Anda di halaman 1dari 44

BAB 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Kolelitiasis adalah pembentukan batu (kalkuli atau batu

empedu) di dalam kandung empedu atau sistem saluran empedu

(LeMone, dkk., 2016). Kolelitiasis atau batu empedu merupakan

endapan satu atau lebih komponen empedu kolesterol, garam

empedu, kalsium, protein, asam lemak dan fosfolipid. Kolelitiasis

biasanya terbentuk dalam kantung empedu dari unsur-unsur padat

yang membentuk cairan empedu, batu empedu memiliki ukuran,

bentuk dan komposisi yang sangat bervariasi (haryono, 2012).

Prevalensi kolelitiasis berbeda-beda di setiap negara. Letak

geografi suatu negara dan etnis memiliki peran besar dalam

prevalensi penyakit kolelitiasis (Stinton,2012). Di Amerika Serikat,

pada tahun 2017, sekitar 20 juta orang (10-20 % populasi orang

dewasa) memiliki kolelitiasis. Setiap tahun, 1-3 % orang akan

memiliki kolelitiasis dan sekitar 1-3% orang akan timbul

keluhan. Setiap tahunnya, diperkirakan 500.000 pasien

kolelitiasis akan timbul keluhan dan komplikasi sehingga

memerlukan kolesistektomi (Heuman,2017). Prevalensi

kolelitiasis di Eropa yaitu 5-15% berdasarkan beberapa survey

pemeriksaan ultrasonografi. Di Asia, pada tahun 2013, prevalensi

1
kolelitiasis berkisar antara 3% sampai 10%. Berdasarkan data

terakhir, prevalensi kolelitiasis di negara Jepang sekitar 3,2%,

China10,7%, India Utara 7,1%, dan Taiwan 5,0% (Chang et al.,

2013). Angka kejadian kolelitiasis di Indonesia diduga tidak

berbeda jauh dengan angka negara lain di Asia Tenggara

(Wibowo et al., 2010).

Batu yang menghambat saluran empedu atau duktus biliaris

komunis menyebabkan distensi dan meningkatkan tekanan

dibelakang batu. Kondisi ini menyebabkan kolik empedu yaitu

nyeri hebat area epigastrik atau kuadran kanan atas abdomen.

Nyeri dapat menjalar kepunggung, scapula kanan atau bahu, nyeri

seringkali terjadi secarea mendadak setelah makan, dan dapat

terjadiselama 5 jam. Nyeri sering kali disertai mual dan muntah (

Haryono, 2012).

Penanganan kolelitiasis terbagi menjadi dua (2) yaitu

Bedah dan Non Bedah. Penangan Non Bedah antara lain Therapi

Konservatif, Farmako Therapi, Penatalaksaan Pendukung Dan Diit,

Extra Shock Wave Lithotrpsy, Lithotripsy Intrakorporeal .

Sedangkan Pembedahan Cholesistektomy, Kolisistektomi,

Minikolestektomi, Koledokostomi. (Haryono, 2012). Pasien pasca

operasi akan dihadapkan dengan luka insisi yang menjadi sumber

utama munculnya rasa nyeri. Luka insisi menjadi stimulus mekanik

yang merangsang serabut syaraf nyeri perifer untuk hantaran ke

2
otak. Sehingga timbul persepsi nyeri yang dirasakan oleh pasien

(Potter & Perry, 2010).

Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI)

menyebutkan bahwa nyeri merupakan pengalaman sensorik atau

emosional yang berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual

dan potensial, dengan onset mendadak atau lambat serta

berintensitas ringan hingga berat (Tim Pokja SDKI, 2016). Strategi

penatalaksanaan nyeri atau lebih dikenal juga dengan istilah

manajemen nyeri adalah suatu tindakan untuk mengurangi rasa

nyeri dengan cara farmakologis maupun non farmakologis.

Manajemen nyeri dengan non farmakologis merupakan tindakan

independen dari seorang perawat dalam mengatasi respons nyeri

pasien (Andarmoyo, 2013).

Manajemen nyeri non farmakologis sangat beragam, salah

satunya yaitu dengan imajinasi terbimbing. Guided imagery

merupakan teknik yang menggunakan imajinasi seseorang untuk

mencapai efek positif tertentu (Smeltzer, 2010 dalam Patasik, dkk.,

2013). Tindakan ini membutuhkan konsentrasi yang cukup dan

kondisi lingkungan yang mendukung.

Pada penelitian Patasik, dkk. (2013), didapatkan 20

responden yang mengalami nyeri, dimana 60,0% dari responden

tersebut mengalami nyeri hebat bahkan nyeri sangat hebat (15,0%)

3
dan yang lainnya mengalami nyeri sedang (25,0%). Pada

penelitian ini, sesudah dilakukan teknik relaksasi nafas dalam dan

guided imagery terjadi perubahan intensitas nyeri, dimana

responden hanya mengalami nyeri sedang (35,0%) dan nyeri ringan

(65,0%). Tidak ada lagi yang mengalami nyeri hebat dan sangat

hebat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa teknik guided

imagery adalah salah satu tindakan manajemen nyeri non

farmakologi yang terbukti efektif, aman, dan tidak menimbulkan

efek samping.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, maka dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut “Bagaimanakah asuhan

keperawatan pada pasien pasca operasi kolelitiasis dengan manajemen

nyeri: imajinasi terbimbing di ruang bedah RSUD Banten tahun 2019?”.

1.3 Tujuan Studi Kasus

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk melaksanakan asuhan

keperawatan pada pasien pasca operasi fraktur ekstremitas bawah dengan

manajemen nyeri: imajinasi terbimbing secara komprehensif agar mampu

mencapai hasil yang terbaik dalam mengatasi masalah keperawatan pada

pasien.

4
1.3.2 Tujuan Khusus

1) Mampu melakukan pengkajian pada pasien pasca operasi

kolelitiasis dengan manajemen nyeri: imajinasi terbimbing.

2) Mampu mengidentifikasi masalah keperawatan yang muncul

pada pasien pasca operasi kolelitiasis dengan manajemen nyeri:

imajinasi terbimbing.

3) Mampu melaksanakan intervensi keperawatan pada pasien pasca

operasi kolelitiasis dengan manajemen nyeri: imajinasi

terbimbing.

4) Mampu mengimplementasikan rencana asuhan keperawatan

pada pasien pasca operasi kolelitiasis dengan manajemen nyeri:

imajinasi terbimbing.

5) Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pasien pasca

operasi kolelitiasis dengan manajemen nyeri: imajinasi

terbimbing.

