Saat Kamu
Lagi Ngopi.
-p.s
Perlukah merasakan sakit?
Suatu hari aku dan teman sekelompokku dalam suatu mata kuliah,
melakukan presentasi. Kami bekerja keras untuk menyelesaikan tugas yang
diberikan. Walaupun memang takaran usaha keras setiap orang pasti berbeda. Tapi
di etika kehidupan sosial, menghargai kerja keras orang lain itu wajib. Setelah
presentasi, alih-alih mendapat penghargaan untuk kerja keras kami, kami malah
dianggap bercanda dan tidak serius dalam mengerjakan tugas. Dosen pengajar
menganggap ide kami konyol, dan analisis kami seperti analisis anak SMP. Tapi
yang ingin kubicarakan adalah, anehnya ketika mendengar semua kritikan itu aku
tidak merasa sakit hati atau terbebani sedikitpun. Normalnya, teman-temanku akan
marah dan menganggap itu tidak adil. Karena sudah sepantasnya yang namanya ide
dan analisis tidak boleh dihakimi begitu rendahnya. Berbeda, aku malah tertawa
saat mendengar Dosen itu berkata bahwa ide kami konyol. Aku masih terus tertawa
satu jam kemudian ketika tanpa sadar aku terus mengulang-ulang kata “konyol”.
Ah, rasanya kata konyol terdengar konyol juga.
Selama ini aku hidup dengan membangun benteng antara diriku dan dunia
luar. Aku terus mempelajari diriku sendiri agar tidak mudah terpengaruh oleh
apapun yang berasal dari luar diriku. Maka ketika aku mendapat ejekan sekalipun,
aku masih bisa bahagia dengan diriku sendiri. Tidak peduli seberapa banyak hal
dari luar diriku yang mencoba masuk, aku terus fokus pada keadaan yang ada di
dalam diriku sendiri. Itulah kenapa kritikan Dosenku waktu itu tidak dapat
membuatku sakit hati. Awalnya, kupikir itu adalah hal yang bagus. Tapi rasanya
ada yang aneh juga ketika kita tidak bisa merasakan sakit hati.
Saat melihat jungkat-jungkit, aku bertanya-tanya kenapa anak-anak begitu
terlihat bahagia saat naik-turun memainkannya. Mungkin sama halnya dengan
diriku, sesekali berada di bawah setelah beberapa kali di atas memang perlu. Karena
memang hal-hal kecil akan menjadi kebahagiaan besar ketika kita dalam keadaan
sakit. Jadi kupikir, sah-sah saja menerima rasa sakit. Membentengi diri dari dunia
luar memang perlu, tapi beberapa hal sah-sah saja untuk diperbolehkan masuk.
Karena rasa sakit dari luar juga dibutuhkan agar jungkat-jungkit dalam hidup kita
bisa dimainkan. Juga, apabila kamu hanya fokus pada apa yang ada dalam dirimu,
saat kamu bahkan tidak lagi bisa memotivasi dirimu sendiri, tidak ada lagi yang
bisa menyelamatkanmu.
Jadi, ternyata kita juga butuh merasa engga baik-baik saja untuk bisa terus
baik-baik saja. Beberapa hal memang terkesan konyol, tapi nyatanya kita juga perlu
gila untuk menjaga hidup yang waras.
Belajar menerima masakan ibu
Aku selalu meyakinkan diriku bahwa aku ini biasa-biasa saja dan memang
aku ini ya biasa-biasa saja. Kalau mau fokus membandingkan entitas positif dan
negatif yang ada di diriku, aku jelas tidak bisa berdiri tegak seperti Dewi Themis.
Aku mungkin akan terhuyung ketika berjalan di jalanan. Jadi alih-alih
membandingkan yang positif dan negatif dari diriku, aku lebih fokus menghargai
yang positif dari diriku dan menerima yang negatifnya.
Tapi hal ini membuatku larut dalam diriku sendiri. Aku jadi kelewat santai
dalam menjalani hidup. Rasa legowo menerima diri kita apa adanya membuat kita
memaklumi hal-hal yang sebenarnya perlu dipertanyakan. Ya, memang kita ini
begini adanya. Tapi kalau begini-begini terus hidup kita juga jadi membosankan.
Sama seperti saat kamu menerima masakan ibumu dan memujinya enak, lalu dua
minggu ke depan ibumu hanya masak makanan yang itu-itu saja. Kamu menerima
bahwa memang kamu bisa makan masakan itu. Tapi sejatinya, kamu tidak terima
bahwa ibumu hanya masak makanan yang itu-itu saja. Menerima diri sendiri dan
orang lain nyatanya saling berhubungan untuk membentuk keharmonisan dalam
dirimu. Agar kamu benar-benar bisa menerima bahwa kamu bisa makan masakan
yang itu-itu saja dan ibumu yang hanya masak makanan itu saja. Sehingga kamu
bisa makan dengan harmonis.
