Anda di halaman 1dari 84

Bab 1

Di suatu malam yang tertutup awan mendung, ada satu


rumah berisik. Yang tahu mencoba untuk membisu, lagi
pun hal ini terjadi selalu. Terbiasa hingga sudah biasa
dan mencoba terlihat tidak ada apa-apa.

"Sudahlah! Kau ini hanya bisa numpang makan saja.


Lebih baik kau angkat kaki dari rumah ini!" bentak
seorang lelaki paruh baya.

"Kamu kira aku sudi hidup menua dengan orang miskin


sepertimu!" balas seorang wanita yang kemudian pergi
dengan kopernya.

Wanita itu membanting pintu dan diikuti keheningan


yang mencekam.

Dari balik pintu kamar yang sempit, ada seorang anak


gadis yang menguping pembicaraan kedua orangtuanya
itu. Dia berusaha keras menutupi telinganya dengan
menggunakan kedua tangannya. Isak tangisnya tertahan.
Malam itu tiba-tiba listrik di rumah mereka mati. Gadis
itu tak bergeming sembari berkata, "Harus bagaimana,
selanjutnya harus apa?"

Derap langkah kaki ayahnya terdengar hendak


mendekati pintu kamar, dengan gesit gadis itu bersiap-
siap membuka pintu. Dihapusnya air mata yang
membanjiri pipinya.

Hingga akhirnya suara langkah kaki lelaki itu berhenti,


tepat di depan pintu kamar gadis kecil itu. Dibukanya
pintu kayu dan dirabanya tubuh gadis kecil dalam
kegelapan.

"Ayah, aku di sini," ucap gadis kecil itu.

Lampu kembali menyala. Sebagian wajah anak gadis


itu terkena sorot lampu. Tanpa aba-aba sebuah tamparan
keras mendarat di pipi gadis itu. Tubuhnya yang kurus
membuatnya terjatuh akibat tamparan keras dari sang
ayah.

Tiba-tiba sang ayah memegangi dadanya. Tubuhnya


melemah hingga terduduk. Sedangkan gadis kecil tadi
sudah tidak bertenaga. Keduanya terkulai lemas di lantai.
Dari mulut gadis itu terucap kata istighfar dan syahadat.
Hingga akhirnya gadis itu menutup matanya.

Gadis itu perlahan membuka matanya. Iya tertegun


melihat bahwa dirinya tidak berada di rumahnya,
melainkan di tempat yang asing. Ruangan penuh aroma
obat-obatan dan gorden yang menambah kesan kesepian.
Gadis itu menghela napas.

"Pasien nomor 26, atas nama Hanana. Untuk sementara


waktu sampai kamu sembuh, kamu harus tinggal di sini.
Oh iya saya ada berita baik dan buruk, kamu ingin
mendengar yang baik atau yang buruk dahulu?" tanya
seorang perawat cantik yang masuk ke dalam ruangan
gadis itu.

"Yang buruk."

Perawat itu menatap gadis di depannya dengan


seksama lalu berkata, "Ayahmu meninggal beberapa jam
yang lalu karena penyakit jantungnya. Maafkan kami
tidak bisa menolong ayahmu."

Melihat tidak ada tanggapan dari gadis itu, sang


perawat menghela napas.
"Kabar baiknya, setelah kamu sembuh nanti akan
tinggal di panti asuhan yang ada di kota sebelah,"
sambung-nya.

Gadis itu bergeming. Karena tak mendapat respon apa-


apa, sang perawat itu meninggalkan ruangan dengan
jengkel.

Hana, seorang gadis yang memiliki warna mata coklat


muda, tinggi 167 cm, dan berat badan 47 kg. Rambutnya
berwarna hitam pekat nan panjang. Bentuk wajah yang
oval, dan bulu mata yang lentik. Kulitnya berwarna
kuning langsat. Banyak teman-temannya yang iri pada
kecantikan Hana, karena itu juga Hana tidak memiliki
teman saat di panti asuhan.

Hingga di usianya yang ke 16 tahun, sepasang kekasih


mengunjungi panti asuhan dan mengadopsi Hana.
Mereka adalah malaikat bagi Hana kala itu. Pak Herman
dan Bu Nasyah, yang mengulurkan tangannya untuk
Hana. Mereka mengajarkan Hana ilmu agama, meskipun
tidak banyak.
Hana menempuh pendidikan hingga tamat SMK, dan
memilih untuk merantau. Dan disinilah dia berdiri. Di
ibu kota yang megah penuh dengan kelap kelip lampu.

Bus kota membawanya menuju ke tempat di mana


banyak orang berlalu lalang. Bagi Hana, panti asuhan
adalah penjara. Sudah lama Hana ingin merasakan
kebebasan. Dengan bekal seadanya dan niat serta doa,
Hana nekat untuk mencari kerja di ibu kota.

Di bus, tidak sedikit yang mencari perhatian Hana.


Dalam hati, Hana berdoa agar cepat sampai di kost-nya.
Hana akan tinggal dengan kost yang tidak terlalu mahal,
karena dia juga belum mendapatkan pekerjaan.

Sampai di depan kost, Hana disambut oleh seorang


gadis seumurannya.

"Hai, kamu yang mau tinggal di sebelah kamar kost-ku


ya?" tanya gadis itu.

Hana diam sejenak sambil mengamati gelagat gadis


yang ada di depannya itu.
"Kok diem aja?" tanya gadis itu yang belum
mendapatkan jawaban dari pertanyaan nya tadi.

"Maaf, saya Hana. Semoga kita bisa akrab," jawab


Hana.

Gadis itu menepuk jidatnya dan tertawa, "Oalah ...


maaf aku tadi lupa memperkenalkan diri. Namaku Karini
Ayla, panggil saja Karin."

Hana tersenyum ketika Karin mengulurkan tangan,


dijabatnya tangan Karin yang halus itu.

"Oh iya, kalau ngomong sama aku pakai bahasa biasa


aja ya. Jangan formal-formal banget. Gak perlu sopan
banget sama aku ya, kalau sopan banget aku jadi
sungkan," ucap Karin.

"Iya, saya permisi dulu ya. Wassalamu'alaikum," pamit


Hana.

"Ah iya, waalaikumsalam."

Lantas, Hana pergi meninggalkan Karin. Sore itu Hana


lembur untuk membersihkan kamar kost-nya yang
ternyata cukup kotor.
Jam menunjukkan pukul 19.20. Terdengar suara
ketukan pintu yang sepertinya diketuk berkali-kali. Hana
yang tadinya masih sholat isya terheran-heran dengan
suara ketukan tanpa salam itu.

Sebenarnya Hana bukan lah anak yang alim, tetapi dia


tahu kewajiban seorang umat muslim. Hana juga tidak
selalu memakai jilbab, juga terkadang sholat-nya masih
kurang tertib.

Hana membuka pintu yang terbuat dari kayu itu dan


mendapati seorang gadis cantik berada di depannya.
Kulitnya berwarna putih, rambutnya hitam dan pendek,
memiliki tinggi 170 cm, di bawah mata kirinya terdapat
tahi lalat berukuran kecil. Dialah Karin, tetangga baru
Hana.

"Hana, lo pasti capek sehabis bersih-bersih rumah. Nih


ada martabak, kebetulan tadi gue lagi jalan," ujar Karin.
"Alhamdulillah, terimakasih ya. Kebetulan aku tadi
belum masak," balas Hana sambil menerima kantung
berisi martabak, "Masuk sekalian Rin?" sambung Hana.

"Wah iya, tapi maaf banget gue harus lembur malam


ini. Besok aja gue mampir." Hana menyunggingkan
senyum dan mengangguk.

"Ya sudah, gue pulang dulu ya. Bye," pamit Karin.

"Iya, hati-hati."

Hana kembali menutup pintu ketika Karin benar-benar


sudah masuk ke dalam kamar kost-nya.

Malam itu Hana hanya makan martabak, karena


ternyata dia tadi lupa menanak nasi. Hana hanya
berharap tidak masuk angin karena tidak makan nasi.
Musuh terbesarnya adalah masuk angin dan maag.

Ruang kost Hana tidak begitu besar. Hanya ada bagian


depan dan belakang yang terhalang tembok. Bagian
belakang untuk tidur dan disediakan sebuah lemari kayu.
Sedangkan di bagian depan untuk masak dan ruang
tamu.
Setelah makan dan membersihkan kamarnya, lantas
Hana tertidur. Hana berencana akan mencari kerja
secepatnya. Hana juga tak ingin terlalu peduli dengan
tetangga barunya yang lain.

Keesokan harinya, Hana bangun dan bersiap untuk


melamar pekerjaan di perusahaan. Memang pernah
mimpinya ingin menjadi seorang wanita karir.
Bab 2

Sudah 1 minggu Hana mencoba mencari pekerjaan,


tetapi hasilnya nihil. Tidak ada perusahaan yang mau
menerimanya. Yang awalnya terukir optimis kini terkikis
pesimis. Hana memutuskan untuk hari ini sebagai hari
terakhirnya mencari lowongan pekerjaan di sebuah
perusahaan.

Semangatnya yang perlahan luntur tidak mengurangi


sedikitpun niatnya untuk melamar di sebuah perusahaan
besar dan ternama.

Rok ketat selutut dan kemeja putih. Rambut yang


digelung dan make up tipis natural yang tidak
berlebihan. Juga kedua tangannya yang sibuk
memegangi berkas berisi data diri. Di perjalan menuju
perusahaan besar dan ternama itu hampir membuat nyali
Hana menciut.

Namun, alangkah sedihnya Hana ketika tahu bahwa dia


ditolak. Hana kembali ke kost-nya sambil murung. Tiba-
tiba Karin entah darimana baru saja pulang.
"Ditolak lagi?" tanya Karin.

"Iya nih, mampir ke kost ku yuk. Kita nonton film," ajak


Hana.

"Waaah, seru nihh." Karin tidak jadi masuk ke kamar


kost-nya dan memilih untuk membuntuti Hana.

"Aku tadi baru beli paket internet, jadi bisa buat nonton
film. Maaf ya, di sini gak ada tv," ucap Hana.

Karin tertawa lalu berkata, "Gak semua rumah harus


ada tv-nya, please."

