Resi Puspanaga dengan setia tetap meneruskan semua ajaran dan tuntunan
dari Resi Gentayu, nama lain dari Prabu Airlangga setelah menjadi pertapa di
candi Belahan itu.
"Baiklah, ngger. Memang keyakinan tanah leluhur ini semakin hari akan terus
menyusut seiring berkembangnya waktu,d engan adanya keyakinan baru yang
dibawa dari tlatah berpadang pasir itu. Seharusnya membawa kedamaian di
bumi jawadwipa ini, namun manusia tetaplah manusia yang memiliki nafsu dan
keinginan yang kadangkala terlalu berlebihan dan membawa ataupun
menyeret penderitaan kepada sesama. Dan memang tak bisa dipungkiri setiap
kekuasaan akan mendatangkan keserakahan dalam jiwa yang lemah dan
ringkih ini." ucap sosok pertapa itu.
Lalu sosok itu telah mengeluarkan dua benda berwujud baja pilihan yang
memancarkan cahaya putih benderang dan kitab dari kulit,yang diserahkan
kepada resi Puspanaga.
Namun betapa terkejutnya resi Puspanaga,saat akan menerima dua benda
itu,benda itu telah melesat kedalam tubuhnya dan hilang.
Sosok pertapa suci melihat kebingungan resi Puspanaga,hanya tersenyum lalu
katanya,
"Kasinggihan dawuh,pikulun."
Jilid 1 bag 2
Ki palon pagi itu telah menyiapkan makanan dan minuman untuk resi
Puspanaga,yang baru saja menyelesaikan semedinya.Punakawan satu ini sejak
kecil sudah mengabdi pertapa dari Pucangan tersebut.
"Inggeh."
"Masuklah Sabdho".
Ki Sabdho yang diiringi oleh ki Palon memasuki bilik yang tidak terlalu luas
itu,dan duduk di depan resi Puspanaga.
"Kalian berdua sudah lama mengikuti dalam mengarungi kehidupan ini,dan aku
telah menganggap kalian berdua seperti keluargaku sendiri."dengan sareh resi
Puspanaga mengawali perkataannya.
"Resi,kami berdua telah menyerahkan jiwa raga ini untuk mengabdi kepada
resi,oleh karena itu apapun perintah dari resi akan kami jalankan sesuai
kemampuan kami,tentunya."kata ki Sabdho,yang diikuti oleh anggukan kepala
ki Palon.
"Baik resi."
"Baik resi,hari ini juga kami akan berangkat ke kademangan Tegowangi dan
kakang Palon ke kadipaten Pranaraga."sahut ki Sabdho selanjutnya.
Page |5
Dan hari itu juga ki Palon dan ki Sabdho siap berangkat dengan tujuan masing-
masing.Dua kuda berbadan sedang akan menjadi tunggangan keduanya.
Derap kaki kuda itu makin lama makin mendekat dan nampak,yang ternyata
berjumlah dua kuda dengan penunggang dua orang lelaki berbadan tegap
dan sangar.Sesampainya dekat pohon trembesi,keduanya menghentikan kuda
mereka dan turun menghampiri ki Sabdho.
"Maaf apakah kisanak juga dalam perjalanan jauh seperti kami.?tanya salah
seorang pendatang itu.
Kedua penunggang kuda yang baru datang itu saling pandang mengetahui
ketidak tahuan ki Sabdho tentang desas-desus di bulak Gambiran.
"Benar apa yang dikatakan temanku ini kisanak,oleh karena itu kami melakukan
perjalanan berdua,dan supaya kisanak aman lebih baik bersama dengan
kami."ajak orang yang bertahi lalat.
"kalau kisanak ragu-ragu,lebih baik memutari bulak ini lewat pertigaan jalan
yang tentunya kisanak lalui tadi.itupun akan lama dan menyita banyak waktu"
"Baiklah,kalau begitu mari kita berangkat sebelum sang surya semakin ke barat."
Jilid 1 bag 4
Desiran angin yang cukup tajam yang ditimbulkan oleh tebasan pedang
mengarah leher ki Sabdho,begitu cepat bagai tatit.Namun ki Sabdho bukan
orang kebanyakan yang begitu saja membiarkan lehernya putus oleh pedang
itu,dengan gerak yang mengagumkan ia telah mencabut pedangnya dan
menangkis serangan licik itu.
Bunyi tangkisan itu mengejutkan orang yang mempunyai tahi lalat di
dagu,yang berkuda di depan.
"Lama kita tidak berjumpa ki Simo."ucap orang yang di panggil ki Barong itu.
Page |8
Mengetahui sesuatu yang tak dimengerti itu,ki Sabdho segera mendekati kuda
ki Simo,orang yang mempunyai tahi lalat di dagu tersebut.
"Apakah kisanak mengenal orang itu dan ada apa ini semua.?"tanya ki
Sabdho,setelah berada di samping kuda ki Simo.
"Kau tak usah bisik-bisik ki Simo,dan untuk kau kisanak lebih baik tak ikut campur
dengan urusan kami.!"teriak ki Lodra,yang sudah di samping ki Barong berdiri.
Tidak ki,aku sudah terlibat dengan apa yang terjadi di bulak ini,dan orang itu
yang memulai terlebih dahulu."tukas ki Sabdho.
Mendengar perkataan ki Sabdho,ki Simo hanya menghela nafas lalu turun dari
kudanya.
"Cih dasar gedibal Demak yang tak tahu diri dan penghianat,dengan
mudahnya kau menjilat penguasa Glagah wangi dan menjadi menantu
tumenggung Japanan itu.!"
Tak jau dari tempat ki panji dan ki rangga Barong bertarung,terjadi pertarungan
yang tak kalah seru.Ki Sabdho yang dipandang sebelah mata oleh ki
Lodra,ternyata selalu bisa mengikuti kecepatan tandangnya.
jilid 1 bag 5
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut ki Lodra,kemarahannya saja yang
menimbulkan bunyi gemeretak giginya yang terdengar.Wajahnya memerah
P a g e | 11
bagaikan tersiram air mendidih siap melumat lawan yang tak diduga
sebelumnya.
Gerakan ki Barong laksana burung camar yang terbang menukik tajam dan
berubah-rubah.Tapi ki panji Simo yang merupakan seorang prajurit khusus
kadipaten Japanan,merupakan seorang prajurit yang mumpuni dalam olah
kanuragan.Kegesitan tandangnya layaknya burung alap-alap yang merajai
dirgantara,tubuhnya bagai kapas tak berbobot layaknya kapas.
P a g e | 12
"Jangan terlalu memuji kakang,aku takut diri ini tak kuat menahan besarnya
hati."balas ki panji Simo.
"Ki Simo akan tewas jika begini terus,jika aku tak segera menyelesaikan ki
Lodra."kata ki Sabdho dalam hati.
Kembali percikan bunga api memercik tatkala dua pedang tajam itu
bertemu.Namun hal yang tak terduga telah terjadi,pedang ki Lodra bisa
dipatahkan oleh tangkisan ki Sabdho.Bukan itu saja,dengan gerakan cepat ki
Sabdho berhasil menyarungkan pedangnya ke tubuh naas ki Lodra.
Erangan yang mengerikan keluar dari mulut ki Lodra,dan tubuh itupun terkulai
tak berdaya setelah ki Sabdho menarik senjatanya.
Desiran angin dari pisau belati itu begitu hebat dan pasti membawa
kebinasaan ki Simo.Tapi Yang Maha Agung belum menghendaki,sebutir kerikil
telah memapas pisau belati itu hingga patah dan jatuh di samping kanan kiri
tubuh ki Simo.
jilid 1 bag 6
"Terima kasih,ki."
"Aku tak mengira kalau kakang Lodra dengan cepat kau kalahkan,namun kau
jangan sombong dulu kisanak."ucap ki Barong,lala lanjutnya,"walau dia kakak
seperguruanku,namun dalam mendalami ilmu jaya kawijayan,ia telah tertinggal
jauh dariku."
mempunyai ilmu sundul langit dan aji yang bisa menghancurkan gunung,tapi
aku akan berusaha semampuku untuk menghadapi kisanak."sahut ki Sabdho.
Dan kuda-kuda yang kokoh pun telah diperagakan oleh murid kinasih resi
Gangsiran.Kaki kanan agak ditekuk kedepan dan kaki kiri mendoyong
dibelakang,tangan kanan terbuka menyembah di depan dada lalu tangan kiri
terkepal disamping tubuh agak ditekuk menyiku.Sorot matanya begitu tajam
mengarah tubuh lawan,seolah bisa menembus sampai dalam dada.
Sebaliknya dengan ki Sabdho,walau tak memperlihatkan kuda-kuda,namun
sebenarnya kaki yang kuat itu begitu kuat mengakar kebumi.Hanya tangannya
saja dengan jari terbuka miring saling disilangkan di depan dada
Gaplokan cepat dan ganas itu hampir saja mengenai sasaran,jikalau ki Sabdho
tak segera menggeser kakinya kebelakang,walau begitu lawannya takmau
melepaskan begitu saja.Tangan kanan lawan yang terkepal mengarah
dadanya,serta kaki kiri tertekuk menyerang perutnya.
Loncatan kaki mereka begitu ringan seolah tak berbobot sehingga nembuat
tubuh mereka bergerak layaknya bayangan.Jikalau hal itu dilakukan di malam
hari dan terlihat orang kebanyakan,niscaya orang itu lari terbirit-birit ketakutan
mengira melihat sepasang hantu.
ki Barong yang berdiri dengan kaki sedikit renggang dan telapak tangan saling
digosokan,hingga mengeluarkan asap tipis mengepul dari sela-sela telapak
tangannya,tak sampai disitu saja kedua tangannya sebatas pergelangan
tangan telah membara.
Ki Sabdho dengan menyilangkan tangannya dan kuda kuda yang kokoh siap
menahan gempuran aji Tapak Dahana.
Suara dentuman telah mengoyak bulak dowo yang sepi itu.Daun-daun dan
ranting telah meranggas terkena aji yang dahsyat itu. Sementara itu ki Sabdho
yang mendapatkan gempuran itu terdorong dua tombak kebelakang dan
P a g e | 16
jilid 1 bag 7
"Terima kasih ki Sabdho,jika waktu diujung bulak itu ki Sabdho tak mau bersama
denganku,mungkin mayatku yang akan berbaring di bulak ini."ucap ki panji
Simo.
"Ah ini semua hanyalah kebetulan saja ki panji,dan tentunya atas kehendak
Yang Maha Agung."sahut ki Sabdho,merendah.
"aku rasa tidak ki,ki Lodra selama ini seorang prajurit pengawal adipati
Japanan.Mungkin ia memang saudara seperguruan kakang Barong yang
dimintanya membawaku kemari untuk membalaskan sakit hatinya
terhadapku."jelas ki panji Simo.
"Benar ki panji,jika ki Lodra bukan salah satu orang yang bergelar sepasang
begal bulak Gambiran,lalu siapa orang itu dan apakah dia tak berada di tlatah
ini.?"
***********
Senyum mengembang menghiasi bibir orang tua itu,yang dikenal oleh orang
sekitar candi Tegowangi empu Citrasena.
"Benar cah ayu,dewi Srikandi seorang wanita yang ikut dalam sebuah perang
besar di Kurusetra antara Pandawa dan Kurawa.Dengan senjata panah ia
berani menghadapi resi Bisma putra prabu Sentanu dan dewi Gangga."jelas
empu Citrasena.
Keceriaan gadis kecil terasa menyerebak keluar menghiasi wajahnya yang ayu
itu.
Di saat seperti itu dari luar rumah,terdengar derap kuda perlahan dan berhenti
di depan halaman rumah empu Citrasena. Seekor kuda yang ditunggangi oleh
lelaki berbadan tegap dengan pedang menghiasi samping
lambungnya.Sebelum memasuki regol halaman,orang itu yang tak lain ki
Sabdho telah turun dari kudanya dan masuk ke dalam regol.
"Ah ini belumlah larut malam,lihat saja Ayu Andini masih terjaga."
ki Sabdho segera menaiki tlundhak dan menghampiri pamannya itu. Usai saling
menanyakan kabar masing-masing,empu Citrasena menyuruh Ayu Andini untuk
mengambil minuman dan beberapa potong ketela rebus yang masih tersisa di
dapur.Dan sesaat kemudian Ayu Andini telah kembali dengan membawa
nampan berisi minuman dan sepiring ketela rebus.
"Ah kau begitu repot adikku yang ayu."sahut ki Sabdho,seraya menggoda putri
angkat empu Citrasena itu.
"Ah kakang."
"tentu aku ingat paman,semua sudut istana paman ini,bukan begitu adi
Andini.?"
P a g e | 19
Dan malam pun berjalan mengikuti waktu yang ditentukan.Di luar suasana
yang sepi dan sunyi terasa kental menghiasi keadaan di pedesaan.Hanya
suara binatang malam saja yang tanpak terdengar. Tanpa terasa dari ujung
langit timur,cahaya kuning kemerahan terlihat menghiasi cakrawala itu.Kokok
ayam pun ikut menyuarakan kegembiraan menyongsong hari baru itu.
Dan akhirnya nasi beserta sayur bayam,sambel korek dengan lauk ikan
terhidang di ruang dalam. Empu Citrasena pun mengajak ki Sabdho dan putri
angkatnya untuk menyantap hidangan di pagi itu.
"Tak ku sangka ternyata adi Andini sangat tetampil seperti ini."puji ki Sabdho.
jilid 1 bag 8
.
Perjalanan ki Palon hari itu sampai di tanah perdikan Anjuk Ladang,yang
berada di barat kali Brantas dan timur alas Saradan.Perjalanannya yang
panjang itu masih setengah perjalanan dan masih melewati telatah perdikan
Sagaten,Ngurawan dan baru di kadipaten Prana Raga.
"Terima kasih ki,aku pesan nasi Megana dan air degan."sahut ki Palon yang
kemudian duduk di dingklik bambu petung dekat lubang angin-angin.
Namun suasana yang tenang itu terusik dengan datangnya anak pemilik kedai
itu.Kedatangannya yang buru-buru dan dengan raut wajah kegelisahan,telah
mencuri perhatian ki Palon.
"Gawat pak,ki Jalak Pethak yang kalah sambung ayam dengan anak ki bekel
ingin melumatkan padukuhan ini,lebih baik kita segera mengungsi."jelas
Landong,yang masih gemetar tubuhnya.
Pemilik kedai itu pun langsung pucat mendengar perkataan dari anaknya
itu,lalu katanya,"Apakah ki Jagabaya tak bertindak,ngger.?"
"Baiklah kalau begitu cepat kau kemasi dagangan,aku akan berbicara dengan
kisanak itu."ucap pemilik kedai akhirnya.
Dengan berat hati pemilik kedai itu menghampiri ki Palon,yang pura-pura tak
mengetahui keadaan sebenarnya.
"Tuan,mohon maaf bukannya aku mengusir tuan,tapi ini semua demi kebaikan
dan keselamatan kisanak,silahkan pergi dari tempat ini."
Tak ingin menyusahkan pemilik kedai itu,maka ki Palon bangkit dari dingklik dan
merogoh uang dari kampil dan membayar makanan dan minumannya.
P a g e | 22
"Tak usah tuan,makanan dan minuman itu akan aku kasih cuma-cuma."pemilik
kedai itu menolak uang pembayaran dari ki Palon.
Tapi sebuah suara bantingan pintu kedai telah mengagetkan pemilik kedai dan
anaknya.Setelah mengetahui siapa yang membanting daun pintu kedai
itu,wajah kedua orang itu tampak memucat layaknya kapas putih. Di depan
pintu seorang laki-laki yang sebaya dengan Landong berdiri dengan bertolak
pinggang.
Betapa bingung dan gelisahnya pemilik kedai itu mendengar permintaan yang
tak masuk akal itu.
Akibatnya daun pintu itu pecah betantakan,dan membuat pemilik kedai dan
anaknya menggigil ketakutan.
P a g e | 23
"Oh kau tuan,terima kasih aku tak apa-apa berkat tuan.."jawab pemilik kedai.
jilid 1 bagian 9
"He apa kau tuli setan alas.!"bentak ki Jalak Pethak,yang merasa dirinya tak
dihiraukan oleh ki Palon.
"Janganlah kau berteriak-teriak seperti itu kisanak,aku tidak tuli namun aku
masih meminta adi ini merawat bapaknya."jawab ki Palon,tenang.
"Mengapa kisanak marah-marah tak karuan seperti itu kepada pemilik kedai
yang memang tak menyediakan minuman keras.?"lanjut ki Palon.
"Itu bukan urusanmu,di tepian barat kali Brantas ini merupakan wilayahku,dan
semua yang aku inginkan harus ada.!"
"Tutup mulut,beraninya kau sesorah dihadapan Jalak Pethak murid kyai Bagor.!"
"Hem,jadi kisanak ini murid kyai Bagor.?tapi yang aku ketahui kyai
Bagor,seorang yang berjiwa besar tak melakukan sesuatu yang merugikan
orang lain."kata ki Palon.
"Gawat jika orang ini dibiarkan hidup,dia bisa mengadu perbuatanku kepada
guru."kata ki Jalak Pethak dalam hati,"lebih baik orang ini aku binasakan saja."
Dan benar saja,bagai api yang tersiram minyak,ki Jalak Pethak menggeram
dan melibat punakawan dari gunung Penanggungan itu. Selapis demi lapis
ungkapan tenaga dari ki Jalak Pethak membadai,serangan tangannya yang
kokoh itu seolah-olah menutup gerak dari lawannya. Oleh karena itu,ki Palon
pun telah meningkatkan kemampuannya untuk melayani tandang dari murid
kyai Bagor.
Sementara itu tanpa terasa perkelahian itu melumatkan seisi kedai,dingklik dan
bangku rusak berantakan terkena gempuran ki Jalak Pethak. Mengetahui
barang-barangnya hancur,pemilik kedai hanya pasrah dan menjauhi
kedainya,supaya tak terkena sambaran tenaga ki Palon maupun ki Jalak
Pethak.
Perkelahian yang makin lama bertambah seru dan sengit itu,telah bergeser di
halaman kedai.Sergapan dan serangan keduanya begitu cepat dan
trengginas,debu pun terangkat terkena sambaran kaki kokoh keduanya.
Jilid 1 bagian 10
Suasana saat itu sungguh membuat orang yang melihat akan berdebar-debar
P a g e | 26
Memang sungguh tepat jika orang-orang dari telatah tepi barat kali Brantas
akan takhluk dengan seseorang yang bernama ki Jalak Pethak,ketangkasan
dan kelincahannya sungguh mengagumkan.Tapi lawannya pun juga bukan
orang kebanyakan,ki Palon yang merupakan punakawan dari resi
Penanggungan sekaligus muridnya,mempunyai ilmu yang ngedab-ngedabi.
"Bukan main,inikah ilmu yang bersumber dari perguruan Kali Bening itu.?"kata ki
Palon,memuji tenaga lawan.
"oh maaf kisanak,dari pada aku menyerahkan kepalaku lebih baik kisanak saja
yang berlaku begitu."sahut ki Palon lantang.
"Setan alas,akan ku cincang kau dan akan aku lempar mayatmu di besarnya
kali Brantas.!"
Ki Jalak Pethak merasakan tangan kanannya nyeri luar biasa hingga sampai
terasa di dada.Begitu juga dengan ki Palon,tangannya seperti dirambati
tenaga panas menyengat,hingga membuatnya menyeringai.
Dengan menyilangkan kedua tangan di dada dan kaki yang agak renggang
mengakar ke bumi,ki Palon telah mengungkap aji Tameng Waja untuk
membentengi seluruh tubuhnya.
Dan saat yang mendebarkan telah terjadi,ki Jalak Pethak dengan telapak
tangan yang membara meloncat menggempur tubuh lawannya.
"Syukur ki,aku masih mendapat kemurahan dari Yang Maha Agung,tapi maaf ki
karena ulahku,kedai kisanak rusak."ucap ki Palon,seraya meminta maaf.
Jilid 1 bagian 11
Mengetahui kalau orang berkuda itu seorang prajurit,anak muda yang menjadi
pemimpin pengawal itu segera mengangguk hormat.
"Oh maafkan kami yang tak mengetahui jika tuan ini seorang prajurit."ucap
pemimpin pengawal itu.
"Benar kisanak."
Kokok ayam jantan dan kicau burung pun memeriahkan pagu yang cerah
itu.Di depan pendopo kademangan empat ekor kuda telah disiapkan untuk
mengantar ki Demang dan ki Pramono,serta dua pengawal kademangan
Wilangan menuju kadipaten Prana Raga.
Jilid 1 bagian 12
"Kalau jalan masuk tadi sampai kesina tidak,Pramono.Tapi ujung utara oleh
para penghuni kademangan sering di ambil pohonnya,itu pun dengan syarat
harus menanam kembali setelah satu pohon di tebang."ucap ki Demang
Wilangan,"Apakah waktu kau datang tak lewat jalur ini.?"
Teriakan itu telah membuat ki Demang dan pengiringnya menarik kekang kuda
mereka,hingga membuat kaki depan kuda itu terangkat.
"Hahaha aku tak mengakui dirimu atau pun orang Demak yang bernama Rekso
Gati.Hutan ini kerajaanku dan semua yang memasuki harus membayar
upeti.!"ucap ki Suro Adikoro lantang.
"Kalau kami tak mau,apa yang akan kalian lakukan.?"ki Pramono angkat
bicara.
"Tentu saja kalian akan kami jadikan santapan hewan buas yang ada ditempat
ini.!"
"Kurang ajar,apa kau buta hingga tak bisa melihat pakaian keprajuritan bumi
Wengker.!"kata ki Pramono.
P a g e | 34
Orang bertopeng yang mengaku Suro Adikoro itu tersenyum dan memandang
tajam ke arah ki Pramono.
"Jangankan kau prajurit rendahan,bahkan adipati pangeran Anom pun aku tak
gentar."
"Baik kakang."
Sesaat kemudian di dalam lebatnya hutan itu mulai terdengar teriakan kasar
dari komplotan orang yang mengaku raja alas Saradan,sebagai awal dari
serangan mereka.
Empat orang melawan tujuh kawanan perampok dengan tata gerak yang
kasar dan ganas itu,membuat repot ki Demang dan ki Pramono beserta dua
pengawal kademangan Wilangan. Di pihak ki Demang,hanya ki Pramono dan
P a g e | 35
Dan benar saja,sebuah teriakan telah keluar dari salah satu pengiring ki
Demang.Sebuah goresan walau tak dalam telah mengenai lengan
kirinya,darah segar mulai menitik membasahi tanah alas Saradan.
"Sudahlah lebih baik kisanak beristirahat agak jauh kepinggir."saran orang itu.
"Tapi mereka..."
P a g e | 36
Kedatangan ki Palon menarik perhatian semua orang yang ada di situ dan
memancing dua orang yang tadinya membantu ki Suro Werdi dan satu lagi
yang menghadapi ki Pramono.
Jilid 1 bagian 13
Di lain tempak yang tak terlalu hauh,ki Suro Adikoro dibuat penasaran oleh
lawannya.Bagaimana tidak,setiap ia meningkatkan tatarannya maka
lawannya pun mampu menandinginya.
Kini orang bertopeng pemimpin gerombolan alas Saradan itu mulai merambah
ilmu simpanannya.Deru angin yang awalnya silir semilir itu tiba-tiba berkumpul
menjadi satu tenaga dan menghentak ke arah ki Palon.
"Ilmu apa itu tadi,hingga membuat lenganku terasa pedih tak terkira.?"ucap ki
Palon dalam hati,"Aku harus hati-hati."
Di lain kalangan sebuah erangan telah keluar dari mulut kawan ki Suro Werdi.Ki
Pramono berhasil menggoreskan senjatanya di paha lawan.
Namun pengawal ki Demang pun tak luput dari sodokan tangkai pedang dari
P a g e | 39
ki Suro Werdi dan membuat pengawal itu jatuh tak sadarkan diri.
(Bersambung......)
ilid 2 bag 1
Karya : Marzuki
�����
.
Udara malam itu terasa dingin luar biasa,angin yang mengalun lembut itu
membuat semua orang malas untuk keluar dari rumah.Suasana itu membuat
semua orang meringkuk dalam hangatnya selimut kain panjang atau jarit.
Di gardu parondan pun yang di tempati oleh beberapa anak muda yang
harusnya berjaga,tampak kosong.
Di tengah malam yang gelap dan dingin itu,seorang yang berjalan kaki
menghentikan langkahnya.
"Sepertinya malam ini hujan akan turun."desis orang itu.
Sesaat orang itu memerhatikan gardu parondan di ujung regol padukuhan itu.
"Lebih baik aku bermalam di gardu ini."berkata orang itu yang kemudian
menaiki gardu itu dan meletakkan buntalannya.
Tak berapa lama orang itu merebahkan diri,derap kaki kuda terdengar di
telinganya.Lantas orang itu kembali bangun dan duduk.
Dari ujung lorong dua kuda yang ditunggangi oleh tiga orang,yang terdiri dua
orang lelaki dan satu orang remaja.Kuda itu berjalan pelan karena tak ingin
mengganggu ketenangan padukuhan yang akan mereka lewati.
"Paman,sepertinya hujan akan segera tiba.Lebih baik kita berteduh di gardu
parondan itu."salah seorang dari mereka berkata.
"Baiklah sepertinya Dipa juga sudah lelah."sahut orang yang dipanghil paman
itu.
Maka mereka pun bersepakat untuk berteduh di gardu yang gelap itu.Tapi saat
salah seorang turun dari kudanya,sebuah dehem telah mengejutkan mereka.
"Oh maaf kisanak,aku kira gardu ini kosong.Kami bertiga ingin minta ijin
berteduh disini,itupun jika kisanak ijinkan."ucap penunggang kuda yang masih
muda.
Orang yang lebih dulu di gardu parondan itu menganggukkan kepalanya
perlahan.
P a g e | 40
ilid 2 bag 2
Karya : Marjuki
�����
.
Malam itu pun berlalu tanpa ada sesuatu yang membuat
P a g e | 41
jilid 2 bag 3
Karya : Marzuki
�����
.
Seekor burung Garuda dengan mahkota terbuat dari permata.Mata tajam
memancarkan kewibaaan dan keperkasaan burung ajaib itu.Kepakan
sepasang sayapnya membuat angin dahsyat yang bisa memporak-
porandakan apapun yang ada di belakang rumah ki Mahesa Anabrang.
Sementara itu ki Mahesa Anabrang,dengan sekuat tenaga menjaga
keseimbangannya agar tak tersapu oleh kibasan angin yang ditimbulkan
burung itu.
"Kaaaaak..!"suara burung bermahkota itu telah mengoyak udara di malam itu.
Suara yang bagaikan mengandung gelombang aji Gelap Ngampar itu
membuat jantung ki Mahesa Anabrang bagaikan akan lepas dari
tangkainya.Dengan sekuat tenaga orang tua angkat Arya Dipa mengerahkan
tenaga cadangan dan berusaha menutup segala lubang panca indranya.
Di depan terlihat burung Garuda bermahkota permata itu mengangkasa
setinggi dua tombak dan berputar-putar di atas tubuh Dipa yang tak sadarkan
diri.Tak selang beberapa lama,kabut tipis telah keluar di sekitar tubuh anak
itu,yang semakin lama menjadi pekat hingga burung Garuda itu pun tak
terlihat.
Apa yang terjadi itu telah mendebarkan jantung ki Mahesa Anabrang,dengan
hati was-was ia mencemaskan keselamatan anak angkatnya.
Tapi sebuah suara yang berasal dari dalam kabut,membuat hati orang tua itu.
"Tak usah kau kawatir dengan keselamatan anak ini.Dan ingatlah,jangan kau
ajarkan anak ini dengan ilmu olah kanuragan,biarlah ia mendapatkan tuntunan
P a g e | 44
ilid 2 bag 4
Karya : Marzuki
�����
.
Dua kuda itu dengan perlahan menaiki tangkis sungai. Penunggangnya
seorang berperawakan kekar dengan tombak menghiasi punggungnya.
Sedangkan yang satunya, seorang perempuan dengan pakaian merah tua
dan sebuah pedang panjang di samping pinggangnya.
Di atas tangkis berjarak dua tombak, bangunan kecil yang terbuat dari bambu
kuning dengan atap rumbia terlihat tampak sepi.
"Apakah kakang Sawung Rana belum kembali.?" ucap lelaki itu, yang sudah
turun dari kudanya.
"Mungkin dia masih dalam perjalanan kakang." sahut si wanita.
"Kalau begitu aku akan ke sungai kembali, badanku penuh dengan debu."
kembali lelaki itu bersuara.
"Baiklah kakang, aku akan menunggu di sini saja."
Lelaki itu pun kemudian berjalan kembali kearah sungai yang agak berwarna
kecoklatan, karena hujan semalam.
Sedangkan si wanita, dengan menyandarkan badannya di tiang untuk
mengurangi rasa lelahnya. Namun wanita itu segera berdiri tatkala dari balik
P a g e | 46
"Selain itu Terung pun tentu tak akan tinggal diam begitu saja, karena adipati
Terung yang juga di sebut raden Kusen itu sudah berada di Demak dan
mendukung pemerintahan keturunan kakaknya, raden Patah atau raden
Lembu Kenanga." kembali Sawung Rana berkata.
"Lalu bagaimana selanjutnya rencana kakang.?"
"Aku akan menetap di sini, sekaligus melakukan penyelidikan di kadipaten
Japanan. Siapa tahu ada peluang untuk membujuk para bangsaawan
kadipaten ini."
"Baiklah kakang, tapi ijinkan kali ini aku menemani kakang." ucap Sumirah,
dengan suara agak bergetar.
Sawung Rana memandang wajah wanita itu, sehingga membuat wajah wanita
itu bersemu merah dan menunduk.
"Bertanyalah pada kakangmu, apakah ia mengijinkan jika adik gadisnya tinggal
di tempat yang terpencil ini."
Mendengar itu, Sumirah memandang kakangnya. Tapi belum ia menggerakkan
bibirnya, kakangnya tersenyum dan berkata.
"Tentu saja aku tak keberatan jika adikku yang bersedia dan tinggal bersama
dengan Arjunanya..."
Tapi sebuah cubitan telah hinggap dipinggangnya dan menghentikan kata
yang belum tuntas itu.
"Aduh...sudah Sumirah, aku kapok..."
Pemandangan itu membuat Sawung Rana tersenyum.
jilid 2 bag 5
Karya : Marzuki
.
Malam mulai menggelayuti langit di sekitar sungai itu. Di dalam gelapnya
malam, seberkas sinar dian yang memancar dari sela - sela dinding rumah yang
terbuat dari bambu kuning itu.
Di dalamnya tiga orang yang terdiri dua lelaki dan satu wanita tampak duduk
di amben menikmati ganyong dan wedang.
"Bila esok kau berangkat, lewatlah sisi selatan kadipaten Penarukan dan
mampirlah di padepokan Lemah Jenar." ucap Sawung Rana.
"Baik kakang, apakah ada pesan untuk ki Ajar Lodaya.?" kata Menak
Raung,lalu diteruskan dengan bertanya.
Tampak Sawung Rana sesaat termenung dan menghela napas, lalu katanya.
"Katakan pada ki Ajar Lodaya, kalau aku berpapasan dengan seseorang yang
P a g e | 48
bernama Palon. Mungkin orang itu berada di sekitar kadipaten Japanan ini."
"Baik kakang." sahut Menak Raung, yang kemudian menyruput wedang.
"Kakang, aku tidur dulu, mata ini sudah ingin terpenam." suara Sumirah yang
halus itu, terdengar.
"Tidurlah, kami masih ingin berbincang - bincang."
Setelah kepergian Sumirah, Sawung Rana dan Menak Raung semakin
bersungguh - sungguhpembicaraan mereka.
"Kakang, jika kau ingin mencari hubungan di kadipaten Japanan ini, carilah
seorang pedagang kuda di pusat kota. Namanya ki Ganjur, ia masih kerabat
jauhku." kata Menak Raung.
"O baik, terima kasih adi."
Di luar rumah, suara jangkrik dan bermacam serangga malam riuh terdengar.
Agak di kejauhan suara kodok bangkak terdengar begitu keras, sebuah suara
untuk menarik pasangannya. Dan malam yang larut semakin memuncak
ketitiknya.
Sementara itu di suatu tempat yang berjarak ratusan tombak, di bawah lereng
gunung penanggungan, suasana gembira memenuhi ruangan di bangunan
utama pertapaan Pucangan.
Resi Puspanaga dengan ditemani empu Citrasena dan Sabdho, menyambut
kedatangan ki Mahesa Anabrang, Palon dan Arya Dipa.
Usai menanyakan kabar masing - masing dan kesehatan, maka pembicaraan
berlanjut dengan kelakar ringan.
"Ah malam sudah semakin larut, lebih baik kalian membersihkan badan kalian
di pakiwan dan beristirah di gandok kiri." ucap resi Puspanaga.
"Baik, resi." sahut ki Mahesa Anabrang.
Ketiga orang yang baru tiba dari kadipaten Prana Raga itu kemudian berdiri
dan beranjak ke pakiwan.
Ketika Arya Dipa berjalan paling belakang, resi Puspanaga memerhatikan
punggung anak remaja itu.
"Empu Citrasena, itulah anak yang aku ceritakan."
"Maksud resi, anak yang kau temukan disamping suami istri yang sudah tak
bernyawa di puncak gunung Bancak itu.?" tanya empu Citrasena.
"Iya, empu.Kasihan anak itu, kedua orang tuanya tewas di tangan Begawan
Jambul Kuning, kakek anak itu sendiri."
"Memang begawan satu ini sering berubah - ubah wataknya. Aku sendiri
pernah di selamatkan oleh begawan Jambul Kuning, tapi di lain waktu aku pun
hampir mati ditangan orang sakti itu. Apakah resi Puspanaga bertemu dengan
P a g e | 49
orang itu.?"
"Iya, kami bertarung seharian penuh. Dan anehnya, yang membuat kami
berhenti bertarung karena mendengar tangis bayi Arya Dipa. Dan begawan
Jambul kuning kembali berubah wataknya menjadi seorang yang berhati baik
dan memungut cucunya itu." kata resi Puspanaga.
Mendengar itu, empu Citrasena hanya menghela napas dan manggut -
manggut, begitu juga dengan Sabdho.
"Lalu ketika ia memandang anak dan menantunya, ia bertanya, mengapa
keduanya diam.Tentu saja aku menceritakan kejadian sebenarnya, kalau ialah
yang membunuhnya. Perasaan sedih yang tak terhingga telah memenuhi hati
begawan itu dan ia pun menyerahkan bayi yang berada di pelukannya
kepadaku, lalu dengan cepatnya orang itu menyambar kedua anak
menantunya dibawa pergi dari puncak gunung Bancak. Namun lama aku
menunggu, orang itu tak kunjung tiba, maka aku pun pergi dari tempat itu dan
membawa bayi Dipa dan aku serahkan kepada ki Mahesa Anabrang." tutur resi
Puspanaga.
"Dan semenjak itu aku belum berjumpa dengan begawan Jambul Kuning, O ya
empu apakah bahan besi itu sudah berbentuk.?"
"Bahan itu sulit ditempa, resi. Malam ini aku akan melakukan semedi, mudah -
mudahan mendapat kemudahan." jawab empu Citrasena.
"Baiklah aku pun akan menemani empu."
"Terima kasih, resi."
jilid 2 bag 6
Oleh : Marzuki
.......................
Suasana yang hening itu menambah pemusatan nalar budi empu Citrasena
dan resi Puspanaga untuk melakukan lelaku khusus dalam langkah
memperlancar pembuatan sebuah wesi aji menjadi senjata untuk menunjang si
pemakai benda itu, semakin dalam. Dua orang yang linuwih dalam
penguasaan ilmu yang merambah ke kedalaman diri itu, berusaha sekuat
tenaga dengan memasrahkan kekerdilan jiwa, kehadapan Yang Maha Agung,
agar supaya mendapat tuntunan dan pertolongan berupa kemudahan dalam
mewujudkan sesuatu yang mereka inginkan.
Sementara itu, di gandok yang sudah dipersiapkan untuk Arya Dipa dan ki
Mahesa Anabrang, keduanya segera merebahkan tubuh mereka yang terasa
letih akibat perjalanan siangnya. Sedangkan Palon dan Sabdho, keduanya
duduk di amben dalam biliknya.
P a g e | 50
"Baiklah."
Dan suara derit pintu terdengar terbuka, dan kembali tertutup setelah salah
satu punakawan resi Puspanaga, keluar dari bilik itu.
............
Pagi itu merupakan pertama kalinya, Arya Dipa menghirup segarnya udara
lereng gunung Penanggungan. Remaja itu dengan riang berjalan ke arah
pakiwan dan sesampainya di pakiwan, segera ia mengerek tali senggot dan
menuangkan ke dalam padasan di pakiwan.
Setelah dirasa penuh maka remaja itu akan memasuki pakiwan itu, tapi betapa
terkejutnya ketika seseorang mengguyur air dari dalam pakiwan.
"Hee, jangan kurang ajar.!" bentak sebuah suara dari dalam pakiwan.
"Ooo, maaf - maaf aku tak tahu." kata Dipa, yang langsung mengurungkan
niatnya dan berdiri agak jauh dari pintu pakiwan.
Sesaat kemudian seorang gadis keluar dari pakiwan dengan wajah merengut
dan langsung menghajar Dipa dengan perkataan.
"Sungguh aku tak tahu jika kau berada di dalam, aku berani beraumpah." kata
P a g e | 51
Dipa.
"Ah dasar hidung belang, masih kecil saja sudah begitu, kau pantas mendapat
tamparan." balas gadis remaja itu, yang tak lain Ayu Andini.
Benar saja, sebuah tamparan dengan cepat mengarah Dipa. Karena Dipa tak
mengerti ilmu kanuragan, maka tamparan Ayu Andini tepat mengenai pipinya.
"Aduuh...!" keluh Dipa.
"Ooh, mengapa kau tak menghindar.?" tanya Ayu Andini, yang menyesali
perbuatannya setelah tamparannya tak bisa dihindari remaja di depannya.
"Bagaimana aku menghindar, tanganmu begitu cepat seperti angin." sahut
Dipa,yang masih mengusap - usap pipinya.
"Maaf, tapi apa benar kau tak tahu jika aku berada di dalam.?" ucap Ayu
Andini yang kemudian masih bertanya.
"Sungguh demi yang Maha Agung, bila aku berbohong aku siap diceburkan
dalam sumur."
"Benar, kau berani diceburkan dalam sumur..?"
"E...e..itu.." suara Dipa terputus - putus.
"Yee....dasar, ya sudah, aku tidak sungguh - sungguh kok." kata Ayu Andini,
sambil tersenyum.
Arya Dipa merasa lega, mengetahui hati gadis itu melunak.
"Oh kalian disini, apakah kalian sudah saling mengenal.?" tegur resi Puspanaga.
Kedua anak remaja itu saling menggelengkan kepala mereka.
"Baiklah, Dipa ini Ayu Andini, putri dari empu Citrasena." kata resi Puspanaga,
memperkenalkan.
"Dan Andini, anak yang berada di sampingmu ini Arya Dipa, tadi malam ia
bersama ayahnya ki Mahesa Anabrang, baru tiba dari telatah Prana Raga."
lanjut resi Penanggungan.
Sesaat keduanya saling pandang, namun keduanya dengan cepat menunduk
malu.
"Ada apa dengan kalian.?" tanya resi Puspanaga, tersenyum.
"Tidak apa - apa, eyang." sahut keduanya, bersamaan.
"Hahaha, jawaban kalian kompak, kalian ternyata cepat akrab. Baiklah aku
akan kehalaman depan." kata pemimpin pertapaan itu, dan meninggalkan
kedua remaja itu.
Setelah kepergian resi Puspanaga, keduanya masih berdiri mematung.
"Maafkan aku tadi, kakang." desis lirih Ayu Andini.
"Aku pun juga begitu, Ayu. Yang dengan sembrono memasuki pakiwan."
"Ah sudahlah, aku duluan kakang."
"I..iya Ayu."
P a g e | 52
Ayu Andini kemudian beranjak dari pakiwan menuju gandok yang ia tempati.
Sementara itu, Dipa masih memandang belakanv punggung gadis yang sudah
menampar pipinya, hingga bayangan tubuh gadis itu tak tampak.
jilid 2 bag 7
Oleh : Marzuki
.
"Wah anak gadis itu sangat perkasa, tanganya bagaikan besi gligen." desis
Arya Dipa, sambil masih mengusap - usap pipinya yang kena tampar Ayu
Andini.
"Mungkin jika marahnya tak cepat reda, mungkin aku sudah lumat, hehehe..."
lanjut remaja itu, yang kemudian melangkahkan kakinya ke pakiwan.
Tak lama kemudian, suara guyuran air pun terdengar dari dalam pakiwan.
Sementara itu di ruang depan, tampak ki Mahesa Anabrang dan empu
Citrasena duduk beralaskan tikar mendong.
"Apakah Dipa belum bangun, ki Mahesa.?"
"Sudah, empu. Mungkin ia berada di pakiwan." sahut ki Mahesa Anabrang.
Orang tua dari candi Tegowangi itu manggut - manggut, ia masih teringat
dengan cerita yang dituturkan oleh resi Puspanaga.
"Ki Mahesa Anabrang, apakah kau pernah mengatakan sebenarnya kalau
anak itu cucu begawan Jambul Kuning.?" tanya empu Citrasena.
"Begitulah, empu. Namun aku tak mengatakan jika sebenarnya anak itu pun
juga merupakan cucu tumenggung Lembu Kumbara."
"Ah.... benarkah itu, ki Mahesa.?" ucap empu Citrasena, kaget.
Ki Mahesa Anabrang mengangguk perlahan.
"Pantas wajah anak itu mirip dengan senopati Demak yang berjuluk banteng
Bintoro itu."
"Benar empu Citrasena, ki tumenggung Lembu Kumbara dalam medan perang
selalu berhasil membuat lawan - lawannya kecut dan ia pun disegani oleh
kawan - kawanya, sehingga ia dekat dengan Sultan Jimbun." kata ki Mahesa
Anabrang.
"Namun ketika ia mendengar putri tunggalnya tewas bersama suaminya, maka
ia pun mendadak sakit dan menemui ajalnya." lanjut ki Mahesa Anabrang,
"Karena itulah Arya Dipa sampai sekarang aku rawat dan aku anggap anak
sendiri."
"Oh jadi ki Mahesa sebenarnya berniat mengembalikan anak itu kepada
eyangnya.?"
"Iya, empu."
P a g e | 53
jilid 2 bag 8
oleh : Marzuki
........
Dengan sungguh - sungguh Arya Dipa dan ki Mahesa Anabrang, menunggu
apa yang akan dikatakan oleh orang tua dari pertapaan Pucangan itu. Suara
hening untuk beberapa saat dan hanya desir halus angin saja yang terdengar.
Perlahan resi Puspanaga berkata, "Arya Dipa, bukankah kau mengetahui jika ki
Mahesa Anabrang ini hanyalah ayah angkatmu.?"
Mendengar pertanyaan itu, Dipa mengangkat kepalanya dan memandang
orang tua itu dan kembali menundukkan kepalanya.
"Benar, Eyang. Ayah Mahesa sudah menjelaskan mengenai jati diriku sejak lima
tahun yang lalu, kalau diriku ini anak dari ayah Arya Wila dan ibu Retnowati,
dan kakekku seorang begawan dari gunung Bancak, eyang begawan Jambul
Kuning, orang tua dari ayah Arya Wila." kata Dipa, yang tampak sayu menahan
kesedihan.
Melihat keadaan putra angkatnya itu, ki Mahesa Anabrang memegang
pundak remaja itu.
"Tabahkan hatimu, bukan maksud eyangmu mengingatkan kesedihan yang
P a g e | 54
"Bila keinginanku terwujud dan bisa membunuh kakekku, apakah aku tak ada
bedanya dengan perbuatan kotor yang dilakukan oleh kakekku..? Dan apakah
ayah dan ibuku akan hidup kembali..? Ah tidak..tidak..tidak, aku harus
menyirnakan niat buruk itu..!"
Dan anak itu pun mengangkat kepalanya perlahan, terlihat senyum
mengembang menghiasi bibir remaja itu.
"Tidak eyang, mengapa aku harus mengulang kembali pembunuhan yang
dilakukan oleh eyang begawan Jambul Kuning.? Bila aku berbuat seprti itu,
tentu aku pun akan terkutuk seumur hidupku dan mendapatkan karma yang
serupa."
Jawaban itu bagaikan siraman air yang sangar sejuk di hati resi Puspanaga dan
tentunya ki Mahesa Anabrang, yang tak menyangka ternyata jiwani remaja di
sampingnya berjiwa ksatria.Karena itu secara naluri maka Dipa telah ia peluk
dengan eratnya.
Suasana keharuan itu terasa menyejukkan ruang sanggar Pucangan, hingga
kemudian resi Puspanaga mendehem.
"Semoga yang kau katakan itu terus tersimpan dalam sanubarimu, ngger.
Sekarang mendekatlah dan menghadap ke arah ayahmu."
P a g e | 55
jilid 2 bag 9
oleh : Marzuki
.........
Pandangan dua pasang mata itu tak lepas dari bungkusan kain mori itu.
"Inilah kitab Cakra Paksi Jatayu." ucap resi Puspanaga, sambil menaruh
dihadapan mereka bertiga.
Dengan pelan bungkusan itu dibuka oleh resi Puspanaga, Sebuah kitab dari
kulit binatang dengan gambar burung garuda bermahkota yang
mengepakkan kedua sayapnya dengan sebuah lingkaran berbentuk cakra
melingkari burung itu.
"Sungguh simbol yang begitu menakjubkan." desia ki Mahesa Anabrang.
Kini resi dari penanggungan itu membuka halaman pertama, yang berisi
sebuah petunjuk orang yang bisa mempelajari kitab itu. Yaitu seorang yang
berjiwa sabar jauh dari dendam dan mempunyai simbol garuda bermahkota
dalam lingkaran cakra.
"Bacalah ki Mahesa, bukankah Dipa memenuhi syarat ini." kata resi
Penanggungan, kepada ki Mahesa Anabrang.
Maka ki Mahesa Anabrang pun membaca tulisan Sansekerta itu, dan ia pun
menggangguk - anggukkan kepalanya.
"Kau beruntung Dipa, ternyata dirimu berjodoh dengan kitab ini." ucap ki
Mahesa Anabrang.
Arya Dipa hanya diam membisu dan pandangannya terus tertuju ke kitab itu.
Kembali resi Puspanaga membuka halaman selanjutnya, tapi di halaman
selanjutnya kosong, dan ini membuat ki Mahesa Anabrang mengerutkan
keningnya, tapi ia diam saja.
Lembaran demi lembaran terbuka, namun tetap kosong sampai halaman
terakhir.
"Maaf resi, mengapa kitab itu berisi tulisan hanya selembar saja dan itupun
hanya petunjuk seseorang yang bisa mempelajari kitab ini.?" tanya ki Mahesa
Anabrang, yang tak bisa menahan keheranannya.
Tapi resi Puspanaga hanya tersenyum saja dan memandang Dipa, seraya
membuka halaman ketiga yang menurut ki Mahesa Anabrang kosong.
"Apa yang kau lihat, ngger.?"
"Gambar seorang yang kakinya merenggang dan kedua tangannya
membentuk siku - siku di samping badannya, dengan jari - jari mengepal."
jawab Dipa.
"Hanya itu saja.?" kembali resi Pusanaga bertanya.
"Tidak eyang, masih ada sembilan gambar lainnya yang menggambarkan
P a g e | 57
"Hahaha mereka hanya pandai meloncat - lancat saja, anakmas. Masih kalah
jauh di bandingkan dengan perguruan yang di pimpin oleh ki Ajar Bajulpati."
sahut ki Ajar Lodaya, merendah.
"Hahaha ki Ajar Lodaya dan guru merupakan orang pinunjul di bang wetan ini,
mungkin ilmu ki Ajar dan guru imbang."
"Tidak anakmas, waktu muda dulu aku kalah telak oleh ki Ajar Bajulpati, hingga
aku mengalami luka dalam yang parah, untunglah ki Ajar Bajulpati berbaik hati
kepadaku dengan merawatku sampai luka itu sembuh. Dan beberapa tahun
kemudian, saat aku berhadapan dengan ki rangga Sawung Rana, hasilnya
imbang." tutur pemimpin Lemah jenar itu.
Lurah Menak Raung manggut - manggut, pikirannya melayang ke masa lalu, di
mana gurunya ki Ajar Bajulpati yang masih berdiam di timur alas Baluran.
"Jika guru tidak pergi, mungkin kakang dan aku akan menjadi orang yang pilih
tanding." desis lurah Menak Raung.
Melihat tamunya melamun, ki Ajar Lodaya mendehem hingga membuat lurah
Menak Raung menyadari.
"Maaf ki Ajar."
"Tak apa anakmas, aku tahu kalau anakmas sedang merindukan ki Ajar
Bajulpati, yang kini tak tahu rimbanya."
"Begitulah ki Ajar. Oh ya ki Ajar mengenai pesan dari kakang Sawung Rana, ia
mengatakan jika ia bertemu dengan seseorang yang bernama Palon." kata
lurah Menak Raung.
"He..." Orang tua itu tampak kaget.
"Benarkah itu, anakmas.?" tanya orang tua itu, tak percaya pendengarannya.
"Benar, ki Ajar. Mungkin saat ini orang yang bernama Palon itu berada di
Japanan."
Keterkejutan orang tua pemimpin padepokan Lemah Jenar itu berangsur -
angsur berubah menjadi kegembiraan, namun ia berusaha tak memperlihatkan
kepada tamunya itu.
"Terima kasih, anakmas. Syukurlah anak itu bisa di temukan." ucap ki Ajar
Lodaya.
Dan pembicaraan demi pembicaran terus berlanjut hingga wayah sepi wong.
Lalu ki Ajar Lodaya mempersilahkan tamunya itu beristirahat di bilik yang telah
dipersiapkan.
Sayup sayup suara binatang malam mulai terdengar dengan irama yang
semestinya. Malam yang begitu gelap karena mendung yang begitu tebal,
mendung yang mengandung uap air laut dan akan kembali menetesi bumi ini.
P a g e | 59
jilid 2 bag 10
oleh : Marzuki Magetan
.....
Loncatan demi loncatan dilakukan oleh Arya Dipa, di bebatuan yang
berserakan belakang pertapaan Pucangan. Atas tuntunan dari resi Puspanaga
yang bersumber dari kitab Cakra Paksi Jatayu, dalam sepekan ini sudah
menampakkan perkembangan yang pesat.
Walau tubuh anak itu sudah berkucuran keringat, namun anak itu tak
menampakkan keletihan sedikitpun.
"Sungguh tak kusanggka anak ini mempunyai tenaga yang begitu besar.." desis
rasi Puspanaga, memuji tenaga Arya Dipa.
Tubuh Dipa dengan entengnya berjumpalitan dari batu yang satu ke batu
yang lainnya. Di suatu saat, ketika kaki itu menginjak batu sebesar anak kerbau,
batu itu ambles beberapa kilan kedalam tanah.
"Oh Bathoro agung.." gumam resi Puspanaga.
"Cukup ngger.!" teriak resi Puspanaga, menghentikan latihan Dipa.
Anak remaja itu dengan perlahan menata pernapasannya untuk memulihkan
kembali tenaganya yang terkuras dalam latihan, lalu ia melangkah
menghampiri orang tua penunggu pertapaan Pucangan di lereng gunung
Penanggungan tersebut.
Orang tua itu tersenyum dam menepuk pundak Dipa perlahan.
"Ternyata kau mempunyai bakat yang bagus dalam olah kanuragan, ngger."
ucap resi Puspanaga.
"Terima kasih, eyang, ini semua atas kemurahan eyang dalam menuntun cucu
eyang ini." jawab Dipa.
"Hahaha..aku senang mendengarkan itu, tetap jagalah sifat rendah diri dalam
tubuhmu, dan jangan mudah menepuk dada." kata resi Puspanaga.
"Ingatlah, ilmu itu hanyalah titipan dari Yang Kuasa semata dan hendaknya
digunakan untuk kebenaran yang hakiki saja, ngger." kata orang tua itu lagi
dengan sareh.
"Terima kasih, eyang. Semua petuah dari eyang akan senantiasa cucu ingat
dan lakukan."
Orang tua itu lalu membalikkan badan dan berjalan ke gubuk pinggir kolam,
yang di ikuti oleh Dipa. Keduanya duduk dengan pandangan menghadap
kolam yang dihuni beberapa ikan.
"Dipa, coba kau buka lembar selanjutnya dari kitab itu." perintah resi Pusanaga.
"Iya, eyang."
P a g e | 60
yang melihat akan mengagumi. Apalagi jika tubuh itu dibakar ataupu dimasak
dengan cara lainnya, tentu akan mendatangkan manfaat bagi yang
melahapnya, itulah ciptaaan dari Yang Maha Agung.
jilid 2 bag 11
oleh : Marzuki Magetan
.........
Di tengah malam yang begitu dingin itu, tiga sosok bayangan orang
melangkahkan kaki ke arah barat pertapaan Pucangan. Ketiganya walau di
kegelapan malam dan rimbunnya semak tanpa kesulitan melangkahkan kaki
dengan cepat.
Tanpa terasa tempat yang dituju yang berjarak ratusan tombak itu telah
sampai. Di depan mereka kini banyak ditumbuhi beraneka macam tumbuhan
empon - empon dan sejenisnya. Dan bila dicermati dengan tajamnya panca
indra, berjarak lima langkah, terdengar desis hewan melata.
"Ular.." desis ki Mahesa Anabrang.
"Tak hanya satu ki, di sana pun juga ada." sahut resi Puspanaga, sambil
menunjuk ular yang berwarna belang.
Mengetahui banyaknya ular - ular yang berada di depannya itu, tengkuk Dipa
meremang.
"Dipa kami hanya bisa mengantarmu sampai disini, kini kau harus berjalan ke
depan sampai kau menemukan mulut gua itu. Semuanya tergantung tekad
dan keberununganmu." ucap resi Puspanaga.
Anak remaja itu hanya menganggungkan kepalanya.
"Berdo'alah kepada Hyang Agung, supaya mendapat lindungannya dan bisa
menyelesaikan lakumu yang pertama ini." lanjut orang tua dari gunung
Penanggungan itu.
"Baik eyang, aku mohon restunya." kata Dipa, lalu menghadap ayah
angkatnya, "Ayah, akupun juga meminta pangestu dari ayah."
"Terimalah pangestu kami, ngger."
Setelah meminta restu dari eyang resi Puspanaga dan ki Mahesa Anabrang,
maka Dipa berbalik badan dan melangkahkan kakinya.
Tiga langkah kemudian, kaki Dipa telah menotol tanah sehingga membuat
tubuhnya membal keatas dan melewati beberapa ular berbisa. Atas keuletan
selama sepekan ini mampu membuat tubuh anak remaja itu seringan kapas
layaknya sang garuda mengarungi dirgantara.
Ki Mahesa Anabrang yang memperhatikan gerak anak angkatnya itu,
P a g e | 62
terkagum - kagum. Ternyata ilmu peringan tubuh anaknya itu, telah berada di
atasnya.
Sementara itu, Dipa dengan cermat dan tangkas, selalu melompat dari batu
ataupun batang pohon kesatu ke lainnya untuk menghindari marabahaya dari
bisa ular yang begitu banyaknya, hingga sampai di tanah rerumputan
berbatasan gerumbul tinggi
Anehnya di tanah rerumputan itu, tiada satupun ular yang berani
mendekatinya. Dengan wajah termangu - mangu Dipa memperhatikan ular -
ular yang hanya berdesis tanpa mengganggunya. Lalu Dipa membalikkan
badannya dan menghadap rerimbunnya gerumbul.
"Aneh, di sini tak ada lubang pintu gua." desis Dipa, perlahan.
Sekian lama memperhatikan dan dengan menyibak rerimbunan gerumbul itu
menggunakan tangannya, akhirnya lubang mulut gua itu nampak.
Sebuah mulut gua yang tak terlalu besar membuat Dipa kembali
melangkahkan kakinya dengan hati - hati dan perlahan.
Gelap yang begitu pekat tak menyurutkan tekad dihati Arya Dipa, walau agak
sulit dalam melangkahkan kakinya ia terus maju ke depan.
Saat melangkahkan kakinya beberapa tindak, Dipa mendengarkan desis yang
keras dari dalam gua.
"Mungkinkah itu yang dimaksud dengan Anta Denta itu.?" ucapnya dalam hati.
Kembali suara itu kembali terdengar, dan kini semakin keras.
"Duh Gusti Agung, berikanlah hambamu ini kekuatan dan ketabahan untuk
menuntaskan lelaku ini." do'a Dipa dalam hati.
Langkahnya kini semakin dalam yang ternyata sampai di tikungan gua.Dari situ,
lamat - lamat terlihat seekor ular besar mengerikan.
Badan ular bersisik merah dengan ekor melingkar, lalu diatas kepalanya
nampak tanduk bercabang, layaknya tanduk rusa. Kedua sisi kepala terdapat
jampang kuning keemasan dan mata yang terpejam
"Apakah ini kenyataan ataukah hanya mimpi...?" desis Dipa, seraya mengucek -
ucek matanya.
"Ah ini memang nyata..." sanggahnya.
Di awali dengan kepasrahan kepada sang Agung, kembali Dipa mencoba
melangkahkan kakinya lebih dekat lagi.
Tiba - tiba ular itu telah bergerak meregangkan lilitan ekornya, dan kembali
terdiam tanpa membuka matanya.
Jantung Dipa yang berdetak kencang itu, agak lega manakala menyaksikan
P a g e | 63
jilid 2 bag 12
oleh : Marzuki Magetan
.........
Sesungguhnya di balik tubuh naga itu, tumbuh sebuah tanaman ajaib yang
selalu direbutkan oleh semua makhluk. Itu terbukti dari adanya tulang - tulang
kerangka yang berserakan di sekitar dalam gua itu, entah itu dari kalangan
manusia atau hewan.
Ular itu kembali bergerak walau hanya sesaat. Dan Dipa sangat yakin dengan
apa yang ada di balik ular raksasa itu.
Segera anak itu memutar otak untuk memancing ular sebesar batang kelapa
itu meninggalkan tumbuhan yang ia tunggu. Karena itu, Dipa memungut sebutir
kerikil dan dengan tenaga penuh, kerikil itu ia sentilkan ke arah kepala naga.
Begitu derasnya laju kerikil mengarah tepat di tengah dahi ular raksasa itu,
hingga membuat ular itu membuka matanya dan dengan keras mendesis
penuh kemarahan.
Sorot mata sang ular begitu tajam mengarah anak remaja yang telah berani
memasuki dan bahkan mengganggunya. Tubuh ular itu menggeliat begitu
hebat, dan ekornya dengan ganas menyabet tubuh anak manusia yang
berada di depannya.
Tapi datangnya serangan dari ekor ular itu sudah dierkirakan oleh Arya Dipa.
Kakinya segera bergeser kebelakang beberapa tindak, lalu menotol tanah
untuk melambungkan tubuhnya kebelakang dan berhenti di depan mulut gua.
Mengetahui mangsanya bisa dengan mudah menghindari serangan ekornya,
ular jampang bersisik merah itu marah bukan kepalang. Kembali ekor itu
menyabet seonggok tanah yang padat di depannya, hingga membuat
onggokan tanah padat itu mencelat kearah Dipa.
Sungguh kecepatan lesatan onggokan tanah padat itu melampaui pemikiran
orang awam. Tapi itu tak membuat Dipa kehilangan akal, ia tetap dalam
keseimbangan nalar dan dengan tenang menggulingkan badannya untuk
menghindari cipratan tanah padat itu.
Dan tanah itu melaju terus hingga mengenai gerumbul semak di depan gua.
Pemandangan mendebarkan terlihat dari akibat tanah itu, gerumbul itu rusak
parah tak karuan. Mungkin jika onggokan tanah padat itu mengenai manusia
P a g e | 64
yang terdiri dari seonggok daging, bisa dipastikan tubuh itu akan mengalami
luka arang kranjang.
Tubuh Dipa kini sudah bertumpu dengan kakinya kembali dan suap
menghadapi ular yang mungkin juga disebut naga itu. Supaya mendapat
tempat yang luas dan menguntungkan, anak angkat ki Mahesa Anabrang itu
menggeser kakinya ke tanah yang agak lapang dan supaya ular itu terpancing
keluar dari gua yang berbentuk siku itu.
Desisan yang panjang dan keras sering terdengar seiring kemarahan sang ular
naga yang merasa diganggu oleh mahkluk berkaki dua. Gesekan badan ular
itu cukup membuat tanah yang dilewati meninggalkan bekas panjang
sedalam satu kilan orang dewasa.
Sesampai ular naga itu berada di luar gua, ular naga yang disebut Anta Denta
dalam kitab Cakra Paksi Jatayu itu, mengamuk dengan mengibaskan ekornya
mengarah Dipa. kibasan demi kibasan itu membuat tumbuhan yang
terjangkau dari serangan dahsyat itu, porak poranda.
Hal itu juga membuat beberapa ular yang mulanya berada di sekitar gua itu,
tunggang langgang menjauhi pertempuran di tengah malam dan berada di
punggung gunung Penanggungan.
Bahkan suara gemeretak cabang - cabang ranting yang terkena serangan
ekor Anta Denta, sampai terdengar dari tempat ki Mahesa Anabrang dan resi
Puspanaga berada, namun kedua orang tua itu tak bisa berbuat apa - apa.
Kembali di depan gua, Arya Dipa dengan gesit dan lincah menghindari kibasan
dan lilitan ular Anta Denta. Suatu kali anak itu yang menotolkan kakinya hingga
melampaui tubuh sang ular naga, kaki Dipa sempat mendepak kepala
belakang ular itu. Tapi depakan itu, bagi Anta Denta seperti terkena semilir
angin saja. Lain halnya dengan Dipa, kakinya bagaikan mendepak besi gligen,
hingga anak itu meringis.
" Apakah bagian belakang kepala ular naga itu, terbuat dari besi gligen..?"
keluh Arya Dipa.
Kelengahan yang hanya sesaat itu, mengakibatkan kerugian Dipa. Begitu
tersadar tubuh anak itu terhempas dua tombak, terkena kibasan ekor ular.
Dengan tertatih - tatih Dipa berusaha sekuat tenaga berdiri, namun lagi - lagi
ekor ular itu berhasil membuatnya tehempas dengan luka memar - memar
menghiasi tubuhnya. Namun tekad dan semangt yang besar menguatkan diri
anak itu. Kakinya kembali dengan kokoh berdiri di atas bumi.
Tapi Ular itu kini bergerak cepat ingin melahap anak itu, mulut itu terbuka lebar
P a g e | 65
Tonjolan merah itu pecah dan darah yang ada dalam tonjolan itu tanpa bisa
ditahan telah tertelan oleh Dipa dan menyusup ke dalam perut dan menyebar
ke seluruh daging tubuh Dipa, yang mengakibatkan tubuh anak itu panas
bukan kepalang.
Disisi lain ular naga Anta Denta bagai terserap tenaganya, hingga ular itu lemas
dan lunglai yang kemudian mengantarkan nyawa ular naga itu melayang.
jilid 2 bag 13
oleh : Marzuki Magetan
........
Rasa panas menyengat yang sangat dirasakan oleh Arya Dipa. Tubuhnya
bagaikan tersiram lahar panas tumpahan gunung berapi hingga anak itu
menjerit - jerit dan tingkahnya tak karuan.
Sementara itu ditempat ki Mahesa Anabrang dan resi Puspanaga yang sedang
menunggu, tampak kegusaran yang sangat menyelimuti hati keduanya.
Apalagi saat terdengar jeritan yang menyayat dari arah gua, hati keduanya
sudah tak tahan lagi untuk menghampiri serta mengetahui apa yang terjadi
pada diri Arya Dipa. Maka keduanya setelah saling pandang, keduanya lantas
bergerak dengan loncatan panjang yang disertai ilmu peringan tubuh.
Betapa terkejutnya kedua orang tua itu, manakala kedua orang tua itu melihat
apa yang ada dihadapan mereka.
" Resi, inikah wujud dari Anta Denta itu.?" tanya ki Mahesa Anabrang, yang
memerhatikan bangkai ular naga di depan gua.
Tapi sang resi diam saja, orang tua itu tertegun tatkala memerhatikan kobaran
api yang menyelimuti seorang anak yang ia kenal sedang berlari memasuki
gua.
"Ada apa, resi.?" tanya ki Mahesa Anabrang.
"Dipa..Dipa, ki. Dalam keadaan berlari memasuki gua, ia seperti diselimuti
kobaran api. Ayo kita kesana." kata resi Puspanaga, sekaligus berlari ke mulut
gua.
Tapi ketika orang tua itu hampir sampai mulut gua, betapa terkejutnya. Sebuah
kekuatan yang tak kasat mata telah menghalangi dan menghentikan
pergerakan orang tua pemimpin pertapaan Pucangan itu.
"Apakah ini, resi Puspanaga.?" tanya ki Mahesa Anabrang, setelah ayah angkat
Dipa itu merasakan adanya kekuatan yang menghalanginya memasuki mulut
gua.
"Duh Gusti Agung, inilah kuasaMu. Entahlah ki, rupanya mulut gua ini telah
P a g e | 67
Sebuah kekuatan yang tak nampak telah menuntun anak itu untuk menggapai
bunga itu dan memetiknya, lalu memakannya.
Kunyahan bunga itu dengan perlahan memasuki tenggorokannya dan terus ke
dalam lambung anak itu. Sesaat kemudian anak itu tersadar lagi dan ia
kembali menjerit merasakan hawa panas yang tak terkira. Tapi sesaat
kemudian, sebuah hawa yang sejuk berputar - putar dalam tubuhnya yang
kemudian menyebar keseluruh tubuhnya. Dan dengan perlahan kobaran api
yang menyelimuti Dipa menghilang.
"Duh Gusti Agung, ku haturkan syukur yang tak terkira atas lindunganMu." desis
Dipa, yang duduk bersila dengan tangan yang masih memegang tangkai
bunga.
Sejenak anak itu memerhatikan dirinya degan teliti. Anak itu tertegun,
manakala mengetahui luka - luka lebam dan goresan dari batu ataupun
ranting waktu bertempur dengan naga Anta Denta telah pulih.
"Terima kasih, Gusti Agung." ucap anak itu kehadapan Sang Nata.
Lalu anak itu bangkit berdiridan memerhatikan sekeliling gua itu, ternyata di
ujung gua itu memiliki pintu di lain sisinya. Setelah itu kemudian ia bergegas
kembali menyusuri lorong menuju pintu mulut gua dimana ia memasuki
pertama. Wajah anak itu tampak cerah tatkala di depan mulut gua ada dua
sosok orang tua, yaitu resi Puspanaga dan ki Mahesa Anabrang.
"Eyang, ayah..." teriak Dipa sambil berlari memeluk kedua orang tua itu.
"Bagaimana keadaanmu, ngger.?" tanya ki Mahesa Anbrang, yang
mencemaskan keadaan anak angkatnya.
"Aku tidak apa - apa ayah, bahkan aku merasakan adanya kesejukan dalam
tubuh ini."
"Baiklah kalau begitu lebih baik kita segera kembali ke pertapaan." ajak resi
Puspanaga.
Namun Dipa sesaat berlari mendekati bangkai naga Arya Denta, dan
mengambil sebuah benda yaitu bekas tonjolan sisik bergaris panjang mirip
sabuk.
"Apa itu, Dipa.?" kini giliran resi Puspanaga bertanya.
P a g e | 68
"sisik naga Anta Denta eyang. bolehkah aku membawanya untuk aku jadikan
sabuk.?"
"Hehehe...tentu ngger."
Lalu ketiganya bergegas kembali ke pertapaan Pucangan.
Kini gua itu tampak sepi, bahkan serangga pun seperti lenyap di telan bumi.
Hanya suara desau bayu saja yang hilir mudik memenuhi. Malam pun berlalu
sesuai kodratnya digantikan dengan kemunculan sinar bagaskara di ujung
langit timur.
jilid 2 bag 14
oleh : Marzuki Magetan
............
Pagi itu setelah mengisi perut dengan masakan khas pegunungan, seisi
pertapaan Pucangan di gunung Penanggungan berkumpul di ruang utama
pertapaan.
Empu Citrasena yang sudah menuntaskan pekerjaannya dalam membantu resi
Puspanaga, telah memberikan hasil yang gemilang dalam menempa wesi aji
yang kini berbentuk pedang tipis dengan guratan yang menyerupai bulu
burung garuda, sedangkan tangkainya terbuat dari kayu cendana berbentuk
kepala burung garuda.
Dengan cermat resi Puspanaga mengamati pusaka itu dan ia nampak senang
dengan hasil itu.
"Sungguh hasil tempaan empu, sangat bagus. Ternyata ilmu dari empu Supa
yang terkenal itu bisa engkau teruskan, empu Citresena." puji resi Puspanaga.
"Ah, itu hanya sekuku ireng dari paman Supa, resi...." kata empu Citrasena.
"Hahaha... tak hanya ilmu empu Supa saja yang menurun di tubuh empu
Citrasena, tapi jiwa rendah hatinya pun juga ia tiru.." sela ki Mahesa Anabrang,
yang disambut tawa yang hadir di ruang utama itu.
"Karena pedang itu tipis dan lentur, maka pedang itupun bisa menjadi ikat
pinggang dan mudah dibawa, resi." terang empu Citrasena.
Resi Puspanaga mengangguk, lalu ia bertanya kepada keponakan empu Supa
itu.
"Resi kau sebagai pembuatnya, dengan senang hati aku ingin memberi
kesempatan dan rasa hormat berupa pemberian nama yang cocok dengan
pusaka ini."
Mendengar itu, empu Citrasena termangu dan menggelengkan kepalanya.
"Maaf resi Puspanaga, aku tak bisa mengusulkan barang satu nama pun, lebih
P a g e | 69
baik resi sendiri atau orang yang berhak menggunakan pusaka itu, yaitu
angger Arya Dipa."
"Hem..." lalu resi Penanggungan itu memandang Arya Dipa.
"Angger Dipa, kau sudah mendengar sendiri apa yang dikatakan pamanmu
empu Citrasena, dan karena aku pun juga sulit untuk memberikan nama
pusaka yang akan kau terima ini, maka kaulah yang akan menamai pusaka
yang akan mendukung perjalananmu nanti.."
Tampak remaja itu terdiam sesaat dan menundukkan kepalanya. Tak lama
kemudian kepala itu terangkat dan memandang semua orang yang hadir di
tempat itu.
"Terima kasih eyang dan paman, karena wesi aji yang kini berbentuk pedang
tipis itu, anugrah sang prabu Airlangga atau resi Gentayu yang mempunyai
lambang garuda, maka pusaka ini aku beri tetenger, kyai Jatayu.."
Semua yang mendengar nama yang disebut remaja itu, merasa senang karena
memang cocok nama kyai Jatayu dengan ilmu kanuragan dari kita cakra Peksi
Jatayu.
"Wah nama yang bagus, kakang. lalu apa nama sabuk yang dari kulit naga
itu...?" sela Ayu Andini.
Arya Dipa tak menyangka akan mendapat pertanyaan mengenai sabuk kulit
naga itu, sehingga anak remaja itu tampak bingung dan membuat orang -
orang disekitarnya tersenyum.
"Kenapa kakang tampak bingung seperti itu.? aku punya usul dengan kyai Anta
Denta. Bagaimana.?" kata Ayu Andini.
"Wah itu bagus, kau sungguh pintar Andini." puji Sabdho," Benarkan Dipa.?"
"Baik, sabuk kulit naga ini aku namai kyai Anta Denta." sahut Dipa, seraya
menyentuh sabuk yang kini melekat di pinggangnya itu.
Maka mulai hari itu, Arya Dipa mempunyai senjata pedang kyai Jatayu dan ikat
pinggang kyai Anta Denta. Dalam hari - hari selanjutnya, kedua pusaka itu pun
mulai dipergunakan dalam latihan.
Ternyata keserasian dari kedua senjata itu melebur menjadi satu tata gerak dan
mendukung pesatnya ilmu kanuragan Arya Dipa. Pedang yang sangat tipis dan
lentur itu mampu memotong daun yang sangat tipis sekalipun dan mampu
membabat pohon sebesar paha orang dewasa sekali tebas. Sedangkan ikat
pinggang kyai Anta Denta, yang terlihat lentur itu bila dikibaskan dan
mengenai batu, maka batu itu akan remuk. Tak hanya itu saja, tatkala sebuah
serangan dari tajamnya pedang mengenai ikat pinggang itu, keuletan serat
P a g e | 70
jilid 2 bag 15
oleh : Marzuki Magetan
........
Sudah setahun lamanya Arya Dipa mendalami olah kanuragan di pertapaan
Pucangan, kini ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah dan kokoh.
Begitu juga dengan Ayu Andini, gadis ini layaknya bunga yang mekar dan
membuat kumbang - kumbang terpesona di buatnya. Namun bunga ini
bukanlah bunga sembarangan, berkat keuletan dan niat yang besar dari gadis
ini, ia menjadi gadis yang memiliki olah kanuragan yang tak bisa dipandang
sebelah mata. Empu Citrasena dengan tekun menuntun putri angkatnya
dengan menurunkan ilmunya dari perguruan Kumbara Agni.
Sementara itu timur kadipaten Japanan, ki Ajar Lodaya bersama dua muridnya
sedang duduk menanti seseorang di sebuah kedai.
"Guru, apakah yang dikatakan nyi Cempaka itu benar.?" tanya muridnya yang
membawa tombak pendek.
"Nyi Cempaka tak mungkin berdusta, setiap ramalannya pasti mendekati
kenyataan." jawab ki Ajar Lodaya.
"Tapi sampai dua hari ini ia tak menampakkan batang hidungnya, guru.
Apakah ia sudah bergerak mendahului kita dan merebut kitab Cakra Peksi
Jatayu dari orang yang bernama Palon itu.?" kini giliran murid satunya yang
berbibir tebal.
"Kau keliru Putut Lembayung, orang yang bernama Palon itu bukanlah yang
memiliki kitab itu, tapi ia memiliki kedekatan dengan pemilik sah kitab itu."
"Apakah sebaiknya aku kembali ke perguruan Kembang Wisa, guru.?!" Bayu
Sengoro, angkat bicara.
"Sabarlah barang sejenak, Sengoro. Lihatlah akhirnya para kembang itu muncul
juga.... hehehe."
Memang benar apa yang dikatakan oleh pemimpin padepokan Lemah Jenar
itu, Lima wanita cantik - cantik dengan pemimpinnya yang berwajah ayu
memasuki kedai itu.
Kedatangan kelima wanita itu menarik perhatian orang - orang yang sudah
duduk terlebih dahulu di kedai itu, tapi kebanyakan dari mereka tak berani
terus memandang wanita - wanita yang cantik - cantik itu.
"Selamat datang di kedai kami, nyi Cempaka. Hidangan apakah yang nyai
inginkan akan segera kami siapkan." ucap pelayan kedai dengan tergopoh -
gopoh menerima kedatangan pemimpim padepokan Kembang Wisa itu.
P a g e | 72
"Hidangkan makanan khas kedai ini, kisanak. Mereka akan kami traktir." sahut ki
Ajar Lodaya.
Namun pelayan kedai itu tampak bingung dan memandang bergantian ke
arah ki Ajar Lodaya dan nyi Cempaka. Namun ketika melihat anggukan kepala
wanita cantik dihadapannya, maka pelayan itu segera kembali kebelakang
dan mempersiapkan makanan khas kedai itu.
"Maafkan aku, kakang Ajar Lodaya. Hingga membuat kakang lama
menunggu." suara merdu wanita itu terucap manakala sudah duduk di amben
besar dalam kedai itu.
"Hahaha.. Kau dari dulu tak pernah berubah nyai, lihatlah rambutku sudah
berwarna dua dan kulitku sudah keriput, namun kau tetap cantik seperti dua
puluh tahun silam."
"Ah kakang Ajar terlalu memuji." kembali nyi Cempaka berucap dengan
senyum menghiasi bibir tipisnya.
"Aku tak sekedar memujimu, nyai, seharusnyai padepokanmu lebih cocok
dengan sebutan Kembang Nirwana. Karena murid - muridmu yang semuanya
wanita tak ada celanya."
"Sudahlah kakang Ajar, kita kembali ke pokok intinya saja."
"Hahaha, baik - baik. Nyai setahun yang lalu aku mendapat kabar dari murid
sahabatku yang menjadi telik sandi kadipaten Puger, saat ia pulang dari
tugasnya ia bertemu dengan seorang pemuda yang bernama Palon bersama
dua rekannya. Dan menurut petunjuk dari nyai, kita akan bisa mendapatkan
sebuah kitab kuno bila kita akan bertemu pemuda Palon yang mempunyai
kedekatan dengan pemilik kitab itu." terang ki Ajar Lodaya.
"Dan menurut murid sahabatku itu, kemungkinan besar pemuda itu berada di
kadipaten Japanan ini." lanjut pemimpin padepokan Lemah Jenar.
Sesaat nyai Cempaka memejamkan matanya, lalu perlahan mata itu terbuka
dan menatap penuh keceriaan.
"Ia kakang, dalam mata batinku aku melihat titik terang pemuda itu dan kitab
Cakra Peksi Jatayu itu. Namun orang - orang yang berada dikelilingnya
bukanlah orang sembarangan." sesaat nyai Cempaka terdiam," sebuah titik
terang memancar dilereng gunung Penanggungan, dan kakang tahu jika
disana ada seorang resi yang sangat dusegani."
"Maksudmu, resi Puspanaga.?" tanya ki Ajar Lodaya.
"Benar kakang."
"Apakah orang tua itu masih hidup.?"
"Entahlah, sudah sepuluh tahun ini aku tak mendengar namanya disebut -
sebut."
P a g e | 73
( Bersambung...
jilid 3 bag 1
Oleh : Marzuki Magetan
........
Menginjak tahun kedua sejak kedatangan Arya Dipa di pertapaan Pucangan,
dan usainya gejolak yang ditimbulkan oleh ki Ajar Lodaya dan kawann -
kawannya, pertapaan itu tampak tenang.
Lain halnya suasana di kotaraja Demak, tampak prajurit hilir mudik menyiapkan
beberapa kereta dan gerobak yang ditarik oleh sapi dan kuda. Beberapa
rontek, tunggul dan umbul - umbul juga meramaikan barisan yang mengekor
itu.
"Dugaan para telik sandi terdahulu memang benar, keberangkatan pasukan ini
ke Malaka akan membuat pertahanan Demak akan longgar." desis seseorang
yang ikut bergerombol diantara banyaknya orang.
"Benar kakang, bahkan kanjeng Sultan sendiri bersama kedua putranya juga
P a g e | 74
ikut dalam pembebasan tanah Malaka dari orang - orang bermata biru itu."
sahut kawannya lirih.
"Mari kita segera melaporkan hal ini kepada tumenggung Harya Kumara." ajak
orang pertama, seraya berjalan menjauhi desakan orang - orang yang melihat
iringan pasukan Demak menuju bandar di pantai utara.
Iring - iringan pasukan yang dipimpin langsung oleh Sultan Demak kedua yang
dahulu bernama raden Adipati Yunus dalam lidah jawa lebih dikenal dengan
sebutan Pati Unus itu, merupakan pelayaran kedua bagi pasukan Jalapati atau
pasukan tempur laut kesultanan Demak Bintárá. Kali ini sang Sultan diiringi
beberapa senopati pilihan dan dua putranya, raden Aryawangsa dan raden
Suryadiwang yang masih remaja. Selain itu, pasukan dari bang kulon juga akan
mendampingi Sultan Demak, itu semua sudah atas restu para waliullah di bang
wetan, tengah, maupun kulon.
Sesampai di bandar, sebuah pemandangan yang membanggakan telah
nampak. Berderet - deret kapal besar yang berjumlah kurang lebih 375 yang
terdiri dari kapal - kapal Demak, Cirebon dan Banten. dan atas restu kanjeng
sunan Gunung Jati, gabungan tiga armada tempur itu, telah terpilih sultan
Demak atau raden Pati Unus sebagai panglima tertinggi dengan gelar,
Senopati Sarjawálá dan dua senopati pengapit yaitu, raden Tubagus Pasai dan
raden Hidayat.
Setelah memberikan pesan - pesan penting kepada patih Wanasalam dan
beberapa pangeran, maka sang Sultan menaiki kapal perang yang diiringi
suara tambur dan sangkakala sebagai penyemangat para armada jawa itu.
Di tempat yang begitu jauh, beberapa orang berkumpul dengan suasana yang
tegang.
.
Kumara, berat.
"Tak sepantasnya kalian sangsi dengan perjuangan yang tentu mendapat restu
dari Yang Agung ini." lanjut tumenggung itu.
Kini giliran seorang lelaki yang berpakain layaknya bangsawan dengan keris
terselip disamping kiri ikat pinggangnya, berdehem.
"Ada apa raden Sajiwo.?" tanya orang tambun, yang disebut ki tumenggung
Sarduloyudo.
"Lantas kapan orang yang disebut Panembahan itu muncul dihadapan kami
dan menyerang Demak yang kosong itu.?"
"Tunggulah, mungkin dua tiga hari ini ia akan tiba dari kadipaten Puger." sahut ki
tumenggung Sarduloyudo.
Pembicaran ini terus berlangsung hingga malam menaungi alam disekitar
tempat itu, pembicaraan yang menjerumus tindakan mbalelo terhadap
keutuhan Demak bintoro yang besar itu.
Malam yang berjalan sesuai jalur yang ditentukan Sang Kuasa itu, kini telah
digantikan dengan terangnya sang surya. Di pertapaan Pucangan, resi
Puspanaga nampak resah menghiasi wajahnya. Mimpi kelam selama tiga hari
ini kembali terulang sama. Sebuah mimpi berupa api yang berkobar melahap
atap sebuah keraton dengan korban terus mengalir tak terhingga.
"Apakah ini mimpi dara dasih.?" desisnya.
Ketermenungan sang Pertapa itu mendapat perhatian yang sungguh -
sungguh dari Arya Dipa, yang tanpa sengaja melihat resi Puspanaga ketika ia
melewati pringgitan.
"Selamat pagi eyang." sapa pemuda itu.
"Oh kau Dipa, kemarilah."
Segera pemuda anak angkat ki Mahesa Anabrang itu duduk di samping resi
Puspanaga.
"Dipa, ini mungkin waktunya kau melawat ke bang tengah."
"Maksud eyang.?"
"Ingatkah tatkala pertama kau menerima kitab Cakra Paksi Jatayu dulu.?"
tanya resi Puspanaga, mengingatkan kejadian dua tahun silam.
"Masih selalu terngiang dihati cucu, eyang."
"Bagus, dan dalam rangka ini juga kau harus melawat bang tengah sekaligus
memastikan mimpi buruk yang aku alami akhir - akhir ini." sesaat resi tua itu
berhenti untuk mengambil napas, lalu, "Sebuah prahara api mulai menjilati
pusat pemerintahan di bang tengah itu, meskipun kau bukan seorang senopati,
tapi kau mempunyai darah senopati dan berdarma bakti bagi negerimu,
ngger."
P a g e | 76
Memang cepat atau lambat, Arya Dipa telah menyadari jikalau dirinya
mendapat tugas menjaga keamanan dari negeri yang baru itu, walaupun
nyawa sebagai taruhannya.
"Baiklah eyang, aku akan mengamati dan berusaha memberikan tenaga
sebisa dan semampu diri ini." kata Arya Dipa, menyanggupi.
jilid 3 bag 2
oleh : Marzuki Magetan
.
Setelah semuanya dipersiapkan dengan pertimbangan yang matang, maka di
keesokan harinya Arya Dipa dengan Ayu Andini sebagai kawan perjalanan
mulai meninggalkan pertapaan di lereng gunung Penanggungan. Perjalanan
yang membentang tanpa adanya batas waktu itu akan menjadi
pengembaraan pertama bagi sepasang pemuda tersebut. Tanpa terasa
setelah matahari di ujung barat, mereka berdua telah memasuki tlatah
perdikan Anjuk Ladang.
"Kita bermalam di padukuhan ini, Ayu, besok kita lanjutkan lagi." ucap Arya
Dipa.
"Iya kakang, mungkin pemilik rumah di ujung padukuhan ini mau menerima kita
untuk berteduh barang satu malam." sahut Ayu Andini, menyetujui ajakan Arya
Dipa.
Lantas keduanya dengan rendah hati meminta ijin kepada pemilik rumah yang
ternyata dihuni oleh dua pasang orang tua.
"Silahkan ngger, nduk. Tapi beginilah gubuk kakek, kecil dan kotor."
"Terima kasih, kek. Ini sudah lebih cukup."
Ternyata kedatangan Arya Dipa dan Ayu Andini membuat hati sepasang orang
tua itu, terobati rasa rindu keduanya kepada anaknya.
"Anak kakek lima orang, namun yang tiga sudah menghadap Gusti Pengeran
dalam usia yang masih kecil, sedangkan anak yang tersisa sudah berkeluarga
sendiri - sendiri." kata kakek tua itu.
"Apakah rumah anak kakek di luar padukuhan ini.?"
Kakek itu beringsut lalu mengambil minuman di gelas yang terbuat dari
potongan bambu.
"Ayo sambil diminum," ucapnya, dengan meneguk air itu, lalu lanjutnya, "Anak
keempat kakek menjadi pedagang pecah belah di padukuhan induk tanah
perdikan. Sedangkan adiknya wanita, bersama suaminya tinggal di Pengging."
"Apakah mereka jarang menengok kakek dan nenek.?" tanya Ayu Andini,
P a g e | 77
jilid 3 bag 3
oleh : Marzuki Magetan
.
"Ki patih Metahun tak akan ikut campur selama pangeran Kinkin ada." lanjut
tumenggung Wanapati.
"Mengapa ia lebih mementingkan pangeran anak menantu adipati Jipang itu.?
dibandingkan dengan kita saudara seperguruannya.?" geram ki tumenggung
Sardulo, sambil menggebrak bangku meja.
Ki tumenggung Wanapati hanya membisu diam. Sesaat dalam ruang utama
barak itu diam.
"Kalau begitu kita tunggu Panembahan Bhre Wiraraja saja, mungkin ia memiliki
rencana yang kedua, setelah kita gagal membujuk kakang Metahun." kata ki
P a g e | 78
Walau Ayu Andini dalam asuhan mpu Citrasena, namun dalam pekerjaan
wanita ia sangat cekatan dan trampil. Tangannya yang lembut itu mampu
mengolah makanan dan sayuran dengan bumbu rempah - rempah yang
akrab dengan lidah orang jawa.
"Wah masakanmu sungguh nikmat, Ayu." puji Arya Dipa, sambil melahap
makanannya.
"Iya kakang, tapi ingat jangan dihabiskan, ini khusus buat paman."
"Jadi aku tidak.?"
"Sudah habis satu piring, baru tanya." gerutu gadis itu.
"Hahaha..tak kukira jika kau cemberut, wajahmu sangat cantik.." goda Arya
Dipa, sambil berbisik di telinga gadis itu.
Gadis itu diam, namun tangannya telah bergerak mencubit pinggang
kekasihnya itu.
"Aduh ampun, Ayu. Kulitku akan terkelupas nanti."
P a g e | 79
jilid 3 bag 4
oleh : Marzuki Magetan
.
Saat Arya Dipa berpamitan dengan ayah angkatnya, di sebuah tempat yang
masih dalam lingkup bekas kadipaten Pengging, seorang pemuda duduk
termenung di bekas reruntuhan pendopo kadipaten.
"Sudahlah, ngger. Itu semua sudah kehendak Allah, janganlah kau berlarut -
larut dalam kesedihan."
"Terima kasih, uwa. Aku sudah menerima itu semua dan menghilangkan semua
dendam dari hati ini." sahut pemuda itu, yang memiliki mata setajam elang
jawa.
"Bagus, Karebet. Bagaimana kau bisa berkunjung kemari.? Apakah kanjeng
Sunan Kalijaga tak mengajakmu ke Demak.?" tanya orang paruh baya itu.
"Tidak, uwa, menurut kanjeng guru belum waktunya aku memasuki lingkup
keraton." jawab pemuda itu, yang tak lain Karebet, putra ki Ageng Pengging
Anom atau raden Kebo Kenanga. "uwa Kanigara, aku minta dalam sepekan ini,
uwa mau menemaniku untuk memperdalam jalur ilmu Pengging."
"Hahaha, putraku angger Karebet, sebenarnya ilmu mu sudah sundul langit,
tapi jika itu maumu, aku akan menyanggupinya."
"Terima kasih, uwa."
"Marilah kita ke rumah ki Manyar, kasihan orang tua itu, ia tentu menunggu
kedatangan kita." ajak raden Kebo Kanigara, sambil melangkahkan kakinya
meninggalkan reruntuhan pendopo keraton, dimana masa kecilnya pernah
P a g e | 80
tinggal disitu.
Pemuda anak angkat ki Ageng Tingkir pun mengikuti langkah uwanya.
Di rumah yang tak terlalu besar, ki Manyar telah menyambut kedua uwa dan
kemenakan itu dengan keramahtamahan.
"Kau tak usah repot - repot, ki Manyar. Janganlah kau berlaku layaknya aku
seorang bangsawan, aku hanyalah Kanigara yang setiap hari juga
menggenggam cangkul dan pergi ke sawah. Bukankah kau masih ingat
dengan ndoromu itu.?"
"Tentu raden.."
"Tolong ki Manyar, jangan panggil aku begitu, panggil layaknya aku orang
padukuhan." potong ki Kebo Kanigara cepat.
"Ah..baiklah jika raden, eh ki Kebo Kanigara meminta seperti itu."
Tak lama kemudian istri ki Manyar datang dengan membawa masakan untuk
makan di siang itu. Setelah menyantap hidangan yang disajikan oleh keluarga
ki Manyar, perbincangan ringan mengalir rancak dengan suasana padukuhan
tlatah Pengging itu sebagai bahannya.
Ternyata kehidupan di tlatah Pengging mengalami kemunduran di segala
bidang. Banyak penghuninya pergi ke daerah yang lebih menjanjikan daripada
di tanah itu. Namun ada juga yang masih setia meneruskan cita - cita ki Ageng
Pengging dalam memujudkan kedamaian tlatah Pengging.
Benar saja, ketika ada kabar kedatangan ki Kebo Kanigara dan Karebet atau
Jaka Tingkir, penghuni tlatah Pengging berduyun - duyun ingin bertemu kakak
dan anak pemimpin mereka.
Betapa terharunya ki Kebo Kanigara dan Karebet mengetahui kesetiaan
mereka kepada keluarga adipati Kebo Kenanga itu.
"Aku berjanji akan mengembalikan tanah ini berjaya seperti masa eyang
adipati Handayaningrat." desis Karebet lirih.
Ternyata perkataan yang pelan itu tertangkap telinga ki Kebo Kanigara, yang
ditanggapi dengan senyum di bibirnya.
"Semoga cita - citamu terkabul, putraku."
.
lapang dan sepi. Di sini keduanya mulai mempersiapkan seluruh wadah dan
jiwanya untuk memanjatkan do'a kepada sang Khaliq untuk meminta
perlindungannya.
Sesaat kemudian setelah ki Kebo Kanigara memberi isyarat untuk memulai,
maka Jaka Tingkir meloncat ke tengah tanah lapang. Tarikan napas sejalan
peredaran darah yang mengalir keseluruh nadi mengawali tata gerak dasar
dari jalur perguruan Pengging, loncatan yang lincah telah terungkap mewarnai
tata gerak bak alap - alap yang mengarungi dirgantara. Namun sekejap
kemudian tubuh tegap itu terasa kokoh layaknya gunung Lawu tak goyah
terjangan prahara.
Tataran demi tataran semakin meningkat sejalan dengan tata gerak yang rumit
dan mengagumkan, apalagi saat anak ki Ageng Pengging anom itu menjejak
tanah dan terbang berputar, layaknya gangsingan.
"Dalam usia semuda ini, peningkatan ilmunya telah melampaui aku dan adi
Kenanga, pasti ayahnya akan bangga melihat perkembangan putranya."
ucap ki Kebo Kanigara dalam hati.
Di saat kemudian, gerakan pemuda itu semakin pelan namun penuh tenaga.
Lalu perlahan dengan mantap dan pemusatan nalar dan budi, gerakan tingkat
atas jalur Pengging mulai menyeruak.
Tampak kaki kanan berdiri tegak, kaki kiri terangkat menekuk dilanjutkan
tangan kiri menyilang di depan dada dan tangan kanan mengepal ke atas.
Sinar putih kebiruan terlihat membungkus kepalan tangan Karebet, yang
kemudian di lontarkan mengarah sebuah batu sebesar anakan kerbau.
Suara gelegar mengiringi lontaran aji pamungkas perguruan Pengging, yang
membuat batu itu hancur berkeping - keping.
Tiba - tiba suara tepukan tangan terdengar mengagetkan Karebat, karena
tepukan tangan itu bukan dari arah uwanya.
"Tak kusangka jalur Pengging memiliki jago baru dalam meneruskan
kebesarannya." sebuah suara terdengar dari mulut orang tua, yang berpakaian
layaknya begawan.
.
"Siapa kisanak ini.?" tanya ki Kebo Kanigara, memerhatikan wajah orang yang
baru datang itu.
"Angger Kanigara, siapa pemuda itu.? Yang mampu mengungkap Sasra
Birawa.?" tanya orang tua itu, tanpa memperdulikan pertanyaan ki Kebo
Kanigara.
Rasa heran melintasi pikiran anak tertua ki Ageng Pengging sepuh itu,
P a g e | 82
kemunculan seorang kakek yang mengetahui jati diri dan ilmu jalur Pengging.
"Dia kemenakan ku kisanak, siapa sebenarnya kisanak ini.?"
"Oh jadi ini putra angger Kenanga dan di angkat anak oleh dalang Ageng
Tingkir itu. E..e..e tobil, aku akan mencoba kemampuannya angger Kanigara."
kata orang aneh itu, lalu kembali berkata, "Windujaya, keluarlah. Tunjukanlah
kemampuanmu sebagai murid Jambul Kuning.!"
Betapa kagetnya ki Kebo Kanigara mendengar kata terakhir orang tua itu,
namun ia tak mampu berbuat manakala seorang pemuda dengan lincah
meloncat menerjang Jaka Tingkir.
Mendapati serangan dadakan itu, Karebet tak mati kutu, dengan sigap
serangan itu telah ia hindari dengan mudah seraya menangkap tangan lawan.
Kepergian kedua guru dan murid itu telah menumbuhkan rasa di hati ki Kebo
Kanigara dan Karebet.
"Kau harur berhati - hati jika berpapasan dengan orang tua dari timur itu,
Karebet." desis ki Kebo Kanigara, "Ilmu orang tua itu bisa disejajarkan dengan
eyangmu Handaningrat dan beberapa sesepuh kanuragan."
"Iya uwa, pantas aku tak merasakan kehadirannya, begitu juga dengan adi
Windujaya, ia mampu menyerap getar suara."
"Baiklah, mari kita kembali ke rumah ki Manyar."
Langkah keduanya semakin lama jauh dari tanah lapang yang kini sepi dan
hanya meninggalkan bekas rumput, batu dan tanah yang semrawut terkena
imbas dari setitik ilmu manusia yang berasal dari sumber Maha Sakti yang
berlaku Maha Bijak.
Hari yang mendebarkan itu pun telah datang, jalan yang tadinya sepi itu,
sayup - sayup dari kejauhan mulai terdengar suara kuda lebih dari sepuluh ekor.
"Mereka datang." desis ki Jembawan.
Dari ujung jalan, barisan kuda yang terdiri dari lurah prajurit dengan tiga
bawahannya, berselang jarak satu depa dua orang yang diteruskan oleh
senopati dan seorang berpakaian bangsawan, berselang satu depa seekor
kuda kokoh yang ditunggangi seorang lelaki yang tampan dengan keris
bersalut emas intan terselip di belakang pinggang, dengan dua orang
pengapit. Selanjutnya di belakang lagi enam prajurit pengawal bersenjatakan
dua pedang di belakang punggung.
Ketika iringan pengawal prajurit Demak itu sampai di tengah kelokan jalan, tiba
- tiba sebuah pohon besar sepelukan orang dewasa tumbang ke jalan dan
menghalangi perjalanan orang - orang Demak itu. Maka keterkejutan telah
menyusup di hati para pengawal itu dan kuda yang ditunggangi terlonjak
sampai mengangkat kaki depan. Namun dengan segera prajurit pengawal itu
dengan sigap mengendalikan dan menenangkan kuda - kuda tunggangan
mereka.
Di saat kuda - kuda itu tenang, kembali iringan - iringan dari Demak itu
dikejutkan dengan tumbangnya pohon yang berada di ekor rombongan.
"Waspada..!!" teriak lurah prajurit.
Peringatan dari lurah prajurit itu ditanggapi dengan cepat oleh para prajurit
pengawal.
Sesaat kemudian dari sela - sela rerumputan di pinggir jalan, beberapa orang
telah muncul dengan wajah sangar.
"He orang - orang Demak.! Serahkan Trenggono kepada kami, jika kalian ingin
selamat.!" teriak pemimpin orang yang mencegat prajurit Demak.
"Lancang..! Beraninya mulutmu berkata kepada kami.!" bentak lurah prajurit
Demak, dengan wajah merah menyala.
"Tutup mulutmu gedibal Demak, daerah ini kekuasaan kami, bila mulut lebarmu
itu tak kau jaga, maka akan aku sobek.!" kembali Kidang Angkup mengancam,
"Cepat serahkan Trenggono.!"
"Bangsat.!" maki lurah prajurit itu, dengan sigap meloncat menyerang Kidang
Angkup.
Namun salah satu dari Tiga Serangkai maju menghadapi lurah prajurit itu yang
dibantu dua bawahannya.
Serangan itu tak lama kemudian menjalar ke semua orang, tak kecuali dengan
pangeran Trenggono dan seorang kerabatnya yang dihadapi oleh Kidang
Angkup dan Yuyu Sangkrah beserta Subala, pembunuh dari Jipang.
P a g e | 88
Hahaha... Itu tidak mungkin, kisanak. Aku akan menyerah jika nyawa ini sudah
jauh dari raga."
"Hemm.. Ku akui ksatriaanmu, Senopati. Baiklah aku akan menjadikan
kenyataan itu.!"
Kembali keduanya bergelut laksana macan dan singa yang tak ingin
daerahnya direbut. Tingkatan demi tingkatan terus menanjak semakin ke atas
P a g e | 91
dalam hati.
Kesiur angin yang ditimbulkan terasa panas menyengat membuat kedua
lawannya mandi keringat yang terlihat membasahi pakaian mereka. Semakin
lama tata gerak pangeran itu makin rumit dan mengejutkan lawannya.
"Lihat tanganku.!" teriak pangeran Trenggono, kepada Yuyu Rumpung.
Namun peringatan itu pun tak mampu dihindari Yuyu Rumpung, akibatnya
orang alas Ketonggo itu terjungkal dengan memegangi dadanya yang terkena
pukulan lawannya.
"Sialan.!" umpatnya.
Tak lama kemudian ganti Kidang Angkup yang mendapatkan sodokan di
lambungnya hingga membuat dirinya terbungkuk - bungkuk kesakitan.
"Bagaimana kisanak.? Apakah masih dilanjutkan.?"
Kedua seperguruan dari alas Ketonggo itu saling pandang dan keduanya
mengangguk perlahan sambil meloncat menjaga jarak. Pedang mereka telah
disarungkan kembali, lalu dengan cepat keduanya bergerak bersamaan untuk
memusatkan nalar dan budi. Kedua telapak tangan menutup rapat menempel
dahi, mulut keduanya bergerak perlahan merapal mantra.
Tiba - tiba terdengar desisan keras, angin yang sebelumnya hanya silir - silir
semakin kencang, udara di sekitar perkelahian mendadak panas menyengat,
dan ubun - ubun keduanya nampak mengeluarkan asap tipis.
"Ilmu apa yang mereka gunakan.?" pertanyaan itu menyelimuti semua orang
yang ada di ujung jalan sepi itu.
Sementara itu pangeran Trenggono dengan kewaspadaan tinggi telah
melindungi tubuhnya dengan aji Tameng Waja dan menerapkan aji Bajra Geni.
Di awali dengan teriakan keras dan loncatan panjang, Sepasang Malaikat
Maut dari alas Ketonggo telah membenturkan aji Bayu Geni dengan pangeran
Trenggono yang sudah mantap dengan aji Bajra Geni serta aji Tameng Waja.
Tak ayal lagi, dentuman keras menggelegar mengoyak udara di jalan sepi itu.
Debu telah mengepul menghalangi pandangan dimana ketiga orang beradu
nyawa.
Sesaat kemudian setelah angin mampu menghanyutkan debu yang
ditimbulkan oleh ledakan dahsyat itu, nampak pangeran Trenggono berdiri
kokoh. Sebaliknya dengan kedua lawannya, tubuh mereka hangus layaknya
terbakar api prahara.
"Ah.. tiada jalan lagi, semoga Yang Maha Agung mengampuniku." desis
pangeran Trenggono.
P a g e | 93
BERSAMBUNG...
Pada hari Anggara di Demak Bintara tampak suasana berbeda di hari - hari
sebelumnya, khususnya di alun -alun Demak Bintara telah didirikan
panggungan yang cukup lebar dan memanjang dengan hiasan umbul dan
P a g e | 96
Di situ juga ada tamu undangan dari berbagai telatah kadipaten, tanah
perdikan atau simo dan beberapa kademangan. Kadipaten Jipang Panolan
diwakili oleh pangeran Sekar, kadipaten Ponorogo diwakili oleh ki tumenggung
Tunggul Manik, kadipaten Jepara diwakili oleh adipati Kalinyamat atau raden
Hadiri suami ratu Kalinyamat, dan masih banyak lainnya.
"Iya adi, aku tak mengira anak bengal yang dulu selalu mengganggu dan
merepotkan diriku yang tua ini, telah menjadi lurah prajurit. Aku harap angger
Bojang Geni dapat mengharumkan kademangan yang aku pimpin."
Di lain tempat tanpa diketahui oleh Arya Dipa, seseorang berkaca - kaca
memerhatikan anak angkatnya bisa menjadi seorang lurah prajurit.
"Sudah waktunya ia mengetahui jati diriku selama ini." desis orang itu yang tak
lain ki Mahesa Anabrang.
"Apakah ia tak mengetahui jika ayah angkatnya ini prajurit telik sandi
Demak.?"
P a g e | 98
"Hem, tapi ia tak seberuntung putramu, mungkin anak itu berulah waktu
pendadaran, biarlah itu menjadi pelajaran baginya." sahut ki panji Sambipati
sambil memerhatikan anaknya, Sambi Wulung yang berdiri berkerumun dengan
kawan - kawannya.
"Marilah kita kembali ke barak, wisuda ini sudah usai." ajak ki Mahesa
Anabrang, yang ternyata seorang panji dari pasukan telik sandi Demak Bintara.
"Hahaha, kau takut jika putramu itu mengetahui jati dirimukan..?" goda ki panji
Sambipati, sambil berjalan mengikuti ki panji Mahesa Anabrang.
Udara di malam itu terasa panas luar biasa, entah mengapa pangeran
Trenggono terbangun dari tidurnya dan melangkah keluar dari peraduannya
menuju gedong pembatas bilid dan ruang dalam kesatrian. Di luat langit
sangat cerah dan bila memandang langit nampak bulan bersinar terang
dengan lintang yang menyertainya. Namun beberapa saat kemudian angin
berhembus kencang membawa awan menutupi sinar bulan.
"Ada apa ini.? perasaanku mengapa seperti ini.?" batin pangeran dalam
hati.
pangeran yang pilih tanding itu tak luput mengalami perasaan janggal di
hatinya.
Sementara itu jauh dari kotaraja Demak, sebuah kejadian tak terduga melanda
kapal yang ditumpangi oleh Sultan Demak kedua, lambung kapal itu terkena
bola baja api dari kapal kerajaan Pahang.
Tapi suasana sangat tak menguntungkan bagi mereka, sebuah kapal dari
Portugis juga mulai berdatangan menyerang kapal yang ditumpangi oleh
kanjeng Sultan.
Di kapal utama Demak, sebuah bayangan memanggul tubuh yang penuh
dengan luka dengan tangkas berlari dan melompat menuju kapal pengapit
dan meletakkan tubuh yang dipanggulnya ke lantai kapal.
"Senopati, sebaiknya segera perintahkan kapal ini mundur." ucap orang yang
memanggul tubuh itu.
"Ayahanda sultan...!" pekik bayangan itu, yang tak lain pangeran Arya
Jepara.
nelayan dan kepala bandar serta penghuni padukuhan dekat bandar itu.
Seorang kepala bandar segera menyambut kedatangan iring - iringan kapal
itu, dan betapa terkejutnya saat dirinya diberitahu kalau kanjeng Sultan telah
gugur di medan pertempuran.
"Sendiko, senopati."
Maka seorang utusan dengan menggunakan kuda yang paling cepat
menggeprak kudanya ke kotaraja Demak bagaikan sipat angin. Sementara
raden Tu Bagus Pasai memerintahkan prajurit bandar untuk mempersiapkan
kereta beserta kuda untuk mengangkut jenasah kanjeng Sultan ke kotaraja.
Gerak cepat dari kepala bandar dalam mempersiapkan kereta dan beberapa
kuda segera terpenuhi sehingga jenasah kanjeng Sultan dipindahkan ke kereta
itu dan segera diberangkatkan dengan pengawalan pasukan yang baru turun
ke darat itu menuju kotaraja.
Iringan yang panjang mendapat sambutan dari kawula yang berdiri berjejer di
jalan yang dilalui paaukan yang pulang dari Malaka. Kesedihan terlihat dari
raut wajah kawula yang berdiri berjejer itu saat mengetahui pasukan yang
lewat itu membawa jenasah raja mereka yang gugur dalam medan perang.
"Mengapa kau seperti dikejar setan.? bukankah kau prajurit Wira Jalapati di
bandar.?" tanya prajurit penjaga pintu gerbang istana.
"Menyingkirlah, aku tak sempat memberi alasan, ini sangat genting.!" teriak
prajurit penghubung, sambil menggebrak kudanya dan hampir melanggar
prajurit itu jika tak segera menghindar.
"Hoi... dasar wong edan...!" teriak prajurit penjaga itu, mengumpat sejadinya.
jilid 4 bag 3
oleh : Marzuki Magetan
"Semi kau kah itu..?" tanya prajurit penjaga yang mengenali prajurit
penghubung.
"Oh syukur aku bertemu denganmu, kakang Banyak. Ada berita yang harus
aku sampaikan kepada kerabat ataupun ki patih yang bertanggung jawab
mengendalikan pemerintahan sementara ini."
"Tak ada waktu kakang, cepat laporkan hal ini aku akan menghadap sendiri."
desak prajurit penghubung.
Di malam itu Balai Manguntur semua Nayaka Praja dan beberapa kerabat
keraton telah hadir semuanya, tak ketinggalan ki tumenggung Gajah
Pungkuran dan ki tumenggung Suranata.
"Katakanlah warta itu, prajurit." perintah ki tumenggung Suranata.
Balai Manguntur bagaikan diguncang gempa tak terkira, semua yang hadir
tak percaya atas apa yang mereka dengar.
"Ampun kanjeng pangeran, kanjeng Sultan telah pralaya dan saat ini jenasah
beliau sedang menuju ke kotaraja bersama sisa pasukan yang dipimpin oleh
senopati raden Tu Bagus Pasai dan pangeran Arya Jepara."
Walau hal itu sangat mengejutkan semua pihak, tapi pangeran Trenggono
kembali menguasai dirinya dan memerintahkan penyambutan jenasah
kakaknya dan memerintahkan agar mengirim utusan ke berbagai pelosok
kerajaan mengabarkan gugurnya sang Sultan Demak kedua.
Ternyata kabar gugurnya sang nata Demak itu begitu cepat tersebar dan
sampai ke beberapa pihak, salah satunya terdengar telinga kaki tangan
Panembahan Bhre Wiraraja.
"Hahaha, kita akan menghacurkan satu demi satu serta membujuk adipati -
adipati itu, bahwa sepeninggal Sultan Sabrang Lor Demak akan ringkih dan tak
mempunyai taring lagi." kata orang yang disebut raden, yang tak lain raden
Sajiwo bangsawan dari Kadiri.
"Jaga mulutmu, ki Ageng. Aku tak takut dengan siapa pun, bahkan
denganmu.!" bentak ki tumenggung Harya Kumara.
Mendengar tantangan itu, orang dari Bawean itu segera bangkit dari
duduknya, namun suara batuk kecil membuat dirinya mengurungkan niatnya.
"Apa kalian tak memandang sedikitpun kehadiranku.!" suara itu terasa berat.
"Maafkan kami Lintang Kemukus, ini hanyalah salah paham biasa." pinta ki
tumenggung Sardulo.
"Hindari setiap ketegangan di antara kawan sendiri bila kalian masih ingin
mukti bersama Panembahan Bhre Wiraraja." sesaat orang yang memakai
cadar itu diam, lalu lanjutnya kepada raden Sajiwo, "Apa rencanamu, raden.?"
Raden Sajiwo berdiri dan membisikkan rencananya itu ke telinga Lintang
Kemukus Pangrampung, yang di tanggapi dengan anggukan.
"Bagus."
Semua yang hadir saling memandang tak mengerti dengan apa yang
dibisikkan oleh raden Sajiwo kepada Lintang Kemukus. Orang bercadar itu bisa
membaca hati mereka, lalu ia berkata,
"tenangkan hati kalian, kita akan melakukan sebuah pertunjukan yang akan
merugikan keturunan trah Demak, hahaha..."
Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Giri dan masih banyak lagi.
Sementara itu seorang lurah muda dari pasukan Wira Tantama yang bertugas
mengamankan para tamu telah dikejutkan dengan hadirnya seseorang yang
sangat ia kenal.
"Ayah..." desis pemuda itu, sambil melangkah menuju orang yang dianggap
ayahnya itu.
"Ayah Mahesa Anabrang." tegur lurah muda itu.
Orang yang memang ki panji Mahesa Anabrang itu menoleh dan tersenyum.
lurah muda itu memerhatikan ki panji Mahesa Anabrang mulai dari ujung
rambut sampai ujung kaki, pemuda itu merasa heran memerhatikan pakaian
yang dikenakan oleh ayahnya itu merupakan pakaian perwira prajurit Demak.
"Jadi ayah merupakan prajurit Demak..." tanyanya.
"Maafkan aku, ngger. Selama ini aku menutupi jati diriku ini."
"Mengapa ayah..?"
"Ah sudahlah, nanti aku akan ceritakan kepadamu." janji ki panji Mahesa
Anabrang.
"Tapi.." kata - kata itu terpotong.
"Lihatlah aku seorang panji, ngger jangan membantah." potong ki panji Mahesa
Anabrang dengan senyum dibibirnya.
Terpaksa ki lurah Arya Dipa mengurung niatnya untuk mendesak ayah
angkatnya.
"Lanjutkan tugasmu, nanti aku akan pergi ke barakmu."
Setelah semua kerabat keraton dan para nayaka praja berkumpul serta
jenasah kanjeng Sultan sudah dibersihkan dan dirawat secara semestinya,
maka jenasah itu dibawa ke masjid Agung Demak untuk di sholatkan yang
dipimpin oleh sunan Giri. Selanjutnya jenasah itu dimakamkan di lingkungan
makam kerabat keraton bersebelahan dengan kanjeng Sultan sebelumnya,
yaitu raden Patah.
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 5
oleh : Marzuki Magetan
.
.
Kematian kanjeng Sultan Demak II di selat Malaka yang sudah berlalu sepekan
itu masih dipergunjingkan oleh kerabat kesultanan maupun kawulo alit, di
ksatrian, katumenggungan, barak prajurit, pasar maupun tempat umum
lainnya, bahkan di sawah dan tegalan para petani ikut mempersoalkan
kematian raja yang sangat mereka kagumi itu.
P a g e | 106
"Aku tak mengira jika kanjeng Sultan akan pergi di usia terlalu muda bila
dibandingkan dengan mendiang kanjeng Sultan sebelumnya." gumam seorang
petani.
"Itulah takdir, kang. ingatkah dengan jlitheng anaknya ki jagabaya.? usianya
baru seumur jagung, tapi anak itu sudah menghadap Sang Kuasa." sahut
kawannya, sambil menikmati makanan siang di gubuk.
Petani yang lebih tua itu mengangguk, memang namanya lahir, rejeki, jodoh
dan kematian sudah di atur Gusti Agung, manusia sepertinya hanya berusaha
saja.
Sementara itu di barak pasukan Wira Tamtama, Arya Dipa telah kedatangan
pangeran Trenggono dengan didampingi ki panji Mahesa Anabrang bersama
ki rangga Reksotani. Dengan tergopoh - gopoh pemuda itu menyambut
pangeran Trenggono.
"Sudahlah kau tak usah berlaku begitu, Arya Dipa." kata pangeran Trenggono
sambil duduk di amben.
"Aku sudah tahu semuanya mengenai dirimu, dari ayahmu angkatmu ini aku
tahu jika sebenarnya kau cucu dari paman tumenggung Lembu Kumbara."
lanjut pangeran itu.
Pemuda itu memandang ayahnya sejenak dan melihat ki panji Mahesa
Anabrang mengangguk perlahan.
"Sebenarnya kau berhak mendapatkan tanah dimana paman tumenggung
pernah berdiam, apakah kau berkenan Dipa.?"
"Terima kasih atas kebaikan, kanjeng pangeran. Namun apakah nantinya tidak
akan menimbulkan masalah bagi kerabat mendiang eyang tumenggung
Lembu Kumbara.? Bila itu akan terjadi, lebih baik hamba tak memintanya,
kanjeng pangeran."
Pangeran putra raden Patah ini mengerti jalan pikiran pemuda di depannya,
memang tanah ki tumenggung Lembu Kumbara saat ini ditempati oleh
saudaranya yang sehari - harinya bekerja sebagai saudagar. Dan jika Arya
Dipa mengaku cucu ki tumenggung Lembu Kumbara, tak ada bukti atau yang
meyakinkan.
"Baiklah jika kau tak menghendaki hal itu." sejenak pangeran Trenggono
berhenti, lalu lanjutnya, "kedatanganku selain hal itu ingin meminta
kesediaanmu untuk berada di dekat putraku, Angger Mukmin. Apakah kau
bersedia, ngger.?"
"Sendiko dawuh, pangeran, hamba akan menjalankan perintah dari pangeran
dengan senang hati."
"Terima kasih, sebenarnya aku mendapat laporan dari ayahmu ki panji Mahesa
P a g e | 107
"Aku sudah lama tak keluar dari kotaraja, ki lurah maukah kau menemaniku
melihat - lihat suasana di luar tembok kotaraja.?"
Sontak saja permintaan dari seorang putra pangeran itu mengejutkan
pendengaran ki lurah Arya Dipa, sehingga lurah muda itu terdiam.
"Bagaimana, ki lurah.?" tanya raden Bagus Makmun, mengejutkan lurah di
depannya.
"Ta..tapi hal itu akan membahayakan raden, dan pangeran Trenggono pasti
tak menyetujui hal ini, raden."
"Ah, bilah ayahanda murka, aku akan bertanggungjawab tanpa menyeret
namamu, ki lurah, percayalah." desak raden Bagus Mukmin.
Akhirnya setelah terus di desak, ki lurah Arya Dipa menyanggupi permintaan
raden Bagus Mukmin.
"O ya, apakah kau mengetahui siapa orang yang ingin mencelakakan diriku.?"
Sejenak ki lurah Arya Dipa menggeser letak duduknya dan akan menjawab,
namun sebuah langkah telah mengurungkannya. Seorang emban pelayan
datang membawa nampan dan meletakkan isi nampan di hadapan raden
Bagus Mukmin dan ki lurah Arya Dipa.
"terima kasih mbok emban." ucap raden Bagus Mukmin.
Dan emban pelayan itu kembali masuk menuju dapur ksatriyan. Lalu
sepeninggal emban itu raden Bagus Mukmin memersilahkan ki lurah Dipa
menikmati hidangan itu. Wedang hangat itu telah menyegarkan tenggorokan
lurah yang masih muda itu, lalu setelah meletakkan gelasnya anak ki panji
Mahesa Anabrang kembali teringat apa yang akan dituturkan kepada raden
Bagus Mukmin.
"Raden, ayah panji Mahesa Anabrang mengatakan kepadaku apa yang ia
ketahui mengenai sekelompok orang yang saat ini dalam pengawasan
pasukan telik sandi."
"Tunggu sebentar, kau tadi menyebut ki panji Mahesa Anabrang sebagai
ayahmu.?"
"Sesungguhnya memang begitu, raden. Hamba anak angkat dari ayah panji
Mahesa Anabrang."
Saudara tertua dari raden Timur itu, mengangguk, "Teruskan mengenai
kelompok itu tadi."
"Sekelompok orang itu diperkirakan dari bang wetan, yang akan mengancam
jiwa kerabat keraton, salah satunya diri raden."
"Mengapa tak dilakukan penangkapan sesegera mungkin, ki lurah.?" kejar
raden Bagus Mukmin.
"Sebenarnya pasukan Wira Braja akan bertindak, raden. Namun seorang lurah
P a g e | 110
telik sandi mencurigai kalau sekelompok orang itu hanyalah umpan saja, untuk
mengelabui perwira Demak untuk tertuju satu titik saja, sedangkan tujuan
utama mereka menyingkirkan beberapa kerabat keraton." terang ki lurah Arya
Dipa.
