Anda di halaman 1dari 19

ANALISIS NOVEL LAYLA MAJNUN

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas UAS Mata Kuliah


KESUSASTRAAN

DOSEN PENGAJAR;
Ezith Perdana Estafeta, M. Hum.

DISUSUN OLEH;
Arif Mustofa (A02213016)

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2016
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Novel yang akan saya analisis adalah Layla Majnun karya Syaikh Nizami.
Novel ini merupakan novel sastra yang berhasil memadukan tema cinta dan latar
belakang budaya suatu bangsa.
Terpilihnya novel ini karena saya sendiri secara pribadi menyukai jalan cerita
dari novel tersebut. novel ini unik karena ini bukan lah sastra modern yang
tampaknya di baca skimming bisa kita pahami, membutuhkan suatu kesabaran
untuh memahami gaya klasik dalam novel ini. Tidak hanya gaya bahasanya, tapi
cobalah kita resapi tiap-tiap kalimat dan kata per kata tiap halaman. Anda akan
megerti, kenapa karya ini tetap abadi selama berabad-abad. Sastra timur tengah
memang unggul dalam penggunaan diksi, prosa, dan majasnya sehingga bententuk
kisah tragedi yang menyedihkan dan tetap anggun untuk dinikmati.
Kisah cinta Qays dan Laila diceritakan dari mulut ke mulut dalam bentuk
syair. Maka wajar jika kemudian terjadi berbagai versi. Bahkan ada yang
menganggap bahwa kisah Romeo-Juliet diilhami dari kisah cinta Laila-Majnun ini.
Dari situlah timbul ketertarikan untuk menganalisis novel.
Layla Majnun adalah kisah yang menceritakan sorang pemuda tampan gagah
dan penuh wibawa yang terkenal dikawasan Kabilah Bani Amir, Jazirah Arab yang
bernama Qays. Ia mencinti seorang wanita dari kabilah lain yang tak kalah
terkenalnya, yang bernama Layla. Mereka menjalani kisah cinta secara sembunyi,
karena pada waktu itu belum waktunya untuk mereka berdua memadu cinta. Seiring
berjalannya waktu kisah cinta itupun akhirnya tak bisa disembunyikan lagi.semua
orang tau kisah cinta mereka, termasuk orang tua Layla. Keluarga Layla tidak
menyetujui hubungan mereka. Bahkan mereka tidak bisa benjumpa satu sama lain.
Semakin hari Qays semakin gelisah bahkan masyarakat yang merasa aneh melihat
tingkah Qays, mereka memanggil Qays dengan panggilan Majnun “Gila”. Ayah
Qays, Sayid Omri meminang Layla untuk Qays. Namun apa daya, Majnun tetap
berkelakuan seperti orang gila, sehingga orang tua Layla menolak pinangan itu.
Cintanya terhadap Layla, membuat Qays semakin tampak seperti orang gila
secara fisik, kehilangan kemanusiaannya. Ia lebih memilih binatang-binatang rimba
sebagai teman dibandingkan manusia. Meskipun sepasang kekasih ini tidak bisa
bersatu dunia tetapi kematian telah memberikan hadiah keabadian pada mereka.

B. Rumusan Masalah
1. Siapakah tokoh-tokoh dalam novel tersebut?
2. Bagaimanakah alur cerita cinta Qays dan Layla?
3. Mengapa hubungan Qays dan Layla tidak bisa bersatu?
4. Mengapa Qays disebut sebagai Majnun?
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Teori Strukturalisme
Adapun cara menganalisis novel ini melalui pendekatan strukturalisme.
Pendekatan ini dipandang lebih obyektif karena hanya berdasarkan sastra itu
sendiri. Tanpa campur tangan unsur lain, karya sastra tersebut akan dilihat
sebagaimana cipta estetis (Suwardi, 2011:51 ).
Struktur berasal dari kata structura (bahasa latin) yang berarti bentuk atau
bangunan. Strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur yaitu struktur itu
sendiri dengan mekanisme antar hubungannya, Hubungan unsur yang satu dengan
yang lainnya, dan hubungan antar unsur dengan totalitasnya. Strukturalisme sering
digunakan oleh peneliti untuk menganalisis seluruh karya sastra, dimana kita harus
memperhatikan unsur-unsur yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Struktur
yang membangun sebuah karya sastra sebagai unsur estetika dalam dunia karya
sastra antara lain: alur, penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, tema dan amanat
(Ratna, 2004 : 19-94).
Pendekatan strukturalisme murni hanya berada di seputar karya sastra itu
sendiri. Prinsipnya jelas : analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan
memaparkan secermat, seteliti, sedetail, dan mendalam mungkin keterkaitan dan
keterjalinan semua aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna
menyeluruh ( Teeuw, 1984:135 ).
Dalam lingkup karya fiksi, Stanton ( 1965: 11-36, dalam Drs. Tirto Suwondo,
Metodologi Penelitian Sastra, 2001:56 ) mendeskripsikan unsur-unsur struktur
karya sastra seperti berikut. Unsur-unsur pembangun struktur terdiri atas tema,
fakta cerita, dan sarana sastra. Fakta cerita itu sendiri terdiri atas alur, tokoh, dan
latar; sedangkan sarana sastra biasanya terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa dan
suasana, simbol-simbol, imaji-imaji, dan juga cara-cara pemilihan judul. Di dalam
karya sastra, fungsi sarana sastra adalah memadukan fakta sastra dengan tema
sehingga makna karya sastra itu dapat dipahami dengan jelas.
Oleh karena itu, saya menganalisis novel Layla Majnun dengan
menggunakan beberapa unsur intrinsik, yaitu : tema, alur, tokoh,
penokohan, setting atau latar, dan sudut pandang. Penjelasannya akan saya sajikan
per bagian agar jelas dan dapat dipahami.
BAB III
PEMBAHASAN

