“Kesehatan Mental”
1 5 O K T O B E R 2 0 2 3
N
Robusta
L I T E R A S I
ARABICA BERCERITA:
KESEHATAN MENTAL
Sesi ke: -
14-15 Oktober 2023
Penyumbang:
Arabica (Robusta Literasi)
N
Robusta
L I T E R A S I
AKHIR-AKHIR INI berita bunuh diri kan makin banyak,
ya. Dengar di TV juga kata Menkes, Indonesia lagi darurat
kese- hatan mental.
Aku penasaran aja, sih, gimana pandangan teman-teman
di sini (Robusta Literasi). Kalau aku perhatiin, omongan
orang- orang tua (aku udah tua juga sih 🫣) tuh lebih
banyak sema- ngat banget untuk hidup, ingin hidup lebih
lama, lebih pan- jang... Namun, aku seringnya malah dapat
curhatan, mereka yang usia rata-rata 20-30-an itu pernah
ingin menyerah.
Kira-kira kenapa begitu, ya?
Kenapa sekarang, ketika ilmu tentang mental health
begitu dalam, luas dan mudah didapatkan, tetapi malah
semakin ba- nyak yang merasa hidupnya hampa dan ingin
menyerah?
Padahal sebenarnya yang ingin menyerah juga tahu,
kalau mati bukanlah akhir segalanya. Bahkan dengan jalan
bunuh diri, awal penderitaan yang lebih berat pastinya di
alam beri- kutnya.
Masalah agama pun, aku percaya bahwa itu salah satu
solusi. Namun, bukan agama yang sekadar rutinitas, tetapi
yang ma- suk ke dalam hati. Dan itu susah ukurannya.
Karena sering aku dengar kalau yang ingin menyerah
pun punya amalan rutinitas yang kadang di atas rata-rata—
salat, puasa, tilawah—tetapi mungkin baru sekadar
rutinitas fisik. Jadi belum nyampe ke hati, dan akhirnya,
hatinya masih rapuh dan mudah menyerah.
Begitu pun dengan syukur—jurnal syukur. Padahal
mereka juga tahu dan bilang, “Bukan aku enggak
bersyukur, tapi... aku capek.”
2
MENTAL
Bicara tentang diri sendiri
Bicara soal memahami manusia
Sehat mental = sosial, fisik, dan mental.
MENTAL ILLNESS
Emosi, pemikiran, dan perilaku yang bermasalah -
mengganggu aktivitas sosial dan keluarga
Mental : bisa sakit : bukan aib
MANUSIA
Fisik (materi) : indrawi : raga manusia : perilaku
yang tampak
Non fisik (mental) : proses berpikir
Naluri (rasa)
Kegelisahan : misal kekurangan kasih sayang
Nurani : kecenderungan hati (hati kecil)
Nangis : ekspresi emosi
Ruh : kesadaran
Manusia itu ada tujuan hidup : ingin bahagia :
definisi bahagia berbeda-beda
Kebutuhan fisik dan non fisik terpenuhi
Makhluk - ciptaan Allah
Ilmu psikologi yang sekarang
Trial error
Ilmu Psikologi Aturan Allah
Aturan Allah kekal sampai akhir zaman dan benar
Iman - keyakinan
Tugas : psikiater : membantu memetakan benang
Merah : menemukan solusi
3
MENURUTKU, ORANG BUNUH diri itu, kan,
kehilangan harapan hidup (enggak tau lagi tujuan hidup itu
apa). Pernah aku juga percobaan bunuh diri itu sekali
semasa depresi. Me- mang lagi buta dan enggak punya
tujuan hidup. Sama takut banget banget buat ngejalanin
hidup.
Mungkin karena aku pernah belajar, jadi aku kebantu
untuk cari pertolongan. Yang pertama kali aku mintai
tolong waktu itu adalah Allah, tentu saja. Aku nangis
sambil minta, “Ya Allah udah, capek, izinin pulang
sekarang.”