1.4 Manfaat Studi Kasus

1.4.1 Bagi Institusi Rumah Sakit

Hasil studi kasus ini dapat dijadikan sebuah informasi yang

bermanfaat bagi rumah sakit, khususnya di bidang keperawatan

5
dalam pelaksanaan tindakan manajemen nyeri dengan imajinasi

terbimbing pada pasien pasca operasi

1.4.2 Bagi Institusi D3 Keperawatan

Diharapkan dapat menambah bahan bacaan dan masukan yang

bermanfaat bagi institusi pendidikan D3 Keperawatan dalam

melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien pasca kolelitiasis

dengan manajemen nyeri: imajinasi terbimbing serta menambah

referensi bagi mahasiswa yang lainnya.

1.4.3 Bagi Peneliti

Memperoleh pengalaman dan wawasan ilmu pengetahuan

dalam melakukan penelitian serta dapat mengaplikasikan asuhan

keperawatan yang tepat khususnya pada pasien pasca operasi fraktur

ekstremitas bawah dengan manajemen nyeri: imajinasi terbimbing.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kolelitiasis

2.1.1 Definisi

Kolelitiasis adalah pembentukan batu (kalkuli atau batu

empedu) di dalam kandung empedu atau sistem saluran empedu

(LeMone, dkk., 2016).

Kolelitiasis adalah terdapatnya batu di dalam kandung

empedu yang penyebab secara pasti belum diketahui sampai saat

ini, akan tetapi beberapa faktor predisposisi yang paling penting

tampaknya adalah gangguan metabolisme yang disebabkan

oleh perubahan susunan empedu dan infeksi yang terjadi

pada kandung empedu serta kolesterol yang berlebihan yang

mengendap di dalam kandung empedu tetapi mekanismenya

belum diketahui secara pasti, faktor hormonal selama proses

kehamilan, dapat dikaitkan dengan lambatnya pengosongan

kandung empedu dan merupakan salah satu penyebab insiden

kolelitiasis yang tinggi, serta terjadinya infeksi atau radang

empedu memberikan peran dalam pembentukan batu empedu

(Rendi,2012). Sedangkan menurut Haryono (2012), kolelitiasis

atau batu empedu merupakan endapan satu atau lebih komponen

empedu kolesterol, garam empedu, kalsium, protein, asam lemak

dan fosfolipid. Kolelitiasis biasanya terbentuk dalam kantung

7
empedu dari unsur-unsur padat yang membentuk cairan empedu,

batu empedu memiliki ukuran, bentuk dan komposisi yang sangat

bervariasi. Batu empedu tidak lazim dijumpai pada anak-anak dan

dewasa muda tetapi insidensnya semakin sering pada individu

berusia 40 tahun. Sesudah itu, insidens kolelitiasis semakin

meningkat hingga suatu tingkat yang diperkirakan bahwa pada usia

75 tahun satu dari 3 orang akan memiliki batu empedu.

2.1.2 Etiologi

Penyebab pasti dari kolelitiasis atau batu empedu belum

diketahui. Suatu teori menyatakan bahwa kolesterol dapat

menyebabkan supersaturasi empedu di kandung empedu. Setelah

beberapa lama, empedu yang telah mengalami supersaturasi

menjadi mengkristal dan memulai membentuk kantung empedu.

Tipe lain batu empedu adalah batu pigmen. Batu pigmen tersusun

oleh kalsium bilirubin, yang terjadi ketika bilirubin bebas

berkombinasi dengan kalsium (Nurarif & Kusuma 2015).

Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor

terpenting dalam pembentukan batu empedu karena hati penderita

batu empedu kolesterol mengekresi empedu yang sangat jenuh

dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap

dalam kandung empedu ( dengan cara yang belum diketahui

sepenuhnya) untuk membentuk batu empedu. Infeksi bakteri dalam

saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu (Haryono,

8
2012). Sedangkan menurut Cahyono, 2014 etiologi Kolelitiasis

yaitu:

1) Supersaturasi kolesterol

Komposisi cairan empedu yang berpengaruh terhadap

terbentuknya batu tergantung keseimbangan kadar garam

empedu, kolesterol dan lesitin. Semakin tinggi kadar kolesterol

atau semakin rendah kandungan garam empedu akan

membuat keadaan didalam kandung empedu menjadi jenuh

akan kolesterol (Supersaturasi kolesterol).

2) Pembentukan inti kolesterol

Kolesterol diangkut oleh misel (gumpalan yang berisi

fosfolipid, garam empedu dan kolesterol). Apabila saturasi,

Kolesterol lebih tinggi maka ia akan diangkut oleh vesikel

yang mana vesikel dapat digambarkan sebagai sebuah

lingkarandua lapis. Apabila konsentrasi kolesterol banyak

dan dapat diangkut, vesikel memperbanyak lapisan

lingkarannya, pada akhirnya dalam kandung empedu,

pengangkut kolesterol, baik misel maupun vesikel

bergabung menjadi satu dan dengan adanya protein musin akan

membentuk kristal kolesterol, kristal kolesterol

terfragmentasi pada akhirnya akan dilem ataudisatukan.

9
3) .Penurunan fungsi kandungempedu

Menurunnya kemampuan menyemprot dan

kerusakan dinding kandung empedu memudahkan

seseorang menderota batu empedu, kontraksi yang

melemah akan menyebabkan statis empedu dan akan

membuat musin yang diproduksi dikandung empedu

terakumulasi seiring dengan lamanya cairan empedu

tertampung dalam kandung empedu. Musin tersebut akan

semakin kental dan semakin pekat sehingga semakin

menyukitkan proses pengosongan cairan empedu. Beberapa

keadaan yang dapat mengganggu daya kontrak snteril

kandung empedu, yaitu: hipomotilitas empedu, parenteral total

(menyebabkan cairan asam empedu menjadi lambat),

kehamilan, cedera medula spinalis, penyakit kencing manis.

2.1.3 Patofisiologi

Menurut Haryono (2012), patofisiologi kolelitiasis terbagi menjadi

2 yaitu:

1) Batu Pigmen

Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari

keempat anion ini adalah bilirubinat, karbonat, fosfat dan asam

lemak. Pigmen (bilirubin) pada kondisi normal akan

terkonjugasi dalam empedu. Bilirubin terkonjugasi diakibatkan

10
karena kurang atau tidak adanya enzim glukuronil transfarase

tersebut yang akan mengakibatkan presipitasi/pengendapan dari

bilirubin tersebut. Ini tapi larut dalam lemak. Sehingga lama

kelamaan terjadi pengendapan bilirubin tak terkonjugasi yang

bisa menyebabkan batu empedu tapi ini jarang terjadi.