"Siapa saja tujuan yang ingin mereka lenyapkan selain diriku.?"
"Pangeran Sekar dari Jipang Panolan beserta kedua putranya, pangeran
Trenggono dan raden sendiri, pangeran Arya Jepara yang tak lain putra
mendiang kanjeng Sultan, dan seorang pangeran dari Randhu Sanga."
"Paman Kanduruwan.? bukankah paman Kanduruwan selama ini jauh dari
keraton.?"
"Entahlah raden."
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 7
oleh : Marzuki Magetan
.
.
Di waktu yang bersamaan menjelang wayah sepi bocah, di Balai Manguntur
terjadi sesuatu yang mengejutkan semua yang berada di tempat itu. Sebuah
penuturan dari pangeran Arya Jepara yang berniat ingin menetap di tlatah
jawa bang kulon.
"Kau jangan bercanda, ananda pangeran." kata pangeran Sekar.
"Tahta keraton ini merupakan kewajiban yang ananda pikul setelah gugurnya,
ayahandamu." pangeran Trenggono ikut membujuk kemenakannya itu.
Sementara itu sunan Giri menatap tajam putra Sultan Demak II, waliullah itu
merasakan tanda - tanda peralihan kekuasaan kali ini pasti akan menimbulkan
guncangan bagi keutuhan Demak.
"Apakah kau sungguh - sungguh, cucunda pangeran.? Pertimbangkanlah
dengan hati jernih dan matang, karena semuanya ini akan menentukan
keberlangsungan dan keutuhan kerajaan yang telah di bangun oleh eyangmu,
Sultan Demak I." kata sunan Giri.
"Maafkan cucunda ini, kanjeng Sunan. Suara hati cucunda mengatakan serta
memberikan petunjuk sebuah jalan terang yang akan cucunda lalui di ujung
kulon, cucunda akan menyerahkan tahta kerajaan ini kepada kerabat disini."
Semua yang hadir saling berpandangan satu dengan yang lainnya.
Penyarahan tahta itu tentu membingungkan semua pihak, entah itu dari
sesepuh sekaligus penasehat keraton, kerabat keraton maupun nayaka praja
dengan jenjang tumenggung dan panji.
"Dimas sunan Gunung Jati, cobalah kau bujuk cucu mu ini, hanya suara dimas
P a g e | 111
saja dapat didengar oleh pangeran Arya Diwang." kata sunan Giri sambil
memandang sunan Gunung Jati.
Waliullah sekaligus pemimpin Cirebon itu hanya menghela napas, sebelumnya
ia sendiri sudah mendengar niat dari cucunya itu dan pernah membujuk
pangeran Arya Jepara untuk mengurungkan niatnya, tapi niat pemuda itu
sekokoh gunung Merbabu.
"Maafkan aku kangmas sunan Giri, aku pun pernah membujuknya saat
cucunda mengatakan niatnya itu, tapi tiada dayaku untuk membujuknya,
pendirian cucunda pangeran sangat kuat dan kokoh." ucap sunan cucu dari
prabu Siliwangi ini.
Jalan buntu menghadang pikiran para sesepuh dan waliullah untuk membujuk
calon penerus Demak. Tak ada jalan lain selain memilih siapa yang pantas
memimpin roda pemerintahan di kerajaan yang baru berdiri ini.
Rundingan demi rundingan dilakukan demi mendapatkan calon yang pantas
memegang tampuk kerajaan, namun perundingan para sesepuh dan
penasehat itu diwarnai perdebatan dari beberapa pihak. Ada yang
mencalonkan pangeran Sekar sebagai sultan selanjutnya, tapi usulan itu
mendapat tentangan dari seorang sesepuh Demak.
"Tapi pangeran Sekar hanyalah putra ketiga, aku lebih condong jika pangeran
Kanduruwan lah yang pantas menjadi sultan Demak." kata sesepuh itu.
"Kau keliru adimas, walau pangeran Sekar hanya putra ketiga tapi aku yakin jika
ia pun mampun." bantah sesepuh yang memihak pangeran Sekar.
"Tenanglah kalian, disini telah hadir seorang waliullah yang menjadi panutan
kita, biarlah sunan Giri memberikan pendapatnya." seseorang kerabat keraton
menengahi.
Sementara itu jauh dari kotaraja, dua orang prajurit mengenakan ciri dari
pasukan Wira Manggala memacu kudanya ke sebuah pondok pesantren yang
ada sebuah menara bercorak hindu berdiri di depan pondok pesantren itu.
Penunggang kuda itu dengan tangkas turun dari kuda mereka dan
mengucapkan salam kepada seorang santri yang berjaga di panggungan
samping dalam regol pondok pesantren.
"Selamat malam kisanak, adakah ada yang bisa aku bantu.?" tanya santri itu.
"Selamat malam, kisanak. Kami dari kotaraja Demak mendapat perintah dari
kanjeng sunan Kudus untuk mengambil pusaka beliau."
Santri yang ada di atas panggungan mengerutkan keningnya, memang saat ini
kanjeng sunan Kudus berada di kotataja Demak, tapi ia menyangsikan
keterangan dua orang itu.
Mengetahui santri di atas panggungan mencurigai, salah satu dari
P a g e | 112
akan merasakan ganjaran dariku.!" ucap seorang yang disebut raden itu,
sambil menggerakkan keris itu dengan cepat menggorok kedua leher prajurit
tanpa adanya perlawanan sedikitpun.
Kedua prajurit itu ambruk seketika dengan mata melotot dan napasnya terhenti
untuk selamanya.
"Jiwa kalian tak akan sia - sia, karena bebanten dari kalian berdua akan
menjadi pupuk kelancaran dalam menjalankan rencana ini." gumam orang itu.
Orang itu bangkit dari duduknya, lalu membersihkan noda darah di daun keris
kyai Brongot Setan Kober dan memasukan kembali ke warangkanya, sesaat
keris itu ditempelkan ke kening sambil mulutnya merapalkan sesuatu yang
mengakibatkan udara di dalam gubuk terasa dingin seperti udara di luar
gubuk, setelah itu memasukkan keris pusaka ke dalam balik pakaian luriknya.
Tangannya meraih ublik dalam gubuk, kakinya bergerak keluar dan sejarak satu
tombak orang yang di sebut raden itu membalikkan tubuhnya dan
memandang gubuk, helaan napasnya bersamaan tangan yang memegang
ublik bergerak melemparkan ublik dari biji jarak ke arah atap gubuk. Cahaya
terang dari si jago merah mulai terlihat melahap gubuk yang masih tergeletak
dua prajurit dari Wira Manggala.
Orang itu kemudian melepas tali kedua kuda dan menepuk tubuh kedua ekor
kuda itu, tentu saja tepukan itu mengagetkan hewan tunggangan prajurit
Lanjar dan Danur, hingga kedua ekor kuda itu lari tunggang langgang. Setelah
apa yang dilalukannya, orang itu bersuit memanggil sesuatu, dan tak lama
seekor kuda putih datang dari balik rerimbunan. Kuda itu dielus sesaat lalu
dinaiki oleh orang itu, kemudian memacu kuda putih meninggalkan gubuk
yang kini hampir habis dilahap api.
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 10
oleh : Marzuki Magetan
.
..
Seperti yang diinginkan oleh raden Bagus Mukmin saat menerima kehadiran ki
lurah Arya Dipa di senja harinya, yaitu ingin melihat suasana di luar tembok
kotaraja Demak, keduanya dengan memakai pakaian layaknya orang biasa
berjalan menyusuri pagar tembok setinggi tiga tombak dan berhenti di dekat
pohon waru yang dahannya menjorok ke luar.
Keduanya dengan cekatan memanjat pohon itu hingga ke dahan yang
menjorok melintasi pagar tembok, seutas tali diikatkan pada dahan dengan
lilitan kuat, lalu ki lurah Arya Dipa menuruni tembok itu dan memastikan kalau
P a g e | 116
Ternyata ki lurah Lembu Sura merupakan adik dari pemilik kedai itu, yang
mampir setelah seharian melakukan tugasnya di luar kotaraja.
"Oh aku kira ki lurah Lembu Sura merupakan dari mereka, ternyata bukan. Jadi
siapa yang mereka tunggu.?" Dipa tampak bingung.
"Settt.. ki lurah Lembu Sura berjalan kemari." Kidang Alit memberi isyarat kepada
Dipa, tapi ia pun semakin menunduk sambil menjumput nasi.
Hal yang sama dilakukan Dipa untuk menyembunyikan wajahnya tanpa
diketahui oleh ki lurah Lembu Sura.
Kedua pemuda itu bernapas lega, ternyata lurah dari Wira Manggala itu tak
mengenali mereka. Begitu juga saat ki lurah Lembu Sura kembali melewati
samping meja mereka yang kemudian keluar dari kedai dan terdengar kembali
derap kuda meninggalkan halaman kedai.
Sepeninggal ki lurah Lembu Sura, di bangku meja yang ditempati oleh ki
Landung Galih dan ki Pracona, keduanya menarik napas lega atas kepergian
lurah itu.
"Untung lurah itu cepat keluar dari kedai ini." gumam ki Pracona.
"Setan alas orang itu, sudah habis wedangku ia juga belum muncul batang
hidungnya.!" gerutu ki Landung Galih.
"Benar juga ki, tak seperti biasa - biasanya orang itu membuatku juga hilang
kesabaran."
Tiba - tiba seorang pelayan kedai menghampiri meja bangku ki Landung Galih
dan ki Pracona dan menyerahkan selembar kain putih.
"Dari siapa ini, kisanak.?" tanya ki Pracona kepada pelayan kedai.
"Seorang lelaki yang memakai pakain lurik dengan ikat kepala berwarna hitam
arang, tuan." jawab pelauan kedai.
"Hemm, ini untukmu." kata ki Pracona sambil mengangsurkan dua kepeng
perunggu.
"Terima kasih, tuan" dan pelauan itu pergi ke belakang.
Ki Pracona membuka lipatan kain putih itu, sebuah pesan tertulis membuat
keduanya mengumpat penuh kekesalan.
"Ayo kita kesana." ajak ki Landung Galih.
Keduanya bergegas keluar dari kedai setelah membayar pesanan mereka.
Di dekat lubang angin - angin, Kidang alit berdiri memanggil pelauan kedai
dan memberikan uang kepeng untuk pembayaran pesanan mereka dan
bergegas mengikuti kedua orang yang mereka curigai. Tanpa membuat
kesalahan, kedua pemuda itu berhasil mengikuti ki Landung Galih dan ki
Pracona menuju kesebuah gumuk di luar padukuhan terluar kotaraja.
P a g e | 120
"Hahaha, baru saja keluar dari pintu gerbang timur kotaraja, dan tak ada yang
mempersoalkannya, mengapa kau merepotkan dirimu sendiri, ki lurah.?"
"Karena ini sudah menjadi pengabdianku, tuan senopati. Jika seorang prajurit
Demak yang berkeliaran di kadipaten Puger, tentu tuan senopati akan berlaku
seperti yang aku lakukan, bukankah begitu.?" tanya ki lurah Lembu Sura.
Senopati kadipaten Puger itu tersenyum, lalu membalikkan tubuhnya kepada
kedua kawannya, "Kalian berdua uruslah prajurit ini.!"
"Jangan kau memerintah aku layaknya bawahanmu, ki Sengguruh.!" gerutu ki
Landung Galih, meskipun orang itu melangkah menghampiri ki lurah Lembu
Sura.
Kesigapan dan kewaspadaan nampak digerak ki lurah dari pasukan Wira
Manggala, kuda - kuda kokoh siap menyambut serangan yang dilancarkan
oleh ki Landung Galih. Sebuah ayunan tangan mendatar bergerak cepat
mengancam ulu hati prajurit Demak itu, tapi serangan penjajagan itu mudah
dielakkan dibarengi serangan balasan tendangan kaki kanan ke arah lambung
lawan.
Serangan balasan itu sudah terbaca oleh ki Landung Galih, maka ia dengan
cepat menangkap kaki itu. Tentu saja si pemilik kaki tak membiarkan hal itu
terjadi, oleh sebab itu kakinya ia tarik dengan berputar bertumpukan kaki
satunya terus dilanjutkan mengganti tumpuan kaki kanan, kaki kiri terangkat
menendang pinggang kanan ki Landung Galih.
"Setan alas.!" umpat ki Landung Galih, yang tak mengira gerakan aneh lawan.
Kembali perkelahian itu terjadi dengan sengitnya, ternyata ki lurah Lembu Sura
memiliki kemampuan yang tak bisa dipandang remeh. Arya Dipa dan Kidang
Alit yang memerhatikan daru kejauhan memastikan jika ki lurah bisa
mengungguli kemampuan lawannya.
dimengerti oleh dirinya sendiri. Sikap itu semakin lama mencengangkan mereka
yang berada di sekitar gumuk itu, dua buah bayangan secara perlahan
muncul disamping orang dari gunung kidul itu, sosok wujud itu berpenampilan
serta berperawakan menyerupai ki Landung Galih tanpa adanya perbedaan
sedikit pun.
"Kakang pambarep adi wuragil.." desis ki Pracona.
"Nampaknya begitu.." sahut ki panji Menak Sengguruh.
Sekejap kemudian sosok itu bergerak cepat saling bertukar tempat satu
dengan lainnya, sebuah rencana pengaburan mata lawan diterapkan oleh ki
Landung Galih.
"Rasakan ini...!" teriak salah satu bayangan menyerang ki lurah Lembu Sura.
Serangan itu sempat dilihat oleh lurah prajurit Demak itu, tapi betapa
terkejutnya saat dua serangan bertemu, bayangan itu tertembus dan
membuat lurah itu terdorong terbawa tenaganya sendiri, dan saat itulah
serangan wujud asli ki Landung Galih tepat mengenai pundak ki lurah Lembu
Sura, yang mengakibatkan tubuhnya terjungkal ke tanah.
"Bangunlah wahai lurah prajurit..!" teriak ki Landung Galih sambil bertolak
pinggang.
Walau punggungnya bagaikan terkena hantaman besi gligen, lurah dari Wira
Manggala segera berdiri dan menghadap lawannya yang berdiri pongah.
"Majulah."
Tarikan napas dilakukan untuk mengurangi rasa sakit yang dideritanya, setelah
dirasa berkurang maka ki lurah menajamkan pranggaitanya untuk mengetahui
wujud asli dari ki Landung Galih berdiri. Di depannya tiga sosok itu saling
bertukar tempat lalu berpencar ke tiga penjuru bertujuan mengurung ki lurah
Lembu Sura, tiga sosok itu lantas mencabut trisula dengan menghunuskan ke
arah prajurit Demak itu.
Oleh karena melihat lawan sudah mencabut senjatanya, ki lurah Lembu Sura
juga mencabut pedang keprajuritannya, senjata dari besi gligen pilihan
dengan tangkai ada guratan ciri pasukan Wira Manggala.
Semilir angin menerpa tubuh mereka, di langit awan yang sebelumnya
menutupi cahaya bulan, kini mulai bergerak sehingga cahaya itu mampu
menyinari seluruh gumuk itu. Kilaun cahaya itu juga mengenai senjata dari
mereka dan memantulkan cahaya itu. Pantulan cahaya sang candra
membuat ki lurah Lembu Sura menyunggingkan senyum, menandakan dirinya
mengetahui keberadaan sesungguhnya dari lawan.
"He mengapa kau tersenyum seperti itu.? Apakah kau sudah siap mati di ujung
trisula ku ini.?!"
P a g e | 124
Dengan sekuat tenaga orang dari bang wetan itu terus berusaha mengangkat
dan membanting tubuh lawannya, tapi tubuh lawannya bagaikan mengakar
ke perut bumi.
"Hiaaat...!!" teriak Kidang Alit, sambil mengangkat tubuh lawan dan melempar
tubuh itu melewati atas tubuhnya.
Suara debuman ke tanah terdengar saat tubuh ki Pracona jatuh dibanting oleh
lawannya yang masih muda. Orang dari bang wetan itu menyeringai seraya
memegangi pinggangnya yang sakit bukan main, dengan masih mendeprok
orang itu mengumpat dengan kasarnya.
Tak jauh dari kalangan pertama, tiga sosok menyerang ki lurah Lembu Sura
dengan gencarnya. Tubuh lurah dari Wira Manggala itu dibeberapa tempat
tergores tajamnya trisula milik ki Landung Galih. Ternyata kemampuan ki
Landung Galih dalam pengetrapan aji Kakang Pambarep Adi Wuragil, mampu
membuat lawannya mengalami kesulitan dan terdesak, sosok bayangannya
selain membuat lawannya bingung juga merupakan persoalan yang harus
dihadapi dengan pemusatan tersendiri.
Disisi lain, ki panji Menak Sengguruh merupakan seorang prajurit sandi yang
ngedab - ngedabi tandang dalam olah kanuragannya, setiap pukulannya
selalu membuat angin disekitarnya bergolak hebat, bahkan terasa perih
mengenai kulit.
"Bukan main orang ini." puji ki lurah Arya Dipa dalam hati.
Tangan kanan ki panji Menak Sengguruh menjulur layaknya ular mematuk -
matuk tubuh lawan dengan gesitnya, tapi pemuda yang merupakan prajurit
dari pasukan Wira Tantama itu seorang pemuda yang sudah mempunyai
pengalaman dalam menghadapi tata gerak mirip gerak ular, bahkan dulu
pemuda ini pernah bertempur mati - matian dengan naga Anta Denta di
lereng Penanggungan.
Setiap tangan lawannya mematuk, ki lurah Arya Dipa dengan cepat dan gesit
menyerang pergelangan tangan lawan sisi luar, sehingga ia mampu membuat
lawannya merubah tata geraknya yang lebih mantab. Perubahan tata gerak
lawan kini lebih rumit dan cepat dua kali lipat dari serangan sebelumnya.
Tanah yang mereka pijak menjadi tak karuan dengan rumput tercerabut dari
akarnya. Begitu juga dengan udara disekitar mereka bergolak hebat dengan
putaran tak terarah.
Perkelahian mereka berdua ini merupakan perkelahian yang paling seru dan
sengit. Bila diibaratkan sebangsa binatang, ki panji Menak Sengguruh bagaikan
ular naga yang menghadapi ki lurah Arya Dipa layaknya burung garuda. Si ular
dengan ekornya terus mengibas keras tubuh garuda yang terbang rendah, tapi
P a g e | 128
Bahkan api itu terlihat dari rumah penghuni padukuhan, satu dua peronda
jatuh lemas menyaksikan api yang mereka sangka berasal dari sosok yang
mereka takuti.
"Ba..naspati..!" teriak seorang pemuda sambil berlari tunggang langgang,
sedangkan kawannya pingsan tak sadarkan diri.
Hanya beberapa pemuda saja yang ikut ke gumuk, salah satunya Wawa. Jarak
puluhan tombak itu akhirnya bisa mereka tempuh beberapa saat saja.
Keheranan nampak di raut muka lurah prajurit yang turun dari kuda dan
mengamati keadaan di gumuk itu.
"Kakang lurah, sepertinya baru terjadi sebuah pertempuran yang dahsyat."
seorang prajurit mengungkapkan pendapatnya.
"Hem.. sepertinya apa yang kau katakan memang benar adi, lihatlah disini ada
ceceran darah yang masih segar, sementara disitu tanah hangus dan masih
terasa hawa panas.."
"Apa yang akan kita lakukan, kakang.?" tanya seorang prajurit.
Lurah itu terdiam sesaat, lalu kemudian memberi perintah kepada prajuritnya.
"Selidiki tempat ini dengan teliti dan cermat, apabila ada yang mencurigakan.,
segera beritahu kepadaku." lalu lurah itu berkata kepada seorang prajurit
berbadan tinggi, "Sukra kau kembali ke gardu parondan gerbang timur, dan
beritahu ki lurah Banyak Wide agar memperketat penjagaan."
"Baik ki lurah." lalu prajurit itu bergegas menaiki kuda dan memacu kudanya ke
gerbang timur.
....
Gumuk itu memang sudah kosong dari orang - orang yang sebelumnya terlibat
pertempuran. Suara kentongan dari padukuhan membuat ki panji Menak
Sengguruh bergegas meninggalkan gumuk setelah sebelumnya memberi
isyarat kepada ki Pracona dan ki Landung Galih tanpa menunggu apa yang
terjadi dengan lawannya.
Saat ketiga orang yang disangka penyusup itu meninggalkan tempat, Kidang
Alit terlambat untuk bertindak jauh dikarenakan dirinya mencemaskan Arya
P a g e | 132
Dipa yang terkurung oleh aji Prahara Kalageni milik ki panji Menak Sengguruh.
Sedangkan ki lurah Lembu Sura keadaannya juga tak memungkinkan, bahkan
lurah itu tampak kelelahan.
Di dalam kepungan api Prahara Kalageni, Arya Dipa sebenarnya mampu
menahan ilmu lawan dengan menggunakan aji Niscala Praba, yang
menyelubungi tubuhnya sehingga tak tersentuh oleh aji yang menakutkan itu.
Setelah menunggu beberapa saat akhirnya ilmu lawan dapat ia padamkan,
namun saat ia melihat kesekitar tak nampak batang hidung lawannya.
"Mereka melarikan diri, ki lurah." suara Kidang Alit menyadarkanya.
"Oh.. ra eh kakang.." kata Arya Dipa.
"Bagaimana keadaanmu.?"
"Aku tak mengapa, kakang." sahut ki lurah Arya Dipa, lalu, "Oh ki lurah Lembu
Sura."
Pemuda itu berlari ke arah tubuh ki lurah Lembu Sura yang pingsan.
"Mari kita tinggalkan tempat ini, mungkin api tadi akan mengundang para
peronda." ajak Kidang Alit atau raden Bagus Mukmin, sambil ikut membopong
ki lurah Lembu Sura.
"Biar aku saja, raden."
Keduanya lantas pergi dari gumuk sambil mendukung tubuh ki lurah Lembu
Sura yang jatuh pingsan.
lurah Arya Dipa, "Dan sebaiknya, raden kembali ke ksatriyan sekarang juga."
"Baik.. berhati - hatilah, dan segera kau ke ksatriyan."
"Sendiko raden." ki lurah Arya Dipa, menyanggupi.
Setelah kepergian raden Bagus Mukmin dari bawah pagar tembok, ki lurah
Arya Dipa dengan hati - hati bergegas menuju rumah ki Bonangan yang
pernah dirinya menginap sebelum menjadi prajurit Demak. Sampai di regol
rumah ki Bonangan, seorang pembantu ki Bonangan yang duduk di pringgitan
mengerutkan kening saat memandang ke arah regol.
Pembantu ki Bonangan berdiri dengan kewaspadaan, tangannya tanpa sadar
menyentuh keris yang terselip di pinggangnya sambil berjalan ke arah regol.
"He siapa kau.?!" hardik pembantu rumah tangga itu.
"Aku paman Sentanu, Dipa.." jawab orang yang memang ki lurah Arya Dipa.
"Oh denmas, ada apa ini.?"
"Nanti saja paman, tolong buka pintu regolnya."
"Oh... maaf paman lupa." kata ki Sentanu sambil membuka pintu regol.
Setelah memasuki halaman rumah ki Bonangan, keduanya membawa tubuh ki
lurah Lembu Sura ke pringgitan.
"Paman beritahukan kepada ki Bonangan, aku menitipkan tubuh ki lurah Lembu
Sura disini untuk malam ini, besok aku akan menjelaskan kepada ki Bonangan."
Tapi sebuah langkah membuat keduanya menengok ke arah langkah itu.
"Oh ki Bonangan." desis ki Sentanu.
Orang itu memang ki Bonangan, salah satu kepercayaan pangeran Trenggono
yang rumahnya di ujung kotaraja.
"Oh kau denmas Arya Dipa." sapa ki Bonangan.
"Benar ki, maaf mengganggu ketenangan rumah ki Bonangan."
"Siapa dia, denmas.? apa yang terjadi.?" tanya ki Bonangan setelah melihat
seorang yang masih dalam dukungan ki lurah Arya Dipa.
Tapi sebelum Arya Dipa menjawab, ki Bonangang kembali berkata,
"Sebaikanya bawa masuk orang ini ke gandok kanan, supaya mendapat
perawatan."
Maka segera tubuh ki lurah Lembu Sura di bawa ke gandok kanan dan
direbahkan di sebuah amben.
Mata yang masih merasakan sakit itu memandang penuh keheranan terhadap
orang yang menyapanya.
"Jangan bingung, ki lurah. Kau di tempat yang aman dan masih di lingkungan
kotaraja Demak." kata ki Bonangan, yang dapat memahami apa yang ada
dalam hati ki lurah Lembu Sura.
Setelah merasa yakin dengan apa yang dikatakan oleh orang yang memasuki
bilik dimana ia berbaring, ki lurah Lembu Sura menyandarkan tubuhnya.
Sementara ki Bonangan mengangsurkan nasi sepiring dengan lauk sederhana
kepada ki lurah Lembu Sura.
"Makanlah ki lurah, supaya tubuhmu cepat pulih."
"Terima kasih, kyai." ucap ki lurah, sambil menerima piring yang terbuat dari
tanah liat.
"Tadi malam, denmas Arya Dipa membawa ki lurah kemari dan memintaku
merawat ki lurah yang mengalami cedera."
Demi mendengar penuturan itu, ki lurah teringat apa yang ia alami tadi malam
di gumuk luar padukuhan. Memang saat itu dirinya mengalami beberapa
goresan luka di tubuhnya, saat lawannya meninggalkan gumuk sebenarnya
dirinya akan mengejar walau mungkin itu akan membahayakan dirinya, namun
darah yang keluar terlalu banyak, maka ia pun jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Dan saat itulah hanya ki lurah Arya Dipa dan kawannya yang menolongnya
dan membawa dirinya kepada seseorang yang belum ia kenal.
"Tapi mengapa aku dibawa kemari.? tidak ke barak atau rumahku.?" tanya ki
lurah Lembu Sura dalam hati.
"Maaf kyai, sebenarnya siapa kyai ini.?" tanya ki lurah setelah menghabiskan
makanan dalam piring.
"Minumlah ramuan ini." tanpa memberi jawaban, ki Bonangan mengulurkan
bumbung gelas yang berisi ramuan kepada lurah prajurit.
Seteguk demi seteguk ramuan itu memasuki tenggorokan ki lurah, walau terasa
pahit di lidah, namun setelah masuk dalam lambung tubuhnya terasa hangat
dan nyaman.
"Bagaimana keadaan ki lurah.?"
"Sepertinya rasa sakit semakin berkurang, kyai. Dan tubuhku terasa nyaman."
"Syukurlah." ucap ki Bonangan, "Aku sering disebut dengan Bonangan oleh
tetangga disekitar sini, ki lurah. Dan ki lurah Arya Dipa merupakan salah seorang
yang kawan baikku."
Kepala ki lurah manggut, dalam hati ia berterima kasih kepada lurah muda dari
P a g e | 136
Wira Tamtama itu, jika tiada lurah muda itu muncul, mungkin nyawanya
sekarang akan tertanam tanah gumuk atau hal yang mengenaskan lainnya,
yaitu menjadi santapan burung gagak atau binatang buas lainnya.
Sementara itu dari balik bilik gandok, ki Sentanu yang merupakan pembantu ki
Bonangan muncul dan mengatakan kalau ki lurah Arya Dipa datang.
"Suruh ia masuk, Sentanu."
"Baik, ki."
Tak lama kemudian ki lurah Arya Dipa memasuki bilik itu dengan menyapa
salam tuan rumah dan ki lurah Lembu Sura. Dan tak lupa menanyakan
keadaan dari ki lurah Lembu Sura.
"Terima kasih, ki lurah. Jika kau tak berada di gumuk itu, mungkin aku tak lagi
berbicara sebebas ini."
"Ah sudahlah, ki lurah. Itu semua hanyalah kebetulan saja, jika bukan aku
mungkin orang lain, karena aku merasakan seseorang bersembunyi di balik
rerumputan tak menampakkan dirinya." sahut ki lurah Arya Dipa, sambil melirik
ke arah ki Bonangan.
"Ah benarkah itu.? ternyata aku tak merasakan keberadaan seseorang."
Helaan napas orang tua itu terasa berat sambil mengerjapkan matanya.
"Tentu kau bisa menduganya anakmas, kekosongan tahta ini mungkin akan
dimanfaatkan oleh pihak berseberangan khususnya orang - orang dari bang
wetan." kata ki Bonangan, "Apalagi orang - orang itu mempunyai ilmu aneh
seperti yang kau hadapi semalam, mungkin kalau aku yang menghadapi
orang yang kau hadapi itu, aku akan hangus tak tersisa."
"Memang tepat kalau pangeran Trenggono memilihmu untuk mengawal raden
Bagus Mukmin, selain pemomongnya yang kini sedang kembali ke
padukuhannya." lanjut orang tua itu.
"Oh jadi raden Bagus Mukmin mempunyai seorang pemomong sampai saat ini,
kyai.?"
"Iya, namanya ki Surayata."
"Oh ya apakah kyai memberitahukan situasi tadi malam kepada kanjeng
pangeran Trenggono.?"
"Tenanglah anakmas, aku masih merahasiakan tindakan raden Bagus Mukmin
yang keluar hanya bersamamu, tapi seandainya pangeran Trenggono tahu
pun, ia tak akan melarangnya."
Kelegaan menyelimuti pemuda itu, andai ki Bonangan melaporkan tindakan
tadi malam kepada pangeran Trenggono dan saat itu raden Bagus Mukmin
mengalami sesuatu, maka dirinya tentu mendapat hukuman.
"Apa yang kau pikirkan, anakmas.?"
"Ah tidak kyai, aku hanya membayangkan sesuatu yang mengacam nyawa
kerabat keraton sepertinya semakin nyata."
P a g e | 138
"Hem.. memang hal itu patut diwaspadai, semoga tak ada situasi
menggemparkan terjadi di tanah Demak ini." sebuah doa terlontar dari orang
tua itu.
........
"Tapi biarkan diriku juga ikut membantu kakanda pangeran Sekar, kakang
patih." pangeran Trenggono masih mendesak ingin pergi ke garis depan.
"Sudahlah adimas, tak baik juga bila disini terjadi kekosongan pemimpin, dan
aku rasa kemampuan adimas sangat dibutuhkan di kotaraja. Biarlah aku saja
yang memimpin pasukan segelar sepapan menghancurkan pasukan di
Japanan." akhirnya pangeran Sekar ikut membujuk.
Saat pembicaran berlangsung di balai Manguntur masih berlangsung, tiba -
tiba seorang lurah prajurit datang menghadap melaporkan adanya utusan dari
Jipang Panolan.
"Suruh prajurit itu menghadap."
"Sendiko dawuh gusti." lalu lurah prajurit itu memanggil utusan Jipang dan
dihadapkan ke balai Manguntur.
Utusan itu dengan laku layaknya seorang prajurit menghadap gusti, dengan
unggah ungguh kesopanan melaporkan kejadian yang semakin
menggemparkan.
"Ampun gusti pangeran, ketiwasan.."
"Ada apa prajurit.? katakanlah supaya yang hadir ini bisa mendengar dengan
jelas."
Prajurit itu beringsut agak maju dengan kedua tangan merangkap di depan
melekat di dahi.
"Ketiwasan, kanjeng gusti.. kadipaten Tuban dan Ujung Galuh kini diduduki oleh
pasukan Panembahan Bhre Wiraraja." jawab prajurit itu dengan suara bergetar.
Balai Manguntur bagaikan dilanda gempa, semua yang hadir terkejut dengan
warta yang di bawa oleh utusan dari Jipang itu. Bila Ujung Galuh dan Tuban
telah direbut oleh pihak lawan, maka kini kadipaten garis depan ialah
kadipaten Jipang Panolan untuk sisi utara.
Seketika pangeran Sekar berdiri dari tempat duduknya, dan menghadap ke
arah duduk pangeran Trenggono, ki patih Wanasalam anom dan seorang
sesepuh Demak.
"Kakang patih Wanasalam, adimas pangeran dan paman Ngabehi Arya
Wiratanu, biarlah aku mendahului ke timur untuk mengumpulkan segenap
kawula kadipaten Jipang." seru pangeran Sekar, "Dan bila adimas atau siapa
pun yang ingin memimpin pasukan dari Demak juga bergerak ke timur, aku
akan menunggu di Jipang Panolan. Tapi aku harap bantuan dari Demak
sesegera mungkin."
"Baiklah kakang, aku akan berjanji segera menyusun pasukan bantuan dan
memimpin sendiri." sanggup pangeran Trenggono.
P a g e | 141
Maka pangeran Sekar yang tak lain ayah Arya Jipang dan Arya Mataram,
bergegas kembali menuju Jipang Panolan. Sepeninggal pangeran Sekar,
pemimpin tertinggi sementara di Demak, mengumpulkan nayaka praja untuk
menyusun pasukan yang akan diperbantukan menggedor pasukan bang
wetan yang telah menguasai kadipaten Tuban.
Derap belasan kaki kuda mulai terdengar keluar dari gerbang kesultanan,
dipaling depan kuda itu ditunggangi oleh pangeran Sekar dengan dikawal
oleh belasan prajurit pilihan dari Jipang Panolan. Iringan dari pangeran Sekar
itu, membuat seseorang yang berdiri di pinggir jalan yang dilalui iringan,
tersenyum.
"Bagus, sasaran sudah keluar dari kotaraja.." desis orang itu yang melangkahkan
kakinya meninggalkan tempat itu.
Kesigapan terlihat dari pengawal prajurit pilihan itu. Dengan cepat tugas dapat
dilakukan sehingga empat tenda berdiri melingkari tanah lapang seluas empat
tombak bila dilingkarkan, tanah lapang itu nantinya akan dijadikan tempat api
unggun. Selain itu dahan hasil memangkas beberapa pohon yang tumbuh di
pinggir padang ilalang, mulai ditanam berjajar membentuk pagar yang
berguna membatasi adanya gangguan binatang buas.
Setelah senja sepuluh obor dinyalakan dan diikatkan di seputar pagar untuk
menerangi sekitar tenda, selain itu berguna menghalau binatang buas supaya
tak mendekati sekitar tenda. Di tengah - tengah dimana tenda berdiri, api
unggun juga dinyalakan untuk menghangatkan tubuh dari hembusan angin
padang ilalang itu.
Dalam pada itu di dalam tenda khusus bagi pangeran Sekar, senopati Rakai
Welar memasuki sambil membawa makanan dan minuman bekal mereka.
"Ini pangeran, untuk sekedar mengisi perut." senopati itu mempersilahkan.
"Terima kasih, senopati. Makanlah terlebih dahulu, aku belum lapar." gumam
pangeran Sekar, sambil menghela napas.
"Ah... maaf pangeran, adakah sesuatu yang pangeran pikirkan." senopati itu
memberanikan diri bertanya.
Helaan napas terdengar dari anak raden Patah itu, tatapan mata terlihat
menerawang jauh menembus dinding tenda.
"Apakah pangeran mencemaskan pertahanan di Jipang.? Percayalah,
pangeran. Hamba kira paman patih Mentahun dapat mengulur waktu hingga
kita dan bantuan dari Demak tiba." kembali senopati Rakai Welar angkat
bicara.
"Hem.. Sebenarnya aku juga mempercayai kalau kakang patih Mentahun
dapat bertindak dengan cepat, namun hati ini merasakan adanya sesuatu
yang sangat mengkwatirkan.."
Sejenak pangeran Sekar berhenti untuk meraih wadah air yang terbuat dari
kulit, lalu meneguk air secara perlahan.
"Aku masih memikirkan sesorang yang menyebut dirinya Lintang Kemukus itu."
"Oh.. maksud pangeran, orang yang berkerudung hitam itu.?" tanya senopati
Rakai Welar.
"Benar.. orang itu juga merupakan ancaman yang patut diperhitungkan."
"Maafkan hamba, pangeran. Sampai saat ini tak ada warta mengenai jati diri
orang itu." senopati merasa dirinyalah yang patut disalahkan.
"Sudahlah, kau tak usah berlaku seperti itu, Rakai Welar. Selama ini aku tahu
bahwasannya pengabdianmu sangat besar kepada kadipaten."
P a g e | 143
Di luar angin berhembus membuat udara terasa dingin dikulit para pengawal
yang bertugas berjaga. Api unggun pun nampak berliuk - liuk seirama
hembusan angin yang mempermainkannya. Sementara dikejauhan lolongan
anjing liar saling bersahutan menggetarkan udara malam dan membuat
beberapa hewan mangsanya lari tunggang langgang. Di sekitar pagar
nampak dua orang prajurit berjaga - jaga mengawasi sekitar mereka.
"Aduh, nyamuk sialan tak tahu diri.." gerutu seorang prajurit, sambil menggaruk
tengkuknya.
"Ah.. baru seekor nyamuk saja kau sudah heboh seperti ini.." ucap kawannya,
"Untung bukan anjing liar itu yang menggigit tengkukmu."
"Huh kau ini.. Sebelum anjing itu mendekat, tentu aku sudah melempar pisau
kearah anjing itu." bantah prajurit pengawal.
"Hohoho.. Iya kalau mengenainya, jika tidak.? kau yang akan diterkam
kawanan anjing liar itu beramai - ramai." goda kawannya sekali lagi.
Prajurit pertama menggeram sambil berlalu meninggalkan kawannya yang
masih tertawa.
"He.. tunggu, kau nanti akan dikeroyok kawanan hewan buas itu.." teriak
kawannya sambil mengikuti prajurit pertama.
Malam terus merangkak sesuai kodratnya, dan petugas berjaga berganti sesuai
apa yang telah ditentukan. Malam itu tiada hal yang mencurigakan ataupun
membahayakan, hingga sang Bagaskara merekah menyinari tanah di padang
ilalang itu.
Seusai menyantap sarapan di pagi hari seadanya, senopati Rakai Welar
memerintahkan para prajurit berkemas untuk kembali melanjutkan perjalanan
yang masih panjang. Tak berselang lama derap langkah kuda mulai terdengar
mengguncang bekas perkemahan dan meninggalkan debu membubung
dibelakang kuda.
Pada hari sukra, iringan dari pangeran Sekar sampai di sebuah padukuhan
yang sudah dalam lingkup telatah kadipaten Jipang Panolan. Walau jarak dari
padukuhan itu dengan kotaraja kadipaten tak terlalu jauh, tapi pangeran Sekar
ingin berhenti di padukuhan itu untuk melakukan ibadah bersama penghuni
padukuhan setempat.
"Kita sebaiknya melepas lelah di padukuhan ini, senopati. Mumpung hari ini hari
sukra, kita akan beribadah bersama penghuni padukuhan di langgar
setempat."
"Baik, pangeran. Kalau begitu hamba akan bicara kepada ki bekel setempat."
Lalu senopati Rakai Welar mencari rumah ki Bekel untuk menyampaikan
P a g e | 144
di musim mangsa ketigo itu terlihat berhasil, itu terlihat dari tongkol jagung besar
memanjang. Sedangkan lebih ke timur tanaman padi tumbuh dengan
suburnya, ini dikarenakan tanah sawah dekat dengan aliran sungai, walaupun
di musim kemarau air tetap melimpah dan dialirkan ke parit - parit yang dibuat
oleh penghuni padukuhan.
Iringan itu membelok ke hilir menyusuri tepian sungai mencari permukaan
sungai yang dangkal supaya dapat menyeberang ke sisi bagian timur. Di
teriknya sang bagaskara itulah ada keinginan raden Kikin untuk membasuh
muka dengan air jernih sungai, oleh sebab itu maka menantu adipati Jipang
Panolan turun dari kuda, dan tanpa menghiraukan para pengawalnya raden
Kikin menghampiri tepian dan meraup air lalu membasuhkan ke wajahnya.
Keheranan terlihat diseluruh para prajurit pengawal, tak seperti biasanya
junjungan mereka bertingkah seperti di siang itu. Bukankah sebelumnya di
padukuhan berjarak ratusan tombak dari sungai ini, raden sudah membasuh
wajahnya.? Itulah dalam pikiran mereka.
Sekali lagi raden Kikin kembali membasuh wajahnya, bahkan seteguk air jernih
sungai itu masuk dalam mulutnya .
"Ah.... sungguh segar air ini." gumam pangeran Sekar, setelah meneguk air
sungai.
Di belakangnya senopati Rakai Welar berdiri ragu.
"Pangeran..." hanya itu saja suara yang keluar dari mulut kemenakan ki patih
Mentahun.
Saura itu membuat pangeran Sekar menoleh dan menatap abdi setianya itu,
lalu ia perlahan berdiri melangkahkan kakinya ke sebuah batu sebesar kerbau
dan duduk menghadap sungai.
"Rakai Welar.."
"Dhalem..pangeran." jawab senopati Rakai Welar.
"Kau pasti heran dengan apa yang aku lakukan, bukan.?" tanya ayah dari Arya
Jipang.
Bergayut rasa heran di benak sang senopati atas apa yang ditanyakan oleh
junjungannya itu.
"Maafkan hamba pangeran, begitulah yang hamba rasakan saat ini, begitu
juga dengan para prajurit lainnya." ucap senopati Rakai Welar, sambil
mengunjuk sembah.
"Aku sendiri pun juga bingung, Rakai Welar.. tapi aku merasakan tempat ini
terasa sangat nyaman dan akan menjadi tetenger akan diriku."
Ini menambah kebingungan yang menggunung di hati senopati Rakai Welar,
P a g e | 146
Panolan.
Adipati Sepuh duduk di dampar palungguhan beralaskan kain beludru
berwarna merah masih terlihat berwibawa diusia yang makin senja, diapit oleh
perwira yang berdiri agak dibelakang. Sementara ki patih Mentahun duduk
sebelah kanan berjejer dengan ki tumenggung Surataka, ki panji Rakai Welar
dan ki panji Tohjaya. Sedangkan di sebelah kiri berjejer ki tumenggung Harya
Kumara, ki tumenggung Sardula dan ki panji Jaran Tangkis. Agak di belakang
beberapa demang dan kepala tanah perdikan duduk bersila.
Setelah beberapa saat maka pasewakan itu dimulai oleh penuturan juru wicara
yang mengatakan ihwal dari diadakan pasewakan mendadak itu. Pasewakan
itu tiada lain mempersoalkan kematian pangeran sekar oleh seorang ki
Surayata yang tiada lain orang kepercayaan raden Bagus Mukmin, putra
pangeran Trenggono.
"Panji Rakai Welar, cobalah kau kembali menuturkan kejadian itu secara
runtut.." ujar Adipati Sepuh.
Usai unjukan sembah hormat, senopati Rakai Welar mulai menuturkan saat
pangeran Sekar beserta sebelas prajurit pengawal termasuk ki panji Rakai
Welar, keluar dari kotaraja setelah mendengar adanya pasukan bang wetan
yang kini berada di kadipaten Tuban. Perjalanan iringan itu tiada halangan
sampai akhirnya tiba di pinggiran sungai wates kadipaten, dimana saat itu
raden Kikin turun dari kuda dan menghampiri tepian yang berair jernih, lalu
membasuh mukanya. Ketika sang pangeran duduk disebuah batu sebesar
anak sapi, muncul seorang penunggang kuda yang dikenal pangeran dan
seluruh prajurit pengawal, tiada lain orang itu ki Surayata. Tanpa diduga setelah
berbasa basi, dengan cepat ki Surayata menusukan keris sakti kyai Brongot
Setan Kober.
"Tunggu dulu, adi menggung, kita harus membuktikan kebenaran itu dengan
menugaskan nayaka terpercaya Jipang ke Demak, setelah terbukti, tentu
orang Demak akan memberi keadilan." kata ki patih Mentahun, "Selain itu kita
pun harus menanyakan pusaka kyai Setan Kober kepada sang pemilik, yaitu
kanjeng Sunan Kudus. Bagaimana bisa pusaka itu sampai ditangan ki Surayata."
Tanggapan dari ki patih Mentahun ini dapat dimengerti oleh Adipati Sepuh dan
sebagaian nayaka praja, namun rasa kesal juga menyelimuti hati ki
tumenggung Haryo Kumara beserta orang - orangnya.
"Hemm... baiklah anakmas patih, masalah ini akan ku serahkan kepadamu. Lalu
siapa yang akan kau tugaskan dalam penyelidikan ini.?"
"Ampun, kanjeng Adipati Sepuh. Tugas itu hamba serahkan kepada ki panji
Tohjaya, dan nanti saat pasukan Demak sampai disini, hamba akan
memperbincangkan dengan pangeran Trenggono." kata ki patih Mentahun.
Akhirnya pasewakan itu menghasilkan dua tugas kepada ki panji Tohjaya dan ki
P a g e | 150
patih Mentahun untuk mengungkap kematian dari pangeran Sekar Sedo ing
Lepen. Walau sebenarnya beberapa orang tak sepaham, khususnya orang -
orang ki tumenggung Haryo Kumara.
"Ah.. apa mataku sudah lamur.?" desis ki panji Tohjaya, sambil menyentak
kekang kudanya untuk mempercepat langkah kaki kuda.
Keanehan itu semakin nyata dan membuat perwira prajurit itu penasaran,
sehingga melarikan kudanya bagai angin.
Namun, hatinya bagai dilecut keterkejutan saat dikelokan sosok orang tua di
depannya hilang bagai ditelan bumi. Kekang kuda ditariknya untuk
menghentikan kudanya, lalu perwira itu turun dari kudanya dan meliarkan
pandangnya kesekitar kelokan itu, demi mencari wujud orang tua yang
diselimuti misteri dalam hatinya.
Desau angin semata yang menunjukan keberadaanya melalui bergeraknya
rumpun daun bambu yang tumbuh disekitar kelokan jalan tersebut. Di langit
sang elang terbang mengintai mangsa tanpa memperdulikan prajurit muda,
entah apa yang sedang dicari pemuda itu.
Tiba - tiba desir udara dari arah belakang membuat ki panji Tohjaya kaget,
sebuah desir yang ditimbulkan oleh meluncurnya daun bambu dengan cepat
mengancam pemuda itu. Untunglah dengan gerak cepat ki panjinTohjaya
mengisar kepalanya, sehingga daun itu melewatinya dan berhenti mengenai
pohon bambu.
Kembali kejut meluap memenuhi rongga hati murid dari perguruan Sekar Jagat,
P a g e | 152
ketika memandang daun bambu itu menusuk dalam mengenai bambu petung
yang keras.
"Oh... "
"Hehehe.." kini terdengar suara bergema memekakan telinga.
"He Kisanak, siapa kau.? keluarlah..!" teriak ki panji sambil mempertebal daya
tahan tubuhnya dengan menutup lubang panca inderanya.
Hening.. Tawa lenyap tak lagi terdengar, hal ini membuat ki panji Tohjaya bagai
terperangkap dalam permainan orang yang belum diketahui jati dirinya dan
apa maksud itu semua. Ki panji Tohjaya berusaha mempertajam panggraita,
pangrungu demi mengetahui dimana temoat orang yang menyerangnya. Saat
itulah dari arah utara sekelebat bayangan mengerah kepadanya, dengan
sebuah tendangan dua kaki memutar meluncur dengan keras dan cepat.
"Uh.." dengus ki panji seraya mengisar kakinya menghindari serangan itu.
Tapi lawannya setelah menginjakkan kaki ke tanah, langsung menyerang
kembali dengan tendangan memutar ke kepala perwira muda itu, yang
mampu dihindari dengan merundukan kepala seraya menjegal kaki kiri lawan.
Dan lawannya pun mampu berbuat cekatan menghindari jegalan itu, dengan
gerakan indah bagai melayang langsung mengebrak batok kepala ki panji
Tohjaya.
Mengetahui ancaman berbahaya itu, prajurit Jipang itu surut kebelakang
melenting menerjang lawan dengan serangan balasan. Maka keduanya
menunjukan tata gerak cepat dan trengginas mencari kelengahan lawan.
namun ketika saat lawannya mingisar tubuhnya, serangan itu dengan cepat
ditariknya dan mengganti sodokan tangan kiri menjurus ke tulang rusuk lawan.
"Uh...." desuh kejut menghampiri murid termuda dari Panembahan Sekar Jagat,
lantas meloncat mundur menjaga jarak.
"Tunggu kisanak... Siapa kau sebenarnya ?" Perwira Jipang menghentikan
perkelahian dan mengunjuk pertanyaan.
Lawanya berdiri agak kebunggkukan sambil tertawa berat. Ternyata orang itu
memakai sebuah topeng berbahan getah, tapi didengar dari suara tawanya,
menunjukan bahwasanya orang itu berumur mendekati senja.
"Kenapa kau menanyakan namaku, anak muda ? Apakah bila kusebutkan
namaku, kau akan berlutut memohon ampun ? hehehe.."
"Ah.. kisanak ini ternyata suka berseloroh. Bukankah sudah selayaknya aku
menanyakan nama lawan yang begitu dahsyatnya mengunjukan tata gerak
dari Sekar Jagat." balas ki panjinTohjaya, "Dan itu menunjukan kisanak ini satu
ilmu denganku, walau sebenarnya ilmu kisanak beberapa tingkat diatasku, bila
kisanak akan bersungguh - sungguh."
"Hohoho... Sekar Jagat." suara orang itu parau, "Kau murid siapa, ngger ? Kebo
Salaksa ataukah Danurpati ?"
"Oh aku tak mengenal nama yang kisanak sebutkan itu, guruku mendapat
sebutan Panembahan Sekar Jagat semata, kisanak."
"Hemm apakah di amempunyai bekas luka di lengan kiri ?" tanya orang itu.
Ki panji Tohjaya berusaha mengingat tubuh gurunya, tepatnya lengan kiri
dimana ada sebuah luka seperti yang dikatakan oleh lawannya. Sejenak
kemudian pemuda itu berhasil mengingat.
"Benar kisanak, memang dilengan kiri guru terdapat guratan memanjang."
"Sudah lama aku tak melihat Danurpati, ternyata ia mampu meneruskan
peninggalan guru." sejenak orang itu terdiam, lalu kayanya, "Jadi gurumu
Danurpati, murid ketiga dari Panembahan Sekar Jagat Purwo, kalau begitu
terimalah ini !"
Usai berkata orang itu meloncat bagai harimau menerkam mangsa. Gerakan
dahsyat dilambari ilmu Bayu Salaksa membuat tubuh orang itu tak berbobot
bagai angin.
Walau sebenarnya ki panji Tohjaya tak pernah meninggalkan
kewaspadaannya, namun gerakan orang itu tak mampu dihindari, sehingga
tubuhnya terhenyak kebelakang beberapa tindak dan hampir roboh.
"Bangsat, mengapa kau menjadi gila ?" umpat pemimpin pendatang itu, lalu,
"Bunuh dia !"
Perintah itu tak perlu diulang lagi, ketiga orang yang berada dibelakang
bergegas mengepung panji Tohjaya dengan menghunuskan pedang mereka.
Maka perkelahian yang tidak diketahui ujung pangkalnya oleh panji Tohjaya,
mulai dengan serunya.
Ketiga pedang dengan cepat menghujam panji Tohjaya, tapi pemuda itu
dengan tenang melenting tinggi dan mendarat diatas ketiga pedang itu,
sambil melayangkan tendangan bertubi - tubi kesetiap penyerang.
"Memalukan !" bentak pemimpin mereka, saat ketiganya jatuh mencium
kerasnya tanah.
Demi mendapat dampratan pemimpinnya, ketiga lantas segera melenting
berdiri dan bersiap menyerang pemuda yang membuat malu didepan sang
pemimpin. Ketiganya kini bersungguh - sungguh dengan menampilkan tata
gerak seirama dan sehati, seolah - olah tiga tubuh digerakan satu pikiran.
P a g e | 160
"Oh tak nyana kalau seorang warok dari kadipaten Ponorogo, sudi bermain ke
kadipaten Jipang !" seru Ki Wijang Pawagal.
Seruan itu sesaat telah menghentikan perkelahian demi ingin tahu wujud orang
yang disebut warok oleh ki Wijang Pawagal. Wujud dari orang itu, berbadan
tinggi tegap layaknya raksasa, kumis dan jambang tumbuh subur dengan akar
bahar melingkar di kedua lengan dan yang terakhir adanya ikat pinggang
putih ciri seorang warok, melingkar di pinggang, usus - ususan.
yang kau tunjukan itu." kata warok Suro Pakisan, "Aku ulangi sekali lagi, pergilah
dari tempat ini."
Namun murid utama dari Panembahan Sekar Jagat Sepuh itu, tak bergeser
setindakpun, hanya gelengan kepala saja yang dilakukan.
"Hem, baiklah jika itu maumu." sesaat warok dari tlatah wengker itu menatap
pemimpin penyerang, "Tangkis, bunuh anak itu ! Sedangkan orang tua ini aku
yang mengurusnya !"
"Baik paman." Sahut pemimpin penyerang yang disebut Tangkis, yang tiada lain
dari ki panji Jaran Tangkis, sambil menghambur menuju panji Tohjaya.
Sementara warok Suro Pakisan berseru kepada ki Wijang Pawagal, "Mari kita
beradu liatnya daging dan kerasnya tulang !"
"Hahaha Aneh sekali kita ini, sudah memasuki usia senja masih berlaku
kekerasan." desis ki Wijang Pawagal.
"Rasakan ini !" seru warok Suro Pakisan, dengan cengkraman keras ingin
menangkap tubuh orang tua di depannya.
Tapi lawannya tak mau dengan mudah menyerahkan tubuhnya, dengan
sedikit mengeser kakinya, tubuh agak merendah disertai kibasan keras
mengarah dada warok, menunjukan perlawanan sungguh - sungguh. Demi
mengetahui serangan balasan itu, warok Suro Pakisan menotol tanah meloncat
melewati tubuh lawannya dibarengi tendangan gejik.
"Uuh..." desuh warok itu, saat serangannya hanya mengenai tempt kosong.
Setelah kakinya menginjak tanah dengan kewaspadaan dari serangan lawan,
warok itu memutar tubuhnya. Dan perkelahian dari dua orang tua itu semakin
seru meniti tingkatan demi tingkatan. Keduanya walau usia semakin menanjak
usia senja, namun tata gerak kanuragan keduanya sungguh mendebarkan, itu
semua didukung oleh banyaknya perbendaraan pengalaman di segala
suasana dan bidang. Keduanya diibaratkan antara keperkasaan banteng
yang ditunjukan oleh warok Suro Pakisan menghadapi lincahnya kijang ki
Wijang Pawagal. Serudukan banteng dengan mudah selalu dapat dielakan
oleh kijang, bahkan kijang itu mampu membuat banteng kebingungan tatkala
tanpa diduga - duga berlari menjauh dan muncul dibelakangnya.
Di sisi yang lain ki panji Jaran Tangkis, yang masih menutupi wajahnya
memimpin pengeroyokan terhadap ki panji Tohjaya. Pedang yang keluar dari
warangkanya siap memakan korban sampai titik darah membasahi bumi.
Serangan selang - seling dari sisi berlawanan selalu dilakukan dengan gencar
dan cepat, seolah - olah tak memberi kesempatan mangsa beristirahat.
P a g e | 164
Denting senjata beradu lebih sering dengan menimbulkan percik - percik api
dari gesekan besi pilihan itu. Sementara genggaman tangan kadangkala
terasa linu dan panas saat mempertahankan senjata dikala sama - sama
berbenturan.
Perkelahian itu sudah memakan waktu sepengunyah sirih, peluh bagai terperas
membasahi tubuh, bahkan luka memar mulai mewarnai perkelahian di pinggir
sungai itu. Di atas sang surya berjalan semakin rendah ke barat menunu
peraduannya, diam membisu menatap perilaku yang ditunjukan oleh makhluk
yang disebut, manusia.
Pergolakan demi pergolakan sudah sering diketahui oleh sang surya, di tanah
ini, hanya menatap semata yang ia lakukan tanpa mampu memisahkan apa
yang digarisakn.
Dalam pada itu sebuah gerakan aneh diterapkan oleh ki Wijang Pawagal saat
dirinya hampir terpojok oleh sergapan lawannya, tiba - tiba tubuhnya seperti
lenyap dari pandangan lawannya dan beralih dibelakang tubuh lawan, sambil
memukul keras tulang punggung lawan.
"Uuh... " keluh warok Suro Pakisan, dan cepat - cepat menjaga jarak.
"Ilmu apa yang kau tunjukan itu, Pawagal ? seakan - akan dirimu lenyap dalam
sekejap."
"O Itu tadi hanyalah aji Alang - Alang Kumitir." ucap Ki Wijang Pawagal,
"Mengapa kau kesakitan seperti itu, ki Suro Pakisan ? bukankah ilmu kebalmu
selalu kau bangga - banggakan ?"
"Huh " dengus warok itu, memang dirinya tadi meremehkan lawan sehingga ia
tak menerapkan aji Tamengwesinya. Kini matanya semakin terbuka lebar dan
akan bersungguh - sungguh menghadapi murid padepokan lereng Lawu.
dengan mudah terhindar dari terkamannya. Raut wajah memerah bak tersiram
air mendidih, oleh karenanya warok itu merambah ilmu simpanannya semakin
tinggi, dan hasilnya mampu membuat tubuhnya ringan dan cepat mengejar
kemana lawan menghindar.
Suatu kali pukulan keras mengarah ki Wijang Pawagal dan tak mampu dikecoh
oleh kemampuan dari aji Alang Alang Kumitir, sehingga tubuhnya terhenyak ke
belakang dua tindak. Sekuat tenaga orang tua itu mencoba mempertahankan
dirinya agar tak terjungkal, tapi sekali lagi lawannya meloncat menjejak
dengan kedua kaki.
"Desss... " Benturan keras tak dapat dielakan, kaki kokoh terhalang tenaga
tangkisan kedua tangan menyilang ki Wijang pawagal. Benturan tersebut
membuat warok Suro Pakisan mental dan bergulingan di tanah, lalu dengan
cepat melenting berdiri. Sementara ki Wijang Pawagal, tak luput jatuh meskipun
dengan sigap kembali melenting.
Kedudukan keduanya masih imbang sama - sama kuat dan masing - masing
merasakan linu dibagian anggota badan berbenturan.
Tak menunggu lama keduanya lantas bergulat semakin dahsyat hingga
keadaan sekitar terkena imbas dari pergulatan sepenuh tenaga. Kaki
menyepak, tubuh menghindar. Pukulan terarah, kaki mengisar menghindari
dilanjutkan serangan balasan mencari titik terlemah lawan.
Dirasa pergulatan memakan waktu lama, seketika tangan warok Suro Pakisan
menggapai ikat pinggang koloran dan mengurainya.
"Pawagal, gunakan senjatamu agar aku tak dipandang licik !" seru warok
Pakisan.
"Baiklah, sekarang mari bermain dengan senjata." sahut ki Wijang Pawagal,
sambil mengambil senjatanya dibalik punggung.
Senjata sejenis tombak pendek dengan ujung mirip keris terlihat dicekalan
tangan ki Wijang Pawagal. Senjata ciri khas padepokan Sekar Jagat mulai
diperlihatkan oleh orang tua itu. Di dalam padepkan Sekar Jagat, yang memiliki
senjata itu hanya tiga orang saja dan salah satunya ki Wijang Pawagal.
"Oh.. Pusaka itu, tombak kyai Giri..." desis ki panji Tohjaya, saat melirik
perkelahian diluar kalangannya.
"Mati kau anak muda !" seru ki panji Jaran Tangkis, yang mengayunkan
pedangnya ke tubuh lawannya.
"Uuuh..." kejut ki panji Tohjaya, yang hampir terkena ayunan mendatar
tajamnya pedang.
Sejenak perwira muda itu mundur, tapi kedua anak buah ki panji Tohjaya tak
P a g e | 166
"Tolonglah jaga tempat ini barang sesaat, aku akan memulihkan tenaga dan
menindih serta melenyapkan rasa sakit ini." pinta ki Wijang Pawagal.
P a g e | 170
.
..
Sejak dari Demak pembagian pasukan telah dilakukan oleh usulan dari raden
ngabehi Arya Wiratanu, salah satu sesepuh yang pandai membaca keadaan
pelik atas tewasnya pangeran Sekar. Demi menghindari kejadian yang tak
diinginkan itu, maka pasukan dari Demak telah dibagi menjadi tiga bagian.
Pasukan induk yang dipimpin sendiri oleh pangeran Trenggono, dengan
tumenggung Suranata dan Pideksa sebagai senopati pengapit, berjalan
menyusuri bengawan. Lalu pasukan kedua diserahkan kepada tumenggung
Gagak Kukuh dari Wira Braja, lewat jalur tengah melewati pusat kadipaten
Jipang. Dan terakhir ialah pasukan yang dipimpin oleh seorang rangga dari
Wira Jalapati, melalui jalur laut.
Seperti yang telah diceritakan sebelumnya, dimana tumenggung Gagak Kukuh
bermalam di kadipaten Jipang, diwaktu bersamaan pasukan induk telah
mendirikan tenda disepanjang tepi bengawan.
Puluhan tenda menghiasi tepian bengawan itu, tak pelak diketahui oleh telik
sandi lawan, dan hal ini memang disengaja oleh pasukan Demak.
"Huh.. hanya itu sajakah pasukan Demak ?" desis seorang lelaki, yang tiada lain
prajurit telik sandi bang wetan, "Cukup dengan mengerahkan pasukan dari ki
tumenggung Plangkrongan, pasukan itu akan tergilas."
"Tapi bila pasukan kita menyeberangi bengawan ini, tentu akan menelan
korban dipihak kita walau kita bisa memukul mundur pasukan itu." timpal
kawannya.
"Kita serahkan semuanya kepada senopati yang berwenang, tugas kita hanya
mengintai dan melapor saja, adi Sembung." ucap prajurit telik sandi pertama.
Setelah dirasa cukup maka kedua prajurit telik sandi dari bang wetan itu
kembali menyeberangi bengawan secara sembunyi - sembunyi dan
melaporkan kepada senopati yang mempunyai wewenang. Kepergian kedua
prajurit sandi itu sebenarnya diketahui oleh seseorang yang memakai pakaian
serba hitam, sehingga tak terlihat oleh orang.
"umpan telah dimakan, semoga rencana dari pangeran Trenggono berhasil
dengan baik." desis orang itu, yaitu ki panji Mahesa Anabrang.
Dirasa keadaan sudah aman, maka ki panji Mahesa Anabrang bergegas
menuju perkemahan dimana sebuah tenda khusus telah didirikan. Masuklah
perwira dari pasukan sandi itu dan melaporkan percakapan dari telik sandi
lawan, kepada panglima dan senopati yang ada di tenda tersebut.
"Bagus, semua sesuai dengan rencana. Bila besok lawan tak menyeberangi
bengawan, aku akan menemui paman Adipati Sepuh di Jipang. Barulah
P a g e | 174
.......
Seekor kuda dilarikan dengan kencangnya oleh seorang penunggang menuju
garis depan, mendahului pasukan Demak yang dipimpin oleh tumenggung
Gagak Kukuh.
"Berhenti...!" teriak seorang prajurit jaga sambil menyilangkan tombak.
Kuda itu meringkik, kaki depan terangkat karena tali kekang ditarik oleh
penunggangnya.
"Buka matamu lebar - lebar !" seru penunggang itu.
"Oh.." kejut prajurit penjaga, "Maafkan hamba, ki rangga."
Penunggang kuda yang disebut rangga itu kembali memacu kudanya menuju
perkemahan pasukan Jipang Panolan yang dipimpin oleh tumenggung
Sardulo. Dengan tangkas penunggang kuda itu turun dari kudanya, dan
menyerahkan tali kekang kepada seorang prajurit. Kemudian bergegas
memasuki tenda dimana ki tumenggung Sardulo berada.
"Ketiwasan ki tumenggung."
P a g e | 177
akhirnya pasukan Wira Radya melewati tanah lapang berdebu dekat gumuk
Watujajar.
"Sendaren !" seru tumenggung Pideksa.
Tak menunggu lama terdengar lengkingan panah sendaren menjulang
keudara, yang disambut oleh munculnya barisan prajurit berkuda dengan
menarik ikatan ranting yang masih berdaun.
Rasa kaget melingkupi hati dan pikiran pasukan bang wetan saat barisan
prajurit berkuda Demak, bergerak melintasi mereka segaris melintang yang
menimbulkan debu membumbung. Tapi pasukan itu tak mampu berhenti,
sehingga memasuki kepulan debu yang pekat dipagi hari itu sampai barisan
ekor pasukan. Tidak hanya itu saja, saat pasukan pimpinan tumenggung
Plangkrongan keluar dari kepulan debu, kembali kejut menggayuti hati mereka.
Di depan nampak lingkaran - lingkaran dengan tombak menjulang mengarah
kedepan dengan sela - sela disekitarnya. Maka dengan terpaksa pasukan itu
memasuki sela - sela sampai barisan terakhir supaya tak terhujam tajamnya
tombak.
Dengan masuknya keseluruh pasukan bang wetan kedalam gelar Cakra Byuha,
sebuah tambur bertalu sebagai isyarat kesatuan menutup setiap lubang yang
dimana mengurung pasukan lawan sampai bagian terpisah - pisah.
Berbarengan munculnya sinar mentari tambur kedua dipukul dari tengah gelar,
sehingga memancing pasukan bang wetan untuk mengarahkan mata kearah
bunyi tambur tersebut.
"Oh..." desuh tumenggung Plangkrongan, saat melihat sebuah panggungan
berdiri dengan empat orang berada diatasnya.
"He... " kejut rangga Gajah Sora, namun dirinya mampu menghindari terjangan
aji Rog Rog Asem.
Pembicaraan yang tak berujung itu telah menarik semua prajurit disekitar
kalangan tersebut, termasuk lurah yang baru saja melawan kekuatan
tumenggunh Plangkrongan. Oleh karena itu, lurah prajurit itu mendekati
Windujaya dan membujuk agar pemuda itu sebaiknya menyingkir dari tempat
itu.
"Anak muda, aku yakin engkau memiliki ilmu kanuragan yang hebat, tapi
sebaiknya engkau menyingkir dari medan tempur ini."
"Mohon maaf, tuan. Ijinkanlah aku menghadapi orang ini, soal bahaya dari
akibatnya akan aku tanggung sendiri." pinta Windujaya.
Lurah itu tampak berpikir dan menimbang sejenak, walau berat akhirnya lurah
prajurit itu meluluskan kemauan dari pemuda yang ia rasa ilmu kanuragan yang
dimiliki pemuda itu berada di atasnya.
"berhati - hatilah, ngger."
Anggukan diunjukan oleh Windujaya yang kemudian menghadap kearah
tumenggung Plangkrongan. Sementara lurah prajurit tadi menerjunkan diri
menghadapi senopati lainnya.
Dari panggungan pangeran Trenggono sempat memperhatikan pemuda yang
dengan ringan meloncat dari tubuh prajurit satu ke lainnya dan menyambar
tumenggung Plangkrongan. Hatinya berkenan dengan kemampuan yang
ditunjukan oleh pemuda yang tak dikenal itu dan ini menguntungkan pihak
Demak, walau tanpa kehadirannya pun pihak Demak mampu menggilas
pasukan bang wetan yang dipimpin oleh tumenggung Plangkrongan.
"Ki tumenggung Suranata, perintahkan prajuritmu untuk mengawasi pemuda
itu."
"Sendiko pangeran."
Kejadian seru terjadi manakala tumenggung Plangkrongan menghadapi lawan
yang hanya seorang pemuda. Ternyata kemampuan dari pemuda yang
menyebut dirinya Windujaya itu, memiliki kemampuan meringankan tubuh luar
biasa. Tubuhnya seakan - akan tak berbobot dan menyatu dengan pergerakan
angin.
"Tenyata kau tak bermulut besar anak muda, kau memiliki modal kanuragan
sehingga berani melawanku !" seru tumenggung Plangkrongan sembari
menghindari tamparan maut.
"Hm, inilah ilmu sesungguhnya dari perguruan Cakra Ningrat, jika kau
menghadapi paman Wirajaya dengan jantan !" balas Windujaya.
"Apa maksudmu ?!"
"Huh.. Dasar manusia setan, dengan liciknya engkau meracuni paman Wirajaya
P a g e | 184
"Cessss !"
Panasnya Bilah keris kyai Samudro Geni pudar terhembus tenaga inti Serat Bayu
dan Bayu Mandala. Tak hanya itu saja, tendangan telak melemparkan tubuh
tumenggung Plangkrongan dengan kerasnya.
Dada terasa sesak, urat bagaikan putus dan melumpuhkan tenaga dari
tumenggung Plangkrongan, yang hanya mendesuh saat memandang
lawannya yang telah memegang keris kyai Samudro Geni. Tubuhnya lemah
lunglai tak berdaya dan menanti lawannya menghujamkan keris yang dahulu
pernah ia gunakan untuk membunuh pemiliknya.
"Apakah ini karma yang pernah aku lakukan ?" batin tumenggung itu.
Penantian itu terasa lama, seakan - akan malaikat maut mempermainkan
dirinya dan bahkan menertawakannya. Bayang - bayang orang yang pernah
ia bunuh muncul satu demi satu, menagih hutang dengan bayaran nyawanya.
Namun sekian lama tiada rasa hujaman maupun tikaman yang mengarah
tubuhnya. Malah sebaliknya pemuda yang berhasil merebut kerisnya hanya
berdiri dan mengambil warangka dari balik pinggangnya.
"Aku tak akan membunuhmu, ki tumenggung. Ilmumu sudah tiada dan aku rasa
itu sebuah hukuman yang harus engkau terima." kata Windujaya.
Tanpa menunggu jawaban pemuda itu lantas bergegas meninggalkan tempat
itu dengan cepat dan mudahnya. Walau seoarang prajurit berusaha
menghentikannya, tapi tak dihiraukan sama sekali hingga pemuda itu berhasil
menjauhi medan tempur dan berhenti dilebatnya pepohonan.
"Kau terlalu lembek Windujaya." tegur seorang kakek yang menyangga
tubuhnya dengan sebatang tongkat dari bambu kuning.
"Ah aku rasa itu sudah cukup untuk menghukum tumenggung itu, guru."
"Huh... sudahlah mari kita pergi dari tempat ini." ucap kakek itu yang kemudian
melangkahkan kakinya ke arah barat.
Dan Windujaya terpaksa mengikuti langkah gurunya itu sambil menyelipkan
keris kyai Samudro Geni diikat pinggangnya.
dengan hasil pertanian yang melimpah setiap tahunnya. Sejak turun temurun
kademangan ini menjadi pemasok pertanian utama bagi kadipaten Tuban.
Kerena itulah Panembahan Bhre Wiraraja setalah menguasai Tuban telah
menempatkan pasukannya lebih besar daripada ditempat lainnya. Disini
seorang panji yang disegani dan merupakan tangan kanan Panembahan Bhre
Wiraraja mendapat tugas sebagai panglima , meskipun oleh Nayaka Praja
yang mempunyai tingkatan lebih tinggi dari sang panji tersebut.
"Kakang panji, pasukan Jipang dibawah pimpinan ki tumenggung Sardulo telah
tiba dan siap bergabung." lapor Rangga Rawes.
"Sambut mereka dengan baik, Rawes. Dan suruh ki tumenggung Sardulo
menghadapku." sahut orang yang disebut kakang panji, dengan suara berat
penuh wibawa.
Lantas rangga Rawes undurkan diri untuk menyambut pasukan Jipang Panolan
yang dipimpin oleh tumenggung Sardulo. Sepeninggal rangga Rawes, seorang
lelaki yang memakai pakaian resi bertanya kepada panji itu.
"Anakmas panji Senggageng, apakah penunjukan tumenggung Plangkrongan
di kademangan Trucuk itu, tidak terlalu gegabah ?" tanya resi itu.
"Maksud paman resi ?" panji Senggageng balik tanya.
"Anakmas, bukankah semuanya mengetahui kalau tumenggung dari Lasem itu
selalu bertindak grusa - grusu." sejenak resi itu menyelidiki kesan diwajah panji
Sengganggeng, lalu lanjutnya, "Ingatkah anakmas saat penyerangan kita ke
Tuban dulu ? Hampir saja pasukan kita hancur gara - gara kecerobohan
tumenggung Plangkrongan."
Wajah panji Sengganggeng menunjukan kerut merut, dan rasa sesal pun
menyelimuti perasaannya.
"Sebenarnya akupun tak menyetujui penunjukan itu, paman resi Padutapa. Tapi
semuanya wewenang dari Panembahan Bhre Wiraraja sendiri, dan tiada yang
berani membantahnya, meskipun ia kakak iparku." ucap panji Sengganggeng.
"Oh... semoga tumenggung dari Lasem itu tak mengulangi kesalahannya."
harap resi Padutapa, lirih.
Bersamaan dengan kata terakhir dari resi Padutapa, lurah prajurit datang
menghadap.
"Ada apa lurah Sempeno ?" ki rangga Tandes, mendahului bertanya.
"Ampun ki rangga, ada warta dari kademangan Trucuk." jawab lurah Sempeno.
"Katakanlah... !"
"Ampun, ki panji. Pasukan tumenggung Plangkrongan berhasil dihancurkan
pasukan Demak."
"Braaak !"
P a g e | 189
"Maksud dari sesepuh ialah tiada lain akan mengumumkan seseorang yang
berhak menjadi penerus dari kakangmas Sultan Pati Unus, demi melanjutkan
roda pemerintahan Demak. Oleh karena itulah para sesepuh mengharapkan
aku kembali." lanjut pangeran Trenggono.
"Ampun pangeran, jikalau hamba boleh tahu, siapakah kira - kira yang akan
dinobatkan menjadi sultan selanjutnya ?" tumenggung Pideksa memberanikan
diri bertanya.
Putra raden Patah itu menggelengkan kepala, "Aku sendiri juga gelap
mengenai hal itu, paman Pideksa."
Ruang pendapa terasa hening beberapa jenak, semua yang hadir tenggelam
dalam ruang pengandaian masing - masing. Tetapi kebanyakan dari senopati
itu mengharapkan pangeran Trenggono lah yang diangkat sebagai raja yang
memangku bumi Demak peninggalan mendiang orang tuanya.
Selanjutnya pangeran Trenggono merencanakan akan berangkat besok pagi
bersama tumenggung Suranata dan seratus pasukannya. Sedangkan tampuk
pimpinan pasukan yang akan menggempur pasukan bang wetan akan
diserahkan kepada tumenggung Pideksa. Dan atas pertimbangan yang baik
sepeninggal pangeran Trenggono, sebaiknya pasukan ini nantinya menyatu
dengan pasukan yang dipimpin oleh tumenggung Gagak Kukuh.
Seperti yang telah direncanakan sebelumnya, maka di pagi harinya seratus
P a g e | 193
Sudah dua hari pengejaran dilakukan oleh pasukan yang dipimpin oleh
tumenggung Harya Kumara, dan jarak dari dua pasukan itu semakin dekat
hanya menyisakan ratusan tombak. Apalagi ketika iringan pangeran Trenggono
beristirahat demi memberi kesempatan kepada kuda yang mereka tunggangi,
maka kesempatan itu dipergunakan dengan baik oleh pasukan tumenggung
Harya Kumara, kuda itu mereka pacu secepat mungkin demi mencapai
sasaran.
Ketika berada disekitar bukit tanah kapur maka semakin jelas dan nampak
terlihat sebuah perkemahan didirikan.
"Bagus, itu mereka sedang bermalam di bawah bukit kapur." seru tumenggung
Harya Kumara.
Lalu tumenggung itu mengatur siasat demi melumpuhkan lawan yang hanya
berjumlah kurang lebih seratus orang. Ki panji Jaran Tangkis dengan dibantu
oleh ki Rambatan, memutar jalan turun menyusuri anak sungai kering demi
melakukan hadangan di esok hari.
"Bilamana kalian sudah berada dikelokan jalan melingkar bukit kapur, segeralah
lepaskan isyarat." kata tumenggung Harya Kumara memberi perintah.
Anggukan kepala mengiringi penyahutan dari ki panji Jaran Tangkis, "Baik ki
tumenggung."
Maka seratus pasukan mengikuti ki panji Jaran Tangkis menyusuri anak sungai
yang mengering di gelapnya malam. Meskipun hari semakin gelap, hal itu tak
menyurutkan langkah kuda mereka. Perlahan namun pasti iringan yang
bertujuan mencegat iringan pangeran Trenggono, semakin dekat dengan
tempat yang telah disepakati, yang kemudian menanti hingga datangnya
mentarai pagi.
Dalam keadaan gawat menghantui perjalanan dari pangeran Trenggono,
sejumlah kecil prajurit Demak dari arah barat juga mendekati jalan dikelokan
dimana ki panji Jaran Tangkis dan pasukannya bermalam.
"Berhenti... " seru seorang prajurit muda yang memimpin sejumlah prajurit,
seraya meloncat turun dari kudanya.
Perilaku prajurit muda itu membuat sepuluh prajurit yang mengikutinya, menarik
tali kekang kuda mereka dan mengelus bagian leher kuda agar tenang.
"Ada apa ki lurah ?" tanya seorang prajurit.
"Cepat sembunyikan kuda kalian, sepertinya ada sesuatu yang menarik di
depan jalan itu." kata prajurit yang dipanggil lurah seraya memberi perintah.
Usai menyembunyikan kuda mereka, maka lurah prajurit diiringgi dua prajurit
lainnya, berjalan mengendap mendekati arah yang ditunjuk oleh lurah
P a g e | 195
tersebut. Dari balik gerumbul, ketiga prajurit itu mengerutkan dahi mereka
manakala memandang ke jalan di depan. Sebuah pasukan pangatus
menyebar memenuhi jalan itu.
"Siapa mereka ki lurah ?" desis salah satu dari prajurit yang menyertai lurah
muda, "Sepertinya mereka bukan iringan prajurit Demak."
"Aku akan mencoba lebih dekat, siapa tahu salah satu dari mereka berbincang
dengan kawannya dan tanpa sengaja menunjukan siapa mereka sebenarnya."
sahut lurah prajurit itu, "Tunggulah di sini."
Tanpa menunggu jawaban dari kawannya, lurah prajurit itu menggeser
langkahnya mendekati sekumpulan prajurit yang sedang berkasak kusuk di
antara mereka.
"Kenapa kau memandangi terus pedangmu, Simo ?" tanya seorang prajurit.
Orang yang dipanggil Simo itu memandang ke arah kawannya sambil terus
mengelus pedang yang ia pegang.
"Wiru, tahukah kau sudah berapa lama pedang ini menyertaiku di medan
peperangan ?" Simo balik bertanya.
"Mana aku tahu, itu pedangmu bukan milikku."
"Huh, kau... ketahuilah pedang ini peninggalan kakekku dan sudah menyertaiku
puluhan kali di medan tempur menghadapi begal ataupun perampok. Namun
besok merupakan pengalaman pertama pedang ini mengayun dan
menggores tubuh prajurit Demak."
Kata terakhir dari orang yang bernama Simo itu, membuat kejut menyelinap
dihati lurah prajurit yang sedang mengintai.
"Benarkah apa yang aku dengar tadi, mereka akan menghadapi prajurit
Demak ? Siapa yang mereka maksud itu ? Apakah prajurit yang aku pimpin
yang hanya berjumlah sepuluh orang ?" batin lurah prajurit itu.
Di depan dua prajurit itu masih meneruskan percakapan mereka.
"Hahaha yang kita hadapi ini bukan prajurit biasa Simo, melainkan sepasukan
khusus yang mengawal seorang pangeran, bila kau tak berhati - hati bukan
pedangmu yang menggores di tubuh lawan, tapi kau lah yang terluka arang
kranjang."
"Huh gayamu seperti ilmumu sundul langit, sehingga mengguruiku, Wiru. Aku
Simo murid seorang ajar memiliki segudang ilmu kanuragan." seru orang itu
sambil membusungkan dada.
Sudah cukup bagi lurah itu untuk menarik sebuah kesimpulan mengenai
pasukan dihadapannya yang mempunyai tujuan melakukan penghadangan
terhadap iringan pangeran Trenggono. Maka dari itu ia kembali kepada kedua
kawannya dan mengajak keduanya kembali ketempat dimana kawan -
P a g e | 196
kawannya berada.
"Lalu bagaimana menurut pendapat, ki lurah ?" tanya seorang prajurit, setelah
selesai mendapat penuturan lurah muda mengenai pasukan yang berada di
depan mereka.
"Malam semakin mendekati tengah malam, sebaiknya hal ini diberitahukan
kepada iringan pangeran Trenggono yang saat ini berada di depan pasukan
musuh. Tapi kita harus melewati pasukan itu." kata lurah itu.
"Adi Arya Dipa." seorang prajurit mendekatinya, "Aku tadi tanpa sengaja
menemukan anak sungai yang mengering, dan aku rasa sungai itu bila kita
menyusuri ke hilir kemungkinan mendekati tempat disekitar bukit kapur. Apakah
sebaiknya kita mencoba melewati anak sungai itu ?"
Wajah lurah yang ternyata ki lurah Arya Dipa, berubah cerah.
"Oh.. dimana jalur sungai itu, kakang ?"
"Mari aku tunjukkan." prajurit itu kemudian menunjukan dimana dirinya tanpa
sengaja menemukan jalur sungai yang mengering kepada lurah Arya Dipa.
Keduanya kemudian menuju sungai itu setelah sebelumnya memberi pesan
kepada kawan - kawannya, untuk menunggu di tempat itu. Setelah ditelusuri
memang sungai itu mendekati tempat dimana pangeran Trenggono dan
kawannya bermalam, dan jika terus dilanjutkan tentu sampai juga di tempat ki
tumenggung Harya Kumara berada.
Lurah Arya Dipa dan kawannya dengan hati - hati mendekati perkemahan
tanpa mengejutkan penghuninya. Tapi tetap saja hal itu membuat prajurit yang
sedang berjaga menghardiknya.
"Siapa kau !?!" seru prajurit itu.
"Aku prajurit Demak, ki prajurit. Ingin menghadap kanjeng Pangeran." jawab
lurah Arya Dipa.
Prajurit yang mendapat tugas berjaga itu mempertajam penglihatannya dan
memerhatikan dengan teliti pakaian dua orang dihadapannya.
"Oh... " desuhnya saat mengetahui pakaian yang dikenakan oleh salah satu
orang itu, bercirikan lurah prajurit Tamtama.
"Oh.. Mari ki lurah, maaf telah mencurigai ki lurah."
"Tak mengapa ki prajurit, itu memang tugas yang engkau emban." lurah Arya
Dipa, memaklumi dengan apa yang dilakukan prajurit itu terhadapnya.
oleh : Marzuki
.
..
Debur kejut mengombak dihati pangeran Trenggono manakala dua pemuda
telah dihadapkan kepadanya di malam menjelang puncaknya. Apalagi salah
satunya, pemuda itu tiada lain seorang lurah prajurit yang selama ini ditugaskan
untuk mengawal putranya.
"Kau lurah Arya Dipa."
"Hamba, kanjeng Pangeran." sahut lurah Arya Dipa, seraya merapatkan kedua
telapak tangan menempel di hidung.
"Adakah sesuatu yang menyangkut putraku, si Bagus Mukmin ?"
Sejenak lurah Arya Dipa mengemasi letak duduknya dan kemudian dengan
perlahan memyampaikan maksud kedatangannya.
"Ampunkan hamba, kanjeng pangeran. Bilamana kedatangan hamba di
tengah malam ini telah mengganggu istirahat kanjeng pangeran." lurah Arya
Dipa mulai berkata, lalu lanjutnya, "Kedatangan hamba sebenarnya tak
menyangkut perihal diri raden Bagus Mukmin, melainkan perihal yang lain."
"Oh... " kelegaan hati terasa manakala pangeran Trenggono mendengarkan
tiada sesuatu yang menyangkut dengan putranya, "lalu gerangan apakah itu
?"
"Kanjeng pangeran, sebenarnya hamba saat ini mendapat tugas dari kesatuan
hamba untuk berkunjung ke tanah perdikan Sembojan. Namun dalam
perjalanan, hamba menjumpai sesuatu yang aneh." sejenak pemuda itu
berhenti demi mengatur napas, lalu lanjutnya, "Setelah hamba dan kawan
hamba selidiki, ternyata di kelokan jalan seberang bukit kapur ini terdapat
pasukan pangatus."
Tawa renyah mengiringi bibir pangeran Trenggono.
"Maksudmu pasukan itu ialah pasukan yang mengiringiku ini ?" sangka
pangeran itu.
"Oh bukan, kanjeng pangeran." jawab ringkas lurah Arya Dipa.
"Hah... jadi ?" kejut pangeran Trenggono dengan menampakan kerut dalam di
keningnya.
Lurah muda itu menggeser letak duduknya supaya lebih nyaman.
"Ampun, kanjeng pangeran. Pasukan itu berada di barat yang mana di sana
juga terdapat kelokan. Dan disanalah pasukan pangatus yang hamba ketahui
dari kadipaten Jipang Panolan yang bertujuan menunggu pasukan yang
mengiringi kanjeng pangeran ini."
P a g e | 198
Memang apa yang dikatakan oleh pangeran Trenggono menjadi sesuatu yang
patut mendapat perhatian lebih, karena akan menyangkut keutuhan kerajaan
Demak nantinya. Apalagi di bang wetan keadaan masih panas dan
menguatirkan.
"Mohon beribu ampun, kanjeng pangeran." suara lurah Arya Dipa telah
P a g e | 199
waktu supaya pasukan ini semakin dekat dengan kotaraja dan pasukan
mereka akan mengurungkan niat mereka." kembali pemuda itu terdiam untuk
mengatur napas sekaligus mencari kesan disetiap mereka yang hadir.
"Dan hamba dan kawan - kawan dalam melakukan pengacaun, tentunya tak
mengunjukan ciri dari keprajuritan kami."
Akhirnya pangeran Trenggono memahami dan mengerti maksud dari lurah
Arya Dipa, "Lalu bagaimana caranya pasukan ini bisa melanjutkan jalan tanpa
diketahui oleh mereka ?"
"Kanjeng pangeran, saat kami kemari, kami melintasi sebuah anak sungai yang
mengering. Dimana hilir dari jalur itu berada di seberang bukit kapur di depan
pasukan Jipang. Dan itulah jalan terbaik untuk penghindaran."
Setelah disepakati maka dimalam itu juga, pasukan yang mengiringi pangeran
Trenggono, bergerak menyingkir demi menghindari pertumpahan darah melalui
jalur anak sungai yang mengering. Sehingga pasukan itu lepas dari pantauan
pihak tumenggung Harya Kumara dan ki panji Jaran Tangkis.
muda serta kawan - kawannya yang hanya berjumlah sepuluh, tapi demi
menjaga hubungan dengan kanjeng Adipati Sepuh tetap utuh dan supaya
cepat sampai di kotaraja, maka pangeran Trenggono telah mengambil
keputusan melecut kudanya mengarah ke Demak. Tindakan itu ditirukan oleh
para senopati serta prajurit pengawal lainnya.
Sepeninggal iringan pangeran Trenggono, ki lurah Arya Dipa mengajak prajurit
Wasis untuk kembali ke tempat dimana kawan - kawannya berkumpul.
Sesampai dihadapan kawan - kawan yang tiada lain bawahannya, lurah Arya
Dipa menerangkan perihal pertemuannya dengan pangeran Trenggono. Tak
lupa juga membeberkan rencana yang ia susun dalam menindak lanjuti
pasukan dari Jipang, guna melakukan pengacauan demi menahan jarak
pasukan musuh dan mengakibatkan pasukan itu gagal dalam penyerangan
terhadap pangeran Trenggono.
"Ganti pakaian kalian dengan pakaian biasa." lurah Arya Dipa memberi
perintah.
Segera kesepuluh prajurit itu bergegas menanggalkan pakaian keprajuritan
untuk berganti dengan pakaian pada umumnya, begitu juga dengan lurah
Arya Dipa. Setelah itu prajurit kesatuan dari Wira Tamtama mendapati kuda
mereka dan membawa ke bekas perkemahan pasukan Demak sebelumnya. Di
sana mereka menyelidiki tempat itu serta membaca tata letak dan keadaan
alam dari bukit kapur itu, untuk merancang siasat lebih lanjut.
"Sebelum aku memberikan beberapa tindakan, kita akan memutuskan tempat
pertemuan setelah memberikan kejutan kepada pasukan yang berada di
barat kelokan." kata lurah Arya Dipa.
"Di mana itu, adi lurah ?" tanya prajurit Wasis, putra ki panji Reksotani.
"Usahakan kalian menyeberangi sungai yang kering itu, dan lanjutkan langkah
kalian hingga dua ratus tombak ke selatan."
Kesepakatan itu ditanggapi dengan anggukan yang mengartikan kesemuanya
setuju.
"Kakang Wasis bawalah dua kawan ke jalan arah barat, berikanlah tanda saat
kokok ayam pertama berkokok dan segera berlindung ke semak - semak.
Bilamana pasukan itu sampai disini dan Sambi Wulung mulai menggelindingkan
batu, cepatlah serang mereka dengan panah berapi." kata lurah Arya Dipa,
mulai menjalankan siasatnya.
"Baik, adi." sahut prajurit Wasis, kemudian melanjutkan katanya, "Sakri dan Kerta,
akan aku bawa."
Usai mengangguk menyetujui permintaan prajurit Wasis, lurah Arya Dipa
P a g e | 202
"Uh... Licin benar pangeran itu." gerutu tumenggung Harya Kumara, "Dan kita
tak dapat mengejar mereka, hal ini banyak memakan waktu."
Kepala ki panji Jaran Tangkis menunduk menatap bumi, tapi hatinya bersyukur
manakala dirinya tahu bahwa pasukannya tiada yang tewas dan hanya
terluka saja.
"Aneh, mereka hanya membuat kami terluka saja. Padahal mereka berpeluang
melakukan pembunuhan." batin panji Jaran Tangkis.
Sementara itu di sisi selatan aliran sungai yang berjarak ratusan tombak, lurah
Arya Dipa bersama prajuritnya duduk di atas punggung kuda.
"Kita tunggu Sambi Wulung dan yang lainnya." kata ki lurah Arya Dipa.
"Jangan - jangan mereka tertangkap ?" cemas prajurit Wasis.
"Semoga tidak kakang, karena jalan melingkarlah yang mengakibatkan mereka
terlambat." sahut lurah Arya Dipa.
Benar apa yang diperkirakan oleh lurah Arya Dipa. Memang keadaan alam
yang dilewati oleh prajurit Sambi Wulung dan lainnya, mengakibatkan langkah
mereka agak memutar menempuh sisi timur dan kemudian baru menyeberangi
aliran sungai kering. Setelah menemukan kuda mereka, barulah ke empat
prajurit itu memacu kuda mereka ke tempat yang telah ditetapkan.
"Maaf kami terlambat." ucap prajurit Sambi Wulung.
"Tak mengapa, alam yang kau lalu memang berat." lurah Arya Dipa
memaklumi, "Dan mungkin kalian mendapat perlawanan dari mereka juga ?"
"Benar, pasukan yang baru tiba kemudian itu juga menyerang kami dengan
panah. Untunglah kami masih mendapat perlindungan dari Sang Pencipta,
sehingga kami sampai disini tanpa luka." jawab prajurit Sambi Wulung.
Dirasa telah cukup, prajurit Demak yang dipimpin oleh ki lurah Arya Dipa
P a g e | 206
"Huh, kau ini Pahang. Bukan aku saja yang mendapat gelar itu, kau ingat
dengan ki lurah Wiratsemi dari kesatuan Wira Radya ?"
"Oh, iya aku baru ingat. Tapi dia bukan macan melainkan gajah, sehingga
wajar jika ia lapar terus karena tubuhnya yang tinggi besar, berbeda dengan
dirimu yang tam...."
"Tampan maksudmu, kakang Pahang ?" cepat - cepat ki lurah Arya Dipa
menukas.
Namun wajah prajurit Wasis nampak memerah dan mata melotot memandang
prajurit Pahang.
"Maaf Wasis, aku hanya bercanda." ucap prajurit Pahang, saat menyadari
kalau prajurit Wasis tak berkenan.
Tapi semuanya salah dengan apa yang terlihat dari wajah prajurit Wasis. Putra
ki panji Reksotani itu ternyata malah tertawa terpingkal - pingkal, layaknya
orang kerasukan.
"Sialan... " gerutu semuanya.
"Ayo lekas ke padukuhan induk, dan segera melapor ki gede Sembojan." kata ki
lurah Arya Dipa sembari mencongklang kudanya.
Kuda putih yang dinamai Bayu Seta itupun melaju pesat meninggalkan kuda
lain yang ditunggangi oleh prajurit ki lurah Arya Dipa.
"Tunggu ki lurah... " seru prajurit Pahang lantas mengejarnya.
Begitu juga dengan prajurit lainnya yang kemudian memacu kuda mereka
mengejar pemimpin sebagian kesatuan Wira Tamtama Demak. Debu
mengepul lah yang kini tersisa di jalan ujung padukuhan tertinggal bersama
semilir angin dan kemudian larut kembali menghujam tanah.
Sejenak kemudian rombongan kecil prajurit Demak itu sampai di padukuhan
induk. Sebuah bangunan yang agak besar dari yang lainnya dan di depannya
terdapat gardu parondan, menghentikan langkah kesebelas prajurit Demak.
Seorang pemuda keluar dari gardu ronda demi menyambut kedatangan tamu
berkuda tersebut.
"Selamat siang, tuan prajurit." sapa pemuda yang merupakan pengawal tanah
perdikan.
"Selamat siang, kisanak." balas ki lurah Arya Dipa, setelah turun dari kudanya,
juga dengan prajurit lainnya. Kemudian, "Perkenalkan kami kisanak, kami dari
Demak ingin menghadap ki gede Sembojan. Adakah beliau dirumah ?"
"Oh... Mari tuan prajurit, kebetulan ki gede baru tiba dari kunjungannya di
padukuhan selatan." pengawal prajurit itu mempersilahkan dan mengantar ke
pendopo.
P a g e | 208
Ki lurah Arya Dipa dan yang lainnya mengikuti langkah pengawal perdikan
Sembojon, setelah sebelumnya menyerahkan kuda mereka kepada para
pengawal yang bertugas ronda walau disiang hari. Kesebelas prajurit itu duduk
di pendopo untuk menunggu ki Gede Sembojan yang masih berada di ruang
dalam.
"Baiklah, ki Gede. Kalau begitu kapankah aku boleh menilik secara langsung
dari pemuda - pemuda perdikan ini ?"
Ki Gede menoleh kepada seorang lelaki yang berada di sisi kanannya.
"Adi Jagabaya, apakah pemuda - pemuda itu telah siap ?" tanya ki Gede.
"Kapanpun bila dibutuhkan mereka siap, kakang Gede." jawab ki Jagabaya,
"Biarlah nanti anakmas Damarjaya yang merupakan pemimpin pengawal
perdikan Sembojan memanggil mereka."
Ki Gede menggangguk perlahan, semuanya dirasa berjalan sesuai apa yang
diinginkan.
"Kalau begitu biarlah nanti malam mereka dikumpulkan di halaman depan
saja." kata ki Gede, lalu katanya kepada seorang pemuda di sebelahnya,
"Damarjaya, beritahukan secara beranting kepada pengawal dan pemuda
perdikan Sembojan, jika nanti malam mereka diharap berkumpul di sini."
"Baik paman, kalau sekarang aku akan menyampaikannya." setelah itu
pemuda yang bernama Damarjaya lantas beranjak meninggalkan pendopo.
Siang itu udara terasa sejuk dengan angin semilir membuai rasa nyaman di
tubuh. Di ranting ranting pohon, burung - burung berkicau berdendang dengan
riuhnya tak menyadari di sekitar mereka akan diadakan pembajaan diri para
pengawal dan pemuda perdikan yang akan ikut menyongsong musuh di
Segaten, timur laut kadipaten Ponorogo.
Di pendopo ki Gede dan ki Jagabaya masih berbincang dengan ki lurah Arya
Dipa dan prajuritnya, yang mana pembicaraan bergeser ke arah tahta
kesultanan.
"Ki lurah, lalu apakah sesepuh kesultanan sudah menetapkan siapa yang
pantas menduduki tahta ?" tanya ki Gede, yang penasaran siapa penerus dari
sultan Demak selanjutnya.
"Mungkin beberapa hari kedepan akan tersiar wartanya, ki Gede. Dan
kemungkinan yang terpilih ialah pangeran Trenggono." jawab ki lurah Arya
Dipa.
P a g e | 210
.
..
Rembang mulai mewarnai langit tanah perdikan Sembojan, penerangan
berupa dian dan oncor mulai dinyalakan untuk membuat suasana yang
remang - remang semakin hidup. Lorong - lorong jalan pun mulai mendapat
penerangan dari dian yang berada di kediaman atau rumah penghuni
padukuhan induk.
Kedamaian terasa melingkupi telatah perdikan Sembojan, kehidupan para
penghuninya terjalin erat satu dengan yang lainnya. Bila ada selisih paham itu
terjadi dikala pembagian pengairan di sawah ataupun ladang saja, dan
secepat mungkin para bebahu dapat menyelesaikan selisih paham itu untuk
kembali menyatukan rasa persatuan para rakyatnya.
Seperti yang telah diberitahukan secara beranting oleh Damarjaya kepada
para pengawal dan pemuda untuk berkumpul di halaman bangunan rumah ki
Gede Sembojan, secara beruntun satu dua pengawal itu mulai terlihat
berkumpul di depan halaman rumah ki Gede Sembojan. Kebanyakan dari
mereka ialah pemuda yang memperlihatkan tenaga yang cukup dari
kewadaghannya.
Sampai menjelang wayah sepi wong telah berkumpul sebanyak seratus
pemuda. Mereka terdiri dari pemuda - pemuda beberapa padukuhan dalam
telatah perdikan Sembojan.
Damarjaya sebegai kepala pengawal tanah perdikan telah mengatur mereka
dengan berbaris rapi sehingga membuat para bebahu yang hadir, berbangga
hati melihat putra - putra bumi pertiwi. Begitu pun yang dirasa oleh ki Gede
Sembojan, dalam hatinya tersirat rasa bangga atas kemauan mereka dengan
sukarela untuk ikut mengawal kesatuan Demak. Walau pun mereka tahu jika
menuju medan perang, nyawalah sebagai taruhannya. Karena di palagan
pedang, tombak, panah, keris dan sebagainya tak pilih kasih dalam menggores
kulit seseorang.
Para anak muda dan pengawal segera menatap dimana ki lurah Arya Dipa
berdiri menganggukan kepala seraya mengembangkan senyum. Berbagai
tanggapan muncul di benak setiap orang, manakala mengetahui jikalau orang
yang disebut lurah prajurit itu masih muda sebaya sebagaian dari mereka.
"Oleh karena itulah, aku harap kalian selalu meresapi ilmu yang akan diberikan
oleh ki lurah beserta tuan prajurit lainnya." lanjut Ki Gede.
Kemudian ki Gede Sembojan memberikan waktu selanjutnya kepada ki lurah
Arya Dipa. Kesempatan itu dimanfaatkan dengan segera, yang mana ia
memperkenalkan diri pribadi serta para prajuritnya. Tak lupa dengan rendah
hati lurah muda itu mengharapkan kerjasamanya antara prajurit Demak
dengan para pengawal tanah perdikan, sehingga akan menumbuhkan
kesatuan yang erat dalam penjajagan dan gladi keprajuritan nantinya.
"Tanpa mengurangi rasa hormat, mohon kiranya para kisanak semuanya untuk
mengunjukan kemampuan dasar dari olah kanuragan perseorangan maupun
secara berkelompok." kata ki lurah Arya Dipa meminta para pengawal itu
mengunjukan kemampuannya.
Nyala terangnya obor di halaman menjadi saksi atas pengunjukan kemampuan
dari para pengawal perdikan Sembojan. Berawal kerjasama kelompok yang
mana memperlihatkan tata gerak yang apik saling mengisi satu dengan
lainnya, dimana pergerakan mereka bagai perputaran cakra yang bergerigi
tajam mengancam lawan. Saat yang lain kelompok itu dengan tiba - tiba
memencar bersilang dengan pedang teracu mendebarkan.
Ki lurah Arya Dipa menganggukan kepalanya dan merasa senang atas apa
yang dilihatnya, walau sebenarnya masih terdapat celah dari kelemahan tata
gerak berkelompok itu, sehingga bagi lawan yang mempunyai mata tajam dan
kemampuan tinggi, akan dengan mudah memporak - porandakan kerjasama
kelompok itu.
membanggakan." kata ki lurah Arya Dipa, "Tapi dalam kerja kelompok, maaf
aku harus berkata yang sebenarnya. Bahwasannya pergerakan yang
menyerupai perputaran cakra itu tadi masih terdapat celah kelemahannya."
Sekalian para pengawal terkejut dengan apa yang diucapkan oleh lurah muda
itu. Apakah itu kesalahan penilaian lurah muda itu saja dalam memberi
penilaian ? Karena kerjasama kelompok itu sudah pernah dibuktikan dengan
penerapan nyata saat menghadapi gerombolan perampok waktu yang lalu,
dan terbukti gerombolan itu porak - poranda.
Kesan di wajah para pengawal itu terbaca oleh mata ki lurah Arya Dipa, dan
hal itu dapat ia maklumi. Oleh karenanya ia beralih pandang kepada ki Gede
Sembojan.
"Ki Gede, sebelumnya aku ingin meminta ijin kepada ki Gede." pinta ki lurah
Arya Dipa.
"Dalam hal apa itu, ki lurah ?"
"Bila diijinkan, kami akan menunjukan kelemahan dari tata gerak kelompok
yang baru saja di tampilkan. Maaf bukannya kami menyombongkan diri,
melainkan itu semua demi sempurnanya tata gerak kelompok tadi."
"Oh.. bila itu menguntungkan demi kebaikan tata gerak kelompok Cakra
murda, silahkan ki lurah. Malah kamilah yang berterima kasih." ki Gede
Sembojan berkenan.
"Terima kasih, ki Gede." ucap ki lurah Arya Dipa, yang kemudian mengarah
kepada prajurit Wasis, "Kakang Wasis, ajaklah kakang Jaka Ungaran, Sambi
Wulung, Kerta dan Pahang untuk memberikan kerjasama kalian dalam
menghadapi putaran Cakra Murda."
"Baik, ki lurah." sahut prajurit Wasis, yang kemudian mengajak prajurit yang telah
disebut untuk turun ke halaman.
"Huh mereka memalukan saja." desis pemuda itu, yang tak lain Damarjaya
kepala pengawal sekaligus kemenakan dari ki Gede Sembojan.
Sedangkan bagi Ki Gede Sembojan, kekalahan dari para pengawalnya sangat
ia maklumi. Memang kemampuan dari kelima prajurit Wira Tamtama sangat
hebat, dan ki Gede Sembojan memahami kalau di Demak kesatuan Wira
Tamtama merupaka kesatuan yang paling menonjol daripada kesatuan
lainnya.
Kembali di penjajagan keadaan semakin mendekati akhir. Walau semangat
para pengawal besar, tapi kenyataannya tata gerak kelompok Cakra Murda
sudah rapuh, oleh karenanya tak sampai sepenginang mereka pun tumbang
dengan akibat terpapasnya tombak - tombak mereka.
"Cukup !" seru ki lurah Arya Dipa, saat melihat tiga orang pengawal akan maju.
"Aku rasa sebaiknya sampai disini, bila dilanjutkan tak akan elok dilihat. Maaf
bukannya kami menyombongkan diri, tapi itu karena adanya lubang - lubang
kecil dari Cakra Murda." lanjut ki lurah Arya Dipa.
P a g e | 216
"Terima kasih, ki lurah. Tuan telah membuka mata kami, pengawal tanah
perdikan. Bila tuan tak keberatan, sudi kiranya untuk membagi ilmu
perorangan."
Suara itu membuat ki lurah Arya Dipa menoleh kepada sumber suara, di mana
berasal dari kepala pengawal perdikan, Damarjaya.
"Apa maksudmu, Damarjaya ?" tanya ki Gede Sembojan, agak mengkal.
"Tak mengapa, paman Gede. Aku ingin mendapat ilmu barang secuil dari ki
lurah." kata Damarjaya.
"Ah... Hari sudah malam, hendaknya kau tak begitu." ki Gede masih berusaha
membujuk kemenakannya itu.
"Baiklah jika ki lurah sudah letih aku tak akan memaksa." kata pemuda itu
seraya mengembangkan senyum sejuta arti, "Silahkan ki lurah, mungkin hari
kedepan masih ada waktu."
Kata - kata dari Damarjaya membuat telinga para prajurit terasa panas
menyengat, oleh karenanya prajurit Sambi Wulung akan bergerak jikalau tak
segera digamit oleh ki lurah Arya Dipa.
"Ki Gede Sembojan, tak mengapalah jika malam ini aku ingin bermain - main
sebentar dengan adi Damarjaya." akhirnya ki lurah Arya Dipa angkat bicara,
"Mohon diijinkan."
Kepala tanah perdikan itu sangat menyayangkan sikap kemenakannya, tapi
itulah yang terjadi di malam pertama bagi utusan Demak sebagai prajurit yang
akan melatih dan membina kekuatan dan kemampuan para pengawal tanah
perdikan Sembojan. Hanya desuhan napaslah yang ia tampakan sembari
berkata, "Baiklah ki lurah, mohon tuntunlah kemenakanku ini."
Anggukan rasa hormat ki lurah Arya Dipa kepada ki Gede Sembojan telah
ditunjukan dengan sepenuh hati. Lalu lurah muda itu turun dari tlundak menuju
ke tengah halaman, begitu juga dengan Damarjaya.
"Walau ia seorang lurah dan masih terbilang muda, tapi jiwaninya ikut
berkembang seperti tumbuhnya padi. Betapa bahagianya orang tua atau
gurunya." batin ki Gede, memuji perilaku ki lurah Arya Dipa.
P a g e | 218
"Jika anakku masih hidup, mungkin sekerang sebesar ki lurah Arya Dipa." lanjut ki
Gede Sembojan, menunjukan rona sedih, "Tapi kini yang aku harapkan ialah
putra adikku itu. Walau kadangkala sifatnya masih selalu membara."
Kehidupan ki Gede Sembojan memang tak beruntung. Lima belas tahun yang
lalu tatkala istrinya melahirkan, sebuah malapetaka menimpanya, putranya
terlahir tak normal dan hanya melihat indahnya dunia hanya satu bulan saja.
Kematian putranya itu ternyata membuat nyi Gede Sembojan sedih hingga ia
sakit - sakitan, sudah banyak dukun didatangkan untuk mengobatinya, entah
itu dari tanah perdikan sendiri bahkan dari luar tanah perdikan. Namun semua
sudah kehendak Sang Pencipta, istri yang ia sayangi telah menghadap Sang
Maha Agung mendahuluinya. Untung tak dapat diraih, rugi siapa menduga ?
Semua sudah tergaris di telapak tangan, manusia hanya berusaha, berdoa
semata, tapi Gusti Agunglah yang berwenang.
"Oh.. Duh Gusti Allah, tabahkan hati hambamu ini. Semoga engkau memilihkan
penerus dari pemangku tanah perdikan ini yang baik dan mengayomi
penghuni tanah perdikan Sembojan." doa ki Gede dalam hati, saat sadar kini ia
berdiri di tlundak menyaksikan perkelahian kemenakannya dengan lurah
prajurit Demak.
Penjajagan kini berubah semakin meningkat seiring gemelincirnya bintang di
langit. Tandang dari Damarjaya semakin mantap dan cepat. Serangannya
mulai meningkat lebih tajam dan terarah kemana lawan bergerak. Tataran
demi tataran perguruan Surya Kencana menggeliat mencari mangsa tatkala
diterapkan oleh pemuda itu.
Namun kepala pengawal itu tak menyangka jikalau yang dihadapinya bukan
saja seorang lurah muda, melainkan pemuda dari kesatuan Wira Tamtama itu
seorang pemuda pilih tanding. Berbagai laku mesu diri dilakukan saat masih di
gunung Penanggungan. Bahkan nyawa pemuda itu pernah dipertaruhkan
tatkala menghadapi ganasnya sang ular naga Anta Denta, seekoar ular
penghuni gua lereng Penanggungan. Karenanya ki lurah Arya Dipa nampak
selalu dapat melayani apa yang dilakukan Damarjaya.
Di kala Damarjaya meningkatkan tenaganya selapis, hal itu juga dapat disusul
ki lurah Arya Dipa tanpa kesulitan sedikit pun. Saat kecepatan Damarjaya
laksana Harimau menerkam lawan, rasa kejut malah ia rasakan ketika
lawannya mampu menggerakkan kakinya layaknay kaki yang berpegas.
JILID 5 BAG 21
OLEH : MARZUKI
.
..
"Setan alas, orang ini masih mampu mengimbangiku !" geram Damarjaya
dalam hati seraya mengembangkan tangan mengarah muka lawan.
Tamparan dari jari - jari terbuka itu begitu cepat dan sudah dekat dengan
sasaran hanya sejarak satu ruas jari saja, dan dipastikan akan mengenai
sasaran.
"Oh... " kejut Damarjaya.
Tak tahunya tamparan yang keras itu hanya mengenai tempat kosong karena
lawan tahu - tahu sudah dibelakangnya seraya menempelkan telapak tangan
sesaat dan bergerak menjaga jarak. Sentuhan yang seharusnya merupakan
serangan mematikan dari ki lurah Arya Dipa merupakan peringatan semata
kalau sebenarnya lurah muda itu telah dapat dengan mudah melukainya bila
lurah prajurit itu, berkenan. Tapi pemikiran kepala pengawal tanah perdikan
berbeda, sentuhan kecil itu ia anggap angin berlalu saja, sehingga Damarjaya
masih melanjutkan serangannya kembali.
Dan sentuhan - sentuhan seperti tadi terulang beberapa kali menimpa
kemenakan dari ki Gede Sembojan. Akhirnya kemenakan ki Gede itu sadar
kalau lawan memang menghendaki seperti itu, tapi hal itu membuat
tanggapan lain yang mana sentuhan itu merupakan tindakan meremehkan
dirinya.
Demi untuk membalas ulah dari ki lurah Arya Dipa yang berbuat tak
mengenakan itu, maka Damarjaya mulai merambah ilmunya. Sebuah ilmu tata
gerak menyilangkan tangan membentuk layaknya sebuah gunting yang
menyongsong tubuh lawan.
"Oh... Esmu Gunting." seru ki lurah Arya Dipa sembari melambari tangannya
dengan aji Niscala Praba, demi menghindari remuknya tulang tangan.
"Krataaak.... Wussss.. !"
Bunyi benturan tulang tangan terdengar keras manakala pertemuan dari dua
tenaga bersinggungan tak terelakan. Bahkan tenaga itu telah menyibakan
angin disekitar keduanya. Sedangkan dari keduanya mengakibatkan tubuh
keduanya bergeser saling menyurut beberapa tindak kebelakang.
"Imbang... " desis salah seorang pengawal.
"Uh.. Anakmas Damarjaya mampu mengimbangi ki lurah Arya Dipa." kata
seorang bebahu dengan pelan.
Tapi ki Gede Sembojan malah menggelengkan kepala demi mendengar
P a g e | 220
tanggapan dari bebahu yang berada di belakangnya. Mata orang tua itu
sangat tajam saat memperhatikan apa yang telah terjadi di depannya.
Sebenarnya ki lurah Arya Dipa mampu memunahkan tenaga dari Esmu Gunting
jika aji Niscala Praba yang digunakan setengahnya, tapi putra angkat dari ki
panji Mahesa Anabrang itu hanya menggunakan seperempat tenaganya saja,
supaya lawan tak mengalami cedera parah sehingga akan mempengaruhi
hubungan Demak dengan para penghuni perdikan Sembojan.
Di belakang tubuh Damarjaya, ki lurah Arya Dipa berkata pelan kepada kepala
pengawal sekaligus kemenakan ki Gede Sembojan.
"Adi, ilmu adi sungguh mendebarkan jika mengenai seseorang. Bisa
dibayangkan akibat yang ditimbulkan akan mengerikan terhadap orang yang
dikenainya. Aku mohon kepadamu, adi, untuk menggunakan aji itu dalam
keadaan tertentu dan mendesak, demi menghindari korban yang sia - sia."
Demi mendengar suara yang tak ia sangka dibelakangnya, niat hati
Damarjaya akan memutar balik seraya melayangkan serangan, tapi batapa
terkejutnya manakala tubuhnya tak dapat bergerak sedikitpu .
"Jangan bergerak adi dan lihatlah di depan kakimu." kata ki lurah Arya Dipa.
Suara itu tanpa sadar membimbing mata Damarjaya untuk memerhatikan di
depan kakinya.
"Oh... " desuh terdengar dari mulut Damarjaya ketika melihat tanah yang hanya
berjarak sekilan itu amblong.
Dan yang membuatnya semakin terkejut ialah amblongnya tanah itu
merupakan ciri dari akibat ajinya sendiri.
"Bukannya aku menyombongkan diri, adi. Memang ilmu mu mampu aku
kembalikan dengan sesuka hatiku, tapi aku hanya bertindak seperti itu saja,
karena aku tak ingin mencelakai seseorang dan itu akan membuat hubungan
tanah perdikan Sembojan dan Demak akan renggang." kata ki lurah
selanjutnya.
Kata - kata itu bagai air dingin merasuk dalam hati pemuda tanah perdikan
Sembojan, kini pikirannya mampu berpikir jernih demi melihat kenyataan yang
ia hadapi. Ternyata kemampuan dari lurah muda itu bagai awan yang berada
diangkasa sehingga tak mampu ia jangkau. Oleh karenanya pemuda itu
dengan suara lirih mengakui kesalahannya.
"Maafkan tindakanku ini, ki lurah. Yang sudah berlaku deksura kepada utusan
P a g e | 222
jika seorang suami yang ia cintai itu akan pergi ke medan perang.
Tak hanya gadis itu saja yang sedih, ada seorang ibu yang mengkwatirkan
anaknya, atau seorang anak yang menangis meraung - raung tak ingin
bapaknya pergi tanpa mengajakanya. Dan masih banyak lainnya, tapi demi
panggilan ibu pertiwi mereka dengan langkah mantap terus maju ke depan.
Derap langkah pasukan dari tanah perdikan Sembojan semakin lama semakin
jauh dari padukuhan, dan kini langkah mereka menapak di jalan antara bulak
panjang. Ki lurah Arya Dipa berada di depan pasukan didampingi olah prajurit
Wasis dan kepala pengawal tanah perdikan Damarjaya. Sementara prajurit
lainnya membaur menjadi satu dengan pengawal tanah perdikan lainnya.
Ratusan tombak dilalui tanpa adanya hambatan yang berarti, pasukan itu
sampai dipinggir sungai. Pasukan itu berhenti manakala ki lurah Arya Dipa
mengangkat tangannya.
"Kakang lurah, bila aku tahu siapakah gadis itu ? Bila gadis itu di tanah perdikan
Sembojan, biarlah paman Gede yang akan melamar untuk kakang."
"Ah kau ini, memang aku memikirkan seorang gadis yang aku cintai, dan ia pun
menanggapi cintaku ini sejak beberapa bulan dari pertemuannku dengannya.
Tapi dia tidak bertempat di perdikan Sembojan, melainkan di kotaraja. Ia juga
seorang prajurit srikandi." akhirnya ki lurah Arya Dipa berkata sebenarnya.
"Oh... Lalu apakah kakang sudah mempunyai rencana untuk meminangnya ?"
"Bila tiada halangan setelah tugas ini aku kan meminta orangtua ku untuk
melamar kepada keluarganya."
"Hm.. Ingat kakang, jika hal itu terjadi jangan lupa mengundangku."
"Hahaha..." hanya tawa itulah yang keluar.
Di saat ki lurah Arya Dipa dan Damarjaya berbincang, tak berselang lama
datang sebuah pasukan yang dari ciri digunakan menandakan pasukan dari
tanah perdikan Menoreh. Pasukan itu dipimpin oleh ki panji Trunopati dan
pemimpin pengawal tanah perdikan Menoreh.
"Tujuan yang kita capai masih jauh di timur gunung Lawu, yaitu di Purbaya.
Seperti yang kisanak semua ketahui, pasukan bang wetan yang ingin kembali
mewujudkan kejayaan Majapahit, mulai lagi bergerak mendekati alas
Caruban." Sejenak ki tumenggung Suranata berdiam seraya memandang
kesegenap mereka yang hadir.
"Agar kisanak mendapatkan gambaran, ki panji Mahesa Anabrang sebagai
perwira dari telik sandi akan memaparkan kepada kisanak sekalian." kata ki
tumenggung Suranata, yang kemudian memberikan isyarat kepada ki panji
Mahesa Anabrang untuk memberi keterangan.
"Terima kasih, ki tumenggung." sahut ki panji Mahesa Anabrang yang kemudian
mengatakan keterangan penting mengenai situasi alam alas Caruban,
banyaknya pasukan bang wetan maupun perihal lainnya.
Penuturan ki panji Mahesa Anabrang itu kadangkala membuat senopati dan
pemimpin kelompok mengerutkan kening. Saat yang lain rasa geram
menghujam hati, ketika ki panji Mahesa Anabrang menceritakan penderitaan
yang dialami oleh kawula kecil yang dilewati oleh pasukan Panembahan Bhre
Wiraraja.
"Sudah jelas bagi kita kalau orang - orang dari Panembahan Bhre Wiraraja itu
hanya berkedok dengan gemilangnya Wilatikta, namun tak bisa dipungkiri
kebanyakan dari mereka hanya mencari kepuasan pribadi semata. Dan
kawula yang menjadi korban." kata ki tumenggung Suranata, setelah
mendengarkan apa yang dikatakan oleh perwira telik sandi.
