Anda di halaman 1dari 90

Banjir Bandang dari Utara 1

March 25, 2014 at 7:13am

MAJAPAHIT
Episode
Banjir Bandang dari Utara

1
Suara yang melengking keras itu semula tidak diketahui darimana arahnya, karena langit tepat di atas kepala sedang pekat
gulita. Namunketika sekali lagi burung bersayap lebar dan berparuh kuat dan tajam ituberteriak, Guru Grahita mampu
menandai arahnya. Kesempatan untuk menemukan arahburung itu ia peroleh ketika mendung menyibak dan bulan yang
sudah doyong kebarat membantu meneranginya. Ada lima ekor paksicataka di sana sedang terbang berputar-putar seperti
tanpa tujuan, sepertilagak burung elang yang penuh rasa ingin tahu pada umumnya. Semula Guru Grahitaatau yang juga
disebut Rudra Narantaka itu menganggap perbuatan burung itubiasa-biasa saja, seolah sebuah keadaan lumrahbelaka.
Namun tiba-tiba ada kilat yang muncrat, bagai membantunyamenerangi keberadaan burung-burung itu. Di keheningan mata
hati yang melintassekilas, paksi itu bagai memiliki cahayanya sendiri, atau seolah para burungitu dengan sengaja
mewartakan keberadaan dan kehadirannya, seolah ia denganlantang berkata, di sini saya berada. Warna kebiruan yang
muncul sekilas itubisa ditangkap mata dengan cukup jelas.
“Burung itu lagi,” gumam Guru Grahita itu.
Kembali burung itu melengking dengan nada tinggi.
Getar suara aneh yang dilontarkan oleh burung itulah yangmenyebabkan Rudra Narantaka menjengatkanalis. Beberapa saat,
pesonanya bagai meremas jantungnya, mengkili-kili sarafrasa ingin tahunya.
“Burung itu lagi,” gumamnya dengan kulit tangan bagaidirambati ribuan ekor semut.
Maka rasa curiga itu kembali muncul. Bagaimana pun jugaburung rajawali terbang malam baru pertama kali ini ia
memergokinya, sementarasuara yang dilontarkannya bagai bermuatan sesuatu. Sebagai orang yang terbiasamenggunakan
olah batin, Guru Grahita menangkap getar aneh itu seperti ketikaketajaman simpul syarafnya menangkap kehadiran getar
ilmu sirep yangmeninabobokkan. Ketika bagi orang lain, kekuatan sirep akan menenggelamkan parakorbannya ke dalam
kubangan mimpi, sebaliknya bagi Rudra Narantaka, kekuatansirep justru sebaliknya, getar yang mengalir di udara itu akan
membangunkan danlangsung mengundang kecurigaan.
Namun demikian Rudra Narantaka tidak dengan segera menemukanjawabnya, ia tidak tahu apa yang membuatnya risih,
sesuatu yang mencurigakannamun tak jelas bentuknya itu.
“Kau dengar suara burung itu lagi?” letup Rangga Bentar.
Rudra Narantaka mengangguk dan menoleh padanya, Rangga Bentaryang buta ternyata juga menyimak suara menjerit dari
langit itu. Kembali RudraNarantaka Guru Grahita menengadah dan mencoba menandai.
“Ya,” jawab Rudra Narantaka, “anak panahmu rupanya tidakmengenainya.”
Guru Grahita Rudra Narantaka menengadah, lelaki bertutupwajah itu tidak kuasa mencegah rasa takjubnya.
Rangga Bentar, sesungguhnya bagaimana ia bisa melihat dengancacat mata yang ia alami. Namun meski demikian, Rangga
Bentar sepertiberkeadaan sebaliknya. Ketika orang lain bisa memandang secara kasat matasebaliknya ia justru harus
menggunakan ketajaman mata hati dan batinnya. Ketikaorang lain melihat hal-hal yang bersifat wadag, sebaliknya ia justru
melihathal-hal yang bersifat batiniah. Yang ia tidak melihat orang lain melihat,sebaliknya yang orang lain tidak melihat, ia
melihatnya dengan amat jelas serasajari tangan di depan mata.
“Mereka berada di belakangnya, begitu rupanya,” gumam RanggaBentar.
Rudra Narantaka terusik.
“Begitu rupanya bagaimana? Ada apa?” tanya Rudra Narantakaheran.
Rangga Bentar diam tidak segera menjawab, sebaliknya justrusetelah merasa ada sesuatu yang aneh, ia memperhatikan
keadaan dengan lebihseksama. Ia mencoba mengenali perubahan yang terjadi, terutama mengapatiba-tiba ia merasa
dihadang oleh gelap gulita.
Semula bukanlah pekerjaan yang sulit baginya untuk menandaidi mana Raden Wijaya itu berada, ia bisa tetap membayangi
ke mana pun anak DyahLembu Tal itu bergerak, bahkan meski bersembunyi di lubang semut sekalipun. Sesungguhnyabukan
Raden Wijayanya yang selalu tertangkap jejak dan gerak-geriknya, namunkeris Empu Gandring yang sedang bersama
pemuda itulah yang menunjukkan di manaia berada. Di mata batin Rangga Bentar yang bermata aneh, keberadaan keris
EmpuGandring bagai cahaya benderang yang menuntunnya ke mana pun ia pergi. Dengandemikian, yang ia lakukan tidak
sekadar mengejar namun bahkan menghadang.
Namun kini, cahaya itu padam, yang ia rasakan gelap gulita. Pamorkeris bermuatan kutukan buatan Empu Gandring yang
semula tampak begitu jelas, kinitidak terlihat. Cahaya berpendar dari keris buatan Empu Gandring itu kinilenyap.
Burung-burung di langit itu bagai saling sapa denganserentak. Seekor di antaranya terbang lebih rendah, sangat mungkin
yang ialakukan untuk bisa melihat pemandangan yang lebih jelas, ia lakukan itu ketikaada mendung terbang rendah.
“Mereka sedang mengawasi kita, dia kepanjangan mata mereka,”kata Rangga Bentar setelah menilai keadaan.
“Mereka siapa?”
“Burung-burung itu berada di bawah kendali Raden Wijaya, iatahu saya mengawasinya, kini ia memiliki kemampuan
menutupi jejaknya, ia bahkanmengawasi gerak-gerik kita,” lanjutnya.
Rudra Narantaka agak terhenyak.
Rudra Narantaka berjalan mondar-mandir seraya mengedarkanpandang matanya ke segenap prajurit Kediri yang mengiringi
perjalanannya. Paraprajurit itu, sesungguhnya mereka kelelahan setelah pertempuran yang terjadi.Namun mereka sadar,
pekerjaan memang harus dituntaskan. Dendam harus ditagihlengkap dengan bunganya. Pepatah mengatakan, kriwikan dadi
grojokan, persoalan yang kecil bila dibiarkan akanmembesar dan menyulitkan. Itulah yang akan terjadi jika Raden Wijaya
dibiarkanmasih hidup. Garis keturunan Ken Arok harus dihapus sampai ke akar-akarnya agardi kemudian hari tidak menjadi
sumber masalah bagi Kediri yang kini dengangemilang menghapus peta Singasari dari panggung sejarah tanah Nusantara.
Namun di antara para prajurit itu juga ada yang tidak terlalubersemangat memburu Raden Wijaya, tidur lelap jauh lebih
nyaman daripadaberkuda sepanjang malam yang kini bahkan telah kehilangan jejak itu. Iaberpendapat, Singasari toh telah
berhasil dihancurkan, rajanya pun telah dibunuh,persoalan boleh dianggap selesai. Ia berpendapat, untuk apa mengejar-
ngejarRaden Wijaya. Ada juga yang bersikap berbeda lagi, sebagian yang lain bingungkarena merasa tidak tahu duduk
persoalannya. Namun sesungguhnya, setelah perangyang berlangsung seharian, para prajurit itu mengalami kelelahan luar
biasa.
“Apa yang sekarang kita lakukan?” tanya Rudra Narantaka yangbernama lain Guru Grahita.
Rangga Bentar tidak menjawab.
Lelaki bermata aneh itu merasa lebih penting melenguh melepasbeban di dadanya daripada harus menjawab pertanyaan itu.
Rangga Bentar turun dari punggung kudanya, “Saya mengantuk,beri kesempatan pada saya untuk tidur.”
Rudra Narantaka paham, ia tidak keberatan terhadap permintaanitu.
Ia hanya memandang namun tidak ikut-ikutan tidur.
Justru Rudra Narantaka kemudian berteriak, “Jangan ada yangikut tidur, semua tetap siaga di atas kuda masing-masing.”
Perintah itu dirasa sebagai perintah yang aneh. Para prajurityang butuh kesempatan untuk istirahat hanya bisa mengumpat
dalam hati. Merekamengalami kesulitan memahami, mengapa ketika orang bermata aneh itu tidur,kesempatan yang sama
tidak diberikan kepada yang lain. Bukankah kalau sudahwaktunya berangkat tinggal membangunkan.
“Awas, semua jangan ada yang berani tidur, semua tetap diatas punggung kuda, dan jangan ada yang bersuara,” ulang Rudra
Narantakamenegaskan keputusannya.
Dengan perasaan sangat tidak suka, para prajurit berkuda itu terpaksatetap duduk di atas punggung kuda masing-masing.
Mereka tetap tak memahami, mengapatidak diberi kesempatan untuk beristirahat. Namun tak seorang pun di antaramereka
yang berani mempersoalkan. Meski demikian, ada di antara para prajurityang mengakali keadaan itu dengan menelungkup di
atas punggung kudanya.
Rupanya, tidur yang dilakukan Rangga Bentar bukanlah tiduryang sewajarnya. Ia lakukan itu hanyalah sebuah cara untuk
melacak jejak yanghilang, yang ketika tidak berhasil ditemukan melalui cara sewajarnya makadilakukanlah melalui mimpi.
Meski demikian, bukan pekerjaan yang mudah bagiRangga Bentar untuk membenamkan diri di wilayah mimpi itu.
Lalu terdengarlah suara batuk.
Rangga Bentar amat terganggu, meski demikian ia mencobamengabaikan.
Celakanya, batuk itu terdengar lagi.
“Setan alas, siapa yang batuk itu?” teriak Rangga Bentar, “kalaubatuk pergi yang jauh ke Madura sana, berisik.”
Prajurit yang terganggu tenggorokannya itu terkejut, ia samasekali tidak menyangka suara batuk yang keluar dari mulutnya
itu bisa menjadimasalah. Prajurit itu berusaha meredam batuk yang mengkili-kili tenggorokannya.Tidak ingin timbul
masalah, prajurit bertubuh kekar itu pun membawa kudatunggangannya menjauh dan semakin jauh. Di tempat yang agak
jauh itu batuk yangmengganggunya tidak bisa ditahan lagi.
Suasana menjadi sangat hening. Rangga Bentar benar-benarmengalami kesulitan untuk bisa menerobos wilayah mimpi
karena kantuk sedangberada sangat jauh. Namun meski jauh, dengan pemusatan pikiran sepenuhnya,pikirannya pun
bergoyang, dan semakin bergoyang kian lama kian tak berbentuk.
Di keheningan tidurnya, cahaya yang hilang di kejauhan itumuncul kembali.

2
Kini sepenuhnya Raden Wijaya tidak berani meremehkan lagi. Iatidak berkuda di paling depan namun menempatkan diri di
belakang Sorandaka yangmemacu kudanya dengan tenang. Hari semakin pagi, dan langit timur pun kemudianterbakar.
Udara dingin terasa menggigit tulang, keadaan itu sangat mengganggupara istri Raden Wijaya yang tertandai dari perubahan
kulitnya. Dalam keadaanyang demikian Tribuaneswari membutuhkan selimut, namun tidak ada selimut yangdibutuhkan itu,
yang ada hanyalah pakaian yang sejak semula telah melekat ditubuhnya. Keadaan Narendraduhita dan Pradnya Paramita
tidak lebih baik, PradnyaParamita mulai diganggu oleh demam, bibirnya yang tipis mulai pecah-pecah.
Dengan terkantuk-kantuk, Pradnya Paramita berkuda. RadenWijaya cemas kalau istrinya yang cantik itu sampai tertidur
karena bisaterjatuh dari punggung kudanya. Itu sebabnya Raden Wijaya kemudian menempatkandiri di belakang Pradnya
Paramita.
“Bertahanlah, Kangnbok Pradnya, usahakan jangan sampaitertidur.”
Semua orang menoleh kepada Pradnya Paramita yang keadaannyasangat parah. Caranya berkuda sangat parah, tubuhnya
tidak tegak dan sedikittertekuk. Melihat keadaan adiknya yang demikian, Tribuaneswari tak kalah cemas.
“Pradnya Paramita, jangan tidur.”
Tersendat sekali perjalanan itu, yang mengarah ke timur lalumembelok ke utara, mengikuti jalan setapak dan adakalanya
bertemu dengan jalanyang lebih bagus. Sorandaka yang berkuda di paling depan sesekali meliriklangit, namun karena
kemudian mendung muncul lagi, maka jejak para elang yangmenjadi penyambung matanya tidak kelihatan.
Jangankan para elang itu, bintang-bintang pun tidak tampak.
Perlahan tetapi pasti, malam yang terasa berkepanjangan ituakhirnya tergeser oleh datangnya pagi. Fajar yang juga
disebut gagat rahina itu mulai membayangmenyibak warna hitam. Pendar sinar di langit timur itu dengan arah pastibergerak
menuju terang. Dengan mata tidak berkedip Sorandaka yang berkudapaling depan memandang arah bagaskara yang tidak
berapa lama lagi akanmenyembul di langit timur. Sorandaka barulah mengalihkan perhatiannya ketikadari langit terdengar
suara melengking menyayat. Berubah dari sikap sebelumnya,yang telah mendaki puncak kemarahan karena paksi cataka itu
telah melukaiwajahnya, kini Bala Sanggrama Andaka Sora merasa memiliki hubungan yang amatdekat para burung itu.
“Apakah kau memiliki arah yang baru, Sorandaka?” tanya RadenWijaya.
“Hamba Raden,” jawab Sorandaka tegas.
Semilir angin dingin itu sungguh menyiksa, Raden Wijayaakhirnya harus melihat kenyataan tinggal dalam waktu sejengkal
ke depan paraistrinya itu tidak akan kuat.
“Berhenti,” kata Raden Wijaya meminta perhatian.
Rombongan itu pun kemudian berhenti.
Raden Wijaya mendekatkan kudanya ke arah Pradnya Paramitayang tidak mampu duduk dengan tegak. Pandang matanya
penuh keprihatinan.
“Bagaimana keadaanmu, Kangmbok Pradnya Paramita?” tanya RadenWijaya.
Sekar Kedaton Pradnya Paramita tidak mampu menjawabpertanyaan itu.
“Kita istirahat dulu,” kata Raden Wijaya.
Namun Sorandaka segera membantahnya, “Tidak bisa Raden, kitaharus terus melanjutkan perjalanan. Sebaiknya, Raden
berkuda berdua dengan TuanPutri Paramita.”
Raden Wijaya tidak sependapat, ia menggeleng.
Ucapnya, “Kita harus beristirahat.”
Meski demikian, Sorandaka kukuh pada pendapatnya, “Raden,kita tidak boleh berhenti.”
Sorandaka atau Lembu Sora atau yang juga dipanggil dengansebutan Andakasora itu bahkan memberi tekanan dengan nada
suaranya yang tegas.Raden Wijaya terpaksa menghela napas.
“Baiklah,” kata Raden Wijaya, “Kangmbok Tribuaneswari,silahkan Kangmbok berkuda dengan Sorandaka, dan kangmbok
Narendraduhita,silahkan berkuda dengan Pamandana.”
Tribuaneswari dan adiknya saling pandang. Tanpa bicara kakakberadik itu langsung turun dari punggung kudanya, dengan
hati yang bersihTribuaneswari dan Narendraduhita siap untuk melaksanakan perintah suaminya,sebaliknya betapa bingung
dan jengah Pamandana ketika harus berkuda berduadengan sekar kedaton itu. Berbeda dengan Pamandana, Sorandaka justru
melihatcara itu sangat tepat untuk memperlancar perjalanan. Sorandaka merasa tidakmasalah dan harus risih.
“Pamandana, gunakan kuda yang lebih kekar, sementara dua kudayang lain, pada saat yang tepat kita gunakan untuk umpan
penyesatan.”
Perjalanan yang sempat terhenti itu kemudian dilanjutkankembali. Paling depan Sorandaka memacu kudanya sedikit lebih
kencang dan takperlu merasa khawatir dengan kemampuannya, yang meskipun bukan miliknya namunmemiliki tubuh yang
kekar dengan otot-otot yang kuat. Di belakangnya RadenWijaya berusaha mengimbangi derap laju Sorandaka dengan
segenap rasa khawatir.Melalui rabaan ke kening istrinya, Raden Sesuruh itu tahu Pradnya Paramitaterkena demam, tubuhnya
panas dan bibirnya tampak pecah-pecah. Paling belakangPamandana berkuda dengan Pradnya Paramita, namun Pamandana
juga harusbertanggungjawab pada dua ekor kuda yang tanpa penunggang, keduanya diikatdengan tali panjang.
Keprihatinan Raden Wijaya kembali terusik oleh rasa sedih yangmengental. Ingatannya pada nasib buruk yang menimpa
Singasari, menimpapamannya, menimpa bibinya, dan menimpa adik iparnya menyebabkan isi dadanya kembalisesak.
Namun dengan sepenuh hati dan sekuat tenaga ia harus menerima kenyataanitu. Kesedihannya atas hancurnya negeri yang
dengan susah payah telah dibangunoleh para leluhurnya telah menjilma menjadi pendorong semangatnya, pada suatuketika
kelak ia akan membangun sebuah negara baru, negara yang bahkan jauhlebih megah dari Singasari.
Ingatannya Raden Wijaya sejenak tertuju pada cahaya berpendaryang pernah ia lihat di arah barat daya Gunung
Penanggungan. Raden Wijaya telahbulat pada pilihannya, kelak negara baru yang akan dibangun itu berada ditempat itu,
hutan belantara yang oleh banyak orang disebut sebagai tanah Tarikatau tanah Trik.
Ketika lamunan mengayun, ingatan pemuda itu kemudian tertujuke kejadian-kejadian aneh yang selama ini dialaminya.
Raden Wijaya kemudianbahkan dengan sengaja mengenang semua kejadian aneh itu satu demi satu. Sulituntuk dimengerti
dan memahaminya, akan tetapi Raden Wijaya harus menerimanyasebagai sebuah kenyataan. Di belantara Dander tempat di
mana dulu perang pernahberkecamuk, untuk pertama kali ia melihat barisan obor yang bergerakberloncat-loncatan.
Mendiang mantan Mahapatih Raganata menyebutnya sebagaibarisan lampor. Hantu lampor itu selalu muncul di kejauhan
sekali, jarang adaorang yang memergoki barisan lampor itu pada jarak dekat.
Masih di belantara Ganter bekas tempat terjadinya perang yangsangat berdarah dan meminta banyak nyawa, Raden Wijaya
melihat hantu berkuda.Adalah jiwa dari masa silam yang konon Adalah jiwa dari mantan mahapatih Kediriyang tersesat di
alam pangrantunan,tidak tahu jalan yang harus ditempuh untuk kembali menghadap penciptanya,sebagai hantu ia
menunggang kuda yang sama-sama hantu, lalu di belakangnya adapuluhan ekor kuda yang mengikutinya ke mana pun ia
pergi. Gerak gerik hantuberkuda itu selalu menimbulkan suasana menakutkan karena kabut yang munculbagai diabul-abul.
Di saat itu pula, untuk pertama kali ia melihat sebuah gejalaalam yang aneh, berupa bintang yang memiliki ekor, yang
disebut lintangkemukus. Kemunculan bintang berekor itu, demikian kata mantan MahapatihRaganata adalah merupakan
pertanda bakal terjadinya sebuah peristiwa besar,peristiwa yang terbukti ditandai dengan hancurnya sebuah negara karena
serbuannegara lain, yang masih ditambah dengan nasib menyedihkan yang menimpa keduamertuanya dan saudara iparnya.
Kertanegara dan Bajrawati mati dan istana dibakar hangus.
Yang tak kalah menarik dan aneh adalah pertemuannya denganorang yang mampu memutar angin. Beberapa kali ia bertemu
dengan orang itu,beberapa kali pula ia menolongnya. Marutalesus itu pula yang menjebol dinding istana menolong
memberinya jalan untukmelarikan jasad kedua mertuanya dan adik ipar sekaligus menyelamatkan ibunya.
Pikiran raden Wijaya bergerak, masih di wilayah kenangan. Ingatannyabergeser menuju peristiwa sangat aneh, namun ia
berkeyakinan, di tempat anehyang muncul di tengah malam itulah ia harus memusatkan segenap perhatian.Tempat itu masih
berupa belantara gunglewang lewung, yang untuk bisa menembusnya harus melalui perjuangan yangsangat berat karena
dipenuhi dengan pohon pohon raksasa yang tidak tertembusdan penuh dengan binatang buas, dijejali berbagai macam hantu.
Kehadirannya ketempat itu, adalah juga atas petunjuk orang yang selalu menyelubungi diridengan caping lebar itu.
“Hutan Tarik,” gumam Raden Wijaya menyebut nama itu.
Kenangan itu kemudian bergeser menuju ke lamunan, biladibiarkan bisa bergeser ke mimpi.
Lamunan masih memiliki bentuk, mimpilah yang tidak lagimemiliki bentuk yang mampu bergeser dari satu kejadian ke
kejadian yang lain, tidakberurutan atau bahkan bisa berubah dan berubah seenaknya. Lamunan Raden Wijayakarena ia
sedang berkuda dan tidak sedang tidur, adalah bagaimana nantinya ia akanmembangun sebuah negara baru, sebuah negara
yang megah dan besar, yang makmurmemberikan ketenangan dan kedamaian bagi segenap rakyatnya, yang
memilikikekuatan prajurit yang besar dan bisa digunakan sebagai alat untuk menyatukanseluruh wilayah Nusantara. Dengan
kekuatan yang sangat besar itu, iaberangan-angan akan membalas perbuatan Kediri, menggilas rajanya yang tak tahudiri,
menghukum Jayakatwang atas sikapnya yang kurang ajar. Menghukum KeboMundarang dan semua pihak yang bertanggung
jawab atas kematian Sri Kertanegaradan keluarganya.
Dengan kekuatan diangankannya, Raden Wijaya yang bernama lainRaden Sesuruh itu akan membalas perbuatan negara
kurang ajar yangberani-beraninya mengirim ancaman meminta Singasari menyatakan tunduk. Dengankekuatan berkekuatan
berlipatkali lebih besar dari sekadar segelar sepapan, iabahkan akan meminta negeri Mongol itulah yang menyatakan tunduk
kepada negarabaru yang diangankannya.
“Berhenti,” Raden Wijaya berkata setengah berteriak.
Sorandaka yang berkuda paling depan segera menarik kendalikudanya. Sorandaka terkejut melihat keadaan Sekar Kedaton
Pradnya Paramita yangkeadaannya semakin menyedihkan.
“Bagaimana Raden?” tanya Sorandaka sambil mendekat.
Dengan perasaan cemas pula, Tribuaneswari dan Narendraduhitamemerhatikan keadaan saudara kandungnya yang pucat
pasi dengan bibir yangpecah-pecah dan tarikan napas yang sangat mengombak. Tribuaneswari yangmengulurkan tangan
menyentuh tangan adiknya sangat terkejut mendapati lenganitu panas sekali.
“Kita membutuhkan juruusada, Raden?” tanya Andakasora.
Raden Wijaya memandangi wajah sahabatnya itu dengan mulutterbungkam.
Tribuaneswari yang menjawab, “Ya, bisa mati kalau Paramitatidak segera ditolong.”
Narendraduhita sama cemasnya, meskipun ia merasa keadaannyasangat tidak baik, namun ia melihat keadaan saudara
kandungnya itu jauh lebihburuk.
“Kakang Andakasora, kita harus mencari bantuan.”
Raden Wijaya mengedarkan pandang matanya ke segala penjuru,telah berapa lama ia dan rombongannya itu menempuh
perjalanan dan sudah cukuplama tak menemukan perkampungan, ia tahu, perjalanan ke depan beberapa waktunantinya tidak
akan menemukan perkampungan, karena sekian tahun yang lalu,menemani mantan Mahapatih Raganata ia pernah lewat
jalan itu.
“Ada gubuk,” tiba-tiba Pamandana nyeletuk.
Sorandaka menoleh.
“Mana?” balasnya.
“Itu di sana,” balas Pamandana.
Raden Wijaya segera mengambil keputusan, “Ayo kita ke sana.”
Menyusuri ladang yang tak terawat sedikit miring, RadenWijaya dan rombongannya segera menuju ke gubuk yang terletak
di tengah ladang ganyong. Dengan penuh perhatianSorandaka memerhatikan ladang ganyong yang cukup luas yang
ditanam tumpangsari dengan beberapa jenistanaman lain, terutama cabe dan kacang panjang meski ada juga jenis
tanamanyang lain seperti kacang panjang dan juga kecipir, laos dan beberapa tanamanbahan jamu.
Dengan cermat Sorandaka turun dari kudanya dan membantuTribuaneswari untuk turun pula. Sorandaka segera memeriksa
keadaan danmenemukan kenyataan, tidak ada seorang pun di tempat itu. Meski demikian,setidaknya baru sehari yang lalu
atau setidak-tidaknya kemarin sore ladang ituditengok, terlihat dari jejak perapian yang masih ada arang dan abunya.
Dengan hati-hati, Raden Wijaya yang telah lebih dulu melompatturun membopong istrinya dan dengan hati-hati pula ia
meletakkannya di atasbalai-balai bambu. Selebihnya, Raden Wijaya bingung tak tahu atas apa yangharus dilakukan.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Sorandaka.
Pertanyaan itu ditujukan pada Pamandana.
Pamandana tidak menjawab, namun ia melihat ada beberapa jenistumbuhan jamu yang bisa dimanfaatkan. Pamandana tak
membuka mulut, namun dengancekatan ia bertindak. Beberapa jenis tumbuhan dikunyah-kunyahnya.
“Mohon ijin, Raden,” ucap Pamandana.
Raden Wijaya mengangguk.
Setelah mendapat ijin, Pamandana segera bertindak, beberapajenis daun yang telah dikunyah itu kemudian dilulurkan ke
kening dan leher.Tidak cukup dengan tindakannya itu, Pamandana kembali memerika beberapa jenisdedaunan.
“Apakah saya bisa membantu?” tanya Sorandaka.
“Buatkan perapian,” jawab Pamandana.
Sorandaka bertindak cekatan, ia segera mengambil tumpukankayu kering yang sudah ada dan rupanya telah dikumpulkan
oleh pemilik gubuk.Menggunakan batu titikan, perapianpun kemudian telah menyala. Beruntung sekali rombongan pelarian
dari Singasariitu karena semua yang dibutuhkan ternyata telah tersedia di gubuk itu.Tribuaneswari menemukan beras, juga
ada kemaronuntuk menanak nasi, bahkan bumbung bambu berisi air.
“Saya harus merebus air?” tanya Narendraduhita.
“Ya, Tuan Putri, jangan terlalu banyak,” jawab Pamandana.
Pamandana senang karena jenis daun yang dicarinya berhasilditemukan. Beberapa helai daun itu kemudian dipetik dan
dicuci di parit kecilyang mengalirkan air sangat jernih. Raden Wijaya tidak berbicara apa pun ketikaPamandana bertindak.
Pemuda dari Kediri yang telah menduda itu rupanya sangatmenguasai dan memahami manfaat dedaunan dan khasiatnya.
Daun-daun itu kemudiandirebus dan setelah menghangat sedikit demi sedikit diminumkan pada sekarkedaton Pradnya
Paramita.
Dengan penuh perhatian, Raden Wijaya memerhatikan keadaanistrinya, itulah istri yang ia bahkan belum memiliki
kesempatan untuk menjamahnya.Tribuaneswari merasa takjub melihat khasiat jamu yang dibuat Pamandana itu,menilik
Pradnya Paramita mulai berkeringat dan kulitnya kembali cerah.
“Apakah keadaan kita aman?” tanya Raden Wijaya.
Sorandaka yang ditanya berbalik. Sesungguhnya Sorandaka agakkebingungan. Ada sesuatu yang ia sudah berusaha
menemukan jawabnya namun tidakkunjung ia peroleh. Melalui mata hatinya, ia bisa membayangi pergerakan musuhyang
mengejarnya, justru karena itu ia melihat kenyataan yang sulit dipahami.
“Mereka telah kembali bergerak dan mengarah tempat ini,mereka memotong arah,” jawab Sorandaka.
Sorandaka menengadah memerhatikan lima ekor burung catakayang terbang tinggi yang secara aneh telah menjadi
kepanjangan matanya. Kalaukita tidak bergeser, menjelang tengah hari nanti mereka akan tiba di sini.Raden Wijaya ikut
menengadah memandang langit, yang ditiru oleh Pamandana yangjuga mengarahkan pandang matanya ke arah lima ekor
paksi cataka atau rajawaliyang terbang di sana.
“Jadi mereka tahu kita telah mengubah arah?”
Sorandaka berpikir keras, namun ia tidak menemukan jawabnya.
“Itu yang membuat hamba bingung Raden, kita telah mengubaharah perjalanan, akan tetapi entah mengapa mereka bisa tahu
dan memperbaikiarah.”
Raden Wijaya berjalan mondar-mandir seraya memperhatikankeadaan di sekitarnya.
“Tidakkah kau memiliki gambaran, bagaimana cara mengecohmereka?”
Sorandaka terdiam, beberapa saat ia berpikir namun tidakberhasil memperoleh jawaban.
Tribuaneswari datang mendekat, “Paramita membaik, obat yang diberikanpadanya ternyata sangat berkhasiat,” ucapnya.
Raden Wijaya menoleh dan memerhatikan istrinya yang sedangsakit dari kejauhan. Rasa kagumnya tidak tercegah, ia merasa
berhutang budipada Pamandana yang ternyata memiliki kemampuan tidak terduga. Raden Wijayamengernyit sedikit kurang
paham dengan apa yang dilakukan Pamandana yangmelangkah menjauh. Namun jawabannya segera diperoleh ketika
melihat Pamandanaitu kemudian memanjat pohon kelapa dengan gesit.
“Kangmbok mau kelapa muda?” tanya Raden Wijaya.
Narendraduhita mengangguk, “Mana?” tanyanya.
“Itu lihat,” balasnya.
Di arah pandang mereka, Pamandana memanjat kelapa dengangesit dan cekatan sangat mirip kera. Sudah menjadi
pekerjaannya sehari-hariketika ia masih tinggal di Kediri untuk memanen kelapa yang kemudian dijadikanminyak, dengan
jenis pekerjaan macam itulah ia menghidupi keluarganya. Meskihanya dengan membuat dan menjual minyak kelapa,
Pamandana mampu hidup layak dantidak merasa kekurangan. Hanya dengan meraba dan sedikit
mengguncangnya,Pamandana bisa membedakan mana kelapa yang masih muda dan mana yang sudah berminyak.Pekerjaan
memanjat kelapa itu selanjutnya pernah ia berikan pada seekor beruk.
Pamandana telah menurunkan beberapa butir, namun saat iaberada di atas itu, ia sempatkan memerhatikan keadaan di segala
penjuru.
“Apa yang tadi kau lihat ketika berada di atas?” tanyaSorandaka.
Pamandana tidak menjawab, sebaliknya ia justru bertanya,“Sebaliknya apa yang bisa kau lihat?”
“Ada kebakaran di sana?” tanya Sorandaka.
Pamandana mengangguk membenarkan.
Raden Wijaya menghela napas amat dalam, ia semakin melihat kebenarankemampuan aneh yang telah dimiliki anak
buahnya itu. Bahwa Sorandaka bisamelihat kebakaran yang dibenarkan Pamandana, maka apa yang disampaikansebelumnya
berarti benar juga.
“Kalau mereka bisa mengetahui ke mana pun kita pergi, laluuntuk apa kita harus mengubah-ubah arah? Bukankah gerakan
mereka kian lama akankian dekat dan jarak yang membentang dengan kita akan semakin dekat pula?”
Sorandaka tidak bisa memberikan jawaban.
Raden Wijaya berpikir keras.
“Kita ke Tarik,” tiba-tiba letupnya.
Sorandaka agak terkejut.
“Ke Tarik?”
“Ya, kita ke Tarik. Baru kita lanjutkan perjalanan keLulumbang.”
“Ke Tarik, itu berarti kita akan kembali ke barat dan malah akanmemperpendek jarak?”
Raden Wijaya tidak bisa menutupi keresahannya, ia bangkit.
“Kita manfaatkan untuk beristirahat dan memberi kesempatanpada kuda-kuda kita untuk mengumpulkan tenaga. Kemudian
segera kita tinggalkantempat ini.”
Lalu tidak ada pembicaraan lagi. Tribuaneswari danNarendraduhita sadar benar, bahwa perjalanan selanjutnya adalah
perjalananantara hidup dan mati. Kini mereka tahu , bahwa musuh memiliki kemampuanmelacak jejaknya ke mana pun
mereka bergerak. Untuk perjalanan ke depan itunantinya dibutuhkan tenaga, itulah sebabnya mereka harus makan. Meski
dengankelapa muda yang diserut, mereka harus mengisi perut, demikian juga PradnyaParamita harus makan meski jenis
makanan yang aneh, apalagi kelapa muda itudimakan pagi hari, sungguh amat tidak lazim.
Setelah sejengkal waktu,
“Bagaimana keadaanmu, Kangmbok?” tanya Raden Wijaya.
“Baik, kakang Raden,” jawab Pradnya Paramita.
“Kuat untuk melanjutkan perjalanan lagi?” tanya suaminyalagi.
Pradnya Paramita mengangguk.
Tak perlu ditunda lagi, perjalanan yang dibayang-bayangi olehbahaya besar itu kemudian dilanjutkan lagi. Sorandaka
sebagai yang palinggelisah karena bisa melihat langsung pergerakan musuh yang mengejar harusmemutar otak dalam
menentukan arah yang dituju. Di paling depan Sorandakaberkuda bersama Tribuaneswari yang tidak merasa risih
berpegangan pinggangnya,di belakangnya Pamandana terus mengimbangi laju temannya itu dengan kecepatanyang sama, di
paling belakang Raden Wijaya berkuda tanpa bicara.
Lalu tibalah ketika Sorandaka mengambil arah yangmengagetkan.
“Kenapa belok kanan?” tanya Raden Wijaya.
“Hamba harus merasa yakin apakah mereka benar mengetahuipergerakan kita atau hanya sebuah kebetulan belaka. Kita
belok kanan, lalumembelok kekiri lagi di punggung bukit dan kita akan menemukan jalan yang lebihbaik yang akan
membawa kita ke Pasuruan, meski perjalanan kita akan sedikitlebih jauh. Dari Pasuruan kita akan membelok ke barat, saya
tahu sebuah jalansetapak yang bisa kita lewati. ”
Raden Wijaya mengangguk, ia melirik ke belakang atas, di sanaburung cataka kepanjangan mata Sorandaka sedang terbang
berputar.
“Terserah kamu,” ucapnya.
“Pamandana, sekarang lakukan penyesatan, lepaskan dua ekorkuda itu ke arah kiri,” lanjut Sorandaka.
Pamandana tak perlu menjawab, perintah itu pun segeradilaksanakan. Dua ekor kuda yang terikat tali tanpa penumpang di
belakangnyadiarahkan ke kiri. Lecutan cambuk yang meledak menyebabkan dua ekor kuda tanpapenunggang itu lari
tunggang langgang menuju ke arah yang dikehendaki. Sorandakakemudian membawa kudanya turun ke parit kecil dan
berpacu ke arah hulu.
“Kenapa kita berkuda di air?” tanya Tribuaneswari.
“Untuk menghapus jejak kuda Tuan Putri,” jawab Sorandaka.
Raden Wijaya dan Pamandana mengikuti contoh yang diberikanSorandaka. Beberapa saat mereka berkuda di parit yang
memanjang ke selatan.Berkuda di parit itu juga membingungkan Narendraduhita dan Pradnya Paramita. Adabagian yang
lebih rata di sebelahnya, mengapa justru pilih melintas di parit.
“Kenapa kita menyusur parit, Kakang Raden?” tanya PradnyaParamita.
“Untuk menghapus jejak, Kangmbok. Kita berharap orang-orangKediri itu terkecoh, mereka akan mengejar umpan yang
baru saja kita lepaskan,sementara kita justru mengarah ke arah lain.”
Jawaban itu agak mengagetkan Pradnya Paramita, ia tidakmenyangka berkuda menyusur parit yang dilakukan itu ternyata
bukannya tanpamaksud.
“Kakang Raden, kenapa Kakang Raden masih memanggil sayaKangmbok. Saya sekarang sudah menjadi istri Kakang
Raden, demikian pula dengan MbakyuTribuaneswari dan Mbakyu Narendraduhita. Sebaiknya jangan memanggil
Kangmboklagi.”
Raden Wijaya tersenyum, ia merasa tidak perlu menjawabpertanyaan itu.
Adalah sementara itu.
Sepeninggal Raden Wijaya dan rombongannya, ada seoranglaki-laki yang kebingungan. Ia bernama Durma dan berusia lima
puluhan tahun.Bingung dan marah yang datang mendadak itu langsung memuncak, ketika mendapatigubuknya acak-acakan.
Tak hanya gubuknya, akan tetapi tanamannya porak poranda,ditandai oleh jejak-jejak kuda pula. Durma juga melihat
peralatan di dapurtelah digunakan, bekasnya tidak dicuci.
“Setan alas,” umpatnya.
Durma segera melakukan pemeriksaan, ia mendapati tanamancabenya bosah-baseh padahal beberapapekan ke depan
tanaman itu akan dipanen dan hasilnya akan dibawa menggunakankereta kuda menuju pasar di kotaraja Singasari.
Kemarahan Durma semakinmendidih melihat ada jejak-jejak kelapa muda yang dibelah dan air di tempayanyang habis.
“Perbuatan siapakah ini?” tanya Durma yang sangat jengkel.
Rasa ingin tahu Durma mendorong untuk melakukan pemeriksaanlebih jauh. Durma segera berlarian untuk mencari tahu
jejak jejak yangtertinggal di ladangnya. Durma mendapati ada banyak sekali jejak yang segeramenyadarkannya pada sebuah
kecurigaan.
“Para prajuritkah?” tanya lelaki itu.
Menyadari jejak kuda itu mungkin berasal dari para prajurit,dengan seketika kemarahannya lenyap dan berubah menjadi rasa
takut. Bulukuduknya bangkit. Ia sadar, lebih baik menghindari dari berurusan denganprajurit yang tak segan-tak segan
mengayunkan kepalan tangannya.
Banjir Bandang dari utara 2
March 25, 2014 at 7:15am

Durma kembali ke gubuknya.


“Hanya prajurit yang berkuda berombongan, beruntung sayakarena tidak bersirobok dengan mereka, bisa mati saya kalau
marah-marah dantidak terima ladang saya diacak-acak seperti ini.”
Berdebar-debar jantung lelaki paro baya itu menyadari keadaanyang sedang dihadapinya. Ia melihat, kerusakan yang
ditimbulkan oleh entahsiapa itu tidak terlampau parah. Bahkan terlihat jelas, jejak kuda-kuda itumelewati antara pematang
yang tidak ada tanamannya. Jika ada yang membuatnyabingung adalah sisa daun-daun dan sesuatu yang tak dikenal di
tempayan. Denganhidung peseknya ia membaui.
“Apa itu?” lelaki itu tertegun, ia melihat sesuatu.
Ada sesuatu yang menarik amat perhatiannya. Sebuah kampil berukuran kecil digantungkan disalah satu tiang. Dengan
penuh rasa ingin tahu Durma meraihnya dan membukanya. MakaTerbelalak Durma melihat apa yang ada di dalam kampil
kecil itu.
Dengan penuh perhatian, Durma memerhatikannya.
“Emas,” gumamnya, “ini emas?”
Durma menjambak kepalanya sendiri, mencubit lengannyasendiri, ia melakukan itu karena takut untaian emas itu hilang, ia
takut semuayang dialaminya itu hanya sekadar sebuah mimpi. Terbelalak yang ia lakukanmenyebabkan matanya nyaris lepas
dari kelopaknya.
“Terimakasih, terimakasih,” Durma menjerit panjang dan kerassekali.
Dengan sangat takjub ia menimang emas yang berada dalamgenggamannya, lelaki itu pun kemudian berjingkrakan meniru
lagak orang yangtidak waras.
“Silahkan Tuan-tuan, silahkan kalau mau mengaduk-aduk ladangsaya, saya sama sekali tak keberatan. O, terimakasih
banyak, matur sembah nuwun.”

3
Beberapa saat setelah semua kejadian itu.
Betapa terkejut Sorandaka menemukan kenyataan yang samasekali tidak terduga.
“Ada apa?” tanya Pamandana yang berkuda tepat di belakangnyadan nyaris menabraknya.
Sorandaka tidak bisa menutupi rasa kagetnya. Setelahmemejamkan mata pemuda itu segera menengadah memandang langit,
pandang matanyatertuju pada lima ekor rajawali yang terbang tinggi. Seolah kepada para rajawaliitulah rasa herannya
dialamatkan, seolah pada mereka ia harus mendapatkanjawabnya, mengapa. Namun pancarajawali itu tidak memberinya
jawaban. Tugas mereka hanyalah merupakankepanjangan matanya, sebaliknya kenapa rombongan para pengejar itu bisa
terusmengikuti gerak geriknya, sama sekali bukan urusan mereka.
“Ada apa?” tanya Raden Wijaya.
“Mereka tahu,” jawab Sorandaka.
“Mereka tahu apa?“
“Mereka memotong arah mengambil jarak terdekat, mereka samasekali tidak terpengaruh oleh jejak penyesatan yang kita
tinggalkan. Namunseperti halnya hamba bisa melihat mereka, mereka juga bisa melihat kita.”
Raden Wijaya terdiam, Pamandana juga terdiam. Gelisah segeramemancar dari wajah para sekar kedaton. Tribuaneswari
cemas membayangkan entahapa yang akan terjadi di sejengkal waktu ke depan, pun demikian pula denganPradnya Paramita
dan Narendraduhita. Para sekar kedaton itu tidak mampumenutupi rasa cemas dan gelisahnya.
“Duh, bagaimana ini?” letup Pradnya Paramita.
Sorandaka berpikir keras, ia melompat turun dari kudanya danmembiarkan Tribuaneswari di atas punggung kudanya. Lalu
tiba-tiba wajahSorandaka berubah. Ia memandang Raden Wijaya dengan tajam.
“Kenapa?” tanya Raden Wijaya heran.
Sorandaka mengarahkan pandang matanya kepada Tribhuaneswari.
Tribuaneswari sama heran dengan suaminya, dari raut wajahnyamemancar rasa penasaran.
“Ada apa Kakang Sorandaka?” tanya perempuan itu.
Sorandaka mengunyah sesuatu yang sesungguhnya tidak ada dimulutnya. Demikianlah lagak pemuda itu ketika ia mkerasa
curiga.
“Tuan Putri membawa apa?” tanya pemuda itu.
“Saya tak membawa apa pun,” jawab Tribuaneswari, “hanyapakaian yang melekat di tubuh saya ini.”
Sorandaka menoleh, kali ini pandang matanya yang tajam penuhselidik itu diarahkan kepada Narendraduhita.
“Tuan Putri membawa apa?” tanya Andoka Sora, mengulangpertanyaan yang sama.
Narendraduhita menggeleng.
“Sebenarnya apa yang kau cari?” tanya Raden Wijaya.
Sorandaka menengadah, ia merasa mempunyai sebuah dugaan, yangia bahkan merasa yakin curiga yang mengganggu
benaknya itu benar adanya. Dengantak berkedip, Sorandaka menatap wajah anak menantu raja yang baru saja pralaya itu.
“Raden, apakah saat ini Raden membawa keris Empu Gandring?”
Sorandaka memandang tak berkedip.
Pertanyaan itu menyebabkan suasana menjadi sangat hening,pertanyaan itu menyebabkan Raden Wijaya seperti kehilangan
mulut. Beberapa saatlamanya, Raden Wijaya memilih diam, sementara ketiga istrinya semua mengarahkanpandang mata
kepadanya.
Raden Wijaya akhirnya mengangguk.
“Karena keris yang saya bawakah, yang menyebabkan mereka bisatahu di mana pun kita berada?”
Sorandaka mengangguk.
“Hamba menduga demikian, Raden,” jawabnya.
Raden Wijaya melompat turun dari kudanya dan memberikankendali kuda kepada istrinya. Pradnya Paramita sepenuhnya
mengendalikan kudaitu, dengan lembut ia mengelus punggung dan perutnya. Diperlakukan denganlembut dan penuh kasih
sayang, kuda itu manggut-manggut.
“Baiklah,” kata Raden Wijaya, “kau buktikan kecurigaanmu.Ambillah jalan berbeda untuk membuktikan dugaanmu benar
adanya. Saya akanmengambil arah melambung sebagaimana yang kau kehendaki, saya akan meninggalkanpesan pada Ki
Buyut Pasuruan.”
Raden Wijaya mengakhiri ucapannya seraya memejamkan mata.
Namun mengheningkan cipta yang dilakukan anak menantu RajaSingasari itu bukan tanpa maksud. Ketika pemuda itu
mengangkat kedua tangannyadi atas kepala, sejatinya ia berusaha mengeluarkan sebilah keris yang ia simpandi benaknya,
itulah keris yang bukan jenis senjata sembarangan, keris ituadalah buatan Empu Gandring yang namanya banyak disebut
sejak awal pemerintahanSingasari bahkan hingga berakhirnya negara Singasari. Keris buatan Empu dariLulumbang bernama
Gandring itu bermuatan kutukan dan mengerikan. Keris itu jugamemiliki pengaruh buruk pada siapa yang memegangnya.
Sri Kertanegara yangsempat memegang pusaka itu bahkan pernah kehilangan kendali.
Dengan jantung bagai berhenti berdegup, Sorandaka danPamandana menunggu apa yang akan terjadi. Tribuaneswari dan
kedua adiknyabingung karena memang tidak tahu persoalan yang sedang dihadapinya.
Betapa kaget ketiga perempuan itu saat dengan tiba-tibamelihat sesuatu yang aneh. Tangan Raden Wijaya yang mengepal di
atas kepala itumendadak berasap, yang meski tipis akan tetapi terlihat jelas dan mengombak.Lebih terhenyak lagi, segenap
sekar kedaton itu melihat di tangan Raden Wijayatelah tergenggam sebilah keris.
“Jagad Dewa Batara,” gumam Tribuaneswari yang kaget bukankepalang.
Raden Wijaya menurunkan tangannya dan memandangi keris itu. Berdegupjantung Bala Sanggrama Pamandana menatap.
Sudah lama sekali ia mendengar ceritatentang keris bermuatan kutukan, keris buatan Empu Gandring dari Lulumbang,itulah
keris yang telah memangsa banyak nyawa, dari nyawa pembuatnya sendiridan nyawa raja-raja Singasari yang harus
membayar perbuatan Ken Arok karenamembunuh penciptanya,
“Kau sadar sepenuhnya apa yang akan berubah padamu karenamenggenggam pusaka ini?” tanya Raden Wijaya.
Sorandaka mengangguk,
“Hamba Raden,” jawabnya.
“Baik, ambillah jalan berbeda. Kelak kau harus mengembalikanpusaka ini pada saya,” lanjut Raden Wijaya.
Sorandaka menerima keris itu dan mengangkatnya tinggi-tinggidi atas kepala. Tanpa pamit, Sorandaka tiba-tiba melesat
larisekencang-kencangnya memisahkan diri dari rombongannya. Raden Wijaya mengikutigerak lincah yang dilakukan
sahabatnya itu hingga akhirnya hilang di balikrimbun pepohonan.
“Kenapa Kakang Sorandaka tidak membawa kuda?” tanyaTribuaneswari.
“Karena Kangmbok yang lebih membutuhkan,” jawab Raden Wijaya.
Mendengar jawaban itu Pradnya Paramita tersenyum.
“Kenapa Kakang Raden masih memanggil kami bertiga Kangmbok?Bukankah kami telah menjadi istri Kakang Raden?”
Raden Wijaya termangu, apa yang diucapkannya merupakan halyang berbeda, “Ayo segera kita lanjutkan perjalanan ini, kita
usahakan berkudasecepatnya karena mereka yang mengejar kita sedang membalapkan kudanya dengankecepatan tinggi.
Jarak di antara kita semakin lama akan semakin dekat.”
Raden Wijaya kembali melompat ke atas punggung kudanya, iamenempatkan diri di paling depan, memberi contoh pada
rombongannya. Di belakangRaden Wijaya yang berkuda dengan Pradnya Paramita, diikuti Tribuaneswari yangkini berkuda
sendiri. Paling belakang, Pamandana berusaha mengimbangi laju yanglain.
Sebenarnyalah apa yang diperhitungkan Sorandaka benar adanya.Di pandangan mata batin Rangga Bentar yang berada nun
jauh di belakang terlihatjelas bilah keris yang menjadi penuntun arahnya itu kembali bergerak. Iatersenyum karena bisa
melihat perubahan arah itu dengan jelas, ke mana punperginya mudah untuk mengikutinya.
Guru Grahita menerjemahkan petunjuk yang ia terima daritemannya itu dengan berteriak keras, “Ayo kita percepat laju kuda
kita, merekamembelok ke kanan. Kita adang mereka di Srambatan.”
Adalah Bala Sanggrama Sorandaka yang kali ini bergerak tanpakuda, merasa takjub pada keris Empu Gandring yang kini
berada dalamgenggamannya.

