh dari kedua pemuda perkasa. Lambain
tangan mengayun mengajak ketiga orang untuk duduk juga di dekatnya.
Kemudian barulah Begawan Bancak kembali bersuara kepada Arya Dipa.
.
"He, Bocah. Tolong katakanlah dengan sebenarnya, siapa kau ini dan apa
hubunganmu dengan Puspanaga ? Karena aku yakin kau bukanlah benar -
benar muridnya."
.
"Baiklah, eyang Begawan. Aku akan mengatakan dengan sebenarnya, tetapi
setelah aku mengatakan jati diriku, aku harap eyang tak lagi mencemoh eyang
Puspanaga." kata Arya Dipa, "Maukah eyang berjanji tak akan mencemoh
eyang Puspanaga lagi ?"
.
Windujaya dan Begawan Kakrasana tersenyum dengan permainan kata Arya
Dipa itu. Sedangkan Begawan Bancak bagai mati kutu, karena ia ingin
mengetahui siapa pemuda itu, sehingga kalau ia tak mau berjanji akan sulit
mengorek jatidiri pemuda itu. Tetapi jika berjanji ia pun merasa malu jika
dibelakang hari diungkit kejadian malam ini.
.
"Bagaimana, eyang ?" kembali Arya Dipa mencari ketegasan sikap Begawan
Bancak.
.
"Setan kecil.. !" batin Begawan Bancak.
.
Dan akhirnya sambil mengeraskan genggaman tangan, mulut itu berucap,
"Aku berjanji.. "
.
"Berjanji untuk apa eyang ?"
.
"Kau... " desis orang tua itu, dengan mengkalnya, "Berjanji tak mencemoh
Puspanaga !"
.
P a g e | 469

Suara tawa tertahan terdengar dari Windujaya dan Begawan Kakrasana.


.
"He.. Teruskan tawa kalian jika mau hidup tanpa mulut... !" bentak Begawan
Bancak.
.
Seketika Windujaya dan Begawan Kakrasana menahan sekuat tenaga tawa
mereka.
.
"Cepat kau katakan, setan kecil !"

Tak memperpanjang waktu, Arya Dipa mulai mengungkap jatidirinya


sesungguhnya. Kata demi kata keluar dengan terang dan jelas tak terkesan
ditutupi sama sekali. Mulai dirinya diasuh ayah angkatnya ki Panji Mahesa
Anabrang di padukuhan pudak di kadipaten Ponorogo. Kemudian diusianya
semakin remaja ayahnya menjelaskan siapa sebenarnya dirinya.
.
"Oh.. " desuh Begawan Kakrasana, yang mulai mengetahui kebenaran jatidiri
pemuda itu.
.
"Menurut eyang Puspanaga, ayah Wila dan ibu Dyah Ratna dibunuh oleh
kakekku sendiri." lanjut Arya Dipa.
.
Ada getar kepedihan menusuk sanubari Begawan Bancak tatkala mendengar
kata itu.
.
"Tahukah kau siapa nama kakekmu, ngger ?"
.
Arya Dipa menunduk, air mata berlinang di sudut matanya, "Kakekku seorang
Begawan yang mirip dengan eyang Begawan, ia seorang yang angin -
anginan."
.
"Maksudku, apakah kau tahu wajah kakekmu itu ?" kembali Begawan Bancak
bertanya.
.
Kepala yang ditanya menggeleng, namun sebuah senyum menyeruak
menghiasi bibir pemuda tampan itu. Dan ini membuat getar dalam dada
Begawan Bancak semakin menggelora. Apalagi ketika terdengar suara anak
muda itu.
P a g e | 470

.
"Aku hanya berharap eyang masih hidup dan mendapat kesehatan jiwa dan
raganya..."
.
Suara itu bagai kekuatan besar pada diri Begawan Bancak. Dimana kekuatan
suara itu meresap ke seluruh jiwa raga dan menggerakan tubuhnya untu
menubruk Arya Dipa. Rangkulan kedua tangan Begawan Bancak memeluk
Arya Dipa, dan sesenggukan bagai anak kecil mewarnainya.

Di sisi yang lain, Arya Dipa dibuat kaget dan bingung dengan apa yang
diperbuat oleh Begawan satu ini. Mengapa orang tua ini menangis tersedu
seperti itu ?
.
Tak kalah bingung juga dirasakan oleh Windujaya. Pemuda ini merasakan ada
keanehan pada gurunya. Padahal dihari - hari yang lalu, gurunya selalu
berbuat aneh, tetapi kali ini anehnya terlalu.
.
"Mengapa eyang menangis.. ?" tanya Arya Dipa bingung.
.
"Dipa.. Dipa.. kau begitu malang.. " kata Begawan Bancak disela tangisnya.
.
"Sudahlah, eyang. Aku sudah mengikhlaskan hidupku yang lalu itu.." ucap Arya
Dipa.
.
Tak lama tangis Begawan Bancak reda. Pelukan sudah longgar dan terlepas
menyisakan jarak satu langkah. Dengan kain kumalnya, disekanya air mata
yang membasahi pipinya.
.
"Dipa, apakah kau tak mendendam dengan kakekmu itu ?"
.
"Tidak, eyang."
.
"Apa alasanmu .. "
.
Arya Dipa menghela nafas, "Eyang, jika aku mendendam kepada eyangku
sendiri dan katakanlah jikalau mampu membunuhnya, apakah ayah dan ibu
bisa hidup kembali ?.... Tidak, malah aku semakin memburamkan garis
nasibku.."
P a g e | 471

.
"Oh Batara Agung, welas asihMU begitu besar." ucap Begawan Bancak.
.
Selanjutnya orang tua itu menatap lekat Arya Dipa, "Cucuku, inilah orang yang
disebut Jambul Kuning."
.
Tiada angin dan tiada hujan, tetapi sebuah guntur menggelegar
menghentakan alam jiwa Arya Dipa. Suara pelan dari orang tua didekatnya itu
bagai palu godam menghentak jiwa raganya.
.
"Be.. benarkah ucapan eyang ini.... ?"

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 8 BAG 4
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
AWAN hitam tebal berarak menggulung tubuh Arya Dipa. Sang bayu ikut
mendukung perbuatan awan hitam tebal menghempaskan tubuh Arya Dipa
jauh ke alam yang sangat aneh. Alam itu hanya ada dua warna saja dan
begitu ketara perbedaannya, yaitu hitam dan putih. Anehnya lagi tubuh Arya
Dipa tepat diantara batas warna tersebut dan tak dapat berkisar walau hanya
seruas saja.
.
Pemuda itu memandang ke dua arah warna alam dengan cermat. Alam hitam
yang gelap itu dapat dilihat dengan jelas oleh Arya Dipa, dan pemuda itu
kaget manakala dari tanah menyeruak sesosok kepala berikut tubuh yang
lengkap. Tak sampai di situ saja, sosok itu bermata, hidung, dan mulut lebar,
selain itu dari sela bibirnya nampak gigi panjang sebatas dagu. Taring, itulah
adanya.
.
Sosok itu berbadan besar dan tingginya mencapai tinggi pohon kelapa. Kedua
lengan tangan dihiasi gelang akar bahar. Lehernya berkalung tengkorak
mengerikan. Tangannya yang kanan menggenggam kapak bermata dua
dengan tangkai terbuat dari tulang, lalu tangan satunya menggenggam gada.
Seluruh kulitnya berwarna merah darah dan mata hitam menakutkan.
.
P a g e | 472

"Heeeeeeer... "
.
Gerungan dahsyat keluar dari mulut sosok mengerikan itu, gerungan itu juga
menimbulkan angin prahara dahsyat.
.
Saat itulah di alam putih, dari angkasa cahaya bersinar turun dan mendarat di
permukaan alam putih. Dalam naungan cahaya, sesosok tubuh sebesar
raksasa merah berdiri dengan bibir tersenyum. Sosok ini bernampilan layaknya
Resi suci penuh wibawa dalam auranya.
.
"Bala Kala, pergilah kau dari usahamu untuk memperdaya anak manusia ini..!"
tegur sosok putih.
.
Raksasa menyeramkan itu tertawa terbahak - bahak, "Hahaha.. Nara Maya,
kaulah yang usilan. Sudah menjadi tugasku untuk memberikan keberanian
kepada anak manusia ini, oleh karena itu sebelum aku berlaku kasar, enyahlah
dari alam ini.. !"

Pembicaraan kedua raksasa itu membuat Arya Dipa heran dan ada sedikit rasa
jerih. Jika kedua raksasa itu bertengkar, maka ialah sasaran empuk dari kedua
raksasa hitam atau pun raksasa putih yang mungkin tak sengaja menginjaknya.
.
Selanjutnya Arya Dipa masih mendengarkan kedua raksasa yang mempunyai
tujuan berbeda dalam sesuatu menyangkut dirinya. Padahal ia sendiri tak
mengerti apa yang sudah terjadi di alam itu, karena ia sadar bahwa
sebelumnya ia mendengar kalau Begawan Bancak mengaku sebagai
Begawan Jambul Kuning, yang berarti kakeknya.
.
"Minggir kau Nara Maya !" bentak Raksasa Bala Kala dengan marahnya.
.
"Bala Kala, Batara Agung begitu welas asihnya. Mengapa kau memungkiri itu
dengan perbuatanmu ini ?"
.
"Cukup mahkluk penjilat... !" umpat Bala Kala, seraya mengayunkan gadanya.
.
"Wuuuus...."
.
Gada raksasa ditangan Bala Kala hanya mengayun dan tak menjangkau
P a g e | 473

tubuh Nara Maya yang berdiri sepuluh langkah, tetapi serangkum angin-lah
yang membuat Arya Dipa kebat - kebit. Serangkum angin itu laksana lesus
menghujam tubuh dalam naungan cahaya.
.
"Byaaar..."
.
Ledakan dahsyat disertai alam berguncang hebat.
.
"Bala Kala, inikah yang kau andalakan dalam setiap tindakanmu ?"
.
Raksasa Bala Kala menggerung keras disertai gerakan meloncat melakukan
serangan beruntun. Serangan berupa hantaman gada dan bacokan kapak
bermata dua. Sungguh mengerikan jika itu mengenai tubuh manusia.
Jangankan manusia, batu sepuluh kali lipat dari besar gajah pun pasti hancur
jika terkena gada raksasa itu. Dan mungkin andai kapak bermata dua itu
mengenai gunung wilis, tentu gunung itu terbelah jadinya.
.
Itu jika manusia yang membayangkan. Tidak halnya dengan sosok dalam
lindungan cahaya. Sosok itu tersenyum dengan bibir bergerak layaknya sedang
membaca rapalan. Berhenti merapal, dikedua tangan sudah ada dua benda
melingkar bergerigi, cakra.

" Triiiing... Triiing.. "


.
Kapak maupun gada dapat tertangkis saat jarak kurang dari sekilan. Dan
akibatnya bunga api berpijar dari gesekan senjata keduanya dan
menimbulakan pemandangan menakjubkan bagi Arya Dipa.
.
"Oh.. Batara Agung.. !" sebut Arya Dipa.
.
Pertarungan masih berlanjut antara kedua raksasa itu. Semakin lama keduanya
semakin seru dan sengit. Gada dan Kapak bergerak cepat dan sebat
mengarah tubuh raksasa Nara Maya, yang berjumpalitan menghindari dan
sesekali melakukan serangan balik dengan cakra dikedua tangannya.
.
Raksasa Bala Kala terkejut manakala serangan balasan hampir mengenai
lehernya. Karena saat itu cakra ditangan kanan raksasa Nara Maya dilempar
dengan tiba - tiba menyasar leher Bala Kala.
P a g e | 474

.
"Heeeer... " gerung Bala Kala.
.
Pertempuran itu berlangsung sangat lama, tetapi sepertinya keduanya
berimbang.. Oh tidak, melainkan raksasa Nara Maya sepertinya hanya
melayani saja, walau kadangkala seperti membahayakan dirinya.
.
"Berhenti.... !" teriak Bala Kala seraya menggerakan tangan sebagai isyarat
untuk berhenti.
.
Nara Maya mengangguk dan tersenyum, "Kau mengaku kalah, Bala Kala ?"
.
"Heeer... Kata itu pantangan bagi pengikut Batara Kala, he Resi Suci !" seru Bala
Kala.
.
"Lalu... ?"
.
Bala Kala menatap ke arah Arya Dipa dan selanjutnya raksasa itu kembali
menatap Nara Maya seraya berucap, "Aku tak akan mengganggu anak muda
ini, jika ia mampu mengatasi Suara Panglulutku."
.
Nara Maya menghela nafas, sudah sekian lama ia mengalami kejadian seperti
ini dengan pengikut Batara Kala. Dan bila seorang pengikut Batara Kala
mengucapkan permintaan ini, maka hanya manusia itu sendirilah yang akan
menentukan akhir dari semuanya.
.
"Mengapa kau diam, Nara Maya ? Takutkah kau... ?"
.
Nara Maya masih dalam kebingungan. Jika ia melanjutkan dengan kekerasan,
ia akan jatuh ke dalam alam tak berwujud, ini karena sudah ada aturan jikalau
dalam alam hitam dan putih bila pihak hitam mengutarakan adanya perjanjian
berupa Suara Panglulut, pihak alam putih tak dapat menolak.

Ketika itulah terdengar sayup - sayup suara halus membisiki Nara Maya, "Biarkan
anak muda itu menerima Suara Panglulut. Percayalah, anak ini dapat
melaluinya."
.
"Hm.. Baik Resi Suci." sahut Nara Maya dalam hati.
P a g e | 475

.
Kemudian Nara Maya berkata kepada Bala Kala, "Baiklah, aku mengikuti apa
yang kau inginkan. Tapi ingat, jika anak manusia ini mampu mementahkan, kau
tak akan mengganggunya lagi."
.
"Hohoho... Tentu aku tak akan memungkiri janjiku." sahut Bala Maya, tetapi
dihatinya raksasa itu berkata, "Dia tentu termakan Suara Panglulut.. hehehe..."
.
Pembicaraan dari dua raksasa tak dimengerti oleh Arya Dipa. Siapa mereka ini
dan mengapa ia berada di alam ini ? Lalu apa Suara Panglulut itu ? Semuanya
masih gelap dalam bayangannya.
.
Diri pemuda itu terhenyak ketika suara raksasa Bala Kala menegurnya.
.
"He, anak manusia. Pejamkan matamu !"
.
Seketika mata Arya Dipa terpejam dengan sendirinya. Sebuah kekuatan sangat
besar mempengaruhi inderanya sehingga menuruti perkataan atau lebih
tepatnya sebuah perintah. Dan Suara Panglulut-pun mulai menyeruak keluar
dari mulut Bala Kala.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 8 BAG 5
OLEH : MARZUKI
:::::::::::::::::::::::::::::::
:::::::::::::::::::::::::::::::
GETARAN halus menusuk seluruh urat nadi Arya Dipa tatkala Suara Panglulut
mulai menguasai tubuhnya. Tenaga yang kasat itu semakin dalam memasuki
jiwanya dan membuat pemuda itu tak mampu menghentikannya walau hanya
sekejap.
.
Dengan terkenanya tenaga Suara Panglulut ini, Arya Dipa mengalami sesuatu
yang sulit diterangkan. Dirinya bagai dilempar ke suatu kejadian yang mana di
situ telah terjadi kejadian berujung mengerikan.
.
Awalnya Arya Dipa melihat seorang begawan yang berdiri membelakanginya.
Begawan itu memegang pedang panjang bermata tajam dan kemudian
P a g e | 476

mengayunkan ke leher seorang lelaki muda. Seketika kepala lelaki itu lepas dari
tubuhnya, dengan darah memancar deras dari leher dan tubuh lelaki itu
ambruk tak bernyawa.
.
Bersamaan ambruknya lelaki muda itu, jeritan mengerikan menggetarkan dari
seorang perempuan muda yang memondong bayi. Sialnya, jeritan itu jelas
didengar oleh begawan yang menggenggam pedang tadi, yang tertarik
mendekati perempuan muda dengan langkah perlahan.
.
"Jangan.. Jangan.. Kasihani dia.. " tanpa sadar Arya Dipa memohon agar
begawan itu tak menyakiti perempuan itu.
.
Tetapi Begawan itu tak menghiraukan suara Arya Dipa. Begawan itu terus
melangkah mendekati perempuan muda dengan mata bagai ingin melahap
nya tanpa tersisa. Dan sekali lagi sebuah tebasan mengerikan mengarah ke
tubuh perempuan muda tanpa ampun.
.
Tebasan itu awalnya mengarah tubuh depan perempuan yang memondong
bayi, tetapi perempuan itu bergerak memutar tubuh demi menghindari
tajamnya pedang mengenai bayi dalam pondongan. Sehingga punggung
perempuan muda-lah terkena sabetan pedang tajam menyilang panjang.
Darah seketika terpancar dari tubuh kecil langsing tak terbendung.
.
Walau begitu si perempuan di dalam rasa kesakitan masih terus memeluk bayi
dalam gendongannya. Melihat keuletan perempuan itu dalam
mempertahankan anak bayinya, Begawan tadi kembali menghujamkan
pedangnya berulang - ulang.
.
"Tidaaaaak.... !" teriak Arya Dipa demi melihat kekejaman Begawan.

"Hahaha... Itulah orang yang membunuh kedua putramu, anak muda. Apakah
kau membiarkan kekejaman yang ia lakukan ?" sebuah suara tiba - tiba
terdengar di telinga Arya Dipa.
.
"Siapa kau ?" desis Arya Dipa, tertuju ke suara tadi.
.
"Aku hatimu yang mencari keadilan, anak muda."
.
P a g e | 477

"Bohong...!" bantah Arya Dipa.


.
"Hehehe... " suara itu tertawa, lalu lanjutnya, "Bukalah matamu, anak muda.
Lihatlah yang dilakukan oleh Begawan itu...!"
.
Bersamaan usainya perkataan suara itu, di depan kembali terlihat kejadian
seperti apa yang dilihat Arya Dipa sejak awal. Kejadian mengerikan terulang
dan terulang sampai berkali - kali.
.
"Apa kau tega melihat orang tuamu diperlakukan seperti itu, anak muda ?"
kata suara tak nampak wujudnya, "Bila kau tak membalaskan dendam
kematian orang tuamu, kau memang binatang yang tak mempunyai hati
nurani..."
.
"Diam.. Diam.. Diam.. " teriak Arya Dipa seraya menyumbat kedua telinga
dengan kedua telapak tangannya.
.
Namun hal itu sia - sia belaka, suara itu tetap terdengar dan terus menyudutkan
Arya Dipa untuk membunuh Begawan itu.
.
"Pakailah ini... "
.
Tiba - tiba sebuah pedang sudah berada dalam genggaman Arya Dipa.
.
"Cepat bunuhlah dia. Cincang tubuhnya arang kranjang.. !" kembali suara itu
terdengar, "Bunuh.. Bunuh.. Bunuh.."
.
Suara yang terus membujuk Arya Dipa bagai mengandung kekuatan sihir.
Tubuh pemuda itu tak terkendali lagi oleh kesadarannya. matanya merah
membara dan tangannya semakin erat memegang pedang dan siap
mengayunkan ke tubuh Begawan.
.
Saat itulah, letupan cahaya bersinar terang dari hati kecil pemuda itu. Cahaya
welas asih dari kekuatan dirinya menyeruak membangkitkan kekuatan suci.
Tangan yang masih menggenggam pedang terayun deras, bukan ke
begawan tadi tetapi diayunkan ke samping kiri.

"Craaaas.... "
P a g e | 478

.
"Bangsat kau manusia.... !"
.
Umpatan mengerikan disusul dengan terbelahnya tubuh raksasa Bala Kala
terjadi setelah ayunan pedang ditangan Arya Dipa.
.
Kejadian itu membuat Nara Maya tersenyum dan mengangguk. Tanpa
berkata, raksasa alam putih itu terbang meninggalkan tempat itu, membubung
ke angkasa.
.
Sementara raksasa Bala Kala yang tubuhnya terbelah mulai memudar
wujudnya, disusul bergulungnya kedua alam menjadi satu dan
menghempaskan tubuh Arya Dipa ke alam kesadaran.
..............
"Akulah orang yang disebut Jambul Kuning, ngger."
.
Suara Begawan Bancak itu masih terngiang dengan jelasnya.
.
"Eyang... " desis Arya Dipa, "Oh Eyang... "
.
Arya Dipa menubruk tubuh kakeknya dengan eratnya, "Eyang, benarkah eyang
yang membunuh ayah dan ibu."
.
Pemuda itu menagis mencurahkan air mata bagai bendungan yang tak
mampu menahan lajunya air sungai, sehingga bendungan itu jebol. Dan itulah
luapan perasaan Arya Dipa berupa tangisan disertai pelukan kepada
eyangnya, satu - satunya keluarga yang tersisa.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 8 BAG 6
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
MALAM anggara manis, malam pertemuan kedua eyang dan cucu di luar
padukuhan Bungkul. Dua hati yang mengalami persamaan rasa cinta kasih
terpisah oleh masa, akhirnya Sang Batara menyambungkan dengan lancarnya
walau bayangan kelam menyelimutinya.
P a g e | 479

.
Awalnya secarik kertas tiada noda tinta terpercik walau setitik, tetapi
kelanjutannya secarik kertas itu dalam kodratnya harus menerima tetesan tinta.
Tinta beraksarakan perjalanan sang insan sesuai garis tangannya, akan tetapi
manusia itu sendirilah yang sebenarnya bisa merubah arahnya garis itu.
Tentunya garis itu ialah garis yang tak mutlak dari ketentuan Sang Nata.
.
Begitu juga halnya dengan Arya Dipa. Hidupnya sebatangkara karena sang
ayah dan ibu telah tiada akibat ulah eyangnya. Itu menurut cerita dari Resi
Puspanaga, seorang pertapa dari gunung Penanggungan. Apakah itu benar
atau Resi itu berbohong.. ?
.
Demi meyakinkan itu semua, kini saatnya Arya Dipa bisa bertanya kepada
eyangnya sendiri, yang mengalami kejadian masa lampau di puncak gunung
Bancak.
.
"Eyang, benarkah apa yang dituduhkan eyang Puspanaga terhadap diri eyang
?" tanya Arya Dipa, setelah mampu menguasai kesedihannya.
.
Angin malam berhembus sesuka hatinya, seolah tak menghiraukan orang -
orang itu. Dengan riangnya angin itu bermain - main menggerakan apa pun
yang ada dalam cakupannya. Sementara di langit sang bulan berbentuk sabit
acuh tak acuh dengan kejadian di buana, ia lebih senang bercengkrama
dengan bintang gemintang.
.
Helaan nafas mengawali Begawan Bancak atau Begawan Jambul Kuning
dalam menentukan apa yang akan ia sampaikan. Katanya dengan sareh,
"Angger, Dipa. Apa tanggapanmu dengan Resi Puspanaga ?"
.
Pertanyaan dari Begawan Jambul Kuning tak terduga sebelumnya oleh
pemuda itu. Sekilas raut wajah Arya Dipa bergelombang dengan alis
mengernyit.
.
"Maksud, eyang ?"
.
"Tidak, aku hanya ingin mendengar darimu. Menurut pengenalanmu, seperti
apa Resi Puspanaga ?"
P a g e | 480

Sejenak Arya Dipa terdiam demi mencerna maksud yang terkandung dari kata
eyangnya itu. Dalam ingatannya dan pengenalannya, Resi Puspanaga
seorang Resi yang bijaksana dan cermat
.
"Eyang, Resi Puspanaga bagiku sudah aku anggap eyang sendiri dan
merupakan seoranga yang mendidik cucumu ini dalam menempatkan letak
sesungguhnya di buana ini."
.
"Buana manakah itu, ngger ?"
.
"Buana sesungguhnya, eyang. Buana sebagai ladang dalam menanam padi
sebanyak - banyaknya dan menjaga tanaman itu dari hama berupa nafsu
yang berlebihan."
.
Begawan Jambul Kuning menghela nafas lega. Kakek itu bersyukur dengan
perbuatan yang dilakukan oleh sahabat mudanya itu, terhadap cucunya. Tak
jauh dari kedua eyang dan cucu, Begawan Kakrasana ikut senang mendapati
kejadian yang tak ia sangka - sangka itu. Begitu juga dengan Windujaya.
.
"Apakah itu saja, ngger ?" kembali Begawan Jambul Kuning bertanya.
.
Arya Dipa mendongak menatap bulan sabit di langit, bibirnya tersenyum, "Bila
aku ucapkan, malam ini tak akan selesai, eyang. Eyang Puspanaga banyak
sekali memberikan aku petuah - petuah disetiap waktunya. Dan saat pertama
aku mendapatkan dasar ilmu darinya, ia menanyakan apakah aku akan
menggunakan ilmuku untuk membunuh eyangku sendiri ?"
.
Sejenak pemuda itu berhenti untuk mencari kesan dari raut wajah eyangnya,
lalu katanya dengan tegas, "Tidak... Begitulah yang aku jawab, eyang. Tetapi
eyang Puspanaga tak diam sampai disitu saja. Ia memintaku untuk
menguraikan alasan dari jawabanku itu."
.
Dengan sungguh - sungguh Begawan Jambul kuning serta Begawan Kakrasana
dan Windujaya mendengarkan perkataan dari Arya Dipa.

"Seperti aku katakan kepada eyang tadi. Aku tak akan membunuh eyangku
meskipun eyang telah membunuh ayah Wila dan ibu Dyah Ratna. Kerana apa
? Pertama, ayah dan ibu tak akan hidup lagi dan kedua, hal itu semakin
P a g e | 481

memburamkan garis keluarga eyang."


.
"Kau memang seorang ksatria, Dipa !" seru sosok yang muncul dari balik pohon
disertai dua orang lelaki.
.
"Kau Puspanaga.. !" seru Begawan Jambul Kuning.
.
Sosok itu memanglah Resi Puspanaga dan kedua muridnya, Palon dan Sabdho.
Dan kemunculan ketiganya membuat orang - orang kaget, karena mereka tak
menyadari keberadaan mereka.
.
"Sehatkah kau Arya Bancak dan adi Brajang Mas ?" tegur Resi Puspanaga,
sambil tersenyum ke arah Arya Dipa dan Windujaya.
.
"Apakah kau masih menuduhku melakukan tindakan keji terhadap kedua anak
dan menantuku itu, Puspanaga ?!"
.
Resi Puspanaga tak langsung menanggapi. Orang tua itu berusaha mendekat
dengan santainya, diiringi Palon dan Sabdho.
.
"Sebaiknya adi Brajang Mas mempersilahkan kami singgah di gubuknya." kata
Resi Puspanaga sembari menoleh ke Begawan Kakrasana.
.
"Tunggu dulu... " kata Begawan Jambul Kuning, tetapi tak dilanjutkan karena
adanya isyarat dari adik seperguruannya.
.
"Masuklah, kakang Resi. Begitu juga dengan kakang Bancak dan yang lainnya.
Malam sudah menggelincir semakin mendekati dini hari." ajak Begawan
Kakrasana.
.
Resi Puspanaga mengikuti langkah Begawan Kakrasana. Sementara Begawan
Jambul Kuning masih ragu - ragu, tetapi segera digamit oleh Arya Dipa, "Mari,
eyang.."

Di dalam gubuk semua orang duduk di amben besar. Suasana dalam gubuk
masih terasa ketegangan. Dan Begawan Kakrasana sebagai tuan rumah
berusaha mencairkan dengan melempar guraun.
.
P a g e | 482

"Aku tak mengira jika macan ompong berkumpul disini seperti ini... hehehe.. "
.
"Benar adi Brajang Mas, tetapi macan itu ada perbedaannya. Yaitu dua
macan dari istana keraton, dan satunya lagi macan yang benar - benar dari
pucuk gunung." sahut Resi Puspanaga, "Tetapi untungnya kita sudah
menyiapkan macan - macan perkasa di masa mendatang."
.
"Kau salah, kakang Resi. Aku belum menemukan macan itu, padahal
dahulunya ia mampu kuhandalkan." kata Begawan Kakrasana, suaranya
mengandung kegetiran.
.
"Ah sudahlah, adi. Anakmu sudah tenang di alam kelanggengan, aku yakin ia
selalu menatap bangga terhadapmu." Resi Puspanaga.
.
Sementara itu Begawan Jambul Kuning masih terdiam membisu.
.
"Arya Bancak, apakah kau masih membenciku ?" tanya Resi Puspanaga.
.
"Huh.. " desuh Begawan Jambul Kuning.
.
Resi Puspanaga menghela nafas, ia mengerti keadaan sahabatnya itu. Untuk
itulah ia berkata, "Maafkan atas ketidak percayaanku kepadamu waktu itu.
Sekarang aku akan menerangkan dengan jelas kepadamu dan kepada Arya
Dipa, mengenai peristiwa di puncak gunung Bancak."
.
"He... " seru sekalian orang.
.
Kemudian Resi Penanggungan itu menceritakan semua yang ia ketahui.
Peristiwa yang membuat suramnya gunung Bancak, sedikit demi sedikit terkuak
semakin terang

"Begitulah. Sehingga pertamanya aku menuduh dirimu yang melakukannya,


karena kau dan orang itu serupa." kata Resi Puspanaga mengakhiri ceritanya.
.
"Apakah kakang Bancak tak mengetahui orang itu ?" tanya Begawan
Kakrasana.
.
Begawan Jambul Kuning menggeleng, "Tidak.. Ayah Pangeran tak pernah
P a g e | 483

berkata, begitu juga ibu."


.
Disebutnya ayah Pangeran oleh Begawan Jambul Kuning, membuat Arya Dipa
bertanya - tanya. Siapa sebenarnya eyangnya ini ? Tetapi iti semua masih ia
simpan sampai urusan yang disampaikan oleh eyang Puspanaga bisa sedikit
terang.
.
"Orang itu berada di antara pasukan Bang Wetan. Dan dialah otak dari semua
serangan pasukan wetan." kembali Resi Puspanaga.
.
Begawan Jambul Kuning menatap Arya Dipa, "Sekarang kau mendengarnya
Arya Dipa. Aku Jambul Kuning tak melakukan tindakan keji itu, melainkan yang
melakukan itu ialah orang yang mirip denganku. Entah benarkah ia
kembaranku, aku sendiri tak banyak mengetahui. Karena yang aku tahu,
ayahku Pangeran Banyak Paguhan hanya memiliki anak tunggal saja."
.
"Jadi eyang juga bangsawan Kadiri.. "
.
"Hm.. Tetapi aku menolak saat Prabu Giriwardhana menggempur Wilatikta,
sehingga ia mengasingkan keluargaku ke sekitar gunung Bancak yang masih
hutan belantara itu."
.
"Hm.. Terima kasih atas kemunculanmu kali ini, Puspanaga. Sehingga aku dan
cucuku ini tak ada lagi mengandung rasa syah wasangka." ucap Begawan
Jambul Kuning atau raden Arya Bancak.

"Ah sudahlah, Arya Bancak. Peemasalahan itu sekarang sudah usai. sekarang
sebaiknya kita menitik beratkan masalah yang akhir - akhir ini menyerabak."
.
"He.. Apa itu ?" Begawan Jambul Kuning heran.
.
"Pusaka dan harta di aliran sungai Brantas.. "

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 8 BAG 7
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
P a g e | 484

::::::::::::::::::::::::::::::
TERNYATA desas - desus mengenai pusaka dan harta peninggalan seorang
bangsawan Wilatikta, sudah menyerebak ke berbagai lapisan negeri. Mulai dari
bangsawan, golongan kanuragan dan kawula biasa. Semuanya selalu
menyinggungnya dan tak sedikit ingin mendapatkan benda itu.
.
"Kebanyakan dari mereka golongan kanuragan dari bang wetan, sementara
dari bang tengah hanya tiga empat orang saja." kata Resi Puspanaga,
menjelaskan.
.
"Hm.. Kau juga tertarik, Puspanaga ? sampai - sampai kau turun gunung ?" sindir
Begawan Jambul Kuning.
.
"Ah.. Bagiku semuanya itu sudah bukan urusanku pagi, Arya Bancak.
Kepergianku dari pertapaan sebenarnya hanya menyelidiki dirimu dan orang
yang berwajah sama denganmu itu." kata Resi Puspanaga, "Tetapi, semakin
aku ke barat telingaku tanpa sengaja mendengarkan setiap orang
membicarakan pusaka dan benda itu."
.
"Apakah kakang Resi mengetahui siapa sebenarnya yang menyimpan pusaka
dan benda itu ?" tanya Begawan Kakrasana, "Tadi angger Arya Dipa
menyebutkan kalau orang itu masih mempunyai sangkut paut dengan
bangsawan Wilatikta."
.
Resi Puspanaga dan Begawan Jambul Kuning menggeser tempat duduknya,
demi mendengar apa yang diutarakan oleh Begawan Kakrasana dari Arya
Dipa.
.
"Kau mengetahui dengan pasti, angger Dipa ?" tanya Resi Puspanaga.
.
Arya Dipa mengangguk perlahan, "Demikianlah, eyang. Waktu aku bermalam
di pesisir Gunung Kidul, di sebuah gua ada sebuah lambang lencana Surya
Kencana."
.
Resi Puspanaga dan Begawan Jambul Kuning saling berpandangan. Seingat
keduanya di masa Demak ini yang mereka ketahui mempunyai lencana Surya
Kencana hanya segelintir orang saja. Yaitu Kanjeng Sunan Kalijaga, Raden
Buntaran dan Pangeran Windujati.
P a g e | 485

.
Bila dipikir secara cermat, tak mungkin itu tindakan dari Kanjeng Sunan Kalijaga,
karena putra Tuban itu lebih memusatkan dengan penyebaran agama baru di
tanah jawa. Lalu selanjutnya Raden Buntaran, tokoh ini sudah lama tinggal di
bang tengah dengan mendirikan padepokan di Karang Tumaritis dengan gelar
Panembahan Ismaya. Terakhir ialah Pangeran Windujati, seorang bangsawan
yang menjauhi dunia pemerintahan dan menetap di sebuah tempat yang sulit
dijangkau, Dan menurut warta ia telah kembali ke alam kelanggengan dengan
meninggalkan seorang murid yang dikenal sebagai orang bercambuk.

Semuanya masih gelap adanya. Resi Puspanaga, Begawan Jambul Kuning dan
Begawan Kakrasana tak dapat membuka tabir tebal itu. Dan malam semakin
larut, maka mereka pun beristirahat membaringkan tubuh mereka.
..........................
Kokok ayam hutan bersahutan mengawali pagi yang cerah. Sinar mentari
memancar ke segala penjuru memberikan penerengan. Alam pun mulai
bersemarak meramaikan buana raya sesuai kodratnya.
.
"Biarkan mereka saling berebut harta dan pusaka itu." desia seorang pemuda
berwajah lancip dengan jenggot tipis menghiasi dagunya.
.
"Sebenarnya apa dari maksudmu ini, Sanjaya ?" tanya Bango Banaran.
.
Kau nantinya akan mengerti, Bango Banaran. Kita akan melihat permainan
mengasyikan di pinggir kali Brantas.. Hahaha." kata Sanjaya diiringi tawa
gemuruh.
.
"Hm.. Pasti yang ia harapkan akan terjadinya kerusuhan yang melibatkan
banyak orang. Pinggiran kali Brantas akan tercemar oleh puluhan darah." batin
Bango Banaran.
.
Mereka adalah Sanjaya dan kedua kawannya, Duaji dan Bango Banaran.
Ketiganya sebelumnya bersama dengan Ki Widarba, Ganggang Keling dan ki
Pandak Wengker. Namun setelah di timur Gunung Kidul, mereka berpisah
menjadi dua bagian dengan jalur perjalanan yang berbeda.
.
Ki Widarba dan kedua kawannya berjalan melewati kadipaten Ponorogo,
sementara Sanjaya bersama yang lainnya terus melewati pesisir dan nantinya
P a g e | 486

akan ke Kadiri.Dan pagi itu mereka sampai di lereng gunung Kelud, sebuah
gunung yang menyimpan kekuatan dahsyat di dalamnya.
.
"Dia tidak ada, denmas." kata Duaji yang baru tiba.
.
"Kau mencari siapa, Sanjaya ?" tanya Bango Banaran.
.
"Resi Gangsiran. Aku mengharap ia mau membantu kita." jawab Sanjaya.
.
Bango Banaran tak mengerti jalan pikiran dari pemuda ini. Bukankah kelompok
ini sudah tergolong besar dengan bergabungnya ki Widarba dari Jipang,
Gonggang Keling dari pulau Karimun, dan ki Pandak Wengker dari Ponorogo.
Kini malah mau mengajak seorang Resi dari gunung Kidul.
.
"Sanjaya, bukankah kelompok kita sudah besar ? Mengapa kau masih ingin
menambah lagi ?"

Sanjaya tersenyum sejuta arti. Pemuda satu ini memang sulit dimengerti jalan
pemikirannya. Tetapi setiap langkahnya mengandung pertimbangan yang
mapan. Dan karena kelihaiannya inilah, ia mampu memperdaya gurunya untuk
mau mendidiknya.
.
Pemuda itu merenung sesaat, lalu, "Apa boleh buat, ia tak ada ditempat. Kita
langsung ke kali Brantas."
.
Ketiganya meloncat menaiki kuda dan melecut kuda supaya segera berjalan.
Kuda itu pun berjalan menyusuri jalan setapak di lereng gunung Kidul.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 8 BAG 8
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
DEBU dari bekas pijakan kaki kuda menyisakan jejak yang diteliti oleh seorang
lelaki berjambang. Lelaki itu memperhatikan dengan cermat jejak yang baru
saja ditinggalkan kurang dari sepengunyah sirih. Ternyata lelaki ini ahli dalam
meneliti jejak dan mampu memperkirakan waktu dari bekas jejak tersebut.
P a g e | 487

.
"Apa yang kau temukan, Widura ?" seorang lelaki paruh baya bertanya kepada
lelaki berjambang.
.
Masih dengan menyentuh tanah, lelaki berjambang itu menjawab, "Tiga kuda
baru saja melewati jalan setapak ini, ki Lurah."
.
"Mungkinkah itu mereka ?"
.
"Pemuda licik itukah yang ki Lurah maksudkan ?" Widura bertanya balik.
.
"Hm.. Iya, Widura. Pasti itu dia dan kedua pengikutnya." jawab lelaki paruh baya
sambil bersedekap.
.
"Lalu apa yang akan ki Lurah lakukan untuk selanjutnya ?"
.
"Kita hanya ditugaskan untuk mengikutinya dan memberi laporan kepada
Pangeran Singasari." lelaki itu berhenti bicara seraya mengernyitkan alisnya.
.
"He.. Widura, lihat itu mereka !" kembali lelaki paruh baya itu berkata dengan
menunjuk ke arah bawah lembah.
.
"Kita susul mereka." serunya.
.
"Mari ki Lurah."
.
Keduanya bergegas menaiki kuda yang sebelumnya telah mereka
sembunyikan di balik semak - semak, dan segera menyusul ketiga orang
berkuda di bawah lembah.
.
Widura dan lelaki paruh baya itu selalu menjaga jarak dengan ketiga orang
berkuda di depan. Semakin lama mereka memasuki padukuhan yang cukup
ramai, dan hal itu memudahkan Widura dan lelaki paruh baya dalam
melakukan pengawasan.
.
"Mereka sepertinya akan memasuki kedai, ki Lurah." kata Widura manakala
memperhatikan ketiga penunggang kuda di depan membelokan kuda ke
dalam halaman kedai.
P a g e | 488

"Hm.. kita tunggu di tempat orang jualan dawet itu saja."


.
"Ah, mengapa kita tidak masuk saja, ki Lurah ?" Widura mencoba mengajak
masuk ke kedai, "Siapa tahu kita dapat mendengarkan mereka membicarakan
pusaka dan harta itu ?"
.
Lelaki paruh baya yang dipanggil ki Lurah itu tetap menolak, "Dia tak akan
membicarakan pusaka dan harta karun itu. Kita ke tempat orang jualan
dawet."
.
Meskipun mengikuti langkah kuda yang ditunggangi oleh lelaki paruh baya,
tetapi dalam hati Widura masih mengeluh dengan sikap atasannya itu.
.
"Ki Lurah Sempono terlalu takut dikenali oleh mereka." gerutunya.
.
Sementara ketiga orang yang masuk ke dalam kedai ialah, Sanjaya dan kedua
kawannya. Karena perut sudah kluruk meminta makan, maka ketiganya
memutuskan mencari warung atau kedai di padukuhan tersebut.
.
"Selamat datang di kedai kami, denmas dan tuan sekalian." sambut seorang
pelayan sambil mengambil alih ketiga tali kendali kuda.
.
Sanjaya dan kedua kawannya menyerahkan tali kendali kuda ke pelayan itu,
untuk diikatkan ke tonggak yang sudah tersedia.
.
"Beri makanan dan minuman terbaik untuk kuda - kuda kami." Sanjaya meminta
perawatan untuk kuda tersebut.
.
"Baik denmas."
.
Ketika pelayan kedai membawa ketiga kuda, seorang pelayan lainnya berlari
dari dalam kedai dan menyongsong kedatangan Sanjaya.
.
"Mari - mari silahkan masuk tuan." sambut pelayan kedai itu.
.
"Siapkan makanan paling enak di kedai ini." kali ini Bango Banaran yang
memesan.
P a g e | 489

.
"Baik, tuan. mohon tunggu sejenak." sahut si pelayan kedai dan berlari menuju
ruang dalam.

Setelah kepergian pelayan itu, Sanjaya dan kedua kawannya mengambil


tempat duduk di bangku agak besar, berada di tengah ruangan, karena
bangku itulah yang tersisa. Ternyata kedai di pagi menjelang siang itu ramai
penuh pelanggan. Entah dari penghuni padukuhan maupun orang - orang
yang berlalu lalang melewati padukuhan itu.
.
Di bangku pojok, seorang bermata tajam selalu memperhatikan ke arah
bangku Sanjaya. Orang itu molotot tajam saat memperhatikan telapak luar
Sanjaya.
.
"Bandu, orang yang kita cari ada disini." desis orang bermata tajam.
.
"He, mana kakang ?"
.
"Di bangku tengah, orang termuda dengan pakaian hijau pupus itu." kata
orang bermata tajam, lalu lanjutnya, "Cepat kau lapor guru."
.
Orang bernama Bandu itu lekas berdiri dan keluar dari kedai tanpa membuat
Sanjaya dan kawannya curiga.
.
Sementara orang bernama Bandu meninggalkan kedai, pelayan kedai sudah
menghidangkan makanan paling enak yang tersedia di kedai tersebut.
.
"Silahkan, tuan. Jika perlu sesuatu panggil kami."
.
"Hm.. " desuh Bango Banaran sambil menggerakan tangan tanda menyuruh
pelayan itu pergi.
.
Ketiganya lantas menikmati hidangan tanpa mengawatirkan kejadian yang
akan terjadi di kedai tersebut. Sedangkan di bangku pojok, orang bermata
tajam terus mengawasi Sanjaya dan kawan - kawannya.
.
"Mimpi apa aku tadi malam, tak ku sangka aku akan mendapat hadiah dari
guru." batin orang itu.
P a g e | 490

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 8 BAG 9
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
ORANG bermata tajam yang masih mengawasi Sanjaya, terbuai oleh angan -
angannya. Sudah terbayang akan hadiah yang dijanjikan oleh gurunya. Tanpa
disadari orang yang harus ia awasi telah meninggalkan tempat tanpa ia
ketahui.
.
"He, mana dia ?" orang itu berdiri kebingungan.
.
"Ki Werdi !" panggilnya kepada pemilik kedai.
.
Pemilik kedai bergegas mendekati orang bermata tajam, "Ada yang bisa saya
bantu, anakmas Putut Pinuluh ?"
.
"Kemana ketiga orang yang berada di bangku tengah tadi ?!"
.
"O.. Ia sudah keluar mengarah jalan utama, anakmas."
.
"Hm.. " desuhnya sambil merogoh uang dan meletakan di meja. Lalu bergegas
keluar seraya berkata, "Ambil kembaliannya.."
.
"Terima kasih, anakmas." ucap pemilik kedai sambil menatap kepergian orang
bermata tajam.
.
Di luar kedai, orang bermata tajam atau Putut Pinuluh bergegas menaiki kuda
dan melarikan kudanya bagai angin. Debu yang ditinggalkan membuat orang
yang lalu lalang memaki walau hanya dalam hati. Kudanya terus ia larikan
hingga akhirnya sampai di persimpangan jalan.
.
"Setan alas... !" umpat seseorang dengan kasarnya, "Matamu sudah lamur he,
Pineluh ?!"
.
"Maaf, kakang Jenggala." ucap Putut Pineluh yang menarik kekang kudanya.
P a g e | 491

.
Hampir saja kuda yang ditunggangi oleh Putut Pineluh melanggar iringan kuda
yang muncul dari arah kanan persimpangan, jikalau semua penunggangnya
tak mampu mengendalikan kuda - kuda mereka.
.
"Mau kemana kau ?"
.
"Sanjaya meninggalkan kedai, kakang."
.
"He, kemana ?"
.
"Entahlah, tapi kemungkinan terbesar ia menghindari padepokan kita."
.
Orang yang disebut Jenggala itu terlihat berpikir sejenak, lalu katanya, "Ayo kita
kejar lewat jalan utama saja !"

Maka mereka segera melarikan kuda mereka ke jalan utama demi mengejar
orang yang diinginkan oleh guru mereka. Dengan memacu kuda secepat -
cepatnya, iringan itu akhirnya melihat titik - titik kuda di dapannya.
.
"Itu mereka !" seru Putut Jenggala.
.
Dan kuda mereka pun dapat menyusul dua kuda di depannya.
.
"Berhenti.. !" seru PututJenggala.
.
Kedua penunggang itu heran dengan teriakan dari belakang mereka. Walau
begitu kedua penunggang kuda itu tetap memacu kudanya dengan pelan.
.
"He, berhenti... !" sekali lagi Putut Jenggala berteriak lebih keras dari
sebelumnya.
.
"Kita ikuti permintaan mereka, Widura." desis penunggang kuda hitam legam.
.
Orang yang dipanggil Widura menganggung dan menarik tali kekang kudanya
perlahan.
.
"Selamat siang, kisanak semua. Adakah sesuatu yang barang kali bisa saya
P a g e | 492

bantu ?" kata penunggang kuda hitam legam, ki Lurah Sempono.


.
"Oh.. " desuh Putut Pineluh, lalu melangkahkan kuda mendekati kuda Putut
Jenggala, "Bukan mereka kakang."
.
Putut Jenggala menatap lekat - lekat mencari ketegasan dari adik
seperguruannya, dan setelah yakin ia mulai berkata kepada ki Lurah Sempono
dan Widura, "Oh.. Maafkan kami, kisanak. Kami salah orang, silahkan teruskan
perjalanan kalian."
.
Hampir saja Widura akan berbicara andai tidak segera didahului oleh ki Lurah
Sempono, "Baiklah, kisanak. Tak mengapa."
.
Maka iringan Putut Jenggala kembali membedal meninggalkan ki Lurah
Sempono dan Widura, untuk kembali mengejar orang yang dituju.
.
"Ki Lurah membiarkan kelima orang padukuhan itu ?" gerutu Widura.
.
"Sudahlah, sepertinya mereka juga berurusan dengan pemuda licik itu." desis ki
Lurah Sempono, lalu lanjutnya, "Kita lihat apa yang akan terjadi."
.
Widura hanya menghela nafas. Sebenarnya ia sudah bosan mengikuti langkah
pemuda yang menyimpan seribu rahasia itu. Widura merasakan lebih tenang
jika berada di Purbaya ikut berperang melawan pasukan Demak saja daripada
berurusan dengan pemuda itu. Tetapi semuanya sudah perintah dari kepala
kesatuannya dan tak bisa diganggu gugat, kalau ia tak ingin kepalanya
digantung.

Kemudian ia pun mengikuti perbuatan ki Lurah Sempono, yaitu memacu


kudanya. Jalan - jalan yang awalnya lebar menjadi semakin kecil dan menciut
sebatas satu gerobak saja. Di kanan kiri jalan sawah membentang dengan
tanaman jagung di akhir musim penghujan.
.
Dan saat itulah terdengar adanya ribut - ribut di balik kelokan jalan.
.
"Berhenti.. " desis ki Lurah Sempono, "Sembunyikan kuda dan kita lihat apa yang
sedang terjadi."
.
P a g e | 493

Widura dengan cekatan mengambil alih kuda ki Lurah Sempono dan segera
membawanya memasuki lebatnya pohon jagung setinggi orang itu. Di
sembunyikanlah kedua kuda di tengah pohon jagung, kemudian lekas kembali
ke tempat dimana ki Lurah Sempono berada.
.
"Hati - hati dan jangan berbuat apa pun."
.
Widura mengangguk dan kemudian mengikuti langkah ki Lurah Sempono, yang
sangat hati - hati menyibak lebatnya pohon jagung. Dan ternyata dari balik
pohon jagung, mereka melihat orang - orang yang menghentikan tadi sedang
berselisih paham dengan Sanjaya.
.
"Aku tak mempunyai waktu untuk mengunjungi gurumu, Jenggala." kata
Sanjaya.
.
"Kau akan memutus hubungan yang akan disambungkan oleh guru, Sanjaya ?"
Putut Jenggala bertanya dengan kerasnya.
.
"Huh, itu hanya sepihak saja. Dan belum tentu Sri Tanjung setuju."
.
"Kau.. " tapi suara Putut Jenggala belum selesai..
.
"Hahaha.. Bukankah kau juga menginginkan gadis putri gurumu itu, Jenggala ?"
potong Sanjaya, "Aku rela jika kau akan menikahinya, dan sudi kiranya jika kau
mau menjadikan jabang bayi dalam kandungannya itu layaknya anakmu
sendiri."
.
Muka Jenggala memerah penuh kemarahan. Begitu halnya dengan Putut
Pineluh dan kawan - kawannya.
.
"Serigala kau Sanjaya !" teriak Putut Jenggala.
.
Sanjaya menoleh kepada Duaji dan Bango Banaran dengan senyum
mengembang, "Kalian dengar bukan, mereka menyebutku serigala.. hahaha,
keliru aku adalah naga perkasa... hahaha... "

PANASNYA LANGIT DEMAK


P a g e | 494

JILID 8 BAG 10
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
PERNYATAAN dari Sanjaya berupa penyombongan diri sendiri, tak dapat lagi
Putut Jenggala menahan diri. Isyarat tangan sudah ditunjukan sebagai perintah
kepada saudara seperguruannya untuk menyelesaikan masalah dengan
kekerasan.
.
"Usahakan tangkap mereka hidup - hidup !" seru Putut Jenggala.
.
Kelima saudaranya langsung mengepung tiga orang yang dipimpin oleh
Sanjaya yang masih duduk di punggung kuda dengan tenangnya. Sanjaya
dan kedua kawannya tiada menunjukan ketegangan dalam raut mukanya,
seakan mereka hanya berjumpa kawan bermain saja.
.
"Lihatlah ketenangan pemuda itu dalam menyikapi keadaan." desis ki Lurah
Sempono di balik lebatnya pohon jagung.
.
Widura yang berjongkok di sebelah ki Lurah Sempono hanya terdiam saja
tanpa menyahuti. Lelaki berjambang itu berharap pemuda Sanjaya mendapat
hajaran dari orang - orang yang mengejarnya.
.
Di tengah jalan ketegangan makin memuncak. saudara seperguruan Putut
Jenggala mulai mencabut senjata mereka dari sarungnya. Senjata itu
kemudian bergerak penuh ancaman, walau masih di depan tubuh masing -
masing.
.
"Bango Banaran dan Duaji, terpaksa perjalanan kita terhambat dengan
adanya kelinci - kelinci ini. Mari kita turun supaya kuda kita tak mengalami
masalah." kata Sanjaya dan langsung turun dari kuda diikuti oleh Bango
Banaran dan Duaji.
.
"Tangkap mereka !" seru Putut Jenggala.
.
Selanjutnya perkelahian tak dapat dihindari lima orang melawan tiga orang
dalam kepungan. Namun ternyata ketiga orang dalam kepungan memiliki
kemampuan yang mumpuni, sehingga berhasil menerobos kepungan seraya
P a g e | 495

dapat membuat tiga orang pengepung terjungkal.


.
Putut Jenggala melihat saudara seperguruannya dapat dengan mudah
dihempaskan lawan, lantas ikut menerjunkan diri menghadapi Sanjaya.
Pemuda yang harus ia tangkap untuk mempertanggungjawabkan tindakannya
terhadap putri gurunya, seorang gadis yang sebenarnya membuat hatinya
terpikat juga.
.
"Jenggala, kau sudah bosan hidup ?" tanya Sanjaya, "Pergilah sebelum aku
berubah pikiran !"
.
Muka Putut Jenggala bagai kepiting rebus, dirinya seorang lelaki penuh harga
diri dan kini lawannya meremehkan kemampuan kanuragannya. Tangannya
langsung ia gerakan mengarah lambung lawan, saat itu juga lawan dapat
mengetahui serangannya dan akan mementahkan, tetapi itu sudah
diperkirakan oleh Putut Jenggala. Tangannya ia tarik dengan cepat berganti
dengan sodokan siku kaki kiri. Sekali lagi lawan dapat membaca serangannya
dengan menempatkan kedua tangan melindungi tubuh yang akan terkena
sodokan.
.
Secepat kilat serangan Putut Jenggala berubah lagi bersamaan dengan kaki
kanan mengisar ke samping, terus langsung memutar memukul tengkuk lawan.
Tiga kali serangan selalu mengarah titik mematikan tubuh Sanjaya, ini
menunjukan kemampuan Putut Jenggala tak buruk, malah dengan dukungan
kesebatan gerak dan pola pikirnya cepat menandakan Putut Jenggala
seorang pemuda yang tekun dalam mempelajari tata kanuragan.

Serangan Putut Jenggala kurang seruas tangan lagi mengenai tengkuk


Sanajaya, dan entah bagaimana tengkuk itu lenyap bagai angin.
.
"He.. " kejut Putut Jenggala.
.
Tetapi pemuda itu tak sempat terus menunjukan keterkejutannya, karena ia
merasakan desir angin mengancam batok kepalanya.
.
"Haaiit.. ! seru Putut Jenggala sambil menggulingkan tubuhnya menghindari
serangan lawan.
.
P a g e | 496

Apa yang sebenarnya terjadi ?


.
Sewaktu tangan Putut Jenggala hampir mengenai tengkuk Sanjaya, pemuda
penuh seribu rahasia itu menotolkan kaki untuk melenting ke depan sekali, lalu
masih menggunakan tenaga tumpuan di kaki dengan cepat kembali
melenting berputar diudara sambil membuka telapak tangan. Dan telapak
tangan yang dilambari tenaga dahsyat inilah mengancam batok kepala Putut
Jenggala.
.
"Byaaar... !"
.
Tanah di bawah tempat Putut Jenggala berdiri sebelumnya, amblong seukuran
tangan menyisakan asap mengepul.
.
Semua orang yang melihat kedahsyatan akibat telapak tangan Sanjaya, bagai
terpana dan detak jantung mereka seakan berhenti sesaat.
.
Di balik pohon Jagung Widura menganga tanpa sadarnya, "Ki Lurah, ilmu apa
itu tadi ?"
.
Ki Lurah Sempono yang ditanya menggelengkan kepala, "Aku kurang
mengenalinya, Widura. Telapak tangan itu tak ada perubahan sama sekali
layaknya aji Hasta Dahana atau Tapak Geni."
.
Sementara itu Sanjaya membiarkan lawannya mempertimbangkan langkah
selanjutnya. Pemuda itu hanya berdiri tersenyum penuh kemenangan. Dalam
hatinya ia memastikan lawannya itu pasti tertekan dengan ilmu yang baru saja
ia terapkan tadi.
.
Kenyataan yang dihadapi oleh Putut Jenggala tak berbeda jauh dengan apa
yang mampu dibaca oleh lawannya. Ia tak mengira jika lawan yang sebaya
dengannya mampu mengungkap aji mendebarkan dan ganas seperti itu. Tidak
seperti Sanjaya yang ia kenal setahun terakhir, dimana pemuda itu sangat
lemah dan tak menunjukan adanya ilmu dalam tubuhnya. Tetapi sekarang
pemuda itu benar - benar macan gembong yang mempermainkan
mangsanya.
.
Sejenak Putut Jenggala memperhatikan keadaan sekitarnya, dimana
P a g e | 497

saudaranya pun juga tak mampu memberi tekanan terhadap lawan. Satu dua
orang terlihat sudah rebah tak berkutik, entah mereka masih hidup ataukah
sudah mati.
.
"Jenggala, ingatlah. Seorang gadis menunggu seorang ayah untuk memberi
perlindungan bagi calon buah hatinya. Kau sangat cocok menggantikan diriku
sebagai ayah calon bayi itu. Dan bukankah kau sudah memimpikan sejak
dahulu untuk menjadi pendamping gadis itu ?" kata Sanjaya, tetapi nada
suaranya mengandung sesutu yang sangat menyakitkan bagi Putut Jenggala.

Diungkitnya perasaan terhadap gadis putri gurunya, membuat hati Putut


Jenggala bagai tergores tajamnya pisau belati. Bagaimana tidak, gadis yang ia
cintai telah direnggut kehormatannya oleh pemuda di depannya . Awalnya
Putut Jenggala merelakan andai Sanjaya mau bertanggung jawab atas
tindakannya terhadap Sri Tanjung, karena gadis itu pun mencintai Sanjaya.
Namun seiring berjalannya waktu, kebusukan Sanjaya mulai terlihat dengan
jelas dan apalagi saat ini semakin nyata sikap yang ditunjukan oleh Sanjaya.
.
Kepedihan rasa kini berganti menjadi luapan amarah menggelayuti hati Putut
Jenggala. Cintanya memang bertepuk sebelah tangan. Tetapi bila sang
pujaan hidup bahagia, ia tentu juga mengharapkan dan merelakan. Tetapi itu
semua bagai mimpi saja, karena orang yang ia kira dapat membahagiakan
sang pujaan, ternyata tak lebih serigala berbulu domba.
.
"Kau keterlaluan, Sanjaya !"
.
Putut Jenggala siap mengungkap ilmunya untuk menghadapi manusia busuk
itu. Loncatan panjang Mengawali serangan pamungkasnya.
.
"Wuuuuss..... !"
.
Sesosok tubuh menyambar tubuh Putut Jenggala dan meletakan tubuh itu
dipinggir jalan.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 8 BAG 11
OLEH : MARZUKI
P a g e | 498

::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
ORANG yang menyambar tubuh Putut Jenggala perlahan melepaskan
tangannya dari tubuh Putut itu. Di tatapnya Putut Jenggala di sampingnya
dengan tajamnya, seolah mengatakan kalau ia tak menyukai tindakan yang
dilakukan oleh pemuda itu.
.
"Gu..ru." desis Putut Jenggala dengan nada bergetar dan menundukan kepala.
.
"Hm, mengapa kau bertindak sendiri tanpa melaporkan kepadaku, Jenggala ?"
tanya orang itu.
.
Putut Jenggala bingung harus bicara apa kepada gurunya itu. Maka ia hanya
menunduk saja tak berani memandang wajah orang yang ia hormati itu.
.
Sejak kemunculan orang tua itu, perkelahian langsung terhenti dan para
saudara Putut Jenggala mundur semua. Sementara Sanjaya dan kawannya
hanya membiarkan saja menunggu perkembangan selanjutnya.
.
"Oh.. Paman Trunalaya, semakin hari semakin gagah perkasa...!" seru Sanjaya
kepada orang yang baru datang itu.
.
Teguran dari Sanjaya sejenak tak dihiraukan oleh ki Trunalaya. Orang tua itu
masih sibuk memberi teguran kepada murid - muridnya yang bertindak tanpa
ia ketahui. Setelah itu barulah orang tua itu memandang Sanjaya yang berdiri
bersedekap.
.
"Anakmas Sanjaya, maafkan penyambutan murid - muridku ini. Tetapi
semuanya hanyalah salah paham semata." ucap ki Trunalaya, "Mari singgah ke
padepokan, di sana kita bisa berbicara panjang lebar. Bukankah anakmas
sudah rindu dengan anak bengal itu ?"
.
Sanjaya menghela nafas, "Terima kasih, paman Trunalaya. Sedikit pun aku tidak
merasa sakit hati dengan apa yang ditunjukan oleh Jenggala. Malah
permainan tadi membuat urat - uratku agak mengendor, setelah sekian lama
tak bergerak."
.
"Tetapi untuk saat ini aku tidak bisa mengunjungi padepokan paman." lanjut
P a g e | 499

Sanjaya.
.
"Ah, anakmas janganlah bercanda berlebihan dengan orang tua sepertiku.
Bukankah perjalanan dari Tumapel sangatlah menguras tenaga ? Dan tentu
kedatangan anakmas menjadi obat rindu untuk putriku."
.
Dari sini jantung Putut Jenggala sudah berdebar dengar keras. Pemuda itu
yakin adanya jawaban yang akan terucap dari Sanjaya, menimbulkan
ketegangan. Dan terbukti jua, manakala yang ia perkirakan terlontar dengan
tepat.

"Hehehe, Paman Trunalaya. Bukankah paman tahu siapa aku dan siapa paman
? Perbedaan itu sudah jelas adanya walau pada akhirnya paman
mengetahuinya sudah terlambat." kata Sanjaya, "Memang aku akui kalau
nimas Sri Tanjung seorang gadis yanh cantik, tetapi kalau Rama tidak
menyetujuinya, apa yang harus aku buat, paman ?"
.
"Anakmas... !" seru ki Trunalaya, katanya dengan kerasnya, "Sri Tanjung memang
berdarah kawula biasa dan anakmas putra bangsawan, tetapi anakmas sudah
menanam benih terkandung dalam putriku. Dan anakmas berjanji akan
mengambilnya menjadi istri sah, anakmas !"
.
Saat ki Trunalaya menyebut pemuda itu anak bangsawan, ki Lurah Sempono
dan Widura terhenyak dalam keterkejutan. Keduanya tak mengira jika pemuda
iti putra seorang bangsawan. Bangsawan dari mana ? Oh tadi juga disebutkan
dengan Tumapel, telatah asal Pangeran Singasari.
.
"He, tidak mungkin jika ia putra Pangeran Singasari. Setahuku Pangeran hanya
memiliki seorang putri saja." batin ki Lurah Sempono.
.
"Apakah ki Lurah merasakan kejanggalan dari peristiwa ini ?" tiba - tiba Widura
berbisik kepada ki Lurah Sempono.
.
Langsung ki Lurah Sempono menatap Widura, "Aku kurang jelas dengan
perkataanmu itu, Widura."
.
"Pemuda itu, lalu perintah dari gusti Pangeran Singasari yang hanya
memerintahkan kita untuk mengawasi anak muda itu. Bukankah ini membuat
P a g e | 500

kita bertanya - tanya, ki Lurah ?" desis Widura, "Bila dilihat dengan seksama,
anak muda itu memiliki pancaran dari seorang bangsawan. Kemungkinan ia
ada hubungan darah dengan gusti Pangeran Singasari."
.
"He.. " desuh ki Lurah Sempono, "Jaga bicaramu, Widura. Gusti Pangeran hanya
mempunyai putri tunggal saja."
.
"Mungkin pemuda itu anak dari istri yang..."
.
"Tutup mulutmu !" potong ki Lurah Sempono sambil mencengkeram pakaian
dekat leher Widura.
.
"Maaf.. maaf, ki Lurah." keluh Widura yang merasakan sesak nafas, karena
cekikan di lehernya.
.
"Sekali lagi jaga ucapanmu !" kata ki Lurah Sempono dan melepaskan cekikan
tangannya.

Sementara itu ki Trunalaya tak habis pikir dengan ucapan - ucapan yang
terlontar dari mulut Sanjaya. Semakin lama pemuda itu semakin kurang tata
dengan mengagungkan dirinya sebagai anak bangsawan. Sama dengan
Putut Jenggala pemuda ini sebenarnya sudah siap berbaku hantam demi
menjaga kehormatan gurunya yang diinjak - injak oleh Sanjaya.
.
Rasa senang dengan ditutupi raut wajah tegang dapat dilakukan dengan apik
oleh Putut Pineluh. Pemuda ini mengharapkan adanya pertikaian yang
melibatkan guru dan kakak seperguruannya dengan Sanjaya, terus berlanjut
sampai keduanya tumbang dengan meninggalkan korban jiwa.
.
"Cepat, bertindaklah guru dan kakang.. "batin Putut Pineluh, "Kepergian kalian
ke alam kelanggengan akan menempatkan aku di tingkat tertinggi di
padepokan, dan aku berjanji akan mengawini Sri Tanjung."
.
Itulah niat awal Putut Pineluh dalam membaca keadaan di akhir - akhir ini.
Kedudukan dan wanita telah mendorongnya untuk ikut mengail ikan di air yang
keruh. Maka untuk itu ia mencoba mengungkit kemarahan.
.
"Guru, anak itu sudah berani menodai padepokan kita. Apakah guru berdiam
P a g e | 501

saja setelah mendengar mulut busuknya ?!"


.
Ucapan itu membuat ki Trunalaya menoleh ke arahnya, dan untung saja saat
itu ki Trunalaya sudah tidak berfikir jernih lagi. Jika ki Trunalayaa tidak sedang
dalam kemarahan, tentu orang itu akan menimbang maksud dari kata
muridnya yang ia tahu sifat dan perilakunya.
.
"Biarlah aku saja yang menyelesaikan permasalahan ini." desis ki Trunalaya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 8 BAG 12
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
ADA yang mengatakan kalau sabar ada batasnya. Begitulah yang dirasakan
oleh ki Trunalaya pada saat itu. Walau putrinya saat ini tengah mengandung
akibat ulah pemuda Sanjaya, ki Trunalaya masih bersikap lunak untuk
memberikan maaf kepada pemuda itu.
.
Beberapa pekan yang lalu, saat Sanjaya singgah di padepokannya untuk ke-
dua kalinya, ki Trunalaya dan segenap isi padepokan menyambut baik dan
menganggap pemuda itu bagai keluarga sendiri. Hingga satu hari terjadilah
peristiwa antara Sanjaya dan Sri Tanjung berhubungan badan layaknya suami
istri.
.
Kejadian itu tentu mengejutkan seisi padepokan. Tetapi dengan bijaknya, ki
Trunalaya mempertemukan ke-duanya untuk duduk bersama demi menggali
lebih dalam, bagaimana hal itu terjadi. Setelah diteliti ternyata antara si
pemuda dan si gadis melakukan itu karena suka satu dengan lainnya, oleh
karenanya ki Trunalaya yang mengharapkan adanya tanggung jawab dari si
pemuda.
.
Kala itu Sanjaya berjanji akan mengawini Sri Tanjung secara sah. Tetapi karena
orang tuanya tinggal di Tumapel, maka Sanjaya minta waktu untuk kembali
pulang dan memberitahukan kepada orang tuanya. Sekaligus meminta orang
tuanya untuk melamar Sri Tanjung.
.
P a g e | 502

Kepergian Sanjaya dari padepokan sudah lewat dari waktu yang ditentukan.
Resah melanda hati ki Trunalaya. Apalagi perut putrinya semakin hari
bertambah besar bersamaan usia jabang bayi dalam kandungan.
.
Hingga suatu hari tersiar warta sepak terjang dari Sanjaya. Namun ki Trunalaya
mencoba menyingkirkan dan menganggap warta itu tidak benar.
.
Dan hari inilah tanpa diduga pemuda yang ia harapkan muncul disekitar
padepokannya. Awalnya saat melihat pemuda itu berseteru dengan murid
tertuanya, ki Trunalaya menyesali perbuatan muridnya. Ini dikarenakan ki
Trunalaya sebagai orang tua yang sudah kenyang manis asamnya kehidupan,
melihat dan mengetahui kalau murid tertuanya juga mempunyai rasa yang
sama terhadap putrinya. Sudah lumrah jika antara pemuda berkelahi
memperebutkan cinta terhadap wanita, bila antara pemuda itu tak mampu
mengekang amarahnya.
.
Tetapi semuanya bagai karang yang dihempaskan ombak samudera selatan.
Di depan matanya sendiri si pemuda yang dahulu berjanji akan menjadi bapak
dari calon cucunya, menolak dan ingkar dengan janjinya.
.
Orang tua mana yang tak akan marah bila gadis yang ia sayangi satu -
satunya telah dipermainkan oleh lelaki tak bertanggungjawab ? Begitu juga
yang dirasakan oleh ki Trunalaya. Darah sudah mulai bergolak bagai debur
ombak dahsyat dipesisir laut. Luapan amarah membuncah tak terbendung siap
melahap mayapada dan seisinya.
.
Ki Trunalaya seorang pemimpin padepokan Karang Tunggal mengamuk bak
banteng ketaton. Kaki kokohnya melenting ke udara secepat angin. Di udara
kedua kaki ditekuk dan kedua tangan mengembang siap meremukan tulang
lawan.

"Breeeet..."
.
Sanjaya terhenyak mengetahui kesebatan ki Trunalaya. Dirinya terlambat
menghindari serangan dan membuat pakaian di pundaknya sobek terkena
terkaman ki Trunalaya. Selanjutnya pemuda itu bersikap lebih hati - hati.
.
Perkelahian semakin sengit diantara keduanya. Sergapan demi sergapan susul
P a g e | 503

menyusul tiada henti. Tendangan dan pukulan ikut mewarnai jalannya


perkelahian itu.
.
Di balik pohon jagung, ki Lurah Sempono dan Widura terus memperhatikan
dengan cermat setiap tata gerak dari Sanjaya dan ki Trunalaya. Rasa kagum
sempat terlintas dibenak keduanya terhadap pemuda yang sudah satu candra
ini, mereka ikuti.
.
Sementara itu Putut Pineluh yang berdiri agak jauh dari saudara
seperguruannya, terlihat gelisah seperti menunggu kedatangan seseorang.
Tanpa diketahui oleh orang, ia menyelinap memasuki pohon jagung sisi lain dan
terus memasuki lebih dalam.
.
"Kakang, kami disini.." sebuah suara menegur Putut Pineluh.
.
Seketika Putut Pineluh melengos ke arah suara. Di situ lebih dari sepuluh orang
dengan pundak memanggul wadah panah dan busur.
.
"Bagus.. " kata Putut Pineluh, "Mangsa di jalan, hancurkan tanpa tersisa.."
.
Mereka dengan dipimpin oleh Putut Pineluh mendekati tepian pohon jagung
yang berbatasan dengan jalan dimana perkelahian anatara ki Trunalaya dan
Sanjaya terjadi.
.
"Serang... "
.
Belasan anak panah terlontar dari tali busur dengan cepatnya. Tentu saja itu
mengagetkan semua orang yang berada di jalan. Empat murid ki Trunalaya
yang berada di jalan tumbang dengan punggung tertancap tajamnya mata
panah. Untunglah Putut Jenggala berhasil menghindari meskipun lengannya
saja yang terkena.

Nasib tak baik dialami oleh ki Trunalaya, saat serangan anak panah terjadi,
dirinya sedang menghindari pukulan Sanjaya. Sehingga orang tua itu gagal
mengetahui adanya serangan panah. Hingga tubuhnya terkena dua anak
panah dan menghempaskan tubuhnya ke tanah tanpa mengetahui apa yang
terjadi.
.
P a g e | 504

"Guru...... !" teriak Putut Jenggala sambil menangkis serangan anak panah
dengan menggunakan pedangnya.
.
"Seraaaang...... !"
.
Dari balik pohon jagung puluhan orang keluar dengan berbagai senjata. Hal itu
mengejutkan berbagai pihak yang tak tahu adanya kekuatan tersembunyi.
.
"Tinggalkan tempat ini... " seru Sanjaya dan bergegas berlari ke kudanya dan
segera memacunya kencang - kencang.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 8 BAG 13
OLEH : MARZUKI
:::::::::::::::::::::::::::::::
:::::::::::::::::::::::::::::::
"Biarkan mereka, yang paling penting tangkap kakang Putut Jenggala !"
perintah Putut Pineluh.
.
Orang - orang yang berada dibawah perintah Putut Pineluh segera
mengerjakan perintah menangkap Putut Jenggala yang terlihat memeluk
tubuh ki Trunalaya. Dan mengangkat membawanya ke hadapan Putut Pineluh.
Tetapi betapa marahnya Putut Pineluh kepada anak buahnya itu.
"He, buka mata kalian !" bentak Putut Pineluh, sambil menampar salah satu
anak buahnya.
.
Ternyata orang yang disangka sebagai Putut Jenggala, bukanlah dia.
Melainkan murid ki Trunalaya yang lain. Sedangkan Putut Jenggala diwaktu
riuhnya penyerangan gelap tadi, berhasil meloloskan diri.
.
"Cepat cari dia !" teriak Putut Pineluh, lalu lanjutnya, "Dan ikat anak ini !"
.
"Baik, tuan."
.
Sehabis memberi perintah Putut Pineluh menaiki kudanya dan memacu ke
sebuah tempat rahasia. Yaitu sebuah gua buatan dan disamarkan dengan
tetumbuhan merambat dimulut gua. Sampai di mulut gua, ia disambut oleh
P a g e | 505

seorang lelaki lebih tua setingkat darinya.


.
"Kerja bagus, Putut Pineluh. Raden Sanjaya menunggumu." ucap lelaki itu.
.
"Terima kasih, kakang." kata Putut Pineluh, sesudah turun dari kudanya.
.
Keduanya lantas memasuki gua buatan tersebut. Mereka menyusuri gua
melalui lorong kecil seukuran dua kali tubuh manusia dewasa, dengan pelita
menempel didinding sebagai penerangan. Semakin ke dalam, ruangan dalam
gua cukup lebar dan luas. Dan seperti yang dikatakan oleh lelaki yang
menyambut Putut Pineluh, di dalam dua orang sudah menunggunya.
.
"Kau bekerja dengan baik, Pineluh. Tidak percuma aku memberi kepercayaan
kepadamu." kata salah seorang yang duduk.
.
Putut Pineluh mengangguk hormat kepada orang itu, dan barulah ia
menjawab, "Ini semua karena kemurahan dan petunjuk dari Raden Sanjaya.
Yang memberikan jalan kepada hamba untuk memimpin padepokan Karang
Tunggal sekaligus mendapat garwà triman."

"Hm, lalu sudahkah kau membunuh Jenggala dan saudara seperguruanmu


yang ikut pengejaran tadi ?"
.
Pertanyaan itu membuat Putut Pineluh gelisah, walau begitu ia harus
melaporkan sesuai kenyataan yang terjadi, "Maafkan hamba, Raden. Anak
buah hamba telah melakukan kesalahan, yaitu adanya lubang penjagaan
sehingga ia lolos."
.
"Braaak...!"
.
Orang yang dipanggil Raden itu menggebrak bangku di depannya. Wajahnya
memerah menandakan kalau ia tak senang dengan kesalahan yang dibuat
oleh Putut Pineluh dan orang - orangnya.
.
"Ampuni, hamba Raden. Hamba siap dihukum... " pinta Putut Pineluh sambil
menelungkup ke tanah meminta ampun.
.
Seorang yang berdiri menyandar tembok terdengar mendesuh sambil
P a g e | 506

membatin, "Hm... Tak ku sangka, anak muda ini memiliki kekuatan bayangan.
Siapa sebenarnya pemuda ini ?"
.
"Beruntung kau Pineluh, aku mengampunimu untuk saat ini, karena aku masih
ada kepentingan lain yang jauh penting dari masalah di telatah ini." nada
suara orang itu masih menunjukan kemarahannya, dan lanjutnya, "Namun saat
aku kembali, Jenggala harus tewas."
.
"Baik, Raden. Hamba akan mencari dan menyerahkan kepalanya."
.
"Hm.. Kalau begitu aku akan pergi. Semua yang disini aku titipkan kepadamu."
.
Dan orang itu memberi isyarat kepada kedua orang kawannya beranjak pergi
dari gua itu. Tidak lewat jalan yang tadi dilewati oleh Putut Pineluh, melainkan
lewat sebuah pintu rahasia di sisi lain.
.
Di waktu bersamaan seorang pemuda dengan luka akibat anak panah,
berhasil lolos dari sergapan orang - orang Putut Pineluh. Pemuda itu ialah Putut
Jenggala. Sewaktu tadi masih riuh adanya serangan gelap, pemuda itu
diyakinkan oleh Saudara seperguruannya untuk lolos dari tempat itu.

"Pergilah, kakang. Guru sudah tak bernyawa lagi." pinta saudara seperguruan
Putut Jenggala.
.
"Aku tidak bisa membiarkan pembunuh itu tertawa atas kemenangan mereka."
.
"Cepatlah, kakang. Jika kau ingin balaa dendam, kau harus tetap hidup. Dan
juga kakang jangan lupa dengan nini Sri Tanjung."
.
Demi disebutnya nama Sri Tanjung, kesadaran membuka mata dan hati
pemuda itu. Kini dialah yang harus menjaga putri gurunya.
.
"Tetapi, kau sendiri... " Putut Jenggala mengawatirkan saudaranya.
.
"Sudahlah, kakang. Aku akan mencoba menahan mereka mereka."
.
Dan begitulah yang terjadi, Putut Jenggala mau meninggalkan saudara -
saudara dan mayat gurunya, tiada lain ingin memberikan perlindungan bagi
P a g e | 507

putri gurunya, Sri Tanjung. Walau tangannya terluka, ia kuatkan untuk


menerobos lebatnya pohon jagung. Dan pemuda itu memiliki keberuntungan
lagi, yaitu tanpa sengaja ia melihat dua kuda tertambat di balik semak - semak.
Tanpa pikir panjang, ia lepas ikatan tali kekang kuda dan ia gunakan kuda itu
ke padepokan.
.
Mendekati padepokan kuda, Putut Jenggala tak langsung masuk lewat regol
utama. Melainkan ia memutar dan lewat pintu butulan. Kemudian mencari
bangunan dimana putri gurunya berada.
.
Dengan langkah hati - hati Putut Jenggala memasuki bangunan itu. Saat
membuka pintu seorang wanita dalam perut membesar, kaget dan hampir
menjerit kalau tidak segera menyekap mulutnya oleh Putut Jenggala
menggunakan tangannya.

"Emh.. Emh.. Emh.. " wanita itu mencoba meronta, tetapi tangan kokoh Putut
Jenggala terlalu kuat ia lawan.
.
"Nini, ini aku Jenggala." bisik Putut Jenggala.
.
Dirasa tak ada lagi perlawanan dan wanita itu sudah tenang, maka Putut
Jenggala melepas sekapan pada mulut wanita itu. Wanita itu heran sekaligus
tak menyangka atas perbuatan yang dilakukan oleh murid tertua ayahnya.
Apalagi terlihat darah merembes dari balik pakaian Putut Jenggala.
.
"Jangan salah paham dahulu, nini. Ini semua aku lakukan karena situasi sangat
gawat." Putut Jenggala mendahului berkata manakala wanita muda itu akan
bersuara.
.
"A.. apa yang kakang katakan ini ?"
.
Kemudian Putut itu menceritakan keadaan yang terjadi di luar padepokan,
meskipun tak sepenuhnya ia katakan. Seperti tewasnya ki Trunalaya.
.
"Sebaiknya kita menyingkir dahulu dari padepokan. Ayah nini saat ini
menunggu di suatu tempat. Bawalah pakaian seperlunya saja." kata Putut
Jenggala setelah usai menerangkan apa yang terjadi.
.
P a g e | 508

Untunglah Sri Tanjung menerima alasan yang dituturkan oleh murid tertua
ayahnya. Ia kemudian merapikan barang atau pun pakaian ia bawa, tentunya
yang perlu - perlu saja. Setelah semuanya sudah, Putut Jenggala membimbing
Sri Tanjung keluar dari bangunan dan padepokan melalui pintu butulan
kembali.
.
Tidak berselang lama setelah kepergian dari Putut Jenggala dan Sri Tanjung,
dari jalan mendekati regol padepokan terdengar derap kaki kuda lebih dari
sepuluh ekor.
.
"Buka regol... !" seru salah seorang penunggang kuda.
.
Teriakan itu tak perlu diulang. Penjaga regol bergegas membuka pintu regol
dan membiarkan semua penunggang kuda memasuki halaman padepokan.
Pemimpinnya bergegas turun dari kuda dan menyerahkan tali kuda kepada
cantrik padepokan. Selanjutnya ia berlari menaiki tlundak dan terus memasuki
ruang dalam bangunan tersebut.
.
Tak berselang lama, orang itu keluar lagi. Wajahnya memerah dan membentak
penjaga padepokan dengan kerasnya.

"Apa tugasmu hanya tidur saja, he !"


.
Orang itu kebingungan dengan sikap dari pemimpin penunggang kuda, "A..
ada apa, kakang Pineluh ?"
.
"Kau masih berani bertanya, Waju ? Sri Tanjung tak ada ditempatnya. Apa yang
akan kau katakan, he ?!"
.
"Ta.. tapi tak ada orang yang memasuki bangunan ini, kakang."
.
"Bandu..!" seru Putut Pineluh, "Ikat Waju dan cambuk ia seratus kali.. !"
.
"Oh.. Ampun, kakang..."
.
Sia - sia saja bagi Waju, dua orang telah menangkapnya dan membawanya ke
ruang lain untuk mendapatkan hukuman cambuk. Sementara Putut Pineluh
memerintahkan orang - orangnya untuk mencari jejak kepergian Sri Tanjung.
P a g e | 509

.
"Hm.. Tak salah lagi, ini tindakan kakang Jenggala." desisnya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 8 BAG 14
OLEH : MARZUKI
:::::::::::::::::::::::::::::::
:::::::::::::::::::::::::::::::
SEKIAN lamanya kaki melangkah dan peluh mulai membasahi tubuh, tiada juga
tanda - tanda keberadaan orang yang dihormati dan disayanginya. Apalagi
sejak tadi, orang yang menemaninya selalu mengatakan kalau keberadaan
orang itu ada di depan dan di depan. Tetapi tak kunjung jua bertemu.
.
"Kakang Jenggala, katakanlah yang sebenarnya. Di mana ayah berada ?"
akhirnya karena tak tahan lagi, Sri Tanjung menanyakan keberadaan ayahnya.
.
"Sebentar lagi, nini." ujar Putut Jenggala.
.
Jawaban itu tidak memuaskan hati Sri Tanjung. Wanita muda itu berhenti tidak
mau berjalan lagi, bahkan ia meletakan dirinya di rerumputan sambil
menyandarkan kepala ke pohon keluwih. Nafasnya berkejaran walau tak
terlalu cepat, dikarenakan tubuh yang mulai membesar itu membuat
tenaganya cepat terkuras.
.
Dan Putut Jenggala menyadari keadaan wanita muda itu. Hatinya trenyuh
mengingat lelaki yang seharusnya bertanggungjawab, malah
mencampakannya. Malah sekarang nasibnya sangat malang dengan
tewasnya ki Trunalaya, ayah si wanita muda.
.
"Maafkan aku, nini." pinta Putut Jenggala seraya menyodorkan bumbung air,
"Minumlah, nanti aku akan menjelaskan dengan sebenarnya."
.
Dahi Sri Tanjung mengernyit. Walau begitu ia tetap menerima bumbung air dan
meneguknya perlahan. Air dalam bumbung terasa segar memberikan tenaga
baru baginya. Air menetes membasahi bibirnya yang tipis aduhai membuat
semua lelaki akan terpesona melihatnya.
.
P a g e | 510

"Kakang Jenggala, lukamu.... " seru Sri Tanjung, seusai meneguk air tanpa sadar
ia melihat lengan Putut Jenggala masih tertancap anak panah, yang sudah
dipotong dengan menyisakan batang panah seukuran tiga ruas.
.
Kini setelah wanita muda itu mampu menguasai keadaan, barulah ia
menyadari kalau murid tertua ayahnya itu menderita luka. Dengan tatagnya
tangannya meraih titikan batu dan menyalakannya diserabut. Untuk menjaga
agar api bertahan nyalanya, dikumpulkanlah ranting kering.
.
Di bukanya buntalannya dan dari dalamnya diambil pisau kecil. Pisau kecil itu
ia panaskan dengan api dari ranting.

"Kakang, gigitlah kayu ini untuk mengurangi rasa sakit." kata Sri Tanjung sambil
menyodorkan potongan kayu.
.
Entah heran atau terpesona, Putut Jenggala terdiam mematung. Matanya bak
terkena sihir dari wanita di depannya. Sehingga Sri Tanjung mengulangi
perkataannya supaya Putut Jenggala melakukan apa yang ia katakan.
.
"Bertahanlah..." desis Sri Tanjung.
.
Tangan mungil wanita itu segera meraih potongan anak panah dan ditarik
sekuat - kuatnya. Bersamaan dengan rasa sakit yang sangat menyengat Putut
Jenggala, Sri Tanjung meraih pisau kecil dari dalam api dan ditempelkan ke kulit
bekas luka anak panah.
.
"Eeergh... " keluh Putut Jenggala dan ambruk tak sadarkan diri.
.
Sebuah keberanian luar biasa ditampilkan oleh wanita putri ki Trunalaya. Dalam
menghadapi kegawatan itu, ia tidak gopoh. Dengan sebatnya disobeknya kain
jaritnya untuk dibelitkan ke lengan Putut Jenggala. Sehabis itu Sri Tanjung
mengambil kain kecil yang dibasahi air untuk kemudian diletakan di dahi Putut
Jenggala.
.
Kini tinggalah ia menunggu pemuda itu untuk siuman. Dalam waktu penantian
itulah, Sri Tanjung memperhatikan wajah pemuda yang terlelap tak sadarkan
diri. Barulah ia menyadari raut wajah yang selama ini di dekatnya,
menampakan pesonanya.
P a g e | 511

.
"Ah.. " desuhnya sambil memalingkan wajahnya.
.
Rona wajah wanita muda itu, bersemu merah. Entah mengapa walau tiada
orang melihat, dirinya merasa jengah jika memperhatikan wajah di depannya.
.
"Tidak, aku dan bayi dalam kandungan ini milik kangmas Sanjaya seorang.."
desisnya lirih.
.
Teringatlah dimana dahulu saat - saat seekor kumbang berterbangan disekitar
taman. Taman yang berada di padukuhan kecil menyimpan bunga mekar
mempesona. Dan sang kumbang pun dengan daya upaya yang dimilikinya,
mampu menakhlukan bunga mekar tersebut. Sang kumbang berjanji selalu
menyambanginya walau hujan badai melanda, akan hadir andai tanah di
taman retak dan membawa sang bunga ke taman yang lebih besar dan luas.

Jika teringat itu semuanya, wanita mana hatinya tak tersentuh ? Wanita mana
yang termakan dengan janji - janji walau akhirnya janji itu tinggal janji ?
.
Sentuhan jemari saja yang mengembalikan kesadaran Sri Tanjung dari lamunan
penuh cinta nirwana. Ternyata jemari Putut Jenggala yang berada dalam
pangkuan Sri Tanjung, telah mencekal tangan si wanita dan meremasnya.
.
Darah terasa berhenti mengalir. Jantung berdetak dengan cepat dan keras.
Keringat mengembun di dahi Sri Tanjung. Wajah merona memerah seketika.
.
"Tanjung.. Tanjung.. "
.
Bibir si pemuda dalam terlelapnya mata, bergerak mengigau.
.
"I..ya kakang, aku di sampingmu.." bisik Sri Tanjung.
.
Pegangan tangan Putut Jenggala semakin erat, "Jangan tinggalkan aku.. "
.
"Tidak kakang.."
.
Usai perkataan terakhir dari bibir Sri Tanjung, Putut Jenggala tidak lagi
mengigau. Wajah pemuda yang sebelumnya memucat, perlahan kembali
P a g e | 512

memerah. Menandakan darah sudah kembali beredar semestinya.


.
Hari mulai malam. Jauh dari permukiman, Sri Tanjung menunggui pemuda murid
ayahnya. Wanita itu melupakan keadaan dirinya yang saat ini sedang
mengandung, mengandung anak seorang lelaki yang dirinya tidak tahu kalau
si lelaki seorang yang culas.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 8 BAG 15
OLEH : MARZUKI
:::::::::::::::::::::::::::::::
:::::::::::::::::::::::::::::::
SYUKURLAH malam itu dilalui tanpa adanya gangguan melanda kedua insan
yang bermalam di pategalan. Sri Tanjung yang awalnya berjaga di samping
tubuh Putut Jenggala berbaring, tak tahan ketika kelopak matanya bagai
diganduli bola timah. Ia pun tertidur menyandarkan punggungnya di pohon
keluwih.
.
Kicau burung menandakan pergantian hari baru, membuat tubuh wanita
muda itu menggeliat terbangun. Pertama kali membuka mata, niat hati ingin
melihat keadaan Putut Jenggala. Namun wanita muda itu kaget, karena tubuh
lemah yang terbaring di depannya, tak terlihat.
.
"Kau sudah bangun, nini ?" sapaan halus terdengar dari balik pohon.
.
"Kakang jangan banyak bergerak dulu, luka kakang belum sepenuhnya
tertutup." wanita itu berdiri dan mencoba menghampiri pemuda itu.
.
Putut Jenggala yang merasa diperlakukan sangat baik itu, tersenyum simpul.
Ditunjukanlah rentengan ikan kepada Sri Tanjung.
.
"Lenganku sudah dapat aku gerakan, nini. Lihatlah apa yang aku dapat." kata
pemuda itu.
.
"Baiklah biarlah aku yang membakar ikan itu, kakang. Sebaiknya kakang
istirahat saja." Sri Tanjung meminta rentengan ikan dari tangan Putut Jenggala.
.
P a g e | 513

Diserahkanlah ikan itu kepada putri gurunya. Sedangkan Putut Jenggala


mengumpulkan ranting dan membakarnya. Keduanya bekerja sangat serasi
tanpa adanya perasaan lain, kecuali hanyalah saling bahu membahu semata.
.
Tak menunggu terlalu lama, ikan itu matang dan siap dimakan. Walau tanpa
bumbu karena keadaan yang dialami, ikan bakar tangkapan Putut Jenggala
terasa sedap oleh lidah. Rasa syukur kehadapan Hyang Agung, terucap
dengan tulus hati, atas karunia yang diberikan pada hari ini.
.
Luka yang diderita oleh Putut Jenggala sudah teratasi. Sarapan ikan bakar
memenuhi selera perut. Seiring waktu, Sri Tanjung ingat dengan janji dari Putut
Jenggala yang akan menerangkan sebenarnya terjadi.

"Kakang." desis Sri Tanjung dengan perlahan, "Ingatkah kakang dengan apa
yang kakang ucapkan kemarin ?"
.
Pemuda itu menghela nafas. Waktu yang mendebarkan dan ia sulit
mengatakan, akhirnya ditagih juga. Sejenak ia memantapkan hati dan
memilah kata sebaik - baiknya agar wanita muda itu dapat menerima
kenyataan yang telah terjadi.
.
Kemudian katanya, "Nini Sri Tanjung, berat mulutku dalam berucap."
.
Kembali Putut Jenggala terdiam.
.
"Kita manusia, awalnya tiada dan hanya kemurahan Hyang Agung semata kita
ada. Tetapi pada akhirnya kita akan kembali kepadaNYA dengan
pertanggungjawaban selama kita hidup." sambung Putut Jenggala.
.
Desir halus terasa dalam sanubari Sri Tanjung, walau begitu wanita muda itu
dengan senyum berkata, "Aku mengerti kakang, petuah itu seringkali
diucapkan oleh ayah. Dan aku ingat ketika ibu menutup mata, kakang pernah
menghiburku waktu itu."
.
"Janganlah kakang berbelak - belok dalam berucap. Katakanlah kakang."
.
"Oh Batara Agung..." seru Putut Jenggala dalam hati, "Kuatkan hamba yang
hina ini menyampaikan kenyataan ini.."
P a g e | 514

.
Do'a terucap dengan kesungguhan itulah, sumber keberanian Putut Jenggala
dalam menyampaikan warta layon yang menimpa ki Trunalaya kepada putri
tunggalnya, Sri Tanjung.
.
"Nini Sri Tanjung, tabahkanlah hatimu. Guru dan juga ayahmu, ki Trunalaya telah
tiada.."
.
Kata pelan dan terbata - bata dari Putut Jenggala, bagai halilintar menyambar
nyawa Sri Tanjung. Wanita yang sebenarnya mempunyai keberanian yang
diwarisi oleh ayahnya, sama seperti anak manusia pada umumnya. Hatinya
tersentuh merambat dalam pikiran, sehingga membuat tubuh itu gemetar tak
bertenaga. Bumi yang ia pijak bergolak dan bergetar membuat tubuh
berbadan dua itu, limbung.

Kesigapan Putut Jenggala dalam membaca keadaan dan hati, mampu


menopang tubub itu. Tak hanya itu saja, Putut Jenggala juga membesarkan
dan menenangkan hati Sri Tanjung.
.
"Ti..dak a..yah ti..dak .."
.
"Tenangkan hatimu, nini."
.
"Ka..takan kalau kau ha..nya mempermainkan aku sa..ja, kakang.." Sri Tanjung
masih tak percaya di dalam tangisnya.
.
"Menangislah, nini. Bila itu membuatmu tenang." ucap Putut Jenggala, "Dan
segeralah relakan kepergian ayah nini menghadap Hyang Agung.."
.
Tangis pilu terdengar menyayat kalbu. Angin pagi pun terasa ikut berduka atas
kemalangan wanita muda dalam pelukan Putut Jenggala. Sinar mentari yang
awalnya bersinar entah sengaja atau tidak, meredup menahan sinarnya.
.
Dan itu semua adalah kodrat yang sudah tertulis oleh tinta emas Sang
Pencipta. Senang - sedih, lahir - mati, kaya - miskin mengiringi kehidupan
sampai hari akhir nanti.
.
Namun, sebanyaknya air mata akan terhenti jua adanya. Sedih yang sangat
P a g e | 515

suatu saat akan perlahan sirna menjadi kenangan jua. Begitu pun dengan Sri
Tanjung, seiring dengan berjalannya waktu, tangis itu mulai reda.
.
"Kalau begitu, dimanakah kakang mengubur jasad ayah ?"
.
"Maafkan aku, nini. Karena keadaan dan keselamatan nini-lah, terpaksa aku
meninggalkan jasad guru." sesal Putut Jenggala, "Mudah - mudahan orang -
orang itu masih mempunyai hagi nurani dan mau menguburkan dengan layak."
.
"Oh... " desuh Sri Tanjung, "Andai kakang Sanjaya disini.."
.
Jantung Putut Jenggala berdesir ketika nama itu terucap dari mulut Sri Tanjung.
Meskipun begitu, ia tak bersuara.

