Namun, pemandangan siang itu, tak kalah menyengatnya buat saya, yang masih awam
soal tempat yang satu ini. Bagaimana tidak?
Kenyataannya, lorong sepanjang kurang lebih 120 meter itu dipadati puluhan lapak
berisi kandang dengan berbagai jenis hewan di dalamnya. Ada ikan, kelinci, kucing,
bahkan ular dan tupai. Kios-kios percetakan pun ada di sana. Sejumlah kandang
dibiarkan tergeletak sampai ke luar lapak, sehingga mempersempit badan jalan.
Tak cukup menampung minat pedagang, gang itu seakan menumpahruahkan lapak-
lapak lain di dekat jalan raya, di seputar mulut gang, mengambil ruang trotoar di kiri
dan kanannya. Pembeli yang berjejal bercampur-baur dengan para pedagang dan
masyarakat lain, seperti pejalan kaki, mereka yang menunggu kendaraan umum, anak-
anak sekolah, dan para pengendara. Kendaraan roda empat acapkali menerobos
keramaian di gang yang hanya selebar sekitar tiga meter itu, seakan tidak menggubris
marka jalan yang berisi larangan masuk bagi mobil.
“Hidup” mulai jam 06.00 pagi sampai mahgrib, gang tersebut menebarkan “aroma
khas” unggas dan hewan lain seperti monyet dan tupai yang menusuk hidung.
Kotoran hewan, yang masih basah maupun yang sudah kering, berbaur dengan bau
pakan dan hewan itu sendiri, emisi kendaraan bermotor, dan sebagainya. Sampah-
sampah berserakan di beberapa titik. Saluran-saluran air di lokasi itu relatif kecil. Bisa
dibayangkan, apa jadinya manakala hujan datang.
Awalnya Hanya Burung
“Dulu, cuma ada penjual burung dan makanan burung,” tutur Ani (39 tahun), yang
bersama keluarganya telah menetap di sebuah rumah sederhana di area tersebut sejak
1975. Dia menambahkan, sejak 2000-an hewan non-unggas mulai ikut dijual. Seperti
ikan, ular, monyet, tupai, kelinci, dan kucing. “Kebanyakan penjualnya dari Jepara.
Sedangkan penjual ikan banyak yang berasal dari Sumedang,” ujarnya ketika ditanya
soal seputar penjual.
Menurut Ani, Pasar Burung ramai pada hari libur atau hari besar. Tentang harga,
hewan di mulut gang djual relatif lebih mahal dibandingkan dengan yang di ujung
gang. Kendati begitu, transaksi di mulut gang lebih ramai. “Pengunjung jarang
berjalan ke pasar bagian belakang sini,” kata mantan penjual pakan unggas ini.
Per hari, dia berpenghasilan kurang lebih Rp 750.000 hingga Rp 1.000.000. Cukup
bisa diandalkan untuk menutupi ongkos sewa lapak seluas 1,25 meter persegi di mulut
gang yang ditempatinya, yakni sebesar Rp 9 juta pertahun yang harus dibayar dua
tahun sekaligus. Juga untuk membayar pungutan liar yang kerap ditagih oleh sejumlah
oknum dengan mengatasnamakan “uang keamanan”.
“Saya suka belanja di Pasar Burung karena harganya lebih murah,” kata Sakti (28).
Warga Cimanggis, Depok, ini telah beberapa kali membeli ikan atau keperluan lain di
tempat itu.
“Jika Pak Warno sakit, sampah akan menumpuk di sepanjang gang,” kata Ani.
Apabila hujan turun, Gang Pasar Burung tidak pernah kebanjiran, kendati saluran air
di sepanjang gang tersebut terbilang cukup kecil. Hanya saja, kata Zulkarnaen, gang
tersebut akan becek oleh lumpr pada saat hujan. Lumpurnya pun bukan lumpur biasa,
tapi sudah bercampur dengan kotoran hewan.
Saatnya Ditata-ulang
Konsep pasar burung sudah saatnya dikaji ulang. Nama yang disandang sudah kurang
sesuai dengan kenyataan di lapangan, yang tidak lagi semata-mata menjual burung.
Dari keberadaannya sendiri, menurut seorang penulis kelahiran Jakarta yang tidak
mau disebut namanya, tempat itu sudah cukup mengganggu, baik dari segi
kenyamanan berlalu-lintas, kebersihan lingkungan, dan lain-lain. Sementara jenis-
jenis hewan yang dijual juga perlu dicermati, apakah ada yang termasuk hewan
langka. Bagaimana pula dengan izin operasional dan aspek legalitas penjualan hewan-
hewan di pasar itu.