DOSEN PENGAJAR;
Ezith Perdana Estafeta, M. Hum.
DISUSUN OLEH;
Arif Mustofa (A02213016)
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Siapakah tokoh-tokoh dalam novel tersebut?
2. Bagaimanakah alur cerita cinta Qays dan Layla?
3. Mengapa hubungan Qays dan Layla tidak bisa bersatu?
4. Mengapa Qays disebut sebagai Majnun?
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Teori Strukturalisme
Adapun cara menganalisis novel ini melalui pendekatan strukturalisme.
Pendekatan ini dipandang lebih obyektif karena hanya berdasarkan sastra itu
sendiri. Tanpa campur tangan unsur lain, karya sastra tersebut akan dilihat
sebagaimana cipta estetis (Suwardi, 2011:51 ).
Struktur berasal dari kata structura (bahasa latin) yang berarti bentuk atau
bangunan. Strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur yaitu struktur itu
sendiri dengan mekanisme antar hubungannya, Hubungan unsur yang satu dengan
yang lainnya, dan hubungan antar unsur dengan totalitasnya. Strukturalisme sering
digunakan oleh peneliti untuk menganalisis seluruh karya sastra, dimana kita harus
memperhatikan unsur-unsur yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Struktur
yang membangun sebuah karya sastra sebagai unsur estetika dalam dunia karya
sastra antara lain: alur, penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, tema dan amanat
(Ratna, 2004 : 19-94).
Pendekatan strukturalisme murni hanya berada di seputar karya sastra itu
sendiri. Prinsipnya jelas : analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan
memaparkan secermat, seteliti, sedetail, dan mendalam mungkin keterkaitan dan
keterjalinan semua aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna
menyeluruh ( Teeuw, 1984:135 ).
Dalam lingkup karya fiksi, Stanton ( 1965: 11-36, dalam Drs. Tirto Suwondo,
Metodologi Penelitian Sastra, 2001:56 ) mendeskripsikan unsur-unsur struktur
karya sastra seperti berikut. Unsur-unsur pembangun struktur terdiri atas tema,
fakta cerita, dan sarana sastra. Fakta cerita itu sendiri terdiri atas alur, tokoh, dan
latar; sedangkan sarana sastra biasanya terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa dan
suasana, simbol-simbol, imaji-imaji, dan juga cara-cara pemilihan judul. Di dalam
karya sastra, fungsi sarana sastra adalah memadukan fakta sastra dengan tema
sehingga makna karya sastra itu dapat dipahami dengan jelas.
Oleh karena itu, saya menganalisis novel Layla Majnun dengan
menggunakan beberapa unsur intrinsik, yaitu : tema, alur, tokoh,
penokohan, setting atau latar, dan sudut pandang. Penjelasannya akan saya sajikan
per bagian agar jelas dan dapat dipahami.
BAB III
PEMBAHASAN
1. Tema
Istilah tema menurut Scharbach (Aminuddin, 2010:91) berasal dari bahasa
Latin yang berarti ‘tempat meletakkan suatu perangkat’. Disebut demikian
karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga
sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang
diciptakannya. Tema utama juga disebut dengan tema sentral. Yang dimaksud
tema sentral adalah tema yang menjadi pusat seluruh rangkaian peristiwa dalam
cerita. Adapun tema lainnya adalah tema sampingan. Tema sampingan adalah
tema-tema lain yang mengiringi tema senral dalam cerita. Sebab itulah
penyikapan terhadap tema yang diberikan pengarangnya dengan pembaca
umumnya terbalik. Seorang pengarang harus memahami tema cerita yang akan
dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara
pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-
unsur signifikan yang menjadi media pemapar tema tersebut.
Pada bagian awal cerita, dipaparkan tentang gambaran Kabilah Bani Amir
yang bertempat di Lembah Hijaz, Arabia diantara kota Makkah dan Madinah.
Tempat dimana tokoh utama dan tokoh yang lain tinggal. Pemaparan tokoh
utama tidak langsung melalui kalimat, melainkan melalui pendeskripsiannya.
Seperti dalam kutipan: “Istri Syed Omri melahirkan seorang bayi laki-laki yang
tampan rupawan, bagai bintang kejora diantara bintang-gemintang dilangit.
Kulitnya kemerah-merahan, rambutnya ikal, matanya sejernih embun pagi,
ditambah dengan lesung pipit di pipinya yang membuat semua orang terpanah.
Qays nama bayi itu” (Layla Majnun, 2002:5).
