KESEHATAN PERORANGAN
Kolelitiasis
Disusun Oleh:
dr. Rizky Istifarina
Pembimbing :
dr. Thanthawy Jauhary, Sp. Rad
LAMONGAN 2022
HALAMAN PENGESAHAN
Pembimbing,
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Batu empedu adalah batu padat yang dibentuk oleh pengendapan empedu jenuh yang
terdiri dari kristal kolesterol monohidrat atau oleh ''pigmen hitam'' kalsium bilirubinat
terpolimerisasi yang terbentuk di dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau
pada kedua-duanya. Di Amerika Serikat, lebih dari 80% batu empedu mengandung kolesterol
sebagai komponen utamanya (AAFP et all, 2014; Tuuk, 2016).
Angka kejadian kolelitiasis di Indonesia diduga tidak berbeda jauh dengan angka negara
lain di Asia Tenggara (Wibowo et al., 2010). Di Rumah Sakit Umum Daerah Koja Jakarta pada
05 Oktober sampai dengan 31 Desember 2015 didapatkan 101 kasus kolelitiasis (Febyan,
2017). Sedangkan di Rumah Sakit Prof. Dr. R. D. Kandou Manado didapatkan jumlah kasus
kolelitiasis periode Oktober 2015 –Oktober 2016 di bagian rekam medik sebanyak 113 kasus
(Tuuk, 2016).
Batu empedu dapat terjadi disegala usia, namun kejadiannya akan semakin meningkat
dengan bertambahnya usia. Batu empedu empat sampai sepuluh kali lebih sering terjadi pada
usia tua dibandingkan usia muda. Jumlah penderita perempuan lebih banyak daripada jumlah
penderita laki-laki. Di Amerika Serikat, beberapa penelitian memperlihatkan bahwa batu
empedu dijumpai pada paling sedikit 20% perempuan dan 8% laki-laki berusia >40 tahun dan
hampir 40% perempuan berusia >65 tahun (Tuuk, 2016).
Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak menunjukkan gejala. Batu empedu
ditemukan secara kebetulan selama ultrasonografi atau pencitraan perut lainnya. Pasien tanpa
gejala memiliki tingkat gejala tahunan yang rendah (sekitar 2% per tahun). Gejala yang dapat
muncul adalah kolik bilier, yang disebabkan oleh obstruksi intermiten duktus sistikus oleh batu.
Rasa sakitnya khas yaitu rasa sakit yang terus-menerus, biasanya intensitasnya sedang sampai
berat, terletak di epigastrium atau kuadran kanan atas perut, berlangsung satu sampai lima jam.
Dalam kebanyakan kasus, batu empedu tidak menimbulkan gejala, dan hanya 10% dan 20%
yang pada akhirnya akan menjadi gejala dalam waktu 5 tahun dan 20 tahun setelah diagnosis
(Abraham et all, 2014)
Kejadian batu empedu berhubungan dengan diet tinggi kalori, diabetes melitus tipe II,
dislipidemia, hiperinsulinisme, obesitas, dan sindrom metabolik. Terdapat beberapa faktor
resiko yang dapat menyebabkan terbentuknya batu empedu yaitu riwayat keluarga dengan batu
empedu, perempuan, bertambahnya usia, ras (Chilean Indian, Mexican Americans, Pima
Indian), diet tinggi kalori dan olahan karbohidrat, rendah serat dan lemak tak jenuh, pasien
dengan nutrisi parenteral total, aktivitas fisik yang rendah, kehamilan dan multiparitas, puasa
berkepanjangan, penurunan berat badan yang cepat, sirosis alkoholik, operasi bariatric,
diabetes mellitu, dislipidemia, terapi hormone estrogen atau kotrasepsis oral, hyperinsulinemia,
sindroma metabolic, dan obersitas (Abraham et all, 2014).
