Anda di halaman 1dari 30

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny.

S
DENGAN DIAGNOSA MEDIS KOLELITIASIS
DENGAN INTERVENSI TEKNIK RELAKSASI NAPAS DALAM
DI BANGSAL MELATI 3
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN
Disusun untuk memenuhi tugas Praktik Keperawatan Medikal Bedah

Dosen Pembimbing : Ns. Ida Mardalena, S.Kep., M.Si.

Disusun oleh

Putri Nurcahyani (P07120522006)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA

JURUSAN KEPERAWATAN

PENDIDIKAN PROFESI NERS

TAHUN 2022
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. S


DENGAN DIAGNOSA MEDIS KOLELITIASIS
DENGAN INTERVENSI TEKNIK RELAKSASI NAPAS DALAM
DI BANGSAL MELATI 3
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN

Disusun Untuk Disetujui Pada :

Hari :

Tanggal :

Jam :

Tempat :

Pembimbing Akademik Pembimbing Rumah Sakit

(Ns. Ida Mardalena, S.Kep., M.Si) ( )


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Data World Health Organization (WHO) tahun 2014 menunjukkan bahwa
terdapat 400 juta penduduk di dunia mengalami Cholelithiasis dan mencapai 700
juta penduduk pada tahun 2016. Cholelithiasis atau batu empedu terbentuk akibat
ketidak seimbangan kandungan kimia dalam cairan empedu yang menyebabkan
pengendapan satu atau lebih komponen empedu. Cholelithiasis merupakan masalah
kesehatan umum dan sering terjadi di seluruh dunia, walaupun memiliki prevalensi
yang berbeda beda di setiap daerah (Arif Kurniawan , Yunie Armiyati, 2017).
Gaya hidup adalah pola hidup setiap orang diseluruh dunia yang di
ekspresikan dalam bentuk aktivitas, minat, dan opininya. Secara umum gaya hidup
dapat diartikan sabagai suatu gaya hidup yang dikenali dengan cara bagaimana
seseorang menghabiskan waktunya (aktivitas), apa yang penting bagi orang untuk
menjadikan pertimbangan pada lingkungan (minat), dan apa yang orang selalu
pikirkan tentang dirinya sendiri dan dunia disekitarnya (opini), serta faktor-faktor
tertentu yang mempengaruhi gaya hidup sehat diantaranya adalah makanan dan
olahraga. Gaya hidup dapat disimpulkan sebagai pola hidup setiap orang yang
dinyatakan dalam kegiatan, minat, dan pendapatnya dalam membelanjakan
uangnya dan bagaimana mengalokasikan waktunya untuk kehidupan sehari-
harinya.
Saat ini dengan semakin meningkatnya tuntutan pekerjaan dan kebutuhan
hidup setiap orang, membuat masyarakat Indonesia melakukan gaya hidup yang
tidak sehat. Mereka banyak mengkonsumsi makanan yang cepat saji (yang tinggi
kalori dan tinggi lemak), waktu untuk melakukan latihan fisik yang sangat terbatas,
serta kemajuan teknologi yang membuat gaya hidup masyarakat yang santai karena
dapat melakukan pekerjaan dengan lebih mudah sehingga kurang aktifitas fisik dan
adanya stress akibat dari pekerjaan serta permasalaahan hidup yang mereka alami
menjadi permasalahan yang sulit mereka hindari. Semua kondisi tersebut dapat
meningkatkan resiko terjadinya penyakit cholelitiasis dan jumlah penderita
cholelitiasis meningkat karena perubahan gaya hidup, seperti misalnya banyaknya
makanan cepat saji yang dapat menyebabkan kegemukan dan kegemukan
merupakan faktor terjadinya batu empedu karena ketika makan, kandung empedu
akan berkontraksi dan mengeluarkan cairan empedu ke di dalam usus halus dan
cairan empedu tersebut berguna untuk menyerap lemak dan beberapa vitamin
diantaranya vitamin A, D, E, K (Tjokropawiro, 2015).
Berdasarkan beberapa banyaknya faktor yang dapat memicu atau
menyebabkan terjadinya cholelitiasis adalah gaya hidup masyarakat yang semakin
meningkat terutama masyarakat dengan ekonomi menengah keatas lebih suka
mengkonsumsi makanan cepat saji dengan tinggi kolesterol sehingga kolesterol
darah berlebihan dan mengendap dalam kandung empedu dan menjadi kantung
empedu dan dengan kurangnya pengetahuan dan kesadaran tentang akibat dari
salah konsumsi makanan sangat berbahaya untuk kesehatan mereka (Haryono,
2013).
Banyaknya faktor yang mempengaruhi terjadinya cholelitiasis adalah faktor
keluarga, tingginya kadar estrogen, insulin, dan kolesterol, penggunaan pil KB,