"Kisanak sekalian. Besok pasukan ini akan bergerak ke timur, kita akan menyusuri
P a g e | 231
jalur selatan yang mana kadipaten Ponorogo sebagai pancadan utama dari
langkah kita."
"Maaf ki tumenggung." kata seorang lelaki berbadan pendek namun gempal,
"Mengapa kita tidak melewati Pengging saja, lalu menyusuri alas Mantingan ?"
"Oh ki panji Sambipati, memang bila kita lewat Pengging jalan yang dilalui akan
mudah, tapi apakah ki panji sudah melupakan peristiwa antara Demak dan
Pengging ?"
"Masih jelas dalam ingatanku, ki tumenggung. Bukankah itu sudah dan berlalu
beberapa tahun yang lalu ? Lalu adakah keterkaitannya dengan pasukan ini ?"
kata ki panji Sambipati.
"Begini, ki panji. Memang telatah Pengging dewasa ini lepas dari ke tata praja
nagari sejak kematian ki Ageng Pengging Anom. Namun sebenarnya para
penghuninya bagai macan yang terlelap oleh sirep." sejenak ki tumenggung
menarik napas.
Semua orang yang hadir tampak bergeremang satu dengan lainnya. Hal itu
pun tak lepas dari pengamatan ki tumenggung Suranata.
"Kalian tentu berpikir hal itu mustahil, bukan ?" panglima Demak bergegas
menyerampaki pertanyaan, "Namun itulah kenyataan yang tak boleh dilanggar
oleh Demak, dan itu sudah disepakati oleh kanjeng Sultan Jimbun demi
menghormati ki Ageng Pengging yang masih kerabat sendiri."
Demi mendengar kata terakhir yang menyangkut mendiang kanjeng Sultan
Jimbun disebut, akhirnya mereka yang hadir di dalam tenda itu tiada lagi
mempermasalahķan jalan yang akan mereka tempuh.
Sementara itu di luar tenda yang letaknya paling pinggir, ki lurah Arya Dipa
duduk menyendiri memikirkan mengenai hiĺangnya dua keris pusaka Demak,
kyai Naga Sasra dan kyai Sabuk Inten.
"Mengapa kejadian itu bertepatan dengan perang ini ?" tanyanya dalam hati,
"Apakah ini perbuatan orang bang wetan ? Ataukah ada kaitannya seperti
peristiwa hilangnya keris kyai Setan Kober dari Pesantren Kudus ?"
Malam itu langit cerah dengan adanya lintang gemintang yang berkelip indah
P a g e | 233
memamerkan keindahan yang tak terkira, tapi ki lurah Arya Dipa yang sedang
di alam rasa penasaran menyangkut hilangnya dua pusaka Demak dan
kepergian ki rangga Tohjaya, tak tertarik sama sekali. Bahkan angin dingin yang
menusuk - nusuk serta ganasnya nyamuk, tak ia rasakan.
"Kenapa kau ngger ?" tiba - tiba seseorang menegur seraya menepuk
pundaknya.
"Oh paman ?" kejut ki lurah Arya Dipa, sambil mengucek matanya tanda tak
percaya, "Benarkah ini, paman ?"
"Hahaha, lalu kalau bukan aku, siapa ngger ?" sahut orang itu dengan tawa
renyah.
"Oh.. " desuh ki lurah Arya Dipa sambil menyimpan lipatan surat itu, lalu
kemudian mengutarakan apa yang ia pikirkan kepada Empu Citasena,
"Paman, hati ini terasa ada sesuatu yang mengganjal sehingga membuat
pikiran ini gelisah. Ini dikarenakan aku sedang mengurai sebuah peristiwa yang
menyangkut Demak."
"Ki Ageng Sora Dipayana memang seorang yang pinunjul dalam olah
kanuragan, kemampuannya sekelas ki Ageng Sela, ki Ageng Pandan Alas, Resi
Puspanaga, Panembahan Ismoyo, Ki Ajar Bajulpati, ki Singo lodra, Adipati
Handaningrat, Panembahan Sekar Jagat, Kyai Bagor dan Begawan Jambul
P a g e | 235
menyerang, sehingga banyak lawan yang mengerang - erang tak karuan demi
mendapat tendangan maupun pukulan.
Karena tak ingin menelan kekalahan, sebuah isyarat terlontar dari mulut ki Lowo
Ijo, sebuah isyarat memanggil bantuan. Tak berapa lama dari rimbunnya semak
belukar telah muncul belasan orang yang menampakan kekasaran mereka,
dengan senjata beraneka jenis.
Tiba - tiba tempat itu dikejutkan kembali adanya ratusan prajurit berkuda dan
mengepung tempat itu.
"Apakah mereka pasukan Demak yang melakukan pengejaran, paman ?"
tanya ki lurah Arya Dipa.
"Bukan, ngger. Melainkan itu sebuah ilmu dari pemuda murid ki Ageng Sora
Dipayana." jawab Empu Citrasena.
"Ilmu apakah itu, paman ?" rasa heran nampak dari wajah ki lurah Arya Dipa.
"Ilmu Semu, yaitu sebuah ilmu yang mampu mewujudkan apa yang
diangankan oleh si pengguna." terang Empu Citrasena.
Anggukan kepala mengiringi rasa kagum ki lurah Arya Dipa demi mengetahui
sebuah ilmu tua yang mampu diterapkan oleh seorang pemuda.
Kembali Empu Citrasena melanjutkan ceritanya.
Demi mengetahui adanya pasukan berkuda yang begitu banyaknya, tentu
saja anak buah ki Lowo Ijo ciut nyalinya dan siap angkat kaki, kalau tiada
teriakan dari pimpinannya.
"Jangan takut, itu hanya permainan semu !" lantang ki Lowo Ijo sembari
melambari teriakannya dengan aji Gelap Ngampar, untuk memunahkan
perwujudan semu itu.
Benar saja bersamaan dengan teriakan ki Lowo Ijo, perwujudan semu itu bagai
dihembus angin luruh tak tersisa. Maka anak buah gerombolan alas Mentaok
itu mulai bangkit kembali semangat mereka dan langsung menyerbu si
pemuda.
Saat itulah dengan rasa kemanusiaan, Empu Citrasena keluar dari
persembunyiaannya dan dengan tangan kanan menggenggam keris besar,
empu dari Kadiri mulai menyambuti gerombolan itu.
"Oh.. terima kasih kisanak." ucap pemuda murid ki Ageng Sora Dipayana.
"Hehehe.. Sudahlah anakmas, sudah sepantasnya kita saling membantu." sahut
Empu Citrasena sambil menangkis ayunan pedang dan menghindari tusukan
tombak lawan.
ISementara di sisi yang lain, rasa geram merambati hati ki Lowo Ijo karena
melihat kedatangan seseorang dengan kemampuan olah kanuragan tak bisa
P a g e | 237
mereka seperti anak ayam di sarang musang yang siap diterkam mentah -
mentah.
Kembali di perkelahian ki Buyut Banyubiru dengan ki Lowo Ijo mulai mendekati
akhir. Upaya ki Lowo Ijo dalam memakai senjata pisau belati panjang dan akik
Kelabang Sayuta tak menemui hasil, maka kini ia akan mengeluarkan ilmu
andalannya aji Alas Kobar yang berintikan panasnya lautan api.
Begitu lawan bergerak dengan tata gerak yang aneh, secepat itu pula ki
Ageng Sora Dipayana juga memusatkan nalar budinya, meminta perlindungan
Sang Pencipta dengan perantara usaha penerapan aji Lebur Saketi.
Tak lama kemudian dua tenaga dahsyat terlontar bertemu di satu titik, saling
dorong - mendorong mencari daya terlemah dari sumbernya. Seleret warna
merah membara kadang mampu mendesak seleret lontaran aji Lebur Saketi,
tapi sumber aji Lebur Saketi sangat mantab sehingga menimbulkan tenaga
kuat untuk kembali mendorong dan menekan aji Alas Kobar.
Apalah daya tatkala ketangguhan aji Lebur Saketi terus mendesak aji Alas
Kobar, hingga menumbuk sumbernya yang mengakibatkan ki Lowo Ijo
terlempar bagai layang - layang putus dari benangnya. Tubuh itu meluncur
deras beberapa tombak dan sejenak kemudian hampir menumbuk batang
kayi Jati.
Waktu itulah sesosok tubuh menyambar tubuh ki Lowo Ijo dan membawanya
kabur dengan loncatan panjang meninggalkan tempat itu. Tapi ternyata orang
yang membawa kabur itu tak mengetahui jika sebuah bungkusan yang dibawa
ki Lowo Ijo terjatuh.
Sementata itu demi melihat pemimpinnya kalah dan dibawa kabur seseorang,
para anak buah gerombolan Lowo Ijo tanpa berpikir panjang, lari tunggang
langgang tak karuan mencari selamat. Hal itu membuat murid ki Ageng Sora
Dipayana atau Jaka Raras ingin mengejarnya, jikalau gurunya tak
melarangnya.
"Biarkan mereka, apa yang kita cari sudah kita dapatkan." seru ki Ageng Sora
Dipayana.
"Untuk sementara pusaka ini akan aku bawa, adi Empu. Tapi aku meminta
bantuanmu."
"Maksud, ki Ageng ?" tanya Empu Citrasena.
P a g e | 241
"Begini, adi Empu. Sebarkan kepada setiap orang jika keris kyai Naga Sasra dan
Sabuk Inten disimpan oleh Buyut Banyubiru yang baru, yaitu putraku Gajah
Sora." jawab ki Ageng Sora Dipayana.
"Oh... " Empu Citrasena dan Jaka Raras kaget.
"Bukankah itu akan merugikan kabuyutan Banyubiru dan keluarga Ki Buyut ?"
rasa cemas dirasakan oleh Empu Citrasena.
"Hm.. "Ki Ageng menghela napas, "Tak mengapa, adi Empu. Tapi tujuanku untuk
memancing semua golongan hitam keluar untuk meluruk ke kabuyutan, tapi
saat itulah kami akan berusaha menangkap mereka sehingga bila kedua
pusaka itu kembali ke gedung perbendaharaan, tak akan hilang kembali."
"Baiklah kalau itu sudah menjadi tekad, ki Buyut. Aku akan mengikuti rencana
itu, dan jika perlu aku akan ikut membantu dengan ilmuku yang tak seberapa
ini."
Kemudian setelah pembicaraan dirasa cukup, mereka berpisah jalan dimana ki
Ageng Sora Dipayana dan Jaka Raras kembali ke kabuyutan Banyubiru
sedangkan Empu Citrasena sambil berjalan ke selatan, mulai menyiarkan
adanya kedua pusaka Demak ke golongan orang - orang kanuragan, dan
tanpa disangka telah menjumpai ki lurah Arya Dipa diselatan kademangan
Prambanan.
"Begitulah, ngger." ucap Empu Citrasena mengakhiri ceritanya.
Perwira muda itu termangu - mangu. Di satu sisi ia sudah senang dengan
keberadaan kedua keris pusaka Demak, namun disisi lain rasa cemas
andaikata rencana yang disusun oleh ki Ageng Sora Dipayana gagal.
Lantas orang tua angkat Ayu Andini itu pergi dari sisi luar perkemahan pasukan
Demak. Kini tinggalah ki lurah Arya Dipa yang masih berdiri memandang arah
kepergian Empu Citrasena. Tanpa sengaja tangannya memegang lipatan surat
dibalik pakaiannya.
"Oh... Hampir aku melupakan surat dari Ayu. Aku berjanji akan segera
meminangnya." batin pemuda itu, "Tapi aku pun harus mencari ayah dan
meminta pertimbangannya."
Perwira itu pun bergegas melangkahkan kaki menuju sebuah tenda yang
diperuntukan bagi perwira menengah.
BERSAMBUBG......
Jalan - jalan terjal maupun landai terlalui tanpa adanya aral rintangan yang
berarti, ketiga kuda tangguh prajurit Wira Tamtama Demak dengan pesat
berlari mengejar sang waktu menyusuri tanah yang beraneka jenis keadaan
alam. Setelah Seharian tanpa hentikan langkah, demi tetap menjaga keadaan
kuda tunggangannya, ki lurah Arya Dipa mengajak kedua prajuritnya untuk
beristirahat barang sejenak serta membiarkan kuda mereka memakan rumput
liar dekat sebuah parit yang airnya mengalir jernih.
"Ini ki lurah." kata prajurit Jaka Ungaran sambil mengangsurkan bungkusan daun
pisang.
"Terima kasih, kakang." ucap ki lurah Arya Dipa, yang kemudian membuka
bungkusan daun pisang berisikan jenang alot.
Sementara itu prajurit Sambi Wulung memetikan api di undukan ranting yang
sebelumnya sudah dia kumpulkan. Api pun mulai membara dan menyala
memberi penerangan di tepian parit itu. Rasa hangat mulai dirasakan
menghilangkan rasa dingin di ambang malam itu serta menghalau nyamuk.
Tiba - tiba dari arah depan muncul seorang dangan langkah mantab dan terus
mendekat.
"Ada seseorang yang mendekat, waspadalah kita tak tahu tentang orang itu."
ki lurah Arya Dipa memberi peringatan.
"Baik, ki lurah." sambut kedua prajurit bebarengan.
Orang itu ternyata seorang lelaki tua berbadan agak bungkuk, oleh karenanya
P a g e | 244
ditangannya membekal tongkat dari kayu yang mana ujung atasnya ada
lekukan menyerupai kepala ular.
pantang aku menolak, itu tak bersyukur namanya jika Gusti Allah sudah
memberi dan aku menolak." sambut orang tua itu, lalu duduk menghadap api
unggun.
Tapi rasa heran menghinggapi hati ki lurah Arya Dipa dan kedua prajurit,
manakala melihat orang tua itu hanya diam tak memakan jenang alot yang
sudah ia pegang. Hanya pandangan matanya saja mencurah menatap
jenang alot, seakan - akan menikmatinya.
"Oh... " desuh ki lurah Arya Dipa.
"Hahaha... " orang tua itu tertawa, sehingga menampakan giginya yang sudah
tak genap lagi.
Melihat orang tua itu tertawa dan menampakan gigi yang tak utuh lagi, prajurit
Sambi Wulung dan Jaka Ungaran tak bisa menahan tawa lagi. Sedangkan ki
lurah Arya Dipa hanya tersenyum simpul.
"Maafkan kami yang kurang sopan ini, kakek. Tentu jenang alot itu akan
menyusahkan kakek, tapi kami membawa ketela rebus." ucap ki lurah Arya
Dipa seraya menyuruh prajurit Sambi Wulung untuk mengambilnya.
"Ini, kakek." kata Sambi Wulung seraya menyerahkan sebungkus Ketela rebus,
"Mengapa kakek diam saja dan tak bilang kalau gigi... "
"Hus.. " potong prajurit Jaka Ungaran sambil mengerakan jari tangan didepan
mulut.
"Hehehe.. Tak mengapa, ngger. Ini aku tiru dari Baginda Rasulullah, beliau selalu
begitu bila mengahadapi makanan bila tak mampu mengunyah. Aku tak
berani berkata tak sepantasnya dengan makanan apa pun, bila aku mencela
makanan berarti aku juga akan mencela Si Pencipta, yaitu Gusti Allah. Dan
betapa dosanya diri ini." ucap orang tua itu dengan sarehnya.
ing ksatriyá Handaningrat." kata kakek tua itu, lalu lanjutnya, "Semoga angger
sekalian bisa menempatkan diri. Baiklah aku pamit dulu, ngger."
Dan orang tua itu berlalau meninggalkan kesan dan seribu rahasia.
"Aneh, siapa sebenarnya orang tua itu ? Dan apa maksud dari perkataan
orang itu tadi ?" prajurit Jaka Ungaran bersuara.
"Entahlah.. " sambut prajurit Sambi Wulung dengan mengankat bahu.
Tapi lain dengan ki lurah Arya Dipa, perwira muda itu meyakini tentang akan
terjadinya perubahan di tanah jawa ini di masa yang akan datang.
"Semoga anak muda yang kini menjadi lurah Wira Tamtama itu, mau
melangkah bersama anakmas Jaka Tingkir." kembali orang tua itu berkata.
Orang tua itu kemudian melanjutkan langkahnya menemui sang murid yang
kini menjadi seorang lurah Wira Tamtama di Demak.
Malam bergerak sesuai kodratnya mengiringi langkah manusia di buana raya
ini. Tatkala kokok ayam hutan dengan riuhnya memeriahkan alam hutan, disaat
itu pula ki lurah Arya Dipa mengajak prajuritnya untuk berkemas dan tak lupa
memadamkan bara bekas api unggun, supaya tak membahayakan alam
hutan seisinya.
"Mari kakang Jaka Ungaran dan Sambi Wulung, mumpung hari masih pagi, sinar
sang bagaskara belumlah terlalu terik." ajak ki lurah Arya Dipa.
"Mari ki lurah." sambut prajurit Jaka Ungaran dan Sambi Wulung berbarengan.
Ketiganya lantas menaiki pelana kuda yang terikat kuat di punggung kuda.
Sejenak kemudian ketiga kuda itu sudah dicongklangkan perlahan dan lama
kelaman semakin pesat, ketika melewati jalan yang agak lapang.
Kuda - kuda itu terus dipacu secepat mungkin, tapi bila dirasa melihat kuda
tunggangan sudah menampakan keletihan, maka demi menjaga kesegaran
sang kuda segera mereka meluangkan waktu bagi sang kuda untuk sekedar
memberi makan rumput liar atau meminum air di parit atau aliran air yang
dilewati.
Hingga suatu kali ketiga prajurit itu sampai di Mrapen, sebuah tempat dimana
terdapat sebuah api yang menyembur dari bumi. Dikala akan mendekati
Mrapen itulah, tiba - tiba dari kanan kiri lorong jalan muncul beberapa orang
yang dari penampilannya, terlihat kekasaran yang diunjukan. Apalagi dari
salah seorang yang bergerak maju dua tindak, orang yang diyakini sebagai
pemimpin dari orang - orang itu menghardik dengan kerasnya.
"Berhenti...!!!"
Demi mendengar kemunculan orang - orang itu dan hardikan, membuat ketiga
prajurit Demak menarik kekang kuda hingga kaki depan kuda terangkat saking
P a g e | 248
terkejutnya.
"Siapa kalian berani menghentikan kami ?!" sahut prajurit Sambi Wulung.
"Tutup mulutmu ! Kamilah yang seharusnya memberi pertanyaan dan bertindak
sesuka hati kami !" bentak orang yang diyakini sebagai kepala penghadang itu.
"Beraninya kalian lewat kawasanku, anak muda !" serunya , "Nyata kalian
mempunyai nyawa rangkap kalau tak mau menyerahkan barang - barang
kalian."
"Ho.. Rupanya kalian seorang bromocorah telatah Mrapen, kisanak ketahuilah
dan lihatlah pakaian yang kami kenakan. Kami prajurit Wira Tamtama Demak !"
seru ki lurah Arya Dipa.
Orang - orang itu saling pandang satu dengan lainnya, namu kemudian
terdengar tawa bergemuruh dari orang - orang itu.
"Hahaha... Tak ada gunanya kau mengatakan jika kau prajurit dari kesatuan
Wira Tamtama, bahkan jikalau kau seorang adipati pun, kami tak gentar !" Tukas
pemimpin kepala Bromocorah, "Cepat serahkan barang kalian dan kuda kalian
!"
Prajurit Sambi Wulung yang berwatak keras, menggerakan kudanya mendekati
kuda ki lurah Arya Dipa.
"Orang - orang macam ini harus kita kasih pelajaran, ki lurah." desisnya.
"Benar, ki lurah. Tanganku pun sudah terasa gatal." sela prajurit Jaka Ungaran.
"Hm.. Baiklah, tapi hindari adanya korban nyawa." kata ki lurah Arya Dipa.
"Baik, ki lurah." sahut prajurit Jaka Ungaran dan Sambi Wulung bersamaan.
"He.. Apa yang kalian bisikan itu !" hardik pemimpin bromocorah, yang bergelar
ki Kebo Mrapen.
Namun bukanlah kata yang menjadi jawaban, melainkan sebuah loncatan
kedua prajurit dari atas kuda menyerang orang - orang itu.
"Bangsat ! Bunuh mereka !" teriak ki Kebo Mrapen memberi perintah.
lipat kepalan tangan, mulai di urai satu tangan memegang pangkal rantai,
sedangkan tangan satunya memegang rantai dekat dengan ujung bandul.
Tatkala kedua prajurit meloncat dari kuda, keduanya langsung menerjang
kepungan itu dengan tendangan. Akibatnya empat orang terlempar
beberapa tindak, tapi selekas itu anak buah gerombolan ki Kebo Mrapen
kembali melenting berdiri.
Di atas punggung kuda putihnya, ki lurah Arya Dipa memperhatikan dengan
seksama pertempuran yang terjadi. Tata gerak dari gerombolan itu walau
terlihat kasar, namun memiliki kesamaan gerak satu dengan lainnya, ini
mempertandakan gerombolan itu satu aliran olah kanuragan.
"Mungkinkah mereka ini dari sebuah padepokan atau perguruan ?" desis ki
lurah Arya Dipa.
Prajurit Jaka Ungaran dengan gesit mengisar langkah lalu dilanjutkan merunduk
demi menghindari tajamnya ujung tombak salah satu lawan, berhasil
melakukan penghindaran tak membuat prajurit Jaka Ungaran aman, karena
dari belakang sekonyong - konyong seorang anak buah ki Kebo Mrapen, yang
berbadan raksasa menggunakan gadanya hampir berhasil menggemplang
kepala prajurit itu.
"Uh... " desuh prajurit Jaka Ungaran, yang melempar dirinya bergulingan dan
secepatnya melenting berdiri dengan tangan sudah mencabut pedang
keprajuritan.
Perkelahian cukup menarik juga terjadi dengan prajurit Sambi Wulung. Pemuda
anak ki panji Sambipati ini tak mampu mengekang gejolak hatinya yang berapi
- api. Pedang di tangan kanannya mulai berbicara nyata, manakala mampu
menggores lawan - lawannya.
"Aughh... " keluh orang berjambang itu, karena lawannya kembali menggores
lengan serta melempar kapaknya.
"Rasakan ini... !" seru prajurit Sambi Wulung sambil memukul tengkuk lawan.
"Augh... "Kembali orang berjambang mengeluh dan tak sadarkan diri.
Kekalahan orang berjambang itu tak membuat anak buah ki Kebo Mrapen,
ciut nyalinya. Tapi sebaliknya hati mereka semakin dicengkam kemarahan dan
menyalurkan dengan mengerubut para prajurit itu.
Bila dari dilihat dari kemampuan perorangan, prajurit Jaka Ungaran dan Sambi
Wulung tentu mampu menekan, tapi jika dikerubut sembilan orang seperti itu
jelas akan membuat kedua prajurit itu tertekan.
"Mereka memang sudah keterlaluan." desis ki lurah Arya Dipa terus meloncat
dari kudanya.
Kaki ki lurah Arya Dipa menjejak pelana kuda untuk kemudian melambungkan
tubuhnya, terus meluncur ke arah kerumunan perkelahian.
.
..
Rantai bandul yang awalnya berputaran di tangan ki Kebo Mrapen secepat
kilat meluncur ke depan, gerakannya mampu menyibak udara yang
dilewatinya dengan menimbulkan deru tak dapat diremehkan. Sejurus rantai
bandul itu akan mengenai tubuh ki lurah Arya Dipa, pemuda itu mengisar kaki
sambil menetak rantai. Tetapi ki Kebo Mrapen sudah membaca sebelumnya,
maka dari itu rantai bandul dilemaskan yang mana mengakibatkan rantai itu
jatuh ke tanah dan secepatnya tangan yang memegang pangkal rantai
menarik searah pijakan lawan.
Pedang tipis kyai Jatayu hanya mengenai angin kosong saja dan si empunya
terancam sabetan rantai di kakinya, oleh karenanya ki lurah Arya Dipa
menotolkan kaki ke tanah demi melenting ke udara dengan mengarah tubuh
ke depan lawan. Inilah gerakan menghindar dengan diteruskan menyerang
lawan yang masih merunduk. Ayunan kyai Jatayu mengincar pundak lawan.
"Augh... " jerit ki Kebo Mrapen.
Kepala gerombolan itu tak mampu menghindari secara penuh dan akibatnya
lengannya terserempet daun pedang kyai Jatayu. Rasa panas menyengat
dirasakan sampai tulang sumsum ki Kebo Mrapen.
"Jangkrik.. Setan alas.. " maki ki Kebo Mrapen.
Orang itu tak menyadari jikalau lawannya yang masih muda itu tak berniat
mencelakakan, itu dikarenakan ki lurah Arya Dipa sengaja menggunakan sisi
daun pedang untuk memukulnya, jika menggunakan sisi tajamnya pedang,
niscaya lengan ki Kebo Mrapen akan puntung.
"Kisanak, sudahilah usahamu untuk merugikan seseorang, dan bergantilah
mencari rejeki semestinya. Ingatlah selain larangan negara, merampok juga
larangan Hyang Agung." ki lurah Arya Dipa menasehati orang itu.
"Hm.. " dengus ki Kebo Mrapen, "Tak usah kau sesorah di depanku si Kebo
Mrapen, serahkan barang - barangmu atau nyawamu !"
Ki lurah Arya Dipa hanya mampu menggelengkan kepala atas keras kepala
orang yang menyebut dirinya Kebo Mrapen. Sejenak perwira muda itu akan
kembali bersuara, tapi lawannya sudah mendahului dengan serangan rantai
mengancam dirinya.
Juluran rantai berbandul itu sangat cepat dan ganas, tapi kembali ki lurah Arya
Dipa berhasil menghindari terjangan rantai berbandul. Secepat ki lurah Arya
Dipa menghindar, selekas itu pula lawan menyusuli tendangan ke pinggang ki
lurah Arya Dipa seraya menarik rantainya untuk mempersiapkan serangan
selanjutnya.
P a g e | 252
Perkelahian itu makin seru dan dahsyat mencari kelengahan lawan dan
mengarah titik - titik kelemahan lawan. Rantai Bandul ki Kebo Mrapen semakin
ganas dengan ayunan yang mendebarkan setiap senjata itu mengarah lawan.
Tapi ki lurah Arya Dipa bukanlah lawan yang sebanding dengan pemimpin
bromocorah itu, yang sesungguhnya hanya melayani setiap langkah dan
serangannya.
Sementara itu para anak buah ki Kebo Mrapen sudah dapat dilumpuhkan oleh
prajurit Sambi Wulung dan Jaka Ungaran. Keduanya selanjutnya mengawasi
perkelahian yang dilakukan oleh ki lurah Arya Dipa dan ki Kebo Mrapen.
"Oh.. " kepala ki Kebo Mrapen menunduk, seakan - akan ia duduk di ruang
pesakitan.
"Tuhan menciptakan manusia untuk berpikir menggunakan akal dan
menghayati dengan hati, sehingga akan mampu membedakan mana yang
baik dan buruk. Sudahilah perbuatan merugikan sesama itu dan gunakan apa
yang kisanak punya itu untuk kebaikan atau kerja yang dikehendaki oleh Sang
Nata Buana." sejenak ki lurah Arya Dipa berhenti demi memandang orang
yang lebih tua darinya, "Maaf kisanak, bukannya aku menggurui kisanak yang
sudah mempunyai pengalaman hidup lebih panjang dariku."
"Oh.. tidak anakmas." desis ki Kebo Mrapen yang mulai terketuk hatinya, "Bukan
ukuran jika yang tua itu lebih baik dari yang muda, malah aku mengucapkan
permintaan maaf, dan aku siap menerima hukuman yang anakmas jatuhkan."
"Oh Gusti Yang Maha Agung.. " ucap ki lurah Arya Dipa, senang demi
mendengar adanya perubahan yang dialami oleh ki Kebo Mrapen.
"Tidak untuk kali ini, kisanak. Kami akan memberi kesempatan kepada kisanak
serta yang lainnya, dengan syarat meninggalkan tindakan merugikan orang
lain." kembali ki lurah Arya Dipa berkata.
"Oh.. Terima Kasih - terima kasih anakmas prajurit." ucap ki Kebo Mrapen seraya
menyembah hormat.
"Sudahlah, kisanak. Tapi jika kami mengetahui kisanak atau yang lainnya masih
berlaku seperti ini di telatah mana pun, kami tak segan untuk berlaku keras."
"Kami berjanji anakmas, kami akan bekerja bertani atau pun menggunakan
kemampuan kami sebagai pengawal para pedagang." janji ki Kebo Mrapen.
"Baik kami pegang janji kisanak, kalau begitu kami akan melanjutkan
perjalanan kami."
Sebenarnya ki Kebo Mrapen mempersilahkan ki lurah Arya Dipa untuk singgah
di gubuknya, tapi dengan halus ki lurah Arya Dipa menolak dan akan segera
melanjutkan langkahnya ke Demak.
"Hahaha... Dasar kalian !" seru ki lurah Arya Dipa, lalu katanya, "Ayo kita ke
barak menemui ki tumenggung Gajah Pungkuran."
Begitulah diantara prajurit itu yang masih sempat berkelakar tanpa melihat
perbedaan jenjang kepangkatan. Ketiganya lantas menuju ke barak untuk
menemui ki tumenggung Gajah Pungkuran, yaitu pemimpin dari kesatuan Wira
Tamtama Demak.
Di bangunan barak Wira Tamtama yaitu tepat di ruang dimana ki tumenggung
Gajah Pungkuran berada, ki lurah Arya Dipa diterima sendiri oleh ki
tumenggung Gajah Pungkuran.
"Bukankah ki lurah Arya Dipa bertugas mengikuti pasukan ke Purbaya ?" tanya ki
tumenggung Gajah Pungkuran.
"Benar, ki tumenggung. Kami yang awalnya memberi tuntunan bagi para
pengawal tanah perdikan Sembojan, kemudian melanjutkan tugas bersama
pasukan Demak ke Purbaya. Namun ketika berada di selatan kademangan
Prambanan, kami mendengar sebuah warta yang mana menyangkut
keberadaan dari dua pusaka Demak yang saat ini jengkar dari gedung
perbendaraan." tutur ki lurah Arya Dipa, yang kemudian melanjutkan tujuannya
kembali ke Demak, yang tiada lain mendapat perintah dari ki tumenggung
Suranata untuk meminta sebuah pasukan menuju tanah perdikan Banyubiru.
"Oh.. " ki tumenggung Gajah Pungkuran nampak kaget demi mendengar warta
itu.
"Apa kau membawa nawala dari adi tumenggung Suranata, ki lurah ?"
Setelah mengiyakan maka perwira muda itu menyerahkan nawala kepada ki
tumenggung Gajah Pungkuran.
"Baik, ki lurah. Sekarang juga kau ikut denganku, menghadap kanjeng Sultan di
Balai Agung." kata tumenggung Wira Tamtama.
"Sendiko, gusti tumenggung." sahut ki lurah Arya Dipa.
Keremangan malam mulai menyelimuti kotaraja Demak, tapi nyala dimar mulai
dinyalakan untuk memberi penerangan kotaraja. Sekelompok prajurit dengan
gagah berada di tempat - tempat yang ditentukan, khususnya digardu
perondan depan rumah para nayaka praja, barak pasukan, pintu gapura,
balai - balai di dalam keraton, kaputren, kasatryan dan sebagainya. Lorong -
lorong jalan yang membujur serta membelah kotaraja mulai nampak
menyusutnya orang yang melintas.
"Baiklah, sebenarnya kedatanganku kali ini ingin menemui nini Ayu Andini.
Tolong laporkan hal ini kepada pimpinanmu untuk memberikan ijin kepadaku
untuk menemui nini Ayu Andini."
"Baik, ki Lurah. Mohon tunggu sejenak di gardu Parondan." ucap prajurit
Widagdo, kemudian beranjak ke dalam Keputren.
Setelah kepergian prajurit Widagdo, ki Lurah Arya Dipa menghampiri gardu
yang disambut oleh para prajurit petugas di malam itu.
"Silahkan ki Lurah." kata salah seorang prajurit.
"Terima kasih, ki prajurit." ucap ki Lurah Arya Dipa sambil mengambil tempat
duduk.
Sambil menunggu kembalinya prajurit Widagdo, ki Lurah Arya Dipa mengisi
waktu untuk sekedar bertanya kepada prajurit - prajurit penjaga.
"O jadi kalian mengikuti pendadaran prajurit yang selesai candra ini ?"
"Benar, ki Lurah. Dalam pendadaran kali ini kami mendapat rintangan untuk
mengalahkan seekor banteng, yaitu dipendadaran paling akhir." jawab
seorang prajurit.
"O.. Begitu rupanya, pasti hal itu mendebarkan."
P a g e | 260
Gadis itu tersenyum manis dengan dua lesung menghiasi pipi si gadis, sebuah
lesung pipi indah yang membuat ki Lurah Arya Dipa semakin terpesona untuk
terus memandangnya. Pandangan seorang lelaki kepada sang gadis pujaan
hati, penuh dengan arti cinta berjuta rasa.
Si gadis yang sesungguhnya sangat mengharapkan tatapan kasih sayang dari
sang lelaki, tak kuat untuk terus membalas tatapan itu dan membuat kepala si
gadis menunduk dengan rona wajah bersulam warna merah, tersipu malu.
"Kapan kakang datang dari bang wetan ?" tanya Ayu Andini, berusaha
menghilangkan rasa kaku.
"Tadi siang, Ayu." jawab ki Lurah Arya Dipa, lalu katanya, "Surat yang kau
titipkan kepada paman Citrasena telah berada ditanganku. Terima kasih kau
masih memegang erat rasa diantara kita berdua."
"Oh syukurlah bila kakang sudah berjumpa dengan ayah Citrasena."
Dua insan itu selanjutnya saling mencurahkan rasa rindu dengan kata ataupun
ucapan indah dan mesra. Ucapan mengandung sejuta asmara diselingi
dengan goda kecil terbalas cubitan mesra nan indah.
Sesungguhnya kata nikmat itu memang tah hanya hal yang enak saja,
nyatanya sebuah rasa sakit itu terasa nikmat manakala munculnya dari sesuatu
yang dicintainya.
Salah satunya ialah yang dialami oleh ki Lurah Arya Dipa pada malam itu,
walau kulitnya terkena cubitan, nyatanya pemuda itu selalu tersenyum senang.
Ada lagi sebuah rasa nikmat walau diri seorang itu sangat payah, yaitu seorang
wanita hamil, yang mana perut membesar karena hamil sebenarnya sangat
payah. Tidur miring kanan tak enak, tidur ke kiri tak enak, bahkan tidur
telungkup malah susah. Tapi si wanita hamil sangat gembira dan nikmat,
karena si jabang bayi yang ada dalam kandungannya hasil dari cinta dengan
lelaki pujaannya.
Dewa Kamajaya menusuk dalam tersambut dewi Kama Ratih yang cantik jelita.
Dunia yang penuh dengan manusia seakan kosong tinggal dua insan itu saja.
Ikan di kolam, bunga di taman, bulan dan bintang di angkasa seakan ikut
berbahagia.
Itulah gambaran dari rasa cinta ki Lurah Arya Dipa dan Ayu Andini di taman
Kaputren Demak di kala malam itu.
"Kakang Dipa, kita sudahi dahulu." desis perlahan Ayu Andini, yang bersandar di
dada bidang ki Lurah Arya Dipa.
Ki Lurah Arya Perlahan mengelus rambut hitam panjang sang kekasih seraya
berkata, "Apakah kau ingin kembali, Ayu ?"
Tubuh Ayu Andini bergerak sehingga terlepas dari pelukan tangan ki Lurah Arya
Dipa, lalu menyender ke kursi taman. Sejenak terdengar helaan napas putri
angkat Empu Citrasena itu.
"Tidak kakang, sebenarnya aku ingin meminta pertimbangan dari kakang."
Kerut menghiasi dahi ki Lurah Arya Dipa, "Mengenai apa, Ayu ?"
"Kakang, pastinya kakang sudah bertatap muka dengan ki Lurah Mas Karebet
?"
"Oh Lurah muda yang tampan itu, lalu ?"
"Sejak ki Lurah Mas Karebet bertugas di Kaputren ini, ia mendapat perhatian
lebih dari Gusti Putri Cempaka. Gusti Putri setiap hari selalu melamun dan
makannya tidak teratur, hingga suatu hari ia sakit." Ayu Andini sesaat berhenti
demi menilai kesan dari kekasihnya, "Tapi anehnya saat ki Lurah Mas Karebet
berada di Kaputren, sakit yang diderita Gusti Putri seketika hilang. Wajahnya
yang pucat lemah berangsur pulih sediakala, wajah gusti Putri bersinar kembali,
kakang."
"Mengapa kakang tersenyum seperti itu ? Adakah kata yang aku ucapkan itu
lucu ?" kata Ayu Andini dengan nada agak mengkal.
"Hahaha.. Janganlah kau cemberut seperti itu, bidadariku. Sungguh aku tak
menertawakan dirimu."
"Tapi nyatanya kakang tersenyum dan tertawa !"
"Dengarlah penjelasanku ini, mengapa aku tersenyum tiada lain maksud ialah
menangkap apa yang dialami oleh gusti Putri." ucap ki Lurah Arya Dipa.
"Gusti Putri Cempaka saat ini sedang dilanda gelombang Asmara, Ayu. Tidakah
engkau dapat merasakan saat kita berjumpa pertama di pertapaan Pucangan
dulu ?" kata ki Lurah Arya Dipa, "Aku juga mengalami rasa sakit dari tamparan
seorang gadis perkasa...."
Kata ki Lurah Arya Dipa terputus tergantikan keluhan yang menimpa kulit
pinggangnya, akibat cubitan dari Ayu Andini.
P a g e | 263
"Sudah.. Sudah Ayu, bisa - bisa pinggangku berlubang.. " ki Lurah Arya Dipa
memohon ampun.
"Biar saja, salah kakang yang terus menggodaku. Walaupun kakang
mempunyai aji Niscala Praba, pasti mampu aku tembus dengan aji Segoro
Geni !" seru Ayu Andini.
"Aku mohon, Ayu. Bisa - bisa aku besok tak bisa bertugas dan akan digantung
oleh Kanjeng Sultan Trenggono."
"Kakang janji tak mengulangi lagi ?!"
"Iya, aku berjanji."
Cubitan itu akhirnya terlepas, tapi si gadis masih cemberut mengkal. Hal itu
membuat ki Lurah Arya Dipa bergeser sedikit menjauh.
"Bahagianya aku malam ini, Dewata menganugerahiku seorang bidadari yang
duduk cemberut..."
Kembali kata ki Lurah Arya Dipa tak terselesaikan karena pemuda itu bergerak
menghindari cubitan si gadis dengan meloncat menjauh.
"Ayu sudah, jika kau mencubitku aku akan pergi.. " ancam ki Lurah Arya Dipa.
"Pergi saja jika kakang kehendaki." sahut Ayu Andini seraya duduk kembali di
kursi.
Walau agak geli dengan tingkah laku Ayu Andini, ki Lurah Arya Dipa beringsut
menuju kursi kembali dan duduk di dekat gadis pujaannya.
"Maaf Ayu, itu semua karena rasa cintaku kepadamu. Sungguh dalam hati ini
hanya kau seorang yang menempati." suara ki Lurah Arya Dipa terdengar
bersungguh - sungguh.
"Aku pun juga menyadarinya, kakang. Namun tangan ini ingin rasanya
membelai pinggang kakang." sahut Ayu Andini.
"Belaian tanganmu tentu akan meninggalkan bekas selamanya kan ?" seraya
bibir pemuda itu terkulum senyum.
"Ah kakang." wajah itu menunduk tersipu.
Desir angin semakin dingin menusuk kulit. Malam semakin memuncak menghiasi
persada bumi. Ki Lurah Arya Dipa menyadarinya, oleh sebab itu ia pun berkata
dengan sungguh - sungguh mengenai apa yang dialami oleh Gusti Putri
Cempaka.
"Itu semua memang garis cinta, kita tak sepatutnya untuk mencegah. Usahakan
agar keduanya jangan terlalu berlebihan, Ayu." kata ki Lurah Arya Dipa.
"Aku akan berusaha, kakang."
"Baiklah, hari sudah malam aku harus kembali ke barak. Ki Tumenggung Gajah
P a g e | 264
Pungkuran tentu akan menanti diriku, karena esok hari aku akan kembali
menghadap Kanjeng Sultan Trenggono."
"Adakah tugas yang akan kakang emban ?"
"Begitulah, pastinya kau mendengar peristiwa keris kyai Naga Sasra dan Sabuk
Inten, dan inilah yang nantinya akan berusaha kami dapatkan di telatah
Kabuyutan Banyubiru." ucap ki Lurah Arya Dipa.
"Berhati - hatilah, kakang. Seandainya aku diijinkan, tentu aku ingin sekali
mendampingi kakang ke Kabuyutan itu." kata Ayu Andini.
"Sudahlah, disini pun kau juga mempunyai tugas yang tak kalah ringannya,
keselamatan Gusti Putri juga harus terlindungi." sahut pemuda anak angkat ki
Panji Mahesa Anabrang, "Sudahlah, aku pamit dahulu."
"Baik kakang."
Pemuda itupun beranjak dari taman Kaputren mengarah ke halaman depan.
Di situ ki Lurah Mas Karebet menyambutnya dengan menghampiri.
"Kiranya kakang Lurah ingin kembali ke barak ?"
"Hari sudah malam, adi Lurah. Terima kasih atas kemurahan adi meluangkan
waktu untuk kami berdua." ucap ki Lurah Arya Dipa.
"Hahaha.. Sudahlah kakang, jangankan aku yang berpangkat Lurah prajurit
seperti kakang, Gusti Putri dan Gusti Pangeran Bagus Mukmin saja berkenan
dan menghendaki jika kakang berkunjung ke Kaputren maupun Kekasatryan."
sahut ki Lurah Mas Karebet.
"Ah.. adi Lurah terlalu berlebihan. Baiklah aku akan kembali ke barak, oh iya
apakah adi Lurah juga tinggal di barak Wira Tamtama ?"
"Tidak kakang, aku tinggal dengan paman Ganjur di Suranatan. Karena paman
mengabdi kepada ki tumenggung Suranata dan aku oleh paman disuruh untuk
menemaninya di sana." jawab ki Lurah Mas Karebet.
"O.. Kalau begitu lain kali ingin aku berkunjung ke Suranatan, untuk sekedar
berbincang dengan adi Lurah dan ki Ganjur." kata ki Lurah Arya Dipa
"Aku akan menanti dengan senang hati, kakang Lurah." sambut ki Lurah Mas
Karebet.
Kemudian ki Lurah Arya Dipa pamit untuk kembali ke barak kesatuan Wira
Tamtama. Perlahan kuda yang ia namai Jatayu Pethak berjalan melewati
lorong jalan yang membelah kotaraja Demak.
OLEH : MARZUKI
.
..
Dua hari setelah ki Tumenggung Gajah Pungkuran dan ki Lurah Arya Dipa
menghadap Kanjeng Sultan Trenggono, untuk melaporkan keberadaan dua
pusaka Demak yang dipastikan berada di Kabuyutan Banyubiru, maka Kanjeng
Sultan Trenggono menitahkan ki Panji Arya Palindih memimpin pasukan segelar
sepapan menuju Kabuyutan yang berdiri sejak Prabu Brawijaya Pamungkas
mas Majapahit, yaitu Kabyutan Banyubiru.
Sebelumnya dalam pisowanan ki Panji Arya Palindih mengungkapkan rasa
yang menganjal dalam hatinya mengenai prajurit yang akan mengiringinya.
Mengapa harus membawa pasukan sebanyak itu kalau hanya mengambil dua
pusaka yang jelas keberadaannya berada di lingkungan sendiri. Karena ki Panji
Arya Palindih sangat memahami pambeg dari ki Ageng Gajah Sora yang
dimasa mudanya ikut menyeberang ke Malaka. Inilah yang merisaukan hati
seorang perwira yang sebelumnya bertugas di bandar Bergota.
Tapi saat itu Kanjeng Sultan hanya memberikan jawaban yang tak mudah
dimengerti oleh ki Panji Arya Palindih. Tapi untuk kembali mengutarakan uneg -
unegnya, ki Panji tak berani, bisa - bisa Kanjeng Sultan akan murka kepadanya.
Oleh karenanya Perwira tua itu segera bergegas mengemban tugas itu serta
mempersiapkan pasukan yang akan mengiringinya ke telatah Kabuyutan
Banyubiru.
"Kakang Panji, kali ini tak usah kakang membawa pasukan dari Bergota. Biarlah
pasukan dari Wira Tamtama yang menyertai kakang menuju Banyubiru." kata ki
Tumenggung Gajah Pungkuran.
"Ki Tumenggung, prajurit dari kesatuan manapun juga tentu tak masalah. Tapi
tolong berilah titik terang kepadaku ini, mengapa hanya mengambil dua
pusaka yang berada di tangan anakmas Gajah Sora saja harus mengerahkan
pasukan sebanyak ini ? Apakah Buyut baru mempunyai hati kotor untuk
memberontak ?" tanya ki Panji Arya Palindih.
"Hm.. " Tumenggung dari kesatuan Wira Tamtama itu menghela napas,
"Entahlah kakang Panji, tapi yakinlah bahwa pasukan itu nantinya akan
membantu dan melapangkan jalan kakang untuk tugas kali ini."
"Lalu siapa saja perwira yang akan menyertaiku ?"
"Karena sebagian perwira maju ke Purbaya dan sebagian lagi harus berada di
kotaraja, serta atas perkenan dari Kanjeng Sultan, kakang akan ditemani oleh ki
Panji Reksotani, ki Rangga Gajah Sora, ki Lurah Saroyo dan ki Lurah Arya Dipa
ini." ucap ki Tumenggung Gajah Pungkuran sambil menunjuk ki Lurah Arya Dipa
P a g e | 266
Demi dirinya ditunjuk, ki Lurah Arya Dipa mengangguk hormat kepada perwira
tua dari kesatuan Jalapati tersebut. Dan ki Panji Arya Palindih menyambutinya
dengan anggukan.
"Baik, ki Tumenggung. Sesuai dengan titah Kanjeng Sultan, esok dikala sang
cakrawala bersinar di ujung timur maka kami siap berangkat." sahut ki Panji Arya
Palindih, mantap.
Lantas siang itu di barak kesatuan Wira Tamtama terjadi kesibukan dalam
mempersiapkan pasukan yang siap mengiringi duta dalam mengemban
pengambilan keris kyai Naga Sasra dan kyai Sabuk Inten di Banyubiru.
Persiapan - persiapan mulai ditata dan diteliti secara cermat oleh para perwira,
mulai dari persenjataan, tunggangan, perlengkapan berupa umbul, rontek,
panji, dan tak lupa bendera Gula Kelapa telah terikat kuat di sebatang tombak
panjang setinggi pertengahan pohon kelapa. Juga masalah perbekalan pun
tak ketinggalan.
Hal itu mengundang tanda tanya di sebagian besar para prajurit yang akan
ikut.
"Sebenarnya kita ini ke Banyubiru atau menyusul kawan kita ke Purbaya ?"
tanya seorang prajurit muda.
"Bukankah sudah jelas seperti yang dikatakan oleh, ki Lurah Saroyo kalau
pasukan ini mengawal ki Panji Arya Palindih ke Banyubiru." jawab prajurit yang
mempunyai kumis tipis.
"Tapi mengapa sebanyak ini ?" kembali prajurit muda bertanya.
"Iya, apalagi perlengkapan dan perbekalan yang dibawa begitu lengkap." sela
prajurit berbadan jangkung.
"Mengapa kalian mempermasalahkan seperti itu ?" seorang prajurit yang sudah
berumur tiba - tiba mengangkat suara, "Itu semua sudah tugas kita sebagai
prajurit rendahan seperti ini, sepantasnya kita mengikuti perintah atasan kita
kemana saja pemimpin kita bergerak."
"Ah kau kakang Siman, tapi tak salahnya jika kita tahu arah jalan yang akan
ditapaki. Ibarat seorang buta jikalau disuruh ke jurang, tentu ia pun akan
menolak." kata prajurit yang berbadan jangkung.
"Itu berbeda Wapang Jangkung, hidup kita ini sebagai seorang prajurit yang
sudah bersumpah sejak kita menggeluti bidang keprajuritan ini. Perintah atasan
adalah harga mati yang tak bisa ditolak."
"Walau itu harus melanggar rasa kemanusiaan, kakang Siman ?" tanya prajurit
P a g e | 267
yang muda.
"Ah.. Aku rasa pemimpin kita tak seperti itu dalam memberi perintah, Kajar."
jawab Prajurit Siman. "Ah sudahlah, sebaiknya kita berkemas dan segera
melapor ke ki Lurah Saroyo."
Itulah yang digunjingkan sebagian prajurit di lingkungan kesatuan Wira
Tamtama, khususnya prajurit dibawah pimpinan ki Lurah Saroyo. Begitu juga
halnya di ruang lainnya, setiap prajurit sambil berkemas sempat menjadikan
kepergian mereka ke Banyubiru sebagai bahan pergunjingan.
Sementara itu di ruang utama barak terjadi sebuah pertemuan, dimana
seorang petugas telik sandi baru datang dari sekitar Rawa Pening yang
jaraknya dekat dengan Kabuyutan Banyubiru.
"Siapa saja orang - orang itu, prajurit ?" tanya ki Tumenggung Gajah Pungkuran
kepada prajurit yang baru datang itu.
"Mereka pemimpin gerombolan perampok dan perompak, ki Tumenggung."
lapor prajurit sandi itu. "Salah satunya Lowo Ijo dari alas Mentaok yang kini
melebarkan ruang jelajahnya sampai ke alas Tambakboyo, Sepasang Uling
Rawa Pening dan ada lagi seorang gegedug dari gunung Ciremai."
"Ki Bugel Kaliki.. !" seru ki Lurah Saroyo.
"Kau mengenal orang itu, ki Lurah ?" tanya ki Tumenggung Gajah Pungkuran.
Tentunya kelompok di Rawa Pening itu orang - orang pinunjul dalam olah
kanuragan." jawab ki Tumenggung Gajah Pungkuran.
Sejenak ruang itu hening dan hanya terdengar desau angin yang mampu
menerobos lewat lubang angin - angin. Ki Tumenggung lalu kemudian
memerintahkan prajurit sandi itu untuk kembali ke tempat penyelidikannya di
dekat Rawa Pening.
"Bagaimana menurut kakang Panji, selaku perwira yang akan memimpin
pasukan ini ?" tanya ki Tumenggung, setelah kepergian prajurit telik sandi.
"Kita pusatkan pasukan ini ke Banyubiru dahulu, jikalau orang - orang yang
berada di Rawa Pening itu nampak bergerak menghadang kita, barulah kita
bertindak." terang ki Panji Arya Palindih.
"Baiklah jika itu yang terbaik, aku percayakan tugas ini di pundak kakang Panji
seperti yang diyakini oleh Kanjeng Sultan."
Pertemuan itu dibubarkan untuk hari ini, segala rancangan telah disepakati
dengan berbagai tindakan, mulai yang wajar ataupun pengerahan pasukan
Demak.
Matahari pada hari itu seolah - olah bergerak merangkak layaknya bayi
sehingga terasa lamban, itulah yang dirasakan oleh sebagian prajurit kesatuan
Wira Tamtama. Namun tidaklah bagi ki Lurah Arya Dipa, pemuda ini
memanfaatkan waktu itu dengan sungguh - sungguh. Di biliknya pemuda itu
duduk bersila memusatkan nalar dan budi memasrahkan diri kehadapan Sang
Pencipta, tubuh tenang pemuda itu menyatu dengan ruang lain, mata
terpejam, telinga tertutup dari hiruk pikuk dunia, hidung menanggalkan kerja
penciuman. Sehingga benar - benar dirinya memasuki sebuah alam lain yang
tak mampu ditembus oleh akal.
Dalam alam itu, ki Lurah Arya Dipa mampu melihat sosoknya sendiri yang
sedang duduk bersila dengan mata terpejam dan tangan bersedekap.
Sejenak pemuda itu menjauhi wadagnya yang masih bersila, dengan langkah
ringan ki Lurah Arya Dipa bergeser ke depan sejarak satu tombak. Tubuhnya
secara perlahan bergerak mengunjuk sebuah tata gerak dasar dari ilmu yang
ia pelajari di gunung Penanggungan. Tata gerak dari kitab Cakra Paksi Jatayu
peninggalan Prabu Airlangga raja pertama Kadiri. Gerak dasar diperagakan
dengan mantap dan sigap sesuai alur ilmu Prana tingkat tinggi, semakin
membuat gerakan itu bertenaga. Desiran tenaga yang ditimbulkan mampu
menyibak udara di alam itu. Selapis demi selapis kemampuan ki Lurah Arya
Dipa semakin meningkat, hingga tenaga cadangan terungkap menyatu dan
melebur kesetiap geraknya. Aji perlindungan kasat mata yaitu Niscala Praba
P a g e | 269
ikut muncul membuat alam itu berkilauan. Tak berhenti disitu saja, gerakan
perwira pemuda itu terasa ringan bak kapas karena aji Sepi Angin pun ikut
andil.
Dan sebuah keanehan muncul di alam itu manakala dari depan, segumpal
batu besar mencelat mengarah Lurah muda itu. Tetapi ki Lurah Arya Dipa selalu
waspada, dengan gerak tangkas pemuda itu meloncat tinggi dengan kaki
merentang dan tangan memukul batu hitam itu dengan pukulan Aji Sepi Angin.
"Desss..... !!!"
Batu hitam besar itu hancur berkeping - keping.
Selesai memukul hancur batu hitam ki Lurah Arya Dipa masih mengambang di
udara, kaki kanannya tiba - tiba bergerak menendang ke samping.
"Dess... !!" disusul bunyi keluhan.
"Hrrr.. Anak manusia beraninya kau memasuki alam ini !" sebuah suara dari
sesosok tinggi besar menyeramkan.
"Hm.. " hanya desuhan dari mulut ki Lurah Arya Dipa.
"Tulikah kau ?! Atau mulutmu tak bisa bicara !" bentak sosok itu.
"He.. Makhluk hitam, seharusnya akulah yang bertanya kepadamu. Siapa kau
ini dan bagaimana kau bisa memasuki alam ini ?"
"Tobil manusia kerdil, aku Mahesa Sura akan melumatkan dirimu. Karena
seorang berpakaian layaknya Resi suci telah menyuruhku untuk menguji dirimu
!" seru sosok hitam yang menyebut dirinya sebagai Mahesa Sura.
"Maksudmu Gusti Resi Gentayu ?" ucap ki Lurah Arya Dipa keheranan.
"Hrrr... Tak usah banyak tingkah, rasakan pukulanku !" Mahesa Sura langsung
mencecar lawan dengan pukulan ganas.
Untunglah ki Lurah Arya Dipa tak melepaskan kewaspadaanya dengan sosok
itu, Lurah muda itu dengan sebat menghindari terjangan pukulan Mahesa Sura.
Tapi memang dahsyat sosok yang menyebut utusan dari Resi Suci, pukulan
yang mampu dihindari lawan masih mampu membuat kulit lawan bagai
tersulut api. Udara dari tebasan tangannya mampu menimbulkan tenaga
dahsyat.
wajar karena dilambari tenaga dahsyat dari sosok hitam Mahesa Sura.
Sudah sering ki Lurah Arya Dipa melakukan lelaku ini disetiap waktu
senggangnya, tapi baru kali ini dirinya mengalami peristiwa yang membuat
dadanya berdebar, karena sosok hitam sebagai lawannya. Oleh karenanya
pemuda yang pernah berada dalam pengawasan Resi Puspanaga itu, telah
meningkatkan kemampuannya untuk menekan lawan yang selalu bergerak
cepat dan tak dapat diperitungkan langkahnya. Aji Sepi Angin diungkap
semakin dalam demi mengejar langkah cepat lawan.
Maka dalam alam sunyi itu timbul sebuah angin menderu - deru mengoyak
udara disekitar lingkup Mahesa Sura. Sebuah angin dari kemampuan tingkat
tinggi yang mampu diungkit dari aji Sepi Angin oleh ki Lurah Arya Dipa.
"Dess... Buuum !!!"
Hentakan itu menimbulkan bunyi keras manakala mengenai tubuh Mahesa
Sura. Serta alam itu menjadi gelap sekali sehingga untuk melihat ujung tangan
sendiri, tak nampak. Tentu hal itu membuat ki Lurah Arya Dipa berjaga dengan
cara melindungi tubuhnya dengan aji Niscala Praba. Warna kuning kemilau
memancar menyelimuti diri pemuda itu dari serangan yang terduga.
"Cukup angger cah bagus." sebuah suara tiba - tiba terdengar penuh perbawa.
Perbawa suara itu sungguh dahsyat sampai - sampai ki Lurah Arya Dipa bagai
tercucuk hidungnya, yang mana diri pemuda itu secara perlahan menyimpan
kembali aji Niscala Praba. Dikala sinar kemilau dari aji Niscala Praba sirna,
tergantilah di depan sesosok tua tinggi besar, penuh perbawa dengan pakaian
putih layaknya pakaian yang dikenakan oleh seorang Resi.
"Angger cah bagus.." desis.sosok itu.
"O.. Gusti Prabu, terimalah sembah bekti hamba." ucap ki Lurah Arya Dipa
seraya duduk bersila dengan tangan ngampurancang.
Sosok itu mendekat dan berhenti dua kilan di depan ki Lurah Arya Dipa, tangan
orang itu memegang kepala pemuda itu.
"Ku terima sembah bektimu, Angger." kata sosok itu, "Angger Dipa, memang
akulah yang menyuruh Mahesa Sura untuk mengujimu di alam ini, dan aku
merasa bangga manakala kau mampu mengungkap aji Sepi Angin sampai
tingkatan itu."
Sosok itu kembali diam tapi tangan kanannya mengelus punggung ki Lurah
Arya Dipa, dimana disitu terdapat sebuah goresan berbentuk cakra dengan
seekor garuda merentangkan sayapnya. Lalu kemudian sosok itu melangkah
mundur yang selanjutnya berdiri tegak menghadap ki Lurah Arya Dipa.
"Angger Dipa, apakah kau pernah berjumpa dengan seorang tua dengan
tubuh bongkok tapi bicaranya penuh makna ?" tanya sosok itu.
P a g e | 271
Pertanyaan itu oleh ki Lurah Arya Dipa diresapi secara dalam dan
menumbuhkan ingatannya manakala dirinya bersama prajurit Sambi Wulung
dan Jaka Ungaran di sebuah hutan di malam hari, seorang tua dengan tongkat
menyerupai kepala ular berjalan terseok - seok serta melantunkan tembang
yang penuh arti.
"Hamba, Gusti Prabu." sahut ki Lurah Arya Dipa.
"Hm.. Bagaimana tanggapanmu dengan orang itu ?"
"Ampun, Gusti Prabu... "
"Panggilah aku Eyang Resi saja, angger." cepat sosok itu memotong kata
pemuda di depannya.
"Oh.. Baik, Eyang Resi." sahut ki Lurah Arya Dipa, "Bagi hamba, orang tua itu
tentu seorang yang dekat dengan Sang Pencipta."
"Hm.. Bagus, angger. Memang begitulah nyatanya, orang itu merupakan salah
seorang wali yang mengajarkan ilmu keyakinan dengan cara bijaksana. Bila
kau berjumpa lagi dengannya mintalah petunjuk kepadanya, supaya engkau
mendapatkan ketenangan yang nyata." kata sosok yang tak lain Resi Gentayu.
"Baik, Eyang Resi. Hamba akan menjalankan apa yang Eyang ucapkan."
"Oh.. Keliru angger, bila kau menjalankan apa yang aku ucapkan, itu berarti itu
hanya perintah semata yang kau lakukan. Hendaknya engkau renungkan dari
ucapanku tadi mengenai orang tua itu, secara benar."
"Oh Eyang Resi, mohon kiranya Eyang memberi penerangan kepada cucumu
ini. Supaya dalam tindakan selanjutnya tak salah langkah." pinta ki Lurah Arya
Dipa.
"Angger, Keyakinan kita dengan orang tua itu dalam bentuknya sangat
berbeda, tapi dalam tujuannya sebenarnya nyata. Namun ku akui jika yang
dianut oleh orang tua itu sebenarnya sebuah keyakinan yang sempurna dari
keyakinan yang dianut oleh kaum terdahulu. Oleh karenanya pelajari dan
tuntutlah keyakinan itu darinya." kata Resi Gentayu dengan sareh.
Kepala pemuda itu menunduk dengan sikap masih ngampurancang, tapi
ketika mata kembali membuka, dirinya kembali berada di bilik barak.
"Oh.. " hanya desuh saja yang ia suarakan.
..
Saat ki Lurah Arya Dipa terjaga dari semedinya, ruang biliknya terlihat remang -
remang. Menandakan hari menginjak petang, di luar para prajurit mulai
menyalakan dimar dari getah jarak.
Di biliknya ki Lurah Arya Dipa masih duduk di atas dipan kayu dengan masih
mengenang peristiwa yang baru ia alami. Pertemuannya dengan Resi Suci
Gentayu, telah kembali membuka mata batinnya serta keinginannya untuk
menemui seorang Wali, yang menurut Resi Gentayu keberadaan orang itu di
Kadilangu.
"Semoga setelah tugas dari Banyubiru, aku bisa berjumpa dengan Kanjeng
Sunan." desis pemuda itu.
Tak lama dari arah pintu bilik terdengar sebuah ketukan.
"Siapa ?" tanya ki Lurah Arya Dipa.
"Jaka Ungaran, ki Lurah." jawab seorang yang mengetuk pintu dari luar.
"Oh.. Masuklah kakang."
Derit daun pintu terdengar seiring terbukanya daun pintu itu, seorang prajurit
muda memasuki bilik itu.
"Apakah ki Lurah tertidur dan tak sempat menyalakan dimar ?" tanya prajurit
Jaka Ungaran sambil melangkah mendekati dimar, lalu menyalakannya.
"Iya, kakang." sahut ki Lurah Arya Dipa, berbohong, "Adakah sesuatu yang akan
kakang bicarakan denganku ?"
Prajurit yang akrab dengan ki Lurah Arya Dipa itu mengambil duduk di dingklik
dekat lubang angin - angin. Sejenak prajurit Jaka Ungaran menarik napas yang
kemudian berkata, "Ki Lurah, tadi ketika aku berjalan - jalan di lorong jalan
dekat Suranatan, aku melihat seorang tua yang mirip dengan orang bongkok
dipinggiran hutan dikala itu."
"Oh.. Apakah kakang sempat menyapa dan berbincang dengan orang itu ?"
tanya ki Lurah Arya Dipa, tertarik sekali dengan pembicaraan yang
menyangkut dengan orang bongkok yang diduga seorang Wali.
Tapi prajurit Jaka Ungaran menggelengkan kepalanya, "Tidak, ki Lurah. Orang
tua itu keburu masuk ke Suranatan. Sudah lama aku menunggu dekat pintu
regol, tapi orang itu tak kunjung keluar dari kediaman ki Tumenggung
Suranata."
"Apakah kakang tak bertanya dengan penghuni Suranatan, pembantu atau
penjaga misalnya ?"
"Sudah, ki Lurah. Salah seorang penjaga mengatakan jikalau orang itu
menemui kemenakan ki Ganjur, Lurah yang mengurusi masjid Agung Demak."
jawab prajurit Jaka Ungaran.
P a g e | 273
"Oh.. ki Lurah Mas Karebet." desis perlahan ki Lurah Arya Dipa, seolah - olah
bicara dengan dirinya sendiri.
"Ki Lurah, mengenal kemenakan Lurah tua itu ?"
Anggukan terlihat dari perwira Tamtama itu, "Dua hari yang lalu ketika aku ke
Kaputren, aku bertemu dengan seorang Lurah baru, Mas Karebet namanya.
Dan ia mengatakan jika ia tinggal dengan ki Ganjur di Suranatan."
"Terima kasih, kakang."
"Tentang apa ki Lurah ?"
"Orang tua bongkok itu, aku sangat penasaran dengan orang tua itu. Mungkin
aku bisa mengorek lebih jelas mengenai orang itu melalui adi Lurah Mas
Karebat." kata ki Lurah Arya Dipa.
"Ah...Aku hanya sekedar memberitahu saja keberadaan orang itu, ki Lurah. O
ya bagaimana rencana ki Lurah dengan nini Ayu Andini seoanjutnya ?"
"Ah.. Kakang." suara ki Lurah Arya Dipa agak bergetar.
"Hahaha.. Adi Lurah, segeralah ketika ada waktu luang." kata prajurit Jaka
Ungaran, lalu prajurit itu mohon diri.
Tinggalah kini ki Lurah Arya Dipa sendiri lagi di bilik barak kesatuan Wira
Tamtama. Pemuda itu merenung sesaat apa yang akan ia lakukan di petang
ini. Sejenak kemudian dirinya berkeinginan untuk berkunjung ke Suranatan
menemui ki Lurah Mas Karebet, sekaligus ingin mengetahui siapa sebenarnya
orang yang ia duga seorang Wali yang bertempat di Kadilangu.
"Siapa tahu adi Lurah Mas Karebet tahu banyak mengenai jati diri orang tua
itu." batinnya.
Di simpang jalan Perwira muda itu membelokan kakinya ke kiri dimana arah itu
menujuh ke lingkungan para Nayaka Praja. Berderet bangunan kokoh dengan
halaman yang luas di sekitar lingkungan itu, menunjukan betapa makmurnya
para penghuninya. Hal itu dirasakan juga oleh ki Lurah Arya Dipa betapa
perbedaan sangat mencolok antara kehidupan Nayaka Praja dan kawula alit
yang tinggal di pelosok - pelosok. Bila di kotaraja bangunan sepenuhnya
menggunakan bahan - bahan bangunan kokoh terbuat dari tembok dengan
pohon jati sebagai tiangnya serta atap yang kuat, sedangkan di padukuhan
terpencil bangunan atau bahkan layak disebut gubuk terbuat dari dinding
bambu yaitu gedek dengan atap alang - alang ataupun blarak yang disebut
ketepe.
"Namun itu semua tak sepenuhnya kesalahan dari sang penguasa, perbedaan
antara orang priagung dengan wong mlarat sampai kapanpun tentu terus
berkelanjutan." desis ki Lurah Arya Dipa.
Kaya dan miskin itu semua merupakan ujian dan cobaan dari Gusti Agung. Si
kaya akan bahagia jika mendermakan sebagian hartanya untuk sesama,
sehingga terjalin ikatan yang rukun saling bahu membahu, dan si kaya akan
hancur jika menyombongkan kekayaannya, karena murka dari Si Pencipta.
Begitu dengan si miskin, kemiskinannya ialah sebuah ujian semata untuk
mengetahui sebetapa tabahkah dirinya dalam menyikapinya, oleh karenanya
seorang miskin akan bahagia manakala dengan tenaganya berusaha bekerja
secara baik sesuai garis Illahi serta diiringi dengan ibadah memanjatkan do'a
dan puji keharibaan Sang Maha Tunggal.
JILID 6 BAG 14
OLEH : MARZUKI
.
..
Salam yang merdu terucap dari mulut ki Prenjak seraya mengetuk pintu
bangunan yang di tempati ki Lurah Ganjur. Dari dalam sambutan atau balasan
salam terdengar bergemuruh, yang menandakan beberapa oranglah yang
menjawab salam ki Prenjak.
Tak berselang lama derit daun pintu terdengar dan seorang pemuda tampan
muncul dari balik daun pintu sisi dalam.
"O paman Prenjak... " kata itu terputus manakala si pemuda menatap orang
yang berdiri di belakang ki Prenjak, "Kau kakang Lurah.. "
Mendengar pemuda dari dalam menyebut nama Lurah kepada orang yang
diantarnya, ki Prenjak terkejut dan segera memutar badan menatap pemuda
yang ia antar. Tampak wajahnya terlihat takut bercampur rasa sesal. Untunglah
sentuhan tangan di pundaknya disusul kata lembut membuat hati ki Prejak,
lega.
"Jangan paman pikirkan, aku juga seperti paman yang terdiri dari segumpal
darah dan daging."
"Oh.. maafkan kelancanganku, ki Lurah. Itu semua karena ketidaktahuanku."
ucap ki Prenjak.
"Sudah aku bilang, paman. Aku tak mempermasalahkan, karena aku
berkunjung juga tak menggunakan pakaian dan tugas keprajuritan." kata ki
Lurah Arya Dipa dengan lembut, "Malah aku mengucapkan terima kasih
karena paman berkenan mengantarku."
Kelegaan merayapi hati ki Prenjak dengan sikap pemuda yang tak tahunya
seorang perwira prajurit. Kemudian penjaga Suranatan itu kembali ke gardu
dekat regol halaman, sampai di gardu ki Prenjak mengatakan kepada
kawannya bahwasannya tamu muda itu seorang Lurah.
Sementara itu ki Lurah Arya Dipa dipersilahkan memasuki bangunan yang
ditempati oleh ki Ganjur. Bangunan itu terdiri dari ruang tamu, lalu tiga bilik dan
dapur paling belakang. Di ruang untuk tamu itu ada dua orang tua yang
sebelumnya duduk beralaskan tikar mendong, bangkit berdiri menyambut ki
Lurah Arya Dipa.
"Selamat datang di lingkungan Suranatan, anakmas." sapa seorang yang
rambutnya bersulam uban.
"Terima kasih, paman." ucap ki Lurah Arya Dipa
Lalu ki Lurah Mas Karebet memperkenalkan ki Lurah Arya Dipa kepada kedua
P a g e | 277
orang tua itu, yaitu orang tua yang menyapa pertama ialah ki Ganjur paman
dari telatah Tingkir, sedangkan orang disampingnya adalah ki Sembada yang
diaku uwa oleh Mas Karebet.
"Jadi anakmas ini Lurah prajurit yang pernah bertugas di Ksatriyan waktu gusti
Pangeran Bagus Mukmin masih belum diangkat Adipati Anom ?" tanya ki
Ganjur.
"Benar, paman." jawab ki Lurah Arya Dipa.
Ki Ganjur menganggukan kepala karena senang dengan tamu kemenakannya
itu, karena dikalangan kotaraja perwira muda itu terkenal dengan
kecerdikannya dalam menghadapi setiap medan pertempuran. Pertama saat
menghadapi gerombolan perampok di pesisir utara Jepara, lalu yang kedua
saat kedatangannya di bukit Kapur Grobokan menghadapi pasukan yang
diduga dari Jipang hanya bersama sepuluh prajurit saja.
"Tak aku sangka hari ini aku kedatangan seorang pemuda sakti seperti
anakmas."
"Ah.. Paman terlalu berlebihan, aku tak seperti yang paman Ganjur
bayangkan." kata ki Lurah Arya Dipa, merendah.
"Hehehe.. Inilah tanda orang yang berkemampuan tinggi, semakin berisi
semakin merendah." sekali lagi ki Ganjur berkata.
Percakapan itu terhenti manakala seorang gadis keluar dari ruang dalam,
membawa nampan berisi minuman dan sepiring makanan. Perlahan hidangan
itu disajikan di atas tikar mendong, oleh gadis itu. Lalu kemudian gadis itu
mempersilahkan hidangan itu yang kemudian akan bangkit berdiri untuk
kembali ke dapur. Tapi ki Ganjur menahan gadis itu untuk bergabung duduk di
ruang tamu.
"Sudahlah, nduk kamu disini saja. Biarlah urusan dapur dikerjakan bibimu."
"Benar, nimas Widuri." sela Mas Karebet, lalu, "O ya nimas, kenalkan ini kakang
Arya Dipa. Lurah prajurit Wira Tamtama."
"Kakang Dipa, ini Endang Widuri kakak sepupuku, putri uwa Sembada." lanjut
Mas Karebat, "Tapi ia biasa memanggilku kakang."
Gadis itu mengangguk hormat agak tersipu malu. Ki Lurah Arya Dipa membalas
dengan anggukan pula.
"Lebih baik aku membantu bibi di dapur, paman dan kakang." sahut gadis itu,
lalu, "Kasihan bibi bila sendirian."
"Bantulah nyi Ganjur, Widuri." sahut ki Sembada, "Bila disini ia akan mengantuk,
karena di tak biasa mengobrol dengan banyak orang."
"Ah.. Ayah." desis gadis itu.
P a g e | 278
"Tanpa sengaja aku mendengar kabar hilangnya benda pusaka itu ketika
dalam pengembaraanku. Di setiap kedai ataupun warung, hal itu dijadikan
bahan pembicaraan oleh kalayak ramai. Bahkan para begal, rampok, kecu
dan gegedug di rimba rayapun mengetahui dua pusaka itu, anakmas." kata ki
Sembada.
.
"Ternyata paman Empu Citrasena berhasil menyebarkan kabar itu kepada
kalangan golongan hitam dan kalayak ramai." batin ki Lurah Arya Dipa.
.
Sementara itu ki Sembada kembali berkata, "Anakmas, apakah kabar itu
hanyalah kabar burung saja ? Mana mungkin seorang kepala tanah pedikan
yang dimasa mudanya sangat tinggi pengabdiannya kepada kesultanan
Demak, menyimpan pusaka itu tanpa langsung mengantarkan ke hadapan
Kanjeng Sultan ?"
.
Sebenarnya ki Lurah Arya Dipa akan gamblang dalam memberi jawaban
sebenarnya, tapi demi menjaga kerahasiaan apa dalam pemikiran ki Ageng
Sora Dipayana, terpaksa Lurah muda itu mengelaknya.
.
"O.. Kalau hal itu, aku kurang mengerti paman. Karena sebenarnya aku belum
mengenal siapa sebenarnya ki Ageng Gajah Sora itu."
.
"Hm.. Perlu kau tahu, anakmas. Adi Gajah Sora yang kini mendapat
palungguhan di Banyubiru, di masa mudanya merupakan kawan baik dari adik
seperguruanku." kata ki Sembada.
.
"Oh.. " desuh ki Lurah Arya Dipa.
.
P a g e | 281
.
Maka terlihatlah sebagian prajurit muda dengan langkah tegap
membusungkan dada mereka yang bidang. Apalagi ketika melewati
sekumpulan gadis yang berdiri berbaris, semakin berkembanglah kebanggaan
di hati prajurit muda itu.
.
Iringan pasukan itu semakin lama mendekati pintu gerbang kotaraja bagian
selatan, dan kemudian pasukan perintis mulai bergerak mendahului pasukan
induk untuk mengamankan jalan yang akan dilalui oleh pasukan Demak.
.
Perjalanan yang sebenarnya bisa ditempuh cepat itu, tak mampu ditempuh
dengan semestinya. Ini dikarenakan karena banyaknya pasukan dan barang
yang dibawa. Sehingga iringan pasukan itu seperti siput yang merapat, sangat
perlahan.
Ki Lurah Arya Dipa yang merupakan perwira paling muda telah ditugaskan
untuk mengawasi semua pasukan, oleh karenanya dirinya selalu hilir mudik
berpindah tempat. Disuatu kali perwira itu di depan iringan, lain waktu berada
di ujung belakang pasukan dan memberi laporan kepada ki Panji Arya Palindih
yang berada di tengah pasukan.
.
Walau ki Lurah Arya Dipa sebagai seorang perwira, namun pemuda itu tak
segan - segan ikut berjalan dengan para prajurit yang berjalan kaki. Dengan
ramah mengajak prajurit bercakap untuk mengurangi rasa tegang atau lelah.
Dan kepada prajurit yang tua darinya, ki Lurah Arya Dipa menaruh hormat.
Maka terjalinlah sebuah hubungan yang harmonis antara pimpinan dan yang
dipimpin, tanpa adanya rasa yang tak dikehendaki ataupun rasa iri. Bagi
prajurit akan tertanam rasa segan terhadap pimpinan, dan itu lebih baik
daripada seorang prajurit yang dalam hatinya takut kepada pimpinan.
.
Pasukan Demak yang dipimpin oleh ki Panji Arya Palindih akhirnya sampai di
luar batas Kabuyutan Banyubiru dan dengan sebuah isyarat dihentikan. Lalu ki
Panji Arya Palindih mengumpulkan para perwira demi meminta pertimbangan
yang terbaik untuk langkah selanjutnya.
.
"Baiklah kalau begitu." kata ki Panji Arya Palindih setelah melakukan
pembicaraan dengan para perwira, "Ki Panji Reksotani dan ki Rangga Gajah
Sora tetap disini untuk memimpin para pasukan."
P a g e | 284
.
"Baik, ki Panji." sahut ki Panji Reksotani dan ki Rangga Gajah Sora.
.
Kemudian ki Panji dari Bergota itu beralih kepada perwira yang lain, katanya, "Ki
Rangga Gajah Alit, ki Lurah Saroyo dan ki Lurah Arya Dipa akan mengiringiku ke
padukuhan induk Banyubiru."
.
Ketiga perwira yang disebut dengan serentak siap sedia untuk mengiringi ki
Arya Palindih menghadap ki Ageng Gajah Sora, di padukuhan induk Banyubiru.
Kuda ke-empat perwira telah disiapkan dan sekelompok prajurit juga
menyertai.
Iringan kelompok prajurit itu saat memasuki padukuhan pertama telah disambut
oleh pimpinan pengawal Kabuyutan, dan kelompok prajurit itu kemudian
diantar oleh salah satu pimpinan pengawal Kabuyutan ke padukuhan induk.
.
Semenjak memasuki padukuhan pertama iringan dari ki Panji Arya Palindih
telah memancing perhatian dari penghuninya. Dalam hati mereka menumpuk
berbagai pertanyaan setelah di Kabuyutan mereka baru saja mengalami
persoalan. Dimana sekelompok orang melakukan kerusuhan.
.
"Kakang, Prajurit yang datang kali ini apakah ada hubungannya dengan
peristiwa yang baru terjadi kemarin di padukuhan induk ?" tanya seorang lelaki
kepada tetangganya.
.
"Entahlah, adi. Tapi kita harus cepat bertindak manakala ada isyarat dari
padukuhan induk." sahut tetangga orang pertama.
.
"Apa tak sebaiknya kita mempersiapkan para pemuda padukuhan ini, kakang
? Aku merasa akan ada sesuatu yang akan terjadi. Ingat kakang, adik ki Ageng
Gajah Sora itu lenyap bersamaan dengan mundurnya para perusuh."
.
"Maksudmu ki Lembu Sora ?" orang kedua meminta penegasan.
.
"Begitulah yang terjadi, kakang. Tentu ki Lembu Sora tak rela jika ki Ageng Sora
Dipayana menyerahkan kepemimpinan Kabuyutan ini kepada ki Ageng Gajah
Sora."
.
P a g e | 285
"Oh.. " desuh tetangga orang pertama, "Sebegitukah sifat ki Lembu Sora ?"
mampu mempertahankan. Tapi Sima Rodra selain dibantu oleh istrinya, juga
dibantu oleh seorang pertapa dari gunung kelud."
.
"O.. Resi Gangsiran kah, maksud ki Ageng ?" kini yang terkejut seorang perwira
muda, yaitu ki Lurah Arya Dipa.
.
"Anakmas Lurah mengenal orang itu ?"
.
"Hm..." desuh ki Lurah Arya Dipa, "Hanya mendengar sepak terjangnya saja, ki
Ageng. Resi Gangsiran merupakan seorang tokoh kanuragan dari bang wetan
yang digolongkan ke golongan hitam."
.
Semua yang ada dalam ruangan itu mengangguk, tak terkecuali seorang lelaki
yang berada dibalik sekat ruang pendapa itu. Seorang yang dari awal telah
mengikuti pembicaraan yang sedang berlangsung.
.
"Mengapa Demak mengutus perwira utama seperti ki Panji Arya Palindih dari
Bergota, adi Gajah Alit dan kakang Saroyo, serta Arya Dipa ?" desis orang
dibalik sekat.
.
Dari lubang kecil disekat itulah, orang itu mengintip. Tapi betapa kejut hatinya
manakala orang itu mengeliarkan pandang kearah ki Lurah Arya Dipa,
matanya membentur tatapan mata Lurah muda itu.
.
"Aneh, apakah ia mampu merasakan kehadiranku ?" tanyanya dalam hati.
Orang itu membalikan badannya ketika dari dalam terdengar langkah kaki,
segera orang itu bergegas menjauhi sekat. Dan baru lima langkah, orang yang
mengintip tadi disapa oleh seorang remaja.
.
"Paman Mahesa.. " sapa remaja itu.
.
"Oh.. Kau Arya Salaka." desis orang yang dipanggil paman Mahesa itu.
.
"Sedang apa paman di situ ?"
.
"Ah.. Sudahlah mari kita ke belakang." ajak orang itu, yang tak lain ki Rangga
Tohjaya.
P a g e | 288
.
Maka keduanya lantas menjauhi ruang dalam itu untuk menuju ke ruang
belakang.
Ageng Gajah Sora kembali berhenti demi mengambil napas, "Saat itulah
sekelompok orang muncul dengan menyerang kami. Dan aku mengenali
mereka dari golongan hitam."
Resi Puspanaga dari gunung Penanggungan, ki Ageng Nis dari Sela, ki Ageng
Butuh, ki Ageng Pengging dan yang lainnya. Dan juga setingkat dengan
Begawan Jambul Kuning, seorang linuweh namun memiliki watak yang angin -
anginan.
Bila dalam masa kemarau terpancar teriknya sang bagaskara, dan saat itu juga
jatuh siraman air dari langit mengenai tubuh, rasa sejuklah yang dirasa. Itupun
juga dirasakan oleh ki Ageng Gajah Sora, disaat mendengar ucapan terakhir
dari ki Panji Arya Palindih.
.
"Terima kasih atas pengertian paman Arya Palindih. Aku harap Kanjeng Sultan
melimpahkan pengampunan ke diri ku ini, atas keteledoran dan kekhilafanku
yang tak mampu menjaga pusaka itu." kata ki Gajah Sora.
.
Maka utusan dari Demak pamit undur diri untuk melaporkan kejadian hilangnya
pusaka Demak ke hadapan Kanjeng Sultan.
.
Sementara itu dari ruang dalam orang yang disebut paman oleh putra ki
Ageng Gajah Sora keluar menghampiri ki Ageng Gajah Sora.
.
"Apa rencana kakang di hari - hari mendatang, setelah utusan Demak itu ?"
.
"Aku tak mengerti, adi Mahesa Jenar. Bagaimana mungkin ini semua terjadi
secara beruntun seperti ini ?" sahut ki Ageng Gajah Sora.
.
Keduanya tampak termenung demi memikirkan hari - hari yang akan datang.
Bilamana Demak tak mempercayai ucapan dari ki Ageng Gajah Sora, tentu
akan terjadi sebuah kejadian yang akan meluluhlantahkan Kabuyutan
Banyubiru.
.
Di malam harinya di pendopo Kabuyutan diadakan pembicaraan untuk
membahas apa yang terjadi siang harinya. Tampak hadir para bebahu
Kabuyutan serta pemimpin laskar Banyubiru, yaitu ki Wanamerta dan Penjawi
serta Mahesa Jenar atau ki Rangga Tohjaya.
Saat itu ki Rangga Tohjaya yang kini memerkenalkan diri sebagai Mahesa Jenar
turun ke halaman samping, dirinya telah dikejutkan manakala seorang
pengawal dengan tergesa - gesa menaiki tlundak menemui ki Ageng Gajah
Sora.
.
"Siapa mereka !?!"
.
"Prajurit Demak, ki Ageng." jawab pengawal itu.
.
"Tunjukan padukuhan yang dibakar itu !" seru ki Ageng Gajah Sora kepada
pengawal itu.
.
Ki Ageng Gajah Sora dan pengawal itu dengan terburu - buru menuruni tlundak
ke arah kandang kuda. Kala itulah ki Ageng Gajah Sora berpapasan dengan
Mahesa Jenar.
.
"Ada apa, kakang ?" tanya Mahesa Jenar dengan herannya.
.
"Demak sudah keterlaluan, mereka membakar rumah di padukuhan Paminggir
!" seru ki Ageng Gajah Sora sambil menaiki punggung kuda.
.
"Sabarlah, kakang. Itu tentu bukan orang Demak." Mahesa Jenar berusaha
membujuk supaya ki Ageng Gajah Sora tak terbawa amarah.
.
"Maka dari itu, adi. Aku harus kesana untuk membuktikan !" seru ki Ageng Gajah
Sora serta mencongklang kudanya.
.
Derap kuda pun terdengar manakala dengan cepat kuda tunggangan ki
Ageng Gajah Sora menjejakan kaki di halaman dan terus keluar menyusuri
lorong jalan.
jatuh siraman air dari langit mengenai tubuh, rasa sejuklah yang dirasa. Itupun
juga dirasakan oleh ki Ageng Gajah Sora, disaat mendengar ucapan terakhir
dari ki Panji Arya Palindih.
.
"Terima kasih atas pengertian paman Arya Palindih. Aku harap Kanjeng Sultan
melimpahkan pengampunan ke diri ku ini, atas keteledoran dan kekhilafanku
yang tak mampu menjaga pusaka itu." kata ki Gajah Sora.
.
Maka utusan dari Demak pamit undur diri untuk melaporkan kejadian hilangnya
pusaka Demak ke hadapan Kanjeng Sultan.
.
Sementara itu dari ruang dalam orang yang disebut paman oleh putra ki
Ageng Gajah Sora keluar menghampiri ki Ageng Gajah Sora.
.
"Apa rencana kakang di hari - hari mendatang, setelah utusan Demak itu ?"
.
"Aku tak mengerti, adi Mahesa Jenar. Bagaimana mungkin ini semua terjadi
secara beruntun seperti ini ?" sahut ki Ageng Gajah Sora.
.
Keduanya tampak termenung demi memikirkan hari - hari yang akan datang.
Bilamana Demak tak mempercayai ucapan dari ki Ageng Gajah Sora, tentu
akan terjadi sebuah kejadian yang akan meluluhlantahkan Kabuyutan
Banyubiru.
.
Di malam harinya di pendopo Kabuyutan diadakan pembicaraan untuk
membahas apa yang terjadi siang harinya. Tampak hadir para bebahu
Kabuyutan serta pemimpin laskar Banyubiru, yaitu ki Wanamerta dan Penjawi
serta Mahesa Jenar atau ki Rangga Tohjaya.
.
Dalam pembicaraan itu disepakati untuk mempertahankan pernyataan yang
nyata bagi kepala tanah perdikan itu, yang benar dalam berkata mengenai
peristiwa hilangnya kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten. Tiada rasa sedikitpun
dalam diri penguasa Banyubiru untuk memiliki kedua pusaka itu. Oleh
karenanya jika suatu kali Demak akan mengirim kembali pasukannya, tentu
Banyubiru akan menghadapi.
Dan malam pun berlalu dengan cepatnya, tergantikan cerahnya sinar mentari.
Saat itu ki Rangga Tohjaya yang kini memerkenalkan diri sebagai Mahesa Jenar
P a g e | 295
Setelah orang itu pergi dan kini tinggal Mahesa Jenar yang berdiri mematung di
samping kudanya. Tampak dirinya sedang memikir apa yang disebutkan oleh
paman tadi dengan ciri - ciri pakaian prajurit yang membuat kerusuhan.
Tetapi betapa terkejutnya orang - orang itu ketika jawaban dari orang yang
membuat mereka jatuh jungkir balik, yang dikira gentar dengan menyebut diri
mereka sebagai prajurit Demak.
.
"Penipu busuk ! Kalian jangan membohongiku seperti kanak - kanak ! Lihat ini
dan buka mata kalian !" seru Mahesa Jenar seraya menyingkap pakaiannya.
.
"Oh... " kejut orang - orang itu, manakala melihat orang di depannya
memperlihatkan ikat kepala keprajuritan.
.
"Apa kata kalian ?!"
.
Ketiga orang itu saling berpandangan satu dengan lainnya. Sesaat kemudian
salah seorang bersiul keras. Dan kemudian dari beberapa arah muncul orang -
orang yang berpakaian mirip ketiga orang pertama.
.
"Cincang orang ini !" perintah orang yang bersiul tadi.
.
Tak menunggu lama semua orang mencabut pedang dan bergerak mendekati
Mahesa Jenar. Pedang tajam dan berujung runcing mereka bolak - balik seperti
memainkan dan memberi rasa jerih terhadap lawan, yang hanya satu orang.
.
Tiba - tiba dari arah alun - alun Kabuyutan terdengar kentongan bertalu - talu.
Sehingga menimbulkan berbagai tanggapan di hati Mahesa Jenar dan lawan -
lawannya. Pertanda apakah itu ? Dalam hati Mahesa Jenar timbul dugaan
kalau pihak musuh semakin gencar dalam membuat kerusuhan, sehingga
menimbulkan perlawanan dari laskar Banyubiru.
.
Sementara dari orang yang berpakaian keprajuritan, sebaliknya. Bisa saja itu
akan membuat mereka kesulitan di waktu yang akan datang. Sebab dari itu
seorang yang terlihat sebagai pemimpin, segera memberi isyarat dan berlarian
kocar - kacir.
.
Melihat tindakan mereka yang kabur, Mahesa Jenar membiarkan saja. Karena
ia ingin mengetahui apa yang terjadi di alun - alun Banyubiru. Segera ia
meloncat menaiki kudanya untuk menuju alun - alun. Sesampainya disana
betapa terkejutnya dirinya ketika mengetahui di alun - alun sudah berkumpul
laskar Banyubiru dalam kesiagaan. Tak hanya berhenti disitu saja, dalam
P a g e | 299
.
"Terima kasih atas perhatianmu, adi. Tapi aku juga tak mau jika aku serta tanah
kelahiranku ini diinjak - injak oleh mereka. Bila aku salah tentu aku akan
menurut, dan aku yakin diriku sudah bertindak semestinya, oleh karena itu aku
akan tetap maju." sejenak ki Buyut itu berhenti berkata dan nada yang
sebelumnya meledak - ledak, berubah halus, "Adi Mahesa, aku cuma meminta
tenagamu."
"Hm.. " desuh Mahesa Jenar, "Baiklah kakang, aku akan ikut bersamamu untuk
menghalau mereka."
.
Ki Gajah Sora tertawa renyah, lalu katanya, "Bukan itu adi, melainkan jagalah
Arya Salaka dan bimbinglah ia dalam menekuni ilmu kanuragan dan kajiwan."
.
"Oh.. Kakang.. "
.
Kata Mahesa Jenar terputus karena ki Ageng Gajah Sora melambaikan tangan
memberi isyarat kapada laskar Banyubiru untuk bergerak.
.
"Tunggu kakang !" seru Mahesa Jenar seraya mengikuti langkah sahabatnya itu.
.
Tetapi ki Ageng Gajah Sora terus melangkahkan kaki kudanya menuju sebuah
lembah dimana pasukan Demak dalam kesiagaan tertinggi.
.
Waktu di padukuhan Paminggir mengalami kerusuhan dengan adanya rumah -
rumah terbakar, terlihatlah api itu membumbung menggapai langit, sehingga
dari lembah Telomoyo api itupun terlihat juga. Apalagi tak berselang lama
terdengar kentongan bertalu - talu dengan kerasnya.
.
"Oh.. Mereka benar - benar ingin memberontak ! Cepat siapkan pasukan !"
perintah ki Panji Arya Palindih.
.
Perintah itu sungguh mengejutkan bagi beberapa perwira, dan salah satunya
ialah ki Lurah Arya Dipa. Oleh karenanya perwira muda itu memberanikan diri
untuk berbicara dengan Senopati Demak.
.
"Hm.. Memang aku mengenalnya, ki Lurah. Tetapi dia sudah keterlaluan
dengan mempersiapkan laskarnya di alun - alun Banyubiru !"
.
"Dari mana ki Panji mengetahuinya ?"
.
Namun sebelum ki Panji Arya Palindih menjawab, seorang lelaki berbadan
tinggi dengan mata tajam dan hidung bagai paruh burung Kakaktua muncul
dari balik kain penyekat tenda, "Aku sendiri yang melihatnya, ki Lurah."
.
"Oh.. ki Tumenggung Prabasemi.." kejut ki Lurah Arya Dipa, sedikit heran, "Kapan
ki Tumenggung tiba di telatah ini ?"
.
"Mengapa kau mempertanyakan hal itu, ki Lurah." ucap orang yang disebut
Tumenggung Prabasemi, agak ketus dan selanjutnya tanpa menghiraukan ki
Lurah Arya Dipa, Tumenggung itu berkata kepada ki Panji Arya Palindih "Kakang
Panji, walau aku setingkat lebih tinggi daripada kakang, namun aku hanyalah
sebagai pendamping saja. Pasukan ini tetap berada dibawah pimpinanmu,
begitu pun dengan pasukan Manggala dan Jalapati yang aku bawa."
.
"Oh.. " kembali ki Lurah Arya Dipa terkejut.
.
Namun lain halnya dengan ki Panji Arya Palindih, orang tua dari Bergota ini
menyambut baik atas bantuan dari Tumenggung Prabasemi. Lantas ki Panji
Arya Palindih dengan sikap tegas memberi perintah kepada ki Lurah Arya Dipa
untuk bersiap - siap.
.
Tugas adalah tugas dan harus ditaati untuk kemudian dikerjakan. Maka ki Lurah
Arya Dipa keluar dari tenda menuju pasukannya dan mempersiapkan
segalanya, walau hatinya masih terusik dengan kehadiran Tumenggung
Prabasemi di lembah Telomoyo ini, apalagi Tumenggung itu tanpa memakai
pakaian bercirikan seorang prajurit Tumenggung.
"Oh.. Bila terjadi sesuatu dengan ki Ageng Banyubiru, akulah yang bersalah.
Semuanya sudah tak sejalan dengan rencana dari ki Ageng Sora Dipayana
dan paman Empu Citrasena." keluh Lurah yang sangat muda itu.
.
Pemuda itu tampak termenung ditengah hiruk pikuknya prajurit yang
P a g e | 302
mempersiapkan diri. Kembali teringat dirinya dengan orang yang datang pada
saat malam hari di timur Prambanan. Ki Lurah Arya Dipa sangat yakin kalau
orang itu benar - benar Empu Citrasena, ayah angkat Ayu Andini. Dan saat itu
memberikan secarik surat yang nyata dari Ayu Andini, serta menceritakan
mengenai adanya dua pusaka ditangan ki Ageng Sora Dipayana. Kemudian
membisikan sesuatu rencana untuk membawa pasukan Demak ke Banyubiru
untuk membawa ki Gajah Sora demi memancing gerombolan para perusuh.
.
Namun kenyataannya sangat berlainan sama sekali, karena dalam rencana itu
ki Ageng Sora Dipayana dan Empu Citrasena akan muncul disaat ki Panji Arya
Palindih berkunjung di pendopo Kabuyutan, tetapi hal itu tak terbukti.
.
"Oh.. Mungkinkah orang itu.. " suara ki Lurah Arya Dipa tercekat, tak mampu
dirinya untuk melanjutkannya.
tungganngan.
.
Di depan Laskar Banyubiru yang bergerak dengan gelar Dirada Meta tak kalah
gagahnya. Ki Ageng Gajah Sora diapit oleh ki Wanamerta dan Penjawi,
nampak begitu tatag dalam menghadapi pasukan yang lebih besar dari
Laskarnya. Agak di belakang panji - panji juga ikut berkibar memberi semangat
tersendiri, apalagi di dalam gelar itu terdapat panji Dirada Sakti, yaitu sebuah
panji dengan dasaran merah berlukiskan seekor gajah berwarna kuning
keemasan. Panji kebesaran Kabuyutan Banyubiru.
.
Sekelompok Laskar dipimpin oleh seorang kepercayaan ki Ageng Gajah Sora,
yaitu ki Pandan Kuning dipercaya mengawal panji Dirada Meta. Sementara di
sisi kanan gelar telah ditempatkan Bantaran yang berbadan layaknya raden
Gathotkaca. Sedangkan di sisi kiri dipimpin oleh Sawungrana, seorang lelaki
jujur namun setiap tindakannya dalam bertempur sigap dan trengginas.
Pergerakan antara dua pasukan itu semakin dekat antara keduanya. Dan hal
itu membuat Mahesa Jenar bagai dipersimpangan jalan, yang saat itu duduk
diatas kudanya di luar gelar Laskar Banyubiru. Menatap ke depan, jantungnya
berdebar sangat kencang. Bagaimana tidak ? Di depan pasukan Demak yang
menerapkan gelar Cakra Byuha tersusun dari berbagai kesatuan yang sangat
ia kenal.
.
Di depan terlihat pasukan dari kesatuan Wira Tamtama dengan Tunggul
Dahana, yaitu sebuah bendera atau panji dengan dasaran merah dengan
garis bercorak lintang yang melintang. Lalu di sisi kanan ada kesatuan Wira
Jalapati dengan ciri panji Sura Pati, yaitu sebuah panji berlukiskan ikan sura
raksasa menggigit sebilah keris berwarna putih.
.
Kemudian di sisi kiri terdapat kesatuan Wira Manggala, salah satu kesatuan
yang tak asing bagi Mahesa Jenar, yang mana dalam tugas terakhirnya ia
ditempatkan dalam kesatuan ini, tepatnya di pasukan pengawal raja. Dan
yang ini pasukan penggempur dengan panji Garuda Rekta, yaitu sebuah panji
warna dasar kuning dengan lukisan garuda berwarna merah. Serta tak
ketinggalan pasukan penjaga kota yaitu, Manggala Sraya dengan tunggul
Mega, bendera dengan dasaran merah terdapat garis silang berwarna putih.
.
"Begitu dahsyatnya pasukan yang diturunkan, apalagi di tengan gerigi tak
P a g e | 304
"Sebuah adu taktik perang yang mendebarkan bagi keduanya." batin Mahesa
Jenar.
.
Ketika Mahesa Jenar dengan sungguh - sungguh memperhatikan gelar kedua
pasukan, ia dikejutkan dengan hadirnya seorang remaja yang menunggangi
seekor kuda hitam dengan riangnya.
.
"Oh.. Arya Salaka, kenapa kau kemari ?"
.
Remaja itu dengan senyum mengembang dan mata berbinar - binar menatap
kedua pasukan yang baru ia lihat selama hidupnya, menjawab dengan
enteng, "Hanya ikut melihat latihan perang - perangan itu, paman."
.
Jawaban itu sungguh membuat Mahesa Jenar bingung tak karuan. Bagaimana
tidak, di depan nyata - nyata sebuah gelar sesungguhnya, bukan permainan
untuk dipamerkan. Tapi ia pun tak berhak untuk menyalahkan dengan
jawaban dari remaja yang memang tak mengerti urusan orang dewasa.
.
"Salaka, sebaiknya kau cepat pulang."
.
"Kenapa paman ? Aku masih ingin melihat latihan pasukan itu dengan pasukan
ayah Gajah Sora."
.
"Salaka itu.. "
.
Kata Mahesa jenar tak diteruskan, karena saat memerhatikan ke depan yiatu di
pasukan Demak terjadi perubahan gelar.
.
P a g e | 305
"Kenapa kakang Gajah Sora tak menggambil tindakan ?" batin Mahesa Jenar,
"Apakah ia putus asa ? Oh...Gawat jika ia mengambil tindakan tanpa
perhitungan mantap, semoga ia tak mengganti gelarnya dengan Samudra
Rob atau pun Glatik Neba. Aku harap ia mampu menerapkan gelar Wulan
Punanggal."
.
Tetapi yang terlihat masih tiada perubahan sedikit pun. Malah ki Ageng Gajah
Sora terlihat sedang berbicara dengan ki Wanamerta dan Panjawi. Lalu
kemudian Buyut dari Banyubiru itu memandang ke Mahesa Jenar yang berada
di luar gelar dan melambaikan tangannya.
.
"Ada apa ?" desis Mahesa Jenar yang kemudian melecut kudanya demi
menghampiri Ki Ageng Gajah Sora, tanpa menghiraukan lagi keberadaan Arya
Salaka.
Ageng Gajah Sora. Maka katanya, "Apa yang anakmas katakan ini ?"
.
"Paman Wanamerta, Laskar Banyubiru dan juga penghuninya diwaktu yang
akan datang sangat memerlukan bimbingan dari paman. Aku memohon
kepada paman untuk selalu memberikan tuntunan kepada penghuni
Kabuyuyan Banyubiru." lalu ki Ageng Gajah Sora menatap Penjawi, "Penjawi,
kau sebagai pemuda harapan telatah Banyubiru, hendaknya diwaktu yang
akan datang selalu meningkatkan kemampuan didalam memberikan rasa
aman disetiap telatah Banyubiru."
.
Kata - kata itu masih memberikan tanda tanya besar bagi ki Wanamerta dan ki
Penjawi, serta ki Pandan Kuning yang berada di dekat Tunggul Dirada Sakti.
.
"Setelah aku pikirkan secara cermat dan matang, telah bulat keputusan yang
aku ambil, yaitu aku akan ikut dengan Pasukan Demak." sambung ki Ageng
Gajah Sora.
.
"Oh.. Ki Ageng, perintahkan kami bergerak menyerang mereka ! Karena kami
akan puas jika mati membela tanah Banyubiru, daripada melihat ki Ageng
sebagai tawanan mereka !" seru Penjawi yang berkobar - kobar.
.
Tetapi gelengan kepala ki Ageng Gajah Sora yang kemudian terlihat, "Tidak,
Penjawi. Aku akan ikut dengan mereka. Bukannya aku takut dengan pasukan
Demak yang hampir lengkap itu, melainkan lihatlah Sang Gula Kelapa yang
berkibar dengan gagahnya tertiup oleh bayu."
Mata ki Ageng Gajah Sora terlihat berkaca - kaca saat mengatakan Sang Gula
Kelapa. Bagaimana tidak ? Dahulu dibawah naungan Sang Gula Kelapa,
Gajah Sora muda telah berdiri di samping Adipati Pati Unus dalam menghalau
bangsa Portugis di selat Malaka. Apakah ia sekarang akan mampu jika harus
bertempur menghadapi pasukan yang membawa bendera pusaka itu?
.
Tidak. Walau dalam tubuhnya tersimpan segudang ilmu kanuragan jaya
kawijayan, tetapi saat itu juga ilmunya bagai sirna terserap oleh wibawa pusaka
Gula Kelapa. Darahnya terasa mengering, dagingnya bagai digerogoti ulat,
tulangnya terasa rapuh hancur menjadi debu. Itu semua dikarenakan jiwa
seorang Gajah Sora sudah menyatu dengan Sang Gula Kelapa. Oleh
karenanya maka keputusan itulah yang diambilnya.
P a g e | 307
.
"Aku tak ingin mengotori kesucian dari Sang Gula Kelapa, maka dari itu lebih
baik perang ini diurungkan saja."
.
Dalam pada itu diraut wajah Penjawi dan ki Wanamerta masih menyimpan
rasa yang tak puas dengan keputusan yang diambil oleh ki Ageng Gajah Sora.
.
Dan rasa itu mampu dibaca oleh putra Ki Ageng Sora Dipayana, lalu katanya,
"Mungkin kalian berdua tak begitu mengerti dengan apa yang aku rasakan
saat ini, tapi tidaklah dengan adi Mahesa Jenar. Ia tentu memahaminya."
.
"Aku tegaskan sekali lagi. Paman Wanamerta, setelah aku pergi nanti,
perintahkan kepada Laskar Banyubiru untuk mundur. Dan kau Penjawi,
bantulah paman Wanamerta dalam pemerintahan di Kabuyutan, khususnya
dalam mendidik pengawal Banyubiru untuk selalu menjaga ketenangan di
dalamnya." sambung ki Ageng Gajah Sora, yang kemudian beralih kepada
sahabatnya, "Oh ya adi, dimana Arya Salaka ? aku lihat tadi bersama dirimu ?"
.
Sadarlah Mahesa Jenar dengan Arya Salaka yang tak ada di sampingnya. Ia
pun mengeliarkan pandang, dan betapa kagetnya ketika ia melihat anak itu
menunggang kuda yang berada di garis serang pasukan Demak.
.
"Oh.. Aku telah melupakan kehadirannya. Untung saja tiada pergerakan
pasukan Demak." batinnya, yang kemudian memanggil anak itu.
Pada panggilan pertama Arya Salaka diam saja, panggilan kedua anak itu
masih takut, lalu panggilan ketiga barulah anak itu membedalkan kudanya
menuju dimana ayahnya, Mahesa Jenar, ki Wanamerta dan Penjawi sedang
berkumpul.
.
Sesampai anak itu, ki Ageng Gajah Sora berkata kepadanya, "Arya Salaka,
ayah akan pergi hingga waktu yang tak dapat ayah tentukan. Dan karena
sebelumnya kau mampu bermain dengan kyai Bancak ini, hari ini aku
menyerahkan kepadamu. Tapi untuk sementara biarlah eyangmu Wanamerta
yang membawanya."
.
Anak itu girang bukan main, tanpa menyadari makna sebenarnya dari kata -
kata itu, apalagi selanjutnya masih mendengarkan apa yang dikatakan
P a g e | 308
ayahnya.
.
"Untuk selanjutnya dengarlah perkataan eyangmu Wanamerta dan juga
pamanmu Mahesa Jenar yang mana akan menuntunmu dalam olah
kanuragan selanjutnya."
.
Ki Wanamerta maupun Mahesa Jenar tak mampu berbuat sesuatu untuk
mencegah kepergian ki Ageng Gajah Sora. Setelah memberikan beberapa
nasehat kepada orang kepercayaannya, perlahan ki Ageng Gajah Sora
memacu kuda itu melangkah ke depan, menuju garis pasukan Demak.
.
Setelah kepergian ki Ageng Gajah Sora, Mahesa jenar mengajak Arya Salaka
untuk mundur. Awalnya Arya Salaka mengikuti sampai empat tindak kaki kuda,
tetapi anak itu merasakan keanehan saat terdengar hiruk pikuk yang terjadi
digelar Dirada Meta. Pemuda itu melihat para pemimpin Laskar Banyubiru
menenangkan kelompok demi kelompok dalam gelar.
.
"Ada apa ini paman ?" tanya Arya Salaka.
.
"Ayo kita mundur." ajak Mahesa Jenar.
.
"Mengapa harus mundur, paman ? Bukankah ayah sudah menyerahkan kyai
Bancak padaku sebagai simbol aku diperbolehkan ikut berperang ?" bantah
Arya Salaka.
Saat itulah anak itu mengeliarkan mata ke arah pasukan Demak, heran
menggrogoti anak itu manakala ayahnya dikawal oleh Senopati pasukan
Demak yang kemudian memasuki gelar.
.
"Ayah... Ayah.. Ayah.. !" teriak Arya Salaka seraya melecut kudanya.
.
"Jangan Salaka.. !" teriak Mahesa Jenar seraya meraih tali kekang kuda anak
itu, dengan kuatnya.
.
"Lepaskan paman.. Lepaskan.. !" Arya Salaka berusaha meronta.
.
Tapi apalah daya, tangan Mahesa terlalu kuat bagi anak remaja itu. Sehingga
karena kelelahan, Arya Salaka tak kembali meronta.
P a g e | 309
.
"Mari kita pulang, ibumu pasti menanti kedatanganmu." ajak Mahesa Jenar.
.
Keduanya lantas berjalan beriringan diatas kuda bersama dengan Laskar
Banyubiru, dengan hati berat karena merasa telah menyerahkan kepala
Kabuyutan tanpa perlawanan.
selama ini benar adanya. Kemunculan Tumenggung satu ini tentu akan ada
kelanjutannya demi keuntungan pribadi Tumenggung itu sendiri.
.
"Apa yang harus aku lakukan ? Di depan sepertinya ki Ageng Gajah Sora ingin
menyerah, tetapi ki Tumenggung akan tetap menghancurkan pasukan
Banyubiru.. " batin Lurah muda yang tak lain ki Lurah Arya Dipa.
Saat - saat terakhir semakin menegangkan bagi Ki Lurah Arya Dipa dengan
bersamaan dekatnya ki Ageng Gajah Sora menghampiri senopati Demak.
.
Dan akhirnya ki Ageng Gajah Sora sampai dihadapan kedua senopati Demak.
Sesampainya, Ki Ageng Gajah Sora mengangguk hormat kepada ki Panji Arya
Palindih. Kemudian ki Ageng Gajah Sora mengungkapkan bahwa dirinya akan
mempertanggungjawabkan apa yang sebenarnya terjadi kepada Kanjeng
Sultan. Karenanya ia rela dan mau dibawa ke Demak, asal pasukan Demak tak
mengganggu Kabuyutan Banyubiru.
.
Tetapi betapa terkejutnya Buyut Banyubiru itu, ketika seorang yang tak
memakai pakaian prajurit Demak di samping ki Panji Arya Palindih, berkata,
"Tidak, Gajah Sora. Kau dan Kabuyutan Banyubiru harus
mempertanggungjawabkan !"
.
Saking herannya ki Ageng Gajah Sora menatap ki Panji Arya Palindih, untuk
meminta keterangan terhadap orang yang berdiri disamping Senopati Bergota.
.
"Dia Senopati tertinggi Demak di bukit Telamaya ini, anakmas. Ki Tumenggung
Prabasemi, ia membawa cincin dari Kanjeng Sultan."
.
"Oh.. " desuh ki Ageng Gajah Sora, "Aku mohon ki Tumenggung, janganlah tuan
menjatuhkan hukuman kepada Laskar Banyubiru. Biar aku saja yang menerima
hukuman seberat apapun itu."
.
"Tidak Gajah Sora !" seru ki Tumenggung Prabasemi.
.
Ketegangan semakin memuncak. Ki Ageng Gajah Sora tak mengira akan
berakhir seperti itu. Di lain tempat ki Lurah Arya Dipa juga sangat gelisah
dengan tindakan Tumenggung Prabasemi, begitu juga dengan ki Panji Arya
Palindih. Saat itulah dari dalam gelar muncul seseorang yang menaiki kuda
P a g e | 312
hitam, diiringi dua orang yang memakai pakaian seorang Nayaka Praja tingkat
tinggi.
"Paman Tumenggung, kau berlebihan !" seru penunggang kuda hitam itu.
.
Demi terdengar suara yang sangat dikenal oleh ki Tumenggung Prabasemi,
Tumenggung langsung menoleh untuk meyakinkan pendengarannya terhadap
seruan dari arah belakangnya.
.
"Oh.. " desuh ki Tumenggung Prabasemi.
.
Begitu juga dengan ki Panji Arya Palindih dan yang lainnya.
Sementara itu rasa kesal dirasakan oleh Tumenggung Prabasemi, yang tak
mengira rencana yang sudah ditata dengan rapi telah mengalami kegagalan.
Selain itu rasa malu juga dideritanya karena Pangeran Timur menyangkal
kepemimpinan pasukan Demak itu dihadapan para senopati.
.
"Uh.. Pasti ini ulah si tua Wiratanu itu.. " geram Tumenggung Prabasemi, yang
kemudian berjalan agak dibelakang kelompok kesatuan Wira Sraya Manggala.
.
Di lain tempat ki Lurah Arya Dipa merasa lega atas kemunculan Pangeran Timur
serta Raden Arya Ngabehi Wiratanu dan Tumenggung Sandiyuda di tempat itu.
Kedatangan Pangeran Timur dapat menghindarkan bentrokan pasukan Demak
dan Laskar Banyubiru, sehingga tak menimbulkan korban sia - sia dari kedua
belah pihak.
.
Tetapi dirinya juga masih heran atas kemunculan para petinggi Demak yang
membawa pasukan segelar sepapan di lembah Telamaya itu. Pertanyaan itu
terus berkumandang dalam hati seorang Arya Dipa, yang sangat kecil
pengetahuannya mengenai seluk beluk Nayaka Praja Demak.
Sebenarnya pasukan Demak dari kesatuan Jalapati dan Manggala Yuda itu
akan menuju Purbaya, yaitu untuk mengiringi Pangeran Timur serta sebagai
bala bantuan untuk pasukan yang dipimpin oleh Tumenggung Suranata yang
terdesak di Ngurawan, sebuah telatah antara Purbaya dan Ponorogo.
Ditengah jalan, pasukan itu berhenti untuk bermalam disebuah pinggiran
sungai. Saat itulah dua orang yang memakai cadar dengan tangkas dan
cekatan mampu memasuki perkemahan serta mendekati tenda dimana
Pangeran Timur tidur. Ternyata kedua orang itu sebelumnya mampu
melepaskan aji Sirep yang luar biasa dahsyatnya, hingga membuat seluruh
pasukan tertidur dengan pulasnya.
.
Jelas adanya maksud dari keduanya tentu menjurus perbuatan yang akan
merugikan pasukan Demak, khususnya bagi jiwa Pangeran Timur. Penghilangan
nyawa orang penting Demak yang masih remaja adalah tugas inti dari kedua
orang bercadar itu. Bila tugas itu berhasil, akan berakibat parah bagi pasukan
Demak itu, sehingga pasukan itu tak akan melanjutkan perjalanan dan akibat
yang lain ialah senopati tertinggi yang mengawal Pangeran Timur tentu
mendapat hukuman akibat kelalaian mereka. Dan hal itu merugikan kekuatan
Demak, karena di pasukan itu yang sebagai pengawal Pangeran Timur
P a g e | 314
"Sebaiknya kita menyingkir, adi." desis seorang bercadar yang berdiri dikanan.
.
"Hm.. Baik kakang."
.
Keduanya siap pergi dari perkemahan itu, tetapi sebelumnya keduanya
mempersiapkan sebuah gerakan yang aneh agar rencana keduanya berhasil.
Sejurus kemudian keduanya meloncat bersamaan seperti menyerang remaja
dan orang tua di dekat tenda Pangeran Timur.
.
Serangan itu sebenarnya sudah diduga oleh keduanya, hanya saja maksud
dari serangan itulah yang luput dari rekaan keduanya. Yang mana serangan
yang awalnya gencar dilakukan oleh kedua orang bercadar, tiba - tiba
berubah penuh keanehan dan membingungkan, sehingga kebingungan yang
sesaat itu dimanfaatkan oleh dua orang bercadar untuk menghindar dari
perkemahan.
.
"Pengecut jangan lari.. !" seru remaja itu.
.
"Jangan dikejar Pangeran.. !" cegah orang tua kawan si remaja.
P a g e | 315
.
Namun si remaja itu tetap mengejar seraya melempar benda yang berkelipan
ke arah orang tua tadi, seraya berkata, "Eyang berikan cincin itu kepada
paman Tumenggung Prabasemi, katakan supaya ia melanjutkan perjalanan ke
Purbaya !"
.
Walau remaja itu jauh di depan tetapi suaranya masih bergaung. Sebuah ilmu
dahsyat ditunjukan oleh remaja itu.
.
"Ah.. jiwa Anakmas Pangeran Timur masih terlalu muda, dia terpancing dengan
lawannya." desis orang tua itu.
.
Kemudian orang tua itu sadar kalau dirinya harus mengejar Pangeran Timur.
Tetapi sebelumnya dirinya harus membangunkan Tumenggung Prabasemi dan
Tumenggung Sandiyuda. Kepada kedua Tumenggung, orang tua itu
menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan memerintahkan supaya untuk
sementara pasukan dibawah perintah Tumenggung Prabasemi, yang mana
akan langsung ke Purbaya.
.
"Bila persoalan sudah selesai, aku dan anakmas Pangeran Timur akan segera
menyusul." kata orang itu.
.
"Apakah Raden tak membawa sekelompok prajurit ?" tanya Tumenggung
Sandiyuda.
Orang tua itu tampak berpikir barang sesaat, lalu akhirnya ia berkata, "Cukup
kau saja yang ikut denganku ki Tumenggung Sandiyuda."
.
Maka kedua orang tua itu kemudian mengejar Pangeran Timur dan
mempercayakan pasukan Demak kepada Tumenggung Prabasemi.
.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, Tumenggung Prabasemi itu lantas dengan
membusungkan dada memimpin pasukan itu. Ketika dirinya dan pasukan
Demak dekat sungai Tuntang, salah seorang bawahannya memberitahukan
adanya perkembangan situasi di Kabuyutan Banyubiru.
.
"Hm.. Sebuah keuntungan bagiku jika Banyubiru luluh lantah." desis
Tumenggung Prabasemi setelah mendengarkan penuturan bawahannya.
P a g e | 316
.
Begitulah awal mulanya mengapa pasukan itu berada di lembah Telamaya,
jauh dari jalur pergerakan ke Purbaya.
.
Pangeran yang masih remaja itu tersenyum, lalu kemudian mengajak Raden
Arya Ngabehi Wiratanu dan pasukannya untuk melanjutkan tujuan mereka
yang tertunda karena pokal Tumenggung Prabasemi.
.
"Ki Panji Reksotani, bawa anakmas Gajah Sora ke sini." seru ki Panji Arya Palindih.
.
"Jangan, ki Panji. Itu sangat bahaya dan akan merugikan kita." bujuk ki Panji
Reksotani.
Orang yang disebut ki Ageng itu lantas menatap tajam kearah pemuda yang
menegurnya, lalu serunya, "Diamlah kau Jaka Soka !"
.
Pemuda Jaka Soka itu malah mengumbar tawa yang membuat telinga panas.
Tapi Orang yang disebut ki Ageng hanya diam saja. Malah orang lainlah yang
bersuara.
.
"Hentikan tawamu itu, Jaka Soka. Supaya aku tak kelepasan tangan !"
Untunglah serangan itu mengarah seorang Arya Dipa, seorang pemuda yang
ditempa dengan lelaku berat oleh guru gaibnya, serta tuntunan seorang resi
dari Penanggungan. Gerakan mengisar kaki ringannya mampu menghindari
bindi aneh dari lawan serta bersiap membalas serangan secara langsung.