1. Tema
Istilah tema menurut Scharbach (Aminuddin, 2010:91) berasal dari bahasa
Latin yang berarti ‘tempat meletakkan suatu perangkat’. Disebut demikian
karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga
sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang
diciptakannya. Tema utama juga disebut dengan tema sentral. Yang dimaksud
tema sentral adalah tema yang menjadi pusat seluruh rangkaian peristiwa dalam
cerita. Adapun tema lainnya adalah tema sampingan. Tema sampingan adalah
tema-tema lain yang mengiringi tema senral dalam cerita. Sebab itulah
penyikapan terhadap tema yang diberikan pengarangnya dengan pembaca
umumnya terbalik. Seorang pengarang harus memahami tema cerita yang akan
dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara
pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-
unsur signifikan yang menjadi media pemapar tema tersebut.
Pada bagian awal cerita, dipaparkan tentang gambaran Kabilah Bani Amir
yang bertempat di Lembah Hijaz, Arabia diantara kota Makkah dan Madinah.
Tempat dimana tokoh utama dan tokoh yang lain tinggal. Pemaparan tokoh
utama tidak langsung melalui kalimat, melainkan melalui pendeskripsiannya.
Seperti dalam kutipan: “Istri Syed Omri melahirkan seorang bayi laki-laki yang
tampan rupawan, bagai bintang kejora diantara bintang-gemintang dilangit.
Kulitnya kemerah-merahan, rambutnya ikal, matanya sejernih embun pagi,
ditambah dengan lesung pipit di pipinya yang membuat semua orang terpanah.
Qays nama bayi itu” (Layla Majnun, 2002:5).
Tokoh selanjutnya yaitu Layla. Tokoh layla muncul setelah pendeskripsian
tentang diri Layla. Yaitu gadis yang memiliki paras cantik. Berikut kutipannya :
“Diantara anak-anak dari berbagai kabilah, terlihat seorang gadis cantik berusia
belasan tahun. Wajahnya anggun mempesona, lembut sikapnya, dan
penampilannya amat bersahaja. Gadis itu bersinar cerah seperti matahari pagi,
tubuhnya laksana pohon cemara, dan bola matanya hitam laksana mata rusa.
Rambutnya hitam, tebal bergelombang. Gadis yang menjadi buah bibir dan
penghias mimpi itu bernama layla” (Layla Majnun, 2002 : 9).
Dari sinilah cerita cinta dimulai, Qays merasakan pancaran keindahan.
Qays benar-benar jatuh hati pada Layla, sang mawar jelita. Seperti pada kutipan
berikut: “Qays sendiri sejak pertama kali melihat pancaran cahaya keindahan itu,
jiwanya langsung bergetar. Ia seperti merasakan bumi berguncang dengan
hebatnya, hingga merobohkan sendi-sendi keinginannya untuk menuntut ilmu.
Qays belum pernah melihat keindahan yang menakjubkan di bumi seperti
keindahan paras Layla” (Layla Majnun, 2002:11 ).
Dari pemaparan dua tokoh yang berperan sangat penting dalam novel ini,
maka tema sentralnya sangat jelas. Tema sentral dari novel Layla
Majnnun adalah tentang percintaan yang kental dengan nuansa religi, yang
terjadi di sekitar di daerah Arab. Dapat kita lihat, dua insan ini saling jatuh cinta.
Cara mereka mencintai juga bernuansa religi, tidak vulgar, namun tampak secara
perlahan.
“Dari waktu ke waktu cinta tumbuh subur dan berbunga harum di dalam
taman hati Qays dan Layla. Tetapi jiwa mereka masih malu-malu, lidah mereka
kelu, hingga tiada kata-kata indah merayu yang terucap, hanya mata mereka
yang berbicara. Ketika keduanya pasang mata saling pandang, maka sabda jiwa
mereka tak mampu disembunyikan lagi. Melalui pancaran mata, jiwa mereka
seolah mengatakan tidak ingin berpisah, sembari merasakan kehangatan cinta”
(Layla Majnun, 2002:13).
Tema bawaannya adalah perjuangan cinta seorang pemuda terhadap
seorang yang sangat ia cintai, hal ini sangat terlihat pada saat mereka harus
terpisah. Namun Qays tetap bersikeras mencari dimana Layla dipindahkan.
Seperti dalam kutipan : “Qays menjadi gelisah, tak sekejappun ia sanggupkan
memejamkan mata. Jika malam datang, secara sembunyi-sembunyi Qays
meninggalkan rumah, berjalan tak tentu arah, menerobos semak belukar menuju
padang belantara dengan langkah gontai. Ia sedang mencari sesuatu, namun tak
jua bersua yang dicari. Kenangan pada Layla, membuat Qays tidak peduli segala
bahaya yang menghadang” (Layla majnun, 2002:17).
Cinta terlarang juga menjadi tema sampingan dalam novel ini, hal ini
terlihat pada saat orang tua Layla mengetahui hubungan mereka berdua, dan
orang tua Layla segera memisahkan mereka berdua. Seperti dalam kutipan:
“Angin berhembus membawa kisah asmara pada keluarga si gadis. Kabar itu
bagai arang hitam yang membuat bani Qhatibiah tersinggung, harga diri mereka
ternoda. Bukankah ada pepatah yang mengatakan lebih baik kehilangan nyawa
dari pada menanggung malu? Lebih baik memutus ruh cinta dari pada terus-
menerus menanggung aib. Itulah yang dipikirkan ayah Laila” (Laila Majnun,
2002:15).
Kasih sayang orang tua terhadap anaknya adalah tema sampingan
berikutnya, hal ini terlihat pada saat ayah Qays merasa sedih melihat anaknya
bertingkah aneh, menderita dalam cinta. Dan berusaha mengobati kesedihan
putranya “Tak urung tabiat Qays menjadikan Syed Omri merasa bersedih.
Dengan cinta dan kasih nan tulus seorang ayah, Syed Omri berusaha mengobati
kesedihan putranya dengan memberi nasihat dan menghiburnya” (Layla Majnun,
2002:33).