Kita lebih fokus menerima diri kita sendiri. Bahwa tidak apa-apa kalau kita
biasa-biasa saja. Tapi kita lupa bahwa kita juga perlu menerima orang lain. Bahwa
tidak apa-apa kalau mereka biasa-biasa saja.
Berkenalan dengan yang namanya hidup
Ada yang namanya hidup. Kamu bisa memilih yang gratisan atau upgrade
ke yang langganan. Kalau gratisan, ya sudah kamu tinggal bersantai dan menerima
apa-apa yang diberikan hidup. Kalau mau langganan, kamu harus bekerja keras
untuk membeli hidup. Beruntungnya, ada banyak pilihan hidup yang bisa kamu
beli. Sah-sah saja kamu mau hidup gratisan atau langganan. Tapi biasanya sih
banyak feature yang hanya ada di langganan.
Hal yang dianggap kecil
Aku menjalani hari-hariku dengan biasa saja. Aku bukan orang yang rajin
di semua hal. Tidak ada hal besar yang bisa kulakukan. Terkadang untuk
menyelesaikan satu tugas rumah saja, mencuci piring misalnya, aku tidak bisa. Tapi
setiap malam, sesaat sebelum tidur, aku merasakan ada rasa bangga dalam diriku.
Aku bangga dengan diriku yang bisa melewati hari ini. Aku merasa hebat telah
melewati hari ini. Aku berterima kasih pada diriku sendiri yang bisa bertahan
sampai hari ini berakhir. Dan aku harap, aku bisa memulai hari esok lagi dengan
lebih baik.
Di lain waktu, aku menjalani hari yang begitu sibuk. Setelah mengerjakan
ini dan itu di siang hari, aku duduk bercengkrama dengan kedua orang tuaku di
malam harinya. Setalah membicarakan beberapa hal yang biasa-biasa saja, aku
berbaring di tempat tidurku. Rasanya sangat nyaman dan tenang.
Sesekali kita juga perlu melihat kebahagiaan dari sudut pandang lain.
Karena ternyata ada hal-hal membahagiakan yang bisa kita temukan hanya jika kita
merubah sudut pandang kita. Memiliki kedua orang tua yang utuh, memiliki waktu
untuk beristirahat, juga salah satu kebahagiaan yang ideal.
Ternyata yang menghina itu hina
Waktu itu aku masih berumur 10 tahun. Di suatu sore yang cerah, aku
sedang bermain bersama seorang teman di depan rumahku. Lalu lewatlah ibu dari
temanku yang lain sambil menghinaku. Dia berkata bahwa seharusnya aku harus
bisa ngaca kalau aku ini anak miskin, tidak usah besar kepala. Aku meneteskan
air mata mendengar hinaan itu dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Itu adalah
hinaan pertamaku dan aku bahkan tidak tahu kenapa dia menghinaku.
Keesokan harinya, aku baru tahu kalau anak dari ibu itu tengah
memusuhiku. Entah karena waktu itu temannya lebih memilih berteman denganku
atau karena guru kami lebih memilihku untuk tampil menari di acara pringatan Hari
Pendidikan Nasional. Sejujurnya, harusnya aku yang lebih berhak merasa iri
dengan kehidupannya. Kalau boleh dibandingkan, dia memang hidup jauh lebih
berkecukupan dariku. Namun setelah beberapa tahun berlalu, ternyata roda
kehidupan memang berputar. Jika boleh, sebenarnya sekarang ini ada hal-hal yang
bisa kuhina darinya. Namun, aku selalu menahan diri.
Waktu untuk dua insan menjalin hubungan asmara yang ideal menurutku
adalah berapapun asal bisa dibilang lama. Aku ingin mencintai seseorang dengan
lama. Aku ingin mencintai seseorang yang perhatian, yang baik hati, yang
memperlakukanku dengan hati-hati, seseorang yang berbicara dengan lembut.
Sejujurnya jika kutulis semua kriteria pasangan yang ideal menurutku, maka
seluruh lembar buku ini akan penuh olehnya. Namun singkatnya, aku ingin
mencintai seseorang yang bisa mencintaiku dengan cara yang kuinginkan. Sah-
sah saja jika ingin seperti itu. Tapi kenyataannya, tidak ada seorang pun yang bisa
mencintaimu dengan cara seperti yang kamu inginkan. Maka kamu bisa tinggal,
boleh juga pergi.
Tapi aku harap alih-alih fokus mencocokan cinta orang lain dengan
keinginan kita, kita lebih bisa menerima cinta yang diberikan apa adanya.
Usia dua puluhan ngapain aja?
Saat aku masih berusia belasan tahun, aku banyak melihat orang-orang di
usia dua puluhan yang hidup dengan kaku. Mereka seperti sudah disetel untuk
hanya melakukan ini dan itu, tidak memiliki kesempatan untuk melakukan hal-hal
lain seperti bermain kelereng, lompat tali, atau bermain bola bekel. Di lingkungan
tempat aku dibesarkan, laki-laki yang sudah memasuki usia dua puluhan seperti
diharuskan sudah berpenghasilan tetap, sedangkan perempuannya seperti
diharuskan sudah memiliki calon pasangan. Di lingkungan tempat aku menimba
ilmu, di usia dua puluhan laki-laki dan perempuannya sama-sama diharuskan sudah
memiliki rencana masa depan yang matang, pekerjaan yang diinginkan misalnya.