Tokoh selanjutnya yaitu Layla. Tokoh layla muncul setelah pendeskripsian
tentang diri Layla. Yaitu gadis yang memiliki paras cantik. Berikut kutipannya :
“Diantara anak-anak dari berbagai kabilah, terlihat seorang gadis cantik berusia
belasan tahun. Wajahnya anggun mempesona, lembut sikapnya, dan
penampilannya amat bersahaja. Gadis itu bersinar cerah seperti matahari pagi,
tubuhnya laksana pohon cemara, dan bola matanya hitam laksana mata rusa.
Rambutnya hitam, tebal bergelombang. Gadis yang menjadi buah bibir dan
penghias mimpi itu bernama layla” (Layla Majnun, 2002 : 9).
Dari sinilah cerita cinta dimulai, Qays merasakan pancaran keindahan.
Qays benar-benar jatuh hati pada Layla, sang mawar jelita. Seperti pada kutipan
berikut: “Qays sendiri sejak pertama kali melihat pancaran cahaya keindahan itu,
jiwanya langsung bergetar. Ia seperti merasakan bumi berguncang dengan
hebatnya, hingga merobohkan sendi-sendi keinginannya untuk menuntut ilmu.
Qays belum pernah melihat keindahan yang menakjubkan di bumi seperti
keindahan paras Layla” (Layla Majnun, 2002:11 ).
Dari pemaparan dua tokoh yang berperan sangat penting dalam novel ini,
maka tema sentralnya sangat jelas. Tema sentral dari novel Layla
Majnnun adalah tentang percintaan yang kental dengan nuansa religi, yang
terjadi di sekitar di daerah Arab. Dapat kita lihat, dua insan ini saling jatuh cinta.
Cara mereka mencintai juga bernuansa religi, tidak vulgar, namun tampak secara
perlahan.
“Dari waktu ke waktu cinta tumbuh subur dan berbunga harum di dalam
taman hati Qays dan Layla. Tetapi jiwa mereka masih malu-malu, lidah mereka
kelu, hingga tiada kata-kata indah merayu yang terucap, hanya mata mereka
yang berbicara. Ketika keduanya pasang mata saling pandang, maka sabda jiwa
mereka tak mampu disembunyikan lagi. Melalui pancaran mata, jiwa mereka
seolah mengatakan tidak ingin berpisah, sembari merasakan kehangatan cinta”
(Layla Majnun, 2002:13).
Tema bawaannya adalah perjuangan cinta seorang pemuda terhadap
seorang yang sangat ia cintai, hal ini sangat terlihat pada saat mereka harus
terpisah. Namun Qays tetap bersikeras mencari dimana Layla dipindahkan.
Seperti dalam kutipan : “Qays menjadi gelisah, tak sekejappun ia sanggupkan
memejamkan mata. Jika malam datang, secara sembunyi-sembunyi Qays
meninggalkan rumah, berjalan tak tentu arah, menerobos semak belukar menuju
padang belantara dengan langkah gontai. Ia sedang mencari sesuatu, namun tak
jua bersua yang dicari. Kenangan pada Layla, membuat Qays tidak peduli segala
bahaya yang menghadang” (Layla majnun, 2002:17).
Cinta terlarang juga menjadi tema sampingan dalam novel ini, hal ini
terlihat pada saat orang tua Layla mengetahui hubungan mereka berdua, dan
orang tua Layla segera memisahkan mereka berdua. Seperti dalam kutipan:
“Angin berhembus membawa kisah asmara pada keluarga si gadis. Kabar itu
bagai arang hitam yang membuat bani Qhatibiah tersinggung, harga diri mereka
ternoda. Bukankah ada pepatah yang mengatakan lebih baik kehilangan nyawa
dari pada menanggung malu? Lebih baik memutus ruh cinta dari pada terus-
menerus menanggung aib. Itulah yang dipikirkan ayah Laila” (Laila Majnun,
2002:15).
Kasih sayang orang tua terhadap anaknya adalah tema sampingan
berikutnya, hal ini terlihat pada saat ayah Qays merasa sedih melihat anaknya
bertingkah aneh, menderita dalam cinta. Dan berusaha mengobati kesedihan
putranya “Tak urung tabiat Qays menjadikan Syed Omri merasa bersedih.
Dengan cinta dan kasih nan tulus seorang ayah, Syed Omri berusaha mengobati
kesedihan putranya dengan memberi nasihat dan menghiburnya” (Layla Majnun,
2002:33).
Kutipan 2:
“Istri Syed Omri melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan rupawan,
bagai bintang kejora diantara bintang-gemintang dilangit. Kulitnya
kemerah-merahan, rambutnya ikal, matanya sejernih embun pagi,
ditambah dengan lesung pipit di pipinya yang membuat semua orang
terpanah. Qays nama bayi itu” (Layla Majnun, 2002:5).