2) Batu Kolesterol

Kolesterol merupakan unsur normal pembentukan empedu

dan berpengaruh dalam pembentukan empedu. Kolesterol

bersifat tidak larut dalam air, kelarutan kolesterol sangat

tergantung dari asam empedu dan lesitin (fosfolipid) .

2.1.4 Manifestasi Klinis

Menurut Nurarif & Kusuma (2015) yaitu:

1) Rasa Nyeri dan Kolik Bilier

Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung

empedu akan mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien

akan mederita panas dan mungkin teraba massa padat pada

abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri

hebat pada abdomen kuadran kanan atas yang menjalar ke

punggung/bahu kanan rasa nyeri ini biasanya disertai dengan

mual dan muntah.

11
2) Ikterus

Obstruksi pengaliran getah empedu kedalam duodenum akan

menimbulkan gejala yang khas, yaitu : getah empedu yang tidak

lagi dibawa kedalam duodenum akan diserap oleh darah dan

penyerapan empedu ini membuat kulit dan membrane mukosa

berwarna kuning.

3) Perubahan Warna Urin dan Feses

Eksresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin

berwana lebih sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh

pigmen empedu akan tampak kelabu dan biasanya pekat.

4) Defesiensi Vitamin

Obstruksi aliran empedu juga menggangu absorbs vitamin

A, D, E, dan K yang larut dalam lemak. Defesiensi vitamin K

dapat mengganggu pembekuan darah yang normal.

5) Mual dan Muntah Serta Demam

6) Sebagian Bersifat Asimtomatik

7) Regurgitasi Gas: Flastus Sendawa

2.1.5 Komplikasi

Komplikasi yang penting adalah terjadinya kolesistitis akut dan

kronik, koledokolitrasis dan pancreas, yang lebih jarang ialah

12
kolangitis abses hati, sirosis bilier dan ikterus obstruktif (Haryono,

2012).

2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik Menurut Haryono (2012) diantaranya:

1) Rontgen abdomen/pemeriksaan sinar x

foto polos abdomen dapat dilakukan pada klien dicurigai akan

penyakit kandung empedu. Akurasi pemeriksaanya hanya 15-

20%.

2) Kolangiogram/Kolangiografi Transheptik Perkutan

Melalui penyuntikan bahan kontras langsung kedalam cabang

bilier. Karena konsentrasu bahan kontras yang disuntikan

relative besar maka semua komponen system bilier ( duktus

hepatikus, koleduktus, dan kandung empedu) dapat terlihat

3) ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatographi)

Sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus

dan duktus pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikan ke

dalam duktus tersebut.

4) Pemeriksaan Laboraturium

a) .Kenaikan serum kolesterol

b) Kenaikan fosfolipid

c) Penurunan ester kolesterol

d) Kenaikan bilirubin total, transaminase (Normal <0,4 mg/dl).

e) Penurunan urobilirubin

13
f) Peningkatan sel darah putih: 12.000 - 15.000/iu (Normal :

5000 - 10.000/iu)

g) Peningkatan serum amylase, bila pancreas terlihat atau bila

ada batu di duktus utama (Normal: 17- 115 unit/100ml).

2.1.7 Penatalaksanaan

Menurut Haryono (2012), penatalaksanaan kolelitiasis dibagi

menjadi 2 yaitu:

1) Non Bedah

a) Therapi konservatif

(1) Pendukung diit : cairan rendah lemak

(2) Cairan infus : menjaga kstabilan asupan cairan

(3) Analgetik : meeingankan rasa neri yang timbul akibat

gejala penyakit

(4) Antibiotic : mencegah adanya infeksi pada saluran

kemih

(5) Istirahat

b) Farmako Therapi

Pemberian asam ursodeoksikolat dan kenodiosikolat

di gunakan untuk melarutkan batu empedu terutama

berukuran kecil dan tersusun dari kolesterol. Zat pelarut

batu empedu hanya digunakan untuk batu kolesterol pada

pasien yang terkena sesuatu hal sebab tak bisa dibedah.

Batu - batu ini terbentuk karena terdapat kelebihan

14
kolesterol yang tak dapat dilarutkan lagi oleh garam -

garam empedu dan lesitin. Untuk melarutkan batu empedu

tersediz ursodeoksikolat dan kenodiosikolat. Mekanisme

kerjanya berdasarkan penghambatan sekresi kolesterol,

sehingga kejenuhannya dalam empedu berkurang dan batu

dapat melarut lagi. Therapi perlu dijalankan lama, yaitu : 3

bulan sampai 2 tahun dan baru dihentikan minimal 3 bulan

setelah batu - batu larut.

c) Penatalaksanaan Pendukung dan Diet

Suplemen bubuk tinggi protein dan karbohidrat

dapat diaduk kedalam susu skim. Makanan berikut ini dapat

ditambahkan jika pasien dapat menerimanya, buah yang

dimasak, nasi atau ketela, daging tanpa lemak, kentang

yang dilumatkan, sayuran yang tidak membentuk gas, roti,

kopi atau the. Makanan seperti telur, krim, daging babi,

gorengan, keju dan bumbu - bumbu yang berlemak, sayuran

yang membentuk gas serta alkohol harus dihindari.

Penatalaksanaan diet merupakan bentuk terapi utama pada

pasien yang hanya mengalami intoleransi terhadap

makanan berlemak dan mengeluarkan gejala

gastrointestinal ringan.

15
d) Exstra Shock Wave Lithotripsy (ESWL)

Prosedur nonvasif ini menggunakan gelombang

kejut berulang ( repated shock wafes )yang diarahkan

kebada batu empedu didalam kandung empedu atau duktus

koledukus dengan makasud untuk mencegah batu tersebut

menjadi sejumlah fragmen. Gelombang kejut dihasilkan

dalam media cairan oleh percikan listrik, yaitu

piezoelelektrik, atau oleh muatan elektromagnetik. Energi

ini disalarkan kedalam tubuh lewat redaman air atau

kantong yang berisi cairan. Gelombang kejut yang

dikonvergensikan tersebut diarahkan kepada batu empedu

yang akan dipecah. Setelah batu dipecah secara bertahap,

pecahannya akan bergerak spontan dikandung empedu atau

duktus koledukus dan dikeluarkan melalui endoskop atau

dilarutkan dengan pelarut atau basam empedu yang

diberikan peroral.

e) Litotripsi Intrakorporeal

Pada litotripsi intrakorporeal, batu yang ada didalam

kandung empedu atau doktus dapat dipecah dengan

menggunakan gelombang ultrasound. Prosedur tersebut

dapat diikuti dengan pengangkatan kandung empedu

melalui luka insisi atau laparoskopi. Jika kandung empedu

tidak diangkat, sebuah drain dipasang selama 7 hari.