  Sebuah senyum terukir di wajah Hana. Memang hanya


Karin saja yang menjadi temannya semenjak pindah ke
ibu kota ini. Para tetangga lain tidak ada yang mau
menyapa Hana. Bahkan Hana jarang menemui orang
yang saling menyapa ketika berpapasan, meskipun saling
mengenal.

"Mau di kasur apa di sini?" tanya Hana.

"Di kasur aja empuk."


"Teh atau kopi?"

"Udah gak usah, buruan ini mau nonton film apa?!"


cetus Karin.

Karin tidak suka jika Hana terlalu sopan padanya. Dia


menganggap jika Hana sedang bersama dengan orang
asing. Padahal hari-hari mereka lalui bersama. Tak
jarang juga Karin menginap di kamar kost Hana. Karin
sebetulnya tidak terlalu mempermasalahkan sikap Hana,
hanya saja Karin akan jengkel dan risih jika Hana
berbuat terlalu sopan padanya.

Jam menunjukkan pukul 14.09. Film sampai di bagian


akhir. Namun, belum sampai film tamat Karin ada
panggilan mendesak dari atasannya. Setelah telepon
dengan atasannya yang memakan waktu kurang lebih 15
menit, akhirnya usai juga panggilan itu.

"Aduh, Han. Sorry banget, tapi gue ada panggilan


mendesak. Gue harus pergi sekarang juga," ujar Karin.

"Ouh yaudah gapapa. Hati-hati ya di jalan."


Pintu kembali tertutup. Sayangnya, Karin sudah pergi.
Bahkan mereka berdua belum sempat makan siang
karena keasyikan nonton film. Hana terlihat murung, ia
jadi teringat kembali hasil tes kerjanya yang tidak
membuahkan hasil.

"Apa aku harus pindah lagi?" tanya Hana pada dirinya


sendiri. 

Mengingat kontrak kost selama satu tahun membuat


Hana enggan untuk pindah. Lagipula Hana juga belum
berkeliling di ibu kota, sangat disayangkan jika
melewatkan kesempatan emas itu.

  Hana memutuskan untuk mandi dan bersiap-siap. Dia


ingin mengelilingi kota, juga sekalian untuk memotong
rambut. Dia merasa cukup risih dengan rambut yang
panjangnya sepinggang. Tidak mengapa, mungkin dia
ingin kepalanya terasa lebih ringan.

  Hana adalah gadis yang tidak suka bicara terlalu


banyak, karena itu dia sulit untuk berkomunikasi dengan
orang. Tetapi, justru karena sifatnya itulah Karin
semakin ingin menempel padanya. Karin cenderung
lebih cerewet dan lebih banyak bicara. Cara Karin
bersosialisasi bisa diacungi jempol, hampir saja Hana
mengira semua orang mengenal Karin.

  Hana berjalan ke halte bus. Dia baru sadar kalau dia


ingin jalan-jalan tanpa tau arah.

  "Masa iya aku balik lagi," keluh Hana lirih.

Di halte ada seorang wanita yang sedang duduk


bersama anak laki-lakinya, dan ada satu orang laki-laki
yang memakai Hoodie hitam. Awalnya Hana ingin
bertanya pada wanita itu, tetapi diurungkannya hanya
karena wajah wanita itu sinis.

Hana menatap laki-laki itu dengan seksama, dia


menyadari bahwa laki-laki itu umurnya tak jauh beda
darinya.

"Permisi, saya baru pindah ke kota ini. Saya ingin


mengunjungi tempat yang paling menarik di sini. Akan
tetapi, saya belum hafal dengan jalannya. Apa anda
dapat membantu saya?" tanya Hana dengan sopan.
  Laki-laki itu menatap Hana dengan seksama. Hana
yang kebingungan dan belum mendapat jawaban atas
pertanyaannya mencoba untuk bertanya lagi.

"Halo?"

Laki-laki itu mencopot earphone-nya, "Maaf, bisa anda


ulangi?"

Senyum yang tadinya mengembang di bibir Hana kini


mulai kusut. Dalam hatinya dia sudah memaki-maki
laki-laki itu.

"Tempat paling menarik di kota ini di mana?" tanya


Hana.

"Pendatang baru ya. Jika anda menyukai tempat yang


romantis, saya sarankan pergi ke jembatan yang ada di
ujung jalan ini. Karena ada sebuah toko buket yang tidak
jauh dari sana, banyak orang mengungkapkan
perasaannya di sana," jelas laki-laki itu.

"Baiklah, terimakasih."

"Saya duluan ya, Assalamualaikum," pamit laki-laki itu.

"Iya, waalaikumsalam."
Kini laki-laki itu masuk ke dalam bus yang baru saja
datang. Entah kenapa Hana jadi gelisah tidak karuan.

"Ah sial, harusnya tadi aku menanyakan namanya," sesal


karua.Lantas Hana melanjutkan perjalanan dengan
berjalan. Belum sampai di jembatan, Hana sudah
berhenti di depan sebuah toko buku yang tidak terlalu
ramai pengunjungnya. Dan yang membuat Hana tertarik
untuk berhenti adalah sebuah informasi lowongan kerja
di toko itu.

  Hana tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk


bekerja. Toh dia juga sudah menyerah untuk melamar di
perusahaan. Asalkan halal, Hana tidak keberatan.

Dia masuk ke dalam toko buku itu. Kesan pertama


yang dirasakan Hana saat masuk ke dalam toko itu
adalah sebuah perasaan nostalgia. Nyala AC yang
mendinginkan ruangan, buku-buku yang berjejer rapi di
rak-nya, dan aroma buku yang melekat di hati.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang wanita di


belakang Hana.
"Ah iya, saya ingin melamar pekerjaan. Apakah masih
ada tempat untuk saya?"

"Baik, apa anda sudah memiliki pengalaman?" wanita itu


menatap Hana dengan tajam. Ia kebingungan dengan
Hana yang tidak membawa berkas apapun.

"Belum ada. Eh astaghfirullah, maaf mbak saya gak


bawa berkas sama dokumen. Tadi saya niatnya jalan-
jalan, terus gak sengaja lihat poster di depan," jelas
Hana.

"Baiklah, ikut saya ke ruang wawancara." Wanita itu


berjalan menuju sebuah ruangan diikuti dengan Hana
yang kikuk.

Hari menjelang malam. Hana puas menikmati makan


malamnya, yaitu pecel lele. Hana benar-benar bersyukur
karena diterima kerja, magang bagian kasir.

Lagipula Hana juga ingin mencoba berinteraksi dengan


banyak orang. Walaupun gajinya tidak seberapa, tetapi
Hana tetap bersyukur dan mencoba menikmati
pengalaman yang akan dia dapatkan ketika bekerja nanti.
Saat pulang, Hana melewati Halte bus lagi. Tiba-tiba dia
teringat akan laki-laki yang ditanyainya tadi.
"Masyaallah, ganteng banget laki-laki tadi. Semoga aja
bisa ketemu lagi," ujar Hana sambil tertawa pelan
meninggalkan halte bus.

Bab 3

Gadis berusia 19 tahun itu terus mengembangkan


senyuman yang manis. Ditambah dengan rambutnya
yang kini pendek menambah kesan imut dalam
personalitinya. Beberapa hari yang lalu dia dipenuhi oleh
awan sedih. Namun, kini dia kembali cerah dan lebih
bersemangat. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja di
sebuah toko buku.

Dikuncinya pintu kayu yang suka berderit ketika


dibuka dan ditutup. Tak sengaja Hana melihat Karin
yang memakai jilbab berwarna oranye.

“Assalamualaikum. Selamat pagi, Karin,” sapa Hana.


“Waalaikumsalam, pagi juga. Tumben pagi banget,
kebelet nyari tempat duduk ya?” celetuk Karin.

“Nggak, aku udah dapet pekerjaan. Kebetulan aku kerja


di toko buku Cahaya. Sepertinya aku harus
mengurungkan niat buat melamar kerja di perusahaan.
Lagipula aku sudah ikhlas mau kerja apa saja, yang
penting halal.”

“Nice. Btw rambut kamu kenapa dipotong?” tanya


Karin.

“Soalnya di sini gerah banget. Sudah begitu, aku gak


punya kipas angin.” Hana merapikan rambutnya.

“Ya sudah, kamu kerja yang semangat ya. Aku juga


mau berangkat, wassalamu’alaikum.”

“Iya waalaikumsalam, hati-hati.” Hana juga bergegas


menuju tempat kerjanya.

Celana panjang berwarna krem dipadu dengan kemeja


berwarna putih, terkesan kalem. Di hari rabu yang cerah
ini, tidak sedikit orang yang datang ke toko buku.
Kebanyakan dari mereka mencari novel dan komik.
Semua berjalan dengan baik-baik saja, meskipun pada
awalnya Hana sedikit kesulitan dalam berinteraksi
dengan pelanggan. Hana benar-benar kelelahan pada jam
istirahat siangnya.

Toko buku Cahaya, didirikan pada tahun 1998. Gaya


toko yang klasik dan beberapa koran yang dipajang
membuat para pelanggan sering nostalgia. Dahulu masih
banyak orang tua yang tinggal di kota sering
mengunjungi toko buku ini. Tetapi seiring
perkembangan zaman, para pelanggan mulai
meninggalkan dan memilih untuk membeli di tempat
yang lebih bagus. Padahal toko buku ini tergolong
lengkap isinya. Ada 3 lantai, lantai pertama adalah lantai
paling berkesan, gaya klasiknya tidak bisa hilang dan
masih melekat, di lantai dua menjadi perpustakaan.
Sedangkan lantai ketiga adalah lantai untuk bersantai.
Banyak pengunjung yang suka beristirahat di lantai 3.

Sehabis sholat dhuhur berjamaah dengan beberapa


rekan kerjanya, Hana kembali bertugas. Namun, ada hal
yang baru dia sadari. Ada salah satu pengunjung yang
menarik perhatiannya. Seorang laki-laki yang mirip
dengan laki-laki yang berada di halte bus kemarin. Kali
ini Hana merasa sangat kikuk. Tangannya mulai tremor

Laki-laki yang tingginya 178 cm dan berkulit putih


serta rambut yang tidak terlalu panjang. Dia sedang
memilah judul buku untuk dibeli. Tanpa sadar, Hana
terus-menerus menatap laki-laki itu.