Kalau pun sudah tau pekerjaan yang diinginkan, mereka juga harus sudah tau
perusahaan mana yang akan ditargetkan, juga jenjang karir seperti apa yang
diinginkan. Melihat semua itu, aku terus mengatakan pada diriku sendiri bahwa
ketika sudah usia dua puluhan, jangan menjalani hidup yang kaku.
Saat aku memasuki tahun pertama usia dua puluhan, aku melihat teman-
teman seusiaku yang sudah bekerja, menikah, dan merubah penampilannya menjadi
lebih menarik. Awalnya, aku bodo amat dengan semua itu. Tapi ketika aku akan
memasuki tahun kedua usia dua puluhan, rasa cemas menghantuiku. Rasanya aku
seperti sedang berdiam diri di tengah orang-orang yang berlari mengejar impiannya.
Orang-orang seperti sudah menemukan jalannya masing-masing, sedang aku
masih berdiri saja, bingung. Orang-orang seperti sedang menulis kisah-kisah besar
di kehidupannya, sedang aku masih tak bergerak, linglung. Aku tak menyangka di
awal usia dua puluhan, aku sudah seperti mati terbakar rasa cemasku sendiri.
Orang-orang bilang usia dua puluhan adalah waktu dimana kita mengalami
krisis dalam hidup kita. Semua orang mengalaminya. Ada yang selamat dan
melanjutkan hidup, ada yang menyerah dan terseret hidup. Sah-sah saja kamu
merasa cemas melihat teman-temanmu yang sudah melangkah maju sedang kamu
masih rebahan, melihat teman-temanmu yang sudah memakai pakaian bermerk
sedang kamu masih koloran, melihat teman-temanmu sudah memiliki pekerjaan
impian sedang kamu belum. Sah-sah saja. Tapi sebenarnya siapa yang bilang di
usia dua puluhan kamu sudah harus mengejar cita-citamu? Sudah harus bekerja?
Sudah harus menikah? Sudah harus memakai pakaian bermerk? Usia dua puluhan
hanya angka. Sebenarnya kamu tidak perlu cemas membandingkan kehidupan dua
puluhanmu dengan yang lainnya. Karena langit memberikan waktu yang tepat
untuk setiap manusia. Kamu boleh memiliki cita-cita di usia 40 tahun. Kamu boleh
menikah di usia 30 tahun. Kamu boleh memakai sweater dan celana kolor saat
nongkrong dengan teman-temanmu.
Saat masih sekolah, orang-orang bilang aku anak pintar. Aku mendapat
peringkat di kelas dan sering mengikuti lomba. Jika boleh pamer, masa-masa
sekolahku sudah seperti masa emasku. Saat aku akan memasuki sekolah menengah,
aku membuat keputusan besar. Aku masuk sekolah menengah dan mengambil
jurusan yang berkaitan dengan teknologi informasi. Padahal, itu adalah hal yang
sangat baru bagiku yang memiliki cita-cita sebagai penulis. Namun saat di sekolah
menengah, orang-orang juga masih menganggapku pintar. Akupun selalu
mendapat peringkat di kelas. Maka waktu itu aku percaya bahwa aku kompeten.
Karena itu kupikir aku akan menjalani kehidupan perkuliahan yang lancar-lancar
saja.
Awalnya kupikir hal yang kulakukan sudah benar. Tapi fakta bahwa aku
telah menuliskan alamat dengan sesuai, namun aku merasa bersalah karena telah
menyulitkan si pengantar makanan saat mengantarkan makananku membuatku
merasa aneh. Mungkin ini karena aku terlalu memperhatikan orang lain dan
kurang perhatian pada diri sendiri. Sah-sah saja. Tapi seperti kebanyakan orang
sekarang ini, aku jadi terlalu engga enakan sama orang lain, dan seenaknya sama
diri sendiri. Maksudku, kamu juga harus memperhatikan dirimu sendiri. Bahkan,
perlu memperhatikan diri sendiri sebelum orang lain. Jangan menyalahkan diri
sendiri atas kesulitan orang lain yang memang sudah bagian dari takdir.
Aku ini orang yang santai
Terkadang orang yang terlihat paling santai, bukan berarti tidak memikirkan
atau menyepelekan apa yang terjadi. Boleh jadi ia pernah mengalami yang terburuk.
Sehingga apa-apa yang terjadi sekarang, sudah seperti basa-basi obrolan.
Menyalakkan tanda
Suatu waktu aku menangis sedu, di lain waktu aku tertawa terbahak-bahak.
Semuanya, terjadi tanpa alasan yang jelas. Ada banyak pertanyaan di kepalaku.
