PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Kolelitiasis dalam bahasa medis atau sering disebut oleh orang awam dengan batu
empedu, penyakit ini salah satu penyakit yang berhubungan erat dengan gaya hidup atau
pola hidup yang tidak sehat. Seperti pola makan yang tidak memperhatikan asupan, dan
aktivitas yang kurang. Batu empedu ini terbentuk dari partikel-partikel keras yang
mengendap dalam kantong atau saluran empedu. Menurut buku Rencana Asuhan
Keperawatan Medikal-Bedah (Nugraha et al., 2017) kolelitiasis adalah peradangan
kandung empedu yang disebabkan karena adanya sumbatan berupa partikel keras atau
batu.
Kolelitiasis atau batu empedu adalah suatu komponen-komponen empedu seperti
bilirubin, kolesterol, garam empedu, protein, kalsium, asam lemak, dan fosfolipid yang
mengendap dalam kantong empedu (Rizky & Dessy, 2018). Endapan-endapan ini
biasanya dapat ditemukan di dalam kantong empedu atau di dalam saluran empedu atau
bahkan dapat ditemukan dalam keduanya. Berdasarkan Gagola, Timban, & Ali (2015)
menyebutkan bahwa batu empedu ini dapat terbentuk dan ditemukan di dalam kandung
empedu (cholecytolithiasis) atau di dalam duktus choledochus (choledocholithiasis).
Menurut Hasanah (2015) batu empedu adalah suatu pembentukan dari sebuah unsur
endapan dari kolesterol, kalsium, dan campuran dari keduanya yang biasanya terbentuk
dalam kantong empedu, saluran empedu, bahkan dalam saluran hati. Penyakit batu
empedu ini dapat terjadi karena akibat dari adanya peradangan pada kantung empedu
yang mengakibatkan produksi sel dan zat yang tidak normal. Hal ini terjadi karena
adanya kristalisasi komponen empedu sehingga mengakibatkan kecacatan dalam
metabolisme di hati (Chen, Kong, & Wu, 2015).
Keluhan yang sering dikeluhkan pada penderita batu empedu adalah nyeri pada
ulu hati yang menjalar sampai bagian belakang (punggung). Dalam penelitian yang
dilakukan Veronika, Tarigan, & Sinatra (2016) menyebutkan bahwa mayoritas keluhan
pada penderita kolelitiasis adalah nyeri pada abdomen kuadran kanan atas. Dampak yang
akan ditimbulkan apabila tidak segera ditangani akan mengakibatkan infeksi pada
kantong empedu. Dimana saluran empedu akan mengalami aliran balik diakibatkan
adanya penyempitan oleh batu empedu, karena hal ini akan timbul infeksi berat pada
saluran empedu (kolangitis). Tersumbatnya saluran empedu ini akan digunakan bakteri
untuk tumbuh dan berkembang sehingga akan menimbulkan infeksi. Bakteri yang
tumbuh dan berkembang ini dapat menyebar dan menginfeksi bagian tubuh lain yang
beredar melalui aliran darah. Selain itu kolelitisis dapat menimbulkan komplikasi berupa
kolesistitis akut yang dapat menimbulkan perforasi dan peritonitis, kolesistitis kronik,
ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis piogenik, pankreatitis, dan perubahan
keganasan (Rizky & Dessy, 2018).
Faktor risiko batu empedu secara konvensional meliputi usia, jenis kelamin, dan
diabetes mellitus (Manatsathit, Leelasincharoen, Al-Hamid, Szpunar, & Hawasli, 2016).
Dalam tulisan Febyan, Dhilion, Ndraha, & Tendean, (2017) faktor risiko yang banyak
dijumpai pada kasus batu empedu biasa disebut “6F” yaitu (fat, female, forty, food,
fertile, family histori). Seperti dijelaskan diatas bawasannya perempuan lebih rentan dan
lebih mendominasi dalam kasus batu empedu ini dikarenakan hormone esterogen.
Hormon esterogen ini dapat mempengaruhi terbentuknya batu empedu, karena hormon
esterogen dapat meningkatkan kadar kolesterol sehingga menyebabkan kontraksi pada
kandung empedu berkurang. Hal ini dipicu karena wanita memiliki ekstra esterogen
karena mengalami hamil, menjalani terapi sulih hormon, atau mengkonsumsi obat KB
(Gagola et al., 2015).
Di Negara Barat masih banyak ditemukan penyakit batu empedu ini, angka
kejadian penyakit ini di Amerika Serikat bahkan mencapai titik tertinggi 2 sekitar 40%-
70%. Sedangkan di Negara Asia angka kejadian penyakit ini berkisar 3%-15%. Namun
di negara afrika angka kejadian penyakit ini cenderung rendah yaitu <5% (Gagola et al,
2015). Di Indonesia angka kejadian penyakit batu empedu dapat di katakan lebih rendah
bila di bandingkan dengan negara barat (Febyan,Dhilion, Ndraha & Tendean, 2017).
