Anda di halaman 1dari 41

ARABICA BERCERITA

“Kesehatan Mental”
1 5 O K T O B E R 2 0 2 3

N
Robusta
L I T E R A S I
ARABICA BERCERITA:
KESEHATAN MENTAL

Sesi ke: -
14-15 Oktober 2023

Digitalisasi dan Tata Letak:


@manwithbooks

Penyumbang:
Arabica (Robusta Literasi)

N
Robusta
L I T E R A S I
AKHIR-AKHIR INI berita bunuh diri kan makin banyak,
ya. Dengar di TV juga kata Menkes, Indonesia lagi darurat
kese- hatan mental.
Aku penasaran aja, sih, gimana pandangan teman-teman
di sini (Robusta Literasi). Kalau aku perhatiin, omongan
orang- orang tua (aku udah tua juga sih 🫣) tuh lebih
banyak sema- ngat banget untuk hidup, ingin hidup lebih
lama, lebih pan- jang... Namun, aku seringnya malah dapat
curhatan, mereka yang usia rata-rata 20-30-an itu pernah
ingin menyerah.
Kira-kira kenapa begitu, ya?
Kenapa sekarang, ketika ilmu tentang mental health
begitu dalam, luas dan mudah didapatkan, tetapi malah
semakin ba- nyak yang merasa hidupnya hampa dan ingin
menyerah?
Padahal sebenarnya yang ingin menyerah juga tahu,
kalau mati bukanlah akhir segalanya. Bahkan dengan jalan
bunuh diri, awal penderitaan yang lebih berat pastinya di
alam beri- kutnya.
Masalah agama pun, aku percaya bahwa itu salah satu
solusi. Namun, bukan agama yang sekadar rutinitas, tetapi
yang ma- suk ke dalam hati. Dan itu susah ukurannya.
Karena sering aku dengar kalau yang ingin menyerah
pun punya amalan rutinitas yang kadang di atas rata-rata—
salat, puasa, tilawah—tetapi mungkin baru sekadar
rutinitas fisik. Jadi belum nyampe ke hati, dan akhirnya,
hatinya masih rapuh dan mudah menyerah.
Begitu pun dengan syukur—jurnal syukur. Padahal
mereka juga tahu dan bilang, “Bukan aku enggak
bersyukur, tapi... aku capek.”

AKU BINGUNG MAU bertanya apa ini...😄


Cuma prihatin aja dengan kondisi sekarang.
Menurut teman-teman, gimana sih caranya biar mental
kita lebih kuat. Lebih tahan banting. Karena benturan yang
sama, bisa diterima berbeda, kan. Ada yang biasa aja, tetapi
malah bikin makin kokoh dan kuat. Namun, ada yang
malah bikin hancur berantakan.
Jadii...
Mungkin kita bisa saling sharing di sini,
what to do—apa yang mesti dilakukan
bisa berdampak memperkuat hati.
Dan ini kata Arabica...
1
MENURUT PENDAPAT PRIBADIKU, makin ke sini, ba-
nyak—pengaruh dari sosial media juga—yang akhirnya
malah bikin orang mudah insecure, Kak. Maaf, kadang
mereka yang nyaman di sosial media tapi kurang sosialisai
di dunia nyata, itu juga yang lebih bahaya.
Di sosial media, mereka menunjukkan hal yang lain,
alias pura-pura bahagia, padahal aslinya banyak masalah.
Enggan buat curhat atau ngobrol sama keluarga soal
masalah hidup- nya.
Kalau soal ibadah, harusnya sebanding dengan kekuatan
mental, ya, Kak, tapi memang pengaplikasiannya yang
susah. 🥹 Dan ya, itu tadi harus benar-benar dirapi. Artinya,
kita itu salat sebagai bentuk komunikasi pada Allah,
meskipun kita enggak bisa mendengar perkataan-Nya
secara langsung, tapi kalau dibawa sholat dan
memasrahkan segala masalah hidup, nanti akan lega. Kalau
bisa doa sambil nangis-nangis itu malah plong rasanya.
Atau, kalau mau berasa ngobrol dua arah sama Allah, kita
bisa baca Al -Qur’an.
Yang pernah aku tahu dan tak ingat-ingat pesannya Gus
Baha, manusia itu diberi masalah tugasnya berusaha,
karena jalan keluarnya ada pada Allah. Jadi, masalah apa
pun mes- kipun kita mikir sampek notok, tapi kalau ndak
dikembalikan lagi kepada Allah, kita bakal terbebani
sendiri.
Semoga kita semua selalu dikuatkan dan dijauhkan dari
perbuatan tercela, yaitu bunuh diri. 🥹🙏
Aamiin.

2
MENTAL
 Bicara tentang diri sendiri
 Bicara soal memahami manusia
 Sehat mental = sosial, fisik, dan mental.

DEFINISI SEHAT MENTAL (WHO)


 Semua manusia memiliki tekanan (normal) dan
masa- lah
 Stres : positif : tekanan : survive : agar
 Mampu bekerja dan bermanfaat
 Memberikan kontribusi bagi komunitasnya

MENTAL ILLNESS
 Emosi, pemikiran, dan perilaku yang bermasalah -
mengganggu aktivitas sosial dan keluarga
 Mental : bisa sakit : bukan aib

MANUSIA
 Fisik (materi) : indrawi : raga manusia : perilaku
yang tampak
 Non fisik (mental) : proses berpikir
 Naluri (rasa)
 Kegelisahan : misal kekurangan kasih sayang
 Nurani : kecenderungan hati (hati kecil)
 Nangis : ekspresi emosi
 Ruh : kesadaran
 Manusia itu ada tujuan hidup : ingin bahagia :
definisi bahagia berbeda-beda
 Kebutuhan fisik dan non fisik terpenuhi
 Makhluk - ciptaan Allah
 Ilmu psikologi yang sekarang
Trial error
 Ilmu Psikologi Aturan Allah
Aturan Allah kekal sampai akhir zaman dan benar
 Iman - keyakinan
 Tugas : psikiater : membantu memetakan benang
Merah : menemukan solusi

Menjadi orang yang belajar psikologi, tidak 100% sehat


men- tal, kecuali kita tahu bagaimana kita diciptakan oleh
Allah dan belajar terhadap aturan-aturan Allah, mencari
dan belajar kon- sep-konsep Islam—menyelamatkan kita.