16
2) Pembedahan

a) Cholesistektomy

Merupakan tindakan pembedahan yang dilakukan atas

indikasi cholesistitis (peradangan kandung empedu), baik

akut/kronis yang todak sembuh dengan tindakan

konservatif.

b) Kolisistektomi

Kolisistektomi dilakukan pada sebagian besar kasus

kolesistis akut dan krooni. Sebuah drain ditempatkan

dalam kandung empedu dan dibiarkan menjulur keluar

lewat luka operasi untuk mengalirkan darah, cairan

serosanguinus (plasma darah) dan getah empedu ke dalam

kasa absorben.

c) Minikolestektomi

Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung

empedu lewat luka insisi 4 cm. Kolesistektomi

Laparoskopik dilakukan lewat luka insisi yang kecil atau

luka tusukan melalui dinding abdomen pada umbilicus.

Pada prosedur kolisistektomi endoskopik, rongga

abdomen ditiup dengan gas karbon dioksia untuk

membantu pemasangan endoskop dan menolong dokter

melihat struktur abdomen.

17
d) Koledokostomi

Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus

koledukus untuk mengeluarkan batu. Setelah batu

dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah kateter ke dalam

duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai

edema mereda. Kaateter ini dihubungkan dengan selang

drainase gravitasi. Kandung empedu biasanya juga

mengandung batu, dan umumnya koledokostomi

dilakukan bersama - sama kolesistoktomi.

2.2 Konsep Nyeri

2.2.1 Definisi

Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI)

menyebutkan bahwa nyeri merupakan pengalaman sensorik atau

emosional yang berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual

dan potensial, dengan onset mendadak atau lambat serta

berintensitas ringan hingga berat (Tim Pokja SDKI, 2016).

Sedangkan menurut Potter & Perry (2010), nyeri adalah sesuatu hal

yang bersifat subjektif, tidak ada dua orang sekalipun yang

mengalami kesamaan rasa nyeri dan tidak ada dua kejadian

menyakitkan yang mengakibatkan respons yang sama pada

individu.

18
2.2.2 Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan

berdasarkan pada tempat, sifat, berat ringannya nyeri, dan waktu

lamanya serangan (Asmadi, 2008).

1) Nyeri berdasarkan tempatnya:

a) Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan

tubuh misalnya pada kulit, mukosa.

b) Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh

yang lebih dalam atau pada organ-organ tubuh visceral.

c) Refered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena

penyakit organ/struktur dalam tubuh yang ditransmisikan ke

bagian tubuh di daerah yang berbeda, bukan daerah asal

nyeri.

d) Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan

pada sistem saraf pusat, spinal cord, batang otak, talamus,

dan lain-lain.

2) Nyeri berdasarkan sifatnya:

a) Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu

menghilang.

b) Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta

dirasakan dalam waktu yang lama.

19
c) Paroxymal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas

tinggi dan kuat sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap ± 10-

15 menit, lalu menghilang, kemudian timbul lagi.

3) Nyeri berdasarkan berat ringannya:

a) Nyeri ringan, yaitu nyeri dengan intensitas rendah.

b) Nyeri sedang, yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi.

c) Nyeri berat, yaitu nyeri dengan intensitas yang tinggi.

4) Nyeri berdasarkan waktu lamanya serangan:

a) Nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu yang

singkat dan berakhir kurang dari tiga bulan.

b) Nyeri kronis, yaitu nyeri yang dirasakan lebih dari tiga bulan.

2.2.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Nyeri

Faktor-faktor yang memenggaruhi nyeri menurut Potter &

Perry (2010) antara lain:

1) Faktor Fisiologis

a) Usia

Perbedaan tahap perkembangan yang ditemukan di antara

kelompok usia bayi dan dewasa akhir akan mempengaruhi

respons terhadap nyeri. Anak-anak memiliki kesulitan

dalam mengenal atau memahami nyeri.

b) Kelemahan (Fatigue)

Kelemahan dapat meningkatkan persepsi terhadap nyeri

dan menurunkan kemampuan untuk mengatasi masalah.

20
c) Gen

Pembentukan sel genetik kemungkinan dapat menentukan

ambang nyeri seseorang atau toleransi terhadap nyeri.

d) Fungsi Neurologis

Faktor neurologis dapat memengaruhi penerimaan atau

persepsi nyeri yang normal (contoh: cedera medula

spinalis, neuropatik perifer, atau penyakit saraf lainnya).

2) Faktor Sosial

a) Perhatian

Tingkatan di mana klien memfokuskan perhatiannya

terhadap nyeri yang dirasakan akan memengaruhi persepsi

nyeri.

b) Pengalaman Sebelumnya

Frekuensi terjadinya nyeri di masa lampau yang cukup

sering tanpa penanganan yang baik dapat menyebabkan

kecemasan. Sebaliknya, apabila seseorang telah memiliki

pengalaman berulang akan rasa nyeri yang sejenis namun

ditangani dengan baik, hal tersebut akan memudahkannya

untuk menginterpretasikan sensasi nyeri.

c) Keluarga dan Dukungan Sosial

Klien dengan nyeri terkadang bergantung kepada anggota

keluarga yang lain atau teman dekat untuk dukungan,

bantuan, dan perlindungan. Kehadiran mereka dapat

21
membuat pengalaman nyeri yang menyebabkan stress

sedikit berkurang. Kehadiran orang tua sangat penting

bagi anak-anak yang mengalami nyeri.

3) Faktor Spiritual

Pertimbangkan akan adanya permintaan untuk

konsultasi keagamaan (contoh: dengan pendeta) dari klien

dengan nyeri kronis. Mengingat bahwa nyeri merupakan

pengalaman yang memiliki komponen fisik dan emosional.

4) Faktor Psikologis

a) Kecemasan

Kecemasan terkadang meningkatkan persepsi terhadap

nyeri, tetapi nyeri juga menyebabkan perasaan cemas.

b) Teknik Koping

Penting bagi perawat untuk mengerti sumber koping yang

digunakan klien selama terjadi pengalaman yang

menyakitkan. Sumber-sumber tersebut, seperti komunikasi

dengan keluarga yang mendukung, latihan fisik, atau

berdo’a dapat digunakan dalam rencana perawat untuk

memberikan penanganan nyeri yang sesuai.