Dalam penelitian yang dilakuk Tuuk & Noersasongko (2016) menyebutkan dari 113
kasus batu empedu yang ada, 62 diantaranya merupakan gender perempuan (55%) dan
51 diantaranya merupakan gender laki-laki (45%). Dengan jumlah tertinggi pada usia
>60 tahun dan terendah pada usia 40 tahun (Febyan et al., 2017). Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Gagola, Timban, & Ali (2015) menyebutkan dari 225 kasus batu empedu
yang ditemukan, banyak diantaranya terjadi pada perempuan dengan total 124 kasus
(55,1%) dan pada laki-laki dengan total 101 kasus (44,9%).
Menurut data sensus pasien masuk di ruang Seruni RSUD Kabupaten Tangerang
penulis mendapatkan data dari bulan Januari- Mei 2023 terdapat....kasus dengan
cholelitiasis. Dari ..kasus cholelitiasis terdapat...kasus terjadi pada wanita dan ...kasus
terjadi pada pria. Dan kasus cholelitiasis di ruang Seruni termasuk dalam 10 kasus
terbanyak di ruang Seruni. Berdasarkan banyaknya kasus cholelitiasis yang masuk di
ruang seruni dan di lakukan tindakan operasi serta pentingnya peran perawat dalam
penanganan kasus tersebut untuk mencegah komplikasi lebih lanjut, maka penulis
tertarik untuk membuat laporan asuhan keperawatan pada pasien dengan kolelitiasis.
1. 2 Rumusan Masalah
Kolelitiasis di sebut juga dengan batu empedu, sering terjadi pada wanita dan
memiliki banyak komplikasi seperti perforasi dan peritonitis, kolesistitis kronik, ikterus
obstruktif, kolangitis, kolangiolitis piogenik, pankreatitis, dan perubahan keganasan.
Banyaknya kasus cholelitiasis yang masuk bangsal Seruni di RSUD kabupaten
Tangerang. Maka penulis tertarik untuk membuat laporan asuhan keperawatan pada
pasien dengan kolelitiasis.
1. 3 Tujuan
I.3.1 Tujuan Umum
Memaparkan asuhan keperawatan pada ny.N dengan preoperasi dan post
operasi laparatomi explorasi batu CBD koledokoduodenostomi
cholesistektomy di ruang Seruni RSUD kabupaten Tangerang.
I.3.2 Tujuan Khusus
a. Menjelaskan konsep dasar dari kolelitiasis
b. Menjelaskan data pengkajian yang mendukung penegakan diagnosa
kolelitiasis
c. Menjelaskan rencana asuhan keperawatan pre operasi dan post operasi
explorasi batu CBD koledokoduodenostomi cholesistektomy
d. Menjelaskan implementasi keperawatan yang telah dilakukan pada klien
dengan diagnosa kolelitiasis.
1. 4 Manfaat
1.4.1 Secara Teoritis
Dengan adanya Laporan Asuhan Keperawatan ini penulis berharap dapat
meningkatkan pengetahuan dalam memberikan asuhan keperawatan pada
pasien dengan kolelitiasis.
1.4.2 Secara Praktisi
1.4.2.1 Bagi Penulis
Dapat pembuatan laporan asuhan keperawatan pada pasien kolelitiasis
dapat menambah pengalaman penulis dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien kolelitiasis.
1.4.2.2 Bagi Profesi Keperawatan
Dapat memberikan pengetahuan tambahan bagi perawat dalam
pemberian asuhan keperawatan pada pasien kolelitiasis di rumah sakit
1.4.2.3 Bagi Instansi Rumah Sakit
Dapat menambah informasi bahan bacaan atau pun referensi tentang
asuhan keperawatan pada pasien kolelitiasis,
1.4.2.4 Bagi Masyarakat
Dapat bermanfaat bagi pasien dan keluarga dalam perawatan pasien
kolelitiasis.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1.2.2 Fisiologi
Kandung empedu bekerja sebagai tempat persediaan getah
empedu. Juga melakukan fungsi penting yaitu getah empedu yang
tersimpan didalamnya dibuat pekat. Cairan empedu dibentuk oleh
hepatosit, sekitar 600 mL per hari, terdiri dari air, elektrolit, garam
empedu, kolesterol, fosfolipid, bilirubin, dan senyawa organik terlarut
lainnya. Kandung empedu bertugas menyimpan dan
menkonsentrasikan empedu pada saat puasa. Kira-kira 90% air dan
elektrolit direasorbsi oleh epitel kandung empedu, yang menyebabkan
empedu kaya akan konstituen organik (Pearce,2016).
