sta
ka-
in
do
.b
log
sp
ot
.c
om
om
.c
ot
sp
log
.b
do
in
ka-
s ta
pu
om
www.indivamediakreasi.com .c
ot
Solo, April 2015
sp
Perpustakan Nasional:
og
Afifah Afra.
a-
ISBN: 978-602-1614-63-1
Daftar Isi vi
Amethyst: Sebuah Prolog 1
Beryl om 9
.c
ot
Chalcedony 27
sp
og
Dolomit 43
l
.b
Endokarst 53
do
Flowstone 67
in
a-
Gypsum 89
k
ta
Helektit 101
s
pu
Isopoda 111
Jasper 123
Kalsit 131
Limestone 137
Moonmilk 145
Nanocrystalline 157
Onyx 167
Polje 177
Quartz 187
vi
Ruby 197
Stalaktit 207
Topaz 219
Uvala 237
Vadus 249
Watertable 259
Xenolith 269
Yakut 277
Zamrud 285
Agate 295
Berlian 303
Cavepearl 309
om
Dolina, Senja ke-4823 .c 317
Biodata Penulis 321
ot
sp
og
l
.b
do
in
ka-
ta
s
pu
vii
Sang Penghimpun Senja
om
Putihnya tak sekadar menguarkan spektrum cahaya ke
.c
netraku, tetapi juga menembus pelan hingga relung jantungku.
ot
1
benang, saling berkelindan, dan jalin-menjalin menenun diri.
Lantas, setelah menjadi lembaran, dia menyelimuti tubuhku,
membebatku erat, seperti kain bedong yang memeluk akrab
sesosok mungil bayi yang baru terlahir dari perut bundanya.
Aku bahkan sempat terlupa, bahwa beberapa jam yang
lalu, aku baru saja mengalami kejadian demi kejadian
yang menegangkan. Nyawaku baru saja dijadikan ajang
pertaruhan. Antara hidup dan mati.
“Ini … ini…?” terbata-bata kuangkat tanganku untuk
menjangkau butiran itu. Butiran yang berserakan di kolam,
terhampar di atas sedimen putih, membentuk sebuah
spektrum cahaya yang berwarna-warni saat cahaya senterku
om
bersandar sejenak di permukaannya. Aku sesaat kalap dan
.c
hasrat hatiku memaksaku untuk meraup butiran itu.
ot
sp
mendorongnya pelan.
in
a-
2
“Mengapa?” aku sengaja tak membiarkan otakku
berpusing memikirkan sebab kedua ketertegunanku.
“Ini cavepearl. Dan ini adalah sebuah keajaiban, karena
tak semua gua karst memiliki cavepearl. Sejak kemarin
menyusuri gua ini, kita baru bisa melihatnya sekarang,
bukan?”
Ya, itulah sebab mengapa aku menjuluki temuan ini
sebagai sebuah happy ending.
“Kau tahu, awalnya benda ini hanya kerikil biasa, tetapi
lambat laun, sedikit demi sedikit benda ini terselimuti mineral
kalsit yang berasal dari endapan kalsit di dasar kolam. Lama-
lama, kerikil-kerikil yang kusam itu tampak berkilau bak
om
mutiara. Kau tahu, banyak terjadi di alam kehidupan ini,
.c
ot
3
tatapannya yang setajam belati. Hanya dengan lirikan sesaat,
mungkin hatiku yang rapuh bisa dia gores hingga berdarah.
Pandangan mataku pun pelan-pelan membentur sepasang
matanya. Namun, baru sedetik, aku langsung menundukkan
kepalaku kembali. Aku… aku mengalami ketertegunan
keempat.
“J-jadi, mengapa kau melarangku menyentuh benda ini?”
tanyaku, sembari diam-diam menelan air ludah. Ya Tuhan,
betapa ingin aku meraup benda-benda itu dan mendekapnya
ke dadaku.
“Kau adalah selimut kalsit yang mungkin akan membuat
orang-orang di sekitarmu berkilau. Kau gadis dengan begitu
om
banyak kelebihan, kepandaian, kebijakan. Semua orang yang
.c
ada di dekatmu, akan terkalsitkan dan lantas berkilau. Tetapi
ot
sp
kepadaku.”
l
.b
do
4
stalakmit. Persatuan mereka membentuk coulomn—pilar
putih kekuningan yang tegak perkasa, bak sosok kaisar dari
sebuah imperium agung dengan jubah kebesarannya nan
anggun. Hamparan kristal-kristal helektit di atas coulumn
itu, seperti mahkota indah yang dikenakannya saat upacara-
upacara kenegaraan.
Ketika aku mencoba meliriknya, sinar headlamp-
nya memancar, menyisakan cahaya yang hampir malap
terlimitkan setrum baterainya yang menipis. Sisa cahaya yang
temaram itu menerpa seraut wajah yang lelah namun tampan.
Kulihat lelaki itu tengah tersenyum. Ketertegunan kelima,
yang langsung bisa terjawab penyebabnya. Selama aku
om
berinteraksi dengannya, aku jarang melihatnya tersenyum.
.c
“Take nothing but picture, leave nothing but footprint,
ot
sp
gua. Selain itu, struktur bebatuan kapur yang ada di gua ini
l
.b
do
gua.”
ta
s
pu
5
kuat untuk bisa berjalan tegak. Lalu, apa yang membuatku
terhuyung? Tentulah kata-kata aneh itu.
“Mengapa kau mendadak begitu peduli padaku?”
pertanyaan itu dengan cepat terbidas dari bibir yang sedikit
berlekuk membentuk cibiran kecil.
“Sejak lama aku peduli padamu. Tetapi, peduli tak harus
selalu dengan kata-kata penuh rayuan, bukan? Terkadang,
kata-kata keras bisa bermakna sebagai obat pahit yang
menyembuhkan demam tinggi. Ya, kupikir selama ini, kau
memang gadis jumawa yang sakit, sehingga untuk meluruh-
kan kesombonganmu, aku perlu membingkasmu dengan
kesombongan pula. Akan tetapi, setelah bersama denganmu
om
dalam beberapa periode waktu, khususnya saat kita tersesat
.c
di gua ini, mendadak aku sadar sepenuhnya, bahwa se-
ot
sp
6
sudah terlalu lama kehilangan kepercayaan pada sesosok
makhluk bernama manusia, siapapun itu, baik lelaki, apalagi
perempuan. Dan, ekpedisi yang penuh ketegangan ini
akhirnya membukakan sebuah kenyataan yang membuat
aku terpaksa menyerah. Aku tak menyangkal lagi. Kau adalah
selimut kalsit itu, yang akan membungkus kerikil tiada makna
pada diriku ini menjadi putih berkilau.”
Penyebab ketertegunanku yang ketiga itu membuatku
menggigil.
“Fa, bolehkah … bolehkah aku berharap?”
“Berharap apa?” tanyaku, gugup.
“Berharap padamu.”
om
.c
Dadaku berdebar kian kencang.
ot
sp
“Tentang apa?”
og
7
hidup-hidup. Gejolak emosiku telah menghilangkan separuh
akal sehatku.
Kuangkat wajahku ke atas, dan aku tersentak. Ada cahaya.
Cahaya sang bagaskara. Kami menemukan jalan keluar![]
om
.c
ot
sp
ogl
.b
do
in
ka-
ta
s
pu
8
2
Beryl
9
Bahkan langit itu juga dengan bahagia berbagi teja
jingga kepada para pengunjung pantai yang tengah sibuk
menikmati pesona lanskap. Ada yang dengan mata telanjang,
duduk terpekur dengan mata meluncur ke langit; ada juga
yang tengah mencoba merekam indahnya panorama dengan
peralatan-peralatan yang dimiliki, mulai dari kamera digital
hingga kamera profesional.
Semua terciprat jingga. Semua berpesta senja.
Dan perempuan muda itu, untuk kesekian kalinya
ternganga. Jingga adalah warna kesukaannya. Sejak belia,
sejak matanya mulai mampu membedakan berbagai jenis
warna, detak jantungnya akan bertambah cepat, yang berefek
om
pada desiran kencang pada aliran darahnya, jika sepasang
.c
netranya menumbuk warna jingga. Baju baru yang sekali
ot
sp
10
itu keras. Bahwa meretas bahagia itu terkadang harus dilewati
dengan menumpuk lembaran derita.
Setiap hari dia harus memanggul bronjong—keranjang
dari anyaman bambu, yang penuh berisi barang dagangan.
Saking penuh dan beratnya sehingga tubuhnya secara
otomatis melengkung ke depan saat berjalan. Bronjong itu
berisi kelapa muda, cairan gula jawa, aneka jajanan, serta
berbagai peralatan seperti piring, gelas, sendok, pisau, taplak
meja dan sebagainya. Pagi buta, usai subuh, dia akan berjalan
kaki sejauh sekitar tiga kilometer, menuju pantai, lalu menata
dagangannya di sebuah warung kecil berdinding anyaman
bambu dan beratap ilalang. Dia akan berada di warungnya
om
hingga senja datang, dan begitu gelap bertandang, mau tidak
.c
mau dia harus kembali pulang.
ot
sp
relung hatinya tanpa dia sadari. Jika laut adalah dirinya, dan
jingga adalah sungai, senja adalah muaranya. Laut boleh
keberatan bersua sungai, tetapi pada muara, mereka bertemu
tanpa mampu dilerai.
Ya, pada akhirnya, perempuan itu berhasil mencintai senja.
Di usianya yang menjelang kepala tiga, perempuan muda
itu memiliki hampir lima ribu memori tentang senja, yang
berarti telah sebanyak itu dia menikmati senja, khususnya di
Pantai Klayar. Kemarin adalah senja ke-4821. Hari ini, begitu
sampai di rumahnya, dia akan menggoreskan lagi satu garis,
11
sehingga senja di Klayar yang dia nikmati bertambah satu,
menjadi 4822. Dia merasa begitu istimewa dengan koleksi
senja yang dia miliki. Ya, meski warna jingga seperti sebuah
kemuliaan yang makin lama makin tak bisa dijangkau, toh
dia tetap mampu menikmatinya tanpa dipungut sepeser pun
biaya. Seperti saat ini, saat jingga menyelimuti hamparan
pantai yang konon merupakan salah satu pantai terindah di
nusantara.
Meski mempesona, Pantai Klayar belum seterkenal Kuta
Beach atau Senggigi. Sekitar tiga ribu senja yang lalu, pantai
masih sangat sepi. Dari sekitar dua puluh butir kelapa muda
yang dia bawa, laku separuh saja sudah sangat baik. Hanya
om
sesekali manusia dengan kamera besar mendatangi lokasi.
.c
Akan tetapi, lambat laun, berbanding lurus dengan senja
ot
sp
12
ternyata Klayar ini benar-benar sebuah surga.” Terdengar
sebuah suara dari mulut lelaki itu. Lirih, namun cukup jelas
di telinga perempuan itu.
“Baru pernah kesini, ya, Mas?” tanya perempuan itu,
ramah.
“He-eh, mbak. Udah lama denger sih, tapi baru kali ini
kesampaian kesini. Senjanya keren. Pengin aku gunting. Aku
kasih ke temanku.”
“Teman istimewa?”
“Haha. Mbak bisa ada. Eh, masih ada kelapa muda?”
“Masih, Mas. Mau pakai gelas, atau langsung dengan
om
buah kelapanya?” .c
“Dengan buahnya, dong! Kalau pakai gelas, rasanya udah
ot
sp
“Baik, Mas.”
l
.b
do
13
dengan mata yang tetap tertuju kepada laut. Kepada senja.
Perempuan itu mendadak tersenyum tipis, merasa memiliki
teman.
“Senang ya, menikmati senja?”
“Eh, iya… iya mbak!” lelaki itu tampak kaget. “Senja
itu selalu menyihir siapapun yang mau berlama-lama
menikmatinya. Tatapan manusia itu seperti butiran pasir
besi, dan senja adalah magnet. Saat keduanya telah beradu,
yang ada adalah tarikan-tarikan yang kuat dan lekat.”
“Wah, tampaknya Mas ini suka bikin puisi, ya?”
“Ngg… nggak juga sih. Cuma aku suka baca novel-novel
dan cerpen-cerpen yang nyastra. Khususnya, yang bertema
om
senja.” Lelaki itu bangkit. Berdiri menatap laut. Lalu berbalik,
.c
ot
14
saat tengah berlatih sendiri, kau lebih bagus dari yang juara
satu tadi.”
Sampai sekarang, dia tak mampu memberikan jawaban
yang memuaskan atas pertanyaan bapaknya itu.
Saat masuk SMP, dia juga menyenangi kegiatan
menggoresi lembar-lembar buku tulisnya dengan kalimat-
kalimat indah. Sayang, ketika akhirnya dia drop out pada
usia 14 tahun, keluar dari kelas 2 SMP karena tak ada biaya,
dia memutuskan untuk menutup lembaran itu, dan bercerai
dengan puisi. Hingga kini.
Dan mendadak, lelaki itu ingin membacakan puisi di
depannya.
Aneh. Benar-benar aneh. om
.c
ot
sp
“Silakan saja, Mas. Tapi saya ndak ngerti apa itu puisi. Jadi
ka-
15
Meski dia merindu kapal nan berlayar hingga ke hulu
Tetapi, pada sebuah muara
Sungai dan laut bertemu
Demikian pula, pada sebuah senja
Aku dan jingga memadu rindu
Hanya sejenak, tak mengapa
Sejak purba, senja mati dalam usia muda
Aku hanya mampu menggunting senja
Menyimpannya di sudut hati
Dan membukanya saat aku tak tahu
Bagaimana mengobati penyakit rindu
Akulah sang penghimpun senja
om
.c
ot
Penghimpun senja? Berselirat kaget mengguncang jiwa
sp
Apakah…?
“Bagaimana mbak? Bagus nggak, puisiku? Eh, percaya
nggak, satu-satunya orang yang pernah mendengar aku baca
puisi itu cuma mbak, lho! Orang-orang mungkin malah nggak
percaya kalau aku bisa seperti ini. Aku dikenal galak, judes,
cuek. Eh, nggak ada yang tahu kalau aku ini sebenarnya
romantis dan lembut.”
Lelaki itu tertawa terbahak-bahak. Sementara sang
perempuan termenung bingung. Mungkinkah lelaki di
16
depannya itu sosok yang tengah frustasi dan membuang
diri? Jika benar bahwa dia adalah orang pertama yang
mendengarnya berpuisi, ada dua buat tafsir. Pertama, dia
dianggap spesial. Kedua, justru karena dia dianggap bukan
siapa-siapa, tak mengerti bagaimana puisi yang bagus tercipta.
Tampaknya, tafsir kedua jauh lebih masuk akal. Dia menghela
napas, memandangi bajunya yang kusut, meski setiap hari
dia berusaha serapi mungkin dalam berpenampilan.
Jingga telah lama bercerai dengannya. Tetapi, pada
sebuah senja, jingga memadu rindu. Bak lautan yang bertemu
dengan aliran sungai dalam sebuah muara.
Ah, bagaimana mungkin mereka memiliki pemikiran
yang sama. om
.c
ot
perempuan itu.
og
l
.b
pekerjaan tolol?”
in
a-
17
“Dan, sekarang telah terkumpul sebanyak itu? Mbak
ini benar-benar sosok yang unik. Seunik Pantai Klayar yang
jarang diketahui banyak orang.”
“Ngg… Mas ini tinggal dimana?”
“Aku asli Jakarta. Tapi kuliah di Semarang.”
“Baru sekali ini melihat senja di Klayar?”
“Kok mbak menebak begitu?”
Senyum di bibir perempuan muda itu bertambah lebar.
“Sebab, tak banyak warung yang selalu masih buka saat
senja, Mas. Kecuali di hari-hari libur yang ramai. Warung
saya termasuk yang selalu buka. Dan, tak terlalu banyak pula
om
yang suka menikmati senja di Klayar. Jadi, kalau sudah sering
.c
ke sini, biasanya saya hapal orang-orangnya.”
ot
sp
18
saya sendiri bahkan baru pernah mendengarkannya sore
ini.”
“Itu namanya efek blow pipe, mbak,” ujar lelaki itu,
tanpa melirik sedikit pun kepada si perempuan.
“Apa? Blo … peip…?”
“Blow pipe. Itu fenomena alami. Tahu nggak sebabnya?
Air laut yang tertekan dan udara yang terjebak di dalam
saluran di sepanjang bebatuan itu, ditambah dengan
tekanan ombak, membuat air kemudian muncrat ke atas dan
mengeluarkan suara seperti siulan.” Sambil menjelaskan,
si lelaki kini menatap sebongkah batu karang yang terlihat
seperti Spinx—patung manusia berkepala singa di Mesir.
om
“Jadi, benarkah suara itu sudah sangat jarang terdengar?”
.c
ot
19
Perempuan muda itu mendadak terdiam. Tak hanya
lelaki di depannya itu yang pernah dia dengar berbicara
semacam itu. Ratusan kali—mungkin—dia mendengarkan
hal-hal semacam itu tercetus dari nyaris setiap orang yang
berkunjung ke warung sederhananya. Sebuah harapan yang
sebenarnya sangat layak dikumandangkan. Tampaknya,
semua orang berpikiran seperti itu. Jika ada satu-satunya
orang yang merasa sangat berkeberatan dengan dibukanya
kawasan itu untuk umum, orang itu adalah Gunadi.
Gunadi, sosok yang telah berhasil menanamkan satu
keyakinan padanya, bahwa dia tak pantas lagi bersulam
warna jingga. Bahwa jingga itu terlalu mewah untuknya.
om
Sosok yang membuatnya terpaksa harus berdusta, bahwa dia
.c
ingin mendapatkan banyak uang dari warungnya sehingga
ot
sp
20
“Apa?” mata sipit lelaki itu membelalak. “Murah
banget?”
“Ya, memang segitu harganya, Mas,” perempuan itu
tersenyum kecil.
“Serius? Mbak udah ambil untung?”
“Sudah. Warung-warung lain juga menjualnya segitu.”
Sambil mengeluarkan dompetnya yang terlihat sangat
tebal, lelaki itu mengeluarkan selembar uang lima puluh
ribuan. Mulutnya bergumam. “Jika sebuah kemewahan
menangkap senja hanya ditebus dengan uang sebesar lima
ribu, ngapain juga orang-orang pada bercakar-cakaran
berebut rupiah. Ini, Mbak! Saya nggak punya uang kecil.
Maaf, ya?” om
.c
ot
sp
Mas.”
l
.b
do
“Jangan, Mas.”
a-
k
ta
“Aku serius.”
s
pu
21
berhasil menikmati senja, hampir 90 persen dia akan kembali
ke sini.”
Lelaki itu menyibak anak-anak rambutnya yang menutupi
wajah. “Mbak ini … maaf, cuma pedagang kelapa muda, tapi
kok ucapannya filosofis. Eh, siapa nama mbak?”
“Rinanti.”
“Nama yang keren.”
Nama yang keren. Seumur hidup, baru pernah namanya
dipuji sebagai nama yang keren. Perempuan muda itu
tertawa, lalu meraih bronjong-nya, menggendongnya dengan
kain. Hidup itu realita. Pujian-pujian hanya akan membuat
bronjong di punggungnya, dan langkah yang dia tempuh
terasa semakin berat. om
.c
ot
sp
“Ya, Mas.”
l
.b
do
“Bareng aku aja. Naik mobil. Aku antar deh. Jauh, kan
in
rumah mbak?”
ka-
ta
kilometer.”
“Tiga kilometer kalau jalan kaki, dan bawa barang
sebanyak itu, namanya jauuuh, mbak! Ayolah! Sesama pecinta
senja, nggak boleh saling cuek. Kudu saling membantu.”
“Nggak usah, Mas. Ntar suamiku marah, lho, kalau
melihat saya diantar lelaki lain,” ujar perempuan itu sembari
tertawa kecil. Cepat dia melangkah. Semula langkahnya
tegap dan mantap. Namun entah karena gugup, atau tak
terlalu memperhatikan kondisi jalan, sebongkah batu di
22
depannya menggelincirkan keseimbangannya. Sesaat
tubuhnya terhuyung dan jatuh terguling. Bronjongnya lepas,
isinya tumpah. Beberapa butir kelapa yang tersisa jatuh
menggelinding. Sebagian menimpa badannya.
“Mbaaak!” lelaki itu berlari mendekat, dan dia dapati
perempuan itu meringis kesakitan. Jempol kakinya terlihat
mengeluarkan banyak darah. “Kau nggak papa, Mbak?”
Rinanti meringis.
“Sebentar, ya!” Si lelaki meraih sesuatu dari lehernya,
sebuah sapu tangan berwarna biru muda yang dia gunakan
sebagai slayer. Dengan tangan yang bergerak cekatan dan
tampak terbiasa, dia mengambil botol kecil berwarna kuning
om
dari tas pinggangnya. Betadine. Tanpa ragu, dia meraih kaki
.c
ot
“Nah, selesai!”
“Aduuh, Mas!” Rinanti yang mendadak tersulap jadi
arca batu segera pulih kesadarannya. Semburat merah
membayang di wajahnya yang putih. “Te-terima kasih. Maaf
merepotkan, ini cuma luka kecil saja, kok!”
Dia berusaha bangkit, meraih bronjongnya. Jalannya
terpincang-pincang.
23
“Mbak, kamu nggak usah menolak. Lukamu lumayan,
lho. Ayolah, aku antar dengan mobil. Nggak boleh menolak.
Aku cowok baik-baik, kok.”
Ya, hanya orang baik yang mau menolong orang tanpa
berpikir panjang. Meski orang itu hanya seorang pedagang
es kelapa muda.
“Ayolah! Jangan jadikan aku cowok egois karena mem-
biarkan seorang perempuan berjalan kaki berkilo-kilometer,
sementara mobil dia kosong melompong. Apalagi, perempuan
itu sama-sama penghimpun senja.”
Senja lagi, senja lagi! Jangan sampai karena senja kau
lupa bahwa aku hanya seorang pedagang miskin dengan
om
tangan kasar dan tubuh berpeluh. Bukan gadis manis yang
.c
ot
jiwa.
og
l
.b
24
Rinanti membuka pintu tengah. Anton turun dengan
sigap, membantu dia memasukkan bronjong ke kabin be-
lakang. Sejurus kemudian, mobil meluncur pelan.
“M-maaf, nama Mas siapa?”
“Anton. Aku masih muda, nggak usah pakai Mas. Umurku
baru dua-dua. Kalau di kampus, aku perjaka tua. Tapi kalau
sama Mbak Rinanti, kayaknya aku jauh lebih muda, ya?”
Meski ucapannya bernada canda, lelaki itu tetap terlihat
serius.
“Bb-baik, Mas, Eh, Dik Anton….”
“Anton Yosef Maringka.”
om
AYM? Rinanti melirik sulaman benang putih di sapu ta-
.c
ngan yang membalut kakinya.[]
ot
sp
ogl
.b
do
in
ka-
ta
s
pu
25
pu
sta
ka-
in
do
26
.b
log
sp
ot
.c
om
3
Chalcedony
“I om
ni benar-benar gila!” teriakan lelaki muda berambut
.c
gondrong dengan nada tinggi itu mengalahkan deru
ot
atau Pantai Pacitan yang you katakan eksotis itu, tahu! Ini
do
in
27
Kucing kecil! Aku akan mengingat kata-kata itu, jika
perlu seumur hidupku. Karena sungguh, ini adalah sebuah
penghinaan yang tiada tara dahsyatnya. Ini adalah sebuah
pelecehan akan status self esteem yang aku bangun dengan
susah payah.
Ingin kubalas teriakan itu dengan makian tak kalah
pedas. Namun, untuk tidak memperkeruh suasana, aku
memilih tetap diam. Sorry, Bung! Level kecerdasan emosiku
sudah di atas rata-rata, dan aku tak mau merendahkannya
hanya untuk sekadar memuaskan dongkol di hati. Biarlah
anjing menggonggong, dan kafilah terus berlalu. Sorry ya,
dia anjingnya, aku kafilahnya.
om
Untuk melawannya, aku sengaja membuat sebuah antitesa
.c
ot
dengan membuka-buka organizer-ku dengan sangat santai.
sp
28
“Ton, kau ini gimana, sih?!” semprot Jaka sembari
menuding lelaki berambut gondrong acak-acakan itu. Nah,
tuh! Tanpa harus meladeni omongan itu, ternyata juga sudah
ada yang siap membelaku.
Karena alur cerita memang benar-benar telah berubah.
Namun senyumku yang kadung melebar dengan cepat
tersikat oleh sebuah ingatan yang menyebalkan. Jangan
merasa menang, Fa! Karena itu hanya akan membuat
lelaki yang menggelariku ‘kucing kecil’ itu justru semakin
tenggelam dalam buaran amarahnya.
Kuraih sebuah artikel yang sempat aku print dari sebuah
media online. Artikel tentang Luweng Jaran, gua yang akan
om
kami susuri. Luweng adalah istilah untuk menyebut gua yang
.c
ot
luweng itu dan mati. Dari artikel itu, aku menyimpulkan, tak
.b
do
29
“Fahira Azalea adalah bos kita. Masak bos tidak ikut?”
ujar Jaka, sembari melirikku dengan senyum kecil di bibirnya
yang kehitaman sebab nikotin. Aku sering bergidik ngeri
membayangkan lapisan racun itu telah berkerak di paru-
parunya dan siap menggiring si empunya ke rumah jagal
pembunuh nomor tiga di dunia setelah jantung dan kanker.
Jaka sangat baik kepada siapapun, tetapi ogah berpikir
panjang untuk kebaikan dirinya. Dalam sehari, dua bungkus
rokok bisa dia habiskan. Mulut dan hidungnya bagai stasiun
kereta api zaman dulu yang dipenuhi hilir-mudik kereta uap
yang mengeluarkan asap.
“Bos?” Anton Yosef Maringka, si gondrong itu
om
membelalakan matanya. Tampak lucu, karena mata itu
.c
memang ditakdirkan memiliki anatomi sipit. Khas keturunan
ot
sp
30
Tom Si Kucing saat merencanakan niat buruk terhadap Jerry
Si Tikus.
Aha, hanya sekali sebenarnya Anton memergoki diriku
duduk pucat pasi di sudut laborat, usai menyelesaikan
praktikum ekologi, beberapa tahun silam. Saat itu, aku
sedang datang bulan. Banyak gadis menderita dismenorhea
setiap awal datang bulan, tetapi kasusku lebih berat dari
kebanyakan pengidap dismonerhea. Aku pernah pingsan
saat upacara bendera zaman SMA gara-gara datang bulan.
Dan kejadian itu terulang saat praktikum itu. Sayangnya,
alih-alih membesarkan hatiku, Anton yang saat itu menjadi
ketua kelompok dalam praktikum justru mengomeliku
om
habis-habisan. Aku dikatakan manjalah, lemahlah, banyak
.c
alasanlah….
ot
sp
31
“Siapa bilang dia cewek lemah berpenyakitan? Jangan
ngaco. Eh, Ton! Makanya, kau ini jangan sering bolos kuliah.
Fahira ini, adalah mahasiswa berprestasi kampus kita. Dia
yang dapat dana dari Jerman, kita cuman ngikut aja! Justru
dia yang punya gawe dengan ekspedisi ini!” papar Jaka lagi.
“Kalau Fahira nggak ikutan, sama juga boong!” Azhar,
lelaki berambut kribo, mahasiswa seangkatan Anton ikut
nimbrung. Lelaki itu memiliki nama yang indah, artinya
bunga. Tapi tampangnya tak selaras namanya, sehingga
teman-temanku di kampus sering menjulukinya si bunga
alang-alang. “Sekarang ini, apa-apa mahal. Bensin satu liter
sudah enam rebo lima ratus. Ekspedisi ke Luweng Jaran itu
om
mahaaal. Aku sih, nggak mau ngabisin jatah dari ortu hanya
.c
buat berpetualang.”
ot
sp
32
Peribahasa Nania yang ajaib itu kembali membuatku
nyengir. Mereka, Jaka, Azhar dan Nania, sebenarnya ‘kaki-
tangan’ si Anton. Mereka CS-an, pakai banget. Maka, ketika
mereka ternyata justru mendukungku, aku merasa tengah
dilemparkan ke awang-awang.
“Tumben bener, mata kalian jadi ijo ngelihat fulus!”
rupanya Anton masih belum mau mengalah.
Biasalah... harga diri seorang lelaki! Lebih dari itu, aku
paham sekali. Tampaknya si gondrong itu masih menyimpan
perasaan tidak enak hati padaku. Apalagi jika bukan sisa-sisa
perseteruan pasca OSPEK beberapa bulan silam. Anton yang
bukan panitia, tiba-tiba membuat ulah dengan menyekap 5
om
mahasiswa baru—tiga lelaki dan dua perempuan—di gudang
.c
laboratorium Ekologi. Mungkin dia ingin membalas dendam
ot
sp
33
Prabowo, sang kepala jurusan itu bertanya, kenapa jumlah
mahasiswa baru hanya 60 orang? Mana yang lima?
Begitu berita penyekapan itu sampai ke telinga beliau,
Doktor Adi marah besar, dan mengancam akan memberi
sanksi kepada semua panitia. Setelah itu, bentrokan pun
terjadi tanpa bisa ditahan. Aku yang terkenal pemberani,
tanpa tedeng aling-aling melabrak Anton Yosef Maringka,
sosok yang paling ditakuti oleh seluruh mahasiswa di
kampusku itu. Si kasar yang berfulus melimpah, karena
kebetulan punya bapak orang berduit. Sosok yang merasa
bisa menggunakan cara apapun, baik lembut maupun kasar,
untuk mencapai apa yang diinginkannya.
om
“Kau nggak perlu nyampurin urusan aku!” bentak Anton
.c
saat itu.
ot
sp
... apa yang kamu lakukan, saya tidak pernah peduli. Saya
.b
do
ke polisi!”
“Eh, kamu jangan sok jagoan di depanku ya?! Belum
tahu ya, dengan siapa tengah berhadapan?”
“Lumayan penasaran, sebenarnya, dengan siapa sih saya
sedang berhadapan?”
“Kamu sedang menghadapi Anton Yosef Maringka, yang
nggak segan-segan menggasak orang-orang rese seperti
kamu!”
34
“Wah... wah, sesumbar kamu hebat juga, Bung Anton!
Sayangnya, saya bukan orang yang bisa kamu gasak begitu
saja. Setahu saya, seorang Anton hanyalah mahasiswa
pemalas yang suka bolos dan jarang dapat IP lebih dari 2.
Begitu, kan? Kalau gitu, apa kelebihan yang membuat saya
harus menunduk hormat kepadamu?”
Dalam masalah bersilat lidah, jangan pernah mencoba
bertanding melawanku. Aku sendiri terkadang merasa risi
dengan ketajaman lidahku. Akan tetapi, untuk menghadapi
orang-orang yang kelaparan ego macam Anton, sepertinya
tak perlu merasa risi untuk berdebat sekeras apapun.
Betul saja. Paras Anton berubah merah-hijau. Kepalan
om
tangannya telah teracung dan hampir saja terayun ke
.c
ot
wajahku. “Sayangnya kamu cewek! Jika kamu cowok, pasti
sp
35
panas dan lava pijarnya bisa meremukkan tulang iga lawan-
lawannya.