2. Alur atau Plot


Alur adalah sambung-sinambungnya peristiwa berdasarkan sebab akibat.
Alur tidak hanya mengemukakan dan menunjukkan mengapa peristiwa itu
terjadi melainkan juga mengemukakan dan menunjukan akibat peristiwa itu
terjadi. Jadi, alur adalah struktur gerak yang terdapat dalam suatu cerita atau
sebuah konstruksi yang dibuat pengarang yang secara logik dan kronologik
saling berkaitan yang diakibatkan atau dialami pelaku (Luxemburg, 1984 : 149).
Setiap karya sastra tentu saja memunyai kekhususan rangkaian cerita. Namun,
ada beberapa unsur yang ditemukan pada hampir semua cerita. unsur-unsur
tersebut merupakan pola umum alur cerita.
Pola bagian awal adalah paparan. Paparan itu sendiri adalah penyampaian
informasi pada pembaca, disebut juga eksposisi. Dalam paparan ini, rangkaian
peristiwa lebih dominan disajikan secara kronologis, yaitu urutan peristiwa. Jika
dalam penyajian cerita disela dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya maka
cerita tersebut terdapat sorot balik (flash back). Pola kedua adalah pertikaian,
perumitan, dan klimaks. Pertikaian adalah perselisihan yang timbul akibat
adanya dua kekuatan yang bertentangan. Perkembangan dari gejala pertikaian
menuju klimaks cerita disebut perumitan. Perumitan mempersiapkan pembaca
untuk menerima seluruh dampak dari klimaks.. Pola bagian terkhir adalah
peristiwa yang menunjukkan perkembangan peristiwa ke arah penyelesaian.
Pada umumnya alur itu dibedakan menjadi dua, yaitu alur maju dan alur
mundur. Alur maju adalah alur yang menyajikan rangkaian peristiwa yang
urutannya sesuai dengan urutan waktu kejadian, dimulai dari pada masa kini ke
masa yang akan datang. Alur mundur adalah alur yang menyajikan rangkaian
peristiwa yang susuannya bertolak ke belakang, mulai dari masa kini kemudian
ke masa lalu. Alur maju mundur adalah alur yang menyajikan rangkaian
peristiwa yang dimulai dari masa kini ke masa yang akan datang atau
sebaliknya. Dan peristiwanya tidak sesuai dengan urutan waktunya.
Menurut saya, alur yang digunakan pada novel ini merupakan alur maju.
pemaparan tentang tokoh-tokoh disampaikan di awal-awal cerita. Tokoh Syed
Omri dideskripsikan diawal cerita, berlanjut dengan pendeskripsian Qays, dan
seterusnya. Berikut kutipannya:
Kutipan 1:
“Kabilah Bani Amir hidup di Lembah Hijaz, Arabia antara Makkah dan
Madinah. Pimpinan kabilah itu adalah lelaki yang sudah uzur bernama
Syed Omri. Walau sudah tua, namun kekuasaan Syed Omri begitu disegani
laksana kekuasaan seorang raja, kata-katanya menjadi sabda dan
perintahya adalah titah yang tak seorangpun berani melawan” (Layla
Majnun, 2002:1).