Komplikasi yang dapat terjadi pada kolelitiasis adalah kolesistitis akut yang dapat
menimbulkan perforasi dan peritonitis, kolesistitis kronik, icterus obstruktif, kolangitis,
Kolangiolitis piogenik, fistel bilioenterik, ileus batu empedu, pankreatitis dan perubahan
menuju keganasan. Berdasarkan hal tersebut penulis ingin melaporkan kasus kolelitiasis yang
terjadi di Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan (RSML).
1.2 Tujuan
1.3 Manfaat
Penulisan laporan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai media belajar dalam
melakukan penegakan diagnosis dan tatalaksana pada pasien secara tepat dan
komprehensif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Batu empedu adalah endapan cairan empedu yang mengeras, yang dapat terbentuk
di dalam kantong empedu. Mereka bervariasi dalam ukuran dan bentuk dari sekecil
butiran pasir hingga sebesar bola golf. Batu empedu terjadi ketika ada
ketidakseimbangan dalam unsur kimia empedu yang mengakibatkan pengendapan satu
atau lebih komponen (Njeze, 2013).
2.2 Epidemiologi
Angka kejadian kolelitiasis di Indonesia diduga tidak berbeda jauh dengan angka
negara lain di Asia Tenggara (Wibowo et al., 2010). Di Rumah Sakit Umum Daerah
Koja Jakarta pada 05 Oktober sampai dengan 31 Desember 2015 didapatkan 101 kasus
kolelitiasis (Febyan, 2017). Sedangkan di Rumah Sakit Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
didapatkan jumlah kasus kolelitiasis periode Oktober 2015 –Oktober 2016 di bagian
rekam medik sebanyak 113 kasus (Tuuk, 2016).
2.3 Patofisiologi
Batu empedu terutama terdiri dari kolesterol, bilirubin, dan garam kalsium,
dengan sejumlah kecil protein dan bahan lainnya. Ada tiga jenis batu empedu (i) Batu
kolesterol murni, yang mengandung setidaknya 90% kolesterol, (ii) Batu pigmen
berwarna coklat atau hitam, yang mengandung setidaknya 90% bilirubin dan (iii) Batu
komposisi campuran, yang mengandung berbagai proporsi seperti kolesterol, bilirubin
dan zat lain seperti kalsium karbonat, kalsium fosfat dan kalsium palmitat. Batu pigmen
coklat terutama terdiri dari kalsium bilirubinat sedangkan batu pigmen hitam
mengandung bilirubin, kalsium dan/atau fosfat tribasic. Batu pigmen coklat berkaitan
dengan infeksi. Bakteri pada sistem billier mengeluarkan beta glucuronidases, yang
mengehidrolisis asam glucuronic dari bilirubin terkonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi
yang dihasilkan mengendap sebagai garam kalsiumnya. Batu pigmen coklat primer
pada saluran empedu sering terjadi pada orang Asia, berhubungan dengan penurunan
sekretori bilier Immunogloblin A (IgA). Sedangkan batu pigmen hitam seringkali
didapatkan pada pasien dengan sirosis hepatis atau kondisi hemolitik kronis seperti
thalassemias, spherocytosis herediter, dan sickle cell disease yang menyebabkan
peningkatan ekskresi bilirubin (Njeze, 2013).
Di masyarakat Barat dan di Pakistan lebih dari 70% batu empedu terutama
terdiri dari kolesterol, baik murni maupun campuran dengan pigmen,
mukoglikoprotein, dan kalsium karbonat. Kristal kolesterol murni cukup lunak, dan
protein berkontribusi penting pada kekuatan batu kolesterol.
- Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko penting untuk berkembangnya penyakit batu
empedu. Wanita obesitas, yang didefinisikan sebagai indeks massa tubuh (BMI)
>30 kg/m2 berisiko dua kali lipat terkena penyakit kandung empedu dibandingkan
wanita dengan BMI normal (<25 kg/m2). Wanita dengan obesitas ekstrem atau BMI
>40 kg/m2 memiliki risiko batu empedu 7 kali lipat lebih tinggi. Alasan
peningkatan risiko batu empedu pada pasien obesitas adalah karena peningkatan
sekresi kolesterol hati. Selain itu, korelasi antara penyakit batu empedu dan obesitas
lebih besar pada pasien dengan obesitas sentral dan mereka yang mengalami
obesitas pada usia dini daripada pada usia lanjut (Nauman et al., 2010).
