Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Tanggal lahir : 2 Januari 1964
Umur : 56 tahun
Alamat : Jl. Kedungwungu RT3/RW3 , Tegowanu
No. Rekam Medis : 199698
Tanggal MRS : 12 Januari 2020
Tanggal Pemeriksaan : 13 januari 2020
II. ANAMNESA
a. Keluhan Utama
- Muntah darah
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS PKU Muhammadiyah dengan keluhan
muntah bewarna merah kehitaman yang bercampur dengan makanan sebanyak
lebih dari 5x dalam 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan disertai
dengan mual dan buang air besar berwarna kehitaman seperti petis dengan
konsistensi lunak, bab hitam dirasakan sejak 1 hari yang lalu sebelum masuk
rumah sakit. Dalam 1 hari pasien bab hitam sebanyak 2x. Pasien juga
merasakan sering nyeri pada ulu hati seperti ditusuk jarum dan tidak
berkurang setelah makan dan meminum obat promag yang dibeli di warung.
Pasien mengatakan sering meminum obat-obatan antinyeri yang diberi di
apotik untuk mengurangi nyeri dan pegal pegal sejak 2 tahun yang lalu.
Pasien hampir setiap hari meminum obat nyeri yang dibel di apotek, dalam
sehari pasien dapat meminum obat 2-3x untuk mengurangi nyeri punggung
dan pegal pegal. Pasien mengatakan tidak pernah sakit kuning, tidak ada
kencing bewarna seperti teh dan tidak pernah mengkonsumsi minuman
beralkohol. Keluhan seperti ini muncul tiba-tiba.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat penyakit diabetes disangkal
- Riwayat penyakit kuning disangkal
- Riwayat stroke disangkal
- Riwayat penyakit hipertensi (-)
- Riwayat penyakit jantung disangkal
- Riwayat penyakit ginjal disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
- Keluarga pasien tidak pernah sakit seperti ini
- Riwayat penyakit diabetes disangkal
- Riwayat penyakit hipertensi disangkal
e. Riwayat Kebiasaan
- Pasien memiliki kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan antinyeri dan pegel
pegel
- Tidak minum-minuman beralkohol.
- Tidak merokok.

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Keadaan umum : Lemah
Berat Badan : 70kg
B. Kesadaran : Composmentis , GCS : E4 M5 V6
C. Tanda Vital
TD : 130/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit/Reguler/Lemah
Suhu : 36,6 0C
Respiratory Rate : 20x/ menit
D. Status Generalis
Kepala dan Leher
 Kulit : Sawo matang, suhu raba hangat, hiperpigmentasi (-), ptechie (-), pucat
(+), ikterik (-)
 Mata : konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-), pupil bulat isokhor,
refleks cahaya (+/+),
 Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-/-), epistaksis (-/-), edem mukosa (-/-)
 Telinga : Normotia (+/+), membrane timpani intak, sekret (-/-), perdarahan
(-/-), nyeri tekan tragus (-/-)
 Mulut : Sianosis (-), gusi berdarah (-), sariawan (-), mukosa mulat pucat (+)
 Lidah : Papil Tidak Atrofi, glositis (-)
 Leher : Trakea di tengah, peningkatan JVP (-), tidak ada pembesaran kelenjar
getah bening, nyeri menelan (-), kesulitan menelan (-)
Thoraks
Jantung
 Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
 Palpasi : iktus kordis tidak teraba, thrill (-), heave(-)
 Perkusi :
- Batas kanan jantung 2 cm di sebelah lateral sternum pada ICS IV kanan
- Batas kiri jantung 4 cm di sebelah lateral sternum pada ICS V kiri
- Kesan : Batas jantung tidak melebar
 Auskultasi:
Suara 1: tunggal regular
Suara 2: tunggal regular
Murmur (-), Gallop (-)
Paru
 Inspeksi: simetris kanan kiri, tidak ada pelebaran ICS
 Palpasi: gerakan nafas simetris, fremitus vokal tidak ada lateralisasi
 Perkusi: sonor di seluruh lapang paru
 Auskultasi: suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
E. Abdomen
 Inspeksi: Bentuk simetris, cembung (-), spider angioma (-), caput medusa (-)
 Auskultasi: bising usus (+) meningkat
 Perkusi: timpani (+), asites (-), shifting dullness (-), undulasi (-)
 Palpasi: Supel, nyeri tekan epigastrium (+). Hepar dan lien tidak teraba.
F. Ektremitas
Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Oedem -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Capillary Refill <2 detik / <2 detik <2 detik / <2 detik
Gerak Dalam batas normal Dalam batas normal
5/5 5/5
5/5 5/5
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan :
a. Pemeriksaan Darah

Jenis Pemeriksaan Tanggal Nilai Normal


13 Januari 2020
Hematologi
Hemoglobin 4,3 13,5-18 g/dL
Leukosit 4200 4500-11000/µL
Hematokrit 13,1 40-54
Eritrosit 1.400.000 4.600.000-
6.200.000
Trombosit 96.000 150-440 ribu/ µL
MCV 93,8 80-100
MCH 30,7 26-34
MCHC 32,8 31-36
Kimia Darah
SGOT 18,1 6-25 U/L
SGPT 23,7 <41 U/L
Glukosa Sewaktu 67 <160 mg/dL
Ureum 61,2 10-50 mg/dL
Kreatinin 0,67 0,67-1,17 mg/dL
Elektrolit
Natrium 133 135-148 mEq
Kalium 4,2 3,5-5,3 mEq
Chlorida 101 97-107 mEq
HbsAg Negatif Negatif

Jenis Pemeriksaan Tanggal Nilai Normal


13 januari 2020
Feses rutin
Konsistensi Cair+ampas Agak lunak
Warna Hitam Kuning kecoklatan
Bau Khas Khas
Darah Negatif Negatif
Lendir Negatif Negatif
Amoeba Negatif Negatif
Jamur / Hyfa Negatif Negatif
Telur cacing Negatif Negatif
Jenis Pemeriksaan Tanggal Nilai Normal
13 januari 2020
Leukosit 0-2/lpb Tidak ditemukan
Sisa makanan +
Eritrosit 0-2/lpb Tidak ditemukan
Bakteri +
Lemak Negatif Negatif

Jenis Pemeriksaan Tanggal Nilai Normal


14 Januari 2020
Hematologi
Hemoglobin 8,1 13,5-18 g/dL

b. USG Abdomen
Kesan : hepatomegali ringan
Tak tampak kelainan lain pada sonografi organ intraabdomen tersebut
diatas

V. RESUME
Seorang laki-laki berusia 56 tahun datang dengan keluhan muntah darah, BAB
hitam, nyeri ulu hati dan lemas. Pasien riwayat meminum obat nyeri dalam sehari
2-3x sebelum terjadi hematemesis dan melena, menyangkal adanya riwayat mata
kuning, kulit kuning dan BAK seperti teh. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
konjungtiva anemis (+/+), Bising usus meningkat, terdapat nyeri tekan pada
epigastrium, shifting dullness (-) dan pucat pada kedua telapak tangan.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 4,3 gr/dl, Eritrosit 1.400.000,
Trombosit 96.000, Hematokrit 13.1 , Ureum 61.2 , natrium 133.

