Dosen
1. Prof. Dr.H. Yus Rusyana
2. Dra. Hj. Yeni Suryani, M.Pd
oleh
Alur Cerita :
Menggunakan Alur Maju
Pak Buder adalah seorang petani yang rajin, setiap kali panen padi dia
selalu mendapat hasil yang melimpah. Hasil panen padi itu dia bawa ke
rumah sebagai persediaan makannya. Setiap kali panen biasanya kawanan
kera selalu mengganggu dan mencuri padi hasil panen Pak Buder dan para
warga.
Sampai Pak Buder dan istrinya mempunyai rencana untuk menjebak
kera-kera itu supaya dapat ditangkap dan jera tidak mengganggu lagi padi
hasil panennya.
Siasat yang dilakukan Pak Buder dengan Mak buder untuk menjerat
kawanan kera yaitu Pak buder berpura-pura mati.
Tersiar kabar Pak Buder mati maka para warga berdatangan dan
melayat ke Rumah Mak Buder, begitu juga diceritakan kawanan kera pun ikut
melayat akan kematian Pak Buder.
Pada saat itulah Pak Buder Bangun dari pura-pura mati menyerang
kawanan kera dibantu dengan warga, kawanan kera yang tidak siap dengan
serangan yang dilakukan Pak Buder dan para warga, mereka kewalahan dan
kawanan kera itu mati semua. Kecuali tersisa satu kera yang bersembunyi di
balik pintu dapur Pak Buder dalam keadaan hamil, dan oleh warga dibiarkan
kabur., yang menurut cerita itulah awal kawanan kera yang menghuni
kawasan hutan mereka, yang setelah berhasil diusir dari ruman Pak Buder
beranak pinak kembali.
Latar : Kejadian atau latar dalam cerita Pak Buder berada di rumah
Pak bude, Latar waktu Siang Hari.
Alur Cerita :
Menggunakan Alur Maju
Cerita Rakyat dari Kalimantan Selatan – Legenda Telaga Bidadari
Legenda Telaga Bidadari ini berasal dari desa Pematang Gadung. Kecamatan
Sungai Raya, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Propinsi Kalimatan Selatan.
Alkisah, seorang pemuda tampan dan gagah perkasa bernama Awang Sukma
mengembara sampai ke tengah hutan belantara.
Para penghuni hutan mengangkat Awang Sukma menjadi penguasa daerah
itu dan bergelar Datu.
Setiap satu bulan sekali, Awang Sukma yang sudah bergelar Datu itu
mengadakan perjalanan keliling ke seluruh daerah kekuasaannya. Sesuatu
ketika ia tiba di sebuah telaga. Telaga itu tidak begitu dalam. Airnya jernih
dan bening bagaikan sebuah cermin. Letak telaga berada di bawah
kerindangan pepohonan. Datu Awang Sukama pandai meniup seruling maka
dari itu ia dikenal dengan nama Datu Suling.
Selama tinggal di telaga itupun, ia selalu bermain seruling. Lagu-lagu yang
dibawakan sangat merdu dan indah sehingga menyentuh perasaan siapa saja
yang mendengarkannya. Pada pagi yang cerah Datu Awang Sukma
meninggalkan telaga yang indah. Baru beberapa langkah berjalan, ia
mendengar suara riuh rendah di telaga.
“Apakah yang terjadi di telaga itu?,” gumam Datu Awang Sukma penuh tanda
tanya.
Di sela-sela tumpukan batu ada celah yang biasa digunakan untuk mengintip
telaga.
“Oh, hujan gadis cantik sedang mandi, mungkinkah mereka itu para bidadari
dari khayangan ?,” bisik Datu Awang Sukma sambil matanya melotot.
Lama kelamaan ia malu sendiri, ia penasaran untuk mengetahui apa yang
bakal terjadi pada tujuh gadis cantik itu.
Tujuh gadis cantik itu tak henti-hentinya bermain air. Mereka tidak
menghiraukan selendang yang saat itu ditanggalkan dan bertebaran di
sekitar telaga. “Kesempatan yang baik ini tidak boleh aku sia-siakan. Aku
harus bisa mendapatkan sebuah selendang di pohon itu,” pikir Datu Awang
Sukama yakin.
“Yak!,” seru Datu Awang Sukma tak dapat menahan perasannya.