P a g e | 322
.
"Hebat juga kau anak muda !" puji orang itu, yang kemudian mampu
membaca kalau lawannya akan membalas serangan, maka orang itu telah
mendahului menyodok perut lawan, "Awas !"
.
Sungguh mengherankan orang itu, jarak yang sulit untuk melakukan sodokan
mampu diperagakan dengan sempurna. Bindinya yang begitu berat juga tak
menyulitkan tata geraknya untuk melakukan sodokan kepada ki Lurah Arya
Dipa.
.
Tak sempat ki Lurah Arya Dipa untuk menghindar ataupun melakukan serangan
balik. Tinggalah pemuda itu menanti sodokan tangan lawan yang terlihat
kokoh.
.
"Huup.. dess.. !"
.
Kejut merayapi hati lawan ki Lurah Arya Dipa, yang tak menyangka siku
tangannya kesakitan bagai mengenai tumpukan baja saat mengenai
pinggang ki Lurah Arya Dipa. Keanehan tak berhenti di situ saja, tangannya
terasa panas bagai tersulut bara. Tanpa malu - malu orang itu meniup - niup
sikunya.
.
Sedangkan di depan ki Lurah Arya Dipa juga merasakan keanehan ketika
melihat lawannya berbuat seperti yang nampak di depannya. Alis pemuda itu
mencuat naik tak menyangka sodokan lawannya itu malah membuat
lawannya kesakitan. Tanpa disadari tangan ki Lurah Arya Dipa menyibak
pakaiannya.
.
"Oh.. Ikat pinggang kyai Naga Denta. Pantas orang itu kesakitan." desis ki Lurah
Arya Dipa.
.
Demi merasakan panas dan kesakitan yang dideritanya mulai reda, orang itu
kembali menyerang. Kini tenaga yang diterapkan dingkatkan beberapa lapis.
Tak ingin lagi dirinya mengalami hal serupa untuk kesekian kalinya.
"Jangan berbangga dahulu, anak muda. Kala Ditya tak segan lagi melumatkan
dirimu !" seru orang itu.
.
P a g e | 323
"Hm.. Jadi kisanak ini yang pernah mengacaukan telatah perdikan Anjuk
Ladang ?" tanya ki Lurah Arya Dipa.
.
"Syukurlah jika kau mendengar, anak muda. Apakah kau sekarang menyesal ?"
.
"Sangat menyesal ki Kala Ditya." jawab ki Lurah Arya Dipa.
.
Orang yang bernama Kala Ditya langsung membusungkan dadanya seraya
tertawa terkekeh - kekeh, "Hehehe.. Kalau begitu cepat kau menyingkir, anak
muda."
.
"Mengapa harus menyingkir, ki Kala Ditya ?"
.
"He...Bukankah kau menyesal melawan diriku ?" ki Kala Ditya malah bertanya
balik seraya mengerutkan keningnya.
.
Senyum menghias dibibir ki Lurah Arya Dipa, lalu katanya, "Memang aku
menyesal, ki Kala Ditya. Tapi yang aku sesali ialah pokal kisanak terhadap
telatah perdikan Anjuk Ladang."
.
"Cukup !" bentak ki Kala Ditya, "Mulutmu perlu mendapat hajaran, anak muda !"
.
Usai berkata ki Kala Ditya melakukan serangan dengan dahsyatnya. Bindi
berduri dengan ganas mengayun - ayun mencari sasaran. Tenaga ayunan ki
Kala Ditya sudah tak ditahan - tahan lagi. Kemarahan sudah menguasai seluruh
jiwa raganya. Hanya kematian lawanlah yang bisa membuat amarah nafsu
reda dan puas. Perihal inilah yang ditakuti oleh setiap manusia. Nafsu yang tak
mampu dikendalikan sangat menakutkan bagi orang itu dan orang yang
berada disekitarnya. Dan nafsu yang berlebihan tentu akan menyeret
siempunya menderita dunia dan akhirat. Oleh karenanya, hanya orang yang
bersungguh - sungguh dalam memegang erat ajaran Sang Pencipta itulah
yang bisa mengendalikan nafsu di dalam dirinya.
..
Kedua orang itu membuat orang - orang disekitarnya menyibak, seakan - akan
memberi tempat bagi keduanya untuk beradu kerasnya tulang dan liatnya
daging. Selain itu dikarenakan hempasan tenaga dalam setiap tata gerak
keduanya juga mempengaruhi keadaan dimana keduanya bertempur. Seakan
- akan udara menjadi hangat dalam pusaran badai api, yang siap menggilas
siapa pun yang mendekati perkelahian itu.
.
Ki Kala Ditya masih terus mengayun - ayunkan bindi berduri dengan serangan
gencar. Kemana saja lawan bergerak menghindar, bindi itu selalu mengejar
seolah - olah memiliki bola mata, sebagai penglihatan senjata aneh itu.
Sungguh menakjubkan ilmu senjata daripada ki Kala Ditya, setiap ayunan yang
luput berlanjut dengan serangan seoanjutnya dan selanjutnya. Susul - menyusul
tiada henti kecuali sasaran lumat tercabik - cabik oleh kerasnya bindi dan
tajamnya duri - duri di sekeliling bindi.
.
Untuk itu ki Lurah Arya Dipa terus memusatkan perhatiannya dengan
menerapkan ilmu meringankan tubuh, untuk mengimbangi kecepatan
serangan lawan. Pemuda satu ini selalu tak ingin meremehkan kemampuan
lawannya, apalagi lawannya seorang tokoh golongan hitam di telatah bang
wetan, yang pernah membuat ki Gede Anjuk Ladang tewas dalam perang
tanding di lereng gunung Wilis, satu tahun silam. Padahal sudah terkenal
dikalangan dunia kanuragan, ki Gede Anjuk Ladang seorang yang mempunyai
ilmu mendebarkan, yaitu aji Bandung Bondowoso yang mampu meluluh
lantahkan gunung anakan dengan sekali pukul. Dan inilah yang membuat ki
Lurah Arya Dipa berhati - hati.
.
Suatu kali bindi berduri itu melesat dengan pesatnya mengarah lambung ki
Lurah Arya Dipa.
.
'' Mampus kau anak muda !" seru ki Kala Ditya.
.
"Wuuusss !"
.
Sekali lagi bindi itu hanya mengenai tempat kosong, karena dengan lincahnya
ki Lurah Arya Dipa melenting layaknya belalang. Hal itu semakin membuat kesal
dihati ki Kala Ditya, yang kembali melakukan loncatan panjang seraya
melakukan gemplangan ke arah kepala ki Lurah Arya Dipa.
P a g e | 325
.
Kembali bindi itu mengenai udara kosong, dikarenakan ki Lurah Arya Dipa
mendoyongkan tubuhnya ke belakang. Namun secepat kilat ki Kala Ditya
menggerakan bindinya meluncur ke tubuh lawan yang masih dalam keadaan
mendoyong. Sungguh ini sangat berbahaya bila mengenai sasaran empuk itu.
Ki Kala Ditya yakin kalau lawan sudah dalam keadaan mati gerak, dan ini akan
menjadi akhir dari perkelahiannya itu.
"Takk !"
.
Suara benturan tulanglah yang terdengar kemudian, serta lepasnya bindi di
tangan ki Kala Ditya yang meluncur jauh entah dimana jatuhnya. Mengapa
bisa terjadi demikian ?
.
Itu dikarenakan saat ki Lurah Arya Dipa masih dalam keadaan tubuh
mendoyong ke belakang dan mengetahui adanya kesiur angin menerpa
tubuhnya, segera Lurah Wira Tamtama itu menggunakan tangannya sebagai
landasan untuk menopang berat tubuhnya, kemudian kedua kaki terangkat
menendang tepat mengenai pergelangan tangan lawan. Namun kaki Lurah
muda itu tak hanya memakai tenaga biasa, melainkan pemuda itu
menerapkan tenaga cadangan yang dipusatkan di kedua kakinya. Akibat
yang ditimbulkan membuat lawannya terperangah serta rasa ngilu di
pergelangan tangannya, dan juga ki Kala Ditya kehilangan senjata yang
selama ini selalu menemani kemana saja orang itu melalang buana dalam
dunia kanuragan.
.
"Hm..... !!!" geram ki Kala Ditya.
.
Bersamaan dengan menggeram, orang itu dari bang wetan itu melakukan
sebuah tata gerak aneh. Entah dari mana tiba - tiba ditangan orang itu terlihat
sebuah benda berkilauan. Dibarengi sebuah gerungan keras ki Kala Ditya
meloncat tinggi segaris lurus cahaya sinar bagaskara. Dan tubuh itupun terasa
lenyap entah ke mana.
.
Kejutlah yang dirasakan oleh ki Lurah Arya Dipa kemudian. Saat itulah dalam
keadaan masih dicengkam keterkejutan, sebuah goresan dirasa mengenai
punggung ki Lurah Arya Dipa.
.
P a g e | 326
"Uh.. " keluh ki Lurah Arya Dipa seraya meloncat menjauh menjaga jarak dari
lawan, supaya terhindar dari serangan lanjutan lawan.
.
Dan lawannya memberikan waktu luang kepada Lurah muda itu. Bahkan
terdengar tawa bergemuruh dari orang tinggi tegap itu.
"Walau kau memiliki ilmu setinggi langit, jika terkena pusaka Kala Brahu miliku ini,
ilmu mu tak akan mampu membendung racun yang terkandung dalam pusaka
ku ini, anak muda." ucap ki Kala Ditya, dengan menunjukan sebuah keris kecil
atau yang disebut patrem.
.
Di depan ki Lurah Arya Dipa berdiri dengan kuda - kuda kokoh dan mata tajam
menatap lawannya. Tangan kanannya meraba punggung yang terkena
goresan patrem milik lawan. Terasa sebuah cairan merembes dari luka itu,
cairan berupa darah dari ki Lurah Arya Dipa. Cairan yang melekat di jari
tangan, setelah diperhatikan berwarna merah kehitam - hitaman, menandakan
sebuah racun ganas.
.
"Hm.. Ini kesalahanku yang tak menerapkan aji Niscala Praba, sehingga patrem
itu mampu menggores kulitku." desis ki Lurah Arya Dipa, agak terengah - engah.
.
"Oh... Ki Kala Ditya, jadi kau mengalahkan ki Gede Anjuk Ladang seperti yang
kau lakukan saat ini ?" tanya ki Lurah Arya Dipa agak kesal.
.
Ki Kala Ditya tersenyum, "Benar, hanya dengan patrem inilah orang timur alas
Caruban itu aku singkirkan !"
.
"Licik kau, Kala Ditya !" teriak ki Lurah Arya Ditya, "Dalam perang tanding itu
sudah diatur tak boleh menggunakan senjata !"
.
"Huh.. Tahu apa kau anak muda !? Tenangkanlah dirimu yang sebentar lagi
akan menemui Bethara Yamadipati.. !" seru ki Kala Ditya.
..
Demi mengetahui kelicikan ki Kala Ditya terhadap ki Gede Anjuk Ladang dalam
sebuah perang tanding yang dilakukan, Ki Lurah Arya Dipa tak bisa
membiarkan orang selicik itu berlalu lalang dengan angkuhnya. Karenanya
pemuda itu lantas meloncat tinggi bak mengudara ke langit tujuh, yang
kemudian meluncur dengan putaran pedang kyai Jatayu langsung membabat
senjata lawan.
.
"Hait.. !" pekik ki Kala Ditya, seraya menangkis luncur tubuh lawan.
.
"Tring.. Thees.. Buukk !"
.
Patrem ki Kala Ditya putung dengan menyisakan tangkainya saja, akibat
tertebas libatan pedang tipis kyai Jatayu. Tak sampai di situ saja, tubuh ki Kala
Ditya terlempar dua tombak akibat gempuran di lambungnya, hingga tubuh itu
jatuh mengenai kawan - kawannya.
.
"Aucgh.. " darah menyebur dari mulut orang itu.
.
Pucatlah wajah ki Kala Ditya akibat gempuran lawan yang tak disangkanya
masih mempunyai tenaga, setelah terkena goresan Patrem kyai Kala Brahu
miliknya. Orang dari Bang Wetan itu semakin heran melihat lawannya tak
mengalami adanya turunnya daya tahan tubuh atau kepucatan di raut
wajahnya. Biasanya lawan jika terkena goresan patremnya akan pucat raut
wajahnya, hingga keluarnya keringat yang berbau busuk. Tapi tidak dengan
lawannya kali ini. Malah lawannya terlihat segar bugar.
.
"Tidak.. Tidak mungkin orang ini memiliki kekebalan terhadap racun.." desis ki
Kala Ditya.
.
"Menyerahlah ki Kala Ditya. Lihatlah kawan - kawanmu telah ditarik mundur !"
seru ki Lurah Arya Dipa, yang membiarkan ki Kala Ditya memerhatikan
sekitarnya.
"Ki Lurah Saroyo, perintahkan pasukan bergerak dalam gelar Gedong Minep."
perintah ki Panji Arya palindih.
P a g e | 329
.
"Sendiko, ki Panji."
.
Demi menjaga keamanan dari ki Ageng Gajah Sora sampai di Demak, maka
diputuskan menerapkan pergerakan pasukan itu memakai gelar Gedong
Minep. Bergeraklah pasukan Demak dari kesatuan Wira Tamtama dan Wira
Radya dalam sebuah gelar. Kali ini semakin perlahan pasukan itu dalam
menyusuri jalan - jalan yang mereka lalui, dikarenakan dalam pasukan itu
terdapat beberapa prajurit yang terluka dan puluhan tawanan.
.
Saat matahati di ufuk barat, pasukan Demak sampai di telatah Merapen. Untuk
itu Senopati Demak memutuskan untuk berkemah disekitaran api abadi. Tenda
- tenda didirikan sesegera mungkin. Para Juru adang dengan cepat
mempersiapkan tugas mereka untuk menanak nasi dan mengolah lauk pauk
perbekalan. Prajurit menebar berjaga - jaga disekitar berdirinya perkemahan,
khusunya dimana tawanan itu berada.
.
Sementara itu para senopati berkumpul dalam satu tenda. Di situ juga ada ki
Ageng Gajah Sora, yang duduk menunduk menatap bumi.
.
"Minumlah, anakmas." kata ki Panji Arya Palindih.
.
"Terima kasih, paman." sahut ki Ageng Gajah Sora, yang kemudian meneguk air
dalam gelas dari tanah liat.
.
"Anakmas, apa kau benar tak mengetahui pusaka itu ?"
.
Ki Ageng Gajah Sora menghentikan dirinya menyruput minuman, lalu
memandang ki Panji Arya Palindih yang duduk di depannya.
"Sudah aku katakan apa adanya, paman Palindih. Pusaka itu dibawa seorang
yang memakai topeng saat terjadi kerusuhan di Banyubiru ketika kedatangan
gerombolan orang - orang golongan hitam itu." jawab ki Ageng Gajah Sora,
lalu, "Pantang bagi Gajah sora untuk berlaku bohong dalam setiap
tindakannya."
.
"Hm... " desuh ki Panji Arya Palindih.
.
P a g e | 330
Lalu tiba - tiba Panji dari Bergota itu menatap seorang perwira muda yang
duduk paling ujung. Ki Panji Arya Palindih berdiri dan beranjak keluar seraya
berkata, "Lurah Arya Dipa, ikutlah sebentar dengan ku."
.
"Baik, ki Panji." sahut ki Lurah Arya Dipa, yang kemudian mengikuti perginya ki
Panji Arya Palindih.
.
Sesampainya di luar dan agak jauh dari tenda, ki Panji Arya Palindih menatap
tajam ke arah Lurah muda itu.
.
"Ki Lurah, Kanjeng Sultan pernah mengatakan kepadaku mengenai gerakan ini
adalah atas anjuran darimu." sejenak ki Panji Arya Palindih menghentikan
perkataannya demi memerhatikan kesan dari ki Lurah Arya Dipa, "Apakah
benar begitu ?"
.
Helaan nafas terdengar dari ki Lurah Arya Dipa, "Demikianlah kenyataannya, ki
Panji."
.
"Apakah ini hanyalah tindakanmu yang mempunyai masalah pribadi dengan
anakmas Gajah Sora ?"
.
Pertanyaan itu sungguh tak diperkirakan sebelumnya oleh Lurah muda itu.
Bagaimana mungkin ? Dirinya tiada sangkut paut dengan pribadi ki Ageng
Gajah Sora, yang baru ia tahu wujudnya saat di Banyubiru.
.
"Oh.. Mengapa ki Panji Bisa berkata begitu ?"
"Ini karena tak sesuai apa yang direncanakan oleh Kanjeng Sultan yang
mendapat anjuran darimu, ki Lurah." kata ki Panji, "Aku bisa menuntutmu untuk
mempertanggunkan permasalahan ini kepada Kanjeng Sultan."
.
"Ki Panji, ku akui kesalahan ini terletak pada pundaku. Memang pada saat itu,
seseorang yang sangat aku kenal datang kepadaku dan menuturkan rencana
atas pemikiran dari ki Ageng Sora Dipayana...."
.
"Mustahil itu, ki Lurah." potong ki Panji Arya Palindih, "Mana mungkin seorang
ayah tega berbuat begitu kepada anak dan kampung halamannya sendiri. Itu
semua hanyalah bualanmu sendiri"
P a g e | 331
.
"Demi Hyang Agung, aku berkata sebenarnya ki Panji.."
.
"Cukup, ki Lurah. Sesampainya di kotaraja kau harus
mempertanggungjawabkan tindakanmu !" suara ki Panji agak tinggi.
.
Memang sebenarnya ki Lurah Arya Dipa akan menjelaskan masalah itu
terhadap Kanjeng Sultan. Oleh karenanya ki Lurah Arya Dipa pasrah saja atas
perkataan dari Panji Bergota.
.
"Baik, ki Panji. Aku tak akan lari dari kenyataan itu."
.
Kini ki Panji Arya Palindih yang dibuat terkejut oleh suara dari Lurah yang masih
sangat muda itu. Suara yang begitu pasrah dan tulus tiada adanya maksud
terpendam.
.
"Hm.. Baiklah untuk sekarang bertindaklah sewajarnya.. "
.
"Baik, ki Panji."
Segera ki Lurah Arya Dipa berlari keluar tenda. Sedangkan ki Panji Arya Palindih
telah menerangkan kalau dirinya sejak tadi terus bersama dengan ki Lurah Arya
Dipa. Terkejutlah semua perwira yang ada dalam tenda mengetahui penuturan
daripada ki Panji Bergota. Bagaimana tidak ? Tadi seorang yang sungguh mirip
dengan ki Panji Arya Palindih masuk dan mengajak ki Ageng Gajah Sora untuk
keluar.
.
Gemparlah perkemahan Demak itu. Prajurit segera disebar demi menemukan
kembali ki Ageng Gajah Sora.
.
"Apakah hal ini yang terjadi dengan ki Lurah Arya Dipa ? Seseorang mampu
malih rupa seperti diriku ?" batin ki Panji Arya Palindih dengan hati gusar.
cara malih rupa menyerupai ki Panji Arya Palindih. Tak terasa langkah Lurah
muda itu sampai di sekitar rumpun bambu. Mata yang dilandasi ilmu Pandulu,
tanpa sengaja tertumbuk sebuah bayangan yang bergerak meluncur ke balik
lebatnya rumpun bambu.
.
"Berhenti... !" teriak ki Lurah Arya Dipa seraya mengejar.
.
Sampai di balik rumpun bambu ternyata terdapat tanah yang agak lapang
dengan rerumputan menyelimuti tanahnya. Yang mengejutkan di situ ialah,
terjadi perkelahian seru dua orang melawan empat orang bercadar serta satu
orang yang wajahnya mirip dengan ki Panji Arya Palindih.
.
"Ki Panji.. " desis ki Lurah Arya Dipa, yang masih berdiri di pinggir.
.
Orang yang mirip dengan ki Panji Arya Palindih mendengar desis dari ki Lurah
Arya Dipa. Orang itu meloncat menjauhi lawannya seraya berteriak, "Oh kau ki
Lurah, cepat bantu kami menghadapi dua orang itu !"
Namun sebelum ki Lurah Arya Dipa bergerak, seseorang yang dikeroyok oleh
empat orang bercadar mencegah pemuda itu dengan berseru, "Dia bukan
paman Palindih, anakmas !"
.
"Oh.. "desuh ki Lurah Arya Dipa yang mengenali suara seruan itu.
.
Dan Lurah Wira Tamtama itu percaya dengan suara dari orang yang
menyerunya tadi, yang tak lain ki Ageng Gajah Sora. Lantas pemuda itu
bergerak menghadapi orang yang mirip dengan ki Panji Arya Palindih.
.
"Hati - hati ki Lurah." sebuah suara memberi peringatan kepada ki Lurah Arya
Dipa, "Dia seorang tokoh penting dari bang wetan, si Arya Singasari"
.
"Tutup mulutmu Bajulpati !" bentak orang yang malih rupa menyerupai ki Panji
Arya Palindih.
.
Peringatan dari orang pertama sudah membuat ki Lurah Arya Dipa kaget
bukan kepalang. Kini kembali Lurah muda itu terkejut saat orang yang malih
rupa itu menyebut nama Bajulpati. Nama Bajulpati merupakan seorang tokoh
tua dari bang wetan, yang terkenal dengan ilmu andalannya mirip dengan
P a g e | 334
Sayup - sayup rupa dari Raden Arya Singasari kembali ke wujud aslinya.
Seorang bangsawan dari telatah bekas Tumapel Atau Singasari, mempunyai
raut muka tampan walau usianya sudah tak muda lagi.
.
"Majulah kalian berdua supaya pekerjaanku cepat tuntas !" seru Raden Arya
Singasari.
.
Ki Ajar Bajulpati tak langsung menanggapi tantangan bangsawan itu,
melainkan menatap ki Lurah Arya Dipa dan meminta tanggapan dari pemuda
itu.
.
"Bagaimana ki Lurah ? Apakah kita mengahadapi orang ini secara bersamaan
? Sehingga jika ia kalah, ia tentu akan menyebut kita orang licik ?"
.
"Tutup mulutmu, Orang tua !" seru Raden Arya Singasari seraya meluncur deras
ke arah ki Ajar Bajulpati.
.
Walau kecepatan luncuran itu begitu cepat dan dahsyat, ki Ajar Bajulpati tak
pernah kendor kewaspadaannya terhadap bangsawan itu. Maka orang tua
dari timur alas Baluran itu dapat mengimbangi kecepatan lawan dengan
melakukan penghindaran, yang kemudian diteruskan serangan kejut.
.
Sambil terus mengimbangi gerakan lawan, ki Ajar Bajulpati berseru, "Ki Lurah,
bantulah ki Ageng Gajah Sora. Lawannya bukanlah orang - orang biasa !"
.
"Oh.. "
P a g e | 335
Seruan itu menyadarkan ki Lurah Arya Dipa, bahwa ditempat itu juga ada ki
Ageng Gajah Sora yang dikeroyok oleh empat orang bercadar. Segera ki Lurah
Arya Dipa menghampiri dimana ki Buyut Banyubiru tampak terdesak oleh lawan
- lawannya. Hampir saja ki Ageng Gajah Sora terkena sabetan pedang oleh
salah seorang bercadar, jikalau ki Lurah Arya Dipa tak meloncat dan menebas
pedang orang bercadar itu.
.
"Tring... "
.
"Terima kasih, anakmas." ucap ki Ageng Gajah Sora.
.
"Belum saatnya, ki Ageng. Lawan masih ada." sahut ki Lurah Arya Dipa yang
kemudian bergerak menusuk orang bercadar lainnya.
.
Kini di balik rumpun itu terdapat dua kalangan perkelahian, yaitu Ki Ajar
Bajulpati berhadapan dengan Raden Arya Singasari, lalu ki Ageng Gajah Sora
dan ki Lurah Arya dipa yang masing - masing melawan dua orang. Sungguh
orang - orang bercadar dan Raden Arya Singasari bukanlah orang biasa.
Kelima orang dari bang wetan itu mempunyai ilmu kanuragan yang
mendebarkan. Tata gerak penuh dengan kembangan dan tipuan mengelabui
lawan - lawannya.
.
Akibat yang ditimbullan dari setiap sapuan tenaga orang - orang itu membuat
rerumputan tercerabut dari tanah. Desiran anginnya mampu merontokan daun
- daun bambu yang kering dari ranting. Bahkan jika tangan atau kaki mengenai
tanah atau batang bambu atau pohon kecil lainnya, menyisakan lubang
sebesar tangan.
.
Dalam pada itu di sekitar perkemahan ki Panji Arya Palindih dan para senopati,
gusar bukan main. Walau sudah melakukan pencarian sampai masuk ke dalam
hutan, namun tak seorang pun yang dapat menemukan ki Ageng Gajah Sora.
Kebingungan semakin bertambah, manakala saat para senopati ataupun
perwira berkumpul semua, hanya ki Lurah Arya Dipa yang belum kembali.
BERSAMBUNG....
.
Akan tetapi bangsawan lawannya juga bukan sembarang manusia.
Bangsawan ini selain seorang Nayaka Praja dari kadipaten bang wetan, ia juga
seorang yang putus dalam ilmu jaya kawijayan. Itu terbukti dengan adanya
kabut yang menyeruak dari badannya dan menjadi penghalang bagi terpaan
ki Ajar Bajulpati.
.
"Ceess... wuss.. " terdengar suara api yang terkena embun dan buyar seketika.
.
"Hm.. Braja Bayu milik orang ini mampu mengimbangi Barajamusti'ku.. " desis ki
Ajar Bajulpati.
.
Tata gerak keduanya semakin rumit dan aneh. Pertemuan dua jalur ilmu
kanuragan berbeda dasar, seakan - akan berlomba saling mengungguli satu
dengan yang lainnya. Tak hanya saling adu lambaran aji semata, kadang kala
keduanya mengadu kegesitan dan kepiawaian dalam menentukan langkah
untuk mengecoh lawan.
Bayu. Maka terlihatlah tubuh meronta dari ki Ajar Bajulpati dan disisi yang lain
adanya usaha untuk menahan rontaan daripada orang tua timur alas Baluran
tersebut.
.
Adu kekuatan-lah yang kemudian terjadi antara kedua orang yang sudah
kenyang dengan dunia kanuragan itu. Saling mengoyak dan saling mengerat
tenaga terus berlanjut, hingga suatu kali tubuh ki Ajar Bajulpati terasa licin dirasa
oleh tangan Raden Singasari.
.
"Uh.. " Desuh Raden bang wetan itu, "Aji Welut putih."
.
Sementara itu tak kalah serunya dirasakan dikedua kalangan lainnya. Empat
orang yang bercadar kini sudah terlihat wajah - wajah mereka. Ini dikarenakan
keberhasilan ki Ageng Gajah Sora dan ki Lurah Arya Dipa, dalam setiap langkah
serangnya selalu berusaha menyibak cadar para lawan - lawannya.
"Kau, ki Panji !" seru ki Lurah Arya Dipa, mengenali salah seorang diantara
lawannya.
.
"Hm.. Kau masih ingat denganku, anak muda ?" tanya orang yang disebut
seorang Panji.
.
"Masih segar dalam ingatanku saat tuan berusaha membunuh ki Lurah Lembu
Sora di gumuk luar gapura kotaraja." jawab ki Lurah Arya Dipa.
.
"Hm.. Bagus anak muda, ingatanmu masih bekerja dengan baik. Tapi kali ini aku
akan membayar kekeliruanku kala itu, yang mengira kau musnah ditelan
dahsyatnya aji Prahara Geni." seru ki Panji Menak Sengguruh.
.
"O jadi orang ini yang kakang ceritakan itu ?" tanya seorang yang berada di
samping ki Panji Menak Sengguruh.
.
Ki Lurah Arya Dipa memperhatikan orang yang bertanya itu, namun ia tak
mengenalnya sama sekali.
.
"Benar adi Rawes, berhati - hatilah."
.
Demi mengetahui lawan - lawannya orang yang membahayakan, ki Lurah Arya
P a g e | 339
Dipa selalu waspada dan menyiapkan aji Niscala Praba untuk melindungi
tubuhnya. Apalagi lawannya ialah ki Panji Menak Sengguruh, yang ia tahu
memiliki aji Prahara Geni. Gelembung - gelembung api yang tercipta dari
ilmunya merupakan serangan jarak jauh mematikan. Dan satu lagi ialah lawan
satunya tentu juga memiliki ilmu yang nggegirisi.
.
Debar jantung pemuda itu berdetak semakin kencang, manakala lawannya
mulai melancarkan serangan secara serempak. Sisi kanan yaitu ki Panji Menak
Sengguruh menyerang dengan sebuah pukulan. Di sisi kiri ki Rangga Rawes,
yang berbadan pendek tetapi gempal dengan gesit melakukan dua pukulan
sekaligus. Inilah kerjasama yang ditunjukan oleh dua Nayaka Praja dari bang
wetan untuk melahap mangsanya.
Serangan kedua lawan itu segera ditanggapi oleh ki Lurah Arya Dipa. Pertama
segera pemuda itu menekan debar jantungnya supaya tetap tenang dalam
menentukan langkah selanjutnya. Karena ketenangan jiwa dan pikiran
merupakan kunci utama untuk menentukan langkah - langkah yang baik
dalam setiap tindakan. Sehingga dalam setiap langkah itu tak ternodai oleh
sesuatu yang merugikan jiwa orang itu sendiri. Bisa dibayangkan saat orang
mengalami kesusahan dan berpikir secara grusa - grusu, tentu hasilnya jauh dari
kata memuaskan. Bahkan malah menjadi lebih parah dari sebelumnya.
.
Oleh karenanya disetiap masalah yang dihadapi saat ini, putra angkat dari ki
Panji Mahesa Anabrang mencoba menekan debar jantungnya, dan
menghadapi serangan lawan dengan tenang. Pukulan ki Panji Menak
Sengguruh dihindari dengan mengisar langkah ke kiri, yang kemudian
membuka telapak tangan untuk menangkis serta menangkap pukulan tangan
kiri ki Rangga Rawes dan menyiak serangan berikutnya.
.
"Krek.. " bunyi tangan ki Rangga Rawes dalam genggaman tangan kanan ki
Lurah Arya Dipa. Yang kemudian berusaha dipelintir ke belakang. Tetapi si
empunya tangan yang awalnya melemaskan tangan, tiba - tiba menyentakan
dengan tenaga kuat, maka lepaslah tangan itu.
.
"Hebat... " puji ki Lurah Arya Dipa, sembari meloncat menjauhi serangan dari ki
Panji Menak Sengguruh.
.
Keadaan semakin seru dan sengit mengiringi setiap adu tenaga dan ilmu
P a g e | 340
antara ki Lurah Arya Dipa yang dikeroyok oleh dua orang yang sangat tinggi
ilmunya. Kerjasama yang apik sangat - sangat membuat Lurah muda dari
Demak, agak tertekan. Hanya ketenangan dan keuletannya saja yang masih
membuatnya mampu bertahan sampai sejauh ini.
Orang yang disebut Galih Lumintang itu, tertawa sinis seraya mengejek, "Itu
dulu, Kuda Krida. Sekarang ia hanyalah seorang tawanan Demak saja."
Panas terasa menyengat telinga ki Ageng Gajah Sora, mendengar ejekan dari
Galih Lumintang. Kemarahan Buyut Banyubiru bagai gunung Merbabu yang tak
kuat menahan limpahan lahar dari inti bumi. Begitu cepat geraknya dalam
melakukan serangan, hingga Galih Lumintag kaget bukan kepalang. Pundak
Galih Lumintang dapat diterkam erat, lalu tubuh orang itu diangkat dan diputar
demikin cepatnya.
.
"Mati aku... !" batin Galih Lumintang.
.
Melihat kawannya dalam bahaya, Kuda Krida berniat menyelamatkan
kawannya. Tetapi baru melangkah satu tindak, serangkum angin mengarah
kepadanya.
.
"Oh.. " desuh Kuda Krida sambil menyambut serangkum angin yang berasal dari
hempasan tubuh Galih Lumintang.
.
Walau agak keteteran untung saja Kuda Krida mampu menahan tubuh Galih
Lumintang. Dan segera siap menanti sergapan lawan selanjutnya.
.
"Licik kau Gajah Sora !" seru Galih Lumintang, ketika kakinya sudah menginjak
tanah.
.
"Tahu apa kau dengan kata licik, kisanak ?!" seru ki Ageng Gajah Sora yang
kembali menyerang.
.
Hanya dengusan yang terdengar dari Galih Lumintang. Orang itu
memerhatikan kawannya yang sedang meladeni serangan laksana badai dari
ki Buyut Banyubiru. Rasa kagum sempat menusuk hati Galih Lumintag, tetapi
secepatnya rasa itu ia singkirkan dan berganti rasa dengki serta ingin membuat
lawan Kuda Krida menyesali tindakannya.
.
Majulah dia ikut mengeroyok seorang yang harus mati di malam itu juga. Bila
Buyut itu mati, maka kerjasama kelompoknya dengan telatah Banyubiru akan
menguntungkan di masa yang akan datang. Dan ia akan menerima ganjaran
berupa uang atau bahkan kedudukan dari junjungannya. Oleh karenanya
P a g e | 342
"Apa kau tak takut jika padepokan yang kau tinggalkan itu akan karang abang
?!" ancam Raden Singasari.
.
Tiada terlihat rasa cemas di raut wajah orang tua pendiri padepokan Bajulpati,
P a g e | 343
"Pengecut kau orang tua ! Ilmumu itu hanya cocok disandangkan bagi seorang
maling kampungan !"
.
"Hahaha... Terserah kau berkata Raden, yang penting aku tak berbuat hal
serendah itu dengan ilmuku ini." sahut suara ki Ajar Bajulpati.
P a g e | 344
.
Ketiga tubuh Raden Singasari terlihat bingung menentukan arah sumber suara
lawannya. Suara lawan seolah - olah terdengar disegala penjuru.
.
"Keluar kau !" teriak salah satu tubuh Raden Singasari.
.
"Hm.. Baik jika itu mau mu.. " sahut suara ki Ajar Bajulpati.
.
Sejenak kemudian sesosok tubuh dengan cepat bagai mengudara dari langit,
menerjang salah satu dari tubuh Raden Singasari.
.
"Dess.. ! Bukk.. "
.
Tubuh seorang Raden Singasari mencelat jauh mengenai rimbunnya batang
bambu.
.
"Byaar.. Cess.. !" tubuh itu terbakar dan kemudian lenyap.
"Edan.. !" maki ki Rangga Rawes sembari meloncat menjauh dari lawannya,
"Ilmuku membal. Cahaya apa kuning kemilau yang menyelimuti pemuda itu ?"
.
"Hati - hati, adi Rawes. Pemuda ini sangat sakti." seru ki Panji Menak Sengguruh.
.
Keduannya kembali memusatkan nalar dan budinya untuk melontarkan ilmu
masing - masing. Di depan pun ki Lurah Arya Dipa tak tinggal diam. Kuda - kuda
yang mantab dan kokoh, lalu kemudian aji Niscala Praba masih terus
menyelimuti pemuda itu, dan kini aji Sepi Angin siap ia lontarkan.
.
"Buuummmmm... !!!!"
.
Tanah bagai dilanda gempa dan terdengar ledakan yang memekakan telinga
bagi siapapun yang mendengarkan. Air hujan seakan - akan buyar bersamaan
dengan muncratnya rumput, tanah, dan bebatuan kecil. Dimana tempat
P a g e | 346
berdirinya ki Lurah Arya Dipa, tak terlihat karena terhalang oleh bekas ledakan
itu.
.
Ki Panji Menak Sengguruh sudah tak berada di tempatnya juga. Tubuhnya
mencelat dua tombak dan terlihat payah. Dari mulutnya merembes darah
segar dan dadanya selalu ditekan. Sama juga dengan ki Rangga Rawes, saat
pertemuan tenaga itu dan terjadi ledakan yang dahsyat, tenaganya terasa
membalik ke arahnya dan membuat isi dalam dadanya nyeri sekali. Darah
segar pun terlihat membasahi bibirnya. Kedua orang itu segera duduk
memusatkan nalar dan budi untuk mengendalikan pernafasan dan meredakan
rasa sakit dalam dada mereka.
.
Bekas tempat ki Lurah Arya Dipa berdiri kini tinggalah lubang besar, tiada wujud
anak muda itu secuil pun. Sehingga ki Ageng Gajah Sora dan ki Ajar Bajulpati
yang sempat memerhatikan adu tenaga tadi, terlihat cemas dangan keadaan
ki Lurah Arya Dipa.
.
"Ah.. Hancurkah anak muda tadi ?" batin ki Ageng Gajah Sora.
"Sekarang kau akan menyusul juga, ki Buyut !" seru Kuda Krida sambil
menjulurkan pedang yang sudah ada ditangannya.
.
Hampir saja pedang itu memengal kepala ki Buyut Banyubiru, andai tak segera
merendahkan tubuhnya. Namun lawannya tak tinggal diam, ditariknya
pedangnya dan mengayun ke bawah. Untung saja ki Ageng Gajah Sora cepat
bertindak dengan melentingkan tubuhnya ke belakang agak jauh. Tetapi
lawan yang lainnya sudah memperhitungkan langkah selanjutnya daripada
Orang Banyubiru itu. Tangan kuat dari Galih Lumintang langsung menumbuk
punggung anak ki Ageng Sora Dipayana.
.
"Duukk... !"
.
Rasa nyeri menjalar punggung ki Ageng Gajah Sora, akibat jotosan dari Galih
Lumintang. Tak sempat orang itu untuk mengeluh, karena lawan satunya sudah
siap mengancam nyawanya dengan sebilah pedang tajam. Sekali ia lengah
maka matahari indah di esok hari, tentu tak akan ia lihat kembali. Dengan
menggelindingkan tubuhnya ki Ageng Gajah Sora menghindari terjangan
tajamnya pedang, lalu setelah dirasa aman bergegas ia melenting berdiri dan
P a g e | 347
waspada.
.
"Nafasku hampir putus.. " keluh ki Ageng Gajah Sora.
.
Mendadak Galih Lumintang sudah meloncat tinggi dan Kuda krida juga
merangsek mengayun - ayunkan pedangnya. Walau nafas sudah saling
berkejaran, ki Ageng Gajah Sora siap menanti serangan dua lawannya.
Pertama dengan kedua tangan menyilang, ia tahan gempuran dari Galih
Lumintang. Selanjutnya setelah berhasil mengatasi gempuran lawan, dengan
gerak ringan badan ki Ageng Gajah Sora melenggak demi menghidari tusukan
pedang Kuda Krida, lalu dengan kerasnya memukul pergelangan tangan dan
satu lagi memukul dada lawannya.
.
"Heegg.. " dada Kuda Krida bagai tersodok batang besi dan tangannya terasa
nyeri terkena tebasan alu, sehingga pedangnya jatuh ke tanah. Tetapi orang ini
tak ingin dirinya sendiri yang menderita. Sambil membungkukan badan, ia
sundul lambung lawan dengan kerasnya.
dua tumbukan mendarat di tubub Galih Lumintang hingga membuat orang itu
mencelat.
.
"Ki Ageng tak apa - apa ?" tanya orang itu, cemas.
"Murid siapa dia sebenarnya ? Tak ku sangka ia semuda itu mampu melawan aji
- aji yang mendebarkan." sambung putra ki Ageng Sora Dipayana.
Adanya serangan kaki dari Galih Lumintang tak membuat gugup ki Ageng
Gajah Sora. Kedua tangan yang masih memegang kain panjang, ia gerakan
memutar kain panjang itu. Akibat yang ditimbulkan semakin membuat lilitan tak
hanya di tangan Galih Lumintang saja, malah ke tubuh orang itu. Sembari
beringsut di hentakan kain itu sedemikian kuatnya.
.
"Hegg.. Blukk.. "
.
Tubuh Galih Lumintang terbanting ke tanah. Sebelum orang itu menyadari
keadaan, secepat kilat ki Ageng Gajah Sora meloncat dan menyentuh simpul
di tubuh orang itu.
.
"He lepaskan sentuhanmu dan kita lanjutkan perkelahian kita sampai kematian
mengakhiri sapah satu dari kita.. !" seru Galih Lumintang penuh kegeraman dan
mata memerah.
.
"Istirahatlah, kisanak." sahut ki Ageng Gajah Sora, singkat.
.
Kemudian ki Buyut Banyubiru itu memperhatikan lingkungan disekitar tempat itu.
Hujan sudah reda, tinggalah perkelahian yang masih berlangsung dengan
serunya. Manakala ki Ageng Gajah Sora memandang ke sisi selatan,
tatapannya tertumbuk dengan pandangan salah satu sosok dari Raden
Singasari.
.
"Kedalaman ilmu dari orang itu, sungguh mendebarkan." batin ki Ageng Gajah
Sora, dengan menyiagakan diri jikalau sesuatu terjadi.
.
Di sisi selatan perkelahian terlihat aneh. Dikatakan aneh karena munculnya dua
sosok Raden Singasari yang menghadapi sosok timbul tenggelam ki Ajar
Bajulpati. Kadangkala diselingi beradunya tenaga dahsyat aji Braja Bayu dan
Brajamusti. Juga adanya pergumulan adu kekuatan aji Nágábándhá yang
dapat dimentahkan licinnya aji Welut putih.
Sementara tak jauh dari situ, beradunya senjata berdenting keras disertai
pecikan bunga api. Darah dari luka sudah mulai ikut berbicara dari salah satu
dari mereka. Ki Rangga Rawes mengumpat ketika ia merasakan pedang tipis
lawan meliuk dan menggores pundaknya. Senjata pedang tipis itu sangat luwes
ditangan lawannya yang masih berusia dua puluhan tahun. Ini yang membuat
P a g e | 353
"Traaaang.... !"
Bunyi keras disertai percikan bunga api sekaligus mencelatnya tubuh ki Lurah
Arya Dipa. Aji Niscala Praba tergetar hebat hingga membuat sang pemiliknya
merasakan rasa nyeri yang sangat.
.
Di depan ki Panji Menak Sengguruh menganggukan kepala dan tatapan tajam
ke depan. Pedang ia tancapkan ke tanah, kemudia dengan sikap sempurna ia
memusatkan nalar dan budinya. Segelombang hawa panas tiba - tiba terlihat
dari segenap penjuru dan berkumpul di depan ki Panji Menak Sengguruh.
Gelompak itu semakin membesar membentuk pusaran badai api setinggi
pohon kelapa.
.
"Hiaat... !" seru ki Panji Menak Sengguruh seraya melepas pusaran badai api ke
depan.
.
Di depan sebenarnya ki Lurah Arya Dipa sudah siap melepas aji Sepi Angin. Tapi
betapa kagetnya ketika ia melihat bayangan ki Ageng Gajah Sora berusaha
menggempur pusaran itu dengan aji Lebur Saketi.
.
"Wuts.. Byaaar.. "
.
Aji Lebur Saketi tak mampu menahan gempuran aji Prahara Geni tingkat tinggi
itu. Tubuh ki Ageng Gajah Sora terhempas jauh bagai layang - layang putus.
.
"Ki Ageng.... !" teriak ki Lurah Arya Dipa seraya mengejar dan menangkap tubuh
itu.
.
Berhasil diri pemuda itu menangkap tubuh ki Ageng Gajah Sora. Tetapi, untung
tak dapat diraih, sial tak mampu dihindari. Kakinya menginjak tanah gembur
ujung tebing yang rawan longsor.
.
Akibatnya tubuh itu meluncur deras ke bawah tebing yang tinggi.
.
"Mampus kalian !" seru ki Panji Menak Sengguruh.
.
Teriakan itu membuat ki Ajar Bajulpati dan Raden Singasari menghentikan
pertarungan dan memperhatikan apa yang terjadi.
P a g e | 355
.
"Oh .." kejut ki Ajar Bajulpati seraya meloncat jauh ketika menyaksikan tubuh ki
Lurah Arya Dipa dan ki Ageng Gajah Sora terjun ke bawah tebing.
.
Sementara Raden Singasari meloncat membebaskan kedua bawahannya
yang tak mampu bergerak akibat sentuhan tangan lawannya.
Selanjutnya ki Lurah Arya Dipa berlari kecil memetik daun pohon jati dan
menuju ke sungai, berniat mengambil air.
.
"Ah.. Terlalu keruh." desis ki Lurah Arya Dipa, lalu saat meliarkan pandang ke
pinggir sungai arah hulu, "Ha.. Air terjun."
.
Ia pun berlari ke air terjun yang keluar dari rembesan padas tebing. Dengan
menggunakan daun untuk menampung air itu dan di bawa ke tempat ki
Ageng Gajah Sora terbaring.
.
Setitik demi setitik air diteteskan ke mulut Buyut Banyubiru itu. Segarnya air
perlahan meresap membasahi bibir kemudian masuk ke tenggorokan terus
berlanjut ke dalam lambung, dicerna ke segenap alat karunia Illahi di dalam
tubuh manusia, diubah menjadi tenaga.
.
"E... e.. " bibir ki Buyut Banyubiru sudah mulai bergerak.
.
Rasa syukur terucap dari mulut ki Lurah Ary Dipa sampai dalam hati.
Menunjukan ketulusan dalam arti ucapan syukur itu, atas keadaan ki Ageng
Gajah Sora. Harapan adanya kehidupan selanjutnya semakin besar.
.
Sesaat kemudian nyatalah ki Ageng Gajah Sora siuman dengan membuka
P a g e | 357
Uraian dari pemuda itu masih belum dipahami benar oleh ki Ageng Gajah Sora,
"Anakmas apakah tak menyadari sepenuhnya ?"
.
"Benar, ki Ageng..."
.
"Panggil aku paman saja, anakmas." potong ki Ageng Gajah Sora sambil
berusaha duduk yang dibantu oleh ki Lurah Arya Dipa.
.
"Baik, paman." sahut ki Lurah Arya Dipa, yang kemudian menerangkan apa
yang juga ia alami.
.
"Jadi anakmas juga pingsan dan hanyut bersamaku ?"
.
"Iya, paman. Saat aku menangkap paman dan kaget ketika akan terperosok
ke bawah tebing, seleret sinar menghentak dadaku. Dan kemudian aku tak
menyadari selanjutnya, sampai akhirnya aku siuman." kata ki Lurah Arya Dipa.
.
"Maafkan aku, anakmas. Itu semua karena kesalahanku." pinta ki Ageng Gajah
Sora.
.
"Tidak, paman. Karena paman Gajah Sora sebenarnya berniat baik dengan
tindakan yang paman lakukan." kata Lurah muda itu.
.
"Ilmu lawan anakmas sungguh mendebarkan. Selama hidupku baru dua kali
aku merasaka kekuatan seperti itu." ucap ki Ageng Gajah Sora, "Yaitu saat aku
beradu tenaga dengan sahabat, adi Mahesa Jenar yang kemudian sering
P a g e | 358
dipanggil Tohjaya."
.
"He.. " seru ki Lurah Arya Dipa, kaget.
.
"Ada apa, anakmas ?"
.
"Pa...man tadi menyebut Tohjaya ?" tanya ki Lurah Arya Dipa, lalu, "Maksud
paman, ki Rangga Tohjaya ?"
.
"Benar, anakmas. Apa kau mengenalnya ?"
.
"Tentu, paman. Saat masih dalam pendadaran prajurit, ki Rangga yang masih
seorang Lurah menjadi pembimbing kelompok ku." jawab Lurah muda itu,
"Tahukah paman dengan keberadaannya saat ini ?"
Putra ki Ageng Sora Dipayana itu tersenyum, "Adi Mahesa Jenar berada di
Banyubiru, anakmas."
.
"He.. Benarkah itu paman ?"
.
"Mengapa aku harus bohong dengan orang yang sudah tiga kali
menyelamatkan ku ? Saat kita saling berhadapan di bukit Telamaya, ia juga
hadir bersamaku. Bahkan dialah yang meredakan dan membujuku untuk tidak
gegabah dalam menanggapi persoalan Banyubiru dengan Demak." kata ki
Ageng Gajah Biru, dan orang itu terbatuk.
.
"Ah.. Paman sepertinya terkena luka dalam ?" cemas ki Lurah Arya Dipa.
.
"Hm.. Tak apa - apa, mungkin dengan mengatur pernapasan keadaanku akan
segera pulih."
.
Dengan duduk bersila, ki Ageng Gajah Sora memusatkan nalar dan budinya
untuk memperbaiki simpul - simpul alur darah yang mengalami sumbatan
akibat dirinya membenturkan aji Lebur Saketi dengan aji Prahara Geni, milik ki
Panji Menak Sengguruh. Sementara ki Lurah Arya Dipa duduk sekaligus
menjaga keadaan di sekitar tebing itu.
P a g e | 359
semuanya."
.
Mengangguklah kepala sang Prabu atas ucapan putra sulungnya itu.
"Ananda sekalian tahukan kalain dengan rontal ini ?" tanya sang Prabu yang
sudah memegang sebuah kitab dari lembaran rontal.
.
"Ampun, ramanda prabu. Kalau tidak salah bukankah itu kitab Cakra Paksi
Jatayu ?"
.
"Hm.. Bagaimana dengan ananda berdua ?" selanjutnya tanya Prabu
Mahendradatta kepada kedua adik Airlangga.
.
"Ampun, Ramanda Prabu. Kami berdua sependapat dengan kakanda
Airlangga."
.
"Bagus.. " seru sang Prabu, "Kalian bertiga merupakan putra yang sangat aku
sayangi dan cintai. Tiada dalam hati kecilku untuk memanjakan salah satu dari
kalian bertiga, semua sama dalam segala hal. Dan hari ini aku akan
mewariskan kitab ini kepada salah satu diantara kalian, jika kitab ini berjodoh
dengan salah satu dari kalian."
.
Kedua adik Airlangga mendongakan kepala saat mengetahui ramandanya
merubah niatnya untuk tidak menyerahkan kitab itu langsung kepada
kakandanya. Hati kedua pangeran itu senang bukan main, masih ada peluang
bagi mereka berdua untuk mendapatkan kitab sakti itu. Terlihat wajah
keduanya berseri - seri layaknya sinar mentari di pagi hari.
.
Sangat jauh berbeda dengan pangeran Airlangga. Dalam hati pangeran
sulung itu sebenarnya tiada maksud secuil pun untuk mendapatkan kitab itu.
Oleh karenanya dengan tatag Pangeran Airlangga bersembah kepada
ramandanya, "Duh Ramanda Prabu, yang sangat hamba cintai. Bukannya hati
ananda ini berlaku deksura atas kemurahan ramanda yang sangat besar ini.
Namun bila ramanda berkenan, biarlah kedua adinda saja yang berhak
mewarisi kitab itu."
.
Alis sang Prabu mencuat, walau dalam hatinya sudah memahami perkataan
dari putra sulungnya itu. Lalu katanya, "Hm.. Tidak, kalian bertiga harus
P a g e | 362
Sang Prabu pun kemudian mengumumkan bahwa kitab itu berjodoh dengan
Pangeran Airlangga. Tetapi ketika memandang kedua pangeran yang lain,
P a g e | 363
raut wajah mereka masih belum puas dengan keputusan yang ia ambil. Maka
sang Prabu berdiri dan mendekati ketiga putranya.
.
"Hm.. Putranda sekalian, aku akan berlaku adil untuk kedua kalinya. Yaitu akan
aku tunjukan kitab ini kepada kalian bertiga. Salinlah kitab ini di sebuah
lembaran kulit, dan serahkan kepadaku di esok hari. Siapa yang jodoh dengan
kitab ini akan dengan gamblang menyalinnya."
.
Ke esok harinya ketiga pangeran itu menghadap kembali ke Balai Agung.
Ketiganya kemudian memperlihatkan hasil dari salinan kitab Cakra Paksi Jatayu
kepada sang Prabu. Keanehan terjadi kembali, ketiga pangeran itu
sebenarnya seorang yang mempunyai ingatan bagus dan dalam membuat
goresan tata gerak sangat mahir. Tetapi kali ini sangat lain dengan hari - hari
yang lalu. Hanya Pangeran Airlangga saja yang sama persis.
.
Kembali Pangeran Airlangga yang berjodoh dengan kitab Cakra Paksi Jatayu.
Demi melihat keanehan - keanehan itu, kedua saudaranya dengan ikhlas
menerima keputusan sang Prabu. Maka hari itu juga pangeran sulung
berangkat ke Jawa Dwipa setelah menerima warisan berharga dari Prabu
Mahendradatta. Bukan kerajaan tetapi sebuah kitab kanuragan yang memuat
tata gerak, jaya kawijayan, dan kebatinan tingkat tinggi. Sedangkan kerajaan
Bedahulu dilanjutkan oleh adik - adik Airlangga.
.
"Begitulah, ngger. Dan salah satu salinannya berada di sahabatku." kata ki Ajar
Bajulpati, mengakhiri ceritanya.
.
Sedangkan bagi ki Ageng Gajah Sora, cerita itu bagai dongeng saja. Walau ia
dengan hal itu semakin mengagumi sosok pemuda yang kini disampingnya.
Sosok pemuda yang sudah beberapa kali menyelamatkan nyawanya dari
ancaman maut. Bila pemuda itu benar - benar mewarisi ilmu dari kitab kuno
peninggalan Prabu Airlangga, tentu pemuda itu bukan orang biasa.
.
"Apakah anak ini keturunan ningrat ?" batin ki Ageng Gajah Sora dalam hati.
.
"Angger, selain tata gerak Cakra Paksi Jatayu, aku pun juga melihat adanya
ilmu tata gerak yang sangat aku kenal dari sahabatku yang berada di
Penanggungan. Adakah hubungan kau dengan Resi Puspanaga ?" tanya ki
Ajar Bajulpati.
.
Demi disebut Resi Puspanaga sebagai kawan ki Ajar Bajulpati, maka tiada rasa
curiga lagi Lurah muda itu terhadap orang dari bang wetan itu, lalu katanya
dengan santun, "Ki Ajar, aku yang bodoh ini beruntung atas kemurahan eyang
Resi Puspanaga, dengan memberikan tuntunan ilmu Prana."
.
Ditepuklah pundak anak muda itu, "Sungguh kau sangat beruntung, ngger.
Usiamu semuda ini sudah mendapatkan ilmu Prana pemimpin pertapaan
Pucangan itu dan kau juga berkesempatan dengan mempelajari kitab Cakra
Paksi Jatayu."
.
"Ah.. Ilmu ku masih mentah bila dibandingkan dengan kemampuan ki Ajar dan
paman Gajah Sora." kata ki Lurah Arya Dipa, merendah.
Tawa renyah mengiringi ki Ageng Gajah Sora untuk menyahuti, "Hahaha.. Kau
merendah tapi kalau membandingkan denganku, kau berbohong besar,
anakmas. Bukankah kau tahu sendiri dengan mudahnya orang yang bernama
Menak Sengguruh itu membuatku pingsan ?"
.
"Hahaha.. Anakmas Gajah Sora, sebenarnya jalur ilmu keluargamu sangat
tinggi. Maafkan aku jika aku akan berkata jujur." ucap ki Ajar Bajulpati.
.
"Berkatalah, ki Ajar."
.
Sejenak orang tua timur alas Baluran itu menggeser duduknya, lalu kemudian
P a g e | 365
"Syukurlah jika mendengar dengan baik apa yang aku tuturkan tadi, anakmas."
kata ki Ajar Bajulpati, "Semuanya belum terlambat, selama nafas masih ada."
.
Putra ki Ageng Sora Dipayana itu memandang ke arah ki Lurah Arya Dipa, yang
kemudian katanya, "Tapi aku sekarang seorang yang diamankan oleh Demak.
Bukankah begitu ki Lurah ?"
.
P a g e | 366
Suara dari ki Ageng Gajah Sora itu menyadarkan ki Lurah Arya Dipa. Dirinya
merupakan seorang prajurit Demak yang mempunyai tugas untuk ikut
membawa ki Ageng Gajah Sora. Tetapi ia juga menyadari semua ini adalah
ulah dari Raden Singasari yang memperalat dirinya dengan malih rupo menjadi
Empu Citrasena.
.
"Paman, ini semua kesalahanku." desis pemuda itu.
.
"Apa maksudmu, anakmas ?" ki Ageng Gajah Sora heran.
.
Untuk mengurangi rasa bersalahnya, ki Lurah Arya Dipa menjelaskan semua
yang ia alami saat akan menuju ke Purbaya. Dimana dirinya dikelabui oleh aji
dari Raden Singasari.
.
"Itu semua bukan kesalahanmu, anakmas. Aji itu memang sulit sekali dalam
membandingkan wujud yang asli maupun yang tiruan." kata ki Ageng Gajah
Sora, setelah mendengarkan cerita pemuda di sampingnya.
.
"Betul, ngger. Ilmu itu hanya mampu terlihat dengan aji Netra Kinasih dan
sejenisnya." sela ki Ajar Bajulpati.
.
"Apakah ki Ajar memiliki aji itu "
Orang tua itu mengangguk, "Syukur diriku waktu masih muda bertemu seorang
sakti yang berdiam di pulau Menjangan."
.
Ki Ageng Gajah Sora dan ki Lurah Arya Dipa mengangguk - angguk.
.
Tiba - tiba orang tua itu bangkit berdiri dan menghadap kedua orang itu.
.
"Anakmas Gajah Sora dan Angger Dipa, karena kalian tak mengalami suatu
apa pun dan tiada lagi yang harus dicemaskan, aku akan melanjutkan langkah
kakiku."
.
"Kemanakah tujuan ki Ajar ?" tanya ki Ageng Gajah Sora.
.
Dengan senyum tulus ki Ajar Bajulpati berkata, "Mengikuti langkah kaki ini,
anakmas."
P a g e | 367
.
"Baiklah, ki Ajar. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih dan bila sempat
mohon sekiranya ki Ajar singgah di Banyubiru." kata ki Ageng Gajah Sora.
.
"Iya anakmas," sahut ki Ajar Bajulpati, lalu kepada ki Lurah Arya Dipa, "Angger,
berhati - hatilah dengan orang yang bernama Lodaya. Dialah yang
mempunyai salinan kitab Cakra Paksi yang tak utuh itu."
.
"Baik ki Ajar Bajulpati."
.
Setelah sekali lagi ki Ajar Bajulpati mohon diri, dia pun dengan langkah ringan
meninggalkan tepian sungai itu. Dan kini tinggalah ki Ageng Gajah Sora dan ki
Lurah Arya Dipa.
.
"Anakmas, bawalah aku ke perkemahan pasukan Demak."
.
"Tapi, ki Ageng ?"
"Sudahlah, bila aku dan kau menjelaskan semua yang terjadi kepada Kanjeng
Sultan, Beliau tentu akan memahami." terang ki Ageng Gajah Sora.
.
Lantas keduanya mencari jalan ke perkemahan pasukan Demak di bawah
senopati Panji Arya Palindih. Setibanya di perkemahan, ki Lurah Arya Dipa
menuturkan apa yang terjadi tanpa mengurangi atau melebihkan.
.
Penuturan itu bagi ki Panji Arya Palindih merupakan bahan yang harus dijadikan
pertimbangan mengenai adanya Banyubiru dan orang yang disebut seorang
bangsawan dari telatah bang wetan, Raden Singasari. Dan ki Panji Arya
Palindih segera memerintahkan pasukannya untuk melanjutkan perjalanan
kembali ke Demak Bintoro.
Pertama - tama Kanjeng Sultan menatap tajam Lurah Arya Dipa. Pemuda yang
sangat berkesan dalam hatinya, tetapi kali ini membuatnya sedikit kecewa.
.
"Lurah Arya Dipa." seru Kanjeng Sultan.
.
"Hamba, Kanjeng Sultan."
.
P a g e | 369
"Sekarang coba kau jelaskan dengan rencana yang kau beberkan waktu itu.
Mengapa berakhir seperti ini ?"
.
Sejenak pemuda itu menggeser letak duduknya, seraya mengankat kedua
tangan dimana telapak tangan saling menempel dan kedua ibu jari
menyentuh hidung, lalu katanya, "Ampun Kanjeng Sultan, hamba yang picik
dan bodoh ini telah melakukan kesalahan yang sangat besar dan sungguh
layak, jikalau hamba dijatuhui hukum seberat - beratnya."
.
"Masalah pidana itu gampang, ki Lurah. Tetapi semuanya harus dilihat secara
jelas dengan meneliti dahulu kesalahan yang nyata dari orang itu. Karena itu
aku akan mendengarkan apa yang akan kau katakan, dan menilainya apakah
perkataanmu itu jujur atau tidak. Sekarang coba kau terangkan lagi."
.
"Kanjeng Sultan, yang hamba muliakan. Kala itu, hamba kedatangan orang
yang sangat hamba kenal yaitu, paman Empu Citrasena." kata ki Lurah Arya
Dipa, yang kemudian menceritakan kembali kejadian dimana dirinya berjumpa
dengan Empu Citrasena, di perkemahan selatan kademangan Prambanan.
.
Malam itu sosok yang mengaku Empu Citrasena mendatangi Lurah Arya Dipa.
Dalam pembicaran itulah Empu Citrasena berkata, kalau dirinya berjumpa
dengan ki Ageng Sora Dipayana dan muridnya.
.
"Oh.. " kejut ki Ageng Gajah Sora, ketika dalam penuturan itu menyebut adanya
ayahnya.
.
"Ada apa, ki buyut ?" tanya Kanjeng Sultan seraya melirik ke arah ki Ageng
Gajah Biru.
"Disaat itulah seorang pemuda yang mengaku murid ki Ageng Menak Muncar
berhasil mendepak buntalan yang ada dalam lindungan Lowo Ijo, hingga
mencelat jauh." kata ki Ageng Gajah Sora.
.
"Hm.. Lalu ayahmu, ki Ageng Sora Dipayana mengambilnya ?" tanya Kanjeng
Sultan.
.
"Hamba, Kanjeng Sultan."
P a g e | 371
.
"Lalu.. ?"
.
Kemudian ki Ageng Gajah sora melanjutkan ceritanya, yaitu ayahnya yang
berhasil mengambil bungkusan itu segera dibawa pergi. Awalnya ki Ageng Sora
Dipayana ingin membawa ke Demak, tetapi karena jalan yang dilalui melewati
kampung halamannya, ia pun singgah sambil melepas rindu kepada
keluarganya.
.
Setelah merasa terobati rasa rindu dengan kampung halaman, ki Ageng Sora
Dipayana berangkat ke Demak seorang diri saja. Awalnya tiada sesuatu yang
mencurigakan diperjalanan, hingga suatu kali di sebuah gumuk tak kurang dari
empat orang menghadang langkah ki Buyut Banyubiru sepuh. Orang - orang
yang membuat seorang Sora Dipayana tergetar hatinya. Bagaimana tidak ?
Kelima orang itu ialah, Sima Rodra dan kedua anak menantunya serta
kawannya dari gunung Kelud, Resi Gangsiran.
.
Tanpa basa basi keempat orang itu menyerang ki Ageng Sora Dipayana,
dengan tujuan mendapatkan kedua pusaka yang mereka yakini di bawa oleh
orang dari Banyubiru itu. Sekuat seorang Sora Dipayana tentulah akan sulit jika
menghadapi empat pengeroyok yang ilmunya tak jauh beda dengan dirinya.
Tak bisa dipungkiri keberuntungan berpihak kepada empat orang lawannya,
dengan mengandalkan kerjasama yang apik, lawannya mampu mendobrak
pertahanan ki Ageng Sora Dipayana. Sekaligus berhasil membawa kabur
kedua pusaka Demak.
.
Terpaksa ki Ageng Sora Dipayana pulang dengan kekecewaan yang
mendalam. Apalagi sesampainya di rumah, seorang utusan dari sahabatnya
mengabarkan warta yang membuat ki Ageng Sora Dipayana semakin sedih.
Yaitu sahabatnya telah pulang keharibaan Sang Pencipta.
.
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Maka dengan berat hati ki Ageng
Sora Dipayana memerintahkan putranya, Gajah Sora untuk mencari
keberadaan kedua pusaka Demak.
.
"Syukurlah, hamba mampu merebut kembali kedua pusaka itu dengan
bantuan sahabat hamba, Kanjeng Sultan." ucap ki Ageng Gajah Sora.
.
P a g e | 372
Kemudian Kanjeng Sultan berkata, "Buyut Banyubiru, kata - katamu dapat aku
percayai."
.
"Hamba, Kanjeng Sultan."
.
"Dan kamu, ki Lurah Arya Dipa.."
.
"Hamba, Sinuwun."
"Kemungkinan engkau memang dikelabui oleh ilmu Malih Rupá, milik Raden
dari telatah Singasari itu." kata Kanjeng Sultan, "Walau begitu, engkau tetap
salah. Karena menelan dari orang yang kau sangka pamanmu itu, tanpa harus
meneliti terlebih dahulu."
.
Lurah muda itu menggeser tempat duduknya. Dengan hati tatag menyadari
kesalahan yang ia perbuat, maka ia pun berkata, "Hamba, Kanjeng Sultan.
Hamba siap menerima hukuman yang terberat dengan hati lapang."
.
"Hm.. Baiklah, aku akan menghukummu. Mulai hari ini kau akan melepas
keprajuritanmu."
.
Bumi bagai bergetar dan suara petir saling bersahut - sahutan memekakan
telinga. Cahaya yang menerangi Balai Manguntur tiba - tiba sirna tergantikan
kabut hitam pekat menyelimuti penglihatan Arya Dipa.
.
"Di mana aku ?" desisnya.
.
Semua sungguh gelap. Bahkan tangannya sendiri tiada nampak, walau samar
sedikit pun.
.
"Aneh.. " desis Arya Dipa, "Tadi aku berada dihadapan sang Nata, tetapi
sekarang dimanakah diriku ini ?"
.
Lamat - lamat terdengar suara tembang mengalun lembut mengusik telinga.
Tembang itu terus meluncur masuk ke hati, membuat hati tenteram. Tak
berhenti disitu saja, selanjutnya tembang itu berputar mencuat ke arah pikiran
dan bersarang di mahkota insan.
.
P a g e | 374
Dengan sikap lapang, pemuda itu menerima perintah itu, "Sendiko, Kanjeng
Sultan. Hamba siap menjalankan perintah dari Sinuwun."
.
"Bagus, sekarang juga kau harus meninggalkan Demak."
.
Setelah memintah pangestu dari junjungannya, Arya Dipa pamit langsung
menjalankan perintah sekaligus hukuman yang disandangnya. Walau begitu
tak ada secuil rasa mangkel di hati pemuda itu, terhadap Kanjeng Sultan
Trenggono. Arya Dipa menyadari kesalahannya yang tak meneliti dahulu
sebenarnya yang terjadi.
.
"Memang aku yang harus menyandang hukuman itu, daripada paman Gajah
Sora." desis Arya Dipa, saat ia sudah berada di luar istana.
.
Sesampainya di lorong luar istana, pemuda itu berhenti dan menoleh ke
belakang, yaitu ke arah lorong menuju Kaputren.
.
"Tidak." desisnya, lalu, "Bila ia tahu keadaanku, tentu ia akan sedih. Biarlah untuk
sementara waktu dia menganggapku sedang melaksanakan tugas yang lalu."
.
Arya Dipa pu kembali melangkahkan kakinya. Tetapi di sebuah tikungan dirinya
bimbang. Antara langsung mencari keberadaan kedua pusaka Demak, atau
ke Suranatan dimana lurah Mas Karebet berada.
.
P a g e | 375
"He.. " kejut Arya Dipa, "Lalu bagaimana dengan paman Ganjur ?"
.
Penjaga gardu itu menggeleng, "Ki Ganjur telah pulang ke kampung
halamannya, ki Lurah."
.
"Pengging ?"
.
"Bukan, melainkan ke Tingkir."
.
Arya Dipa mengerutkan keningnya, dalam ingatannya Mas Karebet
mengatakan kalau dirinya berasal dari Pengging, tetapi mengapa ki Ganjur di
katakan orang Tingkir oleh penjaga Gardu itu ?
.
"Ada apa, ki Lurah ?"
.
"O.. tidak." kata Arya Dipa, "Baiklah, paman berdua. Kalau begitu aku pamit."
.
"Eh.. Mengapa ki Lurah buru - buru ?" tanya penjaga gardu.
.
"Sebaiknya, ki Lurah ikut menyantap ketela rebus dengan kami." sela kawan
penjaga pertama.
.
"Terima kasih, paman. Lain kali saja, karena aku sedang mendapat tugas."
.
Setelah pamit dengan kedua penjaga gardu Suranatan, Arya Dipa berjalan ke
P a g e | 376
arah gapura kotaraja. Rasa heran menggelayuti hati pemuda itu, mengenai
hilangnya Mas Karebet serta perginya ki Ganjur dari Demak.
.
"Semuanya tak berjalan seperti mestinya. Perkenalanku dengan adi Mas
Karebet, seakan - akan ada sesuatu dengan dirinya." desisnya, "Ia pun juga
seorang murid dari Kanjeng Sunan Kalijaga.
.
"Hm.. Apakah ia berada di Kadilangu ?" lanjut Arya Dipa, "Ah aku akan ke sana,
siapa tahu ada titik terang."
.
Lapanglah perasaan pemuda itu. Rencana pertama ialah menuju Kadilangu,
menghadap Kanjeng Sunan Kalijaga sekaligus mencari keberadaan keris Kyai
Naga Sasra dan Sabuk Inten.
Pemuda yang tak lain Arya Dipa, langsung berdiri dan mempertajam
pendengarannya. Sejenak kemudian setelah memastikan arah suara teriakan,
Arya Dipa berlari menerobos lebatnya hujan ke arah sumber suara.
.
"Hehehe.. Semakin kau melawan, semakin asyik diriku menikmatimu wong ayu...
" Kata seoarang lelaki berwajah sangar.
.
"Jangan tuan, aku mohon.... "
.
Tetapi orang berwajah sangar tak menghiraukan ratapan dari wanita itu.
Tangan kokohnya dengan kasar menarik pakaian di betis wanita.
.
"Sreeeek.... "
Pakaian itu robek dan menontonkan betis yang indah. Mata orang itu langsung
melotot penuh nafsu. Diraih lagi pakaian wanita di hadapannya, untuk
mendapatkan pemandangan yang akan membangkitkan gelora nafsu
bejatnya.
.
"Hentikan..... !"
.
Sebuah teriakan dari arah belakang membuat orang berwajah sangar kaget
dan berpaling.
.
"Bangsat.. Munyuk kecil tak tahu diri !" umpat orang itu dengan kasarnya.
.
"Pergi kau dari sini, sebelum kau kucincang dengan golokku ini !" lanjut orang
berwajah sangar seraya menodongkan golok besar.
.
Tetapi orang yang baru muncul itu malah masuk ke dalam tanpa menunjukan
rasa jerih.
.
"Berhenti kau monyet !" hardik orang berwajah sangar.
.
Tiada tanggapan dari orang yang baru muncul. Kaki orang itu terus melangkah
lebih dalam.
.
"Memang minta mampus kau.... !" teriak orang berwajah sangar seraya
P a g e | 378
mengayunkan goloknya.
.
"Sriingg...!"
.
Tajamnya golok selapis ujung rambut lewat di depan wajah orang yang baru
muncul. Hal itu membuat orang berwajah sangar semakin marah, segera ditarik
kembali goloknya dan menebas orang yang mengganggu kesenangannya.
.
Arya Dipa hanya melakukan penghindaran kecil - kecil saja dengan tujuan
melihat sampai dimana kemampuan lawan dalam olah senjata. Sejenak
kemudian setelah dengan cermat memperhatikan kemampuan lawan,
ternyata hanya tenaganya saja yang besar tanpa didukung ilmu tata senjata
yang memadai. Maka sekali tangan Arya Dipa bergerak, golok itu sudah
berpindah di tangannya.
.
"Nyawamu akan lepas jika kau teruskan !" ancam Arya Dipa sambil
menghunuskan golok di leher orang itu.
.
Mata orang itu memerah menandakan kemarahan yang sangat. Tetapi
tubuhnya tak bergerak untuk melanjutkan perlawanannya.
.
"Tinggalkan tempat ini, sebelum aku berubah pikiran !"
.
Orang itu menggeretakan giginya, lalu dengan meninggalkan tempat itu ia
mengancam, "Awas, lain kali kau yang akan kucincang kisanak !"
Sepeninggal orang itu, Arya Dipa mengambil sebuah kain dan memberikan
kepada wanita yang masih menangis.
.
"Sudahlah, nyai Orang itu sudah pergi." kata Arya Dipa, mencoba
menenangkan wanita muda di hadapannya.
.
Walau masih terisak - isak, wanita itu mengucapkan terima kasih kepada Arya
Dipa, "Terima kasih, tuan."
.
Arya Dipa mengangguk, "Dari mana asal, nyai ?"
.
Sambil menyeka air mata, wanita itu menjawab, "Kademangan Mlanding,
P a g e | 379
tuan."
.
"Jauhkah dari sini ?"
.
"Tidak, tuan. Setelah menyeberangi kali Tuntang sudah sampai."
.
Arya Dipa mengangguk, dilihat keluar hujan sudah reda. Lalu ia pun mengantar
wanita itu untuk ke pulang ke rumahnya, di kademangan Mlanding. Tak
memakan waktu banyak, sampailah keduanya di regol kademangan.
.
"Nyi Surkanthi.. " desis seorang pemuda yang duduk di depan rumah.
.
Pemuda itu pun langsung berteriak, "Nyi Surkanthi kembali... Nyi Surkanthi
kembali.. Nyi Surkanthi kembali..!"
.
Teriakan pemuda itu memancing penghuni kademangan keluar semua. Entah
itu lelaki atau perempuan, tua atau muda, besar atau kecil. Semuanya berlari
ke arah regol.
.
"Nyai, kau.. Se..lamat... !?" seorang lelaki mengguncang bahu wanita di
samping Arya Dipa.
.
Wanita itu meneteskan air matanya, dan memeluk lelaki itu, "Berkat tuan ini, aku
selamat kakang Demang."
.
Dilepasnya pelukan nyi Surkanti oleh orang yang disebut Demang. Lelaki itu
kemudian menatap Arya Dipa, "Terima kasih, tuan. Tuan telah menyelamatkan
istri saya."
.
"Semua kemurahan dari Sang Pencipta, ki." sahut Arya Dipa.
jangan kesana."
.
"Kenapa ?"
.
"Padepokan itu sarang orang - orang yang kejam dan bengis." jawab ki
Demang, lalu lanjutnya, "Sejak kematian kyai Kalaseta, padepokan itu bukan
lagi padepokan yang mengayomi hidup bebrayan."
.
"Lalu siapa sekarang yang menjadi pemimpin mereka ?"
.
"Murid durhaka, ki..... "
.
Kata ki Demag tak terselesaikan, dikarenakan adanya seorang bebahu
kademangan berlari memasuki pendopo.
.
"Ki Demang ketiwasan.. " kata bebahu itu dengan nafas terengah - engah.
.
"Ada apa ki Kamituwo ?"
.
"Orang - orang Kalamuda mengancam akan membakar kademangan
keseluruhannya jika tuntutan mereka tak dipenuhi."
.
Wajah ki Demang terlihat pucat, "Apakah mereka melakukan pengrusakan ?"
.
"Benar, ki Demang. Rumah ki Siwi telah mereka bakar."
.
Arya Dipa bangkit berdiri.
.
Tetapi ki Demang segera mencegahnya, "Duduklah kembali, anakmas."
Sambil berkata begitu, ki Demang tersenyum. Seakan - akan masa kanak itu
terlihat di depannya. Di mana suasana damai yang pernah ia rasakan bersama
kakaknya. Tetapi helaan kembali terulang.
.
Semilir angin tak membuat ruangan pendopo kademangan terasa sejuk di hati.
Apalagi ki Demang Mlanding masih mengingat ancaman dari kakaknya. Masih
terngiang di telinganya suara kakak yang kini telah berubah watak dan
tabiatnya.
.
"Besok malam jika aku tak menyerahkan kademangan ini kepadanya, ia akan
menyerang dengan seluruh gerombolannya."
.
Tergugahlah hati Arya Dipa dengan permasalahan yang dialami oleh ki
Demang. Permasalahan yang menyangkut hak waris dari sebuah palungguhan
berupa Demang.
.
"Mengapa Kanjeng Sunan menyuruh aku melewati daerah ini ?" batin Arya
Dipa, "Adakah ini akan mempertemukan aku dengan adi Mas Karebet ?"
Pikiran pemuda itu masih ingat dengan jelas akan kata - kata dari seorang suci
di Kadilangu setelah ia pergi dari Demak. Ia di suruh ke arah kali Tuntang, di
sana akan ada sebuah peristiwa yang memerlukan bantuan. Serta di seberang
kali itu nantinya ia akan berjumpa dengan seorang yang ia cari, yaitu Mas
Karebet.
.
"Anakmas..." seru ki Demang.
.
"Oh.. Maaf, ki Demang." kata Arya Dipa, setelah dirinya sadar dari lamunannya.
.
"Adakah yang anakmas pikirkan ?"
.
Arya Dipa tampak berpikir, lalu kemudian ia pun berkata, "Ki Demang, berapa
banyakah gerombolan Kalamuda itu ?"
.
Ki Demang tak mengerti jalan pikiran dari Arya Dipa. Tetapi tanpa ia sadari
mulutnya menjawab, "Sekitar seratus orang, anakmas."
.
"Lalu berapakah pengawal Kademangan ini ?"
.
"Hanya lima puluh saja, anakmas."
.
P a g e | 385
.
Usul itu mendapat tanggapan yang baik oleh ki Demang. Bertepuklah ia untuk
memanggil pembantunya dan segera memberikan perintah untuk memanggil
seluruh bebahu dan pemimpin pengawal.
.
"Baik, ki Demang." kata pembantu ki Demang yang kemudian bergegas
menyampaikan perintah ki Demang.
.
"Memangnya kenapa kakang ?" ki Kamituwo heran dengan pertanyaan dari ki
Bayan.
.
"Lihatlah anak muda itu, adi. Ia sangat piawai dalam mengerjakan segala hal
yang sulit kita lakukan."
.
"Ah, bukankah pengawal lainnya juga bisa ? Lihat itu si Arja dan Boma.. "
.
Pandangan mata ki Bayan mengarah kepada kedua pemuda yang disebut
oleh ki Kamituwo. Memang keduanya juga dapat berbuat seperti arahan dari
Arya Dipa, tetapi bukanlah itu yang dipertanyakan oleh ki Bayan.
"Bukan itu, adi. Coba lihat anakmas Arya Dipa." kata ki Bayan, "Lihatlah, dengan
mudahnya pemuda itu menebas pohon sekali tebasan golok. Dan menyusun
pohon tak beraturan setinggi tiga tombak itu."
.
Ki Kamituwo dan ki Demang mengangguk penuh takjub dengan apa yang
mereka lihat itu. Dimana Arya Dipa membuat sesuatu yang belum dibuat oleh
para penghuni kademangan. Serta mereka pun tak mengerti kegunaan dari
batang pohon tersusun itu.
.
Seorang pemuda yang tak tahan lagi dengan pertanyaan membebani pikiran,
memberanikan diri bertanya kegunaan batangan itu kepada Arya Dipa.
.
"Adi, susunan batang ini nantinya akan dililitkan tali tambang yang kuat untuk
menarik tali tambang sehingga susunan batang yang masih ada ranting itu
bergerak." kata Arya Dipa.
.
"Bagaimana itu bisa, kakang ?"
.
"Lihatlah dasaran dari susunan batang itu dilandasi kayu bulat sebagi roda di sisi
- sisinya." kembali Arya Dipa menerangkan, "Nantinya lima orang masing -
masing akan menarik dua susunan batang di sisi berbeda, untuk membuat
lawan yang akan memasuki kademangan terjepit dan susah melewati.
.
Pemuda itu mengangguk, "Kakang, akibat yang ditimbulkan akan mengerikan."
.
P a g e | 388
"Carilah kain sebanyak - banyaknya dan lilitkan dengan erat disetiap ujung
batang yang melintang disusunan itu."
.
"Buat apa kakang ?"
.
"Supaya korban tak sampai mati, karena tumpukan kain itu hanya akan
menyesakan dada korban yang terjepit."
.
"Baik kakang." pemuda itu pun berlari mencari kain bekas di rumah - rumah
penghuni kademangan.
.
Matahari di langit semakin menggelincir ke barat. Pekerjaan membuat
berbagai jebakan tingal sedikit lagi selesai. Kerjasama yang ditunjukan oleh
penghuni kademangan dalam mempertahankan tempat tinggalnya, terlihat
begitu semangatnya. Hal itu membuat seorang yang berdiri di balik pohon
trembesi, tersenyum.
.
"Terampil sekali mereka dalam menyusun siasat." desis orang dibalik pohon,
"Hm.. Pasti anak muda itu. Tetapi sayang, pengawal yang bertugas
mengamankan penyusup lengah, sehingga aku lolos dan mampu menyaksikan
apa yang dikerjakan oleh orang - orang kademangan.
Seorang manusia yang peka dengan alam akan mampu membaca setiap
kejadian yanh ditimbulkan oleh alam itu sendiri. Seakan alam dengan murah
hati mengabarkaan adanya seseuatu kejadian kepada orang itu. Tetapi bila
manusia mencemohkan alam, berlaku kasar dengan alam, tentu alam juga
akan membuat manusia itu menyesal.
.
Sudah banyak kejadian dimana manusia melakukan pengrusakan terhadap
alam. Pohon ditebang membabi buta, tanah digali tanpa perhitungan,
sampah berserakan membuat tanah tak mampu mencerna sehingga tanah
menjadi tandus dan kering. Itu semua merupakan kesalahan tangan - tangan
manusia yang tak peka dengan alam.
.
Begitu juga di malam itu. Alam memberikan pertanda adanya kejadian di
kademangan Mlanding. Sebuah kejadian yang akan membuat darah menetes
membasahi bumi nan suci ini, karena keserakahan seorang terhadap
palungguhan Demang yang berdiri di atas bumi, yang merupakan bagian dari
alam.
.
Derap kuda mulai terdengar dari luar regol kademangan. Tak hanya satu,
melainkan lebih dari lima kuda dan masih juga diikuti oleh berlarinya
banyaknya orang di belakang penunggang kuda.
.
"Mereka datang.. " bisik seorang pengawal.
.
"Bersiaplah.. "
.
Derap kaki kuda itu pun berhenti tepat lima tindak di luar regol.
.
"Hmm... " geram penunggang kuda paling depan, "Hai buka regol ini !!''
.
Teriakan itu berkumandang mengalun mengikuti aliran udara. Namun tiada
sahutan yang menjawabnya. Seakan - akan kademangan yang dituju kosong
ditinggalkan penghuninya.
.
"Baik, ki Lurah."
.
Lelaki berwajah sangar turun dari kudanya dan mendekati pintu regol.
Dirabanya regol itu, kemudian ia buka buka dengan pelan.
.
"Hekk.. "
.
Pintu tak bergerak seujung rambut pun. Hal itu membuat Kincang bersungguh -
sungguh untuk membukanya. Tetapi tak menampakan hasil.
.
"Apa yang kau lakukan, Kincang ?!" tegur penunggang kuda yang paling
depan.
.
Teguran itu membuat Kincang gelagapan, lalu ia kembali berusaha membuka
regol itu. Kembali tenaga yang ia kerahkan sia - sia. Pintu regol kokoh dan
membuat Kincang tak berkutik.
.
Tiba - tiba sebuah suara terdengar menegur dari atas panggungan, "Kakang
Ploso, tinggalkan kademangan ini."
.
"Hm..Danurejo, apa maksudmu ini?" geram penunggang kuda yaitu, ki Ploso
Slangkrah, "Jadi kau ingin melakukan perlawanan denganku, he !!!"
.
Orang yang berdiri di atas panggungan memang ki Danurejo, Demang
Mlanding. Ki Demang mencoba membujuk agar saudaranya itu tak
melanjutkan tindakan yang akan merusak hubungan mereka sebagai saudara
kandung. Tetapi itu akan sia - sia saja, karena ki Ploso Slangkrah sudah
dibutakan hati dan pikirannya.
.
"Kakang, kita ini saudara se-ayah dan se-ibu, mengapa kita harus meneteskan
darah karena hal semacam ini ?"
.
"Huh.. Bila kau sadar dengan omonganmu, lekas buka pintu regol dan kau
cepat angkat kaki dari tanah yang memang menjadi hak-ku ini." kata ki Ploso
Slangkrah dengan ketusnya.
.
"Kau salah, ki Ploso Slangkrah." sebuah suara menentang, "Walau kau anak
P a g e | 391
.
Tawa orang itu telah menggetarkan udara malam. Sebuah pertanda betapa
ilmu yang diungkap oleh orang itu tak bisa dipandang sebelah mata.
.
"Baik, ki Jara Mudra. Aku serahkan anak itu kepadamu." kata ki Ploso Slangkrah.
.
Sementara itu di atas panggungan Arya Dipa memerhatikan dengan sungguh -
sungguh ke arah orang yang dipanggil ki Jara Mudra. Seorang berperawakan
tinggi besar dengan muka bengis terhias diraut wajahnya.
.
"Orang - orang ini tak mampu dipandang sebelah mata. Selain nyi Cempaka
dan orang tua itu, pemuda yang dibelangkang itu juga patut aku waspadai."
batin Arya Dipa.
.
"Ki Demang, suruhlah dua atau tiga orang bebahu untuk menghadapi
perempuan dan pemuda yang berada di belakang orang tua yang tertawa
tadi." Arya Dipa mencoba memberi petunjuk kepada ki Demang.
.
"Baik, anakmas." sahut ki Demang Mlanding, "ki Bayan katakan hal itu kepada
bebahu dan pemimpin pengawal."
.
"Iya, ki Demang."
.
Bersamaan dengan turunnya ki Bayan dari panggungan, ki Ploso Slangkrah
kembali memerintahkan Kincang dan anak buahnya untuk membuka pintu
regol dengan paksa. Tetapi bahan pintu regol terlalu kokoh walau empat orang
sudah mendobrak pintu itu.
.
"Minggir !" teriak pemuda penunggang kuda di belakang kuda ki Jara Murda,
seraya turun dari kudanya.
Pemuda itu berdiri kokoh memusatkan nalar dan budi. Jemari mengepal itu pun
sesaat memukul ke arah pintu regol, sebuah serangan jarak jauh melontarkan
tenaga mendebarkan dan menggebrak pintu regol.
.
"Byaaarr !!!"
.
Pintu dari kayu besi itu hancur berkeping - keping terkena lontaran dahsyat dari
P a g e | 393
bakar kademangan ini !" perintah ki Ploso Slangkrah sambil turun dari kuda dan
siap menghadapi adiknya, ki Danurejo Demang Mlanding.
.
Kincang memanggil kawan - kawannya untuk memasuki kademangan lebih
dalam. Tetapi orang berwajah sangar itu terkejut bukan kepalang saat
terdengar adanya bunyi berderak dari samping kanan dan kirinya.
.
"Awas jebakan !!!"
.
Tubuh Kincang berhasil menghindari susunan batang menjulang tinggi itu,
tetapi puluhan kawannya terjepit keras susunan batang kayu dengan landasan
bawah beroda. Selain itu, Kincang dan kawan - kawannya tak mampu
memasuki lorong jalan dikarenakan lorong itu telah tertutup oleh susunan
batang tersebut.
.
Walau gerombolan Kalamuda berkurang banyak, tetapi kekuatan mereka
masih terlalu banyak bagi para penghuni kademangan. Terjadilah kini
pertempuran brubuh di segenap jalan terdepan kademangan. Suara denting
benda tajam menggema mencari mangsa tak pandang bulu.
.
"Lawan terlalu banyak, paman. Sebaiknya kita keluar membantu mereka." desis
seorang pemuda.
.
"Hm.. Mari, ngger."
.
Kedua orang itu lantas muncul dari kegelapan dan menyerang serbuan dari
gerombolan Kalamuda. Tandang keduanya sangat mengagumkan sehingga
sekali gerak, satu dua orang jatuh terjerembab.
.
"Bangsat ! Siapa kalian ?" teriak Kincang.
.
"Kami penghuni kademangan ini, kisanak." jawab orang yang dipanggil paman.
.
"Tepatnya danyang kademangan ini, kisanak.. hehehe.. " celetuk pemuda
lainnya.
.
"Lancang kau pemuda edan !" maki Kincang, "Akan ku buat kau menyesal atas
kelancangan mulutmu !"
P a g e | 395
.
Sementara itu ki Demang sudah bergerak menghadapi kakaknya. Keduanya
bergerak tangkas dengan menggunakan tata gerak berbeda jalur. Walau
begitu Ki Danurejo atau ki Demang sedikit banyak mengetahui dasar dari ilmu
kakaknya itu, yaitu ilmu dari perguruan Kalamuda.
"Lumayan juga kau, Danurejo." puji Ki Ploso Slangkrah, lalu, "Tapi hal itu lumrah.. "
.
Kerut menghiasi dahi ki Demang Mlanding atas ucapan kakaknya. Tentu kata -
kata itu mempunyai kelanjutan dari tindakan kakaknya selanjutnya. Benar saja,
Tata gerak kakaknya berubah menjadi lain dan sulit ia baca arahnya.
.
"Ilmumu dangkal, Danurejo."
.
Dua pukulan bersarang di dada ki Demang Mlanding. Tubuh itu bergeser dari
tempatnya dan wajah ki Demang seperti menahan rasa sakit. Dadanya bagai
ditumbuk besi gligen.
.
Walau begitu ki Demang tak segera menyerah. Semangatnya muncul seiring
datangnya kesadaran yang melintas di benaknya. Dimana tanggung jawab
dari ayahnya untuk memakmurkan kademangan yang diwariskan kepadanya.
Semangat itulah yang menjadi pendorong untuk meningkatkan
kemampuannya untuk mencegah perbuatan kakaknya.
.
"Kau tak sadar juga, anak cengeng !" seru ki Ploso Slangkrah.
.
"Kau keliru, kakang. Kita sudah sama - sama memutih rambut kita dan bukanlah
seorang anak bengal lagi."
.
"Hm.. Bagus, kalau begitu tunjukan ilmu yang kau warisi dari orang tua mu itu."
.
"Kakang, jangan kau berlaku durhaka. Ayah demang juga ayahmu juga !"
.
"Cuh.. Itu dahulu, sekarang tidak !"
.
"Kakang... "
.
"Diam kau !" bentak ki Ploso Slangkrah sambil meloncat menyerang ki Demang.
P a g e | 396
.
Keduanya kembali beradu liatnya daging dan kerasnya tulang. Semakin
sengitlah tandang keduanya dalam setiap gerak. Kerasnya hamtaman
dielakan gesitnya langkah menghindar. Lajunya tendangan terhenti denga
kuatnya cengkraman tangan.
.
Di sisi lain Ki Jara Murda memandang tajam ke arah Arya Dipa. Pamuda yang
dikatakan menyimpan ilmu dari kitab kuno peninggalan Prabu Airlangga. Oleh
karena itu orang tua itu berhati - hati dalam menentukan setiap langkahnya.
Walau musuh masih muda, tetapi bila nyi Cempaka telah memperingatkan
dirinya, tentu itu menjadikan pertimbangan di hatinya.
.
"Bersiaplah, anak muda !" seru ki Jara Murda.
.
"Baik, kisanak." sahut Arya Dipa sembari membuka kuda - kuda dengan
kokohnya.
.
"Hm.. Kuda - kuda yang bagus." desis ki Jara Murda, "Majulah !"
orang itu, tangan dan kaki begitu cepat dan kuat dalam setiap serangannya.
Udara disekitar keduanya pun bagai terkena prahara dan menyibak semua
yang ada dijangkauan ki Jara Murda dan Arya Dipa.
.
Sedangkan di sisi yang lainnya lagi, sesuatu yang berat sebelah dialami oleh
kerumunan pengawal kademangan Mlanding. Nyi Cempaka dan murid ki Jara
Murda mengamuk mengobrak - abrik pertahanan pengawal kadekangan
yang hanya mempunyai dasar kanuragan cethek. Dua orang itu sekali
bergerak mengakibatkan beberapa korban tak berdaya.
.
"Cukup, kisanak !" seru seorang pemuda yang keluar dari kegelapan bersama
pamannya.
.
"Hm.. Mau apa kau ?" bentak murid ki Jara Murda.
.
"Mencoba menghentikan tingkah lakumu yang kasar tak sesuai tatanan ini !"
seru pemuda yang mempunyai sorot mata tajam.
.
"Hehehe.. Kau belum tahu siapa calon lawanmu ini, he !" sahut pemuda murid ki
Jara Murda, "Aku Bagus Sagopa, murid kinasih ki Jara Murda."
.
"Nama yang bagus, kisanak." ucap pemuda bersorot tajam, "Namun sayang,
namamu tak sesuai perilakumu."
.
"Tutup mulutmu ! Sebelum kau mati, sebutkan siapa kau ini !"
"Aku hanyalah anak Tingkir, Bagus Sagopa. Kawan - kawanku sering menyebut
namaku, Jaka Tingkir."
.
Bagus Sagopa mengerutkan keningnya. Ia teringat dengan cerita sepekan
yang lalu, dimana seorang pemuda mampu membunuh buaya putih di kedung
dekat sebuah perkampungan.
.
"Huh.. Hanyalah cerita ngayawara saja." batin Bagus Sagopa.
.
"Mengapa kau terlihat termenung seperti itu, Bagus Sagopa ? Sakitkah kau ?"
.
Pemuda murid ki Jara Murda itu menggeretakan giginya, seraya meloncat ke
P a g e | 398
arah Jaka Tingkir atau Mas Karebet. Dua pemuda itu pun kemudian terlibat adu
kecepatan, kegesitan dan kuatnya tenaga. Sama - sama muda dan tangkas
menjadikan perkelahian itu seru. Apalagi disetiap serangan yang dilakukan
keduanya tak menahan kekuatan masing - masing. Maka kekuatan itu bagai
bendungan yang jebol sehingga meluruk aliran dibawahnya.
.
Tak kalah seru juga dialami oleh nyi Cempaka. Wanita dari bang wetan itu
bertemu dengan lelaki yang sangat lihai dalam setiap gerakannya. Sehingga
hal itu sangat menjadi perhatian dari nyi Cempaka untuk berhati - hati.
.
"Aku tak mengira jikalau kademangan ini menyimpan seekor banteng
sepertimu, kisanak !" seru nyi Cempaka.
.
"Hahaha.. Bukan hanya kademangan ini saja, nyai. Di setiap kademangan
yang mengalami perilaku seperti yang dilakukan oleh orang bernama Ploso
Slangkrah, tentu akan lahir beribu macan untuk memberikan ketenangan."
sahut paman Jaka Tingkir, yaitu ki Sembada atau Raden Kebo Kanigara.
.
"Cih.. Omong kosong, kau !" geram nyi Cempaka seraya melanjutkan
serangannya.
.
Para bebahu yang menyaksikan lawan - lawan yang mereka anggap
menakutkan telah mendapat lawan seimbang, membuat mereka tenang dan
memusatkan perhatian mereka kepada anak buah gerombolan Kalamuda.
Kedudukannya kini menjadi imbang, dikarenakan anak buah gerombolan
Kalamuda semakin berkurang sejak terkena jebakan dan kedatangan Jaka
Tingkir dan ki Sembada.
.
Dalam pada itu, Arya Dipa merasakan tekanan hebat dari ki Jara Murda.
Serangan orang tua itu seoalah - olah mampu mendahului wadagnya.
.
"Untung saja aji Niscala Praba sudah aku ungkap sejak tadi." batin Arya Dipa.
.
Jikalau Arya Dipa tak melindungi tubuhnya dengan aji yang mampu
memberikan benteng kasat mata itu, tentu tubuhnya akan remuk terkena
tangan ki Jara Murda yang sudah dilambari aji Hasta Wesi. Yaitu sebuah aji
yang dapat membuat si pengguna bagaikan terbuat dari besi gligen.
.
Demikian pula yang dirasakan oleh orang tua guru Bagus Sagopa, rasa heran
menyelimuti hatinya manakala merasakan tangannya bagai menumbuk
sesuatu yang keras dan tebal.
.
"Gila, jadi inikah kesaktian dari seseorang yang menyerap ilmu dari kitab Cakra
Paksi Jatayu ?" ucapnya dalam hati.
.
"Ah, aku akan mendobrak dengan aji Waja Geni " lanjut ki Jara Murda.
.
Sehabis berkata, orang tua itu melompat menjaga jarak demi menerapkan ilmu
andalannya setelah aji Hasta Wesi, yaitu aji Waja Geni. Secepat kilat tangan
yang sebelumnya berwarna hitam kelam, berubah menjada merah membara
berselang seling dengan warna hitam pekat.
.
"Mampus kau, anak muda !!!!" teriak ki Jara Murda sambil menyongsongkan
kedua tangan kepada lawannya.
.
Sejak ki Jara Murda meloncat menjaga jarak, Arya Dipa sudah
memperhitungkan kalau lawannya tentu akan berbuat sesuatu yang akan
mengejutkan dirinya. Oleh sebab itulah, Arya Dipa sudah menempatkan dirinya
dengan baik. Yaitu mempertebal aji Niscala Praba sampai tingkatan teratas.
.
Suara menggelegar menghentakan udara malam di kademangan Mlanding.
Dua ilmu berbeda penerapan, yaitu aji Wesi Geni sebagai pendobrak melawan
aji Niscala Praba yang dikhususkan sebagai benteng, menjadi penyebab suara
keras itu.
.
P a g e | 400
Sesaat setelah suara hentakan itu reda, dua orang sebagai sumber kedua
kekuatan masih terlihat berdiri kokoh ditempat masing - masing.
.
"Gila !" seru ki Jara Murda, "Setan kecil itu mampu menahan pukulanku."
.
Sementara Arya Dipa mengucap syukur dalam hati, "Ya Gusti, Engkau masih
memberikan perlindungan kepada hamba-mu ini."
.
"Edan... !" umpat Bagus Sagopa, ketika menyaksikan lawan gurunya mampu
menahan serangan aji Wesi Geni.
"Mengapa kau mengumpat seperti itu, Bagus Sagopa ?" tanya Jaka Tingkir
yang memberikan waktu bagi lawannya untuk memperhatikan keadaan
disekitarnya, "Masih untung kakang Arya Dipa itu tak menggunakan tenaga
penuh."
.
Bagi Bagus Sagopa, suara yang keluar dari mulut lawannya merupakan ejekan
yang perlu ia balas dengan sebuah hajaran. Lalu ia pun dengan cepat
menampar mulut lawannya tanpa ampun. Tetapi yang ia dapat malah rasa
mangkel dihati, bukan tangannya menyentuh mulut lawan, melainkan batang
pohon randu-lah yang terkena gamparan tangannya.
.
Secepatnya ia membalikan tubuh dan kembali menyerang Jaka Tingkir dengan
segenap kemampuannya. Tetapi ia salah lawan, karena pemuda anak angkat
nyi Ageng Tingkir itu merupakan pemuda yang rajin mesu diri diberbagai
tempat dan mempunyai guru lebih dari satu.
.
Betapa mudahnya Jaka Tingkir dalam memperlakukan lawannya yang
mempunyai kemampuan menggetarkan itu. Setiap serangannya mampu
dimentahkan dengan gamblangnya. Kecepatan Bagus Sagopa bagi Murid ki
Ageng Sela itu bagai sekuku ireng. Padahal Bagus Sagopa mempunyai ilmu
meringankan tubuh mengagumkan, tetapi hal itu jauh dari kemampuan murid
ki Ageng Sela itu, dimana kelincahan ki Ageng Sela mampu menghindari
kilatan petir dan menangkapnya, mampu diserap oleh Jaka Tingkir.
.
"Sudahlah, Bagus Sagopa. Sebaiknya kau menyadari kekeliruanmu ini.
Janganlah kau mengikuti perbuatan dari gurumu." ucap Jaka Tingkir perlahan.
.
P a g e | 401
mempunyai harga diri terlalu berlebihan. Nasehat kebaikan dari seorang yang
usianya lebih muda, dianggapnya berlaku kurang tata. Dan ini merupakan
yang dialami oleh kebanyakan orang dimasa ini.
.
"Diam kau, anak setan !!" umpat ki Jara Murda dengan kasarnya.
.
Sementara ki Jara Murda setelah memerhatikan disekitarnya, ia menyeringai
bagaikan serigala yang kenyang seusai melahap mangsanya. Dadanya
membusung lebih maju, seolah - olah menunjukan kalau di dunia ini tiada yang
mampu menyainginya.
.
"Kebesaran kitab Prabu Airlangga ternyata hanyalah omong kosong belaka !"
serunya disusul dengan tawa menggelora.
.
Mengetahui ki Jara Murda terbuai dengan kemenangannya, orang yang
duduk di cabang pohon hanya menggeleng - gelengkan kepalanya. Sejenak
orang itu mengambil nafas untuk melonggarkan rasa sesak di dada. Lalu
dengan gerak ringan orang itu menjejak cabang pohon, kemudian
melontarkan tubuhnya ke udara dengan berjumpalitan dua kali, dan kemudian
menginjakan kakinya di bumi.
Saat sepasang kaki orang itu menginjak tanah, kegusaran melanda hati ki Jara
Murda. Untuk meyakinkan bahwa orang yang berdiri dihadapannya benar -
benar orang, tangan ki Jara Murda mengucek - ucek kelopak matanya.
.
"Ka.. Kau masih hidup ?!"
.
"Lihatlah kakiku, ki. Bukankah kakiku masih menapak di tanah ?" balas orang
yang baru turun dari cabang pohon.
.
"Te.. ta.. pi Ah mustahil kau mampu menahan aji Waja Geni-ku !"
.
Orang yang berdiri di depan ki Jara Murda tiada lain Arya Dipa, memandang
dengan perasaan lembut. Sekali lagi pemuda itu mencoba memberi
peringatan kepada ki Jara Murda untuk menyadari kekeliruannya.
.
"Lebih baik kisanak mengundurkan diri dari tempat ini. Ajaklah murid kisanak itu,
bila kisanak kasihan dengannya."
.
Tanpa sadar ki Jara Murda memandang ke arah muridnya yang mengalami
tekanan hebat dari lawannya. Orang tua itu kembali terkejut saat matanya
dengan cermat memperhatikan adanya sinar aneh dari lawan muridnya.
.
P a g e | 404
"Sebuah ciri aji Lembu Sekilan." desis ki Jara Murda, "Siapa sebenarnya anak
muda itu ?"
.
Demi mendengar disebut sebuah aji yang langka, tak pelak Arya Dipa juga
kaget bukan kepalang. Tadi dirinya hanya memperhatikan bagaimana Bagus
Sagopa terdesak oleh Jaka Tingkir tanpa meneliti sinar samar yang menyelimuti
murid Kanjeng Sunan Kalijaga itu.
.
"Lembu Sekilan.. "ucapnya lirih mengulang kata dari ki Jara Murda.
.
Sementara itu, ki Jara Murda yang mampu berpikir untung ruginya, telah
memutuskan untuk menghindar dari kademangan Mlanding. Oleh sebab itu, ia
dengan tangkas melenting ke arah muridnya dan menyambar membawa
Bagus Sagopa pergi.
Perginya ki Jara Murda dan Bagus Sagopa, merupakan pukulan berat bagi
gerombolan Kalamuda. Karena orang tua dan muridnya itu salah satu
kekuatan yang mendukung gerombolan dari hulu sungai Tuntang sekaligus
sahabat dari ki Ploso Slangkrah. Hal itulah yang kemudian mengakibatkan
sebagaian dari anak buah gerombolan Kalamuda menyerah.
.
"Bagus, bila kalian menyerah kami akan menjamin keselamatan kalian !" teriak
Jaka Tingkir.
.
Lain halnya dengan ki Ploso Slangkrah dan nyi Cempaka, kaburnya ki Jara
Murda dan Bagus Sagopa membuat keduanya semakin menggila. Tandang
keduanya bagai malaikat pencabut nyawa yang haus dengan nyawa lawan -
lawannya.
.
Bila ki Sembada mampu mengimbangi nyi Cempaka, tak begitu dengan ki
Demang Mlanding. Ki Demang Mlanding jauh tertinggal dari ilmu kakaknya, ki
Ploso Slangkrah. Tubuhnya bertubi - tubi terkena hantaman dan tendangan
yang sulit dielakan. Serta darah merembes dari mulutnya saat sebuah
gamparan mengenai pipi kanannya.
.
Darah yang keluar dari mulut ki Demang itu membuat ki Ploso Slangkrah lebih
bernafsu untuk segera mengakhiri hidup adiknya. Tangan kanan ki Ploso
Slangkrah meraih keris di balik pinggang adiknya, dan mencabut dari
P a g e | 405
Suatu kali keris ki Ploso Slangkrah melaju lurus mengarah dada lawan, tetapi
saat lawan berusaha menebas tajamnya keris, ki Ploso Slangkrah dengan cepat
menarik serangan seraya memutar tubuhnya. Niatnya yaitu menyasar
P a g e | 407
Slangkrah berseru.
.
"Ka.. Kakang.. !"
.
Arya Dipa sudah melindungi dirinya dengan aji Niscala Praba dan juga
menerapkan aji Sepi Angin untuk mengimbangi tenaga lawan. Karena tak
mengetahui seberapa tinggi kekuatan lawan, Arya Dipa menerapkan ajinya
sampai tingkatan mendebarkan.
.
Di depan ki Ploso Slangkrah juga menerapkan aji kebanggaannya yang
mampu ia gunakan dalam pembunuhan kepada gurunya, ki Kalaseta. Sebuah
aji bersumber dari api, yaitu aji Guntur Geni.
.
Tak dapat terelakan tenaga dahsyat dari keduanya bertemu di satu titik, yaitu
saat kedua tangan dari orang berbeda menempel satu dengan lainnya.
Bergemuruhlah tanah Mlanding sekali lagi. Udara panas menghentak ke segala
arah dan mengakibatkan benda disekitarnya tumpah ruah tak karuan. Daun
dan ranting meranggas luluh ke bumi. Tanah dan kerikil muncrat memenuhi
sekitar titik pertemuan tenaga dahsyat. Begitu-pun dengan debu juga turut
andil mewarnai keadaan yang membuat orang terbelalak dan menganga.
.
Angin malam-lah yang kemudian memberikan kesegaran pada saat itu. Yang
mampu meluruhkan kembali debu seperti sediakala, sehingga samar - samar
terlihat seorang yang masih berdiri kokoh memandang tubuh di depannya.
.
"Kakang.... !" dua teriakan berbeda sumber berlari ke arah tubuh yang tak
berdaya.
.
Sementara itu, ki Sembada membiarkan lawannya berlari ke arah tubuh itu
berbaring lesu dan ia kemudian mengikuti dengan perlahan.
.
Ki Demang pada saat itu memangku kepala ki Ploso Slangkrah yang tak
mampu lagi untuk menegakan badan, atau pun kepalanya. Sementara di sisi
yang lain, nyi Cempaka dengan mata berlinang sembari memegang erat
tangan ki Ploso Slangkrah, terus menyebut orang yang ia cintai itu.
.
Dalam pada itu pertempuran sudah usai. Anak buah gerombolan Kalamuda
sudah tak dapat lagi melanjutkan perlawanan. Dengan pasrah mereka
melempar senjata dan menerima kedua tangan mereka diikat dengan
menggunakan ikat kepala mereka sendiri. Tetapi ada juga sebagian kecil dari
gerombolan Kalamuda yang lari tunggang langgang mencari keselamatan diri,
dari tawanan pengawal kademangan Mlanding.
.
Kembali pada tubuh di pangkuan ki Demang, sang kakak sudah dalam
keadaan yang parah. Nafasnya mulai sesak dikarenakan aji Guntur geni senduri
dan ilmu pukulan lawan telah merontokan isi dalam dadanya. Darah segar
terus merembes dari bibirnya, meluber ke pakaiannya.
.
"Kakang.. " desis ki Demang.
.
Kepala ki Ploso Slangkrah bergerak disertai kelopak mata yang mencoba
memandang wajah adiknya. Bibir ki Ploso Slangkrah tampak bergerak lirih, ingin
mengucapkan sesuatu.
.
"Hatimu selembut kapas, adi." desis ki Ploso Slangkrah terbata - bata, "Maukah
kau memaafkanku ?"
.
"Tentu, kakang." jawab ki Demang dengan tulus, "Kuatkan kakang, kakang
akan sembuh seperti sedia kala. Ki Panut sudah dipanggil kemari."
.
Putra sulung dari mendiang Demang Mlanding hanya tersenyum. Matanya
berbinar terkenang masa - masa yang lampau, dimana ia selalu menjaga
adiknya dari gangguan anak - anak nakal. Dirinya-lah yang selalu memberikan
rasa aman kepada adiknya, tetapi kini justru dirinya yang membuat adiknya
hampir tewas ditangannya.
"Sudah, kakang. Jangan banyak bicara dahulu, supaya kakang cepat pulih."
P a g e | 412
.
Terlihat Arya Dipa mengernyitkan alisnya, ketika ki Sembada menyebut Mas
Karebet dengan Karang Tunggal. Sudah dua kali ia mengetahui dua nama
yang digunakan oleh Mas Karebet. Yaitu Jaka Tingkir dan sekarang Karang
Tunggal. Tetapi ia tak banyak bicara, diikuti saja ki Sembada dan Mas Karebet.
"Sudahlah, marilah menikmati makanan gunung ini." desis orang tua itu, lalu
lanjutnya, "Anakmas Arya Dipa, maaf jika tadi aku menyebut nama seseorang
yang aku kenal dan menyelipkan diantara namamu. Karena wajahmu sangat
mirip dengan anak menantu kawanku itu."
.
"Oh ya aku sering dipanggil sebagai Ismaya dan para cantrik memberikan
nama depan Panembahan. Hm.. sebuah gelar yang memberatkan." desis
orang itu.
.
"Oh.. Mohon terima salam bektiku, eyang Panembahan. Sungguh aku tak
mengira seberuntung kali ini, berjumpa dengan seorang sesepuh kanuragan."
kata Arya Dipa dengan gopohnya.
.
Hal itu membuat Panembahan Ismaya tertawa, "Hehehe, kau mengenal nama
ku itu ?"
.
"Benar, eyang Panembahan. Waktu pertama aku turun dari gunung, eyang
guru memberikan bekal selain ilmu kanuragan dan kajiwan, beliau juga
memberitahukan beberapa nama tokoh kanuragan di Jawa Dwipa ini."
.
"Hm.. Kalau boleh tahu, siapakah guru dan orang tua mu anakmas ?"
.
Sejenak Arya Dipa mengambil nafas, kemudian tanpa sungkan lagi ia katakan
apa adanya menyangkut jati dirinya terhadap Panembahan Ismaya.
.
"Pantas kau terlihat sangat kokoh., tak tahunya kau didikan dari pertapaan
Pucangan. Selain itu ternyata aku tak salah jika menyelipkan nama Wila
diantara namamu, karena kau anak Arya Wila." kata Panembahan Ismaya
setelah mendengar penuturan Arya Dipa.
P a g e | 416
.
Kemudian orang tua itu tersenyum seraya memandang kepada ki Sembada,
"Tak perlu kau tutupi jati dirimu terhadap anakmas Arya Dipa, Kanigara."
.
Ki Sembada mengangguk lalu katanya, "Jika Panembahan Ismaya percaya
dengan anakmas Arya Dipa, tentu aku tak keberatan."
.
"Anakmas Arya Dipa, memang selama ini aku dan Mas Karebet menutupi jatidiri
kami yang sebenarnya. Tetapi tiada maksud lain yang membuat kerusuhan
kepada Demak."
"Sudahlah kakang, bukankah kita ini seorang sahabat dan aku hanyalah prajurit
yang diusir oleh Kanjeng Sultan." sambung Mas Karebet.
.
"He.. Benarkah itu, Raden ?"
.
"Sekali lagi kakang menyebutku seperti itu, persahabatan kita cukup sampai
disini saja !" nada Mas Karebet meninggi.
.
"Oh.. maaf Ra.. eh Adi." kata Arya Dipa gelagapan.
.
Hal itu membuat Panembahan Ismaya dan ki Kebo Kanigara tersenyum Hati
mereka senang dengan ketulusan diantara kedua pemuda itu.
.
"Sama seperti sebelumnya, kakang. Kedamaian suasana pegunungan masih
menyejukan."
.
"O.. Syukurlah. Di mana Panembahan ?"
.
"Beliau berada dalam sanggar tertutup sejak dua hari ini, kakang. O ya, beliau
memberikan pesan jika kakang dan angger Karang Tunggal datang bersama
seseorang, harap menunggu di bangunan belakang."
.
Orang yang disebut kakang itu menoleh kepada dua pemuda di belakangnya,
lalu katanya, "Hm.. Ayo Karang Tunggal dan anakmas Arya Dipa."
.
Terlihat Arya Dipa mengernyitkan alisnya, ketika ki Sembada menyebut Mas
Karebet dengan Karang Tunggal. Sudah dua kali ia mengetahui dua nama
yang digunakan oleh Mas Karebet. Yaitu Jaka Tingkir dan sekarang Karang
Tunggal. Tetapi ia tak banyak bicara, diikuti saja ki Sembada dan Mas Karebet.
.
"Selamat datang di padepokan terpencil ini, anakmas Arya Wila Dipa ." ucap
orang tua itu.
.
Sungguh rasa kejut hinggap di hati Arya Dipa, saat mendengar orang tua itu
menyelipkan nama ayahnya. Siapakah orang ini ?
.
Orang itu tersenyum demi melihat rau wajah Arya Dipa, sehingga ada rasa
kasihan menyentuh sanubarinya. Tak terasa air mata menetes membasahi
pipinya yang sudah mulai mengeriput.
.
"Tenangkan hatimu, anakmas." kata orang tua itu sambil menoleh kearah ki
Sembada dan Mas Karebet, tersenyum menganggukan kepala.
.
"Panembahan." desis ki Sembada.
.
"Eyang Panembahan." kata Mas Karebet mengangguk hormat.
.
Arya Dipa menyadari kalau ia berada dihadapan seorang linuwih, maka ia pun
mengangguk hormat pula.
"Sudahlah, marilah menikmati makanan gunung ini." desis orang tua itu, lalu
lanjutnya, "Anakmas Arya Dipa, maaf jika tadi aku menyebut nama seseorang
yang aku kenal dan menyelipkan diantara namamu. Karena wajahmu sangat
mirip dengan anak menantu kawanku itu."
.
"Oh ya aku sering dipanggil sebagai Ismaya dan para cantrik memberikan
nama depan Panembahan. Hm.. sebuah gelar yang memberatkan." desis
orang itu.
.
"Oh.. Mohon terima salam bektiku, eyang Panembahan. Sungguh aku tak
mengira seberuntung kali ini, berjumpa dengan seorang sesepuh kanuragan."
kata Arya Dipa dengan gopohnya.
.
Hal itu membuat Panembahan Ismaya tertawa, "Hehehe, kau mengenal nama
ku itu ?"
.
"Benar, eyang Panembahan. Waktu pertama aku turun dari gunung, eyang
P a g e | 420
guru memberikan bekal selain ilmu kanuragan dan kajiwan, beliau juga
memberitahukan beberapa nama tokoh kanuragan di Jawa Dwipa ini."
.
"Hm.. Kalau boleh tahu, siapakah guru dan orang tua mu anakmas ?"
.
Sejenak Arya Dipa mengambil nafas, kemudian tanpa sungkan lagi ia katakan
apa adanya menyangkut jati dirinya terhadap Panembahan Ismaya.
.
"Pantas kau terlihat sangat kokoh., tak tahunya kau didikan dari pertapaan
Pucangan. Selain itu ternyata aku tak salah jika menyelipkan nama Wila
diantara namamu, karena kau anak Arya Wila." kata Panembahan Ismaya
setelah mendengar penuturan Arya Dipa.
.
Kemudian orang tua itu tersenyum seraya memandang kepada ki Sembada,
"Tak perlu kau tutupi jati dirimu terhadap anakmas Arya Dipa, Kanigara."
.
Ki Sembada mengangguk lalu katanya, "Jika Panembahan Ismaya percaya
dengan anakmas Arya Dipa, tentu aku tak keberatan."
.
"Anakmas Arya Dipa, memang selama ini aku dan Mas Karebet menutupi jatidiri
kami yang sebenarnya. Tetapi tiada maksud lain yang membuat kerusuhan
kepada Demak."
kami terjalin hubungan cinta yang tulus dan murni. Tetapi adanya seorang
ketigalah, maka Kanjeng Sultan telah menjatuhkan titah supaya aku keluar dari
kotaraja." Kata Mas Karebet.
.
"Namun untuk menutupi kesalahanku dalam mempermalukan kaputren,
Kanjeng Sultan menyebarkan kalau aku telah membunuh seorang prajurit
dalam pendadaran." Sambung Mas Karebet.
.
Arya Dipa mengangguk, "Kita berdua sama adi, aku pun kini dalam
pengasingan juga. Namun selain itu aku juga mendapat tugas dari Sang Nata."
.
"He.. Betulkah itu kakang ? Apa yang menyebabkan kakang bisa seperti itu ?"
tanya Mas Karebet.
.
"Ini semua karena kurang cermatnya diriku, adi. Ada seseorang yang
mengelabui diriku untuk melakukan rencana besar dalam menyangkut dua
pusaka Demak dan Banyubiru oleh bangsawan bang wetan."
.
Semua orang di bangunan itu terkejut, kecuali Panembahan Ismaya. Di
sebutnya dua pusaka Demak yang tentu itu kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten
telah dikaitkan dengan Banyubiru oleh bang wetan, bagi Mas Karebet dan ki
Kebo Kanigara terlalu mengejutkan kedua orang itu. Sedangkan bagi
Panembahan Ismaya hal itu ia anggap sesuatu hal yang lumrah saja.