Hingga akhirnya tiba saat untuk membayar buku. Hana


sebenarnya sangat senang, tetapi wajahnya terlihat biasa
saja.

“Berapa harga buku ini?” tanya laki-laki yang dikagumi


oleh Hana.

“Sebentar saya lihat dulu.” Hana mengambil buku yang


disodorkan laki-laki itu, “Harganya Rp 98.500.”

“Baiklah, ini uangnya. Sekalian saya pinjam buku ini.”

“Tahajjud,” ucap Hana. Secara tidak sengaja ia membaca


judul buku yang dipinjam laki-laki itu.

“Baik silahkan lengkapi data ini,” sambung Hana.

Hana memberi kembalian dan membungkus buku yang


dibeli laki-laki itu.
“Baiklah terimakasih,” ucap laki-laki itu.

“Terimakasih kembali, silahkan datang lagi.” Hana


menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

Setelah laki-laki tadi benar-benar menghilang dari


hadapan Hana, diambilnya buku pinjaman perpustakaan.
Dan benar saja, kini Hana tahu siapa nama laki-laki itu.
Bilal, nama laki-laki yang dikagumi oleh Hana.

Untung saja rekannya yang bertugas sebagai


pembimbingnya saat magang sedang di toilet. Hana pasti
malu jika terus-terusan dilihat oleh rekannya yang super
kepo itu. Bisa-bisa image Hana si cewek judes hilang
karena ketahuan salah tingkah brutal. Sebelumnya Hana
belum pernah merasa menyukai lawan jenisnya. Baru
pertama kali baginya untuk jatuh cinta.

Jam sudah menunjukkan pukul 20.30, sudah waktunya


untuk Hana pulang. Ia berpamitan pada Astrid-kakak
pembimbingnya. Jalan di ibu kota tidak pernah sepi.
Hana sama sekali tidak risau jika pulang sendirian saat
malam hari karena kost Hana terletak tak jauh dari jalan
utama. Kebetulan saat dia sampai di halte, ada bus yang
berhenti. Ada banyak yang turun di halte ini, tetapi ada
juga yang naik. Salah satunya adalah Bilal. Tetapi Bilal
tidak menyadari keberadaan Hana.

Tak diduga-duga Karin juga turun dari bus itu. Hana


tidak sadar jika ada Karin di belakangnya. Tetapi Karin
yang iseng justru mengikuti Hana layaknya ppencopet

“Assalamualaikum!” bentak Karin.

“Waalaikumsalam, astaghfirullah Karin. Untung saja aku


nggak punya penyakit jantung,” ucap Hana sambil
memegangi dadanya.

“Malam-malam gini kalau jalan sendirian jangan


ngelamun.”

“Siapa yang ngelamun, kan wajahku memang begini.”

“Dih alasan,” cibir Karin.

“Aku nginep di tempatmu ya. Aku tuh kesepian kalau


sendiri,” rengek Karin.

“Emang kamu bayar sewa kost nggak rugi? Udah bayar


mahal kok tidurnya di kamar orang,” ledek Hana.
“Ya setidaknya bisa buat nyimpen pakaian.”

“Iya deh iya.”

Sampailah mereka di depan pintu kost. Hana membuka


kunci dan tanpa malu Karin menyelonong masuk ke
dalam kost.

“Han, umur mu berapa sih?” tanya Karin.

Hana menghela napas. “4+5+20-10. Tidak akan ku


ulangi.”

“Wah, kita beda gak jauh. Aku november kemarin 23.”


Karin meletakkan tas nya dan merebahkan tubuhnya di
atas kasur.

“Bulan depan aku 20. Rasanya ingin cepat-cepat punya


banyak uang.”

“Haha, sudah punya pacar belum?” tanya Karin.

Hana tersentak dengan pertanyaan tersebut. Jangankan


pacar, dekat dengan laki-laki saja belum pernah. Kecuali
dengan ayah angkatnya.

“Belum, kalau mbak nya?”


“Gak usah panggil mbak, panggil Karin aja biar kayak
seumuran. Kalau pacar sih enggak, tapi kalau calon
imam sudah ada. Lagian gak lama lagi aku akan nikah.
Nanti pas aku nikah kamu harus dateng, kalau enggak
lihat saja,” ancam Karin.

“Insyaallah.”

Hana menuju ruang depan dan menutup jendela.


Ketika berganti baju, ia teringat dengan Bilal. Semenjak
tadi ia selalu terpikir oleh Bilal. Hingga dalam hati dia
bertanya, “Apa jangan-jangan aku jatuh cinta pada
Bilal?”

“Han, buruan!” teriak Karin.

Lamunan Hana seketika buyar. “Iya sebentar. Ada apa


sih? Malam-malam jangan teriak, ganggu tetangga
istirahat,” tegur Hana.

“Habisnya kamu lama banget.”

“Iya maaf, oh iya. Aku mau tanya dong, kalo suka


kepikiran sama lawan jenis itu normal gak sih?” tanya
Hana.
Karin mengelus dada. “Itu namanya kamu lagi jatuh
cinta. Kalau cinta pertama ya biasa sih, lagian kan kamu
gak pernah deket sama laki-laki, jadinya ya begitu.”

Hana merebahkan tubuh nya di samping Karin.


Senyumnya seketika mengembang.

“Kayaknya dia itu islami banget. Tapi cara dapetinnya


gimana ya?” tanya Hana.

“Nah itu kamu cari sendiri jawabannya." Karin


membalikkan tubuhnya menghadap tembok.

"Jangan lupa doa dulu," celetuk Hana.

Karin tidak menjawab, sedangkan Hana masih terdiam


memikirkan Bilal.
Bab 4

Pagi itu Karin berangkat lebih dulu, sedangkan Hana


masih di kost. Jam menunjukkan pukul 06.45, Hana
berniat untuk membuang sampah ke tempat pembuangan
sampah yang berada di depan gang kost. Kost Hana itu
masuk ke dalamn gang sempit, bahkan terkadang Hana
lupa dengan jalan menuju kamar kostnya.

Saat berjalan melewati gang, tidak sengaja ia


berpapasan dengan seorang ibu-ibu yang berumur sekitar
40-an. Wajahnya terlihat sinis.
“Gawat, kayaknya aku bakal ditanya-tanya,” gumam
Hana.

Benar saja. Ibu-ibu itu tersenyum miring pada Hana.


“Anak baru ya?”

“Iya, baru pindah beberapa minggu yang lalu.”

“Kok gak pernah lihat ya. Malu kenalan sama tetangga


atau memang sombong?” tanya ibu-ibu itu.

“Aduh, saya gak ada waktu buat hal-hal yang gak


penting.”

“Ternyata orang sibuk.”

Hana mulai jengkel dengan tutur kata ibu-ibu itu.


“Saya Hana, senang bertemu dengan anda.”

“Saya Asna. Kamu pindahan dari desa mana?”

Hana mengulum senyumnya, “Kalaupun saya beri tahu,


anda juga tidak akan tahu tempatnya di mana.”

“Benar juga. Kalau begitu mau mampir? Saya sudah


masak ala Korea. Tahu kimchi nggak?” tanya ibu Asna.
“Terimakasih atas tawarannya, tapi saya tidak suka
makanan pedas. Kalau begitu saya pamit dulu. Pekerjaan
saya gak Cuma buang sampah,” pamit Hana.

“Iya sudah, saya juga mau belanja.”

Akhirnya Hana dengan segera meninggalkan tempat


itu. Ia lega karena akhirnya bisa lepas dari pertanyaan-
pertanyaan ibu-ibu yang sinis seperti itu.

Selesainya membuang sampah, Hana kembali melewati


gang di mana ada ibu Asna yang sudah berdiri.
Tampangnya seperti ingin membegal Hana. Tapi mau
tidak mau Hana harus lewat jalan itu karena hanya itu
satu-satunya jalan tercepat untuk sampai di kamar kost-
nya.

“Sudah selesai buang sampahnya?” tanya ibu Asna.

“Sudah. Anda juga cepat sekali belanjanya,” timpal


Hana.

“Saya sudah belanja tadi pagi.”

“Ya sudah saya duluan, mau berangkat kerja.”

“Kerja apa?” tanya ibu Asna.


“Aduh salah ngomong lagi,” batin Hana.

Hana mengulum senyum, “Kerja di toko buku Cahaya.”

“Bagian apa?”

“Aduh maaf, saya buru-buru.” Hana berjalan cepat


menjauhi ibu Asna yang sudah mencibirnya.

Sampai di kost-nya, Hana benar-benar lega. Energinya


sudah terkuras hanya karena menanggapi pertanyaan dari
ibu Asna. Hana yang kurang bisa adu mulut hanya bisa
pasrah dengan setiap kata yang muncul dalam
pikirannya.

“Astagfirullah.” Hana hanya bisa mengelus dada sambil


istighfar.

Hari ini Hana menggunakan jilbab berwarna matcha


yang serasi dengan celananya. Hana berharap bisa
bertemu dengan Bilal. Dia merasa harus berpenampilan
lebih agar diperhatikan oleh Bilal.

Kali ini ibu Asna tidak terlihat, Hana dengan santai


berjalan melewati kamar kost ibu Asna. Hal fatal yang
tidak dia sadari adalah jalannya yang pelan. Dia tidak
sadar jika pintu kamar ibu Asna terbuka.

“Han, tunggu!” teriak ibu Asna.

Mau tidak mau Hana memilih untuk diam dan


menunggu ibu Asna keluar dari kamar Kost-nya. Sebuah
kantung plastik hitam berada di tangan ibu Asna
mengeluarkan bau harum ayam goreng.

“Ini kamu makan pas istirahat ya. Kalo nggak suka ayam
goreng-nya jangan dibuang, dibalikin aja.” Ibu Asna
terkekeh sambil menyodorkan plastik hitam itu kepada
Hana.

Hana menerima, “Terimakasih ya Bu, lain kali gak


usah repot-repot. Toh di dekat sana ada rumah makan.”