Datu Awang sukma berhasil mendapatkan sebuah selendang. Tujuh putri
yang mendengar suara yang tidak diundang makhluk lain, segera mengambil
selendang masing-masing.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Ketika ketujuh putri ingin
mengenakan pakaian kembali, ternyata ada salah seorang putri yang tidak
menemukan pakaiannya. Ia adalah putri bungsu dari tujuh bersaudara itu.
Putri Bungsu bingung tujuh keliling. Padahal keenam putri sudah terbang
kembali ke Khayangan. Saat itu, Datu Awang Sukma keluar dari tempat
persembunyian.
“Jangan takut tuan putri, hamba akan menolong, asalkan tuan putri sudi
tinggal bersama hamba,” bujuk Datu Awang Sukma.
Putri Bungsu masih ragu menerima uluran tangan Datu Awang Sukma.
Namun tiada jalan lain kecuali menerima pertolongan seorang pemuda yang
berada didepannya.
Akhirnya mereka memutuskan menjadi suami istri dan menjadi pasangan
yang amat serasi. Ketampanan dan kebijaksanan yang dimiliki Datu Awang
Sukma berpadu dengan kecantikan dan kelemahlembutan Putri Bungsu.
Tidak berapa lama Putri Bungsu mengandung. Ia melahirkan seorang bayi
perempuan yang cantik dan diberi nama Kumalasari.
Kehidupan keluarga Datu Awang Sukma sangat bahagia. Namun di dunia ini
tidak ada yang kekal, semuanya akan berakhir. Demikian pula yang dialami
Datu Awang Sukma dan Putri Bungsu.
Pada suatu hari, seekor ayam hitam naik keatas lumbung. Ayam hitam
tersebut mengais padi di atas permukaan lumbung sambil berkotek-kotek.
Putri Bungsu berusaha mengusir ayam hitam itu. Tiba-tiba dilihatnya sebuah
bumbung bambu yang tergeletak di bekas kaisan ayam hitam.
“Aku harus segera membukanya,” gumam Putri Bungsu.
Bumbung dibuka. Betapa terkejutnya ia, setelah Putri Bungsu melihat isi
bumbung.
“Ini selendangku!,” seru Putri Bungsu tak bisa menahan diri.
Selendang itu kemudian didekapnya erat-erat.
Perasaan Putri Bungsu berkecamuk. Perasaan gemas, kesal, dan jengkel yang
ditujukan kepada suaminya bercampur dengan perasaan gembira berkat
selendang miliknya yang sudah dikembalikan. Aneka rasa itu bercampur
dengan rasa cinta yang dalam kepada suaminya.
“Kini saatnya aku harus kembali!,” katanya dalam hati.
Putri Bungsu segera mengenakan selendang dan menggendong putrinya
yang masih balita. Datu Awang Sukma terpana melihat kejadian itu. Ia
langsung mendekat dan minta maaf atas tindakan yang tidak terpuji yaitu
menyembunyikan selendang Putri Bungsu.
Datu Awang Sukma sadar bahwa perpisahan dengan istrinya akan terjadi.
“Kanda, dinda mohon peliharalah Kumalasari dengan baik,” kata Putri
Bungsu kepada Datu Awang Sukma.
Pandangan Datu Awang Sukma menerawang kosong ke angkasa.
“Jika anak kita merindukan dinda, ambillah tujuh biji kemiri, dan masukkan
kedalam bakul yang digoncang-goncangkan dan iringilah dengan lantunan
seruling. Pasti dinda akan segera datang menemuinya,” tambahnya.
Pikirannya Datu Awang Sukma yang sedang kalut tidak bisa mendengar
dengan baik apa yang diucapkan istrinya.
Perpisahan akhirnya terjadi. Putri bungsu segera mengenakan selendangnya.
Seketika itu juga, ia terbang ke Kayangan. Datu Awang Sukma dan Kumalasari
meratap sedih berkepanjangan. Tahun demi tahun Kumalasari bertambah
dewasa. Ia tumbuh menjadi seorang gadis cantik. Ia menjadi kembang desa.
Datu Awang Sukmapun semakin melupakan istrinya.
Konon, Datu Awang Sukma bersumpah dan melarang anak keturunannya
memelihara ayam hitam yang dianggap membawa malapetaka. Sampai
sekarang desa Pematang Gadung mematuhi larangan itu.