"Nini, karena saat ini keadaan tak menentu, untuk sementara kita tinggal disini."
.
"Tapi kakang, sebaiknya kakang mencari warta mengenai kakang Sanjaya."
.
Putut Jenggala terdiam. Saat itu dalam benak Sri Tanjung, terdiamnya murid
tertua ayahnya itu sedang berpikir dan menimbang usul yang ia berikan. Tetapi
lain kenyataannya, terdiamnya Putut Jenggala disebabkan untuk mencoba
menenangkan hatinya.
.
"Bagaimana kakang.. ?"
.
Belum lagi Putut Jenggala bersuara, semak di depan mereka bergerak
layaknya terkena gesekan sesuatu.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 8 BAG 16
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
DUA orang lelaki paruh baya dan remaja keluar dari balik semak. Semuanya
berseru memanggil satu dengan lainnya, menunjukan kalau Putut Jenggala
dan Sri Tanjung mengenali dua orang itu. Begitu pun sebaliknya dengan dua
orang yang baru muncul itu.
P a g e | 516

.
Sri Tanjung nampak berseri dengan kedatangan dua orang itu, lalu sapanya,
"Uwa Barda dan adi Panca.."
.
"Oh.. Kalian berdua.." seru orang tua itu, dengan perasaan lega, "Syukurlah
kalian belum tertangkap.."
.
"Oh, ki Barda sudah mengetahui apa yang terjadi dengan padepokan ?"
.
"Hm.. " desuh ki Barda, "Hampir saja aku dan Panca masuk dalam sarang
serigala."
.
Putut Jenggala dan Sri Tanjung saling berpandangan.
.
"Sepertinya kalian berdua kurang memahami dengan pasti, apa yang aku
maksud dengan sarang serigala itu ?" tanya ki Barda, yang mampu menyelami
perasaan keduanya.
.
" Begitulah, ki Barda."
.
Ki Barda mengangguk sesaat, kemudian orang tua itu duduk di bawah pohon
keluwih dan menghela nafas. Panca, anak remaja yang tadi berdiri di
belakang ki Barda, mengikutinya dengan duduk disamping orang tua itu. Anak
remaja itu membuka bungkusan dan mengambil kotak kecil, dan dari kotak
dijumutnya selembar daun sirih, cairan kapur atau yang disebut enjet, gambir.
Semuanya dimasukan dalam lipatan daun sirih dan diserahkan kepada ki
Barda.
.
"Terima kasih, ngger." ucap ki Barda dan mengunyah lipatan daun sirih itu.
.
Memang sudah kebiasaan bagi ki Barda dalam kesehariannya tak lepas dari
mengunyah daun sirih, atau dalam sebutan orang jawa, nginang.
.
"Adi-mu, Pineluh. Bekerja sama dengan Sanjaya." kata ki Barda kepada Putut
Jenggala.

Perkataan dari ki Barda telah diartikan berbeda oleh Putut Jenggala dan Sri
Tanjung. Kalau dalam pengertian Putut Jenggala, sudah mengerti kalau adik
P a g e | 517

seperguruannya berkhianat dan.. Ah, akhirnya bayang - bayang makin jelas


terlihat oleh Putut Jenggala. Penyerangan gelap itu adalah ulah adiknya
sendiri, dan ialah yang membuat gurunya tewas.
.
Berbeda dengan Sri Tanjung, wanita muda ini mengira kalau murid kedua
ayahnya berhasil bertemu dengan Sanjaya, lelaki pujaannya.
.
"Jadi, uwa ke sini untuk menjemputku ?" tanya Sri Tanjung dengan girangnya.
.
Hal itu membuat ki Barda mengernyitkan alisnya, ia juga memandang ke arah
Putut Jenggala. Dan anak muda yang ia tatap dengan tajam itu,
menggelengkan kepalanya. Sehingga ki Barda menghela nafas.
.
"Ada apa, uwa ?" tanya Sri Tanjung, heran.
.
"Hm.. Tanjung, putriku. Tahukah kau, mengapa aku keluar meninggalkan
padepokan satu candra yang lalu ?"
.
Wanita itu menggeleng pelan. Memang putri ki Trunalaya itu tidak tahu
mengapa pamannya itu pergi dari padepokan Karang Tunggal. Saat ia
bertanya kepada ayahnya, jawaban ayahnya hanya mengatakan kalau
pamannya itu sedang jalan - jalan saja.
.
Ki Barda kembali menghela nafas dan membatin, "Hm, adi Trunalaya. Kau
terlalu tertutup dengan putrimu."

"Nduk, kepergianku kala itu tiada lain untuk mencari keberadaan anakmas
Sanjaya dan mengetahui siapa dia sebenarnya." kata ki Barda, "Bukankah
ayahmu sudah mengatakan semuanya dan mungkin kau lupa ?"
.
"Menurut ayah, kakang Sanjaya putra seorang bangsawan. Tetapi ayahnya
tidak menyetujui kebersamaan kami, walau begitu kakang berjanji akan hidup
bersama denganku di padepokan."
.
"Oh, Batara Agung.. " desis ki Barda perlahan.
.
Kemudian ia berkata kepada Sri Tanjung, "Nduk, cah ayu. Maafkan uwa-mu ini,
akan aku katakan kebenaran yang menyangkut diri anakmas Sanjaya."
P a g e | 518

.
Lalu dituturkan-lah dengan sejelas - jelasnnya jati diri Sanjaya serta tingkah
lakunya. Ternyata ki Barda dalam pengembaraannya bersama Panca
menemui titik terang dari pemuda rupawan itu. Sanjaya merupakan anak
seorang bangsawan dari Tumapel dari garwo selir. Sejak kecil ia diasuh oleh
kakeknya di sebuah pulau selatan jawa. Dan kakeknya ini merupakan seorang
sakti, tetapi juga bertabiat buruk, terutama mengenai nafsu terhadap wanita.
Sayang sungguh disayang, perilaku itu menurun kepada Sanjaya.
.
Tangis sesenggukan disertai jerit kecil melanda Sri Tanjung. Jika yang
memberitahu perilaki Sanjaya orang lain, Sri Tanjung tak bakal percaya. Tetapi
uwanya-lah yang berkata. Seorang yang ia kenal sejak kecil, dimana orang tua
itu sangat baik dan jujur dalam bertindak dan berucap.
.
Di-usap rambut hitam arang wanita itu, oleh ki Barda. Ia bisa merasakan
betapa hati kemenakannya hancur berkeping - keping. Ki Barda tak mengira
dengan keadaan kemenakannya saat ini. Dalam usia lima tahun, ibunya
meninggal karena penyakit yang dideritanya. Lalu, kemarin ayahnya tewas
ditangan muridnya sendiri. Kemalangan masih berlanjut dengan tindakan
tercela oleh Sanjaya, lelaki yang dicintai kemenakannya itu.

"Tabahkanlah hati-mu, nduk. Semuanya sudah suratan Dewata."


.
"Angger Jenggala, sebaiknya kita menyingkir dari telatah Karang Tunggal. Di sini
kita dalam bahaya, waktu aku ke sini tadi, aku mendengarkan kalau kau dalam
incaran orang - orang Pineluh. Tidak hanya itu saja, Pineluh selain ingin
menguasai padepokan Karang Tunggal, ia juga inggin mendapatkan Sri
Tanjung."
.
"He.. " seru Putut Jenggala.
.
"Endapkanlah perasaan kalian berdua, kuasai amarah dan kendalikan dengan
sebaik - baiknya. Supaya tidak menyeretmu dalam bahaya sebenarnya." ki
Barda mencoba menenangkan Putut Jenggala dan Sri Tanjung.
.
"Bagaimana aku akan tenang, ki Barda ?" kata Putut Jenggala, "Padepokan itu
sudah dikuasai oleh seorang murid durhaka, dan sekarang ia ingin merampas
nini Sri Tanjung."
P a g e | 519

.
"Lalu apa yang akan kau lakukan ? Menyerbu sendiri ke sarang serigala itu ?"
kata ki Barda dengan kerasnya, "Sungguh ksatria tindakan-mu, Jenggala. Tetapi
setelah itu kau bagai macan yang dipermainkan di alun - alun. Tubuhmu arang
kranjang dan kau rela jika Sri Tanjung berada dalam kekuasaan Pineluh ?"
.
"He.. " Putut Jenggala lemas, "Lalu apa yang harus aku lakukan, ki Barda ?"
.
"Jika kau mau, ikutlah bersamaku menuju Perdikan Anjuk Ladang." kata ki
Barda, "Kau juga Sri tanjung."
.
Tak ada pilihan bagi Putut Jenggala dan Sri Tanjung. Maka keduanya mengikuti
ki Barda, ke Perdikan Anjuk Ladang.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 8 BAG 17
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
SEJAK sebagian rahasia yang menyelimuti teka - teki jati diri Arya Dipa dan
kakeknya Bagawan Jambul Kuning, kehidupan mereka pun semakin cerah
untuk hubungan darah keduanya.
.
Kepada cucunya itulah, Begawan Jambul Kuning mengatakan asal - usulnya
sesungguhnya. Semuanya tak terkecuali disisakan sedikit pun.
.
Riwayat hidupnya berawal dari trah keraton Kadiri, yaitu dari Pangeran Banyak
Paguhan, yang masih kerabat dari Prabu Giriwardhana. Sudah menjadi rahasia
umum nama Prabu Giriwardhana merupakan seorang penguasa Kadiri yang
menentang dan menggulingkan Prabu Brawijaya Pamungkas, raja kerajaan
Majapahit atau Wilatikta.
.
Walau ayahnya dan ia masih kerabat dari Prabu Giriwardhana, Pangeran
Banyak Paguhan dan Raden Arya Bancak tidak setuju dengan tindakan yang
akan dilakukan Prabu Giriwardhana. Karenanya, ayahnya dan dirinya dijatuhi
hukuman buang di timur gunung Lawu. Tak hanya Raden Arya Bancak saja,
sahabat dan saudara seperguruannya yaitu Raden Branjang Mas juga
P a g e | 520

mendapat hukuman sama.


.
Di tempat hukumannya, keluarga Pangeran Banyak Paguhan selalu mendapat
pengawalan ketat dari orang - orang Prabu Giriwardhana. Sehingga untuk
mencari hubungan keluar sangat sulit. Bahkan saat terdengar adanya warta
mengenai pelarian Prabu Brawijaya Pamungkas ke gunung Lawu, tiada celah
sedikit pun untuk menggabungkan diri.
.
Hingga akhirnya Pangeran Banyak Paguhan mendengar kalau raja yang ia
cintai, telah moksa di puncak gunung Lawu, setelah memberi wejangan
kepada abdi setianya Sabdo Palon dan Naya Genggong. Tangis sedih
melanda hati Pangeran Banyak Paguhan, untuk itu kemudian Pangeran itu
menyepi hingga akhir hayatnya.
.
Sementara itu jaman bagai rado pedati yang terus berputar. Prabu
Giriwardhana yang sempat merasakan dampar keraton Wilatikta terlena dan
mendapat karmanya. Putra mendiang Prabu Brawijaya, Raden Patah yang
sebelumnya menjadi adipati di Glagahwangi mengobarkan semangat juang
setelah mendapat restu dari Kanjeng Sunan Giri. Dan perjuangan Raden Patah
membuahkan hasil dengan melengserkan Prabu Giriwardhana.
.
Kemudian keraton Wilatikta dipindahkan ke Glagahwangi serta merubah
keraton menjadi Demak Bintoro, dengan Raden Patah sebagai raja dan ki
Wanasalam sebagai patih Demak.
.
Semenjak tanah Jawa Dwipa dibawah naungan Demak, Gunung Bancak tidak
lagi dalam pengawasan. Dan Raden Arya Bancak telah bebas tidak lagi
mendapat tekanan. Di gunung Bancak, Raden Arya Bancak menanggalkan
gelar kebangsawanannya dan memilih sebagai seorang Begawan dengan
sebutan Begawan Jambul Kuning. Mengapa memilih nama Jambul Kuning ?

Nama Jambul Kuning diambil setelah Raden Arya Bancak melakukan semedi di
puncak gunung. Dalam keheningan bersemedinya, ia selalu menjumpai
seorang Resi Suci yang selalu ditemani se-ekor burung cantik dan sakti. Burung
itu mempunyai jambul di kepalanya berwarna kuning keemasan, sangat indah
bila dipandang. Masih di dalam keheningan semedinya, burung itu setiap kali
ikut dengan Resi Suci melakukan tapa ngrame dalam memberantas
keangkaramurkaan.
P a g e | 521

.
Di malam terkhirnya, saat lelaki semedi mendekati akhir, Resi Suci itu tersenyum
kepada Raden Bancak, "Angger, semenjak kecil kau berperilaku angin -
anginan. Itu merupakan sifat yang membuatku sedih. Tetapi ada yang
membuat hatiku merasa bangga terhadapmu, yaitu saat ada seekor burung
yang hampir mati."
.
Resi Suci itu terdiam sesaat. Sedangkan Raden Arya Bancak hanya
mendengarkan tak berani menyela.
.
"Dan inilah burung itu. Ia tumbuh menjadi burung Suci mendampingiku." kata
Resi Suci itu.
.
Raden Arya Bancak terperanjat. Ingatan masa lampaunya kembali terlintas
dalam benaknya. Memang dirinya pernah menyelamatkan seekor burung, tapi
burung itu sangat jelek dan tak mempunyai jambul indah seperti itu.
.
Rupanya sang Resi dapat membaca hati Raden Arya Bancak, maka Resi Suci
berkata, "Burung jelek adalah sebuah tindakan manusia yang terkekang dalam
nafsu duniawi. Nafsu sesungguhnya karunia dari Sang Pencipta untuk manusia,
karena adanya nafsu kita mampu merasakan apa itu rasa. Tetapi jika nafsu tak
terkendali dan berlebihan, maka nafsu akan menjadi malapetaka bagi kita."
.
Sejenak sang Resi berhenti untuk mencari kesan.
.
"Bila manusia itu mampu mengendalikan nafsu dan menggunakan dalam
kebajikan, maka akan tumbuh sebuah benih kebaikan, yang digambarkan oleh
jambul si burung. Lalu apa makna warna kuning keemasan ?"
.
Raden Arya Bancak terlihat berpikir, tetapi tak keluar jawaban dari mulutnya.
.
"Kebaikan kalau hanya ditujukan kepada Sang Pencipta, kebaikan itu hanya
untuk dirinya sendiri. Tetapi jika kita menolong dan membantu sesama insan,
maka kebaikan itu akan memancar sinar kuning keemasan layaknya sinar
mentari. Cahaya sinar mentari di pagi hari, menyehatkan bagi tubuh dan
terasa ikhlas adanya." kata Resi Suci, "Suatu saat kau akan mengerti, angger."
.
Seusai semedi itulah nama Jambul Kuning selalu melekat menjadi satu dengan
P a g e | 522

Raden Bancak. Ia berharap hidupnya seperti burung sakti dan seperti mentari
pagi.
.
Lalu ia pun mendapat jodoh seorang wanita ayu, dan mempunyai anak
tunggal yang dinamai, Arya Wila. Dan Arya Wila ini mampu membuat seorang
Tumenggung Demak senang, oleh karenanya sang Tumenggung mwnjodohkan
Arya Wila dengan putrinya, Dyah Ratna.
.
Dari perjodohan Arya Wila dan Dyah Ratna, lahirlah seorang bayi mungil dan
tampan. Sang ayah yang saat itu mengagumi kisah Mahapatih Gajah Mada,
lalu mengambil nama muda sang patih untuk dijadikan nama anaknya, yaitu
ARYA DIPA.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 8 BAG 18
OLEH : MARZUKI
:::::::::::::::::::::::::::::::
:::::::::::::::::::::::::::::::
KINI perputaran kehidupan berlanjut disetiap goresan langkah yang akan
ditempuh oleh Arya Dipa. Arya Dipa berbahagia dan bersyukur manakala
dirinya tahu jikalau sang kakek bukanlah seorang berhati keji yang tega
membunuh putra dan menantunya sendiri. Meskipun begitu, ada sebuah sisa
yang harus dikuak secara terang mengenai siapa sosok yang menyerupai
wajah kakeknya itu.
.
"Aku akan berusaha mengungkapnya, tetapi setelah aku melanjutkan tugas
yang diembankan oleh Panembahan Ismaya." batin Arya Dipa.
.
"Adakah yang kau pikirkan, kakang ?" tanya Windujaya, saat memperhatikan
Arya Dipa melamun.
.
Kala itu Arya Dipa berdua saja bersama Windujaya dalam perjalanan ke kali
Brantas. Ini semua sudah disepakati oleh orang - orang tua yang juga mengikuti
pergerakan dalam perebutan pusaka dan harta benda peninggalan
bangsawan Wilatikta. Untuk menuju ke kali Brantas, supaya tak mendapat
perhatian banyak orang, rombongan dari padukuhan Bungkul telah dibagi
menjadi tiga kelompok. .
P a g e | 523

.
Kelompok pertama terdiri dari tiga orang sepuh, yaitu Resi Puspanaga,
Begawan Jambul kuning dan Begawan Kakrasana. kelompok kedua ditempati
oleh dua saudara elang dari Penanggungan, yaitu Palon dan Sabdho. Dan
terakhir sepasang anak muda, Arya Dipa dan Windujaya.
.
Atas pertanyaan yang dilontarkan oleh Windujaya, Arya Dipa hanya menjawab
seperlunya saja, "Aku memikirkan orang yang menyerupai eyang Bancak, adi."
.
"Hm.. Bila kakang tak keberatan, ijinkan aku membantu mencarinya."
.
"Terima kasih, adi. Tetapi sebaiknya adi harus mendapat persetujuan dari
eyang. Bukankah adi masih dalam bimbingan eyang Bancak ?"
.
Windujaya mengangguk pelan, "Guru pernah berkata kalau ilmu yang ia
turunkan semuanya sudah tuntas. Kini tergantung kepada saja untuk
mengembangkan ilmu itu, kakang."
.
"Aku yakin dengan kemampuan adi akan cepat berkembang. Mungkin dalam
penjajakan waktu itu, jika adi mengungkap ilmu dari Cakra Ningrat dengan
sungguh - sungguh, aku pasti kelabakan."
.
"Ah, kakang jangan membuatku malu." kata Windujaya, "Waktu itu aku benar -
benar mati kutu."
.
Arya Dipa tertawa lepas, "Hahaha... Kau pintar bergurau, adi. Jika adi melepas
aji Liman satu bandha dan gempuran bayu, musuh akan sulit menghindarinya."

Keduanya terlihat saling menghormati satu dengan lainnya dan juga


mengagumi kemampuan masing - masing. Tanpa terasa matahari begitu
teriknya, hingga kulit terasa panas menyengat.
.
"Sebaiknya perjalanan ini kita tunda dahulu, kakang." Windujaya
menyampaikan pendapatnya.
.
"Baiklah. Kita berteduh di gubuk di pategalan itu saja." sahut Arya Dipa sembari
membelokan langkahnya menuju gubuk.
.
P a g e | 524

Gubuk di tengah pategalan itu terbuat dari bambu dengan dinding dari jerami.
Di sisi gubuk ternyata mengalir parit kecil dengan air jernih, meskipun airnya
agak surut.
.
"Hm.. Airnya sungguh menyegarkan.. " desis Windujaya, seusai meminum air dari
dalam parit.
.
"Apakah kakang sudah pernah melewati telatah ini ?" tanya Windujaya,
kemudian.
.
"Iya. Waktu itu aku bersama ayah dan kakang Palon." jawab Arya Dipa.
.
"He.. " Windujaya keheranan.
.
Hal itu menyadarkan Arya Dipa dan menjelaskan, "Maksudku, ayah angkatku.
Ayah Mahesa Anabrang, saudara seperguruan eyang Puspanaga."
.
"O... Bersyukurlah kakang masih mendapat seseorang sebagai ayah angkat."
kata Windujaya, "Lalu, dimanakah sekarang ayah kakang ?"
.
Pertanyaan itu membuat Arya Dipa rindu dengan keadaan ayah angkatnya.
Sejak berpisah di selatan kademangan Prambanan, ki Panji Mahesa Anabrang
tiada wartanya. Sebagai perwira di pasukan Telik Sandi, mengharuskan ki Panji
Mahesa Anabrang berpindah - pindah tugas.
.
"Mungkin ayah berada di sekitar Purbaya." bathin Arya Dipa.
.
Tetapi kepada Windujaya, Arya Dipa berkata lain, "Entahlah adi, ayah
Anabrang gemar melakukan pengembaraan."

"Ah.. Benarkah itu ?" tanya Windujaya yang kemudian katanya, "Pasti beliau
mempunyai beragam ilmu dalam dirinya."
.
"Mengapa adi bisa menyimpulkan seperti itu ?"
.
"Kakang, pernahkah kakang mendengar seorang pemuda dari Pengging ?"
.
"He.. ?!" seru Arya Dipa.
P a g e | 525

.
"Ada apa, kakang ? Sepertinya kakang mengetahuinya ?"
.
Bagaimana tidak tahu. Bila disebut telatah Pengging, sebuah nama langsung
terlintas dibenak Arya Dipa. Seorang pemuda dengan kemampuan tinggi
dengan beragam ilmu terpendam dalam tubuh anak muda itu. Terakhir kali,
Arya Dipa menyaksikan sebuah ilmu langka telah diterapkan oleh pemuda itu.
Ilmu yang konon dimiliki oleh Mahapatih Gajah Mada, yaitu Lembu Sekilan.
.
"Yang kau maksud adi Mas Karebet, adi ?"
.
"Oh.. Kakang juga mengenalnya ?"
.
"Begitulah, kami pernah satu tujuan." jawab Arya Dipa, "Lalu, apa hubungannya
dengan ayah Anabrang yang gemar mengembara ?"
.
Windujaya tidak langsung menjawab. Seekor nyamuk telah menggigit lehernya,
sehingga membuatnya mengeluh kesakitan.
.
"Hahaha.. Ternyata, murid Cakra Ningrat bisa dikalahkan oleh seekor semut."
gurau Arya Dipa.
.
"Ah, kakang." desuh Windujaya, lalu katanya dengan sungguh - sungguh,
"Seperti paman Anabrang yang gemar mengembara, kakang Mas Karebet
juga gemar mengembara dari ujung wetan sampai bang kulon, kakang."
.
"Menurut guru, kakang Mas Karebet yang juga sering memakai Jaka Tingkir,
disetiap langkahnya selalu mendapat ilmu dari berbagai orang - orang linuwih.
Ia merupakan penerus jalur Pengging, tentu ia mampu mengungkap aji Sasra
Birawa. Ia juga berguru dengan ki Ageng Sela, ki Ageng Butuh, seorang
pertapa di gunung kelud, Panembahan Ismaya, ki Ageng Serang dan bahkan
Kanjeng Sunan Kalijaga serta Kanjeng Sunan Kudus." sambung Windujaya.
.
Ternyata pengetahuan Windujaya dalam pengenalan diri Mas Karebet dalam
olah kanuragan, lebih banyak dibandingkan dengan Arya Dipa. Walau begitu
Arya Dipa lebih beruntung bila dibandingkan dengan Windujaya, karena Arya
Dipa sudah bertemu dengan kedua orang yang disebutkan oleh Windujaya.
Yaitu, Kanjeng Sunan Kalijaga dan Panembahan Ismaya. Bahkan dari
P a g e | 526

keduanya, Arya Dipa mendapat wejangan dan permintaan dalam beberapa


macam.
.
Dari Kanjeng Sunan Kalijaga, Arya Dipa dalam masa yang akan datang supaya
berada di dekat garis keturunan Pengging. Sementara dari Panembahan
Ismaya, Arya Dipa mendapat kepercayaan untuk menemukan pusaka yang
akan membuat Demak semakin jaya."

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 8 BAG 19
OLEH : MARZUKI
:::::::::::::::::::::::::::::::
:::::::::::::::::::::::::::::::
DUA pemuda itu masih membicarakan Mas Karebet atau Jaka Tinggkir.
Windujaya, yang pernah melakukan penjajagan secara langsung terhadap
Mas Karebet, merasakan betapa tinggi ilmu kanuragan dan keberagaman tata
gerak putra ki Ageng Pengging anom. Begitu juga dengan Arya Dipa, meskipun
belum membenturkan ilmunya dengan putra ki Ageng Pengging Anom, namun
dirinya walau sekilas dapat memastikan adanya segudang ilmu dalam tubuh
kokoh Mas Karebet.
.
"Begitulah, kakang Dipa. Mengapa aku menyamakan paman Anabrang
dengan kakang Jaka Tingkir." kata Windujaya.
.
Arya Dipa tersenyum. Sejauh ini ia belum melihat kemampuan sesungguhnya
dari ayah angkatnya. Meskipun waktu kecil ia pernah ditunjukan pangeram -
eram oleh ayah angkatnya, tetapi hanya ilmu dasarnya saja. Karena waktu itu,
ketika ia ingin dilatih oleh ayahnya, Arya Dipa kecil jatuh pingsan.
.
Dan semenjak itu ayah angkatnya tidak mau mendidiknya dalam olah
kanuragan. Barulah setelah dirinya dipertemukan kembali dengan Resi
Puspanaga di gunung Penanggungan, semuanya itu dikarenakan adanya
larangan ilmu lain yang mengisi diri Arya Dipa kecil, kecuali ilmu dari kitab Cakra
Paksi Jatayu.
.
"Mungkin yang kau katakan mengenai ayah Anabrang, benar adanya adi."
.
"He... ?" Windujaya mengernyitkan alisnya, "Jangan katakan kalau kakang tidak
P a g e | 527

mengetahuinya."
.
Sambil mengangkat bahunya, Arya Dipa berkata, "Sebenarnya memang
begitu. Aku gelap dengan ilmu yang dimiliki oleh ayah Anabrang."
.
"Aneh - aneh." desis Windujaya sambil menggelengkan kepala, kemudian
menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Hehehe.. Pening kepalaku, kakang.
Kau kembali mempermainkan aku."
.
"Hehehe... Bila suatu hari adi berjumpa dengan ayah Anabrang, cocokanlah
perkataanku ini. Aku berbohong atau tidak."

Kata - kata Arya Dipa yang berkesan biasa itu, dalam pendengaran Windujaya
terasa adanya kebenaran. Sehingga pemuda murid Begawan Jambul Kuning
itu menhangguk.
.
"Aku percaya kakang, tentu semuanya benar. Tetapi dirimu menyimpan beribu
rahasia keanehan yang sulit terpecahkan."
.
"He... " kini giliran Arya Dipa terhenyak, "Beribu rahasia keanehan ?"
.
"Benar." tegas Windujaya, "Suatu kali, guru pernah membicarakan seorang yang
aku yakin itu kakang."
.
Pernyataan itu memancing keingin tahuan Arya Dipa. Duduknya bergeser
semakin tepat menghadap Windujaya.
.
"Maukah adi mengatakannya ?" pinta Arya Dipa.
.
Demi merasakan adanya hasrat begitu besar dalam diri cucu gurunya,
Windujaya berusaha mengulur - ulur waktu dengan niatan menggoda sahabat
barunya itu. Dahi Windujaya mengerut lebih dalam, seolah mencoba
mengingat - ingat dan mengumpulkan kata demi kata yang terucap dari mulut
gurunya.
.
Sungguh menunggu itu pekerjaan yang paling membosankan dan menguras
kesabaran. Pemuda Arya Dipa sebenarnya seorang berhati teguh jika
menghadapi persoalan yang sangat penting, tetapi kali ini entah mengapa
P a g e | 528

dinding kesabarannya terdobrak dan hancur berkeping - keping, karena pokal


Windujaya.
.
"Adi, jangan membuatku mati menunggu. Matahari sudah menggelincir ke
barat, tetapi kau masih membisu saja." gerutu Arya Dipa.
.
Kekesalan Arya Dipa membuat Windujaya tak kuat menahan tawanya.
Tawanya bagai batu rubuh dan membuat tubuhnya tergoncang.
.
"Oh.. Kau rupanya membalas gurauanku tadi, adi ?" Arya Dipa menyadari
kekalahannya, selanjutnya ia pun tersenyum.
.
Tak terasa sang surya sudah menggelincir, karenanya kedua pemuda itu pun
kembali melanjutkan perjalanan yang tertunda barang sejenak.

"Kita lewat jalan ke kanan, adi." ucap Arya Dipa, yang mengenali arah.
.
"Di depan kita akan menjumpai padukuhan pertama telatah Anjuk Ladang."
sambung Arya Dipa.
.
"Kupercayakan langkah kaki ini kepadamu, kakang."
.
"Bagus. Itu lebih baik. Jika kau tidak mempercayakan langkah kepadaku, bisa -
bisa kau akan terjerumus ke lumpur hisap." Arya Dipa memcoba
mempermainkan sahabatnya itu.
.
"He.. Benarkah itu, kakang ?" Windujaya setengah percaya.
.
"Coba saja kalau kau tidak percaya. Di jalan sebelah kiri itu, meskipun
nampaknya ditumbuhi rumput hijau, tetapi sebenarnya dibawahnya adalah
pasir hisap." Kata Arya Dipa, tetapi dalam hati tertawa penuh kemenangan.
.
Diamati apa yang ditunjuk oleh Arya Dipa tadi. Yang terlihat memang suburnya
rumput hijau saja.
.
"Ah.. Masakah di tempat seperti ini ada tanah hisap ?" Windujaya bertanya
dalam hati, "Tanah di jalan ini saja keras seperti ini."
.
P a g e | 529

Timbulah rasa penasaran dalam hati pemuda itu. Entah mengapa kakinya
bergerak mendekati rimbunnya rumput, dan.....
.
"Byuuuuuuur......!"

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 8 BAG 20
OLEH : MARZUKI
:::::::::::::::::::::::::::::::
:::::::::::::::::::::::::::::::
"Kau hampir saja berhasil mengelabuiku, kakang." seru Windujaya sambil
melotot, sesaat setelah adanya suara benda yang jatuh ke bawah rumpun
tanaman liar.
.
Ternyata saat Windujaya hampir mendekati rimbunnya tanaman liar, tak
sengaja mata pemuda itu melihat adanya genangan air tertutup daun. Oleh
karena Windujaya menendang batu sebesar kepala bayi itu. Tentunya
tendangan itu dilambari ilmu cadangan.
.
Meskipun tipuan berujung gurauan itu terbongkar, Arya Dipa mencoba
berkilah, "A..ku benar tidak tahu, adi. Dahulu, tempat ini banyak lumpur
hisapnya."
.
"Tidak kakek tidak cucu, sama saja. Senang mempermainkan orang." gerutu
Windujaya dan langsung berjalan meninggalkan tempat itu.
.
Arya Dipa tertawa lepas dan mengikuti langkah Windujaya dengan berlari kecil.
.
Sampailah keduanya di padukuhan paling ujung telatah tanah perdikan Anjuk
Ladang. Di regol padukuhan terkesan sepi, padahal sang surya baru gemelincir
dari titik tengah cakrawala. Bahkan rumah - rumah yang dilewati oleh
keduanya, tiada yang membuka pintunya.
.
"Suasana perang terasa sampai di padukuhan ini, kakang." desis Windujaya.
.
"Sepertinya penghuni padukuhan ini mengungsi meninggalkan rumah mereka."
sahut Arya Dipa.
P a g e | 530

.
Padukuhan itu benar - benar tak berpenghuni. Semenjak pasukan bang wetan
yang dipimpin langsung oleh Panembahan Bhree Wiraraja, ki Bekel padukuhan
itu menganjurkan kawulanya untuk sementara waktu menyingkir dari
padukuhan Wilangan. Dan segenap kawula yang menganggap perang
adalah hantu yang menakutkan, bergegas menyingkir ke rumah kerabatnya
yang jauh dari garis medan perang atau menuju ke pusat tanah perdikan.
.
Harta berupa benda tak banyak terbawa, hanya pakaian sekedarnya dan
ternak saja yang di bawa mengungsi. Bila mereka kembali dari pengungsian,
mereka berharap rumah mereka tak mengalami kerusakan akibat perang.
Entah itu dari pasukan yang kalah atau pasukan yang menang.

Padahal mereka tahu, semenjak dahulu pasukan yang kalah dari perang selalu
bertindak semaunya sendiri. Tidak lagi menggunakan nalar, sehingga selalu
melakukan penjarahan berupa harta dan benda. Bahkan bila melewati
padukuhan yang ada wanita atau gadis, tindakan mereka lebih berbahaya,
khususnya tindakan ini dilakukan oleh prajurit bekas begal atau perampok.
.
Langkah kaki pun tiba di jalan depan banjar padukuhan. Banjar dengan
pelataran luas dan adanya sebatang pohon bramasta atau beringin,
membuat suasana terasa segar. Pagar dari pelataran banjar itu berbeda dari
banjar - banjar yang dilalui oleh Arya Dipa dan Windujaya. Tanaman beluntas
semata yang dijadikan pagar hidup, sehingga semuanya terkesan alami.
.
Kemungkinan jikalau tiada perang di Purbaya, padukuhan ini lebih hidup dan
semarak. Sayanglah perang terjadi dengan hebatnya di garis Purbaya dan
Kurawan.
.
"Kau ingin istirahat lagi, adi ?" tanya Arya Dipa saat memperhatikan Windujaya
terus melihat ke tengah pelataran banjar.
.
Tetapi gerakan kepala Windujaya mengisyaratkan penyanggahan, "Tidak,
kakang. Langkah kaki kita baru puluhan tombak. Jika kita sering istirahat,
rahasia di kali Brantas sudah didahului orang."
.
"Hm.. Baguslah kalau begitu. Kita teruskan perjalanan ini."
.
P a g e | 531

Seiring dengan langkah kaki Windujaya dan Arya Dipa, sang surya yang
seharian memberikan sinarnya dibelahan buana, kini tergantikan kegelapan
menyelimuti langit. Untunglah Sang Pencipta memberikan kemurahanNYA
berupa kerlip bintang gemintang. Cahaya kerlip itu mampu membantu
menerangi jalan yang dilalui oleh Arya Dipa dan Windujaya, apalagi kedua
pemuda itu dikaruniai mata setajam burung hantu di malam hari.
.
Kala itu keduanya menyusuri bulak ombo yang memisahkan padukuhan
Wilangan dengan Sela. Semenjak keduanya memasuki bulak itu, mereka
merasakan adanya seseorang yang selalu mengawasi dan mengikuti.
.
"Kau merasakan adanya keganjilan ini, adi ?" desis Arya Dipa.
.
"Iya, kakang. Mungkinkah mereka sebangsa begal dan kecu ?"
.
"Siapa pun mereka, sebaiknya kita selalu waspada." kata Arya Dipa, lirih.
.
"Wuuuss..... Claap.. "
.
Dua anak panah lepas dari busurnya, menyambar sangat deras dan cepat
mengarah Arya Dipa dan Windujaya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 8 BAG 21
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
DUA anak panah lewat setipis rambut dari tubuh Windujaya dan Arya Dipa.
Kesebatan keduanyalah yang mampu membuat anak panah lewat dan
menancap di pohon randu.
.
Meskipun serangan gelap itu tak menemui hasil, para penyerang gelap tiada
menampakan batang hidungnya. Suasana kembali mencekam oleh kesunyian
bulak ombo. Windujaya dan Arya Dipa penasaran dengan sikap para
penyerang yang belum juga melakukan tindakan lanjutan.
.
Oleh karenanya Windujaya berseru, "He.. Kemarilah, kisanak. Janganlah
bermain petak umpet !"
P a g e | 532

.
"Wuuuusss... Wuuuuusss.. Wuuusss.. Wuuusss... !"
.
Seruan Windujaya terbalas oleh luncuran empat batang anak panah dari balik
gerumbul sisi utara. Ancaman penuh kematian itu bukan masalah bagi kedua
pemuda pilih tanding yang berpengalaman dalam melakukan penghindaran.
Selekas bunyi kesiur angin, gerak cepat meliuknya tubuh dapat melepas
ancaman anak panah.
.
Dua kali serangan gelap tak mendapatkan mangsa, akhirnya para penyerang
gelap menyibak gerumbul dan meloncat menerjang kedua pemuda. Empat
orang memakai cadar dengan senjata dalam genggaman, mautlah tindakan
pamungkas.
.
Dua orang bercadar bersenjata pedang dan trisula, menyergap Arya Dipa.
Sisanya yang bersenjatakan sepasang pisau panjang dan rantai berbandul,
mengancam Windujaya.
.
Dari senjata dan tata gerak dari penyerang, sudah menunjukan keahlian yang
sangat mumpuni. Gerakan setiap langkah mereka mampu bekerja sama satu
dengan lainnya. Sehingga setiap langkah Arya Dipa dan Windujaya selalu
mendapat tekanan hebat dari orang - orang bercadar.
.
"Tata gerak mereka melebur menjadi satu. Seolah dua tubuh ini, diperintah oleh
satu pikiran saja." batin Arya Dipa, yang masih menghindari serangan lawan.
.
Sementara itu, Windujaya mengisar langkahnya ketika tajamnya pisau panjang
hampir menusuk lambungnya. Tetapi berhasilnya ia menghindar, kesiur angin
dari luncuran rantai besi, sudah mengancam punggungnya.
.
"Tring... !"

Panggraita Windujaya yang tajam telah menggerakan tangannya untuk


mencabut keris panjang, pusakanya. Keris kyai Samber Geni menangkis
luncuran rantai besi berbandul, dan membuat suara berdenting serta percikan
bunga api.
.
Saat bersamaan apa yang dialami oleh Arya Dipa, juga membuat pemuda itu
P a g e | 533

melepas pedang kyai Jatayu. Pedang tipis itu bergerak ringan membabat
setiap serangan senjata lawan. Sehingga kedua lawannya tercengan dengan
wujud senjata pemuda itu, yang sangat tipis tapi dapat menahan pedang dan
trisula lawan.
.
Apalagi rasa kejut dirasakan oleh salah satu orang bercadar. Lengannya bagai
disengat api dan pedangnya hampir lepas dari tangannya, manakala pedang
kyai Jatayu menyabet dengan sisi daunnya.
.
"Setan tetekan... !" umpat orang bercadar bersenjatakan pedang.
.
Untunglah kawannya yang mengetahui adanya ancaman, segera
membantunya dengan melancarkan tusukan trisula ke punggung Arya Dipa.
Namun orang itu terkejut bukan main dan sempat terkilas sebuah kekaguman
dalam benak orang itu.
.
Serangan di titik buta dapat dihindari Arya Dipa dengan melakukan gerakan
indah. Tubuh pemuda itu melenting melewati tubuh orang bercadar bersenjata
trisula, dengan badan memunggungi orang itu. Dan akibatnya, orang itu
hampir mendapatkan sabetan di pundaknya, jikalau ia tidak bergegas
menjatuhkan tubuhnya.
.
Mereka tak mengira atas kemampuan kedua orang itu. Biasanya, orang - orang
yang dicurigai saat melewati bulak ombo antara padukuhan Wilangan dan
Sela, mampu ditumbangkan dengan cepatnya. Terakhir korban mereka adalah
Sepasang Ular dari Lembah Lawu, yaitu ki Sawer Gambuh dan nyi Wilatsih.
.
Sepasang Ular itu meskipun seorang ahli kanuragan yang menggemparkan,
berkat kerjasama dari keempatnya, tumbang bersimbah darah.
.
"Siapa kalian ini, anak muda ?!" seru salah seorang bercadar.
.
"Bila kami menjawab, apakah kalian akan meminta maaf kepada kami ?"
Windujayalah yang membalas.
.
"Tutup mulutmu, anak muda !" bentak orang bercadar bersenjata rantai besi
berbandul, " di sini, kamilah yang berkuasa !"
P a g e | 534

"Hehehe.. Sepertinya kalian bukanlah sebangsa begal ataupun kecu. Apa


sebenarnya maksud kalian ?"
.
"Banyak bicara kau, anak setan !" kembali orang bercadar bersenjata rantai
besi berbandul membentak seraya menyabetkan senjatanya.
.
Sabetan penuh tenaga itu berhasil dihindari Windujaya. Tapi akibatnya sabetan
yang masih berlanjut itu, menghantam tanah dan membuat tanah
bermuncratan.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 8 BAG 22
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
TANAH tergores sepanjang hantaman rantai besi orang bercadar. Dan
selamatlah orang bercadar bersenjatakan sepasang pisau panjang dari
amukan Windujaya.
.
Selanjutnya di bulak ombo itu semakin seru dan sengit. Tata gerak mulai
menunjukan perubahan yang lebih trengginas dan mantab dalam setiap
melakukan penekanan terhadap dalam. Setingkat demi setingkat kemampuan
orang - orang bercadar dan kedua pemuda, bagai pergerakan hantu di
malam hari. Kaki seringan kapas bergerak mengisar atau pun mendlupak
penuh tenaga.
.
Kenyataan itu membuka mata orang - orang bercadar untuk semakin berbuat
lebih dalam menghadapi lawan mereka yang masih muda. Sepertinya malam
ini keempat orang bercadar harus bekerja lebih lama bila dibandingkan malam
- malam yang lalu.
.
Semenjak mereka berada di bulak ombo dalam melakukan tugas kali ini,
barulah kali ini lawan yang mereka hadapi, mampu bertahan samapi sebegitu
lamanya. Bahkan keempat orang itu sulit melakukan penekan dalam
segalanya. Dari ancaman penyerangan gelap, gertakan dan lepasnya senjata,
lawan tak gentar sedikit pun. Malah lawan yang termuda selalu berkata
lantang dan terkesan mempermainkan mereka.
P a g e | 535

.
Selain itu adanya kedua senjata berupa pedang tipis dan keris panjang
membara, mengejutkan orang bercadar itu. Pedang berdaun tipis setebal
daun pisang mampu menghalau besi bahan trisula dan pedang orang
bercadar. Juga keris ditangan pemuda yang termuda, sangat aneh dan
menyeramkan. Keris itu sepanjang juluran tangan orang dewasa dan
memancar warna merah menyala.
.
"He.. Anak setan !" seru orang bercadar bersenjata rantai besi berbandul,
"Bukankah kerismu itu, kyai Samber Geni ?"
.
Windujaya mengernyitkan alisnya ketika lawannya dapat mengenali
senjatanya. Maka setelah mencoba mengaitkan dengan masa yang lalu,
menyangkut senjata dan pemiliknya terdahulu, lantas Windujaya berkata.
.
"Kau mengenali senjata ini, kisanak. Adakah kau mengenal pamanku yang
menjadi Demang di Lasem ataukah kau teman Tumenggung Plangkrongan ?"
.
"He... " hati orang bercadar bersenjata rantai besi berbandul, tercekat.

Sambil mundur menjaga jarak, orang itu berpikir dengan apa yang ditanyakan
oleh pemuda itu. Di sebutnya Tumenggung Plangkrongan dan ki Demang dari
Lasem, membuat hati orang itu bimbang.
.
"Kawan atau lawan, sebenarnya anak muda ini ?" batinnya dalam hati.
.
Keraguan orang bercadar itu sangat merugikan kawannya. Orang bercadar
bersenjata sepasang pisau panjang, terdesak hebat dalam kurungan keris
Windujaya.
.
"He... Mengapa kau mematung seperti itu ?!" seru kawannya kepada orang
bercadar bersenjata rantai besi berbandul, "Jangan termakan perkataan anak
kecil ini. Tentu ia mencuri senjata itu dari pemiliknya !"
.
"Oh.. " desuh orang bercadar bersenjata rantai besi berbandul, yang sadar
dengan kecerobohannya.
.
Kembali orang bercadar bersenjata rantai besi meloncat membantu
P a g e | 536

kawannya. Meskipun begitu ia masih mencoba mencari kepastian pada diri


lawannya.
.
"Apakah kau mencuri senjata itu dari Tumenggung Plangkrongan ?"
.
Akhirnya umpan yang dilontarkan Windujaya termakan oleh lawannya. Dengan
menuduhnya mencuri pusaka itu dari tangan Tumenggung Plangkrongan,
menandakan kalau lawan hanya mengenal Tumenggung dari Tuban, dan itu
berarti orang - orang ini ada sangkut pautnya dengan pasukan Bang Wetan.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 8 bagian 23
oleh : Marzuki
###########
###########
Semuanya semakin terbuka adanya. Windujaya dapat memastikan siapa para
penyerangnya itu. Oleh sebab itulah tanpa menunda lagi, Windujaya berseru
kepada sahabatnya.
.
"Kakang Dipa, lawan kita tidak lain dan tidak bukan adalah prajurit Bang Wetan
!"
.
Seruan dari anak termuda itu sebenarnya tidak hanya untuk pemberitahuan
kepada Arya Dipa semata, melainkan itu merupakan tanda bagi lawan yang
sudah gagal dalam penyamaran jati dirinya.
.
Dan orang yang paling terkejut ialah orang bercadar bersenjata trisula. Orang
itu sangat kesal kepada salah seorang kawannya yang bersenjata rantai besi
berbandul, yang sudah tanpa sadar membuka jati diri mereka. Dengan begitu
sudah tidak ada lagi untuk hanya bermain loncatan saja.
.
Sebuah isyarat dari mulut orang bercadar bersenjata trisula, sebuah lengkingan
keras menggema sebagai tanda perubahan penyerangan. Tata gerak dari
keempatnya serentak berpadu satu dengan lainnya, menjadikan bentuk rumit
bagi lawan mereka. Sebuah bentuk yang mereka namakan Panca Kiblat
Marga Pralaya.
.
P a g e | 537

Di mana mereka mengawali dengan menggiring lawan dalam satu titik saja.
Kemudian menahan merekan dengan rapat tanpa adanya sela yang dapat
membuat lawan lolos dari kurungan. Lalu bila lawan sudah tepat di titik tengah,
serentak mereka meloncat mundur dalam jarak tiga langkah.
.
Tetapi meskipun jarak itu akan dimanfaatkan bagi lawan untuk mencoba
keluar, kegagalan bagi lawanlah yang terjadi. Karena keempat orang
bercadar akan menghalau kembali lawan itu. Sehingga akan sulit menerobos
kepungan yang terlihat longgar.
.
Demi mengetahui kemampuan orang - orang bercadar dalam menyusun
kerjasama yang apik dan teratur itu, keyakinan Arya Dipa dan Windujaya
semakin mantab kalau yang mereka hadapi benar - benar prajurit terlatih. Dan
kini yang menjadi perhatian adalah apa tujuan dari penghadangan di bulak
ombo itu ? Inilah yang membuat tanda tanya dibenak Arya Dipa dan
Windujaya.
.
Tanda tanya itu untuk sementara harus mereka lupakan sejenak. Karena lawan
mulai bergerak serentak dalam badai serangan. Kesiur angin dari setiap penjuru
bagai jalur maut meminta tumbal. Tajamnya tiga pucuk trisula, kerasnya
bulatan rantai berbandul, ganasnya sepasang pisau panjang dan mengerikan
sebilah pedang pandan eri, mengarah serentak ke pusat kepungan.

Hembusan maut mulai menyeruak di jalan bulak ombo antara padukuhan


Wilangan dan Sela, yang berada dalam telatah tanah perdikan Anjuk Ladang.
Setiap senjata yang diluncurkan tanpa adanya rasa kasihan langsung
menggebrak penuh kebengisan kepada dua manusia yang terdiri dari
segumpal daging dan darah.
.
Bila kedua pemuda dalam kepungan bukanlah orang mumpuni, sudah pasti
malaikat maut mengakhiri keduanya dengan perantara serangan Panca Kiblat
Marga Pralaya. Nyawa kedua pemuda pilih tanding itu masih dalam lindungan
Sang Pencipta. Ilmu Niscala Praba dan Serat Bayu menyeruak dari dua tubuh
dan menghempaskan terjangan senjata penyerang.
.
"Byaar.. Deesss.. Deesss.. Deesss.. Deeesss... !"
.
Empat orang bercadar terhempas bagai layangan putus dengan darah
P a g e | 538

membasahi bibir mereka. Tubuh mereka masih menggeliat dan berusaha untuk
bangkit kembali. Namun kedua pemuda tidak membiarkan mereka berlaku
bebas, dengan loncatan cepat mereka mencengkeram tubuh satu dan
menangkap tubuh lainnya untuk dikumpulkan menjadi satu tempat.
.
"Wuuuss.. Wuuusss.. Wuuss.. Wuuss.. !"
.
Entah dari mana datangnya kesiur angi telah menunmbangkan keempat
orang bercadar. Nyawa orang - orang bercadar terenggut oleh seorang yang
tidak diketahui itu.
.
Dan kenyataan itu mengagetkan Arya Dipa dan Windujaya, yang tak mengira
atau pun mengetahui adanya keberadaan seseorang selain mereka.
.
"Untuk saat ini kalian beruntung anak muda !" sebuah seruan menggema
memantul dari segala penjuru.
.
"Keluarlah, kisanak !" balas Windujaya, "Apa maksud dari semua ini ?!"
.
"Hahaha... Janganlah kau berlaku seakan - akan ini tempatmu !" kembali
seruan terdengar, "Urungkan niatmu dalam pencarian pusaka yang saat ini
menjadi rebutan orang - orang linuweh.. !"
.
"Ho.. Jadi kau juga menginginkan pusaka itu, kisanak ?!" tanya Windujaya.

Hening dan sunyi. Tiada balasan dari orang yang belum tahu wujudnya itu.
Sehingga Windujaya kembali melantangkan suara. Tapi sia - sia saja, tak ada
balasan sedikit pun.
.
"Sudahlah, adi. Sepertinya orang itu sudah pergi." kata Arya Dipa.
.
"Sebaiknya kita mengurus mayat - mayat ini. Kasihan raga yang semakin dingin
ini jika tida kita urus." sambung Arya Dipa.
.
"Mari, kakang."
.
Dengan alat seadanya, keduanya mengubur empat orang bercadar agar
tidak dimangsa binatang liar dan buas. Lubang yang tidak terlalu dalam
P a g e | 539

sebagai peristirahatan terakhir dari keempatnya, ditimbuni lagi dengan


bebatuan yang akan menyulitkan binatang buas untuk menggalinya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 8 bagian 24
oleh : Marzuki
##########
##########
SELESAI mengubur empat penyerangnya, Arya Dipa dan Windujaya menuju
padukuhan Sela. Mereka berharap bertemu dengan penghuni padukuhan itu.
.
Masih ditengah jalan penghubung jalur Purbaya dan telatah perdikan Anjuk
Ladang, kedua pemuda itu masih membicarakan orang yang membunuh
empat orang bercadar.
.
"Siapapun dia, yang jelas dia mempunyai kepentingan yang sama dengan kita,
adi." kata Arya Dipa.
.
"Hm.. Dia dengan mudahnya membuat orang - orang bercadar tumbang. Dan
jika itu diarahkan kepada kita, keadaan yang paling buruk tak dapat aku
bayangkan." suara Windujaya agak bergetar.
.
Arya Dipa pun juga menyadarinya. Keberadaan dan bidikan orang tadi tidak
diketahui sama sekali. Ini merupakan teka - teki yang menyulitkan bagi pemuda
itu. Mengapa orang itu membiarkan keduanya hidup, jika orang itu kawan
empat orang bercadar ? Dan jika bukan kawan orang bercadar, tetapi dia pun
menginginkan pusaka yang direbutkan. Sehingga apabila orang itu
mencelakai Arya Dipa dan Windujaya, bukankah ia dapat mengurangi jumlah
saingan ?
.
"Semuanya bagai kabut di lembah pegunungan. Kepekatannya menghalangi
pandangan mata. Bahkan kalau melangkah dengan meraba - raba,
seseorang masih bisa terperosok dalam jurang yang curam." desis Arya Dipa,
perlahan.
.
Sementara itu orang yang tadi membidik empat orang bercadar, berjalan
dengan tenangnya sambil tersenyum cerah. Dia lelaki tampan dengan
P a g e | 540

pakaian bersih dan bahkan terkesan mewah. Ikat kepala hijau pupus
merupakan ciri khusus yang selalu dikenakan lelaki tampan tersebut.
.
Tepat langkah kaki menuruni tanggul sungai, sebuah teguran halus
membuatnya memalingkan wajah ke arah suara teguran itu.
.
"Raden, mengapa kau bunuh kawan sendiri ?"
.
"Maksud paman, empat Serigala itu ?" lelaki dengan ikat kepala hijau pupus,
balik bertanya.
.
"Benar, Raden. Ki Dampit dan kawan - kawannya adalah prajurut di bawah
pimpinan ki Rangga Rawes. Apabila suatu hari nanti ki Panji Sengganggeng
mengetahui hal ini, kita akan mengalami kesulitan, Raden."

Lelaki tampan yang dipanggil Raden itu, tertawa hambar, "Hehehe.. Mengapa
paman Walang Yuda berdebar dengan ki Panji Sengganggeng ? Meskipun ia
saudara Panembahan Bhre Wiraraja, tetapi sejak pasukannya kalah di
kademangan Kanduruan ia tidak mempunyai kekuatan."
.
"He.. Mana mungkin itu, Raden Sajiwo ?" ki Walang Yuda terlihat terperanjat.
.
Raden Sajiwo duduk diatas batu, "Saat pertempuran seru di Kanduruan, ia
mendapat lawan yang tangguh dari pihak Demak. Seorang pemuda dari
kadipaten Jipang."
.
"Ah.. Janganlah Raden bergurau. Ilmu ki Panji Sengganggeng sundul langit dan
bahkan dua tingkat dibawah gusti Panembahan sendiri." ki Walang Yuda
menganggap keponakannya itu bergurau.
.
Meskipun perkataannya tidak meyakinkan pamannya, Raden Sajiwo tidak
marah. Ki Walang Yuda merupakan paman dari pihak ibunya, yaitu tepatnya
adik ibunya dari kalangan kawula biasa, selalu berada disampingnya sejak
Raden itu masih kecil. Sehingga pamannya inilah orang yang ia percayai dan
selalu diajaknya.
.
"Paman, perlu paman ketahui siapa sebenarnya lawan ki Panji Sengganggeng
itu. Pemuda itu masih trah Demak dan seandainya Pangeran Kinkin menjadi
P a g e | 541

sultan Demak, pemuda itulah yang akan menjadi adipati anom."


.
"He... Oh Raden, janganlah kau membuatku pening. siapakah pemuda itu
sehingga Raden berani mengandaikan Pangeran Kinkin ?"
.
"Dialah putra sulung Pangeran Sekar sedo ing Lepen. Kalau tidak salah nama
pemuda itu, Bagus Aryo Penangsang... Ya Aryo Penangsang, murid kinasih
Kanjeng Sunan Kudus." jawab Raden Sajiwo.
.
Bagai terdengar suara guntur, ki Walang Yuda terhenyak sesaat dalam
keheranan atas pemuda itu. Tetapi jika pemuda itu benar dalam asuhan bekas
Senopati Demak, semuanya pasti benar jiam pemuda itu mampu menandingi
kemampuan ki Panji Sengganggeng.
.
"Demak sepertinya semakin kuat saja, Raden. Calon - calon senopati bagai
tumbuh subur dalam naungan kesultanan itu."
.
"Karena itulah, aku akan memanfaatkan keadaan bagaimana pun juga.
Ingatkah kau dengan peristiwa di pinggir bengawan saat tewasnya Raden
Kinkin, paman ?"

Ki Walang Yuda sejenak mengernyitkan kening. Dirinya mencoba mengenang


kejadian itu. Bayangan itu muncul dengan dua prajurit dari Wira Manggala
yang membawa keris pusakan Brongot Setan Kober. Lalu kedua prajurit itu
tewas setelah memasuki sebuah gubuk dan gubuk itu dibakar oleh seorang
bangsawan dengan ciri ikat kepala hijau pupus.
.
"Oh.. Radenlah yang menyusun rencana itu. Lalu apakah Raden masih
mempunyai siasat dengan memanfaatkan pemuda itu ?" tanya ki Walang
Yuda, berapi - api.
.
Raden Sajiwo tersenyum simpul. Matanya yang tajam seolah menerawang
kekejauhan, menembus gelapnya malam.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 8 BAG 25
OLEH : MARZUKI
P a g e | 542

#############
.
GEMERICIK air sungai terdengar jelas ditelinga kedua paman dan keponakan
itu. Raden Sajiwo dan ki Walang Yuda masih melakukan pembicaran dipinggir
sungai. Hingga datanglah seseorang yang dikenal oleh keduanya.
.
Orang yang baru muncul itu seorang lelaki dengan perawakan tegap, dada
bidang dengan sedikit bulu dari pakaian yang sedikit terbuka. Kumis sekepal
menambah kesangaran orang itu.
.
"Apa yang akan kau laporkan, Wara Lintang ?"
.
Orang itu mencangkupkan telapak tangannya dekat dahi, "Gusti Raden, Putra
Pangeran Singasari ingin bertemu dengan gusti Raden."
.
Sebelum Raden Sajiwo menjawab, ki Walang Yuda mendahului, "Di mana dia
sekarang, Wara Lintang ?"
.
"Ia menunggu di barat kali Brantas, ki Wialang Yuda."
.
Sejenak ki Walang Yuda memandang keponakannya. Tetapi yang dipandang
tiada kesan tertentu. Wajahnya datar saja seperti tak acuh.
.
"Akankah Raden mau menemuinya ?" tanya Walang Yuda.
.
"Wara Lintang, siapkan pengamanan yang cukup di seberang kali Brantas, aku
akan menemuinya. Dan perintahkan Gajah Tangen mengawasi dua pemuda
yang saat ini memasuki padukuhan Sela." akhirnya Raden Sajiwo memberikan
perintah.
.
"Sendiko, Raden."
.
Kemudian Wara Lintang bergegas menaiki tanggul dan hilang dikegelapan
malam. Tinggalah Raden Sajiwo dan ki Walang Yuda lagi yang masih di
pinggiran sungai untuk beberapa lama.
..........

Dari Sungai berjarak ratusan tombak Wara Lintang menyusuri kelokan jalan
P a g e | 543

setapak menggunakan kuda hitam legam. Kuda itu berhenti di gubuk yang
khusus dibangun oleh orang - orang Raden Sajiwo. Dari gubuk inilah yang
dijadikan sarang untuk melakukan pergerakan mereka.
.
Belum kaki menginjak di tanah, dua orang lelaki berbadan tinggi tegap telah
keluar dari persembunyiannya. Keduanya menyongsongkan tombak pendek
mereka terhadap Wara Lintang.
.
"Hm.. Bagus, kesiagaan kalian sangat tinggi." puji Wara Lintang.
.
"Oh.. ki Lurah !" seru keduanya dan segera menunduk hormat.
.
"Di mana Gajah Tangen ?" tanya Wara Lintang setelah turun dari kuda dan
menyerahkan tali ke salah seorang.
.
"Kakang Gajah Tangen di dalam, ki Lurah." jawab salah seorang.
.
"Hm.. Baiklah. Kembalilah berjaga - jaga." perintah Wara Lintang dan seterusnya
memasuki gubuk.
.
Gubuk itu cukup luas dan bersih. Di empat pojok ada dian sebagai
penerangan dari gelapnya malam. Di dalam lima orang sedang duduk - duduk
sambil berbicara ringan. Dan saat pintu terbuka, kelima orang itu serempak
menatap pintu.
.
"Ki Lurah... " seru semuanya.
.
Wara Lintang masih tak berbicara. Ia meraih kendi dan meneguk air dalam
kendi. Rasa haus dari tadi barulah terobati setelah melewati ratusan tombak
dari seberang kali Brantas, mencari keberadaan Raden Sajiwo dan selanjutnya
bergegas ke gubuk yang berada di gumuk.

"Gajah Tangen."
.
"Iya, ki Lurah."
.
"Pergilah ke padukuhan Sela. Di sana ada dua pemuda yang harus kau awasi
gerak - geriknya." perintah Wara Lintang.
P a g e | 544

.
"Hanya mengawasi saja, ki Lurah ?"
.
"Begitulah yang diperintahkan oleh junjungan kita. Bawalah tiga atau empat
orang, supaya jika kalian bertemu kelompok ki Panji Seganggeng tidak
mengalami apa - apa."
.
"Baik, ki Lurah." dan Gajah Tangen bersama tiga kawannya keluar menuju
padukuhan Sela.
.
Sepeninggal Gajah Tangen dan ketiga kawannya, Wara Lintang mewantin -
wanti kepada anak buahnya yang tersisa, supaya berhati - hati di gubuk itu.
Bila ada sesuatu yang mencurigakan, selekasnya harus melaporkan ke gubuk
utama di seberang kali Brantas. Setelah memberikan pesan, Wara Lintang pergi
dari gubuk di gumuk dan bergegas ke seberang kali Brantas.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 8 BAG 26
OLEH : MARZUKI
############
.
LEBIH dari dua puluh orang bersiaga di seberang kali Brantas, terutama di
bangunan yang baru dibangun sekitar dua pekan yang lalu. Wara Lintang
yang sudah berada di tempat itu, sudah mempersiapkan segalanya dan
mengawasi jalur masuk ke tempat itu. Itu semua dipersiapkan untuk menjaga
kemungkinan buruk apabila terjadi dikemudian.
.
Nantinya di tempat ini, selain kedatangan seorang pemuda yang mengaku
putra Pangeran Singasari, masih ada tiga tamu khusus. Tentunya mereka akan
membicarakan pusaka dan harta peninggalan Wilwatikta.
.
Orang yang pertama datang ke bangunan itu, sepasang lelaki perempuan
dengan penampilan layaknya orang - orang ahli kanuragan. Si lelaki berbadan
kurus tinggi menggunakan pakaian berwarna merah tua, di balik punggungnya
menggantung pedang bertangkai kepala naga. Si perempuan berbadan
langsing dengan kulit kuning langsat, di bawah bibir agak di pojok dihiasi tahi
lalat, menambah kecantikan wanita ini, di tangannya membekal kipas putih
P a g e | 545

bergambar naga hijau.


.
Sepasang tokoh kanuragan ini dikenal dengan sebutan sepasang naga dari
gunung Welirang. Jayakusuma dan Nila Gandasari, murid Kyai Nagarata. Sepak
terjang keduanya dalam dunia kanuragan, tidak bisa dipandang sebelah
mata. Sebagai murid Kyai Nagarata, keduanya mendapatkan gemblengan
secara khusus sehingga hampir menguasai seluruh ilmu gurunya.
.
Tidak berselang lama, muncul lelaki tambun berpakaian agak kumal dengan
tongkat dari galih pohon asem. Dialah Ra Srimpang, tokoh kanuragan dari
Paciran yang selalu membawa kekonyolan disetiap langkahnya. Meskipun
begitu, orang ini mampu menggetarkan hati banyak orang.
.
Selanjutnya lelaki tua berpakaian loreng dari kulit harimau. Wajahnya meskipun
sudah keriput namun sisa - sisa ketampanannya masih terlihat. Dia tidak lain ki
Sardulo Liwung, tokoh kanuragan dari pantai Prigi.
.
Yang paling terakhir adalah rombongan dari putra Pangeran Singasari. Mereka
berjumlah enam orang dari kalangan bangsawan dan tokoh kanuragan.
Pemimpinnya seorang pemuda tampan dengan dagu ditumbuhi rambut tipis
lancip, yaitu Raden Sanjaya dengan pendamping setianya Duaji. Lalu Bango
Banaran, ki Widarba dari Jipang, Gonggang Keling dari pulau Karimun dan ki
Pandak Wengker dari Ponorogo.

"Silahkan tuan - tuan. Sebentar lagi Raden Sajiwo akan datang." sambut Wara
Lintang.
.
"Jadi kami harus menunggunya ?" seru Ra Srmpang, agak mendongkol, "Huh..
Jauh - jauh aku datang, tapi tuan rumah enak keluyuran."
.
Semua orang tak mengacuhkan lelaki tambun itu. Mereka sudah paham betul
dengan perangai orang satu ini. Jika diladeni akan menimbulkan permasalan
yang panjang dan melelahkan.
.
Hanya ki Sardulo Liwung saja yang tidak segan - segan. Orang tua itu
melototkan matanya ke arah Ra Srimpang sambil menggerutu.
.
"He.. Anak gendut, apa kau tidak lelah dengan mulutmu yang mengoceh itu ?"
P a g e | 546

.
Di tegur seperti itu, Ra Srimping menggebrak meja pelan. Anehnya meja yang
bergetar keras itu tidak membuat gelas - gelas air minum diatasnya bergoyang
dan tumpah.
.
"Wah - wah... Belum ada sepenginang kau sudah melakukan pangeram - eram,
bocah gemblung." kata ki Sardulo Liwung, "Lihatlah... "
.
Orang dari pantai Prigi itu meniup salah satu gelas yang ada di hadapan Ra
Srimpang. Apa yang terjadi sungguh mengagumkan. Gelas itu tidak mengapa,
melainkan isinyalah yang membeku bagai terkena bedinding sewindu di
puncak Mahameru. Dan gelas itu oleh Ra Srimpang di pegang.
.
"Nyeees.... "
.
Gelas terasa dingin hingga Ra Srimpit menggigil kedinginan, dan mendesuh
kejut, "Oh... Serat Tirta.."
.
"Hehehe... itu baru seperempat tenaga yang aku terapkan, tapi kau sudah
kelimpungan macam curut terendam di parit..." ucap ki Sardulo Liwung dengan
angkuhnya.
.
"Deesss..... "

Kaki Ra Srimpang menghujam bumi. Tetapi dari kakinya tersalur tenaga kasat
mata dan menyusup tanah mengarah dingklik yang ditempati oleh ki Sardulo
Liwung. bumi di bawah orang pantai Prigi bergetar hebat dan selanjutnya
dingklik yang diduduki terlontar ke langit - langit bersama si empunya.
.
"Braaak... !"
.
Dingklik lumat berkeping - keping. Sedangkan ki Sardulo Liwung walau mampu
dilontarkan tinggi - tinggi, tapi masih bisa menguasai tubuhnya dengan
berjungkir balik di udara seraya melepas kain panjang menyilang dan hinggap
di atasnya. Dan tubuh itu berdiri diatas kain bagai tiada beban.
.
"Plok.. Plok.. Plok.. "
.
P a g e | 547

Sebuah tepukan tangan menyita perhatian semua orang, tak terkecuali.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 8 BAG 27
OLEH : MARZUKI
############
.
RADEN Sajiwo yang didampingi ki Walang Yuda melangkah menghampiri ki
Sardulo Liwung yang sudah menginjakan kakinya ke lantai bangunan. Dan
mengajak orang dari pesirir pantai Prigi kembali duduk bersama.
.
"Maafkan kami yang datang terlambat, sehingga kami tidak bisa menyambut
tuan - tuan dengan selayaknya." ucap Raden Sajiwo.
.
Ucapan itu bagi Ra Srimpang mampu menenangkan perasaannya.
Kekesalannya terhadap ki Sardulo Liwung bagai terkena angin dan lenyaplah
seketik. Dia lebih mengutamakan apa yang akan dikatakan oleh Raden Sajiwo
selanjutnya.
.
"Tuan - tuan sekalian. Semakin hari, tepian kali Brantas bertambah ramai atas
kedatangan tokoh - tokoh kanuragan atau pun para bangsawan." sejenak
Raden Sajiwo berhenti demi melihat kesan dari para tamu undangannya, "Dua
tiga kejadian akhir - akhir ini mulai mewarnai tepian kali Brantas. Mungkin
kisanak semua sudah mengetahuinya ?"
.
Semua yang hadir saling berpandangan satu dengan lainnya. Kejadian di
tepian kali Brantas yang disebutkan oleh bangsawan Kadiri itu, kurang
dipahami. Kecuali pencarian pusaka dan harta peninggalan Wilwatikta. Oleh
karenanya, Jayakusuma memberanikan diri untuk bertanya.
.
"Raden, mohon kiranya hamba yang cubluk ini meminta kesediaan tuan untuk
menerangkannya."
.
Tutur kata yang diucapkan oleh Jayakusuma terkesan halus dan tulus. Inilah ciri
khusus pembawaan dari murid tertua kya Nagarata. Seorang lelaki berbadan
jangkung dengan penampilan rapi dan wajah manis, ditambah tutur kata yang
indah, merupakan bekal baginya dalam menaklukan orang yang dihadapi.
P a g e | 548

Khususnya dalam memikat wanita.


.
"Hahaha... Bagaimana seorang yang terkenal dengan sebutan Sepasang Naga
dari gunung Welirang, seorang yang cubluk ?" Raden Sajiwo tertawa senang
dengan permainan kata dari Jayakusuma.
.
"Jayakusuma dan kisanak sekalian, baiklah akan aku uraikan kejadian akhir -
akhir ini kepada kisanak sekalian, meskipun aku yakin jika kisanak satu dua
sudah mengetahuinya." kata Raden Sajiwo.
.
Semuanya menunggu dengan seksama apa yang akan disampaikan oleh tuan
rumah.

"Partama.." Raden Sajiwo mulai mengawali, "Di dekat tambatan satang, pernah
ada perkelahian antara dua lelaki bertopeng. Seorang bersenjata tombak
panjang dan satunya membekal cambuk."
.
"Oh.. Orang bercambukah...?" desis beberapa orang.
.
Raden Sajiwo memperhatikan wajah - wajah mereka. Sepertinya mereka
terlihat heran dan terkejut. Itu menandakan kalau mereka belum tahu dengan
kejadian di dekat tambatan satang.
.
"Kejadian kedua tak kalah mengejutkan." Raden Sajiwo melanjutkan, "Ki
Demang Nukilan tewas dengan tubuh bagian dalam dan tulang lumat,
sehingga saat tubuhnya diangakat terasa lemas dan ringan."
.
"He...!" kembali ruangan itu dilanda keterkejutan.
.
Ilmu apa yang membuat tubuh ki Demang Nukilan seperti itu ? Menurut warta
yang tersebar, Demang dari Wanasaba itu memiliki aji Trenggiling Wesi dan aji
Gelap Sayuta.
.
Tentulah itu mengherankan mereka, kecuali Raden Sajiwo dan Raden Sanjaya.
Keduanya paham betul dengan akibat yang diderita oleh tubuh ki Demang
Nukilan. Keduanya yakin ilmu yang mampu membuat tubuh ki Demang Nukilan
lemas dan ringan. Kumayan Jati-lah yang bisa meninggalkan akibat seperti itu.
.
P a g e | 549

Kini tinggalah siapa orang yang memiliki aji nggegirisi tersebut ?


.
Dalam benak Raden Sajiwo, ilmu itu terkhir diketahui milik seorang Pangeran
yang lenyap pada saat terakhir Prabu Giriwardhana menggempur Wilwatikta.
Sementara lain lagi bagi Raden Sanjaya, Ia tahu betul jika gurunya memiliki ilmu
itu, ilmu yang tak sempat ia warisi.
.
"Dan yang terakhir adalah adanya dua pemuda yang harus kita waspadai.
dua pemuda aneh ini memiliki kemampuan yang tidak bisa kita remehkan."
kembali Raden Sajiwo berkata.
.
"Siapakah mereka itu, Raden ?" tanya ki Widarba.

"Aku kurang tahu nama mereka. Mereka berdua bisa mempermainkan orang -
orang padepokan Krendha Seba."
.
"Empat diantaranya sudah tewas di bulk ombo barat padukuhan Sela."
sambung Raden Sajiwo.
.
Ruangan itu terasa penuh gejolak. Kemunculan orang bercambuk, lalu
kematian ki Demang Nukilan yang aneh, dan dua pemuda yang membuat
orang - orang padepokan Krendha Seba tak berdaya. Itu semua harus
mendapat perhatian besar bagi mereka.
.
Saat suasana masih berada dalam menyingkap orang - orang aneh itu,
seorang pengawal Raden Sajiwo datang dan membisiki dekat telinga
bangsawan itu. Sejenak wajah bangsawan itu mengalami perubahan.
Sepertinya sesuatu yang tidak diinginkan telah terjadi, apalagi dari tangannya
yang menggenggam bagai meremas terlihat jelas.
.
"Tikus sialan, Gajah Tangen..!" geram Raden Sajiwo dalam hati.
.
"Ada apa, paman Sajiwo..?" Raden Sanjaya bertanya setelah mengetahui
kegelisahan Raden Sajiwo.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 8 BAG 28
P a g e | 550

OLEH : MARZUKI
#############
.
KEGELISAHAN dan kemarahan Raden Sajiwo tak terbendung. Pertanyaan dari
Raden Sanjaya terasa seperti terkena angin sebelum sampai di telinga Raden
Sajiwo. Hal itu menjadikan Raden Sanjaya untuk kembali mengulang
mempertanyakan apa sebenarnya yang dihadapi oleh bangsawan Kadiri itu.
.
"Paman Sajiwo, apa yang sebenarnya terjadi ?" ulang Raden Sanjaya.
.
Barulah Raden Sajiwo menyadari kalau ia tidak sendiri. Kemudian ia mengambil
sikap seperti tiada masalah.
.
"Ah.. Maaf, ini hanya masalah kecil saja, tidak apa - apa. Mari kita lanjutkan
pembicaraan kita." Raden Sajiwo mencoba tidak membicarakan sesuatu yang
membuatnya marah.
.
Sebenarnya yang terjadi ialah kegagalan Gajah Tangen dalam mengawasi
dua pemuda di padukuhan Sela. Tiba - tiba saja kedua pemuda itu lenyap saat
memasuki rumah penghuni padukuhan. Padahal Gajah Tangen dan kawan -
kawannya selalu mengawasi rumah itu dari segala arah dan setiap saat. Dan
mereka tidak mengetahui kalau dua pemuda yang memasuki rumah penghuni
padukuhan, terlihat keluar.
.
"Hari sudah sesiang ini mereka tidak kunjung keluar, kakang " desis salah
seorang kawan Gajah Tangen.
.
"Kita tunggu barang sejenak. Perketat dan awasi seluruh jalan." perintah Gajah
Tangen kepada kawannya.
.
Sang surya sudah menanjak naik ke cakrawala. Tetapi dua pemuda yang
diduga masih di dalam rumah, tak juga keluar. Hal itu membuat Gajah Tangen
dan kawan - kawannya gelisah. Untuk itu tidak ada jalan lain kecuali
memastikan keberadaan kedua pemuda di rumah tersebut.
.
Maka diambil keputusan salah seorang berpura - pura berkunjung ke rumah itu,
dengan alasan dibuat - buat. Dan orang itu jatuh kepada kawan Gajah
Tangen yang berperawakan pendek namun mempunyai dada bidang.
P a g e | 551

Dengan jalan agak terseok - seok orang itu menghampiri rumah penghuni
padukuhan Sela.

Setelah memasuki regol yang terbuka, kawan Gajah Tangen disambut oleh
pemilik rumah dengan agak curiga. Seperti saat pertama menerima dua
pemuda kemarin malam. Tetapi setelah dirasa kalau tamunya tidak
menunjukan sesuatu yang membuatnya curiga, maka pemilik rumah
menerimanya dan bahkan dibawa ke pringgitan.
.
Entah apa yang dibicarakan kawan Gajah Tangen. Tetapi dari wajah pemilik
rumah ataupun kawan Gajah Tangen, tiada menunjukan silang pendapat.
Hingga akhirnya kawan Gajah Tangen mohon pamit dengan alasan ingin
mencari dua pemuda yang ia aku sebagai sanak kadangnya.
.
"O.. Jadi kisanak ini, sanak kadang dari angger - angger tadi malam ?" kata
pemilik rumah.
.
"He.. apakah mereka tadi malam singgah disini, ki?"
.
"Benar, ngger. Mereka hanya singgah sepengunyah sirih saja. Dan bergegas
pamit." jawab pemilik rumah.
.
Kawan Gajah Tangen mengerutkan keningnya. Mustahil apa yang diucapkan
oleh pemilik rumah itu. Semenjak kedua pemuda memasuki rumah, tak ada
seorang pun yang keluar dari regol atau pun pintu butulan di kebun belakang.
.
Ternyata tuan rumah itu mengerti kalau tamunya itu tak mempercayai
ucapannya. Oleh karenanya pemilik rumah kembali berkata.
.
"Dua pemuda itu sangat aneh, ngger. Tengah malam sebelum mereka
meminta diri, salah seorang menyibakan tangan ke arah dian. Seketika dian -
dian mati dan membuat rumah gelap gulita." kata pemilik rumah, "Kami mereka
golongan perampok yang berpura - pura sebagai tamu. Dan melancarkan
serangan saat keduanya berada di dalam rumah.Ternyata tidak, salah seorang
mengatakan minta maaf atas perilaku mereka. Tidak lain karena adanya
sesuatu perihal yang membuat mereka berlaku seperti itu."
.
Demi mendapatkan penjelas seperti itu, kawan Gajah Tangen mencoba
P a g e | 552

mengingat apa yang terjadi di malam itu. Memang benar apa yang dikatakan
oleh pemilik rumah. Malam tadi lampu dian rumah itu sejenak padam.

"Hm.. Kami lengah." aku kawan Gajah Tangen sembari mengangguk.


.
"Apakah mereka tidak mengatakan sesuatu kepada kisanak ? maksudku tujuan
mereka selanjutnya ?"
.
Pemilik rumah terlihat mengingat. Tetapi kemudian ia menggeleng.
.
Sudah cukup bagi kawan Gajah Tangen untuk memastikan keberadaan dua
pemuda itu. Maka ia mohon diri dan mengucapkan terima kasih kepada
pemilik rumah. Beranjaklah ia meninggalkan rumah itu dan kembali dimana
Gajah Tangen dan kedua kawannya menunggu.
.
"Bagaiman ?" tanya Gajah Tangen yang sudah tidak sabar lagi.
.
Kawannya hanya menggeleng, "Kita kehilangan jejak mereka."
.
"He... "
.
Selanjutnya kawan Gajah Tangen yang berbadan pendek dengan dada
bidang itu mengatakan apa yang ia ketahui, menurut penuturan pemilik
rumah.
.
"Sial..!" geram Gajah Tangen sembari memukul udara.
.
"Guna, kau kembalilah ke gubuk dan laporkan ke kakang Wara Lintang. Kita
kehilangan dua pemuda itu. Aku akan mencoba mencarinya di padukuhan
induk." perintah Gajah Tangen kepada kawannya yang berbadan pendek tadi.
.
Apakah benar dua pemuda itu sudah pergi ?
.
Tidak. Arya Dipa dan Windujaya masih berada di rumah penghuni padukuhan
Sela. Keduanya mengerti adanya beberapa orang yang mengikutinya secara
sembunyi - sembunyi. Karenanya keduanya saat memutuskan bermalam di
rumah penghuni padukuhan, keduanya sudah merencanakan untuk lepas dari
pengamatan orang - orang itu. Maka Arya Dipa meminta bantuan kepada
P a g e | 553

pemilik rumah supaya mau mengarang cerita. Tentunya setelah Arya Dipa
meyakinkan sang pemilik rumah.
.
Setelah kepergian kawan Gajah Tangen, pemilik rumah bergegas menemui
tamunya tadi malam dengan tangan masih bergetar.
.
"Oh.. Hampir saja aku mati ketakutan, ngger." ucapnya dengan suara bergetar.
.
"Terima kasih, ki. Bantuan ki Danu tak akan aku lupakan." ucap Arya Dipa.
.
"Ah.. Sudahlah, ngger. Memang benar yang angger berdua katakan tadi
malam. Meskipun aku melihat orang tadi hanya sekilas saja, aku dapat
menilainya kalau ia suka kekerasan. Karenanya jika aku dapat menjauhkan ia
dari angger berdua, itu sudah menjadi kepuasan tersendiri bagiku." kata ki
Danu, dengan senyum mengembang.

"Sebaiknya, angger berdua tinggal digubuk ini saja untuk beberapa hari
kedepan." kata ki Danu kemudian, "Hal itu supaya membuat langkah mereka
semakin jauh, sehingga angger berdua tidak bertemu dengan mereka."
.
"Maaf, ki Danu. Kami harus segera sampai ke tempat tujuan. Meskipun begitu,
kami akan tinggal sampai datangnya malam." Arya Dipa mencoba menolak
tawaran dari si pemilik rumah.
.
"Baiklah jika itu sudah menjadi tekad kalian." kata ki Danu agak kecewa.
.
Seperti yang dikatakan oleh Arya Dipa, saat wayah sepi uwong keduanya
keluar dari regol rumah ki Danu. Dan selanjutnya pergi menuju kali Brantas
melalui jalan memutar demi menghindari padukuhan induk telatah Anjuk
Ladang. Jalur yang dilalui memang tidak sebagus dan serata jalur utama,
tetapi itu semua supaya tiada halangan dari orang - orang yang tidak
diinginkan.
.
Gelap malam tidak mengurangi ketajaman penglihatan mereka. Mata
keduanya tajam bagai mata burung hantu di malam hari. Setiap langkah
terasa cepat dan tangkas. Tepat di tengah malam keduanya sudah
mendengarkan aliran sungai yang bergemuruh. Menandakan aliran kali Brantas
sudah di sekitar mereka.
P a g e | 554

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 8 BAGIAN 29
OLEH : MARZUKI
############
.
Arya Dipa dan Windujaya menyusuri aliran kali Brantas sampai puluhan patok
dan berhenti di bawah pohon gayam. Dari bawah pohon gayam itu, keduanya
memperhatikan arah diseberang kali. Di mana diseberang kali terlihat adanya
penerangan dari obor menyala dengan terangnya.
.
Selain itu juga terlihat orang berlalu lalang membawa karung cukup besar di
pundak mereka. Kegiatan yang tidak sewajarnya itu menimbulkan rasa
penasaran bagi keduanya. Ingin keduanya mencoba melihat lebih dekat,
tetapi lebarnya kali tidak memungkinkan bagi keduanya.
.
Sedangkan piranti penyeberangan tidak ada sama sekali. Mungkin jika satang
ada, namun letak penambatannya mereka belum mengetahuinya. Maka
keduanya memutuskan menyusuri kali ke hulu, siapa tahu di hulu terdapat
tambatan satang dan tukang satangnya.
.
Langkah kaki agak terhambat oleh akar tetumbuhan yang tumbuh subur di
tepian kali Brantas. Kadangkala keduanya harus naik ke tanggul dan menyusuri
lewat petak - petak sawah atau pun pategalan.
.
Sekian lama berjalan tibalah mereka ditepian berpasir. Agak di atas tepian,
sebuah gubuk sederhana berdiri. Sepertinya gubuk itu sebagai tempat
berteduh bagi tukang satang. Oleh karenanya Arya Dipa dan Windujaya
mencoba mendekati gubuk itu.
.
Tetapi keduanya segera menghentikan langkah, manakala dari dalam gubuk
seorang membuka pintu yang terbuat dari bilah bambu. Dari cahaya pelita,
terlihat wajah orang yang baru keluar dari gubuk tersebut. Lelaki dengan wajah
agak bulat, bibir tebal dengan hidung pesek, serta dahinya berkeriput.
.
Lelaki itu terbatuk - batuk, kemudian ia menyapa Arya Dipa dan Windujaya,
"Selamat malam, angger berdua. Sepertinya kalian mau menyeberang, ya"
P a g e | 555

.
Batuk terdengar lagi dari lelaki itu setelah menyapa kedua pemuda.
.
"Benar, kisanak. Jika kyai tidak ada halangan, mohon kiranya mau
menyeberangkan kami." Arya Dipa-lah yang berkata.

Dipandangi wajah pemuda itu dengan cermat oleh lelaki yang baru keluar dari
gubuk. Sejenak kemudian lelaki itu menghela nafas, dan kembali terbatuk
cukup lama. Sepertinya keadaan orang itu kurang enak badan.
.
"Mohon maaf, angger. Badanku kurang enak dua hari ini. Jika angger berdua
bersabar, tunggulah esok hari. Besok keponakanku akan datang dari
padukuhan yang berada di hulu kali." kata lelaki itu, dan lagi - lagi batuk.
.
Apa boleh buat, keadaan malam itu harus dilalui dengan bermalam bersama
lelaki tukang satang itu. Keduanya dipersilahkan memasuki gubuk tukang
satang. Di dalam gubuk hanya ada amben saja sebagai tempat tidur atau
duduk - duduk.
.
"Ini ngger, ubi rebus sisa tadi sore." tukang satang itu menghidangkan sepiring
ubi rebus dan kendi.
.
"Terima kasih, ki." ucap Arya Dipa dan Windujaya, berbarengan.
.
Dalam pada itu, Windujaya teringat adanya kegiatan yang ada di seberang
kali, di hilir tadi. Maka ia mencoba menanyakan kepada tukang satang, siapa
tahu tukang satang itu mengetahuinya.
.
"He.. !" seru tukang satang setelah mendengarkan apa yang ditanyakan oleh
Windujaya, "Di mana itu, ngger ?"
.
"Dari sini kurang lebih seratus tombak, ki."
.
Dahi orang itu mengerut dan sejenak kemudian ia menggigil.
.
"Ada apa, ki ?"
.
"Jangan ke sana, ngger.Tempat itu sangat wingit, dan mungkin yang angger
P a g e | 556

lihat itu bukanlah sebangsa kita " ucap tukang satang, agak gemetar.
.
Arya Dipa dan Windujaya saling berpandangan. Jelas yang mereka lihat
adalah manusia biasa, seperti mereka.
.
"Mengapa kisanak bilang begitu ? Mereka jelas - jelas manusia, ki ?"
.
"Angger keliru. Sudah tiga kali orang padukuhan melihat seperti yang angger
lihat. Dan mereka penasaran ingin mengetahui lebih dekat. Apa yang terjadi ?"

Tukang satang mencoba mengulur waktu untuk tamunya supaya menduga.


Tetapi tamunya hanya menggeleng saja. Terpaksalah ia menjawab
pertanyaan yang ia ucapkan.
.
"Mereka tidak pernah terlihat lagi. Ketiga penghuni padukuhan itu telah dibawa
bangsa dedemit ke alamnya.. Hiiii.." tutur orang itu dengan diakhiri tubuhnya
yang merinding.
.
"Tidak hanya itu saja, ngger. Kawanku yang juga seorang tukang satang,
pernah menyaksikan dua orang yang tak terlihat wajahnya, berkelahi hingga
membuat tanah pasir di seberang tak karuan jadinya." tukang satang itu
kembali berkata.
.
"Apakah keduanya juga bangsa dedemit, ki ?" tanya Windujaya.
.
"Sepertinya begitu, ngger. Coba bayangkan, mana ada orang yang mampu
terbang melebihi pohon waru di luar gubuk ini ? Itulah yang dilakukan oleh
kedua mahkluk tak berwajah itu. Dan tidak hanya itu saja, salah seorang yang
membekal cambuk, mampu melecutkan cambuknya seperti halilintar dan saat
lecutannya tak berbunyi, kawanku mampu dibuatnya pingsan."
.
Arya Dipa kembali menatap Windujaya. Tanpa bersuara, keduanya saling
memahami siapa yang disebut dengan mahkluk tak berwajah itu. Dalam
benak Arya Dipa dan Windujaya, apa yang diucapkan oleh tukang satang itu
adalah orang yang disebut dan terkenal dengan orang bercambuk.
.
Ternyata adanya warta pusaka dan harta peninggalan Wilwatikta, juga
memancing kedatangan orang bercambuk.Tentu kedatangan orang
P a g e | 557

bercambuk itu menambah ramainya tepian kali Brantas.


.
Dan kedua pemuda itu berharap bisa berjumpa dengan orang bercambuk.
Karena sedikit banyak keduanya pernah mendengar sepak terjang dari orang
bercambuk itu, yaitu selalu berbuat baik menolong sesama.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 8 bagian 30
oleh : Marzuki
.
.
Malam semakin kelam. Di luar gubung, burung hantu terdengar seru dan keras
saat terbang tepat melintasi atap gubuk. Pun dengan jangkrik dan serangga
lainnya, ikut mewarnai gelapnya sang malam.
.
Deru air kali Brantas terdengar lebih ketara dibandingkan bila di siang hari.
Aliran sungai memanjang yang membelah Bang Wetan itu, selau mengalir
meskipun di musim kemarau. Dari aliran ini orang - orang yang tinggal
disekitarnya, mampu menghasilkan uang bagi mereka. Yaitu, dari sumber
ikannya yang melimpah ruah, lalu airnya sebagai pengairan sawah atau kebun
dan juga adanya tempat - tempat penyeberangan.
.
Dalam pada itu, setelah menyuguhkan makanan dan minuman ala kadarnya,
serta berbicara sesaat, tukang satang yang tidak enak badan itu mulai terlelap
dengan kantuknya. Nampaknya sakitnya, benar - benar membuatnya payah.
Itu terbukti dengan tubuhnya yang selalu menggeliat - geliat tak karuan.
.
"Kasian.." desis Arya Dipa.
.
Windujaya mencoba menyentuh dahi orang itu. Sejenak kemudian ia
merasakan hawa hangat dengan tubuh tukang satang. Karenanya ia
mengambil wadah yang terbuat dari lempung, dituang dengan air dari kendi.
Selanjutnya diambilnya sepotong kain kecil dan mencelupkan ke air. Diangkat
kain tersebut sambil diperas, lalu ia taruh di dahi tukang satang. Dari bumbung
kecil yang ada diikat pinggangnya, sebutir pil dimasukan ke mulut oranh itu.
.
Tindakan yang dilakukan oleh Windujaya itu, membuat Arya Dipa kagum.
P a g e | 558

Ternyata murid eyangnya, selain terampil dalah olah kanuragan, ia dapat


berlaku cepat dalam menangani orang sakit.
.
"Kau juga mendalami ilmu pengobatan, adi ?" tanya Arya Dipa.
.
Windujaya menggeleng perlahan, "tidak, kakang. Ini hanyalah penanganan
sementara saja. Sepertinya tukang satang ini memakan jenis umbi - umbian
yang mengandung racun."

Penjelasan dari Windujaya itu membuat Arya Dipa mengernyitkan alisnya,


"Umbi - umbian ?"
.
Murid Begawan Jambul Kuning mengangguk. Tangannya menyibak pakaian
yang menutupi perut tukang satang. Adanya bintik hitam disekitar perut,
membuat Windujaya tercengang.
.
"Apa yang kau lihat, adi ?"
.
"Aneh, kakang." seru Windujaya.
.
"Aneh bagaimana, adi ?" Arya Dipa mendekat dan ikut memperhatikan perut
tukang satang.
.
Bintik hitam disekitar pusar lebih dari tiga. Yang membuat heran ialah, disetiap
bintik seperti ada bekas jarum kecil dan tajam.
.
"Hm... " desuh Windujaya, "Gejala racun dari umbi - umbian hanyalah sebagai
pengaburan saja bagi tabib atau dukun biasa. Dan yang membahayakan
adalah ini, kakang."
.
Arya Dipa tak habis pikir. Bagaimana mungkin seorang tukang satang yang
pekerjaannya hanya menyeberangkan orang dan benda ke seberang,
mengalami seperti itu. Karenanya Arya Dipa mencoba mengingat - ingat
kejadian disekitar kali Brantas dan apa yang telah dituturkan oleh tukang
satang.
.
"He.... " seru Arya Dipa kemudian.
.
P a g e | 559

Sontak saja Windujaya memutar tubuhnya dan menghadap ke Arya Dipa.


Dengan hati heran Windujaya bertanya.

"Ada apa, kakang ?" ucapnya, "Adakah sesuatu yang kau ingat atau pikirkan ?"
.
Kepala Arya Dipa manggut - manggut, "Aku mengerti adi, apa yang dialami
oleh tukang satang ini hanyalah pancingan saja."
.
"He... Pancingan bagaiman, kakang ?" Windujaya tak mengerti.
.
Sebelum menerangkan, Arya Dipa menarik nafas dalam - dalam. Dipandangi
wajah tukang satang yang semakin pucat dan bibir bergetar. Dalam hati Arya
Dipa berdo'a kalau apa yang ia duga benar adanya dan semoga orang itu
hadir.
.
"Adi Windujaya. Tadi sewaktu tukang satang ini berbicara, ia pernah
menyinggung adanya dua hantu tanpa wajah." sejenak Arya Dipa berhenti
berucap.
.
Lalu sambungnya, "Aku rasa salah satu yang dimaksud itu adalah orang
bercambuk. Dan tahukah kalau orang itu juga ahli dalam ilmu pengobatan ?"
.
Windujaya menggeleng, "Kalau itu aku kurang mengerti, kakang."
.
"Yang aku dengar, dia sangat ahli dalam ilmu pengobatan dan penawar
racun. Bahkan salah seorang yang pernah diselamatkan olehnya, mengatakan
kalau orang bercambuk itu bisa menghidupkan orang yang sudah mati."
.
"Ah.. Bukankah itu berlebihan, kakang ?" kata Windujaya tak sepaham dengan
orang yang diceritakan oleh Arya Dipa.
.
"Hehehe... Itulah manusia adi. Bila ia melihat sesuatu yang membutnya takjub,
ia akan melebih - lebihkan. Tentu saja apa yang diucapkan orang itu hanyalah
ungkapan senang yang lebih saja." kata Arya Dipa tenang.

"Lalu apa hubungannya dengan luka yang dialami oleh tukang satang ini,
kakang ?"
.
P a g e | 560

"Kemunculan orang bercambuk disekitar kali Brantas tentu menjadi perhatian


semua orang, khususnya orang - orang yang merasa dirugikan dengan
kemunculannya." jawab Arya Dipa, "lalu untuk memancingnya, orang yang
tidak suka itu mencoba menggunakan tukang satang ini."
.
Apa yang diduga oleh Arya Dipa itu, membuat Windujaya berdebar.
Bagaimana tidak berdebar ? Alat yang dijadikan pancingan adalah seorang
manusia dengan taruhan nyawa orang itu.
.
"Sungguh keji tindakan mereka, kakang." geram Windujaya, "Bila orang
bercambuk itu tidak datang, nyawa orang ini akan melayang. Dan aku rasa,
racun ini tidak lebih besok saat fajar saja bekerjanya."
.
Arya Dipa merenung sejenak. Sebenarnya tubuhnya kebal dengan racun,
tetapi dia tidak bisa menawarkan tubuh orang lain. Maka ia mencoba akan
mencari orang bercambuk disekitar kali Brantas. Semoga sebelum fajar, ia
dapat berjumpa dengan orang bercambuk itu.
.
"Adi, kau tunggulah di sini. Aku akan mencoba mencari orang bercambuk
disekitar sini." kata Arya Dipa, "Aku rasa ia pun masih disekitar kali ini. Kau berhati
- hatilah di sini."
.
"Baik kakang. Aku mengerti dengan maksud kakang."
.
Tak berselang lama, derit pintu terdengar disusul tubuh Arya Dipa melesat ke
dalam gelapnya malam. Dalam hati pemuda itu berketetapan harus menemui
orang bercambuk. Semak - semak ia lewati seraya mempertajam
panggraitanya. Pandulu, Pangrungu, Pangrasa dia terapkan demi hasil yang
lebih baik bagi keselamatan tukang satang.
.
Bersamaan dengan melesatnya tubuh Arya Dipa saat keluar dari gubuk, tak
jauh dari gubuk bersembunyi beberapa orang dibawah lindungan pohon
ketapang. Orang paling depan nampak menyeringai.
.
"Sebentar lagi semua jalan akan lapang. Sekali tepuk, tiga lalat kita dapatkan."
desis orang itu.