4
Mundur ke waktu sebelumnya, ketika malam masih berbulan,meski doyong ke barat dan sang waktu mendekati gagat
rahina.
“Apa yang kau lihat?” tanya Nambi.
Pawagal yang baru saja melakukan tugas sandi merasa perlumenata napasnya supaya tidak terengah. Pakaian yang
dikenakannya kotor sekalikarena untuk tugasnya ia harus merayap di tanah, merangkak seperti perbuatankadal.
“Sangat jelas, tempat ini akan disergap. Saya mendengar suaraKebo Mundarang, meski tidak melihatnya secara langsung,
namun saya tentu tidakakan lupa pada suaranya.”
“Mereka di mana?” tanya Nambi lagi.
“Mereka masih di perkampungan itu.”
Nambi memerhatikan suasana jauh di depannya, berupaperkampungan yang terlihat remang dan kabur, yang seperti
memiliki pelataranberupa sebuah padang luas sebagian gundul dan yang lain lebat oleh tumbuhanperdu. Apabila sekadar
melihat dengan mata telanjang tidaklah tampak sesuatuyang mencurigakan, akan tetapi di balik bongkahan batu sebesar sapi,
di baliksemak dan perdu pasukan yang melakukan pengejaran itu mulai merayap di tanah.
“Bukan main,” gumam Nambi.
“Apa yang bukan main?” Kebo Kapetengan bertanya.
“Apa yang disampaikan Sorandaka ternyata benar,” jawab Nambi.
“Seberapa besar kekuatan mereka?” tanya Gajah Pagon.
“Mungkin lebih dari dua ratus orang,” jawab Pawagal, “ataubahkan bisa lebih banyak lagi. Di halaman sebuah rumah saya
melihat ada banyaksekali orang yang sedang mendengarkan apa yang disampaikan Kebo Mundarang.”
“Lebih dari dua ratus orang?” ulang Nambi.
“Pokoknya banyak,” jawab Pawagal.
Kemudian hening, semua berpikir keras.
Segenap Bala Sanggrama itu sadar bahwa tidak ada gunanyamenghadapi musuh dengan jumlah yang jauh lebih besar.
Dalam siasat perang,apabila menghadapi jumlah musuh yang jauh lebih besar, maka yang harusdilakukan adalah melakukan
perang gerilya. Musuh lengah musuh diserang, lalulari. Diserang lagi ketika lengah, lalu lari lagi. Demikian seterusnya
hinggatiba saatnya kesempatan besar terbuka, apabila kesempatan ada, dilakukanserangan dadakan dengan kekuatan penuh.
Meski musuh jauh lebih besar, seranganmendadak biasanya mampu membuat lawan yang jauh lebih besar itu kocar-
kacir,contohnya adalah Tumapel yang menghancurkan Kediri saat itu. Menjelang pagi,ketika segenap prajurit Kediri sedang
tidur, Tumapel melakukan seranganmendadak dan mematikan yang menyebabkan pasukan Kediri hancur. Contoh yang
lainadalah apa yang baru saja dilakukan Kediri terhadap Singasari, serangan yangmereka lakukan di pagi juga bersikap
dadakan. Namun kehancuran Singasari bukankarena serangan dadakan itu, akan tetapi lebih karena Singasari dalam
keadaankosong, segenap prajuritnya sedang dikirim ke Sumatera.
“Kita harus menghindar,” kata Nambi.
“Ya,” jawab Ranggalawe tegas, “dan saya memiliki arah yangakan menumpulkan gerakan mereka. Kita menuju Kali Pasir
Jenar, kitamenyeberangi Kali Pasir Jenar, setelah berhasil menyeberang kita hancurkanjembatannya, mereka tidak bisa
berbuat apa-apa. Kalau mereka akan memaksamengejar harus melalui jalan melingkar, yang itu akan jauh sekali.”
Kebo Kapetengan mengernyit.
“Jembatan?”
“Ya, jembatan,” jawab Ranggalawe.
“Apakah ada jembatan yang melintas Kali Pasir Jenar?” tanyaKebo Kapetengan heran.
“Ada, saya pernah melintas kali itu, saya tahu di manaletaknya.”
“Bisa dilewati kuda?”
“Bisa,” jawab Ranggalawe, “saya pernah melompati jembatanitu.”
Nambi menengadah memerhatikan letak lintang panjer esuk yang kehadiran dan letaknya menandakan pagihari akan segera
tiba.
“Kalau begitu, menunggu apa lagi?” letup Medang Dangdi.
“Tunggu, kita pancing mereka supaya mengikuti jejak kita,”kata Nambi.
Tak seorang pun yang tidak sependapat dengan apa yangdisampaikan Nambi, karena jejak palsu yang diumpankan itu akan
semakinmenjauhkan Raden Wijaya dan para istrinya dari mara bahaya.
“Besarkan perapian,” kata Nambi.
Nambi tidak sekadar memberi usulan, namun ia sendiribertindak. Kayu kering banyak dan berlimpah di tempat itu, juga
sebuah pohonambruk karena mati, batang kayunya melapuk. Para kayu kering itu kemudiandilemparkan ke dalam api yang
semula disamarkan hingga akhirnya api itu punmembesar.
Umpan yang dilemparkan disambar ikan.
Api itu segera menjadi pusat perhatian dari ratusan orangyang bergerak mendekat dengan cara merayap. Kebo Mundarang
bahkan melihatsecara langsung arah api itu.
“Orang-orang bodoh,” gumamnya, “mereka malah menunjukkandengan jelas di manakah mereka berada.”
Siasat penyergapan yang diperintahkan Kebo Mundarangbenar-benar dilaksanakan dengan kesigapan tertinggi. Lebih dari
tiga ratusprajurit itu bergerak merayap dengan ancaman, jika ada yang menyembulkankepalanya atau memperdengarkan
suara batuk akan dihukum mati. Bahkan para BalaSanggrama sama sekali tidak berhasil menandai pergerakan musuh itu
meski merekatelah menandai kehadirannya. Kebo Mundarang yang tidak ingin sergapan yangdiinginkan kali ini gagal
mengatur siasat dengan cermat. Pasukan berkuda yangada ditugaskan untuk bergerak melambung yang nantinya akan
melakukan sergapan daribelakang musuh, dengan demikian, rombongan Raden Wijaya itu tak mungkinmeloloskan diri.
Apabila rombongan Raden Wijaya itu berhasil disergap, makapesta pora yang sesungguhnya akan dimulai. Siapa pun kelak
boleh menjarah parasekar kedaton, akan tetapi orang pertama yang boleh mencicipi adalah KeboMundarang, yang lain boleh
menonton apa yang akan ia lakukan.
Langit timur merona.
Membara.
Langit yang berubah warna itu menjadi perhatiannya, sebentarlagi warna langit akan terus bergerak dan berubah warna,
menjadi merah dansemakin terang, hingga kemudian bakal masuk ke terang benderang, diawali olehmunculnya matahari
dari balik lekuk lereng Gunung Semeru di arah timur,matahari yang juga disebut bagaskaraatau sang surya itu akan
memanjatnaik dan muncul dari balik arga yangmenjulang dan selalu berasap itu.
“Kenapa mereka belum melakukan apa-apa?” tanya Nambi memecahkeheningan.
Keadaan yang demikian itu memang sangat memancing kecurigaan,karena sejauh pandang mata diarahkan tidak terlihat
jejak apa pun.
“Jika kau seorang ahli siasat perang, untuk menyergap kitadan memberikan jaminan supaya tidak lolos, apa yang akan kau
lakukan?” tanyaNambi ditujukan pada Ranggalawe.
Ranggalawe naik ke atas punggung kudanya, ia tidak duduknamun berdiri.
“Mereka harus merayap mendekat,” jawab Ranggalawe.
“Hah?” letup Pawagal, “sebelah mana?”
Ranggalawe kembali melompat turun.
“Jika saya Kebo Mundarang,” Ranggalawe berkata, “maka sayaakan perintahkan pada para prajurit bawahan saya untuk
mendekati tempat inijangan sampai terlihat. Satu-satunya cara hanya dengan meniru ular, atau menirubuaya.”
“Merayap,” ulang Nambi.
“Ya, merayap,” Ranggalawe memberikan tekanan.
“Bagaimana dengan prajurit berkuda? Bukankah Kebo Mundarangpasti menggerakkan para prajurit berkudanya?” Gajah
Pagon ikut bertanya.
“Tentu,” kata Ranggalawe, “jika saya Kebo Mundarang, makasaya akan menggerakkan para prajurit berkuda untuk bergerak
melambung menyusurbayangan padukuhan di utara itu, pasukan berkuda itu selanjutnya akanmenempatkan diri di belakang
kita. Kita terkepung dari segala arah dan tidakmemiliki jalan keluar.”
Hening melintas, hening mengunci semua mulut.
“Gila,” letup Nambi.
“Kenapa?” tanya Ranggalawe.
“Perhitunganmu benar.”
“Lalu kenapa mereka tidak segera menyerang?” Kebo Kapetengannyeletuk.
Ranggalawe tiba-tiba meletakkan jari tangan di mulutnya,isyarat agar semua orang diam. Anak Banyak Wide atau Arya
Wiraraja itu kembalimelompat ke atas punggung kudanya dan memerhatikan segala arah.
“Mereka sudah dekat, lihat perdu yang di sana itu?”
“Ya,” jawab Nambi.
“Mereka sudah menempatkan diri di sana.”
Nambi mempersiapkan anak panahnya, ia merasa sudah tibasaatnya mempersiapkan diri.
Ranggalawe menoleh ke arah utara, ia berusaha menemukan jejakyang dicarinya. Pemuda dari Madura itu berhasil
menemukan apa yang ia cari. Pundemikian juga saat ia melihat arah selatan, ia merasa yakin dengan temuannya,pasukan
musuh yang bergerak merayap itu semakin mendekat dan sangat mungkinmereka sedang menunggu aba-aba. Sebuah isyarat
yang dilepas akan menggerakkanmereka sambil bersorak sorai.
“Saya melihat gerakan di selatan kita,” kata Gajah Pagon.
“Ya, saya juga,” tambah Kebo Kapetengan, “tetapi merekamenunggu apa?”
Ranggalawe merentang gendewa.
“Itu karena mereka menunggu pasukan berkuda siap mencegat dibelakang kita.”
Hening menyelinap, Nambi menimbang.
“Kalau begitu sudah waktunya kita bergerak, kita ikuti arahyang akan diambil Ranggalawe. Siapkan anak panah,“ kata
Nambi.
Perintah itu segera dilaksanakan, segenap bala sanggramatanpa Sorandaka, Pamandana dan Wirota Wiragati itu segera
merentang busur danmemasang anak panah. Sorandaka boleh jadi pemanah terbaik dan tanpa tanding,akan tetapi Bala
Sanggrama pada umumnya pemanah yang pilih tanding. Nambimemasang anak panah tak hanya sehelai, akan tetapi tiga
sekaligus, dengansekali lepas tiga helai warastra akanlangsung melayang. Tidak hanya Nambi, Ranggalawe pun juga
melakukan, demikianpula dengan Medang Dangdi, Banyak Kapuk, Gajah Pagon, Pawagal dan KeboKapetengan, masing-
masing menyiapkan tiga helai anak panah.
“Tembak!” Nambi memberi isyarat.
Perintah telah diberikan, maka anak panah yang diarahkan keatas itu pun kemudian dilepas. Anak panah itu melesat cepat
membubung memanjatlangit. Tanpa sadar, Nambi melepas anak panah sanderan, suara melengking tinggiitu menjerit ke
segala penjuru.
“Tembak lagi,” kali ini Ranggalawe yang memberi isyarat.
Warastra panah yang telah dipasang digendewa kembaliditerbangkan menyusul anak panah sebelumnya.
Adalah para prajurit Kediri yang sama sekali tidak mendugaakan mendapatkan serangan yang demikian telak. Prajurit Kediri
yang bernasibsial terhajar anak panah terkejut dan menjerit keras, kesakitan yang merekaalami tidak terukur.
Serangan anak panah yang tidak diduga oleh pasukan Kediri itusekaligus merupakan isyarat bagi mereka untuk bergerak.
“Serbuuu!” terdengar teriakan keras sekali.
Teriakan itu menjadi isyarat bagi seluruh pasukan yangtersebar di semua arah. Bagai mayat-mayat yang bangkit dari kubur,
tiba-tibahamparan tanah luas itu dijejali oleh tubuh-tubuh yang berlarian dari segalaarah kecuali dari timur. Dari barat para
prajurit berjumlah seratusan itubergerak sambil berteriak-teriak dan mengacungkan senjatanya, dari arah utaramenyambung
ke pasukan yang datang dari barat, seratusan prajurit juga berusahabergerak secepat-cepatnya, juga demikian pula dengan
pasukan yang datang dariselatan menyambung pasukan dari barat tidak kalah bernafsu, mereka bergerak sambilberteriak-
teriak. Segala macam senjata mereka siapkan untuk meringkus buronanmereka. Pasukan dari Kediri itu amat bernafsu karena
membayangkan pesta macamapa yang akan bisa mereka lakukan bila bisa mendapatkan para sekar kedaton.
“Ayo kita pergi,” kata Nambi.
Nambi langsung memberi contoh dengan melompat ke ataspunggung kudanya. Contoh itu segera disusul dan diikuti olah
bala sanggramayang lain. Akan tetapi Ranggalawe sangat tergoda oleh barisan pasukan musuhyang seperti muncul dari
tanah yang merekah itu. Dengan terukur setiap lembaranak panah yang ia lepaskan menjadi jaminan terpisahnya nyawa dari
tubuh yangmenjadi sarangnya. Selembar anak panah melesat dari gendewanya, maka selembarnyawa akan melayang.
Ranggalawe semakin bernafsu dan kembali melepas anakpanahnya.
“Lawe, cepat tinggalkan tempat itu,” teriak Nambi.
Namun Ranggalawe merasa keadaan masih aman, ia tidak maukehilangan kesempatan untuk membalas perbuatan musuh.
“Cepat Lawe,” teriak Medang Dangdi yang merasa cemas.
Ranggalawe masih menebar kematian melalui panah danpisau-pisau terbangnya, terjungkal dan kembali terjungkal prajurit
Kediri olehperbuatan Ranggalawe. Ranggalawe merasa masih punya waktu untuk menyelamatkandiri. Tangannya mengayun
dan terus mengayun melepas pisau pisau terbangnya.
Yang tidak diduga Ranggalawe adalah perbuatan kudanya yangketakutan melihat gerakan ratusan orang yang
mengacungkan senjata sambilberteriak-teriak itu. Kuda itu berderap pergi meninggalkannya.
“He, jangan, teriak Ranggalawe.”
Namun terlambat, kuda tunggangannya itu telah terlanjurberderap kencang. Kuda itu bukan jenis kuda bodoh, ia bisa
membedakan manabahaya dan mana yang bukan bahaya.
Ranggalawe pun berlari lintang pukang berusaha menyelamatkandiri dari hujan anak panah balasan yang ditujukan
kepadanya.
“Sial,” umpat Ranggalawe.
Nambi merasa cemas melihat perkembangan yang tidak terdugaakibat kecerobohan yang dilakukan oleh temannya itu.
Ia berteriak, “Kita kembali.”
Ranggalawe benar-benar berada dalam bahaya karena kepungan setengahlingkaran itu kian mendekatinya, terutama dari
sayap kanan dan kiri. Nambitidak mau berjual mahal dengan sisa senjatanya, anak panah yang berada diendongnya
dihamburkan untuk memberikan ruang. Apa yang ia lakukan itu sangatmembantu, paling tidak karena gerakan setengah
lingkaran dari sayap kanan ituagak terhambat.
Melihat ruang ada di sebelah kanan, Ranggalawe bergerak kekanan.
Medang Dangdi berderap memacu kudanya dengan kencang, sambilmengayunkan senjata pedang panjangnya berusaha
menerabas ujung setengahlingkaran sebelah kanan. Ketika saatnya dirasa tepat, ia membelok mengarahtemannya.
Dengan tangkas, Ranggalawe melompat.
“Setan alas,” umpat Ranggalawe.
Medang Dangdi tertawa bergelak.
“Kejar kuda saya itu, kuda sialan,” kata Ranggalawe.
Medang Dangdi memenuhi permintaan itu, dengan kecepatantinggi ia mengejar kuda milik Ranggalawe yang terbukti tidak
setia padaTuannya. Dari punggung kuda ke punggung kuda anak Banyak Wide atau Arya Adikaraitu melompat.
“Kuda nakal,” kata Ranggalawe.
Membalap bagai kesetanan, Ranggalawe mengarahkan kudanyasearah Nambi dan teman-temannya yang telah berpacu lebih
dulu. Apa yangdilakukan Bala Sanggrama itu benar-benar di saat yang tepat karena bila tidak,nasib mereka akan berakhir.
Dari arah timur, tiba-tiba riuh oleh suarateriakan-teriakan pasukan berkuda yang muncul mendadak dari balik
pepohonan.Medang Dangdi yang nyaris tersambar anak panah, segera membalas dengan melepasanak panah. Salah seorang
prajurit Kediri terjungkal dengan kudanya, menyebabkandua prajurit yang berkuda di belakang prajurit itu ikut terjungkal.
“Setan alas,” umpat Kebo Mundarang.
Agak terhenyak Ranggalawe mendengar suara yang sangatdikenalinya itu.
“Kebo Mundarang, kaukah itu?” teriak Ranggalawe, “ayokejarlah kami. Kalian ingin tahu bagaimana rasanya mencicipi
tubuh sekarkedaton Singasari? Ayo kejarlah kami.”
Kebo Mundarang merasa jantungnya mau pecah dan darahnyamendidih melihat buronan yang dikejarnya lolos dari
sergapan. Apalagi suaratertawa Ranggalawe yang sangat dikenalinya itu sangat melecehkan hatinya. KeboMundarang
memacu kudanya lebih kencang.
“Ayo tangkap dia, tangkap para sekar kedaton dan kita jadikanpesta pora.”
Dijanjikan akan berpestapora dengan sajian para sekar kedatonmacam itu menyebabkan para prajurit dari Kediri itu berkuda
sejadi-jadinya.Demikian semangatnya mereka berkuda, ada yang kurang cermat, menyebabkanterjungkal dari kudanya dan
terinjak-injak oleh yang lain.
Di depan, Bala Sanggrama Sorandaka membalap dengan amatkencang mengikuti Nambi dan teman-temannya yang lain
yang berpacu lebih dulu.Kuda Sorandaka dan kuda yang ditunggangi adalah kuda-kuda yang kekar yang telahmakan rumput
dan istirahat cukup, itu sebabnya mereka bisa memperlebar jarak.
“Iblis,” umpat Lebo Mundarang yang cemas bakal gagal lagi.
Napas atas nama amarahnya mengombak, sangat tersengal.
Di tempat lain, semisal di Ujung Galuh, Gresik pesisirPasuruan dan Madura, matahari sudah tampak bentuknya, namun tidak
demikian diwilayah Pasir Jenar di arah barat Gunung Semeru itu. Matahari belum tampakujutnya karena terhalang oleh
punggung Gunung yang tinggi. Pagi cerah denganlangit bersih, sungguh berbeda dengan sehari sebelumnya. Dengan cahaya
yangamat berlimpah seperti itu, Nambi dan teman-temannya mampu berkuda dengan lancardan tidak perlu merasa ragu
untuk membalap.
“Ke arah mana kita?” Nambi yang berada di paling depanberteriak keras saat melihat sebuah tikungan.
“Ke kiri,” balas Ranggalawe.
Nambi membelok diikuti oleh teman-temannya, sementaraRanggalawe dan Medang Dangdi berusaha memperpendek jarak
terhadap para temannyasekaligus memperlebar jarak dari para musuh di belakangnya. Di arah belakangnyaitu, Kebo
Mundarang benar-benar murka karena melihat apa yang telahdirancangnya sangat mungkin mengalami kegagalan. Sangat
mungkin orang-orangyang sangat diinginkan itu akan lolos.
Ranggalawe membalap lebih kencang lagi, berusaha mendahuluiteman-temannya.
“Mana jembatan Pasir Jenar yang kau maksud itu?” tanya Nambi.
Ranggalawe balas berteriak, “Ikuti saya. Ikuti contoh saya.”
Nambi memperlambat laju kudanya, untuk memberi kesempatanRanggalawe mendahului. Dengan berteriak-teriak Sambil
tertawa, Ranggalaweberkuda paling depan. Bukannya melambat sebaliknya kuda yang ditungganginyasemakin cepat.
“Awas, di depan ada sungai,” teriak Ranggalawe.
Nambi mengernyit melihat Sorandaka membalap kian kencangseolah sedang mengambil ancang-ancang untuk sebuah
lompatan yang panjang.Berdesir tajam Nambi ketika ia merasa curiga. Seingatnya di depan sana tidakada jembatan, meski
sungai yang berdinding tebing itu menyempit.
“Apakah di sana ada jembatan?” teriak Nambi.
“Ada, jembatan melayang,” jawab Ranggalawe sambil tertawa.
Semakin mendekati sungai, Ranggalawe semakin berpacu cepat.Terbelalak Nambi dan para temannya melihat jembatan
yang dikatakan Ranggalaweitu tidak ada. Nambi melotot melihat dengan tidak merasa ragu Ranggalawemelayang melintasi
sungai.
Berhasil.
“Demit keparat,” umpat Nambi.
Ranggalawe tertawa, “Ayo,” teriaknya.
Nambi bukan pengecut, dan ia merasa yakin kudanyaberkemampuan sama seperti kuda milik Ranggalawe. Ia berputar
untukberancang-ancang, contoh yang diikuti teman-temannya yang juga berputar kembaliuntuk membuat ancang-ancang.
Bagai terbang Nambi membalap dan kemudianmenyentakkan kendali kudanya, isyarat agar kudanya melompat tinggi.
Berhasil.
Di belakangnya, Gajah Pagon merasa tidak ragu sama sekali.Dari jauh ia sudah mengukur lebar sungai itu dan merasa tidak
masalah. Pundemikian pula dengan Pawagal dan Kapetengan, yang mampu melintasi sungai itudengan mulus. Ketika semua
berhasil, tiba giliran Gajah Pagon muncul masalah.
Bukan Gajah Pagonnya yang takut, namun kudanya yang takut.
Dari jauh Gajah Pagon sudah berancang-ancang, namun kudatunggangannya yang tidak mau melompat. Hanya dua jengkal
kaki sebelum terbangm,kudanya berhenti.
“Sial,” umpat Gajah Pagon.
“Ayo ulangi,” teriak Nambi.
Gajah Pagon berputar mundur, kalau sekali ini tidak berhasil,maka tak ada kesempatan lagi untuk berancang-ancang, karena
di belakang KeboMundarang semakin dekat.
“Ayo,” teriak Gajah Pagon.
Kuda tunggangannya ternyata merasa mustahil melompati lebarsungai itu, ia pilih mogok. Gajah Pagon menghitung waktu,
ia sadar bahwa tidakmungkin memaksa kuda tunggangannya. Dengan cepat ia melolos pedangnya dan dengansekali ayun ia
menebang batang bambu yang ada di depannya. Dengan penuhperhitungan ia berlari kencang, menjelang tepi sungai, Gajah
Pagon menggunakan ujungbilah bambunya sebagai tumpuan, maka melayanglah tubuhnya yang kurus melintasisungai untuk
kemudian mendarat dengan mulus di depan.
“Setan alas,” umpat Gajah Pagon.
Sorandaka tertawa bergelak.
“Mana jembatannya?” tanya Gajah Pagon.
Ranggalawe menjawab pertanyaan itu dengan tawa bergelak.Disusul Nambi dan teman-temannya juga tertawa bergelak.
“Saya harus kehilangan kuda,” keluh Gajah Pagon.
Gajah Pagon memandangi kudanya. Meski kuda itu kuda yangkekar, akan tetapi terbukti tidak memiliki nyali yang besar.
Kuda itutertinggal di seberang sana.
Sejenak kemudian, rombongan pengejar itu tiba dan harusmenghadapi kenyataan terhadang oleh sungai. Kebo Mundarang
merasa aneh melihatmusuh berada di seberang sungai sementara tidak ada jembatan di situ. KeboMundarang bingung, lebih
bingung dan merasa aneh lagi karena tidak melihat RadenWijaya dan para sekar kedaton.
”He Kebo Mundarang,” teriak Ranggalawe meminta perhatian.
Kebo Mundarang menggerakkan kudanya ke bibir sungai yangternyata sangat dalam. Rasa heran itu tidak tercegah.
“Bagaimana cara kalian menyeberang?” tanya Kebo Mundarang.
“Melompat, Ki Patih,” jawab Nambi.
“Melompat?” tanya Kebo Mundarang.
Nambi tertawa bergelak.
“Ya, melompatlah.”
“Kenapa ada kuda tertinggal?”
“Itu kuda saya yang tidak berani melompat,” jawab Gajah Pagon.
Kebo Mundarang memperhatikan musuh satu persatu. Ia mengenalimereka dan tahu siapa yang tidak ada.
“Mana Sorandaka yang lebar mulutnya itu?” tanya KeboMundarang dengan nada rendah dan agak bersahabat.
Pertanyaan itu sontak merangsang sarap tawa Nambi danteman-temannya yang merasa geli melihat musuhnya itu terkecoh.
Sesungguhnyapara prajurit berkuda dari Kediri itu bingung dan merasa heran, kenapa RadenWijaya tidak tampak dalam
rombongan itu. Jika para sekar kedaton berada dalamrombongan itu, pasti tak mungkin diajak melompati sungai. Hanya
dengan ancang-ancangyang cukup dan bernyali, barulah sungai itu bisa dilompati.

Banjir Bandang dari Utara 3


March 25, 2014 at 7:18am

“Bala Sanggrama Sorandaka sedang mengawal segenap sekarkedaton dan Raden Wijaya,” jawab Nambi sambil tertawa
terkekeh.
Kebo Mundarang memandang satu demi satu teman-teman RadenWijaya. Pertanyaan soal di manakah Raden Wijaya dan
para anak raja pralayaberada, sungguh sangat menggangu hatinya, selebihnya kegagalan menyergap musuhitu, benar-benar
membuatnya kecewa. Menghancurkan Singasari ternyata pekerjaanyang jauh lebih mudah dari meringkus Raden Wijaya dan
teman-temannya,seolah-olah ada kekuatan kasat mata yang selalu melindungi mereka. BahkanGayatri pun seperti ada yang
melindungi. Ke depan, ia tidak akan beraniberurusan lagi dengan anak Sri Kertanegara itu.
“Lalu ke mana, Raden Wijaya pergi?” tanya Kebo Mundarang.
Pertanyaan itu terasa sebagai pertanyaan bodoh, pertanyaanitu dijawab dengan tertawa keras dan bergelak. Gajah Pagon
yang kehilangan kudatertawa sambil menekuk-nekuk perutnya, atas nama rasa gelinya yang tidaktertahan.
“Ke mana Raden Wijaya pergi, jika kau mampu berpikir cerdas,pasti bisa menebak,” jawab Gajah Pagon.
Kebo Mundarang memenuhi saran itu, ia mencoba menebak,mencoba berpikir sebagaimana Raden Wijaya berpikir, akan
tetapi Kebo Mundarangtidak mampu menemukan jawabnya.
“Berbaik hatilah, katakan ke mana Raden Wijaya pergi ataubersembunyi?”
Medang Dangdi mengangkat busurnya, tindakan yang ia perbuatsungguh tidak terduga sama sekali. Secepat kilat Medang
Dangdi memasangsebatang anak panah di gagang gendewanya dan dengan sangat terukur mengarahkananak panah itu ke
jantung Kebo Mundarang. Melihat bahaya akan mendatanginya KeboMundarang segera berlarian dan menyelinap di antara
anak buahnya yang denganserentak berlindung di balik tameng.
Melihat betapa kelabakan Kebo Mundarang itu, Medang Dangditertawa terkekeh.
“Diamput,” umpat Kebo Mundarang, “hujani anak panah.”
Gajah Pagon segera melompat sekuda dengan Ranggalawe.
Ia berteriak, “Ayo teman-teman, mumpung Kediri sedang kosong,kita bakar istananya.”
Tak menunggu hujan anak panah datang, Bala Sanggrama Nambidan teman-temannya pun membalapkan kudanya dengan
kencang sambilmemperdengarkan suara tertawa yang menghina sekali. Meninggalkan Kebo Mundarangyang kesal bukan
kepalang. Kebo Mundarang bergegas mendekati tepian, ia melihatsungai yang dalam dan jarak yang cukup lebar. Kebo
Mundarang merasa heranmelihat kenyataan aneh itu, sulit ia mengerti, bagaimana cara para buronannyadalam melintasi
jembatan itu. Atas nama rasa kesalnya, Kebo Mundarang membutuhkansasaran pelampiasan.
“Bunuh kuda itu,” teriaknya.
Hujan anak panah segera mengakhiri kuda yang malang nasibnya.Namun kemalangan yang menimpa dirinya itu tak
berlangsung lama karena dua diantara anak panah dengan telak tembus ke jantungnya.
“Siapa yang bisa menebak, ke manakah Raden Wijaya dan parasekar kedaton?” tanya Kebo Mundarang dengan suara
lantang.
Para prajurit bawahannya saling pandang.
Seorang di antaranya tiba-tiba mengacungkan jari tangannya.
“Ke mana?” tanya Kebo Mundarang.
“Bersembunyi, Mahapatih,” jawab prajurit itu.
Jawaban jenis itu sontak menyebabkan Kebo Mundarang meradang.
“Semua orang tahu,” teriak Kebo Mundarang, “Raden Wijayabersembunyi di mana?”
Prajurit yang baru saja menjawab itu menyeringai danmelangkah mundur, ia cemas, Kebo Mundarang akan mengayunkan
tanganmenggamparnya. Kebo Mundarang melangkah mondar-mandir. Ke depan ia melihat,tidak ada gunanya mengejar anak
buah Raden Wijaya karena bukan mereka sasaranyang diinginkan.
“Kembali,” teriak Kebo Mundarang.
Kebo Mundarang melompat ke atas kudanya.
Dengan rasa kecewa yang nyaris memecahkan ubun-ubun, KeboMundarang membawa anak buahnya balik arah.