Kandung empedu dapat menyimpan 40-60 ml empedu. Empedu
disimpan dalam kantung empedu selama periode interdigestif dan
diantarkan ke duodenum setelah rangsangan makanan. Aliran cairan
empedu diatur 3 faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi
kandung empedu, dan tahanan juga sfingter koledokus. Empedu
memiliki fungsi, yaitu membantu pencernaan dan penyerapan lemak,
juga berperan membantu pembuangan limbah tubuh, salah satunya
ialah hemoglobin yang berasal dari penghancuran eritrosit dan
kolesterol yang berlebih, garam empedu meningkatkan kelarutan
kolesterol, lemak, dan vitamin yang larut didalam lemak untuk
membantu proses penyerapan, garam empedu melepas pelepasan air
oleh usus besar untuk menggerakan billirubin (pigmen utama dari
empedu) dibuang kedalam empedu sebagai limbah dari eritrosit yang
dihancurkan, serta obat dan limbah lainnya dibuang dalam empedu dan
selanjutnya dibuang dari tubuh. Garam empedu kembali diserap
kedalam usus halus, disuling oleh hati dan dialirkan kembali kedalam
empedu (Cahyono,2014).
2.1.3 Etiologi
Penyebab pasti dari kolelitiasis atau koledokolitiasis atau batu empedu
belum diketahui. Satu teori menyatakan bahwa kolestrol dapat menyebabkan
supersaturasi empedu dikandung empedu. Setelah beberapa lama, empedu
yang telah megalami supersaturasi menjadi mengkristal dan mulai membentu
batu. Tipe lain batu empedu adalah batu pigmen, Batu pigmen tersusun oleh
kalsium bilirubin, yang terjadi ketika bilirubin bebas berkombinasi dengan
kalsium (Nurarif & Kusuma 2015).
Menurut Nian Afrian (2015) penyebab kolelitiasis adalah :
a. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai risiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dengan
pria. Ini dikarenakan oleh hormon eosterogen berpengaruh terhadap
peningkatan ekskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan yang
meningkatkan kadar esterogen juga meningkatkan risiko terkena
kolelitiasis. Penggunaan pil dan kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen)
dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan
aktivitas pengosongan kandung empedu.
b. Usia
Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya
usia. Orang dengan usia > 40 tahun lebih cenderung untuk terkena
kolelitiasis dibandingkan dengan orang dengan usia yang lebih muda.
c. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih
tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI
maka kadar kolesterol dalam kandung empedu tinggi, dan juga
mengurangi garam empedu serta mengurangi kontraksi / penggosongan
kandung empedu.
d. Makanan Intake rendah klorida
kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gastrointestinal) mengakibtkan gangguan terhadap unsur kimia dari
empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
e. Riwayat Keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga.
f. Aktifitas Fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan risiko
terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu
lebih sedikit berkontraksi.
g. Genetik
Batu empedu memperlihatkan variasi genetik. Kecenderungan membentuk
batu empedu bisa berjalan dalam keluarga.
2.1.4 Patofisiologi
Batu empedu terjadi karena adanya zat tertentu dalam empedu yang
hadir dalam konsentrasi yang mendekati batas kelarutan mereka. Bila empedu
terkosentrasi di kandung empedu, larutan akan menjadi jenuh dengan bahan-
bahan tersebut, kemudian endapan dari larutan akan membentuk kristal
mikroskopis. Kristal terperangkap dalam mukosa bilier, akan menghasilkan
suatu endapan. Oklusi dari saluran oleh endapan dan batu kolesterol
menghasilkan komplikasi penyakit batu empedu.
Pada kondisi normal kolesterol tidak mengendap di empedu karena
mengandung garam empedu terkonjugasi dan fosfatidikolin (lesitin) dalam
jumlah cukup agar kolesterol berada di dalam larutan misel, jika rasio
konsetrasi kolesterol berbanding garam empedu dan lesitin meningkat, maka
larutan misel menjadi sangat jenuh. Kondisi yang sangat jenuh ini mungkin
karena hati memproduksi kolestrol dalam bentuk konsentrasi tinggi. Zat ini
kemudian mengendap pada lingkungan cairan dalam bentuk kristal kolesterol.
Kristal ini merupakan prekursor batu empedu.
Bilirubin, pigmen kuning yang berasal dari pemecahan heme, secara
aktif disekresikan ke dalam empedu oleh sel hati. Sebagian besar bilirubin
dalam empedu adalah berada dalam bentuk konjugat glukoronida yang larut
dalam air dan stabil, tetapi sebagian kecil terdiri atas bilirubin tak
terkonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi, seperti asam lemak,fosfat, karbonat,
dan anion lain, cenderung untuk membentuk presipitat tak larut dengan
kalsium. Kalsium memasuki empedu secara pasif bersama dengan elektrolit
lain. Dalam situasi pergantian heme tinggi, seperti hemolisis kronis atau
sirosis, bilirubin tak terkonjugasi mungkin berada dalam empedu pada
konsentrasi yang lebih tinggi dari biasanya. Kalsium bilirubinat mungkin
kemudian mengkristal dari larutan dan akhirnya membentuk batu. Seiring
waktu berbagai oksidasi menyebabkan bilirubin presipitat untuk mengambil
jet warna hitam. Batu yang terbentuk dengan cara ini yang disebut batu
pigmen hitam.