Kutipan 2:
“Istri Syed Omri melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan rupawan,
bagai bintang kejora diantara bintang-gemintang dilangit. Kulitnya
kemerah-merahan, rambutnya ikal, matanya sejernih embun pagi,
ditambah dengan lesung pipit di pipinya yang membuat semua orang
terpanah. Qays nama bayi itu” (Layla Majnun, 2002:5).

Setelah itu muncullah pertikaian antara kisah cinta Qays Laila dengan
orang tua Layla. Orang tua Laila tidak menyetujui hubungan mereka, karena
menurut ayah Layla itu merupakan aib keluarga. Berikut Kutipan: “Angin
berhembus membawa kisah asmara pada keluarga si gadis. Kabar itu bagai arang
hitam yang membuat bani Qhatibiah tersinggung, harga diri mereka ternoda.
Bukankah ada pepatah yang mengatakan lebih baik kehilangan nyawa dari pada
menanggung malu? Lebih baik memutus ruh cinta dari pada terus-menerus
menanggung aib. Itulah yang dipikirkan ayah Laila” (Laila Majnun, 2002:15).
Klimaks pertikaian terlihat pada saat pasukan Naufal, pembela Majnun
menyerang Kabilah Qhatibiah. Karena pihak Layla menolak pinangan Majnun
yang diwakilkan oleh Naufal “Akhirnya kabilah Qhatibiah menyerah, pasukan
naufal memenangkan pertempuran tersebut dari pihak keluarga Layla, banyak
prajurit yang terluka dan berkalang tanah” (Layla Majnun, 2002: 110). Namun,
meskipun pasukan Naufal menang, ayah Layla tetap tidak menyetujui
permintaan Naufal meminang Layla untuk Majnun. Dan penyelesaian cerita
yang tergambarkan, Laila meninggal dunia sedangkan Majnun Masih
menunggunnya. Hingga majnun menyusul Laila. Berikut Kutipan: “Tiba-tiba
Majnun melepaskan pelukannya dari nisan Layla, tangannya tengadah ke atas,
berdoa pada pemilik kehidupan. Semakin lama suara Majnun semakin melemah.
Sayap-sayap kematian telah mengajaknya terbang menemui Layla sang kekasih
di alam keabadian. Gerbang kematian terbuka, dan mengajaknya pergi
meninggalkan dunia fana” (Layla Majnun, 2002:195).