5
Sorandaka berlari dan terus berlari, ia tidak memilih tempatterbuka namun memilih melintas kebun dan ladang yang banyak
pepohonan. Dengankelebihan yang dipunyainya, Sorandaka bisa memantau pergerakan musuh yangmembayanginya. Di
langit yang terang benderang, lima ekor paksi cataka yangmenjadi kepanjangan matanya terus terbang berputar-putar tanpa
mengayuhsayapnya. Air yang berlimpah di atas sana, sudah cukup menjadi tenaga untukmengambangkan tubuhnya.
Sebuah keberuntungan bagi Sorandaka, dengan kelebihannya itupula ia juga bisa tahu pada apa yang terjadi pada teman-
temannya yang lain. Itusebabnya, Sorandaka berlari dan berlari ke arah mereka. Akan tetapi secepat apapun Sorandaka
berlari, jarak antara pihak yang mengejar dan yang dikejar itusemakin dekat. Sorandaka gelisah, akan tetapi setidaknya ada
satu hal yangmembuat hatinya tenang, ia telah berhasil menjauhkan para pemburu itu dariRaden Wijaya dan para sekar
kedaton,. Sorandaka merasa, tidak masalah baginyabila harus kehilangan nyawa demi keselamatan keluarga raja itu.
Semakin dekat di belakangnya, seratusan pasukan berkuda dibawah kendali Guru Grahita terus mengejarnya. Rangga Bentar
yang memiliki mataaneh itu mampu melacak ke mana pun keris Empu Gandring itu dibawa bergerak.
“Ayo, jarak semakin dekat,” teriak Rangga Bentar memberisemangat.
Derap kuda itu menimbulkan suara yang bergaung, juga menimbulkankerusakan besar bila melewati ladang tanaman milik
pertani. Sebuah ladang luasdengan tanaman bawang merah dan bawang putih juga cabe rusak bosah-basehsetelah dilintasi
kuda-kuda itu.
Di depan, Sorandaka berdebar-debar manakala menyadari jarakyang kian dekat. Juga kaget Sorandaka menghadapi
kenyataan, jika terusmengambil arah ke timur, ia terhadang oleh sebuah sungai yang agak sulitmenyeberanginya, itulah Kali
Pasir Jenar yang terkenal banyak buayanya,Sorandaka mencoba mengenali keadaan dengan seksama.
“Jika saya bisa menyeberang, sesungguhnya untuk sementarasaya aman dari kejaran orang-orang itu.”
Sorandaka sadar bahwa ia tidak boleh berhenti, ia harus terusbergerak karena bila ia sampai berhenti, musuh yang bergerak
lebih cepat karenaberkuda itu akan membantainya. Lembaran nyawanya akan melayang tak ada artinya.Di langit,
kegelisahan Sorandaka rupanya menjadi kegelisahan salah satu darilima burung cataka yang terbangnya berubah. Empat
yang lain tetap terbangtinggi sementara seekor di antara terbang merendah.
“Di arah mana dia?” tanya Rudra Narantaka.
“Dia sudah dekat,” jawab Rangga Bentar, “arah kita sudahbenar. Sebaiknya kau perintahkan sebagian prajuritmu untuk
menghadang,”
Rudra Narantaka terus berpacu sambil tiba-tiba memperdengarkansuara siulan melengking dari mulutnya.
“Separo ke kanan, hadang buronan kita di bukit paling tinggiitu.”
Tidak perlu diulang lagi, perintah itu langsung dilaksanakan.Pasukan berkuda itu kemudian membelah jumlahnya, separuh
berjalan lurus,separuh yang lain memisahkan diri sebagaimana dikehendaki pimpinannya.
“Ayo cepat,” teriak mereka.
Sorandaka menyadari bahaya kian dekat segera berlari lintangpulang sambil memeras otak berusaha menemukan gagasan
yang paling sesuai. Namungagasan jitu yang paling masuk akal itu tidak kunjung ditemukannya. Sempatterpikir melompat
ke dalam sungai, akan tetapi ia sadar, musuh tahu benardengan gerak-geriknya.
Di atas, burung cataka yang terus membayangi ulahnya ituterbang kian rendah, burung itu bahkan terbang menerobos sela
pepohonan,membayangi apa pun dan kemana pun Sorandaka pergi. Burung yang diberi namaJatayu itu bagai ikut merasakan
kegelisahan Sorandaka yang kini menjadimajikannya.
Sorandaka melihatnya.
“Lakukan sesuatu,” teriak Sorandaka amat lantang.
Burung aneh yang semula membayanginya dengan terbangmenerobos pepohonan itu tiba-tiba melesat memanjat naik dan
membubung tinggi.
Pergerakan para prajurit berkuda di bawah kendali Rudra Narantakaitu demikian cepat dan rapat. Sorandaka yang
memegang keris Empu Gandringberdebar-debar, pemuda dari Tuban itu sangat sadar bahaya besar sedang
bergerakmenghampirinya. Akhirnya Sorandaka sadar, bahwa tidak ada gunanya ia bergerakmendekati teman-temannya
karena terlihat jelas dari mata hatinya, Nambi danteman-temannya justru bergerak ke arah lain.
“Sial,” Sorandaka mengeluh.
Akhirnya, derap kuda yang banyak sekali itu mulai terdengar.Tak hanya melalui mata hati, dari ketinggian di tepi sungai
yang curam itu mulaiterlihat gerakan pasukan berkuda yang telah menyebar membentuk kepungansetengah lingkaran.
Sorandaka berlari sekencang-kencangnya, menyusur tebingtepi sungai, akan tetapi kuda-kuda yang membalap di arah kanan
bergerak jauhlebih cepat.
Merasa tidak ada gunanya, Sorandaka akhirnya memilih berhenti.Ia melirik ke belakang, di belakangnya Gunung Semeru
tampak menjulang tinggidan berwibawa. Sorandaka pun melirik ke atas, terlihat burung cataka yang telahmelukai wajahnya
itu terbang berputar, bergerak sangat cepat seolah sedanggelisah mewakili kegelisahannya.
Namun rupanya burung rajawali yang terbang berputar itusedang merencanakan sesuatu. Ia bergerak cepat bukannya tanpa
maksud. Diketinggian langit mata paksi cataka itu bisa melihat dengan jelas sasaran yangsedang dibidiknya. Dari
ketinggiannya burung itu memerhatikan anak-anak ayam dihalaman sebuah rumah sederhana nun jauh di selatan dengan
jelas, namunanak-anak ayam itu sama sekali tak menarik perhatiannya. Sebaliknya,gerak-gerik salah seorang dari para
penunggang kuda itu sungguh amat mencuriperhatian. Satu lagi yang menarik perhatiannya adalah sebilah keris yang
kiniberada dalam genggaman Sorandaka. Burung cataka itu tak hanya memiliki mata wadag yang tajam, namun juga mata
hatiyang tajam. Ia melihat ada sesuatu yang tidak sewajarnya pada bilah keris ditangan Sorandaka itu.
Sorandaka, tidak bisa maju dan tidak bisa mundur. Di tepibukit itu, ia dihadang jurang yang dalam dengan sungai yang
bawah sana yangapabila ia terjatuh, tentu akan berakibat mengerikan sekali. Di sana ada banyakbuaya, mrinding Sorandaka
yang melihat dengan jelas, di sebuah arah tampakseekor buaya sedang merangkak.
Terkejut Rudra Narantaka ketika tidak melihat buronsebagaimana yang diharapkannya.
“Mana Raden Wijaya?” tanya Rudra Narantaka.
Sorandaka memandang orang yang bertanya itu dengan rasa herandan penasaran. Tentu oleh sebuah alasan tidak ingin
diketahui siapa jatidirinya yang menyebabkan ia harus menutupi raut mukanya di balik secarik kain.
Sebagaimana Rudra Narantaka atau Guru Grahita, demikian juga dengansegenap prajurit berkuda yang mengiringinya, pun
demikian pula dengan RanggaBentar, para orang itu bingung karena tidak melihat Raden Wijaya dan para sekarkedaton.
“Mana Raden Wijaya dan para sekar kedaton, Sorandaka?” ulangRudra Narantaka.
Sorandaka terkejut, ia merasa tidak mengenali suara orangitu, sebaliknya ternyata orang itu bisa mengenali dirinya dengan
baik. Sorandakamencoba mengenali perawakannya, akan tetapi banyak sekali orang yangdikenalinya yang bertubuh kurus
dengan tinggi seperti tinggi orang itu.
“Kau tahu siapa saya?” Sorandaka balik bertanya.
“Kamu Sorandaka, pemanah tanpa tanding, sahabat erat RadenWijaya,” jawab orang itu.
Jawaban itu menyebabkan Sorandaka termangu. Apabila orangberpenutup wajah itu melepas kainnya, sangat mungkin ia
mengenalinya karenasebaliknya orang itu juga bisa mengenalinya. Sorandaka kemudian mengedarkanpandang matanya,
menjelajahi semua wajah, akan tetapi ia merasa tak satupunwajah para prajurit berkuda itu yang dikenalinya.
Sejenak ia singgah di salah satu wajah, mrinding Sorandakamenyaksikan wajah orang itu yang aneh, terutama matanya.
Sorandaka kembali melanjutkan menjelajahi semua wajah, hinggakemudian ia merasa yakin tidak satu wajah pun yang
dikenalinya. Tidak satuorang pun pengkhianat Singasari berada di antara orang-orang itu. Kalaupengkhianat itu ada,
barangkali orang yang menyelubungi diri di balik secarikkain itulah pengkhianatnya, karena kalau tidak, untuk apa ia harus
bersembunyidi balik topeng macam itu.
“Kau Guru Grahita?” tanya Sorandaka, “kaukah orang yangmenggunakan nama sandi Rudra Narantaka?”
Guru Grahita terkejut.
Namun ia menjawab, “Ya.”
Mrinding Sorandaka memperoleh jawaban itu. Bila ada pilihanuntuknya, Sorandaka sangat ingin membongkar siapa
sesungguhnya jati diri orangitu, yang diyakini sebagai dalang dari para makar yang telah menjarahSingasari. Akan tetapi
pilihan yang tersedia untuknya tidak sedang berada diatas, justru Sorandaka sedang berada di bawah, ia yang sedang
terkepung, tidaksedang dalam keadaan mengancam.
“Di mana Raden Wijaya?” terdengar sebuah pertanyaan.
Sorandaka menoleh dan mencari-cari dari mana suara ituberasal. Kaget Sorandaka melihat kenyataan, pertanyaan itu datang
dari orangyang penampilannya sangat aneh dan mengerikan. Terutama karena keadaan matanya.Sorandaka berpikir keras
dan mencoba menebak siapa sesungguhnya orang itu, ataupaling tidak apakah perannya.
“Kaukah orangnya?” tanya Sorandaka.
Pertanyaan itu membingungkan yang ditanya.
Rangga Bentar balas bertanya, “Orangnya apa maksudmu?”
Sorandaka menatap tajam, keris Empu Gandring di genggamantangannya bergetar. Kini Sorandaka merasa yakin, bahwa
orang bermata anehitulah yang memiliki kemampuan melihat menggunakan ketajaman mata hati,menandai di mana ia
berada, tepatnya menandai di mana keris Empu Gandringberada, bukan di manakah Raden Wijaya berada. Terbukti, ketika
ia yang membawakeris itu, Rangga Bentar terkejut.
“Kau rupanya yang memiliki kemampuan melacak keris ini,” kataSorandaka.
Sorandaka melanjutkan dengan tertawa terkekeh.
Orang yang bermata aneh itu membelalakkan matanya, semakinterbelalak maka terlihatlah betapa keadaannya memang
mengerikan. Jangankanbocah-bocah, bahkan orang yang sudah tua pun bisa ketakutan. Amat dalam orangitu menarik napas
dan amat kasar ia menghembuskannya. Mrinding Sorandakamembayangkan, ketika orang itu membeliak, yang tersisa adalah
mata yangterbalik, tidak tampak bulatan hitamnya.
“Katakan di mana Raden Wijaya berada,” tanya Rangga Bentardengan suara rendah namun penuh tekanan.
Sorandaka tidak segera menjawab pertanyaan itu.
Sebaliknya ia yang bertanya, “Siapa namamu?”
Rangga Bentar merasa jengkel, “Jawab pertanyaan saya, di manaRaden Wijaya berada.”
Sorandaka tertawa bergelak sambil melihat keadaan disekelingnya. Sorandaka menghitung, kali ini tidak ada lagi peluang
yang bisadigunakan untuk melarikan diri. Ia sudah melekat di tepi jurang sementara paraprajurit berkuda telah
mengepungnya sangat rapat membentuk setengah lingkaran. Jikaia melompat ke jurang, maka buaya-buaya di bawah sana
pasti akan berpesta poramenikmati tubuhnya.
“Saya bukan anak buahmu, saya bukan gedibalmu, mengapa kamu berpikir bisa dan boleh memperlakukan sayaseenakmu.”
Rangga Bentar terbungkam, suara batuk yang diperdengarkannyamenggambarkan kesulitan yang dialaminya untuk
menenangkan diri. Semua prajurityang menyertainya, tidak seorang pun yang tidak takut kepadanya. Para prajuritKediri
yang oleh Jayakatwang diperbantukan kepada Rudra Narantaka semuanyatahu, orang bernama Rangga Bentar itu sungguh
mengerikan. Jika marah padaseseorang ia meludahinya, dan ludahnya bukan sembarang ludah, yang terkenaludah itu
akan mlonyoh. Selebihnyaorang bermata aneh itu bagai memiliki kemampuan sihir, kutukan yang dilepasnyabisa berakibat
perut. Jika seseorang dikutuk sakit perut maka akan sakitperutlah dia.
“Jadi kamu tidak berminat mengatakan, di mana Raden Wijaya?”tanya Rudra Narantaka.
“Bodoh sekali jika saya akan dengan sukarela mengatakan dimana Raden Wijaya, sebagai pengikut setianya, saya rela mati
untukmelindunginya. Sebaliknya, barangkali kau berminat menjawab pertanyaan saya.”
Udara bagai mengombak di tepi sungai yang curam itu, terbuktibukan Rudra Narantaka dan Rangga Bentar yang menguasai
keadaan namun justruSorandaka yang mempermainkan keadaan dan mengelolanya. Seolah tak peduli padakematian yang
mungkin menghampirinya, Sorandaka berjalan mondar-mandir sesekalisambil memutar pedangnya.
“Apa yang akan kau tanyakan?” tanya Rudra Narantaka yangterpancing.
Sorandaka tersenyum,tangan kanannya yang memegang keris Empu Gandring masih terarah ke belakang.Tangan kirinya,
amat kuat memegang pedang panjangnya yang melengkung denganbilahnya terlihat tajam. Sorandaka prajurit yang pilih
tanding, ia memilikitangan kiri dan kanan yang kemampuannya sama baiknya. Pun demikian dengankemampuannya
membidik melepas anak panah, tidak ada bedanya ia memegang gendewadengan tangan kanan atau tangan kirinya.
“Apakah kau tidak merasa risih dengan penutup wajah yang kaukenakan itu?”
Rudra Narantaka agak kaget, ia tidak menyangka akanmemperoleh pertanyaan macam itu.
“Risih,” jawabnya, “sesungguhnya saya merasa risih.”
Sorandaka tertawa pendek.
“Kalau tidak merasa risih, kenapa tidak kau buka saja? Kenapakau merasa takut?”
Rudra Narantaka mengernyit.
“Siapa yang takut?” bantah Rudra Narantaka.
Sorandaka tertawa terkekeh. Dengan langkah ringan nyaristanpa beban ia berjalan ke kanan, semua prajurit Kediri yang
berada di kananbergerak mundur.
“Kalau kau tidak takut, untuk apa kau tutupi wajahmu? Kaukenakan topeng itu pertanda kau takut pada orang-orang yang
akan mengenaliwajahmu, hanya pengecut yang akan berbuat itu.”
Sorandaka terkejut ketika melihat Rudra Narantaka tertawa.
“Saya tak keberatan siapa pun menuduh saya pengecut. Tuduhsaja saya pengecut, silahkan.”
Sorandaka memandang orang yang mengenakan penutup wajahsecarik kain itu. Ia mencoba sekuat tenaga untuk mencoba
menebak siapa pemilikmata macam itu. Namun Sorandaka tidak bisa mengenalinya.
Sorandaka tertawa.
“Bisa dimaklumi bila kau tidak peduli. Bahkan andaikata ibumumelahirkan lagi tentu kau tidak peduli.”
Rudra Narantaka terkejut, kedua matanya terbelalak.
“Kenapa dengan ibu saya? Kenapa kau membawa-bawa nama ibusaya?”
Sorandaka semakin terkekeh, isi pembicaraan itu dengan segeramenyita perhatian segenap prajurit berkuda yang melakukan
pengepungan. Takseorang pun yang tak merasa heran melihat Sorandaka memiliki nyali yang besar,sama sekali tidak merasa
ketakutan meskipun ia sedang berhadapan dengan bahaya.
“Kau adalah jenis orang yang tidak peduli bahkan seandainyabumi ini meledak, kau adalah jenis orang yang tidak peduli
meski ada orang yangmemperkosa nenekmu, kau juga tidak akan peduli meski ibumu berselingkuh denganseekor kuda yang
menyebabkan kau akan mempunyai seorang adik yang dari leher keatas bertubuh manusia akan tetapi tubuh dan kakinya
keturunan kuda. Dan kautidak peduli pada anakmu sendiri, yang barangkali kau akan menggaulinya. Kautidak peduli karena
kau sedang mengenakan topeng, yang itu berarti kau sedangmenutup mata pada kejadianmu apa pun, kamu tidak
menggunakan nilai apa pun,apakah pantas dilakukan atau tidak patut dilakukan.”
Ucapan beruntun itu mengagetkan sekali, para prajurit berkudayang melakukan kepungan sama sekali tidak menyangka
prajurit Singasari yangterkepung itu benar-benar bermulut tidak sekedar lebar tetapi sangat lebar. Paraprajurit Kediri itu
kemudian menempatkan diri menunggu perintah apa yang akandijatuhkan Rudra Narantaka.
Di luar dugaan, Guru Grahita Rudra Narantaka itu ternyatajustru tertawa.
Segenap prajurit berkuda Kediri terkejut, mereka kebingungan.Melihat itu, Bala Sanggrama Sorandaka mengernyit, ia
melirik seraya tangankanannya menggetarkan keris Empu Gandring dalam genggamannya.
“Saya sama sekali tidak peduli, saya tidak keberatan ibu sayaditunggangi kuda atau sapi dan sama sekali tak masalah bila
saya akan mempunyaiadik berkepala kuda. Saya sama sekali tidak keberatan, ibu saya seperti yangkau katakan itu,” lanjut
Rudra Narantaka, seraya tertawa renyah di balik kainyang ia kenakan menutupi wajahnya.
Sorandaka terkejut, ia sama sekali tidak menduga RudraNarantaka yang bermama lain Guru Grahita itu mampu bersikap
aneh seperti itu.
“Bagaimana kalau ditunggangi harimau?” tanya Sorandaka.
Pertanyaan itu menyebabkan Guru Grahita tertawa terbahak,suaranya dibuat aneh agar tidak dikenali bukan hanya oleh
Sorandaka, akantetapi juga oleh semua orang.
“Tidak masalah,“ kata Guru Grahita itu, “selebihnya simbok sayasudah lama mati.”
Jawaban itu menyebabkan Sorandaka termangu.
“Sebaliknya, berbaik hatilah Sorandaka,” lanjut Guru Grahita,“katakan saja di manakah para sekar kedaton dan Raden
Wijaya itu pergibersembunyi? Kalau kau mau berbaik hati dengan cara mempermudah kami menemukandan membasminya,
mungkin kami akan berbaik hati memberi kamu sebuah gelar terhormatyang akan kaubanggakan sampai kapan pun di alam
kematian sana. Para Dewa dilangit barangkali akan memberimu surga yang dibangun khusus hanya untukmu.
Segenapbidadari tercantik seperti Batari Supraba atau Batari Tara dan Dewi Tari,bahkan tujuh orang bidadari yang tercipta
dari cahaya, yaitu Batari Tilotama, Batari Warsiki, Batari Surendra, Batari Gagarmayang, BatariTunjungbiru, dan Batari
Lenglengmulat.”
Ucapan Guru Grahita itu dengan telak memancing rasapenasarannya. Sorandaka mengernyit, ia sama sekali tidak
menyangka Guru Grahitayang berselubung teka-teki itu ternyata pintar juga bersilat lidah bermainkata-kata. Pengetahuannya
atas nama-nama batari amat luas. Konon batari Suprabaadalah bidadari tercantik, anak bungsu dari Dewa Indra, yang
tercipta daricahaya yang pecah menjadi tujuh bidadari yang lain, yaitu Batari Tilotama, Batari Warsiki, Batari Surendra,
Batari Gagarmayang, BatariTunjungbiru, dan Batari Lenglengmulat.
“Gelar apakah yang akan kau berikan itu?” tanya
“Anumerta,” jawab Guru Grahita sambil tertawa bergelak.
Sejenak kemudian, tawanya disambut para prajurit, semuamenganggap ucapan itu amat lucu. Demikian terkialnya Guru
Grahita karena iamerasa geli.
Sorandaka semakin terbungkam.
Pedang yang berada dalam genggaman tangannya bergetar danamat mencuri perhatian. Guru Grahita yang tertawa itu tiba-
tiba terdiam kemudianterbungkam. Namun bukan pedang panjang miliknya yang menjadi ciri khas darikelompok pasukan
khusus Bala Sanggrama yang menyita dan mengunci perhatian, akantetapi keris Empu Gandring yang berada dalam
genggaman tangan kirinya yangmenggelisahkan hatinya. Keris itu benar-benar berwibawa, mata hati Guru Grahitamampu
menangkap keadaan yang aneh itu. Di tangan mendiang Raja Ken Arok yangpamor dan jiwanya telah menyatu, keris itu
mampu mendidihkan air di sebuahbelumbang. Ikan-ikan yang menjadi penghuni belumbang itu seketika menggeliatdan
terkapar mati. Di tangan Ken Arok yang sedang, keris itu mampu menggerahkanudara di balairung, yang menyebabkan para
raja di negara bawahan yang hadirdalam pasewakan merasa ketakutan.
Apalagi Sorandaka kemudian memindahkan keris yang semula ditangan kirinya, ke tangan kanan. Apabila Sorandaka
mengguratkannya ke tanah,akan hangus tanah itu berubah menjadi bongkahan bata merah.
Di lain pihak, sesungguhnya Rangga Bentar tak kalah berdebar.Ia merasa, sasaran yang telah lama ia kejar adalah keris itu.
Ia merasamemiliki hak untuk menguasai keris itu, nafsunya lebih karena keris itu, bukankarena Raden Wijaya. Rangga
Bentar memiliki alasannya, dari ayahnya, iamewarisi dendam, sementara ayahnya mewarisi kesumat itu dari
kakeknya,sementara kakek yang tidak pernah ia lihat wajahnya itu mewarisi dendam itudari ayahnya.
Empu Gandring adalah leluhurnya.
Rangga Bentar tahu dan sadar, betapa rumit perjalanan untukterciptanya sebilah keris yang luar biasa itu. Keris yang dinamai
menggunakannama pembuatnya itu diraut dari bahan yang tak sembarangan. Sekian puluh tahunyang lalu, ketika Singasari
masih belum sebuah negeri, bahkan Singasari masihbernama Tumapel dan berderajad Pakuwon, sebuah benda langit jatuh di
TanahBlambangan.
Benda dari angkasa itu rupanya meninggalkan jejak mengerikan.Sejak benda langit itu jatuh di suatu tempat yang kini
bernama Blambangan, bencanayang sangat mengerikan pun kemudian terjadi. Dari bongkah batu itu jika sianghari keluar
asap berwarna kuning yang bukan sembarang asap, namun itulah asapyang bernyawa. Asap kekuningan itu bergerak atas
dasar kehendak, tak bergerakkarena pengaruh angin. Asap kekuningan itu kemudian melakukan pembantaian,semua
makhluk hidup dilibas, harimau disergap dan hanya meninggalkan kerangka.
Porak Poranda wilayah Teluk Pangpang, di SemenanjungSembulungan itu.
Batu bintang yang jatuh dari langit itu juga memilikipengaruh jahat dan mengerikan sekali. Ia mempengaruhi pepohonan di
sekitarnyayang berjarak amat dekat dengannya, pepohonan tiba-tiba berperilaku tidakubahnya binatang yang ganas dan
memangsa apa pun. Pepohonan menjaga bongkahanbatu itu sekuat tenaga agar tidak ada pihak mana pun yang berusaha
mengusiknya.Pohon-pohon bergerak menggunakan akar-akarnya, meringkus siapa pun yang beranimendekat dan
membahayakannya.
Dalam keadaan yang demikian, dua orang pemuda mampumeredamnya. Mereka adalah Ken Arok dan sahabat sekaligus
pesaingnya,Parameswara yang berkemampuan memutar angin. Oleh kemampuannya itulah, asapkekuningan yang sangat
berbahaya itu diredam, Ken Arok yang bertugasmelumpuhkan pengaruh batu berkekuatan jahat itu.
Dari benda yang jatuh dari langit itulah Keris Empu Gandringdibuat.
Menurut kisahnya, bukan pekerjaan mudah untuk meredam kekuatanyang mengeram dalam bongkahan batu bintang itu. Ken
Arok dan Parameswara harusbekerja sama dan bahu membahu menempanya, yang membutuhkan perjuangan sangatkeras
untuk melumpuhkan kekuatan yang tidak tampak di dalam bongkahan batubintang itu. Manakala bahan batu bintang berasal
dari langit itu berhasildilumpuhkan, maka pembuatan keris itu pun kemudian dimulai. Tidak
sepertipembuatan dhuwung sebagaimanabiasanya, meraut batu bintang itu membutuhkan waktu yang jauh lebih lama
daribiasanya. Empu Gandring membutuhkan waktu yang jauh lebih lama untuk membuatkeris itu.
Guru Grahita melangkah mundur saat Sorandaka kembalimenggetarkan keris di genggaman tangannya.
“Serahkan keris itu,” kata Rangga Bentar.
Sorandaka menoleh padanya.
“Apa?” ia balas bertanya.
“Berikan keris itu,” ulang Rangga Bentar.
Sorandaka memandang Rangga Bentar dengan tajam dan lama takberkedip. Sangat kuat ia memegang keris di tangannya.
Saat menoleh ke bawah, iamelihat buaya-buaya di sungai tampak gelisah. Mereka rupanya mengetahuikegaduhan yang
terjadi di atas dan berharap akan ada orang yang terpelesetjatuh. Sorandaka mengukur, bila dirinya yang jatuh, maka serpih
tubuhnya akan hilangjejak, selanjutnya akan menjadi tahi yang keluar dari tubuh para buaya itu.
“Kenapa matamu?” tanya Sorandaka.
Pertanyaan yang dilontarkan dengan tiba-tiba seperti tanpaancang-ancang itu sungguh amat mengagetkan. Selama ini tidak
ada yang beranimempersoalkan keadaan mata aneh yang melekat di tubuh Rangga Bentar itu, namunenteng saja Sorandaka
atau Andaka Sora melontarkannya.
“Dengan bentuk mata yang seperti itu, sesungguhnya kau bisamelihat atau tidak?” lanjutnya amat ringan tak berbeban.
Tiba-tiba saja Rangga Bentar merasa dadanya sangat sesak.Pertanyaan itu ia rasakan sebagai pelecehan, penghinaan yang
tidak termaafkan.
Amat susah payah ia mendamaikan diri.
“Berikan keris itu,” bentak Rangga Bentar.
Namun Sorandaka juga bisa membentak.
“Tutup mulutmu,” ia berteriak keras sekali, “punya hak apakamu berani membentak saya? Saya bukan andahanmu,saya
bukan kaki tanganmu. Sembarangan saja mulutmu njeplak.”
Ucapan Sorandaka yang lantang dan keras itu ternyata memilikipesona sihir yang demikian kuat, menyebabkan semua orang
bagai kehilangankesadaran tak mampu berbuat apa pun. Kini giliran Bala Sanggrama yangmenggenggam kekuatan sihir
yang menyebabkan siapa pun tersita perhatiannya. Seolahtak takut mati dan tak khawatir semua anak panah akan dilepas
menyambartubuhnya, Sorandaka berjalan mondar-mandir bahkan sempat memelintir kumisnya.
“Saya tidak suka dibentak dan jangan pernah sekalipunmembentak saya,” Sorandaka berkata masih dengan suara yang
lantang, “jikamenginginkan keris ini, ajukan dengan ucapan yang baik, yang sopan dan dengansuara yang sejuk lembut.”
Orang-orang yang mengepungnya saling pandang. Guru Grahitabenar-benar dililit pesona sihir yang tidak terlawan. Guru
Grahita sama sekalitidak menyangka akan ada orang yang telah tersudut sedemikian rupa namun masihpunya keberanian
membuka mulut sangat lebar.
Berdebar-debar Guru Grahita melihat apa yang kemudiandilakukan Sorandaka.
Namun bukan Guru Grahita, Rangga Bentar yang justrubertanya, “He, apa yang kau lakukan itu?”
Sorandaka mendengar pertanyaan itu namun tidak merasaperlu menjawab.
Sorandaka mengangkat keris Empu Gandring di ataskepalanya menuding langit, tidak dengan satu tangannya namun dengan
keduatangannya. Kedua kakinya ditekuk dengan sedikit merendah membentuk pertahananyang kukuh, laksana batu karang
yang siap menghadapi apa pun yang bakalterjadi, siap menghadapi ombak uang akan menggempurnya susul menyusul. Di
atassana, Sorandaka memerhatikan para elang yang terbang berputar.
Menghayati apa pun yang akan terjadi, Sorandaka mulaimemejamkan mata.
Genggaman tangan itu sangat kuat mencengkeram gagangkeris Empu Gandring yang terbuat dari kayu cangkring, dilambari
dengan hatinyayang sedang sangat bergejolak. Gemetar tangan anak buah Raden Wijaya itu,menjadi awal dari gemetar
seluruh tubuhnya. Sorandaka dengan penuh kesadaranmempersiapkan diri mewadahi pengaruh jahat dan buruk dalam keris
itu, akantetapi Sorandaka amat sadar, kekuatan buruk itu akan ia pergunakan untukmelawan musuh-musuhnya yang telah
memberikan kepungan rapat, kinepung wakul binaya mangap.
Para alis dan kening segera mencuat, tak peduli alis itumilik Rangga Bentar pemilik mata aneh, maupun milik Rudra
Narantaka yang tidakterlihat karena tertutup kain. Segenap anak buahnya menoleh ke kiri dan kanan,mencari sumber suara
yang tiba-tiba mencuri perhatian. Dengan bingungorang-orang Kediri itu memerhatikan pepohonan yang tiba-tiba bergerak
danmenyumbangkan suara gemeresak dari daun-daun yang bergerak liar.
“Tidak ada angin,” gumam seseorang.
Sorandaka tidak merasakan, atau barangkali Sorandakamerasakan, namun tidak peduli. Ia sadar penuh dengan pengaruh
yang bakalmembelitnya.
Ia berubah.
Setidaknya mulai tidak menjadi dirinya sendiri.
“Ayo, majulah kalian semua,” teriak pemuda dari bumi Tubanitu masih dengan mata yang terpejam.
Suasana kemudian terasa sangat aneh.
Setidaknya demikianlah yang dirasakan oleh orang-orangKediri di bawah kendali Rudra Narantaka dan Rangga Bentar itu.
Mereka jelalatanmemerhatikan suasana di kiri dan kanannya, terarah pada pepohonan yang bagaidiremas udara yang
mampat. Daun-daun bergoyang kasar dan merasa kesakitan,daun-daun yang menguning segera runtuh berjatuhan.
Namun ketika perhatian anak buahnya tertuju pada ulahangin yang datang tiba-tiba dan deras, ada hal yang luput dari
pandangan paraprajurit Kediri itu, bahkan Rudra Narantaka termasuk yang tidak terlihat.
Keris Empu Gandring memiliki kisah di masa silam yangmengerikan.
Hampir seratus tahun yang lalu, Empu Gandring bermataawas telah mengamati perjalanan batu bintang yang melayang-
layang di langit.Empu Gandring yang awas dan boleh dibilang sidikpaningal. Dengan mata batinnya yang sangat tajam,
Empu Gandring bahkan bisamenerka di mana benda dari angkasa raya itu akan jatuh.
Demikianlah yang kemudian terjadi, Empu Gandring yangtinggal di Lulumbang tak jauh dari Ywangga menempuh
perjalanan jauhnya ke tanahBlambangan. Dari ketinggian lereng Gunung Ijen, Empu Gandring melihat bendayang melesat di
langit itu jatuh dan membakar apa pun yang ditimpanya. Musimsedang kemarau, dedaunan sedang sangat kering, itu
sebabnya bintang jatuh itumenyebabkan terjadinya kebakaran di wilayah yang dilintasinya. SemenanjungSembulungan di
Banyuwangi berkobar.
Pepohonan yang sedang kerontang pun hangus.
Namun ternyata, bencana itu bukanlah bencana yangsesungguhnya. Malam hari bongkahan batu dari langit itu tidur, namun
cahayamatahari yang menyentuhnya, bagai membangunkan kekuatan dahsyat yang mengeramdalam bongkahan batu itu.
Matahari yang memanjat naik dan menyiramkan cahaya kepermukaannya, menyebabkan batu bintang itu meronta. Asap
kental berwarna kuningmenggeliat keluar.
Asap berwarna kuning itu bukanlah jenis asap yanggeraknya menggantungkan diri pada apa kehendak angin yang
berhembus. Asapkekuningan itu sungguh asap bernyawa dan pemburu tanpa tanding. Raja hutanbukan lagi harimau, namun
binatang berkaki empat itu hanya makanan empukbaginya. Ketika asap itu muncul, harimau yang pertama kali
memergokinya, atauhewan penghuni hitan yang lain, memandangnya dengan heran dan takjub. Barulahbinatang itu terkejut
bukan kepalang ketika asap aneh itu tiba-tibameringkusnya, menghisap tubuhnya, melumerkan daging dan meminum
darahnya.
Harimau dan para hewan yang lain itu tentu terlonjakkaget dan berusaha meloloskan diri, akan tetapi perbuatan itu sungguh
tidak adagunanya. Seekor kuda yang terjebak, berusaha lari kencang, namun tidak adagunanya. Tubuhnya bersimbah darah,
yang ketika asap berwarna kuning itu meringkusnya,maka sejenak kemudian menyajikan suasana hening yang amat telak.
Ketika asap kuning itu pergi, yang tersisa hanya tinggaltulang belulang.
Hari demi hari, bergerak ke bulan, SemenanjungSembulungan yang semula hutan belantara itu kemudian sepi mamring, para
binatangnya habis dijarah pemangsa dari langit itu.Ketika akhirnya kehabisan binatang buruan, gerak asap pembunuh itu
kemudianmelebar menyebabkan penduduk di perkampungan-perkampungan menyelamatkan diri,dengan bergerak ke barat
hingga ke daerah Jember dan bahkan Lumajang.
Majapahit 3 keempat
Nambi tidak dengan segera menjawab pertanyaan itu. Di langit, paksi cataka terbang lebih tegak,
pertanda perjalanan Raden Wijaya dan rombongannya kian dekat. Nambi sedikit agak
mengernyit ketika dari arah dapur tertangkap bau yang menggoda hidungnya. Namun Nambi
segera membuang kesan itu dari wajahnya. Nambi tersenyum ketika selembar suara bergetar
menyapa gendang telinganya. Di antara teman-temannya, yang punya kebiasaan mendengkur
keras adalah Ranggalawe dan Banyak Kapuk. Sesekali apabila sedang kelelahan luar biasa, Kebo
Kapetengan juga mendengkur. Nambi menengadah, Danapati ikut-ikutan menengadah. 11
Raden Wijaya segera mengurangi kecepatan laju kudanya saat melihat dari depan seseorang
sedang memacu kudanya berlawanan arah dengannya. Meskipun masih jauh, Raden Wijaya dan
Pamandana bisa mengenali orang itu. Bahwa justru karena Sorandaka muncul dari arah depan
itulah, Raden Wijaya terkejut dan bingung. Menurut perhitungannya, Sorandaka tertinggal di
belakang cukup jauh. “Kami semua mencemaskanmu, Sorandaka,” kata Raden Wijaya menyapa.
Sejak dari jauh Sorandaka telah memberikan penghormatan dan itu ia ulangi lagi ketika telah
berada dalam jarak dekat. Sorandaka melihat keadaan para sekar kedaton cukup baik, meskipun
tampak jelas kelelahan lahir dan batin di wajah mereka. Ada banyak hal yang akan ia sampaikan
dalam pertemuan itu, namun yang paling penting adalah soal keris Empu Gandring. “Raden,
hamba harus menyampaikan soal keris Empu Gandring yang lepas dari tangan hamba, hamba
mohon maaf atas ketidakmampuan hamba.” Raden Wijaya memandang Sorandaka dengan
tatapan mata tajam, beberapa kejab anak Dyah Lembu Tal itu tidak berkedip. Raden Wijaya
menyempatkan menoleh pada Pamandana, yang ia lihat wajahnya tersenyum sekilas. Raden
Wijaya kemudian memejamkan mata dan mengangkat kedua tangannya di atas kepala. Terkejut
Sorandaka melihat keris Empu Gandring itu muncul, ia berada dalam genggaman tangan
pemuda yang beristeri empat itu. Raden Wijaya mengusap gagang keris itu, keris buatan Empu
Gandring itu kemudian lenyap tidak ada jejaknya, tersimpan kembali di dalam benak pemuda
beristeri empat itu. Raden Wijaya menengadah memandang langit. Diperhatikannya paksi cataka
yang terbang berputar dengan membentangkan sayapnya. “Rupanya, saya tidak perlu
mencemaskan keris itu,” gumam Sorandaka seperti berbicara pada diri sendiri. Tribhuaneswari
membawa kudanya mendekat. “Di mana teman-teman yang lain?” tanya Tribhuaneswari.
Sorandaka mendekati kuda Tribhuaneswari dan mengambil alih kendalinya. “Mari Raden dan
semua, teman-teman Bala Sanggrama sedang menunggu di depan, tempat ini cukup aman untuk
beristirahat dan bersembunyi sementara waktu.” Sorandaka yang telah mengambil alih tali
kendali kuda itu kemudian menuntunnya sambil berlari, melihat perbuatan itu Raden Wijaya
tersenyum, akan tetapi ia tidak berkata apa pun. Di jalanan yang agak terjal itu Raden Wijaya
menyempatkan mencatat, melalui wilayah mana saja ia menyelamatkan diri berusaha menjauh
dari pengejaran para prajurit Kediri. Kelak, manakala ia berhasil mengambil alih kekuasaan, ia
akan napak tilas perjalanan yang amat melelahkan itu. Sisa perjalanan ke tempat yang
disebutkan Sorandaka tidak terlalu jauh. Raden Wijaya tidak bisa menahan senyumnya melihat
keadaan anak buahnya yang bergelimpangan. Kantuk yang sangat hebat menyebabkan mereka
sama sekali tidak mendengar kedatangan Raden Wijaya. “Selamat datang di gubuk hamba,
Raden,” ucap sang pemilik rumah sambil kedua tangannya menyembah. Cekatan Nambi
menolong para sekar kedaton turun dari kuda, yang masing-masing langsung terhuyung-huyung
nyaris terjatuh ketika telah berdiri di atas tanah. Tumurah dan Samangkin yang ikut menyambut
bergegas ikut menolong. Tumurah menyempatkan menyembah sebelum ia sigap memeluk
Tribhuaneswari dan menuntunnya masuk ke dalam rumah melalui pintu samping, pun
Samangkin dengan cekatan menuntun tangan Pradnya Paramita sementara Nyai Danamati
dengan gugup menggandeng lengan Narendraduhita. Semua harus melintas pintu samping
karena ruang tengah berbau anyir darah. “Apa yang terjadi, Raden?” tanya Danapati. Raden
Wijaya tersenyum kecut. “Nama Paman siapa?” Danapati menjawab, “Hamba Danapati Raden,
hamba sekeluarga sungguh berterimakasih pada para prajurit anak buah Raden yang pada saat
amat tepat muncul dan menolong kami. Kami nyaris dijarah oleh tetangga kami sendiri yang
ternyata menyimpan niat buruk pada hamba, yang terutama kepada kedua anak gadis hamba.”
Menyimak itu, Raden Wijaya mengangguk. “Sebelum menjawab pertanyaan itu, bolehkah saya
numpang mandi?” Danapati terkejut, “O silahkan Raden.” Danapati bergegas mengantar Raden
Wijaya ke pakiwan (Jawa, kamar mandi yang terpisah letaknya dari rumah induk) yang berada
terpisah di belakang, ia tidak hanya menyilahkan Raden Wijaya mandi akan tetapi juga
menyiapkan pakaian. Sebagai penjual batik, Ki Danapati memiliki banyak persediaan pakaian
batik yang sangat bagus, dan ia tidak perlu merasa sayang untuk menghadiahkan kain-kain batik
gringsing yang sangat bagus itu pada para tamunya. Ki Danapati bergegas mengeluarkan
beberapa lembar kain batik itu dari salah satu kamar rumahnya yang dijadikan tempat
penyimpanan. Tanpa menghitung angka atau nilai, pedagang kaya itu mengeluarkan lima belas
lembar yang terbaik, apalagi mengingat, ia berhutang nyawa pada para tamunya itu. Ia berharap
Raden Wijaya berkenan menerima pemberian hadiah itu, ia juga berharap para Bala Sanggrama
merasa senang menerimanya. Salah satu dari antara kain batik itu mempunyai corak yang tak
lazim, di tengah-tengah kain bergambar bulatan yang menggambarkan buah maja yang
dikelilingi oleh sulur-sulur seperti akar dan daun-daun. Corak kain itu disebut gringsing lobheng
lewih laka. Di halaman, Nambi berbicara bertiga dengan Sorandaka dan Pamandana. “Apakah
menurutmu tempat ini cukup aman?” tanya Nambi. Sorandaka mengangguk. “Orang yang
memiliki kemampuan melacak perjalanan kita sekarang sedang terhalang mata hatinya. Ia punya
kemampuan melacak mengikuti jejak perjalanan kita, ternyata kemampuan itu bukanlah
keadaan yang sesungguhnya, karena yang ia lihat hanya jejak keberadaan keris Empu Gandring.
Bukan jejak kita, bukan jejak Raden Wijaya, tetapi keberadaan keris itu.” Nambi terheran-heran.
“Begitu?” “Ya,” jawab Sorandaka. “Aneh,” desis Nambi, “apakah itu berarti, yang diinginkan
orang itu adalah keris Empu Gandring, bukan yang lain?” Pertanyaan itu menyita waktu
Sorandaka untuk merenungkannya. “Siapa pun orang itu,” Sorandaka melanjutkan, “ia tidak
berkemampuan melacak jejak kita keseluruhan maupun orang demi orang, yang ia lihat adalah
bayangan keris Empu Gandring. Oleh karena keris itu berada di benak Raden Wijaya, maka jejak
Raden Wijaya berhasil mereka ikuti. Orang itu, ia memiliki tatapan mata yang aneh, bentuk
matanya seperti mata kucing yang warna hitamnya tidak bulat. Orang itu barangkali dalang
sesungguhnya dari semua kekacauan yang terjadi yang sekarang menimpa Singasari. Orang
bernama sandi Rudra Narantaka atau Guru Grahita itu selama ini kita sebut sebagai dalang,
namun di belakangnya masih ada orang lain yang lebih kuat lagi. Yaitu orang bermata aneh itu.”
Nambi manggut-manggut. Dengan jelas Sorandaka menceritakan pengalamannya dan hal apa
saja yang ia ketahui yang disimak dengan penuh minat oleh Nambi dan Pamandana. Selanjutnya
terlihat dengan jelas dan cukup gamblang kesulitan dan hambatan macam apa yang akan mereka
hadapi di sepanjang waktu ke depan. Namun baik Nambi maupun Pamandana berkeyakinan,
perbuatan Jayakatwang dan Kebo Mundarang itu harus mendapatkan hukumannya. Sorandaka
melirik endong yang tergeletak di tanah. Dalam diam Sorandaka sedang berpikir sebuah hal,
bahwa dengan kembalinya keris itu ke tangan Raden Wijaya, maka kedepannya jejak Raden
Wijaya itu akan terlihat lagi. “Kita butuh anak panah lebih banyak lagi?” tanya Sorandaka. “Ya,”
jawab Nambi, “kita minta ijin Paman Danapati untuk menebang bambu.” Nambi, Sorandaka dan
Pamandana akan beranjak, namun kemunculan dua orang gadis anak tuan rumah yang
membawa nampan berisi buah-buah memaksa Nambi dan dua temannya untuk menunda, buah
yang disajikan itu, nangka dan jambu basah sungguh sangat menggoda. Tidak hanya buah, dari
senik (Jawa, bakul, biasanya digunakan sebagai tempat menyajikan nasi) yang diturunkan
Samangkin meletakkan buah sawo yang menggiurkan. “Silahkan dinikmati para Kakang semua,”
kata Tumurah dengan kepala menunduk. “Buah sawonya sudah matang?” tanya Nambi.
Samangkin menahan tawa. “Mana mungkin sawo mentah disuguhkan,” kata Samangkin sambil
siap beranjak kembali masuk ke dalam rumah. Ada banyak buah buahan berlimpah. Nambi dan
Sorandaka bergegas menikmati seolah takut teman-temannya yang sedang tidur akan
menghabiskan. Akan tetapi betapa lahap Nambi dan Sorandaka, sebaliknya Pamandana justru
seperti kebingungan. Buah-buahan itu tidak mencuri perhatiannya. “Kamu kenapa?” tanya
Sorandaka. Pamandana tidak bergegas menjawab pertanyaan itu, namun terlihat jelas raut
wajahnya yang aneh, setengah pucat dengan napas yang agak mengombak. Namun Pamandana
bisa menghapus jejak wajah aneh itu dari raut mukanya. Kenangan Pamandana melayang jauh
ke belakang, wajah istrinya yang amat sulit dilupakan, ia hadir kembali. 12 Matahari juga terik di
menjelang Kediri. Kekuatan berasal dari perut bumi itu berusaha mendesak keluar, kekuatan itu
telah berjuang sekuat tenaga cukup lama namun ada kekuatan lain yang berusaha menghalangi,
kepundan di puncak Gunung Kampud itu berusaha menahannya dengan sekuat tenaga, ia tidak
membiarkan sebuah ledakan yang sangat dahsyat bakal terjadi, karena jika gunung itu meledak,
akan terjadi pengulangan dari kejadian sebelumnya, sekitar tiga puluh tahun yang lalu, ledakan
itulah yang memporakporandakan alam, menabur debu sepanjang tanah Jawa, debu yang
terbang tinggi di langit terbawa menyeberang hingga Pulau Sumatera, yang tersapu ke timur
terbang tinggi sampai Lombok, yang menyebabkan langit kotor sekali bahkan cenderung gelap
enam bulan lamanya. Sesungguhnya, apa yang tampak di langit merupakan pertanda aneh, akan
tetapi rombongan prajurit yang pulang dengan mabuk kemenangan itu sama sekali tidak sempat
memperhatikan. Di atas sana, ada banyak sekali burung beterbangan, dampyak-dampyak (Jawa,
bergerak bersamaan) meninggalkan Gunung Kampud. Ribuan burung kuntul, ribuan burung
betet dan burung yang lain beradu cepat pergi menjauh sejauh-jauhnya menyelamatkan diri.
Mereka rupanya tahu, bahwa tak berapa lama lagi akan terjadi sebuah ledakan besar, ledakan
yang sangat berbahaya, yang apabila tidak dihindari, akan membetot nyawa mereka, memaksa
keluar dari tubuhnya. Sebenarnyalah, di lereng-lereng mendekati puncak gunung, para binatang
merasakan benar betapa di perut bumi sedang terjadi pergolakan yang sangat dashyat. Para kera,
para ular, para harimau menandai keadaan yang tidak sewajarnya itu. Mereka berlarian turun
menyelamatkan diri. Tak hanya yang berada di lereng-lereng, bahkan juga yang berjarak jauh. Di
perkampungan para ayam berteriak-teriak serentak. Orang-orang yang mencari penghidupan di
hutan, mereka yang berburu atau menanam berbagai tanaman, merasakan sekali betapa udara
amat gerah. Udara yang panas itu sejatinya berasal dari perut bumi. Namun meski para binatang
telah minggat terbang maupun minggat dengan cara berlarian, ada sekelompok binatang yang
rupanya justru menunggu bencana itu datang. Bagi sekelompok hewan itu, bencana yang akan
terjadi itu justru merupakan saat yang sedang ditunggu. Segenap hewan itu adalah dari golongan
angsa, yang tidak perlu merasa gaduh seperti yang lain. Para angsa itu menempati salah satu
lereng yang sebelumnya terdapat air terjun yang mengalirkan airnya terus menerus, air yang
keluar dari perut bumi. Namun sejak sebulan terakhir, air terjun itu tidak lagi mengalir, tidak
lagi menggemuruh sebagaimana biasanya. Padahal air itulah, dan suara menggemuruh dari air
terjun itulah yang dirindukan oleh para angsa, tanpa air terjun itu, tanpa suara gemuruhnya,
maka tempat di salah satu lereng gunung itu bukan lagi tempat yang menyenangkan. Seorang
penduduk berusia tua memperhatikan keadaan itu. “Aneh, ada apa ya?“ pertanyaan itu ia
lontarkan dalam hati. Kebetulan lelaki tua itu sedang berjalan menuju rumah anaknya dan harus
melintasi beberapa rumah. Ia merasa heran, para binatang serentak dan dengan tiba-tiba seperti
meminta perhatian, para ayam bukan berteriak namun sejatinya sedang menjerit memamerkan
kegelisahannya. Dan kegelisahan itu menjalar, tak hanya milik para ayam akan tetapi juga para
sapi yang tiba-tiba melenguh. Lelaki tua itu merasa semakin heran ketika tiba di rumah anaknya,
seekor kuda yang tersisa di kandang tampak gelisah. Kuda itu tampak jelas merasa tak nyaman
berada di kandang kuda itu dan ingin segera melarikan diri. Kuda itu adalah kuda yang tersisa di
Kediri karena semua kuda tidak peduli milik siapa pun disita oleh negara digunakan untuk
berperang. Kuda itu tampak sakit-sakitan, kurus, memang tak layak digunakan untuk berperang.
Di kandang milik tetangga, segenap sapi dengan sangat jelas menunjukkan kecemasannya,
seekor melenguh disambung oleh sapi yang lain yang ikut-ikutan melenguh. Kemudian, seperti
ada yang memberitahu, lelaki tua itu berbalik dan memperhatikan puncak gunung di kejauhan.
“Ada apa ayah?” tanya anak perempuannya yang keluar membuka pintu. “Perhatikan gunung
itu,” jawab ayahnya. Dua orang ayah dan itu memperhatikan gunung yang menjulang tinggi
seolah menunggu sesuatu akan terjadi. Mereka menduga, beberapa waktu ke depan, bakal terjadi
sesuatu yang luar biasa. “Apakah gunung itu akan meledak, ayah?” tanya anaknya. Ayahnya
menggeleng, “Saya tidak tahu,” jawabnya. Di dalam salah satu kereta, sebagai seorang bebandan
Gayatri tiba-tiba berubah menjadi seorang yang sidik paningal, pandangan matanya seperti
melihat kejadian sejengkal lebih dulu, namun yang sejengkal lebih dulu itu adalah
penglihatannya atas gunung yang meledak. Gayatri terkejut seperti terbangun dari tidur, atau
tersadar dari lamunan. “Berhenti,” Gayatri tiba-tiba meminta perhatian. Sais yang
mengendalikan gerak kereta kudanya segera memenuhi permintaan itu, yang ditiru oleh barisan
di belakangnya. Demikian juga dengan rombongan yang di depan ikut-ikutan, Prabu
Jayakatwang yang penasaran bergegas turun dari kereta kudanya. “Ada apa itu?” “Tidak tahu
Sang Prabu,” jawab prajurit yang merangkap sais kereta. Melihat ada yang aneh, Prabu
Jayakatwang segera mengayunkan langkah kakinya. Gayatri tidak tertarik pada Jayakatwang
yang melangkah mendekatinya, akan tetapi pandangan matanya lurus ke arah gunung Kampud.
Gunung itu tampak tenang, akan tetapi para binatang tahu, sosok yang menjulang tinggi itu
sedang bergetar, sedang meronta-ronta. Ke depan, sebuah bencana yang mengerikan boleh jadi
akan terjadi. “Ada apa?” tanya Jayakatwang. Gayatri tidak segera menjawab, pandang matanya
tak berpindah, tidak beralih ke arah lain. “Ada apa Gayatri?” ulang Raja Gelang Gelang Kediri itu.
Gayatri menghela napas pendek, dan diulang lagi dengan tarikan napasnya yang panjang, ia
memutar pandangan matanya ke segala penjuru. Lalu berhenti tatapan mata istri termuda Raden
Wijaya itu ke wajah Prabu Jayakatwang. Senyum yang mengembang di sudut bibir Gayatri
adalah senyum yang sulit ditebak apa maknanya. “Para Dewa di langit sedang murka, sebaiknya
Paman dan segenap rombongan ini segera menyelamatkan diri.” Jayakatwang menyimak ucapan
sekar kedaton yang sangat cantik itu dengan penuh perhatian tanpa satu kalimat pun yang
tercecer. Beberapa saat ucapan itu ia kunyah sampai lembut namun tetap saja ia tidak
menemukan jawaban. Jayakatwang kemudian tersenyum. Sebagian dari para prajurit datang
mendekat dan ingin menyimak pembicaraan yang berlangsung. Mereka pun ikut tertawa ketika
tiba-tiba Jayakatwang tertawa, tawa yang aneh karena tak seorang pun yang tahu alasan apa
yang harus digunakan untuk tertawa itu. “Para Dewa akan murka?” ulang Jayakatwang, “kalian
dengar semua? Gayatri mengatakan, para Dewa akan murka?” Jayakatwang kemudian tertawa
terkekeh. Barulah para prajurit itu merasa punya alasan untuk tertawa terbahak-bahak. Tawa
berderai itu sambung menyambung, sampai ke ujung depan dan ke ujung belakang barisan,
mereka yang belum tahu duduk persoalannya. “Lihatlah, gunung itu, Paman,” kata Gayatri.
Jayakatwang menoleh mengarahkan perhatiannya ke Gunung Kampud. “Kenapa?” tanya
Jayakatwang. Gayatri tidak menjawab. “Mari kita perhatikan bersama-sama, Paman, kita
saksikan apa yang akan terjadi.” Jayakatwang masih mengalirkan suara tawanya. “He kalian
semua,” Jayakatwang berteriak, “lihatlah gunung itu. Ada apa dengan gunung itu?” Para prajurit
mengarahkan pandang matanya ke arah yang sama. Ke Gunung Kampud yang dilatari langit
sangat bersih, warna biru itu tak ternoda oleh segumpal awan sekalipun. Tidak ada yang luar
biasa di sana, tidak ada yang aneh karena lagak gunung itu bagaikan benda mati. Lalu terjadilah
peristiwa itu. Ledakan yang demikian dahsyat, beribu kali dari kata dahsyat dan luar biasa
terjadi, ledakan yang amat keras menyobek gendang telinga, yang hanya dalam hitungan kejab,
disusul dengan awan tebal bergulung-gulung berupaya menggapai atap langit, tak hanya
menyebar, akan tetapi juga menuruni lereng dan terus turun merusak apa pun, membakar apa
pun, meluluhlantakkan apa pun. Ledakan gemuruh itu, rupanya sangat menyentak dan
mengagetkan. Prabu Jayakatwang yang sama sekali tidak mempunyai persiapan untuk
menghadapi keadaan yang tak terduga itu seketika terjengkang, seolah terhantam oleh ayunan
palu yang menggedor dadanya. Demikian pula para prajurit yang mengawalnya yang sama sekali
tidak menduga, mereka terjengkang berjatuhan, para kuda tunggangan mereka mendadak liar