BERSAMBUNG...
P a g e | 561

Panasnya Langit Demak jilid 9


PANASNYA LANGIT DEMAK JILID 9

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 9 bagian 1
oleh : Marzuki
.
.
Tak dinyana dalam kegelapan malam di pinggir kali Brantas, tak jauh dari
gubuk tempat berteduh bagi tukang satang, lima orang bersembunyi di bawah
lindungan pohon ketapang. Sudah dua malam orang - orang itu menantikan
umpan yang telah dipasang akan mendapatkan hasil yang diharapkan. Dan
malam ini adalah malam terakhir waktu bagi berlangsungnya umpan mereka.
Karena bila sampai fajar umpan mereka tak didekati mangsanya, umpan itu
akan mati sia - sia.
.
Siapakah mereka ini ?
Adakah mereka golongan dari Raden Sajiwo ?
Ataukah ada sangkut pautnya dengan pusaka dan harta peninggalan
Wilwatikta ?
.
Mereka adalah golongan lain yang juga berkeinginan mendapatkan pusaka
dan harta Wilwatikta. Selain itu mereka pun mempunyai dendam tersendiri
terhadap orang bercambuk. Karena di masa lalu kelompok mereka pernah
bersinggungan dengan orang bercambuk, yaitu ketika kelompok mereka akan
menyatroni sebuah kademangan besar dan kaya, dan orang bercambuklah
yang menggagalkan.
.
Saat mendengar adanya orang bercambuk di kali Brantas, gerombolan
perampok ini langsung menuju kali Brantas dan bergegas mencari orang
bercambuk. Dengan dipimpin oleh ki Kala Sargota, gerombolan ini mempunyai
keyakinan dapat membalaskan dendam gerombolan mereka.
.
Sudah sepekan lamanya mereka di sekitar kali Brantas tepi barat. Tetapi selama
itu wujud orang bercambuk tidak pernah mereka temui. Hati yang membara
P a g e | 562

masih mampu bersabar untuk menunggu kemunculan orang bercambuk itu,


namun juga tidak ada dapat menjumpainya. Hingga suatu kali terbersit sebuah
akal licin dari ki Kala Sargota, yaitu dengan memasang umpan berupa
bencana bagi tukang satang.
.
Dengan berpura - pura menyeberang, ki Kala Sargota dan dua anak buahnya
menyewa satang sekaligus tukang satang. Pada saat di atas satan dalam
penyeberangan itulah, ki Kala Sargota berhasil memasukan racun melalui
kecepatan tangan dalam mempergerakan jarum.
.
Selain itu ia juga memberi tukang satang umbi - umbian yang belum pernah
diketahui oleh tukang satang. Umbi yang diperoleh dari luar pulau Jawa dan
tumbuhnya hanya dipedalaman hutan. Karenanya tukang satang itu senang
dan menerimanya dengan tulus.
.
Umpan sudah dibuat. Tinggalah ki Kala Sargota menyuruh anak buahnya untuk
mengatakan kepada orang, kalau tukang satang memperlukan pengobatan
sungguh - sungguh. Tetapi usaha mereka sia - sia saja. Tidak ada tanda - tanda
munculnya orang bercambuk.
.
Sambil menunggu di hari terakhir itulah, anak buah ki Kala Sargota melihat
Windujaya. Hati orang itu geram bukan main, karena Windujaya-lah putra ki
Kala Sargota tewas. Secepatnya orang itu melaporkan kepada ki Kala Sargota.

Itulah mengapa orang yang berada terdepan di balik pohon ketapang


menyebutkan sekali tepuk tiga lalat didapat sekaligus. Orang bercambuk dan
Windujaya, masih kurang satu dan yang terakhir itu tentunya pencarian pusaka
dan harta peninggalan Wilwatikta.
.
"Lurahe." desis Jaladri, "Sebaiknya kita bunuh Windujaya terlebih dahulu."
.
Ki Kala Sargota tersenyum sekaligus menepuk pundak Jaladri. Kepalanya
menggeleng perlahan.
.
"Hehehe... Sabarkan hatimu, Jaladri. Kematian Kala Gumbrek merupakan
pukulan hebat yang pernah menimpaku. Karenanya jika pemuda itu mati
dengan cepat, arwah Kala Gumbrek akan terus penasaran." ucap ki Kala
P a g e | 563

Sargota.
.
"Kita akan membawa pemuda itu ke sarang kita. Tubuhnya akan kusayat -
sayat dengan perlahan. Darah yang menetes dari lukanya nanti kita basuh
dengan air garam, dan itu merupakan permainan yang menyenangkan,
Jaladri." sambung ki Kala Sargota.
.
Keempat anak buah ki Kala Sargota menyeringai dengan buasnya. Rencana
pemimpin sangat menyenangkan di kala mendatang. Karenanya mereka
menantikan perintah pemimpin mereka.
.
Di lain tempat, Arya Dipa terus mencari keberadan orang bercambuk. Ilmu
Prangungu, Pandulu dan Prangrasa ditebar sejauh - jauhnya. Bila ilmunya
mendapatkan adanya keberadaan seseorang, secepatnya ia menghampiri
tempat itu tanpa mengurangi kewaspadaan. Karena di sepanjang tepian ada
beberapa orang yang mendebarkan.
.
Dua tiga orang ditemuinya meskipun tidak langsung bertatap muka. Setelah
diteliti dan dicermati, tiada yang mengarah ke ciri - ciri orang bercambuk.
Segera ia meninggalkan tempat itu dan mencari di lain tempat.
.
Malam sudah semakin mendekati akhir, keberadaan orang bercambuk belum
juga ditemukan. Waktu yang terus berjalan merupakan masa - masa
menegangkan bagi Arya Dipa. Bila ia terlambat, nyawa tukang satang akan
lepas dari raganya. Tidak hanya itu saja, tadi sewaktu meninggalkan gubuk,
Arya Dipa juga merasakan adanya beberapa orang yang mengawasi gubuk
itu. Nyawa Windujaya juga terancam.
.
Tiba - tiba saja Arya Dipa berhenti dan duduk bersila . Matanya terpejam dan
memusatkan pikiran. Inilah cara terakhir yang ia tempuhnya, yaitu mencoba
mencari petunjuk lewat bersemedi memasrahkan diri kepada Sang Pencipta.

Awalnya hanya kegelapan saja yang ada. Sedikit - demi sedikit berbareng
dengan mantapnya hati, secercah cahaya menerangi alam kecil Arya Dipa.
Tubuhnya yang duduk bersila terlihat jelas di tengah alam itu. Lalu dari angkasa
melayang sosok mahkluk bersayap terbang mengitari tubuh Arya Dipa.
.
"Bangunlah, Angger." Di atas punggung Garuda, sosok Resi menegur Arya Dipa.
P a g e | 564

.
"Sembah bakti dari cucu, Eyang Resi." Ucap Arya Dipa sembari ngampuracang.
.
"Sembah baktimu aku terima, Angger. Aku mengerti apa yang ingin kau cari."
kata Resi Suci, sareh, "Pergilah kau ke barat. Pemuda itu sedang bercengkrama
dengan alam di bawah naungan pohon Nyamplung."
.
Sehabis mengucapkan itu, burung Garuda kembali mengangkasa dan lenyap
seketika. Dan Arya Dipa terbangun dari semedinya dan tak lupa mengucap
syukur kepada Sang Pencipta. Selanjutnya ia bergegas menuju barat seperti
wangsit yang ia terima.
.
Sampailah ia di pategalan. Di sisi sebelah barat, bayangan pohon nyamplung
yang tinggi dan besar, bagai sesosok raksasa. Namun hal itu tidak membuat
Arya Dipa jerih sedikitpun. Tanpa menyembunyikan langkah kakinya ia
menghampiri orang yang duduk di bawah pohon nyamplung.
.
"Selamat malam, kisanak." sapa orang yang duduk di bawah pohon
nyamplung, "Apakah kisanak ini sedang tersesat ?"
.
Arya Dipa mengangguk hormat, "Tersesat perjalanan... tidak. Hanya saja, diri ini
tersesat dalam menemukan penawar kala."
.
Raut wajah orang yang tersembunyi bayang - bayang rimbunya daun, sulit
dikenali. Bila tersinari sang rembulan atau pelita, akan jelas adanya perubahan
di wajahnya. Yaitu alis mengernyit dan kerut di dahi. Itu semua timbul dari
ucapan yang dilontarkan oleh Arya Dipa.
.
"Kala di sini tentu sangat mendebarkan, kisanak ?"
.
"Hm... Nyatanya seperti itu, Raden.. "
.
"He... " seru orang itu, "Siapa yang kau sebut Raden itu, kisanak ?"

"Maaf, Raden. Akan aku jelaskan nanti setelah semuanya sudah selesai. Karena
kala itu sedang mengancam tubuh seorang biasa. Marilah bersama hamba
menuju ke tepian kali Brantas." Arya Dipa mencoba mempercepat waktu.
.
P a g e | 565

Sejenak orang itu tertegun. Tangannya merogoh sesuatu di balik pakaiannya


dan melekatkan ke wajah.
.
"Baiklah, aku akan mengikutimu, kisanak."
.
Keduanya lantas berlari dengan cepatnya. Arya Dipa menerapkan aji Sepi
Angin demi meringankan langkahnya, demikin juga dengan orang itu yang
menerapkan ilmu meringankan tubuh. Terlihatlah keduanya bagai
menunggang angin dan mengendalikan menujun tepian kali Brantas.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 9 bagian 2
oleh : Marzuki
.
.
Kedua bayangan berkelebat cepat menuju gubuk sembari mengejar waktu
yang semakin mendesak. Batas racun di dalam tubuh tukang satang akan
cepat menjalar bilamana fajar menyingsing. Dan hanya segelintir orang sajalah
yang mampu menawarkan racun itu. Salah satunya yang diyakini oleh Arya
Dipa adalah orang bercambuk disampingnya.
.
Di kala berlari itu, Arya Dipa mencoba melirik orang bercambuk. Tetapi ia agak
kecewa, karena orang bercambuk telah menyelubungi wajahnya
menggunakan topeng yang terbuat dari getah karet tipis. Sehingga sangat sulit
untuk mengenali wajah pemuda itu.
.
Walau begitu, saat Arya Dipa melakukan semedi, sosok Resi Suci sempat
menuturkan sekelumit jati diri pemuda bercambuk tersebut. Pemuda ini masih
mengalir darah bangsawan Majapahit. Dan ia mendapat gemblengan dari
perguruan Windujati, salah satu perguruan dari kalangan ningrat yang
mempunyai ilmu mendebarkan. Di dalam perguruan itu, seorang murid
mempunyai rajah di lengannya, yaitu sebuah cambuk bergerigi.
.
"Ilmu peringannya sangat tinggi. Aku akan bermain dengan Raden ini.." batin
Arya Dipa.
.
Seusai berkata, Arya Dipa meningkatkan kemampuannya dalam meringankan
P a g e | 566

tubuhnya selapis lebih tinggi. Aji Sepi Angin terkuak membuat tubuhnya melesat
cepat melewati semak dan pohon.
.
Melihat Arya Dipa berlaku seperti itu, orang bercambuk tersenyum. Entah
mengapa dirinya ikut terpancing untuk menyusul pemuda di depannya. Aji
Kidang Melar diungkapnya selapis lebih tinggi dari sebelumnya. Kaki orang
bercambuk bagaikan tidak menapak tanah.
.
Jadilah keduanya seperti adu lari diambang fajar. Bayangan berkelebat
dengan cepat dan tangkas, bagai hantu yang takut kemanungsan. Hantu
atau demit menurut anggapan orang awam, tidak berani memandang atau
terkena sinar mentari. Jika tubuhnya terkena cahaya mentari, tubuh itu akan
meleleh layaknya karet yang terbakar.
.
Tidak terasa akhirnya gubuk sudah nampak. Tanpa mengurangi laju larinya,
Arya Dipa memasuki gubuk itu.
.
"Kakang... " desis Windujaya, saat mengetahui pintu terbuka dan dua orang
sudah ada di dalam gubuk.

Arya Dipa mengangguk perlahan. Tanpa lama - lama ia menghadap orang


bercambuk dan memberitahukan keadaan tukang satang yang berbaring
lemah di amben.
.
"Silahkan Raden memeriksanya, hamba akan menjaga di luar bersama adi
Windujaya." ucap Arya Dipa, lalu melanjutkan, "Di luar ada tamu yang ingin
menyapa Raden. Untuk itu hamba akan mewakili diri Raden dalam menyambut
mereka."
.
Orang bercambuk itu menghela nafas, "Sudahlah, janganlah kisanak berlaku
berlebihan kepadaku. Lupakan sebutan itu dariku, dan panggilah aku Jati
Pamungkas."
.
Tanpa menunggu tanggapan dari Arya, Jati Pamungkas memeriksa wajah,
mulut dan perut tukang satang. Sementara Arya Dipa setelah menganggukan
kepala, ia mengajak Windujaya keluar.
.
"Mereka masih enggan untuk menampakan wujud mereka, kakang."
P a g e | 567

desis.Windujaya.
.
Arya Dipa menatap tajam tepat ke pohon ketapang. Dan memang di sanalah
lima orang berada. Tetapi di sisi lain juga terdapat tiga orang yang patut
dicurigai. Ketiga orang ini sebelumnya tidak diketahui keberadaannya oleh
Arya Dipa dan Windujaya. Barulah setelah memusatkan pendengarannya lebih
tajam, desir halus terdengar dari arah tersebut.
.
"Kisanak sekalian, hari sebentar lagi akan terang. Jadi keluarlah supaya kita
saling mengenal !" seru Arya Dipa.
.
Lima orang di balik pohon ketapang tidak lagi menyembunyikan diri mereka.
Semuanya keluar dengan ki Kala Sargota yang paling terdepan, disusul Jaladri
dan ketiga anak buahnya. Kemunculan orang itu di ambang datangnya sinar
mentari, membuat Windujaya mengernyitkan alisnya.
.
"Kalian... " desis Windujaya.
.
"Kau mengenalnya, adi ?" tanya Arya Dipa.
.
Windujaya mengangguk berkata lirih, "Mereka gerombolan perampok di sekitar
Lasem. Salah satu pemimpinnya tewas ditanganku, yaitu Kala Gumbrek."

"He Windujaya, tak usah kau berbisik seperti kunyuk !" seru Jaladri.
.
"Hari ini kami akan menjadikan dirimu tawanan bagi kami !" sambung Jaladri.
.
"Tunggu sebentar, kisanak." kata Arya Dipa, "Soal kawanku ini tentu dapat kita
selesaikan, tetapi kali ini masih ada seseorang yang malu menampakan
wujudnya."
.
Suara Arya Dipa agak keras. Sehingga perkataannya membuat orang yang
dimaksud agak geram. Orang itu meloncat keluar dari tempatnya
bersembunyi, diikuti kedua kawannya.
.
"Cih... Semakin lama kau semakin congak, anak muda!" seru orang itu.
.
Semua orang memandang ketiga orang yang baru muncul itu. Di lihat dari
P a g e | 568

penampilannya, tentu orang - orang ini dari golongan ahli kanuragan. Apalagi
tadi mereka hampir dapat menyembunyikan keberadaannya.
.
"Kisanak, aku tidak akan mencampuri urusan kalian." seru orang itu, dilayangkan
kepada ki Kala Sargota dan kemudian menunjuk Arya Dipa, " Aku hanya
berurusan dengan pemuda ini !"
.
"Adi, sepertinya kita bertemu musuh masing - masing. Berhati - hatilah." desis
Arya Dipa.
.
Keduanya berjalan menghampiri musuh berbeda. Windujaya berhadapan
dengan perampok telatah Lasem. Sedangkan Arya Dipa menghampiri orang
tua yang ia kenal saat berada di gunung Penanggungan.
.
Di dalam gubuk, orang bercambuk yang menyebut dirinya Jati Pamungkas,
berusaha mengobati tukang satang dari ancaman racun. Serbuk halus dari
dalam kantongnya ia larutkan ke air dan ia tegukan ke mulut tukang satang.
Tidak hanya itu saja, dari bekas tusukan jarum di perut tukang satang, ia gores
dan mengeluarkan darah yang menggumpal itu. Sehabis itu dibersihkan dan
dikasih boreh serta ia balut dengan kain melingkar di perut tukang satang.
.
"Semoga ia cepay siuman... " desis Jati Pamungkas.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 9 bagian 3
oleh : Marzuki
.
..
Hiruk pikuk di luar gubuk tak membuat Jati Pamungkas yang merawat tukang
satang, tergesa - gesa. Pemuda yang memakai topeng getah karet itu tidak
ingin memecah pemusatan dalam menyalurkan tenaga dalamnya kepada
tukang satang. Ini ia lakukan demi mempercepat kerja bubuk penawar racun
yang ia larutkan ke dalam mulut tukang satang.
.
Kira - kira sepenginang lamanya Orang Bercambuk menunggui tukang satang.
Hingga ia pun menyudahi penyaluran tenaga dalamnya. Tangannya bergegas
mengambil kain dan menyeka darah hitam yang muncul di sela - sela bibir
P a g e | 569

tukang satang. Keluarnya darah hitam itu semakin menambah rasa lega di hati
Jati Pamungkas, yang kemudian ia teruskan dengan ucapan syukur kepada
Sang Pencipta.
.
Barulah pikiran Jati Pamungkas tenang, tinggalah kini melihat apa yang terjadi
di luar gubuk. Langkah kakinya bergegas mendekati pintu dan perlahan
tangannya membuka pintu gubuk.
.
Saat Jati Pamungkas melewati pintu gubuk, pertama yang ia lihat ialah
tandang dari pemuda yang membawanya. Pemuda yang tiada bukan adalah
Arya Dipa, berkelahi berhadapan dengan orang tua serta dibantu oleh dua
orang berwajah kembar. Tandang pemuda itu, terlihat pelan dan seperti tidak
bertenaga, namun hal itu tidak membuat pemuda itu mudah dikenai serangan
lawan.
.
"Tata gerak aneh.. " desis Jati Pamungkas.
.
Begitu juga tata gerak yang dilakukan oleh ketiga lawan pemuda tersebut.
Orang tua yang rambutnya mulai memutih itu, kakinya bagai tidak menyentuh
tanah. Loncatan yang menyita banyak tenaga dari orang tua itu, seakan tidak
menguras tenaganya. Bahkan setetes peluh-pun tak terlihat sama sekali.
.
Sementara orang berwajah kembar dipihak orang tua, selalu menutup lubang
dengan kerjasama yang apik. Langkah keduanya ini mengisi serangan
berlainan sisi. Jika yang pertama menyerang kepala, dan orang tua menyerang
perut, si kembar satunya mengincar serangan bagian bawah. Dan jika
sebaliknya.
.
Desak - mendesak, tekan - menekan, serang dibalas bertahan, gempuran
mendapat elakan, gaplokan ke kepala dapat dihindari ataupun serangan
mematikan terus berlanjut semakin seru dan sengit. Itu akan berubah semakin
memuncak dan membahayakan satu dengan lainnya. Dengan alasan dapat
menakhlukan lawan secepatnya.
.
Di sisi lain, Orang bercambuk mengerutkan alisnya, manakala pemuda satunya
berlaku lebih trengginas dan sedikit melepas tenaganya. Pemuda itu
menghadapi empat orang yang dari tata gerak ke- empatnya, memiliki tata
gerak seirama. Dari keempatnya, Jati Pamungkas dapat mengenali siapa
P a g e | 570

mereka. Itu dikarenakan adanya ciri khusus yang terdapat di ikat kepala
mereka, yaitu adanya corak Kala hitam dalam sebuah lingkaran.

"Gerombolan Kala Ireng... " gumam Jati Pamungkas, "Hm... Gerombolan


perampok dari telatah Lasem juga sampai di sini."
.
Dahi Jati Pamungkas mengerut, "Oh... Racun yang bersarang di tubuh tukang
satang tadi... Mereka... "
.
Angan Jati Pamungkas terhenti manakala sesosok tubuh berkelab dan berdiri
tiga langkah di depannya. Orang tua dengan rambut panjang terurai, pakaian
jubah abu - abu yang ia kenakan membuat orang itu terkesan sangar. Apalagi
dari balik punggungnya tersembul ujung tombak hitam legam, yang
menambah keangkeran orang tua itu.
.
"Hmm... Jadi inikah wujud dari Orang Bercambuk.. " kata orang tua itu, yaitu ki
Kala Sargota.
.
Jati Pamungkas masih terdiam. Dari balik topengnya, ia memperhatikan secara
cermat orang tua di depannya. Ketika menatap tangan orang tua itu, yaitu
tepat di pergelangan tangan, terdapat corak khusus ciri gerombolan Kala
Ireng.
.
"Kisanak, jika aku tak salah mengenali, bukankah kisanak ini yang terkenal
sebagai pemimpin gerombolan Kala Ireng, ki Kala Sargota ?" ucap Jati
Pamungkas, sambil mengangguk hormat.
.
Ki Kala Sargota menyeringai. Tatapan matanya tajam, seolah dapat
menembus topeng yang dikenakan Orang Bercambuk. Tetapi sia - sia saja,
meskipun begitu ki Kala Sargota yakin kalau orang di depannya ini masih
berusia muda. Mungkin sebaya dengan mendiang putranya, Kala Gumbrek.
.
"Hm.. Akulah pemimpin Gerombolan Kala Ireng. Apakah hatimu menciut ?"
.
Orang Bercambuk menghela nafas, sambil menggeleng, "Tidak, ki Kala Sargota.
Aku bersyukur dapat berjumpa dengan kisanak."
.
Ki Kala Sargota mengernyitkan alisnya.
P a g e | 571

.
Sebelum ki Kala Sargota angkat bicara, Orang Bercambuk sudah
mendahuluinya, katanya, "Karenanya aku memohon kepada kisanak, yaitu
sadarkan pengikutmu yang sudah berlaku kurang tata dan senang membuat
susah kepada sesama."
.
"Tobil.. Tobil.. Tobil.. " gumam ki Kala Sargota, "Mulutmu lancang, anak muda.
Hendaknya kau berpikit seribu kali jika harus berurusan dengan gerombolan
Kala Ireng."
.
"Tundukan kepalamu sedalam - dalamnya. Aku jamin kau tidak akan
mengalami rasa sakit saat Malaikat maut menjemputmu !" seru ki Kala Sargota.

Orang Bercambuk tertawa lirih. Meskipun begitu ia telah siap siaga jika lawan
meloncat menyerang. Karena pemuda bertopeng itu yakin kalau orang
setenar ki Kala Sargota, memiliki segudang ilmu. Maka ia tidak memandang
sebelah mata.
.
"He.. Kau masih sempat tertawa, he... !" seru ki Kala Sargota, "Sebutlah bapa
biyung supaya kau tidak menyesal !"
.
Selekas itu pula ki Kala Sargota menyerang dengan melakukan penjajagan
terlebih dahulu. Tangan kanan yang terbuka mengara leher pemuda
bertopeng itu, sedangkan tangan satunya segera menyusul dengan sebatnya.
Dari kedua serangan penjajagan, deru angin sudah terasa mendebarkan, ini
menandakan kalau ki Kala Sargota memang pantas ditempatkan diantara
golongan hitam di bang tengah seperti Singa Lodra dan Lawa Ijo.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 9 bagian 4
oleh : Marzuki
.
..
Untuk menghadapi serangan lawan, Jati Pamungkas melengoskan kepala. Lalu
saat serangan susulan mengincar dadanya, tubuhnya surut ke belakang
sekaligus memukul tangan lawan.
.
P a g e | 572

"Deessss... !"
.
Pertemuan dua tenaga membuat dua tubuh bergetar dan menyurutkan kaki
keduanya dua tiga langkah. Keduanya sama - sama terkejut atas apa yang
baru terjadi. Bagi ki Kala Sargota, pukulan lawan bagai tusukan welat bambu
menuelusuri urat - uratnya. Sebaliknya dengan apa yang dirasakan oleh Jati
Pamungkas, desir halus membuat tangannya nyeri.
.
Sekali lagi ki Kala Sargota melakukan serangan. Tubuhnya menjejak tanah dan
membumbung ke udara setinggi tiga tombak. Luncuran tubuhnya cepat
dengan kaki gejik sebagai gebrakannya. Tenaganya terpusat di kaki
sepenuhnya untuk membobol pertahanan lawannya yang jauh lebih muda itu.
.
Orang Bercambuk atau Jati Pamungkas tak tinggal diam. Tangannya ia
silangkan di depan dada, untuk melindungi dadanya dari gempuran, tetapi ia
melakukan itu tidak sekedar menyilangkan tangan, melainkan aji Tameng Waja
ikut andil dalam gerakan bertahan. Ini semua ia lakukan karena sudah
mengakui kedahsyatan tenaga ki Kala Sargota.
.
"Deeeesss..... !"
.
Sekali lagi gempuran kembali terulang. Tubuh ki Kala Sargota membal ke udara,
namun kelincahannya membuat tubuhnya berputar diudara dan kemudian
berhasil menginjakan kakinya di tanah. Kaki kananya mengalami kesemutan
dan nyeri.
.
"Benar - benar pemuda pilihan. Gempuranku bagai terhalang kokohnya
karang.... " desis ki Kala Sargota.
.
Di depan Jati Pamungkas tak luput merasakan adanya gumpalan yang
menyumbat rongga dadanya. Secepatnya ia mengatur pernapasannya untuk
membenahi seluruh peredaran darah dalam tubuhnya. Tak terlalu lama
peredaran darahnya kembali seperti sediakala, begitu juga dengan rongga
dadanya semakin lega.
.
"Cukup sudah permainan ini, anak muda. Sekarang sudah waktunya kita
bersungguh - sungguh. Keluarkan seluruh kemampuanmu yang menggetarkan
itu." seru ki Kala Sargota sambil meraih tombaknya.
P a g e | 573

.
Sejenak tombak itu ia putar di depan dadanya. Mata tombak yang berwarna
hitam legam saat diputar dengan cepat, menjadikan kelebatan bayangan
hitam mengerikan.

Hal itu membuat Jati Pamungkas mendesuh. Dengan terpaksa tangannya


mengurai sesuatu di balik pakaiannya dan mengeluarkan senjata lenturnya,
cambuk. Sebuah cambuk yang dibuat khusus dari jalinan urat kulit berlapis -
lapis. Di ujungnya terdapat besi kecil yang patut diwaspadi lawan.
.
Di rentangkan cambuk itu menggubakan tangan kanan yang memegang
pangkalnya dan tangan kiri tepat memegang dua jengkal dari ujung cambuk.
Kaki agak merenggang dengan sikap kuda - kuda yang mapan. Selekas tarikan
napas, suara ledakan keras menggema memekakan suasana pagi ditepian kali
Brantas.
.
Semua orang tak terkecuali memperhatikan Orang Bercambuk. Suara
cambuknya telah menghentikan sejenak serunya perkelahian. Demi
meyakinkan mereka kebenaran dari pendengaran mereka mengenai
dahsyatnya Orang Bercambuk.
.
Banyak tanggapan berbeda - beda yang ditimbulkan. Bagi Arya Dipa dan
Windujaya, lecutan cambuk tadi sebagai isyarat keberadaan Orang
Bercambuk itu. Lain lagi dengan ketiga lawan Arya Dipa, mereka menganggap
kalau itu tadi masih awal permulaan ilmu Orang Bercambuk. Lalu selanjutnya
bagi empat anak buah Kala Ireng, lecutan tadi benar - benar membuat
mereka ngeri. Dan yang terakhir yang dirasakan oleh ki Kala Sargota, lecutan
tadi membuatnya tertawa.
.
"Hohoho.. Sungguh malu diriku. Hanya dengan menggunakan cambuk
gembala kambing, kau membuat gentar anak buahku, bocah !"
.
"Sungguh tak masuk akal, lecutanmu itu tadi tidak berisi sama sekali, selain
mengagetkan bocah yang terlelap tidur !" kembali ki Kala Sargota bersuara.
.
Jati Pamungkas tidak menjawab dengan mulutnya. Cukup ia menggerakan
cambuk dan melakukan lecutan sendal pancing.
.
P a g e | 574

"Taaaaarrrrrr..... !"

Tidak seperti bunyi pertama yang meledak keras. Lecutan itu pelan saja, tetapi
jantung ki Kala Sargota bagai berhenti tak berdetak.
.
"Bocah setan.... !" umpatnya seraya langsung menyerbu.
.
Di tempat lain pun ketiga lawan Arya Dipa sudah kembali melibas lawan yang
masih muda itu. Dendam lama serta ingin merebut kitab Cakra Paksi Jatayu-lah
yang membuat orang itu gencar melakukan sergapan demi sergapan. Di
bantu oleh dua lelaki kembar serangan ketiganya begitu dahsyat dan
trengginas.
.
"Anak muda. Cepat kau serahkan kitab yang seharusnya menjadi milikku itu !"
seru orang tua itu.
.
Sambil menghindari serangan, Arya Dipa menjawab, "Ki Ajar Lodaya, kau
jangan omong kosong. Sudah jelas kitab itu milik Eyang Resi Gentayu dan
melimpahkan kepadaku.. "
.
"Kau keliru, Anak muda. Resi itu berlaku curang terhadap saudara - saudaranya
dengan memanfaatkan kasih sayang Ayahandanya." bantah ki Ajar Lodaya.
.
"Ceritamu sangat berbeda dari pakem, ki Ajar. Hentikanlah niatmu itu sedini
mungkin. Aku masih menghormatimu yang merupakan kawan dari eyang Ajar
Bajulpati.. "
.
"He.. Lancang kau anak muda. Berani - beraninya kau memanfaatkan nama
besar kakang Ajar Bajulpati !" seru ki Ajar Lodaya, dengan nada agak bergetar.
.
Arya Dipa hanya menarik napas saja, ia lebih dahulu menghindari sergapan
dari salah satu kawan ki Ajar Lodaya. Setelah itu masih melengoskan kepala
dari ancaman tangan kembaran kawan ki Ajar Lodaya. Kedua orang kembar
ini adalah Sepasang Elang dari Penaruakan, yaitu Palguna dan Palgunata.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 9 bagian 5
P a g e | 575

oleh: Marzuki
..
.
Tangan Palguna terjulur lurus memukul lawan, seraya menyusul tendangan kaki
kanannya. Sementara Palgunata tidak ketinggalan, ia pun melayangkan dua
pukulan sekaligus ke tubuh lawannya. Kerjasama antar dua saudara kembar ini
tak lepas dari mata tajam Arya Dipa, yang menanggapi serangan pertama
dengan mengisar tubuhnya serta membelokan tendangan lawan
menggunakan tangannya. Kemudian pemuda cucu Begawan Jambul Kuning
meloncat ke atas demi menghindari pukulan ganda Palgunata, sembari meraih
pundak lawan untuk menopang tubuhnya yang ia gunakan sebagai
pendorong tubuhnya menjauhi jangkaun serangan susulan lawan.
.
Kelincahan Arya Dipa membuat ki Ajar Lodaya menggeram. Tangannya
mengepal keras seakan ingin meremas tubuh pemuda itu. Sejenak kemudian
kakinya bergeser pelan dan semakin cepat mendekati Arya Dipa.
.
Sebuah tendangan bertenaga mengarah lambung pemuda itu, tapi Arya Dipa
bergegas meliukan tubuhnya ke belakang. Tentu ki Ajar Lodaya tak tinggal
diam, tendangan berikutnya sudah melayang dengan dahsyatnya, juga
disiapkan langkah selanjutnya.
.
Adu siasat perkelahian mulai menyemarakan tepian kali Brantas di pagi hari.
Pukulan, tendangan dan hentakan silih berganti saling dilayangkan ke tubuh
lawan. Juga terlihat tubuh mereka bergulingan, melenting dan meloncat sesuai
irama tempur. Semuanya hanya mempunyai tujuan dapat mengungguli lawan
dengan cepat dan tepat.
.
Namun kadangkala keinginan itu hanya keinginan saja. Karena kenyataan
yang terjadi jauh dari yang diinginkan, malah sebaliknya apa yang didapat
oleh mereka. Begitu juga dengan apa yang dialami oleh Jaladri dan ketiga
kawannya. Windujaya yang hanya sendiri sangat sulit dikuasai, bahkan hanya
untuk menekan saja sulit bukan main.
.
Suatu kali, dua kawan merekalah yang mengalami kesialan terlebih dahulu.
Tendangan beruntun membuat tubuh keduanya terhempas keluar arena.
Meskipun keduanya tidak mengalami luka parah, tetapi muka mereka harus
menahan malu. Apalagi tak jauh dari tempat mereka berjatuhan, ki Kala
P a g e | 576

Sargota sempat meliriknya.


.
Memang sejauh ini hanya Windujaya yang berlaku agak bersungguh - sungguh
terhadap lawan. Itu semua tidak lepas dari siapa yang menuntun dalam setiap
langkahnya. Tetapi bagi lawannya berhadapan dengan Windujaya masih
dapat dikatakang beruntung, karena bila yang dihadapi gurunya, tentu
mereka sekali libas sudah meregangkan nyawa.
.
Dasar kepala batu, Jaladri yang seharusnya mampu menilai keadaan, malah
sesumbar terhadap lawannya itu, "Jangan angkuh atas apa yang kau lakukan,
Windujaya. Hadapi aku Jaladri, orang kedua dari gerombolan Kala Ireng !"
.
"He... Siapa yang angkuh, Jaladri ?" balas Windujaya sembari beringsut
menghindari sergapan lawan, lalu katanya, "Majulah, aku akan hadapi dengan
dada tengadah !"

Mata Jaladri memerah. Otot - ototnya terlihat jelas, menunjukan betapa dirinya
dikuasai hawa amarah. Sebuah tombak pendek sudah tergegam erat di
tangan. Sesaat ia memainkan tombak berlandean pendek itu. Terlihat betapa
tangan itu ahli dan menguasai senjata tombak pendek tersebut.
.
"Hiiiaaat... !" teriak Jaladri sebagai penyemangat melakukan serangan.
.
Ujung tombak bagai patukan ular mencari titik kematian lawan. Bila lawan
menghindar, tangan Jaladri dengan cepat menarik dan terus kembali
mengarahkan kemana lawan bergerak. Sangat lihai dan cekatan olah senjata
dari Jaladri ini, bila lawan kurang cermat dan cepat, pasti tubuh itu akan
berlubang. Dan jika itu terjadi meskipun hanya ujungnya saja, kematian akan
terjadi.
.
Di kalangan dunia kanuragan, gerombolan Kala Ireng tak lepas dari keganasan
racun. Maka patut diwaspadi jika seseorang berhadapan dengan gerombolan
satu ini. Begitu pun dengan senjata Jaladri, ujung tombaknya sudah dilumuri
warangan kuat dan mematikan.
.
"Hm... Tentu ujung tombak ini beracun.." desis Windujaya dalam hati.
.
Tidak ingin dirinya mengalami sesuatu yang merugikan tubuhnya, Windujaya
P a g e | 577

telah mencabut pusakanya, keris kyai Samudro Geni. Seketika disekitar arena
itu mulai terasakan hawa hangat, itu semua karena pamor dari keris kyai
Samudro Geni.
.
Keempat lawannya sejenak meloncat menjaga jarak dan memandang senjata
yang dipegang Windujaya. Tidak sedikit lawannya yang jerih menyaksikan
kehebatan pamor keris itu. Di siang hari walau samar terlihat adanya nyala
samar berwarna mereh menyala.
.
Jaladri menguatkan batinnya. Ia tidak ingin dipengaruhi senjata lawan. Orang
itu beranggapan kalau semua senjata itu tergantung pemiliknya. Meskipun
senjatanya sakti tetapi jika pemiliknya tidak mempunyai ketinggian ilmu, tentu
orang itu tak akan mampu menguasai ketangguhan senjata itu. Sambil
menggeram Jaladri meloncat menusukan tombak pendeknya.
.
"Triiing... "
.
Betapa kagetnya Jaladri, tombaknya mencelat dari genggamannya. Tak
sampai disitu saja, sebuah tendangan menghempaskan tubuhnya jauh.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 9 bagian 6
oleh : Marzuki
.
..
Jaladri berusaha berdiri, dan setelah berusaha sekuat tenaga, ia mampu
bertumpu dengan kedua kakinya meskipun agak limbung. Kepalanya pening,
untuk itu ia memijit keningnya sambil ia menggerakan kepalanya, bermaksud
mengurangi pening yang ia rasakan.
.
Saat memandang ke depan, kawannya mengalami kejadian yang sama
seperti yang ia alami. Tubuh kawannya lebih parah dari dirinya, yaitu tubuh itu
terhempas dan menghantam pohon ketapang dengan kerasnya. Sehingga
tulang pinggangnya patah dan membuat tubuh itu lunglai tak berdaya.
Sementara kawan satunya terlempar jatuh ke tepian kali.
.
Kini yang tersisa hanya satu orang saja yang sekuat tenaga menghadapi
keperkasaan Windujaya. Dan Jaladri bergegas membantunya sebelum
P a g e | 578

terlambat. Tombak berlandean pendeknya segera dipungut dan ia


songsongkan untuk menghadang laju gerak keris Windujaya, yang hampir
menggores lengan kawannya.
.
"Triing... !" sekali lagi benturan terjadi, sekuat tenaga Jaladri mempertahankan
senjatanya dengan memutar landean.
.
"Bagus... " seru Windujaya, sambil mengisar kakinya menyamping, agar tidak
terkena sabetan pedang kawan Jaladri.
.
Secepat Windujaya mengisar kakinya, Jaladri sudah menyiapkan sapuan
kakinya. Namun lawan berhasil menghindari dengan meloncat tingga sembari
menyilangkan keris di depan dada. Karena pada waktu yang sama, kawan
Jaladri sudah menghunuskan pedang mengincar dada.
.
Kedua anak buah ki Kala Sargota mampu bekerjasama lebih baik, ketimbang
masih berempat. Jaladri dan kawannya bisa saling mengisi satu sama lain
dengan seranga cepat dan terarah. Tombak landean pendek mematuk bak
ular saja, sedangkan pedang kawan Jaladri bergerak cepat mengiringi
kegalan mata tombak.
.
Di ujung yang lain, Jati Pamungkas mulai merambah ilmu cadangannya.
Cambuknya laksana kilatan petir menyambar - nyambar burung sri gunting
yang lincah mengepakan sayapnya. Meskipun lecutan cambuk Jati
Pamungkas bersuara pelan, sejatinya lecutan itu mampu merontokan isi dalam
dada seseorang. Oleh karenanya, ki Kala Sargota sering mengumpat dengan
kasarnya.
.
"Jangkrik.. Demit thetekan.. Setan alas.. !"

"Hahaha.. Janganlah kisanak terus menggeremang tiada pangkal. Hematlah


tenaga kisanak... " seleroh Jati Pamungkas.
.
"Diam kau pengembala... !" bentak ki Kala Sargota.
.
Jati Pamungkas hanya tersenyum di balik topengnya. Ia meloncat mundur tiga
langkah, lalu saat lawan akan mengejarnya, segera cambuknya bergetak
sendal pancing.
P a g e | 579

.
"Taaaarrr... !"
.
"Bajul buntung... !" ki Kala Sargota kembali mengumpat, manakala pundaknya
terkena lecutan Orang Bercambuk.
.
Kain di pundaknya sobek dan merembes darah dari lukanya. Luka itu tidak
membuatnya jera, malah ia mengeraskan tombaknya dan meloncat lebih
oanjang. Tombaknya yang ia lambari ilmu cadangan, mulai bicara lebih nyata.
Mata tombak telah bergerak melebihi senjata wadahnya.
.
"Huh... " desuh Jati Pamungkas, agak lega.
.
Bila kurang cepat menghindar, lambung pemuda itu tentu berlubang sebesar
mata tombak. Karenanya kini ia harus lebih berhati - hati. Meskipun ia
mempunyai penawar racun, tetapi ia berharap tidak menggunakan sama
sekali. Cukup kainnya saja yang berlubang dan untuk itu ia mulai menerapkan
ilmu kebalnya, aji Tameng Waja.
.
Dalam pada itu, ki Kala Sargota yang berhasil merobek kain lambung Orang
Bercambuk, membuatnya bertambah dalam menyarangkan tombaknya ke
tubuh lawan. Aji untuk mendahului wadah mulai ia terapkan sepenuhnya. Ia
berharap lawan belum menyadari sepenuhnya mengenai salah satu
kemampuannya ini.
.
Tombaknya mulai kembali bergerak mematuk, di tarik kembali dan diputar di
atas kepala, lalu kembali meluncur lebih deras. Saat bersamaan Jati
Pamungkas maju ke depan, dan inilah yang diharapkan oleh ki Kala Sargota.
.
"Mampus, kau... !" kata ki Kala Sargota, dengan mata berapi - api.
.
Tetapi saat ilmu yang medukung tombak akan mengenai Orang Bercambuk,
tubuh itu tiba - tiba merendah dengan kaki keduanya menekuk, sehingga
tombak itu melaju terus tanpa mengenai sasaran. Tapi meskipun begitu, ki Kala
Sargota cepat bertindak. Tombaknya lekas ia tarik dan ia gebukan ke kepala
lawan.

Ternyata Jati Pamungkas tidak tinggal diam. Ia sudah membaca sebaelumnya,


P a g e | 580

oleh karenanya ia renggangkan cambuknya diatas kepala unyuk menahan


laju tombak. Tepat sudah, tombak ki Kala Sargota masuk dalam perangkap,
saat itu juga dengan cepat Jati pamungkas melilitkan cambuknya serta
mendlupak tubuh ki Kala Sargota dengan kedua kakinya.
.
"Heeggk.... " Tubuh ki Kala Sargota mencelat jadinya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 9 bagian 7
oleh : Marzuki
.
..
Nama besar pemimpin gerombolan Kala Ireng memang bukan bualan semata.
Tubuh ki Kala Sargota yang mencelat di udara terkena tendangan Jati
Pamungkas, berputar miring sekaligus menotolkan tangan ke tanah sebagai
penopang tubuhnya dan membal kembali ke udara. Maka dengan indah dan
mantab tubuh tua itu sudah berpijak di atas bumi.
.
Sejenak orang tua itu mempererat genggaman landean tombaknya sambil ia
putar ke kanan. Gerakan itu menimbulkan desingan angin menakjubkan siapa
pun yang melihatnya. Inilah pertanda kalau ki Kala Sargota tidak main - main
lagi, menghadapi orang bercambuk. Baginya lawan yang masih muda itu
harus ia binasakan supaya dikemudian hari tidak menjadi batu sandungan.
.
Kaki kanan sudah mengawali gerakan menyerang dengan landean berputar,
disusul loncatan layaknya terbang. Cepat penuh tenaga disetiap gerak ki Kala
Sargota demi menusukan ujung tombak pendek ke dada lawan. Orang tua ini
berkeinginan mendahului laju senjata lawan yang lentur dengan
menempatkan serangan bertubi - tubi seakan mengejar sang waktu.
.
Cara pikir dari ki Kala Sargota dalam melakukan serangan sungguh membuat
debar jantung Jati Pamungkas berdebar - debar. Untunglah dirinya sudah
membentengi tubuhnya dengan aji Tameng Waja. Meskipun begitu, anak
muda ini tidak membiarkan ujung tombak yang dilumuri warangan mematikan
itu mengenai dirinya walau hanya menyobek pakaiannya. Karenanya ia
semakin meningkatkan ilmunya, terutama dalam meringankan tubuhnya demi
menghindari setiap serangan lawannya.
P a g e | 581

.
Betapa seru dan sengitnya pertarungan dua jalur ilmu dengan corak dan tata
gerak penuh kembangan, sesuai berkembangnya si pemilik ilmu itu sendiri.
Tentunya itu hasil dari penyempurnaan yang dilakukan berhari - hari, berbulan -
bulan dan bahkan bertahun - tahun. Dan disinilah keuletan atau ketekunan
dalam lelaku untuk mendekati kesempurnaan ilmu kanuragan akan terbukti.
Serta tidak lupa dan diingkari, pengendalian jiwa untuk berlaku tenang dan
waspada harus dimiliki oleh seorang petarung sejati.
.
Cambuk Jati Pamungkas dengan lecutan sendal pancing selalu membuat
lawannya bergetar. Bunyi yang tidak terlalu keras dan tidak memekakan
telinga, malah berbahaya bagi lawannya. Itu dikarenakan setiap lambaran
tenaga mampu membuat isi dada bergetar hebat seperti di dalam tubuh ada
seseorang yang mengobrak - abrik.
.
"Gila... !" geram ki Kala Sargota sambil membentengi dadanya dari getaran
ilmu lawan.
.
Suatu kali tubuh ki Kala Sargota tiba - tiba melenting jauh ke belakang. Jati
Pamungkas yang mengira lawan terdesak terus saja mengejarnya dengan
melakukan loncatan jauh sambil menggerakan melecutkan cambuknya. Tetapi
baru ditengah jalan, sekonyong - konyong tombak pendek ki Kala Sargota
meluncur deras.
.
Yang membuat takjub dan kaget ialah mengenai jumlah tombak itu sendiri.
Bagai beranak pinak, tombak yang awalnya hanya satu, semakin mendekati
sasaran terus bertambah.
.
"He.. Ilmu apa ini ?!" batin Jati Pamungkas.

Baru pertama kali inilah si orang bercambuk berjumpa dan menghadapi ilmu
aneh yang mampu membuat senjata menjadi lebih dari satu. Meskipun masih
dilanda badai kejut, anak muda perkasa ini mencoba untuk berlaku tenang. Ia
pusatkan mata batinnya untuk mencoba kebenaran dari senjata lawan.
Hasilnya senjata itu terlihat nyata adanya. Karenanya kini yang ia harus lakukan
hanyalah menghadapi senjata itu dengan senjata dan ilmunya saja.
.
Tekad ia pupuk dengan mantab. Tangan memegang cambuk lebih erat. Aji
P a g e | 582

Tameng Waja diperkuat membentengi seluruh tubuhnya. Ilmu meringankan


tubuh ia ungkap lebih tinggi lagi demi menanggulangi setiap ujung tombak
yang mengancam. Tidak lupa meminta perlindungan kepada Dzat Suci untuk
mendapatkan ketenangan dan kemantaban dalam menghadapi cobaan di
depan mata.
.
"Taarrr... Tarrr... Tarrr... "
.
Lincah, cepat dan trengginas tandang orang bercambuk merontokan setiap
serangan dari ilmu ki Kala Sargota. Tiga tombak mencelat entah ke mana tiada
rimbanya, satu lagi mental setelah menghantam tubuh Jati Pamungkas dan
satu lagi kembali kepada sang pemiliknya. Tidak sampai disitu saja, cambuk
yang dilambari aji Lebur Saketi meluncur deras ke tubuh ki Kala Sargota.
.
"Buuummmm....... !
.
Tepian kali Brantas berderak hebat membuat tanah bermuncratan ke mana -
mana. Pagi menjelang siang yang awalnya cerah, seketika diselimuti debu
bercampur rumput liar. Selain itu, suara itu membuat dua kalangan lainnya
sejenak berhenti untuk menyaksikan akibat dari menyeruaknya aji dalam tubuh
orang bertopeng.
.
Sedikit demi sedikit debu luruh ke tanah. Di mana ki Kala Sargota berdiri, tak
nampak walau batang hidungnya. Ini membuat anak buahnya ketar - ketir
penuh rasa cemas. Jika pemimpinnya tewas, akibat buruk akan melanda
gerombolan Kala Ireng. Gerombolan itu akan mudah diserang lawan -
lawannya dan telatah kekuasaannya dipastikan akan direbut oleh gerombolan
yang lebih kuat dari mereka.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 9 bagian 8
oleh : Marzuki
.
..
Pada saat semua orang memusatkan pandangan ke tanah berlubang, di
permukaan kali terlihat sosok yang berdiri tegap. Tetapi bila dicermati,
sebenarnya sosok itu berdiri di atas landean tombak. Sosok itu tiada lain ialah ki
P a g e | 583

Kala Sargota. Rupanya orang dari telatah Lasem tersebut sempat menghindar
sambil menancapkan tombak ke kali dan berdiri dengan gagahnya.
.
Orang - orang yang menyaksikan banyak yang memuji. Sesudahnya mereka
kembali bertempur lagi menghadapi lawan - lawannya. Kembali perkelahian
seru mewarnai tepian kali Brantas. Panas mentari menjelang siang tak
dihiraukan sama sekali oleh orang - orang ditepian.
.
Sementara itu rasa mengkal yang sangat membuat ki Kala Sargota langsung
mengungkap ilmu pamungkasnya. Ilmu berlandaskan racun sebagi ciri khusus
gerombolan Kala Ireng siap menyeruak dan dipusatkan di tangan kanannya.
Tangan sebatas pergelangan terlihat hitam legam dan berbau anyir.
.
"Pukulan itu.... " desis Jati Pamungkas atau orang bercambuk.
.
Menyaksikan lawan siap mengadu nyawa melalui pukulan mendebarkan, Jati
Pamungkas tak tinggal diam. Pemuda yang masih berdarah bangsawan
Majapahit itu tak ingin tubuhnya dilumat atau pun terhantam racun pada isi
dadanya. Oleh karenanya tubuhnya kembali dibentengi aji Tameng Waja.
Cambuk yang sebelumnya ia pegang langsung ia sampirkan di leher, dan
selanjutnya aji Lebur Saketi yang sudah diramu dengan ilmu inti Windujati siap
meladeni keinginan lawan.
.
Di sisi lain juga terlihat perkelahian yang mendekati puncaknya. Yaitu
perkelahian Arya Dipa dan ki Ajar Lodaya. Sebelumya dua kawan ki Ajar
Lodaya sudah dapat dihentikan Arya Dipa melalui perkelahian yang cepat dan
seru. Kekalahan saudara kembar Palguna dan Palgunata telah membuat
orang dari timur Penarukan itu marah. Aji Gelap Sayuta sudah manjing untuk
melibas pemuda di depannya.
.
Di depan, Arya Dipa menghela napas atas tingkah laku orang tua pemimpin
padepokan Lemah Jenar. Ilmu yang akan diungkap tentu pada akhirnya akan
berakhir dengan menyakitkan, entah itu dirinya atau ki Ajar Lodaya. Tetapi
tiada jalan lain selain mengadu ilmu untuk menghentikan perkelahian yang
mulai dari fajar dan mendekati tengah hari. Terpaksalah aji Niscala Praba
menyeruak melindungi tubuh pemuda itu, serta aji Sepi angin bersumber
kekuatan sang Bayu pun tak ketinggalan diungkap.
.
P a g e | 584

Empat orang linuweh memusatkan nalar dan budi. Berbagai jenis ilmu berbeda
tak lama kemudian menjadikan pinggiran kali Brantas kembali berderak hebat.
Suara dentuman membahana membuat telinga pengang tiada terkira.
Suasana betul - betul memukau dengan adanya sinar berbeda - beda disusul
suara dentuman tadi.
.
Perlindungan Sang Pencipta menaungi Arya Dipa dan Jati Pamungkas.
Meskipun keduanya terlihat pucat sekejap, tetapi segera wajah mereka pulih
seperti sedia kala. Hanyalah kengerian melanda lawan mereka. ki Ajar Lodaya,
dari mulutnya keluar darah segar dan tumbang seketika. Juga dengan ki Kala
Sargota, orang itu awalnya masih dapat berdiri sambil memelototkan matanya,
tangan menunjuk - menunjuk seolah ingin menunjukan kalau lawannya akan
dapat ia binasakan, betapa orang tua ini tak rela jika pemuda bertopeng di
depannya bisa menang melawannya.

"A..ku akan mem..bina..sakan..mu... !"


.
Limbunglah orang tua itu dan terjatuh menelungkup menghadap Sang
Pencipta.
.
Kekalahan ki Kala Sargota dan ki Ajar Lodaya, menggetarkan hati anak buah
gerombolan Kala Ireng, tak terkecuali Jaladri. Mereka bergegas meninggalkan
tepian dan menyusup dilebatnya semak belukar.
.
Windujaya membiarkan saja tingkah laku lawannya. Ia berjalan menghampiri
orang bertopeng yang jaraknya lebih dekat dibandingkan letak Arya Dipa
berdiri.
.
"Bagaimana keadaan, tuan ?" tanya Windujaya.
.
Dibalik topengnya, Jati Pamungkas tersenyum, "Syukurlah, Gusti Agung masih
melindungi diriku."
.
"Syukurlah... " ucap Windujaya lega.
.
Sementara itu Arya Dipa memeriksa keadaan sepasang Elang dari Penarukan.
Ternyata keduanya hanya pingsan saja. Agar mereka tidak membuat ulah,
Arya Dipa melepas ikat kepala keduanya dan diikatkan ke tangan keduanya.
P a g e | 585

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 9 bagian 9
oleh : Marzuki
.
Baru saja semilir angin dengan lembut mengusap permukaan tepian kali
Brantas, sekelompok orang turun dari atas tanggul. Orang paling depan
seorang lelaki dari kalangan bangsawan dengan ikat kepala hijau muda yang
diapit oleh dua orang. Di susul sepasang suami istri naga dari gunung Walirang.
Di belakangnya seorang pemuda yang tak kalah tampan dari bangsawan
pertama, yaitu Raden Sanjaya beserta kelompoknya. Juga tidak ketinggalan ki
Sardulo Liwung dari pantai Prigi dan Ra Srimpang dari Paciran.
.
Sontak saja kedatangan orang - orang ini membuat debar tiga pemuda yang
sejak pertama sudah di tepian kali, kaget. Tidak disangkanya kalau kemunculan
orang - orang itu akan cepat. Tentu kedatangan mereka setelah mendengar
suara gemuruh dari luapan ilmu Arya Dipa dan Jati Pamungkas.
.
Orang paling depan memberi isyarat agar mereka menjaga jarak. Kemudian
katanya.
.
"Akhirnya kita berjumpa lagi, anak muda." kata orang itu yang ditujukan
kepada Arya Dipa dan Windujaya.
.
"Oh tuan masih mengingat wajah - wajah kami rupanya. Ini merupakan suatu
keberuntungan bagi kami." sahut Windujaya sambil mengangguk hormat.
.
Raden Sajiwo tertawa pelan, "Hahaha... Seorang pemuda yang pemberani.
Kuharapkan kalian menyingkir dari tepian ini jika kalian ingin menatap indahnya
sinar mentari di esok hari."
.
Sebelum Windujaya menjawab, Arya Dipa menggamitnya dan bersuara, "Baik
tuan. Kami bertiga sudah berniat meninggalkan tepian ini, sambil membawa
kedua orang itu."
.
"Bertiga... Mengapa bertiga, anak muda ?" tanya Raden Sajiwo, "Cukuplah
kalian berdua saja, biarkan dua orang yang kau ikat dan orang bertopeng itu
P a g e | 586

tetap tinggal."
.
Sekilas Arya Dipa menoleh ke arah Jati Pamungkas. Senyum di bibirnya
mengembang seraya menggelengkan kepala, "Keinginan kisanak sudah lebih
dari ketamakan. Harta yang kisanak inginkan, haruskan ditambah dengan
kawan ku itu ?"

"Tidak, ia datang atas undanganku. Sudah seharusnya sebagai tamuku, ia akan


pergi bersamaku juga." sambung Arya Dipa tegas.
.
Ucapan Arya Dipa membuat seorang lelaki berjambang menggeram. Tak
dinyana kalau ia akan berjumpa lagi dengan pemuda ini di tepian kali Brantas.
Perlahan ia menyibak orang di depannya dan berdiri sejajar dengan Raden
Sajiwo.
.
"Raden, perkenankan hamba untuk mengurus pemuda satu ini." ucap orang itu.
.
Raden Sajiwo tersenyum, "Apakah ki Pandak Wengker, mengenalinya ?"
.
"Hamba, Raden. Bila dulu tidak ditolong begawan gemblung dari alas Parang,
pemuda ini akan berada disampingku." jawab Warok Pandak Wengker dengan
suara beratnya.
.
"Tobil - Tobil... Tidak di Ponorogo tidak ditepian kali Brantas, lagi - lagi wujud
Pandak Wengker masih belepotan kotoran... !" tiba - tiba sebuah seruan
menggema disusul dengan munculnya begawan tua.
.
Mata ki Pandak Wengker melotot, begitu juga dengan ki Widarba dan
Gonggang Keling. Sosok musuh bebuyutan mereka membuat mereka geram
bukan main.
.
Orang yang baru tiba itu mendekati Arya Dipa dan memandangi ketiga
pemuda di dekatnya. Arya Dipa dan Windujaya langsung mengangguk hormat
kepada Begawan Kakrasana atau Raden Branjang Mas. Kemunculan
begawan satu ini menentramkan hati kedua pemuda tersebut. Sedangkan Jati
Pamungkas, meskipun belum mengenalnya tapi dilihat dari sikap kedua
sahabatnya, ia bergegas mengangguk hormat.
.
P a g e | 587

"Hehehe.. Terima kasih, angger. Meskipun kau menutup wajahmu, aku yakin kau
muri orang bercambuk trah Wilwatikta." desis Begawan Kakrasana.
.
Hati Jati Pamungkas tercekat. Siapa sebenarnya orang tua ini, yang bisa
menebak dengan tepat jati dirinya ?

"Sudahlah, kita dapat berbicara setelah mengurus orang - orang ini. Mudah -
mudahan, rombongan kakang Begawan Bancak dan kakang Resi Puspanaga
cepat datang." lanjut Begawan Kakrasana.
.
Merasa tidak dihiraukan, Raden Sajiwo dan pengiringnya mengkal. Mereka
bagai tidak dipandang sebelah mata. Karenanya, semua orang bergerak
semakin mendekat dan melebarkan barisan, sekan mengepung empat orang
yang berada ditengah.
.
Keadaan mulai hangat. Sepertinya tepian itu sekali lagi akan menjadi saksi
terjadinya perkelahian seru. Tetapi sejenak kemudian, dari atas tanggul muncul
dua pemuda. Tak hanya itu saja, dari arah hilir dua orang tua berjalan dengan
tenangnya.
.
"Bangsat... Siapa mereka ini !" seru Ra Srimpang agak uring - uringan.
.
Belum habis rasa keheranan, dari arah seberang kali seorang lelaki tua berdiri
menaiki pelepah pisang sebagai piranti menyeberangi derasnya aliran kali
Brantas. Sebuah pertunjukan ilmu tingkat tinggi membuat beberapa orang
menganga.
.
"Guru... " desis Raden Sanjaya lirih, mengenali orang yang berdiri diatas pelepah
pisang.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 9 bagian 10
oleh : Marzuki
.
Orang yang dipanggil guru oleh Raden Sanjaya, menjejak permukaan pelepah
pisang dan membal melesat ke daratan, tepat di tengah antara rombongan
Raden Sajiwo dan Arya Dipa. Kedua tangan dibelakang tubuh dengan lagak
P a g e | 588

tiada permasalahan yang dihadapi. Sejenak kemudian tangan kanan bergerak


mengelus jenggot yang sudah memutih.
.
Di lain sisi, dua orang yang sebaya dengan orang tua yang menyeberangi kali
Brantas, berhenti selangkah di belakang Arya Dipa. Kedatangan kedua orang
tua itu menambah rasa tenang di hati Arya Dipa dan Windujaya. Keduanya
bergegas menyapa kedua orang tua itu.
.
Begitu juga dari atas tanggul, dua pemuda yang tiada lain Palon dan Sabdho
segera menggabungkan diri. Semakin banyaklah orang - orang di tepian kali
Brantas. Belum lagi beberapa orang yang merasa berkemampuan rendah,
menyembunyikan diri di sekitar gerumbul.
.
"Sebentar lagi senja akan tiba. Para pemburu sudah siap mencari sisa - sisa
buah Maja." suara mengguntur memecahkan ketegangan, yang diucapkan
oleh orang tua yang dianggap guru Raden Sanjaya.
.
Tawa renyah menimpali suara guru RadenSanjaya, "Hehehe... Tak dinyana jika
itu semua ulahmu, kakang Mapanji."
.
Orang yang disebut kakang Mapanji oleh Begawan Jambul Kuning,
mengernyitkan alisnya. Berusaha mengenali siapa orang yang dapat
mengenali dirinya. Kerut di dahinya semakin dalam manakala saat
memperhatikan dengan seksama wajah yang hampir sebaya dengannya.
Tidak hanya satu saja, melainkan dua orang sejaligus. Sehingga mulutnya
bergerak perlahan.
.
"Adi Bancak dan adi Branjang Mas... "
.
Meskipun mengenali keduanya, orang itu tidak segera menyapanya atau
menyahutinya. Jaman semakin hari semakin berubah, tingkah polah manusia
pun tidak ada bedanya. Dahulu baik, entahlah masa sekarang. Dahulunya
jahat, bisa saja masa sekarang lebih biadab melebihi hewan. Sangat sedikit
orang yang awalnya jahat atau melakukan dosa dan dikehidupan selanjutnya
ia memperbaiki dengan berbuat baik, sangat sedikit. Oleh karenanya orang itu
masih diam saja.
.
Atas diamnya orang tua itu, sebenarnya Begawan Jambul Kuning akan kembali
P a g e | 589

bersuara, tetapi Raden Sajiwo cepat mendahuluinya..

"Maafkan atas kelancangan kami yang berani mengusik tepian ini, tuan."
bangsawan itu mencoba mengambil hati.
.
"Kedatangan kami ke sini hanyalah diutus oleh pewaris Wilwatikta." sambung
Raden Sajiwo.
.
Tawa gemuruh keluar dari mulut orang tua itu, "Hohoho.... Sungguh sebuah
karunia yang tak terkira. Aku seorang tua yang kerjanya hanya mencari ikan di
kali Brantas, mendapat kehormatan dari utusan Wilwatikta."
.
Sesaat orang tua itu terdiam dan memejamkan mata. Kemudian membuka
matanya dan memandang ke arah Raden Sajiwo, tetapi diteruskan kepada
pemuda dibelakang. Saat itulah pandangan orang tua itu berbenturan
dengan Raden Sanjaya, entah bagaimana Raden Sanjaya langsung
menunduk.
.
"Utusan Wilwatikta.. He.. ! Cucunda Trenggono kah maksud, angger ?" seru
orang tua itu.
.
Demi disebutnya nama Sultan Demak, hati Raden Sajiwo dan orang - orangnya
gelisah. Tetapi saat menyadari kalau jumlah mereka memadai, rasa gelisah itu
segera mereka singkirkan. Raden Sajiwo sebagai pemimpin langsung memberi
penjelasan.
.
"Tuan, sebelumnya kami ingin memastikan kebenaran dari diri tuan dahulu."
.
"Hm... " dengus orang itu.
.
"Banyak kabar burung mengatakan, tepian kali Brantas khususnya disekitar sini
dijaga oleh seorang tua yang bergelar Panembahan Anom. Dan menurut
cirinya sangat sesuai dengan tuan ini. Jika memang tuanlah yang bergelar
Panembahan Anom, mohon kiranya menyerahkan sisa buah Maja kepada
kami." ucap Raden Sajiwo.
.
"Ah... Angger terlalu berlebihan. Memang akulah yang dipanggil Anom, tetapi
satu dua orang menambahi dengan gelar Panembahan." kata orang tua itu,
P a g e | 590

lalu sambil menggeleng - gelengkan kepala ia melanjutkan, "Panembahan... Ah


terlalu besar perbawa dan tanggung jawabnya."
.
"He... Angger. Aku akan menyerahkan sisa Maja yang kau inginkan, tetapi aku
akan bertanya kepada salah seorang yang disana." kembali Panembahan
Anom bicara sambil menunjuk ke arah Arya Dipa.

Saat itulah Begawan Jambul Kuning ingin memanfaatkan dengan sebaik -


baiknya. Jika ia yang bicara, tentu orang yang ia kenal sebagai Raden Kuda
Mapanji itu akan mengerti. Tetapi baru saja ia membuka mulutnya,
Panembahan Anom menghardik.
.
"Bukan kau, tetapi anak muda di samping orang bertopeng itu.. ! hardik
Panembahan Anom sekaligus menunjuk Arya Dipa.
.
"Huh... " geram Begawan Jambul Kuning.
.
"Sudahlah kakang Bancak." Begawan Kakrasana menggamit saudara
seperguruannya itu, "Biarlah Angger Arya Dipa yang menanggapinya. Aku
yakin jika nantinya akan membawa kebaikan."
.
Selangkah Arya Dipa maju dan mengangguk hormat kepada Panembahan
Anom, "Maafkan jikalau cucu ini menganggap Panembahan sebagai eyang
diri ini."
.
"Hahaha... Mengapa kau menganggapku sebagai eyangmu, ngger ?"
.
"Pertama, usia eyang Panembahan sebaya dengan empat orang yang aku
panggil eyang."
.
"Ho.. Sebutkan.. sebutkan.. " Panembahan Anom tertarik.
.
Arya Dipa tidak langsung menjawab. Ia memandang Begawan Jambul Kuning,
Resi Puspanaga dan Begawan Kakrasana. Barulah ia berkata dengan halus
penuh kelembutan.
.
"Pertama ialah eyang Resi Puspanaga, karena beliaulah yang memberikan
segudang wejangan yang sangat berguna. Kedua eyang Panembahan
P a g e | 591

Ismaya, orang tua itu mempercayai diriku sepenuhnya. Ketiga eyang Begawan
Kakrasana, seorang yang selalu membuatku tersenyum meskipun tingkahnya
bisa dibilang aneh. Dan yang terakhir seorang yang sangat aku rindukan sejak
lama, ialah eyang Jambul Kuning atau eyang Bancak."
.
Satu persatu sejak nama - nama itu disebut, berbagai tanggapan dan kesan
hinggap dihati semua yang hadir ditepian kali Brantas. Siapa yang tidak kenal
nama besar Resi Puspanaga dari gunung Penanggungan ? Disusul nama besar
seorang Panembahan Ismaya dari bang tengah, lalu dua begawan
bersaudara dari jalur Cakra Ningrat. Ada yang kagum, dan ada juga yang
menganggap kalau pemuda itu hanya membual.
.
Sementara Panembahan Anom tidak langsung memberi tanggapan. Ia
mencoba mencari kepastian dengan benar. Karenanya ia bertanya.

"Bila ucapanmu itu benar adanya, bagaimana kau membuktikannya, ngger ?"
.
Tepat apa yang di dalam benak dan pikiran Arya Dipa. Pasti orang tua itu akan
meminta penjelasan setiap ucapannya. Tentu saja Arya Dipa sudah
mempersiapkan dengan sebaiknya.
.
Sebuah gerak dasar langsung diperagakan oleh Arya Dipa. Sebuah tata gerak
dari jalur Penanggungan. Apa yang diperlihatkan oleh Arya Dipa, membuat
Resi Puspanaga heran sekaligus bangga. Dirinya saat melatih pemuda itu,
hanya memberikan ilmu pernapasan dan sedikit gerak dasar saja, dan
seterusnya hanyalah membimbing ilmu dari kitab Cakra Paksi Jatayu.
Sedangkan bagi Panembahan Anom, gerakan itu ia kenal dari Penanggungan
adanya, sehingga ia pun percaya dan menghentikan Arya Dipa.
.
"Cukup, angger. Selanjutnya mengenai Panembahan Ismaya."
.
Selesai mengatur pernapasan, Arya Dipa mendekati panembahan Anom dan
berhenti dua tindak di depannya. Ia merendahkan diri dan mengguratkan
tangan ke tanah.
.
Sekali lagi Panembahan Anom terkejut. Guratan itu memang ciri dari
Panembahan Ismaya atau Raden Buntara. Dibimbingnya pemuda itu untuk
berdiri.
P a g e | 592

.
"Sudah angger, untuk ketiga dan keempat aku juga percaya." ucap
Panembahan Anom, "Sekarang aku akan bertanya kepadamu, yaitu apakah
kau juga menginginkan sisa buah Maja ?"
.
Terlihat Arya Dipa menggeleng. Gelengan itu membuat orang - orang di pihak
Raden Sajiwo langsung ceria. Sebaliknya rasa kejut menghampiri orang - orang
di pihak Begawan Jambul Kuning.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 9 bagian 11
oleh : Marzuki
.
Diantara berbagai tanggapan berbeda atas sikap Arya Dipa, hanya dua orang
saja yang dapat dan mampu menyelami hati pemuda itu, yaitu Resi
Puspanaga dan Panembahan Anom sendiri. Bagi Resi Puspanaga, Arya Dipa
adalah seorang pemuda pilihan dan dipilih oleh alam untuk mendalami kitab
kuno Cakra Paksi Jatayu, karenanya Resi Puspanaga yakin atas keputusan yang
diambil oleh pemuda tersebut. Sedangkan bagi Panembahan Anom, ia
merasakan adanya sesuatu hubungan yang sulit ia ketahui antara dirinya dan
anak muda itu, yaitu bahwasanya pemuda dihadapannya pernah memasuki
gua dimana ia pernah menghuninya dan menemukan selongsong keris.
.
Kembali Panembahan Anom mencoba mempertanyakan alasan mengapa
pemuda itu tidak mengharapkan sisa buah Maja. Ini akan menjadi penentu
untuk kedepannya.
.
"Angger, apa alasanmu menolak sisa buah Maja ?"
.
"Eyang Panembahan, suatu kali cucumu ini pernah singgah disebuah tempat
yang mungkin pernah ditempati eyang Panembahan." ucap Arya Dipa.
.
Panembahan Anom mengernyitkan alisnya. Sementara Raden Sanjaya
dadanya mulai bergetar. Sedangkan lainnya tidak mengerti maksud pemuda
itu.
.
"Meskipun sisa Maja itu berawal dari bawaan eyang Panembahan, tetapi
P a g e | 593

eyang pernah mengguratkan kalau pusaka itu akan berjodoh dengan orang
yang akan menemukan selongsong yang terbuat dari pendok emas dengan
tanda Surya Kencana."
.
"He.... " seluruh orang terkejut.
.
Anggukan dan senyum menyeruak mewarnai wajah Panembahan Anom.
Dirinya pun tak mengira jika benda yang ia sembunyikan, mampu ditemukan
oleh pemuda di depannya ini. Selain itu ia merasa bersyukur, untunglah benda
itu tidak ditemukan oleh murid yang telah menghianatinya dan sekarang ada
di tepian itu juga.
.
"Bagus anak muda !" seru Panembahan Anom, lalu orang tua itu membalikan
badan menghadap kelompok Raden Sajiwo dan Raden Sanjaya, "Tuan semua
sudah mendengarkan dengan telinga secara langsung. Aku mempercayakan
sisa buah Maja kepada pemuda dibelakangku !"
.
"Guru.... !" seru Raden Sanjaya tanpa sadar, sehingga membuat orang heran
dan terkejut.
.
"Kau masih berani mengaku aku sebagai gurumu, Sanjaya ?!" seru
Panembahan Anom, "Setelah kau ingin mengeroyoku dengan orang - orang
dibelakangmu itu !"

Mendapati dirinya sudah tidak dihiraukan gurunya, tiba - tiba Raden Sanjaya
tertawa terbahak - bahak. Tawa itu bagai mengandung bermacam makna.
Tetapi bagi Panembahan Anom yang tak lain guru yang dikhianati oleh Raden
Sanjaya, tawa itu merupakan kepastian kalau muridnya memang benar - benar
manusia serakah.
.
"Tertawalah, jika itu membuatmu merasa ringan untuk berhadapan dengaku."
kata Panembahan Anom.
.
Raden Sanjaya melangkah ke depan, tetapi saat melewati Raden Sajiwo ia
membisiki bangsawan dari Kadiri itu, "Saatnya kita mulai, paman. Kita menang
jumlah."
.
"Hm... " sahut Raden Sajiwo sambil mengisyaratkan untuk mulai bergerak.
P a g e | 594

.
Aba - aba dari Raden Sajiwo langsung menggerakan kelompoknya untuk
menghabisi lawan - lawan mereka. Tepian kali Brantas mendekati senja hari
terasa menegangkan penuh ancaman. Bagai sudah ditetapkan, masing -
masing mencari lawannya dengan tataran yang hampir seimbang. Sisanya
harus berhadapan lebih dari satu atau dua orang.
.
Raden Sajiwo sendiri langsung berhadapan dengan Resi Puspanaga.
sementara Begawan Jambul Kuning atau Raden Bancak telah mendapat
lawan tangguh dari paman Raden Sajiwo. Begawan Kakrasana dihadapi tiga
orang yaitu, ki Widarba, ki Pandak Wengker dan Gonggang Keling. Lalu Jati
Pamungkas menghadapi ki Sardulo Liwung yang bercirikan pakaian dari kulit
macan. Selanjutnya Windujaya menghadapi seorang berbadan tambun, Ra
Srimpang. Sepasang garuda dari Penanggungan, Palon dan Sabdho dihadang
oleh sepasang naga dari gunung Welirang, Jayakusuma dan Nila Gandasari.
Sementara Arya Dipa sendiri harus melawan Duaji dan Bangau Banaran.
.
Perkelahian seru dan sengit mulai mewarnai tepian kali Brantas. Di balik
gerumbul, orang - orang yang juga mengincar pusaka dan harta peninggalan
Majapahit, tetapi hanya mempunyai kemampuan rendah, cuma melihat saja
tanpa berani ikut campur. Bagi mereka, kekuatan orang - orang di tepian
bagai raksasa saja. Jika mereka ikut terjun, kemungkinan diri mereka akan
hanyut bagai debu dihembus angin prahara.

PANASNYA LANGIT DEMAK


JILID 9 bagian 12
oleh : Marzuki
.
Menghadapi dua orang lawan, Arya Dipa langsung menggebrak dengan
dahsyatnya. Loncatan panjang sambil melakukan tendangan keras mengarah
Duaji meskipun lawannya dapat mengelak, Arya Dipa berganti memukul
Bangau Banaran. Mulai dari awal sudah direncanakan kalau tendangan sambil
meloncat tadi hanyalah tipuan jua, karena serang paling utama ialah berpusat
ke dada Bangau Banaran.
.
Mendapat serangan kilat, Bangau Banaran yang sudah terbiasa dan
berpengalaman tak tinggal diam. Kakinya beringsut ke belakang sambil
P a g e | 595

menyilangkan kedua tangan. Dirinya merasa yakin kalau serangan lawannya


dapat ia tahan, tetapi betapa kecewanya saat tangan lawan hampir
menyentuh tangannya, tiba - tiba melengos menghantam pundaknya.
Akibatnya orang itu terdorong keras ke belakang. Untunglah ia dengan
cekatan mampu mengendalikan laju lemparan tubuhnya dan berwaspada
atas serangan selanjutnya.
.
Mendapati kawannya terhempas oleh serangan lawan, Duaji memutar tubuh
dengan melentingkan badannya sambil melakukan tendangan datar. Disusul
kemuduan gaplokan ke kepala lawan, yang mana lawan dapat menghindari
serangan pertama, serta gaplokannya pun hanya mengenai udara kosong
belaka. Rasa penasaran atas gesit dan licinnya lawan, membuat Duaji
meningkatkan kemampuannya. Tubuhnya bagai tak berbobot mencecar ke
mana pun Arya Dipa berada.
.
Bagaikan mendapat kesempatan, Bangau Banaran langsung terjun juga
membantu kawannya itu. Maka terjadila kerjasama yang apik antara
keduanya. Meskipun keduanya bukanlah satu jalur dalam ilmu kanuragan,
tetapi keduanya seorang yang pintar dalam menghadapi keadaan.
.
Perasaan Arya Dipa kagum demi melihat betapa serasinya kedua lawannya.
Satu dan yang lainnya saling mengisi dan tak mau membiarkan dirinya lolos dari
sergapan lawan - lawannya. Karenanya Arya Dipa untuk mengungguli tiada
jalan lain selain merambah ilmunya semakin meningkat. Begitu tataran ilmu
pemuda itu meningkat, gebrakannya membuat keserasian lawan - lawannya
terganggu.
.
"Gila.... !" umpat Bangau Banaran.
.
Umpatan itu tak ditanggapi oleh Arya Dipa. Tubuh pemuda itu membal ke atas
setelah menotolkan kakinya ke tanah. Sekali memutar tubuhnya, tendangan
kakinya tepat mengenai pundak Duaji dan satu pukulan menghantam dada
Bangau Banaran. Sehabis itu, tubuh pemuda itu kembali menapak ke tanah
dan memandang sekitarnya.
.
Saat itulah, Duaji dan Bangau Banaran yang meringis kesakitan, mulai
meloloskan senjatanya. Di tangan Duaji tergenggam pedang panjang,
sedangkan Bangau Banaran memainkan ruyungnya di depan dada. Keduanya
P a g e | 596

perlahan mendekati lawannya yang masih melihat keadaan sekitarnya.

Duaji tanpa memberi peringatan, langsung saja melakukan tebasan ganas. Bila
yang dihadapi tidak memiliki pranggaita yang bagus, mungkin tubuhnya akan
tertebas. Tetapi tidaklah dengan Arya Dipa, kesiur angin menyadarkan kalau
ancaman maut mengarah dirinya, untuk itu ia meliukan tubuhnya seraya
tangan meloloskan kyai Jatayu dari pinggangnya.
.
Belum lagi Arya Dipa akan melakukan serangan balik, Bangau Banaran sudah
menyodokan ruyungnya. Sodokan itu bukan olah - olah dahsyatnya. Kesiur
angin yang ditimbulkan sangat kentara dan membahayakan. Untuk
meentahkannya, tiada lain bagi Arya Dipa kecuali menggunakan bilah daun
pedangnya yang tipis itu.
.
Dengungan lebah bagai menyeruak dari sarangnya, ketika pertemuan ruyung
milik Bangau Banaran dan pedang kyai Jatayu milik Arya Dipa. Tak hanya itu
saja, getaran merambat membuat tangan terasa diselomoti api, panas. Itulah
yang dirasakan oleh keduanya, selain kaki pijakan mereka pun bergeser dari
tempatnya.
.
Di kala Bangau Banaran masih terkejut atas akibat benturan senjata tadi, Duaji
dengan sebat kembali melakukan tebasan dan tusukan ke tubuh lawannya. Ini
sudah diwaspadai oleh lawannya, yang kemudian menghadapi dengan
permainan olah pedang. Tak pelak adu ilmu senjata mewarnai perkelahian itu.
.
Denting pedang mulai memeriahkan tepian kali Brantas, apalagi ditambah
percikan api disaat kedua senjata itu bergesekan. Tusukan dihindari seraya
meliukan pedang dengan gencar oleh keduanya. Ditambah kelihaian tangan
Bangau Banaran yang mempermainkan ruyungnya. Bertambah seru dan
sengitlah perkelahian itu.
.
Di sisi yang lain, Perpaduan serasi terjadi antara Palon dan Sabdho melawan
Jayakusuma dan Nila Gandasari. Sepasang garuda mengepakan sayap
menghindari juluran dahsyat dua ekor naga ganas. Naga jantan dan betina
mendesis - desis seraya mengibaskan ekornya menghantam garuda, tetapi
garuda itu langsung membumbung tinggi agar tak terhindar, lalu menukik
dengan cepat sambil melakukan serangan berbeda, yaitu satu menggunakan
cakar, dan satunya mematuk ke arah mata sepasang naga. Tentu saja
P a g e | 597

sepasang naga itu tidak diam membiarkan serangan garuda mengenai


sasaran, oleh karenanya keduanya menggeliatkan tubuhnya dengan cepat
seraya kembali mengibaskan ekornya.
.
Terjadilah pergumalan seru diantara sepasang garuda dari gunung
Penanggungan melawan sepasang naga dari gunung Welirang. Tata gerak
tingkat menengah keatas mulai menyeruak demi menahklukan lawan masing -
masing. Keduanya selalu waspada dan menghindari kelengahan walau hanya
sedikit pun. Tubuh yang mulai meringat, semakin menambah daya gedor dan
kemampuan masing - masing.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 9 bagian 13
oleh : Marzuki
.
Pergumulan seru tengah dialami oleh Windujaya yang tengah menghadapi Ra
Srimpang. Walau tubuhnya tambun, tetapi orang dari Paciran ini memiliki
ketangkasan yang ngedab - ngedabi. Kakinya sangat lincah dalam melakukan
perpindahan pijakan, dari pijakan satu kepijakan lainnya. Inilah salah satu
keahlian yang melambungkan namanya di dunia olah kanuragan.
.
Bagi Windujaya sendiri, ini merupakan pertama kalinya dirinya melakukan adu
ilmu dengan orang Paciran tersebut, meskipun nama itu sudah sering ia dengar
sebelumnya. Menurut gurunya, dahulu Ra Srimpang pernah menuntut ilmu dari
seorang bekas senopati Wilwatikta yang memiliki julukan Gajah Wilwatikta.
Benar saja, julukan itu membuktikan betapa besar kekuatan yang dimiliki dan
menurun kepada Ra Srimpang. Kekuatannya sangatlah besar dan
mengagumkan. Ini terbukti sudah tiga kali Windujaya terhempas disetiap
melakukan adu tenaga.
.
Suatu kali terlihat Ra Srimpang menggembor penuh daya kekuatan, sambil
kedua tangan membuka dan langsung menghambur ke arah Windujaya.
Maksudnya tiada lain untuk menangkap tubuh sedang Windujaya dan
mengangkat tinggi - tinggi, sekaligus membantingnya keras - keras. Dan hampir
saja rencana Ra Srimpang itu menjadi kenyataan kalau saja murid Begawan
Jambul Kuning tidak menerapkan ilmunya.
.
P a g e | 598

Kecele dan kejut menyeruak memenuhi hati Ra Srimpang. Bagaimana tidak ?


Tubuh lawan sulit diangakat, padahal tubuh itu tak begitu besar adanya.
Jangankan hanya tubuh orang, orang Paciran itu pernah mencabut pohon jati
sepelukan dengan akar - akarnya. Tetapi sekarang kenyataannya
membuatnya sakit hati dan malu.
.
Ternyata itu semua akibat dari Windujaya setelah menerapkan aji Liman
Satubondo, sebuah ilmu untuk membuat tubuhnya berat bagai tumpukan
gajah. Tak heran jika lawannya kesusahan untuk sekedar menggeser tubuhnya.
Bahkan karena susahnya, bibir lawannya meringis dan otot - ototnya semakin
terlihat, tetap saja sulit menggesernya.
.
"Kisanak, istirahatlah dahulu, kalau kau sudah letih.. " desis Windujaya, mencoba
mempermainkan lawannya.
.
Tentu saja itu membuat orang bertubuh tambun itu semakin uring - uringan,
"Kampret busuk, kau !"
.
Semangat orang itu memang luar biasa. Sebagai penerus Gajah Wilwatikta, ia
tidak mau membuat malu gurunya. Maka sebuah ilmu simpanannya mulai ia
terapkan dengan memusatkan di tangan dan kakinya. Yang mana kakinya
menjejak tanah untuk menggetarkan bumi, dan nantinya akan disusul dengan
cengkraman kuat tangannya.
.
Akhirnya ilmu itu mampu mengurai kekuatan aji Liman Satubondo, hingga
Windujaya tak mampu membalikan lagi. Masih dilanjutkan lagi dengan adanya
cengkraman kuat langsung mengangkat tubuh Windujaya ke atas, melewati
kepalanya.

"Mampus kau, anak setan !" seru Ra Srimpang, yang yakin akan dapat
membanting tubuh lawannya itu.
.
Sementara itu, Windujaya yang kelihatannya dalam kesulitan masih bisa
memutar otaknya. Sebuah gerakan tanpa disadari oleh lawan, dapat ia
lakukan dengan cepat, sehingga bisa meloloskan dirinya dari cengkraman
lawan. Bukan itu saja, dikala tubuhnya lepas, sebuah sepakan mampu ia
lesakan menghantam dada lawannya. Tetapi lawannya juga berhasil memukul
pundaknya. Tak ayal, keduanya sama - sama mengalami nyeri dimasing -
P a g e | 599

masing tubuh yang terkena sasaran.


.
Kalangan satunya juga tak kalah hebatnya. Jati Pamungkas atau orang
bercambuk didera serangan bertubi - tubi dari Raden Sajiwo. Seperti halnya
pertarungan Arya Dipa, Jati Pamungkas juga langsung melakukan gebrakan
dahsyat untuk menghadapi bangsawan Kadiri ini. Ini karena melihat dan
merasakan kedahsyatan setiap tata gerak yang dilancarkan oleh Raden
Sajiwo.
.
Perasaan sama dirasakan oleh Raden Sajiwo. Lawan kali ini tidak ia pandang
sebelah mata. Nama orang bercambuk sangatlah tenar hingga
mengguncangkan Jawa Dwipa. Sepak terjangnya membuat orang - orang
berlomba untuk mengalahkannya. Dan ini juga merupakan niat yang ada
dalam diri Raden Sajiwo. Ia berharap dapat menahklukan orang ini untuk
memperkuat pengaruhnya. Tetapi itu tidaklah mudah.
.
Pemuda yang menutupi jati dirinya ini, memiliki ketangkasan tingkat tinggi.
Kakinya laksana angin saja dan mudah dikendalikan untuk berpindah tempat
dalam sekejap. Setiap gerakannya juga menimbulkan desir angin hebat.
Karenanya, Raden Sajiwo dalam hatinya sempat memberi pujian bagi pemuda
itu.
.
Sama halnya dengan Jati Pamungkas. Ia juga merasa kagum atas kehebatan
lawannya ini. Tangan lawannya bagai puluhan pasang saja, memukul terus
seakan - akan bagai ratusan sodokan bambu petung, mengerikan jika sodokan
itu terkena di tubuhnya. Selain itu, kelincahan orang ini tak kalah dengan
dirinya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 9 bagian 14
oleh : Marzuki
.
Sodokan tangan kanan dari Raden Sajiwo begitu deras menyasar lambung Jati
Pamungkas. Bukanlah orang bercambuk andai tidak dapat menanggapi
serangan lawan dengan daya upaya yang matang. Sebab, telapak tangan
mengembang menahan laju sodokan sembari menggait kaki lawan
menggunakan kaki kanan agar dapat merubuhkannya. Tetapi kegesitan
P a g e | 600

Raden Sajiwo memang sebat, begitu sodokannya dapat ditahan oleh lawan
dan lawan membalas serangan, secepatnya ia melentingkan tubuhnya ke
atas.
.
Tentu saja Jati Pamungkas tidak tinggal diam. Dirinya langsung mengejar lawan
yang masih di udara. Tak ayal, terjadilah adu gaplokan dahsyat di udara.
Akibatnya, udara disekitar bagai kena aduk tenaga raksasa. Dan keduanya
sama - sama merasakan kesemutan pada tangan mereka.
.
Dengus dan desuh saling dilakukan atas kejadian yang tak terduga itu.
Walaupun pada akhirnya, perkelahian itu harus dilanjutkan kembali sampai
tuntas.
.
Putaran tubuh kini muncul seiring adanya serangan kilat dari Raden Sajiwo.
Serangan ganda yang disamarkan oleh tipuan - tipuan tata gerak penuh
kembangan bagai munculnya air sumber, terus dilakukan oleh bangsawan
Kadiri itu. Sungguh pengalaman orang itu sangatlah bertumpuk - tumpuk
adanya, karenanya tindakan ini akan diterapkan demi mengungguli lawannya
yang juga tangguh dan tanggon.
.
Apa yang dihadapi saat ini, merupakan sebuah pelajaran yang langsung
dipecahkan secara cepat dan tepat oleh Jati Pamungkas. Dirinya juga
bukanlah seorang pemula dalam dunia kanuragan. Sebab daripada itu, semua
yang pernah dipelajari dari kakek sekaligus gurunya, serta beberapa tata gerak
yang ia peroleh dari orang lain atau pun alam, ia terapkan sesuai keadaan
waktu itu.
.
Serulah jadinya perkelahian yang masih menggunakan tangan kosong
tersebut. Pastinya lambaran tenaga cadangan ikut andil demi berusaha
menekan atau mendesak lawan. Selain itu, kewaspadaan terus ditingkatkan
setinggi - tingginya agar tak menyesal di akhir.
.
Bergeser dari kalangan Jati Pamungkas, ada kemelut melanda Panembahan
Anom. Dirinya tak menyangka kalau harus menghadapi muridnya sendiri.
Sebagai seorang guru, rasa tak enak pasti ada padanya saat mengadu
keuletan olah kanuragan. Dan saat ini benar - benar adanya, bukan latihan
atau penjajagan untuk sekedar melakukan penilikan kemampuan muridnya.
P a g e | 601

Bila hati Panembahan Anom masih terkungkung oleh keraguan, berbeda jauh
apa yang dirasakan oleh Raden Sanjaya. Diakui kalau yang dihadapi adalah
gurunya, tetapi demi mendapatkan pusakan dan harta peninggalan
Wilwatikta, baginya haruslah menyingkirkan gurunya itu. Dengan landasan
mantab, ilmu yang ia peroleh dari gurunya itu akan menjadi bekal untuk
menghadapinya. Selain itu, sebenarnya ia juga mempunyai simpanan bekal
olah kanuragan dari jalur berbeda.
.
Hal itu terbukti seiring dengan berjalannya waktu. Ilmu tata gerak yang awalnya
dapat dikenali oleh Panembahan Anom, mulai berubah sedikit demi sedikit.
Perubahan itu membuat Panembahan Anom mengernyitkan kedua alisnya.
Tetapi orang tua itu cepatlah sadar dan hanya menyesali atas
kecerobohannya yang mana dirinya dapat dikelabui oleh anak itu.
.
"Hm.... Tak kusangka kalau kau juga mempelajari jalur Sungsang Bawono,
Sanjaya !" ucap Panembahan Anom.
.
Tanpa malu - malu, Raden Sanjaya tersenyum sambil menjawab, "Bila guru
menyadarinya, sebaiknya guru menghentikan permainan ini dan bekerjasama
denganku."
.
Ucapan kurang ajar itu tanpa sengaja dapat didengarkan oleh Begawan
Kakrasana yang menghadapi terjangan tiga lawannya. Sambil menghalau
lawan - lawannya, ia menanggapi ucapan Raden Sanjaya itu.
.
"Kakang Mapanji, Bagaimana bisa kakang menerima murid durhaka seperti itu
?" seru Begawan Kakrasana, "Apalagi dia dari kalangan Sungsang Bawono.
Ah... Kau kecolongan telak, kakang."
.
Apa yang dikatakan oleh Begawan Kakrasana yang dikenal Panemban Anom
sebagai Raden Branjang Mas, benar adanya. Dirinya memang benar - benar
kecolongan. Ini dikarenakan kalau Sungsang Bawono merupakan musuh
bebuyutan dari jalur perguruannya. Karena, tindakan - tindakan perguruan
Sungsang Bawono selalu membuat ulah merusak paugeran.

"Ini merupakan kesalahan yang harus aku tebus dengan melenyapkan ilmu
perguruan Argasti dari tubuhmu, Sanjaya." kata Panembahan Anom, sambil
menggerakan telapak tangannya.
P a g e | 602

.
Karena sebagian jati dirinya sudah terkuak, Raden Sanjaya tak membiarkan
telapak tangan orang tua itu mengenai tubuhnya. Untuk itu ia mengisar kakinya
menjauhi terjangan telapak tangan Panembahan Anom. Meskipun begitu,
desiran tajam sempat menyerempet pundaknya hingga ia sempoyongan
jadinya.
.
"Hm... Tenaga guru memang dahsyat. Apalagi jika ia mengeluarkan pukulan
Kumayan Jati... " batin Raden Sanjaya dalam hati.
.
Keadaan itu tidak terlalu lama, karena Panembahan Anom sudah
mengejarnya sembari melakukan pukulan ganda. Bergegaslah Raden Sanjaya
melayani dengan cara yang sama. Akibatnya, dua pasang tangan saling
bertemu membuat udara menggelegak.
.
Cepat terjadinya, di mana kaki Raden Sanjaya bergeser dua langkah ke
belakang. Sementara tidaklah bagi Panembahan Anom atau Raden Kuda
Mapanji. Melihat kalau muridnya hanya bergeser dua langkah, rasa kagum tak
pelak menusuk hati sang guru. Bergegas ia kesampingkan rasa kagum itu,
digantilah kemantaban hati untuk memberi pelajaran bagi sang murid yang
durhaka. Maka kembalilah adu kanuragan semakin hebat, cepat, tangkas dan
seru.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 9 bagian 15
oleh : Marzuki
.
Tanah pijakan dari Raden Sanjaya tergerus dalam sampai mata kakinya.
Selekasnya, pemuda berjenggot tipis dan lancip ini menggenjotkan kakinya
untuk melontarkan dirinya ke udara. Bersamaan dengan itu, tangannya
menggembang dengan kaki sebelah ditekuk menyiku, serta kaki kanan
meluncur deras mengancam gurunya.
.
Adanya gerakan penuh ancaman itu, Panembahan Anom mengangkat
bahunya serta kedua tangannya dengan luwes berputaran di depan dada.
Tiada lain ini merupakan sikap tatag menghadapi serangan secara langsung.
Ancaman yang sedang berlangsung membuat mata tajam Panembahan
P a g e | 603

Anom terbuka jelas sampai ke hatinya, bahwasanya sang murid betul - betul
berbuat durhaka sepenuhnya.
.
Kejadian selanjutnya benar - benar permainan indah cara bertahan yang
diterapkan oleh putra mendiang Patih Udara tersebut. Tepat saat kaki Raden
Sanjaya kurang dari seruas jari, kedua tangan Panembahan Anom secepat kilat
menangkap dan memutarnya layaknya baling - baling. Tak hanya berhenti
disitu saja, ada senggang waktu dimana putaran itu berhenti sekejap, seketika
tubuh Raden Sanjaya dilontarkan ke udara.
.
Bagi Raden Sanjaya, dikala tubuhnya dilontarkan, ia menganggapnya hal
sepele saja. Tapi betapa terkejutnya, begitu sesosok tubuh sudah di atasnya
dan memukulnya dengan menggunakan kepalan tangan. Tak sempat
pemuda itu menghindari amukan dari Panembahan Anom. Tubuhnya seketika
meluncur bebas dan akan menimpa bumi berpasir.
.
"Mati aku..... !" keluh Raden Sanjaya.
.
"Babo.. Babo... " celetuk seorang tua yang tubuhnya bagai terbang dan
menyambar tubuh Raden Sanjaya.
.
Selamatlah Raden Sanjaya dari celaka yang hampir saja melukai tubuhnya. Itu
semua berkat adanya seorang kakek yang berhasil menyelamatkan dirinya.
Sesosok kakek berbadan tegap bercirikan hidung mancung layaknya burung
kakatua, serta rambut, kumis, dan jenggot sudah memutih. Dan orang itu
menempatkan Raden Sanjaya untuk berdiri kembali dengan kedua kakinya
.
Kemunculan orang itu telah memicu adanya penasaran dari Panembahan
Anom. Karenanya ia lebih bersungguh - sungguh memperhatikan raut wajah
orang itu. Kecurigaannya semakin menjadi - jadi manakala muridnya begitu
menghormati orang itu. Syah wasangka yang lamat - lamat akhirnya menemui
tujuan kalau dirinya pun, juga mengenalinya.
.
Bibir Panembahan Anom sudah akan mulai mengucap, tetapi kalah cepat dari
orang tua yang menyelamatkan Raden Sanjaya.

"Ternyata dunia ini yang katanya sangat luas, hanyalah selebar daun kelor
saja." ucap orang tua itu, lalu, "Kuda Mapanji, marilah kita lanjutkan permainan
P a g e | 604

ini !"
.
Panembahan Anom atau Kuda Mapanji, mendesuh dan bergumam, "Hm...
Semakin nyata kalau semua dibalik kabut dialah dalangnya."
.
"Babo.. Babo... " ucap orang tua itu, "Mengapa kau bergumam diantara
banyaknya orang ini, Mapanji ?"
.
Sebelum menjawab, Panembahan Anom memperhatikan sekelilingnya. Tepian
kali Brantas bagai medan perang saja. Orang - orang bertarung satu dengan
lainnya dengan serunya. Bahkan tetesan darah sudah mulai membasahi tepian
kali Brantas. Tatapan matanya terhenti tepat disosok tubuh yang berdiri
meregangkan kakinya.
.
"Anak muda itu sudah mengalahkan lawannya." batin Panembahan Anom, lalu
menatap kedua tubuh yang menelungkup, "Apakah kedua lawannya itu mati
?"
.
Karena dirnya tidak dihiraukan oleh Panembahan Anom, orang tua di samping
Raden Sanjaya mengepalkan tangannya. Dirinya siap menerjang orang yang
ia anggap sebagai musuhnya. Namun langkahnya ia urungkan, dikarenakan
seorang pemuda menghampiri Panembahan Anom.
.
Rupanya pemuda itu adalah Arya Dipa, yang berhasil menundukan lawannya
tanpa harus melayangkan nyawa Bangau Banaran dan Duaji. Dirinya yang
sudah tak terikat dengan lawan, mencoba melihat disekitarnya. Lalu terlihatlah
tiga orang tanpa adanya perkelahian mengikat ketiganya. Maka ia pun
memutuskan menghampiri Panembahan Anom dan Raden Sanjaya serta
orang tua yang belum ia kenal.
.
"Kau tak apa - apa, ngger ?" tanya Panembahan Anom.
.
"Tidak kurang suatu apapun, eyang." jawab Arya Dipa.
.
"Hoe... " bentak orang tua di samping Raden Sanjaya, marah.