VI.DIAGNOSIS KLINIS
- PSCBA non variseal
- Anemia Hipokromik Mikrositer
- Hiponatremia

VII. PERENCANAAN
Terapi
 IVFD RL 20 tpm
 Inj. Omeprazole 2x40mg
 Inj. Ondansentron 3x4mg
 Sucralfat syrup 3 x 2 cth sebelum makan
 Transfusi PRC 2 kolf dengan premedikasi Inj. Furosemid 1 amp

VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad malam

IX. FOLLOW UP
13 Januari 2020 14 Januari 2020 15 Januari 2020
S BAB hitam jam 12.00 BAB hitam 1x BAB hitam -
Nyeri perut, muntah Muntah darah -
darah -
O Ku : lemah Ku : sedang Ku : cukup
Kesadaran: CM Kesadaran: CM Kesadaran: CM
TD:130/80, TD:110/80, HR:88x/menit, TD:110/70,
HR:90x/menit, RR: RR: 20x/menit, T: 36.3 HR:84x/menit, RR:
20x/menit, T: 36.5 Mata: konjungtiva anemis 19x/menit, T: 36.6
Mata: konjungtiva +/+ Mata: konjungtiva
anemis +/+ Thorax : dbn anemis +/+
Thorax : dbn Abdomen : dbn Thorax : dbn
Abdomen : nyeri tekan Eksremitas : akral hangat Abdomen : dbn
epigastrium Eksremitas : akral
Eksremitas : akral hangat
hangat Hb: 8,1
A PSCBA non varisseal PSCBA non varisseal PSCBA non varisseal
Anemia gravis Anemia perbaikan Anemia perbaikan
P - Inj. Ondansentron Drip omeprazole 1:2:2 - Omeprazole drip stop
3x4mg amp dalam 500cc NaCl ganti Inj. OMZ
- Tranfusi 2 PRC 0,9% 2x40mg
- Puasa hinggan jam - Diet BRH
20.00

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Hematemesis adalah muntah darah. Darah bisa dalam bentuk segar (bekuan/gumpalan
atau cairan berwarna merah cerah) atau berubah karena enzim dan asam lambung menjadi
kecoklatan seperti butiran kopi. Melena adalah keluarnya tinja yang lengket dan hitam
seperti aspal dengan bau busuk dan perdarahannya sejumlah 50-100 ml atau lebih.
Hematemesis dan atau Melena ini menunjukkan perdarahan saluran cerna bagian atas
(SCBA) yang merupakan kehilangan darah dalam lumen saluran cerna mulai dari esofagus
sampai dengan duodenum di daerah ligamentum Treitz (Longo et al, 2012).

2.2 Epidemiologi

Kasus-kasus yang terjadi di Indonesia sekitar 70% penyebab SCBA adalah ruptur
varises esofagus. Namun, dengan perbaikan manajemen penyakit hepar kronik dan
peningkatan populasi lanjut usia, proporsi perdarahan ulkus peptikum diperkirakan
bertambah. Kejadian perdarahan SCBA menunjukkan adanya variasi geografis yang besar
mulai dari 48-160 kasus per 100.000 penduduk, dengan kejadian tertinggi pada laki-laki
dan lanjut usia (Simandibrata et al, 2012).

Berdasarkan studi retrospektif yang dilakukan pada 4.154 pasien yang menjalani
endoskopi selama tahun 2001-2005 di Pusat Endoskopi Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta, sebanyak 807 (20,15%) orang mengalami perdarahan SCBA.
Studi ini juga menunjukkan penyebab tersering dari perdarahan SCBA adalah pecahnya
varises esofagus (280 kasus, 33,4%) diikuti dengan perdarahan ulkus peptikum (225 kasus,
26,9%), dan gastritis erosif (219 kasis, 26,2%) (Simandibrata et al, 2012).
Menurut Djojoningrat (2011) faktor risiko perdarahan SCBA yaitu,
1. Usia
Perdarah SCBA sering terjadi pada orang dewasa dan risiko meningkat pada usia > 60
tahun.
2. Jenis kelamin
Kasus perdarahan SCBA lebih sering dialami oleh laki-laki. Penelitian di Amerika
Serikat menunjukkan bahwa sekitar 51,4% yang mengalami perdarahan SCBA
berjenis kelamin laki-laki.
3. Penggunaan obat antiinflamasi non steroid (OAINS)
Jenis-jenis OAINS yang sering dikonsumsi adalah ibuprofen, diklofenak,
meloxicam, naproxen, indomethacin, ketoprofen, piroxicam dan ketorolac.
4. Penggunaan obat-obat antiplatelet
Penggunaan aspirin dosis rendah (75 mg per hari) dapat menyebabkan faktor
perdarahan naik menjadi dua kali lipat. Aspirin dapat menyebabkan ulkus lambung,
ulkus duodenum, komplikasi perdarahan dan perforasi pada lambung. Obat antiplatelet
seperti clopidogrel berisiko tinggi apabila dikonsumsi oleh pasien dengan komplikasi
saluran cerna.
5. Merokok
Dari hasil penelitian menunjukkan merokok meningkatkan risiko terjadinya ulkus
duodenum, ulkus gaster maupun keduanya. Merokok menghambat proses penyembuha
ulkus, memicu kekambuhan dan meningkatkan risiko komplikasi.
6. Alkohol
Mengonsumsi alcohol konsentrasi tinggi dapat merusak pertahanan mukosa lambung
terhadap ion hidrogen dan menyebabkan lesi akut mukosa gaster yang ditandai dengan
perdarahan pada mukosa.
7. Riwayat Gastritis
Riwayat gastritis memiliki dampak besar terhadap terjadinya ulkus. Pada kelompok ini
diprediksi risiko terjadi bukan karena sekresi asam tetapi oleh adanya gangguan dalam
mekanisme pertahan mukosa dan proses penyembuhan.
8. Diabetes Melitus (DM)
Beberapa penelitian menyatakan bahwa DM merupakan penyakit komorbid yang
sering ditemui dan menjadi faktor risiko untuk terjadinya perdarahan. Namun, belum
ada penelitian yang menjelaskan mekanisme pasti yang terjadi pada perdarahan SCBA
yang disebabkan oleh DM.