Empedu biasanya steril, tetapi dalam beberapa kondisi yang tidak biasa
(misalnya diatas struktur bilier), mungkin terkolonisasi dengan bakteri. Bakteri
menghidrolisis bilirubin terkonjugasi dan hasil peningkatan bilirubin tak
terkonjugasi dapat menyababkan presipitasi terbentuknya kristal kalsium
bilirubinat. Bakteri hidrolisis lestini menyebabkan pelepasan asam lemak yang
kompleks dengan kalsium dan endapan dari larutan. Konkresi yang dihasilkan
memiliki konsistensi disebut batu pigmen coklat. Tidak seperti kolesterol atau
pigmen hitam batu, yang membentuk hampir secara eksklusif di kandung
empedu, batu pigmen coklat sering disebut de novo dalam saluran empedu.
Kondisi batu kandung empedu memberikan berbagai manifestasi
keluhan pada pasien dan menimbulkan berbagai masalah keperawatan. Jika
terdapat batu yang menyumbat duktus sistikus atau duktus biliaris komunis
untuk sementara waktu, tekanan di duktus biliaris akan meningkat dan
peningkatan kontraksi peristaltik di tempat penyumbatan mengakibatkan nyeri
visera di daerah epigastrium, mungkin dengan perjalaran ke punggung.
Keluhan muntah dapat memberikan masalah keperawatan nyeri dan resiko
ketidakseimbangan cairan. Respons nyeri dan gangguan gastrointestinal akan
meningkatkan penurunan intake nutrisi, sedangkan anoreksia memberikan
masalah keperawatan resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan.
Respons komplikasi akut dengan peradangan akan memberikan
manifestasi peningkatan suhu tubuh. Respons kolik bilier secara kronis akan
meningkatkan kebutuhan metabolisme sehingga pasien cenderung mengalami
kelelahan memberikan masalah intoleransi aktivitas. Respons adanya batu
akan dilakukan intervensi medis pembedahan, intervensi litotripsi, atau
intervensi endoskopik memberikan respons psikologis kecemasan dan
pemenuhan informasi (Muttaqin & Sari 2013).
2.1.5 Patway kolelitiasis
2.1.6 Manifestasi klinis
Menurut Nurarif & Kusuma (2015) tanda dan gejala kolelitiasis dapat
diuraikan sebagai berikut:
a. Sebagian besar bersifat asimtomatik (tidak ada gejala apapun)
b. Nyeri tekan pada abdomen kuadran kanan atas atau midepigastrik samar
yang menjalar ke punggung atau region bahu kanan
c. Sebagian penderita, rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan persisten
d. Mual, muntah serta demam
e. Ikterus Obstruksi pengaliran getah empedu kedalam duodenum akan
menimbulkan gejala yang khas, yaitu : getah empedu yang tidak lagi
dibawa kedalam duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan
empedu ini membuat kulit dan membrane mukosa berwarna kuning.
Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal – gatal pada kulit
f. Perubahan warna urine dan feses
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urine berwarna sangat
gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak
kelabu, dan biasanya pekat yang disebut “Clay-colored”
g. Defisiensi vitamin Obstruksi aliran empedu juga akan mengganggu
absorbsi vitamin A,D,E,K yang larut lemak. Karena itu pasien dapat
memperlihatkan gejala
h. Terjadi regurgitasi gas : sering flatus dan sendawa
2.1.7 Komplikasi
Menurut Tanto, et.all (2014) komplikasi akibat kolelitiasis antara lain:
a. Kolesistitis Akut
Kolesistitis akut terkait dengan batu empedu terjadi pada 90- 95% kasus
yang ditandai dengan kolik bilier akibat obstruksi duktus sistikus. Apabila
obstruksi berkanjut, kandung empedu mengalami distensi, inflamasi dan
edema. Gejala yang dirasakan adalah nyeri kuadran kanan atas yang lebih
lama daripada episode sebelumnya, demam, mual dan muntah. b.