tidak terkendali. Hanya kepada Gayatri ledakan gemuruh itu sama sekali tidak berpengaruh.
Mula-mula, kekuatan yang bergejolak di perut bumi itu seperti udara yang bergejolak di perut
manusia. Udara yang sangat mampat itu butuh celah untuk membebaskan diri, akan tetapi udara
mampat itu benar-benar tertahan. Meronta mencari celah macam apa pun, pihak kepundan
dengan sekuat tenaga menghalanginya. Kekuatan perut bumi itu sebenarnya bisa terurai lembut
bila memperoleh jalan keluar yang bersifat terus menerus, itu seperti kentut yang memperoleh
celah untuk keluar, tidak terdengar ledakan atau gejolaknya, tenaga yang dimiliki kentut terurai
tanpa suara. Mestinya gunung pun demikian, ketika tenaganya memperoleh celah dan terurai,
sesungguhnya ia tidak perlu meledak. Yang terjadi, udara yang terbentuk di perut bumi itu
benar-benar terhalang tidak bisa keluar, kepundan dengan sekuat tenaga berusaha menghalang-
halanginya, yang ia lakukan itu sepanjang tahun sepanjang waktu. Sayang sekali, tenaga yang
meronta itu semakin lama semakin kuat, kian kuat dan tibalah pada suatu masa kepundan tak
lagi mampu menahan. Maka ledakan yang sangat dahsyat pun terjadi. Kepundan terlempar ke
segala penjuru menyebabkan isi perut bumi yang ternyata berupa cairan api itu bergolak keluar.
Cairan api itu adalah bencana yang tak bisa ditahan oleh berbagai pepohonan dan kehidupan apa
pun bentuknya. Sungai api itu mengalir sesuai sifat benda cair yang selalu mencari tempat yang
lebih rendah. Pepohonan yang dilintasi pun hangus, tanah yang dilintasi berubah membatu
sebagaimana tanah yang dibakar. Demikianlah aliran sungai api itu terus bergerak ke bawah dan
ke bawah, keluar bagai banjir bandang dari perut Gunung Kampud seolah gunung itu berjanji
akan memberikan berapa pun jumlah lahar dibutuhkan. Puncak gunung dan lerengnya hangus
seketika, termasuk sebuah tempat di salah satu lereng yang dihuni oleh ratusan ekor angsa. Tak
seekor pun dari ratusan dan mendekati angka seribu itu yang mencoba menghindar dan
menyelamatkan diri untuk menyambung umur. Para angsa yang usianya sangat tua itu dengan
sepenuh hati menyongsong kobaran lahar api yang turun mengalir ke arah mereka, hangus
pepohonan tempat mereka tinggal, sehangus itu pula mereka. Sementara itu, langit seketika
menjadi gelap. Debu gunung membubung tinggi, debu terbang menjilat langit menyebar laksana
cendawan yang sedang mekar, jauh tinggi mereka terbang, jauh sangat tinggi menyebabkan
rombongan burung betet yang sudah terbang jauh terkejar pula. Asap dan debu yang menjulang
naik itu ternyata beracun mematikan, juga berupa gumpalan awan yang melibas para burung itu
tanpa bisa menghindar. Sungguh layak dan bisa dimengerti kenapa para burung itu berusaha
minggat sejauh-jauhnya, yang meskipun sudah berusaha menjauh pun ternyata masih terkejar
pula. Berjatuhan burung-burung itu dari langit yang tinggi. Yang terjadi perut bumi seolah hanya
berisi debu, setelah berhasil membobol kepundan, debu itu bergerak cepat karena dengan tiba-
tiba angin berhembus cepat. Angin bergerak ke segala arah dan penjuru sebagaimana sifatnya
yang tanpa bentuk. Dari langit batu-batu berjatuhan. Sulit membayangkan, seberapa besar
kekuatan yang dimiliki gunung itu ketika ia melempar batu sebesar sapi, sebesar anak gajah,
sebesar gajah itu sendiri. Batu-batu mengerikan itu melesat seperti krupuk, padahal para prajurit
pengawal Raja Kediri itu membayangkan dengan seksama, ambyar kepalanya bila bongkahan
batu itu sampai menimpa kepalanya. “Hebat benar peristiwa alam yang menandai kehancuran
Singasari,” kata Gayatri seperti pada diri sendiri, namun betapa lantang suara itu. Gayatri
mencatat, tak hanya kemunculan bintang kemukus, tetapi juga meledaknya gunung. Kediri,
Balitar adalah dua kota besar yang berada tak jauh dari Gunung Kampud. Anehnya, gunung itu
meledak seperti sedang melampiaskan kemarahan yang ditujukan lebih pada Kediri, bencana
mengerikan tidak menjatuhkan bebatuan ke arah Blitar yang membutuhkan jarak waktu
setengah hari berkuda. Berjumpalitan Prabu Jayakatwang menghadapi bencana mengerikan itu.
Akhirnya penguasa Gelang-gelang itu memperoleh tempat berlindung di bawah pohon beringin
besar yang memiliki daun yang lebat dan ranting-ranting yang rapat, sementara para prajurit
bawahannya yang tidak menduga bakal memperoleh hujan batu bergegas berlindungi di balik
benda apa pun. Kejaiban sebaliknya tertuju pada Gayatri, hujan batu itu sama sekali tidak
berniat menyentuhnya. Demikian hebat akibat ledakan gunung itu, maka semua wajah berubah
berpupur debu tebal. Dalam hal itu, Gayatri juga. Gayatri yang semula berdiri tegak semakin
lama semakin kabur dan semakin kabur bayangan tubuhnya. Demikian tebal debu yang turun
dari langit itu, menyebabkan bahkan Jayakatwang tidak lagi melihatnya. Gayatri bagai lenyap
dan berjalan entah ke mana. 13. Bencana mengerikan itu menimpa Kediri, jarak terdekat dari
keberadaan Gunung Kampud. Ketika ledakan itu telah mereda setelah tidak kali ledakan susulan
yang beruntun, maka Kediri benar-benar menjadi wilayah yang paling menderita karena
jaraknya yang paling dekat dari arga (Arga, Jawa, gunung) yang sedang murka itu. Keadaan yang
sama gelap gulitanya juga dialami Balitar, Nganjuk di arah barat dan Kertosono di utara. Tak
jelas bagaimana duduk persoalannya, akan tetapi petir meledak di mana-mana, terdengar
sambar menyambar dan susul menyusul. Petir biasanya selalu akrab dan berhubungan dengan
mendung, namun rupanya debu tebal juga merangsang kehadiran kilat yang muncrat di segala
penjuru itu. Hujan batu menyebabkan atap-atap rumah berantakan. Atap rumah juga mudah
ambruk oleh tebalnya debu yang berubah menjadi beban melebihi kemampuan atap dalam
menyangga. Meski batu-batu sebesar anak gajah tidak jatuh sampai di Kediri akan tetapi hujan
batu sebesar kepalan telur terus berjatuhan di tempat itu, hal itu berlangsung tidak ada henti-
hentinya, menyebabkan keadaan menjadi kacau balau, sangat kacau balau. Guncangan yang
berasal dari perut bumi itu nantinya menyebabkan bencana susulan, kebutuhan atas air bersih,
berimbas kebutuhan makan karena semua masakan membutuhkan air bersih, berlanjut ke
kesehatan penduduk. Dalam waktu sejengkel ke depan, bisa dipastikan akan banyak orang
meninggal. Hujan batu di bencana yang berlangsung tengah hari itu benar-benar
meluluhlantakkan apa pun, tidak terkecuali istana Gelang-gelang. Batu-batu sekepalan tangan
itu membunuh banyak orang, mereka yang selamat adalah mereka yang mempunyai kesempatan
untuk berlindung, di rumah-rumah, meja adalah benda yang sangat berjasa menyelamatkan
lembaran nyewa. Tidak hanya bersembunyi di bawah meja, namun mereka yang juga
bersembunyi di kolong amben. Bencana itu bagai tak mau berlalu, atau orang akan bertanya,
sampai kapankah bencana itu akan berakhir. Ledakan gumuruh itu tidak lagi terdengar
gemanya, namun kilat muncratlah penggantinya yang selalu disusul ledakan ledakan, yang itu
terjadi di sana-sini. Dari arah Gunung Lawu di barat terlihat jelas keadaan yang jarang-jarang
terjadi itu. Kabut yang membubung tinggi bagai cendawan raksasa yang kemudian hanyut
tergantung angin membawanya ke mana. Siang di langit Kediri, berubah menjadi hitam yang tak
layak disebut malam. Istana Kediri gelap gulita. Angin yang berhembus mengaduk debu yang
melayang membatasi jarak pandang mata, para prajurit mati langkah, kebingungan dan tidak
mampu melakukan apa pun. Debu yang tebal menutupi mata menyebabkan mereka buta dan
lumpuh. Hujan batu yang turun dari langit merusak apa pun, membunuh apa pun, karena apalah
yang bisa dilakukan kepala dalam menghadapi batu yang melesat dari langit dengan kecepatan
kilat. Ketika itu, kedatangan hujan batu lebih dulu dari debu. Segenap prajurit Kediri yang
sedang melaksanakan tugas jaga mengikuti rangkaian peristiwa yang berlangsung sejak dari
awal. Ledakan gemuruh menyebabkan mereka menoleh mencari dari mana sumber suara
berasal, pada saat itu terlihatlah oleh mereka cendawan raksasa muncul dari puncak gunung
Kampud, bentuknya seperti mendung bergumpal yang bergerak dengan amat kasar. Belum
bergeser perhatian para prajurit Kediri itu dari gumpalan awan panas, dari angkasa tiba-tiba
berjatuhan bebatuan sekepalan tangan, yang sebagian di antaranya masih membara. Berlarian
para prajurit itu menyelamatkan diri, tak hanya para prajurit, akan tetapi juga para abdi istana,
para tandha (Jawa, pegawai istana), para emban, para pekatik (Jawa, pengurus kuda) kuda
menyelamatkan diri. Mereka berlindung dengan cara apa pun, termasuk menceburkan diri di
kolam, dikiranya dengan berada di kolam akan selamat lembaran nyawa mereka. Setelah hujan
batu tiba dan mendarat di kota Kediri, terdengarlah ledakan berikutnya, itulah ledakan yang
lebih keras dan lebih kuat, ledakan yang menyemburatkan apa pun. Hanya dalam hitungan
kejab, hujan abu menyebar ke segala penjuru, sebagian membubung terbawa angin dan sebagian
yang lain memilih mendarat di bumi. Dalam keadaan yang demikian, tak lagi ada orang berwajah
cantik atau tampan, semua orang tidak kelihatan wajahnya. Debu menjadi pupur. Keadaan yang
demikianlah yang dihadapi Gayatri, yang menyebabkan jiwa kemanusiaannya tersentuh,
menyebabkan ia harus turun tangan menyentuh. 14. Ledakan yang terjadi dan berasal dari dan
tak jauh dari Kediri itu gemuruh dan hentakannya sampai pula Singasari dan sekitarnya,
dentumannya memekakkan telinga, menggetarkan daun-daun. Dentuman itu terus bergerak ke
timur, melintasi Selat Bali dan mengagetkan orang-orang di Bali. Ke arah barat, dentuman susul
menyusul itu mengagetkan siapa pun yang sedang asyik dengan kegiatan masing-masing. Suara
menggelegar itu melintas hutan Mentaok dan bahkan terdengar hingga ke Ciamis, ke tatar
Pasundan atau Pajajaran, orang-orang yang sedang memuja semadi di Kandangkamulyan
terkejut, maka bubarlah semadi yang mereka lakukan. Para biksu, yang kaget berhamburan
keluar untuk melihat apa yang terjadi. Di Padukuhan Windung, Raden Wijaya tak kalah kaget
mendengar suara dentuman itu, suara yang sungguh amat keras, yang menyebabkan segenap
Bala Sanggrama yang sedang tidur lelap bergelimpangan di rerumputan mencelat bangun.
Tatapan mereka jelas menampakkan rasa ingin tahunya. “Suara apa itu?” Ranggalawe meletup
dengan mata yang terbelalak. Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan itu. Sebagian dari Bala
Sanggrama bahkan tidak menyadari apa yang terjadi, sulit membedakan apakah itu terjadi di
alam nyata ataukah mimpi. “Suara apa tadi, keras sekali?” tambah Banyak Kapuk. Banyak Kapuk
memutar tubuhnya ke semua arah. Rasa keget itu berulang lagi ketika sejenak kemudian,
terdengar suara dentuman yang lebih dahsyat, suara yang lebih keras. Terbelalak Ranggalawe
mendengar suara yang demikian dahsyat menggetarkan ada, itulah suara yang seumur-umur ia
belum pernah mendengarnya. Menurutnya, tidak sebelumnya belum pernah ada suara demikian
berwibawa itu, suara yang mudah dipercaya bila ada yang mengatakan itulah Batara Siwa ketika
sedang batuk. “Gelap ngampar, (Jawa, petir meledak)” desis Pawagal. Nambi menoleh. Nambi
bergegas mencerna apa yang baru saja diucapkan sahabatnya itu. Ia pun mengangguk, sangat
masuk akal bila suara itu sejatinya pelepasan aji Gelap Ngampar. Dewa Siwa yang murka
mengelurkan aji Gelap Ngampar, amat masuk akal. Dalam ilmu kanuragan ada banyak macam
ajian pamungkas, kemampuan puncak yang digunakan ketika segala macam cara tidak bisa
digunakan. Ada Aji Sasra Birawa, ada aji Lebur Sakethi, ada aji Panglimunan, ada aji Cleret
Tahun, dan ada pula aji Gelap Ngampar. “Seseorang telah melepas aji Gelap Ngampar, itulah tadi
suara yang amat menggelegar, yang berasal dari kekuatan ilmu kanuragan bernama Gelap
Ngampar. Daun-daun rontok dan bergetar oleh kekuatan aji itu. Gendang telinga yang sehebat
apa pun pasti jebol oleh kekuatan aji Gelap Ngampar. Permukaan laut mengombak karena
tersentuh aji gelap ngampar, yang bisa berlanjut pada terciptanya ombak raksasa yang
bergulung-gulung. Bahkan gumpalan tanah langsung semburat ketika gelap ngampar diledakkan
di tengah-tengahnya.” Semua menyimak apa kata Pawagal, dan tak seorang pun yang menolak,
bahwa seperti itulah kekuatan dahsyat dari Aji Gelap Ngampar. Ngampar adalah petir, dan suara
apakah yang punya kekuatan demikian dahsyat kecuali petir atau geluduk. Raden Wijaya dan Ki
Danapati menyimak pendapat itu yang rupanya paling benar. Seingat Raden Wijaya, memang
tidak ada suara yang lebih dahsyat dan lebih kuat dari petir. Kenyataan itulah yang melatari
seseorang menciptakan sebuah ajian bernama Gelap Ngampar, sebegaimana entah latar
belakang apa yang mendorong seseorang berasal dari masa lalu bernama Beliung dari Timur
menciptakan aji angin lesus yang demikian menakutkan itu. Sebuah kampung bisa porak
poranda ketika angin berputar itu lewat, pun tercatat dua pasukan segelar sepapan yang
berhadap-hadapan siap bertempur, bubar mawut diterjang pusaran angin yang sanggup
membengkak seukuran rumah paling besar. Namun Sorandaka tiba-tiba terbatuk. Raden Wijaya
menoleh memberikan perhatiannya, “Menurutmu, suara apakah tadi itu, Sorandaka? Benarkah
itu suara seseorang melepas ajian Gelap Ngampar?” tanya Raden Wijaya. Sejak menjadi orang
yang sidik paningal, Sorandaka adalah orang yang paling bisa dipercaya apa yang menjadi
ucapannya. Ternyata Sorandaka menggeleng. Maka wajah Raden Wijaya agak berubah. “Itu tadi
suara ledakan gunung,” jawab Sorandaka. Jawaban itu menyebabkan para bala sanggrama
terkejut, dan mereka pun sontak menerima jawaban itu. Ledakan gununglah yang paling bisa
diterima akal, ledakan yang sangat dahsyat macam itu tidak mungkin dari pertir. Petir atau
geluduk memang memiliki suara yang dahsyat, akan tetapi suara yang belum lama meledak itu
memiliki wibawa yang sangat besar, suara itu sangat menggelegar dan tidak cukup diwakili oleh
suara petir. Pendapat itu tidak bisa ditolak karena yang melontarkan adalah Sorandaka, salah
satu dari teman mereka yang kini memiliki kemampuan melihat wilayah lain yang orang lain
tidak melihat. “Gunung Kampud yang meledak?” tanya Ranggalawe. Sorandaka yang memejam
sejenak itu mengangguk tegas. Lalu secara bersama-sama, para Bala Sanggrama itu menengadah
mencari-cari, akan tetapi paksi cataka yang mereka cari tidak kelihatan bayangannya. Burung itu
melesat jauh entah ke mana. Namun Sorandaka masih bisa melihat jejaknya sebelum burung itu
tenggelam di balik awan, bersembunyi di belakang mega. “Kemudian apa yang terjadi di Kediri?”
pertanyaan itu datang dari mulut Raden Wijaya. Sorandaka memejamkan mata, melalui
keheningan mata hatinya, ia mencoba menerobos ke batas sekat antara ruang dan waktu. Namun
Sorandaka tidak melihat sesuatu yang jelas, yang ada hanyalah warna hitam kelam.
Sebenarnyalah hal yang sama sedang dihadapi oleh paksi cataka yang kini secara aneh memiliki
hubungan dengan mata batinnya. Ledakan menggelegar itu, jauh sebelumnya burung itu sudah
tahu bakal kedatangannya, itulah sebabnya ia membubung tinggi, lebih tinggi dari kebiasaannya,
di mana di ketinggian sana udara terasa amat dingin. Di langit yang sangat cerah dan berwarna
kebiruan itu, ia menatap tajam ke arah barat sedikit serong ke selatan, dari tempatnya ia
membubung, keberadaan gunung Kampud itu terlihat sangat jelas, namun sejenak kemudian
berubah menjadi hitam legam, itulah warna yang dilihat Sorandaka. Lalu terjadilah ledakan
berikutnya itu. Suaranya yang demikian keras menyebabkan paksi cataka yang kini tinggal satu-
satunya itu tersentak kaget. Suara seolah memiliki daya hantam, menyebabkan burung itu
menggeliat, ia pun meliuk mengayuh udara secepat-cepatnya. Burung itu cemas, kobaran api dan
udara mampat yang berkobar di pusat ledakan itu akan mengejarnya. Dengan kecepatan yang
tinggi burung itu memacu kecepatannya ke arah timur melesat sejauh-jauhnya. Bagi burung itu,
menyelamatkan lembaran nyawanya jauh lebih penting daripada memuasi rasa ingin tahu.
Burung itu cukup cermat, beberapa waktu ke depan, gumpalan debu yang sangat pekat akan
menyulitkannya. Tak mungkin bagi burung itu untuk terbang dalam gumpalan debu. “Kampud,
yang meledak,” ucap Sorandaka setelah ia merasa yakin. Pawagal terbelalak. “Kediri luluh
lantak?” tanya pemuda itu. Sorandaka tidak menjawab pertanyaan itu. Pawagal tertawa
terbahak-bahak. “Rasakan,” letup Pawagal sambil tangannya mengepal. Berbeda dengan apa
yang bergolak di benak Pawagal, Raden Wijaya memiliki cara pandang yang berbeda. Bencana
yang terjadi di Kediri itu, tidak pada tempatnya untuk disyukuri dengan rasa gembira. Dalam
bencana selalu saja ada orang yang menderita yang harus dikasihani. Prabu Jayakatwang
memang telah melukai hatinya, melukai keberadaan Singasari, akan tetapi Gunung Kampud
yang kini tiba-tiba meletus dan sangat mungkin meluluhlantakkan Kediri, bukanlah hal yang
harus disambut dengan rasa gembira dan suka cita. Namun Raden Wijaya tidak mengucapkan
apa pun. Sang waktu terus bergerak, kini waktu yang tersaji cukup lapang itu bisa digunakan
untuk beristirahat sepuasnya. Para Bala Sanggrama menikmati sekali suguhan tuan rumah yang
benar-benar berhasil meredam gejolak perut mereka, rasa kantuk yang terpuasi menyebabkan
mereka merasa lebih segar. Demikian juga dengan para sekar kedaton yang masing-masing telah
mandi di pakiwan, mereka tidur pulas bagai membalas dendam atas kekurangan istirahat yang
mereka alami di sepanjang perjalanan. Namun tidur mereka adalah tidur yang tidak nyenyak.
Tidur mereka dihiasi mimpi buruk. Raden Wijaya berusaha untuk beristirahat, akan tetapi meski
telah berusaha memejamkan mata dengan bersandar dinding, kantuk yang ia alami tidak
menjelma menjadi tidur nyenyak. Jika ada sikap yang berubah luar biasa, itu adalah sikap
Pamandana yang mendadak menjadi pendiam. Pamandana yang cemas, tidak mampu menutupi
kegelisahannya. Kenangan pemuda berasal dari Kediri itu terlempar jauh ke masa lalu, ke saat di
mana ia hidup amat bahagia dengan Dewayani. Kenangan itu amat larut sehingga tanpa sadar,
matanya membasah. Bergegas lelaki tampan itu membasuh wajahnya. Setelah Raden Wijaya,
boleh dikata, Pamandana adalah orang kedua bila dilihat ketampanannya. Gugup Pamandana
bergegas menghapus jejak perasaannya, namun Raden Wijaya terlanjur memergoki. Raden
Wijaya mendekat, menyebabkan Pamandana merasa tidak nyaman, ia gugup. “Ada apa?” tanya
Raden Wijaya. Pamandana menggeleng. “Ada yang kau cemaskan nasibnya di Kediri? Ada
keluarga di sana?” Pamandana termangu sejenak, “Saya sudah tidak punya siapa-siapa Raden.”
Raden Wijaya duduk menyebelahinya. “Gunung meletus itu mencemaskanmu?” Pamandana
menggeleng, “Ya, dan tidak,” jawabnya. “Teringat pada istri?” Raden Wijaya menebak. Berubah
raut muka Pamandana, namun Raden Wijaya terlanjur menangkap perubahan wajah itu. Maka
Raden Wijaya berhasil memastikan, masalah macam apa yang sedang dihadapi oleh Bala
Sanggrama Pamandana. Meski sedikit, Raden Wijaya sudah mendengar kisah prajurit
Pamandana yang kini menjadi salah seorang pengawal utamanya. “Bila keadaan sudah membaik
dan memungkinkan, sebaiknya kamu segera kawin lagi,” kata Raden Wijaya. Pamandana
terbungkam. Pamandana menyempatkan menoleh, kemudian menengadah lagi. Dengan lunglai
ia memberi jawaban yang amat pendek, sebuah gelengan kepala. Pamandana telah berketatapan
hati untuk tidak akan pernah beristri lagi, apa pun yang akan terjadi. Cintanya kepada Dewayani
yang berkorban sangat besar padanya tidak boleh dinodai dengan kehadiran perempuan lain,
meski perempuan itu adalah Dewi Supraba yang diturunkan dari langit. Kenangan atas istri yang
dicintainya, istri yang tidak mampu melanjutkan hidupnya di saat akan melahirkan bayinya dan
pilih membawa anaknya ke alam langgeng, kenangan itu sungguh sangat mengganggu. Cinta itu
demikian besar, sehingga ke depan, Pamandana telah berjanji pada diri sendiri untuk tidak akan
memikirkan perempuan lagi, tidak akan kawin dengan siapa pun. Tidak akan pernah ada
perempuan mana pun yang akan menggoyang hatinya. “Apakah salah satu anak gadis Ki
Danapati itu ada yang menarik perhatianmu?” tanya Raden Wijaya. Pertanyaan itu
menyebabkan Pamandana bingung, karena justru di bagian itulah letak dari permasalahan yang
kini sedang ia hadapi. Ia terkejut luar biasa seperti melihat hantu, melihat Samangkin ia seperti
melihat hantu, ia bagaikan melihat istrinya hidup kembali. Separuh lebih raut wajah Samangkin
yang mirip mendiang istrinya. Pamandana memejamkan mata, tiba-tiba bayangan istrinya
muncul kembali, dan itu sangat mengoyak isi dadanya. “Maaf, Raden,” kata Pamandana sambil
menyembah. Pamandana kemudian menjauh, pemuda itu menuju sungai dan duduk di
hamparan rumput. Akan tetapi Pamandana tidak melakukan apa pun. Raden Wijaya mengernyit,
ia berpikir sangat keras dan merasa menemukan jawabnya. Raden Wijaya menyusul dan kembali
menempatkan diri duduk di sebelah pemuda itu, menyebabkan Pamandana merasa jengah.
“Berceritalah sesuatu,” kata Raden Wijaya. Pamandana menoleh, namun tidak sepatah katapun
yang keluar dari mulutnya. “Saya hormati apa pun yang sedang bergolak dalam persoalanmu.
Kalau kau punya masalah berat, berbagilah.” Pamandana tersenyum. “Masalah saya tidak berat
Raden, tidak ada seujung kuku dari kekacauan yang sedang Raden hadapi saat ini. Hancurnya
istana, gugurnya mertua Raden, semua itu beban yang tak tertandingi oleh beban siapa pun.”
Raden Wijaya memandang jauh ke barat, langit masih terlihat bersih, namun ia meramal dan
meyakini, sejengkal waktu ke depan, langit akan penuh debu. Dibawa oleh angin yang bergerak
ke segala penjuru, debu itu akan tiba pula di Singasari. Raden Wijaya masih ingat saat beberapa
tahun sebelumnya ia menempuh perjalanan laut bersama mendiang Raganata menuju sebuah
tempat bernama Cirbon, di perjalanan terjadi hujan abu. Gunung Merapi yang berada di barat
setelah Gunung Lawu meledak dahsyat. Maka kini, sebentar lagi, keadaan di Singasari tak akan
jauh berbeda dari Merapi saat itu, pasti akan segera disergap hujan abu. “Kakang Nambi dan
Ranggalawe pernah bercerita, kau kehilangan istri?” Raden Wijaya bertanya dan langsung
mengusik. Pamandana mengangguk perlahan. “Siapa nama mendiang istrimu?” tanya Raden
Wijaya lagi. Datar sekali raut wajah Pamandana. “Dewayani. Raden. Ia meninggal di saat
melahirkan, tidak ada juru usada yang menolong, ia pergi untuk selamanya membawa serta
anaknya.” Raden Wijaya memegang pundak Pamandana sambil menepuk-nepuknya. Persoalan
yang sedang dihadapi Bala Sanggrama Pamandana itu juga merupakan beban yang sangat berat.
Istri yang dicintai pergi untuk selamanya, apalagi dengan membawa pula anak dalam
kandungannya, pasti meninggalkan jejak yang sangat berat bagi suaminya, meski ada pula suami
yang dengan tanpa beban kawin lagi, untuk istri kedua, ketiga, bahkan ke empat. “Siapakah di
antara kedua anak gadis Ki Danapati itu yang memiliki wajah mirip mendiang istrimu?” Suasana
menjadi sangat hening. Ketika Pamandana terdiam beberapa saat, Raden Wijaya juga
mengimbangi dengan diam beberapa saat. Suara yang kemudian terdengar adalah suara dari
kuda-kuda mereka yang tiba-tiba gaduh. Namun Raden Wijaya yang menyempatkan menoleh
tidak melihat penyebab apa pun yang membuat para kuda itu gaduh. Beberapa saat menunggu,
Pamandana ternyata tidak berkata apa pun. “Kakaknya?” tanya Raden Wijaya. Pamandana
menarik napas panjang. Ia tidak menjawab. “Atau adiknya?” pancing anak mentu Sri
Kertanegara itu. Pamandana menggeleng. “Ayolah, siapa di antara mereka yang kau tertarik?”
Pamandana yang semula menyelonjorkan kedua kakinya di rumput itu tiba-tiba duduk bersila
dan memandang Raden Wijaya dengan tajam. “Hamba memang kaget Raden, namun Hamba tak
boleh kehilangan kesetiaan hamba pada mendiang istri hamba. Kaget bukanlah tertarik, kaget
karena mirip ya, namun tertarik? Tidak Raden.” Raden Wijaya tersenyum dan mengangguk.
“Bukan itu yang saya tanyakan, saya bertanya, siapa di antara kedua anak Ki Danapati itu yang
wajahnya mirip wajah mendiang istrimu. Kakaknya?” Pamandana tersenyum. “Atau adiknya?”
Pamandana kembali menggeleng, “Saya tidak boleh tertarik padanya, Raden.” Namun Raden
Wijaya tidak patah semangat untuk mengorek. “Mengangguklah kalau tebakan saya benar,
istrimu mirip yang muda bukan?” Pamandana terpaksa mengangguk. Ia tidak punya pilihan lain,
sangat tidak sopan untuk tidak menjawab pertanyaan Raden Wijaya. Raden Wijaya tertawa dan
tiba-tiba berdiri. Sikap Raden Wijaya yang demikian itu sangat mangagetkan Pamandana.
“Raden, apa yang akan Raden lakukan?” Raden Wijaya berdiri, “Saya akan meminangnya
untukmu.” Pamandana terlonjak dan dengan bergegas ia berdiri dan menempatkan menghadang
Raden Wijaya. “Mohon Raden tidak melakukannya,” kata Pamandana, “hamba tidak akan kawin
lagi.” Raden Wijaya diam beberapa saat, ia melihat kesungguhan di wajah Pamandana saat
sedang berbicara itu. Dari jauh Nambi dan Ranggalawe terkejut melihat sikap Pamandana yang
seperti sedang marah pada Raden Wijaya. Namun Nambi dan Ranggalawe segera melihat
Pamandana menyembah. Raden Wijaya menepuk-nepuk pundak Pamandana dan melangkah
meninggalkannya. Sang waktu bergeser sedikit ke agak sore, para sekar kedaton sudah merasa
cukup beritirahat, setelah penampilan mereka yang menyedihkan, kini semua menggunakan kain
gringsing yang masing-masing coraknya mirip. Atas permintaan Ki Danapati, para Bala
Sanggrama yang sudah membersihkan diri juga telah mengenakan kain gringsing, hadiah dari Ki
Danapati yang sedang sangat berkenan hatinya, demikian pula dengan Raden Wijaya juga
mengenakan kain gringsing donopaten yang paling bagus dan harganya termahal, namun dengan
corak khusus, gringsing lobheng lewih laka. Di halaman berumput tebal itu, Ki Danapati duduk
bersebelahan dengan istrinya, sementara Tumurah dan Samangkin berada bersebelahan dengan
para sekar kedaton. Kecantikan kedua anak gadis pemilik rumah itu membetot perhatian
segenap Bala Sanggrama, akan tetapi tidak seorang pun yang melontarkan dalam ucapan. Duduk
melingkar di halaman itu, para Bala Sanggrama menunggu Raden siap berpamitan. “Kiai
Danapati,” Raden Wijaya meminta perhatian. Disebut namanya, Ki Danapati bergegas
menyembah dengan merapatkan kedua telapak tangannya. “Hamba Raden,” jawabnya. “Apabila
perhitungan saya tidak salah,” kata Raden Wijaya, “tidak berapa lama lagi, hujan abu akan
datang ke tempat ini, atau bisa jadi tidak tergantung gerak dan arah angin. Sementara kami,
kami harus selalu bergerak dan terus bergerak, tak boleh berhenti. Kami akan melanjutkan
perjalanan yang harus semakin jauh meninggalkan Singasari.” Kiai Danapati manggut-manggut.
“Kemana Raden akan pergi?” Raden Wijaya tersenyum. “Ke mana kami akan pergi, sayang sekali
kami tidak bisa menyebut, Ki Danapati, akan tetapi tolong bagi doa untuk kami, semoga selamat
dari bencana terkejar oleh para para prajurit Kediri yang demikian bernafsu ingin menangkap
kami. Kelak, ketika keadaan sudah membaik, kami akan kembali dan membalas perbuatan
orang-orang Kediri itu.” Ki Danapati dan istrinya bergegas menyembah. “Tentu Raden,” jawab Ki
Danapati dengan tangkas, “sepeninggal Raden, kami akan semua selalu mendoakan, semoga
Raden dan rombongan akan selamat dari bencana.” Raden Wijaya terdiam. Pamandana merasa
tak nyaman ketika Raden Wijaya dengan tiba-tiba menjatuhkan pandang matanya ke wajahnya.
Pamandana yang gelisah bergegas menjawab dengan gelengan kepalanya. Nambi yang melihat
itu, penasaran, akan tetapi Nambi tidak segera menemukan jawabnya. “Sebelum saya dan
rombongan melanjutkan perjalanan, ijinkanlah saya mengajukan sebuah pertanyaan penting.”
Semua wajah mengarah ke wajah Raden Wijaya, Ki Danapati dan istrinya yang paling tersita
perhatiannya. Yang tiba-tiba merasa gelisah adalah Pamandana, yang oleh karenanya, keringat
tiba-tiba muncul sebesar jagung. Keadaan Pamandana yang demikian, tidak luput dari perhatian
Bala Sanggrama Nambi. “Kenapa Pamandana itu?” tanya Nambi dalam hati. Ki Danapati
merapikan duduk bersilanya. “Pertanyaan apa, Raden?” tanya Ki Danapati. Raden Wijaya
kembali mengarahkan pandang matanya kepada Pamandana, yang mendadak basah kuyup bagai
baru saja mandi. Namun basah kuyup karena mandi dan karena keringat jelas berbeda. “Apakah
kedua anakmu sudah bersuami?” Pertanyaan itu menyebabkan semua orang kaget. Para Bala
Sanggrama tersentak kaget dan dengan segera memusatkan perhatiannya, demikian pula dengan
para isteri Raden Wijaya, para sekar kedaton yang terusir dari istananya itu sama sekali tidak
mengira suaminya melontarkan pertanyaan macam itu pada tuan rumah. Namun yang paling
kaget, tentu saja anak Ki Danapati. Mata Tumurah dan Samangkin itu mendadak terbelalak.
Mereka sungguh terkejut. Pertanyaan itu jelas pertanyaan mengagetkan bagi Ki Danapati dan
istrinya, akan tetapi itulah pertanyaan yang sangat menyenangkan hati mereka. Ki Danapati dan
istrinya segera menebak, ke manakah arah pertanyaan Raden Wijaya itu. “Belum Raden,” jawab
Ki Danapati. Raden Wijaya tersenyum dan kembali mengarahkan pandang matanya kepada
Pamandana yang semakin salah tingkah. Nambi tiba-tiba terkejut. “Ooo!” letupnya. Raden
Wijaya menoleh. “Kenapa, Kakang Nambi?” tanya Raden Wijaya. Nambi manggut-manggut.
“Maaf Raden, saya amat terkejut setelah mencermati, anak Ki Danapati yang muda, rupanya ia
amat mirip dengan mendiang istri Pamandana.” Raden Wijaya tersenyum mendengar ucapan
Nambi itu. Raden Wijaya memandang tajam Bala Sanggrama Pamandana yang semakin gelisah.
Pamandana sibuk menggelengkan kepala. Ki Danapati termangu dalam upayanya menyimpulkan
keadaan. Tidak hanya Nambi, Ranggalawe juga mencermati wajah Samangkin dengan cermat.
“Benar!” letup Ranggalawe, “wajah anak Kiai Danapati yang muda, sangat mirip dengan
mendiang istri Pamandana. He, Pamandana, bukankah begitu?” Pamandana tidak menjawab, ia
menunduk amat dalam. Samangkin yang terpancing rasa ingin tahunya memperhatikan wajah
Pamandana, hingga sejauh itu ia belum bisa menebak apa yang terjadi. Raden Wijaya
menjelaskan, “Kalau Ki Danapati berkenan, saya melamar anak Ki Danapati untuk Bala
Sanggrama Pamandana, supaya ia segera terbebas dari kesedihannya. Kebetulan anak Ki
Danapati memiliki wajah yang mirip dengan mendiang istrinya, yang meninggal belum lama ini,
saat mestinya melahirkan anaknya. Boleh jadi, anak Ki Pamandana adalah titisan mendiang
istrinya.” Pamandana menunduk sangat dalam, tak sepatah kata pun terucap di mulutnya.
Ranggalawe yang juga mengenal Pamandana ikut manggut-manggut, setelah memerhatikan, ia
membenarkan apa yang disampaikan Nambi. “Saya mendukung,” tiba-tiba Ranggalawe meletup,
ucapannya agak keras. Kini semua perhatian segera terarah pada Pamandana yang masih
menunduk. Arah kenangan pemuda itu amat deras tertuju pada mendiang istrinya, istri yang
sangat dicintainya, istri terkasih yang telah memporakporandakan hatinya karena kepergian
yang demikian mendadak dan tidak akan pernah dijumpai lagi untuk selamanya. Pamandana
yang menunduk itu kemudian merapatkan ke dua telapak tangannya, diarahkan sikap
menyembah itu pada Raden Wijaya. “Hamba Raden, mohon maaf, hamba telah berketetapan
hati untuk tidak akan memikirkan hal itu.” Amat hening suasana. Tribuaneswari memandang
Pamandana dengan tatapan tak berkedip dan tajam. Hal yang sama dilakukan kedua adiknya,
Pradnya Paramita dan Narendraduhita yang juga ikut menatap wajah duda tampan yang
sesungguhnya berasal dari Kediri itu. Tiba-tiba saja munculnya rasa ingin tahu itu, tentang kisah
macam apa di balik wajah tampan Bala Sanggrama Pamandana. Rasa penasaran juga tumpah
ruah di wajah Samangkin, dengan tak berkedip ia memandang Pamandana yang menunduk.
Ranggalawe batuk-batuk, ia meminta perhatian. “Pamandana bergabung menjadi bagian dari
prajurit Bala Sanggrama belum lama. Ia berasal dari Kediri memiliki istri yang cantik bernama
Dewayani. Akan tetapi sayang, hidup Dewayani tidak panjang, ia gagal melaksanakan tugasnya
sebagai ibu untuk melahirkan anaknya dan bahkan pilih menyelamatkan dan membawa anak
yang dikandungnya supaya terhindar dari kejamnya kehidupan di dunia. Saya harus
membenarkan apa kata kakang Nambi, mendiang istri Pamandana rupanya telah menitis
kembali.” Suasana yang hening itu bergerak menjadi amat hening. Pontang panting Pamandana
berusaha mengusai diri, akan tetapi prajurit yang demikian ulet, lincah trengginas trampil di
palagan itu tak mampu menahan diri, ia yang kembali menunduk itu kian menunduk, air mata
yang menetes dan jatuh ke pangkuannya itu menyebabkan semua orang yang melihat tersentak.
Terbelalak Semangkin melihat itu. “Saya telah memutuskan untuk tidak akan kawin lagi, Raden,”
kata Pamandana dengan suara yang bergetar, “lebih dari itu, kiranya saat ini kita sedang
berhadapan dengan masalah yang amat berat. Perhatian dan pikiran kita harus terpusat pada
masalah itu.” Ucapan itu mengagetkan dan serasa mengguncang pendapa rumah Ki Danapati.
Dan hati semua orang pun kemudian teraduk. Para istri Raden Wijaya perlahan, satu demi satu
manggut-manggut pertanda memahami dan ikut iba. Tribhuaneswari meraih tangan adiknya,
dan meremas jemari tangan itu. Pradnya Paramita tidak perlu menoleh, akan tetapi ia membalas
remasan jari tangan kakaknya, sementara Narendraduhita sungguh sangat tertarik pada
persoalan yang tiba-tiba mengemuka itu. Narendraduhita menyempatkan memerhatikan wajah
kedua kakak dan adik anak Ki Danapati, yang harus ia akui, keduanya memiliki wajah yang
cantik. Jika kakak beradik itu mendapat kesempatan untuk berdandan, sebagaimana para anak
raja, maka tampilan kedua gadis itu bisa memancing decak kagum. Yang sedang terguncang
jiwanya dengan hebat justru Samangkin. Gadis yang semula berani memandang tajam itu kini
tiba-tiba menunduk. Sungguh sebuah guncangan yang luar biasa yang mengaduk dadanya,
ketika mendengar kisah yang amat menyentuh, iba yang berubah menjadi jatuh cinta itu
datangnya dengan tiba-tiba, namun rasa bingung melihat sikap Pamandana itu juga datang
dengan tiba-tiba. “Kakang Pamandana,” tiba-tiba Narendraduhita meminta perhatian. Tidak
berani menengadah, Pamandana menyembah. “Hamba Tuan Putri,” jawabnya. “Sangat bagus
kalau Kakang Pamandana segera mengakhiri masa berkabung itu.” Pamandana kembali
menyembah, namun tak sepatah kata pun yang terlontar dari mulutnya. “Lihatlah Kakang
Pamandana, bukalah mata kakang, dan lihatlah, betapa salah seorang anak Ki Danapati itu
memiliki wajah sangat mirip dengan mendiang istri kakang? Yang itu artinya, mbakyu Dewayani
istri kakang telah menitis kembali, untuk menjaga agar kakang tidak terlalu lama bersedih,” kata
Narendraduhita. Pamandana ternyata tetap bergeming. “Tidak Tuan Putri,” jawab tegas
Pamandana, “akan terasa menyedihkan sekali apabila hamba sampai kehilangan kesetiaan pada
mendiang istri saya, yang pasti akan tersenyum sedih melihat perbuatan hamba.” Jawaban itu
menyebabkan mulut Narendraduhita terbungkam. “Bagaimana kalau sebaliknya?” pertanyaan
itu datang dari mulut Tribhuaneswari. Semua orang menoleh, kecuali Pamandana. “Bagaimana
kalau yang terjadi sebaliknya, mendiang istri Kakang justru tidak ingin melihat hidup kakang
sedih berkepanjangan. Lihatlah anak bungsu Ki Danapati Kakang Pamandana, apa kau tidak
melihat ia adalah titisan dari istrimu? Titisan, bukan sekadar wajah yang mirip.” Pamandana
semakin salah tingkah. Namun ia bergeming, ia tidak mengucapkan kata apa pun. Akhirnya
Raden Wijaya melihat, Pamandana memang telah bulat dengan keputusannya. Anak Dyah
Lembu Tal itu mengarahkan pandang matanya ke arah barat, meski masih jauh namun segera
terlihat, warna langit belahan barat memang tampak berbeda, terlihat kemerahan dan sebagian
tampak gelap, warna yang berubah macam itu, semua bisa menerka, hal itu terjadi karena debu
dari gunung yang terbawa angin. Suasana berubah agak kurang menyenangkan, menempatkan
Ki Danapati dan istrinya merasa sedikit agak kecewa. Kekecewaan yang amat mendalam
sebaliknya justru bergolak di hati anak gadis Ki Danapati, Samangkin menunduk, tertunduk
seperti duduk di atas bara api. Adalah Banyak Kapuk yang tiba-tiba ucapannya amat
mengagetkan. “Saya boleh berbicara, Raden?” ucap Banyak Kapuk. Raden Wijaya memberinya
sebuah anggukan. “Mohon Raden berkenan mewakili hamba,” ucap Banyak Kapuk tegas. Sontak
semua orang terbelalak. Para Sekar Kedaton memandang takjub, sementara para Bala
Sanggrama yang lain langsung heboh, mereka sangat paham ke mana arah pembicaraan Banyak
Kapuk itu. “Apa yang kau inginkan?” Banyak Kapuk mengarahkan pandangan matanya sangat
tajam dan tanpa keraguan, ditujukan itu kepada Tumurah, anak pertama Ki Danapati. Melihat
sikap Banyak Kapuk yang demikian, Raden Wijaya sekuat tenaga menahan senyumnya. “Coba
kau sampaikan sendiri,” kata Raden Wijaya. Jawaban Raden Wijaya menyebabkan Banyak
Kapuk bingung, namun Banyak Kapuk adalah orang yang pintar berbicara dan bukan jenis orang
yang penakut. Setelah menarik napas panjang, ia beringut maju mendekat ke arah Ki Danapati.
Pemilik rumah itu saling pandang dengan istri yang tampak lebih tua darinya. Tumurah yang
bernama asli Retna Anjari tiba-tiba merasa amat gelisah. “Kiai,” kata Banyak Kapuk. Ki Danapati
mengangguk dan menjawab, “Bagaimana anakmas?” Banyak Kapuk orang yang blak-blakan dan
langsung berbicara lugas. “Apabila diperkenakan, saya ingin meminang anak Ki Danapati yang
pertama untuk menjadi pendamping hidup saya.” Nambi terbelalak. Meski telah menduga,
Ranggalawe juga terbelalak. Pamandana yang sibuk menyembunyikan wajah menengadah dan
menyimak. Para sekar kedaton juga langsung tersita semua perhatiannya. Di kala hati sedang
kalut, peristiwa itu agak menghibur hati mereka. Bagi Ki Danapati, lamaran yang disampaikan
itu sungguh sebuah kehormatan yang luar biasa. Hal yang tidak lazim pun terjadi, Ki Danapati
tidak menyempatkan menanyai anak perempuannya lebih dulu. “O, saya restui anakmas, saya
menerima lamaran anakmas untuk anak saya.” Hingar bingar pun segera terjadi meski hanya di
dalam hati. Di suasana yang sedang kacau balau, lamaran yang bak gayung bersambut itu
menjadi sebuah hiburan yang untuk beberapa jenak menjadi sebuah hiburan. Lamaran itu
menyebabkan Tumurah sangat tersipu. Namun Raden Wijaya segera mengingatkan. “Maaf
sebelumnya, Ki Danapati, seharusnya Ki Danapati menanyai anak Ki Danapati lebih dulu,
apakah ia bersedia menerima lamaran itu?” Ki Danapati agak kaget oleh pemberitahuan itu.
Menurut sepengetahuannya, untuk menerima lamaran macam itu ia tak perlu harus menanyai
anaknya. Dengan siapa Tumurah dan Samangkin boleh menikah, adalah sepenuhnya menjadi
haknya. Meskipun demikian, karena menghurmati Raden Wijaya, ia sempatkan bertanya pada
anak gadisnya. “Bagaimana Tumurah, anakmas prajurit Banyak Kapuk ingin mengajakmu hidup
berumah-tangga, apakah kau bersedia?” Tumurah memandang ayahnya dan semakin tersipu,
gadis itu menunduk kian dalam. Akan tetapi sejenak kemudian, Tumurah mengangguk pertanda
ia bersedia menerima tawaran itu. Ki Danapati terlihat bahagia sekali yang terlihat dari tarikan
napasnya yang panjang dan dalam. Ia telah menunggu lama dan berangan-angan, anaknya akan
segera dilamar orang, hati kecilnya ingin anaknya kelak akan bersuamikan seorang prajurit.
Siapa sangka angan-angan itu menjelma melebihi yang diinginkan. Akan tetapi, yang tiba-tiba
merasa membutuhkan istri tidak hanya Banyak Kapuk. Pawagal tiba-tiba juga bergairah.
Gagasan itu munculnya sangat mendadak, tidak berkedip ia menatap wajah anak bungsu Ki
Danapati. Wajah itu demikian sejuk dan teduh, menjadi jaminan, sosok seperti Samangkin itu
akan menenteramkan hatinya yang selalu bergejolak. “Saya juga,” tiba-tiba Pawagal nyeletuk.
Ucapan Pawagal itu mengagetkan sekali. Semua wajah serentak menoleh pada pemuda yang
bertubuh agak pendek namun kekar itu. Melihat perkembangan yang tidak terduga itu, para
sekar kedaton terbelalak. Untuk beberapa saat mereka bagaikan lupa pada kemelut sangat berat
yang sedang mereka alami. Apa yang diinginkan Pawagal itu menyebabkan Raden Wijaya
terbelalak. Yang agak terguncang hatinya adalah Samangkin. Dalam waktu yang amat singkat
perhatian gadis itu tersita oleh Pamandana yang memiliki kisah menyedihkan, keadaan itu
menyebabkan perhatian yang sangat besar, tiba-tiba saja Samangkin ingin menjadi pengganti.
Dalam hitungan kejab ia merasa sangat tertarik, atau adakah itu yang disebut sebagai jatuh cinta.
Celakanya apa yang ia inginkan berhadapan dengan keadaan yang tidak sesuai harapannya,
Pamandana itu tidak menginginkannya. “Anakmas menghendaki Samangkin?” tanya Ki
Danapati. Pawagal mengangguk. “Benar Ki Danapati,” jawabnya, ”jika direstui, saya akan
mengajak diajeng Samangkin untuk mengarungi bahtera rumah tangga.” Setelah ucapannya itu,
bagai ada setan yang lewat dan mencuri perhatian, suasana berubah menjadi sangat hening.
Raden Wijaya menjatuhkan arah pandangan matanya ke raut wajah Bala Sanggrama
Pamandana. Raden Wijaya sangat sulit memahami, pergolakan macam apakah yang sedang
terpancar dari raut mukanya. Pamandana memandang Pawagal dengan takjub, dan ia pun
membagi pandangan matanya ke wajah Samangkin juga dengan mata berbinar. Meskipun wajah
gadis itu mengingatkannya pada mendiang istrinya, akan tetapi Pamandana sama sekali tidak
menyimpan keinginan untuk memilikinya. Tak hanya Raden Wijaya yang mencoba menebak isi
benak Pamandana, para sekar kedaton juga memperhatikan wajahnya. Semua orang kemudian
melihat, sama sekali tidak ada masalah atau keberatan yang terpancar dari wajahnya. Maka
kemudian tahulah semua orang, Pamandana sama sekali tidak tergoda untuk mengkhianati
kesetian istrinya, meski Dewayani telah tiada, “Samangkin,” ucap Ki Danapati. “Ya, ayah,” jawab
anak gadisnya masih dengan tetap menunduk. “Kamu telah mendengar sendiri tawaran dan
ajakan anakmas Prajurit Pawagal yang ingin mengajakmu hidup berumah tangga.” Samangkin
menunduk. “Bagaimana jawabmu Samangkin?” tanya ayahnya. Samangkin benar-benar merasa
kebingungan dan tak tahu harus menjawab apa. Dalam waktu yang singkat, amat singkat, isi
hatinya telah digenangi perasaan aneh, sebuah keinginan untuk bisa menempati hati pemuda
yang kelihatannya dibelit duka di sepanjang hidupnya. Akan tetapi pemuda yang tiba-tiba
menyita perasaannya itu sama sekali tidak tertarik padanya. “Kenapa bukan dia yang
menginginkan aku,” kata hati Samangkin. Pamandana tersenyum, dengan melihat secara
langsung seperti itu, Pamandana melihat jelas betapa anak gadis Ki Danapati itu memang
memiliki wajah amat mirip dengan mendiang istrinya yang dahulu kala adalah kembang desa
yang menjadi rebutan banyak pemuda. Bentuk alisnya, bentuk matanya dan raut senyumnya,
sangat mirip. Namun Pamandana melihat hanya sampai itu, ia tidak melihat Samangkin adalah
titisan istrinya. Samangkin merasa sangat tidak nyaman. “Samangkin, bagaimana jawabmu?”
tanya ibunya. Samangkin merapatkan kedua telapak tangannya dalam sikap menyembah. “Kamu
bersedia?” Gadis itu belum bergegas menurunkan kedua telapak tangannya. Pawagal
memandanginya dengan tidak berkedip. Akhirnya gadis itu mengangguk. 15 Debu itu benar-
benar menyemburat melayang ke segala penjuru. Berbagai macam binatang mulai merasa
menderita. Para burung tak lagi beterbangan, mereka pilih bersembunyi di sarang atau dahan-
dahan. Namun demikian Ki Danapati sama sekali tidak merasa perlu mempedulikannya.
Meskipun dilakukan dengan amat sederhana, akan tetapi upacara perkawinan tetap
dilaksanakan dengan disaksikan Raden Wijaya dan segenap rombongannya dan beberapa
tetangga yang diundang untuk menjadi saksi. Dalam keadaan yang serba sederhana dan darurat
itu, Ki Danapati merasa bahagia karena telah melaksanakan tugasnya sebagai orang tua yang
harus mengawal anaknya memasuki pintu gerbang rumah tangganya. Sungguh kejadian
beruntun yang aneh dan sulit dimengerti, berlangsung dalam sekejab demi sekejab. Mula-mula
Ki Danapati mengalami peristiwa yang sungguh mengerikan, nyawanya nyaris lepas dari raganya
oleh ulah orang-orang yang gelap mata dan sedang memanfaatkan keadaan kacau. Di saat yang
demikian, terjadilah sebuah keajaiban yang sangat luar biasa. Tepat pada saat nyawanya nyaris
lepas, datanglah pertolongan yang bagaikan turun dari langit yang dikirim langsung oleh para
dewa sekaligus andum kabagyan (Jawa, membagi kebahagiaan). Anugerah macam apa yang bisa
menandingi kebahagiaannya manakala Raden Wijaya mengajaknya berbesanan, meminang
kedua anak gadisnya untuk para prajurit Bala Sanggrama. Dari tepi sungai, di depan rumah Ki
Danapati, langit mulai nampak menggelap, bukan hanya oleh tebalnya debu yang turun, akan
tetapi juga oleh tibanya senja yang pasti akan bergeser ke malam. Nambi, Sorandaka dan
Pamandana yang menyendiri di tepi sungai seraya memperhatikan debu yang semakin banyak
melayang di udara, bagaikan ampak-ampak yang turun dari robekan langit, debu-debu yang
melayang itu memberikan warna putih di permukaan benda apa pun, dedaunan menjadi putih.
Demikian juga dengan atap atap rumah. Berlindung di bawah pohon saman yang daunnya sangat
rimbun, ketiga bala sanggrama itu membicarakan perjalanan yang akan ditempuh selanjutnya,
sambil dengan menggunakan pisau masing-masing mereka membuat anak panah. Untuk
perbekalan ke depan, persediaan anak panah dalam jumlah banyak harus disiapkan. “Bagaimana
dengan hujan abu ini?” tanya Nambi ditujukan pada Sorandaka, “apakah kita akan melanjutkan
perjalanan?” Sorandaka memutar pandangannya, jarak pandang ke depan semakin pendek.
Debu yang amat tebal itu bahkan menyebabkan batuk. Nambi merasa tenggorokannya gatal.
Pamandana juga mulai terganggu batuk. “Menurut saya,” kata Sorandaka, “hujan yang sangat
tebal ini justru menguntungkan kita. Mumpung keadaan macam ini, sebaiknya kita harus
bergerak semakin menjauh.” Pamandana memandang Sorandaka. “Apakah mereka masih
memiliki kemampuan melacak jejak kita?” “Selama keris Empu Gandring itu berada di tangan
Raden Wijaya, saya mengira mereka masih bisa mengetahui jejak rombongan kita. Orang
bermata aneh itu pasti bisa menemukan jejak kita di mana pun kita berada.” Tak tercegah
kenangan Sorandaka tertuju pada Rangga Bentar, keadaan orang itu memang mengerikan,
bentuk bola matanya yang mirip mata kucing serta kemampuan aneh yang ia miliki memang
mengerikan. “Sebaliknya, apakah kau masih bisa mengawasi keberadaan mereka?” Nambi
menambah. Sorandaka terdiam sejenak, kemudian ia menggeleng. “Saat ini gelap gulita,”
jawabnya. Nambi berpikir keras. “Apakah itu karena burung piaraanmu yang menjadi
penyambung pandangan matamu itu tertutup pandangan matanya oleh hujan abu yang sangat
tebal ini?” Sorandaka kembali memejamkan mata. “Ya,” jawabnya. Waktu bergeser sejengkal,
langit benar-benar gelap gulita, ledakan Gunung Kampud itu telah melemparkan abu ke jauh di
tingginya langit dan nun di sana, angin yang berhembus amat deras menyebar gumpalan abu ke
segala penjuru, tergantung ke mana angin bergerak. Ke arah barat, angin menebar debu
menempuh jarak yang demikian jauh, bahkan hingga ke wilayah Pajajaran. Ke timur tebalnya
abu terus bergerak ke segala penjuru. “Kamu benar-benar ikhlas?” Sorandaka bertanya. Itulah
pertanyaan yang membelok dengan tiba-tiba.