Pikiran dan hatiku sibuk berdebat tentang jawabannya. Lalu ketika aku merasa
sudah menyerah dengan jawaban-jawaban yang tak bisa menjawab pertanyaan-
pertanyaanku, aku memutuskan untuk meminta bantuan. Untungnya, ada salah satu
temanku yang mendengarkan. Satu per satu keluhan kulontarkan. Lalu kami
berbagi keluh kesah. Saat itu aku sadar bahwa, ah ternyata dia juga mengalami hal
yang sama. Nyatanya, setiap orang punya kesulitannya masing-masing.
Kita semua berada di satu terowongan gelap yang sama. Kita berjalan
melewatinya seakan-akan kita sendirian. Padahal, jika kita mau menyalakan senter,
kita bisa melihat orang lain yang berjalan di samping kita. Jadi, alih-alih merasa
sendirian dalam melewati sebuah kesulitan, nyalakanlah sentermu dan lihatlah
orang-orang yang melalui hal yang sama denganmu. Di terowongan yang gelap ini,
kita bisa saling menyenteri jalan satu sama lain.
Kamu berhak tidur
Sejak kecil sampai sekarang, aku selalu punya teman yang bisa dibilang
sempurna dari banyak hal. Misalnya saja, sudah pintar, baik, kaya, cantik, lagi
menarik. Setiap kali aku melihat temanku yang seperti itu, aku merasa “Ah betapa
kecilnya aku ini.” Tapi setelah dipikir-pikir, kita ini cuma kumpulan atom-atom
saja. Jadi mau kita pintar, kaya, cantik, baik, bahkan dikatakan sempurna
sekalipun, toh kita ini tak lain hanya sekumpulan atom saja.
Apakah orang tak berbakat harus bekerja dua kali lebih keras ?
Suatu hari aku menonton sebuah drama berjudul “Cheese in the trap” lalu
ada kutipan dari pemeran utama wanitanya yang masih membekas di pikiranku
sampai sekarang yaitu “orang-orang yang tak berbakat harus bekerja dua kali lebih
keras dari yang berbakat.” Awalnya aku setuju dengannya, bahwa orang-orang tak
berbakat seperti kita harus bekerja lebih dan lebih keras lagi. Tapi ketika aku
bekerja lebih keras, kata “lebih” ini seperti tidak ada batasannya. Aku jadi
menuntut segalanya menjadi lebih, bahwa aku harus lebih ini dan lebih itu. Tapi
sekeras apapun kita berusaha, yang tidak ditakdirkan untuk kita takkan pernah
terjamah tangan kita. Jadi kupikir tidak peduli kamu berbakat apa tidak, bekerja
keras itu wajib dan engga ada yang namanya bekerja lebih keras. Karena tidak ada
parameter jelas untuk sebuah usaha manusia. Jadi, apapun yang kamu lakukan,
kamu sudah bekerja keras. Jika memang hal itu ditakdirkan untukmu, ia pasti akan
menemukan jalan untuk sampai padamu, kok.
Orang cerewet dan orang tuli
Orang-orang menjadi tuli saat kamu cerewet tentang hal yang tidak
berhubungan dengan mereka. Lalu mereka mengabaikan perkataanmu. Dan ketika
kamu tak membahas apa yang berkaitan dengan mereka, mereka akan
menganggapmu apatis.
Apakah aku seorang monster ?
Sejak aku mulai bisa berfikir, aku telah memikirkan banyak hal. Sebagian
darinya memang hal-hal tidak penting, sebagiannya lagi adalah hal-hal aneh. Dan
tanpa kusadari,seiring beranjak dewasa pikiranku juga berubah menjadi lebih
besar. Ada saat dimana pikiranku terlalu besar sampai aku tidak bisa berdiri dari
tempat tidur. Semakin hari pikiran-pikiran itu menyatu jadi seperti monster yang
besar. Ia suka membisikkan hal-hal aneh kepadaku seperti “Bagaimana jika hari
ini kita tidur saja? Jika kamu kesulitan tidur, bagaimana jika minum pil tidur saja?”
Karena ia terlalu sering membisikkan hal-hal seperti itu aku jadi percaya bahwa
aku ini seperti apa yang aku pikirkan, bahwa aku juga monster sepertinya. Tapi
saat aku hidup dalam pikiranku sebagai monster, ada hal lain dari diriku yang
selalu menarikku keluar dari lubang hitam ini. Walaupun terkadang ia harus
sampai tertatih-tatih ketika menuntunku keluar dari pusaran kehidupan monster
ini, tapi ia tidak pernah menyerah. Aku berterima kasih padanya. Karenanya, aku
tahu bahwa aku bukanlah monster, aku masih bisa jadi aku yang seutuhnya.
Di dalam dirimu ada kamu, pikiranmu, dan hatimu. Ingatlah ketika muncul
pikiran-pikiran untuk menyakiti dirimu sendiri, muncul kekhawatiran akan masa
depan, dan hal-hal aneh lainnya, itu hanya ada dalam pikiranmu. Jangan biarkan
pikiran-pikiran itu tumbuh menjadi monster yang bisa mengendalikan hidupmu.