3
MENURUTKU, ORANG BUNUH diri itu, kan,
kehilangan harapan hidup (enggak tau lagi tujuan hidup itu
apa). Pernah aku juga percobaan bunuh diri itu sekali
semasa depresi. Me- mang lagi buta dan enggak punya
tujuan hidup. Sama takut banget banget buat ngejalanin
hidup.
Mungkin karena aku pernah belajar, jadi aku kebantu
untuk cari pertolongan. Yang pertama kali aku mintai
tolong waktu itu adalah Allah, tentu saja. Aku nangis
sambil minta, “Ya Allah udah, capek, izinin pulang
sekarang.”
Terus tiba-tiba tangan digerakin buat minta tolong itu
sama dosenku. Aku ngirim email gitu, dan beliau ditengah
kesibu- kannya, fast respond, alhamdulillah. Tapi, waktu
itu posisi aku lagi overdosis gara-gara minum paracetamol
lebih dari 20 butir. Astaghfirullah. 😭 (Nangis lagi inget ini,
ya Allah, maafin, ya Allah.)
Jadi, mungkin kalau dulu orang juga banyak yang lelah,
ta- kut dan berpikir bunuh diri, tapi enggak sampe
dilakukan karena orang zaman dulu enggak kenal option
itu, entah karena jarang dengar atau memang karena zaman
dulu kan enggak ada distraksi melihat lebih jauh dunia luar
dengan mudah agar fokus belajar mengenal apa yang
sedang digeluti dengan khidmat. Maksudnya, ketika orang
zaman sekarang kenal mental health banyak istilah yang
masuk dan jadi kenal option yang positif dan negatif buat
jalanin hidup. Beda dengan zaman dulu yang diajarin sama
gurunya, ustaznya, terus be- lajar, ya, lewat buku atau kitab
sesuai dengan yang dipelajari aja, jadi benar-benar
mendalami ilmu baik, ilmu agama de- ngan sungguh-
sungguh, masuk ke dalam hati.
What to do, aku sih selanjutnya setelah overdosis itu, aku
baca email dosenku, meyakinkan aku bahwa sebenarnya
tujuan hidup kita ini apa. Bahwa jika selama ini usahaku,
enggak ada yang sia-sia dan bukti ketidak sia-siaan itu ada.
Sekarang, aku benar-benar disaat depresi datang lagi,
yang aku bilang sama Allah dengan benar-benar dengan
merendah- kan diri, minta kekuatan dan dicukupkan umur
serta amalku.
4
AKU JUGA MIRIS, Kak. Tiap buka sosial media muncul
beri- ta bunuh diri. Dan lagi, masih anak-anak—meski usia
dewasa pun tidak dibenarkan.
Barusan terbesit di pikiranku, di Indonesia sepertinya
dulu enggak seperti ini. Entah aku yang enggak tau atau
gimana. Karena yang aku ketahui tentang bunuh diri itu
adalah budaya di Jepang. Aku pertama kali tau di negara
itu. Kemudian, Ko- rea. Di Jepang sampai disebut dengan
budaya, saking udah biasa dilakukan. Rasa bersalah, malu,
di-bully, cara mengatasi- nya dengan bunuh diri.
Pengaruh teknologi, hal seperti itu jadi mudah diketahui,
dianggap sebagai sebuah solusi, dan ditiru.
Menurutku, penyebabnya tidak ada teman bicara. Jepang
dikenal sebagai negara dengan penduduk yang
individualisnya tinggi dan tertutup. Kalau di Indonesia?
Anak-anak kalau ada masalah susah mengungkapkan
atau mengekspresikan ke orang tua. Aku pernah
mengalami sendiri. Mau ngomong ke orang tua tentang
sesuatu yang negatif (bu- kan karena sudah berbuat salah)
tapi takut menyakiti, takut bi- kin sedih. Akhirnya
dipendam sendiri. Terus kena darah tinggi, padahal masih
sekolah. 🙈
Karena pondasi dari sebuah negara itu keluarga, aku
pikir penting untuk memperbaiki komunikasi atau interaksi
di se- buah keluarga. Mengajarkan juga mencontohkan
bagaimana cara mengungkapkan emosi atau perasaan anak
pada orangtua dengan baik.
Kalau ilmu agama dan ibadah itu sudah pasti harus jadi
pe- gangan, pedoman, pondasi. Tapi, menurutku, manusia
juga butuh manusia lainnya.
Jadi, sedih. Tugas manusia ternyata seberat ini. Allah
yang menciptakan manusia. Dan, manusia yang
membentuk manu- sia-manusia lain.

5
(Sebelumnya, aku minta maaf kalau ada kata-kataku yang agak blunt atau mungkin
sedikit ‘kasar’. 🙏🏻)

KAPAN HARI, AKU pernah ngobrol sama suamiku. “Pa,


orang-orang yang pada self-harm itu, kenapa pada milih
nyile- tin tangan? Kalau menikmati sakit, kenapa nggak
nyiram ba- dan pake minyak panas? Kecipratan minyak aja
sakitnya se- minggu, lho.”
SUAMIKU: “Ya, memang gitu. Itu karena mereka
sebetul- nya takut.”
AKU: “Berarti orang bunuh diri itu pengecut, ya?”
SUAMIKU: “Iya. Mereka takut menjalani hidup. Mereka
memilih jalan yang mudah untuk keluar dari masalah.”
Jujur, aku setuju. Secara kasat mata, bunuh diri adalah tin-
dakan tidak bertanggung jawab. Mau lari dari masalah.
Udah enggak kuat lalu pilih mati.
Tapi di sisi lain, aku juga memahami bahwa ada saat-saat
ketika hidup itu BERAT. Berat banget sampai mau napas
aja rasanya susah. Dan kadang ini enggak selesai dengan
bersyukur aja. Enggak bisa bohong juga, bersyukur enggak
bikin tagihan listrik kita terbayar, kan? 😅
Hidup cuma punya dua jalan: jalan yang benar atau jalan
yang mudah. Dah, terserah mana yang mau dipilih. Jalan
yang benar itu susah. Mendekatkan diri sama Allah, cari
bantuan ke psikolog, curhat sama orang yanf bisa
dipercaya, terus bergerak walau buat napas aja rasanya
sesak.
Mungkin mental kita udah dibikin sakit oleh keadaan.
Tapi itu mental kita, kan? Kita bertanggung jawab atas apa
yang kita punya.