Dan si gunung berapi itu, sekarang kembali beraksi
dengan kepulan lahar yang menyala-nyala dari sepasang
mata singanya.
“Kalian minta berapa saja duit dariku, apa pernah aku
tolak?” lanjut Anton, dengan suara menggelegar. “Bahkan
kalau perlu, aku bisa biayain penelitian ini, berapa pun fulus
yang kalian minta!”
Aku mendesah. Kali ini sebersit kegelisahan mendadak
menyelinap di benakku. Dana sebanyak 25 juta, yang bagiku
sangat luar biasa, mungkin memang tidak terlalu besar bagi
om
Anton. Ya, ayahku hanya seorang PNS yang terbiasa hidup
.c
ot
36
Tetapi, aku tahu, para pecinta alam tak pernah melakukan
sesuatu karena uang. Mereka mencintai aktivitas mereka
dengan cinta yang benar-benar sejati. Semoga pikiranku ini
benar adanya.
“Masalahnya bukan sekadar fulus, Ton! Tetapi, data buat
skripsi itulah yang bikin kita tertarik ngebantu penelitian
Fahira. Kita kan bukan mahasiswa yang cemerlang. Kalau
nggak ada proyek kayak ginian, bisa-bisa kita tua bangkotan
nggak lulus-lulus. Bayangin, sampai semester 7, aku belum
punya bayangan apa-apa buat skripsi!” tukas Azhar lagi.
“So, ini ada rezeki nomplok ditawarkan, bego banget kalau
ditolak.”
om
“Ton, kalau kamu memang nggak minat ikutan, juga
.c
nggak papa kok. Meski, rasanya jadi nggak lengkap, karena
ot
sp
ikutan ekspedisi. Tak peduli dia itu bos atau babu!” Sambil
menggeram seperti ayam jago baru kalah bersabung, Anton
meraih tas ranselnya dari atas meja, mencangklongnya dan
beranjak pergi. Namun sebelum langkahnya meninggalkan
ruang, Jaka buru-buru menarik tangannya.
“Ton, calm please! Jangan terbawa emosi gitu. Kalau
menurutku sih, kamu lebih baik ikutan. Demi masa
depanmu!”
37
Aku semakin menundukkan kepala. Ya Allah, lembutkan
sikap keras kepala lelaki itu. Semakin dia terlihat jual mahal
seperti itu, entah mengapa aku semakin menyadari, bahwa
aku membutuhkannya.
“Masa depan? Huh! Aku aja tak pernah peduli sama masa
depanku!”
“Itulah letak kesalahanmu. Siapa yang akan peduli
sama dirimu jika kamu sendiri sudah enggak peduli sama
diri sendiri. But, sudahlah, Ton... bisakah kau sedikit lebih
gentle dengan mau berdamai dengan kenyataan? Kalau kau
tetap mempertahankan emosi childish-mu itu, kau akan rugi
sendiri!”
om
“Diam! Tak ada seorang pun yang bisa mengatur
.c
ot
38
Gunung Api itu. Tetapi, aku tak boleh terlihat patah. Tak
ada rotan, akar pun jadi. Bahkan, jika pun ada rotan namun
dikerumuni ulat bulu yang membikin gatal, aku akan
memililih akar.
“Kalian juga sudah sering menjelajah gua kan?”
tanyaku.
Jaka garuk-garuk kepala. “Hanya beberapa kali, Fa! Kalau
gunung sih, kita sudah sangat sering. Tetapi kalau gua ... ya
Anton itu pakarnya. Dan di Mapala kampus kita, satu-satunya
yang sangat berpengalaman susur gua, ya doski itu. Trus,
Luweng Jaran ini gua yang sangat spesial, Fa. Pintu masuknya
vertikal, sehingga kita harus menuruni dan menaikinya seperti
om
saat wall climbing itu. Kedalaman entrance gua itu hampir
.c
50 meter. Tingkat kesulitan menelusuri gua itu sangat tinggi.
ot
sp
Kalau gua lain, aku bisa-bisa aja bantu kamu tanpa Anton.
og
Tapi Luweng Jaran ini sangat spesial. Kenapa sih, kamu pilih
l
.b
do
gua ini?”
in
a-
39
“Kalau begitu, berarti kita memang kudu ekstra lagi
membujuk Anton.”
Aku duduk sembari memegang-megang daguku,
kebiasaan jika tengah berpikir keras. Ya, aku benar-benar
tergantung kepada sosok gunung api yang selalu aktif
menyemburkan awan panas dan lava pijarnya itu. Benar kata
Jaka, aku mungkin cukup paham masalah teori speleologi
termasuk biodiversitas gua, sesuatu yang akan menjadi titik
tekan penelitianku. Tetapi bagaimana menjinakkan sebuah
gua, jelas tak cukup hanya dengan teori.
“Berarti, kita telah salah bersikap?” Nania tampak
menyesal. “Ah, aku nggak mau kehilangan kesempatan
om
mengerjakan skripsi dengan cara semudah ini.”
.c
ot
bantuan, kok ... asal kondisinya lagi stabil aja. Kayaknya, saat
.b
do
ini dia sedang bete. Nanti deh, aku ngomong baik-baik sama
in
a-
40
Nania bersorak. Sedang Jaka angkat bahu. “Wah,
sayangnya aku belum lapar, dirapel saja ya?” ujarnya,
jenaka.
Kami pun bubar.[]
om
.c
ot
sp
ogl
.b
do
in
k a-
ta
s
pu
41
pu
sta
ka-
in
do
42
.b
log
sp
ot
.c
om
4
Dolomit
S om
ebuah suara merasuki pendengaranku. Mengganggu
.c
tidurku yang lelap. Mengusik istirahatku yang nyaman.
ot
kemarahan.
do
in
43
Jebakan penasaran dan rasa ingin tahu membuatku
memutuskan untuk meninggalkan tempat tidurku yang pekat,
bergerak dari celah ke celah nan gelap, meliuk-liuk, meluncur
perlahan ke arahmu. Nah, itu di sana! Cahaya samar keluar
dari sebuah tempat yang berbau asap kemenyan. Kau duduk
bersila, dengan kedua tangan merapat ke dada. Matamu
terpejam. Sementara di depanmu, tergeletak beberapa butir
benda berwarna-warni, semacam batu-batu biasa, namun
bening bersinar. Sangat menarik.
Namun, dari cahaya samar itu, aku melihat wajahmu
pucat dan tubuhmu menggigil.
Dan kau mendadak membuka mata. Tanganmu terkepal,
om
lalu meninju batu-batu di depanmu. “Gagal… gagal
.c
lagi…! Mengapa aku selalu gagal?” teriakmu. Lalu setelah
ot
sp
44
Sepertinya, aku harus kembali ke tempat peristirahatanku.
Bergelantungan, memejam mata, menikmati nikmatnya
dalam lelap.
Akan tetapi, saat aku sudah mulai terlelap, lagi-lagi
terdengar suara raunganmu. Kali ini diikuti dengan suara
langkah yang cepat. Lantas, ketika terbang ke arahmu dan
mengeluarkan sebuah bunyi lirih, aku tak mendengar bunyi
itu memantul pada sosokmu. Tak ada kau di situ. Kau
ternyata telah pergi. Cahaya samar beraroma kemenyan itu
juga telah padam.
--o=[]=o--
om
Ketika mobil itu merapat pada pinggiran jalan sempit di
.c
depan sebuah rumah berdinding papan, lantai tanah yang
ot
sp
45
“Mbak… makasih ya, telah berbagi tentang senja!”
Anton membalas salam Rinanti dengan singkat. Sejurus
kemudian, mobil milik Anton melesat dan hilang di balik
kelokan. Meski begitu, perempuan muda itu masih saja
tertegun menatap ke arah hilangnya kendaraan itu. Seorang
lelaki yang aneh. Dengan perjumpaan yang juga sangat
aneh.
Mobil-mobil semacam itu, sering Rinanti lihat tengah
menyelusuri jalanan berbatu yang menghubungkan pantai
Klayar dengan pantai-pantai lainnya. Pesisir Pacitan, sebuah
kabupaten di ujung barat Provinsi Jawa Timur itu memang
dianugerahi sederetan panjang pantai yang sangat indah.
om
Pantai dengan pasir putih, batu-batu karang nan gagah, air
.c
sebening kristal, ombak yang senantiasa menderu dengan
ot
sp
46
“Ibuuu!” seorang anak lelaki berusia lima tahun berlari
mendekat, dan memeluknya dari belakang. “Siapa tadi yang
bawa mobil bagus itu?”
Rinanti berbalik, meraih tubuh mungil Rinto, keponakan
yang sudah dia anggap sebagai anak sendiri. Digendongnya
Rinto dengan riang, sembari jemari tangan kirinya menggelitik
pinggang bocah itu. Anak lelaki berkulit hitam manis itu
tertawa-tawa. Rinto menjadi obat penawar rindu pada sosok
yang hingga saat ini dia nantikan: seorang anak kandung. Dia
menikah dengan Gunadi tujuh tahun yang lalu, dan hingga
kini belum ada tanda-tanda kehamilan.
Bagaimana akan timbul janin dalam rahimnya jika….
om
Rinanti mendesah panjang, mencoba menghilangkan
.c
ot
47
B warna silver itu. Dadanya bergemuruh, ketika matanya
menangkap sesosok lelaki yang tengah duduk di ruang
tamu. Lelaki bertubuh gendut—entah mengapa, tamu-tamu
suaminya rata-rata bertubuh subur surplus lemak, ataukah
kegemukan itu selalu identik dengan kemakmuran?—berbaju
bagus, dan sepatu mahal. Jadi, jenis cincin akik bertuah
seharga berapa yang hendak lelaki gendut itu inginkan?
Dan, untuk melahirkan tuah dalam sebentuk cincin,
berapa bulan Gunadi harus bertapa di sebuah tempat
terpencil, jauh dari bising, dan jarang didatangi oleh sosok
bernama manusia? Sebuah rutinitas yang dengan sendirinya
akan melahirkan kesepian. Kesepian yang panjang dan
om
nelangsa. .c
Lebih nelangsa lagi, dari jutaan—hingga puluhan juta
ot
sp
yang kian hari kian tak murah, dia harus berjuang keras
in
besar itu?
Mungkin pada pusaka-pusaka yang dia simpan dengan
sangat hati-hati di sebuah kamar yang selalu terkunci di
rumahnya itu. Satu keris milik Gunadi, harganya bisa
mencapai puluhan juta rupiah. Terakhir, Gunadi membeli
keris yang harganya hampir tiga puluh juta rupiah. Konon,
keris itu milik Mahapatih Gajah Mada yang pernah digunakan
dalam ekspedisi penaklukan nusantara.
Sekali lagi Rinanti menghimpun resah.
48
Pelan dia melangkah, terpincang-pincang menuju
samping rumah. Suara percakapan di ruang tamu dengan
jelas terdengar saat dia memasuki rumah dari pintu samping.
Rinto bertanya, ada apa dengan kakinya. Rinanti menjawab
apa adanya, namun Rinto bersikeras bahwa Rinanti pasti
baru saja digigit seekor ikan paus. Imajinasi yang membuat
Rinanti hanya bisa tersenyum geli.
“Saya mau bayar berapa pun Sampean3 mau,” ujar lelaki
asing itu, dengan bahasa Indonesia bercampur Jawa-Timuran
yang cukup medok. “Asal cincin itu benar-benar bertuah,
dan membuat klien saya itu selalu terlihat berwibawa, muda
usia, dan bisnis saya diberkahi Sang Pencipta. Klien yang
om
akan membeli cincin ini, sebentar lagi akan mencalonkan diri
.c
sebagai wakil gubernur. Dia butuh terlihat penuh karisma.
ot
sp
3 Anda.
49
memenangkan pilkada, bisnisnya berkembang pesat, ternyata
berawal dari cincin bertuah yang Sampean jual.”
Gunadi terdiam sejenak. Lalu desahnya yang keras
terdengar. “Begini … saya merasa bahwa sudah ada yang
berubah di alam semesta ini. Ada tatanan yang telah
terobrak-abrik. Kewingitan, wibawa, kesakralan sudah mulai
hilang akibat tempat-tempat yang sunyi sepi sekarang sudah
mulai dibuka dan didatangi oleh banyak orang. Konsentrasi
saya dalam mengheningkan cipta, sering porak-poranda
karenanya. Ini akan membuat proses pengisian tuah pada
cincin-cincin saya menjadi terganggu.”
Suasana sepi. Agak lama. Sampai bosan berdiri, Rinanti
om
tak kunjung mendengar suara suaminya. Juga tamunya.
.c
Perempuan itu pun memilih untuk menyingkir. Dia letakkan
ot
sp
50
Lalu berbisik. “Itu yang datang ke suamimu, langganan tetap
suamimu. Dia minta cincin akiknya diberi tuah serba guna.
Itu tuah yang paling sulit pengisiannya, makan waktu sampai
berbulan-bulan. Tapi harganya juga sangat mahal.”
Rinanti melengos. “Di zaman manusia sudah mampu
mendarat di bulan, masih saja ada yang percaya takhayul.”
“Lho, yang datang itu orang pintar, lho. Ssst, kabarnya dia
itu pengusaha kaya, duitnya milyaran,” bisik Sudarto lagi.
“Pak’e, kula niki tiyang bodho4. Tetapi aku juga pernah
sekolah. Pernah belajar agama. Pelindung sebaik-baik
pelindung itu ya Gusti Allah. Bagaimana Mas Gunadi bisa
melindungi calon bupati, calon gubernur, orang-orang
om
berharta, lha melindungi istrinya saja ndak mampu,” omel
.c
ot
Mataram.”
s
pu
51
dengan Gunadi, tak sekalipun sang suami menawarinya untuk
menjemputnya. Padahal, Gunadi punya motor. Dengan
sepeda motornya itu, Gunadi bisa menjemputnya, sehingga
dia tak perlu susah-payah membawa bronjong berisi barang
dagangan yang sangat berat.
Luka di batinnya seperti tengah dimeriahkan dengan
tetesan cuka dan air garam.[]
om
.c
ot
sp
og
l
.b
do
in
a-
k
sta
pu
52
5
Endokarst
53
Ya, aku menyempatkan datang ke kampus hanya untuk
melakukan audiensi dengan anak-anak Mapala itu. Anak-anak
yang jarang terlihat di kampus karena lebih sering berkelana
di alam semesta. Naik gunung, susur gua, atau arung jeram.
Anak-anak yang pada awalnya jarang kulirik, namun kali
ini, justru merekalah yang aku harapkan bisa membantu
proyek idealismeku ini. Proyek yang akan menyempurnakan
langkah-langkah bintang yang aku lukis di almamater.
Speleologi. Tepatnya biospeleologi. Ilmu yang tak fa-
miliar sebenarnya. Bahkan di kampus bergengsi ini, tak ada
satu SKS-pun mata pelajaran itu dibagikan. Aku sendiri baru
mulai tertarik mempelajari sekitar setahunan ini. Berawal
om
dari sebuah feature yang kubaca di sebuah majalah. Feature
.c
itu membahas tentang keunikan fauna gua serta ancaman
ot
sp
ilmuwan.
pu
54
se-ASEAN di NTU—Nanyang Technological University, Si-
ngapura. Aryadi Saputra, P.Hd, dosen muda yang baru saja
lulus dari Oxford University itu mendapat tugas mengawal
para mahasiswa. Pak Aryadi menatapku sesaat, tampak kaget
dengan topik perbicangan yang aku lemparkan.
“Kamu tertarik mempelajari ekologi gua karst?” tanyanya.
“Serius?”
“Apakah saya layak untuk tidak serius, Pak?” aku tertawa
kecil. Aku memang cukup dekat dengan dosen muda itu.
Beberapa kali dia mengajakku terlibat dalam proyek-proyek
penelitiannya. Konon, desas-desus berkembang di kampus.
Aku digosipkan berpacaran dengan Pak Aryadi yang ke-
om
betulan juga masih lajang itu. Ah, ada-ada saja. Pak Aryadi
.c
yang berkacamata setebal pantat botol itu bahkan jarang
ot
sp
sering dengar.”
s
pu
55
tertarik untuk melakukan penelitian biospeleologi di sana.
Khususnya untuk biota jenis troglobite6, Pak. Seperti ordo
Karstama atau Sesarmoides. Semoga hasil penelitian saya
bisa jadi salah satu pertimbangan dalam pengelolaan gua
sebagai objek pariwisata.”
“Ide bagus, Fa. Saya dukung penuh. Saat ini, memang
ada upaya pengalihan lingkungan karst7 untuk dioptimalkan
sebagai objek-objek pariwisata. Itu ide yang bagus, karena
lingkungan karst rata-rata sangat tandus. Kurang baik untuk
pertanian. Dengan optimalisasi sektor pariwisata, masyarakat
di daerah karst akan mendapatkan penghidupan yang lebih
baik. Uang akan mengalir dari para wisatawan. Akan tetapi,
om
Tuhan menciptakan alam semesta ini dengan keseimbangan.
.c
Tuhan menciptakan gua-gua itu, termasuk biotanya, juga
ot
sp
dari banyak flora dan fauna. Jika terjadi kerusakan pada gua,
56
maka akan terjadi kerusakan pada keseimbangan alam. Kau
tahu akibatnya untuk bumi ini?”
“Ya kiamat, Pak,” jawabku, separuh bercanda. “Secara
ilmiah, kiamat bisa terjadi karena hilangnya sistem
keseimbangan alias homeostatis pada lingkungan. Dalam
kitab suci disebutkan pada kiamat itu terjadi banjir lautan, itu
mungkin karena es kutub mencair akibat pemanasan global.
Pemanasan global terjadi karena hilangnya paru-paru dunia,
yang mungkin salah satunya disebabkan oleh rusaknya sistem
hidrologi karena terjadinya kerusakan pada vegetasi gua.”
Pak Aryadi tertawa mendengar jawabanku. “Sebenarnya
jawabanmu tak langsung nyambung. Tetapi, bisalah
om
disambung-sambungkan. Yang jelas, di tengah gencarnya
.c
pengoptimalan bentang alam karst sebagai objek-objek
ot
sp
Kemarin saya baca di koran, ada satu gua yang dibuka untuk
s
pu
57
memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Dananya sebenarnya
termasuk kecil, hanya 25 juta. Tetapi untuk mahasiswa
S1, apalagi di Indonesia, dana itu sangat cukup. Buat saja
proposal penelitianmu, dan nanti saya bantu ajukan. Salah
satu peneliti senior di sana adalah profesor saya di Oxford
University. Siapa tahu, usai penelitian, kau akan dipanggil
kuliah master atau malah langsung P.Hd di sana.”
Jalan selanjutnya seperti lempang sekali terbuka. Aku
melembur proposal penelitian hampir dua minggu. Mencari
referensi-referensi sedetil mungkin. Membongkar-bongkar
text-books berbahasa asing koleksi kampus, menelisik
jurnal-jurnal serta mencari tautan-tautan yang bersesuaian di
om
internet. Untungnya Pak Aryadi juga membantuku mencari
.c
referensi yang pas. Bahkan aku dipinjami hampir satu gerobak
ot
sp
58
saudaraku laki-laki, aku ibarat seorang puteri salju yang harus
dimanja selalu.
“Apa nggak ada sih, jenis penelitian lain?” Fahri, kakakku
yang hanya berjarak tiga tahun dan tengah sedang menempuh
studi S2, sengaja datang dari Yogya untuk menemuiku. Selain
Fahri, kakak tertuaku, Fariz, yang menjadi dosen di sebuah
kampus swasta di kotaku juga mendatangi indekostku.
“Mengapa harus speleologi? Dan mengapa pula harus
menyertakan anak-anak Mapala? Aku dengar dari teman-
temanmu di kampus, tentang track record anak Mapala.
Mereka itu nggak nggenah semua. Apalagi yang namanya
Anton Yosef. Berantakan! Maaf, Fahira ... bukannya saya
om
meragukan kamu, tetapi apa sudah kamu pikir matang-
.c
matang rencana penelitian itu?”
ot
sp
59
“Kehormatan?” Aku mengerutkan kening. Ada bagian
dari amigdalanya yang mendadak bereaksi mendengar kata-
kata Fahri barusan. “Kehormatan dalam sudut pandang apa?
Apakah Mas Fahri menuduh aku sedang menggadaikan
kehormatanku untuk penelitian ilmiah ini?”
“Kau mengemis-ngemis di depan seorang don juan seperti
Anton! Itu bukan hanya melecehkanmu secara pribadi, tetapi
nama baik keluarga kita!” ketus Fahri.
Belum sempat aku berkomentar, suara Fariz yang biasanya
paling bijak di antara ketiga kakakku, memasuki celah-celah
udara. “Fahira, Fahri dan kami semua, mengkhawatirkan
kepergianmu yang diikuti oleh anak-anak Mapala. Maaf,
om
bukannya mas nggak percaya dengan karakter mereka. Hanya
.c
saja, sepertinya... kau juga tahu, bagaimana keseharian
ot
sp
60
bernilai puluhan juta rupiah... tetapi, ah... sepertinya kau
harus lebih banyak memikirkan apa yang akan kau hadapi di
lapangan. Penelitianmu itu memiliki tingkat kesulitan yang
tinggi.”
“Karena itu, saya meminta bantuan anak-anak Mapala,
Mas. Aku dengar di antara mereka, ada yang sangat
berpengalaman dalam masalah susur gua.”
“Maksudmu tentu, si Anton bukan?” potong Fahri, tak
sabaran. “Dan kau tahu, siapa si Anton itu? Trouble maker!
Dia itu lelaki frustasi yang tak punya perasaan. Tidak,
Fahira... sebagai kakakmu, aku tidak rela jika kau pergi
dengan si biang onar itu! Anton itu, nyaris psikopat, Fa. Dia
om
berasal dari keluarga broken. Orangnya kasar dan sangat
.c
temperamental.”
ot
sp
61
punya visi religi yang kental, maklum, cucu seorang kyai di
sebuah pesantren di Jawa Timur.
Yang error, paling hanya Anton Yosef Maringka.
Anton itu, nyaris psikopat, Fa...
Tetapi kalau gua... ya Anton itu pakarnya... ucapan jujur
Jaka membuatku semakin tenggelam dalam gejolak yang tak
menentu. Anton, pakarnya speleologi. Sedangkan dia sudah
berkoar-koar...
Gue nggak bakalan ikut, jika kucing kecil ini tetap ikutan
ekspedisi. Tak peduli dia itu bos atau babu!
Ah, kenapa masalah ini menjadi begini rumit.
om
Dering di smartphone-ku memaksa aku membuka
.c
tas gendong yang sarat muatan dan berpotensi membuat
ot
sp
62
sipil. Fathur, kakak kedua, kedokteran. Dan Fahri yang galak
itu, kuliah di sedang mengambil S2 ilmu hukum. Dia mulai
membuka praktik advokat, dan lumayan ramai. Maklum,
galak, sih!
“Alaikumussalam... he, Fa... kemana saja kamu? Aku
kontak sejak zaman Raden Wijaya diangkat jadi Raja
Majapahit, kagak juga ada jawaban.”
Bukan Anita kalau tidak ber-hiperbolik. Tapi justru kadar
hiperbol-nya yang suka over itulah yang menjadikannya
khas, dan aku selalu rindu akan hal itu.
“Aku di kampus, Fren! Rapat sama anak Mapala.”
“Hei, jadi pergi sama mereka?”
om
.c
“Gimana lagi?”
ot
sp
mendesah malas.
in
a-
63
“Fa, please deh... pandang semua ini dari sisi positif.
Sejak Patih Gajah Mada mengumandangkan sumpah palapa,
belum pernah aku ngelihat ada kakak-kakak sebaik kakak
kamu. Aku juga mau jadi kakak iparmu. Eh, salah fokus.”
Tawaku kian pecah berderai. “Ah, sok tahu, Lo! Lagian,
mana mau aku jadi adik ipar Lo! Bawaannya tengkar melulu,
ntar!”
“Suer, Fa. Aku, mereka... semua mengkhawatirkanmu.
Bayangkan... kau ini seorang mahasiswa teladan, manis dan
lembut, kebanggaan keluarga, kebanggaan kampus. Lalu
kau pergi untuk sebuah ekspedisi yang berbahaya, ditemani
orang-orang yang tidak jelas akhlaknya.”
om
“Pak Aryadi menyetujui kepergianku, dekan dan para
.c
ot
meski mungil dan seperti katamu, lembut dan manis, aku ini
ogl
64
“Go publik?”
“Iya, aku mau bisnis katering sama Mbak Riana.”
Aku tersenyum. Anita... ini baru perempuan sejati. Tidak
seperti aku. Maskulin, kadang urakan.... eh, tapi diam-diam
aku ini lembut dan romantis, lho!
Kini aku beranjak menuju tempat parkir. Menuju ke arah
katana tua yang selalu kurawat sepenuh hati. Kubuka pintu
katana abu-abu hadiah ulang tahun ke-21 dari ayahku itu,
kulemparkan tas gendongku perlahan di jok samping. Kini
aku menaiki ruang kemudi.
Saat itulah, sebuah mobil landcruiser mendadak keluar
dari tempat parkir dengan ruangan yang memekakkan
om
plus bergumpal-gumpal asap keputihan. Aku menegakkan
.c
ot
65
pu
sta
ka-
in
do
66
.b
log
sp
ot
.c
om
6
Flowstone
67
yang sepertinya sebuah sapu tangan besar berbahan halus
dengan warna biru muda. Ada sulaman indah dari benang
putih membentuk sepasang burung sriti dan tulisan AYM.
Bagi yang mengenal dengan Anton, mereka akan tahu,
bahwa bagi Anton, slayer biru muda itu adalah bagian dari
jiwanya.
Anton Yosef Maringka namanya. Seorang lelaki yang
tak pernah mau terikat. Ia laksana burung yang lebih
merasakan ketenangan jika tengah berkelana menembus
dirgantara. Jangankan teman-teman kost atau kampus, kedua
orangtuanya, Adrian Maringka yang pengusaha kelas kakap
dan Sofia Tobing yang juga seorang top executive di sebuah
om
BUMN ijo royo-royo alias berprovit melimpah saja, tak
.c
pernah mampu menahan langkahnya. Maka jadilah Anton,
ot
sp
68
Tuhan, mengapa selalu saja kau usik kehidupan orang-
orang yang kucintai ... yang masih memberiku semangat
untuk tetap bertahan di dunia ini!
Pesan itu dikirim oleh seorang pembantu di rumahnya,
di Jakarta. Oleh pembantu, bukan oleh Mama sebagai anak,
atau Papa, sang menantu. Barangkali, mereka bahkan masih
berada di sebuah ruang meeting di Berlin, Paris, Chichago
atau Roma. Tak peduli, ibu dan mertua mereka tengah
sekarat menghadapi maut.
Jadi jangan salahkah jika aku tak pernah peduli pada
kalian, karena kalian pun mengajariku demikian....
Anton menghempuskan napas keras-keras. Dibukanya
om
pintu Landcruiser-nya dengan kasar, lalu dia banting tak
.c
ot
meraung garang.
.b
do
69
“Wah, gawat dong!”
“Lebih dari itu. Gue punya firasat, nyawa dia bakal
melayang.” Wajah Anton suram. “Dan ini sebuah bencana
besar buat aku.”
“Kencengin dong, doa kamu! Siapa tahu, nyawa Oma
kamu jadi balik lagi ke raga.”
“Emang Tuhan mau ngedengerin, doa orang sepertiku?
Sudahlah, aku go dulu!”
“Tadi ada yang nyari kamu. Azhar.”
“Oh, Si Bunga Ilalang. Bilangin, aku pulang Jakarta.”
“Kapan balik?”
“Entahlah.”
om
.c
ot
“Ke Jakarta naik mobil?”
sp
og
dulu.”
do
in
70
Begitu pesawat landing di Sukarno Hatta, Anton langsung
meluncur ke RSPP dengan taksi. Sosok yang dia dapati
pertama kali di RS itu adalah Sumini, pembantu rumahnya
yang dengan terbata-bata bercerita, bahwa sejak penyakit
jantung Oma Sandria kumat hingga dirawat di Rumah Sakit
tersebut, yakni telah berjalan selama 5 hari, Mama Sofia
maupun Papa Adrian belum sedetik pun menyempatkan
waktu untuk menjenguknya.
“Nyonya masih ada meeting di Tokyo. Katanya tidak bisa
diganggu. Sedang Tuan masih di Den Hag. Baru besok pagi
sampai di Jakarta,” papar Sumini.
Paras Anton tak bereaksi, datar saja. Bahkan cuek,
om
seperti biasa. Namun tak ada yang bisa mendeteksi, bahwa
.c
gemuruh di dadanya benar-benar telah membuat sekujur
ot
sp
71
ia melihat para perawat dan petugas medis yang melintas
meliriknya dengan tatapan tajam yang seakan menuduhnya
sebagai penabur kuman berbahaya.
“Aku mau mandi dulu!” ujarnya.
“Bisa di kamar, Tuan. VIP 3. Tuan Adrian menyuruh kami
menyewa kamar tersebut untuk transit.”
Hanya butuh waktu 10 menit untuk mandi dan berganti
pakaian. Kini, dengan jeans biru dan kemeja flannel hitam,
Anton terlihat lebih rapi. Ia juga menyisir serta mengikat
rambutnya, lengkap dengan minyak rambut, sehingga
kesan berantakan lumayan tereliminasi. Slayer birunya dia
pertahanakan melekat di lehar.
om
Ia terlihat kelimis. Oma Sandria paling sebal melihat
.c
ot
72
“Ini sapu tangan hadiah Oma. Selalu Anton pakai.
Sebagian Anton simpan. Oma jangan khawatir, Anton pasti
akan menemani Oma kapan saja Oma mau. Anton sayang
Oma... hanya Omalah... satu-satunya orang yang Anton
sayangi. Karena hanya Oma yang ngerti Anton... hanya Oma
yang sayang Anton....”
Sebuah gempa emosi tiba-tiba melanda batinnya. Lelaki
muda itu mendadak luruh dalam kepedihan yang begitu
menyayat. Apalagi ketika tetes-tetes pertama air membasahi
pipi, yang disusul dengan tetesan deras berikutnya.
“Oma jangan tinggalin Anton ya? Anton janji... akan terus
di samping Oma... Anton nggak akan ninggalin Oma....”
om
Tangan kurus yang menyatu dengan jarum infus itu
.c
ot
73
“Nenek anda kambuh, dan ruang ini harus steril dari
orang luar. Hanya tim medis yang boleh masuk. Silahkan
anda tinggalkan ruang ini beberapa saat, okay?”
Terpaksa, Anton pun beranjak keluar. Dadanya berdebur
tak keruan. Mondar-mandir ia berjalan di depan ruang ICCU.
Sesekali ia mencoba memencet nomor kedua ortunya.
“Oma kritis!”
“Iya, Papa tahu. Ini Papa sedang beresin semuanya. Nanti
malam Papa ikut penerbangan ke Jakarta. Besok pagi Papa
sampai...”