b. Kolesistitis Kronik
Inflamasi dengan episode kolik bilier atau nyeri dari obstruksi duktus
sitikus berulang mengacu pada kolesistitis kronis. Gejala utama berupa
nyeri (kolik bilier) yang konstan dan berlangsung aekitar 1-5 jam, mual,
muntah, dan kembung
c. Koledokolitiasis
Batu pada saluran empedu atau common bile ductus (CBD), dapat
asimtomatis dengan obstruksi transien dan pemeriksaan laboratorium yang
normal. Gejala yang dapat muncul adalah kolik bilier, ikterus, tinja dempul,
dan urin berwarna gelap seperti teh
d. Peritonitis
Peritonitis adalah inflamasi pada lapisan perut sebelah dalam yang dikenal
sebagai peritoneum. Komplikasi ini terjadi akibat pecahnya kantong
empedu yang mengalami peradangan parah. Tersumbatnya saluran ini
menjadi rentan terserang bakteri penyebab infeksi. Komplikasi ini
umumnya dapat ditangani dengan antibiotik dan prosedur
kolangiopankreatografi retrograde endoskopik (ERCP). Gejala pada infeksi
ini adalah sakit di perut bagian atas yang menjalar ke tulang belikat, sakit
kuning, demam tinggi, dan linglung
e. Kolangitis
Kolangitia merupakan komplikasi dari batu saluran empedu. Kolangitis
akut adalah infeksi bakteri asenden disertai dengan obstruksi duktus bilier.
Gejala yang ditemukan adalah demam, nyeri epigastrium atau nyeri
kuadran kanan atas, dan ikterik yang disebut trias charcot
f. Abses Kantong Empedu
Nanah terkadang dapat muncul dalam kantong empedu akibat infeksi yang
parah. Jika ini terjadi, penanganan dengan antibiotik saja tidak cukup dan
nanah akan perlu disedot
g. Pankreatitis Akut
Pankreatitis akut juga merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi
jika batu empedu keluar dan menyumbat saluran pancreas. Peradangan
pancreas ini akan menyebabkan sakit yang hebat pada bagian tengah perut.
Rasa sakit ini akan bertambah parah dan menjalar ke punggung, terutama
setelah makan
h. Kanker Kantong Empedu
Penderita batu empedu memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena kanker
kantong empedu. Walau demikian, kemungkinan terjadinya sangat jaran,
bahakan bagi orang yang berisiko karena faktor keturunan sekalipun.
Operasi pengangkatan kantong empedu akan dianjurkan untuk mencegah
kanker. Terutama jika anda mempunyai tingkat kalsium yang tinggi
didalam kantong empedu. Gejala kanker ini hampir sama dengan penyakit
batu empedu yang meliputi sakit perut, demam tinggi, serta sakit kuning.
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nuratif & Kusuma (2015) pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan pada klien dengan Kolelitiasis adalah sebagai berikut :
a Pemeriksaan Radiologi
1) Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai
prosedur diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan
dengan cepat serta akurat dan dapat digunakan pada penderita disfungsi
hati dan icterus. Ultrasonografi (USG) merupakan suatu prosedur non
invasive yang cukup aman,cepat,tidak memerlukan persiapan khusus,
relative tidak mahal dan tidak melibatkan paparan radiasi, sehingga
menjadi pemeriksaan terpilih untuk pasien dengan dugaan kolik biliaris.
Ultraonografi mempunyai spesifisitas 90% dan sensitivitas 95% dalam
mendeteksi adanya batu kandung empedu. Proses ini menggunakan
gelombang suara(sound wave) untuk membentuk gambaran (image)
suatu organ tubuh. Indikasi adanya kolesistitis akut pada pemeriksaan
usg ditunjukan dengan adanya batu, penebalan dinding kandung empedu,
cairan perikolesistikus dan murphy sign positif akibat kontak dengan
probe USG.
2) Computed tomography (CT)Scan
Pada pemeriksaan ini gambaran suatu organ ditampilkan dalam suatu
seri potongan cross sectional yang berdekatan, biasanya 10-12 image.
Deteksi batu empedu dapat dilakukan dengan computed tomografi,tetapi
tidak seakurat USG dalam dalam mendeteksi batu empedu, oleh karena
itu CTscan tidak digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan
kemungkinan penyakit biliaris kronik. Pada kasus akut, pemeriksaan ini
dapat menunjukan adanya penebalan dinding kandung empedu atau
adanya cairan perikolessistikus akibat kolesistitis akut
3) Kolesistografi
Kolangoigrafi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu untuk
melakukan pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi serta
mengosongkan isinya. Media kontras yang mengandung iodium yang
disekresikan oleh hati dan dipekatkan dalam kandung empedu diberikan
kepada pasien. Kandung empedu yang normal akan terisi oleh bahan
radiopaque ini. Jika terdapat batu emepedu, bayangannya akan tampak
pada foto.