9. Infeksi bakteri Helicobacter pylori


H. pylori merupakan bakteri gram negative berbentuk spiral yang hidup dibagian
dalam lapisan mukosa yang melapisi dinding lambung. Beberapa penelitian di
Amerika Serikat menunjukkan tingkat infeksi H. pylori <75% pada pasien ulkus
duodenum. Hasil penelitian di New York 61% dari ulkus duodenum dan 63% dari
ulkus gaster disebabka oleh infeksi H. pylori.
10. Chronic kidney disease (CKD)
Patogenesis perdarahan saluran cerna pada CKD masih beum jelas, diduga faktor yang
berperan antara lain efek uremia terhadap mukosa saluran cerna, disfungsi trombosit
akibat uremia, hipergastrinemia, penggunaan antiplatelet dan antikoagulan, serta
heparinisasi pada saat dialisis.
11. Hipertensi
Hipertensi menyebabkan disfungsi endotel sehingga mudah terkena jejas.

12. Chronic heart failure (CHF)


Penelitian yang ada mengatakan bahwa CHF dapat meningkatkan faktor risiko
perdarahan SCBA sebanyak 2 kali lipat.

2.3 Etiologi

Ulkus peptikum merupakan penyebab paling umum dari perdarahan saluran cerna
bagian atas yaitu sekitar 50%. Penyebab lainnya yaitu gastropati (OAINS, alkohol, stres,
dll), robekan mallory-weis, esofagitis, varises esofagus, neoplasma, dll.

Tabel 2.3.1. Penyebab Saluran Cerna Bagian Atas


(Sumber: Longo et al. 2012)

a. Ulkus Peptikum
Perdarahan merupakan penyulit ulkus peptikum yang paling sering terjadi,
sedikitnya ditemukan pada 15-25% kasus selama perjalanan penyakit. Walaupun
ulkus disetiap tempat dapat mengalami perdarahan, namun tempat perdarahan
tersering adalah dinding posterior bulbus duodenum, karena ditempat ini dapat
terjadi erosi arteri pankreatikoduodenalis atau arteria gastroduodenalis. Tiga faktor
utama dalam patogenesis ulkus adalah H. pylori, OAINS, dan pH asam (Bunnet, et
al. 2015).

b. Varises Esofagus
Esophagus bagian bawah merupakan saluran kolateral penting yang timbul
akibat sirosis dan hipertensi portal. Vena esophagus daerah leher mengalirkan darah
ke vena azigos dan hemiazigos, dan dibawah diagfragma vena esophagus masuk
kedalam vena gastrika sinistra. Hubungan antara vena porta dan vena sistemik
memungkinkan pintas dari hati pada kasus hipertensi portal. Aliran kolateral
melalui vena esofagus menyebabkan terbentuk varises esophagus (vena varikosa
esophagus). Vena yang melebar ini dapat pecah, menyebabkan perdarahan yang
bersifat fatal (Tripathi, et al. 2015).
c. Gastritis Erosif
Gastritis merupakan suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosa
lambung yang dapat bersifat akut, kronik, difus, atau local. Banyak sekali etiologi
yang dapat menyebabkan terjadinya gastritis, antara lain endotoksin bakteri, kafein,
alcohol, aspirin, OAINS, dan stress lebih sering dianggap sebagai penyebab gastritis
akut (Bunnet, et al. 2015).

d. Esofagitis
Esofagitis merupakan peradangan pada lapisan esofagus atau kerongkongan
yang berisiko menimbulkan kerusakan jaringan-jaringan esofagus. Esofagitis yang
dapat menyebabkan perdarahan ialah esofagitis refluks kronis. Esofagitis refluks
kronis merupakan bentuk esofagitis yang paling sering ditemukan secara klinis.
Gangguan ini disebabkan oleh sfingter esophagus bagian bawah yang bekerja
dengan kurang baik dan refluks asam lambung atau getah alkali usus ke dalam
esophagus yang berlangsung dalam waktu yang lama. Sekuele yang terjadi akibat
refluks adalah peradangan, perdarahan, dan pembentukan jaringan parut dan striktur
(Bunnet, et al. 2015).

e. Sindroma mallory-weis
Hematemesis atau melena yang secara khas mengikuti yaitu muntah-muntah
berat yang berlangsung beberapa jam atau hari, dapat ditemukan satu atau beberapa
laserasi mukosa lambung mirip celah yang biasanya berada di sisi lambung pada
gastroesofageal junction (Bunnet, et al. 2015).

Penyebab lain yang jarang terjadi adalah duodenitis erosif, neoplasma,


aortoenteric fistulas, gastric antral vascular ectasia (watermelon stomach),
dieulafoy's lesion, prolapse gastropathy, hemobilia atau hemosuccus pancreaticus
(perdarahan dari ductus biliaris atau ductus pancreaticus) (Bunnet, et al. 2015).
Faktor risiko penggunaan OAINS pada gastritis erosif dan peptic ulcer sangat
dipengaruhi oleh usia >65 tahun, riwayat penyakit peptic ulcer, penyakit jantung,
pemakaian jangka panjang OAINS dan dosis yang tinggi (Drini, 2017).

2.4 Patofisiologi
Lumen gaster memiliki pH yang asam. Kondisi ini berkontribusi dalam proses
pencernaan tetapi juga berpotensi merusak mukosa gaster. Beberapa mekanisme telah
terlibat untuk melindungi mukosa gaster. Musin yang disekresi sel-sel foveola gastrica
membentuk suatu lapisan tipis yang mencegah partikel makanan besar menempel secara
langsung pada lapisan epitel. Lapisan mukosa juga mendasari pembentukan lapisan musin
stabil pada permukaan epitel yang melindungi mukosa dari paparan langsung asam
lambung, selain itu memiliki pH netral sebagai hasil sekresi ion bikarbonat sel-sel epitel
permukaan. Suplai vaskular ke mukosa gaster selain mengantarkan oksigen, bikarbonat,
dan nutrisi juga berfungsi untuk melunturkan asam yang berdifusi ke lamina propia.
Gastritis akut atau kronik dapat terjadi dengan adanya dekstruksi mekanisme-mekanisme
protektif tersebut (Turner, J. R. 2010).