Setelah itu muncullah pertikaian antara kisah cinta Qays Laila dengan
orang tua Layla. Orang tua Laila tidak menyetujui hubungan mereka, karena
menurut ayah Layla itu merupakan aib keluarga. Berikut Kutipan: “Angin
berhembus membawa kisah asmara pada keluarga si gadis. Kabar itu bagai arang
hitam yang membuat bani Qhatibiah tersinggung, harga diri mereka ternoda.
Bukankah ada pepatah yang mengatakan lebih baik kehilangan nyawa dari pada
menanggung malu? Lebih baik memutus ruh cinta dari pada terus-menerus
menanggung aib. Itulah yang dipikirkan ayah Laila” (Laila Majnun, 2002:15).
Klimaks pertikaian terlihat pada saat pasukan Naufal, pembela Majnun
menyerang Kabilah Qhatibiah. Karena pihak Layla menolak pinangan Majnun
yang diwakilkan oleh Naufal “Akhirnya kabilah Qhatibiah menyerah, pasukan
naufal memenangkan pertempuran tersebut dari pihak keluarga Layla, banyak
prajurit yang terluka dan berkalang tanah” (Layla Majnun, 2002: 110). Namun,
meskipun pasukan Naufal menang, ayah Layla tetap tidak menyetujui
permintaan Naufal meminang Layla untuk Majnun. Dan penyelesaian cerita
yang tergambarkan, Laila meninggal dunia sedangkan Majnun Masih
menunggunnya. Hingga majnun menyusul Laila. Berikut Kutipan: “Tiba-tiba
Majnun melepaskan pelukannya dari nisan Layla, tangannya tengadah ke atas,
berdoa pada pemilik kehidupan. Semakin lama suara Majnun semakin melemah.
Sayap-sayap kematian telah mengajaknya terbang menemui Layla sang kekasih
di alam keabadian. Gerbang kematian terbuka, dan mengajaknya pergi
meninggalkan dunia fana” (Layla Majnun, 2002:195).
Kutipan 2:
“Memang secara lahir anak tuan gagah dan tampan bagai rembulan,
namun penyakit yang ia derita tidak mengkin dapat disembunyika. Tuan
tidak dapat membohongi atau menutup-nutupi kenyataan ini. Dan maaf
seribu maaf, sebaiknya lupakanlah apa yang telah tuan ucapkan, apalah
guna berangan-angan, jika hanya akan menyesatkan akal dan pikiran”
(Layla Majnun, 2002:37).
5. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam
cerita yang dipaparkannya ( Aminuddin, 2010:90 ). Narator atau pengisah yang
juga berfungsi sebagai pelaku cerita. Narrator observer adalah bila pengisah
hanya berfungsi sebagai pengamat terhadap pemunculan para pelaku serta hanya
tahu dalam batas tertentu tentang perilaku batiniah para pelaku. Berkebalikan
dengan narrator observer, dalam narrator omniscient pengarang, meskipun hanya
menjadi pengamat dari pelaku, dalam hal itu juga merupakan pengisah atau
penutur yang serba tahu meskipun pengisah masih juga menyebut nama pelaku
dengan ia, mereka, maupun dia.
Yang dimaksud sudut pandang orang pertama adalah cara bercerita di
mana tokoh pencerita terlibat langsung mengalami peritiwa-peristiwa cerita
(akuan). Penceritaan akuan sertaan, penceritaan akuan di mana pencerita
menjadi tokoh sentral dalam cerita tersebut. Pencerita akuan taksertaan, yaitu
pencerita akuan di mana pencerita tidak terlibat menjadi tokoh sentral dalam
cerita.
Sedangkan yang dimaksud sudut pandang orang kedua adalah sudut
pandang bercerita dimana tokoh pencerita tidak dalam peristiwa-peristiwa cerita
(diaan). sudut pandang orang ke tiga serba tahu, penulis tahu segala sesuatu
tentang semua tokoh dan peristiwa dalam cerita. Sudut pandang orang ke tiga
terbatas penulis seolah-olah hanya melaporkan apa yang dilihatnya saja. Penulis
hanya memaparkan atau melukiskan lakuan dramatik yang diamatinya.
Dalam novel fiksi ini, pengarang menggunakan sudut pandang orang ke
tiga terbatas, “Tiba-tiba Majnun melepaskan pelukannya dari nisan Layla”
(Layla Majnun,2002:195).
Penulis seolah-olah hanya melaporkan apa yang dilihatnya saja. Penulis
hanya memaparkan atau melukiskan lakuan dramatik yang diamatinya.
6. Gaya Bahasa
Bahasa dalam karya sastra bukan hanya untuk menyampaikan ide atau
pendapat pengarang. Juga untuk mengungkapkan perasaan. Beberapa cara yang
ditempuh oleh pengarang dalam memberdayakan bahasa dalam karya sastra
adalah dengan menggunakan perbandingan, penghidupan benda mati,
melukiskan sesuatu dengan tidak sewajarnya, dan sebagainya. Itulah sebabnya
terkadang dalam karya sastra sering dijumpai kalimat-kalimat khas, seperti
ungkapan, peribahasa, dan gaya bahasa.