5) Faktor Budaya

a) Arti dari Nyeri

Sesuatu yang diartikan individu sebagai nyeri akan

memegaruhi pengalaman nyeri dan bagaimana seseorang

22
beradaptasi terhadap kondisi tersebut. Seseorang akan

merasakan sakit yang berbeda apabila hal tersebut terkait

dengan ancaman, kehilangan, hukuman, atau tantangan.

b) Suku Bangsa

Nilai-nilai dan kepercayaan terhadap budaya memengaruhi

bagaimana seseorang mengatasi rasa sakitnya. Ada

perbedaan makna dan perilaku yang berhubungan dengan

nyeri antara beragam kelompok budaya. Beberapa budaya

percaya bahwa menunjukkan rasa sakit adalah suatu hal

yang wajar. Sementara yang lain cenderung untuk lebih

introvert.

2.2.4 Penilaian Respons Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri merupakan gambaran tentang seberapa

parah nyeri dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri

bersifat subjektif dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang

sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda.

Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling

mungkin adalah menggunakan respons fisiologik tubuh terhadap

nyeri itu sendiri. Penilaian intensitas nyeri dapat dilakukan dengan

menggunakan skala berikut (Andarmoyo, 2013):

1) Skala Deskriptif

Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat

keparahan nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal

23
(Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang

terdiri dari tiga sampai lima kata pendeksripsi yang tersusun

dengan jarak yang sama disepanjang garis. Pendeskripsian ini

dirangking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak

tertahankan”.

2) Skala Numerik

Skala penilaian numerik (Numerical Rating Scale, NRS)

lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam

hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala

paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum

dan sesudah intervensi terapeutik.

3) Skala Analog Visual

Skala analog visual (Visual Analog Scale, VAS) adalah

suatu garis lurus atau horizontal sepanjang 10 cm, yang

mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi

verbal pada garis yang menunjukkan letak nyeri terjadi

sepanjang garis tersebut. Ujung kiri biasanya menandakan

“tidak ada” atau “tidak nyeri”, sedangkan ujung kanan biasanya

menandakan “nyeri yang tak tertahankan”.

24
Gambar 2.1
Skala Pengukuran Nyeri Numerik, Deskriptif, dan Analog

Untuk mengukur intensitas nyeri yang terjadi pada

anak-anak, dikembangkan alat yang dinamakan Oucher.

Oucher terdiri dari dua skala yang terpisah yaitu dengan nilai

10-100 pada sisi sebelah kiri untuk anak-anak yang lebih besar

dan skala fotografik enam gambar pada sisi kanan untuk anak-

anak yang lebih kecil.

Selain itu, Wong dan Baker (1988), mengembangkan

skala wajah untuk mengkaji nyeri pada anak-anak. Skala

tersebut terdiri dari enam wajah dengan profil kartun yang

menggambarkan wajah dari wajah yang sedang tersenyum

(tidak merasa nyeri), kemudian secara bertahap meningkat

menjadi wajah kurang bahagia, wajah yang sangat sedih,

sampai wajah yang sangat ketakutan atau nyeri sangat (Potter

& Perry, 2010).

25
3

Gambar 2.2
Pengukuran Skala Nyeri Oucher dan Wong-Baker Faces

2.3.5 Strategi Penatalaksanaan Nyeri

Strategi penatalaksanaan nyeri atau lebih dikenal juga dengan

manajemen nyeri adalah suatu tindakan untuk mengurangi nyeri

dengan teknik farmakologis atau non farmakologis. Tujuan

manajemen nyeri yaitu untuk mengurangi intensitas dan durasi

keluhan nyeri, menurunkan kemungkinan berubahnya nyeri akut

menjadi gejala nyeri kronis yang persisten, mengurangi penderitaan

dan/atau ketidakmampuan atau ketidakberdayaan akibat nyeri,

meminimalkan reaksi tak diinginkan atau intoleransi terhadap terapi

nyeri, dan meningkatkan kualitas hidup serta mengoptimalkan

kemampuan pasien untuk menjalankan aktivitas sehari-hari

(Andarmoyo, 2013).

1) Manajemen Nyeri Non-Farmakologis

Manajemen nyeri non farmakologis merupakan suatu

tindakan independen dari seorang perawat dalam mengatasi

26
respons nyeri klien. Berikut ini beberapa tindakan manajemen

nyeri non farmakologis:

a) Bimbingan Antisipasi

Bimbingan antisipasi adalah memberikan pemahaman

kepada klien mengenai nyeri yang dirasakan dengan tujuan

untuk memberikan informasi kepada klien dan mencegah salah

interpretasi tentang peristiwa nyeri.

b) Terapi Kompres Panas dan Dingin

Terapi es dan panas diduga bekerja dengan menstimulasi

reseptor tidak nyeri (non-nosiseptor). Terapi es dapat

menurunkan prostaglandin yang memperkuat sensitivitas

reseptor nyeri pada tempat cedera dengan menghambat proses

inflamasi. Sementara terapi panas mempunyai keuntungan

meningkatkan aliran darah ke suatu area dan memungkinkan

dapat menurunkan nyeri.

c. Distraksi

Distraksi adalah suatu tindakan pengalihan perhatian

pasien ke hal-hal di luar nyeri agar pasien tidak terfokus pada

nyeri dan dapat menurunkan kewaspadaan pasien bahkan

meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Jenis-jenis teknik

distraksi antara lain:

27
c) Distraksi

Distraksi adalah suatu tindakan pengalihan perhatian

pasien ke hal-hal diluar nyeri agar pasien tidak terfokus

pada nyeri dan dapat menurunkan kewaspadaan pasien

bukan meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Jenis-jenis

teknik distraksi antara lain:

(1) visual atau penglihatan, misalnya dengan cara menonton

televisi, membaca koran, melihat pemandangan atau

gambar yang indah.

(2) Distraksi audio atau pendengaran, misalnya dengan cara

mendengarkan musik yang disukai atau mendengarkan

kicauan burung serta gemercik air.

(3) Distraksi intelektual: pengalihan perhatian ke dalam

tindakan-tindakan dengan menggunakan daya

intelektual yang pasien miliki, misalnya mengisi teka-

teki silang dan bermain kartu.

d) Relaksasi

Relaksasi adalah suatu tindakan untuk membebaskan

mental dan fisik dari ketegangan dan stress sehingga dapat

meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Teknik relaksasi yang

sederhana terdiri atas nafas abdomen dengan frekuensi

lambat, berirama.

28
e) Imajinasi Terbimbing (Guided Imagery)

Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi

seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara khusus

untuk mencapai efek positif tententu. Tindakan ini

membutuhkan konsentrasi yang cukup dan lingkungan yang

nyaman. Kegaduhan, kebisingan, bau menyengat, atau

cahaya yang sangat terang perlu dipertimbangkan agar tidak

mengganggu konsentrasi klien. Lakukan kegiatan ini secara

berulang dan teratur dalam beberapa menit (10-15 menit)

untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

f) Hipnosis

Hipnosis adalah sebuah teknik yang menghasilkan

suatu keadaan yang tidak sadarkan diri untuk membantu

mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif.

g) Massage

Massage adalah melakukan tekanan tangan pada

jaringan lunak, biasanya otot, tendon, atau ligamentum, tanpa

menyebabkan gerakan atau perubahan posisi sendi untuk

meredakan nyeri, menghasilkan relaksasi, atau memperbaiki

sirkulasi.