Gambar 2.4.1. Mekanisme Pembentukan Luka pada Gaster


(Sumber: Turner, J. R. 2010)

Agen korosif (asam dan pepsin) yang dikeluarkan oleh lambung berperan utama
dalam tukak lambung, tukak duodenum dan gastritis erosif akut. Setiap penyakit ini
memiliki patogenesis tersendiri tetapi tumpang tindih dengan tema umum sekresi berlebih
asam atau penurunan pertahanan mukosa. H. pylori dapat menyebabkan penyakit asam-
peptik melalui beragam mekanisme termasuk mengubah transduksi sinyal dan menurunkan
pertahanan mukosa. H. pylori merupakan patogen yang sangat umum dan angka infeksinya
lebih tinggi di negara miskin dengan sanitasi yang kurang baik. Rute penyebaran dari orang
ke orang kemungkinan besar adalah melalui fecal-oral.

Ulkus peptikum (tukak lambung) dibedakan dari gastritis erosif oleh kedalaman
lesi, dengan ulkus peptikum yang sudah menembus mukosa. Ulkus yang dikelilingi oleh
mukosa yang meradang mengisyaratkan bahwa sebelumnya telah terjadi gastritis terlebih
dahulu (Turner, J. R. 2010).
Prostaglandin diketahui dapat meningkatkan aliran darah mukosa serta sekresi
bikarbonat dan mukus serta merangsang perbaikan dan pembaharuan sel mukosa. Karena
itu, defisiensi prostaglandin akibat pemberian obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) atau
gangguan lain dapat mempermudah timbulnya gastritis erosif dan ulkus peptikum (Bunnet,
N. W 2015).

Pada orang yang sudah lanjut usia pembentukan musin berkurang sehingga rentan
terkena gastritis dan perdarahan saluran cerna. OAINS dan obat antiplatelet dapat
mempengaruhi proteksi sel (sitoproteksi) yang umumnya dibentuk oleh prostaglandin atau
mengurangi sekresi bikarbonat yang menyebabkan meningkatnya perlukaan mukosa gaster.
Infeksi Helicobacter pylori yang predominan di antrum akan meningkatkan sekresi asam
lambung dengan konsekuensi terjadinya tukak duodenum. Inflamasi pada antrum akan
menstimulasi sekresi gastrin yang merangsang sel parietal untuk meningkatkan sekresi
lambung (Turner, J. R. 2010).

Perlukaan sel secara langsung juga dapat disebabkan konsumsi alkohol yang
berlebih. Alkohol merangsang sekresi asam sehingga menyebabkan perlukaan mukosa
saluran cerna. Penggunaan zat-zat penghambat mitosis pada terapi radiasi dan kemoterapi
menyebabkan kerusakan mukosa menyeluruh karena hilangnya kemampuan regenerasi sel.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit
komorbid pada perdarahan SCBA dan menjadi faktor risiko perdarahan SCBA. Pada pasien
DM terjadi perubahan mikrovaskuler salah satunya adalah penurunan prostasiklin yang
berfungsi mempertahankan mukosa lambung sehingga mudah terjadi perdarahan. Gastritis
kronik dapat berlanjut menjadi ulkus peptikum. Merokok merupakan salah satu faktor
penyebab terjadinya ulkus peptikum. Merokok memicu kekambuhan, menghambat proses
penyembuhan dan respon terapi sehingga memperparah komplikasi ulkus kearah perforasi
(Turner, J.R. 2010).

2.5 Diagnosis

Menurt Adi P. (2014) langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran cerna adalah
menentukan beratnya perdarahan dengan memfokuskan pada status hemodinamik.
Pemeriksaannya meliputi:
a. Tekanan darah dan nadi
b. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
c. Ada tidaknya vasokontriksi perifer (akral dingin)
d. Kelayakan nafas
e. Tingkat kesadaran
f. Produksi urin (0,5-1 cc/kgBB per jam)

Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20% volume intravaskular akan
mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil dengan tanda-tanda sebagai berikut:
a. Hipotensi (<90/60 mmHg atau MAP < 70 mmHg) dengan frekuensi nadi >
100 menit
b. Tekanan diastolik ortostatik turun > 10 mmHg atau sistolik turun > 20
mmHg
c. Frekuensi nadi ortostatik meningkat > 15 / menit
d. Akral dingin
e. Kesadaran menurun
f. Anuria atau oliguri (produksi urin < 30 ml/jam)

Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai kondisi hemodinamik
tidak stabil ialah bila ditemukan:
a. Hematemesis
b. Hematokezia
c. Darah segar pada aspirasi pipa nasogastrik
d. Hipotensi persisten
e. Dalam 24 jam menghabiskan transfusi darah melebihi 800-1000
ml
ANAMNESIS

Pada anamnesis menurut Adi, P. (2014) yang perlu ditekankan adalah:


 Sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah yang keluar
 Riwayat perdarahan sebelumnya
 Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain
 Penggunaan obat-obatan terutama anti infamasi non-steroid dan anti koagulan
 Kebiasaan minum alkohol
 Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronik, dispepsia, demam berdarah,
demam tifoid, CKD, DM, hipertensi dan alergi obat-obatan
 Riwayat konsumsi obat-obatan terutama OAINS dan obat asam urat
 Riwayat mengkonsumsi jamu-jamuan
 Riwayat transfusi sebelumnya

PEMERIKSAAN FISIK

Dalam pemeriksaan fisik, menurut Djojoningrat, D. (2011) yang pertama harus


dilakukan adalah penilaian ABC, pasien-pasien dengan hematemesis yang masif dapat
mengalami aspirasi atau sumbatan jalan nafas, hal ini sering ini sering dijumpai pada
pasien usia tua dan pasien yang mengalami penurunan kesadaran.
 Tanda-tanda syok : takikardia, akral dingin dan lembab, takipnu, oliguria,
penurunan kesadaran, hipotensi ortostatik, JVP (Jugular Vein Pressure) meningkat.
 Tanda-tanda penyakit hati kronis dan sirosis : hipertensi portal (pecahnya varises
esofagus, asites, splenomegali), ikterus, edema tungkai dan sakral, spider nevi,
eritema palmarum, ginekomasti, venektasi dinding perut (caput medusa).
 Tanda-tanda anemia : pucat, koilonikia, telangiektasia
 Tanda-tanda keganasan : limfadenopati, organomegali (hepatomegali,
splenomegali), penurunan berat badan, anoreksia, rasa lemah.
 Pemeriksaan abdomen : untuk mengetahui adanya nyeri tekan, distensi, atau massa.
Adanya nyeri tekan epigastrik merupakan tanda ulkus peptikum, dan adanya
hepatosplenomegali meningkatkan kemungkinan varises.
 Pemeriksaan rektal untuk massa, darah, melena, dan darah samar pada feses. Warna
feses ini mempunyai nilai prognostik
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Menurut Adi, P. (2014) Kelengkapan pemeriksaan yang perlu diperhatikan:

