Anda di halaman 1dari 146

1

book
3
Kasih Selembut Awan
Penulis
Willy Yanto Wijaya

Penyunting
Handaka Vijjànanda

Penata Letak & Sampul


Vidi Yulius

Copyright ©2010 Willy Yanto Wijaya


Cetakan I, Nov 2010

Dengan mendanai buku ini, Anda membantu


kelangsungan perjuangan penerbit dalam
menyediakan buku Dharma di Indonesia.

Dana dapat disalurkan melalui:


BCA 4900333833 Yayasan Ehipassiko

Pusat Pelayanan
Ehipassiko Foundation, 085888503388
ehipassikofoundation@gmail.com
www.ehipassiko.net

Anda boleh mengunduh, mencetak, menyalin,


dan membagi buku ini selama tidak dijual.
Senarai Isi

1. Ember Bocor yang Sedih 5


2. Ibu Gajah yang Buta 7
3. Hachiko, Anjing yang Setia 10
4. Bulan yang Indah 13
5. Burung Gagak yang Kedinginan 14
6. Hailibu, Sang Pemburu 17
7. Kadal di Antara Dinding 22
8. Katak yang Nakal 24
9. Gadis Kecil yang Kehilangan Uang 27
10. Ulama, Pedagang Tua, dan Keledai 32
11. Anak Domba yang Terluka 38
12. Ego 41
13. Pohon, Daun, dan Angin 44
14. Burung Kebahagiaan 49
15. Balas Budi Burung Bangau 53
16. Kaki Seribu dan Beban Pikiran 58
17. Kamu Bukan Ayahku 60
18. Burung Pipit 68
19. Kau dan Aku 70
20. Pohon Apel yang Mengorbankan Segalanya 73
21. Kesabaran, Kemurahan Hati,
dan Kerelaan Memaafkan 76
22. Dua Pilihan 80
23. Kupu-kupu Putih 84
24. Angpao dan Nyamuk 86
25. Momen ke Momen 89
26. Burung Kecil yang Memadamkan Api 92
27. Segelas Susu 94
28. Gadis Kecil Bersepatu Merah 96
29. Gajah yang Welas Asih 101
30. Tenzing Norgay 104
31. Penguburan Oleh Burung 107
32. Sebelum Menceraiku, Gendonglah Aku 109
33. Welas Asih 115
34. Raja Kera 117
35. Bib dan Bob 121
36. Bangunlah Pikiran Positif 125
37. Ayah Pilih Kasih 129
38. Mengapa Cincin di Jari Manis? 132
39. Kerlip Lentera 134
40. Aku Menangis Enam Kali untuk Adikku 136
41. Dandelion 141
Kredit 143
Profil Penulis 144
7

1
Ember Bocor yang Sedih

U dara dingin pegunungan menyusup di sela deraian daun.


Kemilau jingga keemasan mentari senja tampak memantul
berganti-gantian di permukaan air yang beriak dalam dua ember
yang dipikul seorang petani. Sebuah rutinitas yang tampaknya
dijalani dengan keriangan hati.
Dalam hempasan napas lelah yang panjang, tersirat binar
kepuasan dalam raut wajah sang petani pembawa ember air
tersebut. Akan tetapi, suatu kala terjadi sesuatu di antara dua
ember yang dipikul petani tersebut. Salah satu ember berujar
kepada ember yang lain, “Hei, cobalah lihat dirimu, ember bocor,
bercerminlah. Sadarkah engkau setiap hari membuang setengah
dari air yang terisi penuh?” Ember bocor kaget dan menyadari ada
sebuah lubang halus pada dirinya. Sepanjang perjalanan, air yang
dibawanya perlahan menetes keluar dan tersisa setengahnya
ketika sampai di tujuan.
Kesedihan mulai mengaduk-aduk perasaan ember bocor.
Ia mulai merasa dirinya ember yang tak berguna. Ia tak dapat
memberikan yang terbaik kepada sang petani. Setiap hari ia
hanya merasa menjadi beban, merugikan petani setengah dari
kapasitas yang mestinya bisa ia bawa. Hari demi hari, batin ember
bocor terasa semakin hampa dan tersiksa.
8 Ember Bocor yang Sedih

Suatu hari, petani menyadari ember bocor yang sedang


menangis. Petani menanyakan alasan mengapa ember bocor
merasa sedih. Setelah memahami semuanya, petani tersenyum
sambil memandang hamparan langit biru, kemudian berujar,
“Tahukah engkau, kenapa aku bahagia memilikimu? Meskipun
sepanjang perjalanan engkau meneteskan separuh air yang
dibawa….”
Ember bocor terperanjat dan bertanya, “Ke-ke-kenapa?”
Petani melanjutkan, “Lihatlah hamparan jalan yang kita lalui setiap
hari. Salah satu sisi jalan ditumbuhi oleh bunga-bunga yang indah
bukan? Tahukah engkau bunga-bunga itu tumbuh karena tetesan
air yang jatuh darimu? Karena ‘ketidaksempurnaan’ yang engkau
milikilah, bunga-bunga indah tersebut tumbuh berkembang!”
Suatu perasaan ringan spontan menggelora dalam diri ember
bocor. Ya, dalam segenap kekurangan dan keburukan, ternyata
masih ada keindahan yang dapat tumbuh. Keindahan yang
mengalir bersama kuntum-kuntum bunga yang tersenyum.
9

2
Ibu Gajah yang Buta

D ahulu kala, di sebuah kaki Pegunungan Himalaya, di dekat


sebuah kolam teratai, lahirlah seekor bayi gajah. Bayi gajah
ini luar biasa indah menawan, putih bersih bagai salju dengan
wajah yang sedikit bersemu kemerahan bak warna batu karang.
Belalainya berkilau indah bagaikan utas tali yang berwarna
keperakan, gadingnya yang kuat dan kokoh membentuk sedikit
lengkungan yang manis.
Ia selalu mengikuti ibunya ke mana pun. Ibu gajah memetik
daun terlembut dan buah mangga termanis dari pohon-pohon
yang tinggi dan kemudian memberikannya. “Kamu dulu, baru
Ibu,” ujar ibu gajah. Ia kemudian dimandikan oleh ibunya di kolam
teratai yang sejuk di antara semerbak harum bunga. Dengan
belalainya, ibu gajah menghisap air lalu menyemprotkannya
ke kepala dan punggung anaknya hingga bersih mengilap.
Kemudian anak gajah diam-diam mengisi belalainya, dan
dengan hati-hati menyemprotkan tepat ke dahi ibunya. Tanpa
berkedip, ibu gajah balas menyemprotkan air. Balas membalas
menyemprot, mereka dengan gembira saling membasahi satu
sama lain. Splish! Splash!
Setelah lelah bermain, mereka kemudian beristirahat di atas
tanah yang lembut dengan kedua belalai melengkung dan saling
10 Ibu Gajah yang Buta

membelit satu sama lain. Di bawah bayang-bayang sore hari, ibu


gajah beristirahat di balik keteduhan pohon jambu air, sambil
melihat putranya bermain dengan penuh keriangan bersama
anak-anak gajah lainnya.
Gajah kecil tumbuh dan tumbuh hingga ia menjadi gajah
tergagah dan terkuat dalam kawanannya. Pada saat yang
bersamaan, ibu gajah pun menjadi semakin tua. Gadingnya
mulai retak dan menguning, dan tak lama kemudian ibu gajah
menjadi buta. Anak Gajah yang telah tumbuh dewasa dan kuat ini
kemudian memetik daun terlembut dan buah mangga termanis
dari pohon-pohon yang tinggi dan memberikannya kepada
ibunya yang telah tua dan buta yang amat ia sayangi. “Ibu dulu,
baru aku,” ujarnya.
Ia memandikan ibunya di kolam teratai yang sejuk di
antara semerbak keharuman bunga. Dengan belalainya, ia
menyemprotkan air ke kepala dan punggung ibunya hingga
bersih mengilap. Setelah itu, mereka beristirahat di atas tanah
yang lembut dengan kedua belalai saling membelit satu sama
lain. Di bawah bayang-bayang sore hari, anak gajah menuntun
ibunya untuk beristirahat di balik keteduhan pohon jambu air. Ia
kemudian pergi bersama gajah-gajah yang lain.
Suatu hari seorang raja pergi berburu dan melihat seekor
gajah putih yang begitu indah. “Luar biasa indah! Aku harus
memilikinya sebagai peliharaan untuk ditunggangi!” Raja lalu
menangkap gajah tersebut dan membawanya ke kandang
istana. Raja memberikan kain sutra dan permata yang indah serta
untaian kalung bunga teratai kepada gajah tersebut. Raja juga
memberikannya rumput manis dan buah-buahan yang lezat
serta air murni yang segar untuk diminum.
Akan tetapi, gajah tersebut tidak mau makan ataupun minum.
Ia terus menerus menangis, dan menjadi semakin kurus dari hari
ke hari. “Gajah yang mulia,” raja berkata, “aku menyayangimu dan
memberimu sutra dan permata. Aku juga memberikan makanan
terbaik dan air termurni, namun engkau tak juga mau makan dan
11 Ibu Gajah yang Buta

minum. Lalu apa yang bisa membuatmu bahagia?” Gajah tersebut


menjawab, “Sutra dan permata, makanan dan minuman, tidak
membuatku bahagia. Ibuku yang sudah tua dan buta sedang
sendirian di hutan tanpa ada seorang pun yang merawatnya.
Walaupun aku akan mati, aku tidak akan makan dan minum
sebelum aku memberikannya terlebih dahulu kepada ibuku.”
Raja terharu dan berkata, “Tidak pernah aku menyaksikan
kebaikan yang sedemikian rupa, bahkan di antara manusia.
Tidaklah benar untuk mengurungmu.” Setelah dilepaskan, gajah
tersebut segera berlari di antara bebukitan mencari ibunya. Ia
menemukan ibunya di tepi kolam teratai. Ibu gajah berbaring
di atas lumpur, terlalu lemah untuk bergerak. Dengan air mata
yang membasahi pelupuk matanya, anak gajah tersebut mengisi
belalainya dengan air dan menyemprotkan ke kepala dan
punggung ibunya hingga bersih mengilap. “Apakah hujan?”
ibu gajah bertanya-tanya, “atau anakku telah kembali?” “Ini
anakmu, Ibu!” ia berseru, “raja telah membebaskanku!” Ketika
ia membersihkan mata ibunya, terjadi keajaiban. Penglihatan
ibunya pulih kembali. “Semoga raja hari ini bahagia sebagaimana
kebahagiaanku bisa melihat anakku kembali!” ujar ibu gajah.
Anak gajah kemudian memetik daun terlembut dan buah
mangga termanis dari sebuah pohon dan memberikannya
kepada ibunya, “Ibu dulu, baru aku.”
12

3
Hachiko, Anjing yang Setia

J ika Anda mengunjungi Shibuya, pusat perbelanjaan terpadat


di Tokyo, Anda mungkin akan menjumpai sebuah patung
anjing di salah satu pintu keluar stasiun. Patung ini didirikan
untuk mengenang Hachiko, anjing ras akita yang sangat terkenal
akan kesetiaannya.
Tahun 1923. Pada musim dingin yang menggigit, di antara
hamparan salju di Prefektur Akita, seekor anak anjing ditinggalkan
oleh pemiliknya. Profesor Hidesaburo Ueno yang menemukan
anak anjing ini merasa iba dan membawanya pulang. Anak
anjing yang imut dan lucu ini benar-benar menggemaskan dan
membawakan kegembiraan hati bagi Profesor Ueno. Setiap hari
Profesor selalu berbagi makanan dengannya, memandikannya,
dan merawatnya. Profesor memberikan nama “Hachiko” kepada
anak anjing ini.
Hachiko pun sangat menyukai Profesor. Pada tahun 1924,
Hachiko dibawa ke Tokyo oleh Profesor Ueno, yang mengajar
jurusan pertanian di Universitas Tokyo. Setiap hari Profesor
berangkat ke kampus menggunakan densha (kereta api) dari
Stasiun Shibuya. Setiap hari pula Hachiko selalu menemani
Profesor berangkat ke Stasiun Shibuya. Setelah Profesor
berangkat, Hachiko pun akan pulang ke rumah dengan sendirinya,
13 Hachiko, Anjing yang Setia

kemudian sore harinya, datang lagi ke Stasiun Shibuya untuk


menunggu kepulangan Profesor. Setiap kali Profesor turun dari
densha, Hachiko pun terlihat telah menunggunya. Hachiko dan
Profesor kemudian akan pulang bersama-sama.
Demikianlah hari demi hari Hachiko selalu mengantarkan
dan menemani Profesor Ueno.
Suatu hari, Profesor merasa kurang sehat. Walaupun
demikian, Profesor tetap berangkat mengajar seperti biasanya.
Hachiko pun, seperti biasanya, menemani Profesor berangkat
ke stasiun Shibuya. Ketika sedang mengajar, Profesor tiba-tiba
limbung dan terjatuh. Profesor Ueno mengalami serangan stroke.
Murid-murid dan staf kampus yang kaget, segera membawa
Profesor ke rumah sakit. Akan tetapi, nyawa Profesor tak tertolong
lagi.
Hachiko, sore harinya, seperti biasa berangkat lagi dari rumah
ke Stasiun Shibuya untuk menunggu kepulangan tuannya. Akan
tetapi, kali ini, di antara kerumunan orang-orang yang turun dari
densha, tidak ada sang profesor. Hachiko terus menunggu dan
menunggu, berharap sosok sang profesor akan menghampirinya,
dan bersama-sama pulang ke rumah.
Siang tergantikan malam. Akan tetapi, tuan yang ditunggu-
tunggu tak kunjung datang. Hachiko pun pulang sendirian.
Keesokan harinya, Hachiko datang lagi ke Stasiun Shibuya,
menunggu kepulangan sang profesor. Akan tetapi, lagi-lagi
profesor yang dinanti-nantinya tak kunjung tiba.
Esok harinya, Hachiko datang lagi ke stasiun dan menunggu.
Esoknya lagi... dan esoknya lagi. Tak peduli hamparan salju yang
membeku pada musim dingin, maupun udara musim panas yang
lembab dan gerah, setiap harinya Hachiko pasti selalu datang
menunggu.
Para penumpang yang mengetahui bahwa Hachiko sedang
menunggu tuannya yang tak akan pernah kembali lagi, merasa
simpati dan mencoba memberitahunya, “Hachiko, tuanmu tidak
akan kembali lagi, tidak perlu menunggu lagi.”
14 Hachiko, Anjing yang Setia

Akan tetapi, Hachiko tetap menunggu. Tanpa pernah absen


sehari pun, selama hampir 11 tahun, Hachiko tetap menunggu....
Suatu pagi, seorang petugas stasiun menemukan tubuh
seekor anjing yang sudah kaku meringkuk di pojokan jalan.
Anjing itu telah menjadi mayat. Hachiko sudah mati. Kesetiaannya
kepada tuannya pun ia bawa sampai mati.
Warga yang mendengar kematian Hachiko pun berdatangan
ke Stasiun Shibuya. Mereka ingin menghormati untuk terakhir
kalinya, menghormati arti dari sebuah kesetiaan yang kadang
justru sulit ditemukan pada diri manusia.
Untuk mengenang Hachiko, warga pun membuat sebuah
patung di dekat Stasiun Shibuya. Jika Anda mengunjungi
Shibuya, Anda akan menemukan patung Hachiko di sisi utara
Stasiun Shibuya saat ini.
Sampai saat ini pun, sekitaran patung Hachiko sering
dijadikan tempat janji temu oleh orang-orang ataupun pasangan
kekasih. Mereka berharap akan ada kesetiaan seperti yang telah
dicontohkan oleh Hachiko saat mereka menunggu maupun
berjanji untuk datang.
Oleh orang Jepang, Hachiko dikenang dengan sebutan
忠犬ハチ公 (Chuuken Hachiko) yang artinya “Hachiko, anjing
yang setia”.
15

4
Bulan yang Indah

R yokan, seorang guru Zen, hidup sangat sederhana di sebuah


pondok kecil di kaki sebuah gunung. Suatu petang, seorang
pencuri mendatangi pondok itu, hanya untuk menemukan tak
ada apa pun di situ yang dapat dicuri.
Ryokan pulang dan memergokinya. “Kamu mungkin sudah
berjalan jauh untuk mengunjungiku,” katanya kepada pencuri
itu, “dan kamu tidak semestinya pulang dengan tangan kosong.
Ambillah pakaianku sebagai hadiah.”
Pencuri itu kebingungan. Ia mengambil pakaian itu dan
menyelonong pergi.
Ryokan duduk telanjang, menatap bulan. “Teman yang
malang,” ia termenung, “aku berharap bisa memberinya bulan
yang indah ini.”
16

5
Burung Gagak yang Kedinginan

P ada musim dingin yang menusuk, ditambah dengan guyuran


hujan yang deras, kadangkala aku mendengar pekikan
suara burung. Suara burung yang parau kedinginan itu pastilah
suara burung gagak, pikirku. Kadang aku merasa kasihan kepada
burung gagak yang kedinginan tersebut. Menurut hukum fisika,
benda yang berwarna hitam lebih gampang menyerap panas,
namun juga lebih mudah melepas panas. Tak terbayangkan
betapa banyak panas tubuh gagak yang terbuang ke atmosfer
melalui bulu-bulunya yang hitam tersebut. (Itulah sebabnya
orang-orang Nordik (Eropa Utara) memiliki kulit yang demikian
putih seperti salju—mungkin ini salah satu bentuk adaptasi
terhadap kondisi lingkungan yang ekstrem).
Beruntung sekali aku masih bisa bersemayam di kamar yang
dihangati oleh heater. Tak terbayangkan bagaimana kalau aku
adalah si gagak yang kedinginan tersebut, yang berkoak dalam
nada suara rendah yang parau.
Ngomong-ngomong tentang gagak, entah kenapa ada
banyak sekali gagak di Jepang ini. Bahkan di seputar kawasan
Tokyo tak jarang aku menemukan gagak (berbeda dengan di
kota besar di Indonesia yang hampir tidak ada seekor pun).
Gagak adalah burung yang sangat cerdas. Tidak jarang
17 Burung Gagak yang Kedinginan

sampah makanan yang telah dikemas rapi dalam kantong


plastik pun bisa dibuka oleh gagak. Anda mungkin juga pernah
menonton film dokumenter tentang bagaimana burung gagak di
kawasan tertentu memanfaatkan kereta api yang melintas untuk
memecahkan semacam biji kenari yang amat keras. Ternyata
di balik bulu hitam serta penampilannya yang jelek dan tidak
menarik, ternyata gagak masih memiliki kelebihan dalam hal
kecerdasan.
Bercerita tentang gagak, ada satu kisah dari Rumania yang
menarik untuk disimak, mengenai kasih sayang ibu gagak kepada
anak-anaknya.

Dari semua jenis burung, gagaklah yang paling jelek, terutama


anak-anak gagak. Konon, ada legenda bahwa beberapa saat
setelah Tuhan menciptakan semua makhluk hidup, Ia memanggil
semuanya datang untuk melihat anak-anak keturunan mereka.
Ia ingin mengetahui bagaimana wujud anak-anak burung dan
binatang tersebut, agar bisa memberikan hadiah dan makanan
yang sesuai bagi si kecil.
Mereka pun datang satu per satu, dan Tuhan melihat mereka,
membelai dengan lembut dan mengelus anak-anak tersebut,
merasa bahagia terhadap setiap anak, karena tiap anak memiliki
sesuatu keindahan dalam diri mereka. Maka Tuhan memberkati
mereka dan memberikan mereka makanan untuk hidup. Yang
terakhir datang adalah ibu gagak, sambil menggendong anak-
anaknya yang masih kecil yang amat ia banggakan.
Ketika Tuhan mengarahkan tatapan-Nya ke anak-anak
gagak, Ia kaget dan berkata, “Pasti ini bukan makhluk ciptaan-Ku.
Tidak mungkin Aku telah menciptakan makhluk sejelek ini. Setiap
makhluk ciptaan-Ku memiliki anak-anak yang begitu cantik dan
enak dipandang, akan tetapi anak-anakmu sedemikian buruk dan
tak sedap dipandang. Darimana kamu mendapatkan mereka?”
“Dari mana aku mendapatkan mereka?” jawab ibu gagak.
“Mereka adalah anak-anakku sendiri,” ia berkata dengan bangga.
18 Burung Gagak yang Kedinginan

“Lebih baik kamu pulang dan membawakan-Ku anak-anak


yang lain. Yang ini terlalu jelek. Aku tidak bisa melihatnya.”
Terusik oleh kata-kata Tuhan, ibu gagak kemudian pergi dan
terbang ke seluruh penjuru bumi untuk mencari anak-anak yang
lebih cantik daripada anak-anak yang telah ia tunjukkan kepada
Tuhan. Akan tetapi, di matanya tidak ada seekor pun anak burung
lain yang lebih cantik dibandingkan anaknya sendiri. Sehingga
ia kembali menemui Tuhan dan berkata, “Aku telah berkeliling
seluruh dunia, telah mencari di kedalaman bumi dan ketinggian
angkasa, akan tetapi aku tidak menemukan adanya anak burung
yang lebih cantik dan lebih imut dibandingkan anak-anakku.”
Tuhan lalu tersenyum dan menjawab, “Agaknya benar.
Memang begitulah semua ibu. Di mata mereka, tidak akan ada
anak yang lebih cantik dibanding anak sendiri.”
Tuhan lalu memberkati anak-anak gagak tersebut dan
mengirimkan mereka ke dunia bersama karunia-Nya.
19

6
Hailibu, Sang Pemburu

D ahulu kala, hiduplah seorang pemburu yang bernama


Hailibu. Ia adalah seseorang yang suka menolong orang
lain. Alih-alih menyimpan semua hasil buruannya untuk diri
sendiri, biasanya ia membagi-bagikan hasil buruannya kepada
para tetangganya. Hal ini membuatnya jadi populer.
Suatu hari Hailibu pergi berburu memasuki hutan yang
sangat dalam di pegunungan. Di suatu pinggiran hutan yang
lebat, ia melihat seekor ular putih kecil yang sedang melingkar dan
tidur terlelap di bawah pohon. Karena tidak ingin membuatnya
terbangun, Hailibu berjingkat perlahan dan berlalu. Tepat pada
momen ini, seekor bangau kelabu terbang melintas, menerkam
ular kecil tersebut, mencengkeramnya dan kemudian terbang
pergi melesat ke angkasa. Terbangun dalam kekagetan, ular
putih kecil berteriak, “Tolong! Tolong!” Hailibu dengan segera
membidikkan anak panahnya dan melepaskan tembakan ke
bangau kelabu yang sedang terbang naik ke dinding gunung.
Bangau itu mengelak dari anak panah dan menjatuhkan ular
kecil tersebut, kemudian terbang pergi. Hailibu berkata kepada
ular kecil, “Kamu makhluk kecil yang malang. Pulanglah ke rumah
orangtuamu.” Ular kecil itu menganggukkan kepalanya sebagai
ungkapan terima kasih dan kemudian menghilang di rerimbunan
20 Hailibu, Sang Pemburu

tebal. Hailibu menyarungkan anak panahnya, menggantungkan


busur di bahunya, lalu pulang.
Hari berikutnya, ketika melewati tempat itu lagi, Hailibu
melihat seekor ular putih kecil merangkak datang kepadanya,
dikawal oleh sekumpulan pengawal ular. Dalam keheranan
Hailibu, ular kecil berkata, “Apa kabar, penyelamatku? Kamu
mungkin tidak dapat mengenaliku. Aku adalah putri dari
Raja Naga. Kemarin kamu telah menyelamatkan nyawaku.
Orangtuaku secara khusus menyuruhku datang ke sini untuk
mengundangmu datang ke rumah kami, sehingga mereka dapat
mengungkapkan rasa terima kasihnya secara pribadi kepadamu.”
Ular kecil melanjutkan, “Ketika kamu tiba di sana, janganlah terima
apa pun yang ditawarkan orangtuaku, melainkan mintalah batu
berharga yang disimpan ayahku di dalam mulutnya. Dengan
batu berharga tersebut di mulutmu, kamu akan bisa memahami
bahasa dari seluruh kerajaan binatang. Tapi kamu tidak boleh
memberitahukan hal ini kepada orang lain, jika tidak, tubuhmu
akan berubah menjadi batu, dan kamu akan mati.”
Mendengar hal ini, Hailibu mengangguk dan mengikuti
ular kecil tersebut. Jalan yang mereka lewati menuju ke sebuah
lembah yang dalam, dan semakin jauh Hailibu berjalan, ia merasa
semakin dingin. Mereka kemudian tiba di depan sebuah pintu
yang lebar, dan ular putih kecil berkata, “Orangtuaku sedang
menunggumu di pintu masuk ruang penyimpanan. Mereka
sekarang ada di sini.” Selagi ular kecil berbicara, Raja Naga
melangkah maju dan menyambut Hailibu serta berkata dengan
rasa hormat, “Engkau telah menyelamatkan putriku tersayang.
Aku berterima kasih dari lubuk hati yang terdalam. Ini adalah
ruang penyimpanan tempatku menyimpan harta dan pusaka
berharga. Izinkanlah aku menunjukkannya padamu. Ambil saja
apa pun yang kau sukai, jangan sungkan.” Setelah mengatakan hal
ini, Raja Naga membuka ruang penyimpanannya dan membawa
Hailibu masuk. Ruang itu penuh dengan permata dan mutiara,
penuh kilau dan kemegahan. Raja Naga yang sudah tua tersebut
21 Hailibu, Sang Pemburu

membawanya dari satu ruang ke ruang lain. Setelah mereka


melewati seratus delapan ruang tanpa satu pun barang dipilih
oleh Hailibu, Raja Naga berkata dengan rasa malu, “Tuan, apakah
tidak ada satu pun barang yang kau sukai?” Hailibu menjawab,
“Barang-barang tersebut sangat bagus, tapi mereka hanya bisa
digunakan sebagai pajangan. Mereka tidak berguna untuk
seorang pemburu seperti saya. Jika Yang Mulia benar-benar
ingin memberi saya sesuatu sebagai kenang-kenangan, mohon
berilah saya batu berharga yang ada di dalam mulut Yang Mulia.”
Mendengar hal ini, Raja Naga menunduk, merenung sejenak,
kemudian dengan canggung memuntahkan batu berharga dari
mulutnya dan memberikannya kepada Hailibu.
Hailibu kini menjadi pemilik dari batu berharga tersebut.
Setelah ia meninggalkan Raja Naga, dalam perjalanannya
pulang, ia diikuti oleh ular kecil. Ular kecil terus menerus
memperingatkannya, “Dengan batu itu, kamu bisa mengetahui
segalanya. Tapi kamu tidak boleh membocorkan apa yang kamu
ketahui. Jika tidak, malapetaka akan menimpamu! Jangan sampai
lupa!”
Sejak saat itu, mudah sekali bagi Hailibu untuk berburu
di gunung-gunung, karena ia memahami bahasa dari burung-
burung serta binatang liar dan juga mengetahui dengan pasti
binatang apa saja yang ada di sisi lain gunung.
Beberapa tahun berlalu.... Suatu hari ia pergi berburu di
gunung-gunung seperti biasanya. Tiba-tiba ia mendengar
sekumpulan burung sedang berdiskusi selagi mereka terbang
di udara, “Kita harus secepatnya pindah! Besok gunung-gunung
sekitar sini akan meletus; ladang-ladang akan diterjang banjir
dan tiada yang tahu berapa banyak hewan yang akan mati
tenggelam!”
Mendengar hal ini, Hailibu menjadi sangat prihatin dan
tak punya niat lagi untuk berburu. Ia bergegas pulang dan
berkata kepada para tetangganya, “Kita harus segera mengungsi
secepatnya! Kita tidak bisa tinggal di sini lagi! Kalian semua harus
22 Hailibu, Sang Pemburu

memercayaiku! Jangan tunggu sampai terlambat!”