JUJUR SIH, KADANG kalau lagi berada di bawah


tekanan, kadang pikiran untuk menghilang tuh ada banget.
Dan saat pikiran itu muncul lagi, pada waktu yang sama
juga aku munculin pikiran positif, kayak, Semua akan
baik-baik sa- ja, masih ada Allah yang mau nolong.
Tapi aku sadar betul, pikiran-pikiran bodoh itu muncul,
ka- rena aku terlalu mengandalkan diri sendiri, sok merasa
paling terpuruk, padahal mah, masih banyak orang yang
paling ba- nyak ditimpa cobaan di banding kita.
Ya Allah... semoga aja, pikiran-pikiran semacam itu
selalu bisa aku tepis dengan pikiran-pikiran positif.

7
SEBAGAI SESEORANG YANG lagi meraba bagaimana
ha- rusnya aku menjalani hidup, aku cukup sedih dan
prihatin de- ngan fenomena yang terjadi di bangsa ini.

Kalau dibandingkan dengan zaman dulu (20 tahun yang


la- lu), yang mana juga eranya sangat jauh berbeda dengan
hari ini. Dalam opiniku, akses informasi yang terbatas, bisa
jadi sa- lah satu sebab mereka terlindungi dari kontaminasi
kehidupan orang lain yang secara kasat mata lebih dari
kehidupannya. Mi- sal, zaman dulu paling bisa dapat info
tentang artis atau kehi- dupan orang ksya lainnya cuma
lewat TV atau koran. Itu pun enggak masif seperti
sekarang. Jadi, seberat apa pun tantangan hidup yang
mereka jalani, mereka merasa mampu menjalani- nya
sebab di kehidupan mereka gak bisa terlalu memban-
dingkan kehidupan mereka dengan orang lain di luar sana.
Ka- rena dulu dunia sangat terbatas atau terlihat sangat
kecil.
Tapi, apa yang terjadi saat ini? Dunia serba transparan.
Ba- nyak orang yang secara sadar atau tidak sadar
memperton- tonkan kehidupan pribadi mereka ke seluruh
dunia lewat sosial media. Menurutku, ini jadi salah satu
trigger orang-orang yang hidup di zaman sekarang, ada
kalanya saat mereka menghadapi tantangan hidup yang
sulit, mereka mulai membandingkan dengan kehidupan
orang lain. Kadang itu juga terjadi tanpa disadari akibat
informasi tentang kehidupan orang lain yang sangat masif
muncul di berbagi platform media. Lalu, orang yang hidup
di era sekarang jadi lebih mudah membandingkan
kehidupannya dengan kehidupan orang lain.
Menurutku juga, ada poin yang terlewat dari apa yang di-
tampilkan oleh orang-orang yang menampilkan kesuksesan
me- reka. Sedikit sekali mereka memunculkan PROSES
yang me- reka lalui. Maka enggak sedikit orang yang
enggak tahu pro- sesnya, cuma melihat dari sisi enaknya
aja. Di luar itu semua, privilege setiap orang juga berbeda
dan kadang itu juga yang membuat sebagian anak muda
merasa hidupnya tidak sebe- runtung orang lain.
Sebetulnya kalau ngomongin soal mental health, banyak
fak- tornya. Bisa dari background keluarga, circle, aspek
spiritual bahkan kecerdasan diri dalam mengelola emosi.
Menurutku, untuk mencegah diri untuk bertindak
gegabah, pemberitaan tentang bunuh diri harus
diminimalisir di ber- bagai media terlebih dengan
informasi yang mendetail. Mes- kipun punya dua sisi
negatif dan positif, tapi dengan maraknya berita bunuh diri
bisa jadi malah men-trigger seseorang untuk mengikuti hal
tersebut. Maaf, kalau ini mungkin terlalu asum- tif. Tapi
begitu menurut pandanganku.
Jadi, untuk mencapai kesehatan mental butuh kerjasama
da- ri berbagai pihak.
Selanjutnya, menurutku juga sangat penting buat kita-
kita untuk membatasi diri dari konsumsi informasi.
Sebelum mem- batasi, tentunya kita harus tahu dan paham
siapa diri kita, apa yang kita butuhkan, dan mampu
menimbang hal baik dan bu- ruk untuk diri kita. Dengan
kita mampu memberi batasan un- tuk diri kita, itu juga
sebuah upaya untuk meminimalisir rasa iri dan
membandingkan kehidupan kita dengan orang lain.
Dan yang tak kalah penting juga pendekatan secara
spiri- tual. Kalau yang satu ini, aku merasakannya sendiri.
Betapa spiritual adalah hal yang sangat penting juga
sebagai senjata utama untuk bertahan di kehidupan ini.
Wallahu a’lam bishawab.

8
AKU SETUJU SIH kalau dibilang sosial media tuh
berpenga- ruh banget. Bikin insecure. Bikin banyak
pencitraan. Penipuan. Sampai bela-belain tampil modis di
sosial media padahal ngu- tang sana sini.
Ada yang bilang lagu-lagu zaman dulu tuh ngelarang kita
se- dih. Jadi denial sama rasa sedih kita. Semacam lagu
Buat Apa Susah. Padahal masa-masa itu memang berat,
kesulitan ekono- minya nyaris merata. Tapi, ya, kayak
malah dihibur sih, diajak mikir yang happy-happy aja.
Zaman sekarang lagi sedih lanjut dengerin lagu mellow. 🙈
Terus soal agama, orang zaman dulu tuh meski sumber
in- formasinya sedikit, tapi benar-benar sami’na wa
atho’na. De- ngar dan taat. Jadi meski enggak paham-
paham amat, tapi di- lakuin benar-benar. Enggak pake
ragu-ragu dulu. Dibilang ha- ram ya haram. Enggak boleh,
ya, enggak boleh.