a. EKG (terutama pada pasien berusia > 40 tahun)


b. BUN, kreatinin serum pada perdarahan SCBA pemecahan darah oleh kuman usus
akan mengakitbakan kenaikan BUN, sedangkan kreatinin serum tetap normal atau
sedikit meningkat
c. Elektrolit (Na, K, Cl); perubahan elektrolit bisa terjadi karena perdarahan, transfusi,
atau kumbah lambung

Perbedaan Perdarahan SCBA dan SCBB:

Perdarahan SCBA Perdarahan SCBB


Manifestasi klinik Hematemesis dan atau Hematokezia
pada umumnya melena
Aspirasi Berdarah Jernih
nasogastrik
Rasio > 35 < 35
(BUN/kreatinin)
Auskultasi usus Hiperaktif Normal
Tabel 2.5.1. Perbedaan Perdarahan SCBA dengan SCBB
(Sumber: Adi, P. 2014)

Endoskopi

Pemeriksaan endoskopi merupakan gold standard. Tindakan endoskopi selain


untuk diagnostik dapat dipakai pula untuk terapi. Prosedur ini tidak perlu dilakukan segera
(bukan prosedur emergensi), dapat dilakukan dalam kurun waktu 12 - 24 jam setelah pasien
masuk dan keadaan hemodinamik stabil. Tidak ada keuntungan yang nyata bila endoskopi
dilakukan dalam keadaan darurat. Dengan pemeriksaan endoskopi ini lebih dari 95%
pasien-pasien dengan hemetemesis, melena atau hematemesis –melena dapat ditentukan
lokasi perdarahan dan penyebab perdarahannya. Kadar Hb minimal untuk dilakukan
endoskopi adalah 8 mg/dL dengan keadaan hemodinamik stabil (Turner, J.R. 2010)
Lokasi dan sumber perdarahan
 Esofagus :Varises, erosi, ulkus, tumor
 Gaster : Erosi, ulkus, tumor, polip, angiodisplasia, dilafeuy, varises, gastropati kongestif
 Duodenum :Ulkus, erosi, tumor, divertikulitis
A.

B.

C.
Gambar 2.6.1. A. Esofagitis Erosif. B. Gastritis Erosif. C. Ulkus Peptikum
(Sumber: Turner, J. R. 2010)

Tujuan pemeriksaan endoskopi selain untuk menemukan penyebab serta asal perdarahan ,
juga untuk menentukan aktivitas perdarahan. Forest membuat klasifikasi perdarahan ulkus
peptikum atas dasar temuan endoskopi yang bermanfaat untuk menentukan tindakan
selanjutnya.
Aktivitas perdarahan Kriteria endoskopis
Forest I a - perdarahan aktif Perdarahan arteri menyembur
Forest I b – perdarahan aktif Perdarahan merembes
Forest II - perdarahan berhenti dan Gumpalan darah pada dasar ulkus atau
masih terdapat sisa-sisa perdarahan terlihat pembuluh darah
Forest III – perdarahan berhenti tanpa
Lesi tanpa ada sisa perdarahan
sisa perdarahan

Tabel 2.6.2. Kriteria Forest


(Sumber: Adi, P. 2014)

Dalam prosedur diagnosis ini penting melihat aspirat dari Nasogastric Tube (NGT).
Aspirat berwarna putih keruh menandakan perdarahan tidak aktif, aspirat berwarna merah
marun menandakan perdarahan masif sangat mungkin perdarahan arteri seperti halnya
warna feses maka warna aspirat pun dapat memprediksi mortalitas pasien. Walaupun
demikian pada sekitar 30% pasien dengan perdarahan tukak duodeni ditemukan adanya
aspirat yang jernih pada NGT (Kim, J. et al. 2012)
2.6 Penatalaksanaan

Gambar 2.7.1. Algoritma Tatalaksana Perdarahan SCBA


(Sumber: Adi, P. 2014)

A. STABILISASI HEMODINAMIK
Resusitasi yang dilakukan adalah pemberian cairan intravena dan
suplementasi oksigen, koreksi koagulopati berat dan transfusi darah pada saat
dibutuhkan. Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan infus cairan kristaloid
dan pasang monitor CVP (central venous pressure). Tujuannya untuk memulihkan
tanda-tanda vital dan mempertahankan tetap stabil. Penderita dengan perdarahan
500 – 1000 cc perlu diberi infus Dextrose 5%, Ringer laktat atau Nacl 0,9% (Adi, P.
2014)

Pemberian transfusi darah menurut Adi, P. (2014) pada perdarahan saluran cerna
dipertimbangkan pada keadaan berikut ini:
a. Perdarahan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil
b. Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1 liter
atau lebih.
c. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan Hb < 10 & atau hematokrit <
30%.
d. Terdapat tanda-tanda oksigenasi jaringan yang menurun.

Pertimbangkan Intensive Care Unit (ICU) apabila:


 Pasien dalam keadaan syok
 Pasien dengan penyakit komorbid serius, yang membutuhkan transfusi darah
multipel atau dengan akut abdomen
(Adi, P. 2014)

B. TERAPI NON-ENDOSKOPIS
 Pemasangan NGT (Nasogastric Tube)
Salah satu usaha menghentikan perdarahan yang sudah lama dilakukan adalah
kumbang lambung melalui pipa nasogastrik. Kumbah lambung ini sangat
diperlukan untuk persiapan pemeriksaan endoskopi dan dipakai untuk membuat
perkiraan kasar jumlah perdarahan.

Pemasangan pipa nasogastrik ini dilakukan pada perdarahan yang diduga masih
berlangsung disertai dengan gangguan hemodinamik. NGT bertujuan untuk
mencegah distensi lambung, aspirasi, dekompresi dan menilai perdarahan (Alwi, I.
2017)
Pada semua kasus perdarahan saluran cerna disarankan untuk pemasangan pipa
nasogastrik, kecuali pada perdarahan kronik dengan hemodinamik stabil atau yang
sudah jelas perdarahan SCBB. Sekiranya sejak awal tidak ditemukan darah pada
cairan aspirasi, dianjurkan pipa nasogastrik tetap terpasang sampai 12 atau 24 jam.
Bila dalam kurun waktu tersebut hanya ditemukan cairan empedu dapat dianggap
bukan perdarahan SCBA (Alwi, I. 2017).