- Penurunan berat badan yang cepat
Wanita yang mengalami penurunan berat badan 4 – 10kg dalam waktu 2 tahun
memiliki resiko lebih tinggi mengalami batu empedu dibandingkan Wanita yang
mengalami penurunan berat badan < 4kg dalam 2 tahun. Dalam studi lain
menunjukkan bahwa penurunan berat badan >1.5kg/minggu meningkatkan resiko
terjadinya batu empedu (Nauman et al., 2010).
- Diet dan aktivitas fisik
Diet yang memiliki risiko rendah untuk menyebabkan batu empedu adalah vitamin
c, kacang, kopi, moderate alcohol intake. Sedangkan makanan yang memiliki resiko
tinggi menyebabkan batu empedu adalah makanan yang mengandung tinggi
kolestrol, makanan yang mengandung rendah fiber. Total parenteral nutrition
(TPN) juga meningkatkan kejadian batu empedu. Selain diet, berkurangnya
aktivitas fisik meningkatkan kejadian batu empedu (Nauman et al., 2010)..
- Merokok, pengobatan, hiperlipidemia, diabetes mellitus tipe II
Rendahnya kadar kolesterol high-density lipoprotein (HDL) dan trigliserida tinggi
berhubungan dengan penyakit batu empedu. Diabetes melitus tampaknya
memfasilitasi perkembangan terbentuknya batu empedu sekunder akibat
peningkatan kadar trigliserida terkait obesitas serta meningkatkan hipomotilitas dan
stasis kandung empedu. Berbagai macam obat telah dikaitkan dengan
perkembangan batu empedu. Ini termasuk tiazid, kontrasepsi oral, dan ceftriaxone.
Somatostatin juga dikaitkan dengan perkembangan batu empedu karena efeknya
pada gangguan pengosongan kandung empedu (Nauman et al., 2010).
2.5 Diagnosis
Batu empedu sering ditemukan secara tidak segaja selama pemeriksaan
ultrasonografi atau computed tomography abdomen. Hanya 10% sampai 20% dari
pasien tanpa gejala akhirnya akan menjadi gejala dalam waktu lima sampai 20 tahun
setelah diagnosis. Tingkat rata-rata pasien yang berkembang menjadi gejala sangat
rendah sekitar 2% per tahun.
- Anamnesis dan Pemeriksaan fisik
Makanan yang masuk di cerna oleh asam empedu, dalam proses
pencernaan makanan terutama lemak sehingga kandung empedu
berkontraksi untuk mengeluarkan asam empedu. Kandung empedu yang
berkontraksi dapat mengakibatkan batu empedu terperangkap di ductus
sistikus yang mengehubungkan kandung empedu dengan ductus bilaris
komunis. Sumbatan batu empedu pada ductus sistikus tersebut
menyebabkan nyeri, mual, dan muntah.
Pada anamnesis biasanya didapatkan adanya keluhan colic bilier yang
dideskripsikan sebagai nyeri akut pada kuadran kanan atau epigastrium
(dematomes T8/9) dikarenakan adanya sumbatan batu empedu pada leher
kantong empedu. Nyeri dikarakteristikkan sebagai nyeri yang terus-menerus
dengan intensitas sedang sampai berat. Nyeri dirasakan mendadak, tidak
berkurang dengan buang air besar, dan mencapai puncaknya dalam satu jam.
Nyeri dapat menjalar ke punggung atau bahu kanan. Rasa sakit cenderung
berkurang secara bertahap selama satu sampai lima jam saat batu terlepas,
jika nyeri berlangsung lebih lama maka dicurigai terjadi komplikasi. Lebih
dari 90% pasien dengan episode pertama kolik bilier mengalami nyeri
berulang dalam 10 tahun (dua pertiga dari mereka dalam dua tahun).
