Anda di halaman 1dari 8

FUCK MY WAY UP TO THE TOP

 BLURB

Mengisahkan lika-liku kehidupan seorang perempuan yang bernama, Guinevere.

Yang memiliki imajinasi menjadi seorang public figure, hidup dibalik gemerlapnya blitz dan
balutan barang-barang mewah.

Yang tidak perlu mengkhawatirkan tempat untuk tidur, apalagi atap yang berlubang dan bocor.
Atau bahkan terpikir akan “apa besok aku bisa makan dan tidur nyenyak lagi?” di benak mereka.

Kehidupan public figure yang terlihat begitu menyenangkan dan indah di televisi yang ia tonton
ketika menjelang tidur bersama ibunya. Dan itu semakin membuat imajinasinya untuk menjadi
salah satu dari mereka semakin menggebu-gebu.

Namun, panggung hidup yang kasar seakan membangunkannya dari imajinasi itu. Hidup
kembali mengingatkannya dengan tamparan keras bahwa di dunianya panggung dan karpet
merah penuh hujanan blitz itu tidaklah ada.

Yang ada hanyalah caci maki majikan serta air hujan yang membasahi rumah karena atapnya
yang berlubang. Ketragisan yang sudah seperti langit di kehidupan Guinevere. Langit yang akan
selalu menemani hidupnya.

Jatuh, tersungkur, terpuruk, lalu terlempar, begitu seterusnya roda kehidupannya berlalu di setiap
hari. Guinevere yang miskin tidak memiliki apapun untuk melawan kejamnya dunia. Bahkan
ketika hidup meludahkan makian tepat di depan matanya, hanya kepala tertunduk yang bisa
Guinevere lakukan.

Apalagi untuk mewujudkan imajinasinya itu, terasa begitu mustahil. Bahkan untuk sekedar
berharap bahwa hari esok ia akan dengan mudah mendapatkan sesuap nasi untuk mengisi
perutnya yang kosong, rasanya Guinevere tidak sanggup.

Hingga keterpurukan itu mencapai klimaksnya. Ketika keadaan sang ibu yang sebenarnya tidak
pernah baik-baik saja semakin bertambah buruk.
Aterosklerosis, penyakit yang di idap ibunya ternyata semakin kronis lantaran tidak mendapat
perawatan yang baik.

Saat itulah, jalan hidup Guinevere terasa seperti kabut pekat yang diterpa hujan lebat. Dan
Guinevere terjebak didalamnya tanpa tau jalanan mana yang akan menuntunnya pada secercah
cahaya.

“Dari mana aku mendapatkan uang?”

“Bagaimana cara agar aku mendapatkan uang banyak untuk pengobatan ibu?”

“Siapa yang bisa menolong ku?”

Atau yang paling realistis,

“Bagaimana agar besok kami bisa tetap makan?”

Berbagai pertanyaan berseliweran di otaknya yang kalut itu. Berisikan berbagai kekhawatiran
pekat yang seperti hendak membutakannya.

Begitu pekat sampai air matapun kesulitan mencari celah untuk kabur,

Begitu gundah hingga rintihanpun memilih untuk bergelung didalam kehangatan lidah, membisu,
tanpa suara.

Tapi Tuhan selalu tau kapan waktu yang paling tepat untuk memberikan jalan dan harapan dikala
jurang sudah terlihat jelas didepan mata.

Dan Guinevere percaya akan itu.

Mungkin kepercayaan itulah yang membuat Tuhan mengirimkan seorang penolong untuknya.

***

“Aku bisa bantu, kalau kamu mau”

Lelaki itu kembali menghisap cerutunya, menghembuskan asapnya ke udara dengan pelan.
Tatapan matanya masih setia menatap lekat Guinevere.

Guinevere yang semula tertunduk takut, pun mulai memberanikan diri mengangkat kepalanya.
Membuat wajah ayunya yang sayu dan tersamarkan oleh debu serta sisa tangis itu terlihat.
Dengan lirih, Guinevere menjawab pertanyaan pria itu,

“Guin mau”

“Guin mau dibantu!”

Jawaban itu terdengar begitu lugu dan polos.

Membuat laki-laki itupun menyungingkan senyumnya, tipis, lalu kembali menghisap dan
menghembuskan asap cerutunya dengan kuat.

Sebelum ia kembali membuka mulut untuk mengatakan.

“Kalau begitu ikutlah dengan ku, dan setelah itu, apapun yang kamu inginkan, aku akan
memberikan itu.”