Untuk Pasien Non-Varises:

 Pemberian Vitamin K dan Anti-fibrinolitik


Vitamin K dapat dipertimbangkan karena berguna untuk meningkatkan
biosintesis beberapa faktor pembekuan darah yaitu protombin, faktor VII,
faktor IX dan faktor X yang berlangsung di hati. Namun pemberian vitamin K
pada penyakit hepatoselular seperti sirosis hati, dapat terjadi
hipoprotombinemia karena sel hati tidak dapat membentuk faktor-faktor
pembekuan darah sehingga pemberian vitamin K biasanya tidak akan
memberikan hasil yang baik (Alwi, I. 2017).
Asam traneksamat merupakan obat golongan antifibrinolitik yang bekerja
mengurangi perdarahan dengan cara menghambat aktivitas plasminogen
menjadi plasmin pada pembekuan darah. Karena plasmin berfungsi
mendegradasi fibrin, maka asam traneksamat bekerja menghambat degradasi
fibrin, yang berujung pada meningkatnya aktivitas pembekuan darah. Dosis
asam traneksamat yang digunakan adalahh 0,5-1 gram 3 kali sehari (Alwi, I.
2017).

 Obat anti sekresi asam


Obat-obatan golongan anti sekresi asam yang dilaporkan bermanfaat untuk
mencegah perdarahan ulang SCBA karena ulkus peptikum adalah proton
pump inhibitor dosis tinggi. Pemberian diawali dengan bolus omeprazol 80
mg/iv dilanjutkan per infus 8 mg/kgBB/jam selama 72 jam.

Pada perdarahan SCBA, antasida, sitoprotektor (sukralfat), dan antagonis


reseptor H2 dapat diberikan untuk penyembuhan lesi mukosa penyebab
perdarahan.
Obat golongan antagonis reseptor H2 (simetidin, ranitidin, famotidin,
nizatidin) menghmabat secara kompetitif ikatan histamin dengan reseptor H2
sehingga mengurangi konsentrasi cAMP intraseluler dan mengurangi sekresi
asam lambung.
Obat golongan proton pump inhibitor bekerja dengan mengikat sistem enzim
H+K+ ATP-ase dari sel parietal dan menghambat masuknya atau menekan ion
hidrogen ke dalam lumen lambung. Sedangkan sukralfat bekerja dengan cara
berikatan dengan glikoprotein pada mukosa lambung dan membentuk barier
yang menghalangi difusi HCl serta mencegah degradasi oleh pepsin. (Alwi, I.
2017)

Untuk Pasien Varises:

 Somatostatin dan analognya (ocreotide)


Somatostatin dan analognya (ocreotide) diketahui dapat menurunkan aliran
darah splanknik. Dapat digunakan untuk perdarahan varises esofagus dan
perdarahan nonvarises. Octreotide dapat menghambat sekresi asam dan pepsin
sekaligus mengurangi aliran darah mukosa gastroduodenal. Pemberian
diawali dengan bolus 250 mcg/iv, dilanjutkan per infus 250 mcg/jam selama
12-24 jam atau sampai perdarahan berhenti, sedangkan untuk octreotide 0,1
mg/2 jam sampai peradarahan berhenti atau bila mampu diteruskan 3 hari
setelah skleroterapi atau ligasi varises esofagus (Alwi, I. 2017).

 Vasopressin
Menghentikan perdarahan saluran cerna bagian atas lewat efek vasokostriksi
pembuluh darah splanknik, menyebabkan aliran dan tekanan vena porta
menurun. Dapat digunakan pada pasien perdarahan akut varises esofagus.
Terdapat dua bentuk sediaan yaitu, pitresin (vasopressin murni) dan preparat
pituitary gland (vasopressin dan oxcytocin). Pemberian vasopressin dengan
mengencerkan sediaan vasopressin 50 unit dalam 100 ml dekstrose 5%,
diberikan 0.5-1 mg/menit/iv selama 20-60 menit dan dapat diulang tiap 3-6
jam, atau setelah pemberian pertama dilanjutkan per infus 0.1-0.5 U/menit.
Vasopressin dapat memberikan efek samping berupa insufisiensi koroner
mendadak, maka disarankan bersamaan preparat nitrat, misalnya nitrogliserin
IV dengan dosis awal 40 mcg/menit kemduaian secara titrasi dinaikkan
sampai maksimal 400 mcg/menit dengan tetap mempertahankan tekanan
sistolik diatas 90 mmHg. Hal ini dilakukan untuk mencegah insufisiensi aorta
mendadak (Alwi, I. 2017).
C. TERAPI ENDOSKOPIS
Tujuan terapi endoskopik adalah untuk menghentikan perdarahan aktif dan
mencegah perdarahan ulang. Beberapa teknik, termasuk injeksi, ablasi dan
mekanik telah dikembangkan. Pemilihan tindakan dapat disesuaikan dengan
penampakan fokus perdarahan dan risiko terkait untuk kejadian perdarahan
persisten dan rekuren. Terapi ini ditujukan untuk perdarahan tukak yang masih
aktif atau tukak dengan pembuluh darah yang tampak (Adi, P. 2014)
Terapi endoskopis yang relatif mudah dan tanpa banyak peralatan
pendukung ialah penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan menggunakan
adrenalin 1:10000 sebanyak 0.5-1 ml tiap kali suntik dengan batas dosis 10 ml
atau alkohol absolut (98%) tidak melebihi 1 ml. Keberhasilan terapi endoskopis
mencapai di atas 95% dan tanpa terapi tambahan, perdarahan ulang frekuensinya
sekitar 15-20% (Simandibrata, 2012)
Pilihan pertama untuk mengatasi varises esofagus adalah ligasi varises.
Terapi pilihan adalah hemostasis endoskopi. Ligasi varises mengurangi efek
samping dari pemakaian sklerosan, serta lebih menurunkan frekuensi terjadinya
ulserasi dan striktur. Bila ligasi sulit dilakukan, skeloterapi dapat digunakan
sebagai terapi alternatif.
Pasien dengan ulkus dengan dasar bersih diberikan diet lunak dan
dipulangkan setelah endoskopi dengan syarat hemodinamik stabil, Hb cukup stabil
dan tidak ada masalah kesehatan lain (Kim, J. 2012; Adi, P. 2014)