“Sudah sana berangkat, kalo gak jadi berangkat


makanannya saya ambil lagi,” tuntut ibu Asna.

Hana mengangguk dan pergi. Hana sangat bingung


pada ibu-ibu yang satu itu. Sebenernya baik, tapi
bahasanya saja yang sedikit minus.
Di halte, Hana tak sengaja bertemu dengan Bilal. Bilal
sedang sendirian duduk di halte sambil membaca buku
yang berjudul Tahajjud. Hana mencoba mengacuhkan
Bilal, meskipun dalam hatinya dia sangat ingin menyapa.

“Mbaknya yang di toko buku Cahaya kemarin bukan?”


tanya Bilal tiba-tiba.

Mendengar pertanyaan seperti itu Hana langsung


gelagapan. Dia tidak menyangka akan disapa terlebih
dahulu oleh Bilal. Hana membalikkan badannya
menghadap Bilal.

“Iya, kenapa ya?”

“Masyaallah, mbaknya cantik kalau berjilbab,” puji


Bilal.

“Terimakasih.”

Bilal berdiri dan mendekat pada Hana. “Perkenalkan


nama saya Bilal Arfa’i.”

“Salam kenal saya Hanana, biasa dipanggil Hana.”

“Saya mau kembalikan buku, apa boleh saya berjalan


dengan anda?” tanya Bilal.
“Tentu saja.” Hana mulai berjalan, Bilal pun mencoba
untuk berjalan di dekat Hana.

“Anda tertarik dengan sholat tahajud?” tanya Bilal.

“Saya belum mencobanya.”

“Saya sangat menganjurkan, sebab dengan sholat tahajud


apapun yang anda minta pada Allah SWT insyaallah
dikabulkan, serta diampuni dosa-dosa anda,” jelas Bilal.

“Insyaallah saya akan coba untuk sholat tahajud.”

Sampailah mereka di toko buku yang belum dibuka.


Memang toko ini akan dibuka pada pukul 09.00,
sedangkan sekarang pukul 08.56.

“Saya ke dalam dulu, tolong tunggu di sini,” pamit Hana.

Bilal mengangguk. Hana dengan cepat masuk ke dalam


toko dan bertemu dengan pegawai lain. Dan toko pun
dibuka lebih cepat.

“Assalamualaikum.”
Sontak semua pegawai di toko buku yang muslim
menjawab, “Waalaikumsalam warahmatullahi wa
barokatu.”

Mereka terheran-heran karena tidak biasanya ada


pengunjung yang rela menunggu toko buka. Tetapi
dibiarkan sajalah, toh juga pelanggan.

Bilal mengisi data di buku pinjaman dan naik ke lantai


dua untuk mengembalikan buku yang dipinjamnya.
Sedangkan Hana sibuk mengurusi beberapa berkas
penting. Hana sangat senang, hatinya seperti lebih
berwarna.

Hana kembali ke tempatnya bekerja, kebetulan Bilal


sudah turun dari lantai dua. Hana mencoba untuk tidak
terlalu memperhatikan Bilal. Namun, lagi-lagi matanya
tak sengaja menangkap tatapan dari Bilal.

“Terimakasih ya, Han. Saya pergi dulu,


wassalamu’alaikum,” pamit Bilal.

“Terimakasih kembali, waalaikumsalam.”


Hana mencoba untuk tidak tersenyum, tetapi itu sulit
dilakukan.

“Han, kamu dari tadi senyam-senyum sendiri jangan-


jangan...” Sebuah suara yang mampu membuat Hana
bergidik ngeri.

Siapa lagi kalau bukan suara dari Astrid-


pembimbingnya. Si Astrid yang terkenal sebagai detektif
di toko buku Cahaya. Sebab, pertanyaan-pertanyaan
yang dilontarkannya selalu menjebak. Hana sampai tidak
habis pikir ketika melihat cara Astrid menggunakan
teknik marketingnya.

“Kamu naksir ya sama laki-laki tadi?” tanya Astrid.

“Just kagum.”

“Bohong kalau enggak.”

Hana yang tersipu malu memilih untuk jujur. “Itu tau


kenapa masih nanya?”

“Buruan diajak pdkt, sebelum diambil orang say,” desak


Astrid.
“Hana, bisa tolong bantu sebentar?” potong seorang
wanita bernama Evi.

“Tentu saja, dengan senang hati.”

Hana mengikuti Evi yang masuk ke dalam ruangan


penuh buku-buku baru.

“Tolong kamu buku kisah nabi ke lantai dua,” ucap Evi


sambil menunjuk ke arah tumpukan buku.

“Baiklah.”

Hana pun membawa buku-buku yang harus dibawa ke


lantai dua. Sesampainya di lantai dua, seorang penjaga
laki-laki melirik tajam ke arah Hana.

“Sekalian dirapikan di tempatnya,” ucap laki-laki itu.

Hana ternganga melihat laki-laki yang sok cool itu.


Tetapi berhubung Hana masih magang, dia terpaksa
mengikuti segala keinginan para seniornya. Hana lanjut
berjalan hingga menemukan rak kosong. Terdapat nama
untuk buku Kisah Nabi. Jadi tanpa basa-basi Hana
langsung menata buku-buku yang ia bawa.
Ketika Hana memperhatikan buku Kisah Nabi itu, hati
Hana rasanya tenang. Karena penasaran, Hana
memutuskan untuk meminjam satu buku. Karena sejak
kecil pengetahuannya tentang agama sangat minim, ia
jadi ingin lebih mengenal Tuhannya.

Setelah selesai menata, Hana pun kembali ke lantai


satu. Hingga jam makan siang pun datang. Hana terkejut
dengan masakan ibu Asna. Ternyata masakan ibu Asna
sangat enak. Ayam yang digoreng pun rasanya lebih
gurih dan nikmat.

“Alhamdulillah.”

Bab 5

Dimulai malam ini, Hana melakukan sholat tahajud.


Hampir saja dia terlelap dalam tidur, jam menunjukkan
pukul 01.36 dan Hana sudah siap memulai sholat
tahajud-nya.
Selesainya sholat, Hana berdoa pada Allah SWT agar
didekatkan pada jodohnya. Dan apabila memang
berjodoh, Hana mohon agar Bilal saja yang menjadi
calon imamnya. Dan kalaupun bukan Bilal, Hana ingin
mendapat seorang lelaki yang beriman agar dapat
menuntunnya menuju jalan yang benar.

Semenjak saat itu, Hana selalu melakukan sholat


tahajud. Hingga sudah menjadi kebiasaan Hana, bahkan
Karin sampai terkejut melihat Hana rajin sholat Tahajud.

Malam tahun baru berlalu. Hana sempat sedih karena


tidak mendapat sebuah buket bunga dari Bilal, atau lebih
tepatnya Hana lah yang terlalu berharap. Bulan berganti
Januari. Dan Hana masih menanti lamaran dari Bilal.
Hana juga mulai merasa lelah dengan pekerjaannya.
Tetapi Hana tetap berdoa pada Allah agar lebih
didekatkan dengan Bilal.

Menjelang hari ulang tahunnya, Hana yang baru terima


gaji berniat untuk membeli ponsel baru. Lagipula ponsel
lamanya sudah usang. Ia terkejut ketika Karin dan para
pegawai toko buku merayakan ulang tahunnya. Tetapi,
dia masih mengharapkan Bilal.

Senja kala itu tertutup awan mendung, seakan tahu


seberapa hampa perasaan Hana.

"Han, jangan ngelamun. Masa tambah tua bukannya


semangat malah suka ngelamun," canda Karin.

"Enggak gitu, Rin. Aku masih berharap dikasih buket


bunga sama laki-laki yang aku suka."

"Bukannya gimana-gimana, cuma jangan berharap lebih


pada laki-laki. Toh kamu kan cuma sekedar kenal. Kamu
juga gak punya nomor telponnya, gimana cara kalian
komunikasi coba?"

"Tapi aku udah terlanjur suka, Rin," protes Hana.

"Ingat ya, semua manusia akan memilih pasangan yang


dapat membuatnya nyaman. Nyaman itu terbuat dari
komunikasi. Jadi, tanpa komunikasi usahakan tidak
berharap lebih."

"Tapi Rin." Karin membungkam mulut Hana dengan


jari telunjuknya.
Suasana menjadi hening. Hana maupun Karin sama-
sama terdiam. Hingga akhirnya Karin memutuskan
untuk meninggalkan Hana sendirian. Hana mencoba
mencari alasan untuk diutarakan jika sewaktu-waktu
Karin bertanya, "Apa yang kau suka darinya?"

Dan bahkan sampai sekarang pun Hana belum tahu


mengapa dia menyukai Bilal. Apa hanya karena Bilal
memujinya cantik atau karena Bilal yang mempesona?
Hana masih labil dalam hal bercinta, berbeda dengan
Karin.

Hana kembali menikmati pesta yang dibuat untuknya.


Sebuah jamuan kecil diadakan di rumah Winda-pegawai
toko buku bagian promosi. Hana mencoba untuk
menikmati pesta dan melupakan semua tentang Bilal.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa Hana selalu
mencari Bilal.

Kini Hana benar-benar sudah dewasa. Dan dia ingin


lebih fokus pada pekerjaannya. Sudah satu bulan
semenjak ulang tahunnya, dan sudah 1 bulan lebih 5 hari
dia tidak bertemu dengan Bilal. Dia rasa sudah bisa
melupakan Bilal, walaupun tidak sepenuhnya. Namun,
siapa sangka jika di sore hari itu Bilal datang.

"Assalamualaikum."

Mendengar suara salam Hana dan Astrid refleks


menjawab bersamaan. "Waalaikumsalam."

"Hana, apa anda sedang sibuk sekarang?" tanya Bilal.

Hana yang awalnya biasa saja menjadi kikuk. "Tidak,


ada perlu?"

"Iya, saya ingin bicara empat mata dengan anda di lantai


3."

"Baiklah, silahkan anda naik duluan. Saya akan


menyusul."

Bilal mengangguk setelah mendapat persetujuan dari


Hana. Sedangkan Hana, Hana masih keringat dingin dan
tremor dalam pelukan Astrid.

"Duh ini gimana?" tanya Hana.