Untuk sesaat hanya suara hembusan nafas serta hisapan cerutu yang menyelimuti ruangan itu.
Sampai sekali lagi si laki-laki kembali mengeluarkan suara,

“Kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun setelah ikut dengan ku. Aku akan menanggung segala
biaya hidup mu, bahkan pengobatan ibu mu. Tapi kalau kau menolak, it’s ok, aku akan
memberikan tawaran ini untuk orang lain”

Sontak Guinevere pun mengangkat kepalanya yang semula tertunduk.

Ini kesempatan bagus Guin, kamu tidak boleh menolak tawaran ini!

Suara bisikan itu membuat Guinevere semakin gundah, sampai akhirnya ia memutuskan untuk
menerima kesempatan yang ia fikir tidak akan datang dua kali itu,

“Iya, Guin mau”

Taken!

Dengan mengakatan “iya” Guinevere telah bersepakat kepada hidupnya bahwa, alur yang ia lalui
tidak akan lagi sama.

Tapi, akankah perubahan alur itu membawa kebahagiaan dihidupnya?, atau justru kesengsaraan
itu akan terus ada ?.

Guinevere tidak tau, kecuali dia bertahan dan membiarkan alur ini membimbing jalan hidupnya.
CHAPTER 1

06:00

Para pekokok (baca : ayam) mulai keluar dari kandangnya, sang surya pun mulai
memperlihatkan kegagahannya, menandakan bahwa hari sudah beranjak pagi. Saatnya manusia
sebagai spesies paling sibuk dan paling rakus di planet ini memulai aktifitas mereka. Bersiap-
siap pergi ketempat mereka menghasilkan pundi-pundi uang, karena manusia tidak akan pernah
bisa hidup tanpa itu. Seperti kata pepatah bahwa,

“Money is everything, dude!. Sometimes it can buy your happiness.”

Hal yang tidak jauh berbeda juga dialami seorang perempuan yang kini tengah asik menyiapkan
sarapan untuk satu perempuan lain yang tengah duduk didepannya.

Perempuan yang sibuk itu bernama, Guinevere. Dan satu perempuan lain yang duduk
didepannya adalah Anna, yang tidak lain merupakan ibu dari Guinevere.

Mereka tampak asyik menikmati hidangan di piring masing-masing.

Dan ditengah keasyikan itu, Anna—ibu Guinevere tiba-tiba membuka suara,

“Nanti kamu pulang jam berapa,nak ?”

“Guin ngga tau, bu. Akhir-akhir ini majikan Guin suka keluar, terus nyuruh Guin buat nunggu
dirumah sampai mereka balik. Jadinya, ngga tau dehh,” Guin mengedikkan bahunya, menjawab
dengan santai pertanyaan sang ibu sambil terus menyuapkan makanan kedalam mulutnya.
Tampak sangat menikmati.

“Yasudah kalau begitu, ibu udah selesai sarapannya, kenyang. Mau balik ke kamar dulu, masih
ngantuk.”

“Pasti kemarin begadang liat Oscar ya?, hehe,” ucap Guinevere diikuti kekehan, matanya
mengerling kearah Sang Ibu, berniat untuk mengodanya.

“Ah kamu, tau aja. Haha, udah ah, ibu mau kekamar. Udah ngantuk banget,” Anna ikut terkekeh
menanggapi godaan Guinevere.
Iapun mengeser kursi makannya, lalu beranjak pelan menuju kamar tidurnya, yang sempat
tertunda karena Guinevere yang terus-terusan mengodanya.

“Eh!,”

Tiba-tiba Guin berseru, sontak langkah Anna pun terhenti. Ia kembali menolehkan pandangan
kearah sang anak yang masih setia duduk dikursi makan, yang kita juga tengah menatap
kearahnya.

Ekspresinya berubah drastis dari yang beberapa detik lalu ia lihat. Guinevere tampak begitu
tegang, sontak sang ibu yang menatapnya pun juga tertularkan ketegangan itu.

“Kamu kenapa?!,” Tanya ibunya panik.

Anna menghampiri Guinevere dengan cemas. Ia berdiri disamping Guin, memegang bahunya,
dan memaksanya udah berbalik kearahnya sekarang berdiri.

Namun, Guinevere tetap memasang tegangnya, dia bahkan tidak mengeluarkan suaranya.
Menambah panik perasaan sang ibu—Anna.

“Kamu kenapa, ha?!, jangan bikin ibu panik!,” Anna menguncang bahu Guinevere dengan keras,
sangat berharap bahwa anaknya mengeluarkan sepatah kata.

Dan benar saja, setelah itu Guinevere kembali membuka suaranya,

“Mama,” ucapnya dengan nada bergetar. Tatapannya tampak mengabur, air matanya mengenang,
seakan siap untuk ditumpahkan.

