Anda di halaman 1dari 6

Sinopsis Panggilan Rasul

(1) Cerpen Panggilan Rasul mengisahkan sepasang suami istri yang dikaruniai tiga orang anak laki-laki bernama
Kamaruddin, Saefuddin, dan Lasuddin. (2) Suami-istri dikenal sebagai tuan tanah yang kaya raya, tetapi si suami memiliki
tabiat yang buruk. (3) Dia dikenal sebagai orang yang angkuh, kikir, dan tamak sehingga banyak masyarakat yang
membencinya.
(4) Meskipun berperilaku kurang baik, sebagai seorang muslim, suami-istri tetap menaati ajaran agama yang
diyakininya, yakni mengkhitankan ketiga anaknya. (5) Demi melaksanakan ajaran agamanya itu, musibah menimpa
sepasang suami-istri itu. (6) Anak pertama, Kamarudin, meninggal sesaat setelah disunat. (7) Dua tahun kemudian, anak
kedua, Sarifudin, meninggal juga sehari setelah disunat. (8) Musibah bertubi-tubi yang menimpa sepasang suami-istri itu
menyebabkan mereka introspeksi. (9) Mereka mencoba menduga-duga mencari tahu penyebab kematian anak-anaknya.
(10) Si istri menduga kematian anak pertamanya disebabkan oleh si anak yang tidak mematuhi nasihat orang tua. (11) Si
Kamarudin, tetap berlari-lari dan melompat-lompat sehari menjelang disunat hingga darahnya banyak mengucur deras saat
disunat.
(12) Anak kedua, si Sarifudin, meninggal juga sehari setelah disunat padahal ia tidak melompat-lompat dan
berlarian menjelang disunat, seperti yang dinasihatkan orang tuanya. (13) Kematian Sarifudin membuat sepasang suami-
istri itu berubah pikiran. (14) Mereka menduga anak-anak mereka meninggal karena diracun oleh orang-orang yang
membenci mereka. (15) Mereka menjadi cemas dan khawatir akan kebenaran isu yang berkembang di masyarakat bahwa
anak-anak mereka telah dikutuk dan akan habis di ujung pisau sunat. (16) Menghadapi isu tersebut, mereka, terutama si
ayah mulai berubah sikap, memperbaiki tabiat. (17) Si ayah mulai berubah menjadi rendah hati, dermawan, dan baik hati.
(18) Untuk langkah antisipasi agar Lasudin tidak bernasib sama seperti abang-abangnya, si ayah tidak percaya lagi
kepada dukun sunat, dia memilih dokter spesialis untuk menyunati anak bungsunya itu. (19) Mesipun demikian, sepasang
suami-istri itu pun masih tetap dihantui kecemasan dan kekhawatiran yang luar biasa saat dokter mulai menyuntikkan obat
bius pada anaknya. (20) Pada puncak kecemasannya, si ibu bernazar akan menyedekahkan sebagian hartanya bila
Lasudin selamat dari proses sunat, nazar itu disetujui suaminya.
(21) Sang dokter dengan terampil mulai menyunati Lasudin. (22) Si paman dihibur sang dokter dengan memberi
jaminan bahwa Lasudin akan selamat, tidak akan bernasib sama dengan kedua abangnya karena memiliki stuktur urat yang
berbeda dengan kedua abangnya. (23) Jaminan dokter terbukti, Lasudin selamat. (24) Dengan bercanda, sang dokter
menyuruh Lasudin untuk melayani temannya yang mengganggu atau menantang duel. (25) Selamatlah Lasudin dan
berbahagialah sepasang suami-istri dan seluruh kerabatnya.