.
"Dan aku pun masuk dalam perengkap mereka, termasuk paman Gajah Sora.
Karena tujuan sebenarnya ialah menguasai tanah perdikan itu untuk pijakan
selanjutnya dari Purbaya."
.
"Lalu Kanjeng Sultan menghukum, anakmas ?"
.
"Begitulah, paman Kanigara. Tetapi aku boleh kembali ke Demak, asalkan
mampu membawa kembali kedua pusaka itu." kata Arya Dipa.
.
Kata terakhir tadi membuat Panembahan Ismaya sedih, "Anakmas, sungguh
sulit dan tak mungkin anakmas dapat menemukan kedua keris itu."
.
Orang tua yang menyepi di bukit Karang Tumaritis itu menghela nafas. Mata
yang tajam memandang seolah mampu menembus tebalnya dinding kayu
bangunan itu. Sekejap kemudian ia menghela nafas kembali dan menatap
Arya Dipa.
.
"Bukan jodohmu, anakmas. Kedua pusaka itu sulit bersatu kembali jika salah
satu dapat kau bawa menghadap ke Kanjeng Sultan."
.
Arya Dipa tak membantah lagi untuk sekedar menanyakan kenapa hal itu bisa
terjadi. Kepala anak muda itu terlihay tiada dapat tersangga, sehingga kepala
itu menunduk lesu dengan mata terpejam.
.
Saat itulah tiba - tiba dirinya terasa terbang ke dalam alam yang sangat jauh.
Dan terhempas di sebuah padang yang ditumbuhi oleh beragam bunga
dengan aroma semerbak menyegarkan hidung. Samar - samar seberkas
cahaya putih cemerlang memudarkan asap putih, dan munculah seorang
berjubah dengan rambut tergelung ke atas. Wajahnya terlihat putih bersih
memancarkan wibawa nan agung.
.
"Eyang Resi... " desia Arya Dipa.
.
"Hm.. Angger, cucuku. Mengapa wajahmu bermuram durja ? Adakah
kesusahan melanda sanubarimu ?" tanya orang tua itu dengan senyum
mengembang.
.
Arya Dipa menunduk hormat dan bersimpuh di depan kaki orang tua itu.
Dengan kata yang halus ia tumpahkan segala beban yang ia rasa
menyesakan dadanya.
.
"Eyang Resi, mohon beribu ampunan atas ketidak becusan, cucu dalam
melaksanakan tugas yang eyang berikan kepada cucu ini."
.
"Hohoho.. Teruskan."
.
"Cucu sekarang jauh dari lingkup Kanjeng Sultan, sehingga akan sulit dalam
memberikan tenaga dan secuil ilmu cucu dalam melakukan pengabdian ini,
Eyang Resi."
P a g e | 424
.
Orang tua itu tersenyum dan menepuk pundak anak muda di hadapannya,
ujarnya dengan sareh, "Angger, cah bagus. Trenggono seorang nata praja
yang mendapat wahyu keprabon yang sah dari Gusti Agung. Di jaman inilah
Demak akan jaya dan termasyur sampai beberapa tahun ke depan. Walau
bagitu, memang duri - duri kecil akan terus tumbuh membuat rasa pedih dalam
tubuh di istana."
Sejenak orang tua itu terdiam demi melihat kesan yang timbul di raut wajah
anak muda yang ia banggakan itu. Lalu lanjutnya, "Aku berharap kepadamu
untuk tak putus asa dalam mewujudkan pengabdianmu kepada tanah pertiwi
ini. Tak usah kau kau berlarut dalam kesedihan, angger. Walaupun kau tak
berjodoh dengan kedua pusaka itu, tetapi kau akan tetap dekat dengan
Kanjeng Sultan. Sebuah jalan akan menuntunmu menuju ke istana walau jalan
itu berliku - liku dan penuh kerikil tajam."
.
Ketika Arya Dipa akan mengangkat kepala, yang nampak kemudian bukan
lagi orang tua yang ia panggil Eyang Resi, tetapi ia kembali di bangunan
padepokan Karang Tumaritis.
.
"Oh.. Terima kasih, Eyang Resi." ucap Arya Dipa dalam hati.
.
Dipandanglah Panembahan Ismaya dengan senyum ramah. Seolah tiada
sesuatu yang memberatkan hatinya kembali. Karena kini hatinya terasa lapang
bagaikan padang nun luas.
.
Hal itu juga membuat Panembahan Ismaya tersenyum, "Kau sudah mendapat
jawabannya, anakmas ?"
.
Arya Dipa mengangguk, "Terima kasih eyang Panembahan sudah menunjukan
kalau kedua keris itu tak berjodoh denganku. Jalan itu berbeda eyang
Panembahan."
.
Panembahan Ismaya mengangguk perlahan. Sedangkan ki Kebo Kanigara
dan Mas Karebet terlihat tak mengerti dengan kedua orang itu.
.
"Baiklah, kalau begitu aku tinggal dahulu. Beristirahatlah kalian di sini." kata
Panembahan Ismaya dan meninggalkan bangunan itu.
P a g e | 425
.
Tak terasa waktu cepat berlalu. Kodrat alam berjalan sesuai dengan garis Sang
Pencipta. Matahari bergerak dari timur ke barat menerangi segenap bumi yang
dilewatinya. Satwa - satwa bersuka cita dengan berbagai ragam suara yang
ditimbulkan, mewarnai indahnya buana ini. Udara semilir terasa bersahabat
membuai mahkluk untuk mengucap syukur kehadapan Illahi.
.
Arya Dipa menggeleng, tetapi ia menjawab walau terlihat ragu - ragu, "Aku tak
tahu, eyang Panembahan. Namun aku mengira itulah kedua pusaka Demak
yang hilang..."
.
"Hm.. Memang inilah kedua pusaka itu, anakmas. Pusaka ini akulah yang
menyimpannya."
.
"Apa maksud semua ini, eyang Panembahan ?"
.
Orang tua itu tersenyum, lalu katanya, "Kedua pusaka ini merupakan benda
yang sangat dikeramatkan bagi beberapa golongan. Sehingga tersiarlah kabar
kalau siapa yang mendapatkan kedua pusaka ini, maka orang itu akan
menerima pulung keprabon. Namun bukan itu yang menjadikan aku
menyimpan benda ini anakmas, karena aku tak silau dengan sesuatu yang
menyangkut dengan keraton."
.
Karena dilihatnya ada kesan yang tak pas dihati Arya Dipa, Panembahan
Ismaya telah mengambil sebuah benda dari balik pakaiannya. Benda kuning
keemasan dengan simbol matahari dan di hadapkan kepada Arya Dipa.
.
Seketika kepala Arya Dipa mendongak demi Panembahan mengatakan kalau
dirinya akan berjodoh dengan pusaka yang akan melengkapi keris kyai Naga
Sasra dan Sabuk Inten. Pusaka jenis apakah itu ?
.
"Besok pagi berangkatlah ke arah matahari terbit. Tembuslah pertahanan
pasukan bang wetan di Purbaya. Dan telusurilah aliran Brantas hingga kau
menemui onggokan tanah yang menyerupai emas bila terkena sinar sang
surya." kata Panembahan Ismaya.
.
"Baiklah, eyang Panembahan. Mohon restunya supaya aku dapat memenuhi
keinginan eyang dalam mendapatkan pusaka itu." kata Arya Dipa mantab.
Lalu katanya selanjutnya, "Namun apakah tak sebaiknya aku minta diri kepada
paman Kanigara dan adi Mas Karebet ?"
.
Panembahan itu menggelengkan kepala, "Tidak anakmas, pamanmu Kanigara
dan Karang Tunggal saat ini sedang melakukan lelaku di gua belakang
padepokan."
.
"Dan supaya jalanmu tak terganggu oleh seseorang yang kau kenal, lewatlah
jalan tikus selatan bukit ini. Sekarang beristirahatlah"
.
"Baik, eyang Panembahan."
.
Selanjutnya Arya Dipa kembali ke bangunan yang ia tempati sebelumnya.
Disana ki Kebo Kanigara dan Mas Karebet sudah tak ada. Oleh karena itu Arya
Dipa segera membaringkan tubuhnya untuk mempersiapkan tenaga untuk
esok hari. Sebuah perjalanan panjang akan ia tempuh.
Sekejap kemudian ia pun terlelap dengan buaian mimpi. Kokok ayam pagi
harilah yang membuat pemuda itu terjaga dan segera ke pakiwan untuk
membersihkan diri dan sesuci. Ketika Arya Dipa memasuki bangunan
tempatnya istirahat, di atas bangku sudah tersedia sarapan yang diperuntukan
baginya.
.
Kini saatnya ia pamit kepada Panembahan Ismaya untuk meminta restu dari
orang tua keturunan bangsawan Majapahit itu.
.
P a g e | 428
.
"Karang ini terlalu terjal untuk dituruni." desis pemuda itu sembari mengeliarkan
pandang ke sekitarnya.
.
"Oh itu ada sebuah belik di balik bebatuan karang yang memisahkan dengan
bibir pantai." kembali pemuda itu berkata sambil melangkahkan kaki menuruni
bebatuan yang agak landai.
.
Jalan yang ia lalui ternyata licin dikarenakan adanya lumut hijau tumbuh di
permukaan bebatuan. Selain itu di sela bebatuan juga tumbuh semak berduri
kecil - kecil. Maka pemuda itu mengurai benda yang melingkar di
pinggangnya, yang ternyata itu sebuah pedang tipis dan lentur.
.
Digunakanlah pedang tipis itu untuk membabat semak yang menghalangi
langkahnya, sehingga memudahkan dirinya melewati permukaan tanah
berbatu itu. Dan tibalah ia dibawah, dimana di situ terdapat belik atau mata air
yang tawar dan jernih sekali air itu.
.
Segera pemuda itu menyiduk air itu dengan kedua tangannya dan ia dekatkan
dengan bibirnya. Seteguk dua teguk air dalam cangkupan kedua tangannya,
mulai memasuki bibir dan membasahi rongga mulut dan kerongkongannya.
Tiba - tiba sebuah suara menggelegar menghentak udara di atas karang itu,
"Hahaha.. Mulutmu besar juga, Serigala pesisir selatan !"
.
Habis dari suara itu, sesosok tubuh bagai terbang meluncur menjotoskan
tangannya kepada Duaji. Kesiur angin dari pukulan itu bukan olah - olah. Tetapi
Duaji bukanlah orang biasa, sebutan yang ia sandang Serigala dari pesisir tak
kosong mlompong. Tubuhnya masih berdiri di samping kuda, tetapi kepalanya-
lah yang bergerak menghindar dari sergapan sosok itu.
.
"Wuuuss.... !"
.
Tangan sosok orang yang baru datang itu hanya mengenai udara kosong.
Bahkan hempasan udaranya tak membuat Duaji cedera sedikitpun.
.
P a g e | 431
"Bango Banaran, sekali lagi kau berbuat seperti itu akan ku buat kau pincang !"
ancam Duaji.
.
Orang yang dipanggil Bango Banaran hanya tertawa terkekeh, "Hehehe..
Janganlah kau begitu kaku, Duaji. Aku hanya ingin melemaskan otot - ototku
saja."
.
"Sudah.. !" seru orang yang dipanggil denmas oleh Duaji, "Mana yang lainnya
?!"
.
Bango Banaran mengangguk hormat kepada orang itu, walau hanya basa -
basi. Selanjutnya sambil menunjuk ke arah timur ia berkata, "Itu mereka,
Sanjaya."
.
Dari arah timur bermunculan lima tiga orang yang berbadan tinggi tegap
dengan wajah menunjukan kalau orang orang itu menyimpan ilmu dalam
tubuhnya. Seorang dengan rambut panjang namun tengahnya botak,
bernama Ki Widarba. Selanjutnya lelaki dengan tongkat di tangan kanan,
disebut Gonggang Keling. Yang terakhir berwajah penuh bulu dan kedua
lengan terdapat akar bahar melingkar, bernama Pandak Wengker.
.
Selintas Arya Dipa yang mencoba menyembunyikan getar keberadaannya,
mempertajam apa yang dibicarakan oleh orang - orang itu. Awalnya keenam
orang itu hanya saling mengumpat satu dengan yang lainnya, hingga orang
yang disebut Sanjaya menghentakan kakinya. Padahal kaki itu hanya sekedar
menghentak saja, tetapi kekuatan yang ditimbulkan membuat daerah itu
bagai diterjang lindu.
"Bukan main tenaga orang itu." desis Arya Dipa, semakin menekan getar
keberadaannya.
.
Usai hentakan kaki dari Sanjaya, kelima orang lainnya terlihat bersungguh -
sungguh. Selanjutnya kelima orang itu menanti apa yang akan keluar dari mulut
lelaki berjenggot runcing.
.
Sanjaya yang dinanti akan suaranya, tak kunjung mengangkat suara. Orang itu
malah memusatkan segala panca inderanya untuk memlerhatikan keadaan di
tempat itu. Untunglah orang itu tak mendengar detak jantung atau pun
P a g e | 432
.
Wajah Gonggang Keling memerah dan melototi Bango Banaran. Diantara ke-
enam orang itu, hanyalah Bango Banaran yang mempunyai sifat usilan. Maka
tak heran jika setiap ia bicara pasti membuat orang yang belum tahu betul
dengan orang ini, akan mudah tersulut kemarahannya. Jangankan orang yang
belum kenal, Gonggang Keling yang sudah mengenal bertahun - tahun itu saja
masih mampu dibuat jengkel dengan ulah Bango Banaran.
.
"Diam kau bocah gemblung !!" umpat Gonggang Keling.
.
"Hehehe.. Walau aku gemblung, tetapi wajahku tampan dan banyak gadis
perawan yang mengerubutiku, Cleret Lor."
.
"Sudahi permainan kalian !" lerai Sanjaya, "Baiklah aku akan menjelaskan
kepada kalian semuanya."
.
"Dua hari yang lalu, orang yang membawa benda dan harta itu mengetahui
rencana yang kita susun. Maka dia meninggalkan gua di bawah karang ini,
dan pergi ke timur."
.
"Apa kau tak mengejarnya, Sanjaya ?" tanya Pandak Wengker.
.
Lelaki dengan Jenggot tipis runcing itu menghela nafas sambil menggeleng,
"Orang itu sangat sakti, hanya menggunakan pelepah pisang ia mengarungi
derasnya ombak lautan."
Selesai berkata, Arya Dipa beranjak kembali ke bawah karang. Yang ia tatap
pertama hanyalah belik yang ia gunakan untuk mandi tadi. Kemudian ia teliti
satu demi satu setiap dinding karang itu, dengan cara meraba dan
mempertajam panca inderanya.
.
"Oh.. Ini dia." serunya manakala sebuah mulut gua yang tersamarkan oleh
tetumbuhan menggelantung di mulut gua.
.
Ruang di dalam gua sangat gelap dan pekat. Sinar rembulan terhalang oleh
rerumputan yang menggelantung di mulut gua. Secepatnya Arya Dipa
merogoh batu titikan dan sejumput rumput kering untuk kemudian dia bakar.
.
Ternyata ruang di dalam gua agak luas setelah cahaya menerangi tempat itu.
Tiada yang aneh dalam gua itu, semuanya sama dengan gua - gua yang
pernah Arya Dipa lihat.
.
"Malam ini sebaiknya aku tidur di gua ini." desisnya, sembari melangkah
mengumpulkan ranting di atas karang.
.
Tetapi langkah kaki belum sampai di mulut gua, pandangan matanya
tertumbuk ke permukaan lantai gua. Samar - samar ada sebuah goresan
aksara di atas lantai gua itu.
.
"Terlalu kecil nyala api, " desis Arya Dipa, manakala ia tak mampu membaca
goresan dikarenakan api semakin redup.
.
Segera ia bergegas naik kembali ke atas karang dan mengumpulkan ranting
kering untuk dibawa kembali ke dalam gua. Ranting yang banyak itulah yang
kemudian memberikan nyala api yang memadai setelah dibakar oleh Arya
Dipa. Dan nyala api itulah yang membuat mata Arya Dipa semakin mudah
membaca setiap goresan di dasar lantai.
.
"Sebuah ungkapan penyesalan atas keserakahan." desis Arya Dipa, setelah
membaca sebaris goresan itu.
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
"Gambar ini ?" desis Arya Dipa ketika meneliti sebuah goresan di bawah
goresan aksara dalam gua.
.
Sebuah lambang yang sama dengan apa yang pernah ia lihat ketika berada
di Padepokan Karang Tumaritis satu bulan yang lalu. Lambang Surya Kencana
menandakan ciri dari darah biru keraton Wilwatikta. Tak hanya itu saja, di
bawah lambang itu tergores juga sebuah benda yang menyerupai sebilah
keris.
.
"Apakah benda ini yang diperebutkan oleh mereka ?" batin pemuda itu sambil
menyentuh goresan di permukaan lantai gua.
.
"Bluuk.."
.
Lantai itu amblong sebesar tiga kilan dan membuat tangan Arya Dipa jatuh ke
dalam dasar lubang itu, walau sebatas siku.
.
Kaget dan bingung sempat hinggap dalam hati Arya Dipa, tetapi sekejap
kemudian telapak tangannya yang berada dalam lubang menyentuh sebuah
benda dalam bungkusan kain. Secepatnya ia tarik tangan sembari menjumput
benda itu keatas.
.
Ketika tangan keluar seluruhnya, nampaklah sebatang benda terbungkus kain
hitam mewah dengan simbol Surya Kencana. Tangan Arya Dipa bergetar dan
jantung berdegub keras. Sebuah getaran halus merambat pada tangannya,
memasuki urat dan nadi menuju jantungnya.
.
Meskipun begitu, Arya Dipa tetap bertahan untuk menjaga kesadarannya dan
menekan getaran halus itu untuk tidak merusak simpul di jantungnya. Upayanya
berhasil dengan baik. Maka selanjutnya ia dekatkan benda itu ke dahinya
seraya memejamkan mata sesaat, dan kemudian menyingkap kain pembukus
itu.
.
Arya Dipa melebarkan kelopak matanya demi melihat benda dalam
bungkusan itu, yang ternyata berwujud warangka keris yang bersalut intan
berlian.
P a g e | 437
.
"Apa maksud dari ini semua ?" batin Arya Dipa.
.
Diamati warangka itu secara cermat. Indah memang dan tentunya mahal jika
benda itu dijual kepada pedagang. Namun getaran benda itu sangat kuat, itu
membuktikan kalau benda itu tentu sebuah warangka dari keris pusaka.
.
Akal pemuda itu terus berpikir mengenai guratan penyesalan dari si-empunya
penulis dan mengkaitkan dengan warangka keris.
.
"Penyesalan - Bangsawan Wilwatikta - Warangka keris." kata Arya Dipa lirih
sambil memutar warangka terbalik.
Tanpa disadari dari dalam warangka, secarik kertas putih terjatuh ke lantai. Di
jumput kertas itu dan di buka lipatan secarik kertas itu. Ternyata dalam
permukaan kertas terdapat sebuah pesan bagi orang yang mampu
menemukan warangka keris yang disembunyikan oleh empunya keris.
.
Dalam pesan itu, si-empunya keris mengatakan kalau warangka itu akan
berjodoh dengan seorang yang berhati lurus dalam pengabdian terhadap
negerinya. Dan hendaknya, ia berjalan ke matahari terbit menyusuri sungai
brantas sampai di sebuah gundukan tanah berkilau kuning keemasan saat
disenja hari.
.
"He.. Ada persamaan dengan tempat yang ditunjukan oleh eyang
Panembahan Ismaya !" seru Arya Dipa sekaligus membuat tubuhnya berdiri.
.
Di lihat kertas itu dan dibaca ulang. Setelah yakin benar dengan tulisan itu, ia
lipat kembali dan ia masukan ke dalam warangka tadi, serta membungkus
warangka dengan kain hitam seperti semula.
.
Malam semakin dalam memasuki peraduannya. Di luar debur ombak terus
menghentak kerasnya karang. Cahaya rembulan terus menerangi buana,
namun kadangkala sang awan mencoba menggoda dengan menghalingi
sinar rembulan, sehingga sulit menembus ke permukaan buana raya. Untunglah
sang bayu muncul sebagai sang penolong, memukul sang awan supaya pergi
meninggalkan indahnya sang rembulan. Tetapi segalanya segera buyar
manakala dari arah timur, warna kemerahan menyeruak dari atas cakrawala.
P a g e | 438
.
"Denmas saat ini memasuki padukuhan Bungkul, Denmas."
.
"Apakah jalan menuju kadipaten Ponorogo masih jauh, kisanak ?" sekali lagi
Arya Dipa bertanya.
.
Pelayan itu nampak kebingungan untuk menjawabnya.
.
"Kenapa kisanak kebingungan ?"
.
"E.. Aku belum pernah kesana, Denmas." jawab pelayan itu, tersipu malu.
.
Arya Dipa tersenyum dengan perilaku pelayan yang seumurnya itu. Di ambilnya
uang kepeng dan ia berikan kepada pelayan itu.
"Terima-lah."
.
"Terima kasih, Denmas." ucap pelayan itu.
.
Sepeninggal pelayan kedai, Arya Dipa memusatkan untuk menikmati makanan
yang sudah terhidang. Perut yang sejak tadi sudah berkeroncongan, kini
bersyukur lega mendapatkan apa yang sudah diidam - idamkan. Tak lupa air
putih dalam kendi tertuang ke gelas dan selanjutnya melancarkan sisa
makanan di mulut dan tenggorokan.
.
Pada saat Arya Dipa menyantap makanan di kedai, tiga penunggang kuda
berjalan pelan memasuki pelataran kedai. Suara ringkikan kuda membuat Arya
Dipa menoleh demi mengetahui siapa penunggang kuda itu.
.
Ketiga penunggang kuda itu segera turun dari kuda mereka dan memberikan
kepada pelayan yang tadi menyambut Arya Dipa dengan ketus. Tapi kali ini
sangat lain apa yang diperlihatkan oleh pelayan itu. Dengan ramahnya
pelayan itu menyambut ketiga penunggang kuda tersebut. Bahkan menunduk
hormat kepada salah seorang yang lengannya ada gelang akar bahar
melingkar sebagai hiasan.
.
"Mereka.. " desis Arya Dipa yang mengenali ketiga orang itu.
.
P a g e | 441
Namun kemudian Arya Dipa tak menghiraukan lagi dan sibuk dengan
makanan di atas meja.
.
Sementara itu ketiga orang itu segera memasuki kedai dan duduk di meja
dekat pojokan.
.
"Pahing, cepat kau siapkan makanan yang paling enak di kedai ini !" seru si
lengan akar bahar.
.
"Segera, ki Pandak Wengker." sahut si pemilik kedai dan berlari ke dapur.
.
"He Gonggang Keling, apa tidak apa - apa kita berpisah dengan rombongan
Sanjaya ?" kata ki Widarba.
.
Gonggang Keling tak langsung menjawab. Orang dari Karimun itu mengunyah
pisang sampai habis dan meneguk air dari kendi. Barulah ia menjawab.
"Ki, kita ini sudah dewasa. Mengapa kau merengek layaknya anak kecil ?"
.
"Tampangmu..! Bukan itu maksudku !" bentak ki Widarba, "Jika si murid durhaka
itu menemukan benda dan harta itu, kita akan dikhianati juga."
.
Gonggang Keling terdiam, tetapi bibirnya tersenyum tak terlalu memikirkan
kegelisahan ki Widarba. Sama halnya dengan si lengan bergelang akar bahar,
orang itu dengan asyiknya memothel pisang hijau dan mengupas kulitnya.
.
"Uh, kalian terlalu meremehkan pemuda itu." desuh ki Widarba.
.
"Sudahlah, ki. Kita berempat tentu dapat menangani Sanjaya dan Duaji. Di
sana juga ada Bango Banaran yang menjadi mata dan telinga kita." kata ki
Pandak Wengker.
.
Orang tua bersenjata tongkat itu ingin berkata lagi, tetapi kedatangan pemilik
kedai dan pelayan yang menghidangkan makanan telah mengurungkan
niatnya. Berganti dengan menyantap hidangan yang menimbulkan nafsu
perutnya.
.
Sambil menikmati makanan itulah, ki Pandak Wengker berkata, "Kita sebaiknya
P a g e | 442
Kembali Arya Dipa mengikuti setiap kata yang terucap dari ketiga orang di
pojokan tanpa membuat mereka curiga dengan dirinya. Maka dari itu ia
dengan lahap memakan nasinya.
.
Di meja dekat pojokan, pembicaraan ketiganya semakin mengarah terhadap
tujuan dari orang - orang itu.
.
"Kita pikirkan nanti saja setelah sampai di rumahku." kata ki Pandak Wengker.
.
"Ah kau sudah merindukan belaian anak muda itu, ya ?"
.
"Dasar kelakuan warok sepertimu tak pernah berubah, Pandak Wengker !"
celetuk ki Widarba.
.
"Biarkan saja, ki Widarba. Memang hal itu akan menambah kesaktiannya."
sahut Gonggang Keling, dan tanpa sengaja menatap ke arah Arya Dipa.
.
Melalui sebuah isyarat orang dari Karimun itu memberitahukan kepada kawan -
kawannya. Ki Widarba dan ki Pandak Wengker yang diberitahu, mengikuti
tatapan itu. Dan ki Pandak Wengker langsung berdiri melangkah ke meja Arya
Dipa.
.
"Cah bagus, sepertinya kau bukan dari padukuhan ini. Siapa kau dan dari
mana ?"
P a g e | 443
.
Arya Dipa menatap ki Pandak Wengker dengan ketakutan dan gemetar, "A..
aku dari Ngurawan, kisanak."
.
Jawaban itu membuat ki Pandak Wengker mengerutkan dahinya, "He
benarkah ?"
.
"Iya, kisanak. Bekas perdikan itu saat ini menjadi benteng pasukan Demak dan
kadipaten Ponorogo, hal itu membuat aku mengungsi ke sini."
.
Ki Pandak Wengker memperhatikan seluruh tubuh Arya Dipa, mulai dari ujung
rambut sampai ujung kaki. Raut wajah itu berseri gembira dengan lekuk tubuh
bidang dari Arya Dipa.
"Hm.. Bila kau ingin hidupmu enak, ikutlah kau bersamaku, cah bagus."
.
Tetapi sebuah tawa membuat ki Pandak Wengker menoleh ke arah tawa yang
menyakitkan telinganya.
.
"Hehehe.. Wong edan wis mulih, marai nggawe pagebluk... !"
.
Seorang lelaki berpakaian penuh tambalan berdiri di pelataran sambil
mencoret - coretkan ranting ke tanah, itulah yang tertawa dan berbicara.
.
Tak hanya ki Pandak Wengker saja yang dibuat terkejut, ki Widarba dan
Gonggang keling juga berdiri dan berlari keluar kedai. Sementara dengan hati -
hati Arya Dipa terus mengamati orang aneh itu.
.
"Begawan edan !" bentak ki Pandak Wengker setelah di luar kedai, "Mau apa
kau ikut campur urusanku, he ?!"
.
"Hehehe.. Pandak Wengker, Widarba dan juga Gonggang Keling. Bila Pandak
Wengker berkeliaran di sini itu sudah lumrah." kata orang berpakaian tambalan
itu, "Namun adanya orang Karimun dan Jipang membuatku bertanya - tanya,
hehehe... "
.
"Bangsat kau Begawan edan !" maki ki Pandak Wengker yang merasa
perkataannya tak di gubris oleh orang itu, "Kau rupanya sudah bosan hidup, ya
P a g e | 444
?"
.
"E ladalah, wong ra duwè tátá.. !" seru orang yang disebut begawan itu, "Sudah
bertingkah buruk dengan menggendak lelaki muda, kini berucap kasar kepada
orang tua sepertiku."
.
Perkataan dari orang tua itu membuat wajah ki Pandak Wengker sudah
memerah bagai kepiting rebus. Tanpa sebuah aba - aba, warok itu meluncur
deras menyasar batok kepala si orang tua.
.
Sekilas kedua tangan kokoh ki Pandak Wengker akan mendarat di batok
kepala orang aneh itu. Tetapi seperti tak menghiraukan, orang tua yang masih
asyik menggores ranting ke tanah, membiarkan batok kepalanya terkena
gempuran.
.
"Whuus.. Dhuukk.. !"
.
Kedua tangan ki Pandak Wengker berhasil menggempur batok kepala si orang
tua aneh. Dan ki Pandak Wengker telah mendarat kembali di tanah dan
menatap tajam dimana kakek aneh tadi berdiri.
.
"Hehehe........ "
.
Semua mata mengarah ke arah si kakek aneh tadi.
"He.. " desuh Arya Dipa, lalu ia tersenyum dan mempersilahkan kakek Begawan
memasuki kedai.
.
Dimintanya pelayan kedai untuk menyediakan makanan yang enak untuk
kakek Begawan. Dan setelah hidanhan tersedia, kakek itu segera melahab
dengan nafsunya. Seolah - olah perutnya belum terisi sejak sepekan, sehingga
meraup dam menjejalkan makanan itu ke mulutnya.
.
Tingkah laku kakek Begawan itu membuat hati Arya Dipa senang. Entah
mengapa ia merasakan kegembiraan bila memandang wajah kakek Begawan
itu.
.
Pertanyaan yang tak disangka - sangka itu membuat Gonggang Keling
terdiam. Memang diakuinya kalau setiap ia beradu ilmu dengan Begawan
Kakrasana, ia bagai anak kecil yang terus dipermainkan oleh Begawan itu.
Oleh karenanya ia hanya berjalan menunduk menyusuri jalan yang membelah
persawahan itu.
.
Di kedai padukuhan Bungkal, Begawan Kakrasana menyudahi makannya.
Perutnya sudah tak sanggup lagi menampung makanan yang dipesan untuk
katiga kalinya itu. Sembari menepuk perutnya ia menghela nafas panjang.
.
"Tak hari - harinya perutku dilayani seperti siang ini." ucapnya perlahan,
sementara matanya terkatup - katup.
"Kalau begitu kita sudah impas bukan, eyang ?" kata Arya Dipa.
.
Suara dari Arya Dipa itu telah menyadarkan Begawan Kakrsana. Bukannya
berkata baik - baik, melainkan tangan kakek itu bergerak menjewer pemuda di
sampingnya dengan kerasnya.
.
"Aduh... Aduh...Aduuuh.. !" keluh Arya Dipa, tak menyangka kalau ia akan
diperlakukan seperti itu.
.
"Anak edan, kau mengganggu ketenanganku dalam menikmati perutku yang
kenyang !" bentak Begawan Kakrasana, lalu kemudian, "Cepat kau bayar dan
ikuti aku !"
.
Entah mengapa Arya Dipa tak menolak perintah Begawan yang uring - uringan
itu. Tanpa menunggu lagi setelah tangan Begawan Kakrasana melepas tangan
dari kupingnya, Arya Dipa memanggil pelayan kedai dan membayar semua
makanan tadi. Sehabis itu mengikuti langkah kakek Begawan.
.
Semenjak keluar dari kedai, keduanya tak banyak bicara. Keduanya terus
berjalan menyusuri jalan setapak yang kanan kiri ditumbuhi semak belukar
berselang tanaman luntas. Setelah sepengunyah sirih, sampailah di sebuah
gubuk yang berdiri di pinggir kolam.
.
"Masuklah anak muda." kata Begawan Kakrasana mempersilahkan Arya Dipa.
P a g e | 450
.
Di dalam gubuk itu hanya terdapat amben besar yang menyisakan tempat
berjalan ke pintu bekakang. Di dinding gubuk yang terbuat dari potongan
bambu, terdapat dua arit terselip ke bawah dan caping besar.
.
"Duduklah." kata Begawan Kakrasana dan terus berjalan ke belakang.
.
Duduklah Arya Dipa di amben sambil menunggu kemunculan Kakek tadi. Tak
berselang lama munculah kakek itu sambil membawa kendi dan selirang
pisang hijau.
.
"Hanya ini yang aku sajikan, cah bagus."
.
"Terima kasih, eyang. Lebih dari cukup."
"Ya jelas lebih dari cukup to cah edan, hehehe." kata Begawan itu sambil
melototkan matanya dan tertawa riang.
.
"He cah edan, siapa kamu ini ?" sambung Begawan dengan pertanyaan.
.
"Aku hanya seorang yang ingin melihat luasnya tanah jawa ini, eyang. Ayahku
sering memanggilku dengan Dipa."
.
"Dipa.. " desis Begawan Kakrasana, sambil meneliti setiap lekuk pemuda di
hadapannya.
.
"Nama yang bagus, mengingatkan aku dengan putra Gajah Pagon yang
menjadi benteng Wilatikta." kata Begawan dalam hati, "Seorang mahapatih
yang mampu menyatukan nusantara walau akhirnya ia menjadi korban
kepentingan dari kerabat keraton Wilatikta, gara - gara ingin menyatukan
Prabu Hayam Wuruk dan putri Dyah Pitaloka."
.
"Mengapa eyang melamun ?" tegur Arya Dipa ketika melihat Begawan
Kakrasana termenung.
.
Begawan itu menghela nafas seakan - akan ingin melapangkan dadanya yang
sesak. Dirinya tak menyangka kalau pengabdian seorang nayaka praja yang
sangat setia kepada negerinya, disudutkan karena pokal seorang saja.
P a g e | 451
Sehingga seorang Gajah Mada meninggalkan tujuan yang lebih gemilang bagi
Wilatikta mengasingkan diri dan tak diketahui rimbanya.
.
"Tidak, ngger. Namamu tadi telah mengingatkan diriku ini terhadap orang yang
aku bangakan. Semoga kelak kau mampu sepertinya dalam melakukan
pengabdian yang benar." kata Begawan Kakrasana dengan diiringi sebuah
do'a yang tulus.
.
"Ah sudahlah." desisinya, "O ya, mengapa kau tadi diam saja terhadap tiga
begundal tadi ? Aku rasa kau tentu mampu melawan mereka."
.
"Ah, eyang terlalu berlebihan. Ketiga orang itu sangat lihai dalam ilmu tata
kenuragan. Jika aku melawan mungkin dalam beberapa gebrakan akan
terbujur pingsan."
.
"Hehehe.. Bila itu terjadi, mungkin aku akan mendukung tubuhmu yang pingsan
dan ku ceburkan ke kolam !" seru Begawan Kakrasana.
kemudian, "Yang aku takutkan jikalau benda itu jatuh ke tangan yang salah.
Tentu sesuatu akan semakin mengeruhkan keadaan di Bang Wetan ini, ngger."
.
Arya Dipa menganggukan kepalanya. Kegelisahan Begawan Kakrasana itu
bisa ia rasakan juga. Dirinya sudah mengetahui kenyataan jika benda itu jatuh
ke tangan Sanjaya atau penguasa dari Bang Wetan, yaitu Panembahan Bhre
Wiraraja.
.
"Sudahlah, ngger. Istirahatlah disini dahulu. Aku akan pergi sebentar."
.
"Baik, eyang." kata Arya Dipa yang kemudian ditinggal Begawan Kakrasana.
Orang tua itu terlihat memikirkan sesuatu, lalu kemudian jawabnya, "Andai akan
mengatakan kepada mereka yang mengincar barang, tentu mereka tak
percaya dan menuduh kita sebaliknya. Tetapi bila membiarkan, tentu darah
akan membanjiri gumuk pinggir Brantas.
.
Orang tua itu memukul kepalanya dengan perlahan sambil mengumpat sendiri,
"Bodoh.. Bodoh.. Bodoh.. "
.
"Dari dulu kau memang Bebal, Kakrasana !" seru sebuah suara dan disusul dua
sosok.
.
Arya Dipa segera waspada atas kemunculan dua orang yang terdiri dari
seorang kakek dan anak muda hampir sebaya dengan dirinya.
.
"Tenang, ngger. Ia kakang seperguruanku." desis Begawan Kakrasana perlahan.
.
Walaupun suara Begawan Kakrasana tadi perlahan, tetapi orang tua yang
baru datang itu bisa mendengar dengan jelas dan membentak, "Huh kau
menganggap saudara terhadapku ?!"
P a g e | 454
.
Tiada jawaban terdengar, melainkan sebuah terjangan deras mengarah kakek
tua yang baru muncul.
.
"Dess.. Dess.. Dess.. "
.
"Edan kau Kakrasana.... !" seru orang tua itu sambil menangkis setiap gempuran
dari Begawan Kakrasana.
.
Sehabis menyerang dengan tiga gebrakan, Begawan Kakrasana mumbul ke
udara dua kali putaran dan sepanjutnya meluncul ke tempatnya berdiri sejak
awal.
.
"Hehehe.. Walaupun tulang kakang sudah termakan usia, ternyata masih
mampu menahan gempuran Tri Bayu Murda." seru Begawan Kakrasana.
.
Orang itu menoleh kepada pemuda disampingnya, "Windujaya, ternyata bila
dibandingkan dengan paman gurumu, masih hebat gempuran Tri Bayu Murda
yang kau miliki.. Hehehe."
.
Pemuda disamping orang tua itu menunduk hormat kepada Begawan
Kakrasana seraya berucap, "Maafkan kedatangan kami berdua paman, yang
mengganggu ketenangan paman Begawan."
Windujaya membalasnya dengan ramah, lain halnya dengan orang tua yang
dipanggil kakang Bancak, orang tua itu tak menoleh sedikitpun kepada Arya
Dipa. Untunglah Arya Dipa tak menanggapi dengan sungguh - sungguh.
.
"Apakah kau mengambilnya sebagai murid, Kakrasana ?" tanya orang tua itu.
.
Begawan Kakrasana yang masih di ruang belakang tak segera menjawab.
Barulah saat ia muncul kembali dan membawa suguhan, ia menjawab, "Tidak,
kakang Bancak. Dia pemuda yang aku rasa menyimpan ilmu lebih dari cukup."
.
Kakang Bancak itu sekilas melirik ke Arya Dipa memperhatikan tubuh pemuda
itu. Memang benar apa yang dikatakan oleh adiknya, sekilas melihat saja ia
mampu mengetahui adanya tumpukan ilmu berada dalam tubuh anak itu.
.
"Siapa yang mendidikmu, bocah ?"
.
Arya Dipa dengan terus terang menjawab, "Eyang Puspanaga, eyang."
Suara Arya Dipa sebenarnya lirih dan halus, tetapi ditelinga kakang Bancak
bagaikan gemuruh kilat yang meledak diatas kepalanya.
.
"Puspanaga..." desis orang tua itu dengan muka memerah, walau hanya sekilas.
.
"Wah, jadi kau murid pertapa Pucangan, ngger." kata Begawan Kakrasana.
.
"Hanya sebatas ilmu dasar saja, eyang."
.
"Hm.. Seorang pertapa yang benar - benar dahsyat ilmunya." puji Begawan
Kakrasana.
.
"Huh.. Hanya ilmu setetes sempalan Ningrat kau terlalu memuji, Kakrasana."
desuh kakang Bancak.
.
Arya Dipa mengerutkan keningnya lebih dalam. Kata - kata itu terlalu tajam
sehingga membuat telinganya panas. Dengan sekuat tenaga ia mencoba
menenangkan amarah yang hampi terungkit itu.
.
"Maafkan jika aku berlaku kasar, eyang Bancak. Mengapa eyang mencemoh
P a g e | 456
.
.... Gunung tentram berubah membara....
.... Keluarga kecil lenyap seketika....
.... Darah berceceran membasahi buana....
.... Luka menganga menggores dada....
.... Si wanita tak bernyawa sekali tebas....
.... Nyawa si lelaki akhirnya lepas....
.... Bayi mungil entah kemana....
.... Kakek berilmu tak mampu jua....
.... O kenapa tua bangka ini masih bernyawa....
.
Suara suling itu pun berhenti berganti dengan desau angin malam, angin yang
menyeret awan untuk menutupi cahaya rembulan. Suasana malam itu seolah -
olah mengikuti hati Begawan Bancak dalam menuangkan kegundahan dalam
hatinya. Masa lalu suram yang sulit ia lupakan sampai usianya sudah mendekati
senja.
.
"Hm.. Semua menganggap akulah yang berbuat. Mungkin ini adalah karma
dari masa mudaku." keluh Begawan Bancak.
.
Sebuah tepukan dipundak Begawan Bancak membuat orang tua itu menoleh
kepada tangan yang menepuknya.
.
"Hidup adalah sebuah perjalanan pencarian bekal, kakang Bancak. Bila kau
menyesali masa mudamu, saat inilah kita mendekatkan diri kepada Gusti
Agung." desis Begawan Kakrasana.
Begawan Bancak menghela nafas, "Sulit Kakrasana, diriku ini kadang lepas
kendali dan sering membuat ulah. Padahal kawan - kawan kita banyak yang
telah kembali keharibaanNYA. Handaningrat pun dengan cepatnya
meninggalkan kita tanpa berpamit kepadaku."
.
"Kalau begitu cobalah kakang mengirim warta kepadanya..." celetuk Begawan
Kakrasana.
.
Seketika Begawan Bancak meraup tanah di bawah dingklik dan dilempar
kepada adiknya itu. Lemparan pasir itu bukanlah lemparan biasa, terbukti
adanya kesiur angin yang menyertainya.
.
Adapun Begawan Kakrasana yang sudah menduha serangan itu, menotolkan
kedua kaki ke tanah untuk melambungkan tubuhnya.
.
"Sruut.. Byaar.. "
.
Dinding gubuk jebol seukuran pasir sejauh lingkup serangan. Sedangkan
Begawan Kakrasana tertawa terkekeh - kekeh duduk di batu depan gubuk
dengan santainya.
.
Bersamaan dengan itu, Arya Dipa dan Windujaya berlari keluar untuk melihat
apa yang sedang terjadi. Namun keduanya terkejut manakala melihat bekas
serangan yang mengenai dinding tembok. Keduanya saling bertatap muka
dengan tegangnya bercampur rasa bingung.
"He, kalian berdua jangan menampakan wajah bagai kunyuk seperti itu !" seru
Begawan Kakrasana, "Kami berdua hanya bermain melemaskan otot."
.
Windujaya yang mengerti watak guru dan paman gurunya itu, menggamit
Arya Dipa untuk diajaknya ke dalam lagi. Niat hati ingin melanjutkan
pembicaraan diantara keduanya, tetapi baru berbalik Begawan Bancak
berseru kepada keduanya.
.
"Keluarlah kalian berdua." seru Begawan Bancak yang kemudian lanjutnya, "He,
kau anak muda. Coba kau tunjukan sejauh mana kau menguasai ilmu dari
Pucangan."
.
P a g e | 459
Arya Dipa tak mengerti, oleh karenanya Begawan Bancak kembali berkata
kepada muridnya.
.
"Windujaya, tunjukan kemampuan Cakra Ningrat kepada murid Puspanaga !"
.
"Tetapi, guru... "
.
"Cepat.. !" bentak Begawan Bancak.
.
Arya Dipa masih diam mematung, sementara Windujaya dalam kebimbangan
dalam hatinya.
.
"Hehehe.. Lakukanlah, ngger. Hitung - hitung kalian membuat senang hati
seorang yang mau sekarat." tiba - tiba Begawan Kakrasana bersuara.
.
"O kau mau mati Kakrasana ?!" kata Begawan Bancak, lalu lanjutnya kepada
kedua pemuda, "Dengar bukan, ini permintaan dari adik seperguruanku yang
sudah sekarat."
.
"Wong tuo gemblung !" maki Begawan kakrasana.
.
Tetapi Begawan Bancak membalas dengan usilnya, "Apa matamu lamur,
Kakrasana ? Kau sendiri juga tua, jelek, gemblung, dan tadi mengaku bebal..
Hehehe."
BERSAMBUNG..
Perubahan mulai terjadi diantara kedua pemuda itu. Yang paling merasakan
ialah Arya Dipa, yang menunjukan perubahan rona merah dikarenakan
P a g e | 462
Windujaya membisu. Pemuda itu masih takjub dengan apa yang telah terjadi.
Bagaimana mungkin seorang yang sudah dibawah himpitan tenaga gajah,
bisa lepas dan bahkan membawa beban ratusan gajah mengudara setinggi
pohon Bramasta ?
.
"Bila aku ingin, ketika masih di udara tadi aku tentu mampu melakukan apa
yang kau tuduhkan tadi, membuat tubuhmu bagai batang pisang yang lumat."
kata Arya Dipa, "Tetapi itu akan penyesalan tiada akhir, adi.
.
Tepuk tangan terdengar keras dari Begawan Kakrasana. Orang tua itu
tersenyum sambil melirik kakak sepeeguruannya. Hatinya setuju dengan apa
yang dilakukan dan dikatakan oleh Arya Dipa.
.
"Kau dengar, kakang. Anak muda ini mirip dengan mendiang putramu." kata
Begawan Kakrasana, "Apakah kau masih ingin melanjutkan keinginanmu tadi ?
Mengapa kau selalu marah jika mendengar nama Resi Puspanaga ?"
.
Keadaan masih belum menunjukan titik terang. Masih samar tertutup awan
tebal sehingga sinar gemintang tak mampu menembus secara langsung.
Begitupun dengan Begawan Bancak. Orang tua itu masih berdiri menatap
tajam ke arah Arya Dipa dan Windujaya.
.
Dalam pikiran orang tua itu terdapat dua lorong yang berbeda. Lorong
pertama ia masih ingin melanjutkan penjajagan itu sampai tingkat selanjutnya,
karena muridnya belum mengeluarkan segenap ilmu yang ia wariskan.
Sedangkan lorong satunya, ialah menuntaskan sampi disini saja.
.
Pertimbangan dari lorong terakhir dikarenakan adanya beberapa hal. Yaitu,
kata Arya Dipa sangat mirip dengan mendiang putranya. Selain itu perkataan
tadi juga mengingatkan dirinya dengan putra Patih Udara, yaitu Raden Kuda
Mapanji. Selanjutnya mengenai Resi Puspanaga, sebenarnya keduanya adalah
kawan seperti dirinya dengan Adipati Handaningrat, perbedaannya hanyalah
dikarenakan adanya kesalahpahaman semata.
.
Sepercik ingatannya kembali menyusur ke masa yang lalu. Ketika dirinya
kembali dari Tingkir, ia dikejutkan adanya suara erangan dari anak
menantunya. Erangan putri seorang Banteng Demak, dikarenakan sayatan
P a g e | 464
mengerikan di tubuhnya. Tak hanya itu saja, tubuh mengerikan juga terlihat
jelas dimatanya, manakala ia menyaksikan putra semata wayangnya tak
berkepala lagi.
.
Begawan yang suka berbuat urakan itu marah bagai singa yang kehilangan
anaknya. Dengan tubuh gemetaran ia berlari ke arah anak menantunya yang
masih bernapas walau darah membasahi tanah dibawahnya.
.
Perlahan diraih bungkusan itu. Di dalamnya, bayi mungil terlelap dalam mimpi.
Wajah si jabang bayi bersinar cerah berpadu antara sang ayah dan sang ibu.
.
"Cucuku, kau tampan seperti Arya Wila dan putih mirip ibumu Dyah Ratna."
desis Begawan Jambul Kuning sembari mengelus pipi mungil cucunya.
.
Saat itulah berkelebat bayangan putih berdiri tegap menghadap Begawan
Jambul Kuning.
.
"Jambul Kuning, Janganlah kau sakiti bayi yang tak berdosa itu." tegur sosok
yang baru datang.
.
Mendengar teguran itu, Begawan Jambul Kuning mengerutkan alisnya dalam -
dalam. Tak mengerti apa yang diucapkan oleh orang itu.
.
"Kau gila apa, Puspanaga ?!" seru Begawan Jambul Kuning, "Dia cucuku... !"
Orang yang berada di depan itu menghela nafas. Mencari peluang waktu
yang tepat menyelamatkan anak yang berada dalam ancaman kakeknya.
Lantas tubuh itu perlahan beringsut melangkahkan kaki ke depan dan berhenti
satu tombak dari tubuh Begawan Jambul Kuning.
.
"Lihatlah putramu Arya Wila, betapa menyedihkan ini. Tataplah Dyah Wulan,
perempuan yang tak mengerti apa - apa walau ia putri Nayaka Praja Demak.
Dan sekarang kau tega membunuh cucumu sendiri, Jambul Kuning ?"
.
"He.. Kau bicara apa, Puspanaga ? Janganlah kau berbicara tanpa ujung
pangkalnya !"
.
"Jambul Kuning, kini kau berubah lagi tak seperti tadi saat membabat putramu
sendiri dengan pedang yang menggeletak itu. Tak segarang saat kau
menyayat menantumu."
.
"Diam... !" seru Begawan Jambul Kuning seraya meloncat menyerang orang di
depannya.
.
Loncatan dengan pukulan walau tak mendebarkan dari Begawan Jambul
P a g e | 466
berjalan.
.
Isyarat itu dapat dipahami sepenuhnya oleh Begawan Kakrasana. Ia yakin apa
yang akan terjadi sudah lepas dari permasalahan kecil layaknya permainan
kanak - kanak. Maka dari itulah, Begawan Kakrasana ikut melangkahkan kaki
menyusul Begawan Bancak.
.
Selanhkah di depan Windujaya inilah, Begawan Bancak bertepuk tangan
sembari mengangguk tulus. Hal itu cukup membuat Arya Dipa dan Windujaya
mengendorkan otot dari ketegangan.
.
"Kau mampu mengungguli muridku, anak muda." desis Begawan Bancak,
"Tetapi ada sesuatu yang membuatku bertanya - tanya."
.
Suara Begawan Bancak awalnya terkesan bersahabat, tetapi diakhrinya dapat
diartikan adanya sesuatu yang mengganjal dan bahkan berujung kembalinya
ketegangan. Dan orang pertama yang cepat merasakan ialah Begawan
Kakrasana. Tak dapat dipungkiri bagi Begawan dari alas Parang itu dapat
menyikapi jalan pikiran kakak seperguruannya, yang terkesan ugalan disetiap
tindakannya. Ini merupakan watak dari masa remaja dan sangat sulit dirubah,
karena sudah mendarah daging berpadu dengan jiwa raga.
.
"Semuanya sudah selesai kakang, marilah kita kembali ke gubuk. Lihatlah
lintang panjerino semakin menjauh." Begawan Kakrasana mencoba
mengalihkan.
.
"Hehehe... Kakrasana, ah bukan. Brajang Mas, kau sejak dahulu memang
menjadi begawan tak seperti aku ini. Sebenarnya kau memang mempunyai
hati bersih dan lurus, tetapi kau meniru tindak tandukku yang urakan dan usilan.
Bahkan kau belajar berkata kasar dengan umpatan atau makian..."
.
Nada suara Begawan Bancak sarat dan bersungguh - sungguh. Sehingga
Begawan Kakrasana yang biasanya akan membalas dengan perkataan, kali ini
dibuat terdiam.
"Adi Branjang Mas, luangkanlah aku waktu untuk sekedar bertanya terhadap
anak muda yang kau katakan mirip kakang Kuda Mapanji ini." kata Begawan
Bancak, sambil menatap sungguh - sungguh adik seperguruannya.
P a g e | 468
.
"Hm.. Silahkan kalau kakang Arya Bancak berkeinginan seperti itu." sahut
Begawan Kakrasana.
.
"Terima kasih, adi." ucap Begawan Bancak.
.
Orang tua itu duduk di batu tak jauh dari kedua pemuda perkasa. Lambain
tangan mengayun mengajak ketiga orang untuk duduk juga di dekatnya.
Kemudian barulah Begawan Bancak kembali bersuara kepada Arya Dipa.
.
"He, Bocah. Tolong katakanlah dengan sebenarnya, siapa kau ini dan apa
hubunganmu dengan Puspanaga ? Karena aku yakin kau bukanlah benar -
benar muridnya."
.
"Baiklah, eyang Begawan. Aku akan mengatakan dengan sebenarnya, tetapi
setelah aku mengatakan jati diriku, aku harap eyang tak lagi mencemoh eyang
Puspanaga." kata Arya Dipa, "Maukah eyang berjanji tak akan mencemoh
eyang Puspanaga lagi ?"
.
Windujaya dan Begawan Kakrasana tersenyum dengan permainan kata Arya
Dipa itu. Sedangkan Begawan Bancak bagai mati kutu, karena ia ingin
mengetahui siapa pemuda itu, sehingga kalau ia tak mau berjanji akan sulit
mengorek jatidiri pemuda itu. Tetapi jika berjanji ia pun merasa malu jika
dibelakang hari diungkit kejadian malam ini.
.
"Bagaimana, eyang ?" kembali Arya Dipa mencari ketegasan sikap Begawan
Bancak.
.
"Setan kecil.. !" batin Begawan Bancak.
.
Dan akhirnya sambil mengeraskan genggaman tangan, mulut itu berucap,
"Aku berjanji.. "
.
"Berjanji untuk apa eyang ?"
.
"Kau... " desis orang tua itu, dengan mengkalnya, "Berjanji tak mencemoh
Puspanaga !"
.
P a g e | 469
.
"Aku hanya berharap eyang masih hidup dan mendapat kesehatan jiwa dan
raganya..."
.
Suara itu bagai kekuatan besar pada diri Begawan Bancak. Dimana kekuatan
suara itu meresap ke seluruh jiwa raga dan menggerakan tubuhnya untu
menubruk Arya Dipa. Rangkulan kedua tangan Begawan Bancak memeluk
Arya Dipa, dan sesenggukan bagai anak kecil mewarnainya.
Di sisi yang lain, Arya Dipa dibuat kaget dan bingung dengan apa yang
diperbuat oleh Begawan satu ini. Mengapa orang tua ini menangis tersedu
seperti itu ?
.
Tak kalah bingung juga dirasakan oleh Windujaya. Pemuda ini merasakan ada
keanehan pada gurunya. Padahal dihari - hari yang lalu, gurunya selalu
berbuat aneh, tetapi kali ini anehnya terlalu.
.
"Mengapa eyang menangis.. ?" tanya Arya Dipa bingung.
.
"Dipa.. Dipa.. kau begitu malang.. " kata Begawan Bancak disela tangisnya.
.
"Sudahlah, eyang. Aku sudah mengikhlaskan hidupku yang lalu itu.." ucap Arya
Dipa.
.
Tak lama tangis Begawan Bancak reda. Pelukan sudah longgar dan terlepas
menyisakan jarak satu langkah. Dengan kain kumalnya, disekanya air mata
yang membasahi pipinya.
.
"Dipa, apakah kau tak mendendam dengan kakekmu itu ?"
.
"Tidak, eyang."
.
"Apa alasanmu .. "
.
Arya Dipa menghela nafas, "Eyang, jika aku mendendam kepada eyangku
sendiri dan katakanlah jikalau mampu membunuhnya, apakah ayah dan ibu
bisa hidup kembali ?.... Tidak, malah aku semakin memburamkan garis
nasibku.."
P a g e | 471
.
"Oh Batara Agung, welas asihMU begitu besar." ucap Begawan Bancak.
.
Selanjutnya orang tua itu menatap lekat Arya Dipa, "Cucuku, inilah orang yang
disebut Jambul Kuning."
.
Tiada angin dan tiada hujan, tetapi sebuah guntur menggelegar
menghentakan alam jiwa Arya Dipa. Suara pelan dari orang tua didekatnya itu
bagai palu godam menghentak jiwa raganya.
.
"Be.. benarkah ucapan eyang ini.... ?"
"Heeeeeeer... "
.
Gerungan dahsyat keluar dari mulut sosok mengerikan itu, gerungan itu juga
menimbulkan angin prahara dahsyat.
.
Saat itulah di alam putih, dari angkasa cahaya bersinar turun dan mendarat di
permukaan alam putih. Dalam naungan cahaya, sesosok tubuh sebesar
raksasa merah berdiri dengan bibir tersenyum. Sosok ini bernampilan layaknya
Resi suci penuh wibawa dalam auranya.
.
"Bala Kala, pergilah kau dari usahamu untuk memperdaya anak manusia ini..!"
tegur sosok putih.
.
Raksasa menyeramkan itu tertawa terbahak - bahak, "Hahaha.. Nara Maya,
kaulah yang usilan. Sudah menjadi tugasku untuk memberikan keberanian
kepada anak manusia ini, oleh karena itu sebelum aku berlaku kasar, enyahlah
dari alam ini.. !"
Pembicaraan kedua raksasa itu membuat Arya Dipa heran dan ada sedikit rasa
jerih. Jika kedua raksasa itu bertengkar, maka ialah sasaran empuk dari kedua
raksasa hitam atau pun raksasa putih yang mungkin tak sengaja menginjaknya.
.
Selanjutnya Arya Dipa masih mendengarkan kedua raksasa yang mempunyai
tujuan berbeda dalam sesuatu menyangkut dirinya. Padahal ia sendiri tak
mengerti apa yang sudah terjadi di alam itu, karena ia sadar bahwa
sebelumnya ia mendengar kalau Begawan Bancak mengaku sebagai
Begawan Jambul Kuning, yang berarti kakeknya.
.
"Minggir kau Nara Maya !" bentak Raksasa Bala Kala dengan marahnya.
.
"Bala Kala, Batara Agung begitu welas asihnya. Mengapa kau memungkiri itu
dengan perbuatanmu ini ?"
.
"Cukup mahkluk penjilat... !" umpat Bala Kala, seraya mengayunkan gadanya.
.
"Wuuuus...."
.
Gada raksasa ditangan Bala Kala hanya mengayun dan tak menjangkau
P a g e | 473
tubuh Nara Maya yang berdiri sepuluh langkah, tetapi serangkum angin-lah
yang membuat Arya Dipa kebat - kebit. Serangkum angin itu laksana lesus
menghujam tubuh dalam naungan cahaya.
.
"Byaaar..."
.
Ledakan dahsyat disertai alam berguncang hebat.
.
"Bala Kala, inikah yang kau andalakan dalam setiap tindakanmu ?"
.
Raksasa Bala Kala menggerung keras disertai gerakan meloncat melakukan
serangan beruntun. Serangan berupa hantaman gada dan bacokan kapak
bermata dua. Sungguh mengerikan jika itu mengenai tubuh manusia.
Jangankan manusia, batu sepuluh kali lipat dari besar gajah pun pasti hancur
jika terkena gada raksasa itu. Dan mungkin andai kapak bermata dua itu
mengenai gunung wilis, tentu gunung itu terbelah jadinya.
.
Itu jika manusia yang membayangkan. Tidak halnya dengan sosok dalam
lindungan cahaya. Sosok itu tersenyum dengan bibir bergerak layaknya sedang
membaca rapalan. Berhenti merapal, dikedua tangan sudah ada dua benda
melingkar bergerigi, cakra.
.
"Heeeer... " gerung Bala Kala.
.
Pertempuran itu berlangsung sangat lama, tetapi sepertinya keduanya
berimbang.. Oh tidak, melainkan raksasa Nara Maya sepertinya hanya
melayani saja, walau kadangkala seperti membahayakan dirinya.
.
"Berhenti.... !" teriak Bala Kala seraya menggerakan tangan sebagai isyarat
untuk berhenti.
.
Nara Maya mengangguk dan tersenyum, "Kau mengaku kalah, Bala Kala ?"
.
"Heeer... Kata itu pantangan bagi pengikut Batara Kala, he Resi Suci !" seru Bala
Kala.
.
"Lalu... ?"
.
Bala Kala menatap ke arah Arya Dipa dan selanjutnya raksasa itu kembali
menatap Nara Maya seraya berucap, "Aku tak akan mengganggu anak muda
ini, jika ia mampu mengatasi Suara Panglulutku."
.
Nara Maya menghela nafas, sudah sekian lama ia mengalami kejadian seperti
ini dengan pengikut Batara Kala. Dan bila seorang pengikut Batara Kala
mengucapkan permintaan ini, maka hanya manusia itu sendirilah yang akan
menentukan akhir dari semuanya.
.
"Mengapa kau diam, Nara Maya ? Takutkah kau... ?"
.
Nara Maya masih dalam kebingungan. Jika ia melanjutkan dengan kekerasan,
ia akan jatuh ke dalam alam tak berwujud, ini karena sudah ada aturan jikalau
dalam alam hitam dan putih bila pihak hitam mengutarakan adanya perjanjian
berupa Suara Panglulut, pihak alam putih tak dapat menolak.
Ketika itulah terdengar sayup - sayup suara halus membisiki Nara Maya, "Biarkan
anak muda itu menerima Suara Panglulut. Percayalah, anak ini dapat
melaluinya."
.
"Hm.. Baik Resi Suci." sahut Nara Maya dalam hati.
P a g e | 475
.
Kemudian Nara Maya berkata kepada Bala Kala, "Baiklah, aku mengikuti apa
yang kau inginkan. Tapi ingat, jika anak manusia ini mampu mementahkan, kau
tak akan mengganggunya lagi."
.
"Hohoho... Tentu aku tak akan memungkiri janjiku." sahut Bala Maya, tetapi
dihatinya raksasa itu berkata, "Dia tentu termakan Suara Panglulut.. hehehe..."
.
Pembicaraan dari dua raksasa tak dimengerti oleh Arya Dipa. Siapa mereka ini
dan mengapa ia berada di alam ini ? Lalu apa Suara Panglulut itu ? Semuanya
masih gelap dalam bayangannya.
.
Diri pemuda itu terhenyak ketika suara raksasa Bala Kala menegurnya.
.
"He, anak manusia. Pejamkan matamu !"
.
Seketika mata Arya Dipa terpejam dengan sendirinya. Sebuah kekuatan sangat
besar mempengaruhi inderanya sehingga menuruti perkataan atau lebih
tepatnya sebuah perintah. Dan Suara Panglulut-pun mulai menyeruak keluar
dari mulut Bala Kala.
mengayunkan ke leher seorang lelaki muda. Seketika kepala lelaki itu lepas dari
tubuhnya, dengan darah memancar deras dari leher dan tubuh lelaki itu
ambruk tak bernyawa.
.
Bersamaan ambruknya lelaki muda itu, jeritan mengerikan menggetarkan dari
seorang perempuan muda yang memondong bayi. Sialnya, jeritan itu jelas
didengar oleh begawan yang menggenggam pedang tadi, yang tertarik
mendekati perempuan muda dengan langkah perlahan.
.
"Jangan.. Jangan.. Kasihani dia.. " tanpa sadar Arya Dipa memohon agar
begawan itu tak menyakiti perempuan itu.
.
Tetapi Begawan itu tak menghiraukan suara Arya Dipa. Begawan itu terus
melangkah mendekati perempuan muda dengan mata bagai ingin melahap
nya tanpa tersisa. Dan sekali lagi sebuah tebasan mengerikan mengarah ke
tubuh perempuan muda tanpa ampun.
.
Tebasan itu awalnya mengarah tubuh depan perempuan yang memondong
bayi, tetapi perempuan itu bergerak memutar tubuh demi menghindari
tajamnya pedang mengenai bayi dalam pondongan. Sehingga punggung
perempuan muda-lah terkena sabetan pedang tajam menyilang panjang.
Darah seketika terpancar dari tubuh kecil langsing tak terbendung.
.
Walau begitu si perempuan di dalam rasa kesakitan masih terus memeluk bayi
dalam gendongannya. Melihat keuletan perempuan itu dalam
mempertahankan anak bayinya, Begawan tadi kembali menghujamkan
pedangnya berulang - ulang.
.
"Tidaaaaak.... !" teriak Arya Dipa demi melihat kekejaman Begawan.
"Hahaha... Itulah orang yang membunuh kedua putramu, anak muda. Apakah
kau membiarkan kekejaman yang ia lakukan ?" sebuah suara tiba - tiba
terdengar di telinga Arya Dipa.
.
"Siapa kau ?" desis Arya Dipa, tertuju ke suara tadi.
.
"Aku hatimu yang mencari keadilan, anak muda."
.
P a g e | 477
"Craaaas.... "
P a g e | 478
.
"Bangsat kau manusia.... !"
.
Umpatan mengerikan disusul dengan terbelahnya tubuh raksasa Bala Kala
terjadi setelah ayunan pedang ditangan Arya Dipa.
.
Kejadian itu membuat Nara Maya tersenyum dan mengangguk. Tanpa
berkata, raksasa alam putih itu terbang meninggalkan tempat itu, membubung
ke angkasa.
.
Sementara raksasa Bala Kala yang tubuhnya terbelah mulai memudar
wujudnya, disusul bergulungnya kedua alam menjadi satu dan
menghempaskan tubuh Arya Dipa ke alam kesadaran.
..............
"Akulah orang yang disebut Jambul Kuning, ngger."
.
Suara Begawan Bancak itu masih terngiang dengan jelasnya.
.
"Eyang... " desis Arya Dipa, "Oh Eyang... "
.
Arya Dipa menubruk tubuh kakeknya dengan eratnya, "Eyang, benarkah eyang
yang membunuh ayah dan ibu."
.
Pemuda itu menagis mencurahkan air mata bagai bendungan yang tak
mampu menahan lajunya air sungai, sehingga bendungan itu jebol. Dan itulah
luapan perasaan Arya Dipa berupa tangisan disertai pelukan kepada
eyangnya, satu - satunya keluarga yang tersisa.
.
Awalnya secarik kertas tiada noda tinta terpercik walau setitik, tetapi
kelanjutannya secarik kertas itu dalam kodratnya harus menerima tetesan tinta.
Tinta beraksarakan perjalanan sang insan sesuai garis tangannya, akan tetapi
manusia itu sendirilah yang sebenarnya bisa merubah arahnya garis itu.
Tentunya garis itu ialah garis yang tak mutlak dari ketentuan Sang Nata.
.
Begitu juga halnya dengan Arya Dipa. Hidupnya sebatangkara karena sang
ayah dan ibu telah tiada akibat ulah eyangnya. Itu menurut cerita dari Resi
Puspanaga, seorang pertapa dari gunung Penanggungan. Apakah itu benar
atau Resi itu berbohong.. ?
.
Demi meyakinkan itu semua, kini saatnya Arya Dipa bisa bertanya kepada
eyangnya sendiri, yang mengalami kejadian masa lampau di puncak gunung
Bancak.
.
"Eyang, benarkah apa yang dituduhkan eyang Puspanaga terhadap diri eyang
?" tanya Arya Dipa, setelah mampu menguasai kesedihannya.
.
Angin malam berhembus sesuka hatinya, seolah tak menghiraukan orang -
orang itu. Dengan riangnya angin itu bermain - main menggerakan apa pun
yang ada dalam cakupannya. Sementara di langit sang bulan berbentuk sabit
acuh tak acuh dengan kejadian di buana, ia lebih senang bercengkrama
dengan bintang gemintang.
.
Helaan nafas mengawali Begawan Bancak atau Begawan Jambul Kuning
dalam menentukan apa yang akan ia sampaikan. Katanya dengan sareh,
"Angger, Dipa. Apa tanggapanmu dengan Resi Puspanaga ?"
.
Pertanyaan dari Begawan Jambul Kuning tak terduga sebelumnya oleh
pemuda itu. Sekilas raut wajah Arya Dipa bergelombang dengan alis
mengernyit.
.
"Maksud, eyang ?"
.
"Tidak, aku hanya ingin mendengar darimu. Menurut pengenalanmu, seperti
apa Resi Puspanaga ?"
P a g e | 480
Sejenak Arya Dipa terdiam demi mencerna maksud yang terkandung dari kata
eyangnya itu. Dalam ingatannya dan pengenalannya, Resi Puspanaga
seorang Resi yang bijaksana dan cermat
.
"Eyang, Resi Puspanaga bagiku sudah aku anggap eyang sendiri dan
merupakan seoranga yang mendidik cucumu ini dalam menempatkan letak
sesungguhnya di buana ini."
.
"Buana manakah itu, ngger ?"
.
"Buana sesungguhnya, eyang. Buana sebagai ladang dalam menanam padi
sebanyak - banyaknya dan menjaga tanaman itu dari hama berupa nafsu
yang berlebihan."
.
Begawan Jambul Kuning menghela nafas lega. Kakek itu bersyukur dengan
perbuatan yang dilakukan oleh sahabat mudanya itu, terhadap cucunya. Tak
jauh dari kedua eyang dan cucu, Begawan Kakrasana ikut senang mendapati
kejadian yang tak ia sangka - sangka itu. Begitu juga dengan Windujaya.
.
"Apakah itu saja, ngger ?" kembali Begawan Jambul Kuning bertanya.
.
Arya Dipa mendongak menatap bulan sabit di langit, bibirnya tersenyum, "Bila
aku ucapkan, malam ini tak akan selesai, eyang. Eyang Puspanaga banyak
sekali memberikan aku petuah - petuah disetiap waktunya. Dan saat pertama
aku mendapatkan dasar ilmu darinya, ia menanyakan apakah aku akan
menggunakan ilmuku untuk membunuh eyangku sendiri ?"
.
Sejenak pemuda itu berhenti untuk mencari kesan dari raut wajah eyangnya,
lalu katanya dengan tegas, "Tidak... Begitulah yang aku jawab, eyang. Tetapi
eyang Puspanaga tak diam sampai disitu saja. Ia memintaku untuk
menguraikan alasan dari jawabanku itu."
.
Dengan sungguh - sungguh Begawan Jambul kuning serta Begawan Kakrasana
dan Windujaya mendengarkan perkataan dari Arya Dipa.
"Seperti aku katakan kepada eyang tadi. Aku tak akan membunuh eyangku
meskipun eyang telah membunuh ayah Wila dan ibu Dyah Ratna. Kerana apa
? Pertama, ayah dan ibu tak akan hidup lagi dan kedua, hal itu semakin
P a g e | 481
Di dalam gubuk semua orang duduk di amben besar. Suasana dalam gubuk
masih terasa ketegangan. Dan Begawan Kakrasana sebagai tuan rumah
berusaha mencairkan dengan melempar guraun.
.
P a g e | 482
"Aku tak mengira jika macan ompong berkumpul disini seperti ini... hehehe.. "
.
"Benar adi Brajang Mas, tetapi macan itu ada perbedaannya. Yaitu dua
macan dari istana keraton, dan satunya lagi macan yang benar - benar dari
pucuk gunung." sahut Resi Puspanaga, "Tetapi untungnya kita sudah
menyiapkan macan - macan perkasa di masa mendatang."
.
"Kau salah, kakang Resi. Aku belum menemukan macan itu, padahal
dahulunya ia mampu kuhandalkan." kata Begawan Kakrasana, suaranya
mengandung kegetiran.
.
"Ah sudahlah, adi. Anakmu sudah tenang di alam kelanggengan, aku yakin ia
selalu menatap bangga terhadapmu." Resi Puspanaga.
.
Sementara itu Begawan Jambul Kuning masih terdiam membisu.
.
"Arya Bancak, apakah kau masih membenciku ?" tanya Resi Puspanaga.
.
"Huh.. " desuh Begawan Jambul Kuning.
.
Resi Puspanaga menghela nafas, ia mengerti keadaan sahabatnya itu. Untuk
itulah ia berkata, "Maafkan atas ketidak percayaanku kepadamu waktu itu.
Sekarang aku akan menerangkan dengan jelas kepadamu dan kepada Arya
Dipa, mengenai peristiwa di puncak gunung Bancak."
.
"He... " seru sekalian orang.
.
Kemudian Resi Penanggungan itu menceritakan semua yang ia ketahui.
Peristiwa yang membuat suramnya gunung Bancak, sedikit demi sedikit terkuak
semakin terang
"Ah sudahlah, Arya Bancak. Peemasalahan itu sekarang sudah usai. sekarang
sebaiknya kita menitik beratkan masalah yang akhir - akhir ini menyerabak."
.
"He.. Apa itu ?" Begawan Jambul Kuning heran.
.
"Pusaka dan harta di aliran sungai Brantas.. "
::::::::::::::::::::::::::::::
TERNYATA desas - desus mengenai pusaka dan harta peninggalan seorang
bangsawan Wilatikta, sudah menyerebak ke berbagai lapisan negeri. Mulai dari
bangsawan, golongan kanuragan dan kawula biasa. Semuanya selalu
menyinggungnya dan tak sedikit ingin mendapatkan benda itu.
.
"Kebanyakan dari mereka golongan kanuragan dari bang wetan, sementara
dari bang tengah hanya tiga empat orang saja." kata Resi Puspanaga,
menjelaskan.
.
"Hm.. Kau juga tertarik, Puspanaga ? sampai - sampai kau turun gunung ?" sindir
Begawan Jambul Kuning.
.
"Ah.. Bagiku semuanya itu sudah bukan urusanku pagi, Arya Bancak.
Kepergianku dari pertapaan sebenarnya hanya menyelidiki dirimu dan orang
yang berwajah sama denganmu itu." kata Resi Puspanaga, "Tetapi, semakin
aku ke barat telingaku tanpa sengaja mendengarkan setiap orang
membicarakan pusaka dan benda itu."
.
"Apakah kakang Resi mengetahui siapa sebenarnya yang menyimpan pusaka
dan benda itu ?" tanya Begawan Kakrasana, "Tadi angger Arya Dipa
menyebutkan kalau orang itu masih mempunyai sangkut paut dengan
bangsawan Wilatikta."
.
Resi Puspanaga dan Begawan Jambul Kuning menggeser tempat duduknya,
demi mendengar apa yang diutarakan oleh Begawan Kakrasana dari Arya
Dipa.
.
"Kau mengetahui dengan pasti, angger Dipa ?" tanya Resi Puspanaga.
.
Arya Dipa mengangguk perlahan, "Demikianlah, eyang. Waktu aku bermalam
di pesisir Gunung Kidul, di sebuah gua ada sebuah lambang lencana Surya
Kencana."
.
Resi Puspanaga dan Begawan Jambul Kuning saling berpandangan. Seingat
keduanya di masa Demak ini yang mereka ketahui mempunyai lencana Surya
Kencana hanya segelintir orang saja. Yaitu Kanjeng Sunan Kalijaga, Raden
Buntaran dan Pangeran Windujati.
P a g e | 485
.
Bila dipikir secara cermat, tak mungkin itu tindakan dari Kanjeng Sunan Kalijaga,
karena putra Tuban itu lebih memusatkan dengan penyebaran agama baru di
tanah jawa. Lalu selanjutnya Raden Buntaran, tokoh ini sudah lama tinggal di
bang tengah dengan mendirikan padepokan di Karang Tumaritis dengan gelar
Panembahan Ismaya. Terakhir ialah Pangeran Windujati, seorang bangsawan
yang menjauhi dunia pemerintahan dan menetap di sebuah tempat yang sulit
dijangkau, Dan menurut warta ia telah kembali ke alam kelanggengan dengan
meninggalkan seorang murid yang dikenal sebagai orang bercambuk.
Semuanya masih gelap adanya. Resi Puspanaga, Begawan Jambul Kuning dan
Begawan Kakrasana tak dapat membuka tabir tebal itu. Dan malam semakin
larut, maka mereka pun beristirahat membaringkan tubuh mereka.
..........................
Kokok ayam hutan bersahutan mengawali pagi yang cerah. Sinar mentari
memancar ke segala penjuru memberikan penerengan. Alam pun mulai
bersemarak meramaikan buana raya sesuai kodratnya.
.
"Biarkan mereka saling berebut harta dan pusaka itu." desia seorang pemuda
berwajah lancip dengan jenggot tipis menghiasi dagunya.
.
"Sebenarnya apa dari maksudmu ini, Sanjaya ?" tanya Bango Banaran.
.
Kau nantinya akan mengerti, Bango Banaran. Kita akan melihat permainan
mengasyikan di pinggir kali Brantas.. Hahaha." kata Sanjaya diiringi tawa
gemuruh.
.
"Hm.. Pasti yang ia harapkan akan terjadinya kerusuhan yang melibatkan
banyak orang. Pinggiran kali Brantas akan tercemar oleh puluhan darah." batin
Bango Banaran.
.
Mereka adalah Sanjaya dan kedua kawannya, Duaji dan Bango Banaran.
Ketiganya sebelumnya bersama dengan Ki Widarba, Ganggang Keling dan ki
Pandak Wengker. Namun setelah di timur Gunung Kidul, mereka berpisah
menjadi dua bagian dengan jalur perjalanan yang berbeda.
.
Ki Widarba dan kedua kawannya berjalan melewati kadipaten Ponorogo,
sementara Sanjaya bersama yang lainnya terus melewati pesisir dan nantinya
P a g e | 486
akan ke Kadiri.Dan pagi itu mereka sampai di lereng gunung Kelud, sebuah
gunung yang menyimpan kekuatan dahsyat di dalamnya.
.
"Dia tidak ada, denmas." kata Duaji yang baru tiba.
.
"Kau mencari siapa, Sanjaya ?" tanya Bango Banaran.
.
"Resi Gangsiran. Aku mengharap ia mau membantu kita." jawab Sanjaya.
.
Bango Banaran tak mengerti jalan pikiran dari pemuda ini. Bukankah kelompok
ini sudah tergolong besar dengan bergabungnya ki Widarba dari Jipang,
Gonggang Keling dari pulau Karimun, dan ki Pandak Wengker dari Ponorogo.
Kini malah mau mengajak seorang Resi dari gunung Kidul.
.
"Sanjaya, bukankah kelompok kita sudah besar ? Mengapa kau masih ingin
menambah lagi ?"
Sanjaya tersenyum sejuta arti. Pemuda satu ini memang sulit dimengerti jalan
pemikirannya. Tetapi setiap langkahnya mengandung pertimbangan yang
mapan. Dan karena kelihaiannya inilah, ia mampu memperdaya gurunya untuk
mau mendidiknya.
.
Pemuda itu merenung sesaat, lalu, "Apa boleh buat, ia tak ada ditempat. Kita
langsung ke kali Brantas."
.
Ketiganya meloncat menaiki kuda dan melecut kuda supaya segera berjalan.
Kuda itu pun berjalan menyusuri jalan setapak di lereng gunung Kidul.
.
"Apa yang kau temukan, Widura ?" seorang lelaki paruh baya bertanya kepada
lelaki berjambang.
.
Masih dengan menyentuh tanah, lelaki berjambang itu menjawab, "Tiga kuda
baru saja melewati jalan setapak ini, ki Lurah."
.
"Mungkinkah itu mereka ?"
.
"Pemuda licik itukah yang ki Lurah maksudkan ?" Widura bertanya balik.
.
"Hm.. Iya, Widura. Pasti itu dia dan kedua pengikutnya." jawab lelaki paruh baya
sambil bersedekap.
.
"Lalu apa yang akan ki Lurah lakukan untuk selanjutnya ?"
.
"Kita hanya ditugaskan untuk mengikutinya dan memberi laporan kepada
Pangeran Singasari." lelaki itu berhenti bicara seraya mengernyitkan alisnya.
.
"He.. Widura, lihat itu mereka !" kembali lelaki paruh baya itu berkata dengan
menunjuk ke arah bawah lembah.
.
"Kita susul mereka." serunya.
.
"Mari ki Lurah."
.
Keduanya bergegas menaiki kuda yang sebelumnya telah mereka
sembunyikan di balik semak - semak, dan segera menyusul ketiga orang
berkuda di bawah lembah.
.
Widura dan lelaki paruh baya itu selalu menjaga jarak dengan ketiga orang
berkuda di depan. Semakin lama mereka memasuki padukuhan yang cukup
ramai, dan hal itu memudahkan Widura dan lelaki paruh baya dalam
melakukan pengawasan.
.
"Mereka sepertinya akan memasuki kedai, ki Lurah." kata Widura manakala
memperhatikan ketiga penunggang kuda di depan membelokan kuda ke
dalam halaman kedai.
P a g e | 488
.
"Baik, tuan. mohon tunggu sejenak." sahut si pelayan kedai dan berlari menuju
ruang dalam.
.
Hampir saja kuda yang ditunggangi oleh Putut Pineluh melanggar iringan kuda
yang muncul dari arah kanan persimpangan, jikalau semua penunggangnya
tak mampu mengendalikan kuda - kuda mereka.
.
"Mau kemana kau ?"
.
"Sanjaya meninggalkan kedai, kakang."
.
"He, kemana ?"
.
"Entahlah, tapi kemungkinan terbesar ia menghindari padepokan kita."
.
Orang yang disebut Jenggala itu terlihat berpikir sejenak, lalu katanya, "Ayo kita
kejar lewat jalan utama saja !"
Maka mereka segera melarikan kuda mereka ke jalan utama demi mengejar
orang yang diinginkan oleh guru mereka. Dengan memacu kuda secepat -
cepatnya, iringan itu akhirnya melihat titik - titik kuda di dapannya.
.
"Itu mereka !" seru Putut Jenggala.
.
Dan kuda mereka pun dapat menyusul dua kuda di depannya.
.
"Berhenti.. !" seru PututJenggala.
.
Kedua penunggang itu heran dengan teriakan dari belakang mereka. Walau
begitu kedua penunggang kuda itu tetap memacu kudanya dengan pelan.
.
"He, berhenti... !" sekali lagi Putut Jenggala berteriak lebih keras dari
sebelumnya.
.
"Kita ikuti permintaan mereka, Widura." desis penunggang kuda hitam legam.
.
Orang yang dipanggil Widura menganggung dan menarik tali kekang kudanya
perlahan.
.
"Selamat siang, kisanak semua. Adakah sesuatu yang barang kali bisa saya
P a g e | 492
Widura dengan cekatan mengambil alih kuda ki Lurah Sempono dan segera
membawanya memasuki lebatnya pohon jagung setinggi orang itu. Di
sembunyikanlah kedua kuda di tengah pohon jagung, kemudian lekas kembali
ke tempat dimana ki Lurah Sempono berada.
.
"Hati - hati dan jangan berbuat apa pun."
.
Widura mengangguk dan kemudian mengikuti langkah ki Lurah Sempono, yang
sangat hati - hati menyibak lebatnya pohon jagung. Dan ternyata dari balik
pohon jagung, mereka melihat orang - orang yang menghentikan tadi sedang
berselisih paham dengan Sanjaya.
.
"Aku tak mempunyai waktu untuk mengunjungi gurumu, Jenggala." kata
Sanjaya.
.
"Kau akan memutus hubungan yang akan disambungkan oleh guru, Sanjaya ?"
Putut Jenggala bertanya dengan kerasnya.
.
"Huh, itu hanya sepihak saja. Dan belum tentu Sri Tanjung setuju."
.
"Kau.. " tapi suara Putut Jenggala belum selesai..
.
"Hahaha.. Bukankah kau juga menginginkan gadis putri gurumu itu, Jenggala ?"
potong Sanjaya, "Aku rela jika kau akan menikahinya, dan sudi kiranya jika kau
mau menjadikan jabang bayi dalam kandungannya itu layaknya anakmu
sendiri."
.
Muka Jenggala memerah penuh kemarahan. Begitu halnya dengan Putut
Pineluh dan kawan - kawannya.
.
"Serigala kau Sanjaya !" teriak Putut Jenggala.
.
Sanjaya menoleh kepada Duaji dan Bango Banaran dengan senyum
mengembang, "Kalian dengar bukan, mereka menyebutku serigala.. hahaha,
keliru aku adalah naga perkasa... hahaha... "
JILID 8 BAG 10
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
PERNYATAAN dari Sanjaya berupa penyombongan diri sendiri, tak dapat lagi
Putut Jenggala menahan diri. Isyarat tangan sudah ditunjukan sebagai perintah
kepada saudara seperguruannya untuk menyelesaikan masalah dengan
kekerasan.
.
"Usahakan tangkap mereka hidup - hidup !" seru Putut Jenggala.
.
Kelima saudaranya langsung mengepung tiga orang yang dipimpin oleh
Sanjaya yang masih duduk di punggung kuda dengan tenangnya. Sanjaya
dan kedua kawannya tiada menunjukan ketegangan dalam raut mukanya,
seakan mereka hanya berjumpa kawan bermain saja.
.
"Lihatlah ketenangan pemuda itu dalam menyikapi keadaan." desis ki Lurah
Sempono di balik lebatnya pohon jagung.
.
Widura yang berjongkok di sebelah ki Lurah Sempono hanya terdiam saja
tanpa menyahuti. Lelaki berjambang itu berharap pemuda Sanjaya mendapat
hajaran dari orang - orang yang mengejarnya.
.
Di tengah jalan ketegangan makin memuncak. saudara seperguruan Putut
Jenggala mulai mencabut senjata mereka dari sarungnya. Senjata itu
kemudian bergerak penuh ancaman, walau masih di depan tubuh masing -
masing.
.
"Bango Banaran dan Duaji, terpaksa perjalanan kita terhambat dengan
adanya kelinci - kelinci ini. Mari kita turun supaya kuda kita tak mengalami
masalah." kata Sanjaya dan langsung turun dari kuda diikuti oleh Bango
Banaran dan Duaji.
.
"Tangkap mereka !" seru Putut Jenggala.
.
Selanjutnya perkelahian tak dapat dihindari lima orang melawan tiga orang
dalam kepungan. Namun ternyata ketiga orang dalam kepungan memiliki
kemampuan yang mumpuni, sehingga berhasil menerobos kepungan seraya
P a g e | 495
saudaranya pun juga tak mampu memberi tekanan terhadap lawan. Satu dua
orang terlihat sudah rebah tak berkutik, entah mereka masih hidup ataukah
sudah mati.
.
"Jenggala, ingatlah. Seorang gadis menunggu seorang ayah untuk memberi
perlindungan bagi calon buah hatinya. Kau sangat cocok menggantikan diriku
sebagai ayah calon bayi itu. Dan bukankah kau sudah memimpikan sejak
dahulu untuk menjadi pendamping gadis itu ?" kata Sanjaya, tetapi nada
suaranya mengandung sesutu yang sangat menyakitkan bagi Putut Jenggala.
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
ORANG yang menyambar tubuh Putut Jenggala perlahan melepaskan
tangannya dari tubuh Putut itu. Di tatapnya Putut Jenggala di sampingnya
dengan tajamnya, seolah mengatakan kalau ia tak menyukai tindakan yang
dilakukan oleh pemuda itu.
.
"Gu..ru." desis Putut Jenggala dengan nada bergetar dan menundukan kepala.
.
"Hm, mengapa kau bertindak sendiri tanpa melaporkan kepadaku, Jenggala ?"
tanya orang itu.
.
Putut Jenggala bingung harus bicara apa kepada gurunya itu. Maka ia hanya
menunduk saja tak berani memandang wajah orang yang ia hormati itu.
.
Sejak kemunculan orang tua itu, perkelahian langsung terhenti dan para
saudara Putut Jenggala mundur semua. Sementara Sanjaya dan kawannya
hanya membiarkan saja menunggu perkembangan selanjutnya.
.
"Oh.. Paman Trunalaya, semakin hari semakin gagah perkasa...!" seru Sanjaya
kepada orang yang baru datang itu.
.
Teguran dari Sanjaya sejenak tak dihiraukan oleh ki Trunalaya. Orang tua itu
masih sibuk memberi teguran kepada murid - muridnya yang bertindak tanpa
ia ketahui. Setelah itu barulah orang tua itu memandang Sanjaya yang berdiri
bersedekap.
.
"Anakmas Sanjaya, maafkan penyambutan murid - muridku ini. Tetapi
semuanya hanyalah salah paham semata." ucap ki Trunalaya, "Mari singgah ke
padepokan, di sana kita bisa berbicara panjang lebar. Bukankah anakmas
sudah rindu dengan anak bengal itu ?"
.
Sanjaya menghela nafas, "Terima kasih, paman Trunalaya. Sedikit pun aku tidak
merasa sakit hati dengan apa yang ditunjukan oleh Jenggala. Malah
permainan tadi membuat urat - uratku agak mengendor, setelah sekian lama
tak bergerak."
.
"Tetapi untuk saat ini aku tidak bisa mengunjungi padepokan paman." lanjut
P a g e | 499
Sanjaya.
.
"Ah, anakmas janganlah bercanda berlebihan dengan orang tua sepertiku.
Bukankah perjalanan dari Tumapel sangatlah menguras tenaga ? Dan tentu
kedatangan anakmas menjadi obat rindu untuk putriku."
.
Dari sini jantung Putut Jenggala sudah berdebar dengar keras. Pemuda itu
yakin adanya jawaban yang akan terucap dari Sanjaya, menimbulkan
ketegangan. Dan terbukti jua, manakala yang ia perkirakan terlontar dengan
tepat.
"Hehehe, Paman Trunalaya. Bukankah paman tahu siapa aku dan siapa paman
? Perbedaan itu sudah jelas adanya walau pada akhirnya paman
mengetahuinya sudah terlambat." kata Sanjaya, "Memang aku akui kalau
nimas Sri Tanjung seorang gadis yanh cantik, tetapi kalau Rama tidak
menyetujuinya, apa yang harus aku buat, paman ?"
.
"Anakmas... !" seru ki Trunalaya, katanya dengan kerasnya, "Sri Tanjung memang
berdarah kawula biasa dan anakmas putra bangsawan, tetapi anakmas sudah
menanam benih terkandung dalam putriku. Dan anakmas berjanji akan
mengambilnya menjadi istri sah, anakmas !"
.
Saat ki Trunalaya menyebut pemuda itu anak bangsawan, ki Lurah Sempono
dan Widura terhenyak dalam keterkejutan. Keduanya tak mengira jika pemuda
iti putra seorang bangsawan. Bangsawan dari mana ? Oh tadi juga disebutkan
dengan Tumapel, telatah asal Pangeran Singasari.
.
"He, tidak mungkin jika ia putra Pangeran Singasari. Setahuku Pangeran hanya
memiliki seorang putri saja." batin ki Lurah Sempono.
.
"Apakah ki Lurah merasakan kejanggalan dari peristiwa ini ?" tiba - tiba Widura
berbisik kepada ki Lurah Sempono.
.
Langsung ki Lurah Sempono menatap Widura, "Aku kurang jelas dengan
perkataanmu itu, Widura."
.
"Pemuda itu, lalu perintah dari gusti Pangeran Singasari yang hanya
memerintahkan kita untuk mengawasi anak muda itu. Bukankah ini membuat
P a g e | 500
kita bertanya - tanya, ki Lurah ?" desis Widura, "Bila dilihat dengan seksama,
anak muda itu memiliki pancaran dari seorang bangsawan. Kemungkinan ia
ada hubungan darah dengan gusti Pangeran Singasari."
.
"He.. " desuh ki Lurah Sempono, "Jaga bicaramu, Widura. Gusti Pangeran hanya
mempunyai putri tunggal saja."
.
"Mungkin pemuda itu anak dari istri yang..."
.
"Tutup mulutmu !" potong ki Lurah Sempono sambil mencengkeram pakaian
dekat leher Widura.
.
"Maaf.. maaf, ki Lurah." keluh Widura yang merasakan sesak nafas, karena
cekikan di lehernya.
.
"Sekali lagi jaga ucapanmu !" kata ki Lurah Sempono dan melepaskan cekikan
tangannya.
Sementara itu ki Trunalaya tak habis pikir dengan ucapan - ucapan yang
terlontar dari mulut Sanjaya. Semakin lama pemuda itu semakin kurang tata
dengan mengagungkan dirinya sebagai anak bangsawan. Sama dengan
Putut Jenggala pemuda ini sebenarnya sudah siap berbaku hantam demi
menjaga kehormatan gurunya yang diinjak - injak oleh Sanjaya.
.
Rasa senang dengan ditutupi raut wajah tegang dapat dilakukan dengan apik
oleh Putut Pineluh. Pemuda ini mengharapkan adanya pertikaian yang
melibatkan guru dan kakak seperguruannya dengan Sanjaya, terus berlanjut
sampai keduanya tumbang dengan meninggalkan korban jiwa.
.
"Cepat, bertindaklah guru dan kakang.. "batin Putut Pineluh, "Kepergian kalian
ke alam kelanggengan akan menempatkan aku di tingkat tertinggi di
padepokan, dan aku berjanji akan mengawini Sri Tanjung."
.
Itulah niat awal Putut Pineluh dalam membaca keadaan di akhir - akhir ini.
Kedudukan dan wanita telah mendorongnya untuk ikut mengail ikan di air yang
keruh. Maka untuk itu ia mencoba mengungkit kemarahan.
.
"Guru, anak itu sudah berani menodai padepokan kita. Apakah guru berdiam
P a g e | 501
Kepergian Sanjaya dari padepokan sudah lewat dari waktu yang ditentukan.
Resah melanda hati ki Trunalaya. Apalagi perut putrinya semakin hari
bertambah besar bersamaan usia jabang bayi dalam kandungan.
.
Hingga suatu hari tersiar warta sepak terjang dari Sanjaya. Namun ki Trunalaya
mencoba menyingkirkan dan menganggap warta itu tidak benar.
.
Dan hari inilah tanpa diduga pemuda yang ia harapkan muncul disekitar
padepokannya. Awalnya saat melihat pemuda itu berseteru dengan murid
tertuanya, ki Trunalaya menyesali perbuatan muridnya. Ini dikarenakan ki
Trunalaya sebagai orang tua yang sudah kenyang manis asamnya kehidupan,
melihat dan mengetahui kalau murid tertuanya juga mempunyai rasa yang
sama terhadap putrinya. Sudah lumrah jika antara pemuda berkelahi
memperebutkan cinta terhadap wanita, bila antara pemuda itu tak mampu
mengekang amarahnya.
.
Tetapi semuanya bagai karang yang dihempaskan ombak samudera selatan.
Di depan matanya sendiri si pemuda yang dahulu berjanji akan menjadi bapak
dari calon cucunya, menolak dan ingkar dengan janjinya.
.
Orang tua mana yang tak akan marah bila gadis yang ia sayangi satu -
satunya telah dipermainkan oleh lelaki tak bertanggungjawab ? Begitu juga
yang dirasakan oleh ki Trunalaya. Darah sudah mulai bergolak bagai debur
ombak dahsyat dipesisir laut. Luapan amarah membuncah tak terbendung siap
melahap mayapada dan seisinya.
.
Ki Trunalaya seorang pemimpin padepokan Karang Tunggal mengamuk bak
banteng ketaton. Kaki kokohnya melenting ke udara secepat angin. Di udara
kedua kaki ditekuk dan kedua tangan mengembang siap meremukan tulang
lawan.
"Breeeet..."
.
Sanjaya terhenyak mengetahui kesebatan ki Trunalaya. Dirinya terlambat
menghindari serangan dan membuat pakaian di pundaknya sobek terkena
terkaman ki Trunalaya. Selanjutnya pemuda itu bersikap lebih hati - hati.
.
Perkelahian semakin sengit diantara keduanya. Sergapan demi sergapan susul
P a g e | 503
Nasib tak baik dialami oleh ki Trunalaya, saat serangan anak panah terjadi,
dirinya sedang menghindari pukulan Sanjaya. Sehingga orang tua itu gagal
mengetahui adanya serangan panah. Hingga tubuhnya terkena dua anak
panah dan menghempaskan tubuhnya ke tanah tanpa mengetahui apa yang
terjadi.
.
P a g e | 504
"Guru...... !" teriak Putut Jenggala sambil menangkis serangan anak panah
dengan menggunakan pedangnya.
.
"Seraaaang...... !"
.
Dari balik pohon jagung puluhan orang keluar dengan berbagai senjata. Hal itu
mengejutkan berbagai pihak yang tak tahu adanya kekuatan tersembunyi.
.
"Tinggalkan tempat ini... " seru Sanjaya dan bergegas berlari ke kudanya dan
segera memacunya kencang - kencang.
membatin, "Hm... Tak ku sangka, anak muda ini memiliki kekuatan bayangan.
Siapa sebenarnya pemuda ini ?"
.
"Beruntung kau Pineluh, aku mengampunimu untuk saat ini, karena aku masih
ada kepentingan lain yang jauh penting dari masalah di telatah ini." nada
suara orang itu masih menunjukan kemarahannya, dan lanjutnya, "Namun saat
aku kembali, Jenggala harus tewas."
.
"Baik, Raden. Hamba akan mencari dan menyerahkan kepalanya."
.
"Hm.. Kalau begitu aku akan pergi. Semua yang disini aku titipkan kepadamu."
.
Dan orang itu memberi isyarat kepada kedua orang kawannya beranjak pergi
dari gua itu. Tidak lewat jalan yang tadi dilewati oleh Putut Pineluh, melainkan
lewat sebuah pintu rahasia di sisi lain.
.
Di waktu bersamaan seorang pemuda dengan luka akibat anak panah,
berhasil lolos dari sergapan orang - orang Putut Pineluh. Pemuda itu ialah Putut
Jenggala. Sewaktu tadi masih riuh adanya serangan gelap, pemuda itu
diyakinkan oleh Saudara seperguruannya untuk lolos dari tempat itu.
"Pergilah, kakang. Guru sudah tak bernyawa lagi." pinta saudara seperguruan
Putut Jenggala.
.
"Aku tidak bisa membiarkan pembunuh itu tertawa atas kemenangan mereka."
.
"Cepatlah, kakang. Jika kau ingin balaa dendam, kau harus tetap hidup. Dan
juga kakang jangan lupa dengan nini Sri Tanjung."
.
Demi disebutnya nama Sri Tanjung, kesadaran membuka mata dan hati
pemuda itu. Kini dialah yang harus menjaga putri gurunya.
.
"Tetapi, kau sendiri... " Putut Jenggala mengawatirkan saudaranya.
.
"Sudahlah, kakang. Aku akan mencoba menahan mereka mereka."
.
Dan begitulah yang terjadi, Putut Jenggala mau meninggalkan saudara -
saudara dan mayat gurunya, tiada lain ingin memberikan perlindungan bagi
P a g e | 507
"Emh.. Emh.. Emh.. " wanita itu mencoba meronta, tetapi tangan kokoh Putut
Jenggala terlalu kuat ia lawan.
.
"Nini, ini aku Jenggala." bisik Putut Jenggala.
.
Dirasa tak ada lagi perlawanan dan wanita itu sudah tenang, maka Putut
Jenggala melepas sekapan pada mulut wanita itu. Wanita itu heran sekaligus
tak menyangka atas perbuatan yang dilakukan oleh murid tertua ayahnya.
Apalagi terlihat darah merembes dari balik pakaian Putut Jenggala.
.
"Jangan salah paham dahulu, nini. Ini semua aku lakukan karena situasi sangat
gawat." Putut Jenggala mendahului berkata manakala wanita muda itu akan
bersuara.
.
"A.. apa yang kakang katakan ini ?"
.
Kemudian Putut itu menceritakan keadaan yang terjadi di luar padepokan,
meskipun tak sepenuhnya ia katakan. Seperti tewasnya ki Trunalaya.
.
"Sebaiknya kita menyingkir dahulu dari padepokan. Ayah nini saat ini
menunggu di suatu tempat. Bawalah pakaian seperlunya saja." kata Putut
Jenggala setelah usai menerangkan apa yang terjadi.
.
P a g e | 508
Untunglah Sri Tanjung menerima alasan yang dituturkan oleh murid tertua
ayahnya. Ia kemudian merapikan barang atau pun pakaian ia bawa, tentunya
yang perlu - perlu saja. Setelah semuanya sudah, Putut Jenggala membimbing
Sri Tanjung keluar dari bangunan dan padepokan melalui pintu butulan
kembali.
.
Tidak berselang lama setelah kepergian dari Putut Jenggala dan Sri Tanjung,
dari jalan mendekati regol padepokan terdengar derap kaki kuda lebih dari
sepuluh ekor.
.
"Buka regol... !" seru salah seorang penunggang kuda.
.
Teriakan itu tak perlu diulang. Penjaga regol bergegas membuka pintu regol
dan membiarkan semua penunggang kuda memasuki halaman padepokan.
Pemimpinnya bergegas turun dari kuda dan menyerahkan tali kuda kepada
cantrik padepokan. Selanjutnya ia berlari menaiki tlundak dan terus memasuki
ruang dalam bangunan tersebut.
.
Tak berselang lama, orang itu keluar lagi. Wajahnya memerah dan membentak
penjaga padepokan dengan kerasnya.
.
"Hm.. Tak salah lagi, ini tindakan kakang Jenggala." desisnya.
"Kakang Jenggala, lukamu.... " seru Sri Tanjung, seusai meneguk air tanpa sadar
ia melihat lengan Putut Jenggala masih tertancap anak panah, yang sudah
dipotong dengan menyisakan batang panah seukuran tiga ruas.
.
Kini setelah wanita muda itu mampu menguasai keadaan, barulah ia
menyadari kalau murid tertua ayahnya itu menderita luka. Dengan tatagnya
tangannya meraih titikan batu dan menyalakannya diserabut. Untuk menjaga
agar api bertahan nyalanya, dikumpulkanlah ranting kering.
.
Di bukanya buntalannya dan dari dalamnya diambil pisau kecil. Pisau kecil itu
ia panaskan dengan api dari ranting.
"Kakang, gigitlah kayu ini untuk mengurangi rasa sakit." kata Sri Tanjung sambil
menyodorkan potongan kayu.
.
Entah heran atau terpesona, Putut Jenggala terdiam mematung. Matanya bak
terkena sihir dari wanita di depannya. Sehingga Sri Tanjung mengulangi
perkataannya supaya Putut Jenggala melakukan apa yang ia katakan.
.
"Bertahanlah..." desis Sri Tanjung.
.
Tangan mungil wanita itu segera meraih potongan anak panah dan ditarik
sekuat - kuatnya. Bersamaan dengan rasa sakit yang sangat menyengat Putut
Jenggala, Sri Tanjung meraih pisau kecil dari dalam api dan ditempelkan ke kulit
bekas luka anak panah.
.
"Eeergh... " keluh Putut Jenggala dan ambruk tak sadarkan diri.
.
Sebuah keberanian luar biasa ditampilkan oleh wanita putri ki Trunalaya. Dalam
menghadapi kegawatan itu, ia tidak gopoh. Dengan sebatnya disobeknya kain
jaritnya untuk dibelitkan ke lengan Putut Jenggala. Sehabis itu Sri Tanjung
mengambil kain kecil yang dibasahi air untuk kemudian diletakan di dahi Putut
Jenggala.
.
Kini tinggalah ia menunggu pemuda itu untuk siuman. Dalam waktu penantian
itulah, Sri Tanjung memperhatikan wajah pemuda yang terlelap tak sadarkan
diri. Barulah ia menyadari raut wajah yang selama ini di dekatnya,
menampakan pesonanya.
P a g e | 511
.
"Ah.. " desuhnya sambil memalingkan wajahnya.
.
Rona wajah wanita muda itu, bersemu merah. Entah mengapa walau tiada
orang melihat, dirinya merasa jengah jika memperhatikan wajah di depannya.
.
"Tidak, aku dan bayi dalam kandungan ini milik kangmas Sanjaya seorang.."
desisnya lirih.
.
Teringatlah dimana dahulu saat - saat seekor kumbang berterbangan disekitar
taman. Taman yang berada di padukuhan kecil menyimpan bunga mekar
mempesona. Dan sang kumbang pun dengan daya upaya yang dimilikinya,
mampu menakhlukan bunga mekar tersebut. Sang kumbang berjanji selalu
menyambanginya walau hujan badai melanda, akan hadir andai tanah di
taman retak dan membawa sang bunga ke taman yang lebih besar dan luas.
Jika teringat itu semuanya, wanita mana hatinya tak tersentuh ? Wanita mana
yang termakan dengan janji - janji walau akhirnya janji itu tinggal janji ?
.
Sentuhan jemari saja yang mengembalikan kesadaran Sri Tanjung dari lamunan
penuh cinta nirwana. Ternyata jemari Putut Jenggala yang berada dalam
pangkuan Sri Tanjung, telah mencekal tangan si wanita dan meremasnya.
.
Darah terasa berhenti mengalir. Jantung berdetak dengan cepat dan keras.
Keringat mengembun di dahi Sri Tanjung. Wajah merona memerah seketika.
.
"Tanjung.. Tanjung.. "
.
Bibir si pemuda dalam terlelapnya mata, bergerak mengigau.
.
"I..ya kakang, aku di sampingmu.." bisik Sri Tanjung.
.
Pegangan tangan Putut Jenggala semakin erat, "Jangan tinggalkan aku.. "
.
"Tidak kakang.."
.
Usai perkataan terakhir dari bibir Sri Tanjung, Putut Jenggala tidak lagi
mengigau. Wajah pemuda yang sebelumnya memucat, perlahan kembali
P a g e | 512
"Kakang." desis Sri Tanjung dengan perlahan, "Ingatkah kakang dengan apa
yang kakang ucapkan kemarin ?"
.
Pemuda itu menghela nafas. Waktu yang mendebarkan dan ia sulit
mengatakan, akhirnya ditagih juga. Sejenak ia memantapkan hati dan
memilah kata sebaik - baiknya agar wanita muda itu dapat menerima
kenyataan yang telah terjadi.
.
Kemudian katanya, "Nini Sri Tanjung, berat mulutku dalam berucap."
.
Kembali Putut Jenggala terdiam.
.
"Kita manusia, awalnya tiada dan hanya kemurahan Hyang Agung semata kita
ada. Tetapi pada akhirnya kita akan kembali kepadaNYA dengan
pertanggungjawaban selama kita hidup." sambung Putut Jenggala.
.
Desir halus terasa dalam sanubari Sri Tanjung, walau begitu wanita muda itu
dengan senyum berkata, "Aku mengerti kakang, petuah itu seringkali
diucapkan oleh ayah. Dan aku ingat ketika ibu menutup mata, kakang pernah
menghiburku waktu itu."
.
"Janganlah kakang berbelak - belok dalam berucap. Katakanlah kakang."
.
"Oh Batara Agung..." seru Putut Jenggala dalam hati, "Kuatkan hamba yang
hina ini menyampaikan kenyataan ini.."
P a g e | 514
.
Do'a terucap dengan kesungguhan itulah, sumber keberanian Putut Jenggala
dalam menyampaikan warta layon yang menimpa ki Trunalaya kepada putri
tunggalnya, Sri Tanjung.
.
"Nini Sri Tanjung, tabahkanlah hatimu. Guru dan juga ayahmu, ki Trunalaya telah
tiada.."
.
Kata pelan dan terbata - bata dari Putut Jenggala, bagai halilintar menyambar
nyawa Sri Tanjung. Wanita yang sebenarnya mempunyai keberanian yang
diwarisi oleh ayahnya, sama seperti anak manusia pada umumnya. Hatinya
tersentuh merambat dalam pikiran, sehingga membuat tubuh itu gemetar tak
bertenaga. Bumi yang ia pijak bergolak dan bergetar membuat tubuh
berbadan dua itu, limbung.
suatu saat akan perlahan sirna menjadi kenangan jua. Begitu pun dengan Sri
Tanjung, seiring dengan berjalannya waktu, tangis itu mulai reda.
.
"Kalau begitu, dimanakah kakang mengubur jasad ayah ?"
.
"Maafkan aku, nini. Karena keadaan dan keselamatan nini-lah, terpaksa aku
meninggalkan jasad guru." sesal Putut Jenggala, "Mudah - mudahan orang -
orang itu masih mempunyai hagi nurani dan mau menguburkan dengan layak."
.
"Oh... " desuh Sri Tanjung, "Andai kakang Sanjaya disini.."
.
Jantung Putut Jenggala berdesir ketika nama itu terucap dari mulut Sri Tanjung.
Meskipun begitu, ia tak bersuara.
"Nini, karena saat ini keadaan tak menentu, untuk sementara kita tinggal disini."
.
"Tapi kakang, sebaiknya kakang mencari warta mengenai kakang Sanjaya."
.
Putut Jenggala terdiam. Saat itu dalam benak Sri Tanjung, terdiamnya murid
tertua ayahnya itu sedang berpikir dan menimbang usul yang ia berikan. Tetapi
lain kenyataannya, terdiamnya Putut Jenggala disebabkan untuk mencoba
menenangkan hatinya.
.
"Bagaimana kakang.. ?"
.
Belum lagi Putut Jenggala bersuara, semak di depan mereka bergerak
layaknya terkena gesekan sesuatu.
.
Sri Tanjung nampak berseri dengan kedatangan dua orang itu, lalu sapanya,
"Uwa Barda dan adi Panca.."
.
"Oh.. Kalian berdua.." seru orang tua itu, dengan perasaan lega, "Syukurlah
kalian belum tertangkap.."
.
"Oh, ki Barda sudah mengetahui apa yang terjadi dengan padepokan ?"
.
"Hm.. " desuh ki Barda, "Hampir saja aku dan Panca masuk dalam sarang
serigala."
.
Putut Jenggala dan Sri Tanjung saling berpandangan.
.
"Sepertinya kalian berdua kurang memahami dengan pasti, apa yang aku
maksud dengan sarang serigala itu ?" tanya ki Barda, yang mampu menyelami
perasaan keduanya.
.
" Begitulah, ki Barda."
.
Ki Barda mengangguk sesaat, kemudian orang tua itu duduk di bawah pohon
keluwih dan menghela nafas. Panca, anak remaja yang tadi berdiri di
belakang ki Barda, mengikutinya dengan duduk disamping orang tua itu. Anak
remaja itu membuka bungkusan dan mengambil kotak kecil, dan dari kotak
dijumutnya selembar daun sirih, cairan kapur atau yang disebut enjet, gambir.
Semuanya dimasukan dalam lipatan daun sirih dan diserahkan kepada ki
Barda.
.
"Terima kasih, ngger." ucap ki Barda dan mengunyah lipatan daun sirih itu.
.
Memang sudah kebiasaan bagi ki Barda dalam kesehariannya tak lepas dari
mengunyah daun sirih, atau dalam sebutan orang jawa, nginang.
.
"Adi-mu, Pineluh. Bekerja sama dengan Sanjaya." kata ki Barda kepada Putut
Jenggala.
Perkataan dari ki Barda telah diartikan berbeda oleh Putut Jenggala dan Sri
Tanjung. Kalau dalam pengertian Putut Jenggala, sudah mengerti kalau adik
P a g e | 517
"Nduk, kepergianku kala itu tiada lain untuk mencari keberadaan anakmas
Sanjaya dan mengetahui siapa dia sebenarnya." kata ki Barda, "Bukankah
ayahmu sudah mengatakan semuanya dan mungkin kau lupa ?"
.
"Menurut ayah, kakang Sanjaya putra seorang bangsawan. Tetapi ayahnya
tidak menyetujui kebersamaan kami, walau begitu kakang berjanji akan hidup
bersama denganku di padepokan."
.
"Oh, Batara Agung.. " desis ki Barda perlahan.
.
Kemudian ia berkata kepada Sri Tanjung, "Nduk, cah ayu. Maafkan uwa-mu ini,
akan aku katakan kebenaran yang menyangkut diri anakmas Sanjaya."
P a g e | 518
.
Lalu dituturkan-lah dengan sejelas - jelasnnya jati diri Sanjaya serta tingkah
lakunya. Ternyata ki Barda dalam pengembaraannya bersama Panca
menemui titik terang dari pemuda rupawan itu. Sanjaya merupakan anak
seorang bangsawan dari Tumapel dari garwo selir. Sejak kecil ia diasuh oleh
kakeknya di sebuah pulau selatan jawa. Dan kakeknya ini merupakan seorang
sakti, tetapi juga bertabiat buruk, terutama mengenai nafsu terhadap wanita.
Sayang sungguh disayang, perilaku itu menurun kepada Sanjaya.
.
Tangis sesenggukan disertai jerit kecil melanda Sri Tanjung. Jika yang
memberitahu perilaki Sanjaya orang lain, Sri Tanjung tak bakal percaya. Tetapi
uwanya-lah yang berkata. Seorang yang ia kenal sejak kecil, dimana orang tua
itu sangat baik dan jujur dalam bertindak dan berucap.
.
Di-usap rambut hitam arang wanita itu, oleh ki Barda. Ia bisa merasakan
betapa hati kemenakannya hancur berkeping - keping. Ki Barda tak mengira
dengan keadaan kemenakannya saat ini. Dalam usia lima tahun, ibunya
meninggal karena penyakit yang dideritanya. Lalu, kemarin ayahnya tewas
ditangan muridnya sendiri. Kemalangan masih berlanjut dengan tindakan
tercela oleh Sanjaya, lelaki yang dicintai kemenakannya itu.
.
"Lalu apa yang akan kau lakukan ? Menyerbu sendiri ke sarang serigala itu ?"
kata ki Barda dengan kerasnya, "Sungguh ksatria tindakan-mu, Jenggala. Tetapi
setelah itu kau bagai macan yang dipermainkan di alun - alun. Tubuhmu arang
kranjang dan kau rela jika Sri Tanjung berada dalam kekuasaan Pineluh ?"
.
"He.. " Putut Jenggala lemas, "Lalu apa yang harus aku lakukan, ki Barda ?"
.
"Jika kau mau, ikutlah bersamaku menuju Perdikan Anjuk Ladang." kata ki
Barda, "Kau juga Sri tanjung."
.
Tak ada pilihan bagi Putut Jenggala dan Sri Tanjung. Maka keduanya mengikuti
ki Barda, ke Perdikan Anjuk Ladang.
Nama Jambul Kuning diambil setelah Raden Arya Bancak melakukan semedi di
puncak gunung. Dalam keheningan bersemedinya, ia selalu menjumpai
seorang Resi Suci yang selalu ditemani se-ekor burung cantik dan sakti. Burung
itu mempunyai jambul di kepalanya berwarna kuning keemasan, sangat indah
bila dipandang. Masih di dalam keheningan semedinya, burung itu setiap kali
ikut dengan Resi Suci melakukan tapa ngrame dalam memberantas
keangkaramurkaan.
P a g e | 521
.
Di malam terkhirnya, saat lelaki semedi mendekati akhir, Resi Suci itu tersenyum
kepada Raden Bancak, "Angger, semenjak kecil kau berperilaku angin -
anginan. Itu merupakan sifat yang membuatku sedih. Tetapi ada yang
membuat hatiku merasa bangga terhadapmu, yaitu saat ada seekor burung
yang hampir mati."
.
Resi Suci itu terdiam sesaat. Sedangkan Raden Arya Bancak hanya
mendengarkan tak berani menyela.
.
"Dan inilah burung itu. Ia tumbuh menjadi burung Suci mendampingiku." kata
Resi Suci itu.
.
Raden Arya Bancak terperanjat. Ingatan masa lampaunya kembali terlintas
dalam benaknya. Memang dirinya pernah menyelamatkan seekor burung, tapi
burung itu sangat jelek dan tak mempunyai jambul indah seperti itu.
.
Rupanya sang Resi dapat membaca hati Raden Arya Bancak, maka Resi Suci
berkata, "Burung jelek adalah sebuah tindakan manusia yang terkekang dalam
nafsu duniawi. Nafsu sesungguhnya karunia dari Sang Pencipta untuk manusia,
karena adanya nafsu kita mampu merasakan apa itu rasa. Tetapi jika nafsu tak
terkendali dan berlebihan, maka nafsu akan menjadi malapetaka bagi kita."
.
Sejenak sang Resi berhenti untuk mencari kesan.
.
"Bila manusia itu mampu mengendalikan nafsu dan menggunakan dalam
kebajikan, maka akan tumbuh sebuah benih kebaikan, yang digambarkan oleh
jambul si burung. Lalu apa makna warna kuning keemasan ?"
.
Raden Arya Bancak terlihat berpikir, tetapi tak keluar jawaban dari mulutnya.
.
"Kebaikan kalau hanya ditujukan kepada Sang Pencipta, kebaikan itu hanya
untuk dirinya sendiri. Tetapi jika kita menolong dan membantu sesama insan,
maka kebaikan itu akan memancar sinar kuning keemasan layaknya sinar
mentari. Cahaya sinar mentari di pagi hari, menyehatkan bagi tubuh dan
terasa ikhlas adanya." kata Resi Suci, "Suatu saat kau akan mengerti, angger."
.
Seusai semedi itulah nama Jambul Kuning selalu melekat menjadi satu dengan
P a g e | 522
Raden Bancak. Ia berharap hidupnya seperti burung sakti dan seperti mentari
pagi.
.
Lalu ia pun mendapat jodoh seorang wanita ayu, dan mempunyai anak
tunggal yang dinamai, Arya Wila. Dan Arya Wila ini mampu membuat seorang
Tumenggung Demak senang, oleh karenanya sang Tumenggung mwnjodohkan
Arya Wila dengan putrinya, Dyah Ratna.
.
Dari perjodohan Arya Wila dan Dyah Ratna, lahirlah seorang bayi mungil dan
tampan. Sang ayah yang saat itu mengagumi kisah Mahapatih Gajah Mada,
lalu mengambil nama muda sang patih untuk dijadikan nama anaknya, yaitu
ARYA DIPA.
.
Kelompok pertama terdiri dari tiga orang sepuh, yaitu Resi Puspanaga,
Begawan Jambul kuning dan Begawan Kakrasana. kelompok kedua ditempati
oleh dua saudara elang dari Penanggungan, yaitu Palon dan Sabdho. Dan
terakhir sepasang anak muda, Arya Dipa dan Windujaya.
.
Atas pertanyaan yang dilontarkan oleh Windujaya, Arya Dipa hanya menjawab
seperlunya saja, "Aku memikirkan orang yang menyerupai eyang Bancak, adi."
.
"Hm.. Bila kakang tak keberatan, ijinkan aku membantu mencarinya."
.
"Terima kasih, adi. Tetapi sebaiknya adi harus mendapat persetujuan dari
eyang. Bukankah adi masih dalam bimbingan eyang Bancak ?"
.
Windujaya mengangguk pelan, "Guru pernah berkata kalau ilmu yang ia
turunkan semuanya sudah tuntas. Kini tergantung kepada saja untuk
mengembangkan ilmu itu, kakang."
.
"Aku yakin dengan kemampuan adi akan cepat berkembang. Mungkin dalam
penjajakan waktu itu, jika adi mengungkap ilmu dari Cakra Ningrat dengan
sungguh - sungguh, aku pasti kelabakan."
.