“Iya sayang, kamu ngga papa kan?,” tanya ibunya, suaranya terdengar sangat cemas.

Guinevere menatap mata ibunya, kedua tangannya yang semula terkepal diatas paha kini
berpindah dikedua bahu ibunya.

Dengan serius dia berkata,

“Guin baru inget sesuatu,”

Ia menjeda perkataannya, menarik nafas dalam dan menghembuskannya, seolah pertanda bahwa
perkataannya setelah ini sangatlah berat untuk ia ucapkan.
Setelah beberapa saat mengambil nafas, Guinevere kembali melanjutkan perkataannya. Masih
dengan ekspresi tegang dan serius yang sama, dia berkata,

“Guinevere lupa bilang ke ibu kalau, tidur sebelum makan itu bisa buat perut ibu buncit. Kayak
ada dedek bayi didalemnya, Yura pernah bilang itu ke Guin.”

Hening.

Tidak ada suara ataupun jawaban dari Anna setelah kalimat itu Guinevere luncurkan. Tapi
ekspresi syok tergambar dengan jelas diwajahnya.

Dengan gerakan pelan Anna melepaskan kedua tangannya yang semula mencengkeram kedua
bahu anaknya, Guinevere. Ia berjelan pelan kearah kursi tempatnya duduk sambil menikmati
sarapan beberapa saat yang lalu.

Setelah ia berhasil mencapai kursi dan duduk, Anna menatap Guin lalu berkata,

“Ibu tau kalau kamu itu polos. Tapi ngga gini Guin, ngga gini,” ibunya berucap dengan nada
suara yang penuh dengan kefrustasian yang membuat rasa bersalah secara tiba-tiba
menghinggapi Guinevere.

“Ibu?, ibu marah ya sama Guin?, maafin Guin kalau Guin salah,” Guin meminta maaf kepada
sang ibu dengan begitu lugu.

“Ngga papa, kamu ngga ada salah kok” Anna mengusap air mata yang entah sejak kapan telah
memenuhi kelopa matanya.

Ia tersenyum lembut kea rah Guinevere, mengelus dengan lembut tangan Guinevere yang beraa
diatas meja makan.

“Kamu berangkat gih, ini udah telat banget lho. Ibu ngga mau anak ibu nanti dimarahin orang,”
nada suara Anna kembali terdengar normal.

Ia melemparkan senyum tulus kepada Guinevere, anak bungsu dan satu-satunya, yang juga
memiliki senyum yang sama dengannya. Tanpa sadar matanya kembali berkaca-kaca.

Guinevere pun menatap ibunya dengan cemas, meremas pelan tangan ibunya yang saling bertaut
dengan miliknya diatas meja.
“Ngga papa sayang, cepet berangkat. Ini biar ibu yang beresin. Udah jam 7 lho!”

Guinevere reflek menolehkan pandangannya kearah kiri, disana tampak sebuah jam dinding
dengan ukuran sedang sudah menunjukkan pukul 7 lebih 5 menit. Guinevere melongo kaget,
tanpa bisa mengontrol diri, ia berdiri dengan tergesa lalu berjalan cepat kearah rak sepatu using
yang berada didekat pintu.

Guinevere mendudukkan dirinya dilantai dan memakai sepatunya dengan tergesa. Tidak
memperdulikan bahwa debu atau bahkan kotoran bisa saja menempel di gaunnya yang
sebenernya telah using itu. Ia hanya ingin cepat sampai ke tempatnya bekerja.

Anna yang mengamati tingkah anaknya dari belakang sambil membersihkan meja makan pun
menggeleng-gelengkan kepala. Sudah terlanjur hafal dengan segala tabiat ananya itu. Guinevere
akan dengan mudah panik, dan dengan mudah lupa serta melakukan kesalahan ketika ia panik.
Persis sewaktu ia masih muda dulu, terlampau persis hingga terkadang ketakutan itu dengan
mudah menyeruak.

“Ibu, Guin berangkat dulu ya!”

Teriakan Guinevere yang sepertinya sudah berada didepan pintu rumah membengunkan
lamunanya, ia pun membalas dengan teriakan yang sama,

“Iya sayang, hati-hati!”

Dan nnapun kembali melanjutkan kegiatannya.

***

Sementara itu Guinevere tampak bergegas menuju tempatnya bekerja, ia berlari dengan sekuat
tenaga. Sedikit bersyukur karena tempatnya berkerja lumayan dekat dari rumahnya, sehingga ia
tidak perlu naik kendaraan umum untuk sampai kesana.

Well, sedikit menghemat pengeluaran.—batinnya.

Sampai entah berapa lama ia berlari, kini ia telah sampai didepan gerbang,,,

Anda mungkin juga menyukai