Anda di halaman 1dari 1

Para Penjilat

perkenalkan saya, hmmm…siapa ya??? (dengan wajah pura-pura tahu). Sebut saja saya (nama kamu). Ya hanya nama itu yang
bisa mencerminkan betapa kayanya saya.

( berjalan-jalan mengelilingi stage, sambil berpikir lagi )

aku memang kaya, tapi maaf saya bukan maksud hati untuk sombong atau congkak, tapi buat apa minta maaf, iya khan? (dengan
wajah sinis)

( duduk dikursi sambil mengangkat kaki satu keatasnya )

kalian tahu, sebenarnya saya ini ramah, sudah kaya pula. Tapi kenapa kalian-kalian memaksa ku menjadi begini?(dengan nada
marah)

( berdiri dan naik keatas kursi )

apa? Apa kau lihat-lihat? mau nantangin? Apa? Menyuruhku minta maaf? Gara-gara aku tak sopan? Pintar sekali kau. Enyah
(semakin marah)

( kembali duduk di kursi )

baiklah, baik saya akan beri tahu kenapa saya seperti ini dan kenapa saya sangat enggan meminta maaf. (dengan ekspresi
jengkel).

( membuka jas dan memutari kursi )

mama, aku sudah pulang kerja Mama? Ma? Masih di salon ya? (sambil melihat jam tangan)

papa? Oh iya, papa masih di amrik ya? Ck, bisa-bisanya aku lupa. Sudah lah.

rumah segede ini yang tinggal Cuma aku? Payah. Benar-benar payah jadi orang kaya, sangat kesepian, dengan tetangga saja tak
kenal, bukannya aku tak mau tapi pasti mereka juga tak mau. Maklum, pasti sibuk alasannya. Alasan klasik yang manjur juga
untuk menolak sesuatu.

( kembali berdiri dan mengelilingi stage )

mana bisa tahan kalau hidup ditengah-tengah orang yang hidupnya hanya memikirkan harta dan kekayaan saja.

pengen rasanya aku hidup sederhana, atau miskin sekalian. Yang penting dapat merasakan suasana kekeluargaan yang bahagia,
yang dimana tak ada yang bersifat individualis dan hanya mencari uang tanpa peduli dengan keluarga dan anaknya sendiri.
semuanya sama saja. Tak ada yang bermoral baik, yang kaya egois. Yang miskin pemeras. Semua sama, enyah saja ( dengan
nada marah dan berteriak)

sekarang sudah tahu kenapa saya enggan minta maaf? Dasar para penjilat.

Anda mungkin juga menyukai