"Udah jalanin aja. Siapa tahu dia cuma pengen kenal


lebih dekat."
"Ini beneran nggak apa-apa kan?"

Astrid mencubit pipi Hana. "Tuh kan gak apa-apa,


bukan mimpi. Ini real!!!"

Hana mengangguk dan menyusul Bilal di lantai 3.


Ternyata Bilal masih menunggu Hana.

"Katakan dengan cepat apa tujuan anda," ucap Hana


dengan tegas.

"Silahkan duduk. Saya hanya ingin bertanya mengenai


pendapat anda tentang pernikahan," jelas Bilal.

Dalam hati Hana terkejut bukan main. Apalagi


menyangkut pernikahan, sudah ke jenjang itu. Hana
duduk berhadapan dengan Bilal. "Apa sudah mapan?"

"Sudah, saya sudah memiliki semua.  Hanya saja saya


kesulitan dalam melamar. Saya pikir bertanya dengan
orang adalah pilihan yang tepat."

Hana menaikkan salah satu alisnya. "Bagaimana dengan


jembatan dan buket?"

"Apa trik murahan seperti itu membuahkan hasil yang


maksimal?" sanggah Bilal.
"Wanita baik akan menerima apa adanya. Tak perlu
khawatir, wanita yang anda pilih pasti mau."

"Baiklah, terimakasih sarannya."

"Ngomong-ngomong, sudah melakukan sholat tahajud.


Rasanya hati lebih sejuk. Saya juga mulai mendekatkan
diri pada Allah SWT," ujar Hana.

"Alhamdulillah, baguslah. Baik, hanya itu yang perlu


saya tanyakan pada anda. Terimakasih banyak, saya
pamit dulu, wassalamu'alaikum," pamit Bilal.

"Waalaikumsalam."

Kini di lantai 3 menjadi sepi. Memang lantai 3 adalah


tempat paling tenang diantara lantai lain. Hana
memutuskan untuk berkeliling sebentar sembari
mengamati hal-hal yang ada di lantai 3.

Kini mata Hana tertuju pada satu buku yang berjudul


"Riya'&Sum'ah". Karena penasaran, Hana mencoba
membaca isi buku tersebut secara cepat. Hana hanya
ingin mencari makan dari judul buku itu.
Betapa terkejutnya Hana ketika mengetahui arti dari
Riya' & Sum'ah. Dia teringat akan pembicaraannya tadi
dengan Bilal yang jelas-jelas termasuk Sum'ah. Seketika
tubuh Hana diselimuti oleh rasa malu.

Hana kembali turun ke lantai 1 dan bertemu Astrid.


"Astrid, aku gak nyangka..."

Astrid yang awalnya ceria kini menjadi panik. "Kenapa?


Kamu tadi diapain?"

"Tadi dia tanya pendapatku tentang pernikahan," jelas


Hana.

Mata Astrid seolah ingin copot. Ia ternganga


mendengar pernyataan dari Hana. "Beneran?"

"Ngapain juga aku bohong," cibir Hana.

"OMG! Please!"

"Jangan panik dong!" bentak Hana karena Astrid yang


hebohnya seperti orang kesurupan.

"Dia datang tiba-tiba tanya pendapat tentang pernikahan!


Please, ini aneh banget!" cetus Astrid yang masih heboh
sendiri.
"Ah lupakan saja."

Tiba-tiba ada pengunjung datang. Terpaksa Astrid


berpura-pura jadi seseorang yang terlihat profesional,
padahal aslinya dia itu orang yang terlihat mudah panik.

Malam pun datang. Hana terus-terusan


mengembangkan senyum. Bahkan dia membeli martabak
manis untuk tetangga tercintanya, yaitu ibu Asna. Tak
lupa untuk Karin juga.

"Assalamualaikum," sapa Hana di depan kamar kost


Karin.

Terdengar suara langkah kaki yang sedang menuju ke


arah Hana. Tak diduga Karin membuka pintu dan
langsung menarik tangan Hana masuk ke dalam kamar
kost-nya.

"Waalaikumsalam. Ngapain bawa martabak?" tanya


Karin.

"Ya buat kamu lah."

"Please deh, kalo ke sini gak usah bawa apa-apa," gerutu


Karin.
"Yang bilang mau mampir siapa? Kan aku cuma mau
kasih martabak," cibir HKarin

"Oke-oke lupakan masalah martabak. Sekarang kamu


tidur di sini."

Hana menaikkan salah satu alisnya. "Aku gak bawa


baju ganti."

"Pakai punyaku aja. Pokoknya malam ini kamu harus


nginep di sini!" paksa Karin.

"Sebenarnya kenapa?"

"Tadi aku nonton film horor, setannya masih terngiang-


ngiang di kepala ku. Ini belum selesai film nya. Kamu
harus temenin aku pokok nya."

"Terus kalo tadi aku gak mampir kamu gimana?" tanya


Hana.

"Ya aku lari ke rumah kamu, terus tidur bareng kamu,"


jawab Karin dengan santainya.

"Astagfirullah." Hana hanya bisa mengelus dada kalau


sudah begini.
Bab 6

Semenjak Hana sering melakukan sholat tahajud,


hatinya semakin terbuka pada Allah SWT. Dan semakin
lama Hana mulai bisa melupakan Bilal. Meskipun dalam
sholat tahajud-nya ia masih berdoa jika Bilal adalah
jodohnya.

Di hari minggu ini, Hana berencana untuk


menghabiskan waktu bersama Karin di sebuah taman
bermain. Namun, Hana sedikit jengkel pada Karin yang
make-upnya setahun.

“Rin, ayo lah. Lama banget,” celetuk Hana.

“Kan aku sudah bilang kalau sebentar lagi mau nikah,


jadi ya aku harus perawatan lah Han.”

“Ya tapi keburu siang, Rin.”

“Iya-iya nih udah selesai.”


Mereka berdua naik taksi karena sama-sama tidak bisa
naik motor ataupun mobil. Tetapi, sebelum pergi ke
taman bermain mereka membeli pakaian yang sama.
Celana panjang berwarna hitam, hoodie berwarna liliac,
dan jilbab pasmina berwarna hitam. Mereka berdua
sekilas terlihat kembar.

Mereka menikmati minggu siang yang cerah hanya


berdua. Hingga sore pun tiba. Sebelum pulang mereka
makan di rumah makan cepat saji yang terletak tak jauh
dari kost mereka.

“Han, menurut kamu nanti bagusnya aku pakai wedding


dress yang gimana?” tanya Karin.

“Mau gimanapun style-nya, kalau kamu yang pake udah


dijamin cocok deh. Soalnya body mu bagus,” puji Hana.

“Tapi aku bingung, aku pengen yang kayak princess juga


pengen yang kayak gaun-gaun lilit gitu.”

“Ya pokoknya saran dariku ya yang menutupi aurat,”


tutur Hana.
Karin mengangguk dan memakan spaghetti yang
dipesannya. Sedangkan Hana hanya memesan
cappucino, Hana lebih ingin makan nasi Padang yang
dibungkus dan bawa pulang. Memang sejatinya Karin
terlahir dari keluarga yang mampu, jadi Karin sedikit
pilih-pilih makanan.

“Pokoknya kamu nanti harus dateng ke pernikahanku.


Kita udah jadi saudara,” ujar Karin.

Hana merasa beruntung memiliki teman seperti Karin.


Dari yang awalnya sulit berkomunikasi hingga sudah
terbiasa, hanya Karin yang mampu membuat Hana
seperti ini. Hana merasa bahwa Karin sudah seperti
kakaknya sendiri.

“Yah besok senin lagi. Eh tapi gak apa-apa sih, biar


cepat nikah,” gumam Karin.

Meskipun suara Karin pelan, Hana tetap bisa


mendengarnya. Hana terkekeh. “Kebelet nikah ya?”

“Soalnya udah gemes sama calon suami. Pengen banget


cepat halal, tapi dia masih nunggu kesiapan mental buat
lamar aku,” terang Karin.
“Ya sudah semoga cepat menikah.”

Lagi-lagi Hana mampir membeli martabak. Untuk


siapa? Untuk tetangga tercintanya, yaitu ibu Asna.

“Kenapa selalu beli martabak manis?!” geram ibu Asna.

“Kan anda manis.”

“Kamu ini pengen saya cepat mati apa bagaimana?! Ini


kalau kamu beliin martabak manis terus bisa-bisa saya
kena diabetes!”

“Kalau roti bakar mau?” tawar Hana.

“Ya jelas mau lah! Kalau mau beliin oleh-oleh itu yang
bervariasi dong, jangan martabak terus! Saya kalau
dikasih martabak manis terus ya muak!”

“Iya deh Bu, dimakan ya tapi,”

“Iya, sana pulang!” usir ibu Asna.

Dalam batin Hana hanya tersebut istighfar. Tetapi,


Hana juga mendoakan agar ibu Asna bisa belajar
berbahasa yang baik dan benar. Yah meskipun tutur
bahasanya kurang sopan, tetapi semakin lama Hana
semakin mengerti apa yang dimaksud oleh ibu Asna.

“Han, kok kamu bisa sih akrab sama ibu-ibu itu?” tanya
Karin.

“Bukan begitu, hanya saja aku kasihan sama ibu itu. Aku
jarang lihat dia ngobrol sama tetangga lain.” 

“Yah, biarlah sudah. Lebih baik kita tidak mencampuri


urusan orang lain.”

Hana mengangguk. Kini mereka berada di depan kamar


kost-nya Karin.

“Nggak mampir?” tanya Karin.

“Maaf, lain kali saja,” tolak Hana dengan halus.

“Ya sudah hati-hati.”

Hana mengangguk dan berjalan pulang. Sesampainya


di kamar kost, Hana tidak langsung masuk. Ia menatapi
langit yang penuh dengan bintang. Terlintas dipikirannya
siapa yang menciptakan segalanya, tetapi hatinya dengan
tulus menjawab Allah SWT lah yang maha kuasa.
Semakin hari semakin Hana lebih rajin menunaikan
sholat, terlebih tahajud. Bahkan dengan sendirinya Hana
dapat melupakan Bilal. Meskipun di hatinya masih ada
kata Bilal.

