Anda di halaman 1dari 330

pu

sta
ka-
in
do
.b
log
sp
ot
.c
om
om
.c
ot
sp
log
.b
do
in
ka-
s ta
pu

Sanksi Pelanggaran Pasal 72


Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta

1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan
Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1
(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah),
atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta
atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
pu
sta
ka-
in
do
.b
log
sp
ot
.c
om
AKIK DAN PENGHIMPUN SENJA
Oleh: Afifah Afra

Penyunting: Agus Wibowo


Desain Isi: Bang Aswi | @bangaswi
Desain Sampul: Noviandi Rahman

Diterbitkan pertama kali oleh:


Indiva Media Kreasi
Jl. Sawo Raya No.10 Surakarta

om
www.indivamediakreasi.com .c
ot
Solo, April 2015
sp

Perpustakan Nasional:
og

Katalog Dalam Terbitan (KDT)


l
.b
do
in

Afifah Afra.
a-

Akik dan Penghimpun Senja / Afifah Afra.;


k

Agus Wibowo—Solo: Indiva Media Kreasi, 2015.


s ta

viii, 322 hal.; 13 x 19 cm


pu

ISBN: 978-602-1614-63-1

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Isi di luar tanggung jawab Percetakan


Acintyacunyata1
Sunyi, sepi ... gelap abadi
tak peduli, terus menapak gagah
Satu demi satu langkah menjangkah
Satu demi satu misteri terpecahom
.c
ot
sp

Bagi sang kelana,


og
l
.b

Hidup adalah mendedah zirah


do

Nan melangit di lengkung semesta


in
a-
k
sta
pu

“Adalah suatu kepuasan bagi seorang penelusur gua, bila


lampu yang dibawanya merupakan sinar pertama yang
mengungkapkan sebuah pemandangan yang menakjubkan
di bawah tanah.” (Catatan Norman Edwin)
1 Artinya sunyi, sepi, gelap abadi. Slogan yang banyak digunakan oleh
para penyusur gua (caver).
Daftar Isi

Daftar Isi vi
Amethyst: Sebuah Prolog 1
Beryl om 9
.c
ot

Chalcedony 27
sp
og

Dolomit 43
l
.b

Endokarst 53
do

Flowstone 67
in
a-

Gypsum 89
k
ta

Helektit 101
s
pu

Isopoda 111
Jasper 123
Kalsit 131
Limestone 137
Moonmilk 145
Nanocrystalline 157
Onyx 167
Polje 177
Quartz 187

vi
Ruby 197
Stalaktit 207
Topaz 219
Uvala 237
Vadus 249
Watertable 259
Xenolith 269
Yakut 277
Zamrud 285
Agate 295
Berlian 303
Cavepearl 309

om
Dolina, Senja ke-4823 .c 317
Biodata Penulis 321
ot
sp
og
l
.b
do
in
ka-
ta
s
pu

vii
Sang Penghimpun Senja

Aku dan jingga, bagai dua sisi keping rindu


Aku adalah sungai, jingga adalah lautan
Dan senja, adalah muara
Laut boleh jadi tak pernah bertemu sungai,
Meski dia merindu aliran airnya
Sungai boleh jadi tak pernah bertemu laut
om
Meski dia merindu kapal nan berlayar hingga ke hulu
.c
ot
sp

Tetapi, pada sebuah muara


og

Sungai dan laut bertemu


l
.b
do

Demikian pula, pada sebuah senja


in

Aku dan jingga memadu rindu


ka-
ta

Hanya sejenak, tak mengapa


s
pu

Sejak purba, senja mati dalam usia muda


Aku hanya mampu menggunting senja
Menyimpannya di sudut hati
Dan membukanya saat aku tak tahu
Bagaimana mengobati penyakit rindu
Akulah sang penghimpun senja
1
Amethyst
“Sebuah Prolog”

B utir-butir itu benderang dalam kegelapan abadi!

om
Putihnya tak sekadar menguarkan spektrum cahaya ke
.c
netraku, tetapi juga menembus pelan hingga relung jantungku.
ot

Kegelapan yang pekat, karena headlamp-ku telah kehabisan


sp
og

baterai, dan senter sengaja kami rehatkan untuk menghemat


l
.b

energi, koyak sesaat oleh kemilau yang berbinar gencar.


do
in

Lututku seakan ditelikung gravitasi, keseimbanganku terjala


a-

imajinasi. Aku meluruk ke bawah, tumbang bak batang kayu


k
ta

tersantap gergaji. Gemetar aku meraih senter yang tinggal


s
pu

menyisakan serangkum cahaya lemah. Dinavigasi benda itu,


tatap mataku terpaku pada hamparan yang dipenuhi butiran-
butiran putih yang membentuk sebuah dekorasi di dasar
kolam perkolasi. Ini kemewahan nan menawan! Dadaku
seakan hendak meledak, jantungku bingkas tersulut histeria.
Hampir … hampir saja aku berteriak saking tak kuat
menahan seberkas takjub yang seperti material gunung,
hendak menerabas keluar dari akumulasi jejaring sel dalam
tubuhku. Semesta takjub itu berbaris rapi membentuk benang-

1
benang, saling berkelindan, dan jalin-menjalin menenun diri.
Lantas, setelah menjadi lembaran, dia menyelimuti tubuhku,
membebatku erat, seperti kain bedong yang memeluk akrab
sesosok mungil bayi yang baru terlahir dari perut bundanya.
Aku bahkan sempat terlupa, bahwa beberapa jam yang
lalu, aku baru saja mengalami kejadian demi kejadian
yang menegangkan. Nyawaku baru saja dijadikan ajang
pertaruhan. Antara hidup dan mati.
“Ini … ini…?” terbata-bata kuangkat tanganku untuk
menjangkau butiran itu. Butiran yang berserakan di kolam,
terhampar di atas sedimen putih, membentuk sebuah
spektrum cahaya yang berwarna-warni saat cahaya senterku
om
bersandar sejenak di permukaannya. Aku sesaat kalap dan
.c
hasrat hatiku memaksaku untuk meraup butiran itu.
ot
sp

Namun lelaki yang tampaknya mengamati setiap jengkal


ogl

ketakjubanku itu dengan cepat meraih batang senterku,


.b
do

mendorongnya pelan.
in
a-

“Jangan sentuh apapun!” bisiknya.


k
ta
s

Aku terdiam dengan ketertegunan yang disebabkan


pu

oleh dua hal. Pertama, larangan untuk menyentuh benda-


benda yang berhasil melapisiku dengan selimut takjub
dan menyusupkan kehangatan di seluruh tubuhku. Apa
hakmu melarangku? Mestinya kau membiarkan aku sedikit
menikmati hiburan di tengah badai ketegangan yang tak
henti-henti menampari. Semua cerita yang menyedihkan,
sebaiknya berakhir happy ending, bukan? Jadi, mengapa
engkau melarangku? Kedua…

2
“Mengapa?” aku sengaja tak membiarkan otakku
berpusing memikirkan sebab kedua ketertegunanku.
“Ini cavepearl. Dan ini adalah sebuah keajaiban, karena
tak semua gua karst memiliki cavepearl. Sejak kemarin
menyusuri gua ini, kita baru bisa melihatnya sekarang,
bukan?”
Ya, itulah sebab mengapa aku menjuluki temuan ini
sebagai sebuah happy ending.
“Kau tahu, awalnya benda ini hanya kerikil biasa, tetapi
lambat laun, sedikit demi sedikit benda ini terselimuti mineral
kalsit yang berasal dari endapan kalsit di dasar kolam. Lama-
lama, kerikil-kerikil yang kusam itu tampak berkilau bak
om
mutiara. Kau tahu, banyak terjadi di alam kehidupan ini,
.c
ot

sosok-sosok yang semula bukan apa-apa dan bukan siapa-


sp

siapa, namun kemudian bermetamorfosa sebagai sosok-


log

sosok yang berkilau menakjubkan.”


.b
do

Alasan pertama aku tertegun belum pungkas terjawab,


in
a-

dan aku telah dihadapkan pada ketertegunan ketiga.


k
sta

“Aku pun sebenarnya hanya batu kerikil tiada makna.


pu

Namun aku selalu berharap agar mineral-mineral kehidupan


mendatangiku, menyelimutiku. Mineral berupa kebaikan,
kesabaran, kejujuran. Mineral yang bearoma pengorbanan,
cinta kasih, dan ketabahan. Tanpa itu, selamanya aku hanya
sebutir kerikil hina. Aku tahu derajat kebanalanku. Maka,
aku sangat membutuhkan sesuatu yang membuatku mampu
berkilau, seperti butiran cavepearls ini.”
Ada sesuatu yang membuat aku berani mengangkat
wajahku. Selama ini, aku selalu berusaha menghindari

3
tatapannya yang setajam belati. Hanya dengan lirikan sesaat,
mungkin hatiku yang rapuh bisa dia gores hingga berdarah.
Pandangan mataku pun pelan-pelan membentur sepasang
matanya. Namun, baru sedetik, aku langsung menundukkan
kepalaku kembali. Aku… aku mengalami ketertegunan
keempat.
“J-jadi, mengapa kau melarangku menyentuh benda ini?”
tanyaku, sembari diam-diam menelan air ludah. Ya Tuhan,
betapa ingin aku meraup benda-benda itu dan mendekapnya
ke dadaku.
“Kau adalah selimut kalsit yang mungkin akan membuat
orang-orang di sekitarmu berkilau. Kau gadis dengan begitu
om
banyak kelebihan, kepandaian, kebijakan. Semua orang yang
.c
ada di dekatmu, akan terkalsitkan dan lantas berkilau. Tetapi
ot
sp

percayalah, dalam masalah perguaan, kau harus percaya


og

kepadaku.”
l
.b
do

Jawaban yang tak nyambung. Bisikku. Dan perkataan itu


in
a-

… kau adalah selimut kalsit yang mungkin akan membuat


k
ta

orang-orang di sekitarmu berkilau…? Mengapa aku mendadak


s
pu

gelisah saat dia mendesiskan lema demi lema itu dengan


tekanan suara sedemikian dalam sekaligus terucap lembut?
“Itulah sebabnya, aku mengajakmu ke sini. Aku mengakui
kepakaranmu. Dan kepakaranmu telah terbukti, setelah kau
berkali-kali menyelamatkanku dari bahaya,” ujarku jujur,
sembari membuang pandang ke arah hamparan butir-butir
penuh kilau itu. Ah, tak hanya hamparan batu berlapis
mineral kalsit itu sebenarnya yang membuat aku merasa
tengah berada di surga. Di depanku persis, hanya berjarak
sekitar tiga kaki, sejulur stalaktit memeluk hangat seonggok

4
stalakmit. Persatuan mereka membentuk coulomn—pilar
putih kekuningan yang tegak perkasa, bak sosok kaisar dari
sebuah imperium agung dengan jubah kebesarannya nan
anggun. Hamparan kristal-kristal helektit di atas coulumn
itu, seperti mahkota indah yang dikenakannya saat upacara-
upacara kenegaraan.
Ketika aku mencoba meliriknya, sinar headlamp-
nya memancar, menyisakan cahaya yang hampir malap
terlimitkan setrum baterainya yang menipis. Sisa cahaya yang
temaram itu menerpa seraut wajah yang lelah namun tampan.
Kulihat lelaki itu tengah tersenyum. Ketertegunan kelima,
yang langsung bisa terjawab penyebabnya. Selama aku

om
berinteraksi dengannya, aku jarang melihatnya tersenyum.
.c
“Take nothing but picture, leave nothing but footprint,
ot
sp

kill nothing but time … itu prinsip dasar seorang penelusur


og

gua. Selain itu, struktur bebatuan kapur yang ada di gua ini
l
.b
do

masih rapuh. Salah bergerak sedikit, kita bisa meruntuhkan


in

dinding gua, dan kita mungkin akan tertimbun reruntuhan


ka-

gua.”
ta
s
pu

Dia kembali tersenyum. Kali ini senyumnya agak nakal.


“Mungkin, dalam kisah-kisah kasih klasik, tertimbun hidup-
hidup bersama sesosok pemilik selimut kalsit itu sungguh
sebuah cerita romantis. Tetapi, aku mengharapkan sebuah
kisah yang lebih dari itu.”
Perlahan aku bangkit. Kurasakan tubuhku terhuyung.
Aku memang telah nyaris kehabisan tenaga. Hampir dua
hari dua malam dalam ketersesatan yang mencekam ini aku
sangat sedikit mengasup makanan. Tetapi aku masih cukup

5
kuat untuk bisa berjalan tegak. Lalu, apa yang membuatku
terhuyung? Tentulah kata-kata aneh itu.
“Mengapa kau mendadak begitu peduli padaku?”
pertanyaan itu dengan cepat terbidas dari bibir yang sedikit
berlekuk membentuk cibiran kecil.
“Sejak lama aku peduli padamu. Tetapi, peduli tak harus
selalu dengan kata-kata penuh rayuan, bukan? Terkadang,
kata-kata keras bisa bermakna sebagai obat pahit yang
menyembuhkan demam tinggi. Ya, kupikir selama ini, kau
memang gadis jumawa yang sakit, sehingga untuk meluruh-
kan kesombonganmu, aku perlu membingkasmu dengan
kesombongan pula. Akan tetapi, setelah bersama denganmu
om
dalam beberapa periode waktu, khususnya saat kita tersesat
.c
di gua ini, mendadak aku sadar sepenuhnya, bahwa se-
ot
sp

sungguhnya kau justru sosok yang sangat membutuhkan


og

kata-kata lembut. Bukan makian-makian banal seperti yang


l
.b
do

selama ini aku hamburkan. Maafkan aku, ya?”


in
a-

Penyebab ketertegunan keduaku terjawab: alasan


k
ta

mengapa dia mendadak bersuara lembut. Tetapi, tanpa itu


s
pu

semua, sebenarnya aku sudah mampu meraba isi hatinya.


Kejadian demi kejadian itu ibarat angin topan yang telah
menerbangkan tabir penutup jiwanya.
“Fa, jujur, aku telah mengamatimu selama bertahun-
tahun. Sejak awal bertemu, aku melihat aura begitu kuat
memancar dari sosokmu. Aku menyangka, namun sekaligus
menyangkal, bahwa kau adalah selimut kalsit yang mungkin
akan melapisi kerikil jiwaku, sehingga aku berkesempatan
menjadi mutiara gua, cavepearl. Tetapi, sangkalanku selama
ini lebih kuat daripada sangkaan. Karena, karena … aku

6
sudah terlalu lama kehilangan kepercayaan pada sesosok
makhluk bernama manusia, siapapun itu, baik lelaki, apalagi
perempuan. Dan, ekpedisi yang penuh ketegangan ini
akhirnya membukakan sebuah kenyataan yang membuat
aku terpaksa menyerah. Aku tak menyangkal lagi. Kau adalah
selimut kalsit itu, yang akan membungkus kerikil tiada makna
pada diriku ini menjadi putih berkilau.”
Penyebab ketertegunanku yang ketiga itu membuatku
menggigil.
“Fa, bolehkah … bolehkah aku berharap?”
“Berharap apa?” tanyaku, gugup.
“Berharap padamu.”
om
.c
Dadaku berdebar kian kencang.
ot
sp

“Tentang apa?”
og

“Tentang kesedianmu menjadi selimut yang membungkus


l
.b
do

kerikil dalam jiwaku.”


in
a-

Aku terjajar mundur. Tanpa sadar, aku melangkah


k
ta

menjauh. Bukan, bukan sebab aku tak menyukai kalimat itu.


s
pu

Bahkan, bahkan aku mendadak merasa begitu girang. Tetapi


aku begitu syok dengan kenyataan itu. Aku merasa tak siap,
sangat tak siap.
Ya, itulah alasan ketertegunanku yang keempat.
“Fa!” suara itu memanggilku. Bukannya kembali, aku
melangkah semakin cepat.
“Faaaa!” suara lelaki itu bergema.
Aku berhenti. Menyandar pada sebuah stalakmit tanpa
dihinggapi khawatir bahwa gua akan runtuh dan aku tertimbun

7
hidup-hidup. Gejolak emosiku telah menghilangkan separuh
akal sehatku.
Kuangkat wajahku ke atas, dan aku tersentak. Ada cahaya.
Cahaya sang bagaskara. Kami menemukan jalan keluar![]

om
.c
ot
sp
ogl
.b
do
in
ka-
ta
s
pu

8
2
Beryl

M eskipun belum pernah sekalipun membaca kisah


rekaan semacam “Sepotong Senja untuk Pacarku2”,
.c
ot
om
perempuan muda itu sangat menikmati turunnya senja.
Apalagi sepotong senja yang menggantung di langit Pantai
sp
og

Klayar. Warna jingga seperti jeruk Sunkist raksasa yang


l
.b

diremas dari langit, dan cairannya menciprati langit yang


do

bersih tanpa segumpal pun awan. Lalu, langit yang telah


in
a-

diciprati warna jingga itu, dengan gembira membagi


k
ta

warnanya untuk tetangga terdekatnya, yakni semesta


s
pu

lanskap yang di dalamnya berhimpun ornamen alam nan


mempesona: hamparan pasir putih, deburan ombak, batu-
batu karang, tafon—ragam batuan yang terbentuk karena
abrasi air laut, serta laguna yang diapit gugusan batu karang
dengan ombak yang mengalun lembut dan pecah berderai
saat menepis karang, dan menciptakan sebaran mutiara air
yang bertebaran di udara.

2 Salah satu judul cerpen tulisan Seno Gumira Ajidarma.

9
Bahkan langit itu juga dengan bahagia berbagi teja
jingga kepada para pengunjung pantai yang tengah sibuk
menikmati pesona lanskap. Ada yang dengan mata telanjang,
duduk terpekur dengan mata meluncur ke langit; ada juga
yang tengah mencoba merekam indahnya panorama dengan
peralatan-peralatan yang dimiliki, mulai dari kamera digital
hingga kamera profesional.
Semua terciprat jingga. Semua berpesta senja.
Dan perempuan muda itu, untuk kesekian kalinya
ternganga. Jingga adalah warna kesukaannya. Sejak belia,
sejak matanya mulai mampu membedakan berbagai jenis
warna, detak jantungnya akan bertambah cepat, yang berefek
om
pada desiran kencang pada aliran darahnya, jika sepasang
.c
netranya menumbuk warna jingga. Baju baru yang sekali
ot
sp

diberikan, yakni pada saat lebaran, juga selalu jingga. Sepatu


og

murahan, sandal jepit, tas, pensil, duskrip, penghapus, buku-


l
.b
do

buku, hampir semua berwarna jingga.


in
a-

Dia dan warna jingga, bak sepasang kekasih yang


k
ta

tengah dimabuk cinta. Memisahkannya dengan jingga,


s
pu

akan menyebabkan api gagal membakar kayu, awan gagal


memercik jadi hujan, dan salju gagal mencair jadi musim
semi.
Hanya saja, meski dia memiliki serangkai panjang
pengalaman indah, menginjak usia dewasa, tiba-tiba warna
jingga terasa menjadi sangat mewah baginya. Jingga mungkin
berjodoh dengan seorang anak kecil yang cantik dan periang,
namun tak cocok untuk perempuan yang terbebat gundah
seperti dia. Perempuan yang mulai memahami bahwa hidup

10
itu keras. Bahwa meretas bahagia itu terkadang harus dilewati
dengan menumpuk lembaran derita.
Setiap hari dia harus memanggul bronjong—keranjang
dari anyaman bambu, yang penuh berisi barang dagangan.
Saking penuh dan beratnya sehingga tubuhnya secara
otomatis melengkung ke depan saat berjalan. Bronjong itu
berisi kelapa muda, cairan gula jawa, aneka jajanan, serta
berbagai peralatan seperti piring, gelas, sendok, pisau, taplak
meja dan sebagainya. Pagi buta, usai subuh, dia akan berjalan
kaki sejauh sekitar tiga kilometer, menuju pantai, lalu menata
dagangannya di sebuah warung kecil berdinding anyaman
bambu dan beratap ilalang. Dia akan berada di warungnya

om
hingga senja datang, dan begitu gelap bertandang, mau tidak
.c
mau dia harus kembali pulang.
ot
sp

Hidup yang keras telah memudarkan warna senja


og

pada seludang jiwanya. Dia hampir saja mengajukan talak


l
.b
do

dengan warna itu, seandainya dia tak teringat pada senja.


in

Dia menghindari jingga, tetapi senja selalu datang tanpa bisa


a-
k

dia tunda. Senja memancarkan damai yang menyelusup ke


sta
pu

relung hatinya tanpa dia sadari. Jika laut adalah dirinya, dan
jingga adalah sungai, senja adalah muaranya. Laut boleh
keberatan bersua sungai, tetapi pada muara, mereka bertemu
tanpa mampu dilerai.
Ya, pada akhirnya, perempuan itu berhasil mencintai senja.
Di usianya yang menjelang kepala tiga, perempuan muda
itu memiliki hampir lima ribu memori tentang senja, yang
berarti telah sebanyak itu dia menikmati senja, khususnya di
Pantai Klayar. Kemarin adalah senja ke-4821. Hari ini, begitu
sampai di rumahnya, dia akan menggoreskan lagi satu garis,

11
sehingga senja di Klayar yang dia nikmati bertambah satu,
menjadi 4822. Dia merasa begitu istimewa dengan koleksi
senja yang dia miliki. Ya, meski warna jingga seperti sebuah
kemuliaan yang makin lama makin tak bisa dijangkau, toh
dia tetap mampu menikmatinya tanpa dipungut sepeser pun
biaya. Seperti saat ini, saat jingga menyelimuti hamparan
pantai yang konon merupakan salah satu pantai terindah di
nusantara.
Meski mempesona, Pantai Klayar belum seterkenal Kuta
Beach atau Senggigi. Sekitar tiga ribu senja yang lalu, pantai
masih sangat sepi. Dari sekitar dua puluh butir kelapa muda
yang dia bawa, laku separuh saja sudah sangat baik. Hanya

om
sesekali manusia dengan kamera besar mendatangi lokasi.
.c
Akan tetapi, lambat laun, berbanding lurus dengan senja
ot
sp

yang dia kumpulkan, pengunjung pantai kian bertambah


og

ramai. Dia pun lambat laun mampu tersenyum, karena


l
.b
do

dagangannya mulai membuahkan hasil memadai.


in

Apalagi, warungnya selalu menjadi yang terakhir tutup.


a-
k

Kegemaran menangkap senja, telah membuat dia menjadi


sta
pu

sahabat para pengunjung yang juga menginginkan hadirnya


sepotong senja, yang mungkin akan dikirimkan kepada
orang-orang yang mereka cinta.
Seorang lelaki muda, bertubuh jangkung, berambut
gondrong acak-acakan, memakai slayer biru di lehernya,
bermata sipit, dan bertelanjang kaki mendekat. Sebuah
kamera terkalung di lehernya. Dengan santai dia hinggap
di atas bangku kayu. Butir-butir pasir yang menempel di
celana jeansnya rontok ketika tangannya menyibak pelan.
Termenung sejak, di duduk tenang menatap lautan. “Gila,

12
ternyata Klayar ini benar-benar sebuah surga.” Terdengar
sebuah suara dari mulut lelaki itu. Lirih, namun cukup jelas
di telinga perempuan itu.
“Baru pernah kesini, ya, Mas?” tanya perempuan itu,
ramah.
“He-eh, mbak. Udah lama denger sih, tapi baru kali ini
kesampaian kesini. Senjanya keren. Pengin aku gunting. Aku
kasih ke temanku.”
“Teman istimewa?”
“Haha. Mbak bisa ada. Eh, masih ada kelapa muda?”
“Masih, Mas. Mau pakai gelas, atau langsung dengan

om
buah kelapanya?” .c
“Dengan buahnya, dong! Kalau pakai gelas, rasanya udah
ot
sp

nggak alami. Tambahi gula, dikiiit aja, ya?”


og

“Baik, Mas.”
l
.b
do

Dia bekerja dengan kedua tangannya, dan membiarkan


in
a-

sepasang matanya berselingkuh dari aktivitasnya. Senja


k
ta

terlalu indah, bahkan untuk dia tinggal demi berkonsentrasi


s
pu

mempersiapkan hidangan untuk tamunya. Untung,


tangannya sudah sangat terampil, dan tatkala dia mengeruk
kelapa muda dan mencampurkannya dengan cairan gula
kelapa, seakan-akan sepasang mata cadangan telah dipasang
di kedua tangannya, sehingga dia mampu bergerak lincah
tanpa memalingkan sedikit pun dari pesta senja nan jingga.
Tak sampai lima menit, kelapa muda itu telah terhidang
di depan sang tamu. Sang lelaki menyedot air kelapa muda
dengan nikmat. Namun saat si perempuan itu meliriknya, dia
mendapati bahwa lelaki itu pun menikmati kelapa mudanya

13
dengan mata yang tetap tertuju kepada laut. Kepada senja.
Perempuan itu mendadak tersenyum tipis, merasa memiliki
teman.
“Senang ya, menikmati senja?”
“Eh, iya… iya mbak!” lelaki itu tampak kaget. “Senja
itu selalu menyihir siapapun yang mau berlama-lama
menikmatinya. Tatapan manusia itu seperti butiran pasir
besi, dan senja adalah magnet. Saat keduanya telah beradu,
yang ada adalah tarikan-tarikan yang kuat dan lekat.”
“Wah, tampaknya Mas ini suka bikin puisi, ya?”
“Ngg… nggak juga sih. Cuma aku suka baca novel-novel
dan cerpen-cerpen yang nyastra. Khususnya, yang bertema
om
senja.” Lelaki itu bangkit. Berdiri menatap laut. Lalu berbalik,
.c
ot

memandang sang perempuan. “Eh, mbak, kamu mau nggak,


sp
og

mendengarkan aku membaca puisi?”


l
.b

“Puisi?” Perempuan itu teringat, saat bersekolah di SD


do
in

dahulu, dia pernah terpilih sebagai wakil sekolah untuk


a-

lomba puisi di tingkat kecamatan. Sebenarnya dia menyukai


k
sta

baris-baris kalimat yang indah. Dia pun sepertinya mampu


pu

melakukan apa yang diajarkan pelatihnya. Tetapi, dia


terlampau pemalu. Meski akhirnya dia berani maju ke
panggung dan membawakan puisi “Kerawang Bekasi”,
jangankan memenangi kompetisi, sekadar masuk nominasi
pun ternyata tidak. Suaranya terlampau lirih. Ekspresinya kaku.
Sepulang dari lomba, sang bapak yang menjadi pendamping
menyenggol pundaknya dan bertanya, “Nduk, kenapa baca
puisimu tak sebagus saat kamu berlatih sendirian di depan
cermin? Menurut bapak, kalau kau membaca puisi seperti

14
saat tengah berlatih sendiri, kau lebih bagus dari yang juara
satu tadi.”
Sampai sekarang, dia tak mampu memberikan jawaban
yang memuaskan atas pertanyaan bapaknya itu.
Saat masuk SMP, dia juga menyenangi kegiatan
menggoresi lembar-lembar buku tulisnya dengan kalimat-
kalimat indah. Sayang, ketika akhirnya dia drop out pada
usia 14 tahun, keluar dari kelas 2 SMP karena tak ada biaya,
dia memutuskan untuk menutup lembaran itu, dan bercerai
dengan puisi. Hingga kini.
Dan mendadak, lelaki itu ingin membacakan puisi di
depannya.
Aneh. Benar-benar aneh. om
.c
ot
sp

“Tapi, jangan diketawakan, ya? Sebenarnya saya malu,


og

tetapi senja ini terlalu indah untuk tidak memunculkan


l
.b

kelindan kata-kata yang mewakili perasaanku.”


do
in

“Silakan saja, Mas. Tapi saya ndak ngerti apa itu puisi. Jadi
ka-

bagi saya, semua puisi itu bagus,” jawab sang perempuan.


ta
s
pu

Lelaki itu tertawa kecil. Lalu dia mengambil notes kecil


dari saku celana jeansnya. Suaranya yang serak-serak basah
terdengar keras.

Aku dan jingga, bagai dua sisi keping rindu


Aku adalah sungai, jingga adalah lautan
Dan senja, adalah muara
Laut boleh jadi tak pernah bertemu sungai,
Meski dia merindu aliran airnya
Sungai boleh jadi tak pernah bertemu laut

15
Meski dia merindu kapal nan berlayar hingga ke hulu
Tetapi, pada sebuah muara
Sungai dan laut bertemu
Demikian pula, pada sebuah senja
Aku dan jingga memadu rindu
Hanya sejenak, tak mengapa
Sejak purba, senja mati dalam usia muda
Aku hanya mampu menggunting senja
Menyimpannya di sudut hati
Dan membukanya saat aku tak tahu
Bagaimana mengobati penyakit rindu
Akulah sang penghimpun senja

om
.c
ot
Penghimpun senja? Berselirat kaget mengguncang jiwa
sp

sang perempuan. Bukankah dia pun menghimpun senja?


og

Astaga! Bagaimana mungkin kelindan pikirnya berhasil di-


l
.b
do

serap oleh lelaki itu, dan diterjemahkan dalam susunan kata


in

nan merdu merayu? Apakah lelaki itu diam-diam memiliki


a-
k

sebuah kekuatan yang mampu mengacak-acak isi hatinya?


sta
pu

Apakah…?
“Bagaimana mbak? Bagus nggak, puisiku? Eh, percaya
nggak, satu-satunya orang yang pernah mendengar aku baca
puisi itu cuma mbak, lho! Orang-orang mungkin malah nggak
percaya kalau aku bisa seperti ini. Aku dikenal galak, judes,
cuek. Eh, nggak ada yang tahu kalau aku ini sebenarnya
romantis dan lembut.”
Lelaki itu tertawa terbahak-bahak. Sementara sang
perempuan termenung bingung. Mungkinkah lelaki di

16
depannya itu sosok yang tengah frustasi dan membuang
diri? Jika benar bahwa dia adalah orang pertama yang
mendengarnya berpuisi, ada dua buat tafsir. Pertama, dia
dianggap spesial. Kedua, justru karena dia dianggap bukan
siapa-siapa, tak mengerti bagaimana puisi yang bagus tercipta.
Tampaknya, tafsir kedua jauh lebih masuk akal. Dia menghela
napas, memandangi bajunya yang kusut, meski setiap hari
dia berusaha serapi mungkin dalam berpenampilan.
Jingga telah lama bercerai dengannya. Tetapi, pada
sebuah senja, jingga memadu rindu. Bak lautan yang bertemu
dengan aliran sungai dalam sebuah muara.
Ah, bagaimana mungkin mereka memiliki pemikiran
yang sama. om
.c
ot

“B-berapa senja yang berhasil Mas kumpulkan?” tanya


sp

perempuan itu.
og
l
.b

Sang lelaki terpana. “Mengumpulkan senja? Tidakkah itu


do

pekerjaan tolol?”
in
a-

“Hm… iya, mungkin. Tetapi, saya selalu mengumpulkan


k
sta

senja. Entah mengapa saya tertarik untuk itu.”


pu

“Mbak ini aneh. Tetapi unik. Aku jadi pengin tahu,


berapa senja yang telah mbak kumpulkan?”
“Dengan senja ini, telah genap empat ribu delapan ratus
dua puluh dua.”
“Woow!” lelaki itu berdecak. “Banyak sekali?”
“Itu sejak saya SD, Mas. Ketika suatu hari melintas di
Klayar, saya mendadak tertarik untuk mulai mengumpulkan
senja. Setiap menemui senja, saya menggoreskan satu
garis.”

17
“Dan, sekarang telah terkumpul sebanyak itu? Mbak
ini benar-benar sosok yang unik. Seunik Pantai Klayar yang
jarang diketahui banyak orang.”
“Ngg… Mas ini tinggal dimana?”
“Aku asli Jakarta. Tapi kuliah di Semarang.”
“Baru sekali ini melihat senja di Klayar?”
“Kok mbak menebak begitu?”
Senyum di bibir perempuan muda itu bertambah lebar.
“Sebab, tak banyak warung yang selalu masih buka saat
senja, Mas. Kecuali di hari-hari libur yang ramai. Warung
saya termasuk yang selalu buka. Dan, tak terlalu banyak pula

om
yang suka menikmati senja di Klayar. Jadi, kalau sudah sering
.c
ke sini, biasanya saya hapal orang-orangnya.”
ot
sp

“O, begitu?” Lelaki itu tersenyum tipis.


og

Percakapan terhenti saat sebuah siulan mendadak


l
.b
do

terdengar, menyerupai suara seruling, dan dari sebuah celah


in

karang, air meluncur ke udara hingga sekitar sepuluh meter


a-
k

ketinggiannya. Mirip dengan air mancur. Si lelaki berbalik


sta
pu

menatap laut. Seluruh indranya tampak fokus, dan tampaknya


dia tak menganggap penting apapun kecuali penjelajahannya
pada hamparan laguna. Lelaki itu mendesah takjub.
“Itu seruling laut, Mas,” kata perempuan itu, sembari
tersenyum geli. “Memang pantai ini luar biasa. Meskipun
setiap hari saya berjualan di sini, masih tetap takjub dengan
keindahannya. Tapi, sebenarnya suara itu sudah sangat lama
tidak terdengar. Saya hanya mendengar cerita dari orang-
orang di sini tentang seruling laut. Mas beruntung, karena

18
saya sendiri bahkan baru pernah mendengarkannya sore
ini.”
“Itu namanya efek blow pipe, mbak,” ujar lelaki itu,
tanpa melirik sedikit pun kepada si perempuan.
“Apa? Blo … peip…?”
“Blow pipe. Itu fenomena alami. Tahu nggak sebabnya?
Air laut yang tertekan dan udara yang terjebak di dalam
saluran di sepanjang bebatuan itu, ditambah dengan
tekanan ombak, membuat air kemudian muncrat ke atas dan
mengeluarkan suara seperti siulan.” Sambil menjelaskan,
si lelaki kini menatap sebongkah batu karang yang terlihat
seperti Spinx—patung manusia berkepala singa di Mesir.
om
“Jadi, benarkah suara itu sudah sangat jarang terdengar?”
.c
ot

“Ya, malah, sepertinya tidak pernah. Eh, pernah, sekali


sp
og

ini. Aneh, ya?”


l
.b

“Hm, sayang sekali. Mungkinkah pantai ini sengaja


do
in

membuat sambutan untukku?” Lelaki itu tersenyum.


a-
k

“Mas ini kayaknya pintar sekali, mahasiswa, ya?”


sta
pu

“Saya belajar biologi, mbak. Dan sangat suka biologi laut.


Tapi jangan bilang saya pintar, karena nilai saya jelek-jelek.”
Tiba-tiba suara tawa lelaki itu meledak. “Ini pantai cakepnya
nggak ketulungan, gila! Tapi payah banget, masak kendaraan
umum aja gak ada. Jalannya sempit, berkelak-kelok, penuh
tanjakan dan turunan tajam, sangat mengerikan. Coba kalau
pantai ini dibangun dengan bagus, pasti dalam waktu sekejap
akan mengalahkan Phuket Beach. Eh, si Phuket tuh, nggak
ada apa-apanya dibanding pantai ini!”

19
Perempuan muda itu mendadak terdiam. Tak hanya
lelaki di depannya itu yang pernah dia dengar berbicara
semacam itu. Ratusan kali—mungkin—dia mendengarkan
hal-hal semacam itu tercetus dari nyaris setiap orang yang
berkunjung ke warung sederhananya. Sebuah harapan yang
sebenarnya sangat layak dikumandangkan. Tampaknya,
semua orang berpikiran seperti itu. Jika ada satu-satunya
orang yang merasa sangat berkeberatan dengan dibukanya
kawasan itu untuk umum, orang itu adalah Gunadi.
Gunadi, sosok yang telah berhasil menanamkan satu
keyakinan padanya, bahwa dia tak pantas lagi bersulam
warna jingga. Bahwa jingga itu terlalu mewah untuknya.

om
Sosok yang membuatnya terpaksa harus berdusta, bahwa dia
.c
ingin mendapatkan banyak uang dari warungnya sehingga
ot
sp

dia akan berjualan hingga menjelang malam, padahal


og

maksud sesungguhnya agar dia leluasa menikmati senja.


l
.b
do

Suara adzan terdengar dari kampung terdekat, dan itu


in

menyerupai sebuah alarm baginya. Dia harus segera pulang,


k a-

menempuh sekitar setengah jam berjalan kaki dengan


sta
pu

kecepatan menyerupai seorang pelari maraton. Biasanya dia


akan shalat maghrib dahulu baru menutup warung. Tetapi,
kali ini dia sedang datang bulan.
Cepat perempuan muda itu berkemas, memberesi barang
dagangannya. Ketika semua sudah terkemas di bronjong-
nya, dia lihat lelaki itu pun telah menghabiskan sedotan
terakhirnya.
“Berapa, mbak?”
“Lima ribu, Mas.”

20
“Apa?” mata sipit lelaki itu membelalak. “Murah
banget?”
“Ya, memang segitu harganya, Mas,” perempuan itu
tersenyum kecil.
“Serius? Mbak udah ambil untung?”
“Sudah. Warung-warung lain juga menjualnya segitu.”
Sambil mengeluarkan dompetnya yang terlihat sangat
tebal, lelaki itu mengeluarkan selembar uang lima puluh
ribuan. Mulutnya bergumam. “Jika sebuah kemewahan
menangkap senja hanya ditebus dengan uang sebesar lima
ribu, ngapain juga orang-orang pada bercakar-cakaran
berebut rupiah. Ini, Mbak! Saya nggak punya uang kecil.
Maaf, ya?” om
.c
ot
sp

“Wah, saya kebetulan juga sudah tak ada uang kecil,


og

Mas.”
l
.b
do

“Ambil aja kalau begitu.”


in

“Jangan, Mas.”
a-
k
ta

“Aku serius.”
s
pu

“Begini aja, anggap saja ini utang, ya Mas. Nanti kalau


mas kembali ke sini lagi, pasti akan saya bayar.”
“Halah, kau ini ada-ada saja, Mbak. Anggap saja ini
bayaran dariku, karena mbak mau mendengarkan aku
berpuisi. Lagipula, darimana mbak tahu bahwa aku akan
kembali kesini?”
“Tipe-tipe seperti Mas ini sering saya lihat, tipe orang
yang sangat menyukai senja. Dan begitu sekali mereka

21
berhasil menikmati senja, hampir 90 persen dia akan kembali
ke sini.”
Lelaki itu menyibak anak-anak rambutnya yang menutupi
wajah. “Mbak ini … maaf, cuma pedagang kelapa muda, tapi
kok ucapannya filosofis. Eh, siapa nama mbak?”
“Rinanti.”
“Nama yang keren.”
Nama yang keren. Seumur hidup, baru pernah namanya
dipuji sebagai nama yang keren. Perempuan muda itu
tertawa, lalu meraih bronjong-nya, menggendongnya dengan
kain. Hidup itu realita. Pujian-pujian hanya akan membuat
bronjong di punggungnya, dan langkah yang dia tempuh
terasa semakin berat. om
.c
ot
sp

“Eh, bentar-bentar … mbak Rinanti ini … jalan kaki, ya?”


og

“Ya, Mas.”
l
.b
do

“Bareng aku aja. Naik mobil. Aku antar deh. Jauh, kan
in

rumah mbak?”
ka-
ta

“Ah, nggak usah, Mas… dekat, kok, cuma tiga


s
pu

kilometer.”
“Tiga kilometer kalau jalan kaki, dan bawa barang
sebanyak itu, namanya jauuuh, mbak! Ayolah! Sesama pecinta
senja, nggak boleh saling cuek. Kudu saling membantu.”
“Nggak usah, Mas. Ntar suamiku marah, lho, kalau
melihat saya diantar lelaki lain,” ujar perempuan itu sembari
tertawa kecil. Cepat dia melangkah. Semula langkahnya
tegap dan mantap. Namun entah karena gugup, atau tak
terlalu memperhatikan kondisi jalan, sebongkah batu di

22
depannya menggelincirkan keseimbangannya. Sesaat
tubuhnya terhuyung dan jatuh terguling. Bronjongnya lepas,
isinya tumpah. Beberapa butir kelapa yang tersisa jatuh
menggelinding. Sebagian menimpa badannya.
“Mbaaak!” lelaki itu berlari mendekat, dan dia dapati
perempuan itu meringis kesakitan. Jempol kakinya terlihat
mengeluarkan banyak darah. “Kau nggak papa, Mbak?”
Rinanti meringis.
“Sebentar, ya!” Si lelaki meraih sesuatu dari lehernya,
sebuah sapu tangan berwarna biru muda yang dia gunakan
sebagai slayer. Dengan tangan yang bergerak cekatan dan
tampak terbiasa, dia mengambil botol kecil berwarna kuning
om
dari tas pinggangnya. Betadine. Tanpa ragu, dia meraih kaki
.c
ot

Rinanti yang duduk berselonjor. Menetesi dengan betadine,


sp

lalu membungkusnya dengan sapu tangan biru itu. Sebuah


og
l

sapu tangan dengan sulaman cantik dari benang putih,


.b
do

membentuk dua buah burung sriti yang sedang terbang. Di


in
a-

bawah sulaman terdapat huruf AYM. Siapa AYM? Apakah itu


k
ta

inisial dari nama lelaki itu?


s
pu

“Nah, selesai!”
“Aduuh, Mas!” Rinanti yang mendadak tersulap jadi
arca batu segera pulih kesadarannya. Semburat merah
membayang di wajahnya yang putih. “Te-terima kasih. Maaf
merepotkan, ini cuma luka kecil saja, kok!”
Dia berusaha bangkit, meraih bronjongnya. Jalannya
terpincang-pincang.

23
“Mbak, kamu nggak usah menolak. Lukamu lumayan,
lho. Ayolah, aku antar dengan mobil. Nggak boleh menolak.
Aku cowok baik-baik, kok.”
Ya, hanya orang baik yang mau menolong orang tanpa
berpikir panjang. Meski orang itu hanya seorang pedagang
es kelapa muda.
“Ayolah! Jangan jadikan aku cowok egois karena mem-
biarkan seorang perempuan berjalan kaki berkilo-kilometer,
sementara mobil dia kosong melompong. Apalagi, perempuan
itu sama-sama penghimpun senja.”
Senja lagi, senja lagi! Jangan sampai karena senja kau
lupa bahwa aku hanya seorang pedagang miskin dengan
om
tangan kasar dan tubuh berpeluh. Bukan gadis manis yang
.c
ot

mampu menyulam jingga menjadi bentangan yang memikat


sp

jiwa.
og
l
.b

Tetapi, mungkin karena senja, lelaki itu benar-benar


do

serius. Dia beranjak menuju mobil yang terparkir tak jauh


in
a-

dari warung. Sebuah mobil gagah, dan pasti sangat mahal,


k
ta

berwarna hitam metalik, penuh dengan tempelan stiker.


s
pu

Lelaki itu masuk ke ruang kemudi, suara mesin terdengar


berderam, bersamaan dengan mobil yang mulai merambat,
mendekat Rinanti.
“Yuk!”
“Ng… aduuuh, anuuu … saya takut merepoti.”
“Nggak, nggak merepoti! Aku serius. Ayo, naik!”
“B-baiklah.”

24
Rinanti membuka pintu tengah. Anton turun dengan
sigap, membantu dia memasukkan bronjong ke kabin be-
lakang. Sejurus kemudian, mobil meluncur pelan.
“M-maaf, nama Mas siapa?”
“Anton. Aku masih muda, nggak usah pakai Mas. Umurku
baru dua-dua. Kalau di kampus, aku perjaka tua. Tapi kalau
sama Mbak Rinanti, kayaknya aku jauh lebih muda, ya?”
Meski ucapannya bernada canda, lelaki itu tetap terlihat
serius.
“Bb-baik, Mas, Eh, Dik Anton….”
“Anton Yosef Maringka.”

om
AYM? Rinanti melirik sulaman benang putih di sapu ta-
.c
ngan yang membalut kakinya.[]
ot
sp
ogl
.b
do
in
ka-
ta
s
pu

25
pu
sta
ka-
in
do

26
.b
log
sp
ot
.c
om
3
Chalcedony

Tiga bulan yang lalu…

“I om
ni benar-benar gila!” teriakan lelaki muda berambut
.c
gondrong dengan nada tinggi itu mengalahkan deru
ot

mesin pengebor dinding yang tengah beraktivitas tak jauh


sp
og

dari ruang Mapala. “Ini bukan perjalanan wisata ke Kopeng


l
.b

atau Pantai Pacitan yang you katakan eksotis itu, tahu! Ini
do
in

penjelajahan. Gua ini belum dibuka untuk umum. Masih


a-

perawan. Gua vertikal lagi. Artinya apa? Aktivitas yang sangat


k
ta

serius. Meleset dari rencana, nyawa taruhannya. Untuk apa


s
pu

seekor kucing kecil dibawa-bawa? Dirinya seorang pun telah


bikin repot! Belum nanti kalau di jalan ketemu anjing buduk,
kita yang akan kena batunya!”
Kucing kecil katanya?!
Seperti barusan disetrum dengan aliran listrik, tubuhku
menegang. Gemas aku menatap lelaki bertubuh atletis
dengan tampang berantakan yang tengah berdiri dengan
ponggah di depan ruang kelas itu.

27
Kucing kecil! Aku akan mengingat kata-kata itu, jika
perlu seumur hidupku. Karena sungguh, ini adalah sebuah
penghinaan yang tiada tara dahsyatnya. Ini adalah sebuah
pelecehan akan status self esteem yang aku bangun dengan
susah payah.
Ingin kubalas teriakan itu dengan makian tak kalah
pedas. Namun, untuk tidak memperkeruh suasana, aku
memilih tetap diam. Sorry, Bung! Level kecerdasan emosiku
sudah di atas rata-rata, dan aku tak mau merendahkannya
hanya untuk sekadar memuaskan dongkol di hati. Biarlah
anjing menggonggong, dan kafilah terus berlalu. Sorry ya,
dia anjingnya, aku kafilahnya.

om
Untuk melawannya, aku sengaja membuat sebuah antitesa
.c
ot
dengan membuka-buka organizer-ku dengan sangat santai.
sp

Toh sekuat apapun lelaki itu berkoar-koar, bahkan jika sound


og

system di stadion kampus yang suaranya menggelegar itu ia


l
.b
do

gunakan untuk menduplikasi desibel salakannya, rencana tak


in

akan mungkin berubah. Aku adalah satu-satunya mahasiswa


ka-

peraih dana penelitian speleologi di antara sosok-sosok yang


ta
s
pu

tengah berdiskusi di ruangan tersebut. Sebuah international


foundation yang bergerak di bidang IPTEK mengabulkan
proposal penelitian yang aku ajukan. Dana yang tak kecil
jumlahnya mengalir ke kocekku. Jadi, bisa dibilang, akulah
yang membiayai ekspedisi tersebut. Aku bosnya! Mana
mungkin sang penyandang dana, sekaligus pimpinan proyek
justru tidak ikut dalam ekspedisi.
Karena ia hanya kucing kecil?
Tunggu, sebentar lagi alur cerita akan berganti.

28
“Ton, kau ini gimana, sih?!” semprot Jaka sembari
menuding lelaki berambut gondrong acak-acakan itu. Nah,
tuh! Tanpa harus meladeni omongan itu, ternyata juga sudah
ada yang siap membelaku.
Karena alur cerita memang benar-benar telah berubah.
Namun senyumku yang kadung melebar dengan cepat
tersikat oleh sebuah ingatan yang menyebalkan. Jangan
merasa menang, Fa! Karena itu hanya akan membuat
lelaki yang menggelariku ‘kucing kecil’ itu justru semakin
tenggelam dalam buaran amarahnya.
Kuraih sebuah artikel yang sempat aku print dari sebuah
media online. Artikel tentang Luweng Jaran, gua yang akan
om
kami susuri. Luweng adalah istilah untuk menyebut gua yang
.c
ot

entrance-nya vertikal. Disebut Luweng Jaran, konon karena


sp

pernah ada jaran—bahasa Jawa dari kuda, yang terperosok di


ogl

luweng itu dan mati. Dari artikel itu, aku menyimpulkan, tak
.b
do

mudah memasuki gua itu, apalagi jika ditambah dengan misi


in
a-

penelitian. Harus ada orang yang mengerti masalah gua. Dan


k
ta

orang itu adalah Anton.


s
pu

Aku menggigit-gigit ujung pensilku dengan gemas. Jadi,


kalau Anton menolak bergabung, aku sendiri yang rugi.
Aku tak ingin ada insiden sekecil apapun menggores kanvas
mulus perjalanan proyekku. Semua kudu berjalan lancar.
Oh my God! Siapa bilang alur cerita telah berubah?
Tokoh utama cerita ini tetap Anton. Aku hanya bos boneka.
Aku membutuhkan seorang dalang untuk memainkan lakon
itu. Dalang bernama Anton.

29
“Fahira Azalea adalah bos kita. Masak bos tidak ikut?”
ujar Jaka, sembari melirikku dengan senyum kecil di bibirnya
yang kehitaman sebab nikotin. Aku sering bergidik ngeri
membayangkan lapisan racun itu telah berkerak di paru-
parunya dan siap menggiring si empunya ke rumah jagal
pembunuh nomor tiga di dunia setelah jantung dan kanker.
Jaka sangat baik kepada siapapun, tetapi ogah berpikir
panjang untuk kebaikan dirinya. Dalam sehari, dua bungkus
rokok bisa dia habiskan. Mulut dan hidungnya bagai stasiun
kereta api zaman dulu yang dipenuhi hilir-mudik kereta uap
yang mengeluarkan asap.
“Bos?” Anton Yosef Maringka, si gondrong itu

om
membelalakan matanya. Tampak lucu, karena mata itu
.c
memang ditakdirkan memiliki anatomi sipit. Khas keturunan
ot
sp

Minahasa. Sebenarnya, jika mau jujur, mata itu terlihat


og

manis. Namun jika tengah dibelalakkan, sepasang bola hitam


l
.b
do

putih itu akan lebih tampak sebagai kelereng kecil mainan


in

anak-anak yang di tempatkan di atas lapangan badminton.


ka-

Ya, wajah lebar Anton memang lebih mirip lapangan tempat


ta
s

Leonel Messi c.s. bertarung. Beruntung, dia memiliki kulit


pu

putih, hidung mancung dan bibir yang ukurannya relatif


proporsional, sehingga ketidakimbangan bentuk matanya
dibanding wajah, justru menjadi daya tarik tersendiri.
Nah, sejak kapan aku menjadi pengamat wajah seseorang?
Apalagi mengagumi paras menawan seorang lelaki yang
telah menggerus harga diriku? Huh, dasar wanita!
“Siapa sudi punya bos cewek lemah berpenyakitan
seperti dia?” Anton melirik ke arahku. Corak pandangan
seperti terilhami gaya Hanna-Barbera saat melukiskan mata

30
Tom Si Kucing saat merencanakan niat buruk terhadap Jerry
Si Tikus.
Aha, hanya sekali sebenarnya Anton memergoki diriku
duduk pucat pasi di sudut laborat, usai menyelesaikan
praktikum ekologi, beberapa tahun silam. Saat itu, aku
sedang datang bulan. Banyak gadis menderita dismenorhea
setiap awal datang bulan, tetapi kasusku lebih berat dari
kebanyakan pengidap dismonerhea. Aku pernah pingsan
saat upacara bendera zaman SMA gara-gara datang bulan.
Dan kejadian itu terulang saat praktikum itu. Sayangnya,
alih-alih membesarkan hatiku, Anton yang saat itu menjadi
ketua kelompok dalam praktikum justru mengomeliku

om
habis-habisan. Aku dikatakan manjalah, lemahlah, banyak
.c
alasanlah….
ot
sp

Dan kini, kejadian itu bahkan dijadikan anasir pokok


og

yang membuat dia berkesimpulan bahwa aku adalah


l
.b
do

seorang gadis lemah berpenyakitan. Sebuah konklusi yang


in

terlampau serampangan. Apakah ia lupa, bahwa saat kami


a-
k

‘dibantai’ dalam OSPEK beberapa tahun silam, si Anton itu


sta
pu

bahkan pernah tergeletak pingsan dengan hidung mimisan?


Sementara, aku menjadi satu-satunya mahasiswi baru yang
tetap berdiri tegak hingga upacara penutupan OSPEK, dimana
puluhan mahasiswi lainnya terpaksa berjatuhan dan berjejal-
jejal menghuni ruang medis.
Aku juga tak lemah-lemah amat. Saat SMA, aku aktif di
pramuka. Fisikku terlatih. Hanya saja, tiga tahun di bangku
kuliah dan sibuk membantu dosen di laborat memang telah
menyedot konsentrasiku.

31
“Siapa bilang dia cewek lemah berpenyakitan? Jangan
ngaco. Eh, Ton! Makanya, kau ini jangan sering bolos kuliah.
Fahira ini, adalah mahasiswa berprestasi kampus kita. Dia
yang dapat dana dari Jerman, kita cuman ngikut aja! Justru
dia yang punya gawe dengan ekspedisi ini!” papar Jaka lagi.
“Kalau Fahira nggak ikutan, sama juga boong!” Azhar,
lelaki berambut kribo, mahasiswa seangkatan Anton ikut
nimbrung. Lelaki itu memiliki nama yang indah, artinya
bunga. Tapi tampangnya tak selaras namanya, sehingga
teman-temanku di kampus sering menjulukinya si bunga
alang-alang. “Sekarang ini, apa-apa mahal. Bensin satu liter
sudah enam rebo lima ratus. Ekspedisi ke Luweng Jaran itu

om
mahaaal. Aku sih, nggak mau ngabisin jatah dari ortu hanya
.c
buat berpetualang.”
ot
sp

Aku menundukkan wajah, pura-pura sibuk menekuri


og

gadgetku, tetapi diam-diam aku tersenyum. Satu per satu


l
.b
do

pembelaku beraksi. Tapi ingat, Fa! Jangan sampai si tokoh


in

kunci itu tersinggung dan ekspedisi ini gagal total.


a-
k
ta

“Justru kita ini bersemangat buat ikut penelitian gua karena


s
pu

keberadaan proyek ini! Bayangkan, selain menjamin bakal


membayar uang saku kita selama sebulan penuh, Fahira juga
rela berbagi data sama kita. Artinya, selain kita senang-senang
karena bisa nyelusur gua gratis, dapat peralatan lengkap plus
fulus, kita juga dapat bahan buat skrispsi kita!” Nania, cewek
berhijab gaul yang suka sekali mengenakan jeans belel dan
sepatu boot itu membuka kacamatanya. “Ini namanya sekali
tancap gas, dua-tiga benua terlampaui! Ngalahin Colombus,
kan?”

32
Peribahasa Nania yang ajaib itu kembali membuatku
nyengir. Mereka, Jaka, Azhar dan Nania, sebenarnya ‘kaki-
tangan’ si Anton. Mereka CS-an, pakai banget. Maka, ketika
mereka ternyata justru mendukungku, aku merasa tengah
dilemparkan ke awang-awang.
“Tumben bener, mata kalian jadi ijo ngelihat fulus!”
rupanya Anton masih belum mau mengalah.
Biasalah... harga diri seorang lelaki! Lebih dari itu, aku
paham sekali. Tampaknya si gondrong itu masih menyimpan
perasaan tidak enak hati padaku. Apalagi jika bukan sisa-sisa
perseteruan pasca OSPEK beberapa bulan silam. Anton yang
bukan panitia, tiba-tiba membuat ulah dengan menyekap 5
om
mahasiswa baru—tiga lelaki dan dua perempuan—di gudang
.c
laboratorium Ekologi. Mungkin dia ingin membalas dendam
ot
sp

atas perlakuan senior-seniornya saat ia masih mahasiswa


og

baru dahulu. Lima yuniornya itu dia kerjain habis-habisan.


l
.b
do

Saat masih culun sebagai ensi—newcomer—di kampus


in
a-

itu, memang Anton menjadi the most wanted, alias sasaran


k
ta

bulan-bulanan nomor satu para senior iseng. Karakter Anton


s
pu

yang cuek, suka membangkang, namun cerdas dan sangat


analitis itu memicu penasaran para senior. Konon selama
tiga hari tiga malam, Anton disekap di sebuah gudang.
Mengherankan juga, karena hal itu tak terdeteksi oleh pihak-
pihak yang berkompeten di kampusku.
Tetapi, aku tentu ogah menjadi dendam itu sebagai
legitimasi. Aku yang saat itu menjadi koordinator seksi
acara, marah bukan main. Apalagi mendadak ada inspeksi
dari pihak jurusan. Aku sangat gelagapan ketika Doktor Adi

33
Prabowo, sang kepala jurusan itu bertanya, kenapa jumlah
mahasiswa baru hanya 60 orang? Mana yang lima?
Begitu berita penyekapan itu sampai ke telinga beliau,
Doktor Adi marah besar, dan mengancam akan memberi
sanksi kepada semua panitia. Setelah itu, bentrokan pun
terjadi tanpa bisa ditahan. Aku yang terkenal pemberani,
tanpa tedeng aling-aling melabrak Anton Yosef Maringka,
sosok yang paling ditakuti oleh seluruh mahasiswa di
kampusku itu. Si kasar yang berfulus melimpah, karena
kebetulan punya bapak orang berduit. Sosok yang merasa
bisa menggunakan cara apapun, baik lembut maupun kasar,
untuk mencapai apa yang diinginkannya.

om
“Kau nggak perlu nyampurin urusan aku!” bentak Anton
.c
saat itu.
ot
sp

“Siapa bilang saya mencampuri urusanmu? Siapa kamu


ogl

... apa yang kamu lakukan, saya tidak pernah peduli. Saya
.b
do

hanya ingin ke-5 mahasiswa baru itu kamu lepaskan! Mereka


in
a-

sedang ikut OSPEK. OSPEK yang legal formal! Jika kamu


k
ta

bersikap seenak sendiri seperti itu, kami bisa melaporkanmu


s
pu

ke polisi!”
“Eh, kamu jangan sok jagoan di depanku ya?! Belum
tahu ya, dengan siapa tengah berhadapan?”
“Lumayan penasaran, sebenarnya, dengan siapa sih saya
sedang berhadapan?”
“Kamu sedang menghadapi Anton Yosef Maringka, yang
nggak segan-segan menggasak orang-orang rese seperti
kamu!”

34
“Wah... wah, sesumbar kamu hebat juga, Bung Anton!
Sayangnya, saya bukan orang yang bisa kamu gasak begitu
saja. Setahu saya, seorang Anton hanyalah mahasiswa
pemalas yang suka bolos dan jarang dapat IP lebih dari 2.
Begitu, kan? Kalau gitu, apa kelebihan yang membuat saya
harus menunduk hormat kepadamu?”
Dalam masalah bersilat lidah, jangan pernah mencoba
bertanding melawanku. Aku sendiri terkadang merasa risi
dengan ketajaman lidahku. Akan tetapi, untuk menghadapi
orang-orang yang kelaparan ego macam Anton, sepertinya
tak perlu merasa risi untuk berdebat sekeras apapun.
Betul saja. Paras Anton berubah merah-hijau. Kepalan
om
tangannya telah teracung dan hampir saja terayun ke
.c
ot
wajahku. “Sayangnya kamu cewek! Jika kamu cowok, pasti
sp

udah aku cincang jadi dendeng!”


ogl

“Kenapa juga kalau aku cewek? Takut?” aku masih


.b
do

belum mau kalah. Lelaki yang merasa dirinya di atas langit,


in
a-

mungkin harus dihadapkan pada langit yang lebih tinggi.


k
ta

Untunglah, bentrokan bisa dihindari ketika beberapa


s
pu

senior yang cukup punya wibawa menengahi perselisihan


tersebut.
“Sudah... sudah! Mundur semua! Fahira, kamu bisa lebih
mengalah, kan? Anton, kamu juga nggak gentle amat! Masak
cewek mau diajak fight!” semprot Kak Daren, mantan ketua
Himpunan.
Sejak saat itu, aku memiliki julukan khusus untuk lelaki
itu: ‘Si gunung api.’ Gunung api teraktif di dunia yang awan

35
panas dan lava pijarnya bisa meremukkan tulang iga lawan-
lawannya.
Dan si gunung berapi itu, sekarang kembali beraksi
dengan kepulan lahar yang menyala-nyala dari sepasang
mata singanya.
“Kalian minta berapa saja duit dariku, apa pernah aku
tolak?” lanjut Anton, dengan suara menggelegar. “Bahkan
kalau perlu, aku bisa biayain penelitian ini, berapa pun fulus
yang kalian minta!”
Aku mendesah. Kali ini sebersit kegelisahan mendadak
menyelinap di benakku. Dana sebanyak 25 juta, yang bagiku
sangat luar biasa, mungkin memang tidak terlalu besar bagi
om
Anton. Ya, ayahku hanya seorang PNS yang terbiasa hidup
.c
ot

sederhana. Jabatan ayah memang cukup mentereng, pejabat


sp

eselon tiga di sebuah kantor departemen tingkat kabupaten.


og
l

Tetapi, pegawai jujur seperti ayah, tak mungkin memiliki


.b
do

anggaran berlebih. Ibuku juga hanya seorang guru di sebuah


in
a-

sekolah swasta. Sekolah swasta, sementereng apapun,


k
ta

semahal apapun biaya masuknya, tak pernah membuat para


s
pu

pegawainya kaya raya. Kami sekeluarga hanya biasa hidup


secara berkecukupan, tetapi tidak berlebihan, karena selain
tak ada anggaran, ayah juga membudayakan anak-anaknya
hidup sebagaimana rakyat biasa pada umumnya.
Maka jika mereka, anak-anak Mapala itu memang bersedia
membantuku karena uang, apa yang kurencanakan akan
hancur berkeping-keping jika Anton berhasil mengalihkan
perhatian mereka dengan uang yang lebih tinggi.

36
Tetapi, aku tahu, para pecinta alam tak pernah melakukan
sesuatu karena uang. Mereka mencintai aktivitas mereka
dengan cinta yang benar-benar sejati. Semoga pikiranku ini
benar adanya.
“Masalahnya bukan sekadar fulus, Ton! Tetapi, data buat
skripsi itulah yang bikin kita tertarik ngebantu penelitian
Fahira. Kita kan bukan mahasiswa yang cemerlang. Kalau
nggak ada proyek kayak ginian, bisa-bisa kita tua bangkotan
nggak lulus-lulus. Bayangin, sampai semester 7, aku belum
punya bayangan apa-apa buat skripsi!” tukas Azhar lagi.
“So, ini ada rezeki nomplok ditawarkan, bego banget kalau
ditolak.”

om
“Ton, kalau kamu memang nggak minat ikutan, juga
.c
nggak papa kok. Meski, rasanya jadi nggak lengkap, karena
ot
sp

kamu ini kan dedengkotnya Mapala,” lanjut Nania.


ogl

Hentikan ucapanmu, Nan... meski rese begitu, aku


.b
do

membutuhkan lelaki itu, desisku dalam hati, sembari


in
a-

menggigit bibir. Sayangnya....


k
ta

“Aku nggak bakalan ikut, jika kucing kecil ini tetap


s
pu

ikutan ekspedisi. Tak peduli dia itu bos atau babu!” Sambil
menggeram seperti ayam jago baru kalah bersabung, Anton
meraih tas ranselnya dari atas meja, mencangklongnya dan
beranjak pergi. Namun sebelum langkahnya meninggalkan
ruang, Jaka buru-buru menarik tangannya.
“Ton, calm please! Jangan terbawa emosi gitu. Kalau
menurutku sih, kamu lebih baik ikutan. Demi masa
depanmu!”