Mereka semua kebingungan terhadap apa yang Hailibu
katakan. Sebagian dari mereka berpikir bahwa tidak mungkin
ada bencana yang sedahsyat itu, sebagian lagi mengira bahwa
Hailibu telah menjadi gila. Tak ada satu pun yang memercayainya.
Hailibu, dengan air mata yang membasahi pipinya, berkata
kepada mereka dengan putus asa, “Apakah aku harus mati untuk
bisa meyakinkan kalian?”
Beberapa sesepuh desa berkata, “Kami semua tahu bahwa
kamu tidak pernah berbohong kepada kami selama ini. Tapi
sekarang kamu mengatakan tentang gunung-gunung meletus
dan ladang-ladang diterjang banjir. Dapatkah kamu memberitahu
kami apa yang membuatmu begitu yakin bahwa semua ini akan
terjadi?”
Hailibu merenung dan berpikir, “Bencana begitu jelas di
depan mata. Bagaimana mungkin aku melarikan diri sendirian
dan membiarkan para penduduk desa musnah? Biarlah aku
mengorbankan diriku untuk menyelamatkan mereka.” Jadi
Hailibu memberitahu penduduk desa semua kisahnya, tentang
bagaimana ia mendapatkan batu berharga dan menggunakannya
untuk berburu; tentang bagaimana ia mendengar sekawanan
burung membicarakan malapetaka dan merencanakan
pengungsian. Dia juga memberitahu mereka bahwa sebenarnya
ia tidak boleh memberitahu hal ini kepada orang lain, kalau tidak,
tubuhnya akan berubah menjadi batu dan ia akan mati. Selagi
Hailibu berbicara, tubuhnya sedikit demi sedikit menjadi batu.
Penduduk desa, melihat apa yang telah terjadi, merasa sangat
sedih dan menyesal. Mereka segera mengungsi ke tempat lain,
membawa serta semua ternak mereka. Selagi mereka bergegas
pindah, langit mulai menjadi kelam dan hujan deras turun
sepanjang malam. Pagi harinya, mereka mendengar gelegar
halilintar sahut menyahut dan getaran dahsyat yang seakan
mengguncang hingga ke dasar bumi. Gunung-gunung meletus,
mengirimkan air bah yang membanjiri dan menenggelamkan
23 Hailibu, Sang Pemburu

ladang-ladang. Tersentuh sedemikian mendalam, para penduduk


desa berkata, “Seandainya Hailibu tidak mengorbankan hidupnya
untuk kita, kita semua pasti sudah mati ditenggelamkan banjir!”
Beberapa lama sesudah itu, penduduk desa menemukan
tubuh Hailibu yang telah berubah menjadi batu dan
menempatkannya di puncak gunung. Generasi demi generasi,
mereka memberikan persembahan kepada patung ini sebagai
penghormatan dan kenangan terhadap Hailibu, pahlawan yang
mengorbankan hidupnya untuk menyelamatkan orang lain.
Bahkan hingga saat ini pun, konon masih ada satu tempat yang
dinamakan “Patung Hailibu”.
24

7
Kadal di Antara Dinding

I ni sebuah kisah nyata yang terjadi di Jepang. Ketika sedang


merenovasi sebuah rumah, seseorang mencoba merontokkan
tembok. Rumah di Jepang biasanya memiliki ruang kosong
di antara dinding yang terbuat dari kayu. Ketika dinding mulai
rontok, dia menemukan seekor kadal terperangkap di antara
ruang kosong itu karena kakinya melekat pada sebuah paku.
Dia merasa kasihan sekaligus penasaran. Lalu ketika dia
mengecek paku itu, ternyata paku tersebut telah ada di situ 10
tahun lalu ketika rumah itu pertama kali dibangun. Apa yang
terjadi? Bagaimana kadal itu dapat bertahan dengan kondisi
terperangkap selama 10 tahun? Dalam keadaan gelap selama
10 tahun, tanpa bergerak sedikit pun, itu adalah sesuatu yang
mustahil dan tak masuk akal.
Orang itu lalu berpikir, bagaimana kadal itu dapat bertahan
hidup selama 10 tahun tanpa berpindah dari tempatnya sejak
kakinya terpaku pada paku itu!
Orang itu lalu menghentikan pekerjaannya dan
memerhatikan kadal itu, apa yang dilakukannya dan apa yang
dimakannya hingga dapat bertahan. Kemudian, entah dari
mana datangnya, seekor kadal lain muncul dengan makanan di
mulutnya.... Aahh! Orang itu merasa terharu melihatnya. Ternyata
25 Kadal di Antara Dinding

ada seekor kadal lain yang selalu memerhatikan kadal yang


terperangkap itu selama 10 tahun.
Sungguh ini sebuah cinta... cinta yang indah. Cinta dapat
terjadi bahkan pada hewan kecil seperti dua ekor kadal itu. Apa
yang dapat dilakukan oleh cinta? Tentu saja sebuah keajaiban!
Bayangkan, kadal itu tidak pernah menyerah dan tidak pernah
berhenti memerhatikan pasangannya selama 10 tahun.
Bayangkan bagaimana hewan yang kecil itu dapat memiliki
karunia yang begitu mengagumkan.
Cintailah orang yang kamu sayangi dengan tulus saat kamu
masih dapat memberikan cintamu.
26

8
Katak yang Nakal

I ni cerita rakyat Korea. Seekor anak katak tinggal bersama


ibunya yang telah menjanda di sebuah kolam yang besar. Anak
katak ini luar biasa nakal dan pembuat onar, ia tidak pernah mau
mendengarkan nasihat ibunya dan selalu membuat ibunya sedih
dan juga malu.
Kalau ibu katak menyuruhnya pergi bermain ke bukit, ia
pergi ke tepi pantai. Kalau ibunya minta ia ke desa atas, ia ke desa
bawah. Kalau ibunya menyuruhnya ini, ia melakukan itu. Apa pun
yang ibunya katakan, ia selalu melakukan kebalikannya.
“Apa yang harus kulakukan terhadap anak ini?” keluh ibu
katak. “Kenapa ia tidak bisa bersikap seperti anak-anak katak
lainnya? Mereka selalu mendengarkan dan melakukan apa yang
disuruh; mereka juga selalu patuh dan baik hati. Aku tidak tahu
ia akan jadi apa kalau ia terus bersikap seperti ini. Aku harus
melakukan sesuatu untuk menghentikan kebiasaan buruknya.”
Ibu katak menghela napas panjang.
“Ha-ha-ha!” anak katak tertawa. “Hentikan semua omelan
itu. Ibu tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku akan baik-baik
saja sebagaimana adanya.”
“Benarkah itu?” tanya ibu katak. “Lalu kenapa kamu
bahkan tidak bisa bersuara dengan benar? Kamu bahkan tidak
27 Katak yang Nakal

mengeluarkan suara layaknya seekor katak. Sini, Ibu ajari kamu.”


Sambil tersenyum, ibu katak mengeluarkan suara “Kruok! Kruok!”,
“Sekarang kamu coba!”
Sambil menyeringai lebar, anak katak mengeluarkan suara,
“Kruik! Kruik!”
“Kenapa kamu nakal sekali! Apa kamu ingin membuat ibu
mati penasaran?!” teriak ibu katak. “Dengarkanlah Ibu kalau kamu
ingin menjadi katak yang baik. Sekarang kamu....”
“Kruik! Kruik!” sahut si anak katak, sambil melompat pergi.
Hari demi hari ibu katak memarahi anaknya, tapi si anak
tetap saja melakukan apa yang ia inginkan dan selalu melakukan
kebalikan dari apa yang dikatakan oleh ibunya. Ibu katak merasa
resah dan sedemikian khawatir mengenai anaknya sampai-
sampai ibu katak jatuh sakit. Tetap saja, si anak katak masih nakal
dan bertingkah laku sesukanya.
Suatu hari ibu katak, terbaring di ranjang, memanggilnya,
“Anakku, Ibu merasa tidak akan hidup lama lagi. Ketika Ibu mati,
janganlah kubur Ibu di gunung, kuburlah Ibu di samping sungai.”
Ibu katak mengatakan ini karena ia tahu bahwa anaknya akan
melakukan kebalikan dari apa yang disuruhnya.
Beberapa hari kemudian, ibu katak tiada. Anak katak
menangis dan terus menangis. “Oh, Ibuku yang malang! Aku
telah membuat Ibu demikian resah karena tingkah lakuku.
Kenapa aku tidak pernah mendengarkan kata-kata Ibu?!” Anak
katak menyalahkan dirinya. “Sekarang Ibu telah pergi. Aku telah
membunuh Ibu! Aku membunuh Ibu!”
Anak katak teringat kembali masa-masa ketika bersama
ibunya dan semua masalah serta kenakalan yang telah ia
lakukan terhadap ibunya. Lalu ia berkata dalam hati, “Aku selalu
melakukan kebalikan dari apa yang Ibu suruh karena aku mengira
itu menyenangkan. Akan tetapi kali ini aku akan melakukan sesuai
permintaan terakhir Ibu.”
Jadi, anak katak mengubur ibunya di samping sungai,
walaupun ia merasa hal itu kuranglah bijaksana.
28 Katak yang Nakal

Beberapa minggu kemudian, terjadilah hujan badai. Hujan


yang sedemikian deras menyebabkan sungai meluap. Anak katak
tidak bisa tidur karena terus mengkhawatirkan kubur ibunya
akan hanyut oleh luapan air. Akhirnya ia pergi untuk menjaga
kubur ibunya.
Di tengah guyuran hujan, anak katak duduk, dan terus
menerus menangis, “Kruok! Kruok! Mohon jangan hanyutkan
Ibu!” Dan itulah yang dilakukan oleh si anak katak setiap kali
hujan turun.
Sejak saat itulah, katak-katak akan selalu bersuara “kruok!
kruok!” setiap kali hujan turun.
29

9
Gadis Kecil yang Kehilangan Uang

B us yang kami tumpangi tiba-tiba berhenti. Memang sudah


tua dan selalu tersendat-sendat ketika merayapi tanjakan.
Asapnya mengepul seperti dapur kayu bakar.
Hampir seluruh penumpang meng­gerutu. Satu per satu
mulai turun dan duduk di pinggir jalan yang sepi. Sekitar seratus
meter ada sebuah rumah yang tampaknya akan rubuh. Dinding
kayu­nya terlihat amat rapuh dan menjadi kelabu seperti abu
kayu bakar.
Aku membangunkan temanku yang tertidur sambil
mendekap tangannya di dada. Dia tampak bingung untuk sesaat.
Kubilang bus mogok dan sekarang sopir dan keneknya sedang
berusaha memperbaikinya. Dia tidak meng­gerutu. Dan turun
dengan patuh. Aku mengambil tas ranselku. Di dalamnya selalu
terdapat barang-barang yang kubutuhkan. Sering melakukan
perjalanan ke daerah terpencil membuatku selalu menyediakan
barang-barang kecil seperti senter, batu baterai, buku sketsa, dan
catatan, pemantik atau korek api, dan sepotong baju ganti. Di
dalam­nya aku menaruh dompetku yang isinya tidak seberapa.
Bepergian ke tempat seperti dusun-dusun tidak membutuh­kan
banyak uang.
Kami mendengar dari sopir yang merangkap montir bahwa
30 Gadis Kecil yang Kehilangan Uang

mereka tidak bisa memperbaiki bus itu. Mereka harus menunggu


bus lain lewat dan meminta bantuan mereka. Bus lain baru akan
lewat besok pagi. Sekarang langit sudah sore dan sebentar lagi
malam akan datang. Beberapa orang samar-sa­mar mengeluh,
tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku melihat ke arah barat dan matahari terlihat mulai masuk
ke ufuk. Aku mengatakan pada temanku aku hendak jalan-jalan.
“Ke mana?” tanyanya terheran-heran.
“Ke sekitar sini,” jawabku.
Aku mengajaknya, tapi dia tidak mau. Jadi dia kutinggalkan
bersama penumpang lain yang satu pun tidak dia kenal. Dia
mulai melamun den­gan melihat ke depan. Sebuah tanah rendah
yang mengikuti bentuk jalan. Rumput-rumputnya telah kering
dan mati.
Aku membiarkan kakiku menuntunku ke mana pun jalan
yang bisa dilalui. Melewati beberapa batang pohon karet. Dan
sebuah parit kecil dengan air jernih di sebuah jalan lurus yang
agak bersih. Aku mengikuti sebuah jalan sawah yang menuntunku
ke tempat terbuka. Sebuah lapangan rumput pendek yang
subur. Aku berjalan ke tengah lapangan rumput itu. Dan sedikit
penasaran dengan tangga batu di salah satu sisinya. Tangga batu
itu agak tinggi. Tadi karena tertutup rumput dan semak belukar
makanya aku tidak menyadarinya. Aku memu­tuskan menaiki
tangga yang terlihat mulai retak itu.
Di puncak tangga, aku menemukan sepetak beton bekas
bangunan yang rubuh. Rumput-rumput liar telah tum­buh dengan
tidak teratur pada satu-satunya dinding yang masih berdiri.
Dinding itu sendiri kusam kecokelatan karena dilapisi lumut.
Angin senja mer­ambat dengan hangat. Cahaya senja terakhir
yang gemerlap masih bisa dili­hat dengan jelas. Dan dua rumah
yang sama rapuh seperti rumah yang tadi kulihat di pinggir jalan
mengepulkan asap. Sepertinya dari dapur mereka. Bersiap-siap
menghidangkan makan malam yang sederhana.
Aku membuat sketsa kasar peman­ dangan yang ada di
31 Gadis Kecil yang Kehilangan Uang

sekelilingku. Aku tidak yakin aku akan melukisnya bila nanti aku
kembali ke rumah. Ke kehidu­pan kotaku yang penuh hiruk pikuk
dan bising.
Aku segera sadar sinar matahari sudah pudar sejak tadi.
Sekarang langit kebiru-biruan dan menggelap. Bulan masih
belum memperlihatkan dirinya. Dan cahaya bintang tampak
samar di beberapa titik.
Kukeluarkan senterku. Cahay­ anya yang terbatas
menuntunku turun dari tangga batu. Aku menyinari sekelil­ingku
dengan rasa ingin tahu. Berharap dapat melihat beberapa kodok
yang berkerok-kerok. Atau beberapa jangkrik yang berderik.
Aku merapatkan jaketku karena udara mulai terasa dingin.
Aku lupa kalau sedang berada di daerah pegu­nungan. Aku pun
berjalan dengan perlahan karena takut tersandung sesuatu.
Di depanku terlihat seperti ada sesuatu. Bergerak-gerak.
Kuarahkan senterku padanya. Rupanya seorang bocah.
Kuperhatikan caranya yang gelisah. Menatap permukaan
tanah sambil mondar-mandir. Tiba-tiba dia menatap ke arahku.
Aku menjadi tersentuh kare­ na matanya telah berkaca-kaca.
Tinggal sedikit lagi air mata yang mengambang itu akan turun
mengalir. Membentuk aliran kesedihan di wajah.
“Ada apa adik kecil?”
Dia tidak segera menjawabku. Menatapku dengan perasaan
curiga. Sepertinya anak kecil di hadapanku sedang mengingat
salah satu nasihat ibunya: jangan bicara dengan orang asing.
Tapi sepertinya dia bisa mengena­liku sebagai orang baik.
“Aku kehilangan uangku,” ujarnya dengan malu-malu.
Ujung bibirnya dimonyongkan seolah-olah aku baru saja
memarahinya.
Aku membantu mencari-cari sebentar, tapi aku tidak
menemukan apa-apa. Kabut mulai muncul dan semakin
mengaburkan penglihatan. Aku mendekati anak itu dan jongkok
di sampingnya. Dengan begitu tinggi kami sejajar. Aku bisa
melihat waja­hnya dengan jelas sekali. Gadis cilik yang manis. Kelak
32 Gadis Kecil yang Kehilangan Uang

pasti akan tumbuh menjadi gadis yang cantik. Dan entah kenapa
rasa ibaku berubah menjadi rasa sayang. Memang kelemahanku
mudah suka pada anak kecil. Apalagi anak perempuan yang
manis.
Aku mengelus kepalanya. Rambut­nya yang sepunggung
terasa begitu lembut. Seperti kain beludru halus yang dicuci
dengan amat bersih dan hati-hati.
Kemudian aku meraba-raba kantong celanaku. Mengeluarkan
segepok uang yang kugulung, kuikat dengan karet. Lalu aku
menyerahkan selembar uang dua puluh ribu kepadanya.
Dia mengambilnya tanpa malu-malu. Lalu menatap
berulang-ulang antara uang yang baru kuberikan dan wajahku.
Seolah-olah ada gambar wajahku di uang itu.
“Ini apa?” ujarnya ragu. Aku tersenyum. Bisa dimengerti,
tentulah uang yang baru kuberikan jarang dilihat anak-anak desa
sepertinya. Di sini apa-apa serba murah. Sebetulnya aku agak
sayang memberikan uang sebesar itu. Tapi dia beruntung, dan
juga karena dia manis, aku sedang kehabisan uang yang lebih
kecil. Aku menebak-nebak uang yang baru dihilangkannya tentu
tidak mungkin lebih dari lima ribu atau sepuluh ribu.
“Ini uang dua puluh ribu. Jadi sedikit berbeda dengan
uangmu,” jelasku.
Dia masih menatapku. Menerka-nerka apakah aku mencoba
membohonginya. Tapi akhirnya dia menggenggam uang itu
dengan erat. Aku yakin uang itu akan semakin kucel ketika nanti
dilepaskan. Namun aku paham dengan perasaannya. Kehilangan
uang sekali akan membuatmu lebih berhati-hati.
Tiba-tiba dia melihat ke arah di mana sebelumnya aku
muncul. Tangannya melambai dengan riang. Aku menoleh dan
hanya melihat kabut yang tebal. Cahaya senterku tidak mampu
menembus tirai selembut kapas itu.
“Itu ibuku,” ujarnya riang disertai senyum di bibir mungilnya.
Aku terus mengamati tempat yang ditunjuknya. Tapi
sungguh aku tidak dapat melihat apa-apa kecuali kabut yang
33 Gadis Kecil yang Kehilangan Uang

sema­kin tebal. Memang mataku sudah rabun. Dan tidak terbiasa


dengan kegelapan yang begitu pekat.
Gadis kecil itu tiba-tiba menuju tempat yang ditunjuknya.
Sebelah tangannya menggantung di udara. Bergelayut pada
sesuatu yang tak kasat mata. Tiba-tiba jantungku berdebar
hebat. Bulu di sekujur tubuhku berdiri. Dan napasku berat seperti
ditindih.
Aku tak berani bergerak. Tidak yakin dengan pemandangan
di depanku. Gadis cilik itu, dengan sebelah tangannya yang
menggengam uang yang tadi kuberikan, melambai ke arahku. Aku
tidak membalasnya. Sekujur tubuhku kaku. Perlahan gadis kecil
hilang dari pandanganku. Atau mungkin lenyap dalam kabut.
Tiba-tiba aku tersadar dengan apa yang baru kualami.
Segera kuarahkan senter ke arah yang tadi kulewati. Aku ingin
berlari. Tapi tidak jadi. Kegelapan dengan selimut kabut tebal
mem­buatku tidak berani gegabah. Apalagi aku baru tersandung
sebuah batu kecil yang entah kenapa bisa berada di situ. Mungkin
peringatan untukku.
Akhirnya setelah sekian lama melangkah dalam kegelisahan
dan kegelapan menakutkan, aku melihat api unggun. Sebuah bus
tua yang mogok diparkir di pinggir jalan. Lidah api yang beroyang
ke sana kemari membuatku lebih tenang. Sedikit rasa hangat dan
senang karena tidak lagi dikepung kegelapan. Dan kabut tebal,
menghilang di tengah jalan. Aku bahkan bisa melihat kumpulan
orang-orang yang jaraknya masih sepuluh meter dariku.
Temanku kelihatan khawatir ketika aku duduk di sampingnya.
Dia mengamati wajahku selama beberapa saat.
“Kau baik-baik saja?”
Aku mengangguk lemah dan menen­gadah ke arah langit.
Kabut menghalangi pancaran sinar bulan yang saat itu tampil
dengan bentuk sabit. Bintang-bintang mirip seperti cahaya
lampu di kejauhan. Samar dan redup karena sinarnya yang tidak
seberapa disaring kabut dingin.
Aku merasa sangat lelah dan mengan­tuk.
34

10
Ulama, Pedagang Tua, dan Keledai

B ertahun-tahun yang lalu, di Kota Azimgurh, barat laut India,


tinggallah seorang ulama, yang sering dipanggil “mullah”,
yang berprofesi mengajarkan ajaran Islam kepada para pemuda
di kota tersebut.
Secara kebetulan, seorang pedagang, bersama istrinya,
dalam perjalanan pulang, mampir ke kota tersebut dan berhenti
sejenak di bawah pohon di dekat masjid tempat tinggal sang
ulama, dan mengikat keledai mereka di pohon. Pasangan tua ini
kaya raya, akan tetapi sayangnya tidak memiliki anak.
Pada hari kedatangan mereka di masjid tersebut, sekilas
mereka melihat seorang pria sedang berhadapan dengan sang
ulama, dan mengeluh dalam kemarahan. Mereka pun tertarik
untuk mendengar apa yang dikeluhkan pria tersebut. “Anda
adalah ulama!” ia berseru, “Dan saya telah membayar semua
uang sekolah yang Anda minta, tetapi Anda tidak mengajarkan
apa-apa kepada putra saya, dan tiap hari dia hanya bermalas-
malasan, luntang-lantung di jalanan berdebu bersama anak-anak
berandalan lainnya.”
Mendengar ini sang ulama pun murka, dan menjawab,
“Tidak mengajarkan apa-apa?! Itu tidak benar! Ia telah dididik
sama seperti murid-murid yang lain.”
35 Ulama, Pedagang Tua, dan Keledai

Yah Yah ka kulma partraya


Gudhe se admi bunaya
yang artinya, “Saya telah mengajarkannya ajaran Yah Yah,
atau ajaran yang benar, dan walaupun ia datang kepada saya
sebagai seekor keledai, saya telah mengubahnya menjadi
manusia. Kamu sungguh tak tahu terima kasih! Tidak ada lagi
yang bisa diajarkan kepada dia! Kamu boleh mengeluarkannya
dari sekolah!”
Setelah itu, pria tersebut dengan marah pergi dan
meninggalkan sang ulama.
Pedagang tua yang bodoh tersebut, beserta istrinya yang
tidak kalah tua dan bodoh juga, setelah mendengarkan semua
percakapan tersebut, mulai saling melirik dan membicarakan apa
yang telah mereka dengarkan. “Tidakkah kamu mendengar sang
ulama berkata bahwa ia telah mengubah seekor keledai menjadi
manusia, dan kamu tahu bahwa ulama bisa melakukan hal-hal
mukjizat! Aku cuma kepikiran seandainya dia bisa mengubah
keledai kita dan menjadikannya seorang putra bagi kita, sungguh
suatu berkah bagi kita! Karena hanya inilah satu-satunya hal yang
belum kita miliki.”
Istrinya yang tua menangkap ide yang dilontarkan, dan
menjawab, “Ya! Allah telah memberi kita kekayaan melimpah,
tapi apa gunanya bagi kita ketika kita mati. Orang lain akan
merebutnya. Tapi kalau kita punya seorang putra, ia akan
mewarisinya, dan kebahagiaan kita di dunia ini akan tergenapkan.
Ayo kita ke ulama tersebut dan membuat penawaran dengannya
sehingga kutukan tidak punya keturunan tidak akan menghimpit
kita lagi.”
Mereka pun mencoba menemui sang ulama, mendekatinya
dan berkata, “Oh, Tuan! Kami berdua sudah sangat tua, seperti
yang dapat Anda lihat, tetapi kami punya banyak uang. Namun,
hal tersedih adalah kami tidak punya anak. Tadi kami mendengar
Anda berkata bahwa Anda telah mengubah seekor keledai
menjadi manusia. Kami punya keledai, tapi tidak punya seorang
36 Ulama, Pedagang Tua, dan Keledai

putra pun. Apakah Anda mau berbaik hati mengubahnya untuk


kami, dan kami akan memberikan berapa pun uang yang Anda
minta.”
Sang ulama kaget dan terkejut dengan permintaan yang
tidak masuk akal ini. Ia diam beberapa saat, hanya menatap
pasangan tua tersebut sembari memutar otaknya. “Kedua orang
ini pastinya mendengar aku marah-marah ke ayah pelajar yang
tidak berguna tersebut, dan menelan bulat-bulat apa yang telah
kukatakan. Tapi justru ini adalah kesempatan emas bagiku yang
tidak boleh disia-siakan.”
Ia pun berseru dalam hati:
Gan ke pooreh-get muth ki heenay
Khuda tujhe deta-mai leta keunnahin
Mereka tebal di dompet tapi lemah di otak
Allah telah memberimu kesempatan, kenapa tidak kau
ambil?

Lalu setelah berhenti sejenak ia berpaling kepada mereka


dan berkata, “Saya telah mempertimbangkan apa yang terbaik
untuk kalian. Untuk memenuhi permintaan kalian sebenarnya
pekerjaan yang sulit, walaupun tidak mustahil. Kalau kalian
bersedia mengikat keledai tersebut di pohon itu, dan kembali
kepadaku satu tahun kemudian, kalian akan memiliki seorang
putra, sebab akan butuh waktu yang cukup lama untuk mengubah
total keledai menjadi manusia. Sekarang beri saya seribu rupee,
dan pulanglah, serta jangan lupa kembali menemuiku satu tahun
kemudian.”
Pasangan tua tersebut sedemikian gembira untuk
memenuhi permintaan sang ulama, jadi mereka membayarkan
uang yang diminta, mengikat keledai ke pohon, menyerukan
salam perpisahan yang hangat, dan melanjutkan perjalanan
pulang mereka.
Ketika satu tahun berlalu, pasangan tua tersebut, dengan
hati yang berbunga-bunga serta kegembiraan untuk menemui
37 Ulama, Pedagang Tua, dan Keledai

putra sekaligus ahli waris mereka, memulai perjalanan mereka


untuk menemui sang ulama, dan tiba di masjid tepat waktu
sesuai dengan yang dijanjikan.
“Kami telah tiba, Tuan,” mereka berkata, “sesuai dengan janji,
untuk mengambil putra kami.”
Sang ulama menjawab, “Kalian memang sepasang orangtua
yang bodoh. Kalau saja seandainya kalian tepat waktu dan tiba
seminggu yang lalu, kalian pasti telah bertemu dengannya. Akan
tetapi sekarang, karena pembelajarannya yang luar biasa pesat,
ia telah ditunjuk menjadi seorang “qazi” (gelar “doktor” dalam
hukum Islam) di Jaunpur*.”
Sang ulama telah mendapatkan ide jahat ini, dan telah
merencanakan untuk mempermalukan sang qazi, yang amat
membuatnya iri.
“Tapi,” jawab pasangan tua tersebut, “bagaimana mungkin
dia akan mengenali kami kalau Anda tidak menemani kami?”
“Jangan khawatir. Saya tidak bisa pergi, tetapi kalau kalian
membawa tali ini yang biasa kalian ikatkan ke keledai kalian
dan juga ‘tobra’ atau kantung makanan tempat diletakkannya
makanan keledai tersebut, dan pergi ke Jaunpur, semua masalah
akan sirna. Pergilah ke kota tersebut pada hari Jumat sewaktu
jam sholat Jumat di masjid. Kalian akan melihat sekumpulan
besar orang sedang mendengarkan ceramah putra kalian, yang
sebagaimana kalian tahu, adalah keledai kalian. Carilah posisi di
mana dia bisa melihat kalian dengan jelas, dan kemudian terus-
menerus lambaikan tali dan kantung makanan, dan dia akan
segera tahu siapa kalian, serta akan datang dan menyatakan
kalian sebagai ayah dan ibunya.”
Lalu mereka pun berangkat ke Jaunpur, tiba hari Jumat,
langsung pergi menuju masjid, berdiri di luar masjid di posisi yang
gampang terlihat oleh sang qazi, dan mulai melambai-lambaikan
tali dan kantung makanan tersebut.
Dalam waktu singkat, sang qazi menyadari perilaku aneh
ini, dan meminta salah seorang jemaah untuk mencari tahu
38 Ulama, Pedagang Tua, dan Keledai

penyebabnya, akan tetapi pasangan tua tersebut memberitahunya


untuk memberitahukan sang qazi bahwa mereka memiliki rahasia
sangat dalam yang hanya bisa dipahami oleh sang qazi dan tidak
oleh manusia lainnya.
Sang qazi, tergerak oleh rasa ingin tahunya, meminta izin
dari para jemaah untuk pergi sejenak, lalu sambil membawa
pasangan tua tersebut ke pinggir, ia meminta mereka untuk
memberitahunya alasan dari perilaku aneh mereka.
Dengan napas perlahan, dan dengan kesungguhan yang
mendalam, pedagang tua dan istrinya menumpahkan semua kisah
ke telinga sang qazi bahwa dahulunya ia adalah keledai mereka;
bagaimana selama bertahun-tahun mereka telah memberikan
kebaikan padanya, dan tidak pernah memukulnya walaupun ia
nakal; bagaimana mereka sungguh menyesali tindakan mereka
kepada sang qazi—putra mereka yang kini dihormati banyak
orang; bagaimana, berkat mukjizat gaib dari Ulama Azimgurh-lah
berkah sedemikian bisa menghampiri mereka; dan bagaimana
cawan kebahagiaan mereka kini telah terisi penuh.
Sang qazi segera menangkap situasi, dan menyadari rencana
jahat yang disusun sedemikian cerdik oleh musuhnya yang nakal.
Dan sebagai seorang yang bijaksana, ia berpikir dalam hati,
“Kalau aku menolak kisah yang tidak masuk akal ini, yang telah
dipercayai sepenuh jiwa oleh kedua orangtua bodoh ini, tentulah
hal ini akan tersebar keluar, dan akan merugikan diriku sendiri,
dan alih-alih dihormati, aku malah akan diejek dan ditertawakan,
menjadi hal konyol dan bahan tertawaan orang-orang. Sudah
kuputuskan apa yang mesti kulakukan. Aku akan secara diam-
diam mengakui apa yang mereka katakan, dan lalu terbebas dari
mereka.”
Berbalik kepada pasangan tua tersebut, ia berkata, “Ya,
semuanya benar sekali, dan oleh sebab itu, mulai sekarang
kepentingan kalian adalah kepentinganku juga. Nama baik
kalian adalah identik dengan nama baikku, dan aku akan
berusaha mempertahankannya. Akan tetapi marilah kita sepakat
39 Ulama, Pedagang Tua, dan Keledai

dan membentuk ikatan suci bahwa kalian tidak akan pernah


menceritakan satu kata pun mengenai perubahan ajaib yang
telah terjadi pada diriku. Kalau kalian menyimpan rahasia ini,
aku akan menjadi putra yang berbakti kepada kalian seumur
hidupku.”
Untuk hal ini, tentu saja pasangan tua tersebut setuju
sepenuhnya, hanya meminta satu hal, bahwa ketika mereka
meninggal, yang tentu saja mungkin tidak lama lagi, ia akan
hadir untuk melihat mereka dimakamkan sesuai upacara Islam.
Untuk hal ini, tentu saja sang qazi dengan tulus berjanji akan
melaksanakannya. Pasangan tua tersebut kemudian pulang
ke rumah mereka dengan sukacita dan kebahagiaan hati yang
terdalam, dan meninggalkan semua harta kekayaan mereka
kepada sang qazi tatkala mereka meninggal.

