Anda di halaman 1dari 4

TUGAS PKWU

Cerita Rakyat dari Provinsi Bengkulu

“Putri Serindang Bulan”

Guru
Faridah, M.Pd

DISUSUN OLEH:

Nama : Zaqia Salsabillah


Kelas : X IPS 2

SMA NEGERI 5 BENGKULU SELATAN


DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
PEMERINTAH KABUPATEN BENGKULU SELATAN
TAHUN AJARAN 2021/2022
Putri Serindang Bulan

Dahulu kala, di daerah Bengkulu ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Raja Mawang.
Kerajaan tersebut berpusat di kota Lebong. Raja memiliki tujuh orang anak yang terdiri dari
enam orang putra dan seorang putri. Keenam putra tersebut bernama Ki Gete, Ki Ain, Ki Tago,
Ki Geeting, Ki Jenain, dan Ki Karang Nio. Sementara itu, putri satu-satunya diberi nama
Serindang Bulan. Ketika tiba saatnya pergantian tahta, Raja Mawang menunjuk Ki Karang Nio
untuk menggantikannya. Ia diberi julukan Sultan Abdullah. Tak lama setelah itu, raja pun
meninggal dunia. Sepeninggal sang raja, pada awalnya kerajaan masih aman, sentosa, dan
terkendali di bawah pimpinan Ki Karang Nio. Hanya saja kemudian, terjadi konflik internal
dengan saudara-saudaranya. Hal ini dikarenakan mereka merasa malu dengan keadaan adik
bungsunya, Serindang Bulan. Bagaimana tidak? Setiap kali ada laki-laki yang melamarnya,
tubuh wanita itu tiba-tiba terkena kusta. Penyakit itu akan hilang jika pertunangan batal.
Kejadian tersebut terjadi berulang-ulang kali. Tentu saja, itu merupakan aib yang harus segera
dihentikan.

Pada suatu hari, keenam kakak Serindang Bulan memutuskan untuk mengadakan
pertemuan rahasia. Mereka berunding untuk mencari cara menghilangkan aib tersebut. “Kita
tidak bisa membiarkan hal ini terus terjadi. Nama kerajaan kita pasti akan menjadi semakin jelek
di mata kerajaan lain. Kita harus melakukan sesuatu,” kata Ki Gete. Saudara-saudara yang
lainnya pun menyetujui apa yang diucapakan oleh Ki Gete tersebut. Kemudian, Ki Geeting
mengusulkan untuk mengasingkan si bungsu ke tempat yang sangat jauh. Akan tetapi, hal
tersebut tidak disetujui oleh Ki Tago. Laki-laki itu kemudian berkata, “Kalau menurutku,
sebaiknya kita bunuh saja Putri Serindang Bulan.” Tak mau ambil pusing, saudara-saudara yang
lain langsung mengiyakan, kecuali Ki Karang Nio. Ia sebenarnya ingin protes, tetapi suaranya
tentu akan kalah dengan suaranya kakak-kakaknya yang lain. Tak berhenti di situ saja, seolah
ingin cuci tangan, kakak-kakak yang lain menunjuk Ki Karang Nio untuk membunuh Serindang
Bulan. Sebagai bukti kalau telah melaksanakan tugas, laki-laki itu harus membawa pulang darah
si bungsu di dalam sebuah tabung. Ia tentu saja sangat sedih. Mana mungkin dirinya tega
membunuh saudara kandungnya sendiri. Terlebih lagi, keduanya memang lebih dekat jika
dibandingkan dengan yang lain. Namun untuk saat ini, ia tidak bisa melakukan apa pun selain
menyetujuinya. Setelah pertemuan tersebut, Ki Karang Nio pergi untuk menemui adik
bungsunya dan menceritakan semuanya. Wanita muda itu tentu saja merasa sedih. Namun, ia
hanya bisa pasrah menerima semuanya. Ia hanya berharap kalau apa pun yang terjadi nantinya,
Tuhan akan selalu melindunginya. Lelaki itu pun hanya bisa meminta maaf pada adiknya itu.
Karena hingga saat ini, ia masih belum bisa menemukan cara bagaimana untuk
menyelamatkannya. Keesokan harinya, Ki Karang Nio membawa Serindang Bulan ke hutan
untuk melakukan tugasnya. Namun sebelum berangkat, si bungsu memiliki sebuah permohonan.
“Kak, bolehkah aku membawa bakoa (tempat menaruh sirih) dan ayam hirik milikku?”
mohonnya.