37
Aku semakin menundukkan kepala. Ya Allah, lembutkan
sikap keras kepala lelaki itu. Semakin dia terlihat jual mahal
seperti itu, entah mengapa aku semakin menyadari, bahwa
aku membutuhkannya.
“Masa depan? Huh! Aku aja tak pernah peduli sama masa
depanku!”
“Itulah letak kesalahanmu. Siapa yang akan peduli
sama dirimu jika kamu sendiri sudah enggak peduli sama
diri sendiri. But, sudahlah, Ton... bisakah kau sedikit lebih
gentle dengan mau berdamai dengan kenyataan? Kalau kau
tetap mempertahankan emosi childish-mu itu, kau akan rugi
sendiri!”
om
“Diam! Tak ada seorang pun yang bisa mengatur
.c
ot

hidupku, tahu!” bentak Anton. Lantas sepasang kelerang


sp

hitam kecoklatan di bagian atas wajahnya yang terlampau


og
l

lebar itu kembali berekhibisi. “Termasuk kamu!”


.b
do

Sambil menepis kasar tangan Jaka, Anton pun berlalu,


in
a-

meninggalkan keheningan sesaat di ruangan yang hanya


k
ta

berukuran 3 x 5 meter tersebut.


s
pu

“Kau salah jurus, Nan!” desah Jaka sambil menatap Nania.


“Yang paling pengalaman masalah speleologi itu justru Anton.
Fahira boleh jadi sangat memahami teori biospeleologi gua.
Tetapi pengalaman menjelajahi gua, ya Anton biangnya. Dia
sudah pernah menjelajah gua-gua besar di luar negeri. Tahu
kan, hidup dia habis di lurung gua. Kalau penelitian kita
pengin sukses, kita harus mengajak Anton.”
Lututku terasa lemas. Ucapan Jaka kian menguatkan
keyakinanku, bahwa aku benar-benar membutuhkan si

38
Gunung Api itu. Tetapi, aku tak boleh terlihat patah. Tak
ada rotan, akar pun jadi. Bahkan, jika pun ada rotan namun
dikerumuni ulat bulu yang membikin gatal, aku akan
memililih akar.
“Kalian juga sudah sering menjelajah gua kan?”
tanyaku.
Jaka garuk-garuk kepala. “Hanya beberapa kali, Fa! Kalau
gunung sih, kita sudah sangat sering. Tetapi kalau gua ... ya
Anton itu pakarnya. Dan di Mapala kampus kita, satu-satunya
yang sangat berpengalaman susur gua, ya doski itu. Trus,
Luweng Jaran ini gua yang sangat spesial, Fa. Pintu masuknya
vertikal, sehingga kita harus menuruni dan menaikinya seperti
om
saat wall climbing itu. Kedalaman entrance gua itu hampir
.c
50 meter. Tingkat kesulitan menelusuri gua itu sangat tinggi.
ot
sp

Kalau gua lain, aku bisa-bisa aja bantu kamu tanpa Anton.
og

Tapi Luweng Jaran ini sangat spesial. Kenapa sih, kamu pilih
l
.b
do

gua ini?”
in
a-

“Kata Pak Aryadi, gua itu sangat menarik perhatian para


k
ta

speleolog. Maka, ketika salah satu objek penelitian yang


s
pu

akan mendapatkan dana hibah dari UK itu adalah speleologi,


aku langsung terpikir pada Luweng Jaran,” jawabku. “Dan
menurut Pak Aryadi pula, bisa jadi aku berhasil memenangkan
dana hibah itu karena faktor Luweng Jaran itu.”
“Okelah, berarti memang nggak bisa diubah, ya, objek
penelitian kita?”
Aku menggeleng. “Nggak bisa. Proposal itu udah sampai
di UK. Dana juga sudah mengucur.”

39
“Kalau begitu, berarti kita memang kudu ekstra lagi
membujuk Anton.”
Aku duduk sembari memegang-megang daguku,
kebiasaan jika tengah berpikir keras. Ya, aku benar-benar
tergantung kepada sosok gunung api yang selalu aktif
menyemburkan awan panas dan lava pijarnya itu. Benar kata
Jaka, aku mungkin cukup paham masalah teori speleologi
termasuk biodiversitas gua, sesuatu yang akan menjadi titik
tekan penelitianku. Tetapi bagaimana menjinakkan sebuah
gua, jelas tak cukup hanya dengan teori.
“Berarti, kita telah salah bersikap?” Nania tampak
menyesal. “Ah, aku nggak mau kehilangan kesempatan
om
mengerjakan skripsi dengan cara semudah ini.”
.c
ot

“Jangan khawatir,” kata Azhar. “Anton itu orangnya


sp

angin-anginan. Sebenarnya dia itu sangat mudah dimintai


og
l

bantuan, kok ... asal kondisinya lagi stabil aja. Kayaknya, saat
.b
do

ini dia sedang bete. Nanti deh, aku ngomong baik-baik sama
in
a-

dia. Aku jamin, dia mau ikutan ekspedisi ini!”


k
ta

“Okay deh, Bunga Alang-Alang! Kami percaya sama


s
pu

kamu! Sekarang, kita bubar dulu yuk!” usul Nania. “Lapar


nich. Belum sarapan, padahal jam 11 nanti aku ada kuliah!”
“Yach, rasanya kita sudah cukup banyak ngobrol. Kapan-
kapan kita sambung lagi,” ujar Jaka. “Sebelum ditutup, ada
yang pengin kamu sampaikan, Fa?”
Aku menggeleng. Rasa gelisah menyandra perasaanku,
akan tetapi aku memaksa tersenyum. “Sementara cukup!
Akan tetapi, karena pertemuan ini aku anggap sebagai bagian
dari proyek, buat makan di kantin, semua aku yang bayar.”

40
Nania bersorak. Sedang Jaka angkat bahu. “Wah,
sayangnya aku belum lapar, dirapel saja ya?” ujarnya,
jenaka.
Kami pun bubar.[]

om
.c
ot
sp
ogl
.b
do
in
k a-
ta
s
pu

41
pu
sta
ka-
in
do

42
.b
log
sp
ot
.c
om
4
Dolomit

Sepasang mata dan telinga di dalam gelap

S om
ebuah suara merasuki pendengaranku. Mengganggu
.c
tidurku yang lelap. Mengusik istirahatku yang nyaman.
ot

Suara yang begitu keras. Suara yang mengandung sebuah


sp
og

amuk. Lengking kekecewaan. Kesedihan. Dan tampaknya


l
.b

kemarahan.
do
in

Ah, itu pasti kau. Sudah berkali-kali aku mendengar suara


ka-

semacam itu terlontar dari mulutmu. Suara itu terlontar dan


ta
s

memantul di bebatuan gua. Suara yang berkekuatan, dan


pu

dengan kejam menghantam rasa kantuk dan keinginanku


untuk menikmati terpejam sembari bergelantungan di tengah
keheningan.
Apa yang sedang terjadi padamu? Biasanya kau duduk
tenang di situ. Menyatu dalam keheningan, sehingga kadang-
kadang aku mengira kau telah berubah ujud menjadi batu.
Meski tempat kita berdekatan, kau tak pernah seribut saat
ini.

43
Jebakan penasaran dan rasa ingin tahu membuatku
memutuskan untuk meninggalkan tempat tidurku yang pekat,
bergerak dari celah ke celah nan gelap, meliuk-liuk, meluncur
perlahan ke arahmu. Nah, itu di sana! Cahaya samar keluar
dari sebuah tempat yang berbau asap kemenyan. Kau duduk
bersila, dengan kedua tangan merapat ke dada. Matamu
terpejam. Sementara di depanmu, tergeletak beberapa butir
benda berwarna-warni, semacam batu-batu biasa, namun
bening bersinar. Sangat menarik.
Namun, dari cahaya samar itu, aku melihat wajahmu
pucat dan tubuhmu menggigil.
Dan kau mendadak membuka mata. Tanganmu terkepal,
om
lalu meninju batu-batu di depanmu. “Gagal… gagal
.c
lagi…! Mengapa aku selalu gagal?” teriakmu. Lalu setelah
ot
sp

puas menghancurkan bebatuan yang kau jadikan sasaran


og

kemurkaan, kau termangu, mulutmu terkunci, matamu


l
.b
do

melotot menyeramkan. Mulutmu mendesis-desis, seperti


in

suara seekor ular yang pernah kujumpai di mulut gua sana.


a-
k
ta

“Aku harus mencoba lagi,” bisikmu.


s
pu

Kemudian kau menghela napas. Kau silangkan kembali


tanganmu ke dada. Bersila dengan tenang. Memejamkan
mata. Dan mulutmu berkomat-kamit. Kata-kata aneh keluar
seperti rapalan sebuah mantra.
Apa sebenarnya yang sedang kau lakukan?
Hm, tentu itu bukan urusanku. Yang jelas, setelah
kau terlihat cukup tenang, rasa kantukku malah kembali
datang. Tak apa. Aku kira, di luar sana matahari juga masih
memayungi mayapada. Aku benci dengan cahaya terang,
karena akan membuat mataku perih dan terasa tak nyaman.

44
Sepertinya, aku harus kembali ke tempat peristirahatanku.
Bergelantungan, memejam mata, menikmati nikmatnya
dalam lelap.
Akan tetapi, saat aku sudah mulai terlelap, lagi-lagi
terdengar suara raunganmu. Kali ini diikuti dengan suara
langkah yang cepat. Lantas, ketika terbang ke arahmu dan
mengeluarkan sebuah bunyi lirih, aku tak mendengar bunyi
itu memantul pada sosokmu. Tak ada kau di situ. Kau
ternyata telah pergi. Cahaya samar beraroma kemenyan itu
juga telah padam.
--o=[]=o--

om
Ketika mobil itu merapat pada pinggiran jalan sempit di
.c
depan sebuah rumah berdinding papan, lantai tanah yang
ot
sp

dikeraskan dan atap genting yang sudah menua, tampak


og

sebuah mobil lain terparkir di halaman.


l
.b
do

“Ada tamu, ya Mbak?” Tanya lelaki muda yang mengaku


in

bernama Anton itu sambil matanya terpicing pada plat mobil


k a-

mewah itu. Leter B. Jakarta.


ta
s
pu

“Tamu Mas Gunadi.”


“Siapa dia?”
“Suami saya.”
“Oh…”
“Monggo mampir, Dik Anton.”
“Kapan-kapan saja.”
“Matur nuwun, ya, Dik Anton. Sudah bersusah-payah
mengantar kesini. Semoga suatu saat kita bisa bertemu
kembali.”

45
“Mbak… makasih ya, telah berbagi tentang senja!”
Anton membalas salam Rinanti dengan singkat. Sejurus
kemudian, mobil milik Anton melesat dan hilang di balik
kelokan. Meski begitu, perempuan muda itu masih saja
tertegun menatap ke arah hilangnya kendaraan itu. Seorang
lelaki yang aneh. Dengan perjumpaan yang juga sangat
aneh.
Mobil-mobil semacam itu, sering Rinanti lihat tengah
menyelusuri jalanan berbatu yang menghubungkan pantai
Klayar dengan pantai-pantai lainnya. Pesisir Pacitan, sebuah
kabupaten di ujung barat Provinsi Jawa Timur itu memang
dianugerahi sederetan panjang pantai yang sangat indah.
om
Pantai dengan pasir putih, batu-batu karang nan gagah, air
.c
sebening kristal, ombak yang senantiasa menderu dengan
ot
sp

kencang, serta aneka kehidupan laut yang melimpah.


og

Berpetualang menyusuri pantai, yang sebenarnya tak mudah,


l
.b
do

karena selain harus menggunakan mobil yang terbiasa


in

melewati medan berat, juga membutuhkan kemahiran


ka-

menyopir tingkat tinggi.


ta
s
pu

Diam-diam, Rinanti mengagumi lelaki-lelaki petualang


seperti itu. Lelaki yang mencintai puisi. Dan senja.
Oh, tidak! Rinanti dengan cepat menepis bayang-bayang
gila itu. Ingat, sebagaimana pertemuan sungai dan laut yang
hanya sebatas di muara, perpaduannya dengan jingga pun
hanya terjadi pada senja. Senja yang tak pernah berusia tua.
Bahkan, jika awan hitam bergumpal menutup langit dan
hujan turun deras, senja sering menjadi janin yang mati
muda dalam kandungan.

46
“Ibuuu!” seorang anak lelaki berusia lima tahun berlari
mendekat, dan memeluknya dari belakang. “Siapa tadi yang
bawa mobil bagus itu?”
Rinanti berbalik, meraih tubuh mungil Rinto, keponakan
yang sudah dia anggap sebagai anak sendiri. Digendongnya
Rinto dengan riang, sembari jemari tangan kirinya menggelitik
pinggang bocah itu. Anak lelaki berkulit hitam manis itu
tertawa-tawa. Rinto menjadi obat penawar rindu pada sosok
yang hingga saat ini dia nantikan: seorang anak kandung. Dia
menikah dengan Gunadi tujuh tahun yang lalu, dan hingga
kini belum ada tanda-tanda kehamilan.
Bagaimana akan timbul janin dalam rahimnya jika….
om
Rinanti mendesah panjang, mencoba menghilangkan
.c
ot

bongkahan kesedihan yang seketika menerpanya.


sp
og

Ibu Rinto, yang tak lain adalah kakak kandung Rinanti,


l
.b

meninggal saat melahirkan anak itu. Sehari-hari Rinto diasuh


do

oleh neneknya, ibu Rinanti yang tinggal di rumah belakang


in
a-

rumahnya. Namun, ketika senja tiba dan Rinanti kembali


k
ta

dari kegiatannya, Rinto akan dengan otomatis berlari dan


s
pu

menggelendot di tubuh Rinanti.


“Sebentar, ya, To! Ibu mau mandi dulu. Tubuh Ibu bau,
kecut, asam. Kalau sudah mandi, ibu akan merasa lebih segar
dan wangi. Kamu juga ndak mau, kan, dekat-dekat dengan
orang yang bau kecut?”
“Meski bau kecut, Ibu itu cantiiiik!”
“Huz, anak kecil, tahu apa tentang perempuan cantik!”
Rinto turun dari gendongannya. Kini Rinanti meraih
bronjong-nya, melirik sesaat pada mobil mewah ber-plat

47
B warna silver itu. Dadanya bergemuruh, ketika matanya
menangkap sesosok lelaki yang tengah duduk di ruang
tamu. Lelaki bertubuh gendut—entah mengapa, tamu-tamu
suaminya rata-rata bertubuh subur surplus lemak, ataukah
kegemukan itu selalu identik dengan kemakmuran?—berbaju
bagus, dan sepatu mahal. Jadi, jenis cincin akik bertuah
seharga berapa yang hendak lelaki gendut itu inginkan?
Dan, untuk melahirkan tuah dalam sebentuk cincin,
berapa bulan Gunadi harus bertapa di sebuah tempat
terpencil, jauh dari bising, dan jarang didatangi oleh sosok
bernama manusia? Sebuah rutinitas yang dengan sendirinya
akan melahirkan kesepian. Kesepian yang panjang dan

om
nelangsa. .c
Lebih nelangsa lagi, dari jutaan—hingga puluhan juta
ot
sp

rupiah yang diterima Gunadi, tak sepeser pun yang akhirnya


og

masuk ke dompetnya. Bahkan untuk membiayai hidup


l
.b
do

yang kian hari kian tak murah, dia harus berjuang keras
in

mengurusi warungnya. Seorang diri. Entah kemana Gunadi


ka-

membelanjakan penghasilannya yang sebenarnya cukup


ta
s
pu

besar itu?
Mungkin pada pusaka-pusaka yang dia simpan dengan
sangat hati-hati di sebuah kamar yang selalu terkunci di
rumahnya itu. Satu keris milik Gunadi, harganya bisa
mencapai puluhan juta rupiah. Terakhir, Gunadi membeli
keris yang harganya hampir tiga puluh juta rupiah. Konon,
keris itu milik Mahapatih Gajah Mada yang pernah digunakan
dalam ekspedisi penaklukan nusantara.
Sekali lagi Rinanti menghimpun resah.

48
Pelan dia melangkah, terpincang-pincang menuju
samping rumah. Suara percakapan di ruang tamu dengan
jelas terdengar saat dia memasuki rumah dari pintu samping.
Rinto bertanya, ada apa dengan kakinya. Rinanti menjawab
apa adanya, namun Rinto bersikeras bahwa Rinanti pasti
baru saja digigit seekor ikan paus. Imajinasi yang membuat
Rinanti hanya bisa tersenyum geli.
“Saya mau bayar berapa pun Sampean3 mau,” ujar lelaki
asing itu, dengan bahasa Indonesia bercampur Jawa-Timuran
yang cukup medok. “Asal cincin itu benar-benar bertuah,
dan membuat klien saya itu selalu terlihat berwibawa, muda
usia, dan bisnis saya diberkahi Sang Pencipta. Klien yang

om
akan membeli cincin ini, sebentar lagi akan mencalonkan diri
.c
sebagai wakil gubernur. Dia butuh terlihat penuh karisma.
ot
sp

Dia tak pernah punya masalah dengan biaya. Berapapun


og

akan dia keluarkan asal tujuan itu tercapai.”


l
.b
do

“Masalah uang itu masalah kedua,” ujar Gunadi, dengan


in

suaranya yang berat dan pelan. Nada suaranya muram.


ka-

Gunadi tak pernah tidak bersikap muram. Tetapi tekanan


ta
s
pu

suaranya saat itu, terdengar lebih murung dari biasanya.


“Saya hanya merasa tak yakin, jika saya masih diberikan
kemampuan untuk memindahkan tuah-tuah itu ke cincin
Sampean.”
“Lho, mengapa begitu? Ki Gunadi, dikenal sebagai
seorang yang sakti mandraguna. Banyak teman-teman saya
yang mendadak sukses, karirnya melesat tinggi, berhasil

3 Anda.

49
memenangkan pilkada, bisnisnya berkembang pesat, ternyata
berawal dari cincin bertuah yang Sampean jual.”
Gunadi terdiam sejenak. Lalu desahnya yang keras
terdengar. “Begini … saya merasa bahwa sudah ada yang
berubah di alam semesta ini. Ada tatanan yang telah
terobrak-abrik. Kewingitan, wibawa, kesakralan sudah mulai
hilang akibat tempat-tempat yang sunyi sepi sekarang sudah
mulai dibuka dan didatangi oleh banyak orang. Konsentrasi
saya dalam mengheningkan cipta, sering porak-poranda
karenanya. Ini akan membuat proses pengisian tuah pada
cincin-cincin saya menjadi terganggu.”
Suasana sepi. Agak lama. Sampai bosan berdiri, Rinanti
om
tak kunjung mendengar suara suaminya. Juga tamunya.
.c
Perempuan itu pun memilih untuk menyingkir. Dia letakkan
ot
sp

barang dagangan dan segala peralatannya di ruang belakang.


og

Disingkirkannya barang-barang yang sudah tak bermanfaat,


l
.b
do

dia kemas dalam sebuah plastik dan dia buang ke tempat


in

sampah. Entah mengapa, Rinanti selalu tak tega untuk


a-
k

membuang limbah warungnya di area Pantai Klayar. Rinanti


sta
pu

tak mau keindahan yang sublim itu terkikis, meskipun hanya


oleh sepotong sabut kelapa.
“Rin, itu tadi kelapa muda pesananmu!” terdengar suara
bapaknya, Sudarto yang keluar dari rumah mendengar Rinto
berteriak-teriak saat dia gelitiki tadi.
“Sudah sekalian dipotong bagian atasnya, to, Pak?” Tanya
Rinanti.
“Iya, sudah beres. Kamu tinggal membolongi dengan
pisau saja kalau ada pembeli yang tertarik.” Sudarto mendekat.

50
Lalu berbisik. “Itu yang datang ke suamimu, langganan tetap
suamimu. Dia minta cincin akiknya diberi tuah serba guna.
Itu tuah yang paling sulit pengisiannya, makan waktu sampai
berbulan-bulan. Tapi harganya juga sangat mahal.”
Rinanti melengos. “Di zaman manusia sudah mampu
mendarat di bulan, masih saja ada yang percaya takhayul.”
“Lho, yang datang itu orang pintar, lho. Ssst, kabarnya dia
itu pengusaha kaya, duitnya milyaran,” bisik Sudarto lagi.
“Pak’e, kula niki tiyang bodho4. Tetapi aku juga pernah
sekolah. Pernah belajar agama. Pelindung sebaik-baik
pelindung itu ya Gusti Allah. Bagaimana Mas Gunadi bisa
melindungi calon bupati, calon gubernur, orang-orang
om
berharta, lha melindungi istrinya saja ndak mampu,” omel
.c
ot

Rinanti. Rasa perih menggerigi hatinya tatkala menyadari


sp

bahwa ucapannya itu memang benar adanya. Ucapan yang


log

spontan keluar dari lubuk hatinya.


.b
do

“Ssst, kamu ndak boleh ngomong begitu. Nanti kualat.


in
a-

Gunadi itu sakti mandraguna. Dia masih keturunan raja


k
ta

Mataram.”
s
pu

“Keturunan raja kok hidup rekasa5. Keturunan raja itu


mestinya kemana-mana bawa mobil mewah, pakaiannya
bagus, sepatunya mahal.” Selintas wajah mendadak muncul
di benak Rinanti. Lelaki muda tadi. Satu-satunya orang yang
pernah berdiskusi tentang senja dengannya. Yang meski
belum ada satu jam bertemu, mendadak dengan sangat baik
menawarinya tumpangan. Oh, bahkan selama dia menikah

4 Pak, saya ini orang bodoh.


5 Sengsara.

51
dengan Gunadi, tak sekalipun sang suami menawarinya untuk
menjemputnya. Padahal, Gunadi punya motor. Dengan
sepeda motornya itu, Gunadi bisa menjemputnya, sehingga
dia tak perlu susah-payah membawa bronjong berisi barang
dagangan yang sangat berat.
Luka di batinnya seperti tengah dimeriahkan dengan
tetesan cuka dan air garam.[]

om
.c
ot
sp
og
l
.b
do
in
a-
k
sta
pu

52
5
Endokarst

M eski baru jam dua belas siang, kampus terlihat sepi,


mungkin karena hari sabtu. Kebanyakan mahasiswa
ot
.c
om
libur. Hanya beberapa dosen yang memanfaatkan hari yang
resminya memang libur itu untuk mengganti beberapa mata
sp
og

kuliah yang kosong.


l
.b

Kekosongan kampus dimanfaatkan angin untuk kian


do
in

memporak-porandakan semangat, dan menebarkan


a-

kemalasan. Kawasan kampus yang berada di puncak bukit,


k
ta

terbentang di antara pepohonan rindang, memungkinkan


s
pu

siapa saja terjerat kantuk pada saat yang tak tepat.


Aku sendiri tak ada jadwal. Semua mata kuliah telah aku
selesaikan dengan nilai excellent, nyaris summa cum laude.
Dan aku masih memiliki banyak waktu untuk mengganti
beberapa nilai B di beberapa mata kuliah menjadi nilai A,
sehingga ketika wisuda kelak, IPK-ku benar-benar summa
cum laude. Aku akan mencetak sejarah dengan menjadi
wisudawan pertama yang menyabet predikat tersebut.

53
Ya, aku menyempatkan datang ke kampus hanya untuk
melakukan audiensi dengan anak-anak Mapala itu. Anak-anak
yang jarang terlihat di kampus karena lebih sering berkelana
di alam semesta. Naik gunung, susur gua, atau arung jeram.
Anak-anak yang pada awalnya jarang kulirik, namun kali
ini, justru merekalah yang aku harapkan bisa membantu
proyek idealismeku ini. Proyek yang akan menyempurnakan
langkah-langkah bintang yang aku lukis di almamater.
Speleologi. Tepatnya biospeleologi. Ilmu yang tak fa-
miliar sebenarnya. Bahkan di kampus bergengsi ini, tak ada
satu SKS-pun mata pelajaran itu dibagikan. Aku sendiri baru
mulai tertarik mempelajari sekitar setahunan ini. Berawal

om
dari sebuah feature yang kubaca di sebuah majalah. Feature
.c
itu membahas tentang keunikan fauna gua serta ancaman
ot
sp

kepunahan akibat eksploitasi gua yang berlebihan, salah


og

satunya sebagai objek pariwisata. Di akhir feature, si pe-


l
.b
do

nulis menggulirkan sebuah tantangan yang membuat da-


in

rahku tersirap. Tantangan untuk mempelajari biodiversitas


ka-

gua, khususnya gua karst, yang sangat jarang diteliti para


ta
s

ilmuwan.
pu

Mungkin beginilah rasanya tatkala W.R. Supratman


membaca “Aksi Masa” karangan Tan Malaka yang membuat
dia terinspirasi menciptakan lagu Indonesia Raya. Dada
berdebar, hati gelisah, dan keinginan yang berbuncah agar
ide segera mengejawantah.
Jalan terbuka ketika suatu saat aku berkesempatan ber-
bincang-bincang dengan salah seorang dosenku, saat aku
dan dua orang temanku yang tergabung dalam satu tim,
mewakili kampus mengikuti sebuah ajang lomba karya ilmiah

54
se-ASEAN di NTU—Nanyang Technological University, Si-
ngapura. Aryadi Saputra, P.Hd, dosen muda yang baru saja
lulus dari Oxford University itu mendapat tugas mengawal
para mahasiswa. Pak Aryadi menatapku sesaat, tampak kaget
dengan topik perbicangan yang aku lemparkan.
“Kamu tertarik mempelajari ekologi gua karst?” tanyanya.
“Serius?”
“Apakah saya layak untuk tidak serius, Pak?” aku tertawa
kecil. Aku memang cukup dekat dengan dosen muda itu.
Beberapa kali dia mengajakku terlibat dalam proyek-proyek
penelitiannya. Konon, desas-desus berkembang di kampus.
Aku digosipkan berpacaran dengan Pak Aryadi yang ke-
om
betulan juga masih lajang itu. Ah, ada-ada saja. Pak Aryadi
.c
yang berkacamata setebal pantat botol itu bahkan jarang
ot
sp

sekali mendiskusikan hal-hal selain ilmu, ilmu dan ilmu.


ogl

“Apa sebab kamu tertarik dengan gua? Sepertinya, kamu


.b
do

juga bukan aktivis pecinta alam, tak terdengar kau meng-


in
a-

ikuti kegiatan caving. Kalau si Anton dan geng-nya, sih, saya


k
ta

sering dengar.”
s
pu

“Saya memang belum pernah sekalipun ikut caving,


Pak. Cuma senang sekali jika berkesempatan berwisata ke
gua. Saya melihat gua-gua di negara kita cantik-cantik, tak
kalah dengan gua-gua di luar negeri. Gua Gong atau Gua
Tabuhan di Pacitan misalnya, begitu memasuki gua itu,
serasa memasuki kastil-kastil kuno dengan pilar-pilarnya
yang sangat indah. Saya yakin, masih banyak gua-gua yang
tak kalah indah. Baru-baru ini saya dengar ada gua di Pacitan
yang panjangnya hampir tiga puluh kilometer, tapi masih
belum dibuka untuk umum. Namanya Luweng Jaran. Saya

55
tertarik untuk melakukan penelitian biospeleologi di sana.
Khususnya untuk biota jenis troglobite6, Pak. Seperti ordo
Karstama atau Sesarmoides. Semoga hasil penelitian saya
bisa jadi salah satu pertimbangan dalam pengelolaan gua
sebagai objek pariwisata.”
“Ide bagus, Fa. Saya dukung penuh. Saat ini, memang
ada upaya pengalihan lingkungan karst7 untuk dioptimalkan
sebagai objek-objek pariwisata. Itu ide yang bagus, karena
lingkungan karst rata-rata sangat tandus. Kurang baik untuk
pertanian. Dengan optimalisasi sektor pariwisata, masyarakat
di daerah karst akan mendapatkan penghidupan yang lebih
baik. Uang akan mengalir dari para wisatawan. Akan tetapi,

om
Tuhan menciptakan alam semesta ini dengan keseimbangan.
.c
Tuhan menciptakan gua-gua itu, termasuk biotanya, juga
ot
sp

dalam rangka keseimbangan itu. Ada satu sistem perlindungan


og

proses ekologis yang sangat esensial terjadi di gua, sebuah


l
.b
do

sistem yang menjadi penyangga kehidupan, khususnya di


in

daerah karst. Salah satunya, misalnya sebagai aquifer. Gua


a-
k

karst menjadi pengendali utama sistem hidrologi, dengan


sta

cara penyimpan dan pengatur air. Gua juga menjadi habitat


pu

dari banyak flora dan fauna. Jika terjadi kerusakan pada gua,

6 Jenis fauna yang teradaptasi secara mutlak di gua. Daur hidupnya


berlangsung sepenuhnya di gua, sehingga mengalami berbagai
adaptasi, misalnya depigmentasi, indra penglihatan yang tereduksi/
hilang, dan indra peraba yang semakin kuat.
7 Bentang Alam Karst adalah istilah yang merujuk pada alam yang
bahan penyusunnya adalah batu gamping/limestone. Bentang alam
karst menunjukkan permukaan yang gersang dan tandus, tetapi bia-
sanya memiliki gua-gua, bukit-bukit, dan pantai yang sangat indah.

56
maka akan terjadi kerusakan pada keseimbangan alam. Kau
tahu akibatnya untuk bumi ini?”
“Ya kiamat, Pak,” jawabku, separuh bercanda. “Secara
ilmiah, kiamat bisa terjadi karena hilangnya sistem
keseimbangan alias homeostatis pada lingkungan. Dalam
kitab suci disebutkan pada kiamat itu terjadi banjir lautan, itu
mungkin karena es kutub mencair akibat pemanasan global.
Pemanasan global terjadi karena hilangnya paru-paru dunia,
yang mungkin salah satunya disebabkan oleh rusaknya sistem
hidrologi karena terjadinya kerusakan pada vegetasi gua.”
Pak Aryadi tertawa mendengar jawabanku. “Sebenarnya
jawabanmu tak langsung nyambung. Tetapi, bisalah
om
disambung-sambungkan. Yang jelas, di tengah gencarnya
.c
pengoptimalan bentang alam karst sebagai objek-objek
ot
sp

pariwisatas, kudu ada ilmuwan yang juga gencar melakukan


og

penelitian, agar eksploitasi gua itu tidak merusak fungsi


l
.b
do

ekologis gua sebagai pengendali lingkungan.”


in
a-

“Ya, pak. Itu makanya, saya sangat tertarik meneliti gua.


k
ta

Kemarin saya baca di koran, ada satu gua yang dibuka untuk
s
pu

umum, dan untuk membuat jalan masuk, mereka memotong


stalaktit dan stalakmit yang prosesnya terbentuk selama
puluhan ribu tahun. Itu memprihatinkan,” ujarku.
“Ya, begitulah. Biospeleologi termasuk objek yang sangat
langka diteliti, karena itu, mungkin tak banyak pertimbangan-
pertimbangan ilmiah yang bisa diberikan kepada pihak yang
berwewenang. Fa, ada satu lembaga ilmu pengetahuan di UK
yang mau membiayai proyek-proyek penelitian biospeleologi.
Sebenarnya proyek ini untuk mahasiswa pasca sarjana.
Tetapi tak menutup kemungkinan untuk mahasiswa S1 yang

57
memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Dananya sebenarnya
termasuk kecil, hanya 25 juta. Tetapi untuk mahasiswa
S1, apalagi di Indonesia, dana itu sangat cukup. Buat saja
proposal penelitianmu, dan nanti saya bantu ajukan. Salah
satu peneliti senior di sana adalah profesor saya di Oxford
University. Siapa tahu, usai penelitian, kau akan dipanggil
kuliah master atau malah langsung P.Hd di sana.”
Jalan selanjutnya seperti lempang sekali terbuka. Aku
melembur proposal penelitian hampir dua minggu. Mencari
referensi-referensi sedetil mungkin. Membongkar-bongkar
text-books berbahasa asing koleksi kampus, menelisik
jurnal-jurnal serta mencari tautan-tautan yang bersesuaian di

om
internet. Untungnya Pak Aryadi juga membantuku mencari
.c
referensi yang pas. Bahkan aku dipinjami hampir satu gerobak
ot
sp

buku-buku pribadi milik beliau yang dibawa dari Oxford.


og

Hasilnya: proposalku di-acc. Dana hibah mengucur ke


l
.b
do

rekeningku. Jarang-jarang ada mahasiswa S1 mendapatkan


in

dana hibah untuk penelitiannya. Aku bersujud syukur.


a-
k

Teman-teman di kampus, bahkan juga dosen memberi


sta
pu

selamat. Sepertinya, semua akan berjalan baik-baik saja.


Sampai akhirnya aku menyadari, bahwa masa depanku
ternyata cukup dipengaruhi oleh sosok lelaki bernama Anton
Yosef Maringka. Seorang mahasiswa yang jarang sekali
mendapatkan indeks prestasi di atas dua koma!
Ya Allah.
Selain itu, aku bukan tidak menyadari, bahwa
keputusanku mengajak bergabung anak-anak Mapala, telah
menciptakan perdebatan yang cukup panas di antara ketiga
kakakku. Sebagai bungsu dari empat bersaudara, dan semua

58
saudaraku laki-laki, aku ibarat seorang puteri salju yang harus
dimanja selalu.
“Apa nggak ada sih, jenis penelitian lain?” Fahri, kakakku
yang hanya berjarak tiga tahun dan tengah sedang menempuh
studi S2, sengaja datang dari Yogya untuk menemuiku. Selain
Fahri, kakak tertuaku, Fariz, yang menjadi dosen di sebuah
kampus swasta di kotaku juga mendatangi indekostku.
“Mengapa harus speleologi? Dan mengapa pula harus
menyertakan anak-anak Mapala? Aku dengar dari teman-
temanmu di kampus, tentang track record anak Mapala.
Mereka itu nggak nggenah semua. Apalagi yang namanya
Anton Yosef. Berantakan! Maaf, Fahira ... bukannya saya
om
meragukan kamu, tetapi apa sudah kamu pikir matang-
.c
matang rencana penelitian itu?”
ot
sp

Kutatap kakakku dengan jengkel. Saat S1, Fahri memang


og
l

satu almamater denganku, meski beda jurusan. Pasti Fahri


.b
do

sudah mencari informasi entah kepada siapa perihal anak-


in
a-

anak Mapala itu, khususnya Anton yang reputasi buruknya


k
ta

seperti dikenal bahkan oleh burung-burung yang rajin


s
pu

beterbangan di atas gedung-gedung kampus.


“Sudah sangat matang!” jawabku, tegas. Mungkin karena
terbiasa hidup dengan para cowok, aku memang terkenal
bandel dan keras kepala. “Dana dari UK sudah turun. Aku
tidak mungkin bersikap amatiran dengan membatalkan
hal besar semacam itu, hanya dengan alasan yang tidak
profesional, bukan?”
“Tidak profesional katamu?” suara Fahri meninggi. “Ini
masalah kehormatanmu sebagai seorang perempuan!”

59
“Kehormatan?” Aku mengerutkan kening. Ada bagian
dari amigdalanya yang mendadak bereaksi mendengar kata-
kata Fahri barusan. “Kehormatan dalam sudut pandang apa?
Apakah Mas Fahri menuduh aku sedang menggadaikan
kehormatanku untuk penelitian ilmiah ini?”
“Kau mengemis-ngemis di depan seorang don juan seperti
Anton! Itu bukan hanya melecehkanmu secara pribadi, tetapi
nama baik keluarga kita!” ketus Fahri.
Belum sempat aku berkomentar, suara Fariz yang biasanya
paling bijak di antara ketiga kakakku, memasuki celah-celah
udara. “Fahira, Fahri dan kami semua, mengkhawatirkan
kepergianmu yang diikuti oleh anak-anak Mapala. Maaf,
om
bukannya mas nggak percaya dengan karakter mereka. Hanya
.c
saja, sepertinya... kau juga tahu, bagaimana keseharian
ot
sp

mereka. Mereka... mereka itu begitu bebas! Begitu....”


ogl

Aku mengembuskan napas perlahan, mencoba


.b
do

mengeliminasi rasa dongkol yang mendadak seperti


in
a-

sebongkah batu yang menyumpal leherku. “Kalian ini,


k
ta

bukannya membantu penelitianku, malah merongrong


s
pu

dengan hal-hal yang nggak jelas. Aku kan hanya meminta


bantuan anak-anak Mapala, semata-mata karena kepakaran
mereka. Jika ada teman-teman mahasiswa yang menurut
kalian semua lebih terhormat daripada anak-anak Mapala
yang paham speleologi, tentu aku dengan sangat merendah
... kalau perlu membungkuk, akan meminta mereka
membantuku!”
“Jangan salah sangka, Fa...,” ujar Fariz lagi sambil
mengelus jenggotnya yang mulai tumbuh lebat. “Tentu saja
kami senang, ada adikku yang berhasil mendapatkan proyek

60
bernilai puluhan juta rupiah... tetapi, ah... sepertinya kau
harus lebih banyak memikirkan apa yang akan kau hadapi di
lapangan. Penelitianmu itu memiliki tingkat kesulitan yang
tinggi.”
“Karena itu, saya meminta bantuan anak-anak Mapala,
Mas. Aku dengar di antara mereka, ada yang sangat
berpengalaman dalam masalah susur gua.”
“Maksudmu tentu, si Anton bukan?” potong Fahri, tak
sabaran. “Dan kau tahu, siapa si Anton itu? Trouble maker!
Dia itu lelaki frustasi yang tak punya perasaan. Tidak,
Fahira... sebagai kakakmu, aku tidak rela jika kau pergi
dengan si biang onar itu! Anton itu, nyaris psikopat, Fa. Dia
om
berasal dari keluarga broken. Orangnya kasar dan sangat
.c
temperamental.”
ot
sp

“Itulah yang bikin kami khawatir. Apalagi, dengar-dengar


ogl

Anton juga suka mabuk. Suka main cewek. Suka....”


.b
do

Bla... bla... bla! Ih, sebel!


in
a-

Mereka mengumbar berbagai pernik negatif Anton Yosef,


k
sta

seakan-akan si gondrong itu mau melamarku saja. Aku, kan,


pu

hanya ingin memanfaatkan kepakaran Anton. Dan aku tidak


sendiri. Ada anggota Mapala yang lain, seperti Jaka, Azhar
dan Nania. Meskipun tidak sealim—atau se-sok alim kakak-
kakakku yang rata-rata memang rajin beribadah, Jaka dan
Azhar memiliki latar belakang yang lumayan. Lepas dari
hobi menyelimuti paru-parunya dengan nikotin, Jaka rajin
shalat 5 waktu. Azhar bahkan pernah nyantri di sebuah
pondok bersistem boarding school di daerah Surakarta. Bekal
agamanya lumayan. Nania, meski jilbabnya gaul, juga cukup

61
punya visi religi yang kental, maklum, cucu seorang kyai di
sebuah pesantren di Jawa Timur.
Yang error, paling hanya Anton Yosef Maringka.
Anton itu, nyaris psikopat, Fa...
Tetapi kalau gua... ya Anton itu pakarnya... ucapan jujur
Jaka membuatku semakin tenggelam dalam gejolak yang tak
menentu. Anton, pakarnya speleologi. Sedangkan dia sudah
berkoar-koar...
Gue nggak bakalan ikut, jika kucing kecil ini tetap ikutan
ekspedisi. Tak peduli dia itu bos atau babu!
Ah, kenapa masalah ini menjadi begini rumit.

om
Dering di smartphone-ku memaksa aku membuka
.c
tas gendong yang sarat muatan dan berpotensi membuat
ot
sp

punggungku melengkung ke belakang. Sebenarnya aku


og

malas mengambil HP. Kesalahan packing tadi pagi. Aku


l
.b
do

menempatkan HP di dasar tas, tertutup aneka barang,


in

mulai dari buku-buku—yang untungnya tidak terlalu tebal,


ka-

beberapa diktat, alat tulis, perlengkapan shalat, mushaf kecil,


ta
s

kamera digital, serta jaket.


pu

“Assalamu’alaikum!” sapaku sambil membaca nama


yang terpampang di screen. Anita. Aku tersenyum girang.
Satu-satunya orang terdekat yang mendukungku, mungkin
hanya dia. O, ya… ayah dan ibu juga. Mereka sebenarnya
terlihat keberatan, tetapi aku tahu persis, mereka sejak
kecil selalu menghormati pilihan anak-anaknya. Ketika aku
memilih jurusan biologi, jurusan yang katanya tak prospek
untuk masa depan pun, ayah dan ibu tak protes. Padahal,
ketiga kakakku kuliah di jurusan menterang. Fariz teknik

62
sipil. Fathur, kakak kedua, kedokteran. Dan Fahri yang galak
itu, kuliah di sedang mengambil S2 ilmu hukum. Dia mulai
membuka praktik advokat, dan lumayan ramai. Maklum,
galak, sih!
“Alaikumussalam... he, Fa... kemana saja kamu? Aku
kontak sejak zaman Raden Wijaya diangkat jadi Raja
Majapahit, kagak juga ada jawaban.”
Bukan Anita kalau tidak ber-hiperbolik. Tapi justru kadar
hiperbol-nya yang suka over itulah yang menjadikannya
khas, dan aku selalu rindu akan hal itu.
“Aku di kampus, Fren! Rapat sama anak Mapala.”
“Hei, jadi pergi sama mereka?”
om
.c
“Gimana lagi?”
ot
sp

“Tadi aku ditelepon Kak Fahri.”


og

Huah, Fahri kini meneror Anita! “Apa katanya?” Aku


l
.b
do

mendesah malas.
in
a-

“Kak Fahri bilang, sulit sekali menjinakkan hatimu.”


k
ta

“Jinak? Singa kali, dijinakkan.”


s
pu

“Di matanya, kamu memang seekor singa betina. Nah,


setelah diskusi panjang kali lebar, kali tinggi, akhirnya ketemu
satu ide. Kak Fahri mau mencari beberapa mahasiswa baik-
baik untuk mengawalmu.”
“Hmm...?”
“Kamu tidak senang, Fa?”
Senyum masamku berubah menjadi tawa keras. “Ealah,
punya kakak kok protektif banget kayak gitu. Kudoakan
mereka punya istri lebih bandel dari aku.”

63
“Fa, please deh... pandang semua ini dari sisi positif.
Sejak Patih Gajah Mada mengumandangkan sumpah palapa,
belum pernah aku ngelihat ada kakak-kakak sebaik kakak
kamu. Aku juga mau jadi kakak iparmu. Eh, salah fokus.”
Tawaku kian pecah berderai. “Ah, sok tahu, Lo! Lagian,
mana mau aku jadi adik ipar Lo! Bawaannya tengkar melulu,
ntar!”
“Suer, Fa. Aku, mereka... semua mengkhawatirkanmu.
Bayangkan... kau ini seorang mahasiswa teladan, manis dan
lembut, kebanggaan keluarga, kebanggaan kampus. Lalu
kau pergi untuk sebuah ekspedisi yang berbahaya, ditemani
orang-orang yang tidak jelas akhlaknya.”
om
“Pak Aryadi menyetujui kepergianku, dekan dan para
.c
ot

dosen mendukung. Jangan lebay, ah! Dan, kau lupa ya,


sp

meski mungil dan seperti katamu, lembut dan manis, aku ini
ogl

mantan bantara di sekolahku, lho hahaha. Aku udah akrab


.b
do

dengan alam. Pernah aku berhari-hari tidur beralas rumput,


in
a-

berdinding pepohonan dan beratap langit. Aku fine-fine aja,


k
ta

tuh! Aku tak butuh perlindungan. Cukup perlindungan dari


s
pu

Yang Maha Melindungi....”


“Please, turunkan dikit kekerasan hatimu, Fa. Kami semua
sayang kamu... We love you, from the deep heart.”
“Sudahlah, Nit. Pulsamu mepet, kan? Kita bicara di kost
aja. Bentar lagi aku nyampai kok.”
“Okay! O, ya... jangan beli makan dulu, ya? Aku masak
capcay lho. Dijamin lezat. Nasi tadi pagi juga sudah aku
hangatkan. Makan di kost aja ya. Nyicipin produkku. Kalau
kamu bilang enak, berarti aku PD buat go publik.”

64
“Go publik?”
“Iya, aku mau bisnis katering sama Mbak Riana.”
Aku tersenyum. Anita... ini baru perempuan sejati. Tidak
seperti aku. Maskulin, kadang urakan.... eh, tapi diam-diam
aku ini lembut dan romantis, lho!
Kini aku beranjak menuju tempat parkir. Menuju ke arah
katana tua yang selalu kurawat sepenuh hati. Kubuka pintu
katana abu-abu hadiah ulang tahun ke-21 dari ayahku itu,
kulemparkan tas gendongku perlahan di jok samping. Kini
aku menaiki ruang kemudi.
Saat itulah, sebuah mobil landcruiser mendadak keluar
dari tempat parkir dengan ruangan yang memekakkan
om
plus bergumpal-gumpal asap keputihan. Aku menegakkan
.c
ot

leherku, dan lantas menggeleng-gelengkan kepala. Anton,


sp
og

lelaki itu mungkin harus diajari tata krama terlebih dahulu


l
.b

agar bisa disebut sebagai manusia.[]


do
in
a-
k
sta
pu

65
pu
sta
ka-
in
do

66
.b
log
sp
ot
.c
om
6
Flowstone

A nton Yosef Maringka namanya. Ia melenggang dengan


santai menuju landcruiser yang diparkir serampangan
ot
.c
om
di halaman kost. Sosoknya yang setinggi 178 cm, dengan
berat badan seimbang, terlihat begitu menjulang di antara
sp
og

beberapa lelaki muda lainnya yang sesekali melintasi


l
.b

halaman kost superlux itu. Dengan tubuh atletis, kulit terang,


do

hidung mancung serta mata yang meskipun sipit namun


in
a-

bersinar tajam, sebenarnya ia termasuk menarik... dan


k
ta

tampan. Sayang, penampilannya yang terkesan berantakan,


s
pu

terutama jeans belel dengan sekian sobekan yang sangat


kentara—disengaja—dan jaket levisnya yang kumal dan bau
apek, membuat seorang ibu yang melihatnya tentu akan pikir-
pikir terlebih dahulu untuk menjadikannya sebagai menantu.
Apalagi rambut gondrong bin jabriknya yang diikat seadanya,
serta anting besar yang terkadang menempel di kuping
kanannya, membuat ia terkesan lebih mirip preman daripada
seorang mahasiswa sebuah PTN favorit di Jawa bagian
tengah. Satu-satunya yang menarik dari penampilannya,
hanya sebuah slayer yang selalu diikatkan ke leher. Slayer

67
yang sepertinya sebuah sapu tangan besar berbahan halus
dengan warna biru muda. Ada sulaman indah dari benang
putih membentuk sepasang burung sriti dan tulisan AYM.
Bagi yang mengenal dengan Anton, mereka akan tahu,
bahwa bagi Anton, slayer biru muda itu adalah bagian dari
jiwanya.
Anton Yosef Maringka namanya. Seorang lelaki yang
tak pernah mau terikat. Ia laksana burung yang lebih
merasakan ketenangan jika tengah berkelana menembus
dirgantara. Jangankan teman-teman kost atau kampus, kedua
orangtuanya, Adrian Maringka yang pengusaha kelas kakap
dan Sofia Tobing yang juga seorang top executive di sebuah
om
BUMN ijo royo-royo alias berprovit melimpah saja, tak
.c
pernah mampu menahan langkahnya. Maka jadilah Anton,
ot
sp

seorang pengelana yang tak pernah jenak hinggap di satu


og

tempat dalam waktu lama. Apa pun akan dia korbankan


l
.b
do

untuk mendapatkan kepuasan hidup. Termasuk kuliah.


in

Ia sudah semester 7, namun belum ada separuh SKS mata


a-
k

kuliahnya yang berhasil dia selesaikan.


sta
pu

Anton Yosef Maringka, seorang lelaki yang tak pernah


peduli dengan masa depannya....
Jika kau membelah dadanya dan melihat gejolak yang
tersimpan di sana, kau akan kaget, karena hawa dendam
begitu panas membara di sana. Dendam terhadap kehidupan
yang dia nilai tidak pernah adil padanya. Seperti yang ia
rasakan hari ini. Sebuah pesan di ponselnya membuat
dadanya terbuncah oleh rasa gundah.
Oma Sandria sakit keras. Dirawat di ICCU.

68
Tuhan, mengapa selalu saja kau usik kehidupan orang-
orang yang kucintai ... yang masih memberiku semangat
untuk tetap bertahan di dunia ini!
Pesan itu dikirim oleh seorang pembantu di rumahnya,
di Jakarta. Oleh pembantu, bukan oleh Mama sebagai anak,
atau Papa, sang menantu. Barangkali, mereka bahkan masih
berada di sebuah ruang meeting di Berlin, Paris, Chichago
atau Roma. Tak peduli, ibu dan mertua mereka tengah
sekarat menghadapi maut.
Jadi jangan salahkah jika aku tak pernah peduli pada
kalian, karena kalian pun mengajariku demikian....
Anton menghempuskan napas keras-keras. Dibukanya
om
pintu Landcruiser-nya dengan kasar, lalu dia banting tak
.c
ot

kalah kasar begitu pantatnya telah hinggap di atas jok. Klik!


sp

Kunci mobil dia putar, lalu terdengarlah deru mesin yang


ogl

meraung garang.
.b
do

“Ton ... mau kemana?” seorang lelaki berambut cepak


in
a-

berlari mendekatinya. Robin. Tetangga kamar. Mahasiswa


k
ta

teknik, anak tunggal juragan jeruk dari Pontianak. Hanya


s
pu

anak-anak para bos yang punya duit segudang yang bisa


tinggal di kost yang superlux itu. Kost megah dengan sepuluh
kamar yang fasilitasnya hampir sama dengan kamar hotel
bintang lima.
Anton memencet tombol power window begitu Robin
mendekat. Jendela mobil pun terbuka otomatis. “Pulang,
nengok Oma. Sakit keras.”
“O, ya? Dirawat di mana?”
“RSPP. ICCU.”

69
“Wah, gawat dong!”
“Lebih dari itu. Gue punya firasat, nyawa dia bakal
melayang.” Wajah Anton suram. “Dan ini sebuah bencana
besar buat aku.”
“Kencengin dong, doa kamu! Siapa tahu, nyawa Oma
kamu jadi balik lagi ke raga.”
“Emang Tuhan mau ngedengerin, doa orang sepertiku?
Sudahlah, aku go dulu!”
“Tadi ada yang nyari kamu. Azhar.”
“Oh, Si Bunga Ilalang. Bilangin, aku pulang Jakarta.”
“Kapan balik?”
“Entahlah.”
om
.c
ot
“Ke Jakarta naik mobil?”
sp
og

“Pesawat. Mobil aku titipin di bandara. Udah, aku pergi


l
.b

dulu.”
do
in

“Tadi aku ketemu Cindy, anak psikologi itu. Doski titip


a-

salam buat kamu.”


k
ta
s

“Ambil saja dia buat kamu.”


pu

“Tapi yang dia incer kamu.”


“Aku nggak minat!” tanpa basa-basi, Anton menutup
kembali jendela mobil. Sejurus kemudian, mobil mewah
seharga ratusan juta rupiah itu pun berjalan keluar,
meninggalkan halaman Wisma Penthouse, nama kost megah
itu. Robin hanya bisa angkat bahu mengiring kepergian lelaki
tampan berambut gondrong itu.
--o=[]=o--

70
Begitu pesawat landing di Sukarno Hatta, Anton langsung
meluncur ke RSPP dengan taksi. Sosok yang dia dapati
pertama kali di RS itu adalah Sumini, pembantu rumahnya
yang dengan terbata-bata bercerita, bahwa sejak penyakit
jantung Oma Sandria kumat hingga dirawat di Rumah Sakit
tersebut, yakni telah berjalan selama 5 hari, Mama Sofia
maupun Papa Adrian belum sedetik pun menyempatkan
waktu untuk menjenguknya.
“Nyonya masih ada meeting di Tokyo. Katanya tidak bisa
diganggu. Sedang Tuan masih di Den Hag. Baru besok pagi
sampai di Jakarta,” papar Sumini.
Paras Anton tak bereaksi, datar saja. Bahkan cuek,
om
seperti biasa. Namun tak ada yang bisa mendeteksi, bahwa
.c
gemuruh di dadanya benar-benar telah membuat sekujur
ot
sp

tubuhnya terserang gempa vulkanik. Ia benar-benar marah.


og

Kemarahan itu sedikit tersalurkan ketika jemari tangannya


l
.b
do

mencengkeram dinding putih bagian depan ruang ICCU.


in
a-

“Bagaimana dengan Syakilla?” tanya Anton. Syakilla


k
ta

adalah adik semata wayangnya yang kuliah di sebuah PTS


s
pu

favorit di kota Jakarta.


“Semalam Non Illa datang. Tetapi katanya hari ini ada
ujian. Mungkin baru sore nanti ke sini. Dokter bilang, kondisi
Oma kritis,” ujar Sumini lagi. “Mungkin Tuan Muda mau
menemaninya malam ini? Beberapa kali Oma memanggil-
manggil nama Tuan Muda....”
Anton melirik penampilannya yang berantakan. Banyak
debu menempel, dan ini preseden yang kurang bagus,
apalagi untuk rumah sakit semacam RSPP. Beberapa kali

71
ia melihat para perawat dan petugas medis yang melintas
meliriknya dengan tatapan tajam yang seakan menuduhnya
sebagai penabur kuman berbahaya.
“Aku mau mandi dulu!” ujarnya.
“Bisa di kamar, Tuan. VIP 3. Tuan Adrian menyuruh kami
menyewa kamar tersebut untuk transit.”
Hanya butuh waktu 10 menit untuk mandi dan berganti
pakaian. Kini, dengan jeans biru dan kemeja flannel hitam,
Anton terlihat lebih rapi. Ia juga menyisir serta mengikat
rambutnya, lengkap dengan minyak rambut, sehingga
kesan berantakan lumayan tereliminasi. Slayer birunya dia
pertahanakan melekat di lehar.
om
Ia terlihat kelimis. Oma Sandria paling sebal melihat
.c
ot

tampang premannya, dan Anton tak mau membuat beliau


sp
og

bertambah sakit dengan hal yang satu itu.


l
.b

Kini, ia memasuki ruang ICCU. Sesosok tubuh kurus yang


do
in

terbaring lemas, dengan berbagai jenis pipa bersembulan


a-

dari berbagai organ, kini menatapnya. Sebuah senyum


k
ta
s

tersungging. Senyum yang membuat segenap keangkuhan


pu

Anton terasa luruh. Ia pun bersimpuh di depan ranjang.


Memegang erat telapak tangan kiri sang Oma.
“Oma, maafkan Anton... karena baru bisa datang nemenin
Oma....”
Senyum itu bertambah lebar. Sayangnya, tak ada kata-
kata yang keluar dari mulut itu. Namun tangan itu menggapai-
gapai ke arahnya. Anton mendekat, membungkuk, mencium
kening sang Oma. Perempuan tua itu membelai pipinya, lalu
memegangi slayernya.

72
“Ini sapu tangan hadiah Oma. Selalu Anton pakai.
Sebagian Anton simpan. Oma jangan khawatir, Anton pasti
akan menemani Oma kapan saja Oma mau. Anton sayang
Oma... hanya Omalah... satu-satunya orang yang Anton
sayangi. Karena hanya Oma yang ngerti Anton... hanya Oma
yang sayang Anton....”
Sebuah gempa emosi tiba-tiba melanda batinnya. Lelaki
muda itu mendadak luruh dalam kepedihan yang begitu
menyayat. Apalagi ketika tetes-tetes pertama air membasahi
pipi, yang disusul dengan tetesan deras berikutnya.
“Oma jangan tinggalin Anton ya? Anton janji... akan terus
di samping Oma... Anton nggak akan ninggalin Oma....”
om
Tangan kurus yang menyatu dengan jarum infus itu
.c
ot

sesaat mencoba menggapai, seakan ingin mengelus rambut


sp

Anton. Namun, seperti tersengat aliran listrik, tubuh Sang


ogl

Oma mendadak kejang-kejang.


.b
do

“Tuan..., Oma kambuh...!” teriak Sumini.


in
a-

“Apa?” Anton tersentak. “Panggil dokter, cepat!”


k
sta

“I... iya Tuan...!”


pu

Sumini berlari keluar. Anton tak habis akal. Ia memencet


tombol darurat di atas bed Sang Oma. Sesaat kemudian, satu
tim medis tergopoh-gopoh mendekat.
“Silahkan anda tinggalkan ruangan ini!” ujar seorang lelaki
setengah baya. Dr. Suryabudi Sp.JP, demikian nama yang
tertera di dadanya. “Kami akan berusaha menyelamatkan
nenek anda!”
“Tidak! Saya akan tetap di sini! Saya nggak mau ninggalin
Oma.”

73
“Nenek anda kambuh, dan ruang ini harus steril dari
orang luar. Hanya tim medis yang boleh masuk. Silahkan
anda tinggalkan ruang ini beberapa saat, okay?”
Terpaksa, Anton pun beranjak keluar. Dadanya berdebur
tak keruan. Mondar-mandir ia berjalan di depan ruang ICCU.
Sesekali ia mencoba memencet nomor kedua ortunya.
“Oma kritis!”
“Iya, Papa tahu. Ini Papa sedang beresin semuanya. Nanti
malam Papa ikut penerbangan ke Jakarta. Besok pagi Papa
sampai...”
Itu jawaban sang menantu. Jawaban sang anak lain lagi.

om
“Tolong semua diurusi dulu ya, Ton... Mama baru bisa lusa
.c
pulang. Ini meeting yang sangat penting. Perusahaan dapat
ot
sp

order dari pemerintah Jepang senilai hampir 5 trilyun!”


og

Ternyata rupiah telah membuat mereka gelap mata!


l
.b
do

Bahkan untuk menunggui orangtua yang nyaris sekarat pun,


in

mereka enggan.
a-
k

Brengsek!
sta
pu

Anton mengepalkan tangannya. Ia tak tahu, harus


merutuki dengan kalimat seperti apa agar kegeraman itu
terlampiaskan. Semoga saja bisnis mereka berantakan karena
durhaka pada orangtua, serapahnya, jengkel.
Hampir seperempat jam Anton berkutat dalam
kegelisahan, sampai puncak kegundahannya tercipta sebagai
sebuah erupsi yang dahsyat. Pemicu erupsi itu sendiri, hanya
beberapa patah kalimat dari Dokter Surya Budi Sp.JP.
“Maaf, kami tidak bisa menyelamatkan nyawa nenek
Anda...!”

74
“Tidaaaaaaak!!” Anton berteriak histeris. Selanjutnya,
dunia terasa gelap.
--o=[]=o--

Kesepian adalah kematian jiwa


Ia ibarat lilin yang malap cahyanya
Karena api telah melahapnya
Nyaris tiada sisa...

Dan jika ada di dunia ini yang menjual obat kesepian,


seberapalah harganya, ia pasti akan membelinya. Sayang,
bukan karena obat itu tidak pernah ditawarkan sekelompok

om
manusia, namun kumparan sel di dalam tubuhnyalah yang
.c
tak pernah mufakat dengan jenis-jenis obat tersebut. Mungkin
ot
sp

karena tubuhnya telah dipenuhi sel-sel yang termutasi. Jadi,


og

sekarang ia adalah sesosok alien.


l
.b
do

Anton tertawa pahit, sepahit kopi yang barusan ia reguk


in

di warung kecil pinggir jalan itu. Yang sengaja ia singgahi


a-
k

untuk membunuh sepi. Musik dangdut yang disetel kencang


sta
pu

dari audiosystem yang tampaknya sudah saatnya direparasi,


atau bahkan dilego ke para pengepul barang rongsokan, serta
tawa-tawa lepas dari para sopir angkot yang tengah beristirahat
sambil bermain catur, telah menyedot keinginannya untuk
bergabung.
Namun nyatanya, sepi itu tetap menjadi miliknya....
Dia memang makhluk aneh. Dan ia percaya, bahwa
Tuhan memang sengaja membuatnya tetap aneh. Buktinya,
satu persatu orang yang memahami keanehannya, dan
bertekad untuk merubahnya menjadi manusia wajar dengan

75
kekuatan cintanya, satu persatu Dia ambil. Satu persatu Dia
cabut nyawanya.
Pertama adalah Kang Adang. Lelaki sederhana yang
mengajarinya makna kehidupan. Dia bukan manusia
terpandang, karena kedudukannya di rumah besar tempat
Anton Yosef dilahirkan, hanya seorang tukang kebun.
“Belajarlah mencintai tetumbuhan, Den Anton. Kita akan
melihat, bahwa tumbuhan, adalah makhluk paling ikhlas di
dunia ini!” ujar Kang Adang, sesaat ketika Anton kecil yang
saat itu masih SD, pulang sekolah dan menghampirinya
dengan seragam masih melekat di badan.
“Ikhlas? Tumbuhan ikhlas?”
om
“Ya. Aden tentu pernah belajar ilmu hayat...”
.c
ot
sp

“Maksudnya, biologi?”
og

“Ya. Dulu pas saya masih sekolah, namanya teh ilmu


l
.b
do

hayat. Di ilmu hayat itu, kita kenal apa yang namanya


in

fotosintesis. Tumbuhan memproduksi zat tepung dengan


a-
k

mengambil zat-zat sampah yang dikeluarkan oleh makhluk


sta

hidup di sekitarnya seperti hewan, juga manusia, yaitu karbon


pu

dioksida. Uniknya, setelah zat tepung itu terbentuk, hewan


atau manusia itulah yang kemudian memanfaatkannya
sebagai makanan. Dan tumbuhan, tak pernah membalas
dendam dengan memakan hewan atau manusia itu.”
“Ya, tumbuhan memang nggak bisa makan hewan, Kang.
Kalau ada, paling kantong semar tuh ... yang bisa makan
serangga. Kang Adang pernah lihat, kantong semar?”
“Belum tuh, Den....”