Teriakan orang itu menyadarkan Panembahan Anom. Orang tua itu


mengangguk hormat dan tersenyum. Ulah Panembahan Anom itu pun ditirukan
P a g e | 605

Arya Dipa.
.
"Semprul.... " umpat orang tua di samping Raden Sanjaya, kesal.
.
Tapi, Panembahan Anom tertawa renyah sembari berkata kepada Arya Dipa,
"Angger, orang tua itulah kawanku berdebatku dikala muda. Setelah tua, ia
dikenal dengan ki Ageng Sungsang Bawono. Benar bukan ki Ageng ?"
.
Bagi Arya Dipa disebutnya gelar itu, tidak terlalu ia kenal. Namun dari tajamnya
mata orang yang bergelar ki Ageng Sungsang Bawono, dirinya harus waspada.
Tentu orang itu merupakan seorang yang penuh ilmu kanuragan yang
tersimpan dalam tubuh tegap itu.
.
"Sudahlah, Mapanji. Sudah saatnya kita tuntaskan permasalahan yang sudah
berlarut - larut ini." kata ki Ageng Sungsang Bawono, lalu ucapnya kepada
Raden Sanjaya, "Tangani anak muda itu."
.
"Baik, guru." sahut Raden Sanjaya.
.
Jelaslah sudah. Ternyata orang tua itu merupakan guru sesungguhnya bagi
Raden Sanjaya. Dan orang itu juga yang menyuruh muridnya untuk berguru
kepada Panembahan Anom. Maksudnya hanyalah mencari atau mencuri
pusaka dan harta peninggalan Wilwatikta. Orang tua itulah yang dikenal
dengan gelar ki Ageng Sungsang Bawono, menggantikan pendiri perguruan
Sungsang Bawono di jaman Wilwatikta di masa Prabu Brawijaya Pamungkas.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 9 bagian 16
oleh : Marzuki
.
Tanpa berlama - lama, Raden Sanjaya dan ki Ageng Sungsang Bawono
bergerak dengan diawali kuda - kuda yang terlihat kokoh dan sama. Tindakan
itu merupakan isyarat kalau adanya gesekan melalui kekerasan tak dapat
dielakan lagi. Karenanya, Arya Dipa dan Panembahan Anom sudah
mempersiapkan dirinya untuk menghadapi guru dan murid dari perguruan
Sungsang Bawono.
.
P a g e | 606

Gerakan selanjutnya dapat dipastikan berupa ancaman demi ancaman


berupa tindakan nyata. Tata gerak penuh tenaga menyeruak mengganas
penuh amukan melibat lawan - lawannya. Sesekali terlihat lawan mencoba
mengelak menghindari terjangan, dan bila memungkinkan akan membalas
serangan secara mengejutkan. Serulah jadinya perkelahian antara Arya Dipa
dan Panembahan Anom yang menghadapi Raden Sanjaya dan gurunya, ki
Ageng Sungsang Bawono.
.
Pemuda bangsawan putra Pangeran Singasari dari Tumapel itu, sejak awal
sudah penasaran dengan kemampuan Arya Dipa. Apalagi, begitu mudahnya
lawannya itu dapat mengalahkan Bangau Banaran dan Duaji. Padahal, kedua
kawannya itu bukanlah seorang yang memiliki ilmu rendah. Oleh sebab itu,
Raden Sanjaya tidak menganggap enteng lawan yang sebaya dengannya itu.
.
Sama halnya dengan Arya Dipa. Pemuda itu yakin kalau lawannya seorang
pilih tanding dan memiliki berbagai ilmu yang tertimbun dalam diri Raden
Sanjaya. Maka tiada jalan lain kecuali bersikap waspada serta menatap tajam
setiap gerakan yang diluncurkan oleh lawan.
.
"Hebat juga kau, kisanak !" seru Raden Sanjaya, saat gempurannya berhasil
dihindari lawan.
.
"Ah... Tidak, Raden. Itu semua berkat kebaikan Raden yang hanya
menggunakan tenaga seperempat saja." ucap Arya Dipa, merendah.
.
Terlihat wajah Raden Sanjaya menyeringai. Tangannya dengan sebat meluncur
deras ke dada Arya Dipa. Namun kembali Arya Dipa mampu mengelak
dengan memiringkan tubuhnya disertai pukulan menyamping. Kini giliran Raden
Sanjaya dapat menghindari sembari membalas serangan lagi. Adu pukulan
dan elakan terjadi beberapa kali disertai lincahnya kaki mengisar atau pun
mendupak tubuh lawan.
.
Tataran demi tataran meningkat seiring berjalannya sang surya, yang semakin
merendah di ujung langit barat. Dua pemuda itu bagai seekor burung yang
terbang diangkasa, saling berebut mangsa. Sayap - sayap mengepak, kaki
dengan cakar kokoh sebagai senjata mulai mencengkeram penuh hasrat
melukai satu dengan lainnya. Juga paruh yang tajam ikut menyobek - nyobek
bagian tubuh yang tidak tertutup oleh pertahanannya.
P a g e | 607

.
Kaki - kaki melenting layaknya belalang, mengejar atau pun menghindari
sergapan lawan. Meluncur dari satu tempat ke tempat lainnya, sembari
melayangkan serangan ke titik terlemah lawan. Hebat dan tangkas kedua
pemuda itu. Meskipun peluh sudah membasah, tak nampak kalau rasa lelah
menghinggapi wajah - wajah pemuda itu.
.
Suatu kali, Raden Sanjaya melenting ke belakang untuk memancing lawannya.
Dan gayung pun bersambut, Arya Dipa mengejar langkah dan memasuki
perangkap Raden Sanjaya. Rasa girang demi melihat lawannya masuk dalam
perangkap yang ia buat, langsung dipergunakan dengan sebaik - baiknya.

Tubuh Arya Dipa yang masih di udara, segera mendapat serangan tidak
terduga dari Raden Sanjaya. Sebuah gerakan cepat diperagakan oleh putra
Pangeran Singasari, melalui gerakan kaki menghadap ke atas, di mana tepat
tubuh Arya Dipa berada.
.
"Buuukk..... !"
.
Tubuh Arya Dipa terhempas jadinya. Walau dirinya dapat dikenai kaki lawan
dan terhempas, kesadarannya segera mencoba agar tubuhnya tidak
terhempas begitu saja. Dengan gerakan indah, tubuh itu memutar dua kali dan
ketika mendekati tanah, kedua tangan ia gunakan untuk menotol dan
melontarkan tubuhnya ke udara. Tak hanya itu saja, tubuh itu berputaran dan
dengan cepat meluncur menggebrak Raden Sanjaya.
.
"Dessss.... !"
.
Kaki Arya Dipa membentur pertahanan kedua tangan Raden Sanjaya yang
disilangkan di depan dada. Akibatnya, Arya Dipa membal kembali dan berhasil
mendarat dengan kedua kakinya. Sementara Raden Sanjaya terdorong empat
langkah ke belakang.
.
"Hm... Meskipun ia dapat kukenai dengan tipuan seranganku, ia dapat
membalikan serangan secara tak terduga." batin Raden Sanjaya, "Ternyata
tidak hanya orang bercambuk saja, ia juga merupakan salah satu yang harus
diperhitungkan di masa yang akan datang.
.
P a g e | 608

Terdiamnya Raden Sanjaya, tak lepas dari pantauan gurunya. Orang tua itu
tadi juga sempat memperhatikan bagaimana muridnya dapat diimbangi oleh
seorang pemuda yang menjadi lawannya.
.
"Murid siapa pemuda itu ?" tanya ki Ageng Sungsang Bawono dalam hati.
.
"Apa yang kau pikirkan, ki Ageng ?" tanya Panembahan Anom, sambil terus
melakukan serangan.
.
Tapi pertanyaan itu, ia jawab sendiri, "Hm.. Aku rasa kau memikirkan siapa
lawan muridmu itu. Benarkan ?"
.
Hanya geraman dan balasan serangan saja yang tunjukan oleh ki Ageng
Sunggsang Bawono. Meskipun apa yang diucapkan oleh Panembahan Anom
benar adanya, tetapi ia terlalu tinggi hati untuk mengiyakan. Lebih baik dirinya
diam dan memusatkan kemampuannya untuk melumatkan musuhnya itu.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 9 bagian 17
oleh : Marzuki
.
Tubuh ki Ageng Sungsang Bawono meluncur berupa putaran deras menghujam
Panembahan Anom, yang menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Benturan hebat terjadi mengakibatkan tubuh Panembahan Anom terdorong
beberapa tindak, sampai tanah yang dipijak ikut tergerus dalam. Sebaliknya
dengan tubuh ki Ageng Sungsang Bawono, tubuh orang itu mencelat
walaupun akhirnya dapat mendarat di atas bumi berpasir.
.
Tidak menunggu waktu berlalu, gerakan demi gerakan sudah kembali
dilakukan oleh kedua orang tua itu. Di mana tangan Panembahan Anom yang
dilambari tenaga besar menghantam lawannya. Tentu saja lawannya tidak
tinggal diam, tangannya maju menahan gempuran dahsyat dari Panembahan
Anom. Bisa dibayangkan pertemuan dua tenaga membuat udara
menggelegak jadinya.
.
Tataran demi tataran mulai merambah ke tenaga cadangan. Orang - orang
tua itu belum memercayakan adu kanuragan dengan menggunakan senjata.
P a g e | 609

Karena bagi seorang yang tuntas dalam ilmu kanuragan, senjata yang paling
ampuh ialah berupa anggota tubuh mereka disertai akal semata. Inilah yang
menjadikan ki Ageng Sungsang Bawono dan Panembahan Anom lebih
trengginas dan ngedab - ngedabi.
.
Serangkum angin tajam menyeruak manakala kain panjang ki Ageng Sungsang
Bawono, dikebatkan. Sementara Panembahan Anom untuk mementahkan
serangkum angin tersebut, berusaha memusatkan tenaga pukulan
ditangannya. Sebuah penerapan aji Kumayan Jati menghamburkan angin dari
kibasan pakaian ki Ageng Sungsang Bawono.
.
"Babo.. Babo... " desis ki Ageng Sungsang Bawono.
.
Orang ini tidak tinggal diam atas dimentahkan serangannya. Tiba - tiba tubuh
berbadan tinggi tegap itu melenting ke belakang dan saat ujung kakinya
menyentuh tanah, kembali tubuh itu melenting tinggi. Namun yang
mengejutkan ialah saat tubuh itu di udara, bagai memecah diri menjadikan ki
Ageng Sungsang Bawono menjadi dua.
.
"Kakang Pambareb Adi Wuragil... " desis Panembahan Anom, sembari
menghindari salah satu gempuran dari tubuh ki Ageng Sungsang Bawono.
.
Terpaksa tubuh Panembahan Anom menggelinding di tepian kali Brantas dan
setelah yakin tiada ancaman, tubuh itu melenting berdiri kembali. Baru saja
bernapas sesaat, dua serangan dari dua sisi kembali mencecar lebih hebat.
Untunglah Panembahan Anom dapat menghindarinya meskipun agak
kerepotan juga. Bagaimana tidak repot, dua sosok ki Ageng Sungsang Bawono
yang memiliki persamaan kekuatan dan kemampun sangatlah menyita banyak
tenaga.
.
"Kali ini aku tidak akan melepaskan dirimu lagi, Mapanji !" seru ki Ageng
Sungsang Bawono.
.
"Kalau begitu, akulah yang akan mencobanya, ki Ageng." sahut Panembahan
Anom.
.
Selepas dirinya berkata, Panembahan Anom meningkatkan ilmunya selapis
lebih tinggi. Layaknya danau yang tenang, tiba - tiba riak kecil berubah
P a g e | 610

dahsyat menggelegak membuat debur ombak membuncah segalanya. Dua


tubuh ki Ageng Sungsang Bawono dihempaskan oleh tenaga hebat itu.
.
"Gila.... !" umpat ki Ageng Sungsang Bawono, dan dirasa sudah saatnya ia
mempercayakan menggunakan senjatanya.

Terlihat sebuah rantai sepanjang dua depa merentang dari ujung satu ke ujung
lainnya. Inilah senjata andalan dari ki Ageng Sungsang Bawono. Sangat jarang
ia menggunakan senjata itu, jika keadaan benar - benar membuatnya marah.
.
Di depan, Panembahan Anom mendesuh perlahan. Ia menyadari kalau lawan
mulai memuncak kemarahannya. Maka bagi dia pun harus siap dan karena tak
ingin dirinya celaka, maka ia pun mengurai senjata dibalik pakaiannya. Kyai
Samber Geni sebuah nama diperuntukan untuk pecut yang ia terima dari
gurunya dahulu, ia tempelkan didahi dan ia lecutkan
.
"Taarrrrrrr.... !"
.
Lecutan itu menimbulkan suara keras menghentak. Membuat semua orang
tercuri perhatiannya dan mencoba melihatnya.
.
"He... Orang itu juga bercambuk !" seru sebagian orang.
.
Sementara Jati Anom sendiri, mencuatkan alisnya. Meskipun akhirnya ada
perbedaan antara senjatanya dan senjata dalam genggaman Panembahan
Anom. Bila senjatanya terbuat dari urat binatang dan panjang serta diujungnya
ada rumbai besi, sedangkan milik Panembahan Anom hanyalan sepanjang
tangan orang dewasa dan terbuat dari kulit kayu yang tumbuhan di luar pulau
Jawa.
.
"Semakin menarik... " desis pemuda itu.
.
"He.. Lawanlah aku, jika kau tak ingin lepas kepalamu dari leher !" seru Raden
Sajiwo terhadap Jati Anom.
.
"Hm... Baik, kisanak. " ucap Jati Pamungkas dan juga mengurai cambuknya.
.
Seperti tindakan Panembahan Anom, Jati Pamungkas juga melecutkan
P a g e | 611

cambuknya. Ledakan dahsyat memekakan telinga terulang kembali. Angin


bagai menghambur saat cambuk itu dilecutkan.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 9 bagian 18
oleh : Marzuki
.
Di tangan Raden Sajiwo, sebuah keris memancarkan pamor menakjubkan
tergenggam erat sambil ia gerakan dengan terampilnya. Keris yang ia
dapatkan dari hasil menepi di petilasan Prabu Kertajaya ini disebut dengan kyai
Jalak. Keris berluk sebelas dengan corak adanya guratan burung jalak
mengepakan sayapnya. Keris ini sudah mengawalnya sejak usianya masih
muda dan hanya digunakan kalau lawan yang dihadapi mempunyai
kemampuan dahsyat saja.
.
Sejenak kemudian, Raden Sajiwo melompat mendekati lawannya yang
bercambuk. Siasat yang ia terapkan tiada lain untuk dekat dengan tubuh
lawan, serta berusaha agar lawan tidak mampu menggunakan senjatanya
dengan leluasa. Walau begitu, bangsawan inipun harus waspada saat
berusaha mendekati tubuh lawan. Karena ternyata lawan juga mampu
membaca siasatnya.
.
Saat itu, Jati Pamungkas bergegas melecutkan cambuknya ke arah tubuh yang
mendekatinya. Meskipun ia yakin kalau lawannya pasti dapat mengelak dan
akan terus merangsek menghunuskan kerisnya. Dan apa yang ia perkirakan
benar adanya, dimana lawan dapat mengelak dengan melentingkan tubuh
seraya menghunus keris ke lambungnya. Bila sejak awal tidak menduga, tentu
lambungnya akan berlubang.
.
Jati Pamungkas berusaha menghentikan laju tubuhnya dan langsung
memiringkan tubuhnya, juga disertai menarik cambuknya dan dilanjutkan
diputar melewati atas kepala untuk ia lecutkan ke tangan lawan. Tetapi lawan
pun dapat mengelak dengan cepat, dibarengi tendangan melayang ke sisi
tubuh Jati Pamungkas yang terbuka. Dan sekali lagi orang bercambuk itu
kembali menghindar.
.
Adu kecepatan dan keterampilan mengolah senjata berbeda jenis, disertai
P a g e | 612

ilmu yang mantab, menjadikan perkelahian itu semakin seru dan sengit. Lincah,
tangkas, trengginas dan kemampuan mendebarkan mengoyak udara disekitar
keduanya. Angin pun terasa tajam apabila mengenai kulit keduanya.
.
Suatu kali, disaat Raden Sajiwo menggoreskan kyai Jalak ke lengan Jati
Pamungkas, keduanya sama - sama terkejut. Menurut penglihatan Raden
Sajiwo, kerisnya sudah mengenai lengan lawannya, tetapi yang dirasakan
olehnya bagai menyayat lempengan besi saja. Sebaliknya dengan Jati
Pamungkas, meskipun ia sudah membentengi tubuhnya dengan aji Tameng
Waja, keris itu mampu mengoyak selapis ilmunya.
.
"Rupanya ia memiliki Tameng Waja... " batin Raden Sajiwo.
.
Sedangkan batin Jati Pamungkas, "Benar - benar hebat keris dan lambaran ilmu
orang ini.. "
.
Tak menyiakan waktu luang, Raden Sajiwo kembali meloncat ke udara dengan
derasnya. Tentu saja Jati Pamungkas langsung menggerakan cambuknya.
Rupanya, Raden Sajiwo sangat tajam mata dan akalnya. Datangnya ujung
cambuk ia hadapi menggunakan tajamnya keris kyai Jalak, maksudnya ialah
akan memapasnya.
.
"Haiiitt... " desuh Raden Sajiwo, saat ia tak berhasil memapas ujung cambuk itu.

Meskipun ia gagal memapas karena lawan dengan cepat menyendal


cambuknya, Raden Sajiwo bergegas mendarat dan merendahkan tubuhnya.
Dilanjutkan mencoba menyayat lambung lawan. Kali ini tenaga penuh ia
pusatkan ke senjatanya. Karena bila hanya seperampat tenaga saja, lawan
pasti dapat menahan menggunakan aji Tameng Waja.
.
"Mampus kau.... " batin Raden Sajiwo, yakin akan berhasil melukai lawan.
.
Entah bagaimana sebuah erangan terlontar dari mulut Raden Sajiwo. Tubuhnya
bagai dihempaskan tenaga besar, sehingga tubuhnya terdorong ke depan.
.
"Bangsat, kau.... !" umpatnya dengan kasarnya.
.
Kejadian tadi rupanya akibat tersambar lecutan cambuk Jati Pamungkas. Hal
P a g e | 613

itu terjadi, saat lambung Jati Pamungkas hampir terkena sayatan, tiba - tiba
saja orang bercambuk itu menggenjot kakinya melewati tubuh Raden Sajiwo.
Bersamaan dengan tubuhnya masih melayang, cambuknya langsung melecut
punggung Raden Sajiwo.
.
Rasa nyeri merambat di punggung Raden Sajiwo. Pakaian dan kulit punggung
terkoyak dengan darah mulai membasahi. Kekalahan itu membuat Raden
Sajiwo marah bukan main. Layaknya endapan lumpur membara di perut bumi,
bila lumpur itu terus tersulut pijaran inti bumi, maka akan timbul cekungan tanah
untuk jalan memuntahkan endapan itu ke permukaan. Maka ledakan besar
melanda bumi disekitarnya. Begitu juga dengan Raden Sajiwo, ilmunya mulai
menyeruak ke permukaan.
.
Keris di tangannya terlihat berpijar diambang petang itu. ilmu Guntur Geni
sebagai lambaran serangan akan ia lontarkan melalui ujung keris kyai Jalak.
Dan benar saja, tanpa berlama - lama pijaran api terlontar deras menghujam
orang bercambuk.
.
"Byaaar... Byaaaar... Byaaar... !"
.
Tiga kali lontaran aji Guntur Geni lepas ke arah dimana Jati Pamungkas
berpijak. Untunglah pemuda yang menggunakan topeng itu cepat
menghindar dengan melompat sampai tiga kali. Dan yang terakhir ia
melompat agak jauh agar ia dapat membalas serangan itu.
.
Tapi, baru saja ia memijakan kakinya, pijaran api sudah mengancamnya lagi.
Terpaksalah ia melontarkan dirinya rata dengan tanah dan bergulingan
beberapa kali, lalu melenting tepat dibelakang pohon. Dan saatnya ia mulai
membalas lontaran ilmu lawan.
.
Aji Lebur Saketi menyeruak menghantam Raden Sajiwo. Kini giliran bangsawan
itu menghindari dengan melentingkan tubuhnya jauh - jauh.
.
"Kita sudahi permainan ini, orang bercambuk. Marilah kita tuntaskan
menggunakan senjata kita !" seru Raden Sajiwo.
.
"Baik, kisanak !" sahut Jati Pamungkas.
P a g e | 614

Sehabis itu, cambuk mulai digerakan oleh Jati Pamungkas. Diawali tegapnya
kaki, kemudian mulai bergerak berupa kaki kanan mundur agak ditekuk.
Sedangkan tangan kanan memegang erat pangkal cambuk, tangan kiri
memegang pertengahan cambuk. Perlahan warna biru menyelimuti cambuk
Jati Pamungkas, bersamaan itu perlahan diputarlah cambuk itu layaknya
baling - baling.
.
Di depan, Raden Sajiwo memejamkan mata. Keris kyai Jalak awalnya
ditempelkan di dahinya dan mulai berwarna merah membara. Ketika mata
terbuka disertai loncatan dan seruan, mulailah adu ilmu pamungkas di tepian
kali Brantas.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 9 bagian 19
oleh : Marzuki
.
Tak berselang lama tepian kali Brantas di remangnya senja, menggelegak
dilanda kekuatan dahsyat dari benturan ilmu puncak yang menggunakan
senjata terjadi. Debu pasir dan kerikil berhamburan ke segala arah. Samar -
samar setelah luruhnya debu, terlihat dua orang dalam keadaan sama - sama
payah keadaannya. Seorang berdiri dengan tubuh gemetar sembari menyeka
darah yang merembes di sela - sela bibirnya dan di sisi lain, seorang lagi agak
menunduk dalam dengan tubuh bergetar lemah.
.
Orang yang masih berdiri perlahan maju mendekati lawan penuh waspada.
Baru kaki melangkah lima langkah, mendadak orang itu memiringkan tubuhnya
demi menghindari lontaran keris lawan. Bersamaan dengan tindakan Jati
Pamungkas menghindar, kesempatan itu dipergunakan oleh lawan yang
terlihat lemah untuk meninggalkan tempat itu.
.
"He, jangan lari kau !" seru Jati Pamungkas, tetapi ia pun kembali waspada.
.
Keris kyai Jalak yang dilontarkan oleh Raden Sajiwo, kembali menyerang dari
arah belakang punggungnya. Karenanya, Jati Pamungkas mementingkan
keselamatan dirinya terlebih dahulu. Kakinya cepat mengisar saat dirasakan
adanya desir tajam di belakang punggungnya.
.
P a g e | 615

"Wuuuusss... !"
.
Keris kyai Jalak terbang deras tidak mengenai tubuh Jati Pamungkas dan terus
melayang ke arah Raden Sajiwo melarikan diri. Sungguh mengagumkan
kehebatan keris kyai Jalak. Keris itu dapat mencari keberadaan si pemiliknya
dan kembali dalam sarungnya.
.
"Ah.. Orang itu berhasil lolos.. " desis Jati Pamungkas, dan ia pun bersiaga sambil
memperhatikan keadaan ditepian kali.
.
Tak terlalu jauh, Arya Dipa masih meladeni lawannya. Tubuh pemuda itu
menggeliat saat pukulan hampir mengenainya. Berhasil menghindari pukulan
lawan, Arya Dipa melentingkan tubuh sembari kakinya menyambar kepala
lawan. Meskipun kakinya sangat cepat, tetapi lawan juga bergerak sebat dan
mampu mengelak dengan merendahkan dirinya seraya menyapu kaki Arya
Dipa.
.
Dengan indah Arya Dipa meloncat dan terus melewati kepala lawan, sembari
menggaplok kepala lawan. Sekali lagi lawan menghindar dengan bergulingan
ke depan dan melenting berdiri untuk kemudian bersiaga. Kuda - kuda kembali
kokoh antara kedua pemuda itu. Tatapan tajam saling berbenturan satu
dengan lainnya, seakan beradu kekuatan dalam.
.
Bagai mendapat aba - aba, keduanya mengeluarkan senjata mereka. Sebelah
utara, Arya Dipa menggunakan kyai Jatayu sebagai senjatanya dalam
menghadapi Raden Sanjaya yang menggunakan rantai panjang mirip yang
digunakan ki Ageng Sungsang Bawono.

Raden Sanjaya merentangkan rantainya dan ia putar - putar di atas kepalanya,


layaknya baling - baling. Awalnya perlahan, semakin cepat dan deras lalu
menjulur menghantam tubuh lawannya. Tentunya rantai itu tidak hanya rantai
biasa saja, melainkan sebuah rantai dari bahan pilihan, serta dilambari
kekuatan cadangan dari jalur Sungsang Buwono.
.
Datangnya juluran rantai itu, langsung ditanggapi sungguh - sungguh oleh Arya
Dipa. Entah bagaimana tubuh pemuda itu berputar dengan kyai Jatayu
terhunus di depan dada. Layaknya gasingan, gerakan berputar itu berhasil
membalikan rantai lawan. Bahkan Arya Dipa langsung melakukan gebrakan
P a g e | 616

menghentak ke lawan.
.
"Gila.... " umpat Raden Sanjaya.
.
Raden Sanjaya bergegas memainkan rantainya lebih dahsyat dari sebelumnya.
Rantai itu diputarkan di depannya bagai putaran angin beliung sejajar garis
jangkauan lawan. Tak pelak terjadilah adu kecepatan putaran diantara dua
pemuda itu. Akibat dari kejadian itu, udara diantara keduanya bagai teraduk -
aduk dan membuat debu menghambur ke segala arah.
.
Denting beradunya rantai dan pedang tipis terdengar bersahutan
menggeleparkan udara. Percikan bunga api turut hadir saat kedua senjata itu
bergesekan dengan seringnya. Tanpa melambatkan putaran senjata masing -
masing, keduanya terus menghentakan olah senjata. Seakan - akan tenaga
mereka tak pernah habis.
.
Berselang berjalannya sang waktu, dalam benak Arya Dipa telah terpintas
untuk mengakhiri perkelahian ini. Karenanya, ditingkatkan ilmunya selapis lagi.
Pedang tipis kyai Jatayu bila dicermati, nampak diselimuti lapisan warna putih
agak samar - samar. Dan sejenak kemudian kekuatan itu menggelegak
membuat lawannya terkejut dan tercengang. Rantai panjang itu terputung
hampir mendekati pangkal di mana tangan Raden Sanjaya memeganginya.
.
"Huh.... " geram Raden Sanjaya, dan membuang sisa rantai dalam
genggamannya.
.
Selepas membuang sisa rantai, tangannya mengambil sesuatu dari balik
pinggangnya. Perlahan terlihat senjata layaknya keris, tetapi tidak berluk,
dengan gagang dari tangkai pohon cangkring yang tak berbentuk. Tetapi
yang membuat takjub ialah adanya warna menyilaukan dari pusaka aneh itu.
.
Saat bersamaan, ki Ageng Sungsang Bawono terbeliak ketika memperhatikan
apa yang dikeluarkan oleh muridnya. Orang tua itu tahu betul pusaka dalam
genggaman muridnya itu. Bahkan dia pun pernah memperebutkan pusaka itu
dengan beberapa orang - orang dunia kanuragan lainnya. Pusaka itu terkenal
dengan sebuatan kyai Cangkring, buatan mpu Gandring.
P a g e | 617

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 9 bagian 20
oleh : Marzuki
.
"Bagaimana bisa anak itu memiliki pusaka itu tanpa sepengetahuanku ?" ki
Ageng Sungsang Bawono, bertanya - tanya dalam hati.
.
Sementara itu, Raden Sanjaya yang sudah mempersenjatai dirinya dengan
menggunakan kyai Cangkring, seakan - akan pemuda dapat melipatkan
gandakan tenaganya. Berkat keampuhan pusaka buatan Mpu Gandring
itulah, tenaga bumi terserap ke wadah besi pilihan yang kini berwujud sebilah
keris dengan tangkai kayu cangkring, dan merambat ke urat dan peredaran
darah Raden Sanjaya.
.
Entah bagaimana tiba - tiba alam yang awalnya cerah, mendadak bergolak
menjadikan tepian kali Brantas tertutup awan tebal menutupi sinar rembulan
diawal malam. Kejadian ini tentu saja memancing rasa penasaran orang -
orang di tepian kali Brantas tak terkecuali.
.
"Hm... Sepertinya pusaka orang dihadapanku inilah yang mempunyai daya
linuweh." batin Arya Dipa, dengan berlaku waspada.
.
Melihat lawannya tak mengunjukan rasa gusar walau sedikit pun, ditanggapi
Raden Sanjaya dengan mencibirkan bibirnya, "He, janganlah kau tutupi
kegusaranmu dengan membusungkan dada seperti itu, kisanak !"
.
Lalu lanjutnya sambil mengacungkan keris pusakanya, "Mungkin kau belum
mendengar kehebatan pusaka ini seutuhnya, tetapi bukankah kau pernah
mendengar tutur kata dari orang tua mengenai pusaka yang menewaskan
Kebo Ijo, Tunggul Ametung, Ken Arok, dan juga Anusapati serta Tohjaya ?
Bahkan pembuatnya juga mati terhujam keris yang sama !"
.
Alis Arya Dipa mengerut, "Hm... Maksudmu, keris yang kau genggam adalah
keris Mpu Gandring yang dipesan oleh pendiri Singasari ?"
.
"Keliru, melainkan keris inilah yang pertama dibuat sebelum keris berdarah itu
menghujam Mpu Gandring." jawab Raden Sanjaya, lalu lanjutnya, "Menurut
cerita, Mpu Gandring yang berada di Lulumbang, merasakan adanya
P a g e | 618

perasaan aneh sejak dirinya bertemu dengan Ken Arok. Sepasar sebelum
kedatangan Ken Arok untuk memesan sebuah pusaka, Mpu Gandring
bermimpi aneh yang mana ia juga kedatangan seorang tua dengan pakaian
seorang pendeta. Tahukah apa yang dikatakan oleh pendeta yang muncul
dimimpi mpu sakti itu ?"
.
Arya Dipa diam dan hanya menunggu saja apa yang akan dikatakan oleh
Raden Sanjaya. Tak lama memang Raden Sanjaya menjawab sendiri.
.
"Pendeta itu mengatakan kalau sepasar yang akan datang, akan ada anak
muda berkunjung ke Lulumbang dan memesan sebuah pusaka. Pusaka itu
nantinya akan merubah keadaan di Jawa Dwipa bagian timur menjadi lebih
baik. Tetapi tentunya kemunculan pusaka itu akan membawa bebanten orang
- orang terkemuka, untuk mencegah supaya tidak terlalu banyak korban, harus
ada pusaka yang akan mengalahkan pusaka pesanan anak muda itu. Oleh
karenanya, pendeta itu menyuruh Mpu Gandring untuk membuat pusaka yang
hampir mirip dengan pusaka yang akan dipesan pemuda Ken Arok." tutur
Raden Sanjaya, "Dan inilah pusaka itu, yang mampu memupus keganasan
pusaka keris Mpu Gandring."

Bukannya terkejut, Arya Dipa mengangguk dan tersenyum, "Hm.. Sebuah cerita
yang bagus, tuan."
.
"He... Jangan katakan kalau kau tidak mempercayainya !" seru Raden Sanjaya.
.
"Tidak... Tidak... " gumam Arya Dipa, "Aku tidak menyangkal atau
membenarkan, karena aku tidak mengetahui dengan pasti. Kenyataannya
sekarang ini, alam bergejolak dan pusaka tuan membara. Tentu pusaka itu
memang dibuat oleh seorang yang tuntas ilmu kajiwannya."
.
"Hm.. Kalau begitu sebelum kau mati, sebutlah nama bapa biyungmu !"
.
Selekasnya Raden Sanjaya bergerak menghunuskan keris kyai Cangkring.
Sambaran udara terasa tajam manakala ujung keris menghadap lawannya.
Sambaran pertama walau cepat, belum mengenai tubuh lawan, maka
disusulah sebuah tusukan dan sabetan.
.
Arya Dipa mencoba mengelak dari tusukan lawan dengan mengisar kaki ke
P a g e | 619

samping kanan. Saat bersamaan ternyata lawan sudah siap dengan sabetan
ke lambungnya. Hal itu membuat Arya Dipa menyurutkan langkah sembari
membalas serangan berupa kepalan tangan kiri menusuk tubuh lawannya.
Namun lawan cukup cekatan dalam menggerakan senjatanya, tajamnya keris
dengan cepat menghadang laju tangan kiri Arya Dipa. Demi menghindari luka
parah, tiada jalan lain kecuali menarik serangan dan mengganti serangan
melayang berupa tajamnya kyai Jatayu.
.
"Tring.... !"
.
Dua senjata bertemu dan membuat keduanya terkejut jadinya. Benturan itu
membuat rasa panas merambati telapak tangan dan terus mengalir ke urat
masing - masing pihak. Keduanya langsung meloncat surut menjaga jarak dan
memperhatikan telapak tangannya. Tangan mereka masih bergetar dan
panas, keduanya bergegas memulihkannya.
.
Senjata - senjata itu ternyata sama - sama besi pilihan yang mempunyai
susunan awal terbentuk yang cukup baik di alam ini. Apalagi setelah ditangan
yang terampil dan memiliki ahlian dalam mengolah, dibarengi dengan lelaku
yang tidak gampang. Siapa yang tidak kenal dengan Mpu Gandring, seorang
manusia pilihan yang tuntas ilmu kajiwan dan kanuragan di masa akhir Kadiri.
Dan Siapa juga yang tidak kenal Mpu Supa Indragiri di masa kejayaan
Majapahit yang secara tidak langsung telah ikut membuat pedang kyai Jatayu
lewat tangan keponakannya, Mpu Citrasena dari kademangan Tegowangi. Tak
heran jika kedua senjata itu sama - sama hebat dan mendebarkan siapa pun
yang menyaksikan.
.
Sambil menggeretakan giginya, Raden Sanjaya berusaha menghajar lawannya
dengan menggunakan kyai Cangkring. Denting kedua senjata tak pelak
terdengar bersamaan dengan lincah dan terampil tangan - tangan mereka.
Tusukan.. Sabetan.. Tebasan.. terus mengalir bak arus air kali Brantas sampai
beberapa waktu.
.
Demi menghindari sesuatu yang dapat merugikan jiwanya, dari tubuh Arya
Dipa menyeruak warna kuning berkilau dan melapisi tubuh pemuda itu.
Pertahanan aji Niscala Praba ikut andil menjaga kemungkinan buruk nantinya.
Selain itu, ilmu dari kitab Cakra Paksi Jatayu juga semakin beragam dan rumit
telah keluar dan menunjukan sikapnya.
P a g e | 620

.
Munculnya gerakan - gerakan aneh dari Arya Dipa membuat Raden Sanjaya
sempat bingung dan keteteran. Baru kali ini ia melihat tata gerak yang sangat
rumit dan menggila layaknya puluhan garuda menerjang bumi. Hanya berkat
adanya keris Cangkringlah, pemuda ini dapat bertahan dari gempuran ilmu
lawannya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 9 bagian 21
oleh : Marzuki
.
Tandang yang ditunjukan oleh Arya Dipa dalam memainkan tata gerak dari
kitab Cakra Paksi Jatayu, memancing hawa aneh dari keris kyai Cangkring.
Pusaka itu menunjukan perbawa besar berupa kesiur angin disetiap
gerakannya. Apalagi adanya sumber ilmu Sungsang Bawono dalam diri Raden
Sanjaya, meleburkan kedua inti perbawa keris dan ilmu jalur Sungsang Bawono
menjadi hebat dan menggelorakan udara ditepian kali
Brantas.
.
Angin bergumul menggulung tubuh Arya Dipa, sehingga tubuh pemuda itu
terjebak dalam pusaran yang sulit dimengerti. Ini terjadi manakala keris kyai
Cangkring yang berada dalam genggaman Raden Sanjaya, teracu lurus ke
arah Arya Dipa. Mendapati ilmunya dan pusakanya berhasil membuat lawan
terkurung oleh pusaran angin, kaki Raden Sanjaya menotol tanah untuk
melambungkan dirinya, dan menghujamkan kerisnya tepat ke dada lawannya.
.
"Byaaaar..... !"
.
Pusaran angin buyar seketika dan tiada tanda - tanda menunjukan satu
kehidupan. Tubuh Arya Dipa lenyap tiada berbekas. Senyum menyeruak di bibir
Raden Sanjaya, mendapati lawannya lumat tanpa tersisa. Dengan pongahnya
ia memandang sekitar palagan, seakan - akan menantang lawan yang tak
bertarung. Dan penglihatannya tertumbuk pada diri orang bertopeng
bersenjata cambuk.
.
Orang bercambuk yang menyadari tatapan lawan Arya Dipa, mengernyitkan
alis. Sebelumnya ia merasa terpukul saat Arya Dipa terkurung dalam pusaran
P a g e | 621

dan dihujam oleh lawannya. Apalagi mendapati wujud Arya Dipa tak nampak,
semakin gusarlah pemuda bertopeng itu. Tetapi awan dalam benaknya
tersapu angin, manakala sesosok orang berdiri di atas bilah pedang tipis, yang
mengangkasa di udara.
.
"Ah... Benar - benar ilmu mengagumkan pemuda satu ini." pujian tulus terlontar
dari sanubari orang bercambuk atau Jati Pamungkas.
.
Lalu ucapnya kepada Raden Sanjaya, "kisanak, lihatlah siapa yang berada di
awang - awang itu... "
.
Bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, Raden Sanjaya memandang awang -
awang yang ditunjukan oleh orang bercambuk. Terbeliaklah matanya, seakan -
akan bola mata itu ingin lepas dan memandang dekat dengan sosok yang
tiada lain, Arya Dipa. Ternyata lawannya tidak celaka walau sekecil goresan
jarum.
.
Arya Dipa sejenak kemudian meluncur turun dengan indahnya dan pedang
tipis kyai Jatayu sudah berada ditangannya.
.
Rasa jengkel, kesal dan sakit hati bercampur jadi satu, menghasilkan
kemarahan yang sangat. Dan kemarahan telah berperan langsung
mengakibatkan pengendalian nalar suci tergerus dan memudarkan kebajikan
insan itu sendiri. Maka munculah bisik - bisik setan terkutuk yang menyarankan
jiwa kelam itu untuk berlaku menyalahi aturan suci, berupa bisikan untuk
melenyapkan nyawa orang yang dibenci. Sehingga Raden Sanjaya sudah
sepenuhnya mengakhiri lawannya dengan ilmu pamungkasnya, aji Gelap
Bawono.
.
Malam ditepian kali Brantas, mendadak diselimuti awan tebal dan pekat. Suara
layaknya guntur menggidikan terdengar bergemuruh. Orang - orang pun
tersedot untuk menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi di tepian kali Brantas.

" Gelap Bawono... " desis sebagian orang.


.
Sementara Arya Dipa, orang yang secara langsung berhadapan dengan ilmu
nggegirisi itu, kaget bukan kepalang. Walau begitu ia pun cepat menyadari
dan mencoba dan berusaha untuk memusatkan nalar dan budinya. Aji Niscala
P a g e | 622

Praba semakin tajam melindungi tubuhnya, serta menambahkan peranan ilmu


itu dari bertahan menjadi membalikan serangan lawan. Selain itu, dipilihlah aji
Sepi Angin sebagai daya gedor dalam menghadapi kehebatan aji Gelap
Bawono.
.
Kaki Arya Dipa terlihat bergerak merenggang, kaki kanan bergeser kebelakang,
kaki kiri agak menekuk. Sedangkan kedua tangan layaknya menyebah di dahi,
mulai terurai mengepal dan kepalan itu memancarkan warna putih samar -
samar. Kali ini Arya Dipa mengungkap aji atau ilmunya secara penuh, demi
menghindari adanya daya hebat dari ilmu lawan.
.
Tak lama kemudian bumi berderak hebat. Bunyi keras membahana
membuncah tepian kali Brantas. Udara berderak hebat mengakibatkan debu,
daun dan lainnya berhamburan menutupi sekitar tepian dan menambah
seramnya malam. Orang - orang berusaha membentengi dirinya dari
gelombang udara yang sangat menyesakan dada. Apa yang terjadi di titik
pertemuan dua ilmu, sangat menyulitkan untuk diketahui, kecuali apabila debu
sudah luruh kembali.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 9 bagian 22
oleh : Marzuki
.
Amukan badai debu akibat bertemunya dua kekuatan hebat berbeda jalur,
perlahan berangsur luruh kembali jatuh ke bumi pertiwi. Dua sosok tubuh dalam
keadaan sama - sama mengalami kepayahan melanda tubuh masing -
masing, berusahan bertahan dan menjaga tubuh agar tidak rubuh menimpa
tepian pasir kali Brantas. Yaitu, Raden Sanjaya menghujamkan keris kyai
Cangkring ke tanah, dengan badan setengah jongkok, serta darah segar
merembes dari sela - sela bibirnya. Satunya lagi, Arya Dipa terlihat memegang
dadanya yang sesak bagai tersumpal bongkahan batu karang, tak luput darah
segar juga mengalir dari sela bibirnya.
.
Kejadian itu memancing kedua belah pihak untuk saling berlomba menguasai
lawan - lawan mereka. Tetapi tidak untuk tiga orang, dimana ketiga orang itu
melompat mendekati kedua orang yang lemah akibat benturan tenaga murni
tersebut. Ki Ageng Sungsang Bawono meloncat meninggalkan lawannya untuk
P a g e | 623

mendekati muridnya. Begutu juga dengan Panembahan Anom dan Jati


Pamungkas, keduanya bergegas menjaga setiap kemungkinan yang terjadi,
oleh karenanya keduanya berdiri di depan Arya Dipa.
.
Sembari mengawasi tindakan yang dilakukan oleh ki Ageng Sungsang Bawono,
Jati Pamungkas bertanya keadaan pemuda di belakangnya.
.
"Bagaimana keadaanmu ?" tanya Orang Bercambuk itu.
.
"Syukurlah, aku masih mendapat pertolongan-NYA untuk menghadapi ilmu
hebat tadi." jawab Arya Dipa, sambil menyeka darah di bibirnya.
.
"Telanlah obat padat ini... " kembali Jati Pamungkas berkata sembari
melemparkan obat padat.
.
"Terima kasih... " ucap Arya Dipa.
.
Sementara itu ki Ageng Sungsang Bawono yang sedikit banyak mengerti ilmu
pengobatan, bergegas menyentuh beberapa titik penting ditubuh muridnya.
Dan secepat ia menyelesaikan tindakan untuk menyelamatkan jiwa muridnya,
akalnya mampu menilai keadaan dengan cepat, untuk itu ia pun dapat
memperkirakan apabila perkelahian itu dilanjutkan.
.
"Kita tunda dahulu urusan ini, ngger.. " desis orang tua itu.
.
Tanpa menunggu jawaban dari muridnya, orang tua itu menggamit muridnya
dan ia bawa pergi dari tepian kali Brantas. Sungguh sebat dan hebat gerakan
ki Ageng Sunggsang Bawono, hanya beberapa loncatan kaki saja, tubuh itu
sudah lenyap dibalik lebatnya malam. Dan untungnya, lawannya membiarkan
kedua orang itu lenyap dari tempat itu.
.
"Berhentilah kalian..... !" seru Panembahan Anom, lalu lanjutnya, "Pemimpin
kalian telah meninggalkan kalian... !"
.
Seruan itu menyadarkan para pengikut Raden Sajiwo dan Raden Sanjaya. Tak
ada pilihan lain, selain mendengarkan seruan dari Panembahan Anom, demi
kemungkinan dilain waktu. Oleh karenanya, mereka pun menyudahi
perkelahian dan selekasnya menjauhi tepian itu dengan dendam dan sakit hati
P a g e | 624

membekas dalam dada mereka.


.
Sepeninggal orang - orang Raden Sajiwo dan Raden Sanjaya, semua orang
berjalan ke gubuk milik tukang satang. Rupanya di situ, kemenakan tukang
satang sudah datang dan merawat pamannya yang sudah sadar dari
pengaruh racun Kala Sargota. Berkali - kali tukang satang dan kemenakannya
mengucapkan terima kasih, kepada Arya Dipa, Windujaya dan Jati
Pamungkas.

Malam merambat terus tanpa dapat ditunda. Panembahan Anom pada waktu
itu mengajak Arya Dipa untuk mengikutinya keluar dari gubug. Keduanya
berjalan ke arah hilir kali Brantas dan berhenti sejarak puluhan tombak. Tepat di
bawah pohon gayam keduanya duduk menatap sinar rembulan yang tak
terhalang lebatnya daun gayam.
.
"Angger Dipa.. " ucap Panembahan Anom, mengawali pembicaraan.
.
"Iya, eyang Panembahan.. " sahut pemuda itu.
.
"Ku ingat, kau mengatakan telah memasuki gua dipesisir laut kidul yang masih
telatah Gunung Kidul. Dan kau mendapati sebuah kotak yang berisi warangka
keris ?"
.
"Begitulah eyang.. "
.
Panembahan Anom mengangguk dan percaya. Tetapi ia masih bertanya
kepada pemuda di sampingnya itu.
.
"Di mana warangka itu, aku tidak melihat apa pun yang engkau selipkan di
balik bajumu ?"
.
Sejenak pemuda itu menarik napas perlahan. Lalu mata Arya Dipa memejam
sembari kedua telapak tangan saling bertemu bagai orang menyembah. Tiba -
tiba, tangan yang awalnya kosong sudah nampak membekal warangka keris
dengan lapisan teretes intan.
.
Melihat kejadian itu, Panembahan Anom mengangguk kagum apa yang
dimiliki oleh pemuda itu. Sangat jarang orang yang bisa menyimpan sebuah
P a g e | 625

benda di alam berbeda dan mampu mengambilnya bila diinginkan.


.
"Inilah warangka itu, Eyang. Semuanya masih utuh, yaitu sebuah kulit
bergambarkan lambang Surya Kencana berada dalam warangka itu." ucap
Arya Dipa.
.
"Hehehe... Bagus.. Bagus, angger cah bagus. Memang kaulah yang berjodoh
dengan keris peninggalan Wilwatikta. Meskipun hanyalah sekejap saja kau
menyimpannya."
.
"Aku sudah menyadarinya, eyang. Sebenarnya aku hanyalah utusan saja dari
eyang Raden Buntaran."
.
"Kakangmas Buntaran, kau selalu mendapatkan apa yang kau inginkan." desis
Panembahan Anom, lalu kemudian, "Kau tak perlu menunggu waktu senja hari
mencari gumuk yang berkilaun layaknya emas. Sekarang juga aku akan
menyerahkan pusaka itu kepadamu."

Seperti yang dilakukan oleh Arya Dipa, Panembahan Anom juga


melakukannya, yaitu memejamkan mata dan menempelkan telapak tangan di
dekat dahinya. seberkas warna kemilau mengawali adanya sebuah keris
pusaka. Di cium tangkai keris dan kemudian ia serahkan kepada Arya Dipa.
Dan pemuda itu menerimanya dengan penuh syukur.
.
"Terima kasih, eyang atas kepercayaannya." ucap Arya Dipa, sambul
memasukan keris ke dalam warangkanya.
.
"Jagalah kyai Sangkelat ini. Raden Buntaran pasti percaya kepada Demak dan
memberikan pusaka ini sebagai sipat kandel kerajaan itu." kata Panembahan
Anom.
.
Sejenak malam itu hening. Kemudian orang tua yang masih berdarah keraton
itu berkata.
.
"Apakah kau tidak menanyakan harta peninggalan Majapahit, ngger ?"
.
Sebuah gelengan dilakukan oleh Arya Dipa, "Tidak, eyang Panembahan. Itu
bukanlah hak-ku."
P a g e | 626

.
Rasa kagum menyentuh hati orang tua itu. Karenanya ia ingin memberikan
sesuatu dari dirinya supaya dapat terus berkelanjutan apabila ia kembali ke
alam kelanggengan. Tangan tua itu mengambil sesuatu dari balik pakaiannya.
.
"Angger, kalau begitu mohon diterima ini." katanya seraya menyodorkan
rangkain lontar, sebelum Arya Dipa berkata bergegas Panembahan Anom
mendahuluinya, "Aku mohon terimalah ini.. "
.
Karena tak ingin membuat hati Panembahan Anom kecewa, Arya Dipa
menerima rangkaian rontal tersebut. Ternyata itu adalah sebuah tuntunan ilmu
tingkat tinggi dari perguruan Panembahan Anom.
.
"Oh.. Terima kasih, eyang Panembahan."
.
Malam itu adalah malam penuh keberuntungan yang menimpa diri Arya Dipa.
Selain tugas mendapatkan pusaka keris kyai Sangkelat, ia pun mendapatkan
kitab jalur perguruan Panembahan Anom. Dan keesokan harinya, setelah
berembug dengan para sesepuh, Arya Dipa kembali ke telatah Jawa bagian
tengan, untuk menyerahkan pusaka kyai Sangkelat.

Bersambung..

Panasnya Langit Demak jilid 10


Panasnya Langit Demak
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 10 bagian 1
oleh : Marzuki

Pegunungan Telomoyo sudah di depan mata. Jalan mendaki dilalui oleh


sepasang kaki dengan tenangnya. Suara burung kepodang daun riuh berkicau,
seakan ikut menyertai pemuda berpakaian kuning kecoklatan itu. Sekali - kali
pemuda itu menengok lembah yang berada segaris datangnya sang fajar.
Menambah indahnya pemandangan di pagi hari itu.

Tak terhitung hari lamanya,


P a g e | 627

Arya Dipa menyusuri kembali arah jalan dari bang wetang. Tugas
mendapatkan pusaka berwujud keris ia dapatkan setelah melalui jalan
berbahaya. Kyai Sangkelat yang dahulunya disimpan oleh Raden Kuda
Mapanji atau Panembahan Anom, kini berada dalam perlindungannya, dan
saat ini akan ia serahkan kepada Raden Buntaran atau Panembahan Ismaya.

Dalam perjalanannya mendapatkan pusaka peninggalan Wilwatikta, Arya


Dipa tanpa diduga juga berjumpa dengan kakeknya, Begawan Jambul Kuning.
Selain itu, tabir rahasia keluarganya terkuak yang mana dirinya masih berdarah
bangsawan keraton Kadiri. Juga, patut disyukuri rupanya pembunuh kedua
orang tuanya bukanlah kakeknya, melainkan seorang yang berwajah sama
dengan kakeknya. Satu lagi, pemuda itu juga mendapatkan anugerah berupa
rontal kitab dari Panembahan Anom, yang berisi tuntunan olah kanuragan
tingkat tinggi.

Udara pegunungan di pagi hari membuat pemuda itu tidak lama - lama
mendaki jalan tanjakan ke padepokan karang Tumaritis. Kaki lincah
berlambarkan aji sepi angin, membawa pesat tubuhnya mendekati regol
padepokan. Kedatangannya rupanya diketahui oleh seorang cantrik dan
menyambutnya dengan berbagai pertanyaaan.

"Selamat datang di Karang Tumaritis, kisanak." ucap cantrik itu, sambil


memperhatikan Arya Dipa.

Dengan tindak tanduk yang sopan, Arya Dipa menyahuti cantrik itu dan
menjelaskan keperluan dirinya ke padepokan Karang Tumaritis. Dan pada saat
yang sama itulah, seorang cantrik yang ingat akan Arya Dipa, segera
mengenalinya dan mempersilahkan Arya Dipa untuk memasuki halaman
padepokan.

"Silahkan, Den." sambut cantrik yang mengenalinya, "Maafkan adi Wandi, ia


baru sepekan ini sebagai cantrik di padepokan ini. Sehingga tak mengenali
Denmas."

Arya Dipa tersenyum sambil menepuk bahu cantrik itu, "Tak mengapa,
kakang. Tindakan adi Wandi, memang sudah seharusnya."
P a g e | 628

Kedua cantrik itu merasa lega atas sikap Arya Dipa. Di kala itu, kebanyakan
orang berkedudukan tinggi, sangat jarang bersikap lunak jikalau mengetahui
seorang kawula mengganggu atau dirasa menyalahi pendirian orang tersebut.
Karenanya sikap Arya Dipa, bagaikan titikan air di musim kemarau,
menyegarkan kedua cantrik itu.

Dan Arya Dipa diantarkan menuju balai khusus untu tamu padepokan.
Sebuah bangunan tertata rapi dan bersih. Sebuah amben besar dengan tikar
tergelar diatasnya. Di situ sudah ada kendi tempat wadah air minum dan tiga
gelas terbuat dari bumbung.

"Silahkan, Denmas. Sebentar kami akan memberitahu Panembahan." ucap


cantrik yang mengenali Arya Dipa.

"Terima kasih, kakang."

Tidak menunggu lama setelah sepeninggal cantrik tadi, terdengar langkah


kaki menuju balai tamu. Seorang lelaki yang sudah lanjut usia tetapi masih
menunjukan tenaga yang hebat, memasuki balai tamu dan dengan ramah
menyapa Arya Dipa.

"ho... Rupanya prenjak di pohon jambu air itu, mengisyaratkan kalau kau
kembali, Dipa." ucap Panembahan Ismaya.

Sambil turun dari amben, Arya Dipa menyalami tangan orang tua itu, "Restu
eyang Panembahan, membuat cucu selamat dan kembali ke padepokan ini,
eyang."

"Hehehe... Syukur.. Syukur, duduklah dan tolong ceritakan apa yang terjadi di
bang wetan." kata Panembahan Ismaya tak sabar.

Sejenak Arya Dipa mengatur napas sembari mengumpulkan ingatannya


dikala menyusuri pesisir pantai kidul, telatah Ponorogo, tanah perdikan Anjuk
Ladang dan berhenti di tepian kali Brantas. Tak lupa dituturkan dirinya berjumpa
tokoh - tokoh hebat seperti Panembahan Anom, kakeknya Begawan Jambul
Kuning, Resi Puspanaga dan Begawan Kakrasana. Juga tokoh muda Orang
Bercambuk, Windujaya dan Raden Sanjaya serta Raden Sajiwo. Tentu tokoh -
tokoh lainnya.
P a g e | 629

"Berkat restu dari eyang, inilah pusaka itu." kata Arya Dipa mengakhiri
ceritanya, sambil memperlihatkan keris kyai Sangkelat.

Diterimanya pusaka itu oleh Panembahan Ismaya. Diteliti dan diamati secara
cermat hingga lekuk - lekuk kyai Sangkelat. Anggukan kepala orang tua itu,
menandakan kelegaan yang dirasakan oleh pemimpin padepokan Karang
Tumaritis. Sejenak kemudian ia pun kembali bersuara.

"Angger Dipa, lengkap sudah pusaka peninggalan Majapahit. Dua keris yang
sebelumnya sudah diselamatkan oleh anakmas Mahesa Jenar dan Gajah Sora,
yaitu keris kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten, kini kyai Sangkelat telah kau
dapatkan." sejenak Panembahan Ismaya berhenti untuk mengambil napas, lalu
katanya, "Namun di lembah sana, tak lama lagi akan pecah perang antara
laskar Banyubiru."

"Oh... " Arya Dipa kaget, "Apakah Demak kembali menyerang Banyubiru,
eyang Panembahan ?"

Kepala Panembahan Ismaya menggeleng, "Tidak, ngger. Lawan kali ini


datangnya dari sekumpulan tokoh - tokoh hitam. Karenanya, aku meminta
bantuanmu untuk meminjamkan kyai Sangkelat kepada putra Anakmas Gajah
Sora."

"Putra paman Gajah Sora.. maksud eyang ki Ageng Gajah Sora ?"

"Benar ngger. Selain itu lindungilah anak itu dari musuh yang sangat
berbahaya. Tetapi aku yakin, kau mampu melawannya."

"Baiklah, eyang. Cucumu ini akan berusaha membantu."

Maka sejak saat itu, Arya Dipa menetap sementara di padepokan Karang
Tumaritis. Sekali lagi ia mendapat tugas dari Panembahan Ismaya untuk ikut
melindungi putra tunggal ki Ageng Gajah Sora. Di mana awan panas bergerak
ke lembah Telomoyo di dekat perbatasan Banyubiru.
P a g e | 630

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 10 bagian 2
oleh : Marzuki

Selama sepekan Arya Dipa berdiam di padepokan Karang Tumaritis,


Panembahan Ismaya mendapat warta dari cantrik yang ia utus untuk
mengamati jalan antara telatah perdikan Banyubiru dan Rawa Pening. Dari
cantrik itulah, diketahui adanya segerombolan orang tak diketahui jati dirinya,
beriringan dengan diam - diam menuju Banyubiru. Tentu saja hal itu
mencurigakan, apalagi suasana saat - saat ini sangat mencekam di telatah
Banyubiru. Karenanya, Panembahan Ismaya yang merasa mempunyai
kepentingan khusus dengan penerus kepala perdikan Banyubiru di masa yang
akan datang, mencoba ikut mengamankan telatah itu dari rongrongan
kekuasaan tokoh - tokoh hitam.

Sebenarnya ia sendiri akan turun langsung melihat kenyataan yang bergolak


di telatah Banyubiru, tetapi setelah menyadari adanya Arya Dipa
disampingnya, Panembahan Ismaya menjatuhkan pilihan untuk meminta
tolong terhadap pemuda itu. Dengan perkataan indah dan lunak,
Panembahan Ismaya memberitahukan apa yang terjadi saat itu. Bukan hanya
warta dari cantrik tadi saja, tetapi adanya perencanaan jangka panjang yang
akan menempatkan seorang trah Pengging untuk memasuki kesultanan
Demak.

"Maksud eyang Panembahan, adi Karebet ?" kata Arya Dipa untuk mencari
kepastian.

"Benar, ngger." jawab Panembahan Ismaya, tegas.

"Maaf, eyang Panembahan. Bukannya aku tidak setuju, tetapi apakah hal itu
tidak membahayakan putra paman Gajah Sora ?"

Orang tua yang sudah lanjut itu, mendesuh perlahan. Memang apa yang
dicemaskan oleh Arya Dipa itu beralasan. Tetapi sudah puluhan kali
Panembahan Ismaya memikirkan dan meyakinkan apa yang akan ia lakukan
demi berjalannya rencana pemulihan trah Pengging. Orang tua itu pun,
nantinya akan muncul saat - saat yang menentukan, karenanya ia harus
meyakinkan rencananya kepada pemuda di sampingnya itu.
P a g e | 631

"Percayalah kepadaku, ngger." kata Panembahan Ismaya, lalu katanya


kemudian, "Baiklah, aku akan membeberkan sedikit kepadamu."

Mata Arya Dipa tak berkedip dan daun telinganya ia buka lebar - lebar, demi
mendengar apa yang akan dikatakan oleh keturunan Majapahit itu.

"Kami, orang - orang tua yang cinta kedamaian di bumi Jawa Dwipa ini, telah
melakukan pertemuan untuk membahas berjalannya kemakmuran di telatah
ini. Kala itu juga datang seorang wali dari Kadilangu, beberapa pemimpin
tanah perdikan dan kabuyutan dan tokoh sepuh trah Wilwatikta. Seharusnya,
kakekmu Begawan Bancak dan Panembahan Anom akan kami undang juga
pada pertemuan itu. Tetapi kedua orang tua itu sulit diketahui rimbanya dan
terlibat kejadian di bang wetan." Sejenak orang tua itu terdiam, demi melihat
kesan pada wajah Arya Dipa.

Lalu lanjutnya, "Sudah menjadi kesepakatan antara kami, serta dikuatkan oleh
ketajaman mata hati Sunan Kalijaga, satu - satunya jalan ialah menempatkan
anakmas Karebet kembali memasuki pranatan keraton."

Jantung Arya Dipa bagai disentakan tali. Getaran yang awalnya perlahan,
mendadak kencang. Karenanya demi mengurangi rasa yang tidak - tidak, ia
memberanikan diri untuk bersuara.

"Sebelumnya aku minta maaf, eyang Panembahan." ucap Arya Dipa, lalu,
"Apakah kelanjutan dari kesepakatan itu adalah untuk mengganti wahyu
keprabon dengan paksa ?"

"Hehehe.... " tawa Panembahan Ismaya disertai gelengan kepala.

"Tidak, ngger... Tidak."

Lalu Penembahan Ismaya menuturkan secara terperinci mengenai


penempatan Mas Karebet di kesultanan Demak. Di mulai dari putra ki Ageng
Gajah Sora sebagai upaya kembalinya Mas Karebet di Demak, dilanjutkan
permintaan oleh Panembahan Ismaya atau Raden Buntaran kepada Sultan
Trenggono untuk mengangkat Mas Karebet sebagai Adipati.
P a g e | 632

"Begitulah, ngger. Nanti apabila pelungguhan Adipati sudah disandang


Anakmas Karebet, jalan menuju ke dampar keraton akan terbuka tanpa
adanya tindakan mbalelo atau makar." kata Panembahan Ismaya, mengakhiri
penuturannya.

Legalah hati pemuda itu. Hatinya yang awalnya was - was, kini bisa bernapas
seperti sediakala. Ia tak ingin bila berhadapan dengan kawannya, Mas
Karebet. Bukannya ia takut atau jerih dengan ilmu murid ki Ageng Sela dan
Sunan Kalijaga itu, tetapi semuanya karena adanya tali persahabatan semata.

"Baiklah, eyang Panembahan. Kini hatiku semakin mantab untuk ikut berusaha
melapangkan jalan bagi adimas Karebet." kata Arya Dipa, " Kalau begitu,
sekarang juga aku akan menghadang gerombolan gelap itu."

"Hati - hati, ngger." pesan Panembahan Ismaya, sambil mengangsurkan keris


kyai Sangkelat orang tua itu berkata lebih lanjut, "Bawalah ini, dan pinjamkan
kepada Arya Salaka."

Diterima keris kyai Sangkelat dan disisipkan keikat pinggangnya.

"Satu lagi, ngger. Sebaiknya kau menutupi jati dirimu kepada siapa pun tak
terkecuali." tambah Panembahan Ismaya.

Arya Dipa mengernyitkan alis, menandakan keheranan atas pesan dari orang
tua pemimpin padepokan Karang Tumaritis. Dan Panembahan Ismaya sebagai
orang tua yang kesdik, tanggap akan keheranan pemuda di hadapannya itu.

"Ini demi kebaikanmu dimasa yang akan datang."

"Bila eyang Panembahan Ismaya menyarankan seperti itu, aku sebagai anak
kemarin sore, patut mengikutinya, eyang Panembahan."

Di tepuknya pundak Arya Dipa. Orang tua itu merasa tepat telah memilih
pemuda yang masih trah Kadiri itu. Seorang pemuda yang berjiwa besar dan
tak ada secuil rasa hitam di hatinya. Maka ketebalan pengharapan di masa
yang akan datang, pemuda ini akan mengiringi perjalanan wahyu keprabon
sampai orang yang tepat.
P a g e | 633

"Aku setuju dengan penilaian kanjeng Sunan Kalijaga, terhadap pemuda ini."
batin Panembahan Ismaya.

Disuruhnya pemuda itu untuk beristirahat dan berkemas - kemas. Karena esok
hari, perjalanan yang penuh ancaman maut akan dilaluinya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 10 bagian 3
oleh : Marzuki

Setelah mendapat bekal berupa ancer - ancer yang diperoleh dari cantrik
yang mendapat tugas mengamati jalan menuju Banyubiru, Arya Dipa diesok
harinya bergegas mengarah tempat yang ditunjuk. Sebuah jalan setapak
dengan kanan kiri ditumbuhi rerumputan liar, pemuda berpakaian kuning
kecoklatan itu melakukan pengamatan lebih cermat. Sebagai seorang prajurit
Demak, pengetahuan didalam melakukan pengamatan sangat dipahaminya
meskipun tidak sebaik prajurit khusus dalam membaca jejak.

Setelah melakukan pengamatan beberapa kali, didapatlah sebuah


kesimpulan kalau iringan yang mencurigakan menuju Banyubiru, belum
melewati tempat itu. Oleh karenanya, dengan cekatan Arya Dipa memanjat
pohon berdaun lebat untuk menunggu sekaligus mencoba mengenali iringan
mencurigakan, pada nantinya. Di pilihlah batang yang baik dengan cabang
dipenuhi ranting dan daun, demi menutupi keberadaannya. Selain itu, Arya
Dipa juga menutupi wajahnya menggunakan topeng tipis yang terbuat dari
getah pohon.

Tidak menunggu waktu lama, dari sebuah tikungan jalan setapak, munculah
sebuah iringan berjumlah sepuluh orang. Dari sepuluh orang itu, sembilan orang
memakai pakaian serba hitam dengan lipatan berwarna merah. Sementara
seorang di depan memakai pakaian hijau tua. Yang menyamakan dari
kesepuluh orang itu, sebuah lambang kepala ular sendok dengan mulut
menganga sehingga terlihat lidah bercabang menjulur keluar.

Melihat itu, Arya Dipa mengernyitkan alisnya. Tiada lain ialah mencoba
mengingat lambang pertanda di pakaian sebelah kiri. Sekilas kemudian
pemuda itu agak terkejut setelah mengenali tanda lambang itu. Kelompok itu
merupakan segerombolan pembunuh bayaran dari gunung Kendeng. Sebuah
P a g e | 634

gerombolan yang sangat jarang keluar apabila tidak mendapatkan upah


besar. Selain itu, biasanya gerombolan ini hanyalah menangani nayaka praja
saja. Dan inilah yang membuat Arya Dipa agak heran.

"Sepertinya pekerjaanku kali ini terlalu berat." batin Arya Dipa, "Bila aku
mencoba menghentikan di sini, meskipun aku berhasil mengalahkan
setengahnya, mungkin harus aku bayar dengan nyawaku."

Iringan itu semakin dekat. Karenanya Arya Dipa bergegas waspada dan
menyembunyikan getar pada dirinya, agar tak diketahui oleh iringan yang
akan melewati jalan dibawah pohon yang ia panjat itu. Satu persatu orang -
orang itu melewati jalan setapak tanpa ada yang menaruh curiga, hingga
hampir orang terakhir.

Tiba - tiba saat orang terakhir lewat, sebuah benda menimpuk kepala orang
itu dengan kerasnya. Tak pelak orang itu kesakitan dan membuatnya uring -
uringan. Tak hanya itu saja, kawan - kawannya yang di depan langsung
menoleh karena keingintahuan mereka atas apa yang terjadi pada orang
terakhir.

"Ada apa, Ganter ?"

Orang yang dipanggil Ganter yang masih mengusap kepalanya mencoba


menjawab, "Sepertinya ada orang yang bosan hidup !"

Demi mendengar apa yang dikatakan oleh Ganter, kawan - kawannya


langsung mengamati keadaan sekitar. Mereka mencoba menemukan wujud
orang yang menimpuk Ganter. Belum ada sosok ditemukan, malah kembali
terulang kejadian yang menimpa Ganter. Tetapi kali ini korban berbeda.

"Bangsat...... !" seru orang yang dikenai.

"Pengecut... ! Keluarlah jika kau seorang jantan !"

"Hahaha.... Aku memang bukan seorang jantan, he begundal !" sebuah


seruan keras menyahuti dengan nada penuh ejekan.
P a g e | 635

"Benar. Melainkan kami seorang yang ksatria, he begundal.... !" seru seorang
lelaki yang lebih muda dari orang pertama.

Kemunculan dua orang lelaki ditempat itu, telah mengejutkan gerombolan


Ular Sendok dan juga Arya Dipa yang masih berada di lebatnya daun pohon.
Arya Dipa tak menyangka kalau ditempat itu, dua orang tak diketahui getar
keberadaannya. Itu membuktikan kalau kedua orang itu, mampu menyerap
getar di sekelilingnya.

"Siapa mereka itu ?" tanya Arya Dipa pada dirinya sendiri.

"Siapa kalian, he... ?!" bentak anak buah gerombolan Ular Sendok.

Lelaki yang lebih muda akan menjawab, tetapi lelaki yang lebih tua telah
mendahului, "He begundal Harya Kumara, lihatlah dengan jelas siapa lelaki di
sana itu !"

Bagai terkena mantram, semuanya memandang lelaki yang ditunjuk oleh


orang tua. Arya Dipa yang masih bersembunyi pun ikut melihatnya. Wajah lelaki
yang ditunjuk, memperlihatkan kalau lelaki itu bukan orang awam pada
umumnya. Kulit bersih ditambah kumis tipis melintang diantara hidung dan
bibirnya.

"Tohjaya.... " desis orang - orang Ular Sendok.

"Paman Tohjaya.... Ah bukan, mungkin hanya namanya saja yang sama."


desis Arya Dipa.

"Rupanya kalian masih mengenaliku. Memang aku Tohjaya yang dikhianati


oleh orang yang membayarmu !" kata orang yang tak lain Panji Tohjaya dari
Jipang.

Panji Tohjaya dari Jipang ini merupakan orang yang menjunjung kebenaran.
Pada saat tewasnya Pangeran Sekar sedo ing lepen, Panji Tohjaya mendapat
tugas untuk menyelidiki kematian Adipati Jipang itu, tetapi ditengah jalan ia
terancam oleh orang - orang suruhan Tumenggung Harya Kumara. Untunglah
ia bertemu dengan paman gurunya dan sejak saat itu ia mendapat tuntunan
kembali oleh paman gurunya untuk beberapa candra.
P a g e | 636

Namun saat usai mendapat gemblengan dan Panji Tohjaya ingin melanjutkan
tugasnya, kembali dirinya berbenturan dengan gerombolan Ular Sendok dan
hampir tewas, jika tak sekali lagi paman gurunya menolongnya. Dan kini ia
tanpa sengaja berjumpa kembali dengan gerombolan Ular Sendok, lelaki itu
ingin membalaskan dendamnya.

"He, Tohjaya. Kebodohanmu telah menyeret nyawa sekaligus orang tua itu ke
liang kubur !" kali ini pemimpin merekalah yang bersuara.

Seruan itu disikapi sunggingan bibir saja oleh orang tua yang mengenali
pemimpin gerombolan Ular Sendok.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 10 bagian 4
oleh : Marzuki

Orang tua yang bernama ki Wijang Pawagal dan tidak lain paman guru Panji
Tohjaya, berjalan mendekati murid adik seperguruannya. Dengan sunggingan
masih diperlihatkan, ia menepuk pundak Panji Tohjaya.

"Berhati - hatilah menghadapi tata gerak andalan mereka." bisik ki Wijang


Pawagal.

"Iya, paman." sahut Panji Tohjaya.

Dalam pada itu, anak buah gerombolan Ular Sendok sudah siap untuk
bergerak menghabisi lelaki yang pernah menjadi sasaran tugas dari
Tumenggung Haryo Kumara kepada mereka. Kali ini mereka tak akan memberi
kesempatan untuk kedua kalinya bagi lelaki itu.

Sementara itu, Arya Dipa masih mencari waktu yang tepat untuk ikut terjun ke
kancah pertarungan yang akan terjadi tak lama lagi. Dirinya sudah
menjatuhkan pilihan untuk memanfaatkan kesempatan ini, untuk
menggagalkan tindakan gerombolan Ular Sendok ke Banyubiru. Masalah dua
orang yaitu lelaki bernama Panji Tohjaya dan orang tua satunya, akan ia urus
kemudian. Syukur - syukur, dirinya tidak terlibat bentrok dengan keduanya.
P a g e | 637

Hembusan semilir angin di pagi hari, bersamaan bergeraknya lima orang


gerombolan Ular Sendok menyerang Panji Tohjaya. Sedangkan empat lainnya
mengarah ki Wijang Pawagal dengan sebat dan penuh ancaman. Tinggalah
pemimpin gerombolan yang masih sendiri mengawasi pertarungan yang
berlangsung.

Blego Trengganis, mengernyitkan alisnya saat mengetahui kemajuan Panji


Tohjaya. Lelaki yang tempo dulu hanya bertahan ratusan tata gerak, saat ini
menunjukan dapat menghadapi tata gerak Panca Margi Pralaya tingkat
kawitan. Sekilan memandang, Blego Trengganis dapat menyimpulkan kalau
kemajuan Panji Tohjaya didapat dari orang tua yang dihadapi empat anak
buahnya.

"He, Ganter. Gunakan langkah kedua dari Panca Margi Pralaya !" seru Blego
Trengganis.

Seruan itu secepat kilat langsung diperagakan oleh Ganter dan kawan -
kawannya. Tingkatan kedua mulai menyeruak lebih hebat dari tata gerak
pertama. Dan ini sangat berbahaya jikalau Panji Tohjaya tidak mendapat
gemblengan dari ki Wijang Pawagal. Libasan Ganter dan kawan - kawannya,
masih dapat dihadapi oleh Panji Tohjaya. Hal itu membuat lawannya
penasaran ditambah rasa geram menyengat janrung mereka.

Apa yang dialami oleh Panji Tohjaya, tak lepas dari pengamatan ki Wijang
Pawagal. Orang tua itu merasa tenang dengan kemajuan yang diperoleh
murid adik seperguruannya itu. Namun ia merasa cemas kalau Blego
Trengganis akan turun langsung.

Dan apa yang dicemaskan oleh ki Wijang Pawagal, menjadi kenyataan.


Blego Trengganis yang sudah bosan menunggu telah bergerak meloncat
sambil menggebukan tongkatnya ke arah Panji Tohjaya. Bahaya itu akan
menyulitkan Panji Tohjaya yang masih berkutat menghadapi tingkatan
keempat dari tata gerak Panca Margi Pralaya.

"Traaang.... !"
P a g e | 638

Sebuah benturan keras mengejutkan Blego Trengganis. Tongkat yang


sedianya akan membuat celaka Panji Tohjaya, hampir saja lepas dari
tangannya. Tak tahunya, seseorang telah menggagalkan serangannya.

Orang yang menggagalkan serangan Blego Trengganis ternyata Arya Dipa.


Pemuda itu menggunakan ikat pinggang kyai Anta Denta untuk menghadang
laju pergerakan tongkat pemimpin gerombolan Ular Sendok. Seperti halnya
Blego Trengganis, Arya Dipa pin, sempat terkejut dengan akibat benturan tadi.
Tangannya merasakan sengatan tajam mencengkam sampai ke urat - urat.

Kedatangan Arya Dipa merupakan sebuah kiriman gerimis di musim kemarau


yang dirasakan oleh ki Wijang Pawagal dan Panji Tohjaya. Meskipun keduanya
tak mengenal pemuda itu, mereka berharap orang yang baru muncul itu
dapat menghadapi atau menghambat pergerakan Blego Trengganis. Oleh
karenanya, ki Wijang Pawagal telah meningkatkan tenaganya. Ilmu perguruan
Sekar Jagat ia terapkan dengan sungguh - sungguh. Begitu juga dengan Panji
Tohjaya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 10 bagian 5
oleh : Marzuki

"He, siapa kau yang mencampuri urusan orang lain !" seru Blego Trengganis,
yang mencuatkan alisnya demi melihat keanehan yang ditunjukan sosok
bertopeng itu.

Arya Dipa mendehem untuk sesaat. Di lihatnya Panji Tohjaya dan orang tua
yang masih menghadapi lawan masing - masing. Tindakan Arya Dipa ini telah
menyulut kemarahan Blego Trengganis, yang merasa diremehkan.

"He... Setan alas !" bentak Blego Trengganis, "Kau rupanya belum mengenalku,
setan bertopeng !'

"Hem... Lambang di dada kirimu telah menunjukan siapa kalian." kata Arya
Dipa, "Kalian para pengecut dari Gunung Kendeng, bukan ?!"

"Rupanya kau bukanlah katak dalam tempurung, setan bertopeng. Tetapi kau
merupakan katak yang bodoh !" ejek Blego Trengganis.
P a g e | 639

Meskipun diejek seperti itu, Arya Dipa tetap tenang. Pemuda bertopeng itu
masih sempat menyaksikan bagaimana tandang Panji Tohjaya menghadapi
tata gerak Panca Margi Pralaya tingkat keempat. Murid ki Ageng Sekar Jagat
anom itu telah mengungkap aji Alang Alang Kumitir, sehingga mampu
membuat tubuhnya bagai lenyap walau hanya sesaat - sesaat dan melakukan
serangan cepat terhadap lawan.

Di sisi lain, tak kalah seru apa yang dilakukan oleh ki Wijang Pawagal. Orang
tua yang sudah kenyang asam manisnya dunia olah kanuragan itu, bagai
menemukan permainan yang mengasyikan. Lawan - lawannya dibuat pontang
- panting tak karuan. Tangan dan kaki yang terlihat sudah menua itu, laksana
besi gligen disetiap menumbuk tubuh lawannya.

"Kisanak, lihatlah para anak buahmu. Mereka jika tidak kau hentikan, tubuh
mereka akan lunak layaknya gedebog pisang yang ditumbuk batang besi."
kata Arya Dipa.

"Janganlah kau mengkwatirkan anak buahku, setan bertopeng. Lebih baik


kau urus dirimu !"

Selesai berkata, Blego Trengganis melancarkan serangan mematikan. Orang


satu ini bila bergerak tak setengah - setengah. Siapa yang menghalangi atau
mencampuri urusannya, kematianlah yang akan ia berikan. Maka tak heran jika
kepala gerombolan Ular Sendok ini terkenal sebagai pembunuh berdarah
dingin.

Sambaran tongkatnya mengandung deru angin tajam dan ganas. Arya Dipa
tak memandang serangan hebat itu. Dari awal ia sudah waspada dalam
menyikapi lawan kali ini. Karenanya, saat tongkat itu bergerak aji Niscala Praba
sudah manjing menyelimuti Arya Dipa.

Seru dan sengit mewarnai tandang dari Arya Dipa dan Blego Trengganis. Tata
gerak berbeda jalur saling tindih ingin memenangi disetiap saat. Rerumputan
dan tanah terinjak - injak menjadi lumat bak terkena bajakan saja. Daun - daun
menguning luruh tersambar deru angin dari mereka yang bertarung.
P a g e | 640

Dari kejauhan ki Wijang Pawagal merasa heran dengan apa yang disaksikan
oleh pandulunya. Baru kali ini ia menyaksikan tata gerak yang padat berbobot
seperti yang digerakan oleh orang bertopeng.

"Sebuah tata gerak tingkat tinggi. Tetapi sepertinya orang bertopeng itu
belum bersungguh - sungguh." batin ki Wijang Pawagal, seraya menghindari
tendangan lawannya.

Sembari menghindar itulah ki Wijang Pawagal menggerakan telapak


tangannya. Begitu cepat dan penuh tenaga dari telapak tangan ki Wijang
Pawagal, membuat lawannya mental sejauh tiga tindak. Tak sampai disitu saja,
pewaris tertua perguruan Sekar Jagat di lereng gunung Lawu itu memutar
tubuhnya bagai kitiran. Tangan dan kakinya menghajar ketiga lawannya dan
mengakibatkan lawannya mencelat semua.

Meskipun rasa sakit menjangkiti tubuh mereka, ketiga lawan ki Wijang


Pawagal kembali bangkit dan memasang tata gerak yang sama. Siasat
mereka tiada lain dan bukan untuk menerapkan tata gerak Nagadahana. Di
mana tangan mereka membara dari telapak sampai pergelangan tangan.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 10 bagian 6
oleh : Marzuki

Sikap dari lawan - lawannya itu telah memantabkan hati ki Wijang Pawagal
untuk mengungkap ilmu yang bersumber sama dengan lawannya, yaitu inti api
dari aji Brajadaka. Selain itu, Sepi Angin melambari setiap gerakan kaki dan
tubuhnya dalam mementahkan kecepatan lawannya. Tak ayal tindakan dari
murid pertama ki Ageng Sekar Jagat sepuh itu membuat tiga anak buah
gerombolan Ular Sendok kalang kabut.

Tak jauh dari kalangan ki Wijang Pawagal, telah berlangsung keseruan yang
menggila. Ganter dan keempat kawannya berlomba - lomba menundukan
lawan yang pernah mereka kalahkan. Namun kali ini kejadian seperti dahulu
tidak lagi dengan mudah mereka ulang. Tata gerak Panca Margi Pralaya
sudah mencapai tingkat empat tidak mampu menekan lawannya itu. Tentu
saja hal itu membuat kelima orang itu gusar bukan kepalang. Apalagi jika
P a g e | 641

menyadari betapa keempat kawan mereka yang melawan orang tua itu,
kewalahan.

Keputusan terakhir yang diambil kemudian ialah mengikutsertakan senjata


mereka untuk menundukan lawan yang hanya satu orang saja. Maka
selanjutnya dari balik baju mereka tersembul rantai sepanjang dua jengkal
berujung pisau kecil. Sungguh hebat juga kerjasama yang mereka tunjukan.
Sebuah aba - aba telah menggerakan kelima orang itu menghujamkan pisau
kecil diujung rantai.

Lima serangan dari lima penjuru memang hebat. Tetapi Panji Tohjaya dalam
pusat sasaran cepat bertindak dalam menangani serangan bersama itu.
Tubuhnya membal ke atas setelah kakinya menggenjot tanah. Selanjutnya
tubuh itu mengapung tepat diatas kelima pisau kecil itu. Sungguh
mengagumkan yang mana waktu bagai terhenti, dan itu semua terjadi dari
penerapan aji Alang Alang Kumitir.

Di waktu itulah tubuh Panji Tohjaya menggempur lawan - lawanya dengan


hebatnya. Kelima lawannya terdorong sejengkal dengan keluhan tergambar
dari bibir mereka. Meskipun begitu, kelima orang itu cepat meredakan rasa
sakit pada tubuh mereka dan kembali berulah lebih dahsyat.

Kerepotan yang diderita oleh anak buah gerombalan Ular Sendok dari
gunung Kendeng, memanaskan jantung Blego Trengganis. Lelaki berpakaian
hijau tua dan bersenjata tongkat berkepala ular itu telah mengamuk melibas
lelaki bertopeng. Kemarahannya ia luapkan kepada lawan yang sebelumnya
tidak ia duga itu.

Tongkatnya berkelebat hebat menggemplang, menyodok dan menghujam


dengan dahsyatnya. Ini membuktikan betapa trengginas dan ngedab -
ngedabi tandang Blego Trengganis.

Untunglah orang bertopeng yang tak lain Arya Dipa adalah seorang pemuda
pilih tanding. Berbekal ilmu Cakra Paksi Jatayu dan ikat pinggang kyai Anta
Denta, pemuda ini mampu mengikuti gerakan lawannya. Dan apalagi sesudah
mempelajari sebuah rontal dari Panembahan Anom, tandang Arya Dipa
semakin hebat.
P a g e | 642

Keberuntungan Arya Dipa semakin mendekati kenyataan setelah kakinya


berhasil menyapu tubuh lawan. Sehingga tubuh Blego Trengganis bergulingan
di tanah, tetapi kegesitannya membawanya untuk melentingkan tubuhnya
untuk bangkit lagi.

Saat kaki sudah berdiri kokoh, tangan Blego Trengganis telah bergerak bagai
kilat. Rupanya ia mengambil senjata rahasia dari balik pakaiannya dan
menyaplokan ke arah Arya Dipa. Dan ini tidak diwaspadai oleh Arya Dipa yang
mengendorkan aji Niscala Praba. Sehingga senjata rahasia itu mengenai
pundak Arya Dipa.

"Uh..... " keluh Arya Dipa sembari meraba pundaknya.

Sebuah jarum menancap di pundaknya. Secepatnya ia mencabut jarum itu


dan ia perhatikan. Ujung dari jarum itu berwarna kuning menandakan
ketidakwajaran dari jarum itu. Kesimpulan yang ia dapat ialah kalau jarum itu
beracun.

"Tamat riwayatmu, setan bertopeng !" seru Blego Trengganis penuh


kemenangan.

Seruan itu memancing rasa cemas ki Wijang Pawagal dan Panji Tohjaya.
Keduanya merasa kurang cepat dalam menangani lawan masing - masing dan
mengakibatkan sang penolongnya celaka.

Tubuh Arya Dipa agak membungkuk seperti orang kesakitan. Tetapi tidaklah
seperti apa yang dicemaskan oleh ki Wijang Pawagal dan Panji Tohjaya, atau
rasa bangga yang dirasakan oleh Blego Trengganis. Wajah di balik topeng tipis
itu menyunggingkan senyum rasa bersyukur, karena ia mendapat karunia
berupa tubuh yang kebal dengan racun setelah menghadapi ular naga Anta
Denta di lereng Penanggungan.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 10 bagian 7
oleh : Marzuki

Pemimpin gerombalan Ular Sendok berkacak pinggang dengan tangan


kirinya. Sedangkan tangan kanan masih membekal tongkat andalannya. Tawa
P a g e | 643

sinisnya mulai terdengar seiring tubuh Arya Dipa yang membungkuk. Orang itu
sudah merasa menang atas keberhasilannya mendaratkan jarum beracunnya
ke tubuh lawannya.

"Lebih baik jika kau angsurkan lehermu kehadapanmu. Meskipun aku tak
membekal leher, tanganku ini sanggup memenggal lehermu, Setan Bertopeng
!" teriak Blego Trengganis.

Teriakan yang merendahkan diri Arya Dipa, tak terlalu dipikirkan oleh pemuda
itu. Pemuda bertopeng itu meraba bekas luka di pundaknya dan ia perhatikan.
Rupanya darah yang awalnya mengalir hitam legam, mulai berubah menjadi
merah seperti pada luka umumnya. Ini menandakan kalau lukanya bebas dari
sergapan racun Blego Trengganis. Kembali ia panjatkan syukur kepada Sang
Pencipta.

"Mari kita lanjutkan permainan kita, kisanak... !" seru Arya Dipa, dan langsung
membabatkan ikat pinggangnya.

"Byaaar...... !"

Suara ledakan menggema saat ikat pinggang kyai Anta Denta menumbuk
batu di belakang Blego Trengganis. Batu sebesar kepala kerbau hancur
berkeping - keping, menyisakan rasa sengatan kejut di dada Blego Trengganis.
Ternyata Orang Bertopeng bersenjata ikat pinggang itu mempunyai simpanan
ilmu yang hebat dan tenaga dalam berluap - luap.

"Jangan angkuh kau, Setan Bertopeng !" seru Blego Trengganis sembari
menyilangkan tongkat dan menyodokan tongkat ke tubuh lawan yang berada
di sampingnya.

Terulanglah adu olah senjata berbeda jenis. Serang dan tangkis ikut serta
sesuai tata gerak disetiap keadaan yang sedang terjadi. Adu olah siasat sudah
diatur dalam benak mereka untuk menghadang gerak lawan masing - masing.
Daya untuk membaca langkah lawan ini sangat diperlukan untuk mematikan
langkah lawan selanjutnya, meskipun lawan pun mampu melakukan tipuan.

Mendapati lawannya yang tak terpengaruh oleh racin dari jarumnya,


menumbuhkan kegelisahan tersendiri bagi Blego Trengganis. Apalagi waktu
P a g e | 644

semakin memanjang tak menentu. Serta bila dilihat keadaan anak buahnya,
keadaan mereka mulai tak membuatnya tenang. Di mana lawan Panji Tohjaya
menyisakan tiga orang saja dan lawan ki Wijang Pawagal tinggal dua orang.

Untuk itulah Blego Trengganis mencoba mengakhiri kekalahan pihaknya agar


tidak semakin parah. Sebuah suitan nyaring terdengar dari mulutnya. Isyarat itu
membuat dua tanggapan yang berbeda dari pihak Blego Trengganis sendiri
dan lawannya.

Bagi ki Wijang Pawagal dan orang dipihaknya, isyarat itu membuat mereka
waspada dan mencoba mencari apa yang nanti dilakukan oleh gerombalan
Ular Sendok. Tetapi sebaliknya bagi anak buah Blego Trengganis, isyarat itu
sudah dipahami dan dimengerti, oleh karenanya gerakan rapi dan cepat telah
mengiring ketiga lawan dalam satu titik. Keberhasilan mereka dilanjutkan
dengan ilmu aneh yang membuat pinggiran jalan setapak itu. Tiba - tiba
ratusan ular muncul dan menyerang ketiga lawan mereka.

Tentu saja kemunculan ular itu mengejutkan ki Wijang Pawagal dan Panji
Tohjaya serta Orang Bertopeng. Ketiganya bergegas menghalau puluhan ular
besar maupin kecil yang ganas tersebut. Dan kesempatan itu telah digunakan
dengan baik oleh gerombolan Ular Sendok untuk menjauhi tempat itu.
Sehingga tindakan gerombolan itu beralan sesuai rencana Blego Trengganis.

Sementara itu, ki Wijang Pawagal serta lainnya masih mengusir ular - ular.
Setiap ular satunya mati, munculah ular baru. Kejadian itu terulang beberapa
kali tak henti - henti. Tentu ini membuat gusar mereka. Bila ini terus berlanjut,
tenaga ketiganya tentu terkuras dan lemah.

Dalam keadaan genting itulah, Arya Dipa ayau orang bertopeng,


mengalungkan ikat pinggangnya. Lalu pemuda itu mundur dua jengkal dan
memasang kuda - kuda kokoh. Kedua tangan terangkat layaknya sepasang
sayap garuda mengepak. Aji Sepi Angin dan Gelap Ngampar ia ungkap
serentak sembari mengucapkan mantram dari rontal Panembahan Anom.

"Kisanak berdua, mohon mundur di belakangku !" seru Arya Dipa.


P a g e | 645

Seruan yang sebenarnya masih membuat kedua orang itu bertanya - tanya
dengan apa yang dilakukan oleh Orang Bertopeng, tetap mereka patuhi.
Kedua orang itu bergegas ke belakang tubuh Arya Dipa.

"Mohon tingkatkan daya tahan tubuh kalian !" sekali lagi Arya Dipa meminta
kesediaan ki Wijang Pawagal dan Panji Tohjaya untuk meningkatkan daya
tahan tubuh mereka.

Tak lama berlangsung sebuah kejadian luar biasa. Begitu cepat tubuh Arya
Dipa berubah burung Garuda raksasa. Burung itu mengibaskan sayapnya dan
membuahkan angin prahara yang mana mampu membumbungkan ular - ular.
Tak hanya itu saja, burung Garuda itu membuka paruhnya lebar - lebar,
akibatnya suara menderu dan menggema dahsyat menimbulkan gelombang
besar menggulung ular - ular dan menjadikan ular lumat tak karuan.

Luruhnya bangkai ular berbarengan dengan kembalinya wujud Arya Dipa


seperti sediakala. Tubuh pemuda itu membalik menghadap dua orang
dibelakangnya. Sejenak kemudian pemuda bertopeng itu mengangguk
hormat.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 10 bagian 8
oleh : Marzuki

Baru seumur hidupnya dalam mengarungi luasnya ilmu jaya kawijayan, baru
kali ini ki Wijang Pawagal dapat menyaksikan ilmu Garuda Yaksa yang
diterapkan oleh orang bertopeng di depannya. Ki Wijang Pawagal mencoba
mengulik siapa orang dibalik topeng kulit tersebut. Oleh karenanya ia berharap
dapat menyaksikan wajah penolongnya.

"Kisanak, bolehkan kami melihat wajah kisanak agar supaya kami dapat
mengucapkan terima kasih kami lebih dalam ?" pinta ki Wijang Pawagal.

Orang Bertopeng itu menggelengkan kepala perlahan. Hal itu membuat ki


Wijang Pawagal dan Panji Tohjaya agak kecewa, itu terbaca manakala
keduanya mendesuh perlahan. Namun bagaimana lagi, Orang Bertopeng
sudah memutuskan seperti itu.
P a g e | 646

"Maafkan aku tuan semuanya, ini sudah menjadi sumpah setiaku kepada
orang yang aku hormati." kata Orang Bertopeng.

Ki Wijang Pawagal mengangguk dan memahami sikap penolongnya.


Karenanya ia tidak memaksa seseorang mengingkari sumpah yang terucap.
Dirinya tidak ingin menjadi seorang yang kurang tata.

"Bila dilihat dari nada suara kisanak, mungkin kisanak seorang pemuda yang
berusia dua puluhan, karenanya aku ingin mengetahui gelar angger ini ?"

Arya Dipa agak binggung dan ragu - ragu. Bilakah ia menyebut namanya
atau mengarang sebuah nama ? Namun setelah direnungkan untuk beberapa
saat, ia pun berkata.

"Panggil saja aku Kilatmaya, tuan."

"Hm... Baiklah angger Kilatmaya, meskipun aku yakin nama itu hanyalah
rekaan saja, tapi aku senang mendengarnya." ucap ki Wijang Pawagal, lalu
lanjutnya, "Panggillah aku Wijang Pawagal dan lelaki disampingku ini, Tohjaya."

"Tohjaya... " desis Kilatmaya atau Arya Dipa.

"Sepertinya kau mengenal keponakanku ini, ngger ?'

"Oh... Tidak ki Pawagal, baru kali ini aku bertemu dengan ki Tohjaya. Hanya
saja nama itu mengingatkanku dengan seorang Rangga dari Demak." kata
Kilatmaya.

Demi didengar seorang Rangga dari Demak, Panji Tohjaya dapat menerka
orang yang dimaksud oleh Kilatmaya. Tentu yang dinaksud tidak lain seorang
perwira prajurit Demak yang terkenal kehebatannya dalam olah yuda. Dan
bahkan menurut cerita kalau Rangga Tohjaya, saudara seperguruan ki Ageng
Pengging Anom dan sahabat ki Ageng Nis di Sela.

"Bila benar apa yang aku terka, orang yang angger maksud mungkin ki
Rangga Tohjaya yang kini berada di Banyubiru." ucap Panji Tohjaya.
P a g e | 647

"Oh... Benarkah itu, ki Tohjaya ?"

Panji Tohjaya mengangguk, "Begitulah yang aku dengar, ngger. Dia telah
mengganti namanya menjadi Mahesa Jenar. Menurut pendengaranku ia
menjadi guru putra ki Ageng Gajah Sora."

Tak menyangka ternyata Kilatmaya atau Arya Dipa dapat mengetahui


keberadaan dari Rangga Tohjaya, yang pernah mendidiknya di dunia
keprajuritan. Siapa menyangka disetiap langkahnya selalu terdapat dua tujuan,
berupa tugas dan bertemunya dirinya dengan orang - orang yang dekat
dengannya.

Cukup lama ketiga orang itu berbincang ke sana ke mari yang kadang kala
menyangkut keadaan tanah jawa. Rupanya Panji Tohjaya mengukap
kebenaran dirinya dihadapan Kilatmaya. Yaitu bahwa lelaki itu seorang prajurit
Jipang yang mendapat tugas untuk mengungkap kebenaran dari kematian
Pangeran Kinkin atau Pangeran Sekar seda ing lepen. Dan sebenarnya lelaki itu
dapat mengetahui kalau Raden Mukmin tidak bersalah.

"Lalu bagaimana sikap ki Panji Selanjutnya ?" tanya Kilatmaya.

"Sia - sia saja apa yang aku lakukan sampai saat ini. Jipang sudah tertipu oleh
orang - orang dibalik kabut. Laporanku tidak digubris oleh mereka. Bahkan
atasan sekaligus saudara seperguruanku, tewas ditangan mereka." kata Panji
Tohjaya, sedikit geram karena kematian Senopati Rakai Welar.

Pembicaaran itu berlanjut sampai matahari sudah naik pada puncaknya.


Dan pada akhirnya mereka berpisah jua. Ki Wijang Pawagal dan Panji Tohjaya
akan pergi ke timur untuk menyambangi ki Ageng Sekar Jagat, sementara
Kilatmaya atau Arya Dipa menuju Banyubiru.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 10 bagian 9
oleh : Marzuki

Dalam pada itu di jalan yang berbeda, nampak tujuh orang berpakaian hitam
kecuali orang terdepan yang berpakaian hijau tua. Wajah dari orang terdepan
P a g e | 648

mengunjukan kegeraman dengan apa yang terjadi sebelumnya. Di mana anak


buahnya telah tewas sebanyak tiga orang.