*Jaunpur pernah menjadi pusat perkembangan Islam yang sangat penting di


India Utara.
40

11
Anak Domba yang Terluka

S uatu hari Pangeran Siddhartha meninggalkan Rajagraha


menuju sebuah kaki gunung tempat tinggal para petapa.
Di tengah perjalanan, ia melihat debu berjatuhan dari gunung
di tengah-tengah suara derap langkah hewan. Ketika mendekat,
ia melihat ternyata kerumunan panjang itu adalah domba dan
kambing yang sedang bergerak beriringan seperti sebarisan
awan-awan. Hewan-hewan itu sedang diarahkan menuju kota.
Di barisan belakang dari kerumunan itu, seekor anak domba
berjalan tertatih-tatih dan pincang kesakitan, salah satu kakinya
terluka dan berdarah. Pangeran Siddhartha memerhatikan anak
domba tersebut dan ibunya yang berjalan di depannya yang
terus menerus melihat ke belakang, mengkhawatirkan anaknya
yang masih kecil itu. Hati Pangeran Siddhartha dipenuhi oleh rasa
haru dan kasihan. Ia kemudian menggendong domba kecil yang
kakinya terluka tersebut, dengan lembut merawatnya sambil
berjalan di belakang mengikuti kerumunan hewan tersebut.
Ketika Pangeran Siddhartha melihat si penggembala, ia
bertanya, “Kemana kamu akan membawa kerumunan hewan
ini? Bukankah biasanya mereka digiring pulang ketika hari
menjelang senja?! Mengapa kamu menggiringnya saat siang terik
begini?” Si penggembala menjawab, “Raja akan mengadakan
41 Anak Domba yang Terluka

upacara pengorbanan besar-besaran hari ini, dan kami telah


diperintahkan membawa seratus ekor domba dan seratus ekor
kambing ke kota sebelum tengah hari.” Pangeran Siddhartha
berkata, “Saya akan ikut denganmu.” Dia membawa domba kecil
tersebut dengan kedua lengannya sepanjang jalan menuju kota.
Berjalan di belakang kawanan domba, Pangeran Siddhartha
akhirnya tiba di kota; kemudian ia pergi menuju istana tempat
akan dilangsungkannya upacara pengorbanan.
Raja dan sekelompok pendeta pemuja api sedang
menguncarkan ayat-ayat, ketika api yang besar bernyala-nyala
di atas altar. Mereka akan segera membunuh kerumunan domba
sebagai kurban, tapi ketika pemimpin dari pendeta pemuja api
mengangkat pedangnya untuk menggorok leher domba pertama,
Pangeran Siddhartha segera bergerak dan menghentikannya.
Dengan sikap yang kalem dan penuh belas kasih, Pangeran
Siddhartha berkata kepada Raja Bimbisara, “Yang Mulia, mohon
jangan biarkan para pendeta ini menghancurkan hidup hewan-
hewan yang malang ini.”Kemudian ia berkata kepada orang-orang
yang sedang berdiri sebagai saksi peristiwa tersebut, “Semua
makhluk bergantung pada kehidupannya. Mengapa manusia
mesti melakukan kekerasan yang brutal terhadap hewan-hewan
yang baik hati ini? Penderitaan dari kelahiran, penuaan, penyakit
dan kematian sendiri secara alamiah akan mengakhiri kehidupan
mereka.” Pangeran Siddhartha melanjutkan, “Jika manusia
mengharapkan kebaikan dan belas kasih, semestinya mereka
juga menunjukkan kebaikan dan belas kasih, sebab sebagaimana
Hukum Sebab-Akibat, ia yang tidak ingin dibunuh, semestinya
tidak melakukan pembunuhan. Kalau kita mengharapkan
kebahagiaan di masa depan, tidaklah semestinya kita menyakiti
makhluk apa pun. Sebab siapa pun yang menyemai benih-benih
kesengsaraan dan kesedihan, niscaya akan memanen buah yang
sama.” Sikap dan ucapan Pangeran Siddhartha membawakan rasa
sejuk dan hati yang damai serta penuh welas asih, juga terdengar
lugas dan berwibawa. Ia berhasil sepenuhnya mengubah
42 Anak Domba yang Terluka

pandangan Raja dan para pendeta pemuja api sehingga upacara


pengorbanan dibatalkan.
Raja Bimbisara kemudian meminta Pangeran Siddhartha
tinggal di negerinya untuk mengajar para penduduk agar
menjadi welas asih. Pangeran Siddhartha sangat berterima kasih
secara mendalam, namun karena ia belum mencapai tujuannya,
Pencerahan Sempurna, ia dengan rendah hati menolak undangan
tersebut dan pergi.”
43

12
Ego

K etika aku merenungi diri sendiri, aku menyadari betapa


kentalnya ego dalam diriku. Ego inilah yang menjadi benih
dari keserakahan dan kebencian. Aku menginginkan ini itu;
aku tidak ingin dirugikan; untuk apa aku berbagi ke orang lain
kalau aku bisa memanfaatkannya untuk diriku sendiri. Yah, alam
bawahsadarku telah dicengkeram oleh ego!
Ketika aku merenungi momen-momen saat aku marah,
jengkel bahkan benci terhadap orang lain karena suatu hal, aku
menyadari semua timbul karena aku memandang dari paradigma
diri sendiri, dari paradigma bahwa aku atau diriku adalah yang
paling penting dan utama dalam dunia ini! Aku telah terjerat
dalam jaring-jaring egosentris. Aku adalah aku! Obyek luar
hanyalah obyek-obyek komplemen (tambahan/pelengkap) yang
sudah jelas kurang berarti dibanding aku sendiri. Ini sungguh
mengerikan!
Agaknya cukup benar apa yang pernah dikatakan oleh
Boltan Hall:

Kulihat saudaraku dengan mikroskop kritik,


dan kubilang, “Sungguh jahat saudaraku ini.”
Kulihat lagi ia dengan teleskop kehinaan,
44 Ego

dan kubilang, “Alangkah kecilnya ia.”


Kemudian kupandang cermin kebenaran,
dan kubilang, “Betapa miripnya ia denganku.”

Hampir semua tindakanku berlandaskan ego, hingga seakan


ego adalah yang paling substansial dari segala sesuatu.
Akan tetapi, masih ada segores kesadaran dalam diriku
bahwa ego jugalah penyebab utama dari penderitaan yang
kualami. Aku menderita karena hal-hal terjadi tidak sesuai
yang diharapkan ego diriku. Aku dengan bodoh telah terpaku
pada diriku dan menjadi menderita bila terjadi hal yang tidak
menyenangkan pada diriku!
Ada satu kisah tradisional rakyat Jepang yang melukiskan
dengan indah bagaimana ego dan kebodohan serta “aku-sentris”
menyebabkan penderitaan bagi diri sendiri dan juga orang
lain....

Ada seseorang yang mati dan menemukan dirinya di alam


yang bercahaya. Ia kemudian didekati oleh makhluk berkilauan
yang mengantarnya ke sebuah ruang perjamuan agung dengan
meja yang sangat besar menyajikan makanan yang lezatnya tak
terkatakan. Ia duduk di meja makan itu bersama dengan banyak
orang lainnya, dan memilih makanan istimewa yang disajikan
untuknya. Saat ia mengambil garpu, seseorang mendekat
dari belakangnya dan mengikatkan papan besi tipis di bagian
belakang lengannya, sehingga ia tidak dapat menekuk sikunya.
Ketika mencoba mengambil makanan, ia melihat ia tidak bisa
meraih mulutnya karena ia tidak bisa menggerakkan lengannya
yang kaku untuk menyuapnya.
Melihat ke sekeliling, ia memerhatikan bahwa semua
lengan orang-orang di sekeliling meja itu diikat lurus sehingga
tak bisa menekuknya. Semuanya menggerutu dan mengeluh,
saat mereka berusaha memasukkan makanan ke dalam mulut
mereka. Mereka tidak bisa mencapainya, dan pecahlah tangis
45 Ego

dan sedu sedan karena kesulitan mereka.


Kepada makhluk yang mengantarnya ke tempat ini, ia
berkata, “Ini pasti neraka. Tetapi surga itu seperti apa?”
Makhluk yang berkilauan itu menunjukkan padanya ruang
perjamuan besar lainnya lewat gerbang lengkung. Meja besar
lainnya terbentang di sana, penuh dengan makanan yang sama.
“Ah, ini seperti tadi,” pikirnya. Dan setelah duduk di meja makan,
baru saja ia mau mengambil, tiba-tiba seseorang datang dan
mengikatkan sebuah papan besi di belakang lengannya juga,
sekali lagi ia tidak bisa menekuk sikunya untuk menyuap.
Menyesali hal itu sebagai situasi yang tidak menyenangkan
yang sama seperti neraka, ia melihat ke sekeliling dengan
cemas, dan melihat di meja itu ada sesuatu yang berbeda
terjadi. Bukannya orang-orang mencoba memaksa memasukkan
makanan ke dalam mulutnya, memaksa melawan kekakuan
lengan-lengannya, setiap makhluk malah mengulurkan
lengannya lurus untuk memberi makan orang di sisinya. Setiap
orang menyuapi orang di sebelahnya!
Apakah Anda sadar bahwa 99% penderitaan di dunia ini
adalah akibat ego-sentris? Dan apakah Anda menyadari bahwa
aku menulis tulisan ini juga dengan dipenuhi ego?

:) :( :) :( :) :(
46

13
Pohon, Daun, dan Angin

POHON

O rang-orang memanggilku “POHON” karena aku sangat baik


dalam menggambar pohon. Aku selalu membubuhkan
gambar pohon di sisi kanan sebagai trademark pada semua
lukisanku. Aku telah berpacaran sebanyak 5 kali. Ada satu wanita
yang sangat aku cintai... tapi aku tidak punya keberanian untuk
mengatakannya. Dia tidak terlalu cantik... tidak memiliki tubuh
yang seksi. Akan tetapi, dia sangat peduli dengan orang lain...
baik hati... tapi... dia hanya wanita biasa saja. Aku menyukainya...
sangat menyukainya. Gayanya yang inosen dan apa adanya...
kemandiriannya... kepandaiannya, dan kekuatannya. Alasan aku
tidak mengajaknya kencan karena... aku merasa dia sangat biasa
dan tidak serasi untukku....
Aku takut... jika kami bersama semua perasaan yang indah
ini akan hilang....
Aku takut kalau gosip-gosip yang ada akan menyakitinya....
Aku merasa dia adalah “sahabatku”....
Aku akan memilikinya tiada batasnya... tidak harus
memberikan semuanya hanya untuk dia.... Alasan yang terakhir...
membuat dia menemaniku dalam berbagai pergumulan selama
47 Pohon, Daun, dan Angin

3 tahun ini....
Dia tahu aku mengejar gadis-gadis lain dan aku telah
membuatnya menangis selama 3 tahun. Ketika aku menggandeng
tangan pacarku yang ke-2 terlihat olehnya, dia hanya tersenyum
dengan berwajah merah, setelah itu pergi meninggalkan kami.
Esoknya, matanya bengkak dan merah. Aku sengaja tidak
mau memikirkan apa yang menyebabkannya menangis, tapi aku
malah tertawa, bercanda dengannya seharian di ruang itu. Di
sudut ruang itu dia menangis... dia tidak tahu bahwa aku kembali
untuk mengambil sesuatu yang tertinggal. Hampir 1 jam kulihat
dia menangis di sana. Pacarku yang ke-4 tidak menyukainya.
Pernah sekali mereka berdua perang dingin. Aku tahu bukan
sifatnya untuk memulai perang dingin. Tapi aku masih tetap
bersama pacarku. Aku berteriak padanya dan matanya penuh
dengan air mata sedih dan kaget.
Aku tidak memikirkan perasaannya dan pergi
meninggalkannya bersama pacarku. Esoknya ia masih tertawa dan
bercanda denganku seperti tidak ada yang terjadi sebelumnya.
Aku tahu dia sangat sedih dan kecewa, tapi dia tidak tahu bahwa
sakit hatiku sama buruknya dengan dia.
Aku juga sedih... ketika aku putus dengan pacarku yang
ke-5, aku mengajaknya pergi. Setelah kencan satu hari itu,
aku mengatakan bahwa ada sesuatu yang ingin kukatakan
padanya. Dia mengatakan bahwa kebetulan sekali dia juga ingin
mengatakan sesuatu padaku.
Aku cerita tentang putusnya aku dengan pacarku....
Dia berkata bahwa dia sedang memulai suatu hubungan
dengan seseorang....
Aku tahu pria itu... dia sering mengejarnya selama ini. Pria
yang baik, penuh energi dan menarik.
Aku tidak bisa memperlihatkan betapa sakit hatiku, aku
hanya tersenyum dan mengucapkan selamat padanya. Ketika
sampai di rumah, sakit hatiku bertambah kuat dan aku tidak dapat
menahannya. Seperti ada batu yang sangat besar di dadaku....
48 Pohon, Daun, dan Angin

Aku tidak bisa bernapas dan ingin berteriak, namun apa daya....
Air mataku mengalir, tak terasa aku menangis karenanya....
Sudah sering aku melihatnya menangis untuk pria yang
tidak mengacuhkan kehadirannya....
Handphone-ku bergetar... ternyata ada SMS masuk... SMS itu
dikirim 10 hari yang lalu ketika aku sedih dan menangis....
SMS itu berbunyi, “DAUN terbang karena ANGIN bertiup
atau karena POHON tidak memintanya untuk tinggal?!”

DAUN

Aku suka mengoleksi daun-daun, kenapa? Karena aku


merasa bahwa DAUN untuk meninggalkan pohon yang selama ini
ditinggali membutuhkan banyak kekuatan. Selama 3 tahun aku
dekat dengan seorang pria, bukan sebagai pacar tapi “sahabat”.
Tapi ketika dia punya pacar untuk yang pertama kalinya, aku
mempelajari sebuah perasaan yang belum pernah aku pelajari
sebelumnya—CEMBURU.
Perasaan di hati ini tidak bisa digambarkan dengan
menggunakan lemon. Mungkin hal itu seperti 100 butir lebih
lemon busuk.
Mereka hanya bersama selama 2 bulan. Ketika mereka putus,
aku menyembunyikan perasaan yang luar biasa gembiranya. Tapi
sebulan kemudian dia bersama seorang gadis lagi....
Aku menyukainya dan aku tahu bahwa dia juga menyukaiku,
tapi mengapa dia tidak mau mengatakannya? Jika dia mencintaiku,
mengapa dia tidak memulainya dahulu untuk melangkah?
Ketika dia punya pacar baru lagi, hatiku sedih.... Waktu
berjalan dan berjalan, hatiku sedih dan kecewa. Aku mulai
mengira bahwa ini adalah cinta bertepuk sebelah tangan.
Tapi, mengapa dia memperlakukanku lebih dari sekadar
seorang teman? Menyukai seseorang sangat menyusahkan hati.
Aku tahu kesukaannya, kebiasaannya.
Tapi perasaannya kepadaku tidak pernah bisa diketahui. Kau
49 Pohon, Daun, dan Angin

tidak mengharapkan aku seorang wanita untuk mengatakannya


bukan? Di luar itu, aku mau tetap di sampingnya, memberinya
perhatian, menemani, dan mencintainya; berharap suatu hari
nanti dia akan datang dan mencintaiku. Hal itu seperti menunggu
telepon darinya tiap malam, mengharapkan kiriman SMS. Aku
tahu sesibuk apa pun, dia pasti meluangkan waktunya....
Tiga tahun cukup berat untuk kulalui dan aku mau menyerah.
Kadang aku berpikir untuk tetap menunggu.... Dilema yang
menemaniku selama 3 tahun ini.... Akhir tahun ke-3, seorang pria
mengejarku. Setiap hari dia mengejarku tanpa lelah.... Segala daya
upaya telah dilakukan walau seringkali ada penolakan dariku....
Aku berpikir... apakah aku ingin memberinya ruang kecil di
hatiku untuknya?!
Dia seperti angin yang hangat dan lembut, mencoba meniup
daun untuk terbang dari pohon..
Akhirnya, aku sadar bahwa aku ingin memberi angin ruang
yang kecil di hatiku....
Aku tahu Angin akan membawa pergi Daun yang lusuh jauh
dan ke tempat yang lebih baik....
Akhirnya aku meninggalkan Pohon..., tapi Pohon hanya
tersenyum dan tidak memintaku untuk tinggal....
Aku sangat sedih memandangnya tersenyum ke arahku....
“DAUN terbang karena ANGIN bertiup atau karena
POHON tidak memintanya untuk tinggal?!”

ANGIN

Aku menyukai seorang gadis bernama DAUN. Karena dia


sangat bergantung pada POHON, jadi aku harus menjadi ANGIN
yang kuat.... ANGIN akan meniup DAUN terbang jauh....
Pertama kalinya... aku melihat seseorang memerhatikan
kami.... Ketika itu, dia selalu duduk di sana sendirian atau
dengan teman-temannya memerhatikan POHON. Ketika POHON
berbicara dengan gadis-gadis, ada cemburu di matanya....
50 Pohon, Daun, dan Angin

Ketika Pohon melihat ke arah Daun, ada senyum di matanya....


Memerhatikannya menjadi kebiasaanku... seperti Daun yang
suka melihat Pohon....
Satu hari saja tak kulihat dia, aku merasa sangat kehilangan..
Di sudut ruang itu, kulihat Pohon sedang memerhatikan Daun....
Air mengalir di mata Daun ketika Pohon pergi. Esoknya, kulihat
Daun di tempatnya yang biasa sedang memerhatikan Pohon. Aku
melangkah dan tersenyum padanya.... Kuambil secarik kertas...
kutulis dan kuberikan padanya....
Dia sangat kaget... dia melihat ke arahku, tersenyum dan
menerima kertas dariku.....
Esoknya... dia datang... menghampiriku, memberikan
kembali kertas itu.... Hati Daun sangat kuat dan ANGIN tidak bisa
meniupnya pergi, hal itu karena Daun tidak mau meninggalkan
POHON. Aku melihat ke arahnya... kuhampiri dengan kata-kata
itu... sangat pelan... dia mulai membuka dirinya dan menerima
kehadiranku dan meneleponku.... Aku tahu orang yang dia
cintai bukan aku... tapi aku akan berusaha agar suatu hari dia
menyukaiku.... Selama 4 bulan, aku telah mengucapkan kata
cinta tidak kurang dari 20 kali kepadanya.... Hampir tiap kali, dia
mengalihkan pembicaraan, tapi aku tidak menyerah. Keputusanku
bulat. Aku ingin memilikinya, dan berharap dia akan menjadi
pacarku. Aku bertanya, “Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu
tidak pernah membalas?”
“Mengapa kamu selalu membisu?” Akhirnya dia berkata,
“Aku akan terbang bersamamu....”
“AH?” Aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar. “Aku
akan terbang bersamamu,” dia berkata. Kuletakkan telepon...
melompat... berlari seribu langkah... ke rumahnya.... Dia membuka
pintu bagiku....
“DAUN terbang karena tiupan ANGIN atau karena
POHON tidak memintanya untuk tinggal?!”
51

14
Burung Kebahagiaan

P ada suatu masa yang amat lampau, ada sebuah wilayah


sangat miskin di Tibet yang tidak ada sungai maupun lahan
subur, tiada kehangatan maupun bunga segar, juga tiada pohon
maupun rumput. Orang-orang yang tinggal di sana menderita
kelaparan dan kedinginan sepanjang tahun dan tidak mengenal
kebahagiaan itu seperti apa. Walau demikian, mereka tetap percaya
bahwa kebahagiaan pastilah ada di suatu tempat di dunia ini.
Para sesepuh desa selalu mengatakan bahwa kebahagiaan
itu adalah seekor burung yang sangat cantik yang tinggal di
sebuah gunung salju jauh, jauh di sebelah timur. Ke mana pun
burung itu terbang, kebahagiaan akan terus mengikutinya. Tiap
tahun, orang-orang pergi mencari burung ini, tapi tak satu pun
yang kembali. Katanya, Burung Kebahagiaan dijaga oleh tiga
monster tua yang bisa membunuh seseorang hanya dengan
mengembuskan napas melalui sela-sela jenggot mereka.
Pada suatu tahun, seorang pemuda brilian bernama
Wangjia dikirim untuk menemukan Burung Kebahagiaan.
Saat keberangkatannya, gadis-gadis di desa menawarkannya
minuman barley*; dan ibunya, sesuai adat Tibet, menaburkan biji
barley di kepalanya, mengharapkan ia akan melakukan perjalanan
yang lancar.
52 Burung Kebahagiaan

Wangjia berjalan ke arah timur selama berhari-hari hingga ia


melihat sebuah gunung raksasa terselimuti salju yang berkilau. Tepat
saat itu juga, seekor monster tua dengan jenggot hitam muncul.
“Siapa di sana?” ia berteriak parau. “Berani sekali kau datang
ke sini! Apa yang kau cari?”
“Namaku Wangjia, dan aku ke sini mencari Burung
Kebahagiaan.”
“Ha-ha-ha!” monster tersebut tertawa. “Bagaimana bisa anak
ingusan seperti kau, yang tidak lebih besar dari sebutir telur, berani
menginjakkan kaki di sini?! Kalau kau ingin menemukan Burung
Kebahagiaan, pertama sekali kau harus membunuh ibunya Luo
Sang! Kalau tidak, kau akan dihukum. Aku bahkan tidak perlu
keluar tenaga untuk membunuh makhluk kecil sepertimu. Akan
kubuat kau mesti berjalan 900 mil melewati lereng cadas dan
tamatlah riwayatmu!”
Wangjia menjawab,“Aku menyayangi ibuku sendiri, dan aku tidak
akan pernah membunuh ibu orang lain. Lakukanlah kehendakmu!”
Monster tua tersebut marah besar. Ia mulai mengembuskan
napas melalui sela-sela jenggotnya, dan dalam sekejap mata,
jalan yang mulus berubah menjadi lereng cadas yang sangat
luas. Setiap cadasnya setajam pisau.
Setelah seratus mil pertama, sol sepatu Wangjia terkoyak
habis; setelah seratus mil kedua, kakinya teriris-iris dan setelah
tiga ratus mil, tangannya tersobek-sobek.
“Ini sangat berat!” ia bergumam dalam hati. “Apakah aku akan
berhasil? Apakah sebaiknya aku kembali saja? Tidak, tidak akan
pernah!” Ia tidak sanggup kembali. Ia tahu bahwa orang-orang di
desanya sedang menunggunya membawa pulang kebahagiaan.
Wangjia terbujur ke tanah dan mulai merangkak maju.
Pakaiannya sobek, lutut dan bahunya juga terkoyak-koyak.
Akhirnya ia mencapai ujung perjalanannya, dan di sana ia ketemu
monster tua lainnya, dengan jenggotnya yang berwarna cokelat
dan suara seperti angin yang bersiul, sedang menunggunya.
“Kalau kau ingin melihat Burung Kebahagiaan,” si monster
53 Burung Kebahagiaan

melolong, “kau harus meracuni si tua Si Lang dulu. Kalau tidak,


akan kubikin kau mati kelaparan!”
Dalam tatapan datar, Wangjia menjawab, “Terserah kau
ingin berteriak apa! Tapi aku sayang kakekku sendiri, dan aku
tidak akan pernah membunuh kakek orang lain!”
Dalam kemurkaan, si monster mendesah melalui sela-sela
jenggotnya dan tas makanan Wangjia melayang ke angkasa. Di
hadapannya, gunung biru dan sungai hijau berubah menjadi
padang pasir tanpa satu serpih makanan pun yang bisa ditemukan.
Wangjia melanjutkan perjalanan. Setelah seratus mil
pertama, perutnya mulai keroncongan dan merengek-rengek
kelaparan; setelah dua ratus mil, ia sudah sedemikian lapar hingga
kepalanya berkunang-kunang dan tampak bintang menari-nari;
di mil tiga ratus, ia sudah sangat sangat lapar hingga lambungnya
terasa seperti diiris-iris pisau. Siapa pun yang pernah kelaparan
pasti memahami penderitaannya. Tiba di akhir perjalanan, ia
sudah seperti tulang terbungkus kulit.
Di sana, lagi-lagi, berdiri seekor monster tua lainnya
berjanggut putih.
“Orang tolol mana yang berani ke sini?” suaranya
menggelegar.
“Namaku Wangjia, dan aku ke sini untuk mencari Burung
Kebahagiaan!”
“Kalau kau mau melihat Burung Kebahagiaan, bawalah bola
mata Baima ke sini! Kalau kau berani bilang tidak, akan kucungkil
bola matamu keluar!”
Wangjia menundukkan kepalanya dan berpikir sejenak,
kemudian menjawab, “Kau pasti sedang bermimpi! Tak seorang
pun berhak merusak mata indah seorang gadis! Aku tidak akan
mencungkil mata Baima!”
Monster tersebut memekik dalam angkara murka. Ia
mendesah melalui jenggotnya yang panjang, dan bola mata
Wangjia terlontar keluar dan ia pun menjadi buta.
“Ini pastilah rintangan terakhir,” ia berpikir. “Aku harus terus
54 Burung Kebahagiaan

berjalan ke arah matahari terbit. Pasti di sanalah tempat tinggal


Burung Kebahagiaan.”
Sambil meraba-raba tanah dengan tangannya, Wangjia
merangkak sejauh 900 mil lagi. Ia memanjat dengan susah payah
hingga ke puncak gunung berlapis salju, dan ia mendengar suara
Burung Kebahagiaan.
“Anakku sayang, apakah engkau datang kesini untuk
mencariku?”
Dalam gelora rasa haru, Wangjia menjawab, “Ya! Rakyat rindu
terhadapmu siang dan malam. Mohon kembalilah bersamaku.”
Dengan sayapnya yang halus, Burung Kebahagiaan
menyentuh Wangjia dengan lembut dan bernyanyi untuknya. Bola
matanya terbang masuk ke rongganya kembali dan kini ia bahkan
bisa melihat dengan lebih jernih. Semua lukanya sembuh dan
bahkan ia menjadi jauh lebih kuat dibanding sebelumnya. Burung
Kebahagiaan memberinya makanan dan kemudian membawanya
pulang ke desa. Mereka mendarat di atas puncak gunung.
“Apa yang kamu inginkan?” Burung Kebahagiaan bertanya.
Wangjia menjawab, “Kami menginginkan kehangatan dan
kebahagiaan, hutan dan bunga, ladang dan sungai-sungai.”
Berdiri di atas puncak gunung, Burung Kebahagiaan memekik
tiga kali. Saat pekikan pertama, kilau keemasan mentari terbaur
dengan arakan awan-awan dan sepoi angin hangat mengalir dari
angkasa. Pada pekikan kedua, bentangan demi bentangan hutan
muncul menyelimuti gunung-gunung, buah peach hutan dan
aneka kembang gunung mekar bersama, paduan suara kicauan
burung pun saling bersahutan. Pekikan ketiga, sungai-sungai dan
ladang hijau pun tampak terhampar dan kelinci putih meloncat
dengan gembira di atas rerumputan.
Sejak saat itu, penduduk di wilayah miskin tersebut tidak
pernah menderita kesengsaraan lagi.

*Barley adalah sejenis gandum yang dapat diolah menjadi bir maupun
minuman lainnya.
55

15
Balas Budi Burung Bangau

A lkisah, pada zaman dahulu hiduplah seorang kakek dan


nenek yang baik hati. Kisah berikut adalah kejadian pada
suatu hari yang dingin dan bersalju.
Di tengah perjalanan kembali setelah mencari kayu bakar di kaki
gunung, kakek mendengar suara erangan burung bangau di sekitar
rawa. Ia melihat seekor burung bangau yang menderita karena terkena
jerat jebakan. Kakek berlari mendekatinya dan melepaskan jerat itu.
Burung bangau itu menunjukkan rasa gembiranya dengan
mengembangkan sayapnya lebar-lebar, lalu terbang ke langit
bersalju.
Pada malam harinya, kakek membicarakan kejadian tersebut
dengan nenek di dekat perapian.
“Burung bangau itu tampaknya merasa begitu senang.”
“Oh, kamu melakukan hal yang sangat baik, sayangku.”
Nenek yang baik hati itu juga tersenyum manis, dan suasana hati
kedua orang itu diselimuti perasaan bahagia.
Pada waktu itu, terdengar bunyi ketokan di pintu. TOK-TOK-TOK.
Oh, siapakah gerangan yang mengunjungi rumah mereka?
Siapa ya, pada malam selarut ini? Lagi pula, malam ini bersalju….
TOK-TOK-TOK.
Kakek yang merasa aneh membuka pintu pelan-pelan… ia
56 Balas Budi Burung Bangau

terkejut! Seorang gadis yang cantik berdiri di tengah salju yang turun.
Kata gadis itu, ia tersesat di tengah perjalanannya.
“Kamu pasti kesulitan, kalau begitu, ayo, silakan menginap di sini
malam ini.”
Kakek dan nenek yang baik hati mempersilakan gadis itu masuk
ke dalam rumahnya.
“Ayo, hangatkan badanmu.”
Nenek membuatkan bubur panas untuk gadis itu.
Menurut kisah gadis itu, ia tidak punya tujuan ke mana pun.
“Nak, kalau begitu, hiduplah bersama kami.”
Nenek juga mengangguk tanda setuju.
“Saya juga sangat senang. Terima kasih banyak atas kebaikan
hati kakek dan nenek.”
Gadis itu membungkuk di hadapan kakek dan nenek.
Bagi kakek dan nenek yang tidak punya anak, tidak ada hal yang
lebih menyenangkan selain kehadiran anak gadis itu.
Malamnya ketiga orang itu tidur dengan tenang.
Keesokan hari, gadis itu bangun ketika hari masih gelap.
Ia pergi ke dapur diam-diam agar kakek dan nenek tidak
bangun. Lalu, ia mengintip kotak penyimpanan beras karena ia akan
menyiapkan makan pagi untuk mereka. Namun, kotak penyimpanan
beras itu kosong. Bukan hanya beras yang tidak ada, bahan untuk
membuat sup miso* pun tidak ada.
Saat itu si gadis menemukan bundelan benang. Entah apa yang
dipikirkan olehnya, gadis itu lantas membawa bundelan benang itu
masuk ke dalam ruang tenun.
Tak lama kemudian, mulai terdengar suara orang menenun dari
ruang yang tertutup rapat.
Jrek-jrek-jrek, serrrr....
Jrek-jrek-jrek, serrrr....
Sinar pagi mulai menyusup ke dalam rumah.
Kakek dan nenek bangun dan melihat tempat tidur sang gadis di
sebelahnya, tetapi sosoknya sudah tidak ada.
Lantas si gadis muncul membawa kain tenun.
57 Balas Budi Burung Bangau

“Alangkah indah kain ini!”


“Kain ini betul-betul indah sekali.”
Kakek dan nenek menerima kain tenun itu dan terkejut bukan
main.
Gadis berkata, “Kek, tolong jual ini dan belilah beras, miso dan
barang-barang keperluan lainnya.”
Kakek gembira sekali, lalu ia membawa kain itu dan pergi ke kota
untuk menjualnya.
Kain itu terjual dengan harga tinggi.
Lalu kakek membeli beras dan miso dengan uang itu. Ia juga
membeli sisir rambut yang bagus untuk si gadis sebagai oleh-oleh.
Malam itu benar-benar malam yang penuh kebahagiaan.
“Semoga bermimpi indah....”
“Kakek dan nenek silakan istirahat dulu. Saya akan bekerja
sebentar lagi.”
Kakek terkejut mendengar kata-kata gadis itu.
“Jangan, sudahlah. Malam ini sudah saatnya tidur.”
“Tidak, saya ingin menenun lebih banyak kain untuk kakek dan
nenek. Boleh kan? Sebagai gantinya, saya punya satu saja permintaan,
yaitu kakek dan nenek sama sekali tidak boleh melihat saya saat
sedang menenun kain.”
“Apa? Tidak boleh melihat?”
“Ya, tolong berjanji pada saya.”
Muka si gadis tampak kukuh.
Kakek dan nenek yang tidak tahu alasannya hanya bisa
mengangguk.
Demikianlah, setiap malam gadis itu menenun kain yang cantik
itu, satu tan** kain demi satu tan kain. Kakek membawanya ke kota
dan terjual laris.
Namun seiring dengan berlalunya hari demi hari, 3 hari, 5 hari...,
badan si gadis menjadi semakin kurus dan semangatnya tampak
menurun.
Sosok gadis yang berdiri di dekat pintu dan memandangi
matahari terbenam itu tampak sempoyongan.
58 Balas Budi Burung Bangau

“Saya akan menenun paling tidak satu tan kain lagi untuk
mereka,” pikir gadis itu.
Pada waktu makan di malam harinya, gadis itu tidak memakan
sedikit pun hidangan yang dibeli oleh kakek di kota.
“Ayo, makan lagi.”
“Tidak, sudah cukup. Saya akan bekerja sedikit lagi.”
Kakek sangat terkejut mendengar kata-kata gadis ini.
“Jangan! Kalau malam ini tidak tidur juga, badanmu akan rusak.
Jangan memaksakan diri!”
Si gadis tidak menuruti kakek yang hendak mencegahnya, lalu ia
berdiri terhuyung-huyung.
“Lihat, kamu telah menjadi selemah itu….”
Gadis itu berkata tegas kepada kakek yang mencoba
menghentikannya.
“Satu tan kain lagi saja!”
Mendengar perkataannya, kakek dan nenek yang tidak bisa
menghentikan si gadis hanya bisa mengkhawatirkannya. Mereka
tidak bisa berbuat apa pun.
Si gadis masuk ke dalam ruang kerja dan menutup pintu.
Kakek dan nenek berbaring di tempat tidur namun mereka tidak
bisa tidur karena terus merasa khawatir.
“Kakek, tampaknya bunyi alat tenun menjadi lemah dan tidak
teratur.”
“Baiklah, aku akan pergi untuk melihat.”
Kakek segera bangun dari tempat tidurnya.
“Tapi bagaimana janji dengan anak gadis kita?”
Nenek mencegah kakek, namun kakek tidak bisa menahan diri
karena ia mengkhawatirkan anak gadis mereka.
Kakek membuka pintu ruang kerja pelan-pelan dan mengintip
ke dalamnya.
“Oh, ternyata....”
Alangkah mengejutkan, ternyata yang menenun kain bukan
anak gadis mereka, melainkan seekor burung bangau!
Burung bangau itu mencabuti bulu dari badannya sendiri, lalu
59 Balas Budi Burung Bangau

menjalinnya ke dalam kain.