Majapahit 3, ke lima
“Ikhlas apa?” tanya Pamandana. “Anak bungsu Ki Danapati itu sangat mirip istrimu.”
Pamandana tertawa. “Saya berdoa semoga Kakang Mahisa Pawagal dan Banyak Kapuk hidup
bahagia. Kelak mereka akang dikaruniai anak-anak yang berguna bagi nusa dan bangsanya.”
Jawaban itu menyebabkan Sorandaka dan Nambi saling pandang. Di awal Nambi melihat,
Pamandana amat terkejut melihat ada gadis yang sangat mirip mendiang istrinya, Raden Wijaya
bahkan telah melamarkan untuknya. Akan tetapi Pamandana ternyata bersikap berbeda, ia tidak
terpengaruh untuk tetap setia pada istrinya. “Kamu luar biasa,” kata Nambi. Pamandana
menoleh padanya. “Kenapa?” balas Pamandana. Tajam Nambi menatap mata sahabatnya itu. Ia
tidak melanjutkan ucapannya, namun tangan Nambi menyentuh lengan Pamandana. Kedua
prajurit peng-pengan (Jawa, luar biasa, hebat) itu kemudian sama sama diam, mengumbar angan-
angan. Nambi yang menebarkan pandangan matanya ke segala penjuru harus melihat
pemandangan yang menyesakkan dadanya. Hujan air bukanlah hal yang aneh baginya, akan
tetapi menyaksikan hujan abu, seumur-umur baru kali itu ia menyaksikan dengan mata dan
kepala sendiri. Memandang turunnya hujan abu yang entah akan berakhir itu seperti
menempatkan meraka ke pintu gerbang akhir zaman yang tak jelas ke mana ujungnya. Adalah
Kiai Danapati yang tidak mau membuang waktu. Atas ijin Raden Wijaya ia merasa tidak perlu
menunda waktu, meski di luar hari sedang gelap, Kiai Danapati berniat menggelar perkawinan
kedua anaknya saat itu juga meski keadaan sangat tidak bersahabat. Berbeda dengan susasana di
luar, sebaliknya di dalam rumah cukup lega untuk bernapas. Nyai Danapati memiliki cara untuk
menyiasati keadaan yang luar biasa itu. Ia mengambil beberapa lembar kain yang dibasahi yang
digantungkan di beberapa tempat termasuk di pintu, dengan cara sederhana itulah Nyai
Danapati berusaha membersihkan udara, debu yang beterbangan akan melekat di kain basah
yang digantung di beberapa tempat itu. Namun, tak hanya hujan abu yang berperan, hujan air
pun menyela pula mengambil haknya, hujan deras mungkin tersinggung oleh turunnya abu
gunung yang deras, ia menunjukkan taring-taringnya. Diawali petir yang meledak di beberapa
tempat yang saling sapa antara satu dengan lainnya, tak berapa lama kemudian air bagai
ditumpahkan dari langit yang robek. Gemuruh para petir atau geluduk saling sapa di antara
mereka. Dari beberapa arah para petir saling menyalak bagaikan puluhan ekor anjing yang riuh
kisruh kasena melihat hantu numpang lewat. Melihat hujan itu Raden Wijaya tersenyum. Sebab
bagaimanapun hujan air itu nantinya akan membantu membersihkan udara yang kotor sangat
tak bersahabat dengan paru-paru. Udara yang dingin di ketinggian langit berubah bentuk
menjadi butiran-butiran air dan akhirnya turun dengan tumpah ruah. Di ketinggian langit
ternyata tidak seperti diduga orang, yang menyangka semakin dekat dengan matahari maka
udara kian panas, ternyata tidak. Semakin ke atas, paksi cataka merasakan udara yang kian
dingin, yang saat telah melampaui puncaknya, berubah menjadi butiran-butiran beku, bahkan
ukurannya ada yang cukup besar. Karena ukurannya itulah air yang membeku itu kemudian
berjatuhan ke bumi. Hujan yang turun itu dengan amat telak dengan tingkat kelebatan yang luar
biasa menyebabkan segenap debu yang melayang di udara ikut larut luruh ke bumi. Raden
Wijaya yang mengamati keadaan melihat udara yang semula kotor kembali bersih, namun ia
meyakini, hal itu hanyalah sementara karena di langit ketersediaan debu yang tumpah ruah dari
perut bumi melalui pintu gerbangnya bagai tak akan ada habisnya, sementara hujan yang turun
hanya bersifat sementara. Kesibukan terjadi di rumah Kiai Danapati. Meski keadaan sangat
menyedihkan karena berbagai hal, namun lelaki tua itu terlihat amat bahagia. Ia telah
mengambil banyak langkah dan tindakan dengan memanggil para kerabat dan tetangga untuk
menjadi saksi. Tiga orang perempuan, terdiri dari seorang tetangga yang baik dan dua sepupu
Nyai Danapati ikut menyibukkan diri di dapur. Beberapa ekor ayam telah disembelih untuk
persiapan sebuah upacara yang akan diselenggarakan, itulah upacara perkawinan yang tidak
perlu menunda waktu yang diselenggarakan pada keadaan serba terbatas. Raden Wijaya yang
diberitahu tak merasa keberatan, ia mendukung niat Kiai Danapati, akan tetapi Raden Wijaya
juga harus menghitung waktu. Rombongan yang melarikan diri dari bekas ibu kota Singasari itu
tak mungkin berlama-lama di tempat itu. Gelap! Itulah yang dirasakan Sorandaka yang sedang
memejamkan mata dan berbaring di balai-balai bambu. Beberapa kali pemuda dari Tuban itu
memejamkan mata, ia mencoba mengintip keadaan di luar melalui hening mata hatinya, akan
tetapi upayanya itu gagal dan gagal. Sorandaka yang kini di wajahnya tersisa bekas luka itu
tampak gelisah. Ia merasa berubah menjadi laki-laki buta yang tidak punya mata. “Keris Empu
Gandring itu, mereka pasti bisa melihatnya kembali,” gumamnya. Adalah sesungguhnya,
keadaan yang gulita menyebabkan paksi cataka kepanjangan matanya mati langkah. Di tebalnya
debu yang melayang di udara menuju segala penjuru menyebabkan burung rajawali atau elang
itu menjadi buta. Ia tidak mampu melihat apa pun. Burung yang kini sebatang kara karena
semua temannya tumpas itu hanya bisa menunggu waktu. Burung itu bertengger di atas dahan
sambil sesekali mengibaskan sayapnya. Namun burung itu harus melihat kenyataan betapa debu
gunung Kampud itu mempunyai daya lekat di bulu-bulunya. Untuk membersihkan debu-debu
itu, ia punya cara yang mudah yaitu apabila hujan turun dengan lebat, ia tinggal berhujan-
hujanan. Atau dengan menyelam di air telaga, dengan sambil menyelam minum air, ketika
muncul ke permukaan dan terbang cepat, kakinya sudah mencengkeram ikan. Lalu, kesempatan
itu tiba-tiba datang. Hujan turun dengan amat deras membersihkan debu di udara. Ketika
kesempatan itu datang, paksai cataka yang orang juga menyebutnya sebagai burung rajawali itu
segera mengepakkan sayapnya. Ia melesat tinggi mengayuh udara sekuatnya dan kemudian
membentangkan sayapnya, sisanya hujanlah yang menyelesaikan tugasnya. Demikianlah cara
burung itu mandi membersihkan diri. Di rumah Kiai Danapati. Perkawinan yang dilaksanakan
dengan mendadak itu kemudian berlangsung dengan khidmat dan penuh makna. Dipimpin
langsung oleh ayahnya dan seorang tokoh agama yang didatangkan, kedua anak gadis Kiai
Danapati mengakhiri masa lajangnya. Jantung Pamandana tidak lagi riuh mengombak, ia
menjadi saksi dan menyaksikan serta ikut mendoakan kedua mempelai yang telah memutuskan
untuk menyatu berumah tangga. Senyum Pamandana adalah senyum yang tulus, doanya adalah
juga doa yang tulus. Tak secuil pun penyesalan muncul di hatinya meski salah satu temanten
memiliki wajah amat mirip dengan mendiang istrinya. Demikianlah upacara perkawinan itu
berlangsung yang meski sangat sederhana akan tetapi berjalan dengan rangkaian upacara yang
lengkap. Dalam keadaan yang demikian, bukan Nyai Danapati yang menitikkan air mata, namun
justru suaminya. Kiai Danapati merasa dadanya agak sesak karena apa yang pernah ia cita-
citakan tidak menjadi kenyataan, yaitu menggelar upacara pesta perkawinan yang megah.
Namun keadaan yang menyebabkan keinginan itu terpangkas, bencana meledaknya Gunung
Kampud tertuduhnya. Meski demikian, meskipun Kiai Danapati menitikkan air mata, namun
paru-parunya penuh udara yang meluap, gambaran rasa bahagianya karena kedua anak gadisnya
telah menemukan jodohnya, lebih-lebih ia berbesanan dengan Raden Wijaya. Seluruh rangkaian
upacara kemudian rampung. Semua tamu tanpa kecuali menikmati apa pun yang dihidangkan.
Sorandaka mendekat Raden Wijaya, ia lakukan itu ketika melihat isyarat untuk mendekat.
“Bagaimana Raden?” tanya Sorandaka. Raden Wijaya mengedarkan pandangan matanya ke
seluruh wajah, ke raut muka para tamu, ke wajah sepasang temanten, lalu bergeser lagi dan
kemudian jatuh di wajah Pamandana, yang terlihat berseri-seri. “Kita harus pergi meninggalkan
tempat ini secepatnya bukan?” Sorandaka terbungkam. Akan tetapi dengan cepat otaknya
terbuka dan bekerja. Sorandaka memejamkan mata untuk melihat keadaan di luar, sebagaimana
apa pun yang dilihat paksi cataka yang sedang terbang melesat menerobos hujan dalam rangka
mandi membersihkan seluruh debu di tubuhnya. Akan tetapi Sorandaka tidak melihat
pergerakan yang menuju tempat di mana ia berada. Sorandaka kemudian membuka mata dan
menatap Raden Wijaya langsung ke wajahnya. “Hamba tidak melihat pergerakan mereka,
Tuanku.” Raden Wijaya mengangguk amat perlahan. “Meskipun demikian,” kata Raden Wijaya,
“ada baiknya kita segera meninggalkan tempat ini. Biarlah Banyak Kapuk dan Pawadal tinggal
barang sehari dua hari untuk melaksanakan tugas sebagai suami. Mereka boleh menyusul, boleh
juga tetap tinggal di padukuhan ini.” Ucapan Raden Wijaya itu menyebabkan Sorandaka
termangu. Demikian juga dengan prajurit Bala Sanggrama Pamandana terbungkam mulutnya,
lupa bagaimana cara berbicara, atau dengan tiba-tiba mulutnya berubah membeku. Keputusan
yang diambil Raden Wijaya untuk segera meninggalkan tempat itu mengagetkan pemilik rumah.
Namun para Bala Sanggrama memahami keadaan, bahwa untuk bisa selamat dari ancaman
pengejaran para prajurit Kediri, haruslah dengan selalu bergerak, tidak boleh berhenti. Demikian
pula dengan para sekar kedaton, meski kelelahan luar biasa dan terkantuk-kantuk akan tetapi
keadaan itu jauh lebih baik daripada tertangkap musuh. Untuk perjalanan yang tak menentu
arah dan harus ditempuh itu, Kiai Danapati menyediakan kebutuhan untuk makan di perjalanan.
Bagai berbelas kasihan pada Raden Wijaya dan segenap rombongannya, hujan mereda. Hujan itu
seperti membersihkan udara dari debu-debu. Namun kelak, udara akan kotor kembali karena
jumlah abu yang dimuntahkan dari Gunung kampud tak bisa dihitung jumlahnya. “Nikmati
malam pertamamu, Banyak Kapuk dan Pawagal, kalau kalian berdua menghendaki kalian boleh
tinggal sampai kapan pun.” Ucapan Raden Wijaya itu sangat mengagetkan. Pawagal dan Banyak
Kapuk saling pandang. “Tentu tidak Raden,” jawab Pawagal mewakili, “setelah kami
melaksanakan kewajiban yang harus kami laksanakan, maka bahkan besok kami akan berangkat
menyusul.” Tidak jelas di mana letak lucunya, mendengar itu Raden Wijaya tersenyum. Maka
setelah berkemas dengan cepat, rombongan pelarian itu kemudian melanjutkan gerak
perjalanannya, meninggalkan Padukuhan Windung. Kisah sedih yang mereka sandang rupanya
masih akan berkepanjangan. Di langit, dari kepundan Gunung Kampud, semburan abu gunung
masih menyebar ke segala penjuru. 16 Mundur ke ruang waktu sebelumnya menjelang Gunung
Kampud meledak. Mata waskita Wirota Wiragati melihat, justru karena itu ia menahan laju
kudanya yang bagai tak mengenal lelah. Kuda tunggangan yang kekar itu terlonjak ketika laki-
laki kekar itu tiba-tiba menarik tali kendalinya. Kedua kaki depannya terlonjak naik, disusul
suara ringkiknya yang cukup keras. Perintah mendadak berupa sentakan keras menyebabkan
kuda itu terkejut. “Ada apa ini?” pertanyaan itu muncul dari kedalaman hatinya yang paling
dalam. Wirota Wiragati mengedarkan pandangan matanya ke segala penjuru, langit yang terik
sangat sempurna karena tidak selembar mendung pun yang menampakkan diri, sungguh
keadaan yang amat berbeda dari keadaan Singasari sebelumnya. Wirota Wirogati
memperhatikan keadaan ke sebelah kirinya yang berupa lembah ngarai, sementara di sebelah
kanan adalah bulak panjang yang luas, amat mirip dengan bulak Ganter yang kini berubah
menjadi sarang hantu. Wirota Wiragati memejamkan mata sambil mengelus-elus punggung
kudanya, sebuah cara agar kuda itu tenang. Dalam keheningan dan ketajaman mata hatinya,
wajah Gunung Kampud yang sesak napas dengan tiba-tiba hadir di pandangan matanya,
menjulang sangat megah dan gagah, mencoba menantang siapa pun yang sanggup
merobohkannya. Namun Wirota Wiragati melihat sesuatu yang luar biasa. Ternyata tantangan
gunung itu ada yang menawar. Dalam keheningan mata hati Wirota Wirogati tampak seekor ular
maha raksasa, karena ukurannya sebesar gunung itu sendiri. Ular itu amat besar dan sedang
merayap mengelilinginya seolah menakar seberapa besar kekuatannya. Ular yang juga disebut
taksaka (Jawa kuno, ular) yang memiliki dewa bernama Antaboga itu menjulur-julurkan
lidahnya sambil tiada henti-hentinya mengeluarkan hembusan napas beracun dan berapi.
Berbagai binatang berlarian lintang pukang menghindar dari ular itu untuk menyelamatkan
nyawanya. Pepohonan tumbang ketika ia melintas, bebatuan di lereng tebing berguguran. Masih
dalam keheningan mata Wirota Wiragati, ular maha raksasa itu tiba-tiba mendongak dengan
kepala tegak siap mematuk. Sejenak kemudian ular itu menyemburkan api yang sangat
membakar, Pepohonan yang meranggas di dekat puncak hangus menjadi debu. Ular itu kembali
menggeliat menyemburkan api, berusaha mengalahkan keangkuhan gunung itu. Akan tetapi arga
Kampud atau yang juga disebut Kelud itu bergeming dalam sikapnya. Sia-sia membakar gunung
itu. Taksaka maharaksasa seolah penjelmaan Antaboga itu sangat marah. Ia tiba-tiba bergerak
membelit gunung itu. Dengan cekikan seperti yang dilakukan para ular pada korbannya, dengan
cara itu ia mencoba mengalahkan lawannya dan meruntuhkan keangkuhannya. Dengan sekuat
tenaga ular itu menggerus, meremas. Namun ardi atau arga atau gunung itu bergeming. Ia
bahkan tersenyum. Terbelalak Wirota Wiragari ketika melalui ketajaman mata hatinya melihat,
ular yang maha raksasa itu tiba-tiba menggeliat dan merayap naik, terus naik hingga ke
puncaknya. Lalu dengan penuh keyakinan ular itu berusaha mengebor kepundannya.
Terjengkang Wirota Wiragati, terhenyak di atas punggung kudanya. ”Gunung itu,” desisnya.
Wirota Wiragati bergegas melompat turun dari punggung kudanya. “Tunggu di sini,“ kata Bala
Sanggrama itu. Dengan berlari kencang pemuda itu melesat menuju ke puncak bukit di
sebelahnya. Dengan keyakinan bahwa tak berapa lama lagi akan terjadi sesuatu yang luar biasa,
pemuda itu bergegas mengarahkan pandangan matanya ke sebuah arah, nun jauh di depannya di
arah Balitar dan Kediri tampak Gunung yang menjulang tinggi. Itulah gunung dalam keadaan
aslinya, bukan gunung yang dibelit oleh ular raksasa seperti yang terlihat di kedalaman mata
hatinya. “Gunung itu akan meledak,” ucapnya dalam hati. Dugaan Wirota Wiragati benar.
Sebagaimana di langit para burung yang terbang menjauh berusaha menyelamatkan diri benar,
Gunung Kampud itu sedang hamil tua, dan akan segera tiba saatnya sebagaimana perempuan
hamil tidaklah boleh berkepanjangan. Maka sejenak kemudian sebagaimana Wirota Wiragati
menghitung mundur dalam hati, terjadi sentakan luar biasa dari dalam perut arga itu. Maha
sentakan. Ledakan gemuruh? Tidak cukup. Ledakan itu maha gemuruh menyebabkan pemuda
yang berdiri di puncak bukit itu terbelalak dan terbelalak. Seumur-umur Wirota Wiragati baru
kali itu menjadi saksi dan menyaksikan secara langsung peristiwa yang tidak sembarang orang
berkesempatan menyaksikan langsung dengan mata dan kepala sendiri. Ledakan gunung itu
disertai dengan semburan yang mbahnya dahsyat dari lubang kepundan. Segala macam isi
perutnya terlempar keluar melesat tinggi, batu-batu sebesar anak gajah, bagaikan benda ringan
tak berbobot, terlempar membubung memanjat langit dan kemudian berjatuhan meninggalkan
suara susulan yang menggemuruh. Isi perut yang semula berdesakan itu mendapat kesempatan
untuk berjejal-jejal keluar, meleleh membakar apa pun, membakar siapa pun. Terbelalak Wirota
Wirogati melihat sesuatu mengepul di kejauhan, seperti jamur megar di musim hujan. Wirota
Wiragati melangkah mundur, nyaris ia terpeleset. Kemudian dengan kencang ia berlari seolah
takut kehilangan waktu. Dengan tanpa berancang-ancang ia kemudian melenting ke punggung
kudanya, sebagaimana pula tanpa menunda waktu ia menarik kendali kudanya. Maka kuda
klangenan (Klangenan, Jawa, kesayangan) itu tahu apa yang harus dilakukan, ia membalap
sekencang-kencangnya. Sesungguhnyalah ketika waktu bergeser menuju sore dan kemudian
melintas malam, akibat dari kemarahan Kanjeng Kiai Arga Kelud yang diusik oleh ular raksasa
penjelmaan Batara Antaboga, bagai murka yang tak sudi memaafkan. Tumpahan lahar yang
keluar itu bagai tidak berkesudahan. Meluber dan terus meluber mencari tempat yang lebih
bawah, padahal yang meluber itu adalah aliran api. Pepohonan hangus seketika, hewan-hewan
yang sombong yang tak mau melarikan diri hangus seketika, jangankan mereka para hewan yang
tak mau melarikan diri, bahkan yang sudah berusaha minggat sejauh-jauhnya masih tidak bisa
membebaskan diri dari jangkauan gelap ngampar itu. Kediri mengalami maha bencana. Juga
Balitar, juga wilayah terdekat seperti Kertosono dan Madiun. Lontaran bebatuan sebesar kepalan
tangan bahkan berjatuhan di kaki Gunung Lawu di mana di sana, telaga luas bernama Sarangan
berada. Hanya terpaut waktu tidak berapa lama, Wirota Wiragati yang berkuda menyusuri jalan
setapak yang menghubungkan wilayah Kertosono ke Kediri mulai berurusan dengan dampak
dari letusan Gunung Kampud. Kudanya mulai tersiksa ketika harus berurusan dengan udara
panas, dengan debu-debu tebal yang beterbangan di udara. Menghadapi keadaan yang demikian
itu Wirota Wiragati segera mengeluarkan dua lembar kacu (Jawa, sapu tangan). Kain kacu itu
masing-masing memiliki masa lalu yang tak bisa dilupakan. Kain kacu pertama adalah hadiah
dari Gayatri, kekasih yang sangat ia cintai, yang menyebabkan ia harus menjauh dari lingkungan
istana dan terpisah dari pasukan Bala Sanggrama. Sementara kain kacu kedua adalah pemberian
istrinya, Gendis Untari. Kain kacu itu kemudian ia pergunakan untuk menutupi mulut. 17 Malam
yang panjang di Kediri adalah malam yang mengerikan. Istana bawahan Singasari yang telah
berhasil membalas dendam lama itu menjadi istana yang mati, debu yang sangat tebal turun taki
berkesudahan, menyebabkan segenap rumah di penjuru kota terbebani, menyebabkan atap-atap
yang tak mampu menahan beban ambruk. Di segala penjuru para pohon kelapa yang menjulang
sangat meranggas, daun-daunnya hangus, ada yang tinggal batang-batang. Kediri pun benar-
benar menjadi kota mati. Tidak ada penerangan, tidak ada air, tidak ada bahan makanan dengan
udara yang amat kotor menyesakkan dada, sungguh hal itu benar-benar keadaan yang
mengerikan. Malam yang senyap bergerak terasa perlahan, seolah pergerakan waktu sedang
menuju ke pintu gerbang neraka. Dalam keadaan yang demikian macam-macam apa kata orang.
“Kuwalat,” bisik seorang istri pada suaminya yang mencangkung di sudut bilik. Bocah dalam
dekapannya terdengar merintih. “Ibu, lapar,” bisik anak perempuannya. Rintih itu menyebabkan
hati ibunya terasa sobek. Yang bisa dilakukan perempuan itu hanya mendekap anaknya tanpa
bisa berbuat apa-apa. Bahan makanan sesungguhnya ada, akan tetapi apa yang bisa dilakukan
jika tidak ada air bersih. “Bertahan sampai besok pagi, sayang,” balas ibunya. Di sudut itu pula,
suaminya termangu, lelaki muda itu memandang anak dan istrinya dengan mata tak berkedip.
Namun pikiran lelaki itu sedang melayang jauh ke Singasari, pada berita yang telah menyebar ke
segala penjuru betapa dendam Kediri yang terpendam lama telah terbayar, tak ada sisa, lunas
dengan bunganya. “Apa maksudmu?” tanya suaminya. Istrinya tidak menoleh meski
mendengarkan. “Maksud apa?” “Kamu tadi menyebut kuwalat,” kata suaminya. Istrinya terdiam
sejenak, lalu menengadah sambil mengelus-elus kepala anaknya. “Kediri kuwalat pada Singasari,
dewa di langit menghukum perbuatan Kediri atas Singasari. Apa yang dilakukan Kediri dengan
membantai raja, permaisuri dan anak perempuannya yang tengah hamil sungguh keterlaluan,
Hyang Widdi tidak bisa menerima perbuatan itu, sekarang kita merasakan akibatnya. Gunung
Kampud di depan rumah kita dijeblukkan, apakah itu hanya sebuah kebetulan?” Untuk beberapa
jenak ucapan istrinya itu menjadi renungan suaminya. Lelaki itu gelisah dan berpikir keras.
Keningnya tampak berkerut. “Anak raja dibunuh saat sedang hamil?” Istrinya menoleh. “Ya.”
“Kok tahu?” “Kang Jayeng yang bercerita, ia ikut menyerbu Kediri, senja tadi ia berusaha
menyelamatkan anak-anaknya. Benar-benar kuwalat Sang Prabu Jayakatwang, ia menerima
akibatnya.” Lelaki yang telah memperistrinya lebih dari tujuh tahun dan telah memberinya
seorang anak itu terdiam beberapa jenak, ia melanjutkan mengerutkan kening, ia melanjutkan
gelisahnya, ia melanjutkan mengumbar angan-angan. Lalu ia menggeleng. Istrinya melihat
kepala yang bergoyang perlahan itu. “Kenapa?” “Singasari layak menerimanya. Dendam lama itu
telah terbayar lunas.” Mendengar itu istrinya melengos sambil setengah menaikkan sudut
bibirnya. Ia tahu seperti apa dendam suaminya yang bekerja sebagai tukang pande besi itu.
Suaminya mewarisi dendam Kediri pada Singasari seolah dendam karatan itu memang miliknya.
Perempuan itu jengkel sebab tidak seharusnya dendam itu harus berbalas dendam. Gara-gara
ingin membalas sakit hati masa lalu Jayakatwang tega menjerumuskan rakyatnya sendiri. Kediri
seperti kekurangan lelaki sejak banyak sekali orang-orang yang sesungguhnya bukan prajurit
dikirim ke Melayu. Banyak nyawa yang melayang untuk melampiaskan dendam itu, bahkan di
antaranya adalah kerabat keluarga dari ibunya. Perang itu ibarat menang menjadi arang, kalah
menjadi abu. Cara pandang yang demikian rupanya tidak hanya terjadi di rumah itu, bagi
sebagian banyak orang, bencana meledaknya Gunung Kampud itu jelas bentuk kemarahan para
Dewa di langit yang tidak berkenan pada perbuatan Jayakatwang yang didukung patihnya.
Suasana sangat senyap. Adalah Jayakatwang juga tak kalah gelisah, tubuh lelaki itu penuh debu.
Inginnya mandi akan tetapi tidak ada air untuk mandi. Inginnya makan, namun tidak ada yang
bisa dimakan. Di ruang pribadi, Jayakatwang resah, ia ternyata sangat terganggu oleh ucapan
istrinya. Beberapa saat yang lalu, “Kakang Prabu kuwalat,” kata Turuk Bali. Perempuan yang
berbicara sambil membungkus wajahnya dengan sehelai kain, itu harus ia lakukan untuk
melindungi tubuhnya dari tebalnya debu. Debu Gunung Kampud benar-benar tidak mengenal
rasa sopan, tidak membedakan mana ningrat dan mana jelata, semua orang sama, diguyur dan
dilumurinya dengan debu. “Perbuatan kakang menghancurkan Singasari benar-benar
menyebabkan para dewa di langit marah. Tidakkah kakang prabu merasakan kemarahan itu?”
Jayakatwang tidak bisa membantah, karenanya mulutnya terbungkam. Di kedalaman hatinya ia
merasa terganggu oleh pertanyaan itu, pertanyaan benarkah apa yang telah ia lakukan dengan
menyerang Singasari dan menghancurkannya menyebabkan sesembahan di kahyangan
nabastala murka, yang mendorong menjatuhkan hukuman padanya. Mrinding Jayakatwang
memikirkan hal itu. Turuk Bali memang layak kecewa. Ia telah berusaha mencegah namun
suaminya bergeming pada rencananya untuk membalas perbuatan Singasari atas Kediri, pada
apa yang dilakukan oleh Ken Arok terhadap Sri Kertajaya di masa lampau. Akan tetapi Turuk
Bali yang masih kerabat Singasari itu sama sekali tidak menyangka, perbuatan yang dilakukan
suaminya sungguh sangat kebablasan. Turuk Bali kemudian merasa yakin, tidak tercecer
keraguan secuilpun, apa yang menimpa Kediri itu adalah kemarahan alam, hukuman atas
perbuatan Kediri. Waktu bergeser. Malam yang datang itu adalah malam sungguh mengerikan,
rasa lapar yang selama ini selalu termanjakan, tiba-tiba keadaan tidak seperti biasanya. Rasa
lapar yang demikian menyiksa itu dirasakan sebagai ancaman yang bisa membuatnya mati. Jika
sampai besok pagi tidak ada yang bisa dimakan, kematian pasti datang menjemputnya. Dengan
tertatih, Jayakatwang berjalan berputar-putar di dalam ruang pribadinya yang sedikit lebih
bersih dari ruang yang lain karena sejak awal pintu dan jendelanya telah ditutup. Raja tidak
berani muncul ke halaman karena debu yang turun masih deras seperti hujan. Kerikil berukuran
kecil masih menimbulkan suara berjatuhan di atap, semakin lama semakin banyak. Tidak peduli
atap itu adalah atap bagian istana Kediri, jika beban yang menindih berlebihan, maka atap istana
Kediri itu pun bisa ambruk. Di kejauhan tiba-tiba terdengar suara berderak. Jayakatwang
mencoba menebak, suara apakah di kejauhan itu. “Bagian istana mana yang tak mampu
menahan beban itu?” gumamnya, bertanya pada diri sendiri. Akan tetapi Prabu Jayakatwang
yang memuja Kertajaya sebagai leluhurnya padahal bukan itu, mencoba menebak, akan tetapi
tak berhasil. “Prajurit!” Sri Kertajaya berteriak. Istana bagaikan dikepung ilmu sirep yang sangat
kuat, sebagaimana dulu Empu Barada yang terbang menunggang daun keluwih menyebar ilmu
sirep untuk menidurkan semua orang ketika membuat sungai sebagai batas negara yang dibelah
menjadi dua. Kekuatan sirep yang demikian bagai sedang menyergap Kediri, padahal yang
tersebar bukanlah rasa kantuk yang sangat. Kediri dikepung dampak meledaknya Kampud,
karena Kediri adalah kota terdekat, bahkan negara yang paling dekat. “Prajurit!” teriak Sri
Kertajaya. Raja Kediri Gelang Gelang itu terusik kejengkelannya mendapai kenyataan
teriakannya tidak berjawab, padahal biasanya seorang prajurit atau abdi akan tergopoh-gopoh
datang sambil kedua tangannya menyembah. Sebenarnya ada beberapa prajurit yang mendengar
teriakan itu, namun mereka memilih tidak menjawab. Debu yang terus turun tidak berkesudahan
menyebabkan mereka mengambil sikap diam. Bagi sebagian prajurit, ada yang merasa senang
Singasari di hancurkan akan tetapi ada pula yang tidak senang, sebagian acuh tak acuh dan
merasa sebal terhadap keadaan. Rasa lapar dan kedaaan yang tidak menentu mendorong para
prajurit itu pilih diam tidak berbuat apa pun. “Jayakatwang memanggilmu,” bisik seorang
prajurit pada temannya. “Bukan saya, kamu yang dipanggil,” jawab temannya. Kedua prajurit itu
berusaha menahan jangan sampai tawanya lepas. Jayakatwang termangu. “Kemana saja
mereka?” pertanyaan itu muncul dari kedalaman hati Jayakatwang. Dalam keadaan yang
demikian, Jayakatwang merasa tidak ada gunanya menjadi raja. Keadaan di luar istana benar-
benar menyiksa karena sempurna gelap gulita. Hujan abu yang tidak berkesudahan itu
menghitamkan apa pun, jarak pandang menjadi sangat terbatas, sementara rasa lapar yang
menyapa seperti membutuhkan jawaban. “Prajurit!” kembali Jayakatwang berteriak keras. Tidak
mendapatkan jawaban, Jayakatwang hanya bisa mengumpat. Dengan tertatih karena rasa lelah
yang mendera yang menyebabkan betisnya tegang. Lampu penerangan satu-satunya yang
melekat di dinding bagai berjuang sekuat tenaga dalam melaksanakan tugasnya, namun karena
udara demikian kotor menyebabkan cahayanya berpendar aneh. Jayakatwang merasa itulah
pertama kalinya ia melihat keadaan yang seperti itu. “Keparat,” Jayakatwang mengumpat.
Keadaan benar-benar menyiksa hatinya, rasa lapar dan pergerakan waktu yang terasa lambat
menyebabkan mulai munculnya bibit sakit jiwa. Menunggu hari esok seperti tidak ada gunanya,
karena yang bernama hari besok itu bisa serasa setahun lamanya. Jayakatwang batuk. Dan
berniat batuk lagi. Namun sebuah jeritan yang menyentak, mengagetkannya. ”Apa itu? Siapa
itu?” letup Jayakatwang. Jayakatwang mencuatkan alis. Meski sangat penasaran namun tak ada
yang bisa ia lakukan, sementara di luar sana entah siapa yang menjerit kesakitan dan apa
penyebabnya sama sekali tidak ia kenali orangnya. Akan tetapi Jayakatwang yakin, orang yang
kalap bagai sekarat itu adalah prajurit. “Ada apa itu?” teriak Jayakatwang tanpa berani membuka
pintu. Kegaduhan terjadi. Orang yang menjerit kesakitan itu bertambah, tidak hanya ia seorang
diri akan tetapi masih ada lagi yang lain, tiba-tiba dari arah lain, jerit kesakitan itu terdengar lagi,
kali ini dari mulut berbeda. Jayakatwang merasa seperti akan gila. Ia berteriak sejadi-jadinya.
“Ada apa itu? Siapa itu?” Jayakatwang merasa berada di puncak rasa bingungnya. Rasa takut itu
tidak tercegah mulai menggerataki hatinya, mengkili-kili dan menggoda. Gelap yang berwarna
hitam, apalagi ketika damar (Jawa, lampu teplok) yang berusaha menerangi ruang itu akhirnya
padam, Raja Kediri itu semakin jauh menapaki rasa gelisahnya. Berbagai bayangan menyeruak,
berupa tangan-tangan tidak jelas, anak panah tidak jelas, pedang-pedang yang tidak jelas,
bahkan mata yang melotot entah milik siapa. Seolah tangan berkuku tajam itu siap menusuk
matanya, atau menerobos isi dada dan membetot jantungnya. Apalagi ketika dari kejauhan
kembali terdengar jerit menyayat orang sekarat. “Apa itu?” desisnya gelisah, “siapa itu?”
Sebenarnyalah tangan amarah sedang bergerak lincah dan esoknya akan menyita perhatian.
Gelap malam atau lebih karena gelap oleh tebalnya debu yang turun menyebabkan Jayakatwang
buta. Tak bisa berbuat apa apa selain menunggu pertolongan atau menunggu datangnya pagi.
Andai saja ia tahu apa yang sedang berlangsung, maka Jayakatwang pasti akan menjerit-jerit
ketakutan. Binatang melata yang sedang merayap di mana-mana itu sungguh dari golongannya
yang paling berbisa. Di salah satu bilik, Gayatri merasa harus berbuat sesuatu. Ia sangat sadar di
luar sana ada banyak orang yang membutuhkan pertolongan. Namun apalah yang bisa ia
lakukan. Ia bukan lagi seorang ningrat yang setiap ucapannya akan dilaksanakan oleh para abdi,
ia hanya seorang bebandan (Jawa, tahanan) yang tidak punya kebebasan. Maka yang bisa ia
lakukan adalah memejamkan mata. Bukan tidur yang ia kehendaki, akan tetapi lebih dari tidur.
Anak ke empat mendiang Raja Singasari itu segera menutup semua lubang di tubuhnya, hanutupi
babahan hawa sanga (Jawa, mematikan semua indera yang terwakili lubang sembilan,) pemusatan
pikirannya tertuju pada Dzat sang pencipta jagad. Pintu berderit membuka. Namun Gayatri tidak
peduli, ia tidak mempermasalahkan meski dari pintu yang membuka itu masuk seekor taksaka
dengan ukuran yang lumayan besar. Taksaka sebesar itu sanggup menelan seekor anak kambing
dengan mudah. Namun kehadirannya tidak untuk memangsa Gayatri, ular itu justru bergelung
menempatkan diri melindunginya. Di luar pintu, seorang lelaki muda menerawang
memperhatikan suasana. Tak ada yang bisa ia lihat melalui mata wadagnya, namun ia memiliki
mata batin yang tajam setelah mewarisi ilmu aneh itu dari kedua mertuanya yang dua-duanya
kini telah tiada. Dalam hening mata hatinya, ia mengenang sudut-sudut Telaga Sarangan, di
mana di sana istrinya tinggal dan menunggu, Gendis Untari. 18 Waktu berjalan terasa sangat
lambat. Waktu menyajikan siksaan bagi siapa pun. Para binatang banyak yang mati karena tidak
mampu menghadapi keadaan. Para binatang yang terbiasa tinggal di daerah puncak dan tidak
sempat melarikan diri adalah mereka yang tertumpas habis. Beberapa harimau sombong, atau
mereka yang tidak sombong namun sudah tua dan tidak punya sisa tenaga untuk meloloskan diri
adalah mereka yang merasakan seperti apa getaran terjadi ketika udara mampat di dalam
gunung itu meronta menerobos keluar. Pun demikian juga para kera yang menganggap remeh
dan tidak perlu merasa takut merasakan betul kekuatan dahsyat yang meledak itu melemparkan
tubuh mereka menjelang tarikan napas berakhir. Para binatang tak tahu diri itu mati. Berbeda
dengan para binatang yang tidak sombong dan mampu menggunakan pikirannya dengan benar.
Para burung misalnya, mereka yang sudah tahu bakal ada bencana dengan sigap berusaha
menyelamatkan nyawanya melalui terbang sejauh-jauhnya. Sebagian dari para kera bergegas
turun gunung, demikian pula dengan sebagian dari para ular, semut, ulat juga belatung yang
telah siap berubah bentuk menjadi kupu-kupu atau lalat, mereka merasakan bumi berubah
menjadi panas dan bergegas pergi sejauh-jauhnya, namun semut tidak bisa terbang, dan ruang
jelajah yang dimilikinya sangat terbatas. Yang tak bisa berpikir adalah para tikus, yang ada di
benaknya hanyalah makan dan makan. Mulai dari puncak hingga kaki gunung yang paling datar,
semua hangus. Pepohonan terbakar habis menyisakan gundulnya. Kediri teruruk debu, pun
demikian pula dengan Balitar. Bila debu itu mampu terbang ke segala penjuru, ke barat hingga
melintasi gunung Galunggung di tatar Sunda, maka apalah arti Kediri dan Balitar menghadapi
keadaan macam itu. Debu-debu yang mengepul di pepohonan menyebabkan pepohonan
terbebani dan hangus, kelapa meranggas, atap atap rumah ambruk. Di jalanan debu yang
menumpuk setinggi lutut. Ketika pagi akan datang, adalah pagi yang benar-benar aneh karena
matahari yang biasa hadir tak tampak, terasa lebih menyesakkan lagi karena udara pagi itu
sangat gerah. Terasa jauh lebih panas dari biasanya, yang demikian karena berada tidak jauh dari
gunung yang meskipun telah meledak namun masih berkelanjutan mengepulkan asap dan udara
panas. Keadaan yang demikian masih ditambah dengan angin pagi itu benar-benar nakal.
Biasanya angin jarang-jarang muncul pagi hari, namun pagi itu, seperti ada setan gundul yang
mengompori, ia bergerak dan bergerak mengaduk, mengaduk ngabul-abul (Jawa, mengobrak-
abrik) debu seenaknya di mana-mana. Bibit angin berputar di sudut Kota Kediri. Mula-mula ia
hanya angin kecil saja, angin itu bergerak dari barat ke timur. Namun dari timur juga bergerak ke
barat dengan sedikit menyerong. Kedua arah angin yang berbeda tujuan itu saling mendekat dan
serempetan. Seperti lagak anak-anak muda yang gampang tersinggung oleh alasan yang sama
sekali tidak jelas, amarah mereka tersulut. Demikianlah ketika dua jenis angin yang berbeda,
satu membawa panas dan yang lainnya dengin itu kemudian bertemu, maka saling membelitlah
mereka, bergerak berputar dan masing masing tak mau mengalah kalah untuk membebaskan
diri. Maka itulah awal dari pusaran yang ketika membesar meraksasa memiliki namanya sendiri,
bukan angin lesus lagi tetapi beliung. Sungguh besar kekuatan angin berputar itu ketika telah
berubah bentuk meraksasa. Apabila tidak ada angin, beliung akan terlihat meliuk-liuk tinggi
yang ujungnya ada di mendung tebal di atas dan ujung yang lain mengobrak-abrik bumi, namun
karena debu ikut berperan, kehadirannya hanya terdengar dari suaranya yang gemerasak.
Demikianlah angin itu berputar dan terus berputar, debu yang menghalangi pandangan itu juga
ikut berputar dan terus berputar. Sebuah rumah yang sudah terengah-engah menyangga
tumpukan debu, berantakan dan semburat ketika angin berputar itu melintas. Bubar mawut
rumah itu. Dari ketinggian sangat tinggi, seekor burung elang menyaksikan pusaran angin itu
dengan lebih jelas. Dari ketinggian sangat tinggi ia melihat di arah timur matahari sedikit naik
dari balik cakrawala. Meski baru sedikit naik akan tetapi sejatinya sudah cukup untuk menerangi
jagad raya. Angin berputar yang semula berasal dari sudut kota Kediri itu bergerak ke tengah,
menuju pusat kota. Ia terus berputar menyebabkan siapa pun ketakutan. Mereka yang sudah
menderita bertambah menderita, bahkan angin yang meraksasa itu juga menjelma menjadi
pencabut nyawa. Di sebuah rumah yang berada di lintasan gerakan angin lesus itu, seorang
kakek dan nenek sedang sekarat. Mereka yang sudah sangat tua itu menderita sakit paru-paru
yang tertandai dari batuk berdarah. Awalnya istrinya yang sakit, lalu keadaan yang demikian itu
menularI suaminya yang renta dan ikut-ikutan sakit. Maka hujan abu yang mengotori rumahnya
menyebabkan mereka benar-benar menderita. Lalu, kini tiba-tiba angin berputar melintasi
rumahnya. Angin kecil saja menyebabkan bencana, apalagi ini angin raksasa. Hanya dalam
hitungan kejab, kematian menjemput mereka. Kematian suami istri yang sudah tua itu
berlangsung cepat dan bersusulan. Kematian tidak hanya terjadi di tempat itu namun juga di
tempat-tempat yang lain. Seorang ibu muda yang sedang hamil tua mengalami kesulitan luar
biasa, sementara suaminya tidak ada karena ia seorang prajurit yang ikut berangkat berperang.
Tidak ada gunanya ia memanggil-manggil namanya, karena sesungguhnya suaminya termasuk di
antara prajurit yang terbunuh di medan peperangan. Perempuan muda itu kemudian
menghembuskan tarikan napas yang terakhir. Banyak kematian karena debu itu. Sesungguhnya
kematian telah terjadi bersusulan karena kehadiran debu yang menimbulkan masalah, yaitu
kesulitan bernapas, baik yang berupa batuk, sesak maupun mulut tersumbat. Kelihatannya,
Batara Bayu sedang murka. Atau Bayu adalah salah satu dewa yang diutus para Dewa di langit
yang telah bersidang dan kemudian memutuskan mengirim Dewa Bayu untuk turun ke bumi.
Disengsarakan melalui ledakan Gunung Kampud itu rupanya masih belum cukup dan
dihadirkanlah banjir bandang angin lesus yang berputar kencang menggilas debu-debu, rumah-
rumah, pepohonan dan apa pun. Menjelang fajar itu jadilah sebuah pagi yang kacau balau.
Pikiran Jayakatwang benar-benar terganggu. Ia berkeyakinan, bahwa meledaknya Gunung
Kampud di belakang istananya adalah gejala alam biasa. Ia juga berpikir badai angin lesus di
pagi yang gemuruh itu juga gejala alam biasa. Tidak ubahnya petir di musim hujan, tak ubahnya
keadaan kering di musim kemarau, hanya gejala alam biasa. Atau hanya sebuah kebetulan hal itu
terjadi hanya sesaat setelah apa yang ia lakukan, menghancurkan Istana Singasari dan
membantai penghuninya. Namun keyakinan Jayakatwang itu kemudian terganggu. Pikirannya
mulai goyah, ia curiga, jangan jangan benar para Dewa marah melihat ulahnya. Setelah
mengaduk-aduk debu di penjuru kota, akhirnya keadaan mereda. Pusaran anginnya menghilang
namun jejaknya yang butuh lama untuk menghilang. Dengan perasaan lapar dan lelah luar biasa,
Jayakatwang bergerak ke dinding dan meraba pengilon yang di permukaannya penuh debu yang
melekat tebal. Ketika Jayakatwang berhasil, ia kaget melihat penampilannya sendiri. Termangu
beberapa saat Jayakatwang yang terkejut karena tidak mampu mengenali dirinya sendiri. “Jagad
Dewa Batara,” desisnya. Matahari siap menyembul, namun gelap susana seperti puncak malam.
Meskipun demikian Jayakatwang merasa yakin waktu sudah pagi. Dengan tertatih karena lelah
ia berjalan ke pintu dan membuka. Ia terkejut mendapati jarak pandang sangat terbatas, yang
tampak hanyalah debu berwarna kuning kecoklatan di segala penjuru. Namun meskipun
demikian, kini ia bisa melihat telapak tangannya dengan agak lebih jelas. Ketika tangannya
dijulurkan menjauh, ia kesulitan melihat. “Prajurit,” ia berteriak keras. Tidak terdengar suara,
tidak ada jawaban. Sekali lagi ia berteriak lebih keras, “Prajurit!” Ia merasa aneh. Keadaan yang
demikian itu sungguh sangat mencemaskannya. Ia takut bila tiba-tiba dari kegelapan sebilah
pedang mengayun menebas kepalanya, atau entah dari mana selembar anak panah melesat
menghunjam ke jantungnya. Terdengarnya suara jeritan semalam masih membuatnya
penasaran, apa yang sesungguhnya yang terjadi. Jayakatwang melangkah ragu, ia melangkah dan
kakinya menyentuh sesuatu. “Hah, apa ini?” letupnya untuk diri sendiri. Jayakatwang menunduk
dan meraba dengan tangannya. Berdesir jantungnya saat menyadari apa yang ia sentuh itu
adalah sosok mayat. Jayakatwang tidak bisa menandai mayat siapakah itu karena tebalnya debu.
Ia bergegas membersihkannya untuk melihat keadaannya secara utuh, Ia menggerayangi
kepalanya, menggerayangi punggungnya, menggerayangi semuanya namun tidak menemukan
darah, selebihnya ia tetap mengalami kesulitan mengenalinya. Yang mengagetkan Jayakatwang
tidak menemukan belas luka apa pun. “Karena apa orang ini mati?” tanya Jayakatwang atas
nama penasarannya. Sambil mendaki puncak gugupnya, Jayakatwang berjalan dan memeriksa
gundukan yang ternyata benar, mayat-mayat bergelimpangan di sana sini. “Matikah semua
orang?” Jayakatwang menemukan kenyataan, para prajurit itu mati tanpa bekas luka, tidak ada
jejak sabetan pedang, tidak ada anyir bau darah. “Ada apa sesungguhnya, kenapa?” Jayakatwang
merasa seperti akan gila. Rasa lapar di perutnya membutuhkan jawaban dengan segera akan
tetapi apalah yang bisa ia lakukan. Tidak ada siapa pun yang bisa diperintah untuk menyiapkan
makan. Jayakatwang amat sadar keadaan yang demikian bukanlah keadaan dirinya semata,
namun hampir semua orang mengalami hal yang sama. Bila selama ini segala kebutuhan selalu
tersaji, kini ia merasa, keadaan macam itu benar-benar menyiksanya. Sejalan dengan waktu yang
bergerak perlahan Jayakatwang belum kunjung menemukan apa yang ia butuhkan, jawaban
pasti atas apa yang sedang ia hadapi. Dalam keadaan lapar biasanya istrinya telah membereskan
melalui perintah yang disampaikan kepada para abdi dalem untuk menyiapkan. Lalu terdengar
batuk di belakangnya. Jayakatwang kaget, ia berbalik dan terebelalak memperhatikan bayangan
manusia yang tegak berdiri. Dari suara batuknya terdengar jelas ia laki-laki. Jayakatwang sontak
menggerayangi punggung bermaksud mencabut kerisnya. Akan tetapi ia lupa tidak menyelipkan
senjata piandelnya di pinggang, Ia bahkan lupa keris yang ia beri nama Brajamusti itu berada di
mana. “Siapa,” tanya Jayakatwang gugup, “siapa kau?” Orang itu tidak menjawab, ia tetap diam
di tempatnya, perbuatannya membekukan diri tidak ubahnya patung batu. “Siapa?” ulang
Jayakatwang sekali lagi. Namun orang itu bergeming. Jayakatwang tidak bisa mengendalikan
jantungnya yang berpacu kian kencang. Ketika ia melangkah mundur, kembali kakinya
menyentuh mayat. Dengan gugup dan sekuat tenaga ia menggerayangi mayat itu dan berhasil
mengambil pedangnya. “Jangan berbuat macam-macam kau.” Orang itu menjawabnya dengan
suara batuk. Sekali lagi dan sekali lagi, seolah debu Gunung Kampud itu menyebabkan
tenggorokannya gatal. Lalu terdengarlah suaranya. “Pejamkan matamu.” Jayakatwang gugup.
“Apa maksdmu?” “Pejamkan matamu.” “Tidak.” Orang itu tiba-tiba tertawa. Jayakatwang merasa
mengenali suara itu, akan tetapi tidak bisa mengingat suara milik siapa. “Saya bukan lelaki
pengecut yang akan mengambil kesempatan di saat kau memejamkan mata. Kalau saya berniat
membunuhmu, maka sangat mudah bagi saya untuk melakukan.” Jayakatwang mencerna
ucapan dan membenarkan apa kata orang itu, meski dengan sedikit ragu ia memejamkan mata.
Ketika dalam keadaan lumrah, ia tidak bisa melihat apa pun karena demikian tebalnya debu,
namun justru ketika memejam ia melihat dengan jelas keadaan di kiri dan kanannya, seolah para
debu itu tidak ada. Jayakatwang membuka mata, dengan gugup ia lakukan itu, namun justru
ketika membuka mata segala sesuatu tidak tampak. Kembali ia memejamkan matanya dan
dengan kasat mata ia melihat keadaan di sekelilingnya dengan sangat jelas. Jayakatwang merasa
jantungnya kesulitan mengayun. Matanya melotot. Namun pemandangan itu tidak berlangsung
lama karena sejenak kemudian apa yang ia lihat melalui mata hati itu menghilang, lenyap seolah
bagaikan debu bergulung dan kemudian bubar dilibas angin. Keadaan kembali ke semula,
namun meninggalkan jejak yang mengharu biru, geger genjik di kedalaman hatinya. Jayakatwang
merasa dilolosi tulang belulangnya, dan kedua tangannya pun mendadak bergetar-getar. Ia sadar
bahaya sangat-sangat besar sedang mengepungnya. Besar kecil dengan berbagai jenis ukuran,
yang kecil dengan racunnya sangat mematikan, itulah jenis dumung kebo yang ketika murka
membentuk pipih seperti entong atau sendok khusus terbuat dari batok kelapa untuk mengambil
nasi. Juga ada jenis bandotan, yang mampu melenting dengan bentuk menipu seperti kayu.
Sementara yang besar, bila melilit tubuhnya akan menyebabkan tubuhnya remuk, tulang
belulangnya akan berpatahan berantakan. Pontang-panting Jayakatwang berusaha
menenteramkan hati, untuk menerima kenyataaan di sekelilingnya banyak sekali ular.
Jayakatwang terduduk dengan perasaan kalah, tak ada yang bisa ia lakukan dalam keadaan
seperti itu. Ia tidak bisa melihat, sementara ular-ular itu mungkin tidak membutuhkan tatapan
mata untuk mendatangi dan menggigit kakinya. Cukup dengan satu gigitan kecil untuk membuka
pintu gerbang kematiannya. “Perbuatanmu keterlaluan,” terdengar orang tak dikenal itu berkata.
Sejenak kemudian terdengar langkah kakinya menjauh, Jayakatwang mendengar ranting yang
patah di halaman, lalu disusul suara batuk yang sumber suaranya bergeser dari tempat yang lain
lagi, terakhir suara tertawa dipamerkan dari kejauhan, pertanda orang tak dikenal itu telah pergi
jauh. Akan tetapi bagaimana dengan ular-ular itu? Jayakatwang hanya bisa pasrah menunggu,
apakah yang akan dilakukan oleh ular-ular yang demikian banyak itu. Apakah ular yang paling
besar yang sedang bergelung mendatanginya dan membelit tubuhnya hingga remuk, lalu ular itu
akan membuka mulutnya lebar lebar dan menelan tubuhnya dari kepala lebih dulu, atau dari
kaki lebih dulu? Sekejab berlalu, dua kejab berlalu. Jantung penguasa Kediri yang baru saja
melakukan makar itu berdegup kencang dan semakin kencang. Menunggu adalah hal yang
menjemukan namun menunggu yang dialami Jayakatwang seperti berhadapan dengan algojo
yang mengulur ulur waktu mempermainkan ketakutannya. Namun di waktu yang bergerak
perlahan itu ayunan pedang tidak kunjung menebas kepalanya, atau ular amat beracun itu tak
kunjung mematuk tubuhnya, atau ular raksasa yang sempat dilihatnya itu tak kunjung membelit
tubuhnya. Petir meledak serasa amat dekat. Gugup Jayakatwang yang berusaha menguasai detak
jantungnya, keadaan yang demikian itu menimbulkan rasa nyeri yang luar biasa. Namun lagi lagi
waktu yang ditunggunya tidak kunjung tiba, ular terkecil sekalipun belum ada yang mendekat
untuk mengkili-kili kakinya, yang terjadi kemudian justru ledakan petir kembali bersusulan.
Sejenak kemudian langit robek sangat lebar. Hujan bagai ditumpahkan dari langit yang robek
itu, amat deras dan seketika. Berdebar-debar Jayakatwang berusaha mengendalikan dan
memperhatikan keadaan. Hujan turun itu ternyata sangat membantu penglihatannya untuk
mengenali keadaan di sekitarnya. Raja Kediri itu berusaha berdiri namun tidak punya cukup
tenaga untuk melakukan. Ia terhuyung-huyung hanya untuk jatuh lagi. Dengan berdebar-debar
Jayakatwang memerhatikan dengan tatap mata wadagnya. Ia melihat memang banyak mayat-
mayat bergelimpangan, namun ular yang membuat hatinya gelisah itu tidak tampak. Jelalatan
Jayakatwang menoleh ke segala penjuru, ke belakang dan kesamping, matanya menyipit mencari
cari, namun ular yang dicari itu tidak terlihat batang hidungnya. Hujan yang sudah deras itu
bagaikan mengamuk, ia berhembus kian deras mengharu-biru melarutkan apa pun. Debu-debu
di langit tersapu dengan cepat cepat, menambah penderitaan pepohonan. Debu panas
menyebabkan pohon-pohon kelapa meranggas. Penderitaan para pohon itu rupanya masih harus
berkelanjutan. Hujan angin itu sangat menyiksa mereka. Namun hujan itu setidaknya juga
menolong memperlebar jarak pandang. Jayakatwang yang telah berhasil berdiri menyusuri tepi
pendapa untuk melihat keadaan dengan lebih seksama. Ia mendapati mayat-mayat
bergelimpangan di mana-mana. Seolah para kematian itu merupakan peringatan khusus yang
disampaikan hanya untuknya. Mestinya Jayakatwang berada di antara kematian itu, namun
nyatanya ia satu-satunya yang masih hidup. “Jagad Dewa Batara,” ia berdesis. Suara batuk
menyebabkan Jayakatwang menoleh ke sebuah arah. Bergegas Jayakatwang mendekati sumber
suara itu. Namun ketika berhadapan, tidak juga kunjung keluar sepatah kata pun dari mulutnya.
Demikian juga dari mulut perempuan yang tengah memandanginya. Tubuh perempuan itu
penuh debu dan nyaris sulit dikenali. Gayatri yang keluar dari ruang pamujan memperhatikan
keadaan. Menurut perhitungannya, saat itu matahari sudah menyembul dari garis langit. Hujan
bagaikan menggila, dari kejauhan terdengar suara berderak, menyebabkan lelaki yang tega
membantai besannya sendiri itu harus menakar dari mana suara bangunan yang roboh itu
berasal. Hujan itu sangat lebat dan sangat kuat, suara berderak itu menjadi penanda betapa
pendapa di mana mereka sedang berada juga bisa ambruk. Perempuan itu mengakhiri diamnya,
sesungguhnya ia memendam rasa kecewa yang luar biasa. “Para dewa di langit marah, Paman,”
ucapnya agak keras agar terdengar, “tidak hanya Sang Hyang Antaboga yang mengguncang bumi
melalui ledakan arga dan gempa bumi, kini lihatlah Dewa Bayu yang murka bukan kepalang
menyaksikan perbuatan Paman Jayakatwang yang licik dengan menusuk Singasari dari
belakang. Boleh diyakini Samudra nun jauh di selatan maupun utara sekarang sedang beregolak
dengan mengirim hujan deras melalui prahara yang sedang berlangsung.” Jayakatwang hanya
menyimak ucapan Gayatri itu dan tidak menyela. Perhatiannya tersita habis oleh suara angin
yang menggemuruh dan pengalaman mengerikan yang belum lama ia rasakan. Hati Jayakatwang
terganggu, keyakinannya goyah, ia merasa apa yang disampaikan Gayatri itu benar, bahwa para
Dewa atau bahkan Hyang Widdi benar-benar tidak berkenan atas perbuatannya. “Paman harus
melakukan sesuatu,” kata Gayatri. Jayakatwang menoleh. “Melakukan apa?” ia bertanya.
“Rakyatmu saat ini sedang menderita. Mereka membutuhkan pertolongan. Sebagai seorang raja
paman harus berbuat.” Jayakatwang bingung. Ia merasa, dirinyalah yang saat itu justru sedang
membutuhkan pertolongan. Istana Kediri sangat tidak aman baginya, karena telah tercemar, di
antaranya ditandai oleh munculnya ular-ular yang bisa membahayakan keselamatan jiwanya,
juga ditandai oleh Gunung Kampud yang murka tak hanya melemparkan ke langit puncak
kepundannya akan tetapi juga memporak porandakan istananya. Gelang Gelang benar-benar
remuk. Perhatian Gayatri tertuju pada sesuatu yang teronggok. Jayakatwang mengekor di
belakang perempuan cantik itu. “Kenapa orang ini?” tanya Gayatri. Bungsu dari Kertanegara itu
mengedarkan pandangan matanya. Ia mendatangi onggokan tubuh yang meringkuk dan telah
tidak bernyawa. Gayatri akhirnya menemukan jawabnya ketika mendekati salah satu mayat yang
keadaannya bersih terguyur hujan. Di betis kaki kiri terlihat jelas bekas gigitan ular. Lincah
Gayatri bergerak mendekati mayat berikutnya, kembali Gayatri menemukan jejak perbuatan ular
di kaki. “Ular?” tanya Jayakatwang. Gayatri tidak menjawab, menggeleng tidak, mengangguk
pun tidak. Perhatian Gayatri lebih tertuju pada seekor ular, tidak terlalu besar ukurannya, akan
tetapi jelas jenis ular yang mematikan. Jayakatwang melangkah mundur ketika juga melihat ular
itu, yang bergerak melata mendekati Gayatri. Dengan tidak merasa takut, Gayatri justru
berjongkok menyambut kedatangan ular itu dan mengulurkan tangannya. Seperti
mempersilahkan apa pun yang akan dilakukan ular itu. Taksaka itu melata melalui membelit
lengannya dan kemudian membelit lehernya. Mesra sekali Gayatri dalam menyambut
kedatangan taksaka itu, sungguh tanpa merasa takut sama sekali. Ular sangat beracun itu sangat
bersahabat, lidahnya yang bercabang menjulur-julur menelusuri leher jenjang sekar kedaton
Singasari yang sedang berada dalam keadaan terlunta-lunta, Dengan amat lembut Gayatri
mengusap-usap kulitnya. Mrinding Jayakatwang menatap pemandangan yang seumur-umur
sulit dipahaminya itu. Ketika hujan berhenti dan mendung menyibak, menyisakan pemandangan
yang mengerikan. Dari nabastala belahan timur surya semburat memberikan jarak pandang yang
semula hilang. Selanjutnya terlihatlah lumpur di mana-mana, mengalir menumpang ke mana
gerak air. Cukup jelas di mata Jayakatwang kerusakan yang terjadi sungguh hebat dan dahsyat.
Bangunan yang dibelah selasar menuju bagian belakang istana berantakan. Di mana-mana
mayat bergelimpangan. Amarah entah siapa rupanya disalurkan dengan cara membantai para
prajurit Kediri melalui cara yang aneh, mati digigit ular. Jayakatwang kemudian membayangkan
entah siapa, ia seseorang yang punya kemampuan langka, orang itu yang meski sendirian namun
tak ubahnya berkekuatan segelar sepapan. Apalah arti ribuan prajurit apabila di sela-sela kaki
mereka hadir ular-ular berbisa yang mengancam kaki mereka. Satu sengatan kecil jika itu berasal
dari dumung kebo atau ular weling, menjadi jaminan terbukanya pintu gerbang kematian.
“Bagaimana bisa?” terlontar pertanyaan dari mulut Jayakatwang. Gayatri berbalik. “Apa yang
bagaimana bisa Paman?” Tidak berkedip Jayakatwang memandang ular yang sedang menelusuri
leher gadis cantik itu. Dalam keadaan wajar, Jayakatwang membayangkan dirinyalah yang
menjadi ular itu, yang tidak hanya menggerataki lehernya, namun juga lainnya. “Bagaimana bisa
kau memperlakukan ular macam itu?” tanya Jayakatwang, terlontar sedikit ragu, mengapa ular
itu tidak mematukmu?” Gayatri tidak menjawab karena memang tidak tahu jawabnya. Gayatri
hanya bisa merasakan sikap yang bersahabat, tulus dan tidak menempatkan ular itu sebagai
sesuatu yang menakutkan yang menyebabkan ular itu bersikap senada. Dalam keadaan yang
demikian, tiba-tiba suasana hening itu pecah oleh suara jeritan. Bergegas Gayatri melangkah,
sontak Jayakatwang khawatir atas nasib istrinya. Apa yang dicemaskan Raja Kediri itu benar. Di
ruang pamujan, dengan tubuh penuh debu Ratu Kediri Turuk Bali meringkuk sekarat.
Terbungkam mulut Jayakatwang. Namun Gayatri cekatan melakukan tindakan penyelamatan. 19
Matahari memanjat naik, dari ketinggian langit terlihat jelas pergerakan debu tumpahan Gunung
Kampud yang berarak ke barat sesuai pergerakan sang bayu yang di atas Pulau Jawa bergerak ke
arah barat. Tidak ada tempat yang bersih di arah barat, debu tebal menyelimuti wilayah yang
paling dekat dengan Gunung Kampud di mana arga sangar itu berada. Wilayah Balitar sama
menderitanya seperti Kediri, namun dari Singasari ke timur tidak terlalu menderita karena
berada di arah timur dari gunung itu. Ke arah barat, Madiun, Telaga Sarangan di kaki Gunung
Lawu, semakin ke barat bahkan menggapai wilayah Tatar Sunda, debu berarak tidak
berkesudahan. Pun demikian pula dengan tanah Trik, atau ada yang menyebutnya dengan nama
Tanah Tarik yang berada di tepian Sungai Brantas. Tanah Trik, orang meyakini sebagai alas gung
lewang lewung, yang sangat ganas. Ada banyak binatang buas bertempat tinggal di tempat itu.
Jika ada pertanyaan, seperti apa bentuk kedalaman Tanah Trik, tidak seorang pun yang bisa
bercerita karena tak seorang pun yang berani memasukinya. Tanah Trik bersih dari jangkauan
debu-debu karena berada di arah timur laut dari Kampud. Dari ketinggian Gunung
Penanggungan memang terlihat jelas, wilayah itu merupakan hutan yang sangat lebat. Meski
tempatnya datar namun pepohonannya berjejal-jejal, mengingat tempat itu dilintasi sungai yang
cukup besar yang ketika musim hujan tiba, tempat itu menjadi wilayah langganan banjir,
meninggalkan jejak kesuburan yang luar biasa, itulah sebabnya tempat itu lebat luar biasa. Pagi
yang memanjat naik juga menerangi tempat itu. Nun di ketinggian langit, seekor burung elang
memperhatikan tempat itu dengan penuh perhatian. Elang atau cataka itu menandai tempat itu
sebagai tempat yang aneh. Burung itu bermata awas dan banyak menyimpam catatan, antara lain
yang kini sedang berlangsung, debu Gunung Kampud tidak bisa menjamah dan mengotori
tempat itu. Catatan lain yang juga tersimpan di benak burung itu adalah, suatu ia pernah tak bisa
terbang di atasnya. Tempat itu mempunyai wibawa sangat besar yang tidak bisa sembarangan
diremehkan, cataka itu ingat ia berusaha meliuk dengan kecepatan tinggi menerobos, namun
serasa ada dinding kenyal yang memaksanya putar kembali balik arah. Untuk yang ketiga kalinya
cataka itu mencoba dan akhirnya merasa yakin, bahwa terdapat semacam pembatas yang
melindungi. Dengan sekuat tenaga ia mengayuh udara melesat tinggi seolah berusaha menggapai
langit, lalu dengan kecepatan tak terhingga ia balik air dan melipat kedua sayapnya, berusaha
menerobos memasuki wilayah tepat di atas tempat itu. Namun yang terjadi, sekuat ia melesat, ia
mendapatkan tekanan balik sekuat itu pula, burung itu bagaikan menabrak dinding dengan
sangat keras dan kasar. Menyimpan kenangan itu, paksi cataka kini tinggal satu-satunya itu tidak
berani lagi mengulanginya. Ia membentangkan sayap melawan arah angin dan terus
memperhatikan dengan seksama. Ketika ada kesempatan angin balik arah berarak dari Gunung
Kampud ke arah timur laut, mestinya debu berjatuhan di tempat itu. Akan tetapi burung itu
melihat dan berdebar-debar betapa aliran debu yang ikut angin itu menyibak ke kiri dan ke
kanan. Setelah semula debu tersebar ke segala penjuru, kini secara umum arah angin menuju ke
barat, melintas sangat jauh nyaris seluar Pulau Jawa itu sendiri. Hanya butuh waktu semalam
saja, debu telah berjatuhan di Garut, Tasikmalaya, juga di Kandang Kamulyan. Dalam jumlah
yang tipis debu berjatuhan. Jika debu sampai menempuh jarak demikian jauh, lalu bagaimana
dengan pusatnya. Paksi Cataka itu melihat dari arah Gunung Kampud asap masih mengepul
membubung tinggi menggapai langit. Di bagian atas asap itu mekar membentuk diri mirip
cendawan, terus menerus tak berkesudahan dan entah kapan akan berhenti. Asap itu tidak hanya
dari kepundan asalnya, akan tetapi juga dari lereng-lerengnya, berasal kayu-kayu yang
mengarang, mengepul menjadi arang. Dari ketinggian di mana ia membentangkan sayapnya,
burung itu terus mengikuti gerak perjalanan Raden Wijaya menuju Bumi idaman, tanah Tarik
atau Tanah Trik, di mana di sana kelak ia akan membangun kembali pilar-pilar penyangga istana
atau negara yang telah rusak diacak-acak Jayakatwang. Berkuda paling depan Sorandaka yang
berboncengan dengan Tribuaneswari, disusul Raden Wijaya yang dipeluk Narendraduhita yang
tak mampu menahan kantuk sehingga suaminya harus memegangi tangannya, disusul
Pamandana yang satu kuda dengan Pradnya Paramita, disusul para balasanggrama yang berada
dalam kesiagaan tertinggi. Tak ada pembicaraan apa pun di antara mereka. Sedikit
meninggalkan Padukuhan Taretes, tiba-tiba Raden Wijaya mengangkat tangannya, isyarat agar
semua berhenti. Nambi membawa kudanya mendekat. “Ada apa Raden?” tanya Nambi. Raden
Wijaya memegang kening dan mengusap rambutnya yang ikal, Dengan tiba-tiba di pergelangan
tangannya telah tergenggam keris Empu Gandring. “Kakang Sora,” Raden Wijaya memanggil.
Sorandaka mendekat. Ia masih duduk di atas punggung kudanya sebagaimana yang lain. “Pripun,
Raden.” (Pripun, Jawa, bagaimana.) “Coba kakang Sorandaka ceritakan, apa yang kakang alami
ketika memegang keris ini.” Sorandaka mengangguk. Dengan jelas dan gamblang ia
menceritakan pengalamannya yang luar biasa, betapa keris buatan Empu Gandring ityu
mempunyai pengaruh yang luar biasa, yang menyebabkan telah ia berubah menjadi sosok lain
bukan dirinya lagi. Semua mulut terbungkam ketika Sorandaka bercerita mengenai kemunculan
asap kekuningan yang mengerikan. Asap yang hidup dan berkemampuan membantai. Sorandaka
juga menceritakan dengan jelas sosok mengerikan yang mengaku bernama Rangga Bentar dan
orang yang berusaha menyelubungi diri di balik selembar kain yang menutupi wajahnya yang
menggunakan nama Rudra Narantaka yang memiliki nama lain Guru Grahita. Raden Wijaya
kembali menjadi pusat perhatian. Tiba-tiba ia mengulurkan tangannya kepada Nambi. Nambi
bingung. “Belajarlah dari Kakang Sorandaka tentang bagaimana perilaku keris ini. Ambillah
jalan memisah, Kakang Nambi dan Kakang Ranggalawe pergilah mendahului ke Lulumbang
temui Ki Buyut Lulumbang untuk meminta petunjuk, sementara saya akan mengambil arah ke
Tanah Trik. Saya akan mencari jawab atas sebuah pertanyaan, ada apa sesungguhnya di sana.”
Nambi akhirnya menerima keris itu dan mengangkatnya di atas kepala. Ranggalawe tidak
berkedip memperhatikan bentuk keris itu, bentuk warangkanya yang halus dan sempurna,
sangat berbeda dengan gagangnya yang sederhana hanya berupa gagang cankring gara-gara
pembuat keris itu, Empu Gandring, belum sempat menggantinya dengan kayu cendana.
Ranggalawe agak cemburu, mengapa bukan dirinya yang dipercaya membawa keris itu. “Raden
sendiri bagaimana?” tanya Ranggalawe. Bergantian Raden Wijaya memandangi ketiga istrinya.
Sempat pula terpikir istri ke empatnya yang mencemaskan hatinya. Bagaimana keadaan Gayatri
yang sedang menjadi bebandan dan dibawa Jayakatwang ke Kediri, tentulah sangat
mencemaskan. Ia berharap nasib Gayatri tidaklah seburuk yang ia cemaskan. “Saya akan
melanjutkan perjalanan ke Tanah Tarik, kelak ketika urusan saya telah selesai, saya akan
menyusul ke Lulumbang.” Nambi mengangguk. Ia memerhatikan wajah ke empat temannya
yang lain. “Medang Dangdi, Pamandana, Gajah Pagon dan Kau Sorandaka,” ucap Nambi, “Jaga
Raden Wijaya dan para Ratu dengan taruhan nyawamu.” Serentak empat orang yang disebut
namanya menjawab, “Tandya!” (Tandya, Jawa kuno, Siap.) Maka perpisahan pun kemudian
terjadi. Setelah menyembah memberikan penghormatan, Nambi dan Ranggalawe mengambil
arah lurus sementara Raden Wijaya dan rombongannya siap berbelok. Dari tempatnya berada
bentuk Gunung Penanggungan terlihat sangat jelas. Tanah Trik yang sedang mereka tuju berada
di belakangnya. “Kakang Sorandaka,” kata Raden Wijaya. “Hamba Raden,” jawab yang disebut
namanya. “Silahkan, Kakang mendahului di depan.” “Hamba Raden.” Rombongan kecil itu
bergerak melanjutkan perjalanan. Pamandana, Medang Dangdi dan Gajah Pagon menempatkan
diri di belakang. Namun langkah Sorandaka yang baru sejengkal terhenti, ia melihat paksi Cataka
terbang amat rendah menerobos pepohonan. Meminjam ketajaman mata burung elang yang kini
tinggal satu-satunya itu, Sorandaka memperhatikan keadaan di sekitarnya. 20 Mundur ke waktu
sebelumnya, ketika menjelang matahari menyembul. Adalah di saat itu, ketika gelap gulita
wilayah bawah sadar yang disandang Rangga Bentar akibat dahsyatnya ledakan Gunung Kampud
mulai menyibak, usaha Rangga Bentar menjelajah wilayah bawah sadar belum membuahkan
hasil. Usahanya menemukan kembali jejak yang hilang belum kunjung menemukan jawaban,
Setidaknya sejak Gunung Kampud meletus, semalaman ia berusaha melacak jejak perjalanan
keris Empu Gandring namun tidak membuahkan hasil. Kini jejak itu muncul lagi. Rangga Bentar
melihat dengan seksama bayangan keris itu menuju ke sebuah arah. “Bagaimana?” tanya Rudra
Narantaka. Rangga Bentar mengangguk. Anggukan itu bagi Rudra Narantaka belum jelas
artinya. “Bayangan itu muncul kembali?” “Ya.” “Ke mana arahnya?” “Luar biasa pergerakan keris
itu. Saya yakin, keris itu kini kembali ke tangan Raden Wijaya, ia telah jauh berada di timur
Taretes.” Jawaban itu menyebabkan Rudra Narantaka. “Apakah Raden Wijaya akan menuju ke
Ujung Galuh?” Rangga Bentar menyeringai. “Bisa ke mana saja.” Agak perlahan Rudra
Narantaka Guru Grahita itu mengangguk. Ia menambah, “Bisa ke mana saja.” Rangga Bentar
yang tengah duduk bersila di dalam tenda itu bangkit oleh rasa tak sabarnya. Ia berkata, “kita
cegat perjalanan mereka. Kita harus secepatnya menuju Pertigaan ke Taretes dan Pasuruhan.
Kita bantai para anak turun Ken Arok itu di sana dan keris itu harus kembali ke tangan saya
saya.” Guru Grahita menyempatkan termangu, tepatnya ada sesuatu yang menjadi
pertimbangan. “Kita kehilangan banyak orang,” ucapnya, “jangan-jangan kalau kita bertemu, kita
justru berada di tempat yang tertekan. Bagaimana pun harus kau timbang, keris itu berada di
tangan musuh. Hanya seorang Sorandaka dengan sebilah keris saja telah membuat kita kalang
kabut.” Rangga Bentar terbungkam. Rangga Bentar tidak bisa menolak kenyataan itu, bahwa
selama perburuan yang dilakukan telah meminta banyak korban dengan menyisakan sejumlah
orang yang kehilangan daya juang dan keberanian. Rangga Bentar tidak bisa menolak bahwa ia
membutuhkan banyak tenaga. Dalam keadaan seperti itu, dari kejauhan terdengar suara gaduh,
suara umpatan dan suara ringkik kuda. Rudra Narantaka berbinar, dari umpatan itu ia bisa
menerka mulut siapa yang sedang penuh comberan itu. “Siapa?” tanya Rangga Bentar. “Kebo
Mundarang.” Kebo Mundarang yang merasa perjalanannya kedarang-darang (Kedarang-darang,
Jawa, terlunta-lunta) akhirnya bergabung dengan Rudra Narantaka. Kedua pihak itu sama-sama
lelah dan tak memiliki sisa tenaga. Kebo Mundarang merasa sangat kecewa, apa yang inginkan
tidak menjelma menjadi kenyataan
Majapahit, banjir bandang dari utara, 7
LANGIT KRESNA HARIADI·FRIDAY, NOVEMBER 18, 2016