Itu jawaban sang menantu. Jawaban sang anak lain lagi.
om
“Tolong semua diurusi dulu ya, Ton... Mama baru bisa lusa
.c
pulang. Ini meeting yang sangat penting. Perusahaan dapat
ot
sp
mereka enggan.
a-
k
Brengsek!
sta
pu
74
“Tidaaaaaaak!!” Anton berteriak histeris. Selanjutnya,
dunia terasa gelap.
--o=[]=o--
om
manusia, namun kumparan sel di dalam tubuhnyalah yang
.c
tak pernah mufakat dengan jenis-jenis obat tersebut. Mungkin
ot
sp
75
kekuatan cintanya, satu persatu Dia ambil. Satu persatu Dia
cabut nyawanya.
Pertama adalah Kang Adang. Lelaki sederhana yang
mengajarinya makna kehidupan. Dia bukan manusia
terpandang, karena kedudukannya di rumah besar tempat
Anton Yosef dilahirkan, hanya seorang tukang kebun.
“Belajarlah mencintai tetumbuhan, Den Anton. Kita akan
melihat, bahwa tumbuhan, adalah makhluk paling ikhlas di
dunia ini!” ujar Kang Adang, sesaat ketika Anton kecil yang
saat itu masih SD, pulang sekolah dan menghampirinya
dengan seragam masih melekat di badan.
“Ikhlas? Tumbuhan ikhlas?”
om
“Ya. Aden tentu pernah belajar ilmu hayat...”
.c
ot
sp
“Maksudnya, biologi?”
og
76
“Aku juga belum pernah lihat. Tapi, suatu saat pasti aku
akan melihatnya. Nanti, kalau aku ketemu sama kantong
semar, aku akan bawa satu dan ditanam di kebun. Biar
nyamuk-nyamuk di sini habis dimakan kantong semar.”
Kang Adang hanya tertawa mendengar ucapan Anton
yang polos. Ah, seorang lelaki bersahaja yang begitu lurus
menjalani kehidupan. Ia nyaris tak pernah mengeluh, tak
pernah meratap. Kebahagiaan, sepertinya tak pernah enggan
untuk menghinggapi hari-harinya. Dan bersama dengan
lelaki setengah baya itu, sedikit demi sedikit, kesepian Anton
mulai tereduksi. Rumah besar yang selalu hening karena
jarang dipenuhi oleh penghuninya, menjadi semarak. Nyaris
om
setiap hari, usai pulang sekolah, Anton menemani Kang
.c
Adang berkebun. Mulai dari mencabuti rumput liar, memberi
ot
sp
77
Papa. Anak Papa cuma kau dan Syakila. Mau kepada siapa
Papa wariskan perusahaan ini kalau tidak kepada kalian?”
“Sebenarnya kau tetap bisa kuliah di fakultas yang bisa
mendukung karirmu kelak, Ton,” ujar Mama. “Kalaupun
tidak bisa diterima di PTN, kau bisa kuliah di PTS yang secara
kualitas tak kalah dengan PTN. Di Jakarta ini ada banyak.
Kalau perlu, kau bisa kuliah di luar negeri. Di Perancis,
Australia atau Amrik... tinggal pilih!”
Kang Adang... ia telah menunjukkan kepadanya sebuah
tipe kecerdasan yang gagal dilacak oleh dua pasang mata
duitan Papa dan Mamanya. Kecerdasan naturalis. Sayang,
lelaki bijak itu telah pergi.
om
Setelah Kang Adang, muncul kemudian Anya Helga
.c
ot
keheranannya.
.b
do
78
Anya yang begitu besar terhadap alam, dunia yang selama ini
ia tekuni. Berada bersama gadis itu, selalu membuat Anton
merasa berharga, merasa menjadi orang penting.
“Jadi, stalaktit dan stalakmit itu tidak terdapat di semua
gua ya? Kirain di setiap gua pasti ada?” ujar Anya, ketika suatu
saat mengikuti acara caving di sebuah gua lava di wilayah
Purworejo.
“Nggak semua, Nya. Hanya ada di gua karst.”
“Karst?”
“Ya, gua yang terbentuk dari batu gamping, yang
didalamnya mengandung kalsium karbonat atau rumusnya
CaCO3. Gua tipe itu, sebenarnya banyak terdapat di
om
Indonesia, kapan-kapan kalau kita bikin acara caving ke gua
.c
ot
79
“Rafting itu ... arung jeram ya? Kelihatannya sih, asyik...
tapi, serem juga ya? Gue nggak pernah punya pengalaman.
Gimana bisa ikutan?”
“Tenang, asal kamu ngikutin petunjukku, pasti aman-
aman saja. Gimana? Ikutan, ya?”
Anya mengangguk. Anggukan yang ditanggapi dengan
sorak-sorai segenap syaraf di tubuh Anton. Saat itu. Namun
justru angguk kesetujuan itulah yang kemudian menjadi
awal penyesalan Anton seumur hidupnya. Yang menjadi
salah satu trauma tersendiri di hati Anton.
Seandainya saat itu Anya menolak, tentu hingga saat ini,
ia masih bisa berteman dekat dengan gadis itu. Pertemanan
om
yang bisa jadi, akan menjurus pada sebuah kedekatan yang
.c
ot
lebih erat....
sp
og
80
“Tanpa gula ya?”
“Apa nggak pahit?”
Anton tak menjawab. Ia kembali tenggelam dalam
lamunan. Kali ini tentang Oma Sandria.
Sungguh, sebelumnya, ia hanya bisa melihat Oma
Sandria sebagai seorang wanita tua yang cerewet dan mau
menang sendiri. Pengidap Post Power Syndrome, begitu
komentar Papa. Maklum, hampir 40 tahun Oma Sandria
bekerja di sebuah perusahaan internasional yang telah
menggurita di hampir 100 kota. Jabatan terakhir adalah
presiden direktur. Pensiun dan kesepian membuatnya sering
uring-uringan. Jadilah Anton sebagai salah satu orang yang
om
tak mau berdekatan dengannya, kecuali dalam keadaan yang
.c
ot
Anya Helga.
ogl
.b
81
Dipuji begitu, Anton merasa hatinya sedikit terbuka. “Ini
hasil persilangan, Oma. Mawar putih, disilangkan dengan
mawar merah. Hasilnya, seperti ini...!”
“Kau silangkan sendiri?”
Anton mengangguk. “Kang Adang yang mengajari.”
“Oh, bekas tukang kebun yang meninggal karena
kecelakaan itu?”
“Betul. Dia dulu sekolah di Sekolah Pertanian.”
Dan sejak saat itu, Oma Sandria yang kesepian dan
mulai pikun, seperti mendapatkan sebuah dunia baru yang
mengasyikan. Ia menjadi sangat hobi berkebun. Ia bahkan
om
sengaja meminta Pak Diman, tukang kebun yang baru, untuk
.c
menyulap sebidang tanah di belakang rumah yang semula
ot
sp
mengalahkan kebunmu!”
sta
pu
82
kolam ikan mereka. Beberapa kali, Anton juga menghadiahi
sang Oma bonggol-bonggol akar kayu yang telah divernis
indah, dan oleh Sang Oma sengaja dipajang di sebuah ruang
yang khusus mereka jadikan sebagai galeri.
Seluruh penghuni rumah, hanya bisa geleng-geleng
kepala, namun mereka tak mau berkomentar lebih lanjut.
Bukan karena mereka sepakat, karena celetukan-celetukan
Mama dan Papa terkadang justru memojokkannya, terutama
jika dikaitkan dengan keinginan mereka agar Anton lebih
menekuni dunia yang terkait dengan bisnis, dunia yang
lebih menjanjikan, menurut mereka. Jika mereka enggan
komentar, itu lebih karena sikap cuek mereka.
om
“Sudahlah, Pa...,” kata Mama, suatu ketika. “Biarlah
.c
Anton tenggelam dalam dunia fantasinya. Besok, kalau dia
ot
sp
Dia akan kaya raya tanpa harus bekerja. Dan bisnis yang
Papa bangun dengan susah-payah, akan terbengkalai karena
tidak ada penerus.”
“Kan sudah ada Syakilla. Dia bisa kita harapkan.
Prestasinya bagus. Tampaknya, dia pun lebih tertarik untuk
belajar manajemen....”
Maka jadilah seorang Anton semakin larut di dalam
dunianya. Sayang kebersamaan itu harus terputus....
Lelaki berambut gondrong itu meneguk kembali cangkir
kopi pahitnya. Dan kesepian itu, semakin terasa nyenyet.
83
Siapa sosok yang bisa mengisi hatinya?
Perempuan itu? Yang pada wajahnya memantul warna
jingga? Sang penghimpun senja? Dia begitu cantik saat angin
pantai menerbangkan anak-anak rambutnya. Saat itu dia
sedang mencoba membuang resah dengan mencoba mencuri
lukisan senja yang terpapar di langit Klayar. Bertemu makhluk
eksotis yang tengah termenung menatap senja, seperti tengah
mendapati sepotong senja yang terjatuh dari langit.
Sayang, perempuan itu telah bersuami.
Mungkin pertemuannya dia dan perempuan itu sesingkat
usia senja. Selanjutnya, dia adalah malam, dan perempuan
itu adalah siang. Sama-sama memiliki dunia yang tak pernah
akan bertemu. om
.c
ot
--o=[]=o--
sp
og
84
“Asal kamu nggak ngegondol barang-barang gue aja!”
ujar Anton, kalem. “Yang pasti security di kost ini tidak
mungkin bisa tembus oleh bromocorah amatiran.”
“Yee... nuduh bromocorah lagi. By the way ... kamu ini
sebenarnya kemana aja, sih, selama tujuh kali dua puluh
empat jam ini? Aku mencarimu hingga kolong langit, hingga
ke liang semut....”
Anton tak bersuara sesaat. Ia hanya melangkah gontai,
memasuki kamar ukuran tiga kali empat yang full fasilitas
itu, melempar tas ranselnya di sudut ruang, lalu membuka
kulkas, mengambil dua kaleng soft drink. Satu disodorkan
kepada Azhar yang kini terbaring di atas spring bed, satu
om
ia buka sendiri dan langsung ia tenggak. Gempuran soda
.c
di mulut, yang kemudian melanjutkan aksi di tenggorokan,
ot
sp
85
“Ini sebuah kenyataan pahit, Ton! Tetapi, Allah memang
sudah menakdirkan demikian. Kita, harus bisa menerima.”
“Zar. Kenapa Allah, Tuhan yang sering kamu banggakan
itu, seringkali bersikap tidak adil sama aku?” Anton seperti
menuntut. “Kenapa Tuhan sepertinya nggak suka lihat Aku
bahagia?”
Azhar terbelalak seketika. Pertanyaan itu, sama sekali tak
ia duga, bisa meluncur dari mulut Anton.
“Ton, kamu nggak boleh ngomong kayak gitu. Apa yang
Allah tetapkan atas hamba-Nya, itu yang terbaik buat hamba
tersebut. Udahlah, Ton! Aku nggak bisa jawab pertanyaan
edun kayak gitu. Aku emang pernah jadi santri. Tapi jangan
om
tanyakan soal agama ke aku. Udah lupa semua. Mending,
.c
ot
speleologi, Ton!”
in
a-
86
Zar! Aku nggak mau sesumbar, bisa ngelindungin orang yang
sama sekali enggak bisa melindungi diri sendiri....”
Seraut wajah penuh senyum itu pun mendadak melintas
di batinnya. Anya Helga. Benar! Brengsek! Senyum gadis
yang pernah mengukirkan harapan di hatinya itu, mirip be-
nar dengan senyum Fahira.
Tidak! Aku tidak akan membuat Anya Helga yang satu
ini, kembali terbujur tanpa nyawa....[]
om
.c
ot
sp
ogl
.b
do
in
ka-
ta
s
pu
87
pu
sta
ka-
in
do
88
.b
log
sp
ot
.c
om
7
Gypsum
pesing.
l
.b
89
“Ampuuun, Nit... bisa-bisa nanti jadi ada cinlok, deh!”
Ardi, anak paling kalem di kelas, aktivis masjid. Jelas
satu ‘gank’ dengan Fahri yang dulu juga aktivis masjid di
kampus.
“Wah, pikiranmu selalu negatif. Nggak usah ngebayang-
in, kalau pas di perjalanan nanti, Anton mengganggumu dan
Ardi mengubah diri menjadi ksatria mempesona yang me-
nolongmu dari jeratannya.”
Tawaku kembali pecah mendengar kata-kata bernada
ledekan dari sobatnya itu. “Cuman Ardi sorangan?”
“Kalau dia sendirian, benar-benar bisa memicu cinlok.”
“Jadi, sama siapa?”
om
.c
“Gunawan.”
ot
sp
90
“Ya, aku ngerti. Baiklah..., kalau mereka mau ikut,
silahkan ikut saja. Tetapi, please Nit... kamu juga mesti
ikutan.”
“Aku?” Anita melotot.
“Aku butuh teman perempuan. Dan kudu teman yang
paling mengerti aku. Kamu kan sobatku, pliiis, Nit.”
“Kan ada Nania.”
“Nggak cukup. Kamu harus ikut. Ekspedisi ini lumayan
lama. Dari survey, sampling, dan sebagainya, bisa bulanan.
Kalau nggak ada teman yang bisa diajak curhat, aku bisa
ancuuur.”
om
“Kan ada Ardi...” .c
“Ampun, masa aku harus curhat sama cowok...,” aku
ot
sp
harus ikut.”
l
.b
do
91
“Bukan sarang macan, tetapi….”
“Sarang ular sanca? Sarang kelabang, atau malah hantu
dan jin gentayangan? Udah Fa ... aku bukan orang yang tepat
untuk kau ajak dalam hal-hal seperti itu. Aku sobatmu, aku CS-
mu, aku sayang kamuuu, tetapi aku nggak bisa. But, jangan
khawatir, aku akan selalu berdoa untukmu. Seperti katamu
tadi, aku kan sahabatmu. Aku sayang kamu. Sueeer.”
Anita tersenyum centil, tetapi senyumnya tak cukup kuat
untuk membuatku tak merengut.
--o=[]=o--
om
diwarnai keributan. .c
“Kalau sudah ada kambing-kambing itu, ngapain gue
ot
sp
Pacitan itu.
in
a-
92
“Kok kamu pede banget, sih, berkesimpulan seperti itu?”
sinis Anton.
“Dari keberatanmu tentang masuknya Ardi dan Gunawan
dalam tim, saya melihat bahwa….”
“Tidak!” Anton mendadak bangkit, menyambar tas
gendongnya dan menyangklongnya. “Aku tak akan ikut!” dia
bergerak keluar ruang mapala.
“Ton, Antooon!” Nania berlari mengejar, menarik
jaketnya. “Toloooong, deh, Ton! Sekali ini, gue berharap
solidaritasmu. Beneeer.”
“Solidaritas? Mana solidaritasmu buatku? Tahu, nggak,
aku baru saja berduka karena Omaku meninggal, tahuu!
om
Jangan tuntut orang memahamimu kalau kamu kagak mau
.c
ot
Nania.
l
.b
93
“Luweng Jaran itu kedalamannya hampir lima puluh
meter, dan ada beberapa sisi yang harus disusuri secara
vertikal. Itu medan kelas berat, aku nggak berani kalau tanpa
Anton,” kata Jaka, jujur.
“Saya akan sedikit ubah titik-titik yang kita teliti. Tak
usah terlalu jauh mungkin, meski barangkali tidak akan
menghasilkan data yang lengkap.”
“Nggak seru, dong, Fa!” protes Azhar. “Gini aja, aku ada
kenalan caver senior. Namanya Bongky, anak universitas
sebelah. Mungkin dia bisa kita ajak kesana. Orangnya baik,
kok.”
“Ah, ya! Bongky!” Jaka menjetikkan jarinya. “Kenapa
om
aku nggak kepikiran nama dia, ya? Zar, kamu aja yang nego
.c
ot
dia.”
sp
og
rombongan.”
do
in
kita.”
“Aku BBM aja ke kamu, ya, Fa!” kata Azhar.
“Baik, pertemuan kita akhiri dulu, ya!
Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumussalam.”
Nania, Jaka dan Azhar dengan segera berhamburan
keluar. Sementara aku melenggang dengan pelan. Korteksku
terselaput banyak pikiran yang membuat langkah kakiku
94
terasa berat. Sudah mendekati jadwal survey, dan masalah
belum juga beres. Oh, my God!
“Jadi, yang kau anggap sebagai manusia itu cuma Bongky,
ya?” mendadak sebuah suara berat mampir di telingaku.
Suara yang berasal dari sosok jangkung yang mencoba
mensejajari langkahku. Aku merasa begitu mungil berada di
sampingnya.
Saat aku menoleh, seketika aku terpana. Astaga, Anton!
“A-apa maksudmu?”
“Kamu sendiri yang turun, melakukan negosiasi dan
pendekatan langsung dengan Bongky, sementara untuk
membujukku, kamu mengutus si Bunga Ilalang itu.”
om
.c
J-jadi, inikah penyebabnya?
ot
sp
95
“Ya, kamu benar, benar sekali, Nona Fahira Azalea,
mahasiswa kebanggaan segenap penjuru kampus! Aku
memang hanya manusia sampah. Nggak usah jauh-jauh,
bokap-nyokapku aja nggak pernah menganggap ada
kehadiranku, apalagi kamu.”
“Tidak, Ton!” aku menggeleng, sembari berusaha
menyusupkan keberanian di hatiku. Ayo, mana kemahiranmu
berkomunikasi yang selama ini begitu dibanggakan teman-
temanmu, Fa? Mana kemampuanmu bernegosiasi yang
selama ini jarang menemukan kegagalan. “Bagi saya, kau
orang hebat, Ton. Suer!”
“Halah, kau ucapkan hal itu karena kau butuh bantuanku,
kan?” om
.c
ot
96
“Aku?”
“Ya.”
“Kenapa hanya dalam sekejap, kesombonganmu
mendadak luruh berkeping-keping?”
“Jadi, kau menilai selama ini bahwa aku sombong?”
“Kau tak hanya sombong, tetapi sangat sombong!”
“Saat ini, dengan pengakuanku, dan sikap asertifku,
penilaian itu masih berlaku?”
“Sedikit berkurang.”
“Oke, kamu cukup fair, saya senang.”
“Hai, Saudari Fahira Azalea! Para pecinta alam di
om
manapun, adalah orang yang paling fair, paling jujur, paling
.c
ot
memiliki solidaritas, dan paling mengerti bagaimana saling
sp
97
Aku menelan ludah, lalu mencoba mengumpulkan
seluruh keberanian yang mendadak amblas. “Begini, Anton…
saya tak suka jika di antara kita ada yang merasa lebih tinggi,
atau lebih rendah daripada yang lain. Saya membutuhkan
bantuanmu, tetapi saya tak mau mengemis. Saya memiliki
pengetahuan di bidang tertentu, dan sedang mengajak orang
yang saya yakini memiliki kemampuan di bidang yang
lain. Saya berharap kita bekerja sama. Mutualisme. Saling
menguntungkan.”
“Oh, begitu?” Anton tertawa sumir. “Jadi, keuntungan apa
yang bisa kamu janjikan untukku dengan kerjasama ini.”
“Kepentingan akademismu. Ini proyek yang sangat
om
didukung oleh kampus. Pak Aryadi langsung memonitor.
.c
Pak kepala jurusan bahkan selalu menanyakan progres dari
ot
sp
98
Aku berhenti melangkah, memasang telinga baik-baik,
tetapi tetap menutup mulut.
“Pertama, kau tak perlu mengajak orang yang sama sekali
tak mengerti tentang caving. Cukuplah kami menanggung
beban satu orang saya, yaitu kamu. Tak usah ditambah
dengan kambing-kambing itu.”
Maksudnya tentu Gunawan dan Ardi. Hm, bagaimana
ini? Aku harus melobi ayah, agar mempercayaiku dan meng-
cut rencana abang-abangku. Tampaknya ini bisa diatur. Meski
aku satu-satunya anak perempuan, ayah sangat percaya pada
kemampuanku.
“Kedua, kau harus menurut apa kataku dan tak boleh
membantah.” om
.c
ot
pandangan marah.
l
.b
“Deal?”
do
in
99
“Lalu, lakukan angkat beban sehari kira-kira setengah
jam. Itu akan menguatkan otot-otot di lenganmu. Saat caving
di gua vertikal, kekuatan lengan akan sangat bermanfaat.”
“Apa lagi?”
“Sit-up, push-up, pull-up, sesering mungkin. Memanjat
dinding gua vertikal menuntut kekuatan hampir seluruh otot
di tubuh kita. Mulai dari otot punggung, lengan, perut, kaki,
bahkan jari.”
Jadi, bukan hanya sekadar berburu teori dan referensi.
“Yang kau butuhkan saat melakukan caving adalah
strength and endurance. Kekuatan dan daya tahan. Itu bisa
kamu dapatkan jika kamu rajin berlatih.”
om
.c
“Itu saja?”
ot
sp
tidak dua atau tiga kali dalam seminggu. Kau harus berlatih
l
.b
do
memanjat di sana.”
in
100
8
Helektit
101
yang bahkan saat mereka berhadapan satu sama, perasaan
yang muncul justru rasa asing? Mereka telah resmi menjadi
suami istri sejak tujuh tahun silam, saat itu Gunadi berusia
30 tahun, dan dia baru 19 tahun.
Rinanti, kembang desa yang kinyis-kinyis. Matanya
yang sedikit sipit, dengan kulit putih bersih, membuat orang
banyak mengkaitkan dengan kisah selir Prabu Brawijaya asal
Campa yang melarikan diri dan menetap di Pacitan saat terjadi
peperangan antara Majapahit melawan tentara Raden Patah
dari Demak. Banyak yang bilang, Rinanti masih memiliki
darah Raja Brawijaya dari jalur Putri Campa itu. Tentu Rinanti
dan keluarganya merasa tak perlu menanggapi sangkaan
om
itu dengan berlebihan. Peristiwa ontran-ontran Majapahit
.c
melawan Demak sudah terjadi ratusan tahun yang lalu. Dan
ot
sp
jika pun benar mereka berdarah raja, apakah status itu bisa
og
102
kecantikan itu nyaris tak tersisa, ditempa kehidupan yang
serba sulit.
Ya, Pacitan, khususnya yang berdekatan dengan pantai
selatan, bukan alam yang ramah. Air sulit, tanah tandus,
dipenuhi dengan batu gamping dan kapur. Sebagian orang
menambang batu gamping dan kapur, sebagian mencari
batu mulia untuk diasah menjadi akik. Tetapi, akik bukanlah
beras yang semua orang membutuhkan. Tak akan menjadi
kaya hanya karena menjadi perajin batu akik.
Sementara itu, siapa yang tak mengenal Gunadi? Ki Gunadi
Hantayudha, begitu julukannya. Jika Rinanti sekeluarga
adalah keturunan Brawijaya itu baru konon, lelaki itu benar-
om
benar memiliki gelar Raden dari jalur istana Mataram. Meski
.c
begitu, Gunadi tak pernah bersekolah, sehingga dia buta
ot
sp
103
akan ada sebuah peristiwa besar di alam, sebagai bentuk
murka karena kita menolak perjodohan agung itu.”
Sudarto tak mampu untuk menolak ‘perjodohan
agung’ itu, meski pada hati kecilnya, dia sebenarnya tak
menginginkan bermenantu seseorang yang berprofesi
sebagai dukun. Rinanti sendiri tak memiliki pilihan apapun,
kecuali menurut. Mereka takut dengan kutukan semesta
karena mereka bersikap mbalela—alias menentang sesuatu
yang telah menjadi ketentuan.
Rinanti muda masih terlalu bau kencur untuk memahami
geliat zaman. Dara 19 tahun yang jelita seperti mawar merah
yang baru saja mekar itu akhirnya jatuh ke pelukan Gunadi.
om
Sebenarnya Gunadi seorang lelaki yang cukup tampan. Tutur
.c
katanya juga selalu sopan, meski tajam dan mengawang-
ot
sp
104
menaiki perahu. Mereka menerjang lautan biru, menantang
gelombang. Dan ketika perahu kecil itu mulai memasuki zona
samudera, Gunadi mendadak memeluknya. Menciumnya….
Dan Rinanti sangat merindukan saat-saat seperti itu.
“Rinanti,” suara berat itu mendadak memasuki ruang
ukuran tiga kali tiga meter itu. Perempuan yang tak mampu
memejamkan mata hingga malam menginjak pukul sebelas
itu sesaat tersentak.
“Bangun, Rin!”
Rinanti melihat Gunadi memasuki kamar mereka.
Sebenarnya bukan hal yang aneh jika seorang lelaki memasuki
kamar tidur istrinya, yang semestinya juga kamar tidurnya.
om
Apalagi, Gunadi memang tak memiliki kamar lain. Hanya
.c
ot
mobil baru itu. Tak ada bale-bale untuk tidur di ruang pusaka
itu. Hanya ada selembar tikar, dan di situlah Gunadi lebih
sering berbaring di sela-sela kegiatannya merawat pusaka-
pusaka kebanggaannya.
Selain itu, Gunadi juga sangat sering bepergian.
Kepergian itu kadang memakan waktu berbulan-bulan.
Gunadi hanya pernah bercerita, dulu sewaktu baru menikah,
bahwa dia memang memiliki beberapa tempat khusus untuk
bertapa. Ada satu gua di tepi samudera, dekat pantai Klayar,
105
satu di dekat Pantai Srau, dan entah di gua apa lagi. Pacitan
memiliki julukan kota seribu satu gua. Entah apakah betul
gua di Pacitan sebanyak itu. Gua Gong dan Gua Tabuhan
bisa jadi merupakan gua-gua yang cukup terkenal. Tetapi
Pacitan memiliki banyak sekali gua yang belum dibuka untuk
umum. Gua-gua itu menyimpan sejuta misteri. Dan, di mata
Rinanti, Gunadi adalah bagian dari misteri itu sendiri.
Bau harum kemenyan yang menguar kuat saat Gunadi
memasuki kamar, membuat sensasi yang aneh menghinggapi
Rinanti. Sosok di depannya itu, terlihat begitu menakutkan.
Kumis dan jenggot memenuhi hampir separuh wajah Gunadi.
Sementara rambutnya yang panjang sebahu dirapikan
om
dengan iket hitam yang membalut bagian atas kepala. Baju
.c
dan celananya selalu berwarna hitam.
ot
sp
106
“Aku akan pergi, sekitar beberapa bulan lamanya.”
Bukan sesuatu yang baru, bisik Rinanti dalam hati.
Gunadi sering melakukan itu, dan selama ini tak pernah
secara khusus berpamitan kepadanya.
“Ada sesuatu yang sepertinya memudar dariku,” desah
Gunadi. “Kesaktianku, seperti hilang hampir separuhnya.
Aku tak pernah berhasil memasukkan tuah ke cincin-cincin
akik dan pusaka-pusaka itu sebaik yang pernah kulakukan
sebelum-sebelumnya. Dan ini sangat meresahkanku.”
“Da-darimana sampean tahu bahwa kesaktian itu … telah
memudar?” entah mengapa, bukannya sebuah kecemasan,
justru rasa lega—meski hanya sedikit takarannya, sangat
om
sedikit, yang terasa di benak Rinanti. Sedikit lega itu muncul
.c
ot
107
daun kelapa di halaman rumah bergesekan. Suaranya sedikit
mengiris gendang telinga. Sementara, dari kejauhan, debur
ombak laut selatan terasa lebih keras dari biasanya.
“Aku… aku sangat takut jika harus menjadi manusia
lemah. Jadi, aku harus pergi. Tiga bulan. Atau mungkin
lebih.”
“Pergi kemana?” suara Rinanti melemah. Sebenarnya,
karena kantuk sudah mulai datang. Dia lirik jam dinding,
sudah setengah dua belas. Biasanya, jam delapan malam dia
sudah pulas tertidur karena terlalu letih bekerja mengurusi
warungnya.
“Ke sebuah tempat rahasia, aku akan bertapa brata,
om
mengheningkan diri, mencoba mencari lagi sesuatu yang
.c
ot
hilang itu. Namun … aku tak bisa pergi begitu saja. Baru
sp
Toko khusus pusaka dan batu mulia. Toko itu ada di Punung.
in
a-
108
mereka. Nilai barang-barang pusaka yang ada di sana sangat
mahal harganya. Jadi, kuperintahkan kepadamu, untuk
sementara tutup dulu warungmu. Urusi toko batu mulia itu,
sampai aku kembali.”
Kuperintahkan kepadamu. Dengan tekanan berat, dan
intonasi yang terasa menakutkan. Dalam keadaan seperti ini,
wibawa Gunadi memang terasa begitu kuat. Itukah efek dari
kemandragunaan yang konon dia miliki?
Rinanti merasa tak berdaya. Seperti saat Gunadi dahulu
melamarnya tujuh tahun yang lalu, Rinanti tak kuasa
memberikan penolakan. Akan tetapi, ketika Gunadi keluar
dari kamarnya, mendadak Rinanti tersentak. Mengapa dia tak
om
menolak? Dan mengapa dia tak sanggup menolak? Padahal
.c
dengan sikapnya itu, dia mungkin akan berselingkuh pada
ot
sp
terakhir: 4822.[]
s
pu
109
pu
sta
ka-
in
do
.b
110
log
sp
ot
.c
om
9
Isopoda
111
biasanya lebih menyenangi penelitian-penelitian in door di
laboratorium. Sementara yang senang terjun di lapangan,
termasuk Mapala di jurusanku, kebanyakan mengambil
konsentrasi ekologi. Mahasiswa mikrobiologi seperti aku dan
memilih terjun ke lapangan, bisa dikatakan sangat jarang.
Jam sembilan pagi kami berangkat dari Semarang menuju
Pacitan. Dari Semarang menuju Solo, jalan mulus dan
lancar. Begitu juga ketika mobil terus bergerak ke Selatan
menuju Wonogiri. Akan tetapi, begitu mobil keluar dari kota
Baturetno, Wonogiri, dan meluncur ke selatan, lalu berbelok
ke timur, medan berubah menjadi sangat menantang. Medan
selanjutnya benar-benar seperti semacam uji nyali bagi para
om
pengemudi. Aku sendiri, yang sebenarnya sudah terbiasa
.c
menyopir, meski jarak terjauh baru Semarang-Solo, cukup
ot
sp
kami tempuh.
l
.b
do
bentangan lurus pada jarak lebih dari satu kilo meter. Kelak-
a-
k
112
Untungnya, bentang alam yang tersaji di balik jendela,
sungguh sangat memanjakan mata. Kanan-kiri jalan, berkilo-
kilo meter jauhnya, didominasi hutan. Bukit dan lembah
berselang-seling. Bukit kapur dan gamping yang berbaris
menunjukkan bentuk-bentuk yang unik. Pegunungan Sewu
yang berjajar dari daerah Bantul, Gunung Kidul, Wonogiri
dan Pacitan, memiliki sekitar empat puluh ribu bukit dengan
bentuk kerucut. Masing-masing lekukan bukit mencipta
lembah-lembah dan cekungan dengan bentuk yang khas.
Aku terkesima dengan keelokan lanskap yang barusan kami
lewati itu.