Dengan seluruh sisa tenaganya, helai demi helai bulu… lalu
burung bangau itu menjadi sangat lemah.
Kakek lantas membuka pintu dengan berbunyi gemerincing.
Burung bangau sadar dan terkejut, lalu sedikit demi sedikit
berubah menjadi sosok si gadis.
“Ka-kamu….”
Di hadapan kakek yang tercengang, anak gadis itu berkata
sambil menundukkan kepalanya, “Ya, saya adalah burung bangau
yang ditolong kakek waktu itu.”
“Oh, waktu itu….”
“Betul, saya datang ke sini untuk membalas budi kepada kakek.
Saya diperbolehkan menjadi sosok manusia hanya sekali saja.”
Setelah berkata begitu, gadis itu segera keluar ke arah pintu
tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.
“Saya tidak bisa berada di sini lagi. Meskipun saya ingin selalu
menjadi anak gadis kakek dan nenek….”
Gadis itu keluar dan berubah menjadi sosok burung bangau dan
mulai terbang ke langit perlahan-lahan.
“Anak gadis kami yang tersayang, jangan lupakan kami.”
Seolah berdoa, kakek melemparkan sisir gadis itu kepada burung
bangau.
Burung bangau menangkap sisir itu dengan paruhnya.
Sesudah bersuara sekali dua kali seolah segan berpisah, ia terbang
tinggi ke langit musim dingin, entah ke mana....

*Sup miso sangat terkenal di Jepang. Bahan dasarnya adalah miso, yang
merupakan hasil fermentasi kedelai. Miso sering digunakan sebagai bumbu
masakan Jepang. Sarapan orang Jepang biasanya mencakup sup miso, dengan
bahan pelengkap tofu (tahu), rumput laut, maupun tambahan bahan-bahan
lainnya yang digemari.
**Tan adalah satuan ukuran kain. Panjangnya bisa untuk membuat baju seorang
dewasa, kira-kira 12 meter.
60

16
Kaki Seribu dan Beban Pikiran

S eringkali, dalam kehidupan keseharian kita, batin kita


memikul beban. Beban ini halus sekali dan sulit dilepas.
Kadang kala, kita sadar beban batin ini hanya menguras energi
batin dan badan kita, beban ini tidak ada gunanya terus dibawa
dan dipikul ke mana-mana. Akan tetapi, meskipun kita merasa
diri kita “sadar” terhadap adanya beban ini dan betapa sia-sianya
untuk terus memikirkan dan mencemaskannya, tetap saja kita
terus memikirkan dan mencemaskannya.
Semua orang memiliki masalahnya masing-masing. Dan
batin yang terus mencemaskan masalah inilah yang sebenarnya
paling menyusahkan serta menguras energi…. Jika Anda punya
masalah, selesaikanlah. Hindari menumpuk-numpuk beban/
tugas/masalah. Jika tidak sanggup menyelesaikan dengan baik,
yaaah… terima saja hasil apa adanya. Poin terpenting adalah
Anda telah berusaha sebaik mungkin yang bisa Anda lakukan.
Beban batin memang mengerikan. Ia membuat denyut
jantung Anda tidak stabil; ia perlahan-lahan menambah keriput
di wajah Anda; ia mengusik jam tidur Anda…; bahkan mungkin ia
bisa benar-benar mengacaukan hidup Anda sebagaimana kisah
kehidupan hewan kaki seribu berikut….
61 Kaki Seribu dan Beban Pikiran

Pada suatu kala, hiduplah seekor kaki seribu. Tiap hari ia


selalu bahagia, berjalan ke sana kemari di antara pasir yang
hangat. Kehidupan adalah kebahagiaan baginya. Hingga suatu
momen, ketika ia berjalan dengan kaki-kakinya yang berjumlah
sangat banyak itu, ia bertemu seekor siput yang merayap lambat.
Siput yang terpana dengan kelincahan kaki seribu kemudian
bertanya, “Apakah setelah melangkahkan kaki ke-21, kemudian
kaki ke-53???”
Kaki seribu terdiam; dan mulai memikirkan kaki ke berapanya
yang melangkah setelah kaki sebelumnya. Ia terus memikirkan
urutan langkah kakinya. Terlalu rumit! Akhirnya kaki seribu
bahkan tidak tahu lagi bagaimana caranya berjalan!
62

17
Kamu Bukan Ayahku

P ada kesempatan sebelumnya, saya pernah menyinggung


mengenai latihan empat mantra. Saya mengatakan bahwa
mantra keempat merupakan mantra yang sulit dipelajari
sehingga saya tidak membahasnya. Meskipun kenyataannya
mantra ini sulit, namun sebenarnya mantra ini tidak begitu sulit.
Setelah ceramah, ada seorang pria yang tiba-tiba menghentikan
saya, ia bertanya tentang mantra keempat. Dia ingin sekali belajar
dan berlatih mantra keempat. Dia sangat penasaran karena saya
mengatakan bahwa mantra keempat lebih sulit. Tapi, setelah saya
pikirkan kembali, menurut saya anak-anak juga dapat mengerti
dan berlatih mantra keempat. Oleh karena itu, hari ini saya akan
memberitahu bagaimana cara melatih mantra keempat.
Mantra keempat perlu dilatih saat diri Anda sendiri yang
menderita. Seperti yang kita ketahui, mantra ketiga dilatih saat
orang yang kita cintai menderita. Anda temui dia dengan penuh
perhatian murni, konsentrasi, dan ucapkan mantra: “Sayang, aku
tahu kamu menderita, itulah sebabnya aku di sini untukmu.” Berbeda
dengan mantra ketiga, mantra keempat dilatih saat dirimu sendiri
yang menderita. Anda tahu bahwa penderitaan itu disebabkan
oleh orang yang sangat Anda cintai. Itulah sebabnya hal ini menjadi
sulit. Saat orang yang paling Anda cintai mengucapkan sesuatu
63 Kamu Bukan Ayahku

atau melakukan suatu perbuatan yang melukai perasaan Anda,


Anda sangat menderita. Jika saja orang lain yang mengucapkan
atau melakukan hal tersebut, Anda tidak akan menderita seperti
itu. Namun, orang ini adalah orang yang paling Anda cintai di
dunia ini dan dia benar-benar melakukannya pada Anda, dia
benar-benar mengucapkannya pada Anda sehingga Anda tidak
dapat menanggungnya. Anda menderita seratus kali lipat. Inilah
saatnya berlatih mantra keempat.
Berdasarkan latihan ini, Anda harus menemui orang tersebut,
orang itu juga, orang yang paling Anda cintai, yang baru saja
melukai perasaan Anda secara mendalam. Anda temui dia dengan
penuh perhatian murni dan konsentrasi, ucapkan mantra keempat:
“Sayang, aku menderita, tolong aku.” Hal ini cukup sulit untuk
dilakukan? Akan tetapi, jika Anda melatih diri Anda, Anda dapat
melakukannya. Saat Anda menderita, dan Anda tahu bahwa orang
yang membuat Anda menderita adalah orang yang paling Anda
cintai, Anda ingin sendirian. Anda ingin mengunci kamar Anda dan
menangis sendirian. Anda tidak ingin menemuinya. Anda tidak
ingin berbicara dengannya. Bahkan Anda tidak ingin bersentuhan
dengannya. Tinggalkan aku sendiri! Anda tidak ingin ia menyentuh
Anda. Hal ini sangat biasa, juga sangat manusiawi. Bahkan jika ada
orang lain yang mencoba mendekati Anda dan mendamaikan,
Anda masih saja sangat marah. Anda katakan: “Jangan sentuh aku!
Tinggalkan aku sendiri! Aku tidak mau menemuimu! Aku tidak mau
bersamamu!” Itulah perasaan sebenarnya yang muncul saat itu.
Sangat sukar... Saya rasa Anda pernah mengalami situasi tersebut.
Jadi, apakah mungkin berlatih mantra keempat? Anda temui
dia, napas masuk secara mendalam, napas keluar secara mendalam,
menjadi diri Anda sendiri sepenuhnya, buka mulut Anda dan
katakan dengan seluruh tenaga, konsentrasi, bahwa Anda sangat
menderita dan membutuhkan pertolongannya. Tampaknya Anda
tidak ingin melakukan hal itu, karena Anda tidak merasa bahwa
Anda membutuhkan bantuannya. Anda mungkin membutuhkan
bantuan orang lain, tapi Anda tidak butuh bantuannya. Anda ingin
64 Kamu Bukan Ayahku

sendiri. “Aku tidak butuh kamu.” Itu yang ingin Anda katakan. Itulah
masalahnya; karena Anda terluka begitu mendalam. Sehingga
Anda tidak dapat menemui dan meminta bantuannya. Harga diri
Anda terluka begitu mendalam. Itulah sebabnya mantra keempat
sangatlah penting.
Supaya dapat melatihnya, kita harus melatih diri kita sekian
waktu lamanya. Anda biasanya cenderung secara alamiah
mengatakan kepadanya bahwa Anda dapat hidup tanpa dirinya.
Anda dapat hidup mandiri. Anda tidak akan mati karena tidak
memiliki cintanya. Itulah yang kita lakukan pada umumnya.
Tapi, jika Anda tahu bagaimana cara melihat situasi tersebut
dengan kearifan, Anda akan memandang bahwa, mengatakan
hal itu sangat tidak bijaksana. Hal yang bodoh; karena, bila kita
mencintai satu sama lain, kita saling membutuhkan, apalagi saat
kita menderita. Sangatlah tidak bijaksana jika kita melakukan hal
yang sebaliknya. Anda sangat yakin bahwa penderitaan Anda
datang dari dia, Anda sangat yakin; tapi, mungkin saja Anda salah.
Dia belum melakukannya sama sekali, dia belum mengatakannya,
dengan maksud melukai Anda, tetapi Anda salah paham. Anda
memiliki persepsi yang keliru. Persepsi yang keliru adalah kuncinya.
Saya akan menceritakan sebuah kisah tentang Tuan Truong.
Ini adalah sebuah kisah nyata. Kisah ini terjadi di negara saya
(Vietnam), ratusan tahun yang lalu. Semua orang di negara saya
mengetahui kisah ini. Ada seorang pria yang masih muda belia, ia
harus mengikuti wajib militer, sehingga dia menjadi tentara dan
pergi berperang. Dia harus meninggalkan istrinya sendirian di
rumah dalam keadaan hamil. Mereka menangis cukup lama saat
berpisah. Mereka tidak tahu apakah sang pria ini akan kembali
dengan selamat, karena tidak ada yang tahu. Pergi berperang
sangatlah berisiko. Anda bisa saja mati dalam waktu beberapa
minggu, beberapa bulan, atau mungkin Anda terluka parah, atau
jika Anda sangat beruntung, Anda akan selamat, pulang ke rumah,
bertemu orangtua, istri, dan anak- anak Anda.
Pria muda tersebut beruntung, dia selamat. Beberapa
65 Kamu Bukan Ayahku

tahun kemudian, dia dibebastugaskan. Istrinya sangat gembira


mendengar kabar bahwa suaminya akan pulang. Dia pergi ke
pintu gerbang desa dan menyambut suaminya, dia ditemani anak
laki-lakinya yang masih kecil. Anak kecil itu dilahirkan saat ayahnya
masih bergabung dengan pasukan militer. Pada saat mereka
bertemu kembali, mereka menangis dan saling berpelukan,
mereka menitikkan air mata kegembiraan. Mereka sangat
bersyukur, pria muda tersebut selamat dan pulang ke rumah. Saat
itu adalah pertama kalinya pria muda itu melihat anak laki-lakinya
yang masih kecil.
Berdasarkan tradisi, kami harus membuat persembahan di
altar leluhur, untuk memberitahu para leluhur bahwa keluarga
telah bersatu kembali. Pria itu meminta istrinya pergi ke pasar
untuk membeli bunga, buah-buahan, dan barang persembahan
lain yang diperlukan untuk membuat persembahan di altar. Pria
itu membawa anaknya pulang dan mencoba membujuk anaknya
untuk memanggilnya ayah. Tetapi anak tersebut menolak.
“Tuan, kamu bukan ayahku. Ayahku itu orang lain. Ayah selalu
mengunjungi kami setiap malam, dan tiap kali ayah datang, ibuku
akan berbicara dengannya lama sekali. Saat ibu duduk, ayah juga
duduk; saat ibu tidur, ayah juga tidur. Jadi, kamu bukan ayahku.
Ayah muda tersebut sangat sedih, sangat terluka. Dia
membayangkan ada pria lain yang datang ke rumahnya setiap
malam dan menghabiskan waktu semalaman dengan istrinya.
Semua kebahagiaannya lenyap seketika. Kebahagiaan datang
sangat singkat, diikuti dengan ketidakbahagiaan. Ayah muda
tersebut sangat menderita sehingga hatinya menjadi sebongkah
batu atau es. Dia tidak dapat lagi tersenyum. Dia menjadi sangat
pendiam. Dia sangat menderita. Istrinya, yang sedang berbelanja,
tidak tahu sama sekali mengenai hal itu. Sehingga, sewaktu ia
pulang ke rumah, ia sangat terkejut. Suaminya tidak mau menatap
wajahnya lagi. Dia tidak mau berbicara. Dia menjadi sangat
dingin, seakan-akan ia memandang rendah istrinya. Wanita itu
tidak mengerti. Mengapa? Sehingga sang istri mulai menderita.
66 Kamu Bukan Ayahku

Menderita sangat mendalam.


Setelah persembahan selesai dibuat, perempuan tersebut
meletakkannya di altar. Suaminya menyalakan dupa, berdoa
kepada para leluhur, membentangkan tikar, melakukan empat
sujud, dan memberitahukan bahwa ia sudah pulang ke rumah
dengan selamat dan kembali ke keluarganya. Di negara saya, ini
adalah latihan yang sangat penting. Di setiap rumah selalu ada
altar para leluhur. Di atas altar, kami meletakkan sebuah gambar
seorang leluhur yang mewakili semua leluhur. Seperti gambar
kakek, nenek, dan lain-lain. Setiap pagi, seseorang datang ke altar,
membersihkan debu yang ada di meja, menyalakan sebuah dupa,
menundukkan kepala, dan mempersembahkannya kepada para
leluhur. Hal ini sangat sederhana, tapi hal ini adalah latihan yang
sangat penting setiap pagi, sehingga Anda selalu punya dupa di
rumah.
Setelah mempersembahkan dupa, berdoa dan melakukan
empat sujud, ayah muda tersebut menggulung tikar, dan ia tidak
mengizinkan istrinya melakukan hal yang serupa, karena ia berpikir
bahwa istrinya tidak pantas untuk menampakkan dirinya di depan
altar para leluhur. Wanita muda itu kemudian merasa malu, “terhina”
karena peristiwa itu, dan dia menderita lebih dalam lagi. Menurut
tradisi, setelah upacara selesai, mereka harus membereskan
persembahan, dan keluarga tersebut harus duduk dan menikmati
makanan dengan sukacita dan kegembiraan; tetapi pria muda
tersebut tidak melakukannya. Setelah ritual persembahan, pria
muda tersebut kemudian pergi ke desa, dan menghabiskan
waktunya di kedai arak. Pria muda tersebut mabuk karena dia tidak
dapat menanggung penderitaannya. Pada masa itu, saat mereka
sangat menderita, mereka biasanya pergi ke kedai arak dan
minum banyak alkohol. Sekarang, mereka dapat menggunakan
banyak macam obat-obatan terlarang. Tapi pada masa itu hanya
ada alkohol. Ia tidak pulang hingga larut malam, sekitar pukul
satu atau dua dini hari dia baru pulang ke rumah dalam keadaan
mabuk. Dia mengulangi perbuatannya tersebut hingga beberapa
67 Kamu Bukan Ayahku

hari, tidak pernah berbicara dengan istrinya, tidak pernah menatap


istrinya, tidak pernah makan di rumah, wanita muda tersebut
sangat menderita dan ia tidak dapat menanggungnya. Pada hari
keempat, wanita tersebut melompat ke sungai, dan mati. Dia sangat
menderita. Pria tersebut juga sangat menderita. Tapi tidak seorang
pun dari mereka berdua yang datang pada salah satu pihak dan
meminta bantuan, karena “harga diri” yang mereka pertahankan
secara membuta.
Saat Anda menderita dan Anda yakin bahwa penderitaan
Anda disebabkan oleh orang yang paling Anda cintai, Anda lebih
suka menderita sendiri. Harga diri mencegah Anda menemui orang
lain dan meminta bantuan. Bagaimana seandainya sang suami
tersebut menemui istrinya? Situasinya mungkin akan berbeda.
Malam itu, dia harus tetap tinggal di rumah karena istrinya
sudah meninggal dunia, untuk menjaga anak laki-lakinya yang
masih kecil. Dia mencari lampu minyak tanah dan menyalakannya.
Saat lampunya menyala, tiba-tiba anak kecil itu berteriak: “Ini dia
ayahku!”dia menunjuk bayangan ayahnya di dinding.“Tuan, ayahku
biasanya datang tiap malam dan ibu bicara banyak dengannya, dia
menangis di depannya, tiap kali ibu duduk, ayah juga duduk. Tiap
kali ibu tidur, ayah juga tidur.”
Jadi, “ayah” yang dimaksudkan anak tersebut hanyalah
bayangan ibunya sendiri. Ternyata, wanita itu biasanya berbicara
dengan bayangannya setiap malam, karena dia sangat merindukan
suaminya. Suatu ketika anaknya bertanya kepada ibunya: “Setiap
orang di desa punya ayah, kenapa aku tidak punya?” Sehingga pada
malam tersebut, untuk menenangkan anaknya, sang ibu menunjuk
bayangannya di dinding, dan berkata, “Ini dia ayahmu!” dan ia
mulai berbicara dengan bayangannya. “Suamiku sayang, kamu
sudah pergi begitu lama. Bagaimana mungkin aku membesarkan
anak kita sendirian? Tolong, cepatlah pulang....” Itulah pembicaraan
yang sering ia lakukan. Tentu saja, saat ia lelah, ia duduk, dan
bayangannya juga duduk. Sekarang ayah muda tersebut mulai
mengerti. Persepsi keliru sudah menjadi jernih. Tetapi semua itu
68 Kamu Bukan Ayahku

sudah terlambat; istrinya sudah mati.


Persepsi keliru dapat menyebabkan banyak penderitaan dan
kita semua mengalami persepsi yang keliru setiap harinya. Kita
hidup dengan persepsi keliru setiap hari. Setiap saat kita merasakan
sesuatu, kita perlu bertanya, “Apakah kita yakin persepsi tersebut
benar?” Agar aman, Anda harus bertanya apakah Anda yakin
dengan persepsi Anda?
Saat kita berdiri bersama para sahabat, dan memandang
indahnya sinar matahari yang terbenam, kita menikmati
pemandangan tersebut, dan barangkali kita yakin bahwa matahari
sedang terbenam, atau belum terbenam. Tetapi seorang ilmuwan
akan memberitahukan kepada kita bahwa matahari sudah
tenggelam delapan menit yang lalu. Pemandangan matahari yang
kita singgung hanyalah pemandangan matahari delapan menit
yang lalu. Dia mengatakan hal yang sebenarnya, karena diperlukan
waktu delapan menit agar citra matahari dapat dilihat mata kita
yang berada di bumi. Itu adalah kecepatan cahaya. Kita sangat
yakin kita sedang melihat mahatari saat ini juga. Itu adalah salah
satu persepsi keliru. Kita mengalami ribuan persepsi yang keliru
seperti itu dalam kehidupan sehari-hari kita.
Mungkin saja orang lain tidak bermaksud melukai Anda,
tetapi Anda yakin kalau dia melakukannya untuk menghukum
Anda, untuk membuat Anda menderita, untuk menghancurkan
Anda. Anda membawa persepsi yang keliru seperti itu siang dan
malam, dan Anda sangat menderita. Mungkin saja Anda akan
tetap mempertahankan persepsi Anda hingga Anda mati, memiliki
banyak kebencian terhadap seseorang yang mungkin saja tidak
bersalah. Itulah sebabnya, melakukan meditasi terhadap persepsi
adalah latihan yang sangat penting.
Andai saja pria muda tersebut menemui istrinya dan
mengatakan: “Sayang, aku sangat menderita beberapa hari ini.
Sepertinya aku tidak dapat hidup lagi. Tolong aku. Tolong beritahu
aku siapa pria yang selalu datang setiap malam, kamu ajak bicara,
menangis di depannya, setiap kali kamu duduk, ia duduk.” Hal yang
69 Kamu Bukan Ayahku

sangat mudah untuk dilakukan. Temui dia dan katakan. Jika pria
tersebut melakukannya, wanita muda itu akan punya kesempatan
untuk menjelaskan, dan tragedi tersebut dapat dihindari. Mereka
dapat memulihkan kebahagiaan dengan mudah, secara langsung.
Tetapi ia tidak melakukannya karena ia terluka sangat mendalam,
dan harga diri telah mencegahnya untuk menemui istrinya dan
meminta bantuan. Dia belum belajar mantra keempat.
Tidak hanya pria tersebut yang melakukan kesalahan, wanita
itu juga melakukan kesalahan yang serupa. Dia juga sangat
menderita, tetapi ia terlalu sombong untuk meminta bantuan.
Dia seharusnya menemui suaminya dan mengatakan: “Sayang,
aku tidak mengerti. Aku sangat menderita. Aku tidak mengerti
mengapa kamu tidak mau menatapku, kamu tidak mau berbicara
denganku, kamu sepertinya merendahkan aku. Tampaknya kamu
merasa bahwa aku ini tidak ada sama sekali. Apakah aku telah
melakukan kesalahan sehingga aku pantas diperlakukan seperti
ini?” Itulah yang seharusnya ia lakukan. “Sayang, aku menderita,
tolong aku!” itulah mantranya. Jika dia mengatakan hal itu, pria
muda tersebut, suami muda tersebut mungkin akan menjawab
seperti ini: “Kenapa? Apakah kamu tidak tahu jawabannya? Siapa
orang yang selalu datang setiap malam, orang yang selalu kamu
ajak bicara?” Maka wanita itu seharusnya berkesempatan untuk
menjelaskannya.
Setelah pria muda tersebut sadar akan kesalahannya, dia
menangis dan terus menangis. Dia menjambaki rambutnya,
memukuli dadanya. Tapi semuanya sudah terlambat! Akhirnya
semua penduduk di desa tersebut belajar dari tragedi itu, mereka
datang dan mengadakan upacara besar untuk mendoakan wanita
yang malang itu. Sebuah upacara pembersihan ketidakadilan yang
dilakukan orang seperti kita, yang berasal dari ketidaktahuan dan
persepsi keliru kita. Bersama-sama, mereka membangun stupa
untuk wanita malang itu. Hingga saat ini, stupa itu masih berdiri
tegak di sana. Jika Anda mengunjungi Vietnam Utara, dan melewati
sungai itu, Anda akan melihat stupa tersebut.
70

18
Burung Pipit

“ Apakah kamu merasa lebih baik hari ini?” Fan tahu istrinya
menderita penyakit TBC yang tidak mudah untuk disembuhkan,
tetapi dia menjaganya dengan lembut dan sepenuh hati.
“Terima kasih… atas… perhatianmu...,” istrinya berkata
sambil terengah-engah kesakitan. Fan meminta dokter terbaik di
Chingkou, Chen Shihying untuk mengobati istrinya. Dokter Chen
memeriksa istrinya dengan hati-hati dan menyuruh Fan untuk
menunggu.
“Ada satu cara untuk mengobatinya, sebab dia cukup parah,”
kata dokter tersebut. “Ambil seratus kepala burung pipit, dan
buat mereka menjadi obat sesuai resep ini. Kemudian, hari ketiga
dan ketujuh makan otak burung pipit tersebut. Ini adalah rahasia
turun-temurun dari nenek moyangku, dan tidak pernah gagal.
Tetapi ingat, kamu harus punya seratus burung pipit. Tidak boleh
kurang satu pun.”
Fan ingin sekali menolong istrinya, sehingga ia langsung
pergi membeli seratus burung pipit. Burung-burung itu
berdesakan dalam satu sangkar yang besar. Mereka menciap-
ciap dan berlompatan sangat memilukan karena tempatnya
terlalu sempit. Bahkan, mungkin mereka tahu kalau mereka akan
dibunuh.
71 Burung Pipit

“Apa yang kau lakukan pada burung-burung itu?” tanya


Nyonya Fan.
“Ini adalah resep spesial Dokter Chen! Kita akan membuat
mereka menjadi obat dan kamu akan segera sembuh,” jawab
suaminya dengan gembira.
“Tidak, jangan lakukan itu!” Nyonya Fan duduk di atas
ranjangnya. “Kamu tidak boleh mengambil seratus nyawa untuk
menyelamatkan satu nyawa! Aku lebih baik mati daripada
membiarkan kamu membunuh semua burung pipit itu
untukku!”
Fan tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
“Jika kamu benar-benar mencintaiku,” dia melanjutkan,
“lakukan sesuai permintaanku. Buka sangkarnya dan lepaskan
semua burung pipit itu. Lalu jika aku mati, aku akan mati dengan
tenteram.” Apa lagi yang dapat Fan lakukan? Fan membawa
sangkar itu ke hutan, kemudian ia membebaskan semua burung
pipit itu. Mereka terbang ke semak-semak dan pohon-pohon
dan bernyanyi, berciap-ciap. Mereka terlihat amat girang karena
bebas.
Dalam beberapa hari, Nyonya Fan dapat bangun dari
ranjang lagi, walaupun dia tidak minum obat apa-apa. Teman-
teman dan saudara-saudaranya berdatangan untuk memberinya
selamat karena kesembuhannya yang cepat dan relatif singkat
dari penyakit mengerikan itu. Semuanya sangat bahagia.
Tahun berikutnya, keluarga Fan mendapat bayi laki-laki. Bayi
tersebut amat sehat dan lucu, tetapi yang lucu adalah di setiap
lengannya terdapat sebuah tanda lahir berbentuk seperti burung
pipit!
72

19
Kau dan Aku

I ngatanku sejak dulu memang kurang baik. Dan kini ingatanku


semakin kabur karena perjalanan waktu. Tapi kukira ada hal-
hal yang masih tersimpan dengan begitu baik di kepalaku. Itu
masa-masa paling bahagia dalam hidupku. Kita masih sangat
muda waktu itu. Aku baru beberapa hari dipisahkan dari ibuku.
Aku sebetulnya sangat sedih. Untung masih ada kau yang
menemaniku.
Usiamu sendiri masih sangat muda. Sekitar tiga tahun,
kalau tak salah. Langkah kakimu masih goyah. Ketika berjalan
selalu berjinjit-jinjit kecil. Kau suka berlari dan ayah ibumu akan
mengejarmu dengan panik. Kau juga masih sering merangkak.
Kau akan mencolekku dan membangunkanku dari tidur.
Aku paling malas kalau dibangunkan. Tapi karena kau terus
menggelitikku, aku pun bangun dan dengan manja naik ke
pangkuanmu. Aku ingat kau seorang yang takut geli. Kau akan
cekikikan karena merasa geli setiap kali aku memanjat pahamu.
Aku sering melihatmu tertawa kegelian dengan air liur menetes
dan bibir mungilmu yang merah berkilau.
Ketika kau mulai bersekolah, aku dengan setia menunggumu.
Sungguh bosan rasanya di rumah tanpa kau yang selalu bermain
bersamaku. Aku sering tertidur ketika menunggumu. Tapi
73 Kau dan Aku

kemudian, aku hafal dengan jadwalmu. Aku bisa merasakan


kehadiranmu sekitar lima menit sebelum kedatanganmu. Ya,
aku seolah bisa melihatmu, mendengarmu, dan membaui
dirimu sebelum kau muncul di hadapanku. Dan aku akan segera
menerjang ke arahmu ketika kaki pertamamu menjejak tanah.
Terkadang aku melompat ke dalam mobil sebelum kau sempat
turun. Kau punya seperangkat alat masak-masakan. Terkadang
aku menemanimu bermain. Aku tidak tahu apa peranku di situ.
Sebagai anak mungkin? Terkadang kita bermain bertiga atau
berempat bersama anak tetangga. Tapi itu jarang terjadi. Oh
ya, aku pernah merusak perangkat masak-masakanmu dan kau
menangis tanpa henti. Aku merasa sangat bersalah, tapi tidak
bisa berbuat banyak. Kau baru tersenyum lagi setelah ibumu
membelikan satu perangkat baru. Tapi sejak saat itu, kau enggan
mengajakku bermain masak-masakan lagi.
Kita juga sering jalan-jalan bersama di sekitar kompleks
rumah. Terkadang lomba lari sampai kejar-kejaran. Rasanya
masa-masa itu sungguh menyenangkan. Pernah, ketika sedang
jalan-jalan, beberapa anak nakal mengganggumu. Aku sangat
marah dan membentak mereka. Aku menggemeretakkan gigi
dan sorot mataku berubah garang. Aku sempat mengejar mereka
hingga beberapa meter sebelum kau memanggilku kembali.
Tapi aku masih tidak puas. Aku sangat marah bila melihat ada
yang mencoba menyakitimu. Dan ingin rasanya kuhajar mereka
berkali-kali.
Aku masih ingat makanan kesukaanmu. Dan aku juga tahu
kau paling tidak suka makan sayur. Tapi lucunya, kau malah
membuang sayuranmu ke mangkok makanku. Tentu saja kau
ketahuan ibumu dan dimarahi. Kau harusnya tahu, makananku
berbeda dengan makananmu.
Terkadang kau kesepian karena ayah ibumu pergi. Kau
anak satu-satunya, dan hanya ada aku dan pembantu yang
menemanimu. Ketika ibu dan ayahmu tak ada, kita sering main
hujan hingga kuyup. Itu rahasia kita! Kau cukup sering sakit.
74 Kau dan Aku