“Untuk apa kamu ingin membawanya?” tanya lelaki itu. “Nanti kalau aku sudah mati,
tolong kuburkan aku bersama bakoa dan ayam hirik itu. Hanya itulah yang aku miliki, selain
Kakak,” ucapnya lirih. Setelah permintaan disetujui oleh kakaknya, si bungsu itu pun pergi
berpamitan dengan kakak-kakaknya yang lain. Tak lama kemudian, Ki Karang Nio dan
Serindang Bulan pergi ke hutan. Dalam perjalanan menuju hutan, kakak beradik tersebut hanya
diam tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Si bungsu tentu saja meratapi nasib malangnya.
Sementara itu, sang kakak sedang berpikir keras bagaimana caranya untuk menyelamatkan adik
kesayangannya. Hingga tak terasa tibalah mereka tengah hutan, tepatnya di tepi sungai Air
Ketahun. “Sepertinya kita sudah berjalan cukup jauh. Lebih baik, kita berhenti di sini saja, Dik,”
kata Ki Karang Nio. “Baiklah, Kak… Sekarang, Kakak bisa melakukan tugasmu. Aku siap,” kata
Putri Serindang Bulan. “Kamu tak perlu bersedih lagi. Aku tidak akan pernah membunuhmu.
Kakak macam apa yang tega mencelakai adiknya sendiri,” kata sang kakak. “Jangan seperti itu,
Kak. Kalau tidak membunuhku, nyawa Kakak yang akan terancam. Tidak apa-apa, lakukan saja
tugasmu,” desak si bungsu. “Dengarkan dulu, aku tidak akan membunuhmu. Aku akan
membuatkanmu sebuah rakit dan susurilah sungai ini. Semoga saja ada orang baik yang mau
menolongmu,” jelas Ki Karang Nio. “Sementara itu untuk bukti darah yang harus kubawa
pulang, bolehkah aku menyayat tanganmu? Nanti, darahmu akan kucampur dengan darah
binatang,” lanjutnya. Putri Serindang Bulan tentu saja menyetujui rencana kakaknya itu. Ia juga
merelakan ayam hirik kesayangannya untuk diambil darahnya. Setelah semuanya selesai, Ki
Karang Nio menyuruh adik perempuannya itu untuk naik ke rakit dan mengantar kepergiannya.
“Hati-hati, Adikku. Semoga kamu selalu dilindungi oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Suatu hari
nanti, aku harap bisa bertemu lagi denganmu,” katanya sembari meneteskan air mata. Ketika
Putri Serindang Bulan sudah hilang dari pandangannya, ia lalu bergegas pulang dan melapor
kepada kakak-kakaknya kalau dirinya telah menyelesaikan tugas. Saudara-saudaranya percaya
dan merasa puas setelah melihat bukti tabung yang dibawa olehnya.