"Gangsir, berjalanlah ke selatan. Temukanlah kakang Blandong Kraksaan,


untuk bergambung dengan kita di tegalan selatan Banyubiru." perintah Blego
Trengganis kepada salah seorang anak buahnya.

"Baik, lurahe." sahut Gangsir dan selanjutnya mendahului iringan kawannya.

Rupanya rombongan ini adalah gerombolan Ular Sendok yang berhasil lolos
dari sergapan Arya Dipa. Dan ternyata, kekalahan tadi merupakan sebuah
tamparan keras yang membuat Blego Trengganis tak mampu meredakan
gejolak dadanya. Oleh karena itulah ia memerintahkan anak buahnya untuk
meminta bantuan kakaknya yang memisahkan diri.

Blego Trengginas yakin jika saudaranya mau membantu dirinya, tak bakal
lawannya tadi bisa menghirup udara segar. Bagi Blego Trengganis, Blandong
Kraksaan merupakan seorang yang tuntas dalam dunia jaya kawijayan. Di
mana ia pernah menyaksikan sebuah kejadian dari ilmu saudaranya itu, yaitu
perubahan wujud kakaknya.

"Sebagai penganut dewa Anta Boga, kakang mampu menjadikan dirinya ular
naga raksasa." batin Blego Trengganis.

Dahulu, Blego Trengganis dan Blandong Kraksaan merupakan anak yatim


yang beruntung setelah bertemu seorang nenek sakti. Oleh nenek sakti itulah
keduanya dididik siang dan malam. Tenpaan keras sudah menjadi makanan
sehari - hari bagi dua saudara itu. Hingga akhirnya mereka mendapat ilmu
pamungkas dari nenek itu, yaitu aji Nagarupa. Sebuah aji yang membuat
wujudnya layaknya ular naga berjampang. Tetapi ternyata yang berhasil
dengan sempurna hanyalah Blandong Kraksaan, sedangkan Blego Trengganis
tak memenuhi syarat.

Agar kedua saudara itu tidak merasa iri satu lain, nenek sakti pemuja dewa
Anta Boga memberikan tongkat sekaligus mantram penanggil ular kepada
Blego Trengganis. Dari itulah kedua saudara itu hidup saling menghargai satu
sama lain dan terlihat rukun.
P a g e | 649

Di depan, Gangsir dengan cepat mencoba menemukan saudara


pemimpinnya. Tak memerlukan waktu lama, Gangsir melihat seorang berdiri
memunggunginya. Lelaki dengan rambut panjang terurai sambil bersedekap.
Mata tajam memandang kejauhan, seakan mampu menembus pusat
padukuhan Banyubiru.

"Hm.. Sepertinya adi Blego Trengganis mengalami kekalahan.." tiba - tiba


orang itu berucap.

Gangsir mendekat dan mengangguk hormat, kemudian menyampaikan apa


yang ditugaskan padanya. Mendapat laporan dari anak buah adiknya,
Blandong Kraksaan hanya menghela napas.

"Seperti apa musuh kalian ?" tanya Blandong Kraksaan.

Dengan urut Gangsir menuturkan apa yang terjadi dan menggambarkan


perawakan sekaligus ciri - ciri lawan mereka. Dari penuturan Gangsir yang
membuat Blandong Kraksaan berkesan, ialah adanya orang bertopeng.

"Apakah orang itu membekal cambuk ?"

"Tidak, ki Blandong Kraksaan. Melainkan hanya ikat pinggang yang mampu


membuat tanah bermuncratan dan batu pecaj berkeping - keping." terang
Gangsir.

Anggukan kepala dan mencuatnya alis terlihat jelas dalam ungkapan hati
Blandong Kraksaan. Tadinya ia mengira kalau lawan yang bertopeng adalah
orang betcambuk, ternyata bukan. Blandong Kraksaan penasaran dan ingin
menjajal lawan adiknya. Tiba - tiba orang itu duduk bersila dan memejamkan
matanya. Dan tak berselang lama, mata itu kembali terbuka.

"Hm... Searah jalan kami." ucapnya perlahan, lalu katanya kepada Gangsir,
'Bila lurahmu tak segera datang, aku akan meninggalkan tempat ini."

"Iya, ki Blandong Kraksaan."

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 10 bagian 10
P a g e | 650

oleh : Marzuki

Sinar terik sang surya membawa Arya Dipa yang masih menutupi wajahnya
dengan menggunakan topeng, sampai di ujung pategalan penghuni pinggiran
telatah Banyubiru. Pranggaitanya yang tajam merasakan adanya sesuatu yang
mengganjal di relung hatinya. Pemuda sekaligus cucu Begawan Jambul Kuning
itu mencoba menenangkan hatinya dengan memejamkan mata seraya
memanjatkan do'a kepada Yang Maha Agung.

Dan mata itu perlahan terbuka berbarengan perasaan sejuk di hatinya. Arya
Dipa yang menyamarkan namanya dengan Kilatmaya, yakin jalan yang ia
tempuh akan selalu dalam naungan Gusti Hang Karya Jagat. Maka dari itu,
kakinya dengan ringan melangkah terus melewati pategalan itu.

Belum berjalan terlalu jauh, ketajaman telinganya telah mengetahui suara


gesekan sebuah benda yang mirip dua orang berkelahi. Untuk memastikan
apa yang terjadi, Kilatmaya bergegas menghampiri sumber suara tersebut,
pastinya dengan tidak meninggalkan kewaspadaan dan hati - hati. Dan apa
yang diduga benar jua.

Dua orang dan salah seorangnya sangat ia kenal walau baru ia jumpai di hari
itu. Yaitu pemimpin gerombolan Ular Sendok, Blego Trengganis. Orang itu
berhadapan dengan seorang remaja berusia delapan belas tahun.

"He... Tata gerak itu mirip dengan paman Tohjaya... " desis Kilatmaya, dan saat
mengikuti lebih jauh, kembali Kilatmaya tercekat, "Oh.. Itu.. "

Rupanya remaja yang disaksikan oleh Kilatmaya, telah menerapkan tata


gerak dari perguruan Pengging dan sesaat kemudian mampu menerapkan
tata gerak yang sangat mirip dengan ilmu ki Ageng Gajah Sora. Dan itulah
yang menjadikan Kilatmaya bagai menjumpai bayangan Rangga Tohjaya dan
ki Ageng Gajah Sora. Sungguh sangat mengagumkan dua unsur ilmu dari
sumber berbeda dapat diramu dalam wadag seorang remaja bertubuh kekar
itu.

Hanya saja, yang membuat Kilatmaya kawatir ialah selalu terburu - burunya
remaja itu, sehingga lawan dapat menipu daya dan berhasil menjebak remaja
itu. Bila dicermati, ini menunjukan kalau remaja itu masih belum mampu
P a g e | 651

mengendalikan perasaannya dan kurangnya pengalaman. Tentu bagi


Kilatmaya yang sudah berpengalaman dapat membaca akhir dari perkelahian
itu.

"Bila dilanjutkan, anak itu akan celaka." batin Kilatmaya, tetapi pemuda itu
belum bergerak.

Rupanya Kilatmaya tidak hanya memusatkan perhatiannya terhadap


pertempuran itu saja. Matanya yang awas berhasil menemukan seseorang di
balik pohon nangka. Dan orang di balik pohon nangka itu telah membuat desir
halus merambati relung hati Kilatmaya. Itu menandakan kalau orang di balik
pohon nangka, seorang yang patut ia waspadai.

"Siapa orang itu ? Sepertinya ia sengaja mengujukan keberadaannya.." desis


Kilatmaya.

Belum sempat Kilatmaya mengambil kesimpulan, apa yang ia duga telah


melanda remaja yang menghadapi Blego Trengginas. Remaja itu mencelat
setelah terkena tendangan keras Blego Trengganis. Baru tubuh remaja itu akan
bangkit, lawannya telah menggenjot kakinya berupaya melanjutkan
gempurannya.

"Mati aku !" keluh remaja itu dalam hati, sambil memejamkan mata.

Remaja itu sudah yakin kalau sebentar lagi nyawanya akan terenggut
lantaran gempuran lawannya. Tetapi keherananlah yang muncul kemudian.
Tubuhnya tak merasakan sebuah tangan menumbuknya. Padahal ia tahu betul
kalau lawannya akan mendaratkan tangan ke tubuhnya. Barulah ia terkejut
dan membuka mata manakala terdengar lawannya mengumpat dengan
kasarnya.

Saat mata remaja terbuka, yang dilihat adanya dua tubuh tegap tepat di
depannya. Satu orang sangat ia hormati, yaitu guru sekaligus kawan ayahnya,
paman Mahesa Jenar. Dan satu lagi seorang bertopeng yang tak ia kenal.

Dalam pada itu, ki Mahesa Jenar yang menatap Blego Trengganis dengan
tajam, telah berucap, "Kau tak apa -apa Bagus Salaka ?"
P a g e | 652

"Tidak apa - apa, paman Mahesa." jawab remaja yang bernama Bagus
Salaka.

"Syukurlah." ucap ki Mahesa Jenar, yang kemudian menyapa orang


disebelahnya, "Terima kasih, kisanak."

Kilatmaya mencoba menyahut namun suaranya ia samarkan, "Ah, nanti saja,


tuan. Lawan masih mampu bangkit kembali dan lihatlah, kawannya sudah
keluar dari kepura - puraannya."

Seperti perkataan orang bertopeng, Blego Trengganis sudah bersiaga dan


orang yang berada di balik pohon nangka juga menghampiri Blego Trengganis.
Orang itu adalah Blandong Kraksaan yang menunggu kedatangan orang
bertopeng yang mampu membuat adiknya kewalahan.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 10 bagian 11
oleh : Marzuki

Ki Mahesa Jenar bergegas mempersiapkan diri untuk menghadapi salah


seorang saudara gerombolan Ular Sendok dari gunung Kendeng itu. Namun,
belum lagi ia beranjak dari tempatnya berdiri, lelaki tua menghardik dengan
kerasnya.

"Ketemu juga kau, Mahesa Jenar !"

Kedatangan lelaki tua itu membuat Mahesa Jenar tercekat, begitu juga
dengan Blego Trengganis dan Blandong Kraksaan. Ketiga orang itu tahu betul
orang yang baru datang dengan perawakan layaknya raksasa. Dialah
penguasa pulau Sempu yang berjuluk ki Dibyo Manggala. Seorang yang
menganut ilmu sesat untuk menyempurnakan ilmunya.

"Kau Dibyo Manggala ?!" seru ki Mahesa Jenar.

Orang itu tertawa angker dan memperlihatkan gigi besar dan runcing
layaknya taring. Matanya liar menatap ki Mahesa Jenar, orang bertopeng dan
dua saudara dari gunung Kendeng. Dari kesemuanya itu ia menatap lebih
P a g e | 653

tajam ke arah orang bertopeng di sebelah ki Mahesa Jenar. Seakan ingin


menguliti wajah dibalik topeng.

"Herr... He, kaukah orang bercambuk yang menggetarkan telatah Jawa ini,
he ?!" Tanya ki Dibyo Manggala keras.

Orang bertopeng menggelengkan kepalanya, "Bukan kisanak. Aku tidak


sehebat kawanku itu. Aku hanyalah Kilatmaya dari lereng Penanggungan."

"Ho... Sombong sekali gelar yang kau pakai, Kilatmaya. Ingin rasanya aku
menjajal kemampuanmu !" ucap ki Dibyo Manggala.

Tiba - tiba Blandong Kraksaan menyela dengan keras disertai ilmu yang
mengagumkan, "He, orang Sempu ! Dia sudah menjadi incaranku !"

Ki Dibyo Manggala melirik Blandong Kraksaan dan sejenak kemudian


meludah, "Cih... Cecunguk pemuja Anta Boga namun berkelakuan bejat berani
mengumbar adat !"

"Cobalah kau kalahkan orang bertopeng itu dengan cepat sebelum aku
mengalahkan murid Handaningrat, Blandong Kraksaan. Tetapi bila aku yang
dulu mengalahkan lawanku, aku akan merebut incaranmu itu." lanjut ki Dibyo
Manggala, dengan angkuhnya.

Kilatmaya yang dijadikan barang rebutan, tertawa renyah. Sehingga orang -


orang merasa aneh dengan tawa orang bertopeng itu.

"Siapapun yang menghadapi diriku, boleh saja. Tetapi orang disebelahku


bukanlah seorang yang diam saja menyaksikan sikap kalian. Bukan begitu tuan
?" kata Kilatmaya dan mengajukan kata kepada ki Mahesa Jenar.

Ki Mahesa Jenar yang seorang tidak pandai berolah kata, hanya


mengangguk saja. Baginya Dibya Manggala atau dua saudara Ular Sendok,
harus mendapat perhatian yang sungguh - sungguh. Karena ki Mahesa Jenar
sudah mengenal secara langsung maupun tidak langsung, kemampuan tiga
orang itu setara dan bahkan lebih tinggi dari tokoh Sima Rodra dan dua
saudara Uling dari Rawa Pening.
P a g e | 654

"Herrr..... " gigi ki Dibyo bergemelutakan dengan kerasnya.

Orang dari pulau Sempu seketika meloncat menyerang ki Mahesa Jenar.


Tangannya mengembang bagai harimau menerkam mangsanya. Meskipun
gerakan ki Dibyo sangat cepat, nyatanya murid ki Ageng Pengging Sepuh
dapat lolos dengan merendahkan dirinya dan menggeser kakinya.

Sementara itu, Kilatmaya menotolkan kakinya ke tanah, untuk memindahkan


tubuhnya mendekati putra ki Ageng Gajah Sora. Gerakannya begitu indah
hingga membuat cucu ki Ageng Sora Dipayana terkagum - kagum. Dalam
keadaan terpana itulah, orang bertopeng mengangsurkan keris kepadanya.

"Gunakan keris ini untuk beberapa hari kedepan."

Tentu saja putra ki Ageng Gajah Sora tertegun karena rasa heran dan
bingung bercampur menjadi satu. Meskipun begitu tangannya tetap menerima
keris itu.

"Bila tubuhmu tak mengalami luka, lawanlah Blego Trengganis sekali lagi.
Gunakan kyai Sangkelat untuk melawannya. Tapi ingat, jangan kau terburu -
buru." kata Kilatmaya.

Tanpa menunggu jawaban, Kilatmaya sudah menggenjot tubuhnya untuk


menghadang pergerakan dua bersaudara dari gunung Kendeng.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 10 bagian 12
oleh : Marzuki

Tangan Kilatmaya mengembang bak burung garuda saat menghadang


langkah dua bersaudara dari gunung Kendeng. Bersamaan dengan tubuh
memutar, dua serangan ia lancarkan memukul dada lawan - lawannya.
Meskipun pada akhirnya, lawan mampu menangkis dan satunya lagi
menghindar. Namun itu semua sudah dapat diduga oleh Kilatmaya. Oleh
karenanya dengan gesit saat kaki sudah kembali menginjak tanah, tendangan
memutar ia layangkan kepada Blego Trengganis dan putaran lanjutnya
menghajar pundak Blandong Kraksaan.
P a g e | 655

Datangnya serangan cepat itu tak membuat Blandong Kraksaan dan Blego
Trengganis, gentar. Dua orang itu dapat menangkis dengan baik dan bahkan
membalas serangan ganda. Yaitu dua pukulan dari Blego Trengganis, lalu
sodokan disertai tendangan dilancarkan oleh Blandong Kraksaan. Sungguh
kerjasama yang bagus diterapkan oleh dua saudara itu.

Keadaan itu memang menguras tenaga bagi Kilatmaya, terutama serangan -


serangan dari Blandong Kraksaan. Kemampuan lawannya itu jauh lebih hebat
daripada Blego Trengganis. Dan apa ia duga sejak awal memang benar
adanya kalau kemampuan dan tenaga Blandong Kraksaan memang
mendebarkan.

Dalam pada itu, Arya Salaka yang tidak lain putra ki Ageng Gajah Sora, mulai
berdiri dan meloncat mengambil lawan Blego Trengganis. Namun kali ini remaja
belum genap dua puluh tahun itu telah mengingat pesan orang bertopeng.
Untuk menghadapi lawannya, ia harus mengendapkan hatinya dan tak berlaku
grusa - grusu. Maka terlihatlah betapa tata gerak perpaduan Pengging dan
Banyubiru luluh menimbulkan daya gedor lebih berbobot dan hebat.

Apa yang dilakukan Arya Salaka kali ini menimbulkan keterkejutan bagi Blego
Trengganis. Dia merasakan perbedaan mencolok dari apa yang ia saksikan
saat ini. Seolah lawan yang masih pupuk bawang itu mendapat limpahan
tenaga kasat mata.

"Aneh, kenapa tenaganya begitu berbobot seperti ini ?" ucap Blego
Trengganis dalam hati, lalu ia ingat ketika orang bertopeng mengangsurkan
benda sekaligus membisiki remaja itu.

Dicobanya meningkatkan tatarannya selapis lebih tinggi. Tetapi lawan dapat


mengimbangi dengan baiknya. Karenanya kembali pemimpin gerombolan Ular
Sendok meningkatkan kemampuannya, dan lagi - lagi Arya Dipa bisa
menandinginya. Maka terjadila susul menyusul adu keprigelan tata gerak dari
masing - masing jalur olah kanuragan yang mereka sadap dari guru masing -
masing.

Di sisi lain perkelahian juga semakin seru, dimana ki Mahesa Jenar


menghadapi si raksasa Dibyo Manggala. Sepak terjang ki Mahesa Jenar sangat
menakjubkan manakala menerapkan ilmu Pengging serta satu dua ilmu dari
P a g e | 656

Sela. Tangannya yang kuat menggebuk dada lawan yang berdada bidang
dengan kerasnya. Serangan itu membuat tubuh lawannya tergeser dua
langkah ke belakang.

"Hehehe.... Kuat juga ilmumu, Mahesa Jenar !" seru ki Dibyo Manggala, diiringi
tawanya.

Raksasa dari pulau Sempu itu menggenjot kakinya untuk melambungkan


tubuhnya. Gerakan kaku menjulur lurus ke depan ia lakukan untuk menggedor
pertahanan lawan. Dan rupanya lawan tidak menghindar sama sekali. Tak
pelak, adu kerasnya tulang terjadi di pinggiran pategal Banyubiru.

Kaki ki Mahesa Jenar tergeser empat langkah dengan tangan masih


menyilang di depan dada. Sedangkan ki Dibyo Manggala membal tapi
dengan memutar tubuh dua kali di udara dan selanjutnya dapat mendarat
dengan sempurna. Keduanya menggambarkan dua harimau yang sama -
sama tanggon.

Tidak mengulur waktu lama, keduanya kembali bergerak sekaligus


meningkatkan kemampuan mereka. Tandang keduanya semakin lama
bertambah ngedab - ngedabi. Debu di sekitar mereka ikut bergolak
mengudara. Dan tanah pun tak luput menderita terinjak - injak tak karuan.

Air yang terkandung dalam lapisan daging menyeruak lewat sela - sela
lapisan kulit dan menimbulkan keringat yang merembes membasahi pakaian.
Menandakan tenaga yang diungkap sangat menyita tubuh mereka. Namun
bagi seorang olah yuda, hal itu tak menyusutkan langkah mereka dalam
mengungguli lawan.

Tiga kalangan manusia jauh dari kemampuan wajar seseorang, berlomba -


lomba dapat menekan lawan masing - masing. Tetapi yang hakiki ialah adanya
perbedaan tujuan utama mereka dalam mengakhiri perkelahian itu. Bagi
Orang bertopeng, ki Mahesa Jenar dan Arya Salaka, tujuan mereka ialah
mengalahkan niat lawannya saja bila memungkinan tanpa melenyapkan
nyawa yang terkandung dalam raga kasar itu. Tetapi sangat berbeda dengan
lawannya, ketiga orang itu memang sengaja ingin melenyapkan jiwa raga ki
Mahesa Jenar dan yang lainnya.
P a g e | 657

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 10 bagian 13
oleh : Marzuki

Seiring berjalannya sang waktu, ketiga kalangan semakin seru dalam olah
yuda. Kesabatan tata gerak dilambari tenaga dahsyat serta siasat berdasarkan
pengalaman dan waktu yang berlangsung, membuat tanah berhamburan tak
menentu. Udara pun bergolak terkena kedahsyatan tenaga mereka.

Kilatmaya benar - benar menemukan lawan yang hebat kali ini. Blandong
Kraksaan menunjukan betapa murid nenek sakti dari gunung Kendeng tersebut,
seorang yang tuntas dalam kaweruh ing kanuragan. Tandangnya lebih
berbobot ketimbang adik seperguruannya.

Suatu kali orang itu meluncur dengan tubuh berputaran dengan tangan
mematuk Kilatmaya. Kecepatan serangan itu sangatlah mengagumkan bagi
orang bertopeng. Apalagi serangan yang masih berada jauh dari wadah
lawan telah mendahului terlebih dahulu. Namun kali ini Blandong Kraksaan
harus menunda dahulu tambur kemenangannya, ini dikarenakan lawan
mampu menghindar dengan meloncat ke samping.

Kini giliran Kilatmaya yang membalas menggunakan tangannya untuk meraih


dan mencengkeram kaki lawan. Siasat yang semestinya dapat berhasil,
ternyata tak berjalan dengan baik. Entah mengapa tangan yang semestinya
dapat menangkap dengan mudah, bagaikan menemukan daging lunak yang
dilolosi minyak. Hal itu menyebabkan daging itu lolos dari cengkeraman tangan
Kilatmaya.

"Welut putih..... " desis Kilatmaya, sembari mengejar lawan.

Rupanya Blandong Kraksaan mengerti dirinya terus dikejar, ia mencoba


menjatuhkan dirinya ke tanah. Tepat lawannya akan meraih dan memukulnya,
tubuh Blandong Kraksaan bergerak merambat layaknya ular saja. Tentu saja
kejadian itu mengejutkan lawannya, dan kesempatan itu digunakan untuk
mendlupak dengan kerasnya.

"Ough.... " keluh Kilatmaya yang terdorong dua tindak.


P a g e | 658

Kelengahan itu membuat Kilatmaya meningkatkan seluruh kemampuan


pranggaitanya. Pun dengan tenaga cadangannya telah menyeruak
kepermukaan. Desir angin dari setiap tangan pemuda itu membuat udara
menyibak seketika. Kakinya menotol tanah untuk melambungkan tubuhnya
dan saat di udara, kakinya dengan keras mengarah kepala lawan. Meskipun
lawan dapat menangkis menggunakan tangan membentuk siku, Kilatmaya
melancarkan serangan susulan yang tak diduga oleh Blandong Kraksaan.
Sehingga tubuh orang Kendeng itu mencelat tiga langkah.

"Huh... Setan alas !" umpat Blandong Kraksaan, sambil mengelus dada dan
bersiaga.

Kilatmaya meluangkan waktu bagi lawan untuk menghirup napas. Waktu


luang itu memang memberikan Blandong Kraksaan dapat memulihkan
tenaganya dan kembali meloncat menyerang. Maka keduanya berlanjut
menuntaskan perkelahian diantara mereka.

Perkelahian di sisi lain juga tak kalah mencengangkan. Ki Dibyo Manggala


benar - benar bernapsu untuk menjatuhkan lawannya yang tak lain ki Mahesa
Jenar. Tandang keras ciri pulau Sempu menimbulkan cara tersendiri bagi ki
Mahesa Jenar untuk menanggulanginya. Jalur Pengging diramu perguruan Sela
membuat bekas senopati Demak itu dapat menandingi raksasa pulau Sempu.

Bila lawan melakukan tendangan memutar, ki Mahesa Jenar merendahkan


tubuhnya sembari menyapu kaki lawan. Namun lawan pun cukup cekatan
melakukan pengindaran sembari membalas gaplokan ke kepala ki Mahesa
Jenar. Untungnya murid ki Ageng Pengging sepuh bergegas menyurutkan
tubuhnya yang masih dalam keadaan berjongkok.

Tapi ki Dibyo Manggala tak ingin melepaskan mangsanya begitu saja. Selekas
lawan menghindar, kakinya bergegas menotolkan tanah dan menjulurkan
tangannya ke dada lawannya. Ia yakin kalau pukulannya ini dapat
menjebolkan dada bidang lawannya.

Saat bersamaan kala itu ki Mahesa Jenar dengan cepat bertindak, yaitu
menyilangkan tangan di depan dadanya. Tindakan ini tentunya dilambari
tenaga tak kasat mata demi menjaga dadanya dari ancaman pukulan lawan.
Dan tak pelak akhirnya dua hentakan keras mengguncang kedua orang itu.
P a g e | 659

Apa yang dirasakan oleh ki Mahesa Jenar sangat membuat dadanya sesak
bagai tertumbuk batu karang, hingga kakinya menggerus tanah sebatas mata
kaki dan sepanjang tiga langkah mundur. Sebaliknya dengan apa yang
dirasakan oleh ki Dibyo Manggala hampir sama seperti lawannya, dimana
tangan orang Sempu itu bagai mengenai benteng besi logam yang keras dan
membuat tangannya sakit bukan kepalang.

Keduanya sama - sama mengagumi tenaga dan kemampuan lawan.


Tangguh tanggon bagai harimau perkasa dan kuat tebalnya banteng liar,
cocok menjadi gambaran kedua orang tersebut.

Sementara itu, Arya Salaka yang mendapat anjuran dari orang bertopeng,
telah dapat menguraikan segala keserba grusa - grusunya gejolak remaja,
sehingga lebih mapan dalam menerapkan ilmunya untuk menghadapi
pemimpin gerombolan Ular Sendok. Perpaduan ilmu Banyubiru dan Pengging
luluh menjadikan remaja ini cekatan dan trengginas. Tandang yang ia tunjukan
benar - benar membuat lawannya geram dan kesal.

Blego Trengganis tak menyangka dalam sekejap remaja yang dapat ia


robohkan mampu berubah dengan cepat. Tata geraknya dapat dibaca
dengan mudah oleh lawan yang usianya terpaut sangat jauh darinya. Hal itu
sungguh merupakan sebuah tamparan yang memalukan, apalagi dalam
beberapa gerakan dirinya dapat dikenai sentuhan oleh tangan remaja itu.

Timbulah kemarahan dalam jiwanya membuncah melahap semua yang ada.


Ilmu tingkat atas mulai diterapkan dengan harapan dapat menelan lawan
yang akan membuatnya disegani oleh tokoh - tokoh hitam. Kehebatan ilmu itu
mulai menyeruak bersamaan dengan hawa berbau anyir melingkupi sekitar
tempat itu.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 10 bagian 14
oleh : Marzuki

Blego Trengganis mengungkap aji Gandha Pralaya, ilmu bau kematian yang
membuat lawannya akan merasakan aroma anyir dan busuk yang tajam, dan
akan menyebabkan pemusatan lawan akan buntu serta merusak indra
prangasa lawan. Aji Gandha Pralaya ini diperolehnya setelah mengadakan
lelaku pati geni selama empat puluh hari ditengah ratusan mayat perawan.
P a g e | 660

Perubahan hawa anyir dan busuj yang menyengat itu membuat kepala Arya
Salaka pening bukan main. Terlihat cucu ki Ageng Sora Dipayana menggeleng
- gelengkan kepala serta memijit pelipisnya. Namun tetap saja rasa pusing tidak
mau pergi. Malah kini bertambah mengganggu saluran pernapasannya dan
membuat tenggorokannya bagai tercekik tangan kokoh.

Wajah remaja itu semakin lama memutih pucat. Rasa sakit sudah membuat
nyawa hampir membumbung keluar dari ubun - ubun. Harapan untuk hidup
sangat tipis dalam pikiran remaja itu. Namun bila Sang Pencipta bertindak lain,
nyawa yang hampir lenyap itu bakal kembali mengisi raga putra ki Ageng
Gajah Sora. Melalui perantara berupa pusaka yang terselip dalam ikat
pinggang, telah mengalirkan hawa hangat mengusir hawa jahat aji Gandha
Pralaya.

Tanpa sadar tangan Arya Salaka meraih keris kyai Sangkelat dan meloloskan
dari warangkanya. Secepatnya ia menebaskan tajamnya kyai Sangkelat ke
udara di depannya. Terjadilah kibasan pusaka itu dan menyibak gelombang
ilmu lawan dan buyar berantakan.

"He.... Tidak mungkin... !" mata Blego Trengganis terbeliak tak percaya dengan
keampuhan pusaka ditangan lawan.

Keterkejutan kepala gerombolan Ular Sendok tak berlangsung lama. Tokoh


hitam ini cepat menyadari keadaan dan bergegas mengaburkan rasa kagum
terhadap pusaka lawan. Tongkat kepala ular mulai ia putar di depan dada.
Menimbulkan deru angin keras saling bercuitan.

"Hiiiiat..... !" seru Blego Trengganis sembari menyarangkan tongkat ke tubuh


lawan.

Arya Salaka tak tinggal diam. Keris kyai Sangkelat bergerak menyongsong
gempuran tongkat lawannya. Maka terjadilah olah senjata dari keduanya.
Denting gesekan senjata menghasilkan percikan bunga api.

Kyai Sangkelat membuktikan betapa pusaka itu terbuat dari besi pilihan.
Tajamnya bilah dapat menghadapi kerasnya tongkat yang terbuat dari besi
P a g e | 661

gligen. Dan lambaran tenaga si pemegangnya dapat menyatu dengan


pusaka itu sendiri, menambah daya gedor menghalau pertahanan lawan.

Sebenarnya kehebatan perguruan Pengging dan Banyubiru mampu


menggetarkan tanah jawa. Ditambah kali ini Arya Salaka menggunakan kyai
Sangkelat ditangannya. Maka tak heran kalau lawan setangguh Blego
Trengganis jadi kelabakan. Tangan orang gunung Kendeng itu mulai tersengat
panas dan hampir tak dapat menahan genggaman senjata ditangannya.

"Setan mana yang manjing dalam tubuh anak ini ?!" geramnya, sembari
mundur.

"Menyerahlah, kisanak. Kami tak akan membuarmu celaka." Arya Salaka


mencoba membujuk

"Cih... Jangan besar kepala, anak bengal. Aku masih menyimpan segudang
ilmu !"

Tiba - tiba tongkat berkepala ular ditancapkan di tanah samping tubuh Blego
Trengganis. Selanjutnya orang itu memusatkan nalar dan budinya. Tangan yang
menguncup di depan dahi turun ke dada dan saling digesekan. Timbulah asap
tipis menyeruak dari sela tangannya. Tindakan itu masih berlanjut dengan
adanya warna membara menyelubungi tubuh Blego Trengganis.

Inilah aji Nagadahana tingkat tinggi yang dapat ia pelajari dan


disempurnakan. Tidak sembarang orang yang mampu melakukan lelaku ini,
bahkan kakaknya yang bisa menggunakan aji Nagarupa. Tapi bila
dibandingkan dengan aji Nagarupa, Nagadahana kalah selapis.

Awalnya Arya Salaka tercekat mendapati lawannya seperti itu. Tetapi petuah
- petuah dari orang yang ia hormati, membuatnya tenang. Segera remaja itu
memusatkan nalar dan budinya untuk mengungkap ilmu yang ia warisi dari
paman sekaligus gurunya ki Mahesa Jenar. Aji Sasra Birawa, ya inilah yang
kemudian dilakukan remaja putra tunggal ki Ageng Gajah Sora.

Sasra Birawa tersalurkan ke dalam kyai Sangkelat. Membuat senjata itu


memancarkan warna hijau cemerlang meskipun hari masih terang.
P a g e | 662

"Hiiiaat.... " dua teriakan dari sumber berbeda mengawali dua hentakan ilmu
mendebarkan.

Suara layaknya langit rubuh menggema memenuhi pategalan Banyubiru.


Tubuh Arya Salaka terpental dan bergulingan sejauh sepuluh langkah.
Sedangkan ki Blego Trengganis berdiri tegak seperti patung. Hanya saja yang
lain ialah adanya ganggang keris tersembul di dadanya.

"Edaaaan... !" umpatnya dengan kasar.

Tubuh itu tak lama lunglai ke tanah. Nyawanya amblas termakan aji Sasra
Birawa dan kyai Sangkelat. Pupus sudah salah seorang kepala Ular Sendok.
Menyisakan tatapan layu dari mata Arya Salaka yang berusaha duduk dan
mengatur pernapasannya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 10 bagian 15
oleh : Marzuki

Dalam upaya mengembalikan serta meredam sakit yang dirasakan melanda


tubunya, Arya Salaka memusatkan segala pikirannya untuk merendahkan diri
dan meminta pertolongan Gusti Allah dengan cara menerapkan ilmu Prana.
Perlahan namun pasti remaja itu merasakan kekuatannya kembali. Dadanya
yang bagai diselomoti bara api sudah sirna bergantikan hawa sejuk.

Berdirilah remaja putra ki Ageng Gajah Sora dan berjalan menghampiri


lawannya yang tumbang. Sekilas dilihat ternyata tubuh Blego Trengganis
menghitam dengan luka di dada akibat tusukan kyai Sangkelat dan aji Sasra
Birawa milik Arya Salaka. Desuhan dari mulut remaja itu menunjukan rasa
kecewa atas kematian pemimpin Ular Sendok.

"Hmmm... Terpaksa kematian ini terjadi padanya. Bila aku tak berbuat begitu,
mungkin akulah yang terbujur kaku. Dan... Ah, tak mampu aku membayangkan
kelanjutan tanah perdikan Banyuburu." desis Arya Salaka.

Tangannya kemudian meraih tangkai keris dan mencabut keris pusaka dari
tubuh lawan. Anehnya bilah keris tiada noda darah walau hanya setetes.
Menunjukan betapa aji Sasra Birawa dan keris itu mampu mengeringkan darah
P a g e | 663

dalam tubub Blego Trengganis. Sejenak kemudian keris itu dimasukan ke


warangka.

Pada saat terjadinya adu ilmu kawijayan terjadi tadi, Blandong Kraksaan
sempat melihat tatkala adiknya tumbang secara mengenaskan. Tersulutlah
amarah dalam dadanya. Saudara yang ia sayangi kini tergeletak diam
membeku untuk selama - lamanya. Akibatnya Blandong Kraksaan bagai
banteng yang lepas dari ikatan tali. Mengamuk penuh tenaga menyeruduk
dan menyeplak mangsanya.

Ilmi tata gerak Panca Margi Pralaya yang biasanya dilakukan orang lebih dari
satu, ditangan Blandong Kraksaan dapat ia lakukan sendiri. Tubuh orang ini
berkelebat cepat bagai bayangan saja. Malah seolah - olah tubug itu
berjumlah banyak, sehingga membuat lawan yang menghadapi kerepotan.

Lawan yang tiada lain Kilatmaya memang bingung mengetahui kehebatan


tata gerak rumit dan cepat ini. Tubuhnya dapat dikenai beberapa kali,
meskipun tak berarti apa - apa, karena tubub orang bertopeng diselimuti aji
Niscala Praba.

"Untunglah aku sudah waspada sejak awal dan menerapkan aji Niscala
Praba. Jika tidak, tubuhku akan lumat." batin Kilatmaya atau Arya Dipa.

Dalam pada itu, Blandong Kraksaan sempat heran melihat lawan yang ia
hadapi tak mengalami apa - apa. Padahal ia yakin dapat melakukan sentuhan
- sentuhan keras melanda tubuh lawannya. Karenanya ia meloncat mundur
sekaligus menajamkan pandulunya untuk memperhatikan lawan.

"He... Warna kuning kemilau itulah yang melindungi tubuh orang ini. Ilmu
macam apa itu ?" geremeng Blandong Kraksaan, lirih.

Murid tertua nenek pemuja naga Anta Boga itu menyimpulkan akan
mencoba ilmu Hasta Naga. Maka dengan cepat ia memusatkan
mengumpulkan tenaga dan dipusatkan di sepasang tangannya. Aji ini karang
yang keras saja akan tercabik - cabik tak karuan, apalagi hanya manusia yang
terdiri dari darah dan daging.
P a g e | 664

"Rasakan ini manusia bertopeng !" seru Blandong Kraksaan, sambil meloncat
menerkam lawan.

"Wuuuuuus... Sreet... Sreeet..."

Kilatmaya dan Blandong Kraksaan sendiri, sama - sama kaget. Kilatmaya


merasakan cakaran lawan telah mengoyak lapisan Niscala Praba hingga kain
pakaiannya tercabik. Sedangkan Blandong Kraksaan merasakan lapisan selapis
dapat ia robek, tetapi tiba - tiba tenaganya hilang.

"Siapa sebenarnya orang ini ? Ilmunya sungguh aneh." Blandong Kraksaan


heran, tetapi kembali menyerang.

Terjadilah perkelagian hebat dengan menggunakan tata gerak rumit penuh


kembangan serta dilambari tenaga cadangan. Keduanya bergerak sebat
mencari titik lemah lawan agar lawan cepat tumbang. Meskipun sangatlah sulit
hal itu.

Hingga akhirnya Bkandong Kraksaan memutuskan untuk mengakhiri


perkelahian tersebut. Orang itu mundur menjaga jarak demi mempersiapkan aji
pamungkas yang hanya ia sendiri yang dapat menerapkan. Ilmu sangat jarang
dimiliki oleh ahli kawijayan di masa itu.

Udara berubah gelap dan angin berderak di pategalan itu. Tubuh Blandong
Kraksaan mendadak digulung angin yang disertai kabut tipis. Dan ketika kabut
itu mereda dan angin lenyap, tampilah sesosok naga mengerikan dan besar.

"Oh... " desuh Kilatmaya manakala menyaksikan lawannya berubah menjadi


seekor naga raksasa.

Dahulu sebenarnya Kilatmaya pernah menghadapi ular naga dan dapat


membunuhnya. Tetapi kali ini orang bertopeng ini tercengang adanya. Naga di
depannya lebih besar dan sangatlah menyeramkan.

Belum lagi dirinya dapat menenangkan hatinya, naga jelmaan dari ilmu
Nagarupa telah menyabetkan ekornya dengan kerasnya.

" Awas kisanak !" seru Arya Salaka.


P a g e | 665

Kilatmaya terlambat menyadarinya dan tubuhnya mencelat terkena kibasan


ekor naga. Tak pelak tubuh itu menghantam pohon jati sebesar paha, hingga
membuat pohon itu tumbang.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 10 bagian 16
oleh : Marzuki

Belum lagi Kilatmaya bergerak, Nagarupa sudah menjulurkan tubuhnya untuk


mencaplok orang bertopeng itu. Namun rupanya Arya Salaka tak tinggal diam.
Remaja itu memusatkan tenaga di tangannya dan dengan keras menghantam
tubuh ular naga tersebut. Tapi pukulan keras yang dilancarkan Arya Salaka tak
berpengaruh banyak. Ular Nagarupa hanya meliuk saja sambil mengibaskan
ekornya ke tubuh Arya Salaka dan terus meluncur.

Mendapati pukulannya tak digubris oleh Nagarupa, Arya Salaka yang juga
bergelar Bagus Handoko mengingsarkan kaki demi menghindari sabetan ekor,
sekaligus menangkapnya. Dengan sekuat tenaga ekor itu dicekal untuk
menahan gerakan ular Nagarupa. Hal itu juga mengulur waktu agar supaya
orang bertopeng cepat bertindak.

Adu kekuatan terjadi antara Arya Salaka dan Nagarupa jelmaan Blandong
Kraksaan. Tangan remaja yang mendapat gemblengan ki Mahesa Jenar dan
sedikit tuntunan ayahnya ki Ageng Gajah Sora, menjadikan remaja Banyubiru
itu perkasa layaknya kekuatan sepuluh banteng liar. Sedikitpun tangan itu tak
mau membiarkan bagian ekor naga lepas dari cengkeramannya. Padahal
Nagarupa dengan menggila mencoba mengibas - ibaskan ekornya.

Apa yang dilakukan oleh Arya Salaka itu sempat mendapat perhatian khusus
dari guru sekaligus pamannya, ki Mahesa Jenar. Rasa bangga mengalir dalam
jiwa Rangga Tohjaya yang telah ikut andil mendidik anak sahabatnya. Tetapi ia
harus mengakhiri rasa kagumnya karena harus merendahkan tubuh disaat
lawannya hampir menyarangkan pukulan ke kepalanya.

"Awas Mahesa Jenar ! Berkelahilah tanpa membagi perhatian, jika kau tak
ingin cepat mampus !" ucap Dibya Manggala, mengingatkan sembari
mengayunkan kakinya.
P a g e | 666

"Uh... " desuh ki Mahesa Jenar sembari beringsut ke belakang dan memutar
tubuhnya.

Dalam memutar tubuhnya itulah ki Mahesa Jenar melayangkan tendangan


memutar dengan keras. Meskipun lawan tak dikenai, bekas perwira Demak ini
bergegas memburu lawan dengan gencarnya. Adu siasat tata gerak terus
diupayakan dengan sengitnya oleh ki Mahesa Jenar dan raksasa pulau Sempu.

Dalam pada itu, Kilatmaya yang sudah menguasai dirinya melenting berdiri
dan bergegas membantu Arya Salaka, yang terlihat tak mampu lagi menahan
kekuatan Nagarupa. Layaknya burung garuda, tangan Kilatmaya
mengembang lebar, serta kakinya bak cakar sangat cepat mengarah kepala
Nagarupa. Hebat hasilnya, dimana kepala ular tersebut terbanting keras
mengenai tanah. Tapi yang merugikan ialah gerakan ekor yang dapat
mengibaskan Arya Salaka hingga jauh.

Syukurnya Kilatmaya yang mengetahui adanya tubuh yang terhempas,


langsung menotolkan kaki beberapa kali untuk melambungkan tubuhnya
mengejar dan menangkap tubuh Arya Salaka. Maka selamatlah remaja putra
ki Ageng Gajah Sora tanpa luka.

"Terima kasih, tuan." ucap Arya Salaka.

"Ah.. Itu tak seberapa, adi. Dan janganlah memanggilku tuan, lebih enak
panggilah kakang Kilatmaya." sahut Kilatmaya.

"Baik, kakang Kilatmaya."

Kilatmaya maju setindak di depan Arya Salaka, lalu katanya, "Istirahatlah, adi.
Biarlah jelmaan naga itu aku yang urus."

Tanpa menunggu jawaban, Kilatmaya yang juga Arya Dipa terlihat


bersungguh - sungguh. Sikapnya terkesan mantab dengan kuda - kuda kokoh.
Pemusatan nalar budi mengembang berlambarkan do'a kepada Gusti Agung
dengan perantara mengungkap ilmu Cakra Paksi Jatayu serta ilmu dari rontal
Panembahan Anom. Perpaduan dua ilmu ini dengan kekuasaan Sang Pencipta
dapat menjadikan Kilatmaya berubah menjadi Garuda raksasa.
P a g e | 667

Ilmu Garuda Yaksa membuat semua orang terpana. Bagaimana tidak ?


Wujud burung ini benar - benar mendebarkan melebihi wujud Nagarupa.
Kibasan sayapnya menjadikan prahara dahsyat. Suara yang ditimbulkan dari
paruh, layaknya gema ilmu Gelap Ngampar tingkat teratas.

Ki Dibya Manggala merasakan tubuhnya bergidik mendapati lawan Blandong


Kraksaan mampu malih rupa layaknya ilmu dalam pewayangan. Tanpa malu
orang dari pulau Sempu itu meninggalkan pategalan dan hilang dibalik semak
belukar.

Sementara itu, Nagarupa jelmaan Blandong Kraksaan menjadi beringas.


Tubuh naga meliuk - liuk mendebarkan dengan moncong kepala menjulurkan
lidah bercabang dari mulutnya. Desisan keras seakan ingin menandingi suara
Garuda Yaksa.

Pategalan Banyubiru dan juga dua insan menjadi saksi atas apa yang terjadi.
Perkelahian layaknya di alam mimpi benar - benar terjadi di depan mata tajam
ki Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Keduanya hanya dapat memperhatikan saja
tanpa dapat ikut campur.

Juluran tubuh panjang Nagarupa berusaha menangkap gesit dan lincahnya


Garuda Yaksa, namun sangatlah sulit hal itu diwujudkan karena Garuda Yaksa
benar - benar luar biasa. Kepakan sayapnya membuat burung itu
mengangkasa tinggi dan dengan cepat meluncur menggapai mata Nagarupa
menggunakan paruh serta mencakar tubub bagian leher Nagarupa. Dan
rupanya Nagarupa tak ingin mengalami celaka dari lawannya, oleh karenanya
ekornyalah yang berbicara lebih tajam dan mengancam.

Adanya perlawanan Nagarupa hanyalah menunda serangan mematikan


yang dilancarkan Garuda Yaksa. Sesaat Garuda Yaksa kembali mengangkasa
lagi dan mencari titik buta lawan.

"Craaak... Craak.. Craak.."

Tiga kali cakaran tak mampu dihindari oleh Nagarupa. Keluhan menyayat
membuat naga raksasa itu menggelepar tak karuan. Sekejap kemudian ular
naga kembali ke wujud aslinya, yaitu ki Blandong Kraksaan. Orang itu sesaat
P a g e | 668

masih berusaha akan bangun, tetapi tubuhnya tak memungkinkan lagi, dimana
luka parah menghiasi dada, lambung dan kakinya.

Di angkasa Garuda Yaksa masih berputar dan saat menukik turun mendekati
tubuh Blandong Kraksaan, garuda itu berubah menjadi Kilatmaya kembali.

Kedatangan lawannya yang dapat menumbangkan dirinya, membuat


Blandong Kraksaan tersenyum. Watak yang biasanya keras itu mendadak
lunak. Malah tangan Blandong Kraksaan menggapai tangan Kilatmaya yang
sudah berjongkok disampingnya. Dengan suara bergetar ia berkata.

"Kisanak, tolong bakarlah mayatku dan adiku layaknya yadnya hindu...."

Ucapan itu terputus bersamaan melayangnya jiwa Blandong Kraksaan. Arya


Dipa atau Kilatmaya menghela napas. Dan pemuda bertopeng itu meminta
bantuan ki Mahesa Jenar dan Arya Salaka untuk menyelenggarakan yadnya
dua mayat kakak beradik di pategalan itu juga.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 10 bagian 17
oleh : Marzuki

Asap membumbung tinggi bersamaan berhembusnya angin. Asap yang


berasal dari sisa pembakaran jasad Blandong Kraksaan dan Blego Trengganis.
Sementara tiga jasad anak buah Ular Sendok dikuburkan di pinggiran
pategalan. Sedangkan tiga orang menjadi tawanan pengawal kabuyutan
Banyubiru, sudah digiring ke pusat padukuhan.

Dengan penuh hormat Arya Salaka meminta penolongnya untuk singgah ke


padukuhan Induk. Dan orang bertopeng itu tidak menolaknya dengan syarat
tak mau melepaskan topengnya. Maka mereka semua menuju padukuhan
induk Banyubiru.

Meskipun banyak orang menatap penuh curiga, tetapi berkat penjelasan dari
Arya Salaka dan ki Mahesa Jenar, kecurigaan itu lambat laun sirna dari dada
para bebahu kabuyutan Banyubiru. Bahkan salah seorang dengan ramah
bertutur sapa mengenai kehebatan orang bertopeng tersebut.
P a g e | 669

"Angger mungkin di sini seorang yang paling hebat dan sakti. Bahkan
Anakmas Mahesa Jenar dan wayah Arya Salaka mempercakapkan apa yang
angger perbuat di pategalan sana." ucap salah seorang tetua.

"Oh... Kakek terlalu membesarkan saja. Siapa yang tak tahu kehebatan jalur
ilmu adi Arya Salaka dari kakeknya ki Ageng Sora Dipayana ? Juga ilmu paman
Mahesa Jenar yang merupakan warisan dari telatah Pengging ?" kata
Kilatmaya, merendah.

Demi dirinya dibicarakan, ki Mahesa Jenar terbatuk kecil. Sejenak tangannya


meraih kendi dan meneguk air dalam kendi.

"Aku tak menyangka jika nama melambung sampai mana - mana." kata ki
Mahesa Jenar, "Padahal aku tidak berbuat apa - apa."

"Memang kakang Mahesa Jenar tidak berbuat apapun, itu setelah di telatah
Banyubiru." kali ini Penjawi yang berucap, "Tapi kakang tak bisa mengelak saat
berhadapan dengan Lawa Ijo demi menyelamatkan bidadarinya."

Candaan yang dilontarkan oleh Penjawi itu membuat gelora tawa memenuhi
rumah kabuyutan Banyubiru. Candaan dan guyonan mewarnai kehidupan di
kabuyutan yang sering mendapat gangguan dari beberapa pihak. Bahkan
kabuyutan Banyubiru pernah terjadi perang saudara yang mengakibatkan
tumbal dan bebanten dari penghuninya.

Suatu kali, di sebuah ruangan tinggalah tiga orang saja. Yaitu Arya Salaka
dan ki Mahesa Jenar yang berhadapan dengan Kilatmaya. Ketiganya
sepertinya melakukan pembicaraan singguh - sungguh. Apalagi kala itu keris
kyai Sangkelat nampak ditengah - tengah ketiganya.

"Kakang Kilatmaya, mengapa kakang tak ingin melibatkan diri secara


langsung saat akan terjadinya penyerbuan nanti ?" tanya Arya Salaka.

Sebelum menjawab, Kilatmaya yang memakai topeng tipis menatap ki


Mahesa Jenar dan Arya Salaka bergantian. Lalu katanya, "Adi dan Paman,
dengan hadirnya kyai Sangkelat ditengah - tengah pertempuran puncak nanti,
akan menggiring seseorang yang harus aku hadapi."
P a g e | 670

"Tunggu dulu, Kilatmaya. Bukankah yang ingin kau hadapi sudah dapat kau
lumpuhkan, yaitu orang - orang Ular Sendok ?"

"Hm.. Awalnya hanya mereka, paman. Tapi yang lebih menguatirkan adalah
seseorang yang secara langsung menjadikan telatah ini sebagai batu loncatan
dalam menggempur Demak."

"He... Apakah apa yang aku dengar tidak salaj, Kilatmaya ?" nada ki Mahesa
Jenar bergetar.

Sekilas Kilatmaya menggeser letak duduknya. Ia ingat ketika seorang cantrik


yang menemuinya di padukuhan Banyubiru. Cantrik sekaligus penghubung itu
melaporkan perintah yang ia emban dari Panembahan Ismaya. Yang mana
terdapat tiga pesan untuk Arya Dipa atau Kilatmaya.

Pesan pertama ialah adanya gerakan serentak dari gerombolan tokoh hitam
yang akan melurug Banyubiru. Pesan kedua adanya warta gembira akan
munculnya ki Ageng Gajah Sora beserta pasukan dari Demak. Dan yang
terakhir ialah pasukan aneh dari selatan Banyubiru. Dan dibeberkan pesan itu
kecuali darimana sumbernya.

"Oh.. Benarkah ayah akan datang, kakang ?" Arya Salaka tak dapat
menahan gejolak hatinya.

"Begitulah, adi. Paman Gajah Sora terbukti tidak bersalah dalam


permasalahan hilangnya dua keris Demak."

Dalam pada itu ki Mahesa Jenar agak heran dengan apa yang dikatakan
oleh Kilatmaya. Mengapa orang bertopeng ini dapat berkata seperti itu ?
Apakah orang ini seorang prajurit telik sandi Demak ? Ataukah seorang
pangeran yang menyamar ?

Tanda tanya besar menggantung dalam benak bekas senopati Demak itu.
Orang dihadapannya bagai dilingkari kabut tebal sehingga sulit untuk
disingkapkan jatidirinya. Sebagai seorang yang pernah menjadi nayaka praja
Demak, sebagian besar ki Mahesa Jenar kenal dengan orang - orang di
kotaraja. Tapi tiada yang mirip dengan perawakan dan suara orang yang
mengaku sebagai Kilatmaya ini.
P a g e | 671

"Ilmunya sangatlah tinggi. Mungkin Adipati Anom atau Mas Karebet bukan
tandingan orang ini. Hm... Siapa sesungguhnya dia ?" batin ki Mahesa Jenar.

Kesan yang menggurat dalam wajah ki Mahesa Jenar, sebenarnya dapat


dibaca oleh Kilatmaya. Karenanya Kilatmaya mencoba berkata lebih lanjut.

"Dan pada nantinya aku yang akan mencoba menahan pasukan dari selatan
itu dengan bantuan prajurit khusus dari Demak." Kilatmaya berhenti sesaat, dan
katanya lebih lanjut, "Paman percayalah padaku."

"Hm... Maafkan keraguanku tadi, Kilatmaya. Itu semua karena


keingintahuanku mengenai jatidirimu." kata ki Mahesa Jenar.

Kilatmaya mengangguk perlahan. Sebenarnya dia pun ingin membuka


jatidirinya, tetapi semua sudah terikat dengan janji kepada Panembahan
Ismaya. Pantang baginya untuk mengingkari sebuah janji.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 10 bagian 18
oleh : Marzuki

Karenanya pemuda bertopeng itu hanya menghela nafas saja. Untung saja
tindakan itu tak terlihat oleh ki Mahesa Jenar maupun Arya Salaka. Sehingga
tidak semakin menambah perhatian dari kedua orang tersebut.

Pembicaraan itu terhenti sesaat manakala dua wanita memasuki ruangan


dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman. Dua wanita yang
satu memang pembantu rumah ki Ageng Gajah Sora, sedangkan satunya lagi
seorang gadis remaja yang selisih beberapa tahun dari Arya Salaka.

Dalam pada itu, wajah dibalik topeng tipis dengan bagian bibir berlubang,
menunjukan wajah dibalik topeng telah tercekat. Tiada lain dan bukan karena
menatap wajah gadis remaja yang pernah ia jumpai di kotaraja Demak. Yaitu
putri ki Sembada atau ki Kebo Kanigara uwa Mas Karebet.

"Bukankah dia putri ki Kanigara ?" batin Kilatmaya dalam hati, sambil
memperhatikan dengan seksama.
P a g e | 672

Pemuda itu sedikit terkejut ketika ki Mahesa Jenar mempersilahkannya


mencicipi hidangan.

"Oh... Terima kasih, paman." ucap Kilatmaya, agak bergetar.

Diraihlah ketela rebus itu dan melahapnya. Tak lupa wedang sere dari dalam
gelas diteguk perlahan. Meskipun masih mempertanyakan keberadaan gadis
putri ki Kebo Kanigara, Kilatmaya berusaha mencari jawabannya sendiri.

Untuk sementara disingkirkan pertanyaan yang mengganjal dalam benaknya.


Saat ini yang lebih penting ialah melakukan pembicaraan dalam
menyongsong datangnya perusuh dan pengganggu di telatah Banyubiru. Dan
yang paling penting ialah tugas untuk melayani pasukan dari selatan agar tak
dapat memanfaatkan ontran - ontran yang bakal terjadi.

Pembicaraan itu berlangsung hingga tengah malam bersamaan


terdengarnya kentongan dara muluk. Kilatmaya atau Arya Dipa mendapatkan
tempat istirahat di gandok kanan. Sebuah gandok yang tertata dan bersih.
Sebuah amben kecil cukup bagi Arya Dipa untuk memejamkan mata dimalam
itu. Meskipun begitu, sebagai seorang pengembara dan prajurit, sudah menjadi
kewajibannya untuk selalu waspada.

Malam itu rupanya tiada sesuatu yang mencurigakan. Kejadian di pategalan


telah membuat pengawal laskar Banyubiru memperketat penjagaan. Gardu -
gardu terisi penuh dengan giliran masing - masing. Lorong - lorong pun tak
ketinggalan mendapat pengawasan yang lebih teliti dan sering dilewati. Dan
hal itulah yang membuat penghuni merasa tentram dan tenang.

Sejak berakhirnya perang saudara antara Arya Salaka dan pamannya ki


Ageng Lembu Sora, keadaan Banyubiru mulai bangkit kembali. Kerusakan
berupa jalan, sawah, pategalan dan rumah sudah teratasi dengan baik. Ini
semua berkat kesetian para sesepuh yang ikut membimbing Arya Salaka
sebagai pemimpin sementara kabuyutan Banyubiru.

Diambang fajar menyingsing, suara ayam berkokok nyaring telah memulai


hari yang baru. Penghuni padukuhan induk dan sekitarnya mulai bekerja sesuai
bidang masing - masing.
P a g e | 673

Para petani membekal cangkul dan arit pergi ke sawah maupun pategalan.
Pedagan kecil mulai mewarnai pasar - pasar. Para saudagar dengan diiringi
pengawal meniti bulak - bulak demi menjual dagangan mereka diluar telatah
yang jauh. Pun dengan bebahu, mereka ikut membenahi dan mengerjakan
tugas masing - masing.

Udara segar membuat seorang pemuda menghirupnya dengan penuh


syukur. Di tangannya nampak topeng tipis terjeluntai. Pemuda berpakaian
kuning kecoklatan itu kemudian menaruh topeng di padasan dan tangannya
menadahi air dari pancuran untuk membasuh wajahnya.

Sungguh segar air yang nembasuh wajahnya. Menambah semangat di pagi


hari itu. Entah mengapa tangannya membelai pipinya sendiri dan bibirnya
tersenyum simpul.

Rupanya Arya Dipa teringat kejadian di lereng gunung Penanggungan.


Dimana ia berjumpa dengan gadis yang membuat jantungnya berdegub
kencang. Gadis yang telah menampar pipinya hingga panas menyengat tiada
terkira. Tetapi panas itu berubah menjadi rasa cinta sampai saat ini.

Lamunan indah itu luluh lantah manakala terdengar bunyi seseorang


mendekati pakiwan. Belum sempat Arya Dipa memakai topengnya, seorang
gadis menjerit lirig seraya menutup mulut mungilnya.

"Kau, kakang... ?!" seru gadis itu.

Arya Dipa begegas memakai topengnya dan memberi isyarat kepada gadis
itu, dengan menyilangkan telunjuknya di depan bibir.

"Sttt.... Aku mohon nimas untuk tak membicarakan hal ini kepada siapa pun."
pinta Arya Dipa.

"Tapi... "

"Aku mohon, nimas. Ini semua demi adi Mas Karebet." potong Arya Dipa.
P a g e | 674

Gadis itu mengerutkan alisnya. Ia tak mengerti dengan perkataan teman


kakangnya, Mas Karebet atau Jaka Tingkir.

Dalam pada itu Arya Dipa mencoba melihat kanan kiri sekitar pakiwan.
Untungnya tempat itu masih sepi. Dicobanya untuk meyakinkan gadis putri ki
Kebo Kanigara tersebut. Hanya beberapa hal saja yang ia katakan kepada
gadis itu tanpa harus membeberkan semuanya.

Anggukan kepala Endang Widuri membuat Arya Dipa tenang.

"Ingat nimas Widuri, ini harus kau simpan dari siapa pun. Meskipun disuatu hari
ayah dan kakangmu berkunjung kemari."

"Iya, kakang Di..."

"Kilaymaya saja." sela Arya Dipa.

"Iya, kakang Kilatmaya." ucap Endang Widuri.

"Hm... Baiklah. Kalau begitu aku akan pergi. Mumpung belum ada orang yang
melihat dan berpikir macam - macam."

Kilatmaya pun meninggalkan pakiwan dengan diiringi gelengan kepala


Endang Widuri. Gadis kesayangan ki Kebo Kanigara itu kemudian teringat
dengan kakaknya.

"Keanehan kakang Kilatmaya serupa dengan kakang Karebet." desisnya lirih,


sambil melangkahkan kaki masuk ke pakiwan.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 10 bagian 19
oleh : Marzuki

Baru saja Arya Dipa atau Kilatmaya duduk di pringgitan, terdengar derap dua
ekor kuda memasuki regol rumah ki Buyut Banyubiru. Dengan tangkas kedua
penunggang menghentikan kuda dan turun seketika sambil menyerahkan tali
kekang kepada pembantu kabuyutan. Bergegas keduanya berlari menaiki
tlundak pendopo.
P a g e | 675

Rupanya derap kuda tadi telah memancing para penghuni rumah ki Buyut
Banyubiru. Arya Salaka ditemani ki Mahesa Jenar dan ki Wanamerta nampak
keluar dari ruang dalam menuju pendopo.

"Ada apa Sawungrana dan kau Pandan Kuning ?" tanya ki Wanamerta,
dengan cepatnya.

Kedua orang itu mencoba mengatur napas demi untuk menyusun kata
dengan sebaiknya. Lalu Pandan Kuning memberi isyarat kepada Sawungrana
untuk melapor terlebih dahulu.

"Ki Wanamerta, pengawal perbatasan yang menjorok ke Rawa Pening telah


melihat adanya iringan lengkap dengan perlengkapan perang." lapor
Sawungrana.

Tentu saja laporan itu mengejutkan semua orang, bahkan Kilatmaya yang
awalnya duduk di pringgitan langsung mendekat. Demikian cepatnya
pergerakan gerombolan itu dari apa yang Kilatmaya dengar sebelimnya lewat
cantrik penghubung. Dan seketika Kilatmaya dapat menduga laporan yang
akan dikatakan oleh Pandan Kuning.

"Lalu bagaimana denganmu, kakang Pandan Kuning ?" kali ini Arya Salaka
yang bertanya.

"Saat kami pergi ke hutan sebelah selatan, tanpa sengaja kami melihat
adanya pasukan segelar sepapan, adi Salaka." kata Pandan Kuning, "Saat ini
Penjawi masih mengamati pasukan itu bersama tiga kawannya."

Arya Salaka dan ki Mahesa Jenar secara bersamaan menatap Kilatmaya.


Rupanya apa yang disampaikan orang bertopeng itu benar adanya. Ki
Mahesa Jenar yang mempunyai pengalaman dalam dunia keprajuritan
dengan cekatan memberi nasehat kepada murid sekaligus putra sahabatnya
untuk mengumpulkan laskar Banyubiru.

Dalam pada itu Kilatmaya meminta ijin untuk mendahului melihat siapa saja
lawan yang berada di perbatasan arah ke Rawa Pening. Diantar oleh
Sawungrana keduanya melesat menggunakan kuda meninjau lawan.
P a g e | 676

"Hm... Semua golongan hitam hampir ada." desis Kilatmaya, setibanya di atas
tebing.

"Kakang Sawungrana, aku rasa adi Arya Salaka dan laskarnya dapat
menghadapi mereka." kembali Kilatmaya berkata.

Sawungrana terlihat murung. Karenanya dengan heran Kilatmaya bertanya,


"Mengapa kau terlihat murung, kakang ?"

"Lihatlah remaja yang paling depan itu, adi." sahut Sawungrana seraya
menunjuk seorang remaja yang menunggang kuda hitam.

Kilatmaya pun bergegas mengikuti arahan itu. Di lihatnya seorang remaja


yang perawakannya kokoh. Dan, oh... remaja itu sangat mirip dengan Arya
Salaka.

"Siapa dia kakang ?"

"Putra ki Ageng Lembu Sora dari Pamingit, adi. Dialah adi Sawung Sriti."

"Oh... " kejut Arya Dipa.

Sedikit banyak pemuda bertopeng itu sudah mendengar kalau ki Ageng


Lembu Sora menginginkan palungguhan yang sebenarnya adalah hak
kakaknya. Rupanya kekalahan yang terdahulu tidak diikuti oleh putranya.
Malah saat ini putranya berdiri di depan bersama tokoh - tokoh golongan
hitam. Dan inilah yang dikwatirkan oleh Sawungrana, yaitu apakah Arya Salaka
akan tega berhadapan dengan sepupunya itu.

"Jangan kwatir, kakang. Aku yakin adi Salaka akan mampu berpikir dengan
bijak. Walau seandainya keduanya berhadapan." kata Kilatmaya.

Sawungrana mengangguk perlahan.

Dirasa cukup, Kilatmaya kembali ke induk padukuhan. Dirinya mengatakan


kepada ki Mahesa Jenar, ki Wanamerta dan Arya Salaka untuk saat ini akan
P a g e | 677

mengunjungi pasukan di dekat hutan sebelah selatan. Dan ketiga orang itu
menyetujuinya.

Pergilah Kilatmaya ke hutan selatan. Tetapi ia harus memutar sesuai pesan


cantrik penghubung yang datang kala itu. Dalam pesan itu, pasukan Demak
yang datang dipimpin oleh seorang Senopati dan ki Ageng Gajah Sora, akan
menunggunya. Tepat memasuki tempat dalam pesan, Kilatmaya
membunyikan isyarat.

Terdengarlah suara burung bence melengking dengan kerasnya. Tak


berselang lama terdengar sahutan serupa sebanyak dua kali. Di susul seorang
prajurit dari Wira Manggala menghampiri Kilatmaya.

"Tuan bertopeng sudah ditunggu oleh tuan Senopati." kata prajurit itu.

Kilatmaya bergegas mengikuti prajurit itu menuju tempat berkumpulnya


pasukan Demak. Ternyata di situ sudah menunggu pasukan segelar sepapan
yang dipimpin oleh senopati pilihan. Dan sebagian dari mereka dikenal oleh
Kilatmaya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 10 bagian 20
oleh : Marzuki

Kilatmaya langsung dipertemukan dengan senopati pasukan Demak. Ki Panji


Gajah Sora lah yang menjadi pucuk pimpinan dengan di bantu ki Lurah Lembu
Sura, Lurah Wiratsemi dan Lurah Bangau Lamatan. Di situ juga terdapat seorang
yang ditunggu - tunggu oleh penghuni tanah perdikan Banyubiru, yaitu ki
Ageng Gajah Sora.

"Selamat datang di telatah Banyubiru, ki Panji." ucap Kilatmaya terhadap ki


Panji Gajah Sora.

Senopati pilihan Demak mengangguk seraya tersenyum, "Iya, tuan Bertopeng.


Bantuan tuan terhadap telatah Banyubiru ini sudah kami dengar dari sesepuh
Demak. Karenanya kami meminta kembali agar tuan Bertopeng sudi
membantu kami."
P a g e | 678

"Benar apa yang diucapkan oleh, ki Panji Gajah Sora ini. Dan akulah yang
paling banyak mengucapkan terima kasih terhadap tuan Bertopeng." imbuh ki
Ageng Gajah Sora.

Dengan kata lembut Kilarmaya mencoba mengenyamping atas apa yang ia


perbuat di Banyubiru. Semua yang ia lakukan hanyalah sebuah keharusan
sebagai titah dari Sang Pencipta. Karena sebagai manusia sudah sewajarnya
saling membantu terhadap sesama.

Meskipun sudah mendengarkan perkataan orang Bertopeng yang


merendahkan diri, justru membuat ki Panji Gajah Sora dan ki Ageng Gajah Sora
semakin menyukai sosok bertopeng tersebut. Keduanya semakin menghargai
jiwa rendah hati yang melambari tubuh penuh perbendaharaan ilmu sosok
yang bergelar Kilatmaya.

"Baiklah. Saatnya marilah kita memulai pergerakan yang akan membuat


orang - orang perusuh itu terkejut." akhirnya ki Panji Gajah Sora berkata setelah
mendengarkan perkembangan akhir di Banyubiru dari prajurit teliksandi dan
Kilatmaya.

Lalu kata Senopati Demak berlanjut, "Ki Ageng, silahkan ki Ageng bergabung
dengan laskar Banyubiru yang akan menghadapi gerombolan tokoh hitam. Ki
Lurah Bangau Lamatan dan Jaka Ungaran disertai pasukan Pangatus akan
menyertai ki Ageng."

"Terima kasih, ki Panji. Sekarang juga kami berangkat." sahut ki Ageng Gajah
Sora.

Orang Banyubiru itu bergegas keluar daei tenda disertai ki Lurah Bangau
Lamatan dan Jaka Ungaran. Ketiganya menaiki kuda bersama prajurit
pangatus terlihat menuju ujung padukuhan dalam lingkup kabuyutan
Banyubiru. Iringan itu terlihat gagah dengan adanya umbul dan rontek
pertanda kesultanan Demak.

Sepeninggal ki Ageng Gajah Sora, ki Panji Gajah Sora memerintahkan


pasukannya mulai mempersiapkan diri. Tugas pasukan ini ialah serang sergap
yang mengarah terhadap pasukan dari selatan. Pakain pasukan disesuaikan
P a g e | 679

dengan medan berupa semak belukar hutan. Pasukan ini dipencar menjadi
tiga bagian yang setiap bagian terdiri lebih dari seratus prajurit.

Pasukan utama langsung dibawah ki Panji Gajah Sora dan Kilatmaya sendiri.
Sayap kanan dipimpin oleh ki Lurah Lembu Suro bersama Wasis dan Sambi
Wulung. Sedangkan sayap kiri diserahkan kepada lurah muda, ki Lurah
Wiratsemi disertai prajurit srikandi yaitu Rara Asih putri ki Panji Reksotani.

Di suasana sang surya semakin menanjak, dari arah Rawa Pening sudah
terdengar sangkakala yang menandakan perang mulai berkecamuk. Awalnya
pasukan golongan hitam layaknya air bah menggulung laskar Banyubiru.
Dalam keadaan terdesak itulah tiba - tiba muncul debu membumbung tinggi
mengejutkan Laskar Banyubiru dan juga pasukan gerombolan hitam. Namun
semakin mendekatnya debu yang terlontar dari kaki kuda menimbulkan rasa
suka cita laskar Banyubiru. Terutama saat salah satu penunggang kuda
ditunggangi oleh ki Ageng Gajah Sora.

"Ki Ageng Banyubiru tiba... !'

"Ki Ageng Banyubiru tiba... !"

Seruan berulang tersebut memancing perhatian semua pihak. Khususnya bagi


Arya Salaka dan ki Mahesa Jenar.

"Oh, syukurlah.. Ayah datang dengan selamat." ucap Arya Salaka disela - srla
menghadapi Sawung Sriti.

"Apa yang dikabarkan Kilatmaya, benar adanya." batin ki Mahesa Jenar.

Sementara itu, di dalam hutan juga sudah terjadi perang yang membuat
pasukan dari selatan terkejut. Pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Arya
Singasari itu tidak menyangka kalau pasukannya yang sudah melakukan
gerakan senyap, dapat dikelabuhi pasukan bercorak hijau.

Rupanya pasukan Demak langsung memasang gelar Cupit Urang demi


melumpuhkan pasukan Bang Wetan yang hampir saja lolos dari pengamatan
pasukan Demak di Purbaya. Ini semua berkat kesigapan telik sandi di bawah
P a g e | 680

pimpinan ki Panji Mahesa Anabrang tatkala mencurigai adanya perahu -


perahu nelayan di pesisir kidul.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 10 bagian 21
oleh : Marzuki

Mendapatkan pasukannya terhimpit dari sisi kanan dan kiri, Pangeran Arya
Singasari memerintahkan senopatinya untuk bergerak cepat demi membangun
kembali semangat tempur prajuritnya. Perintah itu pun secara beranting
mengalir ke seluruh prajurit pasukan Bang Wetan dan membangkitkan tekad
prajurit tersebut.

Denting senjata dan teriakan serta keluh jerit mulai membuat hutan sebelah
selatan Banyubiru riuh. Darah segar mengucur membasahi setiap tubuh yang
lengah sehingga tergores maupun tertusuk tajamnya senjata. Bahkan ada yang
mengalami lebih buruk beruba kepala remuk dan tubuh arang keranjang.
Sungguh miris terjadi tatkala perang menguasai tanah pertiwi ini.

Di ramainya perang, sosok berpakaian hitam telah melumpuhkan dua tiga


orang sekaligus. Padahal orang itu hanya menggunakan tangan kosong saja.
Namun lawan - lawannya dapat dibuat kalang kabut oleh tandang orang
tersebut.

Suatu kali dua prajurit Demak meluncurkan tombak mereka mengarah orang
berpakaian hitam. Sebuah kenyataan telah mengakibatkan kedua prajurit
terheran - heran. Tiada lain karena tombak keduanya yang berhasil mengenai
tubuh lawan tak dapat menembus gumpalan daging dibalik baju. Malah orang
yang dikenai terlihat tersenyum sembari menggerakan kedua tangan
memapas kedua tombak.

"Kraaak... Kraaak... "

Tombak terpotong dari landeannya.

Belum lagi rasa kaget hilang, dua prajurit itu melotot sekaligus mulut
menganga seraya tangan keduanya menyentuh pundak mereka yang
berdarah tertusuk tajamnya potongan tombak. Rupanya orang berpakaian
P a g e | 681

hitam itu setelah memapas tombak, langsung meraih potongan tombak dan
bergerak cepat menancapkan potongan tombak. Maka tak heran jikalau dua
prajurit Demak tak berdaya jatuh memeluk bumi.

Mendapati lawannya sudah tak bernyawa, orang tersebut melompat


mengarah prajurit Demak lainnya. Tetapi tiba - tiba dari samping telah
meloncat seorang yang menghadangnya. Seorang berpakaian kuning
kecoklatan yang juga memakai topeng tipis terbuat dari getah pohon.

"Ho.. Minggirlah kisanak, jika kau tak ingin melihat indahnya sang surya diesok
hari." tegur orang berpakaian hitam.

"Kau aneh, kisanak. Tadi saat menghadapi prajurit Demak, kau tidak menegur
sedikitpun. Tapi kali ini kau mau memberi aku peringata." sahut Kilatmaya.

"Justru itu aku memperingatkanmu, kisanak. Karena kau bukanlah prajurit,


maka aku sudi mengingatkanmu untuk minggir dari medan ini."

Kilatmaya tertawa lirih, "Kau salah, kisanak. Meskipun pakaianku tak


melambangkan seorang prajurit, sejatinya Demak adalah tempatku
menyumbangkan tenaga yang sedikit ini. Karenanya marilah kita mulai saja,
kisanak."

Orang berpakaian hitam itu sudah muak terhadap orang bertopeng yang
tidak menghiraukan peringatan darinya. Tanpa basa - basi lagi, orang tersebut
meloncat menyerang Kilatmaya. Kaki orang itu menyambar kepala Kilatmaya,
namun serangannya tak menghasilkan apa - apa.

Kali ini Kilatmaya merendahkan kepala sambil mengisarkan kakinya. Tak


hanya itu saja, tangannya langsup menyusup ke tubuh lawan yang terlihat
terbuka. Hampir saja tangan pemuda bertopeng itu mengenai sasaran jikalau
lawannya tidak mampu melentingkan tubuhnya.

Terjadilah perang seru diantara keduanya. Kegesitan kaki dan liukan tubuh
disertai kerasnya pukulan tindih menindih tak terelakan. Dua jalur ilmu keduanya
menggambarkan ketinggian pencapaian ilmu tingkat tinggi. Itu terlihat dari
deru dan desir angin yang mereka timbulkan.
P a g e | 682

Adanya perkelahian antara orang bertopeng dan orang berpakaian hitam,


tak lepas dari pengamatan Pangeran Arya Singasari. Entah mengapa
bangsawan dari tanah Tumapel ini merasakan kalau dirinya pernah merasakan
dan melihat tata gerak dari orang bertopeng.

"Ilmu tata gerak itu.... Ah sepertinya aku pernah menyaksikan ilmu orang
bertopeng itu." desis Pangeran Arya Singasari.

Dalam pada itu, perkelahian seru juga terlihat disemua titik medan. Di capit
kanan, ki Lurah Lembu Sura menghadapi senopati pilihan pasukan Bang Wetan.
Sehingga bantuan Wasis dan Sambi Wulung sangat diperlukan untuk melayani
keganasan senopati lawan.

Begitu juga di capit kiri, seorang kakek berpakaian layaknya pendeta harus
dijaga ketat oleh ki Lurah Wiratsemi dan Rara Asih.

"Babo.. Babo... " ucap kakek itu, "Cah ayu, istirahatlah supaya kau tidak cepat
letih."

Rara Asih tak menyahuti dengan kata - kata. Putri Panji Reksotani ini malah
menggunakan pedang tipisnya membacok mulutkakek itu.

"Tobat - tobat... Galaknya minta ampun ini bocah !" celotehnya sambil
menepis pedang itu menggunakan pakaian lengan panjangnya.

Pedang Rara Asih terlihat mental dan hampir saja lepas dari pegangan.
Untunglah gadis ini masih dapat mempertahankannya. Dan kembali
berwaspada.

Tatkala Rara Asih mengalami kerepotan yang ditimbulkan oleh kakek


berpakaian pendeta, Lurah Wiratsemi masuk menggantikan tempat Rara Asih.
Membekan nanggala, perwira muda ini melancarkan serangan gencar hingga
membuat kakek tua itu mundur sampai lima tindak

"Hebat juga kau, cah bagus." puji kakek itu, lalu katanya kemudian, "Tapi
janganlah kau membusungkan dada terlebih dahulu."
P a g e | 683

Habis berkata, kakek pendeta menotolkan kaki sehingga membuat tubuhnya


melayang meloncati tubuh Lurah Wiratsemi.

"Deeess... !"

Pundak perwira muda Demak dapat dikenai dengan kerasnya. Membuat


Lurah Wiratmaya terdorong bergulingan ke tanah. Untungnya pemuda itu
dapat menempatkan tubuhnya sehingga tak mengalami celaka yang lebih
parah dan segera melenting berdiri.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 10 bagian 22
oleh Marzuki

Menyadari jika menghadapi seorang yang sulit dihadapi, Lurah Wiratsemi dan
Rara Asih bergerak berbarengan. Keduanya menjalin kerjasama dengan
baiknya. Pedang tipis Rara Asih selalu bergerak sangat lentur mengejar tubuh
kakek pendeta. Sementara nanggala Lurah Wiratsemi menjulur layaknya lidah
ular mematuk mangsanya.

Tak urung kerjasama dari keduanya membuat kakek pendeta tersebut tak
olah - olah menghadapi. Jika lengah yang dipertaruhkan ialah nyawa yang
bersarang dalam raga tua itu. Oleh karenanya, kakek itu mulai meningkatkan
ilmunya. Deru angin dari hasil peningkatan ilmunya membuat lawannya
semakin berhati - hati.

Suatu kali tangan pendeta itu menjulur mengarah Rara Asih yang masih
berada dalam keraguan. Akibatnya pundak Rara Asih terkena hantaman
telapak tangan pendeta tua tersebut. Membuat tubuh gadis itu terhempas.

Untungnya Lurah Wiratsemi bertindak cepat dengan menolong gadis putri


Senopati Reksotani. Sehingga tubuh gadis tersebut tak mengalami luka yang
lebih parah.

"Terima kasih, ki Lurah." ucap Rara Asih, yang masih merasakan pundaknya
bagai terhantam besi gligen.
P a g e | 684

Lurah Wiratsemu hanya mengangguk saja. Perwira muda itu lebih


memusatkan perhatiannya kepada lawan mereka yang tangguh, meskipun
usia lawannya sudah terbilang lanjut.

Orang tua berpakaian pendeta itu adalah salah seorang yang sangar
dihormati di kalangan pasukan Bang Wetan. Dialah Pendeta Padutapa,
pendeta sekaligus penasehat Raden Seganggeng adik ipar Panembahan Bhre
Wiraraja. Karenanya tak heran jika tandangnya sangat ngedab - ngedabi.

Kembali ke arah Kilatmaya, di mana pemuda bertopeng ini sedang melayani


lawannya yang juga memakai topeng dengan pakaian serba hitam. Keduanya
bagai membuat kalangan tersendiri yang cukup lebar. Dan terlihat betapa seru
perkelahian mereka.

Cepat dan cekatan diperagakan mendekati kesempernuaan dunia


kanuragan. Serta lambaran ilmu dari dua sumber berbeda mencari keunggulan
dalam menekan ilmu lainnya, terlihat jelas dari dua orang bertopeng berbeda
warna pakaian.

"Rasakan ini... !" seru orang bertopeng satunya, seraya melayangkan pukulan
ganda.

"Oh... Mengagumkan kisanak... !" sahut Kilatmaya, sembari beringsut sekaligus


membalas serangan.

Kembali keduanya memamerkan tata gerak - tata gerak penuh tenaga dan
tipuan yang mengagumkan bagi siapapun yang menyaksikan.

Kaki bergerak ke depan, tangan kanan menangkis sergapan terus kaki


beringsut, demi melingkari tubuh lawan dan desss... Satu sentuhan dapat
membuat orang bertopeng berpakaian hitam bergeser satu tindak. Meskipun
begitu rupanya orang itu sempat menyarangkan tangannya ke pundak
Kilatmaya, yang mampu membuat Kilatmaya harus merasakan pedih di
pundaknya.

Sentuhan demi sentuhan terus meningkat seiring berjalannya waktu. Demikian


juga ilmu keduanya terus menanjak semakin tinggi menggetarkan udara
disekitar mereka. Terlihat tubuh masing - masing terlapisi cahaya samar
P a g e | 685

berbeda warna. Dimana warna merah menyelimuti orang berpakaian hitam,


sedangkan Kilatmaya menyeruak adanya cahaya kuning keemasan.

Itulah dua ilmu yang menyerupai ilmu kebal dengan sebutan berbeda.
Niscala Praba diperuntukan untuk ilmu Kilatmaya yang bersumber dari kitab
Cakra Paksi Jatayu, peninggalan raja Bedahulu di Bali Dwipa dan Prabu
Airlangga. Lain halnya sebutan ilmu lawannya yang berwarna merah, yaitu ilmu
Prahara Geni tingkat tertinggi yang dapat dikendalikan untuk mengamankan
tubuh penggunannya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 10 bagian 23
oleh : Marzuki

Bunyi letupan kecil semakin terus terdengar tatkala ilmu Niscala Praba
bergesekan dengan ilmu Prahara Geni. Asap samar pun juga terlihat dari akibat
yang ditimbulkan oleh dua ilmu mendebarkan tersebut. Tak pelak membuat
kagum bagi masing - masing hati.

"Inikah orang yang diceritakan oleh Panji Menak Sengguruh dari Puger itu ?"
batin orang bertopeng hitam yang ternyata Lintang Kemukus.

Rupanya Kilatmaya pun mengagumi ilmu lawannya, sehingga disela


menghadapi lawannya, ia pun membatin, "Hm... Orang ini berilmu tinggi."

Keduanya terus berusaha mengungguli lawan satu dengan lainnya. Adu siasat
melalui gerekan - gerakan dahsyat terus bergulir semakin hebat. Tata gerak
rumit penuh kembangan dan tenaga menyeruak mengakibatkan gelombang
mendeeu - deru penuh ancaman. Hingga debu dan dedaunan kering
berhamburan terkena getahnya.

Suatu kali sembari meloncat, Lintang Kemukus menggerakan tangannya yang


menyebabkan munculnya gelembung merah menyala melabrak lawannya.
Gelembung itu hampir saja mengenai sasaran jikalau, orang bertopeng berbaju
kuning kecoklatan terlambat menghindarinya. Sehingga hanya mengenai
tanah dan menjadikan tanah berlubang dengan asap mengepul dari lubang
tersebut.
P a g e | 686

Mengetahui ilmunya dapat dihindari lawan, Lintang Kemukus merasa


penasaran. Oleh karenanya, kecepatan geraknya semakin ia tingkatkan selapis
lebih tinggi. Tak heran jika tubuhnya seperti bayangan saja, saking cepatnya.

Kilatmaya tak tinggal diam. Meskipun tubuhnya berada dalam lindungan aji
Niscala Praba, pemuda ini tak mau membiarkan lawannya dengab mudah
mengenainya. Oleh sebab itulah segala daya upaya ia kerahkan untuk
mengikuti permainan dari lawannya. Cepat dan tangkas kaki Kilatmaya bak tak
menginjak tanah.

"Benar - benar lawan yang tangguh yang dimiliki oleh Demak.. " ucap Lintang
Kemukus.

"Andai saja ia berada dipihak Panembahan Bhre Wiraraja, tentu kami semakin
mudah menggulung orang - orang Demak." kembali Lintang Kemukus berucap
dalam hati.

Dalam pada itu, Kilatmaya sekaligus Arya Dipa, mencoba meraba apa yang
dipikirkan lawannya. Gerakan lawan yang agak melambat tentu ada sesuatu
yang sedang dipikirkan oleh lawannya. Dengan ucapan yang bersahabat,
Kilatmaya mencoba mencari tahu jati diri lawannya yang juga memakai
topeng seperti dirinya.

" Kisanak..!" tegur Kilatmaya tanpa mengurangi kewaspadaannya dan madih


melayani lawannya, "Mengapa kisanak ini berusaha melawan pranatan yang
berhak melanjutkan kebesaran Wilwatikta ini ?"

"Huh... Kau tahu apa dengan trah yang malah merusak apa yang telah
didirikan oleh Raden Wijaya ?" bantah Lintang Kemukus, "Dengan alasan palsu
mereka mengobrak - abrik keraton Wilwatikta dan mengusir serta memburu
Prabu Brawijaya Pamungkas !"

"Itukah yang kau maksud sebagai penerus sah Wilwatikta, kisanak !?" seru
Lintang Kemukus.

Kilatmaya sedikit banyak mengetahui apa yang terjadi di tanah Jawa Dwipa
ini di saat - saat akhir tenggelamnya sang surya langit Majapahit. Tentu sangat
keliru apa yang diucapkan oleh lawannya yang menuduh Demak sebagai
P a g e | 687

biang kehancuran Majapahit. Malah Demak-lah yang masih menjadi


kadipaten Glagahwangi dapat mengamankan beberapa pemberontakan
kadipaten - kadipaten yang mbalelo terhadap Majapahit.

Tetapi adanya pergerakan pasukan Demak ke Wilwatikta yang mengusir


prabu Giriwardhana dari Kadiri, menjadikan hal itu sebagai fitnah yang merusak
citra Raden Patah dan Demak. Banyak orang - orang yang membenci Demak
menyebarkan warta palsu berupa fitnah terhadap putra Prabu Brawijaya
tersebut.

"Rupanya kisanak ini salah seorang yang mengikuti pemikiran pihak yang tidak
suka terhadap trah Demak. Tentu saja sangat sulit pemahaman kita untuk
bertemu dalam satu titik."

"Huh.. Memang kenyataannya kamilah yang berada dalam perjuangan yang


lurus dan benar, kisanak !"

"Kebenaran macam apa yang kisanak maksud ?" tanya Kilatmaya.

"Kebenaran nyata berupa wahyu keraton yang seharusnya milik


Panembahan Bhre Wiraraja. Karena dialah yang pantas duduk di dampar
kencana Wilwatikta, dan hanya sang Panembahan saja yang nyata dari garis
Amurwabumi serta Kertarajasa !" ungkap Lintang Kemukus.

Kilatmaya mencoba meloncat menjauh menjaga jarak. Tindakan ini bukanlah


karena ia jerih, melainkan sebuah tindakan untuk menanggapi perkataan
terakhir Lintang Pamungkas yang dirasakan sangat janggal.

" Bila itu hak orang yang kau sebut sebagai Panembahan Bhre Wiraraja,
mengapa kalian tidak pergi ke Wilwatikta yang kini menjadi kadipaten
Japanan ? Dan menjadikan tempat itu sebagai pusat kerajaan yang kau
agung - agungkan itu, kisanak ?!"

Ucapan Arya Dipa memang tepat mengenai dada Lintang Kemukus dan
membuat tangan kanan Panembahan Bhre Wiraraja mengatupkan mulutnya.
Orang itu tak mengira jika lawannya dapat berucap seperti itu. Hampir saja
Lintang Kemukus mengiyakan ucapan lawannya, jika saja gelora nafsu dalam
merengkuh kamukten tak mengusiknya.
P a g e | 688

"Cukup.... !" teriak Lintang Kemukus, "Lebih baik kita tuntaskan permainan kita
dengan menggunakan jaya kawijayan !"

Kilatmaya hanya menghela nafas saja.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 10 bagian 24
oleh Marzuki

Perubahan mulai terjadi manakala Lintang Kemukus mulai menerapkan


ilmunya. Dua sosok menyerupai diri Lintang Kemukus muncul dari balik tubuh
orang bertopeng berbaju hitam tersebut. Rupanya ilmu langka dari jenis aji
Kakang Pambarep Adi Wuragil dimiliki oleh tangan kanan Panembahan Bhre
Wiraraja.

Sosok asli dari Lintang Kemukus berdiri bersedekap berada di tengah sosok
lainnya. Namun kemudian saat kedua tangan Lintang Kemukus terurai, dua
sosok lainnya langsung bergerak menyilang menyerang Kilatmaya. Dua sosok
itu menyerang gencar tanpa ampun yang membuat lawannya terus
menggeser kaki surut kebelakang, demi menghindari ganasnya serangan.

Dimana tangan sosok satunya melakukan sodokan ke tubuh lawan dan


lawan menghindar, maka sosok lainnya sudah menanti dengan ancaman
nyata yang tak olah - olah akibatnya. Hal itulah yang menjadikan Kilatmaya
berhati - hati sekaligus meningkatkan ilmu meringankan tubuh lebih tinggi lagi.
Bila kurang cepat, tak pelak tubuhnya akan lumat tertumbuk tenaga lawannya.
Sehingga semakin serulah perkelahian yang melibatkan Kilatmaya dan dua
sosok Lintang Kemukus.

Selapis demi selapis segala ilmu meningkat untuk melayani tandang lawan
yang ngedab - ngedabi. Lapisan Niscala Praba dalam menyelimuti tubuh
Kilatmaya semakin terang dan menyilaukan. Belum lagi ditambah kegesitan
kakinya yang bergerak kian kemari layaknya bilalang saja. Ini menunjukan
betapa pemuda bertopeng tersebut bersungguh - sungguh dalam
menghadapi lawan yang tangguh itu.
P a g e | 689

Hentakan demi hentakan berlangsung seru dan mendebarkan. Perkelahian di


tengah antara Kilatmaya dan Lintang Kemukus yang sama - sama memakai
topeng, menjadikan pertarungan tersendiri dari sebuah kalangan. Bahkan
pasukan kedua belah pihak, seakan - akan menyingkir dari arena.

Tengah berlangsungnya pertempuran, dua sosok yang menyerupai Lintang


Kemukus merangsek ke depan secara bersamaan. Tata gerak yang
diperagakan sangatlah mirip satu dengan lainnya yang menimbulkan
gelombang dahsyat melanda Kilatmaya. Dan bukan hanya itu saja,
gelembung merah dari ilmu Prahara Geni ikut bergolak mencari mangsa.

Kejadian itu sangatlah mengerikan jika yang dihadapi hanyalah orang biasa
yang tak dibekali ilmu kanuragan dan kajiwan. Sekali gelembung merah
tersebut menyentuh kulit, akibat yang ditimbulkan bisa menjadikan kulit lumer.

Untung saja Kilatmaya adalah seorang pemuda yang mendapat karunia


berupa tubuh dan tulang bagus, serta mendapat pembelajaran dari kitab
Cakra Paksi Jatayu dan kitab dari Panembahan Anom. Sehingga walau
mendapat serangan berupa aji hebat serta menghadapi dua sosok dari ilmu
Kakang Pambarep Adi Wuragil, kemampuan Kilatmaya masih dapat
melayaninya dengan baik. Tak heran jika lawannya kagum dan penasaran
atas kemampuan pemuda berbaju kuning kecoklatan itu.

Karenanya, sosok asli dari Lintang Kemukus tak mau menunggu lagi. Terjadilah
kini seorang dikerubut tiga sosok Lintang Kemukus sekaligus. Seru dan sengitlah
apa yang terjadi. Serangan bertubi - tubi dari segala arah terus mencerca
pemuda unggulan dari Demak. Serangan dari sosok satu, dilanjut sosok kedua
dan disambung oleh sosok ketiga.

"Sehebat - hebatnya manusia, jika terus bergerak, tentu ia akan kelelahan


sendiri." barin Lintang Kemukus.

Tapi apa yang diperkirakan oleh Lintang Kemukus berbeda jauh. Kilatmaya
tidak menampakan kalau tubuhnya semakin melemah, malah tubuh itu
bertambah srbat dan cekatan dalam melakukan penghindaran serta serangan
balasan yang dapat mengejutkan Lintang Kemukus.

" Gila orang ini !" seru Lintang Kemukus dallam hati.
P a g e | 690

Belum lagi rasa geramnya tersapu, Lintang Kemukus dikejutkan oleh gerakan
lawannya yang srkali gerak dapat melenyapkan ilmunya. Dua sosok dari
ilmunya lenyap tak terbekas.

" Bangsat.... !" umpat Lintang Kemukus dengan kasarnya.

"Jagalah ucapanmu yang kasar itu, Lintang Kemukus." ucap Kilatmaya,


dengan sareh.

"Selain itu, lihatlah sekitarmu. Pasukan yang kau bawa dalam kesulitan jika
perang ini dilanjutkan." Kilatmaya mencoba memberikan waktu agar lawannya
memperhatikan sekitar.

Tanpa sadar Lintang Kemukus memperhatikan sekitarnya. Memang apa yang


diucapkan oleh lawannya, benar adanya. Hanya satu dua orang saja yang
masih berkelahi dengan hebatnya, salah satunya Pangeran Arya Singasari yang
menghadapi seorang kakek dan Pendeta Padutapa yang dihadapi seorang
lelaki.

"Hm... Lebih baik kami menyingkir dan mencari waktu yang tepat." batin
Lintang Kemukus.

Usai berpikir dan memantapkan untung ruginya, tangan kanan Panembahan


Bhre Wiraraja membunyikan isyarat. Sebuah isyarat menjalar kesemua pasukan
Bang Wetan itu langsung dapat dimengerti dan segera dilakukan. Maka
terjadilah perubahan cepat yang mampu membingungkan pasukan Demak.
Saat seperti itulah, dimanfaatkan bagi pasukan Bang Wetan untuk menarik
pasukan dengan tertib dan lenyap dibalik semak belukar hutan.

" Jangan dikejar !" seru Panji Gajah Sora, senopati Demak, "Rawatlah kawan
kalian dan kumpulkan yang telah mengorbankan nyawanya."

Perintah itu cepat dikerjakan oleh prajurit Demak. Satu persatu tubuh yang
terluka entah itu kawan maupun lawan segera mendapat pertolongan dari
tabib yang diikutkan. Serta tubuh prajurit yang tak bernyawa pun, tak
ketinggalan untuk dirawat semestinya.
P a g e | 691

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 10 bagian 25
oleh : Marzuki

Seekor kuda dari prajurit penghubung terdengar memasuki perkemahan


pasukan Demak di bawah senopati Panji Gajah Sora. Prajurit itu mewartakan
kalau pasukan Demak yang ikut membantu laskar Banyubiru berhasil
melumpuhkan gerombolan golongan hitam. Selain itu, sebuah pesan khusus
diperuntukan bagi orang bertopeng untuk bergegas ke padukuhan induk
Banyubiru.

Demi mendapati pesan khusus yang diperuntukan bagi dirinya, orang


bertopeng yang tiada lain Kilatmaya atau Arya Dipa, bergegas meninggalkan
perkemahan setelah mendapat ijin dari ki Panji Gajah Sora. Kilatmaya langsung
menuju rumah ki Buyut yang terlihat sibuk setelah menyelesaikan para
pengganggu telatahnya. Namun, terlihat duka mendalam ketika kaki
Kilatmaya melewati regol.

"Oh, kau adi Kilatmaya." tegur Sawungrana.

Kilatmaya mencoba bertanya kepada salah seorang pemimpin laskar


Banyubiru itu, "Apa yang sebenarnya terjadi, kakang ?"

Sawungrana menghela napas dan nada suaranya mengandung rasa sedih


yang mendalam, "Putra ki Ageng Lembu Sora tewas dalam pertempuran."