D. TERAPI RADIOLOGI
Terapi angiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap berlangsung
dan belum bisa ditentukan asal perdarahan, atau bila terapi endoskopi dinilai gagal
dan pembedahan sangat berisiko. Tindakan hemostasis yang bisa dilakukan
dengan penyuntikan vasopressin atau embolisasi arterial. Bila dinilai tidak ada
kontraindikasi dan fasilitas dimungkinkan, pada perdarahan varises dapat
dipertimbangkan TIPS (Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt) untuk
mengalihkan aliran darah di vena porta apabila pengikatan varises tidak bisa
mengatasi perdarahan (Kim, J. 2012)

E. TERAPI PEMBEDAHAN
Pembedahan dasarnya dilakukan bila terapi medik, endoskopi dan radiologi
dinilai gagal. Ahli bedah seyogyanya dilibatkan sejak awal dalam bentuk tim
multidisipliner pada pengelolaan kasus perdarahan SCBA untuk menentukan
waktu yang tepat kapan tindakan bedah sebaiknya dilakukan (Adi, P. 2014)

2.1. KOMPLIKASI
Komplikasi yang bisa terjadi pada perdarahan saluran cerna adalah
timbulnya anemia, pneumoni aspirasi, koma hepatikum, syok hipovolemik yang
dapat diikuti dengan gagal ginjal akut. Bila berlangsung terus-menerus, hal
tersebut dapat menyebabkan kegagalan multi organ dan kematian (Adi, P. 2014)

2.2. PROGNOSIS
Skala prognostik dapat ditentukan berdasarkan gejala klinis, hasil
laboratorium dan hasil endoskopi untuk membedakan pasien dengan risiko rendah
dengan pasien yang memiliki risiko perdarahan berulang. Banyak faktor yang
mempengaruhi prognosis penderita seperti faktor umur, kadar Hb, tekanan darah
selama perawatan, dan lain-lain. Faktor risiko terjadinya perdarahan berulang pada
perdarahan saluran cerna bagian atas non-variceal: (Wilkins, T. 2012)
ENDOSKOPIS KLINIS
 Perdarahan aktif  Usia > 65 tahun
 Ukuran ulkus > 2 cm  Status kesehatan yang buruk
 Lokasi ulkus terdapat di  Memiliki penyakit peyerta
dinding duodenum posterior  Konsentrasi Hb awal yang rendah
atau kurvatura bagian posterior  Membutuhkan transfusi
 Terdapat darah segar pada pemeriksaan
dubur, pada muntahan atau aspirasi
nasogastrik
 Syok / Sepsis
 Peningkatan konsentrasi urea, kreatinin
atau serum aminotransferasi
BAB III
PEMBAHASAN

Pada tanggal 12 Jan 2020 pasien Tn.S (56th) datang ke IGD PKU
Muhammadiyah Gubug dengan keluhan muntah berwarna merah kehitaman dan BAB
lembek warna kehitaman sejak 1 hari SMRS. Dari ringkasan uraian keluhan yang
menjadi analisis pada kasus ini perlu kita ketahui terlebih dahulu apakah perdarahan
yang terjadi merupakan perdarahan saluran cerna atas atau bawah. Pada perdarahan
saluran cerna atas didapatkan manifestasi klinik umumnya hematemesis dan atau
melena serta aspirasi nasogastrik didapat adanya darah, sedangkan pada perdarahan
saluran cerna bawah didapatkan manifestasi klinik umumnya hematokezia dan pada
aspirasi nasogastrik didapatkan jernih. Pada kasus ini didapatkan adanya hematemesis
dan melena (Wenas, 2009).

Secara terminologi atau definisi pendarahan saluran cerna bagian atas atau
SCBA adalah pendarahan saluran makanan dari Ligamentum treitz bagian proksimal.
Kemungkinan pasien datang dengan 1).anemia defisiensi besi akibat pendarahan
tersembunyi yang berlangsung lama, 2). Hematemesis dengan atau tanpa melena
disertai dengan atau tanpa anemia dan gangguan hemodinamik (Sudoyo AW, 2009).

Menurut literatur dalam Oxord handbook of Clinical Medicine 2010 penyebab


perdarahan saluran cerna bagian atas yang paling sering ditemukan adalah :

a. Ulkus peptikum
b. Sindrome Mallory-weiss
c. Varises esophagus
d. Erosi gastritis
e. Penggunaan obat trombolitik dan antikoagulan
f. Keganasan.
g. Idiopatik.

Hematemesis adalah dimuntahkannya darah dari mulut, darah bisa dalam


bentuk segar (bekuan/ gumpalan/ cairan warna merah cerah) atau berubah warna
menjadi kecoklatan dan berbentuk seperti butiran kop tercampur enzim dan asam
lambung (Sudoyo AW, 2009).

Melena diartikan sebagai tinja yang berwarna hitam dengan bau yang khas.
Melena timbul bilamana hemoglobin dikonversi menjadi hematin atau hemokrom
lainnya oleh bakteri setelah 14 jam. Umumnya melena menunjukkan perdarahan di
saluran cerna bagian atas atau usus halus, namun demikian melena dapat juga berasal
dari perdarahan kolon sebelah kanan dengan perlambatan mobilitas. Tidak semua
kotoran hitam ini melena karena bismuth, sarcol. Lycorice, obat-obat yang
mengandung besi (obat tambah darah) dapat menyebabkan faeces menjadi hitam.
Oleh karena itu dibutuhkan test guaiac untuk menentukan adanya hemoglobin
(Sudoyo AW, 2009).

Pendarahan saluran cerna bagian atas sendiri dibagi menjadi dua bagian yakni
perdarahan oleh karena Varises esophagus atau Non Esofagus. Pada kasus ini penting
untuk dibedakan antara perdarahan yang disebabkan oleh varises esofagus dan non-
varises dikarenakan perbedaan tatalaksana dan prognosis.