Rasakanlah dengan hatimu, bahwa kamu masih ada di sana. Kamu masih hadir
dalam dirimu. Bahwa kamulah yang akan menjalani hidupmu, sebagai manusia.
Cukup pentingkan dirimu saja!
Orang lain yang hanya melihatku, mereka akan bilang “Kamu ini sudah
cukup beruntung! Lihatlah orang-orang yang tidak seberuntung kamu!” Tapi
anehnya, di beberapa hal aku sama sekali tidak merasa beruntung. Apakah aku
terlalu tidak tahu diri? Aku diberikan ini dan itu oleh Tuhan, tapi aku masih merasa
ada yang kurang dari diriku. Aku masih tersesat dan kesulitan untuk pulang. Saat
aku bilang seperti ini pada mereka, mereka hanya bilang “Dengan
keberuntunganmu itu, kamu hanya perlu bekerja lebih keras!”
Di pagi hari aku terbangun dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-
baik saja. Di malam hari aku berdo’a agar Tuhan menyelamatkanku. Aku juga
sudah bekerja keras. Tapi aku juga lelah. Aku tersesat.
Aku juga ingin kehidupan yang lebih beruntung. Karena aku juga manusia.
Jika kamu pernah merasa sendirian ...
Untuk orang-orang yang menjalani kehidupan seperti itu, aku hanya ingin
bilang bahwa masa lalu itu tidak untuk diulang. Masa lalu itu hanya sekadar untuk
ditengok, bukan untuk terus dipandangi. Jika masa lalu itu adalah kesalahan-
kesalahan yang terus mengikat dirimu sekarang, lepaskanlah! Maafkanlah dirimu
sendiri! Aku tidak menyuruhmu untuk melihat ke masa depan. Setidaknya, lihatlah
dirimu yang sekarang!
Apa yang begitu menyedihkan dari hidup ?
Saat kamu bangun tidur lalu dengan semangat kamu berangkat kerja, tapi
sampai di tempat kerja kamu mendapat surat PHK. Atau saat kamu dengan
semangat memulai sebuah projek baru tapi tidak bisa menyelesaikannya. Atau saat
kamu ingin makan, tapi tidak ada uang untuk membeli makanan. Atau saat kamu
pikir tidak akan hujan, tapi di perjalanan kamu malah kehujanan. Atau bahkan
lebih buruknya, saat semangatmu sudah patah dan impianmu dalam hidup sudah
pupus. Saat kamu mengalami kehidupan yang seperti itu, namun kamu masih
terbangun dengan pikiran bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa kehidupan
memang semenyakitkan ini. Saat hal-hal buruk terjadi dalam hidupmu tapi kamu
hanya bisa berkata “Ya namanya juga hidup!”
Aku ingin bilang “Apa yang begitu menyedihkan dari hidup? Pun hidup
yang memberimu luka. Nantinya hidup juga yang menyembuhkannya. Sialnya,
memang hiburanmu satu-satunya hanyalah berlapang dada.”
Ketika ingin memulai hal baru
Dari kecil aku memang memiliki ketertarikan pada alat musik piano.
Namun, aku tidak memiliki kesempatan untuk belajar alat musik itu karena ada
banyak keterbatasan yang kupunyai. Sampai akhiranya saat aku dewasa, aku
memiliki kecukupan untuk membeli sebuah keyboard sederhana. Sebelum aku
membelinya, ayahku menentang rencanaku itu dan berkata bahwa membeli hal
tersebut tidak akan ada gunanya. Tapi aku tidak menghiraukan perkatan ayahku.
Aku menyukai musik, dan aku ingin memulai hobi baru.
Lalu beberapa hari setelah aku membeli keyboard tersebut, ayahku malah
ikutan memainkannya. Aku bertanya-tanya apa gerangan yang merasukinya?
Bukankah dulu dia bilang bahwa ini tidak akan berguna?
Dan kini aku sadar bahwa melihat seseorang dengan serius memulai hal
baru, menekuni hal yang disenangi, telah mentrasfer energi yang positif. Sorot
mata seseorang saat melakukan hal yang disukainya seperti sebuah euphoria
tersendiri. Jadi, untukmu yang sedang ragu untuk memulai hal baru, kuharap kamu
bisa lebih berani untuk memulai dan menekuni apa yang selama ini kamu sukai.
Karena semangat dan kepercayaan dirimu itu bisa mentransfer energi yang positif
untuk orang-orang di sekitarmu. Mereka yang melihat sorot semangatmu itu juga
akan merasakan euphoria yang sama. Begitulah yang terjadi pada ayahku.
Siapa yang datang ke pernikahanku?
Aku merasa tidak tahu malu jika mengundang orang-orang yang hanya
sebatas kenal nama. Tapi jika mengundang orang-orang yang benar-benar kenal
dekat, aku juga ragu apakah akan ada tamu yang kuundang. Atau bisa jadi
kematian yang akan jadi satu-satunya tamu undanganku.