Pemeriksaan fisik pada pasien kolelitiasis biasanya normal. Tanda
Murphy dapat ditemukan dan menunjukkan adanya kolesistitis akut
dan/atau kolangitis asenden. Tanda Murphy dikatakan positive apabila
didapatkan nyeri setelah tangan pemeriksa bersentuhan dengan kandung
empedu yang meradang. Saat pemeriksaan pasien diminta untuk menarik
nafas dalam dan ditahan lalu tangan pemeriksa meraba pada daerah
subcostal kanan (AAFP, 2014; Iqbal et al., 2019).
- Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
• Darah lengkap, pada darah lengkap dapat ditemukan leukositosis
yang menandakan kolesistitis akut, kolangitis, atau pankreatitis.
• Alkali fosfatase (sensitivits 57%, spesifisitas 86%)
• Bilirubin (sensitivitas 69%, spesifitas 86%). Bilirubin dapat
meningkat jika terjadi obstruksi pada saluran empedu.
• Fungsi hepar
• Amilase dan lipase: diperiksa apabila keluhan utama pasien adalah
nyeri epigastric, bak yang mnejalar ke punggung atau tidak, serta
terdapat keluhan dan gejala pankreatitis akut seperti mual, muntah,
kembung, dan bising usus menurun (AAFP, 2014; Iqbal et al.,
2019)..
b. Radiologi
• Rontgen abdomen tidak termasuk dalam pilihan pemeriksaan,
dikarenakan hanya 50% batu pigmen dan 20% batu kolestrol
mengandung cukup kalsium yang terlihat pada foto polos. Rontgen
abdomen bermanfaat untuk mengeksklusi penyebab nyeri akut
abdominal.
• USG Abdomen merupakan pilihan utama pemeriksaan batu empedu,
didapatkan gambaran lesi ekogenik dengan bayangan distal
hipoekoik (acoustic shadow). USG abdomen dapat memberikan
informasi terkait anatomi seperti ukuran diameter ductus biliaris
komunis dan abnormalitas parenkim hepar.
• Endoscopic retrograde cholangio-pancreatography (ERCP) memiliki
sensitivitas 80-93%, spesifitas 99-100%, saat ini ERCP digunakan
untuk Tindakan terapeutik, tidak untuk diagnosis. Beberapa
komplikasi yang dapat diakibatkan adalah pankreatitis, peerdarahan,
perforasi sehingga dilakukan pada pasien dengan risiko tinggi batu
ductus koledokus, terutama jika terjadi kolangitis.
• CT-Scan merupakan pilihan terakhiri karena tidak terlalu bermanfaat
dalam diagnosis batu empedu. CT-Scan baik untuk visualisasi
distensi empedu, penebalan dinding empedu, dan komplikasi
kolesistirisi akut
• MRI (AAFP, 2014; Iqbal et al., 2019).
2.6 Komplikasi
• Kolesistitis akut
Kolesistitis akut merupakan inflamasi pada kandung empedu yang disebabkan
karenakan sumbatan batu empedu pada ductus sistikus. Perlu dicurigai adanya
kolesititis akut apabila didapatkan gejala seperti demam, teraba massa pada
kuadran kanan atas, nyeri persisten, tanda Murphy positive, leukositosis, dan
adanya peningkatan bilirubin (AAFP, 2014).
• Kolangitis asenden
Kolangitis asenden terjadi karena obstruksi total ductus bilier komunis
menyebabkan stasis dan infeksi bilier. Gejala klasik adalah triad Charcoat yaitu
kolik bilier, ikterik, dan demam. Mungkin didapatkan hipotensi dan gangguan
kesadraan (Reynold’s pentad) (AAFP, 2014).