"Ah, kakang jangan membuatku malu." kata Windujaya, "Waktu itu aku benar -
benar mati kutu."
.
Arya Dipa tertawa lepas, "Hahaha... Kau pintar bergurau, adi. Jika adi melepas
aji Liman satu bandha dan gempuran bayu, musuh akan sulit menghindarinya."
Gubuk di tengah pategalan itu terbuat dari bambu dengan dinding dari jerami.
Di sisi gubuk ternyata mengalir parit kecil dengan air jernih, meskipun airnya
agak surut.
.
"Hm.. Airnya sungguh menyegarkan.. " desis Windujaya, seusai meminum air dari
dalam parit.
.
"Apakah kakang sudah pernah melewati telatah ini ?" tanya Windujaya,
kemudian.
.
"Iya. Waktu itu aku bersama ayah dan kakang Palon." jawab Arya Dipa.
.
"He.. " Windujaya keheranan.
.
Hal itu menyadarkan Arya Dipa dan menjelaskan, "Maksudku, ayah angkatku.
Ayah Mahesa Anabrang, saudara seperguruan eyang Puspanaga."
.
"O... Bersyukurlah kakang masih mendapat seseorang sebagai ayah angkat."
kata Windujaya, "Lalu, dimanakah sekarang ayah kakang ?"
.
Pertanyaan itu membuat Arya Dipa rindu dengan keadaan ayah angkatnya.
Sejak berpisah di selatan kademangan Prambanan, ki Panji Mahesa Anabrang
tiada wartanya. Sebagai perwira di pasukan Telik Sandi, mengharuskan ki Panji
Mahesa Anabrang berpindah - pindah tugas.
.
"Mungkin ayah berada di sekitar Purbaya." bathin Arya Dipa.
.
Tetapi kepada Windujaya, Arya Dipa berkata lain, "Entahlah adi, ayah
Anabrang gemar melakukan pengembaraan."
"Ah.. Benarkah itu ?" tanya Windujaya yang kemudian katanya, "Pasti beliau
mempunyai beragam ilmu dalam dirinya."
.
"Mengapa adi bisa menyimpulkan seperti itu ?"
.
"Kakang, pernahkah kakang mendengar seorang pemuda dari Pengging ?"
.
"He.. ?!" seru Arya Dipa.
P a g e | 525
.
"Ada apa, kakang ? Sepertinya kakang mengetahuinya ?"
.
Bagaimana tidak tahu. Bila disebut telatah Pengging, sebuah nama langsung
terlintas dibenak Arya Dipa. Seorang pemuda dengan kemampuan tinggi
dengan beragam ilmu terpendam dalam tubuh anak muda itu. Terakhir kali,
Arya Dipa menyaksikan sebuah ilmu langka telah diterapkan oleh pemuda itu.
Ilmu yang konon dimiliki oleh Mahapatih Gajah Mada, yaitu Lembu Sekilan.
.
"Yang kau maksud adi Mas Karebet, adi ?"
.
"Oh.. Kakang juga mengenalnya ?"
.
"Begitulah, kami pernah satu tujuan." jawab Arya Dipa, "Lalu, apa hubungannya
dengan ayah Anabrang yang gemar mengembara ?"
.
Windujaya tidak langsung menjawab. Seekor nyamuk telah menggigit lehernya,
sehingga membuatnya mengeluh kesakitan.
.
"Hahaha.. Ternyata, murid Cakra Ningrat bisa dikalahkan oleh seekor semut."
gurau Arya Dipa.
.
"Ah, kakang." desuh Windujaya, lalu katanya dengan sungguh - sungguh,
"Seperti paman Anabrang yang gemar mengembara, kakang Mas Karebet
juga gemar mengembara dari ujung wetan sampai bang kulon, kakang."
.
"Menurut guru, kakang Mas Karebet yang juga sering memakai Jaka Tingkir,
disetiap langkahnya selalu mendapat ilmu dari berbagai orang - orang linuwih.
Ia merupakan penerus jalur Pengging, tentu ia mampu mengungkap aji Sasra
Birawa. Ia juga berguru dengan ki Ageng Sela, ki Ageng Butuh, seorang
pertapa di gunung kelud, Panembahan Ismaya, ki Ageng Serang dan bahkan
Kanjeng Sunan Kalijaga serta Kanjeng Sunan Kudus." sambung Windujaya.
.
Ternyata pengetahuan Windujaya dalam pengenalan diri Mas Karebet dalam
olah kanuragan, lebih banyak dibandingkan dengan Arya Dipa. Walau begitu
Arya Dipa lebih beruntung bila dibandingkan dengan Windujaya, karena Arya
Dipa sudah bertemu dengan kedua orang yang disebutkan oleh Windujaya.
Yaitu, Kanjeng Sunan Kalijaga dan Panembahan Ismaya. Bahkan dari
P a g e | 526
mengetahuinya."
.
Sambil mengangkat bahunya, Arya Dipa berkata, "Sebenarnya memang
begitu. Aku gelap dengan ilmu yang dimiliki oleh ayah Anabrang."
.
"Aneh - aneh." desis Windujaya sambil menggelengkan kepala, kemudian
menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Hehehe.. Pening kepalaku, kakang.
Kau kembali mempermainkan aku."
.
"Hehehe... Bila suatu hari adi berjumpa dengan ayah Anabrang, cocokanlah
perkataanku ini. Aku berbohong atau tidak."
Kata - kata Arya Dipa yang berkesan biasa itu, dalam pendengaran Windujaya
terasa adanya kebenaran. Sehingga pemuda murid Begawan Jambul Kuning
itu menhangguk.
.
"Aku percaya kakang, tentu semuanya benar. Tetapi dirimu menyimpan beribu
rahasia keanehan yang sulit terpecahkan."
.
"He... " kini giliran Arya Dipa terhenyak, "Beribu rahasia keanehan ?"
.
"Benar." tegas Windujaya, "Suatu kali, guru pernah membicarakan seorang yang
aku yakin itu kakang."
.
Pernyataan itu memancing keingin tahuan Arya Dipa. Duduknya bergeser
semakin tepat menghadap Windujaya.
.
"Maukah adi mengatakannya ?" pinta Arya Dipa.
.
Demi merasakan adanya hasrat begitu besar dalam diri cucu gurunya,
Windujaya berusaha mengulur - ulur waktu dengan niatan menggoda sahabat
barunya itu. Dahi Windujaya mengerut lebih dalam, seolah mencoba
mengingat - ingat dan mengumpulkan kata demi kata yang terucap dari mulut
gurunya.
.
Sungguh menunggu itu pekerjaan yang paling membosankan dan menguras
kesabaran. Pemuda Arya Dipa sebenarnya seorang berhati teguh jika
menghadapi persoalan yang sangat penting, tetapi kali ini entah mengapa
P a g e | 528
"Kita lewat jalan ke kanan, adi." ucap Arya Dipa, yang mengenali arah.
.
"Di depan kita akan menjumpai padukuhan pertama telatah Anjuk Ladang."
sambung Arya Dipa.
.
"Kupercayakan langkah kaki ini kepadamu, kakang."
.
"Bagus. Itu lebih baik. Jika kau tidak mempercayakan langkah kepadaku, bisa -
bisa kau akan terjerumus ke lumpur hisap." Arya Dipa memcoba
mempermainkan sahabatnya itu.
.
"He.. Benarkah itu, kakang ?" Windujaya setengah percaya.
.
"Coba saja kalau kau tidak percaya. Di jalan sebelah kiri itu, meskipun
nampaknya ditumbuhi rumput hijau, tetapi sebenarnya dibawahnya adalah
pasir hisap." Kata Arya Dipa, tetapi dalam hati tertawa penuh kemenangan.
.
Diamati apa yang ditunjuk oleh Arya Dipa tadi. Yang terlihat memang suburnya
rumput hijau saja.
.
"Ah.. Masakah di tempat seperti ini ada tanah hisap ?" Windujaya bertanya
dalam hati, "Tanah di jalan ini saja keras seperti ini."
.
P a g e | 529
Timbulah rasa penasaran dalam hati pemuda itu. Entah mengapa kakinya
bergerak mendekati rimbunnya rumput, dan.....
.
"Byuuuuuuur......!"
.
Padukuhan itu benar - benar tak berpenghuni. Semenjak pasukan bang wetan
yang dipimpin langsung oleh Panembahan Bhree Wiraraja, ki Bekel padukuhan
itu menganjurkan kawulanya untuk sementara waktu menyingkir dari
padukuhan Wilangan. Dan segenap kawula yang menganggap perang
adalah hantu yang menakutkan, bergegas menyingkir ke rumah kerabatnya
yang jauh dari garis medan perang atau menuju ke pusat tanah perdikan.
.
Harta berupa benda tak banyak terbawa, hanya pakaian sekedarnya dan
ternak saja yang di bawa mengungsi. Bila mereka kembali dari pengungsian,
mereka berharap rumah mereka tak mengalami kerusakan akibat perang.
Entah itu dari pasukan yang kalah atau pasukan yang menang.
Padahal mereka tahu, semenjak dahulu pasukan yang kalah dari perang selalu
bertindak semaunya sendiri. Tidak lagi menggunakan nalar, sehingga selalu
melakukan penjarahan berupa harta dan benda. Bahkan bila melewati
padukuhan yang ada wanita atau gadis, tindakan mereka lebih berbahaya,
khususnya tindakan ini dilakukan oleh prajurit bekas begal atau perampok.
.
Langkah kaki pun tiba di jalan depan banjar padukuhan. Banjar dengan
pelataran luas dan adanya sebatang pohon bramasta atau beringin,
membuat suasana terasa segar. Pagar dari pelataran banjar itu berbeda dari
banjar - banjar yang dilalui oleh Arya Dipa dan Windujaya. Tanaman beluntas
semata yang dijadikan pagar hidup, sehingga semuanya terkesan alami.
.
Kemungkinan jikalau tiada perang di Purbaya, padukuhan ini lebih hidup dan
semarak. Sayanglah perang terjadi dengan hebatnya di garis Purbaya dan
Kurawan.
.
"Kau ingin istirahat lagi, adi ?" tanya Arya Dipa saat memperhatikan Windujaya
terus melihat ke tengah pelataran banjar.
.
Tetapi gerakan kepala Windujaya mengisyaratkan penyanggahan, "Tidak,
kakang. Langkah kaki kita baru puluhan tombak. Jika kita sering istirahat,
rahasia di kali Brantas sudah didahului orang."
.
"Hm.. Baguslah kalau begitu. Kita teruskan perjalanan ini."
.
P a g e | 531
Seiring dengan langkah kaki Windujaya dan Arya Dipa, sang surya yang
seharian memberikan sinarnya dibelahan buana, kini tergantikan kegelapan
menyelimuti langit. Untunglah Sang Pencipta memberikan kemurahanNYA
berupa kerlip bintang gemintang. Cahaya kerlip itu mampu membantu
menerangi jalan yang dilalui oleh Arya Dipa dan Windujaya, apalagi kedua
pemuda itu dikaruniai mata setajam burung hantu di malam hari.
.
Kala itu keduanya menyusuri bulak ombo yang memisahkan padukuhan
Wilangan dengan Sela. Semenjak keduanya memasuki bulak itu, mereka
merasakan adanya seseorang yang selalu mengawasi dan mengikuti.
.
"Kau merasakan adanya keganjilan ini, adi ?" desis Arya Dipa.
.
"Iya, kakang. Mungkinkah mereka sebangsa begal dan kecu ?"
.
"Siapa pun mereka, sebaiknya kita selalu waspada." kata Arya Dipa, lirih.
.
"Wuuuss..... Claap.. "
.
Dua anak panah lepas dari busurnya, menyambar sangat deras dan cepat
mengarah Arya Dipa dan Windujaya.
.
"Wuuuusss... Wuuuuusss.. Wuuusss.. Wuuusss... !"
.
Seruan Windujaya terbalas oleh luncuran empat batang anak panah dari balik
gerumbul sisi utara. Ancaman penuh kematian itu bukan masalah bagi kedua
pemuda pilih tanding yang berpengalaman dalam melakukan penghindaran.
Selekas bunyi kesiur angin, gerak cepat meliuknya tubuh dapat melepas
ancaman anak panah.
.
Dua kali serangan gelap tak mendapatkan mangsa, akhirnya para penyerang
gelap menyibak gerumbul dan meloncat menerjang kedua pemuda. Empat
orang memakai cadar dengan senjata dalam genggaman, mautlah tindakan
pamungkas.
.
Dua orang bercadar bersenjata pedang dan trisula, menyergap Arya Dipa.
Sisanya yang bersenjatakan sepasang pisau panjang dan rantai berbandul,
mengancam Windujaya.
.
Dari senjata dan tata gerak dari penyerang, sudah menunjukan keahlian yang
sangat mumpuni. Gerakan setiap langkah mereka mampu bekerja sama satu
dengan lainnya. Sehingga setiap langkah Arya Dipa dan Windujaya selalu
mendapat tekanan hebat dari orang - orang bercadar.
.
"Tata gerak mereka melebur menjadi satu. Seolah dua tubuh ini, diperintah oleh
satu pikiran saja." batin Arya Dipa, yang masih menghindari serangan lawan.
.
Sementara itu, Windujaya mengisar langkahnya ketika tajamnya pisau panjang
hampir menusuk lambungnya. Tetapi berhasilnya ia menghindar, kesiur angin
dari luncuran rantai besi, sudah mengancam punggungnya.
.
"Tring... !"
melepas pedang kyai Jatayu. Pedang tipis itu bergerak ringan membabat
setiap serangan senjata lawan. Sehingga kedua lawannya tercengan dengan
wujud senjata pemuda itu, yang sangat tipis tapi dapat menahan pedang dan
trisula lawan.
.
Apalagi rasa kejut dirasakan oleh salah satu orang bercadar. Lengannya bagai
disengat api dan pedangnya hampir lepas dari tangannya, manakala pedang
kyai Jatayu menyabet dengan sisi daunnya.
.
"Setan tetekan... !" umpat orang bercadar bersenjatakan pedang.
.
Untunglah kawannya yang mengetahui adanya ancaman, segera
membantunya dengan melancarkan tusukan trisula ke punggung Arya Dipa.
Namun orang itu terkejut bukan main dan sempat terkilas sebuah kekaguman
dalam benak orang itu.
.
Serangan di titik buta dapat dihindari Arya Dipa dengan melakukan gerakan
indah. Tubuh pemuda itu melenting melewati tubuh orang bercadar bersenjata
trisula, dengan badan memunggungi orang itu. Dan akibatnya, orang itu
hampir mendapatkan sabetan di pundaknya, jikalau ia tidak bergegas
menjatuhkan tubuhnya.
.
Mereka tak mengira atas kemampuan kedua orang itu. Biasanya, orang - orang
yang dicurigai saat melewati bulak ombo antara padukuhan Wilangan dan
Sela, mampu ditumbangkan dengan cepatnya. Terakhir korban mereka adalah
Sepasang Ular dari Lembah Lawu, yaitu ki Sawer Gambuh dan nyi Wilatsih.
.
Sepasang Ular itu meskipun seorang ahli kanuragan yang menggemparkan,
berkat kerjasama dari keempatnya, tumbang bersimbah darah.
.
"Siapa kalian ini, anak muda ?!" seru salah seorang bercadar.
.
"Bila kami menjawab, apakah kalian akan meminta maaf kepada kami ?"
Windujayalah yang membalas.
.
"Tutup mulutmu, anak muda !" bentak orang bercadar bersenjata rantai besi
berbandul, " di sini, kamilah yang berkuasa !"
P a g e | 534
.
Selain itu adanya kedua senjata berupa pedang tipis dan keris panjang
membara, mengejutkan orang bercadar itu. Pedang berdaun tipis setebal
daun pisang mampu menghalau besi bahan trisula dan pedang orang
bercadar. Juga keris ditangan pemuda yang termuda, sangat aneh dan
menyeramkan. Keris itu sepanjang juluran tangan orang dewasa dan
memancar warna merah menyala.
.
"He.. Anak setan !" seru orang bercadar bersenjata rantai besi berbandul,
"Bukankah kerismu itu, kyai Samber Geni ?"
.
Windujaya mengernyitkan alisnya ketika lawannya dapat mengenali
senjatanya. Maka setelah mencoba mengaitkan dengan masa yang lalu,
menyangkut senjata dan pemiliknya terdahulu, lantas Windujaya berkata.
.
"Kau mengenali senjata ini, kisanak. Adakah kau mengenal pamanku yang
menjadi Demang di Lasem ataukah kau teman Tumenggung Plangkrongan ?"
.
"He... " hati orang bercadar bersenjata rantai besi berbandul, tercekat.
Sambil mundur menjaga jarak, orang itu berpikir dengan apa yang ditanyakan
oleh pemuda itu. Di sebutnya Tumenggung Plangkrongan dan ki Demang dari
Lasem, membuat hati orang itu bimbang.
.
"Kawan atau lawan, sebenarnya anak muda ini ?" batinnya dalam hati.
.
Keraguan orang bercadar itu sangat merugikan kawannya. Orang bercadar
bersenjata sepasang pisau panjang, terdesak hebat dalam kurungan keris
Windujaya.
.
"He... Mengapa kau mematung seperti itu ?!" seru kawannya kepada orang
bercadar bersenjata rantai besi berbandul, "Jangan termakan perkataan anak
kecil ini. Tentu ia mencuri senjata itu dari pemiliknya !"
.
"Oh.. " desuh orang bercadar bersenjata rantai besi berbandul, yang sadar
dengan kecerobohannya.
.
Kembali orang bercadar bersenjata rantai besi meloncat membantu
P a g e | 536
Di mana mereka mengawali dengan menggiring lawan dalam satu titik saja.
Kemudian menahan merekan dengan rapat tanpa adanya sela yang dapat
membuat lawan lolos dari kurungan. Lalu bila lawan sudah tepat di titik tengah,
serentak mereka meloncat mundur dalam jarak tiga langkah.
.
Tetapi meskipun jarak itu akan dimanfaatkan bagi lawan untuk mencoba
keluar, kegagalan bagi lawanlah yang terjadi. Karena keempat orang
bercadar akan menghalau kembali lawan itu. Sehingga akan sulit menerobos
kepungan yang terlihat longgar.
.
Demi mengetahui kemampuan orang - orang bercadar dalam menyusun
kerjasama yang apik dan teratur itu, keyakinan Arya Dipa dan Windujaya
semakin mantab kalau yang mereka hadapi benar - benar prajurit terlatih. Dan
kini yang menjadi perhatian adalah apa tujuan dari penghadangan di bulak
ombo itu ? Inilah yang membuat tanda tanya dibenak Arya Dipa dan
Windujaya.
.
Tanda tanya itu untuk sementara harus mereka lupakan sejenak. Karena lawan
mulai bergerak serentak dalam badai serangan. Kesiur angin dari setiap penjuru
bagai jalur maut meminta tumbal. Tajamnya tiga pucuk trisula, kerasnya
bulatan rantai berbandul, ganasnya sepasang pisau panjang dan mengerikan
sebilah pedang pandan eri, mengarah serentak ke pusat kepungan.
membasahi bibir mereka. Tubuh mereka masih menggeliat dan berusaha untuk
bangkit kembali. Namun kedua pemuda tidak membiarkan mereka berlaku
bebas, dengan loncatan cepat mereka mencengkeram tubuh satu dan
menangkap tubuh lainnya untuk dikumpulkan menjadi satu tempat.
.
"Wuuuss.. Wuuusss.. Wuuss.. Wuuss.. !"
.
Entah dari mana datangnya kesiur angi telah menunmbangkan keempat
orang bercadar. Nyawa orang - orang bercadar terenggut oleh seorang yang
tidak diketahui itu.
.
Dan kenyataan itu mengagetkan Arya Dipa dan Windujaya, yang tak mengira
atau pun mengetahui adanya keberadaan seseorang selain mereka.
.
"Untuk saat ini kalian beruntung anak muda !" sebuah seruan menggema
memantul dari segala penjuru.
.
"Keluarlah, kisanak !" balas Windujaya, "Apa maksud dari semua ini ?!"
.
"Hahaha... Janganlah kau berlaku seakan - akan ini tempatmu !" kembali
seruan terdengar, "Urungkan niatmu dalam pencarian pusaka yang saat ini
menjadi rebutan orang - orang linuweh.. !"
.
"Ho.. Jadi kau juga menginginkan pusaka itu, kisanak ?!" tanya Windujaya.
Hening dan sunyi. Tiada balasan dari orang yang belum tahu wujudnya itu.
Sehingga Windujaya kembali melantangkan suara. Tapi sia - sia saja, tak ada
balasan sedikit pun.
.
"Sudahlah, adi. Sepertinya orang itu sudah pergi." kata Arya Dipa.
.
"Sebaiknya kita mengurus mayat - mayat ini. Kasihan raga yang semakin dingin
ini jika tida kita urus." sambung Arya Dipa.
.
"Mari, kakang."
.
Dengan alat seadanya, keduanya mengubur empat orang bercadar agar
tidak dimangsa binatang liar dan buas. Lubang yang tidak terlalu dalam
P a g e | 539
pakaian bersih dan bahkan terkesan mewah. Ikat kepala hijau pupus
merupakan ciri khusus yang selalu dikenakan lelaki tampan tersebut.
.
Tepat langkah kaki menuruni tanggul sungai, sebuah teguran halus
membuatnya memalingkan wajah ke arah suara teguran itu.
.
"Raden, mengapa kau bunuh kawan sendiri ?"
.
"Maksud paman, empat Serigala itu ?" lelaki dengan ikat kepala hijau pupus,
balik bertanya.
.
"Benar, Raden. Ki Dampit dan kawan - kawannya adalah prajurut di bawah
pimpinan ki Rangga Rawes. Apabila suatu hari nanti ki Panji Sengganggeng
mengetahui hal ini, kita akan mengalami kesulitan, Raden."
Lelaki tampan yang dipanggil Raden itu, tertawa hambar, "Hehehe.. Mengapa
paman Walang Yuda berdebar dengan ki Panji Sengganggeng ? Meskipun ia
saudara Panembahan Bhre Wiraraja, tetapi sejak pasukannya kalah di
kademangan Kanduruan ia tidak mempunyai kekuatan."
.
"He.. Mana mungkin itu, Raden Sajiwo ?" ki Walang Yuda terlihat terperanjat.
.
Raden Sajiwo duduk diatas batu, "Saat pertempuran seru di Kanduruan, ia
mendapat lawan yang tangguh dari pihak Demak. Seorang pemuda dari
kadipaten Jipang."
.
"Ah.. Janganlah Raden bergurau. Ilmu ki Panji Sengganggeng sundul langit dan
bahkan dua tingkat dibawah gusti Panembahan sendiri." ki Walang Yuda
menganggap keponakannya itu bergurau.
.
Meskipun perkataannya tidak meyakinkan pamannya, Raden Sajiwo tidak
marah. Ki Walang Yuda merupakan paman dari pihak ibunya, yaitu tepatnya
adik ibunya dari kalangan kawula biasa, selalu berada disampingnya sejak
Raden itu masih kecil. Sehingga pamannya inilah orang yang ia percayai dan
selalu diajaknya.
.
"Paman, perlu paman ketahui siapa sebenarnya lawan ki Panji Sengganggeng
itu. Pemuda itu masih trah Demak dan seandainya Pangeran Kinkin menjadi
P a g e | 541
#############
.
GEMERICIK air sungai terdengar jelas ditelinga kedua paman dan keponakan
itu. Raden Sajiwo dan ki Walang Yuda masih melakukan pembicaran dipinggir
sungai. Hingga datanglah seseorang yang dikenal oleh keduanya.
.
Orang yang baru muncul itu seorang lelaki dengan perawakan tegap, dada
bidang dengan sedikit bulu dari pakaian yang sedikit terbuka. Kumis sekepal
menambah kesangaran orang itu.
.
"Apa yang akan kau laporkan, Wara Lintang ?"
.
Orang itu mencangkupkan telapak tangannya dekat dahi, "Gusti Raden, Putra
Pangeran Singasari ingin bertemu dengan gusti Raden."
.
Sebelum Raden Sajiwo menjawab, ki Walang Yuda mendahului, "Di mana dia
sekarang, Wara Lintang ?"
.
"Ia menunggu di barat kali Brantas, ki Wialang Yuda."
.
Sejenak ki Walang Yuda memandang keponakannya. Tetapi yang dipandang
tiada kesan tertentu. Wajahnya datar saja seperti tak acuh.
.
"Akankah Raden mau menemuinya ?" tanya Walang Yuda.
.
"Wara Lintang, siapkan pengamanan yang cukup di seberang kali Brantas, aku
akan menemuinya. Dan perintahkan Gajah Tangen mengawasi dua pemuda
yang saat ini memasuki padukuhan Sela." akhirnya Raden Sajiwo memberikan
perintah.
.
"Sendiko, Raden."
.
Kemudian Wara Lintang bergegas menaiki tanggul dan hilang dikegelapan
malam. Tinggalah Raden Sajiwo dan ki Walang Yuda lagi yang masih di
pinggiran sungai untuk beberapa lama.
..........
Dari Sungai berjarak ratusan tombak Wara Lintang menyusuri kelokan jalan
P a g e | 543
setapak menggunakan kuda hitam legam. Kuda itu berhenti di gubuk yang
khusus dibangun oleh orang - orang Raden Sajiwo. Dari gubuk inilah yang
dijadikan sarang untuk melakukan pergerakan mereka.
.
Belum kaki menginjak di tanah, dua orang lelaki berbadan tinggi tegap telah
keluar dari persembunyiannya. Keduanya menyongsongkan tombak pendek
mereka terhadap Wara Lintang.
.
"Hm.. Bagus, kesiagaan kalian sangat tinggi." puji Wara Lintang.
.
"Oh.. ki Lurah !" seru keduanya dan segera menunduk hormat.
.
"Di mana Gajah Tangen ?" tanya Wara Lintang setelah turun dari kuda dan
menyerahkan tali ke salah seorang.
.
"Kakang Gajah Tangen di dalam, ki Lurah." jawab salah seorang.
.
"Hm.. Baiklah. Kembalilah berjaga - jaga." perintah Wara Lintang dan seterusnya
memasuki gubuk.
.
Gubuk itu cukup luas dan bersih. Di empat pojok ada dian sebagai
penerangan dari gelapnya malam. Di dalam lima orang sedang duduk - duduk
sambil berbicara ringan. Dan saat pintu terbuka, kelima orang itu serempak
menatap pintu.
.
"Ki Lurah... " seru semuanya.
.
Wara Lintang masih tak berbicara. Ia meraih kendi dan meneguk air dalam
kendi. Rasa haus dari tadi barulah terobati setelah melewati ratusan tombak
dari seberang kali Brantas, mencari keberadaan Raden Sajiwo dan selanjutnya
bergegas ke gubuk yang berada di gumuk.
"Gajah Tangen."
.
"Iya, ki Lurah."
.
"Pergilah ke padukuhan Sela. Di sana ada dua pemuda yang harus kau awasi
gerak - geriknya." perintah Wara Lintang.
P a g e | 544
.
"Hanya mengawasi saja, ki Lurah ?"
.
"Begitulah yang diperintahkan oleh junjungan kita. Bawalah tiga atau empat
orang, supaya jika kalian bertemu kelompok ki Panji Seganggeng tidak
mengalami apa - apa."
.
"Baik, ki Lurah." dan Gajah Tangen bersama tiga kawannya keluar menuju
padukuhan Sela.
.
Sepeninggal Gajah Tangen dan ketiga kawannya, Wara Lintang mewantin -
wanti kepada anak buahnya yang tersisa, supaya berhati - hati di gubuk itu.
Bila ada sesuatu yang mencurigakan, selekasnya harus melaporkan ke gubuk
utama di seberang kali Brantas. Setelah memberikan pesan, Wara Lintang pergi
dari gubuk di gumuk dan bergegas ke seberang kali Brantas.
"Silahkan tuan - tuan. Sebentar lagi Raden Sajiwo akan datang." sambut Wara
Lintang.
.
"Jadi kami harus menunggunya ?" seru Ra Srmpang, agak mendongkol, "Huh..
Jauh - jauh aku datang, tapi tuan rumah enak keluyuran."
.
Semua orang tak mengacuhkan lelaki tambun itu. Mereka sudah paham betul
dengan perangai orang satu ini. Jika diladeni akan menimbulkan permasalan
yang panjang dan melelahkan.
.
Hanya ki Sardulo Liwung saja yang tidak segan - segan. Orang tua itu
melototkan matanya ke arah Ra Srimpang sambil menggerutu.
.
"He.. Anak gendut, apa kau tidak lelah dengan mulutmu yang mengoceh itu ?"
P a g e | 546
.
Di tegur seperti itu, Ra Srimping menggebrak meja pelan. Anehnya meja yang
bergetar keras itu tidak membuat gelas - gelas air minum diatasnya bergoyang
dan tumpah.
.
"Wah - wah... Belum ada sepenginang kau sudah melakukan pangeram - eram,
bocah gemblung." kata ki Sardulo Liwung, "Lihatlah... "
.
Orang dari pantai Prigi itu meniup salah satu gelas yang ada di hadapan Ra
Srimpang. Apa yang terjadi sungguh mengagumkan. Gelas itu tidak mengapa,
melainkan isinyalah yang membeku bagai terkena bedinding sewindu di
puncak Mahameru. Dan gelas itu oleh Ra Srimpang di pegang.
.
"Nyeees.... "
.
Gelas terasa dingin hingga Ra Srimpit menggigil kedinginan, dan mendesuh
kejut, "Oh... Serat Tirta.."
.
"Hehehe... itu baru seperempat tenaga yang aku terapkan, tapi kau sudah
kelimpungan macam curut terendam di parit..." ucap ki Sardulo Liwung dengan
angkuhnya.
.
"Deesss..... "
Kaki Ra Srimpang menghujam bumi. Tetapi dari kakinya tersalur tenaga kasat
mata dan menyusup tanah mengarah dingklik yang ditempati oleh ki Sardulo
Liwung. bumi di bawah orang pantai Prigi bergetar hebat dan selanjutnya
dingklik yang diduduki terlontar ke langit - langit bersama si empunya.
.
"Braaak... !"
.
Dingklik lumat berkeping - keping. Sedangkan ki Sardulo Liwung walau mampu
dilontarkan tinggi - tinggi, tapi masih bisa menguasai tubuhnya dengan
berjungkir balik di udara seraya melepas kain panjang menyilang dan hinggap
di atasnya. Dan tubuh itu berdiri diatas kain bagai tiada beban.
.
"Plok.. Plok.. Plok.. "
.
P a g e | 547
"Partama.." Raden Sajiwo mulai mengawali, "Di dekat tambatan satang, pernah
ada perkelahian antara dua lelaki bertopeng. Seorang bersenjata tombak
panjang dan satunya membekal cambuk."
.
"Oh.. Orang bercambukah...?" desis beberapa orang.
.
Raden Sajiwo memperhatikan wajah - wajah mereka. Sepertinya mereka
terlihat heran dan terkejut. Itu menandakan kalau mereka belum tahu dengan
kejadian di dekat tambatan satang.
.
"Kejadian kedua tak kalah mengejutkan." Raden Sajiwo melanjutkan, "Ki
Demang Nukilan tewas dengan tubuh bagian dalam dan tulang lumat,
sehingga saat tubuhnya diangakat terasa lemas dan ringan."
.
"He...!" kembali ruangan itu dilanda keterkejutan.
.
Ilmu apa yang membuat tubuh ki Demang Nukilan seperti itu ? Menurut warta
yang tersebar, Demang dari Wanasaba itu memiliki aji Trenggiling Wesi dan aji
Gelap Sayuta.
.
Tentulah itu mengherankan mereka, kecuali Raden Sajiwo dan Raden Sanjaya.
Keduanya paham betul dengan akibat yang diderita oleh tubuh ki Demang
Nukilan. Keduanya yakin ilmu yang mampu membuat tubuh ki Demang Nukilan
lemas dan ringan. Kumayan Jati-lah yang bisa meninggalkan akibat seperti itu.
.
P a g e | 549
"Aku kurang tahu nama mereka. Mereka berdua bisa mempermainkan orang -
orang padepokan Krendha Seba."
.
"Empat diantaranya sudah tewas di bulk ombo barat padukuhan Sela."
sambung Raden Sajiwo.
.
Ruangan itu terasa penuh gejolak. Kemunculan orang bercambuk, lalu
kematian ki Demang Nukilan yang aneh, dan dua pemuda yang membuat
orang - orang padepokan Krendha Seba tak berdaya. Itu semua harus
mendapat perhatian besar bagi mereka.
.
Saat suasana masih berada dalam menyingkap orang - orang aneh itu,
seorang pengawal Raden Sajiwo datang dan membisiki dekat telinga
bangsawan itu. Sejenak wajah bangsawan itu mengalami perubahan.
Sepertinya sesuatu yang tidak diinginkan telah terjadi, apalagi dari tangannya
yang menggenggam bagai meremas terlihat jelas.
.
"Tikus sialan, Gajah Tangen..!" geram Raden Sajiwo dalam hati.
.
"Ada apa, paman Sajiwo..?" Raden Sanjaya bertanya setelah mengetahui
kegelisahan Raden Sajiwo.
OLEH : MARZUKI
#############
.
KEGELISAHAN dan kemarahan Raden Sajiwo tak terbendung. Pertanyaan dari
Raden Sanjaya terasa seperti terkena angin sebelum sampai di telinga Raden
Sajiwo. Hal itu menjadikan Raden Sanjaya untuk kembali mengulang
mempertanyakan apa sebenarnya yang dihadapi oleh bangsawan Kadiri itu.
.
"Paman Sajiwo, apa yang sebenarnya terjadi ?" ulang Raden Sanjaya.
.
Barulah Raden Sajiwo menyadari kalau ia tidak sendiri. Kemudian ia mengambil
sikap seperti tiada masalah.
.
"Ah.. Maaf, ini hanya masalah kecil saja, tidak apa - apa. Mari kita lanjutkan
pembicaraan kita." Raden Sajiwo mencoba tidak membicarakan sesuatu yang
membuatnya marah.
.
Sebenarnya yang terjadi ialah kegagalan Gajah Tangen dalam mengawasi
dua pemuda di padukuhan Sela. Tiba - tiba saja kedua pemuda itu lenyap saat
memasuki rumah penghuni padukuhan. Padahal Gajah Tangen dan kawan -
kawannya selalu mengawasi rumah itu dari segala arah dan setiap saat. Dan
mereka tidak mengetahui kalau dua pemuda yang memasuki rumah penghuni
padukuhan, terlihat keluar.
.
"Hari sudah sesiang ini mereka tidak kunjung keluar, kakang " desis salah
seorang kawan Gajah Tangen.
.
"Kita tunggu barang sejenak. Perketat dan awasi seluruh jalan." perintah Gajah
Tangen kepada kawannya.
.
Sang surya sudah menanjak naik ke cakrawala. Tetapi dua pemuda yang
diduga masih di dalam rumah, tak juga keluar. Hal itu membuat Gajah Tangen
dan kawan - kawannya gelisah. Untuk itu tidak ada jalan lain kecuali
memastikan keberadaan kedua pemuda di rumah tersebut.
.
Maka diambil keputusan salah seorang berpura - pura berkunjung ke rumah itu,
dengan alasan dibuat - buat. Dan orang itu jatuh kepada kawan Gajah
Tangen yang berperawakan pendek namun mempunyai dada bidang.
P a g e | 551
Dengan jalan agak terseok - seok orang itu menghampiri rumah penghuni
padukuhan Sela.
Setelah memasuki regol yang terbuka, kawan Gajah Tangen disambut oleh
pemilik rumah dengan agak curiga. Seperti saat pertama menerima dua
pemuda kemarin malam. Tetapi setelah dirasa kalau tamunya tidak
menunjukan sesuatu yang membuatnya curiga, maka pemilik rumah
menerimanya dan bahkan dibawa ke pringgitan.
.
Entah apa yang dibicarakan kawan Gajah Tangen. Tetapi dari wajah pemilik
rumah ataupun kawan Gajah Tangen, tiada menunjukan silang pendapat.
Hingga akhirnya kawan Gajah Tangen mohon pamit dengan alasan ingin
mencari dua pemuda yang ia aku sebagai sanak kadangnya.
.
"O.. Jadi kisanak ini, sanak kadang dari angger - angger tadi malam ?" kata
pemilik rumah.
.
"He.. apakah mereka tadi malam singgah disini, ki?"
.
"Benar, ngger. Mereka hanya singgah sepengunyah sirih saja. Dan bergegas
pamit." jawab pemilik rumah.
.
Kawan Gajah Tangen mengerutkan keningnya. Mustahil apa yang diucapkan
oleh pemilik rumah itu. Semenjak kedua pemuda memasuki rumah, tak ada
seorang pun yang keluar dari regol atau pun pintu butulan di kebun belakang.
.
Ternyata tuan rumah itu mengerti kalau tamunya itu tak mempercayai
ucapannya. Oleh karenanya pemilik rumah kembali berkata.
.
"Dua pemuda itu sangat aneh, ngger. Tengah malam sebelum mereka
meminta diri, salah seorang menyibakan tangan ke arah dian. Seketika dian -
dian mati dan membuat rumah gelap gulita." kata pemilik rumah, "Kami mereka
golongan perampok yang berpura - pura sebagai tamu. Dan melancarkan
serangan saat keduanya berada di dalam rumah.Ternyata tidak, salah seorang
mengatakan minta maaf atas perilaku mereka. Tidak lain karena adanya
sesuatu perihal yang membuat mereka berlaku seperti itu."
.
Demi mendapatkan penjelas seperti itu, kawan Gajah Tangen mencoba
P a g e | 552
mengingat apa yang terjadi di malam itu. Memang benar apa yang dikatakan
oleh pemilik rumah. Malam tadi lampu dian rumah itu sejenak padam.
pemilik rumah supaya mau mengarang cerita. Tentunya setelah Arya Dipa
meyakinkan sang pemilik rumah.
.
Setelah kepergian kawan Gajah Tangen, pemilik rumah bergegas menemui
tamunya tadi malam dengan tangan masih bergetar.
.
"Oh.. Hampir saja aku mati ketakutan, ngger." ucapnya dengan suara bergetar.
.
"Terima kasih, ki. Bantuan ki Danu tak akan aku lupakan." ucap Arya Dipa.
.
"Ah.. Sudahlah, ngger. Memang benar yang angger berdua katakan tadi
malam. Meskipun aku melihat orang tadi hanya sekilas saja, aku dapat
menilainya kalau ia suka kekerasan. Karenanya jika aku dapat menjauhkan ia
dari angger berdua, itu sudah menjadi kepuasan tersendiri bagiku." kata ki
Danu, dengan senyum mengembang.
"Sebaiknya, angger berdua tinggal digubuk ini saja untuk beberapa hari
kedepan." kata ki Danu kemudian, "Hal itu supaya membuat langkah mereka
semakin jauh, sehingga angger berdua tidak bertemu dengan mereka."
.
"Maaf, ki Danu. Kami harus segera sampai ke tempat tujuan. Meskipun begitu,
kami akan tinggal sampai datangnya malam." Arya Dipa mencoba menolak
tawaran dari si pemilik rumah.
.
"Baiklah jika itu sudah menjadi tekad kalian." kata ki Danu agak kecewa.
.
Seperti yang dikatakan oleh Arya Dipa, saat wayah sepi uwong keduanya
keluar dari regol rumah ki Danu. Dan selanjutnya pergi menuju kali Brantas
melalui jalan memutar demi menghindari padukuhan induk telatah Anjuk
Ladang. Jalur yang dilalui memang tidak sebagus dan serata jalur utama,
tetapi itu semua supaya tiada halangan dari orang - orang yang tidak
diinginkan.
.
Gelap malam tidak mengurangi ketajaman penglihatan mereka. Mata
keduanya tajam bagai mata burung hantu di malam hari. Setiap langkah
terasa cepat dan tangkas. Tepat di tengah malam keduanya sudah
mendengarkan aliran sungai yang bergemuruh. Menandakan aliran kali Brantas
sudah di sekitar mereka.
P a g e | 554
.
Batuk terdengar lagi dari lelaki itu setelah menyapa kedua pemuda.
.
"Benar, kisanak. Jika kyai tidak ada halangan, mohon kiranya mau
menyeberangkan kami." Arya Dipa-lah yang berkata.
Dipandangi wajah pemuda itu dengan cermat oleh lelaki yang baru keluar dari
gubuk. Sejenak kemudian lelaki itu menghela nafas, dan kembali terbatuk
cukup lama. Sepertinya keadaan orang itu kurang enak badan.
.
"Mohon maaf, angger. Badanku kurang enak dua hari ini. Jika angger berdua
bersabar, tunggulah esok hari. Besok keponakanku akan datang dari
padukuhan yang berada di hulu kali." kata lelaki itu, dan lagi - lagi batuk.
.
Apa boleh buat, keadaan malam itu harus dilalui dengan bermalam bersama
lelaki tukang satang itu. Keduanya dipersilahkan memasuki gubuk tukang
satang. Di dalam gubuk hanya ada amben saja sebagai tempat tidur atau
duduk - duduk.
.
"Ini ngger, ubi rebus sisa tadi sore." tukang satang itu menghidangkan sepiring
ubi rebus dan kendi.
.
"Terima kasih, ki." ucap Arya Dipa dan Windujaya, berbarengan.
.
Dalam pada itu, Windujaya teringat adanya kegiatan yang ada di seberang
kali, di hilir tadi. Maka ia mencoba menanyakan kepada tukang satang, siapa
tahu tukang satang itu mengetahuinya.
.
"He.. !" seru tukang satang setelah mendengarkan apa yang ditanyakan oleh
Windujaya, "Di mana itu, ngger ?"
.
"Dari sini kurang lebih seratus tombak, ki."
.
Dahi orang itu mengerut dan sejenak kemudian ia menggigil.
.
"Ada apa, ki ?"
.
"Jangan ke sana, ngger.Tempat itu sangat wingit, dan mungkin yang angger
P a g e | 556
lihat itu bukanlah sebangsa kita " ucap tukang satang, agak gemetar.
.
Arya Dipa dan Windujaya saling berpandangan. Jelas yang mereka lihat
adalah manusia biasa, seperti mereka.
.
"Mengapa kisanak bilang begitu ? Mereka jelas - jelas manusia, ki ?"
.
"Angger keliru. Sudah tiga kali orang padukuhan melihat seperti yang angger
lihat. Dan mereka penasaran ingin mengetahui lebih dekat. Apa yang terjadi ?"
"Ada apa, kakang ?" ucapnya, "Adakah sesuatu yang kau ingat atau pikirkan ?"
.
Kepala Arya Dipa manggut - manggut, "Aku mengerti adi, apa yang dialami
oleh tukang satang ini hanyalah pancingan saja."
.
"He... Pancingan bagaiman, kakang ?" Windujaya tak mengerti.
.
Sebelum menerangkan, Arya Dipa menarik nafas dalam - dalam. Dipandangi
wajah tukang satang yang semakin pucat dan bibir bergetar. Dalam hati Arya
Dipa berdo'a kalau apa yang ia duga benar adanya dan semoga orang itu
hadir.
.
"Adi Windujaya. Tadi sewaktu tukang satang ini berbicara, ia pernah
menyinggung adanya dua hantu tanpa wajah." sejenak Arya Dipa berhenti
berucap.
.
Lalu sambungnya, "Aku rasa salah satu yang dimaksud itu adalah orang
bercambuk. Dan tahukah kalau orang itu juga ahli dalam ilmu pengobatan ?"
.
Windujaya menggeleng, "Kalau itu aku kurang mengerti, kakang."
.
"Yang aku dengar, dia sangat ahli dalam ilmu pengobatan dan penawar
racun. Bahkan salah seorang yang pernah diselamatkan olehnya, mengatakan
kalau orang bercambuk itu bisa menghidupkan orang yang sudah mati."
.
"Ah.. Bukankah itu berlebihan, kakang ?" kata Windujaya tak sepaham dengan
orang yang diceritakan oleh Arya Dipa.
.
"Hehehe... Itulah manusia adi. Bila ia melihat sesuatu yang membutnya takjub,
ia akan melebih - lebihkan. Tentu saja apa yang diucapkan orang itu hanyalah
ungkapan senang yang lebih saja." kata Arya Dipa tenang.
"Lalu apa hubungannya dengan luka yang dialami oleh tukang satang ini,
kakang ?"
.
P a g e | 560
BERSAMBUNG...
P a g e | 561
Sargota.
.
"Kita akan membawa pemuda itu ke sarang kita. Tubuhnya akan kusayat -
sayat dengan perlahan. Darah yang menetes dari lukanya nanti kita basuh
dengan air garam, dan itu merupakan permainan yang menyenangkan,
Jaladri." sambung ki Kala Sargota.
.
Keempat anak buah ki Kala Sargota menyeringai dengan buasnya. Rencana
pemimpin sangat menyenangkan di kala mendatang. Karenanya mereka
menantikan perintah pemimpin mereka.
.
Di lain tempat, Arya Dipa terus mencari keberadan orang bercambuk. Ilmu
Prangungu, Pandulu dan Prangrasa ditebar sejauh - jauhnya. Bila ilmunya
mendapatkan adanya keberadaan seseorang, secepatnya ia menghampiri
tempat itu tanpa mengurangi kewaspadaan. Karena di sepanjang tepian ada
beberapa orang yang mendebarkan.
.
Dua tiga orang ditemuinya meskipun tidak langsung bertatap muka. Setelah
diteliti dan dicermati, tiada yang mengarah ke ciri - ciri orang bercambuk.
Segera ia meninggalkan tempat itu dan mencari di lain tempat.
.
Malam sudah semakin mendekati akhir, keberadaan orang bercambuk belum
juga ditemukan. Waktu yang terus berjalan merupakan masa - masa
menegangkan bagi Arya Dipa. Bila ia terlambat, nyawa tukang satang akan
lepas dari raganya. Tidak hanya itu saja, tadi sewaktu meninggalkan gubuk,
Arya Dipa juga merasakan adanya beberapa orang yang mengawasi gubuk
itu. Nyawa Windujaya juga terancam.
.
Tiba - tiba saja Arya Dipa berhenti dan duduk bersila . Matanya terpejam dan
memusatkan pikiran. Inilah cara terakhir yang ia tempuhnya, yaitu mencoba
mencari petunjuk lewat bersemedi memasrahkan diri kepada Sang Pencipta.
Awalnya hanya kegelapan saja yang ada. Sedikit - demi sedikit berbareng
dengan mantapnya hati, secercah cahaya menerangi alam kecil Arya Dipa.
Tubuhnya yang duduk bersila terlihat jelas di tengah alam itu. Lalu dari angkasa
melayang sosok mahkluk bersayap terbang mengitari tubuh Arya Dipa.
.
"Bangunlah, Angger." Di atas punggung Garuda, sosok Resi menegur Arya Dipa.
P a g e | 564
.
"Sembah bakti dari cucu, Eyang Resi." Ucap Arya Dipa sembari ngampuracang.
.
"Sembah baktimu aku terima, Angger. Aku mengerti apa yang ingin kau cari."
kata Resi Suci, sareh, "Pergilah kau ke barat. Pemuda itu sedang bercengkrama
dengan alam di bawah naungan pohon Nyamplung."
.
Sehabis mengucapkan itu, burung Garuda kembali mengangkasa dan lenyap
seketika. Dan Arya Dipa terbangun dari semedinya dan tak lupa mengucap
syukur kepada Sang Pencipta. Selanjutnya ia bergegas menuju barat seperti
wangsit yang ia terima.
.
Sampailah ia di pategalan. Di sisi sebelah barat, bayangan pohon nyamplung
yang tinggi dan besar, bagai sesosok raksasa. Namun hal itu tidak membuat
Arya Dipa jerih sedikitpun. Tanpa menyembunyikan langkah kakinya ia
menghampiri orang yang duduk di bawah pohon nyamplung.
.
"Selamat malam, kisanak." sapa orang yang duduk di bawah pohon
nyamplung, "Apakah kisanak ini sedang tersesat ?"
.
Arya Dipa mengangguk hormat, "Tersesat perjalanan... tidak. Hanya saja, diri ini
tersesat dalam menemukan penawar kala."
.
Raut wajah orang yang tersembunyi bayang - bayang rimbunya daun, sulit
dikenali. Bila tersinari sang rembulan atau pelita, akan jelas adanya perubahan
di wajahnya. Yaitu alis mengernyit dan kerut di dahi. Itu semua timbul dari
ucapan yang dilontarkan oleh Arya Dipa.
.
"Kala di sini tentu sangat mendebarkan, kisanak ?"
.
"Hm... Nyatanya seperti itu, Raden.. "
.
"He... " seru orang itu, "Siapa yang kau sebut Raden itu, kisanak ?"
"Maaf, Raden. Akan aku jelaskan nanti setelah semuanya sudah selesai. Karena
kala itu sedang mengancam tubuh seorang biasa. Marilah bersama hamba
menuju ke tepian kali Brantas." Arya Dipa mencoba mempercepat waktu.
.
P a g e | 565
tubuhnya selapis lebih tinggi. Aji Sepi Angin terkuak membuat tubuhnya melesat
cepat melewati semak dan pohon.
.
Melihat Arya Dipa berlaku seperti itu, orang bercambuk tersenyum. Entah
mengapa dirinya ikut terpancing untuk menyusul pemuda di depannya. Aji
Kidang Melar diungkapnya selapis lebih tinggi dari sebelumnya. Kaki orang
bercambuk bagaikan tidak menapak tanah.
.
Jadilah keduanya seperti adu lari diambang fajar. Bayangan berkelebat
dengan cepat dan tangkas, bagai hantu yang takut kemanungsan. Hantu
atau demit menurut anggapan orang awam, tidak berani memandang atau
terkena sinar mentari. Jika tubuhnya terkena cahaya mentari, tubuh itu akan
meleleh layaknya karet yang terbakar.
.
Tidak terasa akhirnya gubuk sudah nampak. Tanpa mengurangi laju larinya,
Arya Dipa memasuki gubuk itu.
.
"Kakang... " desis Windujaya, saat mengetahui pintu terbuka dan dua orang
sudah ada di dalam gubuk.
desis.Windujaya.
.
Arya Dipa menatap tajam tepat ke pohon ketapang. Dan memang di sanalah
lima orang berada. Tetapi di sisi lain juga terdapat tiga orang yang patut
dicurigai. Ketiga orang ini sebelumnya tidak diketahui keberadaannya oleh
Arya Dipa dan Windujaya. Barulah setelah memusatkan pendengarannya lebih
tajam, desir halus terdengar dari arah tersebut.
.
"Kisanak sekalian, hari sebentar lagi akan terang. Jadi keluarlah supaya kita
saling mengenal !" seru Arya Dipa.
.
Lima orang di balik pohon ketapang tidak lagi menyembunyikan diri mereka.
Semuanya keluar dengan ki Kala Sargota yang paling terdepan, disusul Jaladri
dan ketiga anak buahnya. Kemunculan orang itu di ambang datangnya sinar
mentari, membuat Windujaya mengernyitkan alisnya.
.
"Kalian... " desis Windujaya.
.
"Kau mengenalnya, adi ?" tanya Arya Dipa.
.
Windujaya mengangguk berkata lirih, "Mereka gerombolan perampok di sekitar
Lasem. Salah satu pemimpinnya tewas ditanganku, yaitu Kala Gumbrek."
"He Windujaya, tak usah kau berbisik seperti kunyuk !" seru Jaladri.
.
"Hari ini kami akan menjadikan dirimu tawanan bagi kami !" sambung Jaladri.
.
"Tunggu sebentar, kisanak." kata Arya Dipa, "Soal kawanku ini tentu dapat kita
selesaikan, tetapi kali ini masih ada seseorang yang malu menampakan
wujudnya."
.
Suara Arya Dipa agak keras. Sehingga perkataannya membuat orang yang
dimaksud agak geram. Orang itu meloncat keluar dari tempatnya
bersembunyi, diikuti kedua kawannya.
.
"Cih... Semakin lama kau semakin congak, anak muda!" seru orang itu.
.
Semua orang memandang ketiga orang yang baru muncul itu. Di lihat dari
P a g e | 568
penampilannya, tentu orang - orang ini dari golongan ahli kanuragan. Apalagi
tadi mereka hampir dapat menyembunyikan keberadaannya.
.
"Kisanak, aku tidak akan mencampuri urusan kalian." seru orang itu, dilayangkan
kepada ki Kala Sargota dan kemudian menunjuk Arya Dipa, " Aku hanya
berurusan dengan pemuda ini !"
.
"Adi, sepertinya kita bertemu musuh masing - masing. Berhati - hatilah." desis
Arya Dipa.
.
Keduanya berjalan menghampiri musuh berbeda. Windujaya berhadapan
dengan perampok telatah Lasem. Sedangkan Arya Dipa menghampiri orang
tua yang ia kenal saat berada di gunung Penanggungan.
.
Di dalam gubuk, orang bercambuk yang menyebut dirinya Jati Pamungkas,
berusaha mengobati tukang satang dari ancaman racun. Serbuk halus dari
dalam kantongnya ia larutkan ke air dan ia tegukan ke mulut tukang satang.
Tidak hanya itu saja, dari bekas tusukan jarum di perut tukang satang, ia gores
dan mengeluarkan darah yang menggumpal itu. Sehabis itu dibersihkan dan
dikasih boreh serta ia balut dengan kain melingkar di perut tukang satang.
.
"Semoga ia cepay siuman... " desis Jati Pamungkas.
tukang satang. Keluarnya darah hitam itu semakin menambah rasa lega di hati
Jati Pamungkas, yang kemudian ia teruskan dengan ucapan syukur kepada
Sang Pencipta.
.
Barulah pikiran Jati Pamungkas tenang, tinggalah kini melihat apa yang terjadi
di luar gubuk. Langkah kakinya bergegas mendekati pintu dan perlahan
tangannya membuka pintu gubuk.
.
Saat Jati Pamungkas melewati pintu gubuk, pertama yang ia lihat ialah
tandang dari pemuda yang membawanya. Pemuda yang tiada bukan adalah
Arya Dipa, berkelahi berhadapan dengan orang tua serta dibantu oleh dua
orang berwajah kembar. Tandang pemuda itu, terlihat pelan dan seperti tidak
bertenaga, namun hal itu tidak membuat pemuda itu mudah dikenai serangan
lawan.
.
"Tata gerak aneh.. " desis Jati Pamungkas.
.
Begitu juga tata gerak yang dilakukan oleh ketiga lawan pemuda tersebut.
Orang tua yang rambutnya mulai memutih itu, kakinya bagai tidak menyentuh
tanah. Loncatan yang menyita banyak tenaga dari orang tua itu, seakan tidak
menguras tenaganya. Bahkan setetes peluh-pun tak terlihat sama sekali.
.
Sementara orang berwajah kembar dipihak orang tua, selalu menutup lubang
dengan kerjasama yang apik. Langkah keduanya ini mengisi serangan
berlainan sisi. Jika yang pertama menyerang kepala, dan orang tua menyerang
perut, si kembar satunya mengincar serangan bagian bawah. Dan jika
sebaliknya.
.
Desak - mendesak, tekan - menekan, serang dibalas bertahan, gempuran
mendapat elakan, gaplokan ke kepala dapat dihindari ataupun serangan
mematikan terus berlanjut semakin seru dan sengit. Itu akan berubah semakin
memuncak dan membahayakan satu dengan lainnya. Dengan alasan dapat
menakhlukan lawan secepatnya.
.
Di sisi lain, Orang bercambuk mengerutkan alisnya, manakala pemuda satunya
berlaku lebih trengginas dan sedikit melepas tenaganya. Pemuda itu
menghadapi empat orang yang dari tata gerak ke- empatnya, memiliki tata
gerak seirama. Dari keempatnya, Jati Pamungkas dapat mengenali siapa
P a g e | 570
mereka. Itu dikarenakan adanya ciri khusus yang terdapat di ikat kepala
mereka, yaitu adanya corak Kala hitam dalam sebuah lingkaran.
.
Sebelum ki Kala Sargota angkat bicara, Orang Bercambuk sudah
mendahuluinya, katanya, "Karenanya aku memohon kepada kisanak, yaitu
sadarkan pengikutmu yang sudah berlaku kurang tata dan senang membuat
susah kepada sesama."
.
"Tobil.. Tobil.. Tobil.. " gumam ki Kala Sargota, "Mulutmu lancang, anak muda.
Hendaknya kau berpikit seribu kali jika harus berurusan dengan gerombolan
Kala Ireng."
.
"Tundukan kepalamu sedalam - dalamnya. Aku jamin kau tidak akan
mengalami rasa sakit saat Malaikat maut menjemputmu !" seru ki Kala Sargota.
Orang Bercambuk tertawa lirih. Meskipun begitu ia telah siap siaga jika lawan
meloncat menyerang. Karena pemuda bertopeng itu yakin kalau orang
setenar ki Kala Sargota, memiliki segudang ilmu. Maka ia tidak memandang
sebelah mata.
.
"He.. Kau masih sempat tertawa, he... !" seru ki Kala Sargota, "Sebutlah bapa
biyung supaya kau tidak menyesal !"
.
Selekas itu pula ki Kala Sargota menyerang dengan melakukan penjajagan
terlebih dahulu. Tangan kanan yang terbuka mengara leher pemuda
bertopeng itu, sedangkan tangan satunya segera menyusul dengan sebatnya.
Dari kedua serangan penjajagan, deru angin sudah terasa mendebarkan, ini
menandakan kalau ki Kala Sargota memang pantas ditempatkan diantara
golongan hitam di bang tengah seperti Singa Lodra dan Lawa Ijo.
"Deessss... !"
.
Pertemuan dua tenaga membuat dua tubuh bergetar dan menyurutkan kaki
keduanya dua tiga langkah. Keduanya sama - sama terkejut atas apa yang
baru terjadi. Bagi ki Kala Sargota, pukulan lawan bagai tusukan welat bambu
menuelusuri urat - uratnya. Sebaliknya dengan apa yang dirasakan oleh Jati
Pamungkas, desir halus membuat tangannya nyeri.
.
Sekali lagi ki Kala Sargota melakukan serangan. Tubuhnya menjejak tanah dan
membumbung ke udara setinggi tiga tombak. Luncuran tubuhnya cepat
dengan kaki gejik sebagai gebrakannya. Tenaganya terpusat di kaki
sepenuhnya untuk membobol pertahanan lawannya yang jauh lebih muda itu.
.
Orang Bercambuk atau Jati Pamungkas tak tinggal diam. Tangannya ia
silangkan di depan dada, untuk melindungi dadanya dari gempuran, tetapi ia
melakukan itu tidak sekedar menyilangkan tangan, melainkan aji Tameng Waja
ikut andil dalam gerakan bertahan. Ini semua ia lakukan karena sudah
mengakui kedahsyatan tenaga ki Kala Sargota.
.
"Deeeesss..... !"
.
Sekali lagi gempuran kembali terulang. Tubuh ki Kala Sargota membal ke udara,
namun kelincahannya membuat tubuhnya berputar diudara dan kemudian
berhasil menginjakan kakinya di tanah. Kaki kananya mengalami kesemutan
dan nyeri.
.
"Benar - benar pemuda pilihan. Gempuranku bagai terhalang kokohnya
karang.... " desis ki Kala Sargota.
.
Di depan Jati Pamungkas tak luput merasakan adanya gumpalan yang
menyumbat rongga dadanya. Secepatnya ia mengatur pernapasannya untuk
membenahi seluruh peredaran darah dalam tubuhnya. Tak terlalu lama
peredaran darahnya kembali seperti sediakala, begitu juga dengan rongga
dadanya semakin lega.
.
"Cukup sudah permainan ini, anak muda. Sekarang sudah waktunya kita
bersungguh - sungguh. Keluarkan seluruh kemampuanmu yang menggetarkan
itu." seru ki Kala Sargota sambil meraih tombaknya.
P a g e | 573
.
Sejenak tombak itu ia putar di depan dadanya. Mata tombak yang berwarna
hitam legam saat diputar dengan cepat, menjadikan kelebatan bayangan
hitam mengerikan.
"Taaaaarrrrrr..... !"
Tidak seperti bunyi pertama yang meledak keras. Lecutan itu pelan saja, tetapi
jantung ki Kala Sargota bagai berhenti tak berdetak.
.
"Bocah setan.... !" umpatnya seraya langsung menyerbu.
.
Di tempat lain pun ketiga lawan Arya Dipa sudah kembali melibas lawan yang
masih muda itu. Dendam lama serta ingin merebut kitab Cakra Paksi Jatayu-lah
yang membuat orang itu gencar melakukan sergapan demi sergapan. Di
bantu oleh dua lelaki kembar serangan ketiganya begitu dahsyat dan
trengginas.
.
"Anak muda. Cepat kau serahkan kitab yang seharusnya menjadi milikku itu !"
seru orang tua itu.
.
Sambil menghindari serangan, Arya Dipa menjawab, "Ki Ajar Lodaya, kau
jangan omong kosong. Sudah jelas kitab itu milik Eyang Resi Gentayu dan
melimpahkan kepadaku.. "
.
"Kau keliru, Anak muda. Resi itu berlaku curang terhadap saudara - saudaranya
dengan memanfaatkan kasih sayang Ayahandanya." bantah ki Ajar Lodaya.
.
"Ceritamu sangat berbeda dari pakem, ki Ajar. Hentikanlah niatmu itu sedini
mungkin. Aku masih menghormatimu yang merupakan kawan dari eyang Ajar
Bajulpati.. "
.
"He.. Lancang kau anak muda. Berani - beraninya kau memanfaatkan nama
besar kakang Ajar Bajulpati !" seru ki Ajar Lodaya, dengan nada agak bergetar.
.
Arya Dipa hanya menarik napas saja, ia lebih dahulu menghindari sergapan
dari salah satu kawan ki Ajar Lodaya. Setelah itu masih melengoskan kepala
dari ancaman tangan kembaran kawan ki Ajar Lodaya. Kedua orang kembar
ini adalah Sepasang Elang dari Penaruakan, yaitu Palguna dan Palgunata.
oleh: Marzuki
..
.
Tangan Palguna terjulur lurus memukul lawan, seraya menyusul tendangan kaki
kanannya. Sementara Palgunata tidak ketinggalan, ia pun melayangkan dua
pukulan sekaligus ke tubuh lawannya. Kerjasama antar dua saudara kembar ini
tak lepas dari mata tajam Arya Dipa, yang menanggapi serangan pertama
dengan mengisar tubuhnya serta membelokan tendangan lawan
menggunakan tangannya. Kemudian pemuda cucu Begawan Jambul Kuning
meloncat ke atas demi menghindari pukulan ganda Palgunata, sembari meraih
pundak lawan untuk menopang tubuhnya yang ia gunakan sebagai
pendorong tubuhnya menjauhi jangkaun serangan susulan lawan.
.
Kelincahan Arya Dipa membuat ki Ajar Lodaya menggeram. Tangannya
mengepal keras seakan ingin meremas tubuh pemuda itu. Sejenak kemudian
kakinya bergeser pelan dan semakin cepat mendekati Arya Dipa.
.
Sebuah tendangan bertenaga mengarah lambung pemuda itu, tapi Arya Dipa
bergegas meliukan tubuhnya ke belakang. Tentu ki Ajar Lodaya tak tinggal
diam, tendangan berikutnya sudah melayang dengan dahsyatnya, juga
disiapkan langkah selanjutnya.
.
Adu siasat perkelahian mulai menyemarakan tepian kali Brantas di pagi hari.
Pukulan, tendangan dan hentakan silih berganti saling dilayangkan ke tubuh
lawan. Juga terlihat tubuh mereka bergulingan, melenting dan meloncat sesuai
irama tempur. Semuanya hanya mempunyai tujuan dapat mengungguli lawan
dengan cepat dan tepat.
.
Namun kadangkala keinginan itu hanya keinginan saja. Karena kenyataan
yang terjadi jauh dari yang diinginkan, malah sebaliknya apa yang didapat
oleh mereka. Begitu juga dengan apa yang dialami oleh Jaladri dan ketiga
kawannya. Windujaya yang hanya sendiri sangat sulit dikuasai, bahkan hanya
untuk menekan saja sulit bukan main.
.
Suatu kali, dua kawan merekalah yang mengalami kesialan terlebih dahulu.
Tendangan beruntun membuat tubuh keduanya terhempas keluar arena.
Meskipun keduanya tidak mengalami luka parah, tetapi muka mereka harus
menahan malu. Apalagi tak jauh dari tempat mereka berjatuhan, ki Kala
P a g e | 576
Mata Jaladri memerah. Otot - ototnya terlihat jelas, menunjukan betapa dirinya
dikuasai hawa amarah. Sebuah tombak pendek sudah tergegam erat di
tangan. Sesaat ia memainkan tombak berlandean pendek itu. Terlihat betapa
tangan itu ahli dan menguasai senjata tombak pendek tersebut.
.
"Hiiiaaat... !" teriak Jaladri sebagai penyemangat melakukan serangan.
.
Ujung tombak bagai patukan ular mencari titik kematian lawan. Bila lawan
menghindar, tangan Jaladri dengan cepat menarik dan terus kembali
mengarahkan kemana lawan bergerak. Sangat lihai dan cekatan olah senjata
dari Jaladri ini, bila lawan kurang cermat dan cepat, pasti tubuh itu akan
berlubang. Dan jika itu terjadi meskipun hanya ujungnya saja, kematian akan
terjadi.
.
Di kalangan dunia kanuragan, gerombolan Kala Ireng tak lepas dari keganasan
racun. Maka patut diwaspadi jika seseorang berhadapan dengan gerombolan
satu ini. Begitu pun dengan senjata Jaladri, ujung tombaknya sudah dilumuri
warangan kuat dan mematikan.
.
"Hm... Tentu ujung tombak ini beracun.." desis Windujaya dalam hati.
.
Tidak ingin dirinya mengalami sesuatu yang merugikan tubuhnya, Windujaya
P a g e | 577
telah mencabut pusakanya, keris kyai Samudro Geni. Seketika disekitar arena
itu mulai terasakan hawa hangat, itu semua karena pamor dari keris kyai
Samudro Geni.
.
Keempat lawannya sejenak meloncat menjaga jarak dan memandang senjata
yang dipegang Windujaya. Tidak sedikit lawannya yang jerih menyaksikan
kehebatan pamor keris itu. Di siang hari walau samar terlihat adanya nyala
samar berwarna mereh menyala.
.
Jaladri menguatkan batinnya. Ia tidak ingin dipengaruhi senjata lawan. Orang
itu beranggapan kalau semua senjata itu tergantung pemiliknya. Meskipun
senjatanya sakti tetapi jika pemiliknya tidak mempunyai ketinggian ilmu, tentu
orang itu tak akan mampu menguasai ketangguhan senjata itu. Sambil
menggeram Jaladri meloncat menusukan tombak pendeknya.
.
"Triiing... "
.
Betapa kagetnya Jaladri, tombaknya mencelat dari genggamannya. Tak
sampai disitu saja, sebuah tendangan menghempaskan tubuhnya jauh.
.
"Taaaarrr... !"
.
"Bajul buntung... !" ki Kala Sargota kembali mengumpat, manakala pundaknya
terkena lecutan Orang Bercambuk.
.
Kain di pundaknya sobek dan merembes darah dari lukanya. Luka itu tidak
membuatnya jera, malah ia mengeraskan tombaknya dan meloncat lebih
oanjang. Tombaknya yang ia lambari ilmu cadangan, mulai bicara lebih nyata.
Mata tombak telah bergerak melebihi senjata wadahnya.
.
"Huh... " desuh Jati Pamungkas, agak lega.
.
Bila kurang cepat menghindar, lambung pemuda itu tentu berlubang sebesar
mata tombak. Karenanya kini ia harus lebih berhati - hati. Meskipun ia
mempunyai penawar racun, tetapi ia berharap tidak menggunakan sama
sekali. Cukup kainnya saja yang berlubang dan untuk itu ia mulai menerapkan
ilmu kebalnya, aji Tameng Waja.
.
Dalam pada itu, ki Kala Sargota yang berhasil merobek kain lambung Orang
Bercambuk, membuatnya bertambah dalam menyarangkan tombaknya ke
tubuh lawan. Aji untuk mendahului wadah mulai ia terapkan sepenuhnya. Ia
berharap lawan belum menyadari sepenuhnya mengenai salah satu
kemampuannya ini.
.
Tombaknya mulai kembali bergerak mematuk, di tarik kembali dan diputar di
atas kepala, lalu kembali meluncur lebih deras. Saat bersamaan Jati
Pamungkas maju ke depan, dan inilah yang diharapkan oleh ki Kala Sargota.
.
"Mampus, kau... !" kata ki Kala Sargota, dengan mata berapi - api.
.
Tetapi saat ilmu yang medukung tombak akan mengenai Orang Bercambuk,
tubuh itu tiba - tiba merendah dengan kaki keduanya menekuk, sehingga
tombak itu melaju terus tanpa mengenai sasaran. Tapi meskipun begitu, ki Kala
Sargota cepat bertindak. Tombaknya lekas ia tarik dan ia gebukan ke kepala
lawan.
.
Betapa seru dan sengitnya pertarungan dua jalur ilmu dengan corak dan tata
gerak penuh kembangan, sesuai berkembangnya si pemilik ilmu itu sendiri.
Tentunya itu hasil dari penyempurnaan yang dilakukan berhari - hari, berbulan -
bulan dan bahkan bertahun - tahun. Dan disinilah keuletan atau ketekunan
dalam lelaku untuk mendekati kesempurnaan ilmu kanuragan akan terbukti.
Serta tidak lupa dan diingkari, pengendalian jiwa untuk berlaku tenang dan
waspada harus dimiliki oleh seorang petarung sejati.
.
Cambuk Jati Pamungkas dengan lecutan sendal pancing selalu membuat
lawannya bergetar. Bunyi yang tidak terlalu keras dan tidak memekakan
telinga, malah berbahaya bagi lawannya. Itu dikarenakan setiap lambaran
tenaga mampu membuat isi dada bergetar hebat seperti di dalam tubuh ada
seseorang yang mengobrak - abrik.
.
"Gila... !" geram ki Kala Sargota sambil membentengi dadanya dari getaran
ilmu lawan.
.
Suatu kali tubuh ki Kala Sargota tiba - tiba melenting jauh ke belakang. Jati
Pamungkas yang mengira lawan terdesak terus saja mengejarnya dengan
melakukan loncatan jauh sambil menggerakan melecutkan cambuknya. Tetapi
baru ditengah jalan, sekonyong - konyong tombak pendek ki Kala Sargota
meluncur deras.
.
Yang membuat takjub dan kaget ialah mengenai jumlah tombak itu sendiri.
Bagai beranak pinak, tombak yang awalnya hanya satu, semakin mendekati
sasaran terus bertambah.
.
"He.. Ilmu apa ini ?!" batin Jati Pamungkas.
Baru pertama kali inilah si orang bercambuk berjumpa dan menghadapi ilmu
aneh yang mampu membuat senjata menjadi lebih dari satu. Meskipun masih
dilanda badai kejut, anak muda perkasa ini mencoba untuk berlaku tenang. Ia
pusatkan mata batinnya untuk mencoba kebenaran dari senjata lawan.
Hasilnya senjata itu terlihat nyata adanya. Karenanya kini yang ia harus lakukan
hanyalah menghadapi senjata itu dengan senjata dan ilmunya saja.
.
Tekad ia pupuk dengan mantab. Tangan memegang cambuk lebih erat. Aji
P a g e | 582
Kala Sargota. Rupanya orang dari telatah Lasem tersebut sempat menghindar
sambil menancapkan tombak ke kali dan berdiri dengan gagahnya.
.
Orang - orang yang menyaksikan banyak yang memuji. Sesudahnya mereka
kembali bertempur lagi menghadapi lawan - lawannya. Kembali perkelahian
seru mewarnai tepian kali Brantas. Panas mentari menjelang siang tak
dihiraukan sama sekali oleh orang - orang ditepian.
.
Sementara itu rasa mengkal yang sangat membuat ki Kala Sargota langsung
mengungkap ilmu pamungkasnya. Ilmu berlandaskan racun sebagi ciri khusus
gerombolan Kala Ireng siap menyeruak dan dipusatkan di tangan kanannya.
Tangan sebatas pergelangan terlihat hitam legam dan berbau anyir.
.
"Pukulan itu.... " desis Jati Pamungkas atau orang bercambuk.
.
Menyaksikan lawan siap mengadu nyawa melalui pukulan mendebarkan, Jati
Pamungkas tak tinggal diam. Pemuda yang masih berdarah bangsawan
Majapahit itu tak ingin tubuhnya dilumat atau pun terhantam racun pada isi
dadanya. Oleh karenanya tubuhnya kembali dibentengi aji Tameng Waja.
Cambuk yang sebelumnya ia pegang langsung ia sampirkan di leher, dan
selanjutnya aji Lebur Saketi yang sudah diramu dengan ilmu inti Windujati siap
meladeni keinginan lawan.
.
Di sisi lain juga terlihat perkelahian yang mendekati puncaknya. Yaitu
perkelahian Arya Dipa dan ki Ajar Lodaya. Sebelumya dua kawan ki Ajar
Lodaya sudah dapat dihentikan Arya Dipa melalui perkelahian yang cepat dan
seru. Kekalahan saudara kembar Palguna dan Palgunata telah membuat
orang dari timur Penarukan itu marah. Aji Gelap Sayuta sudah manjing untuk
melibas pemuda di depannya.
.
Di depan, Arya Dipa menghela napas atas tingkah laku orang tua pemimpin
padepokan Lemah Jenar. Ilmu yang akan diungkap tentu pada akhirnya akan
berakhir dengan menyakitkan, entah itu dirinya atau ki Ajar Lodaya. Tetapi
tiada jalan lain selain mengadu ilmu untuk menghentikan perkelahian yang
mulai dari fajar dan mendekati tengah hari. Terpaksalah aji Niscala Praba
menyeruak melindungi tubuh pemuda itu, serta aji Sepi angin bersumber
kekuatan sang Bayu pun tak ketinggalan diungkap.
.
P a g e | 584
Empat orang linuweh memusatkan nalar dan budi. Berbagai jenis ilmu berbeda
tak lama kemudian menjadikan pinggiran kali Brantas kembali berderak hebat.
Suara dentuman membahana membuat telinga pengang tiada terkira.
Suasana betul - betul memukau dengan adanya sinar berbeda - beda disusul
suara dentuman tadi.
.
Perlindungan Sang Pencipta menaungi Arya Dipa dan Jati Pamungkas.
Meskipun keduanya terlihat pucat sekejap, tetapi segera wajah mereka pulih
seperti sedia kala. Hanyalah kengerian melanda lawan mereka. ki Ajar Lodaya,
dari mulutnya keluar darah segar dan tumbang seketika. Juga dengan ki Kala
Sargota, orang itu awalnya masih dapat berdiri sambil memelototkan matanya,
tangan menunjuk - menunjuk seolah ingin menunjukan kalau lawannya akan
dapat ia binasakan, betapa orang tua ini tak rela jika pemuda bertopeng di
depannya bisa menang melawannya.
tetap tinggal."
.
Sekilas Arya Dipa menoleh ke arah Jati Pamungkas. Senyum di bibirnya
mengembang seraya menggelengkan kepala, "Keinginan kisanak sudah lebih
dari ketamakan. Harta yang kisanak inginkan, haruskan ditambah dengan
kawan ku itu ?"
"Hehehe.. Terima kasih, angger. Meskipun kau menutup wajahmu, aku yakin kau
muri orang bercambuk trah Wilwatikta." desis Begawan Kakrasana.
.
Hati Jati Pamungkas tercekat. Siapa sebenarnya orang tua ini, yang bisa
menebak dengan tepat jati dirinya ?
"Sudahlah, kita dapat berbicara setelah mengurus orang - orang ini. Mudah -
mudahan, rombongan kakang Begawan Bancak dan kakang Resi Puspanaga
cepat datang." lanjut Begawan Kakrasana.
.
Merasa tidak dihiraukan, Raden Sajiwo dan pengiringnya mengkal. Mereka
bagai tidak dipandang sebelah mata. Karenanya, semua orang bergerak
semakin mendekat dan melebarkan barisan, sekan mengepung empat orang
yang berada ditengah.
.
Keadaan mulai hangat. Sepertinya tepian itu sekali lagi akan menjadi saksi
terjadinya perkelahian seru. Tetapi sejenak kemudian, dari atas tanggul muncul
dua pemuda. Tak hanya itu saja, dari arah hilir dua orang tua berjalan dengan
tenangnya.
.
"Bangsat... Siapa mereka ini !" seru Ra Srimpang agak uring - uringan.
.
Belum habis rasa keheranan, dari arah seberang kali seorang lelaki tua berdiri
menaiki pelepah pisang sebagai piranti menyeberangi derasnya aliran kali
Brantas. Sebuah pertunjukan ilmu tingkat tinggi membuat beberapa orang
menganga.
.
"Guru... " desis Raden Sanjaya lirih, mengenali orang yang berdiri diatas pelepah
pisang.
"Maafkan atas kelancangan kami yang berani mengusik tepian ini, tuan."
bangsawan itu mencoba mengambil hati.
.
"Kedatangan kami ke sini hanyalah diutus oleh pewaris Wilwatikta." sambung
Raden Sajiwo.
.
Tawa gemuruh keluar dari mulut orang tua itu, "Hohoho.... Sungguh sebuah
karunia yang tak terkira. Aku seorang tua yang kerjanya hanya mencari ikan di
kali Brantas, mendapat kehormatan dari utusan Wilwatikta."
.
Sesaat orang tua itu terdiam dan memejamkan mata. Kemudian membuka
matanya dan memandang ke arah Raden Sajiwo, tetapi diteruskan kepada
pemuda dibelakang. Saat itulah pandangan orang tua itu berbenturan
dengan Raden Sanjaya, entah bagaimana Raden Sanjaya langsung
menunduk.
.
"Utusan Wilwatikta.. He.. ! Cucunda Trenggono kah maksud, angger ?" seru
orang tua itu.
.
Demi disebutnya nama Sultan Demak, hati Raden Sajiwo dan orang - orangnya
gelisah. Tetapi saat menyadari kalau jumlah mereka memadai, rasa gelisah itu
segera mereka singkirkan. Raden Sajiwo sebagai pemimpin langsung memberi
penjelasan.
.
"Tuan, sebelumnya kami ingin memastikan kebenaran dari diri tuan dahulu."
.
"Hm... " dengus orang itu.
.
"Banyak kabar burung mengatakan, tepian kali Brantas khususnya disekitar sini
dijaga oleh seorang tua yang bergelar Panembahan Anom. Dan menurut
cirinya sangat sesuai dengan tuan ini. Jika memang tuanlah yang bergelar
Panembahan Anom, mohon kiranya menyerahkan sisa buah Maja kepada
kami." ucap Raden Sajiwo.
.
"Ah... Angger terlalu berlebihan. Memang akulah yang dipanggil Anom, tetapi
satu dua orang menambahi dengan gelar Panembahan." kata orang tua itu,
P a g e | 590
Ismaya, orang tua itu mempercayai diriku sepenuhnya. Ketiga eyang Begawan
Kakrasana, seorang yang selalu membuatku tersenyum meskipun tingkahnya
bisa dibilang aneh. Dan yang terakhir seorang yang sangat aku rindukan sejak
lama, ialah eyang Jambul Kuning atau eyang Bancak."
.
Satu persatu sejak nama - nama itu disebut, berbagai tanggapan dan kesan
hinggap dihati semua yang hadir ditepian kali Brantas. Siapa yang tidak kenal
nama besar Resi Puspanaga dari gunung Penanggungan ? Disusul nama besar
seorang Panembahan Ismaya dari bang tengah, lalu dua begawan
bersaudara dari jalur Cakra Ningrat. Ada yang kagum, dan ada juga yang
menganggap kalau pemuda itu hanya membual.
.
Sementara Panembahan Anom tidak langsung memberi tanggapan. Ia
mencoba mencari kepastian dengan benar. Karenanya ia bertanya.
"Bila ucapanmu itu benar adanya, bagaimana kau membuktikannya, ngger ?"
.
Tepat apa yang di dalam benak dan pikiran Arya Dipa. Pasti orang tua itu akan
meminta penjelasan setiap ucapannya. Tentu saja Arya Dipa sudah
mempersiapkan dengan sebaiknya.
.
Sebuah gerak dasar langsung diperagakan oleh Arya Dipa. Sebuah tata gerak
dari jalur Penanggungan. Apa yang diperlihatkan oleh Arya Dipa, membuat
Resi Puspanaga heran sekaligus bangga. Dirinya saat melatih pemuda itu,
hanya memberikan ilmu pernapasan dan sedikit gerak dasar saja, dan
seterusnya hanyalah membimbing ilmu dari kitab Cakra Paksi Jatayu.
Sedangkan bagi Panembahan Anom, gerakan itu ia kenal dari Penanggungan
adanya, sehingga ia pun percaya dan menghentikan Arya Dipa.
.
"Cukup, angger. Selanjutnya mengenai Panembahan Ismaya."
.
Selesai mengatur pernapasan, Arya Dipa mendekati panembahan Anom dan
berhenti dua tindak di depannya. Ia merendahkan diri dan mengguratkan
tangan ke tanah.
.
Sekali lagi Panembahan Anom terkejut. Guratan itu memang ciri dari
Panembahan Ismaya atau Raden Buntara. Dibimbingnya pemuda itu untuk
berdiri.
P a g e | 592
.
"Sudah angger, untuk ketiga dan keempat aku juga percaya." ucap
Panembahan Anom, "Sekarang aku akan bertanya kepadamu, yaitu apakah
kau juga menginginkan sisa buah Maja ?"
.
Terlihat Arya Dipa menggeleng. Gelengan itu membuat orang - orang di pihak
Raden Sajiwo langsung ceria. Sebaliknya rasa kejut menghampiri orang - orang
di pihak Begawan Jambul Kuning.
eyang pernah mengguratkan kalau pusaka itu akan berjodoh dengan orang
yang akan menemukan selongsong yang terbuat dari pendok emas dengan
tanda Surya Kencana."
.
"He.... " seluruh orang terkejut.
.
Anggukan dan senyum menyeruak mewarnai wajah Panembahan Anom.
Dirinya pun tak mengira jika benda yang ia sembunyikan, mampu ditemukan
oleh pemuda di depannya ini. Selain itu ia merasa bersyukur, untunglah benda
itu tidak ditemukan oleh murid yang telah menghianatinya dan sekarang ada
di tepian itu juga.
.
"Bagus anak muda !" seru Panembahan Anom, lalu orang tua itu membalikan
badan menghadap kelompok Raden Sajiwo dan Raden Sanjaya, "Tuan semua
sudah mendengarkan dengan telinga secara langsung. Aku mempercayakan
sisa buah Maja kepada pemuda dibelakangku !"
.
"Guru.... !" seru Raden Sanjaya tanpa sadar, sehingga membuat orang heran
dan terkejut.
.
"Kau masih berani mengaku aku sebagai gurumu, Sanjaya ?!" seru
Panembahan Anom, "Setelah kau ingin mengeroyoku dengan orang - orang
dibelakangmu itu !"
Mendapati dirinya sudah tidak dihiraukan gurunya, tiba - tiba Raden Sanjaya
tertawa terbahak - bahak. Tawa itu bagai mengandung bermacam makna.
Tetapi bagi Panembahan Anom yang tak lain guru yang dikhianati oleh Raden
Sanjaya, tawa itu merupakan kepastian kalau muridnya memang benar - benar
manusia serakah.
.
"Tertawalah, jika itu membuatmu merasa ringan untuk berhadapan dengaku."
kata Panembahan Anom.
.
Raden Sanjaya melangkah ke depan, tetapi saat melewati Raden Sajiwo ia
membisiki bangsawan dari Kadiri itu, "Saatnya kita mulai, paman. Kita menang
jumlah."
.
"Hm... " sahut Raden Sajiwo sambil mengisyaratkan untuk mulai bergerak.
P a g e | 594
.
Aba - aba dari Raden Sajiwo langsung menggerakan kelompoknya untuk
menghabisi lawan - lawan mereka. Tepian kali Brantas mendekati senja hari
terasa menegangkan penuh ancaman. Bagai sudah ditetapkan, masing -
masing mencari lawannya dengan tataran yang hampir seimbang. Sisanya
harus berhadapan lebih dari satu atau dua orang.
.
Raden Sajiwo sendiri langsung berhadapan dengan Resi Puspanaga.
sementara Begawan Jambul Kuning atau Raden Bancak telah mendapat
lawan tangguh dari paman Raden Sajiwo. Begawan Kakrasana dihadapi tiga
orang yaitu, ki Widarba, ki Pandak Wengker dan Gonggang Keling. Lalu Jati
Pamungkas menghadapi ki Sardulo Liwung yang bercirikan pakaian dari kulit
macan. Selanjutnya Windujaya menghadapi seorang berbadan tambun, Ra
Srimpang. Sepasang garuda dari Penanggungan, Palon dan Sabdho dihadang
oleh sepasang naga dari gunung Welirang, Jayakusuma dan Nila Gandasari.
Sementara Arya Dipa sendiri harus melawan Duaji dan Bangau Banaran.
.
Perkelahian seru dan sengit mulai mewarnai tepian kali Brantas. Di balik
gerumbul, orang - orang yang juga mengincar pusaka dan harta peninggalan
Majapahit, tetapi hanya mempunyai kemampuan rendah, cuma melihat saja
tanpa berani ikut campur. Bagi mereka, kekuatan orang - orang di tepian
bagai raksasa saja. Jika mereka ikut terjun, kemungkinan diri mereka akan
hanyut bagai debu dihembus angin prahara.
Duaji tanpa memberi peringatan, langsung saja melakukan tebasan ganas. Bila
yang dihadapi tidak memiliki pranggaita yang bagus, mungkin tubuhnya akan
tertebas. Tetapi tidaklah dengan Arya Dipa, kesiur angin menyadarkan kalau
ancaman maut mengarah dirinya, untuk itu ia meliukan tubuhnya seraya
tangan meloloskan kyai Jatayu dari pinggangnya.
.
Belum lagi Arya Dipa akan melakukan serangan balik, Bangau Banaran sudah
menyodokan ruyungnya. Sodokan itu bukan olah - olah dahsyatnya. Kesiur
angin yang ditimbulkan sangat kentara dan membahayakan. Untuk
meentahkannya, tiada lain bagi Arya Dipa kecuali menggunakan bilah daun
pedangnya yang tipis itu.
.
Dengungan lebah bagai menyeruak dari sarangnya, ketika pertemuan ruyung
milik Bangau Banaran dan pedang kyai Jatayu milik Arya Dipa. Tak hanya itu
saja, getaran merambat membuat tangan terasa diselomoti api, panas. Itulah
yang dirasakan oleh keduanya, selain kaki pijakan mereka pun bergeser dari
tempatnya.
.
Di kala Bangau Banaran masih terkejut atas akibat benturan senjata tadi, Duaji
dengan sebat kembali melakukan tebasan dan tusukan ke tubuh lawannya. Ini
sudah diwaspadai oleh lawannya, yang kemudian menghadapi dengan
permainan olah pedang. Tak pelak adu ilmu senjata mewarnai perkelahian itu.
.
Denting pedang mulai memeriahkan tepian kali Brantas, apalagi ditambah
percikan api disaat kedua senjata itu bergesekan. Tusukan dihindari seraya
meliukan pedang dengan gencar oleh keduanya. Ditambah kelihaian tangan
Bangau Banaran yang mempermainkan ruyungnya. Bertambah seru dan
sengitlah perkelahian itu.
.
Di sisi yang lain, Perpaduan serasi terjadi antara Palon dan Sabdho melawan
Jayakusuma dan Nila Gandasari. Sepasang garuda mengepakan sayap
menghindari juluran dahsyat dua ekor naga ganas. Naga jantan dan betina
mendesis - desis seraya mengibaskan ekornya menghantam garuda, tetapi
garuda itu langsung membumbung tinggi agar tak terhindar, lalu menukik
dengan cepat sambil melakukan serangan berbeda, yaitu satu menggunakan
cakar, dan satunya mematuk ke arah mata sepasang naga. Tentu saja
P a g e | 597
"Mampus kau, anak setan !" seru Ra Srimpang, yang yakin akan dapat
membanting tubuh lawannya itu.
.
Sementara itu, Windujaya yang kelihatannya dalam kesulitan masih bisa
memutar otaknya. Sebuah gerakan tanpa disadari oleh lawan, dapat ia
lakukan dengan cepat, sehingga bisa meloloskan dirinya dari cengkraman
lawan. Bukan itu saja, dikala tubuhnya lepas, sebuah sepakan mampu ia
lesakan menghantam dada lawannya. Tetapi lawannya juga berhasil memukul
pundaknya. Tak ayal, keduanya sama - sama mengalami nyeri dimasing -
P a g e | 599
Raden Sajiwo memang sebat, begitu sodokannya dapat ditahan oleh lawan
dan lawan membalas serangan, secepatnya ia melentingkan tubuhnya ke
atas.
.
Tentu saja Jati Pamungkas tidak tinggal diam. Dirinya langsung mengejar lawan
yang masih di udara. Tak ayal, terjadilah adu gaplokan dahsyat di udara.
Akibatnya, udara disekitar bagai kena aduk tenaga raksasa. Dan keduanya
sama - sama merasakan kesemutan pada tangan mereka.
.
Dengus dan desuh saling dilakukan atas kejadian yang tak terduga itu.
Walaupun pada akhirnya, perkelahian itu harus dilanjutkan kembali sampai
tuntas.
.
Putaran tubuh kini muncul seiring adanya serangan kilat dari Raden Sajiwo.
Serangan ganda yang disamarkan oleh tipuan - tipuan tata gerak penuh
kembangan bagai munculnya air sumber, terus dilakukan oleh bangsawan
Kadiri itu. Sungguh pengalaman orang itu sangatlah bertumpuk - tumpuk
adanya, karenanya tindakan ini akan diterapkan demi mengungguli lawannya
yang juga tangguh dan tanggon.
.
Apa yang dihadapi saat ini, merupakan sebuah pelajaran yang langsung
dipecahkan secara cepat dan tepat oleh Jati Pamungkas. Dirinya juga
bukanlah seorang pemula dalam dunia kanuragan. Sebab daripada itu, semua
yang pernah dipelajari dari kakek sekaligus gurunya, serta beberapa tata gerak
yang ia peroleh dari orang lain atau pun alam, ia terapkan sesuai keadaan
waktu itu.
.
Serulah jadinya perkelahian yang masih menggunakan tangan kosong
tersebut. Pastinya lambaran tenaga cadangan ikut andil demi berusaha
menekan atau mendesak lawan. Selain itu, kewaspadaan terus ditingkatkan
setinggi - tingginya agar tak menyesal di akhir.
.
Bergeser dari kalangan Jati Pamungkas, ada kemelut melanda Panembahan
Anom. Dirinya tak menyangka kalau harus menghadapi muridnya sendiri.
Sebagai seorang guru, rasa tak enak pasti ada padanya saat mengadu
keuletan olah kanuragan. Dan saat ini benar - benar adanya, bukan latihan
atau penjajagan untuk sekedar melakukan penilikan kemampuan muridnya.
P a g e | 601
Bila hati Panembahan Anom masih terkungkung oleh keraguan, berbeda jauh
apa yang dirasakan oleh Raden Sanjaya. Diakui kalau yang dihadapi adalah
gurunya, tetapi demi mendapatkan pusakan dan harta peninggalan
Wilwatikta, baginya haruslah menyingkirkan gurunya itu. Dengan landasan
mantab, ilmu yang ia peroleh dari gurunya itu akan menjadi bekal untuk
menghadapinya. Selain itu, sebenarnya ia juga mempunyai simpanan bekal
olah kanuragan dari jalur berbeda.
.
Hal itu terbukti seiring dengan berjalannya waktu. Ilmu tata gerak yang awalnya
dapat dikenali oleh Panembahan Anom, mulai berubah sedikit demi sedikit.
Perubahan itu membuat Panembahan Anom mengernyitkan kedua alisnya.
Tetapi orang tua itu cepatlah sadar dan hanya menyesali atas
kecerobohannya yang mana dirinya dapat dikelabui oleh anak itu.
.
"Hm.... Tak kusangka kalau kau juga mempelajari jalur Sungsang Bawono,
Sanjaya !" ucap Panembahan Anom.
.
Tanpa malu - malu, Raden Sanjaya tersenyum sambil menjawab, "Bila guru
menyadarinya, sebaiknya guru menghentikan permainan ini dan bekerjasama
denganku."
.
Ucapan kurang ajar itu tanpa sengaja dapat didengarkan oleh Begawan
Kakrasana yang menghadapi terjangan tiga lawannya. Sambil menghalau
lawan - lawannya, ia menanggapi ucapan Raden Sanjaya itu.
.
"Kakang Mapanji, Bagaimana bisa kakang menerima murid durhaka seperti itu
?" seru Begawan Kakrasana, "Apalagi dia dari kalangan Sungsang Bawono.
Ah... Kau kecolongan telak, kakang."
.
Apa yang dikatakan oleh Begawan Kakrasana yang dikenal Panemban Anom
sebagai Raden Branjang Mas, benar adanya. Dirinya memang benar - benar
kecolongan. Ini dikarenakan kalau Sungsang Bawono merupakan musuh
bebuyutan dari jalur perguruannya. Karena, tindakan - tindakan perguruan
Sungsang Bawono selalu membuat ulah merusak paugeran.
"Ini merupakan kesalahan yang harus aku tebus dengan melenyapkan ilmu
perguruan Argasti dari tubuhmu, Sanjaya." kata Panembahan Anom, sambil
menggerakan telapak tangannya.
P a g e | 602
.
Karena sebagian jati dirinya sudah terkuak, Raden Sanjaya tak membiarkan
telapak tangan orang tua itu mengenai tubuhnya. Untuk itu ia mengisar kakinya
menjauhi terjangan telapak tangan Panembahan Anom. Meskipun begitu,
desiran tajam sempat menyerempet pundaknya hingga ia sempoyongan
jadinya.
.
"Hm... Tenaga guru memang dahsyat. Apalagi jika ia mengeluarkan pukulan
Kumayan Jati... " batin Raden Sanjaya dalam hati.
.
Keadaan itu tidak terlalu lama, karena Panembahan Anom sudah
mengejarnya sembari melakukan pukulan ganda. Bergegaslah Raden Sanjaya
melayani dengan cara yang sama. Akibatnya, dua pasang tangan saling
bertemu membuat udara menggelegak.
.
Cepat terjadinya, di mana kaki Raden Sanjaya bergeser dua langkah ke
belakang. Sementara tidaklah bagi Panembahan Anom atau Raden Kuda
Mapanji. Melihat kalau muridnya hanya bergeser dua langkah, rasa kagum tak
pelak menusuk hati sang guru. Bergegas ia kesampingkan rasa kagum itu,
digantilah kemantaban hati untuk memberi pelajaran bagi sang murid yang
durhaka. Maka kembalilah adu kanuragan semakin hebat, cepat, tangkas dan
seru.
Anom terbuka jelas sampai ke hatinya, bahwasanya sang murid betul - betul
berbuat durhaka sepenuhnya.
.
Kejadian selanjutnya benar - benar permainan indah cara bertahan yang
diterapkan oleh putra mendiang Patih Udara tersebut. Tepat saat kaki Raden
Sanjaya kurang dari seruas jari, kedua tangan Panembahan Anom secepat kilat
menangkap dan memutarnya layaknya baling - baling. Tak hanya berhenti
disitu saja, ada senggang waktu dimana putaran itu berhenti sekejap, seketika
tubuh Raden Sanjaya dilontarkan ke udara.
.
Bagi Raden Sanjaya, dikala tubuhnya dilontarkan, ia menganggapnya hal
sepele saja. Tapi betapa terkejutnya, begitu sesosok tubuh sudah di atasnya
dan memukulnya dengan menggunakan kepalan tangan. Tak sempat
pemuda itu menghindari amukan dari Panembahan Anom. Tubuhnya seketika
meluncur bebas dan akan menimpa bumi berpasir.
.
"Mati aku..... !" keluh Raden Sanjaya.
.
"Babo.. Babo... " celetuk seorang tua yang tubuhnya bagai terbang dan
menyambar tubuh Raden Sanjaya.
.
Selamatlah Raden Sanjaya dari celaka yang hampir saja melukai tubuhnya. Itu
semua berkat adanya seorang kakek yang berhasil menyelamatkan dirinya.
Sesosok kakek berbadan tegap bercirikan hidung mancung layaknya burung
kakatua, serta rambut, kumis, dan jenggot sudah memutih. Dan orang itu
menempatkan Raden Sanjaya untuk berdiri kembali dengan kedua kakinya
.
Kemunculan orang itu telah memicu adanya penasaran dari Panembahan
Anom. Karenanya ia lebih bersungguh - sungguh memperhatikan raut wajah
orang itu. Kecurigaannya semakin menjadi - jadi manakala muridnya begitu
menghormati orang itu. Syah wasangka yang lamat - lamat akhirnya menemui
tujuan kalau dirinya pun, juga mengenalinya.
.
Bibir Panembahan Anom sudah akan mulai mengucap, tetapi kalah cepat dari
orang tua yang menyelamatkan Raden Sanjaya.
"Ternyata dunia ini yang katanya sangat luas, hanyalah selebar daun kelor
saja." ucap orang tua itu, lalu, "Kuda Mapanji, marilah kita lanjutkan permainan
P a g e | 604
ini !"
.
Panembahan Anom atau Kuda Mapanji, mendesuh dan bergumam, "Hm...
Semakin nyata kalau semua dibalik kabut dialah dalangnya."
.
"Babo.. Babo... " ucap orang tua itu, "Mengapa kau bergumam diantara
banyaknya orang ini, Mapanji ?"
.
Sebelum menjawab, Panembahan Anom memperhatikan sekelilingnya. Tepian
kali Brantas bagai medan perang saja. Orang - orang bertarung satu dengan
lainnya dengan serunya. Bahkan tetesan darah sudah mulai membasahi tepian
kali Brantas. Tatapan matanya terhenti tepat disosok tubuh yang berdiri
meregangkan kakinya.
.
"Anak muda itu sudah mengalahkan lawannya." batin Panembahan Anom, lalu
menatap kedua tubuh yang menelungkup, "Apakah kedua lawannya itu mati
?"
.
Karena dirnya tidak dihiraukan oleh Panembahan Anom, orang tua di samping
Raden Sanjaya mengepalkan tangannya. Dirinya siap menerjang orang yang
ia anggap sebagai musuhnya. Namun langkahnya ia urungkan, dikarenakan
seorang pemuda menghampiri Panembahan Anom.
.
Rupanya pemuda itu adalah Arya Dipa, yang berhasil menundukan lawannya
tanpa harus melayangkan nyawa Bangau Banaran dan Duaji. Dirinya yang
sudah tak terikat dengan lawan, mencoba melihat disekitarnya. Lalu terlihatlah
tiga orang tanpa adanya perkelahian mengikat ketiganya. Maka ia pun
memutuskan menghampiri Panembahan Anom dan Raden Sanjaya serta
orang tua yang belum ia kenal.
.
"Kau tak apa - apa, ngger ?" tanya Panembahan Anom.
.
"Tidak kurang suatu apapun, eyang." jawab Arya Dipa.
.
"Hoe... " bentak orang tua di samping Raden Sanjaya, marah.
Arya Dipa.
.
"Semprul.... " umpat orang tua di samping Raden Sanjaya, kesal.
.
Tapi, Panembahan Anom tertawa renyah sembari berkata kepada Arya Dipa,
"Angger, orang tua itulah kawanku berdebatku dikala muda. Setelah tua, ia
dikenal dengan ki Ageng Sungsang Bawono. Benar bukan ki Ageng ?"
.
Bagi Arya Dipa disebutnya gelar itu, tidak terlalu ia kenal. Namun dari tajamnya
mata orang yang bergelar ki Ageng Sungsang Bawono, dirinya harus waspada.
Tentu orang itu merupakan seorang yang penuh ilmu kanuragan yang
tersimpan dalam tubuh tegap itu.
.
"Sudahlah, Mapanji. Sudah saatnya kita tuntaskan permasalahan yang sudah
berlarut - larut ini." kata ki Ageng Sungsang Bawono, lalu ucapnya kepada
Raden Sanjaya, "Tangani anak muda itu."
.
"Baik, guru." sahut Raden Sanjaya.
.
Jelaslah sudah. Ternyata orang tua itu merupakan guru sesungguhnya bagi
Raden Sanjaya. Dan orang itu juga yang menyuruh muridnya untuk berguru
kepada Panembahan Anom. Maksudnya hanyalah mencari atau mencuri
pusaka dan harta peninggalan Wilwatikta. Orang tua itulah yang dikenal
dengan gelar ki Ageng Sungsang Bawono, menggantikan pendiri perguruan
Sungsang Bawono di jaman Wilwatikta di masa Prabu Brawijaya Pamungkas.
.
Kaki - kaki melenting layaknya belalang, mengejar atau pun menghindari
sergapan lawan. Meluncur dari satu tempat ke tempat lainnya, sembari
melayangkan serangan ke titik terlemah lawan. Hebat dan tangkas kedua
pemuda itu. Meskipun peluh sudah membasah, tak nampak kalau rasa lelah
menghinggapi wajah - wajah pemuda itu.
.
Suatu kali, Raden Sanjaya melenting ke belakang untuk memancing lawannya.
Dan gayung pun bersambut, Arya Dipa mengejar langkah dan memasuki
perangkap Raden Sanjaya. Rasa girang demi melihat lawannya masuk dalam
perangkap yang ia buat, langsung dipergunakan dengan sebaik - baiknya.
Tubuh Arya Dipa yang masih di udara, segera mendapat serangan tidak
terduga dari Raden Sanjaya. Sebuah gerakan cepat diperagakan oleh putra
Pangeran Singasari, melalui gerakan kaki menghadap ke atas, di mana tepat
tubuh Arya Dipa berada.
.
"Buuukk..... !"
.
Tubuh Arya Dipa terhempas jadinya. Walau dirinya dapat dikenai kaki lawan
dan terhempas, kesadarannya segera mencoba agar tubuhnya tidak
terhempas begitu saja. Dengan gerakan indah, tubuh itu memutar dua kali dan
ketika mendekati tanah, kedua tangan ia gunakan untuk menotol dan
melontarkan tubuhnya ke udara. Tak hanya itu saja, tubuh itu berputaran dan
dengan cepat meluncur menggebrak Raden Sanjaya.
.
"Dessss.... !"
.
Kaki Arya Dipa membentur pertahanan kedua tangan Raden Sanjaya yang
disilangkan di depan dada. Akibatnya, Arya Dipa membal kembali dan berhasil
mendarat dengan kedua kakinya. Sementara Raden Sanjaya terdorong empat
langkah ke belakang.
.
"Hm... Meskipun ia dapat kukenai dengan tipuan seranganku, ia dapat
membalikan serangan secara tak terduga." batin Raden Sanjaya, "Ternyata
tidak hanya orang bercambuk saja, ia juga merupakan salah satu yang harus
diperhitungkan di masa yang akan datang.
.
P a g e | 608
Terdiamnya Raden Sanjaya, tak lepas dari pantauan gurunya. Orang tua itu
tadi juga sempat memperhatikan bagaimana muridnya dapat diimbangi oleh
seorang pemuda yang menjadi lawannya.
.
"Murid siapa pemuda itu ?" tanya ki Ageng Sungsang Bawono dalam hati.
.
"Apa yang kau pikirkan, ki Ageng ?" tanya Panembahan Anom, sambil terus
melakukan serangan.
.
Tapi pertanyaan itu, ia jawab sendiri, "Hm.. Aku rasa kau memikirkan siapa
lawan muridmu itu. Benarkan ?"
.
Hanya geraman dan balasan serangan saja yang tunjukan oleh ki Ageng
Sunggsang Bawono. Meskipun apa yang diucapkan oleh Panembahan Anom
benar adanya, tetapi ia terlalu tinggi hati untuk mengiyakan. Lebih baik dirinya
diam dan memusatkan kemampuannya untuk melumatkan musuhnya itu.
Karena bagi seorang yang tuntas dalam ilmu kanuragan, senjata yang paling
ampuh ialah berupa anggota tubuh mereka disertai akal semata. Inilah yang
menjadikan ki Ageng Sungsang Bawono dan Panembahan Anom lebih
trengginas dan ngedab - ngedabi.
.
Serangkum angin tajam menyeruak manakala kain panjang ki Ageng Sungsang
Bawono, dikebatkan. Sementara Panembahan Anom untuk mementahkan
serangkum angin tersebut, berusaha memusatkan tenaga pukulan
ditangannya. Sebuah penerapan aji Kumayan Jati menghamburkan angin dari
kibasan pakaian ki Ageng Sungsang Bawono.
.
"Babo.. Babo... " desis ki Ageng Sungsang Bawono.
.
Orang ini tidak tinggal diam atas dimentahkan serangannya. Tiba - tiba tubuh
berbadan tinggi tegap itu melenting ke belakang dan saat ujung kakinya
menyentuh tanah, kembali tubuh itu melenting tinggi. Namun yang
mengejutkan ialah saat tubuh itu di udara, bagai memecah diri menjadikan ki
Ageng Sungsang Bawono menjadi dua.
.
"Kakang Pambareb Adi Wuragil... " desis Panembahan Anom, sembari
menghindari salah satu gempuran dari tubuh ki Ageng Sungsang Bawono.
.
Terpaksa tubuh Panembahan Anom menggelinding di tepian kali Brantas dan
setelah yakin tiada ancaman, tubuh itu melenting berdiri kembali. Baru saja
bernapas sesaat, dua serangan dari dua sisi kembali mencecar lebih hebat.
Untunglah Panembahan Anom dapat menghindarinya meskipun agak
kerepotan juga. Bagaimana tidak repot, dua sosok ki Ageng Sungsang Bawono
yang memiliki persamaan kekuatan dan kemampun sangatlah menyita banyak
tenaga.
.
"Kali ini aku tidak akan melepaskan dirimu lagi, Mapanji !" seru ki Ageng
Sungsang Bawono.
.
"Kalau begitu, akulah yang akan mencobanya, ki Ageng." sahut Panembahan
Anom.
.
Selepas dirinya berkata, Panembahan Anom meningkatkan ilmunya selapis
lebih tinggi. Layaknya danau yang tenang, tiba - tiba riak kecil berubah
P a g e | 610
Terlihat sebuah rantai sepanjang dua depa merentang dari ujung satu ke ujung
lainnya. Inilah senjata andalan dari ki Ageng Sungsang Bawono. Sangat jarang
ia menggunakan senjata itu, jika keadaan benar - benar membuatnya marah.
.
Di depan, Panembahan Anom mendesuh perlahan. Ia menyadari kalau lawan
mulai memuncak kemarahannya. Maka bagi dia pun harus siap dan karena tak
ingin dirinya celaka, maka ia pun mengurai senjata dibalik pakaiannya. Kyai
Samber Geni sebuah nama diperuntukan untuk pecut yang ia terima dari
gurunya dahulu, ia tempelkan didahi dan ia lecutkan
.
"Taarrrrrrr.... !"
.
Lecutan itu menimbulkan suara keras menghentak. Membuat semua orang
tercuri perhatiannya dan mencoba melihatnya.
.
"He... Orang itu juga bercambuk !" seru sebagian orang.
.
Sementara Jati Anom sendiri, mencuatkan alisnya. Meskipun akhirnya ada
perbedaan antara senjatanya dan senjata dalam genggaman Panembahan
Anom. Bila senjatanya terbuat dari urat binatang dan panjang serta diujungnya
ada rumbai besi, sedangkan milik Panembahan Anom hanyalan sepanjang
tangan orang dewasa dan terbuat dari kulit kayu yang tumbuhan di luar pulau
Jawa.
.
"Semakin menarik... " desis pemuda itu.
.
"He.. Lawanlah aku, jika kau tak ingin lepas kepalamu dari leher !" seru Raden
Sajiwo terhadap Jati Anom.
.
"Hm... Baik, kisanak. " ucap Jati Pamungkas dan juga mengurai cambuknya.
.
Seperti tindakan Panembahan Anom, Jati Pamungkas juga melecutkan
P a g e | 611
ilmu yang mantab, menjadikan perkelahian itu semakin seru dan sengit. Lincah,
tangkas, trengginas dan kemampuan mendebarkan mengoyak udara disekitar
keduanya. Angin pun terasa tajam apabila mengenai kulit keduanya.
.
Suatu kali, disaat Raden Sajiwo menggoreskan kyai Jalak ke lengan Jati
Pamungkas, keduanya sama - sama terkejut. Menurut penglihatan Raden
Sajiwo, kerisnya sudah mengenai lengan lawannya, tetapi yang dirasakan
olehnya bagai menyayat lempengan besi saja. Sebaliknya dengan Jati
Pamungkas, meskipun ia sudah membentengi tubuhnya dengan aji Tameng
Waja, keris itu mampu mengoyak selapis ilmunya.
.
"Rupanya ia memiliki Tameng Waja... " batin Raden Sajiwo.
.
Sedangkan batin Jati Pamungkas, "Benar - benar hebat keris dan lambaran ilmu
orang ini.. "
.
Tak menyiakan waktu luang, Raden Sajiwo kembali meloncat ke udara dengan
derasnya. Tentu saja Jati Pamungkas langsung menggerakan cambuknya.
Rupanya, Raden Sajiwo sangat tajam mata dan akalnya. Datangnya ujung
cambuk ia hadapi menggunakan tajamnya keris kyai Jalak, maksudnya ialah
akan memapasnya.
.
"Haiiitt... " desuh Raden Sajiwo, saat ia tak berhasil memapas ujung cambuk itu.
itu terjadi, saat lambung Jati Pamungkas hampir terkena sayatan, tiba - tiba
saja orang bercambuk itu menggenjot kakinya melewati tubuh Raden Sajiwo.
Bersamaan dengan tubuhnya masih melayang, cambuknya langsung melecut
punggung Raden Sajiwo.
.
Rasa nyeri merambat di punggung Raden Sajiwo. Pakaian dan kulit punggung
terkoyak dengan darah mulai membasahi. Kekalahan itu membuat Raden
Sajiwo marah bukan main. Layaknya endapan lumpur membara di perut bumi,
bila lumpur itu terus tersulut pijaran inti bumi, maka akan timbul cekungan tanah
untuk jalan memuntahkan endapan itu ke permukaan. Maka ledakan besar
melanda bumi disekitarnya. Begitu juga dengan Raden Sajiwo, ilmunya mulai
menyeruak ke permukaan.
.
Keris di tangannya terlihat berpijar diambang petang itu. ilmu Guntur Geni
sebagai lambaran serangan akan ia lontarkan melalui ujung keris kyai Jalak.
Dan benar saja, tanpa berlama - lama pijaran api terlontar deras menghujam
orang bercambuk.
.
"Byaaar... Byaaaar... Byaaar... !"
.
Tiga kali lontaran aji Guntur Geni lepas ke arah dimana Jati Pamungkas
berpijak. Untunglah pemuda yang menggunakan topeng itu cepat
menghindar dengan melompat sampai tiga kali. Dan yang terakhir ia
melompat agak jauh agar ia dapat membalas serangan itu.
.
Tapi, baru saja ia memijakan kakinya, pijaran api sudah mengancamnya lagi.
Terpaksalah ia melontarkan dirinya rata dengan tanah dan bergulingan
beberapa kali, lalu melenting tepat dibelakang pohon. Dan saatnya ia mulai
membalas lontaran ilmu lawan.
.
Aji Lebur Saketi menyeruak menghantam Raden Sajiwo. Kini giliran bangsawan
itu menghindari dengan melentingkan tubuhnya jauh - jauh.
.
"Kita sudahi permainan ini, orang bercambuk. Marilah kita tuntaskan
menggunakan senjata kita !" seru Raden Sajiwo.
.
"Baik, kisanak !" sahut Jati Pamungkas.
P a g e | 614
Sehabis itu, cambuk mulai digerakan oleh Jati Pamungkas. Diawali tegapnya
kaki, kemudian mulai bergerak berupa kaki kanan mundur agak ditekuk.
Sedangkan tangan kanan memegang erat pangkal cambuk, tangan kiri
memegang pertengahan cambuk. Perlahan warna biru menyelimuti cambuk
Jati Pamungkas, bersamaan itu perlahan diputarlah cambuk itu layaknya
baling - baling.
.
Di depan, Raden Sajiwo memejamkan mata. Keris kyai Jalak awalnya
ditempelkan di dahinya dan mulai berwarna merah membara. Ketika mata
terbuka disertai loncatan dan seruan, mulailah adu ilmu pamungkas di tepian
kali Brantas.
"Wuuuusss... !"
.
Keris kyai Jalak terbang deras tidak mengenai tubuh Jati Pamungkas dan terus
melayang ke arah Raden Sajiwo melarikan diri. Sungguh mengagumkan
kehebatan keris kyai Jalak. Keris itu dapat mencari keberadaan si pemiliknya
dan kembali dalam sarungnya.
.
"Ah.. Orang itu berhasil lolos.. " desis Jati Pamungkas, dan ia pun bersiaga sambil
memperhatikan keadaan ditepian kali.
.
Tak terlalu jauh, Arya Dipa masih meladeni lawannya. Tubuh pemuda itu
menggeliat saat pukulan hampir mengenainya. Berhasil menghindari pukulan
lawan, Arya Dipa melentingkan tubuh sembari kakinya menyambar kepala
lawan. Meskipun kakinya sangat cepat, tetapi lawan juga bergerak sebat dan
mampu mengelak dengan merendahkan dirinya seraya menyapu kaki Arya
Dipa.
.
Dengan indah Arya Dipa meloncat dan terus melewati kepala lawan, sembari
menggaplok kepala lawan. Sekali lagi lawan menghindar dengan bergulingan
ke depan dan melenting berdiri untuk kemudian bersiaga. Kuda - kuda kembali
kokoh antara kedua pemuda itu. Tatapan tajam saling berbenturan satu
dengan lainnya, seakan beradu kekuatan dalam.
.
Bagai mendapat aba - aba, keduanya mengeluarkan senjata mereka. Sebelah
utara, Arya Dipa menggunakan kyai Jatayu sebagai senjatanya dalam
menghadapi Raden Sanjaya yang menggunakan rantai panjang mirip yang
digunakan ki Ageng Sungsang Bawono.
menghentak ke lawan.
.
"Gila.... " umpat Raden Sanjaya.
.
Raden Sanjaya bergegas memainkan rantainya lebih dahsyat dari sebelumnya.
Rantai itu diputarkan di depannya bagai putaran angin beliung sejajar garis
jangkauan lawan. Tak pelak terjadilah adu kecepatan putaran diantara dua
pemuda itu. Akibat dari kejadian itu, udara diantara keduanya bagai teraduk -
aduk dan membuat debu menghambur ke segala arah.
.
Denting beradunya rantai dan pedang tipis terdengar bersahutan
menggeleparkan udara. Percikan bunga api turut hadir saat kedua senjata itu
bergesekan dengan seringnya. Tanpa melambatkan putaran senjata masing -
masing, keduanya terus menghentakan olah senjata. Seakan - akan tenaga
mereka tak pernah habis.
.
Berselang berjalannya sang waktu, dalam benak Arya Dipa telah terpintas
untuk mengakhiri perkelahian ini. Karenanya, ditingkatkan ilmunya selapis lagi.
Pedang tipis kyai Jatayu bila dicermati, nampak diselimuti lapisan warna putih
agak samar - samar. Dan sejenak kemudian kekuatan itu menggelegak
membuat lawannya terkejut dan tercengang. Rantai panjang itu terputung
hampir mendekati pangkal di mana tangan Raden Sanjaya memeganginya.
.
"Huh.... " geram Raden Sanjaya, dan membuang sisa rantai dalam
genggamannya.
.
Selepas membuang sisa rantai, tangannya mengambil sesuatu dari balik
pinggangnya. Perlahan terlihat senjata layaknya keris, tetapi tidak berluk,
dengan gagang dari tangkai pohon cangkring yang tak berbentuk. Tetapi
yang membuat takjub ialah adanya warna menyilaukan dari pusaka aneh itu.
.
Saat bersamaan, ki Ageng Sungsang Bawono terbeliak ketika memperhatikan
apa yang dikeluarkan oleh muridnya. Orang tua itu tahu betul pusaka dalam
genggaman muridnya itu. Bahkan dia pun pernah memperebutkan pusaka itu
dengan beberapa orang - orang dunia kanuragan lainnya. Pusaka itu terkenal
dengan sebuatan kyai Cangkring, buatan mpu Gandring.
P a g e | 617
perasaan aneh sejak dirinya bertemu dengan Ken Arok. Sepasar sebelum
kedatangan Ken Arok untuk memesan sebuah pusaka, Mpu Gandring
bermimpi aneh yang mana ia juga kedatangan seorang tua dengan pakaian
seorang pendeta. Tahukah apa yang dikatakan oleh pendeta yang muncul
dimimpi mpu sakti itu ?"
.
Arya Dipa diam dan hanya menunggu saja apa yang akan dikatakan oleh
Raden Sanjaya. Tak lama memang Raden Sanjaya menjawab sendiri.
.
"Pendeta itu mengatakan kalau sepasar yang akan datang, akan ada anak
muda berkunjung ke Lulumbang dan memesan sebuah pusaka. Pusaka itu
nantinya akan merubah keadaan di Jawa Dwipa bagian timur menjadi lebih
baik. Tetapi tentunya kemunculan pusaka itu akan membawa bebanten orang
- orang terkemuka, untuk mencegah supaya tidak terlalu banyak korban, harus
ada pusaka yang akan mengalahkan pusaka pesanan anak muda itu. Oleh
karenanya, pendeta itu menyuruh Mpu Gandring untuk membuat pusaka yang
hampir mirip dengan pusaka yang akan dipesan pemuda Ken Arok." tutur
Raden Sanjaya, "Dan inilah pusaka itu, yang mampu memupus keganasan
pusaka keris Mpu Gandring."