Terus tiba-tiba tangan digerakin buat minta tolong itu
sama dosenku. Aku ngirim email gitu, dan beliau ditengah
kesibu- kannya, fast respond, alhamdulillah. Tapi, waktu
itu posisi aku lagi overdosis gara-gara minum paracetamol
lebih dari 20 butir. Astaghfirullah. 😭 (Nangis lagi inget ini,
ya Allah, maafin, ya Allah.)
Jadi, mungkin kalau dulu orang juga banyak yang lelah,
ta- kut dan berpikir bunuh diri, tapi enggak sampe
dilakukan karena orang zaman dulu enggak kenal option
itu, entah karena jarang dengar atau memang karena zaman
dulu kan enggak ada distraksi melihat lebih jauh dunia luar
dengan mudah agar fokus belajar mengenal apa yang
sedang digeluti dengan khidmat. Maksudnya, ketika orang
zaman sekarang kenal mental health banyak istilah yang
masuk dan jadi kenal option yang positif dan negatif buat
jalanin hidup. Beda dengan zaman dulu yang diajarin sama
gurunya, ustaznya, terus be- lajar, ya, lewat buku atau kitab
sesuai dengan yang dipelajari aja, jadi benar-benar
mendalami ilmu baik, ilmu agama de- ngan sungguh-
sungguh, masuk ke dalam hati.
What to do, aku sih selanjutnya setelah overdosis itu, aku
baca email dosenku, meyakinkan aku bahwa sebenarnya
tujuan hidup kita ini apa. Bahwa jika selama ini usahaku,
enggak ada yang sia-sia dan bukti ketidak sia-siaan itu ada.
Sekarang, aku benar-benar disaat depresi datang lagi,
yang aku bilang sama Allah dengan benar-benar dengan
merendah- kan diri, minta kekuatan dan dicukupkan umur
serta amalku.
4
AKU JUGA MIRIS, Kak. Tiap buka sosial media muncul
beri- ta bunuh diri. Dan lagi, masih anak-anak—meski usia
dewasa pun tidak dibenarkan.
Barusan terbesit di pikiranku, di Indonesia sepertinya
dulu enggak seperti ini. Entah aku yang enggak tau atau
gimana. Karena yang aku ketahui tentang bunuh diri itu
adalah budaya di Jepang. Aku pertama kali tau di negara
itu. Kemudian, Ko- rea. Di Jepang sampai disebut dengan
budaya, saking udah biasa dilakukan. Rasa bersalah, malu,
di-bully, cara mengatasi- nya dengan bunuh diri.
Pengaruh teknologi, hal seperti itu jadi mudah diketahui,
dianggap sebagai sebuah solusi, dan ditiru.
Menurutku, penyebabnya tidak ada teman bicara. Jepang
dikenal sebagai negara dengan penduduk yang
individualisnya tinggi dan tertutup. Kalau di Indonesia?
Anak-anak kalau ada masalah susah mengungkapkan
atau mengekspresikan ke orang tua. Aku pernah
mengalami sendiri. Mau ngomong ke orang tua tentang
sesuatu yang negatif (bu- kan karena sudah berbuat salah)
tapi takut menyakiti, takut bi- kin sedih. Akhirnya
dipendam sendiri. Terus kena darah tinggi, padahal masih
sekolah. 🙈
Karena pondasi dari sebuah negara itu keluarga, aku
pikir penting untuk memperbaiki komunikasi atau interaksi
di se- buah keluarga. Mengajarkan juga mencontohkan
bagaimana cara mengungkapkan emosi atau perasaan anak
pada orangtua dengan baik.
Kalau ilmu agama dan ibadah itu sudah pasti harus jadi
pe- gangan, pedoman, pondasi. Tapi, menurutku, manusia
juga butuh manusia lainnya.
Jadi, sedih. Tugas manusia ternyata seberat ini. Allah
yang menciptakan manusia. Dan, manusia yang
membentuk manu- sia-manusia lain.