76
“Aku juga belum pernah lihat. Tapi, suatu saat pasti aku
akan melihatnya. Nanti, kalau aku ketemu sama kantong
semar, aku akan bawa satu dan ditanam di kebun. Biar
nyamuk-nyamuk di sini habis dimakan kantong semar.”
Kang Adang hanya tertawa mendengar ucapan Anton
yang polos. Ah, seorang lelaki bersahaja yang begitu lurus
menjalani kehidupan. Ia nyaris tak pernah mengeluh, tak
pernah meratap. Kebahagiaan, sepertinya tak pernah enggan
untuk menghinggapi hari-harinya. Dan bersama dengan
lelaki setengah baya itu, sedikit demi sedikit, kesepian Anton
mulai tereduksi. Rumah besar yang selalu hening karena
jarang dipenuhi oleh penghuninya, menjadi semarak. Nyaris

om
setiap hari, usai pulang sekolah, Anton menemani Kang
.c
Adang berkebun. Mulai dari mencabuti rumput liar, memberi
ot
sp

pupuk, hingga melakukan pembuahan silang untuk berbagai


og

jenis bunga mawar. Hasilnya, kebun bunga mereka memiliki


l
.b
do

variasi mawar yang beraneka warna. Indah.


in

Sayang, kebersamaan itu tak berlangsung lama. Kang


a-
k

Adang meninggal dalam sebuah kecelakaan. Bus yang


sta
pu

ditumpangi saat pulang kampung, bertabrakan dengan truk


pengangkut batu kali. Kang Adang meninggal seketika,
dengan luka yang sangat parah.
Anton merasa kehilangan. Kebersamaan itu, sungguh
sangat berarti bagi dirinya. Dan harus diakui, kebersamaan
dengan Kang Adang itulah, yang membuat Anton akhirnya
memilih kuliah di jurusan Biologi. Tak peduli dengan ucapan
sinis sang Papa, juga Mama.
“Kuliah di biologi? Mau jadi apa kau? Mending di teknik
atau manajemen. Bisa kau praktekkan kelak di perusahaan

77
Papa. Anak Papa cuma kau dan Syakila. Mau kepada siapa
Papa wariskan perusahaan ini kalau tidak kepada kalian?”
“Sebenarnya kau tetap bisa kuliah di fakultas yang bisa
mendukung karirmu kelak, Ton,” ujar Mama. “Kalaupun
tidak bisa diterima di PTN, kau bisa kuliah di PTS yang secara
kualitas tak kalah dengan PTN. Di Jakarta ini ada banyak.
Kalau perlu, kau bisa kuliah di luar negeri. Di Perancis,
Australia atau Amrik... tinggal pilih!”
Kang Adang... ia telah menunjukkan kepadanya sebuah
tipe kecerdasan yang gagal dilacak oleh dua pasang mata
duitan Papa dan Mamanya. Kecerdasan naturalis. Sayang,
lelaki bijak itu telah pergi.
om
Setelah Kang Adang, muncul kemudian Anya Helga
.c
ot

Tambayong. Dara lembut teman satu SMA. Bergabungnya


sp

gadis itu di eskul Pecinta Alam, tentu saja memicu


og
l

keheranannya.
.b
do

“Gue ingin menjadi orang yang mandiri,” aku gadis


in
a-

bermarga Tambayong itu jujur. “Selama ini, gue disetir oleh


k
ta

ortu, terutama Papa. Apa-apa, harus nurut sama Papa. Jujur,


s
pu

gue jadi tidak punya pendirian, jadi sangat tergantung sama


orang. Setelah Papa meninggal dan Mama sibuk mencari
nafkah, gue jadi ngerasa, bahwa karakter gue itu, bermasalah.
Makanya gue gabung di pecinta alam. Mudah-mudahan di
sini, gue bisa lebih tegar.”
Anya Helga, dia tidak terlalu cantik. Bahkan mungkin
termasuk gadis dengan paras biasa-biasa saja. Namun, ada
sesuatu yang membuat Anton tertarik, dan ingin senantiasa
berdekatan dengannya. Sesuatu itu, adalah keingintahuan

78
Anya yang begitu besar terhadap alam, dunia yang selama ini
ia tekuni. Berada bersama gadis itu, selalu membuat Anton
merasa berharga, merasa menjadi orang penting.
“Jadi, stalaktit dan stalakmit itu tidak terdapat di semua
gua ya? Kirain di setiap gua pasti ada?” ujar Anya, ketika suatu
saat mengikuti acara caving di sebuah gua lava di wilayah
Purworejo.
“Nggak semua, Nya. Hanya ada di gua karst.”
“Karst?”
“Ya, gua yang terbentuk dari batu gamping, yang
didalamnya mengandung kalsium karbonat atau rumusnya
CaCO3. Gua tipe itu, sebenarnya banyak terdapat di
om
Indonesia, kapan-kapan kalau kita bikin acara caving ke gua
.c
ot

karst, kamu mau ikutan?”


sp
og

“Asal ada kamu, aku mau deh ikutan.”


l
.b
do

Ada yang berdesir di dada Anton tatkala ucapan itu


in

terlontar dari bibir gadis itu.


ka-

“Kenapa harus ada aku?” tanyanya, spontan, ge-er.


ta
s
pu

“Abis, kau ini teman yang menyenangkan, apalagi kalau


diajak ngobrolin soal alam. Kamu mirip kamus berjalan.
Emang kamu seneng banget ya, baca-baca buku soal alam.
Soal gunung, gua, sungai?”
“Nggak cuman baca, Nya. Praktek nyata jauuuh lebih
menarik. Eh, minggu depan, tim PA sekolah kita, mau
nyobain ikut kompetisi rafting di sungai Citarum lho!” Anton
berkata seraya menatap sepasang mata Anya. Bagian mata,
bagi Anton, itulah unsur wajah yang paling menarik dari
Anya. “Kebetulan, gue leadernya. Kamu mau ikutan?”

79
“Rafting itu ... arung jeram ya? Kelihatannya sih, asyik...
tapi, serem juga ya? Gue nggak pernah punya pengalaman.
Gimana bisa ikutan?”
“Tenang, asal kamu ngikutin petunjukku, pasti aman-
aman saja. Gimana? Ikutan, ya?”
Anya mengangguk. Anggukan yang ditanggapi dengan
sorak-sorai segenap syaraf di tubuh Anton. Saat itu. Namun
justru angguk kesetujuan itulah yang kemudian menjadi
awal penyesalan Anton seumur hidupnya. Yang menjadi
salah satu trauma tersendiri di hati Anton.
Seandainya saat itu Anya menolak, tentu hingga saat ini,
ia masih bisa berteman dekat dengan gadis itu. Pertemanan
om
yang bisa jadi, akan menjurus pada sebuah kedekatan yang
.c
ot

lebih erat....
sp
og

Anton memejamkan sepasang matanya. Kenangan itu,


l
.b

sungguh begitu kuat menghantui perasaannya. Kenangan saat


do

memeluk tubuh beku dengan beberapa luka akibat benturan


in
a-

dengan batu-batu kali. Tubuh yang telah kehilangan nyawa


k
ta

akibat kecelakaan di Sungai Citarum. Saat perahu hypalon


s
pu

yang mereka naiki, terbalik dan membentur batu sebesar


gajah….
Sedu-sedan itu, terasa abadi menghinggapi relung hati.
Ia telah kehilangan seorang Anya Helga Tambayong. Dan
bayangan gadis itu, tak akan pernah lekang dari monitor
batinnya.
“Tambah kopinya, Den?” tanya lelaki tua pemilik warung
kecil itu, begitu melihat cangkir kopi Anton ternyata telah
kosong. Anton mengangguk kecil.

80
“Tanpa gula ya?”
“Apa nggak pahit?”
Anton tak menjawab. Ia kembali tenggelam dalam
lamunan. Kali ini tentang Oma Sandria.
Sungguh, sebelumnya, ia hanya bisa melihat Oma
Sandria sebagai seorang wanita tua yang cerewet dan mau
menang sendiri. Pengidap Post Power Syndrome, begitu
komentar Papa. Maklum, hampir 40 tahun Oma Sandria
bekerja di sebuah perusahaan internasional yang telah
menggurita di hampir 100 kota. Jabatan terakhir adalah
presiden direktur. Pensiun dan kesepian membuatnya sering
uring-uringan. Jadilah Anton sebagai salah satu orang yang
om
tak mau berdekatan dengannya, kecuali dalam keadaan yang
.c
ot

sangat terpaksa. Apalagi, saat itu ia baru kehilangan seorang


sp

Anya Helga.
ogl
.b

Keakraban itu tercipta tanpa sengaja. Suatu saat,


do

ketika Anton tengah asyik merawat bunga-bunga di kebun


in
a-

peninggalan Kang Adang, yang sampai saat itu masih setia ia


k
ta

rawat, tiba-tiba Oma Sandria mendekatinya.


s
pu

“Boleh pinjam cethok-nya?” tanya wanita yang usianya


saat itu telah menginjak kepala 7 itu.
Anton tak menolak. Spontan ia menyodorkan cethok
yang tengah dipakainya untuk membalik-balik tanah di
sekitar bunga mawar hasil persilangannya.
“Mawar ini indah. Warnanya juga bagus,” puji Oma
Sandria.

81
Dipuji begitu, Anton merasa hatinya sedikit terbuka. “Ini
hasil persilangan, Oma. Mawar putih, disilangkan dengan
mawar merah. Hasilnya, seperti ini...!”
“Kau silangkan sendiri?”
Anton mengangguk. “Kang Adang yang mengajari.”
“Oh, bekas tukang kebun yang meninggal karena
kecelakaan itu?”
“Betul. Dia dulu sekolah di Sekolah Pertanian.”
Dan sejak saat itu, Oma Sandria yang kesepian dan
mulai pikun, seperti mendapatkan sebuah dunia baru yang
mengasyikan. Ia menjadi sangat hobi berkebun. Ia bahkan

om
sengaja meminta Pak Diman, tukang kebun yang baru, untuk
.c
menyulap sebidang tanah di belakang rumah yang semula
ot
sp

terbengkalai, menjadi sebuah kebun yang khusus ia rawat.


og

“Kita bersaing, Ton. Mana di antara kebun kita yang paling


l
.b
do

subur, paling indah. Meskipun kebunmu itu peninggalan


in

Kang Adang, Oma yakin, sebentar lagi, kebun Oma akan


a-
k

mengalahkan kebunmu!”
sta
pu

Anton pun luluh. Ia jatuh hati kepada sang Oma karena


kesamaan dunia yang mereka pilih. Kebersamaan itu pun
terjalin indah. Saat-saat libur, mereka habiskan untuk berburu
tanaman hias, mencari pupuk, atau sekadar mencoba
menanam bibit-bibit unggul. Lebih dari itu, Anton dan Oma
Sandria pun mencoba membuat sebuah kolam ikan dengan
aneka hiasan batu alam yang menawan. Ketika Anton telah
mahasiswa dan semakin sering bertualang ke alam bebas,
hampir menjadi tradisi baginya adalah, membawakan aneka
jenis batuan atau tanaman langka untuk menghias kebun dan

82
kolam ikan mereka. Beberapa kali, Anton juga menghadiahi
sang Oma bonggol-bonggol akar kayu yang telah divernis
indah, dan oleh Sang Oma sengaja dipajang di sebuah ruang
yang khusus mereka jadikan sebagai galeri.
Seluruh penghuni rumah, hanya bisa geleng-geleng
kepala, namun mereka tak mau berkomentar lebih lanjut.
Bukan karena mereka sepakat, karena celetukan-celetukan
Mama dan Papa terkadang justru memojokkannya, terutama
jika dikaitkan dengan keinginan mereka agar Anton lebih
menekuni dunia yang terkait dengan bisnis, dunia yang
lebih menjanjikan, menurut mereka. Jika mereka enggan
komentar, itu lebih karena sikap cuek mereka.

om
“Sudahlah, Pa...,” kata Mama, suatu ketika. “Biarlah
.c
Anton tenggelam dalam dunia fantasinya. Besok, kalau dia
ot
sp

sudah berkeluarga dan merasa butuh uang, tentu dia akan


og

terpaksa belajar bisnis.”


l
.b
do

“Payahnya, Oma sepertinya sangat klop dengan dunia


in
a-

fantasinya itu. Warisan Oma banyak. Kalau sebagian


k
ta

diserahkan kepada Anton, dia tak akan merasa butuh uang.


s
pu

Dia akan kaya raya tanpa harus bekerja. Dan bisnis yang
Papa bangun dengan susah-payah, akan terbengkalai karena
tidak ada penerus.”
“Kan sudah ada Syakilla. Dia bisa kita harapkan.
Prestasinya bagus. Tampaknya, dia pun lebih tertarik untuk
belajar manajemen....”
Maka jadilah seorang Anton semakin larut di dalam
dunianya. Sayang kebersamaan itu harus terputus....
Lelaki berambut gondrong itu meneguk kembali cangkir
kopi pahitnya. Dan kesepian itu, semakin terasa nyenyet.

83
Siapa sosok yang bisa mengisi hatinya?
Perempuan itu? Yang pada wajahnya memantul warna
jingga? Sang penghimpun senja? Dia begitu cantik saat angin
pantai menerbangkan anak-anak rambutnya. Saat itu dia
sedang mencoba membuang resah dengan mencoba mencuri
lukisan senja yang terpapar di langit Klayar. Bertemu makhluk
eksotis yang tengah termenung menatap senja, seperti tengah
mendapati sepotong senja yang terjatuh dari langit.
Sayang, perempuan itu telah bersuami.
Mungkin pertemuannya dia dan perempuan itu sesingkat
usia senja. Selanjutnya, dia adalah malam, dan perempuan
itu adalah siang. Sama-sama memiliki dunia yang tak pernah
akan bertemu. om
.c
ot

--o=[]=o--
sp
og

Ketika kakinya melangkah menuju kamar nomor 3,


l
.b
do

lantunan suara ingar-bingar musik rock yang tertangkap jelas


in

di kupingnya, membuatnya sesaat mengerutkan kening.


a-
k

Siapa makhluk yang telah menyatroni kamarnya tanpa izin.


sta
pu

“Sorry, aku memaksa Robin nyerahin kunci kamarmu!”


wajah Azhar nongol dari balik pintu. Mulutnya yang lebar
didominasi oleh cengiran, membuat parasnya yang tirus
terlihat lebih mirip badut. “Habis, aku benar-benar sudah
kecapekan berat. Datang kesini pengin ikut ngorok, eh...
kamunya nggak ada!”
Gaya Si Bunga Ilalang yang agak norak, sering membuat
Anton terkadang sulit percaya, bahwa sebelum kuliah di
kampus ini, lelaki berambut keriting itu adalah alumni sebuah
pondok pesantren yang cukup ngetop di daerah Surakarta.

84
“Asal kamu nggak ngegondol barang-barang gue aja!”
ujar Anton, kalem. “Yang pasti security di kost ini tidak
mungkin bisa tembus oleh bromocorah amatiran.”
“Yee... nuduh bromocorah lagi. By the way ... kamu ini
sebenarnya kemana aja, sih, selama tujuh kali dua puluh
empat jam ini? Aku mencarimu hingga kolong langit, hingga
ke liang semut....”
Anton tak bersuara sesaat. Ia hanya melangkah gontai,
memasuki kamar ukuran tiga kali empat yang full fasilitas
itu, melempar tas ranselnya di sudut ruang, lalu membuka
kulkas, mengambil dua kaleng soft drink. Satu disodorkan
kepada Azhar yang kini terbaring di atas spring bed, satu
om
ia buka sendiri dan langsung ia tenggak. Gempuran soda
.c
di mulut, yang kemudian melanjutkan aksi di tenggorokan,
ot
sp

sesaat membuat sensasi yang lumayan menyegarkan.


og
l

“Kata Robin, Oma kamu sakit?” tanya Azhar.


.b
do

Nah, tuh... sudah tahu kemana selama tujuh kali dua


in
a-

puluh empat jam itu pergi! Anton menyeringai, pahit. “Oma


k
ta

Sandria sudah meninggal,” desisnya, nyaris tak terdengar.


s
pu

Azhar mengucap innalillahi, mematikan musik rock


yang bergemuruh, dan wajahnya berubah prihatin. Sesaat
ia pun memutuskan untuk tidak mengusik lelaki berambut
gondrong itu. Ia biarkan Anton mengekspresikan lukanya
dengan duduk menelungkup di atas meja seraya mengucak-
ucak rambut yang sebenarnya sudah acak-acakan. Ketika
Anton terlihat lebih tenang, Azhar baru kembali bereaksi.
“Kau lelaki, kan Ton! Kau pasti bisa tegar.”
Anton tak menjawab. Ia kini menengadahkan muka,
meletakkan batang lehernya pada ujung atas sandaran kursi.

85
“Ini sebuah kenyataan pahit, Ton! Tetapi, Allah memang
sudah menakdirkan demikian. Kita, harus bisa menerima.”
“Zar. Kenapa Allah, Tuhan yang sering kamu banggakan
itu, seringkali bersikap tidak adil sama aku?” Anton seperti
menuntut. “Kenapa Tuhan sepertinya nggak suka lihat Aku
bahagia?”
Azhar terbelalak seketika. Pertanyaan itu, sama sekali tak
ia duga, bisa meluncur dari mulut Anton.
“Ton, kamu nggak boleh ngomong kayak gitu. Apa yang
Allah tetapkan atas hamba-Nya, itu yang terbaik buat hamba
tersebut. Udahlah, Ton! Aku nggak bisa jawab pertanyaan
edun kayak gitu. Aku emang pernah jadi santri. Tapi jangan
om
tanyakan soal agama ke aku. Udah lupa semua. Mending,
.c
ot

kamu refreshing aja. Melepas ketegangan. Jadi ikutan eks-


sp

pedisi susur gua itu, kan? Fahira, sangat berharap kamu


og
l

bisa ikutan. Soalnya, jelek-jelek gitu, kamu kan pakarnya


.b
do

speleologi, Ton!”
in
a-

Kucing kecil itu, Fahira... sangat berharap kamu bisa


k
ta

ikutan.... Anton mendadak menggigit bibirnya.


s
pu

“Apa sih, yang diharapkan dari cewek gila itu?” desisnya.


“Apakah ia mengira, ekspedisi semacam ini, sama dengan
piknik yang mengasyikan?”
“Dia dapat proyek penelitian biospeleologi, Ton.”
“Apa nggak ada, penelitian yang lebih aman dari pe-
tualangan semacam caving? Dia itu bukan orang Mapala,
Zar! Perhitungkan dong, resiko yang bisa saja terjadi...,”
sengit Anton. “Aku tidak mau membuat kesalahan dua kali

86
Zar! Aku nggak mau sesumbar, bisa ngelindungin orang yang
sama sekali enggak bisa melindungi diri sendiri....”
Seraut wajah penuh senyum itu pun mendadak melintas
di batinnya. Anya Helga. Benar! Brengsek! Senyum gadis
yang pernah mengukirkan harapan di hatinya itu, mirip be-
nar dengan senyum Fahira.
Tidak! Aku tidak akan membuat Anya Helga yang satu
ini, kembali terbujur tanpa nyawa....[]

om
.c
ot
sp
ogl
.b
do
in
ka-
ta
s
pu

87
pu
sta
ka-
in
do

88
.b
log
sp
ot
.c
om
7
Gypsum

“J adi, siapa yang akan ditugaskan Mas Fahri untuk


mengawalku?” tanyaku sembari cengar-cengir. Anita
ot
.c
om
melihat gayaku dengan wajah seperti barusan melihat toilet
yang biasanya bersih namun mendadak sedikit berbau
sp
og

pesing.
l
.b

“Tampaknya, kau ini benar-benar mangkel sama para


do
in

cowok baik-baik itu, ya?”


ka-

“Udah tahu nanya!” sungutku sembari bergeser pelan


ta
s

menuju meja yang terletak di tengah dan menjadi pembatas


pu

2 dipan kecil yang berada di kamar kost kami. Sepiring


capcay dengan beberapa cabe rawit pedas, telah menggugah
seleraku. Bahkan satu eksemplar majalah terbaru yang
tergeletak bersisian dengan piring tersebut pun kalah
bersaing.
“Kata Mas Fahri sih, si Ardi. Dia kan satu jurusan
sama kamu. Mas Fahri bilang, dia sudah call Ardi. Dan
Ardi bersedia.” Anita memasukkan baju-baju itu ke almari
pakaian.

89
“Ampuuun, Nit... bisa-bisa nanti jadi ada cinlok, deh!”
Ardi, anak paling kalem di kelas, aktivis masjid. Jelas
satu ‘gank’ dengan Fahri yang dulu juga aktivis masjid di
kampus.
“Wah, pikiranmu selalu negatif. Nggak usah ngebayang-
in, kalau pas di perjalanan nanti, Anton mengganggumu dan
Ardi mengubah diri menjadi ksatria mempesona yang me-
nolongmu dari jeratannya.”
Tawaku kembali pecah mendengar kata-kata bernada
ledekan dari sobatnya itu. “Cuman Ardi sorangan?”
“Kalau dia sendirian, benar-benar bisa memicu cinlok.”
“Jadi, sama siapa?”
om
.c
“Gunawan.”
ot
sp

Yah, sama saja karakternya. Sok ngatur. Sok kuasa. Sok


og

memproteksi. Namun yang paling jelas, ketegangan pasti


l
.b
do

akan terjadi, karena Gunawan adalah musuh bebuyutan


in

Anton. Sekarang saja belum bisa dipastikan apakah si gunung


ka-

api itu akan bersedia ikut dalam ekspedisi, apalagi jika ia


ta
s

tahu, dalam rombongan akan ada dua makhluk yang selalu


pu

menilai seseorang secara hitam putih?


Ah, jadi ruwet begini!
“Nit, boleh deh, cowok-cowok kurang kerjaan itu ikutan,
tapi...”
“Eh, sekali lagi, nggak usah berprasangka negatif sama
mereka dong!” Anita tampak kesal mendengar ucapanku.
“Sekali lagi, maksud mereka baik. Kamu ini ibarat anak
perawan di sarang penyamun, harus ada yang menjagamu.”

90
“Ya, aku ngerti. Baiklah..., kalau mereka mau ikut,
silahkan ikut saja. Tetapi, please Nit... kamu juga mesti
ikutan.”
“Aku?” Anita melotot.
“Aku butuh teman perempuan. Dan kudu teman yang
paling mengerti aku. Kamu kan sobatku, pliiis, Nit.”
“Kan ada Nania.”
“Nggak cukup. Kamu harus ikut. Ekspedisi ini lumayan
lama. Dari survey, sampling, dan sebagainya, bisa bulanan.
Kalau nggak ada teman yang bisa diajak curhat, aku bisa
ancuuur.”

om
“Kan ada Ardi...” .c
“Ampun, masa aku harus curhat sama cowok...,” aku
ot
sp

mendekati Anita, memijit-mijit bahunya. “Please, Nit... kamu


og

harus ikut.”
l
.b
do

“Kalau aku ikutan, gimana kuliahku? Apa kamu pengin


in

gue jadi mahasiswi bangkotan yang nggak lulus-lulus.


ka-

Sudahlah, aku yakin, kamu bisa menjaga diri. Lagian, kamu


ta
s
pu

ini aneh. Mau dikawal, nolak. Eh, sekarang malah aku


disuruh ikutan.”
“Kamu kan bisa....”
“Nggak deh, Fa. Maaf, ya. Aku ini perempuan sejati
yang masih ngeri banget kalau bicara tentang petualangan....
Apalagi gua yang kamu sebut itu katanya masih angker,
ya?”
“Ini bukan petualangan. Ini penelitian.”
“Tapi yang kamu teliti itu sarang macan.”

91
“Bukan sarang macan, tetapi….”
“Sarang ular sanca? Sarang kelabang, atau malah hantu
dan jin gentayangan? Udah Fa ... aku bukan orang yang tepat
untuk kau ajak dalam hal-hal seperti itu. Aku sobatmu, aku CS-
mu, aku sayang kamuuu, tetapi aku nggak bisa. But, jangan
khawatir, aku akan selalu berdoa untukmu. Seperti katamu
tadi, aku kan sahabatmu. Aku sayang kamu. Sueeer.”
Anita tersenyum centil, tetapi senyumnya tak cukup kuat
untuk membuatku tak merengut.
--o=[]=o--

Pertemuan kesekian dengan anak Mapala kembali

om
diwarnai keributan. .c
“Kalau sudah ada kambing-kambing itu, ngapain gue
ot
sp

diajak?!” teriak Anton tiba-tiba, usai aku menyampaikan


og

siapa-siapa saja yang akan mengikuti ekspedisi susur gua


l
.b
do

Pacitan itu.
in
a-

“Kambing, maksudmu?” kutatap Anton sekilas. Yang


k
ta

ditatap terlihat begitu cuek. Duduk bersandar, dengan kedua


s
pu

kaki bersepatu boot yang diletakkan di atas meja.


“Ardi sama Gunawan. Kan mereka berjenggot, kayak
kambing,” sinis Anton. “Bisa apa mereka? Pengetahuan
mereka tentang gua paling-paling cuman gua Tsur atau gua
Hira.”
Aku menelan ludah, “Ini berarti … kamu mau kan, ikutan
ekspedisi ini?” hati-hati aku kembali menatap Anton. Sekilas
saja. Selain aku memang jarang jelalatan kepada siapapun—
baik cewek, apalagi cowok—menatap Anton sepertinya
membutuhkan keberanian berlipat-lipat.

92
“Kok kamu pede banget, sih, berkesimpulan seperti itu?”
sinis Anton.
“Dari keberatanmu tentang masuknya Ardi dan Gunawan
dalam tim, saya melihat bahwa….”
“Tidak!” Anton mendadak bangkit, menyambar tas
gendongnya dan menyangklongnya. “Aku tak akan ikut!” dia
bergerak keluar ruang mapala.
“Ton, Antooon!” Nania berlari mengejar, menarik
jaketnya. “Toloooong, deh, Ton! Sekali ini, gue berharap
solidaritasmu. Beneeer.”
“Solidaritas? Mana solidaritasmu buatku? Tahu, nggak,
aku baru saja berduka karena Omaku meninggal, tahuu!
om
Jangan tuntut orang memahamimu kalau kamu kagak mau
.c
ot

memahami orang lain!” bentak Anton sambil mendorong


sp
og

Nania.
l
.b

Aku tertunduk. Nania, yang anggota geng Anton saja


do
in

dibentak segarang itu, apalagi aku, yang bukan siapa-


a-

siapanya? Dan bahkan pernah menjadi musuh besarnya.


k
sta

“Sudahlah!” ujarku, mencoba menengahi dan membiarkan


pu

Anton pergi. Tetapi kulihat lelaki itu masih duduk di depan


ruang mapala, dan sepertinya masih menyimak perbincangan
yang terjadi di ruang mapala.
“Tampaknya, kita memang harus pergi sendiri,”
ujarku lagi, suaraku sengaja dikeraskan, tentu agar Anton
mendengarnya.
“Without Anton? Aaa, tidaaak!” Nania menggigit-gigit
bibirnya.

93
“Luweng Jaran itu kedalamannya hampir lima puluh
meter, dan ada beberapa sisi yang harus disusuri secara
vertikal. Itu medan kelas berat, aku nggak berani kalau tanpa
Anton,” kata Jaka, jujur.
“Saya akan sedikit ubah titik-titik yang kita teliti. Tak
usah terlalu jauh mungkin, meski barangkali tidak akan
menghasilkan data yang lengkap.”
“Nggak seru, dong, Fa!” protes Azhar. “Gini aja, aku ada
kenalan caver senior. Namanya Bongky, anak universitas
sebelah. Mungkin dia bisa kita ajak kesana. Orangnya baik,
kok.”
“Ah, ya! Bongky!” Jaka menjetikkan jarinya. “Kenapa
om
aku nggak kepikiran nama dia, ya? Zar, kamu aja yang nego
.c
ot

dia.”
sp
og

“Jangan aku,” ucap Azhar, “Fahira aja. Kan dia ketua


l
.b

rombongan.”
do
in

“Eh, betul, kamu aja, Fa.”


a-
k

“Bolehlah,” ujarku, pasrah. “Kasih kontak Bongky.


sta

Mudah-mudahan dia bersedia mendampingi penelitian


pu

kita.”
“Aku BBM aja ke kamu, ya, Fa!” kata Azhar.
“Baik, pertemuan kita akhiri dulu, ya!
Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumussalam.”
Nania, Jaka dan Azhar dengan segera berhamburan
keluar. Sementara aku melenggang dengan pelan. Korteksku
terselaput banyak pikiran yang membuat langkah kakiku

94
terasa berat. Sudah mendekati jadwal survey, dan masalah
belum juga beres. Oh, my God!
“Jadi, yang kau anggap sebagai manusia itu cuma Bongky,
ya?” mendadak sebuah suara berat mampir di telingaku.
Suara yang berasal dari sosok jangkung yang mencoba
mensejajari langkahku. Aku merasa begitu mungil berada di
sampingnya.
Saat aku menoleh, seketika aku terpana. Astaga, Anton!
“A-apa maksudmu?”
“Kamu sendiri yang turun, melakukan negosiasi dan
pendekatan langsung dengan Bongky, sementara untuk
membujukku, kamu mengutus si Bunga Ilalang itu.”
om
.c
J-jadi, inikah penyebabnya?
ot
sp

Langkahku terhenti. “Maumu apa, Ton?”


og

“Mauku?” dia tertawa sinis. “Mauku, kamu sebagai


l
.b
do

pimpro, datang baik-baik ke aku, dan meminta dengan


in

mulutmu sendiri, bahwa kamu butuh bantuanku. Itu berarti,


a-
k

kamu masih menganggap aku sebagai manusia.”


sta
pu

“Saya …,” lidahku mendadak kelu.


“Atau barangkali kamu sama dengan manusia lain, yang
mengganggap aku memang hanya manusia sampah yang tak
tak punya guna. Mahasiswa frustasi dengan IPK pas-pasan
yang tak punya masa depan, dan kamu, sebagai mahasiswa
teladan, merasa terlalu tinggi untuk langsung bicara bahwa
you need me!”
Kupejamkan mata yang mendadak terasa perih. Kau
salah sangka, Ton!

95
“Ya, kamu benar, benar sekali, Nona Fahira Azalea,
mahasiswa kebanggaan segenap penjuru kampus! Aku
memang hanya manusia sampah. Nggak usah jauh-jauh,
bokap-nyokapku aja nggak pernah menganggap ada
kehadiranku, apalagi kamu.”
“Tidak, Ton!” aku menggeleng, sembari berusaha
menyusupkan keberanian di hatiku. Ayo, mana kemahiranmu
berkomunikasi yang selama ini begitu dibanggakan teman-
temanmu, Fa? Mana kemampuanmu bernegosiasi yang
selama ini jarang menemukan kegagalan. “Bagi saya, kau
orang hebat, Ton. Suer!”
“Halah, kau ucapkan hal itu karena kau butuh bantuanku,
kan?” om
.c
ot

Aku sesaat kehilangan kata, karena menyadari betul,


sp

bahwa tebakan Anton itu benar adanya. Otakku berpikir


og
l

keras, dan kuputuskan untuk tidak mengobral kata-kata tak


.b
do

jujur kepada sosok seperti Anton.


in
a-

“Awalnya, jujur, iya. Tapi kali ini, saya tampaknya harus


k
ta

berpikir lagi tentang siapa kamu. Dan apa peran penting


s
pu

kamu untuk saya, dan juga untuk yang lain.”


Anton terdiam, mungkin tak menduga aku mengucapkan
kalimat tersebut. Kediaman itu segera kumanfaatkan untuk
melancarkan serangan-serangan selanjutnya.
“Tak pernah ada orang yang berhasil membuat saya
sepusing ini, kecuali kamu, Ton!” kugigit bibirku. “Kamu tahu,
selama ini saya merasa tak membutuhkan bantuan siapapun.
Merasa bisa melakukan apapun seorang diri. Tetapi kali ini,
saya sungguh salah. Saya butuh orang lain.”

96
“Aku?”
“Ya.”
“Kenapa hanya dalam sekejap, kesombonganmu
mendadak luruh berkeping-keping?”
“Jadi, kau menilai selama ini bahwa aku sombong?”
“Kau tak hanya sombong, tetapi sangat sombong!”
“Saat ini, dengan pengakuanku, dan sikap asertifku,
penilaian itu masih berlaku?”
“Sedikit berkurang.”
“Oke, kamu cukup fair, saya senang.”
“Hai, Saudari Fahira Azalea! Para pecinta alam di
om
manapun, adalah orang yang paling fair, paling jujur, paling
.c
ot
memiliki solidaritas, dan paling mengerti bagaimana saling
sp

mendukung dan saling membantu. Lihat di sini!” Anton


ogl

menunjuk dadanya. “Di dalam dadaku ini ada jantung yang


.b
do

saban hari memompa darah. Darah yang telah tercampur


in
a-

dengan sejuknya udara pegunungan, hijaunya dedaunan,


k
ta

jernihnya embun, hangatnya matahari pagi, serta luas dan


s
pu

birunya langit yang tak tercemar polusi. Apakah kau pikir,


darah seperti itu, mampu mengangkut sesuatu yang berbau
busuk? Apakah kau pikir, darah semacam itu, mampu
dihinggapi hasrat nan tengik?”
Merasa tengah diadili di sebuah ruang tanpa ada satu pun
pembela, nyaliku mendadak ciut. Namun diam-diam aku
mengagumi pilihan diksi lelaki itu. Mahir juga dia mencipta
kata-kata puitis seperti itu.
“Mengapa diam?”

97
Aku menelan ludah, lalu mencoba mengumpulkan
seluruh keberanian yang mendadak amblas. “Begini, Anton…
saya tak suka jika di antara kita ada yang merasa lebih tinggi,
atau lebih rendah daripada yang lain. Saya membutuhkan
bantuanmu, tetapi saya tak mau mengemis. Saya memiliki
pengetahuan di bidang tertentu, dan sedang mengajak orang
yang saya yakini memiliki kemampuan di bidang yang
lain. Saya berharap kita bekerja sama. Mutualisme. Saling
menguntungkan.”
“Oh, begitu?” Anton tertawa sumir. “Jadi, keuntungan apa
yang bisa kamu janjikan untukku dengan kerjasama ini.”
“Kepentingan akademismu. Ini proyek yang sangat
om
didukung oleh kampus. Pak Aryadi langsung memonitor.
.c
Pak kepala jurusan bahkan selalu menanyakan progres dari
ot
sp

penelitian ini. Paling tidak, dari sekian aktivitas kepecintaan


og

alam yang kamu lakukan, ekspedisi ini akan menjadi aktivitas


l
.b
do

yang istimewa, karena bisa membantu studimu.”


in
a-

“Kau pikir aku masih butuh melanjutkan studiku?”


k
ta

“Buktinya, setiap hari kau pergi ke kampus? Jika kau


s
pu

tak menginginkan keberlanjutan studimu, untuk apa susah


payah menghabis-habiskan waktumu untuk kuliah.”
“Kau gadis berlidah naga.”
“Pikirkan tawaran saya. Penelitian ini, bisa juga menjadi
bahan skripsimu. Aku bisa mengajakmu untuk menemui
dosen segera untuk membicarakan hal ini. Masih ada waktu.”
Kulirik jam di pergelangan tanganku. “Maaf, saya ke masjid
dulu, sudah saatnya shalat dhuhur. Kau juga shalat, kan?”
“Fa, aku mau ikut, dengan dua syarat.”

98
Aku berhenti melangkah, memasang telinga baik-baik,
tetapi tetap menutup mulut.
“Pertama, kau tak perlu mengajak orang yang sama sekali
tak mengerti tentang caving. Cukuplah kami menanggung
beban satu orang saya, yaitu kamu. Tak usah ditambah
dengan kambing-kambing itu.”
Maksudnya tentu Gunawan dan Ardi. Hm, bagaimana
ini? Aku harus melobi ayah, agar mempercayaiku dan meng-
cut rencana abang-abangku. Tampaknya ini bisa diatur. Meski
aku satu-satunya anak perempuan, ayah sangat percaya pada
kemampuanku.
“Kedua, kau harus menurut apa kataku dan tak boleh
membantah.” om
.c
ot

Kuangkat dagu, kuberanikan menatapnya, kali ini dengan


sp
og

pandangan marah.
l
.b

“Deal?”
do
in

Aku mendesah. “Baiklah, asal kau tak menyuruhku untuk


a-
k

bunuh diri saja.”


sta
pu

“Kapan penelitian akan dimulai?”


“Kita akan survey dulu. Kira-kira bulan Agustus.”
“Masih ada tiga bulan. Kau harus menyiapkan kebugaran
fisikmu. Pertama, rutinlah melakukan olahraga lari. Sehari
lima kilometer. Sebaiknya di siang hari.”
Aku terpana. “Mengapa siang?”
“Karena saat terik matahari, lapisan udara lebih renggang.
Itu akan membuat paru-parumu berlatih kerja keras untuk
menghisap oksigen dengan kadar rendah. Di gua, kita akan
mengalami hal seperti itu.”

99
“Lalu, lakukan angkat beban sehari kira-kira setengah
jam. Itu akan menguatkan otot-otot di lenganmu. Saat caving
di gua vertikal, kekuatan lengan akan sangat bermanfaat.”
“Apa lagi?”
“Sit-up, push-up, pull-up, sesering mungkin. Memanjat
dinding gua vertikal menuntut kekuatan hampir seluruh otot
di tubuh kita. Mulai dari otot punggung, lengan, perut, kaki,
bahkan jari.”
Jadi, bukan hanya sekadar berburu teori dan referensi.
“Yang kau butuhkan saat melakukan caving adalah
strength and endurance. Kekuatan dan daya tahan. Itu bisa
kamu dapatkan jika kamu rajin berlatih.”
om
.c
“Itu saja?”
ot
sp

“Datanglah ke area wall climbing di kampus kita, paling


og

tidak dua atau tiga kali dalam seminggu. Kau harus berlatih
l
.b
do

memanjat di sana.”
in

Aku menghela napas panjang. Sementara lelaki itu justru


k a-

tersenyum kecil, senyum kemenangan.[]


ta
s
pu

100
8
Helektit

M eski hanya lulus sekolah dasar, dan mencoba belajar


dari buku-buku yang berada di perpustakaan desa,
ot
.c
om
Rinanti tahu apa tujuan sebuah pernikahan. Membentuk
sebuah keluarga yang sakinah, mawadah, wa rahmah.
sp
og

Keluarga yang tentram, penuh cinta dan kasih sayang. Saat


l
.b

pesta pernikahan mereka digelar, tenda besar dibuat di


do

halaman rumah, memotong seekor sapi, menyewa sekitar


in
a-

lima ratus kursi, dan mengundang grup Wayang Beber—


k
ta

wayang peninggalan Kerajaan Majapahit yang mungkin


s
pu

hanya tersisa di daerah Pacitan, penceramah yang diundang


juga menyebutkan hal itu. Rinanti masih sangat ingat dan
bahkan mencatatnya dalam sebuah buku tulis yang dia
simpan hingga kini. Buku tulis setebal 48 halaman yang dia
beli di warung dekat rumah. Buku itu telah lecek, karena saat
Rinanti membukanya, dia tak hanya sekadar membacanya,
namun juga menggenggamnya kuat-kuat sembari tergugu,
dan bahkan beberapa kali butiran air mata membasahinya.
Apakah salah jika dia mendambakan sebuah rumah
tangga yang bahagia? Bukan seperti yang saat ini terjadi,

101
yang bahkan saat mereka berhadapan satu sama, perasaan
yang muncul justru rasa asing? Mereka telah resmi menjadi
suami istri sejak tujuh tahun silam, saat itu Gunadi berusia
30 tahun, dan dia baru 19 tahun.
Rinanti, kembang desa yang kinyis-kinyis. Matanya
yang sedikit sipit, dengan kulit putih bersih, membuat orang
banyak mengkaitkan dengan kisah selir Prabu Brawijaya asal
Campa yang melarikan diri dan menetap di Pacitan saat terjadi
peperangan antara Majapahit melawan tentara Raden Patah
dari Demak. Banyak yang bilang, Rinanti masih memiliki
darah Raja Brawijaya dari jalur Putri Campa itu. Tentu Rinanti
dan keluarganya merasa tak perlu menanggapi sangkaan

om
itu dengan berlebihan. Peristiwa ontran-ontran Majapahit
.c
melawan Demak sudah terjadi ratusan tahun yang lalu. Dan
ot
sp

jika pun benar mereka berdarah raja, apakah status itu bisa
og

mengubah kehidupan mereka yang begitu lekat dengan


l
.b
do

kesederhanaan, bahkan kemiskinan? Sehari-hari, Sudarto


in

berprofesi sebagai nelayan. Namun saat ombak tinggi, dia


a-
k

beralih menjadi pencari kepiting yang banyak terdapat di


sta

sela-sela rekahan batu karang di Pantai Klayar. Kemiskinan


pu

itu pula yang telah membuyarkan impian Rinanti untuk


menjadi guru, saat dia terpaksa harus drop out dari kelas dua
SMP, padahal dia termasuk siswa yang berprestasi.
Kecantikan parasnya yang aneh memang harus disyukuri.
Dan barangkali hal itulah yang membuat para pemuda di
desanya banyak yang memimpikan bersanding sebagai
suaminya. Tetapi Rinanti acuh tak acuh menanggapi.
Kecantikan itu sifatnya tak abadi. Ibunya, dulu juga kembang
desa. Sekarang, di usianya yang hampir lima puluh tahun,

102
kecantikan itu nyaris tak tersisa, ditempa kehidupan yang
serba sulit.
Ya, Pacitan, khususnya yang berdekatan dengan pantai
selatan, bukan alam yang ramah. Air sulit, tanah tandus,
dipenuhi dengan batu gamping dan kapur. Sebagian orang
menambang batu gamping dan kapur, sebagian mencari
batu mulia untuk diasah menjadi akik. Tetapi, akik bukanlah
beras yang semua orang membutuhkan. Tak akan menjadi
kaya hanya karena menjadi perajin batu akik.
Sementara itu, siapa yang tak mengenal Gunadi? Ki Gunadi
Hantayudha, begitu julukannya. Jika Rinanti sekeluarga
adalah keturunan Brawijaya itu baru konon, lelaki itu benar-
om
benar memiliki gelar Raden dari jalur istana Mataram. Meski
.c
begitu, Gunadi tak pernah bersekolah, sehingga dia buta
ot
sp

huruf. Tetapi, dia sangat pandai. Dan banyak yang menduga


og

bahwa dia memiliki kesaktian yang luar biasa. Entah benar


l
.b
do

atau tidak, Rinanti tak pernah dan tak mau membuktikannya.


in

Ada yang bercerita, bahwa dia kebal senjata. Bisa meramal


ka-

dengan tepat masa depan orang, dan bisa mengirim kekuatan


ta
s
pu

ghaib untuk mengalahkan lawan-lawannya. Tak ada orang


yang berani berurusan dengan Gunadi, termasuk ayahnya.
Perjodohan itu terjadi ketika pada suatu sore lelaki itu
mendadak mendatangi rumahnya. Dia katakan kepada
Sudarto, bahwa dia mendapat wahyu lewat mimpi yang
terjadi tujuh malam berturut-turut, agar dia melamar dan
menikahi Rinanti.
“Dua trah besar harus bersatu, trah Brawijaya yang ada
pada darah Rinanti, dan trah Panembahan Senapati yang ada
dalam darah saya,” tutur Gunadi pada saat itu. “Jika tidak,

103
akan ada sebuah peristiwa besar di alam, sebagai bentuk
murka karena kita menolak perjodohan agung itu.”
Sudarto tak mampu untuk menolak ‘perjodohan
agung’ itu, meski pada hati kecilnya, dia sebenarnya tak
menginginkan bermenantu seseorang yang berprofesi
sebagai dukun. Rinanti sendiri tak memiliki pilihan apapun,
kecuali menurut. Mereka takut dengan kutukan semesta
karena mereka bersikap mbalela—alias menentang sesuatu
yang telah menjadi ketentuan.
Rinanti muda masih terlalu bau kencur untuk memahami
geliat zaman. Dara 19 tahun yang jelita seperti mawar merah
yang baru saja mekar itu akhirnya jatuh ke pelukan Gunadi.
om
Sebenarnya Gunadi seorang lelaki yang cukup tampan. Tutur
.c
katanya juga selalu sopan, meski tajam dan mengawang-
ot
sp

awang. Namun, dia membangun dunianya dan mencoba


og

memilikinya seorang sendiri. Dan dia menganggap semua


l
.b
do

yang tak terlibat dengan dunianya, adalah warga asing,


in

termasuk istrinya sendiri.


ka-
ta

Rinanti menderita lahir-batin. Sepanjang pernikahannya,


s
pu

nyaris tak pernah ada kata-kata mesra terucap dari bibir


suaminya.
Pernah Rinanti mencoba belajar mencintai Gunadi. Dia
pelajari kebaikan-kebaikan suaminya. Hasilnya, dia memang
mulai jatuh cinta. Tetapi justru itulah yang membuat dia
lebih menderita. Cintanya bertepuk sebelah tangan. Gunadi
menganggap pernikahannya hanya sekadar ritual yang harus
dijalani. Tak ada kasih sayang, apalagi kelembutan.
Satu, ya… hanya satu kali Rinanti merasakan dia menjadi
seorang istri yang dicintai. Saat itu Gunadi mengajaknya

104
menaiki perahu. Mereka menerjang lautan biru, menantang
gelombang. Dan ketika perahu kecil itu mulai memasuki zona
samudera, Gunadi mendadak memeluknya. Menciumnya….
Dan Rinanti sangat merindukan saat-saat seperti itu.
“Rinanti,” suara berat itu mendadak memasuki ruang
ukuran tiga kali tiga meter itu. Perempuan yang tak mampu
memejamkan mata hingga malam menginjak pukul sebelas
itu sesaat tersentak.
“Bangun, Rin!”
Rinanti melihat Gunadi memasuki kamar mereka.
Sebenarnya bukan hal yang aneh jika seorang lelaki memasuki
kamar tidur istrinya, yang semestinya juga kamar tidurnya.
om
Apalagi, Gunadi memang tak memiliki kamar lain. Hanya
.c
ot

ada sebuah kamar khusus yang berisi berisi koleksi benda


sp
og

pusaka Gunadi. Di kamar itu tersimpan hampir seratus keris


l
.b

lengkap dengan warangka-nya, puluhan tombak, trisula, serta


do

ratusan batu mulia, baik yang sudah berupa cincin maupun


in
a-

yang masih berbentuk butiran. Harta pusaka itu harganya


k
ta

cukup untuk membeli sebuah rumah mewah dan dua buah


s
pu

mobil baru itu. Tak ada bale-bale untuk tidur di ruang pusaka
itu. Hanya ada selembar tikar, dan di situlah Gunadi lebih
sering berbaring di sela-sela kegiatannya merawat pusaka-
pusaka kebanggaannya.
Selain itu, Gunadi juga sangat sering bepergian.
Kepergian itu kadang memakan waktu berbulan-bulan.
Gunadi hanya pernah bercerita, dulu sewaktu baru menikah,
bahwa dia memang memiliki beberapa tempat khusus untuk
bertapa. Ada satu gua di tepi samudera, dekat pantai Klayar,

105
satu di dekat Pantai Srau, dan entah di gua apa lagi. Pacitan
memiliki julukan kota seribu satu gua. Entah apakah betul
gua di Pacitan sebanyak itu. Gua Gong dan Gua Tabuhan
bisa jadi merupakan gua-gua yang cukup terkenal. Tetapi
Pacitan memiliki banyak sekali gua yang belum dibuka untuk
umum. Gua-gua itu menyimpan sejuta misteri. Dan, di mata
Rinanti, Gunadi adalah bagian dari misteri itu sendiri.
Bau harum kemenyan yang menguar kuat saat Gunadi
memasuki kamar, membuat sensasi yang aneh menghinggapi
Rinanti. Sosok di depannya itu, terlihat begitu menakutkan.
Kumis dan jenggot memenuhi hampir separuh wajah Gunadi.
Sementara rambutnya yang panjang sebahu dirapikan

om
dengan iket hitam yang membalut bagian atas kepala. Baju
.c
dan celananya selalu berwarna hitam.
ot
sp

Setahu Rinanti, Gunadi jarang sekali mandi. Konon,


og

mandi akan meluruhkan kesaktiannya. Itu membuat Rinanti


l
.b
do

sering merasa jijik jika harus berdekatan. Dia menginginkan


in

Gunadi setampan saat mereka bersanding sebagai pengantin.


a-
k

Dengan wajah mulus, blangkon biru, beskap sewarna dan


sta
pu

kain batik, Gunadi terlihat seperti seorang pangeran rupawan.


Tetapi sekarang, dia seperti hantu yang menakutkan.
Dan malam itu, entah mengapa Rinanti merasa begitu
takut jika Gunadi meminta dia untuk melayaninya sebagai
seorang istri. Sesuatu yang hampir tak pernah terjadi sejak
tiga tahun yang lalu.
“Rin, aku ingin meminta tolong padamu!” Gunadi duduk
di tepi ranjang. Suaranya seperti dilambari kekuatan gaib.
Sontak Rinanti mundur, mendekat ke ujung ranjang pada sisi
yang berlawanan.

106
“Aku akan pergi, sekitar beberapa bulan lamanya.”
Bukan sesuatu yang baru, bisik Rinanti dalam hati.
Gunadi sering melakukan itu, dan selama ini tak pernah
secara khusus berpamitan kepadanya.
“Ada sesuatu yang sepertinya memudar dariku,” desah
Gunadi. “Kesaktianku, seperti hilang hampir separuhnya.
Aku tak pernah berhasil memasukkan tuah ke cincin-cincin
akik dan pusaka-pusaka itu sebaik yang pernah kulakukan
sebelum-sebelumnya. Dan ini sangat meresahkanku.”
“Da-darimana sampean tahu bahwa kesaktian itu … telah
memudar?” entah mengapa, bukannya sebuah kecemasan,
justru rasa lega—meski hanya sedikit takarannya, sangat
om
sedikit, yang terasa di benak Rinanti. Sedikit lega itu muncul
.c
ot

karena ada harapan. Harapan sang suami berubah menjadi


sp

orang biasa. Seperti para lelaki lainnya, yang memiliki waktu


og
l

untuk istrinya. Yang mau menjadi pejuang dengan nafkah


.b
do

yang ikhlas diberikan kepada keluarganya. Paling tidak, dia


in
a-

tak akan sendirian mengurusi warungnya yang kian hari kian


k
ta

ramai dan sudah saatnya dibantu orang lain.


s
pu

Ayahnya, Sudarto, sibuk melaut. Ibunya sibuk


mengurusi Rinto. Dia sendiri, bertempur melawan ganasnya
kehidupan.
Gunadi terdiam, terpekur sejenak. “Kemarin … aku
terjatuh di rekahan batu karang di Klayar. Dan aku melihat
darah. Lututku berdarah. Seumur hidup, baru kali ini aku
melihat darah keluar dari tubuhku. Aku tahu, ada sesuatu
yang telah berubah dariku.”
Suasana hening. Derik jangkerik bersahutan dengan
tokek dan suara cicak. Angin berkesiur, membuat daun-

107
daun kelapa di halaman rumah bergesekan. Suaranya sedikit
mengiris gendang telinga. Sementara, dari kejauhan, debur
ombak laut selatan terasa lebih keras dari biasanya.
“Aku… aku sangat takut jika harus menjadi manusia
lemah. Jadi, aku harus pergi. Tiga bulan. Atau mungkin
lebih.”
“Pergi kemana?” suara Rinanti melemah. Sebenarnya,
karena kantuk sudah mulai datang. Dia lirik jam dinding,
sudah setengah dua belas. Biasanya, jam delapan malam dia
sudah pulas tertidur karena terlalu letih bekerja mengurusi
warungnya.
“Ke sebuah tempat rahasia, aku akan bertapa brata,
om
mengheningkan diri, mencoba mencari lagi sesuatu yang
.c
ot

hilang itu. Namun … aku tak bisa pergi begitu saja. Baru
sp

sekitar empat bulan aku dan Pak Prawira Kusuma, lelaki


og
l

yang kemarin datang kesini, membangunkan sebuah toko.


.b
do

Toko khusus pusaka dan batu mulia. Toko itu ada di Punung.
in
a-

Tanah dan bangunan itu milik Pak Prawira Kusuma, tetapi


k
ta

seluruh isi, semua milikku.”


s
pu

Rinanti yang merasa tak pernah diberitahu menegakkan


bahu sejenak. Namun, kemudian dia memutuskan untuk
bersikap masa bodoh. Selama ini, dia memang tak pernah
diberi tahu apapun oleh Gunadi. Mereka sangat jarang
berkomunikasi.
“Jika aku pergi, tak ada yang bisa mengurusi toko itu. Pak
Prawira Kusuma tinggal di Jakarta. Sejak toko itu dibangun,
baru tiga kali Pak Prawira Kusuma mengunjungi toko itu.
Ada dua orang pegawai di sana, tetapi aku tak mempercayai

108
mereka. Nilai barang-barang pusaka yang ada di sana sangat
mahal harganya. Jadi, kuperintahkan kepadamu, untuk
sementara tutup dulu warungmu. Urusi toko batu mulia itu,
sampai aku kembali.”
Kuperintahkan kepadamu. Dengan tekanan berat, dan
intonasi yang terasa menakutkan. Dalam keadaan seperti ini,
wibawa Gunadi memang terasa begitu kuat. Itukah efek dari
kemandragunaan yang konon dia miliki?
Rinanti merasa tak berdaya. Seperti saat Gunadi dahulu
melamarnya tujuh tahun yang lalu, Rinanti tak kuasa
memberikan penolakan. Akan tetapi, ketika Gunadi keluar
dari kamarnya, mendadak Rinanti tersentak. Mengapa dia tak
om
menolak? Dan mengapa dia tak sanggup menolak? Padahal
.c
dengan sikapnya itu, dia mungkin akan berselingkuh pada
ot
sp

kebiasannya menyambut senja.


og
l

Punung masih jauh dari ufuk. Senja di sana tak akan


.b
do

terlihat jelas. Dia tak akan terlalu girang menyambut senja.


in
a-

Dan mungkin garis senja hanya akan terhenti pada angka


k
ta

terakhir: 4822.[]
s
pu

109
pu
sta
ka-
in
do
.b

110
log
sp
ot
.c
om
9
Isopoda

S etelah melakukan persiapan panjang, detail dan


melelahkan selama tiga bulan, ekpedisi akhirnya
ot
.c
om
dimulai! Belum sampai tahap penelitian memang, tetapi
baru semacam survey. Pokok permasalahannya, publikasi
sp
og

Luweng Jaran di jurnal-jurnal ilmiah masih sangat minimalis.


l
.b

Pak Aryadi sendiri kesulitan untuk menemukan fokus-fokus


do

yang akan kami teliti. Setelah kami berlima menghadap Pak


in
a-

Aryadi dan beberapa dosen lain, kami dianjurkan untuk


k
ta

survey terlebih dulu. Dari hasil survey itulah nanti akan


s
pu

dibagi, topik-topik apa yang akan menjadi objek penelitian


kami. Kalau aku sendiri, sejak awal sudah sangat berminat
dengan mikrobiologi gua karst. Pak Aryadi mendukung penuh
minatku dan mengatakan, bahwa penelitian mikrobiologi di
gua-gua, khususnya gua karst, sangat jarang dilakukan dan
merupakan sebuah tantangan.
Sangat bisa dimaklumi. Dari kecenderungan pribadi
para mahasiswa saja sudah terlihat. Di jurusanku sendiri,
para mahasiswa yang menekuni konsentrasi mikrobiologi,

111
biasanya lebih menyenangi penelitian-penelitian in door di
laboratorium. Sementara yang senang terjun di lapangan,
termasuk Mapala di jurusanku, kebanyakan mengambil
konsentrasi ekologi. Mahasiswa mikrobiologi seperti aku dan
memilih terjun ke lapangan, bisa dikatakan sangat jarang.
Jam sembilan pagi kami berangkat dari Semarang menuju
Pacitan. Dari Semarang menuju Solo, jalan mulus dan
lancar. Begitu juga ketika mobil terus bergerak ke Selatan
menuju Wonogiri. Akan tetapi, begitu mobil keluar dari kota
Baturetno, Wonogiri, dan meluncur ke selatan, lalu berbelok
ke timur, medan berubah menjadi sangat menantang. Medan
selanjutnya benar-benar seperti semacam uji nyali bagi para

om
pengemudi. Aku sendiri, yang sebenarnya sudah terbiasa
.c
menyopir, meski jarak terjauh baru Semarang-Solo, cukup
ot
sp

merasa ngeri dan terkaget-kaget dengan medan yang harus


og

kami tempuh.
l
.b
do

Jalan memang teraspal mulus, namun nyaris tak ditemui


in

bentangan lurus pada jarak lebih dari satu kilo meter. Kelak-
a-
k

kelok yang seringkali sangat tajam baik ke kanan maupun ke


sta
pu

kiri, ditambah dengan tanjakan dan turunan, membuat perut


kami semua seperti tengah dikocok. Dan terbiasa di belakang
kemudi membuat aku kurang bisa bertahan saat menjadi
penumpang. Berkali-kali aku harus mengoleskan fresh-care
agar tak muntah. Apalagi posisiku di bangku belakang,
bersama Nania, rawan dengan guncangan-guncangan. Di
tengah, Azhar duduk santai berteman sebagian ransel-ransel
besar dan peralatan survey. Sebagian barang yang lain
berjejal di bagasi, dan sebagian lagi disimpan di box yang
dipasang di atas mobil.

112
Untungnya, bentang alam yang tersaji di balik jendela,
sungguh sangat memanjakan mata. Kanan-kiri jalan, berkilo-
kilo meter jauhnya, didominasi hutan. Bukit dan lembah
berselang-seling. Bukit kapur dan gamping yang berbaris
menunjukkan bentuk-bentuk yang unik. Pegunungan Sewu
yang berjajar dari daerah Bantul, Gunung Kidul, Wonogiri
dan Pacitan, memiliki sekitar empat puluh ribu bukit dengan
bentuk kerucut. Masing-masing lekukan bukit mencipta
lembah-lembah dan cekungan dengan bentuk yang khas.
Aku terkesima dengan keelokan lanskap yang barusan kami
lewati itu.
Bentang alam karst, bisa jadi tak sejalan dengan citra

om
Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan tanah yang
.c
subur. Saking suburnya, kata Koes Plus dalam sebuah lagu
ot
sp

zaman dulu yang sering dinyanyikan nenekku, orang bilang


og

tanah kita tanah surga, tempat tongkat dan kayu jadi tanaman.
l
.b
do

Saking suburnya, hamparan tanah kita terlihat menghijau,


in

sehingga Multatuli pun mengajukan gagasan Indonesia


ka-

sebagai untaian zamrud di katulistiwa. Saat aku terbang


ta
s

di atas Kepulauan Riau, kulihat gugus-gugus itu memang


pu

tampak hijau dan indah, seperti tebaran zamrud di laut luas


menghampar. Mungkin jika aku berkesempatan terbang lebih
tinggi lagi, dan meneropong bentangan nusantara dengan
peralatan lebih canggih, citra yang dihasilkan benar-benar
akan membuatku mengiyakan ungkapan Multatuli, nama
pena dari sastrawan belanda Eduard Douwes Dekker.
O, ya… dahulu aku pernah mengira bahwa Douwes
Dekker yang tergabung dalam Tiga Serangkai bersama Ki
Hajar Dewantara dan dr. Cipto Mangunkusumo adalah

113
orang yang sama Multatuli. Ternyata mereka orang yang
berbeda. Yang tergabung dalam Tiga Serangkai adalah Dr.
Ernest Douwes Dekker, atau yang bernama Indonesia Dr.
Danudirja Setiabudi.
Kembali ke kisah tentang zamrud tadi. Seandainya
Multatuli jeli, dia akan melihat, bahwa nusantara bukan
hanya untaian zamrud. Di antara untaian zamrud itu, terselip
pula tebaran batu-batu pualam, meski tentu tak sedominan
zamrud. Alam karst, yang memiliki kekhasan dan sangat
berbeda dengan sebagian besar daerah di nusantara ini pada
umumnya, adalah batu-batu pualam itu.
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, istilah karst
om
mungkin tak terlalu familiar. Dari beberapa mahasiswa
.c
yang kutanya sendiri, saat aku iseng membuat kuisoner,
ot
sp

dari lima teman dari jurusan lain yang kutanya, hanya satu
og

yang menjawab benar. Padahal 15 juta hektar bagian dari


l
.b
do

nusantara adalah alam bertipe karst. Karst sebenarnya berasal


in

dari kata Krast, sebuah daerah pegunungan di perbatasan


a-
k

Yugoslavia dengan Italia. Alam karst ini ditandai dengan


sta
pu

bukit-bukit yang tersusun dari batu gamping, alias limestone.


Pegunungan Sewu yang kusebut tadi, didominasi bentang
alam karst.
Meski lekuk-lekuknya unik, bentang alam karst memiliki
wajah yang kerontang dan tandus. Pepohonan akan sangat
merana jika tumbuh di atasnya. Maklum, tanah yang berada
di atas bebatuan itu, yang merupakan hasil pelapukan batu
gamping, terlapis sangat tipis. Seringkali selapis tipis tanah
kehitaman itu dengan mudah terkikis air hujan dan hanyut.