Bukannya terkejut, Arya Dipa mengangguk dan tersenyum, "Hm.. Sebuah cerita
yang bagus, tuan."
.
"He... Jangan katakan kalau kau tidak mempercayainya !" seru Raden Sanjaya.
.
"Tidak... Tidak... " gumam Arya Dipa, "Aku tidak menyangkal atau
membenarkan, karena aku tidak mengetahui dengan pasti. Kenyataannya
sekarang ini, alam bergejolak dan pusaka tuan membara. Tentu pusaka itu
memang dibuat oleh seorang yang tuntas ilmu kajiwannya."
.
"Hm.. Kalau begitu sebelum kau mati, sebutlah nama bapa biyungmu !"
.
Selekasnya Raden Sanjaya bergerak menghunuskan keris kyai Cangkring.
Sambaran udara terasa tajam manakala ujung keris menghadap lawannya.
Sambaran pertama walau cepat, belum mengenai tubuh lawan, maka
disusulah sebuah tusukan dan sabetan.
.
Arya Dipa mencoba mengelak dari tusukan lawan dengan mengisar kaki ke
P a g e | 619
samping kanan. Saat bersamaan ternyata lawan sudah siap dengan sabetan
ke lambungnya. Hal itu membuat Arya Dipa menyurutkan langkah sembari
membalas serangan berupa kepalan tangan kiri menusuk tubuh lawannya.
Namun lawan cukup cekatan dalam menggerakan senjatanya, tajamnya keris
dengan cepat menghadang laju tangan kiri Arya Dipa. Demi menghindari luka
parah, tiada jalan lain kecuali menarik serangan dan mengganti serangan
melayang berupa tajamnya kyai Jatayu.
.
"Tring.... !"
.
Dua senjata bertemu dan membuat keduanya terkejut jadinya. Benturan itu
membuat rasa panas merambati telapak tangan dan terus mengalir ke urat
masing - masing pihak. Keduanya langsung meloncat surut menjaga jarak dan
memperhatikan telapak tangannya. Tangan mereka masih bergetar dan
panas, keduanya bergegas memulihkannya.
.
Senjata - senjata itu ternyata sama - sama besi pilihan yang mempunyai
susunan awal terbentuk yang cukup baik di alam ini. Apalagi setelah ditangan
yang terampil dan memiliki ahlian dalam mengolah, dibarengi dengan lelaku
yang tidak gampang. Siapa yang tidak kenal dengan Mpu Gandring, seorang
manusia pilihan yang tuntas ilmu kajiwan dan kanuragan di masa akhir Kadiri.
Dan Siapa juga yang tidak kenal Mpu Supa Indragiri di masa kejayaan
Majapahit yang secara tidak langsung telah ikut membuat pedang kyai Jatayu
lewat tangan keponakannya, Mpu Citrasena dari kademangan Tegowangi. Tak
heran jika kedua senjata itu sama - sama hebat dan mendebarkan siapa pun
yang menyaksikan.
.
Sambil menggeretakan giginya, Raden Sanjaya berusaha menghajar lawannya
dengan menggunakan kyai Cangkring. Denting kedua senjata tak pelak
terdengar bersamaan dengan lincah dan terampil tangan - tangan mereka.
Tusukan.. Sabetan.. Tebasan.. terus mengalir bak arus air kali Brantas sampai
beberapa waktu.
.
Demi menghindari sesuatu yang dapat merugikan jiwanya, dari tubuh Arya
Dipa menyeruak warna kuning berkilau dan melapisi tubuh pemuda itu.
Pertahanan aji Niscala Praba ikut andil menjaga kemungkinan buruk nantinya.
Selain itu, ilmu dari kitab Cakra Paksi Jatayu juga semakin beragam dan rumit
telah keluar dan menunjukan sikapnya.
P a g e | 620
.
Munculnya gerakan - gerakan aneh dari Arya Dipa membuat Raden Sanjaya
sempat bingung dan keteteran. Baru kali ini ia melihat tata gerak yang sangat
rumit dan menggila layaknya puluhan garuda menerjang bumi. Hanya berkat
adanya keris Cangkringlah, pemuda ini dapat bertahan dari gempuran ilmu
lawannya.
dan dihujam oleh lawannya. Apalagi mendapati wujud Arya Dipa tak nampak,
semakin gusarlah pemuda bertopeng itu. Tetapi awan dalam benaknya
tersapu angin, manakala sesosok orang berdiri di atas bilah pedang tipis, yang
mengangkasa di udara.
.
"Ah... Benar - benar ilmu mengagumkan pemuda satu ini." pujian tulus terlontar
dari sanubari orang bercambuk atau Jati Pamungkas.
.
Lalu ucapnya kepada Raden Sanjaya, "kisanak, lihatlah siapa yang berada di
awang - awang itu... "
.
Bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, Raden Sanjaya memandang awang -
awang yang ditunjukan oleh orang bercambuk. Terbeliaklah matanya, seakan -
akan bola mata itu ingin lepas dan memandang dekat dengan sosok yang
tiada lain, Arya Dipa. Ternyata lawannya tidak celaka walau sekecil goresan
jarum.
.
Arya Dipa sejenak kemudian meluncur turun dengan indahnya dan pedang
tipis kyai Jatayu sudah berada ditangannya.
.
Rasa jengkel, kesal dan sakit hati bercampur jadi satu, menghasilkan
kemarahan yang sangat. Dan kemarahan telah berperan langsung
mengakibatkan pengendalian nalar suci tergerus dan memudarkan kebajikan
insan itu sendiri. Maka munculah bisik - bisik setan terkutuk yang menyarankan
jiwa kelam itu untuk berlaku menyalahi aturan suci, berupa bisikan untuk
melenyapkan nyawa orang yang dibenci. Sehingga Raden Sanjaya sudah
sepenuhnya mengakhiri lawannya dengan ilmu pamungkasnya, aji Gelap
Bawono.
.
Malam ditepian kali Brantas, mendadak diselimuti awan tebal dan pekat. Suara
layaknya guntur menggidikan terdengar bergemuruh. Orang - orang pun
tersedot untuk menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi di tepian kali Brantas.
Malam merambat terus tanpa dapat ditunda. Panembahan Anom pada waktu
itu mengajak Arya Dipa untuk mengikutinya keluar dari gubug. Keduanya
berjalan ke arah hilir kali Brantas dan berhenti sejarak puluhan tombak. Tepat di
bawah pohon gayam keduanya duduk menatap sinar rembulan yang tak
terhalang lebatnya daun gayam.
.
"Angger Dipa.. " ucap Panembahan Anom, mengawali pembicaraan.
.
"Iya, eyang Panembahan.. " sahut pemuda itu.
.
"Ku ingat, kau mengatakan telah memasuki gua dipesisir laut kidul yang masih
telatah Gunung Kidul. Dan kau mendapati sebuah kotak yang berisi warangka
keris ?"
.
"Begitulah eyang.. "
.
Panembahan Anom mengangguk dan percaya. Tetapi ia masih bertanya
kepada pemuda di sampingnya itu.
.
"Di mana warangka itu, aku tidak melihat apa pun yang engkau selipkan di
balik bajumu ?"
.
Sejenak pemuda itu menarik napas perlahan. Lalu mata Arya Dipa memejam
sembari kedua telapak tangan saling bertemu bagai orang menyembah. Tiba -
tiba, tangan yang awalnya kosong sudah nampak membekal warangka keris
dengan lapisan teretes intan.
.
Melihat kejadian itu, Panembahan Anom mengangguk kagum apa yang
dimiliki oleh pemuda itu. Sangat jarang orang yang bisa menyimpan sebuah
P a g e | 625
.
Rasa kagum menyentuh hati orang tua itu. Karenanya ia ingin memberikan
sesuatu dari dirinya supaya dapat terus berkelanjutan apabila ia kembali ke
alam kelanggengan. Tangan tua itu mengambil sesuatu dari balik pakaiannya.
.
"Angger, kalau begitu mohon diterima ini." katanya seraya menyodorkan
rangkain lontar, sebelum Arya Dipa berkata bergegas Panembahan Anom
mendahuluinya, "Aku mohon terimalah ini.. "
.
Karena tak ingin membuat hati Panembahan Anom kecewa, Arya Dipa
menerima rangkaian rontal tersebut. Ternyata itu adalah sebuah tuntunan ilmu
tingkat tinggi dari perguruan Panembahan Anom.
.
"Oh.. Terima kasih, eyang Panembahan."
.
Malam itu adalah malam penuh keberuntungan yang menimpa diri Arya Dipa.
Selain tugas mendapatkan pusaka keris kyai Sangkelat, ia pun mendapatkan
kitab jalur perguruan Panembahan Anom. Dan keesokan harinya, setelah
berembug dengan para sesepuh, Arya Dipa kembali ke telatah Jawa bagian
tengan, untuk menyerahkan pusaka kyai Sangkelat.
Bersambung..
Arya Dipa menyusuri kembali arah jalan dari bang wetang. Tugas
mendapatkan pusaka berwujud keris ia dapatkan setelah melalui jalan
berbahaya. Kyai Sangkelat yang dahulunya disimpan oleh Raden Kuda
Mapanji atau Panembahan Anom, kini berada dalam perlindungannya, dan
saat ini akan ia serahkan kepada Raden Buntaran atau Panembahan Ismaya.
Udara pegunungan di pagi hari membuat pemuda itu tidak lama - lama
mendaki jalan tanjakan ke padepokan karang Tumaritis. Kaki lincah
berlambarkan aji sepi angin, membawa pesat tubuhnya mendekati regol
padepokan. Kedatangannya rupanya diketahui oleh seorang cantrik dan
menyambutnya dengan berbagai pertanyaaan.
Dengan tindak tanduk yang sopan, Arya Dipa menyahuti cantrik itu dan
menjelaskan keperluan dirinya ke padepokan Karang Tumaritis. Dan pada saat
yang sama itulah, seorang cantrik yang ingat akan Arya Dipa, segera
mengenalinya dan mempersilahkan Arya Dipa untuk memasuki halaman
padepokan.
Arya Dipa tersenyum sambil menepuk bahu cantrik itu, "Tak mengapa,
kakang. Tindakan adi Wandi, memang sudah seharusnya."
P a g e | 628
Kedua cantrik itu merasa lega atas sikap Arya Dipa. Di kala itu, kebanyakan
orang berkedudukan tinggi, sangat jarang bersikap lunak jikalau mengetahui
seorang kawula mengganggu atau dirasa menyalahi pendirian orang tersebut.
Karenanya sikap Arya Dipa, bagaikan titikan air di musim kemarau,
menyegarkan kedua cantrik itu.
Dan Arya Dipa diantarkan menuju balai khusus untu tamu padepokan.
Sebuah bangunan tertata rapi dan bersih. Sebuah amben besar dengan tikar
tergelar diatasnya. Di situ sudah ada kendi tempat wadah air minum dan tiga
gelas terbuat dari bumbung.
"ho... Rupanya prenjak di pohon jambu air itu, mengisyaratkan kalau kau
kembali, Dipa." ucap Panembahan Ismaya.
Sambil turun dari amben, Arya Dipa menyalami tangan orang tua itu, "Restu
eyang Panembahan, membuat cucu selamat dan kembali ke padepokan ini,
eyang."
"Hehehe... Syukur.. Syukur, duduklah dan tolong ceritakan apa yang terjadi di
bang wetan." kata Panembahan Ismaya tak sabar.
"Berkat restu dari eyang, inilah pusaka itu." kata Arya Dipa mengakhiri
ceritanya, sambil memperlihatkan keris kyai Sangkelat.
Diterimanya pusaka itu oleh Panembahan Ismaya. Diteliti dan diamati secara
cermat hingga lekuk - lekuk kyai Sangkelat. Anggukan kepala orang tua itu,
menandakan kelegaan yang dirasakan oleh pemimpin padepokan Karang
Tumaritis. Sejenak kemudian ia pun kembali bersuara.
"Angger Dipa, lengkap sudah pusaka peninggalan Majapahit. Dua keris yang
sebelumnya sudah diselamatkan oleh anakmas Mahesa Jenar dan Gajah Sora,
yaitu keris kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten, kini kyai Sangkelat telah kau
dapatkan." sejenak Panembahan Ismaya berhenti untuk mengambil napas, lalu
katanya, "Namun di lembah sana, tak lama lagi akan pecah perang antara
laskar Banyubiru."
"Oh... " Arya Dipa kaget, "Apakah Demak kembali menyerang Banyubiru,
eyang Panembahan ?"
"Putra paman Gajah Sora.. maksud eyang ki Ageng Gajah Sora ?"
"Benar ngger. Selain itu lindungilah anak itu dari musuh yang sangat
berbahaya. Tetapi aku yakin, kau mampu melawannya."
Maka sejak saat itu, Arya Dipa menetap sementara di padepokan Karang
Tumaritis. Sekali lagi ia mendapat tugas dari Panembahan Ismaya untuk ikut
melindungi putra tunggal ki Ageng Gajah Sora. Di mana awan panas bergerak
ke lembah Telomoyo di dekat perbatasan Banyubiru.
P a g e | 630
"Maksud eyang Panembahan, adi Karebet ?" kata Arya Dipa untuk mencari
kepastian.
"Maaf, eyang Panembahan. Bukannya aku tidak setuju, tetapi apakah hal itu
tidak membahayakan putra paman Gajah Sora ?"
Orang tua yang sudah lanjut itu, mendesuh perlahan. Memang apa yang
dicemaskan oleh Arya Dipa itu beralasan. Tetapi sudah puluhan kali
Panembahan Ismaya memikirkan dan meyakinkan apa yang akan ia lakukan
demi berjalannya rencana pemulihan trah Pengging. Orang tua itu pun,
nantinya akan muncul saat - saat yang menentukan, karenanya ia harus
meyakinkan rencananya kepada pemuda di sampingnya itu.
P a g e | 631
Mata Arya Dipa tak berkedip dan daun telinganya ia buka lebar - lebar, demi
mendengar apa yang akan dikatakan oleh keturunan Majapahit itu.
"Kami, orang - orang tua yang cinta kedamaian di bumi Jawa Dwipa ini, telah
melakukan pertemuan untuk membahas berjalannya kemakmuran di telatah
ini. Kala itu juga datang seorang wali dari Kadilangu, beberapa pemimpin
tanah perdikan dan kabuyutan dan tokoh sepuh trah Wilwatikta. Seharusnya,
kakekmu Begawan Bancak dan Panembahan Anom akan kami undang juga
pada pertemuan itu. Tetapi kedua orang tua itu sulit diketahui rimbanya dan
terlibat kejadian di bang wetan." Sejenak orang tua itu terdiam, demi melihat
kesan pada wajah Arya Dipa.
Lalu lanjutnya, "Sudah menjadi kesepakatan antara kami, serta dikuatkan oleh
ketajaman mata hati Sunan Kalijaga, satu - satunya jalan ialah menempatkan
anakmas Karebet kembali memasuki pranatan keraton."
Jantung Arya Dipa bagai disentakan tali. Getaran yang awalnya perlahan,
mendadak kencang. Karenanya demi mengurangi rasa yang tidak - tidak, ia
memberanikan diri untuk bersuara.
"Sebelumnya aku minta maaf, eyang Panembahan." ucap Arya Dipa, lalu,
"Apakah kelanjutan dari kesepakatan itu adalah untuk mengganti wahyu
keprabon dengan paksa ?"
Legalah hati pemuda itu. Hatinya yang awalnya was - was, kini bisa bernapas
seperti sediakala. Ia tak ingin bila berhadapan dengan kawannya, Mas
Karebet. Bukannya ia takut atau jerih dengan ilmu murid ki Ageng Sela dan
Sunan Kalijaga itu, tetapi semuanya karena adanya tali persahabatan semata.
"Baiklah, eyang Panembahan. Kini hatiku semakin mantab untuk ikut berusaha
melapangkan jalan bagi adimas Karebet." kata Arya Dipa, " Kalau begitu,
sekarang juga aku akan menghadang gerombolan gelap itu."
"Satu lagi, ngger. Sebaiknya kau menutupi jati dirimu kepada siapa pun tak
terkecuali." tambah Panembahan Ismaya.
Arya Dipa mengernyitkan alis, menandakan keheranan atas pesan dari orang
tua pemimpin padepokan Karang Tumaritis. Dan Panembahan Ismaya sebagai
orang tua yang kesdik, tanggap akan keheranan pemuda di hadapannya itu.
"Bila eyang Panembahan Ismaya menyarankan seperti itu, aku sebagai anak
kemarin sore, patut mengikutinya, eyang Panembahan."
Di tepuknya pundak Arya Dipa. Orang tua itu merasa tepat telah memilih
pemuda yang masih trah Kadiri itu. Seorang pemuda yang berjiwa besar dan
tak ada secuil rasa hitam di hatinya. Maka ketebalan pengharapan di masa
yang akan datang, pemuda ini akan mengiringi perjalanan wahyu keprabon
sampai orang yang tepat.
P a g e | 633
"Aku setuju dengan penilaian kanjeng Sunan Kalijaga, terhadap pemuda ini."
batin Panembahan Ismaya.
Disuruhnya pemuda itu untuk beristirahat dan berkemas - kemas. Karena esok
hari, perjalanan yang penuh ancaman maut akan dilaluinya.
Setelah mendapat bekal berupa ancer - ancer yang diperoleh dari cantrik
yang mendapat tugas mengamati jalan menuju Banyubiru, Arya Dipa diesok
harinya bergegas mengarah tempat yang ditunjuk. Sebuah jalan setapak
dengan kanan kiri ditumbuhi rerumputan liar, pemuda berpakaian kuning
kecoklatan itu melakukan pengamatan lebih cermat. Sebagai seorang prajurit
Demak, pengetahuan didalam melakukan pengamatan sangat dipahaminya
meskipun tidak sebaik prajurit khusus dalam membaca jejak.
Tidak menunggu waktu lama, dari sebuah tikungan jalan setapak, munculah
sebuah iringan berjumlah sepuluh orang. Dari sepuluh orang itu, sembilan orang
memakai pakaian serba hitam dengan lipatan berwarna merah. Sementara
seorang di depan memakai pakaian hijau tua. Yang menyamakan dari
kesepuluh orang itu, sebuah lambang kepala ular sendok dengan mulut
menganga sehingga terlihat lidah bercabang menjulur keluar.
Melihat itu, Arya Dipa mengernyitkan alisnya. Tiada lain ialah mencoba
mengingat lambang pertanda di pakaian sebelah kiri. Sekilas kemudian
pemuda itu agak terkejut setelah mengenali tanda lambang itu. Kelompok itu
merupakan segerombolan pembunuh bayaran dari gunung Kendeng. Sebuah
P a g e | 634
"Sepertinya pekerjaanku kali ini terlalu berat." batin Arya Dipa, "Bila aku
mencoba menghentikan di sini, meskipun aku berhasil mengalahkan
setengahnya, mungkin harus aku bayar dengan nyawaku."
Iringan itu semakin dekat. Karenanya Arya Dipa bergegas waspada dan
menyembunyikan getar pada dirinya, agar tak diketahui oleh iringan yang
akan melewati jalan dibawah pohon yang ia panjat itu. Satu persatu orang -
orang itu melewati jalan setapak tanpa ada yang menaruh curiga, hingga
hampir orang terakhir.
Tiba - tiba saat orang terakhir lewat, sebuah benda menimpuk kepala orang
itu dengan kerasnya. Tak pelak orang itu kesakitan dan membuatnya uring -
uringan. Tak hanya itu saja, kawan - kawannya yang di depan langsung
menoleh karena keingintahuan mereka atas apa yang terjadi pada orang
terakhir.
"Benar. Melainkan kami seorang yang ksatria, he begundal.... !" seru seorang
lelaki yang lebih muda dari orang pertama.
"Siapa mereka itu ?" tanya Arya Dipa pada dirinya sendiri.
"Siapa kalian, he... ?!" bentak anak buah gerombolan Ular Sendok.
Lelaki yang lebih muda akan menjawab, tetapi lelaki yang lebih tua telah
mendahului, "He begundal Harya Kumara, lihatlah dengan jelas siapa lelaki di
sana itu !"
Panji Tohjaya dari Jipang ini merupakan orang yang menjunjung kebenaran.
Pada saat tewasnya Pangeran Sekar sedo ing lepen, Panji Tohjaya mendapat
tugas untuk menyelidiki kematian Adipati Jipang itu, tetapi ditengah jalan ia
terancam oleh orang - orang suruhan Tumenggung Harya Kumara. Untunglah
ia bertemu dengan paman gurunya dan sejak saat itu ia mendapat tuntunan
kembali oleh paman gurunya untuk beberapa candra.
P a g e | 636
Namun saat usai mendapat gemblengan dan Panji Tohjaya ingin melanjutkan
tugasnya, kembali dirinya berbenturan dengan gerombolan Ular Sendok dan
hampir tewas, jika tak sekali lagi paman gurunya menolongnya. Dan kini ia
tanpa sengaja berjumpa kembali dengan gerombolan Ular Sendok, lelaki itu
ingin membalaskan dendamnya.
"He, Tohjaya. Kebodohanmu telah menyeret nyawa sekaligus orang tua itu ke
liang kubur !" kali ini pemimpin merekalah yang bersuara.
Seruan itu disikapi sunggingan bibir saja oleh orang tua yang mengenali
pemimpin gerombolan Ular Sendok.
Orang tua yang bernama ki Wijang Pawagal dan tidak lain paman guru Panji
Tohjaya, berjalan mendekati murid adik seperguruannya. Dengan sunggingan
masih diperlihatkan, ia menepuk pundak Panji Tohjaya.
Dalam pada itu, anak buah gerombolan Ular Sendok sudah siap untuk
bergerak menghabisi lelaki yang pernah menjadi sasaran tugas dari
Tumenggung Haryo Kumara kepada mereka. Kali ini mereka tak akan memberi
kesempatan untuk kedua kalinya bagi lelaki itu.
Sementara itu, Arya Dipa masih mencari waktu yang tepat untuk ikut terjun ke
kancah pertarungan yang akan terjadi tak lama lagi. Dirinya sudah
menjatuhkan pilihan untuk memanfaatkan kesempatan ini, untuk
menggagalkan tindakan gerombolan Ular Sendok ke Banyubiru. Masalah dua
orang yaitu lelaki bernama Panji Tohjaya dan orang tua satunya, akan ia urus
kemudian. Syukur - syukur, dirinya tidak terlibat bentrok dengan keduanya.
P a g e | 637
"He, Ganter. Gunakan langkah kedua dari Panca Margi Pralaya !" seru Blego
Trengganis.
Seruan itu secepat kilat langsung diperagakan oleh Ganter dan kawan -
kawannya. Tingkatan kedua mulai menyeruak lebih hebat dari tata gerak
pertama. Dan ini sangat berbahaya jikalau Panji Tohjaya tidak mendapat
gemblengan dari ki Wijang Pawagal. Libasan Ganter dan kawan - kawannya,
masih dapat dihadapi oleh Panji Tohjaya. Hal itu membuat lawannya
penasaran ditambah rasa geram menyengat janrung mereka.
Apa yang dialami oleh Panji Tohjaya, tak lepas dari pengamatan ki Wijang
Pawagal. Orang tua itu merasa tenang dengan kemajuan yang diperoleh
murid adik seperguruannya itu. Namun ia merasa cemas kalau Blego
Trengganis akan turun langsung.
"Traaang.... !"
P a g e | 638
"He, siapa kau yang mencampuri urusan orang lain !" seru Blego Trengganis,
yang mencuatkan alisnya demi melihat keanehan yang ditunjukan sosok
bertopeng itu.
Arya Dipa mendehem untuk sesaat. Di lihatnya Panji Tohjaya dan orang tua
yang masih menghadapi lawan masing - masing. Tindakan Arya Dipa ini telah
menyulut kemarahan Blego Trengganis, yang merasa diremehkan.
"He... Setan alas !" bentak Blego Trengganis, "Kau rupanya belum mengenalku,
setan bertopeng !'
"Hem... Lambang di dada kirimu telah menunjukan siapa kalian." kata Arya
Dipa, "Kalian para pengecut dari Gunung Kendeng, bukan ?!"
"Rupanya kau bukanlah katak dalam tempurung, setan bertopeng. Tetapi kau
merupakan katak yang bodoh !" ejek Blego Trengganis.
P a g e | 639
Meskipun diejek seperti itu, Arya Dipa tetap tenang. Pemuda bertopeng itu
masih sempat menyaksikan bagaimana tandang Panji Tohjaya menghadapi
tata gerak Panca Margi Pralaya tingkat keempat. Murid ki Ageng Sekar Jagat
anom itu telah mengungkap aji Alang Alang Kumitir, sehingga mampu
membuat tubuhnya bagai lenyap walau hanya sesaat - sesaat dan melakukan
serangan cepat terhadap lawan.
Di sisi lain, tak kalah seru apa yang dilakukan oleh ki Wijang Pawagal. Orang
tua yang sudah kenyang asam manisnya dunia olah kanuragan itu, bagai
menemukan permainan yang mengasyikan. Lawan - lawannya dibuat pontang
- panting tak karuan. Tangan dan kaki yang terlihat sudah menua itu, laksana
besi gligen disetiap menumbuk tubuh lawannya.
"Kisanak, lihatlah para anak buahmu. Mereka jika tidak kau hentikan, tubuh
mereka akan lunak layaknya gedebog pisang yang ditumbuk batang besi."
kata Arya Dipa.
Sambaran tongkatnya mengandung deru angin tajam dan ganas. Arya Dipa
tak memandang serangan hebat itu. Dari awal ia sudah waspada dalam
menyikapi lawan kali ini. Karenanya, saat tongkat itu bergerak aji Niscala Praba
sudah manjing menyelimuti Arya Dipa.
Seru dan sengit mewarnai tandang dari Arya Dipa dan Blego Trengganis. Tata
gerak berbeda jalur saling tindih ingin memenangi disetiap saat. Rerumputan
dan tanah terinjak - injak menjadi lumat bak terkena bajakan saja. Daun - daun
menguning luruh tersambar deru angin dari mereka yang bertarung.
P a g e | 640
Dari kejauhan ki Wijang Pawagal merasa heran dengan apa yang disaksikan
oleh pandulunya. Baru kali ini ia menyaksikan tata gerak yang padat berbobot
seperti yang digerakan oleh orang bertopeng.
"Sebuah tata gerak tingkat tinggi. Tetapi sepertinya orang bertopeng itu
belum bersungguh - sungguh." batin ki Wijang Pawagal, seraya menghindari
tendangan lawannya.
Sikap dari lawan - lawannya itu telah memantabkan hati ki Wijang Pawagal
untuk mengungkap ilmu yang bersumber sama dengan lawannya, yaitu inti api
dari aji Brajadaka. Selain itu, Sepi Angin melambari setiap gerakan kaki dan
tubuhnya dalam mementahkan kecepatan lawannya. Tak ayal tindakan dari
murid pertama ki Ageng Sekar Jagat sepuh itu membuat tiga anak buah
gerombolan Ular Sendok kalang kabut.
Tak jauh dari kalangan ki Wijang Pawagal, telah berlangsung keseruan yang
menggila. Ganter dan keempat kawannya berlomba - lomba menundukan
lawan yang pernah mereka kalahkan. Namun kali ini kejadian seperti dahulu
tidak lagi dengan mudah mereka ulang. Tata gerak Panca Margi Pralaya
sudah mencapai tingkat empat tidak mampu menekan lawannya itu. Tentu
saja hal itu membuat kelima orang itu gusar bukan kepalang. Apalagi jika
P a g e | 641
menyadari betapa keempat kawan mereka yang melawan orang tua itu,
kewalahan.
Lima serangan dari lima penjuru memang hebat. Tetapi Panji Tohjaya dalam
pusat sasaran cepat bertindak dalam menangani serangan bersama itu.
Tubuhnya membal ke atas setelah kakinya menggenjot tanah. Selanjutnya
tubuh itu mengapung tepat diatas kelima pisau kecil itu. Sungguh
mengagumkan yang mana waktu bagai terhenti, dan itu semua terjadi dari
penerapan aji Alang Alang Kumitir.
Kerepotan yang diderita oleh anak buah gerombalan Ular Sendok dari
gunung Kendeng, memanaskan jantung Blego Trengganis. Lelaki berpakaian
hijau tua dan bersenjata tongkat berkepala ular itu telah mengamuk melibas
lelaki bertopeng. Kemarahannya ia luapkan kepada lawan yang sebelumnya
tidak ia duga itu.
Untunglah orang bertopeng yang tak lain Arya Dipa adalah seorang pemuda
pilih tanding. Berbekal ilmu Cakra Paksi Jatayu dan ikat pinggang kyai Anta
Denta, pemuda ini mampu mengikuti gerakan lawannya. Dan apalagi sesudah
mempelajari sebuah rontal dari Panembahan Anom, tandang Arya Dipa
semakin hebat.
P a g e | 642
Saat kaki sudah berdiri kokoh, tangan Blego Trengganis telah bergerak bagai
kilat. Rupanya ia mengambil senjata rahasia dari balik pakaiannya dan
menyaplokan ke arah Arya Dipa. Dan ini tidak diwaspadai oleh Arya Dipa yang
mengendorkan aji Niscala Praba. Sehingga senjata rahasia itu mengenai
pundak Arya Dipa.
Seruan itu memancing rasa cemas ki Wijang Pawagal dan Panji Tohjaya.
Keduanya merasa kurang cepat dalam menangani lawan masing - masing dan
mengakibatkan sang penolongnya celaka.
Tubuh Arya Dipa agak membungkuk seperti orang kesakitan. Tetapi tidaklah
seperti apa yang dicemaskan oleh ki Wijang Pawagal dan Panji Tohjaya, atau
rasa bangga yang dirasakan oleh Blego Trengganis. Wajah di balik topeng tipis
itu menyunggingkan senyum rasa bersyukur, karena ia mendapat karunia
berupa tubuh yang kebal dengan racun setelah menghadapi ular naga Anta
Denta di lereng Penanggungan.
sinisnya mulai terdengar seiring tubuh Arya Dipa yang membungkuk. Orang itu
sudah merasa menang atas keberhasilannya mendaratkan jarum beracunnya
ke tubuh lawannya.
"Lebih baik jika kau angsurkan lehermu kehadapanmu. Meskipun aku tak
membekal leher, tanganku ini sanggup memenggal lehermu, Setan Bertopeng
!" teriak Blego Trengganis.
Teriakan yang merendahkan diri Arya Dipa, tak terlalu dipikirkan oleh pemuda
itu. Pemuda bertopeng itu meraba bekas luka di pundaknya dan ia perhatikan.
Rupanya darah yang awalnya mengalir hitam legam, mulai berubah menjadi
merah seperti pada luka umumnya. Ini menandakan kalau lukanya bebas dari
sergapan racun Blego Trengganis. Kembali ia panjatkan syukur kepada Sang
Pencipta.
"Mari kita lanjutkan permainan kita, kisanak... !" seru Arya Dipa, dan langsung
membabatkan ikat pinggangnya.
"Byaaar...... !"
Suara ledakan menggema saat ikat pinggang kyai Anta Denta menumbuk
batu di belakang Blego Trengganis. Batu sebesar kepala kerbau hancur
berkeping - keping, menyisakan rasa sengatan kejut di dada Blego Trengganis.
Ternyata Orang Bertopeng bersenjata ikat pinggang itu mempunyai simpanan
ilmu yang hebat dan tenaga dalam berluap - luap.
"Jangan angkuh kau, Setan Bertopeng !" seru Blego Trengganis sembari
menyilangkan tongkat dan menyodokan tongkat ke tubuh lawan yang berada
di sampingnya.
Terulanglah adu olah senjata berbeda jenis. Serang dan tangkis ikut serta
sesuai tata gerak disetiap keadaan yang sedang terjadi. Adu olah siasat sudah
diatur dalam benak mereka untuk menghadang gerak lawan masing - masing.
Daya untuk membaca langkah lawan ini sangat diperlukan untuk mematikan
langkah lawan selanjutnya, meskipun lawan pun mampu melakukan tipuan.
semakin memanjang tak menentu. Serta bila dilihat keadaan anak buahnya,
keadaan mereka mulai tak membuatnya tenang. Di mana lawan Panji Tohjaya
menyisakan tiga orang saja dan lawan ki Wijang Pawagal tinggal dua orang.
Bagi ki Wijang Pawagal dan orang dipihaknya, isyarat itu membuat mereka
waspada dan mencoba mencari apa yang nanti dilakukan oleh gerombalan
Ular Sendok. Tetapi sebaliknya bagi anak buah Blego Trengganis, isyarat itu
sudah dipahami dan dimengerti, oleh karenanya gerakan rapi dan cepat telah
mengiring ketiga lawan dalam satu titik. Keberhasilan mereka dilanjutkan
dengan ilmu aneh yang membuat pinggiran jalan setapak itu. Tiba - tiba
ratusan ular muncul dan menyerang ketiga lawan mereka.
Tentu saja kemunculan ular itu mengejutkan ki Wijang Pawagal dan Panji
Tohjaya serta Orang Bertopeng. Ketiganya bergegas menghalau puluhan ular
besar maupin kecil yang ganas tersebut. Dan kesempatan itu telah digunakan
dengan baik oleh gerombolan Ular Sendok untuk menjauhi tempat itu.
Sehingga tindakan gerombolan itu beralan sesuai rencana Blego Trengganis.
Sementara itu, ki Wijang Pawagal serta lainnya masih mengusir ular - ular.
Setiap ular satunya mati, munculah ular baru. Kejadian itu terulang beberapa
kali tak henti - henti. Tentu ini membuat gusar mereka. Bila ini terus berlanjut,
tenaga ketiganya tentu terkuras dan lemah.
Seruan yang sebenarnya masih membuat kedua orang itu bertanya - tanya
dengan apa yang dilakukan oleh Orang Bertopeng, tetap mereka patuhi.
Kedua orang itu bergegas ke belakang tubuh Arya Dipa.
"Mohon tingkatkan daya tahan tubuh kalian !" sekali lagi Arya Dipa meminta
kesediaan ki Wijang Pawagal dan Panji Tohjaya untuk meningkatkan daya
tahan tubuh mereka.
Tak lama berlangsung sebuah kejadian luar biasa. Begitu cepat tubuh Arya
Dipa berubah burung Garuda raksasa. Burung itu mengibaskan sayapnya dan
membuahkan angin prahara yang mana mampu membumbungkan ular - ular.
Tak hanya itu saja, burung Garuda itu membuka paruhnya lebar - lebar,
akibatnya suara menderu dan menggema dahsyat menimbulkan gelombang
besar menggulung ular - ular dan menjadikan ular lumat tak karuan.
Baru seumur hidupnya dalam mengarungi luasnya ilmu jaya kawijayan, baru
kali ini ki Wijang Pawagal dapat menyaksikan ilmu Garuda Yaksa yang
diterapkan oleh orang bertopeng di depannya. Ki Wijang Pawagal mencoba
mengulik siapa orang dibalik topeng kulit tersebut. Oleh karenanya ia berharap
dapat menyaksikan wajah penolongnya.
"Kisanak, bolehkan kami melihat wajah kisanak agar supaya kami dapat
mengucapkan terima kasih kami lebih dalam ?" pinta ki Wijang Pawagal.
"Maafkan aku tuan semuanya, ini sudah menjadi sumpah setiaku kepada
orang yang aku hormati." kata Orang Bertopeng.
"Bila dilihat dari nada suara kisanak, mungkin kisanak seorang pemuda yang
berusia dua puluhan, karenanya aku ingin mengetahui gelar angger ini ?"
Arya Dipa agak binggung dan ragu - ragu. Bilakah ia menyebut namanya
atau mengarang sebuah nama ? Namun setelah direnungkan untuk beberapa
saat, ia pun berkata.
"Hm... Baiklah angger Kilatmaya, meskipun aku yakin nama itu hanyalah
rekaan saja, tapi aku senang mendengarnya." ucap ki Wijang Pawagal, lalu
lanjutnya, "Panggillah aku Wijang Pawagal dan lelaki disampingku ini, Tohjaya."
"Oh... Tidak ki Pawagal, baru kali ini aku bertemu dengan ki Tohjaya. Hanya
saja nama itu mengingatkanku dengan seorang Rangga dari Demak." kata
Kilatmaya.
Demi didengar seorang Rangga dari Demak, Panji Tohjaya dapat menerka
orang yang dimaksud oleh Kilatmaya. Tentu yang dinaksud tidak lain seorang
perwira prajurit Demak yang terkenal kehebatannya dalam olah yuda. Dan
bahkan menurut cerita kalau Rangga Tohjaya, saudara seperguruan ki Ageng
Pengging Anom dan sahabat ki Ageng Nis di Sela.
"Bila benar apa yang aku terka, orang yang angger maksud mungkin ki
Rangga Tohjaya yang kini berada di Banyubiru." ucap Panji Tohjaya.
P a g e | 647
Panji Tohjaya mengangguk, "Begitulah yang aku dengar, ngger. Dia telah
mengganti namanya menjadi Mahesa Jenar. Menurut pendengaranku ia
menjadi guru putra ki Ageng Gajah Sora."
Cukup lama ketiga orang itu berbincang ke sana ke mari yang kadang kala
menyangkut keadaan tanah jawa. Rupanya Panji Tohjaya mengukap
kebenaran dirinya dihadapan Kilatmaya. Yaitu bahwa lelaki itu seorang prajurit
Jipang yang mendapat tugas untuk mengungkap kebenaran dari kematian
Pangeran Kinkin atau Pangeran Sekar seda ing lepen. Dan sebenarnya lelaki itu
dapat mengetahui kalau Raden Mukmin tidak bersalah.
"Sia - sia saja apa yang aku lakukan sampai saat ini. Jipang sudah tertipu oleh
orang - orang dibalik kabut. Laporanku tidak digubris oleh mereka. Bahkan
atasan sekaligus saudara seperguruanku, tewas ditangan mereka." kata Panji
Tohjaya, sedikit geram karena kematian Senopati Rakai Welar.
Dalam pada itu di jalan yang berbeda, nampak tujuh orang berpakaian hitam
kecuali orang terdepan yang berpakaian hijau tua. Wajah dari orang terdepan
P a g e | 648
Rupanya rombongan ini adalah gerombolan Ular Sendok yang berhasil lolos
dari sergapan Arya Dipa. Dan ternyata, kekalahan tadi merupakan sebuah
tamparan keras yang membuat Blego Trengganis tak mampu meredakan
gejolak dadanya. Oleh karena itulah ia memerintahkan anak buahnya untuk
meminta bantuan kakaknya yang memisahkan diri.
Blego Trengginas yakin jika saudaranya mau membantu dirinya, tak bakal
lawannya tadi bisa menghirup udara segar. Bagi Blego Trengganis, Blandong
Kraksaan merupakan seorang yang tuntas dalam dunia jaya kawijayan. Di
mana ia pernah menyaksikan sebuah kejadian dari ilmu saudaranya itu, yaitu
perubahan wujud kakaknya.
"Sebagai penganut dewa Anta Boga, kakang mampu menjadikan dirinya ular
naga raksasa." batin Blego Trengganis.
Agar kedua saudara itu tidak merasa iri satu lain, nenek sakti pemuja dewa
Anta Boga memberikan tongkat sekaligus mantram penanggil ular kepada
Blego Trengganis. Dari itulah kedua saudara itu hidup saling menghargai satu
sama lain dan terlihat rukun.
P a g e | 649
Anggukan kepala dan mencuatnya alis terlihat jelas dalam ungkapan hati
Blandong Kraksaan. Tadinya ia mengira kalau lawan yang bertopeng adalah
orang betcambuk, ternyata bukan. Blandong Kraksaan penasaran dan ingin
menjajal lawan adiknya. Tiba - tiba orang itu duduk bersila dan memejamkan
matanya. Dan tak berselang lama, mata itu kembali terbuka.
"Hm... Searah jalan kami." ucapnya perlahan, lalu katanya kepada Gangsir,
'Bila lurahmu tak segera datang, aku akan meninggalkan tempat ini."
oleh : Marzuki
Sinar terik sang surya membawa Arya Dipa yang masih menutupi wajahnya
dengan menggunakan topeng, sampai di ujung pategalan penghuni pinggiran
telatah Banyubiru. Pranggaitanya yang tajam merasakan adanya sesuatu yang
mengganjal di relung hatinya. Pemuda sekaligus cucu Begawan Jambul Kuning
itu mencoba menenangkan hatinya dengan memejamkan mata seraya
memanjatkan do'a kepada Yang Maha Agung.
Dan mata itu perlahan terbuka berbarengan perasaan sejuk di hatinya. Arya
Dipa yang menyamarkan namanya dengan Kilatmaya, yakin jalan yang ia
tempuh akan selalu dalam naungan Gusti Hang Karya Jagat. Maka dari itu,
kakinya dengan ringan melangkah terus melewati pategalan itu.
Dua orang dan salah seorangnya sangat ia kenal walau baru ia jumpai di hari
itu. Yaitu pemimpin gerombolan Ular Sendok, Blego Trengganis. Orang itu
berhadapan dengan seorang remaja berusia delapan belas tahun.
"He... Tata gerak itu mirip dengan paman Tohjaya... " desis Kilatmaya, dan saat
mengikuti lebih jauh, kembali Kilatmaya tercekat, "Oh.. Itu.. "
Hanya saja, yang membuat Kilatmaya kawatir ialah selalu terburu - burunya
remaja itu, sehingga lawan dapat menipu daya dan berhasil menjebak remaja
itu. Bila dicermati, ini menunjukan kalau remaja itu masih belum mampu
P a g e | 651
"Bila dilanjutkan, anak itu akan celaka." batin Kilatmaya, tetapi pemuda itu
belum bergerak.
"Mati aku !" keluh remaja itu dalam hati, sambil memejamkan mata.
Remaja itu sudah yakin kalau sebentar lagi nyawanya akan terenggut
lantaran gempuran lawannya. Tetapi keherananlah yang muncul kemudian.
Tubuhnya tak merasakan sebuah tangan menumbuknya. Padahal ia tahu betul
kalau lawannya akan mendaratkan tangan ke tubuhnya. Barulah ia terkejut
dan membuka mata manakala terdengar lawannya mengumpat dengan
kasarnya.
Saat mata remaja terbuka, yang dilihat adanya dua tubuh tegap tepat di
depannya. Satu orang sangat ia hormati, yaitu guru sekaligus kawan ayahnya,
paman Mahesa Jenar. Dan satu lagi seorang bertopeng yang tak ia kenal.
Dalam pada itu, ki Mahesa Jenar yang menatap Blego Trengganis dengan
tajam, telah berucap, "Kau tak apa -apa Bagus Salaka ?"
P a g e | 652
"Tidak apa - apa, paman Mahesa." jawab remaja yang bernama Bagus
Salaka.
Kedatangan lelaki tua itu membuat Mahesa Jenar tercekat, begitu juga
dengan Blego Trengganis dan Blandong Kraksaan. Ketiga orang itu tahu betul
orang yang baru datang dengan perawakan layaknya raksasa. Dialah
penguasa pulau Sempu yang berjuluk ki Dibyo Manggala. Seorang yang
menganut ilmu sesat untuk menyempurnakan ilmunya.
Orang itu tertawa angker dan memperlihatkan gigi besar dan runcing
layaknya taring. Matanya liar menatap ki Mahesa Jenar, orang bertopeng dan
dua saudara dari gunung Kendeng. Dari kesemuanya itu ia menatap lebih
P a g e | 653
"Herr... He, kaukah orang bercambuk yang menggetarkan telatah Jawa ini,
he ?!" Tanya ki Dibyo Manggala keras.
"Ho... Sombong sekali gelar yang kau pakai, Kilatmaya. Ingin rasanya aku
menjajal kemampuanmu !" ucap ki Dibyo Manggala.
Tiba - tiba Blandong Kraksaan menyela dengan keras disertai ilmu yang
mengagumkan, "He, orang Sempu ! Dia sudah menjadi incaranku !"
"Cobalah kau kalahkan orang bertopeng itu dengan cepat sebelum aku
mengalahkan murid Handaningrat, Blandong Kraksaan. Tetapi bila aku yang
dulu mengalahkan lawanku, aku akan merebut incaranmu itu." lanjut ki Dibyo
Manggala, dengan angkuhnya.
Tentu saja putra ki Ageng Gajah Sora tertegun karena rasa heran dan
bingung bercampur menjadi satu. Meskipun begitu tangannya tetap menerima
keris itu.
"Bila tubuhmu tak mengalami luka, lawanlah Blego Trengganis sekali lagi.
Gunakan kyai Sangkelat untuk melawannya. Tapi ingat, jangan kau terburu -
buru." kata Kilatmaya.
Datangnya serangan cepat itu tak membuat Blandong Kraksaan dan Blego
Trengganis, gentar. Dua orang itu dapat menangkis dengan baik dan bahkan
membalas serangan ganda. Yaitu dua pukulan dari Blego Trengganis, lalu
sodokan disertai tendangan dilancarkan oleh Blandong Kraksaan. Sungguh
kerjasama yang bagus diterapkan oleh dua saudara itu.
Dalam pada itu, Arya Salaka yang tidak lain putra ki Ageng Gajah Sora, mulai
berdiri dan meloncat mengambil lawan Blego Trengganis. Namun kali ini remaja
belum genap dua puluh tahun itu telah mengingat pesan orang bertopeng.
Untuk menghadapi lawannya, ia harus mengendapkan hatinya dan tak berlaku
grusa - grusu. Maka terlihatlah betapa tata gerak perpaduan Pengging dan
Banyubiru luluh menimbulkan daya gedor lebih berbobot dan hebat.
Apa yang dilakukan Arya Salaka kali ini menimbulkan keterkejutan bagi Blego
Trengganis. Dia merasakan perbedaan mencolok dari apa yang ia saksikan
saat ini. Seolah lawan yang masih pupuk bawang itu mendapat limpahan
tenaga kasat mata.
"Aneh, kenapa tenaganya begitu berbobot seperti ini ?" ucap Blego
Trengganis dalam hati, lalu ia ingat ketika orang bertopeng mengangsurkan
benda sekaligus membisiki remaja itu.
Sela. Tangannya yang kuat menggebuk dada lawan yang berdada bidang
dengan kerasnya. Serangan itu membuat tubuh lawannya tergeser dua
langkah ke belakang.
"Hehehe.... Kuat juga ilmumu, Mahesa Jenar !" seru ki Dibyo Manggala, diiringi
tawanya.
Air yang terkandung dalam lapisan daging menyeruak lewat sela - sela
lapisan kulit dan menimbulkan keringat yang merembes membasahi pakaian.
Menandakan tenaga yang diungkap sangat menyita tubuh mereka. Namun
bagi seorang olah yuda, hal itu tak menyusutkan langkah mereka dalam
mengungguli lawan.
Seiring berjalannya sang waktu, ketiga kalangan semakin seru dalam olah
yuda. Kesabatan tata gerak dilambari tenaga dahsyat serta siasat berdasarkan
pengalaman dan waktu yang berlangsung, membuat tanah berhamburan tak
menentu. Udara pun bergolak terkena kedahsyatan tenaga mereka.
Kilatmaya benar - benar menemukan lawan yang hebat kali ini. Blandong
Kraksaan menunjukan betapa murid nenek sakti dari gunung Kendeng tersebut,
seorang yang tuntas dalam kaweruh ing kanuragan. Tandangnya lebih
berbobot ketimbang adik seperguruannya.
Suatu kali orang itu meluncur dengan tubuh berputaran dengan tangan
mematuk Kilatmaya. Kecepatan serangan itu sangatlah mengagumkan bagi
orang bertopeng. Apalagi serangan yang masih berada jauh dari wadah
lawan telah mendahului terlebih dahulu. Namun kali ini Blandong Kraksaan
harus menunda dahulu tambur kemenangannya, ini dikarenakan lawan
mampu menghindar dengan meloncat ke samping.
"Huh... Setan alas !" umpat Blandong Kraksaan, sambil mengelus dada dan
bersiaga.
Tapi ki Dibyo Manggala tak ingin melepaskan mangsanya begitu saja. Selekas
lawan menghindar, kakinya bergegas menotolkan tanah dan menjulurkan
tangannya ke dada lawannya. Ia yakin kalau pukulannya ini dapat
menjebolkan dada bidang lawannya.
Saat bersamaan kala itu ki Mahesa Jenar dengan cepat bertindak, yaitu
menyilangkan tangan di depan dadanya. Tindakan ini tentunya dilambari
tenaga tak kasat mata demi menjaga dadanya dari ancaman pukulan lawan.
Dan tak pelak akhirnya dua hentakan keras mengguncang kedua orang itu.
P a g e | 659
Apa yang dirasakan oleh ki Mahesa Jenar sangat membuat dadanya sesak
bagai tertumbuk batu karang, hingga kakinya menggerus tanah sebatas mata
kaki dan sepanjang tiga langkah mundur. Sebaliknya dengan apa yang
dirasakan oleh ki Dibyo Manggala hampir sama seperti lawannya, dimana
tangan orang Sempu itu bagai mengenai benteng besi logam yang keras dan
membuat tangannya sakit bukan kepalang.
Sementara itu, Arya Salaka yang mendapat anjuran dari orang bertopeng,
telah dapat menguraikan segala keserba grusa - grusunya gejolak remaja,
sehingga lebih mapan dalam menerapkan ilmunya untuk menghadapi
pemimpin gerombolan Ular Sendok. Perpaduan ilmu Banyubiru dan Pengging
luluh menjadikan remaja ini cekatan dan trengginas. Tandang yang ia tunjukan
benar - benar membuat lawannya geram dan kesal.
Blego Trengganis mengungkap aji Gandha Pralaya, ilmu bau kematian yang
membuat lawannya akan merasakan aroma anyir dan busuk yang tajam, dan
akan menyebabkan pemusatan lawan akan buntu serta merusak indra
prangasa lawan. Aji Gandha Pralaya ini diperolehnya setelah mengadakan
lelaku pati geni selama empat puluh hari ditengah ratusan mayat perawan.
P a g e | 660
Perubahan hawa anyir dan busuj yang menyengat itu membuat kepala Arya
Salaka pening bukan main. Terlihat cucu ki Ageng Sora Dipayana menggeleng
- gelengkan kepala serta memijit pelipisnya. Namun tetap saja rasa pusing tidak
mau pergi. Malah kini bertambah mengganggu saluran pernapasannya dan
membuat tenggorokannya bagai tercekik tangan kokoh.
Wajah remaja itu semakin lama memutih pucat. Rasa sakit sudah membuat
nyawa hampir membumbung keluar dari ubun - ubun. Harapan untuk hidup
sangat tipis dalam pikiran remaja itu. Namun bila Sang Pencipta bertindak lain,
nyawa yang hampir lenyap itu bakal kembali mengisi raga putra ki Ageng
Gajah Sora. Melalui perantara berupa pusaka yang terselip dalam ikat
pinggang, telah mengalirkan hawa hangat mengusir hawa jahat aji Gandha
Pralaya.
Tanpa sadar tangan Arya Salaka meraih keris kyai Sangkelat dan meloloskan
dari warangkanya. Secepatnya ia menebaskan tajamnya kyai Sangkelat ke
udara di depannya. Terjadilah kibasan pusaka itu dan menyibak gelombang
ilmu lawan dan buyar berantakan.
"He.... Tidak mungkin... !" mata Blego Trengganis terbeliak tak percaya dengan
keampuhan pusaka ditangan lawan.
Arya Salaka tak tinggal diam. Keris kyai Sangkelat bergerak menyongsong
gempuran tongkat lawannya. Maka terjadilah olah senjata dari keduanya.
Denting gesekan senjata menghasilkan percikan bunga api.
Kyai Sangkelat membuktikan betapa pusaka itu terbuat dari besi pilihan.
Tajamnya bilah dapat menghadapi kerasnya tongkat yang terbuat dari besi
P a g e | 661
"Setan mana yang manjing dalam tubuh anak ini ?!" geramnya, sembari
mundur.
"Cih... Jangan besar kepala, anak bengal. Aku masih menyimpan segudang
ilmu !"
Tiba - tiba tongkat berkepala ular ditancapkan di tanah samping tubuh Blego
Trengganis. Selanjutnya orang itu memusatkan nalar dan budinya. Tangan yang
menguncup di depan dahi turun ke dada dan saling digesekan. Timbulah asap
tipis menyeruak dari sela tangannya. Tindakan itu masih berlanjut dengan
adanya warna membara menyelubungi tubuh Blego Trengganis.
Awalnya Arya Salaka tercekat mendapati lawannya seperti itu. Tetapi petuah
- petuah dari orang yang ia hormati, membuatnya tenang. Segera remaja itu
memusatkan nalar dan budinya untuk mengungkap ilmu yang ia warisi dari
paman sekaligus gurunya ki Mahesa Jenar. Aji Sasra Birawa, ya inilah yang
kemudian dilakukan remaja putra tunggal ki Ageng Gajah Sora.
"Hiiiaat.... " dua teriakan dari sumber berbeda mengawali dua hentakan ilmu
mendebarkan.
Tubuh itu tak lama lunglai ke tanah. Nyawanya amblas termakan aji Sasra
Birawa dan kyai Sangkelat. Pupus sudah salah seorang kepala Ular Sendok.
Menyisakan tatapan layu dari mata Arya Salaka yang berusaha duduk dan
mengatur pernapasannya.
"Hmmm... Terpaksa kematian ini terjadi padanya. Bila aku tak berbuat begitu,
mungkin akulah yang terbujur kaku. Dan... Ah, tak mampu aku membayangkan
kelanjutan tanah perdikan Banyuburu." desis Arya Salaka.
Tangannya kemudian meraih tangkai keris dan mencabut keris pusaka dari
tubuh lawan. Anehnya bilah keris tiada noda darah walau hanya setetes.
Menunjukan betapa aji Sasra Birawa dan keris itu mampu mengeringkan darah
P a g e | 663
Pada saat terjadinya adu ilmu kawijayan terjadi tadi, Blandong Kraksaan
sempat melihat tatkala adiknya tumbang secara mengenaskan. Tersulutlah
amarah dalam dadanya. Saudara yang ia sayangi kini tergeletak diam
membeku untuk selama - lamanya. Akibatnya Blandong Kraksaan bagai
banteng yang lepas dari ikatan tali. Mengamuk penuh tenaga menyeruduk
dan menyeplak mangsanya.
Ilmi tata gerak Panca Margi Pralaya yang biasanya dilakukan orang lebih dari
satu, ditangan Blandong Kraksaan dapat ia lakukan sendiri. Tubuh orang ini
berkelebat cepat bagai bayangan saja. Malah seolah - olah tubug itu
berjumlah banyak, sehingga membuat lawan yang menghadapi kerepotan.
"Untunglah aku sudah waspada sejak awal dan menerapkan aji Niscala
Praba. Jika tidak, tubuhku akan lumat." batin Kilatmaya atau Arya Dipa.
Dalam pada itu, Blandong Kraksaan sempat heran melihat lawan yang ia
hadapi tak mengalami apa - apa. Padahal ia yakin dapat melakukan sentuhan
- sentuhan keras melanda tubuh lawannya. Karenanya ia meloncat mundur
sekaligus menajamkan pandulunya untuk memperhatikan lawan.
"He... Warna kuning kemilau itulah yang melindungi tubuh orang ini. Ilmu
macam apa itu ?" geremeng Blandong Kraksaan, lirih.
Murid tertua nenek pemuja naga Anta Boga itu menyimpulkan akan
mencoba ilmu Hasta Naga. Maka dengan cepat ia memusatkan
mengumpulkan tenaga dan dipusatkan di sepasang tangannya. Aji ini karang
yang keras saja akan tercabik - cabik tak karuan, apalagi hanya manusia yang
terdiri dari darah dan daging.
P a g e | 664
"Rasakan ini manusia bertopeng !" seru Blandong Kraksaan, sambil meloncat
menerkam lawan.
Udara berubah gelap dan angin berderak di pategalan itu. Tubuh Blandong
Kraksaan mendadak digulung angin yang disertai kabut tipis. Dan ketika kabut
itu mereda dan angin lenyap, tampilah sesosok naga mengerikan dan besar.
Belum lagi dirinya dapat menenangkan hatinya, naga jelmaan dari ilmu
Nagarupa telah menyabetkan ekornya dengan kerasnya.
Mendapati pukulannya tak digubris oleh Nagarupa, Arya Salaka yang juga
bergelar Bagus Handoko mengingsarkan kaki demi menghindari sabetan ekor,
sekaligus menangkapnya. Dengan sekuat tenaga ekor itu dicekal untuk
menahan gerakan ular Nagarupa. Hal itu juga mengulur waktu agar supaya
orang bertopeng cepat bertindak.
Adu kekuatan terjadi antara Arya Salaka dan Nagarupa jelmaan Blandong
Kraksaan. Tangan remaja yang mendapat gemblengan ki Mahesa Jenar dan
sedikit tuntunan ayahnya ki Ageng Gajah Sora, menjadikan remaja Banyubiru
itu perkasa layaknya kekuatan sepuluh banteng liar. Sedikitpun tangan itu tak
mau membiarkan bagian ekor naga lepas dari cengkeramannya. Padahal
Nagarupa dengan menggila mencoba mengibas - ibaskan ekornya.
Apa yang dilakukan oleh Arya Salaka itu sempat mendapat perhatian khusus
dari guru sekaligus pamannya, ki Mahesa Jenar. Rasa bangga mengalir dalam
jiwa Rangga Tohjaya yang telah ikut andil mendidik anak sahabatnya. Tetapi ia
harus mengakhiri rasa kagumnya karena harus merendahkan tubuh disaat
lawannya hampir menyarangkan pukulan ke kepalanya.
"Awas Mahesa Jenar ! Berkelahilah tanpa membagi perhatian, jika kau tak
ingin cepat mampus !" ucap Dibya Manggala, mengingatkan sembari
mengayunkan kakinya.
P a g e | 666
"Uh... " desuh ki Mahesa Jenar sembari beringsut ke belakang dan memutar
tubuhnya.
Dalam pada itu, Kilatmaya yang sudah menguasai dirinya melenting berdiri
dan bergegas membantu Arya Salaka, yang terlihat tak mampu lagi menahan
kekuatan Nagarupa. Layaknya burung garuda, tangan Kilatmaya
mengembang lebar, serta kakinya bak cakar sangat cepat mengarah kepala
Nagarupa. Hebat hasilnya, dimana kepala ular tersebut terbanting keras
mengenai tanah. Tapi yang merugikan ialah gerakan ekor yang dapat
mengibaskan Arya Salaka hingga jauh.
"Ah.. Itu tak seberapa, adi. Dan janganlah memanggilku tuan, lebih enak
panggilah kakang Kilatmaya." sahut Kilatmaya.
Kilatmaya maju setindak di depan Arya Salaka, lalu katanya, "Istirahatlah, adi.
Biarlah jelmaan naga itu aku yang urus."
Pategalan Banyubiru dan juga dua insan menjadi saksi atas apa yang terjadi.
Perkelahian layaknya di alam mimpi benar - benar terjadi di depan mata tajam
ki Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Keduanya hanya dapat memperhatikan saja
tanpa dapat ikut campur.
Tiga kali cakaran tak mampu dihindari oleh Nagarupa. Keluhan menyayat
membuat naga raksasa itu menggelepar tak karuan. Sekejap kemudian ular
naga kembali ke wujud aslinya, yaitu ki Blandong Kraksaan. Orang itu sesaat
P a g e | 668
masih berusaha akan bangun, tetapi tubuhnya tak memungkinkan lagi, dimana
luka parah menghiasi dada, lambung dan kakinya.
Di angkasa Garuda Yaksa masih berputar dan saat menukik turun mendekati
tubuh Blandong Kraksaan, garuda itu berubah menjadi Kilatmaya kembali.
Meskipun banyak orang menatap penuh curiga, tetapi berkat penjelasan dari
Arya Salaka dan ki Mahesa Jenar, kecurigaan itu lambat laun sirna dari dada
para bebahu kabuyutan Banyubiru. Bahkan salah seorang dengan ramah
bertutur sapa mengenai kehebatan orang bertopeng tersebut.
P a g e | 669
"Angger mungkin di sini seorang yang paling hebat dan sakti. Bahkan
Anakmas Mahesa Jenar dan wayah Arya Salaka mempercakapkan apa yang
angger perbuat di pategalan sana." ucap salah seorang tetua.
"Oh... Kakek terlalu membesarkan saja. Siapa yang tak tahu kehebatan jalur
ilmu adi Arya Salaka dari kakeknya ki Ageng Sora Dipayana ? Juga ilmu paman
Mahesa Jenar yang merupakan warisan dari telatah Pengging ?" kata
Kilatmaya, merendah.
"Aku tak menyangka jika nama melambung sampai mana - mana." kata ki
Mahesa Jenar, "Padahal aku tidak berbuat apa - apa."
"Memang kakang Mahesa Jenar tidak berbuat apapun, itu setelah di telatah
Banyubiru." kali ini Penjawi yang berucap, "Tapi kakang tak bisa mengelak saat
berhadapan dengan Lawa Ijo demi menyelamatkan bidadarinya."
Candaan yang dilontarkan oleh Penjawi itu membuat gelora tawa memenuhi
rumah kabuyutan Banyubiru. Candaan dan guyonan mewarnai kehidupan di
kabuyutan yang sering mendapat gangguan dari beberapa pihak. Bahkan
kabuyutan Banyubiru pernah terjadi perang saudara yang mengakibatkan
tumbal dan bebanten dari penghuninya.
Suatu kali, di sebuah ruangan tinggalah tiga orang saja. Yaitu Arya Salaka
dan ki Mahesa Jenar yang berhadapan dengan Kilatmaya. Ketiganya
sepertinya melakukan pembicaraan singguh - sungguh. Apalagi kala itu keris
kyai Sangkelat nampak ditengah - tengah ketiganya.
"Tunggu dulu, Kilatmaya. Bukankah yang ingin kau hadapi sudah dapat kau
lumpuhkan, yaitu orang - orang Ular Sendok ?"
"Hm.. Awalnya hanya mereka, paman. Tapi yang lebih menguatirkan adalah
seseorang yang secara langsung menjadikan telatah ini sebagai batu loncatan
dalam menggempur Demak."
"He... Apakah apa yang aku dengar tidak salaj, Kilatmaya ?" nada ki Mahesa
Jenar bergetar.
Pesan pertama ialah adanya gerakan serentak dari gerombolan tokoh hitam
yang akan melurug Banyubiru. Pesan kedua adanya warta gembira akan
munculnya ki Ageng Gajah Sora beserta pasukan dari Demak. Dan yang
terakhir ialah pasukan aneh dari selatan Banyubiru. Dan dibeberkan pesan itu
kecuali darimana sumbernya.
"Oh.. Benarkah ayah akan datang, kakang ?" Arya Salaka tak dapat
menahan gejolak hatinya.
Dalam pada itu ki Mahesa Jenar agak heran dengan apa yang dikatakan
oleh Kilatmaya. Mengapa orang bertopeng ini dapat berkata seperti itu ?
Apakah orang ini seorang prajurit telik sandi Demak ? Ataukah seorang
pangeran yang menyamar ?
Tanda tanya besar menggantung dalam benak bekas senopati Demak itu.
Orang dihadapannya bagai dilingkari kabut tebal sehingga sulit untuk
disingkapkan jatidirinya. Sebagai seorang yang pernah menjadi nayaka praja
Demak, sebagian besar ki Mahesa Jenar kenal dengan orang - orang di
kotaraja. Tapi tiada yang mirip dengan perawakan dan suara orang yang
mengaku sebagai Kilatmaya ini.
P a g e | 671
"Ilmunya sangatlah tinggi. Mungkin Adipati Anom atau Mas Karebet bukan
tandingan orang ini. Hm... Siapa sesungguhnya dia ?" batin ki Mahesa Jenar.
"Dan pada nantinya aku yang akan mencoba menahan pasukan dari selatan
itu dengan bantuan prajurit khusus dari Demak." Kilatmaya berhenti sesaat, dan
katanya lebih lanjut, "Paman percayalah padaku."
Karenanya pemuda bertopeng itu hanya menghela nafas saja. Untung saja
tindakan itu tak terlihat oleh ki Mahesa Jenar maupun Arya Salaka. Sehingga
tidak semakin menambah perhatian dari kedua orang tersebut.
Dalam pada itu, wajah dibalik topeng tipis dengan bagian bibir berlubang,
menunjukan wajah dibalik topeng telah tercekat. Tiada lain dan bukan karena
menatap wajah gadis remaja yang pernah ia jumpai di kotaraja Demak. Yaitu
putri ki Sembada atau ki Kebo Kanigara uwa Mas Karebet.
"Bukankah dia putri ki Kanigara ?" batin Kilatmaya dalam hati, sambil
memperhatikan dengan seksama.
P a g e | 672
Diraihlah ketela rebus itu dan melahapnya. Tak lupa wedang sere dari dalam
gelas diteguk perlahan. Meskipun masih mempertanyakan keberadaan gadis
putri ki Kebo Kanigara, Kilatmaya berusaha mencari jawabannya sendiri.
Para petani membekal cangkul dan arit pergi ke sawah maupun pategalan.
Pedagan kecil mulai mewarnai pasar - pasar. Para saudagar dengan diiringi
pengawal meniti bulak - bulak demi menjual dagangan mereka diluar telatah
yang jauh. Pun dengan bebahu, mereka ikut membenahi dan mengerjakan
tugas masing - masing.
Arya Dipa begegas memakai topengnya dan memberi isyarat kepada gadis
itu, dengan menyilangkan telunjuknya di depan bibir.
"Sttt.... Aku mohon nimas untuk tak membicarakan hal ini kepada siapa pun."
pinta Arya Dipa.
"Tapi... "
"Aku mohon, nimas. Ini semua demi adi Mas Karebet." potong Arya Dipa.
P a g e | 674
Dalam pada itu Arya Dipa mencoba melihat kanan kiri sekitar pakiwan.
Untungnya tempat itu masih sepi. Dicobanya untuk meyakinkan gadis putri ki
Kebo Kanigara tersebut. Hanya beberapa hal saja yang ia katakan kepada
gadis itu tanpa harus membeberkan semuanya.
"Ingat nimas Widuri, ini harus kau simpan dari siapa pun. Meskipun disuatu hari
ayah dan kakangmu berkunjung kemari."
"Hm... Baiklah. Kalau begitu aku akan pergi. Mumpung belum ada orang yang
melihat dan berpikir macam - macam."
Baru saja Arya Dipa atau Kilatmaya duduk di pringgitan, terdengar derap dua
ekor kuda memasuki regol rumah ki Buyut Banyubiru. Dengan tangkas kedua
penunggang menghentikan kuda dan turun seketika sambil menyerahkan tali
kekang kepada pembantu kabuyutan. Bergegas keduanya berlari menaiki
tlundak pendopo.
P a g e | 675
Rupanya derap kuda tadi telah memancing para penghuni rumah ki Buyut
Banyubiru. Arya Salaka ditemani ki Mahesa Jenar dan ki Wanamerta nampak
keluar dari ruang dalam menuju pendopo.
"Ada apa Sawungrana dan kau Pandan Kuning ?" tanya ki Wanamerta,
dengan cepatnya.
Kedua orang itu mencoba mengatur napas demi untuk menyusun kata
dengan sebaiknya. Lalu Pandan Kuning memberi isyarat kepada Sawungrana
untuk melapor terlebih dahulu.
Tentu saja laporan itu mengejutkan semua orang, bahkan Kilatmaya yang
awalnya duduk di pringgitan langsung mendekat. Demikian cepatnya
pergerakan gerombolan itu dari apa yang Kilatmaya dengar sebelimnya lewat
cantrik penghubung. Dan seketika Kilatmaya dapat menduga laporan yang
akan dikatakan oleh Pandan Kuning.
"Lalu bagaimana denganmu, kakang Pandan Kuning ?" kali ini Arya Salaka
yang bertanya.
"Saat kami pergi ke hutan sebelah selatan, tanpa sengaja kami melihat
adanya pasukan segelar sepapan, adi Salaka." kata Pandan Kuning, "Saat ini
Penjawi masih mengamati pasukan itu bersama tiga kawannya."
Dalam pada itu Kilatmaya meminta ijin untuk mendahului melihat siapa saja
lawan yang berada di perbatasan arah ke Rawa Pening. Diantar oleh
Sawungrana keduanya melesat menggunakan kuda meninjau lawan.
P a g e | 676
"Hm... Semua golongan hitam hampir ada." desis Kilatmaya, setibanya di atas
tebing.
"Kakang Sawungrana, aku rasa adi Arya Salaka dan laskarnya dapat
menghadapi mereka." kembali Kilatmaya berkata.
"Lihatlah remaja yang paling depan itu, adi." sahut Sawungrana seraya
menunjuk seorang remaja yang menunggang kuda hitam.
"Putra ki Ageng Lembu Sora dari Pamingit, adi. Dialah adi Sawung Sriti."
"Jangan kwatir, kakang. Aku yakin adi Salaka akan mampu berpikir dengan
bijak. Walau seandainya keduanya berhadapan." kata Kilatmaya.
mengunjungi pasukan di dekat hutan sebelah selatan. Dan ketiga orang itu
menyetujuinya.
"Tuan bertopeng sudah ditunggu oleh tuan Senopati." kata prajurit itu.
"Benar apa yang diucapkan oleh, ki Panji Gajah Sora ini. Dan akulah yang
paling banyak mengucapkan terima kasih terhadap tuan Bertopeng." imbuh ki
Ageng Gajah Sora.
Lalu kata Senopati Demak berlanjut, "Ki Ageng, silahkan ki Ageng bergabung
dengan laskar Banyubiru yang akan menghadapi gerombolan tokoh hitam. Ki
Lurah Bangau Lamatan dan Jaka Ungaran disertai pasukan Pangatus akan
menyertai ki Ageng."
"Terima kasih, ki Panji. Sekarang juga kami berangkat." sahut ki Ageng Gajah
Sora.
Orang Banyubiru itu bergegas keluar daei tenda disertai ki Lurah Bangau
Lamatan dan Jaka Ungaran. Ketiganya menaiki kuda bersama prajurit
pangatus terlihat menuju ujung padukuhan dalam lingkup kabuyutan
Banyubiru. Iringan itu terlihat gagah dengan adanya umbul dan rontek
pertanda kesultanan Demak.
dengan medan berupa semak belukar hutan. Pasukan ini dipencar menjadi
tiga bagian yang setiap bagian terdiri lebih dari seratus prajurit.
Pasukan utama langsung dibawah ki Panji Gajah Sora dan Kilatmaya sendiri.
Sayap kanan dipimpin oleh ki Lurah Lembu Suro bersama Wasis dan Sambi
Wulung. Sedangkan sayap kiri diserahkan kepada lurah muda, ki Lurah
Wiratsemi disertai prajurit srikandi yaitu Rara Asih putri ki Panji Reksotani.
Di suasana sang surya semakin menanjak, dari arah Rawa Pening sudah
terdengar sangkakala yang menandakan perang mulai berkecamuk. Awalnya
pasukan golongan hitam layaknya air bah menggulung laskar Banyubiru.
Dalam keadaan terdesak itulah tiba - tiba muncul debu membumbung tinggi
mengejutkan Laskar Banyubiru dan juga pasukan gerombolan hitam. Namun
semakin mendekatnya debu yang terlontar dari kaki kuda menimbulkan rasa
suka cita laskar Banyubiru. Terutama saat salah satu penunggang kuda
ditunggangi oleh ki Ageng Gajah Sora.
"Oh, syukurlah.. Ayah datang dengan selamat." ucap Arya Salaka disela - srla
menghadapi Sawung Sriti.
Sementara itu, di dalam hutan juga sudah terjadi perang yang membuat
pasukan dari selatan terkejut. Pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Arya
Singasari itu tidak menyangka kalau pasukannya yang sudah melakukan
gerakan senyap, dapat dikelabuhi pasukan bercorak hijau.
Mendapatkan pasukannya terhimpit dari sisi kanan dan kiri, Pangeran Arya
Singasari memerintahkan senopatinya untuk bergerak cepat demi membangun
kembali semangat tempur prajuritnya. Perintah itu pun secara beranting
mengalir ke seluruh prajurit pasukan Bang Wetan dan membangkitkan tekad
prajurit tersebut.
Denting senjata dan teriakan serta keluh jerit mulai membuat hutan sebelah
selatan Banyubiru riuh. Darah segar mengucur membasahi setiap tubuh yang
lengah sehingga tergores maupun tertusuk tajamnya senjata. Bahkan ada yang
mengalami lebih buruk beruba kepala remuk dan tubuh arang keranjang.
Sungguh miris terjadi tatkala perang menguasai tanah pertiwi ini.
Suatu kali dua prajurit Demak meluncurkan tombak mereka mengarah orang
berpakaian hitam. Sebuah kenyataan telah mengakibatkan kedua prajurit
terheran - heran. Tiada lain karena tombak keduanya yang berhasil mengenai
tubuh lawan tak dapat menembus gumpalan daging dibalik baju. Malah orang
yang dikenai terlihat tersenyum sembari menggerakan kedua tangan
memapas kedua tombak.
Belum lagi rasa kaget hilang, dua prajurit itu melotot sekaligus mulut
menganga seraya tangan keduanya menyentuh pundak mereka yang
berdarah tertusuk tajamnya potongan tombak. Rupanya orang berpakaian
P a g e | 681
hitam itu setelah memapas tombak, langsung meraih potongan tombak dan
bergerak cepat menancapkan potongan tombak. Maka tak heran jikalau dua
prajurit Demak tak berdaya jatuh memeluk bumi.
"Ho.. Minggirlah kisanak, jika kau tak ingin melihat indahnya sang surya diesok
hari." tegur orang berpakaian hitam.
"Kau aneh, kisanak. Tadi saat menghadapi prajurit Demak, kau tidak menegur
sedikitpun. Tapi kali ini kau mau memberi aku peringata." sahut Kilatmaya.
Orang berpakaian hitam itu sudah muak terhadap orang bertopeng yang
tidak menghiraukan peringatan darinya. Tanpa basa - basi lagi, orang tersebut
meloncat menyerang Kilatmaya. Kaki orang itu menyambar kepala Kilatmaya,
namun serangannya tak menghasilkan apa - apa.
Terjadilah perang seru diantara keduanya. Kegesitan kaki dan liukan tubuh
disertai kerasnya pukulan tindih menindih tak terelakan. Dua jalur ilmu keduanya
menggambarkan ketinggian pencapaian ilmu tingkat tinggi. Itu terlihat dari
deru dan desir angin yang mereka timbulkan.
P a g e | 682
"Ilmu tata gerak itu.... Ah sepertinya aku pernah menyaksikan ilmu orang
bertopeng itu." desis Pangeran Arya Singasari.
Dalam pada itu, perkelahian seru juga terlihat disemua titik medan. Di capit
kanan, ki Lurah Lembu Sura menghadapi senopati pilihan pasukan Bang Wetan.
Sehingga bantuan Wasis dan Sambi Wulung sangat diperlukan untuk melayani
keganasan senopati lawan.
Begitu juga di capit kiri, seorang kakek berpakaian layaknya pendeta harus
dijaga ketat oleh ki Lurah Wiratsemi dan Rara Asih.
"Babo.. Babo... " ucap kakek itu, "Cah ayu, istirahatlah supaya kau tidak cepat
letih."
Rara Asih tak menyahuti dengan kata - kata. Putri Panji Reksotani ini malah
menggunakan pedang tipisnya membacok mulutkakek itu.
"Tobat - tobat... Galaknya minta ampun ini bocah !" celotehnya sambil
menepis pedang itu menggunakan pakaian lengan panjangnya.
Pedang Rara Asih terlihat mental dan hampir saja lepas dari pegangan.
Untunglah gadis ini masih dapat mempertahankannya. Dan kembali
berwaspada.
"Hebat juga kau, cah bagus." puji kakek itu, lalu katanya kemudian, "Tapi
janganlah kau membusungkan dada terlebih dahulu."
P a g e | 683
"Deeess... !"
Menyadari jika menghadapi seorang yang sulit dihadapi, Lurah Wiratsemi dan
Rara Asih bergerak berbarengan. Keduanya menjalin kerjasama dengan
baiknya. Pedang tipis Rara Asih selalu bergerak sangat lentur mengejar tubuh
kakek pendeta. Sementara nanggala Lurah Wiratsemi menjulur layaknya lidah
ular mematuk mangsanya.
Tak urung kerjasama dari keduanya membuat kakek pendeta tersebut tak
olah - olah menghadapi. Jika lengah yang dipertaruhkan ialah nyawa yang
bersarang dalam raga tua itu. Oleh karenanya, kakek itu mulai meningkatkan
ilmunya. Deru angin dari hasil peningkatan ilmunya membuat lawannya
semakin berhati - hati.
Suatu kali tangan pendeta itu menjulur mengarah Rara Asih yang masih
berada dalam keraguan. Akibatnya pundak Rara Asih terkena hantaman
telapak tangan pendeta tua tersebut. Membuat tubuh gadis itu terhempas.
"Terima kasih, ki Lurah." ucap Rara Asih, yang masih merasakan pundaknya
bagai terhantam besi gligen.
P a g e | 684
Orang tua berpakaian pendeta itu adalah salah seorang yang sangar
dihormati di kalangan pasukan Bang Wetan. Dialah Pendeta Padutapa,
pendeta sekaligus penasehat Raden Seganggeng adik ipar Panembahan Bhre
Wiraraja. Karenanya tak heran jika tandangnya sangat ngedab - ngedabi.
"Rasakan ini... !" seru orang bertopeng satunya, seraya melayangkan pukulan
ganda.
Kembali keduanya memamerkan tata gerak - tata gerak penuh tenaga dan
tipuan yang mengagumkan bagi siapapun yang menyaksikan.
Itulah dua ilmu yang menyerupai ilmu kebal dengan sebutan berbeda.
Niscala Praba diperuntukan untuk ilmu Kilatmaya yang bersumber dari kitab
Cakra Paksi Jatayu, peninggalan raja Bedahulu di Bali Dwipa dan Prabu
Airlangga. Lain halnya sebutan ilmu lawannya yang berwarna merah, yaitu ilmu
Prahara Geni tingkat tertinggi yang dapat dikendalikan untuk mengamankan
tubuh penggunannya.
Bunyi letupan kecil semakin terus terdengar tatkala ilmu Niscala Praba
bergesekan dengan ilmu Prahara Geni. Asap samar pun juga terlihat dari akibat
yang ditimbulkan oleh dua ilmu mendebarkan tersebut. Tak pelak membuat
kagum bagi masing - masing hati.
"Inikah orang yang diceritakan oleh Panji Menak Sengguruh dari Puger itu ?"
batin orang bertopeng hitam yang ternyata Lintang Kemukus.
Keduanya terus berusaha mengungguli lawan satu dengan lainnya. Adu siasat
melalui gerekan - gerakan dahsyat terus bergulir semakin hebat. Tata gerak
rumit penuh kembangan dan tenaga menyeruak mengakibatkan gelombang
mendeeu - deru penuh ancaman. Hingga debu dan dedaunan kering
berhamburan terkena getahnya.
Kilatmaya tak tinggal diam. Meskipun tubuhnya berada dalam lindungan aji
Niscala Praba, pemuda ini tak mau membiarkan lawannya dengab mudah
mengenainya. Oleh sebab itulah segala daya upaya ia kerahkan untuk
mengikuti permainan dari lawannya. Cepat dan tangkas kaki Kilatmaya bak tak
menginjak tanah.
"Benar - benar lawan yang tangguh yang dimiliki oleh Demak.. " ucap Lintang
Kemukus.
"Andai saja ia berada dipihak Panembahan Bhre Wiraraja, tentu kami semakin
mudah menggulung orang - orang Demak." kembali Lintang Kemukus berucap
dalam hati.
Dalam pada itu, Kilatmaya sekaligus Arya Dipa, mencoba meraba apa yang
dipikirkan lawannya. Gerakan lawan yang agak melambat tentu ada sesuatu
yang sedang dipikirkan oleh lawannya. Dengan ucapan yang bersahabat,
Kilatmaya mencoba mencari tahu jati diri lawannya yang juga memakai
topeng seperti dirinya.
"Huh... Kau tahu apa dengan trah yang malah merusak apa yang telah
didirikan oleh Raden Wijaya ?" bantah Lintang Kemukus, "Dengan alasan palsu
mereka mengobrak - abrik keraton Wilwatikta dan mengusir serta memburu
Prabu Brawijaya Pamungkas !"
"Itukah yang kau maksud sebagai penerus sah Wilwatikta, kisanak !?" seru
Lintang Kemukus.
Kilatmaya sedikit banyak mengetahui apa yang terjadi di tanah Jawa Dwipa
ini di saat - saat akhir tenggelamnya sang surya langit Majapahit. Tentu sangat
keliru apa yang diucapkan oleh lawannya yang menuduh Demak sebagai
P a g e | 687
"Rupanya kisanak ini salah seorang yang mengikuti pemikiran pihak yang tidak
suka terhadap trah Demak. Tentu saja sangat sulit pemahaman kita untuk
bertemu dalam satu titik."
" Bila itu hak orang yang kau sebut sebagai Panembahan Bhre Wiraraja,
mengapa kalian tidak pergi ke Wilwatikta yang kini menjadi kadipaten
Japanan ? Dan menjadikan tempat itu sebagai pusat kerajaan yang kau
agung - agungkan itu, kisanak ?!"
Ucapan Arya Dipa memang tepat mengenai dada Lintang Kemukus dan
membuat tangan kanan Panembahan Bhre Wiraraja mengatupkan mulutnya.
Orang itu tak mengira jika lawannya dapat berucap seperti itu. Hampir saja
Lintang Kemukus mengiyakan ucapan lawannya, jika saja gelora nafsu dalam
merengkuh kamukten tak mengusiknya.
P a g e | 688
"Cukup.... !" teriak Lintang Kemukus, "Lebih baik kita tuntaskan permainan kita
dengan menggunakan jaya kawijayan !"
Sosok asli dari Lintang Kemukus berdiri bersedekap berada di tengah sosok
lainnya. Namun kemudian saat kedua tangan Lintang Kemukus terurai, dua
sosok lainnya langsung bergerak menyilang menyerang Kilatmaya. Dua sosok
itu menyerang gencar tanpa ampun yang membuat lawannya terus
menggeser kaki surut kebelakang, demi menghindari ganasnya serangan.
Selapis demi selapis segala ilmu meningkat untuk melayani tandang lawan
yang ngedab - ngedabi. Lapisan Niscala Praba dalam menyelimuti tubuh
Kilatmaya semakin terang dan menyilaukan. Belum lagi ditambah kegesitan
kakinya yang bergerak kian kemari layaknya bilalang saja. Ini menunjukan
betapa pemuda bertopeng tersebut bersungguh - sungguh dalam
menghadapi lawan yang tangguh itu.
P a g e | 689
Kejadian itu sangatlah mengerikan jika yang dihadapi hanyalah orang biasa
yang tak dibekali ilmu kanuragan dan kajiwan. Sekali gelembung merah
tersebut menyentuh kulit, akibat yang ditimbulkan bisa menjadikan kulit lumer.
Karenanya, sosok asli dari Lintang Kemukus tak mau menunggu lagi. Terjadilah
kini seorang dikerubut tiga sosok Lintang Kemukus sekaligus. Seru dan sengitlah
apa yang terjadi. Serangan bertubi - tubi dari segala arah terus mencerca
pemuda unggulan dari Demak. Serangan dari sosok satu, dilanjut sosok kedua
dan disambung oleh sosok ketiga.
Tapi apa yang diperkirakan oleh Lintang Kemukus berbeda jauh. Kilatmaya
tidak menampakan kalau tubuhnya semakin melemah, malah tubuh itu
bertambah srbat dan cekatan dalam melakukan penghindaran serta serangan
balasan yang dapat mengejutkan Lintang Kemukus.
" Gila orang ini !" seru Lintang Kemukus dallam hati.
P a g e | 690
Belum lagi rasa geramnya tersapu, Lintang Kemukus dikejutkan oleh gerakan
lawannya yang srkali gerak dapat melenyapkan ilmunya. Dua sosok dari
ilmunya lenyap tak terbekas.
"Selain itu, lihatlah sekitarmu. Pasukan yang kau bawa dalam kesulitan jika
perang ini dilanjutkan." Kilatmaya mencoba memberikan waktu agar lawannya
memperhatikan sekitar.
"Hm... Lebih baik kami menyingkir dan mencari waktu yang tepat." batin
Lintang Kemukus.
" Jangan dikejar !" seru Panji Gajah Sora, senopati Demak, "Rawatlah kawan
kalian dan kumpulkan yang telah mengorbankan nyawanya."
Perintah itu cepat dikerjakan oleh prajurit Demak. Satu persatu tubuh yang
terluka entah itu kawan maupun lawan segera mendapat pertolongan dari
tabib yang diikutkan. Serta tubuh prajurit yang tak bernyawa pun, tak
ketinggalan untuk dirawat semestinya.
P a g e | 691
Tentu saja Kilatmaya terkejut. Bukankah putra ki Ageng Lembu Sora datang
bersama Bugel Kaliki dan lainnya ? Bagaimana hal itu bisa menimpa sepupu
Arya Salaka ?
"Mari kita menaiki pendopo, adi. Sekalian akan aku ceritakan apa yang
terjadi." ajak Sawingrana.
P a g e | 692
Agar semakin jelas apa yang terjadi, Kilatmaya mengiyakan dan mengikuti
langkah Sawungrana yang berjalan membelah halaman menuju pendopo
kabuyutan.
Helaan napas terlihat dilakukan Kilatmaya setelah mengerti apa yang terjadi.
Tetapi sebuah rasa syukur sempat hadir saat mengetahui kalau Sawung Sriti
yang sadar akan kekeliruannya dan membantu Arya Salaka menghadapi
Bugel Kaliki. Meskipun pada akhirnya Yang Kuasa menentukan pati anak
tunggal ki Ageng Lembu Sora ditangan Bugel Kaliki.
"Inilah maut. Sebuah pelajaran bagi yang menyaksikan. Saat ini tubuh
pemuda itu yang terbujur kaku. Dan entah besok atau kapan ? Giliran kita yang
akan mengalaminya." desis seorang kakek yang duduk didekat Kilatmaya.
Pemuda bertopeng itu mengiyakan apa yang diucapkan kakek itu. Dan
tanpa sadar Kilatmaya memandang wajah kakek yang duduk di dekatnya.
Oh.. Kejut melanda hati Kilatmaya.
"Kanjeng Sunan..."
"Hohoho... Bukan ngger, aku hanya kakek dari Kali Progo." desis kakek itu
perlahan, "Kau pasti mengertikan apa yang aku maksud ?"
P a g e | 693
Selain itu, pemuda ini tak segan - segan memberikan sumbangsihnya dalam
bidang keprajuritan bagi cantrik yang akan mengabdikan diri mereka ke
kotaraja atau kadipaten asal mereka. Bekal dasar berupa pengalaman
pertama dalam dunia keprajuritan sangat berguna bagi para cantrik tersebut.
Juga kemantaban hati dalam meraih cita - cita selalu dipupuk tanpa
P a g e | 694
Sementara itu, di hutan yang dijadikan tempat berburu Kanjeng Sultan, telah
terjadi peristiwa yang menggemparkan. Seorang pemuda yang berjuluk
Kebodanu, marah besar dan akan mengobrak - abrik perkemahan di mana
Kanjeng Sultan Trenggono berada.
Kebodanu ini rupanya seorang pemuda yang berasal dari tanah perdikan
Banyubiru dan juga putra ki Ageng Gajah Sora. Juga dikenal dengan nama
Arya Salaka atau Bagus Handoko. Dengan membawa tombak pusaka kyai
Bancak, Kebodanu memimpin laskar Banyubiru yang terkenal trengginas serta
berpengalaman dalam menghadapi berbagai perang gelar atau pun perang
brubuh. Di dalam laskar itu juga hadir ki Mahesa Jenar atau ki Rangga Tohjaya,
seorang bekas perwira Manggala Demak dan sekaligus guru Kebodanu.
Laskar begitu banyaknya itu tentu saja cepat tercium oleh hidung tajam
prajurit telik sandi Demak. Maka bergegas mereka melaporkan pergerakan
pasukan yang tak dikenal itu kepada perwira pengawal Kanjeng Sultan.
Sehingga membuat pemimpin pengawal keprajuritan Demak gusar bukan
main. Pasalnya, prajurit yang mengawal Kanjeng Sultan dalam perburuan tak
lebih dari seratus orang saja.
"ki Lurah, ketiwasan..." seorang prajurit telik sandi, datang dengan napas
tersengal - sengal.
"He... !" Lurah pengawal itu terkejut, "Sudah di mana pasukan itu ?"
P a g e | 695
Kemudian prajurit itu menunjukan ancar - ancar saat dirinya melihat iringan
yang terlihat mengekor merayapi gumuk di barat dekat perkemahan. Terlihat
perwira atasannya menunjukan wajah tegang, meskipun kemudian ia berusaha
bersikap tenang dan berjalan menghadap senopati ki Panji Reksotani, untuk
melaporkan adanya pasukan yang tidak dikenal.
Keributan itu tak lepas dari pendengaran Kanjeng Sultan Demak. Betapa
tenang sikap yang ditunjukan oleh putra ketiga Raden Patah itu. Menunjukan
sikap sebagai seorang raja yang penuh wibawa tatkala mendengar kalau
perkemahannya sedang dilanda prahara.
"Hm... Sudah waktunya, apakah ini sudah waktunya, eyang ?" ucap Sultan
Trenggono.
"Dua pemuda yang mempunyai sifat bagaikan langit dan bumi." batin Sultan
Trenggono, "Hm.. Mungkin bila aku tiada, Ananda Bagus Mukmin akan
mendapat gangguan dari Ananda Arya Jipang. Meskipun saat ini ia tak berani
menunjukan sikapnya secara terang - terangan terhadapku."
"Mohon maaf Kanjeng Sultan, mengapa kita biarkan orang - orang Banyubiru
dan Pamingit itu ?'" sebuah suara mengajukan pertanyaan.
Dalam pada itu, dua sosok muncul mendekati Sultan Trenggono dan ki Panji
Reksotani. Seorang yang lanjut usia dan seorang lagi masih muda. Kedua sosok
itu mengucapkan salam dan mengangguk hormat.
Lalu lanjutnya, "Malam ini tak akan terjadi apa - apa, Cucunda. Gajah Sora
dan Tohjaya tentu akan selalu menjaga Arya Salaka sampai esok hari."
"Hm.. Eyang, lalu bagaimana nanti jika para Nayaka Praja di kotaraja jika
mendengar apa yang terjadi di bukit Prawoto ? Bukankah mereka akan
menudingkan telunjuk ke Banyubiru untuk digulung karena telah melakukan
penyerangan terhadapku ?"
Getar hati pemuda itu bercampur aduk tak karuan. Akhirnya ia dapat
kembali memasuki dunia keprajuritan dan dapat mengabdikan diri dekat
dengan Demak.
"Apakah ini menjadi sebuah tanggungan yang aku pikul, Cucunda ?" tanya
Raden Buntara dengan senyum mengembang.
Sinar terik sang surya rupanya tak seperti hari sebelumnya. Kali ini suara
hentakan dan gesekan senjata terdengar meramaikan bukit Prawoto. Seorang
anak muda dengan tandang yang mendebarkan membuat beberapa prajurit
terhempas.
" He.. Siapa kamu yang berteriak lancang di depan perkemahan Kanjeng
Sultan !" bentak seorang Lurah prajurit.
"Pemuda kurang tata... !" bentak Lurah prajurit dengan kerasnya sambil berlari
menyerang Kebodanu.
Pedang tajam Lurah prajurit sudah terlepas dari warangkanya dan menebas
tubuh lawannya. Namun rupanya lawan yang terlihat masih sangat muda itu,
dengan mudah menghindari senjatanya. Bahkan sebuah sentuhan dari tangan
lawan mengakibatkan pergelangan tangannya bagaikan diselomoti api.
Hampir saja pedangnya lepas dari pegangan andai saja Lurah prajurit itu tak
dapat mempertahankan dengan sekuat - kuatnya.
"Triiing... !"
Bidikan itu bukanlah bidikan biasa. Sebagai anggota pasukan Wira Manggala
dan bahkan dengan jenjang kepangkatan Lurah, bidikan itu dilambari tenaga
cadangan. Dan Lurah prajurit itu sangat yakin jika bidikannya akan tepat
mengenai sasaran.
Lurah prajurit dan Kebodanu langsung mencari sumber suara itu. Terlihatlah
seorang pemuda yang ditemani oleh seorang manusia memakai topeng.
"Iya, adi. Ini aku, Kilatmaya." sahut orang bertopeng, lalu katanya kembali,
"Hentikan tingkah lakumu ini, adi."
"Tidak kakang !" serunya, "Sebagai seorang yang jantan, aku akan mengobrak
- abrik siapa-pun yang berani melarikan calon istriku !"
"Lihatlah sekitarmu dengan nalar yang bening. Bila kau meneruskan apa yang
kau lakukan bersama Laskarmu, berarti seluruh kawulamu siap dicap sebagai
P a g e | 701
Sementara itu tak jauh dari medan, seorang pemuda menunjukan wajah
masam. Pemuda berpakaian layaknya seorang bangsawn itu terlihat tak
menyukai apa yang terjadi di depan perkemahan Kanjeng Sultan Demak.
"Tenangkan hati Raden. Kita lihat sampai tuntas permainan itu." sahut orang
yang dipanggil Tumenggung itu.
"Hiaaaaat.... !"
Semua orang yang melihat sungguh kagum dengan apa yang mereka lihat.
Tetapi tidak sedikit yang cemas mengenai keduanya, yaitu ki Mahesa Jenar, ki
Ageng Gajah Sora, ki Kebo Kanigara, Rara Wilis, Endang Widuri dan yang
lainnya.
"Adi Mas Karebet, tentu dapat mengekang dirinya. Dan jika perlu, Eyang
Panembahan atau Kanjeng Sultan akan melerainya." desis Kilatmaya.
Suatu kali tangan Kebodanu melaju dengan keras menyasar dada Mas
Karebet yang terlihat terbuka. Sekilas, Mas Karebet tak bergerak sedikit pun
karena waktu untuk menghindar atau-pun menangkis sudah terlambat.
Kepastian yang bakal terjadi tentu luka yang didapat oleh putra mendiang ki
Ageng Pengging Anom.
"Desss..... "
"Apa tenaga banteng Banyubiru hanya sampai disini ?!" ucap Mas Karebet.
Di kala itu, sosok pemuda yang tiada lain Raden Arya Jipang, terlihat
mendongkol dengan tingkah laku dari Kebodanu dan Mas Karebet. Dalam hati
pemuda itu, terbersit rasa tak senang terhadap keduanya. Apalagi diakhir -
akhir ini, Raden Arya Jipang mendengar desas - desus mengenai putri
pamannya yang akan dikawinkan dengan pemuda dari Pengging. Padahal
pemuda itu hanyalah prajurit rendahan yang pernah melakukan kesalahan
saat penerimaan prajurit baru Demak.
"Hm... Menurut laporan orang - orang kita, dia putra angkat nyi Ageng Tingkir.
Dan ternyata, dia merupakan putra mendiang Raden Kebo Kenanga dari
Pengging."
"Raden Kebo Kenanga yang mendapat hukuman dari bapa guru Sunan
Kudus itukah ?" tanya Raden Arya Jipang.
"Hm... Bila perkawinan itu berlangsung, itu sebuah tanda kalau pamanda
Sultan Trenggono sudah terbalik hati dan pikirannya." desis Raden Arya Jipang.
"Ingat Raden, kekuatan kita barulah sekuku ireng bila dibandingkan kekuatan
mereka. Serta waktunya belumlah menguntungkan bagi perjuangan kita."
kembali orang itu berkata pelan.
Tak terasa perang tanding antara Arya Salaka dan Mas Karebet sudah hampir
mendekati akhir. Keduanya siap mengungkap ilmu pamungkas masing -
masing. Nampak semakin nyata diperlihatkan bagaimana Arya Salaka
memasang kuda - kuda yang kokoh dalam lambaran aji Sasra Birawa, warna
terang memercik dari kepalan tangan pemuda itu. Sedangkan di depan, tak
kalah menakjubkan adanya cahaya hijau kebiruan menyelimuti tubuh Mas
Karebet, yang sudah mempersiapkan aji Lembu Sekilan.
"Aku akan menghentikan semuanya... " desis ki Ageng Gajah Sora, perlahan.
Walau kata itu sangat lirih, ki Mahesa Jenar yang dekat dengan kepala tanah
perdikan Banyubiru itu, mendengar juga. Oleh karenanya dengan cepat ki
Mahesa Jenar menggamit kawannya supaya tak beranjak dari tempatnya.
"Adi, Sasra Birawa akan mental ke tubuh putraku. Bagaimana aku dapat
bersikap tenang ?"
Mata ki Ageng Gajah Sora hampir tak berkedip. Apa maksud dari ucapan
yang ia dengar dari kawan setianya iti ? Apalagi terlihat sunggung aneh disudut
sahabatnya.
Memang kedahsyatan aji Sasra Birawa sangatlah besar yang diterapkan oleh
Arya Salaka. Tetapi serangan itu membal ke tubuh pemuda itu kembali,
sehingga membuatnya mencelat. Untunglah pemuda itu sudah digembleng
oleh ki Mahesa Jenar dan beberapa orang tua, yang dapat membuat
tubuhnya tetap utuh dari gempuran balik tenaganya.
Saat itulah dari dalam kemah munculah beberapa orang dan mendekati
kalangan. Perbawa dari orang yang berada paling depan, mampu membuat
semua orang menunduk hormat. Rupanya Kanjeng Sultan Trenggono, sudah
berpikiran untuk saatnya menyelesaikan permainan ini. Tentunya ditemani oleh
Raden Buntara, salah seorang pangeran dari garis Majapahit.
P a g e | 706
"Segala titah Kanjeng Sultan, kami junjung tinggi... " seru sekalian dengan
serentak.
Mereka pun dijamu dengan hangat oleh Sultan Trenggono. Seolah tiada
sesuatu yang terjadi saat sebelumnya. Dan memang kejadian tadi hanyalah
sebuah permainan yang diramu oleh Pangeran Buntara dalam rangka
mengembalikan Mas Karebet ke lingkup Demak. Juga menilik kehebatan Arya
Salaka dimata Sultan Trenggono, sehingga menjadikan putra Banyubiru
sebagai salah satu banteng bagi Demak, dimasa yang akan datang.
Bukan hanya itu saja, hal paling utama akan terjadi di kotaraja, dimana Putri
Mas Cempaka akan disandingkan dengan Mas Karebet. Tentu saja warta itu
membuat semua yang hadir meluapkan kegembiraan tak terkira. Rupanya
sebentar lagi akan berlangsung keramaian di kotaraja dan Banyubiru. Kawula
akan mendapat hiburan kesenian tak hanya semalam saja, tapi sepasar tiada
henti - hentinya.
"Kali ini kau harus memikirkan keadaan dirimu sendiri, ngger. Karena aku
merasakan untuk saat - saat ini Demak akan diselimuti kain tebal yang sulit
diguncang. Oleh karenanya, tepatilah janjimu kepada kekasihmu itu.."
Sebenarnya Kilatmaya atau Arya Dipa sendiri juga memikirkan apa yang
dibicarakan oleh Panembahan Ismaya. Hatinya sudah mantab untuk segera
membina rumah tangga bersama Ayu Andini. Karenanya ia-pun mengatakan
dengan sejujurnya niatnya kepada Panembahan Ismaya.
Waktu-pun berlalu dengan semestinya. Keris kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten
sudah menempati ruang pembedaharaan kesultanan Demak Bintara. Serta
beberapa waktu yang lalu, kotaraja nampak semarak dengan hiasan janur
menandakan adanya penyelenggaraan perkawinan Putri Mas Cempaka yang
disandingkan dengan Mas Karebet.
Tak berpaut jauh dari kotaraja, dikediaman Panji Mahesa Anabrang juga
melangsungkan perkawinan putra angkatnya, Arya Dipa. Penyelenggaraan
yang diadakan secara sederhana itu rupanya tak menyurutkan sanak kadang
yang bertempat jauh dari kotaraja. Hadir beberapa orang - orang yang sangat
mengagumi Arya Dipa, dari Bang Tengah maupun Bang Wetan. Begawan
Bancak atau Begawan Jambul Kuning bersama murid dan saudara
seperguruannya telah datang sepasar sebelumnya. Juga Resi Puspanaga yang
semakin tua tidak ketinggalan menyaksikan muridnya bersanding dengan putri
angkat Resi Citrasena.
Tak terlalu lama iringan Kanjeng Sultan berada dikediaman ki Panji Mahesa
Anabrang, setelah mengucapkan selamat serta memberi petuah, beliau-pun
kembali ke keraton, diantar oleh orang tua sampai di depan regol. Sepeninggal
Sultan Trenggono, kediaman ki Panji Mahesa Anabrang masih ramai dihadiri
sanak kadang dan undangan. Mereka bersuka cita atas menyatunya
hubungan Lurah Arya Dipa dan Ayu Andini, dalam membentuk sebuah
keluarga.
P a g e | 709
Dalam pada itu, di Demak sendiri muncul warta yang mengatakan adanya
rencana Kanjeng Sultan untuk menyatukan telatah Bang Wetan ke dalam
naungan Demak Bintara. Namun, sebelumny rencana itu harus ditunda dahulu,
dikarenakan adanya sesuatu yang mendesak dan sangat penting. Yaitu
mengenai telatah Jipang dan Pengging.
"Kakang Patih, apakah Mas Karebet dan Arya Jipang sudah kau panggil ?"
tanya Kanjeng Sultan Trenggono disuatu kali.
Sedangkan Mas Karebet juga tak ketinggalan, "Hamba, Ayahanda Sultan.. "
Meskipun begitu, ia masih sadar siapa dirinya. Saat ini jalan yang paling baik
ialah berlaku tenang tanpa menimbulkan gejolak, seperti yang dipesankan
oleh Tumenggung Prabasemi atau-pun Tumenggung Haryo Kumara. Bahkan
jika ia menerima pengangkatannya menjadi penguasa Jipang, ia akan lebih
leluasa menggalang kekuatan sebanyak - banyaknya. Apalagi saat ini
padepokan Sekar Jagat dibawah kepemimpinan Patih Mentahun, sepenuh
tenaga mendukungnya. Juga beberapa perguruan disekitar Jipang.
Maka sudah ditetapkan oleh Kanjeng Sultan, secepatnya kedua pemuda itu
dengan didampingi oleh seorang Panji per-orangnya, akan mempersiapkan
segala bentuk alat pemerintahan sebuah kadipaten. Mulai dari bangunan
kadipaten, Nayaka Praja, perbendaharaan, umbul - umbul berupa rontek
maupun panji dengan lambang bercirikan kadipaten tersebut, serta
kelengkapan prajurit. Tak ketinggalan kadipaten itu harus menetapkan
pamong praja dibawahnya dengan baik.
Jika Jipang yang hanya melakukan perubahan sedikit, lain halnya dengan
telatah bekas Pengging. Mas Karebet harus bekerja dengan keras untuk
kembali meramaikan kadipaten yang akan dipimpinnya. Karenanya ia
meminta bantuan uwaknya dan beberapa sesepuh, dalam membentuk
kekuasaannya atas limpahan dari Demak. Dan atas pertimbangan dari uwanya
ki Kebo Kanigoro, dicarilah sebuah tempat yang tidak terlalu jauh dari bekas
kadipaten Pengging. Disanalah nantinya sebuah bangunan akan didirikan.
peralatan yang memadai. Lalu Banyubiru nampak hadir putra ki Ageng Gajah
Sora, Arya Salaka disertai pengikutnya. Juga hadir dari Butuh dan Tingkir.
"Terima kasih, kakang berdua sudi datang kemari.. " ucap Mas Karebet
menyambut Pemanahan dan Penjawi.
"Hee, Adi. Bukankah kita bertiga sudah bersumpah dihadapan Kanjeng Sunan
Kalijaga, kalau kita akan selalu bersama ?" kata Pemanahan, "Karenanya
setelah kami mendengar kalau adi mendapar perintah membuka kembali
telatah ini, kami bergegas kemari."
"Benar, adi. Itu semua karena persaudaraan yang kita jalin." tukas Penjawi, "O,
ya. Kakang Juru Mertani menitipkan pesan kepadamu, Adi."
Mas Karebet baru menyadari kalau dari tadi ia tak melihat saudara
seperguruannya yang tertua, "Apa dia tidak ikut bersama kakang berdua ?"
"Begitulah.. Saat ini ada sesuatu hal yang harus ia kerjakan. Tetapi tenanglah,
suatu kali ia akan berkunjung kemari." jawab Penjawi.
Sang waktu berjalan tiada henti. Semakin hari telatah yang sebelumnya
sebuah hutan, mulai menampakan suasana baru sebuah permukiman. Sebuah
pagar terlihat berdiri mengelilingi beberapa bangunan dengan kokohnya.
Bukan hanya itu saja, di dalam pagar setinggi dua kali orang dewasa itu juga
mulai terbentuk sebuah paugeran dan tata pemerintahan. Mas Karebet
bersama - sama orang - orang tua seperti ki Kebo Kanigoro, ki Ageng Butuh, ki
Ageng Ngerang, ki Ageng Banyubiru dan ki Ageng Selo, mulai membentuk tata
prajan yang akan memilah dan menempatkan orang - orang yang tepat. Oleh
karenanya, dengan hati - hati mereka menilai siapa saja yang pantas berada
dalam susunan nayaka praja dan bidangnya.
"Lalu, kita sebut apa telatah ini pada nantinya.. ?" kini giliran ki Ageng Butuh
yang bersuara.
Suasana hening beberapa saat. Hingga suara binatang malam yang berada
diluar terdengar nyaring. Suara cengkerik berderik - derik, seakan ingin
mengusulkan sebuah nama. Tetapi kuasa Sang Illahi membuat kedua mahkluk
ciptaan-NYA itu, tiada memahaminya.
P a g e | 713
Suatu kali barulah sebuah suara dari pojokan terdengar meminta waktu untuk
menyampaikan perkataan. Dan semua orang langsung tertuju ke arah suara
tersebut.
"Oh, Anakmas Lurah Arya Dipa. Adakah sesuatu yang ingin anakmas usulkan
?" tanya ki Kebo Kanigoro.
Memang orang tadi ialah Lurah muda Tamtama dari Demak yang tiada lain
ialah Lurah Arya Dipa. Tadi pagi ia baru datang mengiringi seorang
Tumenggung Wreda atas perintah Sultan Trenggono dengan tugas menilik
telatah yang akan dijadikan kadipaten oleh Mas Karebet. Sebelum sampai
ditempat yang dituju, Lurah Arya Dipa berjumpa dengan Waliullah dari
Kadilangu. Rupanya Waliullah tersebut menitipkan pesan kepada Lurah Arya
Dipa, untuk disampaikan kepada para tetua yang sedang ikut membangun
sebuah kadipaten.
"Paman Kanigoro, dan para sesepuh sekalian. Sewaktu tadi aku dalam
perjalanan, aku bertemu dengan Kanjeng Sunan Kalijaga. Beliau menitipkan
pesan berupa nama telatah ini." ucap Lurah Arya Dipa.
Selanjutnya Lurah Arya Dipa menuturkan pesan yang ia dapat dari Kanjeng
Sunan Kalijaga. Dimana beliau menyampaikan sebuah tetenger dari tempat
yang akan menjadi sebuah kadipaten baru dibawah kekuasaan Demak.
Telatah itu nantinya disebut kadipaten PAJANG.
"Hm... Baik, tetenger itu aku rasa sangat bagus." ucap ki Kebo Kanigoro.
Mulai malam itu, telatah yang mereka buka sudah mendapatkan tetenger,
Pajang. Semakin bergairahlah penghuni Pajang dalam menyongsong masa
depan. Di mana hari berikutnya sebuah tatanan sudah diterapkan disertai
bermacam bidang tata pemerintahan.
Dengan datangnya Lurah Arya Dipa, ikut hadir juga Tumenggung Wreda
yang menyampaikan titah dari Sultan Trenggono. Bila saatnya nanti
P a g e | 714
"Baiklah.. Tugasku sudah tuntas dalam menilik telatah Pajang ini." kata seorang
Tumenggung Wreda, "Kalau begitu aku mohon pamit, anakmas."
Lurah Arya Dipa yang berkuda agak dibelakang bergegas mendekati kuda
yang ditunggangi oleh Tumenggung Wreda.
"Kau juga mendengarkan suara denting benda itu, ki Lurah ?!" tanya
Tumenggung Wreda, sesaat kuda Lurah Arya Dipa sejajar.
"Iya, ki Tumenggung. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi di balik belukar itu, ki
Tumenggung." jawab Lurah Arya Dipa, seraya menunjuk sebuah belukar lebat.
"Baik, ki Tumenggung."
P a g e | 715
Lurah Arya Dipa kemudian mengajak tiga prajurit untuk memeriksa apa yang
terjadi di balik belukar lebat, yang tak terlalu jauh dari jalan setapak. Semakin
mendekati belukar, suara yang terdengar semakin seru. Ternyata setelah
belukar itu disiakan, ada perkelahian yang tak seimbang. Tiga orang yang
sepertinya sebagai pengawal seorang pedagang, mempertahankan diri dari
libasan sepuluh orang.
"Begal, ki Lurah." bisik seorang prajurit yang mengawani Lurah Arya Dipa.
Lurah Arya Dipa mengangguk, lalu katanya, "Prajurit Werdi, laporkan kepada
ki Tumenggung. Katakan apa yang sebenarnya terjadi di sini. Aku dan dua
prajurit lainnya akan membantu pengawal yang sudah kepayahan itu."
Sementara itu, Lurah Arya Dipa bersama dua prajuritnya, mendekati arena di
balik belukar.
"Bagaimana ini, kakang ?" bisik salah seorang begal kepada seseorang yang
sepertinya dijadikan pemimpin mereka.
"He.. ! Buka mata kalian, kami prajurit Demak !" Lurah Arya Dipa memberi
peringatan, dan lanjutnya, "Bila kalian melawan, kalian akan dipidanakan !"
"Tutup mulutmu ! Kami bukanlah orang - orang yang jerih dengan cecunguk
seperti kalian !" sanggah seorang yang berwajah seram, seraya membacokan
goloknya.
Dalam hanya sekejap, kelompok begal itu hanya menyisakan separuh orang
saja. Rupanya tiga prajurit yang baru datang adalah prajurit - prajurit pilihan
dari satuan Wira Tamtama. Jika pemimpinnya tahu dari awal, sejak dari
pertemuan pertama pasti mereka akan tunggang langgang mencari
keselamatan.
"Menyerahlah kalian atas nama Demak !" seru Lurah Arya Dipa.
"Tidak usah, prajurit Sono.. " Lurah Arya Dipa, melarang prajuritnya yang akan
mengejar, "Marilah membantu mereka yang terluka dan ikat kedua tawanan
itu serta sadarkan keduanya."
"Itu sudah menjadi kewajiban kami, ki Sanak." kata Lurah Arya Dipa, "Akan
kemanakah, ki Sanak ini ?"
"Kami baru saja menghantar pesanan dari padukuhan di ujung jalan setapak
ini, tuan prajurit. Tapi saat kami baru saja memasuki jalan setapak yang akan
menuju Pengging, begal - begal itu menghadang kami." jawab pedagang itu.
"Hm.. Apakah daerah sini sering terjadi kejadian seperti ini, ki Sanak ?"
"Begitulah, Tuan. Sebenarnya jika tidak buru - buru, aku tidak berani memasuki
jalan setapak itu hanya dengan tiga pengawal saja. Kami para pedagang
biasanya membuat janji untuk berjalan bersama - sama jika melawati jalan
setapak ini." terang pedagang itu.
Lurah Arya Dipa mengangguk perlahan, "Hm.. Baiklah, marilah kita kembali ke
jalan setapak."
Semakin hari sang surya di langit Demak, nampak cerah dihiasi silir angin
menyejukan penghuninya. Sejak pengangkatan Adipati Hadiwijaya di Pajang
dan Adipati Aryo Penangsang di Jipang, prajurit Demak mulai berbenah diri.
Disegala kesatuan terlihat sibuk mempersiapkan titah dari Sultan Trenggono.
Tiada lain titah itu adalah pergerakan untuk mempersatukan telatah Jawa
khususnya telatah Bang Wetan, ke dalam Demak.
Pasukan Wira Tamtama, Wira Braja, Wira Manggala, Wira Radya, dan Wira
Jalapati, setiap hari mengadakan gladi olah keprajuritan. Bahkan kesatuan
Patangpuluhan yang bertugas mengawal Kanjeng Sultan Demak, selalu
menyempatkan meningkatkan kemampuan olah yuda demi menjaga
keselamatan junjungannya, maka tak heran bila di sanggar rumah mereka
selalu nampak hidup.
P a g e | 719
Menjelang senja hari, tatkala waktu tugas yang usai, Lurah Arya Dipa
dipanggil menghadap ke ruang dalam keraton Demak. Lurah muda itu
merasakan adanya sesuatu yang ganjil saat melangkahkan kaki ke ruang
dalam. Seakan - akan ruang itu terdengar adanya isak tangis memenuhi
ruangan.
"Iya.. Iya, Arya Dipa." kata Sultan Trenggono, "Bagaimana kabar keluarga
kecilmu ? Aku dengar Ayu Andini saat ini mengandung putramu."
"Hamba, Kanjeng Sultan.. " sahut Lurah Arya Dipa, sembari mencangkupkan
kedua telapak tangan dikening.
Tercekat hati Lurah Arya Dipa seraya memandang walau hanya sesaat, dan
bergegas menunduk lagi. Entah mengapa nada suara Kanjeng Sultan
Trenggono pada saat ditelinga Lurah Arya Dipa, terasa sebuah perpisahan.
Karenanya hatinya tercekat.
"Duh, Kanjeng Sultan. Bagaimana mungkin hamba yang tak bertenaga ini,
mendapat kepercayaan menjaga keselamatan bendoro hamba Adipati
Anom... ?"
Tawa renyah mengawali suara yang keluar kemudian dari Sultan Trenggono,
"Hahaha... Bila aku baru mengenalimu, mungkin aku menganggapmu tak
bertenaga, Dipa.. "
Sebuah isyarat meskipun samar sedikit tertangkap oleh mata hati Lurah muda
putra angkat Panji Mahesa Anabrang. Gejolak yang dirasakan oleh Sultan
Trenggono, tentu merupakan masalah yang akan melanda Demak dikemudian
hari. Padahal, akhir - akhir ini Lurag Arya Dipa memimpikan masa - masa tenang
dimana ia akan menimang - nimang calon jabang bayi yang dikandung
istrinya.
Getar suara terdengar lebih sarat dari Sultan Trenggono, "Lurah Arya Dipa.."
Tenanglah hati Kanjeng Sultan. Hatinya yang awalnya gelisah, sedikit tenang
manakala terdengar kesanggupan dari Lurah Arya Dipa untuk mengemban
tugas berada di dekat putranya. Dengan demikian beliau sudah semakin
mantab untuk bergegas menyelesaikan pergolakan di Bang Wetan.
Sesampainya dirumah, Lurah Arya Dipa menuturkan semua apa yang terjadi
di kesultanan terhadap istrinya. Termasuk isyarat yang ia tangkap mengenai
Kanjeng Sultan Trenggono.
Sebagai istri yang masih muda dalam menapaki rumah tangga, rupanya Ayu
Andini dapat dengan cepat memahami kegelisahan suaminya itu.
Ketenangannya sebagai wanita dapat ia ungkapkan dengan cara
menyiapkan minuman hangat berupa wedang Sere dihadapan suaminya.
Disuruhnya suaminya itu untuk meneguk dahulu supaya kehangatan wedang
Sere dapat menyurutkan kegelisahan yang diderita.
Usai Lurah Arya Dipa meneguk wedang Sere, barulah Ayu Andini
menenangkan dengan kata - kata lembut nan merdu.
Lurah Arya Dipa mengangguk setuju atas tanggapan istrinya itu. memang
diakui, Sultan Trenggono adalah sosok raja yang hebat pilih tanding. Di dalam
tubuhnya tersimpan berbagai ilmu yang nggegirisi bagi lawan - lawannya.
Tetapi ada sebuah ungkapan, "Sehebat - hebatnya wadah, bila sudah
waktunya akan lebur juga".
Itulah yang dirasakan oleh Lurah Arya Dipa, dan perasaan itu juga dapat
dibaca oleh Ayu Andini, sehingga wanita muda yang sedang mengandung itu
kembali meyakinkan agar suaminya percaya kalau Kanjeng Sultan akan
kembali dari Bang Wetan dengan selamat.
"Tindakan yang paling baik bagi kita adalah mendoakan beliau, agar beliau
selalu dalam lindungan Yang Kuasa, kakang."
Di luar, sinar rembulan samar - samar mengintip bumi dari balik awan. Angin
lembut berdesir perlahan mampu mengusik ketenangan awan untuk terus
berarak ke selatan, mengakibatkan kebebasan sinar rembulan dalam
menerangi permukaan bumi. Alur alam di malam itu berjalan sesuai titah Sang
Kuasa tanpa dapat membakang sidikit-pun.
"Kakang... " desis Ayu Andini seraya memegang kain pakaian suaminya.