9
MEMANG NGERI LIHAT angka kasus bunuh diri dari
tahun ke tahun, Mbak. Baik di skala Indonesia, maupun
dunia. Usia 15-24 tahun ternyata jadi usia rentan kena isu
penyakit men- tal. Mungkin karena di usia itu lagi labil
juga, ya. 😥
Tapi kalau mau dicermati penyebab kenapa angka
kasusnya makin lama makin tinggi begini, ada banyak
faktor pencetus- nya. Ya, baik dari sisi ekonomi,
pendidikan, keluarga, lingku- ngan juga agama.
Apalagi kita kan hidup di dalam aturan hidup sekuler,
yang berusaha memisahkan kehidupan dunia dan akhirat.
Padahal sebagai muslim, ya, kita hidup di dunia kan
semata-mata un- tuk mencari bekal kehidupan akhirat.
Bukan sekedar nyari ke- senangan hidup di dunia semata.
Imbas dari kehidupan sekuler ini nanti merembet ke
mana- mana, karena kan banyak turunannya.
Kalau dari sisi ekonomi, melahirkan sistem ekonomi
kapi- talistik. Yang menimbulkan jurang yang dalam antara
si kaya dan si miskin. Coba dibayangkan, 20% orang
terkaya di dunia itu menguasai perekonomian 80%
masyarakat lainnya. Sebesar itu kesenjangannya.
Ekonomi kapitalis juga melahirkan masyarakat yang
hedonis dan konsumtif. Remaja kita digempur dengan
serangan buda- ya hidup foya-foya, belanja sana-sini bukan
karena kebutuhan, tetapi karena lapar mata. Ketika mereka
tidak mampu membe- linya, ada serangan pinjol di mana-
mana. Minjam uang ke pin- jol semudah menjentikkan jari
saja. Ketika tidak mampu bayar dan terlanjur terlilit
hutang, maka disanalah pintu depresi ter- buka selebar-
lebarnya. Angka kasus gangguan jiwa dan bunuh diri
karena terlilit pinjol faktanya begitu tinggi, kan?
Apalagi yang generasi kita lakukan demi memenuhi
nafsu hedonis dan konsumtif? Melakukan segala cara.
Banyak temu- an fakta remaja SMP, SMA apalagi
mahasiswi menjadi PSK dan simpanan om-om, senang
hanya demi bisa memenuhi ga- ya hidup yang tinggi.
Banyak juga yang jual foto tanpa busana, atau sengaja cari
sensasi dengan cara maksiat demi meraih per- hatian di
media massa. Dalam rangka apa? Tentu dalam rangka
mendapatkan pundi-pundi rupiah. Mencari jalan instan
demi hasil maksimal. Lalu, setelah semua itu diraih, apa
mereka ber- bahagia? 😥
Faktanya, banyak artis yang bunuh diri justru saat berada
di puncak karirnya. Punya materi berlimpah ternyata bukan
sum- ber kebahagiaan.

Efek dari ekonomi kapitalistik ini ternyata merembet ke


sistem pendidikan dan juga keluarga.
Di sekolah, kita dididik dengan paradigma kapitalis.
Belajar yang rajin, dapatkan nilai yang tinggi agar nanti
bisa kuliah di kampus terkenal lalu bisa bekerja di
perusahaan besar dengan gaji tinggi.
Dari sini, remaja dipaksa belajar mati-matian demi mem-
peroleh nilai yang tinggi. Akhirnya menggunakan segala
cara agar nilai-nilai tidak turun, berlaku curang sudah jadi
hal yang biasa. Atau, ketika sudah belajar mati-matian dan
ternyata ti- dak memperoleh hasil memuaskan, siswa bisa
stres dan depresi. Banyak, kan, siswa yang bunuh diri gara-
gara tidak lolos di Se- kolah atau kampus impian?
Pendidikan kita tidak membentuk siswa agar punya
karakter yang teguh, sabar dan tahan banting. Sekolah
akhirnya hanya jadi tempat transfer ilmu saja, bukan
tempat unt membentuk kepribadian siswa yang sesuai
dengan nilai-nilai Islam.
Belum lagi tekanan dari para orang tua, yang meletakkan
beban dan harapan terlalu tinggi ke anak-anaknya. Saat
nilai anak-anak turun, orang tua marah. Saat anak-anak
tidak bisa masuk ke kampus yang diharapkan, orang tua
marah. Padahal angka-angka di rapor bukan jadi penentu
kesuksesan. Kenapa orang tua tidak fokus mencari
kelebihan yang lain dari anak- nya? Kenapa tidak
mengapresiasi kerajinan, kebaikan akhlak- nya, kelembutan
tutur katanya, baktinya kepada ortu, dan lain sebagainya?
Kasihan remaja kita ditekan dari segala sisi, sementara
sejak kecil hingga dewasa, mental mereka tak pernah
dibentuk jadi manusia bermental baja.
Di sisi lain, masyarakat kita juga dibentuk menjadi
masya- rakat yang individualis. Yang hanya mementingkan
kepenti- ngannya semata. Kehilangan empati terhadap
sesama. Omo- ngan-omongantanpa filter gampang saja
meluncur menyakiti hati orang-orang, menjadi pemicu stres
pada generasi yang su- dah rapuh dari sananya.
Ternyata serangan individualisme juga merasuk dalam
ins- titusi keluarga. Hubungan orang tua dan anak, kakak
dan adik, dibangun bukan atas dasar kasih sayang dan
kehangatan. Ba- nyak orang tua yang tak punya keterikatan
batin dengan anak- anak. Tak bisa menjadi tempat pulang,
tak bisa menjadi tem- pat curhat. Hidup berjalan sendiri-
sendiri, sibuk dengan gad- get dan urusan masing-masing.
Tuntutan ekonomi membuat ayah terlalu sibuk mencari
nafkah, hingga ibu pun turut turun tangan. Lalu, kemana
para remaja itu bisa mencurahkan se- genap kegalauannya
jika kondisi keluarga begini? Belum lagi faktor KDRT
hingga perceraian, berat sekali beban mental yang harus
mereka pikul memang.
Belum lagi gempuran media sosial yang makin gila-
gilaan. Budaya flexing yang memicu kecemburuan,
tayangan-taya- ngan maksiat, dan lain sebagainya semakin
mengokohkan tu- juan hidup remaja unt terus mencari
kesenangan dunia.
Belum lama ini juga pernah baca tulisan yang
mengatakan bahwa terlalu lama mengkonsumsi tayangan
video di TikTok atau reel sosial media bisa memicu
kecemasan, susah tidur, dan stres. Ini terjadi karena otak
dipaksa untuk mencerna beragam informasi yang cepat
sekali berubah-ubah dalam waktu 30 de- tik.
Yang paling penting pastinya dari sisi agama. Selama ini
ge- nerasi kita tidak dibentuk menjadi orang-orang yang
menja- dikan Allah sebagai tolak ukur segalanya. Kita
tidak dibina menjadi pribadi-pribadi yang mengerti cara
bersyukur, bersa- bar, ikhtiar, tawakal. Kita tidak dibentuk
untuk memahami bahwa ada qada Allah yang tak bisa kita
ubah. Kita tidak dia- jarkan untuk ikhlas menerima semua
qadarullah yang sudah Allah tetapkan dalam hidup.
Sehingga ketika ditimpa ujian bertubi-tubi, kita merasa
gampang berputus asa dari rahmat Allah. 😥
Padahal kalau dipikir-pikir, ujian kita belum seberapa
jika dibandingkan dengan ujian para nabi.
10
WAKTU REMAJA, SAYA pernah ada di fase terberat
kehi- dupan. Bapak udah gak ada, saya jadi pengangguran
setelah pulang dari rantau, tagihan kontrakan, kredit sepeda
motor, tagihan hutang semua ngejar dalam satu waktu.
Waktu itu juga sedang ada di fase awal hijrah, baru
mengerti soal riba. Saat berada dalam kondisi terhimpit
tadi, tetangga nawarin kerja di sebuah perusahaan ribawi.
Gak pakai tes atau wawancara, langsung diterima karena
beliau manajernya. Tapi karena paham itu pekerjaan sektor
ribawi, akhirnya ditolak. Saya dihujat sana sini. Sudahlah
hutang banyak, pengang- guran, dikasih kerjaan malah
nolak. Rasanya hampir gila wak- tu itu.
Yang paling saya ingat kenapa akhirnya bisa tetap kuat
adalah karena punya support system. Saya punya ibu yang
tak pernah menuntut harus ini dan itu, yang mau
mendengar ke- luhan-keluhan saya, meski saya tau beliau
juga kecewa dengan pilihan saya dulu itu.
Saya punya adik perempuan yang hampir seusia, yang
jadi teman curhat, teman untuk berbagi sedih, senang.
Bahkan ka- mi pernah duduk berdua di pinggir jalan kayak
anak terlantar karena saking bingungnya mau nyari
pinjaman kemana.
Saya waktu itu ikut kajian juga, punya guru ngaji yang
nga- jarin cara untuk mengurai persoalan-persoalan hidup
yang te- rasa rumit tadi. Diajarin cara menerima qada
Allah, diajarin ca- ra memilih skala prioritas.
Saya pikir, saya beruntung dikelilingi lingkungan yang
baik saat itu, sehingga kejiwaan bisa stabil di tengah
gempuran ke- sulitan tadi.
Masing-masing orang diberi ujian yang berbeda-beda.
Se- bagai teman, sebagai tetangga, sebagai keluarga,
jangan per- nah menganggap masalah orang lain tak ada
apa-apanya di- banding masalah kita.
Jika ditanya soal solusi, harusnya masalah kesehatan
mental ini jadi PR semua kalangan. Baik dari keluarga,
masyarakat atau negara.
Tapi karena peran negara tidak bisa terlalu diharapkan,
ma- ka sebagai keluarga kita mesti belajar bagaimana agar
anak, su- ami, orang tua atau saudara kita bisa menjadikan
kita sebagai rumah yang nyaman, tempat pulang
teraman. 😥
Kalau muslim, ikut kajian islam atau ikut komunitas-
komu- nitas yang positif mungkin bisa juga jadi jalan unt
menjaga kestabilan mental.