2. Manajemen Nyeri Farmakologis

Analgesik merupakan jenis obat yang paling umum

digunakan untuk mengatasi nyeri. Pengobatan yang diberikan

29
melalui intravena berkerja lebih cepat dan dapat mengurangi nyeri

berat dan akut dalam waktu 1 jam; sebaliknya, pengobatan yang

diberikan secara oral membutuhkan waktu 2 jam untuk mengurangi

nyeri (Black & Hawks, 2014). Ada tiga jenis analgesik, yaitu 1)

non-narkotik dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), 2)

analgesik narkotik atau opiat, dan 3) obat tambah (adjuvan)

sebagaimana tertera pada tabel berikut.

Tabel 2.3
Analgesik dan Indikasi Terapi (Andarmoyo, 2013)

Kategori Obat Indikasi


Analgesik Non-Narkotik
Asetaminofen (Tylenol) Nyeri pasca operasi ringan
Asam Asetilsalisifat (Aspirin) Demam
NSAID
Ibuprofen (Motrin, Nuprin) Dismenore
Naproksen (Naprosyn) Nyeri kepala vaskuler
Indometasin (Indocin) Arthritis rheumatoid
Tolmetin (Tolectin) Cedera atletik jaringan lunak
Piroksikam (Feldene) Gout
Ketorolak (Toradol) Nyeri pasca operasi
Nyeri traumatik berat
Analgesik Narkotik
Memperidin (Domorol) Nyeri kanker (kecuali memparidin)
Morfin Sulfat Infark miokard
Fentanil (Sublimaze) Infark miokard
Butotanol (Stadol) Infark miokard
Hidromorfin HCl (Dilaudid) Infark miokard
Adjuvan
Amitriptilin (Elval) Cemas
Hidroksin (Vistaril) Depresi
Klorpromazin (Thorazine) Mual
Diazepam (Valium) Muntah
Andarmoyo. 2013. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri.Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media.

30
2.3. Imajinasi Terbimbing

Guided imagery atau imajinasi terbimbing merupakan teknik

yang menggunakan imajinasi seseorang untuk mencapai efek positif

tertentu (Smeltzer, dkk., 2010 dalam Patasik, dkk., 2013). Ada banyak

teknik imajinasi yang melibatkan imajinasi visual, tapi teknik ini juga

menggunakan indera pendengaran, pengecap, dan penciuman (Potter

& Perry, 2010).

Secara psikologis, guided imagery akan membawa individu

untuk menghadirkan gambaran mental yang diperkuat dengan

perasaan menyenangkan ketika individu mengimajinasikan gambaran

tersebut, dengan guided imagery individu akan lebih mudah

memberikan perhatian terhadap bayangan mental yang dimunculkan

(Novarenta, 2013).

Tujuan guided imagery yaitu menimbulkan respon

psikofisiologis yang kuat (Potter & Perry, 2010). Menurut Smeltzer &

Bare (2002) dalam Novarenta (2013), manfaat dari guided imagery

yaitu sebagai intervensi perilaku untuk mengatasi kecemasan, stres,

dan nyeri. Imajinasi terbimbing dapat mengurangi tekanan dan

berpengaruh terhadap proses fisiologi seperti menurunkan tekanan

darah, nadi, dan respirasi.

2.3.1 Teknik Guided Imagery

Berikut ini adalah macam-macam teknik guided imagery menurut

Grocke & Moe (2015) dalam Afdila (2016):

31
1) Guided Walking Imagery

Pada teknik ini pasien dianjurkan untuk mengimajinasikan

pemandangan seperti padang rumput, pegunungan, atau pantai.

2) Autogenic Abeaction

Pasien diminta untuk memilih sebuah perilaku negatif yang ada

dalam pikirannya kemudian pasien mengungkapkan secara verbal

tanpa batasan. Bila berhasil akan tampak perubahan dalam hal

emosional dan raut wajah pasien.

3) Covert Sensitization

Teknik ini berdasar pada paradigma reinforcement yang

menyimpulkan bahwa proses imajinasi dapat dimodifikasi

berdasarkan pada prinsip yang sama dalam modifikasi perilaku.

4) Covert Behaviour Rehearsal

Teknik ini mengajak seseorang untuk mengimajinasikan perilaku

koping yang dia inginkan.

Imajinasi terbimbing dilakukan oleh pasien selama 10-15 menit,

tiga kali sehari. Selain itu, imajinasi terbimbing juga dapat

berfungsi hanya pada beberapa orang (Brunner & Suddarth, 2002

dalam Luhukay, 2013). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan

teknik guided walking imagery untuk memandu responden

mengimajinasikan pemandangan seperti pegunungan atau pantai

agar dapat mengurangi rasa nyeri.

32
Teknik guided imagery dimulai dengan proses relaksasi

pada umumnya, yaitu pasien diminta secara perlahan-lahan

menutup matanya dan fokus pada nafas mereka, lalu klien didorong

untuk relaksasi mengosongkan pikiran dan memberi bayangan

yang dapat membuat damai dan tenang dalam pikiran klien (Patasik

dkk, 2013).

Adapun langkah-langkah dalam melakukan tindakan guided

imagery menurut Kozier & Erb (2009) dalam Novarenta (2013)

serta Rosmawati (2016) adalah sebagai berikut:

(1). Pastikan lingkungan di sekitar klien nyaman dan tenang.

(2). Menutup tirai guna menjaga privasi klien.

(3). Mengkaji intensitas nyeri klien sebelum tindakan manajemen

nyeri imajinasi terbimbing.

(4). Tanyakan kepada klien apakah klien lebih suka

membayangkan pemandangan seperti pegunungan atau pantai.

(5). Jika sudah memutuskan, minta klien untuk menutup mata.

(6). Minta klien untuk bernafas dalam pelan-pelan 3-5 kali sampai

klien merasa rileks.

(7). Selanjutnya bimbing klien menuju situasi istirahat penuh:

a. “Silahkan Anda membayangkan ke tempat yang aman dan

nyaman seperti di pegunungan atau pantai.”

b. “Tempat ini adalah tempat yang spesial bagi Anda. Setiap

mengalami nyeri atau stress, Anda dapat pergi ke tempat ini.”

