Bu...anakmu gagal.
Kau, sepeti biasa, membalas dengan deretan sinetron kesukaanmu, lantas bertanya kabarku dengan
antusias.
Seolah-olah, satu-satunya kisah yang bisa mengalahkan sinetron favoritmu hanyalah tentang hidupku,
dan aku adalah jagoanmu.
Kau tidak tahu bahwa anakmu belum sempat tidur. Patah, dikecewakan dunia.
“Kamu baik-baik aja, Nak?” tanyamu, menelisik lingkar mataku yang menghitam.
Dulu, rasanya malas sekali kalau ditanya-tanya olehmu. Sekarang, tiap ada apa-apa, selalu
menyempatkan cerita padamu. Aku tahu Ibu tidak mengerti aku ngomong apa. Tapi, melihatmu
antusias, rasanya hangat sekali.
Kemudian, kulihat kau dengan lebih saksama. Rambutmu yang kian memutih, wajahmu yang kian
berhiaskan keriput. Di lelahmu, masih saja kau pikirkan kebahagiaanku.
Kuambilkan.
Akhir-akhir ini kusadari, kau sudah tidak bebas bergerak, kerap terduduk letih di kursi favoritmu.
Kau kemudian bercerita tentang masa mudamu dulu, tentang perjalanan hidup hingga akhirnya aku
lahir. katamu, aku anugerah, yang kian dewasa kian pintar melawanmu.
Tapi masih saja kau sayangi sepenuh hati. Seakan-akan, berapa pun banyak dosaku, tak pernah
sebanyak doamu. Berapa pun banyaknya salahku, tak pernah sebanyak pintu maafmu.
Ah, Ibu.
Setua apapun aku, akan tetap menjadi anak kecil di matamu. Apa-apa yang kuperbuat, pasti ada saja
yang Ibu komentari. Bukan karena aku salah.
Melainkan karena Ibu tidak mau sekadar duduk di bangku penonton, melihat anaknya
menjauh,sementara dirinya sendiri merasa tidak berguna.
Akhirnya, aku berani mengucapkan itu. Kau mengusap rambutku sembari tersenyum.