"Oh... Adi Arya Salaka-kah yang membunuhnya ?"

Kepala Sawungrana menggeleng, "Bukan. Ia mendapat luka parah dari Bugel


Kaliki."

Tentu saja Kilatmaya terkejut. Bukankah putra ki Ageng Lembu Sora datang
bersama Bugel Kaliki dan lainnya ? Bagaimana hal itu bisa menimpa sepupu
Arya Salaka ?

"Mari kita menaiki pendopo, adi. Sekalian akan aku ceritakan apa yang
terjadi." ajak Sawingrana.
P a g e | 692

Agar semakin jelas apa yang terjadi, Kilatmaya mengiyakan dan mengikuti
langkah Sawungrana yang berjalan membelah halaman menuju pendopo
kabuyutan.

Helaan napas terlihat dilakukan Kilatmaya setelah mengerti apa yang terjadi.
Tetapi sebuah rasa syukur sempat hadir saat mengetahui kalau Sawung Sriti
yang sadar akan kekeliruannya dan membantu Arya Salaka menghadapi
Bugel Kaliki. Meskipun pada akhirnya Yang Kuasa menentukan pati anak
tunggal ki Ageng Lembu Sora ditangan Bugel Kaliki.

Selain itu dari Sawungrana , Kilatmaya mengetahui keberadaan beberapa


orang golongan putih yang hadir ke telatah Perdikan Banyubiru. Tak tanggung -
tanggung, ki Ageng Sora Dipayana dan ki Ageng Pandan Alas hadir. Juga
nama seorang pemuda yang tak asing ditelinganya, Mas Karebet atau Joko
Tingkir yang disertai oleh ki Sembada atau ki Kebo Kanigara.

"Apa yang diucap oleh eyang Panembahan Ismaya, terwujud. Seseorang


yang berjodoh dengan kyai Sangkelat telah hadir." batin Kilatmaya.

Suasana semakin menyayat kalbu saat kaki menginjak pendopo. Di tengah


pendopo terbujur sosok tubuh yang ditutup kain jarit. Disampingnya seorang
lelaki yang rambutnya mulai beruban, menangis sambil terus menyesali nasib
putranya. Sedangkan di ruang dalam terdengar suara wanita yang menjerit -
jerit ditenangkan oleh beberapa wanita lainnya.

"Inilah maut. Sebuah pelajaran bagi yang menyaksikan. Saat ini tubuh
pemuda itu yang terbujur kaku. Dan entah besok atau kapan ? Giliran kita yang
akan mengalaminya." desis seorang kakek yang duduk didekat Kilatmaya.

Pemuda bertopeng itu mengiyakan apa yang diucapkan kakek itu. Dan
tanpa sadar Kilatmaya memandang wajah kakek yang duduk di dekatnya.
Oh.. Kejut melanda hati Kilatmaya.

"Kanjeng Sunan..."

"Hohoho... Bukan ngger, aku hanya kakek dari Kali Progo." desis kakek itu
perlahan, "Kau pasti mengertikan apa yang aku maksud ?"
P a g e | 693

Tubuh Kilatmaya bergetar, tetapi ia berusaha menenangkan perasaannya


supaya tidak memancing perhatian banyak orang. Pemuda itu tak mengira
akan menjumpai seorang suci yang pernah memberikan pelajaran baginya
berupa petuah kehidupan, saat di Kadilangu.

Saat itulah ditelinga Kilatmaya terdengar jelas sebuah suara merdu


mengajaknya berbincang. Dan ia yakin kalau suara itu beradal dari kakek yang
mengaku dari kali Progo, meskipun tak nampak gerak dari bibirnya.

"Panembahan Ismaya sudah memberitahukan mengenai tugas yang kau


emban, ngger. Kedatanganku saat ini ialah yang akan melanjutkan dalam
menyimpan kyai Sangkelat sampai waktu pusaka itu berada dalam pegangan
angger Karebet." kata kakek dalam pendengaran Kilatmaya.

"Kembalilah ke Karang Tumaritis. Suatu waktu kau bersama Panembahan


Ismaya akan kembali bersua dengan Mas Karebet juga Sultan Demak."

Kilatmaya mengangguk hormat. Sejenak setelah pamit, pemuda itu bangkit


berdiri dan meninggalkan pendopo

Panasnya Langit Demak jilid 11

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 11 bagian 01
oleh : Marzuki

Lewat setahun lamanya Arya Dipa berada di padepokan Karang Tumaritis.


Keberadaannya di padepokan Telomoyo merupakan kebahagiaan tersendiri
bagi para penghuni padepokan, khususnya bagi Panembahan Ismaya. Karena
selain sebagai kawan berbincang, pemuda ini ikut membantu majunya
padepokan Karang Tumaritis dalam berbagai bidang.

Selain itu, pemuda ini tak segan - segan memberikan sumbangsihnya dalam
bidang keprajuritan bagi cantrik yang akan mengabdikan diri mereka ke
kotaraja atau kadipaten asal mereka. Bekal dasar berupa pengalaman
pertama dalam dunia keprajuritan sangat berguna bagi para cantrik tersebut.
Juga kemantaban hati dalam meraih cita - cita selalu dipupuk tanpa
P a g e | 694

menimbulkan celah yang merugikan bagi diri meraka, yaitu dengan


menghindarkan sifat tamak terhadap palungguhan.

Cukup banyak cantrik padepokan Telomoyo yang memasuki pendadaran


yang diselenggarakan oleh kesultanan Demak. Untunglah bekal yang mereka
terima dari Arya Dipa yang dahulunya berpangkat Lurah prajurit, sangat
membantu dalam melewati beberapa tahap pendadaran. Semuanya lulus
dan diterima menjadi prajurit Demak tak terkecuali.

Sementara itu, di hutan yang dijadikan tempat berburu Kanjeng Sultan, telah
terjadi peristiwa yang menggemparkan. Seorang pemuda yang berjuluk
Kebodanu, marah besar dan akan mengobrak - abrik perkemahan di mana
Kanjeng Sultan Trenggono berada.

Kebodanu ini rupanya seorang pemuda yang berasal dari tanah perdikan
Banyubiru dan juga putra ki Ageng Gajah Sora. Juga dikenal dengan nama
Arya Salaka atau Bagus Handoko. Dengan membawa tombak pusaka kyai
Bancak, Kebodanu memimpin laskar Banyubiru yang terkenal trengginas serta
berpengalaman dalam menghadapi berbagai perang gelar atau pun perang
brubuh. Di dalam laskar itu juga hadir ki Mahesa Jenar atau ki Rangga Tohjaya,
seorang bekas perwira Manggala Demak dan sekaligus guru Kebodanu.

Laskar begitu banyaknya itu tentu saja cepat tercium oleh hidung tajam
prajurit telik sandi Demak. Maka bergegas mereka melaporkan pergerakan
pasukan yang tak dikenal itu kepada perwira pengawal Kanjeng Sultan.
Sehingga membuat pemimpin pengawal keprajuritan Demak gusar bukan
main. Pasalnya, prajurit yang mengawal Kanjeng Sultan dalam perburuan tak
lebih dari seratus orang saja.

"ki Lurah, ketiwasan..." seorang prajurit telik sandi, datang dengan napas
tersengal - sengal.

"Bicaralah yang jelas dan terang, prajurit.."

"Ki Lurah, sebuah pasukan tanpa tanda pengenal sedang ke mari.."

"He... !" Lurah pengawal itu terkejut, "Sudah di mana pasukan itu ?"
P a g e | 695

Kemudian prajurit itu menunjukan ancar - ancar saat dirinya melihat iringan
yang terlihat mengekor merayapi gumuk di barat dekat perkemahan. Terlihat
perwira atasannya menunjukan wajah tegang, meskipun kemudian ia berusaha
bersikap tenang dan berjalan menghadap senopati ki Panji Reksotani, untuk
melaporkan adanya pasukan yang tidak dikenal.

"Siagakan paukan pengawal dan perintahkan prajurit berkuda untuk mencari


bantuan terdekat." kata ki Panji Reksotani, setelah mendengar laporan dari
perwiranya.

Keributan itu tak lepas dari pendengaran Kanjeng Sultan Demak. Betapa
tenang sikap yang ditunjukan oleh putra ketiga Raden Patah itu. Menunjukan
sikap sebagai seorang raja yang penuh wibawa tatkala mendengar kalau
perkemahannya sedang dilanda prahara.

"Hm... Sudah waktunya, apakah ini sudah waktunya, eyang ?" ucap Sultan
Trenggono.

"Sepertinya begitu, Cucunda Sultan." jawab seorang bangsawan tua yang


duduk di samping Sultan Trenggono.

Sultan Trenggono mengangguk perlahan. Diliarkan pandangannya ke


segenap penjuru ruang perkemahan. Mata penuh wibawa itu menatap dua
pemuda yang ia kenal lahir dan batinnya. Pemuda pertama seorang yang
berkumis dengan mata mengandung keganasan, yang dimiliki oleh putra
mendiang Pangeran Sekar sedo ing lepen. Sedangkan satunya lagi yang duduk
dibelakang bangsawan tua, yang ia kenal sejak pertemuannya di alas
Ketonggo.

"Dua pemuda yang mempunyai sifat bagaikan langit dan bumi." batin Sultan
Trenggono, "Hm.. Mungkin bila aku tiada, Ananda Bagus Mukmin akan
mendapat gangguan dari Ananda Arya Jipang. Meskipun saat ini ia tak berani
menunjukan sikapnya secara terang - terangan terhadapku."

Kemudian renungan Sultan Trenggono tertuju kepada pemuda satunya.


Harapan besar telah ia tujukan kepada pemuda yang duduk di belakang
bangsawan tua. Seorang pemuda berbaju kuning kecoklatan yang pernah
mendapat hukuman berupa larangan memasuki kotaraja Demak.
P a g e | 696

"Pengabdiannya sangat besar terhadap Demak. Waktu pendadaran ia


mampu memimpin regunya dalam menumpas gerombolan di pesisir utara. Lalu
ia juga pernah membuat pasukan di barat Jipang cerai berai, saat akan
menyergapku. Juga terdengar kalau ia pernah menghadapi perwira Bang
Wetan saat akan menyusup lewat Banyibiru." kata Kanjeng Sultan Trenggono.

"Meskipin sejak awal ia akan aku anugerahi berupa warisan peninggalan


kakeknya, paman Tumenggung Mahesa Praba, ia menolak dan memilih
menjadi prajurit dasar. Hm... Apakah ini didikan ki Panji Mahesa Anabrang atau
Resi Puspanaga ?"

Lamunan Sultan Trenggono buyar manakala di luar sudah terdengar hiruk


pikuk beradunya senjata. Rupanya pasukan yang dipimpin oleh Kebodanu
sudah meluber memenuhi perkemahan dan menjadikan pertempuran yang
seru. Meskipun pasukan pengawal terlihat terdesak, Sultan Trenggono belum
memerintahkan orang - orang yang berada dalam ruang perkemahan, untuk
bergerak.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 11 bagian 02
oleh : Marzuki

Malam sebelum terjadinya penyerbuan, dua sosok bayangan dengan sebat


melintasi semak belukar dan gerumbul perdu. Tiada yang mengira jika salah
seorang dari sosok itu adalah Sultan Trenggono sendiri. Kanjeng Sultan yang
ditemani oleh ki Panji Reksotani mencoba mengamati sebuah perkemahan
yang didirikan oleh Laskar Banyubiru.

"Mohon maaf Kanjeng Sultan, mengapa kita biarkan orang - orang Banyubiru
dan Pamingit itu ?'" sebuah suara mengajukan pertanyaan.

"Bersabarlah, ki Panji. Kita ke sini hanyalah mengamati saja." jawab sosok


satunya.

Perkemahan yang diamati itu sangatlah ketat dengan penjagaan yang


rapat. Menunjukan betapa Laskar ini setara dengan keterampilan seorang
prajurit saja. Tak heran hal itu membuat Kanjeng Sultan memuji kesigapan
daripada Laskar itu. Itu semua tak lepas dari tuntunan yang diberikan oleh
seorang bekas prajurit Wira Manggala.
P a g e | 697

"Lihatlah, ki Panji. Tohjaya sangat terampil dalam melakukan pembelajaran


terhadap pengawal - pengawal Banyubiru."

Ki Panji Reksotani mengangguk, "Benar, Kanjeng Sultan. Walau begitu


akankah bentrokan harus terjadi di esok hari ?"

"Ijinkanlah, hamba untuk bertindak." ki Panji Mencoba mendapatkan perintah


untuk mengobrak - abrik perkemahan Laskar Banyubiru.

Kembali Sultan Trenggono menggelengkan kepalanya. Sebenarnya putra


ketiga Raden Patah itu juga tak senang dengan tindakan yang dilakukan oleh
Laskae Banyubiru yang dipimpin oleh Arya Salaka. Tetapi seseorang mencoba
menenangkan hati Sultan Trenggono dan mengatakan kalau itu semua
hanyalah sebuah permainan saja.

Dalam pada itu, dua sosok muncul mendekati Sultan Trenggono dan ki Panji
Reksotani. Seorang yang lanjut usia dan seorang lagi masih muda. Kedua sosok
itu mengucapkan salam dan mengangguk hormat.

"Oh, kau rupanya eyang." ucap Sultan Trenggono.

Orang yang dipanggil eyang itu tersenyum, "Rupanya Cucunda memastikan


dengan menilik secara langsung."

Lalu lanjutnya, "Malam ini tak akan terjadi apa - apa, Cucunda. Gajah Sora
dan Tohjaya tentu akan selalu menjaga Arya Salaka sampai esok hari."

"Hm.. Eyang, lalu bagaimana nanti jika para Nayaka Praja di kotaraja jika
mendengar apa yang terjadi di bukit Prawoto ? Bukankah mereka akan
menudingkan telunjuk ke Banyubiru untuk digulung karena telah melakukan
penyerangan terhadapku ?"

Orang tua yang ternyata Panembahan Ismaya itu, menggelengkan


kepalanya.

"Cucunda pasti dapat menjelaskan dengan gamblang. Kalau itu semua


hanyalah salah paham saja." kata Panembahan Ismaya, lalu lanjutnya, "Putra ki
Ageng Banyubiru sedang gelap mata karena calon istrinya dilarikan seseorang
yang berada dalam perkemahan Cucunda. Dan menganggap Cucunda
berpihak kepada orang yang membawa kabur calon istri Arya Salaka."
P a g e | 698

"Hm... Kau dengar sendiri ki Panji Reksotani."

"Kasinggihan dawuh, Kanjeng Sultan." sahut ki Panji Reksotani.

"Tak mengapa. Dengan dirimu aku sangat percaya." kembali Sultan


Trenggono berkata kepada ki Panji Reksotani, lalu dipandangi wajah seseorang
yang berdiri dibelakang Panembahan Ismaya, dan katanya, "Kilatmaya.."

"Hamba, Kanjeng Sultan." sahut Kilatmaya atau Arya Dipa, sembari


mengangguk hormat.

"Eyang Buntara dan Kanjeng Sunan Kalijaga sudah mengatakan semua


tentang tugas yang kau emban. Meskipun kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten tak
dapat kau dapatkan, tetapi kau sudah mendapatkan kyai Sangkelat dengan
membenturkan jiwamu menghadapi tokoh kanuragan dari Bang Wetan."
sejenak Sultan Trenggono menghirup napas dan kemudian lanjutnya,
"Karenanya, kau mulai malam ini mulai bebas dari hukumanmu dan kau akan
kembali mendapatkan palungguhanmu sebagai Lurah Wira Tamtama."

Getar hati pemuda itu bercampur aduk tak karuan. Akhirnya ia dapat
kembali memasuki dunia keprajuritan dan dapat mengabdikan diri dekat
dengan Demak.

"Hamba, Kanjeng Sultan."

"Dan untuk Eyang, aku harap mau mengikutiku ke perkemahan sampai


kejadian ini tuntas sampai akhir."

"Apakah ini menjadi sebuah tanggungan yang aku pikul, Cucunda ?" tanya
Raden Buntara dengan senyum mengembang.

Kanjeng Sultan-pun terlihat tersenyum, "Nasehat - nasehat dari Eyang-lah


yang membuatku ingin menahan Eyang untuk tinggal sementara di bukit
Prawoto."

Ke-empat orang itu kemudian bergerak menuju perkemahan pasukan Demak


tanpa sepengetahuan para pengawal prajurit.
P a g e | 699

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 11 bagian 03
oleh : Marzuki

Sinar terik sang surya rupanya tak seperti hari sebelumnya. Kali ini suara
hentakan dan gesekan senjata terdengar meramaikan bukit Prawoto. Seorang
anak muda dengan tandang yang mendebarkan membuat beberapa prajurit
terhempas.

"Minggir kalian ! Mana Karebet... !" seru pemuda itu.

" He.. Siapa kamu yang berteriak lancang di depan perkemahan Kanjeng
Sultan !" bentak seorang Lurah prajurit.

Sambil bertolak pinggang Arya Salaka berkata lantang, "Inilah aku


Kebodanu... !"

"Pemuda kurang tata... !" bentak Lurah prajurit dengan kerasnya sambil berlari
menyerang Kebodanu.

Pedang tajam Lurah prajurit sudah terlepas dari warangkanya dan menebas
tubuh lawannya. Namun rupanya lawan yang terlihat masih sangat muda itu,
dengan mudah menghindari senjatanya. Bahkan sebuah sentuhan dari tangan
lawan mengakibatkan pergelangan tangannya bagaikan diselomoti api.
Hampir saja pedangnya lepas dari pegangan andai saja Lurah prajurit itu tak
dapat mempertahankan dengan sekuat - kuatnya.

Tak ingin diremehkan seperti serangan pertama, Lurah prajurit kembali


bertindak. Kali ini ia lebih bersungguh - sungguh dengan mengerahkan tenaga
dan kemampuannya. Cukup hebat juga tata gerak Lurah prajurit dari Wira
Manggala ini. Kakinya yang secepat mengisar tanah telah bergerak
menendang dada lawan. Bukan hanya itu saja, serangan itu berlanjut
menggunakan pedangnya mengarah lawan yang akan kembali menghindari
serangan pertama tadi.

"Triiing... !"

Wajah Lurah Wira Manggala menegang manakala mendapati pedangnya


rompal dan hampir saja tubuhnya terkena gebukan tombak lawan. Tetapi
P a g e | 700

sebagai seorang prajurit, hatinya terlatih menjadikan ketabahan dalam


menghadapi maut yang datang sewaktu - waktu. Sebuah tata gerak meloncat
mundur demi mendapatkan luang telah diperolehnya, lalu sekuat - kuatnya
pedang ia lemparkan membidik tubuh lawan.

Bidikan itu bukanlah bidikan biasa. Sebagai anggota pasukan Wira Manggala
dan bahkan dengan jenjang kepangkatan Lurah, bidikan itu dilambari tenaga
cadangan. Dan Lurah prajurit itu sangat yakin jika bidikannya akan tepat
mengenai sasaran.

Tetapi sebuah rencana yang dianggapnya sangat matang, jauh dari


ketetapan yang diterima. Lawannya bukanlah lawan yang biasa, melainkan
seorang pemuda keturunan Sora Dipayana dari Banyubiru, sekaligus murid
kinasih dari Mahesa Jenar yang bersumber dari ilmu Pengging. Pedang yang
dilemparkan putung tak karuan akibat dari tebasan tombak kyai Bancak.

"Istirahatlah, ki Lurah.. " sebuah suara menegur Lurah prajurit.

Lurah prajurit dan Kebodanu langsung mencari sumber suara itu. Terlihatlah
seorang pemuda yang ditemani oleh seorang manusia memakai topeng.

"Karebet... !" geram Kebodanu, tetapi wajahnya seketika mengkerut


keheranan manakala memandang orang yang berada dibelakang Mas
Karebet, "Kakang Kilatmaya... ?"

"Iya, adi. Ini aku, Kilatmaya." sahut orang bertopeng, lalu katanya kembali,
"Hentikan tingkah lakumu ini, adi."

Sesaat Kebodanu mengalami kebimbangan. Ia tahu betul sosok bertopeng


itu. Tetapi demi melihat wajah Mas Karebet, api yang hampir redup telah
menyala kembali.

"Tidak kakang !" serunya, "Sebagai seorang yang jantan, aku akan mengobrak
- abrik siapa-pun yang berani melarikan calon istriku !"

Kilatmaya dibalik topengnya tersenyum, "Lalu, apakah Kanjeng Sultan juga


akan kau libatkan, adi ?"

"Lihatlah sekitarmu dengan nalar yang bening. Bila kau meneruskan apa yang
kau lakukan bersama Laskarmu, berarti seluruh kawulamu siap dicap sebagai
P a g e | 701

pemberontak. Dan bukankah kau tahu hukuman bagi mereka yang


memberontak sebuah pemerintahan yang sah ?!" kembali Kilatmaya bersuara.

Belum lagi Kebodanu menjawab, Mas Karebet telah mendahuluinya,


"Sudahlah, kakang Kilatmaya. Biarlah aku yang berbicara dengan adi Arya
Salaka."

Kilatmaya mengangguk. Sedangkan Arya Salaka terlihat napasnya kembang


kempis menahan kemarahan.

"Dengarlah, adi Salaka. Hentikan pertempuran antara Laskarmu dengan


pasukan pengawal Kanjeng Sultan. Biarlah kita yang melakukan perang
tanding." kata Mas Karebet.

Arya Salaka akhirnya menerima tantangan dari putra ki Ageng Pengging


Anom itu. Isyarat melalui tangannya telah menghentikan pertempuran yang
terjadi. Tergantikan sebuah perang tanding yang melibatkan dirinya dengan
Mas Karebet.

Sementara itu tak jauh dari medan, seorang pemuda menunjukan wajah
masam. Pemuda berpakaian layaknya seorang bangsawn itu terlihat tak
menyukai apa yang terjadi di depan perkemahan Kanjeng Sultan Demak.

"Paman Tumenggung, sebaiknya kita pergi saja." desis pemuda itu.

"Tenangkan hati Raden. Kita lihat sampai tuntas permainan itu." sahut orang
yang dipanggil Tumenggung itu.

Kembali ke tengah kalangan, kedua pemuda yang masing - masing memiliki


kemampuan mendebarkan itu, saling mempersiapkan diri. Kuda - kuda kokoh
terlihat sama, menandakan tata gerak yang mereka lakukan dari sumber yang
sama. Arya Salaka dan Mas Karebet mencoba mengadukan ilmu dari sumber
Pengging.

"Hiaaaaat.... !"

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 11 bagian 04
oleh : Marzuki
P a g e | 702

Teriakan dahsyat mengawali adu kerasnya tulang, liatnya daging. Olah


kanuragan dari sumber yang sama berbenturan dengan serunya. Loncatan
kecil dan panjang ikut nampak mengiringi sentuhan - sentuhan ke tubuh masing
- masing lawan. Yang tentunya ditanggapi dengan menghindarkan serangan
dengan cara mengisarkan tubuh, melengos, atau-pun melenting jauh.

Semua orang yang melihat sungguh kagum dengan apa yang mereka lihat.
Tetapi tidak sedikit yang cemas mengenai keduanya, yaitu ki Mahesa Jenar, ki
Ageng Gajah Sora, ki Kebo Kanigara, Rara Wilis, Endang Widuri dan yang
lainnya.

"Adi Mas Karebet, tentu dapat mengekang dirinya. Dan jika perlu, Eyang
Panembahan atau Kanjeng Sultan akan melerainya." desis Kilatmaya.

Suatu kali tangan Kebodanu melaju dengan keras menyasar dada Mas
Karebet yang terlihat terbuka. Sekilas, Mas Karebet tak bergerak sedikit pun
karena waktu untuk menghindar atau-pun menangkis sudah terlambat.
Kepastian yang bakal terjadi tentu luka yang didapat oleh putra mendiang ki
Ageng Pengging Anom.

"Desss..... "

Tangan keras Kebodanu berhasil mengenai dada lawannya. Namun raut


wajah lawannya tak menampakan rasa sakit, meskipun tubuhnya terdorong
dua - tiga tindak. Bahkan kuda - kuda yang kokoh sudah terpasang berlanjut
tata gerak yang cepat penuh tenaga.

"Apa tenaga banteng Banyubiru hanya sampai disini ?!" ucap Mas Karebet.

"Huh... " geram Kebodanu, sembari beringsut menghindari tapak tangan


lawan.

Berlanjut-lah perkelahian itu disaksikan puluhan pasang mata. Tata gerak


yang rumit dan penuh tenaga seiring waktu terus meningkat. Peluh yang mulai
membasahi badan dan pakaian menjadikan keduanya bagai dua banteng
yang merebutkan betinanya. Saling pukul, terus terulang bersamaan
datangnya sepakan keras atau-pun dupakan penuh bahaya.
P a g e | 703

Adu ilmu terus berlanjut sampai merambah tenaga cadangan. Udara


disekitar keduanya mulai bergolak teraduk ganasnya tenaga jiwa muda
Kebodanu putra Banyubiru dan Mas Karebet putra Pengging. Tanah yang
dipijak bagaikan terkena bajakan petani dan daun yang menguning
berhamburan jatuh lunglai ke bumi. Begitu-pun dengan para prajurit dan
Laskar, menyingkir agak menjauh supaya tak terkena angin yang tajam akibat
ilmu dua pemuda digdaya.

Di kala itu, sosok pemuda yang tiada lain Raden Arya Jipang, terlihat
mendongkol dengan tingkah laku dari Kebodanu dan Mas Karebet. Dalam hati
pemuda itu, terbersit rasa tak senang terhadap keduanya. Apalagi diakhir -
akhir ini, Raden Arya Jipang mendengar desas - desus mengenai putri
pamannya yang akan dikawinkan dengan pemuda dari Pengging. Padahal
pemuda itu hanyalah prajurit rendahan yang pernah melakukan kesalahan
saat penerimaan prajurit baru Demak.

"Paman Tumenggung.. "

"Iya, Raden." sahut orang disamping Raden Arya Jipang.

"Sebenarnya siapa pemuda Karebet itu ?"

"Hm... Menurut laporan orang - orang kita, dia putra angkat nyi Ageng Tingkir.
Dan ternyata, dia merupakan putra mendiang Raden Kebo Kenanga dari
Pengging."

"Raden Kebo Kenanga yang mendapat hukuman dari bapa guru Sunan
Kudus itukah ?" tanya Raden Arya Jipang.

Orang yang disebut paman Tumenggung itu mengangguk, "Benar, Raden.


Orang yang mendapat hukuman dari Sultan Demak pertama, karena
menganut ilmu Manunggaling Kawulo Gusti dari Syeh Lemah Bang."

"Hm... Bila perkawinan itu berlangsung, itu sebuah tanda kalau pamanda
Sultan Trenggono sudah terbalik hati dan pikirannya." desis Raden Arya Jipang.

"Aduh, Raden. Mohon jangan berkata yang membahayakan jiwa Raden.


Tempat ini banyak orang - orang yang tak sepaham dengan kita." bergegas
orang itu menegur Raden Arya Jipang.
P a g e | 704

"Ingat Raden, kekuatan kita barulah sekuku ireng bila dibandingkan kekuatan
mereka. Serta waktunya belumlah menguntungkan bagi perjuangan kita."
kembali orang itu berkata pelan.

Mendengar itu, Raden Arya Jipang mengangguk dan membenarkan.


Meskipun dalam hati tersimpan bara yang bergejolak hebat untuk
menghanguskan orang - orang yang terlibat atas kematian Ayahnya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 11 bagian 05
oleh Marzuki

Tak terasa perang tanding antara Arya Salaka dan Mas Karebet sudah hampir
mendekati akhir. Keduanya siap mengungkap ilmu pamungkas masing -
masing. Nampak semakin nyata diperlihatkan bagaimana Arya Salaka
memasang kuda - kuda yang kokoh dalam lambaran aji Sasra Birawa, warna
terang memercik dari kepalan tangan pemuda itu. Sedangkan di depan, tak
kalah menakjubkan adanya cahaya hijau kebiruan menyelimuti tubuh Mas
Karebet, yang sudah mempersiapkan aji Lembu Sekilan.

Beberapa wajah semakin tegang menyaksikan sikap daripada pemuda -


pemuda pilih tanding. Terutama ketegangan itu terpancar dari wajah ki Ageng
Gajah Sora, ayah Arya Salaka.

"Aku akan menghentikan semuanya... " desis ki Ageng Gajah Sora, perlahan.

Walau kata itu sangat lirih, ki Mahesa Jenar yang dekat dengan kepala tanah
perdikan Banyubiru itu, mendengar juga. Oleh karenanya dengan cepat ki
Mahesa Jenar menggamit kawannya supaya tak beranjak dari tempatnya.

"Tenangkan hatimu, kakang.. " bisik ki Mahesa Jenar.

Bagaimana bisa tenang seorang ayah yang akan menyaksikan anaknya


berhadapan dengan maut ? Ki Ageng Gajah Sora tahu betul kehebatan aji
yang diterapkan oleh Jaka Tingkir itu. Ilmu yang menurut penuturan dari orang -
orang tua dahulu, pernah dimiliki juga oleh Mahapatih Gajah Mada, mampu
melontarkan tenaga dahsyat yang dilancarkan lawan kembali kepemiliknya
lagi.
P a g e | 705

"Adi, Sasra Birawa akan mental ke tubuh putraku. Bagaimana aku dapat
bersikap tenang ?"

Ki Mahesa Jenar menghela nafas sejenak dan kemudian ucapnya,


"Percayalah dengan kemampuan putramu, kakang. Biarlah permainan ini
cepat selesai.."

Mata ki Ageng Gajah Sora hampir tak berkedip. Apa maksud dari ucapan
yang ia dengar dari kawan setianya iti ? Apalagi terlihat sunggung aneh disudut
sahabatnya.

Tiba - tiba suara ledakan keras terdengar menggemparkan bukit Prawoto.


Rupanya aji Sasra Birawa meluncur deras menghantam kokohnya benteng
kasat mata aji Lembu Sekilan. Debu tebal menghambur mengaburkan
pemandangan ditengah kalangan. Namun sesaat terlihat sesosok tubuh
mencelat dan bergulingan ke tanah.

"Putraku..... !" teriak ki Ageng Gajah Sora dan ki Mahesa Jenar.

"Adi Salaka.... " seru Kilatmaya.

Memang kedahsyatan aji Sasra Birawa sangatlah besar yang diterapkan oleh
Arya Salaka. Tetapi serangan itu membal ke tubuh pemuda itu kembali,
sehingga membuatnya mencelat. Untunglah pemuda itu sudah digembleng
oleh ki Mahesa Jenar dan beberapa orang tua, yang dapat membuat
tubuhnya tetap utuh dari gempuran balik tenaganya.

Perlahan Arya Salaka menyadari apa yang terjadi dan berusaha


mengumpulkan tenaganya untuk bersila dan melancarkan peredaran darah
dalam tubuhnya. Pening di kepala berangsur hilang, hanya saja dadanya
masih terasa sesak bagaikan tersumbat batu sebesar anak kerbau.

Saat itulah dari dalam kemah munculah beberapa orang dan mendekati
kalangan. Perbawa dari orang yang berada paling depan, mampu membuat
semua orang menunduk hormat. Rupanya Kanjeng Sultan Trenggono, sudah
berpikiran untuk saatnya menyelesaikan permainan ini. Tentunya ditemani oleh
Raden Buntara, salah seorang pangeran dari garis Majapahit.
P a g e | 706

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 11 bagian 06
oleh Marjuki

Dengan penuh wibawa, Kanjeng Sultan Trenggono memerintahkan agar


supaya perang tanding antara Mas Karebet dan Arya Salaka, dihentikan. Juga
tidak lupa meredekan suasana tegang yang menyelimuti bukit Prawoto dari
Laskar Banyubiru maupun, pasukan pengawalnya. Tidak ketinggalan, walaupun
sebagai seorang pemimpin tertinggi di tanah Jawa, beliau menyapa beberapa
orang sepuh yang hadir dalam permainan ini. Yaitu, ki Ageng Pandan Alas dari
Gunung Kidul dan ki Ageng Sora Dipayana dari Banyubiru.

"Agar suasana ini semakin semarak layaknya pertemuan antara kerabat


sendiri, sudilah kalian semua singgah ke barak perkemahanku." kata Kanjeng
Sultan Trenggono.

"Segala titah Kanjeng Sultan, kami junjung tinggi... " seru sekalian dengan
serentak.

Mereka pun dijamu dengan hangat oleh Sultan Trenggono. Seolah tiada
sesuatu yang terjadi saat sebelumnya. Dan memang kejadian tadi hanyalah
sebuah permainan yang diramu oleh Pangeran Buntara dalam rangka
mengembalikan Mas Karebet ke lingkup Demak. Juga menilik kehebatan Arya
Salaka dimata Sultan Trenggono, sehingga menjadikan putra Banyubiru
sebagai salah satu banteng bagi Demak, dimasa yang akan datang.

Bukan hanya itu saja, kegembiraan sang Sultan semakin bertambah


manakala juga hadir seseorang yang dahulu merupakan bagian Tamtama
pasukan Demak, yaitu ki Mahesa Jenar atau Rangga Tohjaya. Rangga yang kini
menjadi seorang yang dielu - elukan oleh kawula alit sebagai seorang yang
berlaku kebajikan dalam menumpas segala tindakan yang menyimpang dari
paugeran. Dia juga yang sangat gigih dan bertanggungjawab mencari pusaka
Demak yang hilang dengan mempertaruhkan jiwa raganya, hingga dirinya
telah dalam mengarungi mahligai rumah tangga. Itu semua sudah terpikirkan
oleh Sultan Trenggono setelah mendengarnya dari Pangeran Buntara.

Karenanya, setelah menjelaskan dan menerangkan kejadian yang baru saja


terjadi, Kanjeng Sultan Trenggono dan Pangeran Buntara menyanggupi seluruh
P a g e | 707

keberlangsungan pernikahan antara ki Mahesa Jenar dan Rara Wilis cucu ki


Ageng PandanAlas. Serta pernikahan Arya Salaka dan Endang Widuri.

Bukan hanya itu saja, hal paling utama akan terjadi di kotaraja, dimana Putri
Mas Cempaka akan disandingkan dengan Mas Karebet. Tentu saja warta itu
membuat semua yang hadir meluapkan kegembiraan tak terkira. Rupanya
sebentar lagi akan berlangsung keramaian di kotaraja dan Banyubiru. Kawula
akan mendapat hiburan kesenian tak hanya semalam saja, tapi sepasar tiada
henti - hentinya.

Dalam pada itu, Pangeran Buntara mendekati Kilatmaya. Digamitnya bahu


pemuda bertopeng itu dan diajak keluar. Udara diluar terasa lebih segar dan
membuat tubuh bergairah dalam mengucap rasa syukur.

"Angger, Kilatmaya.. " ucap Pangeran Buntara atau Panembahan Ismaya.

"Iya, Eyang Panembahan.. "

"Kau pun sudah waktunya membangun rumah tangga. Aku sudah


mendengar kalau ada seseorang yang merindukanmu di kotaraja." kata
Panembahan Ismaya.

Tak terasa kepala pemuda itu menunduk. Sekian lama ia meninggalkan


belahan hatinya yang rupanya masih setia menunggunya.

Belum lagi Kilatmaya menjawab, Panembahan yang sudah kenyang dengan


dunia ini, telah berkata sareh seakan disampingnya itu adalah cucunya sendiri.

"Kali ini kau harus memikirkan keadaan dirimu sendiri, ngger. Karena aku
merasakan untuk saat - saat ini Demak akan diselimuti kain tebal yang sulit
diguncang. Oleh karenanya, tepatilah janjimu kepada kekasihmu itu.."

Sebenarnya Kilatmaya atau Arya Dipa sendiri juga memikirkan apa yang
dibicarakan oleh Panembahan Ismaya. Hatinya sudah mantab untuk segera
membina rumah tangga bersama Ayu Andini. Karenanya ia-pun mengatakan
dengan sejujurnya niatnya kepada Panembahan Ismaya.

"Syukurlah jika angger berniat menyegerakan hubungan angger dengan


nimas Ayu Andini.. " ucap Panembahan Ismaya.
P a g e | 708

Waktu-pun berlalu dengan semestinya. Keris kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten
sudah menempati ruang pembedaharaan kesultanan Demak Bintara. Serta
beberapa waktu yang lalu, kotaraja nampak semarak dengan hiasan janur
menandakan adanya penyelenggaraan perkawinan Putri Mas Cempaka yang
disandingkan dengan Mas Karebet.

Tak berpaut jauh dari kotaraja, dikediaman Panji Mahesa Anabrang juga
melangsungkan perkawinan putra angkatnya, Arya Dipa. Penyelenggaraan
yang diadakan secara sederhana itu rupanya tak menyurutkan sanak kadang
yang bertempat jauh dari kotaraja. Hadir beberapa orang - orang yang sangat
mengagumi Arya Dipa, dari Bang Tengah maupun Bang Wetan. Begawan
Bancak atau Begawan Jambul Kuning bersama murid dan saudara
seperguruannya telah datang sepasar sebelumnya. Juga Resi Puspanaga yang
semakin tua tidak ketinggalan menyaksikan muridnya bersanding dengan putri
angkat Resi Citrasena.

Semaraklah kediaman ki Panji Mahesa Anabrang kala itu. Semuanya


membicarakan kebahagiaan saja dengan riuhnya canda tawa. Tak lupa
sebagian pemuda mencoba menggoda pengantin lelaki, hingga membuat
Arya Dipa merah pipinya dan menundukan kepalanya. Rupanya seorang
pemuda yang perkasa di medan perang, bertekuk lutut oleh candaan kawan -
kawannya. Aji Niscala Praba, Sepi Angin dan Gelap Ngampar tak berdaya
sedikit-pun.

Menjelang siang, serombongan orang berkuda meriuhkan jalan di depan


kediaman ki Panji Mahesa Anabrang. Rombongan itu ternyata adalah Kanjeng
Sultan Trenggono yang diiringi oleh Adipati Anom dan juga putra menantunya.
Bingunglah jadinya ki Mahesa Anabrang mendapati kunjungan sang nata
Demak, walau hanya sesaat.

Tak terlalu lama iringan Kanjeng Sultan berada dikediaman ki Panji Mahesa
Anabrang, setelah mengucapkan selamat serta memberi petuah, beliau-pun
kembali ke keraton, diantar oleh orang tua sampai di depan regol. Sepeninggal
Sultan Trenggono, kediaman ki Panji Mahesa Anabrang masih ramai dihadiri
sanak kadang dan undangan. Mereka bersuka cita atas menyatunya
hubungan Lurah Arya Dipa dan Ayu Andini, dalam membentuk sebuah
keluarga.
P a g e | 709

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 11 bagian 7
oleh : Marzuki

Setahun lamanya setelah kemelut di bukit Prawoto, suasana Demak terlihat


tenang tiada pergolakan. Pasukan Demak yang berada di Purbaya berhasil
mendesak pasukan Bang Wetan. Kini Purbaya untuk sementara dibawah
kendali Pangeran Timur, putra bungsu Sultan Trenggono.

Dalam pada itu, di Demak sendiri muncul warta yang mengatakan adanya
rencana Kanjeng Sultan untuk menyatukan telatah Bang Wetan ke dalam
naungan Demak Bintara. Namun, sebelumny rencana itu harus ditunda dahulu,
dikarenakan adanya sesuatu yang mendesak dan sangat penting. Yaitu
mengenai telatah Jipang dan Pengging.

"Kakang Patih, apakah Mas Karebet dan Arya Jipang sudah kau panggil ?"
tanya Kanjeng Sultan Trenggono disuatu kali.

Patih Wanasalam anom menghaturkan sembah dan barulah menyahut,


"Hamba, Kanjeng Sultan. Ananda berdua sudah tiba dan siap menghadap."

"Hm.. Suruh keduanya menghadap.. "

Patih Wanasalam Anom memberikan isyarat kepada prajurit dalem untuk


memanggil Mas Karebet dan Arya Jipang. Dan tak berselang lama, dua lelaki
muda dengan perawakan gagah, memasuki ruang paseban dengan laku
ndodok. Keduanya menghaturkan sembah layaknya seorang abdi terhadap
gustinya, dan duduk bersila dengan kepala menunduk menatap lantai.

"Ananda berdua.. " ucap Sultan Trenggono.

"Hamba, Pamanda Sultan.. " sahut Arya Jipang.

Sedangkan Mas Karebet juga tak ketinggalan, "Hamba, Ayahanda Sultan.. "

Kanjeng Sultan mengangguk dan menjelaskan kenapa beliau memanggil


keduanya. Tiada lain pemanggilan keduanya mengenai berlangsungnya tata
prajan di telatah Jipang maupun Pengging yang sudah lama kosong dari
seorang penguasa. Maka untuk mengisi kekosongan itu, Sultan Trenggono yang
sebelumnya sudah memperundingkan dengan sesepuh Kesultanan,
P a g e | 710

menetapkan Arya Jipang sebagai Adipati baru di Jipang, dan juga


menetapkan Mas Karebet menjadi Adipati di bekas telatah Pengging.

Kemurahan berupa pengangkatan kedua pemuda pilih tanding itu,


membuat keduanya bergegas mengucapkan banyak terima kasih. Tetapi agak
berbeda dengan apa yang ada dalam hati Arya Jipang. Putra mendiang
Pangeran Sekar itu menganggap kalau pengangkatan dirinya sangatlah
lumrah, dan terkesan ada niat dibalik semua itu. Terutama ini menyangkut
hubungan dirinya dengan pamannya, yang ia yakini ikut melenyapkan
ayahandanya.

Meskipun begitu, ia masih sadar siapa dirinya. Saat ini jalan yang paling baik
ialah berlaku tenang tanpa menimbulkan gejolak, seperti yang dipesankan
oleh Tumenggung Prabasemi atau-pun Tumenggung Haryo Kumara. Bahkan
jika ia menerima pengangkatannya menjadi penguasa Jipang, ia akan lebih
leluasa menggalang kekuatan sebanyak - banyaknya. Apalagi saat ini
padepokan Sekar Jagat dibawah kepemimpinan Patih Mentahun, sepenuh
tenaga mendukungnya. Juga beberapa perguruan disekitar Jipang.

Maka sudah ditetapkan oleh Kanjeng Sultan, secepatnya kedua pemuda itu
dengan didampingi oleh seorang Panji per-orangnya, akan mempersiapkan
segala bentuk alat pemerintahan sebuah kadipaten. Mulai dari bangunan
kadipaten, Nayaka Praja, perbendaharaan, umbul - umbul berupa rontek
maupun panji dengan lambang bercirikan kadipaten tersebut, serta
kelengkapan prajurit. Tak ketinggalan kadipaten itu harus menetapkan
pamong praja dibawahnya dengan baik.

Jika Jipang yang hanya melakukan perubahan sedikit, lain halnya dengan
telatah bekas Pengging. Mas Karebet harus bekerja dengan keras untuk
kembali meramaikan kadipaten yang akan dipimpinnya. Karenanya ia
meminta bantuan uwaknya dan beberapa sesepuh, dalam membentuk
kekuasaannya atas limpahan dari Demak. Dan atas pertimbangan dari uwanya
ki Kebo Kanigoro, dicarilah sebuah tempat yang tidak terlalu jauh dari bekas
kadipaten Pengging. Disanalah nantinya sebuah bangunan akan didirikan.

Di kala pembangunan mulai dilaksanakan, Mas Karebet tiada menyangka


kalau kawan - kawannya banyak yang datang dan membantunya. Dari Sela
sebuah iringan dipimpin oleh Pemanahan dan Penjawi datang dengan
P a g e | 711

peralatan yang memadai. Lalu Banyubiru nampak hadir putra ki Ageng Gajah
Sora, Arya Salaka disertai pengikutnya. Juga hadir dari Butuh dan Tingkir.

"Terima kasih, kakang berdua sudi datang kemari.. " ucap Mas Karebet
menyambut Pemanahan dan Penjawi.

"Hee, Adi. Bukankah kita bertiga sudah bersumpah dihadapan Kanjeng Sunan
Kalijaga, kalau kita akan selalu bersama ?" kata Pemanahan, "Karenanya
setelah kami mendengar kalau adi mendapar perintah membuka kembali
telatah ini, kami bergegas kemari."

"Benar, adi. Itu semua karena persaudaraan yang kita jalin." tukas Penjawi, "O,
ya. Kakang Juru Mertani menitipkan pesan kepadamu, Adi."

Mas Karebet baru menyadari kalau dari tadi ia tak melihat saudara
seperguruannya yang tertua, "Apa dia tidak ikut bersama kakang berdua ?"

"Begitulah.. Saat ini ada sesuatu hal yang harus ia kerjakan. Tetapi tenanglah,
suatu kali ia akan berkunjung kemari." jawab Penjawi.

Mas Karebet menggangguk. Ia pun juga menyambut sahabatnya yang lain.


Ada ki Wuragil, Wila dan Mas Manca dari Butuh, yang pernah bersamanya saat
menghadapi puluhan buaya putih. Semakin riuhlah suasana di tempat itu.

Di hari berikutnya, mulailah perkerjaan untuk meratakan tanah dari pohon,


ilalang, semak belukar atau-pun batu. Sebagaian yang lain mendapat tugas ke
Pengging untuk mengambil batu yang sudah dibentuk menjadi ompak.
Rupanya sebelumnya, ki Kebo Kanigoro sudah memesan ompak kepada
seorang pengrajin batu di Pengging. Lainnya lagi bertugas ke sebuah hutan
yang ditumbuhi pohon jati yang berukuran besar - besar, untuk nantinya
dijadikan tiang bangunan utama.

Pembagian tugas berjalan dengan baik. Pekerjaan di hari pertama berjalan


lancar tiada suatu halangan. Sebagian kecil sudah didirikan barak sementara
sebagai tempat bermalam serta tidak lupa sebuah dapur telah siap menjadi
penopang para pekerja. Karena dari dapurlah sebuah tenaga sangat
diperlukan oleh seorang manusia yang mengerjakan tugas sehari - hari.
P a g e | 712

Sang waktu berjalan tiada henti. Semakin hari telatah yang sebelumnya
sebuah hutan, mulai menampakan suasana baru sebuah permukiman. Sebuah
pagar terlihat berdiri mengelilingi beberapa bangunan dengan kokohnya.
Bukan hanya itu saja, di dalam pagar setinggi dua kali orang dewasa itu juga
mulai terbentuk sebuah paugeran dan tata pemerintahan. Mas Karebet
bersama - sama orang - orang tua seperti ki Kebo Kanigoro, ki Ageng Butuh, ki
Ageng Ngerang, ki Ageng Banyubiru dan ki Ageng Selo, mulai membentuk tata
prajan yang akan memilah dan menempatkan orang - orang yang tepat. Oleh
karenanya, dengan hati - hati mereka menilai siapa saja yang pantas berada
dalam susunan nayaka praja dan bidangnya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 11 bagian 8
oleh Marzuki

Malam itu, seperti malam sebelumnya, dimana sesepuh merundingkan


susunan praja dan juga sebuah tetenger kadipaten yang akan berjalan ini. Dari
ki Kebo Kanigoro, sebaiknya nama Pengging diharap tidak dipakai lagi.

"Apa alasan kakang Kanigoro mengenyampingkan nama Pengging ?" ki


Ageng Gajah Sora agak heran.

Sebelum menjelaskan, ki Kebo Kanigoro menggeser duduknya. Lalu ucapnya,


"Adi Gajah Sora. Aku mengusulkan hal itu, supaya masa lalu antara Demak dan
Pengging terlupakan. Aku tak ingin jika nantinya jika Anakmas Karebet menjadi
Adipati, permasalahan antara ayahnya dan mendiang Sultan Patah, diungkit -
ungkit kembali."

Para sesepuh mengangguk memahami maksud ki Kebo Kanigoro.

"Lalu, kita sebut apa telatah ini pada nantinya.. ?" kini giliran ki Ageng Butuh
yang bersuara.

Suasana hening beberapa saat. Hingga suara binatang malam yang berada
diluar terdengar nyaring. Suara cengkerik berderik - derik, seakan ingin
mengusulkan sebuah nama. Tetapi kuasa Sang Illahi membuat kedua mahkluk
ciptaan-NYA itu, tiada memahaminya.
P a g e | 713

Suatu kali barulah sebuah suara dari pojokan terdengar meminta waktu untuk
menyampaikan perkataan. Dan semua orang langsung tertuju ke arah suara
tersebut.

"Oh, Anakmas Lurah Arya Dipa. Adakah sesuatu yang ingin anakmas usulkan
?" tanya ki Kebo Kanigoro.

Memang orang tadi ialah Lurah muda Tamtama dari Demak yang tiada lain
ialah Lurah Arya Dipa. Tadi pagi ia baru datang mengiringi seorang
Tumenggung Wreda atas perintah Sultan Trenggono dengan tugas menilik
telatah yang akan dijadikan kadipaten oleh Mas Karebet. Sebelum sampai
ditempat yang dituju, Lurah Arya Dipa berjumpa dengan Waliullah dari
Kadilangu. Rupanya Waliullah tersebut menitipkan pesan kepada Lurah Arya
Dipa, untuk disampaikan kepada para tetua yang sedang ikut membangun
sebuah kadipaten.

"Paman Kanigoro, dan para sesepuh sekalian. Sewaktu tadi aku dalam
perjalanan, aku bertemu dengan Kanjeng Sunan Kalijaga. Beliau menitipkan
pesan berupa nama telatah ini." ucap Lurah Arya Dipa.

Semua orang saling berpandangan satu dengan lainnya.

Selanjutnya Lurah Arya Dipa menuturkan pesan yang ia dapat dari Kanjeng
Sunan Kalijaga. Dimana beliau menyampaikan sebuah tetenger dari tempat
yang akan menjadi sebuah kadipaten baru dibawah kekuasaan Demak.
Telatah itu nantinya disebut kadipaten PAJANG.

"Pajang... " desis semua yang hadir.

"Begitulah, paman Kanigoro."

"Hm... Baik, tetenger itu aku rasa sangat bagus." ucap ki Kebo Kanigoro.

Mulai malam itu, telatah yang mereka buka sudah mendapatkan tetenger,
Pajang. Semakin bergairahlah penghuni Pajang dalam menyongsong masa
depan. Di mana hari berikutnya sebuah tatanan sudah diterapkan disertai
bermacam bidang tata pemerintahan.

Dengan datangnya Lurah Arya Dipa, ikut hadir juga Tumenggung Wreda
yang menyampaikan titah dari Sultan Trenggono. Bila saatnya nanti
P a g e | 714

pengangkatan telah siap, Mas Karebet akan mendapat kekancingan Adipati


dan sebuah gelar, "Hadiwijaya". Selain itu, Mas Karebet harus menyusun orang -
orang yang akan menempati dampar nayaka praja dan keprajuritan.

Untunglah semuanya sudah tersusun tanpa adanya keributan dari setiap


nama yang dicantumkan. Telah terpilih, Mas Manca sebagai patih kadipaten
Pajang. Ki Pemanahan dan ki Penjawi mengisi bidang keprajuritan, sebagai
panglima Tamtama di kadipaten Pajang. Selanjutnya ki Wuragil dan ki Wila
diangkat sebagai Ngabehi abdi dalem. Wenang, Seorang pemuda yang masih
cucu ki Ageng Butuh, dijadikan Senopati dibawah panglima Tamtama. Dan
masih banyak lainnya, orang - orang yang berkemampuan mendapatkan
pekerjaan sesuai bidangnya.

"Baiklah.. Tugasku sudah tuntas dalam menilik telatah Pajang ini." kata seorang
Tumenggung Wreda, "Kalau begitu aku mohon pamit, anakmas."

Tumenggung Wreda yang dikawal oleh Lurah Arya Dipa-pun, meninggalkan


Pajang. Apa yang dilihat di Pajang akan dilaporkan kehadapan Kanjeng
Trenggono.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 11 bagian 9
oleh : Marzuki

"Berhenti.. !" seru Tumenggung Wreda, seraya mengangkat tangannya.

Lurah Arya Dipa yang berkuda agak dibelakang bergegas mendekati kuda
yang ditunggangi oleh Tumenggung Wreda.

"Kau juga mendengarkan suara denting benda itu, ki Lurah ?!" tanya
Tumenggung Wreda, sesaat kuda Lurah Arya Dipa sejajar.

"Iya, ki Tumenggung. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi di balik belukar itu, ki
Tumenggung." jawab Lurah Arya Dipa, seraya menunjuk sebuah belukar lebat.

"Ijinkan aku memeriksanya, ki Tumenggung." Lurah Arya Dipa kembali berkata.

"Hm.. Bawalah tiga prajurit sebagai kawan, ki Lurah."

"Baik, ki Tumenggung."
P a g e | 715

Lurah Arya Dipa kemudian mengajak tiga prajurit untuk memeriksa apa yang
terjadi di balik belukar lebat, yang tak terlalu jauh dari jalan setapak. Semakin
mendekati belukar, suara yang terdengar semakin seru. Ternyata setelah
belukar itu disiakan, ada perkelahian yang tak seimbang. Tiga orang yang
sepertinya sebagai pengawal seorang pedagang, mempertahankan diri dari
libasan sepuluh orang.

"Begal, ki Lurah." bisik seorang prajurit yang mengawani Lurah Arya Dipa.

Lurah Arya Dipa mengangguk, lalu katanya, "Prajurit Werdi, laporkan kepada
ki Tumenggung. Katakan apa yang sebenarnya terjadi di sini. Aku dan dua
prajurit lainnya akan membantu pengawal yang sudah kepayahan itu."

"Baik, ki Lurah." Selekas menyahut, prajurit itu langsung berlari ke tempat


sebelumnya.

Sementara itu, Lurah Arya Dipa bersama dua prajuritnya, mendekati arena di
balik belukar.

"Berhenti.... !" seru Lurah Arya Dipa.

Seruan yang tak disangka - sangka itu, sesaat menghentikan perkelahian


yang berat sebelah. Dua tanggapan berbeda menyembul dari hati kedua
kelompok. Bagi kelompok pedagang dan pengawalnya, seruan itu membuat
hati mereka sedikit longgar, dan menganggap orang yang menghentikan
perkelahian akan berpihak kepada mereka, apalagi saat mereka mengenali
ciri pakaian yang menunjukan kalau orang yang baru datang adalah seorang
prajurit Demak. Berbeda halnya dengan kelompok yang terlihat kasar, mereka
sangat terkejut bercampur kesal. Datangnya tiga prajurit telah menjadikan
usaha yang hampir usai, terganggu.

"Bagaimana ini, kakang ?" bisik salah seorang begal kepada seseorang yang
sepertinya dijadikan pemimpin mereka.

Sejenak pemimpinnya terdiam. Sepertinya ia membaca keadaan dan


menimbang untung ruginya. Dalam hati orang itu, prajurit yang datang
hanyalah tiga orang saja. Oleh karenanya setelah dipikir matang - matang,
orang itu akan melanjutkan perburuannya. Tiga prajurit yang menghalanginya
P a g e | 716

harus dilenyapkan. Maka seruan perintah dari mulutnya kembali menggerakan


pengikutnya.

"Habisi semuanya.... !"

"He.. ! Buka mata kalian, kami prajurit Demak !" Lurah Arya Dipa memberi
peringatan, dan lanjutnya, "Bila kalian melawan, kalian akan dipidanakan !"

"Tutup mulutmu ! Kami bukanlah orang - orang yang jerih dengan cecunguk
seperti kalian !" sanggah seorang yang berwajah seram, seraya membacokan
goloknya.

Lurah Arya Dipa cukup tenang dalam menghadipi lawannya. Meskipun


lawannya berbadan besar dan memegang golok, sekilas memandang Lurah
Arya Dipa mampu mengurai kemampuan lawan yang hanya mengandalkan
kekuatan wadag saja. Karenanya hanya mengisar kaki sembari menggerakan
tangannya, Lurah Arya Dipa membuat lawannya terdorong dan terseok - seok.

Mengetahui kawannya dengan mudah dipermalukan, seorang lelaki


jangkung menggeram sembari membabatkan kelewangnya. Namun orang itu
terperangah sekaligus tak mengerti kalau tangan lawannya menyentuh lengan
tangan dan menjadikan tangannya lemas. Dan kelewangnya lepas dari
genggamannya. Belum lagi pikirannya menyatu, sebuah sentuhan membuat
orang jangkung itu tersungkur pingsan.

Dalam hanya sekejap, kelompok begal itu hanya menyisakan separuh orang
saja. Rupanya tiga prajurit yang baru datang adalah prajurit - prajurit pilihan
dari satuan Wira Tamtama. Jika pemimpinnya tahu dari awal, sejak dari
pertemuan pertama pasti mereka akan tunggang langgang mencari
keselamatan.

"Menyerahlah kalian atas nama Demak !" seru Lurah Arya Dipa.

Pemimpin begal itu akhirnya menyadari kesalahannya. Tanpa berpikir


panjang, pemimpin begal meloncat pergi meninggalkan gelanggang diikuti
pengikutnya, dan meninggalkan dua orang yang jatuh pingsan.

"Jangan lari !" seru seorang prajurit, dan akan mengejar.


P a g e | 717

"Tidak usah, prajurit Sono.. " Lurah Arya Dipa, melarang prajuritnya yang akan
mengejar, "Marilah membantu mereka yang terluka dan ikat kedua tawanan
itu serta sadarkan keduanya."

"Baik, ki Lurah." kata prajurit Sono.

Dalam pada itu, pedagang yang merasa hidupnya diselamatkan, bergegas


menghampiri Lurah Arya Dipa dan mengucapkan terima kasih.

"Itu sudah menjadi kewajiban kami, ki Sanak." kata Lurah Arya Dipa, "Akan
kemanakah, ki Sanak ini ?"

"Kami baru saja menghantar pesanan dari padukuhan di ujung jalan setapak
ini, tuan prajurit. Tapi saat kami baru saja memasuki jalan setapak yang akan
menuju Pengging, begal - begal itu menghadang kami." jawab pedagang itu.

"Hm.. Apakah daerah sini sering terjadi kejadian seperti ini, ki Sanak ?"

"Begitulah, Tuan. Sebenarnya jika tidak buru - buru, aku tidak berani memasuki
jalan setapak itu hanya dengan tiga pengawal saja. Kami para pedagang
biasanya membuat janji untuk berjalan bersama - sama jika melawati jalan
setapak ini." terang pedagang itu.

Lurah Arya Dipa mengangguk perlahan, "Hm.. Baiklah, marilah kita kembali ke
jalan setapak."

Bersama dengan Lurah Arya Dipa, pedagang dan pengawalnya menuju


jalan setapak di mana disitu Tumenggung Wreda dan prajurit pengawal
menanti. Lekas saja Lurah Arya Dipa menyampaikan apa saja yang sudah
terjadi tanpa menambah atau mengerungi sedikit-pun. Tak lupa Lurah muda
tersebut mengungkapkan pemikirannya menyangkut perkembangan jalur
Demak dan Pajang, terutama dari ancaman keamanannya.

Pemikiran dari Lurah muda Tamtama itu sangat sejalan dengan ki


Tumenggung Wreda. Memang sebuah jalur yang menghubungkan antara
Demak dan Pajang, hendaknya bersih dari ancaman gerombolan perampok
dan sejenisnya. Dan hal itu berlaku di jalur - jalur jalan penting yang
menghubungkan kotaraja dengan telatah - telatah kekuasaannya. Satu -
P a g e | 718

satunya tindakan adalah meningkatkan jelajah petugas peronda dari prajurit


kadipaten atau-pun tanah perdikan, dan kademangan.

Kata ki Tumenggung Wreda terhadap pedagang yang akan ke Pajang, "Ki


sanak.. "

"Sendiko dawuh, ki Tumenggung.. "

"Bila kau nanti tiba di Pajang, bergegaslah menghadap anakmas Karebet.


Tuturkanlah kejadian yang kau alami mengenai kesulitan yang kau derita tadi."
kata ki Tumenggung, "Aku yakin, anakmas Karebet akan cepat tanggap dan
menugaskan pengawalnya untuk melakukan perondaan ditelatahnya."

"Sendiko, ki Tumenggung. Semua yang ki Tumenggung pesankan, akan kami


sampaikan."

Dan selanjutnya mereka-pun berpisah. Sementara dua tawanan dari


kelompok begal akan di bawa ke kotaraja, oleh ki Tumenggung Wreda dan
Lurah Arya Dipa.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 11 bagian 10
oleh : Marzuki

Semakin hari sang surya di langit Demak, nampak cerah dihiasi silir angin
menyejukan penghuninya. Sejak pengangkatan Adipati Hadiwijaya di Pajang
dan Adipati Aryo Penangsang di Jipang, prajurit Demak mulai berbenah diri.
Disegala kesatuan terlihat sibuk mempersiapkan titah dari Sultan Trenggono.
Tiada lain titah itu adalah pergerakan untuk mempersatukan telatah Jawa
khususnya telatah Bang Wetan, ke dalam Demak.

Pasukan Wira Tamtama, Wira Braja, Wira Manggala, Wira Radya, dan Wira
Jalapati, setiap hari mengadakan gladi olah keprajuritan. Bahkan kesatuan
Patangpuluhan yang bertugas mengawal Kanjeng Sultan Demak, selalu
menyempatkan meningkatkan kemampuan olah yuda demi menjaga
keselamatan junjungannya, maka tak heran bila di sanggar rumah mereka
selalu nampak hidup.
P a g e | 719

Menjelang senja hari, tatkala waktu tugas yang usai, Lurah Arya Dipa
dipanggil menghadap ke ruang dalam keraton Demak. Lurah muda itu
merasakan adanya sesuatu yang ganjil saat melangkahkan kaki ke ruang
dalam. Seakan - akan ruang itu terdengar adanya isak tangis memenuhi
ruangan.

"Oh... Ada apa ini ?" tanyanya dalam hati.

Namun pertanyaan itu tiada jawaban yang dapat menerangkan


perasaannya. Kakinya terus melangkah beberapa tindak, dan selanjutnya laku
ndodok hingga satu tombak, barulah Lurah Arya Dipa berhenti dan duduk
bersila menghaturkan sembah kepada seorang yang duduk di dampar
kencana, sedangkan di kanan kirinya diapit dua pengawal khusus.

"Sembah hamba haturkan, Kanjeng Sultan." ucap Lurah Arya Dipa.

"Iya.. Iya, Arya Dipa." kata Sultan Trenggono, "Bagaimana kabar keluarga
kecilmu ? Aku dengar Ayu Andini saat ini mengandung putramu."

"Atas pangestu Kanjeng Sultan, keadaan keluarga hamba tiada kekurangan


sedikit-pun, Kanjeng Sultan. Usia kehamilan Ayu Andini semakin mendekati
waktunya." kata Lurah Arya Dipa.

Kanjeng Sultan Trenggono manggut - manggut. Bibirnya tersenyum cerah,


seakan - seakan baru menerima warta gembira mengenai perihal kerabatnya.
Sesungguhnya demikianlah isi hati beliau menyikapi keadaan yang melingkupi
keluarga kecil Lurah Arya Dipa, yang sebentar lagi akan menyambut kelahiran
buah hatinya. Bagi Kanjeng Sultan Trenggono, Lurah Arya Dipa bukanlah orang
lain. Sejak pertemuan pertama, pemuda itu sangat menarik dan membuat hati
Sultan Trenggono kagum.

Sebenarnya Kanjeng Sultan Trenggono berkeinginan untuk memberikan tugas


terhadap Lurah Arya Dipa yang berkaitan rencana beliau melawat Bang
Wetan. Tetapi suara hatinya berkata lain. Entah mengapa hatinya gundah
memikirkan keadaan Demak sepeninggalnya nanti. Itu semua terasa saat salah
satu senopati telik sandi yang pernah menghadap secara sembunyi - sembunyi,
melaporkan kecurigaan adanya tindakan diam - diam oleh sekelompok orang.
Dan yang paling mengejutkan beliau ialah adanya gerakan pendam
mengarah terhadap Adipati Anom.
P a g e | 720

Maka dari itulah setelah dipikirkan dengan matang bersama penasehat


kesultanan, diputuskan untuk mengamankan garis sah keprabon Demak, yaitu
Adipati Anom yang saat ini disandang oleh Pangeran Bagus Mukmin. Pada
nantinya tugas ini dibebanka ke pundak perwira yang mempunyai
kemampuan mumpuni serta teruji kesetiaannya. Terpilihlah tugas itu kepada
Lurah Arya Dipa.

"Arya Dipa.. "

"Hamba, Kanjeng Sultan.. " sahut Lurah Arya Dipa, sembari mencangkupkan
kedua telapak tangan dikening.

"Aku akan mempercayakan keselamatan Adipati Anom, terhadapmu.


Jagalah Bagus Mukmin sepeninggalku nanti.. "

Tercekat hati Lurah Arya Dipa seraya memandang walau hanya sesaat, dan
bergegas menunduk lagi. Entah mengapa nada suara Kanjeng Sultan
Trenggono pada saat ditelinga Lurah Arya Dipa, terasa sebuah perpisahan.
Karenanya hatinya tercekat.

"Duh, Kanjeng Sultan. Bagaimana mungkin hamba yang tak bertenaga ini,
mendapat kepercayaan menjaga keselamatan bendoro hamba Adipati
Anom... ?"

Tawa renyah mengawali suara yang keluar kemudian dari Sultan Trenggono,
"Hahaha... Bila aku baru mengenalimu, mungkin aku menganggapmu tak
bertenaga, Dipa.. "

"Tapi sudah bertahun - tahun kukenal dirimu. Ketangkasanmu dalam


melumpuhkan orang - orang di alas Ketonggo yang menghadangku, kemudian
saat dimana kau mengobrak - abrik pasukan Jipang yang melakukan serangan
tak terduga kala itu, serta masih banyak lagi tindakan nyata yang kau perbuat
dalam pengabdianmu terhadap Demak Bintoro ini."

Sejenak Sultan Trenggono memerhatikan Lurah Arya Dipa yang diam


tertunduk.

"Selain itu, sesungguhnya aku merasakan adanya gejolak yang melanda


hati... Hmm, entah itu apa, dalam penangkapan mata hatiku yang samar -
P a g e | 721

samar, ada tetesan darah mengotori dampar kencono." lanjut Sultan


Trenggono.

Tersentak Lurah Arya Dipa demi mendengar ungkapan hati junjungannya.


Kepala itu mendongak menatap lekat - lekat kesan yang muncul dipermukaan
raut wajah Sultan Trenggono. Namun selekas hati dapat menguasai keadaan,
Lurah Arya Dipa bergegas menunduk kembali menatap lantai. Keningnya
mengkerut dan entah mengapa bulu kuduk berdiri, merasakan kengerian.

Sebuah isyarat meskipun samar sedikit tertangkap oleh mata hati Lurah muda
putra angkat Panji Mahesa Anabrang. Gejolak yang dirasakan oleh Sultan
Trenggono, tentu merupakan masalah yang akan melanda Demak dikemudian
hari. Padahal, akhir - akhir ini Lurag Arya Dipa memimpikan masa - masa tenang
dimana ia akan menimang - nimang calon jabang bayi yang dikandung
istrinya.

Getar suara terdengar lebih sarat dari Sultan Trenggono, "Lurah Arya Dipa.."

"Hamba, Kanjeng Sultan.. "

"Sekali lagi aku meminta kesanggupanmu untuk berada disamping putraku,


Adipati Anom."

"Sendiko dawuh, Kanjeng Sultan."

Tenanglah hati Kanjeng Sultan. Hatinya yang awalnya gelisah, sedikit tenang
manakala terdengar kesanggupan dari Lurah Arya Dipa untuk mengemban
tugas berada di dekat putranya. Dengan demikian beliau sudah semakin
mantab untuk bergegas menyelesaikan pergolakan di Bang Wetan.

Dan Lurah Arya Dipa kemudian diperkenankan untuk meninggalkan ruang


dalam kesultanan. Dalam perjalanannya yang tak terlalu jauh itu, Lurah Arya
Dipa masih terbayang setiap kesan yang nampak dari Sultan Trenggono. Entah
mengapa itu tadi ia rasakan sebagai pertemuan terakhir dengan beliau.

"Ah...... Tidak.. " desisnya perlahan seraya menggeleng.

Dan langkah kakinya kembali terayun menapak menuju tempat yang


ditinggalinya bersama Ayu Andini.
P a g e | 722

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 11 bagian 11
oleh : Marzuki

Sesampainya dirumah, Lurah Arya Dipa menuturkan semua apa yang terjadi
di kesultanan terhadap istrinya. Termasuk isyarat yang ia tangkap mengenai
Kanjeng Sultan Trenggono.

Sebagai istri yang masih muda dalam menapaki rumah tangga, rupanya Ayu
Andini dapat dengan cepat memahami kegelisahan suaminya itu.
Ketenangannya sebagai wanita dapat ia ungkapkan dengan cara
menyiapkan minuman hangat berupa wedang Sere dihadapan suaminya.
Disuruhnya suaminya itu untuk meneguk dahulu supaya kehangatan wedang
Sere dapat menyurutkan kegelisahan yang diderita.

Usai Lurah Arya Dipa meneguk wedang Sere, barulah Ayu Andini
menenangkan dengan kata - kata lembut nan merdu.

"Kakang, janganlah kakang terlalu terbawa perasaan yang begitu mendalam


sehingga kakang gelisah begitu rupa." kata Ayu Andini, "Kanjeng Sultan masih
terlihat gagah dan beliau-pun seorang yang mumpuni tuntas dalam bidang
kanuragan dan kaweruh. Beliau-pun tak lepas dari pengawalan pasukan khusus
setiap langkahnya."

Lurah Arya Dipa mengangguk setuju atas tanggapan istrinya itu. memang
diakui, Sultan Trenggono adalah sosok raja yang hebat pilih tanding. Di dalam
tubuhnya tersimpan berbagai ilmu yang nggegirisi bagi lawan - lawannya.
Tetapi ada sebuah ungkapan, "Sehebat - hebatnya wadah, bila sudah
waktunya akan lebur juga".

Itulah yang dirasakan oleh Lurah Arya Dipa, dan perasaan itu juga dapat
dibaca oleh Ayu Andini, sehingga wanita muda yang sedang mengandung itu
kembali meyakinkan agar suaminya percaya kalau Kanjeng Sultan akan
kembali dari Bang Wetan dengan selamat.

"Tindakan yang paling baik bagi kita adalah mendoakan beliau, agar beliau
selalu dalam lindungan Yang Kuasa, kakang."

"Kau benar, Ayu." Lurah Arya Dipa mengiyakan.


P a g e | 723

Sejenak dipandanginya perut istrinya yang membesar. Dibelainya dengan


lembut penuh kasih sayang layaknya suami pada umumnya. Calon jabang
bayi di dalam rahim yang awalnya bergerak, seketika tenang. Seolah
merasakan kelembutan dari sang ayah.

Di luar, sinar rembulan samar - samar mengintip bumi dari balik awan. Angin
lembut berdesir perlahan mampu mengusik ketenangan awan untuk terus
berarak ke selatan, mengakibatkan kebebasan sinar rembulan dalam
menerangi permukaan bumi. Alur alam di malam itu berjalan sesuai titah Sang
Kuasa tanpa dapat membakang sidikit-pun.

Tak terasa malam mencapai puncaknya yang ditandai kentongan dara


muluk dari gardu perondan. Tiba - tiba suara aneh membuat sepasang suami di
dalam rumah itu, mengernyitkan alis dan saling pandang.

"Kakang... " desis Ayu Andini seraya memegang kain pakaian suaminya.

"Kau tetaplah disini. Aku akan mencoba menengok.. " kata Lurah Arya Dipa
dengan beranjak berdiri dan melangkah ke arah pintu.

Perlahan Lurah Arya Dipa mendekati pintu. Dan derit lirih pintu terdengar tak
lama kemudian. Di luar, sinar damar tak mampu menerangi seluruh halaman.
Menyisakan bayang - bayang gelap diberbagai tempat. Untunglah mata Lurah
Arya Dipa mempunyai kelebihan tersendiri. Sehingga mampu meniliti setiap
jengkal halaman hingga luar pagar yang tak terlalu tinggi mengitari rumahnya.

"Adakah seseorang, kakang ?" kata Ayu Andini yang sudah berdiri dibelakang
punggung suaminya.

Tidak ada jawaban kecuali gelengan kepala. Tetapi sang empu kepala masih
mencermati keadaan sekitarnya. Ia yakin pasti ada seseorang yang saat ini
mengamati dirinya.

"Kisanak.... ! Malam sudah dipuncaknya. Adakah sesuatu yang membuat


kisanak hadir di gubuk ini ?!" seru Lurah Arya Dipa, kemudian.

Hening tiada tanda pergerakan muncul. Sambutan yang dilontarkan oleh


Lurah Arya Dipa tak ada balasan. Malah yang terdengar hanyalah burung
hantu yang terbang di atas halaman.
P a g e | 724

"Hm... " desuh Lurah Arya Dipa.

"Baiklah, kalau begitu akan ku tutup kembali pintu gubugku.. " selepas bicara,
Lurah Arya Dipa memutar tubuhnya berniat masuk kembali ke ruang dalam.

Sekonyong - konyong, deru benda tajam melayang deras mengancam


punggung Lurah Arya Dipa. Hal itu membuat Ayu Andini tercekat dan
mencemaskan suaminya. Tetapi suaminya bukanlah orang yang lengah dalam
menghadapi keadaan. Dengan sigap dan cepat ia memutar tubuhnya dan....

"Taaak.. !"

Telapak tangan Lurah Arya Dipa yang dilambari aji Niscala Praba dapat
menyapok benda tajam dari serangan gelap. Akibat sapokan itu, benda itu
menukik menancap papan hingga gagangnya. Namun tak berselang lama,
deru deras terulang lebih dahsyat dari serangan pertama. Bukan hanya satu,
melainkan tiga sekaligus menghambur di-tiga titik berbeda.

"Awas, kakang.... !" seru Ayu Andini.

Meskipun tiada peringatan dari Ayu Andini, suami sudah memperkirakan


adanya serangan susulan. Oleh karenanya, tangan Lurah muda Demak itu
dengan cepat bergerak laksana tatit. Begitu tangan diam, dalam
genggamannya tiga belati sudah berarti lagi.

"Hm.. Ucapan Lintang Kemukus memang benar adanya." desis seseorang


diatas dahan pohon Keluwih, "Aku akan bermain sesaat dengannya."

Usai berkata, sosok itu melayang turun ke halaman. Sungguh indah kaki orang
itu dalam setiap gerakannya. Bukan hanya itu saja, disetiap langkahnya tiada
deru sedikitpun, ini menunjukan betapa tinggi ilmu kanuragannya.

"He.... " wajah Lurah Arya Dipa dan Ayu Andini serentak mengerut heran.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 11 bagian 12
oleh Marzuki

Raut wajah orang itu sangat tidak asing bagi keduanya. Sangat dan sangat
mirip bak pinang dibelah dua. Sehingga tak heran jika keduanya merasa heran
P a g e | 725

bukan kepalang. Jika tidak melihat sendiri tentu keduanya tidak percaya kalau
orang yang baru muncul itu adalah orang lain yang mirip dengan orang yang
nyata kakek Lurah Arya Dipa. Hal itu mengingatkan keduanya atas apa yang
dituturkan oleh Empu Puspanaga.

Sementara orang yang baru menampakan diri itu menatap tajam ke arah
sepasang suami istri dengan sesekali mengangguk. Dalam pandangan orang
itu, keduanya pantas apabila mempunyai bekal yang mantab dalam dunia
olah kanuragan. Dikarenakan tubuh - tubuh keduanya memiliki susunan tulang
yang baik. Dan inilah yang menakjubkan atas orang itu, hanya dengan melihat
sepintas menggunakan matanya saja sudah dapat menilai dan mengetahui
keadaan lawan atau orang lain.

"O.. Kau-kah yang disebut anak yang mewarisi ilmu dari kitab Cakra Peksi
Jatayu itu, anak muda ?" orang itu melontarkan pertanyaan yang
mengandung mencari penjelasan.

Lurah Arya Dipa mengerutkan alisnya, "Hm.. Begitulah, kisanak. Siapaka


kisanak ini yang sudi singgah di gubuk kami ?"

"Hahaha.... " orang itu tak langsung menjawab, melainkan tertawa lepas dan
barulah berkata, "Rupanya bayi Arya Wila ini yang semestinya aku tangani
pada saat itu... Hm, nasi sudah menjadi bubur. Walau begitu tak mengapa
diusia-ku yang tua ini harus mengotori lagi."

Tentu saja kata - kata itu menimbulkan gejolak berbeda dari sepasang suami
istri tuan rumah. Bagi Arya Dipa, disebutnya Arya Wila telah membuka tabir
semakin nyata dari orang dihadapannya itu, yaitu seseorang yang telah
membunuh kedua orang tuanya. Sedangkan bagi Ayu Andini, sebuah
kecemasan muncul manakala ada bibit permusuhan antara orang itu dan
keluarga suaminya.

"Jadi, kisanak-kah yang sudah membunuh ayah dan ibu-ku... ?!"

"Ceek.. ceek.. ceek... Hm, benar ! Akulah yang mengakhiri keduanya. Bahkan
bila saat itu pertapa dari Penanggungan itu tidak datang, kau-pun akan aku
cekik dan kulempar di lembah Bancak !"
P a g e | 726

Dengan sekuat tenaga Lurah Arya Dipa berusahan menekan perasaannya


yang mulai bergejolak. Api - api kemarahab segera ia padamkan dengan
menyebut Dzat Yang Suci. Selanjutnya tergantikan pertanyaan terhadap orang
itu.

"Kisanak tadi belumlah mengenalkan diri, cobalah jelaskan diri kisanak ini.. "

"Hohoho.... Tak kukira usia-mu yang masih seumur jagung ini mempunyai
pengendalian diri yang baik. Baiklah, aku Wanapati... "

Belum sempat orang itu menuntaskan perkataannya, malam itu kembali


bergolak dengan datangnya seseorang yang berjalan tenang melewati regol.

"Lama kau tak menampakan diri, Wanapati !" suara halus menyapa.

Kedatangan orang itu mengejutkan semua orang, tentunya dengan


bermacam tanggapan dalam pikiran mereka. Orang berbadan kurus dengan
wajah selalu tersenyum serta membekal kipas putih bercorak burung Merak.
Menandakan kalau orang itu adalah kyai Jalasutro dari gunung Bromo.
Seorang yang penuh rahasia dan sangat jarang menampakan diri di kalayak
ramai.

"Kau, Jalasutro.... !" seru ki Wanapati, seraya melotot.

"Selamat malam, cah bagus dan genduk ayu." Kyai Jalasutro malah menyapa
Lurah Arya Dipa dan Ayu Andini.

Tindakan itu sesungguhnya menjadikan ki Wanapati geram bukan main.


Dirinya malah diacuhkan dengan orang itu. Tetapi ia-pun tidak mau berlaku
sembrono menghadapi orang sakti itu, meskipun ia sesungguhnya tidak jerih.

"Selamat malam, Kyai.. " balas Lurah Arya Dipa, penuh hormat.

Kyai Jalasutro terus melangkah menghampiri Lurah Arya Dipa dan istrinya
untuk berjabat tangan. Usai itu barulah ia menghadap ki Wanapati tanpa
adanya rasa permusuhan.

"Wanapati, puluhan tahun kau dan aku berlalu lalang menapaki luasnya
tanah Jawadwipa ini. Sejak Wilwatikta berada ditangan gusti Prabu
Pamungkas, yang diobrak - abrik oleh Giriwardhana serta Patih Udara, dan
P a g e | 727

kemudian muncul trah pinunjul Glagahwangi." kata Kyai Jalasutra, "Rupanya


sulit kau mengekang nafsu angkara murka itu. Lihatlah rambut di kepalamu
sudah beruban dan kulitmu yang mengeriput. Itu adalah tanda dimana masa
akan tiba menghadap Allah, Dzat Yang Agung."

Bila dicerna lebih jelas, ucapan dari Kyai Jalasutro merupakan kecintaan
seseorang terhadap sahabat yang dikasihi berupa kata untuk mengingatkan
tatkala sahabat itu tergelincir dari jalan yang ditetapkan oleh Dzat Suci.
Kecintaan itu berupa ucapan saling mengingatkan dalam mengendalikan
nafsu yang ada dalam diri seseorang dan agar tak mudah kalah oleh hawa
nafsu itu sendiri. Sebenarnya setiap manusia dari lahir mendapatkan karunia
berupa hati yang bersih dan suci, yang dapat membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk. Begitu juga halnya dengan hati ki Wanapati, tetapi
hatinya yang suci tergerus oleh lautan nafsu, hingga akhirnya mengabaikan
nasehat dari Kyai Jalasutro.

Nasehat lurus dan suci itu, ditelinga ki Wanapati bagaikan ribuan lebah yang
mengganggu gendang telinganya. Selanjutnya timbulah geram dan hentakan
kaki ke bumi.

"Dari dulu mulutmu tidak lelah untuk berkicau seperti itu, Jalasutro !" sahut ki
Wanapati, ketus.

Tak pelak Kyai Jalasutro, gelengkan kepala atas kekerasan hati sahabatnya
itu. Sungguh sedih hatinya atas perilaku kawan mudanya itu. Ia tahu betul masa
- masa dimana keduanya saling bermain dan bersenda gurau dipinggiran
belumbang. Bagus Wana dan Kidang Rumekso mendapat bimbingan seorang
pertapa yang menyembunyikan jati dirinya. Dalam asuhan pertapa itu, ilmu
jaya kawijayan dan olah kanuragan mengendap dalam wadag keduanya.
Hingga hari kelam itu telah merubah perilaku Bagus Wana.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 11 bagian 13
oleh Marzuki

Kala itu, hujan deras mengguyur tepian belumbang. Dua orang bertempur
hebat layaknya Werkudara dan Duryudana, tokoh pawayangan dalam kitab
Mahabaratha. Hujan lebat tak dihiraukan oleh keduanya, kecuali niat untuk
mengalahkan lawannya semata.
P a g e | 728

Sementara tak jauh dari sosok - sosok hebat itu, Bagus Wana duduk
menelungkup dengan tangan menutupi kepalanya. Di sebelahnya, Kidang
Rumeksa terus mencoba memanggil - manggil kawan sekaligus saudara
seperguruannya itu.

"Wana.. Wana.. Dengarlah suaraku... !" teriak Kidang Rumeksa sambil


mengguncang - guncang tubuh Bagus Wana.

Bukannya sadar, Bagus Wana malah berteriak seru, "Aaaaarg.... !"

Dalam kepala anak itu berkecamuk adanya bisikan yang menjadikannya


bingung dan tak tahu harus memilih bisikan mana yang harus ia percaya.

"Orang itulah yang membunuh keluargamu dan mengelabuimu dengan


mengangkat dirimu sebagai muridnya... !" bisikan terulang - ulang memenuhi
kepala Bagus Wana.

Di lain pihak, bisikan juga terdengar agar Bagus Wana meyakinu kalau
gurunya adalah orang baik yang tidak seperti dituduhkan.

"Percayalah, Pertapa itu adalah orang baik yang mengasuhmu dengan tulus.
Malah dialah yang menyelamatkanmu dari maut saat kau terancam orang
yang saat ini bertarung melawan gurumu.. !"

"Bohong... ! Kau tertipu bocah.. !"

Manakala bisikan - bisikan masih terus mengisi kepala Bagus Wana, dan
Kidang Rumeksa masih sibuk berusaha menyadarkan kawannya, sebuah
halilintar menukik deras menyambar guru dua bocah itu.

"Duuuuaar..... !"

Hentakan keras seakan - akan mengguncang bumi. Pinggiran belumbang


porak - poranda tak karuan. Tetumbuhan hangus dan tanah serta kerikil
bebatuan berserakan kemana - mana.

"Guruuuuu...... !'' teriak Kidang Rumeksa sekaligus menghambur menubruk


Pertapa yang mencelat di dekatnya.
P a g e | 729

"Hahaha.... Terbalas sudah dendamku terhadapmu, Ajar Paguhan ! Kematian


kakang Grigis terbayar sudah.... " kata orang yang berhasil membunuh Pertapa
Ajar Paguhan, guru Kidang Rumeksa dan Bagus Wana.

Habis berkata, orang itu dengan sebat menyambar tubuh Bagus Wana dan
membawa pergi dengan cepatnya. Sedangkan Kidang Rumeksa masih
berlutut menangisi gurunya yang sekarat dengan napas kembang kempis.

"Guru.. Jangan kau pergi.. Guru.. "

Panggilan - panggilan dari Kidang Rumeksa ternyata dapat didengar oleh


Ajar Paguhan. Orang tua itu berusaha mengumpulkan tenaga dan mulai
berkata lirih...

"Selamatkan.. Wana dari.. tangan Demang Brahu.. " perkataan itu terhenti
sesaat karena darah menyembur dari mulut Ajar Paguhan.

"Oh.. Guru.. "

"Tapi sebelumnya.. galilah tanah di bawah pohon.. Sengon kembar..


pelajarilah kitab i.... " kata itu terputus seiring nyawa lepas dari wadah Ajar
Paguhan.

Tak pelak jerit pilu membahana di pinggiran belumbang, "Guruuuuuuuuu... !"

Waktu berlanjut tiada putus barang sesaat. Usai menyelenggarakan jasad


gurunya, Kidang Rumeksa melakukan perintah gurunya. Tanah di bawah pohon
Sengon kembar digali. Dari situ ia mendapatkan peti yang berisi kitab sebuah
perguruan. Isinya ialah tuntunan olah kanuragan tingkat tinggi yang bahkan
tidak dimiliki oleh Ajar Paguhan. Selain itu terdapat tuntunan olah rasa dan
kajiwan sebagai penyeimbang.

Berhari - hari Kidang Rumeksa mempelajari isi kitab tanpa lelah. Berbagai
lelaku ia lakukan untuk mendukung berkembangnya ilmu dalam dirinya.
Cobaan dan godaan ia hadapi dengan sabar demi mengingat pesan terakhir
gurunya. Dan itulah yang membuat pemuda itu lulus, tuntas, tatas meraup hasil
yang gemilang dari kitab yang dijaga oleh Ajar Paguhan.

Hampir dua tahun lamanya Kidang Rumeksa menyepi menuntaskan ilmunya.


Keluar dari tempat yang selama ini ia tinggali, ia seolah - olah telah lahir
P a g e | 730

kembali dengan jiwa yang mantab berbekal ilmu mendebarkan. Selanjutnya


Kidang Rumeksa melalang buana mencari keberadaan Bagus Wana. Setiap
jengkal tanah tak lepas dari pengamatannya demi sahabatnya itu.

Dalam pengembaraannya, Kidang Rumeksa mendengar adanya


pembicaraan dunia kanuragan yang menyangkut diri kawannya. Namun yang
membuatnya tidak percaya tatkala orang - orang mengatakan kalau
kawannya Bagus Wana, selalu membuat keonaran. Bahkan Bagus Wana
bergabung dengan pasukan Giriwardhana mengobrak - abrik kotaraja
Wilwatikta. Juga, ikut pengejaran Prabu Brawijaya Pamungkas ke barat, gunung
Lawu.

Suatu kali Kidang Rumeksa berhasil menjumpainya dan mencoba untuk


menyadarkan kawannya itu. Tapi balasannya hampir membuat Kidang
Rumeksa celaka selama - lamanya. Bujukannya tidak pernah digubris
sedikitpun. Bahkan ikatan tali persaudaraan pupus seketika. Tinggalah
kebencian semata yang ditunjukan oleh Bagus Wana terhadap Kidang
Rumeksa.

Dan kini setelah sekian lama waktu berlalu, dua bekas sahabat itu bertemu
ditengah malam buta. Kebencian dan angkara murka masih terlihat jelas diraut
muka Bagus Wana, yang kini bergelar Wanapati.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 11 bagian 14
oleh : Marzuki

"Menyingkir kau, Jalasutro !" seru ki Wanapati kemudian, "Ini tiada urusan yang
menyangkut dirimu !"

Kyai Jalasutro yang di masa mudanya bernama Kidang Rumekso, hanya


mendesuh perlahan seraya menggelengkan kepala dan sesekali memainkan
kipas putih beecorak burung Merak di tangannya.

"Bila aku menyingkir dari tempat ini, bukankah kau berkeinginan untuk
mencelakakan angger ini, Wanapati ? Sedikit banyak aku mendengar kalau
kau tercemari ole pikiran - pikiran Demang Brahu.... "
P a g e | 731

"Tutup mulutmu, Kidang Rumekso !" teriak lantang ki Wanapati, sambil


mengibaskan tangannya.

Tak ayal serangkum angin menderu ke arah Kyai Jalasutro. Angin itu sungguh
mendebarkan, itu terbukti ketika Kyai Jalasutro dapat mengelak dan membuat
serangkum angin itu melabrak tiang depan rumah Lurah Arya Dipa, tiang itu
berderak patah.

"Astagfirullah... " ucap Kyai Jalasutro, menyesalkan tindakan kawannya di


masa muda.

"Cepat kau pergi.. !" sekali lagi ku Wanapati memperingatkan.

Bukannya menanggapi ki Wanapati terlebih dahulu, Kyai Jalasutro


membalikan badan ke arag Lurah Arya Dipa dan istrinya.

''Angger berdua, mohon kiranya untuk memaafkan kawanku ini. Biarlah aku
yang akan mengganti tiang yang rusak itu." pinta Kyai Jalasutro kepada Lurah
Arya Dipa dan istrinya, yang ditanggapi anggukan dan senyum sepasang
suami istri muda itu.

"Edaan.. !" gerutu ki Wanapati, penuh kekesalan.

"Hahaha... Jangan kau berucap sepertu itu, Bagus Wana. Marilah kita
bermain loncatan layaknya dahulu saat masih di pinggiran belumbang
bersama guru, Ajar Paguhan." sahut Kyai Jalasutro.

Tanpa membalas jawaban, ki Wanapati mempersiapkan jiwa raganya.


Diladeninya tantangan bekas kawannya itu secara bertahap. Yaitu kedua -
duanya tanpa disetujui terlebih dahulu, mengungkap dasar - dasar tata gerak
olah kanuragan.

Awalnya keduanya sama - sama menggunakan tata gerak dasar dari sumber
yang sama, yaitu dasar yang mereka peroleh dari pertapa Ajar Paguhan.
Gerak yang sama dari keduanya terasa seiring dan seirama layaknya para
penari. Tetapi yang membedakan adalah lambaran yang membuat udara
tersibak dan menderu - deru menakjubkan.

"Hm.. Yang mereka ungkap sebenarnya masih dasarnya saja. Tetapi hasilnya
sungguh mendebarkan." ucap Lurah Arya Dipa, lirih.
P a g e | 732

Di sampingnya, Ayu Andini mengangguk mengiyakan tanggapan dari


suaminya, "Benar, kakang. Sebenarnya siapa mereka dan dari perguruan mana
?"

"Sangat sedikit apa yang aku ketahui mengenai diri keduanya. Kyai Jalasutro
seorang ahli kanuragan yang sangat jarang menampakan diri di keramaian. Ia
lebih suka merenungkan diri dan beribadah kepada Dzat Yang Maha Suci. Ilmu
yang ia miliki sangatlah langka, yaitu aji yang mampu membuat lawannya
bagai tekurung tak berdaya."

Sejenak Lurah Arya Dipa berhenti demi melihat tandang kedua orang tua
yang semakin meningkatkan tataran ilmunya. Ancaman demi ancaman terihat
jelas meraih sasaran. Juga betapa tubuh - tubuh yang mulai senja itu seperti tak
mengenal waktu saja, di mana kecepatan gerak layaknya anak panah lepas
dari gendewa.

"Mampus kau Jalasutro... !" seru ki Wanapati, seraya melayangkan pukulan


berganda.

"Haaait.. !"

Kyai Jalapati berusaha mengelak. Namun rupanya lawan tak mau


melepaskan begitu saja. Kaki lawan menjulur ke depan dengan kerasnya.
Hampir sekilan kaki itu mengenai sasaran, Kyai Jalasutro menggejot kakinya
hingga membumbungkan tubuhnya. Saat itulah tanggannya menggemplang
kepala lawan.

"Deeesss...... "

Terjadi adu kekuatan dari keduannya. Tangan Kyai Jalasutro bisa ditahan oleh
tangan ki Wanapati yang disilangkan di atas kepala. Dan dari adu kekuatan itu,
mengakibatkan keduannya tersuruk mundur. Tapi selekas menguasai tubuh
masing - masing, dua orang tua itu sudah kembali bergerak sebat saling
menyerang. Maka terjadilah perkelahian seru dan sengit antara keduanya.

Kini ilmu yang awalnya sama, selapis demi lapis berubah warnanya. Kyai
Jalasutra sudah merambah ilmu yang dipelajari daru kitab wasiat Ajar
Paguhan. Di sisi yang lain, ki Wanapati juga mewarnai ilmunya dari ilmu yang
P a g e | 733

didapatnya dari Demang Brahu. Sehingga menjadikan orang - orang tua itu
nggegirisi dalam setiap tindakan dan tata geraknya.

Lambaran ilmu tingkat pinunjul merembes mencari celah untuk merusak dan
melumatkan sasaran yang lengah. Tetapi kedua orang itu sangatlah cermat
dalam mengambil tindakan, yang memungkinkan tak terkena ancaman ilmu
dari masing - masing lawan. Maka tak heran jika perkelahian di malam yang
sudah menggelincir di fajar hari, sangat alot.

Suatu kali tangan ki Wanapati yang nampak memerah telah merangsek ke


depan. Pada saat yang sama, Kyai Jalasutro juga menyongsong serangan
menggunakan tangannya yang juga nampak semburat memerah. Tak ayal
adu ilmu pukulan dekat berlambarkan kekuatan alam terjadi dengan
dahsyatnya. Menjadikan suasana gelap yang awalnya lengang, berubah
mendebarkan bagi semua mahkluk yang mendengarnya.

"Byaaaaar....!"

Gema gemuruh menggelak membelah udara di halaman rumah Lurah Arya


Dipa. Dan gema itu terdengar jauh sampai di pusat kotaraja.

"Ki Salam, bunyi apa itu tadi ?" seseorang prajurit peronda bertanya kepada
kawannya.

Prajurit yang bernama ki Salam masih mendongak ke arah suara keras tadi.
Kemudian barulah berucap walau agak ragu - ragu, "Mungkin sebentar lagi
hujan, Dawuk... "

Prajurit Dawuk mengangguk, "Ah, syukurlah jika hujan turun di hari ini."

Prajurit Salam mengernyitkan alisnya seraya bertanya, "Memangnya kenapa


jika hujan turun, Dawuk ?"

"Hehehe, supaya kita tidak nganglang, ki. Dan tergantikan dengan tidur di
gardu perondan."

"O... Semprul kau, Dawuk. Jika ki Lurah Sambi mendengar, kau akan dijadikan
kentongan !" omel ki Salam.
P a g e | 734

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 11 bagian 15
oleh : Marzuki

Kembali di pusat pergolakan, ki Wanapati sudah mencapai batas


kesabarannya. Orang tua yang mirip dengan Begawan Jambul Kuning,
meluncur deras layaknya tombak yang dilemparkan tenaga dahsyat.
Menghadapi serangan ki Wanapati, lawannya mempersiapkan kuda - kuda
yang kokoh, dan melambari aji pemberat tubuh untuk menambah daya
tahannya.

"Deeess.....!"

Kaki Kyai Jalasutro tak pelak masih tergeser menyisakan tanah yang tergerus
sedalam tumit dan sejauh satu tombak. Di lain pihak, ki Wanapati membal
kebelakang, namun sekuat tenaga mempertahankan tubuhnya dan berhasil
mendarat dengan sempurna. Rupanya kekuatan keduanya masih imbang
sejauh ini. Oleh karenanya ilmu selapis lagi telah ditingkatkan.

