Anda di halaman 1dari 2

agi itu di sekolah bersama 7 orang sahabatku yaitu Najla, Dian, zahawwa, Nadiya, Nisrina,

Fevi dan Alfiyah sedang baris di lapangan upacara bendera 17 Agustus, Kami selalu bersama-
sama kemanapun. Walaupun kami tidak satu kelas tapi kami selalu bermain bersama-sama.
Setelah libur panjang sekolah kami jarang komunikasi sehingga saat masuk sekolah kami
seperti tidak peduli satu sama lain, aku juga bingung, Batinku mengucapkan “lah kok hari ini
kayak gini yah?” Aku ingin menyapa mereka tapi… Pada saat aku ingin menyapa Bell masuk
berbunyi “Kriingggggg”. Yahh udah Bell nanti aja deh. Setelah selesai PBM aktif aku ingin
mengajak mereka bermain, “hai!!!” Ucapku kepada Nadiya “Hai juga” Jawab Nadiya Batinku
berkata lagi “lah kok gak kayak biasanya sih, biasanya langsung main atau gak ke
perpustakaan tapi kok dia kayak gak ingat gitu, kenapa yah?” 7 orang sahabatku menjadi bisu
seperti tidak mengenal satu sama lain, aku pun sedih, hingga pulang sekolah aku masih
terpikir sampai ke rumah kenapa yahhh tadi gak kayak biasanya yang selalu ceria, ketawa-
ketawa, senyum-senyum. Aku pun menangis sambil menulis di buku diaryku air mataku
menetes ke buku diary itu. 4. Sahabat Sekolah Namaku Sinta Putri, aku sangat senang
dengan pelajaran Bahasa Indonesia dan Biologi. Aku mempunyai sahabat yang unik bernama
Aulia, dan aku bingung dengannya. Dikarenakan sahabatku orang yang sangat sensitif.
Menurut dia, aku tidak boleh suka dengan kedua pelajaran tersebut. Padahal itu hakku. Suatu
waktu disaat pelajaran bahasa inggris, tidak tahu mengapa tiba-tiba aku suka dengan
pelajaran tersebut. Mungkin juga karena guru yang mengajarkan mempunyai cara
penyampaian yang baik. Otomatis aku juga mulai aktif di kelas saat pelajaran bahasa inggris.
Teng teng teng, bunyi bel sekolah, waktu istirahat tiba. Saat itu aku langsung menghampiri
Aulia untuk mengajaknya ke kantin. “Aul, ke kantin yuk?” ajakku. “Ngga, aku ngga mau lagi
sahabatan sama kamu!” jawabnya sembari buang muka. Awalnya kejadian seperti itu hanya
sekali dan kita berdua balikan seperti semula. Tetapi lama-kelamaan terjadi hal yang serupa.
Sangat aneh. Aulia bukannya mengerti perasaanku, justru bikin aku kesal. Ceritanya begini,
waktu Ujian Tengah Semester (UTS) dia kesusahan menjawab soal pelajaran Biologi, disaat
itu dia melihat ke arahku. Aku dan Aulia tidak satu bangku, Aulia tepat di depan tempat aku
duduk. “Sin, kamu tahu ngga nomor 5 essay? minta jawabannya dong satu aja!” tanya Aulia
sembari memohon. “Udah si, ini kan bukan ulangan biasa!” jawabnku. “Yah kamu..” sembari
jengkel. Aku cuek saja akan hal itu dan berharap bahwa dia akan intropeksi diri. Coba
bayangkan, dia sudah membuatku sakit hati dan dia ingin meminta jawaban UTS. Beberapa
hari kemudian hasil nilai UTS Biologi dibagikan dan diumumkan. Aku mendapat nilai 90
sedangkan Aulia mendapat nilai 75. Aku bisa melihat tatapan iri di sahabatku itu, dan aku
sadar bahwa bersahabat dengan orang yang suka iri hati adalah hal yang susah. 5. Tragedi
“Lihatlah, bagaimana menurutmu?” ucapmu antusias. “Aku terlihat cantik, bukan?” “Ya, kau
selalu terlihat cantik.” “Lantas apa lagi yang kau tunggu? Ayo, bantu aku berdandan
sekarang.” Kau menyodorkan peralatan make-up, juga sisir yang sebelumnya tertata rapi di
atas meja rias. Memintaku agar membantumu merias diri di hari yang sudah kau nantikan
selama ini. Sebagai calon pengantin kau terlihat sangat bahagia. Senyuman manis bahkan
selalu tersungging di wajahmu. Mungkin kau sudah tidak sabar untuk melewati setiap
rangkaian acara yang akan menjadi bukti penyatuan cinta kalian berdua. Saling mengucapkan
janji suci untuk setia sehidup semati. Menjalani hari-hari dalam keadaan suka maupun duka.
Andai saja aku bisa merasakan juga kebahagiaan itu, pasti sudah kulakukan apa yang kau
inginkan. Tapi pada kenyataannya, justru kesedihanlah yang kurasakan saat ini. Sebagai
calon pengantin kau terlihat sangat bahagia. Senyuman manis bahkan selalu tersungging di
wajahmu. Mungkin kau sudah tidak sabar untuk melewati setiap rangkaian acara yang akan
menjadi bukti penyatuan cinta kalian berdua. Saling mengucapkan janji suci untuk setia
sehidup semati. Menjalani hari-hari dalam keadaan suka maupun duka. Andai saja aku bisa
merasakan juga kebahagiaan itu, pasti sudah kulakukan apa yang kau inginkan. Tapi pada
kenyataannya, justru kesedihanlah yang kurasakan saat ini. “Ah, sepertinya warna ini terlalu
terang. Aku tidak suka.” Aku terpatung. Menatap wajahmu dari cermin dengan mata berkaca-
kaca. Sementara itu kau masih saja meracau tanpa menyadari sesuatu dan hatiku semakin
sakit mendengar apa yang kau ucapkan. “Hey, apa yang kau lakukan?” katamu membuyarkan
lamunanku. “Cepatlah, atau aku akan terlambat nanti.” “Lis….” “Ah, kau ini benar-benar
lamban. Berikan padaku!” “Hentikan, Lis!” Kau terhenyak. Menatap wajahku dengan tubuh
yang gemetar usai aku membentakmu. Sebenarnya aku tidak bermaksud demikian, tapi aku
tidak punya pilihan selain melakukan hal itu. Trauma yang kau rasakan sudah cukup
menyedihkan, dan aku tidak ingin melihatmu semakin terluka. “Sadarlah,” bisikku sambil
memelukmu dengan erat. “Kumohon jangan seperti ini lagi.” Seketika keheningan menyergap
di antara kita. Tak ada lagi yang terdengar selain isak tangis yang mendera. Saat itu mungkin
kau sudah mengingat apa yang telah menimpa Roni calon suamimu, di hari pernikahan kalian.
Kita sama-sama tahu bahwa takdir telah merenggutnya darimu, tapi terpuruk dalam waktu
yang lama bukanlah sebuah jawaban. Hidup terus berjalan, dan masa lalu yang kelam
seharusnya tidak menjadi penghalang bagimu untuk merasakan kebahagiaan. Apalagi sampai
membuatmu berputus asa. “Cobalah untuk mengikhlaskan kepergiannya,” bisikku. Kau
mengangguk sambil terus terisak. Setelah puas menumpahkan air mata, aku menyuruhmu
duduk di tepian ranjang. Di saat kau mulai tenang, aku bergegas merapikan gaun pengantin
dan peralatan make up yang berserakan. Sejurus kemudian, kamarmu sudah rapi seperti
sedia kala.

Anda mungkin juga menyukai