Setelah berhari-hari berada di atas rakit dan mengikuti arus air sungai, Putri Serindang
Bulan akhirnya tiba di Pulau Pagai yang merupakan muara dari sungai Air Ketahun. Di sana, ia
bertemu dengan Raja Indrapura yang kebetulan sedang berburu. Raja yang dikenal ramah
tersebut kemudian bertanya mengapa ia bisa sampai di wilayahnya. “Putri Cantik, sedang apa
kamu di tempat ini sendirian?” tanyanya. Mau tak mau, wanita itu pun menceritakan semuanya.
Setelah mendengar penuturan Serindang Bulan, Raja Indrapura yang merasa iba kemudian
membawanya pulang ke istananya di Negeri Setio Barat. Karena sering bertemu dan terbiasa,
keduanya pun jatuh cinta. Beberapa bulan kemudian, Putri Serindang Bulan kemudian dilamar.
Ajaibnya, kali ini penyakit kulitnya tidak kambuh. Pasangan yang berbahagia itu kemudian akan
segera melangsungkan pernikahan. Akan tetapi, pernikahan tersebut tidak akan bisa terwujud
tanpa adanya wali dari mempelai perempuan. Maka dari itu, sang raja kemudian mengirimkan
utusan untuk memberi tahu kakak-kakak Serindang Bulan.
Selang beberapa hari kemudian, utusan Raja Indrapura datang ke Lebong dan
memberitahukan kabar pernikahan tersebut. Kakak-kakak Serindang Bulan yang lain tentu saja
merasa terkejut dan marah mengetahui fakta kalau adik bungsunya masih hidup. Tak lama
setelah utusan pergi, mereka mengadakan rapat kembali. “Aku tidak menyangka kamu bisa
melakukan hal seperti ini. Bisa-bisanya kamu mengelabuhi dan mengkhianati kepercayaan
kami,” kata Ki Gete kepada Ki Karang Nio. Sebenarnya, kelima anak Raja Mawang yang lain
merasa sangat marah dan hendak membunuh Ki Karang Nio. Namun, mereka mengurungkan
niat karena harus menghadiri pernikahan Serindang Bulan di Negeri Setio Barat. Mereka tidak
mau masalah menjadi semakin runyam. Pada tanggal yang telah ditentukan, rombongan
Kerajaan Lebong tiba di Negeri Setio Barat untuk menghadiri pernikahan Putri Serindang Bulan.
Mereka diterima dengan begitu baik di sana Ki Karang Nio yang melihat Serindang Bulan untuk
pertama kali setelah kejadian itu merasa lega dan bahagia sekali karena adiknya baik-baik saja.
Si bungsu pun merasakan hal yang sama. Keduanya kemudian saling melepas rindu. Pernikahan
Putri Serindang Bulan dan Raja Indrapura berjalan dengan lancar dan baik. Setelah itu, mereka
mengadakan pesta yang cukup meriah untuk merayakannya. Semua orang pun bergembira.
Setelah acara pernikahan selesai, kakak-kakak Serindang Bulan pulang kembali ke Lebong.
Sebelum pergi, masing-masing dari mereka diberi hadiah berupa sekantong emas oleh Raja
Indrapura.

Dalam perjalanan pulang, naasnya kapal yang ditumpangi rombongan Kerajaan Lebong
diterjang ombak besar dan karam. Mereka kemudian terdampar di Pulau Ipuh. Tidak ada barang
yang tersisa, kecuali perhiasan milik Ki Karang Nio. Ternyata, kejadian tersebut merupakan
sebuah teguran dari Yang Maha Kuasa. Kelima saudara yang lain rupanya memiliki niat jahat
untuk menyingkirkan Ki Karang Nio. Mereka iri karena perhiasan yang diberikan kepadanya
berjumlah lebih banyak. Mengetahui fakta yang terjadi, lelaki itu sama sekali tidak marah. Ia
justru berkata, “Harta kalian adalah hartaku, hartaku adalah milik kalian. Apabila barang kalian
hilang, maka aku akan memberikannya.” Kata-kata Ki Karang Nio tersebut tentu saja membuat
saudara-saudara yang lain menjadi malu. Terlebih lagi, lelaki itu membagi perhiasannya kepada
mereka sama rata. Dengan perasaan campur aduk, Ki Gete berkata, “Adikku, kamu memang
begitu bijaksana. Pantaslah ayah memilihmu untuk menggantikannya menduduki tahta.” “Itu
memang benar. Kami juga minta maaf karena telah berusaha mencelakaimu. Sekarang,
kembalilah ke Lebong. Kita harus berpisah di sini karena kami berlima tak akan kembali.” Ki
Karang Nio menghormati keputusan kakak-kakaknya. Ia kemudian pulang sendirian ke Lebong.
Beberapa bulan setelah kembali, laki-laki tersebut kemudian memutuskan untuk menikahi
seorang putri raja. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai dua orang anak laki-laki yang diberi
nama Ki Pati dan Ki Pandan.

Anda mungkin juga menyukai