Hana merebahkan tubuhnya di atas kasur


kesayangannya. Ia mematikan ponselnya dan menatap
langit-langit kamarnya. Ia mencoba untuk merenung.

Hingga terlintas dipikirannya, “Apa aku beribadah


hanya karena menginginkan Bilal?”

Hana mengacak-acak rambutnya. Hatinya tidak tenang.


Tetapi Hana merasa bahwa Allah itu selalu berada
didekatnya. Meskipun saat kecil dia tidak memiliki
perasaan semacam ini. Bahkan hanya kalimat syahadat
dan istighfar saja yang dia tahu. Air matanya perlahan
jatuh. Dan akhirnya ia terlelap.

Keesokan paginya Hana terbangun pukul 04.30.


“Astaghfirullah, semalam aku gak sholat tahajud.”

Ketika mau mengambil air wudhu, Hana merasa ingin


buang air kecil. Bulannya datang, ia tak bisa sholat.
Akhirnya ia pun memilih untuk membersihkan kamar
kost lalu mandi dan bersiap untuk bekerja. Entah
mengapa hari ini ia merasa tidak enak. Jantungnya
berdebar tak beraturan.

Sesampainya di toko buku, Hana sudah disambut


dengan senyuman lebar dari Astrid dan pegawai lain.

“Assalamualaikum,” sapa Hana.

Semua orang serempak menjawab, “Waalaikumsalam.”

“Lagi ada masalah?” tanya Astrid yang perlahan


mendekati Hana.

“Enggak, Cuma datang bulan.”

“Oalah, pantas saja”

Toko pun dibuka. Beberapa pengunjung datang dan


naik ke lantai atas. Ada yang membeli dan ada juga yang
meminjam. Mulai dari anak kecil maupun orang dewasa.
Tetapi hari ini Hana merasa ada hembusan angin yang
berat.

“Assalamualaikum.”
Mendengar salam itu Hana menoleh. Ternyata benar
jika itu adalah Bilal. “Waalaikumsalam, selamat datang,”

“Saya ingin mengembalikan buku,” ucap Bilal.

Beberapa hari yang lalu Bilal sempat meminjam buku


dengan judul “Persiapan Menikah”. Entah bagaimana
caranya, tetapi semua pegawai di toko itu seakan salah
paham. Mereka mengira jika Bilal melakukan PDKT
atau pendekatan.

“Baiklah, mohon diisi,” jawab Hana.

“Apakah anda sedang sibuk?” tanya Bilal.

“Tentu saja, di sini saya bekerja.”

“Apa bisa kita bicara empat mata. Tidak lama, hanya


saja di lantai tiga,” ajak Bilal.

“Udah sana, lagian belum ada pengunjung juga,” desak


Astrid.

Hana mengiyakan dan berjalan mengikuti Bilal. Hana


tidak mengerti dengan apa yang ingin dilakukan oleh
Bilal. Mengajak bicara berdua? Dan harus empat mata.
Padahal di lantai tiga tidak selalu sepi.
Benar saja, ada sekitar lima orang di lantai tiga. Ada 2
pegawai yang menata dan mengecek buku, sedangkan
sisanya adalah pengunjung. Tetapi Bilal seperti tidak
menghiraukannya. Bilal mencari tempat yang sedikit
sepi.

“Bagaimana cara melamar yang benar?” tanya Bilal.

Hana yang tadinya melamun sambil berjalan seketika


tersadar. “Melamar di jembatan seperti yang sudah saya
katakan beberapa waktu yang lalu.”

“Maksud saya, bagaimana cara memberinya cincin?”

“Baiklah begini saja, saran saya anda coba beli buket


bunga lalu taruh cincinnya di buket itu. Tetapi
sebelumnya anda harus kabari dulu wanita anda agar
mau membeli buket. Bilang saja ingin bertukar buket,”
jawab Hana yang asal ceplos.

“Ide yang bagus, terimakasih.”

“Terimakasih kembali. Saya sarankan anda melakukan


itu saat sore menjelang senja.”

“Baiklah, hanya itu yang saya tanyakan. Terimakasih.”


Hana pamit dan berjalan kembali ke lantai satu. Hana
yang sedang badmood justru terkena semburan
pertanyaan tidak masuk akal dari Astrid.

“Jangan-jangan dia mau melamar, nanti sore kau harus


ke jembatan,” ujar Astrid.

“Astaghfirullah, jangan begitu ah. Lagipula kami belum


terlalu dekat, masa iya mau menikah.”

“Lalu kenapa tanya-tanya tentang lamaran dan


pernikahan sama kamu? Lagian kamu juga suka kan?”

“Astaghfirullah, sudah lupakan saja mbak.”

Astrid terkekeh. “Jangan lupa rawon.”

Hana menghela napas.


Bab 7

“Han, cepat bergegas!” desak Astrid.

Dengan malas Hana menjawab, “Mau kemana?”

“Kayak pura-pura nggak ngerti aja.”

“Ya memangnya harus kemana mbak?”

“Duh kamu ini...” ucap Astrid yang geram.

“Ya udah harus gimana?” ucap Hana pasrah.


Astrid menghirup napas dalam-dalam. “Kamu harus ke
jembatan sekarang juga. Dan jangan lupa beli buket.
Yang peka dikit dong Han. Siapa tau dia beneran tulus
sama kamu.”

“Iya-iya.”

Hana pun pergi ke toko bunga. Ia tidak mengerti


tentang makna bunga. Bunga yang ia rasa bagus dan
cocok maka dibeli. Dan secara tidak sengaja ia memilih
bunga tulip. Dia pernah membaca cerita dimana sang
pemeran utama memberi bunga tulip dan berakhir
dengan pernikahan. Tidak harus mawar.

Setelah membeli sebuah buket bunga, Hana berjalan ke


jembatan yang dimaksud. Dari kejauhan Hana dapat
melihat ada Bilal yang seperti sedang menyembunyikan
sesuatu. Hana mencoba untuk tidak tahu. Namun, dari
kejauhan Hana juga melihat ada Karin yang berjalan ke
arah yang bertentangan.

Sepertinya Karin tidak menyadari jika ada Hana juga.


Bilal menyadari keberadaan Karin dan mencoba
menutupi bunganya. Bilal berpaling dari Hana. Hana
bisa melihat Bilal yang sedang melamar Karin. Langkah
Hana terhenti. Kakinya lemas.

Hana yang menyaksikan kejadian itu dari jauh hanya


bisa menahan tangisnya. Ia putar balik dan membuang
bunga yang baru saja dibelinya ke sungai. Dia pun
berlari sambil tersedu-sedu. Tiba-tiba ada orang yang
memanggilnya.

“Hei mbak! Kalau buang sampah itu ke tempatnya


dong,” celetuk seorang pria.

Hana tidak peduli dengan itu. Dia berlari ke toko buku.


Di sana ia sudah disambut dengan senyuman jahil dari
Astrid. Hana menangis sejadi-jadinya. Dia berlari ke
arah Astrid dan membenamkan wajahnya di dalam
pelukan Astrid.

“Kenapa Han?” tanya Astrid.

Karena Hana hanya menangis Astrid pun jadi jengkel.


“Duh, terharunya jangan sampai brutal kayak gini dong.”

“Yaudah tenangkan dirimu dulu. Duduk di sini,” ucap


Astrid yang mengalah.
Setelah cukup tenang, Hana pun menceritakan tentang
kejadian tadi pada Astrid. Yang awalnya Astrid
tersenyum-senyum kini ia jadi fokus mendengarkan
cerita dari Hana.

“Gitu mbak. Ini juga salah ku karena terlalu berharap.


Seharusnya aku gak menaruh harapan setinggi langit
sama laki-laki yang gak ku kenal,” tambah Hana.

“Maafin mbak ya Han. Mbak jadi merasa bersalah udah


bujuk kamu buat ke sana tadi. Maaf banget ya,” ucap
Astrid menyesal.

Hana tidak enak badan dan memutuskan untuk ambil


cuti selama 3 hari. Dengan berat hati ia pulang sore itu.
Seketika toko buku menjadi suram. Setelah ada kejadian
tidak mengenakkan seperti itu, Astrid tidak luput dari
rasa bersalah pada Hana.

Hana pulang dengan langkah yang gontai. Tidak ada


yang bisa membuatnya nyaman. Dia butuh pelukan dari
seseorang yang dekat dengannya. Tetapi dengan siapa?
Karin? Dia sedang berbahagia, bagaimana mungkin
Hana merusak kebahagiaan Karin. Beruntung saja Hana
tidak pernah memberitahu Karin siapa nama laki-laki
yang ia suka.

“Kalo lagi jalan jangan melamun, nanti kesurupan,”


celetuk Bu Asna.

Hana mengangguk dan kembali berjalan pulang.


Sesampainya di rumah, adzan maghrib sudah
berkumandang. Ia segera membersihkan diri. Karena
tidak bisa sholat, ia pun merenung di atas kasurnya.

“Ya Allah, apa benar jika hamba yang salah karena


sudah berharap lebih kepada Bilal?”

“Ya Allah, hamba mohon maafkan dosa hamba. Mulai


detik ini hamba ingin beribadah karena sebuah
kewajiban, bukan karena orang yang hamba sukai.”

Hana pun menangis hingga larut malam. Keesokan


paginya Hana demam. Tubuhnya panas. Untung saja
kemarin dia mengambil cuti selama 3 hari. Ia hanya
makan dan tidur selama tiga hari ini. Hingga di satu
malam ia mendapat ketukan pintu. Betapa terkejutnya
Hana ketika melihat ibu Asna membawa makanan untuk
Hana.
“Ini dimakan. Sudah turun belum panasnya?” tanya ibu
Asna dengan lembut.

“Sudah. Besok saya sudah mulai bekerja. Terimakasih


makanannya. Mau mampir dulu?” tawar Hana.

“Nggak, saya mau beres-beres. Besok saya pulang


kampung.”

“Yah, hati-hati ya ibu. Kalau kangen Hana bisa telpon


saja, sebentar saya tulis dulu nomor hp nya.”

Hana dengan cepat mengambil kertas dan pulpen lalu


menulis nomor ponselnya.

“Ini Bu, terimakasih.