3. Tokoh dan Penokohan


Aminuddin (2002:79) menyatakan tokoh adalah pelaku yang mengemban
peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin cerita.
Penokohan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita, baik keadaan lahirnya
maupun batinnya yang dapat berubah, pandangan hidupnya, sikapnya,
keyakinannya, adat-istiadatnya, dan sebagainya (suharianto, 1982:3). Jadi dapat
disimpulkan bahwa Tokoh dan penokohan merupakan dua istilah yang sering
dijumpai dalam penelitian sastra, tokoh adalah pelaku yang mengemban
peristiwa sehingga peristiwa itu mampu menjalin sebuah cerita sedangkan
penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita.
Bila ditinjau dari segi pengarang ada dua metode untuk melukiskan dan
memperkenalkan tokoh dan watak, yaitu : Metode langsung yaitu pengarang
langsung melukiskan tokoh baik bidang fisiologi, sosiologi dan psikologi.
Metode ini disebut juga metode atau cara analitik. Metode tak langsung adalah
pengarang secara tidak langsung membuat deskripsi tentang para tokoh.
Pembaca mengetahui para tokoh dan perwatakannya bukan dari keterangan yang
diberikan pengarang, tetapi dari hal-hal lain. Metode ini biasa disebut metode
atau cara dramatik.
Saya akan memaparkan tokoh-tokoh beserta penokohannnya yang terdapat
dalam novel Layla Majnun karya Syaikh Nizami ini.
Qays merupakan tokoh sentral dalam cerita ini. Dalam novel ini, Qays di
gambarkan sebagai tokoh protagonis, yaitu seorang anak yang cerdas, tekun, dan
juga ringan tangan. Berikut kutipannya: “Qays termasuk anak yang cerdas dan
tekun. Ia dapat dengan cepat menerima pelajaran yang disampaikan oleh sang
guru. Ia juga termasuk anak yang mudah bergaul, karena memiliki kefasihan
lidah, dan pandai merangkai kata-kata menjadi syair yang sangat indah. Dan
juga termasuk anak yang ringan tangan, gemar membantu kawan-kawannya
yang ditimpa musibah dan kemalangan” (Layla Majnun, 2002:9).
Qays juga digambarkan sebagai sosok yang rela berkorban dan
memperjuangkan cintanya. Dalam cerita, pada saat Layla di pingit, Qays rela
pergi dari rumah untuk mencari pengobat hatinya. Berikut kutipannya : “Qays
menjadi gelisah, tak sekejappun ia sanggupkan memejamkan mata. Jika malam
datang, secara sembunyi-sembunyi Qays meninggalkan rumah, berjalan tak
tentu arah, menerobos semak belukar menuju padang belantara dengan langkah
gontai. Ia sedang mencari sesuatu, namun tak jua bersua yang dicari. Kenangan
pada Layla, membuat Qays tidak peduli segala bahaya yang menghadang”
(Layla majnun, 2002:17).
Tokoh selanjutnya adalah Syed Omri, penulis memaparkan bahwa Syed
Omri adalah tokoh tritagonis, ia seorang pimpinan kabilah, pemipin kaya raya,
wibawa, gagah, dan pemberani. Seperti dalam kutipan berikut: “Walau sudah
tua, namun kekuasaan Syed Omri begitu disegani laksana kekuasaan seorang
raja, kata-katanya menjadi sabda, dan perintahnya adalah titah yang tak
seorangpun berani melawan. Demikian besar pengaruh kewibawaan Syed Omri,
sehingga namanya tersohor bukan hanya di negerinya sendiri, tapi sampai ke
negeri-negeri lain. Harta kekayaannya melimpah, bak kekayaan nabi Sulaiman.
Meski tujuh turunan menikmati hasil kekayaannya, niscaya harta itu tidak akan
berkurang” (Layla Majnun, 2002:2).
Syed Omri adalah seorang pemimpin yang selalu bersyukur, sabar, dan
rendah hati, ia selalu berdoa kepada Allah meskipun keinginannya belum
terkabul. Sebagaimana kutipan berikut: “Tuhan, aku selalu memujamu, selalu
menyembahmu, tapi mengapa doaku belum juga engkau kabulkan? Laksana
kaum pecinta, air mata ku yang beninng dan jernih menetes merinduka buah hati
nan tidak kunjung jua beri. Ya Allah ya tuhanku, engkau adalah ilham dan
pemberi keturunan, hamba memohon kepadaMu hilangkan kepedihan dan
kerinduan hamba” (Layla Majnun, 2002:3).
Layla adalah kotoh selanjutnya, di awal pemunculannya. Tokoh layla
digambarkan oleh pengarang sebagai seorang gadis cantik, sabar, perhatian,
lemah lembut dan tabah. Sehingga Layla termasuk tokoh protagonis.
Sebagaimana kutipan berikut: “Diantara anak-anak dari berbagai kabilah, terlihat
seorang gadis cantik berusia belasan tahun. Wajahnya anggun mempesona,
lembut sikapnya, dan penampilannya amat bersahaja. Gadis itu bersinar cerah
seperti matahari pagi, tubuhnya laksana pohon cemara, dan bola matanya hitam
laksana mata rusa. Rambutnya hitam, tebal bergelombang. Gadis yang menjadi
buah bibir dan penghias mimpi itu bernama layla” (Layla Majnun, 2002 : 9).
Tokoh Layla juga memunculkan rasa belas kasih, ketika ia mendengar
kabar yang memilukan tentang pujaan hatinya yaitu Qays. Layla sangat
merasakan apa yang dirasakan Qays “Dengan suara lirih seperti rintihan orang
tak berdaya, Layla berkata, “aku adalah gadis yang selalu bersabar terhadap
segala hal yang menimpa. Namun dalam cinta, aku tidak mampu bersabar.
Kumohon wahai tuan, ceritakan lagi keadaan Qays” (Layla Majnun, 2002:88).
Tokoh selanjutnya adalah Ibu Qays. Dalam penokohannya, ibu Qays
digambarkan sebagai ibu yang pengertian terhadap kondisi Qays. Ibu Qays
mengerti apa yang diinginkan putranya, sehinnga ia meminta kepada Suaminya
agar cepat meminang Layla untuk Qays, sehingga menjadi tokoh penengah atau
tritagonis. Berikut kutipannya: “Cinta telah membuatnya buta, hingga semua
wajangan tidak bisa masuk ke telinganya. Ia memang gila. Tapi gila karena
cinta. Bila engkau ingin ia sembuh dan tidak bekelakuan ganjil, maka hanya ada
satu cara, seperti api yang akan menyala bila ada minyak, seperti dedaunan akan
bergoyang bila tertiup angin. Itulah yang harus dilakukan ayah yang budiman.
satukan mereka dalam ikatan cinta, hannya dengan itu kegilaannya akan
terobati” (Layla Majnun, 2002 : 34)
Tokoh selanjutnya adalah Ayah Layla, penokohan yang saya dapat dari
tokoh ini adalah, tokoh ini sangat sensitif dan keras pendiri dan menjadi
penentang dalam novel ini atau antagonis, pada saat Syed Omri datang ke rumah
Layla berniat meminang Layla untuk Qays, namun Ayah Layla tidak menyetujui
anaknya menikah dengan orang tidak waras seperti Qays.
Kutipan 1:
“Ayah Layla adalah orang yang keras pendirian. Kata-kata Syed Omri
menyinggung harga dirinya Lalu ia menjawab dengan meninggikan suara,
“jodoh manusia tidak tergantung pada kehendak kita, tapi pada surga,
tempat semua kekuatan, kebenaran dan kejujuran diberikan. Kita hanya
bisa berencana dan mengemukakan alasan, namun suratan takdir yang
menentukan” (Layla Majnun, 2002:37).