11
FAKTOR X BERNAMA DOA DAN ISTIGHFAR
Tanpa bermaksud meringan-ringankan atau
mempermudah masalah, hal ini bisa disederhanakan
menjadi begini:
1) Masalah yang menjadi penyebab bunuh diri
biasanya nggak jauh-jauh dari urusan uang atau
utang, asmara, keluarga beserta variasinya. Itulah
pentingnya akidah di dalam agama Islam.
2) Keyakinan bahwa Allah sudah menyiapkan segala
solu- si untuk segala masalah yang kita punya
sangat penting untuk menjaga kepala tetap jernih.
Kalau sudah punya keyakinan seperti itu, kita sudah
selangkah lebih maju ke arah solusi masalah kita:
“Lebih tenang dan lebih jernih berpikir”. Masalah
tetap ada, tapi pikiran dan hati insyaallah lebih
tenang. Kita bisa lebih tenang mengkalkulasi
pilihan dan kemungkinan solusi.
3) Faktor X bernama doa dan istighfar yang sering di-
abaikan. Ketika pikiran sudah benar-benar buntu,
kita dianjurkan untuk istigfar.
4) Muslim (seharusnya 100%) meyakini bahwa bunuh
di- ri itu adalah dosa besar, dan bukan solusi. Yang
ada ma- lah menambah masalah buat keluarga yang
ditinggal- kan.

Sekali lagi, tanpa bermaksud meringankan masalah.


Karena sa- ya pernah mengalami sendiri keterpurukan yang
benar-benar dekat sampai ada bisikan untuk kabur dari
masalah dengan bu- nuh diri.
Alhamdulillah, sekarang bisa ada di kondisi yang jauh
lebih baik, dan bisa melangkah di jalan dakwah melalui
tulisan-tu- lisan.
Insyaallah buku tentang kekuatan mental dengan target
pembaca muda sedang saya garap, mohon doanya ke
teman- teman semua.1
Semoga bisa menjadi salah satu langkah kecil untuk me-
nguatkan mental generasi muda di tengah gempuran
masalah dunia yang sangat dahsyat seperti sekarang ini.

12
AKU TUH BINGUNG, Kak, kalau ada berita bunuh diri.
Se- dih, campur aduk
Kok bisa, ya, ada orang yang malah menjemput
kematiannya sementara aku aja takut banget mati. Lebih
tepatnya aku tuh takut nasibku di akhirat, selama-lamanya.
Kalau ngebayangin terus menerus kayaknya bisa gila aku
(naudzubillah).
Setelah banyak baca buku, aku jadi paham bisa jadi orang
yang bunuh diri bukan enggak takut dosa tapi mereka

1 Kang Diday lagi promosi terselubung, wkwk.


sudah ge- lap mata, gelap hati. Hanya ingin mengakhiri
penderitaannya (di dunia).
Biar lebih kuat, ya, menurutku perkuat segala sisi (mind-
body-soul)2 karena aku juga ngerasa kadang rapuh tapi
insya- allah enggak kepikiran bunuh diri. Naudzubillah. 🥹

13
AKU (LAGI-LAGI) baru saja baca berita anak SD bunuh
diri. Mungkin jawabanku sudah ada yang ditulis teman-
teman ju- ga, ya...
Menurutku, tingginya angka bunuh diri ini dipengaruhi
ba- nyak faktor:
 Derasnya arus informasi yang tanpa sadar bisa bikin
orang salah persepsi, seakan membuat bunuh diri
itu pilihan yang baik, alasan yang bisa diterima
karena ber- bagai macam alasan. Gimana ya...
nyebutnya. Ba- rangkali romantisasi atau
dramatisasi bunuh diri?
Jadi, ketika ada kasus misal X bunuh diri karena
di-bully, tekanan hidup yang berat, ditinggal
pasangan, banyak hutang, dll. (dan biasanya hal-hal
semacam ini diangkat ke drakor, film, buku, sinet,
dan semacam- nya, dengan tokoh utama atau tokoh