Nambi sungguh cemas, dan merasa bingung menyikapi keadaan. Di sekitarnya debu-debu berwarna putih
yang adakalanya mubal digoyang angin. Tak kalah cemas, Ranggalawe berderap bagai kesetanan, ia
mendahului Nambi. Kaget yang kedua itu dialami Oleh Rangga Bentar yang amat bernafsu mengejar keris
Empu Gandring, keris buatan leluhurnya yang ia merasa sebagai satu-satunya pewarisnya yang berhak
memiliki keris itu. Umpatan sangat kasar keluar dari mulut laki-laki pemilik mata aneh itu yang tiba-tiba
merasa terkecoh. “Diancuk,” jeritnya amat serak. Tak kalah bingung adalah Guru Grahita yang juga
memiliki nama lain Rudra Narantaka yang belum memahami apa yang sedang terjadi. Guru Grahita kaget
melihat Rangga Bentar berhenti dan langsung mengumpat kasar seolah tanpa ujung dan pangkal. “Setan
alas.” “Kenapa? Ada apa?” tanya Rudra Narantaka. Dengan lunglai Rangga Bentar turun dari kudanya, ia
berputar sambil menjambaki rambut sebagai pelampiasan rasa kecewanya yang bukan kepalang setelah
merasa terkecoh dan tidak bisa menerima kenyataan. Rangga Bentar yang memejamkan mata dalam
rangka menjelajah batas ruang dan waktu melihat betapa keris Empu Gandring itu telah berpindah jauh ke
arah barat, mendekati sebuah tempat yang akhir-akhir ini membuatnya merasa penasaran. “Keparat,” sekali
lagi Rangga Bentar mengumpat. Rudra Narantaka mendekatinya. “Sesungguhnya ada apa?” Rangga
Bentar berbalik. “Saya menduga, keris itu kembali ke tangan Raden Wijaya.” Berkerut kening Rudra
Narantaka Guru Grahita. “Artinya?” Rangga Bentar menggeleng-geleng kepala. “Saya sungguh tidak
mengira akan sesulit ini merebut kembali keris Empu Gandring.” Rangga Bentar tidak membuang waktu,
ia melompat ke atas punggung kudanya kembali dan memacunya berbalik arah arah. Rudra Narantaka
yang diikuti beberapa anak buahnya, ikut balik arah dan memperbarui arah sasaran. 25 Raden Wijaya
merasakan bagaikan mendapatkan kekuatan atau sipat kandel (Sipat kandel, Jawa, kekuatan yang bisa
diandalkan), ketika sedang berhadapan dengan keadaan yang sangat sulit. Di depan, para istrinya terus
berderap tidak berani menoleh ke belakang, mereka akhirnya sampai di batas akhir bulak panjang dan
menyelinap di antara pepohonan. Di tempat itu mereka berhenti untuk melihat apa yang terjadi di arah
belakang. Berhenti adalah tindakan yang harus dilakukan karena tak ada lagi jalan setapak. Kehadirannya
menjadi perhatian para kera dan ular yang bergelung, bahkan bau keringat para sekar kedaton telah
menyentuh hidung harimau yang berada tak jauh dari tempat itu. Air liur harimau itu menetes, ia merasa
akan mendapatkan santapan yang lain dari pada yang lain. Raden Wijaya melintangkan kerisnya di depan
dada, Kebo Mundarang memandangnya amat takjub. “Wah, wah,” Kebo Mundarang meletupkan isi
hatinya dengan sangat takjub. Raden Wijaya tidak menjawab, namun matanya berkilat-kilat memandang
penuh kebencian. Ia tak mungkin melupakan wajah lelaki itu sebagai penyebab kehancuran Singasari.
Mertuanya laki dan perempuan, dibunuh dengan keji dan istana diratakan dengan tanah. Ada banyak sekali
orang yang terbunuh di Singasari akibat keserakahan Kebo Mundarang dan Jayakatwang, Raden Wijaya
sulit menerima apabila dendam lama tahun 1222 dijadikan alasan untuk menghancurkan Singasari, karena
selama ini Singasari telah berbuat banyak untuk mengubur dendam lama itu. Kebo Mundarang tiba-tiba
tertawa. Tawa yang diikuti oleh segenap anak buahnya yang melakukan kepungan dengan rapat. Raden
Wijaya tidak melihat Medang Dangdi, Sorandaka, Kebo Kapetengan, Pamandana dan Gajah Pagon.
Dengan dada amat sesak, Raden Wijaya membayangkan sahabat-sahabatnya itu pasti telah gugur, mereka
rela mati itu dalam upayanya melindunginya dan melindungi para istrinya. Sesak Raden Wijaya
membayangkan keadaan itu. Raden Wijaya menggetarkan keris Empu Gandring di tangannya, sebuah
getaran kecil saja, akan tetapi akibatnya sungguh dahsyat. Berdebar-debar Kebo Mundarang
memperhatikan wujud keris itu yang mengepulkan asap sedikit kekuningan. Kebo Mundarang sudah
pernah mendengar kedahsyatan keris Empu Gandring, keris yang dalam perjalanan kisahnya telah menjadi
bagian dari berbagai peristiwa besar. Keris yang konon terbuat dari batu bintang yang jatuh di bumi
Sembulungan yang menjadi wilayah Blambangan itu telah meminum darah pembuatnya, Empu Gandring
sendiri, menyusul terbunuhnya Kebo Ijo yang dengan dengaja dikorbankan nyawanya oleh Ken Arok, raja
pertama dari negeri yang diberi nama Kutaraja yang di kemudian hari bernama Singasari. Kematian lalu
terjadi beruntun membunuh Tunggul Ametung, Ken Arok, Pengalasan dari Batil, Anusapati dan Tohjaya.
Hingga sekarang, keris itu masih berbagi kisah suram. Mrinding Kebo Mundarang membayangkan
perjalanan keris itu yang mengerikan. Kini keris itu berada di tangan Raden Wijaya. “Majulah,” kata
Raden Wijaya datar dan tidak perlu berteriak. Kebo Mundarang tidak menjawab, sebagaimana wataknya,
lelaki berkumis tebal itu justru membawa kudanya untuk mundur. Ia memberi isyarat kepada anak buahnya
untuk merapatkan kepungan, sebagian dari anak buahnya masih sangat banyak untuk mengatasi hanya
seorang Raden Wijaya meski ia memegang keris. Sebagian pasukannya tertinggal di belakang melayani
Bala Sanggrama yang berusaha menjadi perintang. Bagaimanakah nasib Pamandana dan yang lain
sungguh menjadi sebuah pertanyaan yang mengganggu hati Raden Sesuruh, nama lain dari Raden Wijaya
itu. “Serang,” teriak Kebo Mundarang. Serentak masing-masing dari atas kudanya para prajurit Kediri itu
menyerang. Akan tetapi, Raden Wijaya telah lebih dulu mengibaskan senjatanya yang berakibat luar biasa.
Asap kekuningan tiba-tiba mengepul kental dan mewakilinya untuk balas menyerang. Asap itu membawa
amarah keris Empu Gandring, ia yang kehausan, ia yang ingin melahap tubuh yang diencerkan. Betapa
terperanjat Kebo Mundarang, matanya nyaris lepas dalam terbelalak. “Majulah kamu Kebo Mundarang,
saya tantang kamu dalam sebuah perang tanding,” kata Raden Wijaya dengan suara sangat berwibawa.
Alih-alih maju, Kebo Mundarang justru membawa kudanya menjauh dan memperhatikan apa yang baru
terjadi. Terbungkam mulut Kebo Mundarang melihat lima orang anak buahnya binasa seketika, dilibas
asap kekuningan yang demikian beringas dan ganas. Melepuh hangus kulit para prajurit itu yang langsung
terjerembab. Merasakan kesakitan yang luar biasa, para kuda mereka melonjak dan bertabrakan antara satu
dengan lainnya. Seekor kuda bernasib sial sesial-sialnya, karena asap kental kekuningan itu
mencengkeramnya amat dalam. Warnanya semakin pekat dan tidak lagi tembus pandang. Tubuh kuda
yang sekarat itu mulai tampak tulangnya. Sungguh berbeda dengan Sorandaka yang tidak mampu
menguasai diri ketika memegang wangkingan (Wangkingan, Jawa, keris) itu, sebaliknya Raden Wijaya
menguasai sepenuhnya. Ia tidak mebiarkan asap kuning yang lahap dalam memangsa itu berbuat liar
seenaknya. Melalui kendali pikirannya, asap itu masuk kembali ke dalam keris. Asap kekuningan itu
seperti kecewa ketika seperti terpaksa kembali, lalu mengepul di atas keris Empu Gandring yang diangkat
tinggi di atas kepala. Berbeda dengan Sorandaka yang isi benaknya sangat dipengaruhi oleh keris itu
sampai lupa kendali, hal yang demikian tidak terjadi pada Raden Wijaya. Kemarahan Raden Wijaya adalah
kemarahannya miliknya sendiri terutama karena teringat pada hal-hal yang kelewatan dilakukan oleh Kebo
Mundarang dan Raja Kediri. Akan tetapi di sisi lain keris Empu Gandring itu memberi pengaruh sisi lain
yang luar biasa kepada pemegangnya. Raden Wijaya tiba-tiba berubah seolah bukan dirinya lagi, seperti
yang dialami Sorandaka ketika berhadapan dengan Rangga Bentar, ilmu kanuragannya meningkat berlipat-
lipat. Ia tiba-tiba merasa bisa melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak bisa ia lakukan. “Ayo Kebo
Mundarang,” kata Raden Wijaya seperti berbisik, “mendekatlah kemari, akan saya berikan kematian yang
tidak perlu melewati rasa sakit.” Kebo Mundarang tiba-tiba merasa lehernya seperti tercekik sulit untuk
menelan ludah. Laki-laki itu mendadak ciut nyalinya. Matanya tidak berkedip memandang keris Empu
Gandring yang kini secara langsung ia lihat sendiri bagaimana kedahsyatannya. Sudah jauh dan berada di
jarak aman, Kebo Mundarang masih merasa perlu mundur lagi. “Anak panah,” teriak Kebo Mundarang.
Perintah itu telah diberikan. Sigap para prajurit yang masih memiliki sisa warastra memasang di langkap
yang kemudian diarahkan ke Raden Wijaya. Ada yang membidik tengah dadanya, ada yang mengarah ke
kepala, ke leher dan ada pula yang ke perut. Seorang prajurit entah oleh alasan apa mengarahkan warastra
itu ke alat kelaminnya. Ia membayangkan pasti berantakan kelamin Raden Wijaya itu ketika anak
panahnya menghajarnya. Atau, jika ia berhasil menghandurkan alat kelaminnya, kelak Raden Wijaya akan
menderita karena tidak mampu melaksanakan tugas sebagai seorang suami. Sangat cermat prajurit itu
dalam membidik, lurus dan tidak melenceng sama sekali. Raden Wijaya melirik. Namun Raden Wijaya tak
mau didahului dan bernasib sesuai dengan yang dibayangkan oleh para musuhnya itu. Raden Wijaya
segera mengibaskan keris Empu Gandring bersamaan dengan tubuhnya yang melenting. Oleh pengaruh
keris itu, Raden Wijaya tiba-tiba mampu berjumpalitan demikian ringan dan luput dari semua anak panah
yang bergerak. Namun para musuhnya itu yang justru kelabakan ketika asap kekuningan keluar dari bilah
wangkingan dan bergerak memburu mereka. Terbelalak Kebo Mundarang menyaksikan seorang anak
buahnya menjadi kurban keganasan keris bermuatan kutukan itu. Perbuatan asap berwarna kuning yang
keluar dari bilah keris itu sesungguhnya masih belum seberapa dibanding ketika keris itu masih dalam
keadaan mentah dan baru jatuh dari langit. Ketika bongkahan batu itu jatuh dari angkasa, menyebabkan
kerusakan yang luar biasa. Musim sedang kering kerontang terbakar memanjang dari batas tepi
semenanjung Sembulungan di tempat bernama Hamuncar ke arah timur sampai hampir ke laut. Bencana
dialami mula-mula oleh para binatang penghuni hutan belantara. Malam hari batu itu meringkuk dijaga
dengan ketat oleh pepohonan yang berubah perilaku, yang dengan sulur dan akar-akarnya berubah menjadi
pohon liar menjadi bernyawa dan membunuh siapa pun. Taksaka amat besar yang merayap, ular itu
diminum, bukan dimakan. Siang hari, saat cahaya matahari menjilatnya, mengepullah asap kekuningan
yang meminum siapa pun. Harimau yang sangat kuat tidak dimakan namun dilelehkan dan diminumnya
dengan amat rakus. Hanya dua orang maha sakti yang mampu mengatasi keadaan, mereka adalah Beliung
dari Timur yang bernama asli Parameswara yang memiliki kesaktian tiada tara karena ia satu-satunya
orang yang beruntung berhasil menenggak tirtamartamantana. Orang kedua adalah Ken Arok sang
pembawa pertanda kasih para dewa, yang meski hanya seorang perempok di Karautan, akan tetapi Dewa di
langit tak pilih kasih. Ken Arok itulah yang di kemudian hari menjadi cikal bakal para raja besar di Tanah
Jawa, kedua orang itulah yang mampu meredam ulah bongkahan batu yang jatuh dari langit itu. Kemudian,
batu bintang yang jatuh dari langit itu atas tangan dingin seorang Empu pembuat wangkingan yang tinggal
di Lulumbang bernama Gandring diolah dijadikan bahan baku sebuah keris. Keris atau dhuwung, atau
wangkingan buatan Gandring itu sungguh amat dahsyat, dengan mata terbelalak serasa akan copot dari
kelopaknya Kebo Mundarang memperhatikan asap aneh yang setiap jilatannya menyebabkan kulit dan
daging yang dilindunginya meleleh. Raden Wijaya menyempatkan memejamkan mata. Itu ia lakukan
ketika tiba-tiba merasa keris di tangan kanannya itu berusaha keras mempengaruhinya, mengkili-kili
murkanya untuk berbuat gila, untuk mengamuk sejadi-jadinya. Akan tetapi meskipun memiliki alasan
untuk itu, Raden Wijaya tidak menjadi lupa diri. Ia berdiri tegak dan memilih menunggu apa pun yang
dilakukan para musuhnya yang jumlahnya berlipat kali lebih banyak. Kebo Mundarang kembali memberi
perintah, “Maju!” Raden Wijaya menggetarkan kerisnya sekali lagi dan asap kekuningan yang keluar dari
keris itu bergerak meniru lagak kobaran api. Namun Raden Wijaya tetap berdiri, karena telah terjadi
pembangkangan di antara prajurit Kediri. “Maju, serang!” Tak seorang pun yang berani maju dan tak
seorang pun yang menyerang. “Seharusnya kamu sendiri yang maju, Mundarang, kujamin tubuhmu akan
meleleh.” Kebo Mundarang mati langkah, ia marah karena anak buahnya telah membangkang, tidak
seorang pun yang melaksanakan perintahnya. Ketika Raden Wijaya melangkah maju, prajurit Kediri itu
malah melangkah mundur. “Lepas anak panah,” teriak Mundarang lagi. Dari jarak yang dikiranya aman,
para prajurit itu menyiagakan diri, khususnya yang masih memegang anak panah. Warastra telah ditarik
dari endong di punggung, dan dilepas bersamaan menjadi hujan. Namun Raden Wijaya lebih dulu
melompat menjauh dari arah bidik dengan melenting tinggi lalu turun perlahan dengan tubuh tegak dan
tangan kanan yang memegang keris di atas. Mengepul keris Empu Gandring di tangannya, mengombak
dan meninggi menyentuh daun-daun. Melihat itu, para prajurit Kediri berhamburan menjauh lepas kendali
dari perintah Kebo Mundarang. “Jangan lari,” teriak Kebo Mundarang. Namun tak seorang pun yang
peduli pada perintahnya. Akhirnya, ketika merasa berada dalam bahaya, Kebo Mundarang ikut
menyelamatkan diri. Ia berlari lintang pukang melihat kabut berwarna kuning itu mulai bergerak yang ia
rasakan seperti akan mengejarnya. Kebo Mundarang merasa kecewa amat berat, karena ternyata mangsa
yang sudah berada di depan mata itu tidak bisa dijangkaunya. Kebo Mundarang merasa dadanya amat
sesak, rasa kecewa itu seakan meledakkan kepalanya. Selanjutnya tinggallah Raden Wijaya yang diam
terpaku sendiri di atas kudanya. Asap tebal kekuningan itu telah lenyap kembali di simpan di dalam
kerisnya. Dengan mata beku Raden Wijaya memandang bangkai-bangkai di sekitarnya, juga bangkai kuda
yang keadaannya sangat menyedihkan. Raden Wijaya kemudian memutar balik kudanya, menyusul para
istrinya yang telah memasuki batas tapi Hutan Tarik yang telah menelan mereka. Batas hutan Tarik sisi
timur itu, ditandai dengan jelas antara padang ilalang bulak panjang dan tebalnya pepohonan dari berbagai
jenis pepohonan. Hutan Tarik bukanlah hutan yang akrab dan bersahabat dengan manusia, namun itulah
wana (Wana, Jawa, hutan belantara) yang dihuni oleh berbagai jenis binatang. Di beberapa bagian amat
lebat sampai tidak tertembus dan dihuni berbagai binatang mengerikan. Ular, dari berbagai ukuran, para
binatang yang tinggal di pepohonan paling riuh dalam jejeritan, suara mereka saling bersahutan yang
adakalanya menyeramkan. Dari pohon ke pepohonan yang lain tidak kalah riuh oleh suara burung yang
saling sapa dengan sesamanya. Semua binatang itu harus bersikap waspada, karena jenis binatang tertentu
adalah sarapan pagi bagi jenis binatang lainnya. Kera harus peka, karena bisa jadi dan dengan tiba-tiba
seekor taksaka yang diam membeku berlagak seperti kayu tiba-tiba menyambar dan membelit tubuhnya.
Pun demikian dengan kijang yang butuh air, di sana ada harimau yang mengintai. Namun Tanah Tarik
tiba-tiba berubah setidaknya di mata orang-orang yang waskitha, (Waskitha, Jawa, bermata hati tajam).
Para waskita yang berhati peka melihat ada sesuatu yang aneh di wilayah itu. Di malam-malam tertentu
tempat itu bercahaya yang tampak jelas dilihat di ketinggian lereng gunung. Para waskitha sibuk menduga,
ada apa di tempat itu, atau menduga akan ada apa kelak. Mendiang Mahapatih Raganata yang pertama kali
menunjukkan pada Raden Wijaya. Hanya Raden Wijayalah yang membaca maknanya dan menyimpan
jauh di kedalaman hati tentang apa yang kelak ia lakukan. Raden Wijaya telah menjatuhkan pilihan, di
temat itulah kelak ia akan banyak berbuat sesuatu. Kembali Raden Wijaya menoleh ke belakang, namun
bayangan para prajurit Kediri sudah tak tampak lagi, mereka kocar-kacir entah ke mana. Raden Wijaya
tidak pernah menduga pengaruh Keris Empu Gandring yang ia simpan di dalam benaknya itu demikian
dahsyatnya. Sekarang ia percaya pada apa yang dikatakan Sorandaka setelah mengalami sendiri. Raden
Wijaya tergesa menyusul melalui jalan setapak, kecemasannya tiba-tiba membuncah membayangkan
sesuatu yang buruk menimpa para istrinya. Maka dengan bergegas ia menarik tali kendali kudanya.
Sebenarnyalah dua ekor harimau sedang mengendap-endap mengintai. Akan tetapi kedua ekor kucing
besar itu sedang kekenyangan setelah menyantap seekor babi besar. Namun naluri membunuhnya tidak
berkurang begitu saja. Dari balik rimbunnya semak dan perdu kedua binatang itu mengintai. Namun begitu
melihat siapa yang akan menjadi mangsanya, hilang naluri membunuh hewan itu. Tiba-tiba jauh di
kedalaman benaknya muncul naluri menjaga, naluri melindunginya dari bahaya. Hampir semua binatang di
hutan itu memiliki isi hati yang sama. Tanah Tarik rupanya tidak rela para sekar kedaton yang berurusan
takdir dengan tempat itu bakal menemui celaka. Maka pepohonan, akar-akarnya, semua merasa
berkewajiban memberikan perlindungan pada mereka, sikap itu diterjemahkan dengan bersuara yang riuh
hambata rubuh. (Hambata rubuh, Jawa, riuh bagaikan tumpukan bata roboh) Gemetar ketakutan para sekar
kedaton, masing-masing melotot tanpa bisa berbuat apa-apa, bahkan untuk menangis pun mereka tidak
berani. Siksaan dalam menunggu kejelasan nasib itu begitu kuat membelit jantungnya, namun penantian
itu seperti tanpa ujung, sementara suara-suara jejeritan di pepohonan, suara mengaum dan suara-suara aneh
di kejauhan itu serasa akan merontokkan jantung. Jelalatan mereka melihat kanan kirinya, ke pepohonan
dan ke apa saja. Namun aneh, kuda tunggangan mereka berdiri tenang. “Kangmbok,” bisik Narendraduhita
ketakutan. Untunglah, akhirnya Raden Wijaya menyusul masuk ke dalam lebatnya semak dan perdu itu.
Agak longgar sesak di rongga dada ketiganya. Bagai terhenti denyut jantung lelaki yang juga disebut
Raden Sesuruh itu, menyaksikan para istrinya yang ketakutan. Dengan bergegas Raden Wijaya melompat
turun dari punggung kudanya dan mengulurkan tangan menolong para anak perempuan Kertanegara untuk
turun dari masing-masing kudanya. Tanpa bicara apa pun, Raden Wijaya memperhatikan lingkungannya.
Lebatnya pepohonan dan semua binatang, yang di tanah maupun yang berada di atas dahan-dahan terasa
sekali amat gegap gempita dalam menyambut kedatangannya. Mendadak tempat itu menjadi sangat riuh.
Suara semua binatang berteriak-teriak memamerkan ciri khas suaranya amat sangat gaduh yang bagi para
Sekar Kedaton sungguh menakutkan. Tribuaneswari dan kedua adiknya berpegangan kuat ke lengan
suaminya. Raden Wijaya menandai bau udara. Hanya Raden Wijaya yang merasakan betapa udara amat
senang menyambut kedatangannya dengan para istrinya. Udara yang beriak bergelombang, hanya ia yang
tahu maknanya. Pun juga pepohonan, mereka amat senang dan begitu ramah dalam mangayubagya,
(Mangayubagya, Jawa, menyambut) kedatangannya. Pun teriakan para binatang yang bising itu sungguh
riuh, gaduh dan bising, termasuk suara mengaum dahsyat yang menggetarkan udara merontokkan
dedaunan amat terasa sebagai ucapan selamat datang atas kehadirannya di Tanah Tarik. “Kakang Raden,
saya takut, haruskah kita berada di tempat ini?” tanya Narendradhuhita. Begitu takutnya Pradnya Paramita
terlihat dari tangannya yang gemetaran seperti lagak orang yang kedinginan. Di pendengarannya suara riuh
itu sangat menakutkan seolah sebuah persiapan pesta menyantap manusia. Dirinya yang akan disantap.
Apalagi saat dengan mendadak Pradnya Paramita melihat seekor ular sedang merayap membelit pohon.
Lidah ular itu menjulur bergerak-gerak, apalagi ketika kepalanya terarah memandang kepadanya. “Kakang
Raden, lihat itu, ular,” kata perempuan itu. Raden Wijaya melirik dan merasa takjub melihat ukuran ular
yang besar sekali. Ular sebesar itu bisa menelan sapi, apalagi yang hanya manusia. Namun Raden Wijaya
amat merasakan lewat ketajaman mata hatinya, ular itu bersikap sama seperti binatang yang lain. Suara
gaduh itu terlalu ribut dan tak kunjung berhenti. Ketika suara suara itu semakin menggila, dan ketika ular
itu memperhatikan kehadirannya, Raden Wijaya meraba kepalanya dan mengkucal-kucal rambutnya.
Terbungkam suara gaduh itu ketika dengan tiba-tiba Raden Wijaya telah memegang sebilah keris, yang
batang tubuhnya, dari ujung lancip hingga pangkal gagangnya menyemburatkan wibawa yang luar biasa.
Kemunculan keris yang diangkat tinggi-tinggi di atas kepala itu sontak membekap semua kegaduhan. Di
mata para binatang, wujud keris itu sungguh berwibawa dan bahkan menakutkan. Para binatang itu tahu,
keris itu menyimpan kekuatan mengerikan. Dengan tiba-tiba suasana sepi, amat senyap. Ular besar yang
semula terlihat merayap itu terkejut dan mendadak merasa tidak nyaman. Ia melorot turun dan bergegas
menjauh. Para burung yang semula berkicau, para kera dan hewan sejenisnya langsung menutup mulut
dengan terbelalak. Ketajaman mata batin mereka melihat sesuatu yang luar biasa pada keris dalam
genggaman lelaki pendatang itu, seolah melalui keris itu mereka mendapat pesan, jangan gaduh, atau
jangan macam-macam. Selanjutnya tak terdengar lagi suara menakutkan apa pun. Raden Wijaya
mengakhiri perbuatannya. “Apa yang kita lakukan di tempat ini?” Tribuaneswari bertanya. Raden Wijaya
membawa kudanya maju. “Setidaknya, untuk sementara tempat ini cukup aman,” Raden Wijaya
menjawab, “kelak kita akan menjadikan tempat ini sebagai pengganti Singasari yang telah hancur.” Ketiga
istrinya saling pandang. Ketiganya bingung oleh jawaban itu sekaligus merasa ngeri menimbang lebatnya
hutan yang bagaikan tan bisa biniyak (Tan bisa biniyak, Jawa, tidak bisa disibakkan). Ucapan suaminya
amat yakin dan tegas, bahwa kelak di tempat itulah akan mendirikan sebuah negara baru sebagai pengganti
Singasari yang telah lampus (Lampus, Jawa, mati). Sungguh sebuah pekerjaan yang sangat berat dan
mustahil dilakukan. Para sekar kedaton Singasari itu sangat ragu, apakah apa yang disampaikan suaminya
itu sesungguhnya, ataukah sekadar pelampiasan beban hatinya belaka. “Kakang Raden, akan mendirikan
sebuah negara baru di tempat ini?” tanya Narendraduhita. “Ya.” “Kakang meraya sakin?” “Ya,” jawab
Sesuruh tegas. “Hutan ini sangat lebat,” celetuk Tribuaneswari. Raden Wijaya tidak menjawab, namun
matanya meneliti lebatnya hutan. Dalam keadaan demikian, tiba-tiba terdengar suara lengking. Serentak ke
empat orang amat penting itu mencari-cari dari mana arah suara itu. Berbinar mata para sekar kedaton
melihat di sebuah dahan seekor burung elang sedang membentangkan sayapnya. Burung kepanjangan mata
Sorandaka itu telah hadir dan bakal mengambil perannya. Melihat itu, Raden Wijaya melepas kain
gringsing yang dikenakannya lalu diikatkannya kain itu ke lengannya, melihat Raden Wijaya
merentangkan tangan, burung itu terbang dan menjadikan lengan itu untuk hinggap. “Ke mana kita harus
pergi?” tanya Raden Wijaya. Burung itu menjawab dengan perbuatan. Tiba-tiba ia melesat dan hinggap di
sebuah dahan, melihat itu Raden Wijaya segera mempersilahkan para istrinya kembali naik ke atas kuda
dan memacunya sangat perlahan mengikuti ke mana arah yang diberikan paksi yang luar biasa itu. Ada
saatnya medan yang ditempuh demikian sulit namun burung itu benar-benar membantu memilihkan jalan,
semakin dalam menusuk ke lebatnya hutan Tarik. Dengan takjub Raden Wijaya melihat segenap binatang
berloncatan mengikuti ke mana arah yang ditempuh. Para kera mulai riuh, namun kali ini tidak
menyebabkan para sekar kedaton takut dan ngeri. Dengan rasa gumun (Gumun, Jawa, takjub, heran) yang
kental Tribuaneswari melihat seekor kera mengikuti perjalanan itu yang kemudian diikuti oleh para kera
yang lain. Tribuaneswari menoleh ke arah suaminya. Raden Wijaya mengangguk. Melalui saling pandang
itu Raden Wijaya seperti menjelaskan bahwa para binatang itu tidak perlu ditakuti lagi. Mereka sedang
mangayubagya atas kehadirannya di Tanah Tarik, tanah yang memberikan harapan cerah, tanah masa
depan setelah tempat asal dijarah. Raden Wijaya yang melihat dengan mata hati merasakan benar betapa
hutan itu dan segenap isinya merasa senang oleh kehadirannya, seolah hari itu adalah hari yang telah
dijanjikan setelah menunggu sekian lama, sekian tahun, atau sekian ratus tahun. Raden Wijaya merasakan
benar bahwa kelak tempat yang sedang didatanginya itu akan menjelma menjadi sesuatu yang besar,
sesuatu yang berbicara, dan di zaman setelahnya nun jauh ke depan akan dibicarakan banyak orang, akan
dikenang banyak orang dan menjadi bagian dari sejarah. Hati para sekar kedaton berubah, bila semula
mereka ketakutan karena dikejar-kejar, namun kini mereka merasa berada di tempat yang aman. Pikirnya,
para prajurit Kediri tentu tidak bisa mengejar sampai tempat itu. Mereka mulai merasa nyaman melihat
keakraban segenap binatang yang menyambut kedatangannya. Waktu yang terus bergerak menemani
perjalanan mereka. Hingga kemudian siang itu bergulir menjadi semakin sore, hingga kemudian matahari
mulai menyentuh garis cakrawala. Hingga kemudian, cahaya yang gelap semakin menggelap. Pada saat
semacam itulah masuklah mereka ke sebuah tempat yang lebih lapang. “Kakang Raden, lihat itu,” celetuk
Pradnya Paramita. Raden Wijaya dan yang lain menoleh ke sebuah arah. Semua kaget. “Rumah,”
Tribuaneswari kaget, “ada sebuah rumah.” Raden Wijaya termangu melihat paksi hinggap di puncaknya
dengan sikap membentangkan sayapnya lebar-lebar. Tak kurang Narendraduhita ikut terbelalak, dan
semakin berkurang rasa ngeri membayangkan tengah berada di hutan yang amat lebat. “Benarkah itu
rumah?” tanya perempuan itu. Tribuaneswari tidak merasa perlu menjawab, pun suaminya dan juga
Pradnya Paramita. Dengan perasaan ingin tahu yang membuncah, rombongan yang telah turun dari pelana
kuda itu memperhatikan rumah yang seolah keberadaannya memang disediakan untuk mereka. Takjub
Raden Wijaya menyaksikan rumah yang dibangun dengan kayu pilihan, dengan tiang yang amat kukuh
dan serba tebal. Lantai dibuat dari kayu halus yang bahkan baru kali itu Raden Wijaya tahu. Bahkan istana
Singasari pun tidak memiliki lantai macam itu. Rasa ingin tahu yang sama besarnya juga dimiliki oleh
ketiga istrinya. Segenap sekar kedaton memeriksa tiga buah kamar berukuran besar dengan tilamsari yang
bersih dan sama sekali tidak berdebu seolah ada yang belum lama menyiapkan, memeriksa dapur dan
kamar mandi yang amat bersih dengan air yang jernih. Terkejut Tribuaneswari ketika memeriksa almari, di
dalamnya ia temukan beberapa perangkat pakaian, yang semuanya adalah miliknya yang tertinggal di
istana. “Jagad Dewa Batara,” desisnya, “sedang bermimpikah saya saat ini?” Dengan rasa takjub pula,
kedua adiknya dihadapkan pada persoalan yang sama, tidak kurang terbelalaknya Narendraduhita yang
memeriksa salah satu kamar menemukan pakaian miliknya. Pakaian itu mestinya hangus bersama seluruh
isi istana, namun benda-benda itu kini benar-benar hadir di depannya. Narendraduhita memeriksa bagian
bawah mendapati sebuah cepuk (Cepuk, Jawa, tempat menyimpan perhiasan) yang menyebabkan bulu
kuduknya mrinding luar biasa. Awal malam yang aneh dimulai di tempat itu. Namun Para istri Raden
Wijaya itu dengan senang hati menjalaninya. Mereka mandi bersih, mereka memasak nasi dan memasak
sayuran dengan bahan yang semua tersedia di dapur. Raden Wijaya juga menemukan jenis batu titikan
yang mudah menyala untuk disulutkan ke beberapa obor di sudut-sudut pekarangan, juga di setiap bilik.
Namun duka tetap berada di hati mereka, membayangkan wajah ayah dan ibunya yang untuk selanjutnya
tidak akan pernah ditemukan lagi. Ada sejumlah nama yang untuk selanjutnya tidak akan pernah
ditemukan lagi, di antaranya mantan Patih Raganata dan menantunya, Kebo Ngrema serta beberapa orang
yang sesungguhnya tidak tahu apa-apa. Sedih menggumpal amat pekat di hati Tribuaneswari
membayangkan nasib amat buruk pada adik bungsunya, yang dalam keadaan hamil tua dinistakan
suaminya sendiri dan ikut terbunuh dalam serangan tiba-tiba yang dilakukan oleh Gelang-Gelang.
Tribuaneswari rebah menerawang memandang belandar dan usuk (Usuk, Jawa, kasau) akan tetapi yang
ada di genangan air matanya adalah wajah Bajradewi ibunya. Rasa ngilu itu adalah gambaran kangen yang
luar biasa pada ibunya yang kini tiada, juga pada adiknya. Narendraduhita juga tidak kuasa menahan air
matanya yang meleleh. Ia berbaring tengkurap di bilik yang ia merasa yakin bilik itu disediakan untuknya
yang ditandai dari pakaian dan para perhiasannya berada di tempat itu. Narendraduhita tidak hanya sedih,
akan tetapi dendam yang menjilma menjadi karatan memenuhi rongga dadanya. Berkali-kali
Narendraduhita berusaha menguasai diri, namun tanpa sadar tangannya mengepal dan meremas, seolah
dengan leluasa ia melampiaskan amarah itu dengan mencengkeram kepala Jayakatwang dan Kebo
Mundarang. Di biliknya yang juga ia yakini disediakan untuknya yang ditandai dengan keberadaan cepuk
perhiasan dan pakaian miliknya, Pradnya Paramita tidur dengan amat gelisah. Sangat gelisah sebab
tidurnya dihiasi jerit dan menggeram. Di luar, tepat di tengah halaman, Raden diam mencangkung
memandang langit, ia mencari-cari dan menandai segenap bintang yang sedang gemerlapan berusaha dan
bersaing mana yang paling gemilang. Namun pikiran Raden Wijaya tidak ke para bintang iu. Ia pernah dan
beberapa kali diajak mendiang Patih Raganata menyaksikan sesuatu yang aneh di tengah belantara Tanah
Tarik dari arah kaki Gunung Penanggungan. Cahaya tampak berpendar dari tempat tepat berada di tengah
hutan itu. Padahal, saat ini ia tengah berada di tempat itu. Raden Wijaya tidak melihat cahaya terang itu.
Malam di tempat itu sama seperti malam yang mencengkeram di Singasari, juga malam di tempat lainnya.
Namun apa yang dirasakan Raden Wijaya tidaklah sama dengan apa yang dilihat orang lain. Dari kaki
penanggungan, juga dari tempat-tempat lain yang lebih tinggi dari Tanah Tarik, para waskitha
menyaksikan betapa semakin benderang tempat itu. Tanah Tarik bagaikan berkobar. Bila kemarin
temaram, kini para waskitha melihat cahaya yang terang benderang Raden Wijaya semula masih termangu,
akan tetapi terdengar di telinganya, Tribuaneswari menangis sesenggukan. Bergerak kaki Raden Wijaya
menuju bilik istri pertamanya. “Sun wiwiti, ayasa pusaka aji,” (Sun wiwiti, ayasa pusaka aji, Jawa halus,
akan kumulai membuat pusaka sakti) gumamnya untuk diri sendiri. Ibarat bertani, Raden Wijaya akan
menabur benih pohon sakti, sementara Tribuaneswari dan para istrinya yang lain adalah ladangnya. 26
Mundur ke tengah hari sebelumnya. Pertempuran itu selain riuh juga telah bergeser. Sambil bertempur
Pamandana dan Medang Dangdi berusaha keras menyusul Raden Wijaya, atau setidaknya harus tahu
bagaimana nasib para junjungannya itu. Ketika pertarungan yang riuh itu semakin mendekati hutan Tarik,
namun masih di tengah bulak, Medang Dangdi dan Pamandana tidak berkutik karena terkepung amat
rapat. Pamandana dan Medang Dangdi sungguh prajurit yang pilih tanding, meski jumlah lawan mereka
jauh lebih banyak, namun kemampuan olah kelahi yang mereka miliki jauh melebihi lawan-lawannya yang
sebagian besar bahkan bukan prajurit sesungguhnya. Kedua prajurit itu mengamuk laksana banteng
ketaton. Namun demikian, tubuh keduanya penuh darah oleh luka yang mulai menghiasi tubuh.
Pamandana dan Medang Dangdi masih mampu bertahan karena para musuh tidak lagi menggunakan anak
panah. Senjata jarak jauh mereka sudah habis dan tidak terlalu repot ketika berhadapan dengan pedang
maupun tombak. Di lingkaran lain dan berada agak cukup jauh, Sorandaka atau yang juga memiliki nama
Andakasora atau disebut Sora, ia dan kedua Bala Sanggrama yang lain mengamuk membabi buta.
Menggunakan pedang panjangnya Gajah Pagon sangat lincah dalam menarikan bedaya kematian,
sementara Kebo Kapetengan bertempur dengan amat riuh karena tak hanya pedangnya yang menari akan
tetapi juga mulutnya amat trocoh. (Trocoh, Jawa, kata trocoh biasanya untuk atap yang bocor). Namun
sejalan dengan waktu yang terus bergerak, keadaan Pamandana menjadi kian buruk dan berbahaya, musuh
yang dihadapinya bahkan kian banyak, apalagi ketika Kebo Mundarang yang mundur ikut bergabung.
Setidaknya Mundarang dan anak buahnya agak terhibur karena memperoleh pelampiasan mendapati
Medang Dangdi yang sudah lama ia kenal dan Pamandana yang ia tahu orang itu berasal dari Kediri.
Semula Kebo Mundarang membeku memperhatikan pertempumpuran, namun tiba-tiba ia mengaum,
menirukan suara harimau. Para prajurit yang sedang melakukan kepungan berloncatan mengambil jarak
namun masih dengan pedang yang teracung. “Jangan dibunuh,” teriak Kebo Mundarang, “saya ingin
menyiksanya lebih dulu.” Semua serangan dihentikan ketika Kebo Mundarang tiba-tiba mengangkat
tangannya, sebuah isyarat ia ingin bicara. Para prajurit Kediri yang jumlahnya bertambah, mengepung
amat rapat. “Pamandana, bukankah kau orang Kediri?” Kebo Mundarang bertanya. Pertanyaan itu
ditujukan kepada Pamandana. Tersengal suami mendiang Dewayani itu juga harus menahan nyeri karena
luka-lukanya. Di sebelahnya, Medang Dangdi yang juga berhias lupa menempatkan diri melindunginya.
Namun baik Medang Dangdi maupun Pamandana sama-sama melihat, kemungkinan buruk yang bakal
terjadi. “He, jawab pertanyaan saya,” bentak Kebo Mundarang. Pamandana berusaha berdiri kukuh,
pedangnya lurus teracung ke depan, ia arahkan pedang itu ke ujung hidung Kebo Mundarang. “Ya!” jawab
Pamandana. “Dasar pengkhianat!” kata Kebo Mundarang dengan nada tinggi. Pamandana tersenyum.
“Kau orang Kediri, tetapi kau menjadi gedibal (Gedibal, Jawa, kaki tangan, antek) orang Singasari. Apa
yang kau cari dengan menjadi kaki tangan Singasari? Kau lupa sejarahmu?” Pamandana menghadapinya
dengan berusaha tenang. “Sejak awal saya adalah orang Singasari,” jawabnya. “Bukankah kamu tinggal di
Kediri?” “Itu karena saya sedang menjalankan tugas saya. Saya bukan orang Kediri.” Sejenak Kebo
Mundarang mengunyah jawaban itu. “Jadi selama ini kamu telik sandi?” (Telik sandi, Jawa, mata-mata)
Pamandana yang mestinya meraung kesakitan itu berusaha mengubahnya menjadi tawa. Ia berhasil,
terkekehnya bergelak-gelak. Ketika ia meludah karena mulutnya terasa penuh, ludahnya berwarna merah.
Kebo Mundarang tercekat, ia ingat, betapa selama ini apa pun yang terjadi di Kediri, Singasari selalu tahu.
Begitu juga ketika Kediri berusaha menghimpun kekuatan di dalam hutan, menyembunyikan rencana besar
serangan ke Singasari, Singasari tahu. Telik sandi itu bahkan ibarat bisa menembus tilamsari Raja. Jengkel
teringat itu semua, Kebo Mundarang memutar kudanya, mengitari dua calon mangsa yang bakal disiksanya
habis-habisan. Baik Pamandana dan Medang Dangdi yang telah siap mati bersikap waspada, terpikir di
benak keduanya, menyiapkan sebuah serangan yang mendadak dan mematikan dengan sasaran utama Patih
Kediri itu, setidaknya bila mereka harus mati akan tetapi dibayar dengan harga yang sepadan. Tetapi di
langit, ada paksi cataka yang terbang berputar. Ia terbang rendah. Paksi cataka luar biasa itu secara aneh
dan ajaib telah menjadi kepanjangan mata Sorandaka. Melalui pandangan burung itulah, beberapa saat
sebelumnya Sorandaka merasa lega karena bisa melihat Raden Wijaya dan segenap istrinya aman. Dalam
lingkaran terpisah, Sorandaka bersama Gajah Pagon dan Kebo Kapetengan yang mati-matian menghadapi
kepungan prajurit Kediri bisa melihat apa yang terjadi pada Pamandana dan Medang Dangdi. Sambil
melenting menghindari sebuah serangan Sorandaka mendekat beradu punggung dengan Kebo Kapetengan.
“Saya melihat, Pamandana dan Medang Dangdi dalam bahaya.” Kebo Kapetengan menyilangkan senjata
pedangnya dan mengayun membabat wajah musuh yang paling dekat dengannya, namun musuh yang
meskipun sudah tua itu berhasil menghindar dengan melompat menjauh. “Apa yang harus kita lakukan?”
balas Kebo Kapetengan. “Kita dekati lingkaran pertempuran mereka. Raden Wijaya dan para istri aman.”
Serangan atas mereka silih berganti. “Baik!” jawab Kebo Kapetengan, “kita serang bertubi-tubi sebelah
kanan untuk membelah mencari jalan.” Di sebelah kanan adalah di mana kuda-kuda berada. Keadaan
Sorandaka, Kebo Kapetengan, dan Gajah Pagon masih jauh lebih baik dibanding di lingkaran pertempuran
Pamandana dan Medang Dangdi. Dari tiga orang itu yang terluka hanya Kebo Kapetengan yang itu pun
hanya goresan kecil di lengan dan tak berbahaya. Semula Gajah Pagon tidak segera tanggap pada apa yang
dimaui kedua sahabatnya, namun dengan cepat Gajah Pagon ikut menyerang dan memberi tekanan pada
kepungan di sebelah kanan. Kepungan itu bedah. Dengan saling melindungi dan melalui serangan serta
gerakan yang terukur, Sorandaka dan dua temannya berhasil menjebol kepungan dan berlari secepat-
cepatnya ke arah kuda-kuda mereka. Gerakan melenting yang sangat cepat itu masih berlanjut ke gerakan
melejit ke atas kuda masing-masing. Dengan sekali sentak pada tali kendali kudanya, mereka bertiga
berderap menuju lingkaran pertempuran yang sedang membahayakan nyawa Pamandana dan Medang
Dangdi. Para prajurit Kediri berlarian ke kuda masing-masing dan berteriak-teriak memburu. Peristiwa itu
berlangsung cepat, dengan tanpa ragu sama sekali, Sorandaka menerobos ke lingkaran kepungan yang
dipimpin Kebo Mundarang. Berloncatan para prajurit Kediri bergegas menyibak dan menyerang. Yang
semula hanya berdua kali ini Bala Sanggrama menjadi berlima. Namun kepungan atas mereka menjadi
semakin rapat dan jumlahnya kian banyak. Para prajurit Kediri yang semula bertempur di lingkaran lain
telah bergabung, dengan senjata teracung, para tumbak laksana jati ngarang (Jati Ngarang, Jawa, laksana
pohon jati di musim kemarau tanpa daun.) Melihat itu, Kebo Mundarang tertawa terkekeh senang. “Bagus,
bagus sekali,” ucapnya. Amat khawatir Sorandaka melihat keadaan kedua orang sahabatnya, terutama ke
arah tubuh Pamandana yang berhias banyak luka ibarat arang kranjang, (Arang kranjang, Jawa, banyak
sekali, arti aslinya, lubang-lubang keranjang saja masih kalah banyak). Sorandaka juga melihat keadaan
Medang Dangdi yang juga bersimbah luka meski tidak sebanyak Pamandana. Dengan mata tajam
Sorandaka memperhatikan para pengepungnya, ia bersyukur melihat tidak seorang pun yang membawa
anak panah. Warastra para prajurit Kediri telah habis digunakan sejak dalam pertempuran berlangsung di
Singasari. Sorandaka kemudian menatap tajam ke arah Kebo Mundarang, kilatan matanya jauh lebih tajam
dari pisau panyukur. (Panyukur, Jawa, pisau cukur). “Sorandaka!” kata Kebo Mundarang. Sorandaka tidak
mengubah raut wajahnya. “Ya, kenapa?” “Bagaimana kabarmu?” tanya Kebo Mundarang. “Kabar saya
baik!” jawab Sorandaka singkat. Tak jelas di mana lucunya, Kebo Mundarang tertawa bergelak. “Saya
baru pertama bertemu denganmu Ki Sanak, siapakah kau?” ia bertanya. Kebo Kapetengan mengumpulkan
ludah di mulutnya dan ia gunakan ludah kental itu untuk berkumur, lalu dengan kasar menyemburkannya
ke tanah. Kebo Kapetengan menjawab, “Kita pernah berjumpa di pendapa Kediri yang sekarang porak
poranda. Kamu sudah pikun tidak mengenali saya, Mundarang. Kalau Kebo Ladrang ada di sini, ia pasti
tidak akan lupa pada siapa kami.” Terbungkam Kebo Mundarang. Nama adiknya disebut menyebabkan
wajah Mundarang seketika berubah. Kebo Ladrang adik kandung yang sangat disayanginya. Kematian
Kebo Ladrang menyebabkan ia menyimpan sakit hati dendam kesumat yang luar biasa. Tanpa harus
melalui tahapan apa pun kemarahannya sudah sampai ke puncak dan sangat butuh penyaluran. “Saya
ucapkan selamat,” lanjut Kebo Kapetengan, “kau dan pasukan licikmu telah berhasil menghancurkan
Istana Singasari, akan tetapi Hyang Widdi membalas dengan mengguncang arga (Arga, Jawa, gunung)
Kampud menyebabkan wilayah terdekat dengan Gunung itu pasti hancur berantakan tertimpa oleh batu-
batu sebesar gajah. Kau tentu tidak lupa, Kediri sangat dengan Kampud dan bahkan ibarat berada di
bawahnya. Tidak hanya Kediri, Balitar tentu juga hancur ketika gunung yang sangat perkasa itu
mengamuk.” Apa yang disampaikan Kebo Kapetengan itu setidaknya menjadi beban pikirannya. Seperti
apa keadaan Kediri setelah suara meledak menggelegar itu terdengar sampai jauh ke Singasari. Kebo
Mundarang tidak bisa menghindar dari kegelisahan memikirkan para kerabat keluarganya, memikirkan
istana Gelang-Gelang. “Masih belum ingat siapa saya, Mundarang?” Kebo Mundarang diam. “Saya Kebo
Kapetengan.” Kebo Mundarang manggut-manggut dan menyimpan nama itu di benaknya. Mundarang
kemudian menggeser pandangan matanya ke arah Bala Sanggrama yang seorang lagi. Gajah Pagon
mendahului menyebut namanya, “Gajah Pagon saya.” Mundarang mengangguk sambil memutar
pedangnya. Alisnya berkerut ketika melihat ada burung terbang rendah. Paksi Cataka itu mendadak
terbang tinggi, lalu berputar dan menukik amat cepat ke arahnya. Gugup Mundarang melihat itu, akan
tetapi burung itu ternyata hanya mengancam karena tiba-tiba ia meliuk dan terbang tinggi. Sorandaka
mengukur kepungan yang mengelilinginya dan harus melihat kenyataan, memang terlalu berat untuk
membedahnya. “Baiklah,” kata hati Sorandaka, “bila memang harus berakhir di sini hidup saya, kenapa
tidak? Yang penting Raden Wijaya dan para sekar kedaton telah selamat!” Bala Sanggrama Sorandaka
mendekat ke arah Pamandana yang nyaris kehilangan kekuatan untuk berdiri. Akan tetapi Pamandana
hanya goyah sesaat. Pedangnya ia pegang dengan sangat kuat. Medang Dangdi bersikap sama. “Saya
punya tawaran untuk kalian,” kata Mundarang sambil melangkah mundur. Ia melangkah mundur karena
curiga Sorandaka akan melakukan serangan sangat mendadak ke arahnya. “Tawaran apa?” “Kematian
dengan cara amat singkat, jauh lebih cepat dari kilat dan tidak terasa sakit.” Sorandaka tertawa mendengar
itu, “Kematian dengan cara singkat bagaimana?” Mundarang yang sangat marah terkenang nasib adiknya
ternyata masih bisa tertawa, seolah tawaran yang ia sampaikan sangat lucu. “Membungkuklah dan
terimalah kematianmu dengan ikhlas. Pedang saya sangat tajam dan dengan sekali tebas bisa menjadi
jaminan untuk membuatmu mati dengan seketika.” Mendengar itu Sorandaka terkekeh. Sorandaka
menjawab, “Sebaliknya saya punya tawaran untukmu.” “Apa?” Sorandaka melanjutkan tertawa, ia berkata,
“Di rumah saya punya kuda yang sedang birahi.” Mencuat alis Kebo Mundarang. “Apa hubungannya kuda
birahi dengan saya?” Sorandaka masih tertawa, menulari Kebo Kapetengan dan Gajah Pagon ikut tertawa,
bahkan Pamandana dan Medang Dangdi menyumbang tawa terkekeh, padahal tertawa yang demikian
menyebabkan luka Pamandana terasa nyeri. Kebo Mundarang yang terbungkam semakin merasa
penasaran, sebelah alisnya mencuat. “Tawaran apa maksudmu?” “Kamu layani birahinya. Kelamin kuda
jantan itu akan melintas duburmu hingga berantakan jantung dan hatimu.” Ucapan Sorandaka itu
menyebabkan ke empat temannya tertawa terkekeh, sungguh sama sekali tidak ada jejak rasa cemas meski
mereka telah terkepung tepung gelang. (Tepung gelang, Jawa, melingkar) Mendidih Kebo Mundarang
mendengar itu, dengan teriakan keras ia menjatuhkan perintah, “Bunuh mereka.” Perintah telah dijatuhkan,
maka serentak segenap prajurit Kediri yang mengepung di lapisan depan melontarkan serangan. Dengan
amat lincah Sorandaka yang berdampingan dengan Gajah Pagon memberikan perlawanan tak ubahnya
banteng marah. Di sisi lain Kebo Kapetengan yang menempatkan diri di dekat Pamandana dengan
kesadaran penuh berusaha melindunginya. Akan tetapi persoalan yang mereka hadapi sungguh sangat
berat, jumlah musuh sangat banyak yang di antaranya bersenjata tombak bergagang pendek dan trisula.
Sorandaka bisa mengukur, bahwa mereka berlima tidak akan selamat berhadapan dengan musuh sebanyak
itu. Sorandaka berharap punya kesempatan membunuh Kebo Mundarang dalam sekali serang. Kesempatan
itu sungguh dicarinya. Dengan berancang-ancang dan bertumpu menggunakan ilmu kanuragan
(kanuragan, Jawa, keterampilan silat) yang ia punya, Kebo Mundarang ikut bergabung melakukan
serangan. Bala Sanggrama Sorandaka ikut menempatkan diri di sebelah Kebo Kapetengan karena sadar,
Kebo Mundarang sedang mengincar Pamandana. Namun dengan cermat Sorandaka berusaha mencari
kesempatan. Maka pertempuran berlangsung riuh dan sangat merepotkan. Namun sesuatu terjadi, sesuatu
yang berpihak, itulah sesuatu yang tidak masuk akal. Tanah Tariklah yang berpihak. Dalam beberapa
waktu terakhir, di mata orang orang yang memiliki ketajaman mata hati, Tarik menjadi pusat perhatian.
Dari ketinggian lereng Penanggungan terlihat bagaimana tempat itu bercahaya. Meski remang namun jelas,
ada sesuatu yang berpendar di sana. Orang hanya bisa menduga tanpa bisa menebak, ada apakah di tempat
itu. Sebagian lain meramal bahkan kelak di tempat itu bakal terjadi hal yang luar biasa, meski belum jelas
apa. Tanah Tarik yang banyak dihuni pohon wilwa (Wilwa, Sanskerta dan Jawa kuno, buah maja) itu
serasa hidup dan memiliki nyawa. Tanah Tarik berkepentingn untuk mengayomi orang sangat penting
yang kelak di suatu hari akan berbuat sesuatu di tempat itu. Itulah sebabnya Tanah Tarik tidak bisa tinggal
diam melihat pembantaian tanpa berbuat apa-apa. Tidak bisa tinggal diam itu ditandai dengan di langit
burung elang menjerit. Cataka pemandu perjalanan Raden Wijaya dan kepanjangan mata Sorandaka itu
melengking memperdengarkan suaranya yang bernada sangat tinggi. Lengkingan cataka itu bukannya
tanpa maksud dan tujuan, karena tak berapa lama kemudian, panggilan yang ia lontarkan itu berjawab.
Dari arah hutan Tarik terjadi kegaduhan luar biasa, sangat gaduh. Kera menjerit, harimau ikut mengaum
gemuruh. Elang-elang bersahutan. Dari kedalaman hutan Tarik yang masih berjarak ratusan depa itu,
bermunculan berbagai binatang yang dengan sayap-sayapnya mengayuh udara dengan sangat kuat. Maka
Mbrudhul (Mbrudhul, Jawa, muncul dengan mendadak) para cataka dalam jumlah yang tidak bisa
dihitung. Pun kalong-kalong yang sesungguhnya tidak suka terbang siang ikut melibatkan diri. Demikian
cara para penghuni Hutan Tarik dalam membela para tamunya, Paksi cataka kepanjangan mata Sorandaka
telah memanggil para temannya, para kera tak kalah gaduh mereka berlarian keluar. Dari dalam hutan itu
pula muncul beberapa ekor harimau dan berlari sangat kencang menuju medan palagan yang sangat tidak
seimbang itu. Kebo Mundaranglah yang kemudian terkejut bukan kepalang mendapati serangan yang
benar benar tidak diduga, serangan yang baginya sangat aneh dan sulit dimengerti. Dinalar dengan cara
bagaimana pun sulit dipahami mengapa bermunculan demikian banyak burung elang yang tidak jelas
punya alasan apa harus melibatkan diri dan memihak. Tidak hanya burung, para kalong (Kalong, Jawa,
kelelawar besar) yang memiliki kuku-kuku tajam ikut-ikutan mengamuk. Kebo Mundarang kaget dan jatuh
berguling saat dari atas seekor elang mencengkeram kepalanya. Kebo Mundarang menjatuhkan diri dan
berguling menghindar. Namun Kebo Mundarang tidak mengalami hal aneh macam itu sendirian. Para
prajurit anak buahnya blingsatan ketika dari langit muncul k along menyerang mereka. “Mereka memihak
kita,” teriak Sorandaka sangat takjub. Mendapatkan bantuan yang tidak terduga itu, Sorandaka mengamuk
sejadi-jadinya. Ia tidak merasa aneh meskipun bahu membahu dengan beberapa ekor burung elang di
sekelilingnya. Sebaliknya Kebo Kapetengan dan yang lain tidak segera memahami apa sesungguhnya yang
terjadi, Pamandana terbelalak menyaksikan apa yang terjadi di sekelilingnya. Tampak jelas para binatang
itu memihak, karena tidak seekorpun yang menyerang mereka. Burung elang adalah pemburu yang
tangkas. Mereka punya cara luar biasa ketika melakukan sebuah serangan tanpa sasarannya mengetahui
apa yang terjadi. “Keparat!” umpat Kebo Mundarang sambil mengayunkan pedangnya ke arah serangan
yang akan mendatanginya. Namun suara mengaum dahsyat menyebabkan pasukan dari Kediri itu bubar
mawut (Bubar mawut, Jawa, bubar kacau balau) berlarian berusaha menyelamatkan diri. Meski hanya tiga
ekor harimau yang terlibat dalam perang yang amat aneh itu, namun sudah cukup untuk merontokkan
jantung. Kocar-kacir! 27 Malam menyentuh batas cakrawala. Dan gelap yang kemudian datang menemani
kesedihan hati yang amat pekat, setidaknya itu yang dirasakan salah seorang penghuni Padukuhan Anding,
perempuan muda yang sedang hamil namun untuk selanjutnya ia tahu tidak akan didampingi oleh
suaminya, yang telah gugur dalam perang yang terjadi di Singasari. Senopati Bramantyo yang ia rindukan
tak mungkin pulang. Di kehidupan lain kelak, barulah ia bisa menemuinya lagi. Air mata Niken Larasati
telah habis, ia tidak lagi bisa menangis. Meskipun udara sedang dingin menusuk, akan tetapi cucu
mendiang Mahapatih Raganata, perempuan yang merasa menjadi orang paling malang di dunia itu tetap
bertahan duduk di bawah pohon manggis yang berbuah lebat di halaman rumahnya. Di lebatnya daun-
daunya, sepasang mata lebar memperhatikannya dengan penuh minat. Sepasang mata lebar itu milik
burung hantu, burung malam yang justru di malam ia begadang, siang hari ia malah tidur. Dalam hati
burung hantu itu bertanya-tanya, ada apa dengan perempuan yang duduk di bangku bambu itu. Namun
hanya sejenak, perhatian burung itu teralihkan oleh benda bergerak yang meskipun berada agak jauh
namun terekam jelas perbuatan mereka. Dua ekor tikus sedang melampiaskan birahi, yang sama sekali
tidak sadar tak jauh darinya ada seekor ular sebesar jempol kaki sedang mengintai. Ular itu merayap
mendekat. Namun ular itu kaget karena ada yang mendahului sebagaimana dua ekor tikus yang sedang
menyatu itu terkejut bukan kepalang, oleh cengkeraman yang tidak bisa mereka hindari. Burung hantu itu
membawanya terbang ke dahan pohon manggis yang tak jauh darinya tumbuh pohon belimbing wuluh
yang sedang lebat buahnya. Sambil memangsa makanan kesukaannya, hantu itu memperhatikan Niken
Larasati yang mencangkung beku. Hantu itu menoleh ketika pintu rumah terbuka, Nyai Sumekar yang
gelisah memperhatikan langit. Langit (kresna hariadi?) tampak bersih. Itu karena angin masih berhembus
ke arah barat dan semakin memperbanyak debu yang berjatuhan di arah barat. Pulau Jawa sungguh sangat
luas, maka bisa dibayangkan berapa banyak debu yang diabul-abul (Diabul-abul, Jawa, disebar) oleh
gunung ketika di Maospati tebalnya menenggelamkan kaki. Di arah lebih barat, hutan belantara di kaki
Gunung Lawu bagai tidak berdaun, warnanya putih memplak, (Memplak, Jawa, putih sekali), melengkapi
keadaan yang demikian terlihat telaga sarangan menjadi kotor. “Niken Larasati, kamu di mana?” teriak
Nyai Sumekar memanggil anaknya. Namun Niken Larasati bagai tuli dan tidak mendengar panggilan itu.
Cemas karena tidak melihat anaknya, Nyai Sumekar melangkahkan kaki ke rumah tetangganya.
“Mbakyu,” Nyai Sumekar menyapa dengan hati gelisah, “anak saya kemari?” Nyai Rerangin mencuatkan
alis. Ia menggeleng. Namun Kenyawarih anak Nyai Rerangin punya jawabnya. “Mencangkung di
halaman, tadi saya lihat di sana.” Nyai Sumekar bergegas pulang dan memang benar menemukan anak
perempuannya sedang duduk diam membeku, mencangkung laksana batu. Nyai Sumekar bisa
membayangkan duka di hati anaknya, sebagaimana kesedihannya mendengar kabar kematian Mahapatih
Raganata. Nyai Sumekar bergegas meraih lengan anaknya dan bahkan memeluk anaknya. “Kakang
Bramantyo,” rintih Niken Larasati menyebut nama suaminya, “bagaimana hidup saya nanti, Kakang
Bramantyo.” Nyai Sumekar mencium kening anaknya, mendekapnya dengan erat. Yang didekap sedang
mengelus-elus perutnya. “Ikhlaskan Nduk, ikhlaskan.” Namun Niken Larasati salah, sebagaimana Nyai
Sumekar juga salah. Tak ada siapa pun tetangganya yang punya kereta kuda, namun di jalan yang sangat
sepi itu ada kereta kuda yang datang. Meski dari kejauhan terdengar suara batuk yang sangat ia kenal, batu
yang demikian adalah suara batuk suaminya. Niken Larasati terkejut bukan kepalang, dan dengan kurang
cermat langsung berdiri, akan tetapi Nyai Sumekar yang tidak kalah bingung dengan tangkas menolong
anak perempuannya. Betapa meledak hati Niken Larasati melihat sosok yang dirindukannya ternyata masih
hidup dan turun dari kereta kudanya. “Kakang!” letup Niken Larasati. Senopati Bramantyo tidak berkata
apa pun, ia punya alasan untuk bingung, ia punya alasan untuk merasa canggung. Niken Larasati meledak,
namun masih punya kesadaran untuk menahan diri. Dengan dada berbeban berat ia mendekati suaminya
dan memeluknya sangat erat. Menahan tangis sungguh jauh lebih berat dari bila tangis itu tersalur. Akan
tetapi Niken Larasati mampu melakukan itu. Dengan gugup ia meraih tangan suaminya dan menuntun
tangan itu untuk meraba perutnya. Ia terhuyung, namun dengan tangkas suaminya memegang tubuhnya.
Nyai Sumekar menyesuaikan diri. Ia senang dan rasa itu butuh penyaluran. Namun ia mencontoh apa yang
dilakukan anaknya yang mampu menahan diri. Nyai Sumekar tak cukup berusaha, namun dengan kedua
tangannya ia membekap mulutnya sendiri. Matanya terbelalak. “Ayo masuk,” ucap Nyai Sumekar dengan
suara bergetar. Tanpa bicara tanpa kata, namun riuhnya melebihi gegap gempita. Nyai Sumekar yang tidak
ingin tetangganya berdatangan bergegas menutup pintu, sementara kereta kudanya dibiarkan di halaman.
Di dalam rumah, Nyai Sumekar mengkucal-kucal matanya, menyempatkan memperhatikan keadaan
menantunya. Ia bernapas lega melihat kedua kaki Bramantyo menyentuh tanah dan sama sekali tak
berjarak. Sebaliknya cucu mendiang Mahapatih Raganata tak perlu melakukan apa yang dilakukan ibunya.
Dengan memeluk erat itu ia merasakan benar-benar memeluk benda mata, bukan khayalan, bukan jiwa
yang tanpa raga. Di belakang, Nyai Sumekar menyalakan api dengan batu titikan untuk memasak air.
Perempuan itu bergegas kembali ke depan dan dengan hati yang berdenyut kembali melihat anaknya masih
memeluk suaminya. Masih sangat takjub Nyai Sumekar dalam memperhatikan kepulangan menantunya.
Kedua perempuan itu, ibu dan anaknya sama sekali tidak tahu, lelaki di depannya sudah tidak punya hak
untuk hidup di dunia. Bahwa sebutan untuk Senopati Bramantyo hanyalah seorang mendiang. “Ternyata
kakang tidak gugur diu palagan?” akhirnya Niken Larasati membuka percakapan. Senopati Bramantyo
tidak menggeleng dan juga tidak mengangguk. Cahaya lampu ublik yang mendrip-mendrip (Mendrip-
mendrip, Jawa, cahaya yang amat lemah) menempel di dinding di matanya tampak lebih terang. Di malam
gelap yang demikian, Senopati Bramantyo melihat apa pun dengan lebih jelas, tak ubahnya mata burung
hantu. Seperti burung hantu pula, cahaya matahari sangat silau dan menyakiti. Demikianlah mata makhluk
malam, sejak kematian yang dialaminya Senopati Bramantyo berubah seperti itu. “Ibu dan Niken
Larasati,” Senopati Bramantyo berkata, “malam ini pula saya akan mengajak Ibu dan Niken Larasati untuk
pergi ke sebuah tempat. Dengan menggunakan kereta kuda, pagi sekali kita akan sampai ke tempat yang
kita tuju. Selebihnya kita tidak akan kembali lagi ke tempat ini.” Nyai Sumekar merasa penasaran. “Ke
mana?” Namun anak perempuannya yang justru punya jawaban, “Jangan bertanya ibu, kita lakukan saja.”
Tidak banyak yang harus dibawa kecuali beberapa lembar pakaian dan secepuk perhiasan milik anaknya
pemberian dari kakeknya. Pun demikian pula dengan Niken Larasati yang bagai merasa hidup kembali dari
kematian dan dipulihkan kebahagiaannya dengan sangat ikhlas pergi meninggalkan rumah tempat
tinggalnya yang dihuni sejak bayi. Ada banyak pertanyaan yang menggumpal di hati ibu dan anaknya itu,
namun mereka tahu, Senopati Bramantyo pasti sedang memindahkan mereka ke tempat yang aman. Boleh
jadi karena mereka adalah kerabat mendiang Mahapatih Raganata maka penjarah dari Gelang-Gelang akan
menumpas habis sampai ke akar-akarnya. Nyaris tanpa suara, Nyai Sumekar dan anak perempuannya naik
ke atas kereta kuda, juga tanpa suara serta luput dari perhatian para tetangganya Senopati Bramantyo
meninggalkan desa yang menyimpan banyak kenangan itu. Perlahan kereta kuda itu berderap ke arah timur
yang bila jari tangan menunjuk ke depan, di sana Gunung Semeru yang menjulang tinggi berada.
“Sebenarnya apa yang terjadi pada kakang?” tanya istrinya. “Untuk sementara jangan bertanya apa pun
dulu Niken Larasati, di saat seperti ini, angin pun bisa menjadi telik sandi. Nantilah menjelang pagi ketika
kita sampai di tempat tujuan, saya akan ceritakan semuanya. Sebaiknya, tidurlah.” Tidur di pelukan
suaminya adalah tidur yang melelapkan, tidur yang sangat tenang dan damai setelah beberapa hari
mengalami kegelisahan yang sungguh luar biasa. Kali ini amat mudah bagi Niken Larasati untuk tidur
karena mimpi buruknya telah terhapus oleh kenyataan suaminya masih hidup. Kereta kuda itu bergerak
perlahan ditemani bulan yang tengah malam nanti akan tenggelam. Bila Niken Larasati bisa lepas
bebannya, sebaliknya tidak demikian dengan Nyai Sumekar. Ia bingung setelah menghubung-hubungkan
beberapa keterangan yang ia peroleh hari-hari sebelum peristiwa besar mengguncang Singasari.
Ranggalawe telah menuturkan dengan seksama apa yang terjadi di Singasari, dengan cara bagaimana
Raganata gugur dan seperti apa perjuangan menantunya dalam melindungi kakek mertuanya. Ranggalawe
bercerita, kematian Senopati Bramantyo itu penuh dengan anak panah. Kalau cerita itu benar, Senopati
Bramantyo yang pulang benar-benar utuh tanpa bekas luka sama sekali. “Apa sesungguhnya yang terjadi?”
Tengah malam telah dilintasi, namun perjalanan masih bagai tanpa ujung. Nyai Sumekar sama sekali tidak
mengantuk dan tak bisa tidur. Pikirannya bahkan bercabang-cabang ke mana- mana. Ia merasa ada yang
berubah pada sikap menantunya. Namun rupanya, perjalanan itu lebih cepat dari perkiraan. Masih gelap
dan menjelang pagi, Senopati Bramantyo menghentikan kereta kudanya dan menyentuh kening istrinya.
“Kita di mana?” tanya Niken Larasati. “Padukuhan ini bernama Narawangsan.” Nama tempat itu disebut
menyebabkan Niken Larasati terkejut. “Narawangsan, kampung halaman kakang?” Senopati Bramantyo
mengangguk. Niken Larasati memperhatikan sebuah rumah yang terpencil tanpa rumah lain di tempat
yang dipenuhi semak dan perdu. “Itu rumah Kakang?” Senopati Bramantyo mengangguk. “Ooo,” letup
Niken Larasati. Selama menjadi istri Senopati Bramantyo belum pernah suaminya itu mengajak pulang ke
kampung halamannya. Dengan penuh minat Niken Larasati memperhatikan sebuah rumah yang terlihat
amat sepi, sementara dari sela-sela dindingnya terlihat lampu ublik yang berusaha sekuat tenaga menerangi
gelap yang membekapnya. Rumah itu benar-benar terpencil dan jauh dari para tetangganya. Namun apa
pun itu, Niken Larasati merasa senang diajak ke tempat itu. Niken Larasati akan turun dari kereta, akan
tetapi suaminya mencegah. Ibu mertuanya yang juga akan turun kembali duduk. “Kenapa kakang?”
Senopati Bramantyo tidak segera menjawab karena ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya.
Senopati muda itu terlihat amat jelas menyangga sebuah beban. Namun apa pun yang akan terjadi,
Bramantyo harus mengatakan keadaan yang sesungguhnya. “Di dalam rumah itu, ada orang yang sedang
sakit.” Niken Larasati menyimak. “Siapa?” Ibu mertuanya yang bertanya. “Saudara kandung saya,”
jawabnya. Niken Larasati takjub. “Saudara kandung? Kakak atau adik?” “Kakak kandung, namanya
Bramanti. Saya dengannya hanya berbeda sepenginang.” (Sepengening, Jawa, sebentar, arti harfiahnya
seperti jumlah waktu yang dibutuhkan untuk makan sirih) jawab suaminya. “Hanya sepenginang? Apakah
itu berarti Kakang Bramantyo dan Kakang Bramanti saudara kembar?” Pertanyaan itu oleh suaminya
dijawab dengan anggukan. “Sedang sakit?” ibu mertuanya ikut bertanya. “Benar Ibu!” “Sakit apa?” tanya
Sumekar lagi. “Tidak ingat siapa pun!” Jawaban Senopati Bramantyo yang demikian sungguh sangat
membingungkan baik istri dan ibu mertuanya. Tidak ingat apa pun, juga sebuah keadaan yang baru
pertama kali itu ia dengar. Selama ini yang dipahami oleh ibu dan anak itu, sakit itu antara lain sakit
kepala, sakit perut, sakit mata atau semacam itu. Sakit tidak ingat pada siapa pun sungguh sakit yang aneh
sekali. “Sejak kapan?” tanya Niken Larasati. Senopati Bramantyo meraih tangan istrinya, digenggamnya
dengan amat erat. “Kematian kedua orang tua kami, terutama kepergian ibu menyebabkan Kakang
Bramanti terpukul. Ia tidak siap atau tidak bisa menerima kematian itu, jiwanya terpukul luar biasa. Kakak
saya mengalami sulit tidur, itu terjadi selama berpekan pekan, lalu berubah menjadi kehilangan ingatan. Ia
tidak mengenal saya, tidak ingat pada semua tetangga.” Muncul rasa iba di hati Niken Larasati. Bahwa
Bramanti memang mengalami kesulitan tidur, terlihat dari pintu rumah yang tiba-tiba terbuka. Gelap
malam menelan wajah lelaki yang berdiri di tengah pintu yang terbuka. Namun sejenak kemudian sebuah
obor menyala, menerangi wajahnya dengan agak jelas. Suami Niken Larasati kemudian membimbing
istrinya untuk turun dari kereta kuda, disusul Nyai Sumekar yang masih diganggu rasa penasaran. “Siapa
kalian?” tanya Bramanti. Senopati Bramantya mendekatinya, menunjukkan wajahnya dengan lebih jelas.
“Kau masih belum ingat siapa aku, Kakang Bramanti?” Bramanti mengerutkan dahi, ia memandang tajam
dan berusaha mengingat siapa namanya. Meski demikian Bramanti merasa tak asing pada wajah itu.
Adalah Niken Larasati yang merasa takjub bukan kepalang, melihat kemiripan wajah yang luar biasa.
Wajah suaminya dan wajah kakak kandungnya laksana pinang dibelah menjadi dua. Naluri yang baik,
ditunjukkan oleh Bramanti dengan mempersilahkan masuk. Ia mendahului dengan membuka pintu lebih
lebar. “Mereka,” kata Bramantyo, “adalah istri dan mertua saya. Untuk berapa lama mereka akan tinggal di
sini. Saya titipkan kepadamu karena keadaan negara sedang dalam bahaya.” Bramanti memandang dua
perempuan di depannya, kepada perempuan yang tua yang disebut mertua, dan kepada yang muda yang
disebut istri dan sedang dalam keadaan hamil tua, Bramanti mengangguk. Saudara kembar Bramantyo
yang selalu seperti sedang bingung kemudian menatap saudara kembarnya namun sama sekali ingat siapa.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Bramanti. “Baik, kakang,” jawab Senopati Bramantyo. Bramanti
mengangguk, memejam lalu melek lagi. “Lalu ke mana saja kau selama ini?” Senopati Bramantyo
terbungkam. “Kakang sudah ingat semua?” Bramanti bingung, ia berusaha mengenang namun tidak
berhasil. Sejenak ia memboroskan waktu dengan melangkah mondar-mandir, namun tetap saja tidak ingat.
“Terhapus semua, otak saya kosong!” Namun meski semua kenangan seperti terhapus, keadaan itu tidak
mengubah perilakunya. Dengan gugup Bramanti menyiapkan kain, membersihkan ambennya dan
memasang kurung bantal. Dengan takjub Niken Larasati memperhatikan. Saudara kembar suaminya itu
bahkan agak lama menyibukkan diri di dapur untuk menjerang air. Bramantyo merogoh saku dan
menyerahkan sekampil (Kampil, Jawa, kantung kain wadah uang atau perhiasan) uang dan perhiasan.
“Kakang akan pergi?” tanya istrinya. “Ya, itu untuk bekal selama kau tinggal di sini.” Meski sedih harus
berpisah lagi dengan suaminya, namun sebagai istri seorang prajurit Niken Larasati merasa harus siap
dengan perpisahan macam itu, setidaknya ia kini merasa lega karena mendapati suaminya ternyata masih
hidup. “Ibu, saya ingin berbicara dengan ibu,” bisik Bramantyo ketika mendapat kesempatan hanya berdua
dengan ibu mertuanya. Ketika Niken Larasati sedang berada di pakiwan (Pakiwan, Jawa, kamar mandi,
atau juga sering disebut kolah) Senopati Bramantyo membawa ibunya ke halaman. Semakin mencuat alis
Nyai Sumekar ketika menantunya itu meraih telapak tangannya dan menciumnya dengan penuh hormat.
“Ibu, sesungguhnya saya sudah mati.” Terbelalak mata Nyai Sumekar. “Maksudmu?” Senopati Bramantyo
menghela napas amat dalam. Bingung bagaimana harus menjelaskan, namun ia merasa benar-benar harus
menjelaskan. Mertuanya memandang dengan tatapan mata aneh dan merasa amat butuh penjelasan.
“Mohon maaf ibu,” kata Bramantyo, “sesungguhnya saya sudah mati. Dalam pertempuran yang
berkecamuk di istana, saya menyesal karena tidak mampu melindungi Eyang Mahapatih Raganata. Eyang
Mahapatih Raganata gugur dalam ranangggana (Rananggana, Jawa, perang) sementara saya diranjab
(Diranjab, Jawa, dihujani) anak panah dan berbagai senjata yang lain. Saya mati dengan tubuh penuh luka
arang kranjang.” Nyai Sumekar memandang menantunya dengan segenap rasa bingung. Ia memperhatikan
tubuh Senopati Bramantyo dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sama sekali tidak ada jejak luka berbagai
senjata yang disebut. “Namun seseorang yang saya tidak mengenalnya, menghidupkan saya kembali.”
Nyai Sumekar terbelalak. “Ada orang yang menghidupkanmu kembali?” Bramantyo mengangguk. “Ya!”
jawabnya. “Ada orang yang memiliki kemampuan macam itu?” Senopati Bramantyo tidak segera
menjawab serasa ada sesuatu yang mengganjal tenggorokan yang menyebabkan lehernya kaku. Senopati
Bramantyo mendahului dengan tarikan napas panjang, “Karena menurutnya saya harus menyelesaikan
sebuah persoalan. Kelak ketika saya sudah selesai dengan melaksanakan tugas itu, saya akan menitis
kembali.
Majapahit 3, Banjir Bandang dari Utara,
9
LANGIT KRESNA HARIADI·THURSDAY, FEBRUARY 16, 2017