Bentang alam karst, bisa jadi tak sejalan dengan citra
om
Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan tanah yang
.c
subur. Saking suburnya, kata Koes Plus dalam sebuah lagu
ot
sp
tanah kita tanah surga, tempat tongkat dan kayu jadi tanaman.
l
.b
do
113
orang yang sama Multatuli. Ternyata mereka orang yang
berbeda. Yang tergabung dalam Tiga Serangkai adalah Dr.
Ernest Douwes Dekker, atau yang bernama Indonesia Dr.
Danudirja Setiabudi.
Kembali ke kisah tentang zamrud tadi. Seandainya
Multatuli jeli, dia akan melihat, bahwa nusantara bukan
hanya untaian zamrud. Di antara untaian zamrud itu, terselip
pula tebaran batu-batu pualam, meski tentu tak sedominan
zamrud. Alam karst, yang memiliki kekhasan dan sangat
berbeda dengan sebagian besar daerah di nusantara ini pada
umumnya, adalah batu-batu pualam itu.
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, istilah karst
om
mungkin tak terlalu familiar. Dari beberapa mahasiswa
.c
yang kutanya sendiri, saat aku iseng membuat kuisoner,
ot
sp
dari lima teman dari jurusan lain yang kutanya, hanya satu
og
114
Tetapi, jangan sangka! Pantai yang tersusun dari batu
gamping menciptakan dekorasi alam nan menawan.
Sementara, gua-gua karst sendiri adalah keajaiban dalam
perut bumi dengan stalaktit dan stalakmit yang menyerupai
tirai-tirai alami yang terbentuk dalam sebuah proses
menakjubkan selama ribuan tahun. Terkadang, di dalam
gua karst juga terdapat butir-butir menyerupai mutiara yang
disebut cave pearls. Menemukan pearls di dalam gua, bagi
seorang caver, konon adalah pengalaman yang luar biasa,
karena tak semua gua karst memiliki pearls.
Melihat aku seperti tak mampu berkedip saking takjubnya
melihat pemandangan di kanan-kiri jalan, gadis manis di
om
sampingku mendekat. “Cantik, ya?” ujar Nania.
.c
“Nggak pernah kuduga bahwa Pacitan ternyata sebagus
ot
sp
ini.”
og
l
115
pecinta alam itu, sedangkan aku sama sekali belum memiliki
pengalaman susur gua. Apalagi, setelah aku membuka
internet dan membaca posting-posting tentang gua itu, aku
menjadi semakin ngeri. Gua itu, belum jelas terpetakan. Ada
yang mengatakan panjangnya mencapai 30 kilometer! Ini
kira-kira sama dengan jarak dua kota kecil di Pulau Jawa.
“Kalau pengin menikmati alam karst, ya Pacitan biangnya,
benar-benar dahsyat! Pantainya ibarat surga dunia, guanya
kayak istana-istana raja Eropa,” ujar Jaka, yang duduk santai
di samping sang sopir, Anton. Kesantaian Jaka membuatku
gemas. Sejak dari Semarang, Anton yang menyetiri sendiri
mobil landcruiser-nya itu. Tak pernah sekalipun kulihat
om
Jaka menawari Anton untuk bergantian menyetir. Bahkan,
.c
dari Semarang hingga Solo, Jaka dengan tanpa rasa berdosa
ot
sp
116
bangun. Tetapi, jujur, aku senang melihat dia terlihat antusias
seperti itu.
“Ada yang ingin menangkap senja? Dan mungkin
ingin mengambilnya sepotong untuk dihadiahkan kepada
pacar kalian?8” Anton mengoyak sendiri ketenangannya
dengan sebuah topik pembicaraannya yang membuat aku
mengerutkan kening sejenak. Ucapan itu menurutku terlalu
romantis baginya. Mendadak ada bagian dari jiwaku yang
tersenyum geli. Sepotong senja untuk pacar kalian. Aku
belum pernah pacaran, dan tak pernah tahu, bagaimana
rasanya dihadiahi sepotong senja.
“Senja? It’s so romantic.” Nania melirik jam tangannya,
om
lalu tertawa kecil. “Sebentar lagi senja tiba. Ada pilihan
.c
menarik? Aku sudah mempersiapkan gunting untuk
ot
sp
memotong senja.”
og
l
lembar rupiah.”
s
pu
117
“Kalau di sekitar sini, ada dua tempat yang aku
rekomendasikan. Tergantung apa kebutuhan kalian juga sih?
Pertama Pantai Klayar. Kalian bisa merekam lanskap yang
menakjubkan di sana. Ada laguna, ada seruling laut, ada
karang yang mirip Spinx. Tapi, kalau ingin berenang, bermain
ombak atau berselancar, Srau lebih tepat,” ujar Anton, tetap
dengan bibir yang tak juga dihias senyum, meski suaranya
terlihat lebih bersemangat dari biasanya. “Tetapi, kalau aku
sih, pilih Klayar.”
Ada tekanan yang kurasakan lain dari perkataan: tetapi,
kalau aku sih, pilih Klayar. Seperti sebuah pemaksaan
terselubung.
om
“Gimana yang lain? Jaka, Azhar, Fahira?” Nania menatap
.c
kami satu persatu.
ot
sp
presiden SBY juga lebih suka Klayar. Jadi aku pilih itu aja,
s
pu
118
“Oke, belok ke Klayar, Piir-Sopiiir!” Teriak Nania.
“Pir-sopir, emang aku sopirmu?” Rutuk Anton. Sepertinya
mendumel. Tetapi aku melihat selapis senyum tersembunyi
di sudut bibirnya.
“Lha, emang kamu sopirnya, kok!” bandel Nania. “Ayolah
Piiir! Tancaaap gaaas!”
Rasa tak enak menjalariku. Sebenarnya, aku lebih
nyaman jika mencari mobil rental dengan sopir profesional
yang dibayar dengan tarif semestinya. Paling tidak, dengan
cara seperti itu, aku tak perlu merasa terlalu berhutang budi
pada Anton.
Tetapi, Anton sendiri yang ngotot untuk menggunakan
om
mobilnya dalam ekspedisi kali ini. Alasannya, mobilnya
.c
ot
119
Semakin terasa berat, karena kondisi jalan belum sepenuhnya
sempurna. Perut kian terkocok. Untungnya, perjuangan
berat untuk tidak muntah itu akhirnya terbayar. Aku terpana
melihat bentang alam yang terpampang di depanku. Mulutku
sesaat terbuka. Oh, aku sedang berada di mana? Benarkah
Indonesia memiliki pantai seindah itu.
Ketika jalan mulai menurun, kulihat hamparan laut
yang sangat biru. Di atas laut, langit yang juga sangat
bersih masih menampakkan kebiruannya yang sempurna.
Pasir putih menghampar, sementara rekahan-rekahan batu
karang membentuk sebuah dekorasi beraneka ragam. Kami
semua turun dari mobil, dan merasakan angin sejuk bertiup
om
mengibarkan segala yang terlewati. Kata Nania tadi, pantai-
.c
pantai di Pacitan, siang bolong pun tak terasa panas, karena
ot
sp
120
Tak berapa lama, balasan Anita datang. Gambar sepotong
burger. Ada tulisan tak kalah isengnya.
<Meski kokinya kabur ke Pacitan, Crusty Crab’s tetap
buka>.
<Aiiih, tuh ada temenmu datang. Si plankton.>
<Teman gue kan eloo!>
Keasyikanku chatting dengan Anita terusik, ketika Azhar
mendekatiku. “Sst, ingin tahu, bagaimana gaya Anton kalau
sedang patah hati?”
“Patah hati?” tanyaku, bingung.
“Tuh!”
om
Jari lelaki itu mengarah kepada sosok Anton yang tengah
.c
duduk dengan kedua tangan memeluk lutut. Kepalanya lurus
ot
sp
121
sangat sedih? Pasir, batang-batang pohon kelapa, dan …
sebuah yang warung kosong, dengan atap genting yang
ambruk sebagian.[]
om
.c
ot
sp
og
l
.b
do
in
a-
k
sta
pu
122
10
Jasper
123
Ruko itu sendiri sangat bagus untuk ukuran Rinanti yang
kesehariannya terbiasa berbalut kesederhanaan. Bangunan
modern, dua lantai, berkeramik ornamen batik jawa, serta
dinding bercat warna coklat muda. Beberapa kusen terbuat
dari jati, dengan ukiran-ukiran yang indah. Lantai satu
dipenuhi etalase serta almari-almari kaca. Di lantai dua,
ada dapur kecil, kamar mandi dan satu ruang kamar berisi
dipan kecil dengan kasur yang sangat empuk. Terutama jika
dibandingkan dengan kasur kapuk di kamar rumahnya.
Selain itu, ada juga kamar yang selalu terkunci rapat—
kata Darma, salah seorang pegawai di toko itu, hanya Gunadi
yang memiliki kuncinya. Kamar itu berisi barang-barang
om
jualan yang telah diisi tuah. Untuk melayani benda-benda
.c
bertuah itu, pembeli harus bertemu langsung dengan Gunadi.
ot
sp
124
dinikahi seorang yang dianggap sebagai sosok yang mampu
membalikkan keadaan: dari miskin menjadi kaya, hina dina
menjad sukses mulia, sakit menjadi sembuh, lemah menjadi
gagah perkasa … dan sebagainya.
Sementara, selama tujuh tahun ini, bahkan tak satu pun
harapan-harapan indahnya terejawantah. Bahkan, setiap
hari dia harus menggali liang lahat, dan memasukkan satu
persatu asa, untuk kemudian menguburnya. Hatinya telah
menjadi areal pemakaman yang sunyi sepi dan penuh
rintihan kepedihan.
Ada sekitar lima puluh keris terpajang dengan indah di
etalase. Pertama kali memasuki ruko dan melihat label harga
om
yang terpajang, Rinanti terbeliak. Keris termurah ada pada
.c
kisaran lima juta rupiah. Batu-batu mulia yang ada ternyata
ot
sp
tak hanya akik. Ada juga ruby, safir, ametyst dan entah apa
og
125
Lamunan Rinanti terhenti, ketika tatapannya hinggap pada
sebuah mobil jeep hijau metalik yang merapat di halaman
toko. Dua anak muda dengan pakaian khas pelancong turun
dan masuk ke toko sembari bercakap-cakap dengan suara
keras. Logatnya seperti anak-anak muda yang sering Rinanti
lihat di adegan sinetron televisi.
“Lo mau akik jenis apa?”
“Apalah, yang penting jangan yang ada isinya. Gue nggak
berani. Yang benar-benar batu akik biasa aja.”
“Isi, isi roti kali? Coklat, stroberi, daging?”
“Nggak, gue denger, cincin akik, atau batu-batu mulia
kayak amethyst, bisa lho diisi tuah. Bisa untuk kekebalan,
om
nguatin wibawa, pengasihan atau malah pesugihan. Nah,
.c
ot
usaha dan kerja keras. Yang disegani orang karena gue emang
sta
126
“Gue pengin keris yang bisa terbang sendiri mendatangi
perut lawan, jadi gue nggak perlu berkelahi lebih dulu kalau
ada musuh, cukup baca sim salabim abra kadabra.”
Suara tawa mereka terdengar membahana.
Darma, pegawai di toko tersebut, yang selalu
menggunakan seragamnya dengan rapi: sebuah blangkon,
baju batik model gunting china, dan celana komprang,
mendekati mereka dengan wajah kurang senang. “Maaf,
mas-mas … ini toko sakral. Jangan membuat keributan di
sini. Bersikaplah tenang, dan jangan mengeluarkan suara
kecuali yang diperlukan.”
Suara Darma yang tegas berwibawa, entah karena pada
om
dasarnya dia berwibawa, atau karena pengaruh tuah pada
.c
ot
pesan.”
pu
127
“Apa, isinya sejenis jin?” tanya teman si Jo.
“Itu energi yang dipancarkan dari semesta. Untuk mengisi
dengan tuah itu, Ki Gunadi Hantayudha harus mengisinya
dengan jampi-jampi mantra selama berhari-hari. Kian lama
diisi, kian bertuah benda itu,” jelas Darma.
Rinanti yang diam-diam mengamati percakapan itu me-
nyibak anak-anak rambutnya yang jatuh ke wajah. Makin
lama mencerapi, kini dia makin memahami, apa sebenarnya
yang telah dilakukan suaminya di saat menyepi. Helaan
terdesah dari ventilasi napasnya. Berarti, kasak-kusuk bahwa
suaminya adalah orang pintar, memang betul adanya.
“Berapa harga amethiyst yang pakai tuah, dan berapa
yang nggak?” tanya Jo. om
.c
ot
udah semakin jauh. So, gue kudu pakai trik ini kayaknya.”
pu
128
Umur Selly udah lewat seperempat abad. Bagi seorang gadis,
itu masa-masa kritis. Kalau Lo segera lamar, trus kalian nikah,
pasti kalian akan dekat, nggak usah pakai tuah-tuah segala.”
Jo tertawa lebar. “Masuk akal juga penjelasan Lo. Emang
sih, gue udah punya maksud kayak gitu. Terlalu lama
pacaran, juga nggak asyik. Pengin segera nikah. Haha. Eh,
jadi gue pesen yang nggak pakai tuah aja, deh Mas! Tu, itu
tuh! Liontin amethyst yang warnanya hijau cerah, cakeeep.”
“Gue juga mau, yang akik putih itu, Bang!”
Darma sibuk melayani, sementara pikiran Rinanti
menerawang entah kemana. Dia baru tersadar tatkala
Darma mendatanginya dengan barang-barang yang dipilih
pelanggannya. om
.c
ot
“I-iya, Darma….”
do
in
129
bajunya, dan saat ini bahkan dia bawa dan menetap di tas
kumal miliknya, juga mampu menyimpan energi rindu itu.
Sapu tangan yang beberapa bulan silam diberikan seseorang
kepadanya untuk membalut luka di jemari kakinya.
Wajah Rinanti memanas.
“Berapa semua, Mbak?” tanya Jo.
“Dua ratus ribu, Mas!” jawabnya, lirih.
Jo menyerahkan dua lembar uang ratusan ribu, yang
diterima dengan tangan yang tak bertenaga dari Rinanti.
Sebuah rasa yang bergejolak kuat di hati Rinanti, seperti
telah menyedot semua energi dalam dirinya. Ada rasa yang
miris, saat Rinanti membayangkan Jo menyerahkan benda itu
om
kepada kekasih yang akan menjadi istrinya. Kian terpukul,
.c
ot
130
11
Kalsit
dalam aliran darah kita, bagaimana kalau malam ini kita nge-
do
131
Jaka nyengir. “Demi aroma terasi gosong yang kian
menguat, aku rela bermalam di sini,” ujarnya kalem, sambil
membaringkan tubuh di atas hamparan pasir yang masih
menyisakan kehangatan. Dia sengaja tak duduk di atas
tikar, bahkan dengan isengnya melepas sepatu, menggulung
celana jeans sampai lutut, dan mengubur kakinya dengan
pasir putih.
Aku tercenung bingung mendengar usulan-usulan ajaib
itu. Anak-anak pecinta alam, kata teman-teman memang
sangat menyukai spontanitas. Dalam benakku sendiri sudah
terpetakan rencana untuk segera pergi dari pantai, mencari
penginapan dan beristirahat dengan nyaman setelah seharian
om
melewati perjalanan darat yang menurutku lumayan berat
.c
itu.
ot
sp
132
“Lho, senja bertebaran di atas sana, Ton!” kata Azhar.
“Tetapi, sepotong senja yang terindah, telah digunting
seseorang dan dibawa pulang. Ketika aku datang ke sini, aku
hanya menjumpai sebuah langit yang bolong.”
Ucapan Anton membuatku terpaksa memikirkan sesuatu,
mereka-reka maksud lema yang terlontar dari bibir tipis itu.
Mengkaitkan dengan kesuraman wajahnya. Apakah Anton
sebenarnya ingin menjumpai seseorang di pantai ini, dan
ternyata dia tidak mendapatkan sosok yang ingin ditemuinya
itu?
“Tumben kamu romantis, Ton.” Nania terkekeh. “Tapi,
aku tetap tak rela meninggalkan Samudra Hindia malam
ini.” om
.c
ot
kan, Ton?”
ka-
133
“Maksud Lo, bau trasi di badan Lo ini, akan Lo pertahankan
sampai umur ratusan tahun? Oh My Good!” Nania terbahak-
bahak.
“Srau menarik juga. Cuma sekitar 15 kilometer juga dari
sini. Ada jalan lintas lewat pantai sebenarnya. Tapi, nge-off
road di malam hari seperti ini, dalam keadaan tubuh lelah,
sepertinya bukan ide yang menarik. Kalau mau kesana, segera
aja, jangan terlalu malam. Kebetulan aku punya kenalan
orang sana, kita bisa nginep di rumahnya, jadi nggak usah
nge-camp. Kita kudu jaga stamina karena ekspedisi kita di
Luweng Jaran pasti akan menyita energi yang besar.”
Aku setuju dengan usul Jaka, dan berharap Anton
om
menggunakan otaknya untuk tak menolak pendapat sobat
.c
terkentalnya itu. Ternyata Anton mengangguk. Aku mendesah
ot
sp
134
urusanmu, Nan. Aku hanya butuh segera meninggalkan
tempat ini.”
“Katakan, jujur, Ton… siapa yang telah membolongi
langit senjamu, dan memasukkannya ke saku celananya?”
desak Nania.
“Well, tak usah berpanjang kata,” sahut Jaka. Sama
seperti aku, Jaka terlihat cemas dengan raut wajah Anton
yang semakin keruh mendengar pertanyaan Nania. “Semakin
cepat kita menemukan tempat untuk tidur, semakin bagus.
Perkecil segala perdebatan tak penting ini, Sobat!”
“Oke, come on! Kita meluncur ke Pantai Srauuuu!” teriak
Nania sembari meloncat ke udara. Dan ceklik, suara kamera
om
DSLR-ku dengan cepat merekam adegan itu. Sebenarnya aku
.c
ot
135
tegak—dan angkuh—menuju mobilnya. Menghidupkan
mesinnya. Suara mesin yang meraung-raung, seperti
menggambarkan isi hatinya. Kami pun segera mengemasi
peralatan yang ada, memasukkan ke mobil. Sejurus kemudian,
mobil bergerak menaiki jalan yang menanjak.
Ketika mobil memasuki sebuah perkampungan, kukira ada
sesuatu yang terjadi dengan mobil tersebut ketika mendadak
berhenti. Anton keluar. Oh, bukan untuk memeriksa mesin,
tetapi untuk menatap sebuah rumah di dekat kelokan jalan.
Sebuah yang rumah sangat sederhana.
Dan rumah itu gelap gulita.[]
om
.c
ot
sp
og
l
.b
do
in
a-
k
sta
pu
136
12
Limestone
sementara Toko Pusaka dan Batu Mulia itu kian ramai oleh
k
ta
137
untuk mengamati semua pengunjung toko. Ternyata, lelaki
itu benar-benar bermaksud mendatangi tokonya.
“Selamat pagi!” sapanya. Hari memang masih pagi. Jam
menunjukkan pukul sembilan, dan toko baru saja buka. Belum
ada pengunjung. Darma sendiri tengah sibuk membersihkan
lantai dua. Sementara, Budi, karyawan lainnya, masih belum
datang.
“Se-selamat pagi,” jawab Rinanti, sedikit gugup.
Lelaki itu tersenyum ramah, dan mendekatinya sembari
merapatkan dua telapak tangannya dan mengangkat ke dada.
Ketika sudah sampai di depan meja kasir, dua telapak tangan
yang menyatu itu di dekatkan ke arah Rinanti. Sangat santun.
om
“Saya Hilman, Bu. Anda pasti Bu Rinanti, istri Pak Gunadi
.c
ot
“B-bagaimana bisa?”
l
.b
saya.”
a-
k
138
Rinanti belum pernah menerima tamu seperti Hilman
sebelumnya. Untungnya, sekitar lima tahun mengurusi
warung telah membuat Rinanti tak terlampau canggung
berurusan dengan orang lain. “Jangan begitu, Pak Hilman.
Masak jauh-jauh kesini, cuma disuguhi anggur?”
“Anggur?” Hilman mengerutkan kening.
“Maksudnya, menganggur, tanpa suguhan apapun.”
Hilman tertawa kecil, dan tampak langsung merasa cocok
dengan Rinanti yang ramah dan santun.
“Dar, Darma!”
“Njeh, Bu!”
om
“Tolong dibuatkan minum buat Pak Hilman, ya?”
.c
“Njeeeh….”
ot
sp
tinggal di mana?”
k
ta
140
“Oh … pantas pengunjung di sini banyak. Apa banyak
orang di dunia ini yang suka dengan batu mulia?”
“Lha, buktinya yang belanja batu mulia di sini ramai,
kan?”
“Bukan karena … menginginkan kehidupan yang lebih
baik dengan tuah itu?”
Wajah Hilman berubah serius. Dia mengangkat
kepalanya, menatap Rinanti. “Bu, maaf … saat berencana
mendirikan toko ini dengan bekerja sama dengan Pak
Gunadi, saya menganjurkan kepada Pak Prawira Kusuma,
agar yang dijual di sini tidak hanya benda-benda bertuah.
Tetapi juga keris-keris, tombak, panah, dan batu-batu mulia
om
biasa. Meski agak keberatan, Pak Prawira Kusuma setuju.
.c
ot
“Maksudnya?”
l
.b
Tetapi, dari ratusan yang beli di sini, hanya tiga orang yang
menginginkan benda bertuah.”
Wajah Hilman menjadi cerah. Senyumnya merekah.
“Malahan, saat ini kami sedang kehabisan batu
kecubung.”
“Amethyst maksud Ibu?”
“I-iya, am-amet-tis. Sudah ada sepuluhan orang yang
mencari. Persediaan batu akik juga sudah mulai menipis.”
141
“Aduh, gimana ini?! Justru amethyst inilah batu permata
yang paling banyak dicari orang selain agate. Batu amethyst
ini memang salah satu batu permata yang khas Indonesia,
meskipun ada juga beberapa negara yang menghasilkan batu
ini. Jadi, wajar saja jika banyak yang mencarinya. Dan agate,
alias akik, itu sangat identik dengan Pacitan. Orang kalau ke
Pacitan, pasti pikirannya langsung tertuju pada batu agate.”
“Sebenarnya kita bisa segera membeli ke perajin akik
langganan Ki Gunadi, Pak,” jelas Darma, yang keluar dari
ruang dalam dengan nampan berisi dua cangkir teh manis.
Asap yang masih mengepul memperlihatkan bahwa Darma
baru saja menyeduh teh dengan air mendidih. Darma memang
om
tak menyukai teh celup. Dia lebih suka membuat teh tubruk
.c
langsung di atas api yang tengah menyala. “Hanya saja, Ki
ot
sp
itu, kan?”
in
a-
“Tahu, Pak.”
k
ta
“Bisa, Pak. Kalau bisa malah hari ini, karena ini pas selasa
kliwon. Pusat batu akik ada di Pasar Kliwon. Disebut begitu
karena bukanya setiap kliwon.”
“Jauhkah dari sini?”
“Dekat, kok. Ada di desa Sukodono. Cuma ke timur
sedikit dari Punung.”
“Saya bersiap-siap dulu, ya Pak!”
Rinanti menelan ludah. “Mm… bolehkah saya ikut
kesana? Ada Budi yang bisa menjaga toko ini. Meski saya
142
lahir dan besar di sini, saya belum pernah melihat kerajinan
batu akik.”
Hilman terdiam sesaat, namun buru-buru mengangguk
dan tersenyum. “Oh, tentu… tentu boleh sekali, Bu
Rinanti.”
“Kalau begitu, saya juga bersiap-siap dulu, Pak,” ujar
Rinanti dengan girang. Jarang sekali Rinanti mendapatkan
kesempatan untuk menikmati dunia luar. Rasa girang yang
kuat memancar dari parasnya yang jelita. Matanya yang agak
sipit terlihat semakin jeli. Tatkala dia keluar dengan memakai
rok panjang hitam, baju panjang warna ungu muda dan
rambut yang dibiarkan tergerai, mendadak lelaki bernama
Hilman itu seketika terpana. om
.c
ot
143
pu
sta
ka-
in
do
.b
144
log
sp
ot
.c
om
13
Moonmilk
145
terus menempel di kepala. Sikapnya yang religius dan sopan
membuatku tenang, sekaligus bertanya-tanya, darimana Jaka
mengenal lelaki itu. Rumah Anwar tak terlalu besar, tetapi
cukup menampung kami semua. Tampaknya, dia sering
menggunakan rumahnya untuk menerima tamu-tamu yang
ingin menginap di pantai itu.
Srau, Klayar, dan pantai-pantai lain di pesisir Pacitan,
hampir semuanya belum memiliki infrastruktur yang
memadai. Tak ada fasilitas yang memanjakan wisatawan
seperti penginapan atau pun restoran yang cukup memadai,
apalagi hotel berbintang lima dengan aneka daya tarik
pelayanannya. Yang ada hanya deretan warung kecil, tetapi
om
jika malam, warung itu tutup. .c
Padahal, tak kalah dengan Klayar, pantai Srau pun indah
ot
sp
146
“Oh, beres! Masih ada sisa ikan tongkol dan tengiri di
kulkas. Kalau mau, ada juga ayam kampung yang sedang
enak-enaknya kalau mau dipanggang. Mau bakar-bakaran,
ya?”
“Menikmati suasana malam, Mas. Mumpung masih
berada di permukaan bumi,” jawab Jaka lagi, separuh
bercanda.
“Lho, memangnya kalian mau kemana?”
“Mau terjun ke Luweng Jaran, Mas!” Jawab Jaka.
“Penelitian. Tumben ya, aku bikin kegiatan sok ilmiah?
Biasanya sih, cuman iseng aja. Tuh, ngikut kegiatan Bos
Fahira!”
“Sudah izin ke pemkab di Pacitan?” om
.c
ot
sp
om
membawa satu bamboo berisi nasi hangat dan satu panci
.c
sayuran. Kami makan seperti satu bulan terjebak di hutan
ot
sp
148
kemudian aku bisa menebak bahwa itu suara Mas Anwar.
Kutepuk pundak Nania. “Nan, subuh di masjid, Yuk!” bisikku.
Namun meski sudah kupakai segala cara, Nania masih terus
meringkuk di dipannya.
Aku mengangkat bahu, dan akhirnya kutinggal dia
sendiri. Saat keluar dari kamarku, kulihat kamar para lelaki,
Azhar, Jaka dan Anton pun masih tertutup.
“Mau kemana, Dik?” tanya seorang wanita berkerudung
yang usianya sekitar beberapa tahun di atasku, Mbak Aisyah,
istri Mas Anwar.
“Masjid di mana, ya, Mbak?”
“Oh, itu … jalan ke kanan terus aja Dik. Kebetulan saya
sedang datang bulan.” om
.c
ot
sp
149
aroma pagi, mengumpulkan setiap butir kesegaran, dan me-
neteskan perlahan hatiku yang mulai kerontang.
Berbulan ini, aku benar-benar seperti kesetanan dikejar
berbagai macam target. Mencari referensi untuk memperkuat
metode penelitan, berlatih fisik, mengurus perizinan ke sana
kemari, mempersiapkan peralatan ini dan itu. Saraf-sarafku
tegang. Aku butuh relaksasi.
Dan pagi telah membukakan sebuah tabir, menayangkan
kepadaku sebuah pesona yang alami. Aku duduk bersila
di lantai masjid, menghela napas, satu demi satu. Lantas,
kurasakan ketenangan pelan-pelan menancapkan akar, dan
akar itu membentuk percabangan, merayapi seluruh urat
nadi di tubuhku. om
.c
ot
bahagia.
--o=[]=o--
150
meminimalisir goyangan, karena aku tak membawa tripod,
aku bertiarap di atas pasir yang mulai mengering, meski
semalam pasti pasir itu tersapu ombak yang pasang.
Setelah sibuk memotret, masih dengan kesendirian
di subuh yang sunyi, aku menapaki pasir, menimbulkan
sekian banyak jejak yang teratur. Sesekali, kulihat ubur-
ubur berlarian, seperti sosok yang malu tertangkap basah
melakukan sesuatu. Sebenarnya cukup berbahaya, karena
sebagian dari spesies ubur-ubur itu beracun. Di pintu masuk
menuju lokasi pantai, terlihat jelas papan berisi peringatan:
awas ubur-ubur beracun!
Melihat ubur-ubur yang berlarian, mau tidak mau
om
ingatanku mengarah pada Anita, yang dengan bangga selalu
.c
menjuluki dirinya sebagai SBFC. SBFC versinya bisa bermakna
ot
sp
bola itu sangat nge-fans dua klub itu. Juga SpongeBob Fans
l
.b
do
Club. Nah, untuk yang kedua ini, tentu memiliki kaitan erat
in
151
laut yang berbatu-batu. Aku berjalan menuju cekungan bukit
karang yang membentuk semacam gua. Batu-batu karang
bertebaran, penuh dengan percikan air sisa pecahan ombak
yang menerjang bukit karang itu.
Hati-hati aku melangkah dari batu karang ke batu karang.
Sampailah aku di cekungan menyerupai gua itu. Mataku
yang awas mencoba menembus cekungan yang rupanya
cukup dalam itu. Mencoba memprediksi, apakah cekungan
ini mungkin menyatu dengan lurung-lurung di perut bumi
lainnya, dan mungkin merupakan salah satu celah yang
terhubung dengan gua-gua lainnya. Sungguh sebuah misteri
yang hingga kini belum terpecahkan.
om
Bentang alam karst Pegunungan Sewu merupakan salah
.c
satu bentang karst yang cukup terkenal di nusantara. Luasnya
ot
sp
152
Ombak setinggi kira-kira 2 meter itu menghantam karang
di depanku. Air memercik membasahi apa yang terlewati.
Tubuhku sendiri terguyur oleh air asin itu. Kurasakan tubuhku
basah kuyup. Lantas ombak kembali normal seperti biasa.
Aku bangkit dengan lega, dan dengan cepat berloncatan
menuju pinggir laut. Aku sendiri yang kurang perhitungan,
rutukku pada diri sendiri sambil nyengir kecut. Tahu laut
masih pasang, nekad mencebur ke air.
Aku berlari kecil menaiki daratan. Di tempat yang cukup
jauh dari air, kujatuhkan tubuhku dan kubiarkan bersentuh-
an langsung dengan hamparan pasir tanpa takut menjadi
kotor. Pasir putih di pantai ini akan ambrol begitu saja saat
om
mengering, tanpa menimbulkan lengket pada tubuh. Berbeda
.c
dengan pasir-pasir halus di sebagian besar pantai yang sering
ot
sp
dibersihkan.
l
.b
do
153
diri saja telah mampu menyecap sensasi yang begitu
bergemuruh. Dan aku mungkin akan kecanduan.
“Daar!” sebuah suara mengejutkanku yang hampir saja
terlelap, saking nyamannya dibelai cahaya matahari. Reflek
aku meloncat bangkit, dan kulihat Nania tertawa terbahak-
bahak. Nania seperti memiliki saraf tertawa yang sangat
sensitif, sehingga selalu bisa tertawa keras meskipun untuk
hal-hal yang menurutku tak terlalu lucu.
“Sudah sampai mana aja, kamu? Jalan pagi nggak ajak-
ajak,” kata Nania.