"Kau tetaplah disini. Aku akan mencoba menengok.. " kata Lurah Arya Dipa
dengan beranjak berdiri dan melangkah ke arah pintu.
Perlahan Lurah Arya Dipa mendekati pintu. Dan derit lirih pintu terdengar tak
lama kemudian. Di luar, sinar damar tak mampu menerangi seluruh halaman.
Menyisakan bayang - bayang gelap diberbagai tempat. Untunglah mata Lurah
Arya Dipa mempunyai kelebihan tersendiri. Sehingga mampu meniliti setiap
jengkal halaman hingga luar pagar yang tak terlalu tinggi mengitari rumahnya.
"Adakah seseorang, kakang ?" kata Ayu Andini yang sudah berdiri dibelakang
punggung suaminya.
Tidak ada jawaban kecuali gelengan kepala. Tetapi sang empu kepala masih
mencermati keadaan sekitarnya. Ia yakin pasti ada seseorang yang saat ini
mengamati dirinya.
"Baiklah, kalau begitu akan ku tutup kembali pintu gubugku.. " selepas bicara,
Lurah Arya Dipa memutar tubuhnya berniat masuk kembali ke ruang dalam.
"Taaak.. !"
Telapak tangan Lurah Arya Dipa yang dilambari aji Niscala Praba dapat
menyapok benda tajam dari serangan gelap. Akibat sapokan itu, benda itu
menukik menancap papan hingga gagangnya. Namun tak berselang lama,
deru deras terulang lebih dahsyat dari serangan pertama. Bukan hanya satu,
melainkan tiga sekaligus menghambur di-tiga titik berbeda.
Usai berkata, sosok itu melayang turun ke halaman. Sungguh indah kaki orang
itu dalam setiap gerakannya. Bukan hanya itu saja, disetiap langkahnya tiada
deru sedikitpun, ini menunjukan betapa tinggi ilmu kanuragannya.
"He.... " wajah Lurah Arya Dipa dan Ayu Andini serentak mengerut heran.
Raut wajah orang itu sangat tidak asing bagi keduanya. Sangat dan sangat
mirip bak pinang dibelah dua. Sehingga tak heran jika keduanya merasa heran
P a g e | 725
bukan kepalang. Jika tidak melihat sendiri tentu keduanya tidak percaya kalau
orang yang baru muncul itu adalah orang lain yang mirip dengan orang yang
nyata kakek Lurah Arya Dipa. Hal itu mengingatkan keduanya atas apa yang
dituturkan oleh Empu Puspanaga.
Sementara orang yang baru menampakan diri itu menatap tajam ke arah
sepasang suami istri dengan sesekali mengangguk. Dalam pandangan orang
itu, keduanya pantas apabila mempunyai bekal yang mantab dalam dunia
olah kanuragan. Dikarenakan tubuh - tubuh keduanya memiliki susunan tulang
yang baik. Dan inilah yang menakjubkan atas orang itu, hanya dengan melihat
sepintas menggunakan matanya saja sudah dapat menilai dan mengetahui
keadaan lawan atau orang lain.
"O.. Kau-kah yang disebut anak yang mewarisi ilmu dari kitab Cakra Peksi
Jatayu itu, anak muda ?" orang itu melontarkan pertanyaan yang
mengandung mencari penjelasan.
"Hahaha.... " orang itu tak langsung menjawab, melainkan tertawa lepas dan
barulah berkata, "Rupanya bayi Arya Wila ini yang semestinya aku tangani
pada saat itu... Hm, nasi sudah menjadi bubur. Walau begitu tak mengapa
diusia-ku yang tua ini harus mengotori lagi."
Tentu saja kata - kata itu menimbulkan gejolak berbeda dari sepasang suami
istri tuan rumah. Bagi Arya Dipa, disebutnya Arya Wila telah membuka tabir
semakin nyata dari orang dihadapannya itu, yaitu seseorang yang telah
membunuh kedua orang tuanya. Sedangkan bagi Ayu Andini, sebuah
kecemasan muncul manakala ada bibit permusuhan antara orang itu dan
keluarga suaminya.
"Ceek.. ceek.. ceek... Hm, benar ! Akulah yang mengakhiri keduanya. Bahkan
bila saat itu pertapa dari Penanggungan itu tidak datang, kau-pun akan aku
cekik dan kulempar di lembah Bancak !"
P a g e | 726
"Kisanak tadi belumlah mengenalkan diri, cobalah jelaskan diri kisanak ini.. "
"Hohoho.... Tak kukira usia-mu yang masih seumur jagung ini mempunyai
pengendalian diri yang baik. Baiklah, aku Wanapati... "
"Lama kau tak menampakan diri, Wanapati !" suara halus menyapa.
"Selamat malam, cah bagus dan genduk ayu." Kyai Jalasutro malah menyapa
Lurah Arya Dipa dan Ayu Andini.
"Selamat malam, Kyai.. " balas Lurah Arya Dipa, penuh hormat.
Kyai Jalasutro terus melangkah menghampiri Lurah Arya Dipa dan istrinya
untuk berjabat tangan. Usai itu barulah ia menghadap ki Wanapati tanpa
adanya rasa permusuhan.
"Wanapati, puluhan tahun kau dan aku berlalu lalang menapaki luasnya
tanah Jawadwipa ini. Sejak Wilwatikta berada ditangan gusti Prabu
Pamungkas, yang diobrak - abrik oleh Giriwardhana serta Patih Udara, dan
P a g e | 727
Bila dicerna lebih jelas, ucapan dari Kyai Jalasutro merupakan kecintaan
seseorang terhadap sahabat yang dikasihi berupa kata untuk mengingatkan
tatkala sahabat itu tergelincir dari jalan yang ditetapkan oleh Dzat Suci.
Kecintaan itu berupa ucapan saling mengingatkan dalam mengendalikan
nafsu yang ada dalam diri seseorang dan agar tak mudah kalah oleh hawa
nafsu itu sendiri. Sebenarnya setiap manusia dari lahir mendapatkan karunia
berupa hati yang bersih dan suci, yang dapat membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk. Begitu juga halnya dengan hati ki Wanapati, tetapi
hatinya yang suci tergerus oleh lautan nafsu, hingga akhirnya mengabaikan
nasehat dari Kyai Jalasutro.
Nasehat lurus dan suci itu, ditelinga ki Wanapati bagaikan ribuan lebah yang
mengganggu gendang telinganya. Selanjutnya timbulah geram dan hentakan
kaki ke bumi.
"Dari dulu mulutmu tidak lelah untuk berkicau seperti itu, Jalasutro !" sahut ki
Wanapati, ketus.
Tak pelak Kyai Jalasutro, gelengkan kepala atas kekerasan hati sahabatnya
itu. Sungguh sedih hatinya atas perilaku kawan mudanya itu. Ia tahu betul masa
- masa dimana keduanya saling bermain dan bersenda gurau dipinggiran
belumbang. Bagus Wana dan Kidang Rumekso mendapat bimbingan seorang
pertapa yang menyembunyikan jati dirinya. Dalam asuhan pertapa itu, ilmu
jaya kawijayan dan olah kanuragan mengendap dalam wadag keduanya.
Hingga hari kelam itu telah merubah perilaku Bagus Wana.
Kala itu, hujan deras mengguyur tepian belumbang. Dua orang bertempur
hebat layaknya Werkudara dan Duryudana, tokoh pawayangan dalam kitab
Mahabaratha. Hujan lebat tak dihiraukan oleh keduanya, kecuali niat untuk
mengalahkan lawannya semata.
P a g e | 728
Sementara tak jauh dari sosok - sosok hebat itu, Bagus Wana duduk
menelungkup dengan tangan menutupi kepalanya. Di sebelahnya, Kidang
Rumeksa terus mencoba memanggil - manggil kawan sekaligus saudara
seperguruannya itu.
Di lain pihak, bisikan juga terdengar agar Bagus Wana meyakinu kalau
gurunya adalah orang baik yang tidak seperti dituduhkan.
"Percayalah, Pertapa itu adalah orang baik yang mengasuhmu dengan tulus.
Malah dialah yang menyelamatkanmu dari maut saat kau terancam orang
yang saat ini bertarung melawan gurumu.. !"
Manakala bisikan - bisikan masih terus mengisi kepala Bagus Wana, dan
Kidang Rumeksa masih sibuk berusaha menyadarkan kawannya, sebuah
halilintar menukik deras menyambar guru dua bocah itu.
"Duuuuaar..... !"
Habis berkata, orang itu dengan sebat menyambar tubuh Bagus Wana dan
membawa pergi dengan cepatnya. Sedangkan Kidang Rumeksa masih
berlutut menangisi gurunya yang sekarat dengan napas kembang kempis.
"Selamatkan.. Wana dari.. tangan Demang Brahu.. " perkataan itu terhenti
sesaat karena darah menyembur dari mulut Ajar Paguhan.
Berhari - hari Kidang Rumeksa mempelajari isi kitab tanpa lelah. Berbagai
lelaku ia lakukan untuk mendukung berkembangnya ilmu dalam dirinya.
Cobaan dan godaan ia hadapi dengan sabar demi mengingat pesan terakhir
gurunya. Dan itulah yang membuat pemuda itu lulus, tuntas, tatas meraup hasil
yang gemilang dari kitab yang dijaga oleh Ajar Paguhan.
Dan kini setelah sekian lama waktu berlalu, dua bekas sahabat itu bertemu
ditengah malam buta. Kebencian dan angkara murka masih terlihat jelas diraut
muka Bagus Wana, yang kini bergelar Wanapati.
"Menyingkir kau, Jalasutro !" seru ki Wanapati kemudian, "Ini tiada urusan yang
menyangkut dirimu !"
"Bila aku menyingkir dari tempat ini, bukankah kau berkeinginan untuk
mencelakakan angger ini, Wanapati ? Sedikit banyak aku mendengar kalau
kau tercemari ole pikiran - pikiran Demang Brahu.... "
P a g e | 731
Tak ayal serangkum angin menderu ke arah Kyai Jalasutro. Angin itu sungguh
mendebarkan, itu terbukti ketika Kyai Jalasutro dapat mengelak dan membuat
serangkum angin itu melabrak tiang depan rumah Lurah Arya Dipa, tiang itu
berderak patah.
''Angger berdua, mohon kiranya untuk memaafkan kawanku ini. Biarlah aku
yang akan mengganti tiang yang rusak itu." pinta Kyai Jalasutro kepada Lurah
Arya Dipa dan istrinya, yang ditanggapi anggukan dan senyum sepasang
suami istri muda itu.
"Hahaha... Jangan kau berucap sepertu itu, Bagus Wana. Marilah kita
bermain loncatan layaknya dahulu saat masih di pinggiran belumbang
bersama guru, Ajar Paguhan." sahut Kyai Jalasutro.
Awalnya keduanya sama - sama menggunakan tata gerak dasar dari sumber
yang sama, yaitu dasar yang mereka peroleh dari pertapa Ajar Paguhan.
Gerak yang sama dari keduanya terasa seiring dan seirama layaknya para
penari. Tetapi yang membedakan adalah lambaran yang membuat udara
tersibak dan menderu - deru menakjubkan.
"Hm.. Yang mereka ungkap sebenarnya masih dasarnya saja. Tetapi hasilnya
sungguh mendebarkan." ucap Lurah Arya Dipa, lirih.
P a g e | 732
"Sangat sedikit apa yang aku ketahui mengenai diri keduanya. Kyai Jalasutro
seorang ahli kanuragan yang sangat jarang menampakan diri di keramaian. Ia
lebih suka merenungkan diri dan beribadah kepada Dzat Yang Maha Suci. Ilmu
yang ia miliki sangatlah langka, yaitu aji yang mampu membuat lawannya
bagai tekurung tak berdaya."
Sejenak Lurah Arya Dipa berhenti demi melihat tandang kedua orang tua
yang semakin meningkatkan tataran ilmunya. Ancaman demi ancaman terihat
jelas meraih sasaran. Juga betapa tubuh - tubuh yang mulai senja itu seperti tak
mengenal waktu saja, di mana kecepatan gerak layaknya anak panah lepas
dari gendewa.
"Haaait.. !"
"Deeesss...... "
Terjadi adu kekuatan dari keduannya. Tangan Kyai Jalasutro bisa ditahan oleh
tangan ki Wanapati yang disilangkan di atas kepala. Dan dari adu kekuatan itu,
mengakibatkan keduannya tersuruk mundur. Tapi selekas menguasai tubuh
masing - masing, dua orang tua itu sudah kembali bergerak sebat saling
menyerang. Maka terjadilah perkelahian seru dan sengit antara keduanya.
Kini ilmu yang awalnya sama, selapis demi lapis berubah warnanya. Kyai
Jalasutra sudah merambah ilmu yang dipelajari daru kitab wasiat Ajar
Paguhan. Di sisi yang lain, ki Wanapati juga mewarnai ilmunya dari ilmu yang
P a g e | 733
didapatnya dari Demang Brahu. Sehingga menjadikan orang - orang tua itu
nggegirisi dalam setiap tindakan dan tata geraknya.
Lambaran ilmu tingkat pinunjul merembes mencari celah untuk merusak dan
melumatkan sasaran yang lengah. Tetapi kedua orang itu sangatlah cermat
dalam mengambil tindakan, yang memungkinkan tak terkena ancaman ilmu
dari masing - masing lawan. Maka tak heran jika perkelahian di malam yang
sudah menggelincir di fajar hari, sangat alot.
"Byaaaaar....!"
"Ki Salam, bunyi apa itu tadi ?" seseorang prajurit peronda bertanya kepada
kawannya.
Prajurit yang bernama ki Salam masih mendongak ke arah suara keras tadi.
Kemudian barulah berucap walau agak ragu - ragu, "Mungkin sebentar lagi
hujan, Dawuk... "
Prajurit Dawuk mengangguk, "Ah, syukurlah jika hujan turun di hari ini."
"Hehehe, supaya kita tidak nganglang, ki. Dan tergantikan dengan tidur di
gardu perondan."
"O... Semprul kau, Dawuk. Jika ki Lurah Sambi mendengar, kau akan dijadikan
kentongan !" omel ki Salam.
P a g e | 734
"Deeess.....!"
Kaki Kyai Jalasutro tak pelak masih tergeser menyisakan tanah yang tergerus
sedalam tumit dan sejauh satu tombak. Di lain pihak, ki Wanapati membal
kebelakang, namun sekuat tenaga mempertahankan tubuhnya dan berhasil
mendarat dengan sempurna. Rupanya kekuatan keduanya masih imbang
sejauh ini. Oleh karenanya ilmu selapis lagi telah ditingkatkan.
Di timur, semburat merah mulai membuncah dibalik awan gelap yang samar.
Tak terasa fajar hampir mendekati waktunya. Kokok ayam terdengar bersahut -
sahutan penuh gembira menyongsong sang fajar. Hewan mahkluk ciptaan
Dzat suci itu seakan - akan bersyukur masih diberikan waktu mengais cacing di
haru itu. Mereka tak tahu jika dunia ini dipenuhi angkara murka yang dilakukan
oleh beberapa orang. Bila mereka mendapat karunia berupa akal dan mampu
berpikir benar, niscaya dengan paruh, taji, cakar dan kepakan sayapnya,
mereka akan mendatangi orang - orang yang bertindak semena - mena
terhadap sesama.
Dalam pada itu, manakala ki Wanapati sudah mempersiapkan salah satu aji
pamungkasnya, sebuah teriakan yang dilontarkan dengan menggunakan ilmu
semacam Gelap Ngampar, terdengar lantang.
"Paman Wanapati, sudahi dahulu permainannya. Masih ada waktu dilain hari.
Marilah kita tinggalkan tempat ini."
"Hm... " dengus ki Wanapati, seraya melenturkan otot - ototnya yang tegang.
P a g e | 735
"Hm.. Bagus Wana.. Bagus Wana.. " desis Kyai Jalasutro sambil menggeleng -
gelengkan kepala dan mengetuk telapak tangan kiri menggunakan kipasnya.
Kyai Jalasutro tersenyum ramah dan menerima ajakan tuan rumah. Dia dan
Lurah Arya Dipa berbarengan menuju pringgitan dan duduk beralaskan tikar
Mendong. Ternyata Ayu Andini cukup cekatan mempersiapkan suguhan
sederhana, meskipun tubuhya sudah membuncit cukup besar.
Wedang sere dan sepiring penganan menjadikan perut bersuka ria di pagi
hari itu. Walau begitu, mereka tidak melupakan waktu beribadah. Secara
bergantian ketiganya pergi ke padasan untuk sesuci demi menunaikan
kegiatan wajib bagi seorang hamba terhadap Gusti Dzat Suci.
"Hm.... " hanya desuh saja yang terdengar dari Begawan Jambul Kuning.
Hingga penungang kuda itu melintas dan berlalu, keduanya hanya menatap
saja. Dan akhirnya tiga penunggang kuda hilang dari pandangan manakal
membelokan kuda di kelokan jalan.
"Yang membunuh paman Wila dan bibi, putra dan menantu guru ?" sahut
Windujaya.
Orang tua yang mulai berubah itu, menggelengkan kepala, "Jangan, saat ini
belumlah waktunya. Marilah memasuki kotaraja."
"Pantas saja burung Prenjak di pohon jambu itu berkicau terus. Tak taunya
pondokan ini kedatangan seorang trah Kadiri." kata ki Panji Mahesa Anabrang,
"Mari silahkan, paman Begawan dan anakmas Windujaya."
P a g e | 737
"Hyang Widi masih bermurah memberikan karunianya, dan hal itulah yang
menjadikan aku selalu bersyukur." ucap Begawan Jambul Kuning.
Pembicaraan itu berjalan dengan rancak yang kadang kala diselingi sendau
gurau dan bahkan tawa yang renyah dan tulus. Hingga akhirnya pembicaraan
terus mengarah ke sisi yang lebih penting.
"Ki Panji, sudahkan ki Panji menemukan benang merah dari orang itu ?" tanya
Begawan Jambul Kuning.
Kemudian semua yang diketahui oleh ki Panji, dituturkan secara runut tanpa
dikurangi atau dilebihkan. Siapa itu Ajar Paguhan? siapa itu Demang Brahu?
fitnah apa yang disebarkan menyangkut Ajar Paguhan ? semua terang
benderang dapat diungkap oleh ketelitian dan kegesitan ki Panji Anabrang.
Waktu itu kebakaran melanda puri Kadiri. Hiruk pikuk mewarnai suasana
digelapnya malam. Teriakan, tangis, jerit bercampur menjadi satu. Meskipun
begitu, ada sebagian orang yang berusaha memadamkan ganasnya api
dengan menggunakan kelenting berisi air, atau-pun kain yang dibasahi.
Di raihlah dua bayi yang anehnya masih terlelap itu. Kemudian Lurah Brahu
beranjak meninggalkan kamar. Namun, bukannya menuju pintu, melainkan
menjejak papan dinding di sisi yang lain.
Sekali hentak, dinding itu ambrol meninggalkan lubang cukup besar. Maka
keluarlah Lurah Brahu dan bebas dari sergapan api.
P a g e | 739
Dalam pada itu, Rangga Paguhan yang masih berada di dalam, cemas dan
bingung. Sekian lama ia memeriksa tak kunjung mendapatkan hasil. Padahal
api semakin besar dan meluluh-lantahkan bangunan.
"Aku kira, ini sudah takdir dari Hyang Agung.. " desis Rangga Paguhan seraya
membalikan badan untuk keluar.
"Apa yang terjadi ?" tanya Rangga Paguhan, tetapi tiada jawaban yang
terang, kecuali ada petunjuk jejak langkah menuju pagar tinggi.
"Wuuuus.... !"
P a g e | 740
Deru tajam sebuah benda hampir saja mengenainya. Untung saja panggraita
Senopati itu cukup lantip. Sehingga dapat menghindarinya.
Ternyata benda tadi adalah sebuah pisau kecil, dengan secarik kertas
berada diujung bilah daunnya. Tanpa mengurangi kewaspadaan, dicabut
pisau itu dan diraih secarik kertas tadi. Barulah dibaca tulisan itu dengan
seksama.
Dalam pada itu, Lurah Brahu yang merasakan kehadiran Rangga Paguhan,
berseru nyaring.
Namun rupanya perkiraan Rangga Paguhan tak berjalan dengan apa yang
ada diangan - angannya. Kesebatan tata gerak lawannya sangat aneh serta
didukung ilmu yang tinggi. Meskipun usahanya gagal, Rangga Paguhan tidak
tinggal diam, ia mengisar kaki kanan seraya mengokohkan kaki itu untuk
menjadikan tumpuan dan selanjutnya tendangan memutar dari kaki yang lain,
siap melabrak lawan.
Sementara itu, orang tua berambut putih dan berkeriapan dapat mengerti
dan membaca tata gerak lawan yang baru datang. Orang itu tidak gopoh
barang secuil-pun. Malah serangan - serangan dari lawan sangat ia nikmati
dengan syahdunya. Seakan - akan tata gerak - tata gerak penuh ancaman
dari lawan, ia anggap tembang yang indah mengalun ditelinganya.
"Hati - hati, Lurah Brahu. Lebih baik hantarkan bayi itu kepada Pangeran
Banyak Paguhan terlebih dahulu. Biarlah orang ini aku hadapi !" Rangga
Paguhan mencoba memberi usulan kepada Lurah Brahu.
"Hm... Bila kau pergi, pergilah prajurit kurang tata !" seru orang itu.
P a g e | 742
Di lain sisi, Rangga Paguhan sangat takjub atas apa yang dilakukan oleh
orang tua berambut putih tadi. Dia tidak menyadarinya meskipun tadi ia tidak
mengendorkan kewaspadaan, tetap saja sulit dirinya mengikuti gerakan dari
orang tua. Bisa dibayangkan kalau orang tua tadi berpikiran mencelakakan
dirinya, sekali gerak tubuhnya tidak akan terisi oleh nyawa lagi.
Usai berangan - angan seperti itu, entah mengapa kaki Rangga Paguhan
malah bergerak menggenjot ke bumi. Sekali genjot, membuat tubuhnya
melayang bagaikan burung elang dan menukik deras ke arah mangsa.
Sungguh hebat juga tandang Rangga Paguhan kala itu. Gerakan itu dapat
membuahkan hasil yang gemilang, yaitu mampu merebut salah satu bayi.
Begitu dapat merebut, selekas kaki menginjak tanah, ilmu Kidang Melar
kembali diterapkan untuk menjauhi medan perkelahian. Dalam pikiran Rangga
Paguhan adalah lebih baik menyelamatkan dahulu bayi itu dan apabila
takdirnya baik, ia akan kembali merebut satunya lagi.
Larilah Rangga Paguhan yang disikapi dua hal yang bertentangan dari Lurah
Brahu dan orang tua berambut putih. Tetapi Rangga Paguhan tak mau
menghiraukan keduanya. Hanya keselamatan bayi itulah yang ia inginkan.
Maka larinya semakin kencang dan kencang. Jauh sudah padang ilalang
dilaluinya. Pohon dan semak juga terlewati hingga sampai di jalan utama yang
menghubungkan Kadiri dan praja yang lain.
Begitu mendekati pintu gapura, di situ ada Rakyan Grigis menunggang kuda
hitam beserta sepuluh pengawalnya.
"Ah.. Mengapa Rakyan ini ada di Kadiri ?" dalam hati Rangga Paguhan
bertanya - tanya. Tentu saja tiada jawaban yang pasti.
"Hamba, gusti Rakyan.. " sahut Rangga Paguhan sambil mengangguk hormat
setelah berdiri lima langkah dihadapan kuda Rakyan Grigis, meskipun napasnya
masih kembang kempis.
P a g e | 743
Dahi Rakyan Grigis mengernyit tatkala mencermati adanya lilitan kain yang
membungkus bayi dalam dekapan tangan Rangga Paguhan. Lalu tanyanya
meminta keterangan dan apa yang terjadi.
"Jadi Lurah Brahu kau tinggalkan ?!" tiba - tiba suara Rakyan Grigis, meninggi.
"Biar aku yang menyerahkan bayi ini. Kau kembali dimana kau tinggalkan
Lurah Brahu yang saat ini sedang bergelut dengan maut !"
berlari layang Kidang. Sungguh gesit, tangkas dan cekatan. Hingga membuat
pengawal setia Rakyan Grigis mengerahkan kemampuan mereka, demi tidak
kehilangan mangsanya.
"Berhenti... !" tiba - tiba Tilam memberi isyarat untuk menghentikan lari kawan -
kawannya.
"Hm... Jadi dari awal, kau hanya bermain - main saja, Prajurit kurang tata !?"
seru orang tua, lawannya.
"Weleh - weleh... Nggegirisi juga murid Sambawa ini..." gumam orang tua,
sembari berloncatan menyamping, sebanyak tiga kali.
"Sambawa dari Canggu memang hebat. Hm... ilmu tata geraknya sangat
indah." puji orang tua itu, lalu lanjutnya, " Sayang sangat disayang dia berbeda
haluan... "
P a g e | 745
"Diam kau orang tua !" teriak Lurah Brahu seraya menjulurkan pukulan
tangannya.
Hampir saja tubuh orang tua itu tertumbuk, jikalau tiada ilmu Lembu Sekilan
melambarinya.
"Lembu Sekilan.... " desis Lurah Brahu yang sesaat berhenti menyerang.
"Kau berhasil menyerahkan bayi itu kepada Pangeran ?!" tanya Lurah Brahu.
Tanpa mencermati lebih jelas dari perranyaan Lurah Brahu, Rangga Paguhan
menggeleng dan mengatakan kalau Rakyan Grigis-lah yang membawanya.
Dan jawaban itu membuat Lurah Brahu lega dan senang. Berbeda jauh
dengan orang tua yang saat ini memondong bayi satunya lagi.
Lembayung di pagi hari nan indah di cakrawala terkoyak oleh ganasnya tata
gerak dari ilmu - ilmu yang mengagumkan. Tiga unsur ilmu susul - menyusul silih
berganti, merembes dari wadag mencari tumbal berupa kelengahan lawan.
Meskipun dan pastinya lawan - lawan berusaha tidak lengah barang sesaat.
"Sadarlah, anakmas Rangga Paguhan !" seru orang tua berambut putih,
"Hadapi-lah begundal - begundal itu. Biarlah kunyuk satu ini yang aku
lemparkan ke comberan !"
Kini dua kalangan terbentuk dari pegulatan seru dan sengit diantara mereka.
Tandang - tandang memdebarkan terlukis penuh guratan ancaman
mencelakakan. Mulai dari perkelahian tangan kosong, hingga mengundang
tajam dan kerasnya senjata.
"Hm... Baiklah kalau begitu apa yang kau mau." kata Rangga Paguhan,
seraya menarik pedang bermata dua.
Tetapi saat yang sama, tombak pendek Pedut dan gada Juling mengayun
deras mengancam dua sisi pundak Rangga Paguhan. Untungnya serangan itu
dilakukan oleh pengawal yang hanya memiliki bekal olah kanuragan, yang
tidak terlalu tinggi. Karenanya, Rangga Paguhan dapat menyongsongkan
pedang dan menyilangkan demi menahan laju gada dan tombak pendek.
Sekaligus dihentakan seraya menyarangkan dua sepakan ganda.
"Mati kau.... !" seru Bangah yang yakin ruyungnya dapat meremukan
punggung lawan.
"Craaas..... !"
Ruyung serta daging Bangah terpotong lebar dan daging itu melelehkan
darah yang banyak. Tepat di nadi pergelangan tangan, pedang Rangga
P a g e | 749
"Setan alas... !" umpat Tilam, yang sudah tidak lagi menghiraukan lukanya.
Tidak lama kemudian, tiba - tiba salah seorang lawan meloncat menyerang.
Gada Julinglah yang pertama menggempur meskipun dapat dielakan lawan,
bergegas ia kembali menutup celah. Diteruskan kemudian tombak pendek
Pedut meluncur deras mengincar punggung lawannya. Sekali lagi sergapan itu
gagal dan mengembalikan Pedut ke tempatnya dengan kesal mendalam.
"Mungkinkah kali ini yang bersenjata pedang pandan ?" pikir Rangga
Paguhan.
Kurang lengkap dan tak terduga. Bukan hanya Tilam yang bersenjata
pedang saja, Pedut-pun juga ikut andil menusukan tombak pendeknya. Dua
sergapan dilayangkan secara bersama dan cepat. Tak pelak membuat
Rangga Paguhan menjadi berhati - hati agar tidak mengalami akhir yang
buruk.
"Heeegggg.... !"
P a g e | 750
Leher Pedut bagai tertimpa batang pohon jati dan sulit bernapas dan
membuatnya rebah tak berdaya. Di sisi yang lain, Tilam masih kesakitan
memegangi perutnya.
Dan akhirnya memang begitulah. Tenaga Juling semakin lama kian menipis
dan menyusut. Ayunan gadanya semakin lemah dan kadang membuatnya
terseret oleh tenaga ayunan itu. Napasnya memburu deras seakan - akan ingin
menerobos keluar semuanya. Dan keringat sebesar biji jagung menetes dari
segala kulitnya, merembes membasahi pakaian yang ia kenakan.
Rupanya Tilam sudah dapat mengatasi rasa sakitnya. Dan berusaha memberi
semangat kepada kawannya yang tersungkur. Namun rupanya Juling sudah
tidak mampu lagi menggerakan anggota tubuhnya. Pingsan-lah raksasa Juling.
"He.. Kau ingin bertarung lagi, pengawal ?" tanya Rangga Paguhan.
"Hm... " desuh Rangga Paguhan, "Mari majulah bila kau tidak dapat
membaca keadaan."
Sementara itu, Lurah Brahu keripuhan menghadapi tandang orang tua yang
menggagalkan rencananya. Sudah sekian kali dan sekian lamanya
menghadapinya, ua tak kunjung mengakhiri lawan yang sudah tua itu. Ilmunya
seakan - akan tumpul tak berguna dan selalu dapat dimentahkan lawan.
Padahal ilmu yang ia miliki adalah warisan dari ki Sambawa yang sangat
disegani orang - orang kerajaan Majapahit. Hal itulah yang membuat Lurah
Brahu penasaran siapa sebenarnya lawannya ini.
"Munyuk alas.... !" umpat Lurah Brahu kemudian, sambil terus menggempur
pertahanan lawan.
"Eladalah... !" desis kakek tua itu, sembari melayani sikap lawan yang beringas
dalam menerapkan ilmu dari Canggu.
P a g e | 752
"Hm.. Dasar ilmu yang kau sadap daru Sambawa memang hebat. Tetapi
sikapmu yang tidak jernih seperti gurumu, menjadikan ilmu ini tak memiliki arti."
kata kakek itu, disela - sela melayani lawannya.
"Hehehe... Sagotra Wineh Suka, ya itulah awal dari perguruan yang gurumu
dirikan."
"Cukup !" teriak Lurah Brahu, "Kau jangan menipuku, kakek tua !"
"Aduh, ngger. Jangan kau berteriak terlalu keras. Lihatlah bayi ini jadi
menggeliat dan mengernyipkan matanya." kata orang tua sambil menepuk
pelan pantat bayi dalam dekapannya.
Kesal bukan main Lurah Brahu. Sudah tidak mau lagi ia terbawa perasaan.
Sekali sebat, ia sudah melancarkan serangan ganda dan mematikan. Tapi
lawannya yang kelihatan biasa - biasa saja itu tidak mudah dikenai-nya. Tubuh
orang tua itu sangat luwes dalam menghindari setiap serangan yang dahsyat
dari Lurah Brahu.
P a g e | 753
Padang ilalang yang awalnya terasa damai dihari - hari biasanya, sejak tadi
malam berubah kelam. Tiga sosok manusia menggeletak tak berdaya,
sedangkan empat pasang kaki masih meloncat - loncat dengan tata gerak
yang merusak tetumbuhan itu. Hanya diam dan pasrahlah yang dilakukan oleh
ilalang itu. Karena tetumbuhan itu hanya dikodratkan untuk menyaksikan
keadaan alam ciptaan Dzat Suci.
Dua kalangan antara Lurah Brahu dan kakek tua, serta Rangga Paguhan dan
Tilam, terus mengeluarkan bermacam - macam tata gerak. Tetapi sungguh ada
perbedaan yang mencokok dari masing - masing pihak. Yaitu niat yang ada
dalam diri masing - masing dalam melakukan tindakan itu. Angkara murka
penuh nafsu menyusup diantara dua hati untuk meraih sesuatu kenikmatan
dunia melalui jalan yang salah. Sedangkan disisi sebaliknya, adanya sifat
mengayomi antara sesama menimbulkan tindakan pencegahan dan mengusir
tindakan - tindakan angkara murka itu sendiri.
Sudah sekian lama perkelahian itu, maka akhir dari perkelahian semakin
mendekati akhir. Rangga Paguhan menggenggam erat pedang ditangannya.
Sambil merendah mengelakan tebasan lawan, ia mendorong pedangnya ke
depan. Pedang itu berhasil merobek perut lawannya dengan meninggalkan
bekas goresan panjang dan darah deras mengalir dari perut lawannya. Dan
robohlah orang itu ke bumi.
satu pihak. Dan dialah yang lemah-lah yang pertama dijemput oleh dewa
maut.
Tak berbeda jauh dari nasib Tilam, meskipun akhirnya masig lebih baik, Lurah
Brahu semakin terdesak dan tertekan hebat. Ilmunya yang bersumber dari
Sagotra Wineh Suka, selalu dapat dimentahkan oleh lawannya. Orang tua itu
selalu selapis lebih tinggi diatasnya.
"Kita sudahi, ngger.. " desis orang tua itu, sembari mengibaskan tangannya.
Hebat jadinya, dari kibasan tangan orang tua itu, telah menimbulkan
serangkum angin yang membuat tubuh Lurah Brahu terdorong jauh. Tubuh itu
melanda ilalang sejauh lima tombak dan tak sadarkan diri.
"Hm... Itu lebih baik daripada kau pergi ke alam lain.. " gumam orang tua itu.
Dalam pada itu, Rangga Paguhan bergegas mendekati orang tua tersebut.
Sesampainya didekatnya, selekasnya Rangga Paguhan meminta maaf atas
kesalahpahaman yang terlanjur terjadi. Serta tak lupa meminta keterangan
mengenai diri orang tua itu, yang sepertinya tahu segala - galanya.
"Hm... Saat ini keadaan di telatah Wilwatikta dan sekitarnya sangat runyam."
"Baiklah, sambil kita kembali ke pura Kadiri, akan aku ceritakan semuanya.
Dan hal ini akan menyangkut junjunganmu yang masih muda itu." kata ki
Sumantri seraya mengajak Rangga Paguhan bergegas ke pura Kadiri.
Di jalan, keduanya tidak mengalami kesulitan yang berarti. Dan tiada juga
menemukan adanya orang - orang Rakyan Grigis. Maka selamatlah ki Sumantri
dan Rangga Paguhan, di pura Kadiri.
Tetapi itu semua dapat dibaca oleh ki Sumantri. Oleh karenannya orang tua
itu memberanikan diri untuk bertanya.
Sejenak, Pangeran yang berusia muda itu menghela nafas. Ia tak mungkin
menyembunyikan masalah yang menimpa dirinya, terhadap orang tua yang
tajam pranggaitanya itu. Maka kemudian ucapnya.
"Benih pergolakan sudah ditebar oleh penguasa Kadiri. Dan kini benih itu
melebar luas menggerogoti jiwa para Nayaka Praja."
"Aku tugaskan kau untuk merebut kembali, putra. Namun kau harus berusaha
menyamarkan dirimu. Dan jika kau berhasil, rawatlah ia di telatah Belumbang."
Dan di suatu hari, seorang kakek lanjut usia, datang berkunjung ke pondok
dimana ki Ajar Paguhan dan dua muridnya berada. Kakek itu ternyata adalah
ki Sumantri, seorang pengasuh Pangeran Banyak Paguhan. Kedatangannya
merupakan utusan daripada Pangeran Banyak Paguhan itu sendiri. Yaitu untuk
menilik keadaan Bagus Wana yang seharusnya dibawa ke pura Kadiri. Tetapi
P a g e | 757
karena suatu sebab, hal itu diurungkan. Karena di pura terjadi kericuhan yang
mencemaskan.
Hanya tiga hari saja ki Sumantri berada di telatah Belumbang. Di hari yang
terakhir, orang tua itu sempat meninggalkan pesan kepada ki Ajar Paguhan.
Pesan itu adalah apabila sesuatu terjadi, hendaknya ki Ajar Paguhan
menyampaikan kepada anak Kidang Rumeksa untuk mengunjungi gua yang
tidak terlalu jauh dari Belumbang. Dan hal itu membuat ki Ajar Paguhan heran
atas pesan ki Sumantri.
tuanya tiada, dan bahkan disaat usia senja ia lalui, baru tahulah kebenaran
mengenai keluarganya. Hal itu sungguh menjadikan tanda tanya besar pada
dirinya kepada ayahanda Pangeran.
"Apakah orang yang disebut Demang Brahu itu masih hidup ?"
"Ah.. Tentu tidak. Bila orang itu hidup, usianya pasti seratus lebih."
Pembicaraan itu terhenti sejenak, manakala dari pintu regol terlihat dua
orang memasuki halaman. Dari salah satunya ki Panji Mahesa Anabrang dan
yang lainnya sangat mengenali orang yang tidak bukan adalah Lurah Arya
Dipa, putra angkatnya. Tetapi orang satunya, barulah kali ini mereka
melihatnya.
P a g e | 759
Usai berucap salam dan disambut, Lurah Arya Dipa dan orang bersamanya,
dipersilahkan duduk. Saling menanyakan keadaan juga tidak dihindari,
khususnya antara Begawan Jambul Kuning beserta Windujaya dan Lurah Arya
Dipa yang sudah lama tidak bertatap muka. Barulah Arya Dipa
memperkenalkan orang yang duduk di sampingnya.
"Kyai Jalasutro.... " desis Begawan Jambul Kuning dan ki Panji Mahesa
Anabrang, bersamaan.
"Oh.. Tidak aku duga jika seorang linuwih seperti kyai, dapat aku jumpai disini."
kata Begawan Jambul Kuning, yang sudah mendengar kehebatan orang itu.
Dalam pada itu, selain memperkenalkan antara kyai Jalasutri dan ayahnya,
dan tanpa diduga di pondok ayahnya yang kedatangan tamu kakeknya,
Lurah Arya Dipa yang sebelumnya sudah menceritakan bagaimana kesamaan
antara kakeknya Begawan Jambul Kuning dengan ki Wanapati kepada kyai
Jalasutro, telah melakukan pembicaraan mengenai kenyataan keluarga
kakeknya.
Kyai Jalasutro menggeleng dan berkata, "Aku hanya tak ingin kawan
sepermainanku itu celaka ditangan anakmas Arya Dipa."
Semua orang tersenyum dengan apa yang dikatakan oleh kyai Jalasutro.
"Oleh karenannya, aku meminta ijin untuk tinggal bersama keluarga anakmas
Arya Dipa. Tiada lain maksudku ialah untuk menanti kembali Bagus Wana yang
kini menyebut dirinya ki Wanapati." lanjut kyai Jalasutro.
"Oh, baguslah hal itu, kyai. Kita bisa berbicara panjang lebar di rumah cucuku
ini. Karena, aku-pun ingin menunggu kelahiran buah hatinya, yang tidak akan
lama lagi." sahut Begawan Jambul Kuning.
P a g e | 760
Maka, dihari - hari kedepannya, rumah Lurah Arya Dipa akan semakin ramai
dengan adanya kyai Jalasutro dan Begawan Jambul Kuning, serta Windujaya.
Canda gurau terdengar menghidupkan suasana rumah kelurga kecil Lurah
Arya Dipa, meskipun tanpa lengah sedikit-pun atas sosok dari ki Wanapati yang
masih mempunyai ikatan darah.
Suasana rumah Lurah Arya Dipa, tidak terlepas dari pengamatan orang -
orangnya ki Wanapati. Itu terbukti manakala ada seorang lelaki yang berhenti
membeli dawet ditikungan jalan yang berhadapan dengan rumah Lurah Arya
Dipa. Orang itu berpura - pura membeli dawet dan meminumnnya perlahan
seraya bertanya.
"Wah, dawet kisanak sungguh lain daripada yang lain." puji orang itu.
"Hehehe... Begitulah, tuan. Orang - orang yang sekali membeli dawetku, pasti
datang ketagihan."
"Hm.. Tentu - tentu. Jika aku lewat sini, pasti akan kucoba lagi dawet ini."
"Lewatlah lagi, tuan. Bila tuan lewat jalan ini sebelum tengah hari, dawetku
biasanya masih tersedia."
"He.. Dawet dua pikul ini terjual hanya setengah hari ?" tanya orang itu,
terkejut.
"Memang sepertinya tuan baru lewat telatah sini. Di sini hanya dawetku saja
yang laris manis. Kata orang, dawetku sungguh sangat menyegarkan."
Orang itu mengangguk - angguk, lalu kemudian orang itu bertanya mengenai
hal lain, "Kisanak, bukankah itu rumah seorang Tumenggung di masa Sultan
pertama Demak ?"
"O, itu tamu yang akhir - akhir ini tinggal di rumah, yang sudah setahun ini
dihuni oleh ki Lurah Arya Dipa, cucu gusti Tumenggung." terang tukang dawet.
"Wajahnya begitu mirip dengan ki Wanapati... " desis orang itu, yang terus
berlalu.
"Kau, sudah datang, Galah ?" seseorang yang baru keluar dari gubuk,
mengajukan pertanyaan.
"Bukankah kau sudah lihat sendiri kalau aku baru tiba, Supa ?"
"Hehehe... Kau seperti biasanya. Hm, masuklah. Aku sudah membuat wedang
sere." kata Supa.
Supa menggeser letak duduknya dan tanyanya, "apa yang kau maksud,
Galah ?"
"Rumah Lurah muda itu kedatangan seorang tua yang mirip dengan wajah ki
Wanapati."
"Kau bicara mengada - ada, Galah. Apa kau sudah mabuk dawet ?"
P a g e | 762
"Semprul, kau Supa." umpat Galah, "Tadi aku sudah bilang, kalau kau tidak
akan mudah untuk mempercayaiku."
"He, mau kemana kau ?" tanya Galah, agak kesal karena ditinggal begitu
saja.
"Membuktikan omonganmu.. " sahut Supa yang sudah berada di luar gubuk.
Akhirnya sampai juga Supa ditikungan jalan dekat rumah Lurah Arya Dipa.
Yang tadi disitu ada penjual dawet, sudah tak ada lagi. Berhentilah Supa disitu.
"Mencari siapa, kisanak ?" sebuah teguran terdengar dari arah belakang
Supa.
"Oh, kisanak mengagetkan aku saja." kata Supa, "Biasanya disini ada penjual
dawet, tapi apa mungkin sudah habis ?"
"Bila kisanak bersedia, mari singgah di gubukku." lelaki muda itu menawarkan.
"Ah, terima kasih. Mungkin lain kali saja. Mumpung hari masih terik, sebaiknya
aku melanjutkan perjalanan."
"Silahkan, kisanak."
Sementara itu, lelaki muda tadi yang masih berdiri ditikungan, mengerutkan
alis manakala mendapati orang yang mengaku pedagang tadi,
memperhatikan rumah Lurah Arya Dipa. Lelaki muda itu merasakan kalau orang
yang mengaku seorang pedagang tadi, ingin mengetahui keadaan rumah itu.
"Siapa orang tadi ?" desis lelaki muda, yang ternyata adalah Lurah Arya Dipa
itu sendiri.
Sebenarnya tadi Lurah Arya Dipa yang baru pulang dari sungai, tanpa
sengaja melihat seseorang yang berdiri di tikungan jalan dengan tampang
yang mencurigakan. Oleh karenanya dari jauh ia turun dari pelana kuda dan
menuntun kudanya dengan sangat perlahan. Sehingga saat dekat dengan
orang tadi, dan menyapanya, membuat orang itu kaget.
Malah ditambah lagi saat orang itu melewati jalan depan regol rumahnya.
Mata orang itu begitu kentara adanya sesuatu yang dicari. Oleh karenanya,
Lurah Arya Dipa berusaha menarik tali simpul dari keadaan diakhir - akhir ini.
Sehingga dugaan yang paling mendekati di hati Lurah muda itu yaitu,
mengkaitkan orang mencurigakan tadi dengan seorang yang bernama ki
Wanapati.
"Bisa jadi dia adalah orang - orangnya ki Wanapati." batin Lurah Arya Dipa,
sembari memasuki regol.
P a g e | 764
Dibawanya kuda menuju kandang yang berada di belakang rumah dan ikat
di patokan yang tersedia. Tak lupa sekeranjak rumput ditaruh di depan kuda,
sebagai makanan kuda kesayangannya.
"Makanlah yang kenyang, Jatayu.. " desis Lurah Arya Dipa, sambil membelai
kepala kuda itu.
"Kau disini rupanya, kakang.. " Ayu Andini menyapa dari arah belakang.
Pada saat namanya disebut oleh tuannya, Jatayu meringkik perlahan dan
menoleh ke arah perut Ayu Andini, seolah menyapa anak yang ada dalam
kandungan Ayu Andini.
"Kakang.. "
"Tadi pagi ada seseorang yang terus memperhatikan rumah kita." kata Ayu
Andini, perlahan.
apakah rumah ini masih dihuni eyang Tumenggung dan menanyakan siapa
saja yang menghuninya."
"Hm... Kau tak perlu memikirkan hal itu, Ayu. Yang paling utama, kau pusatkan
kelahiran dari buah hati kita. Tenanglah, di rumah ini ada eyang Begawan dan
adi Windujaya. Dan bukankah Kyai Jalasutro juga ikut menginap disini ? Jadi,
sekali lagi, kau harus bersikap tenang." Lurah Arya Dipa, mencoba
menentramkan istrinya.
Di ruang utama rumah Lurah Arya Dipa pun sudah diterangi sinar dian. Di situ
terlihat jelas Windujaya membelai keris pusakanya yang berbeda dari keris
pada umumnya. Sementara berjarak selangkah darinya, Kyai Jalasutro
menggerak - gerakan kipas bercorak burung merak. Lain lagi dengan orang
tua satunya, matanya terpejam sembari bibir bergerak lirih layaknya berucap
sesuatu, rupanya ia asyik memuji keagungan Sang Pencipta.
"Hm.. Mungkinkah ia benar - benar tertipu oleh ucapan Demang Brahu ? Dan
apakah ia membekukan hainya ?"
Hanya lengang yang didapat. Dalam kepala Begawan Jambul Kuning atau-
pun Windujaya, tidak dapat menemukan jawaban yang membuat Kyai
Jalasutro akan lega, karenanya keduanya memilih membisu. Sangat sulit
menerka hati seseorang yang dalamnya melebihi palung lautan.
Pada saat itulah dari ruang dalam, Lurah Arya Dipa berjalan dan duduk
bersama mereka.
"Iya, eyang." Sahut Lurah Arya Dipa, lalu katanya kemudian, "Eyang,
sepertinya rumah ini sedang diawasi."
Semua orang menatap Lurah muda itu. Kata - kata itu sepertu memang
ditunggu - tunggu.
"Hm.. Apakah dari orang - orangnya Wanapati ?" Kyai Jalasutro langsung
bertanya.
"Dipa.. " kata Begawan Jambul Kuning, "Mungkinkah orang itu kerabat
eyangmu yang tidak setuju kau menempati rumah ini ?"
P a g e | 767
"Benar, kakang. Walau adikmu ini hanya memiliki ilmu seujung kuku, aku-pun
enggan berpangku tangan jika ketentraman kakang dan mbakyu Andini
terganggu." Windujaya ikut menyanggupi untuk menjaga kediaman Lurah Arya
Dipa.
Selang dua hari, kediaman Lurah Arya Dipa kedatangan bakul dawet yang
biasa berjualan tak jauh dari rumah itu. Saat itu Ayu Andini-lah yang
menerimanya dan dipersilahkan ke pringgitan. Tetapi bakul dawet menolaknya,
karena hanya ingib menyampaikan pesan saja kepada Lurah Arya Dipa.
"Kakang Dipa belum pulang dari kesultanan, ki." kata Ayu Andini.
"Aku hanya ingin menyampaikan pesan saja, nini." kata bakul dawet, yang
kemudian katanya, "Tadi ada seseorang yang mengaku kenalan anakmas
Dipa.. "
"... Orang itu mengharap kehadiran anakmas sendiri di gumuk luar gerbang.
Yaitu sekitar wayah sepi bocah nanti."
Bakul dawet itu menggeleng, "Tidak, nini. Aku sendiri juga lupa untuk
menanyakan hal itu."
P a g e | 768
Ayu Andini memaklumi sikap ki Talam, "Baiklah, ki Talam. Terima kasih, bila
nanti kakang Dipa pulang, akan lekas kuberitahu."
"Baiklah, nini. Kalau begitu aku pamit dahulu. Hari sudah semakin siang."
Melangkahlah ki Talam penjaja dawet keluar dari regol kediaman Lurah Arya
Dipa. Hanya tatapan cemas yang tertinggal di belakang orang itu bersumber
dari wanita muda yang mengandung tua yang tiada lain Ayu Andini.
Kecemasan wanita muda itu berpangkal adanya pesan mencurigakan yang
dititipkan kepada ki Talam.
"Ah, adi Windujaya. Tidak... Tidak.. " sergah Ayu Andini, "Hanya saja ada yang
mengganggu pikiranku mengenai pesan untuk kakang Dipa."
"Begitulah, adi."
"Tak usah dirisaukan, mbakyu. Biarlah kakang Dipa yang memutuskan, apakah
ia menyanggupi pesan itu atau tidak." kata Windujaya.
Hari merambat sesuai kodratnya. Apa yang dinantikan oleh Ayu Andini
dengan dada berdebar, tiba jua. Lurah Arya Dipa telah pulang dari kesultanan
dengan peluh mewarnai dada bidangnya. Dengan sigap Ayu Andini
menyambut kedatangan suaminya itu. Dilayaninya sang suami penuh
tanggung jawab dan kasih sayang. Air kendi dihidangkan dan disambut penuh
rasa syukur oleh Lurah Arya Dipa.
Air kendi terasa sejuk saat air itu mengalir melewati tenggorokan. Rasa lelah
seharian penuh dalam tugas sebagai prajurit, terobati jua. Akhir - akhir ini
banyak tugas yang diembannya baik dari kesatuannya atau-pun tugas rahasia
dari sang nata. Tetapi saat Lurah muda itu menatap raut muka sang pujaan
hati, telah tersirat adanya kegelisahan meskipun sang istri berusaha
menutupinya, tetapi tak pelak dapat dibaca oleh Lurah Arya Dipa.
"Ayu, adakah yang ingin kau katakan ?" tanyanya dengan halus.
"Lalu ?"
Lurah Arya Dipa yang mendengar pesan itu tidak nampak perubahan ombak
di wajahnya. Ini menandakan kalau Lurah muda itu lebih matang dalam
menyikapi keadaan.
"Wayah sepi bocah di gumuk luar kotaraja. Adakah kau mengatakan adanya
pesan itu kepada yang lainnya, Ayu ?"
"Baru adi Windujaya saja yang tahu. Eyang Begawan dan Kyai Jalasutro
belum pulang dari kunjungan ke rumah ayah Mahesa Anabrang."
"Hm... Baiklah, aku akan meminta adi Windujaya untuk tetap berdiam di sini."
P a g e | 770
"Akan mau kemana kau ngger ?" tanya Begawan Jambul Kuning.
"Jangan sendiri, anakmas." Kyai Jalasutro berkata, "Biarlah salah satu dari kami
ikut bersamamu."
"Terima kasih, Kyai. Biarlah aku sendiri saja, demi menghormati orang yang
mengundangku itu." Lurah Arya Dipa berusaha menolak tawaran dari orang -
orang tua itu, "Lebih baik eyang dan Kyai menjaga rumah ini."
Sebelum pergi Lurah Arya Dipa memandang istrinya dan tersenyum, tak lupa
juga mengangguk hormat kepada kedua orang sepuh. Lalu tak terlalu lama
terdengarlah derap kaki Jatayu keluar dari regol dan laru kencang menapaki
jalan.
Tiada cahaya sedikit-pun yang menerangi jalan menuju gumuk itu. Apalagi
bulan wayah tilem, dimana cahaya pantulan matahari tak ada. Semakin
P a g e | 771
Tepat dua langkah dekat pohon mahoni, Lurah Arya Dipa turun dan
menuntun Jatayu dan mengikat kuda itu di pohon tersebut. Selanjutnya ia
memperhatikan keadaan sekitar dengan teliti, tiada sejengkal-pun terlewatkan
sedikit-pun. Mata setajam garuda yang dilambari aji pandulu dapat
menjadikan mata pemuda itu awas. Keadaan yang begitu gelapnya, tersibak
dan mampu dilihat apabila ada sesuatu gerak yang ditimbulkan entah itu
serangga atau-pun angin.
Lima tombak dari tempat Lurah Arya Dipa berdiri, dua orang berjongkok
sembari menyembunyikan keberadaannya. Meskipun begitu itu semua sia - sia
belaka, Lurah Arya Dipa dapat mengetahui keberadaan mereka. Itu terbukti
ketika Lurah muda menyapa dengan halus.
Hati kedua orang itu tercekat. Keduanya tak mengira kalau pemuda itu
dapat mengetahui keberadaan mereka dengan mudahnya. Padahal jarak
lima tombak serta digelapnya malam ditambah rapatnya semak belukar.
Tetapi sebagai seorang yang sudah berpengalaman terjun dikancah olah
kawijayan dan kerasnya dunia, keduanya berusaha mengumpulkan kembali
kebulatan hati, dan keduanya bergegas keluar.
"Warta yang ditiup angin itu rupanya tidak salah sedikit-pun." ucap seorang
yang bersedekap, "Lurah muda yang memiliki segudang ilmu kawijayan dan
kadigdayan, sayang ia menempatkan dirinya diseberang jalan."
Lurah Arya Dipa mengernyitkan alisnya. Tidak satu-pun dari keduanya yang ia
kenali. Tetapi sepertinya mereka banyak mengetahui tentang dirinya. Hanya
satu kesimpulan yang pasti dapat disimpulkan dari perilaku orang - orang itu
yang ia duga.
"Kisanak, apa maksud kisanak berkata seperti itu ? Dan siapakah kalian ini ?"
tanya Lurah Arya Dipa.
P a g e | 772
Satu orang yang lain mendehem dan selanjutnya angkat bicara, "Huh, kita
sudahi saja pembicaraan yang sia - sia ini. Galah, sebaiknya kita selesaikan saja
dan segera kembali ke Wetan."
"He, jaga ucapanmu, Supa.. " bisik Galah yang sedikit kecewa atas
kesembronoan kawannya.
Meskipun orang yang bersedekap itu tadi berbisik, Lurah Arya Dipa dapat
menangkap dan ia mengangguk semakin nyata dugaan dalam hatinya.
"Malam ini adalah malam terakhirmu, anak muda !" seru Supa.
Tahu - tahu Supa sudah meloncat dengan gerakan membacok. Angin yang
ditimbulkan tak olah - olah. Serangan cepat dan tak terduga itu penuh
ancaman yang dapat mencelakakan. Dengan keyakinan tinggi Supa merasa
pastu dapat menempatkan pedangnya dibagian tubuh lawannya. Tetapi
alangkah terkejutnya manakala pedangnya hanya menemui angin belaka.
Suatu kali pedang Supa menebas lawannya, tetapi lawannya yang hanya
mengisar kakinya dapat mengelak. Namun saat itu juga, Galah sudah menanti
menggunakan tajamnya senjata mengarah lambung lawannya. Dan sekali lagi
sergapan itu terhindarkan oleh lawan.
Putaran - putaran senjata berbagai gerak melibas segala arah tubuh Lurah
Arya Dipa. Pemuda itu luar biasa dalam setiap langkahnya. Gerakan lincah bak
burung garuda terus diperagakan dengan indahnya. Kesebatan senjata lawan
sulit menemui sasaran berupa tubuh Lurah Arya Dipa. Padahal lawannya
bukanlah orang yang tak tahu tingginya dunia olah kanuragan.
Waktu terus berlanjut semakin seru. Perkelahian sudah berlarut - larut tiada
ujung. Keringat Supa dan Galah menyembul merembes membasahi pakaian.
Tetapi belum jua mereka dapat melukai kulit lawan. Jangankan kulit, bayangan
pakaiannya saja tak dapat dikenai barang sedikit-pun. Padahal keduanya
sudah mengerahkan semua tenaganya, bahkan tenaga cadangan-pun sudah
dihentakan sedemikian derasnya.
Demikian itu merupakan usaha dari Lurah Arya Dipa untuk menguras tenaga
lawannya dan juga untuk menangkap keduanya hidup - hidup. Dan yang
paling pasti adalah mencari kepastian dugaan orang dibalik kejadian ini.
Sehingga upaya pelemahan dilakukan dengan memaksa lawannya bergerak
lebih sering.
Suara pedang jatuh terdengar dibaringi jerit kecil daru mulut Galah. Orang itu
lunglai tak sadarkan diri dalam kekuasaan Lurah Arya Dipa.
Dalam pada itu dari bawah pohon randu, terdengar gerung menyeramkan.
Gerung kegeraman dari seseorang yang menyaksikan kekalahan Supa dan
Galah. Dan tidak menunggu lebih lama, orang itu meloncat mendekati bekas
kalangan.
"Ah, ki Sardulo Liwung salag mengerti. Aku berlaku sewajarnya saja." ucap
Lurah Arya Dipa.
Ternyata orang tua itu adalah tokoh kanuragan pesisir kidul di Bang Wetan.
Seorang ahli kanuragan yang mendapat gelar macan pesisir Prigi, karena
asalnya memang dekat dengan pantai Prigi. Orang ini juga salah seorang yang
mendebarkan dengan ilmu Serat Tirta serta auman aji Pekik Sardulo. Dahulu
dikala perebutan Kyai Sangkelat, ki Sardulo Liwung ikut bersama - sama
P a g e | 775
kelompok Raden Sajiwo, tetapi usaha kelompok itu hancur atas munculnya
Lurah Arya Dipa dan Jati Pamungkas atau orang bercambuk. Semenjak
kekalahannya itulah ki Sardulo Liwung bertekad mengobati rasa kekalahannya
dengan cara mencari dua pemuda tersebut. Kini akhirnya ia dapat menjumpai
salah satunya. Maka saatnya-lah rasa sakit hatinya akan ditumpahkan kepada
pemuda itu.
Tak perlu lama - lama, ki Sardulo Liwung mulai merangsek ke depan. Tangan
kanan berlambarkan pukulan mematikan sudah siap menggebrak. Dalam
pikiran orang tua itu hanyalah hasil kematian daripada pemuda itulah yang
diharapkan. Karena itulah sejak serangan pertama, ki Sardulo Liwung sudah
menerapkan kemampuannya dengan sepenuhnya.
Tetapi Lurah Arya Dipa bukanlan orang - orangan sawah yang diam sebagai
sasaran latihan. Dia merupakan manusia pilih tanding yang memiliki naluri
kehidupan. Apalagi dirumah, seorang wanita muda menunggu bersama calon
jabang bayinya. Karenanya, Lurah muda itu mau tidak mau harus menerapkan
ilmunya. Selapis aji Niscala Praba mulai menyelimuti tubuhnya.
"Ceees..... !"
Walau begitu, perkelahian tetap berlanjut dengan adu siasat dari tata gerak
masing - masing. Serulah malam di gumuk itu dengan adanya dua manusia luar
biasa yang mendapat limpahan dari Dzat Suci. Angin menderu - menderu
membuat debu berterbangan, begitu-pun halnya dengan daun - daun yang
menguning telah rontok dari dahan - dahannya.
"Ilmu apa yang ia pakai ?" desis ki Sardulo Liwung dalam hati, sambil terus
menajamkan indra penglihatannya.
"Ada apa, ki Sardulo ?" tanya Lurah Arya Dipa, memberikan waktu untuk
lawannya.
"Dari mana kau dapatkan ilmu langka itu ?!" ki Sardulo Liwung malah balik
bertanya.
"Akankah aku harus menceritakan kepadamu, ki ?" kata Lurah Arya Dipa,
"Hm.. Bila ki Sardulo ingin tahu, sebaiknya marilah singgah untuk sekedar minum
wedang sere."
P a g e | 777
"Bangsat kau anak muda !" umpat ki Sardulo Liwung, "cepat katakan ilmu
kerajaan Kadiri itu bagaimana kau dapatkan !"
"Hm... " desuh Lurah Arya Dipa sambil menggelengkan kepalanya, "Maaf ki,
aku tak dapat membicarakannya."
"Setan alas !" seru ki Sardulo Liwung, "Kalau begitu kau akan membawanya
sampai ke alam kelanggengan !"
Habis berucap, ki Sardulo Liwung berseru keras, tetapi bukan sekedar berseru,
melainkan Pekik Sardulo membahana membuat malam bergetar. Hal itu
sekejap membuat Lurah Arya Dipa terhenyak dan menekan dadanya yang
hampir jebol, aji Pekik Sardulo milik ki Sardulo Liwung sungguh menakjubkan.
Untung saja lawannya yang masih mudah itu dapat menguasai gelora dalam
tubuhnya dan mampu menahan debar jantungnya.
Dalam pada itu, ki Sardulo Liwung tidak berhenti sampai disitu saja, tubuhnya
dengan pesat melabrak lawannya. Tata gerak berupa liukan tangan dibarengi
gerungan keras menitik beratkan dada lawan. Bukan olah - olah jika tangan itu
mendarat tepat di dada lawan, bahkan kerasnya bebatuan gunung akan
lumat berkeping - keping, serta ditambah hebatnya lambaran aji Pekik Sardulo
yang menyasar pendengaran lawan.
Tetapi Lurah Arya Dipa tidak tinggal diam. Serangan dua jenis dari lawan
bergegas ia tanggapi menggunakan ilmu yang ia sadap dari kitab Cakra Paksi
Jatayu. Pertama dipertebal dinding pendengaran menggunakan aji Niscala
Praba, lalu selanjutnya tangannya ikut bergerak menyongsong gempuran dari
lawannya. Dikedua tangan sudah diterapkan aji Sepi Angin demi
mempertahankan nyawa di raganya.
Tidak terlalu lama, gumuk itu bergetar hebat bagai terhantam pusaran badai.
Rumput dan tanah berterbangan mewarnai gelapnya malam, menambah
pekatnya udara di gumuk itu. Dua manusia di dalam pusaran terlihat masih
bersentuhan sepasang tangan mereka, beradu kepalan. Diam mematung tak
bergeser sedikitpun, layaknya batu karang yang kokoh tak mempan diterjang
ombak samudra.
Kepekatan debu seiring waktu luluh lunglai keperaduan bumi. Sayup - sayup
desir halus dari gerakan kaki yang bergesekan dengan tanah, terdengar lirih. Ki
P a g e | 778
Sardulo Liwung terseok - seok mundur menjauhi titik temu. Pelan namun pasti,
wajahnya terlihat memucat. Bibirnya yang masih terbungkam, dari sela -
selanya muncul warna merah mengalir ke dagunya. Dengan menggunakan
pakaian dilengannya, ia berusaha menyapu darah tersebut. Sementara
tangan satunya sibuk menekan dadanya.
"Serat Tirta dan Pekik Sardulo tak mempan... " desis ki Sardulo Liwung, "Hm..
Jika aku teruskan, akulah yang binasa termakan ilmu pemuda itu.. "
Terpaksa orang tua dari pantai Prigi itu menebalkan wajahnya sekali lagi.
Bergegas ia angkat kaki menjauhi gumuk tersebut tanpa menoleh. Walau
terluka dalam, ki Sardulo Liwung masih dapat menguasai tubuhnya dan
memesatkan langkah kakinya.
Sementara itu, Lurah Arya Dipa yang masih berdiri dengan sikap menyerang,
masih diam tak bergerak. Tangannya masih terangkat menjulur ke depan
dengan kepalan yang masih kuat. Dan sebenarnya saat lawannya terseok -
seok lalu meninggalkan kalangan, Lurah Arya Dipa tahu pasti, namun ia masih
diam saja membiarkan. Barulah ketika wujud ki Sardulo Liwung lenyap, tangan
pemuda itu berangsur turun dan kaki yang merenggang mulai rapat kembali.
Lurah Arya Dipa meninggalkan gumuk tersebut dengan hati penuh syukur.
Dirinya masih diberi kesempatan untuk berkumpul kembali dengan
P a g e | 779
"Begitulah, kyai."
Baru saja Ayu Andini akan angkat suara, dari luar terdengar derap kuda
memasuki regol rumah Lurah Arya Dipa. Bergegas semuanya berdiri dan
menuju pintu utama dan membukanya. Terlihatlah seorang prajurit sudah turun
dari pelana kuda dan menuntun kuda tersebut.
"Wa'alaikum salam... " sahut Lurah Arya Dipa dan mengenali prajurit itu, "Kau,
Soca.. "
"Naiklah.. "
"Mohon maaf, ki Lurah. Sebuah pesan dari gusti Adipati Anom yang lekas aku
sampaikan.. "
"Baik, ki Lurah." Bergegas prajurit itu berbalik arah keluar regol dan dengan
sigap meloncat ke kudanya untuk kemudian ia pacu menuju Kanoman.
Sepeninggal prajurit Soca, Lurah Arya Dipa mempersiapkan diri dan pamit
kepada istri, para tetua dan Windujaya. Selanjutnya dengan menaiki kuda
kesayangannya, ia menuju Kanoman menemui Adipati Anom, Pangeran Pati
Bagus Mukmin.
"Maafkan aku, kakang Lurah.. " sebuah suara telah mendahului daripada
sosok yang memasuki ruangan itu.
"Hamba, gusti Pangeran.. " balas Lurah Arya Dipa sembari merapatkan
tangan di depan kening.
Rupanya sosok itu adalah Pangeran Bagus Mukmin itu sendiri. Pangeran putra
tertua dari Sultan Trenggono yang akan meneruskan dampar kencana, kelak
dikemudian hari.
Sejenak Pangeran Anom berhenti demi mendapatkan kesan dari Lurah muda
di depannya. Kemudian lanjutnya.
Canggu akan menjadi sasaran yang harus diutamakan untuk diamankan dari
kekuasaan Panembahan Bhre Wiraraja."
"Dari awal aku mengharapkan agar kau tetap di kotaraja. Dan syukurlah
pemikiran itu sama dengan Ayahanda, walau sebenarnya tenagamu sangat
dibutuhkan di garis depan." Kembali Pangeran Bagus Mukmin terdiam untuk
mengambil napas, "Kakang Lurah Arya Dipa.. "
Tanpa sadar kepala Lurah Arya Dipa mendongak menatap gustinya. Tetapi
sejenak kemudian bergegas kembali menunduk menatap lantai, meskipun
keningnya masih mengerut dalam. Hatinya tidak mampu meraba maksud dari
pertanyaan Pangeran Anom. Namun bibirnya lekas bergerak demi menjawab
perihal tersebut.
"Bila yang dimaksud adalah kematian gusti Pangeran Sekar, hamba masih
teringat gusti Pangeran."
Pangeran Anom mengangguk perlahan dan katanya, "Saat itu sungguh aku
tidak memerintahkan paman Suranata, tetapi pihak Jipang Panolan bersikukuh
akulah pelaku utamanya. Dan akhir - akhir ini aku mendengar kalau kakangmas
Adipati Arya Jipang telah membentuk pasukan Siluman."
"Oh... " kejut Lurah Arya Dipa, "Be.. Benarkah itu, gusti Pangeran ?"
"Sendiko dawuh, gusti. Semua yang mampu hamba kerjakan tentu untuk
keberlangsungan Demak ini." Lurah Arya Dipa menyanggupi perintah gustinya.
Bersambung.....
P a g e | 782
Dalam pada itu, agak jauh dari kerumunan orang - orang yang menyaksikan
iringin pasukan Demak, Lurah Arya Dipa mengernyitkan alisnya saat
memperhatikan adanya orang yang mencurigakan. Orang itu terlihat
mengamati semua pasukan Demak dan lebih bersungguh - sungguh ketika
melihat prajurit pengawal Sultan Trenggono. Sejenak kemudian orang tersebut
beringsut meninggalkan tempatnya dan hilang dibalik kerumunan orang.
Lurah Arya Dipa tak tinggal diam. Lekas ia mengejarnya meskipun harus
menyerobot dari tubuh orang - orang.
"He.. ! Dasar anak setan !" seru orang yang merasa terganggu akibat ulah
Lurah Arya Dipa.
Lurah Arya Dipa tak menghiraukan omelan orang yang merasa terganggu. Ia
terus menghambur mencari orang yang ia curigai. Syukurlah ia masih melihat
kelebat bayangan berlari ke kelokan jalan. Oleh karenannya lekas dipesatkan
kakinya mengejar orang tersebut. Dan benar saja, sehabis jalan berkelok dua
P a g e | 783
"Ada apa kisanak ?!" salah seorang bertanya, sementara yang satunya
dengan tatapan tajam memperhatikan penampilan Lurah Arya Dipa.
Untungnya, saat itu Lurah Arya Dipa tidak mengenakan pakaian prajurit.
Sehingga jatidirinya tak dapat dikenali oleh keduanya. Meskipun salah seorang
dari kedua orang yang khususnya yang dikejar tadi masih terus mengamatinya.
"Siapa kisanak ini ? Sejak aku lahir dan beranjak dewasa di kotaraja ini, aku
tak mengenali kalian."
"Ah.. Kami hanyalah seorang pengembara saja, anak muda." jawab lelaki
berperawakan tinggi besar berkumis tebal, "wajar saja jika kau tidak mengenal
kami."
Lurah Arya Dipa mengangguk, "Pantas, kalau begitu darimana asal kisanak
berdua ?" kembali Lurah Arya Dipa melemparkan pertanyaan.
Tentu saja perlakuan pemuda itu membuat kedua orang lelaki itu sidikit
mendongkol, tetapi orang berperawakan tinggi berkumis tebal mencoba
mengendapkan perasaannya. Dan kemudian jawabnya sambil memaksakan
bibirnya tersenyum.
"Aku dari dukuh Banjar Rejo yang masuk telatah Ponorogo." jawabnya asal -
asalan.
Jawaban itu menimbulkan kecurigaan semakin dalam bagi Lurah Arya Dipa.
Karena kadipaten Ponorogo merupakan telatah dimana masa kecilnya
terlewati bersama ki Panji Mahesa Anabrang, lekaslah lurah muda itu
mengetahui kalau orang berperawakan tinggi itu berkata bohong dan
terbilang mengada - ngada. Tapi Lurah Arya Dipa tidak bersikeras membantah
ucapan orang itu, melainkan malah membuat orang itu bingung.
P a g e | 784
"Oh, jadi kisanak ini dari Banjar Rejo ?" kata Lurah Arya Dipa, terlihat ramah
serta melanjutkan ucapannya, "Berarti kisanak kawula paman Demang Jati
Rekso.. "
"He, jangan kau hiraukan kami, jika kau sayang nyawamu, anak setan !"
"Huh, belum sadar juga kau anak bengal ! Bila aku pelintir kepalamu, itu
tandanya nyawamu melayang !" bentak orang berbadan kurus pendek.
"Jangkrik setan bengal !" Kembali orang berbadan kurus pendek itu
menghardik, "Tidak usah banyak omong, pergilah selagi aku masih dapat
menahan amarahku !"
Bentakan itu membuat pemuda itu jatuh terduduk. Mengetahui itu, orang
berbadan kurus pendek tersebut mengajak kawannya meninggalkan pemuda
tadi dengan cepat. Keduanya berjalan mengarah padukuhan segaris lurus
gerbang timur.
"Biarlah mereka keluar dari pintu gerbang. Aku yakin akan dapat mengejar
keduanya." desis Lurah Arya Dipa.
Pemuda itu kemudian mencari jalan lain yang arahnya juga ke gerbang
timur. Meskipun agak jauh, akhirnya Lurah Arya Dipa hampir mendekati pintu
gerbang dan di situ seorang kakek tersenyum menyambutnya.
Lurah Arya Dipa tersenyum, "Maaf, Kyai. Tadi ada sesuatu yang membutuhkan
perhatianku."
"Mudah - mudahan bukan gadis penghuni padukuhan ini." goda kakek itu
sembari tertawa.
Apa yang diperkirakan oleh Kilatmaya tidak salah sedikit-pun. Jejak yang
ditinggalkan oleh kedua orang yang sebelumnya dicurigai, dapat diikuti
dengan mudah. Terakhir keberadaannya, kedua orang yang ia ikuti menuju
sebuah kedai kecil tak jauh dari tempatnya bertanya. Maka, Kilatmaya dan
kakek yang bersamanya mencoba mendekati kedai kecil itu.
"Ha.. Mumpung ada penjual dawet, ayo berteduh di pohon talok itu,
Anakmas." ajak kakek yang bersama Kilatmaya.
"Mari, Kyai." sambut Kilatmaya yang tiada lain Lurah Arya Dipa.
dawet. Juga, tak lengah pengamatan Kilatmaya dari pintu keluar kedai, yang
terbuka dan terlihat adanya orang yang ia ikuti.
Cukup lama juga keduanya disitu, hingga akhirnya orang yang diikuti keluar
dari kedai. Dua orang yang diikuti itu berlalu di jalan tepat di mana Kilatmaya
dan kakek tua minum dawet. Namun kedua orang tadi tak sempat mengenali
dan jalan sesukanya mengarah pertigaan timur padukuhan dan mengambil
jalan ke kiri.
"Mari, Kyai.. " desis Kilatmaya sambil berdiri dan membayar dawet yang telah
diminum.
Agar tidak diketahui orang - orang yang diikuti, Kilatmaya dan kakek tua
berusaha menjaga jarak. Sehingga jarak dua iringin itu tidak terpaut jauh,
apalagi sampai kehilangan jejak.
Tak terasa jalan yang awalnya ramai dilalui banyak orang, semakin lama
semakin jarang. Jalan-pun semakin sempit dan hanya selebar gerobak saja.
Juga jalanan semakin tidak rata dan ditumbuhi rumput liar, meskipun tidak
terlalu tinggi. Hal itu menjadikan Kilatmaya dan kakek tua tadi, bertambah hati -
hati.
Terik matahari tak terasa sudah semakin turun ke barat, membentuk bayang -
bayang ke arah berubah haluan juga. Manakala memandang ke depan, dua
orang berperawakan tinggi berkumis tebal dan berbadan kurus pendek turun
dari jalan menapaki tanggul sawah yang ditanami hijaunya palawija. Tindakan
itu membuat Kilatmaya dan kakek tua untuk menambah kewaspadaan.
Dugaan demi dugaan terselip dalam pikiran harus terurai untung ruginya, untuk
terus mengikuti tanpa harus berbenturan secara langsung.
"Baik, Kyai. Aku akan turun di tunggul sebelah sana." sambut Kilatmaya, setuju.
Cukup dalam juga orang berbadan tinggi berkumis tebal dan kawannya
berjalan. Sudah lebih dari ratusan tombak keduanya menjauhi pinggiran
pedukuhan di luar kotaraja. Tapi setelah adanya bunyi aliran air, keduanya
mencoba mencarinya. Dan setelah ditelusuri, nampaklah sebuah anak sungai
berair jernih, bahkan sangking jernihnya terlihat ikan - ikan berenang kian kemari
saling kejar mengejar bersama kawannya. Pemandangan itu memancing
keduanya semakin mendekat, meskipun jalan yang akan dilalui agak terjal.
Orang berperawakan pendek dan kurus duduk berjongkok seraya meraup air
menggunakan kedua tanganya dan membasuhkan ke wajahnya. Tak mau
ketinggalan, kawannya meniru membasuh wajahnya, juga meneguk air sungai
yang jernih itu.
"Ah.. Segar sekali air ini." desis orang berbadan tinggi berkumis tebal.
Kawannya tertawa perlahan, "Hahaha.. Sama saja antara air sungai ini dan
air Bengawan Sore."
"He.. Sambu, air Bengawan Sore menjadi amis setelah darah Pangeran Sekar
menetesinya."
"Ah.. Itu hanya perasaanmu saja, Bajang. Bagiku semuanya sama, jika yang
memerciki itu Trenggono atau-pun Bagus Mukmin."
Pembicaraan keduanya terus berlanjut dan tak menyadari kalau ada orang
yang mendengarkan. Semakin lama jatidiri Sambu dan Bangah sedikit
terungkap, dimana keduanya adalah utusan sebuah perguruan di telatah timur
Bengawan Sore. Satu hal yang membuat Kyai Jalasutro terkejut, yaitu nama
perguruan yang mengingatkan perguruan dimana kawannya adalah pimpinan
dari perguruan itu.
"Ah.. " desuh Kyai Jalasutro, lalu katanya dalam hati, "Candra Bumi bukanlah
sebuah perguruan yang mau mencampuri urusan keprajan."
"Ada apa, Kyai ?" tanya Kilatmaya yang mendengar desuh Kyai Jalasutro.
P a g e | 788
Kyai Jalasutro menoleh ke arah pemuda itu dan katanys, "Dua orang itu
menyebut perguruan Cadra Bumi. Itulah yang membuatku sedikit sangsi,
apakah keduanya benar - benar dari sana."
Yang paling utama untuk saat itu adalah terus mengikuti Sambu dan Bajang.
Dari keduanya, tentu akan mendapatkan titik terang siapa mereka
sebenarnya. Tidak menunggu lebih lama, Kilatmaya dan Kyai Jalasutro kembali
mengendap mengikuti Sambu dan Bajang. Aliran air sungai sudah tertinggal
dan tidak terdengar lagi gemericiknya.
Sepertinya malam itu orang yang mereka ikuti akan menginap di banjar
padukuhan. Itu terbukti manakala Bajang dan Sambu membelok di jalan yang
akan menuju sebuah bangunan yang berbeda dari bangunan lainnya. Sejenak
keduanya berhenti tepat di depan regol. Dan saat itu dari dalam regol,
seorang berjalan mendekatu keduanya dan menyapa dengan ramahnya.
Sesaat orang yang keluar dari regol banjar itu mengamati dua pendatang itu.
Ia harus hati - hati untuk mengijinkan orang lain yang akan memasuki banjar
padukuhan yang ia jaganya. Ia tak ingin kecolongan sehingha akan mendapat
dampratan dari ki Jagabaya atau ki Bekel padukuhun. Tetapi, setelah
mengamati dan meyakini kalau keduanya tidak mencurigakan, orang itu
mengijinkan dua pendatang itu menginap di banjar.
"Baiklah, kisanak berdua. Ayo aku antar di gandok kanan banjar." kata orang
itu, sambil mengantar keduanya ke gandok kanan.
"Panut, panggil saja aku Panut." ucap ki Panut, memperkenalkan diri, "aku
akan ke belakang, untuk mengambil beberapa potong Pohung."
"Selamat malam, kisanak. Apakah ini banjar padukuhan ini ?" tanya pemuda
dengan halus.
"Benar, ngger. Ini memang banjar padukuhan, dan aku yang diserahi ki
Jagabaya untuk mengurusnya." jawab ki Panut, dan katanya lebih lanjut,
"Angger dan kisanak ini dari mana dan akan kemana ?"
Pemuda tersenyum, "Aku dan eyang ini dari Demak yang akan menyambangi
kerabat di Jepara."
Ki Panut mengangguk.
"Tapi, hari sudah terlalu gelap untuk kami melanjutkan perjalanan. Oleh
karenanya, jika kisanak berkenan, kami mohon menginap barang satu malam.
Dan esok kami akan melanjutkan perjalanan yang tertunda."
P a g e | 790
Dari tutur kata dan penampilan kedua pendatang yang ke-dua ini, ki Panut
tidak mendapatkan adanya kejanggalan untuk menolak dua orang itu. Maka
seperti dua orang pertama, ki Panut juga menerima pemuda dan kakek itu
menginap di banjar. Untuk itulah ia antarkan ke-duanya ke gandok kiri dan
mempersilahkan mereka.
Sampai terbitnya sang surya, tiada sesuatu yang terjadi. Banjar padukuhan
yang mendapatkan dua iringan berbeda, tetap terasa seperti malam - malam
biasanya. Bahkan ki Panut yang diserahi tugas untuk merawat serta menjaga
banjar, sangatlah ramah dan baik hati. Pagi - pagi sekali ki Panut sudah
menghidangkan wedang sere juga ketela rebus sisa tadi malam. Dua gandok
yang terisi itupun, penghuninya menikmati hidangan untuk sarapan mereka.
Adanya derap kuda yang memasuki halaman regol tidak hanya membuat
Bajang dan Sambu saja yang merasa penasaran, tetapi ki Panut, juga
Kilatmaya dan Kyai Jalasutro yang berada di gandok kanan mencoba
mengetahui penungga kuda. Namun dari semua yang melihat, Bajang dan
Sambu-lah yang terkesan adanya perubahan diraut wajah mereka.
Nampaknya Bajang dan Sambu tercekat tak percaya kalau di halaman banjar
itu ada lelaki yang sangat mereka kenali.
"Ba.. Jang, bukankah itu Raden Panji Tohjaya ?" desis Sambu.
"Lebih baik kita lekas menyingkir darinya, Bajang." bisik Sambu, seraya
menggamit kawannya itu untuk diajak pamit kepada ki Panut.
P a g e | 791
"Kalian sudah ingin meninggalkan banjar ini, kisanak ?" tanya ki Panut, saat
tamunya akan pamit.
"Seperti yang aku katakan tadi malan, ki. Perjalanan yang jauh akan kami
lanjutkan ketika fajar sudah merekah." sahut Sambu.
Maka, Bajang dan Sambu pergi dari balai banjar. Keduanya berjalan terus
tanpa memperdulikan lelaki yang mereka kenal sebagai Panji Tohjaya.
Sementara orang yang memang Panji Tohjaya, salah seorang Senopati Jipang
Panolan tidak terlalu memperhatikan dua orang yang melewatinya.
"Ki Lurah Arya Dipa, perkenalkan aku Panji Tohjaya dari Jipang." kata ki Panji
Tohjaya, yang melihat kesan kebingungan dari wajah Lurah Wira Tamtama.
"Hm... " desuh ki Panji Tohjaya, "Tetapi penyelidikanku yang seharusnya dapat
menjernihkan kesalahpahaman keluarga keraton, malah ditepis mentah -
mentah oleh orang - orang yang mengharapkan kehancuran anak cucu Sultan
Patah."
Sebagai seorang yang lebih tua dan sudah kenyang pengalaman hidupnya,
Kyai Jalasutro dapat menyelami isi hati pemuda disampingnya. Karenanya
orang tua itu berbisik perlahan.
"Anakmas tak perlu kawatir memikirkan dua orang tadi. Setelah Anakmas
berbicara dengan kisanak ini, selekasnya kita langsung ke padepokan Candra
Bumi. Jalan dan tempatnya aku masih dapat mengingatnya."
Kilatmaya bernapas lega, "Terima kasih, Kyai. Bila tiada Kyai bersamaku,
mungkin perjalananku akan menjadi lama."
"Begitulah, ki Lurah. Meskipun selama ini aku tak dapat mengoyak kabut tebal
kematian Kakangmas Adipati Sekar yang sesungguhnya, aku merasakan
adanya tangan yang ingin memutus tali dampar kencono Jawa dari trah
Glagahwangi." desis ki Panji Tohjaya.
"Ki Panji, bukankah Jipang mempunyai seorang patih yang bijaksana ?" tiba -
tiba Kyai Jalasutro menyela.
Sejenak ki Panji Tohjaya menatap jauh ke masa lampau, meskipun hal itu tidak
akan kembali terulang, dan hanya menyisakan kenangan semata.
"Benar, Kyai." kata itu terasa berat, "Patih Mentahun memang seorang yang
bijaksana dan baik, dia merupakan kakak seperguruanku."
"He... " Lurah Arya Dipa dan Kyai Jalasutro sedikit tercekat.
Pembicaraan itu berlangsung cukup lama, hingga tak terasa hari semakin
terang dimana mentari terasa terik sinarnya. Dalam waktu itu juga Lurah Arya
Dipa menyempatkan menelisik sesuatu yang berkaitan dengan pembentukan
P a g e | 794
pasukan khusus Jipang, kepada ki Panji Tohjaya. Lurah Arya Dipa berharap
dapat mendapat keterangan terperinci dari senopati Jipang Panolan itu.
"Ki Panji, jika boleh tau, adakah kesatuan khusus yang akhir - akhir ini terbentuk
di Kadipaten Jipang Panolan ?" tanya Lurah Arya Dipa.
"Mungkinkah yang ki Lurah maksud ialah kesatuan pangatus Yuda Murda ?"
Sejenak ki Panji Tohjaya berhenti karena meneguk wedang sere. Seusai itu
barulah ia melanjutkan perkataannya.
"Perlu ki Lurah ketahui, kesatuan Yuda Murda adalah kesatuan yang bertindak
disegala medan dan keadaan tak menentu. Dan kesatuan ini tak memiliki ciri
khusus layaknya Wira Manggala atau Wira Braja. Satu lagi, kemampuan mereka
dua kali lipat diatas prajurit biasa."
"Maksud ki Panji setara dengan pasukan pengawal Kanjeng Sultan ?" tanya
Lurah Arya Dipa.
Mendengar keterangan seperti itu, Lurah Arya Dipa tanpa sadar menoleh
Kyai Jalasutro, yang sejak tadi hanya mendengarkan apa yang menjadi
pembicaraan. Tetapi orang tua itu hanya menunggu sikap yang diambil ki
Lurah Arya Dipa, sebagai orang yang bertugas secara langsung sebagai
prajurit Demak.
Ki Lurah Arya Dipa mengernyitkan alisnya. Gelar tumenggung yang baru saja
disebutkan masih terasa terngiang di telinga lurah muda itu. Perjumpaan
pertama ialah saat di lembah Telomoyo, ketika pasukan Demak akan
menyerang tanah perdikan Banyubiru. Lalu pertemuan kedua bertepatan
adanya kesalahpahaman di bukit Prawoto, dimana putra ki Ageng Gajah Sora
membuat rusuh perburuan Kanjeng Sultan Trenggono.
"Ki Tumenggung Prabasemi lagi... " desis ki Lurah Arya Dipa, dalam hati.
"Baiklah, ki Panji. Bila aku kembali ke Demak, semua yang aku ketahui dari ki
Panji, akan aku sampaikan kepada gusti Adipati Anom." kata ki Lurah Arya
Dipa, "Lalu, kalau boleh tahu, akan kemana-kah selanjutnya kau, ki Panji ?"
"Seperti yang aku bilang sejak awal. Kematian Kakangmas Adipati Sekar
masih mengganjal dalam hatiku. Jipang yang lebih condong mempersalahkan
pihak Adipati Anom, membuatku harus menempuh jalan sendiri, yaitu mencari
otak dari pembunuhan itu." kata ki Panji Tohjaya, "Ada kemungkinan kalau
tangan - tangan mereka berada di Jipang dan Demak."
Ki Lurah Arya Dipa dapat mengerti suasana hati yang diderita oleh ki Panji
Tohjaya. Dan salah seorang yang ia curigai adalah seorang tumenggung dari
Demak itu sendiri, yaitu Tumenggung Prabasemi, seorang tumenggung yang
mempunyai sikap tidak bisa diduga sama sekali.
"Ah.. Sinar surya sudah semakin terik, ki Lurah. Bila kau ingin melanjutkan
tugasmu, silahkan. Aku-pun juga lekas meninggalkan padukuhan ini." kata ki
Panji Tohjaya.
Maka pamitlah ki Panji Tohjaya kepada ki Lurah Arya Dipa dan Kyai Jalasutro.
Derap kuda-pun terdengar meninggalkan regol halaman banjar, ke arah utara.
Semakin lama semakin reda tak terdengar lagi, menyisakan debu
dibelakangnya.
P a g e | 796
Sepeninggal kepergian ki Panji Tohjaya, kini giliran ki Lurah Arya Dipa dan Kyai
Jalasutro berpamitan kepada ki Panut. Tak lupa keduanya mengucapkan
banyak terima kasih terhadap kebaikan ki Panut, yang sudah memperlakukan
dengan sangat baik, selama di banjar padukuhan.
Arah yang diambil oleh keduanya segaris lurus dengan jalan yang diambil
oleh murid - murid padepokan Candra Bumi dan juga ki Panji Tohjaya, yaitu
jalan ke arah utara.
Bunyi denting beradunya senjata terdengar begitu cepat. Tanah lapang yang
ditumbuhi rumput pendek setinggi kurang dari mata kaki itu, berubah hiruk
pikuk karena adanya lima orang mengeroyok seorang lelaki. Sehingga
menjadikan lelaki itu harus berhati - hati dalam menentukan sikap tata
geraknya, untuk menghalau datangnya serangan.
Dua pedang dari dua orang pengeroyok melaju kencang dari dua sisi
berbeda. Ditambah lagi seorang pengeroyok yang bersenjatakan nanggala,
sudah menanti dibelakang lawannya. Sementara dua pengeroyok tersisa
berdiri dua - tiga langkah sambil mengayun - ayunkan senjata mereka.
"Kurang ajar.... !!!" geram kawan orang yang jatuh terkapar, seraya meloncat
menebaskan kampaknya.
P a g e | 797
Jalan yang sepi memancing ki Panji Tohjaya untuk memacu kuda lebih cepat
dari sebelumnya. Lari kudanya begitu pesat meninggalkan debu
dibelakangnya. Dan puluhan tombak dilalui dan kini tiba ditanah lapang.
Saat itulah dari sisi berbeda muncul orang - orang yang mengumbar derai
tawa. Hal itu membuat ki Panji Tohjaya mengerutkan keningnya labih dalam.
Karena tak mengerti sebab dari orang - orang itu tertawa kencang. Namun,
kewaspadaan seketika menggelayuti hatinya, demi adanya perasaan yang
tidak baik melintas dibenaknya.
"Hoho.. Ini dia penghianat Jipang !" seru orang berbadan tinggi besar,
dipinggangnya terselip kampak.
Di atas kuda, ki Panji Tohjaya menghela napas. Sedikit banyak dirinya tahu
kalau yang dihadapinya adalah orang - orang upahan seseorang yang
menginginkan dirinya lenyap dari percaturan pemerintahan Jipang Panolan.
Meskipun dirinya sendiri sangat jarang berada di pura Jipang. Namun,
dihadapannya maut mengancam dirinya, sehingga mau tidak mau kekerasan
sepertinya tidak dapat dielakan lagi. Dan selanjutnya terjadilah perkelahian di
tanah lapang antara ki Panji Tohjaya dan lima orang penghadang.
Dan saat ini kampak seorang yang sepertinya adalah pemimpin kelompok
penghadang, menebas kepala ki Panji Tohjaya dengan sebatnya. Tetapi si-
P a g e | 798
empunya kepala tak mau membiarkan lepas dari batang leher, maka
berusaha menghindar ke belakang, akan tetapi si pemimpin penghadang tidak
membiarkan mangsanya lepas dengan mudah. Pemimpin penghadang
langsung membelokan kampaknya mengarah pundak lawan.
"Triiing.....!"
Mata tombak ki Panji Tohjaya masih mampu menahan laju daripada kampak
lawan, serta sedikit perubahan gerak dari tombak yang awalnya untuk
bertahan, berubah haluan menyerang berupa tusukan langsung.
"Haiit... !" desis pemimpin penghadang yang hampir saja bahunya tertusuk
mata tombak.
Rupanya ki Panji Tohjaya telah mengungkap ilmu yang ia pelajari dari paman
gurunya ki Wijang Pawagal, yaitu Alang - Alang Kumitir. Itu baru sekelumit ilmu
yang bersumber di padepokan Sekar Jagat dan hanya tiga - empat orang saja
yang mampu menerapkan, dan salah satunya ki Panji Tohjaya. Karenanya, tak
dapat dipungkiri jika para penghadang yang memiliki ilmu kanuragan sebatas
kekuatan kewadagan, gampang terperdaya.
Tubuh ki Panji Tohjaya sehabis terelakan oleh serangan Gento dan kedua
kawannya, tahu - tahu sudah di belakang pemimpin penghadang seraya
melekatkan mata tombak kyai Giri di tengkuk orang itu. Tentu saja tindakan ki
Panji membuat tubuh pemimpin penghadang bergemetaran, terkejut
bercampur rasa jerih.
"A.. ampuni aku, tu.. tuan.. " pemimpin penghadang itu merengek minta
ampunan, sementara anak buahnya bingung.
"Ba.. Baik, tuan. Aku akan angkat bicara.. " suara pemimpin penghadang
agak gemetar.
Seruan Gento tak digubris oleh pemimpinnya. Bibir orang itu sebentar lagi
mulai bergerak, namun sesuatu yang mendebarkan telah terjadi. Suara jerit
kesakitan menggema membelah udara tanah lapang. Suara yang berasal dari
P a g e | 800
mulut pemimpin penghadang itulah gema tadi, juga adanya pisau belati
menancap di keningnya dan membuat orang itu jatuh tertelungkup.
Kejadian itu membuat ki Panji Tohjaya kaget, namun belum selesai rasa
kagetnya, teriakan demi teriakan terulang susul - menyusul. Tiga tubuh para
penghadang rubuh dengan luka sama antara yang satu dan lainnya, yaitu
semuanya terluka di kening akibat lemparan pisau belati.
Sehabis melempar pisau belati berturut - turut, orang itu bergegas beranjak
dari tempat menyelinapnya meninggalkan rindangnya pohon juwet, dan
mendekati tanah lapang. Jalannya sangat tenang seolah tiada sesuatu yang
terjadi dan merasa tak bersalah terhadap empat nyawa yang terkapar di
tanah lapang. Seringai mulutnya bagai anjing liar terangkum jelas seakan puas
menikmati sisa - sisa bangkai mangsa yang habis digerogoti tinggal tulang
belulang, tak perduli dengan keadaan disekitar, padahal di situ berdiri sang
raja rimba.
Dialah Soca Welirang, lelaki beringas dan keji, pembunuh berdarah dingin tak
memandang mangsanya lelaki atau perempuan, dewasa atau kecil, kawula
alit atau orang ningrat, golongan hitam atau putih, semuanya dia babat sesuai
orang yang memerintahkan. Maka tak heran jika namanya mencuat
menggegerkan tanah Jawa bagian tengah dan wetan. Bahkan orang ini
merupakan buronan kesultanan Demak dan beberapa kadipaten. Tetapi
P a g e | 801
karena kedigdayaan dan berbagai ilmu yang ia miliki, selama ini ia dapat
melenggang bebas menjelajahi rimba dan padukuhan.
Desis lirih itu terdengar oleh ki Soca Welirang, yang menanggapi dengan
mempermainkan senjata di tangannya. Seolah memamerkan pusaka yang
sepertinya dikenali oleh ki Panji Tohjaya. Kemudian ki Soca Welirang tertawa
datar sembari berkata.
"Hm... Lalu apa maksud Kisanak yang ringan tangan dan membunuh mereka
?" tanya ki Panji Tohjaya.
"Cecurut tak tahu diri. Setelah mendapat seikat kepeng malah ingin
berkhianat. Jadi pantaslah jika mereka terkapar.. " sahut ki Soca Welirang
seraya tertawa.
"Kau salah, Kisanak. Tidak seharusnya nyawa seseorang dengan mudah dan
enteng kau binasakan. Betapa beratnya tanggung jawab kelak yang kau
hadapi dihadapan Sang Pencipta." sanggah ki Panji Tohjaya.
jawaban di alam langgeng sudah sekian kali ia dengar dari mangsa atau
korbannya. Dan semuanya berakhir sia - sia kecuali terenggutnya nyawa para
orang - orang yang memperingatkan ki Soca Welirang.
"Hahaha... Dari sekian murid Sekar Jagat yang aku temui, kau-lah satu -
satunya yang berbeda, Tohjaya. Mulutmu masih dapat menyebut ucapan -
ucapan anak polos. Lain halnya dengan saudara - saudara seperguruanmu
yang terpikat kemilaunya gemerlap harta dan jabatan." kata ki Soca Welirang,
bergemuruh.
"He, Tohjaya ! Susulah kakak seperguruanmu, ke alam kubur !" tiba - tiba ki
Soca Welirang berteriak sembari menjulurkan senjata rampasan.
Kala itu gada di tangan ki Soca Welirang mengayun keras ke arah kepala ki
Panji Tohjaya, hanya saja ki Panji Tohjaya sangat sigap memiringkan kepala,
sehingga gada ki Soca Welirang tidak mengenai kepala ki Panji Tohjaya.
Kenyataan itu cepat ditanggapi ki Soca Welirang dengan membelokan
gadanya mengejar tubuh ki Panji Tohjaya, akan tetapi murid perguruan Sekar
Jaga tidak tinggal diam, maka bergegas merendah sembari menusukan
tombak pendeknya.
Pundak orang itu bagai keselomot bara api, bahkan kain pakaiannya
berlubang sebesar kepalan tangan. Meskipun begitu, ki Soca Weliran memiliki
daya tahan tubub yang bagus. Tidak terlalu lama sakitnya berangsur hilang
dan hanya meninggalkan bekas semata. Dirinya tidak tinggal diam dan untuk
mendukung tekadnya, ilmunya semakin ia tingkatkan. Kakinya bagai
tergantikan pegas membuat orang itu mudah melenting jauh ke depan, seraya
menyongsongkan gada rampasan dari perguruan Candra Bumi.
"Byaaar.... "
Gada itu menumbuk tanah dan membuat tanah berlubang besar. Bisa
dibayangkan jikalau gada tadi mengenai ki Panji Tohjaya, yang tubuhnya terdiri
dari tulang berbalut daging dan darah, tentu akan lumat bila dipikir secara
nalar.
upaya dari ki Panji Tohjaya ialah ikut meningkatkan ilmunya, dan tadu sewaktu
melihat adanya gempuran gada, ki Panji Tohjaya telah mengungkap aji Alang -
Alang Kumitir dan berhasil nenyelamatkan dirinya.
Sementara itu, dalam diri ki Soca Welirang, timbul rasa kesal terhadap lawan
satu ini. Ia tidak menyangka kalau lawannya masih dapat melayaninya sejauh
ini. Padahal dirinya mampu mengalahkan Senopati Rakai Wekar, kakak
seperguruan ki Panji Tohjaya dengan mudah melalui aji Tapak Geni yang
tersalurkan ke gadanya. Dia tidak mengira kalau selama ini lawannya
mendapat gemblengan secara langsung oleh ki Wijang Pawagal, murid tertua
Panembahan Sekar Jagat Sepuh dan kakak seperguruan ki Danurpati atau
Panembahan Sekar Jagat Anom guru ki Panji Tohjaya.
"Setan mana yang manjing dalam tubuh macan muda ini ?" batin ki Soca
Welirang, sambil memusatkan nalar budinya.
Licik, kejam dan tak terikat paugeran adalah ciri yang dimiliki ki Soca
Welirang. Maka tak heran jika serangan gelap akan ia lakukan untuk meraih
kemenangan. Kali ini ilmu hitam ia gunakan dengan sembunyi - sembunyi.
Tiada tanda - tanda mengisyaratkan kalau orang ini memiliki ilmu dan akan
mempergunakannya di tanah lapang ini.
Rajah Kala Pati adalah sebuah ilmu berasal dari penyembahan bathara Kala
putra bathara Guru dan bathari Durga, salah satu bathara penuh angkara
murka. Ilmu ini menurut penuturan kuno tersirat di sebuah batu arca berbentuk
kepala empat dan tangan juga empat yang ditemukan oleh Wiku kerajaan
Wengker, pada jaman Mataram kuno pemerintahan Maharaja Empu Sendok.
Waktu itu setelah sang Wiku mempelajarinya dan mencerna inti sari dari
guratan di dasar arca, sangat terkejut dengan apa yang ditimbulkan akibat
merapal aksara kawi. Badannya gemetar menggigil kedinginan bagai
terendam air telaga di puncak Wilis, tetapi sekejap kemudian hawa panas
yang amat sangat menyeruak keluar menjadikan sang Wiku menderita bukan
P a g e | 806
"Byaaar..... !"
"Byaaar... !"
Nasib sial dialami oleh pohon Gayam, dimana sebuah kekuatan dahsyat
menggrogoti batang, cabang, ranting dan daunya berubah layu menghitam
legam dan hangus. Bisa dibayangkan jika tenaga itu ditimpakan kepada
mahkluk hidup lainnya, sungguh tak terbayang apa yang terjadi. Bahkan sang
Wiku sendiri ngeri apabila membayangkan. Ilmu itu seperti menyebarkan racun
mematikan jika yang dikenai adalah mahkluk hidup.
Sebagai seorang Wiku yang selalu mendekatkan diri kepada Hyang Suci,
pikiran dan hati jernih telah mendorongnya untuk menghilangkan ilmu itu. Hati
kecilnya mantab untuk menggolongkan ilmu itu sebagai ilmu yang tak
seharusnya dipelajari oleh manusia, karena akibat yang ditimbulkan sangatlah
parah berupa kematian tentunya. Maka untuk itu ia mencoba menghapus
pancaran ilmu tersebut dari dalam pikiran, hati dan wadahnya. Akan tetapi
baru saja ia memulai, tiba - tiba langit berubah gelap, sang surya terbenam
oleh gerombolan awan hitam, dan guntur terdengar membahana memekakan
gendang telinga.
P a g e | 807
Patung arca yang semenjak awal diam tak bergerak, mendadak matanya
bersinar memancarkan warna merah menggidikan bulu kuduk. Batu yang
semestinya tidak memiliki nyawa, bangkit berdiri tegak dan menghadap ke
arah sang Wiku. Dari salah satu wajah, tersungging senyum yang sekejap
kemudian berubah seringai mengerikan, lalu menggeram bagai sang raja
hutan belantara.
"Kau tak akan mampu menghapus ilmu yang sudah kau pelajari itu, manusia.
Ilmu itu lain dari yang lain seperti yang pernah kau hapus. Karenanya jika kau
ingin menghapusnya, kau harus mencari seorang lelaki untuk menyembahku.
Setelah itu baru kau akan bebas dari cengkraman ilmu itu di dalam tubuhmu !"
Habis berkata begitu, langit kembali seperti sediakala dan patung bathara
Kala duduk seperti semula, layaknya patung pada umumnya.
Dan begitulah perjalanan ilmu itu hingga entah bagaimana ki Soca Welirang
mempelajarinya dan mampu menggunaka ilmu hitam tersebut. Sekarang ilmu
Rajah Kala Pati sudah diterapkan untuk menghabisi lawannya. Tenaga dahsyat
mengandung racun menjalar menyusup tanah mengarah kepada lawannya
yang berdiri tegap penuh kewaspdaan.
Dalam pada itu ki Panji Tohjaya dalam diamnya juga mendapatkan ada
sesuatu yang ganjil terhadap lawannya. Karenanya ia sempat memusatkan
nalar budinya untuk mengungkit ilmunya aji Brajadaka serta aji Sepi Angin. Dua
ilmu melebur menjadikan tenaga dahsyat memutar ke seluruh urat nadinya,
dan saat itulah berbenturan dengan ilmu gelap lawan yang menyusup dari
bawah kakinya dan terus naik menjalari kakinya. Ki Panji Tohjaya terkejut
dengan adanya tenaga aneh yang sepertinya melawan dan menggerogoti
kakinya. Tetapi Senopati ini berusaha melawan melalui pengerahan ilmu
gabungan, hingga akhirnya terjadila upaya dorong - mendorong dari ilmu itu.
Rasa sakit dan pedih menyiksa kaki ki Panji Tohjaya sebatas betis. Dorongan
kuat dari tenaga aneh rupanya dapat membobol tenaga gabungan
Brajadaka dan Sepi Angin, menambah penderitaan yang dialami ki Panji
Tohjaya, dimana dua kaki sebatas betis telah berubah menghitam legam, dan
membuat lunglai tubuh Senopati itu. Jatuhlah tubuh ki Panji Tohjaya yang tak
dapat menopang lagi berat tubuhnya. Jika ini terus berlanjut, bisa dipastikan ki
Panji Tohjaya akan binasa di tangan ki Soca Welirang.
P a g e | 808
"Tobiil.... !" seru ki Soca Welirang, takjub terhadap pemuda yang dapat
melencengkan gadanya.
Akan tetapi ki Soca Welirang tak mau berhenti disitu saja, gadanya bergerak
lagi mengejar tubuh lawannya dengan cepat. Ia yakin kali ini gadanya pasti
menumbuk pemuda kurang ajar itu, namun untuk kedua kalinya ki Soca
Welirang dibuat kesal bukan main, karena sekali lagi lawannya hanya
merunduk sembari mengibaskan tangannya. Kibasan tersebut mengandung
tenaga cukup kuat dan membuat tubuh ki Soca Welirang terhempas ke
belakang, beruntung dirinya dapat menjaga keseimbangan, sehingga
badannya tak terjengkang.
Sementara itu tak jauh dari tempat ki Soca Welirang dan ki Lurah Arya Dipa
beradu dada, Kyai Jalasutro mencoba membantu ki Panji Tohjaya menepi dan
memeriksa keadaannya. Betapa terkejutnya Kyai Jalasutro setelah mengetahui
keadaan ki Panji Tohjaya. Keadaan Senopati itu sangat parah, kedua kakinya
hitam legam penuh kerutan, menandakan daging yang membalut tulang
tersedot oleh ilmu Rajah Kala Pati. Bahkan kaki ki Panji Tohjaya sudah tak dapat
digerakan lagi, lumpuh.
"Terima kasih, Kyai.." desis ki Panji Tohjaya, lirih, "Se..baiknya Kyai mem..bantu ki
Lurah.."
Sejenak ki Panji Tohjaya terhenti karena napasnya agak sesak, tetapi dia
mencoba melanjutkan kata - katanya untuk memperingatkan Kyai Jalasutro.
Dalam saat bersamaan, di kalangan adu kekuatan sangatlah seru dan sengit.
Pemuda yang menggagalkan upaya terakhir ki Soca Welirang untuk
membinasakan ki Panji Tohjaya, membuat ki Soca Welirang semakin mantab
meningkatkan ilmu tata geraknya. Gada dan juga tangannya penuh ancaman
mematikan bagi lawan yang lengah. Ditambah lagi lambaran tenaga dahsyat
menggebu - gebu meremukan mangsa. Pantaslah jika orang ini terkenal
P a g e | 810
"Setan alas ! Kau bisanya hanya meloncat - loncat saja, he !" seru ki Soca
Welirang, tatkala lawannya hanya menghindari terjangannya dengan loncatan
- loncatan saja.
Memasuki tataran lebih rumit, gada ki Soca Welirang tak dapat lagi dilihat
sebelah mata, ki Lurah Arya Dipa-pun terpaksa melepas ikat pinggangnya
sebagai senjata untuk menghadapi gada pusaka lawan. Namun dalam pada
itu, lawannya merasa dihinakan oleh ki Lurah Arya Dipa yang melayaninya
hanya menggunakan ikat pinggang. Hal itu menjadikan lawannya tak dapat
lagi mengekang gejolak kemarahannya dan melibas ki Lurah Arya Dipa lebih
ganas lagi dari sebelum - belumnya. Maka gada ditangan ki Soca Welirang
sangat mengerikan disetiap ayunan dan gebrakannya.
Bagi ki Lurah Arya Dipa, tindakan dari lawannya sangatlah wajar tatkala
mendapatkan lawan hanya menggunakan ikat pinggang sehingga marah dan
merasa diremehkan. Tetapi lawannya belum tahu apa sesungguhnya bahan
ikat pinggangnya itu ? Ikat pinggangnya adalah sebagian daripada sisik ular
naga yang memiliki keuletan luar biasa, serta apabila ikat pinggang itu
dihantamkan ke batu sebesar kepala kerbau, niscaya batu itu akan pecah
berkeping - keping. Dan pusaka ikat pinggang ini sudah sering terbukti dapat
membuat lawan - lawan ki Lurah Arya Dipa menjadi takjub pada akhirnya,
begitu juga halnya dengan lawannya kali ini manakala singgungan senjata
terjadi.
P a g e | 811
Mata ki Soca Welirang seakan - akan lepas dari kelopak matanya, karena tak
percaya jika gadanya dapat ditahan lawan menggunakan ikat pinggang.
Tidak sampai disitu saja, ikat pinggang ditangan lawannya telah mengibaskan
gadanya, jika cengkeramannya tak kuat niscaya gada tersebut lepas dari
tangannya. Akhirnya sadarlah ki Soca Welirang kalau ikat pinggang tersebut
adalah benda pusaka, dengan itu ia tak akan gegabah menilai kemampuan
lawan.
Hari semakin remang dimana sang Surya kembali dalam peraduannya. Tanah
lapang terasa mencengkam karena lima tubuh menggeletak tak bernyawa.
Agak di pinggir, seorang kakek tua menopang sosok tubuh tak berdaya
dengan luka aneh terletak dikedua kaki yang menghitam legam. Sedangkan
tak jauh dari keduanya, sosok - sosok layaknya hantu berloncatan kian kemari
menambah keadaan menakutkan.
Akan tetapi, semuanya itu tergantung dari campur tangan dari Dzat Suci.
Walaupun ciptaanNYA hanya se-ekor garuda, tetapi jika Yang Maha Agung
memberikan kelebihan terhadap garuda itu, meskipun garuda itu dihujani
ribuan anak panah, dengan kelincahan dan kegesitannya mengepak sayap
garuda dapat menghindarinya dengan mudah. Begitu-pun dengan ki Lurah
Arya Dipa pada saat itu, kelincahan dan kegesitannya sangat luar biasa,
seakan - akan punggungnya tumbuh dua sayap dan menerbangkannya. Dan
itu adalah hasil dari salah satu ilmu yang tersirat dikitab Cakra Paksi Jatayu,
yang disebut "Garuda Dirgantara" tataran awal.
"Hebat... " puji Kyai Jalasutro, yang menyaksikan kehebatan ki Lurah Arya
Dipa.
"Licin betul anak muda ini ! Apa mungkin ia tahu syarat ilmu Rajah Kalapati ?"
tanyanya dalam hati.
Percikan api timbul manakala dua senjata tadi berbenturan dengan kerasnya,
membuat dua penggunanya mendapatkan kesan dan akibat yang sama,
yaitu getaran merambat dan menusuk jari dan tangan keduanya. Bukan hanya
itu saja, tubuh ki Lurah Arya Dipa dapat dibuat mental meskipun dengan
kelincahannya pemuda itu dapat menjaga keseimbangan tubuhnya.
Sementara bagi ki Soca Welirang kakinya yang masih setengah jongkok,
melesak ke dalam tanah sedalam sekilan.
Dalam pada itu, ki Lurah Arya Dipa yang sudah tuntas dalam mempelajari
kitab Cakra Paksi Jatayu dan rontal Panembahan Anom, merasakan adanya
marabahaya yang akan mencelakakannya. Ilmunya yang melebur dalam
dirinya seakan bergolak dan membangkitkan ilmu Niscala Praba tingkat tinggi,
sehingga tubuhnya terselimuti cahaya kuning kemilau. Selain itu aji Sepi Angin
dan Gelap Ngampar ikut menyeruak, seakan - akan tak mau ketinggalan
membantu raga yang telah ia huni.
Sekejap kemudian tanah lapang di malam hari itu berderak hebat. Tanah
bengkah segaris lurus antara ki Soca Welirang dan ki Lurah Arya Dipa. Dari
bengkahan tanah tercium bau anyir menyengat membuat penciuman tak
nyaman. Bahkan Kyai Jalasutro dan ki Panji Tohjaya yang berada diluar
jangkauan, merasakan pening dan mual. Itu semua akibat ilmu Rajah Kalapati
yang mendekati kesempurnaan.
Semuanya pada akhirnya harus berlalu. Debu yang membubung mulai larut
terhempas angin semilir dan luruh jatuh ke bumi. Lamat - lamat keadaan
dimana kalangan tadi berada, berubah adanya, tanah padat ditumbuhi
rumput setinggi kurang dari mata kaki, amblong selebar belasan pelukan orang
dewasa dan sedalam satu tombak. Di sana juga tiada nampak satu
kehidupan-pun yang terlihat, sehingga membuat kegelisahan Kyai Jalasutro
satu - satunya orang yang masih dalam keadaan terjaga, karena ki Panji
Tohjaya telah pingsan setelah mencium bau anyir dari rengkahan ilmu Rajah
Kalapati.
Keadaan yang mencekam di tanah lapang yang saat ini sangat kental,
menimbulkan masalah sendiri bagi serangga - serangga malam. Bunyi jangkrik,
kerlipnya kunang, dan serangga lainnya lenyap begitu tenaga dahsyat meluluh
lantahkan tanah lapang. Entah kemana serangga - serangga itu perginya,
setelah kedatangan orang - orang ke tanah lapang yang sangat jarang
dirambah manusia dan membuat kejadian yang sangat mengerikan berupa
saling menyakiti diantara manusia itu sendiri. Namun akibat yang ditimbulkan
berdampak besar terhadap kelangsungan ratusan bahkan ribuan serangga
yang selama ini hidup di sekitar situ.
Saat itu, yang mengganjal pikiran dan hati Kyai Jalasutro tidaklah mengenai
dampak kerusakan terhadap kehidupan serangga, melainkan bagaimana
P a g e | 815
akhir dari pergumulan adu sakti yang diterapkan oleh ki Soca Welirang dan ki
Lurah Arya Dipa. Bagaimana tidak gelisah ? Di bekas tempat beradunya dua
tenaga dahsyat hanya menyisakan lubang tanah yang cukup besar, tanpa
terlihat adanya sumber kehidupan sedikitpun. Sungguh mengerikan jika dua
orang digdaya tadi sama - sama lumat tak menyisakan secuil daging atau-pun
setetes darah. Betapa hebat dan mengerikan ilmu - ilmu yang baru saja
disaksikan oleh Kyai Jalasutro, tak terpikir ilmu limpahan dari Gusti Agung
kepada manusia bisa seperti itu.
Karena tak mampu lagi mengekang gejolak hatinya, Kyai Jalasutro bangkit
berdiri meninggalkan tubuh ki Panji Tohjaya yang tak sadarkan diri, mendekati
kubangan luas di tengah tanah lapang. Meskipun gelapnya malam
menyelimuti tempatnya berdiri, orang tua itu mencoba menajamkan matanya
melalui ilmu Pandulunya demi mencari tubuh ki Lurah Arya Dipa, khususnya.
Namun sudah berulang - ulang sepasang matanya menyelidiki, tak ada hasil
yang didapat, kecuali tanah dan bebatuan. Dan pada akhirnya kesimpulan
yang didapat ialah sesuatu yang sebenarnya tidak ia harapkan.
Sekali lagi orang tua itu mengeliarkan pandang matanya menyusuri lubang
dihadapannya, untuk memastikan. Setelah yakin, perlahan orang tua itu
membalikan tubuh dan beranjak dari tempatnya menuju tubuh ki Panji Tohjaya.
Kemudian Tangannya meraih tubuh ki Panji Tohjaya dan dipanggulnya dan
dibawa pergi dari tanah lapang.
Tadi, tatkala ilmu Rajah Kalapati menyeruak menghantam tubuh ki Lurah Arya
Dipa, aji Niscala Praba tertembus dan tubuhnya terserang tenaga jahat Rajah
Kalapati. Untung saja tubuh ki Lurah Arya Dipa tersimpan tenaga dahsyat dari
P a g e | 816
kitab Cakra Paksi Jatayu dan darah naga Anta Denta, yang dapat melawan
balik ilmu lawan sehingga tidak dapat menggrogoti tubuhnya, seperti tubuh ki
Panji Tohjaya. Selanjutnya kekuatan aji Gelap Ngampar dan Sepi Angin yang
juga dimiliki ki Lurah Arya Dipa, menyeruak keluar kearah lawannya, dan saat
bersamaan lawannya juga menerapkan aji Tapak Geni tingkat tinggi. Maka
bertemulah tenaga - tenaga dahsyat, yang membuat dentuman keras
menggelegar. Akibatnya tidak hanya tanah hancur saja, tubuh keduanya-pun
tak pelak terhempas jauh. Dan kejadian seperti itu luput dari pengamatan Kyai
Jalasutro.
Baru kali inilah ki Lurah Arya Dipa mengalami perkelahian sampai - sampai tak
sadarkan diri. Cukup lama matanya terpejam dan tubuhnya diam di bawah
pohon. Sampai sang surya terbit dari langit timur, pemuda itu belum sadarkan
diri. Hingga akhirnya sebuah suara merdu terdengar dan menghampiri
tubuhnya.
"Apakah ayah akan menolongnya ? Apakah ayah tidak jera seperti waktu itu
?" tanya gadis yang pertama menghampiri tubuh ki Lurah Arya Dipa.
Orang itu tersenyim mendengarkan pertanyaan sekaligus rasa was - was dari
putrinya, "Nduk cah ayu, menolong orang yang menderita adalah pokok
utama dari sifat manusia. Yang terpenting adalah menolong orang itu terlebih
dahulu, masalah ia akan mengucapkan terima kasih atau malah membalas air
tuba, janganlah kau risaukan."
"Kau tidak setuju dengan ucapanku, Nduk ?" tiba - tiba ayahnya bertanya
dan itu membuat gadis itu gelagapan.
"Ti.. tidak ayah.. " sahutnya seraya menundukan kepala, untuk menutupi rona
merah diwajahnya.
Orang itu meraih tubuh ki Lurah Arya Dipa dan dipanggul dipundaknya untuk
kemudian dibawa pergi. Dibelakang, gadis putri orang itu, berjalan dengan
sesekali memandang tubuh yang terjuntai dipundak ayahnya, entah apa yang
ada dibenak gadis itu.