• Pankreatitis bilier akut
Pankreatitis bilier akut terjadi akibat obstruksi aliran pancreas atau refluks
empedu ke ductus pancreas. Gejala dapat berupa nyeri epigastrium dengan atau
tanpa penjalaran ke punggung, mual, muntah, dan kadar enzim pancreas yang
meningkat (AAFP, 2014).
2.7 Tatalaksana
• Anti-Nyeri
Anti-Nyeri yang dapat digunakan adalah NSAIDs (nonsteroidal anti-
inflammatory drugs). NSAID lebih disukai untuk sebagian besar pasien karena
efektifnya baik dan efek samping yang lebih sedikit. Pilihan lain untuk anti-
nyeri adalah agen antispasmodic (misalnya, skopolamin), yang dianggap dapat
meredakan kekakuan pada kandung empedu. Namun, studi perbandingan
menunjukkan bahwa NSAID memberikan efek yang lebih cepat dan lebih
efektif untuk mengendalikan nyeri. Pasien harus berpuasa sebagai bagian dari
manajemen konservatif kolik bilier dan untuk menghindari pelepasan
cholecystokinin endogen (AAFP, 2014).
• Terapi Pembedahan
Pasien dengan batu empedu simptomatis dibagi menjadi dua kategori yaitu
pasien dengan keluhan colic bilier sederhana dan pasien dengan komplikasi.
Kolesistektomi, biasanya laparoskopik, direkomendasikan kepada pasien yang
memiliki batu empedu dengan gejala. Kolesistektomi memiliki risiko rendah
untuk kekambuhan batu dan meredakan nyeri bilier pada 92% pasien.
Kolesistektomi laparoskopi jauh lebih baik daripada kolesistektomi terbuka
karena tingkat kematian yang rendah, nyeri yang lebih sedikit, dan masa rawat
inap yang lebih singkat (AAFP, 2014; Iqbal et al, 2019).
Indikasi dan kontraindikasi laparoskopik kolesistektomi
- Indikasi: kolesistitis akut, dyskinesia bilier, komplikasi yang berhubungan
dengan batu pada ductus biliaris komunis, kalsifikasi gallbladder, anemia
hemolitik, batu empedu yang besar (>3cm), obese
- Kontraindikasi
Absolute: Keganasan pada kandung empedu, ketidakmampuan untuk
mentolerir anestesi umum, koagulopati yang tidak terkontrol
Relative: sirosis hepatis, peritonitis, riwayat operasi abdomen atas
sebelumnya, syok septik.
• Oral dissolution therapy
Pasien simtomatik yang bukan kandidat untuk pembedahan atau mereka yang
memiliki batu empedu kecil (5 mm atau lebih kecil) di kandung empedu dengan
duktus sistikus paten adalah kandidat untuk terapi disolusi. Pilihannya termasuk
asam ursodeoxycholic oral (ursodiol [Actigall]) dan asam chenodeoxycholic.
Kedua agen tersebut menurunkan sekresi kolesterol empedu oleh hati,
menyebabkan pembentukan empedu tak jenuh, dan mendorong peleburan
kristal kolesterol dan batu empedu. Setelah enam sampai 12 bulan terapi, pada
akhirnya dapat menyebabkan peleburan batu empedu kecil, tetapi dengan
tingkat kekambuhan lebih dari 50%. Disolusi oral memiliki beberapa
kelemahan, antara lain jangka waktu pengamatan yang lama (hingga dua tahun).
Kurang dari 10% pasien dengan gejala batu empedu adalah kandidat untuk
terapi ini (AAFP, 2014).
• Extracorporal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Extracorporal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) merupakan terapi alternatif
noninvasif untuk pasien dengan gejala. Tingkat kesembuhan gejala dengan
terapi ESWL adalah 55%. Meskipun efek samping yang serius (misalnya,
pankreatitis bilier, hematoma hati) jarang terjadi, keterbatasan prosedur ESWL
adalah kekambuhan batu >40% setelah ESWL, masih didapatkan sisa batu pada
saluran empedu dikarenakan ukuran atau posisi batu. Namun, penelitian terbaru
menunjukkan kegunaan ESWL untuk batu pankreas besar dan saluran empedu
umum diikuti oleh ERCP, dengan hasil yang sebanding dengan pembedahan
sehubungan dengan penghilang rasa sakit dan pembersihan saluran (AAFP,
2014; EASL, 2016).