Fisikmu memang agak lemah. Ibumu sering menemani dan suka


membacakan cerita. Aku turut mendengarkan. Aku hafal kisah-
kisah seperti Putri Salju, Pangeran Berkuda Putih, Cinderella, dan
Gadis Penjual Korek Api.
Karena terpesona dengan cerita-cerita di atas, kau pernah
menggumamkan ingin mencari kekasih seperti Cinderella. Kau
juga ingin menjadi pangeran berkuda putih.
Masa-masa saat kau masih kecil dipenuhi dengan keriangan
kita berdua. Tapi waktu terus berjalan hingga tidak terasa kau
mulai tumbuh remaja dan waktu kebersamaan kita semakin
berkurang. Terkadang kau habiskan waktu seharian mengurung
diri di dalam kamar menonton televisi. Kau juga sering keluyuran
bersama teman-temanmu. Jika kau akhirnya membawaku jalan-
jalan, kau lakukan dengan berat hati karena tidak tahan dengan
ibumu yang mengomeli. Ibumulah yang terus mengingatkanmu
untuk membawaku jalan-jalan, memandikanku, dan memberiku
makan.
Pada akhirnya kusadari aku hanyalah menjadi beban bagimu.
Kau tidak lagi suka menghabiskan waktu bersamaku. Aku juga
semakin letih, dan merasa semakin lemah. Aku sudah tua. Jadi
kupikir aku tidak ingin terlalu menyusahkanmu. Biarkanlah aku
sendiri duduk di sudut rumah terisolasi dari dunia yang tidak
akan pernah bisa kuikuti. Aku sudah cukup bahagia bila setiap
hari melihatmu baik-baik saja.
Aku hanya seekor anjing dan kau manusia. Tapi kukira
persahabatan kita dulunya murni karena saling suka. Jika kau bisa
melupakan masa kecilmu yang ceria ketika bermain bersamaku,
maka jujur saja, aku tak bisa. Duniaku hanya terasa berharga
karena kau pernah begitu bahagia oleh keberadaanku.
Aku menyaksikanmu tumbuh. Tapi aku sangsi kau akan
menyadari kematianku. Aku seekor anjing dan kau manusia. Usia
kita tidak sama. Dunia kita berbeda. Rasanya menyakitkan bila
ternyata hal itu menjadi jurang pemisah di antara kita.
75

20
Pohon Apel
yang Mengorbankan Segalanya

S uatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak


lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu
setiap hari. Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon,
memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-
daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu.
Demikian pula, pohon apel sangat mencintai anak kecil itu. Waktu
terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak
lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya.
Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak
sedih. “Ayo ke sini bermain-main lagi denganku,” pinta pohon
apel itu. “Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan
pohon lagi,” jawab anak lelaki itu. “Aku ingin sekali memiliki
mainan, tapi aku tidak punya uang untuk membelinya”. Pohon
apel itu menyahut, “Duh, maaf aku pun tak punya uang…, tapi
kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau
bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu.”
Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel
yang ada di pohon dan pergi dengan sukacita. Namun, setelah
itu anak lelaki tersebut tidak pernah datang lagi. Pohon apel itu
kembali sedih.
76 Pohon Apel yang Mengorbankan Segalanya

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat
senang melihatnya datang. “Ayo bermain-main denganku lagi,”
kata pohon apel. “Aku tak punya waktu,” jawab anak lelaki itu.
“Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan
rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?” “Duh,
maaf aku pun tak punya rumah. Tapi kau boleh menebang semua
dahan rantingku untuk membangun rumahmu,” kata pohon apel.
Kemudian, anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting
pohon apel itu dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga
merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki
itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan
sedih.
Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon
apel merasa sangat bersukacita menyambutnya. “Ayo bermain-
main lagi denganku,” kata pohon apel. “Aku sedih,” kata anak
lelaki itu. “Aku sudah tua dan ingin hidup tenang.” Aku ingin
berlibur dan berlayar. Maukah kau memberiku sebuah kapal
untuk pesiar?” “Duh, maaf aku tak punya kapal , tapi kau boleh
memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk
membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-
senanglah.” Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon
apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu berlayar
dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.
Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun
kemudian. “Maaf, anakku,” kata pohon apel itu. “Aku sudah tidak
punya buah apel lagi untukmu.” “Tak apa. Aku pun sudah tak
punya gigi untuk menggigit buah apelmu,” jawab anak lelaki itu.
“Aku juga tak punya batang dan dahan yang bisa kau panjat,” ujar
pohon apel. “Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu,” jawab
lelaki itu. “Aku benar-benar tak punya apa-apa lagi yang bisa
kuberikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah
tua dan sekarat ini,” kata pohon apel sambil menitikkan air mata.
“Aku tidak memerlukan apa-apa lagi sekarang,” kata anak lelaki,
“aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat
77 Pohon Apel yang Mengorbankan Segalanya

lelah setelah sekian lama meninggalkanmu.” “Ooh, bagus sekali.


Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk
berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan
akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang.” Anak lelaki itu
berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu sangat
gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.
Inilah untuk kita semua. Pohon apel itu adalah orangtua kita.
Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan
ibu kita. Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka,
dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam
kesulitan. Tak peduli apa pun, orangtua kita akan selalu ada di
sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk
membuat kita bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki
itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah
cara kita memperlakukan orangtua kita. Dan yang terpenting:
cintailah orangtua kita. Berilah perhatian dan kasih sayang Anda
pada orangtua. Cinta yang sejati tidak terletak pada apa yang
telah dikerjakan dan diketahui, namun pada apa yang telah
dikerjakan tapi tidak diketahui. Sampaikan pada orangtua kita
sekarang, betapa kita mencintai mereka, dan berterima kasih atas
seluruh hidup yang telah dan akan mereka berikan kepada kita.
Berbagilah, selama waktu masih ada. Semoga kita, orangtua kita,
dan sahabat-sahabat kita, bahagia.
78

21
Kesabaran, Kemurahan Hati,
dan Kerelaan Memaafkan

K ehidupan kita senantiasa diwarnai oleh riak-riak. Seringkali


dalam perjalanan hidup, kita mengalami konflik dengan
orang lain, saudara kita maupun sahabat-sahabat kita. Masalah
yang memicu konflik bisa saja suatu hal kecil, perbedaan
kepentingan maupun perbedaan cara berpikir. Konflik yang ada
awalnya mungkin hanya menimbulkan kejengkelan, kekesalan
dalam hati. Akan tetapi, setelahnya, ego dalam diri mulai
bekerja, mencari-cari pembenaran bagi diri sendiri; mencari-cari
kesalahan dari orang yang kita tidak sukai tersebut. Lama-lama
yang kita pikirkan tentang orang tersebut hanyalah kejelekan-
kejelekannya. Kita semakin terbutakan oleh ego dan kebencian
kita; kita terus memendamnya dalam hati kita, dalam ingatan
kita.
Ada kata-kata bijak Tiongkok kuno yang menyatakan
“Kerelaan Memaafkan Adalah Kemuliaan Hati Terbesar”. Anda
mungkin berpikir bahwa orang tersebut dapat berkata demikian
lantaran dia tidak sedang diliputi kejengkelan dan kebencian;
ketika dia sendiri yang mengalami konflik dan ketidaksukaan,
mungkin dia juga tidak akan bisa rela memaafkan. Ada benarnya,
memang.
79 Kesabaran, Kemurahan Hati, dan Kerelaan Memaafkan

Tapi pernahkah kita merenungkan bahwa pemendaman rasa


marah, jengkel maupun benci hanya merusak batin kita sendiri?
Juga merusak kesehatan kita. Pernahkah kita merenungkan
betapa langkanya kesempatan untuk memaafkan itu? Pernahkah
terlintas dalam pikiran kita kalau orang yang kita benci atau
jengkel itu juga sebenarnya punya kesulitan-kesulitan tersendiri?
Pernahkah kita belajar untuk mencoba memahaminya?
Rasa marah, jengkel, benci....
Sadari..., perlahan....
Mungkin..., suatu masa..., Anda akan menyadari bodohnya
sikap Anda yang tercengkeram oleh perasaan tidak suka
tersebut.
Mungkin..., bahkan ketika Anda tersadar dan ingin sekali
memaafkan orang-orang tersebut, semuanya sudah terlambat.
Mungkinkah ini terjadi? Saya ingin mengajak Anda dalam
serpihan kisah berikut.

Hsiau-fei adalah seorang mahasiswa yang sebentar lagi akan


diwisuda. Dia sangat mendambakan akan mendapatkan hadiah
wisuda dari ayahnya, seorang pengusaha kaya yang sangat
menyayanginya sebagai anak satu-satunya. Hsiau-fei selama
berhari-hari telah membayangkan akan mengendarai mobil
BMW idamannya sambil bersenang-senang dengan temannya.
Saat yang dinantikan pun tibalah, yang mana setelah
diwisuda, dengan langkah penuh keyakinan Hsiau-fei melangkah
menemui ayahnya yang tersenyum sambil berlinang air mata
menyampaikan betapa dia sangat kagum akan anak satu-
satunya dan sungguh dia mencintainya. Ayahnya kemudian
mengeluarkan sebuah kado yang dibungkus rapi, dan sungguh
hal ini membuat Hsiau-fei terpaku karena bukanlah kunci mobil
BMW sebagaimana yang diharapkannya. Dengan perasaan
gundah dibukanya juga kado itu di mana berisi kitab Buddha
Vacana yang terjilid rapi berlapiskan tulisan emas nama Hsiau-fei
di sampul depannya. Hancur sekali hati Hsiau-fei menerima hadiah
80 Kesabaran, Kemurahan Hati, dan Kerelaan Memaafkan

kitab tersebut, dan dengan marah tanpa dapat terkendalikan, dia


membanting kitab tersebut sambil berteriak nyaring, “Apakah
ini cara Ayah mencintai saya?! Padahal dengan uang Ayah yang
banyak, tidaklah sulit untuk membelikan hadiah yang memang
telah Ayah ketahui sudah lama saya idamkan!!!” Kemudian
Hsiau-fei tanpa melihat reaksi ayahnya lagi, berlari kencang
meninggalkannya dan bersumpah tidak akan menemuinya lagi.
Hari, bulan, dan tahun pun berganti. Hsiau-fei yang telah
pindah tinggal di kota lain akhirnya berhasil menjadi seorang
pengusaha yang sukses karena bermodalkan otaknya yang
cemerlang. Selain memiliki mobil dan rumah yang mewah,
dia juga telah berkeluarga dan memiliki tiga anak. Sementara
ayahnya sudah pensiun dan semakin tua serta tinggal sendirian.
Ayahnya selalu menanti kedatangan Hsiau-fei sejak hari wisuda
tersebut dengan satu harapan hanya untuk menyampaikan
betapa cintanya dia kepada Hsiau-fei. Hsiau-fei ada kalanya juga
rindu kepada ayahnya. Namun setiap kali mengingat kejadian
hari wisuda tersebut, dia pun menjadi marah kembali dan merasa
sakit hati atas hadiah kitab dari ayahnya.
Sampai suatu hari, datanglah telegram dari tetangga
ayahnya yang memberitahukan bahwa ayahnya telah meninggal
dunia, dan sebelum meninggal dia telah meninggalkan surat
wasiat kepada Hsiau-fei di mana semua hartanya akan diwariskan
kepadanya. Akhirnya Hsiau-fei pulang untuk mengurus harta
peninggalan ayahnya.
Memasuki halaman rumahnya, timbullah rasa penyesalan
yang menyebabkannya sedih sekali memikirkan sikap
ketidaksabarannya, khususnya saat wisuda. Hsiau-fei merasa
sangat menyesal telah menolak ayahnya. Dengan langkah berat
dia memasuki rumah dan satu per satu perabot diperhatikannya
yang mengingatkannya akan semua kenangan indah tinggal
bersama ayahnya. Dengan kunci wasiat yang diterimanya, dia
membuka brankas besi ayahnya dan menemukan kitab Buddha
Vacana dengan ukiran emas namanya, hadiah hari wisuda.
81 Kesabaran, Kemurahan Hati, dan Kerelaan Memaafkan

Dia mulai membuka halaman kitab tersebut dan menemukan


tulisan ayahnya di halaman depan. “Dengan segala kejahatan
yang telah kamu lakukan selama hidupmu, tetapi kamu tahu
memberikan yang terbaik untuk anakmu, sungguh para Buddha
dan Bodhisattwa akan terguncang dengan perbuatanmu.” Tanpa
disengaja, tiba-tiba dari sampul kitab tersebut jatuh sebuah kunci
mobil BMW dan kwitansi pembelian mobil yang tanggalnya
persis satu bulan sebelum hari wisuda Hsiau-fei.
Hsiau-fei terpaku tanpa bisa bersuara, berbagai perasaan
menghinggapinya. Dengan sisa tenaga yang ada, Hsiau-fei
segera berlari ke garasi dan menemukan sebuah mobil BMW yang
telah berlapiskan debu tetapi masih jelas bahwa mobil tersebut
belum pernah disentuh sama sekali karena jok mobilnya masih
terbungkus plastik. Di depan kemudi terpampang foto ayahnya
yang tersenyum bangga. Tiba-tiba lemaslah seluruh tubuhnya,
dan air matanya tanpa terasa mengalir terus tanpa dapat
ditahannya... suatu penyesalan mendalam atas ketidaksabarannya
sendiri... suatu penyesalan yang tak mungkin berakhir.
82

22
Dua Pilihan

D i sebuah jamuan makan malam pengadaan dana


untuk sekolah anak-anak cacat, ayah dari salah
satu anak yang bersekolah di sana menghantarkan satu
pidato yang tak mungkin dilupakan oleh mereka yang menghadiri
acara itu.
Setelah mengucapkan salam pembukaan, ayah tersebut
mengangkat satu topik: “Ketika tidak mengalami gangguan dari
sebab-sebab eksternal, segala proses yang terjadi di alam ini
berjalan secara alami. Namun tidak demikian halnya dengan anak
saya, Shay. Dia tidak dapat mempelajari hal-hal sebagaimana
layaknya anak-anak yang lain. Nah, bagaimanakah proses alami
ini berlangsung dalam diri anak saya?” Para peserta terdiam
menghadapi pertanyaan itu.
Ayah tersebut melanjutkan: “Saya percaya bahwa, untuk
seorang anak seperti Shay, yang mana dia mengalami gangguan
mental dan fisik sedari lahir, satu-satunya kesempatan untuk
dia mengenali alam ini berasal dari bagaimana orang-orang
sekitarnya memperlakukan dia.” Kemudian ayah tersebut
menceritakan kisah berikut.
Shay dan aku sedang berjalan-jalan di sebuah taman
ketika beberapa anak sedang bermain baseball. Shay bertanya
83 Dua Pilihan

padaku, “Apakah kau pikir mereka akan membolehkanku ikut


bermain?” Aku tahu bahwa kebanyakan anak-anak itu tidak akan
membolehkan orang-orang seperti Shay ikut dalam tim mereka,
namun aku juga tahu bahwa bila saja Shay mendapat kesempatan
untuk bermain dalam tim itu, hal itu akan memberinya semacam
perasaan dibutuhkan dan kepercayaan untuk diterima oleh
orang-orang lain, di luar kondisi fisiknya yang cacat.
Aku mendekati salah satu anak laki-laki itu dan bertanya
apakah Shay dapat ikut dalam tim mereka, dengan tidak berharap
banyak. Anak itu melihat sekelilingnya dan berkata, “Kami telah
kalah 6 putaran dan sekarang sudah babak kedelapan. Kurasa
dia boleh ikut dalam tim kami dan kami akan mencoba untuk
memasukkan dia bertanding pada babak kesembilan nanti.”
Shay berjuang untuk mendekat ke dalam tim itu dan
mengenakan seragam tim dengan senyum lebar, dan aku
menahan air mata di mataku dan kehangatan dalam hatiku.
Anak-anak tim tersebut melihat kebahagiaan seorang ayah yang
gembira karena anaknya diterima bermain dalam satu tim.
Pada akhir putaran kedelapan, tim Shay mencetak beberapa
skor, namun masih ketinggalan angka. Pada putaran kesembilan,
Shay mengenakan sarungnya dan bermain di sayap kanan.
Walaupun tidak ada bola yang mengarah padanya, dia sangat
antusias hanya karena turut serta dalam permainan tersebut
dan berada dalam lapangan itu. Seringai lebar terpampang di
wajahnya ketika aku melambai padanya dari kerumunan. Pada
akhir putaran kesembilan, tim Shay mencetak beberapa skor
lagi. Dan dengan dua angka out, kemungkinan untuk mencetak
kemenangan ada di depan mata dan Shay yang terjadwal untuk
menjadi pemukul berikutnya.
Pada kondisi yg seperti ini, apakah mungkin mereka akan
mengabaikan kesempatan untuk menang dengan membiarkan
Shay menjadi kunci kemenangan mereka?
Yang mengejutkan adalah mereka memberikan kesempatan
itu pada Shay.
84 Dua Pilihan

Semua yang hadir tahu bahwa satu pukulan adalah mustahil


karena Shay bahkan tidak tahu bagaimana caranya memegang
pemukul dengan benar, apalagi berhubungan dengan bola itu.
Yang terjadi adalah, ketika Shay melangkah maju ke dalam arena,
sang pitcher, sadar bagaimana tim Shay telah mengesampingkan
kemungkinan menang mereka untuk satu momen penting
dalam hidup Shay, mengambil beberapa langkah ke depan dan
melempar bola itu perlahan sehingga Shay paling tidak bisa
mengadakan kontak dengan bola itu.
Lemparan pertama meleset; Shay mengayun tongkatnya
dengan ceroboh dan luput. Pitcher tersebut kembali mengambil
beberapa langkah ke depan, dan melempar bola itu perlahan
kearah Shay. Ketika bola itu datang, Shay mengayun kearah bola
itu dan mengenai bola itu dengan satu pukulan perlahan kembali
ke arah pitcher.
Permainan seharusnya berakhir saat itu juga, pitcher tersebut
bisa saja dengan mudah melempar bola ke baseman pertama,
Shay akan keluar, dan permainan akan berakhir.
Sebaliknya, pitcher tersebut melempar bola melewati
baseman pertama, jauh dari jangkauan semua anggota tim.
Penonton bersorak dan kedua tim mulai berteriak, “Shay, lari
ke base satu! Lari ke base satu!” Tidak pernah dalam hidup Shay
sebelumnya ia berlari sejauh itu, tapi dia berhasil melaju ke base
pertama. Shay tertegun dan membelalakkan matanya. Semua
orang berteriak, “Lari ke base dua, lari ke base dua!”
Sambil menahan napasnya, Shay berlari dengan canggung
ke base dua. Ia terlihat bersinar-sinar dan bersemangat dalam
perjuangannya menuju base dua. Pada saat Shay menuju base dua,
seorang pemain sayap kanan memegang bola itu di tangannya.
Pemain itu merupakan anak terkecil dalam timnya, dan dia
saat itu punya kesempatan menjadi pahlawan kemenangan tim
untuk pertama kali dalam hidupnya. Dia dapat dengan mudah
melempar bola itu ke penjaga base dua. Namun pemain ini
memahami maksud baik dari sang pitcher, sehingga dia pun
85 Dua Pilihan

dengan tujuan yang sama melempar bola itu tinggi ke atas jauh
melewati jangkauan penjaga base ketiga. Shay berlari menuju
base ketiga.
Semua yang hadir berteriak, “Shay, Shay, Shay, teruskan
perjuanganmu Shay!” Shay mencapai base ketiga saat seorang
pemain lawan berlari ke arahnya dan memberitahu Shay arah
selanjutnya yang mesti ditempuh. Pada saat Shay menyelesaikan
base ketiga, para pemain dari kedua tim dan para penonton yang
berdiri mulai berteriak, “Shay, lari ke home, lari ke home!”
Shay berlari ke home, menginjak balok yg ada, dan dielu-
elukan bak seorang pahlawan yang memenangkan grand slam.
Dia telah memenangkan game untuk timnya.
Hari itu, kenang sang ayah dengan air mata berlinangan
di wajahnya, para pemain dari kedua tim telah menghadirkan
sebuah cinta yang tulus dan nilai kemanusiaan ke dalam dunia.
Shay tidak dapat bertahan hingga musim panas berikut dan
meninggal musim dingin itu. Sepanjang sisa hidupnya dia tidak
pernah melupakan momen di mana dia telah menjadi seorang
pahlawan, bagaimana dia telah membuat ayahnya bahagia,
dan bagaimana dia telah membuat ibunya menitikkan air mata
bahagia akan sang pahlawan kecilnya.
Seorang bijak pernah berkata, sebuah masyarakat akan
dinilai dari cara mereka memperlakukan seorang yang paling
tidak beruntung di antara mereka.
86

23
Kupu-kupu Putih

S eorang pria tua bernama Takahama tinggal di sebuah rumah


kecil di belakang kompleks pekuburan Kuil Sozanji. Ia adalah
seorang yang sangat ramah dan baik hati serta disenangi oleh
para tetangganya, meskipun mereka menganggap Takahama
sedikit gila. Sebenarnya, kegilaan yang dilabelkan pada Takahama
ini sepenuhnya hanya dikarenakan ia tidak pernah menikah
ataupun memiliki hasrat untuk menjalin hubungan asmara
dengan wanita.
Pada suatu hari di musim panas, Takahama jatuh sakit,
sakit yang parah, hingga ia meminta adik perempuan dan
keponakannya untuk datang menjenguknya. Mereka datang dan
berusaha menghibur Takahama pada saat-saat terakhirnya. Selagi
mereka menjaga Takahama, Takahama tertidur, dan tak lama
berselang datanglah seekor kupu-kupu putih terbang masuk dan
hinggap di atas bantal yang ditiduri Takahama. Keponakannya
mencoba mengusirnya dengan kipas; akan tetapi kupu-kupu
tersebut terbang masuk lagi, sampai tiga kali, seakan enggan
untuk meninggalkan pria tua yang sedang menderita tersebut.
Akhirnya keponakan Takahama mengusir dan mengejarnya
keluar hingga ke pekarangan rumah, keluar lewat gerbang, sampai
ke kompleks pekuburan, di mana akhirnya kupu-kupu tersebut
87 Kupu-kupu Putih

hinggap di atas batu nisan pekuburan, dan tiba-tiba menghilang.


Setelah memeriksa batu nisan tersebut, keponakannya
mendapati nama “Akiko” terukir pada nisan tersebut, serta
deskripsi bagaimana Akiko meninggal ketika ia berusia 18 tahun.
Walaupun batu nisan tersebut telah berselimutkan lumut dan
pastinya telah didirikan 50 tahun yang lalu, keponakan Takahama
melihat bahwa nisan tersebut dikelilingi dengan bunga-bunga,
dan cawan kecil berisi air yang tampaknya belum begitu lama ini
diisi.
Ketika keponakan tersebut kembali ke rumah, ia mendapati
bahwa pamannya (Takahama) telah meninggal. Ia kemudian
menceritakan kepada ibunya (adik perempuan Takahama) apa
yang telah dilihatnya di pekuburan.
“Akiko?” gumam ibunya. “Ketika pamanmu masih muda,
ia ditunangkan dengan Akiko. Akan tetapi, Akiko sakit dan
meninggal menjelang hari pernikahan mereka. Ketika Akiko
meninggal, pamanmu bersumpah tidak akan pernah menikah,
dan ia tinggal di dekat pekuburannya. Tahun-tahun sesudahnya,
pamanmu tetap setia terhadap sumpahnya, dan menyimpan di
hatinya semua kenangan manis dari satu-satunya orang yang ia
cintai. Setiap hari Takahama pergi ke pekuburan, baik ketika semilir
udara harum pada musim panas maupun tatkala salju tebal pada
musim dingin. Setiap hari ia pergi menjenguk pekuburannya,
berdoa demi kebahagiaannya, membersihkan pekuburan dan
meletakkan bunga di sana. Ketika Takahama sekarat, ia tidak bisa
lagi melakukan hal tersebut, Akiko datang untuknya. Kupu-kupu
putih tersebut adalah jiwa Akiko yang lembut dan penuh kasih.”
88

24
Angpao dan Nyamuk

T ahun Baru Imlek merupakan momen yang dinanti-nantikan,


terutama oleh anak-anak. Itu adalah hari ketika mereka
mendapatkan angpao dari orangtua mereka atau saudara-saudara
mereka yang telah menikah dan juga dari segenap handai taulan.
Malam menjelang Imlek juga biasanya diisi dengan acara makan
bersama sekeluarga; momen yang sangat baik untuk menjalin
kembali kehangatan kebersamaan. Tentu saja tidak ketinggalan
adalah pemberian angpao. Tentu saja momen-momen menerima
angpao sesuatu yang sangat menyenangkan bagi anak-anak. Ada
satu kisah menarik pada suatu masa di Tiongkok....

Dahulu kala ada sebuah keluarga petani yang sangat miskin;


sepasang suami-istri dan seorang anak lelaki yang masih kecil.
Mereka tinggal di gubuk sederhana dan menjalani hidup yang
keras. Hari demi hari mereka lalui dengan tegar meskipun tingkat
kesejahteraan mereka sangat memprihatinkan.
Hari itu adalah hari sekitar seminggu menjelang Imlek. Si
anak kecil dari keluarga petani ini sedang bermain dengan teman-
temannya. Teman-temannya saling bercerita dan menebak-
nebak berapa banyak uang yang akan mereka dapatkan dari
angpao tahun ini atau menebak apakah ada hadiah spesial yang
89 Angpao dan Nyamuk

akan mereka dapatkan. Mereka bercerita secara bergiliran dan


ketika tiba giliran si anak miskin ini, ia hanya terdiam. Ia tidak tahu
apa yang harus ia ceritakan tentang angpao atau hadiah spesial.
Air mata mulai menggenangi pelupuk matanya. Termenung, ia
hanya pulang tanpa berkata apa-apa.
Ia merenungi kembali tentang angpao yang dibicarakan
teman-temannya. Selama ini belum pernah sekalipun ia mendapat
angpao dari kedua orangtuanya. Ia pulang dan melihat kedua
orangtuanya sedang bersiap-siap mengolah sebidang tanah
kecil sewaan untuk menjelang penanaman pada musim semi.
Malam itu adalah malam terakhir menjelang Imlek. Ia
membayangkan teman-temannya pasti sedang makan bersama
sekeluarga, sedang bersukacita mendapat angpao. Ia menunggu-
nunggu. Yah, mana tahu orangtua nya tahun ini memberinya
angpao. Tunggu demi tunggu, tidak ada sedikit pun gejala yang
mengarah ke sana. Ia sangat sedih, sesedih kesenyapan gubuk
kecil tempat tinggalnya yang begitu hening.
Ia mulai kecewa dan marah kepada kedua orangtuanya.
Apakah tidak ada sedikit pun perhatian atau ucapan selamat
Imlek kepada dirinya? Kemarahannya memuncak hingga ia
teringat sesuatu.
Ia teringat beberapa bulan yang lalu, betapa kedua
orangtuanya panik ketika ia jatuh sakit. Ayahnya sibuk mencari
pinjaman uang dan membeli obat ke kota. Ibunya sepanjang
hari dan malam duduk di sampingnya, membelai dan mengelus
dahinya yang demam. Tidak terkatakan begitu besar kasih
sayang kedua orangtuanya. Siang tadi ia juga melihat seharian
orangtuanya bekerja mempersiapkan lahan untuk musim semi
ke depan, dengan pakaian bermandikan peluh. Semua ini tak lain
juga untuk menghidupi mereka dan dirinya.
Kemarahan dan rasa kecewa berangsur-angsur pudar dalam
diri si anak ini. Ia menjadi sadar bahwa inilah angpao terbesar
yang ia terima: kasih sayang dari kedua orangtuanya. Angpao
yang sungguh tidak terkira nilainya.
90 Angpao dan Nyamuk

Keharuan pun menyeruak di dalam dadanya. Ia ingin


menghampiri dan memeluk kedua orangtuanya. Ketika melongok
ke dalam gubuk, ia melihat kedua orangtuanya telah tertidur;
mungkin karena seharian bekerja keras dan kelelahan. Si kecil
tidak ingin mengusik orangtuanya dan mengurungkan niatnya.
Akan tetapi, entah kenapa, malam itu tiba-tiba begitu
banyak nyamuk. Pada zaman itu, setiap keluarga biasanya
memiliki kelambu di kamar tidur untuk menghalau nyamuk.
Namun keluarga yang miskin ini tidak memiliki kelambu sama
sekali. Si kecil melihat orangtuanya yang terganggu tidurnya oleh
nyamuk. Lantas apa yang bisa ia lakukan? Tidak ada kelambu;
puluhan ekor nyamuk terbang ke sana kemari.
Si kecil akhirnya terpikir satu hal. Ia membuka bajunya dan
membiarkan nyamuk-nyamuk menggigit badannya. Ia melihat
badannya digigit belasan, bahkan puluhan ekor nyamuk. Ia
membiarkannya saja, dengan penuh kebahagiaan melihat kedua
orangtuanya tidur dengan nyenyak....