Sinopsis Panggilan Rasul


(1) Cerpen Panggilan Rasul mengisahkan sepasang suami istri yang dikaruniai tiga orang anak. (2) Mereka dikenal
sebagai tuan tanah yang kaya raya, tetapi memiliki tabiat yang buruk. (3) Mereka, terutama si suami, berperangai angkuh,
kikir, lintah darat, dan tamak. (4) Perilaku buruk itu menyebabkan banyak masyarakat yang membenci mereka.
(5) Meskipun berperilaku kurang baik, sebagai seorang muslim, suami-istri tetap menaati ajaran agama yang
diyakininya, yakni mengkhitankan ketiga anaknya yang kebetulan semuanya merupakan anak laki-laki. (6) Demi
melaksanakan ajaran agama yang diyakininya itu, musibah demi musibah menimpa sepasang suami-istri itu. (7) Anak
pertama, Kamarudin, meninggal sesaat setelah disunat. (8) Dua tahun kemudian, anak kedua, Sarifudin, meninggal juga
sehari setelah disunat. (9) Musibah bertubi-tubi yang menimpa sepasang suami-istri itu menyebabkan mereka
berintrospeksi. (10) Mereka mencoba menduga-duga mencari tahu penyebab kematian anak-anaknya. (11) Si istri menduga
kematian anak pertamanya disebabkan oleh si anak yang tidak mematuhi nasihat orang tua. (12) Si Kamarudin, tetap
berlari-lari dan melompat-lompat sehari menjelang disunat hingga darahnya banyak mengucur deras saat disunat.
(13) Anak kedua, si Sarifudin, meninggal juga sehari setelah disunat padahal ia menuruti nasihat orang tuanya
agar tidak melompat-lompat dan berlarian menjelang disunat. (14) Kematian Sarifudin membuat sepasang suami-istri itu
berubah pikiran. (15) Mereka menduga anak-anak mereka meninggal karena diracun oleh orang-orang yang membenci
mereka. (16) Mereka menjadi cemas dan khawatir akan kebenaran isu yang berkembang di masyarakat. (17) Di tengah
masyarakat tersebar berita bahwa anak-anak mereka telah dikutuk, anak-anak mereka akan habis di ujung pisau sunat. (18)
Menghadapi isu tersebut, mereka, terutama si ayah mulai berubah sikap, memperbaiki tabiat. (19) Si ayah mulai berubah
menjadi rendah hati, dermawan, dan baik hati.
(20) Untuk langkah antisipasi agar Lasudin tidak bernasib sama seperti abang-abangnya saat di sunat, si ayah
memilih dokter spesialis untuk menyunati anak bungsunya itu. (21) Dia tidak percaya lagi kepada dukun-dukun sunat. (22)
Mesipun demikian, sepasang suami-istri itu pun masih tetap dihantui kecemasan dan kekhawatiran yang luar biasa saat
dokter mulai menyuntikkan obat bius pada anaknya. (23) Pada puncak kecemasannya, si ibu bernazar akan
menyedekahkan sebagian hartanya bila Lasudin selamat dari proses sunat. Nazar itu disetujui suaminya.
(24) Sang dokter dengan terampil mulai menyunati Lasudin. (25) Seluruh kerabat dekat, melihat langsung betapa
cekatannya tangan dokter melakukan pekerjaannya. (26) Paman Lasudin tak sabar melihat hasilnya. (27) Si paman dihibur
sang dokter dengan memberi jaminan bahwa Lasudin akan selamat, tidak akan bernasib sama dengan kedua abangnya
karena memiliki stuktur urat yang berbeda dengan kedua abangnya. (28) Jaminan dokter terbukti. Lasudin selamat. (29)
Dengan bercanda, sang dokter menyuruh Lasudin untuk melayani temannya yang mengganggu atau menantang duel. (30)
Selamatlah Lasudin dan berbahagialah sepasang suami-istri dan seluruh kerabatnya.
DESEMBER 27, 2013 BY STOMATA RAWAMANGUN

Membaca Hamsad Rangkuti: Rakyat Kecil, Islam, dan Amor

Hamsad Rangkuti

Komarudin

Cerpenis F. Rahardi pernah mengeritik sekaligus memuji Hamsad Rangkuti sebagai cerpenis yang hanya bisa
memberikan satu hal saja, yakni permasalahan rakyat kecil, tapi permasalahan tersebut dikuasinya secara
mendalam dan itu sungguh hebat (Kompas, 19/3/2000).

