Anda di halaman 1dari 3

Ayus berjalan tergopoh-gopoh menghampiri rumahnya. Keadaannya sungguh mengenaskan.

Luka lebam
menghiasi sekujur tubuhnya, bahkan setetes darah keluar dari sudut bibir tipisnya. Pakaiannya hampir
tak terlihat seperti pakaian mahal bermerk yang biasa ia kenakan setiap hari. Kain satin mahal itu
terobek hampir di semua bagian. Matanya memandang rona merah jingga yang terpapar di langit
dengan sendu. Ia lelah seharian ini. Cukup lelah bahkan hanya untuk tersenyum sekalipun. Yang ia
pikirkan saat ini hanya kasur besar bergaya Eropa miliknya itu. Ia mempercepat langkahnya semampu
yang ia bisa. Ingin sekali rasanya tubuh ini jatuh di atas tumpukan busa empuk nan nyaman itu segera,
batinnya bergemuruh.

Kejadian yang ia alami seharian ini membuatnya kehilangan seluruh tenaganya. Anak lelaki yang baru
merayakan ulang tahun ke enam belasnya dua bulan lalu itu, yang biasanya selalu energic sekarang
terlihat loyo. Ia bahkan kesulitan saat menaiki anak tangga yang mengantarnya menuju kamar. Ck, tangga
bodoh. Seandainya rumahku seperti rumah Sun yang jarak antara pintu depan dan kamar hanya
beberapa langkah saja, mungkin aku tidak harus capek-capek menaiki tangga seperti sekarang, rutuk
Ayus dalam hati.

Dengan perjuangan yang cukup panjang akhirnya pemilik wajah indo Eropa-Asia itu berhasil sampai di
kamarnya. Tanpa basa basi ia jatuhkan tubuh kecilnya di atas kasur ekspor yang merk-nya sulit sekali
diingat oleh Ayus. Mungkin akibat ia sering mangkir dari kelas bahasa Perancisnya dan lebih memilih
mendekam seharian di rumah Sun yang membuat ayahnya selalu murka pada anak semata wayangnya
itu. Sebenarnya Ayus bukan anak yang nakal. Ia terbilang anak baik dan penurut. Sampai ia bertemu dan
kenal dengan Sun. Anak lelaki yang umurnya beberapa tahun di atas Ayus. Yang ia kenal saat pertama kali
menginjakan kaki di tanah Paris dua tahun lalu.

Ayus meringis, merasakan sekujur tubuhnya berdenyut sakit. Tulangnya serasa remuk, linu di mana-
mana. Ia menggeliat pelan, matanya menatap lekat langit-langit kamarnya yang bercat putih bersih.
Pikirannya kembali menerawang pada anak laki-laki berkulit hitam yang telah menjadi temannya selama
dua tahun. Sun, si hitam manis yang menjadi alasan dibalik kejadian yang menimpa Ayus hari ini. Alasan
terciptanya lebam dan memar yang kini terlihat makin membiru di kulit putihnya itu. Pemuda yang
beberapa minggu ini tidak dilihatnya. Pemuda yang akhir-akhir ini tidak lagi bercerita penuh semangat
tentang cita-citanya kepada Ayus. Tidak lagi melantunkan suara sumbangnya di depan Ayus. Tidak lagi
membacakan puisi-puisi picisan ciptaannya untuk Ayus. Tidak lagi bersinar secerah arti dari namanya,
Sun yang dalam bahasa Inggris berarti matahari. Matahari tanggung itu seakan redup, terbenam di ufuk
timur dan tak terbit lagi keesokan harinya. Menyisakan dingin di setiap pagi seorang Lucius Alfaro
Frenkcort atau yang lebih kita kenal sebagai Ayus.

Ke mana perginya pujangga kawakan itu? Ke mana perginya pembuat lelucon yang selalu berhasil
membuat perut Ayus kesakitan setiap kali mendengarkannya. Ke mana calon revolusioner itu
menghilang? Ke mana? Pertanyaan itu terus berputar di kepala Ayus saat tiba-tiba terdengar suara pintu
terbuka. Matanya memandang sekilas ke arah sosok pria pertengahan tiga puluhan yang memasuki
kamarnya. Abraham Frenkcort duduk di pinggir ranjang sambil memperhatikan anaknya yang terbaring,
tak mempedulikan kedatangannya sedikitpun. Ia menghela napas beratnya, bingung harus bagaimana
lagi menghadapi tingkah putra kesayangannya itu.

“Hentikan Nak, sampai kapan kau akan seperti ini?” suara berat dari ayahnya memecah keheningan yang
terjadi beberapa menit lalu.

“Seperti apa Ayah? Aku baik-baik saja.” balas Ayus malas, kini rasa kantuk melandanya. Ayus benar-benar
ingin menutup matanya cepat-cepat.

Rasa sakit, lelah dan mengantuk benar-benar membuatnya kehabisan tenaga.

“Kau tidak baik-baik saja anakku, kau sakit. Apa lagi yang kau lakukan hari ini? Menyakiti diri dengan cara
mengganggu preman-preman itu sampai mereka memukulimu habis-habisan?” tuding ayahnya mulai tak
sabar.

“Mereka mengganggu Marry merampas uang gadis kecil itu, aku hanya tidak suka melihatnya.”

“Kenapa kau tidak memanggil paman Hugo saja, bukankah rumahnya tidak jauh dari sana? Kemarin kau
baru saja keluar dari rumah sakit setelah cedera kakimu akibat gigitan anjing yang kau ganggu tempo
hari, untung saja kau tidak kena rabies.”

“Anjing itu gila, tiba-tiba saja menyerangku.” Gumam Ayus.

“Anjing itu tidak akan menyerangmu kalau kau tidak dengan sengaja menginjak ekornya, Ayus.” Tukas
Abraham geram.

“Aku tidak sengaja, ekornya tak terlihat waktu itu.” Ucapnya membela diri.

“Apa yang sebenarnya terjadi padamu Ayus? Ceritakan padaku agar aku bisa menolongmu Nak, ayah
rindu putra ayah yang dulu. Lucius Alfaro Frenkcort yang penuh semangat.” Tanya Abraham melembut,
berusaha membujuk.
Tak ada jawaban dari Ayus. Ia benar-benar sudah tak kuat menahan rasa kantuk yang semakin menjadi
ini.

“Apa ini semua karena Sun?” pertanyaan ayahnya kali ini membuat tubuh Ayus menegang, rasa kantuk
tiba-tiba menghilang.

Jantungnya berdegup kencang. Denyut kesakitan makin bertambah ketika nama itu terdengar lagi.
Seakan luka di seluruh tubuhnya bukan apa-apa dibanding perih di hatinya yang selalu ia rasakan jika
mengingat tentang Sun. Matanya terbuka lebar, terasa panas. Ia menahan isakan itu. Sun.

“Aku rindu mom,” ucap Ayus pelan sebelum ia menutup kelopak matanya. Genangan air di ujung
matanya jatuh tanpa aba-aba.

Cerpen Karangan: Warnengsih

Blog / Facebook: Warnengsih

penggemar cerita bergenre fantasi tapi tidak bisa membuat cerita fantasi. wkwkwkwk

Cerpen Sun merupakan cerita pendek karangan Warnengsih, kamu dapat mengunjungi halaman khusus
penulisnya

Anda mungkin juga menyukai