4) Magnetic Resonance Imaging dan Magnetic Resonance
Cholangiopancreatography (MRI MRCP)
Pada magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) adalah
suatu pemeriksaan yang relative baru, yang menggunakan MRI imaging
dengan software khusus. Pemeriksaan ini mampu menghasilkan
gambaran (images) yang serupa Endoscopic Retrograde
Cholangiopancreatography (ERCP) tanpa resiko sedasi, pancreatitis
atau perforasi. MRCP membantu dalam menilai obstruksi biliaris dan
anatomi ductus pankreatikus. Pemeriksaan ini lebih efektif dalam
mendeteksi batu empedu dan mengevaluasi kandung empedu untuk
melihat adanya kolesistitis.
5) Oral Cholecystography
Oral Cholecystography adalah suatu pemeriksaan non invasive
lain,tetapi jarang dilakukan. Pemeriksaan ini memerlukan persiapan
terlebih dahulu, yaitu pasien harus menelan sejumlah zat kontras oral
yang mengandung iodine sehari sebelum dilakukan pemeriksaan. Zat
kontras tersebut akan diabsorbsi dan disekresikan ke dalam
emped.iodine didalam zat kontras menghasilkan opasifikasi dari lumen
kandung empedu pada foto polos abdomen keesok harinya. Batu empedu
tampak sebagai gambaran filing defect. Pemeriksaaan ini terutama
digunakan untuk menentukan keutuhan ductus sistikus yang diperlukan
sebelum melakukan lithotripsy atau metode lain untuk menghancurkan
batu empedu. Pemeriksan ini memerlukan persiapan 48 jam sebelumnya.
6) Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography
Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP) adalah
pemeriksaan gold standar untuk mendeteksi batu empedu didalam
duktus koledukus dan mempunyai keuntungan terapeutik untuk
mengangkat batu empedu. ERCP adalah suatu teknik endoskopi untuk
visualisasi duktus koledukus dan ductus pankratikus . Pada pemeriksaan
ini menggunakan suatu kateter untuk memasukan alat yang dimasukan
ke dalam ductus biliary dan pankreatikus untuk mendapatkan gambaran
Xray dengan fluoroscopy. Selama prosedur klinisi dapat melihat secara
langsung gambaran endoskopi dari duodenum dan papilla major serta
gambaran duktus biliari dan pankreatikus.
b Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium apabila terjadi peradangan akut,
dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan
kenaikan ringan billirubin serum akibat penekanan duktus koledokus oleh
batu. Kadar billirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu
didalam duktus koledokus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga
kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi serangan
akbagi penyakit saluran empedu melibatkan penggunaan banyak tes
biokimia yang menunjukkan disfungsi sel hati yang difraksiosebagai
komponen langsung dan tak langgsung dari reaksi van den bergh , dengan
sendirinya sangat tidak spesifik walaupun sering terjadi peningkatan
billirubin serum menunjukkan kelainan hepatobilliaris, billirubin serum bisa
meningkat tanpa penyakit hepatobilliaris pada banyak jenis kelainan yang
mencakup episode bermakna hemolisis intravaskuler dan sepsis
sistemikpeningkatan billirubin serum timbul sekunder terhadap kolestasis
interhepatik, yang menunjukkan disfungsi parenkim hati atau kolestatis
ekstra hepatik sekunder terhadap obstruksi saluran empedu akibat batu
empedu, keganasan atau pankreas jinak.
Bila obstruksi saluran empedu lengkap , maka billirubin serum memuncak
25-30 mg per 100 ml, yang pada waktu itu ekskresi billirubin sama dengan
produksi harian. Nilai > 30 mg per 100 ml, berarti terjadi kebersamaan
dengan hemolisis atau disfungsi ginjal atau sel hati. Keganasan
ekstrahepatik paling sering menyebabkan obstruksi sebagian dengan
billirubin serum jarang melebihi 10-15 mg per 100 ml.
Di butuhkan untuk cek Darah Lengkap seperti Billirubin direk dan indirek
serum, SGOT/ SGPT, GGT, Alkali fosfatase, Albumin, Kolesterol,
trigliserida, Gula darah puasa, Ureum, Kreatin, Asam protombin, asam
empedu
2.1.9 Penatalaksanaan medis
2.1.9.1 Penatalaksanaan Non Bedah
Menurut Nurarif & Kusuma (2015) penatalaksanaan non bedah dapat
berupa:
a Disolusi Medis
Harus memenuhi kriteria terapi non operatif, seperti batu kolestrol
diameternya < 4 batu, fungsi kandung empedu baik, dan duktus
sistik paten.
b Endocospic Retrograde Cholangiopancreatography (ERC)
Batu didalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket kawat
atau balon ekstraksi melalui muara yang sudah besar menuju
lumen duodenum sehingga batu dapat keluar bersama tinja. Untuk
batu besar, batu yang terjepit disaluran empedu atau batu yang
terletak diatas saluran empedu yang sempit diperlukan prosedur
endoskopik 27 tambahan sesudah sfingterotomi seperti pemecahan
batu dengan litotripsi mekanik dan litotripsi laser.
c Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Merupakan pemecahan batu dengan gelombang suara.