114
Tetapi, jangan sangka! Pantai yang tersusun dari batu
gamping menciptakan dekorasi alam nan menawan.
Sementara, gua-gua karst sendiri adalah keajaiban dalam
perut bumi dengan stalaktit dan stalakmit yang menyerupai
tirai-tirai alami yang terbentuk dalam sebuah proses
menakjubkan selama ribuan tahun. Terkadang, di dalam
gua karst juga terdapat butir-butir menyerupai mutiara yang
disebut cave pearls. Menemukan pearls di dalam gua, bagi
seorang caver, konon adalah pengalaman yang luar biasa,
karena tak semua gua karst memiliki pearls.
Melihat aku seperti tak mampu berkedip saking takjubnya
melihat pemandangan di kanan-kiri jalan, gadis manis di

om
sampingku mendekat. “Cantik, ya?” ujar Nania.
.c
“Nggak pernah kuduga bahwa Pacitan ternyata sebagus
ot
sp

ini.”
og
l

“Yeiy, ini belum apa-apa. Kalau sudah masuk ke gua-


.b
do

guanya, atau ke pantai-pantainya, kau pasti akan kelenger


in
a-

saking nggak kuatnya. Eh, kamu bener-bener baru pernah


k
ta

kali ini ke Pacitan, ya?”


s
pu

Aku mengangguk. “Tapi kalau pantai dan gua karst lainnya,


aku udah pernah. Seperti Karang Bolong di Gombong, atau
Gua Jatijajar.”
“Gua Jatijajar itu udah terlalu banyak artifisialnya,”
timpal Azhar. “Sudah nggak terlalu menarik, menurutku.
Nah, Luweng Jaran yang akan kita datangi ini, benar-benar
masih perawan, tuh!”
Kata ‘perawan’ itu membuatku bergidik. Mendadak
merasa ragu, bahwa aku sanggup mengikuti para aktivis

115
pecinta alam itu, sedangkan aku sama sekali belum memiliki
pengalaman susur gua. Apalagi, setelah aku membuka
internet dan membaca posting-posting tentang gua itu, aku
menjadi semakin ngeri. Gua itu, belum jelas terpetakan. Ada
yang mengatakan panjangnya mencapai 30 kilometer! Ini
kira-kira sama dengan jarak dua kota kecil di Pulau Jawa.
“Kalau pengin menikmati alam karst, ya Pacitan biangnya,
benar-benar dahsyat! Pantainya ibarat surga dunia, guanya
kayak istana-istana raja Eropa,” ujar Jaka, yang duduk santai
di samping sang sopir, Anton. Kesantaian Jaka membuatku
gemas. Sejak dari Semarang, Anton yang menyetiri sendiri
mobil landcruiser-nya itu. Tak pernah sekalipun kulihat

om
Jaka menawari Anton untuk bergantian menyetir. Bahkan,
.c
dari Semarang hingga Solo, Jaka dengan tanpa rasa berdosa
ot
sp

justru tertidur pulas. Mendekur, pula! Dia baru melek ketika


og

dibangunkan untuk makan siang.


l
.b
do

Tetapi, Anton tak protes. Dia terlihat sangat tenang di


in

belakang kemudi, bahkan terkesan menikmati. Sebuah


a-
k

earphone tersumpal di telinga kiri, sementara telinga


sta
pu

kanan dibiarkan tetap terbuka. Entah apa yang tengah dia


dengarkan. Yang jelas, dia nyaris tak pernah berbicara. Dia
biarkan seluruh penumpang saling bercanda dan bercerita,
sementara dia diam seribu basa.
Medan yang begitu menantang tak terlihat mengusik
sedikit pun ketenangannya. Hanya saja, ketika mobil
melewati Kota Punung, dan kemudian memasuki jalan
yang lebih sempit dari sebelumnya, mendadak dia melepas
earphone-nya. Ada sebuah gairah yang mendadak mengurai
kesakralan, atau keangkeran yang sepertinya sengaja dia

116
bangun. Tetapi, jujur, aku senang melihat dia terlihat antusias
seperti itu.
“Ada yang ingin menangkap senja? Dan mungkin
ingin mengambilnya sepotong untuk dihadiahkan kepada
pacar kalian?8” Anton mengoyak sendiri ketenangannya
dengan sebuah topik pembicaraannya yang membuat aku
mengerutkan kening sejenak. Ucapan itu menurutku terlalu
romantis baginya. Mendadak ada bagian dari jiwaku yang
tersenyum geli. Sepotong senja untuk pacar kalian. Aku
belum pernah pacaran, dan tak pernah tahu, bagaimana
rasanya dihadiahi sepotong senja.
“Senja? It’s so romantic.” Nania melirik jam tangannya,
om
lalu tertawa kecil. “Sebentar lagi senja tiba. Ada pilihan
.c
menarik? Aku sudah mempersiapkan gunting untuk
ot
sp

memotong senja.”
og
l

“Ide bagus, tuh!” sahut Azhar. “Aku akan mencuri senja


.b
do

lewat kamera DSLR-ku. Akan kuhadiahkan buat majalah,


in
a-

eh nggak dihadiahkan, tapi buat ditukar dengan beberapa


k
ta

lembar rupiah.”
s
pu

“Matre, Lo!” canda Nania. “Dalam pikiran Lo, yang ada


cuma duit melulu.”
“Lho, senjaku justru bisa menginspirasi banyak jiwa
lho. Mereka nggak perlu jauh-jauh datang ke Pacitan buat
menangkap senja. Cukup mengguntingnya dari majalah, dan
menghadiahkan buat orang yang dia cintai,” elak Azhar.
“Enaknya kita kemana, Ton?” tanya Jaka.

8 Terinspirasi dari cerpen "Sepotong Senja untuk Pacarku", Seno


Gumira Ajidarma.

117
“Kalau di sekitar sini, ada dua tempat yang aku
rekomendasikan. Tergantung apa kebutuhan kalian juga sih?
Pertama Pantai Klayar. Kalian bisa merekam lanskap yang
menakjubkan di sana. Ada laguna, ada seruling laut, ada
karang yang mirip Spinx. Tapi, kalau ingin berenang, bermain
ombak atau berselancar, Srau lebih tepat,” ujar Anton, tetap
dengan bibir yang tak juga dihias senyum, meski suaranya
terlihat lebih bersemangat dari biasanya. “Tetapi, kalau aku
sih, pilih Klayar.”
Ada tekanan yang kurasakan lain dari perkataan: tetapi,
kalau aku sih, pilih Klayar. Seperti sebuah pemaksaan
terselubung.

om
“Gimana yang lain? Jaka, Azhar, Fahira?” Nania menatap
.c
kami satu persatu.
ot
sp

“Aku udah pernah ke Srau dua kali,” kata Azhar. “Klayar


ogl

belum pernah. Jadi, meski Srau juga keren, automatically


.b
do

aku pilih Klayar.”


in
a-

“Aku setuju sama Azhar,” sahut Jaka. “Denger-denger


k
ta

presiden SBY juga lebih suka Klayar. Jadi aku pilih itu aja,
s
pu

siapa tahu tuah presiden hinggap ke aku.”


“Yeee, siapa juga yang minat milih kamu jadi presiden.”
Nania terbahak. “Kamu, Fa?”
“Aku … Aku belum pernah dua-duanya,” ujarku, agak
malu. Sesungguhnya, Pacitan memang benar-benar daerah
yang asing untukku. Tetapi, tekanan suara Anton itu seperti
sebuah isyarat yang dia lemparkan kepadaku. “Tetapi, aku
kayaknya lebih tertarik dengan Klayar.”
Aku melihat kelegaan membayang di wajah Anton.

118
“Oke, belok ke Klayar, Piir-Sopiiir!” Teriak Nania.
“Pir-sopir, emang aku sopirmu?” Rutuk Anton. Sepertinya
mendumel. Tetapi aku melihat selapis senyum tersembunyi
di sudut bibirnya.
“Lha, emang kamu sopirnya, kok!” bandel Nania. “Ayolah
Piiir! Tancaaap gaaas!”
Rasa tak enak menjalariku. Sebenarnya, aku lebih
nyaman jika mencari mobil rental dengan sopir profesional
yang dibayar dengan tarif semestinya. Paling tidak, dengan
cara seperti itu, aku tak perlu merasa terlalu berhutang budi
pada Anton.
Tetapi, Anton sendiri yang ngotot untuk menggunakan
om
mobilnya dalam ekspedisi kali ini. Alasannya, mobilnya
.c
ot

sangat cocok untuk melewati medan Pacitan yang setelah


sp
og

kulihat dengan mataku sendiri memang sangat menantang


l
.b

itu. Selain itu, ada seabrek peralatan standard pecinta alam


do

yang akan sangat diperlukan, termasuk juga peralatan


in
a-

nge-camp jika mendadak mereka membutuhkan, sudah


k
ta

tersimpan manis di sebuah box yang dipasang di atas mobil.


s
pu

Tipe mobil Anton memang sudah disesuaikan sebagai mobil


para pecinta olah raga lintas alam. Rodanya bertipe 4WD—
four wheel drive, sehingga memungkinkan untuk melewati
semua medan, termasuk jalan licin, tanjakan terjal, atau jalan
berlumpur. Aku tak tahu, berapa persis harga mobil Anton,
tetapi pastinya sangat mahal. Kabarnya, Anton memang
berasal dari keluarga kaya raya.
Ketika berbelok menuju jalur pantai, jalan menurun
curam, namun terkadang juga menanjak secara tajam.

119
Semakin terasa berat, karena kondisi jalan belum sepenuhnya
sempurna. Perut kian terkocok. Untungnya, perjuangan
berat untuk tidak muntah itu akhirnya terbayar. Aku terpana
melihat bentang alam yang terpampang di depanku. Mulutku
sesaat terbuka. Oh, aku sedang berada di mana? Benarkah
Indonesia memiliki pantai seindah itu.
Ketika jalan mulai menurun, kulihat hamparan laut
yang sangat biru. Di atas laut, langit yang juga sangat
bersih masih menampakkan kebiruannya yang sempurna.
Pasir putih menghampar, sementara rekahan-rekahan batu
karang membentuk sebuah dekorasi beraneka ragam. Kami
semua turun dari mobil, dan merasakan angin sejuk bertiup

om
mengibarkan segala yang terlewati. Kata Nania tadi, pantai-
.c
pantai di Pacitan, siang bolong pun tak terasa panas, karena
ot
sp

banyak pepohonan tumbuh subur, serta dikelilingi bukit-


og

bukit batu gamping.


l
.b
do

“Sini, Fa!” panggil Nania, yang kini berjalan mendaki


in

sebuah bukit karang. Aku berlari mengejar Nania, dan kini


ka-

aku melihat dengan jelas terowongan di bawah karang


ta
s
pu

tersebut. Kuambil kamera DSLR-ku dan sesaat kemudian


aku tenggelam dalam kesibukanku memotret lanskap. Tafon,
blow pipe, laguna, hingga ikan-ikan kecil dan ubur-ubur yang
berkejaran di sela-sela bebatuan, tak luput dari jepretanku.
Seekor kepiting yang sedang berlari di atas pasir putih,
kujepret dengan kamera ponsel, lalu kukirimkan gambar itu
ke Anita.
<Mr. Crab berlari ketakutan dikejar debt collector>
Iseng aku mengetik di keypad.

120
Tak berapa lama, balasan Anita datang. Gambar sepotong
burger. Ada tulisan tak kalah isengnya.
<Meski kokinya kabur ke Pacitan, Crusty Crab’s tetap
buka>.
<Aiiih, tuh ada temenmu datang. Si plankton.>
<Teman gue kan eloo!>
Keasyikanku chatting dengan Anita terusik, ketika Azhar
mendekatiku. “Sst, ingin tahu, bagaimana gaya Anton kalau
sedang patah hati?”
“Patah hati?” tanyaku, bingung.
“Tuh!”

om
Jari lelaki itu mengarah kepada sosok Anton yang tengah
.c
duduk dengan kedua tangan memeluk lutut. Kepalanya lurus
ot
sp

menatap ke depan, ke laut dan langit, yang sama-sama mulai


og

memantulkan teja jingga.


l
.b
do

“Anton selalu gila melihat laut. Apalagi laut di kala senja.


in
a-

Dia pasti akan kumat romantisnya. Senja di pantai akan


k
ta

membuat dia jadi penyair gadungan. Jadi, jika dia termangu


s
pu

seperti itu, berarti ada sesuatu tak mengenakan yang tengah


menimpanya.”
“Mungkinkah karena dia masih berduka cita akibat
meninggalnya sang oma?” tebakku.
Azhar menggeleng. “Aku kurang tahu. Tetapi kalau doski
muram kayak gitu, alamat bakal sering uring-uringan. Jadi,
kudu siap menerima ledakan-ledakan amarahnya.”
Pandanganku mengarah pada lingkungan di sekitar
Anton. Apa yang kira-kira telah membuat Anton terlihat

121
sangat sedih? Pasir, batang-batang pohon kelapa, dan …
sebuah yang warung kosong, dengan atap genting yang
ambruk sebagian.[]

om
.c
ot
sp
og
l
.b
do
in
a-
k
sta
pu

122
10
Jasper

T oko Pusaka dan Benda Mulia Ki Gunadi Hantayudha.


Begitu tulisan yang terpajang di sebuah ruko yang
ot
.c
om
terletak di tepi jalan besar kota Punung. Sebagai kota yang
menjadi pintu gerbang memasuki Jawa Timur bagian selatan,
sp
og

Punung termasuk ramai, dan mungkin lebih ramai daripada


l
.b

kota Pacitannya sendiri yang sepi, dan cenderung tertinggal


do

dibandingkan dengan kota-kota lain di Jawa Timur yang


in
a-

sebenarnya termasuk provinsi terpesat kemajuannya di


k
ta

negeri ini. Apalagi, Punung lebih dekat dengan Baturetno,


s
pu

kota di daerah Wonogiri yang juga cukup besar. Juga lebih


dekat dengan Yogyakarta dan Solo.
Banyak wisatawan dari luar Pacitan, bahkan juga luar
Jawa Timur, yang melewati Punung, namun memutuskan
tak sampai ke kota Pacitan. Bisa dimengerti, beberapa objek
wisata andalan, seperti Gua Gong, Pantai Klayar, Pantai
Watukarung dan Pantai Srau, terletak di bagian barat Pacitan.
Masih harus menempuh belasan kilometer untuk sampai ke
kota Pacitannya sendiri.

123
Ruko itu sendiri sangat bagus untuk ukuran Rinanti yang
kesehariannya terbiasa berbalut kesederhanaan. Bangunan
modern, dua lantai, berkeramik ornamen batik jawa, serta
dinding bercat warna coklat muda. Beberapa kusen terbuat
dari jati, dengan ukiran-ukiran yang indah. Lantai satu
dipenuhi etalase serta almari-almari kaca. Di lantai dua,
ada dapur kecil, kamar mandi dan satu ruang kamar berisi
dipan kecil dengan kasur yang sangat empuk. Terutama jika
dibandingkan dengan kasur kapuk di kamar rumahnya.
Selain itu, ada juga kamar yang selalu terkunci rapat—
kata Darma, salah seorang pegawai di toko itu, hanya Gunadi
yang memiliki kuncinya. Kamar itu berisi barang-barang

om
jualan yang telah diisi tuah. Untuk melayani benda-benda
.c
bertuah itu, pembeli harus bertemu langsung dengan Gunadi.
ot
sp

Akan tetapi, setelah Gunadi mengantarnya ke toko itu dan


og

berpamitan untuk bersemadi—entah sampai kapan, Gunadi


l
.b
do

mengeluarkan kunci itu dan menyerahkan ke Rinanti.


in

“Jangan kau buka kamar itu jika tak terlalu penting,”


ka-

pesan Gunadi, dengan suara seperti biasa, berat, datar, dan


ta
s
pu

wajah nyaris tanpa ekspresi. “Barang-barang di dalam kamar


itu hanya boleh dibeli oleh para pelanggan.”
Gunadi pun menyerahkan sebuah kertas yang sudah agak
lecek. Ada sebaris panjang nama, ada sekitar 30-an. Pasti
bukan Gunadi yang menulis, karena lelaki itu buta huruf.
Mungkin itu tulisan rekan bisnis suaminya.
Kemegahan toko, ramainya pengunjung, serta silih
berganti dering telepon, mendadak membuat Rinanti tersadar,
betapa Ki Gunadi Hantayudha ternyata sangat terkenal di
area itu. Betapa selama tujuh tahun, sebenarnya dia telah

124
dinikahi seorang yang dianggap sebagai sosok yang mampu
membalikkan keadaan: dari miskin menjadi kaya, hina dina
menjad sukses mulia, sakit menjadi sembuh, lemah menjadi
gagah perkasa … dan sebagainya.
Sementara, selama tujuh tahun ini, bahkan tak satu pun
harapan-harapan indahnya terejawantah. Bahkan, setiap
hari dia harus menggali liang lahat, dan memasukkan satu
persatu asa, untuk kemudian menguburnya. Hatinya telah
menjadi areal pemakaman yang sunyi sepi dan penuh
rintihan kepedihan.
Ada sekitar lima puluh keris terpajang dengan indah di
etalase. Pertama kali memasuki ruko dan melihat label harga
om
yang terpajang, Rinanti terbeliak. Keris termurah ada pada
.c
kisaran lima juta rupiah. Batu-batu mulia yang ada ternyata
ot
sp

tak hanya akik. Ada juga ruby, safir, ametyst dan entah apa
og

lagi … nama-namanya terasa asing, yang Rinanti yakin tak


l
.b
do

semua batu-batu itu berasal dari Pacitan. Harga batu-batu


in

itu pun membuat Rinanti nyaris pingsan. Satu cincin akik


a-
k

termurah, harganya sekitar seratus ribu rupiah. Sementara


sta
pu

keuntungannya berjualan kelapa muda sehari paling hanya


berkisar dua puluh lima ribu rupiah.
Betapa kaya sang suami! Sebuah kenyataan yang kian
membingkasnya pada sebuah ketidakpahaman, mengapa
sang suami hampir tak pernah memberinya nafkah. Bahkan,
untuk membangun warung kecil, peralatan dan barang-
barang dagangan yang nilai totalnya hanya sekitar dua atau
tiga juta rupiah, Rinanti harus merengek kepada bapaknya.
Sudarto berhasil mendapatkan uang itu dengan menjual satu-
satunya sapi yang mereka miliki.

125
Lamunan Rinanti terhenti, ketika tatapannya hinggap pada
sebuah mobil jeep hijau metalik yang merapat di halaman
toko. Dua anak muda dengan pakaian khas pelancong turun
dan masuk ke toko sembari bercakap-cakap dengan suara
keras. Logatnya seperti anak-anak muda yang sering Rinanti
lihat di adegan sinetron televisi.
“Lo mau akik jenis apa?”
“Apalah, yang penting jangan yang ada isinya. Gue nggak
berani. Yang benar-benar batu akik biasa aja.”
“Isi, isi roti kali? Coklat, stroberi, daging?”
“Nggak, gue denger, cincin akik, atau batu-batu mulia
kayak amethyst, bisa lho diisi tuah. Bisa untuk kekebalan,
om
nguatin wibawa, pengasihan atau malah pesugihan. Nah,
.c
ot

gue nggak mau yang kayak gitu.”


sp
og

“Lo serius? Lah, knapa malah nggak mau? Bukannya


l
.b

malah seru, tuh?”


do
in

“Gue mau jadi orang biasa-biasa aja. Yang sukses karena


a-
k

usaha dan kerja keras. Yang disegani orang karena gue emang
sta

karismatik, atau dicintai cewek karena gue emang ganteng.”


pu

“Jiaaah, ganteng gaya Kali Ciliwuuung!”


Dua lelaki itu membuka pintu kaca toko, lalu berhambur
ke etalase demi etalase. Meski hanya berdua, suara ribut
memenuhi semua penjuru.
“Jo, sini! Ada keris keren banget! Harganya, sama dengan
jatah uang saku gue selama tiga bulan. Mantap! Lihat, ini
keris yang dipakai para prajurit Mataram saat bertempur
melawan pasukan Belanda di Batavia.”

126
“Gue pengin keris yang bisa terbang sendiri mendatangi
perut lawan, jadi gue nggak perlu berkelahi lebih dulu kalau
ada musuh, cukup baca sim salabim abra kadabra.”
Suara tawa mereka terdengar membahana.
Darma, pegawai di toko tersebut, yang selalu
menggunakan seragamnya dengan rapi: sebuah blangkon,
baju batik model gunting china, dan celana komprang,
mendekati mereka dengan wajah kurang senang. “Maaf,
mas-mas … ini toko sakral. Jangan membuat keributan di
sini. Bersikaplah tenang, dan jangan mengeluarkan suara
kecuali yang diperlukan.”
Suara Darma yang tegas berwibawa, entah karena pada
om
dasarnya dia berwibawa, atau karena pengaruh tuah pada
.c
ot

cincin akik yang ada di jari manis tangan kirinya, membuat


sp

kedua pengunjung itu seketika terdiam.


og
l
.b

“Eh, sorry!” ujar lelaki yang dipanggil Jo itu.


do
in

“Anda membutuhkan apa?” tanya Darma.


a-
k

“Hm… gue cari liontin batu amethyst, pacar gue yang


sta

pesan.”
pu

“Mau yang diberi tuah?” tanya Darma.


“Tuah apaan?”
“Misalnya, tuah yang membuat pacar Anda kian men-
cintai Anda.”
“Ah, bener, tuh?” Mata Jo membulat, sementara teman-
nya, mendengar penjelasan Darma, menggeser posisinya
mendekati mereka. Telinganya menyimak seksama.
“Benar. Itu namanya tuah pengasihan.”

127
“Apa, isinya sejenis jin?” tanya teman si Jo.
“Itu energi yang dipancarkan dari semesta. Untuk mengisi
dengan tuah itu, Ki Gunadi Hantayudha harus mengisinya
dengan jampi-jampi mantra selama berhari-hari. Kian lama
diisi, kian bertuah benda itu,” jelas Darma.
Rinanti yang diam-diam mengamati percakapan itu me-
nyibak anak-anak rambutnya yang jatuh ke wajah. Makin
lama mencerapi, kini dia makin memahami, apa sebenarnya
yang telah dilakukan suaminya di saat menyepi. Helaan
terdesah dari ventilasi napasnya. Berarti, kasak-kusuk bahwa
suaminya adalah orang pintar, memang betul adanya.
“Berapa harga amethiyst yang pakai tuah, dan berapa
yang nggak?” tanya Jo. om
.c
ot

“Yang biasa harganya cuma seratus ribu, Mas. Yang pakai


sp
og

tuah, tergantung. Kalau yang paling murah, ada yang hanya


l
.b

lima ratus ribu.”


do
in

“Mana contoh batu mulia yang pakai tuah?” Jo tampak


a-

sangat tertarik. “Ini penting. Gue ngerasa bahwa pacar gue


k
sta

udah semakin jauh. So, gue kudu pakai trik ini kayaknya.”
pu

“Disimpan di ruang khusus. Tapi, karena mas ini bukan


pelanggan tetap, sementara majikan saya, Ki Gunadi sedang
tidak ada, kami dilarang menunjukkan benda itu kepada
sampean.”
“Yaaa, penonton kecewa, dooong!”
“Alaah, Lo, Jo! Nggak usah lebay,” ujar temannya tadi.
“Kalau Lo pengin si Selly dekat ama Lo, ya kasih lah perhati-
an lebih. Jangan kerja dan backpacking melulu. Trus, yang
lebih penting lagi, Lo segera lamar doski. Jangan ngegantung.

128
Umur Selly udah lewat seperempat abad. Bagi seorang gadis,
itu masa-masa kritis. Kalau Lo segera lamar, trus kalian nikah,
pasti kalian akan dekat, nggak usah pakai tuah-tuah segala.”
Jo tertawa lebar. “Masuk akal juga penjelasan Lo. Emang
sih, gue udah punya maksud kayak gitu. Terlalu lama
pacaran, juga nggak asyik. Pengin segera nikah. Haha. Eh,
jadi gue pesen yang nggak pakai tuah aja, deh Mas! Tu, itu
tuh! Liontin amethyst yang warnanya hijau cerah, cakeeep.”
“Gue juga mau, yang akik putih itu, Bang!”
Darma sibuk melayani, sementara pikiran Rinanti
menerawang entah kemana. Dia baru tersadar tatkala
Darma mendatanginya dengan barang-barang yang dipilih
pelanggannya. om
.c
ot

“Tolong buatkan notanya, Bu!” ujar Darma dengan sangat


sp
og

hormat kepada Rinanti.


l
.b

“I-iya, Darma….”
do
in

Sesaat tatapan Rinanti terhenti pada batu amethyst


a-
k

berwarna hijau cerah itu. Ada sebuah dorongan yang


sta

membuat jemarinya mendadak mengelus benda itu.


pu

Tanpa tuah, benda itu sudah sangat indah. Kekuatan rasa


yang normal, akan membuat siapa saja merasakan hawa
kedekatan saat dihadiahi benda tersebut. Kebeningan kristal
itu, akan mengumpulkan segenap kerinduan pada pasangan
yang saling mengasihi. Mungkin, saat seseorang menatap
batu mulia itu, pantulan kerinduan yang tersimpan, akan
membuat seseorang itu seperti menemukan obat. Ya, kristal
itu hanya sebuah simbol.
Jangankan benda seindah amethyst. Bahkan selembar
sapu tangan yang tersimpan rapi di salah satu tumpukan

129
bajunya, dan saat ini bahkan dia bawa dan menetap di tas
kumal miliknya, juga mampu menyimpan energi rindu itu.
Sapu tangan yang beberapa bulan silam diberikan seseorang
kepadanya untuk membalut luka di jemari kakinya.
Wajah Rinanti memanas.
“Berapa semua, Mbak?” tanya Jo.
“Dua ratus ribu, Mas!” jawabnya, lirih.
Jo menyerahkan dua lembar uang ratusan ribu, yang
diterima dengan tangan yang tak bertenaga dari Rinanti.
Sebuah rasa yang bergejolak kuat di hati Rinanti, seperti
telah menyedot semua energi dalam dirinya. Ada rasa yang
miris, saat Rinanti membayangkan Jo menyerahkan benda itu
om
kepada kekasih yang akan menjadi istrinya. Kian terpukul,
.c
ot

bahwa seumur hidup, Gunadi tak pernah melakukan itu


sp
og

kepadanya. Ironisnya, benda-benda yang berada di toko itu,


l
.b

semua adalah milik lelaki yang menikahinya itu.[]


do
in
a-
k
sta
pu

130
11
Kalsit

K etika kami akhirnya berkumpul di dekat warung kosong


tempat Anton duduk terpekur dan tak juga bereaksi
ot
.c
om
meski kami menggelar tikar dan duduk di dekatnya, entah
siapa yang memulai, mendadak ide itu keluar dari kepala
sp
og

Azhar. “Eh, biar aroma karst menyambang dan bercampur


l
.b

dalam aliran darah kita, bagaimana kalau malam ini kita nge-
do

camp di sini aja? Di pantai Klayar? Besok pagi, baru kita ke


in
a-

Pacitan, ngurusin izin penyusuran Luweng Jaran.”


k
ta

Reaksi dari para anggota ekspedisi beragam. Nania, tepat


s
pu

seperti yang kuduga, spontan meloncat-loncat girang. “Aku


mau siapkan jaring terkeren buat menjala sunrise. Setuju
sama kamu, Zar. Tumben kamu punya ide cerdas!”
“Bermalam di sini?” Jaka garuk-garuk kepala. “Sebenarnya,
aku sih sudah kepikiran untuk segera ke penginapan dan
mandi sebersih-bersihnya. Jujur, ya… sudah dua hari aku
nggak mandi….”
“Jakaaaaa!” Nania berteriak histeris. “Pantesan, sejak
tadi, pas di mobil aku ngerasa kayak mencium bau terasi
gosong.”

131
Jaka nyengir. “Demi aroma terasi gosong yang kian
menguat, aku rela bermalam di sini,” ujarnya kalem, sambil
membaringkan tubuh di atas hamparan pasir yang masih
menyisakan kehangatan. Dia sengaja tak duduk di atas
tikar, bahkan dengan isengnya melepas sepatu, menggulung
celana jeans sampai lutut, dan mengubur kakinya dengan
pasir putih.
Aku tercenung bingung mendengar usulan-usulan ajaib
itu. Anak-anak pecinta alam, kata teman-teman memang
sangat menyukai spontanitas. Dalam benakku sendiri sudah
terpetakan rencana untuk segera pergi dari pantai, mencari
penginapan dan beristirahat dengan nyaman setelah seharian

om
melewati perjalanan darat yang menurutku lumayan berat
.c
itu.
ot
sp

“Kalau mau nge-camp, jangan di Klayar,” suara Anton


og

terdengar. Saat dia menoleh ke arah kami dan aku mencoba


l
.b
do

membaca sinar wajahnya, mendadak aku menyadari, bahwa


in

apapun pendapatku dan yang lain, pasti tak akan mampu


ka-

menentang apa yang menjadi kemauannya. Baiklah, asal


ta
s
pu

bukan untuk sesuatu yang buruk, tampaknya aku harus


berdamai dengannya, tak peduli betapa tidak setujunya aku
dengan niat camping yang sebelumnya tidak kami rencanakan
itu. Sebagai seorang yang selalu merencanakan segala sesuatu
dengan matang, aku sangat membenci spontanitas.
“Kamu ada ide, Ton?” tanya Azhar.
“Aku? Banyak dong, ide. Tapi yang jelas aku nggak mau
bermalam di Klayar. Tanpa sepotong senja, Klayar tak lagi
menduduki tempat di hatiku.”

132
“Lho, senja bertebaran di atas sana, Ton!” kata Azhar.
“Tetapi, sepotong senja yang terindah, telah digunting
seseorang dan dibawa pulang. Ketika aku datang ke sini, aku
hanya menjumpai sebuah langit yang bolong.”
Ucapan Anton membuatku terpaksa memikirkan sesuatu,
mereka-reka maksud lema yang terlontar dari bibir tipis itu.
Mengkaitkan dengan kesuraman wajahnya. Apakah Anton
sebenarnya ingin menjumpai seseorang di pantai ini, dan
ternyata dia tidak mendapatkan sosok yang ingin ditemuinya
itu?
“Tumben kamu romantis, Ton.” Nania terkekeh. “Tapi,
aku tetap tak rela meninggalkan Samudra Hindia malam
ini.” om
.c
ot

“Bagaimana kalau kita nge-camp di Srau?”


sp
og

“Oooh, good idea!” teriak Jaka. “Srau enak buat berenang.


l
.b

Bahkan juga bisa buat surfing. Kamu bawa peralatannya,


do
in

kan, Ton?”
ka-

“Dan, merendam tubuh di pagi hari, bergulung bersama


ta
s

ombak, pasti akan membuat bau trasi dalam tubuhmu


pu

menguar sempurna,” ujarku, yang berusaha keras untuk


bisa in-group bersama anak-anak dengan tingkat kecerdasan
naturalis tinggi ini. Jika aku tak segera bisa membangun
kedekatan, misiku bisa hancur berantakan.
Jaka tampak senang melihat aku sudah mulai bisa
‘gaul’. “Fa, di tradisi Tiongkok, makin lama arak disimpan,
harganya akan semakin mahal, rasanya pun akan semakin
gila. Demikian juga, ada sup khusus kekaisaran yang dimasak
sampai ratusan tahun.”

133
“Maksud Lo, bau trasi di badan Lo ini, akan Lo pertahankan
sampai umur ratusan tahun? Oh My Good!” Nania terbahak-
bahak.
“Srau menarik juga. Cuma sekitar 15 kilometer juga dari
sini. Ada jalan lintas lewat pantai sebenarnya. Tapi, nge-off
road di malam hari seperti ini, dalam keadaan tubuh lelah,
sepertinya bukan ide yang menarik. Kalau mau kesana, segera
aja, jangan terlalu malam. Kebetulan aku punya kenalan
orang sana, kita bisa nginep di rumahnya, jadi nggak usah
nge-camp. Kita kudu jaga stamina karena ekspedisi kita di
Luweng Jaran pasti akan menyita energi yang besar.”
Aku setuju dengan usul Jaka, dan berharap Anton
om
menggunakan otaknya untuk tak menolak pendapat sobat
.c
terkentalnya itu. Ternyata Anton mengangguk. Aku mendesah
ot
sp

lega, sekaligus merasakan kengerian ketika kian menyadari


og

betapa pentingnya peran Anton dalam perjalanan ini. Anton


l
.b
do

menjadi penentu segalanya, bahkan sampai pada perkara


in

mereka hendak menginap dimana. Kalau sudah begini, lantas


ka-

apa fungsiku yang berposisi sebagai ketua ekspedisi?


sta
pu

Sabar, Fa, sabar!


“Aku heran, mengapa kau mendadak seperti ingin
menelan Klayar dari episode hidupmu. Bukankah selama ini,
ceritamu tentang Klayar selalu menggebu-gebu. Apalagi senja
di Klayar. Seolah-seolah semua senja telah diperas menjadi
satu, dan saripatinya ditebarkan di bentang alam bernama
Pantai Klayar ini. Is there something wrong?”
Kulihat Anton mendadak gugup mendengar pertanyaan
yang sebenarnya meluncur santai dari mulut Nania. “Bukan

134
urusanmu, Nan. Aku hanya butuh segera meninggalkan
tempat ini.”
“Katakan, jujur, Ton… siapa yang telah membolongi
langit senjamu, dan memasukkannya ke saku celananya?”
desak Nania.
“Well, tak usah berpanjang kata,” sahut Jaka. Sama
seperti aku, Jaka terlihat cemas dengan raut wajah Anton
yang semakin keruh mendengar pertanyaan Nania. “Semakin
cepat kita menemukan tempat untuk tidur, semakin bagus.
Perkecil segala perdebatan tak penting ini, Sobat!”
“Oke, come on! Kita meluncur ke Pantai Srauuuu!” teriak
Nania sembari meloncat ke udara. Dan ceklik, suara kamera
om
DSLR-ku dengan cepat merekam adegan itu. Sebenarnya aku
.c
ot

hanya sedang iseng memainkan kamera yang sebenarnya


sp

punya Fahri ini. Melihat pose antik Nania, dengan cepat


og
l

insting fotografer-ku keluar. Hasilnya mampu membuat


.b
do

Nania nyaris histeris.


in
a-

“Woiii… cakep banget bidikanmu. Gue terlihat seperti


k
ta

sesosok bidadari yang sedang terbang dengan back ground


s
pu

hamparan pantai yang menawan hati.”


“Dan, bidadari itu, sangat layak mendapatkan kehormatan
berupa jaket bau terasi!” Jaka membuka jaketnya, dan
menutupkan ke kepala Nania yang langsung berteriak-teriak
panik dan berlari menjauh. Namun Jaka, dengan jaket di
tangan yang terentang, dengan cepat mengejarnya. Aku tak
sanggup menahan tawa melihat adegan konyol itu. Azhar
juga terbahak-bahak sembari memegangi perutnya.
Namun, wajah Anton tetap datar tanpa ekspresi. Seperti
sesosok arca yang kebetulan bisa bergerak, lelaki itu berjalan

135
tegak—dan angkuh—menuju mobilnya. Menghidupkan
mesinnya. Suara mesin yang meraung-raung, seperti
menggambarkan isi hatinya. Kami pun segera mengemasi
peralatan yang ada, memasukkan ke mobil. Sejurus kemudian,
mobil bergerak menaiki jalan yang menanjak.
Ketika mobil memasuki sebuah perkampungan, kukira ada
sesuatu yang terjadi dengan mobil tersebut ketika mendadak
berhenti. Anton keluar. Oh, bukan untuk memeriksa mesin,
tetapi untuk menatap sebuah rumah di dekat kelokan jalan.
Sebuah yang rumah sangat sederhana.
Dan rumah itu gelap gulita.[]

om
.c
ot
sp
og
l
.b
do
in
a-
k
sta
pu

136
12
Limestone

L ama-lama, Rinanti akhirnya berhasil menyesuaikan


diri di tempat kerjanya. Pada dasarnya, perempuan itu
ot
.c
om
memang memiliki otak secemerlang amethyst. Hal-hal baru
dengan cepat dia serap, dan dengan mudah pula dia hafal.
sp
og

Tak sekadar dihapal, tetapi juga dikaitkan dengan hal-hal lain


l
.b

yang telah terlebih dahulu diketahuinya.


do
in

Sebulan sudah berlalu, Gunadi belum juga pulang,


a-

sementara Toko Pusaka dan Batu Mulia itu kian ramai oleh
k
ta

pengunjung. Pelanggan yang hendak membeli keris atau


s
pu

batu mulia bertuah ternyata hanya tiga orang. Kebanyakan


pengunjung hanya ingin mengoleksi benda-benda biasa.
Lama-lama, Rinanti pun menikmati pekerjaan yang jauh
lebih ringan daripada saat dia berjualan kelapa muda di
Pantai Klayar.
Suatu hari, sebuah mobil sport berwarna putih merapat
di tempat parkir yang cukup luas. Seorang lelaki berusia
awal 30-an, tampak rapi dan terpelajar, lengkap dengan kaca
mata, turun dari mobil. Posisi Rinanti sebagai kasir yang
langsung berhadapan dengan jalan raya memungkinkan dia

137
untuk mengamati semua pengunjung toko. Ternyata, lelaki
itu benar-benar bermaksud mendatangi tokonya.
“Selamat pagi!” sapanya. Hari memang masih pagi. Jam
menunjukkan pukul sembilan, dan toko baru saja buka. Belum
ada pengunjung. Darma sendiri tengah sibuk membersihkan
lantai dua. Sementara, Budi, karyawan lainnya, masih belum
datang.
“Se-selamat pagi,” jawab Rinanti, sedikit gugup.
Lelaki itu tersenyum ramah, dan mendekatinya sembari
merapatkan dua telapak tangannya dan mengangkat ke dada.
Ketika sudah sampai di depan meja kasir, dua telapak tangan
yang menyatu itu di dekatkan ke arah Rinanti. Sangat santun.
om
“Saya Hilman, Bu. Anda pasti Bu Rinanti, istri Pak Gunadi
.c
ot

Hantayudha, ya? Saya langsung bisa mengenali Anda.”


sp
og

“B-bagaimana bisa?”
l
.b

“Pak Prawira Kusuma memberikan foto Anda kepada


do
in

saya.”
a-
k

“Pak Prawira Kusuma?”


sta
pu

“Saya keponakan beliau. Pak Prawira Kusuma sedang


sibuk mengurusi bisnis batu baranya di Kalimantan. Maka
sayalah yang ditugaskan mengurusi toko pusaka ini.”
Rinanti langsung tanggap. Dia bangkit, dan meraih kursi
kosong yang berada di dekat meja kasir, menggeserkan ke
samping lelaki itu.
“Oh, silakan … silakan duduk, Pak Hilman. Sebentar,
saya buatkan minum.”
“Tak usah repot-repot, Bu Rinanti. Saya baru saja sarapan
di Punung tadi. Masih kenyang sekali.”

138
Rinanti belum pernah menerima tamu seperti Hilman
sebelumnya. Untungnya, sekitar lima tahun mengurusi
warung telah membuat Rinanti tak terlampau canggung
berurusan dengan orang lain. “Jangan begitu, Pak Hilman.
Masak jauh-jauh kesini, cuma disuguhi anggur?”
“Anggur?” Hilman mengerutkan kening.
“Maksudnya, menganggur, tanpa suguhan apapun.”
Hilman tertawa kecil, dan tampak langsung merasa cocok
dengan Rinanti yang ramah dan santun.
“Dar, Darma!”
“Njeh, Bu!”

om
“Tolong dibuatkan minum buat Pak Hilman, ya?”
.c
“Njeeeh….”
ot
sp

Hilman kembali tertawa kecil. “Bagaimana kondisi toko


og
l

ini, ramai, Bu?”


.b
do

“Sebentar, sebentar… jadi Pak Hilman ini sehari-hari


in
a-

tinggal di mana?”
k
ta

“Saya di Jakarta, Bu.”


s
pu

“Tapi, kok mobilnya … AD?”


“Oh, itu mobil pinjaman dari rental. Saya naik pesawat,
turun di Solo.”
“Oh, begitu. Alhamdulillah, ramai juga tokonya. Banyak
yang berkunjung kesini. Kebanyakan dari kota-kota yang
cukup jauh. Heran, ya … padahal, toko ini kan masih baru.
Belum terkenal. Dari mana mereka tahu?”
“Saya memang memasang iklan di beberapa koran dan
majalah, Bu. Saya juga membuat website khusus untuk toko
ini.”
139
“Ww-eb sait, apa itu?”
Senyum Hilman kembali merekah.
Lelaki ini sungguh sangat murah senyum, bisik hati
Rinanti sambil mencoba membayangkan sosok suaminya.
Namun, yang muncul di layar batinnya justru sosok anak
muda itu. Anak muda berambut gondrong acak-acakan yang
sapu tangannya masih tersimpan di tumpukan bajunya….
Hilman membuka tas ranselnya, meraih sebuah benda
berwujud kotak tipis terbungkus semacam dompet hitam.
Rinanti pernah melihat benda semacam itu. Banyak di antara
tamunya saat membuka warung di Pantai Klayar, memilih
duduk di atas tikar, menikmati kelapa muda sembari sibuk
om
di depan benda bernama laptop itu. Dengan kagum, Rinanti
.c
ot

menatap jemari Hilman yang memencet beberapa tombol.


sp

Sekitar beberapa menit kemudian, Hilman mengangsurkan


og
l

laptop itu kepada Rinanti.


.b
do

“Ini websitenya, Bu.”


in
a-

Sebuah tampilan yang didominasi warna biru muda.


k
sta

Gambar Pantai Klayar, Gua Gong, keris-keris, tombak serta


pu

dan batu-batu mulia menghiasi layar. Ada juga gambar


Gunadi menggunakan pakaian Jawa yang rapi: blangkon,
kain batik, beskap, dan keris di belakang. Anehnya, wajah
Gunadi terlihat bersih dan tampan, meski tetap dengan
kumis dan brewoknya yang lebat. Ah, seandainya setiap hari
Gunadi terlihat serapi itu….
“We-we-we toko pusaka com …,” eja Rinanti. “Ini
semacam apa, Pak Hilman?”
“Ini internet, Bu. Orang yang ingin tahu tentang toko ini
serta barang-barang dagangan, bisa melihat dari sini.”

140
“Oh … pantas pengunjung di sini banyak. Apa banyak
orang di dunia ini yang suka dengan batu mulia?”
“Lha, buktinya yang belanja batu mulia di sini ramai,
kan?”
“Bukan karena … menginginkan kehidupan yang lebih
baik dengan tuah itu?”
Wajah Hilman berubah serius. Dia mengangkat
kepalanya, menatap Rinanti. “Bu, maaf … saat berencana
mendirikan toko ini dengan bekerja sama dengan Pak
Gunadi, saya menganjurkan kepada Pak Prawira Kusuma,
agar yang dijual di sini tidak hanya benda-benda bertuah.
Tetapi juga keris-keris, tombak, panah, dan batu-batu mulia
om
biasa. Meski agak keberatan, Pak Prawira Kusuma setuju.
.c
ot

Apakah benda itu laku?”


sp
og

“Maksudnya?”
l
.b

“Dibanding benda bertuah itu, lebih laku mana?”


do
in

“Oh, malah lebih banyak yang biasa, Pak. Benda-benda


ka-

khusus itu disimpan di ruang atas. Mas Gunadi wanti-


ta
s

wanti, agar menjual benda itu kepada orang-orang tertentu.


pu

Tetapi, dari ratusan yang beli di sini, hanya tiga orang yang
menginginkan benda bertuah.”
Wajah Hilman menjadi cerah. Senyumnya merekah.
“Malahan, saat ini kami sedang kehabisan batu
kecubung.”
“Amethyst maksud Ibu?”
“I-iya, am-amet-tis. Sudah ada sepuluhan orang yang
mencari. Persediaan batu akik juga sudah mulai menipis.”

141
“Aduh, gimana ini?! Justru amethyst inilah batu permata
yang paling banyak dicari orang selain agate. Batu amethyst
ini memang salah satu batu permata yang khas Indonesia,
meskipun ada juga beberapa negara yang menghasilkan batu
ini. Jadi, wajar saja jika banyak yang mencarinya. Dan agate,
alias akik, itu sangat identik dengan Pacitan. Orang kalau ke
Pacitan, pasti pikirannya langsung tertuju pada batu agate.”
“Sebenarnya kita bisa segera membeli ke perajin akik
langganan Ki Gunadi, Pak,” jelas Darma, yang keluar dari
ruang dalam dengan nampan berisi dua cangkir teh manis.
Asap yang masih mengepul memperlihatkan bahwa Darma
baru saja menyeduh teh dengan air mendidih. Darma memang

om
tak menyukai teh celup. Dia lebih suka membuat teh tubruk
.c
langsung di atas api yang tengah menyala. “Hanya saja, Ki
ot
sp

Gunadi sedang tidak ada di sini. Beliau sedang bersemadi.”


og

“Oh, begitu. Tetapi sampean tahu tempat kerajinan akik


l
.b
do

itu, kan?”
in
a-

“Tahu, Pak.”
k
ta

“Kalau begitu, bisakah saya diantar kesana?”


s
pu

“Bisa, Pak. Kalau bisa malah hari ini, karena ini pas selasa
kliwon. Pusat batu akik ada di Pasar Kliwon. Disebut begitu
karena bukanya setiap kliwon.”
“Jauhkah dari sini?”
“Dekat, kok. Ada di desa Sukodono. Cuma ke timur
sedikit dari Punung.”
“Saya bersiap-siap dulu, ya Pak!”
Rinanti menelan ludah. “Mm… bolehkah saya ikut
kesana? Ada Budi yang bisa menjaga toko ini. Meski saya

142
lahir dan besar di sini, saya belum pernah melihat kerajinan
batu akik.”
Hilman terdiam sesaat, namun buru-buru mengangguk
dan tersenyum. “Oh, tentu… tentu boleh sekali, Bu
Rinanti.”
“Kalau begitu, saya juga bersiap-siap dulu, Pak,” ujar
Rinanti dengan girang. Jarang sekali Rinanti mendapatkan
kesempatan untuk menikmati dunia luar. Rasa girang yang
kuat memancar dari parasnya yang jelita. Matanya yang agak
sipit terlihat semakin jeli. Tatkala dia keluar dengan memakai
rok panjang hitam, baju panjang warna ungu muda dan
rambut yang dibiarkan tergerai, mendadak lelaki bernama
Hilman itu seketika terpana. om
.c
ot

Tak dinyana, istri dukun itu ternyata secantik bidadari.[]


sp
og
l
.b
do
in
a-
k
sta
pu

143
pu
sta
ka-
in
do
.b

144
log
sp
ot
.c
om
13
Moonmilk

J am tujuh malam tepat, mobil Anton berhasil memasuki


lokasi Pantai Srau. Sebenarnya jarak antara Srau dengan
ot
.c
om
Klayar tak terlampau jauh. Tetapi karena jalannya sempit,
dengan kelokan-kelokan maut serta tanjakan dan turunan
sp
og

yang sangat curam, ditambah dengan kondisi sekitar yang


l
.b

gelap, mau tak mau Anton pun mengendarai mobilnya


do

dengan kecepatan sedang hingga lambat.


in
a-

Bulan penuh bertakhta di langit, mencipta benderang


k
ta

pada semesta. Gelombang ombak laut selatan pun terlihat


s
pu

jelas saat mobil melewati jalan yang menurun curam. Suara


deburnya lumayan keras merayap di gendang telinga.
Sebenarnya aku cukup mengkhawatirkan kondisi bulan
purnama. Sebab, tarikan gravitasi bulan akan membuat laut
pasang. Sangat berbahaya jika berada di pantai berombak
besar seperti pesisir Laut Selatan saat tengah pasang. Tetapi,
anak-anak pecinta alam itu seperti tak pernah takut dengan
fenomena alam.
Anwar, kenalan Jaka, menyambut kami dengan suka
cita. Dia adalah seorang lelaki muda dengan kopiah yang

145
terus menempel di kepala. Sikapnya yang religius dan sopan
membuatku tenang, sekaligus bertanya-tanya, darimana Jaka
mengenal lelaki itu. Rumah Anwar tak terlalu besar, tetapi
cukup menampung kami semua. Tampaknya, dia sering
menggunakan rumahnya untuk menerima tamu-tamu yang
ingin menginap di pantai itu.
Srau, Klayar, dan pantai-pantai lain di pesisir Pacitan,
hampir semuanya belum memiliki infrastruktur yang
memadai. Tak ada fasilitas yang memanjakan wisatawan
seperti penginapan atau pun restoran yang cukup memadai,
apalagi hotel berbintang lima dengan aneka daya tarik
pelayanannya. Yang ada hanya deretan warung kecil, tetapi

om
jika malam, warung itu tutup. .c
Padahal, tak kalah dengan Klayar, pantai Srau pun indah
ot
sp

mempesona. Meski hanya disinari cahaya purnama, aku bisa


og

melihat jelas sebuah bentang alam berupa pantai berpasir


l
.b
do

putih yang dipagari karang-karang dengan aneka cekungan


in

nan indah. Ombak terus menerus menciumi karang dengan


ka-

tenaga yang kuat hingga menimbulkan serpihan air yang


ta
s
pu

bertabur bak mutiara.


Setelah mandi, berganti pakaian bersih dan shalat
maghrib sekaligus isya yang dijamak secara jamaah, diimami
Azhar, kami berkumpul di halaman rumah Anwar yang
sangat dekat dengan pantai. Pantai Srau memang lokasinya
sangat berdekatan dengan perkampungan penduduk.
“Sudah makan malam?” tanya Anwar.
“Belum, Mas,” ujar Jaka. “Anu, gini aja Mas… kami mau
beli beberapa ekor ikan untuk dibakar. Juga kalau ada nasi
dan sayur.”

146
“Oh, beres! Masih ada sisa ikan tongkol dan tengiri di
kulkas. Kalau mau, ada juga ayam kampung yang sedang
enak-enaknya kalau mau dipanggang. Mau bakar-bakaran,
ya?”
“Menikmati suasana malam, Mas. Mumpung masih
berada di permukaan bumi,” jawab Jaka lagi, separuh
bercanda.
“Lho, memangnya kalian mau kemana?”
“Mau terjun ke Luweng Jaran, Mas!” Jawab Jaka.
“Penelitian. Tumben ya, aku bikin kegiatan sok ilmiah?
Biasanya sih, cuman iseng aja. Tuh, ngikut kegiatan Bos
Fahira!”
“Sudah izin ke pemkab di Pacitan?” om
.c
ot
sp

“Besok ngurusinya. Tapi Fahira sudah mengontak pemkab


og

sebelumnya, dan mereka sudah mengeluarkan surat izin.


l
.b

Hanya, kami perlu bertemu secara langsung.” Jelas Azhar.


do
in

Pesta malam di tepi laut sungguh sebuah pengalaman yang


a-
k

menakjubkan bagiku, karena terus terang, baru pertama kali


sta

aku mengalaminya. Anwar menggelar tikar, lalu membuat


pu

api unggun. Saat sebagian kayu itu sudah berubah menjadi


bara, tiga ekor ikan tongkol seukuran masing-masing satu
lengan yang sudah dibaluri bumbu dia bakar. Nania yang tak
tahan, segera merebut pekerjaan itu.
“Aku, aku aja yang ngebakar, Mas!” teriaknya. “Yuk, Fa,
perempuan itu kan kodratnya memasak.”
“Oke, siapa takut?” aku tertawa dan mendekat. Meraih
kipas bambu dan mengibat-ngibatkannya di atas bara. Bunga
api memercik, membakar ikan. Bau sedap menguar. Nania
mengambil secuil, memasukkan ke mulut.
147
“Oh, My Good! Rasa rempahnya serasa lumer di mulut.
Baru pernah gue merasakan masakan selezat ini. Oh, seabad
tinggal di Srau pun gue mauuu….”
“Mas Anwar, cariin suami pemuda Srau, tuh, si Nania!”
canda Azhar.
“Nggak ada yang patah hati, kan? Kalau Mbak Nania
dicarikan pemuda sini?” Anwar balas bercanda.
“Ada, Mas,” jawabku. “Tuh, Si Bunga Ilalang.”
“Alamaaak, Fahira. Daripada disuruh ngelamar Nania,
mending gue ngelamar Siti Nurhaliza ajaaa….”
Tepat ketika ikan bakar sudah matang, istri Anwar datang

om
membawa satu bamboo berisi nasi hangat dan satu panci
.c
sayuran. Kami makan seperti satu bulan terjebak di hutan
ot
sp

dan kehabisan bekal makanan. Kulihat Azhar menambah


og

hingga dua kali. Setelah benar-benar kekenyangan, dia pun


l
.b

berbaring di atas pasir putih.


do
in

Aku dan Nania duduk berselonjor menatap laut nan


ka-

temaram. Jaka mengambil gitar dan bernyanyi dengan


ta
s

suaranya yang keras namun fals.


pu

“Suatu hari, di kala kita duduk di tepi pantai… dan


memandang, ombak di laut yang kian menepi….”
Sementara Anton tak terlihat batang hidungnya. Dia
menghilang sejak rombongan sampai di rumah Mas Anwar.
Dia bahkan tak ikut shalat berjamaah.
--o=[]=o--

Adzan subuh berkumandang dari masjid yang berada


di kompleks pantai. Suaranya seperti aku kenali, dan sesaat

148
kemudian aku bisa menebak bahwa itu suara Mas Anwar.
Kutepuk pundak Nania. “Nan, subuh di masjid, Yuk!” bisikku.
Namun meski sudah kupakai segala cara, Nania masih terus
meringkuk di dipannya.
Aku mengangkat bahu, dan akhirnya kutinggal dia
sendiri. Saat keluar dari kamarku, kulihat kamar para lelaki,
Azhar, Jaka dan Anton pun masih tertutup.
“Mau kemana, Dik?” tanya seorang wanita berkerudung
yang usianya sekitar beberapa tahun di atasku, Mbak Aisyah,
istri Mas Anwar.
“Masjid di mana, ya, Mbak?”
“Oh, itu … jalan ke kanan terus aja Dik. Kebetulan saya
sedang datang bulan.” om
.c
ot
sp

“Baik, Mbak. Terimakasih.”


og

Udara sejuk membelai tubuhku saat kubuka pintu depan.


l
.b
do

Aku berjalan sekitar beberapa ratus meter menuju lapangan


in

rumput, sampai kutemukan sebuah masjid. Pohon-pohon


ka-

kelapa tumbuh subur di belakang masjid. Sementara di


ta
s

selatan, pantai terlihat samar-samar di suasana yang remang-


pu

remang. Di ujung timur, benang merah fajar terlihat sangat


jelas.
Ternyata Mas Anwar sangat fasih membaca Al-Quran.
Tetesan air mata membasahi pipiku mendengarkan suara
Mas Anwar membacakan surat Al-Fajr dalam shalat subuh
yang diimaminya. Ketika jamaah selesai, sengaja aku tak
segera beranjak, justru mencoba menikmati suasana subuh
di masjid itu. Mencoba menikmati debur ombak yang terasa
lebih jelas di keheningan pagi. Aku mencoba mencerap

149
aroma pagi, mengumpulkan setiap butir kesegaran, dan me-
neteskan perlahan hatiku yang mulai kerontang.
Berbulan ini, aku benar-benar seperti kesetanan dikejar
berbagai macam target. Mencari referensi untuk memperkuat
metode penelitan, berlatih fisik, mengurus perizinan ke sana
kemari, mempersiapkan peralatan ini dan itu. Saraf-sarafku
tegang. Aku butuh relaksasi.
Dan pagi telah membukakan sebuah tabir, menayangkan
kepadaku sebuah pesona yang alami. Aku duduk bersila
di lantai masjid, menghela napas, satu demi satu. Lantas,
kurasakan ketenangan pelan-pelan menancapkan akar, dan
akar itu membentuk percabangan, merayapi seluruh urat
nadi di tubuhku. om
.c
ot

Setelah berhasil menyatukan lembaran-lembaran hening


sp

dengan detakan-detakan jantung dalam satu irama yang


ogl

damai, aku meraih mushaf Al-Quranku, membaca dengan


.b
do

lirih. Terasa jiwaku menjadi teramat ringan. Saraf-sarafku


in
a-

mengendur, dan mendadak aku merasakan sebuah keriangan


k
ta

tersembur dari lubuk hati. Aku merasa sangat bertenaga. Dan


s
pu

bahagia.
--o=[]=o--

Bulatan matahari yang berwarna jingga, terlihat jelas,


terangkat sedikit demi sedikit di ufuk timur. Aku berjalan
menyusuri pasir putih dengan menjinjing tas kecil berisi
mukena, mushaf, notes dan dompet. Kamera DLSR pinjaman
dari Fahri terkalung di leher. Sesekali aku duduk berlutut,
mencoba mengambil gambar sunrise serta keindahan pantai
dengan teknik pencahayaan minimal. Terkadang, untuk

150
meminimalisir goyangan, karena aku tak membawa tripod,
aku bertiarap di atas pasir yang mulai mengering, meski
semalam pasti pasir itu tersapu ombak yang pasang.
Setelah sibuk memotret, masih dengan kesendirian
di subuh yang sunyi, aku menapaki pasir, menimbulkan
sekian banyak jejak yang teratur. Sesekali, kulihat ubur-
ubur berlarian, seperti sosok yang malu tertangkap basah
melakukan sesuatu. Sebenarnya cukup berbahaya, karena
sebagian dari spesies ubur-ubur itu beracun. Di pintu masuk
menuju lokasi pantai, terlihat jelas papan berisi peringatan:
awas ubur-ubur beracun!
Melihat ubur-ubur yang berlarian, mau tidak mau
om
ingatanku mengarah pada Anita, yang dengan bangga selalu
.c
menjuluki dirinya sebagai SBFC. SBFC versinya bisa bermakna
ot
sp

ganda. Santos-Barcelona Fans Club—karena Anita yang gila


og

bola itu sangat nge-fans dua klub itu. Juga SpongeBob Fans
l
.b
do

Club. Nah, untuk yang kedua ini, tentu memiliki kaitan erat
in

dengan sepenggal pengalamanku pagi ini. Jangan salahkan


ka-

aku jika membayangkan Anita mendadak mencari jaring dan


ta
s
pu

berlarian mengejar ubur-ubur itu sembari berteriak: “Berburu


ubur-ubur!”
Sembari tersenyum geli, aku berjalan kian mendekat ke
pantai, dan kulihat air yang sangat jernih membanjir di mana-
mana. Laut sangat bersih, nyaris tak ada sampah. Ini benar-
benar pantai yang masih sangat alami. Binatang-binatang
laut masih terlihat dengan jelas. Di sela-sela bebatuan kami
bisa melihat landak laut, bulu babi, ubur-ubur, udang hingga
ikan-ikan kecil berukuran sejari. Meski ada peringatan
tentang ubur-ubur beracun, aku nekad menceburkan diri ke

151
laut yang berbatu-batu. Aku berjalan menuju cekungan bukit
karang yang membentuk semacam gua. Batu-batu karang
bertebaran, penuh dengan percikan air sisa pecahan ombak
yang menerjang bukit karang itu.
Hati-hati aku melangkah dari batu karang ke batu karang.
Sampailah aku di cekungan menyerupai gua itu. Mataku
yang awas mencoba menembus cekungan yang rupanya
cukup dalam itu. Mencoba memprediksi, apakah cekungan
ini mungkin menyatu dengan lurung-lurung di perut bumi
lainnya, dan mungkin merupakan salah satu celah yang
terhubung dengan gua-gua lainnya. Sungguh sebuah misteri
yang hingga kini belum terpecahkan.

om
Bentang alam karst Pegunungan Sewu merupakan salah
.c
satu bentang karst yang cukup terkenal di nusantara. Luasnya
ot
sp

sekitar 100 x 40 kilometer persegi. Permukaan karst mungkin


og

hanya gugusan bukit-gunung yang menyatu, membentuk


l
.b
do

sebuah performance alam yang tandus dan sangat tidak ramah


in

untuk flora maupun fauna. Akan tetapi, ratusan, atau mungkin


ka-

ribuan celah dan lurung yang mungkin saling terhubung satu


ta
s
pu

sama lain di perut bumi, sebenarnya merupakan dekorasi


alam yang memukau.
Debur ombak yang kuat mendadak bergulung ke arahku
dengan kecepatan tinggi. Aku terpana, menyadari bahwa
aku tak memiliki tempat untuk berlindung. Seketika aku
melirik kamera DLSR-ku dan dengan panik memasukkannya
ke dalam tas berlapis waterproof tempat mukena. Kudekap
erat-erat tas itu, lalu aku menunduk di balik sebuah karang.
Byuuuuur!!!

152
Ombak setinggi kira-kira 2 meter itu menghantam karang
di depanku. Air memercik membasahi apa yang terlewati.
Tubuhku sendiri terguyur oleh air asin itu. Kurasakan tubuhku
basah kuyup. Lantas ombak kembali normal seperti biasa.
Aku bangkit dengan lega, dan dengan cepat berloncatan
menuju pinggir laut. Aku sendiri yang kurang perhitungan,
rutukku pada diri sendiri sambil nyengir kecut. Tahu laut
masih pasang, nekad mencebur ke air.
Aku berlari kecil menaiki daratan. Di tempat yang cukup
jauh dari air, kujatuhkan tubuhku dan kubiarkan bersentuh-
an langsung dengan hamparan pasir tanpa takut menjadi
kotor. Pasir putih di pantai ini akan ambrol begitu saja saat

om
mengering, tanpa menimbulkan lengket pada tubuh. Berbeda
.c
dengan pasir-pasir halus di sebagian besar pantai yang sering
ot
sp

mendekam dengan awetnya di kelim-kelim baju, begitu sulit


og

dibersihkan.
l
.b
do

Matahari mulai tinggi, dan dengan perkasa membagikan


in

trilyunan panah-panah cahaya ke segenap penjuru bumi.


ka-

Rasa hangat mulai terasa membelai tubuhku yang menggigil


ta
s
pu

kedinginan. Aku merebahkan tubuh, dan mencoba merasa-


kan bagaimana menyatu dengan alam semesta. Kubiarkan
matahari terus mengelus tubuhku. Terasa begitu nikmat…
dan indah. Lepas … bebas!
Ahai … ini sebuah rasa yang megah.
Beginikah rasanya menjadi satu dengan alam? Pantas saja
para pecinta alam itu rela menempuh bahaya, menanggung
resiko yang tak ringan, berpayah-payah, meninggalkan segala
kemapanan. Aku, yang baru saja mencoba menenggelamkan

153
diri saja telah mampu menyecap sensasi yang begitu
bergemuruh. Dan aku mungkin akan kecanduan.
“Daar!” sebuah suara mengejutkanku yang hampir saja
terlelap, saking nyamannya dibelai cahaya matahari. Reflek
aku meloncat bangkit, dan kulihat Nania tertawa terbahak-
bahak. Nania seperti memiliki saraf tertawa yang sangat
sensitif, sehingga selalu bisa tertawa keras meskipun untuk
hal-hal yang menurutku tak terlalu lucu.
“Sudah sampai mana aja, kamu? Jalan pagi nggak ajak-
ajak,” kata Nania.
“Tadi aku ngebangunin dikau, Loh!” bibirku mencebil ke
depan sekitar setengah centimeter. “Tetapi kau seperti baru
om
disulap jadi batu. Jadi, kutinggal sendiri. Aku shalat subuh di
.c
ot

masjid, kemudian mencoba menikmati keindahan sun rise


sp

dan….”
ogl
.b

“Bajumu basah?”
do
in

“Digempur ombak. Kaget sekali. Tadi aku ke sana!” aku


a-

menunjuk ceruk di kaki bukit karang di arah barat. “Lagi


k
ta
s

asyik merenung, tiba-tiba ada ombak setinggi dua meteran.


pu

Aku nggak bisa menghindar. Ya, begini ini jadinya. Untung


kamera nggak rusak.”
“Basah-basahan di pantai sih soal biasa. Tuh lihat di
sana!” Nania menunjuk ke arah laut. Sesosok tubuh kekar
tampak tengah berselancar menggunakan papan ski. Begitu
lincahnya dia mengikuti gerakan ombak yang bergerak
menuju darat. Reflek kuraih tas yang sudah mulai kering
permukaannya. Kuambil kamera DLSR-ku, dan ceklik-ceklik!
Dengan cepat mata dan tanganku bekerja. Puluhan gambar
berhasil kurekam.