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : Tn. AW
Umur : 40 Tahun
Alamat : Surabaya
Agama : Islam
No. RM : 36.18.68
3.2 Anamnesis
- Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat sakit liver ataupun sakit batu empedu
Riwayat psikososial
- Pasien mengatakan suka makan makanan berlemak seperti jeroan dan bakso. Pasien
tidak terlalu suka sayur
Primary Survey
Hasil Pemeriksaan :
Cor: Besar dan bentuk normal
Pulmo: Tak nampak fibroinfiltrat
Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam, tulang dan soft tissue tak nampak
kelainan
Kesimpulan :Foto Thorax tak nampak kelainan
3.5 Diagnosis
− Diagnosis Kerja: Nyeri perut kanan
− Diagnosis Primer: Kolelitiasis + Kolesistitis Akut
− Diagnosis Sekunder: -
− Diagnosis Komplikasi: -
3.6 Planning
3.7 Follow Up
Tanggal Hasil Follow Up
Evaluasi S O A P
06/12/22 Pasien GCS 456 Kolelitiasis IVFD NaCl 0.9%
19:00 mengatakan TD 120/65 mmHg + 1500cc/24jam
Inj Metamizole 3
nyeri perut HR: 80x/menit Kolesistitis x 1g
kanan atas RR: 20x/menit Akut Inj Ranitidin 2 x
50mg
tetap. Pasien SpO2: 100% Inj. Ceftriaxone 2
mengatakan T: 36.5 x 1g iv
Chang, Y. R., Jang, J. Y., Kwon, W., Park, J. W. (2013). Changes in demographic features of
gallstone disease: 30 years of surgically treated patients. Gut and Liver.
https://doi.org/10.5009/gnl.2013.7.6.719
Gallstones. American Family Physician. (2014, May 15). Retrieved December 16, 2022, from
http://www.aafp.org/afp/2014/0515/p795-s1.html
Heuman, D. (2017). Gallstones (Cholelithiasis): Practice Essentials, Background,
Pathophysiology. Agustus 15. 2018.
https://emedicine.medscape.com/article/175667-overview
Iqbal, M. N., Iqbal, M. A., Javaid, R., & Abbas, M. W. (2019). Gall stones: A fundamental
clinical review. International Journal of Research in Medical Sciences, 7(7), 2869.
https://doi.org/10.18203/2320-6012.ijrms20192938
Marschall, H.-U., & Einarsson, C. (2007). Gallstone disease. Journal of Internal Medicine,
261(6), 529–542. https://doi.org/10.1111/j.1365-2796.2007.01783.x
Nauman Bajwa, Rajinder Bajwa, Ambrish Ghumman, & Ghumman. (n.d.). The gallstone story:
Pathogenesis and epidemiology - researchgate. Retrieved December 16, 2022, from
https://www.researchgate.net/profile/Rajinder-
Bajwa/publication/287846018_The_gallstone_story_Pathogenesis_and_epidemiolo
gy/links/583b6b9c08ae3a74b4a06bb9/The-gallstone-story-Pathogenesis-and-
epidemiology.pdf
Njeze GE. Gallstones. Niger J Surg. 2013 Jul;19(2):49-55. doi: 10.4103/1117-6806.119236.
PMID: 24497751; PMCID: PMC3899548.
Tuuk, A (2016). Profil Kasus Batu Empedu di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode
Oktober 2015-Oktober 2016. Universitas Sam Ratulangi Manado.
Reshetnyak, V. I. (2012). Concept of the pathogenesis and treatment of cholelithiasis. World
Journal of Hepatology, 4(2), 18. https://doi.org/10.4254/wjh.v4.i2.18