Kutipan 2:
“Memang secara lahir anak tuan gagah dan tampan bagai rembulan,
namun penyakit yang ia derita tidak mengkin dapat disembunyika. Tuan
tidak dapat membohongi atau menutup-nutupi kenyataan ini. Dan maaf
seribu maaf, sebaiknya lupakanlah apa yang telah tuan ucapkan, apalah
guna berangan-angan, jika hanya akan menyesatkan akal dan pikiran”
(Layla Majnun, 2002:37).

Tokoh berikutnya adalah Naufal. Dalam penokohannya, Naufal adalah


seorang Bangsawan yang baik dan termasuk tokoh penengah atau tritagonis.
Dialah yang menolong dan memberikan makanan kepada Qays di tengah padang
pasir yang sepi akan Pemukiman. Berikut kutipannya: “Kemudian ia meminta
pengikutnya untuk mendirikan sebuah tenda dan menyiapkan hidangan untuk
mereka. Buah-buahan segar, anggur manis, dan daging lezat dihidangkan. Naufal
mempersilakan Majnun menikmati hidangan itu, namun Majnun tampak enggan.
Setelah dibujuk dengan mengucapkan nama Layla, barulah Majnu mengambil
satu potong roti” (Layla Majnun, 2002:97).

4. Setting atau Latar


Latar adalah peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu,
maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis
(Aminuddin, 2010 : 67). Setting yang bersifat material berhubungan dengan
tempat, dapat di bumi, di udara, di kota bahkan dapat juga di dunia angan-angan,
pokoknya segala sesuatu yang tampak. Setting yang bersifat sosiologis
berhubungan dengan tempat-tempat dan benda benda yang dapat menjelaskan/
menjabarkan tentang kehidupan masyarakat di suatu tempat. Setting yang
bersifat psikologis dapat berupa lingkungan atau benda-benda dalam lingkungan
tertentu yang dapat menuansakan suatu makna serta mampu merangsang emosi
pembaca.
Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk,
pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu
peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; latar sosial;
dan latar suasana.
Di dalam novel ini, latar tempat yang dipaparkan oleh penulis adalah
sebuah kabilah. Yaitu kabilah Hijaz, Arabia di antara makkah dan Madinah. Hal
ini dipaparka oleh penulis diawal cerita “Kabilah Bani Amir hidup di Lembah
Hijaz, Arabia antara Makkah dan Madinah. Pimpinan kabilah itu adalah lelaki
yang sudah uzur bernama Syed Omri” (Layla Majnun, 2002:1).
Sedangkan untuk latar waktunya, penulis memaparkan bahwa hampir
semua cerita terjadi malam hari, yaitu ketika Qays pergi dari rumah, untuk
mencari tambatan hatinya Layla. Ia menelusuri semak-semak, melewati padang
pasir, dan tak takut akan bahaya yang menghadang. Hanya demi Layla pujaan
hatinya, seperti dalam kutipan berikut: “Qays menjadi gelisah, tak sekejappun ia
sanggupkan memejamkan mata. Jika malam datang, secara sembunyi-sembunyi
Qays meninggalkan rumah, berjalan tak tentu arah, menerobos semak belukar
menuju padang belantara dengan langkah gontai. Ia sedang mencari sesuatu,
namun tak jua bersua yang dicari. Kenangan pada Layla, membuat Qays tidak
peduli segala bahaya yang menghadang” (Layla majnun, 2002:17).
Untuk latar sosial budaya, saya rasa dalam novel ini penulis lebih
mencondongkan budaya Arabia, karena hal ini terpapar jelas di bagian awal-
awal cerita pada saat Qays dan Layla ketahuan menjalin kasih. Ayah Layla
sangat merasa terhina dan menanggung malu, mungkin sosial di Arabia seperti
itu. Sehingga Layla tidak diperbolehkan lagi untuk bertemu kawan-kawannya
apalagi Qays, kekasihnya. Sebagaimana kutipan berikut: “Angin berhembus
membawa kisah asmara pada keluarga si gadis. Kabar itu bagai arang hitam
yang membuat bani Qhatibiah tersinggung, harga diri mereka ternoda. Bukankah
ada pepatah yang mengatakan lebih baik kehilangan nyawa dari pada
menanggung malu? Lebih baik memutus ruh cinta dari pada terus-menerus
menanggung aib. Itulah yang dipikirkan ayah Laila” (Laila Majnun, 2002:15).
Mungkin latar sosial budaya dalam novel ini sama dengan halnya sosial
budaya di madura, mereka lebih baik kehilangan nyawa dari pada harga diri
terinjak.
Suasana di dalam cerita ini lebih didominasi dengan suasana
mengharukan. Suasana-suasana yang tampak pada novel ini adalah sedih,
mengharukan dan suasana mencekam. Suasana sedih tampak pada Qays dan
Layla yang harus terpisah, mereka dijauhkan karena telah menjalin hubungan,
dan hal itu dilarang menurut adat keluarga Layla “Keputusannya telah bulat,
tiada yang bisa membantah. Hanya ada satu cara yang bisa menghilangkan rasa
malu. Yaitu mengurung Layla di dalam rumah, tidak boleh pergi ke sekolah
ataupun berjumpa dengan kawan-kawannya” (Layla Majnun, 2002:16). Suasana
mencekam terlihat ketika pertarungan antara kabilah Qhatibiah dengan Pasukan
Naufal karena ayah Layla menolak pinangan Majnun, ”pasukan naufal
menyerang dengan semangat menyala, mereka benar-benar pasukan pilih
tanding” (Layla Majnun,2002:108). Suasana mengharukan terasa pada saat
kedua insan yang saling mencinta ini harus meninggal dunia, Layla
meninggalkan Qays terlebih dahulu. Sedangkan Qays menyusul Layla setelah ia
tahu bahwaLayla telah pergi meninggalkannya. berikut kutipannya: “Tiba-tiba
majnun melepaskan pelukannya dari nisan Layla, tangannya tengadah ke atas,
berdoa pada pemilik kehidupan. Semakin lama suara Majnun semakin melemah.
Sayap-sayap kematian telah mengajaknya terbang menemui Layla sang kekasih
di alam keabadian. Gerbang kematian terbuka, dan mengajaknya pergi
meninggalkan dunia fana” (Layla Majnun, 2002:195).
Berdasarkan uraian di atas, latar memiliki beberapa fungsi, antara lain: 1.
Emberikan informasi situasi cerita yang sebenarnya, 2. Menggambarkan
keadaan batin tokoh, 3. Menciptakan suasana cerita seakan ada dalam kehidupan
nyata.

5. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam
cerita yang dipaparkannya ( Aminuddin, 2010:90 ). Narator atau pengisah yang
juga berfungsi sebagai pelaku cerita. Narrator observer adalah bila pengisah
hanya berfungsi sebagai pengamat terhadap pemunculan para pelaku serta hanya
tahu dalam batas tertentu tentang perilaku batiniah para pelaku. Berkebalikan
dengan narrator observer, dalam narrator omniscient pengarang, meskipun hanya
menjadi pengamat dari pelaku, dalam hal itu juga merupakan pengisah atau
penutur yang serba tahu meskipun pengisah masih juga menyebut nama pelaku
dengan ia, mereka, maupun dia.
Yang dimaksud sudut pandang orang pertama adalah cara bercerita di
mana tokoh pencerita terlibat langsung mengalami peritiwa-peristiwa cerita
(akuan). Penceritaan akuan sertaan, penceritaan akuan di mana pencerita
menjadi tokoh sentral dalam cerita tersebut. Pencerita akuan taksertaan, yaitu
pencerita akuan di mana pencerita tidak terlibat menjadi tokoh sentral dalam
cerita.
Sedangkan yang dimaksud sudut pandang orang kedua adalah sudut
pandang bercerita dimana tokoh pencerita tidak dalam peristiwa-peristiwa cerita
(diaan). sudut pandang orang ke tiga serba tahu, penulis tahu segala sesuatu
tentang semua tokoh dan peristiwa dalam cerita. Sudut pandang orang ke tiga
terbatas penulis seolah-olah hanya melaporkan apa yang dilihatnya saja. Penulis
hanya memaparkan atau melukiskan lakuan dramatik yang diamatinya.
Dalam novel fiksi ini, pengarang menggunakan sudut pandang orang ke
tiga terbatas, “Tiba-tiba Majnun melepaskan pelukannya dari nisan Layla”
(Layla Majnun,2002:195).
Penulis seolah-olah hanya melaporkan apa yang dilihatnya saja. Penulis
hanya memaparkan atau melukiskan lakuan dramatik yang diamatinya.