2 Pikiran-tubuh-jiwa
yang dianggap punya karakter baik sebagai pelaku
bunuh diri) orang- orang bukannya terfokus
menjadi, Gimana caranya biar aku nggak jadi
pem-bully; Gimana caranya biar aku jadi orang
yang peduli, tetapi justru tanpa sadar bikin mindset
mereka (apalagi yang kebetulan sedang ditimpa
permasalahan serupa) jadi, “Oh, sepertinya bu- nuh
diri itu pilihan yang bagus”. Jadi seakan-akan
malah melemahkan diri sendiri. Lalu karena tokoh-
tokoh yang mengambil pilihan tersebut dianggap
se- bagai sosok yang gak bersalah atau baik, ya
semakin dianggap kalau bunuh diri itu bukan jalan
yang salah. Orang lain atau situasilah yang salah.
Jiwa buat melawan keadaan itu dengan segala
daya dan upaya enggak ada.
 Keluarga, terutama orang tua. Ini juga tak lepas dari
pe- ngaruh IT3, sih. Berapa banyak orang tua yang
cuekin anak-anak hanya karena sibuk main HP atau
kerja de- mi memenuhi gaya hidup? Gaya hidup
yang terins- pirasi dari melihat kenalan punya ini-
itu di sosial me- dia, akhirnya punya kepikiran juga
pengen bisa kayak si A, si B. Apalagi dengan sifat
dasar manusia yang punya keinginan tidak terbatas,
ya.
Balik lagi ke anak-anak. Kalau sudah dari kecil
jauh dan jarang ngobrol sama orang tua, akhirnya
tempat yang harusnya diisi oleh figur orang tua jadi

3 Information Technology = Teknologi Informasi (TI)


kosong. Enggak ada tempat yang bisa untuk mereka
bercerita, juga mencari perlindungan, karena
merasa diabaikan. Akhirnya anak tumbuh jadi
tertutup dan semakin me- rasa kalau tidak ada yang
peduli sama dia. Toh, orang tuanya sendiri aja cuek.
Lebih baik mati.
Selain itu, orang tua yang cuek juga nggak akan
memperhatikan apa yang ditonton dan dibaca anak-
anaknya. Padahal mereka belum bisa menyaring
mana yang baik dan benar. Akhirnya kondisi seperti
poin 1 di atas (mispersepsi) rawan terjadi.
 Agama. Tentu saja hal ini tidak bisa lepas.
Memang, di agama Islam sudah jelas kalau bunuh
diri benar-benar dilarang dan pelakunya bakal
langsung diseret ke ne- raka. Kalau pemahaman
soal agama, keyakinan tentang balasan dan hidup
setelah mati kurang kuat, pilihan bunuh diri ini bisa
cepat diambil.

Eh, omong-omong pertanyaannya gimana caranya biar


mental lebih kuat (?) 😂
Kalau aku sebagai yang baru-baru ini pernah punya
pikiran buat suicide juga, ini yang aku lakukan ketika
kondisi itu mun- cul.
1) Ingat-ingat, deh, kalau bunuh diri itu dilarang keras
oleh agama. Siksa kubur, neraka, dan begitulah.
2) Cari bantuan! Cari teman ngobrol yang sekiranya
bisa membantu. Enggak harus orang tua, keluarga,
suami/ istri (karena gak jarang mereka yang
harusnya bisa menguatkan di saat down, justru
menganggap permasa- lahan yang kita keluhka atau
alami itu hal sepele. Yang ada malah makin depresi,
deh.
3) Tenangin diri. Diam sejenak. Habis itu istirahat/
tidur. Coba besok atau setelahnya masih ada pikiran
itu atau enggak.
4) Turunkan standar atau target apa pun yang bisa
bikin kita stres.
5) Ingat-ingat hal berharga yang kita punya dalam
hidup, seperti anak-anak, keluarga, dan pasangan.

Jadi, biar hati makin kuat, selain mendekatkan diri pada


Allah, dekatkan diri juga pada keluarga. Kalau yang sudah
jadi orang tua atau sudah menikah, taruh deh HP sejenak.
Terus me time sama anak-anak atau pasangan.
Kalau yang masih jadi anak atau lajang, taruh HP dan
lepas- kan diri dari segala kesibukan. Gunakan waktu itu
buat mela- kukan kegiatan yang bisa mendekatkan diri
dengan orang tua atau keluarga.
Cari buku-buku bacaan yang bisa memperkuat diri.
Buku- buku motivasi, self love. Jangan justru kasih makan
hati yang lemah itu dengan cerita depresi, hal-hal yang
mendramatisir suicide (yang mana cukup banyak di cerita
fiksi, meski saya ya- kin penulisnya tidak bermaksud
begitu, tapi dalam kondisi mental down bisa saja
pembacanya justru salah mengambil ke- simpulan.)
14
IYA, NYESEK BANGET sih baca-baca berita semacam itu,
apalagi yang terakhir saya baca itu korbannya anak SD yang
loncat dari lan- tai 4 sekolahnya kalau tidak salah.
Pernah juga baca berita yang bapak bunuh anak istrinya, lalu
dia- nya sendiri bunuh diri karena frustasi dalam hidup, itu
masih satu kota sama saya.
Di usia sekarang ini, di mana sudah merasakan bagaimana
pahit- nya dunia dan gimana berjuang demi pasangan dan anak,
memang rasanya berat dalam menjalani itu semua.
Apalagi semenjak dulu memutuskan resign, ngejar passion, eh
ga- gal karena mentor kena tipu, kesana kemari buka hutangan
hanya untuk hidup, usaha yang ada mentah, kerja lagi pun kena
PHK lagi, sampai dari hijrah balik lagi pulang kampung karena
sudah enggak ngerti mau usaha apalagi.
Perjalanan meniti pencarian itu terus saya lakukan sampai
seka- rang, meski belum menemukan yang benar-benar bisa
membuat diri stay on the right path.4 Tetapi untuk sekadar
membuat tetap waras, alhamdulillah, masih Allah kasih jalan.
Satu pedoman yang sering jadi patokan saat menghadapi ujian
adalah bahwa Allah tak membebankan apa yang kita tak
sanggup menjalaninya.