“Tadi aku ngebangunin dikau, Loh!” bibirku mencebil ke
depan sekitar setengah centimeter. “Tetapi kau seperti baru
om
disulap jadi batu. Jadi, kutinggal sendiri. Aku shalat subuh di
.c
ot
dan….”
ogl
.b
“Bajumu basah?”
do
in
154
Di luar dugaan, Nania malah tertawa melihat aktivitas
spontanku.
“Kamu tahu siapa yang sedang berselancar itu?”
“Nggak. Wajahnya nggak terlalu jelas, ketutup ombak
melulu.”
“Itu Anton! Dan aku yakin, Anton tahu bahwa kau
memotretnya. So, siap-siap aja.”
“Siap-siap apa?”
“Siap dia merebut kameramu dan men-delete semua
gambarnya. Anton sangat tidak suka difoto, meski sebenarnya
dia punya tampang jadi foto model, ya?”
om
Wajahku memerah padam. Dan, ternyata betul. Mengikuti
.c
dorongan ombak, Anton menuju ke darat, lalu mengempit
ot
sp
“A-aku….”
k
ta
155
pu
sta
ka-
in
do
.b
156
log
sp
ot
.c
om
14
Nanocrystalline
157
berbentuk vertikal, sehingga untuk memasukinya, kami harus
menuruninya dengan tali. Total ketinggian hampir mencapai
lima puluh meter. Tetapi aku tak perlu khawatir, latihan fisik
selama sekitar tiga bulan telah membuat aku merasa lebih
kuat.
Usai mengurus perizinan, kami kembali ke barat, diantar
oleh seorang petugas menuju basecamp di desa Jlubang,
kecamatan Pringkuku. Sepanjang perjalanan, petugas itu
asyik berbicara, dilayani dengan sangat bersemangat oleh
Nania dan Azhar. Jaka yang kecapean, ngorok di jok sudut
belakang. Anton menyetir, seperti biasa dengan wajah dingin
dan cuek. Sesekali dia menimpali obrolan, namun selanjutnya
om
diam. Karena tak ingin melewatkan obrolan itu, aku melepas
.c
earphone dan mencoba mengoptimalkan kedua telingaku
ot
sp
158
kilometer. Baru pada penjelajahan kedua, tahun 1992,
direvisi bahwa panjang gua mencapai 19 kilometer. Tetapi,
pada penjelajahan 2002, terbukti bahwa panjang gua ini
mencapai sekitar 30 kilometer.”
“Ya begitulah… Indonesia ini punya potensi gua-gua
yang luar biasa. Tapi kurang memiliki penjelajah bermental
baja,” ujar Azhar.
“Aku protes, aku protes!” rajuk Nania. “Lihatlah aku,
Zar… aku nggak hanya bermental baja. Tapi baja tahan karat!
Stainless steel. Tahan panas, hujan dan angin puting beliung!
Kalau nggak percaya, silakan ceburkan aku di tanur. Tanur
hatimu!”
om
“Lebur dong kamu jadi lelehan bubur besi,” ledekku,
.c
ot
nyastra.
in
a-
pagimu.”
s
pu
159
“Yeaah… harus ada perhatian yang serius kepada para
caver. Kesukaan mereka dengan tantangan, harus diimbangi
dengan pelatihan-pelatihan, penguatan skill, serta peralatan
yang memadai. Karst di Indonesia hampir 15 juta hektar
luasnya. Dihuni oleh puluhan juta penduduk. Sekilas karst
itu sama sekali tak menarik, karena hanya semacam bentang
alam yang gundul, gersang dan tandus. Tetapi, perut bumi
alam karst menjanjikan pesona yang luar biasa, yang jika
digarap dengan baik, akan menjadi objek pariwisata yang
mengagumkan. Nyatanya, berapa persen sih, gua yang sudah
terkelola dengan baik?”
“Maksudmu, pemerintah kudu menyisihkan dana yang
om
cukup untuk upaya-upaya caving, gitu?” tanya Nania.
.c
“Wah, mataku langsung ijo kalau udah bicara soal duit,”
ot
sp
kata Azhar.
og
l
160
lingkungan karst, gua sangat penting untuk penjagaan sistem
hidrologi. Gua juga menjadi habitat dari flora dan fauna,
yang berperan penting dalam berbagai proses esensial.”
“Waaah, ibu ilmuwan mulai bicara,” celetuk Nania.
“Justru itu!” Anton tak mau kalah. “Objek Wisata yang
ditawarkan kudu memiliki standard operational procedure
tertentu. Dalam satu titik, para pecinta alam dan ilmuwan
itu sejatinya nggak memiliki perbedaan pendapat. Kita klop!
Gua kudu diselamatkan dari kerusakan. Ingat prinsip seorang
caver sejati?”
“Take nothing but picture, leave nothing but footprint,
kill nothing but time!” jawab Nania cepat.
om
Azhar bertepuk tangan. “Nania lulus Pendas—pelatihan
.c
ot
pendas!”
do
in
--o=[]=o--
ka-
ta
161
Dadaku bergemuruh. Ada sesuatu yang aneh menyelusup
di rongga benakku. Tiga hari itu untuk survey normal.
Jadi, kalau ditambah dengan penelitian, mungkin akan
memakan waktu hingga satu minggu atau lebih. Aku tak bisa
membayangkan, bagaimana rasanya berada di tempat yang
sunyi-senyap, gelap abadi—acintyacunyata. Memang, untuk
survey, kami tidak menginap di dalam gua. Saat sore, kami
akan kembali, dan datang lagi esoknya. Tetapi, saat sudah
mulai melakukan inventarisasi fauna, mungkin kami akan
berhari-hari di dalam sana.
“Semua sudah siap,” ujar Anton.
“Boleh saya mengecek peralatan kalian?” tanya Willy,
om
sambil menatap tumpukan barang-barang yang kami bawa.
.c
“Jika ada peralatan yang kurang, nanti bisa meminjam punya
ot
sp
kami.”
og
l
ya?”
k
ta
162
massif. Kalau perlu, dibikin hotel dan resto di perut bumi
yang berhubungan langsung dengan gua-gua karst alami,”
celetuk Dadan sembari menyiapkan peralatan untuk SRT—
Single Rope Technique, salah satu sistem penyelusuran gua
vertikal semacam Luweng Jaran.
SRT ini adalah sistem selusur dengan menggunakan tali
tunggal. Dengan dada yang tetap bergemuruh, akibat rasa
cemas yang mendadak memenuhi seluruh persendianku, aku
mengamati peralatan itu. Peralatan individu seperti ascender,
descender, sit harness, foot loop, safety link, karabiner, chest
harness, hingga helmet dengan headlamp; perlengkapan tim
seperti tali-temali, webbing sampai sistem anchor. Aku tak
om
hapal satu persatu. .c
“Jangan lupa, ya … perbekalan pribadi untuk sekitar tiga
ot
sp
Willy menatapku.
“Ya, Mas,” jawabku, mencoba bersikap tenang. “Lari pagi
setiap pagi 5 kilometer, bersepeda, angkat beban. Sebelum
ini juga sudah berlatih SRT dengan tim. Pakai sarana panjat
dinding di kampus.”
“Yang akan kita hadapi nanti, bukan lagi sekadar dinding
mainan. Tapi, asal itu dijalani dengan tenang, tak ada
masalah.”
--o=[]=o--
163
Hari menjelang senja ketika sebuah mobil memasuki
kawasan basecamp. Dua orang lelaki, ditemani petugas
yang sama dengan yang mengantar kami tadi siang, yaitu
Pak Hadi, turun dari mobil, lengkap dengan carrier bag besar
yang tampak berat dan berbagai peralatan.
“Hai, saya Deddy, dan ini Tom. Mana yang bernama
Fahira Azalea?”
Aku mengerutkan kening. Siapa Deddy, siapa Tom?
“Saya Deddy Brajamusti, teman Aryadi saat kuliah di UK
dulu. Saya mengambil P.Hd jurusan Geologi di sana. Daaan,
kebetulan sekali, saya sedang membuat penelitian tentang
speleologi Luweng Jaran. Sudah tiga kali saya dan Tom,
om
mahasiswa saya ini, turun ke Luweng Jaran. Kemarin, Aryadi
.c
ot
bekerja.
k
ta
164
Sebuah dengusan kecil terdengar oleh telingaku, namun
mungkin tak didengar oleh kedua lelaki yang kini sibuk
berbincang-bincang dengan para basecamper. Aku menoleh.
Anton. Wajah lelaki itu tampak sangat keruh.
“Kenapa kamu nggak bilang-bilang kalau mengajak
bandot tua itu!” ketusnya.
Aku menggigit bibir. Anton tak suka dengan dua orang
itu. Semoga tak ada masalah yang terlalu serius.[]
om
.c
ot
sp
og
l
.b
do
in
ka-
ta
s
pu
165
pu
sta
ka-
in
do
.b
166
log
sp
ot
.c
om
15
Onyx
167
serta kejernihannya. Seorang pedagang akik memanggil
Rinanti, dan menawarkan sebuah batu akik dengan serat dan
garis seperti madu. “Ini akik sulaiman, Bu! Monggo, hanya
seratus ribu!”
Ada juga yang uratnya seperti air, disebut batu Akik
Yahman. Selain itu ada Akik Yahman Bungur, Akik Rambut
Cendana, Akik Pancawarna—karena memiliki lima warna,
Akik Badar Asem dan sebagainya. Semakin bagus warna,
kejernihan dan urat-uratnya, harga akik akan semakin
mahal.
Darma mengantarkan mereka pada seorang wanita usia
setengah baya, bertubuh gemuk, berpakaian batik, rambut
om
disanggul dan terlihat menor dengan bedak tebalnya. “Den
.c
Nganten Hartiningsih, ini Pak Hilman, dari Jakarta. Keponakan
ot
sp
Ki Gunadi Hantayudha.”
l
.b
do
168
Mas. Tetapi melihat penampilan Hartiningsih yang terlihat
ningrat, mungkin juga dia memang benar-benar seorang
Raden Nganten.
Pelan Rinanti menerima uluran telapak tangan
Hartiningsih. Mereka berjabat erat. Namun Rinanti tahu,
sepasang mata Hartiningsih diam-diam menelisik hampir
seluruh titik di badannya. Tak luput, dari ujung kaki hingga
ujung rambut. Tatapannya seperti seorang pedagang
permata yang sedang menaksir batu-batu mulia yang akan
dibelinya. Mungkin dalam hati, dia sedang menakar-nakar,
apa sebenarnya kelebihan perempuan udik seperti Rinanti,
sehingga terpilih menjadi istri Gunadi. Tetapi, siapa sih,
om
sebenarnya Gunadi itu? Bukankah dia hanya seorang lelaki
.c
yang tak pernah sekolah dan karenanya buta huruf?
ot
sp
bahasa Hartiningsih.
“Wooo, iya, itu. Untuk jatah Ki Gunadi, setiap bulan
saya siapkan dua ratus akik dan seratus kecubung. Tetapi,
kadingaren—ndak seperti biasanya, kok jatah Ki Gunadi tak
juga diambil. Tapi tetap saya simpan di rumah, kok. Mungkin
Ki Gunadi sedang sibuk. Ternyata betul, to. Yang datang
malah sampean.”
Rinanti sengaja tak mengabari ikhwal kepergian Gunadi,
karena sang suami memang mewanti-wanti agar dia
merahasiakan kemana dia pergi, kecuali pada orang-orang
169
tertentu. Hilman adalah bagian dari mereka, jadi Rinanti
cukup tenang saat menyampaikan kegiatan spiritual yang
sedang dilakukan suaminya.
“Kalau begitu, sebaiknya sampean berdua rawuh saja ke
rumah saya. Tak jauh kok dari sini. Monggo! Biar lapak saya
ini ditunggui karyawan saya. Ris, Daris!”
“Inggih, Den Nganten!” seorang lelaki kurus berkacamata
mendekat.
“Saya mau pulang mengantar Jeng Rinanti dan Pak
Hilman. Kowe jaga di sini dulu, ya?”
“Inggih, Den Nganten….”
om
Rumah Hartiningsih tak seberapa jauh dari Pasar Kliwon.
.c
Sebuah rumah joglo yang indah. Lantainya tersusun dari
ot
sp
170
pekerja yang lain mengasah batu yang telak dipotong-potong
itu dengan amplas dan serbuk intan. Batu yang tadinya kasar,
melalui proses yang lama, lewat ketelatenan para pekerja,
berubah menjadi sangat halus dan indah.
“Jadi, proses pembuatan batu akik itu seperti apa, Bu?”
tanya Hilman, yang karena kagok dengan panggilan Den
Nganten, lebih senang menyebut Hartiningsih dengan
panggilan ‘Ibu’.
“Wah, proses yang panjang, dan butuh kesabaran. Permata
itu simbol keindahan, Mas. Karena itu, proses pembuatannya
pun membutuhkan sebuah seni tersendiri. Ketulusan
tersendiri. Keindahan batu permata itu unik, karena justru
om
dihasilkan dari alam yang tampaknya tak menjanjikan apapun
.c
selain kegersangan dan ketandusan. Tetapi, ya itulah… Gusti
ot
sp
kata Hilman.
“Wah, Pak Hilman ini belum pernah ke pantai, ya? Bisa
lho, nanti saya antarkan ke Pantai Klayar, dekat rumah kami
itu, Pak,” ujar Rinanti.
“O, iya, rumah Ki Gunadi dan Jeng Rinanti kan memang
dekat sekali dengan pantai. Kata Ki Gunadi, cuma beberapa
kilometer, begitu, ya?”
“Sekitar tiga kilometer, Den Nganten!”
171
“Nah, tuuuh kan, dekat sekali. Kalau sudah melihat
keelokan pantai-pantai di Pacitan, rasanya pantai-pantai lain
jadi berkurang keindahannya.”
Hilman tersenyum tipis.
--o=[]=o--
om
uang sebanyak itu. .c
“Mbakyu, boleh ya, saya panggil Mbakyu? Kalau Ibu
ot
sp
memanggil Dik.”
“Wah, apa saja, lah … Pak Hilman. Soal panggilan ndak
perlu diributkan.”
“Ngg … gini, Mbak Rinanti, kemarin saya mendapatkan
pesan dari Pak Prawira Kusuma, untuk membawakan
beberapa keris dan batu yang sudah diisi tuah. Ada klien Pak
Prawira Kusuma yang membutuhkan. Pak Prawira Kusuma
juga ingin menghadiahi koleganya beberapa batu yang sudah
diisi tuah.”
172
Darma yang tengah menyapu berhenti sejenak dan
menatap Hilman dengan pandangan aneh. Entah apa yang
mendadak dia pikirkan. Namun selanjutnya, seperti tak
pernah terjadi apa-apa, lelaki itu kembali meneruskan
kegiatannya.
“Bolehkah saya melihat koleksi benda-benda bertuah
itu? Sebenarnya, jujur ya, Mbak Rinanti… saya ndak terlalu
mempercayai hal-hal semacam itu. Tetapi, ini bisnis. Pure,
bisnis.” Hilman tertawa. “Para bos itu sangat percaya hal-hal
klenik semacam ini.”
“Saya… saya sendiri terus terang lebih senang jika tak
berhubungan dengan benda-benda bertuah itu. Saya takut.
om
Juga…,” Rinanti tak meneruskan ucapannya. Namun sebaris
.c
rasa nyeri terasa menikam ulu hatinya. Bukankah karena
ot
sp
173
Rinanti meraih kunci dari kotak besi yang ada di laci
mejanya. Lalu dia naik ke lantai kedua, diikuti oleh Hilman.
Sementara, dari belakang Darma menatap mereka dengan
pandangan aneh. Seperti cemas. Atau was-was.
Seperti yang diucapkannya, Hilman hanya mengambil
dua buah keris dan tiga batu akik bertuah. Darma tampak
lega melihatnya, dan bahkan dengan senang hati membantu
Hilman membungkus benda-benda itu dan memasukkan ke
tasnya.
Jam empat sore, Hilman berpamitan. Dia ingin
melanjutkan perjalanan ke Pacitan dan berencana menginap
di sana.
--o=[]=o-- om
.c
ot
sp
174
benda yang seperti tengah dilemparkan dengan kuat. Suara
bergedebuk berbaur dengan denting beling terbanting. Seperti
linglung, Rinanti bangkit dari dipannya, duduk sesaat dan
mencoba menajamkan pandangan. Suara ribut itu terulang
lagi. Seperti orang linglung, Rinanti berjalan pelan menuju
pintu, dan mendorong daun pintu kayu jati itu perlahan dan
sebuah pekikan lirih terlontar dari mulutnya.
Sesosok tubuh berdiri dengan wajah murka di depan
pintu ruangan yang terbuka. Pintu ruang pusaka dan batu
bertuah. Barang-barang berserak, porak-poranda. Lemari
yang terguling, etalase yang pecah, piring-gelas yang telah
remuk, kursi yang patah, gorden yang sobek, dan … tangan
om
penuh darah. Tangan lelaki itu. .c
“Mas… Mas Gunadi?”
ot
sp
175
pu
sta
ka-
in
do
.b
176
log
sp
ot
.c
om
16
Polje
177
“Apa hubungannya sama sangobion, Pak?” Nania garuk-
garuk kepala. Itu bahasa tubuh dari Nania yang menunjukkan
dia sudah sampai pada derajat kepenatan akut dan tak ada
yang bisa menyembuhkan kecuali tidur. “Satu familia, ya?”
“Aduuuh, you ini gimana sih? Kalau you mahasiswa saya,
sudah saya kasih nilai D. Troglobion itu jenis hewan yang
hidupnya seratus persen di goa. Karena mereka selamanya di
gua, mereka pun mengalami proses adaptasi. Hewan-hewan
di sana buta, tetapi punya indra peraba yang sangat kuat. Daur
hidup mereka berlangsung sangat lamban. So, troglobion
itu banyak yang umurnya panjang. Ikan-ikan troglobion
misalnya, ada lho yang umurnya sampai 60 tahun.”
om
“Wah, malah bisa jadi indikator pernikahan abadi, tuh,
.c
Pak!” celetuk Azhar. “Kalau seorang suami istri masih tetap
ot
sp
tangga.”
in
a-
178
“Haiyah, kagak mau keluar modal, Eluuu!” Nania
mencibir ke Jaka.
Aku tahu, mereka sebenarnya sudah memprotes ceramah
panjang si P.Hd. Tetapi Pak Deddy benar-benar keterlaluan.
Dia tetap saja bicara panjang lebar tentang bentang alam karst.
Payahnya, dari apa yang dia paparkan itu, sebagian besar aku
sudah tahu. Bahkan mungkin hapal di luar kepala.
“Di Pegunungan Sewu ini, ada tipe karst yang unik, yaitu
berbentuk pipa huruf U. Nah, karst itu kan berasal dari darat,
lalu masuk ke laut. Letak keunikannya, karena dari ujung
pipa itu keluar air tawar, padahal ujung pipa itu berada di
tengah laut yang berair asin. Di antara air asin, mendadak
menyembur air tawar. Unik, kan?” om
.c
ot
179
atau sungai bawah tanah, dan sebagainya. Yang jelas, ciri
kas dari karst adalah permukaan yang sangat kering, namun
ternyata terdapat kandungan air yang melimpah di dalam
perut bumi. So, penyedotan air tanah untuk mendapatkan
suplai air, sebenarnya merupakan sebuah rencana yang
bagus, tetapi tentu saja dengan tetap menjaga keseimbangan
lingkungan.”
Aku menguap panjang, yang dengan cepat kututup
dengan tanganku. Diam-diam aku nyengir ketika melihat
Nania, Jaka dan Azhar ternyata telah terlelap di kursi masing-
masing. Anton sendiri dengan cuek menggelar matras di sudut
ruangan dan tertidur pulas. Aku memutuskan untuk pamit
om
undur diri secara baik-baik, dan beranjak ke ruang khusus
.c
perempuan sambil menyeret Nania yang menggelendot
ot
sp
manja di pundakku.
og
--o=[]=o--
l
.b
do
in
180
Hilangkan segala bentuk keegoisan, keinginan menang
sendiri, dan ketamakan. Alam telah mengajari kita untuk
melakukan sesuatu sesuai proporsinya.”
Lalu Anton menyuruh Azhar memimpin doa. Dan saat
membacakan doa itu, aku baru percaya bahwa si Bunga
Ilalang ini memang benar-benar alumni pesantren. Doanya
panjang, bahasa arabnya fasih, bahkan aku yang rajin
mengikuti pengajian di masjid kampus pun tampaknya kalah
fasih.
Setelah semua ritual pagi selesai, para lelaki menge-
check and recheck kembali peralatan dan perbekalan tim.
Aku bersyukur, memiliki tim ekspedisi yang sangat detil dan
om
berpengalaman. Menceburkan diri di perut bumi selama
.c
berhari-hari tentu tak bisa dilakukan serampangan. Harus
ot
sp
181
“Semua sudah siap?!” seru Anton.
“Siap!”
Willy dan Dadan memandu kami hingga ke entrance
alias mulut Luweng Jaran. Kostum kami sudah melekat.
Cover all warna merah ngejreng, sepatu boot hingga lutut,
sarung tangan, helm, headlamp, dan cave pack yang tahan
air dan sebagainya. Perbekalan seperti makanan, minuman,
baterai cadangan, senter, lampu karbit dan peralatan lain
sudah kami kemas dengan rapi. Kami pun siap turun ke pitch
pertama dan kedua Luweng Jaran. Sebelum itu, tentu aku
berfoto-foto dulu. Dan saat aku mengirim fotoku ke Anita,
dengan cepat gadis itu berkomentar: kamu mirip petugas
pemadam kebakaran. om
.c
ot
182
Anton saja yang merasa enggan berdekatan dengan dosen
ceriwis itu. Giliran ketiga, Azhar. Dia pun melakukan rigging
dengan santai.
Kemudian giliranku!
Satu sit harness sudah terpasang di paha dan pinggangku,
terhubung dengan tali yang sangat kuat. Peralatan lain juga
sudah melekat. Semua sudah siap, tinggal keberanianku
untuk memulai. Aku memejamkan mata sejenak, berdoa
dengan khusyuk. Mengulang-ulang doa yang sejak dari base
camp sudah aku baca. Akhirnya kakiku mencoba menapaki
dinding, menuruni dinding gua yang vertikal. Tak terlalu lurus
sebenarnya, namun agak miring. Ada rekahan-rekahan batu
om
yang bisa digunakan sebagai pijakan. Pelan aku melakukan
.c
rigging. Awalnya lututku terasa bergetar, dan keringat dingin
ot
sp
183
Kembali kuhela napas panjang. Kukumpulkan seluruh
keberanian dan kekuatan. Kulirik dasar pitch kedua. Tampak
sangat dalam. Dan gelap. Sekilas aku melihat di tengah
kegelapan itu benda-benda berwarna putih, yang pastinya
adalah ornamen dari gua, seperti stalaktit dan stalakmit.
Bismillahirrahmanirrahiim. Aku pun kembali melakukan
descending menuruni mulut gua menuju pitch kedua. Saat
itulah aku mendadak merasa tengah menuruni sebuah
lubang tanpa dasar. Aku seperti terbang. Aroma dasar
bumi memasuki rongga hidungku. Dan sesaat kemudian,
kurasakan kakiku menapak pada sebuah pelataran yang luas.
Aku terkesima. Begitu masuk, sebuah chamber yang indah—
om
ruangan luas dalam gua, menyambutku. .c
Nanar aku menyaksikan semua itu. Rasa tak percaya
ot
sp
184
berupa bongkahan-bongkahan batu nyaris sebesar tronton,
yang tersusun dengan lekak-lekuk nan unik.
Aku jatuh berlutut. Rasa tegang dan lelah akibat menuruni
dinding puluhan meter panjangnya luruh seketika. Mendadak
aku teringat pada latihan-latihan dengan instruktur wall
climbing yang supergalak itu: Anton. Terimakasih, Anton!
“Kamu bisaaa, Faaa!” Nania menghambur, memelukku.
“Aku tahu, kamu bisa. Selamat datang di dunia yang sunyi-
senyap, gelap abadi.”
“Acintyacunyata….” bisikku.
Kulihat Anton menatapku. Senyumnya terlihat menghias.
Sebenarnya masih terlalu tipis untuk disebut sebagai senyum.
om
Tetapi untuk wajah selalu terlihat dingin dan cuek, setipis
.c
ot
tarik.[]
l
.b
do
in
ka-
ta
s
pu
185
pu
sta
ka-
in
do
.b
186
log
sp
ot
.c
om
17
Quartz
peduli.
l
.b
dari itu.
s
pu
187
luweng dengan tali, tanpa peralatan apapun. Suatu hal yang
sudah sangat sering dia lakukan, dan karenanya dia menjadi
sangat terampil. Dia pun berjalan kaki sejauh sekitar lima
kilometer dari luweng tanpa nama—yang mungkin hanya dia
yang tahu, karena mulut luweng itu memang tertutup semak
belukar, menuju toko pusakanya.
Dan, dengan jelas dia melihat, koleksi pribadinya yang
sangat mahal telah dicuri. Satu keris peninggalan Raden
Wijaya yang berumur hampir lima ratus tahun, satu tombak
milik Adityawarman, beberapa keris dari senapati Majapahit
dan Mataram, serta puluhan batu mulia yang dia kumpulkan
susah payah. Salah satu dari batu mulia itu adalah intan
om
sebesar telur bebek yang pernah dia temukan di sebuah
.c
gua.
ot
sp
188
Sampai di mulut luweng tempat dia biasa keluar-masuk
untuk bersemadi, Gunadi meraih gulungan tali yang dia
sembunyikan di balik sebuah batu besar. Ujung tali itu
dia ikat pada bagian bawah batang kayu raksasa. Sambil
meluncur turun, Gunadi menangis menggerung-gerung. Air
matanya menetes bercampur bersama darah.
--o=[]=o--
om
“A-apa yang terjadi, Darma?” tanyanya, serak.
.c
“Sesuatu yang sangat dahsyat.”
ot
sp
“Apakah itu?”
og
l
189
“Ditipu? Tak mungkin. Dia….”
Darma meraih sebuah telepon genggam, memencet
sebuah nomor, lalu menyerahkan kepada Rinanti. “Silakan
berbicara pada Pak Prawira Kusuma. Tanyakan, apakah betul
lelaki bernama Hilman itu adalah keponakannya.”
Gagap Rinanti meraih telepon itu. Seumur hidup, baru
kali ini dia memegang sebuah benda bernama telepon
genggam. “Ss-saya Rinanti, Pak. Istri … Mas Gun-nadi.”
“O, ya? Ada apa, Bu Rinanti? Tumben menelepon?”
Rinanti diam, bibirnya bergetar.
“Tanyakan tentang Hilman,” bisik Darma.
om
“A-anu, Pak. Apakah betul, ada … ada pegawai, eh,
.c
keponakan Bapak bernama … Hil-Hilman?”
ot
sp
“Apa? Hilman?”
og
l
Bapak.”
k
ta
190
telah membuat mataku hampir-hampir buta. Bukan karena
tak bisa melihat, tetapi karena aku hampir tak pernah melihat
setitik pun cahaya.
Tetapi Sang Pencipta memberikan aku kemampuan
mendengar yang luar biasa. Aku mampu mengetahui
posisi, kekerasan, gerak, dan juga jenis-jenis benda hanya
dari bunyi yang dipantulkan benda-benda itu. Terkadang,
aku juga mengeluarkan bunyi dari mulutku. Bunyi itu akan
menguar, menyebar, memenuhi setiap ruang hawa. Aku bisa
tahu bahwa di depanku ada batu, kayu, air, bahkan makanan
hanya dari gema yang di timbulkannya.
Kemampuan itulah yang membuat aku mampu bergerak
om
lincah tanpa menabrak apapun, meski aku berada di
.c
kegelapan yang abadi. Bahkan, dari pendengaran yang
ot
sp
sangat tajam itu pula aku tahu, jika suatu saat ada makhluk
og
lain mendatangi tempat ini. Seperti saat ini. Aku tahu, kau
l
.b
do
191
Apa yang terjadi denganmu, Gunadi Hantayudha? Ya,
namamu Gunadi, bukan? Aku pernah mendengar engkau
berbincang-bincang dengan sosok yang tak pernah bisa
memantulkan bunyi apapun. Entah sosok itu memang tak
berujud, atau sebenarnya kau sedang berbincang-bincang
dengan dirimu sendiri.
“Aku sekarang orang biasa, dengar itu wahai Semesta! Aku
orang biasa!” mendadak aku mendengar suara itu meluncur
dari mulutmu. Kau mulai lagi, menceracau, berbicara dengan
diri sendiri seperti biasa.
“Aku ingin bercerita kepadamu, Semesta. Bercerita
tentang seorang Raden Gunadi Hantayudha yang ketika
om
masih kecil tumbuh sebagai seorang anak yang sehat dan
.c
ceria. Geraknya gesit, hampir tak pernah sakit. Sehari-
ot
sp
192
lima tahun. Seorang lelaki digdaya bernama Ki Pranajaya
mendatanginya. Kau tahu siapa beliau? Ya, beliau adalah
sosok yang sangat dihormati sekaligus ditakuti oleh sekalian
manusia di seantero Pegunungan Sewu. Dari Wonosari,
Wonogiri, Pacitan hingga Trenggalek.”
Kembali kuempuskan sebuah suara lirih, memastikan
kembali, siapa sebenarnya yang tengah kau ajak bercakap-
cakap. Dan sekali lagi, aku merasakan sesuatu yang kosong.
Tak benda apa-apa yang memantulkan bunyi itu selain
tubuhmu, batu-batu dan air.
“Jika Ki Pranajaya tak tertarik melihat sosok itu, tak merasa
bahwa sosok bocah itu memiliki sesuatu, tentu si bocah akan
om
tetap tumbuh menjadi manusia biasa. Tetapi kehidupan
.c
berbicara lain. Ki Pranajaya tahu ada sesuatu terpancar dari
ot
sp
193
manusia lainnya? Aku tak bisa membaca, tak bisa menulis.
Tanpa kedigdayaan itu, aku akan menjadi manusia tiada
guna. Daripada kau ambil semua ini, mengapa kau tak cabut
saja nyawakuuuu!!!”
Kau membentur-benturkan kepalamu ke bebatuan gua.
Suaramu melengking, menyeramkan. Tampaknya, kau
memang sedang dalam keadaan sangat gundah. Dan aku
selalu merasa ngeri dengan segala getar yang perih. Baiklah,
biarkan keheningan dan kegelapan abadi menemanimu.
Aku akan pergi. Sebentar saja. Nanti aku akan melihatmu
kembali. Semoga kau baik-baik saja.
Sambil terbang menjauh, aku mulai mengingat, kapan
om
pertama kali aku bertemu denganmu. Oh, ternyata sudah
.c
cukup lama. Ketika aku mulai diizinkan bepergian sendiri oleh
ot
sp
194
Tetapi aku tahu, benda-benda itu tak bisa berbicara seperti
dirimu dan manusia lainnya.[]
om
.c
ot
sp
og
l
.b
do
in
a-
k
sta
pu
195
pu
sta
ka-
in
do
.b
196
log
sp
ot
.c
om
18
Ruby
197
sebagaimana hasil ukiran para ahli kriya kenamaan dunia.