Tapi siapapun tamu undangan saat pernikahanmu, aku hanya ingin bilang
bahwa semua yang diundang belum tentu hadir, malah yang tak diundang bisa jadi
hadir. Sama seperti kebahagiaan, kematian, orang yang dicintai, dan hal-hal
lainnya dalam kehidupanmu. Mereka tidak hadir sesuai undangan. Mereka hadir,
karena memang begitu takdirnya.
Meletakkan sesuatu pada tempatnya
Suatu hari aku merasa menyukai seseorang. Dia adalah orang yang baik,
dermawan, dan dewasa. Kemudian aku bercerita tentang hal ini pada temanku.
Lalu temanku bertanya apakah aku benar-benar menyukainya atau hanya sekadar
mengaguminya. Aku ini memang tidak pernah menyukai orang lain. Jika aku
senang akan keberadaan orang lain, itu hanya karena aku kagum dengannya. Tapi
kali ini aku merasa benar-benar menyukai orang tersebut.
Selama ini aku masih sering salah dalam meletakkan suatu hal baik itu
barang, manusia, maupun perasaan. Kupikir kita perlu membuat batas garis yang
jelas untuk setiap hal. Agar kita bisa merespon sesuatu sesuai dengan batasannya
itu. Seperti jika kamu menyukai sesuatu, berperilakulah seperti kamu
menyukainya. Dan jika kamu mengagumi sesuatu, perlakukanlah ia sebagai
mestinya hal yang kamu kagumi. Dan jika kamu bertanya “Memangnya beda
menyukai dan mengagumi seseorang itu seperti apa, sih?” Kira-kira seperti aku
yang menyukai sikapnya yang baik, dermawan, dewasa. Dan aku yang
mengagumi orang itu karena memiliki sikap seperti itu. Jadi, kuharap mulai
sekarang kamu tidak lagi meletakkan lingkaran pada wadah persegi.
Jenis penderitaan
Maka jika kamu mengalami jenis penderitaan yang kedua ini, satu-satunya
hal yang bisa mengurangi rasa sakitmu adalah menerima bahwa penderitaan itu
memang ada, bahwa penderitaan juga bagian dari hidup. Alih-alih merasa kecil
karena mengalami semua penderitaan itu, berbesar hatilah karena kamu masih
selamat dari penderitaan itu.
Untuk kedepannya mungkin
tidak ada yang berubah dari
penderitaan itu, tapi kamu
akan tumbuh semakin kuat
untuk bisa tetap melanjutkan
hidup.
“Bangsat!”
Sejak kecil aku dididik untuk bertutur kata yang baik, lemah lembut, dan
menggunakan kosa kata yang etis bahkan ketika aku sedang marah sekalipun. Tapi
entah kenapa, kurasa kehidupan ini ingin mengajariku untuk mulai berkata kasar.
Akhir-akhir ini aku sering berkata kasar seperti “Bangsat!”. Jika terdengar oleh
orang lain mungkin ini akan terdengar seperti perkataan orang yang tidak tahu
sopan santun. Tapi di beberapa hal, kehidupan ini memang bangsat. Kehidupan
terus memutar-mutar kebahagiaan kita. Dan ketika kita berada dalam keadaan
terpuruk sekalipun, akan ada orang yang menyuruh untuk bersabar. Sebagian dari
mereka akan menceritakan kisah insipirasional beberapa tokoh, ada yang
menceritakaan kisah-kisah kesabaran Nabi dalam menghadapi cobaan. Tapi, aku
ini manusia biasa! Aku bukan tokoh yang mereka ceritakan! Aku bukan Nabi! Aku
bukan malaikat!
Aku adalah tipe orang yang entah kenapa tidak suka mengangkat telepon.
Jika ada telepon masuk bahkan dari orang terdekat sekalipun seperti ayah ataupun
kakak, aku seringkali hanya memandangi teleponku yang berdering. Harus ada
riwayat telepon kesekian kalinya untuk akhirnya kuangkat juga telepon itu.
Awalnya kupikir itu sah-sah saja, karena toh tidak ada informasi penting yang bisa
dicari dariku. Sampai pada suatu saat, aku teringat pada kakak pertamaku dan
ingin meneleponnya. Waktu itu siang hari, namun sampai telepon kesekian, belum
juga diangkatnya. Aku jadi bertanya-tanya kenapa teleponku tak kunjung diangkat
juga karena biasanya saat bekerja sekalipun dia selalu mengangkat teleponnya.
Setelah itu kuputuskan untuk menelepon istrinya. Namun tidak diangkat juga.
Pada telepon kesekian, kekhawatiranku memuncak. Bermacam-macam pikiran
sudah memengaruhiku. Apa yang sedang dilakukannya? Apa dia tertidur? Apa hp-
nya dalam mode silent? Atau hal buruk terjadi padanya?