Akan halnya Gayatri, tiba-tiba ia merasa amat tidak suka. Ia tidak suka pada cara pandang kakak
kandungnya yang menganggap tumpes tapis (Tumpes tapis, Jawa, penumpasan sampai tanpa sisa) yang
terjadi di Istana Singasari seolah telah menjadi garis takdir, pepesten (pepesten, Jawa, takdir) yang harus
diterima tanpa boleh mempersoalkan. Gayatri tidak bisa mengerti dan menerima jika apa yang dilakukan
Kediri atas Singasari itu tanpa perlu mempersoalkan.

Di sisi yang lain, Gayatri tambah merasa sebal.

Di depannya, Wirota Wirogati mencangkung beku laksana patung yang membuat mulutnya terasa penuh
ludah, terasa neg. Lelaki di depannya, lelaki yang kepadanya ia telah menjatuhkan pilihan itu ternyata
bukan jenis laki-laki setia. Ketika dengan bulat ia berniat menyerahkan diri, menyerahkan kehormatannya,
Wirota Wiragati mengaku telah beristri. Sungguh sangat mudah bagi Wirota Wiragati meninggalkannya.

Bergolak isi dada Wirota Wiragati ketika Gayatri tiba-tiba berbalik dan tanpa banyak bicara melangkah
meninggalkannya. Membeku lelaki itu kebingungan karena sangat sadar maknanya, bahwa perempuan itu
memendam rasa kecewa yang luar biasa. Semakin lama, langkah Gayatri semakin jauh dan kabut yang
turun pun bagai menelannya, dan menyembunyikannya di istana kerajaan demit.

Wirota Wirogati menghela tarikan napas yang amat dalam dan berat, seketika itu pula lelaki itu merasa
perutnya penuh dengan udara, ada rasa ingin kentut namun ia lupa bagaimana cara melakukan. Beberapa
saat ia memboroskan waktu dengan tidak melakukan apa pun. Angin yang tiba-tiba semilir menyemburkan
debu-debu ke tubuhnya, turun hujan sebelumnya dengan cepat menghapus debu-debu, namun tidak berapa
lama kemudian debu yang melayang di tempat lain kembali datang menggantikannya.

Langkah kaki Gayatri yang hampir memasuki biliknya mendadak terhenti ketika tiba-tiba ia mendengar
suara yang menggetarkan gendang telinganya. Suara seruling yang mengalun penuh duka itu, ia tahu
berasal dari mana dan siapa yang meniupnya. Dulu, saat masih berada di istana Singasari, ia amat
menyukai dan menghayati pesan cinta yang tersalur melalui alunan seruling itu, yang meski Wirota
Wiragati meniupnya dari luar arah kandang kuda, namun ia curiga pesan cinta itu memang benar tertuju
untuknya.

Ketika itu, malam tengah bergulir dari puncaknya, dan sang waktu mendekati pagi hari. Di langit bintang-
bintang terlihat bertaburan berjejal-jejal seolah antara satu dengan lainnya sedang bermasyarakat,
bertetangga, bertegur sapa dan berkeluarga.
Ketika itu, Gayatri yang begitu penasaran memberanikan keluar dari dalam bilik dengan cara melompati
jendela. Ia tak mungkin keluar dari pintu biliknya karena pasti harus harus berurusan dengan para emban
yang bertugas jaga dan melayaninya. Para emban itu ada dua yang tua dan lima yang masih muda yang
tidur bergelimpangan dengan menggelar tikar di depan pintu.

Gayatri mengendap-endap dan berlari gesit menuju ke kandang kuda yang dirawat oleh tiga orang pekatik
(Pekatik, Jawa, perawat kandang) dan dua orang gamel (Gamel, Jawa, orang yang bertugas mengurusi
kuda). Tidak seorang pun gamel dan pekatik yang sedang berada di kandang kuda karena mereka lebih
tertarik pada tontonan tayub yang digelar oleh penduduk yang sedang mengawinkan anaknya.

Diam membeku Gayatri bersandar dinding dan dengan jauh lebih jelas, ia menyimak nada yang dialunkan
Wirota Wiragati. Sungguh dari jarak lebih dekat itu ia merasakan hunjaman yang lebih dalam lagi, alunan
itu begitu indah serasa membetot sukma. Lalu dengan mengendap-endap ia melangkah untuk mendapatkan
arah pandang yang lebih jelas.

Sasadara (Sasadara, Jawa kuno, bulan) di langit tidak membantu karena berada di pelukan mendung yang
tebal. Demikian tebal mendung di langit, pada saat tertentu bulan hanya terlihat semburat dan sesekali kilat
muncrat mewartakan kehadirannya. Di ketinggian langit yang sangat sulit di tebak di sebelah sana,
sepasang paksi tidur terbang dengan membentangkan sayap tanpa mengayuh, gerakan angin cukup
kencang yang menerjang sayapnya, menyebabkan burung itu tak perlu berpikir mengukur arah.

Namun kehadiran Gayatri yang diam-diam itu terpantau oleh sepasang burung hantu pemilik mata lebar,
itulah mata burung yang sangat awas tak kalah dari mata milik cataka, meski pun hari sedang gelap gulita
ia mampu menandai kehadiran tikus yang berseliweran mencari makanan. Burung hantu adalah jenis
burung yang tidak serakah. Ia tidak lagi berburu ketika perutnya sudah kenyang. Sebagai sesama pemangsa
tikus, burung hantu tidak suka pada ular. Meskipun sudah kenyang burung hantu tetap akan melesat
menghajar jika ular yang muncul. Dengan amat terukur burung hantu akan dengan memilih mencengkeram
kepalanya.

Ketika itu, terkejut Wirota Wiragati mendengar suara batang kayu yang patah terinjak kaki. Alunan
serulingnya seketika berhenti. Ia pun berbalik sambil dengan cekatan mencabut senjata andalannya serta
bersikap siaga. Di siraman cahaya obor, Wirota Wiragati kemudian melihat siapa yang datang dan
bergegas mengubah sikap menghadapi siapa orang yang muncul. Pedang panjang melengkung miliknya
disarungkan ke dalam warangkanya, disusul dengan ia menekuk kaki dalam sikap menyembah, kedua
telapak tangannya dilekatkan di depan dada kemudian ia gerakkan kedua tangan itu menuju ujung hidung.

Wirota Wiragati berdiri tegak.

Ketika itu, dalam suasana hati yang agak gugup, “Tuan Putri belum tidur?” tanya Wirota Wiragati.

Gayatri tak merasa perlu menjawab pertanyaan itu, ia melangkah lebih dekat sambil memutar arah
pandangnya ke segala penjuru, memperhatikan kandang dengan para kudanya yang tenang, lalu memutar
lagi ke atas mencermati cahaya purnama yang buram karena terhalang, dan terakhir kembali ia
mengarahkan perhatiannya ke wajah lelaki di depannya.

“Suara seruling yang baru kau lantunkan itu, kakang, apakah punya nama? Jika itu tembang, lalu siapakah
yang menciptakan karena begitu indahnya?”

Wirota Wiragati tidak segera menjawab. Dengan ujung lengan baju lurik yang dikenakannya ia mengusap-
usap alat musiknya dan dengan penuh penghayatan kembali ia meniupnya. Namun Gayatri yang
menyimak mendengar alunan nada yang berbeda, bukan nada seperti sebelumnya. Yang ia tandai, alunan
seruling yang ia dengar kali ini menyiratkan hati yang bahagia, nadanya sedikit lebih cepat dan penuh
semangat.

Gayatri merasa punggungnya bagai dirayapi ribuan ekor semut.

Ketika itu, malam itu, dalam kenangan Gayatri.

”Lalu tembang milik siapakah itu kakang? Siapakah yang menciptanya?”

Wirota Wiragati berhenti.

Ia menjawab, “Rangkaian nada itu keluar begitu saja dari mulut hamba Tuan Putri. Jika yang dimaksud
adalah siapa pembuatnya, saya pembuatnya.”

Gayatri mengernyit. Selangkah lagi ia melangkah lebih dekat.

Wirota Wiragati melanjutkan, “Jika hamba diminta mengulangi sama persis, hamba tidak mampu. Lagu
yang hamba alunkan itu seperti napas, tak pernah sama.”

Gayatri manggut-manggut.

“Jadi alunan nada itu mengalir begitu saja?”

“Hamba Tuan Putri, ya.”

“Sayang sekali, seharusnya kakang mencatat atau menghapalnya supaya bisa didengar lagi di lain waktu.”

Mendengar itu Gayatri tertawa.

“Celakanya, hamba tak memiliki kemampuan itu, Tuan Putri. Hamba hanya bisa menyuling namun hamba
tidak memiliki kemampuan memindahkan ke dalam tulisan titi nada.”

Gayatri termangu sesaat. Ia kembali melangkah lebih mendekat.

“Kakang tiup lagi, sekali lagi, keluarkan isi hati Kakang, saya akan mendengarnya.”

Wirota Wiragati memejam.


Sungguh tidak terlampau sulit bagi Wirota Wiragati untuk memenuhi permintaan itu. Bahwa jika ia sedang
sedih, maka kesedihan yang dirasakan itu dengan amat mudah ia bisa salurkan ke dalam alunan titi nada.
Bahwa ia sedang marah, maka dengan mudah warna pula kemarahan itu ia hadirkan dalam alunan nada
yang mengombak, tidak ubahnya alunan prahara dari laut yang menggempur pantai. Apalagi ketika ia
merindukan seseorang, apalagi jika ia jatuh cinta, apalagi kali ini orang yang ia cintai itu hadir di
depannya, amat nyata, tidak perlu berkhayal.

Maka sangat lincah jari tangan Wirota Wiragati menari di lubang-lubang kecil serulingnya. Ia menghayati
sekali, ia terjemahkan gelegak jatuh cinta itu yang seolah bisa digambarkan oleh para penari bedaya yang
menterjemahkan tari ubaling asmara dahana, (ubaling asmara dahana, Jawa, gelegak api asmara).
Bergetar jiwa Gayatri menyimak alunan nada itu, bergetar jiwanya, dan jiwa yang bergetar itu terbetot luar
biasa.

Alunan nada yang meliuk-liuk itu akhirnya berhenti. Wirota Wiragati telah mengakhirinya.

“Luar biasa, Kakang,” kata Gayatri.

Wirota Wiragati mengangguk amat dalam, tubuhnya tertekuk.

“Apa yang kakang rasakan?”

“Maksud Tuan Putri?”

“Ketika mengalunkannya, apa yang kakang rasakan?”

Wirota Wiragati menghirup udara amat dalam, serasa masih kurang pasokan udara yang ia butuhkan.

“Hamba merasa seperti pungguk.”

Gayatri mengernyit.

“Pungguk kenapa?”

“Seperti pungguk merindukan bulan, amat mustahil untuk bisa hamba jangkau.”

Gayatri tambah mengernyit, akan tetapi ada sebuah alasan untuk tidak mengejar jawaban itu dengan
pertanyaan lanjutan. Sebaliknya, Wirota Wiragati mendadak merasa percakapan itu telah terlampau jauh.
Ketika ia merasa gugup dan Gayatri pun gugup, untuk mengisi waktu yang tidak pernah berhenti mengalir,
dialihkan dengan terus meniup serulingnya.

Pertanyaan atas siapa si pungguk dan siapa bulannya, Gayatri tiba-tiba berharap dirinyalah yang dikiaskan
sebagai sasadaranya.

Menjelang pagi, Gayatri dan Wirota Wiragati mengakhirinya pertemuannya.


Adalah ketika itu, atau sejak pertemuan itu, Gayatri mendadak menjadi amat gelisah. Apa pun yang sedang
ia lakukan, apalagi ketika sendiri, maka pikirannya tiba-tiba beralih ke sosok yang mencuri hatinya.
Bahkan ketika ia tidur, lelaki itu dengan kurang ajar menyelinap angkrem (angkrem, Jawa, meringkuk,
seperti yang dilakukan ayam ketika mengerami telurnya) di sudut hatinya. Sangat mengkili-kili,
menyebabkan sikap tidur Gayatri tiba-tiba berubah, tiba-tiba ia lebih suka memeluk bantal dan membusai
guling.

Ketika itu, malam selanjutnya, Gayatri sulit tidur, hujan turun dengan deras dan kemudian mereda. Ia
berharap suara seruling itu muncul lagi, namun yang ia rindukan tak kunjung datang mewartakan diri.
Ketika hujan mereda dengan mengalirkan udara dingin dari Gunung Semeru di timur, juga dari Gunung
Arjuno dan beberapa gunung di sekitarnya, akhirnya suara seruling yang ia tunggu kehadirannya mulai
terdengar.

Gayatri bergegas bangun dan mengulang apa yang ia lakukan malam sebelumnya. Dengan berlari-lari kecil
Gayatri melintas dan melintas dinding tembok dan akhirnya sampailah ia di kandang kuda. Sedikit agak
basah tubuh Gayatri oleh sisa gerimis, namun ia tidak peduli.

“Sugeng dalu (sugeng dalu, Jawa, selamat malam) Tuan Putri,” sapa Wirota Wiragati.

“Selamat malam, Kakang Wirota Wiragati.”

Gayatri bersandar dinding sambil menyilangkan kedua tangan.

“Lanjutkan, kakang, saya ingin mendengar suara hatimu.”

Wirota Wiragati mengangkat seruling bambunya dan melekatkan bibir ke ujung lubang alat tiupnya.
Wirota Wiragati merasa perlu memejamkan mata lebih dulu sebelum ia mulai. Dalam ruang angannya,
tiba-tiba terbayang gerak sepasang burung prenjak yang sedang kasmaran yang terbang beriringain dari
daun ke daun, dari kembang ke kembang. Matahari sedang benderang di pagi itu, menyempurnakan
kebahagiaan mereka yang berencana membangun rumah tangganya.

Wirota Wiragati menyempatkan memejamkan mata di awal suara indahnya itu mengalir.

Ketika itu, di malam hening yang amat damai di sisa gerimis, Wirota Wiragati menyalurkan isi hatinya
dengan penuh penghayatan, menghasilkan alunan titi nada yang menyebabkan Gayatri terbelalak.

Bermula dari seluruh panca inderanya. Wirota Wiragati melihat kemudian merekam berbagai dari pandang
matanya. Di sepanjang waktu yang bergerak ia melihat banyak hal melalui pandang matanya, melihat
daun-daun, melihat pepohonan, melihat ombak di pantai, pun mendengar suara alam menggunakan daun
telinganya, mendengar angin meributkan batang bambu yang meliuk-liuk bergesekan antara satu dengan
lainnya, mendengar suara gemuruh angin ribut. Lewat indera perabanya ia memindai permukaan benda apa
pun, permukaan kayu yang kasar, permukaan bilah pedangnya yang tajam, lalu dengan indera
pengecapnya ia menandai rasa, rasa manis gula aren, rasa pahit bratawali, rasa kecut buah asam dan
terakhir melalui hidungnya ia menandai segala macam bau, dari yang menyegarkan sampai yang
memancing rasa mual.

Semua pengalaman yang bersinggungan dengan lima indera itulah, yang kemudian diolah di kepala
terpisah atau mungkin juga tercampur di antara keduanya, olar rasa dan olah pikir. Olah rasa
memungkinkan munculnya perasaan dan semua turunannya, olah pikir menurunkan pikiran dan
turunannya. Ada yang mengatakan, perempuan lebih menggunakan olah rasa sementara para lelaki lebih
banyak menggunakan olah pikirnya, konon itu sebabnya perempuan lebih perasa, lebih mudah menitikkan
air mata, sementara pengedepanan olah pikir menyebabkan lelaki lebih mudah menerima kenyataan,
mewarnai ketangguhan tubuhnya yang memang dicipta untuk bisa bertarung demi diri sendiri atau
melindungi keluarganya.

Dari dua ruang baik yang terpisah maupun menyatu itu, dari naluri berpikir dan berperasaan, muncul ruang
baru tempat berangan-angan, bermimpi dan berandai-andai, dari ruang itulah hal-hal yang berkait dengan
keindahan dilahirkan. Gabungan dari olah rasa dan olah pikir itulah yang diolah, diobrak-abrik, atau
dijungkirbalikkan oleh Wirota Wiragati dalam bentuk alunan nada yang kini sedang dialirkan melalui titi
nada, naik turun, meliuk-liuk dan bahkan seperti sedang menari.

Menyimak itu, Gayatri sangat kesengsem.

Suara seruling itu menyita perhatian, ia menyelinap di antara jatuhnya gerimis dan mengkili-kili gendang
telinga siapa pun seperti ketika menggunakan bulu ayam yang lembut untuk diusap-usap di lorong kuping
itu.

Namun tak seorang pun yang mendengar yang keberatan.

Tidak!

Wirota Wiragati kemudian berhenti, dalam keadaan yang demikian, ia bingung memulai dari mana juga
untuk membicarakan apa.

Namun Gayatri yang mencairkan.

“Kakang,” ia meminta perhatian.

Wirota Wiragati menyelipkan batang seruling bambunya ke pinggang.

“Hamba Tuan Putri,” jawab Wirota Wiragati.

Gayatri mendekat.

“Soal pungguk yang merindukan bulan, siapakah yang kakang maksud?”

Untuk pertanyaan sederhana itu ternyata Wirota Wiragati mengalami kesulitan menjawab. Ia bungkam
beberapa saat. Wirota Wiragati melangkah mondar-mandir.
“Baiklah,” kata Gayatri, “kakang boleh jawab mengangguk atau dengan menoleh. Orang lainkah yang
kakang kiaskan sebagai sasadara?”

Wirota Wiragati menatap tajam. Pilihan antara mengangguk dan menoleh itu memudahkan ia dalam
menjawab, ia menoleh. Melihat itu Gayatri tersenyum, tarikan napasnya yang panjang dan tuntas
menandakan ia merasa lega.

“Kakang menggeleng atau mengangguk, sayakah bulan yang beruntung itu?”

Wirota Wiragati menyisihkan rasa ragunya untuk mengangguk.

Merekah senyum Gayatri dan dengan tanpa keraguan ia lebih mendekat dan menempatkan diri berada di
pelukan lelaki itu. Gemuruh dada Wirota Wiragati oleh guncangan terjal tatkala ia melingkarkan kedua
tangannya. Sekadar melingkarkan sebuah pelukan namun perbuatan yang sangat sederhana itu
menyebabkan Wirota Wiragati nyaris kehilangan jantung.

Itu dulu.

Semua itu adalah peristiwa yang terjadi dulu.

Kini keadaan telah berubah, kini isi dadanya nyeri karena tersakiti, Lelaki yang dicintainya itu, yang
padanya ia berkeputusan akan menyerahkan kehormatannya, ternyata termasuk dalam golongannya lelaki
yang tak layak didambakan. Ia tidak punya kesetiaan karena dengan begitu mudahnya telah beristeri,
padahal perpisahan itu baru terjadi beberapa saat lampau, sebelum Singasari dilibas banjir bandang dari
barat.

33

Fajar mempersiapkan diri dan berbenah. Di segala penjuru suasana masih gulita, namun sejatinya matahari
sudah mempersiapkan diri untuk mewartakan kehadirannya di balik langit timur, tak berapa lama lagi ia
akan menyemburatkan sinarnya yang benderang ke segala penjuru.

Di atas pulau Jawa, terutama dari arah Singasari ke barat, langit masih kotor. Hujan memang turun di
beberapa tempat, akan tetapi tidaklah dengan serta merta membersihkan langit dari debu yang terus
menyemburat tak berkesudahan dari Kampud. Di kedalaman kepundannya, lahar tak henti-hentinya
bergejolak, seperti di sanalah letak neraka yang diperbincangkan orang saat Para Pandawa dianggap
bersalah diceburkan tanpa rasa kasihan. Atau, di neraka macam itulah anak Bima bernama Gatotkaca
diceburkan ke kawah yang punya nama candra dimuka, itulah kawah pendadaran yang menyebabkan
Gatotkaca itu menjadi sakti mandraguna.

Kawah mendidih, semburatan isinya masih meleleh dan atau terbang membubung tinggi ke langit. Di
kedalamannya masih terdengar suara api neraka.
Demikian jauh perjalanan debu gunung yang sangar yang orang juga menyebutnya Kelud itu sampai
berjatuhan di Ciamis, menyapu wilayah Tasik Malaya, bahkan melintas jauh ke barat dan berjatuhan di
Ujung Kulon. Beberapa orang penduduk di Selat Sunda terheran-heran melihat para daun pisang begitu
kotornya, di Pamoyanan dan di Pamipiran yang berada tidak jauh dari Karang Kamulyan, sumur begitu
keruh, airnya tidak bisa dipakai.

Semua karena angin mengalir ke barat.

Di waktu awal ledakan arga itu, debu yang membubung memang sempat mengarah ke timur sampai
menjarah wilayah blambangan, namun para debu itu segera terusir ketika angin bergerak ke barat sehingga
bila dihitung dari Singasari ke arah timur, wilayah itu nisbi bersih tidak terlalu menderita, penduduknya
nisbi tidak terganggu.

Malam yang bersisa sejengkal itu terus bergerak hingga cahaya surya beranjak muncul, yang itu
menggusur cahaya berpendar yang melingkupi tepat di tengah-tengah Tanah Tarik. Meskipun semua
berjalan sebagaimana hari-hari sebelumnya, akan tetapi sesungguhnya telah terjadi sebuah peristiwa luar
biasa di Tanah Tarik, peristiwa yang tidak sewajarnya.

Raden Wijaya tidur lelap bersama Tribuaneswari, sementara dua adiknya Pradnya Paramita dan
Narendraduhita tidur di bilik masing-masing. Raden Wijaya sedang bermimpi menghadap Dyah Lembu
Tal di pelataran sebuah candi, bersikap seolah sedang meminta restu. Dyah Lembu Tal sedang
memandangnya dengan amat takjub, seolah pertemuan di pelataran candi itu setelah perpisahan yang amat
lama, ada kerinduan seorang ibu pada anaknya, dan ada kerinduan seorang anak pada ibunya.