6. Gaya Bahasa
Bahasa dalam karya sastra bukan hanya untuk menyampaikan ide atau
pendapat pengarang. Juga untuk mengungkapkan perasaan. Beberapa cara yang
ditempuh oleh pengarang dalam memberdayakan bahasa dalam karya sastra
adalah dengan menggunakan perbandingan, penghidupan benda mati,
melukiskan sesuatu dengan tidak sewajarnya, dan sebagainya. Itulah sebabnya
terkadang dalam karya sastra sering dijumpai kalimat-kalimat khas, seperti
ungkapan, peribahasa, dan gaya bahasa.
Hampir dari semua isi dan hampir disetiap halaman, gaya bahasa yang
digunakan oleh pengarang adalah bahasa kiasan. Seperti majas perbandingan,
“Mawar bergoyang mewangi, diantara pesona keindahannya, ia menyimpan duri
yang bisa melukai orang yang berusaha mendekat” (Layla Majnun, 2002:120).
Maksud dari kutipan tesebut, layla memang cantik. Tapi dibalik kecantikan itu,
layla tidak hanya membuat seorang akan merasa senang. Tapi juga bisa membuat
seorang sakit hati padanya. Seperti halnya kutipan berikut, “Tubuh dan wajah
majnun yang dulu bak bulan purnama dengan keharuman bunga lili, kini terbalut
debu” (Layla Majnun, 2002:44). Maksud dari kutipan tersebut, Qays adalah laki-
laki tampan, harum. Tapi kini ketampanannya ditutupi oleh kesedihannya. Dan
juga pada kutipan, “Angin apakah membawa tuan kemari dengan membawa
kuda-kuda pilihan dan rombongan yang gagah perkasa?” (Layla
majnun,2002:35).
Sastra timur tengah memang khas dengan penggunaan bahasa kiasan,
seperti beberapa kutipan yang telah saya paparkan di atas. Namun sastrawan di
Indonesia, juga banyak menggunakan bahasa-bahasa kiasan dalam novelnya.
Perbedaannya menurut saya, dalam novel Layla Majnun ini hampir semua isi
novel menggunakan bahasa-bahasa kiasan, peribahsa dan lain-lain. Menurut
saya, novel-novel modern di Indonesia hanya beberapa saja dalam penggunaan
bahasa-bahasa kiasannya, misalnya di bagian pemaparan tokoh. Beda halnya
dengan karya Syaikh Nizami ini. Tiap dialog antar tokoh, pemaparan tokoh, dan
lain-lain. Syaikh Nizami menggunakan bahasa kiasan, peribahasa, perbandingan,
dan lain-lain. Sehingga memiliki keindaha tersendiri.

7. Amanat
Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh
pengarang melalui karyanya. Amanat bisa disampaikan secara implisit yaitu
dengan cara memberikan ajaran moral atau tingkah laku tokoh menjelang akhir
cerita. Dapat pula secara eksplisit yaitu dengan meyampaikan seruan, saran,
peingatan, nasihat, anjuran, larangan yang berhubungan dengan gagasan utama
cerita. Amanat yang bisa di ambil dari novel Layla majnun ini, dalam
menghadapi sebuah cobaan seberat apapun, kita harus tetap semangat bangkit
dan tak menyerah memperjuangkan cinta, karena dunia akan terasa bermuram
durja tanpa seorang kekasih untuk menghiburmu. Seperti halnya Qays
memperjuangkan cintanya untuk Layla. Namun jangan lah membuang waktu
kita hanya untuk sesuatu yang tidak emungkinkan untuk kita dapatnya.
Bertingkahlah sopan, karena jika anda dihormati orang lain maka
hormatilah orang. Jangan sampai menyakitkan hati orang lain.
Memang secara lahir anak tuan gagah dan tampan bagai rembulan, namun
penyakit yang ia derita tidak mengkin dapat disembunyika. Tuan tidak dapat
membohongi atau menutup-nutupi kenyataan ini. Dan maaf seribu maaf,
sebaiknya lupakanlah apa yang telah tuan ucapkan, apalah guna berangan-angan,
jika hanya akan menyesatkan akal dan pikiran! (Layla Majnun, 2002:37).
BAB IV
PENUTUP

Dari analisis novel yang telah saya paparkan diatas, maka dapat saya
simpulkan bahwa: Tema dari novel Layla Majnun adalah tentang percintaan yang
kental dengan nuansa religi, yang terjadi di sekitar Timur Tengah. Dapat kita lihat,
Cara mereka mencintai juga bernuansa religi, tidak vulgar, namun tampak secara
perlahan. Alur yang digunakan pada novel ini merupakan alur maju. Tokoh-tokoh
yang terdapat dalam laila majnun adalah Qays, Layla, syed Omri, ibu Qays, Naufal,
Ayah layla.
Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; soial budaya; dan
latar suasana. Latar tempat di Arabia, latar waktu malam hari, latar sosial budaya
Timur tengah, dan latar suasana yang hampir mendominasi suasana mengharukan.
Gaya bahas yang digunakan penulis adalah bahasa kiasan, perbandingan, dan
peribahasa.

Anda mungkin juga menyukai