Sorotan lampu dari headlamp yang kami pakai, kian
memeriahkan pesta, karena menghasilkan spektrum cahaya
yang berwarna-warni.
Dan kami, dengan cover all dan sepatu boot, serta helmet
dan cavebag, seperti para pelayan yang sangat kumal dan
dekil di hadapan mereka.
“Hai, sadar… sadar, Non!” Nania menepuk pundakku.
“Jadi, aku memang nggak sedang bermimpi, ya, Nan?”
kuseka air mata yang menggenangi pelupuk mataku. Aku
selalu mudah terharu jika melihat sesuatu yang indah. Ketika
mendengar alunan musik yang merdu, mendengar orang
om
membaca puisi dengan penuh penghayatan, atau melihat
.c
ot
tanya Nania.
“Aku… aku seperti seorang pelayan dekil yang baru
pertama kali bertugas di sebuah istana yang terbuat dari batu
pualam,” ujarku, jujur.
Jaka tertawa melihat ketakjubanku. “Aku juga begitu
dulu, saat pertama kali ke gua ini. Luweng Jaran ini konon
merupakan gua terindah se-Asia Tenggara. Padahal, kata
Anton ini belum seberapa. Semakin kita masuk ke dalam,
kita akan semakin terkagum-kagum.”
198
“Sini, Fa, duduk di sini!” Nania menarik tanganku,
mengajakku ke sebuah kolom yang menampung air
perkolasi, alias air yang merembes di bebatuan gua. Di dekat
kolom, ada sebuah flowstone dengan tetesan air yang terus
menerus. Oh, benar-benar sebuah bentangan taman batu
yang basah, indah, tiada duanya. Aku mengambil kamera
dan menjepret batu alir serta kolom itu, juga semua objek
yang ada. Blitz terus bersinar, karena seperti orang kalap,
aku seakan-akan ingin memasukkan semua yang kudapati ke
dalam memoriku.
Setelah semua tim berkumpul, Anton mulai mengambil
kendali. Di chamber itu terdapat beberapa lorong yang harus
om
kami pilih. sesuai rencana, hari ini kami akan menyusuri
.c
lorong tengah. Sebelum masuk, Anton menempelkan kertas
ot
sp
membingungkan.
Luweng Jaran ini dikenal sebagai gua labirin, saking
banyak lorong yang dimiliki. Lorongnya tak hanya kanan
kiri, tetapi juga membentuk tingkat-tingkat. Lorong itu
sendiri bercabang-cabang membentuk lorong-lorong baru.
Potensi tersesat sangat tinggi. Sesaat, otak fiksiku yang terlalu
banyak melahap novel thriller berputar-putar. Kubayangkan
ada sekawanan pembunuh yang menginginkan kematian
kami, mencopoti kertas-kertas fosfor itu, lalu kami tersesat
dan terjebak dalam labirin sampai kehabisan bekal dan….
199
Kuputuskan untuk sebisa mungkin mengusir bayangan-
bayangan buruk itu. Khawatir justru yang menjadi musuh
dari ekspedisi ini adalah ketakutan-ketakutan yang aku
bangun sendiri tanpa sengaja. Anton seorang caver tangguh
dan berpengalaman. Dia telah menggenggam peta gua, dan
dia sendiri telah beberapa kali melakukan caving di Luweng
Jaran. Menurut pengakuannya, Pak Deddy juga sudah
beberapa kali menyusuri gua ini. Jadi, tak perlu takut!
Aku pun segera menyibukkan diri menikmati keindahan
yang terpajang sempurna di kanan kiri, atas, bawah …
sebuah kedamaian menyelusup bersama aroma perut bumi
yang khas. Sunyi, sepi. Betapa kontras dengan kebisingan
om
yang terjadi di sana … di permukaan bumi..c
“Lekukan, lorong-lorong, celah-celah pada perut bumi,
ot
sp
aktivitas air hujan,” jelas Pak Deddy tanpa diminta. Sejak tadi,
a-
k
om
dan sebagainya. .c
“Wah, mempersiapkan ekspresi takjub, nih!” ujar Nania.
ot
sp
201
koruptor itu dibangun di sini, tanpa disertai cahaya, sehingga
mereka merasakan kegelapan yang abadi.
“Maaf, maaf, Bos! Jadi, gimana tadi, Pak Deddy, proses
pembentukan speleotem-nya?”
“Stalakmit terbentuk dari endapan kalsium karbonat
yang berada di dasar gua. Sementara stalaktit terbentuk dari
tetesan-tetesan air yang meresap di celah-celah bebatuan.
Kau tahu, Nania … untuk membentuk stalaktit sepanjang
sekitar 0,33 milimeter, pernah ada penelitian di Gua Jatijajar,
ternyata membutuhkan waktu setahun11. Coba, lihat stalaktit
itu!” Pak Deddy menunjuk stalaktit yang tepat berada di
depannya. “Berapa panjang stalaktit itu, Nania?”
“Mmm… kira-kira tiga meter, Pak.” om
.c
ot
berapa tahun?”
in
a-
202
merusak keindahan itu hanya dengan sepenggal waktu.
Seorang yang menghargai karya, tentu tak akan sampai hati
bahkan untuk memungut sebutir kerikil terselaput kalsit pun
dari gua ini.”
Mendengar kata kerikil terselaput kalsit, mendadak aku
teringat pada salah satu ornamen gua karst yang disebut
sebagai cavepearls. Dari berbagai jurnal dan posting blog
para caver yang pernah menyusuri gua ini, disebutkan
bahwa di Luweng Jaran terdapat cavepearls. Namun hingga
merasuk ke dalam tubuh gua, kami tak mendapati sebutir
pun mutiara-mutiara gua. Aku yakin, tangan-tangan jahil
manusia telah mengambilnya.
om
Kami semua terdiam. Pikiran kami seperti tengah
.c
mengembara pada sebuah pergumulan rasa yang tak bisa
ot
sp
203
dapatkan di gua. Pinset kami keluarkan untuk menangkap
hewan jenis athropoda ukuran sedang, sedangkan kuas
athropoda ukuran kecil. Masing-masing athropoda yang
tertangkap, kami masukkan ke dalam botol-botol kecil yang
sudah diberi alkohol dan label. Sayang, karena mungkin
kami masih di zona remang-remang, dari sekilas fauna yang
kami dapatkan, belum ada fauna khas gua yang teradaptasi
sempurna, alias spesies-spesies troglobyte.
Aku dan Nania fokus pada pengambilan sampel fauna
akuatik, sementara Jaka dan Azhar sibuk dengan sampel fauna
terrestrial. Pak Deddy dan Tomi menekuni objek penelitian
mereka sendiri, yakni batu-batuan, sesuai bidang mereka.
om
Anton sendiri justru mondar-mandir dengan wajah kesal.
.c
Dia masih ngotot bahwa yang kami lalukan di sini masih
ot
sp
pun dari apa yang ada di gua. Namun aku membalas ke-
ngototan itu dengan kengototan yang lebih kuat. Perjalanan
ke gua ini sangat sulit, sehingga harus manfaatkan sebaik
mungkin. Aku perlu mengambil beberapa sampel secara
acak untuk diteliti di laboratorium. Dari data itu, aku akan
bisa menentukan fokus-fokus apa yang akan jadi objek pe-
nelitian, termasuk menyebarkan tema-tema yang lebih spe-
sifik ke anggota timku.
“Penelitian ekologi itu ruang lingkupnya luas, Ton!”
debatku. “Harus ada perbandingan ruang atau waktu. Kalau
204
Luweng Jaran yang kita jadikan objek, berarti perbandingan-
nya waktu. Harus beberapa kali kita terjun ke sini, padahal
untuk sekali melakukan caving, kita membutuhkan persiapan
yang rumit. Karena itu, meski ini hanya survey, mengapa
tidak kita manfaatkan sekaligus untuk sampling?”
Karena kalah suara, dia pun tak bisa berbuat apa-apa.
Sesekali dia mendekati Azhar dan Jaka, dan tampak sekali
bahwa dia bosan. Lalu dia melirik-lirik ke arahku dan Nania,
dan juga cepat bosan. Akhirnya di justru sibuk menjejali
memori kameranya dengan gambar-gambar eksotis yang dia
dapatkan dari berbagai angle yang menarik.
Kami bekerja dengan tenang dan tekun. Tak ada yang
om
bersuara. Penerangan lampu karbit dan headlamp, ditambah
.c
senter untuk memperjelas, membuat proses inventarisasi
ot
sp
205
tenang malam ini, agar besok bisa turun kembali ke gua
untuk menyusuri lorong-lorong yang lain.[]
om
.c
ot
sp
og
l
.b
do
in
a-
k
sta
pu
206
19
Stalaktit
karena lorong yang akan kami susuri kali ini adalah lorong
l
.b
penuh. Hari ini kita akan masuk ke lorong air. Lebih berbahaya
s
pu
207
bagian lorong dipenuhi air. Namun dari bagian atas, dekorasi
kas gua karst masih memperlihatkan keelokannya. Masih
kulihat helektit dan soda straw yang mempesona, yang
semakin berkilau tatkala terkena sinar dari lampu di kepala
kami.
Aku berpikir, apakah para arsitek yang menciptakan
istana-istana semacam Versailess, Buckingham Palace atau
Istana Oranje itu terilhami dari gua-gua karst yang mereka
datangi? Termasuk juga saat mereka mencoba memasang
lampu-lampu Kristal di atas langit-langit istana? Di mataku,
kedua jenis dekorasi itu hampir mirip. Hanya saja, di gua
ini, dekorasi itu terpampang dalam simetri yang tak tentu.
om
Berlekak-lekuk bentuk yang tak seragam, namun justru di
.c
situlah daya tariknya. Lekak-lekuk alamiah itu sendiri adalah
ot
sp
ini. Jika hujan deras dan terjadi banjir, maka gua juga akan
banjir. Sudah banyak yang terjebak banjir di sini. Bahaya
yang paling harus diwaspadai untuk seorang caver pada gua
tipe swallow hole adalah banjir.”
Rasa ngeri seperti serangkum hawa yang semula hanya
memberikan efek pada indra peraba. Lama-lama hawa itu
mencair, lalu memadat, dan menggodam rasa tenangku.
Aku mendadak merasa tegang dan takut. Kuperas memoriku
untuk mengingat bagaimana rupa langit tadi pagi, saat kami
meluncur masuk ke gua ini. Ah, ya… biru cerah. Sangat
208
jelas tercetak di ingatanku. Cerah tanpa sepotong pun awan.
Ini bulan Agustus, musim kemarau. Tetapi, siapa yang bisa
memastikan tiadanya hujan turun di musim yang jelas-
jela kemarau saat ini? Global warming telah memporak-
porandakan tatanan cuaca. Beberapa saat yang lalu, malah
hampir satu tahun dunia seakan tak mengalami kemarau.
Saat melangkah perlahan, kuambil segenggam bebatuan
kerikil yang tersangkut di dinding gua yang berlekuk. Kerikil
itu berwarna kelabu hingga kehitaman, dan berbalut lumpur.
Jelas, ini menandakan bahwa aliran air di lorong ini adalah
jenis vadosa, atau air yang mengalir dari permukaan dan
menghilang ke gua ini. Air yang asli berasal dari rembesan
om
celah gua, yang biasa disebut air perkolasi, biasanya
.c
ditampung di lekukan yang membentuk kolam dengan
ot
sp
209
Hampir satu jam kami melewati aliran sungai bawah tanah
itu, sampai akhirnya kami menemukan batu-batu besar yang
menyembul di aliran air. Nania meloncat naik ke atas batu.
Mendadak dia berteriak keras.
“Aaaaaa… gue tegaaaaang, tahu nggak, siiiih?” Lalu dia
merebahkan badannya di atas batu.
“Sungguh tegangnya, tegangnya, tegangnya, tegangnya…”
Azhar menyusul meloncat ke batu sembari mempelesetkan
sebuah lagu dangdut.
“Aku juga tegang,” desahku. Tak meloncat ke atas batu,
aku hanya menelungkupkan kepalaku di sana. Kubiarkan
separuh tubuhku tetap tercelup air.
om
“Pulangkan saja, aku pada ibumu, atau ayahmu!” suara
.c
ot
210
Thoyib?” aku tak tahan untuk tak terkikik. Duet Azhar dan
Nania berhasil membuat ketegangan kami menurun.
“Ssst, kalian lihat nggak, kelelawar itu sejak tadi mengikuti
kita,” mendadak Jaka menunjuk ke sebuah makhluk kecil
berwarna hitam yang mengepak di atas kami. Terkena
sorotan headlamp, makhluk itu terbang dan menyelinap ke
balik stalaktit. Bersembunyi.
“Itu objek sampling-mu, Jak!” ujar Nania.
“Maksudmu, aku kau minta menangkap makhluk itu?”
“Jangan pernah mengambil apapun, kecuali gambar!”
bentak Anton tiba-tiba. “Kita hanya sedang survey! Ingat!
Kemarin, saat mengambil fauna-fauna kecil, aku masih
om
mentolerir, tetapi jika kelelawar yang kalian tangkap, sungguh
.c
ot
211
Ada yang berkilat di sepasang mata Anton. Tampaknya,
lelaki itu sangat berminat untuk menyusuri temuan baru itu.
Begitulah, naluri petualang seorang caver sejati mungkin
telah bercampur dengan aliran darahnya. Bagi para caver,
menyelusuri lorong-lorong baru adalah sebuah tantangan
yang menggairahkan. Mendadak aku teringat pada catatan
Norman Edwin, seorang caver senior. “Adalah suatu
kepuasan bagi seorang penelusur gua, bila lampu yang
dibawanya merupakan sinar pertama yang mengungkapkan
sebuah pemandangan yang menakjubkan di bawah tanah.”
Diiringi oleh tatapan rekan satu timnya, Anton meloncat
ke atas batu, dan pelan-pelan memanjat dinding yang
om
memang terdiri dari retakan-retakan membentuk semacam
.c
gourdam vertikal. Diam-diam aku terkagum-kagum melihat
ot
sp
dia tempuh tak sampai tiga meter. Tetapi bagiku itu sudah
in
lumayan menantang.
a-
k
212
seperti Anton. Namun lelaki itu dengan cepat menggerakkan
telapak tangannya. “No!” bentaknya. “Jangan memanjat
seperti itu, sangat berbahaya. Sebentar!”
Lincah Anton mengeluarkan tali temali dari dry-pack-
nya. Lalu dia mengalungkan tali pada sebuah pangkal sebuah
stalakmit yang terlihat sangat kokoh, dan membuat simpul
bowline. Ternyata dia sedang membuat sebuah sistem anchor
sederhana. Usai semua siap, dia pun melempar ujung tali
kepadaku. “Pegang tali itu saat naik!”
“Baik!”
Pelan aku merayap ke atas. Kakiku bergeser sedikit
demi sedikit, dengan pijakan tonjolan bebatuan gua. Saat
om
memasuki celah, aku harus merayap kira-kira tiga meter.
.c
ot
peneliti.
l
.b
213
fauna yang tak mungkin kuambil. Memotret spesies-spesis
itu dengan kamera murahan yang sengaja kubawa untuk
menggantikan DLSR-ku yang kutinggal di basecamp karena
takut terjatuh dalam air. Terus. Kubiarkan Anton berjalan di
belakangku meski terus saja mengomel dan menyuruhku
kembali.
Aku melangkah, dan melangkah. Tak peduli dengan
labirin yang kian membingungkan. Dari lorong, berbelok
ke lorong lain, lorong lain. Untungnya, Anton yang sangat
berpengalaman tak pernah lupa menempelkan kertas
fosfor di setiap percabangan. Juga lightstick khusus untuk
percabangan yang crowded. Aku tak pernah khawatir selama
om
ada Anton Yosef Maringka. .c
Namun, ketika aku sudah sampai pada sebuah kolam
ot
sp
berseru!
l
.b
do
Aku menoleh.
k
ta
s
214
tertabrak benda-benda gua, aku berharap akan menemukan
sesuatu yang bisa kusantap hari ini. Perut yang kenyang
membuat aku tak perlu terbang jauh hingga keluar gua. Aku
bisa tidur dengan nyenyak tanpa diganggu rasa lapar.
Aku tersentak, ketika suara lirih yang kuembuskan, suara
yang tak mungkin didengar oleh makhluk selain bangsaku,
mendadak memantul pada benda-benda yang tak lazim
kutemui. Awalnya, seperti biasa, suara itu memantul di
dinding gua, lalu bergerak menabrak percabangan, berbelok,
menimpa sebuah batu besar, menyusup ke sebuah celah,
berbelok lagi, lagi dan lagi. Akan tetapi, ketika melewati
sebuah percabangan, ada sebuah pantulan yang berbeda.
om
Ada benda seperti menyerupai manusia. Tak hanya satu.
.c
Mungkin dua. Ya, dua. Pantulan bunyinya mirip dengan yang
ot
sp
Ada dua manusia di jarak yang tak terlalu jauh dariku. Ini
l
.b
do
215
“Mari kembali ke lorong air!” ujar seseorang dari mereka,
yang bertubuh tinggi, serta rambut yang pasti panjang, karena
ujung-ujungnya keluar dari penutup bulat yang mereka
kenakan di kepala. “Ini percabangan yang tak terlalu penting.
Dan aku sama sekali tak tahu, akan mengarah kemana lorong
ini.”
“Siapa bilang, Ton,” jawab seorang yang bertubuh lebih
mungil. “Justru di lorong ini, kita menemukan spesies-spesies
yang menakjubkan.”
“Kau cukup mencatat hal ini sebagai sebuah temuan.
Tak harus kemudian mempelototi satu persatu. Gua ini
sangat panjang. Kau akan mendapatkan banyak kejutan-
om
kejutan di lorong lain. Ingat, kita baru survey, mestinya
.c
kita tak usah terlalu detil mengambil sampel-sampel fauna
ot
sp
yang ada. Meski aku cuma mahasiswa bodoh, aku juga tahu
og
pun, tak akan mampu misteri gua ini kau pecahkan dan
og
l
217
“Bahkan dalam keadaan seperti ini, kau masih memikirkan
perutmu sendiri!”
Meski terdengar tak suka, si ‘Ton’ itu tetap membiarkan
si mungil membuka sesuatu yang ada di pundaknya,
mengeluarkan beberapa benda—seperti makanan, dan
menyantapnya.
Suasana kembali hening.
Pada saat itulah aku merasakan sebuah getaran memasuki
pendengaranku. Ada gaung gemaung lirih yang terpantul dari
batu ke batu, dan kini suara itu berhasil kutangkap. Suara
yang juga sangat kukenali.
Kamukah itu? Apa yang kamu kerjakan?
om
.c
Kau, apa yang hendak kau lakukan? Lewat sinar lampu dari
ot
sp
terpana.
sta
pu
219
bertahan, pelan-pelan kami akan menjadi manusia gua yang
mereduksi kemampuan penglihatannya, berkembang indra
perabanya, dan mengalami depigmentasi seperti kepiting-
kepiting dari genus Karstama tadi.
“Jadi … apa yang akan kita lakukan?”
“Tentu tidak dengan mempelototi kepiting-kepiting sialan
itu, yang membuat kamu lupa daratan dan meninggalkan
teman-teman begitu lama. Tololnya, mengapa aku begitu
bego dengan memposisikan diri sebagai pengawalmu!”
semprot Anton. Kulihat dia panik. Dan kepanikan itu
membuat dia kehilangan kontrol diri.
Kutahan emosiku, agar tak terpancing. Kuhela napas,
mencoba bersikap tenang. om
.c
ot
memadai.
k
sta
220
“Fa, mari berpikir! Apa yang kita lakukan, bukan
sesuatu yang wajar. Dan dalam keadaan seperti itu, kita tak
boleh berpikir hanya sekadar hubungan sebab akibat yang
ditimbulkan karena ulah kita semata,” bisik Anton, sembari
duduk di atas bongkahan batu berwarna putih.
Saat ini kami berada di sebuah chamber kecil yang tak
tergenang air, meski tak bisa juga disebut kering karena
beberapa flowstone terus meneteskan air, dan kolam-kolam
yang terbentuk dari ceruk, mengakumulasi air perkolasi dari
tetesan-tetesan itu. Beberapa spesies Karstama yang tadi
sempat membuatku kalap, tak lagi terlihat menarik dalam
kondisi seperti ini. Aku mengikuti langkah Anton, memilih
om
sebuah batu yang terletak tak seberapa jauh dari posisi lelaki
.c
itu.
ot
sp
mengerjai kita?”
l
.b
do
221
“Trogloxene berspesies Homo sapiens13 sangat mungkin!”
sembur Anton yang memang terlihat kesal mendengar
guyonanku yang segera kuakui, benar-benar tidak pada
tempatnya.
“Tetapi, bukankah katamu tadi, hanya ada kita bertujuh
di gua ini? Bukankah untuk bisa memasuki gua ini, harus
ada izin ke pemerintah kabupaten? Dan semua aktivitas kita,
dipantau dai basecamp?”
“Kau tahu, gua ini sangat luas, panjang, dan misterius.
Belum semua lorong terjelajahi. Dari ekspedisi terakhir,
tahun 2002, konon gua ini terhubung pada sebuah luweng
di kota Punung. Tetapi, bisa jadi percabangan gua ini yang
om
sangat rumit, juga menghubungkan gua dengan luweng atau
.c
ot
celah lain.”
sp
lain di gua ini, yang masuk lewat tempat selain yang kita
lewati kemarin?”
Anton mengangguk. “Sangat mungkin. Gua ini sangat
panjang dan luas. Bisa jadi ada entrance lain baik vertikal
maupun horizontal.”
“Dan, orang itu mungkin memiliki niat jahat?”
“Jika tidak punya niat jahat, untuk apa dia mencabuti
tanda-tanda itu?”
222
“Tapi, apa motivasinya?” aku mengerutkan kening. Alur
dari berbagai kisah fiksi yang pernah kubaca, berkelindan di
pikiranku. “Atau, misalnya begini, ada perampok yang diam-
diam menyimpan emas berlian di salah satu ruang gua ini,
dan dia takut simpanan hartanya itu terlihat oleh kita?”
Anton tertawa sumir. “Imajinasimu boleh juga. Tetapi, ya
bisa jadi semacam itulah….”
“Ton, coba diingat-ingat, jangan-jangan, untuk
percabangan yang ini, kau lupa tak menempelkan kertas fosfor
atau meletakkan lightstick?” aku mencoba mengenyahkan
hipotesis tentang perampok yang menyimpan harta curian di
gua ini jauh-jauh.
om
Tetapi Anton menggeleng, dan gelengannya mantap. “Kau
.c
ot
“Ton, bisa jadi ada orang yang menjahili kita itu mungkin
k
ta
benar. Tetapi, kita tak mungkin terus duduk di sini dan tidak
s
pu
223
“Kau yakin?” Anton terlihat sanksi.
“Ya!”
“Baik, kita coba.” Anton tampak sedikit bersemangat.
Namun sebelum melangkah, dia sempat mengambil sebuah
notes, menyobek satu kertas, dan meninggalkannya dalam
sebuah batu besar yang jika ada sinar lampu menyorot, pasti
akan terlihat dengan jelas. Pada sobekan itu, dia tulis huruf:
Help us! Anton & Fahira. Lalu dia tindih kertas itu dengan
batu kecil.
Diam-diam aku berdoa, jika memang benar ada orang
jahat yang ingin mengganggu kami, semoga kertas itu luput
dari kejahilannya.
om
Kami melangkah, terus melangkah, dan memasuki labirin
.c
ot
frustasi.
Anton menghela napas panjang, dan kembali duduk
mencakung. Keringat bercucuran membasahi tubuh kami.
Tubuh kami memang dibungkus cover all yang tahan air.
Tetapi, karena baru saja menembus sungai bawah tanah
setinggi dada, sebagian air menembus pula pakaian dalam
kami. Udara di ruang ini juga sepertinya sangat minim
oksigen. Dalam keadaan seperti ini, pengalaman melakukan
lari sejauh kiloan meter secara di siang bolong, ternyata
cukup membantu.
224
Akan tetapi, tubuh yang lengket ini kian terasa tak
keruan.
“Kita benar-benar tersesat!” ujar Anton. “Berputar-putar
mencari cabang yang benar, dan kita sama sekali tak melihat
ada tanda-tanda kertas fosfor maupun light stick.”
Kini aku merasakan kegugupan yang sama. Rasa panik
seperti gelombang pantai selatan yang menggempur-gempur
batu karang di dadaku. Akan tetapi, aku mencoba untuk
tetap bersikap tenang. Ya, tenang. Keadaan panik hanya
akan membungkam logika seseorang. Jika logika terkapar,
peran otak primitif yang strukturnya mirip otak reptil akan
mengkudeta kendali tubuhku. Aku manusia. Mahasiswa.
om
Konon terkenal cerdas pula. Ratusan milyar sel otak harus
.c
dipaksa berpikir, mengupayakan segala cara agar bisa selamat
ot
sp
225
Lantas kubongkar carrier bag dan kuambil sebuah mukena.
“Ayolah, Ton! Shalat dulu. Dalam keadaan seperti ini, tak
ada yang pantas kau sandari selain Tuhan.”
Anton masih membeku.
Akhirnya aku pun shalat sendiri. Khusyuk. Dhuhur
dan asyar aku jamak qoshor. Hampir lima belas menit aku
tenggelam dalam kekusyukan, akan tetapi usai berdoa dan
melipat mukena, aku melihat Anton masih dalam posisi
seperti semula. Berdiri membelakangiku, dengan wajah
keruh.
“Maaf, sebenarnya, apa agamamu, Ton?”
Hening. Tak kudengar suara apapun selain titik-titik air
yang menetes dari rekahan batu-batu gua. om
.c
ot
sp
“Ton!”
og
226
hanyalah orang yang mampu memenej harapan dengan
baik. Pemimpin yang baik, kata Napoleon, sebenarnya pun
hanyalah seorang agent of hope. Jadi, bagaimana mungkin
harapan itu akan kita miliki jika kita tak memiliki sandaran
yang menjadi muara segala harapan?”
“Aku masih belum paham dengan penjelasanmu. Terlalu
mengawang-awang,” sinis Anton. “Bisakah diperjelas? Mak-
lum, aku kan hanya mahasiswa bego.”
“Tuhan adalah ma’bud—sesuatu yang disembah, dan
kita, manusia, adalah ‘abid—hamba. Ada tangga yang akan
menghubungkan seorang hamba dengan tuhannya. Tangga
itu bernama ibadah. Dalam agama yang aku yakini, intisari
om
dari ibadah adalah doa, yang diucapkan dalam segala hal,
.c
termasuk shalat. Dan apakah itu doa? Sebenarnya doa adalah
ot
sp
227
“Kau memang pintar bersilat lidah. Dan aku tahu,
mahasiswa-mahasiswa yang pintar beretorika seperti kamu-
lah yang dipandang di kampus kita. Tak peduli otaknya ko-
song tak ada isi. Nantinya, mahasiswa seperti kamulah yang
kemudian akan masuk ke parpol-parpol, menjadi politisi,
lalu naik pangkat jadi pejabat. Negara pun menjadi riuh ren-
dah dan bising oleh retorika,” desis Anton. “Tapi, baiklah,
aku katakan kepadamu. Aku muslim. Setiap lebaran, aku beli
baju baru, berlebaran dan memakan ketupat. Tapi aku tak
bisa shalat. Islamku cuma identitas di KTP. Keluargaku yang
kristen juga begitu. Mereka merayakan natal, memasang po-
hon natal, tetapi tak rajin ke gereja.”
om
“Menurutku, justru sikap seperti itu yang menunjukkan
.c
bahwa kau tidak yakin dengan keyakinan yang kau pilih.
ot
sp
228
Ledakan Anton membuat aku surut ke belakang. Oh,
baiklah … mungkin kata-kataku tadi ada yang salah. Apa
yang harus kulakukan agar ketegangan ini mereda?
“Kau bilang tak ada yang peduli padamu? Kau pikir tak
ada yang butuh dirimu? Tampaknya kamu salah. Aku, Ton!
Saat ini, aku butuh kamu. Butuh pertolonganmu. Kau sangat
berpengalaman soal gua. Kita tersesat, dan bersama orang
seperti kamu, aku merasa lebih aman.”
Aku terkesima sendiri begitu menyadari kata-kataku. Ya
Tuhan, bagaimana mungkin aku bisa mengeluarkan kalimat
yang sebenarnya bisa membuat harga diriku terjun bebas
seperti ini?
om
“Itu pernyataan yang logis. Tuhan tak akan turun ke gua
.c
ot
lamanya.”
.b
do
229
“Tapi … aku tak berpengalaman menghadapi manusia
yang secara sengaja membiarkan kita tersesat. Apalagi jika
manusia itu memiliki niat buruk terhadap kita.”
“Jadi, kau yakin bahwa ini benar-benar ulah manusia?”
“Astaga! Jadi kau masih menganggap bahwa yang
menghilangkan tanda-tanda itu tadi hanya sekadar burung
lawet, sriti atau kelelawar?”
Aku terdiam. Melihatku tak melayani omongannya,
Anton ikut diam. Kami tenggelam dalam lamunan masing-
masing.
Sadar bahwa lamunan tak akan menyumbang hasil
apapun, aku membuka carrier bag-ku. Mengeluarkan bekal
om
makanan. Dua potong sandwich kukeluarkan, sepotong
.c
ot
kusodorkan ke Anton.
sp
og
“Makanlah,” kataku.
l
.b
do
230
tinggi badan yang begitu menjulang dan bobot yang hampir
70 kilogram, apa iya dia mampu bertahan dengan makanan
yang sama dengan porsiku?
“Kalau terpaksa, bolehkah kita menangkap binatang-
binatang yang kita temukan di sini?” Tanyaku, sedikit
mengusik prinsipnya yang terpacang sekukuh batu karang.
Take nothing but picture, leave nothing but footprint, kill
nothing but time.
“Di gua-gua karst daerah Gombong Selatan, para
speleolog menemukan banyak fosil sejenis keong laut purba
dalam keadaan terpotong ujungnya. Menurut para speleolog,
manusia purbalah yang memotong ujungnya dan menghisap
isi keong itu sebagai makanan,” lanjutku. om
.c
ot
tak menjajal hidup gaya Rhincodon typus, hiu paus yang bisa
og
l
231
dan sebagainya. Petunjuk, di mana kau pentunjuk! Di kolam
air perkolasi, beberapa spesies langka bergerak-gerak ketika
tertimpa cahaya senterku. Tetapi saat ini, aku sudah tak lagi
memiliki ketertarikan untuk mengamati tingkah spesies itu.
“Ton, bagaimana kalau kita mencoba menyusuri lorong
yang satunya lagi.”
“Jadi, kau sudah ingat sekarang, bahwa yang membuatmu
nyaris tersandung tadi bukan stalaktit di lorong yang barusan
kita masuki?” ejek Anton.
“Aku tak punya ide,” ujarku, jujur. “Tetapi aku tak mau
diam tanpa melakukan usaha apapun. Kita harus terus
mencoba. Tanpa mencoba, justru kita akan terkurung dalam
om
keputusasaan yang mungkin justru muncul dari sikap apatisme
.c
ot
kita. Gua ini mungkin sangat luas dan panjang. Tetapi, toh
sp
232
penyebab semua ini. Jika akhirnya kami harus mati, akulah
yang menyebabkan kematian Anton. Layak sekali jika lelaki
itu terlihat sangat jengkel.
