Anda di halaman 1dari 3

Legenda Telaga Bidadari - Cerita Rakyat dari Kalimantan

Selatan
Legenda Telaga Bidadari ini berasal dari desa Pematang Gadung. Kecamatan Sungai
Raya, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Propinsi Kalimatan Selatan.
Alkisah, seorang pemuda tampan dan gagah perkasa bernama Awang Sukma
mengembara sampai ke tengah hutan belantara. Ia tertegun melihat aneka macam
keindahan di dalam hutan. Saat itu, Awang Sukma langsung membangun tempat tinggal
di atas dengan berbagai penghuni hutan. Kehidupan di hutan sangat rukun dan damai.
Para penghuni hutan mengangkat Awang Sukma menjadi penguasa daerah itu dan
bergelar Datu.
Setiap satu bulan sekali, Awang Sukma yang sudah bergelar Datu itu mengadakan
perjalanan keliling ke seluruh daerah kekuasaannya. Sesuatu ketika ia tiba di sebuah
telaga. Telaga itu tidak begitu dalam. Airnya jernih dan bening bagaikan sebuah cermin.
Letak telaga berada di bawah kerindangan pepohonan. Beberapa pohon buah-buahan
tumbuh subur dan berbuah lebat. Berbagai jenis burung, tinggal dengan aman di sekitar
telaga itu. Bermacam seranggapun dengan riangnya menghisap madu bunga.
“Hem, alangkah indahnya telaga ini. Ternyata hutan ini menyimpan keajaiban yang luar
biasa,” gumam Datu Awang Sukma penuh kekaguman.
Ia tinggal di telaga itu sampai beberapa hari.
Datu Awang Sukama pandai meniup seruling maka dari itu ia dikenal dengan nama Datu
Suling.
Selama tinggal di telaga itupun, ia selalu bermain seruling. Lagu-lagu yang dibawakan
sangat merdu dan indah sehingga menyentuh perasaan siapa saja yang
mendengarkannya. Pada pagi yang cerah Datu Awang Sukma meninggalkan telaga yang
indah. Baru beberapa langkah berjalan, ia mendengar suara riuh rendah di telaga.
“Apakah yang terjadi di telaga itu?,” gumam Datu Awang Sukma penuh tanda tanya.
Di sela-sela tumpukan batu ada celah yang biasa digunakan untuk mengintip telaga.
“Oh, hujan gadis cantik sedang mandi, mungkinkah mereka itu para bidadari dari
khayangan ?,” bisik Datu Awang Sukma sambil matanya melotot.
Lama kelamaan ia malu sendiri, ia penasaran untuk mengetahui apa yang bakal terjadi
pada tujuh gadis cantik itu.
Tujuh gadis cantik itu tak henti-hentinya bermain air. Mereka tidak menghiraukan
selendang yang saat itu ditanggalkan dan bertebaran di sekitar telaga. Selendang itu
yang mereka gunakan untuk terbang. Ada sebuah selendang yang ditaruh di sebuah
dahan pohon. Kebetulan sekali pohon itu berada didekat tempat Datu Awang Sukma
mengintip.
“Kesempatan yang baik ini tidak boleh aku sia-siakan. Aku harus bisa mendapatkan
sebuah selendang di pohon itu,” pikir Datu Awang Sukama yakin.
“Yak!,” seru Datu Awang Sukma tak dapat menahan perasannya.
Datu Awang sukma berhasil mendapatkan sebuah selendang. Tujuh putri yang
mendengar suara yang tidak diundang makhluk lain, segera mengambil selendang
masing-masing.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Ketika ketujuh putri ingin
mengenakan pakaian kembali, ternyata ada salah seorang putri yang tidak menemukan
pakaiannya. Ia adalah putri bungsu dari tujuh bersaudara itu. Putri Bungsu bingung
tujuh keliling. Padahal keenam putri sudah terbang kembali ke Khayangan. Saat itu,
Datu Awang Sukma keluar dari tempat persembunyian.
“Jangan takut tuan putri, hamba akan menolong, asalkan tuan putri sudi tinggal
bersama hamba,” bujuk Datu Awang Sukma.