5
(Sebelumnya, aku minta maaf kalau ada kata-kataku yang agak blunt atau mungkin
sedikit ‘kasar’. 🙏🏻)
7
SEBAGAI SESEORANG YANG lagi meraba bagaimana
ha- rusnya aku menjalani hidup, aku cukup sedih dan
prihatin de- ngan fenomena yang terjadi di bangsa ini.
8
AKU SETUJU SIH kalau dibilang sosial media tuh
berpenga- ruh banget. Bikin insecure. Bikin banyak
pencitraan. Penipuan. Sampai bela-belain tampil modis di
sosial media padahal ngu- tang sana sini.
Ada yang bilang lagu-lagu zaman dulu tuh ngelarang kita
se- dih. Jadi denial sama rasa sedih kita. Semacam lagu
Buat Apa Susah. Padahal masa-masa itu memang berat,
kesulitan ekono- minya nyaris merata. Tapi, ya, kayak
malah dihibur sih, diajak mikir yang happy-happy aja.
Zaman sekarang lagi sedih lanjut dengerin lagu mellow. 🙈
Terus soal agama, orang zaman dulu tuh meski sumber
in- formasinya sedikit, tapi benar-benar sami’na wa
atho’na. De- ngar dan taat. Jadi meski enggak paham-
paham amat, tapi di- lakuin benar-benar. Enggak pake
ragu-ragu dulu. Dibilang ha- ram ya haram. Enggak boleh,
ya, enggak boleh.
9
MEMANG NGERI LIHAT angka kasus bunuh diri dari
tahun ke tahun, Mbak. Baik di skala Indonesia, maupun
dunia. Usia 15-24 tahun ternyata jadi usia rentan kena isu
penyakit men- tal. Mungkin karena di usia itu lagi labil
juga, ya. 😥
Tapi kalau mau dicermati penyebab kenapa angka
kasusnya makin lama makin tinggi begini, ada banyak
faktor pencetus- nya. Ya, baik dari sisi ekonomi,
pendidikan, keluarga, lingku- ngan juga agama.
Apalagi kita kan hidup di dalam aturan hidup sekuler,
yang berusaha memisahkan kehidupan dunia dan akhirat.
Padahal sebagai muslim, ya, kita hidup di dunia kan
semata-mata un- tuk mencari bekal kehidupan akhirat.
Bukan sekedar nyari ke- senangan hidup di dunia semata.
Imbas dari kehidupan sekuler ini nanti merembet ke
mana- mana, karena kan banyak turunannya.
Kalau dari sisi ekonomi, melahirkan sistem ekonomi
kapi- talistik. Yang menimbulkan jurang yang dalam antara
si kaya dan si miskin. Coba dibayangkan, 20% orang
terkaya di dunia itu menguasai perekonomian 80%
masyarakat lainnya. Sebesar itu kesenjangannya.
Ekonomi kapitalis juga melahirkan masyarakat yang
hedonis dan konsumtif. Remaja kita digempur dengan
serangan buda- ya hidup foya-foya, belanja sana-sini bukan
karena kebutuhan, tetapi karena lapar mata. Ketika mereka
tidak mampu membe- linya, ada serangan pinjol di mana-
mana. Minjam uang ke pin- jol semudah menjentikkan jari
saja. Ketika tidak mampu bayar dan terlanjur terlilit
hutang, maka disanalah pintu depresi ter- buka selebar-
lebarnya. Angka kasus gangguan jiwa dan bunuh diri
karena terlilit pinjol faktanya begitu tinggi, kan?
Apalagi yang generasi kita lakukan demi memenuhi
nafsu hedonis dan konsumtif? Melakukan segala cara.
Banyak temu- an fakta remaja SMP, SMA apalagi
mahasiswi menjadi PSK dan simpanan om-om, senang
hanya demi bisa memenuhi ga- ya hidup yang tinggi.