Cepat aku berkemas. Mengemas barang-barang. Memakai
kembali peralatan yang ada. “Kalau kau tak mau mencoba,
ya tinggal aja di sini! Aku sih, selama masih bisa bergerak,
tak akan menyerah.”
Tak kuduga, Anton tersenyum, meski senyumnya masih
setipis kulit ari. “Bagus, aku suka dengan sikapmu! Kupikir
selama ini kau hanya gadis cengeng yang suka sok pintar dan
sok ngatur!” Anton mengemasi perbekalannya dan kembali
memasukkan ke carrier bag-nya. Aku melangkah keluar dari
chamber dengan cemberut. om
.c
ot
sp
og
tidurku siang ini. Aku tak peduli jika nanti malam, saat bulan
a-
233
pantulan bunyi. Benda-benda bersinar dalam gelap itu
sesuatu yang sangat penting bagi mereka!
Kedua manusia itu sangat berbeda denganmu. Kadang kau
masuk ke gua ini hanya dengan membawa cahaya lemah dari
sebuah benda yang kau sebut senter. Terkadang membawa
obor. Tetapi sering pula tanpa penerangan apapun. Kau pasti
sudah sangat memahami lekak-lekuk gua ini.
Jadi, apakah kau sebenarnya menginginkan mereka
terjebak dalam gua ini? Apa yang sebenarnya akan kau
lakukan kepada dua manusia itu? Aku tak mengerti isi
hatimu, Gunadi. Sebagaimana pemilik pohon mangga yang
melempari kami dengan batu, sehingga sebagian dari teman-
om
temanku terluka, aku sering tak memahami perilaku manusia.
.c
Bukankah pohon mangga itu sudah ada sejak dahulu kala?
ot
sp
234
ke lorong kecil yang menghubungkan dengan lorong air.
Tetapi....
“Hai, lihat, bukankah ini adalah tali dari anchor yang
kau buat tadi?” Tanya si mungil, sambil mengarahkan benda
panjang dengan ujung yang bersinar kuat, pada seuntai
benda yang tersembul di bawah reruntuhan batu.
“Betul, Fa! Kamu sangat teliti. Ya, dari sini kemarin
kita masuk ke percabangan. Tetapi, kenapa lorong ini
tertutup batu? Runtuh? Tidak, tidak mungkin runtuh dengan
sendirinya. Lorong ini diruntuhkan. Aku yakin! Jadi, memang
betul, kita sengaja dikurung disini oleh seseorang.”
Ada sesuatu yang memaku pikiranku. Aku tahu. Aku saksi
om
matanya. Kau, Gunadi… kau yang mengambil batu besar
.c
ot
235
pu
sta
ka-
in
do
.b
236
log
sp
ot
.c
om
21
Uvala
237
“Oh, iya, Tim SAR.” Kata Jaka. “Tim SAR pasti akan sa-
ngat tahu apa yang kudu dilakukan.”
“Tetapi, aku heran, heran banget, heran seheran-heran-
nya. Sebenarnya Anton kan caver yang sangat berpengala-
man. Dia tahu detil-detil bagaimana menaklukkan sebuah
gua. Bagaimana dia bisa tersesat begitu?” Azhar garuk-garuk
kepala.
“Jangan-jangan, dia nggak tersesat, tetapi sengaja ngerja-
in Fahira. Kan, Anton kayak sebel banget sama Fahira. Sejak
kemarin bawaannya jutek melulu,” celetuk Tom. “Mereka
juga berbantah-bantahan melulu.”
“He, kamu nggak ngerti siapa Anton. Jangan asal main
om
tuduh, kamu ya?!” Jaka mendekati Tom dan mencengkeram
.c
ot
kerah leher coverall Tom. “Anton itu leader kami yang sa-
sp
serendah itu.”
.b
do
rah. “Kamu orang baru di tim ini. Aku, nih, sudah bertahun-
k
ta
238
dari cave diving itu hampir tujuh puluh lima persen. Apalagi,
mereka nggak membawa tabung oksigen.”
“Zar! Jangan ngomongin yang serem-serem!” tangis Nania
pecah lagi. “Aku nggak rela… nggak rela mereka… mereka
mati muda. Mereka ganteng dan cantik. Mereka juga masih
sangat muda. Pinter, baik. Fahira rajin beribadah. Allah pasti
sayang sama mereka.”
“Malahan kamu yang ngomongin serem-serem!” Azhar
menonjok helm Nania, gemas. “Aku baru bicara resiko
kematian, kamu udah membayangkan mereka mati.”
“Kalian berdua sama saja!” rutuk Jaka. “Sekarang,
sebaiknya kita diam. Diam, untuk berpikir, apa yang kudu
kita lakukan.” om
.c
ot
dengar.
do
in
celaka!”
k
ta
s
239
Pak Prawira Kusuma tergopoh memasuki ruangan Toko
Pusaka itu. Begitu membuka pintu kaca, tatapannya langsung
mengarah kepada Rinanti tengah duduk dengan wajah pucat
dan sinar mata kosong. Darma berjalan mondar-mandir
dengan wajah keruh. Toko sengaja ditutup. Meski, beberapa
kali dari dalam toko terlihat beberapa pengunjung turun dari
mobil dan terlihat kecele dengan tutupnya toko, tak ada yang
terpikat untuk membatalkan rencana dan menerima tamu-
tamunya kembali seperti biasa.
“Jadi, apa yang sebenarnya telah terjadi?” tanya Pak
Prawira Kusuma. Setelah ditelepon oleh Darma semalam,
lelaki itu langsung memesan tiket Jakarta-Solo dengan
om
pesawat terpagi. Begitu sampai bandara Solo, dia langsung
.c
meluncur ke Pacitan.
ot
sp
240
dikeluarkan Hilman itu tak ada apa-apanya,” desah Pak
Prawira Kusuma, sembari menggigit-gigit ujung cerutunya.
Lelaki itu sepertinya sangat marah, tetapi sengaja dia tahan
sebisanya.
“Benda-benda bertuah itu?”
“Tuah mungkin salah satu hal yang membuat nilai
barang itu menjadi semakin mahal. Tetapi, tanpa tuah pun,
barang-barang itu sangat mahal, karena merupakan benda-
benda bersejarah. Mutu benda-benda itu juga sangat bagus.
Kelas satu. Salah satu keris yang dicuri Hilman, adalah keris
dari Mapatih Gajah Mada. Juga ada tombak milik Laksamana
Adityawarman. Nilai sejarahnya sangat tinggi, karena tombak
om
itu bisa menguatkan bukti, bahwa memang ada keterkaitan
.c
antara Kerajaan Melayu dan Majapahit. Para pengoleksi
ot
sp
itu jika dilego di bursa benda antik. Bule-bule dari luar akan
l
.b
do
241
“Tentu saja. Pusaka-pusaka itu harta kesayangannya.
Pernah ada seorang kolektor yang ingin membeli tombak
Adityawarman itu dengan harga hampir seratus juta rupiah,
namun Ki Gunadi tak mau menyerahkannya. Selain itu, juga
faktor lain. Ki Gunadi pernah memamerkan kepada saya
tentang pagar gaib yang dia pasang di sekeliling pusaka-
pusakanya. Pernah saya usulkan kepadanya untuk menggaji
beberapa tenaga sekuriti, mengingat koleksi pusaka itu sangat
mahal harganya. Tetapi, Ki Gunadi menolak, dia katakan,
kekuatan pagar gaib itu bisa mengalahkan sepasukan polisi
sekalipun,” kata Pak Prawira Kusuma. “Melihat siapa Ki
Gunadi, tentu saya percaya dan tak lagi rewel mendesak
om
untuk menggaji satpam.” .c
“Beberapa saat yang lalu, Mas Gunadi pernah mengatakan
ot
sp
242
Seraut wajah dengan sepasang mata berselimut duka itu
mendadak melintas dalam benak Rinanti. Sosok yang baru
pertama kali bertemu, namun berhasil menimbulkan kesan
sangat mendalam. Lelaki itu … dia juga seorang wisatawan
pastinya. Jadi, orang-orang seperti itukah yang sangat dibenci
Gunadi?
“Pernah Ki Gunadi mengajak saya mendatangi pemerintah
kabupaten agar mereka menghentikan pembukaan kawasan-
kawasan wisata baru. Tetapi, ide itu saya anggap berlebihan,”
tutur Pak Prawira Kusuma lagi. “Apalagi, kedatangan
wisatawan itu, sebenarnya juga mendukung kemajuan bisnis
benda-benda pusaka dan batu mulia yang sedang kita rintis.
om
Tanpa mereka, bisnis kita akan mati. Gunadi tampak bingung
.c
dan sepertinya mengalami dilema.”
ot
sp
243
basah penuh lumpur, masuk ke toko dengan tubuh terhuyung-
huyung. Telapak kakinya yang telanjang menghilangkan
jejak lumpur di lantai keramik. Bukan hanya lumpur, tetapi
juga … tetesan darah.
Rinanti tersentak. Pak Prawira Kusuma dan Darma pun
terpana.
“Jangan… jangan sampai ada polisi atau aparat negara
manapun yang mengetahui kejadian ini. Semua akan
terselesaikan. Ya. Kesaktianku akan kembali. Dan setelah aku
mendapatkan semua itu, maling itu akan mengalami kesakitan
yang luar biasa. Tak ada dokter yang bisa menyembuhkan
rasa sakit itu. Lalu dia akan datang kesini, meminta penawar
om
sakit itu. Dia akan berlutut di depan kita, memohon ampun.
.c
Semua akan baik-baik saja….”
ot
sp
244
“Ki Gunadi … kau terlihat sangat lelah, dan sakit….”
“Sakit? Aku tak pernah sakit. Tak pernah … aku baik-baik
saja. Aku….”
Mendadak tubuh itu menggelosot ke lantai, seperti
kehabisan tenaga. Rinanti terpekik lirih. Dirabanya tubuh
lelaki itu, dan dia menjerit. Tubuh itu panas sekali. Demam.
“Jangan… jangan sentuh… jangaaaan!”
Rinanti tak peduli. “Darma, ayo angkat Mas Gunadi ke
kamar! Dia sakit, tubuhnya demam tinggi.”
“Tidaaak… jangaaan…. Jangaaaaan!”
--o=[]=o--
om
Darma dan Budiman mengangkat tubuh Gunadi ke lantai
.c
ot
kata.
s
pu
om
membayangkan sebuah pisau cukur yang akan mengubah
.c
wajah itu menjadi klimis dan tampan. Semoga kesaktian itu
ot
sp
tak kembali. Dia ingin lelaki itu menjadi orang biasa. Orang
og
dan batu mulia ini. Pusaka dan batu mulia tanpa tuah, tanpa
in
246
Rinanti tersenyum. Pelan dia angkat tangannya, dan
entah sebuah kekuatan darimana, mendadak dia mengelus
pipi Gunadi. Mesra. Aku merindukanmu, Mas….
Lelaki itu tetap tertidur dengan tenang. Sang istri bangkit,
menuju kamar mandi, melihat tumpukan baju yang sangat
kotor oleh genangan lumpur dan darah itu. Sejuta tanya
membenak. Sebenarnya, apa yang barusan dilakukan oleh
Gunadi? Tetapi, nanti sajalah … jika dia sudah terbangun
dan mulai membaik kondisi tubuhnya, dia akan mencoba
menelisik informasi darinya, meski dia juga tak yakin bahwa
dia mampu berkomunikasi secara baik dengan lelaki itu.
Sekarang, yang penting Rinanti harus mencuci baju-
om
baju itu. Selama ini, dia hampir tak pernah diizinkan
.c
untuk menyentuh barang-barang pribadi Gunadi, termasuk
ot
sp
247
Jantung Rinanti seakan terloncat. Darimana Gunadi
mendapatkan sapu tangan yang berlumuran darah ini? Darah
siapa ini? Darah Gunadi pastinya. Tetapi sapu tangan ini….
Perempuan itu bangkit, bersijingkat menuju kamarnya.
Dia lihat Gunadi masih tertidur pulas. Pelan Rinanti membuka
almari, melihat tumpukan bajunya. Di bawah tumpukan baju
itu, sebuah sapu tangan bersih masih berada di tempat dalam
keadaan terlipat rapi. Sama persis bentuknya dengan sapu
tangan berlumuran darah tadi.[]
om
.c
ot
sp
ogl
.b
do
in
ka-
ta
s
pu
248
22
Vadus
sia belaka. Batu yang ambruk dari atas sangat besar, membuat
in
a-
249
gua. Bibirnya menyebut sebuah nama. Aku mendengarnya.
Oma Sandria. Lalu dia meraba lehernya, dan merasa kaget
karena slayer yang terbiasa melilit lehernya ternyata sudah
tak ada.
Awalnya aku ikut mencoba membantu slayer yang
barangkali terjatuh itu. Tetapi, lama-lama aku menganggap
itu hanya sebuah pekerjaan kecil yang tak terlalu butuh
prioritas. Kubiarkan saja Anton ribut dan terpukul dengan
peristiwa itu.
Aku sendiri sudah benar-benar frustasi. Berjam-jam
kami memutari labirin, tiga kali kembali ke tempat yang
sama, dan akhirnya, dari sekian probabilitas yang kami
om
ambil, bertemulah lokasi ini, yang ternyata telah tertimbun
.c
reruntuhan batu gua. Anton layak berputus asa. Gua ini
ot
sp
caver.
ka-
ta
250
Tanpa tanda, agak sulit mendeteksi bekas lokasi percabangan
itu. Apalagi tentu bentuknya sudah berubah akibat adanya
reruntuhan itu.
Namun, tanda itu bisa dihilangkan dengan mudah
sebagaimana hilangnya kertas-kertas fosfor dan light stick
yang terjadi secara misterius itu. Aku sendiri tak tahu, apa
yang terjadi dengan Jaka, Nania dan teman-temannya saat
ini. Bisa jadi, mereka juga terkurung di tempat lain.
Kutatap dengan nanar reruntuhan itu. Mataku mencoba
menelisik sedetil mungkin posisi-posisi bebatuan yang telah
pecah berserakan itu. Dan, mendadak sebuah pikiran melintas
di kepalaku. Melihat posisi reruntuhan itu, tampaknya sangat
om
tak mungkin jika dilakukan dari luar, karena aku tahu persis,
.c
di luar sana adalah sungai bawah tanah. Dan untuk menuju
ot
sp
“Ton!”
in
a-
251
“Pelakunya, orang itu, meruntuhkan batu-batuan ini dari
dalam. Itu berarti, orang itu mengetahui ada jalan keluar dari
gua ini selain pintu masuk berupa luweng itu.”
Anton menatap ke arahku. Tampak takjub sekaligus
kaget. “Masuk akal juga. Apalagi, di luar sana ada Jaka,
Nania dan Azhar yang tentunya menanti kita. Tetapi,
bagaimana mungkin mereka tak tahu bahwa bagian gua ini
diruntuhkan?”
“Menurutku, pasti Jaka dan teman-teman sudah
mencoba naik ke lorong ini untuk mencari kita. Namun
mereka kebingungan, dan memutuskan untuk kembali.
Mereka sengaja tak melepas tali ini sebagai sebuah tanda.
om
Baru setelah mereka pergi, orang misterius itu meruntuhkan
.c
bebatuan itu.”
ot
sp
“Apakah itu?”
k
sta
sekuat gorilla?”
.b
do
253
gua. Aku tak habis pikir. Manusia bukanlah makhluk yang
bisa bertahan di gua. Mereka sangat pintar, tetapi tentu tak
mampu menjadi sepertiku. Gua adalah rumahku, kegelapan
adalah duniaku. Meski nyaris setiap malam aku keluar untuk
mencari penghidupan, dan terkadang aku melihat cahaya
bulan yang benderang, aku tetap mencintai kegelapan.
Berbeda dengan kedua manusia ini! Mereka panik dan
bingung. Itu, kan, yang kau inginkan? Sekarang, di saat
kedua korban itu sudah masuk perangkap, kau pergi entah
kemana. Mungkin kau kembali ke rumahmu di permukaan
sana. Kau akan beristirahat dan bersenang-senang, lalu
setelah kau kembali di sini, kau akan melihat mereka sudah
om
tak bernyawa. Kau kejam, Gunadi! .c
Tetapi, yang menakjubkan, kedua makhluk ini tampaknya
ot
sp
254
mengikuti sebuah jejak. Hei, bukankah itu adalah jejakmu?
Mengapa mereka menyusuri jejakmu?
Jika jejak itu yang mereka susuri, pasti mereka akan
kecewa, karena jejakmu itu akan hilang saat kau melintasi
sungai bawah tanah. Nah, benar! Mereka terlihat kecewa
karena kehilangan apa yang mereka susuri.
“Jejaknya hilang, Ton!” kata si mungil. “Bagaimana ini?”
Mereka berdua termangu, tampak sangat kebingungan.
Rasa iba menyelusup dalam pikiranku. Aku hanya seekor
binatang. Orang-orang menyebutku sebagai kalong, atau
kelelawar. Tetapi, aku punya rasa. Aku tidak kejam seperti
kau. Jika saja aku bisa berbicara dalam bahasa mereka, aku
om
akan tunjukkan mulut gua di mana kau biasa naik-turun
.c
ot
memasukinya.
sp
og
255
jangan bandingkan kita dengan kelelawar. Dia memiliki
sistem navigasi yang canggih, tahu!”
“Ya, aku tahu. Kelelawar bisa mengeluarkan bunyi
dengan frekuensi yang tinggi. Ketika keluar dari mulut, bunyi
berfrekuensi tinggi itu akan dipantulkan oleh benda-benda di
sekitarnya. Kalau di gua ini, akan dipantulkan oleh dinding
gua, batu, bahkan fauna lainnya. Nah, pantulan itulah yang
akan diolah oleh si kelelawar. Dari pantulan bunyi, kelelawar
dapat memperkirakan jarak, adanya rintangan atau bahkan
adanya makanan. Dengan cara ini, kelelawar bisa terbang di
kegelapan tanpa tertabrak atau menabrak apapun.15”
“Nah, itu kamu tahu! Jadi, jangan pernah membandingkan
om
kita dengan kelelawar, apalagi saat terjebak dalam gua.
.c
Gua itu rumah kelelawar. Di gua ini, kelelawar adalah
ot
sp
kadal sekalipun.”
in
a-
256
Aku harus waspada, jangan-jangan mereka pun sebenarnya
sejahat kau. Mungkin mereka akan menangkapku, dan
menjadikanku sebagai santapan untuk mereka. Aku takut.
Sangat takut.
Namun, sesaat aku kembali saat mendengar suara
bergemuruh dari arah sungai. Aku terpana. Sungai banjir!
Mereka berlari lintang pukang, mencari tempat yang tinggi.
--o=[]=o--
om
berdebar-debar kencang, napasku tersengal-sengal. Semburan
.c
air bah itu begitu tiba-tiba. Hampir saja menghanyutkan kami
ot
sp
Air bah bisa semakin besar, dan air akan naik hingga ke
do
in
tempat ini.
ka-
257
Tapi aku tentu tak akan bisa setenang itu dengan tiduran
santai, sementara alam sedang bergejolak menebar teror. Aku
memilih bersiaga penuh, sembari terus mencoba menahan
sergapan berbagai rasa yang juga ikut menerorku. Ya, entah
berapa ragam rasa yang kini berkecamuk, menjadi satu, dan
menguasai seluruh saraf di tubuhku. Aku seperti tengah
menjadi sosok yang aneh. Aneh dan aneh.
Sekali lagi aku tersentak ketika menyadari, bahwa yang
kualami bukanlah sebuah dagelan atau kisah fiksi semata. Aku
boleh terpingkal-pingkal menyaksikan film komedi animasi
tentang keluarga Croods—Ugga, Gran, Sandy, Thunk dan
Eep yang tinggal di gua dalam film The Croods. Aku boleh
om
terhanyut oleh bahasa Ayu Utami saat menceritakan kisah
.c
Yuda dan Parang Jati di Bilangan Fu. Tetapi hari ini, yang
ot
sp
banjir, dan tak tahu, apakah kami akan ditemukan oleh tim
l
.b
do
tempuh.
ka-
258
23
Watertable
259
Tangis Nania pecah. Kegirangan yang sempat muncul
lumer bak batang lilin yang disantap api. “Anton … dan
Fahira … hilaaang….”
“Apa?” Dadan tersentak.
“Tadi kami masuk lorong air. Lalu ada percabangan gua
di atas lorong. Anton ingin melihat percabangan itu. Kukira
hanya sekadar keinginan Anton untuk mapping. Tetapi,
kemudian Anton mengatakan kepada Fahira, bahwa dia
melihat ada kepiting putih khas gua di sana. Fahira tertarik
dan ikut naik. Kami kira sebentar. Ternyata lama. Setelah
satu jam menunggu, kami khawatir, dan naik ke atas. Tetapi
mereka sudah tak bisa lagi ditemukan. Meski telah berputar-
om
putar mencari hingga berjam-jam,” tutur Jaka.
.c
ot
terjadi banjir. Jadi, sebaiknya kalian keluar saja dari sini, dan
in
a-
menunggu di basecamp.”
k
ta
260
“Ya Tuhan, itu sangat berbahaya!” Tanpa banyak bicara,
Pak Deddy mengawali memasang peralatan SRT, lalu
melakukan ascending ke atas. Disusul Tommy, Azhar dan
Jaka. Nania menjadi anggota tim terakhir yang naik, itu pun
setelah dipaksa dengan keras oleh Dadan dan Willy.
Begitu sampai di basecamp, hujan turun sangat deras,
seperti tercurah dari langit.
Nania menggigil.
“Fahira… ya Allah semoga kau selamat. Anton, semoga
kau selamat. Ya Allah, selamatkan mereka.”
Tangis gadis itu pecah.
om
“Sudahlah, Nan! Willy sudah melaporkan semua ini
.c
kepada pihak-pihak terkait. Sebentar lagi Tim SAR akan
ot
sp
Jaka.
l
.b
do
261
“Kalau Allah sudah berkehendak mereka selamat, pasti
mereka selamat, kok!” Azhar mencoba tersenyum, meskipun
wajahnya pun sepucat lesi Nania.
--o=[]=o--
262
semacam itu sudah sangat sering terjadi. Semalam, hujan
bahkan turun sangat deras, seperti tercurah begitu saja langit.
Petir menyambar-nyambar. Gelegar guntur memecut langit.
Andai langit adalah lapisan kain sutera, lapisan itu pasti akan
koyak-moyak usai hujan reda.
Sepanjang hujan itu pula, nyaris Rinanti tak tertidur. Dia
terus mengompres tubuh Gunadi. Ide memasukkan obat ke
bubur, baru dia praktikkan pagi ini. Dan kini, rasa kantuk
mulai mencubiti pelupuk matanya.
Akan tetapi, baru saja dia hendak berbaring di tikar
yang dia gelar di sudut kamar, dia teringat pada cucian yang
dia jemur di belakang ruko. Bergegas dia berlari menuruni
om
tangga, keluar ke halaman belakang. Hampir saja baju-baju
.c
yang sudah nyaris kering itu basah kembali.
ot
sp
Satu per satu baju dia ambil, dan dia sampirkan di atas
og
l
263
Tetapi, tak mungkin kejadiannya terulang begitu persis.
Berapa banyak kebetulan terjadi di muka bumi ini?
Perempuan itu menaiki tangga dengan pikiran yang
terus digelanyuti tanda tanya. Saat masuk ke kamar, dia lihat
Gunadi masih tertidur pulas. Kali ini dekurnya terdengar
keras, mendominasi suasana kamar. Pelan sekali Rinanti
mengambil wadah plastik tempat menyimpan pakaian yang
bersih yang baru dijemur dan belum disetrika. Sesaat dia
termangu menatap gundukan pakaian itu. Apakah Gunadi
rela jika pakaian-pakaian kesayangannya itu terkena setrika?
Bahkan, jika tersadar, barangkali saja lelaki itu akan marah
besar, jika tahu pakaian-pakaian itu telah dia cuci.
om
Perempuan itu menghela napas panjang. Kemudian,
.c
dengan gerakan sangat cepat, dia mengambil sapu tangan
ot
sp
persis.
a-
k
ta
--o=[]=o--
s
pu
264
rumahnya untuk berpindah ke ruko ini, garis kecil yang dia
tulis di dinding kayu kamarnya masih sejumlah 4822.
Ya, saat itu, dia sempat beristirahat sesaat karena luka
di kakinya ternyata terkena infeksi, dan meradang hebat,
membuat beberapa hari dia tak bisa berjalan dengan
sempurna. Setelah lukanya sembuh, sempat dua atau tiga
minggu dia melanjutkan pekerjaannya berjualan kelapa
muda. Tetapi tak pernah selalu hingga senja. Jam tiga sore,
Pak Sudarta, ayahnya, telah menjemputnya. Beban bronjong
berisi dagangan tak lagi dia sunggi, tetapi dipanggul
ayahnya.
Terus begitu, hingga Gunadi menyuruhnya pindah ke
sini. om
.c
ot
seperti teler.
Untuk membunuh sepi, Rinanti meraih sebuah radio
kecil. Dia setel dengan volume kecil. Sebuah stasiun radio
milik pemerintah tengah menyiarkan berita. Awalnya berita-
berita politik biasa yang tak terlalu Rinanti minati. Namun
ketika penyiar menyebutkan kata Pacitan dan Luweng Jaran,
mendadak mata Rinanti terbuka lebar.
“Tim SAR masih belum bisa menemukan dua pecinta
alam yang hilang saat melakukan aktivitas susur gua di
265
Luweng Jaran kemarin siang. Meskipun tim telah diturunkan
untuk menyusuri lorong-lorong yang ada, hingga sore ini,
dua pecinta alam tersebut, Anton Yosef Maringka dan Fahira
Azalea belum berhasil ditemukan.”
An-Anton?
Rinanti terlonjak. Anton Yosef Maringka? AYM. Dan
sapu tangan itu?
Sebuah suara dia kira berasal dari tubuhnya yang
menyenggol sesuatu. Ternyata Rinanti salah sangka. Suara
bergedebuk itu ternyata berasal dari dipan di belakangnya.
Suaminya terbangun, dan terjatuh dari tempat tidur.
“Mas?” Rinanti terkejut.
om
.c
“Matikan!” bentak Gunadi tiba-tiba.
ot
sp
radio itu!”
in
a-
266
Rinanti meraih sebuah payung, lalu membuka pintu
belakang dan mengejar Gunadi.
“Mas… Maaaas!”
Suara petir bergelegar. Diikuti dengan cabikan kilat di
langit. Hujan turun kian deras. Sangat deras.[]
om
.c
ot
sp
og
l
.b
do
in
a-
k
sta
pu
267
pu
sta
ka-
in
do
.b
268
log
sp
ot
.c
om
24
Xenolith
269
“Jadi, apa yang mesti kita lakukan?” tanyaku, lemah. “Jika
kita tidak segera menyingkir, kita akan hanyut terbawa air.”
Anton tak segera menjawab. Dia sibuk menelisik gua
dengan sepasang matanya. “Lihat di sana!” jarinya mengacung
pada langit-langit gua yang membentuk lengkungan di atas
sungai. Juluran stalaktit dan aneka ornamen yang berada
di atap ternyata menutup sebuah celah yang sepertinya
merupakan percabangan, alias membentuk gua bertingkat.
Diam-diam aku memuji ketelitian Anton.
“Lorong ini mungkin sebentar lagi akan menjadi sump,
tahu kan apa itu sump?”
“Keadaan lorong yang semua tertutup air.”
om
“Ya, tepat. Sebetulnya, bisa saja kita melakukan cave
.c
ot
Tapi, ada satu cara yang resikonya lebih rendah dari cave
in
a-
270
hanya membutuhkan keberanian, kehati-hatian dan
konsentrasi. Serta kekuatan tentu saja. Kita tak punya pilihan
lain kecuali mencobanya. Kau berani?”
Sembari kutatap medan yang hendak kulewati, dadaku
berdebar kencang. Rasa tegang kembali menyetrum seluruh
tubuhku. Apakah aku bisa bergaya semacam Spiderman
yang merayap di atas dinding? Bagaimana jika kakiku
terpeleset, peganganku goyah, atau lintasan yang dibuat
Anton mengalami kerusakan? Tali terlepas atau….
Tak ada pilihan! Bisikku. Ini adalah persoalan hidup dan
mati.
“Aku … aku akan mencoba, Ton!”
“Bagus!” om
.c
ot
sp
Setelah memakai harness pada paha dan dada, dia pun mulai
a-
271
Kondisi kami saat ini bahkan bisa dikatakan bertaruh antara
hidup dan mati.
Kulirik air yang terus naik, dan saat ini jaraknya hanya
tinggal dua meter di bawahku. Cepat sekali permukaan air
naik ke atas. Tak sampai setengah jam, sudah satu meter.
Sementara, Anton belum selesai juga membuat lintasan.
Debur dalam dadaku kian kuat. Keringat mengucur deras,
sangat kontras dengan suasana gua yang sebenarnya mulai
mendingin. Sangat dingin, sampai-sampai aku khawatir jika
lagi-lagi terkena hipotermia.
Dan, ketika air mulai hampir menyentuh lekukan
tempat kami menyelamatkan diri sekitar 24 jam lamanya
om
itu, tepat saat itu juga Anton menyelesaikan pekerjaannya.
.c
Dia melempar tali dari atas celah itu ke arahku. Lemparan
ot
sp
272
Sekuat tenaga aku naik, selangkah demi selangkah,
merayap seperti laba-laba.
Di bawahku, banjir kian besar. Suaranya bergemuruh.
Ya Allah, kuatkan aku!
Tetapi, tanganku justru mulai gemetar. Dan ketika kakiku
hampir saja menapaki pijakan terakhir, mendadak aku kakiku
tergelincir. Tubuhku meluncur ke bawah dengan cepat.
om
tali dengan tergesa-gesa. Begitu penuh gesa, sehingga tubuh
.c
itu nyaris terjerembab dan menabrak sebuah batuan yang
ot
sp
Kaukah itu?
l
.b
do
273
terdindingi bebatuan gua. Kau terlihat membongkar-bongkar
berbagai peralatan yang kau simpan di sana. Apa, apa yang
kau ambil itu?
Aku terkejut. Benda itu berkilat saat senter di tanganmu
menyorotinya. Benda apa itu? Bentuknya memanjang,
berlekak-leluk dengan ujung runcing.
“Wahai keras Ki Suromenggolo! Malam ini, kau
mendapatkan tumbal. Kau mendapatkan tumbal. Tumbal.
Hahahahaha….”
Tawamu terdengar sangat keras. Menggetarkan rongga
raksasa ini. Beberapa temanku terbang mendekatiku. Lalu
sama-sama hinggap di balik lekukan batu. Kami semua
menyaksikanmu. Menyaksikanmu. om
.c
ot
--o=[]=o--
a-
k
ta
274
Sekuat tenaga aku berenang menerjang arus. Tanganku
menggapai ujung sebuah stalaktit yang berada di dekatku.