Putri Bungsu masih ragu menerima uluran tangan Datu Awang Sukma. Namun tiada
jalan lain kecuali menerima pertolongan seorang pemuda yang berada didepannya.
Datu Awang Sukma sangat kagum akan kecantikan putri Bungsu. Demikian pula putri
Bungsu sangat bahagia berada di dekat seorang pemuda tampan dan gagah perkasa.
Akhirnya mereka memutuskan menjadi suami istri dan menjadi pasangan yang amat
serasi. Ketampanan dan kebijaksanan yang dimiliki Datu Awang Sukma berpadu dengan
kecantikan dan kelemahlembutan Putri Bungsu. Tidak berapa lama Putri Bungsu
mengandung. Ia melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan diberi nama
Kumalasari.
Kehidupan keluarga Datu Awang Sukma sangat bahagia. Namun di dunia ini tidak ada
yang kekal, semuanya akan berakhir. Demikian pula yang dialami Datu Awang Sukma
dan Putri Bungsu.
Pada suatu hari, seekor ayam hitam naik keatas lumbung. Ayam hitam tersebut mengais
padi di atas permukaan lumbung sambil berkotek-kotek. Putri Bungsu berusaha
mengusir ayam hitam itu. Tiba-tiba dilihatnya sebuah bumbung bambu yang tergeletak
di bekas kaisan ayam hitam.
“Aku harus segera membukanya,” gumam Putri Bungsu.
Bumbung dibuka. Betapa terkejutnya ia, setelah Putri Bungsu melihat isi bumbung.
“Ini selendangku!,” seru Putri Bungsu tak bisa menahan diri.
Selendang itu kemudian didekapnya erat-erat.
Perasaan Putri Bungsu berkecamuk. Perasaan gemas, kesal, dan jengkel yang ditujukan
kepada suaminya bercampur dengan perasaan gembira berkat selendang miliknya yang
sudah dikembalikan. Aneka rasa itu bercampur dengan rasa cinta yang dalam kepada
suaminya.
“Kini saatnya aku harus kembali!,” katanya dalam hati.
Putri Bungsu segera mengenakan selendang dan menggendong putrinya yang masih
balita. Datu Awang Sukma terpana melihat kejadian itu. Ia langsung mendekat dan
minta maaf atas tindakan yang tidak terpuji yaitu menyembunyikan selendang Putri
Bungsu.
Datu Awang Sukma sadar bahwa perpisahan dengan istrinya akan terjadi.
“Kanda, dinda mohon peliharalah Kumalasari dengan baik,” kata Putri Bungsu kepada
Datu Awang Sukma.
Pandangan Datu Awang Sukma menerawang kosong ke angkasa.
“Jika anak kita merindukan dinda, ambillah tujuh biji kemiri, dan masukkan kedalam
bakul yang digoncang-goncangkan dan iringilah dengan lantunan seruling. Pasti dinda
akan segera datang menemuinya,” tambahnya.
Pikirannya Datu Awang Sukma yang sedang kalut tidak bisa mendengar dengan baik apa
yang diucapkan istrinya.
Perpisahan akhirnya terjadi. Putri bungsu segera mengenakan selendangnya. Seketika
itu juga, ia terbang ke Kayangan. Datu Awang Sukma dan Kumalasari meratap sedih
berkepanjangan. Tahun demi tahun Kumalasari bertambah dewasa. Ia tumbuh menjadi
seorang gadis cantik. Ia menjadi kembang desa. Datu Awang Sukmapun semakin
melupakan istrinya.
Konon, Datu Awang Sukma bersumpah dan melarang anak keturunannya memelihara
ayam hitam yang dianggap membawa malapetaka. Sampai sekarang desa Pematang
Gadung mematuhi larangan itu
1.Siapakah nama tokoh yang tampan dan gagah perkasa ? Datu Awang Sukma / Awang Sukma

2.Darimanakah 7 putri itu berasal? Khayangan

3.Siapakah tokoh yang kehilangan selendang nya? Putri Bungsu

4.Siapakah nama anak dari kedua tokoh dalam cerita? Kumalasari

5.mengapa datu awang sukma melarang anak keturunannya memelihara ayam hitam? Karena
membawa malapetaka

Anda mungkin juga menyukai