Di timur, semburat merah mulai membuncah dibalik awan gelap yang samar.
Tak terasa fajar hampir mendekati waktunya. Kokok ayam terdengar bersahut -
sahutan penuh gembira menyongsong sang fajar. Hewan mahkluk ciptaan
Dzat suci itu seakan - akan bersyukur masih diberikan waktu mengais cacing di
haru itu. Mereka tak tahu jika dunia ini dipenuhi angkara murka yang dilakukan
oleh beberapa orang. Bila mereka mendapat karunia berupa akal dan mampu
berpikir benar, niscaya dengan paruh, taji, cakar dan kepakan sayapnya,
mereka akan mendatangi orang - orang yang bertindak semena - mena
terhadap sesama.

Dalam pada itu, manakala ki Wanapati sudah mempersiapkan salah satu aji
pamungkasnya, sebuah teriakan yang dilontarkan dengan menggunakan ilmu
semacam Gelap Ngampar, terdengar lantang.

"Paman Wanapati, sudahi dahulu permainannya. Masih ada waktu dilain hari.
Marilah kita tinggalkan tempat ini."

"Hm... " dengus ki Wanapati, seraya melenturkan otot - ototnya yang tegang.
P a g e | 735

Tanpa berkata, orang itu berkelebat meninggalkan halaman tanpa deru


angin sedikit-pun.

"Hm.. Bagus Wana.. Bagus Wana.. " desis Kyai Jalasutro sambil menggeleng -
gelengkan kepala dan mengetuk telapak tangan kiri menggunakan kipasnya.

"Kyai Jalasutro, silahkan menaiki pringgitan" kata Lurah Arya Dipa,


mempersilahkan.

Kyai Jalasutro tersenyum ramah dan menerima ajakan tuan rumah. Dia dan
Lurah Arya Dipa berbarengan menuju pringgitan dan duduk beralaskan tikar
Mendong. Ternyata Ayu Andini cukup cekatan mempersiapkan suguhan
sederhana, meskipun tubuhya sudah membuncit cukup besar.

Wedang sere dan sepiring penganan menjadikan perut bersuka ria di pagi
hari itu. Walau begitu, mereka tidak melupakan waktu beribadah. Secara
bergantian ketiganya pergi ke padasan untuk sesuci demi menunaikan
kegiatan wajib bagi seorang hamba terhadap Gusti Dzat Suci.

Jauh di sebuah pategalan, Begawan Jambul Kuning dan muridnya duduk di


depan sisa perapian. Air bening yang mengalir di parit menarik keduanya untuk
mencuci muka agar kesegaran tubuh terpenuhi.

"Guru, kita langsung ke rumah kakang Arya Dipa, atau tidak."

"Ah.. Sebaiknya ke pondok Mahesa Anabrang dahulu. Aku ingin menanyakan


sesuatu kepadanya." sahut Begawan Jambul Kuning, sembari menyeka air di
wajahnya.

Windujaya mengangguk tanda setuju. Tiada ruginya menghampiri pondok ki


Panji Mahesa Anabrang. Sekalian nanti bisa melihat - lihat suasana kotaraja,
pikir Windujaya.

Kemudian keduanya beranjak dari pategalan dan melangkahkan kaki


menyusuri jalan setapak. Tak perlu lama sampailah keduanya di jalan utama
yang menghubungkan kotaraja dan kadipaten lainnya. Dan di jalan sudah
banyak orang - orang yang berlalu lalang sambil membawa beraneka macam
bawaan. Ada pedagang gerabah, pedagang makanan yang diwadahi tumbu
besar, serta ada blantik sapi atau-pun kambing, dan masih banyak yang lain.
P a g e | 736

Keadaan kotaraja nampaknya sangat tentram sehingga mewujudkan


kedamain diantara penghuninya. Itu terbukti dengan adanya pedagang yang
berwajah cerah, Prajurit penjaga tak terlalu ketat dalam penjagaannya.

Ketika Begawan Jambul Kuning dan Windujaya hampir memasuki gerbang


kotaraja, ada tiga orang penunggang kuda keluar dari gerbang. Yang
membuat keduannya terpana dan heran, adalah salah seorang penunggang
kuda yang sangat mirip dengan Begawan Jambul Kuning.

"Guru... " desis Windujaya.

"Hm.... " hanya desuh saja yang terdengar dari Begawan Jambul Kuning.

Hingga penungang kuda itu melintas dan berlalu, keduanya hanya menatap
saja. Dan akhirnya tiga penunggang kuda hilang dari pandangan manakal
membelokan kuda di kelokan jalan.

"He.... !" kejut Begawan Jambul Kuning, mengingat sesuatu.

"Windujaya, pasti orang itu yang dahulu diceritakan oleh Puspanaga.."

"Yang membunuh paman Wila dan bibi, putra dan menantu guru ?" sahut
Windujaya.

Begawan Jambul Kuning menganguk, "Iya.. "

"Kita kejar mereka, guru."

Orang tua yang mulai berubah itu, menggelengkan kepala, "Jangan, saat ini
belumlah waktunya. Marilah memasuki kotaraja."

Lantas keduanya melangkahkan kaki memasuki gerbang. Tanpa kesulitan


yang berarti guru dan murid itu-pun sampai di pondok ki Panji Mahesa
Anabrang. Dan keduanya disambut dengan baik oleh Senopati dari pasukan
telik sandi itu.

"Pantas saja burung Prenjak di pohon jambu itu berkicau terus. Tak taunya
pondokan ini kedatangan seorang trah Kadiri." kata ki Panji Mahesa Anabrang,
"Mari silahkan, paman Begawan dan anakmas Windujaya."
P a g e | 737

Ketiganya kemudian duduk dilantai yang bertikar anyaman daun Mendong.


Dan terlalu lama, seorang pembantu menghantarkan suguhan yang sederhana
layaknya penganan dikala itu.

Dipersilahkannya tamu untuk menikmati suguhan, serta tak lupa menanyakan


kabar selama ini.

"Hyang Widi masih bermurah memberikan karunianya, dan hal itulah yang
menjadikan aku selalu bersyukur." ucap Begawan Jambul Kuning.

Pembicaraan itu berjalan dengan rancak yang kadang kala diselingi sendau
gurau dan bahkan tawa yang renyah dan tulus. Hingga akhirnya pembicaraan
terus mengarah ke sisi yang lebih penting.

"Ki Panji, sudahkan ki Panji menemukan benang merah dari orang itu ?" tanya
Begawan Jambul Kuning.

Sejenak Senopati menggeser letak duduknya sembari menghirup napas dan


menghembuskan kembali. Lalu katanya perlahan, "Begini, paman Begawan.
Dahulu, orang itu diasuh oleh seorang pertapa di Belumbang, yang bernama
Ajar Paguhan."

"Ajar Paguhan.... " desis Begawan Bancak.

"Benar. "kata ki Panji Mahesa Anabrang, yang kemudian lanjutnya, "Ajar


Paguhan dahulunya seorang perwira Wilwatikta yang ditugaskan di Kadiri. Ia
seorang perwira yang jujur dan tegas dalam mengemban tugas. Hingga suatu
kali ia difitnah oleh seorang Demang sakti yang bernama Demang Brahu."

"Demang Brahu... " Begawan Jambul Kuning tercekat.

Kemudian semua yang diketahui oleh ki Panji, dituturkan secara runut tanpa
dikurangi atau dilebihkan. Siapa itu Ajar Paguhan? siapa itu Demang Brahu?
fitnah apa yang disebarkan menyangkut Ajar Paguhan ? semua terang
benderang dapat diungkap oleh ketelitian dan kegesitan ki Panji Anabrang.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 11 bagian 16
oleh : Marzuki
P a g e | 738

Waktu itu kebakaran melanda puri Kadiri. Hiruk pikuk mewarnai suasana
digelapnya malam. Teriakan, tangis, jerit bercampur menjadi satu. Meskipun
begitu, ada sebagian orang yang berusaha memadamkan ganasnya api
dengan menggunakan kelenting berisi air, atau-pun kain yang dibasahi.

"Anaku Bancak... putraku Anggada.. " jerit seorang perempuan muda.

"Nimas, tenanglah. Rangga Paguhan dan Lurah Brahu pasti dapat


menyelamatkan.. " ucap seorang pemuda yang berpakaian layaknya
bangsawan, menenangkan istrinya.

"Oh.. Tetapi keduanya tak kunjung keluar, Kakangmas.. "

Pangeran Banyak Paguhan kembali menenangkan istrinya dan


membawanya menepi.

Sementara itu, di dalam bangunan yang dilahap api membara, Rangga


Paguhan dan Lurah Brahu terus menerobos panasnya api. Dua orang prajurit
Kadiri ini memasuki lautan api tidaklah dengan tubuh biasa, melainkan
melambari masing - masing tubuh menggunakan aji kebal. Sehingga keduanya
dapat bertahan sedemikian rupa.

"Bagaimana, ki Lurah ? Kau melihatnya ?" tanya Rangga Paguhan.

Lurah Brahu menggeleng, "tiada nampak, ki Rangga."

"Mari kita berbencar.. " Rangga Paguhan akhirnya memutuskan.

Lantas keduanya berpencar dari satu ruangan, ke ruangan yang lainnya.


Satu persatu ruangan yang dilalap bara api itu, terus diteliti dengan cermat.
Hingga akhirnya, Lurah Brahu menemukan dua sosok terbungkus kain jarit.
Untunglah atap di mana dua bayi itu berada, kuat dan kokoh juga belum
terbakar.

Di raihlah dua bayi yang anehnya masih terlelap itu. Kemudian Lurah Brahu
beranjak meninggalkan kamar. Namun, bukannya menuju pintu, melainkan
menjejak papan dinding di sisi yang lain.

Sekali hentak, dinding itu ambrol meninggalkan lubang cukup besar. Maka
keluarlah Lurah Brahu dan bebas dari sergapan api.
P a g e | 739

Dalam pada itu, Rangga Paguhan yang masih berada di dalam, cemas dan
bingung. Sekian lama ia memeriksa tak kunjung mendapatkan hasil. Padahal
api semakin besar dan meluluh-lantahkan bangunan.

"Aku kira, ini sudah takdir dari Hyang Agung.. " desis Rangga Paguhan seraya
membalikan badan untuk keluar.

Sesudah keluar dari bangunan yang terbakar, Rangga Paguhan bergegas


menghadap Pangeran Banyak Paguhan. Semua yang ia lihat, dilaporkan
kepada bangsawan muda itu.

Raut kesedihan nampak jelas terlihat diwajah Pangeran Banyak Paguhan.


Tetapi hatinya yang bersih berusaha menerima cobaan dari Hyang Widi itu.

"Kau sudah bekerja semampumu, ki Rangga. Terima kasih." ucap Pangeran


Banyak Paguhan, lirih.

Tetapi sejenak kemudian bangsawan muda itu teringat dengan ki Lurah


Brahu. Lalu tanyanya, "He.. Mana ki Lurah Brahu ?"

Rangga Paguhan mengernyitkan alisnya. Ia tadi berpikiran kalau Lurah Brahu


sudah keluar lebih awal daripada dirinya. Tetapi atas pertanyaan dari
junjungannya itu, membuatnya sadar kalau Lurah Brahu belum kelihatan sejak
berpisah dengannya.

"Hamba akan mencarinya, Pangeran."

Bergegaslah Rangga Paguhan mengitari seluruh bangunan. Dan sampailah


dimana bekas lubang menganga yang dilewati Lurah Brahu. Diteliti tempat itu
sampai tanah dan rerumputan. Munculah sebuah kesimpulan ada orang yang
melewati tempat itu.

"Apa yang terjadi ?" tanya Rangga Paguhan, tetapi tiada jawaban yang
terang, kecuali ada petunjuk jejak langkah menuju pagar tinggi.

Lantas Senopati itu menjejakan kaki hingga membuat tubuhnya melayang


melewati pagar. Di balik pagar, Rangga Paguhan segera menajamkan mata.

"Wuuuus.... !"
P a g e | 740

Deru tajam sebuah benda hampir saja mengenainya. Untung saja panggraita
Senopati itu cukup lantip. Sehingga dapat menghindarinya.

Ternyata benda tadi adalah sebuah pisau kecil, dengan secarik kertas
berada diujung bilah daunnya. Tanpa mengurangi kewaspadaan, dicabut
pisau itu dan diraih secarik kertas tadi. Barulah dibaca tulisan itu dengan
seksama.

Alis Rangga Paguhan seketika mengernyit, "Sebuah tantangan dan ancaman


!"

Habis berkata, Rangga Paguhan pesatkan kakinya menuju ke arah selatan.


Gelapnya malam ia terobos tanpa rasa jerih sedikit-pun. Dalam hati, tekad
yang besar adalah hanya menyelamatkan dua buah hati junjungannya yang
masih bayi. Karenanya hati yang tatag semakin mendorong kakinya melaju
dengan cepat menggunakan ilmu Kidang Melar.

Puluhan tombak dilalui dengan cepat, menghantarkan Rangga Paguhan di


padang ilalang setinggi lutut. Di depan tampak jelas Lurah Brahu yang
memondok satu buntalan kain yang berisi bayi, kerepotan saat mencoba
merebut buntalan yang ada dalam dekapan seorang berambut lebat dan
putih. Tentu saja apa yang terjadi dihadapan Rangga Paguhan, membuatnya
bingung. Karenanya ia masih terlihat diam mematung sambil memperhatikan
kesebatan orang berambut putih.

Dalam pada itu, Lurah Brahu yang merasakan kehadiran Rangga Paguhan,
berseru nyaring.

"Ki Rangga, lekaslah bergerak. Bunuh orang gila ini !"

PANASNYA LANGIR DEMAK


jilid 11 bagian 17
oleh : Marzuki

Seruan itu menyadarkan Rangga Paguhan, meskipun ada keraguan sebesar


biji sawi, Rangga Paguhan meloncat dengan sasaran mengambil bayi dalam
pondongan orang berambut putih. Ia berkeyakinan dapat merampasnya
dengan mudah. Ini dikarenakan, orang itu masih sibuk menghadapi terkaman
Lurah Brahu.
P a g e | 741

Namun rupanya perkiraan Rangga Paguhan tak berjalan dengan apa yang
ada diangan - angannya. Kesebatan tata gerak lawannya sangat aneh serta
didukung ilmu yang tinggi. Meskipun usahanya gagal, Rangga Paguhan tidak
tinggal diam, ia mengisar kaki kanan seraya mengokohkan kaki itu untuk
menjadikan tumpuan dan selanjutnya tendangan memutar dari kaki yang lain,
siap melabrak lawan.

Sementara itu, orang tua berambut putih dan berkeriapan dapat mengerti
dan membaca tata gerak lawan yang baru datang. Orang itu tidak gopoh
barang secuil-pun. Malah serangan - serangan dari lawan sangat ia nikmati
dengan syahdunya. Seakan - akan tata gerak - tata gerak penuh ancaman
dari lawan, ia anggap tembang yang indah mengalun ditelinganya.

Tendangan Rangga Paguhan dapat dihindari dengan mudah. Bahkan


serangan susulan yang dilancarkan oleh Lurah Brahu, tidak mampu
menghentikan orang itu. Bukan hanya itu saja, ketika masing - masing serangan
dihindari, tangan orang tua itu bergerak cepat mengarah ke tubuh Rangga
Paguhan dan sekejap kemudian tendangan telak membuat Lurah Brahu
sempoyongan.

"Hati - hati, Lurah Brahu. Lebih baik hantarkan bayi itu kepada Pangeran
Banyak Paguhan terlebih dahulu. Biarlah orang ini aku hadapi !" Rangga
Paguhan mencoba memberi usulan kepada Lurah Brahu.

Lurah Brahu menggangguk, namun entah mengapa ada senyum aneh


terlukis dalam sunggingan bibirnya. Dan ia-pun sudah berketetapan
melangkahkan kakinya menjauhi padang ilalang. Tetapi baru sejengkal
melangkah, kejadian tak terduga dan begitu cepat, membuatnya bingung
bercampur marah.

Saat Lurah Brahu baru melangkah sejengkal tadi, sekelebat bayangan


menjangkaunya dan merampas bayi yang dibawanya. Dan bayangan tadi
dengan cepat kembali di tempat berdirinya, yaitu lima langkah di kanan tubuh
Rangga Paguhan. Memang benar orang tua itulah yang merebut bayi dan kini
ditangannya ada dua bayi.

"Hm... Bila kau pergi, pergilah prajurit kurang tata !" seru orang itu.
P a g e | 742

Bergemeletuk gigi Lurah Brahu mendengar ucapan yang mengandung


cibiran itu. Wajahnya memerah seperti udang rebus, saking marahnya. Tangan
terkepal keras seakan - akan menggenggam baja-pun akan rontok seketika.

Di lain sisi, Rangga Paguhan sangat takjub atas apa yang dilakukan oleh
orang tua berambut putih tadi. Dia tidak menyadarinya meskipun tadi ia tidak
mengendorkan kewaspadaan, tetap saja sulit dirinya mengikuti gerakan dari
orang tua. Bisa dibayangkan kalau orang tua tadi berpikiran mencelakakan
dirinya, sekali gerak tubuhnya tidak akan terisi oleh nyawa lagi.

Usai berangan - angan seperti itu, entah mengapa kaki Rangga Paguhan
malah bergerak menggenjot ke bumi. Sekali genjot, membuat tubuhnya
melayang bagaikan burung elang dan menukik deras ke arah mangsa.
Sungguh hebat juga tandang Rangga Paguhan kala itu. Gerakan itu dapat
membuahkan hasil yang gemilang, yaitu mampu merebut salah satu bayi.

Begitu dapat merebut, selekas kaki menginjak tanah, ilmu Kidang Melar
kembali diterapkan untuk menjauhi medan perkelahian. Dalam pikiran Rangga
Paguhan adalah lebih baik menyelamatkan dahulu bayi itu dan apabila
takdirnya baik, ia akan kembali merebut satunya lagi.

Larilah Rangga Paguhan yang disikapi dua hal yang bertentangan dari Lurah
Brahu dan orang tua berambut putih. Tetapi Rangga Paguhan tak mau
menghiraukan keduanya. Hanya keselamatan bayi itulah yang ia inginkan.
Maka larinya semakin kencang dan kencang. Jauh sudah padang ilalang
dilaluinya. Pohon dan semak juga terlewati hingga sampai di jalan utama yang
menghubungkan Kadiri dan praja yang lain.

Begitu mendekati pintu gapura, di situ ada Rakyan Grigis menunggang kuda
hitam beserta sepuluh pengawalnya.

"Ah.. Mengapa Rakyan ini ada di Kadiri ?" dalam hati Rangga Paguhan
bertanya - tanya. Tentu saja tiada jawaban yang pasti.

"He.. Kaukah itu, Rangga Paguhan ?"

"Hamba, gusti Rakyan.. " sahut Rangga Paguhan sambil mengangguk hormat
setelah berdiri lima langkah dihadapan kuda Rakyan Grigis, meskipun napasnya
masih kembang kempis.
P a g e | 743

Dahi Rakyan Grigis mengernyit tatkala mencermati adanya lilitan kain yang
membungkus bayi dalam dekapan tangan Rangga Paguhan. Lalu tanyanya
meminta keterangan dan apa yang terjadi.

Terpaksa Rangga Paguhan membeberkan kejadian malam tadi, mulai


terbakarnya kediaman Pangeran Banyak Paguhan, pencarian putra - putranya
yang masih bayi dan pengejaran yang menghasilkan satu bayi itu.

"Begitulah, gusti Rakyan." Rangga Paguhan mengakhiri ceritanya.

"Jadi Lurah Brahu kau tinggalkan ?!" tiba - tiba suara Rakyan Grigis, meninggi.

"Terpaksa, gusti Rakyan."

Kuda yang ditunggangi Rakyan Grigis mendekati Rangga Paguhan, sang


penunggang kemudian merebut bayi itu.

"Biar aku yang menyerahkan bayi ini. Kau kembali dimana kau tinggalkan
Lurah Brahu yang saat ini sedang bergelut dengan maut !"

Rangga Paguhan agak sangsi bila mempercayakan keselamatan bayi


kepada Rakyan Grigis. Tetapi mau bagaimana lagi, terpaksa ia pasrah dan
berharap bayi itu dapat kembali ke orang tuannya. Lalu ia bergegas kembali
ke padang Ilalang.

Sepeninggal Rangga Paguhan, Rakyan Grigis memberi isyarat kepada


pengawalnya, "Pedut, Tilam, Bangah dan kau Juling, Ikuti Paguhan. Bila dia
berhasil merebut bayi yang satunya, rebut dan lenyapkan dia."

"Sendiko dawuh, gusti Rakyan... " jawab ke-empat pengawal dengan


serentak.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 11 bagian 18
oleh : Marzuki

Seusainya mendapat perintah dari Rakyan Grigis, ke-empat pengawal


setianya terus mengikuti arah larinya Rangga Paguhan. Di depan, orang yang
mereka ikuti terus berlari mendekati padang ilalang dengan pesatnya. Mereka
berempat tak menyangka kalau orang yang bernama Rangga Paguhan,
P a g e | 744

berlari layang Kidang. Sungguh gesit, tangkas dan cekatan. Hingga membuat
pengawal setia Rakyan Grigis mengerahkan kemampuan mereka, demi tidak
kehilangan mangsanya.

"Berhenti... !" tiba - tiba Tilam memberi isyarat untuk menghentikan lari kawan -
kawannya.

"Ada apa, Tilam ?" tanya Pedut yang bertubuh kurus.

"Tajamkan telinga kalian. Di depan di balik ilalang pasti terjadi perkelahian


yang seru." Kembali Tilam berujar.

Memang di depan perkelahian seru tengah berlangsung. Lurah Brahu


bergelut tidak lagi setengah - tengah. Kemarahan yang amat sangat telah
membuka urat - uratnya dalam menyalurkan tenaga cadangan yang demikian
hebatnya.

Sesungguhnya Lurah satu ini memang bukan prajurit sembarangan. Dia


merupakan anak didikan seorang sakti dari Canggu, dan menurut kabar
burung memiliki ilmu - ilmu mendebarkan. Salah satunya aji yang bisa membuat
dirinya kembali utuh, apabila tubuhnya terpotong.

"Hm... Jadi dari awal, kau hanya bermain - main saja, Prajurit kurang tata !?"
seru orang tua, lawannya.

Tiada balasan kata, melainkan gerakan memutar disertai tendangan keras


dari Lurah Brahu. Belum lagi kaku mengena, udara yang menderu saja sudah
terasa tajam saat menyentuh kulit orang tua, lawan Lurah Brahu.

"Weleh - weleh... Nggegirisi juga murid Sambawa ini..." gumam orang tua,
sembari berloncatan menyamping, sebanyak tiga kali.

Diloncatan terakhir, orang tua itu merunduk rendah demi menghindari


kerasnya kaki yang bergerak mendatar. Belum terlalu lama kembali orang tua
itu harus beringsut mundur, ketika kaki lawan itu berubah arah yaitu ingin
menginjaknya.

"Sambawa dari Canggu memang hebat. Hm... ilmu tata geraknya sangat
indah." puji orang tua itu, lalu lanjutnya, " Sayang sangat disayang dia berbeda
haluan... "
P a g e | 745

"Diam kau orang tua !" teriak Lurah Brahu seraya menjulurkan pukulan
tangannya.

Hampir saja tubuh orang tua itu tertumbuk, jikalau tiada ilmu Lembu Sekilan
melambarinya.

"Lembu Sekilan.... " desis Lurah Brahu yang sesaat berhenti menyerang.

Dan saat itulah Rangga Paguhan muncul dari balik ilalang.

"Maaf, ki Lurah. Kau menunggu terlalu lama."

Lurah Brahu dan orang tua lawannya, sejenak memperhatikan kedatangan


Rangga Paguhan. Entah mengapa tanpa disangka, dalam hati keduanya
yang pertama dipikirkan adalah bayi yang sebelumnya dibawa oleh Rangga
Paguhan. Tentunya dengan tanggapan yang berbeda satu dengan lainnya.

"Kau berhasil menyerahkan bayi itu kepada Pangeran ?!" tanya Lurah Brahu.

Tanpa mencermati lebih jelas dari perranyaan Lurah Brahu, Rangga Paguhan
menggeleng dan mengatakan kalau Rakyan Grigis-lah yang membawanya.
Dan jawaban itu membuat Lurah Brahu lega dan senang. Berbeda jauh
dengan orang tua yang saat ini memondong bayi satunya lagi.

"Oh Jagat... " desis orang tua, agak kecewa.

Selanjutnya orang tua itu sudah bertindak penuh. Langsung menggerakan


tubuh menuju Lurah Brahu menggunakan telapak tangan yang terbuka.
Namun Lurah Brahu tidak lengah, tubuhnya miring demi menghindari ancaman
dari telapak tangan lawan. Berhasil memang, tetapi lawan sudah menyusul
dengan serangan ganda. Tak pelak membuat Lurah Brahu harus bergerak lebih
cepat, jika tidak ingin pundaknya tergempur.

Mendapati Lurah Brahu dalam kesulitan, Rangga Paguhan bergegas


membantu. Loncatan cepat membuat dirinya berkisar satu langkah di sisi
kanan lawan. Dan tangannya terayun deras ke arah pinggang lawan. Cepat
memang, tapi lawan yang sudah tua iti masih menunjukan kegarangannya.
Kaki lawan dapat menotol tanah dan menjadikan tubuh itu mental layaknya
pegas dan jauh dari jangkauan Rangga Paguhan maupun Lurah Brahu.
P a g e | 746

Tidak terlalu lama, ke-tiganya sudah berjual-beli serangan berupa pukulam


tangan, tendangan, sodokan dan bermacam - macam bentuk ancaman.
Sengit dan seru-lah jadinya. Udara terasa dikoyak oleh tajamnya tenaga hebat.
Ilalang porak - poranda terinjak - injak oleh kaki - kaki lincah nan kuat. Ditambah
suasana yang mendekati terang benderang dari timur, menjadikan perkelahian
sangat hidup dan mendebarkan.

Lembayung di pagi hari nan indah di cakrawala terkoyak oleh ganasnya tata
gerak dari ilmu - ilmu yang mengagumkan. Tiga unsur ilmu susul - menyusul silih
berganti, merembes dari wadag mencari tumbal berupa kelengahan lawan.
Meskipun dan pastinya lawan - lawan berusaha tidak lengah barang sesaat.

Dalam pada itu, Rangga Paguhan merasakan kejanggalan. Yaitu mengenai


tandang lawannya yang ia rasakan berbeda dalam setiap tindakan ketika
melawan Lurah Brahu, atau dirinya. Yaitu apabila berhadapan dengan Lurah
Brahu, lawan tak segan - segan menerapkan ilmu secara penuh. Tetapi bila
yang dilawan adalah dirinya, orang tua itu hanya menghindar dan apabila
terpaksa beradu tenaga, Rangga Paguhan bagai menemui tenaga lunak saja.

"Aneh... " desis Rangga Paguhan.

Tetapi ia mencoba meyakinkan lagi. Dan setelah beberapa waktu, yakinlah


apa yang ia duga. Orang itu hanya setengah dalam melayaninya. Hal itu
membuatnya bimbang dengan apa yang terjadi. Oleh karenanya ia melompat
menjaga jarak untuk mengurai lebih terang.

Saat itulah ia menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Pertama, saat


terjadinya perebutan bayi oleh orang tua itu dari Lurah Brahu. Ke-dua, dirinya
dengan mudah dapat merebut dan membawanya lari, ia sempat melirik ke
raut orang tua itu, disitu ada senyum mengembang dibibir orang tua itu. Ke-
tiga, perjumpaan yang tak terduga dengan Rakyan Grigis, seorang
Tumenggung yang berambisi besar dan selalu berusaha menjauhkan Pangeran
Banyak Paguhan dari urusan keraton, meskipun dengan sembunyi - sembunyi.
Ke-empat, nada suara Lurah Brahu pada waktu menanyakan bayi yang ia
bawa, Lurah itu memanggil dirinya hanya dengan Rangga tanpa adanya
unggah - ungguh dalam dunia keprajuritan. Dan terakhir adalah tandang
orang tua yang tidak sungguh - sungguh dalam menghadapinya.
P a g e | 747

Uraian demi uraian ia resapi lebih dalam, menimbulkan pertanyaan -


pertanyaan yang dapat terjawab satu persatu. Tetapi belum lagi dirinya
bertindak, dari balik ilalang muncul empat pengawal Rakyan Grigis.

"Kalian.... !" seru Rangga Paguhan.

"Benar, ki Rangga. Kami akan membantu tuan melangkah ke alam


kelanggengan." kata Tilam, yakin.

"He... Apa aku tidak salah dengar, he pengawal ?!"

"Hahaha... Nyatanya memang tidak, tuan. Karenanya agar tuan tidak


merasakan sakit yang amat sangat, angsurkan batang leher tuan."

Gemeletuk gigi Rangga Paguhan. Nyatalah yang ia duga. Rupanya ini


adalah rencana busuk Rakyan Grigis. Dan orang tua yang melawan Lurah
Brahu-lah yang sesungguhnya menolong dan membantunya. Tetapi kini
tinggalah sesal menggelayuti hatinya. Kesempatan menyelamatkan bayi,
malah ia gagalkan dengan sendiri.

"Sadarlah, anakmas Rangga Paguhan !" seru orang tua berambut putih,
"Hadapi-lah begundal - begundal itu. Biarlah kunyuk satu ini yang aku
lemparkan ke comberan !"

Seruan itu ditanggapi anggukan dari Rangga Paguhan. Sebaliknya dengan


Lurah Brahu yang marah bukan main, terbukti dengan berusaha menampar
mulut orang tua yang mengoceh tak karuan. Tetapi sangatlah sulit
mebghadapi orang tua yang tiba - tiba datang dan merusak rencana
kelompoknya.

Kini dua kalangan terbentuk dari pegulatan seru dan sengit diantara mereka.
Tandang - tandang memdebarkan terlukis penuh guratan ancaman
mencelakakan. Mulai dari perkelahian tangan kosong, hingga mengundang
tajam dan kerasnya senjata.

"Keluarkan senjatamu, tuan." ucap Tilam yang sudah mengeluarkan pedang


pandan dari sarungnya.
P a g e | 748

Kawannya juga demikian. Pedut menggenggam erat tombak pendek.


Bangah dengan terampil mengayun - ayunkan ruyungnya. Sementara Juling,
mempercayakan gada sebagai senjatanya.

"Hm... Baiklah kalau begitu apa yang kau mau." kata Rangga Paguhan,
seraya menarik pedang bermata dua.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 11 bagian 19
oleh : Marzuki

"Hiaat... !" seru Tilam, mengawali serangan menggunakan pedang.

Sebuah tebasan mengincar dada Rangga Paguhan. Kilatan pedang


meskipun cepat dapat dihindari dengan mudah oleh Rangga Paguhan. Sambil
menghindar, pedangnya menyusup lebih dalam dan mampu menyayat dada
kiri Tilam, walau tidak terlalu dalam, membuat Tilam meringis sakit.

Tetapi saat yang sama, tombak pendek Pedut dan gada Juling mengayun
deras mengancam dua sisi pundak Rangga Paguhan. Untungnya serangan itu
dilakukan oleh pengawal yang hanya memiliki bekal olah kanuragan, yang
tidak terlalu tinggi. Karenanya, Rangga Paguhan dapat menyongsongkan
pedang dan menyilangkan demi menahan laju gada dan tombak pendek.
Sekaligus dihentakan seraya menyarangkan dua sepakan ganda.

"Mati kau.... !" seru Bangah yang yakin ruyungnya dapat meremukan
punggung lawan.

Serangan gelap dari Bangah tidaklah menyulitkan Rangga Paguhan. Dari


awal Senopati itu tetap mewaspadai semua lawan - lawannya. Oleh karena
itulah serangan gelap dari Bangah, tidaklah sulit digagalkan, yaitu sembari
memajukan badan segaris lurus dengan tanah, yang selanjutnya diteruskan
membalikan badan dengan cepat, juga membabatkan pedangnya dengan
cepat dan deras.

"Craaas..... !"

Ruyung serta daging Bangah terpotong lebar dan daging itu melelehkan
darah yang banyak. Tepat di nadi pergelangan tangan, pedang Rangga
P a g e | 749

Paguhan tadi bersarang. Menjadikan pengawal Bangah berteriak kencang


dan langsung jatuh pingsan. Bila tidak mendapat pertolongan cepat,
kemungkinan besar dia pasti tewas.

"Setan alas... !" umpat Tilam, yang sudah tidak lagi menghiraukan lukanya.

Usai mengumpat, ia memberi isyarat kepada kawan - kawannya.


Terbentuklah lingkaran dari tiga manusia yang bersenjatakan pedang pandan,
tombak pendek dan gada mengurung Rangga Paguhan. Ketiganya awalnya
menggeser kaki pelan - pelan dan semakin menambah lajunya, hingga
semakin cepat.

Di dalam kepungan, Rangga Paguhan tidak memandang lawan - lawannya


sebelah mata. Sikap waspada terus ia lakukan agar tidak menyesali
dikemudian akhirnya. Karenannya matanya yang awas dan juga panggraita
yang tajam, selalu bersiaga sepanjang waktu.

Tidak lama kemudian, tiba - tiba salah seorang lawan meloncat menyerang.
Gada Julinglah yang pertama menggempur meskipun dapat dielakan lawan,
bergegas ia kembali menutup celah. Diteruskan kemudian tombak pendek
Pedut meluncur deras mengincar punggung lawannya. Sekali lagi sergapan itu
gagal dan mengembalikan Pedut ke tempatnya dengan kesal mendalam.

"Mungkinkah kali ini yang bersenjata pedang pandan ?" pikir Rangga
Paguhan.

Kurang lengkap dan tak terduga. Bukan hanya Tilam yang bersenjata
pedang saja, Pedut-pun juga ikut andil menusukan tombak pendeknya. Dua
sergapan dilayangkan secara bersama dan cepat. Tak pelak membuat
Rangga Paguhan menjadi berhati - hati agar tidak mengalami akhir yang
buruk.

Menyikapi sergapan yang tidak terduga, Rangga Paguhan memiringkan


kepala sekaligus menyilangkan pedang di atas pundak kirinya. Setelah itu
lututnya bergerak menyodok perut lawan, hingga lawan merunduk kesakitan.
Berhasil melumpuhkan lawannya, tubuhnya mendoyong sedikit ke kiri,
dilanjutkan putaran tubuh sekaligus tendangan memutar.

"Heeegggg.... !"
P a g e | 750

Leher Pedut bagai tertimpa batang pohon jati dan sulit bernapas dan
membuatnya rebah tak berdaya. Di sisi yang lain, Tilam masih kesakitan
memegangi perutnya.

Tinggalah Juling si raksasa yang masih mencoba membesarkan hatinya.


Gadanya mengayun - ayun menebas udara. Dan kemudian dibarengi teriakan
penyemangat, ia tebaskan gada itu dengan kencang. Walau begitu, ia yakin
lawan dapat mengelakan, dan benar saja. Dugaan itu sudah ia perkirakan dan
sudah mempersiapkan serangan - serangan susulan. Cukup alot juga usaha
dari Juling dalam menghadapi Rangga Paguhan. Orang itu terus berupaya
menyerang dan mendesak lawannya.

Gada Juling terayun mengerikan dan mendebarkan. Membuat lawannya


terus mundur dan berloncatan kian kemari. Hal itu semakin membuat Juling
yakin akan dapat menekan dan menghabisi lawannya. Tetapi itu hanyalah
dugaan yang sia - sia. Karena sebenarnya, Rangga Paguhan tidaklah seperti
yang dibayangkan oleh Juling. Senopati Kadiri itu berloncatan dan terus
mundur, dalam rangka menguras tenaga Juling itu sendiri.

Dan akhirnya memang begitulah. Tenaga Juling semakin lama kian menipis
dan menyusut. Ayunan gadanya semakin lemah dan kadang membuatnya
terseret oleh tenaga ayunan itu. Napasnya memburu deras seakan - akan ingin
menerobos keluar semuanya. Dan keringat sebesar biji jagung menetes dari
segala kulitnya, merembes membasahi pakaian yang ia kenakan.

"Sudahlah, pengawal. Sebaiknya kau beristirahat saja. Tubuhmu sudah tidak


memungkinkan untuk melanjutkan perkelahian ini." Rangga Paguhan berusaha
memperingatkan lawannya.

"Diam !" bentak Juling yang masih menggerakan gadanya.

Rangga Paguhan menggelengkan kepala dengan apa yang dilakukan oleh


Juling. Bahkan saat gada itu sekilan mendekati kepala Rangga Paguhan,
hanya menggerakan tangan kirinya, gada itu tertahan. Dan saat tangan
Rangga Paguhan dihentakan, tubuh Juling terdorong dan jatuh tersungkur.

"Bangkit Juling !" tiba - tiba seruan menggema.


P a g e | 751

Rupanya Tilam sudah dapat mengatasi rasa sakitnya. Dan berusaha memberi
semangat kepada kawannya yang tersungkur. Namun rupanya Juling sudah
tidak mampu lagi menggerakan anggota tubuhnya. Pingsan-lah raksasa Juling.

"He.. Kau ingin bertarung lagi, pengawal ?" tanya Rangga Paguhan.

"Cih... !" Tilam meludah ke tanah.

"Hm... " desuh Rangga Paguhan, "Mari majulah bila kau tidak dapat
membaca keadaan."

Sejenak Tilam mencoba memainkan pedangnya menebas udara. Sekali


loncat, ia sudah mengancam lawan penuh perhitungan. Kembalilah adu olah
senjata mewarnai padang ilalang. Denting beradunya senjata merobek
ketenangan padang ilalang. Percikan bunga api dari hasil gesrkan pedang, ikut
timbul menyemarakan perkelahian yang sebenarnya tidak seimbang itu.

Sementara itu, Lurah Brahu keripuhan menghadapi tandang orang tua yang
menggagalkan rencananya. Sudah sekian kali dan sekian lamanya
menghadapinya, ua tak kunjung mengakhiri lawan yang sudah tua itu. Ilmunya
seakan - akan tumpul tak berguna dan selalu dapat dimentahkan lawan.
Padahal ilmu yang ia miliki adalah warisan dari ki Sambawa yang sangat
disegani orang - orang kerajaan Majapahit. Hal itulah yang membuat Lurah
Brahu penasaran siapa sebenarnya lawannya ini.

"Kakek tua. Siapa kau ini ?"

"Hehehe... Aku, ya aku... hehehe !" celetuk kakek iti sekenanya.

Mendongkol bukan kepalang Lurah Brahu. Sikapnya yang sungguh - sungguh


malah disikapi tak semestinya oleh kakek tua.

"Munyuk alas.... !" umpat Lurah Brahu kemudian, sambil terus menggempur
pertahanan lawan.

"Eladalah... !" desis kakek tua itu, sembari melayani sikap lawan yang beringas
dalam menerapkan ilmu dari Canggu.
P a g e | 752

"Hm.. Dasar ilmu yang kau sadap daru Sambawa memang hebat. Tetapi
sikapmu yang tidak jernih seperti gurumu, menjadikan ilmu ini tak memiliki arti."
kata kakek itu, disela - sela melayani lawannya.

"Tahu apa, kau dengan perguruan kami ?!"

"Hehehe... Sagotra Wineh Suka, ya itulah awal dari perguruan yang gurumu
dirikan."

Lurah Brahu meloncat menjaga jarak. Dahinya mengerut tanda heran


dengan pengetahuan lawannya yang tahu segala seluk beluk perguruannya.
Ini semakin membuatnya bertanya - tanya siapa jati diri lawannya. Bila
dicermati, orang itu lebih tua dari gurunya yang sudah meninggal dua tahun
yang lalu. Mungkinkah ia dahulu kawan atau lawan gurunya ? Sulit
menebaknya.

"Sagotra Wineh Suka, berdiri atas landasan mengemban keutuhan Wilwatikta


setelah pemberontakan Sadeng. Rakyan Tumenggung Gajah Sagotra
sendirilah yang memilah anggotanya dengan cermat dan teliti." sejenak kakek
itu berhenti demi mengetahui kesan yang ditimbulkan oleh Lurah Brahu,
"Perkumpulan itu bertahan cukup lama dan selalu ikut andil dalam menyatukan
perpecahan priyayi agung. Hingga suatu kali adanya seorang yang sesat
memasuki perkumpulan itu. Dan gurumu salah seorang yang ditipu-daya oleh
orang sesat itu."

"Cukup !" teriak Lurah Brahu, "Kau jangan menipuku, kakek tua !"

"Aduh, ngger. Jangan kau berteriak terlalu keras. Lihatlah bayi ini jadi
menggeliat dan mengernyipkan matanya." kata orang tua sambil menepuk
pelan pantat bayi dalam dekapannya.

Kesal bukan main Lurah Brahu. Sudah tidak mau lagi ia terbawa perasaan.
Sekali sebat, ia sudah melancarkan serangan ganda dan mematikan. Tapi
lawannya yang kelihatan biasa - biasa saja itu tidak mudah dikenai-nya. Tubuh
orang tua itu sangat luwes dalam menghindari setiap serangan yang dahsyat
dari Lurah Brahu.
P a g e | 753

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 11 bagian 20
oleh : Marzuki

Perkelahian seru masih terus berlangsung hingga matahari kian merangkak.


Sang surya di langit memandang jelas dengan sinar teriknya tanpa halangan
sang awan. Seolah ikut mengawasi adu olah kanuragan merebutkan bayi putra
Pangeran Banyak Paguhan. Entah bagaimana jadinya diakhir perkelahian itu,
tetapi yang tentu adalah adanya korban, entah itu pingsan atau bahkan
kematian menghampiri mereka.

Padang ilalang yang awalnya terasa damai dihari - hari biasanya, sejak tadi
malam berubah kelam. Tiga sosok manusia menggeletak tak berdaya,
sedangkan empat pasang kaki masih meloncat - loncat dengan tata gerak
yang merusak tetumbuhan itu. Hanya diam dan pasrahlah yang dilakukan oleh
ilalang itu. Karena tetumbuhan itu hanya dikodratkan untuk menyaksikan
keadaan alam ciptaan Dzat Suci.

Dua kalangan antara Lurah Brahu dan kakek tua, serta Rangga Paguhan dan
Tilam, terus mengeluarkan bermacam - macam tata gerak. Tetapi sungguh ada
perbedaan yang mencokok dari masing - masing pihak. Yaitu niat yang ada
dalam diri masing - masing dalam melakukan tindakan itu. Angkara murka
penuh nafsu menyusup diantara dua hati untuk meraih sesuatu kenikmatan
dunia melalui jalan yang salah. Sedangkan disisi sebaliknya, adanya sifat
mengayomi antara sesama menimbulkan tindakan pencegahan dan mengusir
tindakan - tindakan angkara murka itu sendiri.

Sudah sekian lama perkelahian itu, maka akhir dari perkelahian semakin
mendekati akhir. Rangga Paguhan menggenggam erat pedang ditangannya.
Sambil merendah mengelakan tebasan lawan, ia mendorong pedangnya ke
depan. Pedang itu berhasil merobek perut lawannya dengan meninggalkan
bekas goresan panjang dan darah deras mengalir dari perut lawannya. Dan
robohlah orang itu ke bumi.

Desuh napas mengiringi pandangan Rangga Paguhan, saat menyaksikan


bagaimana lawannya tersungkur untuk selamanya. Tiada jalan lain selain akhir
yang buruk seperti itu. Peringatan beberapa kali dari Rangga Paguhan tak
diindahkan. Maka itulah jalan terakhir yang dipilih, yaitu kematian dari salah
P a g e | 754

satu pihak. Dan dialah yang lemah-lah yang pertama dijemput oleh dewa
maut.

Tak berbeda jauh dari nasib Tilam, meskipun akhirnya masig lebih baik, Lurah
Brahu semakin terdesak dan tertekan hebat. Ilmunya yang bersumber dari
Sagotra Wineh Suka, selalu dapat dimentahkan oleh lawannya. Orang tua itu
selalu selapis lebih tinggi diatasnya.

"Kita sudahi, ngger.. " desis orang tua itu, sembari mengibaskan tangannya.

Hebat jadinya, dari kibasan tangan orang tua itu, telah menimbulkan
serangkum angin yang membuat tubuh Lurah Brahu terdorong jauh. Tubuh itu
melanda ilalang sejauh lima tombak dan tak sadarkan diri.

"Hm... Itu lebih baik daripada kau pergi ke alam lain.. " gumam orang tua itu.

Dalam pada itu, Rangga Paguhan bergegas mendekati orang tua tersebut.
Sesampainya didekatnya, selekasnya Rangga Paguhan meminta maaf atas
kesalahpahaman yang terlanjur terjadi. Serta tak lupa meminta keterangan
mengenai diri orang tua itu, yang sepertinya tahu segala - galanya.

"Hm.. Anakmas, aku salah seorang pengasuh Pangeran Banyak Paguhan.


Orang menyebutku Sumantri."

Rangga Paguhan mengernyitkan alisnya. Ia agak sangsi dengan keterangan


dari orang tua itu. Baru sekarang ia mendengar nama seorang pengasuh
Pangeran Banyak Paguhan.

"Itu tidak penting, Anakmas." kata ki Sumantri seraya melanjutkan ucapannya,


"Anak inilah yang kau dahulukan untuk kau antarkan kepada orang tuanya.
Dan ingat-lah, harus orang tuanya, jangan orang lain."

"Memangnya mengapa, kyai ?" tanya Rangga Paguhan, heran.

"Hm... Saat ini keadaan di telatah Wilwatikta dan sekitarnya sangat runyam."

"He... " Rangga Paguhan tercekat.


P a g e | 755

"Baiklah, sambil kita kembali ke pura Kadiri, akan aku ceritakan semuanya.
Dan hal ini akan menyangkut junjunganmu yang masih muda itu." kata ki
Sumantri seraya mengajak Rangga Paguhan bergegas ke pura Kadiri.

Di jalan, keduanya tidak mengalami kesulitan yang berarti. Dan tiada juga
menemukan adanya orang - orang Rakyan Grigis. Maka selamatlah ki Sumantri
dan Rangga Paguhan, di pura Kadiri.

Sesampainya di pendopo, Pangeran Banyak Paguhan sendirilah yang


menyambut kedua orang itu. Dan benar adanya kalau ki Sumantri merupakan
orang yang dahulu mengasuh Pangeran Banyak Paguhan. Juga merupakan
seorang guru yang mengajarkan satu dua ilmu olah kanuragan.

Setelah menanyakan kabar dan keselamatan masing - masing, Pangeran


Banyak Paguhan yang mengetahui salah seorang putranya selamat, bergegas
mengucapkan terima kasih kepada keduannya. Meskipun dalam hati ada
sedikut ganjalan.

Tetapi itu semua dapat dibaca oleh ki Sumantri. Oleh karenannya orang tua
itu memberanikan diri untuk bertanya.

"Anakmas Pangeran, pancaran hati dari anakmas begitu kentara hingga


meresap keluar begitu kentalnya. Mohon kiranya anakmas sudi membagi
kepada orang tua pikun ini."

Sejenak, Pangeran yang berusia muda itu menghela nafas. Ia tak mungkin
menyembunyikan masalah yang menimpa dirinya, terhadap orang tua yang
tajam pranggaitanya itu. Maka kemudian ucapnya.

"Eyang Sumantri, dibalik ketenangan Wilwatikta kala ini, bagaikan permukaan


air brantas di musim kemarau. Bila dilihat dari atas, permukaan sangat tenang
dan menghibur. Tetapi di dasarnya sungguh mendebarkan jiwa."

Ki Sumantri mengangguk mengerti. Dirinya-pun juga menyimpulkan kesamaan


mengenai suasana di Wilwatikta dan seluruh tanah kekuasaannya. Hanya
Rangga Paguhan saja yang masih ragu dalam menyikapi keadaan yang tadi
sedikit diceritakan oleh ki Sumantri. Tetapi sejenak kemudian, terdengar
Pangeran Banyak Paguhan berkata lebih lanjut.
P a g e | 756

"Benih pergolakan sudah ditebar oleh penguasa Kadiri. Dan kini benih itu
melebar luas menggerogoti jiwa para Nayaka Praja."

"Oh Jagat... " desuh ki Sumantri.

Kemudian Pangeran Banyak Paguhan menceritakan lebih lengkap.


Mengenai rincian pergolakan yang mulai dijalarkan oleh orang - orang yang
ingin meruntuhkan Wilwatikta. Dan salah seorang dari mereka adalah Rakyan
Grigis. Dengan berhasilnya tumenggung itu mendapatkan salah satu bayi
Pangeran Banyak Paguhan, maka jalan untuk menekan Pangeran yang cukup
berani dari Kadiri, dapat dilaksanakan. Sehingga adanya pemusatan di Kadiri
tidak akan merembes keluar.

"Ki Rangga Paguhan... "

"Hamba, gusti Pangeran."

"Aku tugaskan kau untuk merebut kembali, putra. Namun kau harus berusaha
menyamarkan dirimu. Dan jika kau berhasil, rawatlah ia di telatah Belumbang."

"Sendiko dawuh, gusti Pangeran."

Sejak saat itulah Rangga Paguhan menyembunyikan jati dirinya menjadi


seorang pertapa. Ki Ajar Paguhan sekarang telah ia sandang sebagai gelar
untuk ia gunakan merebut putra Pangeran Banyak Paguhan, yang bernama
Bagus Wana. Setahun kemudian ki Ajar Paguhan berhasil menewaskan Rakyan
Grigis dan membawa Bagus Wana ke telatah Belumbang. Di sana ki Ajar
Paguhan juga merawat seorang anak yang bernama Kidang Rumeksa.

Kedua anak itu mendapat gemblengan langsung oleh ki Ajar Paguhan


berupa olah kanuragan. Siang malam keduanya menghabiskan waktu dalam
menekuni ilmu - ilmu dari ki Ajar Paguhan.

Dan di suatu hari, seorang kakek lanjut usia, datang berkunjung ke pondok
dimana ki Ajar Paguhan dan dua muridnya berada. Kakek itu ternyata adalah
ki Sumantri, seorang pengasuh Pangeran Banyak Paguhan. Kedatangannya
merupakan utusan daripada Pangeran Banyak Paguhan itu sendiri. Yaitu untuk
menilik keadaan Bagus Wana yang seharusnya dibawa ke pura Kadiri. Tetapi
P a g e | 757

karena suatu sebab, hal itu diurungkan. Karena di pura terjadi kericuhan yang
mencemaskan.

Hanya tiga hari saja ki Sumantri berada di telatah Belumbang. Di hari yang
terakhir, orang tua itu sempat meninggalkan pesan kepada ki Ajar Paguhan.
Pesan itu adalah apabila sesuatu terjadi, hendaknya ki Ajar Paguhan
menyampaikan kepada anak Kidang Rumeksa untuk mengunjungi gua yang
tidak terlalu jauh dari Belumbang. Dan hal itu membuat ki Ajar Paguhan heran
atas pesan ki Sumantri.

Sebagai seorang yang waskita, ki Sumantri kemudian menjelaskan alasan


mengapa dirinya berpesan seperti itu. Pertama, saat pertama bertemu dengan
anak yang bernama Kidang Rumeksa, ki Sumantri melihat adanya hati yang
bersih dari anak itu. Kedua, ada penglihatan yang meskipun samar, masa
depan Kidang Rumeksa akan menjadikan dirinya seorang yang selalu
mengurungkan tindakan - tindakan salah dari seseorang, tanpa adanya sikap
membenci yang mendalam

Uraian itu membuat ki Ajar Paguhan agak cemas. Yang mencemaskan


adalah apakah seseorang yang selalu ditindak oleh Kidang Rumeksa adalah
Bagus Wana ? Inilah yang menghawatirka bekas Rangga itu.

Bertahun - tahun lamanya kehidupan di telatah Belumbang, aman sentosa.


Hingga saat mendebarkan datang jua. Seorang lelaki yang berbadan tegap
menghampiri Bagus Wana. Orang itu mengaku sebagai Demang Brahu yang
merupakan adik dari Rakyan Grigis. Dan Demang Brahu mengatakan kepada
Bagus Wana, kalau sebenarnya ayahnya adalah Rakyan Grigis, yang dibunuh
oleh ki Ajar Paguhan.

"Begitulah, paman Begawan." kata ki Panji Mahesa Anabrang, mengakhiri


ceritanya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 11 bagian 21
oleh : Marzuki

Begawan Jambul Kuning yang di masa mudanya bernama Raden Bancak


putra Pangeran Banyak Paguhan, benar - benar tak mengira jika dirinya
mempunyai saudara kembar. Bertahun - tahun lamanya, bahkan setelah orang
P a g e | 758

tuanya tiada, dan bahkan disaat usia senja ia lalui, baru tahulah kebenaran
mengenai keluarganya. Hal itu sungguh menjadikan tanda tanya besar pada
dirinya kepada ayahanda Pangeran.

Semenjak dirinya kecil hingga remaja, tiada sang ayahanda mengatakan


kalau dirinya mempunyai seorang saudara. Begitu-pun dengan ibunda yang
setiap hari tak pernaj menunjukan keanehan. Mengapa ? Mengapa ?
Mengapa ? Apa alasan keduanya tidak pernah menceritakan kenyataan itu ?
Tiada satu-pun pertanyaan itu terjawab.

Di samping Begawan Bancak, Windujaya ikut merasakan kegetiran yang


dipikul oleh gurunya. Namun ia hanya diam membisu saja dan menunggu sikap
gurunya itu.

Dalam pada itu, ki Mahesa Anabrang berkata, "Demang Brahulah yang


mencuci otaknya, paman Begawan. Semua kenyataan tentang jati diri adik
paman telah ia simpangkan."

"Apakah orang yang disebut Demang Brahu itu masih hidup ?"

Sebuah pertanyaan konyol itu sebenarnya disadari oleh Begawan Jambul


Kuning, tetapi adanya rasa sesak yang begitu mendalam, membuat bibirnya
berucap. Dan selekasnya Begawan Jambul Kuning menggelengkan kepala
sekaligus berkata.

"Ah.. Tentu tidak. Bila orang itu hidup, usianya pasti seratus lebih."

Tetapi sekonyong - konyong ki Panji Mahesa Anabrang berkata, "Dia


dikaruniai umur panjang, paman."

"He... " Begawan Jambul Kuning, terkesiap.

"Salah seorang prajuritku mengetahui keberadaannya di gunung Arjuno."


terang, ki Panji Mahesa Anabrang.

Pembicaraan itu terhenti sejenak, manakala dari pintu regol terlihat dua
orang memasuki halaman. Dari salah satunya ki Panji Mahesa Anabrang dan
yang lainnya sangat mengenali orang yang tidak bukan adalah Lurah Arya
Dipa, putra angkatnya. Tetapi orang satunya, barulah kali ini mereka
melihatnya.
P a g e | 759

Usai berucap salam dan disambut, Lurah Arya Dipa dan orang bersamanya,
dipersilahkan duduk. Saling menanyakan keadaan juga tidak dihindari,
khususnya antara Begawan Jambul Kuning beserta Windujaya dan Lurah Arya
Dipa yang sudah lama tidak bertatap muka. Barulah Arya Dipa
memperkenalkan orang yang duduk di sampingnya.

"Kyai Jalasutro.... " desis Begawan Jambul Kuning dan ki Panji Mahesa
Anabrang, bersamaan.

"Oh.. Tidak aku duga jika seorang linuwih seperti kyai, dapat aku jumpai disini."
kata Begawan Jambul Kuning, yang sudah mendengar kehebatan orang itu.

"Ah, Begawan terlalu berlebihan." kata kyai Jalasutro merendah.

Dalam pada itu, selain memperkenalkan antara kyai Jalasutri dan ayahnya,
dan tanpa diduga di pondok ayahnya yang kedatangan tamu kakeknya,
Lurah Arya Dipa yang sebelumnya sudah menceritakan bagaimana kesamaan
antara kakeknya Begawan Jambul Kuning dengan ki Wanapati kepada kyai
Jalasutro, telah melakukan pembicaraan mengenai kenyataan keluarga
kakeknya.

"He.. Jadi, orang itu mendatangimu, ngger ?"

"Iya, eyang Begawan. Untunglah kyai Jalasutro datang menolong." jawab


Lurah Arya Dipa.

"Terima kasih, kyai." ucap Begawan Jambul Kuning.

Kyai Jalasutro menggeleng dan berkata, "Aku hanya tak ingin kawan
sepermainanku itu celaka ditangan anakmas Arya Dipa."

Semua orang tersenyum dengan apa yang dikatakan oleh kyai Jalasutro.

"Oleh karenannya, aku meminta ijin untuk tinggal bersama keluarga anakmas
Arya Dipa. Tiada lain maksudku ialah untuk menanti kembali Bagus Wana yang
kini menyebut dirinya ki Wanapati." lanjut kyai Jalasutro.

"Oh, baguslah hal itu, kyai. Kita bisa berbicara panjang lebar di rumah cucuku
ini. Karena, aku-pun ingin menunggu kelahiran buah hatinya, yang tidak akan
lama lagi." sahut Begawan Jambul Kuning.
P a g e | 760

Maka, dihari - hari kedepannya, rumah Lurah Arya Dipa akan semakin ramai
dengan adanya kyai Jalasutro dan Begawan Jambul Kuning, serta Windujaya.
Canda gurau terdengar menghidupkan suasana rumah kelurga kecil Lurah
Arya Dipa, meskipun tanpa lengah sedikit-pun atas sosok dari ki Wanapati yang
masih mempunyai ikatan darah.

Suasana rumah Lurah Arya Dipa, tidak terlepas dari pengamatan orang -
orangnya ki Wanapati. Itu terbukti manakala ada seorang lelaki yang berhenti
membeli dawet ditikungan jalan yang berhadapan dengan rumah Lurah Arya
Dipa. Orang itu berpura - pura membeli dawet dan meminumnnya perlahan
seraya bertanya.

"Wah, dawet kisanak sungguh lain daripada yang lain." puji orang itu.

Seorang pedagang jika dagangannya dipuji seseorang, tentu kebanyakan


dari mereka akan berbesar hati dan senang.

"Hehehe... Begitulah, tuan. Orang - orang yang sekali membeli dawetku, pasti
datang ketagihan."

"Hm.. Tentu - tentu. Jika aku lewat sini, pasti akan kucoba lagi dawet ini."

"Lewatlah lagi, tuan. Bila tuan lewat jalan ini sebelum tengah hari, dawetku
biasanya masih tersedia."

"He.. Dawet dua pikul ini terjual hanya setengah hari ?" tanya orang itu,
terkejut.

"Memang sepertinya tuan baru lewat telatah sini. Di sini hanya dawetku saja
yang laris manis. Kata orang, dawetku sungguh sangat menyegarkan."

Orang itu mengangguk - angguk, lalu kemudian orang itu bertanya mengenai
hal lain, "Kisanak, bukankah itu rumah seorang Tumenggung di masa Sultan
pertama Demak ?"

Tukang dawet itu mengernyitkan alisnya. Namun kemudian ia tersenyum dan


berkata, "Benar, tuan. Tetapi sudah lama gusti Tumenggeng meninggal karena
sakit. Dan rumah itu kosong hingga bertahun - tahun."

"Lho.. Itu, ada penghuninya ?"


P a g e | 761

"O, itu tamu yang akhir - akhir ini tinggal di rumah, yang sudah setahun ini
dihuni oleh ki Lurah Arya Dipa, cucu gusti Tumenggung." terang tukang dawet.

Orang yang beli dawet itu, mengangguk. Agar tidak menimbulkan


kecurigaan, bergegas ia membayar dan melangkah pergi dengan melewati
depan regol rumah Lurah Arya Dipa. Dan saat melewatu itulah, terlihat dua
orang tua yang duduk di tlundakan. Hanya satu yang membuat orang itu agak
terkejut. Yaitu ketika melihat wajah dari salah satu orang itu.

"Wajahnya begitu mirip dengan ki Wanapati... " desis orang itu, yang terus
berlalu.

Orang itu kemudian menuju sebuah pategalan yang ditumbuhi pohon


lamtoro dan pohon nangka. Di saat sampai ditengah pategalan, disitu
terdapat adanya gubuk terbuat dari pohon bambu dan beratapkan daun
blarak yang dianyam. Rupanya gubuk ini adalah tempatnya bermalam.

"Kau, sudah datang, Galah ?" seseorang yang baru keluar dari gubuk,
mengajukan pertanyaan.

"Bukankah kau sudah lihat sendiri kalau aku baru tiba, Supa ?"

"Hehehe... Kau seperti biasanya. Hm, masuklah. Aku sudah membuat wedang
sere." kata Supa.

"Hm.... " desuh Galah yang mengikuti Supa.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 11 bagian 22
oleh : Marzuki

"Kau pasti tak akan percaya, Supa."

Supa menggeser letak duduknya dan tanyanya, "apa yang kau maksud,
Galah ?"

"Rumah Lurah muda itu kedatangan seorang tua yang mirip dengan wajah ki
Wanapati."

"Kau bicara mengada - ada, Galah. Apa kau sudah mabuk dawet ?"
P a g e | 762

"Semprul, kau Supa." umpat Galah, "Tadi aku sudah bilang, kalau kau tidak
akan mudah untuk mempercayaiku."

Supa mencoba mempercayai ucapan kawannya. Apakah benar kalau


orang yang berada di rumah Lurah Arya Dipa sangat mirip dengan ki
Wanapati. Dan tak lama kemudian, Supa ingin membuktikan keterangan dari
Galah. Maka ia bangkit berdiri dan beranjak pergi.

"He, mau kemana kau ?" tanya Galah, agak kesal karena ditinggal begitu
saja.

"Membuktikan omonganmu.. " sahut Supa yang sudah berada di luar gubuk.

"Terserah kau... "

Supa penasaran dengan orang yang mirip dengan ki Wanapati. Disetiap


langkahnya terus terbayang kemiripan apa saja yang ada diantara keduanya.
Sehingga tiada terasa kelokan jalan sudah dilewati dengan cepat. Gubuk di
pategalan sudah jauh dibelakang tak terlihat lagi. Kini langkahnya menapaki
jalan yang umum dilewati oleh khalayak ramai. Kadangkala ia berpapasan
dengan pejalan lainnya dan apabila ada seseorang penunggang kuda,
terpaksa ia menepi.

Akhirnya sampai juga Supa ditikungan jalan dekat rumah Lurah Arya Dipa.
Yang tadi disitu ada penjual dawet, sudah tak ada lagi. Berhentilah Supa disitu.

"Mencari siapa, kisanak ?" sebuah teguran terdengar dari arah belakang
Supa.

Supa agak kaget, meskipun dengan cepat ia menguasai keadaan kembali.


Dilihatnya dibelakang ada seorang lelaki muda menuntun kuda. Dari
penampilannya, lelaki muda itu hanyalah orang biasa saja. Lantas Supa
berpura - pura untuk memperkenalkan diri sebagai pedagang.

"Oh, kisanak mengagetkan aku saja." kata Supa, "Biasanya disini ada penjual
dawet, tapi apa mungkin sudah habis ?"

"O.. Memang benar, kisanak. Ki Talam biasanya menggelar jualannya disini.


Tetapi bila mataharu sudah menggelincir ke barat, dawetnya yang dua pikul
sudah ludes terjual."
P a g e | 763

Supa mengangguk, lalu katanya kemudian, "Ah, sayang sekali."

"Bila kisanak bersedia, mari singgah di gubukku." lelaki muda itu menawarkan.

"Ah, terima kasih. Mungkin lain kali saja. Mumpung hari masih terik, sebaiknya
aku melanjutkan perjalanan."

"Silahkan, kisanak."

Sehabis berpamitan, Supa melangkahkan kakinya melewati depan regol


rumah Lurah Arya Dipa. Begitu tepat di depan regil yang terbuka, ia sejenak
melayangkan pandang menyusuri halaman. Tetapi tiada nampak orang disitu.
Lantas ia pesatkan langkah kakinya.

Sementara itu, lelaki muda tadi yang masih berdiri ditikungan, mengerutkan
alis manakala mendapati orang yang mengaku pedagang tadi,
memperhatikan rumah Lurah Arya Dipa. Lelaki muda itu merasakan kalau orang
yang mengaku seorang pedagang tadi, ingin mengetahui keadaan rumah itu.

"Siapa orang tadi ?" desis lelaki muda, yang ternyata adalah Lurah Arya Dipa
itu sendiri.

Sebenarnya tadi Lurah Arya Dipa yang baru pulang dari sungai, tanpa
sengaja melihat seseorang yang berdiri di tikungan jalan dengan tampang
yang mencurigakan. Oleh karenanya dari jauh ia turun dari pelana kuda dan
menuntun kudanya dengan sangat perlahan. Sehingga saat dekat dengan
orang tadi, dan menyapanya, membuat orang itu kaget.

Malah ditambah lagi saat orang itu melewati jalan depan regol rumahnya.
Mata orang itu begitu kentara adanya sesuatu yang dicari. Oleh karenanya,
Lurah Arya Dipa berusaha menarik tali simpul dari keadaan diakhir - akhir ini.
Sehingga dugaan yang paling mendekati di hati Lurah muda itu yaitu,
mengkaitkan orang mencurigakan tadi dengan seorang yang bernama ki
Wanapati.

"Bisa jadi dia adalah orang - orangnya ki Wanapati." batin Lurah Arya Dipa,
sembari memasuki regol.
P a g e | 764

Dibawanya kuda menuju kandang yang berada di belakang rumah dan ikat
di patokan yang tersedia. Tak lupa sekeranjak rumput ditaruh di depan kuda,
sebagai makanan kuda kesayangannya.

"Makanlah yang kenyang, Jatayu.. " desis Lurah Arya Dipa, sambil membelai
kepala kuda itu.

Kuda itu meringkik perlahan. Seakan - akan mengiyakan ucapan dari


tuannya. Dengan lahapnya kuda itu mengunyah rumput yang menyegarkan
bagi tubuhnya. Sejenak Lurah Arya Dipa masih terus memperhatikan tingkah
laku Jatayu. Kuda yang menemaninya semenjak usianya masih belasan tahun.
Kuda jantan yang kokoh, tinggi dan besar, berlari pesat layaknya tidak
menapak tanah saja.

"Kau disini rupanya, kakang.. " Ayu Andini menyapa dari arah belakang.

Sembari membalikan tubuh, Lurah Arya Dipa tersenyum menyaksikan istrinya


yang menghampirinya. Dilihatnya perut istrinya yang membuncit adanya calon
jabang bayi, putra pertamanya. Dan mulut Lurah muda itu terbuka.

"Angger, nyenyak-kah kau ? Lihatlah, disini Jatayu asyik menikmati makan


siangnya.." kata Lurah Arya Dipa, sembari membelai perut istrinya, penuh kasih
sayang.

Pada saat namanya disebut oleh tuannya, Jatayu meringkik perlahan dan
menoleh ke arah perut Ayu Andini, seolah menyapa anak yang ada dalam
kandungan Ayu Andini.

"Kakang.. "

"Ada apa, Ayu ?"

"Tadi pagi ada seseorang yang terus memperhatikan rumah kita." kata Ayu
Andini, perlahan.

Lurah Arya Dipa mengerutkan alisnya, tetapi mencoba menenangkan istrinya,


"Ah, mungkin hanya sebatas saja, Ayu."

"Tidak, kakang. Bahkan ki Talam yang merupakan orang awam, sangat


mencurigai orang itu." sergah Ayu Andini, "Bahkan orang itu menanyakan
P a g e | 765

apakah rumah ini masih dihuni eyang Tumenggung dan menanyakan siapa
saja yang menghuninya."

"Hm... Kau tak perlu memikirkan hal itu, Ayu. Yang paling utama, kau pusatkan
kelahiran dari buah hati kita. Tenanglah, di rumah ini ada eyang Begawan dan
adi Windujaya. Dan bukankah Kyai Jalasutro juga ikut menginap disini ? Jadi,
sekali lagi, kau harus bersikap tenang." Lurah Arya Dipa, mencoba
menentramkan istrinya.

Ayu Andini mengangguk mencoba mengikuti pesan dari suaminya itu.


Memang benar apa yang diucapkan oleh suaminya, di rumahnya berkumpul
orang - orang tua yang mumpuni, juga ada Windujaya yang merupakan murid
tunggal Begawan Jambul Kuning. Dan apabila memungkinkan, mereka dapat
meminta pertolongan dari ayahnya, ki Panji Mahesa Anabrang.

Tidak terasa senja diambang mata. Sinar lembayung mulai menghiasi


indahnya langit. Perlahan namun pasti, sang surya kembali keperaduannya
dan digantikan kerlap - kerlip gemintang. Menambah suasana temaram
menjelang malam. Ublik, dian dan beberapa penerangan di rumah - rumah
telah dinyalakan demi menghidupkan keadaan gelap di ruangan tertutup
maupun terbuka.

Di ruang utama rumah Lurah Arya Dipa pun sudah diterangi sinar dian. Di situ
terlihat jelas Windujaya membelai keris pusakanya yang berbeda dari keris
pada umumnya. Sementara berjarak selangkah darinya, Kyai Jalasutro
menggerak - gerakan kipas bercorak burung merak. Lain lagi dengan orang
tua satunya, matanya terpejam sembari bibir bergerak lirih layaknya berucap
sesuatu, rupanya ia asyik memuji keagungan Sang Pencipta.

"Begawan.. " desis Kyai Jalasutro.

Sapaan itu menghentikan Begawan Jambul Kuning dari keasyikannya memuji


Hyang Agung dan mulai membuka matanya.

"Iya, Kyai.. "

"Apakah Wanapati tiada berjumpa denganmu di suatu kali ?"


P a g e | 766

Orangtua yang menetap di gunung Bancak itu menggeleng, "Tak pernah


barang sekejab, Kyai. Kecuali hanya kebetulan saja aku berpapasan di luar
gerbang kotaraja."

"Hm.. Mungkinkah ia benar - benar tertipu oleh ucapan Demang Brahu ? Dan
apakah ia membekukan hainya ?"

Hanya lengang yang didapat. Dalam kepala Begawan Jambul Kuning atau-
pun Windujaya, tidak dapat menemukan jawaban yang membuat Kyai
Jalasutro akan lega, karenanya keduanya memilih membisu. Sangat sulit
menerka hati seseorang yang dalamnya melebihi palung lautan.

Pada saat itulah dari ruang dalam, Lurah Arya Dipa berjalan dan duduk
bersama mereka.

"Kau sudah pulang, ngger.. "

"Iya, eyang." Sahut Lurah Arya Dipa, lalu katanya kemudian, "Eyang,
sepertinya rumah ini sedang diawasi."

Semua orang menatap Lurah muda itu. Kata - kata itu sepertu memang
ditunggu - tunggu.

"Hm.. Apakah dari orang - orangnya Wanapati ?" Kyai Jalasutro langsung
bertanya.

"Entahlah, Kyai. Berbagai kesimpulan belum sepenuhnya tertuju kepada ki


Wanapati." kata Lurah Arya Dipa, "Karena, tadi siang, kata Ayu Andini ada
orang yang mengungkit rumah eyang Tumenggung ini."

Begawan Jambul Kuning mengernyitkan alisnya. Ia teringat dengan besannya


yang sudah lama meninggal, seorang Tumenggung tangguh tangan kanan
Sultan Patah. Mungkinkah ada kerabat Tumenggung itu yang tidak suka
terhadap cucunya ? Ini akan menambah masalah saja bagi cucunya.

"Dipa.. " kata Begawan Jambul Kuning, "Mungkinkah orang itu kerabat
eyangmu yang tidak setuju kau menempati rumah ini ?"
P a g e | 767

"Entahlah, eyang. Tetapi menurut Kanjeng Sultan, kerabat eyang


Tumenggung tidak lagi mempersoalkan rumah ini. Apalagi ini adalah tanah
yang dihadiahkan oleh mendiang Prabu Glagahwangi."

"Angger hendaknya terus waspada. Aku akan mencoba membantu jikalau


ketenangan kediaman angger terusik." kata Kyai Jalasutro.

"Benar, kakang. Walau adikmu ini hanya memiliki ilmu seujung kuku, aku-pun
enggan berpangku tangan jika ketentraman kakang dan mbakyu Andini
terganggu." Windujaya ikut menyanggupi untuk menjaga kediaman Lurah Arya
Dipa.

Lurah Arya Dipa, tersenyum.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 11 bagian 23
oleh Marzuki

Selang dua hari, kediaman Lurah Arya Dipa kedatangan bakul dawet yang
biasa berjualan tak jauh dari rumah itu. Saat itu Ayu Andini-lah yang
menerimanya dan dipersilahkan ke pringgitan. Tetapi bakul dawet menolaknya,
karena hanya ingib menyampaikan pesan saja kepada Lurah Arya Dipa.

"Kakang Dipa belum pulang dari kesultanan, ki." kata Ayu Andini.

"Aku hanya ingin menyampaikan pesan saja, nini." kata bakul dawet, yang
kemudian katanya, "Tadi ada seseorang yang mengaku kenalan anakmas
Dipa.. "

Demi mendengar itu, Ayu Andini mengernyitkan alisnya, tetapi ia tidak


menyela dan menunggu kelanjutan dari bakul dawet itu.

"... Orang itu mengharap kehadiran anakmas sendiri di gumuk luar gerbang.
Yaitu sekitar wayah sepi bocah nanti."

"Tahukah ki Talam dengan orang itu ? Barangkali ia menyebutkan nama atau


asal usulnya ?" tanya Ayu Andini.

Bakul dawet itu menggeleng, "Tidak, nini. Aku sendiri juga lupa untuk
menanyakan hal itu."
P a g e | 768

Ayu Andini memaklumi sikap ki Talam, "Baiklah, ki Talam. Terima kasih, bila
nanti kakang Dipa pulang, akan lekas kuberitahu."

"Baiklah, nini. Kalau begitu aku pamit dahulu. Hari sudah semakin siang."

Melangkahlah ki Talam penjaja dawet keluar dari regol kediaman Lurah Arya
Dipa. Hanya tatapan cemas yang tertinggal di belakang orang itu bersumber
dari wanita muda yang mengandung tua yang tiada lain Ayu Andini.
Kecemasan wanita muda itu berpangkal adanya pesan mencurigakan yang
dititipkan kepada ki Talam.

"Kenapa hatiku tak enak ?" desis Ayu Andini, lirih.

"Apa yang kau pikirkan, mbakyu ?"

Suara yang sebenarnya wajar itu, mengejutkan Ayu Andini. Sehingga


tubuhnya agak tersentak. Hal itu membuat orang yang bertanya, mengerutkan
dahinya, apalagi ketika orang itu menatap kesan di wajah Ayu Andini yang
gelisah.

"Sakitkah kau, mbakyu ?"

"Ah, adi Windujaya. Tidak... Tidak.. " sergah Ayu Andini, "Hanya saja ada yang
mengganggu pikiranku mengenai pesan untuk kakang Dipa."

"Pesan untuk kakang Dipa..." ulang Windujaya.

Lalu Ayu Andini menceritakan kedatangan ki Talam yang mendapat pesan


dari seseorang untuk disampaikan kepada Lurah Arya Dipa. Namun orang yang
menyampaikan pesan tiada menyebut jati dirinya, sehingga hal itu
menggelisahkan hati Ayu Andini. Apalagi akhir - akhir ini ada kejadian yang
terjadi di kediamannya, mulai datangnya ki Wanapati, dan dua orang yang
mengawasi rumahnya.

"Begitulah, adi."

"Tak usah dirisaukan, mbakyu. Biarlah kakang Dipa yang memutuskan, apakah
ia menyanggupi pesan itu atau tidak." kata Windujaya.

Ayu Anduni mengangguk.


P a g e | 769

Hari merambat sesuai kodratnya. Apa yang dinantikan oleh Ayu Andini
dengan dada berdebar, tiba jua. Lurah Arya Dipa telah pulang dari kesultanan
dengan peluh mewarnai dada bidangnya. Dengan sigap Ayu Andini
menyambut kedatangan suaminya itu. Dilayaninya sang suami penuh
tanggung jawab dan kasih sayang. Air kendi dihidangkan dan disambut penuh
rasa syukur oleh Lurah Arya Dipa.

Air kendi terasa sejuk saat air itu mengalir melewati tenggorokan. Rasa lelah
seharian penuh dalam tugas sebagai prajurit, terobati jua. Akhir - akhir ini
banyak tugas yang diembannya baik dari kesatuannya atau-pun tugas rahasia
dari sang nata. Tetapi saat Lurah muda itu menatap raut muka sang pujaan
hati, telah tersirat adanya kegelisahan meskipun sang istri berusaha
menutupinya, tetapi tak pelak dapat dibaca oleh Lurah Arya Dipa.

"Ayu, adakah yang ingin kau katakan ?" tanyanya dengan halus.

"E.. Kakang Dipa, tadi ki Talam ke sini." kata Ayu Andini.

"Ki Talam bakul dawet itu ?"

"Benar kakang.. "

"Lalu ?"

Ayu Andini tidak langsung menjawab, melainkan menggeser letak duduknya


dan barulah ia menyampaikan pesan yang ia terima dari ki Talam. Semuanya
ia tuturkan dengan runut tanpa mengurangi dan melebihi.

Lurah Arya Dipa yang mendengar pesan itu tidak nampak perubahan ombak
di wajahnya. Ini menandakan kalau Lurah muda itu lebih matang dalam
menyikapi keadaan.

"Wayah sepi bocah di gumuk luar kotaraja. Adakah kau mengatakan adanya
pesan itu kepada yang lainnya, Ayu ?"

"Baru adi Windujaya saja yang tahu. Eyang Begawan dan Kyai Jalasutro
belum pulang dari kunjungan ke rumah ayah Mahesa Anabrang."

"Hm... Baiklah, aku akan meminta adi Windujaya untuk tetap berdiam di sini."
P a g e | 770

"Tapi kakang.... " kata Ayu Andini yang mencemaskan suaminya.

"Tak mengapa, Ayu. Berdo'a-lah meminta perlindungan Dzat Yang Maha


Agung untuku."

Sejenak kemudian Lurah Arya Dipa menemui Windujaya dan mengharap


pertolongannya untuk menjaga kediamannya. Dan saat Lurah Arya Dipa akan
menunggangi Jatayu, Begawan Jambul Kuning dan Kyai Jalasutro memasuki
regol, kedua orang tua itu tertegun manakala melihat Lurah Arya Dipa
sepertinya akan keluar.

"Akan mau kemana kau ngger ?" tanya Begawan Jambul Kuning.

Dan Lurah muda itu menuturkan sebanarnya.

"Jangan sendiri, anakmas." Kyai Jalasutro berkata, "Biarlah salah satu dari kami
ikut bersamamu."

"Terima kasih, Kyai. Biarlah aku sendiri saja, demi menghormati orang yang
mengundangku itu." Lurah Arya Dipa berusaha menolak tawaran dari orang -
orang tua itu, "Lebih baik eyang dan Kyai menjaga rumah ini."

"Hm.. Baiklah dan berhati - hatilah."

Sebelum pergi Lurah Arya Dipa memandang istrinya dan tersenyum, tak lupa
juga mengangguk hormat kepada kedua orang sepuh. Lalu tak terlalu lama
terdengarlah derap kaki Jatayu keluar dari regol dan laru kencang menapaki
jalan.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 11 bagian 24
oleh Marzuki

Gumuk di luar gerbang kotaraja semakin terlihat dihadapan mata. Petang


mulai menyelimuti jalan yang biasanya sering dilewati orang - orang yang
berlalu lalang ke kotaraja atau-pun sebaliknya. Tapi, saat wayah sepi bocah,
jalan ity tampak lengang dan terbilang sepi.

Tiada cahaya sedikit-pun yang menerangi jalan menuju gumuk itu. Apalagi
bulan wayah tilem, dimana cahaya pantulan matahari tak ada. Semakin
P a g e | 771

gelaplah suasana gumuk tersebut. Meskipun begitu, seorang penunggang


kuda tetap tegar menyibak kegelapan yang menghadang. Penunggang kuda
yang tiada lain ialah Lurah Arya Dipa, terus memacu kuda mendekatu gumuk.

Tepat dua langkah dekat pohon mahoni, Lurah Arya Dipa turun dan
menuntun Jatayu dan mengikat kuda itu di pohon tersebut. Selanjutnya ia
memperhatikan keadaan sekitar dengan teliti, tiada sejengkal-pun terlewatkan
sedikit-pun. Mata setajam garuda yang dilambari aji pandulu dapat
menjadikan mata pemuda itu awas. Keadaan yang begitu gelapnya, tersibak
dan mampu dilihat apabila ada sesuatu gerak yang ditimbulkan entah itu
serangga atau-pun angin.

Lima tombak dari tempat Lurah Arya Dipa berdiri, dua orang berjongkok
sembari menyembunyikan keberadaannya. Meskipun begitu itu semua sia - sia
belaka, Lurah Arya Dipa dapat mengetahui keberadaan mereka. Itu terbukti
ketika Lurah muda menyapa dengan halus.

"Selamat malam, kisanak. Aku datang memenuhi undangan kalian !"

Hati kedua orang itu tercekat. Keduanya tak mengira kalau pemuda itu
dapat mengetahui keberadaan mereka dengan mudahnya. Padahal jarak
lima tombak serta digelapnya malam ditambah rapatnya semak belukar.
Tetapi sebagai seorang yang sudah berpengalaman terjun dikancah olah
kawijayan dan kerasnya dunia, keduanya berusaha mengumpulkan kembali
kebulatan hati, dan keduanya bergegas keluar.

"Warta yang ditiup angin itu rupanya tidak salah sedikit-pun." ucap seorang
yang bersedekap, "Lurah muda yang memiliki segudang ilmu kawijayan dan
kadigdayan, sayang ia menempatkan dirinya diseberang jalan."

Lurah Arya Dipa mengernyitkan alisnya. Tidak satu-pun dari keduanya yang ia
kenali. Tetapi sepertinya mereka banyak mengetahui tentang dirinya. Hanya
satu kesimpulan yang pasti dapat disimpulkan dari perilaku orang - orang itu
yang ia duga.

"Kisanak, apa maksud kisanak berkata seperti itu ? Dan siapakah kalian ini ?"
tanya Lurah Arya Dipa.
P a g e | 772

Satu orang yang lain mendehem dan selanjutnya angkat bicara, "Huh, kita
sudahi saja pembicaraan yang sia - sia ini. Galah, sebaiknya kita selesaikan saja
dan segera kembali ke Wetan."

"He, jaga ucapanmu, Supa.. " bisik Galah yang sedikit kecewa atas
kesembronoan kawannya.

Meskipun orang yang bersedekap itu tadi berbisik, Lurah Arya Dipa dapat
menangkap dan ia mengangguk semakin nyata dugaan dalam hatinya.

Sementara itu Supa yang diingatkan kawannya tak menggubrik sedikitpun.


Malah tangannya meraba tangkai pedang yang menggantung dipinggang
kirinya. Matanya yang melotot seakan ingin menerkam pemuda di depannya,
menandakan kalau orang itu sudah tidak sabar lagi untuk menyelesaikan
dengan kasar.

"Malam ini adalah malam terakhirmu, anak muda !" seru Supa.

Tahu - tahu Supa sudah meloncat dengan gerakan membacok. Angin yang
ditimbulkan tak olah - olah. Serangan cepat dan tak terduga itu penuh
ancaman yang dapat mencelakakan. Dengan keyakinan tinggi Supa merasa
pastu dapat menempatkan pedangnya dibagian tubuh lawannya. Tetapi
alangkah terkejutnya manakala pedangnya hanya menemui angin belaka.

"Sial !" umpatnya, tetapi cepat Supa meloncat menjaga jarak.

Untunglah lawannya tidak berniat membalas, melainkan hanya menanti


apabila kawan Supa bergerak menyerang. Sebenarnya lawannya yang muda
itu masih ingin menjajaki kemampun Supa.

Di lain sisi, Supa merasa terkejut dengan kemampuan lawannya. Ia tak


mengira jika lawannya itu dapat menghindari kecepatannya dengan mudah.

"Galah, ayo !" ajak Supa sebagai tanda untuk bergerak.

Galah menggangguk tanda setuju. Maka keduanya sudah bergerak


menyerang dengan senjata terhunus. Terjadilah perkelahian yang seru di
gumuk pada malam itu, hentakan demi hentakan mengalun menimbulkan
angin tersibak sedemikian rupa.
P a g e | 773

Suatu kali pedang Supa menebas lawannya, tetapi lawannya yang hanya
mengisar kakinya dapat mengelak. Namun saat itu juga, Galah sudah menanti
menggunakan tajamnya senjata mengarah lambung lawannya. Dan sekali lagi
sergapan itu terhindarkan oleh lawan.

Walau begitu, kedua tak pernah memadamkan ketekadtannya untuk


mencacah tubuh lawan satu ini. Rasa penasaran yang amat sangat
menggelitik hati keduanya dan menambah gelora yang tinggi. Karenanya
semangat besar itu menggerakan keduanya semakin hebat dalam
menggempur lawan muda tersebut.

Putaran - putaran senjata berbagai gerak melibas segala arah tubuh Lurah
Arya Dipa. Pemuda itu luar biasa dalam setiap langkahnya. Gerakan lincah bak
burung garuda terus diperagakan dengan indahnya. Kesebatan senjata lawan
sulit menemui sasaran berupa tubuh Lurah Arya Dipa. Padahal lawannya
bukanlah orang yang tak tahu tingginya dunia olah kanuragan.

Waktu terus berlanjut semakin seru. Perkelahian sudah berlarut - larut tiada
ujung. Keringat Supa dan Galah menyembul merembes membasahi pakaian.
Tetapi belum jua mereka dapat melukai kulit lawan. Jangankan kulit, bayangan
pakaiannya saja tak dapat dikenai barang sedikit-pun. Padahal keduanya
sudah mengerahkan semua tenaganya, bahkan tenaga cadangan-pun sudah
dihentakan sedemikian derasnya.

Demikian itu merupakan usaha dari Lurah Arya Dipa untuk menguras tenaga
lawannya dan juga untuk menangkap keduanya hidup - hidup. Dan yang
paling pasti adalah mencari kepastian dugaan orang dibalik kejadian ini.
Sehingga upaya pelemahan dilakukan dengan memaksa lawannya bergerak
lebih sering.

"Setan alas !" umpat Supa sembari menyeka keringat di dahinya.

Belum lagi keringat di dahinya kering sepenuhnya, juluran tangan telah


mengagetkan Supa. Tak sempat dirinya menepis atau menghindar, dan
akibatnya tubuhnya terdorong ke belakang dan membuat tubuhnya
bergulingan melanda tanah. Hanya bibir saja yang akhirnya merintih kesakitan,
dimana merasakan tubuhnya yang bagaikan ditusuk - tusuk jarum, pediu dan
nyeri sampai ke tulang sumsum.
P a g e | 774

Mendapati kawannya tumbang, Galah semakin menggebu - gebu


kemarahan bercampur kesal. Tangkai pedang yang tergenggam erat, ia
gerakan menusuk lawan. Kali ini tusukan ia lambari dengan kekuatan penuh. Ia
berharap kali ini merupakan serangan pamungkas untuk mengakhiri lawannya.
Tetapi alangkah sembrononya Galah, lawannya yang masih berdiri
membelakanginya dapat merasakan angin yang menderu. Hanya sekali sebat,
lawannya mengisar kaki sembari meraih pergelangan tangan Galah.
Selanjutnya tangan satunya sudah menyentuh leher belakang Galah.

Suara pedang jatuh terdengar dibaringi jerit kecil daru mulut Galah. Orang itu
lunglai tak sadarkan diri dalam kekuasaan Lurah Arya Dipa.

Dalam pada itu dari bawah pohon randu, terdengar gerung menyeramkan.
Gerung kegeraman dari seseorang yang menyaksikan kekalahan Supa dan
Galah. Dan tidak menunggu lebih lama, orang itu meloncat mendekati bekas
kalangan.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 11 bagian 25
oleh : Marzuki

Kedatangan orang itu membuat Lurah Arya Dipa mengerutkan alisnya. Ia


merasa pernah bertemu dengan orang tua itu. Dan sejenak kemudian barulah
ia ingat dengan orang tersebut, yaitu tatkala ramainya perebutan pusaka kyai
Sangkelat di tepian sungai Brantas, pada tahun - tahun yang lalu.

"Anak sombong, jangan kau deksura dengan hanya merobohkan cecunguk -


cecunguk itu !" seru orang tua itu.

"Ah, ki Sardulo Liwung salag mengerti. Aku berlaku sewajarnya saja." ucap
Lurah Arya Dipa.

"Hmm... " desuh ki Sardulo Liwung, sambil mengibaskan tangannya.

Ternyata orang tua itu adalah tokoh kanuragan pesisir kidul di Bang Wetan.
Seorang ahli kanuragan yang mendapat gelar macan pesisir Prigi, karena
asalnya memang dekat dengan pantai Prigi. Orang ini juga salah seorang yang
mendebarkan dengan ilmu Serat Tirta serta auman aji Pekik Sardulo. Dahulu
dikala perebutan Kyai Sangkelat, ki Sardulo Liwung ikut bersama - sama
P a g e | 775

kelompok Raden Sajiwo, tetapi usaha kelompok itu hancur atas munculnya
Lurah Arya Dipa dan Jati Pamungkas atau orang bercambuk. Semenjak
kekalahannya itulah ki Sardulo Liwung bertekad mengobati rasa kekalahannya
dengan cara mencari dua pemuda tersebut. Kini akhirnya ia dapat menjumpai
salah satunya. Maka saatnya-lah rasa sakit hatinya akan ditumpahkan kepada
pemuda itu.

Tak perlu lama - lama, ki Sardulo Liwung mulai merangsek ke depan. Tangan
kanan berlambarkan pukulan mematikan sudah siap menggebrak. Dalam
pikiran orang tua itu hanyalah hasil kematian daripada pemuda itulah yang
diharapkan. Karena itulah sejak serangan pertama, ki Sardulo Liwung sudah
menerapkan kemampuannya dengan sepenuhnya.

Tetapi Lurah Arya Dipa bukanlan orang - orangan sawah yang diam sebagai
sasaran latihan. Dia merupakan manusia pilih tanding yang memiliki naluri
kehidupan. Apalagi dirumah, seorang wanita muda menunggu bersama calon
jabang bayinya. Karenanya, Lurah muda itu mau tidak mau harus menerapkan
ilmunya. Selapis aji Niscala Praba mulai menyelimuti tubuhnya.

"Ceees..... !"

Pertemuan pertama telah membuat keduanya terhenyak. Ki Sardulo Liwung


tak mengira kalau pukulan berlambarkan aji Serat Tirta terhambat sesuatu yang
tidak kasat mata. Sementara bagi Lurah Arya Dipa, pukulan itu dapat
menggetarkan lapisan aji Niscala Praba, meskipun baru permukaannya saja.

Walau begitu, perkelahian tetap berlanjut dengan adu siasat dari tata gerak
masing - masing. Serulah malam di gumuk itu dengan adanya dua manusia luar
biasa yang mendapat limpahan dari Dzat Suci. Angin menderu - menderu
membuat debu berterbangan, begitu-pun halnya dengan daun - daun yang
menguning telah rontok dari dahan - dahannya.

Pergerakan - pergerakan hebat menyembur saja tanpa hambatan dari


sumber - sumber masing - masing. Satu sisi tata gerak bercorak pesisiran,
menggambarkan kencangnya ombak mengalun deras membuncah dan
menerpa batu karang. Sisi lain juga tak kalah hebat, dimana pemuda satu itu
layaknya burung garuda yang mengepakan sayap demi menghindaru
terjangan ombak, dan suatu kali cakar tajam menyusup membelah ganasnya
ombak. Sungguh hebat dan mendebarkan malam itu, dimana bulan tilem
P a g e | 776

menjadi saksi keperkasaan manusia, walau-pun bila dibandingkan dengan


Sang Pencipta, itu tiada nampak.

Malam semakin merambah singgasananya, perkelahian itu juga merangkak


semakin tinggi dalam tatarannya. Pintu gudang perbendaharaan ilmu terbuka
lebar menampakan bermacam ilmu yang mereka pelajari. Tata gerak aneh
dan cepat terus mengganas mencaru mangsa dan melahap tanpa rasa jerih.
Pukulan, tendangan, gaplokan, sodokan, sepakan, bahkan kepala-pun ikut
menyuarakan keganasannya.

"Rasakan ini... !" teriak ki Sardulo Liwung sembari mengangkat kakinya.

Lawannya dengan sebat mengingsar kaki dibarengi serangan susulan.


Namun ki Sardulo Liwung bermata tajam. Serangan lawan akan dihadangya
dengan cepat. Tetapi rupanya lawan bergegas menarik serangannya dan
mengganti dengan melakukan sodokan. Hampir saja ki Sardulo Liwung terkena
jikalau tidak bergegas meloncat kesamping.

Berhasil mengelak, ki Sardulo Liwung sudah lekas membalas. Tangannya


berhawa dingin akan mencengkeram tubuh lawan. Jika itu berhasil, ki Sardulo
Liwung berkeyakinan dapat membekukan lawan. Namun rupanya lawan masih
dapat menghadapi ilmu itu. Itu dikarenakan adanya lapisan aneh yang
menyelimuti tubuh lawan.

"Ilmu apa yang ia pakai ?" desis ki Sardulo Liwung dalam hati, sambil terus
menajamkan indra penglihatannya.

"Haiiih... " kerongkongan ki Sardulo Liwung bagai tersumbat, karena takjub


setelah dapat dengan jelas melihat warna menyelimuti tubuh lawan.

"Ada apa, ki Sardulo ?" tanya Lurah Arya Dipa, memberikan waktu untuk
lawannya.

"Dari mana kau dapatkan ilmu langka itu ?!" ki Sardulo Liwung malah balik
bertanya.

"Akankah aku harus menceritakan kepadamu, ki ?" kata Lurah Arya Dipa,
"Hm.. Bila ki Sardulo ingin tahu, sebaiknya marilah singgah untuk sekedar minum
wedang sere."
P a g e | 777

"Bangsat kau anak muda !" umpat ki Sardulo Liwung, "cepat katakan ilmu
kerajaan Kadiri itu bagaimana kau dapatkan !"

"Hm... " desuh Lurah Arya Dipa sambil menggelengkan kepalanya, "Maaf ki,
aku tak dapat membicarakannya."

"Setan alas !" seru ki Sardulo Liwung, "Kalau begitu kau akan membawanya
sampai ke alam kelanggengan !"

Habis berucap, ki Sardulo Liwung berseru keras, tetapi bukan sekedar berseru,
melainkan Pekik Sardulo membahana membuat malam bergetar. Hal itu
sekejap membuat Lurah Arya Dipa terhenyak dan menekan dadanya yang
hampir jebol, aji Pekik Sardulo milik ki Sardulo Liwung sungguh menakjubkan.
Untung saja lawannya yang masih mudah itu dapat menguasai gelora dalam
tubuhnya dan mampu menahan debar jantungnya.

Dalam pada itu, ki Sardulo Liwung tidak berhenti sampai disitu saja, tubuhnya
dengan pesat melabrak lawannya. Tata gerak berupa liukan tangan dibarengi
gerungan keras menitik beratkan dada lawan. Bukan olah - olah jika tangan itu
mendarat tepat di dada lawan, bahkan kerasnya bebatuan gunung akan
lumat berkeping - keping, serta ditambah hebatnya lambaran aji Pekik Sardulo
yang menyasar pendengaran lawan.