154
Di luar dugaan, Nania malah tertawa melihat aktivitas
spontanku.
“Kamu tahu siapa yang sedang berselancar itu?”
“Nggak. Wajahnya nggak terlalu jelas, ketutup ombak
melulu.”
“Itu Anton! Dan aku yakin, Anton tahu bahwa kau
memotretnya. So, siap-siap aja.”
“Siap-siap apa?”
“Siap dia merebut kameramu dan men-delete semua
gambarnya. Anton sangat tidak suka difoto, meski sebenarnya
dia punya tampang jadi foto model, ya?”

om
Wajahku memerah padam. Dan, ternyata betul. Mengikuti
.c
dorongan ombak, Anton menuju ke darat, lalu mengempit
ot
sp

papannya dan berjalan ke arah kami.


og

“Apa yang kamu lakukan?” tanyanya keras, dengan


l
.b
do

tatapan tajam kepadaku.


in
a-

“A-aku….”
k
ta

“Sini kameranya!” Anton merebut DSLR-ku. Dan


s
pu

tepat, seperti apa yang dikatakan oleh Nania barusan, dia


menghapus semua foto yang kujepret barusan.
“Ini!” setelah memastikan bahwa semua gambar terhapus,
dia sodorkan kembali kamarenya kepadaku. “Jangan sok jadi
cewek ganjen, ya!” dengusnya.
Sekali lagi, aku merasa harga diriku telah berhasil dia
cabik-cabik seenaknya.[]

155
pu
sta
ka-
in
do
.b

156
log
sp
ot
.c
om
14
Nanocrystalline

S ikap Anton ternyata begitu sulit kulupakan. Rasa sakit


masih begitu menyandra logikaku. Ingat, aku anak
ot
.c
om
bungsu. Meski aku terbiasa hidup mandiri, aku juga penuh
dengan limpahan kasih sayang dan kemanjaan. Sikap
sp
og

Anton telah membuat aku merasa jengkel setengah mati.


l
.b

Dan agar bom ini tidak meledak, sepanjang perjalanan aku


do

memilih diam. Kusumpal telingaku dengan earphone, dan


in
a-

kujejali organ olfaktoriku dengan musik-musik kesukaanku.


k
ta

Lumayan, sedikit membantu.


s
pu

Untuk melakukan penelitian, karena Luweng Jaran


belum dibuka untuk umum, kami harus mengurus perizinan
di pemerintah kabupaten di kota Pacitan. Untungnya, semua
berjalan lancar. Nama Pak Aryadi ternyata cukup dikenal,
karena beliau termasuk salah seorang ilmuwan yang wara-
wiri memasuki Luweng tersebut. Anton pun, karena telah
beberapa kali melakukan caving di sana, ternyata mengenal
petugasnya lumayan baik.
Disebut Luweng—bukan gua, karena entrance—pintu
masuk menuju lurung di perut bumi Pacitan Barat itu

157
berbentuk vertikal, sehingga untuk memasukinya, kami harus
menuruninya dengan tali. Total ketinggian hampir mencapai
lima puluh meter. Tetapi aku tak perlu khawatir, latihan fisik
selama sekitar tiga bulan telah membuat aku merasa lebih
kuat.
Usai mengurus perizinan, kami kembali ke barat, diantar
oleh seorang petugas menuju basecamp di desa Jlubang,
kecamatan Pringkuku. Sepanjang perjalanan, petugas itu
asyik berbicara, dilayani dengan sangat bersemangat oleh
Nania dan Azhar. Jaka yang kecapean, ngorok di jok sudut
belakang. Anton menyetir, seperti biasa dengan wajah dingin
dan cuek. Sesekali dia menimpali obrolan, namun selanjutnya

om
diam. Karena tak ingin melewatkan obrolan itu, aku melepas
.c
earphone dan mencoba mengoptimalkan kedua telingaku
ot
sp

untuk menyimak sedetil mungkin obrolan mereka.


og

“Jadi, berapa sih sebenarnya, panjang Luweng Jaran


l
.b
do

itu, Pak?” tanya Nania. “Kok versinya beda-beda, ada yang


in

katanya cuma 18 kilometer, ada yang bilang 30 kilometer.


a-
k

Nggak ada yang mengkorupsi jarak, kan, Pak?”


sta
pu

Aku nyengir mendengar pilihan kata Nania yang selalu


nyentrik itu.
“Jadi gini sejarahnya, mbak…,” ujar petugas dari
Pemkab Pacitan, Pak Hadi namanya. “Meski Luweng itu
sudah ditemukan sejak tahun 1984, belum ada yang berani
melakukan penjelajahan. Sampai kemudian, pada tahun
1987, ada tim ekspedisi Anglo-Australia yang mengajukan izin
ekspedisi di dalam. Jadi, meski ada di Pacitan, keperawanan
gua itu diambil orang bule.” Pak Hadi terkekeh. “Nah, pada
ekspedisi itu, mereka mencatat bahwa panjang gua itu 11

158
kilometer. Baru pada penjelajahan kedua, tahun 1992,
direvisi bahwa panjang gua mencapai 19 kilometer. Tetapi,
pada penjelajahan 2002, terbukti bahwa panjang gua ini
mencapai sekitar 30 kilometer.”
“Ya begitulah… Indonesia ini punya potensi gua-gua
yang luar biasa. Tapi kurang memiliki penjelajah bermental
baja,” ujar Azhar.
“Aku protes, aku protes!” rajuk Nania. “Lihatlah aku,
Zar… aku nggak hanya bermental baja. Tapi baja tahan karat!
Stainless steel. Tahan panas, hujan dan angin puting beliung!
Kalau nggak percaya, silakan ceburkan aku di tanur. Tanur
hatimu!”
om
“Lebur dong kamu jadi lelehan bubur besi,” ledekku,
.c
ot

tak tahan dengan diksi yang mengkilik-kilik hati. Baru


sp

kusadari, meski tampang berantakan dan tampak tak pernah


og
l

serius kuliah, anak-anak pecinta alam ini ternyata puitis dan


.b
do

nyastra.
in
a-

“Biarlah… akan kusuapkan bubur besi itu untuk sarapan


k
ta

pagimu.”
s
pu

Azhar terbahak. Nania cengar-cengir. Aku angkat bahu,


Joko tetap ngorok. Namun Anton seperti menanggapi dengan
sangat serius.
“Sebenarnya bukan masalah mental. Banyak sekali para
caver di Indonesia yang sangat pemberani. Hanya, harus
dibedakan, bahwa menjelajah gua-gua perawan itu tidak
sama dengan menyerahkan nyawa secara sia-sia alias bunuh
diri,” ujarnya, dingin.
“Maksudmu?” tanya Nania.

159
“Yeaah… harus ada perhatian yang serius kepada para
caver. Kesukaan mereka dengan tantangan, harus diimbangi
dengan pelatihan-pelatihan, penguatan skill, serta peralatan
yang memadai. Karst di Indonesia hampir 15 juta hektar
luasnya. Dihuni oleh puluhan juta penduduk. Sekilas karst
itu sama sekali tak menarik, karena hanya semacam bentang
alam yang gundul, gersang dan tandus. Tetapi, perut bumi
alam karst menjanjikan pesona yang luar biasa, yang jika
digarap dengan baik, akan menjadi objek pariwisata yang
mengagumkan. Nyatanya, berapa persen sih, gua yang sudah
terkelola dengan baik?”
“Maksudmu, pemerintah kudu menyisihkan dana yang

om
cukup untuk upaya-upaya caving, gitu?” tanya Nania.
.c
“Wah, mataku langsung ijo kalau udah bicara soal duit,”
ot
sp

kata Azhar.
og
l

“Bukan hanya soal duit. Tetapi perhatian. Dan aksi


.b
do

nyata. Luweng Jaran ini, sudah sejak 1987 diteliti. Tetapi


in
a-

hingga sekarang, masih ditutup buat umum. Masih begitu


k
ta

banyak hal-hal misterius dan mistik yang mendominasi. 30


s
pu

kilometer, kalau dibikin paket wisata gua, pasti menarik para


wisatawan berkantong tebal, tuh! Ekonomi masyarakat di
sekitar bentang alam karst bisa terangkat. Kalau wisawatan
datang, rumah makan, penginapan, usaha handicraft dan
sebagainya bisa terangkat. Wisata ke Planet Mars yang masih
di awang-awang aja sudah pada bikin mereka tergiur,” ujar
Anton.
“Aku nggak terlalu sepakat jika eksploitasi gua untuk
wisata itu hanya sekadar untuk mengeruk duit,” ujarku.
“Keseimbangan alam kudu diperhatikan. Ingat, bagi

160
lingkungan karst, gua sangat penting untuk penjagaan sistem
hidrologi. Gua juga menjadi habitat dari flora dan fauna,
yang berperan penting dalam berbagai proses esensial.”
“Waaah, ibu ilmuwan mulai bicara,” celetuk Nania.
“Justru itu!” Anton tak mau kalah. “Objek Wisata yang
ditawarkan kudu memiliki standard operational procedure
tertentu. Dalam satu titik, para pecinta alam dan ilmuwan
itu sejatinya nggak memiliki perbedaan pendapat. Kita klop!
Gua kudu diselamatkan dari kerusakan. Ingat prinsip seorang
caver sejati?”
“Take nothing but picture, leave nothing but footprint,
kill nothing but time!” jawab Nania cepat.
om
Azhar bertepuk tangan. “Nania lulus Pendas—pelatihan
.c
ot

dasar sesie teori!”


sp
og

“Jiaaah, menghina. Gue udah level ahli, tahu … bukannya


l
.b

pendas!”
do
in

--o=[]=o--
ka-
ta

Di basecamp, kami disambut oleh base camper. Willy


s
pu

yang bertubuh jangkung, dengan tubuh yang tampak sangat


kuat dan gesit, serta Dadan, bertubuh pendek, gempal, tetapi
tak kalah gesit dibandingkan rekannya. Keduanya sangat
ramah, dan sepertinya sudah sangat mengenal Anton. Aneh,
bertemu dengan mereka berdua, Anton yang sejak kemarin
pemurung dan uring-uringan, mendadak berubah periang
dan gembira.
“Besok pagi aja kita mulainya, ya? Semua peralatan dan
perbekalan sudah siap, kan? Kita membutuhkan waktu sekitar
tiga hari untuk menjelajah di bawah sana!” ujar Willy.

161
Dadaku bergemuruh. Ada sesuatu yang aneh menyelusup
di rongga benakku. Tiga hari itu untuk survey normal.
Jadi, kalau ditambah dengan penelitian, mungkin akan
memakan waktu hingga satu minggu atau lebih. Aku tak bisa
membayangkan, bagaimana rasanya berada di tempat yang
sunyi-senyap, gelap abadi—acintyacunyata. Memang, untuk
survey, kami tidak menginap di dalam gua. Saat sore, kami
akan kembali, dan datang lagi esoknya. Tetapi, saat sudah
mulai melakukan inventarisasi fauna, mungkin kami akan
berhari-hari di dalam sana.
“Semua sudah siap,” ujar Anton.
“Boleh saya mengecek peralatan kalian?” tanya Willy,
om
sambil menatap tumpukan barang-barang yang kami bawa.
.c
“Jika ada peralatan yang kurang, nanti bisa meminjam punya
ot
sp

kami.”
og
l

Anton mengangguk. “Tentu, Willy! Eh, bagaimana


.b
do

ekspedisi tim kamu ke karst Pegunungan Lorentz? Seru,


in
a-

ya?”
k
ta

“Sangat-sangat ajaib! Nanti ya, lain waktu aku ceritakan,


s
pu

atau aku tulis di blog-ku.”


“Mantaaap! Kalau membaca posting-postingmu di
blog, aku jadi mupeng berat, dan rasa-rasanya ingin segera
meninggalkan bangku kuliah keparat itu untuk segera
bergabung dengan kalian.”
“Haha, Ton, Anton! Lo kan anaknya orang kaya. Bikin aja
biro jasa travelling khusus backpacker. Atau kalau Lo minat,
garap tuh, seluruh potensi-potensi perut bumi agar di masa
depan ada semacam objek wisata perut bumi yang digarap

162
massif. Kalau perlu, dibikin hotel dan resto di perut bumi
yang berhubungan langsung dengan gua-gua karst alami,”
celetuk Dadan sembari menyiapkan peralatan untuk SRT—
Single Rope Technique, salah satu sistem penyelusuran gua
vertikal semacam Luweng Jaran.
SRT ini adalah sistem selusur dengan menggunakan tali
tunggal. Dengan dada yang tetap bergemuruh, akibat rasa
cemas yang mendadak memenuhi seluruh persendianku, aku
mengamati peralatan itu. Peralatan individu seperti ascender,
descender, sit harness, foot loop, safety link, karabiner, chest
harness, hingga helmet dengan headlamp; perlengkapan tim
seperti tali-temali, webbing sampai sistem anchor. Aku tak

om
hapal satu persatu. .c
“Jangan lupa, ya … perbekalan pribadi untuk sekitar tiga
ot
sp

hari, termasuk makanan! Untuk perbekalan pribadi, saya


og

tak bisa mengeceknya, nanti dianggap melanggar HAM,”


l
.b
do

canda Willy. “Oya, sudah berlatih fisik, kan?” Mungkin


in

karena ada laporan dari Anton bahwa akulah satu-satunya


ka-

anggota tim yang belum berpengalaman, secara khusus


ta
s
pu

Willy menatapku.
“Ya, Mas,” jawabku, mencoba bersikap tenang. “Lari pagi
setiap pagi 5 kilometer, bersepeda, angkat beban. Sebelum
ini juga sudah berlatih SRT dengan tim. Pakai sarana panjat
dinding di kampus.”
“Yang akan kita hadapi nanti, bukan lagi sekadar dinding
mainan. Tapi, asal itu dijalani dengan tenang, tak ada
masalah.”
--o=[]=o--

163
Hari menjelang senja ketika sebuah mobil memasuki
kawasan basecamp. Dua orang lelaki, ditemani petugas
yang sama dengan yang mengantar kami tadi siang, yaitu
Pak Hadi, turun dari mobil, lengkap dengan carrier bag besar
yang tampak berat dan berbagai peralatan.
“Hai, saya Deddy, dan ini Tom. Mana yang bernama
Fahira Azalea?”
Aku mengerutkan kening. Siapa Deddy, siapa Tom?
“Saya Deddy Brajamusti, teman Aryadi saat kuliah di UK
dulu. Saya mengambil P.Hd jurusan Geologi di sana. Daaan,
kebetulan sekali, saya sedang membuat penelitian tentang
speleologi Luweng Jaran. Sudah tiga kali saya dan Tom,
om
mahasiswa saya ini, turun ke Luweng Jaran. Kemarin, Aryadi
.c
ot

menelepon saya, bilang bahwa mahasiswanya, Fahira hendak


sp

melakukan penelitian di Luweng Jaran. Nah, mumpung ada


ogl

teman, saya pun segera meluncur kesini.” Deddy menyebut


.b
do

sebuah kampus swasta di Solo sebagai instansi tempat dia


in
a-

bekerja.
k
ta

“Saya yang bernama Fahira, Pak!” ujarku, setelah


s
pu

mengonfirmasi dengan menelepon Pak Aryadi. Memang


betul, Deddy Brajamusti, bujangan gaek yang sangat tergila-
gila pada batu-batuan alami itu adalah teman satu kampus
Pak Aryadi saat kuliah di Oxford University.
“You keren, baru mahasiswa S1 sudah berani mengambil
penelitian sulit macam ini. Mahasiswa S2 saja belum tentu
berani melakukan penelitian beresiko dengan mengubur
diri di gua yang masih perawan. Nah, kalau Tom ini, adalah
mahasiswa geologi paling cemerlang di kampus saya.”

164
Sebuah dengusan kecil terdengar oleh telingaku, namun
mungkin tak didengar oleh kedua lelaki yang kini sibuk
berbincang-bincang dengan para basecamper. Aku menoleh.
Anton. Wajah lelaki itu tampak sangat keruh.
“Kenapa kamu nggak bilang-bilang kalau mengajak
bandot tua itu!” ketusnya.
Aku menggigit bibir. Anton tak suka dengan dua orang
itu. Semoga tak ada masalah yang terlalu serius.[]

om
.c
ot
sp
og
l
.b
do
in
ka-
ta
s
pu

165
pu
sta
ka-
in
do
.b

166
log
sp
ot
.c
om
15
Onyx

M obil SUV putih itu meluncur dengan lincah di


atas jalanan yang penuh dengan kelokan. Sekitar
ot
.c
om
seperempat jam kemudian, mobil telah memasuki area Pasar
Kliwon di desa Sukodono, Kecamatan Donorojo. Bursa batu
sp
og

akik di pasar tersebut termasuk ramai, meskipun kata orang-


l
.b

orang, setelah krismon, pasar akik mengalami kelesuan, dan


do

hingga kini kejayaan akik belum bisa diperoleh kembali.


in
a-

Rinanti terpesona melihat ribuan batu agate—alias akik


k
ta

dipajang dalam aneka rupa. Kebanyakan dalam bentuk


s
pu

cincin. Namun ada juga yang berbentuk liontin, juga butiran


bebas. Selain akik, ada juga batu-batu mulia lainnya seperti
kecubung, alias ametis yang berwarna hijau, ungu, biru, atau
coklat transparan, seperti kaca. Ametis dibentuk menjadi
gelang, anting-anting, liontin, juga cincin. Ada juga safir,
topaz, ruby, dan sebagainya. Sebagian, tampaknya tidak
dihasilkan dari Pacitan, tetapi didatangkan dari daerah lain.
Batu akik sendiri, ternyata juga memiliki nama-nama
khusus. Konon nama itu ditentukan dari warna, alur serat

167
serta kejernihannya. Seorang pedagang akik memanggil
Rinanti, dan menawarkan sebuah batu akik dengan serat dan
garis seperti madu. “Ini akik sulaiman, Bu! Monggo, hanya
seratus ribu!”
Ada juga yang uratnya seperti air, disebut batu Akik
Yahman. Selain itu ada Akik Yahman Bungur, Akik Rambut
Cendana, Akik Pancawarna—karena memiliki lima warna,
Akik Badar Asem dan sebagainya. Semakin bagus warna,
kejernihan dan urat-uratnya, harga akik akan semakin
mahal.
Darma mengantarkan mereka pada seorang wanita usia
setengah baya, bertubuh gemuk, berpakaian batik, rambut
om
disanggul dan terlihat menor dengan bedak tebalnya. “Den
.c
Nganten Hartiningsih, ini Pak Hilman, dari Jakarta. Keponakan
ot
sp

Pak Prawira Kusuma. Dan ini Ibu Rinanti Hantayudha, istri


og

Ki Gunadi Hantayudha.”
l
.b
do

“Ealaaah, njanur gunung kadingaren. Pagi-pagi sudah


in
a-

dapat tamu agung. Pak Prawira Kusuma sudah pernah kesini.


k
ta

Ternyata keponakannya ini begitu ganteng dan gagah. Ki


s
pu

Gunadi juga wara-wiri ke sini, dan baru tahu kalau istrinya


cantik sekali seperti amoy. Eh, bener toh, dengar-dengar, istri
Ki Gunadi itu keturunan Putri Campa zaman Prabu Brawijaya
dulu?”
Rinanti tersenyum canggung menyambut keluwesan
perempuan bernama Hartiningsih itu. Sebutan Den
Nganten—kependekan dari Raden Nganten sebenarnya
tak bisa semudah itu disematkan. Raden Nganten biasanya
melekat pada seorang Raden Ajeng—sekelas puteri para
bupati zaman dulu, yang menikah dengan seorang Raden

168
Mas. Tetapi melihat penampilan Hartiningsih yang terlihat
ningrat, mungkin juga dia memang benar-benar seorang
Raden Nganten.
Pelan Rinanti menerima uluran telapak tangan
Hartiningsih. Mereka berjabat erat. Namun Rinanti tahu,
sepasang mata Hartiningsih diam-diam menelisik hampir
seluruh titik di badannya. Tak luput, dari ujung kaki hingga
ujung rambut. Tatapannya seperti seorang pedagang
permata yang sedang menaksir batu-batu mulia yang akan
dibelinya. Mungkin dalam hati, dia sedang menakar-nakar,
apa sebenarnya kelebihan perempuan udik seperti Rinanti,
sehingga terpilih menjadi istri Gunadi. Tetapi, siapa sih,

om
sebenarnya Gunadi itu? Bukankah dia hanya seorang lelaki
.c
yang tak pernah sekolah dan karenanya buta huruf?
ot
sp

“Ngg… anu, Den Nganten Hartiningsih, kami kehabisan


og

batu kecubung dan akik. Kata Darma, suami saya biasa


l
.b
do

beli di sini,” kata Rinanti, mencoba berinisiatif menjawab


in

perkataan Hartiningsih, karena Hilman yang terlihat tak


ka-

terlalu menguasai bahasa Jawa tampak bingung dengan


ta
s
pu

bahasa Hartiningsih.
“Wooo, iya, itu. Untuk jatah Ki Gunadi, setiap bulan
saya siapkan dua ratus akik dan seratus kecubung. Tetapi,
kadingaren—ndak seperti biasanya, kok jatah Ki Gunadi tak
juga diambil. Tapi tetap saya simpan di rumah, kok. Mungkin
Ki Gunadi sedang sibuk. Ternyata betul, to. Yang datang
malah sampean.”
Rinanti sengaja tak mengabari ikhwal kepergian Gunadi,
karena sang suami memang mewanti-wanti agar dia
merahasiakan kemana dia pergi, kecuali pada orang-orang

169
tertentu. Hilman adalah bagian dari mereka, jadi Rinanti
cukup tenang saat menyampaikan kegiatan spiritual yang
sedang dilakukan suaminya.
“Kalau begitu, sebaiknya sampean berdua rawuh saja ke
rumah saya. Tak jauh kok dari sini. Monggo! Biar lapak saya
ini ditunggui karyawan saya. Ris, Daris!”
“Inggih, Den Nganten!” seorang lelaki kurus berkacamata
mendekat.
“Saya mau pulang mengantar Jeng Rinanti dan Pak
Hilman. Kowe jaga di sini dulu, ya?”
“Inggih, Den Nganten….”

om
Rumah Hartiningsih tak seberapa jauh dari Pasar Kliwon.
.c
Sebuah rumah joglo yang indah. Lantainya tersusun dari
ot
sp

batu pualam, sedangkan dindingnya disusun dari batu-batu


og

gamping yang telah dimodifikasi sedemikian rupa. Kayu


l
.b

jati yang diukir dan divernis juga menghias sudut-sudutnya.


do
in

Tampak betul bahwa Hartiningsih adalah salah seorang


a-

penguasaha batu permata yang sukses.


k
ta
s

Di samping rumah joglo itu terdapat bangunan yang


pu

memperlihatkan kesibukan beberapa karyawan yang


tengah mengasah batu-batu permata. Rinanti senang,
karena justru pada bangunan itulah dia dan Hilman diajak
Hartiningsih. Ternyata di situlah proses pembuatan batu akik
berlangsung. Suara bising generator terdengar bergemuruh.
Sekitar enam pekerja tampak sibuk dengan urusan masing-
masing. Seorang lelaki tampak sedang memotong-motong
sebongkah batu agate ukuran besar menjadi ukuran-ukuran
kecil menggunakan alat pemotong khusus. Di sampingnya,

170
pekerja yang lain mengasah batu yang telak dipotong-potong
itu dengan amplas dan serbuk intan. Batu yang tadinya kasar,
melalui proses yang lama, lewat ketelatenan para pekerja,
berubah menjadi sangat halus dan indah.
“Jadi, proses pembuatan batu akik itu seperti apa, Bu?”
tanya Hilman, yang karena kagok dengan panggilan Den
Nganten, lebih senang menyebut Hartiningsih dengan
panggilan ‘Ibu’.
“Wah, proses yang panjang, dan butuh kesabaran. Permata
itu simbol keindahan, Mas. Karena itu, proses pembuatannya
pun membutuhkan sebuah seni tersendiri. Ketulusan
tersendiri. Keindahan batu permata itu unik, karena justru
om
dihasilkan dari alam yang tampaknya tak menjanjikan apapun
.c
selain kegersangan dan ketandusan. Tetapi, ya itulah… Gusti
ot
sp

ora sare, Tuhan tidak tidur. Di tengah pegunungan gamping


og

dan kapur seperti ini, di tengah alam yang tandus, Pacitan


l
.b
do

ternyata surganya batu-batuan yang indah.”


in
a-

“Bukan hanya batu-batu mulia, kan Bu… saya dengar,


k
ta

pantai-pantai dan gua-gua di Pacitan juga sangat menarik,”


s
pu

kata Hilman.
“Wah, Pak Hilman ini belum pernah ke pantai, ya? Bisa
lho, nanti saya antarkan ke Pantai Klayar, dekat rumah kami
itu, Pak,” ujar Rinanti.
“O, iya, rumah Ki Gunadi dan Jeng Rinanti kan memang
dekat sekali dengan pantai. Kata Ki Gunadi, cuma beberapa
kilometer, begitu, ya?”
“Sekitar tiga kilometer, Den Nganten!”

171
“Nah, tuuuh kan, dekat sekali. Kalau sudah melihat
keelokan pantai-pantai di Pacitan, rasanya pantai-pantai lain
jadi berkurang keindahannya.”
Hilman tersenyum tipis.
--o=[]=o--

Rinanti menata batu-batu permata itu di etalase khusus


dengan riang gembira. Batu-batu mulia itu nilainya hampir
sepuluh juta rupiah. Hilman yang membayar batu-batu itu
dengan setumpuk uang yang masih berbau khas. Mungkin
uang itu baru keluar dari bank, atau malah dari percetakan.
Yang jelas, seumur hidupnya, Rinanti baru pernah melihat

om
uang sebanyak itu. .c
“Mbakyu, boleh ya, saya panggil Mbakyu? Kalau Ibu
ot
sp

kok kayaknya terlalu tua. Umur sampean berapa, ya?” tanya


og

Hilman, yang tampak asyik mengamati sebuah keris.


l
.b
do

“Saya… dua puluh enam.”


in
a-

“Lho, malah tua saya kalau begitu. Aku sudah mau


k
ta

tiga puluh. Tapi, tampaknya saya nggak pantes ya, kalau


s
pu

memanggil Dik.”
“Wah, apa saja, lah … Pak Hilman. Soal panggilan ndak
perlu diributkan.”
“Ngg … gini, Mbak Rinanti, kemarin saya mendapatkan
pesan dari Pak Prawira Kusuma, untuk membawakan
beberapa keris dan batu yang sudah diisi tuah. Ada klien Pak
Prawira Kusuma yang membutuhkan. Pak Prawira Kusuma
juga ingin menghadiahi koleganya beberapa batu yang sudah
diisi tuah.”

172
Darma yang tengah menyapu berhenti sejenak dan
menatap Hilman dengan pandangan aneh. Entah apa yang
mendadak dia pikirkan. Namun selanjutnya, seperti tak
pernah terjadi apa-apa, lelaki itu kembali meneruskan
kegiatannya.
“Bolehkah saya melihat koleksi benda-benda bertuah
itu? Sebenarnya, jujur ya, Mbak Rinanti… saya ndak terlalu
mempercayai hal-hal semacam itu. Tetapi, ini bisnis. Pure,
bisnis.” Hilman tertawa. “Para bos itu sangat percaya hal-hal
klenik semacam ini.”
“Saya… saya sendiri terus terang lebih senang jika tak
berhubungan dengan benda-benda bertuah itu. Saya takut.
om
Juga…,” Rinanti tak meneruskan ucapannya. Namun sebaris
.c
rasa nyeri terasa menikam ulu hatinya. Bukankah karena
ot
sp

sibuk bersemadi dan mengisi tuah, suaminya hampir tak


og

pernah sekalipun memberikan perhatian padanya.


l
.b
do

“Juga apa, Mbak Rin?”


in
a-

“Mmm … saya … saya bukan orang yang mengerti


k
ta

agama. Hanya saya takut, ketika orang-orang akhirnya lebih


s
pu

mendahulukan kepercayaan kepada tuah itu daripada kepada


Allah SWT.”
“Nah, itu dia! Tapi, ya sudah… ini semua di luar kuasa
kita. Pelan-pelan, kita harus meyakinkan, bahwa tanpa diberi
tuah, keris-keris ini, tombak-tombak ini, batu-batu ini, sudah
sangat mempesona. Apalagi pusaka-pusaka yang memiliki
nilai sejarah. Harganya sangat tinggi. O ya, kapan saya
diizinkan untuk melihat koleksi bertuah itu?”
“Sekarang juga bisa.”

173
Rinanti meraih kunci dari kotak besi yang ada di laci
mejanya. Lalu dia naik ke lantai kedua, diikuti oleh Hilman.
Sementara, dari belakang Darma menatap mereka dengan
pandangan aneh. Seperti cemas. Atau was-was.
Seperti yang diucapkannya, Hilman hanya mengambil
dua buah keris dan tiga batu akik bertuah. Darma tampak
lega melihatnya, dan bahkan dengan senang hati membantu
Hilman membungkus benda-benda itu dan memasukkan ke
tasnya.
Jam empat sore, Hilman berpamitan. Dia ingin
melanjutkan perjalanan ke Pacitan dan berencana menginap
di sana.
--o=[]=o-- om
.c
ot
sp

Malam menyerbu tanpa melewati senja, karena gulungan


og

awan hitam telah dengan sadis mematikan janin jingga dan


l
.b
do

menggagalkan proses kelahirannya. Tetapi, Rinanti memang


in

sudah tak terlalu memikirkan senja. Begitu hari beranjak


a-
k

petang, dia menutup semua pintu dan jendela, lalu beranjak


sta

ke ruangan pribadinya di lantai atas.


pu

Jam delapan malam, dia terlelap diiringi irama campur


sari dari radio yang lupa dia matikan. Pukul dua belas malam,
mendadak terdengar keriuhan dari sebelah. Awalnya, dia kira
hanya bagian dari mimpi buruknya. Dia bermimpi berlayar
bersama Gunadi menggunakan sebuah perahu kecil. Semula,
laut begitu bersahabat. Namun di tengah samudra, badai
menyergap dan nyaris menenggelamkan perahu mereka.
Tetapi, ribut yang saat ini dia dengar, tak mirip suara
badai. Lebih mirip suara pintu yang dibanting dan benda-

174
benda yang seperti tengah dilemparkan dengan kuat. Suara
bergedebuk berbaur dengan denting beling terbanting. Seperti
linglung, Rinanti bangkit dari dipannya, duduk sesaat dan
mencoba menajamkan pandangan. Suara ribut itu terulang
lagi. Seperti orang linglung, Rinanti berjalan pelan menuju
pintu, dan mendorong daun pintu kayu jati itu perlahan dan
sebuah pekikan lirih terlontar dari mulutnya.
Sesosok tubuh berdiri dengan wajah murka di depan
pintu ruangan yang terbuka. Pintu ruang pusaka dan batu
bertuah. Barang-barang berserak, porak-poranda. Lemari
yang terguling, etalase yang pecah, piring-gelas yang telah
remuk, kursi yang patah, gorden yang sobek, dan … tangan

om
penuh darah. Tangan lelaki itu. .c
“Mas… Mas Gunadi?”
ot
sp

Lelaki dengan tubuh kusut penuh debu dan kumis jenggot


og
l

yang sangat lebat itu mendadak memberosot. Jatuh terduduk,


.b
do

lalu menelungkup. Ada isak tertahan yang terdengar lirih.[]


in
ka-
ta
s
pu

175
pu
sta
ka-
in
do
.b

176
log
sp
ot
.c
om
16
Polje

S epanjang malam, Deddy Brajamusti, sang P.Hd itu terus


saja berceloteh di depanku dan teman-teman yang mulai
ot
.c
om
terkantuk-kantuk usai menyantap hidangan malam di ruang
depan basecamp. “Tahukah kalian, bahwa wisata gua itu
sp
og

ternyata wisata paling keren sedunia, bahkan sejak zaman


l
.b

dahulu kala. Yang pertama kali menjadikan gua sebagai


do

objek wisata adalah Kaisar Habsburg, Francis I. Saat itu beliau


in
a-

mengunjungi Gua Adelsberg di Yugoslavia. Selanjutnya,


k
ta

wisata-wisata gua banyak dilakukan oleh kalangan aristokrat


s
pu

dan pengusaha kaya. Nah, dengan pengemasan yang baik,


mestinya wisata gua saat ini bisa dijual jadi wisata untuk
kalangan the have.”
Nania, meski matanya sudah lima watt, ternyata masih
menyisakan ide uniknya. “Nggak Pak Deddy, menurut aku,
yang pertama kali berwisata di gua justru para manusia
purba, semacam Homo neanderthalensis atau bahkan
Phytecanthropus erectus.”
“Hahaha, bisa aja you, Nania… eh, you anak biologi, ya?
Tahukah you, apa itu troglobite alias troglobion?”

177
“Apa hubungannya sama sangobion, Pak?” Nania garuk-
garuk kepala. Itu bahasa tubuh dari Nania yang menunjukkan
dia sudah sampai pada derajat kepenatan akut dan tak ada
yang bisa menyembuhkan kecuali tidur. “Satu familia, ya?”
“Aduuuh, you ini gimana sih? Kalau you mahasiswa saya,
sudah saya kasih nilai D. Troglobion itu jenis hewan yang
hidupnya seratus persen di goa. Karena mereka selamanya di
gua, mereka pun mengalami proses adaptasi. Hewan-hewan
di sana buta, tetapi punya indra peraba yang sangat kuat. Daur
hidup mereka berlangsung sangat lamban. So, troglobion
itu banyak yang umurnya panjang. Ikan-ikan troglobion
misalnya, ada lho yang umurnya sampai 60 tahun.”

om
“Wah, malah bisa jadi indikator pernikahan abadi, tuh,
.c
Pak!” celetuk Azhar. “Kalau seorang suami istri masih tetap
ot
sp

bertahan dalam rumah tangga sementara ikan itu sudah


og

mati, berarti mereka sukses membina keharmonisan rumah


l
.b
do

tangga.”
in
a-

“Berarti pas di gua nanti, kita bisa ambil sepasang ikan


k
ta

troglobion, ntar kusimpen dan aku kadoin buat suamiku


s
pu

kelak,” ujar Nania, cengengesan. “Aku akan bilang sama dia,


awas, jangan sampai ikan ini mati mendahului salah satu di
antara kita!”
“Konyol kau, ah! Kalau aku sih, ikatan pernikahan tak
tergantung pada panjang umur si ikan, tetapi panjangnya
daftar belanjaan si istri!” Jaka ngakak.
“Apa hubungannya?” tanyaku.
“Makin panjang daftar belanjaan, makin singkat
umurnya!”

178
“Haiyah, kagak mau keluar modal, Eluuu!” Nania
mencibir ke Jaka.
Aku tahu, mereka sebenarnya sudah memprotes ceramah
panjang si P.Hd. Tetapi Pak Deddy benar-benar keterlaluan.
Dia tetap saja bicara panjang lebar tentang bentang alam karst.
Payahnya, dari apa yang dia paparkan itu, sebagian besar aku
sudah tahu. Bahkan mungkin hapal di luar kepala.
“Di Pegunungan Sewu ini, ada tipe karst yang unik, yaitu
berbentuk pipa huruf U. Nah, karst itu kan berasal dari darat,
lalu masuk ke laut. Letak keunikannya, karena dari ujung
pipa itu keluar air tawar, padahal ujung pipa itu berada di
tengah laut yang berair asin. Di antara air asin, mendadak
menyembur air tawar. Unik, kan?” om
.c
ot

“Nah, kalau ada kapal lewat, nggak usah repot-repot ke


sp

darat, tinggal ambil air tawar di sana,” cengir Nania. Semakin


og
l

tinggi derajat kantuknya, semakin ngaco ucapannya. Aku


.b
do

melempar pandangan ke arahnya dan tersenyum geli. Nania


in
a-

mengedipkan mata sebelah kepadaku.


k
ta

“Kenapa sih, dinamai sebagai bentang alam karst?”


s
pu

pertanyaan Azhar sedikit serius.


“Sampai sekarang, belum ada definisi yang tepat untuk
menjelaskan kata karst,” jelas Pak Deddy. “Yang jelas, kata
karst ditujukan untuk sebuah bentang alam yang tersusun
atas limestone atau batu gamping. Tetapi, jangan salah! Karst
itu bukan sekadar gunung gamping. Karst memiliki dua jenis
tampilan, yakni eksokarst, yang yang terdapat di permukaan
tanah seperti bukit dan gunung. Dan juga endokarst, yakni
yang berada di bawah permukaan, seperti gua-gua, danau

179
atau sungai bawah tanah, dan sebagainya. Yang jelas, ciri
kas dari karst adalah permukaan yang sangat kering, namun
ternyata terdapat kandungan air yang melimpah di dalam
perut bumi. So, penyedotan air tanah untuk mendapatkan
suplai air, sebenarnya merupakan sebuah rencana yang
bagus, tetapi tentu saja dengan tetap menjaga keseimbangan
lingkungan.”
Aku menguap panjang, yang dengan cepat kututup
dengan tanganku. Diam-diam aku nyengir ketika melihat
Nania, Jaka dan Azhar ternyata telah terlelap di kursi masing-
masing. Anton sendiri dengan cuek menggelar matras di sudut
ruangan dan tertidur pulas. Aku memutuskan untuk pamit

om
undur diri secara baik-baik, dan beranjak ke ruang khusus
.c
perempuan sambil menyeret Nania yang menggelendot
ot
sp

manja di pundakku.
og

--o=[]=o--
l
.b
do
in

Akhirnya pagi datang. Shalat subuh berjamaah dilakukan


a-

di ruang depan basecamp. Imamnya tetap Azhar, si Bunga


k
sta

Ilalang. Yang menakjubkan, kali ini Anton ternyata ikut


pu

bergabung dalam jamaah. Bahkan usai shalat, dia menyuruh


kami semua duduk melingkar. Lalu dengan suara pelan dia
berbicara.
“Ingat, kita akan berada dalam sebuah lingkungan di mana
segala sesuatu hanya tergantung pada-Nya. Jika gua mendadak
ambruk, tak ada tempat untuk menghindar. Jika mendadak
banjir, kita bisa terkurung dan tenggelam, lalu mati kehabisan
napas. Memasuki lurung demi lurung membutuhkan sebuah
keberanian tersendiri. Juga solidaritas dan kekuatan tim.

180
Hilangkan segala bentuk keegoisan, keinginan menang
sendiri, dan ketamakan. Alam telah mengajari kita untuk
melakukan sesuatu sesuai proporsinya.”
Lalu Anton menyuruh Azhar memimpin doa. Dan saat
membacakan doa itu, aku baru percaya bahwa si Bunga
Ilalang ini memang benar-benar alumni pesantren. Doanya
panjang, bahasa arabnya fasih, bahkan aku yang rajin
mengikuti pengajian di masjid kampus pun tampaknya kalah
fasih.
Setelah semua ritual pagi selesai, para lelaki menge-
check and recheck kembali peralatan dan perbekalan tim.
Aku bersyukur, memiliki tim ekspedisi yang sangat detil dan
om
berpengalaman. Menceburkan diri di perut bumi selama
.c
berhari-hari tentu tak bisa dilakukan serampangan. Harus
ot
sp

dengan pertimbangan yang sangat matang.


og
l

Para perempuan, yakni aku dan Nania mempersiapkan


.b
do

makanan pagi. Nasi goreng dengan sosis dan telur ceplok


in
a-

menjadi pilihan sarapan pagi yang cukup praktis. Selain satu


k
ta

teko kopi panas dan sepiring nuggets ayam. Porsinya lebih


s
pu

dari biasanya, karena kami pasti membutuhkan energi yang


ekstra. Dan ajaib, masing-masing dari kami menghabiskan
lebih dari satu piring. Bahkan Jaka, dengan tak malu-malu,
makan hingga tiga piring.
“Ini kalian yang pada kelaparan, atau nasi gorengnya
yang enak?” canda Nania.
“Bukan, Nan… diam-diam kita semua pada cemas.
Kondisi seperti ini rentan membuat perut merasa dua kali
lebih lapar,” analisisku, ngawur.

181
“Semua sudah siap?!” seru Anton.
“Siap!”
Willy dan Dadan memandu kami hingga ke entrance
alias mulut Luweng Jaran. Kostum kami sudah melekat.
Cover all warna merah ngejreng, sepatu boot hingga lutut,
sarung tangan, helm, headlamp, dan cave pack yang tahan
air dan sebagainya. Perbekalan seperti makanan, minuman,
baterai cadangan, senter, lampu karbit dan peralatan lain
sudah kami kemas dengan rapi. Kami pun siap turun ke pitch
pertama dan kedua Luweng Jaran. Sebelum itu, tentu aku
berfoto-foto dulu. Dan saat aku mengirim fotoku ke Anita,
dengan cepat gadis itu berkomentar: kamu mirip petugas
pemadam kebakaran. om
.c
ot

Willy dan Dadan sibuk menyiapkan peralatan SRT.


sp

Kulihat sebuah pohon yang cukup besar menjadi tempat


ogl

pemasangan main anchor, dengan back up anchor


.b
do

menggunakan batu. Peralatan untuk menuruni mulut gua


in
a-

vertikal terlihat meyakinkan. Willy dan Dadan sangat cekatan


k
ta

dan berpengalaman dalam hal seperti ini. Dengan bantuan


s
pu

mereka, kami tak perlu memasang tali temali sendiri yang


tentu sangat rumit.
Anton, sebagai leader, berada terdepan. Setelah semua
peralatan siap, dia melakukan proses rigging pertama kali
dengan tenang. Tubuhnya lincah meluncur ke bawah.
Kaki-kakinya bergerak dengan cepat dan cekatan. Tampak
sangat expert. Menyusul Anton, ada Nania di belakangnya.
Sebenarnya, Pak Deddy yang tadinya sangat berminat menjadi
yang kedua, tetapi Anton dengan galak menolak. Nania jauh
lebih lincah dan berpengalaman, katanya. Menurutku sih,

182
Anton saja yang merasa enggan berdekatan dengan dosen
ceriwis itu. Giliran ketiga, Azhar. Dia pun melakukan rigging
dengan santai.
Kemudian giliranku!
Satu sit harness sudah terpasang di paha dan pinggangku,
terhubung dengan tali yang sangat kuat. Peralatan lain juga
sudah melekat. Semua sudah siap, tinggal keberanianku
untuk memulai. Aku memejamkan mata sejenak, berdoa
dengan khusyuk. Mengulang-ulang doa yang sejak dari base
camp sudah aku baca. Akhirnya kakiku mencoba menapaki
dinding, menuruni dinding gua yang vertikal. Tak terlalu lurus
sebenarnya, namun agak miring. Ada rekahan-rekahan batu
om
yang bisa digunakan sebagai pijakan. Pelan aku melakukan
.c
rigging. Awalnya lututku terasa bergetar, dan keringat dingin
ot
sp

menetes. Kemudian kurasakan pakaian di dalam cover all


og

yang aku gunakan telah basah kuyup oleh kucuran keringat.


l
.b
do

Aku benar-benar gugup, sehingga sempat terpeleset sedikit


in

ketika menuruni satu pijakan ke pijakan di bawahnya. Akan


a-
k

tetapi, setelah berhasil menuruni sekitar beberapa meter, aku


sta
pu

merasa semakin tenang.


Pitch—teras pertama berhasil kujangkau. Beberapa ekor
burung sriti menghambur, seakan menyambut kedatanganku.
Aku mendesah lega. Berarti, aku sudah meluncur sampai
kedalaman sekitar lima belas meter. Kutarik napas panjang,
sesaat kutahan dan kulepaskan pelan-pelan. Kini aku bersiap
rigging untuk menuju pitch kedua. Dalamnya sekitar 25
meter!
Woow!!!

183
Kembali kuhela napas panjang. Kukumpulkan seluruh
keberanian dan kekuatan. Kulirik dasar pitch kedua. Tampak
sangat dalam. Dan gelap. Sekilas aku melihat di tengah
kegelapan itu benda-benda berwarna putih, yang pastinya
adalah ornamen dari gua, seperti stalaktit dan stalakmit.
Bismillahirrahmanirrahiim. Aku pun kembali melakukan
descending menuruni mulut gua menuju pitch kedua. Saat
itulah aku mendadak merasa tengah menuruni sebuah
lubang tanpa dasar. Aku seperti terbang. Aroma dasar
bumi memasuki rongga hidungku. Dan sesaat kemudian,
kurasakan kakiku menapak pada sebuah pelataran yang luas.
Aku terkesima. Begitu masuk, sebuah chamber yang indah—

om
ruangan luas dalam gua, menyambutku. .c
Nanar aku menyaksikan semua itu. Rasa tak percaya
ot
sp

membungkus otakku, membuatku sesaat merasa bengong


og

dan seperti kehilangan kesadaran. Chamber itu dikelilingi


l
.b
do

dinding yang sangat putih. Stalaktit menjuntai anggun dari


in

langit-langit, sementara bebatuan kristal menghias dengan


a-
k

indah dari langit-langit membentuk formasi soda straw. Ada


sta
pu

juga bebatuan gua yang mirip dengan gourdin atau kelambu.


Indah, benar-benar indah!
Sementara di bagian dasar, kulihat beberapa hamparan
batu membentuk sekat-sekat atau yang dalam istilah speleotem9
disebut sebagai gourdam. Sementara, stalakmit menjulang
ke atas, seperti peragawati yang tengah memamerkan gaun
putih penuh dengan taburan permata. Ada juga kolom yang
menjulang indah, putih dan mewah. Dasar gua sendiri

9 Hal-ihwal ornamen gua.

184
berupa bongkahan-bongkahan batu nyaris sebesar tronton,
yang tersusun dengan lekak-lekuk nan unik.
Aku jatuh berlutut. Rasa tegang dan lelah akibat menuruni
dinding puluhan meter panjangnya luruh seketika. Mendadak
aku teringat pada latihan-latihan dengan instruktur wall
climbing yang supergalak itu: Anton. Terimakasih, Anton!
“Kamu bisaaa, Faaa!” Nania menghambur, memelukku.
“Aku tahu, kamu bisa. Selamat datang di dunia yang sunyi-
senyap, gelap abadi.”
“Acintyacunyata….” bisikku.
Kulihat Anton menatapku. Senyumnya terlihat menghias.
Sebenarnya masih terlalu tipis untuk disebut sebagai senyum.
om
Tetapi untuk wajah selalu terlihat dingin dan cuek, setipis
.c
ot

apapun bibir tersungging, akan terlihat sebagai sebuah daya


sp
og

tarik.[]
l
.b
do
in
ka-
ta
s
pu

185
pu
sta
ka-
in
do
.b

186
log
sp
ot
.c
om
17
Quartz

T anpa mempedulikan kebingungan Rinanti, lelaki itu


menghambur keluar, dan berlari kencang. Sangat
ot
.c
om
kencang. Dia terus berlari dengan kecepatan tinggi. Meski
darah menetes dari tangannya yang terluka, dia tetap tak
sp
og

peduli.
l
.b

Gunadi Hantayuda, lelaki itu merasakan remuk redam


do
in

yang sangat. Sesuatu yang dahsyat telah terjadi. Dia


a-

kehilangan kesaktiannya! Mungkin bukan separuh, tapi lebih


k
ta

dari itu.
s
pu

Sebulan mencoba mengurung diri di sebuah lurung di


perut bumi, dengan perbekalan seadanya, meminum air
tanah dan menyantap binatang-binatang yang dia tangkap
dari sungai bawah tanah, ternyata dia gagal mengumpulkan
konsentrasi. Dia selalu terentak kaget di saat semedinya
sudah mulai melewati fase ketenangan nan dalam.
Puncaknya adalah tadi sore. Mendadak dia merasakan
ketenangannya tercabik-cabik. Dan dorongan yang sangat
kuat membuatnya memutuskan keluar dari gua. Dia menaiki

187
luweng dengan tali, tanpa peralatan apapun. Suatu hal yang
sudah sangat sering dia lakukan, dan karenanya dia menjadi
sangat terampil. Dia pun berjalan kaki sejauh sekitar lima
kilometer dari luweng tanpa nama—yang mungkin hanya dia
yang tahu, karena mulut luweng itu memang tertutup semak
belukar, menuju toko pusakanya.
Dan, dengan jelas dia melihat, koleksi pribadinya yang
sangat mahal telah dicuri. Satu keris peninggalan Raden
Wijaya yang berumur hampir lima ratus tahun, satu tombak
milik Adityawarman, beberapa keris dari senapati Majapahit
dan Mataram, serta puluhan batu mulia yang dia kumpulkan
susah payah. Salah satu dari batu mulia itu adalah intan

om
sebesar telur bebek yang pernah dia temukan di sebuah
.c
gua.
ot
sp

Harga semua benda itu sangat mahal. Tetapi, yang


og

membuat hatinya hancur adalah, bahwa pagar gaib yang


l
.b
do

dia pasang untuk melindungi harta-pusakanya yang paling


in

berharga itu ternyata tak berfungsi. Kesaktiannya telah lenyap.


ka-

Dan kekebalannya juga. Buktinya, tangannya berdarah saat


ta
s
pu

dia dengan kemarahan meledak-ledak menggebrak etalase


kaca dengan tangan kosong.
Gunadi Hantayudha telah kehilangan kedigdayaannya.
Mengapa.
“Mengapaaaaaa???” teriaknya sambil berlari.
Apakah penguasa di langit sana telah mengutuknya?
Apakah leluhurnya telah murka kepadanya. Murka karena dia
tak mampu menjaga kesakralan tanah leluhurnya. Lihatlah,
pantai-pantai sudah dibuka, gua-gua dimasuki penjelajah,
bukit-bukit gamping dirobohkan dan ditambang.

188
Sampai di mulut luweng tempat dia biasa keluar-masuk
untuk bersemadi, Gunadi meraih gulungan tali yang dia
sembunyikan di balik sebuah batu besar. Ujung tali itu
dia ikat pada bagian bawah batang kayu raksasa. Sambil
meluncur turun, Gunadi menangis menggerung-gerung. Air
matanya menetes bercampur bersama darah.
--o=[]=o--

Sementara itu, di Toko Pusaka, Rinanti masih tak mampu


berpikir jernih. Dia sangat bingung dengan apa yang terjadi.
Ditatapnya ruangan yang berantakan dengan kepala seakan
berputar-putar saking peningnya.

om
“A-apa yang terjadi, Darma?” tanyanya, serak.
.c
“Sesuatu yang sangat dahsyat.”
ot
sp

“Apakah itu?”
og
l

“Hilman, lelaki bedebah itu ternyata perampok. Dia


.b
do

kembali malam tadi dan mencuri hampir semua barang-


in
a-

barang paling berharga di ruang ini. Dia memberi kita


k
ta

permata-permata murahan itu, tetapi menukarnya dengan


s
pu

barang yang nilainya ratusan kali lebih mahal,” ujar Darma,


dengan wajah murka.
“Jadi… jadi, dia merampok? Tetapi, dia keponakan Pak
Prawira Kusuma.” Rinanti berdiri mematung dengan mulut
ternganga. Hilman, lelaki yang santun dan lemah-lembut
itu ternyata. “Terus, bagaimana dia bisa mengambil barang-
barang itu? Kunci ada di saya.”
“Dia mencongkel jendela. Tampaknya dia sudah
mempelajari seluk-beluk tempat ini dengan seksama. Kita
telah ditipu.”

189
“Ditipu? Tak mungkin. Dia….”
Darma meraih sebuah telepon genggam, memencet
sebuah nomor, lalu menyerahkan kepada Rinanti. “Silakan
berbicara pada Pak Prawira Kusuma. Tanyakan, apakah betul
lelaki bernama Hilman itu adalah keponakannya.”
Gagap Rinanti meraih telepon itu. Seumur hidup, baru
kali ini dia memegang sebuah benda bernama telepon
genggam. “Ss-saya Rinanti, Pak. Istri … Mas Gun-nadi.”
“O, ya? Ada apa, Bu Rinanti? Tumben menelepon?”
Rinanti diam, bibirnya bergetar.
“Tanyakan tentang Hilman,” bisik Darma.

om
“A-anu, Pak. Apakah betul, ada … ada pegawai, eh,
.c
keponakan Bapak bernama … Hil-Hilman?”
ot
sp

“Apa? Hilman?”
og
l

“Ada orang, usia 30-an, berkulit putih, berkaca mata,


.b
do

mengaku bernama Hil-Hilman. Dia, mengaku keponakan


in
a-

Bapak.”
k
ta

“Hilman? Saya tak punya keponakan bernama Hilman.”


s
pu

Lutut Rinanti bergetar, tubuhnya terasa sangat lemas.


Pelan dia meluruk ke lantai. Telepon genggamnya jatuh, dan
langsung disambar Darma. Pegawainya itu dengan cepat
berbicara dengan Pak Prawira Kusuma.

Sepasang Telinga dalam Gelap


Aku adalah makhluk yang nyaris setiap saat bertemu
kegelapan. Aku bertempat tinggal dalam kegelapan, dan
menjadi satu dengan segala sesuatu yang pekat. Kegelapan

190
telah membuat mataku hampir-hampir buta. Bukan karena
tak bisa melihat, tetapi karena aku hampir tak pernah melihat
setitik pun cahaya.
Tetapi Sang Pencipta memberikan aku kemampuan
mendengar yang luar biasa. Aku mampu mengetahui
posisi, kekerasan, gerak, dan juga jenis-jenis benda hanya
dari bunyi yang dipantulkan benda-benda itu. Terkadang,
aku juga mengeluarkan bunyi dari mulutku. Bunyi itu akan
menguar, menyebar, memenuhi setiap ruang hawa. Aku bisa
tahu bahwa di depanku ada batu, kayu, air, bahkan makanan
hanya dari gema yang di timbulkannya.
Kemampuan itulah yang membuat aku mampu bergerak
om
lincah tanpa menabrak apapun, meski aku berada di
.c
kegelapan yang abadi. Bahkan, dari pendengaran yang
ot
sp

sangat tajam itu pula aku tahu, jika suatu saat ada makhluk
og

lain mendatangi tempat ini. Seperti saat ini. Aku tahu, kau
l
.b
do

memasuki lorong gua dengan langkah yang tak setegap


in

biasanya. Tak ada suara kaki yang melangkah mantap dan


ka-

mengeluarkan bunya tap-tap-tap! Suara langkahmu goyah,


ta
s
pu

dan sesekali nyaris tersandung. Sepertinya, kau lemah lemah


dan letih. Gairah seakan rontok dari ragamu seperti daun-
daun kering yang berhamburan dan jatuh ke bumi.
Apa yang sedang terjadi padamu?
Seperti menahan kesakitan, kau merintih. Pantulan
suaramu terdengar sangat dekat dengan suara tetesan air dari
bebatuan gua. Kau pasti tengah bersandar, merapat pada
bebatuan gua. Napasmu terengah-engah. Sementara bau tak
sedap menguar kuat dari tubuhmu.

191
Apa yang terjadi denganmu, Gunadi Hantayudha? Ya,
namamu Gunadi, bukan? Aku pernah mendengar engkau
berbincang-bincang dengan sosok yang tak pernah bisa
memantulkan bunyi apapun. Entah sosok itu memang tak
berujud, atau sebenarnya kau sedang berbincang-bincang
dengan dirimu sendiri.
“Aku sekarang orang biasa, dengar itu wahai Semesta! Aku
orang biasa!” mendadak aku mendengar suara itu meluncur
dari mulutmu. Kau mulai lagi, menceracau, berbicara dengan
diri sendiri seperti biasa.
“Aku ingin bercerita kepadamu, Semesta. Bercerita
tentang seorang Raden Gunadi Hantayudha yang ketika
om
masih kecil tumbuh sebagai seorang anak yang sehat dan
.c
ceria. Geraknya gesit, hampir tak pernah sakit. Sehari-
ot
sp

hari dia menjalani kehidupan seperti anak-anak lain pada


og

umumnya. Sang ibu merawatnya dengan penuh kasih sayang.


l
.b
do

Sedangkan kanjeng rama, meski sibuk mendalang dimana-


in

mana, memainkan lakon wayang beber10, tetap memberikan


a-
k

perhatian penuh di sela-sela kesibukannya.”


sta
pu

Kutajamkan indra pendengaranku untuk menangkap


semua ucapanmu, dan menyimpannya bersama ucapan-
ucapanmu yang lain yang telah aku dengar sebelum ini.
“Gunadi kecil hidup berbahagia. Dia bercita-cita
menjadi polisi atau tentara. Hampir sama dengan anak
kecil pada umumnya. Sampai kemudian terjadi perubahan
yang sangat besar dalam hidupnya. Saat itu usianya baru

10 Pertunjukan wayang khas peninggalan Majapahit, saat ini hanya


ada di daerah Pacitan.

192
lima tahun. Seorang lelaki digdaya bernama Ki Pranajaya
mendatanginya. Kau tahu siapa beliau? Ya, beliau adalah
sosok yang sangat dihormati sekaligus ditakuti oleh sekalian
manusia di seantero Pegunungan Sewu. Dari Wonosari,
Wonogiri, Pacitan hingga Trenggalek.”
Kembali kuempuskan sebuah suara lirih, memastikan
kembali, siapa sebenarnya yang tengah kau ajak bercakap-
cakap. Dan sekali lagi, aku merasakan sesuatu yang kosong.
Tak benda apa-apa yang memantulkan bunyi itu selain
tubuhmu, batu-batu dan air.
“Jika Ki Pranajaya tak tertarik melihat sosok itu, tak merasa
bahwa sosok bocah itu memiliki sesuatu, tentu si bocah akan
om
tetap tumbuh menjadi manusia biasa. Tetapi kehidupan
.c
berbicara lain. Ki Pranajaya tahu ada sesuatu terpancar dari
ot
sp

bocah itu. Tergopoh-gopoh dia mendatangi bapak si bocah.


og

Dia bisikkan di telinga si bapak, bahwa anak itu memiliki


l
.b
do

sesuatu yang berbeda dengan anak biasanya. Sebuah


in

kelebihan. Anak itu sangat istimewa. Jangan kau ajari anak


a-
k

ini ilmu-ilmu rendah seperti anak-anak manusia lainnya.


sta
pu

Ajari dia ilmu tentang kebatinan, kesaktian, kedigdayaan…


Nah, semesta, kau tahu, sejak itu aku sudah kehilangan hak-
hakku sebagai seorang anak. Aku mengalami kehidupan yang
sangat keras. Aku ditempa, dibanting, dikurung, diceburkan
ke laut hingga nyaris kehabisan napas. Tetapi, aku bangga.
Karena itu, aku tumbuh menjadi sosok yang perkasa. Aku sakti
mandragunaaaa…. Tetapi, sekaraaang? Sekaraaaang…???”
Kau terpekik, meraung, marah.
“Mengapa kau ambil ilmuku? Mengapa kau ambil
kesaktianku? Aku tak pernah bersekolah seperti anak-anak

193
manusia lainnya? Aku tak bisa membaca, tak bisa menulis.
Tanpa kedigdayaan itu, aku akan menjadi manusia tiada
guna. Daripada kau ambil semua ini, mengapa kau tak cabut
saja nyawakuuuu!!!”
Kau membentur-benturkan kepalamu ke bebatuan gua.
Suaramu melengking, menyeramkan. Tampaknya, kau
memang sedang dalam keadaan sangat gundah. Dan aku
selalu merasa ngeri dengan segala getar yang perih. Baiklah,
biarkan keheningan dan kegelapan abadi menemanimu.
Aku akan pergi. Sebentar saja. Nanti aku akan melihatmu
kembali. Semoga kau baik-baik saja.
Sambil terbang menjauh, aku mulai mengingat, kapan
om
pertama kali aku bertemu denganmu. Oh, ternyata sudah
.c
cukup lama. Ketika aku mulai diizinkan bepergian sendiri oleh
ot
sp

ibuku, dengan girang aku menjelajahi seluruh pelosok gua


og

ini. Hingga pada suatu hari, aku merasakan sebuah pantulan


l
.b
do

yang aneh. Pantulan yang sangat berbeda dengan benda-


in

benda yang sangat kukenal seperti bebatuan, hamparan air,


a-
k

atau juga benda-benda kecil yang ada di gua ini. Ternyata,


sta
pu

pantulan bunyi itu berasal dari tubuhmu. Itulah pertama kali


aku bertemu dengan sosok yang disebut manusia.
Lambat laun, aku pun bertemu dengan sosok-sosok
manusia lain yang mengunjungi gua ini. Akan tetapi, dari
mengamati kebiasaan manusia yang datang ke goa ini, aku
justru kian mendapatkan keanehan darimu. Biasanya, ketika
manusia bersuara, akan ditimpali oleh manusia lain. Tetapi
kau melakukannya sendiri. Kau berbicara dengan dirimu
sendiri. Terkadang, kau memang membawa benda-benda
yang kau namai sebagai keris, tombak, atau batu mulia.

194
Tetapi aku tahu, benda-benda itu tak bisa berbicara seperti
dirimu dan manusia lainnya.[]

om
.c
ot
sp
og
l
.b
do
in
a-
k
sta
pu

195
pu
sta
ka-
in
do
.b

196
log
sp
ot
.c
om
18
Ruby

A ku masih belum mampu menguasai diri saking


terpesonanya dengan segala sesuatu yang kulihat di
ot
.c
om
sekitarku. Ya, aku seperti tengah bermimpi. Reflek aku
mencubit-cubit daguku, sebuah gerakan klise yang sering
sp
og

kubaca di novel-novel di mana pelakunya mengalami


l
.b

kejadian yang sulit dipercaya. Perih, oh, berarti kesimpulanku


do

sama dengan kesimpulan karakter dalam novel-novel yang


in
a-

kubaca itu. Aku tak bermimpi.


k
ta

Tetapi, aku benar-benar merasa seperti baru diangkat


s
pu

dari dunia nyata dan kini memasuki sebagai negeri di alam


dongeng. Seperti yang kulihat di foto-foto milik para caver
yang pernah menjelajah gua-gua karst, aku menyaksikan
sebuah suasana yang sangat menakjubkan. Ya, aku seperti
tengah berada di sebuah ruangan istana yang dipenuhi
dengan manusia-manusia berjubah sutera, dengan tirai-
tirai yang bertebaran di mana-mana menebarkan keindahan
sekaligus kemewahan. Aku seperti tengah berada di sebuah
istana dengan pilar-pilar megah, dengan lekak-lekuk artistik

197
sebagaimana hasil ukiran para ahli kriya kenamaan dunia.
Sorotan lampu dari headlamp yang kami pakai, kian
memeriahkan pesta, karena menghasilkan spektrum cahaya
yang berwarna-warni.
Dan kami, dengan cover all dan sepatu boot, serta helmet
dan cavebag, seperti para pelayan yang sangat kumal dan
dekil di hadapan mereka.
“Hai, sadar… sadar, Non!” Nania menepuk pundakku.
“Jadi, aku memang nggak sedang bermimpi, ya, Nan?”
kuseka air mata yang menggenangi pelupuk mataku. Aku
selalu mudah terharu jika melihat sesuatu yang indah. Ketika
mendengar alunan musik yang merdu, mendengar orang
om
membaca puisi dengan penuh penghayatan, atau melihat
.c
ot

lukisan yang menawan, aku selalu bisa berurai air mata.


sp

Padahal itu semua adalah kreasi manusia. Yang kulihat di


og
l

sekitarku ini, adalah Mahakarya dari Sang Maha Pencipta.


.b
do

Sebuah bentangan keindahan yang membutuhkan waktu


in
a-

ribuan tahun hingga terbentuk formasi ornamen seperti ini.


k
ta

“Lha, kamu ngerasa sedang bermimpi, atau tersadar?”


s
pu

tanya Nania.
“Aku… aku seperti seorang pelayan dekil yang baru
pertama kali bertugas di sebuah istana yang terbuat dari batu
pualam,” ujarku, jujur.
Jaka tertawa melihat ketakjubanku. “Aku juga begitu
dulu, saat pertama kali ke gua ini. Luweng Jaran ini konon
merupakan gua terindah se-Asia Tenggara. Padahal, kata
Anton ini belum seberapa. Semakin kita masuk ke dalam,
kita akan semakin terkagum-kagum.”