Hampir dari semua isi dan hampir disetiap halaman, gaya bahasa yang
digunakan oleh pengarang adalah bahasa kiasan. Seperti majas perbandingan,
“Mawar bergoyang mewangi, diantara pesona keindahannya, ia menyimpan duri
yang bisa melukai orang yang berusaha mendekat” (Layla Majnun, 2002:120).
Maksud dari kutipan tesebut, layla memang cantik. Tapi dibalik kecantikan itu,
layla tidak hanya membuat seorang akan merasa senang. Tapi juga bisa membuat
seorang sakit hati padanya. Seperti halnya kutipan berikut, “Tubuh dan wajah
majnun yang dulu bak bulan purnama dengan keharuman bunga lili, kini terbalut
debu” (Layla Majnun, 2002:44). Maksud dari kutipan tersebut, Qays adalah laki-
laki tampan, harum. Tapi kini ketampanannya ditutupi oleh kesedihannya. Dan
juga pada kutipan, “Angin apakah membawa tuan kemari dengan membawa
kuda-kuda pilihan dan rombongan yang gagah perkasa?” (Layla
majnun,2002:35).
Sastra timur tengah memang khas dengan penggunaan bahasa kiasan,
seperti beberapa kutipan yang telah saya paparkan di atas. Namun sastrawan di
Indonesia, juga banyak menggunakan bahasa-bahasa kiasan dalam novelnya.
Perbedaannya menurut saya, dalam novel Layla Majnun ini hampir semua isi
novel menggunakan bahasa-bahasa kiasan, peribahsa dan lain-lain. Menurut
saya, novel-novel modern di Indonesia hanya beberapa saja dalam penggunaan
bahasa-bahasa kiasannya, misalnya di bagian pemaparan tokoh. Beda halnya
dengan karya Syaikh Nizami ini. Tiap dialog antar tokoh, pemaparan tokoh, dan
lain-lain. Syaikh Nizami menggunakan bahasa kiasan, peribahasa, perbandingan,
dan lain-lain. Sehingga memiliki keindaha tersendiri.
7. Amanat
Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh
pengarang melalui karyanya. Amanat bisa disampaikan secara implisit yaitu
dengan cara memberikan ajaran moral atau tingkah laku tokoh menjelang akhir
cerita. Dapat pula secara eksplisit yaitu dengan meyampaikan seruan, saran,
peingatan, nasihat, anjuran, larangan yang berhubungan dengan gagasan utama
cerita. Amanat yang bisa di ambil dari novel Layla majnun ini, dalam
menghadapi sebuah cobaan seberat apapun, kita harus tetap semangat bangkit
dan tak menyerah memperjuangkan cinta, karena dunia akan terasa bermuram
durja tanpa seorang kekasih untuk menghiburmu. Seperti halnya Qays
memperjuangkan cintanya untuk Layla. Namun jangan lah membuang waktu
kita hanya untuk sesuatu yang tidak emungkinkan untuk kita dapatnya.
Bertingkahlah sopan, karena jika anda dihormati orang lain maka
hormatilah orang. Jangan sampai menyakitkan hati orang lain.
Memang secara lahir anak tuan gagah dan tampan bagai rembulan, namun
penyakit yang ia derita tidak mengkin dapat disembunyika. Tuan tidak dapat
membohongi atau menutup-nutupi kenyataan ini. Dan maaf seribu maaf,
sebaiknya lupakanlah apa yang telah tuan ucapkan, apalah guna berangan-angan,
jika hanya akan menyesatkan akal dan pikiran! (Layla Majnun, 2002:37).
BAB IV
PENUTUP
Dari analisis novel yang telah saya paparkan diatas, maka dapat saya
simpulkan bahwa: Tema dari novel Layla Majnun adalah tentang percintaan yang
kental dengan nuansa religi, yang terjadi di sekitar Timur Tengah. Dapat kita lihat,
Cara mereka mencintai juga bernuansa religi, tidak vulgar, namun tampak secara
perlahan. Alur yang digunakan pada novel ini merupakan alur maju. Tokoh-tokoh
yang terdapat dalam laila majnun adalah Qays, Layla, syed Omri, ibu Qays, Naufal,
Ayah layla.
Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; soial budaya; dan
latar suasana. Latar tempat di Arabia, latar waktu malam hari, latar sosial budaya
Timur tengah, dan latar suasana yang hampir mendominasi suasana mengharukan.
Gaya bahas yang digunakan penulis adalah bahasa kiasan, perbandingan, dan
peribahasa.