33
- Pegunungan:

“Bayangkan Anda sedang berjalan di pegunungan... dengarkan

suara langkah kaki Anda... rasakan hembusan angin... suara

pepohonan dan burung yang berkicauan... hirup wanginya

bunga... dan rasakan sejuknya udara.”

- Pantai:

“Bayangkan Anda sedang berjalan di tepian pantai... dengarkan

deburan ombak yang tenang... melihat hamparan pasir putih...

kemudian Anda mencelupkan kaki ke dalam air laut... rasakan

kesegaran dan dinginnya kaki Anda.”

c. “Anda terus rileks... rasakan hangatnya matahari... pandang

birunya langit.”

d. “Merasa lebih rileks, nyaman, tenang, dan santai…nikmati

semua perasaan yang Anda rasakan... semakin nyata, semakin

jelas Anda benar- benar menikmatinya… rasakan bahwa hal ini

sangat nyata... Anda benar-benar berada di sana.”

(8). Jika klien menunjukkan tanda agitasi, gelisah, atau tidak

nyaman, hentikan latihan.

(9) . Setelah kurang lebih 10-15 menit, mulailah kembali ke kondisi

sekarang untuk mengakhiri teknik guided imagery.

(10). Minta klien untuk membuka matanya dan menggerakkan

perlahan anggota tubuhnya.

(11). Diskusikanlah perasaan klien mengenai pengalamannya.

34
(12). Evaluasi intensitas nyeri klien setelah tindakan manajemen

nyeri imajinasi terbimbing.

(13). Motivasi klien untuk mempraktikan teknik ini secara mandiri.

2.4 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Pasca Operasi

Kolelitiasis Dengan Menejemen Nyeri : Imajinasi Terbimbing

2.4.1 pengkajian

Pengkajian adalah proses pengumpulan data secara

sistematis yang bertujuan untuk menentukan status kesehatan dan

fungsional pada saat ini dan waktu sebelumnya, serta untuk

menentukan pola respons klien saat ini dan waktu sebelumnya

(Potter & Perry, 2010). Tahap ini terbagi atas:

1) Anamnesis

a. Identitas

1) Identitas Klien: Meliputi nama, umur, jenis kelamin,

agama, status mariental, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa,

alamat, nomor medrec, diagnosa medis, tanggal masuk rumah

sakit, dan tanggal pengkajian.

2) Identitas Penanggung Jawab: Meliputi nama, umur,

pekerjaan, dan hubungan dengan pasien.

b. Keluhan Utama

Pada pasien pasca operasi kolelitiasis akan dihadapkan dengan

sensasi rasa nyeri.

35
c. Riwayat Penyakit Sekarang

Agar lebih komprehensifnya pengkajian nyeri, ada suatu

pendekatan yang mempermudah dalam melakukan pengkajian

nyeri, yaitu pengkajian nyeri dengan pendekatan PQRST (Noor,

2016)

1) P (Provoking Incident): Pasien pasca operasi kolelitiasis

biasanya akan mengeluh nyeri dan nyeri dirasakan

bertambah ketika bergerak.

2) Q (Quality of Pain): Nyeri yang dirasakan oleh pasien

pasca operasi kolelitiasis seperti tertusuk-tusuk.

3) R (Region): Nyeri dirasakan di daerah sekitar abdomen

dan tidak menyebar ke bagian tubuh yang lain.

4) S (Severity/Scale of Pain): Skala nyeri yang dirasakan

pasien pasca operasi kolelitiasis gbiasanya mencapai skala

4-6 (nyeri sedang) hingga 7-9 (nyeri berat).

5) T (Time): Nyeri dirasakan terus menerus setelah efek

anastesi hilang.

d. Riwayat Penyakit Dahulu

kaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau

pernah memiliki riwayat penyakit sebelumnya.

36
e. Riwayat Penyakit Keluarga

mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah

menderita penyakit kolelitiasis. Penyakit kolelitiasis tidak

menurun, karena penyakit ini menyerang sekelompok

manusia yang memiliki pola makan dan gaya hidup yang

tidak sehat. Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis

mempunyai resiko lebih besar dibanding dengan tanpa

riwayat keluarga.

3) Pola nutrisi dan metabolism

Kaji tentang porsi makan, nafsu makan.

4) Pola eliminasi

Untuk klien kolelitiasis tidak ada gangguan pada pola

eliminasi, namun perlu dikaji frekuensi, konsistensi, warna,

dan bau feses pada pola eliminasi alvi. Pada pola eliminasi

urine dikaji frekuensi, kepekatan, warna, bau, dan jumlahnya.

5) Pola tidur dan istirahat

Klien kolelitiasis biasanya merasa nyeri dan gerakannya

terbatas. Hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur

klien.

6) Pola aktivitas

Karena adanya nyeri dan gerak yang terbatas, semua bentuk

aktivitas klien menjadi berkurang dan klien butuh banyak

bantuan dari orang lain.

37
7) Pola hubungan dan peran

Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan masyarakat

karena klien harus menjalani rawat inap.

8) Pola perspsi dan konsep diri

Dampak yang timbul pada klienkolelitiasis cemas, rasa

ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal,

dan gangguan citra diri.

9) Pola sensori dan kognitif

Akan timbul rasa nyeri. Sedangkan pada indra yang lain dan

kognitifnya tidak mengalami gangguan.

10) Pola reproduksi sesksual

Klien tidak dapat melakukan hubungan seksual karena harus

menjalani rawat inap, mengalami keterbatasan gerak, serta

merasa nyeri.

11) Pola penanggulangan stress

Pada klien kolelitiasis timbul rasa cemas akan keadaan dirinya,

hal ini menandakan mekanisme koping yang digunakan klien

tidak efektif.

12) Pola tata nilai dan keyakinan

Klien kolelitiasis tidak dapat melaksanakan ibadahnya dengan

baik, terutama frekuensi dan konsentrasi dalam beribadah. Hal

ini disebabkan oleh rasa nyeri dan keterbatasan gerak klien.

38
g. Pemeriksaan Fisik

1) Gambaran umum. Perawat pemeriksa perlu memerhatikan

pemeriksaan secara umum yang meliputi:

a) Keadaan umum: Baik atau buruknya klien.

(1) Kesadaran klien: tingkat kesadaran bergantung pada

keadaan klien.

(2) Kesakitan, keadaan penyakit: Akut, kronis, ringan, sedang,

berat, dan pada kasus fraktur biasanya akut.

(3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan, baik

fungsi maupun bentuk.

b) Secara sistemik, dari kepala sampai kelamin. Perawat harus

memperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal

klien, terutama mengenai status neurovaskular.