2.1.9.2 Penatalaksanaan Bedah
Menurut Nurarif & Kusuma (2015) penatalaksanaan bedah dapat
berupa:
a Kolesistektomi per Laparoskopik
Indikasi pembedahan karena menandakan stadium lanjut, atau
kandung empedu dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2 cm.
Kelebihan yang diperoleh pasien, luka operasi kecil (2-10 mm)
sehingga nyeri pasca bedah minimal.
b Kolesistektomi per Laparatomi
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien
dengan kolelitiasis simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik billiaris rekuren, diikuti oleh
kolesistitis akut (Nurarif & Kusuma 2015). Kolesistektomi
terbuka/ laparatomi dilakukan dengan melakukan insisi sekitar 8 –
12 cm pada bagian abdomen kanan atas menembus lemak dan otot
hingga ke kandung empedu. Duktus-duktus lainnya diklem,
kemudian kandung empedu diangkat.
2.1.10 Pencegahan
Pencegahan Cholelithiasis dapat di mulai dari masyarakat yang sehat
yang memiliki faktor risiko untuk terkena Cholelithiasis sebagai upaya untuk
mencegah peningkatan kasus Cholelithiasis pada masyarakat dengan cara
tindakan promotif dan preventif. Tindakan promotif yang dapat dilakukan
adalah dengan cara mengajak masyarakat untuk hidup sehat, menjaga pola
makan, dan perilaku atau gaya hidup yang sehat. Sedangkan tindakan
preventif yang dapat dilakukan adalah dengan meminimalisir faktor risiko
penyebab Cholelithiasis, seperti menurunkan makanan yang berlemak dan
berkolesterol, meningkatkan makan sayur dan buah, olahraga teratur dan
perbanyak minum air putih (Bruno, 2019)
2.2 KONSEP DASAR KEPERAWATAN
2.2.1 Pengkajian
Menurut Hadi (2016) Menjelaskan bahwa tahap awal yang sangat penting dalam
proses asuhan keperawatan adalah pengkajian. Pada tahap ini menentukan
keberhasilan perawat dalam mengkaji masalah pada pasien dan mengambil
langkah selanjutnya untuk mengatasi masalah pada pasien. Adapun hal-hal yang
perlu dikaji adalah:
a Identitas klien dan penanggung jawab
b Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan saat ini
Keluhan klien saat ini
2) Riwayat kesehatan lalu
Apakah dahulu klien memiliki riwayat penyakit atau kelainan pada
ginjal, dan apakah memiliki gejala-gejala tumor
3) Riwayat kesehatan keluarga
Apakah anggota keluarga keluarga klien memiliki riwayat penyakit
ginjal atau tumor
c Riwayat kesehatan Lingkungan
Bagaimana lingkungan sekitar tempat tinggal klien.
d Pola Kesehatan Fungsional
1) Pola Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan
Merupakan persepsi klien tentang penyakitnya dan bagaimana cara klien
mempertahankan kesehatannya
2) Pola Nutrisi dan Metabolik
Terkait bagaimana kebiasaan klien dalam mengonsumsi makanan,
adakah kesulitan dalam makan, dan bagaimana frekuensi makan klien
tiap hari.
3) Pola Eliminasi
Apakah terdapat gangguan pada pola, frekuensi, dan warna pada
eliminasi
4) Pola Aktivitas dan Latihan
Terkait dengan aktivitas sehari-hari atau pekerjaan klien, apakah ada
kesulitan dalam melaksanakan aktivitas
5) Pola Istirahat dan Tidur
Bagaimana pola kebiasaan tidur klien, apakah terdapat keluhan kesulitan
tidur
6) Pola Kognitif dan Perseptual
Apakah klien mengeluh adanya gangguan pada kemampuan sensasi
(penglihatan dan pendengaran), adanya keluhan nyeri, dan kesulitan
yang dialami.memfasilitasi peregangan dan pelepasan kelompok otot
yang akan menghasilkan perbedaan sensasi ,lakukan pengkajian nyeri
PQRST, kolaborasi pemberian analgesik, berikan relaksasi otot
progresif.