Yah, si kecil telah menyadari angpao luar biasa yang ia


terima: kasih sayang dari ayah-ibunya. Namun si kecil sebenarnya
telah mendapatkan juga angpao lain yang sangat besar yaitu
kesempatan berbakti dan memberikan kasih sayangnya kepada
orangtuanya.
Kita semua juga senantiasa mendapat angpao kasih sayang
dan perhatian, baik dari orangtua kita, keluarga, saudara, teman-
teman kita, hingga dari lingkungan dan masyarakat. Apakah
Anda juga bersedia membagi-bagikan angpao kasih sayang dan
perhatian kepada orangtua, keluarga, saudara, teman, dan siapa
saja yang Anda temui?
91 Momen ke Momen

25
Momen ke Momen

D alam hidup ini banyak sekali hal yang kita kejar. Apa saja
yang bisa dikejar, pasti kita kejar.
Mungkin sewaktu kecil, ketika terpesona melihat bianglala,
kita mencoba mengejarnya, dari satu ujung ke ujung yang lain,
penasaran di manakah ujung dari bianglala tersebut. Akan
tetapi, ketika kita semakin mendekati tempat asal munculnya
si bianglala, eh tiba-tiba saja untaian 7 warna tangga bidadari
tersebut semakin memudar, dan akhirnya hilang....
Tapi, ada kala, kita merasa bangga dan hebat, kala berhasil
mengejar layangan yang terputus talinya, setelah mengerahkan
segenap tenaga kita yang tersisa sembari berharap embusan
angin agar mereda dan menjatuhkan layangan tersebut.
Mungkin pernah juga kita mengamati balon yang melayang
di udara, semakin lama semakin tinggi, sambil penasaran di mana
balon tersebut akan kempes dan jatuh?
Demikian juga tiada bedanya ketika manusia beranjak
dewasa. Mengejar asmara, kekayaan, kekuasaan, dan ketenaran.
Manusia menciptakan banyak sistem untuk memenuhi kepuasan
mereka: sistem pacaran, sistem kerja, sistem pendidikan, sistem
agama, sistem kepercayaan, sistem upacara, sistem jejaring
sosial, sistem penghargaan, sistem organisasi sosial, dan sistem-
92 Momen ke Momen

sistem lainnya. Manusia menciptakan dunia abstrak agar mereka


merasa eksis dan berharga, manusia menciptakan dunia khayal
tempat melampiaskan hasrat-hasrat narsisme mereka.
Sistem-sistem ini sudah mulai diciptakan bahkan sejak
peradaban itu sendiri mulai muncul. Sebagian dari sistem-sistem
ini terus menerus diwariskan, sebagian lagi telah punah dan mati,
dan tergantikan oleh sistem-sistem baru yang muncul. Patah
satu, tumbuh seribu. Bukankah naluri pengejaran kita dan juga
sistem-sistem yang kita tapaki sebagian besar hanyalah plagiat
dari naluri dan sistem yang telah dilakoni oleh leluhur-leluhur
kita?
Sementara itu panah waktu terus melesat. Lalu kemanakah
eksistensi leluhur kita, dan juga diri kita sendiri, ketika panah
waktu ini melesat seribu tahun ke depan? Akh, rasanya mirip
seperti benteng pasir di tepi pantai yang habis tersapu ombak....
Ketika sedang dalam hasrat panas-panasnya mengejar
ini dan itu, tahu-tahunya ombak besar telah siap menyapu
habis semuanya..., di mana lagi artinya pengejaran-pengejaran
tersebut?

“Anda terkena kanker payudara,” kata dokter bedah dengan


mimik serius di wajahnya. Saya hanya tertawa dan berkata, “Tidak,
benjolan itu bukan apa-apa. Bukankah itu yang Anda katakan
sebelumnya?” “Anda terkena kanker payudara,” ia mengulangi.
Yang hanya dapat saya lakukan adalah melihat ke dalam matanya
dan berkata, “Itu pasti hanya bercanda. Saya baru 27 tahun....”
Selama ini saya mengira bahwa kanker payudara adalah penyakit
orang-orang seusia ibu saya ataupun wanita yang memiliki
riwayat penyakit ini dalam keluarganya. Namun tanggal 24
Februari, enam minggu setelah ulang tahun ke-27 saya, saya
memulai perang dengan tubuh saya.
Dokter terlihat pucat ketika dia memberitahukan kabar ini
kepada saya. Saya menatap foto putrinya selama serasa berjam-
jam, yang kelihatan mirip dengan saya—muda, rambut hitam,
93 Momen ke Momen

mata cokelat. Seorang pengacara, saya diberitahu. Itu bisa saja


dia, dia bisa saja saya. Tetapi itu bukanlah dia. Saya telah terkena
penyakit yang tidak ada obatnya—hanya pengobatan yang bisa
saja berhasil ataupun gagal. Tidak ada janji, tidak ada jaminan.
Pada usia 27, saya telah memikirkan rentang hidup saya ke depan.
Hari sebelum biopsi (pemeriksaan), saya menginginkan sebuah
keluarga, anak-anak, sebuah rumah, sebuah mobil. Sekarang,
tiga jam sesudah biopsi, saya menginginkan seseorang untuk
memberitahu saya bagaimana saya akan memberitahukan
teman-teman saya bahwa mungkin saya tidak akan hidup
melewati tahun ini.
Saya baru saja mengikuti reuni ke-5, di mana saya bertemu
rekan-rekan yang sedang menapaki karier dan hidup mereka.
Bagi kebanyakan dari kami di reuni tersebut, tahun ke-5 sesudah
wisuda tampaknya adalah masa transisi. Kami akan membuat
keputusan mengenai pilihan-pilihan arah hidup kami—memulai,
mengakhiri, atau barangkali berpikir melanjutkan pendidikan,
menikah, pindah.... Saya tidak pernah mengira bahwa kurang
dari setahun kemudian, saya akan mengambil keputusan hanya
mengenai bagaimana saya akan bertahan hidup.
94

26
Burung Kecil yang Memadamkan Api

A ngin semilir mengalun lembut membelah sela-sela dedaunan.


Keriapan hewan merajut denyut di antara semak-semak
berlukar. Keteduhan memayungi alas bumi diselang-selingi noktah-
noktah mentari yang terjejak tidak merata. Hutan rimba nan luas itu
telah menjadi kediaman aneka fauna selama kurun waktu yang lama,
suatu masa yang panjang.
Di suatu sudut ranting, seekor burung kecil bermain ke sana-sini.
Ia melompat ke sana kemari, terbang dari satu pohon ke pohon lain.
Kicauannya yang merdu menenteramkan hati dan menghanyutkan
batin ke dalam nilai-nilai filosofis. Tubuhnya yang imut dan lincah
benar-benar menggemaskan dan membawa suasana ceria. Burung
kecil ini sering menjelajahi hutan, bertemu dengan teman-teman dan
kerabatnya, yang bukan hanya sesama spesies burung, juga hewan-
hewan yang lain. Ia dikenal sebagai burung kecil yang baik hati.
Tak dinyana, suatu hari burung kecil ini merasa gerah dan gelisah.
Ia aneh pada perasaan ini yang belum pernah muncul sebelumnya.
Ia mencoba bernyanyi untuk menenteramkan hati, tapi tetap saja
perasaan ini muncul.
Ia terbang pergi menyelusuri hutan luas. Tiba-tiba, ia tersentak.
Dari kejauhan tampak lidah api menjilat-jilat. Ia terbang mendekat.
Hewan-hewan sedang panik dan berusaha menyelamatkan diri.
95 Burung Kecil yang Memadamkan Api

Namun, sebagian besar hewan-hewan itu terperangkap dalam


kobaran jago merah nan dahsyat. Mereka sangat panik. Terdengar
erungan dan rintihan hewan-hewan mamalia, desis pilu reptil-reptil,
ciap-ciap lemah tak berdaya beberapa jenis burung hingga derikan
dan tangis tanpa suara para serangga.
Sesaat burung kecil itu terkesima, apa yang harus dilakukannya?
Ia terpikir pada telaga di hutan. Ya! Ia bergegas ke sana dan membasahi
tubuhnya dengan air kemudian segera bergegas ke lokasi kebakaran.
Ia mencipratkan air dari sayap dan tubuhnya untuk memadamkan
kobaran api. Ia terbang ke telaga dan kemudian kembali lagi, terus
berusaha memadamkan api dengan tetesan-tetesan air dari bulu-
bulunya.
Dua dewa yang memerhatikan burung kecil itu
menertawakannya. Salah satunya berujar, “Mana mungkin dengan
tetes-tetes air seperti itu kamu bisa memadamkan api sedahsyat
itu?” Dewa yang satu lagi menimpali, “Lebih baik kamu segera pergi
menyelamatkan diri sendiri daripada melakukan hal yang sia-sia
begini!”
Burung kecil tidak memedulikan hal itu. Ia terus terbang ke
sana kemari dari telaga ke lokasi kebakaran. Dan setiap kali, ia
menghempaskan tetes-tetes air ke kobaran api. Bulu-bulunya sudah
basah kuyup, kulitnya mulai lembek akibat terus menerus terguyur air
dan sayap-sayapnya mulai lemas. Seluruh badannya bertambah penat
setiap kali mengangkut butiran-butiran air. Pikirannya mulai nanar.
Akan tetapi, tatkala ia melihat hewan-hewan yang terperangkap itu,
sebersit energi, semangat timbul dan menyelimuti seluruh tubuhnya.
Ia bertekad akan berusaha sekeras mungkin menyelamatkan mereka.
Ia tidak menyerah walaupun kondisi dirinya tidak mendukung lagi,
walaupun rasa lelah dan nanar telah mencapai puncaknya.
Langit tersentuh pada semangat dan keteguhan burung kecil
ini. Tiba-tiba hujan deras mengguyur membasahi hutan. Kobaran
api perlahan mereda dan akhirnya padam. Burung kecil pun lega
mendengar desahan bahagia hewan-hewan yang terperangkap
tersebut.
96

27
Segelas Susu

S uatu hari, seorang anak lelaki miskin yang hidup dari


menjual asongan dari pintu ke pintu, menemukan bahwa
di kantongnya hanya tersisa beberapa sen uang, dan dia sangat
lapar.
Anak lelaki tersebut memutuskan untuk meminta makanan
dari rumah berikutnya. Akan tetapi anak itu kehilangan keberanian
saat seorang wanita muda membuka pintu rumah. Anak itu tidak
jadi meminta makanan, ia hanya berani meminta segelas air.
Wanita muda tersebut melihat, dan berpikir bahwa anak
lelaki tersebut pastilah lapar, oleh karena itu ia membawakan
segelas besar susu. Anak lelaki itu meminumnya dengan lambat,
dan kemudian bertanya, “Berapa saya harus membayar untuk
segelas besar susu ini?” Wanita itu menjawab, “Kamu tidak perlu
membayar apa pun.”“Ibu kami mengajarkan untuk tidak menerima
bayaran untuk kebaikan,” kata wanita itu menambahkan. Anak
lelaki itu kemudian menghabiskan susunya dan berkata, “ Dari
lubuk hati saya, saya berterima kasih pada Anda.”
Sekian belas tahun kemudian, wanita muda tersebut
mengalami sakit yang sangat kritis. Para dokter di kota itu sudah
tidak sanggup menanganinya. Mereka akhirnya mengirimnya
ke kota besar, di mana terdapat dokter spesialis yang mampu
97 Segelas Susu

menangani penyakit langka tersebut. Dr. Howard Kelly dipanggil


untuk melakukan pemeriksaan.
Pada saat ia mendengar nama kota asal si wanita tersebut,
terbersit seberkas pancaran aneh pada mata dokter Kelly. Segera
ia bangkit dan bergegas turun melalui hall rumah sakit, menuju
kamar si wanita tersebut.
Dengan berpakaian jubah kedokteran ia menemui si wanita
itu. Ia langsung mengenali wanita itu pada sekali pandang. Ia
kemudian kembali ke ruang konsultasi dan memutuskan untuk
melakukan upaya terbaik untuk menyelamatkan nyawa wanita
itu. Mulai hari itu, Ia selalu memberikan perhatian khusus pada
kasus wanita itu.
Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya
diperoleh kemenangan. Wanita itu sembuh! Dr. Kelly meminta
bagian keuangan rumah sakit untuk mengirimkan seluruh
tagihan biaya pengobatan kepadanya untuk persetujuan. Dr.
Kelly melihatnya, dan menuliskan sesuatu di pojok atas lembar
tagihan, dan kemudian mengirimkannya ke kamar pasien.
Wanita itu takut untuk membuka tagihan tersebut, ia sangat
yakin bahwa ia tak akan mampu membayar tagihan tersebut
walaupun harus dicicil seumur hidupnya.
Akhirnya Ia memberanikan diri untuk membaca tagihan
tersebut, dan ada sesuatu yang menarik perhatiannya di pojok
atas lembar tagihan tersebut. Ia membaca tulisan yang berbunyi:
Telah dibayar lunas dengan segelas besar susu. Tertanda, Dr.
Howard Kelly.
Air mata kebahagiaan membanjiri matanya. Ia berdoa,
”Tuhan, terima kasih, bahwa cintamu telah memenuhi seluruh
bumi melalui hati dan tangan manusia.”
98

28
Gadis Kecil Bersepatu Merah

Dear Alice,
Bersama surat ini, saya kirimkan
foto dari sebuah patung kecil di
Azabu Juban di Tokyo. Menurut
keterangan yang ada, yang
sebagian ditulis dalam bahasa
Inggris, itu adalah patung dari
seorang gadis yatim piatu yang
menjadi inspirasi sebuah lagu
Jepang yang sangat terkenal
yaitu “Gadis Kecil Bersepatu
Merah”. Akan tetapi, pacar
saya yakin bahwa keterangan
tersebut salah. Ia bersikeras
bahwa patung “Gadis Kecil
Bersepatu Merah” yang asli ada di Yokohama, dan ia juga berkata
bahwa lagu Jepang tersebut sebenarnya adalah mengenai wanita
muda yang dirayu oleh pria asing yang tidak baik supaya ikut pergi
ke luar negeri. Tambahan pula, ia bersikukuh bahwa lagu tersebut
adalah sebuah peringatan tersirat bagi wanita Jepang agar menjauhi
99 Gadis Kecil Bersepatu Merah

pria asing. Dapatkah kamu mencari tahu sebenarnya apa yang


terjadi?

Maryanne S., Tokyo


***

Dear Maryanne,
Saya tahu lagu tersebut. Judulnya “Akai Kutsu no Onna no Ko”.
Pertama-tama, saya akan tuliskan syair lagunya untukmu, dan
tuliskan terjemahannya belakangan, supaya kamu dapat membaca
bahasa Jepangnya langsung dan menarik kesimpulan sendiri.

Akai kutsu haiteta onna no ko.


Ijin-san ni tsurerarete icchatta.
Yokohama no hatoba kara fune ni notte.
Ijin-san ni tsurerarete icchatta.
Imadewa aoi me ni nacchatte.
Ijin-san no o-kuni ni irundaro.
Akai kutsu mirutabi kangaeru.
Ijin-san ni autabi kangaeru.

Ketika saya pertama kali mendengar lagu ini beberapa


tahun yang lalu, gambaran di benak saya adalah seorang pria
muda yang melihat ke laut, sambil mengenang gadis cantik yang
telah menikah dengan orang asing dan meninggalkan Jepang. Ini
tidak jauh berbeda dengan gambaran yang dimiliki oleh pacarmu,
meskipun saya tidak merasa adanya persepsi negatif terhadap
orang asing dalam lagu ini. Ketika saya mendapatkan surat dan
pertanyaan darimu, saya merasa ada baiknya kalau saya mencoba
mengecek hal ini ke teman saya Masae, ratu karaoke yang hafal
setiap baris lirik dari lagu-lagu Jepang yang pernah diciptakan.
Masae langsung menolak anggapan yang dipikirkan oleh
pacarmu, sambil menunjukkan bahwa bahasa Jepang dari “orang
asing” yaitu “ijin” (sebuah kata yang cukup tua, dipakai sebelum
100 Gadis Kecil Bersepatu Merah

adanya kata “gaijin” [orang asing]) memiliki honorifik san pada


bagian akhir, sehingga melunakkan makna dari kata tersebut
serta menunjukkan rasa hormat. Di samping itu, ia berujar, semua
orang mengetahui bahwa itu adalah lagu anak-anak, mengenai
gadis kecil yang diadopsi oleh orang asing dan berlayar dari
Yokohama ke Eropa atau Amerika.
Dengan penuh kepercayaan terhadap Masae, saya
mencoba menggali lebih dalam lagi. Saya menemukan ternyata
memang lagu ini dikategorikan lagu anak-anak, pertama kali
dipublikasikan pada tahun 1921 di sebuah majalah untuk anak-
anak sekolah. Lirik lagu ini, ditulis oleh seorang penyair terkenal
Ujo Noguchi, memang berbeda dari lirik lagu anak-anak lainnya
pada masa itu, dalam hal penggunaan bahasa kasualnya (seperti
icchatta) yang memang lazim dipakai anak-anak. Sejak saat itulah,
generasi demi generasi orang Jepang menyanyikan lagu ini. Akan
tetapi, pada tahun 1978, barulah kisah di balik lagu ini terkuak.
Pada tahun 1973, sebuah surat kabar di Hokkaido
menerima sepucuk surat dari seorang wanita yang mengklaim
bahwa “Gadis Kecil Bersepatu Merah”(Kimi Iwasaki) adalah sepupu
perempuannya. Ibu dari wanita tersebut, Kayo Iwasaki, telah
datang dari Shizuoka ke Hokkaido pada awal 1900-an sebagai
bagian dari program transmigrasi, tetapi pertanian di Hokkaido
ternyata sangat sukar sehingga ia tidak sanggup merawat putri
kecilnya. Maka, pada usia 3 tahun, Kimi kecil dititipkan ke seorang
teman yang berjanji akan mencarikan rumah yang layak untuknya.
Bertahun-tahun kemudian, Kayo bertemu penyair Ujo Noguchi,
dan memberitahukannya tentang Kimi yang terpaksa ia berikan
ke orang lain. Ia percaya bahwa misionari asing telah membawa
Kimi, dan bahwa putrinya sekarang hidup di luar negeri.
Sambilmengumpulkanbeberapapotongankisahini,seorang
produser televisi Hiroshi Kikuchi berangkat melakukan investigasi
yang memakan waktu hampir lima tahun. Ia mendapati bahwa wanita
tersebut memang telah bertemu Noguchi, ketika mereka bekerja
di kantor yang sama. Kemudian, ia juga berhasil mengidentifikasi
101 Gadis Kecil Bersepatu Merah

misionari asing tersebut, dan bahkan berangkat ke Amerika untuk


mewawancarai keturunan mereka. Tetapi tidak ada indikasi mereka
membawa pulang seorang gadis cilik ketika mereka meninggalkan
Jepang pada tahun 1908. Akhirnya, Kikuchi menemukan kenyataan
yang menyedihkan bahwa ternyata Kimi telah meninggal akibat TBC
pada tahun 1911 pada usia 9 tahun. Sepanjang waktu itu, Kimi-chan
tinggal di sebuah panti asuhan di Azabu, Tokyo, mungkin karena
kondisi kesehatannya terlalu lemah untuk berangkat meninggalkan
Jepang bersama orangtua adopsinya.
Kembali mengenai masalah patung, agaknya sulit untuk
mengatakan mana yang lebih asli. Patung yang disebutkan
oleh pacarmu, di Yamashita Park, Yokohama, didirikan tahun
1979, konstruksinya telah direncanakan sebelum orang-orang
mengetahui bahwa Kimi sebenarnya tidaklah berlayar pergi. Patung
yang di Azabu Juban, Tokyo, didirikan tahun 1989 setelah diketahui
bahwa Kimi meninggal di sebuah panti asuhan terdekat.
Akan tetapi, bukan dua ini saja patung “Gadis Kecil
Bersepatu Merah”, masih ada satu lagi di tempat kelahiran Kimi
di Nihondaira, Prefektur Shizuoka. Dan satu lagi di Rutsumura,
Hokkaido, tempat Kimi pernah tinggal selama beberapa waktu
bersama ibunya.
Dan saat ini sedang direncanakan pula patung Kimi yang
ke-5, di Prefektur Aomori, tempat kelahiran dari teman yang
mencarikan rumah bagi Kimi bersama misionari asing.
Sebagai penutup, berikut saya terjemahkan lirik lagu
“Gadis Kecil Bersepatu Merah”.

Gadis kecil bersepatu merah.


Telah pergi bersama orang asing.
Dari Yokohama naik kapa.
Telah pergi bersama orang asing.
Sekarang matanya pasti telah menjadi biru.
Ia pasti telah berada di negeri sana.
Setiap kali aku melihat sepatu merah, pasti teringat padanya.
102 Gadis Kecil Bersepatu Merah

Setiap kali aku melihat orang asing, pasti teringat padanya.


Kalau kamu ingin mengetahui nada dari lagu ini, mintalah
teman orang Jepang menyanyikannya untukmu. Mereka pasti
tahu, saya yakin. Dan kalau kamu mampir di patung di Azabu
Juban, masukkanlah koin ke kotak di dekat kaki Kimi. Sampai saat
ini, lebih dari 10 juta yen telah terkumpulkan untuk disalurkan ke
anak-anak yang membutuhkan di seluruh dunia.

Alice

Monumen kenangan bagi Kimi-chan di Yamashita Park, Yokohama.


103

29
Gajah yang Welas Asih

P ada zaman dahulu, hiduplah seekor gajah yang masih muda


dengan badan yang gagah perkasa. Ia hidup menyendiri jauh
dari keramaian, yaitu di oase di tengah gurun pasir yang sangat
luas. Ia hidup seperti seorang petapa dan hanya makan buah-
buahan yang didapatnya dari pohon-pohon dan semak-semak di
sekitar oase serta minum air dari sungai kecil yang mengalir di
antara bebatuan. Meskipun gajah itu hidup menyendiri, hatinya
diliputi oleh ketenangan dan kebahagiaan.
Pada suatu hari yang cerah ketika matahari bersinar
dengan terang dan angin bertiup sepoi-sepoi, sang gajah bersuka
ria dan menari serta bernyanyi sendiri. Tiba-tiba kegembiraannya
terganggu oleh suara yang sayup-sayup didengarnya.
“Suara siapakah itu? Seperti suara orang yang menderita,
kesakitan yang hebat”, katanya dalam hati sambil berpikir.
Sang gajah pun berjalan ke tempat datangnya suara tadi.
Ia masih merenung, mengapa ada manusia tersesat ke sini.
Ketika tiba di tempat yang paling tinggi di gurun itu,
ia tertegun melihat sekelompok manusia sedang merintih
kepayahan. Mereka tampak haus, lapar, dan sangat lelah.
Pemandangan ini sangat memilukan hati sang gajah hingga ia
mencucurkan air mata.
104 Gajah yang Welas Asih

“Hai, Sahabatku! Dari mana dan hendak ke manakah


kalian? Mengapa sampai tersesat di gurun ini?” tanyanya sabar.
“Kami diusir oleh raja kami,” jawab salah seorang dari
mereka. “Kami tidak tahu hendak ke mana. Sudah berhari-hari
kami berjalan, tetapi hanya pasir saja yang kami temui.”
“Kini kami kehabisan bekal makanan. Persediaan air
minum tidak ada lagi. Banyak teman-teman kami yang telah
meninggal. Tolonglah kami, Sahabat!”
Sang gajah memandang mereka dengan iba. Sedih
hatinya melihat penderitaan di depan matanya.
“Kalian... sudah sangat lemah, sedangkan kota masih jauh.
Tak mungkin kalian mencapai kota tanpa membawa perbekalan,”
kata gajah tersebut.
“Pergilah ke bukit sana,” ujarnya sambil menunjukkan
sebuah bukit. “Di balik bukit itu kalian akan menemukan seekor
gajah yang telah mati. Daging gajah itu cukup untuk kalian makan
dan cukup pula untuk perbekalan. Dan tak jauh dari tempat itu
kalian akan menemukan sungai kecil yang jernih airnya.”
Setelah berkata demikian, sang gajah itu pun lari melintasi
gurun pasir yang panas.
Ke mana perginya gajah itu? Ternyata ia berlari menuju
bukit yang ditunjuknya. Ia mendaki ke puncak bukit, lalu
menjatuhkan diri. Tubuhnya yang besar jatuh menggelinding
dan terhempas ke batu-batu. Maka, matilah gajah itu.
Tak lama kemudian, orang-orang itu pun tiba di tempat
yang ditunjuk oleh gajah itu. Alangkah terkejutnya mereka
ketika menemukan gajah yang mati itu ternyata gajah yang telah
memberi petunjuk kepada mereka.
Orang-orang itu pun bersedih hati. Seorang dari mereka
berkata, “Kawan, kita tidak mungkin makan daging gajah yang
telah mengorbankan hidupnya untuk kita.”
Tapi ada yang tidak menyetujui pendapat tersebut.
Alasannya, “Kalau kita tidak makan daging gajah ini, maka
pengorbanannya akan sia-sia belaka. Kita tidak akan mencapai
105 Gajah yang Welas Asih

kota. Kemungkinan kita akan mati semua dan harapan mulia


gajah ini tidak terlaksana.”
Akhirnya mereka sepakat untuk makan daging gajah
tersebut demi kelangsungan hidup mereka. Selanjutnya mereka
meneruskan perjalanan ke kota. Mereka tak melupakan jasa yang
telah diberikan oleh gajah yang welas asih, meskipun mereka
hidup berkecukupan di kota.
106

30
Tenzing Norgay

A pakah Anda mengenal Tenzing Norgay? Mungkin Anda


pernah membaca atau mendengar namanya, mungkin
juga belum. Bagaimana kalau saya sebutkan nama Sir Edmund
Hillary? Ya, kalau yang ini sih sering dengar atau pernah baca
biografinya. Ya, Sir Edmund Hillary adalah orang pertama di dunia
yang berhasil mencapai puncak gunung tertinggi dunia, Gunung
Everest. Tetapi saat ini bukan Sir Edmund Hillary yang akan kita
bahas, melainkan Tenzing Norgay.
Tenzing Norgay seorang penduduk asli Nepal berdarah
Tibet yang bekerja sebagai pemandu bagi para pendaki gunung
yang berniat untuk mendaki Gunung Everest. Tenzing Norgay
menjadi pemandu (orang Nepal menyebutnya “sherpa”) bagi Sir
Edmund Hillary. Pada tanggal 29 Mei 1953 jam 11.30, Tenzing
Norgay bersama dengan Sir Edmund Hillary berhasil menaklukkan
puncak gunung tertinggi Everest dengan ketinggian 8.848 meter
di atas permukaan laut dan menjadi orang pertama di dunia
yang kemudian menjadi inspirasi dan penyemangat bagi ratusan
pendaki berikutnya untuk mengikuti prestasi mereka. Pada rentang
waktu tahun 1920 sampai dengan tahun 1952, tujuh tim ekspedisi
yang berusaha menaklukkan Everest mengalami kegagalan.
Keberhasilan Sir Edmund Hillary pada saat itu sangat
107 Tenzing Norgay

fenomenal mengingat baru berakhirnya Perang Dunia II dan


menjadi semacam inspirator untuk mengembalikan kepercayaan
diri bagi seluruh bangsa di dunia. Karena keberhasilannya, Sir
Edmund Hillary mendapatkan gelar kebangsawanan dari Ratu
Inggris yang baru saja dilantik saat itu yaitu Ratu Elizabeth II, dan
menjadi orang yang paling dikenal di seluruh dunia.
Tetapi, di balik keberhasilan itu, Tenzing Norgay memiliki
peran yang sangat besar, mengapa Tenzing Norgay tidak menjadi
terkenal dan mendapatkan semua yang didapatkan oleh Sir
Edmund Hillary padahal ia adalah sang pemandu yang membantu
dan mengantarkannya mencapai puncak Gunung Everest?
Seharusnya bisa saja ialah orang pertama yang menginjakkan
kaki di puncak Gunung Everest, bukan Sir Edmund Hillary.
Sesaat setelah Sir Edmund Hillary bersama Tenzing Norgay
kembali dari puncak Gunung Everest, hampir semua reporter
dunia berebut mewawancarai Sir Edmund Hillary, dan hanya
ada satu reporter yang mewawancarai Tenzing Norgay, berikut
cuplikannya.

Reporter: Bagaimana perasaan Anda dengan keberhasilan


menaklukkan puncak gunung tertinggi di dunia?
Tenzing Norgay: Sangat senang sekali.
Reporter: Anda kan seorang sherpa bagi Edmund Hillary,
tentunya posisi Anda berada di depan dia, bukankah seharusnya
Anda yang menjadi orang pertama yang menjejakkan kaki di
puncak Gunung Everest?
Tenzing Norgay: Ya, benar sekali, pada saat tinggal satu
langkah mencapai puncak, saya persilakan dia (Edmund Hillary)
untuk menjejakkan kakinya dan menjadi orang pertama di dunia
yang berhasil menaklukkan puncak gunung tertinggi di dunia.
Reporter: Mengapa Anda lakukan itu?
Tenzing Norgay: Karena itulah impian Edmund Hillary,
bukan impian saya. Impian saya hanyalah berhasil membantu
dan mengantarkan dia meraih impiannya.
108 Tenzing Norgay

Begitulah sekelumit kisah tentang seorang pemandu pendaki


bernama Tenzing Norgay. Ia tidak menjadi serakah, ataupun iri
dengan keberhasilan, nama besar, dan semua penghargaan yang
diperoleh Sir Edmund Hillary. Ia cukup bangga dapat membantu
orang lain mencapai dan mewujudkan impian.
Dalam kehidupan sehari-hari atau dalam dunia kerja, kita
secara pribadi terbiasa atau terkondisikan untuk berfokus pada
kita sendiri, siapa yang mendapat nama, apa yang kita dapatkan,
bonus, penghargaan, insentif, dan sebagainya. Sebagai renungan,
bisakah kita menjadi seperti Tenzing Norgay?
109

31
Penguburan Oleh Burung

S eorang pria tinggal sendirian di sebuah gubuk kecil. Namanya


Sun Liang. Ia sangatlah miskin, akan tetapi jujur dan baik hati.
Ia melakukan pekerjaan kasar dan mendapatkan upah yang amat
rendah. Walaupun demikian, setiap kali ia melihat hewan yang
terperangkap, jika ia memiliki uang, ia akan membeli hewan
tersebut dan melepaskannya kembali ke hutan.
Dengan begini, ia telah menyelamatkan banyak hewan,
tetapi jadinya ia tidak dapat menabung sehingga ia masihlah
amat miskin.
Ketika ia telah terlalu tua untuk bekerja, ia terpaksa mengemis
untuk bertahan hidup. Suatu hari, ketika telah melewati umur 70
tahun, ia sudah terlalu lemah untuk bangun dari tempat tidurnya,
dan tak lama kemudian, ia meninggalkan dunia ini.
Sun Liang tidak punya keluarga, saudara, maupun teman.
Karena ia teramat miskin, ia tidak punya uang untuk membeli
peti mati, dan bagi orang Tionghoa, nasib terburuk adalah
mati dan tidak dikubur. Tidak ada seorang pun yang mengurus
jenazahnya. Tetangga-tetangganya juga sama miskinnya seperti
dia. Mereka tidak tahu kalau ia telah meninggal, sekalipun
mereka tahu, mereka tentu saja tidak memiliki cukup uang untuk
membelikannya peti mati dan menguburkannya.
110 Penguburan oleh Burung

Pagi hari sesudah kematian Sun Liang, para tetangga kaget


melihat langit yang dipenuhi burung. Ribuan burung datang
dari segala penjuru dan terbang masuk ke gubuk Sun Liang. Para
tetangga datang untuk melihat apa yang terjadi. Mereka melihat
ternyata Sun telah meninggal terbaring di tempat tidurnya.
Mereka mengira burung-burung itu pastilah datang untuk
memakan dagingnya.
Lalu, mereka melihat ternyata setiap burung membawa
sedikit tanah di paruhnya, dan menjatuhkan tanah tersebut ke
atas jenazah Sun. Burung-burung tersebut ternyata telah datang
untuk menunjukkan rasa terima kasih dengan menguburkan
sosok yang pernah menjadi penyelamat mereka!
Ribuan dan ribuan ekor burung terus berdatangan. Mereka
terus terbang bolak-balik. Dan sebelum tengah hari, mereka telah
mengisi penuh gubuk tersebut dengan tanah dan mengubahnya
menjadi makam bagi Sun Liang.
Para tetangga begitu tersentuh ketika mereka melihat hal ini.
Sejak saat itulah, mereka tidak pernah lagi memasang perangkap
atau jaring untuk menangkap binatang.
111

32
Sebelum Menceraiku, Gendonglah Aku

P ada hari pernikahanku, aku membopong istriku. Mobil


pengantin berhenti di depan flat kami yang cuma berkamar
satu. Sahabat-sahabatku menyuruhku untuk membopongnya
begitu keluar dari mobil. Jadi kubopong ia memasuki rumah
kami. Ia kelihatan malu-malu. Aku adalah seorang pengantin pria
yang sangat bahagia. Ini adalah kejadian 10 tahun yang lalu.
Hari-hari selanjutnya berlalu begitu sederhana seperti
secangkir air bening. Kami memiliki seorang anak, aku terjun ke
dunia usaha dan berusaha untuk menghasilkan banyak uang.
Begitu kemakmuran meningkat, jalinan kasih di antara kami pun
semakin surut. Ia adalah pegawai sipil. Setiap pagi kami berangkat
kerja bersama-sama dan sampai di rumah juga pada waktu yang
bersamaan.
Anak kami sedang belajar di luar negeri. Perkawinan kami
kelihatan bahagia. Tapi ketenangan hidup berubah dipengaruhi
oleh perubahan yang tidak kusangka-sangka. Dew hadir dalam
hidupku. Waktu itu adalah hari yang cerah. Aku berdiri di
balkon dengan Dew yang sedang merangkulku. Hatiku sekali
lagi terbenam dalam aliran cinta. Ini adalah apartemen yang
kubelikan untuknya.
Dew berkata, “Kamu adalah jenis pria terbaik yang menarik
112 Sebelum Menceraiku, Gendonglah Aku

para gadis.” Kata-katanya tiba-tiba mengingatkanku pada istriku.