Selama ini Hamsad memang mengangkat kegetiran hidup. Mulai dari penumpang bus, sopir, penjambret,
pedagang nasi uduk, transmigran, petani, lelaki buntung, pedagang ketupat, orang desa, kondektur, penjaga
masjid, guru mengaji, pedagang kacang, pedagang kaki lima, penjaga pintu kereta, polisi lalu lintas, hingga
tukang cukur. Hamsad paham betul, problem kemanusiaan selalu hadir dalam sejarah perjalanan suatu bangsa,
termasuk Indonesia. Semua itu terdapat dalam tiga kumpulan cerpennya, Bibir dalam Pispot, Panggilan Rasul,
dan Lukisan Perkawinan.

Dalam kumpulan cerpen Bibir dalam Pispot yang memuat 16 cerita pendek yang ia tulis rentang waktu 1973-
2003. Dalam pengantar buku tersebut, ia menceritakan latarbelakang penulisan sejumlah cerpen tersebut.
Misalnya, cerpen “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya dengan Bibirmu” lahir saat Hamsad sedang berada di
geladak kapal feri Merak-Bakauhuni. Di atas geladak tak tampak orang lain, karena hari sangat panas, selain
Hamsad dan wanita muda cantik yang memandangi laut dan Hamsad memandangi perempuan itu. Imajinasi liar
Hamsad bermain. Ia lihat wanita itu membuang segala yang ia miliki hingga tak mengenakan sehelai benang pun
yang menutupi tubuhnya. Padahal, wanita itu tak membuang apa-apa.

Sementara itu, cerpen “Saya Sedang Tak Menunggu Tuan” Hamsad buat setelah melawan kematian; saat ia
dilarikan ke rumah sakit. Ia tulis kehidupan batin yang muncul saat kritis, sehingga gambaran kehidupan yang
muncul adalah kehidupan masa lalu. Ia bertemu dengan sejumlah orang yang telah wafat. Mulai dari ibu, ayah,
abang, adik, anjing, dan orang yang pernah dekat di tempat mereka pernah bersama. Kehidupan-kehidupan yang
membekas dalam kehidupannya. Itulah gambaran yang muncul pada saat orang diajak ke dunia kematian.
Namun, ia tak sedang menunggu dunia itu. Ia menilai masih sangat panjang pergulatan yang harus dilalui.
Hamsad tak hanya sebagai homo estheticus, tapi juga manusia sosial yang secara historis berakar dalam suatu
masyarakat tertentu. Tak mengherankan, dalam mencipta karya seni ia juga mengalami pengaruh lingkungan dan
zamannya, tapi ia lebih terpesona pada hal-hal yang mungkin oleh generasi-generasi sebelumnya kurang
diperhatikan.

Nafas Keislaman

Tak hanya itu sebenarnya, Hamsad boleh dibilang sebagai cerpenis yang paling subur menulis tentang nafas
keislaman. Ia seperti sedang menjalankan bagaimana suatu eksistensi beragama. Ia menghayati agama sebagai
suatu pengalaman subjektif yang menggema dalam cerpen-cerpennya yang terhimpun dalam Panggilan Rasul
yang ia tulis rentang 1962-2005.

Dari 14 cerpen dalam buku tersebut, delapan di antaranya bicara tentang puasa dan Lebaran. Contohnya, “Salam
Lebaran”, “Lailatul Qadar”, “Santan Durian”, “Malam Takbir”, “Antena”, “Malam Seribu Bulan”, “Hujan dan Gema
Takbir”, “Reuni”. Bagi Hamsad, penulisan cerpen berlatar belakang puasa dan Lebaran muncul karena dari tahun
ke tahun, segala peristiwa ibadah yang terjadi di bulan puasa itu, dalam jarak waktu yang kian lama, terasa kian
indah, dan semakin mesra untuk dikenang.

Dalam “Malam Takbiran”, misalnya, Hamsad menulis, “Berhari-hari aku mendatangi rumah-rumah orang yang
biasa kubersihkan pekarangan mereka. Tiap tahun aku mengecat rumah mereka menjelang Idul Fitri. Aku
memangkas pagar hidup rumah pekarangan mereka. Tetapi Lebaran ini semua tak kudapatkan. Mereka telah
mengubah pagar rumah mereka menjadi tembok dan besi. Rumah mereka juga sudah dicat oleh orang lain yang
bernasib sama seperti aku. Tak ada apapun yang tersedia untuk anak-anak menyambut Lebaran.”