4 Pikiran-tubuh-jiwa
Jadi jalanin aja, nanti ketemu jalannya, meski sakit, meski
hancur, mungkin itu yang memang harus dilewati untuk
membentuk diri sampai waktu itu tiba.
Selalu serem mikirin kematian, apalagi kalau sampai ngobrol
ten- tang itu kepada pasangan. Belum siap, masih banyak beban,
bagai- mana nasib mereka nanti, selalu jadi kepikiran. Tapi dulu
mentor saya pernah berkata, bahwa: apa yang perlu ditakuti dari
kematian?
Rezeki Allah yang jamin, banyak yang ditinggal suami justru
re- eki makin menjadi. Atau anak yang ditinggal yatim justru
bisa sema- kin mandiri dan berdikari. Tambahan umur pun
enggak menjamin kita tambah ibadah dan berkurang dosa, justru
dengan mati itu su- dah pas takarannya.
Mati perjumpaan dengan Tuhan, lalu kenapa ditakutkan?
Bukan- kah kita disini cuma singgah, dan harusnya rindu
pulang?
Meski hati masih takut dengan siksa kubur, tapi mendengar
kata mentor di atas, setidaknya membuat saya jadi lebih paham
meng- hadapi kematian.
Ketika waktunya datang, maka ia datang, jika belum tiba,
maka itulah modal kita untuk perbanyak bekal sampai bertemu
dengan- Nya.
Tiap detik berusaha, tiap hari bersabar dengan apa pun yang
di- gariskan-Nya.

15
OBROLAN-OBROLAN DARI ARABICA5
(Obrolan di bawah ini terbilang acak dan tidak dilakukan penyuntingan.
Tetapi semua nama atau nomor pengirim dihilangkan atau disamarkan.)

[10/16, 10:11] Biasanya orang yang bundir mungkin gada orang


yang peduli dengannya, jadi dia semakin merasa ga dibutuhkan
oleh orang lain jadinya adanya kepikiran buat bundir.

N
[10/16, 10:11] Jadi pelajaran juga sih, buat aku pribadi. Kalau
bertemu atau sedang menghadapi orang yang sedang down gitu
sebaiknya ya jangan langsung di-judge, dengarin dulu, terus
dihibur semacam ... dikasih penerimaan kalau apa yang dia
alami, kondisi sedih, tertekan, lelah, itu wajar. Tapi tetap diberi
dukungan biar engga nyerah

[10/16, 10:11] aku mau ikut share meski telat banget dan
sebagian besar udah diceritakan dan dishare juga sama teman2 di
atas.
selain karena faktor agama, ibadah yang dapat menangkal
(jika orang itu memiliki jiwa yang sehat)
faktor dukungan orang terdekat juga sangat dibutuhkan,
sayangnya gak semua orang bisa ngomong ke orang terdekat
(keluarga) kadang ada yg butuh cerita ke orang lain.
dan faktor ini pun gabisa berjalan satu pihak saja

5 Tetap di jalan yang benar.


N
[10/16, 10:11] Pernah banget. Bahkan ngerasa ga berharga utk
hidup. Kaya, gada yg bisa aku perjuangkan lagi gitu. Struggle
banget waktu ngadepin pikiran jelek ini. Sampe memutuskan
vakum dulu Bookstagram 2 taun.
Sampe alhamdulillah sekarang udh berdamai dg keadaan dan
aku bisa kembali kaya dulu. Menyibukan diri dg hobi yang aku
suka

N
[10/16, 10:11] Pernah mencoba.. Tapi waktu itu masih SMA
kelas satu, karena dihukum di pesantren, didiamkan sepondok
selama seminggu, tidak boleh telfon ortu, dan tidak boleh
dijenguk....

Dannn ini bukan kesalahanku... 🥹🥹, pihak pondok asal


nerima aja tuduhan org lain, gamau konfirmasi lebih dalam...
Dihukum sepihak..
Kalo inget itu bawaannya nyesel banget, kenapa dulu sampe
segitunya...
Btw, dulu nyoba mengakhiri dengan nelen jarum jahit.. Yang
alhamdulillah nya tuh bisa keluar tanpa operasi...
Astaghfirullah astaghfirullah...

N
[10/16, 10:11] Tapi namanya hidup kan selalu ada ujian. Nah
masalahnya kita bisa ngga buat ngelewatin ujian itu. Soalnya
Allah ngasih ujian juga tanpa tujuan, mungkin pingin ngangkat
derajat manusia tersebut makanya itu coba deh kasih ujian dulu.

N
[10/16, 10:11] maksudnya gak bisa hanya mengandalkan
pihak/faktor luar aja, dari diri sendiri pun harus sadar, seperti
kata psikolog klinis lisa djaprie, di masa sekarang itu banyak
yang meromantisasi penyakit mental, menuntut orang2 di luar
dirinya sendiri untuk mentreatment dia seperti yang dia harapkan
dan lupa kalau orang2 itu (caregiver-nya) juga manusia, juga
punya perasaan dan pemikirannya sendiri. sebab itu peranan
profesional sangat dibutuhkan.
butuh perjalanan panjang dari diri sendiri untuk mengenali
apa yang salah di dalam diri, begitu banyak buku dan tayangan
mengenai kesehatan mental saat ini yang mudah diakses, namun,
tak semua bisa menyerap makna/tujuan seperti yang diinginkan
penulis.
seperti berita orang yang paham agama, namun, memilih
bunuh diri.
aku benci jalan yang dia pilih, tapi aku gatau apa yang ada di
pikirannya. kenapa sampai melakukan hal itu. mungkin karena
dia terlihat baik2 aja jadi orang di sekitarnya pun gak ngeh.
intinya kalau sudah ada perasaan yang nggak beres, mari cari
bantuan ke profesional.
caregiver juga manusia, di saat kamunya gamau peduli dengan
apa yang salah dengan dirimu dan terlalu mengandalkan
teman/saudara/sahabat kamu, ingat mereka juga manusia.
mereka juga butuh dihargai, nggak cuma diri kamu sendiri.

N
[10/16, 10:11] Eh maksudku Allah ngasih ujian bukan tanpa
tujuan. Karena Allah lagi pengen ngangkat derajatnya manusia.
Soalnya kalo hidup nggak ada ujian, berarti Allah udah ga peduli
lagi. Kalo aku mikirnya gitu sih. Walaupun juga kadang ga kuat
sama ujian yg diberikan.