Banyak juga yang jual foto tanpa busana, atau sengaja cari
sensasi dengan cara maksiat demi meraih per- hatian di
media massa. Dalam rangka apa? Tentu dalam rangka
mendapatkan pundi-pundi rupiah. Mencari jalan instan
demi hasil maksimal. Lalu, setelah semua itu diraih, apa
mereka ber- bahagia? 😥
Faktanya, banyak artis yang bunuh diri justru saat berada
di puncak karirnya. Punya materi berlimpah ternyata bukan
sum- ber kebahagiaan.
11
FAKTOR X BERNAMA DOA DAN ISTIGHFAR
Tanpa bermaksud meringan-ringankan atau
mempermudah masalah, hal ini bisa disederhanakan
menjadi begini:
1) Masalah yang menjadi penyebab bunuh diri
biasanya nggak jauh-jauh dari urusan uang atau
utang, asmara, keluarga beserta variasinya. Itulah
pentingnya akidah di dalam agama Islam.
2) Keyakinan bahwa Allah sudah menyiapkan segala
solu- si untuk segala masalah yang kita punya
sangat penting untuk menjaga kepala tetap jernih.
Kalau sudah punya keyakinan seperti itu, kita sudah
selangkah lebih maju ke arah solusi masalah kita:
“Lebih tenang dan lebih jernih berpikir”. Masalah
tetap ada, tapi pikiran dan hati insyaallah lebih
tenang. Kita bisa lebih tenang mengkalkulasi
pilihan dan kemungkinan solusi.
3) Faktor X bernama doa dan istighfar yang sering di-
abaikan. Ketika pikiran sudah benar-benar buntu,
kita dianjurkan untuk istigfar.
4) Muslim (seharusnya 100%) meyakini bahwa bunuh
di- ri itu adalah dosa besar, dan bukan solusi. Yang
ada ma- lah menambah masalah buat keluarga yang
ditinggal- kan.
12
AKU TUH BINGUNG, Kak, kalau ada berita bunuh diri.
Se- dih, campur aduk
Kok bisa, ya, ada orang yang malah menjemput
kematiannya sementara aku aja takut banget mati. Lebih
tepatnya aku tuh takut nasibku di akhirat, selama-lamanya.
Kalau ngebayangin terus menerus kayaknya bisa gila aku
(naudzubillah).
Setelah banyak baca buku, aku jadi paham bisa jadi orang
yang bunuh diri bukan enggak takut dosa tapi mereka
13
AKU (LAGI-LAGI) baru saja baca berita anak SD bunuh
diri. Mungkin jawabanku sudah ada yang ditulis teman-
teman ju- ga, ya...
Menurutku, tingginya angka bunuh diri ini dipengaruhi
ba- nyak faktor:
Derasnya arus informasi yang tanpa sadar bisa bikin
orang salah persepsi, seakan membuat bunuh diri
itu pilihan yang baik, alasan yang bisa diterima
karena ber- bagai macam alasan. Gimana ya...
nyebutnya. Ba- rangkali romantisasi atau
dramatisasi bunuh diri?
Jadi, ketika ada kasus misal X bunuh diri karena
di-bully, tekanan hidup yang berat, ditinggal
pasangan, banyak hutang, dll. (dan biasanya hal-hal
semacam ini diangkat ke drakor, film, buku, sinet,
dan semacam- nya, dengan tokoh utama atau tokoh
2 Pikiran-tubuh-jiwa
yang dianggap punya karakter baik sebagai pelaku
bunuh diri) orang- orang bukannya terfokus
menjadi, Gimana caranya biar aku nggak jadi
pem-bully; Gimana caranya biar aku jadi orang
yang peduli, tetapi justru tanpa sadar bikin mindset
mereka (apalagi yang kebetulan sedang ditimpa
permasalahan serupa) jadi, “Oh, sepertinya bu- nuh
diri itu pilihan yang bagus”. Jadi seakan-akan
malah melemahkan diri sendiri. Lalu karena tokoh-
tokoh yang mengambil pilihan tersebut dianggap
se- bagai sosok yang gak bersalah atau baik, ya
semakin dianggap kalau bunuh diri itu bukan jalan
yang salah. Orang lain atau situasilah yang salah.