Kudekap stalaktit itu dengan sisa kekuatan yang masih
kumiliki.
“Bagus, sekarang, coba raih batuan yang ada di atasmu
dengan tangan kiri!”
Anton memanduku sambil terus menarik tali itu sekuat
tenaga. Kini aku bergelantungan di atas gua sambil mencari-
cari pegangan dan pijakan alami. Dan begitu kakiku akhirnya
menapak pada celah yang menjadi tujuanku, kurasakan
tubuhku seperti remuk redam.
Aku jatuh tersungkur. Dan kurasakan semua menjadi
gelap.[] om
.c
ot
sp
og
l
.b
do
in
a-
k
sta
pu
275
pu
sta
ka-
in
do
.b
276
log
sp
ot
.c
om
25
Yakut
277
“Mbak, ajeng tindak pundi?16” sapa seorang lelaki separuh
baya, memakai caping dengan kayu bakar terpanggul di
pundaknya, yang mendadak muncul dari gerumbul semak.
Rinanti menggigit-gigit bibirnya yang mulai membiru
karena kedinginan. “Bapak tadi lihat ada seorang lelaki,
usia… hm… 30-an berlari ke arah sana?” dia menunjuk ke
daerah bebukitan yang tertutup pohon-pohon rimbun.
Lelaki itu mendadak terdiam. “Yang mbak lihat itu …
manusia atau lelembut?”
“Manusialah, Pak. Itu suami saya.”
“Lho, untuk apa suami Mbak pergi kesana? Itu tempat
sangat wingit. Angker. Sebaiknya mbak pulang saja.”
om
.c
“Wingit?”
ot
sp
278
yang menyendiri, alias tak memiliki tetangga. Rumah itu
berdinding anyaman bambu, beralas tanah dan beratap
genting yang sudah tua dan berwarna kehitaman.
Segelas teh panas yang dihidangkan Bu Wagiyem, istri
dari Pak Sarjono, nama lelaki itu, membuat Rinanti merasa
lebih hangat dan lega.
“Oh, jadi sampean ini istri dari Ki Gunadi Hantayudha?”
tanya Pak Sarjono. “Memang tempat bertapa Ki Gunadi di
Luweng itu. Beberapa kali saya melihatnya masuk ke Luweng
menggunakan tali. Ki Gunadi meminta saya merahasiakan
hal itu kepada siapapun. Tetapi karena sampean adalah istri
beliau, tentu saya tak merahasiakannya.”
om
“Sampean kenal suami saya?” tanya Rinanti.
.c
ot
mandraguna.
a-
k
Tubuhnya demam.”
pu
279
baik-baik saja. Bagaimana kalau sampean saya antar pulang
saja?”
Rinanti menelan ludah. Dia tahu, tak ada gunanya
terlalu lama di rumah Pak Sarjono. “Saya… saya bisa pulang
sendiri!”
Dia pun segera berpamitan.
Tetapi Rinanti tidak pulang ke toko Pusaka. Dia bahkan
berbelok menuju sebuah tempat yang sebenarnya juga sangat
asing baginya.
Kantor Polisi.
Di depan meja Inspektur Hanafi, dia menyodorkan dua
om
lembar sapu tangan biru dengan sulaman sepasang burung
.c
Sriti dan tulisan AYM itu.
ot
sp
280
Sang Inspektur manggut-manggut. Lalu dia meraih sebuah
pesawat HT. Berkomunikasi dengan seseorang.
om
“Jadi, mengapa sapu tangan ini bisa berada bersama Ki
.c
Gunadi?” tanya Willy, dengan alis berkerut hebat.
ot
sp
281
bahkan menyusul ke basecamp. Nania bertekad, tak akan
pulang sebelum bertemu sosok dua sahabatnya itu, dalam
keadaan hidup ataupun mati.
Sementara itu, ketiga kakak lelaki Fahira yang menyusul
ke basecamp, saling pandang dengan wajah tegang dan
perasaan tak keruan.
--o=[]=o--
om
Di kamarnya, Rinanti tak juga mampu memejamkan
.c
mata. Jam dinding telah menunjuk angka dua. Sudah dini
ot
sp
282
Tetapi, kisikan-kisikan lembut saat membayangkan sosok
lelaki bernama Anton itu begitu berbeda. Bahkan, sebuah
rasa yang halus, yang baru saja dia dapatkan kembali saat
merawat Gunadi pun, masih belum mampu menghilangkan
kisikan istimewa itu.
Anton Yosef Maringka. Gunadi Hantayudha. Sekarang,
apa yang sedang terjadi dengan mereka berdua?
… Dia sangat membenci para wisawatan dan pecinta
alam yang suka mendatangi gua-gua, khususnya yang masih
suci….
Rinanti terloncat dari tempat tidur. Suara Pak Prawira
Kusuma seperti pendulum yang menghantam pangkal
jantungnya. om
.c
ot
283
membuka pintu toko, menguncinya kembali, dan beranjak
menuju ke rumah Darma berada di samping toko. Butuh
waktu sekitar seperempat jam untuk membangunkan
Darma.
“Dar, antarkan aku ke rumahku di dekat Pantai Klayar.
Tadi ada tetangga menelepon toko, katanya, ibuku sakit
keras,” ujar Rinanti, berbohong.
Darma terbengong. Namun dengan cepat mengangguk.
“Baik, Bu!” Dia meraih sepeda motornya, dan sejurus
kemudian, sepeda motor mereka bergerak cepat, menembus
jalanan yang basah bekas hujan.[]
om
.c
ot
sp
og
l
.b
do
in
a-
k
sta
pu
284
26
Zamrud
dan panik.
do
in
285
“Ja-jangan Ton, please!” bisikku, lemah.
“Aku… aku sayang kamu, Fa.”
Sebuah desir halus meremas jantungku. Tubuhku
menggigil.
“Aku baru saja merasakan sebuah kecemasan yang luar
biasa. Kegilaan yang luar biasa. Hampir saja aku ditinggalkan
oleh seseorang, yang membuat duniaku nyaris runtuh. Satu
per satu orang yang kusayangi direngut dengan kejam oleh
kematian. Kau… kau yang terakhir. Aku tak rela….”
Seperti seorang bayi yang ditinggal ibundanya, mendadak
tangis Anton pecah. Air mata bercucuran, sebagian menimpa
tubuhku. Aku terpana melihat adegan yang sama sekali
om
tak pernah kuduga itu. Berbagai perasaan berkecamuk di
.c
ot
286
“Ya…. Ada Allah, di atas segalanya. Maafkan aku, Fa.
Aku tahu, kau gadis yang suci, sangat menjaga kesucian
diri!” Anton menatap kerudung yang terus saja membungkus
kepalaku. Meskipun dalam keadaan sulit, aku memang tetap
menjaga agar auratku tetap tertutup dengan semestinya. Dan
aku diam-diam menghargai sikap Anton yang ternyata sangat
menghormatiku. Helm, bagian-bagian pakaianku yang ketat
telah dia longgarkan, sebagai sebuah prosedur pertolongan
pertama pada kecelakaan. Tetapi, Anton masih menjaga agar
bagian-bagian yang seharusnya kusembunyikan tak terlihat.
Anton sangat gentle dan anggun memperlakukanku.
“Dan mungkin, aku bukan orang yang kau harapkan
om
menjadi pendampingmu, bukan? Aku tak selevel
.c
denganmu.”
ot
sp
pendamping?”
in
a-
selamanya.”
“Sebelum ini, kau seperti sangat membenciku?”
Anton memalingkan muka. Tak menjawab pertanyaanku,
dia malah berdiri. “Abaikan apa yang terjadi barusan. Mari
berkosentrasi pada apa yang harus kita lakukan selanjutnya.
Kita baru terlepas dari satu permasalahan. Dan, masih banyak
hambatan yang harus kita atasi,” ujarnya.
Aku menatap sosok itu, dan entah mengapa, aku melihat
dia terlihat jauh lebih tampan. “Aku setuju.”
287
“Maafkan aku, Fa!”
“Kau tidak bersalah. Cinta tak pernah salah, Ton. Yang
salah adalah, ketika kita menerjunkan cinta kepada sesuatu
yang tidak selaras dengan kehendak-Nya.”
Sesaat kami saling berdiam diri, tenggelam dalam
lamunan masing-masing.
“Ton, jam berapa ini?”
“Jam tujuh!”
“Astaghfirullah, aku belum shalat!” perlahan aku bangun,
dan kurasakan dunia seperti berputar. Namun sekuat tenaga,
aku mencoba berjalan menuju sebuah cekungan berisi air
om
perkolasi. Aku berwudu sebisanya. .c
“Fa!” bisik Anton. Dia bangkit dari duduknya, dan
ot
sp
Aku terpana.
l
.b
do
--o=[]=o--
in
a-
k
288
Dua potong sandwich—makanan terakhir yang kami
miliki, menjadi menjadikan sebuah makan malam yang
terasa begitu berharga.
Entahlah, kami masih belum bisa menemukan jalan keluar,
tetapi kami merasa jauh lebih tenang dari sebelumnya. Pada
saat itulah aku benar-benar merasakan nikmatnya sebuah
kesunyian dan ketemaraman yang begitu nyaman.
Malam yang tenang kulewatkan dengan berbincang-
bincang ringan meski tema-temanya sesungguhnya cukup
berat. Anton banyak bertanya tentang agama, tentang
kehidupan, tentang pengabdian, dari yang paling sederhana
hingga memiliki derajat kerumitan yang tinggi. Dan entah
om
mengapa, rasa aneh yang sempat bergejolak saat kejadian di
.c
celah gua beberapa jam yang lalu, kini telah berganti dengan
ot
sp
289
nyaman dan terlindung untukku. Saat akhirnya pelupuk mata
sudah tak bisa ditahan, aku pun berbaring di atas matrasku.
Dan baru saja aku mulai memejamkan mata, mendadak
aku melihat sekelebat bayangan yang tercipta dari cahaya
lilin di dinding gua. Bayangan yang jelas bukan berasal dari
Anton, karena lelaki itu telah tertidur pulas. Bayangan siapa?
Aku tersentak dan segera meloncat bangun. Mulutku nyaris
berteriak, namun segera kutahan.
Dari arah sebuah lorong, kulihat sesosok tubuh
berpakaian serba hitam, pastinya seorang lelaki, mendekati
Anton. Langkahnya pelan, namun pasti. Tangan kanannya
membawa senter, sedangkan tangan kirinya teracung,
om
membawa sebuah benda. Saat posisinya sudah sangat dekat
.c
dengan Anton, benda itu dia angkat tinggi-tinggi, dan siap
ot
sp
Keris!
in
a-
Sebilah keris.
k
s ta
290
Sepasang Mata dalam Gelap
Jadi, itu yang akan kau lakukan? Membunuh manusia
itu dengan keris yang kau sebut bernama Ki Suromenggolo?
Sepanjang jalan menuju ruang besar tadi, kau terus
menceracau. Kau katakan bahwa dua manusia dalam gua
itu akan kau jadikan sebagai tumbal persembahan kepada
makhluk kasat mata yang selalu hadir tanpa pernah kulihat.
Tumbal!
Kata itu terasa begitu mengerikan. Semakin mengerikan,
karena kau memberlakukan hal tersebut pada sosok yang
sebenarnya sejenis denganmu.
Ketahuilah, wahai manusia gua, meski aku hanya
om
ditakdirkan sebagai seekor binatang, aku tak pernah menyakiti
.c
ot
291
“Bedebah! Kau juga akan menjadi tumbal Ki
Suromenggolo!” Sambil meringis menahan sakit, kau
mengangkat keris itu, lalu menyerang si mungil dan berseru
keras. “Mampuuuus kauuu!!!”
Si mungil meloncat mundur, menghindari serangan itu.
Namun dia tampak begitu kepayahan ketika kau dengan
amarah yang meledak-ledak menyerangnya dengan brutal.
Gadis mungil itu terjajar dan merapat ke dinding gua, tak
sanggup lagi bergerak.
Dan, ketika kau sudah berhasil mencengkeram bahu
si mungil… lalu pelan-pelan kau angkat keris itu, dan di
arahkan ke tubuhnya.
om
Aku terpana. Aku pasti akan melihat darah menyembur.
.c
ot
seperti yang diceritakan moyangku. Ibu dari ibu, dari ibu, dari
ogl
temurun.
k
ta
s
pu
Suara ledakan-ledakan.
Dan tubuh-tubuh berlumur darah.
Dilempar dari permukaan bumi
Bertumpuk-tumpuk.
Lama-lama bau busuk.
Jadi belulang dan tertimbun reruntuhan.
292
hati makhluk yang lain. Aku tahu, si mungil ini memiliki
hati selembut kapas-kapas awan. Aku akan membantunya.
Tentu. Aku tak ingin tempat tinggalku ini menjadi penuh
jeritan kesakitan, seperti yang terjadi pada saat moyangku
menempati gua ini entah berapa masa yang lalu.
Aku harus melakukan sesuatu!
Kukeluarkan suara dari mulutku. Suara yang tak
terdengar oleh telinga manusia, tetapi gelombang udara itu
akan gaung-gemaung memantul dinding gua dan masuk ke
pendengaran teman-temanku. Sebentar lagi teman-temanku
akan mendatangi tempat ini.[]
om
.c
ot
sp
og
l
.b
do
in
ka-
ta
s
pu
293
pu
sta
ka-
in
do
.b
294
log
sp
ot
.c
om
27
Agate
gagu.
s
pu
295
“Orang-orang seperti kalian, telah membuat
tempat-tempat suci menjadi tercemar. Dan atas nama
penghormatanku kepada roh leluhur, aku akan membaktikan
diri menghancurkan orang-orang seperti kalian.”
Tubuhku menggigil. Gigiku gemeletuk karena rasa takut
yang kuat mencekam. Aku mungkin akan mati. Biarlah… aku
bersiap, toh kematian itu memang akan mendatangi setiap
jiwa yang bernyawa. Tetapi, aku tak mau mati konyol begitu
saja tanpa mengerti sebab mengapa ada sosok yang begitu
bernafsu menghabisi nyawaku.
“J-jadi, kaukah yang membuang semua tanda-tanda di
mulut gua itu? Dan juga… meruntuhkan bebatuan di mulut
om
lorong itu?” kutatap lelaki itu sesaat. Tak seperti sosok
.c
Samson yang bertubuh sebesar gorilla. Lelaki itu biasa-biasa
ot
sp
296
menghadirkan kesucian itu kembali, darah kalian harus
ditumpahkan! Bersiaplah menyambut kematianmu!”
Tangan itu pelan bergerak. Ujung keris perlahan
mendekati perutku. Kurasakan sebuah napas kematian yang
mencekam.
Akan tetapi, beberapa kelebat benda hitam mendadak
menyambar kepala lelaki itu. Sebuah teriakan kaget
terdengar keras. Lelaki berkeris itu terloncat mundur. Aku
terpana. Puluhan burung kelelawar mendadak beterbangan
mengerumuni kepala lelaki itu. Dia meloncat-loncat,
mengibat-ngibatkan keris itu ke arah hewan-hewan itu.
Rupanya kejadian itu mengagetkan Anton. Dia terbangun
om
dan melotot melihat kejadian itu. Cepat aku meloncati sebuah
.c
ot
“Lari!”
l
.b
membunuh kita!”
sta
pu
297
dengan hanya mengandalkan pencahayaan dari headlamp
yang mulai melemah, mungkin baterainya mulai habis.
Berkali-kali aku terjatuh. Coverall-ku mulai robek-robek, dan
tubuhku penuh memar.
Tetapi, kematian ada di belakangku! Mengejarku.
Aromanya tercium begitu menyeramkan.
“Fa! Berhenti sebentar!” akhirnya Anton menarik
tanganku, dan menahanku untuk tak berlari. “Jangan jadi
seekor reptil yang berpikir dengan otak primitif!”
Aku terpaksa berhenti. Napasku tersenggal-senggal.
Keringat mengucur deras.
“Kita… kita di ambang kematian.”
om
.c
“Kau terlalu dihantui ketakutan!” kesal Anton. “Mengapa
ot
sp
298
terasa begitu mencekam. Begitu mencekam, bahkan untuk
sekadar bernapas pun, aku sangat berhati-hati, takut desah
napasku menjadi salah satu penanda persembunyian kami.
Kurasakan kesunyian dan kegelapan yang abadi. Sangat
sunyi, sehingga seolah-olah aku bisa mendengar detak
jantungku sendiri. Saat aku mulai merasakan kesemutan
pada kakiku, mendadak aku mendengar suara langkah kaki.
Berjalan pelan, dengan entakan yang mengikuti birama
tertentu.
Dari mulut lorong, kulihat sesosok tubuh berjalan
terhuyung-huyung. Dia membawa menyorotkan senternya
ke sekeliling gua. Tatapannya tajam mengarah ke depan.
om
Dia semakin mendekat. Keris tetap terhunus di tangan
.c
ot
299
Akan tetapi, di luar dugaan, lelaki yang bertubuh lebih
mungil dari Anton itu mendadak membalik dengan cepat
dan keras. Anton nyaris terempas. Hanya saja, kaki Anton
masih sempat menendang keris di tangan lelaki itu. Keris
melayang, dan jatuh… tepat di depanku. Hanya sekitar dua
meter.
Mereka bergumul, saling beradu jotosan dan tendangan.
Dan setelah pergulatan itu berlangsung hampir lima menit,
aku melihat Anton ternyata mulai terdesak. Lelaki itu memiliki
ketrampilan olah kanuragan yang hebat. Dia menguasai
jurus-jurus pencak silat dengan sangat baik. Anton, yang
konon memegang ban hitam taekwondo, ternyata sangat
om
kuwalahan dibuatnya. .c
Apa yang harus kulakukan? Gemetar aku menatap keris
ot
sp
Harus!
l
.b
do
300
Bleeeesss!
Terdengar sebuah lengkingan keras![]
om
.c
ot
sp
og
l
.b
do
in
k a-
ta
s
pu
301
pu
sta
ka-
in
do
.b
302
log
sp
ot
.c
om
28
Berlian
“Baik, Bu….”
do
in
303
jam dinding masih menunjuk angka tiga dan jarum panjang
menunjuk angka sebelas.
Di kamarnya, Rinanti menyalakan lampu, membuka
almari kayu yang selalu mengeluarkan suara berderit saat
daun pintunya dibuka. Tampaknya, engsel sudah berkarat,
atau aus saking tuanya. Dia keluarkan selembar jaket lusuh
dan selendang untuk membalut leher. Lalu dia menyambar
sebuah tas kain yang tercantel di dinding. Saat melihat
dinding kayu itulah, matanya tertuju pada barisan panjang
garis-garis hitam dari spidol. Ukuran dinding yang terbuat
dari papan itu tiga kali tiga meter. Dia membuat garis mulai
pada ketinggian pojok dinding, di ketinggian satu setengah
om
meter. Dari sudut kanan hingga sudut kiri, berderet lima
.c
baris yang terbentuk dari garis-garis vertikal yang digoreskan
ot
sp
304
Begitu fajar menyingsing, serombongan manusia dengan
peralatan lengkap, bergerak cepat ke luweng misterius yang
hampir tak diketahui oleh orang-orang kecuali masyarakat
sekitar dan beberapa caver senior semacam Willy dan Dadan.
Mulut luweng tertutup oleh semak belukar. Beberapa batang
pohon raksasa membuat luweng terlihat semakin teduh. Dan
wingit. Tampaknya, meski permukaan tanah di situ terlihat
tandus, akar pohon raksasa itu telah berhasil menembus
gua di bawahnya dan berhasil menemukan sumber air yang
melimpah.
Gabungan Tim SAR dan polisi dengan cepat memangkas
semak-semak yang tumbuh rimbun, serta beberapa cabang
om
pohon yang menutupi luweng. Dalam waktu singkat,
.c
terlihatlah di depan mereka mulut sebuah luweng selebar
ot
sp
di mulut gua.
“Jadi, Ki Gunadi menuruni gua ini hanya dengan seuntai
tali tanpa peralatan apapun,” gumam Willy yang juga ikut
membersamai tim SAR. Nania, Jaka dan Azhar tak absen
dari acara tersebut, sementara Pak Deddy dan Tom sudah
sejak kemarin berpamitan untuk kembali ke kotanya. Fahri,
Fariz dan Fathur, ketiga kakak Fahira pun ikut berkerumun
di mulut gua. Namun mereka tak berani menuruni luweng,
karena merasa tak memiliki pengalaman panjat tebing.
305
“Beliau itu dukun sakti, Wil, ya wajar saja kalau dia bisa
melakukan hal-hal yang tak bisa dilakukan manusia biasa,”
kata Dadan.
Peralatan menuruni tebing sudah purna. Setelah semua
anggota Tim SAR dan sebagian polisi turun ke gua, Willy
menatap ke para anggota ekspedisi.
“Siapa yang akan ikut turun?”
Jaka, Nania dan Azhar sontak angkat jari. “Kami semua
ikut.”
“Baik, bersiap-siap, ya?”
Ketiga kakak Fahira terbelalak melihat Nania melakukan
om
rigging ke bawah, dan membayangkan adik bungsu mereka
.c
melakukan hal tersebut. “Aku yang cowok aja belum tentu
ot
sp
306
“Kata orang-orang di sekitar luweng, dulu tempat ini
banyak dijadikan tempat pembuangan mayat. Kok nggak ada
bekasnya?” gumam Willy. “Cuma gosip, atau mayat itu udah
disingkirkan? Tapi siapa yang menyingkirkan? Ki Gunadi?”
Tak ada yang menjawab gumaman Willy. Mereka semua
berkonsentrasi mengamati ruangan luas itu.
“Itu!” teriak seorang anggota SAR, sambil menyorotkan
senternya. “Ada jejak!”
Para penyelusur dengan cepat mendekat. Di lantai yang
becek oleh sedimen basah, terlihat jelas jejak yang bercampur
lumpur hitam, yang seperti berasal dari permukaan tanah.
“Ayo ikuti jejak ini!”
om
.c
Mereka semua bergerak, dengan pelan namun pasti.[]
ot
sp
og
l
.b
do
in
a-
k
sta
pu
307
pu
sta
ka-
in
do
.b
308
log
sp
ot
.c
om
29
Cavepearl
mendadak berhenti.
“Kita belum bisa memastikan dia mati atau tidak.”
“Kalau dia mati, aku jadi pembunuh,” isakku.
“Kalau kau tidak membunuhnya, kau akan menyaksikan
aku mati dibunuhnya. Setelah aku mati, giliran kau yang
akan dibunuhnya.”
Suara Anton membuatku sedikit tenang. Kecemasan itu
mungkin telah mulai mencair, tetapi hanya berubah ujud
309
dari solid menjadi sedikit lumer. Hawa panasnya masih
terasa sekali.
“Aku takut…”
“Jika kau ditangkap polisi, aku akan menjadi saksi
untukmu!”
“Tapi….”
Anton menepuk pundakku. Lalu merangkulku. Dalam
keadan seperti ini, aku tak bisa berpikir jernih untuk
mengibaskan tangan lelaki itu. “Berjalanlah, kita harus segera
menyelamatkan diri.”
“Aku tak sanggup berjalan.”
om
“Perlukah aku gendong?” Lelaki itu menatapku, bibirnya
.c
tersenyum.
ot
sp
mengucur deras.
in
a-
310
juluran menawan dari langit-langit, serpihan kristal, tetesan
air perkolasi, mulai terasa akrab.
Bekal telah sama sekali habis. Bahkan cadangan
baterai pun benar-benar limit. Headlamp di kepalaku mati.
Senterku sudah mulai meredup. Kami pun akhirnya hanya
mengandalkan headlamp dari Anton, itu pun ketika mata
kami sudah mulai terbiasa dengan kegelapan, sesekali lampu
itu dimatikan untuk menghemat energi.
Aku seperti telah menjadi gelandangan yang compang-
camping dan tak memiliki apapun kecuali harapan. Aku
menjadi pengembara di sebuah lurung, puluhan meter,
bahkan mungkin ratusan meter, di bawah permukaan bumi.
om
Namun, lama-lama ketegangan itu justru mencair. Lelaki
.c
berkeris itu tak mengejar kami. Kami melangkah dengan
ot
sp
311
Namun kami tak berhasrat untuk menggenggam semua-
nya itu dan memindahkan ke kantong-kantong kami. Tidak!
Biarlah keindahan itu abadi di perut bumi. Kami tak mau
merusak mahakarya yang begitu sempurna, yang tersketsa
tak hanya ribuan, namun juga ratusan ribu, bahkan jutaan
tahun. Bahkan, sekadar menjepret gambarnya pun kami tak
mampu, karena kameraku tak ada di tangan, sementara milik
Anton pun telah rusak terbanting-banting saat dia bergulat
dengan lelaki itu.
Tak apa… ada kamera sejati yang bertengger indah di
mata kami. Kenangan ini akan tersimpan indah, dan mungkin
akan tercetak menjadi sebuah karya seni yang indah. Jika
om
Plato dahulu mengusir para perupa yang menurutnya
.c
hanyalah peng-copy ulung dari apa yang terbentang di alam
ot
sp
312
Anton, kau pahlawanku. Tetapi aku tak akan banyak
berbicara. Aku hanya berharap kau mendatangi ayahku,
dan mengatakan kepadanya bahwa kau menginginkan aku
selamanya ada di sampingmu.
Tanpa kata, kukira dia bisa membaca apa gejolak rasa
yang tersimpan di sudut hatiku.
Kami terus melangkah.
Hingga kami melihat cahaya matahari itu. Dan suara-
suara yang riuh.
“Fahiraaaaaaa!!!” sebuah teriakan memecah keheningan
gua.
om
Aku memejamkan mata, merasakan tubuhku seperti tengah
.c
melayang di udara. Lantas, seseorang berlari menghambur.
ot
sp
sepenuh haru.
l
.b
do
Nania.
in
mataku.
sta
pu
313
“Appaaa?” Nania melepaskan pelukannya. “Penelitianmu
ini akan dilanjutkan?”
“Kamu… serius?”
“Serius!” Anton yang menjawab. “Tetapi, di penelitian
kita bulan depan, akan ada status yang telah berubah.”
“Status?”
“Ya. Status kami. Bukan lagi sahabat. Tetapi suami istri.”
Aku membelalak ke arah Anton. Dan kudengar lelaki itu
tertawa lepas.
Ketegangan meluruh seperti daun kering yang jatuh dari
tangkainya.
om
.c
ot
Sepasang Mata dalam Gelap
sp
og
314
Kau berjalan ke depan, menyusuri lorong. Aku sesaat
tertegun ketika merasakan sesuatu menembus pendengaranku.
Ada seseorang, atau dua orang, bersembunyi di dekat batu.
Aku tahu, sebab bunyi lirih yang kukeluarkan, memantul pa-
da benda itu. Pantulan yang sangat berbeda dengan tatkala
gelombang bunyi itu mengenai bebatuan.
Dan ternyata aku benar.
Mendadak seorang lelaki—si rambut panjang, me-
nyerangmu. Kalian bergumul. Cukup lama. Hampir saja kau
berhasil menghantam tubuh lawanmu dengan batu besar
itu. Namun dari balik batu besar, si mungil keluar. Dia me-
raih kerismu. Menusukmu. Kau menjerit kesakitan. Darah
berhamburan. Mereka berdua berlari keluar.om
.c
ot
315
Kau ternyata bergerak menuju sebuah mulut gua. Aku
mendengar suara debur ombak. Matahari bersinar menerangi
mulut gua. Sinarnya membuat mataku terasa pedih dan
silau.
Oh, bahkan aku tak pernah tahu mulut gua yang satu ini.
Maka, terdorong penasaran, aku terbang ke atas. Kusaksikan
dengan jelas, bahwa mulut gua ini ada sebuah lekukan
kecil yang terletak di tebing laut. Di bawah sana, air laut
terbentang membentuk warna biru kehijauan. Ujung lidah
ombak terlihat begitu ganas menampar-nampar tebing.
“Kali ini, daripada hidup dalam keterhinaan, biarkan saja
aku mati!” bisikmu. Darah masih bercucuran, membasahi
om
tubuhmu. Luka yang dalam terlihat di punggungmu. Keris
.c
masih terhujam di sana.
ot
sp
316
30
Dolina
“Senja ke-4823: Sebuah Epilog”
317
bagai kawah penuh berisi air yang tak pernah diam. Pecahan-
pecahan ombak memercik keras saat menggembur karang.
Di sebuah sudut, sebuah lekukan tebing tertutup
bebatuan yang membentuk semacam cekungan. Letaknya
di atas, sekitar dua puluh meter dari permukaan laut. Ceruk
di tengah-tengah tebing itu sebenarnya merupakan mulut
sebuah gua.
Perempuan itu terpana sesaat. Gua itu begitu tinggi.
Bagaimana mungkin dia mampu memanjatnya. Dinding be-
gitu tegak, dengan batu-batu yang sepertinya sangat licin.
Apalagi lidah ombak seperti tak pernah lelah menggempu-
rnya. Dia termangu. Tak mungkin. Tak mungkin dia me-
manjatnya. om
.c
ot
dua helai sapu tangan biru yang kini terlipat dan tersimpan
.b
do
tolol?
k
ta
318
Perempuan itu menikam hamparan air dengan tatap
tajamnya, mencoba menelisik untuk mencari sosok itu.
Tetapi, entah mengapa, sosok itu seperti hilang entah
kemana.
Matahari kian ke condong ke barat.
Perempuan itu, masih terus digempur penasaran. Siapa-
kah manusia yang barusan meloncat dari ketinggian itu?
Tetapi, mengapa dia menghilang?
Senja telah datang. Rinanti enggan pulang. Bahkan dia
sepertinya terlupa, bahwa di dinding kamarnya yang se-
derhana, sudah tercoret garis sebanyak 4822. Semestinya
jika pulang, dia harus menggoreskan satu garis lagi, sehingga
angka yang ada berubah menjadi 4823. om
.c
ot
Senja ke-4823.[]
sp
og
l
.b
do
TAMAT
in
ka-
ta
s
pu
319
pu
sta
ka-
in
do
.b
320
log
sp
ot
.c
om
Biodata
Penulis
321
Prasidatama 2014 Kategori Tokoh Sastra Indonesia dari Balai
Bahasa Provinsi Jawa Tengah.
Tahun 2003, Afra menikah dengan Dr. Ahmad Supriyanto,
dan saat ini telah memiliki 3 anak, yaitu Anis (10 tahun),
Rama (8 tahun) dan Hanifan (4 tahun). Mereka sekeluarga
tinggal di kota Solo yang damai. Afra menyelesaikan S1 di
F.MIPA Universitas Diponegoro pada 2002, lalu melanjutkan
studi di program Magister Manajemen di Universitas Slamet
Riyadi pada 2014. Selain aktif sebagai Sekjen Badan Pengurus
Pusat Forum Lingkar Pena, Afra juga bekerja sebagai CEO
di PT Indiva Media Kreasi. Afra aktif menulis di blog www.
afifahafra.net. Komunikasi juga bisa dilakukan melalui akun
om
Twitter @afifahafra79 atau akun facebook www.facebook.
.c
com/afifahafrapenulis.
ot
sp
ogl
.b
do
in
ka-
ta
s
pu
322