198
“Sini, Fa, duduk di sini!” Nania menarik tanganku,
mengajakku ke sebuah kolom yang menampung air
perkolasi, alias air yang merembes di bebatuan gua. Di dekat
kolom, ada sebuah flowstone dengan tetesan air yang terus
menerus. Oh, benar-benar sebuah bentangan taman batu
yang basah, indah, tiada duanya. Aku mengambil kamera
dan menjepret batu alir serta kolom itu, juga semua objek
yang ada. Blitz terus bersinar, karena seperti orang kalap,
aku seakan-akan ingin memasukkan semua yang kudapati ke
dalam memoriku.
Setelah semua tim berkumpul, Anton mulai mengambil
kendali. Di chamber itu terdapat beberapa lorong yang harus

om
kami pilih. sesuai rencana, hari ini kami akan menyusuri
.c
lorong tengah. Sebelum masuk, Anton menempelkan kertas
ot
sp

fosfor di mulut lorong. Aku langsung paham maksudnya.


og

Kertas fosfor akan menyala saat gelap, sehingga bisa menjadi


l
.b
do

penanda agar kami tak tersesat. Selain kertas fosfor, sebagai


in

penanda kami juga meletakkan lightstick. Karena harga


ka-

ligthstick cukup mahal dan persediaan terbatas, kami


ta
s

hanya menggunakan untuk penanda titik-titik yang sangat


pu

membingungkan.
Luweng Jaran ini dikenal sebagai gua labirin, saking
banyak lorong yang dimiliki. Lorongnya tak hanya kanan
kiri, tetapi juga membentuk tingkat-tingkat. Lorong itu
sendiri bercabang-cabang membentuk lorong-lorong baru.
Potensi tersesat sangat tinggi. Sesaat, otak fiksiku yang terlalu
banyak melahap novel thriller berputar-putar. Kubayangkan
ada sekawanan pembunuh yang menginginkan kematian
kami, mencopoti kertas-kertas fosfor itu, lalu kami tersesat
dan terjebak dalam labirin sampai kehabisan bekal dan….

199
Kuputuskan untuk sebisa mungkin mengusir bayangan-
bayangan buruk itu. Khawatir justru yang menjadi musuh
dari ekspedisi ini adalah ketakutan-ketakutan yang aku
bangun sendiri tanpa sengaja. Anton seorang caver tangguh
dan berpengalaman. Dia telah menggenggam peta gua, dan
dia sendiri telah beberapa kali melakukan caving di Luweng
Jaran. Menurut pengakuannya, Pak Deddy juga sudah
beberapa kali menyusuri gua ini. Jadi, tak perlu takut!
Aku pun segera menyibukkan diri menikmati keindahan
yang terpajang sempurna di kanan kiri, atas, bawah …
sebuah kedamaian menyelusup bersama aroma perut bumi
yang khas. Sunyi, sepi. Betapa kontras dengan kebisingan

om
yang terjadi di sana … di permukaan bumi..c
“Lekukan, lorong-lorong, celah-celah pada perut bumi,
ot
sp

atau yang kita kenal sebagai endokarst, seperti gua, sungai


og

bawah tanah, terowongan dan sebagai pada bentang alam


l
.b
do

karst terjadi karena pelarutan bebatuan gamping karena


in

aktivitas air hujan,” jelas Pak Deddy tanpa diminta. Sejak tadi,
a-
k

lelaki itu terus saja berceloteh menjelaskan segala sesuatu


sta
pu

yang ditemuinya. Awalnya aku merasa cukup terganggu


dengan kecerewetannya. Lama-lama, aku bisa menikmati dan
malah merasa terbantu dengan keluasan pengetahuannya
tentang perguaan.
“Kalian tahu, kan, air hujan itu sifatnya agak asam,
karena bercampur dengan karbon dioksida yang diserap
dari atmosfer. Sedangkan batuan penyusun gamping ini
adalah senyawa kalsium karbonat yang bisa larut oleh zat
yang bersifat asam. Nah, dari pelarutan itulah kemudian
timbul celah-celah, cekungan, ceruk, saluran-saluran dan
sebagainya.”
200
“Oh, jadi begitu, ya?” di luar dugaan, Nania yang
semalam terkantuk-kantuk mendengar penjelasan Pak Deddy
sekarang terlihat begitu bersemangat. Aku mengerutkan
kening sejenak. Aku tak tahu, Nania benar-benar tak tahu
atau pura-pura tak tahu. Bagaimana mungkin seorang yang
terbiasa berkeliaran dari gua ke gua, bahkan belum mengerti
teori-teori tentang perguaan?
“Proses terbentuknya speleotem lebih menakjubkan
lagi,” lanjut Pak Deddy. Diam-diam aku berharap agar Nania
tidak bertanya apa itu speleotem. Doaku terkabul. Nania
sudah sangat paham apa itu speleotem, alias hiasan-hiasan
gua semacam stalaktit, stalakmit, helektit, flowstone, kolom

om
dan sebagainya. .c
“Wah, mempersiapkan ekspresi takjub, nih!” ujar Nania.
ot
sp

“Sst… nggak boleh begitu, Nania!” kata Anton, yang


og
l

ternyata tampak serius menyimak pembicaraan kami. “Di


.b
do

tempat seperti ini, hilangkan seluruh perasaan jumawa,


in
a-

sombong, takabur. Kita harus benar-benar merendahkan hati,


k
ta

merendahkan jiwa, karena kita memang bukan siapa-siapa.”


s
pu

Kutatap Anton yang menjadi leader di depan, dan


membawa lampu karbit yang jauh lebih terang daripada
headlamp yang kami kenakan. Cahaya lampu memantul
di sebagian spelotem yang kami lewati. Namun pantulan
kata-kata lelaki itu membekas hingga relung hati. Jadi, sosok
seperti apa sebenarnya lelaki bernama Anton itu? Jangan-
jangan, di balik kejudesannya itu, tergumpal seonggok hati
yang lembut dan dewasa. Ataukah memang keadaan gua
yang sunyi-sepi, akan membuat hati siapapun tunduk dalam
kebesaran-Nya? Jika begitu, ada baiknya penjara-penjara para

201
koruptor itu dibangun di sini, tanpa disertai cahaya, sehingga
mereka merasakan kegelapan yang abadi.
“Maaf, maaf, Bos! Jadi, gimana tadi, Pak Deddy, proses
pembentukan speleotem-nya?”
“Stalakmit terbentuk dari endapan kalsium karbonat
yang berada di dasar gua. Sementara stalaktit terbentuk dari
tetesan-tetesan air yang meresap di celah-celah bebatuan.
Kau tahu, Nania … untuk membentuk stalaktit sepanjang
sekitar 0,33 milimeter, pernah ada penelitian di Gua Jatijajar,
ternyata membutuhkan waktu setahun11. Coba, lihat stalaktit
itu!” Pak Deddy menunjuk stalaktit yang tepat berada di
depannya. “Berapa panjang stalaktit itu, Nania?”
“Mmm… kira-kira tiga meter, Pak.” om
.c
ot

“Sekarang, hitung cepat! Kalau setahun hanya bisa


sp
og

membentuk stalaktit sepanjang 0,33 milimeter, untuk


l
.b

membentuk stalaktit sepanjang tiga meter, dibutuhkan waktu


do

berapa tahun?”
in
a-

“Sembilan ribu tahunan!” jawab Azhar.


k
ta
s

Meski teori itu bukan hal baru, aku tersentak mendengar


pu

jawaban Azhar. Mataku nanar memandang sebuah kolom


raksasa yang berada sekitar belasan meter di depanku. Berapa
ribu tahun untuk membentuk kolom sebesar itu?
“Yang menarik, semua proses itu berjalan secara alami,”
jelas Pak Deddy. “Membutuhkan ribuan, puluhan ribu
bahkan ratusan ribu tahun untuk terbentuk ornamen seindah
ini. Tetapi di beberapa tempat, manusia dengan seenak hati,

11 Data dari Kementerian ESDM.

202
merusak keindahan itu hanya dengan sepenggal waktu.
Seorang yang menghargai karya, tentu tak akan sampai hati
bahkan untuk memungut sebutir kerikil terselaput kalsit pun
dari gua ini.”
Mendengar kata kerikil terselaput kalsit, mendadak aku
teringat pada salah satu ornamen gua karst yang disebut
sebagai cavepearls. Dari berbagai jurnal dan posting blog
para caver yang pernah menyusuri gua ini, disebutkan
bahwa di Luweng Jaran terdapat cavepearls. Namun hingga
merasuk ke dalam tubuh gua, kami tak mendapati sebutir
pun mutiara-mutiara gua. Aku yakin, tangan-tangan jahil
manusia telah mengambilnya.

om
Kami semua terdiam. Pikiran kami seperti tengah
.c
mengembara pada sebuah pergumulan rasa yang tak bisa
ot
sp

tergambarkan. Betapa saat ini kami sedang berada di sebuah


og

Mahakarya dari Sang Maha Sempurna.


l
.b
do

Namun rasa haru yang bergumpal-gumpal itu tak sempat


in
a-

berlama-lama membuncahkan melankoli. Lorong yang kami


k
ta

pilih ini sangat menarik, karena dipenuhi dengan kolam-


s
pu

kolam yang disekat-sekat oleh dinding batu. Kolam adalah


sasaran empuk para peneliti biospeleologi, karena fauna
akuatik yang khas biasanya justru ada di situ. Pak Aryadi
berpesan agar aku tak usah terlalu fokus pada sungai-sungai
bawah tanah, tetapi justru ke kolam-kolam yang terbentuk
dari cekungan-cekungan bebatuan gua.
“Oke, kita mulai sampling, ya!” ujarku.
“Oke! Siap, Bos!”
Tim mulai bekerja. Kami menyebar, menuju kolam-
kolam, dan mulai melakukan inventarisasi fauna yang kami

203
dapatkan di gua. Pinset kami keluarkan untuk menangkap
hewan jenis athropoda ukuran sedang, sedangkan kuas
athropoda ukuran kecil. Masing-masing athropoda yang
tertangkap, kami masukkan ke dalam botol-botol kecil yang
sudah diberi alkohol dan label. Sayang, karena mungkin
kami masih di zona remang-remang, dari sekilas fauna yang
kami dapatkan, belum ada fauna khas gua yang teradaptasi
sempurna, alias spesies-spesies troglobyte.
Aku dan Nania fokus pada pengambilan sampel fauna
akuatik, sementara Jaka dan Azhar sibuk dengan sampel fauna
terrestrial. Pak Deddy dan Tomi menekuni objek penelitian
mereka sendiri, yakni batu-batuan, sesuai bidang mereka.

om
Anton sendiri justru mondar-mandir dengan wajah kesal.
.c
Dia masih ngotot bahwa yang kami lalukan di sini masih
ot
sp

sebatas survey, memahami lokasi dengan sebaik-baiknya, dan


og

belum mulai melakukan koleksi. Dia masih ngotot, bahwa


l
.b
do

apapun yang kami lakukan, meski secara ilmiah dibenarkan,


in

pada prinsipnya sebenarnya juga melanggar etika susur gua.


ka-

Karena masih survey, semestinya kami tak mengambil apa-


ta
s
pu

pun dari apa yang ada di gua. Namun aku membalas ke-
ngototan itu dengan kengototan yang lebih kuat. Perjalanan
ke gua ini sangat sulit, sehingga harus manfaatkan sebaik
mungkin. Aku perlu mengambil beberapa sampel secara
acak untuk diteliti di laboratorium. Dari data itu, aku akan
bisa menentukan fokus-fokus apa yang akan jadi objek pe-
nelitian, termasuk menyebarkan tema-tema yang lebih spe-
sifik ke anggota timku.
“Penelitian ekologi itu ruang lingkupnya luas, Ton!”
debatku. “Harus ada perbandingan ruang atau waktu. Kalau

204
Luweng Jaran yang kita jadikan objek, berarti perbandingan-
nya waktu. Harus beberapa kali kita terjun ke sini, padahal
untuk sekali melakukan caving, kita membutuhkan persiapan
yang rumit. Karena itu, meski ini hanya survey, mengapa
tidak kita manfaatkan sekaligus untuk sampling?”
Karena kalah suara, dia pun tak bisa berbuat apa-apa.
Sesekali dia mendekati Azhar dan Jaka, dan tampak sekali
bahwa dia bosan. Lalu dia melirik-lirik ke arahku dan Nania,
dan juga cepat bosan. Akhirnya di justru sibuk menjejali
memori kameranya dengan gambar-gambar eksotis yang dia
dapatkan dari berbagai angle yang menarik.
Kami bekerja dengan tenang dan tekun. Tak ada yang
om
bersuara. Penerangan lampu karbit dan headlamp, ditambah
.c
senter untuk memperjelas, membuat proses inventarisasi
ot
sp

menjadi lebih mudah.


og
l

Beberapa burung sriti beterbangan di atas kami. Tak


.b
do

sebanyak saat di pitch pertama tadi, tetapi paling tidak, suara


in
a-

kepak mereka membuat suara-suara selain tetesan air dari


k
ta

atas gua. Dalam keadaan sunyi seperti sekarang ini, suara


s
pu

seperti apapun terdengar nyaring.


Kami terus bekerja, sampai sore tiba, dan kami harus
kembali ke permukaan bumi. Menaiki dinding vertikal
dengan teknik ascending. Dari pitch ke pitch, dan begitu
sampai ke mulut gua, senja telah menjemput. Willy dan
Dadan melambaikan tangan dengan riang.
“Ah, akhirnya kalian kembali juga!”
Kurasakan hawa hangat dan segar seakan merontokkan
keletihan yang kurasakan. Kami harus beristirahat dengan

205
tenang malam ini, agar besok bisa turun kembali ke gua
untuk menyusuri lorong-lorong yang lain.[]

om
.c
ot
sp
og
l
.b
do
in
a-
k
sta
pu

206
19
Stalaktit

H ari kedua, jam tujuh pagi kami kembali menuruni


mulut gua. Berbeda dengan kemarin, kali ini aku
ot
.c
om
menuruni pitch demi pitch dengan lebih ringan, santai dan
enjoy. Peralatan yang rawan basah sengaja kami tanggalkan,
sp
og

karena lorong yang akan kami susuri kali ini adalah lorong
l
.b

air. Sementara peralatan penting yang mau tidak mau harus


do

dibawa, kami kemas di carrier bag yang dilapisi waterproof.


in
a-

“Jangan ada main-main! Semua serius dan konsentrasi


k
ta

penuh. Hari ini kita akan masuk ke lorong air. Lebih berbahaya
s
pu

dan beresiko daripada susur gua kemarin. Kedalaman air


yang akan kita lalui lebih dari satu meter!” ujar Anton.
Reflek aku meraba kepalaku yang tertutup helm, seakan
dengan cara itu aku hendak mengukur tinggi badan yang
sebenarnya sudah sangat kuhapal. Tinggi badanku 155 cm,
jadi aku hanya akan menyisakan badan di permukaan sekitar
setengah meter. Yang belum terjawab, berapa lama kami
akan terus menyusur lorong berair itu?
Benar kata Anton. Lorong yang kami lalui sesungguhnya
adalah aliran sungai bawah tanah. Lebih dari dua pertiga

207
bagian lorong dipenuhi air. Namun dari bagian atas, dekorasi
kas gua karst masih memperlihatkan keelokannya. Masih
kulihat helektit dan soda straw yang mempesona, yang
semakin berkilau tatkala terkena sinar dari lampu di kepala
kami.
Aku berpikir, apakah para arsitek yang menciptakan
istana-istana semacam Versailess, Buckingham Palace atau
Istana Oranje itu terilhami dari gua-gua karst yang mereka
datangi? Termasuk juga saat mereka mencoba memasang
lampu-lampu Kristal di atas langit-langit istana? Di mataku,
kedua jenis dekorasi itu hampir mirip. Hanya saja, di gua
ini, dekorasi itu terpampang dalam simetri yang tak tentu.

om
Berlekak-lekuk bentuk yang tak seragam, namun justru di
.c
situlah daya tariknya. Lekak-lekuk alamiah itu sendiri adalah
ot
sp

sebuah keindahan yang tiada tara.


og

“Luweng Jaran adalah tipe gua dengan swallow hole,”


l
.b
do

jelas Anton. “Yakni sungai dari permukaan tanah yang


in

menghilang dan masuk ke gua ini. Jadi, dinamika yang terjadi


a-
k

di permukaan sana, akan mempengaruhi sungai bawah tanah


sta
pu

ini. Jika hujan deras dan terjadi banjir, maka gua juga akan
banjir. Sudah banyak yang terjebak banjir di sini. Bahaya
yang paling harus diwaspadai untuk seorang caver pada gua
tipe swallow hole adalah banjir.”
Rasa ngeri seperti serangkum hawa yang semula hanya
memberikan efek pada indra peraba. Lama-lama hawa itu
mencair, lalu memadat, dan menggodam rasa tenangku.
Aku mendadak merasa tegang dan takut. Kuperas memoriku
untuk mengingat bagaimana rupa langit tadi pagi, saat kami
meluncur masuk ke gua ini. Ah, ya… biru cerah. Sangat

208
jelas tercetak di ingatanku. Cerah tanpa sepotong pun awan.
Ini bulan Agustus, musim kemarau. Tetapi, siapa yang bisa
memastikan tiadanya hujan turun di musim yang jelas-
jela kemarau saat ini? Global warming telah memporak-
porandakan tatanan cuaca. Beberapa saat yang lalu, malah
hampir satu tahun dunia seakan tak mengalami kemarau.
Saat melangkah perlahan, kuambil segenggam bebatuan
kerikil yang tersangkut di dinding gua yang berlekuk. Kerikil
itu berwarna kelabu hingga kehitaman, dan berbalut lumpur.
Jelas, ini menandakan bahwa aliran air di lorong ini adalah
jenis vadosa, atau air yang mengalir dari permukaan dan
menghilang ke gua ini. Air yang asli berasal dari rembesan

om
celah gua, yang biasa disebut air perkolasi, biasanya
.c
ditampung di lekukan yang membentuk kolam dengan
ot
sp

ciri khas jernih, dan sedimen di dasar kolam, kerikil serta


og

bebatuan berwarna berwarna putih kekuningan.


l
.b
do

Aku berjalan memasuki air dengan rasa tegang. Air


in

benar-benar setinggi dadaku. Padahal ini kondisi normal.


ka-

Bagaimana jika mendadak banjir datang? Mungkin lorong


ta
s
pu

akan semuanya tertutup air, membentuk sump. Dalam


keadaan seperti itu, kami mau tak mau harus melakukan
cave diving. Menurut para caver senior, resiko kematian saat
cave diving bisa mencapai 60 bahkan 75 persen!
Rupanya ketegangan itu tak hanya aku yang merasakan.
Kulihat Nania tampak gelisah. Jaka dan Azhar bungkam.
Hanya Anton yang terlihat tenang, tepatnya datar tanpa
ekspresi. Cuek. Seperti biasanya.
Pak Deddy dan Tomi hari ini memilih untuk menjelajahi
lorong fosil—alias lorong kering. Jadi kami hanya berlima.

209
Hampir satu jam kami melewati aliran sungai bawah tanah
itu, sampai akhirnya kami menemukan batu-batu besar yang
menyembul di aliran air. Nania meloncat naik ke atas batu.
Mendadak dia berteriak keras.
“Aaaaaa… gue tegaaaaang, tahu nggak, siiiih?” Lalu dia
merebahkan badannya di atas batu.
“Sungguh tegangnya, tegangnya, tegangnya, tegangnya…”
Azhar menyusul meloncat ke batu sembari mempelesetkan
sebuah lagu dangdut.
“Aku juga tegang,” desahku. Tak meloncat ke atas batu,
aku hanya menelungkupkan kepalaku di sana. Kubiarkan
separuh tubuhku tetap tercelup air.
om
“Pulangkan saja, aku pada ibumu, atau ayahmu!” suara
.c
ot

cempreng Azhar kembali terdengar, menyanyikan sebuah


sp
og

lagu pop zadul.


l
.b

“Okay, mulai sekarang, Lu-Gue, end!” canda Nania


do
in

sambil menuding Azhar.


a-
k

“Kenapa, Dear? Aku kan bukan Bang Thoyib yang nggak


sta

pernah pulang-pulang. Malah aku selalu saja bersamamu


pu

setiap saat!” lengkingan bariton Azhar menirukan suara


seorang pendeklamasi yang membacakan puisi dengan gaya
lebay.
“Eh, kalau kalian berdua, kalau udah siap, segerakan aja
ijab-qobulnya,” celetukku.
“Jiaaah, Fahira! Kita kan cuma lagi akting. Pura-pura kami
lagi jadi Jack and Rose, yang berpisah di atas kapal Titanic,”
kata Nania.
“Well, kalau aktingnya Titanic, kok lagunya Bang

210
Thoyib?” aku tak tahan untuk tak terkikik. Duet Azhar dan
Nania berhasil membuat ketegangan kami menurun.
“Ssst, kalian lihat nggak, kelelawar itu sejak tadi mengikuti
kita,” mendadak Jaka menunjuk ke sebuah makhluk kecil
berwarna hitam yang mengepak di atas kami. Terkena
sorotan headlamp, makhluk itu terbang dan menyelinap ke
balik stalaktit. Bersembunyi.
“Itu objek sampling-mu, Jak!” ujar Nania.
“Maksudmu, aku kau minta menangkap makhluk itu?”
“Jangan pernah mengambil apapun, kecuali gambar!”
bentak Anton tiba-tiba. “Kita hanya sedang survey! Ingat!
Kemarin, saat mengambil fauna-fauna kecil, aku masih
om
mentolerir, tetapi jika kelelawar yang kalian tangkap, sungguh
.c
ot

aku tak akan terima!”


sp
og

“Aku setuju dengan Anton,” ujarku. “Jangan tangkap


l
.b

apapun! Lagi pula, kelelawar kan bukan tipe troglobyte.”


do
in

“Well, siap, bos!”


ka-

“Hai, lihat! Di atas sana ada lorong!” teriak Azhar,


sta
pu

sambil menunjuk ke dinding gua yang membentuk celah


sempit selebar kira-kira setengah meter. Azhar mengarahkan
senternya ke celah itu. “Tampaknya benar-benar sebuah
lorong.”
Anton tertarik melihat temuan Azhar. Sepasang matanya
yang sipit melebar, dan aku kembali menemukan sebuah
kelereng di hamparan lapangan badminton. Eh, perumpaan
yang lebay, ya?
“Sudah tiga kali aku lewat lorong air ini, dan aku baru
melihat celah itu, Zar!”

211
Ada yang berkilat di sepasang mata Anton. Tampaknya,
lelaki itu sangat berminat untuk menyusuri temuan baru itu.
Begitulah, naluri petualang seorang caver sejati mungkin
telah bercampur dengan aliran darahnya. Bagi para caver,
menyelusuri lorong-lorong baru adalah sebuah tantangan
yang menggairahkan. Mendadak aku teringat pada catatan
Norman Edwin, seorang caver senior. “Adalah suatu
kepuasan bagi seorang penelusur gua, bila lampu yang
dibawanya merupakan sinar pertama yang mengungkapkan
sebuah pemandangan yang menakjubkan di bawah tanah.”
Diiringi oleh tatapan rekan satu timnya, Anton meloncat
ke atas batu, dan pelan-pelan memanjat dinding yang

om
memang terdiri dari retakan-retakan membentuk semacam
.c
gourdam vertikal. Diam-diam aku terkagum-kagum melihat
ot
sp

betapa lincahnya gerakan lelaki itu. Dia melakukan free


og

climbing nyaris tanpa peralatan. Memang, ketinggian yang


l
.b
do

dia tempuh tak sampai tiga meter. Tetapi bagiku itu sudah
in

lumayan menantang.
a-
k

Hanya beberapa saat, dia sudah hilang dari pandangan


sta
pu

kami. Cukup lama kami menunggu, sekitar seperempat jam


untuk melihat wajah itu menyembul dari celah.
“Hai, di atas sana ada kolam-kolam kecil, dan tadi aku
melihat ada binatang sejenis kepiting. Kepiting kas gua karst
Gunung Sewu yang berwarna terang!”
“Karstama jacobsoni!” pekikku, terlonjak kaget sekaligus
gembira. “Kepiting putih kas karst Gunung Sewu. Itu, itu
yang aku cari sejak kemarin!”
Seperti barusan dialiri energi besar, aku meloncat ke
atas batu, dan mencoba menggapai bebatuan dan memanjat

212
seperti Anton. Namun lelaki itu dengan cepat menggerakkan
telapak tangannya. “No!” bentaknya. “Jangan memanjat
seperti itu, sangat berbahaya. Sebentar!”
Lincah Anton mengeluarkan tali temali dari dry-pack-
nya. Lalu dia mengalungkan tali pada sebuah pangkal sebuah
stalakmit yang terlihat sangat kokoh, dan membuat simpul
bowline. Ternyata dia sedang membuat sebuah sistem anchor
sederhana. Usai semua siap, dia pun melempar ujung tali
kepadaku. “Pegang tali itu saat naik!”
“Baik!”
Pelan aku merayap ke atas. Kakiku bergeser sedikit
demi sedikit, dengan pijakan tonjolan bebatuan gua. Saat
om
memasuki celah, aku harus merayap kira-kira tiga meter.
.c
ot

Dan selanjutnya … aku melihat surga! Surga buat para


sp
og

peneliti.
l
.b

Aku nyaris berteriak saking girangnya. Tak hanya satu


do
in

kudapati makhluk yang disebut-sebut sebagai moyang


a-

kepiting bernama ilmiah Karstama jacobsoni itu. Ada


k
sta

beberapa. Dan semakin aku meneliti depa demi depa lorong


pu

cabang itu, aku semakin terkesima. Spesies-spesies gua yang


unik ada di sini! Genus Sarax, Charon, Heteroda, Isopoda …
jumlahnya melimpah. Mungkin mikroba-mikroba yang ada
di sini pun sangat khas. Hanya saja, aku tentu tak bisa melihat
dengan mata telanjang. Aku harus mengambil sampel air
dan memasukkan dalam botol-botol kecil yang kubawa di
dry-pack-ku.
Seperti kesurupan, aku terus bergerak … menyusuri lorong
itu. Mengambil sampel air dan makhluk kecil. Mendata jenis

213
fauna yang tak mungkin kuambil. Memotret spesies-spesis
itu dengan kamera murahan yang sengaja kubawa untuk
menggantikan DLSR-ku yang kutinggal di basecamp karena
takut terjatuh dalam air. Terus. Kubiarkan Anton berjalan di
belakangku meski terus saja mengomel dan menyuruhku
kembali.
Aku melangkah, dan melangkah. Tak peduli dengan
labirin yang kian membingungkan. Dari lorong, berbelok
ke lorong lain, lorong lain. Untungnya, Anton yang sangat
berpengalaman tak pernah lupa menempelkan kertas
fosfor di setiap percabangan. Juga lightstick khusus untuk
percabangan yang crowded. Aku tak pernah khawatir selama

om
ada Anton Yosef Maringka. .c
Namun, ketika aku sudah sampai pada sebuah kolam
ot
sp

yang dilimpahi spesies kepiting bule itu, mendadak Anton


og

berseru!
l
.b
do

“Cukup sampai di sini!” bentaknya.


in
a-

Aku menoleh.
k
ta
s

“Kita sudah berjalan terlalu jauh. Dan persediaan kertas


pu

pospor ataupun light-stick-ku sudah habis. Atau, jika kau


ingin terjebak dalam labirin dan bertahun-tahun tak mampu
keluar, ya silakan saja! Tapi aku akan kembali.”
Aku pun terpaksa bangkit dan dengan berat hati mengikuti
langkahnya.

Sepasang Mata dan Telinga dalam Gelap


Sambil terbang menjauh, aku mengeluarkan suara untuk
mengetahui apa-apa yang ada di depanku. Selain agar tak

214
tertabrak benda-benda gua, aku berharap akan menemukan
sesuatu yang bisa kusantap hari ini. Perut yang kenyang
membuat aku tak perlu terbang jauh hingga keluar gua. Aku
bisa tidur dengan nyenyak tanpa diganggu rasa lapar.
Aku tersentak, ketika suara lirih yang kuembuskan, suara
yang tak mungkin didengar oleh makhluk selain bangsaku,
mendadak memantul pada benda-benda yang tak lazim
kutemui. Awalnya, seperti biasa, suara itu memantul di
dinding gua, lalu bergerak menabrak percabangan, berbelok,
menimpa sebuah batu besar, menyusup ke sebuah celah,
berbelok lagi, lagi dan lagi. Akan tetapi, ketika melewati
sebuah percabangan, ada sebuah pantulan yang berbeda.

om
Ada benda seperti menyerupai manusia. Tak hanya satu.
.c
Mungkin dua. Ya, dua. Pantulan bunyinya mirip dengan yang
ot
sp

ditimbulkan saat gelombang suaraku menyentuh tubuhmu.


og

Ada dua manusia di jarak yang tak terlalu jauh dariku. Ini
l
.b
do

membuatku penasaran. Aku pun segera berkelintar di lubang


in

raksasa nan gelap gulita itu.


ka-
ta

Sorot cahaya yang cukup kuat memfungsikan


s
pu

pandanganku. Meski sepasang mata ini terasa perih dan silau,


namun karena cahaya itu aku mampu melihat sosok yang
ada di depanku. Benar, ada dua orang manusia di sebuah
lorong. Cahaya itu ternyata berasal dari benda-benda yang
ada di atas kepala mereka.
Entah apa yang sedang mereka lakukan. Aku tak tahu.
Yang jelas, saat mereka telah melangkah semakin jauh,
mendadak aku mendengar suara-suara meninggi dari
perbincangan mereka.

215
“Mari kembali ke lorong air!” ujar seseorang dari mereka,
yang bertubuh tinggi, serta rambut yang pasti panjang, karena
ujung-ujungnya keluar dari penutup bulat yang mereka
kenakan di kepala. “Ini percabangan yang tak terlalu penting.
Dan aku sama sekali tak tahu, akan mengarah kemana lorong
ini.”
“Siapa bilang, Ton,” jawab seorang yang bertubuh lebih
mungil. “Justru di lorong ini, kita menemukan spesies-spesies
yang menakjubkan.”
“Kau cukup mencatat hal ini sebagai sebuah temuan.
Tak harus kemudian mempelototi satu persatu. Gua ini
sangat panjang. Kau akan mendapatkan banyak kejutan-
om
kejutan di lorong lain. Ingat, kita baru survey, mestinya
.c
kita tak usah terlalu detil mengambil sampel-sampel fauna
ot
sp

yang ada. Meski aku cuma mahasiswa bodoh, aku juga tahu
og

bahwa penelitian ekologi itu menuntut para peneliti untuk


l
.b
do

memahami betul kondisi lokasi yang akan menjadi tempat


in

penelitian. Kita sudah menghabiskan waktu berjam-jam


a-
k

hanya untuk menempuh tak sampai sepuluh persen dari


sta
pu

jarak yang sebenarnya.”


Si mungil itu mendadak terdiam. Aku suka melihat
wajahnya yang menarik. Dari cahaya lampu yang memancar
di atas kepalanya, aku melihat garis-garis wajahnya yang
lembut. Namun yang paling membuatku berlama-lama
mengaguminya adalah sepasang mata yang berkilauan
tajam bagai bintang-bintang yang pernah kulihat di langit,
tatkala aku keluar dari gua ini. Sepasang mata itu seperti
menggambarkan sesuatu yang tenang, namun bergolak.
Lembut, namun keras. Aku tak tahu apa namanya. Tetapi aku
suka. Suka.
216
“Kupikir kau betul, Ton,” kata si mungil. “Kita semestinya
tak usah terlalu detil melakukan sampling. Kita hanya tiga
hari di sini. Perbekalan kita hanya untuk tiga hari.”
“Bukan hanya perbekalan,” kata si rambut panjang yang
dipanggil ‘Ton’. Suaranya seperti bernada tidak senang.
“Tetapi juga daya tahan. Tiga hari mendekam di perut bumi,
bukan sebuah perjuangan yang mudah. Sejak dulu, aku sudah
bilang, sebaiknya kau menurut apa kataku, tetapi kau keras
kepala dan menganggap bahwa pendapatmu selalu benar.”
“Aku sungguh sangat tertarik untuk meneliti setiap
jengkal yang kulewati. Dan khusus di lorong ini, aku seperti
menemukan sebuah keajaiban.”
om
“Kalau begitu, tinggalah sebulan di sini, dan kau akan
.c
ot

mendapati, bahwa meskipun setahun kau menetap di sini


sp

pun, tak akan mampu misteri gua ini kau pecahkan dan
og
l

kau tuangkan dalam lembaran kertas laporan. Atau, jangan-


.b
do

jangan kau ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri


in
a-

bagaimana sebuah stalaktit terbentuk? Berdoalah agar tuhan


k
ta

memberimu nyawa hingga seribu tahun lamanya.”


s
pu

“Ton, kamu nggak boleh ngomong begitu. Bukankah


sudah kau bilang berkali-kali, bahwa di tempat seperti ini,
kita nggak boleh egois, nggak boleh ngerasa besar, nggak
boleh sombong. Tapi, baiklah … kau memang yang benar,”
kata si mungil. “Saya yang salah perhitungan.”
“Kalau sudah sadar bahwa kamu salah, ayo kita kembali!
Teman-teman pasti kebingungan karena kita terlalu lama
pergi. Kau mengacaukan kerja sama tim!”
“Sebentar! Boleh aku beristirahat sebentar saja. Aku
sangat lelah, dan lapar.”

217
“Bahkan dalam keadaan seperti ini, kau masih memikirkan
perutmu sendiri!”
Meski terdengar tak suka, si ‘Ton’ itu tetap membiarkan
si mungil membuka sesuatu yang ada di pundaknya,
mengeluarkan beberapa benda—seperti makanan, dan
menyantapnya.
Suasana kembali hening.
Pada saat itulah aku merasakan sebuah getaran memasuki
pendengaranku. Ada gaung gemaung lirih yang terpantul dari
batu ke batu, dan kini suara itu berhasil kutangkap. Suara
yang juga sangat kukenali.
Kamukah itu? Apa yang kamu kerjakan?
om
.c
Kau, apa yang hendak kau lakukan? Lewat sinar lampu dari
ot
sp

dua orang pelancong itu, yang juga mengarah ke tubuhmu


og

yang bersembunyi di balik batu, aku melihat sinar matamu


l
.b

membara. Marahkah kau? Aku pernah melihat gulungan


do
in

ombak laut saat pasang di bawah sinar bulan. Lidah-lidah air


a-

menggempur tebing-tebing karang dengan suara keras, seperti


k
ta
s

makian orang-orang kalap. Aku tak mendengar makian dari


pu

mulutmu. Tetapi aku tahu, ada sesuatu yang membuat kau


seperti empasan ombak penuh tenaga itu.
“Kalian... Kalian akan menerima hasil setimpal dari
perbuatan kalian. Rasakan... Rasakan…”
Suaramu terdengar sangat aneh. Tajam tatapku
mengikutimu yang bergerak pelan, bersijingkat, sejengkal
demi sejengkal. Apa yang hendak kau lakukan?
Perlahan aku mengikutimu. Apa, apa yang kau lakukan?
Apa yang kau cabuti dari setiap percabangan gua ini? Sesuatu
yang bercahaya, berpendar di tengah gulita.[]
218
20
Topaz

“K enapa kertas-kertas fosfor itu tak menyala dalam


gelap?” di sebuah percabangan, Anton terlihat
ot
.c
om
bingung. “Lightstick-nya juga hilang. Ada apa, ini?” Dia
sorotkan senternya ke sana kemari, ke dinding, ke lantai. “Ini
sp
og

… ada sesuatu… ya… pasti ada sesuatu yang telah terjadi.”


l
.b

Kulihat wajah Anton yang biasa tenang sedikit panik.


do
in

“Kertas fosfor dan lightstick-nya… hilang?” aku ikut


a-
k

terpana.
sta
pu

“Ada yang mencabutinya. Tetapi, mengapa? Siapa? Yang


ada di gua saat ini, hanya kita bertujuh. Dan tak mungkin
mereka seiseng ini dengan menghilangkan penanda yang
sangat penting. Kegiatan seperti itu jelas-jelas akan berujung
pada maut.”
Kami sama-sama terpaku untuk beberapa saat. Bayang-
bayang buruk dengan segera berkelindan di benakku.
Tersesat di gua, terjebak dalam labirin, tak ada seorang pun
yang menemukan, dan lama-lama kami akan kehabisan
perbekalan, dan mati kelaparan. Atau, jika pun mampu

219
bertahan, pelan-pelan kami akan menjadi manusia gua yang
mereduksi kemampuan penglihatannya, berkembang indra
perabanya, dan mengalami depigmentasi seperti kepiting-
kepiting dari genus Karstama tadi.
“Jadi … apa yang akan kita lakukan?”
“Tentu tidak dengan mempelototi kepiting-kepiting sialan
itu, yang membuat kamu lupa daratan dan meninggalkan
teman-teman begitu lama. Tololnya, mengapa aku begitu
bego dengan memposisikan diri sebagai pengawalmu!”
semprot Anton. Kulihat dia panik. Dan kepanikan itu
membuat dia kehilangan kontrol diri.
Kutahan emosiku, agar tak terpancing. Kuhela napas,
mencoba bersikap tenang. om
.c
ot

“Berdiam diri tak menyelesaikan masalah. Kita harus


sp
og

mencoba mencari jalan keluar.” Kuarahkan senterku ke


l
.b

sekitar gua. Depan, belakang, kanan, kiri, atas, bawah, meski


do

headlamp sebenarnya sudah cukup memberikan penerangan


in
a-

memadai.
k
sta

“Berhentilah menghamburkan energi!” sentak Anton


pu

lagi. “Kita mungkin akan terjebak berhari-hari di sini. Jika kita


kehabisan baterai, kita akan mengalami kegelapan abadi.”
Kuraba carrier bag di punggungku. Selain cadangan
baterai, juga ada tersimpan tiga bungkus lilin khusus. Juga
makanan cadangan, serta berbagai peralatan survival yang
cukup untuk bertahan hidup beberapa hari jika sewaktu-waktu
terjebak banjir di gua. Tetapi, kepanikan yang tergambar di
wajah Anton mendadak membuatku jeri. Apakah ada sesuatu
yang dipikirkan lelaki itu?

220
“Fa, mari berpikir! Apa yang kita lakukan, bukan
sesuatu yang wajar. Dan dalam keadaan seperti itu, kita tak
boleh berpikir hanya sekadar hubungan sebab akibat yang
ditimbulkan karena ulah kita semata,” bisik Anton, sembari
duduk di atas bongkahan batu berwarna putih.
Saat ini kami berada di sebuah chamber kecil yang tak
tergenang air, meski tak bisa juga disebut kering karena
beberapa flowstone terus meneteskan air, dan kolam-kolam
yang terbentuk dari ceruk, mengakumulasi air perkolasi dari
tetesan-tetesan itu. Beberapa spesies Karstama yang tadi
sempat membuatku kalap, tak lagi terlihat menarik dalam
kondisi seperti ini. Aku mengikuti langkah Anton, memilih

om
sebuah batu yang terletak tak seberapa jauh dari posisi lelaki
.c
itu.
ot
sp

“Jadi, menurutmu, ada tangan-tangan usil yang ingin


og

mengerjai kita?”
l
.b
do

“Apakah kau kira hampir selusin tanda yang kutinggalkan


in
a-

di percabangan itu, yang ternyata hilang, itu akibat proses


k
ta

alami, semisal tetesan air dari stalaktit yang tiba-tiba bergerak


s
pu

dan menghancurkannya?” Anton seperti sangat kesal. Dan


lagi-lagi aku memilih tak menanggapi kekesalannya.
“Dan, tak mungkin juga ada spesies trogloxene12 seperti
kelelawar atau sriti yang mendadak terbang ke sini dan
mengunyah semua tanda-tanda itu, bukan?” aku mencoba
bersikap santai dengan guyonan yang entah akan membuat
Anton merasa santai, atau justru bertambah kesal.

12 Kelompok fauna yang menjadikan gua sebagai tempat tinggal semen-


tara dan hidupnya masih bergantung pada lingkungan di luar gua.

221
“Trogloxene berspesies Homo sapiens13 sangat mungkin!”
sembur Anton yang memang terlihat kesal mendengar
guyonanku yang segera kuakui, benar-benar tidak pada
tempatnya.
“Tetapi, bukankah katamu tadi, hanya ada kita bertujuh
di gua ini? Bukankah untuk bisa memasuki gua ini, harus
ada izin ke pemerintah kabupaten? Dan semua aktivitas kita,
dipantau dai basecamp?”
“Kau tahu, gua ini sangat luas, panjang, dan misterius.
Belum semua lorong terjelajahi. Dari ekspedisi terakhir,
tahun 2002, konon gua ini terhubung pada sebuah luweng
di kota Punung. Tetapi, bisa jadi percabangan gua ini yang
om
sangat rumit, juga menghubungkan gua dengan luweng atau
.c
ot
celah lain.”
sp

Analisis Anton membuat rambut-rambut di kudukku


ogl

mendadak meremang. Oya, aku sangat menghindari istilah


.b
do

bulu kuduk. Sebagai seorang calon biolog, aku tahu bahwa


in
a-

bulu hanya ada di kelas aves, atau burung, bukan mamalia


k
ta

seperti manusia. “Jadi, menurutmu, bisa jadi ada manusia


s
pu

lain di gua ini, yang masuk lewat tempat selain yang kita
lewati kemarin?”
Anton mengangguk. “Sangat mungkin. Gua ini sangat
panjang dan luas. Bisa jadi ada entrance lain baik vertikal
maupun horizontal.”
“Dan, orang itu mungkin memiliki niat jahat?”
“Jika tidak punya niat jahat, untuk apa dia mencabuti
tanda-tanda itu?”

13 Nama latin spesies manusia.

222
“Tapi, apa motivasinya?” aku mengerutkan kening. Alur
dari berbagai kisah fiksi yang pernah kubaca, berkelindan di
pikiranku. “Atau, misalnya begini, ada perampok yang diam-
diam menyimpan emas berlian di salah satu ruang gua ini,
dan dia takut simpanan hartanya itu terlihat oleh kita?”
Anton tertawa sumir. “Imajinasimu boleh juga. Tetapi, ya
bisa jadi semacam itulah….”
“Ton, coba diingat-ingat, jangan-jangan, untuk
percabangan yang ini, kau lupa tak menempelkan kertas fosfor
atau meletakkan lightstick?” aku mencoba mengenyahkan
hipotesis tentang perampok yang menyimpan harta curian di
gua ini jauh-jauh.
om
Tetapi Anton menggeleng, dan gelengannya mantap. “Kau
.c
ot

tahu, di dalam kaidah penyusuran gua, berlaku ketentuan


sp

‘sepuluh tapak kau melangkah, berbaliklah. Amati sekitar’.


og
l

Pastikan penunjuk jalan itu tetap berada di tempatnya. Aku


.b
do

mungkin goblok, tapi aku nggak ceroboh.”


in
a-

“Ton, bisa jadi ada orang yang menjahili kita itu mungkin
k
ta

benar. Tetapi, kita tak mungkin terus duduk di sini dan tidak
s
pu

melakukan apa-apa, bukan? Coba ingat-ingat lagi, selain


kertas fosfor, apa saja tanda-tanda menonjol dari lorong yang
benar?” kutatap percabangan yang terdiri dari dua lorong
besar dan satu celah sempit itu. Mendadak aku berteriak. “Ya,
aku ingat. Tadi aku sempat tersandung saat melewati daerah
ini. Jadi, stalakmit yang sangat mungkin untuk membuatku
tersandung, adalah pada lorong itu!” kutunjuk sebuah lorong
dengan sebuah stalakmit kecil yang berada tepat di tengah
lorong.

223
“Kau yakin?” Anton terlihat sanksi.
“Ya!”
“Baik, kita coba.” Anton tampak sedikit bersemangat.
Namun sebelum melangkah, dia sempat mengambil sebuah
notes, menyobek satu kertas, dan meninggalkannya dalam
sebuah batu besar yang jika ada sinar lampu menyorot, pasti
akan terlihat dengan jelas. Pada sobekan itu, dia tulis huruf:
Help us! Anton & Fahira. Lalu dia tindih kertas itu dengan
batu kecil.
Diam-diam aku berdoa, jika memang benar ada orang
jahat yang ingin mengganggu kami, semoga kertas itu luput
dari kejahilannya.
om
Kami melangkah, terus melangkah, dan memasuki labirin
.c
ot

yang memusingkan. Namun lorong air itu tak juga kami


sp
og

temukan. Sekitar satu jam, akhirnya kami memasuki sebuah


l
.b

chamber kecil. Cahaya headlamp menyorot ke sebuah batu


do

besar. Dan aku tercengang, melihat selembar kertas yang


in
a-

ditindih dengan batu kecil.


k
sta

“Lho, kok kita kembali ke tempat ini lagi?” seruku, mulai


pu

frustasi.
Anton menghela napas panjang, dan kembali duduk
mencakung. Keringat bercucuran membasahi tubuh kami.
Tubuh kami memang dibungkus cover all yang tahan air.
Tetapi, karena baru saja menembus sungai bawah tanah
setinggi dada, sebagian air menembus pula pakaian dalam
kami. Udara di ruang ini juga sepertinya sangat minim
oksigen. Dalam keadaan seperti ini, pengalaman melakukan
lari sejauh kiloan meter secara di siang bolong, ternyata
cukup membantu.

224
Akan tetapi, tubuh yang lengket ini kian terasa tak
keruan.
“Kita benar-benar tersesat!” ujar Anton. “Berputar-putar
mencari cabang yang benar, dan kita sama sekali tak melihat
ada tanda-tanda kertas fosfor maupun light stick.”
Kini aku merasakan kegugupan yang sama. Rasa panik
seperti gelombang pantai selatan yang menggempur-gempur
batu karang di dadaku. Akan tetapi, aku mencoba untuk
tetap bersikap tenang. Ya, tenang. Keadaan panik hanya
akan membungkam logika seseorang. Jika logika terkapar,
peran otak primitif yang strukturnya mirip otak reptil akan
mengkudeta kendali tubuhku. Aku manusia. Mahasiswa.
om
Konon terkenal cerdas pula. Ratusan milyar sel otak harus
.c
dipaksa berpikir, mengupayakan segala cara agar bisa selamat
ot
sp

dari jebakan labirin ini.


og
l

Ya, tenang! Aku menghela napas panjang. Setelah


.b
do

deburan ombak kepanikan mulai dapat kujinakkan, kulirik


in
a-

jam tangan waterproof yang secara otomatis bercahaya pada


k
ta

waktu gelap. “Sudah jam setengah dua. Bagaimana jika kita


s
pu

shalat dhuhur dulu?”


Ya, shalat akan membantu aku menekan pemberontakan
otak reptilku untuk berkuasa di korteks enchepalon.
Anton melirik sekilas, tetapi tak bersegera menanggapi
ajakanku. Dia tetap berdiri terpaku dengan wajah tegang.
Tak terlalu peduli dengan sikap Anton, kuhampiri sebuah
kolam air perkolasi yang berada di balik pagar kolom,
sehingga tak terlihat oleh Anton yang tengah menatap ke
arah lain. Kulepas coverall dan sepatu bootku, berwudhu.

225
Lantas kubongkar carrier bag dan kuambil sebuah mukena.
“Ayolah, Ton! Shalat dulu. Dalam keadaan seperti ini, tak
ada yang pantas kau sandari selain Tuhan.”
Anton masih membeku.
Akhirnya aku pun shalat sendiri. Khusyuk. Dhuhur
dan asyar aku jamak qoshor. Hampir lima belas menit aku
tenggelam dalam kekusyukan, akan tetapi usai berdoa dan
melipat mukena, aku melihat Anton masih dalam posisi
seperti semula. Berdiri membelakangiku, dengan wajah
keruh.
“Maaf, sebenarnya, apa agamamu, Ton?”
Hening. Tak kudengar suara apapun selain titik-titik air
yang menetes dari rekahan batu-batu gua. om
.c
ot
sp

“Ton!”
og

“Sorry kalau aku mengagetkanmu. Tapi, selama ini aku


l
.b
do

tak percaya dengan agama apapun,” jawabnya, setelah


in

beberapa saat termangu.


ka-

Kukerutkan keningku. Lalu beringsut mendekat, duduk


ta
s
pu

di sebuah batu yang cukup dekat dengan posisinya. “Kau


memiliki rasa takut dan cemas. Kau gelisah dan panik. Itu
artinya kau membutuhkan sandaran. Keyakinan, agama,
adalah sandaran yang membuat manusia senantiasa memiliki
harapan.”
“Hm, begitu ya?”
“Dan kau pasti tahu, betapa penting sebuah harapan
dalam hidup seorang manusia. Harapan akan membuat
seseorang tetap optimistis dengan laku apapun yang tengah
dia jalani, seburuk apapun itu. Orang sukses, sebenarnya

226
hanyalah orang yang mampu memenej harapan dengan
baik. Pemimpin yang baik, kata Napoleon, sebenarnya pun
hanyalah seorang agent of hope. Jadi, bagaimana mungkin
harapan itu akan kita miliki jika kita tak memiliki sandaran
yang menjadi muara segala harapan?”
“Aku masih belum paham dengan penjelasanmu. Terlalu
mengawang-awang,” sinis Anton. “Bisakah diperjelas? Mak-
lum, aku kan hanya mahasiswa bego.”
“Tuhan adalah ma’bud—sesuatu yang disembah, dan
kita, manusia, adalah ‘abid—hamba. Ada tangga yang akan
menghubungkan seorang hamba dengan tuhannya. Tangga
itu bernama ibadah. Dalam agama yang aku yakini, intisari
om
dari ibadah adalah doa, yang diucapkan dalam segala hal,
.c
termasuk shalat. Dan apakah itu doa? Sebenarnya doa adalah
ot
sp

harapan itu sendiri.”


og
l

Anton mendengus. “Papaku muslim. Ibuku Kristen.


.b
do

Keluarga besar ibu juga Kristen. Sementara keluarga besar


in
a-

Papa, seagama dengan Papa. Sekarang aku bertanya, apa


k
ta

pentingnya kamu mengetahui itu semua? Keyakinan itu


s
pu

sesuatu yang bersifat privat. Tak seorang pun yang bisa


memaksakan kehendaknya.”
“Aku setuju. Keyakinan tak bisa dipaksakan. Apapun
keyakinan yang kau ambil, aku akan menghormatimu.”
“Bagaimana jika aku memilih tak memiliki keyakinan?
Kau masih menghormatiku?”
“Masalahnya, aku tak yakin bahwa kau tak punya
keyakinan. Kau punya, tapi pura-pura tak punya. Atau tak
menyadarinya.”

227
“Kau memang pintar bersilat lidah. Dan aku tahu,
mahasiswa-mahasiswa yang pintar beretorika seperti kamu-
lah yang dipandang di kampus kita. Tak peduli otaknya ko-
song tak ada isi. Nantinya, mahasiswa seperti kamulah yang
kemudian akan masuk ke parpol-parpol, menjadi politisi,
lalu naik pangkat jadi pejabat. Negara pun menjadi riuh ren-
dah dan bising oleh retorika,” desis Anton. “Tapi, baiklah,
aku katakan kepadamu. Aku muslim. Setiap lebaran, aku beli
baju baru, berlebaran dan memakan ketupat. Tapi aku tak
bisa shalat. Islamku cuma identitas di KTP. Keluargaku yang
kristen juga begitu. Mereka merayakan natal, memasang po-
hon natal, tetapi tak rajin ke gereja.”

om
“Menurutku, justru sikap seperti itu yang menunjukkan
.c
bahwa kau tidak yakin dengan keyakinan yang kau pilih.
ot
sp

Jika kau muslim, berkomitmenlah dengan keislaman yang


og

kau ambil! Salah satu bentuk komitmen adalah dengan me-


l
.b
do

lakukan shalat. Kemarin aku melihat kau ikut shalat ber-


in

jamaah. Mengapa tidak kau lanjutkan? Shalat adalah tiang


ka-

agama. Agama akan roboh jika tiangnya keropos. Jadi….”


ta
s
pu

“Jangan ceramahi aku soal keyakinan!” ketus Anton. “Dan


jangan coba-coba memaksaku untuk mengikuti apa yang
menjadi keinginanmu. Aku tak peduli pandangan manusia.
Mau dibilang munafik, pembangkang, atheis, bahkan anjing
buduk sekalipun, aku tak peduli. Aku akan shalat jika aku
membutuhkan. Aku akan puasa jika aku menginginkan. Aku
tak ingin pura-pura shalih karena hanya ingin menyenangkan
orang. Akan menjadi seperti apa, itu terserah aku. Karena,
memang tak ada satu pun orang yang mau peduli denganku.
Siapa butuh orang tak bermasa depan sepertiku?”

228
Ledakan Anton membuat aku surut ke belakang. Oh,
baiklah … mungkin kata-kataku tadi ada yang salah. Apa
yang harus kulakukan agar ketegangan ini mereda?
“Kau bilang tak ada yang peduli padamu? Kau pikir tak
ada yang butuh dirimu? Tampaknya kamu salah. Aku, Ton!
Saat ini, aku butuh kamu. Butuh pertolonganmu. Kau sangat
berpengalaman soal gua. Kita tersesat, dan bersama orang
seperti kamu, aku merasa lebih aman.”
Aku terkesima sendiri begitu menyadari kata-kataku. Ya
Tuhan, bagaimana mungkin aku bisa mengeluarkan kalimat
yang sebenarnya bisa membuat harga diriku terjun bebas
seperti ini?
om
“Itu pernyataan yang logis. Tuhan tak akan turun ke gua
.c
ot

ini dan kemudian membukakan pintu gua dan membentang-


sp

kan karpet merah meskipun kau berdoa sepuluh ribu tahun


og
l

lamanya.”
.b
do

Kembali kuhela napas, memamah dongkol jadi remukan


in
a-

kesabaran. “Tidak, Ton! Tak perlu Tuhan turun langsung un-


k
ta

tuk menolong hamba yang hina seperti kita. Cukup Tuhan


s
pu

menggerakkan otak kita, membukakan ilham kepada kita,


atau menyusupkan ide-ide kepada makhluk-makhluknya un-
tuk menolong kita. Dan kau, Ton, segala pengalaman yang
kau miliki, juga bagian dari pertolongan-Nya kepadaku.”
Anton memijit-mijit dagunya yang sedikit kebiruan,
bekas jenggot yang dia pangkas habis. Sesaat aku tertegun.
Ternyata aku dan Anton memiliki kebiasaan sama jika tengah
berpikir keras. Memijit dagu secara reflek.
“Ya, Ton. Aku butuh kamu. Butuh pengalamanmu.”

229
“Tapi … aku tak berpengalaman menghadapi manusia
yang secara sengaja membiarkan kita tersesat. Apalagi jika
manusia itu memiliki niat buruk terhadap kita.”
“Jadi, kau yakin bahwa ini benar-benar ulah manusia?”
“Astaga! Jadi kau masih menganggap bahwa yang
menghilangkan tanda-tanda itu tadi hanya sekadar burung
lawet, sriti atau kelelawar?”
Aku terdiam. Melihatku tak melayani omongannya,
Anton ikut diam. Kami tenggelam dalam lamunan masing-
masing.
Sadar bahwa lamunan tak akan menyumbang hasil
apapun, aku membuka carrier bag-ku. Mengeluarkan bekal
om
makanan. Dua potong sandwich kukeluarkan, sepotong
.c
ot

kusodorkan ke Anton.
sp
og

“Makanlah,” kataku.
l
.b
do

Dia tertawa. “Ya, kau benar. Hal yang paling rasional


in

yang harus kita lakukan saat ini adalah makan.”


a-
k

Aku mengerling ke arahnya. Jadi, shalat, ibadah, bagi dia


sta
pu

adalah sesuatu yang kurang rasional? Setidaknya dibanding


dengan makan? Aku menggeleng-gelengkan kepala.
“Makan sangat penting, agar kita tidak kehabisan tenaga.
Tetapi kita juga harus sangat berhemat, karena kita tidak
tahu sampai kapan akan terus begini. Jadi, kuharap kita bisa
kenyang hanya dengan sepotong sandwich,” kata Anton.
Aku tersenyum kecil. Dengan postur tubuhku yang
mungil seperti ini, kalori yang dibakar dari sepotong sandwich
sudah cukup untuk menjaga stamina sampai beberapa jam
ke depan. Justru Antonlah yang mengkhawatirkan. Dengan

230
tinggi badan yang begitu menjulang dan bobot yang hampir
70 kilogram, apa iya dia mampu bertahan dengan makanan
yang sama dengan porsiku?
“Kalau terpaksa, bolehkah kita menangkap binatang-
binatang yang kita temukan di sini?” Tanyaku, sedikit
mengusik prinsipnya yang terpacang sekukuh batu karang.
Take nothing but picture, leave nothing but footprint, kill
nothing but time.
“Di gua-gua karst daerah Gombong Selatan, para
speleolog menemukan banyak fosil sejenis keong laut purba
dalam keadaan terpotong ujungnya. Menurut para speleolog,
manusia purbalah yang memotong ujungnya dan menghisap
isi keong itu sebagai makanan,” lanjutku. om
.c
ot

“Jadi, kau ingin bergaya seperti manusia purba? Mengapa


sp

tak menjajal hidup gaya Rhincodon typus, hiu paus yang bisa
og
l

hidup dengan memakan plankton? Di perairan gua ini pasti


.b
do

banyak planktonnya. Sudahlah, nggak usah lebay menebar


in
a-

harapan! Kalau tersesat semacam ini, motivator sekelas


k
ta

Mario Teguh atau James Gwee pun nggak akan mampu


s
pu

membalikkan keadaan. Kecuali kalau kata-kata itu berhasil


disulap jadi peluru yang bisa menghancurkan batu-batu.”
Aku nyengir mendengar celetukan Anton. Namun melihat
wajah Anton yang masih saja ditekuk masam, kesantaianku
kembali pudar. Maka, usai memasukkan suap terakhir dari
potongan sandwich-ku, aku bangkit. Memutar akal. Aku tak
mau menyerah secepat ini!
Kuselusuri setiap depa dinding chamber dengan seksama.
Kutelisik setiap stalaktit, stalakmit, kolom, helektit, flowstone

231
dan sebagainya. Petunjuk, di mana kau pentunjuk! Di kolam
air perkolasi, beberapa spesies langka bergerak-gerak ketika
tertimpa cahaya senterku. Tetapi saat ini, aku sudah tak lagi
memiliki ketertarikan untuk mengamati tingkah spesies itu.
“Ton, bagaimana kalau kita mencoba menyusuri lorong
yang satunya lagi.”
“Jadi, kau sudah ingat sekarang, bahwa yang membuatmu
nyaris tersandung tadi bukan stalaktit di lorong yang barusan
kita masuki?” ejek Anton.
“Aku tak punya ide,” ujarku, jujur. “Tetapi aku tak mau
diam tanpa melakukan usaha apapun. Kita harus terus
mencoba. Tanpa mencoba, justru kita akan terkurung dalam
om
keputusasaan yang mungkin justru muncul dari sikap apatisme
.c
ot

kita. Gua ini mungkin sangat luas dan panjang. Tetapi, toh
sp

masih berupa gua, yang pasti memiliki jalan keluar. Kalau


og
l

kita mencoba, pasti akan ketemu kok, jalan keluarnya.”


.b
do

“Kecuali kalau mendadak banjir dan kita mati tenggelam.


in
a-

Atau kita keburu mati karena kehabisan bekal dan sesak


k
ta

napas akibat hawa yang berlimpah karbon dioksida.”


s
pu

“Itu takdir. Yang penting kita sudah usaha.”


“Ini ketololan. Kesalahan. Jika kau komitmen dengan
sikap awal bahwa kita hanya survey, dan belum memulai
sampling, tentu kita tak akan terjebak di sini.” Suara Anton
meninggi. “Jika kau tak bernafsu memburu binatang-binatang
itu, kita tak akan terjebak di sini.”
“Kau mulai lagi!” ketusku akhirnya. Mataku memanas,
ketika mulai dipojokkan. Semakin gundah karena
sesungguhnya Anton memang benar sepenuhnya. Akulah

232
penyebab semua ini. Jika akhirnya kami harus mati, akulah
yang menyebabkan kematian Anton. Layak sekali jika lelaki
itu terlihat sangat jengkel.
Cepat aku berkemas. Mengemas barang-barang. Memakai
kembali peralatan yang ada. “Kalau kau tak mau mencoba,
ya tinggal aja di sini! Aku sih, selama masih bisa bergerak,
tak akan menyerah.”
Tak kuduga, Anton tersenyum, meski senyumnya masih
setipis kulit ari. “Bagus, aku suka dengan sikapmu! Kupikir
selama ini kau hanya gadis cengeng yang suka sok pintar dan
sok ngatur!” Anton mengemasi perbekalannya dan kembali
memasukkan ke carrier bag-nya. Aku melangkah keluar dari
chamber dengan cemberut. om
.c
ot
sp
og

Sepasang Telinga dalam Gelap


l
.b

Rasa ingin tahu yang besar telah membuatku melupakan


do
in

tidurku siang ini. Aku tak peduli jika nanti malam, saat bulan
a-

bertandang, pohon mangga yang tengah berbuah lebat dan


k
sta

sebagian telah mulai ranum di dekat mulut gua ini diserbu


pu

oleh kawan-kawanku. Tak ada yang lebih menarik saat ini


ketimbang terus bergerak, mengamati apa yang terjadi,
mendengar setiap pantulan bunyi, dan segala yang masuk
dalam indraku.
Aku sangat penasaran dengan apa yang telah kulihat
dan kudengar. Melihat kedua manusia itu berputar-putar
kebingungan, akhirnya aku tahu, bahwa benda bercahaya
itu adalah semacam tanda bagi mereka. Mereka tak memiliki
kemampuan sepertiku, yang bisa mendengarkan pantulan-

233
pantulan bunyi. Benda-benda bersinar dalam gelap itu
sesuatu yang sangat penting bagi mereka!
Kedua manusia itu sangat berbeda denganmu. Kadang kau
masuk ke gua ini hanya dengan membawa cahaya lemah dari
sebuah benda yang kau sebut senter. Terkadang membawa
obor. Tetapi sering pula tanpa penerangan apapun. Kau pasti
sudah sangat memahami lekak-lekuk gua ini.
Jadi, apakah kau sebenarnya menginginkan mereka
terjebak dalam gua ini? Apa yang sebenarnya akan kau
lakukan kepada dua manusia itu? Aku tak mengerti isi
hatimu, Gunadi. Sebagaimana pemilik pohon mangga yang
melempari kami dengan batu, sehingga sebagian dari teman-
om
temanku terluka, aku sering tak memahami perilaku manusia.
.c
Bukankah pohon mangga itu sudah ada sejak dahulu kala?
ot
sp

Ibuku mengajakku untuk datang ke pohon itu saat buahnya


og

mulai ranum. Pantulan suara pada buah yang sudah matang,


l
.b
do

sangat berbeda dengan buah yang masih mengkal. Ibu


in

mengajariku cara memilih buah yang termanis. Kata ibuku,


ka-

dulu dia juga diajari oleh ibunya. Demikian seterusnya.


ta
s
pu

Kupikir, Sang Pencipta menumbuhkan pohon itu untuk


menjadi makanan kami. Karena pohon itu sudah ada sejak
zaman moyangku. Tetapi, mengapa manusia itu melempari
kami dengan batu? Sungguh aku tak mengerti.
Dari ketinggian, kulihat dua orang manusia itu—si
mungil dan si rambut panjang, bergerak pelan menyusuri
lorong demi lorong. Cahaya lampu yang sepertinya sudah
tak seterang tadi, membimbing langkah mereka. Setelah
menempuh perjalanan cukup panjang, yang diiringi dengan
pertengkaran-pertengkaran, akhirnya mereka sampai juga

234
ke lorong kecil yang menghubungkan dengan lorong air.
Tetapi....
“Hai, lihat, bukankah ini adalah tali dari anchor yang
kau buat tadi?” Tanya si mungil, sambil mengarahkan benda
panjang dengan ujung yang bersinar kuat, pada seuntai
benda yang tersembul di bawah reruntuhan batu.
“Betul, Fa! Kamu sangat teliti. Ya, dari sini kemarin
kita masuk ke percabangan. Tetapi, kenapa lorong ini
tertutup batu? Runtuh? Tidak, tidak mungkin runtuh dengan
sendirinya. Lorong ini diruntuhkan. Aku yakin! Jadi, memang
betul, kita sengaja dikurung disini oleh seseorang.”
Ada sesuatu yang memaku pikiranku. Aku tahu. Aku saksi
om
matanya. Kau, Gunadi… kau yang mengambil batu besar
.c
ot

yang tergeletak di dekat celah. Lalu kau lempari dinding gua


sp

dengan batu-batu yang lebih kecil, hingga dinding itu runtuh,


og
l

menutup celah ini.