Dyah Lembu Tal mengulurkan tangannya dan menyentuh kepala anaknya.

Sentuhan tangan lembut itulah yang membuat Raden Wijaya terbangun.

Seketika matanya membelalak.

Terperanjat yang ia alami adalah melebihi kaget oleh meledaknya petir. Terbelalak Raden Wijaya
memperhatikan keadaan di sekitarnya. Dalam keadaannya yang demikian, ia justru bisa melihat apa yang
terjadi dengan sangat jelas seolah ia menyaksikan dalam gerakan yang lambat.

Sadar bahwa sesuatu sedang berlangsung, Raden Wijaya bergegas membangunkan istrinya.

“Kangmbok, bangun!”

Tribuaneswari yang digoyang tangannya bergegas melek. Ia belum masih paham apa yang dimaksud
suaminya. Bergegas ia turun dari pembaringan dan menempatkan berdiri di sebelah suaminya. Raden
Wijaya memegang jari tangannya dan mengajaknya keluar ke halaman. Dari halaman itulah mereka berdua
memperhatikan apa yang sedang terjadi.

“Rumah ini akan murca,” bisiknya.


Terbelalak membelalak yang dialami atau dilakukan Tribuaneswari tertandai dengan mata yang terbuka
selebar-lebarnya. Bergegas ia menuju bilik kedua adiknya dan mengetuk pintunya dengan keras dan kasar.
Narendraduhita dan Pradnya Paramita keluar bersamaan.

Bahkan ucapannya pun bersamaan, “Ada apa?”

Tribuaneswari menyeret kedua tangan adiknya dan membawanya ke halaman mendekati suaminya.

“Ada apa?” ulang Pradnya Paramita.

“Rumah itu akan menghilang,” jawab Jaka Sesuruh, nama lain Raden Wijaya.

“Hah?” Narendraduhita kaget.

Bersama-sama mereka berusaha mencari-cari, namun tak kunjung menemukan jawaban yang dibutuhkan.
Sebaliknya Raden Wijaya memperhatkan dengan seksama, sangat cermat dan jelas.

“Lihat rumah itu, lihat garis tepinya, lihat batas garis atapnya,” Raden Wijaya memberikan petunjuk.

Meski telah dijelaskan, ketiga istrinya masih belum paham. Akan tetapi tidak berapa lama kemudian
Pradnya Paramita berhasil menemukan keganjilan.

“Seperti bergerak?”

“Ya,” tambah Tribuaneswari, “garis atap itu bergoyang.”

Rangkaian peristiwa itu akhirnya bisa diamati dengan cermat. Sejalan dengan munculnya kabut, bangunan
aneh yang menjadi tempat bermalam itu bergoyang dari ada menuju tiada. Di bagian atap terlihat paling
jelas pergerakan yang terjadi, seolah terjadi pertikaian perebutan, antara badan wadag (Jawa, fidik) yang
berusaha mempertahankan diri, melawan sesuatu tidak terlihat yang berusaha melenyapkannya.

Kabut tumbuh dari nafas dedaunan, dari geliat ranting yang bergerak oleh angin yang entah mengapa
mulai bergolak. Kabut paling banyak berasal dari bulat buah maja, seolah di kedalaman buah itu terdapat
sumbernya. Kemunculan kabut itu semakin lama semakin banyak dan bergairah seolah ada semangat di
dalamnya. Kehadiran kabut itu terasa sangat mangkus, sementara pohon maja di hutan itu sungguh banyak
dengan buah-buahnya yang sebesar kepala manusia.

Namun baik Raden Wijaya dan ketiga istrinya menandai, bahwa kehadiran kabut itu hanya untuk
membungkus rumah aneh yang telah memberikan mimpi indah kepada empat ningrat yang sedang
terlunta-lunta, kabut itu tidak bergerak ke tempat lain. Perlahan tetapi pasti, kabut itu kian menebal,
berusaha menyembunyikan rumah hantu itu dari pandang mata siapa pun.

“Rumah aneh,” bisik Narendraduhita.

“Ya,” jawab Tribuaneswari, “namun setidaknya kita tahu, rumah hantu ini telah menolong kita, memberi
tempat untuk berlindung semalaman.”
Selebihnya, baik Tribuaneswari, Narendraduhita dan Pradnya Paramita mencatat, di tempat itulah untuk
pertama kali mereka melayani suaminya, mencatat hubungan suami isteri yang tidak mungkin terlupakan
entah sampai kapan.

Di timur, amat lambat namun pasti, matahari sudah gemas ingin berbagi cahaya mewartakan kehadirannya
setelah semalaman berada di balik bumi. Cahaya yang mulai temaram itu rupanya menjadi penyebab
pergolakan luar biasa di bagian atap. Terbelalak tak lagi bisa berbicara ketika Raden Wijaya dan tiga
istrinya mengamati perubahan yang terjadi. Perlahan akan tetapi pasti, bagian atap bagaikan tergerus.
Kabut di bagian itu bergerak uleng-ulengan, serasa ikut campur pada pertikaian yang terjadi, antara ujut
rumah yang bersifat wadag berusaha mempertahankan diri dan pihak lain, sesuatu tak dikenal yang
memaksa berupaya melenyapkannya. Anak Dyah Lembu Tak melangkah mendekat, untuk bisa melihat
dengan lebih jelas.

Ke tiga istrinya yang merasa cemas menjaga jarak.

Perlahan tetapi pasti peristiwa itu berlangsung yang secara kasat mata terlihat, menuju murca yang dialami
rumah aneh di belantara Tarik itu ada hubungannya dengan matahari. Kian terang cahaya matahari
menjamah Tarik, menyebabkan rumah itu harus kalah atau mengalah, karena bukankah masih ada malam
lain di mana ia bisa muncul kembali.

Seekor burung gagak berniat terbang melintas, namun gagak itu terkejut dan terpaksa terbang memutar
balik. Ia berusaha terbang tinggi, namun setinggi-tinggi burung gagak nggegana (Jawa, terbang, dari kata
gegana, angkasa) tidaklah seperti terbang Paksi Cataka yang bisa menyentuh atap langit. Meski demikian
burung gagak itu mampu melihat dengan amat jelas pergolakan dan perubahan yang sedang berlangsung.

Burung berbulu hitam itu memperhatikan dengan penuh minat.

Sejalan dengan matahari yang beranjak naik, burung berwarna hitam dengan suara yang amat jelek itu
melihat betapa uleng-ulengan tempat di tengah hutan Tarik itu. Burung itu melihat dan memperhatikan
betapa matahari yang sangat perlahan bergerak naik menjadi sebab betapa kabut yang membungkus rumah
itu bagaikan diaduk dengan kasar.

Setelah hilang atapnya, maka bagian yang lebih bawah semakin digerogoti dengan rakus, tubuh rumah itu
bergoyang bergerak dari ada menuju tiada, demikian seterusnya ketika matahari mengintip lebih tinggi
lenyap bagian atas rumah itu menyisakan bagian bawah, ketika matahari bergerak lebih tinggi, maka
bentuk rumah itu tersisa semakin sedikit.

Di langit burung gagak itu menandai, sementara tepat di depan matanya, Raden Wijaya dan ketiga kakak
sepupunya mencermati dengan seksama saat-saat terakhir rumah itu menghilang. Demikianlah ketika
cahaya matahari itu akhirnya menjatuhkan cahayanya ke seluruh tubuhnya, maka wisma itu pun murca.
Lenyap tidak bersisa.
Setelah bergulung-gulung, kabut aneh itu kemudian lenyap, tak berjehak. Pergolakan terakhir adalah ketika
ia menghilang. Berhenti bergerak detak jantung Raden Wijaya mendapati tempat itu yang semula demikian
hidup ternyata hanyalah tanah kosong tidak ada apa-apanya. Ia sulit memahami mengapa semalam ia
benar-benar merasa tidur di atas pembaringan.

“Duh Hyang Widdi, Jagad Dewa Batara,” desis Raden Wijaya untuk diri sendiri.

Ketiga anak perempuan Kertanegara saling berpegangan tangan.

Ketiga anak Kertanegara itu tak lagi punya mulut.

Adalah sementara itu, matahari yang semburat menyebabkan sesuatu yang lain bergejolak. Adalah di
puncak pohon randu yang menjulang tinggi tidak jauh dari tempat di mana Raden Wijaya sedang berdiri,
dua butir telur rajawali berusaha membebaskan diri. Dari tidak punya tenaga, kini ia punya cukup tenaga,
setidaknya untuk keluar dari kulit yang membungkusnya. Kulit telur itu kemudian pecah tertusuk oleh
cakar dari dalam.

Kulit telur itu robek memanjang dan dalam waktu bersamaan muncullah kepala mungil paksi cataka yang
langsung menjerit. Jerit itu meski kecil akan tetapi amat jelas, menyebabkan Raden Wijaya menoleh dan
mencuatkan alis.

Demikianlah sang waktu terus bergerak, matahari memanjat baik, menemani Nambi, Andaka Sora,
Pawagal, Pamandana, Medang Dangdi, Ranggalawe, Kebo Kapetengan, Gajah Pagon dan Banyak Kapuk
yang masing-masing menuntun kudanya memasuki lebatnya hutan. Bukanlah pekerjaan gampang untuk
melakukan itu karena harus melakukan dengan membawa kuda. Tanpa banyak berbicara atau tiba-tiba
semua berubah menjadi pendiam, para Bala Sanggrama teman setia Raden itu memasuki lebatnya
belantara.

“Ada yang aneh?” bisik Medang Dangdi.

“Ya, sepi!” Pamandana menjawab.

“Bukankah hutan mestinya ramai?”

“Ya, terutama suara monyet,” jawab Pamandana lagi.

Namun senyap itu ternyata tidak berlangsung lama. Matahari yang memanjat semakin tinggi
menghidupkan kembali kehidupan hutan itu. Dimulai oleh jerit lutung yang bergelombang, tiba-tiba
dibalas teriakan itu oleh suara binatang yang lain. Di kejauhan harimau mengaum dengan amat dahsyat,
suaranya tak hanya menggetarkan udara namun merontokkan daun-daun yang menguning.

Suara semakin gaduh ketika ayam alas saling sapa bersahutan, burung-burung saling sapa bersahutan,
disusul dengan berbagai binatang berukuran kecil seperti cenggeret sahut menyahut, seolah itulah cara
yang bisa mereka lakukan sebagai penghormatan atas hari pertama Raden Wijaya berada di tengah-tengah
lebatnya hutan Tarik.

Nambi menikmati sekali suara-suara itu.

Nambi berkata, “Kau dengar itu? Ya, yang itu,” ucapnya sambil menyimak salah satu suara.

“Ya,” jawab Pawagal.

“Seperti apa wujud binatang itu?” tanya Nambi.

“Sepertimu,” jawab Pawagal sekenanya.

Mulut Nambi terbungkam, namun ia tidak marah. Di belakang Nambi, Pamandana melirik dengan
perasaan tidak senang.

Dan ketika matahari memanjat semakin tinggi, para Bala Sanggrama itu akhirnya berhasil menyusul Raden
Wijaya. Para sekar kedaton yang kini telah bersuami gembira melihat prajurit-prajurit itu masih utuh tak
berkurang seorang pun. Pamandana yang semula terluka parah dan kehabisan banyak darah pulih
kesehatannya dengan amat cepat melalui cara yang bagai tidak masuk di akal. Rupanya daun-daun yang
dijatuhkan oleh paksi cataka, benar-benar berkhasiat dan secara ajaib mengembalikan kesehatannya. Jejak
luka di sekujur tubuhnya telah lenyap tak berbekas sama sekali.

“Bagaimana keadanan kalian?” Tribuaneswari bertanya.

“Baik Tuan Putri, kami masih utuh.”

Tribuaneswari mengamati sahabat-sahabat suaminya dengan takjub. Namun yang paling menarik
perhatiannya adalah Pawagal dan Banyak Kapuk, yang seharusnya masih tertinggal di rumah mertua dan
isterinya. Tribuaneswari akan menggoda, akan tetapi suara melengking tidak jelas entah berasal dari mana
telak mencuri perhatian.

“Sorandaka,” kata Raden Wijaya meminta perhatian.

“Hamba Raden,” jawab Sorandaka yang juga dipanggil Andaka Sora atau Sora begitu saja.

“Bagaimana kabar burung elang itu?”

Sorandaka menghela napas panjang.

“Hamba sudah tidak terhubung lagi dengan burung-burung itu Raden, mereka sudah gugur satu persatu.
Burung terakhir yang tersisa, semalam telah hangus terkejar anak panah bermantra yang sangat kuat.”

Di ketinggian pohon randu alas, suara melengking itu muncul lagi.

“Kau dengar itu?”


Sorandaka terbelalak, minatnya bangkit.

Ia tiba-tiba berdiri dan memandang ke atas, akhirnya setelah mencermati, ia menemukan ada sebuah
sarang. Sekali suara menyayat itu datang dari tempat itu.

“Jangan-jangan itu anaknya?” tanya Sorandaka, bagaikan kepada diri sendiri, “bisa mati dia kalau tidak
ada yang memberinya makan.”

Sorandaka memperhatikan letak sarang burung itu dan mengukur diri seberapa mampu ia naik ke atas. Ia
segera menyingsingkan kain dan siap untuk memanjat, namun sejenak kemudian ia kebingungan.

Sorandaka ragu.

“Tidak berani naik?” tanya Raden Wijaya.

Sorandaka tidak menjawab, sikapnya sudah merupakan jawaban.

Tanpa banyak bicara, Pamandana yang justru menyingsingkan lengan dan mulai memanjat. Nambi ingat,
dalam kunjungannya ke Kediri dan menemui Pamandana, lelaki itu sedang berada di puncak pohon kelapa
sedang memetik buahnya. Untuk berani memanjat sedemikian tinggi jelas butuh nyali. Sorandaka pilih
tanding dalam perang, ia tidak punya rasa takut. Akan tetapi jatuh dari ketinggian letak sarang burung itu,
ia tidak berani.

Raden Wijaya mendongakkan kepala didampingi para istrinya. Para Bala Sanggrama melihat betapa
langka kemampuan seperti yang dimiliki Pamandana itu, yang berlagak seperti kera, amat gesit dan ringan
ketika harus melompat dari dahan ke dahan. Tak butuh waktu lama, Pamandana telah sampai di tempat
yang dituju.

“Apa yang kau lihat?” tanya Sorandaka.

“Dua ekor burung yang kelaparan, baru menetas,” jawab Pamandana dalam teriakan.

“Bagus, turunkan dengan hati-hati, jangan sampai jatuh.”

Burung-burung itu benar-benar kelaparan. Anehnya, dua ekor burung itu justru menganggap dirinya adalah
induknya yang akan memberikan makanan. Pamandana tidak perlu menimbang ketika ia memutuskan
melukai jari tangannya dengan pisau yang terselip di pinggangnya. Darah kemudian menetes-netes yang
diarahkan tepat ke mulut burung itu. Dua anak rajawali itu minum dengan lahapnya.

“Apa yang kau lakukan itu?” tanya Sorandaka.

“Memberinya makan,” jawab Pamandana.

Pamandana tidak menyadari, atau siapa pun tidak ada yang menyadari, Raden Wijaya tidak, Sorandaka
pun juga tidak, bahwa makanan yang diberikan kepada anak-anak Paksi Cataka itu adalah awal dari
dimulainya hubungan batin.
34

Gayatri ingin bersikap seperti kakaknya, untuk menerima kejadian itu sebagai suratan takdir yang telah
digariskan oleh Hyang Widdi, dengan begitu hatinya tidak akan terasa nyeri, namun bersikap seperti itu
ternyata sulitnya luar biasa. Terbayang di relung mata hatinya, ayah dan ibu kandungnya, dua orang tua
yang menjadi perantara kelahirannya ke dunia diperlakukan dengan dengan amat kejam, lebih-lebih
perlakuan orang-orang Kediri terhadap adik bungsunya. Berbeda dengan Wiswarupa Kumara yang seorang
bante, yang bisa menerima kejadian itu sebagai apa yang telah berada dalam suratan takdir.

Wajah Ardaraja mengombak di kelopak matanya. Gayatri membayangkannya dengan hati yang panas,
mendidih, eneg, dan jijik.

“Si Keparat,” Gayatri menyumpahi lelaki itu.

Adik iparnya itu ternyata lelaki yang sangat menyedihkan dan ditakdirkan untuk membuat adik bungsunya
menderita. Suami seyogyanya memiliki kesetiaan, akan tetapi yang dilakukan Ardaraja jauh dari keadaan
macam itu. Ardaraja berselingkuh dengan perempuan lain berderajad emban yang bahkan dengan kejam
membantai adiknya yang sedang nggarbini (Nggarbini, Jawa, hamil). Gayatri memejamkan mata,
mengingat bagaimana Emban bernama Runteng itu telah menjambak rambutnya dengan kasar
menyebabkan rikma (Rikma, Jawa, rambut) yang panjang itu terurai. Masih dalam memejamkan mata,
Gayatri teringat saat-saat seekor ular keluar dari lengan bajunya dan mematuk leher perempuan itu, yang
hanya memberi sedikit kesempatan untuk menggeliat kesakitan. Hanya butuh dua atau tiga tarikan napas
untuk mati bila gigitan itu berada di leher.

Meski Gayatri telah membalas membunuh perempuan itu, namun sakit hati itu masih belum lunas.
Kematian Raganata warangka (Warangka, Jawa, arti harfiahnya wadah keris, arti dalam hal ini adalah
patih,) Singasari, yang diranjab anak panah dan dibantai tidak ubahnya binatang, ditambah kematian Patih
Aragani, Patih Kebo Ngremo dan seluruh korban penjarahan biadab yang dilakukan prajurit Kediri
terhadap para emban yang mengalami nasib seburuk-buruknya nasib. Emban tua pun diperkosa,
menyebabkan Gayatri sesak napas.
Majapahit 3, Banjir Bandang dari Utara,
10
LANGIT KRESNA HARIADI·THURSDAY, FEBRUARY 16, 2017

Sejak di fajar menyingsing sebelumnya, Gayatri telah berada di halaman, menghirup udara pagi yang tidak
bersih. Gayatri sendiri berada dalam keadaan berdebu, kotor dan menyedihkan namun ia tidak peduli,
sebagaimana ia tidak peduli meski telah dua hari tidak mandi karena tak ada air yang bisa digunakan
mandi. Hari ini Gayatri berencana melakukan gerakan kemanusiaan lagi dengan menggalang pertolongan,
baik melalui dapur umum maupun jenis-jenis pertolongan yang lain.

“Semua sumur dalam keadaan sangat kotor,” Gayatri berpikir, “harus dibuat sumur secepat-cepatnya.”

Gayatri adalah seorang bebandan, namun ia bebas bergerak ke mana pun, dan bahkan apabila pergi
meninggalkan Kediri, siapa yang berani menghalangi. Kematian Emban Runteng dipatuk ular, dan apa
yang terjadi semalam, banyak prajurit mati dipatuk ular menyebabkan semua sadar, bahkan Jayakatwang
juga tersadar, untuk jangan memperlakukan Gayatri macam-macam. Para prajurit itu bahkan mengira,
Gayatri berada di belakang para kematian itu. Tak seorang pun yang menyangka, ular-ular itu didalangi
oleh salah seorang bala sanggrama.

Pagi itu, prajurit Kediri disibukkan oleh mengurusi mayat-mayat yang bergelimpangan lewat jejak
kematian yang mengerikan. Tubuh mereka membiru karena darah di dalam tubuhnya telah membeku.
Racun ular rupanya telah menyebabkan darah para prajurit itu pecah. Tak seorang pun yang berani
menyapa ketika Gayatri melintasi mereka.

Gayatri harus geleng-geleng kepala melihat jejak perbuatan kekasihnya yang kini kepadanya ia
menyimpan sakit hati. Di matanya Wirota Wiragati telah berubah, setidaknya sesungguhnya Wirota
Wiragati yang hanya sendiri, ia berkemampuan membuat kacau balau pasukan segelar sepapan
menggunakan pasukan ular-ularnya.

Ketika kesibukan memindahkan para mayat itu berlangsung, Gayatri berjalan melintas sekat antara
bangunan induk dengan gedung tempat penyimpanan bahan makanan. Ia lakukan itu agar bisa mengenali
lingkungan Istana Kediri dengan lebih cermat.

Namun langkah kakinya segera terhenti, dari tempatnya berada Gayatri mencoba menerka dari mana suara
teriakan itu berasal. Gayatri kemudian bergegas berbelok menuju tempat yang biasanya digunakan sebagai
sanggar pamujan. Dari balik dinding, ia akhirnya bisa mendengar sumber suara yang menyentuh gendang
telinganya dengan amat jelas.
Suara itu, sujara lelaki. Semula tertawa terbahak-bahak, namun tak berapa lama kemudian suara tawa itu
berubah menjadi tangis terisak.

“Ardaraja,” desis Gayatri.

Gayatri bergeser dan menempatkan diri di balik dinding yang terlindung, dengan demikian ia tidak terlihat
oleh siapa pun.

Gayatri kembali menandai, suara tangis terisak itu tiba-tiba berhenti dan berubah menjadi amarah. Suara
berderak yang terdengar berasal dari pintu yang ditendang, disusul oleh kursi yang dibanting dengan amat
keras.

Lalu berubah lagi menjadi suara tangis.

“Runteng!” Ardaraja menyebut sebuah nama dengan bibir bergetar.

Gayatri memejamkan mata.

“Mengapa kau lakukan itu Runteng?” kembali terdengar suara Ardaraja memelas.

Di dalam ruang itu, tak ada siapa pun. Ardaraja yang sendiri berpenampilan aneh. Tubuhnya berdebu,
bajunya amat kotor dan wajahnya sulit dikenali. Di sudut ruang ada sebuah kendhil (Kendhil, Jawa, panci
terbuat dari tanah liat) berisi makanan yang disajikan untuknya, makanan itu disajikan sehari sebelumnya
akan tetapi Ardaraja sama sekali tidak menyentuhnya. Makanan itu kini berubah rasa, bukan saja menjadi
basi namun karena oleh alasan yang hanya Ardaraja yang memahami, makanan itu telah dikencinginya.

Pintu terbuka, Turuk Bali masuk.

Perempuan itu hanya bisa memandang anaknya tanpa bisa berbuat apa-apa. Sejenak setelah itu disusul oleh
Jayakatwang.

“Lihat itu, keadaan anakmu.”

Jayakatwang mendekat dan harus melihat keadaan yang sangat menyedihkan, tarikan napas Raja Kediri itu
amat berat ketika tiba-tiba Ardaraja tertawa, sungguh itulah jenis tawa yang aneh dan hanya orang tidak
waras pemiliknya.

“Ardaraja,” Turuk Bali mengeluh, “mengapa keadaanmu jadi begini?”

Ardaraja benar-benar gila. Dengan pikiran yang tak lagi bisa dikendalikan, tiba-tiba meliuk dan
menggerakkan pantat seolah sedang melakukan senggama. Ardaraja melakukan perbuatan itu sambil
berteriak-teriak liar. Jayakatwang dan Turuk Bali saling melirik.

“Runteng,” teriak Ardaraja, “Ayo Runteng, Ayo Runteng, Ayooo.”


Sikap Ardaraja semakin tidak terhenti, menyebabkan Jayakatwang tidak bisa menahan diri. Ia mendekati
anaknya dan menampar mulutnya dengan sangat keras.

“Ardaraja!” teriak Jayakatwang.

Ardaraja terjengkang.

Meski gila, Ardaraja masih bisa mengenali ayahnya. Jari telunjuknya teracung lurus sambil ia tertawa
terkekeh.

“Bapak!” ucapnya di sela rasa gelinya, “Bapak pakai bedak tebal sekali. Ibu juga sudah tua, rambutnya
putih.”

Mulut Jayakatwang terbungkam, sebagaimana istrinya. Suami istri ningrat penguasa Kediri itu terbungkam
tidak bisa berkata apa-apa. Bersamaan mereka mengelus dada, menghela tarikan napas panjang dan dalam.

“Akibatnya seperti ini,” Turuk Bali mengeluh.

Jayakatwang tidak bisa menjawab ucapan itu.

Semula ia berpikir Gunung Kampud meledak yang meluluhlantakkan Kediri adalah sebuah kebetulan,
kebetulan meledaknya hari itu, sehari setelah Singasari berhasil dihancurkan. Tanpa Singasari
dihancurkan, gunung itu memang waktunya meledak. Hati lelaki itu menolak keras, anggapan meledaknya
gunung itu adalah hukuman dari para Dewa atas perbuatannya terhadap Singasari. Bahwa, anak lelakinya
kini berubah menjadi gila, ia ingin beranggapan keadaan itu juga bukanlah hukuman perbuatan yang ia
lakukan.

Namun ia tidak bisa menampik, bahwa telah berlaku hukum sebab dan akibat. Keadaan yang kini menimpa
Ardaraja, adalah akibat adanya sebab, adalah hukum air mengalir. Oleh sebab ia menyerang Singasari,
menimbulkan banyak rentetan akibat yang menjalar ke mana-mana.

Di luar dinding Gayatri menyimak.

“Runteng!” Ardaraja kembali berteriak memanggil.

Turuk Bali mengernyit ketika nama itu kembali dipanggil anaknya.

“Kenapa dengan Runteng,” tanya perempuan itu.

Jayakatwang menghirup udara dengan tarikan napas sangat berat.

“Runteng mati. Runteng membunuh menantumu. Runteng dibunuh menggunakan ular.”

Turuk Bali belum mendengar hal semacam itu. Bahwa menantunya yang sedang nggarbini telah menjadi
kurban, ia sudah mendengar, namun dengan cara bagaimana ia mati, hal itu belum ia dengar sebelumnya.

“Sesungguhnya apa yang terjadi pada Runteng? Apa yang terjadi pada anak menantu kita?”
Pertanyaan itu dijawab oleh suara batuk.

Jayakatwang menoleh, istrinya menoleh. Sungguh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Ardaraja yang
langsung pucat pasi. Ardaraja berlari, namun ia tidak bisa ke mana-mana kecuali meringkuk bersandar
dinding.

“Saya punya ceritanya, Bibi.”

Turuk Bali menatap keponakannya, anaknya sangat ketakutan seperti kepergok setan.

“Apa yang terjadi, Gayatri?”

Gayatri melangkah mendekat, Ardaraja merasa seperti didekati hantu. Yang bisa ia lakukan hanyalah
menutupi wajahnya dengan lengan. Jayakatwang merasa nyeri, ia tidak menyangka akibat dari
perbuatannya akan berbuah keadaan macam itu. Tak pernah ia membayangkan anak lelakinya akan gila.
Guncangan yang menimpanya terlalu berat menyebabkan Ardaraja menjadi lelaki berotak miring, tidak
waras.

“Ardaraja anak bibi yang tampan itu berpenyakit kelamin yang ia peroleh dari perilakunya yang gemar
melakukan hubungan badan dengan banyak orang. Akibatnya menjijikkan, seorang abdi emban di Kediri
maupun abdi emban yang melayaninya selama di Singasari menyampaikan pada saya bahwa ia
berpenyakit sandan. Lelaki macam itulah yang menjadi suami adik saya.”

Turuk Bali memotong, “Tunggu.”

“Ya,” jawab Gayatri, “silahkan Bibi.”

“Bagaimana kau tahu?”

Gayatri mendengus.

“Keadaan anak Bibi macam itu semua emban di Kediri tahu. Pun Emban di Singasari yang bertugas
mencuci bajunya sampai muntah-muntah karena merasa jijik, maka selanjutnya saya melarang untuk
mencuci pakaiannya.”

Jayakatwang menghela napas, Turuk Bali menghela napas.

“Boleh saya melanjutkan Bibi?”

Turuk Bali tidak menjawab.

“Emban selingkuhan Ardaraja bernama Runteng, ia membunuh adik saya dengan menusuk perutnya.
Bayangkan Bibi, perempuan hamil ditusuk perutnya. Adik saya mati dengan membawa anaknya ikut mati.
Runteng telah menancapkan sebulah cundrik ke perut Dyah Dewi Pungkas tanpa belas kasihan, meski
perut itu sedang membesar.”
Gayatri menyibakkan lengan baju yang dipakainya, menyebabkan Turuk Bali dan suaminya kaget saat
melihat dari balik lengan baju itu muncul ular yang meliuk. Ular itu berasal dari jenis yang amat
mematikan.

“Ular ini yang membunuh Runtang, karena ia berani berbuat kurang ajar pada kedua anak Prabu
Kertanegara.”

Jayakatwang terbelalak dan sontak dihinggapi rasa cemas. Demikikian juga dengan Turuk Bali yang
memandangnya dengan perasaan ngeri. Gayatri melangkah sambil memperhatikan isi ruangan itu dengan
penuh perhatian. Betapa takut Ardaraja ketika anak Kertanegara itu tiba-tiba mendekatinya. Ia menutupi
wajahnya dengan kedua tangan disilangkan.

“Lelaki tak berguna,” kata Gayatri sambil menjulurkan tangannya.

Ular yang keluar dari dalam lengan baju itu bersikap siap mematuk. Dengan dikendalikan dari dalam
otaknya, ular itu akan bersikap sebagaimana kehendak majikannya.

“Jangan,” Jayakatwang mencegah.

Langkah Gayatri tertahan, Namun sejenak kemudian ia kembali melangkah.

“Jangan,” Turuk Bali ikut mencegah.

Jayakatwang merasa lehernya akan tercekik, namun Ardaraja benar-benar tercekik. Ardaraja menunggu
saat patukan ular itu akan menyengat lehernya, namun sekejab dua kejab peristiwa yang ia takuti itu belum
kunjung tiba. Gayatri yang mendadak terpancing kemarahannya itu tiba-tiba ingin membunuh adik
iparnya.

“Kenapa Paman? Kenapa Bibi?” tanya Gayatri tanpa menoleh.

Jayakatwang melangkah memutar.

“Jangan bunuh Ardaraja!”

Turuk Bali memberikan tekanan, “Jangan kau lakukan itu Gayatri!”

Gayatri berbalik, senyumnya terlihat bengis dan kejam.

“Kenapa?” tanya Gayatri sambil melangkah berputar.

Turuk Bali melangkah mundur ketika Gayatri mendekatinya.

“Kenapa saya tidak boleh melakukan, padahal Paman melakukan. Paman besan yang keji dan tak tahu diri.
Derajad yang paman duduki sekarang adalah pemberian ayah saya. Jika ayah tidak menunjuk Paman
sebagai penguasa Kediri maka Paman hanyalah kere, (kere, Jawa, melarat) dan tidak lebih berharga dari
seorang tandha (Tandha, Jawa kuno, abdi istana semacam pegawai negeri) berpangkat rendahan. Bisa jadi
Paman hanya berderajad pekatik (Pekatik, Jawa, abdi istana pengurus kandang kuda). Kalau Paman
membantai ayah dan ibu saya, membunuh adik saya yang sedang hamil. Lalu mengapa saya tidak boleh
melakukan hal yang sama?”

Jayakatwang terbungkam, mulutnya lengket sulit dibuka, apalagi untuk menggerakkan lidah berbicara. Di
sebelahnya, Permaisuri Turuk Bali mengalami keadaan yang sama. Tak ada yang bisa ia lakukan kecuali
membeku.

“Maafkan kami, Gayatri!” kata Turuk Bali dengan suara bergetar.

Jawaban itu menyebabkan Gayatri tiba-tiba meledak.

“Apa?” teriaknya.

Turuk Bali mengarahkan pandang matanya ke arah ular yang sedang marah, rupanya apabila pemiliknya
marah, maka ular itu akan menerjemahkannya.

“Apa Bibi pikir permintaan maaf itu akan mengembalikan keadaan ke semula. Apabila Bibi dan Paman
minta maaf, maka ayahanda prabu dan ibunda permaisuri serta semua yang terbunuh itu akan hidup
kembali? Begitu?”

Gayatri melangkah mondar-mandir.

Akan tetapi tiba-tiba ia berbalik mendekati Ardaraja. Lalu dengan amat kasar dipeganginya kepala itu,
dijambak rambutnya dan ditarik hingga mendongak. Ardaraja melotot, sedemikian melotot matanya
sampai nyaris keluar dari kelopaknya.

“Paman dan Bibi akan merasakan seperti apa rasa kehilangan, sebagaimana yang saya alami, saya
merasakan mahasakit kehilangan keluarga karena kebiadaban Paman dan Bibi.”

Gayatri mengibaskan tangannya, ular yang muncul dari lengan baju itu menggeliat siap akan mematuk.
Akan tetapi sesuatu terjadi.

Sesuatu terjadi!

Sesuatu itu menyengat kedalaman isi kepala Gayatri menyebabkan ia terhuyung. Ular yang keluar
bergegas menyelinap kembali ke asalnya. Gayatri meliuk dan jatuh terduduk dengan mata terbelalak
memandang penampakan kakaknya yang berdiri di ambang pintu, yang hanya sebentar lalu menghilang.
Kehadiran Wiswarupa Kumara yang mencegahnya melakukan pembunuhan itu hanya sebentar, bahkan
Jayakatwang dan istrinya tidak menyadari kedatangan dan kepergiannya.

Gayatri memejamkan mata.

Ia lakukan itu dalam rangka berdamai dengan diri sendiri.


Ketika rangkaian peristiwa itu terjadi, Ardaraja memanfaatkan waktu yang ada, ia tiba-tiba berlari
menerobos pintu yang ia lakukan itu sambil berteriak-teriak. Ardaraja yang berlari sipat kuping (sipat
kuping, Jawa, berlari tanpa arah) itu hampir menabrak dua orang prajurit.

Dua orang prajurit itu saling pandang.

Salah seorang menggumam, “Perang telah mengubah Raden Ardaraja.”

Yang seorang berbisik, “Berubah menjadi gila.”

35

Ada banyak hal yang dilakukan oleh para Bala Sanggrama di tengah lebatnya hutan Tarik. Oleh kebutuhan
yang mendesak, Nambi menebang beberapa batang bambu dan menghamparkan di rerumputan. Dengan
pisau khusus yang tajam, ia membuat anak panah yang meskipun diraut kasar namun yang penting
manfaatnya. Sebagai pemanah yang andal, Bala Sanggrama Nambi mampu meraut anak panah yang tidak
melenceng, seimbang dan mampu bergerak lurus. Melihat Nambi dengan kegiatannya, Bala Sanggrama
Medang Dangdi dan Kebo Kapetengan ikut-ikutan. Mereka menebang pohon bambu terpisah dan mulai
meraut. Kebo Kapetengan yang adalah juga pemanah yang andal memiliki ukuran tersendiri untuk batang
anak panahnya, yang lebih berat di depan dan ramping di belakang. Kebo Kapetengan tidak merasa
tergesa-gesa, itu sebabnya anak panah yang dibuatnya memiliki sirip penyeimbang di bagian belakang.

Pamandana memiliki kesibukannya sendiri. Ia harus berburu banyak serangga untuk pakan kedua burung
yang kini lebih dekat padanya. Dada Sorandaka berdesir dan merasa kecewa ketika melihat burung itu
lebih dekat ke Pamandana daripada ke dirinya. Bila Sorandaka yang datang mendekat memberi kedua anak
burung itu tidak gaduh, namun begitu Pamandana yang datang mendekat, kedua burung sangat gaduh
seolah Pamandana adalah induknya. Sorandaka mengelus-elus kepala burung itu, akan tetapi ia tidak
menemukan hubungan batin dalam bentuk apa pun.

“Sial,” letup Sorandaka dalam hati, “mestinya saya yang memanjat naik ke puncak pohon itu. Rupanya
orang pertama yang berhubungan dengan keduanya adalah orang yang terpilih menjadi kepanjangan
matanya.”

Namun Sorandaka berusaha menghapus kesan apa pun dari wajahnya, dan meski ia merasa kecewa namun
dengan kesadaran penuh ia berusaha mengikhlaskannya.

Adalah Bala Sanggrama Pawagal dan Medang Dangdi yang sejak pagi menghilang telah pulang dengan
masing-masing membawa empat ekor ayam hutan. Sama sekali tanpa merasa canggung Tribuaneswari
turun tangan. Semua ayam dibersihkan bulunya, diawasi oleh Raden Wijaya yang kemudian bergerak
mengumpulkan ranting-ranting kayu kering untuk perapian. Melihat itu, Pamandana berbagi waktu, ia
meneliti tanaman apa saja yang ada di hutan itu yang bisa dijadikan bumbu agar ayam hutan itu lebih enak
dan lezat saat dimakan.

“Kakang Nambi, saya ingin bicara berdua,” kata Raden Wijaya.


Nambi menghentikan pekerjaannya dan bergegas berdiri, ia ikuti langkah Raden Wijaya yang memisahkan
diri menjauh. Di bawah pohon maja yang berbuah lebat mereka berdiri. Sorandaka dan Ranggalawe saling
melirik. Di kedalaman hatinya Ranggalawe merasa tidak nyaman melihat kedekatan Raden Wijaya dan
Nambi macam itu. Dalam hal tertentu, Raden Wijaya lebih percaya pada Nambi dari pada dirinya.

“Ada apa Raden?”

Raden Wijaya tak segera menjawab, ia memerlukan menyempatkan diri mengedarkan tatap mata ke segala
penjuru, menggerataki pepohonan, dengan daun-daunnya. Untuk beberapa saat ia lebih memusatkan
perhatian pada buah-buah maja yang bergelantungan berwarna hijau cerah yang masih muda dan hijau
agak gelap yang sudah tua. Melihat buah maja itu bukanlah untuk pedrtama kalinya bagi Raden Wijaya,
dan ia tahu, buah itu tidak bisa dimakan kecuali dari jenis tertentu. Rasanya bahkan sangat pahit.

“Raden!” Nambi meminta perhatian.

Raden Wijaya masih melanjutkan termangunya, tarikan napasnya sungguh terasa amat berat.

“Singasari tidak lagi bisa diharap,” ucapnya.

Nambi menyimak.

“Ya,” jawabnya pendek.

“Bila ada kesempatan di kemudian hari untuk berdirinya tatanan baru, maka Singasari tidak bisa digunakan
lagi. Tanahnya sudah panas, ada banyak arwah yang mati penasaran di sana. Tak hanya Singasari, Bumi
Ganter juga salah satu contoh tak bisa digunakannya lagi tempat itu. Jika kelak kita punya kesempatan dan
kemungkinan membangun negara baru, maka di sinilah letak Istananya. Di tanah Tarik ini tempatnya.”

Berdesir amat tajam bulu kuduk Nambi.

Desir yang menggerayangi lengan, punggung, dada, seluruh tubuh dan menyebabkan lelaki itu menggigil
berlangsung agak lama.

“Tempat ini,” kata Raden Wijaya, “telah disiapkan oleh para Dewa sejak lama. Tempat ini, kita ketahui
oleh alasan yang tidak jelas terlihat bercahaya pada malam hari. Mendiang Bapa Raganata mengatakan
bahwa di kemudian hari tempat ini akan berbicara lantang, lebih besar dan jauh lebih berwibawa dari
Singasari atau Kediri sekalipun. Di keheningan mata hati saya, tempat ini akan membawahi wilayah yang
panjang membentang dan lebar mewadahi. Mungkin bukan pada zaman saya, mungkin di zaman keturunan
saya.”

Angin berdesir lembut. Raden Wijaya merasakan benar betapa angin di tempat itu berbicara, dengan
tempat itu sendiri terasa bernyawa. Sebaliknya Nambi tak kuasa menahan diri betapa ia merasakan benar
apa yang diucapkan Raden Wijaya. Nambi ingat malam sebelumnya, betapa ada tabir tak terlihat mata
yang menghalangi ketika ia dan teman-temannya berusaha masuk ke dalam lebatnya hutan itu.
Nambi membenarkan, bahwa benar apa yang dikatakan Raden Wijaya, bahwa memang ada sesuatu yang
luar biasa di tempat itu, namun ia tidak bisa memastikan apa sesungguhnya sesuatu yang tak terlihat itu.

“Jadi, Raden akan mendirikan sebuah negara baru di tempat ini?”

Raden Wijaya mengangguk.

“Bagaimana dengan Kediri?”

Pertanyaan itu menyebabkan munculnya senyum di sudut bibir Raden Wijaya, senyum yang amat sinis.

“Kelak akan kita balas perbuatannya, dan saya sendiri yang akan membenamkan keris Empu Gandring ke
mulutnya.”

Terbungkam mulut Nambi.

Namun apa yang disampaikan Raden Wijaya itu menyebabkan isi dada Nambi membuncah dan
menggelegak. Keluar masuk hutan adalah bukan hal baru bagi Nambi. Di masa remaja ia sudah terbiasa
berburu. Harimau bukanlah binatang yang ia takuti berbekal anak panah dan alat berburu lain yang ia
punya. Sebagai pemburu Nambi sangat mengenali segala isi hutan, suara apa saja yang sering terdengar,
dan binatang apa saja yang tinggal di dalamnya.

Namun di hutan Tarik, Nambi merasakan keadaan yang sangat berbeda.

Ketika hutan sangat riuh sangat gaduh, ia rasakan hal itu sebagai sebuah keadaan berbeda, pun demikian
juga hutan itu terlalu senyap.

“Kau punya gagasan, negara baru kita nanti, akan kita beri nama apa?”

Nambi yang menunduk mendongak, keningnya sedikit berkerut. Nambi menggeleng.

“Hamba tidak punya, Raden,” jawabnya.

Raden Wijaya sudah memikirkannya, akan tetapi gagasan nama baru itu belum ia dapatkan.

Suasana kemudian menjadi sangat hening, karena Nambi ikut berpikir, berusaha menggagas nama apakah
yang bisa digunakan untuk negara yang digagas Raden Wijaya itu. Dari tempat di mana ia memperhatikan,
Ranggalawe merasa kurang senang melihat kedekatan Raden Wijaya dengan Nambi. Ranggalawe
mengukur diri, Ranggalawe merasa lebih banyak membuat jasa kepada Raden Wijaya dibanding Nambi.

Raden Wijaya dan Nambi menoleh.

Perhatian mereka tercuri oleh suara orang muntah-muntah.

“Siapa muntah itu?” tanya Raden Wijaya.


Pawagal muntah-muntah seperti orang keracunan dalam keadaan yang amat parah. Muntah yang dialami
prajurit itu jauh lebih parah dari perempuan yang sedang hamil.

“Kenapa dia?”

Pawagal menjadi tontonan, segenap bala sanggrama mengepungnya, demikian juga dengan para sekar
kedaton ingin tahu apa yang dialami lelaki itu. Perhatian rupanya tidak hanya tertuju pada Pawagal akan
tetapi juga pada buah maja yang terbelah menjadi dua.

“Kau makan buah maja itu?” tanya Tribuaneswari.

“Hamba Tuan Putri,” jawab Pawagal, “buah maja ternyata berasa pahit.”

Semua perhatian tertuju pada buah maja yang tergeletak di rerumputan. Pedang sangat tajam milik
Pawagal telah membelahnya menjadi dua. Tidak seorang pun yang ingin membuktikan apakah rasa buah
itu benar seperti yang dikatakan Pawagal dengan mencobanya. Jika melihat keadaan Pawagal yang sampai
membeliak-beliak sudah merupakan bukti, buah maja itu benar-benar pahit.

“Majapahit,” kata Raden Wijaya.

Semua orang menoleh kepadanya. Namun tak seorang pun yang paham ke mana arah ucapan Raden
Wijaya itu.

“Tempat ini kita namai Majapahit.”

Satu-satunya yang paham ke mana arah ucapan Raden Wijaya hanyalah Nambi. Itu sebabnya seketika ia
merasa dadanya menjadi bergemuruh luar biasa. Ucapan Raden Wijaya itu bahkan merangsang napasnya
berdegup lebih kencang dan kuat. Bala Sanggrama Pamandana yang melihat Nambi melotot terheran-
heran.

“Tempat ini kita sebut Majapahit?” tanya Narendraduhita.

Raden Wijaya mengangguk.

“Di tempat ini, kita akan mendirikan negara baru, kita akan menggelar pemerintahan baru. Kita namai
negara baru itu,...”

“Majapahit!” serentak semua menjawab.

Lalu mereka saling pandang antara yang satu dengan yang lain. Tatapan mata Sorandaka dan Ranggalawe
berbinar penuh semangat. Medang Dangdi, Kebo Kapetengan, Pamandana melihat, ke depan sebuah kerja
keras akan dikerjakan untuk membangun sebuah pusat pemerintahan baru. Jelas bukan pekerjaan yang
sederhana dan ringan.

“Adakah yang bisa menghitung penanggalan, ini tahun apa bulan apa dan surya apa?”
Pertanyaan itu ternyata sangat sulit untuk menjawabnya.

Ketika semua orang berpikir dan tidak menemukan sengkala (sengkala, Jawa, penyebutan bulan atau tahun
menggunakan lambang-lambang) yang sesuai, Pamandana batuk, meminta perhatian.

“Punya gagasan?” tanya Raden Wijaya.

Pamandana mengangguk.

“Apa?”

“Ri purneng karttikamasa pancadasi!” (Jawa, penyebutan 12 November 1293 menggunakan sengkala)

Raden Wijaya mencerna ucapan itu, dan merenungkannya dengan seksama. Ia bisa menerima sengkala itu.

“Tolong semuanya berdiri membentuk lingkaran,” kata Raden Wijaya.

Perintah itu tidak perlu diulang. Semua orang berdiri, kecuali Pawagal yang dalam keadaan lemah. Ia
meringkuk menahan sesak di napasnya. Namun ia berusaha menyesuaikan diri dengan sebisa-bisanya. Ia
berdiri berpegangan lengan Nambi. Melihat keadaan Pawagal yang demikian, Sorandaka memegang
tangannya yang lain. Hanya Pamandana yang memandang Pawagal dengan rasa tidak suka. Pamandana
tidak sadar, bahwa tiba-tiba wajah anak Kiai Danapati selalu menyelinap di benaknya. Bala Sanggrama
Pamandana bahkan tidak sadar menggumamkan nama anak gadis pedagang batik itu.

“Mari kita niatkan di hati kita,” kata Raden Wijaya meminta perhatian, “bahwa berpusat di tempat ini kita
mendirikan sebuah negara baru, bernama Wilwatikta, atau Majapahit.”

36

Waktu bergerak, seharian itu Raden Wijaya, para istri dan teman-temannya memilih untuk tinggal
sementara. Untuk keperluan makan tidak ada kendala karena bekal persediaan makan yang diberikan Kiai
Danapati sudah cukup, apalagi para bala sanggrama melengkapinya dengan hasil buruan berupa ayam
hutan yang bahkan cukup untuk kebutuhan makan beberapa hari ke depan. Ketika Pamandana disibukkan
mengurusi dua ekor burung elang yang amat lengket padanya, para bala sanggrama yang lain bergegas
memenuhi kebutuhan atas anak panah yang boleh jadi kelak akan dibutuhkan. Kuda-kuda mereka yang
diselinapkan masuk diberi makan amat berlimpah karena rumput tersedia banyak tanpa harus disabit.

Sepanjang siang, ditemani Nambi, Raden Wijaya mengelilingi tampat yang memunculkan cahaya aneh
pada malam hari. Raden Wijaya mulai membayangkan, di tempat sebelah mana ia akan membangun istana
dan para bangunan yang lain. Sejalan dengan waktu yang bergerak itu, di hati Ranggalawe mulai muncul
rasa tidak suka atau cemburu melihat Raden Wijaya tampak lebih dekat dengan Nambi. Ranggalawe
merasa jengkel karena ia beranggapan lebih banyak berbuat jasa terhadap Singasari, juga terhadap Raden
Wijaya.

Namun Ranggalawe hanya bisa memendam, tanpa bisa mengungkapkannya.


Sejalan dengan waktu yang bergerak itu pula, semakin mekar rasa tidak suka Pamandana kepada Pawagal
yang terbukti hanya mempermainkan Semangkin. Bagi Pamandana, laki-laki macam Pawagal itu harusnya
dijejali mulutnya dengan tanah.

Matahari yang semula di timur, bergerak naik dan melintas atap langit untuk kemudian mulai merendah ke
arah barat. Diam tanpa berbagi, Raden Wijaya ingin melihat dan membuktikan apakah rumah aneh yang
semalam muncul dan menghilang paginya itu akan hadir lagi.

Sejalan dengan waktu yang bergerak itu pula, Di Kediri Gayatri bekerja tanpa lelah. Gayatri memiliki
wibawa yang sangat besar untuk menggalang pertolongan. Ada banyak orang yang kini berada dalam
perintahnya, yang bekerja sangat mangkus dan sangkil dalam mengurusi banyak hal, mulai memasak,
menyelamatkan, menguburkan dan pekerjaan yang sangat berat, membuat sumur. Sumur harus dibuat
karena kebutuhan air bersih sangat mendesak.

Di hari itu pula, seekor kuda berderap kencang dari Kediri menuju Singasari. Penunggang kuda itu merasa
harus mengambil perannya setelah sebelumnya ia memutuskan menjauh. Wirota Wiragati berkuda sambil
berteriak-teriak yang ada kalanya mengagetkan petani di sawah. Kuda milik Wirota Wiragati adalah kuda
tang tangguh, yang hanya memerlukan waktu tak terlampau banyak untuk beristirahat merumput.

Sejak tengah malam berkuda dan kemudian menjamah sore, Wirota Wiragati berdebar-debar ketika
semakin dekat dengan Mameling (Mameling, penulis menduga Mameling adalah nama tempat yang
mengalami perubahan dan sekarang menjadi Kota Malang). Lelaki berwajah tampan itu menyempatkan
berhenti manakala melihat rumah yang porak poranda, bagian belakang dari rumah itu masih berdiri
namun bagian depan hangus bersisa arang. Wirota Wiragati menebarkan pandang matanya namun hanya
menemukan sisa sisa reruntuhan yang menyedihkan. Perbuatan orang-orang Kediri menyisakan kerusakan
yang luar biasa. Mameling rupanya telah berubah menjadi desa yang kosong, para penduduknya termasuk
bayi sekalipun telah pergi meninggalkan kampung halaman.

“Menyelamatkan nyawa jauh lebih penting,” kata Wirota Wiragati.

Lalu mampirlah bau yang menyengat, bau itu menguar di udara.

Wirota Wiragati langsung bisa menebak bau apakah itu. Lelaki itu tidak perlu turun dari kudanya untuk
menemukan dari mana asal bau busuk itu. Akhirnya di halaman belakang sebuah rumah ia menemukan
dua sosok mayat yang dirubung oleh ribuan ekor lalat yang berpesta pora menikmati busuk manusia.

Wirota Wiragati akhirnya memutar kudanya.

“Maaf, saya tidak punya waktu,” kata suami Gendis Untari itu sambil mengayunkan cambuk menimbulkan
ledakan.

Lecutan cambuk itu tidak diarahkan ke kudanya, namun hanya ayunan sendal pancing yang sontak
mendorong kuda tunggangannya berpacu amat kencang. Di arah kanan, matahari masih tinggi tanpa
terhalangi oleh mega maupun mendung. Wirota Wiragati melihat, keadaan di daerah itu tidaklah separah
wilayah barat yang ditinggalkannya. Dampak letusan Gunung Kampud tak seperti di Kediri yang tebal
debunya melenyapkan rerumputan dari pandangan. Laki-laki yang baru saja mengecewakan hati Gayatri
itu akhirnya tidak merasa sabar, ia membalap bagaikan terbang.

Senja membayang ketika Mameling tertinggal jauh di belakang dan mulai memasuki ibukota Singasari
yang juga disebut Kutaraja. Berdebar-debar Wirota Wiragati mendapati keadaan di tapal batas kotaraja.
Penyerbuan yang dilakukan Kediri benar-benar menyisakan keadaan yang sangat mengerikan. Rumah-
rumah menjadi bangkai, hangus seutuhnya atau hangus sebagian. Tidak hanya rumah yang membangkai,
manusia juga membangkai. Di sepanjang jalan yang dilewati bau busuk itu menguar, tentu berasal dari
mayat-mayat.

“Biadab!” letupnya.

Tarikan napas yang amat berat dan dalam itu berasal dari penyesalannya yang luar biasa. Ia menyesal telah
memutuskan meninggalkan Singasari dan ternyata tidak terlibat dan berbuat apa pun ketika prahara itu
datang. Wirota Wiragati melepas ikat kepalanya dan membiarkan rambut panjangnya terurai.

Anda mungkin juga menyukai