Ibu Asna terdiam lalu pulang. Hana memakan masakan


yang dibuatkan oleh ibu Asna. Sekarang Hana benar-
benar sudah menerima dengan ikhlas dengan kenyataan
bahwa Karin dan Bilal adalah sepasang kekasih.

Ia kembali bekerja seperti biasa. Semua orang di toko


berusaha untuk tidak mengungkit masalah Hana dan
Bilal. Namun, hari ini Hana pulang Lebih awal karena
kesehatannya juga masih belum sembuh total. Meskipun
pakai masker, tetapi AC yang terpasang di toko itu
membuat kepalanya sedikit pening.

Yang tidak dia sangka adalah saat pulang ia bertemu


dengan Karin. Karin sedang sibuk mengurus barang-
barangnya. Sepertinya dia juga mau pindah. Toh dia juga
sebentar lagi menikah, untuk apa tinggal di kost lagi.

“Han!” teriak Karin yang menggelegar.

Mau tidak mau Hana harus mampir sebentar menemui


Karin. “Mau pindah? Kenapa tiba-tiba?”

“Sebenarnya aku sudah mau bilang dari kemarin-


kemarin, tapi karena sibuk aku jadi gak bisa dateng ke
kost mu. Saat ku cari di toko buku, kata Astrid kamu
malah sedang cuti. Nah kebetulan kita bertemu di sini.
Aku mau bicara penting,” jelas Karin.

“Hm, langsung saja.”

“Calon imam ku sudah melamar ku, dan kami akan


menikah di bulan februari nanti. Khusus untuk kamu, ini
undangannya. Kamu tau gak gimana caranya calon imam
ku, eh kepanjangan ya, panggil saja Bilal. Nah, Bilal itu
nyuruh aku buat ke jembatan romantis terus ngasih aku
buket bunga mawar. Terus juga ada kotak cincinnya,”
ungkap Karin.

“Terimakasih ya, Rin. Insyaallah aku datang. Semoga


bahagia. Aku lagi gak enak badan, aku pulang dulu ya,
assalamualaikum.”

“Iya, cepat sembuh ya. Waalaikumsalam.”

Hana kembali menangis ketika melihat surat undangan


yang berada di tangannya itu.

“Alhamdulillah, akhirnya Karin menikah,” rintih Hana.

Sesampainya di depan kamar kost, Hana melihat ada


sebuah surat yang tergeletak di depan pintu. Lantas ia
memungutnya. Ia membersihkan diri lalu sholat
maghrib. Seusai sholat, ia pun membuka surat aneh yang
tergeletak di depan kamar kost-nya. Betapa terkejutnya
Hana setelah membaca isi dari surat tersebut.

“Alhamdulillah ya Allah.”

Hana diterima kerja oleh satu perusahaan yang pernah


menolaknya. Dulu sebelum pindah ke kost-nya, dia
sempat mengajukan diri secara online. Hana sujud
syukur karena diterima oleh sebuah perusahaan,
walaupun prosesnya lama dan Hana sempat kehilangan
semangat untuk itu. Kini ia merasa dapat meraih
mimpinya sebagai wanita karir.

Bab 8

Di hari minggu yang cerah, tepatnya di tanggal 1


Februari. Hana mendapati sebuah nomor tidak dikenal
yang meneleponnya hingga 4 kali. Hana baru sadar
ketika dia baru saja menyelesaikan pekerjaannya.
Sayangnya ia tak punya pulsa untuk menelpon balik.
Beruntung tidak lama nomor itu menelpon lagi. Kali ini
Hana mengangkatnya.

“Assalamualaikum.”

Mendengar suara itu air mata Hana tidak dapat


terbendung lagi. “Waalaikumsalam,”

“Hana, benar Hana? Ini mama nak.” Terdengar suara


isak tangis dari balik telepon.

“Ada apa Ma?” tanya Hana.

“Mama mau kamu pulang secepatnya. Tidak perlu lagi


mikirin ekonomi keluarga. Pokoknya kamu pulang, yang
terpenting paling lambat tanggal 5” bujuk mama Hana.

Sambungan tiba-tiba terputus. Hana belum sempat


bicara panjang lebar. Ia jadi overthinking karena
diharuskan pulang sebelum tanggal 5, sedangkan Dia
harus menghadiri acara penyambutan anggota baru di
perusahaan yang menerimanya di tanggal 6.
Hana kebingungan dengan apa yang harus dipilihnya.
Ia ingin bercerita pada seseorang, tapi siapa? Ia tak
mempunyai tetangga lagi yang ia kenal. Ia memutuskan
untuk menatap lagi ponselnya.

“Innalilahi wa innailaihi rojiun,” Hana menutup


mulutnya.

Hana terperangah melihat deretan kata yang tersusun


rapi dan sebuah gambar yang blur. Sebuah nama yang
tak asing bagi Hana terpampang jelas meskipun kecil.

“Kejadian bunuh diri yang disaksikan oleh banyak


orang. Seorang wanita berusia sekitar 40 tahunan
melompat dari jembatan. Arus memang tidak deras,
tetapi ahli forensik menyatakan wanita itu meninggal
karena kepala bagian belakangnya terbentur bebatuan.
Beberapa orang menyatakan jika wanita itu sudah stress
akibat ditinggal suami dan anaknya.”

Hana tak sanggup membaca berita itu, bahkan fotonya.


“Ya Allah, berilah hamba kekuatan untuk tegar.”

Hana pergi menemui Astrid yang masih bekerja di toko


buku. Mengingat bahwa Hana masih magang, ia hampir
terlupa jika Astrid juga libur. Hana berencana
menghabiskan waktunya di toko buku Cahaya, lebih
tepatnya di lantai perpustakaan.

“Senyum dong Han, yang semangat,” protes Astrid.

“Insyaallah.”

Mata Hana masih sembab, hidungnya merah merona.


Bagaimana bisa orang seperti Hana tersenyum.

“Inget ya Han, semua itu hanya titipan Allah semata.


Apabila diambil lagi ya kita harus ikhlas.”

“Iya mbak. Hana juga ambil hikmahnya, intinya kita


harus tetap sabar,” ucap Hana yang masih terisak.

“Allah menguji makhluknya tidak lebih dari batasnya.


Jadi, kamu pasti bisa melalui semua ini.”

“Oh iya mbak, aku mau mengundurkan diri,” ucap Hana.

“Loh kenapa? Kok tiba-tiba?” tanya Astrid.

“Aku udah diterima di perusahaan yang aku inginkan.


Aku pengen menggapai mimpiku sebagai wanita karir.”

“Oalah, aku dukung kamu.”


“Tapi mbak, aku ada pertemuan di tanggal 6, sedangkan
tadi pagi ibuku menelpon untuk segera pulang. Paling
lambat tanggal 5. Aku bingung mbak harus gimana,”
resah Hana.

Astrid pun ikut kebingungan. “Kalau aku jadi kamu,


aku bakal pulang. Soalnya orang tua lebih utama
daripada pekerjaan. Pekerjaan bisa dicari, tetapi
kehangatan dengan keluarga belum tentu bisa terulang
lagi.”

“Makasih ya mbak. Kalau begitu aku mau siap-siap.


Bukankah semakin cepat semakin baik?” tanya Hana.

“Iya, tapi ngurusin surat pengunduran diri harus nunggu


3 hari. Lebih baik kamu cepat urus biar bisa cepat
pulang,” tutur Astrid.

Hana mengangguk dan bergegas meminta surat


pengunduran diri pada atasannya. Setelahnya ia beres-
beres kamar kost-nya. Ia merasa begitu kesepian ketika
tidak memiliki tetangga. Bukan kabut horor yang
melanda jiwanya, tetapi awan sendu dari kesepian yang
merasuk ke dalam raganya.
Kini tanggal 5. Semua persiapan telah dilakukan, Hana
menggunakan kereta api untuk menuju kampung
halamannya. Hingga akhirnya dia tiba di depan pintu
rumah orang tua angkatnya. Bau rumah yang wangi
membuatnya nostalgia saat pertama kali diajak masuk ke
dalam rumah itu. Sebuah kenangan indah tentang
harmonisnya keluarga mereka membekas di hati Hana.

Hana tercengang ketika yang membuka pintu rumahnya


adalah seorang pria yang terlihat lebih tua darinya.

“Assalamualaikum,” sapa Hana.

“Waalaikumsalam, hendak mencari siapa?” tanya pria


itu.

Hana tersenyum dan bertanya balik, “Anda siapa?”

“Maaf mungkin anda salah alamat. Wanita secantik


anda tidak seharusnya berada di rumah yang sempit
seperti ini,” jawab pria itu.

Hana mengernyitkan dahi. “Maaf, apa maksud anda


dengan rumah sempit ini?”
“Maaf, saya tidak bermaksud.”

Suasana jadi canggung. Hana yang lelah sehabis


perjalanan panjang memutuskan untuk menyelonong
masuk. Tetapi usahanya gagal karena jalan masuk
dihadang oleh pria itu.

“Maaf kami sedang tidak menerima tamu.”

“Maaf apa maksud anda? Dan anda siapa? Tolong


izinkan saya masuk, saya lelah.”

“Kalau begitu perkenalkan diri anda terlebih dahulu


sebelum saya usir secara kasar,” tegur pria itu.

“Saya tidak punya waktu untuk berdebat dengan anda.


Lebih baik anda tidak usah macam-macam,” ancam
Hana.

“Sudah-sudah, kalian ini bukannya berkenalan kok


malah berdebat,” lerai seorang wanita.

Dari balik tubuh pria itu baru lah Hana sadar jika ada
ibu angkatnya sedang tersenyum sambil menangis
terharu.

“Mama!” teriak Hana dengan riangnya.


Hana menerobos pertahanan pria itu dan lari ke pelukan
ibunya.

“Nak, tolong bawakan koper nya Hana ke lantai dua,”


perintah ibunya Hana.

Pria itu mengangguk. Sedangkan Hana dibawa ke


ruang tamu oleh ibunya. Dia sudah disambut dengan
ayah angkatnya. Hana tidak ingat jika orang tuanya
mengangkat anak lagi.

“Hana, ada hal penting yang harus ayah katakan dan


tidak bisa lewat telepon,” ucap ayah Hana.