.b
do

Yang aku tak tahu, mengapa kau melakukan hal itu?


in
a-

Apakah kau ingin mencelakakan mereka?[]


k
ta
s
pu

235
pu
sta
ka-
in
do
.b

236
log
sp
ot
.c
om
21
Uvala

S etelah berputar-putar dalam keadaan lelah, penat,


bingung, takut dan cemas, kelima caver itu akhirnya
memutuskan untuk kembali ke pitch gua.
ot
.c
om
“Kita naik saja, dan segera mencari bantuan,” kata Jaka,
sp
og

dengan suara yang mulai serak karena terus menerus berteriak


l
.b

memanggil-manggil nama Anton dan Fahira.


do
in

“Ya Allah, tolonglah Fahira, tolonglah Anton….” Sambil


ka-

berlutut di lantai gua, Nania menangis terisak-isak. Matanya


ta
s

bengkak karena berjam-jam terus meneteskan air mata.


pu

“Selamatkan mereka, ya, Allah… mereka orang-orang baik,


Ya Allah. Aku bersaksi, mereka orang baik.”
“Tenanglah, Nan!” kata Azhar, sambil mengelap setetes
air mata yang juga tak mampu dia tahan. “Nanti di atas,
kita akan menghubungi orang-orang yang berkompeten
untuk mencari mereka berdua. Kita bisa minta bantuan para
basecamper.
“Mengapa tidak menghubungi tim SAR sekalian saja?”
kata Pak Deddy.

237
“Oh, iya, Tim SAR.” Kata Jaka. “Tim SAR pasti akan sa-
ngat tahu apa yang kudu dilakukan.”
“Tetapi, aku heran, heran banget, heran seheran-heran-
nya. Sebenarnya Anton kan caver yang sangat berpengala-
man. Dia tahu detil-detil bagaimana menaklukkan sebuah
gua. Bagaimana dia bisa tersesat begitu?” Azhar garuk-garuk
kepala.
“Jangan-jangan, dia nggak tersesat, tetapi sengaja ngerja-
in Fahira. Kan, Anton kayak sebel banget sama Fahira. Sejak
kemarin bawaannya jutek melulu,” celetuk Tom. “Mereka
juga berbantah-bantahan melulu.”
“He, kamu nggak ngerti siapa Anton. Jangan asal main
om
tuduh, kamu ya?!” Jaka mendekati Tom dan mencengkeram
.c
ot

kerah leher coverall Tom. “Anton itu leader kami yang sa-
sp

ngat bertanggung jawab dan nggak pernah melakukan hal


og
l

serendah itu.”
.b
do

“Kamu kalau ngomong pakai perasaan!” Nania ikut ma-


in
a-

rah. “Kamu orang baru di tim ini. Aku, nih, sudah bertahun-
k
ta

tahun jadi anak buah Anton. Meski tampangnya judes, hati


s
pu

Anton itu selembut sutra, tahu!”


“Eh, sudahlah, sudahlah!” Azhar menarik lengan Jaka.
“Dalam keadaan seperti ini, tak ada gunanya bertengkar.
Ayo, calm please! Sekarang sudah jam tiga sore. Kita harus
segera sampai di atas, agar Anton dan Fahira bisa segera
diselamatkan. Aku nggak ngebayangin jika mereka harus
bermalam di gua ini. Apalagi, mereka kan masuk ke lorong air.
Trus, kalau mendadak cuaca buruk, hujan turun dan lorong
itu menjadi sump14, gimana dong? Ingat, resiko kematian

238
dari cave diving itu hampir tujuh puluh lima persen. Apalagi,
mereka nggak membawa tabung oksigen.”
“Zar! Jangan ngomongin yang serem-serem!” tangis Nania
pecah lagi. “Aku nggak rela… nggak rela mereka… mereka
mati muda. Mereka ganteng dan cantik. Mereka juga masih
sangat muda. Pinter, baik. Fahira rajin beribadah. Allah pasti
sayang sama mereka.”
“Malahan kamu yang ngomongin serem-serem!” Azhar
menonjok helm Nania, gemas. “Aku baru bicara resiko
kematian, kamu udah membayangkan mereka mati.”
“Kalian berdua sama saja!” rutuk Jaka. “Sekarang,
sebaiknya kita diam. Diam, untuk berpikir, apa yang kudu
kita lakukan.” om
.c
ot

Azhar dan Nania merengut, namun segera menurut.


sp
og

Mereka pun terdiam, meski isak Nania masih saja ter-


l
.b

dengar.
do
in

Mendadak mereka mendengar teriakan Pak Deddy. “Ah,


a-

celaka!”
k
ta
s

“Ada apa, Pak?”


pu

“Tali temali dan peralatan SRT … rusak semua!”


“Ap-apaaa?”
Mereka berlari menghambur, dan wajah mereka ber-
ubah pucat lesi melihat tali-tali yang terpotong-potong dan
berserakan di mana-mana.
--o=[]=o--

14 Lorong yang dipenuhi air.

239
Pak Prawira Kusuma tergopoh memasuki ruangan Toko
Pusaka itu. Begitu membuka pintu kaca, tatapannya langsung
mengarah kepada Rinanti tengah duduk dengan wajah pucat
dan sinar mata kosong. Darma berjalan mondar-mandir
dengan wajah keruh. Toko sengaja ditutup. Meski, beberapa
kali dari dalam toko terlihat beberapa pengunjung turun dari
mobil dan terlihat kecele dengan tutupnya toko, tak ada yang
terpikat untuk membatalkan rencana dan menerima tamu-
tamunya kembali seperti biasa.
“Jadi, apa yang sebenarnya telah terjadi?” tanya Pak
Prawira Kusuma. Setelah ditelepon oleh Darma semalam,
lelaki itu langsung memesan tiket Jakarta-Solo dengan

om
pesawat terpagi. Begitu sampai bandara Solo, dia langsung
.c
meluncur ke Pacitan.
ot
sp

Rinanti seperti mendadak gagu, bingung sekali, dan


og

tak mampu bicara. Darmalah yang mencoba menjawab


l
.b
do

pertanyaan Pak Prawira Kusuma, meski lelaki yang usianya


in

hampir sebaya dengan Rinanti itu juga masih terlihat gugup.


ka-
ta

“Entah mengapa, tiba-tiba kami tersihir saat lelaki


s
pu

yang mengaku bernama Hilman itu datang, dan mengaku


sebagai keponakan yang Bapak utus untuk mengurusi toko
pusaka ini. Bahkan, Pak Hilman ini sempat saya antar,
bersama Bu Rinanti juga, ke pasar batu akik. Pak Hilman
yang mengeluarkan uang hampir sepuluh juta rupiah untuk
menebus batu-batu permata pesanan Ki Gunadi. Bagaimana
mungkin kami curiga dengannya?”
“Jika kau tahu, bahwa barang-barang yang dibawa Hilman
itu nilainya hampir seratus kali lipat dibandingkan permata-
permata murahan itu, pasti kau akan menganggap apa yang

240
dikeluarkan Hilman itu tak ada apa-apanya,” desah Pak
Prawira Kusuma, sembari menggigit-gigit ujung cerutunya.
Lelaki itu sepertinya sangat marah, tetapi sengaja dia tahan
sebisanya.
“Benda-benda bertuah itu?”
“Tuah mungkin salah satu hal yang membuat nilai
barang itu menjadi semakin mahal. Tetapi, tanpa tuah pun,
barang-barang itu sangat mahal, karena merupakan benda-
benda bersejarah. Mutu benda-benda itu juga sangat bagus.
Kelas satu. Salah satu keris yang dicuri Hilman, adalah keris
dari Mapatih Gajah Mada. Juga ada tombak milik Laksamana
Adityawarman. Nilai sejarahnya sangat tinggi, karena tombak
om
itu bisa menguatkan bukti, bahwa memang ada keterkaitan
.c
antara Kerajaan Melayu dan Majapahit. Para pengoleksi
ot
sp

benda-benda antik akan berebut mendapatkan benda-benda


og

itu jika dilego di bursa benda antik. Bule-bule dari luar akan
l
.b
do

sangat berminat mengoleksi benda-benda bersejarah itu,


in

dan mau menebusnya dengan harga semahal apapun.” Pak


a-
k

Prawira Kusuma mendekat ke etalase dan mengetuk-ngetuk


sta
pu

kacanya dengan gemas. “Bu Rinanti pasti tahu, bahwa harta


pusaka itu diwariskan secara turun temurun dari leluhur Ki
Gunadi, bukan?”
Rinanti menggigit bibir. Betapa dia benar-benar tak
mengetahui dengan pasti, siapa sebenarnya lelaki yang telah
tujuh tahun menikahinya itu.
“Apakah… apakah itu yang membuat mas Gunadi bisa
semarah itu? Dia mengamuk, lalu lari, pergi, menghilang,
dan….”

241
“Tentu saja. Pusaka-pusaka itu harta kesayangannya.
Pernah ada seorang kolektor yang ingin membeli tombak
Adityawarman itu dengan harga hampir seratus juta rupiah,
namun Ki Gunadi tak mau menyerahkannya. Selain itu, juga
faktor lain. Ki Gunadi pernah memamerkan kepada saya
tentang pagar gaib yang dia pasang di sekeliling pusaka-
pusakanya. Pernah saya usulkan kepadanya untuk menggaji
beberapa tenaga sekuriti, mengingat koleksi pusaka itu sangat
mahal harganya. Tetapi, Ki Gunadi menolak, dia katakan,
kekuatan pagar gaib itu bisa mengalahkan sepasukan polisi
sekalipun,” kata Pak Prawira Kusuma. “Melihat siapa Ki
Gunadi, tentu saya percaya dan tak lagi rewel mendesak

om
untuk menggaji satpam.” .c
“Beberapa saat yang lalu, Mas Gunadi pernah mengatakan
ot
sp

kepada saya, bahwa … bahwa kesaktiannya telah berkurang.


og

Dan kemarin, saat dia tiba-tiba datang dan mengamuk, saya


l
.b
do

melihat darah berlumuran di tangannya terkena pecahan


in

beling dari etalase yang dia pecahkan. Mas Gunadi sudah


a-
k

tidak lagi kebal.”


sta
pu

“Itu yang berkali-kali dia keluhkan kepada saya juga,


Bu Rinanti. Ki Gunadi merasa tubuhnya menjadi lemah.
Kesaktiannya berkurang. Tuahnya berkurang, dan selalu
tak bisa mengheningkan cipta dengan baik saat bersemadi.
Dan dia menganggap, kewingitan pantai-pantai dan gua-gua
yang berkurang itu disebabkan karena ulah pendatang. Oleh
karena itu, dia sangat membenci para wisawatan dan pecinta
alam yang suka mendatangi gua-gua, khususnya yang masih
suci.”

242
Seraut wajah dengan sepasang mata berselimut duka itu
mendadak melintas dalam benak Rinanti. Sosok yang baru
pertama kali bertemu, namun berhasil menimbulkan kesan
sangat mendalam. Lelaki itu … dia juga seorang wisatawan
pastinya. Jadi, orang-orang seperti itukah yang sangat dibenci
Gunadi?
“Pernah Ki Gunadi mengajak saya mendatangi pemerintah
kabupaten agar mereka menghentikan pembukaan kawasan-
kawasan wisata baru. Tetapi, ide itu saya anggap berlebihan,”
tutur Pak Prawira Kusuma lagi. “Apalagi, kedatangan
wisatawan itu, sebenarnya juga mendukung kemajuan bisnis
benda-benda pusaka dan batu mulia yang sedang kita rintis.

om
Tanpa mereka, bisnis kita akan mati. Gunadi tampak bingung
.c
dan sepertinya mengalami dilema.”
ot
sp

“Mas Gunadi sangat tergila-gila dengan ilmu yang


og

dimilikinya… dia akan mengorbankan segalanya untuk


l
.b
do

mendapatkannya kembali.” Suara Rinanti lirih seperti bisikan.


in

Tetapi di keheningan ruang, suara itu cukup terdengar


a-
k

jelas. “Selama ini, dia mengabaikan segalanya, termasuk


sta
pu

keluarganya, istrinya, bahkan kehidupannya. Hari demi hari


dia habiskan untuk bersemadi, berlatih, memberi tuah pada
pusaka-pusaka yang dimiliki. Sekarang, saya yakin… Mas
Gunadi akan melakukan apapun untuk menemukan kembali
kesaktiannya itu. Bisnis-bisnis ini, sudah tak bernilai apapun
di matanya saat ini.”
“Kalau begitu, kitalah yang akan menyelamatkan
semuanya. Kita harus melaporkan semua ini kepada polisi.”
“Tidaaak!” tiba-tiba terdengar sebuah suara parau. Pintu
toko terbuka. Seorang lelaki bertubuh lusuh, dengan baju

243
basah penuh lumpur, masuk ke toko dengan tubuh terhuyung-
huyung. Telapak kakinya yang telanjang menghilangkan
jejak lumpur di lantai keramik. Bukan hanya lumpur, tetapi
juga … tetesan darah.
Rinanti tersentak. Pak Prawira Kusuma dan Darma pun
terpana.
“Jangan… jangan sampai ada polisi atau aparat negara
manapun yang mengetahui kejadian ini. Semua akan
terselesaikan. Ya. Kesaktianku akan kembali. Dan setelah aku
mendapatkan semua itu, maling itu akan mengalami kesakitan
yang luar biasa. Tak ada dokter yang bisa menyembuhkan
rasa sakit itu. Lalu dia akan datang kesini, meminta penawar
om
sakit itu. Dia akan berlutut di depan kita, memohon ampun.
.c
Semua akan baik-baik saja….”
ot
sp

Tetapi, siapa yang bisa diyakinkan bahwa semua akan


og
l

baik-baik saja, sementara si pengucap terlihat gemetar


.b
do

dan pucat pasi. Darah terus menetes dari luka di tangan,


in
a-

bercampur dengan lumpur.


k
ta

Sebersit iba tiba-tiba mengalir dari benak Rinanti.


s
pu

Bagaimana pun, lelaki itu adalah suaminya. Pernah suatu saat,


rasa cinta mengalir dari jiwanya. Jika saat ini dia merasakan
sebuah kebekuan, bukan berarti cinta itu pergi. Cinta itu
masih tersimpan, bak benih yang menunggu siraman air
kehidupan.
“Mas, kau kenapa?” Rinanti mendekat. Mencoba
menyentuh tubuh Gunadi. Tetapi lelaki itu dengan kasar
menepisnya.
“Tak ada yang boleh mendekatiku! Tak ada….”

244
“Ki Gunadi … kau terlihat sangat lelah, dan sakit….”
“Sakit? Aku tak pernah sakit. Tak pernah … aku baik-baik
saja. Aku….”
Mendadak tubuh itu menggelosot ke lantai, seperti
kehabisan tenaga. Rinanti terpekik lirih. Dirabanya tubuh
lelaki itu, dan dia menjerit. Tubuh itu panas sekali. Demam.
“Jangan… jangan sentuh… jangaaaan!”
Rinanti tak peduli. “Darma, ayo angkat Mas Gunadi ke
kamar! Dia sakit, tubuhnya demam tinggi.”
“Tidaaak… jangaaan…. Jangaaaaan!”
--o=[]=o--

om
Darma dan Budiman mengangkat tubuh Gunadi ke lantai
.c
ot

dua, dan membaringkan tubuh itu di atas dipan. Atas suruhan


sp
og

Rinanti, mereka mengganti baju Gunadi dan membersihkan


l
.b

tubuh itu, meski lelaki itu terus menceracau, meminta mereka


do

tak menyentuh tubuhnya. Untungnya, Gunadi terlalu payah


in
a-

untuk mewujudkan keinginannya itu lebih dari sekadar kata-


k
ta

kata.
s
pu

Lambat laun, lelaki itu justru merasakan kondisi yang


nyaman dengan tubuh dan pakaiannya yang bersih. Dia
bahkan tak menolak ketika Rinanti menyuapkan teh panas
sesendok demi sesendok ke mulutnya.
Ada yang berdesir di dada perempuan itu. Aku istrimu,
Mas… tetapi mengapa aku merasa sangat asing dengan tugas
ini.
“Mas Gunadi minum obat, ya?”
Lelaki itu menggeleng. Namun tatapan matanya tak
beranjak dari wajah Rinanti. Tatapan yang terasa aneh.
245
Mendadak tangan lelaki itu, dengan lemah menggapai
lengan Rinanti.
“B-biarkan aku… biarkan aku sendiri….”
“Mas Gunadi sakit. Aku harus merawat sampean.”
“Aku tidak sakit.”
“Badan sampean panas sekali.”
Mata lelaki itu berembun. Seperti ada entakan rasa
yang dahsyat bergemuruh di dadanya. Lalu dia mencoba
memejamkan mata. Dan hanya dalam hitungan menit, dekur
halusnya telah terdengar.
Rinanti menatap wajah penuh brewok itu, sembari

om
membayangkan sebuah pisau cukur yang akan mengubah
.c
wajah itu menjadi klimis dan tampan. Semoga kesaktian itu
ot
sp

tak kembali. Dia ingin lelaki itu menjadi orang biasa. Orang
og

yang akan bersama-sama berjuang membesarkan toko pusaka


l
.b
do

dan batu mulia ini. Pusaka dan batu mulia tanpa tuah, tanpa
in

isian apapun. Natural. Manusia tak perlu menggantungkan


k a-

baik-buruk nasibnya kepada sesuatu yang tak bisa dinalar.


sta

Cukup usaha keras, sebab akibat yang bisa dicerna nalar,


pu

dan juga kehendak dari Allah SWT.


Jikapun toko ini tak menjanjikan, karena konon bisnis
batu mulia sedang mengalami krisis, mereka bisa kembali
membangun warung kelapa muda yang sudah hampir tiga
bulan ini dia tinggalkan di Pantai Klayar. Kesederhanaan telah
terbiasa membalut kehidupannya. Dia tak membutuhkan
apapun kecuali perhatian dan kasih sayang.
Dan, jika dia kembali ke pantai itu, dia akan menemui
senja.

246
Rinanti tersenyum. Pelan dia angkat tangannya, dan
entah sebuah kekuatan darimana, mendadak dia mengelus
pipi Gunadi. Mesra. Aku merindukanmu, Mas….
Lelaki itu tetap tertidur dengan tenang. Sang istri bangkit,
menuju kamar mandi, melihat tumpukan baju yang sangat
kotor oleh genangan lumpur dan darah itu. Sejuta tanya
membenak. Sebenarnya, apa yang barusan dilakukan oleh
Gunadi? Tetapi, nanti sajalah … jika dia sudah terbangun
dan mulai membaik kondisi tubuhnya, dia akan mencoba
menelisik informasi darinya, meski dia juga tak yakin bahwa
dia mampu berkomunikasi secara baik dengan lelaki itu.
Sekarang, yang penting Rinanti harus mencuci baju-
om
baju itu. Selama ini, dia hampir tak pernah diizinkan
.c
untuk menyentuh barang-barang pribadi Gunadi, termasuk
ot
sp

baju-bajunya. Sang suami mencuci sendiri benda-benda


og

pribadinya. Konon, dia sangat takut banyak yang hilang dari


l
.b
do

tuah yang juga melekat pada pakaiannya.


in
a-

Tetapi, Rinanti tak peduli. Dia mengambil baju, celana


k
ta

dan … selembar kain yang terjatuh. Kain yang tak seberapa


s
pu

lebar. Berwarna biru muda. Sebuah sapu tangan, yang


mungkin terlalu lebar untuk sebuah sapu tangan. Jika dilipat
dan dipasang di leher, sapu tangan itu bisa berfungsi sebagai
slayer.
Darah Rinanti sesaat tersirap, ada sesuatu yang menarik
perhatiannya. Sepertinya dia mengenal sapu tangan itu.
Sebuah sapu tangan dengan sulaman sepasang burung sriti
yang sedang mengudara. Dan di bawah burung itu, ada
sulaman sebuah huruf. AYM.

247
Jantung Rinanti seakan terloncat. Darimana Gunadi
mendapatkan sapu tangan yang berlumuran darah ini? Darah
siapa ini? Darah Gunadi pastinya. Tetapi sapu tangan ini….
Perempuan itu bangkit, bersijingkat menuju kamarnya.
Dia lihat Gunadi masih tertidur pulas. Pelan Rinanti membuka
almari, melihat tumpukan bajunya. Di bawah tumpukan baju
itu, sebuah sapu tangan bersih masih berada di tempat dalam
keadaan terlipat rapi. Sama persis bentuknya dengan sapu
tangan berlumuran darah tadi.[]

om
.c
ot
sp
ogl
.b
do
in
ka-
ta
s
pu

248
22
Vadus

A nton memukul-mukul dinding lorong dengan gemas.


Wajahnya suram, tubuhnya limbung. Aku sendiri hanya
ot
.c
om
bisa berdiri dengan bingung menatap reruntuhan yang
menutup mulut percabangan. Meskipun aku dan Anton
sp
og

telah mencoba menyingkirkan reruntuhan stalaktit dan dan


l
.b

berbagai ornamen gua lainnya, semua tampaknya akan sia-


do

sia belaka. Batu yang ambruk dari atas sangat besar, membuat
in
a-

aku berpikir, pasti sosok yang melakukan perbuatan ini


k
ta

memiliki tenaga yang sangat besar.


s
pu

Rasa pilu melihat sebuah mahakarya berusia ribuan tahun


itu dirusak begitu saja, bercampur dengan ketidakpastian
yang menimpa, membuat aku sesaat gagu. Mematung
dalam tegak, dan membiarkan air mata mengalir membasahi
pipiku.
“Kita benar-benar akan terkubur di sini, selamanya! Seperti
manusia Cro Magnon yang menjadikan gua-gua sebagai
kuburan, dan kelak kita ditemukan sudah menjadi fosil.”
Ujar Anton, tampak putus asa. Dia menggelosot di lantai

249
gua. Bibirnya menyebut sebuah nama. Aku mendengarnya.
Oma Sandria. Lalu dia meraba lehernya, dan merasa kaget
karena slayer yang terbiasa melilit lehernya ternyata sudah
tak ada.
Awalnya aku ikut mencoba membantu slayer yang
barangkali terjatuh itu. Tetapi, lama-lama aku menganggap
itu hanya sebuah pekerjaan kecil yang tak terlalu butuh
prioritas. Kubiarkan saja Anton ribut dan terpukul dengan
peristiwa itu.
Aku sendiri sudah benar-benar frustasi. Berjam-jam
kami memutari labirin, tiga kali kembali ke tempat yang
sama, dan akhirnya, dari sekian probabilitas yang kami
om
ambil, bertemulah lokasi ini, yang ternyata telah tertimbun
.c
reruntuhan batu gua. Anton layak berputus asa. Gua ini
ot
sp

belum dibuka untuk umum. Hanya para pecinta alam atau


og

peneliti yang diperbolehkan masuk, itu pun dipastikan harus


l
.b
do

membawa peralatan yang lengkap, di samping kesiapan para


in

caver.
ka-
ta

Kalaupun ada pecinta alam yang masuk, tak semua


s
pu

mau beresiko menyusuri lorong air. Dari 7 orang anggota


ekspedisiku saja, Pak Deddy dan Tom memilih untuk
menyusuri gua fosil yang kering. Kalaupun ada yang
memilih lorong air, mereka mungkin akan kesulitan mencari
percabangan ini karena sudah tertutup rapat oleh reruntuhan
gua.
Kecuali jika Jaka dan teman-temannya berpikir cerdas
untuk menandai reruntuhan itu, sehingga ketika ada bantuan
datang, mereka akan mencoba menjebol reruntuhan itu dan
mendapatkan kami tengah meringkuk dalam penantian.

250
Tanpa tanda, agak sulit mendeteksi bekas lokasi percabangan
itu. Apalagi tentu bentuknya sudah berubah akibat adanya
reruntuhan itu.
Namun, tanda itu bisa dihilangkan dengan mudah
sebagaimana hilangnya kertas-kertas fosfor dan light stick
yang terjadi secara misterius itu. Aku sendiri tak tahu, apa
yang terjadi dengan Jaka, Nania dan teman-temannya saat
ini. Bisa jadi, mereka juga terkurung di tempat lain.
Kutatap dengan nanar reruntuhan itu. Mataku mencoba
menelisik sedetil mungkin posisi-posisi bebatuan yang telah
pecah berserakan itu. Dan, mendadak sebuah pikiran melintas
di kepalaku. Melihat posisi reruntuhan itu, tampaknya sangat
om
tak mungkin jika dilakukan dari luar, karena aku tahu persis,
.c
di luar sana adalah sungai bawah tanah. Dan untuk menuju
ot
sp

lorong ini, harus memanjat setinggi kira-kira tiga meter.


og

Karena itulah, Anton memasang tali.


l
.b
do

“Ton!”
in
a-

Anton tak menyahut. Dia masih tampak sangat terpukul


k
ta

dan ribut dengan kehilangan slayernya itu. Diam-diam aku


s
pu

merasa kesal juga dengan sikapnya yang menurutku sangat


kekanak-kanakan.
“Menurutku, jika memang runtuhnya bebatuan ini
disebabkan oleh manusia, pelakunya jelas tak mungkin
melakukan dari luar.”
“Apa maksudmu?” Anton tertarik dengan pernyataanku,
dan sejurus kemudian dia meninggalkan kesibukannya
mencari-cari slayer yang hilang itu.
Hanya selembar slayer! Ugh!

251
“Pelakunya, orang itu, meruntuhkan batu-batuan ini dari
dalam. Itu berarti, orang itu mengetahui ada jalan keluar dari
gua ini selain pintu masuk berupa luweng itu.”
Anton menatap ke arahku. Tampak takjub sekaligus
kaget. “Masuk akal juga. Apalagi, di luar sana ada Jaka,
Nania dan Azhar yang tentunya menanti kita. Tetapi,
bagaimana mungkin mereka tak tahu bahwa bagian gua ini
diruntuhkan?”
“Menurutku, pasti Jaka dan teman-teman sudah
mencoba naik ke lorong ini untuk mencari kita. Namun
mereka kebingungan, dan memutuskan untuk kembali.
Mereka sengaja tak melepas tali ini sebagai sebuah tanda.
om
Baru setelah mereka pergi, orang misterius itu meruntuhkan
.c
bebatuan itu.”
ot
sp

Seperti baru mendapatkan sebuah ide brilian, mata Anton


og
l

bersinar. “Kalau begitu, mestinya kita bisa mendapatkan


.b
do

sesuatu yang bisa menjadi petunjuk.”


in
a-

“Apakah itu?”
k
sta

“Kau ingat, salah satu etika penyusuran gua?”


pu

“Take nothing but picture, leave nothing but footprint,


kill nothing but time,” bisikku.
“Ya, footprint. Jejak kaki. Kita akan menemukan jejak
kaki itu. Jejak kaki orang misterius yang mengerjai kita itu.”
Untuk menambah kuat penerangan dari headlamp,
kunyalakan senter. Ada banyak jejak di lantai lorong
yang memang basah dan terisi sedimen kapur yang putih
kekuningan. Banyaknya jejak ini membuatku yakin bahwa
Jaka dan kawan-kawan memang pernah naik ke sini untuk
mencari kami.
252
“Lihat!” Anton menunjuk ke sebuah jejak yang aneh.
Jejak itu menampakkan sebentuk jari-jari kaki. “Ada jejak
kaki telanjang. Ini bukan jejak kaki anggota tim, karena kita
semua memakai sepatu boot.”
Dadaku berdebar.
“Dan, tampaknya jejak ini masih baru,” gumam
Anton lagi. Penemuan ini seperti telah menyedot kembali
konsentrasinya, dan membuatnya terlupa pada insiden slayer
itu.
“Jadi, ada orang yang masuk ke gua ini, dan dia
bertelanjang kaki. Dia mengambili tanda-tanda yang kita
tinggalkan di setiap percabangan gua. Lalu meruntuhkan
om
batu-batu ini, pasti dengan tangan kosong. Anton, apakah
.c
ot

kita sedang berhadapan dengan manusia gua bertipe Cro


sp

Magnon yang bertubuh tinggi besar dan memiliki tenaga


og
l

sekuat gorilla?”
.b
do

Meski perkataanku barusan mungkin menggelikan,


in
a-

Anton tak tertawa. Dia menanggapi dengan serius. Mungkin


k
ta

dia sempat terkesima dan memuji kedetilan pengamatanku


s
pu

barusan, dan memutuskan untuk tidak menganggap enteng


pendapatku.
“So, what must we do?” tanyaku.
“Kita ikuti jejak ini!”
“Aku setuju.”

Sepasang Mata dalam Gelap


Jadi, inikah maumu? Kau menginginkan makhluk lain,
yang sebenarnya satu jenis denganmu, terjebak dalam

253
gua. Aku tak habis pikir. Manusia bukanlah makhluk yang
bisa bertahan di gua. Mereka sangat pintar, tetapi tentu tak
mampu menjadi sepertiku. Gua adalah rumahku, kegelapan
adalah duniaku. Meski nyaris setiap malam aku keluar untuk
mencari penghidupan, dan terkadang aku melihat cahaya
bulan yang benderang, aku tetap mencintai kegelapan.
Berbeda dengan kedua manusia ini! Mereka panik dan
bingung. Itu, kan, yang kau inginkan? Sekarang, di saat
kedua korban itu sudah masuk perangkap, kau pergi entah
kemana. Mungkin kau kembali ke rumahmu di permukaan
sana. Kau akan beristirahat dan bersenang-senang, lalu
setelah kau kembali di sini, kau akan melihat mereka sudah

om
tak bernyawa. Kau kejam, Gunadi! .c
Tetapi, yang menakjubkan, kedua makhluk ini tampaknya
ot
sp

tetap bertahan. Aku kian penasaran dengan mereka, dan


og

kuputuskan untuk terus mengikuti mereka. Aku bergerak


l
.b
do

perlahan, mengepakkan sayap-sayapku, bergelantungan dari


in

batu ke batu, terus mengamati tanpa mereka tahu bahwa


ka-

mereka tengah kukuntit.


ta
s
pu

Mereka berjalan dengan perlahan, namun pasti.


Langkahnya mantap. Hanya ada satu cahaya lampu yang
dinyalakan, yaitu cahaya lampu di kepala si mungil.
Menurut percakapan yang mereka dengar, mereka sengaja
menghemat energi. Entah apa itu energi. Beberapa bahasa
manusia ada yang kupahami, tetapi banyak pula yang tak
bisa kumengerti.
Meski cahaya sudah tak seterang tadi, aku masih bisa
melihat apa yang sebenarnya tengah mereka susuri. Mereka

254
mengikuti sebuah jejak. Hei, bukankah itu adalah jejakmu?
Mengapa mereka menyusuri jejakmu?
Jika jejak itu yang mereka susuri, pasti mereka akan
kecewa, karena jejakmu itu akan hilang saat kau melintasi
sungai bawah tanah. Nah, benar! Mereka terlihat kecewa
karena kehilangan apa yang mereka susuri.
“Jejaknya hilang, Ton!” kata si mungil. “Bagaimana ini?”
Mereka berdua termangu, tampak sangat kebingungan.
Rasa iba menyelusup dalam pikiranku. Aku hanya seekor
binatang. Orang-orang menyebutku sebagai kalong, atau
kelelawar. Tetapi, aku punya rasa. Aku tidak kejam seperti
kau. Jika saja aku bisa berbicara dalam bahasa mereka, aku
om
akan tunjukkan mulut gua di mana kau biasa naik-turun
.c
ot

memasukinya.
sp
og

“Ya sudah!” si rambut panjang jatuh terduduk di atas


l
.b

tanah yang basah. “Kita harus survival di gua, sampai datang


do

pertolongan untuk kita. Kalau tidak, ya, mungkin Lo-Gue


in
a-

akan End di sini!”


k
ta
s

“Kenapa kamu kelihatan putus asa banget, sih… katanya


pu

caver berpengalaman! Lihat kelelawar itu!”


Aku terkejut. Si mungil menunjuk ke arahku? Berarti
mereka tahu bahwa diam-diam aku mengutit mereka.
“Kelelawar saja bisa bertahan hidup, mengapa kita tidak?
Kita punya akal, bisa mikir, bisa melakukan hal-hal yang luar
biasa.”
“Tapi, kita nggak bisa terbang. Nggak bisa menyelinap
di celah sempit, nggak bisa hidup dalam kegelapan. Dan,

255
jangan bandingkan kita dengan kelelawar. Dia memiliki
sistem navigasi yang canggih, tahu!”
“Ya, aku tahu. Kelelawar bisa mengeluarkan bunyi
dengan frekuensi yang tinggi. Ketika keluar dari mulut, bunyi
berfrekuensi tinggi itu akan dipantulkan oleh benda-benda di
sekitarnya. Kalau di gua ini, akan dipantulkan oleh dinding
gua, batu, bahkan fauna lainnya. Nah, pantulan itulah yang
akan diolah oleh si kelelawar. Dari pantulan bunyi, kelelawar
dapat memperkirakan jarak, adanya rintangan atau bahkan
adanya makanan. Dengan cara ini, kelelawar bisa terbang di
kegelapan tanpa tertabrak atau menabrak apapun.15”
“Nah, itu kamu tahu! Jadi, jangan pernah membandingkan
om
kita dengan kelelawar, apalagi saat terjebak dalam gua.
.c
Gua itu rumah kelelawar. Di gua ini, kelelawar adalah
ot
sp

mahaguru, sementara kita, siswa taman kanak-kanak aja


og

mungkin ketinggian. Kita bahkan akan lebih bodoh dari


l
.b
do

kadal sekalipun.”
in
a-

“Kamu pesimis sekali.”


k
ta

“Tunjukan cara agar aku bisa optimis!”


s
pu

“Caranya? Berdoalah! Doa adalah harapan. Dengan doa,


kita memiliki harapan-harapan. Itulah fungsi agama.”
“Ceramah lagi, ceramah lagi. Bosan aku!”
Aku terbang menjauh dari mereka, meski rasa penasaran
masih bergumpal-gumpal. Aku takut terjadi sesuatu denganku.
Aku melihat dengan mata kepala sendiri saat kau mencoba
mencelakai mereka, padahal kalian adalah sesama manusia.

15 Kemampuan semacam itu disebut sebagai ekolokasi.

256
Aku harus waspada, jangan-jangan mereka pun sebenarnya
sejahat kau. Mungkin mereka akan menangkapku, dan
menjadikanku sebagai santapan untuk mereka. Aku takut.
Sangat takut.
Namun, sesaat aku kembali saat mendengar suara
bergemuruh dari arah sungai. Aku terpana. Sungai banjir!
Mereka berlari lintang pukang, mencari tempat yang tinggi.
--o=[]=o--

Aku dan Anton telah menemukan sebuah tempat yang


cukup aman, yakni di sebuah cekungan yang cukup tinggi.
Namun, suara bergemuruh itu masih terdengar jelas. Dadaku

om
berdebar-debar kencang, napasku tersengal-sengal. Semburan
.c
air bah itu begitu tiba-tiba. Hampir saja menghanyutkan kami
ot
sp

jika tak segera berlari untuk menyelamatkan diri. Rasa cemas


og

masih begitu kuat menelikung. Ancaman masih membayang.


l
.b

Air bah bisa semakin besar, dan air akan naik hingga ke
do
in

tempat ini.
ka-

Ya Allah, selamatkan kami!


ta
s
pu

Meski terlihat lebih tenang, nyata-nyatanya Anton malah


seperti kehilangan semangat. Dia memilih sebuah sudut yang
kering. Menggelar matras, dan memilih tiduran. Seorang
caver berpengalaman seperti dia, memang selalu membawa
peralatan standard untuk survival. Kemarin Pak Deddy
sempat bersikeras, menolak membebani carrierbag-nya
dengan peralatan-peralatan semacam itu. Toh, kami tidak
akan menginap di gua. Sekarang terbukti, bahwa kengototan
Anton, ternyata ada benarnya.

257
Tapi aku tentu tak akan bisa setenang itu dengan tiduran
santai, sementara alam sedang bergejolak menebar teror. Aku
memilih bersiaga penuh, sembari terus mencoba menahan
sergapan berbagai rasa yang juga ikut menerorku. Ya, entah
berapa ragam rasa yang kini berkecamuk, menjadi satu, dan
menguasai seluruh saraf di tubuhku. Aku seperti tengah
menjadi sosok yang aneh. Aneh dan aneh.
Sekali lagi aku tersentak ketika menyadari, bahwa yang
kualami bukanlah sebuah dagelan atau kisah fiksi semata. Aku
boleh terpingkal-pingkal menyaksikan film komedi animasi
tentang keluarga Croods—Ugga, Gran, Sandy, Thunk dan
Eep yang tinggal di gua dalam film The Croods. Aku boleh

om
terhanyut oleh bahasa Ayu Utami saat menceritakan kisah
.c
Yuda dan Parang Jati di Bilangan Fu. Tetapi hari ini, yang
ot
sp

kualami saat ini adalah kisah nyata. Kami tersesat, terjebak


og

banjir, dan tak tahu, apakah kami akan ditemukan oleh tim
l
.b
do

penyelamat, mengingat crowded-nya jalur yang telah kami


in

tempuh.
ka-

Kulirik jam di balik pergelangan coverall-ku. Jam


ta
s
pu

enam sore! Aku harus segera shalat maghrib. Aku akan


menumpahkan seluruh kekhawatiran dan kecemasanku
dalam sujud. Ya, salah satu yang membedakan antara orang
yang beriman dengan yang tidak, adalah harapan. Dalam
keadaan tak memiliki apapun, masih ada yang tertinggal di
benak setiap orang beriman. Harapan.
Sujudku sore itu, menjadi sujud terbasah sepanjang
hidupku.

258
23
Watertable

K emunculan Willy dan Dadan membuat kegelisahan yang


tengah memuncak itu seperti rasa sakit yang menemukan
ot
.c
om
obat termujarabnya. Nania berteriak keras. Seperti ingin
memecahkan dinding gua dengan kegirangannya. Jaka
sp
og

terlonjak gembira, sementara Azhar menyeka air matanya.


l
.b

Pak Deddy dan Tom terlihat berusaha tenang, meskipun


do

tatapan matanya menunjukkan kegirangan hatinya.


in
a-

“Apa yang terjadi?” tanya Willy, heran. “Jam empat


k
ta

mestinya kalian sudah sampai di basecamp. Tetapi sampai


s
pu

jam lima, kalian tidak datang-datang juga. Saya curiga, pasti


ada apa-apa. Dan ketika saya cek, ternyata betul. Tali temali
telah dirusak. Kami terpaksa membuat sistem anchor dan
SRT baru.”
Dadan mengerutkan kening, saat senternya melihat
potongan-potongan tali yang sengaja dikumpulkan oleh
Nania.
“Apa nih?”

259
Tangis Nania pecah. Kegirangan yang sempat muncul
lumer bak batang lilin yang disantap api. “Anton … dan
Fahira … hilaaang….”
“Apa?” Dadan tersentak.
“Tadi kami masuk lorong air. Lalu ada percabangan gua
di atas lorong. Anton ingin melihat percabangan itu. Kukira
hanya sekadar keinginan Anton untuk mapping. Tetapi,
kemudian Anton mengatakan kepada Fahira, bahwa dia
melihat ada kepiting putih khas gua di sana. Fahira tertarik
dan ikut naik. Kami kira sebentar. Ternyata lama. Setelah
satu jam menunggu, kami khawatir, dan naik ke atas. Tetapi
mereka sudah tak bisa lagi ditemukan. Meski telah berputar-
om
putar mencari hingga berjam-jam,” tutur Jaka.
.c
ot

“Begini…,” ujar Willy, tenang. “Kami akan segera


sp

meminta bantuan tim SAR untuk mencari mereka. Tetapi


og
l

langit sudah terlihat mendung. Kami takut hujan turun dan


.b
do

terjadi banjir. Jadi, sebaiknya kalian keluar saja dari sini, dan
in
a-

menunggu di basecamp.”
k
ta

“Tidak! Aku ingin ikut mencari mereka,” rajuk Nania.


s
pu

“Nan, kamu harus menurut perkataan orang yang


sudah berpengalaman!” ujar Pak Deddy. “Mari kita naik
dan menunggu di basecamp. Kita tak memiliki ketrampilan
search and rescue. Kalau kita terlibat, kita malah bisa jadi
beban tim.”
“Tapi…!”
“Sebaiknya kalian cepat naik. Perkiraan kami, akan
ada banjir di sini!” ujar Dadan, setelah berbicara dengan
seseorang melalui HT. “Langit di atas mendung!”

260
“Ya Tuhan, itu sangat berbahaya!” Tanpa banyak bicara,
Pak Deddy mengawali memasang peralatan SRT, lalu
melakukan ascending ke atas. Disusul Tommy, Azhar dan
Jaka. Nania menjadi anggota tim terakhir yang naik, itu pun
setelah dipaksa dengan keras oleh Dadan dan Willy.
Begitu sampai di basecamp, hujan turun sangat deras,
seperti tercurah dari langit.
Nania menggigil.
“Fahira… ya Allah semoga kau selamat. Anton, semoga
kau selamat. Ya Allah, selamatkan mereka.”
Tangis gadis itu pecah.

om
“Sudahlah, Nan! Willy sudah melaporkan semua ini
.c
kepada pihak-pihak terkait. Sebentar lagi Tim SAR akan
ot
sp

datang dan turun untuk mencari Anton dan Fahira,” hibur


og

Jaka.
l
.b
do

“Tetapi, hujan turun sangat deras begini. Aku khawatir,


in

begitu ditemukan, mereka sudah… sudah jadi … ma…”


ka-

“Sst! Nggak boleh bicara yang negatif-negatif kayak gitu.


ta
s
pu

Kita tetap saja optimistis, bahwa semua akan berjalan baik-


baik saja,” kata Azhar.
“Dan satu yang kudu kamu ingat, Nan… Anton itu
caver senior. Dia instruktur, sudah sangat berpengalaman.
Dia pernah terjebak banjir dan terseret arus saat caving di
sebuah gua di daerah Kendal. Alhamdulillah, dia berhasil
melakukan self rescue. Jadi, tenang saja. Banyakin doa saja
kepada Allah.”

261
“Kalau Allah sudah berkehendak mereka selamat, pasti
mereka selamat, kok!” Azhar mencoba tersenyum, meskipun
wajahnya pun sepucat lesi Nania.
--o=[]=o--

Belum pernah dalam seumur pernikahannya, Rinanti


merasakan hidupnya menjadi penuh warna seperti hari ini.
Pagi-pagi dia berbelanja di Pasar Punung, membeli sayuran,
lauk-pauk, bumbu-bumbu, dan sepulang dari pasar, dia sibuk
di dapur, memasak bubur. Saat sepiring bubur ayam telah
tersaji indah, dia memasuki kamar, dan duduk di tepi tempat
tidur. Sosok itu masih terbaring lemah di atas dipan. Sesekali
dia terbangun, lalu tertidur lagi, terbangun, lalu tertidur lagi.
om
Dalam ketidakjenakan saat terpejam, dia selalu mengigau.
.c
ot

Dia berteriak-teriak, memaki-maki entah siapa.


sp
og

Dengan sabar Rinanti menunggu saat suaminya terbangun


l
.b

untuk memasukkan sesuap demi sesuap bubur itu. Gunadi


do
in

tak menolak, mungkin karena pada dasarnya dia sangat


a-

lapar. Meski begitu, untuk menghabiskan sekitar dua pertiga


k
sta

isi piringnya, mereka menghabiskan waktu hampir satu jam.


pu

Atas nasihat Pak Prawira Kusuma, Rinanti menghancurkan


hingga lembut sebutir tablet penurun panas, dan dia
campurkan ke bubur tersebut. Lewat cara seperti itu, obat
masuk ke tubuh Gunadi yang seumur hidup memang tak
pernah mengonsumsinya. Lama-lama, panas badan Gunadi
turun, dan ia tertidur pulas dengan tenang.
Hujan rintik-rintik mulai turun. Tak ada yang
mengherankan. Meski hujan di musim kemarau seperti
saat ini sebenarnya merupakan anomali cuaca, tuh anomali

262
semacam itu sudah sangat sering terjadi. Semalam, hujan
bahkan turun sangat deras, seperti tercurah begitu saja langit.
Petir menyambar-nyambar. Gelegar guntur memecut langit.
Andai langit adalah lapisan kain sutera, lapisan itu pasti akan
koyak-moyak usai hujan reda.
Sepanjang hujan itu pula, nyaris Rinanti tak tertidur. Dia
terus mengompres tubuh Gunadi. Ide memasukkan obat ke
bubur, baru dia praktikkan pagi ini. Dan kini, rasa kantuk
mulai mencubiti pelupuk matanya.
Akan tetapi, baru saja dia hendak berbaring di tikar
yang dia gelar di sudut kamar, dia teringat pada cucian yang
dia jemur di belakang ruko. Bergegas dia berlari menuruni
om
tangga, keluar ke halaman belakang. Hampir saja baju-baju
.c
yang sudah nyaris kering itu basah kembali.
ot
sp

Satu per satu baju dia ambil, dan dia sampirkan di atas
og
l

pundaknya. Dan ketika selembar sapu tangan itu nyaris


.b
do

terjatuh, dengan cepat Rinanti menangkapnya. Dadanya


in
a-

kembali berdebur. Rimba memorinya kembali dihadapkan


k
ta

pada sebuah tanda tanya yang sangat haus akan jawaban.


s
pu

Sambil berjalan menuju ruang belakang rukonya, lalu


menutup pintu belakang dengan sedikit gugup, ingatan
Rinanti terus tertuju pada lembaran kain itu.
Apa sebenarnya yang telah terjadi? Apakah mungkin
Gunadi menemukan kain itu begitu saja? Atau, jangan-jangan
Gunadi bertemu dengan lelaki itu di Pantai Klayar, lalu
melihat Gunadi berlumuran darah, lelaki itu memberikan
sapu tangannya. Sapu tangan yang sama persis dengan yang
membalut lukanya sekitar tiga bulan silam.

263
Tetapi, tak mungkin kejadiannya terulang begitu persis.
Berapa banyak kebetulan terjadi di muka bumi ini?
Perempuan itu menaiki tangga dengan pikiran yang
terus digelanyuti tanda tanya. Saat masuk ke kamar, dia lihat
Gunadi masih tertidur pulas. Kali ini dekurnya terdengar
keras, mendominasi suasana kamar. Pelan sekali Rinanti
mengambil wadah plastik tempat menyimpan pakaian yang
bersih yang baru dijemur dan belum disetrika. Sesaat dia
termangu menatap gundukan pakaian itu. Apakah Gunadi
rela jika pakaian-pakaian kesayangannya itu terkena setrika?
Bahkan, jika tersadar, barangkali saja lelaki itu akan marah
besar, jika tahu pakaian-pakaian itu telah dia cuci.

om
Perempuan itu menghela napas panjang. Kemudian,
.c
dengan gerakan sangat cepat, dia mengambil sapu tangan
ot
sp

biru itu. Dia lipat, lalu dia masukkan ke lemari. Di bawah


og

tumpukan bajunya. Menyatu dengan sapu tangan lain yang


l
.b
do

telah ada di sana sebelumnya. Sapu tangan yang sama


in

persis.
a-
k
ta

--o=[]=o--
s
pu

Sejak peristiwa di Pantai Klayar beberapa bulan silam,


entah mengapa, Rinanti kehilangan minat terhadap senja.
Tak ada senja yang istimewa, kecuali jika dia dapatkan di
pantai yang indah itu. Saat satu per satu warung tutup, dan
dia menjadi pemilik warung yang terakhir tutup. Senja di sini,
di daerah Punung, di deretan ruko tepi jalan utama Pacitan,
tak menunjukkan kemewahan nan eksotik. Jadi, memang tak
ada lagi senja yang dia koleksi. Terakhir dia meninggalkan

264
rumahnya untuk berpindah ke ruko ini, garis kecil yang dia
tulis di dinding kayu kamarnya masih sejumlah 4822.
Ya, saat itu, dia sempat beristirahat sesaat karena luka
di kakinya ternyata terkena infeksi, dan meradang hebat,
membuat beberapa hari dia tak bisa berjalan dengan
sempurna. Setelah lukanya sembuh, sempat dua atau tiga
minggu dia melanjutkan pekerjaannya berjualan kelapa
muda. Tetapi tak pernah selalu hingga senja. Jam tiga sore,
Pak Sudarta, ayahnya, telah menjemputnya. Beban bronjong
berisi dagangan tak lagi dia sunggi, tetapi dipanggul
ayahnya.
Terus begitu, hingga Gunadi menyuruhnya pindah ke
sini. om
.c
ot

Jadi, seperti biasa, senja terlewat begitu saja. Tahu-tahu,


sp

jam sudah menunjukan pukul tujuh malam.


og
l
.b

Rinanti telah menyiapkan bubur jika suaminya terbangun.


do

Tetapi, efek obat itu sangat dahsyat. Mungkin karena seumur


in
a-

hidup Gunadi memang tak pernah mengonsumsi obat kimia


k
ta

sama sekali. Satu tablet parasetamol telah membuat dia


s
pu

seperti teler.
Untuk membunuh sepi, Rinanti meraih sebuah radio
kecil. Dia setel dengan volume kecil. Sebuah stasiun radio
milik pemerintah tengah menyiarkan berita. Awalnya berita-
berita politik biasa yang tak terlalu Rinanti minati. Namun
ketika penyiar menyebutkan kata Pacitan dan Luweng Jaran,
mendadak mata Rinanti terbuka lebar.
“Tim SAR masih belum bisa menemukan dua pecinta
alam yang hilang saat melakukan aktivitas susur gua di

265
Luweng Jaran kemarin siang. Meskipun tim telah diturunkan
untuk menyusuri lorong-lorong yang ada, hingga sore ini,
dua pecinta alam tersebut, Anton Yosef Maringka dan Fahira
Azalea belum berhasil ditemukan.”
An-Anton?
Rinanti terlonjak. Anton Yosef Maringka? AYM. Dan
sapu tangan itu?
Sebuah suara dia kira berasal dari tubuhnya yang
menyenggol sesuatu. Ternyata Rinanti salah sangka. Suara
bergedebuk itu ternyata berasal dari dipan di belakangnya.
Suaminya terbangun, dan terjatuh dari tempat tidur.
“Mas?” Rinanti terkejut.
om
.c
“Matikan!” bentak Gunadi tiba-tiba.
ot
sp

“Apanya yang dimatikan?”


og

Tangan Gunadi teracung kepada radio itu. “Matikan


l
.b
do

radio itu!”
in
a-

Mata Gunadi melotot, lalu seperti baru saja mendapatkan


k
ta

suntikan tenaga berlipat ganda, lelaki itu melempar selimut


s
pu

yang membelit tubuhnya. Meraih sebuah baju atas berwarna


hitam, ikat kepala hitam, dan dia melesat turun.
“Mas… Mas Gunadi, sampean mau kemana Mas?” tanya
Rinanti.
Tetapi Gunadi terus berlari. Dia buka pintu belakang
ruko, dan terus berlari menerjang keluar. Tak peduli dengan
hujan yang masih turun deras.
“Mas, sampean sedang sakit. Maaaas!”

266
Rinanti meraih sebuah payung, lalu membuka pintu
belakang dan mengejar Gunadi.
“Mas… Maaaas!”
Suara petir bergelegar. Diikuti dengan cabikan kilat di
langit. Hujan turun kian deras. Sangat deras.[]

om
.c
ot
sp
og
l
.b
do
in
a-
k
sta
pu

267
pu
sta
ka-
in
do
.b

268
log
sp
ot
.c
om
24
Xenolith

S uara bergemuruh kian keras. Kulihat debit air di bawah


sana kian melimpah. Ketinggian air hanya berjarak sekitar
ot
.c
om
tiga meter di bawahku. Padahal semalam masih sekitar lima
meter. Rasa gelisah kian menderaku. Detik demi detik yang
sp
og

terlewat hampir selalu kupantau. Aku menghitung, sudah


l
.b

lebih dari 24 jam kami terjebak dalam banjir di gua ini.


do

Meski telah sangat berhemat dengan makanan, persediaan


in
a-

tetap kian menipis.


k
ta

Tadi pagi, saat subuh, aku terkena serangan hipotermia.


s
pu

Tubuhku menggigil kedinginan. Seluruh jaringan tubuh


seperti beku. Anton dengan cepat bertindak. Dia ambil
seluruh kain yang ada di carrier bag-nya dan juga carrier bag-
ku, dia balutkan ke seluruh tubuhku. Lalu dia menyalakan
beberapa batang lilin, dan mendekatkan ke tubuhku. Lama-
lama, aku berhasil mendapatkan kembali kondisi normalku.
“Bahaya jika kita terus berada di tempat ini, sementara
air tak juga surut,” desis Anton. “Bahkan, kelihatannya air
akan terus naik. Mungkin hujan di permukaan sangat deras
dan lama. Cuaca memang sulit diprediksi sekarang ini.”

269
“Jadi, apa yang mesti kita lakukan?” tanyaku, lemah. “Jika
kita tidak segera menyingkir, kita akan hanyut terbawa air.”
Anton tak segera menjawab. Dia sibuk menelisik gua
dengan sepasang matanya. “Lihat di sana!” jarinya mengacung
pada langit-langit gua yang membentuk lengkungan di atas
sungai. Juluran stalaktit dan aneka ornamen yang berada
di atap ternyata menutup sebuah celah yang sepertinya
merupakan percabangan, alias membentuk gua bertingkat.
Diam-diam aku memuji ketelitian Anton.
“Lorong ini mungkin sebentar lagi akan menjadi sump,
tahu kan apa itu sump?”
“Keadaan lorong yang semua tertutup air.”
om
“Ya, tepat. Sebetulnya, bisa saja kita melakukan cave
.c
ot

diving. Tetapi dengan arus sederas ini, aku nggak berani


sp
og

menempuh resiko itu. Apalagi, kita tak membawa peralatan


l
.b

untuk itu. Banyak cave diving ini berujung kepada kematian.


do

Tapi, ada satu cara yang resikonya lebih rendah dari cave
in
a-

diving, meski juga memiliki kesulitan yang tinggi.”


k
sta

“Kita merayap ke atas dinding itu, naik ke langit-langit


pu

gua, lalu masuk ke celah itu?” aku melotot setelah berhasil


menebak isi kepala Anton. “Bagaimana caranya?”
“Kita akan mencoba free climbing!”
Tanpa menunggu komentarku, Anton membongkar
peralatannya. Dia keluarkan satu gulungan tali, bor tebing,
pengaman sisip, paku tebing, hammer, dan beberapa
karabiner. “Dengan peralatan yang sangat terbatas ini,
aku akan mencoba membuat lintasan di atas sana!” Anton
menunjuk atap gua. “Kita akan merayap di sana. Sebenarnya

270
hanya membutuhkan keberanian, kehati-hatian dan
konsentrasi. Serta kekuatan tentu saja. Kita tak punya pilihan
lain kecuali mencobanya. Kau berani?”
Sembari kutatap medan yang hendak kulewati, dadaku
berdebar kencang. Rasa tegang kembali menyetrum seluruh
tubuhku. Apakah aku bisa bergaya semacam Spiderman
yang merayap di atas dinding? Bagaimana jika kakiku
terpeleset, peganganku goyah, atau lintasan yang dibuat
Anton mengalami kerusakan? Tali terlepas atau….
Tak ada pilihan! Bisikku. Ini adalah persoalan hidup dan
mati.
“Aku … aku akan mencoba, Ton!”
“Bagus!” om
.c
ot
sp

Anton memilih sebuah stalakmit yang tampak sangat kuat


og

untuk dipakai sebagai main anchor. Dia lilitkan sebuah tali


l
.b

di sana, lalu dilengkapi dengan beberapa pengaman sisip.


do
in

Setelah memakai harness pada paha dan dada, dia pun mulai
a-

merayap untuk membuat lintasan. Pertama dia mengebor


k
sta

dinding yang masih terjangkau, lalu memasang berbagai


pu

peralatan untuk membuat lintasan. Sesaat aku melihat lelaki


itu bergelantungan di atas sungai dengan air yang sangat
deras dan nyaris menutup semua lorong.
Aku menatap aksi lelaki itu nyaris tak berkedip. Dalam
keadaan seperti ini, aku menjadi kian paham, mengapa
dulu Jaka dan teman-temannya sangat berkeberatan untuk
melakukan caving tanpa melibatkan Anton. Caving memang
bukan sebuah pekerjaan main-main. Apalagi di sebuah gua
vertikal seluas Luweng Jaran ini. Ya, bukan main-main.

271
Kondisi kami saat ini bahkan bisa dikatakan bertaruh antara
hidup dan mati.
Kulirik air yang terus naik, dan saat ini jaraknya hanya
tinggal dua meter di bawahku. Cepat sekali permukaan air
naik ke atas. Tak sampai setengah jam, sudah satu meter.
Sementara, Anton belum selesai juga membuat lintasan.
Debur dalam dadaku kian kuat. Keringat mengucur deras,
sangat kontras dengan suasana gua yang sebenarnya mulai
mendingin. Sangat dingin, sampai-sampai aku khawatir jika
lagi-lagi terkena hipotermia.
Dan, ketika air mulai hampir menyentuh lekukan
tempat kami menyelamatkan diri sekitar 24 jam lamanya
om
itu, tepat saat itu juga Anton menyelesaikan pekerjaannya.
.c
Dia melempar tali dari atas celah itu ke arahku. Lemparan
ot
sp

yang jitu. Cepat aku memasang harness dan cowstail yang


og

terhubung dengan tali yang dilempar Anton itu. Hanya ada


l
.b
do

satu peralatan pengaman yang kami bawa, sehingga harus


in

bergiliran. Kakiku pun mulai merambat, merayap naik,


a-
k

melakukan ascending dengan menggunakan lintasan yang


sta
pu

telah dibuat oleh Anton.


Tetapi, entah mengapa, aku merasakan lututku seperti
goyah dan peganganku melemah. Lintasan terasa licin dan
begitu sulit kulewati. Di ketinggian tiga meter di atas debur
banjir, aku merasakan napasku tersengal-sengal. Aku berhenti
sesaat, sembari nanar menatap satu pijakan di atasku yang
tampaknya sangat sulit kugapai.
“Semangat, Fa… ayo, kamu kuaaaat!” kudengar Anton
menyemangatiku dari atas.

272
Sekuat tenaga aku naik, selangkah demi selangkah,
merayap seperti laba-laba.
Di bawahku, banjir kian besar. Suaranya bergemuruh.
Ya Allah, kuatkan aku!
Tetapi, tanganku justru mulai gemetar. Dan ketika kakiku
hampir saja menapaki pijakan terakhir, mendadak aku kakiku
tergelincir. Tubuhku meluncur ke bawah dengan cepat.

Sepasang Mata dalam Gelap


Keributan yang terjadi itu mengurungkan niatku untuk
terbang keluar gua. Aku melihat sesosok tubuh itu menuruni

om
tali dengan tergesa-gesa. Begitu penuh gesa, sehingga tubuh
.c
itu nyaris terjerembab dan menabrak sebuah batuan yang
ot
sp

besar menjulang dari dasar.


og

Kaukah itu?
l
.b
do

Aku terbang mendekat. Kulihat kau mengeluarkan sesuatu


in
a-

dari tas yang kau bawa. Tampaknya sebuah lampu. Lampu


k
ta

yang mirip dengan yang dibawa oleh manusia-manusia


s
pu

yang sering mendatangi tempat ini. Senter. Kalau tidak salah


namanya senter.
Tetapi, mengapa kau membawa senter? Biasanya kau
cukup mengandalkan sepasang matamu yang sudah terbiasa
dengan kegelapan.
Ah, aku mendengar mulutmu berdesis. Tubuhmu
pun menggigil. Apa yang terjadi denganmu? Kau berjalan
terhuyung, menuju tempat di mana kau biasa menyepi
dalam waktu entah berapa lama. Sebuah ruang kecil yang

273
terdindingi bebatuan gua. Kau terlihat membongkar-bongkar
berbagai peralatan yang kau simpan di sana. Apa, apa yang
kau ambil itu?
Aku terkejut. Benda itu berkilat saat senter di tanganmu
menyorotinya. Benda apa itu? Bentuknya memanjang,
berlekak-leluk dengan ujung runcing.
“Wahai keras Ki Suromenggolo! Malam ini, kau
mendapatkan tumbal. Kau mendapatkan tumbal. Tumbal.
Hahahahaha….”
Tawamu terdengar sangat keras. Menggetarkan rongga
raksasa ini. Beberapa temanku terbang mendekatiku. Lalu
sama-sama hinggap di balik lekukan batu. Kami semua
menyaksikanmu. Menyaksikanmu. om
.c
ot

Kau berjalan, menyusuri rongga, dengan sebuah benda


sp
og

yang berkilat di tengah gelap. Keris itu. Apa sebenarnya yang


l
.b

akan kau lakukan?


do
in

--o=[]=o--
a-
k
ta

Aku masih sempat merasakan arus deras menyeret


s
pu

tubuhku. Namun tali pengaman yang terhubung dengan


celah di atasku mendadak ditarik dengan cepat dan kuat.
Tubuhku pun menjadi objek tarik menarik antara derasnya
arus dengan kuatnya tarikan tali. Aku sendiri merasakan
gelagapan. Air menyerbu wajahku, sebagian masuk ke
mulutku. Sempat kepalaku terbentur pada batuan, untungnya
helm masih terpasang dengan baik.
“Berusaha menepi!” teriak Anton dari atas sambil terus
menarik tali. “Berpegangan pada batuan di tepi!”