N
[10/16, 10:11] Pernah si kak
Ada ujian berat dalam hidup yg ngerasa kayak bikin duniaku
runtuh. Gelap bgt
Kayak ada bisikan “udah lari aja tuh ke jalan” sambil gendong
bocah. Nabrakin diri gt
Tp kemudian istighfar dan eling. Ngomong ke diri. Heh masi
ada akhirat lho. Kelar di dunia ga kelar di akhirat.
Trus yawda pelan2 merangkak aja. Alhamdulilllah masa gelap
itu pelan2 terlalui 🥹
Jadi bukan pengen bundir tapi pernah kena bisikan bundir

N
[10/16, 10:11] Kak 😅😅
Kalo dari segi "orang luar" biar nggak judging gitu, baiknya
kita nggak ngeliat dari sudut pandang kita sih ya.
Sesuatu yg gampang buat kita, belum tentu gampang buat org
lain. Hal yang menurut kita ringan, belum tentu ringan buat
orang lain.
Masalah putus cinta, menurut kita remeh mungkin karena pas
kita putus cinta, sebenernya kita ga secinta itu. Sementara si A
mungkin udah cinta banget. Atau mungkin si A selama ini
ngerasa ga ada yg perhatian sama dia kecuali yg dia taksir aja.
Jerawat mungkin buat kita sepele, tp si B bisa jadi sering
diejek temen2nya karena jerawatnya. Dia jadi insecure banget.
Dll.
Kadang karena kita bisa ngelewati satu fase, kita ngerasa fase
itu ga ada apa2nya karena kita udah "naik level", pernah lewat
fase2 lain yg lebih berat. Padahal buat yg lagi ngejalanin fase itu,
mungkin fase itu udah berat banget.

N
[10/16, 10:11] S7. Krn beban yg bs ditanggung tiap insan beda2
Ada yg putus pacar biasa aja, ada yg kayak kiamat terjadi
Dan ada latar belakang kenapa dia serapuh itu
Kdg bahkan emang Allah desain hatinya serapuh itu.
Kita ga pernah tahu
Kalau ga kuat Nerima curhatannya (bosen, dll) tarik garis
drpd kita nyelekit dan malah mancing dia nekat

N
[10/16, 10:11] Akidah/Keyakinan, Keluarga yang "fungsional",
lingkungan yang tidak toxic ini sangat membantu ke proses
pembentukan dan pembangunan kondisi mental seseorang.
Jadi anak sulung yang lebih waktunya dibesarkan oleh
pembantu (karena kedua orangtua kerja bagai Quda dari pagi
sampe malem), saya sangat bersyukur dikasih sama Allah
semangat juang dan survival skill dari jalan lain.
Perjuangan hidup, kepahitan hidup, kegetiran hidup walau pun
berat, susah, perlu pengorbanan yang hebat, insyaallah bisa
dilalui kok.

[10/16, 10:11] Pernah!! Ingin pergi, ingin rasanya me-restart


ulang kehidupan, udah capek. Capek banget. Ngerasa nggak
berguna sebagai manusia. Merasa gagal. Motivasi buat bertahan
hidup lenyap.
Tapi... aku gabisa nyerah. Nggak bisa. Karena ibu juga udah
sekuat itu bertahan hidup buat kami. Karenaaaaa, emang dunia
ini tempatnya capek! Karenaaaa orang-orang yang ingin
menyerah di dunia ini banyak banget dan mereka memilih
bertahan.

N
[10/16, 10:11] Ka Rai makasih banyak udah buka pembahasan
ini jadi bisa tahu insight dan pengalaman dari temen temen
semua.
Aku juga mau mecerita. Aku pernah kepikiran buat menyerah,
waktu itu masih SMA kelas 11, emosi juga lagi labil-labil nya.
Pemicunya adalah masalah keluarga dan ekonomi. Setiap pulang
ke rumah tuh bener bener tersiksa bantin Kak🥲 kerjaaanku tiap
malam nangis sambil bicara gitu yallah udah capee banget
rasanya, bahkan pernah marah gitu ke allah, astagfirullah malu
banget kalau inget itu.
Pas cerita ke temen malah di nganggap lebay dan berlebihan,
soalnya mereka gak paham dan gak pernah ada di posisi seperti
aku. Dari situ aku gak pernah cerita ke siap siapa lagi semua nya
aku pendem sendirian dan ngerasa banget waktu itu hidup aku
kayanya paling beraat. Sampai pada titik terendah yang udah
capeek banget rasanya, semuanya bener bener gelap gak ada
harapan apa apa waktu itu udah hampir, tapi aku bersyukur
banget masih di beri rasa takut dan ragu. Akhirnya aku milih
buat self harm, mukulin diri, terus gigit tangan sampe berdarah,
bahkan ngejambak rambut sendiri.
Astagfirullah yallah, kalau inget itu sedih.
Dan bener sih ya kak pondasi iman tuh penting banget,
pokonya setelah kejadian itu gak sengaja aku lihat video ustd
hanan ataki, tentang betapa baiknya Allah, perlahan hati aku tuh
kebuka. Dan penting juga punya tempat cerita untuk saling
menguatkan dan mengingatkan.
Alhamdulilah sekarang kalau lagi di posisi cape banget gak
pernah lagi kepikiran buat nyerah, kecuali nangis dan ngeluh. 🥹

N
[10/16, 10:11] Kak Nia, ini aku dapet tips dari psikolog
Kalau kaya kak Nia, yang juga sama kayak aku hehe,
disaranin buat ditulis aja. Semuanya, ditulis. Kalau ga suka
nulis. Ngomong aja tapi direkam. Omongin semuanya
Just in case kondisinya mulai parah dan mengganggu aktivitas
harian. Baru deh ngobrol langsung sama psikolog. Dan rekaman
atau hasil tulisan tadi bisa juga dibagi ke psikolognya
Ini share pengalaman pribadi aja ya kak

N
[10/16, 10:11] Salah satu cara yg paling ampuh menurutku adl
dengan menjadi pendengar yg baik.

Basic bangeeet banget. Dan kadang susah nahan untuk bilang


"duuh kamu tuh bikin greget.. coba melek" naah agak susah klo
udh begini.
Tp emang mendengarkan itu satu2nya pilihan terbaik. Klo org
minta advice, baru deh kita debat pikiran buruknya. Klo enggak
minta, tahaaan tahan jangan sampai keluar judging. Salah dikit
aja bagi org sensitif ini bisa bikin baper banget.
Kalau kamu merasa ada yang salah,
carilah teman bicara.

Dan jika menurutmu teman bicara saja


tidak cukup, berarti kamu butuh bantuan profesional.

Jika memungkinkan, hubungi segera layanan konsultasi terdekat, Dan bila tidak,
kamu bisa melakukannya secara daring.

Ingat,
itu bukan salahmu.

Ingat,
kamu juga tidak sendirian

Dan terakhir,
ingatlah
bahwa
kamu
BERHARGA
dan
DICINTAI.
N
Robusta
L I T E R A S I

Temukan kami di Instagram:


@robusta_literasi

Anda mungkin juga menyukai