Ibu Hana datang membawa secangkir teh untuk Hana.


“Ini diminum dulu, nak.”

Hana mengangguk dan meneguk teh nya.

“Jadi begini nak. Kami rasa kamu sudah cukup umur


untuk menikah. Kami tidak ingin melihat mu lelah
bekerja. Jadi kami putuskan untuk menjodohkan kamu
dengan Syahrul,” jelas ayahnya Hana.

“Hah? Siapa itu pa? Aku nggak kenal,” bantah Hana.

“Kami tahu nak, tapi dia anak baik,” ujar Ibu Hana.
“Maaf, mengganggu. Saya mau pamit dulu ya om,
tante,” ucap pria yang tadi menghalangi Hana.

“Masih sore nak, kenapa gak pulang sehabis maghrib


saja?” tanya Ibu Hana.

“Nanti malem Syahrul balik lagi.” Pria itu mencium


tangan kedua orang tua Hana. Tiba di Hana pria itu
justru hanya tersenyum jahil.

Hana yang tidak mengerti maksudnya hanya diam


mengabaikan. Syahrul pulang dan kini di rumah mereka
hanya ada Orang tua dan Hana.

“Jadi itu tadi nak yang namanya Syahrul. Dia anaknya


baik, terpelajar, dan dari keluarga yang cukup mampu.
Dia merawat ibu ketika kemarin di rumah sakit. Dia
sangat tulus nak. Jadi apa kamu bersedia?” tanya ayah
Hana

“Tapi Hana tidak mengenalnya Pa, Ma. Bagaimana Hana


bisa ikhlas?” tanya Hana.
Bab 9

"Ma, Pa, Hana belum bisa menerima seseorang di hati


Hana. Tunggu beberapa tahun lagi lah. Hana masih
pengen jadi wanita karir Ma, Pa," ungkap Hana.
Mama Hana menggelengkan kepalanya. "Kami
sebenernya tahu kamu akan menolak, tapi kami tetap
bertanya seperti ini. Sebenernya memang kalian sudah
dijodohkan. Perjodohan ini tidak bisa dihindari, Hana.
Tolong mengertilah."

"Kalau tahu begitu kenapa masih bertanya?" keluh Hana.

"Karena kami tidak ingin kamu terlalu maarah nantinya.


Maaf, kami tidak ada pilihan lain," ucap ayah Hana.

"Lalu bagaimana dengan mimpi ku dan perasaan ku?"


rengek Hana.

"Hana, beristirahat lah dulu," perintah ibu Hana.

Hana tidak punya waktu lagi untuk membantah. Ia


memutuskan untuk pergi ke kamarnya dan
membersihkan diri. Ia sangat sedih mengingat semua hal
yang terjadi padanya beberapa hari yang lalu.

Selesai sholat maghrib, Hana pun ke ruang makan. Ia


sudah ditunggu oleh papa dan mama nya.

"Masaknya banyak banget," ujar Hana.

"Iya, kamu makan yang banyak," jawab ibu Hana.


Hana tersenyum dan berdoa bersama. Selesai makan
Hana mencuci piring dan membersihkan dapur hingga
isya'. Tatkala ia ingin menuju ruang tamu, Hana
mendengar sebuah ketukan dari pintu rumahnya itu.

"Han, kamu ganti baju sana. Yang rapi dan bagus.


Cepat!" Ucap ibu Hana. Tiba-tiba saja ibu Hana
menyuruh Hana untuk mengganti pakaian.

Hana hanya menurut. Setelah berdandan rapi Hana pun


mencari ibu-nya itu. Betapa terkejutnya Hana ketika
mendapati sosok menyebalkan yang sedang berdiri di
depannya. Ya, dia lah Syahrul.

"Ngapain di sini?" tanya Hana.

Syahrul hanya tersenyum.

"Nah kalian berdua sekarang pergi jalan-jalan." Perintah


ibu Hana sambil mendorong Hana dan Syahrul keluar.

"Tapi hp ku," rengek Hana.

"Sudah sana," usir ibunya Hana.


Pintu pun ditutup. Kini mau tidak mau Hana mengikuti
Syahrul yang sudah duduk di motornya. Hana
mengerutkan keningnya.

"Awas, jangan macam-macam. Kita tidak halal," cibir


Hana.

"Tenang saja, gak lama lagi kamu bakal saya halalin."


Syahrul memasang wajah kemenangan yang terpancar
jelas.

"Sudahlah, cepat kita selesaikan urusan kita."

Mereka menuju sebuah cafe yang tidak terlalu ramai.


Hana lupa tidak bawa apa-apa, jadi ketika ditanya mau
pesan apa dia hanya menggeleng.

"Kalau begitu anda ingin pesan apa?" tanya seorang


pelayan pada Syahrul.

"Cappucino dua dan pudding coklat nya dua," jawab


Syahrul.

Setelah pelayan itu pergi, barulah Hana melancarkan


pertanyaan-pertanyaannya. "Apa yang anda inginkan?"
"Kamu mungkin baru mengenal saya. Tetapi sebentar
lagi kita akan saling mengenal," jawab Syahrul.

"Mengapa kita dijodohkan?" tanya Hana dengan tatapan


tajam.

"Karena saya ingin menikah, tapi tidak tahu dengan


siapa. Maka saya menikah dengan anaknya om Herman,
udah gitu aja. Simpel," jawab Syahrul dengan santai.

Hana ternganga dengan jawaban yang dilontarkan


Syahrul. "Bagaimana bisa saya suka pada orang yang
tidak saya kenal?"

"Baiklah, nama saya Syahrul Antayashin. Panggil


Sayang aja, bentar lagi kita bakal nikah," Goda Syahrul.

"Sebenarnya apa yang anda mau dari saya?"

"Sudah saya katakan, saya ingin menikah."

"Kenapa harus saya?"

"Mungkin Allah sudah menjodohkan kita."


Hana menangis tersedu-sedu. Ia tak menyangka akan
menjadi seperti ini nasibnya. Meskipun dia sulit
menerima Syahrul, tidak ada salahnya untuk mencoba.

"Bahkan Allah sudah mengatur jodohku. Alhamdulillah


ya Allah," batin Hana.

"Jadi, kamu mau kan kalau menikah dengan ku?" tanya


Syahrul.

"Nggak."

"Ya sudah, saya paksa."

"Tetep nggak mau."

"Kamu mau apa biar bisa jadi istri saya?" tanya Syahrul.

"Tidak mau saya beritahu."

"Mau umroh bareng?" tawar Syahrul.

“Kamu kira semudah itu?” tanya Hana terbelalak.

“Aku tahu memang sulit. Tapi ayo kita coba terlebih


dulu. Kita bangun dari bawah bareng-bareng.”
“Apa kamu tidak keberatan jika menikahi seseorang
yang tidak kamu kenal?” tanya Hana.

“Ya sudah, saya terima. Tetapi, tolong jangan


kecewakan saya.”

Malam itu mereka menghabiskan waktu bersama


menikmati pasar malam yang kebetulan diselenggarakan
di alun-alun kota. Hana mulai mencoba untuk menerima
Syahrul dalam hatinya. Meskipun tidak sepenuhnya
Hana bisa menerima Syahrul, dia yakin bisa.

Pulangnya, Hana mencoba untuk merenung lagi. Atas


segala ujian yang telah dia lalui, ia mencoba untuk
ikhlas.

“Ya Allah. Apabila memang Syahrul adalah jodoh


hamba, maka bimbinglah Syahrul agar dapat menuntun
hamba ke jalan yang benar,” rintih Hana.

Malam itu Hana terlelap dalam perasaan yang tidak


dapat ia utarakan. Paginya ia teringat akan perusahaan
yang menerimanya. Seketika hatinya goyah, ia masih
ingin menjadi seorang wanita karir. Ia memutuskan
untuk menghubungi Syahrul dan berbicara mengenai hal
itu.

“Hana,” panggil Ibunya Hana.

Hana langsung menemui ibunya yang sedang


menyiapkan makan siang. “Ada apa, Ma?”

“Kamu benar-benar siap untuk menikah dengan


Syahrul?” tanya Ibunya Hana.

Hana mengangguk. “Setelah ini Hana ingin pergi sama


Syahrul.”

Ibu Hana tersenyum. “Syahrul anak baik, Mama percaya


sama dia.”

“Kalau memang Mama dan Papa merestui dan kalau


memang Syahrul pilihan Mama dan Papa, maka
insyaallah Hana siap.”

“Alhamdulillah.”

Tiba-tiba ada suara ketukan pintu. Syahrul sudah


datang menjemput Hana.
“Ma, Hana berangkat dulu ya. Maaf gak bisa makan di
rumah. Assalamualaikum,” pamit Hana.

“Wa’alaikumsalam.”

Kebetulan Ayahnya Hana sedang pergi bekerja. Hana


pun pergi dengan Syahrul ke sebuah Cafe yang lumayan
jauh.

“Jadi begini, aku dulu pernah punya mimpi menjadi


seorang wanita karir. Hanya saja ...” Hana tidak
melanjutkan perkataannya.

“Biar aku saja yang bekerja. Kamu cukup jadi ibu


rumah tangga dan jaga anak-anak ku nanti,” jawab
Syahrul.

Hana tersenyum bahagia, “Alhamdulilah.”

“Oh iya, sebentar lagi sahabatku akan menikah. Apa kau


mau menemaniku?” tanya Hana.

“Tentu, kenapa tidak?”

Hana mengulum senyumnya. Hingga akhirnya sore


pun datang. Hana dibawa ke rumah orang tua Syahrul.
Meskipun Hana tadinya ragu dan cemas, ternyata orang
tua Syahrul menerima Hana apa adanya. Setelah itu
barulah Syahrul mengantar Hana pulang dan melamar
sekalian.

“Jangan jadikan orang yang kita cintai sebagai alasan


kita beribadah. Beribadah lah karena sebuah kewajiban
yang akan dipertanggung jawabkan. Jodoh itu adalah
takdir Tuhan.Lalu, mengapa masih ragu
mempertanyakan?”
Nama : Helga Risti Fara
Judul : Skenario Tuhan

Kelas : 10 TKJ 2

Anda mungkin juga menyukai