274
Sekuat tenaga aku berenang menerjang arus. Tanganku
menggapai ujung sebuah stalaktit yang berada di dekatku.
Kudekap stalaktit itu dengan sisa kekuatan yang masih
kumiliki.
“Bagus, sekarang, coba raih batuan yang ada di atasmu
dengan tangan kiri!”
Anton memanduku sambil terus menarik tali itu sekuat
tenaga. Kini aku bergelantungan di atas gua sambil mencari-
cari pegangan dan pijakan alami. Dan begitu kakiku akhirnya
menapak pada celah yang menjadi tujuanku, kurasakan
tubuhku seperti remuk redam.
Aku jatuh tersungkur. Dan kurasakan semua menjadi
gelap.[] om
.c
ot
sp
og
l
.b
do
in
a-
k
sta
pu

275
pu
sta
ka-
in
do
.b

276
log
sp
ot
.c
om
25
Yakut

R inanti sangat kebingungan. Dia telah berjalan begitu


jauh, berlari-lari mengikuti laju suaminya. Tetapi langkah
ot
.c
om
Gunadi terlihat begitu lincah. Seperti seekor kijang, dia berlari
kencang, seakan tak takut pada jalan di bukit karst yang licin
sp
og

itu. Hanya dalam hitungan menit, dia telah kehilangan jejak.


l
.b

Satu-satunya yang bisa dia ikuti adalah jejak kaki. Itupun


do

lama-lama hilang tersapu gelap.


in
a-

Gunadi pergi menuju bukit yang letaknya berkilo-


k
ta

kilometer di belakang tokonya. Dan mendadak, dia seperti


s
pu

hilang ditelan bumi. Kemana perginya sang suami?


Tetes-tetes air kian menderas dari langit, dan payung
yang dia pakai sudah tak mampu lagi melindungi tubuhnya.
Tempias dari kanan, kiri, depan dan belakang telah
membuatnya kuyup. Dan ketika malam benar-benar telah
bertandang, sementara dia tak menyiapkan penerangan
apapun, Rinanti mulai linglung.

277
“Mbak, ajeng tindak pundi?16” sapa seorang lelaki separuh
baya, memakai caping dengan kayu bakar terpanggul di
pundaknya, yang mendadak muncul dari gerumbul semak.
Rinanti menggigit-gigit bibirnya yang mulai membiru
karena kedinginan. “Bapak tadi lihat ada seorang lelaki,
usia… hm… 30-an berlari ke arah sana?” dia menunjuk ke
daerah bebukitan yang tertutup pohon-pohon rimbun.
Lelaki itu mendadak terdiam. “Yang mbak lihat itu …
manusia atau lelembut?”
“Manusialah, Pak. Itu suami saya.”
“Lho, untuk apa suami Mbak pergi kesana? Itu tempat
sangat wingit. Angker. Sebaiknya mbak pulang saja.”
om
.c
“Wingit?”
ot
sp

“Ya, di sana ada luweng yang masih belum pernah


og

dijamah manusia. Luweng itu sangat angker. Dulu, banyak


l
.b
do

orang-orang PKI ditembak dan dilempar kesana.”


in

“Tapi … tapi suami saya….”


a-
k
ta

“Apa sampean baru bertengkar dengan suami sampean,


s
pu

lalu suami sampean marah dan berlari kesini? Begini,


sebentar Mbak … bagaimana kalau mbak ke rumah saya saja
dulu! Ndak jauh kok, belok kiri, kira-kira dua ratus meter di
depan sana. Soalnya kalau gelap begini, dan hujan lagi, kan
bahaya. Jalan di sini licin.”
Karena bingung harus melakukan apa, Rinanti pun
menurut. Dia mengikuti langkah lelaki itu. Memang betul,
sekitar dua ratus meter, terlihatlah sebuah rumah sederhana

16 Mbak, mau pergi ke mana?

278
yang menyendiri, alias tak memiliki tetangga. Rumah itu
berdinding anyaman bambu, beralas tanah dan beratap
genting yang sudah tua dan berwarna kehitaman.
Segelas teh panas yang dihidangkan Bu Wagiyem, istri
dari Pak Sarjono, nama lelaki itu, membuat Rinanti merasa
lebih hangat dan lega.
“Oh, jadi sampean ini istri dari Ki Gunadi Hantayudha?”
tanya Pak Sarjono. “Memang tempat bertapa Ki Gunadi di
Luweng itu. Beberapa kali saya melihatnya masuk ke Luweng
menggunakan tali. Ki Gunadi meminta saya merahasiakan
hal itu kepada siapapun. Tetapi karena sampean adalah istri
beliau, tentu saya tak merahasiakannya.”
om
“Sampean kenal suami saya?” tanya Rinanti.
.c
ot

“Siapa sih, orang Punung yang ndak kenal beliau? Wong


sp
og

beliau itu seorang yang terkenal sakti mandraguna.”


l
.b

Rinanti menelan ludah mendengar kata sakti


do
in

mandraguna.
a-
k

“Saya mencemaskan Mas Gunadi. Dia, dia sakit.


sta

Tubuhnya demam.”
pu

“Wah, mosok Ki Gunadi sakit?”


“Ya. Saya baru saja merawatnya. Tapi… Pak, bagaimana
cara menuruni Luweng itu? Saya harus mengajak Mas Gunadi
pulang. Dia demam tinggi.”
Pak Sarjono tampak kaget mendengar pertanyaan
Rinanti. “Wah, itu pekerjaan sangat sulit, mbak. Wong saya
saja nggak berani. Tetapi, Ki Gunadi pasti sangat mudah
melakukannya. Begini saja, Mbak … sebaiknya sampean
ndak perlu mengkhawatirkan suami sampean. Beliau pasti

279
baik-baik saja. Bagaimana kalau sampean saya antar pulang
saja?”
Rinanti menelan ludah. Dia tahu, tak ada gunanya
terlalu lama di rumah Pak Sarjono. “Saya… saya bisa pulang
sendiri!”
Dia pun segera berpamitan.
Tetapi Rinanti tidak pulang ke toko Pusaka. Dia bahkan
berbelok menuju sebuah tempat yang sebenarnya juga sangat
asing baginya.
Kantor Polisi.
Di depan meja Inspektur Hanafi, dia menyodorkan dua

om
lembar sapu tangan biru dengan sulaman sepasang burung
.c
Sriti dan tulisan AYM itu.
ot
sp

“S-saya tidak tahu hubungan atas semua ini,” ujar Rinanti


og

setelah menceritakan semuanya dengan terbata-bata. “Tetapi,


l
.b
do

saya menemukan sapu tangan ini membalut luka suami saya.


in

Dan … saya yakin, sapu tangan ini milik lelaki bernama


a-
k

Anton Yosef Maringka. Lelaki yang tersesat di Luweng Jaran


s ta

dan sampai sekarang belum ditemukan.”


pu

Inspektur Hanafi meraih sapu tangan itu dengan kening


berkerut.
“Satu lagi, Pak Polisi… begitu mendengar siaran berita
di radio tentang kedua penyusur gua yang belum ditemukan
oleh Tim SAR, mendadak suami saya bereaksi aneh. Dia
mendadak bangkit dari tempat tidur dan berlari … menuju
suatu tempat, dan hilang. Kata Pak Sarjono, orang yang
sering melihat suami saya, dia turun … ke Luweng angker
yang berada di dekat rumah Pak Sarjono.”

280
Sang Inspektur manggut-manggut. Lalu dia meraih sebuah
pesawat HT. Berkomunikasi dengan seseorang.

Basecamp Luweng Jaran


“Betul!” teriak Nania. “Ini sapu tangan Anton. Sapu tangan
kesukaan Anton. Sapu tangan hadiah dari Oma-nya. Anton
punya beberapa. Dan kemarin, Anton memang membawa
sapu tangan ini waktu caving, dan membelitkan ke lehernya,
seperti kebiasaannya. Anton sangat menyayangi Omanya.”
Sekitar selusin manusia yang berada di basecamp,
kebanyakan anggota Tim SAR, saling pandang.

om
“Jadi, mengapa sapu tangan ini bisa berada bersama Ki
.c
Gunadi?” tanya Willy, dengan alis berkerut hebat.
ot
sp

“Ada sesuatu!” simpul Inspektur Hanafi sambil


og

mengerutkan keningnya. “Mari kita coba selidiki luweng


l
.b
do

angker tempat bertapa Ki Gunadi.”


in

“Bukan perkara yang sulit,” kata Dadan. “Saya tahu titik


ka-

itu, meski belum sekali pun mencoba menyusuri. Tetapi,


ta
s
pu

malam-malam seperti ini, hujan deras pula, tampaknya akan


sia-sia jika kita mencoba melakukan penyelusuran ke gua.
Menurut perkiraan saya, dari Luweng di Punung itu menuju
entrance di sini, ada sungai bawah tanah yang tampaknya
sedang banjir. Jadi, keselamatan diri perlu diperhatikan.
Sebenarnya, saya juga cemas dengan kondisi mereka. Tetapi
kami berharap, Anton dan Fahira bisa survive, setidaknya
sampai banjir surut.”
Air mata Nania kembali bercucuran. Tangisnya pecah.
Sudah dua hari dia tak mau pulang, meski orangtuanya

281
bahkan menyusul ke basecamp. Nania bertekad, tak akan
pulang sebelum bertemu sosok dua sahabatnya itu, dalam
keadaan hidup ataupun mati.
Sementara itu, ketiga kakak lelaki Fahira yang menyusul
ke basecamp, saling pandang dengan wajah tegang dan
perasaan tak keruan.
--o=[]=o--

Hujan masih turun deras. Tak berkesudahan sejak


kemarin. Hanya terjeda oleh waktu yang tak seberapa
panjang.
Oh, Agustus yang basah.

om
Di kamarnya, Rinanti tak juga mampu memejamkan
.c
mata. Jam dinding telah menunjuk angka dua. Sudah dini
ot
sp

hari. Kecamuk rasa menghebat di jiwa. Wajah Gunadi dan


og

Anton berganti-ganti mengobrak-abrik ketenangannya. Jujur,


l
.b
do

dia merasa bahagia merasakan kedekatan meski hanya sesaat


in

ketika merawat sakit Gunadi. Tetapi, tatapan lelaki itu,


ka-

Anton, sikap lembutnya, dan dialog singkatnya tentang senja,


ta
s
pu

puisinya yang indah, telah menancapkan sebuah kesan yang


begitu mendalam di hatinya.
Dan saat ini, dia seperti menemukan sebuah benang
merah! Payahnya, benang merah itu seperti mengarahkan dia
pada sebuah pilihan yang sangat sulit. Otaknya memaksanya
untuk memilih lelaki yang telah tujuh tahun menikahinya.
Tetapi, entah mengapa hati nuraninya tak pernah bisa
berpaling dari sosok Anton.
Dia pernah mencoba jatuh cinta dan akhirnya memang
berhasil menyayangi lelaki yang menjadi suaminya itu.

282
Tetapi, kisikan-kisikan lembut saat membayangkan sosok
lelaki bernama Anton itu begitu berbeda. Bahkan, sebuah
rasa yang halus, yang baru saja dia dapatkan kembali saat
merawat Gunadi pun, masih belum mampu menghilangkan
kisikan istimewa itu.
Anton Yosef Maringka. Gunadi Hantayudha. Sekarang,
apa yang sedang terjadi dengan mereka berdua?
… Dia sangat membenci para wisawatan dan pecinta
alam yang suka mendatangi gua-gua, khususnya yang masih
suci….
Rinanti terloncat dari tempat tidur. Suara Pak Prawira
Kusuma seperti pendulum yang menghantam pangkal
jantungnya. om
.c
ot

Mendadak Rinanti teringat pada sebuah tempat. Dulu,


sp
og

dulu Gunadi sering mengajaknya ke sebuah tempat yang


l
.b

terletak sekitar lima kilo meter dari Pantai Klayar. Mereka


do

berjalan kaki menyusuri pantai menuju tempat itu. Namun,


in
a-

sampai di sebuah teluk yang dipagari batu-batu karang nan


k
ta

indah, Gunadi mengajaknya berhenti. Mereka hanya duduk-


s
pu

duduk di situ. Hanya saja, Gunadi pernah menunjuk ke


sebuah gua kecil yang berada di tebing karang di sana. Kata
lelaki itu, gua itu terhubung dengan sebuah gua yang sangat
luas. Katanya pula, dia sering mendatangi gua itu untuk
bersemadi hingga berbulan-bulan lamanya.
Apakah gua itu adalah salah satu pintu masuk menuju
Luweng Jaran?
Rinanti turun dari tempat tidurnya, membuka almari,
mengganti baju dan mengenakan jaket. Perlahan dia turun,

283
membuka pintu toko, menguncinya kembali, dan beranjak
menuju ke rumah Darma berada di samping toko. Butuh
waktu sekitar seperempat jam untuk membangunkan
Darma.
“Dar, antarkan aku ke rumahku di dekat Pantai Klayar.
Tadi ada tetangga menelepon toko, katanya, ibuku sakit
keras,” ujar Rinanti, berbohong.
Darma terbengong. Namun dengan cepat mengangguk.
“Baik, Bu!” Dia meraih sepeda motornya, dan sejurus
kemudian, sepeda motor mereka bergerak cepat, menembus
jalanan yang basah bekas hujan.[]

om
.c
ot
sp
og
l
.b
do
in
a-
k
sta
pu

284
26
Zamrud

K urasakan sebuah aroma yang kuat memasuki


penciumanku. Aku tersadar dan membuka mata. Cahaya
ot
.c
om
temaram dari nyala lilin menerangi ruangan yang terkepung
bebatuan putih kekuningan itu. Pelan aku bangkit. Melihat
sp
og

aku siuman, Anton mendekat. Kulihat wajah lelaki itu pucat


l
.b

dan panik.
do
in

“Alhamdulillah, kau selamat. Ya Allah…!” lelaki itu


a-

menatapku. “Aku… aku cemas sekali dengan apa yang


k
ta

menimpamu. Kau pingsan cukup lama, sekitar dua jam. Aku


s
pu

mencoba menyadarkanmu, namun tetap saja gagal. Dan,


aku nyaris saja menjadi gila.”
Mendadak kurasakan tangan Anton meraih jemariku,
meremasnya, dan mendekatkan ke dadanya. Aku masih
dalam keadaan antara sadar dan tak sadar. Namun, sebuah
rasa hangat seketika menyemburat di wajahku. Ketika Anton
kian mendekat, seperti hendak mencium keningku, saat itu
pula kesadaranku sepenuhnya pulih. Kudorong pelan tubuh
Anton.

285
“Ja-jangan Ton, please!” bisikku, lemah.
“Aku… aku sayang kamu, Fa.”
Sebuah desir halus meremas jantungku. Tubuhku
menggigil.
“Aku baru saja merasakan sebuah kecemasan yang luar
biasa. Kegilaan yang luar biasa. Hampir saja aku ditinggalkan
oleh seseorang, yang membuat duniaku nyaris runtuh. Satu
per satu orang yang kusayangi direngut dengan kejam oleh
kematian. Kau… kau yang terakhir. Aku tak rela….”
Seperti seorang bayi yang ditinggal ibundanya, mendadak
tangis Anton pecah. Air mata bercucuran, sebagian menimpa
tubuhku. Aku terpana melihat adegan yang sama sekali
om
tak pernah kuduga itu. Berbagai perasaan berkecamuk di
.c
ot

benakku. Hasrat hatiku memaksaku bangkit, memeluk tubuh


sp
og

kekar itu. Menghiburnya. Namun, rasio di kepalaku dengan


l
.b

tegas menolak. Jangan, Fa!.


do
in

Kubiarkan Anton terus terguguk menangis. Aku


a-

memejamkan mata. Sungguh, kesulitan yang terbesar dalam


k
sta

kejadian ini justru terhampar saat ini. Jangan… jangan sampai


pu

rasa iba ini terjerembab kepada hal-hal yang tak semestinya.


“Ton!” bisikku. “Adakah sesuatu yang lebih dari apa yang
kau rasakan saat ini, setelah berbagai ketegangan yang kita
lalui?”
“Kejujuran, Fa. Aku telah berusaha untuk jujur. Bahwa
aku ternyata sangat takut kehilangan kamu.”
“Lebih dari itu. Kebesaran-Nya. Keagungan-Nya. Allah
yang telah membuat kita semua terlepas dari marabahaya.”
Anton termangu. Tetapi tangisnya terhenti.

286
“Ya…. Ada Allah, di atas segalanya. Maafkan aku, Fa.
Aku tahu, kau gadis yang suci, sangat menjaga kesucian
diri!” Anton menatap kerudung yang terus saja membungkus
kepalaku. Meskipun dalam keadaan sulit, aku memang tetap
menjaga agar auratku tetap tertutup dengan semestinya. Dan
aku diam-diam menghargai sikap Anton yang ternyata sangat
menghormatiku. Helm, bagian-bagian pakaianku yang ketat
telah dia longgarkan, sebagai sebuah prosedur pertolongan
pertama pada kecelakaan. Tetapi, Anton masih menjaga agar
bagian-bagian yang seharusnya kusembunyikan tak terlihat.
Anton sangat gentle dan anggun memperlakukanku.
“Dan mungkin, aku bukan orang yang kau harapkan

om
menjadi pendampingmu, bukan? Aku tak selevel
.c
denganmu.”
ot
sp

Pernyataan Anton barusan, begitu memilin-milin jiwaku.


og

“Mengapa… mengapa kau sudah berpikir tentang soal


l
.b
do

pendamping?”
in
a-

“Karena, karena aku akan gila jika kehilanganmu.


k
ta

Mengapa aku tak kemudian berharap agar kita bisa berdua


s
pu

selamanya.”
“Sebelum ini, kau seperti sangat membenciku?”
Anton memalingkan muka. Tak menjawab pertanyaanku,
dia malah berdiri. “Abaikan apa yang terjadi barusan. Mari
berkosentrasi pada apa yang harus kita lakukan selanjutnya.
Kita baru terlepas dari satu permasalahan. Dan, masih banyak
hambatan yang harus kita atasi,” ujarnya.
Aku menatap sosok itu, dan entah mengapa, aku melihat
dia terlihat jauh lebih tampan. “Aku setuju.”

287
“Maafkan aku, Fa!”
“Kau tidak bersalah. Cinta tak pernah salah, Ton. Yang
salah adalah, ketika kita menerjunkan cinta kepada sesuatu
yang tidak selaras dengan kehendak-Nya.”
Sesaat kami saling berdiam diri, tenggelam dalam
lamunan masing-masing.
“Ton, jam berapa ini?”
“Jam tujuh!”
“Astaghfirullah, aku belum shalat!” perlahan aku bangun,
dan kurasakan dunia seperti berputar. Namun sekuat tenaga,
aku mencoba berjalan menuju sebuah cekungan berisi air

om
perkolasi. Aku berwudu sebisanya. .c
“Fa!” bisik Anton. Dia bangkit dari duduknya, dan
ot
sp

bergerak mendekatiku. “Aku mau sholat. Ajari aku!”


og

Aku terpana.
l
.b
do

--o=[]=o--
in
a-
k

Setelah berjalan kira-kira satu jam, akhirnya kami


sta

menemukan sebuah chamber yang benar-benar kering dan


pu

nyaman. Kami memutuskan untuk beristirahat di sana dengan


lebih tenang. Anton mendekatkan sebuah lilin ke tubuhku,
dan aku merasakan tubuhku mulai hangat. Apalagi, aku juga
telah mengganti pakaian yang basah kuyup dengan pakaian
yang kering. Aku cukup bersyukur, karena kualitas lapisan
waterproof pada carrier bag-ku benar-benar jempolan.
Benda-benda penting masih terselamatkan. Sama sekali tak
basah.

288
Dua potong sandwich—makanan terakhir yang kami
miliki, menjadi menjadikan sebuah makan malam yang
terasa begitu berharga.
Entahlah, kami masih belum bisa menemukan jalan keluar,
tetapi kami merasa jauh lebih tenang dari sebelumnya. Pada
saat itulah aku benar-benar merasakan nikmatnya sebuah
kesunyian dan ketemaraman yang begitu nyaman.
Malam yang tenang kulewatkan dengan berbincang-
bincang ringan meski tema-temanya sesungguhnya cukup
berat. Anton banyak bertanya tentang agama, tentang
kehidupan, tentang pengabdian, dari yang paling sederhana
hingga memiliki derajat kerumitan yang tinggi. Dan entah
om
mengapa, rasa aneh yang sempat bergejolak saat kejadian di
.c
celah gua beberapa jam yang lalu, kini telah berganti dengan
ot
sp

perasaan yang lebih menentramkan. Seperti rasa yang


og

kualami saat bersama Nania, Anita, atau sahabat-sahabatku


l
.b
do

yang lain. Kenyataan itu membuatku cukup merasa lega.


in
a-

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sebuah rasa


k
ta

yang juga Engkau sendiri yang menciptakan. Jika memang


s
pu

aku ditakdirkan berjodoh dengan lelaki ini, meskipun


tampaknya sangat mustahil, aku pasrah dengan segala kisah
hidup yang akan berkelindan membersamaiku. Yang penting,
sebisa mungkin aku tetap menjaga diri untuk tak melanggar
aturan-Mu.
Tak kusangka, justru Antonlah yang meminta izin untuk
tidur terlebih dahulu. Dan aku cukup senang dengan cara
dia menjaga kehormatanku. Dia memilih tempat yang cukup
jauh dariku. Dia juga yang memilihkan sebuah tempat yang

289
nyaman dan terlindung untukku. Saat akhirnya pelupuk mata
sudah tak bisa ditahan, aku pun berbaring di atas matrasku.
Dan baru saja aku mulai memejamkan mata, mendadak
aku melihat sekelebat bayangan yang tercipta dari cahaya
lilin di dinding gua. Bayangan yang jelas bukan berasal dari
Anton, karena lelaki itu telah tertidur pulas. Bayangan siapa?
Aku tersentak dan segera meloncat bangun. Mulutku nyaris
berteriak, namun segera kutahan.
Dari arah sebuah lorong, kulihat sesosok tubuh
berpakaian serba hitam, pastinya seorang lelaki, mendekati
Anton. Langkahnya pelan, namun pasti. Tangan kanannya
membawa senter, sedangkan tangan kirinya teracung,
om
membawa sebuah benda. Saat posisinya sudah sangat dekat
.c
dengan Anton, benda itu dia angkat tinggi-tinggi, dan siap
ot
sp

dihujamkan ke tubuh Anton. Mataku melotot melihat benda


og

yang berkilat terkena cahaya lilin.


l
.b
do

Keris!
in
a-

Sebilah keris.
k
s ta

Lelaki itu hendak membunuh Anton.


pu

Jantungku berdetak kencang. Pasti. Pasti lelaki ini juga


yang telah melucuti semua tanda di percabangan. Lelaki
yang juga telah meruntuhkan bebatuan itu, sehingga aku dan
Anton terkurung di dalam gua.
Lelaki ini menginginkan kematian Anton. Dan pasti juga
kematianku. Tubuhku menggigil keras.

290
Sepasang Mata dalam Gelap
Jadi, itu yang akan kau lakukan? Membunuh manusia
itu dengan keris yang kau sebut bernama Ki Suromenggolo?
Sepanjang jalan menuju ruang besar tadi, kau terus
menceracau. Kau katakan bahwa dua manusia dalam gua
itu akan kau jadikan sebagai tumbal persembahan kepada
makhluk kasat mata yang selalu hadir tanpa pernah kulihat.
Tumbal!
Kata itu terasa begitu mengerikan. Semakin mengerikan,
karena kau memberlakukan hal tersebut pada sosok yang
sebenarnya sejenis denganmu.
Ketahuilah, wahai manusia gua, meski aku hanya
om
ditakdirkan sebagai seekor binatang, aku tak pernah menyakiti
.c
ot

sesamaku. Aku bahkan selalu bekerja sama dengan mereka


sp
og

dalam segala hal. Aku hanya binatang yang tak pernah


l
.b

dipandang. Tetapi jangankan saling membunuh, merebut


do

jatah makanan sesamaku pun aku enggan. Lalu, mengapa


in
a-

engkau hendak mengajariku sesuatu yang mengerikan….


k
ta
s

Keris itu kau angkat tinggi-tinggi. Pasti kau akan


pu

menghujamkan di perut si rambut panjang. Namun….


Apa yang terjadi? Aku melihat dengan jelas, si mungil
berlari mendekat. Mengambil sebongkah batu, lalu dia
hantamkan kuat-kuat ke tubuhmu.
Kau terpekik kaget, berteriak kesakitan. Tapi kau
tampaknya hantaman itu tak berarti apapun untukmu,
kecuali sekadar kegagalanmu membunuh manusia berambut
panjang itu. Kau berbalik, menggerung menyeramkan.

291
“Bedebah! Kau juga akan menjadi tumbal Ki
Suromenggolo!” Sambil meringis menahan sakit, kau
mengangkat keris itu, lalu menyerang si mungil dan berseru
keras. “Mampuuuus kauuu!!!”
Si mungil meloncat mundur, menghindari serangan itu.
Namun dia tampak begitu kepayahan ketika kau dengan
amarah yang meledak-ledak menyerangnya dengan brutal.
Gadis mungil itu terjajar dan merapat ke dinding gua, tak
sanggup lagi bergerak.
Dan, ketika kau sudah berhasil mencengkeram bahu
si mungil… lalu pelan-pelan kau angkat keris itu, dan di
arahkan ke tubuhnya.
om
Aku terpana. Aku pasti akan melihat darah menyembur.
.c
ot

Aku akan melihat sebuah kejadian yang mengerikan. Sama


sp

seperti yang diceritakan moyangku. Ibu dari ibu, dari ibu, dari
ogl

ibu. Dan seterusnya. Telah begitu panjang. Tetapi, kejadian


.b
do

itu membekas dan tak akan hilang, terus dikisahkan, turun


in
a-

temurun.
k
ta
s
pu

Suara ledakan-ledakan.
Dan tubuh-tubuh berlumur darah.
Dilempar dari permukaan bumi
Bertumpuk-tumpuk.
Lama-lama bau busuk.
Jadi belulang dan tertimbun reruntuhan.

Aku harus melakukan sesuatu. Ya! Pancaran kebaikan


setiap makhluk, akan mudah merambat dan memasuki celah

292
hati makhluk yang lain. Aku tahu, si mungil ini memiliki
hati selembut kapas-kapas awan. Aku akan membantunya.
Tentu. Aku tak ingin tempat tinggalku ini menjadi penuh
jeritan kesakitan, seperti yang terjadi pada saat moyangku
menempati gua ini entah berapa masa yang lalu.
Aku harus melakukan sesuatu!
Kukeluarkan suara dari mulutku. Suara yang tak
terdengar oleh telinga manusia, tetapi gelombang udara itu
akan gaung-gemaung memantul dinding gua dan masuk ke
pendengaran teman-temanku. Sebentar lagi teman-temanku
akan mendatangi tempat ini.[]

om
.c
ot
sp
og
l
.b
do
in
ka-
ta
s
pu

293
pu
sta
ka-
in
do
.b

294
log
sp
ot
.c
om
27
Agate

A ku benar-benar sudah terdesak, dan terjebak. Lelaki itu,


yang mendadak muncul dari kegelapan mencengkeram
ot
.c
om
leherku dan mendorong sangat kuat hingga tubuhku terdesak
ke dinding gua. Tenaganya sangat kuat, padahal dia hanya
sp
og

menggunakan tangan kanannya. Tangan kirinya teracung,


l
.b

dengan benda yang hampir saja menembus perut Anton.


do
in

Aku ingin berteriak, tetapi entah mengapa, mulutku


a-

seperti terkunci. Rasa takut yang luar biasa telah membuatku


k
ta

gagu.
s
pu

“Kau… kau akan jadi tumbal… kau akan jadi


persembahan untuk mereka yang telah mencabut semua
kesaktian yang kumiliki. Itu harga yang sebanding dengan
kekurangajaranmu…!”
Suara itu terdengar sangat parau. Dalam keadaan terdesak,
rasa penasaran berhasil sedikit mengikis rasa takutku. “K-kau
ini s-siapa? Mengapa kau ingin mem-membunuh kami?”
“Karena kau telah mengotori tempat ini!”
“Mak-maksudmu apa?”

295
“Orang-orang seperti kalian, telah membuat
tempat-tempat suci menjadi tercemar. Dan atas nama
penghormatanku kepada roh leluhur, aku akan membaktikan
diri menghancurkan orang-orang seperti kalian.”
Tubuhku menggigil. Gigiku gemeletuk karena rasa takut
yang kuat mencekam. Aku mungkin akan mati. Biarlah… aku
bersiap, toh kematian itu memang akan mendatangi setiap
jiwa yang bernyawa. Tetapi, aku tak mau mati konyol begitu
saja tanpa mengerti sebab mengapa ada sosok yang begitu
bernafsu menghabisi nyawaku.
“J-jadi, kaukah yang membuang semua tanda-tanda di
mulut gua itu? Dan juga… meruntuhkan bebatuan di mulut
om
lorong itu?” kutatap lelaki itu sesaat. Tak seperti sosok
.c
Samson yang bertubuh sebesar gorilla. Lelaki itu biasa-biasa
ot
sp

saja, bahkan dibandingkan dengan Anton, mungkin dia lebih


og

mungil. Selain cambang dan kumis lebat, sebenarnya dia tak


l
.b
do

terlihat terlalu menyeramkan. Tetapi, dari cengkeraman di


in

leherku, aku tahu, dia memiliki tenaga luar biasa kuatnya.


ka-
ta

“Kau… kau ini siapa?”


s
pu

“Aku penguasa gua ini. Roh leluhur menyerahkan gua ini


padaku. Aku penjaga gua. Dan juga pantai-pantai suci yang
kini satu per satu kalian kotori.”
“Kotori bagaimana? Justru… justru saya mendatangi
tempat ini, dengan tujuan agar saya mendapatkan data…
data yang ilmiah. Data yang akan menjadi pertimbangan
para penguasa agar tempat-tempat seperti ini dilindungi.”
“Sama saja… orang-orang seperti kalian telah membuat
kesucian sebuah tempat menjadi hilang. Dan untuk

296
menghadirkan kesucian itu kembali, darah kalian harus
ditumpahkan! Bersiaplah menyambut kematianmu!”
Tangan itu pelan bergerak. Ujung keris perlahan
mendekati perutku. Kurasakan sebuah napas kematian yang
mencekam.
Akan tetapi, beberapa kelebat benda hitam mendadak
menyambar kepala lelaki itu. Sebuah teriakan kaget
terdengar keras. Lelaki berkeris itu terloncat mundur. Aku
terpana. Puluhan burung kelelawar mendadak beterbangan
mengerumuni kepala lelaki itu. Dia meloncat-loncat,
mengibat-ngibatkan keris itu ke arah hewan-hewan itu.
Rupanya kejadian itu mengagetkan Anton. Dia terbangun
om
dan melotot melihat kejadian itu. Cepat aku meloncati sebuah
.c
ot

batu, mendekat ke Anton, dan kutarik tangannya.


sp
og

“Lari!”
l
.b

“A-apa yang terjadi?”


do
in

“Nanti saja kujelaskan … orang itu… orang itu akan


a-
k

membunuh kita!”
sta
pu

Anton masih bingung. Namun ketika aku kembali


menarik tangannya, dengan cepat dia menyambar carrier
bag-nya. Sebuah naluri yang membuatku sesaat terkesima.
Dalam keadaan darurat pun dia masih ingat peralatannya.
Sementara, peralatanku sendiri teronggok di sudut gua dan
aku tak sempat menyambarnya.
Anton berlarian di belakangku. Sesekali dia masih
menoleh ke arah lelaki yang tengah diserang sekawanan
kelelawar itu. Sementara, aku sudah tak memikirkan apapun
kecuali lari, lari dan terus berlari. Kususuri lorong gelap itu

297
dengan hanya mengandalkan pencahayaan dari headlamp
yang mulai melemah, mungkin baterainya mulai habis.
Berkali-kali aku terjatuh. Coverall-ku mulai robek-robek, dan
tubuhku penuh memar.
Tetapi, kematian ada di belakangku! Mengejarku.
Aromanya tercium begitu menyeramkan.
“Fa! Berhenti sebentar!” akhirnya Anton menarik
tanganku, dan menahanku untuk tak berlari. “Jangan jadi
seekor reptil yang berpikir dengan otak primitif!”
Aku terpaksa berhenti. Napasku tersenggal-senggal.
Keringat mengucur deras.
“Kita… kita di ambang kematian.”
om
.c
“Kau terlalu dihantui ketakutan!” kesal Anton. “Mengapa
ot
sp

tidak kau gunakan akalmu untuk berpikir? Kita berdua, masih


og

sehat. Lelaki itu mungkin malah lebih kecil dariku. Tidak!


l
.b

Aku tidak mau jadi pengecut yang meninggalkan medan


do
in

sambil lari terkencing-kencing! Kau merendahkanku, Fa!”


a-
k

“Anton! Dia hampir saja membunuh kita….”


sta
pu

“Kita pun bisa saja membunuh dia!” sungutnya. Lalu


dia menarik tubuhku, bergerak menuju sebuah tempat
yang terlindung di balik sebuah kolom. Kasar dia matikan
headlamp di kepalaku. “Diam di sini! Jangan bergerak!”
“A-apa yang akan kita lakukan!”
“Kau diam saja! Jangan ada suara dan gerak sedikit pun!”
tegas Anton.
Aku pun mendadak berubah menjadi arca. Entah berapa
lama. Dan detik demi detik yang terlewat mendadak seperti

298
terasa begitu mencekam. Begitu mencekam, bahkan untuk
sekadar bernapas pun, aku sangat berhati-hati, takut desah
napasku menjadi salah satu penanda persembunyian kami.
Kurasakan kesunyian dan kegelapan yang abadi. Sangat
sunyi, sehingga seolah-olah aku bisa mendengar detak
jantungku sendiri. Saat aku mulai merasakan kesemutan
pada kakiku, mendadak aku mendengar suara langkah kaki.
Berjalan pelan, dengan entakan yang mengikuti birama
tertentu.
Dari mulut lorong, kulihat sesosok tubuh berjalan
terhuyung-huyung. Dia membawa menyorotkan senternya
ke sekeliling gua. Tatapannya tajam mengarah ke depan.
om
Dia semakin mendekat. Keris tetap terhunus di tangan
.c
ot

kirinya. Ya, dia selalu bergerak aktif dengan tangan kirinya,


sp

mungkinkah dia kidal?


og
l
.b

Ketika lelaki itu tinggal beberapa meter dari persembunyian


do

kami, kurasakan jemari tangan Anton membekap mulutku,


in
a-

mungkin memastikan agar aku tidak bersuara.


k
sta

Tepat di depan persembunyian, lelaki itu mendadak


pu

berhenti. Matanya mengarah kepada sesuatu. Dadaku


berdesir. Jejak kaki. Ya, jejak kaki yang menghilang. Dia
tahu, kami bersembunyi. Celaka!
Namun, Anton ternyata telah mengantisipasi segala
sesuatunya dengan cermat. Mendadak di menghambur,
menubruk lelaki itu dari belakang. Lelaki itu jatuh
tertelungkup. Anton mencoba memitingnya dari belakang,
seraya merebut keris itu.

299
Akan tetapi, di luar dugaan, lelaki yang bertubuh lebih
mungil dari Anton itu mendadak membalik dengan cepat
dan keras. Anton nyaris terempas. Hanya saja, kaki Anton
masih sempat menendang keris di tangan lelaki itu. Keris
melayang, dan jatuh… tepat di depanku. Hanya sekitar dua
meter.
Mereka bergumul, saling beradu jotosan dan tendangan.
Dan setelah pergulatan itu berlangsung hampir lima menit,
aku melihat Anton ternyata mulai terdesak. Lelaki itu memiliki
ketrampilan olah kanuragan yang hebat. Dia menguasai
jurus-jurus pencak silat dengan sangat baik. Anton, yang
konon memegang ban hitam taekwondo, ternyata sangat

om
kuwalahan dibuatnya. .c
Apa yang harus kulakukan? Gemetar aku menatap keris
ot
sp

yang tergeletak di depanku itu. Aku harus menolong Anton.


og

Harus!
l
.b
do

Aku merangkak ke depan, kuraih keris itu. Ya tuhan,


in
a-

meski kelihatan benda itu kecil, hanya sepanjang kira-kira


k
ta

tiga puluh centimeter, ternyata aku merasakan sebuah bobot


s
pu

yang tidak ringan. Aku harus menggunakan kedua tanganku


untuk bisa mengangkatnya. Dari beratnya benda, dan melihat
bagaimana lelaki itu tadi dengan ringan memainkannya, aku
bisa memperkirakan kekuatan tenaga orang itu.
Kulihat Anton terdesak. Dia terjatuh, dan lelaki itu
menindihnya. Lantas tangan lelaki itu meraih sebongkah
batu, siap dihantamkan ke kepala Anton. Aku meringis,
karena saat itu helm Anton telah terlepas. Membayangkan
kepala Anton pecah berburai, aku tak lagi bisa memikirkan
hal lain. Kuhujamkan keris itu ke punggung lelaki itu.

300
Bleeeesss!
Terdengar sebuah lengkingan keras![]

om
.c
ot
sp
og
l
.b
do
in
k a-
ta
s
pu

301
pu
sta
ka-
in
do
.b

302
log
sp
ot
.c
om
28
Berlian

H ari masih gelap gulita ketika motor yang dikendarai


Darma sampai di halaman rumah Rinanti yang juga
ot
.c
om
sama gulitanya. Hanya ada sebuah bola lampu kecil berdaya
5 watt di samping rumah yang tetap dibiarkan hidup.
sp
og

“Terimakasih, Darma… silakan kamu pulang saja!”


l
.b

“Baik, Bu….”
do
in

Rinanti sengaja menunggu motor itu hilang dari


ka-

pandangan. Sesaat dia termangu menatap rumah yang sudah


ta
s
pu

hampir tiga bulan tak ditempatinya itu. Semak belukar


tumbuh rimbun. Dulu, di tengah kesibukannya, setiap
seminggu sekali dia membersihkan halaman rumah. Dia
juga rajin menyirami bunga-bunga yang dia tanam dengan
hati-hati, sehingga bunga itu tumbuh segar, tak layu seperti
saat ini. Rinanti merasa pilu ketika melihat rumpun mawar di
pojok halaman itu bahkan telah mati. Mengering.
Dia melangkah menuju pintu, mengambil anak kunci,
dan mendorong daun pintu itu. Yang dia tuju adalah
kamarnya. Bukan untuk beristirahat, meski jarum pendek di

303
jam dinding masih menunjuk angka tiga dan jarum panjang
menunjuk angka sebelas.
Di kamarnya, Rinanti menyalakan lampu, membuka
almari kayu yang selalu mengeluarkan suara berderit saat
daun pintunya dibuka. Tampaknya, engsel sudah berkarat,
atau aus saking tuanya. Dia keluarkan selembar jaket lusuh
dan selendang untuk membalut leher. Lalu dia menyambar
sebuah tas kain yang tercantel di dinding. Saat melihat
dinding kayu itulah, matanya tertuju pada barisan panjang
garis-garis hitam dari spidol. Ukuran dinding yang terbuat
dari papan itu tiga kali tiga meter. Dia membuat garis mulai
pada ketinggian pojok dinding, di ketinggian satu setengah

om
meter. Dari sudut kanan hingga sudut kiri, berderet lima
.c
baris yang terbentuk dari garis-garis vertikal yang digoreskan
ot
sp

dengan spidol. Empat baris di atas masing-masing berisi


og

seribu garis. Baris terbawah masih menyisakan ruang kosong


l
.b
do

sepanjang kira-kira setengah meter.


in

Lima ribu delapan ratus dua puluh dua garis.


a-
k
ta

Rinanti termangu. Dia masih berharap, ada satu lagi garis


s
pu

tergores di sana. Lalu satu lagi. Satu lagi… terus.


Setelah puas menatap goresan itu, dia menuju dapur.
Mengisi sebuah botol minuman dengan air matang. Meski
rumah ini kosong, ibunya masih terus mengisi termos air di
rumahnya. Dia masukkan botol itu ke tas. Lalu dia keluar,
mengunci pintu rumah, dan berjalan. Menuju arah pantai.
Langkahnya sangat mantap. Dan tenang.
--o=[]=o--

304
Begitu fajar menyingsing, serombongan manusia dengan
peralatan lengkap, bergerak cepat ke luweng misterius yang
hampir tak diketahui oleh orang-orang kecuali masyarakat
sekitar dan beberapa caver senior semacam Willy dan Dadan.
Mulut luweng tertutup oleh semak belukar. Beberapa batang
pohon raksasa membuat luweng terlihat semakin teduh. Dan
wingit. Tampaknya, meski permukaan tanah di situ terlihat
tandus, akar pohon raksasa itu telah berhasil menembus
gua di bawahnya dan berhasil menemukan sumber air yang
melimpah.
Gabungan Tim SAR dan polisi dengan cepat memangkas
semak-semak yang tumbuh rimbun, serta beberapa cabang

om
pohon yang menutupi luweng. Dalam waktu singkat,
.c
terlihatlah di depan mereka mulut sebuah luweng selebar
ot
sp

kira-kira tiga kali tiga meter persegi. Bentuk entrance mirip


og

sebuah sumur raksasa. Beberapa anggota tim dengan cekatan


l
.b
do

membuat main anchor dari sebatang pohon mangga raksasa


in

yang entah mengapa bisa tumbuh subur di daerah yang


ka-

berbatu-batu seperti itu, dan back-up di bebatuan. Mereka


ta
s

berdecak, ketika melihat sebuah tali tergelantung begitu saja


pu

di mulut gua.
“Jadi, Ki Gunadi menuruni gua ini hanya dengan seuntai
tali tanpa peralatan apapun,” gumam Willy yang juga ikut
membersamai tim SAR. Nania, Jaka dan Azhar tak absen
dari acara tersebut, sementara Pak Deddy dan Tom sudah
sejak kemarin berpamitan untuk kembali ke kotanya. Fahri,
Fariz dan Fathur, ketiga kakak Fahira pun ikut berkerumun
di mulut gua. Namun mereka tak berani menuruni luweng,
karena merasa tak memiliki pengalaman panjat tebing.

305
“Beliau itu dukun sakti, Wil, ya wajar saja kalau dia bisa
melakukan hal-hal yang tak bisa dilakukan manusia biasa,”
kata Dadan.
Peralatan menuruni tebing sudah purna. Setelah semua
anggota Tim SAR dan sebagian polisi turun ke gua, Willy
menatap ke para anggota ekspedisi.
“Siapa yang akan ikut turun?”
Jaka, Nania dan Azhar sontak angkat jari. “Kami semua
ikut.”
“Baik, bersiap-siap, ya?”
Ketiga kakak Fahira terbelalak melihat Nania melakukan

om
rigging ke bawah, dan membayangkan adik bungsu mereka
.c
melakukan hal tersebut. “Aku yang cowok aja belum tentu
ot
sp

berani,” bisik Fathur, pelan.


og

“Pantas saja si Anton itu menolak keras, ketika kita minta


l
.b
do

Gunawan dan Ardi mengawal Fahira,” ujar Fahri. “Memang


in

susah ya, turun tebing itu.”


a-
k

Berbeda dengan entrance di Luweng Jaran yang begitu


sta
pu

menuruni pitch demi pitch langsung terhubung dengan


sebuah chamber raksasa, begitu sampai di bagian bawah
luweng, para penyelusur gua itu hanya mendapati sebuah
lorong yang cukup panjang. Stalakmit dan stalaktit sangat
rimbun tumbuh dari lantai dan atap gua. Beberapa kali
mereka harus ekstra hati-hati menyelusup di antara rimba
speleotem itu agar tak terbentur bebatuan gua itu.
Baru setelah itu, mereka mendapatkan sebuah ruang
yang cukup luas.
Tak ada siapapun di ruang itu.

306
“Kata orang-orang di sekitar luweng, dulu tempat ini
banyak dijadikan tempat pembuangan mayat. Kok nggak ada
bekasnya?” gumam Willy. “Cuma gosip, atau mayat itu udah
disingkirkan? Tapi siapa yang menyingkirkan? Ki Gunadi?”
Tak ada yang menjawab gumaman Willy. Mereka semua
berkonsentrasi mengamati ruangan luas itu.
“Itu!” teriak seorang anggota SAR, sambil menyorotkan
senternya. “Ada jejak!”
Para penyelusur dengan cepat mendekat. Di lantai yang
becek oleh sedimen basah, terlihat jelas jejak yang bercampur
lumpur hitam, yang seperti berasal dari permukaan tanah.
“Ayo ikuti jejak ini!”
om
.c
Mereka semua bergerak, dengan pelan namun pasti.[]
ot
sp
og
l
.b
do
in
a-
k
sta
pu

307
pu
sta
ka-
in
do
.b

308
log
sp
ot
.c
om
29
Cavepearl

“K atakan, Ton! Apakah aku telah membunuh orang


itu?” tanyaku, dengan dada bergemuruh. Entah apa
ot
.c
om
perasaan yang tengah berkecamuk di benakku. Yang jelas,
mendadak aku merasakan aneka rasa berbaur, seperti ter-
sp
og

blender menjadi jus rasa yang tak keruan. Kesedihan yang


l
.b

ingin meledak jadi tangis, ketakutan yang menggetarkan


do

tulang sumsum, hingga cemas tiada tara, seperti hendak


in
a-

membuatku gila. Maka, setelah kira-kira lima ratus langkah


k
ta

kami berlari meninggalkan sosok berlumuran darah itu, aku


s
pu

mendadak berhenti.
“Kita belum bisa memastikan dia mati atau tidak.”
“Kalau dia mati, aku jadi pembunuh,” isakku.
“Kalau kau tidak membunuhnya, kau akan menyaksikan
aku mati dibunuhnya. Setelah aku mati, giliran kau yang
akan dibunuhnya.”
Suara Anton membuatku sedikit tenang. Kecemasan itu
mungkin telah mulai mencair, tetapi hanya berubah ujud

309
dari solid menjadi sedikit lumer. Hawa panasnya masih
terasa sekali.
“Aku takut…”
“Jika kau ditangkap polisi, aku akan menjadi saksi
untukmu!”
“Tapi….”
Anton menepuk pundakku. Lalu merangkulku. Dalam
keadan seperti ini, aku tak bisa berpikir jernih untuk
mengibaskan tangan lelaki itu. “Berjalanlah, kita harus segera
menyelamatkan diri.”
“Aku tak sanggup berjalan.”

om
“Perlukah aku gendong?” Lelaki itu menatapku, bibirnya
.c
tersenyum.
ot
sp

“Tidak, Ton… jangan!”


og
l

Kusandarkan tubuhku ke dinding gua. Air mata mulai


.b
do

mengucur deras.
in
a-

“Kita tak memiliki waktu untuk meratap,” ujar Anton,


k
ta

suaranya melembut. “Karena bahaya masih mengincar kita.


s
pu

Tidakkah kau saksikan, bahwa lelaki itu ternyata begitu kuat.


Mungkin, dia benar-benar seorang dukun yang sangat sakti.
Belum tentu juga dia mati. Bisa jadi, dia akan bangkit kembali
dan mengejar kita. Ayolah!”
Aku mengelap air mataku. Lalu mengangguk, dan mulai
melangkah… menapaki satu demi satu harapan.
Kegelapan melingkupi. Sunyi sepi mendominasi. Namun
aku justru kian terbiasa. Lorong-lorong itu terasa mulai
akrab. Bongkahan-bongkahan benda dari dasar, juluran-

310
juluran menawan dari langit-langit, serpihan kristal, tetesan
air perkolasi, mulai terasa akrab.
Bekal telah sama sekali habis. Bahkan cadangan
baterai pun benar-benar limit. Headlamp di kepalaku mati.
Senterku sudah mulai meredup. Kami pun akhirnya hanya
mengandalkan headlamp dari Anton, itu pun ketika mata
kami sudah mulai terbiasa dengan kegelapan, sesekali lampu
itu dimatikan untuk menghemat energi.
Aku seperti telah menjadi gelandangan yang compang-
camping dan tak memiliki apapun kecuali harapan. Aku
menjadi pengembara di sebuah lurung, puluhan meter,
bahkan mungkin ratusan meter, di bawah permukaan bumi.
om
Namun, lama-lama ketegangan itu justru mencair. Lelaki
.c
berkeris itu tak mengejar kami. Kami melangkah dengan
ot
sp

aman, dan kian lama kian tenang.


og
l

Dan justru, dalam keadaan tanpa peralatan itulah,


.b
do

kami merasakan telah mulai menyatu dengan aroma gua.


in
a-

Keindahan telah menyulap semua sengkarut dalam jiwa.


k
ta

Kami tersihir oleh bentangan endokarst yang seakan telah


s
pu

menatah diri menjadi sebuah dekorasi supermewah yang


jauh dari keramaian.
Kami melangkah, melangkah dan terus melangkah.
Mata kami terbelalak ketika akhirnya kami menemukan
butir-butir mutiara gua itu… cavepearl dalan hamparan
yang membuat seolah-olah kami tengah memasuki sebuah
ruang perbendaharaan kaisar yang penuh dengan butir-butir
permata yang tak ternilai harganya.

311
Namun kami tak berhasrat untuk menggenggam semua-
nya itu dan memindahkan ke kantong-kantong kami. Tidak!
Biarlah keindahan itu abadi di perut bumi. Kami tak mau
merusak mahakarya yang begitu sempurna, yang tersketsa
tak hanya ribuan, namun juga ratusan ribu, bahkan jutaan
tahun. Bahkan, sekadar menjepret gambarnya pun kami tak
mampu, karena kameraku tak ada di tangan, sementara milik
Anton pun telah rusak terbanting-banting saat dia bergulat
dengan lelaki itu.
Tak apa… ada kamera sejati yang bertengger indah di
mata kami. Kenangan ini akan tersimpan indah, dan mungkin
akan tercetak menjadi sebuah karya seni yang indah. Jika

om
Plato dahulu mengusir para perupa yang menurutnya
.c
hanyalah peng-copy ulung dari apa yang terbentang di alam
ot
sp

semesta, justru dengan keterbatasan yang kami miliki, kami


og

akan mengolah apa yang kami dapati dan kulontarkan kelak


l
.b
do

dalam sebuah tafsir yang memesona. Suat saat nanti. Ya!


in

Manusia bisa saja menghidangkan selembar foto untuk


ka-

menunjukkan keindahan sebuah lokasi yang didatanginya.


ta
s
pu

Tetapi, sebuah tafsir dalam ujud kata-kata indah, nyanyian-


nyanyian merdu, syair-syair menawan, atau lukisan-lukisan
abstrak, akan mendudukkan kami bukan pada sekadar peniru
alam semesta. Kami adalah penafsir.
Kami melangkah, dan melangkah. Terus melangkah.
Sesekali Anton kembali merayuku dengan janji-janjinya
untuk menjadi manusia yang lebih baik. Akan berjuang
menjadi sosok yang lebih bertanggung jawab. Dan aku
hanya menanggapi dengan senyum.

312
Anton, kau pahlawanku. Tetapi aku tak akan banyak
berbicara. Aku hanya berharap kau mendatangi ayahku,
dan mengatakan kepadanya bahwa kau menginginkan aku
selamanya ada di sampingmu.
Tanpa kata, kukira dia bisa membaca apa gejolak rasa
yang tersimpan di sudut hatiku.
Kami terus melangkah.
Hingga kami melihat cahaya matahari itu. Dan suara-
suara yang riuh.
“Fahiraaaaaaa!!!” sebuah teriakan memecah keheningan
gua.

om
Aku memejamkan mata, merasakan tubuhku seperti tengah
.c
melayang di udara. Lantas, seseorang berlari menghambur.
ot
sp

Dan aku membiarkan seseorang itu memelukku dengan


og

sepenuh haru.
l
.b
do

Nania.
in

Sesuatu yang basah kembali merembes dari pelupuk


a-
k

mataku.
sta
pu

“Ya Allah, terimakasih Tuhaaaan…,” suara bariton Azhar


masuk ke telingaku. “Akhirnya kalian ditemukan.”
“Fahira, Anton… kalian baik-baik saja?” Jaka menatapku
dan Anton, matanya berlinangan air.
Aku tersenyum.
“Tenang, Sobat… kami sudah mulai bisa memahami
lekak-lekuk gua ini dengan baik. So, di penelitian kita yang
beneran bulan depan, kita akan punya gambaran yang lebih
baik dari saat survey.”

313
“Appaaa?” Nania melepaskan pelukannya. “Penelitianmu
ini akan dilanjutkan?”
“Kamu… serius?”
“Serius!” Anton yang menjawab. “Tetapi, di penelitian
kita bulan depan, akan ada status yang telah berubah.”
“Status?”
“Ya. Status kami. Bukan lagi sahabat. Tetapi suami istri.”
Aku membelalak ke arah Anton. Dan kudengar lelaki itu
tertawa lepas.
Ketegangan meluruh seperti daun kering yang jatuh dari
tangkainya.

om
.c
ot
Sepasang Mata dalam Gelap
sp
og

Aku masih sangat penasaran dengan apa yang hendak


l
.b

kamu lakukan. Setelah aku dan teman-temanku kau buat cerai-


do

berai, ketika teman-temanku memilih berlarian ketakutan,


in
a-

aku tetap diam-diam menguntitmu. Aku terbang dari batu


k
ta

ke batu. Bersembunyi saat kau diam dan mengamati sekitar,


s
pu

lalu terbang lagi saat kau berjalan kembali.


Aku sangat waspada, takut jika kesepian yang telah
begitu lama kau rasakan, akibat berlama-lama menetap di
gua, ternyata membuatmu memiliki kemampuan yang sama
denganku. Kemampuan mendengarkan pantulan-pantulan
bunyi, dan dengan itu kau berhasil mengetahui benda-benda
apa yang ada di sekitarmu. Jika kau telah memiliki kemampuan
itu, kau pasti akan tahu, bahwa aku menguntitmu.
Ternyata tidak! Kau tak tahu jika aku mengikutimu.

314
Kau berjalan ke depan, menyusuri lorong. Aku sesaat
tertegun ketika merasakan sesuatu menembus pendengaranku.
Ada seseorang, atau dua orang, bersembunyi di dekat batu.
Aku tahu, sebab bunyi lirih yang kukeluarkan, memantul pa-
da benda itu. Pantulan yang sangat berbeda dengan tatkala
gelombang bunyi itu mengenai bebatuan.
Dan ternyata aku benar.
Mendadak seorang lelaki—si rambut panjang, me-
nyerangmu. Kalian bergumul. Cukup lama. Hampir saja kau
berhasil menghantam tubuh lawanmu dengan batu besar
itu. Namun dari balik batu besar, si mungil keluar. Dia me-
raih kerismu. Menusukmu. Kau menjerit kesakitan. Darah
berhamburan. Mereka berdua berlari keluar.om
.c
ot

Aku memiliki dua pilihan yang sama-sama memberatkan.


sp

Mengikuti dua manusia itu. Atau terus mengawasimu. Dan


og
l

aku memilih untuk terus melihatmu.


.b
do

Masih ada desah napas. Tampaknya kau tak mati. Tetapi


in
a-

kau tergeletak begitu lama.


k
sta

Sampai akhirnya aku melihatmu bergerak. Bangun.


pu

Berdiri. Terhuyung. Kau meraung. Menangis. Kau bentur-


benturkan kepalamu ke dinding gua.
“Biarkan aku gila, biarkan aku gilaaaaaa!”
Suara gua bising oleh teriakanmu.
Lalu kau berlari, sangat cepat. Kau menaiki sebuah celah
yang ada di atas gua. Kau dengan cepat memanjat batu-batu.
Naik ke atas. Kakimu dengan lincah memanjat dinding yang
nyaris tegak lurus itu. Aku bahkan sampai harus terengah-
engah untuk bisa menyusulmu.

315
Kau ternyata bergerak menuju sebuah mulut gua. Aku
mendengar suara debur ombak. Matahari bersinar menerangi
mulut gua. Sinarnya membuat mataku terasa pedih dan
silau.
Oh, bahkan aku tak pernah tahu mulut gua yang satu ini.
Maka, terdorong penasaran, aku terbang ke atas. Kusaksikan
dengan jelas, bahwa mulut gua ini ada sebuah lekukan
kecil yang terletak di tebing laut. Di bawah sana, air laut
terbentang membentuk warna biru kehijauan. Ujung lidah
ombak terlihat begitu ganas menampar-nampar tebing.
“Kali ini, daripada hidup dalam keterhinaan, biarkan saja
aku mati!” bisikmu. Darah masih bercucuran, membasahi
om
tubuhmu. Luka yang dalam terlihat di punggungmu. Keris
.c
masih terhujam di sana.
ot
sp

“Biarkan aku mati… dan aku tak lagi bertanggung jawab


og
l

melihat tempat-tempat ini mulai ternoda!”


.b
do

Kau mengambil ancang-ancang. Aku tak tahu apa yang


in
a-

hendak kau lakukan. Dan….


k
s ta

Aku terperanjat. Kau meloncat ke arah laut. Suaramu


pu

keras melengking. Tubuhmu melayang, dan sesaat kemudian


air meloncat ke atas saat tubuhmu menghujamnya. Namun,
sesaat kemudian, aku tak melihatmu lagi. Ombak telah
menggulungmu. Membawamu, entah kemana.
Aku terpana.[]

316
30
Dolina
“Senja ke-4823: Sebuah Epilog”

S ejak fajar terbit, perempuan itu telah melangkahkan kaki


di pantai. Dia mencoba memanah sunrise dan menyadap
ot
.c
om
keindahan yang ditaburkannya. Namun, sejauh upaya untuk
merebut semua keindahan itu, sejauh itu pula gejolak dalam
sp
og

hatinya kian gencar memaku rasa. Dia pun akhirnya hanya


l
.b

menjadi sesosok robot tanpa ruh, yang berjalan dengan mata


do

nyalang, menapaki pasir-pasir putih, menciptakan ribuan


in
a-

jejak yang akhirnya hilang pula disapu ombak.


k
ta

Dia berjalan, menyusur pantai. Terus ke arah timur.


s
pu

Berjam-jam tubuhnya dipanggang matahari yang kian


tinggi.
Peluh telah mengkuyupkan semua pertautan benang
dalam jalinan kain yang menyelimuti tubuhnya, ketika
langkahnya akhirnya sampai di sebuah pantai penuh batu
karang yang tajam. Pantai itu membentuk teluk kecil yang
dipagari tebing-tebing limestone keputihan yang tinggi
menjulang. Air dalam teluk hijau kebiruan, terus bergejolak

317
bagai kawah penuh berisi air yang tak pernah diam. Pecahan-
pecahan ombak memercik keras saat menggembur karang.
Di sebuah sudut, sebuah lekukan tebing tertutup
bebatuan yang membentuk semacam cekungan. Letaknya
di atas, sekitar dua puluh meter dari permukaan laut. Ceruk
di tengah-tengah tebing itu sebenarnya merupakan mulut
sebuah gua.
Perempuan itu terpana sesaat. Gua itu begitu tinggi.
Bagaimana mungkin dia mampu memanjatnya. Dinding be-
gitu tegak, dengan batu-batu yang sepertinya sangat licin.
Apalagi lidah ombak seperti tak pernah lelah menggempu-
rnya. Dia termangu. Tak mungkin. Tak mungkin dia me-
manjatnya. om
.c
ot

Lalu, bagaimana cara agar dia bisa bertemu dengan


sp

suaminya? Bagaimana pula cara agar dia bisa menyerahkan


ogl

dua helai sapu tangan biru yang kini terlipat dan tersimpan
.b
do

dalam saku kepada pemilik sahnya? Mengapa dia begitu


in
a-

tolol?
k
ta

Dia menghela napas. Tatapnya terus termangu, sementa-


s
pu

ra kakinya seakan terpaku. Dia terus mematung menatap


hamparan air di teluk yang pastinya sangat dalam itu. Berjam-
jam. Hingga matahari tergelincir ke barat. Lalu kian turun ke
barat. Dan lantas teja jingga mulai berbias.
Dan sebuah benda mendadak terlempar dari mulut gua
itu.
Ah, bukan terlempar, tetapi melemparkan diri. Air laut
muncrat ke atas ketika benda itu menghantam permukaannya.
Sebuah benda yang membentuk ujud manusia.

318
Perempuan itu menikam hamparan air dengan tatap
tajamnya, mencoba menelisik untuk mencari sosok itu.
Tetapi, entah mengapa, sosok itu seperti hilang entah
kemana.
Matahari kian ke condong ke barat.
Perempuan itu, masih terus digempur penasaran. Siapa-
kah manusia yang barusan meloncat dari ketinggian itu?
Tetapi, mengapa dia menghilang?
Senja telah datang. Rinanti enggan pulang. Bahkan dia
sepertinya terlupa, bahwa di dinding kamarnya yang se-
derhana, sudah tercoret garis sebanyak 4822. Semestinya
jika pulang, dia harus menggoreskan satu garis lagi, sehingga
angka yang ada berubah menjadi 4823. om
.c
ot

Senja ke-4823.[]
sp
og
l
.b
do

TAMAT
in
ka-
ta
s
pu

319
pu
sta
ka-
in
do
.b

320
log
sp
ot
.c
om
Biodata
Penulis

A fifah Afra adalah nama pe-


na dari Yeni Mulati. Lahir
ot
.c
om
di Purbalingga, 18 Februari
1979. Mulai menulis sejak SD.
sp
og

Karya-karyanya telah dimuat di


l
.b

media sejak SMP, tetapi baru


do

memutuskan profesional seba-


in
a-

gai penulis para tahun 1999,


k
ta

ketika bergabung di Forum


s
pu

Lingkar Pena dan memakai na-


ma pena Afifah Afra. Saat ini telah menulis lebih dari 50
judul buku baik novel, kumpulan cerpen maupun non fiksi.
Puluhan cerpen, puisi dan artikel dimuat di berbagai media
seperti Anita Cemerlang, Annida, Ummi, Sabili, Republika,
Solopos, Joglosemar dan sebagainya. Beberapa penghargaan
yang telah diterima antara lain Penulis Terpuji Anugerah
Pena 2013 dari Forum Lingkar Pena, Juara 2 Lomba Menulis
Cerpen Remaja Rohto-Raya Kultura 2011, dan Anugerah

321
Prasidatama 2014 Kategori Tokoh Sastra Indonesia dari Balai
Bahasa Provinsi Jawa Tengah.
Tahun 2003, Afra menikah dengan Dr. Ahmad Supriyanto,
dan saat ini telah memiliki 3 anak, yaitu Anis (10 tahun),
Rama (8 tahun) dan Hanifan (4 tahun). Mereka sekeluarga
tinggal di kota Solo yang damai. Afra menyelesaikan S1 di
F.MIPA Universitas Diponegoro pada 2002, lalu melanjutkan
studi di program Magister Manajemen di Universitas Slamet
Riyadi pada 2014. Selain aktif sebagai Sekjen Badan Pengurus
Pusat Forum Lingkar Pena, Afra juga bekerja sebagai CEO
di PT Indiva Media Kreasi. Afra aktif menulis di blog www.
afifahafra.net. Komunikasi juga bisa dilakukan melalui akun

om
Twitter @afifahafra79 atau akun facebook www.facebook.
.c
com/afifahafrapenulis.
ot
sp
ogl
.b
do
in
ka-
ta
s
pu

322

Anda mungkin juga menyukai