Sejak saat itu aku sadar bahwa mengangkat telepon seseorang itu penting
walaupun hanya untuk percakapan sederhana seperti menanyakan kabar. Fakta
bahwa seseorang itu meneleponmu, kurasa itu menjadi alasan yang cukup jelas
bahwa kehadiranmu itu penting. Maka angkatlah teleponmu!
Jika kamu orang yang bodoh
Jika kamu merasa bodoh dalam menjalani kehidupan, kurasa tidak pernah
terlambat untukmu memulai belajar. Setiap pengalaman adalah guru terbaik, kata
mereka. Mungkin itu memang benar. Dan jika kamu melakukan kesalahan
pertamamu dalam hidup lalu orang lain memarahimu. Jangan dihiraukan! Pikirkan
saja dalam satu menit, setelahnya jangan lagi dipikirkan. Toh, ini juga kehidupan
pertamamu. Bahkan jika kamu melakukan kesalahan kedua dan ketigamu, itu juga
wajar, kok! Yang ada dalam hidup ini bukan kamu yang membuatnya, wajar jika
kamu belum bisa memahaminya.
Memaafkan orang lain dengan cara meminta maaf
Kita bisa memaafkan kesalahan orang lain dengan cara memaafkan diri
sendiri dan meminta maaf pada mereka. Maafkanlah diri sendiri yang sudah
menyusahkan diri dengan membenci mereka. Dan meminta maaflah pada mereka
karena telah membenci mereka. Karena kupikir semua orang juga bisa melakukan
kesalahan. Kamu pun boleh jadi tanpa disadari telah menyakiti mereka. Jadi alih-
alih menanam kebencian, kita bisa hidup damai dengan saling memaafkan.
Uang bagi si kaya dan si miskin
Jadi aku perlu mengatakan pada orang-orang yang miskin sepertiku, bahwa
tidak perlu merasa malu ketika mengejar kebahagiaan dengan uang. Memang
beberapa kebahagiaan itu bisa didapat dari uang, kok.
Urusi saja hal-hal yang kecil
Saat kuliah, aku pernah menjadi salah satu anggota Badan Eksekutif
Mahasiswa. Kata mereka, menjadi seorang mahasiswa itu jangan melulu
memikirkan ikhwal akademik. Seorang mahasiswa juga harus ikut aktif dalam
mengkritisi urusan politik, lingkungan, sosial, dan kebudayaan. Maka dari itu,
semasa aku menjabat di Badan Eksekutif Mahasiswa, mereka sering mengajakku
diskusi ikhwal kebijakan-kebijakan pemerintah yang ada. Apakah kebijakan ini
sesuai dengan kebutuhan rakyat? Atau malah kebijakan itu dibuat untuk
kepentingan golongan?
Aku setuju dengan mereka bahwa kita juga perlu menaruh perhatian pada
hal-hal semacam itu. Tapi bukan berarti kita harus berdiskusi tentang kebijakan
pemerintah, mengkritik pemerintah lewat sosial media, ataupun ikut demo. Kita
bisa ikut aktif dalam membantu masyarakat untuk hidup sejahtera dengan cara
mengkritisi diri kita sendiri. Melakukan kewajiban sebelum menuntut hak kita.
Menjadi pribadi yang lebih bermanfaat untuk lingkungan di sekitar kita, misalnya
lingkungan pertemanan atau lingkungan keluarga.
Hal-hal yang tidak bisa kita ubah secara langsung adalah hal-hal yang
terlalu besar untuk dilakukan. Yang lebih kecil dari hal tersebut adalah melakukan
hal-hal yang bisa kita ubah secara langsung. Untuk membuat sebuah rumah yang
besar dan kuat, diperlukan juga pondasi yang kokoh. Sama seperti sebuah negara.
Kita butuh sumber daya manusia yang berkualitas dari segi pengetahuan dan
moral. Jika kamu ingin berkontribusi dalam kesejahteraan khalayak umum, kamu
bisa mulai dengan mengurusi hal-hal kecil saja dahulu sebagai pondasi yang
kokoh.
Apakah aku mencintai diri sendiri?
Walaupun aku cenderung fokus pada apa yang ada dalam diriku sendiri,
aku tidak teralu menaruh perhatian pada hal semacam “Love yourself”. Tapi
kemudian aku merasa orang-orang sering mengabaikan keberadaanku. Aku
merasa seperti tidak ada yang mencintaiku. Lalu di saat aku terpuruk sendirian,
aku sadar bahwa hanya ada aku disana. Di saat aku sedih karena mereka
mengabaikan keberadaanku, aku sadar bahwa hanya aku lah yang melihat
keberadaanku itu. Kemudian aku mulai mencoba untuk lebih mencintai diriku
sendiri. Lalu suatu hari ada yang bertanya “Apakah kamu sudah mencintai dirimu
sendiri?” setelah berfikir beberapa waktu, aku menjawab bahwa aku belum
mencintai diriku sendiri.