Sementara dalam “Lailatul Qadar” bercerita tentang pertemuan dua sahabat yang tiap Ramadan selalu menanti
kedatangan malam turunnya Al-quran. Kebiasaan itu terus dilakukan, meski tinggal di Jakarta. Mereka percaya
malam kemuliaan itu yang terwujud dalam lenturan batang pohon kelapa. Mereka teringat dengan temannya yang
meminta mereka pergi ke Monas. Barangkali wujud malam kemuliaan itu terjadi pada lenturan tugu Monas. Tugu
itu merunduk di depan mereka dan mereka tinggal memungut kepingan emas itu.

Apa yang ditulis Hamsad meng-gambarkan manusia yang selalu berada dalam situasi yang tak mungkin
dihindari. Meminjam istilah Schopenhauer, manusia adalah makhluk dalam situasi batas. Demikian juga halnya
dengan situasi batas yang orang alami dengan peristiwa-peristiwa kebetulan yang berpengaruh terhadap
rencana-rencana sang tokoh. Orang ingin sesuatu, tiba-tiba ada peristiwa lain yang terjadi. Peristiwa yang tak
terduga sebelumnya, bisa membuat orang mengambil keputusan yang berbeda dengan apa yang sedianya dia
niatkan.

Amor Fati

Selain nafas keislaman, Hamsad juga mengangkat beberapa cerpen yang bertema tentang perkawinan yang
dimuat dalam cerpen “Lukisan Perkawinan” dan “Kado Perkawinan”. Kumpulan cerpen Lukisan Perkawinan
memuat 15 cerpen yang ditulis rentang 1973-1981.

Seperti ditegaskan Hamsad, keseluruhan cerpen itu melukiskan kehidupan perkawinan atau kehidupan rumah
tangga. Semua berkaitan dengan kehidupan seorang wanita, baik itu impian, penderitaan, perjuangan, dan cita-
cita mereka. Bagi Hamsad, perkawinan sejati tak ubahnya seperti dua orang kekasih berjalan di dalam
kegelapan, cintalah yang akan bertindak sebagai pelita, menerangi perjalanan hidup perkawinan itu. Cinta adalah
suatu pengutamaan yang luar biasa yang dituntut, baik bagi pria maupun wanita. Perkawinan menuntut rasa
saling terikat yang wajar, cintalah yang bertindak sebagai benang pengikat.

Pesan itulah yang hendak disampaikan dalam ”Lukisan Perkawinan”. Sebuah cerpen yang berkisah tentang
kecemburuan seorang suami terhadap istrinya dengan menuduh menjalin asmara dengan seorang pelukis.
Namun, sang istri punya maksud lain: prihatin terhadap keluarga pelukis yang miskin.
Semangat senada juga ditemukan dalam “Kado Perkawinan”. Hamsad mendedahkan konflik kejiwaan keluarga
tukang cukur. Dari kado perkawinan itu terungkap siapa sebenarnya Sukri, kekasih yang telah menjadi suami
Rabiah. Ia adalah seorang pegawai negeri yang berprofesi sebagai tukang cukur. Mimpi-mimpi Rabiah untuk
menghapus semua predikat yang bertalian dengan tukang cukur pun lenyap. “Kau tak boleh kecewa, sayang.
Semua pekerjaan itu mulia. Aku adalah tukang cukur di kantorku. Aku mencukur para pegawai di departemen.
Banyak pegawai seperti aku.”

Beragam soal yang ditulis Hamsad itu memperlihatkan kekayaan imajinasi liarnya, maupun keluasan
penjelajahan perasaan para tokohnya, sekaligus betapa besar cintanya terhadap cerpen. Ia sepenuhnya
memikirkan cerpen dan tak nampak punya ambisi untuk menulis berbagai hal lain.

Membaca karya-karya Hamsad laksana menatap sebuah lukisan muram, sedih, mengajak orang untuk
bermenung tentang penderitaan dan beban hidup yang dialami para tokohnya. Dari situ terlihat jelas keteguhan
pendirian dan kepedulian Hamsad pada orang-orang kecil. Kenyataan hidup yang berat dan penuh beban dari
mereka yang miskin, menderita, petaka yang tak putus, dan penuh angan-angan. Mereka menerima nasib
dengan semacam rasa cinta: amor fati.

Anda mungkin juga menyukai