Pada perdarahan yang disebabkan karena varises esophagus sangat sering


terjadi dan erat kaitanya pada kasus Sirosis hepatis yang dapat disebabkan oleh karena
Hepatitis B, C, atau penyakit hati alkoholik, dimana terjadi peningkatan tekanan
dalam vena porta >10mmHg oleh karena adanya obstruksi aliran darah vena porta.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang pada Tn. S tidak didapatkan adanya
data yang menunjang kearah perdarahan yang disebabkan oleh karena Varises
Esofagus pada kasus Sirosis Hepatis. Pada anamnesis pasien mengatakan tidak pernah
memiliki riwayat sakit kuning, kencing bewarna seperti teh, ataupun minum-minuman
beralkohol dalam jangka waktu yang cukup lama. Dari hasil pemeriksaan fisik tidak
didapatkan adanya ikterus, ascites, spider navi, eritema palmaris, kerontokan pada
rambut pubis, serta edem pada tungkai. Dari hasil pemeriksaan penunjang seperti
Laboratorium tidak didapatkan adanya peningkatan abnormal SGPT/SGOT, HbsAg
negatif. Dari analisa diatas dapat saya tarik kesimpulan bahwasanya perdarahan yang
terjadi pada Tn.S merupakan perdarahan Non-Varises yang dapat disebabkan karena
Keganasan seperti Ca gaster/esophagus, gastritis erosive, Mallory-weiss tear, dan
Ulkus peptikum/PUB. Hal ini dapat dibuktikan dari data yang hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang pada pasien.

Dari data dari anamnesis Tn.S mengeluhkan muntah berwarna merah


kehitaman seperti kopi dan BAB berwarna hitam lembek sejak 1 hari yang diikuti
keluhan dyspepsia seperti nyeri dibagian ulu hati seperti ditusuk jarum, mual. Pasien
juga memiliki riwayat konsumsi obat golongan NSAID dan jamu-jamuan sejak
lama. Hal ini sesuai dengan teori dimana secara umum seorang yang menderita
hematemesis melena biasanya mengeluh dyspepsia atau memiliki riwayat keluhan
dyspepsia berulang dan salah satunya dengan dengan riwayat penggunaan obat
NSAID jangka panjang. Dari kecurigaan pendarahan saluran cerna bagian atas karena
keganasan secara anamnesis dapat disingkirkan karena tidak didapatkan adanya tanda
dan gejala yang khas seperti adanya penurunan berat badan berarti dalam 3 bulan
terakhir, walaupun dari segi usia Tn.S (56th) >40th prevalensi terjadinya Ca gaster
tidak jarang ditemukan. Untuk pemakaian obat-obatan antikoagulan pada kasus stroke
atau penyakit jantung coroner disangkal oleh pasien.

Pada pemeriksaan fisik Tn.S didapatkan adanya tanda-tanda anemia yakni


pasien tampak terlihat pucat dengan konjungtiva palpebra anemis (+/+) yang
menandakan kurang darah (Gralnek, 2008). Selain itu didapatkan pula nyeri tekan (+)
pada daerah epigastrium. Kekurangan darah ini sebagai akibat manifestasi
perdarahan akut yang dialami pasien. Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan
data RBC (1.4/Ul) pada Hb kurang dari nilai normal (4,3g/dL), HCT kurang dari nilai
normal (13.1%), dan PLT (96.000/Ul). Untuk mengetahui derajat dan penyebab dari
kekurangan darah dapat dilihat dari hemoglobulin, MCV dan MCH dari pemeriksaan
darah lengkap (Djuwantoro et al, 2009). Pada pasien ini, dilihat dari Hb, MCV dan
MCH maka pasien ini diduga mengalami anemia normokromik - normositer akibat
pendarahan yang dialami.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik serta penunjang pada Tn.S dapat saya
simpulkan dengan diagnosis hematemesis melena et causa susp. gastriris erosif yang
perlu dipastikan dengan pemeriksaan endoskopi.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, P. 2014. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas. Dalam


Sudoyo, A. W. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing; 1873-1880

Albeldawi, M., Qadeer, M. A., et al. 2010. Managing acute upper GI bleeding,
preventing bleeding: current policies and future perspectives. Cleveland:
Cleveland Clinical Journal Medicine; 77: 131-142

Alwi, I., Salim, S. 2017. Panduan Praktis Klinis: Penatalaksanaan di Bidang


Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 176-181

Bunnet, N. W., et al. 2015. Penyakit Gastrointestinal. Dalam Ganong, W.F.


Patofisiologi Penyakit Edisi 5. Jakarta: EGC; 397-401

Djojoningrat, D. 2011. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (Hematemesis


Melena). Dalam: Rani, A. A. Buku Ajar Gastroenterologi Edisi 1. jakarta: Pusat
Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 33-44

Djuwantoro Dwi; Zubir Nazrul dan Julius. 2009. Diagnosis dan Pengobatan Tukak
Peptikum; Gambaran Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas. Padang. Dalam : Cermin
Kedokteran No. 79,

Drini, M., 2017. Peptic ulcer disease and non-steroidal anti-inflammatory


drugs. Australian Prescriber; 40(3): 91-93

El-Tawil, A. M., 2012. Trends on Gastrointestinal Bleeding and Mortality:


Where are we standing?. Birmingham: World Journal of Gastroenterology; 18:
1154-1158
Kim, J., et al. 2012. Management and Prevention of Upper GI bleeding. USA:
PSAP-Gastroenterology and Nutrition; 7-26

Longo, D. L., et al. 2012. Chapter 47 Gastrointestinal Bleeding on Harrison’s


Manual of Medicine 18th Edition. New York: McGraw Hill; 261-264

Simandibrata, M., et al. 2012. Konsensus Nasional Penatalaksanaan


Perdarahan Saluran Cerna Atas Non Varises di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan
Gastroenterologi Indonesia
Siregar, L., Aziz, A., et al. 2011. Clinical profile and outcome of non-variceal
upper gastrointestinal bleeding in relation to timing of endoscopic procedure in
patient undergoing elective endoscopy. Jakarta: Divisi Gastroenterologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia;12-3: 140- 145

Soll, A.H., et al. 2009. Peptic Ulcer Disease in Yamada’s Textbook of


Gastroenterology. 5th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 936-946

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
Tripathi, D., et al. 2015. UK guidelines on the management of the variceal
haemorrhage in cirrhotic patients. UK: BMJ Publishing Group; 1-25
Turner, J. R., 2010. The Gastrointestinal Tract dalam Robbins and Cotran
Pathologis Basis of Disease. 8th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders Inc; 763-
770

Wilkins, T., Khan, N., et al. 2012. Diagnosis and Management of Upper
Gastrointestinal Bleeding. Georgia: Georgia Health Sciences University; 85-5:
469-476

th
Wenas NT. 2009. Pathophysiology and Prevention of NSAID Gastropathy. The 4
international endoscopy workshop & international symposium on digestive disease.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen IPD FK UI. p. 83-4.

Anda mungkin juga menyukai