2) Keadaan lokal. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah

sebagai berikut:

a) Look (Inspeksi). Perhatikan apa yang dapat dilihat, antara

lain sebagai berikut:

(1) Sikatriks (jaringan parut, baik yang alami maupun

buatan seperti bekas operasi).

(2) Warna kemerahan atau kebiruan (livid) atau

hiperpigmentasi.

(3) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-

hal tidak biasa (abnormal).

39
(4) Posisi dan bentuk ekstremitas (deformitas).

(5) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar pemeriksa).

b) Feel (Palpasi). Pada waktu palpasi, terlebih dahulu posisi

klien diperbaiki mulai dari posisi anatomi. Hal-hal yang perlu

dicatat adalah sebagai berikut.

(1). Perubahan suhu di sekitar trauma (hangat atau dingin).

(2). Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi

atau edema terutama di sekitar persendian.

(3). Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, letak kelainan (⅓

proksimal, tengah, atau distal).

c) Move (Pergerakan terutama rentang gerak). Perawat perlu

mencatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan.

Pencatatan rentang gerak ini perlu dilakukan agar dapat

mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudah terjadi fraktur.

Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak

(imobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan

aktif dan pasif.

d) Power (Kekuatan otot). Kaji kekuatan otot ektremitas atas

dan bawah baik kanan maupun kiri. Penilaian kekuatan otot

antara lain:

5: Gerakan aktif terhadap gravitasi dan tahanan penuh

4: Gerakan aktif terhadap gravitasi dan beberapa tahanan

3: Gerakan aktif terhadap gravitasi

40
2: Gerakan hanya bergeser

1: Hanya ada kontraksi otot

0: Tidak ada kontraksi otot

2.4.2 Masalah Keperawatan

Masalah keperawatan adalah keputusan klinis tentang respons

individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan yang

aktual dan potensial, atau proses kehidupan (Potter & Perry, 2010).

Nyeri akut adalah pengalaman sensorik atau emosional yang

berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional,

dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga

berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan (Tim Pokja SDKI, 2016).

1. Nyeri akut berhubungan dengan prosedur operasi.

Tabel 2.1
Tanda dan Gejala Mayor Nyeri Akut (Tim Pokja SDKI, 2016)

Tanda dan Gejala Mayor Objektif

Subjektif 1. Tampak meringis


Mengeluh nyeri 2. Bersikap protektif (misal waspada,
posisi menghindari nyeri
3. Gelisah
4. Frekuensi nadi meningkat
5. Sulit tidur
Tanda dan Gejala Minor Objektif

Subjektif 1. Tekanan darah meningkat


(tidak tersedia) 2. Pola nafas berubah
3. Nafsu makan berubah
4. Proses berfikir terganggu
5. Menarik diri
6. Berfokus pada diri sendiri
7.Diaforesis

41
2.4.3 Intervensi

Perencanaan merupakan langkah berikutnya dalam proses

keperwatan. Pada langkah ini, perawat menetapkan tujuan dan

kriteria hasil yang diharapkan bagi klien dan merencanakan

intervensi keperawatan. Dari pernyataan tersebut, perlu diketahui

bahwa dalam membuat perencanaan perlu mempertimbangkan 1)

tujuan, 2) kriteria yang diperkirakan atau diharapkan, dan 3)

intervensi keperawatan (Andarmoyo, S., 2013).

No Diagnose Tujuan dan kriteria Intervensi keperawatan


keperawatan hasil
1 Nyeri akut Tujuan: 1.Identifikasi lokasi,
berhubungan • Pain level karakteristik, durasi,
dengan prosedur • Pain control ferekuensi, kualitas,
operasi • Comfort level intensitas nyeri.
Setelah dilakukan 2.Identifikasi skala nyeri.
tindakan keperawatan 3.Identifikasi reaksi non
selama 3 x 24 jam, verbal.
pasien tidak mengalami 4.Identifikasi faktor yang
nyeri, dengan kriteria memperberat rasa nyeri.
hasil: 5.Identifikasi
•Mampu mengontrol pengetahuan tentang
nyeri (tahu penyebab nyeri.
nyeri, mampu 6.Identifikasi pengaruh
menggunakan teknik budaya terhadap respon
non farmakologi untuk nyeri.
mengurangi nyeri, 7.Kontrol lingkungan
mencari bantuan. yang memperberat rasa
•Melaporkan bahwa nyeri.
nyeri berkurang dengan 8.Fasilitasi istirahat dan
menggunakan tidur.
manajemen nyeri. 9.Ajarkan teknik non
•Mampu mengenali farmakologi untuk
nyeri (skala, intensitas, mengurangi rasa nyeri
frekuensi, dan tanda (imajinasi terbimbing).
nyeri). 10.Kolaborasi dalam
•Menyatakan rasa pemberian analgetik.
nyaman setelah nyeri
berkurang.

42
•Tanda vital dalam
rentang normal.
•Tidak mengalami
gangguan tidur.

2.4.5 Implementasi

Implementasi keperawatan merupakan komponen dari

proses keperawatan yang merupakan kategori dari perilaku

keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai

tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan

dilakukan dan diselesaikan (Potter & Perry, 2010). Pengertian

tersebut menekankan bahwa implementasi adalah melakukan atau

menyelesaikan suatu tindakan yang sudah direncanakan pada

tahapan sebelumnya.

Terdapat berbagai tindakan yang bisa dilakukan untuk

mengurangi rasa nyeri. Implementasi lebih ditujukan pada 1) upaya

perawatan dalam meningkatkan kenyamanan, 2) upaya pemberian

informasi yang akurat, 3) upaya mempertahankan kesejahteraan, 4)

upaya tindakan peredaan nyeri non farmakologis, dan 5) kolaborasi

pemberian terapi nyeri farmakologis (Andarmoyo, S., 2013).

2.4.6 Evaluasi

Evaluasi keperawatan adalah tahapan akhir dari proses

keperawatan untuk mengukur respons klien terhadap tindakan

keperawatan dan kemajuan klien ke arah pencapaian tujuan (Potter

& Perry, 2010). Evaluasi keperawatan terhadap pasien dengan

43
masalah nyeri dilakukan dengan menilai kemampuan dalam

merespons rangsangan nyeri, diantaranya 1) klien melaporkan

adanya penurunan rasa nyeri, 2) mendapatkan pemahaman yang

akurat mengenai nyeri, 3) mampu mempertahankan kesejahteraan

dan meningkatkan kemampuan fungsi fisik dan psikologis yang

dimiliki, 4) mampu menggunakan tindakan-tindakan peredaan

nyeri non farmakologis, 5) mampu menggunakan terapi yang

diberikan untuk mengurangi rasa nyeri (Andarmoyo, S., 2013).

44

Anda mungkin juga menyukai