Jiwa buat melawan keadaan itu dengan segala
daya dan upaya enggak ada.
Keluarga, terutama orang tua. Ini juga tak lepas dari
pe- ngaruh IT3, sih. Berapa banyak orang tua yang
cuekin anak-anak hanya karena sibuk main HP atau
kerja de- mi memenuhi gaya hidup? Gaya hidup
yang terins- pirasi dari melihat kenalan punya ini-
itu di sosial me- dia, akhirnya punya kepikiran juga
pengen bisa kayak si A, si B. Apalagi dengan sifat
dasar manusia yang punya keinginan tidak terbatas,
ya.
Balik lagi ke anak-anak. Kalau sudah dari kecil
jauh dan jarang ngobrol sama orang tua, akhirnya
tempat yang harusnya diisi oleh figur orang tua jadi
4 Pikiran-tubuh-jiwa
Jadi jalanin aja, nanti ketemu jalannya, meski sakit, meski
hancur, mungkin itu yang memang harus dilewati untuk
membentuk diri sampai waktu itu tiba.
Selalu serem mikirin kematian, apalagi kalau sampai ngobrol
ten- tang itu kepada pasangan. Belum siap, masih banyak beban,
bagai- mana nasib mereka nanti, selalu jadi kepikiran. Tapi dulu
mentor saya pernah berkata, bahwa: apa yang perlu ditakuti dari
kematian?
Rezeki Allah yang jamin, banyak yang ditinggal suami justru
re- eki makin menjadi. Atau anak yang ditinggal yatim justru
bisa sema- kin mandiri dan berdikari. Tambahan umur pun
enggak menjamin kita tambah ibadah dan berkurang dosa, justru
dengan mati itu su- dah pas takarannya.
Mati perjumpaan dengan Tuhan, lalu kenapa ditakutkan?
Bukan- kah kita disini cuma singgah, dan harusnya rindu
pulang?
Meski hati masih takut dengan siksa kubur, tapi mendengar
kata mentor di atas, setidaknya membuat saya jadi lebih paham
meng- hadapi kematian.
Ketika waktunya datang, maka ia datang, jika belum tiba,
maka itulah modal kita untuk perbanyak bekal sampai bertemu
dengan- Nya.
Tiap detik berusaha, tiap hari bersabar dengan apa pun yang
di- gariskan-Nya.
15
OBROLAN-OBROLAN DARI ARABICA5
(Obrolan di bawah ini terbilang acak dan tidak dilakukan penyuntingan.
Tetapi semua nama atau nomor pengirim dihilangkan atau disamarkan.)
N
[10/16, 10:11] Jadi pelajaran juga sih, buat aku pribadi. Kalau
bertemu atau sedang menghadapi orang yang sedang down gitu
sebaiknya ya jangan langsung di-judge, dengarin dulu, terus
dihibur semacam ... dikasih penerimaan kalau apa yang dia
alami, kondisi sedih, tertekan, lelah, itu wajar. Tapi tetap diberi
dukungan biar engga nyerah
[10/16, 10:11] aku mau ikut share meski telat banget dan
sebagian besar udah diceritakan dan dishare juga sama teman2 di
atas.
selain karena faktor agama, ibadah yang dapat menangkal
(jika orang itu memiliki jiwa yang sehat)
faktor dukungan orang terdekat juga sangat dibutuhkan,
sayangnya gak semua orang bisa ngomong ke orang terdekat
(keluarga) kadang ada yg butuh cerita ke orang lain.
dan faktor ini pun gabisa berjalan satu pihak saja
N
[10/16, 10:11] Pernah mencoba.. Tapi waktu itu masih SMA
kelas satu, karena dihukum di pesantren, didiamkan sepondok
selama seminggu, tidak boleh telfon ortu, dan tidak boleh
dijenguk....