P : Apa yang merasakan nyeri itu muncul
Q : Bagaimana rasa nyeri yang dirasakan
R : Dibagian tubuh sebelah mna nyeri itu muncul
S : skla nyeri (1-10)
T : Kapan nyerinya muncul
(Aini et al., 2019)
7) Pola Persepsi Diri
Apakah klien dan keluarganya merasa cemas atas penyakit yang
menimpa klien. Kecemasan merupakan suatu kekhawatiran yang
berhubungan dengan perasaan dan emosi pasien ketika akan menjalani
operasi dengan kriteria tingkatan yang diukur dan dinilai menggunakan
modifikasi alat ukur T-MAS dengan skala interval, dengan kriteria : skor
1–7 : cemas ringan, 8–14:cemas sedang , 15 – 21 : cemas berat
e Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik merupakan tindakan untuk mengkaji bagian tubuh klien
dengan melakukan pemeriksaan TTV (tanda-tanda vital) dan pemeriksaan
head to toe. Dalam Pemeriksaan fisik daerah abdomen pemeriksaan
dilakukan dengan sistematis inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi
2.2.2 Diagnosa Keperawatan Dan Intervensi
a Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatn pada dengan pre dan post oprasi pasien cholelitiasis
berdasarkan SDKI menurut (PPNI, 2016)
1) Pre operasi
a) Ansietas
2) Post operasi
a) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
b) Resiko infeksi
c) Gangguan mobilitas fisik berhubungann dengan nyeri
d) Risiko defisit nutrisi
b Fokus interfensi
Fokus intervensi keperawatan pada pasien dengan pre dan post op
cholelitiasis berdasarkan SIKI menurut (PPNI, Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1, 2018)
1) Pre oprasi
a) Anisetas berhubungan dengan kekhawatiran mengalami kegagalan
Tujuan dan kriteria hasil
Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan keluhan cemas
klien berkurang :
Kebingungan menurun
Tekanan darah menjadi normal
Kekhawatiran menurun
Pola tidur membaik
Intervensi:
TINJAUAN KASUS
3. 1 Pengkajian Keperawatan
Jam :17:00
Pengkajian tgl : 5 mei 2023 NO. RM :00318327
Tanggal MRS : 5 mei 2023 Dx. Masuk :Batu distal CBD
Ruang/Kelas :seruni/3 Dokter yang merawat :dr.Taufik Budi Satrio sp
B,KBD
Nama :Ny.N
Jenis Kelamin :Perempuan
Umur :40tahun
Status Perkawinan : Menikah
Identitas
Agama :Islam
Penanggung Biaya : Bpjs
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku/Bangsa : Sunda
Alamat : Kp.Cariu
Keluhan utama :
Nyeri pada luka op dengan skala nyeri 5 dari 10,mual
Riwayat penyakit saat ini :
Riwayat Sakit dan
Ny.N bersama suami datang ke Rsu Kabupaten Tangerang dengan keluhan nyeri perut kanan
Kesehatan
atas, badan tampak kuning, dan klien dijadwalkan untuk operasi laparatomi
koledokoduodenostomi kolesistektomi tgl 8 mei 2023.
Penyakit yang pernah diderita :
Keluarga mengatakan klien tidak pernah mengalami penyakit ini sebelumnya,hanya saja
mempunyai kolestrol,
Riwayat penyakitkeluarga :
Keluarga mengatakan anggota keluarga tidak ada yang sakit yang sama seperti ini
Riwayat alergi: ya tidak Jelaskan :
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum: baik sedang lemah
Kesadaran: Compos mentis
Tanda vital TD:120/90 mmHg Nadi: 80 x/mnt Suhu : 37,2 ºC RR: 20
x/mnt
Pola nafas irama: Teratur Tidak teratur
Pernafasan
Penglihatan (mata)
Pupil : Isokor Anisokor Lain-lain:
Sclera/Konjungtiva : Anemis Ikterus Lain-lain:
Penginderaan
Lain-lain :
Pendengaran/Telinga :
Gangguan pendengaran : Ya Tidak Jelaskan:
Lain-lain :
Penciuman (Hidung)
Bentuk : Normal Tidak Jelaskan:
Gangguan Penciuman : Ya Tidak Jelaskan:
Lain-lain
Masalah: tidak ada masalah
Masalah:
Resiko deficit nutrisi
Kemampuan pergerakan sendi: Bebas Terbatas
Muskuloskeletal/ Integumen
Laboratorium
Dilatasi ringan saluran bilier intrahepatic dan extrahepatic bila duct sampai distal CBD
diameter CBD sekitar 7mm,ec obstruksi suspek oleh batu kecil atau sludge di distal
CBD
Cholecystitis (kesan kronis) dengan multiple cholelithiasis (5-6 buah),tervesar sekitar
1cm
Organ organ abdomen atas lainnya dalam batas normal
Thorax Tgl 3-4-2023
Kesan:
Dalam Batas Normal
Cepoperazone 2x1gr
Keterolak 3x30mg
Ranitidin 2x1
Terapi:
Omeprazole 2x40mg
Ivfd Rl 500/12 jam
Ivfd Kabiiven 1440 /24 jam
3. 2 Analisa Data
Pre operasi
3. 3 Diagnosa Keperawatan
Pre operasi
1. Cemas
Post operasi
Post operasi
Tanggal No dx Implementasi
Post operasi
Tanggal No dx Implementasi
3. 6 Evaluasi
Pre op
Tanggal No dx Evaluasi
Post operasi
Tanggal No dx Evaluasi