Ketika kami baru menikah, istriku pernah berkata, “Pria sepertimu,
begitu sukses, akan menjadi sangat menarik bagi para gadis.”
Berpikir tentang ini, aku menjadi ragu-ragu. Aku tahu
kalau aku telah mengkhianati istriku. Tapi aku tidak sanggup
menghentikannya. Aku melepaskan tangan Dew dan berkata,
“Kamu harus pergi membeli beberapa perabot, oke? Aku ada
sedikit urusan di kantor.”
Kelihatan ia jadi tidak senang karena aku telah berjanji
menemaninya. Pada saat tersebut, ide perceraian menjadi
semakin jelas di pikiranku walaupun kelihatan tidak mungkin.
Bagaimanapun, aku merasa sangat sulit untuk membicarakan hal
ini pada istriku. Walau bagaimanapun kujelaskan, ia pasti akan
sangat terluka.
Sejujurnya, ia adalah seorang istri yang baik. Setiap malam ia
sibuk menyiapkan makan malam. Aku duduk santai di depan TV.
Makan malam segera tersedia. Lalu kami akan menonton TV sama-
sama. Atau aku akan menghidupkan komputer, membayangkan
tubuh Dew. Ini adalah hiburan bagiku.
Suatu hari aku berbicara dalam guyon, “Seandainya kita
bercerai, apa yang akan kau lakukan?” Ia menatap padaku selama
beberapa detik tanpa bersuara. Kenyataannya ia percaya bahwa
perceraian adalah sesuatu yang sangat jauh darinya. Aku tidak
bisa membayangkan bagaimana ia akan menghadapi kenyataan
jika tahu bahwa aku serius.
Ketika istriku mengunjungi kantorku, Dew baru saja keluar
dari ruanganku. Hampir seluruh staff menatap istriku dengan
mata penuh simpati dan berusaha untuk menyembunyikan segala
sesuatu selama berbicara dengannya. Ia kelihatan ada sedikit
kecurigaan. Ia berusaha tersenyum pada bawahan-bawahanku.
Tapi aku membaca ada goresan luka di matanya.
Sekali lagi, Dew berkata padaku,” Kamu cerai saja dia, oke?
Lalu kita akan hidup bersama.” Aku mengangguk. Aku tahu aku
tidak boleh ragu-ragu lagi. Ketika malam itu istriku menyiapkan
113 Sebelum Menceraiku, Gendonglah Aku

makan malam, kupegang tangannya, “Ada sesuatu yang harus


kukatakan.” Ia duduk diam dan makan tanpa bersuara. Sekali lagi
aku melihat ada luka di matanya. Tiba-tiba aku tidak tahu harus
berkata apa. Tapi ia tahu kalau aku terus berpikir.
“Aku ingin cerai,” kuungkapkan topik ini dengan serius tapi
tenang. Ia seperti tidak terpengaruh oleh kata-kataku, tapi ia
bertanya secara lembut, “Kenapa?” “Aku serius.” Aku menghindari
pertanyaannya. Jawaban ini membuat ia sangat marah. Ia
melemparkan sumpit dan berteriak padaku, “Kamu bukan laki-
laki!”
Pada malam itu, kami saling membisu. Ia sedang menangis.
Aku tahu kalau ia ingin tahu apa yang telah terjadi dengan
pernikahan kami. Tapi aku tidak bisa memberikan jawaban yang
memuaskan sebab hatiku telah dibawa pergi oleh Dew.
Dengan perasaan yang amat bersalah, aku menuliskan
surat perceraian di mana istriku memperoleh rumah, mobil,
dan 30% saham perusahaanku. Ia memandangnya sekilas dan
mengoyaknya menjadi beberapa bagian.
Aku merasakan sakit dalam hati. Wanita yang telah 10 tahun
hidup bersamaku sekarang menjadi seorang yang asing dalam
hidupku. Tapi aku tidak bisa mengembalikan apa yang telah
kuucapkan. Akhirnya ia menangis dengan keras di hadapanku,
di mana hal tersebut tidak pernah kulihat sebelumnya. Bagiku,
tangisannya merupakan suatu pembebasan untukku. Ide
perceraian telah menghantuiku dalam beberapa minggu ini dan
sekarang sungguh-sungguh telah terjadi.
Pada larut malam, aku kembali ke rumah setelah menemui
klienku. Aku melihat ia sedang menulis sesuatu. Karena capai,
aku segera ketiduran. Ketika aku terbangun tengah malam, aku
melihat ia masih menulis. Aku tertidur kembali. Ia menuliskan
syarat-syarat dari perceraiannya.
Ia tidak menginginkan apa pun dariku, tapi aku harus
memberikan waktu sebulan sebelum mencerainya, dan
dalam waktu sebulan itu kami harus hidup bersama seperti
114 Sebelum Menceraiku, Gendonglah Aku

biasanya. Alasannya sangat sederhana: anak kami akan segera


menyelesaikan pendidikannya dan liburannya adalah sebulan
lagi dan ia tidak ingin anak kami melihat kehancuran rumah
tangga kami.
Ia menyerahkan persyaratan tersebut dan bertanya, “Apakah
kamu masih ingat bagaimana aku memasuki rumah pada hari
pernikahan kita?”
Pertanyaan ini tiba-tiba mengembalikan beberapa kenangan
indah kepadaku. Aku mengangguk dan mengiyakan. “Kamu
membopongku di lenganmu,” katanya, “jadi aku punya sebuah
permintaan, yaitu kamu akan tetap membopongku pada waktu
perceraian kita. Dari sekarang sampai akhir bulan ini, setiap pagi
kamu harus membopongku keluar dari kamar tidur ke pintu.”
Aku menerima dengan senyum. Aku tahu ia merindukan
beberapa kenangan indah yang telah berlalu dan berharap
pernikahannya diakhiri dengan suasana romantis.
Aku memberitahu Dew soal syarat-syarat perceraian dari
istriku. Ia tertawa keras dan berpikir itu tidak ada gunanya.
“Bagaimanapun trik yang ia lakukan, ia harus menghadapi
hasil dari perceraian ini,” cemoohnya. Kata-katanya membuatku
merasa tidak enak.
Istriku dan aku tidak mengadakan kontak badan lagi sejak
kukatakan perceraian itu. Kami saling menganggap orang
asing. Jadi ketika aku membopongnya pada hari pertama, kami
kelihatan salah tingkah. Anak kami menepuk punggung kami,
“Wah, papa membopong mama, mesra sekali.” Kata-katanya
membuatku merasa sakit.... Dari kamar tidur ke ruang duduk, lalu
ke pintu, aku berjalan 10 meter dengan ia dalam lenganku.
Ia memejamkan mata dan berkata dengan lembut, “Mari kita
mulai hari ini jangan memberitahu anak kita.” Aku mengangguk,
merasa sedikit bimbang. Aku melepaskan ia di pintu. Ia pergi
menunggu bus, dan aku pergi ke kantor.
Pada hari kedua, kami merasa lebih mudah. Ia merebah di
dadaku, kami begitu dekat sampai-sampai aku bisa mencium
115 Sebelum Menceraiku, Gendonglah Aku

wangi di bajunya. Aku menyadari bahwa aku telah sangat lama


tidak melihat wanita ini dengan mesra. Aku melihat bahwa ia
tidak muda lagi, beberapa kerut tampak di wajahnya.
Pada hari ketiga, ia berbisik padaku, “Kebun di luar sedang
dibongkar, hati-hati kalau kamu lewat sana.”
Hari keempat, ketika aku membangunkannya, aku merasa
kalau kami masih mesra seperti sepasang suami-istri dan aku
masih membopong kekasihku di lenganku. Bayangan Dew
menjadi samar.
Pada hari kelima dan enam, ia masih mengingatkanku
beberapa hal, seperti, di mana ia telah menyimpan baju-bajuku
yang telah ia setrika, aku harus hati-hati saat memasak, dan lain-
lain. Aku mengangguk. Perasaan kedekatan terasa semakin erat.
Aku tidak memberitahu Dew tentang ini. Aku merasa begitu
ringan membopongnya. Berharap setiap hari pergi ke kantor bisa
membuatku semakin kuat. Aku berkata padanya, “Kelihatannya
tidaklah sulit membopongmu sekarang.”
Ia sedang mencoba pakaiannya, aku sedang menunggu
untuk membopongnya keluar. Ia berusaha mencoba beberapa
tapi tidak bisa menemukan yang cocok. Lalu ia melihat,
“Semua pakaianku kebesaran”. Aku tersenyum. Tapi tiba-tiba
aku menyadarinya... ia semakin kurus, itulah sebabnya aku bisa
membopongnya dengan ringan, bukan karena aku yang semakin
kuat. Aku tahu ia mengubur semua kesedihannya dalam hati.
Sekali lagi, aku merasakan perasaan sakit.
Tanpa sadar kusentuh kepalanya. Anak kami masuk pada
saat tersebut. “Pa, sudah waktunya membopong Mama keluar.”
Baginya, melihat papanya sedang membopong mamanya
menjadi bagian yang penting. Ia memberi isyarat agar anak kami
mendekatinya dan merangkulnya dengan erat. Aku membalikkan
wajah sebab aku takut aku akan berubah pikiran pada detik
terakhir. Aku menyangganya di lenganku, berjalan dari kamar
tidur, melewati ruang duduk ke teras. Tangannya memegangku
secara lembut dan alami. Aku menyangga badannya dengan kuat
116 Sebelum Menceraiku, Gendonglah Aku

seperti kami kembali ke hari pernikahan kami. Tapi ia kelihatan


agak pucat dan kurus, membuatku sedih.
Pada hari terakhir, ketika aku membopongnya di lenganku,
aku melangkah dengan berat. Anak kami telah kembali ke
sekolah. Ia berkata, “Sesungguhnya aku berharap kamu akan
membopongku sampai kita tua.” Aku memeluknya dengan kuat
dan berkata, “Antara kita saling tidak menyadari bahwa kehidupan
kita begitu mesra.” Aku melompat turun dari mobil tanpa sempat
menguncinya. Aku takut keterlambatan akan membuat pikiranku
berubah. Aku menaiki tangga.
Dew membuka pintu. Aku berkata padanya, “Maaf Dew, aku
tidak ingin bercerai. Aku serius.” Ia melihat kepadaku, kaget. Ia
menyentuh dahiku. “Kamu tidak demam.” Kutepiskan tangannya
dari dahiku. “Maaf, Dew, aku cuma bisa bilang maaf padamu, aku
tidak ingin bercerai.”
“Kehidupan rumah tanggaku membosankan disebabkan
ia dan aku tidak bisa merasakan nilai-nilai kehidupan, bukan
disebabkan kami tidak saling mencintai lagi. Sekarang aku
mengerti, sejak aku membopongnya masuk ke rumahku, ia telah
melahirkan anakku. Aku akan menjaganya sampai tua. Jadi aku
minta maaf padamu.”
Dew tiba-tiba seperti tersadar. Ia memberi tamparan keras
padaku dan menutup pintu dengan kencang dan tangisannya
meledak. Aku menuruni tangga dan pergi ke kantor. Dalam
perjalanan aku melewati sebuah toko bunga, kupesan sebuah
buket bunga kesayangan istriku. Penjual bertanya apa yang mesti
ia tulis dalam kartu ucapan? Aku tersenyum, dan menulis... “Aku
akan membopongmu setiap pagi sampai kita tua....”
117

33
Welas Asih

Seandainya di dunia ini masih ada sehelai daun pun yang menderita,
aku tidak akan merealisasi Nirvana, sekalipun pintu telah terbuka
bagiku.
Kuan She Im Pu Sa, Bodhisattwa Avalokitesvara

Welas asih adalah kemuliaan yang paling indah. Welas asih sejati
adalah ketulusan dan tanpa pamrih. Ia tidak mengharapkan apa-
apa dari pengorbanannya.
Welas asih sejati adalah kemurnian. Ia tidak mengandung
ego dan diskriminasi. Welas asih adalah bagaikan berkas cahaya
yang menghangati celah dan relung dinginnya gunung es. Welas
asih adalah bagaikan alunan sepoi sejuk di tengah kegerahan
dan terik.
Welas asih sejati ini... ada di dalam hati kecil kita semua.
Pejamkan mata Anda dan rasakanlah geloranya. Biarkan keluhuran
polos ini menggetarkan hati dan pikiran Anda; memberikan rasa
tenteram dan damai dalam diri Anda.
Hmm, dan seperti yang telah Anda duga, saya ingin
mengajak Anda semua melebur dalam sepenggal kisah kecil
berikut.
118 Welas Asih

Langit nan cerah, awan berbagai bentuk menghiasi bentangan


cakrawala. Ada yang halus seperti kapas tipis, ada yang putih
tebal bergerombol. Heeiii, ada yang mirip domba, perahu, bantal,
dan lho kok mirip muka temanku? Celoteh pikiran seorang anak
kecil yang sedang menikmati indahnya horison. Sambil tertawa
geli ia kembali menerawang sudut-sudut cakrawala nan luas.
Terlena oleh buaian lembut alam, anak kecil itu terlelap
damai. Tesh! Tesh! Tesh! Ia perlahan membuka kelopak matanya
dan akh! Butiran-butiran besar air hujan menghantam pipi, dahi,
dan badannya. Tergesa-gesa, ia segera mengungsi masuk ke
dalam rumahnya.
Ia lega tidak basah kuyup kehujanan. Dari balik tirai
jendela rumahnya ia mengintip keluar lagi. Hujan turun dengan
derasnya. Percikan gelombang riak timbul tatkala tetes-tetes
hujan menyentuh genangan air. Daun-daun hijau tanaman
tampak menari-nari dengan gembira menyambut berkah hujan
itu.
Agak kejauhan, ia menatap sesosok yang berpakaian
kumal dan compang-camping. Tatapan sosok itu nanar dan
terlihat gemetaran kedinginan. Dalam samar akibat tirai hujan
yang deras, anak kecil itu merasakan bahwa tubuh sosok itu
menggigil hebat dan sangat menderita.
Anak kecil itu tercenung sesaat. Ia tersadar tatkala ibunya
datang dan menghampirinya dari belakang.
Ia kemudian memberitahu ibunya, dan bertanya, “Bu,
jendela ini tidak kedinginan, mengapa harus diberi tirai?”
……………………………………………………………………
……………………………………………………………………
………………………………………….
119

34
Raja Kera

P ada suatu ketika, sekelompok kera tinggal jauh di dalam hutan


di sebuah wilayah pegunungan. Hutan itu menyediakan
semua kebutuhan mereka; pohon-pohon yang menghasilkan
beraneka jenis buah, hasil panen yang melimpah ruah, dan aliran
sungai yang menyuburkan pegunungan. Musim yang berganti
dengan teratur membuat tempat tinggal mereka terjaga dengan
baik. Di bawah kepemimpinan sang raja kera, para kera hidup
bersama dengan damai dan harmonis.
Tapi pada suatu ketika, hujan berhenti turun. Musim berlalu
tanpa ada perubahan, dan beberapa tahun kemudian, tempat
tinggal mereka yang dulunya hijau subur berubah menjadi
tandus kecokelatan. Hutan itu tidak lagi menghasilkan makanan
yang cukup buat mereka. Merasa tidak ada pilihan, sekelompok
kera pun memutuskan untuk keluar secara diam-diam dari
tempat tinggal mereka untuk mencari makan.
Pada suatu hari, kera-kera itu sampai di sebuah kebun yang
penuh dengan buah-buahan. Buah-buahan yang matang, segar,
dan ranum terlihat menggantung di setiap cabang pepohonan.
Didorong oleh rasa lapar yang luar biasa, kera-kera itu berlarian
menuju kebun buah dan menyantap lahap buah-buahan yang
ada. Kera-kera itu tidak mengetahui bahwa itu adalah kebun
120 Raja Kera

buah kesayangan kaisar.


Melihat kekacauan ini, pengawal kaisar segera melapor pada
kaisar bahwa penyusup yang tak dikenal sedang menjarah kebun
buahnya. Berita itu membuat kaisar marah dan memutuskan
untuk menghukum para penjarah itu. Dia lalu memerintahkan
para pengawalnya untuk menutup kebun buah dan memastikan
bahwa tak ada satu pun penyusup yang boleh lolos.
Pada waktu yang bersamaan, raja kera menyadari bahwa
beberapa anggota kelompoknya hilang. Dia lalu mengumpulkan
kera-kera yang masih tertinggal dan pergi mencari kera-kera yang
hilang. Akhirnya, mereka sampai di kebun buah milik kaisar dan
menemukan kera-kera yang hilang itu terperangkap di dalam
kebun.
Raja kera pun memerintahkan kera-kera yang lain untuk
kembali ke gunung dan mengumpulkan tumbuh-tumbuhan
merambat yang panjang dan kuat. Setelah tumbuhan merambat
itu disatukan menjadi seutas tali, dia melempar salah satu
ujungnya ke dalam kebun buah. Dia pun memerintahkan kera-
kera yang terjebak di dalam untuk bekerja sama mengikatkan
ujung tali di salah satu pohon. Namun, ketika dia berusaha
mengikat ujung tali yang ada di sisinya ke sebuah pohon, tali
itu tidak cukup untuk diikatkan ke pohon itu. Akhirnya, raja
kera mengikat tali itu pada dirinya sendiri. Dengan segenap
kemampuannya, dia menggenggam erat sebuah dahan pohon,
untuk membuat jalan keluar bagi kera-kera yang terperangkap
di kebun buah itu.
Satu persatu, kera-kera itu memanjat ke tali untuk
menyelamatkan diri. Secara bertahap, badan mereka pun
bergelayut pada lengan raja kera hingga akhirnya bahu raja
kera terkilir. Meskipun menahan rasa sakit yang tak tertahankan
hingga dia harus mengatupkan giginya menahan sakit, raja kera
tetap memegang tali sampai semua kera terselamatkan.
Sesaat setelah kera terakhir terselamatkan, sang kaisar
datang. Dia sangat marah setelah melihat semua kera telah
121 Raja Kera

melarikan diri. Namun sesaat sebelum kaisar memerintahkan


pasukannya untuk untuk menangkap semua kera, raja kera
melompat dan berlutut di hadapan kaisar.
Dengan menahan sakit di bahunya, raja kera memohon,
“Kaisar yang mulia, bertahun-tahun lamanya kekeringan
melanda wilayah kami sehingga makanan pun tidak tersedia lagi.
Untuk bertahan hidup, kera-kera ini pergi keluar untuk mencari
makanan. Ini disebabkan semata-mata karena saya seorang
pemimpin yang miskin dan lalai membimbing mereka secara
layak sehingga mereka berani masuk tanpa izin ke kebun buah
Kaisar. Saya hanya bisa memohon agar nyawa saya bisa ditukar
dengan kebebasan mereka dan pengampunan Kaisar.”
Melihat raja kera itu tidak hanya terluka tapi juga memohon
untuk mengorbankan nyawanya demi rakyatnya, kaisar pun
tersentuh dan menyesali perbuatannya. Dia berkata dalam hati,
“Di hadapan saya ada seekor hewan yang sedang memohon.
Meski hanya seekor hewan, di dalam hatinya terpancar cinta kasih
yang luar biasa. Dia sangat menyayangi kaumnya dan menghargai
setiap kehidupan. Saya sebagai seorang kaisar rasanya tidak
sebanding dengan kera ini. Dapatkah saya menyayangi semua
manusia dan binatang dengan penuh ketulusan?”
Akhirnya dengan malu, kaisar menjawab, “Saya benar-benar
tersentuh dan malu oleh tindakanmu yang begitu mulia. Kamu
telah mencerahkan pikiran saya dan menyadarkan saya bahwa
saya harus memerintah wilayah ini dengan bijaksana. Sebagai
rasa terima kasih, saya tidak hanya akan memaafkan rakyatmu,
tapi saya juga akan menyediakan makanan yang cukup untuk
mereka semua sehingga kalian dapat hidup damai dan bahagia.”
Ketika kembali ke istananya, kaisar menceritakan apa yang
baru saja dialaminya pada permaisurinya. Cerita kaisar membuat
permaisuri menitikkan air mata, dan ia menangis, “Bahkan hewan
pun dapat memahami makna cinta! Mengapa manusia terus-
menerus berperang dengan sesamanya? Pertikaian sesama umat
manusialah yang telah menyebabkan kekacauan di dunia ini.”
122 Raja Kera

Setelah itu, bersama-sama dengan permaisurinya, kaisar


mulai memerintah wilayah mereka dengan arif dan bijaksana.
Beberapa tahun kemudian, kerajaan tersebut hidup dalam
kedamaian dan kemakmuran. Karena tersentuh oleh kebijakan
hati kaisar, para dewa pun memberkati wilayah tersebut dengan
iklim yang harmonis dan menghentikan semua bencana alam.
Kera-kera pun tak perlu mencari-cari makanan lagi.
Hati dan pikiran manusia amat mudah tergoda oleh
rangsangan dunia luar, benih ketamakan, kemarahan, khayalan,
kesombongan, dan keraguan. Hal-hal tersebut menodai badan
dan batin manusia dan dapat mengakibatkan perbuatan jahat
yang menimbulkan penyesalan seumur hidup.
Dalam cerita ini, kelaparan yang diderita kera-kera
menimbulkan benih-benih ketamakan yang mendorong mereka
bertindak ceroboh. Ketika kaisar menyadari bahwa kebun buahnya
dirampas, pikirannya dipenuhi dengan rasa marah. Untungnya,
kata-kata raja kera mencerahkan sekaligus mengikis benih
ketamakan, kemarahan, khayalan, kesombongan, dan keraguan
kaisar. Alih-alih menghukum kera-kera itu, kaisar malah memberi
mereka hadiah, dan kebijakannya dalam memimpin akhirnya
mendatangkan kebaikan bagi segenap wilayah kerajaannya.
Inilah cara yang baik untuk menciptakan siklus kebajikan.
123

35
Bib dan Bob

A lkisah ada dua orang anak laki-laki, Bib dan Bob, yang
sedang melewati lembah permen lolipop. Di tengah
lembah itu terdapat jalan setapak yang beraspal. Di jalan itulah
Bib dan Bob berjalan kaki bersama. Uniknya, di kiri-kanan jalan
lembah itu terdapat banyak permen lolipop yang berwarni-
warni dengan aneka rasa. Permen-permen yang terlihat seperti
berbaris itu seakan menunggu tangan-tangan kecil Bib dan Bob
untuk mengambil dan menikmati kelezatan mereka.
Bob sangat kegirangan melihat banyaknya permen
lolipop yang bisa diambil. Maka ia pun sibuk mengumpulkan
permen-permen tersebut. Ia mempercepat jalannya supaya bisa
mengambil permen lolipop lainnya yang terlihat sangat banyak
di depannya. Bob mengumpulkan sangat banyak permen lolipop
yang ia simpan di dalam tas karungnya. Ia sibuk mengumpulkan
permen-permen tersebut, tapi sepertinya permen-permen
tersebut tidak pernah habis. Maka ia memacu langkahnya supaya
bisa mengambil semua permen yang dilihatnya.
Tanpa terasa Bob sampai di ujung jalan lembah permen lolipop.
Dia melihat gerbang bertuliskan “Selamat Jalan”. Itulah batas akhir
lembah permen lolipop. Di ujung jalan, Bob bertemu seorang lelaki
penduduk sekitar. Lelaki itu bertanya kepada Bob, “Bagaimana
124 Bib dan Bob

perjalanan kamu di lembah permen lolipop? Apakah permen-


permennya lezat? Apakah kamu mencoba yang rasa jeruk? Itu rasa
yang paling disenangi. Atau kamu lebih menyukai rasa mangga?
Itu juga sangat lezat.” Bob terdiam mendengar pertanyaan lelaki
tadi. Ia merasa sangat lelah dan kehilangan tenaga.
Ia telah berjalan sangat cepat dan membawa begitu banyak
permen lolipop yang terasa berat di dalam tas karungnya. Tapi
ada satu hal yang membuatnya merasa terkejut dan ia pun
menjawab pertanyaan lelaki itu, “Permennya lupa saya makan!”
Tak berapa lama kemudian, Bib sampai di ujung jalan
lembah permen lolipop. “Hai, Bob! Kamu berjalan cepat sekali.
Saya memanggil-manggil kamu, tapi kamu sudah sangat jauh di
depan saya.” “Kenapa kamu memanggil saya?” tanya Bob. “Saya
ingin mengajak kamu duduk dan makan permen anggur bersama.
Rasanya lezat sekali. Juga saya menikmati pemandangan lembah,
indah sekali!” Bib bercerita panjang lebar kepada Bob. “Lalu tadi
ada seorang kakek tua yang sangat kelelahan. Saya temani dia
berjalan. Saya beri dia beberapa permen yang ada di tas saya.
Kami makan bersama dan dia banyak menceritakan hal-hal yang
lucu. Kami tertawa bersama,” Bib menambahkan.
Mendengar cerita Bib, Bob menyadari betapa banyak hal
yang telah ia lewatkan dari lembah permen lolipop yang sangat
indah. Ia terlalu sibuk mengumpulkan permen-permen itu.
Tapi ia sampai lupa memakannya dan tidak punya waktu untuk
menikmati kelezatannya karena ia begitu sibuk memasukkan
semua permen itu ke dalam tas karungnya.
Pada akhir perjalanannya di lembah permen lolipop, Bob
menyadari suatu hal dan ia bergumam kepada dirinya sendiri,
“Perjalanan ini bukan tentang berapa banyak permen yang telah
saya kumpulkan, tapi tentang bagaimana saya menikmatinya
dengan berbagi dan bahagia.” Ia pun berkata dalam hati, “Waktu
tidak bisa diputar kembali.” Perjalanan di lembah lolipop sudah
berlalu dan Bob pun harus melanjutkan kembali perjalanannya.
125 Bib dan Bob

Dalam kehidupan, banyak hal yang ternyata kita lewati


begitu saja. Kita lupa untuk berhenti sejenak dan menikmati
kebahagiaan hidup. Kita menjadi Bob di lembah permen
lolipop yang sibuk mengumpulkan permen, tapi lupa untuk
menikmatinya dan menjadi bahagia.
Pernahkan Anda bertanya kapan waktunya untuk merasakan
bahagia? Jika saya tanyakan pertanyaan tersebut kepada para
sahabat saya, biasanya mereka menjawab, “Saya akan bahagia
nanti... nanti waktu saya sudah menikah... nanti waktu saya
punya rumah sendiri... nanti saat pasangan saya lebih mencintai
saya... nanti saat saya telah meraih semua impian saya... nanti saat
penghasilan saya sudah sangat besar....”
Pemikiran “nanti” itu membuat kita bekerja sangat keras di
saat “kini”. Semuanya itu supaya kita bisa mencapai apa yang kita
konsepkan tentang masa “nanti” bahagia. Terkadang jika saya
renungi hal ini, ternyata kita telah mengorbankan begitu banyak
hal dalam hidup ini untuk masa “nanti” bahagia. Ritme kehidupan
kita menjadi sangat cepat, tapi rasanya tidak pernah sampai di
masa “nanti” bahagia itu. Ritme hidup yang sangat cepat... target-
target tinggi yang harus kita capai, yang anehnya kita sendirilah
yang membuat semua target itu... tetap semuanya itu tidak
pernah terasa memuaskan dan membahagiakan.
Uniknya, pada saat kita memelankan ritme kehidupan kita;
pada saat kita duduk menikmati keindahan pohon bonsai di
beranda depan, pada saat kita mendengarkan cerita lucu anak-
anak kita, pada saat makan malam bersama keluarga, pada saat
kita duduk bermeditasi atau pada saat membagikan beras dalam
acara bakti sosial peduli korban banjir, hidup terasa menjadi lebih
indah.
Jika saja kita mau memelankan ritme hidup kita dengan
penuh kesadaran; memelankan ritme makan kita, memelankan
ritme jalan kita, dan menyadari setiap gerak tubuh kita, berhenti
sejenak dan memerhatikan tawa riang anak-anak bahkan
menyadari setiap embusan napas, maka kita akan menyadari
126 Bib dan Bob

begitu banyak pernik kehidupan yang begitu indah dan bisa


disyukuri. Kita akan merasakan ritme yang berbeda dari kehidupan
yang ternyata jauh lebih damai dan tenang. Dan pada akhirnya
akan membawa kita menjadi lebih bahagia dan bersyukur seperti
Bib yang melewati perjalanannya di lembah permen lolipop.
127

36
Bangunlah Pikiran Positif

Pikiran kita seringkali mengalir bagaikan arus yang berosilasi,


bagai kurva yang berfluktuasi. Pikiran kita mempersoalkan
berbagai hal, mulai dari yang sepele hingga yang vital, yang buruk
hingga yang baik, dari A sampai Z, dari nol, satu, dua, sampai tak
terhingga. Dalam jasmani yang kecil inilah bersemayam kekuatan
luar biasa, yakni pikiran. Ialah yang telah membentuk wajah dunia
tempat tinggal kita.
Jika disuruh memilih, pikiran akan cenderung merangkul
hal-hal negatif ketimbang hal-hal positif. Entah kenapa ya, tapi
memang inilah kenyataannya. Coba Anda pikirkan ulang apa yang
Anda pikirkan semenit yang lalu, sejam yang lalu dan sepanjang
hari ini, kemarin, dalam seminggu terakhir ini. Hitunglah berapa
banyak pikiran yang mengandung ego, nafsu, dan kebodohan.
Pikiran juga sering diisi hal negatif seperti kesedihan,
kecemasan, dan penderitaan. Semuanya ini menggerus
kemurnian hati kecil kita; menyiksa batin dan badan; menambah
kerutan dan melenyapkan cahaya wajah kita. Ada satu kisah
yang menarik tentang bagaimana pikiran dapat sedemikian
mempengaruhi kehidupan.