N
[10/16, 10:11] Tapi namanya hidup kan selalu ada ujian. Nah
masalahnya kita bisa ngga buat ngelewatin ujian itu. Soalnya
Allah ngasih ujian juga tanpa tujuan, mungkin pingin ngangkat
derajat manusia tersebut makanya itu coba deh kasih ujian dulu.
N
[10/16, 10:11] maksudnya gak bisa hanya mengandalkan
pihak/faktor luar aja, dari diri sendiri pun harus sadar, seperti
kata psikolog klinis lisa djaprie, di masa sekarang itu banyak
yang meromantisasi penyakit mental, menuntut orang2 di luar
dirinya sendiri untuk mentreatment dia seperti yang dia harapkan
dan lupa kalau orang2 itu (caregiver-nya) juga manusia, juga
punya perasaan dan pemikirannya sendiri. sebab itu peranan
profesional sangat dibutuhkan.
butuh perjalanan panjang dari diri sendiri untuk mengenali
apa yang salah di dalam diri, begitu banyak buku dan tayangan
mengenai kesehatan mental saat ini yang mudah diakses, namun,
tak semua bisa menyerap makna/tujuan seperti yang diinginkan
penulis.
seperti berita orang yang paham agama, namun, memilih
bunuh diri.
aku benci jalan yang dia pilih, tapi aku gatau apa yang ada di
pikirannya. kenapa sampai melakukan hal itu. mungkin karena
dia terlihat baik2 aja jadi orang di sekitarnya pun gak ngeh.
intinya kalau sudah ada perasaan yang nggak beres, mari cari
bantuan ke profesional.
caregiver juga manusia, di saat kamunya gamau peduli dengan
apa yang salah dengan dirimu dan terlalu mengandalkan
teman/saudara/sahabat kamu, ingat mereka juga manusia.
mereka juga butuh dihargai, nggak cuma diri kamu sendiri.
N
[10/16, 10:11] Eh maksudku Allah ngasih ujian bukan tanpa
tujuan. Karena Allah lagi pengen ngangkat derajatnya manusia.
Soalnya kalo hidup nggak ada ujian, berarti Allah udah ga peduli
lagi. Kalo aku mikirnya gitu sih. Walaupun juga kadang ga kuat
sama ujian yg diberikan.
N
[10/16, 10:11] Pernah si kak
Ada ujian berat dalam hidup yg ngerasa kayak bikin duniaku
runtuh. Gelap bgt
Kayak ada bisikan “udah lari aja tuh ke jalan” sambil gendong
bocah. Nabrakin diri gt
Tp kemudian istighfar dan eling. Ngomong ke diri. Heh masi
ada akhirat lho. Kelar di dunia ga kelar di akhirat.
Trus yawda pelan2 merangkak aja. Alhamdulilllah masa gelap
itu pelan2 terlalui 🥹
Jadi bukan pengen bundir tapi pernah kena bisikan bundir
N
[10/16, 10:11] Kak 😅😅
Kalo dari segi "orang luar" biar nggak judging gitu, baiknya
kita nggak ngeliat dari sudut pandang kita sih ya.
Sesuatu yg gampang buat kita, belum tentu gampang buat org
lain. Hal yang menurut kita ringan, belum tentu ringan buat
orang lain.
Masalah putus cinta, menurut kita remeh mungkin karena pas
kita putus cinta, sebenernya kita ga secinta itu. Sementara si A
mungkin udah cinta banget. Atau mungkin si A selama ini
ngerasa ga ada yg perhatian sama dia kecuali yg dia taksir aja.
Jerawat mungkin buat kita sepele, tp si B bisa jadi sering
diejek temen2nya karena jerawatnya. Dia jadi insecure banget.
Dll.
Kadang karena kita bisa ngelewati satu fase, kita ngerasa fase
itu ga ada apa2nya karena kita udah "naik level", pernah lewat
fase2 lain yg lebih berat. Padahal buat yg lagi ngejalanin fase itu,
mungkin fase itu udah berat banget.