Sebenarnya aku tidak terlalu mencintai diriku sendiri. Hanya saja orang
lain terlihat begitu bahagia dengan mencintai diri mereka sendiri. Maka dari itu
aku mencoba untuk mencintai diriku sendiri. Ternyata, hal itu tidak terlalu
mengasyikkan. Tapi kabar baiknya, aku masih mencoba. Kupikir kamu boleh
gagal dan berhenti mencoba di hal lainnya. Tapi ketika kamu gagal dalam
mencintai diri sendiri, kuharap kamu bisa selalu mencoba lagi dan lagi. Karena
walaupun terlihat menyedihkan, tapi pada akhirnya memang hanya dirimulah yang
akan selalu merasakan keberadaanmu.
Apa yang ingin kamu katakan pada dirimu yang berumur 10 tahun?
Suatu hari aku melihat tulisan di sosial media yang isinya menanyakan hal
apa yang ingin kamu katakan pada dirimu yang berumur 10 tahun. Tentang dirimu
dahulu saat kanak-kanak yang memiliki sebuah impian, apakah dirimu sekarang
yang dewasa telah mewujudkan impian anak kecil itu. Lalu, aku jadi
membayangkan sedang duduk di depan diriku yang berumur 10 tahun, kira-kira
apa yang akan kukatakan. Apakah aku harus menghiburnya karena diriku yang
dewasa ini mungkin belum bisa mewujudkan mimpinya itu? Atau haruskah aku
berterima kasih padanya yang telah memberikan impian itu?
Teruntuk diriku yang berumur 10 tahun, aku ingin bilang bahwa kehidupan
yang kamu desain terlalu buram dan kurang detail. Ada banyak hal yang terjadi
seperti sebuah kejutan. Tapi engga apa-apa. Aku yang sekarang akan melanjutkan
desain hidup yang kamu beri. Mungkin akan ada yang sedikit tidak sesuai dengan
ekspektasimu. Tapi aku berterima kasih karena telah memberi pondasi yang kuat.
“Apa yang ingin kamu katakan pada dirimu yang berumur 10 tahun?”
Narsisme dan popularitas
Aku tidak memiliki banyak hobi. Semenjak aku di sekolah dasar, ketika
ditanya apa hobiku aku pasti menjawab menulis. Jika dilihat sekilas, hobi ini
sangatlah cocok untuk orang-orang dengan kepribadian tertutup. Maksudku,
seperti jika kamu tidak suka bercerita banyak hal pada orang lain, kamu bisa
menulisnya di buku harian. Aku pun seperti itu. Dulu aku menganggap bahwa aku
menulis agar bisa menyalurkan perasaanku. Tapi lama-lama aku sadar bahwa
menulis menjadi bentuk narsisme bagi diriku. Aku sadar aku bukanlah orang yang
populer. Maka dari menulislah aku seperti memamerkan diriku sendiri untuk
mendapat pengakuan dari khalayak umum.
Seperti kebanyakan orang yang tidak populer di dunia nyata, mereka akan
memamerkan diri mereka di dunia maya untuk mendapat pengakuan. Kupikir itu
sah-sah saja. Tapi kupikir akan menjadi sangat membahayakan jika kita tidak
sadar akan sikap narsisme kita yang dilakukan hanya untuk meraih popularitas.
Maksudku, ketika kita mencintai diri sendiri, kita tidak berhak berharap orang lain
juga akan mencintai diri kita. Karena perihal perasaan orang lain adalah urusan
mereka. Jadi kuharap mulai sekarang kamu bisa mencintai dirimu sendiri tanpa
berharap orang lain juga akan mencintaimu.
Kamu perlu marah
Aku pernah tereliminasi dalam sebuah hal karena yang lain punya relasi
yang lebih kuat. Teman-temanku pernah gagal melamar pekerjaan hanya karena
pelamar yang lain punya relasi yang lebih kuat. Beberapa rekrutmen ternyata
hanya dilakukan sebagai formalitas. Lalu, apakah kita harus memperkuat relasi
untuk bisa lolos? Kuharap tidak.
Dulu aku menyimpan kontak orang-orang dengan alasan jika suatu hari
nanti aku butuh bantuan, aku bisa menghubunginya. Lalu aku seperti harus rutin
menghubungi mereka agar sewaktu-waktu aku menghubungi mereka karena
memerlukan bantuan, aku tidak terlalu kelihatan seperti orang yang tidak tahu
malu. Tapi sikap seperti itu membuat kita terbiasa membangun hubungan yang
berlandaskan suatu materi. Bukan hubungan yang berlandaskan kasih sayang dan
rasa tulus. Jika kamu terus mempertahankan hubungan yang semacam itu, kamu
akan terus hidup diikuti rasa pamrih. Jadi kuharap mulai sekarang kamu bisa
keluar dari lingkaran relasi yang tidak perlu. Dan bisa benar-benar membangun
relasi pertemanan yang dilandaskan ketulusan. Kuharap kamu bisa
mengembangkan dirimu bersama orang-orang yang benar-benar suportif.