Tetapi Lurah Arya Dipa tidak tinggal diam. Serangan dua jenis dari lawan
bergegas ia tanggapi menggunakan ilmu yang ia sadap dari kitab Cakra Paksi
Jatayu. Pertama dipertebal dinding pendengaran menggunakan aji Niscala
Praba, lalu selanjutnya tangannya ikut bergerak menyongsong gempuran dari
lawannya. Dikedua tangan sudah diterapkan aji Sepi Angin demi
mempertahankan nyawa di raganya.

Tidak terlalu lama, gumuk itu bergetar hebat bagai terhantam pusaran badai.
Rumput dan tanah berterbangan mewarnai gelapnya malam, menambah
pekatnya udara di gumuk itu. Dua manusia di dalam pusaran terlihat masih
bersentuhan sepasang tangan mereka, beradu kepalan. Diam mematung tak
bergeser sedikitpun, layaknya batu karang yang kokoh tak mempan diterjang
ombak samudra.

Kepekatan debu seiring waktu luluh lunglai keperaduan bumi. Sayup - sayup
desir halus dari gerakan kaki yang bergesekan dengan tanah, terdengar lirih. Ki
P a g e | 778

Sardulo Liwung terseok - seok mundur menjauhi titik temu. Pelan namun pasti,
wajahnya terlihat memucat. Bibirnya yang masih terbungkam, dari sela -
selanya muncul warna merah mengalir ke dagunya. Dengan menggunakan
pakaian dilengannya, ia berusaha menyapu darah tersebut. Sementara
tangan satunya sibuk menekan dadanya.

"Serat Tirta dan Pekik Sardulo tak mempan... " desis ki Sardulo Liwung, "Hm..
Jika aku teruskan, akulah yang binasa termakan ilmu pemuda itu.. "

Terpaksa orang tua dari pantai Prigi itu menebalkan wajahnya sekali lagi.
Bergegas ia angkat kaki menjauhi gumuk tersebut tanpa menoleh. Walau
terluka dalam, ki Sardulo Liwung masih dapat menguasai tubuhnya dan
memesatkan langkah kakinya.

Sementara itu, Lurah Arya Dipa yang masih berdiri dengan sikap menyerang,
masih diam tak bergerak. Tangannya masih terangkat menjulur ke depan
dengan kepalan yang masih kuat. Dan sebenarnya saat lawannya terseok -
seok lalu meninggalkan kalangan, Lurah Arya Dipa tahu pasti, namun ia masih
diam saja membiarkan. Barulah ketika wujud ki Sardulo Liwung lenyap, tangan
pemuda itu berangsur turun dan kaki yang merenggang mulai rapat kembali.

Sejenak pemuda itu mengambil sikap duduk bersila serta mengatur


pernapasaannya. Aliran darah di tubuhnya yang awalnya bergejolak,
berangsur tenang dan mengalir wajar kembali. Dadanya yang bagaikan
tersumbat bongkahan batu dingin-pun, seolah mencair membuat dadanya
lapang sediakala. Meskipun begitu, tak urung darah membasahi bibirnya. Maka
lekas ia bersihkan dan tak lupa mengabil butir obat dari bumbung yang terselip
di ikat pinggang, untuk kemudian ia telan.

"Gusti Allah masih menaungi-ku.. " desisnya perlahan.

Di sapunya sekitar gumuk. Dua sosok menggeletak yang ia kalahkan sudah


tak terlihat. Entah ada yang mengambil atau mereka sendiri sadar dan
meninggalkan gumuk ? Tidak tahu pemuda suami Ayu Andini. Sejenak ia
kibaskan debu yang menempel di pakaiannya, dan selanjutnya pergi
menghampiru kudanya.

Lurah Arya Dipa meninggalkan gumuk tersebut dengan hati penuh syukur.
Dirinya masih diberi kesempatan untuk berkumpul kembali dengan
P a g e | 779

keluarganya, setelah beradu nyawa dengan orang - orang yang menghendaki


nyawanya melayang.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 11 bagian 26
oleh : Marzuki

Sesampai di rumah, segalanya diceritakan bagaimana tadi saat di gumuk


ada perkelahian menegangkan, kepada semuanya. Berbagai kesan berbeda
terlihat diwajah - wajah orang yang mendengarkan ceritanya. Tetapi dari
sekian itu, semuanya berucap syukur akan keselamatan Lurah Arya Dipa.

"Syukurlah, anakmas mampu menanggulangi tindakan mereka." ucap Kyai


Jalasutro.

"Begitulah, kyai."

Baru saja Ayu Andini akan angkat suara, dari luar terdengar derap kuda
memasuki regol rumah Lurah Arya Dipa. Bergegas semuanya berdiri dan
menuju pintu utama dan membukanya. Terlihatlah seorang prajurit sudah turun
dari pelana kuda dan menuntun kuda tersebut.

"Assalamu'alaikum !" seru prajurit itu, mengucap salam.

"Wa'alaikum salam... " sahut Lurah Arya Dipa dan mengenali prajurit itu, "Kau,
Soca.. "

"Kasinggihan, ki Lurah." kata prajurit itu.

"Naiklah.. "

"Mohon maaf, ki Lurah. Sebuah pesan dari gusti Adipati Anom yang lekas aku
sampaikan.. "

Lurah Arya Dipa mengerutkan alisnya, "Apa itu Soca ?"

"Ki Lurah diharapkan untuk bergegas ke Kanoman."

"Hm.. Baiklah. Kau duluan saja. Aku akan menyusul."


P a g e | 780

"Baik, ki Lurah." Bergegas prajurit itu berbalik arah keluar regol dan dengan
sigap meloncat ke kudanya untuk kemudian ia pacu menuju Kanoman.

Sepeninggal prajurit Soca, Lurah Arya Dipa mempersiapkan diri dan pamit
kepada istri, para tetua dan Windujaya. Selanjutnya dengan menaiki kuda
kesayangannya, ia menuju Kanoman menemui Adipati Anom, Pangeran Pati
Bagus Mukmin.

Tiada sulit baginya memasuki kediaman Adipati Anom. Semua prajurit


pengawal sudah diberitahu akan kedatangannya, karena itulah dengan lancar
Lurah Arya Dipa sudah memasuki ruang dalam Kanoman. Sejenak Lurah Arya
Dipa terdiam memperhatikan suasana yang begitu tenang. Orang yang
mengantarkan sudah undur diri dan hanya memberi pesan kepadanya untuk
menunggu kehadiran Pangeran Anom.

"Maafkan aku, kakang Lurah.. " sebuah suara telah mendahului daripada
sosok yang memasuki ruangan itu.

"Hamba, gusti Pangeran.. " balas Lurah Arya Dipa sembari merapatkan
tangan di depan kening.

Rupanya sosok itu adalah Pangeran Bagus Mukmin itu sendiri. Pangeran putra
tertua dari Sultan Trenggono yang akan meneruskan dampar kencana, kelak
dikemudian hari.

Setelah duduk di dampar, Pangeran Anom mulai menerangkan alasan


memanggil Lurah Arya Dipa.

"Kakang, Ayahanda Kanjeng Sultan akan segera menunaikan apa yang


beliau cita - citakan. Yaitu, rencana untuk menyatukan tanah Jawa ini dalam
satu kesatuan yang utuh. Esok tatkala sang surya merekah, iringan panjang
mulai melangkah ke Bang Wetan."

Sejenak Pangeran Anom berhenti demi mendapatkan kesan dari Lurah muda
di depannya. Kemudian lanjutnya.

"Dalam rencana perjalanan tersebut, Ayahanda sejenak akan singgah di


Purbaya sekaligus menemui Adimas Pangeran Timur. Dari sana Ujung Galuh dan
P a g e | 781

Canggu akan menjadi sasaran yang harus diutamakan untuk diamankan dari
kekuasaan Panembahan Bhre Wiraraja."

"Hamba, gusti Pangeran.. " sambut Lurah Arya Dipa.

"Dari awal aku mengharapkan agar kau tetap di kotaraja. Dan syukurlah
pemikiran itu sama dengan Ayahanda, walau sebenarnya tenagamu sangat
dibutuhkan di garis depan." Kembali Pangeran Bagus Mukmin terdiam untuk
mengambil napas, "Kakang Lurah Arya Dipa.. "

"Hamba, gusti Pangeran... "

"Ingatkah kau kejadian memilukan di Bengawan Sore ?"

Tanpa sadar kepala Lurah Arya Dipa mendongak menatap gustinya. Tetapi
sejenak kemudian bergegas kembali menunduk menatap lantai, meskipun
keningnya masih mengerut dalam. Hatinya tidak mampu meraba maksud dari
pertanyaan Pangeran Anom. Namun bibirnya lekas bergerak demi menjawab
perihal tersebut.

"Bila yang dimaksud adalah kematian gusti Pangeran Sekar, hamba masih
teringat gusti Pangeran."

Pangeran Anom mengangguk perlahan dan katanya, "Saat itu sungguh aku
tidak memerintahkan paman Suranata, tetapi pihak Jipang Panolan bersikukuh
akulah pelaku utamanya. Dan akhir - akhir ini aku mendengar kalau kakangmas
Adipati Arya Jipang telah membentuk pasukan Siluman."

"Oh... " kejut Lurah Arya Dipa, "Be.. Benarkah itu, gusti Pangeran ?"

"Karena itulah aku mengharapkan kehadiranmu disampingku, kakang. Tiada


lain dan bukan untuk memastikan warta yang berseliweran di telingaku. Aku tak
ingin memperkeruh hubunganku dengan Kakangmas Arya Jipang dan kerabat
Jipang Panolan. Karenanya aku mengharap dirimu untuk menyelidiki warta itu."

"Sendiko dawuh, gusti. Semua yang mampu hamba kerjakan tentu untuk
keberlangsungan Demak ini." Lurah Arya Dipa menyanggupi perintah gustinya.

Bersambung.....
P a g e | 782

PANASNYA LANGIT DEMAK JILID 12

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 12 bagian 1
oleh : Marzuki

Sebelum menunaikan tugas untuk menyelidiki pasukan bawah tanah Jipang


Panolan, Lurah Arya Dipa memanggil bawahan sekaligus kawannya dari Wira
Tamtama, yaitu Lurah Jaka Ungaran dan Sambi Wulung. Keduanya ia serahi
tugas untuk selalu berada disamping Pangeran Anom, guna melindungi putra
sulung Sultan Trenggono dari ancaman yang tak terduga. Selain itu tak lupa
Lurah Arya Dipa menemui ayah angkatnya, ki Panji Mahesa Anabrang guna
meminta bantuan prajurit telik sandi untuk menjadi penghubung antara dirinya
berkaitan keadaan kotaraja sewaktu dirinya berada di luar kotaraja.

Persiapan demi persiapan telah diselesaikan. Bersamaan berangkatnya


iringan panjang pasukan Demak. Sungguh mengesankan dari pasukan yang
akan melawat ke timur itu. Pataka berupa kain berwarna gula kelapa berkibar
gagah di tengah iringan, yang menandakan keberadaan sang nata Demak.
Selain itu terdapat berbagai umbul dan panji bercirikan kesatuan prajurit
Demak yang dibanggakan kawula Demak.

Dalam pada itu, agak jauh dari kerumunan orang - orang yang menyaksikan
iringin pasukan Demak, Lurah Arya Dipa mengernyitkan alisnya saat
memperhatikan adanya orang yang mencurigakan. Orang itu terlihat
mengamati semua pasukan Demak dan lebih bersungguh - sungguh ketika
melihat prajurit pengawal Sultan Trenggono. Sejenak kemudian orang tersebut
beringsut meninggalkan tempatnya dan hilang dibalik kerumunan orang.

Lurah Arya Dipa tak tinggal diam. Lekas ia mengejarnya meskipun harus
menyerobot dari tubuh orang - orang.

"He.. ! Dasar anak setan !" seru orang yang merasa terganggu akibat ulah
Lurah Arya Dipa.

Lurah Arya Dipa tak menghiraukan omelan orang yang merasa terganggu. Ia
terus menghambur mencari orang yang ia curigai. Syukurlah ia masih melihat
kelebat bayangan berlari ke kelokan jalan. Oleh karenannya lekas dipesatkan
kakinya mengejar orang tersebut. Dan benar saja, sehabis jalan berkelok dua
P a g e | 783

orang terlihat jelas berjalan sembari membicarakan sesuatu yang sepertinya


sangat rahasia.

"Kisanak... ! Harap berhenti... !" seru Lurah Arya Dipa.

Dua orang berjalan di depan menghentikan langkahnya dan saling


berpandangan satu dengan lainnya. Dahi keduanya mengerut dalam dan tak
mengerti kenapa ada orang mencoba memperhentikan langkah mereka.

"Ada apa kisanak ?!" salah seorang bertanya, sementara yang satunya
dengan tatapan tajam memperhatikan penampilan Lurah Arya Dipa.

Untungnya, saat itu Lurah Arya Dipa tidak mengenakan pakaian prajurit.
Sehingga jatidirinya tak dapat dikenali oleh keduanya. Meskipun salah seorang
dari kedua orang yang khususnya yang dikejar tadi masih terus mengamatinya.

"Siapa kisanak ini ? Sejak aku lahir dan beranjak dewasa di kotaraja ini, aku
tak mengenali kalian."

"Ah.. Kami hanyalah seorang pengembara saja, anak muda." jawab lelaki
berperawakan tinggi besar berkumis tebal, "wajar saja jika kau tidak mengenal
kami."

Lurah Arya Dipa mengangguk, "Pantas, kalau begitu darimana asal kisanak
berdua ?" kembali Lurah Arya Dipa melemparkan pertanyaan.

Tentu saja perlakuan pemuda itu membuat kedua orang lelaki itu sidikit
mendongkol, tetapi orang berperawakan tinggi berkumis tebal mencoba
mengendapkan perasaannya. Dan kemudian jawabnya sambil memaksakan
bibirnya tersenyum.

"Aku dari dukuh Banjar Rejo yang masuk telatah Ponorogo." jawabnya asal -
asalan.

Jawaban itu menimbulkan kecurigaan semakin dalam bagi Lurah Arya Dipa.
Karena kadipaten Ponorogo merupakan telatah dimana masa kecilnya
terlewati bersama ki Panji Mahesa Anabrang, lekaslah lurah muda itu
mengetahui kalau orang berperawakan tinggi itu berkata bohong dan
terbilang mengada - ngada. Tapi Lurah Arya Dipa tidak bersikeras membantah
ucapan orang itu, melainkan malah membuat orang itu bingung.
P a g e | 784

"Oh, jadi kisanak ini dari Banjar Rejo ?" kata Lurah Arya Dipa, terlihat ramah
serta melanjutkan ucapannya, "Berarti kisanak kawula paman Demang Jati
Rekso.. "

Orang berperawakan tinggi berkumis tebal salah tingkah sambil menatap


kawannya. Sementara kawannya yang berbadan kurus pendek juga
menatapnya seraya mengedipkan mata memberikan isyarat. Selekas adanya
isyarat, orang berperawakan tinggi berkumis tebal mulai menguasai keadaan
dan telah berubah kasar. Bentakan kasar tiba - tiba menyeruak dari mulutnya.

"He, jangan kau hiraukan kami, jika kau sayang nyawamu, anak setan !"

Meskipun dalam hati tersenyum karena pancingannya tersambar, Lurah Arya


Dipa berusaha berpura - pura kaget. Kakinya terjingkat dengan tubuh agak
gemetar seakan akan jatuh lunglai, ia berkata, "A..Apa mak..sud kisanak ?"

"Huh, belum sadar juga kau anak bengal ! Bila aku pelintir kepalamu, itu
tandanya nyawamu melayang !" bentak orang berbadan kurus pendek.

"Me..memangnya sa..lahku apa ?"

"Jangkrik setan bengal !" Kembali orang berbadan kurus pendek itu
menghardik, "Tidak usah banyak omong, pergilah selagi aku masih dapat
menahan amarahku !"

Bentakan itu membuat pemuda itu jatuh terduduk. Mengetahui itu, orang
berbadan kurus pendek tersebut mengajak kawannya meninggalkan pemuda
tadi dengan cepat. Keduanya berjalan mengarah padukuhan segaris lurus
gerbang timur.

Sepeninggal orang berbadan tinggi berkumis tebal dan berbadan kurus


pendek, Lurah Arya Dipa bangkit berdiri sambil merapikan pakaiannya. Sudah
cukup baginya untuk mengingat perawakan dan raut wajah kedua orang
yang dicurigai. Ia tidak mengambil sikap lebih lanjut melalui jalan kekerasan
demi ingin mengetahui lebih dalam siapa orang - orang tadi. Dalam hatinya ia
yakin kalau keduanya berhubungan dengan pihak yang menentang Demak,
entah itu orang - orang Bang Wetan atau yang lainnya.
P a g e | 785

"Biarlah mereka keluar dari pintu gerbang. Aku yakin akan dapat mengejar
keduanya." desis Lurah Arya Dipa.

Pemuda itu kemudian mencari jalan lain yang arahnya juga ke gerbang
timur. Meskipun agak jauh, akhirnya Lurah Arya Dipa hampir mendekati pintu
gerbang dan di situ seorang kakek tersenyum menyambutnya.

"Lama sekali kau, anakmas Kilatmaya... " sapa kakek itu.

Lurah Arya Dipa tersenyum, "Maaf, Kyai. Tadi ada sesuatu yang membutuhkan
perhatianku."

"Mudah - mudahan bukan gadis penghuni padukuhan ini." goda kakek itu
sembari tertawa.

"Ah.. Tidak, Kyai... "

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 12 bagian 2
oleh : Marzuki

Selanjutnya, pemuda dan kakek tadi melewati penjagaan pintu gerbang


timur untuk selanjutnya menelusuri jalan yang membelah paduhan di luar
kotaraja. Hanya berjalan kaki keduanya terus melanjutkan langkahnya, sembari
salah seorang mencoba menanyakan sesuatu kepada pejalan kaki atau-pun
penghuni padukuhan yang sedang dilewati.

Apa yang diperkirakan oleh Kilatmaya tidak salah sedikit-pun. Jejak yang
ditinggalkan oleh kedua orang yang sebelumnya dicurigai, dapat diikuti
dengan mudah. Terakhir keberadaannya, kedua orang yang ia ikuti menuju
sebuah kedai kecil tak jauh dari tempatnya bertanya. Maka, Kilatmaya dan
kakek yang bersamanya mencoba mendekati kedai kecil itu.

"Ha.. Mumpung ada penjual dawet, ayo berteduh di pohon talok itu,
Anakmas." ajak kakek yang bersama Kilatmaya.

"Mari, Kyai." sambut Kilatmaya yang tiada lain Lurah Arya Dipa.

Sambil duduk di bangku yang disediakan penjual dawet, keduanya memesan


dua gelas dawet sambil mengisi waktu luang, berbicara dengan penjual
P a g e | 786

dawet. Juga, tak lengah pengamatan Kilatmaya dari pintu keluar kedai, yang
terbuka dan terlihat adanya orang yang ia ikuti.

Cukup lama juga keduanya disitu, hingga akhirnya orang yang diikuti keluar
dari kedai. Dua orang yang diikuti itu berlalu di jalan tepat di mana Kilatmaya
dan kakek tua minum dawet. Namun kedua orang tadi tak sempat mengenali
dan jalan sesukanya mengarah pertigaan timur padukuhan dan mengambil
jalan ke kiri.

"Mari, Kyai.. " desis Kilatmaya sambil berdiri dan membayar dawet yang telah
diminum.

Agar tidak diketahui orang - orang yang diikuti, Kilatmaya dan kakek tua
berusaha menjaga jarak. Sehingga jarak dua iringin itu tidak terpaut jauh,
apalagi sampai kehilangan jejak.

Tak terasa jalan yang awalnya ramai dilalui banyak orang, semakin lama
semakin jarang. Jalan-pun semakin sempit dan hanya selebar gerobak saja.
Juga jalanan semakin tidak rata dan ditumbuhi rumput liar, meskipun tidak
terlalu tinggi. Hal itu menjadikan Kilatmaya dan kakek tua tadi, bertambah hati -
hati.

Terik matahari tak terasa sudah semakin turun ke barat, membentuk bayang -
bayang ke arah berubah haluan juga. Manakala memandang ke depan, dua
orang berperawakan tinggi berkumis tebal dan berbadan kurus pendek turun
dari jalan menapaki tanggul sawah yang ditanami hijaunya palawija. Tindakan
itu membuat Kilatmaya dan kakek tua untuk menambah kewaspadaan.
Dugaan demi dugaan terselip dalam pikiran harus terurai untung ruginya, untuk
terus mengikuti tanpa harus berbenturan secara langsung.

"Sebaiknya kita berpencar, Anakmas.. " usul Kyai Jalasutro.

"Baik, Kyai. Aku akan turun di tunggul sebelah sana." sambut Kilatmaya, setuju.

Dari sisi berbeda keduanya mencoba mengikuti orang - orang yang


mencurigakan, yang semakin lama tanggul sawah terlewati berganti tanah
yang ditumbuhi semak belukar. Keadaan medan penuh samak belukar itulah,
menjadikan Kilatmaya dan Kyai Jalasutro harus menyembunyikan
keberadaannya berupa usaha menutup segala bunyi yang ditimbulkan, akibat
P a g e | 787

gesekan antara anggota tubuh dengan daun atau-pun ranting. Sehingga


orang yang diikuti tidak menyadari sama sekali kalau ada dua orang
dibelakang mereka.

Cukup dalam juga orang berbadan tinggi berkumis tebal dan kawannya
berjalan. Sudah lebih dari ratusan tombak keduanya menjauhi pinggiran
pedukuhan di luar kotaraja. Tapi setelah adanya bunyi aliran air, keduanya
mencoba mencarinya. Dan setelah ditelusuri, nampaklah sebuah anak sungai
berair jernih, bahkan sangking jernihnya terlihat ikan - ikan berenang kian kemari
saling kejar mengejar bersama kawannya. Pemandangan itu memancing
keduanya semakin mendekat, meskipun jalan yang akan dilalui agak terjal.

Orang berperawakan pendek dan kurus duduk berjongkok seraya meraup air
menggunakan kedua tanganya dan membasuhkan ke wajahnya. Tak mau
ketinggalan, kawannya meniru membasuh wajahnya, juga meneguk air sungai
yang jernih itu.

"Ah.. Segar sekali air ini." desis orang berbadan tinggi berkumis tebal.

Kawannya tertawa perlahan, "Hahaha.. Sama saja antara air sungai ini dan
air Bengawan Sore."

"He.. Sambu, air Bengawan Sore menjadi amis setelah darah Pangeran Sekar
menetesinya."

"Ah.. Itu hanya perasaanmu saja, Bajang. Bagiku semuanya sama, jika yang
memerciki itu Trenggono atau-pun Bagus Mukmin."

Pembicaraan keduanya terus berlanjut dan tak menyadari kalau ada orang
yang mendengarkan. Semakin lama jatidiri Sambu dan Bangah sedikit
terungkap, dimana keduanya adalah utusan sebuah perguruan di telatah timur
Bengawan Sore. Satu hal yang membuat Kyai Jalasutro terkejut, yaitu nama
perguruan yang mengingatkan perguruan dimana kawannya adalah pimpinan
dari perguruan itu.

"Ah.. " desuh Kyai Jalasutro, lalu katanya dalam hati, "Candra Bumi bukanlah
sebuah perguruan yang mau mencampuri urusan keprajan."

"Ada apa, Kyai ?" tanya Kilatmaya yang mendengar desuh Kyai Jalasutro.
P a g e | 788

Kyai Jalasutro menoleh ke arah pemuda itu dan katanys, "Dua orang itu
menyebut perguruan Cadra Bumi. Itulah yang membuatku sedikit sangsi,
apakah keduanya benar - benar dari sana."

Kilatmaya masih belum mengerti alasan mengapa orang tua disampingnya


menyangsikan asal - usul Sambu dan Bajang, yang jelas - jelas menyebutkan
asal mereka. Namun ketika akan meminta penjelasan lebih lanjut, terlihat
Sambu dan Bajang akan meninggalkan tepian sungai. Karenanya, untuk saat
ini lebih baik tidak menanyakan alasan kesangsian Kyai Jalasutro. Suatu saat
atau mungkin dalam perjalanan, Kyai Jalasutro akan memberitahu lebih jauh.

Yang paling utama untuk saat itu adalah terus mengikuti Sambu dan Bajang.
Dari keduanya, tentu akan mendapatkan titik terang siapa mereka
sebenarnya. Tidak menunggu lebih lama, Kilatmaya dan Kyai Jalasutro kembali
mengendap mengikuti Sambu dan Bajang. Aliran air sungai sudah tertinggal
dan tidak terdengar lagi gemericiknya.

Mendekati keremangan ujung malam hari, Bajang dan Sambu memasuki


regol padukuhan. Keduanya memasuki regol tersebut yang masih terbuka lebar
dan gardu perondan masih kosong. Namun, satu dua orang masih terlihat lalu -
lalang mengisi jalan padukuhan, dengan kepentingan masing - masing. Dan di
kanan kiri kediaman penghuni padukuhan sudak nampak nyala penerangan
dalam menyambut sang malam. Tidak terlalu jauh, Kilatmaya dan Kyai
Jalasutro juga memasuki regol padukuhan. Suasana yang semakin redup
sangat membantu keduanya agak mempersingkat jarak antara mereka
dengan kedua orang yang dicurigai.

Sepertinya malam itu orang yang mereka ikuti akan menginap di banjar
padukuhan. Itu terbukti manakala Bajang dan Sambu membelok di jalan yang
akan menuju sebuah bangunan yang berbeda dari bangunan lainnya. Sejenak
keduanya berhenti tepat di depan regol. Dan saat itu dari dalam regol,
seorang berjalan mendekatu keduanya dan menyapa dengan ramahnya.

"Bisa aku bantu, kisanak ?"

"Kisanak, kami berdua sedang dalam perjalanan dan kemalaman ketika


melewati padukuhan ini. Karenanya, ijinkan barang satu malam untuk
bermalam di banjar ini." pinta Sambu, yang mencoba ramah.
P a g e | 789

Sesaat orang yang keluar dari regol banjar itu mengamati dua pendatang itu.
Ia harus hati - hati untuk mengijinkan orang lain yang akan memasuki banjar
padukuhan yang ia jaganya. Ia tak ingin kecolongan sehingha akan mendapat
dampratan dari ki Jagabaya atau ki Bekel padukuhun. Tetapi, setelah
mengamati dan meyakini kalau keduanya tidak mencurigakan, orang itu
mengijinkan dua pendatang itu menginap di banjar.

"Baiklah, kisanak berdua. Ayo aku antar di gandok kanan banjar." kata orang
itu, sambil mengantar keduanya ke gandok kanan.

"Silahkan, beginilah keadaannya." orang itu mempersilahkan, setelah


membuka pintu gandok kanan.

"Terima kasih, ki.. "

"Panut, panggil saja aku Panut." ucap ki Panut, memperkenalkan diri, "aku
akan ke belakang, untuk mengambil beberapa potong Pohung."

Tanpa menunggu jawaban dari tamu banjar, ki Panut melangkah pergi.


Tetapi baru saja menuruni tlundak balai banjar, dua sosok mendekati regol
banjar. Hal itu membuat kening ki Panut, mengerut. Namun, tetap saja ia
langkahkan kakinya untuk mendekati regol banjar. Setelah dekat, terlihatlah
seorang pemuda dan kakek tua tersenyum ramah sembari mengangguk
hormat.

"Selamat malam, kisanak. Apakah ini banjar padukuhan ini ?" tanya pemuda
dengan halus.

"Benar, ngger. Ini memang banjar padukuhan, dan aku yang diserahi ki
Jagabaya untuk mengurusnya." jawab ki Panut, dan katanya lebih lanjut,
"Angger dan kisanak ini dari mana dan akan kemana ?"

Pemuda tersenyum, "Aku dan eyang ini dari Demak yang akan menyambangi
kerabat di Jepara."

Ki Panut mengangguk.

"Tapi, hari sudah terlalu gelap untuk kami melanjutkan perjalanan. Oleh
karenanya, jika kisanak berkenan, kami mohon menginap barang satu malam.
Dan esok kami akan melanjutkan perjalanan yang tertunda."
P a g e | 790

Dari tutur kata dan penampilan kedua pendatang yang ke-dua ini, ki Panut
tidak mendapatkan adanya kejanggalan untuk menolak dua orang itu. Maka
seperti dua orang pertama, ki Panut juga menerima pemuda dan kakek itu
menginap di banjar. Untuk itulah ia antarkan ke-duanya ke gandok kiri dan
mempersilahkan mereka.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 12 bagian 3
oleh : Marzuki

Sampai terbitnya sang surya, tiada sesuatu yang terjadi. Banjar padukuhan
yang mendapatkan dua iringan berbeda, tetap terasa seperti malam - malam
biasanya. Bahkan ki Panut yang diserahi tugas untuk merawat serta menjaga
banjar, sangatlah ramah dan baik hati. Pagi - pagi sekali ki Panut sudah
menghidangkan wedang sere juga ketela rebus sisa tadi malam. Dua gandok
yang terisi itupun, penghuninya menikmati hidangan untuk sarapan mereka.

Usai menyantap hidangan yang disediakan, tamu gandok sebelah kanan


berniat meninggalkan balai banjar. Keduanya sudah berdiri dan melangkah
keluar pintu gandok. Saat itulah dari arah jalan, terdengar derap seekor kuda
yang membuat dua orang itu berdiri dan menatap lurus ke arah regol halaman
banjar. Tak terlalu lama seekor kuda berwarna hitam legam muncul memasuki
regol dengan ditunggangi oleh seorang lelaki tinggi tegap berdada bidang.

Adanya derap kuda yang memasuki halaman regol tidak hanya membuat
Bajang dan Sambu saja yang merasa penasaran, tetapi ki Panut, juga
Kilatmaya dan Kyai Jalasutro yang berada di gandok kanan mencoba
mengetahui penungga kuda. Namun dari semua yang melihat, Bajang dan
Sambu-lah yang terkesan adanya perubahan diraut wajah mereka.
Nampaknya Bajang dan Sambu tercekat tak percaya kalau di halaman banjar
itu ada lelaki yang sangat mereka kenali.

"Ba.. Jang, bukankah itu Raden Panji Tohjaya ?" desis Sambu.

Bajang yang ditanya hanya mengangguk tanpa menoleh. Seakan - akan


dirinya terkena sesuatu yang tidak terlihat dari lelaki yang disebut oleh Sambu.

"Lebih baik kita lekas menyingkir darinya, Bajang." bisik Sambu, seraya
menggamit kawannya itu untuk diajak pamit kepada ki Panut.
P a g e | 791

"Kalian sudah ingin meninggalkan banjar ini, kisanak ?" tanya ki Panut, saat
tamunya akan pamit.

"Seperti yang aku katakan tadi malan, ki. Perjalanan yang jauh akan kami
lanjutkan ketika fajar sudah merekah." sahut Sambu.

"Baiklah, selamat jalan." ucap ki Panut.

Maka, Bajang dan Sambu pergi dari balai banjar. Keduanya berjalan terus
tanpa memperdulikan lelaki yang mereka kenal sebagai Panji Tohjaya.
Sementara orang yang memang Panji Tohjaya, salah seorang Senopati Jipang
Panolan tidak terlalu memperhatikan dua orang yang melewatinya.

Sepeninggal Bajang dan Sambu, Kilatmaya dan Kyai Jalasutro sebenarnya


ingin cepat meninggalkan banjar padukuhan. Namun niat itu mereka urungkan
manakala sebuah teguran halus menyapa Kilatmaya. Dan, tegur sapa itu
berasal dari penunggang kuda yang baru saja memasuki regol halaman
banjar.

"Selamat pagi, ki Lurah Arya Dipa.. "

Tentu saja teguran itu membuat Kilatmaya mengernyitkan alisnya. Bagaimana


tidak ? Sungguh pemuda itu tidak mengenal orang yang menyapanya, dan
baru hari itu ia bertemu dengan lelaki itu. Namun, sebelum ia bertanya lebih
jauh, orang itu mendekat dan memperkenalkan diri.

"Ki Lurah Arya Dipa, perkenalkan aku Panji Tohjaya dari Jipang." kata ki Panji
Tohjaya, yang melihat kesan kebingungan dari wajah Lurah Wira Tamtama.

"Maafkanlah jika aku mengejutkanmu, ki Lurah. Sudah lama sebenarnya aku


mengenalmu. Yaitu saat aku ditugaskan dalam menyelidiki kematian
Kakangmas Adipati Sekar, dimana aku harus menyelinap ke Ksatrian Demak.
Saat itulah aku melihat kalau kau bertugas menjadi pengawal Raden Bagus
Mukmin." kata ki Panji Tohjaya, lebih lanjut.

Kilatmaya masih terdiam, sedangkan Kyai Jalasutro tidak mengerti arah


pembicaraan dari ki Panji Tohjaya. Apalagi ki Panut, orang tua itu bingung tak
karuan.
P a g e | 792

"Hm... " desuh ki Panji Tohjaya, "Tetapi penyelidikanku yang seharusnya dapat
menjernihkan kesalahpahaman keluarga keraton, malah ditepis mentah -
mentah oleh orang - orang yang mengharapkan kehancuran anak cucu Sultan
Patah."

Kata yang terlontar terakhir berupa kekecawaan itu memancing rasa


penasaran Kilatmaya. Karenanya pemuda itu mencoba menggali lebih dalam
siapa dan apa maksud kedatangan orang yang mengaku Panji dari Jipang itu.
Tentunya rasa waspada tidak pudar dengan cepat dari Kilatmaya. Karena
bagaimana-pun segala sesuatu dapat saja terjadi. Namun ada sebuah
ganjalan dalam hatinya, yaitu mengenai Bajang dan Sambu yang merupakan
tali penghubung untuk mengorek siapa susungguhnya pimpinan dan niat
mereka.

Sebagai seorang yang lebih tua dan sudah kenyang pengalaman hidupnya,
Kyai Jalasutro dapat menyelami isi hati pemuda disampingnya. Karenanya
orang tua itu berbisik perlahan.

"Anakmas tak perlu kawatir memikirkan dua orang tadi. Setelah Anakmas
berbicara dengan kisanak ini, selekasnya kita langsung ke padepokan Candra
Bumi. Jalan dan tempatnya aku masih dapat mengingatnya."

Kilatmaya bernapas lega, "Terima kasih, Kyai. Bila tiada Kyai bersamaku,
mungkin perjalananku akan menjadi lama."

Kyai Jalasutro tersenyum.

Kemudian Kilatmaya meminta waktu barang sejenak kepada ki Panut untuk


diam di banjar guna berbicara dengan ki Panji Tohjaya. Syukurlah ki Panut
memperbolehkan bagi ketiganya untuk tinggal barang sejenak di pringgitan
balai banjar. Bahkan orang tua itu kembali menyuguhkan wedang sere beserta
ketela rebus.

"Maaf merepotkan, ki Panut." ucap Kilatmaya.

"Hehehe... Tidak mengapa, ki Lurah." sahut ki Panut, yang sudah mengetahui


kalau tamunya seorang prajurit Demak.
P a g e | 793

Sepeninggal ki Panut, ki Panji Tohjaya memperkenalkan dirinya lebih


terperinci. Semua itu ia katakan dengan benar karena sudah mengetahui sikap
perilaku ki Lurah Arya Dipa, tentunya setelah melakukan penyelidikan berbulan
- bulan terhadap pemuda itu. Selain itu juga adanya dorongan dari rasa
kekecewaannya sejak hasil penyelidikannya yang ia sampaikan kepada
Nayaka Jipang ditepis, dan seakan - akan tidak dianggap oleh sebagian
Nayaka Jipang.

Ki Lurah Arya Dipa mengangguk dan kadangkala mengerutkan keningnya


mendengarkan penuturan ki Panji Tohjaya. Dirinya satu pikiran dengan ki Panji
Tohjaya kalau otak pembunuhan Pangeran Sekar bukanlah Adipati Anom
Bagus Mukmin.

"Begitulah, ki Lurah. Meskipun selama ini aku tak dapat mengoyak kabut tebal
kematian Kakangmas Adipati Sekar yang sesungguhnya, aku merasakan
adanya tangan yang ingin memutus tali dampar kencono Jawa dari trah
Glagahwangi." desis ki Panji Tohjaya.

"Ki Panji, bukankah Jipang mempunyai seorang patih yang bijaksana ?" tiba -
tiba Kyai Jalasutro menyela.

Namun, ki Panji Tohjaya malah menghela napas, seakan ingin mengurangi


beban di dadanya.

"Ada apa, ki Panji ?" Lurah Arya Dipa bertanya.

Sejenak ki Panji Tohjaya menatap jauh ke masa lampau, meskipun hal itu tidak
akan kembali terulang, dan hanya menyisakan kenangan semata.

"Benar, Kyai." kata itu terasa berat, "Patih Mentahun memang seorang yang
bijaksana dan baik, dia merupakan kakak seperguruanku."

"He... " Lurah Arya Dipa dan Kyai Jalasutro sedikit tercekat.

"Entah mengapa sikapnya telah berubah dan cenderung berlaku tidak


semestinya." keluh ki Panji Tohjaya.

Pembicaraan itu berlangsung cukup lama, hingga tak terasa hari semakin
terang dimana mentari terasa terik sinarnya. Dalam waktu itu juga Lurah Arya
Dipa menyempatkan menelisik sesuatu yang berkaitan dengan pembentukan
P a g e | 794

pasukan khusus Jipang, kepada ki Panji Tohjaya. Lurah Arya Dipa berharap
dapat mendapat keterangan terperinci dari senopati Jipang Panolan itu.

"Ki Panji, jika boleh tau, adakah kesatuan khusus yang akhir - akhir ini terbentuk
di Kadipaten Jipang Panolan ?" tanya Lurah Arya Dipa.

"Mungkinkah yang ki Lurah maksud ialah kesatuan pangatus Yuda Murda ?"

"Yuda Murda... " ulang Lurah Arya Dipa.

"Benar, ki Lurah." tegas ki Panji Tohjaya, seraya melanjutkan, "Yuda Murda


adalah kesatuan yang dibentuk oleh Raden Arya Mataram adik Anakmas
Adipati Arya Penangsang. Kesatuan ini terdiri dari seratus prajurit yang dipilih
sendiri oleh Anakmas Raden Arya Mataram."

Sejenak ki Panji Tohjaya berhenti karena meneguk wedang sere. Seusai itu
barulah ia melanjutkan perkataannya.

"Perlu ki Lurah ketahui, kesatuan Yuda Murda adalah kesatuan yang bertindak
disegala medan dan keadaan tak menentu. Dan kesatuan ini tak memiliki ciri
khusus layaknya Wira Manggala atau Wira Braja. Satu lagi, kemampuan mereka
dua kali lipat diatas prajurit biasa."

"Maksud ki Panji setara dengan pasukan pengawal Kanjeng Sultan ?" tanya
Lurah Arya Dipa.

"Bisa dikatakan begitu, ki Lurah." jawab ki Panji Tohjaya.

Mendengar keterangan seperti itu, Lurah Arya Dipa tanpa sadar menoleh
Kyai Jalasutro, yang sejak tadi hanya mendengarkan apa yang menjadi
pembicaraan. Tetapi orang tua itu hanya menunggu sikap yang diambil ki
Lurah Arya Dipa, sebagai orang yang bertugas secara langsung sebagai
prajurit Demak.

Bagi ki Lurah Arya Dipa, pembentukan kesatuan prajurit di Jipang sudah


dianggap sebagai kesalahan. Karena, sudah sangat jelas bagi tata praja
dimana ketentuan pembentukan sebuah kesatuan harus dilaporkan terlebih
dahulu kepada Demak. Ini jika dibiarkan berlarut - larut, paugeran tata praja
akan mudah dibuat sesuka hati penguasa setempat, dalam masalah ini adalah
kadipaten Jipang.
P a g e | 795

"Bila ada pembentukan kesatuan itu, mengapa pihak Jipang tidak


memberikan laporan, ki Panji ?"

"He... Ah, laporan itu sudah disampaikan saat kunjungan ki Tumenggung


Prabasemi, ki Lurah.."

Ki Lurah Arya Dipa mengernyitkan alisnya. Gelar tumenggung yang baru saja
disebutkan masih terasa terngiang di telinga lurah muda itu. Perjumpaan
pertama ialah saat di lembah Telomoyo, ketika pasukan Demak akan
menyerang tanah perdikan Banyubiru. Lalu pertemuan kedua bertepatan
adanya kesalahpahaman di bukit Prawoto, dimana putra ki Ageng Gajah Sora
membuat rusuh perburuan Kanjeng Sultan Trenggono.

"Ki Tumenggung Prabasemi lagi... " desis ki Lurah Arya Dipa, dalam hati.

"Baiklah, ki Panji. Bila aku kembali ke Demak, semua yang aku ketahui dari ki
Panji, akan aku sampaikan kepada gusti Adipati Anom." kata ki Lurah Arya
Dipa, "Lalu, kalau boleh tahu, akan kemana-kah selanjutnya kau, ki Panji ?"

"Seperti yang aku bilang sejak awal. Kematian Kakangmas Adipati Sekar
masih mengganjal dalam hatiku. Jipang yang lebih condong mempersalahkan
pihak Adipati Anom, membuatku harus menempuh jalan sendiri, yaitu mencari
otak dari pembunuhan itu." kata ki Panji Tohjaya, "Ada kemungkinan kalau
tangan - tangan mereka berada di Jipang dan Demak."

Ki Lurah Arya Dipa dapat mengerti suasana hati yang diderita oleh ki Panji
Tohjaya. Dan salah seorang yang ia curigai adalah seorang tumenggung dari
Demak itu sendiri, yaitu Tumenggung Prabasemi, seorang tumenggung yang
mempunyai sikap tidak bisa diduga sama sekali.

"Ah.. Sinar surya sudah semakin terik, ki Lurah. Bila kau ingin melanjutkan
tugasmu, silahkan. Aku-pun juga lekas meninggalkan padukuhan ini." kata ki
Panji Tohjaya.

Maka pamitlah ki Panji Tohjaya kepada ki Lurah Arya Dipa dan Kyai Jalasutro.
Derap kuda-pun terdengar meninggalkan regol halaman banjar, ke arah utara.
Semakin lama semakin reda tak terdengar lagi, menyisakan debu
dibelakangnya.
P a g e | 796

Sepeninggal kepergian ki Panji Tohjaya, kini giliran ki Lurah Arya Dipa dan Kyai
Jalasutro berpamitan kepada ki Panut. Tak lupa keduanya mengucapkan
banyak terima kasih terhadap kebaikan ki Panut, yang sudah memperlakukan
dengan sangat baik, selama di banjar padukuhan.

Arah yang diambil oleh keduanya segaris lurus dengan jalan yang diambil
oleh murid - murid padepokan Candra Bumi dan juga ki Panji Tohjaya, yaitu
jalan ke arah utara.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 12 bagian 4
oleh : Marzuki

Bunyi denting beradunya senjata terdengar begitu cepat. Tanah lapang yang
ditumbuhi rumput pendek setinggi kurang dari mata kaki itu, berubah hiruk
pikuk karena adanya lima orang mengeroyok seorang lelaki. Sehingga
menjadikan lelaki itu harus berhati - hati dalam menentukan sikap tata
geraknya, untuk menghalau datangnya serangan.

Dua pedang dari dua orang pengeroyok melaju kencang dari dua sisi
berbeda. Ditambah lagi seorang pengeroyok yang bersenjatakan nanggala,
sudah menanti dibelakang lawannya. Sementara dua pengeroyok tersisa
berdiri dua - tiga langkah sambil mengayun - ayunkan senjata mereka.

Menyikapi tindakan yang dilakukan oleh para pengeroyoknya, lelaki tersebut


tidaklah menunjukan rasa jerih barang sedikit. Malah, tombak pendeknya
semakin tergenggam erat ditangan kanannya dan bergerak dahsyat tak
terduga. Yaitu, menangkis serangan pertama pedang sisi kanan, lalu sambil
menggeser kakinya, tangan kirinya menyentuh pergelangan tangan lawan
satunya yang mengakibatkan pedang orang itu terlepas. Lalu barulah
menghadapi seseorang bersenjatakan nanggala dibelakangnya, berupa
loncatan kecil sambil menghentakan tebasan keras ke arah lawan.

Sungguh mengagumkan orang itu. Hentakan tadi dapat mencelatkan


nanggala dari pemiliknya. Juga disusul tendangan keras ke dada lawan,
hingga lawannya terjungkal keras menubruk pohon.

"Kurang ajar.... !!!" geram kawan orang yang jatuh terkapar, seraya meloncat
menebaskan kampaknya.
P a g e | 797

Kampak ditangan orang berbadan tinggi besar layaknya raksasa, menderu


tajam membelah udara. Karenanya lawannya harus bersikap lebih berhati -
hati dalam menghadapinya. Belum lagi, masih ada tiga kawannya yang
sepertinya akan ikut menyerang.

Sebenarnya siapa mereka ini yang saling berkelahi di tanah lapang ?

Beginilah awalnya. Setelah ki Panji Tohjaya meninggalkan banjar padukuhan,


ia memacu kudanya ke arah utara. Kira - kira sepuluh tombak, kudanya
dibelokan menuruti tikungan ke kiri. Dan terlihatlah ujung regol padukuhan,
menandakan jalan keluar dari padukuhan yang kemudian tergantikan
hamparan sawah.

Jalan yang sepi memancing ki Panji Tohjaya untuk memacu kuda lebih cepat
dari sebelumnya. Lari kudanya begitu pesat meninggalkan debu
dibelakangnya. Dan puluhan tombak dilalui dan kini tiba ditanah lapang.

Saat itulah dari sisi berbeda muncul orang - orang yang mengumbar derai
tawa. Hal itu membuat ki Panji Tohjaya mengerutkan keningnya labih dalam.
Karena tak mengerti sebab dari orang - orang itu tertawa kencang. Namun,
kewaspadaan seketika menggelayuti hatinya, demi adanya perasaan yang
tidak baik melintas dibenaknya.

"Hoho.. Ini dia penghianat Jipang !" seru orang berbadan tinggi besar,
dipinggangnya terselip kampak.

"Benar, kakang. Kepalanya lumayan digantikan puluhan kepeng." sahut


kawannya.

Di atas kuda, ki Panji Tohjaya menghela napas. Sedikit banyak dirinya tahu
kalau yang dihadapinya adalah orang - orang upahan seseorang yang
menginginkan dirinya lenyap dari percaturan pemerintahan Jipang Panolan.
Meskipun dirinya sendiri sangat jarang berada di pura Jipang. Namun,
dihadapannya maut mengancam dirinya, sehingga mau tidak mau kekerasan
sepertinya tidak dapat dielakan lagi. Dan selanjutnya terjadilah perkelahian di
tanah lapang antara ki Panji Tohjaya dan lima orang penghadang.

Dan saat ini kampak seorang yang sepertinya adalah pemimpin kelompok
penghadang, menebas kepala ki Panji Tohjaya dengan sebatnya. Tetapi si-
P a g e | 798

empunya kepala tak mau membiarkan lepas dari batang leher, maka
berusaha menghindar ke belakang, akan tetapi si pemimpin penghadang tidak
membiarkan mangsanya lepas dengan mudah. Pemimpin penghadang
langsung membelokan kampaknya mengarah pundak lawan.

"Triiing.....!"

Mata tombak ki Panji Tohjaya masih mampu menahan laju daripada kampak
lawan, serta sedikit perubahan gerak dari tombak yang awalnya untuk
bertahan, berubah haluan menyerang berupa tusukan langsung.

"Haiit... !" desis pemimpin penghadang yang hampir saja bahunya tertusuk
mata tombak.

Terancamnya pemimpin penghadang, membuat anak buahnya ikut


membantu lagi. Dua pengguna pedang ditambah seorang yang memakai
rantai berbandul sebagai senjata andalannya. Ketiganya sepertinya akan
bekerja sama satu dengan lainnya. Itu terbukti saat tata gerak ketiganya
sangat serasi dan condong dapat menutupi kelemahan kawannya.

"Bagus, Gento. Pimpin kawanmu melumatkan Tohjaya !" seru pemimpinnya.

Orang berjuluk Gento hanya mengangguk tanpa berpaling. Dia dan


kawannya terus mengintari lawannya sambil memutar rantai berujung bandul
bola berduri. Dan dibarengi teriakan keras, ketiganya mulai bergerak secara
bersamaan, yaitu menyerang lawannya.

Sungguh mengejutkan tindakan dari Gento dan kedua kawannya. Serangan


serentak dari sudut dan sasaran berbeda, juga cepat dan mematikan, akan
membuat lawan bingung dan kalut tentunya. Tetapi betapa bingungnya ketiga
orang itu yang mendapati lawannya sirna tak tampak sama sekali.

Sementara pemimpin penghadang terperangah tak percaya dengan apa


yang baru saja terjadi. Orang yang ia kira akan lumat tubuhnya, tiba - tiba
lenyap tak terbekas sama sekali. Sadarlah ia mengenai seorang yang ia incar
selama ini adalah salah seorang murid dari padepokan Sekar Jagat di gunung
Lawu, adik seperguruan Patih Mentahun.
P a g e | 799

Rupanya ki Panji Tohjaya telah mengungkap ilmu yang ia pelajari dari paman
gurunya ki Wijang Pawagal, yaitu Alang - Alang Kumitir. Itu baru sekelumit ilmu
yang bersumber di padepokan Sekar Jagat dan hanya tiga - empat orang saja
yang mampu menerapkan, dan salah satunya ki Panji Tohjaya. Karenanya, tak
dapat dipungkiri jika para penghadang yang memiliki ilmu kanuragan sebatas
kekuatan kewadagan, gampang terperdaya.

Tubuh ki Panji Tohjaya sehabis terelakan oleh serangan Gento dan kedua
kawannya, tahu - tahu sudah di belakang pemimpin penghadang seraya
melekatkan mata tombak kyai Giri di tengkuk orang itu. Tentu saja tindakan ki
Panji membuat tubuh pemimpin penghadang bergemetaran, terkejut
bercampur rasa jerih.

"A.. ampuni aku, tu.. tuan.. " pemimpin penghadang itu merengek minta
ampunan, sementara anak buahnya bingung.

"Sangat mudah aku mengampunimu, kisanak." sahut ki Panji Tohjaya, "Asal


saja kau mau berbicara mengenai orang yang mengupahmu."

Mulut pemimpin penghadang itu kelu. Sebenarnya sangat mudah dalam


menyebutkan orang yang menyuruhnya. Tetapi, dahulu waktu ia menerima
perintah, ia sudah berjanji tak akan angkat bicara walau nyawanya melayang.
Namun, keadaan yang ia hadapi saat ini juga akan mengancam nyawanya,
jika ia terus berdiam. Akibatnya peluh mulai menyeruak membasahi wajah dan
tubuhnya, apalagi mata tombak semakin menyakitkan di tengkuknya.

"Ah.. Sepertinya kesetiaanmu terbayarkan oleh nyawa dalah wadagmu,


Kisanak." desis ki Panji Tohjaya, disertai menekan tengkuk lawan menggunakan
tombak pendeknya.

"Ba.. Baik, tuan. Aku akan angkat bicara.. " suara pemimpin penghadang
agak gemetar.

"Jangan, kakang !" seru Gento.

Seruan Gento tak digubris oleh pemimpinnya. Bibir orang itu sebentar lagi
mulai bergerak, namun sesuatu yang mendebarkan telah terjadi. Suara jerit
kesakitan menggema membelah udara tanah lapang. Suara yang berasal dari
P a g e | 800

mulut pemimpin penghadang itulah gema tadi, juga adanya pisau belati
menancap di keningnya dan membuat orang itu jatuh tertelungkup.

Kejadian itu membuat ki Panji Tohjaya kaget, namun belum selesai rasa
kagetnya, teriakan demi teriakan terulang susul - menyusul. Tiga tubuh para
penghadang rubuh dengan luka sama antara yang satu dan lainnya, yaitu
semuanya terluka di kening akibat lemparan pisau belati.

"Pengecut.... !" teriak ki Panji Tohjaya, sembari mengeliarkan pandangannya


menyapu seluruh tempat. Namun tak ada balasan.

Walau masih tidak ada pergerakan yang mencurigakan, ki Panji Tohjaya


tetap waspada. Tombak pendek Kyai Giri pemberian ki Wijang Pawagal
semakin erat tergenggam menyilang di depan dada. Matanya setajam raja
rimba terus mengamati pohon ataupun semak belukar dekat tanah lapang,
yang berjarak agak jauh. Ditunggu - tunggu, masih tiada sesuatu yang
mencurigakan.

"Siapa gerangan penyerang gelap tadi ?" batin ki Panji Tohjaya.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 12 bagian 5
oleh : Marzuki

Sehabis melempar pisau belati berturut - turut, orang itu bergegas beranjak
dari tempat menyelinapnya meninggalkan rindangnya pohon juwet, dan
mendekati tanah lapang. Jalannya sangat tenang seolah tiada sesuatu yang
terjadi dan merasa tak bersalah terhadap empat nyawa yang terkapar di
tanah lapang. Seringai mulutnya bagai anjing liar terangkum jelas seakan puas
menikmati sisa - sisa bangkai mangsa yang habis digerogoti tinggal tulang
belulang, tak perduli dengan keadaan disekitar, padahal di situ berdiri sang
raja rimba.

Dialah Soca Welirang, lelaki beringas dan keji, pembunuh berdarah dingin tak
memandang mangsanya lelaki atau perempuan, dewasa atau kecil, kawula
alit atau orang ningrat, golongan hitam atau putih, semuanya dia babat sesuai
orang yang memerintahkan. Maka tak heran jika namanya mencuat
menggegerkan tanah Jawa bagian tengah dan wetan. Bahkan orang ini
merupakan buronan kesultanan Demak dan beberapa kadipaten. Tetapi
P a g e | 801

karena kedigdayaan dan berbagai ilmu yang ia miliki, selama ini ia dapat
melenggang bebas menjelajahi rimba dan padukuhan.

Kedatangan Soca Welirang di tanah lapang itu menjadikan ki Panji Tohjaya


semakin meyakini kalau dirinya adalah sasaran utama pihak tertentu, yang
mengharapkan meruncingnya hubungan kadipaten Jipang Panolan dan
Demak. Sejenak ki Panji Tohjaya meregangkan kelopak matanya lebih lebar
manakala melihat adanya lambang bulan sabit dalam lingkaran, menandakan
lambang perguruan Candra Bumi di telatah Jipang.

"Pusaka itu... " desis ki Panji Tohjaya.

Desis lirih itu terdengar oleh ki Soca Welirang, yang menanggapi dengan
mempermainkan senjata di tangannya. Seolah memamerkan pusaka yang
sepertinya dikenali oleh ki Panji Tohjaya. Kemudian ki Soca Welirang tertawa
datar sembari berkata.

"Orang yang memiliki senjata ini lumayan tangguh hingga membuat


keringatku terperas. Namun, aji yang bersumber dari Candra Bumi tak dapat
sejajar dengan kerasnya kehidupan gunung Welirang."

"Atau mungkin karena umurnya semakin tua, tulang - tulangnya menjadi


keropos ? Hahaha.. Nasibnya memang na'as. Muridnya durhaka dan
memintaku membungkamnya selamanya." sambung ki Soca Welirang.

"Hm... Lalu apa maksud Kisanak yang ringan tangan dan membunuh mereka
?" tanya ki Panji Tohjaya.

"Cecurut tak tahu diri. Setelah mendapat seikat kepeng malah ingin
berkhianat. Jadi pantaslah jika mereka terkapar.. " sahut ki Soca Welirang
seraya tertawa.

"Kau salah, Kisanak. Tidak seharusnya nyawa seseorang dengan mudah dan
enteng kau binasakan. Betapa beratnya tanggung jawab kelak yang kau
hadapi dihadapan Sang Pencipta." sanggah ki Panji Tohjaya.

Telinga ki Soca Welirang cukup tebal mendapatkan nasehat dari ki Panji


Tohjaya, ia hanya menanggapi dengan gelak tawa saja. Bagi pembunuh
berdarah dingin ini, nasehat - nasehat yang memperingatkan pertanggung-
P a g e | 802

jawaban di alam langgeng sudah sekian kali ia dengar dari mangsa atau
korbannya. Dan semuanya berakhir sia - sia kecuali terenggutnya nyawa para
orang - orang yang memperingatkan ki Soca Welirang.

"Hahaha... Dari sekian murid Sekar Jagat yang aku temui, kau-lah satu -
satunya yang berbeda, Tohjaya. Mulutmu masih dapat menyebut ucapan -
ucapan anak polos. Lain halnya dengan saudara - saudara seperguruanmu
yang terpikat kemilaunya gemerlap harta dan jabatan." kata ki Soca Welirang,
bergemuruh.

"Bicara apa kau ini ?"

"Hahaha... Kura - kura dalam perahu. Mulutmu bisa berkata menyangkal,


tetapi aku yakin jika hatimu berucap lain jika menilai saudara - saudara
seperguruanmu." ki Soca Welirang bergegas berkata lebih lanjut, "Patih
Mentahun, Haryo Kumara dan Haryo Sardulo, semakin hari menunjukan
biangnya... "

"Cukup... !!" teriak ki Panji Tohjaya.

Tetapi ki Soca Welirang tetap melanjutkan perkataannya, "Dari lima macan,


terpaksa dua macan muda harus dibinasakan agar tidak mencakar macan -
macan tua. Ah... Senopati andalan Jipang harus meregangkan nyawa karena
keserakahan saudara tuanya."

Sebenarnya ki Panji Tohjaya sudah menduga kalau salah seorang saudara


seperguruannya adalah orang dibalik kejadian ini. Tetapi saat disebutkan tiga
macan tua, ki Panji Tohjaya agak bimbang. Mungkinkah saudara tertua
perguruannya juga terlibat ? Meskipun akhir - akhir ini orang yang ia segani itu
mulai berubah tindak tanduknya, tetap saja ia ragu - ragu untuk menilainya.

"He, Tohjaya ! Susulah kakak seperguruanmu, ke alam kubur !" tiba - tiba ki
Soca Welirang berteriak sembari menjulurkan senjata rampasan.

Terbeliak mata ki Panji Tohjaya, dikarenakan mendengar kalau ia harus


menyusul saudaranya ke alam kubur. Berarti salah satu saudaranya sudah
dikalahkan ki Soca Welirang. Tetapi siapa ? Ah, teringatlah kata dua macan
muda yang harus dibinasakan. Itu berarti dirinya dan....
P a g e | 803

Tak sanggup ki Panji Tohjaya berangan - angan. Lebih baik ia bergegas


melayani sergapan lawan yang bukan sembarang lawan. Untunglah ki Panji
Tohjaya sempat bertemu dengan paman gurunya, ki Wijang Pawagal dan
mendapat tuntunan lebih mantab bersumber ilmu tingkat tertinggi perguruan
Sekar Jagat, dan juga mewarisi salah satu pusaka perguruan yaitu tombak
pendek Kyai Giri.

Menggunakan Kyai Giri sebagai piranti memapaki serangan yang diluncurkan


oleh ki Soca Welirang, ki Panji Tohjaya dapat mementahkan benturan senjata
yang sebenarnya hanyalah tindakan penjajagan dari lawannya. Selanjutnya
benturan demi benturan sering bersinggungan menggetarkan udara sekitar
tanah lapang. Ilmu keduanya sangat mendebarkan terlukis dari tata gerak juga
olah senjata, bagai se-ekor macan melawan kerasnya banteng. Menimbulkan
derak tanah, kesiur angin tajam, terkoyaknya udara mengakibatkan rumput
rusak parah.

Semakin lama tataran terus meningkat bertambah hebat dan menyeruakan


tata gerak rumit penuh tipuan dan kembangan yang sebenarnya mengancam
dan mematikan bagi siapa yang lengah. Hanyalah kewaspadaan, ketelitian
dan keuletan menyatu bercampur dengan ketangkasan olah pikir, olah rasa
dan olah bantin yang kuat-lah akan menjadi pemenang, walau menang di sini
tidaklah menang sejati.

Kala itu gada di tangan ki Soca Welirang mengayun keras ke arah kepala ki
Panji Tohjaya, hanya saja ki Panji Tohjaya sangat sigap memiringkan kepala,
sehingga gada ki Soca Welirang tidak mengenai kepala ki Panji Tohjaya.
Kenyataan itu cepat ditanggapi ki Soca Welirang dengan membelokan
gadanya mengejar tubuh ki Panji Tohjaya, akan tetapi murid perguruan Sekar
Jaga tidak tinggal diam, maka bergegas merendah sembari menusukan
tombak pendeknya.

Hebat benar ki Soca Welirang. Tusukan lawan berhasil dihindari seraya


melempar tubuhnya menyamping sembari menggemplangkan gadanya ke
kepala lawan. Sekali lagi gadanya menumbuk udara kosong, dan bahkan ia
harus melenting karena adanya serangan balasan. Menjadikan perkelahian itu
seru dan sengit saling serang menyerang menggunakan jenis senjata yang
berbeda. Dari mulai munusuk, memukul dan menyodok disertai tenaga
dahsyat.
P a g e | 804

Bertambahnya sang waktu mulai adanya pergeseran nyata tataran yang


semakin memuncak mendekati tenaga cadangan, menimbulkan getaran -
getaran tajam di sekeliling tubuh keduanya. Udara dibuat bergelora terasa
hangat dan lama kelamaan memanas, seiring menguaknya ilmu simpanan
yang siap saling dibenturkan. Dari ki Panji Tohjaya, aji Brajadaka manjing dari
dalam tubuhnya, sementara lawannya juga mengungkap salah satu ilmu
andalannya juga yang bersumber kekuatan panas. Beradu dua ilmu berbeda
dalam penyebutan tetapi sebenarnya memiliki kesamaan dari inti sumbernya,
menjadikan perkelahian semakin sengit dan seru.

Upaya - upaya mengenai tubuh lawan berbentuk pukulan berlambarkan aji


Bajradaka di tangan ki Panji Tohjaya dan aji Tapak Geni di tangan ki Soca
Welirang, berjalan alot dan terkesan sulit bagi masing - masing pihak. Itu semua
karena adanya bekal dan pengalaman dari keduanya yang cukup untuk
mempertahankan anggota tubuh mereka dari cengkeraman ganasnya api.
Namun lambat laun, salah seorang terperdaya dalam kelengahan dan harus
terbayar oleh ganasnya ilmu lawan.

"Bangsat.... !" teriak ki Soca Welirang, saat pundaknya terhantam pukulan


lawan.

Pundak orang itu bagai keselomot bara api, bahkan kain pakaiannya
berlubang sebesar kepalan tangan. Meskipun begitu, ki Soca Weliran memiliki
daya tahan tubub yang bagus. Tidak terlalu lama sakitnya berangsur hilang
dan hanya meninggalkan bekas semata. Dirinya tidak tinggal diam dan untuk
mendukung tekadnya, ilmunya semakin ia tingkatkan. Kakinya bagai
tergantikan pegas membuat orang itu mudah melenting jauh ke depan, seraya
menyongsongkan gada rampasan dari perguruan Candra Bumi.

"Byaaar.... "

Gada itu menumbuk tanah dan membuat tanah berlubang besar. Bisa
dibayangkan jikalau gada tadi mengenai ki Panji Tohjaya, yang tubuhnya terdiri
dari tulang berbalut daging dan darah, tentu akan lumat bila dipikir secara
nalar.

Geleng - geleng kepala ki Panji Tohjaya melihat keampuhan gada berwarna


kuning kehitaman itu. Patut diwaspadai jika pusaka ampuh tergenggam
ditanggan seorang ki Soca Welirang yang memiliki tenaga dahsyat. Lantas
P a g e | 805

upaya dari ki Panji Tohjaya ialah ikut meningkatkan ilmunya, dan tadu sewaktu
melihat adanya gempuran gada, ki Panji Tohjaya telah mengungkap aji Alang -
Alang Kumitir dan berhasil nenyelamatkan dirinya.

Sementara itu, dalam diri ki Soca Welirang, timbul rasa kesal terhadap lawan
satu ini. Ia tidak menyangka kalau lawannya masih dapat melayaninya sejauh
ini. Padahal dirinya mampu mengalahkan Senopati Rakai Wekar, kakak
seperguruan ki Panji Tohjaya dengan mudah melalui aji Tapak Geni yang
tersalurkan ke gadanya. Dia tidak mengira kalau selama ini lawannya
mendapat gemblengan secara langsung oleh ki Wijang Pawagal, murid tertua
Panembahan Sekar Jagat Sepuh dan kakak seperguruan ki Danurpati atau
Panembahan Sekar Jagat Anom guru ki Panji Tohjaya.

"Setan mana yang manjing dalam tubuh macan muda ini ?" batin ki Soca
Welirang, sambil memusatkan nalar budinya.

Licik, kejam dan tak terikat paugeran adalah ciri yang dimiliki ki Soca
Welirang. Maka tak heran jika serangan gelap akan ia lakukan untuk meraih
kemenangan. Kali ini ilmu hitam ia gunakan dengan sembunyi - sembunyi.
Tiada tanda - tanda mengisyaratkan kalau orang ini memiliki ilmu dan akan
mempergunakannya di tanah lapang ini.

"Mati kau.... !" desisnya dalam hati.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 12 bagian 6
oleh : Marzuki

Rajah Kala Pati adalah sebuah ilmu berasal dari penyembahan bathara Kala
putra bathara Guru dan bathari Durga, salah satu bathara penuh angkara
murka. Ilmu ini menurut penuturan kuno tersirat di sebuah batu arca berbentuk
kepala empat dan tangan juga empat yang ditemukan oleh Wiku kerajaan
Wengker, pada jaman Mataram kuno pemerintahan Maharaja Empu Sendok.

Waktu itu setelah sang Wiku mempelajarinya dan mencerna inti sari dari
guratan di dasar arca, sangat terkejut dengan apa yang ditimbulkan akibat
merapal aksara kawi. Badannya gemetar menggigil kedinginan bagai
terendam air telaga di puncak Wilis, tetapi sekejap kemudian hawa panas
yang amat sangat menyeruak keluar menjadikan sang Wiku menderita bukan
P a g e | 806

kepalang, dan perubahan kembali terjadi dimana hawa dingin menghampiri


sang Wiku dan dilanjutkan hawa panas terulang lagi berkali - kali. Baru terakhir
kemudian keadaan sang Wiku kembali seperti sediakala, malah terasa sejuk
menjalari tubuhnya.

Dicobanya untuk melangkahkan kaki. Kejadian tak terduga membuat sang


Wiku terpana tatkala merasakan adanya getar merambat turun menjalar ke
dalam tanah dan mengarah ke gundukan batu padas.

"Byaaar..... !"

Gundukan batu ambyar menyisakan debu hitam kelam. Terperanjatlah sang


Wiku demi menyaksikan akibat dari tenaga dahsyat yang menyeruak dari
dirinya. Ia tidak menyangka kalau hasil dari merapal aksara kawi, merubah
dirinya seperti itu. Namun untuk menambah keyakinannya sang Wiku mencoba
merapal aksara kawi, kali ini tiada perubahan yang membuat tubuhnya
menderita, lalu ia hujamkan kakinya ke tanah seraya memusatkan arah sasaran
yang ia kehendaki, yaitu sebuah pohon Gayam sebesar paha orang dewasa.

"Byaaar... !"

Nasib sial dialami oleh pohon Gayam, dimana sebuah kekuatan dahsyat
menggrogoti batang, cabang, ranting dan daunya berubah layu menghitam
legam dan hangus. Bisa dibayangkan jika tenaga itu ditimpakan kepada
mahkluk hidup lainnya, sungguh tak terbayang apa yang terjadi. Bahkan sang
Wiku sendiri ngeri apabila membayangkan. Ilmu itu seperti menyebarkan racun
mematikan jika yang dikenai adalah mahkluk hidup.

Sebagai seorang Wiku yang selalu mendekatkan diri kepada Hyang Suci,
pikiran dan hati jernih telah mendorongnya untuk menghilangkan ilmu itu. Hati
kecilnya mantab untuk menggolongkan ilmu itu sebagai ilmu yang tak
seharusnya dipelajari oleh manusia, karena akibat yang ditimbulkan sangatlah
parah berupa kematian tentunya. Maka untuk itu ia mencoba menghapus
pancaran ilmu tersebut dari dalam pikiran, hati dan wadahnya. Akan tetapi
baru saja ia memulai, tiba - tiba langit berubah gelap, sang surya terbenam
oleh gerombolan awan hitam, dan guntur terdengar membahana memekakan
gendang telinga.
P a g e | 807

Patung arca yang semenjak awal diam tak bergerak, mendadak matanya
bersinar memancarkan warna merah menggidikan bulu kuduk. Batu yang
semestinya tidak memiliki nyawa, bangkit berdiri tegak dan menghadap ke
arah sang Wiku. Dari salah satu wajah, tersungging senyum yang sekejap
kemudian berubah seringai mengerikan, lalu menggeram bagai sang raja
hutan belantara.

"Kau tak akan mampu menghapus ilmu yang sudah kau pelajari itu, manusia.
Ilmu itu lain dari yang lain seperti yang pernah kau hapus. Karenanya jika kau
ingin menghapusnya, kau harus mencari seorang lelaki untuk menyembahku.
Setelah itu baru kau akan bebas dari cengkraman ilmu itu di dalam tubuhmu !"

Habis berkata begitu, langit kembali seperti sediakala dan patung bathara
Kala duduk seperti semula, layaknya patung pada umumnya.

Dan begitulah perjalanan ilmu itu hingga entah bagaimana ki Soca Welirang
mempelajarinya dan mampu menggunaka ilmu hitam tersebut. Sekarang ilmu
Rajah Kala Pati sudah diterapkan untuk menghabisi lawannya. Tenaga dahsyat
mengandung racun menjalar menyusup tanah mengarah kepada lawannya
yang berdiri tegap penuh kewaspdaan.

Dalam pada itu ki Panji Tohjaya dalam diamnya juga mendapatkan ada
sesuatu yang ganjil terhadap lawannya. Karenanya ia sempat memusatkan
nalar budinya untuk mengungkit ilmunya aji Brajadaka serta aji Sepi Angin. Dua
ilmu melebur menjadikan tenaga dahsyat memutar ke seluruh urat nadinya,
dan saat itulah berbenturan dengan ilmu gelap lawan yang menyusup dari
bawah kakinya dan terus naik menjalari kakinya. Ki Panji Tohjaya terkejut
dengan adanya tenaga aneh yang sepertinya melawan dan menggerogoti
kakinya. Tetapi Senopati ini berusaha melawan melalui pengerahan ilmu
gabungan, hingga akhirnya terjadila upaya dorong - mendorong dari ilmu itu.

Rasa sakit dan pedih menyiksa kaki ki Panji Tohjaya sebatas betis. Dorongan
kuat dari tenaga aneh rupanya dapat membobol tenaga gabungan
Brajadaka dan Sepi Angin, menambah penderitaan yang dialami ki Panji
Tohjaya, dimana dua kaki sebatas betis telah berubah menghitam legam, dan
membuat lunglai tubuh Senopati itu. Jatuhlah tubuh ki Panji Tohjaya yang tak
dapat menopang lagi berat tubuhnya. Jika ini terus berlanjut, bisa dipastikan ki
Panji Tohjaya akan binasa di tangan ki Soca Welirang.
P a g e | 808

Meskipun besar musibah melanda seseorang, tetapi apabila Dzat Yang


Maha Agung belum berkenan mencabut nyawanya, kematian akan terhalang
untuk sementara dan selamatlah orang itu. Begitu juga dengan keadaan ki
Panji Tohjaya, dimana dalam keadaan sekarat muncul orang yang baru saja
dijumpai, yaitu ki Lurah Arya Dipa dan Kyai Jalasutro. Kedua orang itu terkejut
melihat keadaan yang dialami oleh ki Panji Tohjaya. Bergegas keduanya
melompat ke arah ki Panji Tohjaya dan satunya lagi ke arah ki Soca Welirang.

Kedatangan dua orang itu menghentikan tindakan ki Soca Welirang untuk


menghabisi ki Panji Tohjaya. Untuk sementara ilmu Rajah Kala Pati ia tarik
kembali demi menghadapi terjangan seorang pemuda. Demi menghindari
terjangan itu, ki Soca Welirang mengisar kakinya sekaligus mengayunkan gada
rampasan ke arah lawan barunya. Tetapi lawannya bukanlah anak yang baru
turun gunung setelah selesai menuntut ilmu, pemuda itu adalah murid pilihan
Resi Puspanaga dalam bimbingan mempelajari kitab Cakra Paksi Jatayu,
sehingga sangat mudah melayani ayunan gada hanya dengan mengibaskan
saja.

"Tobiil.... !" seru ki Soca Welirang, takjub terhadap pemuda yang dapat
melencengkan gadanya.

Akan tetapi ki Soca Welirang tak mau berhenti disitu saja, gadanya bergerak
lagi mengejar tubuh lawannya dengan cepat. Ia yakin kali ini gadanya pasti
menumbuk pemuda kurang ajar itu, namun untuk kedua kalinya ki Soca
Welirang dibuat kesal bukan main, karena sekali lagi lawannya hanya
merunduk sembari mengibaskan tangannya. Kibasan tersebut mengandung
tenaga cukup kuat dan membuat tubuh ki Soca Welirang terhempas ke
belakang, beruntung dirinya dapat menjaga keseimbangan, sehingga
badannya tak terjengkang.

Sementara itu tak jauh dari tempat ki Soca Welirang dan ki Lurah Arya Dipa
beradu dada, Kyai Jalasutro mencoba membantu ki Panji Tohjaya menepi dan
memeriksa keadaannya. Betapa terkejutnya Kyai Jalasutro setelah mengetahui
keadaan ki Panji Tohjaya. Keadaan Senopati itu sangat parah, kedua kakinya
hitam legam penuh kerutan, menandakan daging yang membalut tulang
tersedot oleh ilmu Rajah Kala Pati. Bahkan kaki ki Panji Tohjaya sudah tak dapat
digerakan lagi, lumpuh.

"Ki Panji, apakah yang kini kau rasakan ?"


P a g e | 809

"Sebuah tenaga mengerikan... Terasa terus.. Menggerogoti dagingku... "


jawab ki Panji Tohjaya, terbata - bata karena menahan pedih yang ia rasakan.

"Semoga upaya bisa mengurangi rasa sakit itu, ki Panji."

Usai berkata, Kyai Jalasutro memusatkan nalar budinya untuk mencoba


menyalurkan tenaga sucinya. Tangan Kyai Jalasutro menempel di betis ki Panji
Tohjaya, begitu menempel hawa sejuk dari tangan Kyai Jalasutro menyusup
betis secara perlahan, tetapi sebuah perlawanan sisa tenaga ilmu Rajah Kala
Pati masih kuat dan mendorong hawa sejuk keluar kembali. Sungguh kejadian
itu mengejutkan Kyai Jalasutro, baru kali ini selama melalang buana sesuatu
yang aneh ia temui.

"He... " desuh Kyai Jalasutro, tak enak hati.

"Terima kasih, Kyai.." desis ki Panji Tohjaya, lirih, "Se..baiknya Kyai mem..bantu ki
Lurah.."

Sejenak ki Panji Tohjaya terhenti karena napasnya agak sesak, tetapi dia
mencoba melanjutkan kata - katanya untuk memperingatkan Kyai Jalasutro.

"Orang i..tu ki Soca We..lirang, Kyai. Seorang pem..bunuh berdarah di..ngin."

Kyai Jalasutro mengernyitkan alisnya, gelar yang diucapkan oleh ki Panji


Tohjaya belum pernah ia dengar. Walau begitu, melihat ilmu yang diterapkan
oleh orang itu, patut mendapatkan perhatian yang besar. Namun, Kyai
Jalasutro tak ingin juga langsung turun membantu ki Lurah Arya Dipa, tiada lain
takut menyinggung Lurah Wira Tamtama itu, meskipun ia tahu kalau pemuda itu
bukanlah seorang yang tinggi hati. Karenanya ia untuk sementara mengawasi
jalannya perkelahian, dan apabila amat mendesak barulah ia turun
gelanggang.

Dalam saat bersamaan, di kalangan adu kekuatan sangatlah seru dan sengit.
Pemuda yang menggagalkan upaya terakhir ki Soca Welirang untuk
membinasakan ki Panji Tohjaya, membuat ki Soca Welirang semakin mantab
meningkatkan ilmu tata geraknya. Gada dan juga tangannya penuh ancaman
mematikan bagi lawan yang lengah. Ditambah lagi lambaran tenaga dahsyat
menggebu - gebu meremukan mangsa. Pantaslah jika orang ini terkenal
P a g e | 810

sebagai pembunuh ulung. Gelarnya saja dapat merontokan begundal -


begundal kanuragan dan bahkan pemimpin kanuragan.

"Setan alas ! Kau bisanya hanya meloncat - loncat saja, he !" seru ki Soca
Welirang, tatkala lawannya hanya menghindari terjangannya dengan loncatan
- loncatan saja.

Ki Lurah Arya Dipa menanggapi dengan tersenyum sembari melentingkan


tubuhnya demi menghindari ayunan gada lawan. Pemuda itu berusaha
melakukan penjajagan dahulu untuk mengetahui tenaga lawan, yang
sebenarnya memiliki ilmu mengerikan. Selain itu adalah mencoba menggoda
batas kesabaran lawan, supaya pergerakan lawan tidak sejalan dengan pikiran
jernih, sehingga mengkalutkan tata gerak lawan. Tetapi apabila lawannya
dapat membaca jalannya pemikiran ki Lurah Arya Dipa, tindakan itu akan
menjadi piranta lawan untuk mengelabuinya dan menghancurkannya. Oleh
sebab itulah, ki Lurah Arya Dipa juga selalu berhati - hati dan waspada dalam
setiap langkahnya.

Memasuki tataran lebih rumit, gada ki Soca Welirang tak dapat lagi dilihat
sebelah mata, ki Lurah Arya Dipa-pun terpaksa melepas ikat pinggangnya
sebagai senjata untuk menghadapi gada pusaka lawan. Namun dalam pada
itu, lawannya merasa dihinakan oleh ki Lurah Arya Dipa yang melayaninya
hanya menggunakan ikat pinggang. Hal itu menjadikan lawannya tak dapat
lagi mengekang gejolak kemarahannya dan melibas ki Lurah Arya Dipa lebih
ganas lagi dari sebelum - belumnya. Maka gada ditangan ki Soca Welirang
sangat mengerikan disetiap ayunan dan gebrakannya.

Bagi ki Lurah Arya Dipa, tindakan dari lawannya sangatlah wajar tatkala
mendapatkan lawan hanya menggunakan ikat pinggang sehingga marah dan
merasa diremehkan. Tetapi lawannya belum tahu apa sesungguhnya bahan
ikat pinggangnya itu ? Ikat pinggangnya adalah sebagian daripada sisik ular
naga yang memiliki keuletan luar biasa, serta apabila ikat pinggang itu
dihantamkan ke batu sebesar kepala kerbau, niscaya batu itu akan pecah
berkeping - keping. Dan pusaka ikat pinggang ini sudah sering terbukti dapat
membuat lawan - lawan ki Lurah Arya Dipa menjadi takjub pada akhirnya,
begitu juga halnya dengan lawannya kali ini manakala singgungan senjata
terjadi.
P a g e | 811

Mata ki Soca Welirang seakan - akan lepas dari kelopak matanya, karena tak
percaya jika gadanya dapat ditahan lawan menggunakan ikat pinggang.
Tidak sampai disitu saja, ikat pinggang ditangan lawannya telah mengibaskan
gadanya, jika cengkeramannya tak kuat niscaya gada tersebut lepas dari
tangannya. Akhirnya sadarlah ki Soca Welirang kalau ikat pinggang tersebut
adalah benda pusaka, dengan itu ia tak akan gegabah menilai kemampuan
lawan.

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 12 bagian 7
oleh : Marzuki

Hari semakin remang dimana sang Surya kembali dalam peraduannya. Tanah
lapang terasa mencengkam karena lima tubuh menggeletak tak bernyawa.
Agak di pinggir, seorang kakek tua menopang sosok tubuh tak berdaya
dengan luka aneh terletak dikedua kaki yang menghitam legam. Sedangkan
tak jauh dari keduanya, sosok - sosok layaknya hantu berloncatan kian kemari
menambah keadaan menakutkan.

Di langit kerlip bintang gemebyar menghiasi angkasa raya, seakan menjadi


saksi tingkah pola manusia dalam merebutkan sesuatu keyakinan, yang
kadang kala harus mengorbankan nyawa. Kejadian seperti itu kadangkala
membuat bintang gemintang dan seluruh isi alam bosan, untuk selalu melihat
dan melihat tetesan darah, jerit tangis, rintihan merana, geram kemarahan, dan
nafsu - nafsu angkara. Tetapi semua itu adalah kodrat Yang Kuasa yang harus
berjalan terus sampai kelak sang Surya terbit dari barat.

Begitu-pun kali ini, tanah lapang sedang menggelar sebuah perkelahian


untuk kesekian kalinya. Ganasnya gada mengayun deras dan dihadapi ikat
pinggang yang memiliki dua bentuk berupa luwes atau-pun keras dalam
menyikapi ganasnya gada. Belum lagi jika dua penggunanya menyalurkan
tenaga cadangan atau ilmu - ilmu dari masing - masing sumbernya, yang
tentunya berbeda bentuk dan jalur, menambah sengitnya adu tenaga dan
kemampuan gerak yang terolah menjadi satu kesatuan sebagai piranti
pertahanan atau bahkan penghancur lawan. Semuanya tergantung kepada
si-pemilik ilmu itu sendiri.

Dalam pada itu, gada ditangan ki Soca Welirang terlihat mengeluarkan


pamornya, dimana cahaya kuning kehitaman nampak jelas di gelapnya
P a g e | 812

malam. Sepertinya orang itu tidak lagi mengekang seluruh kemampuannya


dalam menghadapi pemuda yang telah ikut campur dan mengganggunya,
manakala ia hampir saja menewaskan mangsanya. Dan benar saja, gada
yang dahulunya adalah milik pemimpin perguruan Candra Bumi, setelah
ditangannya melibas pergerakan lawannya dengan ganas dan mengerikan.
Jika sekali gada itu menghantam karang, dapat dipastikan karang tersebut
akan lumat berserakan, apalagi manusia yang hanya terdiri dari tulang dan
darah terbalut daging dan kulit. Sangat yakin dan pasti gada tersebut dapat
menyelesaikan, itulah yang tersirat dalam benak ki Soca Welirang.

Akan tetapi, semuanya itu tergantung dari campur tangan dari Dzat Suci.
Walaupun ciptaanNYA hanya se-ekor garuda, tetapi jika Yang Maha Agung
memberikan kelebihan terhadap garuda itu, meskipun garuda itu dihujani
ribuan anak panah, dengan kelincahan dan kegesitannya mengepak sayap
garuda dapat menghindarinya dengan mudah. Begitu-pun dengan ki Lurah
Arya Dipa pada saat itu, kelincahan dan kegesitannya sangat luar biasa,
seakan - akan punggungnya tumbuh dua sayap dan menerbangkannya. Dan
itu adalah hasil dari salah satu ilmu yang tersirat dikitab Cakra Paksi Jatayu,
yang disebut "Garuda Dirgantara" tataran awal.

"Hebat... " puji Kyai Jalasutro, yang menyaksikan kehebatan ki Lurah Arya
Dipa.

Sementara bagi ki Soca Welirang menyaksikan dan merasakan kemampuan


lawan, membuatnya kesal bercampur marah. Dia sudah mengeluarkan hampir
seluruh kemampuannya, tetapi lawan masih selalu dapat melayaninya. Ingin
sebenarnya ia akan menerapkan ilmu pamungkasnya yang ngedap - ngedapi,
tetapi kesempatan tidak pernah ia dapatkan barang sekejap, yaitu dimana
lawannya harus menginjak tanah agak lama, karena lawannya ini selalu
melenting ataupun meloncat bahkan mengudara.

"Licin betul anak muda ini ! Apa mungkin ia tahu syarat ilmu Rajah Kalapati ?"
tanyanya dalam hati.

Tiada jawaban yang pasti. Malah ki Soca Welirang bergegas merendahkan


tubuhnya manakala desir tajam terdengar memburu batang lehernya. Hampir
saja kepala akan tanggal terpapas ganasnya ikat pinggang lawan, jika ki Soca
Welirang tidak tanggap. Berhasil menghindari sergapan lawan, masih dalam
keadaan merendahkan tubuh, ki Soca Welirang menyapu kaki lawan. Namun
P a g e | 813

lawan dapat meloncat sembari melakukan tebasan hebat, dan ki Soca


Welirang lekas menyilangkan gada diatas kepalanya.

Percikan api timbul manakala dua senjata tadi berbenturan dengan kerasnya,
membuat dua penggunanya mendapatkan kesan dan akibat yang sama,
yaitu getaran merambat dan menusuk jari dan tangan keduanya. Bukan hanya
itu saja, tubuh ki Lurah Arya Dipa dapat dibuat mental meskipun dengan
kelincahannya pemuda itu dapat menjaga keseimbangan tubuhnya.
Sementara bagi ki Soca Welirang kakinya yang masih setengah jongkok,
melesak ke dalam tanah sedalam sekilan.

Bergegas ki Soca Welirang merapal ilmunya setelah dapat meredakan rasa


nyeri pada tangannya. Kesempatan untuk menggunakan ilmu Rajah Kalapati
sudah di depan mata. Dan kali ini akan ia terapkan sepenuhnya agar lawan
segera tewas.

Dalam pada itu, ki Lurah Arya Dipa yang sudah tuntas dalam mempelajari
kitab Cakra Paksi Jatayu dan rontal Panembahan Anom, merasakan adanya
marabahaya yang akan mencelakakannya. Ilmunya yang melebur dalam
dirinya seakan bergolak dan membangkitkan ilmu Niscala Praba tingkat tinggi,
sehingga tubuhnya terselimuti cahaya kuning kemilau. Selain itu aji Sepi Angin
dan Gelap Ngampar ikut menyeruak, seakan - akan tak mau ketinggalan
membantu raga yang telah ia huni.

Sekejap kemudian tanah lapang di malam hari itu berderak hebat. Tanah
bengkah segaris lurus antara ki Soca Welirang dan ki Lurah Arya Dipa. Dari
bengkahan tanah tercium bau anyir menyengat membuat penciuman tak
nyaman. Bahkan Kyai Jalasutro dan ki Panji Tohjaya yang berada diluar
jangkauan, merasakan pening dan mual. Itu semua akibat ilmu Rajah Kalapati
yang mendekati kesempurnaan.

"Buumm...! Buuummm...! Byaaar...!"

Bumi bagai terhantam batu langit, menjadikan tanah lapang porak -


poranda. Debu bercampur tanah dan rerumputan membumbung menutupi
pandangan mata, menambah pekatnya malam. Apa yang terjadi ditengah
lapangan masih tak dapat diketahui, apakah ki Lurah Arya Dipa kalah ?
Ataukan ki Soca Welirang yang tumbang ? Atau malah keduanya mati
sampyuh ?
P a g e | 814

Di luar kalangan, hati Kyai Jalasutro berdebar hebat menyaksikan kejadian


yang baru saja ia alami. Se-umur - umur barulah malam itu ia menyaksikan
beradunya tenaga dahsyat yang mampu membuat tanah berderak hebat
dan suara dentuman keras memekakan gendang telinga, juga bergolaknya
udara malam di tanah lapang. Padahal, Kyai Jalasutro sendiri seorang linuweh
dan tuntas kaweruh dalam dunia kanuragan dan jaya kawijayan, masih dibuat
terpana dan takjub. Namun seiringnya waktu berlalu, orang tua itu gelisah
memikirkan nasib ki Lurah Arya Dipa yang masih terkurung tebalnya debu.

Semuanya pada akhirnya harus berlalu. Debu yang membubung mulai larut
terhempas angin semilir dan luruh jatuh ke bumi. Lamat - lamat keadaan
dimana kalangan tadi berada, berubah adanya, tanah padat ditumbuhi
rumput setinggi kurang dari mata kaki, amblong selebar belasan pelukan orang
dewasa dan sedalam satu tombak. Di sana juga tiada nampak satu
kehidupan-pun yang terlihat, sehingga membuat kegelisahan Kyai Jalasutro
satu - satunya orang yang masih dalam keadaan terjaga, karena ki Panji
Tohjaya telah pingsan setelah mencium bau anyir dari rengkahan ilmu Rajah
Kalapati.

"Bagaimana ini ?" desis Kyai Jalasutro, bingung bercampur gelisah,


"Bagaimana nanti aku akan mempertanggung-jawabkan keselamatan
Anakmas Lurah Arya Dipa kepada istrinya yang saat ini sedang mengandung ?"

PANASNYA LANGIT DEMAK


jilid 12 bagian 8
oleh : Marzuki

Keadaan yang mencekam di tanah lapang yang saat ini sangat kental,
menimbulkan masalah sendiri bagi serangga - serangga malam. Bunyi jangkrik,
kerlipnya kunang, dan serangga lainnya lenyap begitu tenaga dahsyat meluluh
lantahkan tanah lapang. Entah kemana serangga - serangga itu perginya,
setelah kedatangan orang - orang ke tanah lapang yang sangat jarang
dirambah manusia dan membuat kejadian yang sangat mengerikan berupa
saling menyakiti diantara manusia itu sendiri. Namun akibat yang ditimbulkan
berdampak besar terhadap kelangsungan ratusan bahkan ribuan serangga
yang selama ini hidup di sekitar situ.

Saat itu, yang mengganjal pikiran dan hati Kyai Jalasutro tidaklah mengenai
dampak kerusakan terhadap kehidupan serangga, melainkan bagaimana
P a g e | 815

akhir dari pergumulan adu sakti yang diterapkan oleh ki Soca Welirang dan ki
Lurah Arya Dipa. Bagaimana tidak gelisah ? Di bekas tempat beradunya dua
tenaga dahsyat hanya menyisakan lubang tanah yang cukup besar, tanpa
terlihat adanya sumber kehidupan sedikitpun. Sungguh mengerikan jika dua
orang digdaya tadi sama - sama lumat tak menyisakan secuil daging atau-pun
setetes darah. Betapa hebat dan mengerikan ilmu - ilmu yang baru saja
disaksikan oleh Kyai Jalasutro, tak terpikir ilmu limpahan dari Gusti Agung
kepada manusia bisa seperti itu.

Karena tak mampu lagi mengekang gejolak hatinya, Kyai Jalasutro bangkit
berdiri meninggalkan tubuh ki Panji Tohjaya yang tak sadarkan diri, mendekati
kubangan luas di tengah tanah lapang. Meskipun gelapnya malam
menyelimuti tempatnya berdiri, orang tua itu mencoba menajamkan matanya
melalui ilmu Pandulunya demi mencari tubuh ki Lurah Arya Dipa, khususnya.
Namun sudah berulang - ulang sepasang matanya menyelidiki, tak ada hasil
yang didapat, kecuali tanah dan bebatuan. Dan pada akhirnya kesimpulan
yang didapat ialah sesuatu yang sebenarnya tidak ia harapkan.

"Maafkan aku, Anakmas Lurah Arya Dipa. Seharusnya aku tadi


mendengarkan peringatan ki Panji Tohjaya dan membantumu, walau akhir
yang didapat belum tentu beruntung." sesal Kyai Jalasutro.

Sekali lagi orang tua itu mengeliarkan pandang matanya menyusuri lubang
dihadapannya, untuk memastikan. Setelah yakin, perlahan orang tua itu
membalikan tubuh dan beranjak dari tempatnya menuju tubuh ki Panji Tohjaya.
Kemudian Tangannya meraih tubuh ki Panji Tohjaya dan dipanggulnya dan
dibawa pergi dari tanah lapang.

Sepeninggal kepergian Kyai Jalasutro yang memanggul ki Panji Tohjaya,


tanah lapang menjadi sepi menyisakan lima tubuh tanpa nyawa dan lubang
besar menganga. Sementara sejarak dua puluh tombak, diantara lebatnya
semak belukar, sesosok tubuh hangus tergeletak tanpa nyawa, yaitu tubuh ki
Soca Welirang. Sedangkan di sisi lain, juga sejauh kurang dari dua puluh
tombak, ki Lurah Arya Dipa tergeletak tak sadarkan diri dan pakaiannya
berlubang seperti bekas terbakar.

Tadi, tatkala ilmu Rajah Kalapati menyeruak menghantam tubuh ki Lurah Arya
Dipa, aji Niscala Praba tertembus dan tubuhnya terserang tenaga jahat Rajah
Kalapati. Untung saja tubuh ki Lurah Arya Dipa tersimpan tenaga dahsyat dari
P a g e | 816

kitab Cakra Paksi Jatayu dan darah naga Anta Denta, yang dapat melawan
balik ilmu lawan sehingga tidak dapat menggrogoti tubuhnya, seperti tubuh ki
Panji Tohjaya. Selanjutnya kekuatan aji Gelap Ngampar dan Sepi Angin yang
juga dimiliki ki Lurah Arya Dipa, menyeruak keluar kearah lawannya, dan saat
bersamaan lawannya juga menerapkan aji Tapak Geni tingkat tinggi. Maka
bertemulah tenaga - tenaga dahsyat, yang membuat dentuman keras
menggelegar. Akibatnya tidak hanya tanah hancur saja, tubuh keduanya-pun
tak pelak terhempas jauh. Dan kejadian seperti itu luput dari pengamatan Kyai
Jalasutro.

Baru kali inilah ki Lurah Arya Dipa mengalami perkelahian sampai - sampai tak
sadarkan diri. Cukup lama matanya terpejam dan tubuhnya diam di bawah
pohon. Sampai sang surya terbit dari langit timur, pemuda itu belum sadarkan
diri. Hingga akhirnya sebuah suara merdu terdengar dan menghampiri
tubuhnya.

"Masih hidup, ayah."

Orang yang dipanggil ayah itu bergegas berjongkok, kemudian memeriksa


tubuh ki Lurah Arya Dipa dan orang itu menghela napas lega.

"Sungguh hebat daya tahan pemuda ini." desis orang itu.

"Apakah ayah akan menolongnya ? Apakah ayah tidak jera seperti waktu itu
?" tanya gadis yang pertama menghampiri tubuh ki Lurah Arya Dipa.

Orang itu tersenyim mendengarkan pertanyaan sekaligus rasa was - was dari
putrinya, "Nduk cah ayu, menolong orang yang menderita adalah pokok
utama dari sifat manusia. Yang terpenting adalah menolong orang itu terlebih
dahulu, masalah ia akan mengucapkan terima kasih atau malah membalas air
tuba, janganlah kau risaukan."

Putrinya menggeleng sambil menghela napas, tetapi tak menyanggah


ucapan ayahnya. Malah kini matanya menatap wajah orang yang tak
sadarkan diri itu. Tak dapat dipungkiri, tiba - tiba hatinya menilai wajah
terpejam itu. Senyum tipis mengembang di bibir mungilnya, tapi selekas itu
dicobanya untuk menampik angan - angan dari benaknya.
P a g e | 817

"Kau tidak setuju dengan ucapanku, Nduk ?" tiba - tiba ayahnya bertanya
dan itu membuat gadis itu gelagapan.

"Ti.. tidak ayah.. " sahutnya seraya menundukan kepala, untuk menutupi rona
merah diwajahnya.

"Hm.. Sudahlah, sebaiknya kita bergegas membawanya."

Orang itu meraih tubuh ki Lurah Arya Dipa dan dipanggul dipundaknya untuk
kemudian dibawa pergi. Dibelakang, gadis putri orang itu, berjalan dengan
sesekali memandang tubuh yang terjuntai dipundak ayahnya, entah apa yang
ada dibenak gadis itu.

Anda mungkin juga menyukai