N
[10/16, 10:11] S7. Krn beban yg bs ditanggung tiap insan beda2
Ada yg putus pacar biasa aja, ada yg kayak kiamat terjadi
Dan ada latar belakang kenapa dia serapuh itu
Kdg bahkan emang Allah desain hatinya serapuh itu.
Kita ga pernah tahu
Kalau ga kuat Nerima curhatannya (bosen, dll) tarik garis
drpd kita nyelekit dan malah mancing dia nekat
N
[10/16, 10:11] Akidah/Keyakinan, Keluarga yang "fungsional",
lingkungan yang tidak toxic ini sangat membantu ke proses
pembentukan dan pembangunan kondisi mental seseorang.
Jadi anak sulung yang lebih waktunya dibesarkan oleh
pembantu (karena kedua orangtua kerja bagai Quda dari pagi
sampe malem), saya sangat bersyukur dikasih sama Allah
semangat juang dan survival skill dari jalan lain.
Perjuangan hidup, kepahitan hidup, kegetiran hidup walau pun
berat, susah, perlu pengorbanan yang hebat, insyaallah bisa
dilalui kok.
N
[10/16, 10:11] Ka Rai makasih banyak udah buka pembahasan
ini jadi bisa tahu insight dan pengalaman dari temen temen
semua.
Aku juga mau mecerita. Aku pernah kepikiran buat menyerah,
waktu itu masih SMA kelas 11, emosi juga lagi labil-labil nya.
Pemicunya adalah masalah keluarga dan ekonomi. Setiap pulang
ke rumah tuh bener bener tersiksa bantin Kak🥲 kerjaaanku tiap
malam nangis sambil bicara gitu yallah udah capee banget
rasanya, bahkan pernah marah gitu ke allah, astagfirullah malu
banget kalau inget itu.
Pas cerita ke temen malah di nganggap lebay dan berlebihan,
soalnya mereka gak paham dan gak pernah ada di posisi seperti
aku. Dari situ aku gak pernah cerita ke siap siapa lagi semua nya
aku pendem sendirian dan ngerasa banget waktu itu hidup aku
kayanya paling beraat. Sampai pada titik terendah yang udah
capeek banget rasanya, semuanya bener bener gelap gak ada
harapan apa apa waktu itu udah hampir, tapi aku bersyukur
banget masih di beri rasa takut dan ragu. Akhirnya aku milih
buat self harm, mukulin diri, terus gigit tangan sampe berdarah,
bahkan ngejambak rambut sendiri.
Astagfirullah yallah, kalau inget itu sedih.
Dan bener sih ya kak pondasi iman tuh penting banget,
pokonya setelah kejadian itu gak sengaja aku lihat video ustd
hanan ataki, tentang betapa baiknya Allah, perlahan hati aku tuh
kebuka. Dan penting juga punya tempat cerita untuk saling
menguatkan dan mengingatkan.
Alhamdulilah sekarang kalau lagi di posisi cape banget gak
pernah lagi kepikiran buat nyerah, kecuali nangis dan ngeluh. 🥹
N
[10/16, 10:11] Kak Nia, ini aku dapet tips dari psikolog
Kalau kaya kak Nia, yang juga sama kayak aku hehe,
disaranin buat ditulis aja. Semuanya, ditulis. Kalau ga suka
nulis. Ngomong aja tapi direkam. Omongin semuanya
Just in case kondisinya mulai parah dan mengganggu aktivitas
harian. Baru deh ngobrol langsung sama psikolog. Dan rekaman
atau hasil tulisan tadi bisa juga dibagi ke psikolognya
Ini share pengalaman pribadi aja ya kak
N
[10/16, 10:11] Salah satu cara yg paling ampuh menurutku adl
dengan menjadi pendengar yg baik.
Jika memungkinkan, hubungi segera layanan konsultasi terdekat, Dan bila tidak,
kamu bisa melakukannya secara daring.
Ingat,
itu bukan salahmu.
Ingat,
kamu juga tidak sendirian
Dan terakhir,
ingatlah
bahwa
kamu
BERHARGA
dan
DICINTAI.
N
Robusta
L I T E R A S I