Alkisah ada seorang nenek tua yang menyayangi kedua cucunya.


128 Bangunlah Pikiran Positif

Cucunya yang satu berjualan es krim dan satunya lagi jualan


mi rebus. Nenek ini tiap hari menatap langit dan bersedih
memikirkan cucunya. Kala hari panas terik, ia berpikir pastilah
mi rebus cucunya tidak laku dan tentulah cucunya ini sedang
duduk tercenung sambil mengusir lalat. Kala hujan dan dingin,
ia memikirkan cucunya yang berjualan es krim pastilah sedang
bersusah hati, memikirkan dagangannya. Hari demi hari, batin
nenek yang baik ini semakin tersiksa, tubuhnya semakin kurus,
keriputnya makin bertambah membuatnya terlihat lebih tua
beberapa tahun.
Suatu hari nenek ini bertemu seorang guru. Guru tersebut
merasakan getaran kesusahan hati nenek ini dan bertanya
kepada nenek tersebut. Nenek ini menumpahkan segala keluh
kesahnya. Sang guru tersenyum dan mengatakan kepada nenek
itu mengapa ketika hari panas, ia tidak memikirkan saja cucunya
yang berjualan es krim; membayangkan wajah cucunya yang
gembira ketika es krimnya laris. Sedangkan ketika hari hujan;
ia memikirkan cucunya yang satu lagi, yang gembira ketika
dagangannya dikerumuni pembeli. Apakah dengan menyiksa
batin seperti itu, keadaan dapat berubah? Nenek itu tersadar dan
air mata menetes di pipi tuanya akibat luapan kebahagiaan dan
rasa lega hatinya setelah sekian lama terkungkung oleh pikiran-
pikiran negatif yang menyiksa diri sendiri.

Sebenarnya banyak di antara kita saat ini seperti nenek yang


tersiksa tersebut, hanya saja dalam bentukan-bentukan pikiran
yang lain. Mengapa sejak saat ini kita tidak belajar mencoba
berpikiran positif; tidak lagi menggosipi dan mengomongi
kejelekan orang lain, selalu berprasangka buruk, mencari-cari
kesalahan maupun memandang rendah orang lain?
Mulailah memikirkan segi positif ketika kita melakukan
sesuatu. Misalkan saya berencana mengirim tulisan ke sebuah
majalah sosial. Tiba-tiba timbul ide: ngapain capai-capai mikir,
nulis, mending tidur aja. Dapat apa aku? Habis uang, waktu,
129 Bangunlah Pikiran Positif

dan tenaga saja! Nah… mulailah pikiran negatif bekerja. Pada


saat seperti ini cobalah Anda merenungi aspek positifnya. Oh,
tapi dengan menulis, aku bisa mengajak pembaca memupuk
kebajikan, menggembirakan hati mereka, yang nantinya akan
mereka sebarkan kebahagiaan mereka ke anggota keluarga
mereka yang lain, lingkungan, teman, dan kerabat mereka yang
lain dan seterusnya dan seterusnya. Bukankah kehidupan mereka
menjadi lebih harmonis? Jadikanlah hal-hal positif ini sebagai
cambuk bagi pikiran, semangat, atau spirit energi dan makanan
bagi batin kita setiap hari.
Jika pikiran negatif masih juga muncul, cobalah
menempatkan diri Anda sebagai orang lain. Ketika memergoki
pencuri, seseorang yang telah mencapai esensi nilai pikiran positif;
bukannya menyerang dan menghabisi pencuri tersebut, malah
sebaliknya timbul rasa iba di hatinya. Mengapa orang ini mencuri?
Pasti ada sebabnya; mungkin ia ingin menghidupi keluarganya,
mungkin ia ingin barang tersebut demi kesenangannya (ia terjerat
oleh keserakahan). Pada dasarnya ia melakukan hal itu untuk
apa? Ya untuk mencari kebahagiaan. Hanya saja caranya salah,
pengertiannya salah. Kita tidak banyak berbeda dengan pencuri
ini, mencari-cari kesempatan untuk menggaet kesenangan dan
kepuasan duniawi.
Akhirnya, cobalah memahami esensi dari segala sesuatu.
Jika kita terus berkontemplasi dengan sungguh-sungguh,
kita akan melihat bahwa pikiran positif adalah rel bagi kereta
perjuangan menuju stasiun kebahagiaan. Kedamaian, ketenangan,
kebahagiaan, dan kebijaksanaan akan mengiringi perjalanan kita
bagaikan bayang-bayang diri kita sendiri.

Redakanlah kemarahan
Lupakanlah rasa benci
Hilangkanlah iri hati
Musnahkanlah kebodohan
Peluklah orang-orang yang Anda kasihi
130 Bangunlah Pikiran Positif

Selagi Anda dapat melakukannya


Maafkan dan sayangilah orang-orang yang Anda benci
Selagi Anda dapat melakukannya
Suatu saat, ketika Anda membuka lembaran-lembaran ingatan
masa lalu;
Anda akan melihat
Betapa konyolnya beberapa perbuatan Anda
Betapa bodohnya beberapa tindakan Anda
Betapa kemudian Anda tersadar
Hal tersebut hanya tinggal memori masa lalu belaka.
131

37
Ayah Pilih Kasih

A
kanak.
yah mengutamakan pria meremehkan wanita, kesan ini
sudah berurat akar dalam sanubariku sejak masa kanak-

Sejak kecil hingga dewasa, aku selalu mendapat pakaian


bekas kakak laki-lakiku. Bagaimanapun, seorang gadis yang
mengenakan pakaian kakaknya yang longgar dan usang,
rasanya sangat janggal. Saat pulang sekolah, aku selalu
berlengah-lengah jalan di belakang, takut kepergok teman-
temanku, yang akan mengejek dan menertawakanku sebagai
bocah gadungan.
Kakakku seorang laki-laki cacat, lebih tua lima tahun dariku.
Meski aku anak perempuan, tapi aku sangat tekun belajar, setiap
ujian aku selalu dapat peringkat pertama.
Seharusnya akulah yang paling pantas disayang ayah. Karena
hal ini, aku selalu tidak terima akan sikap ayah terhadapku, aku
menganggap ayah pilih kasih. Suatu hari saat tahun baru, ayah
lagi-lagi membelikan pakaian baru untuk kakak, sedangkan aku
tidak satu pun. Akhirnya aku tak tahan lagi, melabrak ayah sambil
berteriak, “Ayah pilih kasih! Aku benar-benar tidak mengerti.
Ia hanya laki-laki cacat, apa bagusnya meski berpakaian bagus
sekalipun?!” Mendengar itu, bukan main marahnya ayah dan ia
132 Ayah Pilih Kasih

menamparku. Aku tidak menyerah dan mengangkat kepalaku,


bak seekor singa yang lapar aku meraung sambil menatap ayah,
“Aku tahu ayah memandang rendah padaku, ayo pukul lagi! Kalau
perlu bunuh saja sekalian!” Muka ayah merah padam saking
marahnya, kemudian ia hendak menampar lagi, tapi dicegah
oleh ibu.
Sejak itu, aku makin benci sama keluarga ini, aku belajar
dengan tekun, dan berencana hendak meninggalkan keluarga
ini setelah lulus ke perguruan tinggi. Abangku hanya sekolah
beberapa tahun, setelah itu berhenti dan tinggal di rumah,
prestasi belajarnya selama ini sebenarnya sangat memuaskan.
Tapi aku tidak merasa menyesal untuknya, malah aku merasa
senang, “Siapa suruh kau cacat?”
Setelah lulus SMA aku berhasil diterima di sebuah lembaga
ilmu kedokteran. Dua tahun kemudian, aku menjalin asmara
dengan seorang pria. Kami berunding untuk membeli rumah
di daerah kota. Keluarga laki-laki pacarku tinggal di desa,
keadaan ekonomi mereka juga biasa-biasa saja. Kami telah
menyimpan sebagian tabungan, tapi untuk kredit rumah masih
kurang. Aku harap keluargaku bisa memberi sebagian tambahan,
dan ketika aku menceritakan hal ini ke ayah, tak disangka ia
langsung menolaknya. “Uang tabungan keluarga dibutuhkan
untuk biaya kakakmu memperistri nanti! Masalah pembelian
rumah, kau pikirkanlah sendiri! Kalau uangmu tidak cukup, tidak
perlu beli yang terlalu besar!” Ayah yang tidak mengerti perasaan
membuat aku sungguh sangat kecewa.
Belakangan akhirnya pernikahan kakak telah dibicarakan
dan disetujui, yaitu seorang gadis desa tetangga yang polos. Ayah
mengeluarkan puluhan ribu yuan dan dengan cukup meriah
menyelenggarakan pernikahan mereka.
Setelah menikah, aku juga sudah jarang pulang ke rumah.
Beberapa hari yang lalu ayah ulang tahun yang ke-60, ibu
meneleponku, tapi aku menolak dengan alasan lagi sibuk dan
mungkin tidak bisa pulang. Dengan kecewa ibu menutup telepon.
133 Ayah Pilih Kasih

Suamiku mengatakan, tidak baik kalau ulang tahun ayah sampai


tidak menyempatkan diri untuk pulang. Suamiku memberi
berbagai nasihat, dan akhirnya aku pulang juga. Ayah tampak
sangat gembira, sibuk ke sana kemari sambil bersenandung. Aku
merogoh 200 yuan untuk ayah. Tapi Ayah menolaknya dengan
alasan, “Kalian juga bukan keluarga berada, simpanlah untuk
kebutuhan sendiri nanti.” Dengan nada datar aku berkata, “Benar!
Saat aku menikah juga tidak ada apa-apa, kami membeli sedikit
demi sedikit, dan sudah hampir lengkap seperti yang dimiliki
kakak.” Ayah tahu ada makna lain dalam ucapanku, setelah itu ia
tidak bicara lagi, dan sepanjang hari tidak terdengar lagi nyanyian
falls-nya itu.
Malamnya, aku tidur bersama ibu. Pada malam itu ibu
mengatakan, “Gadis manis, lain kali tidak boleh berkata begitu
sama ayah, karena marah ayahmu hari ini menyeka air matanya.”
Aku berbisik pelan, “Siapa suruh dia pilih kasih?” Ibu menarik
napas panjang lalu berkata, “Sayang, tahukah kamu kenapa kaki
kakakmu cacat?” Aku menggeleng. “Saat kamu masih anak-anak,
suatu ketika ayah membawamu dan kakakmu menumpangi
traktor pergi ke pekan raya, tapi traktor itu terbalik di tengah
jalan, dengan nalurinya ayah memelukmu dan meloncat keluar.
Namun, ketika ayah kembali lagi mencari kakakmu, kakinya telah
tertindih di bawah roda. Kakakmu kemudian di bawah ke rumah
sakit, dan meski nyawanya selamat, tapi meninggalkan cacat
seumur hidup. Dan sampai sekarang ayahmu masih merasa
sangat bersalah, ia tidak melindungi kalian dengan baik sekaligus.
Tapi ayah juga tidak mau aku menceritakan hal yang sebenarnya
padamu, ayah takut kau akan memikul beban jiwa yang berat.”
Aku termangu..., dan air mata berlinang membasahi
wajahku....
134

38
Mengapa Cincin di Jari Manis?

Selama ini kita mengetahui bahwa cincin pernikahan dipakai


di jari manis. Mengapa tidak dipakai di jari-jari lainnya saja?
Ikuti langkah-langkah berikut, dan Anda akan mengetahui
jawabannya.

1. Pertama, dekatkan kedua telapak tangan Anda, jari tengah


ditekuk ke dalam (lihat gambar).
2. Kemudian, empat jari yang lain dipertemukan ujungnya.
3. Permainan dimulai, dari lima pasang jari, ternyata hanya
satu pasang yang tidak terpisahkan.
4. Cobalah buka ibu jari Anda. Ibu jari mewakili HARTA Anda. Ibu
jari bisa dibuka karena harta sewaktu-waktu dapat hilang dan
musnah. Ia bisa saja meninggalkan kita setiap saat.
5. Tutup kembali ibu jari Anda, kemudian buka jari telunjuk
Anda. Jari telunjuk mewakili KEKUASAAN. Kekuasaan
sewaktu-waktu dapat terlengserkan, dan bersifat sangat
sementara.
6. Sekarang tutup kembali jari telunjuk Anda. Buka jari
kelingking, yang mewakili hal remeh temeh atau riak-riak
dalam rumah tangga. Riak-riak datang dan pergi, berlalu
seiring berjalannya waktu.
135 Mengapa Cincin di Jari Manis?

7. Selanjutnya, tutup jari kelingking Anda, bukalah jari manis


tempat kita menaruh cincin pernikahan kita. Anda akan
heran karena jari tersebut tidak bisa dibuka. Karena jari
manis mewakili CINTA yang tulus sepasang suami-istri,
selama hidup Anda dan pasangan akan saling mengisi dan
menopang satu sama lain....

Demikianlah, mengapa cincin dilekatkan di jari manis....


136

39
Kerlip Lentera

Pada suatu masa, di sebuah perkampungan nelayan, hiduplah


seorang nelayan tua. Ia memiliki seorang putra dan seorang
putri. Putrinya, Me Niang adalah seorang gadis yang rajin dan
baik hati.
Suatu malam, nelayan tua dan putranya pergi melaut.
Tak dinyana, malam itu langit berubah menjadi kelam dan
bergemuruh. Angin kencang menderu-deru. Sambaran petir
yang menakutkan menggelegar menyertai siraman deras air
hujan. Ombak laut menggelora akibat sapuan badai topan.
Me Niang sangat mengkhawatirkan ayah dan kakaknya.
Dengan membawa sebuah lentera, Me Niang menelusuri
kelamnya malam menuju tepi laut. Ia menerjang guyuran hujan
lebat yang membasah-kuyupkan pakaiannya. Dinginnya udara
malam merasuk hingga ke tulang-tulang, namun Me Niang tetap
berdiri di tepi tebing laut sambil mengangkat lenteranya, berharap
lentera itu akan menjadi penunjuk arah bagi para nelayan untuk
menuju daratan. (Harap diketahui bahwa pada saat itu belum
ada mercusuar dan juga bintang gemintang malam itu tertutup
oleh selubung awan kelam.)
Akhirnya ayah Me Niang dan nelayan-nelayan lainnya
berhasil mencapai tepi pantai. Akan tetapi, kenapa kakaknya
137 Kerlip Lentera

belum muncul juga?


Malam semakin larut, Me Niang masih berdiri memegang
lenteranya, berharap kakaknya segera kembali. Ayah dan
nelayan lain yang melihat Me Niang sedang menanti di tebing
laut, menasihatinya agar segera pulang saja. Malam itu berakhir
dengan penantian yang sia-sia.
Keesokan malamnya, Me Niang lagi-lagi keluar membawa
lenteranya dan menanti kepulangan saudaranya itu. Esoknya,
esoknya, dan esoknya lagi, Me Niang terus menanti. Akan tetapi,
semua penantian sia-sia hasilnya. Ayah dan nelayan-nelayan
tetangganya berujar, “Sudahlah Me Niang, kakakmu tidak akan
kembali lagi..., tidak usah menunggunya lagi....”
Namun Me Niang tidak peduli, dan selalu setiap malam, pasti
berdiri di tepi tebing laut menunggu kepulangan saudaranya
tersebut, dengan hanya ditemani sebuah lentera....

Tahukah Anda? Bahkan sampai detik ini, sekarang ini,


terkadang beberapa nelayan di pesisir Taiwan dan selatan
Tiongkok, dalam kelam malam, seringkali melihat cercah kecil
cahaya lentera di kejauhan malam....
138

40
Aku Menangis Enam Kali untuk Adikku

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat


terpencil. Hari demi hari, orangtuaku membajak tanah kering
kuning, dengan punggung mereka menghadap ke langit. Aku
punya seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang
mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya,
aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera
menyadarinya. Ayah menyuruh adikku dan aku berlutut di depan
tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. “Siapa
yang mencuri uang itu?” tanya ayah. Aku terpaku, terlalu takut
untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi
ayah mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua pantas
dipukul!” Ayah mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi.
Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata,
“Ayah, aku yang melakukannya!”Tongkat panjang itu menghantam
punggung adikku bertubi-tubi.
Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus memukul
sampai kehabisan napas. Sesudahnya, ayah duduk di atas ranjang
batu bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri
dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu
lakukan pada masa mendatang?”
139 Aku Menangis Enam Kali untuk Adikku

“Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu


malu!” Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan
kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan
air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, aku tiba-tiba
mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku
dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi
sekarang. Semuanya sudah terjadi.”
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki
cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah
lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin.
Aku tidak pernah akan lupa wajah adikku ketika ia melindungiku.
Waktu itu, adikku 8 tahun. Aku 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus
untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama,
aku diterima untuk masuk ke sebuah universitas provinsi. Malam
itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya,
bungkus demi bungkus. Aku mendengarnya memberengut,
“Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik... hasil yang
begitu baik....” Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan
menghela napas, “Tapi apa gunanya? Bagaimana mungkin kita
bisa membiayai keduanya sekaligus?”
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan
berkata, “Ayah, aku tidak mau melanjutkan sekolah lagi, aku sudah
cukup membaca banyak buku.” Ayah mengayunkan tangannya
dan memukul adikku pada wajahnya. “Mengapa kau punya jiwa
yang begitu parah lemahnya? Bahkan jika berarti Ayah mesti
mengemis di jalanan, Ayah akan menyekolahkan kamu berdua
sampai selesai!” Dan kemudian, ayah mengetuk setiap rumah di
dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku
selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan
berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya;
kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang
kemiskinan ini.” Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak
lagi meneruskan ke universitas.
140 Aku Menangis Enam Kali untuk Adikku

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum fajar datang,


adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian
lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap
ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas
bantalku: “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Aku akan
pergi cari kerja dan mengirimimu uang.” Aku memegang kertas
tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata
bercucuran sampai suaraku hilang. Waktu itu, adikku 17 tahun.
Aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun,
dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen di
punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun
ketiga di universitas.
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman
sekamarku masuk dan memberitahukan, “Ada orang dusun
menunggumu di luar sana.” Mengapa ada orang dusun
mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh,
seluruh badannya kotor terselimuti debu semen dan pasir.
Aku menanyainya, “Mengapa kamu tidak bilang pada
temanku bahwa kamu adalah adikku?” Dia menjawab,
tersenyum, “Lihat, bagaimana penampilanku. Apa yang akan
mereka pikir jika mereka tahu aku ini adikmu? Apa mereka tidak
akan menertawakanmu?” Aku merasa terenyuh, dan air mata
memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari tubuh adikku,
dan tersekat dalam kata-kata, “Aku tak peduli omongan siapa
pun! Kamu adalah adikku, bagaimanapun juga! Kamu adalah
adikku bagaimanapun penampilanmu!”
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut
berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya padaku, dan
menjelaskan, “Aku melihat semua gadis kota memakainya. Jadi
kupikir Kakak juga harus punya satu.” Aku tidak dapat menahan
diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan
menangis. Waktu itu, adikku 20 tahun. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca
141 Aku Menangis Enam Kali untuk Adikku

jendela yang pecah telah diganti dan kelihatan bersih di mana-


mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil
di depan ibuku. “Bu, Ibu tidak perlu menghabiskan begitu
banyak waktu untuk membersihkan rumah kita.” Tetapi katanya,
sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk
membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka di
tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.”
Aku masuk ke dalam kamar kecil adikku. Melihat mukanya
yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan
sedikit salep pada lukanya dan membalut lukanya. “Apakah sakit?”
tanyaku. “Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika aku bekerja di lokasi
konstruksi, batu-batu berjatuhan di kakiku setiap waktu. Bahkan
itu tidak menghentikanku bekerja dan....” Di tengah kalimat itu
ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan
air mata mengalir deras turun ke wajahku. Waktu itu, adikku 23
tahun. Aku 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Seringkali suamiku
dan aku sendiri mengundang orangtuaku untuk datang dan
tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka
mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu
harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan,
“Kak, jagalah mertuamu saja. Aku akan menjaga ibu dan ayah di
sini.”
Suamiku menjadi direktur di pabriknya. Kami ingin adikku
mendapatkan pekerjaan sebagai manajer di Departemen
Pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia
bersikeras untuk memulai bekerja sebagai buruh reparasi saja.
Suatu hari, adikku ada di atas tangga untuk memperbaiki
sebuah kabel, ketika ia terkena sengatan listrik, dan masuk rumah
sakit. Aku dan suamiku pergi menjenguknya. Melihat gips putih
di kakinya, aku menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi
manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang
berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius.
Mengapa kamu tidak mau mendengarkan kami sebelumnya?”
142 Aku Menangis Enam Kali untuk Adikku

Dengan tampang serius di wajahnya, ia membela


keputusannya, “Pikirkan kakak ipar, ia baru saja jadi direktur, dan
aku nyaris tak berpendidikan. Jika aku menjadi manajer seperti
itu, berita macam apa yang akan beredar?”
Mata suamiku digenangi air mata, dan kemudian keluar kata-
kataku yang sepatah-sepatah, “Tapi kamu kurang pendidikan
juga karena aku.” “Mengapa membicarakan masa lalu?” adikku
menggenggam tanganku. Waktu itu, adikku 26 tahun. Aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang
gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya,
pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, “Siapa yang
paling kamu hormati dan kasihi?” Tanpa berpikir sedikit pun, ia
menjawab, “Kakakku.”
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah
yang bahkan tidak dapat kuingat. “Ketika aku pergi sekolah dasar,
sekolah itu ada di dusun lain. Setiap hari aku dan kakakku berjalan
selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah.
Suatu hari, aku kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku
memberikan satu dari sarung tangannya. Ia hanya memakai satu
saja dan berjalan sejauh itu.
Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran
karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang
sumpitnya. Sejak hari itu, aku bersumpah, selama aku masih
hidup, aku akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.”
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu
memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah
kuucapkan keluar bibirku, “Dalam hidupku, orang yang paling
aku terimakasihi adalah adikku.” Dan dalam kesempatan yang
paling bahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata
bercucuran turun dari wajahku seperti sungai....
143

41
Dandelion

D i suatu sudut pekarangan rumah yang tidak istimewa,


hiduplah ibu dandelion. Udara siang yang hangat teriring
cericipan burung yang sesekali terdengar pastilah menenteramkan
setiap relung hati yang mencari pelepasan beban. Rumput-
rumput menyibakkan keharumannya yang khas.
Ibu dandelion tampak bahagia. Anak-anaknya yang
masih halus terlihat menggelantung di kelopaknya yang khas.
Hempasan angin menerbangkan anak-anaknya, hingga tersisa
sejentik halus satu anaknya. Anak dandelion ini berusaha
menggenggam erat-erat ibunya, melawan hempasan angin yang
ingin menerbangkannya.
Ibu dandelion heran dan bertanya, “Mengapa engkau tetap
bertahan di sini, Nak?”“Aku tidak ingin meninggalkan Ibu,” gumam
anak dandelion, “nanti Ibu kesepian, sendirian di pekarangan
ini.”
Ibu dandelion tersenyum dan berkata, “Ibu tidak apa-apa.
Pergilah, terbanglah jauh ke angkasa, lihatlah dunia yang luas ini,
Nak....”
“Tidak!” anak dandelion bersikukuh.
Ibu dandelion kemudian bercerita, “Dulu, sewaktu kecil,
Ibu tinggal di padang rumput yang luas. Angin menerbangkan
144 Dandelion

kami semua. Ada yang hanya terbang sedikit dan jatuh masih di
padang rumput, ada yang terbang jauh melewati gunung dan
tiba di rimba raya, ada yang menyusuri sungai dan sampai di
petak sawah, ada yang hinggap di sayap burung dan terbawa
hingga ke negeri nun jauh di sana....” Terhenti sejenak, sambil
tersenyum ibu dandelion menambahkan, “Ibu sendiri terbang
jauh sekali dan jatuh di pekarangan rumah ini.”
Anak dandelion agak terkesima mendengar penuturan
ibunya. “Ibu terbang tinggi sekali, melewati hamparan padang
rumput luas yang seakan menyatu dengan cakrawala. Atap-atap
rumah tampak kecil di kejauhan. Malam hari, bintang-bintang
berkelip menemani perjalanan ibu,” sambil menarik napas
dalam dan memandang angkasa, ibu dandelion bergumam lagi,
“perjalanan panjang itu akhirnya berakhir di pekarangan ini. Tapi,
ibu tidak pernah menyesali apa pun. Ibu bahagia dapat tumbuh
di tempat baru ini, pernah terbang melewati bentang alam
nan luas, hingga sekarang memiliki anak-anak yang kemudian
terbang jauh, masing-masing akan memiliki kisahnya tersendiri.”
“Terbanglah Nak. Ibu tidak apa-apa di sini. Lihatlah dunia
yang luas ini.”
“Ibu......!!!”
Angin menerbangkan si anak dandelion, jauh... jauh
sekali....
“Pergilah Nak... engkau akan tumbuh dewasa, engkau akan
punya banyak kisah untuk diceritakan kelak,” bisik ibu dandelion
dalam hati.
Kredit
4: Christina Feldman, Jack Kornfield, Menghidupkan Kebenaran Kita,
Penerbit Karaniya.
6: Diterjemahkan dan diadaptasi dari “Favourite Folktales of China”,
Penerbit Graham Brash, Singapore, 1990.
8: Diterjemahkan dan diadaptasi dari “Korean Folk & Fairy Tales”,
Penerbit Hollym Int, 1991.
9: Ditulis oleh sahabatku, Hart Ye.
10: Diterjemahkan dan diadaptasi dari “Oral Tradition from the Indus”,
Penerbit Brighton R. Gosden, 1908.
13: Ditulis ulang dan disunting dari e-mail, penulis awal kisah ini tidak
diketahui.
14: Diterjemahkan dan diadaptasi dari “Favourite Folktales of China”,
Penerbit Graham Brash, Singapura, 1990.
15: Shito Naoko, Tokyo University of Foreign Studies, 2005.
17: Thich Nhat Hanh, “Menyembuhkan Diri, Mengatasi Derita”,
Penerbitan PVVD, 2008.
18: Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh GB Talovich, ”The Love
of Life”, Mencintai Kehidupan, Penerbit Dian Dharma, 1997.
19: Ditulis oleh sahabatku, Hart Ye.
20: Penulis kisah ini tidak diketahui.
22: Didapat dari e-mail
23: Cerita rakyat dari Jepang, diterjemahkan dan diadaptasi dari “Myths
and Legends of Japan”, Penerbit GG Harrap, London, 1913.
25: Barnard, Musim Gugur ’97.
27: Didapat dari e-mail.
28: Diterjemahkan dari rubrik “So, What the Heck is That?”, Alice
Gordenker, The Japan Times, 19 Juni 2007.
29: Jataka–Cerita untuk Anak-anak, Penerbit Dhammadipa Arama.
30: Disunting dari e-mail yang dikirimkan oleh seorang teman; penulis
awal artikel ini tidak diketahui.
31: Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh GB Talovich, ”The Love
of Life”, Mencintai Kehidupan, Penerbit Dian Dharma, 1997.
32: Penulis artikel ini tidak diketahui.
34: Master Cheng Yen, Pendiri Yayasan Tzu Chi.
35: Disunting dari e-mail yang dikirimkan oleh seorang teman, penulis
awal artikel ini tidak diketahui.
37: Didapat dari e-mail.
40: Diterjemahkan dari artikel “I Cried for My Brother Six Times”, penulis
awal artikel ini tidak diketahui.
Profil Penulis
Willy Yanto Wijaya lahir pada tahun 1985 di Tebingtinggi, sebuah
kota kecil di pesisir timur laut Sumatera Utara. Tahun 2000, ia hijrah
ke kota Serang, Banten dan meneruskan pendidikan menengah
atasnya di sana.
Ia kemudian melanjutkan studinya
di Jurusan Fisika, Institut Teknologi
Bandung (2003-2008), lulus
dengan predikat cum laude. Selama
studi di ITB, ia pernah terpilih
menjadi peserta YSEP (Young
Scientist Exchange Program) untuk
melakukan riset di Tokyo Institute
of Technology, Jepang selama
setahun (2006-2007). Di sela-
sela kesibukan studinya, ia masih
menyempatkan diri menulis artikel
untuk beberapa majalah dan surat kabar. Ia adalah kontributor
tetap di majalah BVD dan penulis lepas di rubrik Cakrawala,
Pikiran Rakyat, salah satu harian terbesar di Jawa Barat.
Ia juga mengisi keluangan waktu dengan menulis,
menerjemahkan, dan menyunting berbagai artikel dan buku.
Ia adalah co-author buku “Rahasia Melanjutkan Studi dan
Mendapatkan Beasiswa ke Jepang” yang diterbitkan oleh ACI
Publishing (2009). Selain itu, ia pernah menjadi editor buku
“Jangan Ada Dukkha di Antara Kita” yang diterbitkan oleh
Penerbitan PVVD (2006).
Selama di Jepang, beberapa foto hasil jepretannya juga
pernah dimuat di The Japan Times, koran berbahasa Inggris
terbesar di Jepang. Selain fotografi dan menulis, ia juga
penggemar cerita rakyat, kisah inspiratif, sains, pazika (puzzle
logika/matematika), fila-numismatik (koleksi perangko dan koin),
berkebun, serta aneka hal unik lainnya.
Ia bisa dihubungi melalui e-mail willy_yanto_wijaya@
yahoo.com atau URL http://willyyanto.wordpress.com/

Anda mungkin juga menyukai