infeksi, obesitas, gangguan pencernaan, penyakit arteri koroner, kehamilan,
tingginya kandung lemak dan rendah serat, merokok, peminum alkohol, penurunan
berat badan dalam waktu yang singkat, dan kurang olahraga (Djumhana, 2017).
Cholelitiasis saat ini menjadi masalah kesehatan masyarakat karena
frekuensi kejadiannya tinggi yang menyebabkan beban finansial maupun beban
sosial bagi masyarakat. Sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di
negara barat, Angka kejadian lebih dari 20% populasi dan insiden meningkat
dengan bertambahnya usia. Cholelitiasis sangat banyak ditemukan pada populasi
umum dan laporan menunjukkan bahwa dari 11.840 yang dilakukan otopsi
ditemukan 13,1% adalah pria dan 33,7% adalah wanita yang menderita batu
empedu (Cahyono, 2015).
Cholelitiasis merupakan endapan satu atau lebih komponen diantaranya
empedu kolesterol, billirubin, garam, empedu, kalsium, protein, asam lemak, dan
fosfolipid. Batu empedu biasanya terbentuk dalam kantung empedu terdiri dari
unsur-unsur padat yang membentuk cairan empedu, batu empedu memiliki ukuran,
bentuk dan komposisi yang sangat bervariasi. Batu empedu yang tidak lazim
dijumpai pada anak-anak dan dewasa muda tetapi insidenya semakin sering pada
individu yang memiliki usia lebih diatas 40 tahun. setelah itu insiden cholelitiasis
atau batu empedu semakin meningkat hingga sampai pada suatu tingkat yang
diperkirakan bahwa pada usia 75 tahun satu dari 3 orang akan memiliki penyakit
batu empedu, etiologi secara pastinya belum diketahuiakan tetapi ada faktor
predisposisi yang penting diantaranya gangguan metabolisme, yang menyebabkan
terjadinya perubahan komposisi empedu, adanya statis empedu, dan infeksi atau
radang pada empedu.
Tatalaksana kolelitiasis dapat dibagi menjadi dua, yaitu bedah dan non
bedah. Terapi non bedah dapat berupa lisis batu yaitu disolusi batu dengan sediaan
garam empedu kolelitolitik, ESWL (exstracorporeal shock wave lithitripsy) dan
pengeluaran secara endoskopi, sedangkan terapi bedah dapat berupa laparoskopi
kolesistektomi, dan open kolesistektomi.
Perawat yang berhubungan langsung dengan klien kolelitiasis harus
melaksanakan perannya secara profesional, melakukan teknik relaksasi adalah
tindakan keperawatan yang dilakukan untuk mengurangi nyeri, tindakan reklaksasi
mencakup teknik relaksasi nafas dalam, distraksi, dan stimulasi kulit. Selain itu
perawat juga berperan dalam memberikan terapi medis berupa cairan intravena,
antibiotik, dan analgetik. Solusi masalah pada pasien dengan Kolelitiasis adalah
perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan dapat memberikan informasi tentang
bagaimana tanda gejala, cara pencegahan, cara pengobatan dan penanganan pasien
dengan Kolelitiasis sehingga keluarga juga dapat beperan aktif dalam pemeliharaan
kesehatan baik individu itu sendiri maupun orang lain disekitarnya.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Ny. S dengan diagnosa medis
kolelitiasis intervensi teknik relaksasi napas dalam di bangsal Melati 3 Rumah
Sakit Umum Pusat Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan asuhan keperawatan ini meliputi:
1. Tujuan Umum
Menjelaskan asuhan keperawatan pada Ny. S dengan diagnosa medis
kolelitiasis intervensi teknik relaksasi napas dalam di bangsal Melati 3
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.
2. Tujuan Khusus
a. Memaparkan hasil pengkajian pada pasien dengan diagnosa medis
kolelitiasis intervensi teknik relaksasi napas dalam
b. Memaparkan hasil diagnosa pada pasien dengan diagnosa medis
kolelitiasis intervensi teknik relaksasi napas dalam
c. Memaparkan hasil intervensi keperawatan pada pasien dengan
diagnosa medis kolelitiasis intervensi teknik relaksasi napas dalam
d. Memaparkan hasil implementasi keperawatan pada pasien dengan
diagnosa medis kolelitiasis intervensi teknik relaksasi napas dalam
e. Memaparkan hasil evaluasi keperawatan pada pasien dengan
diagnosa medis kolelitiasis intervensi teknik relaksasi napas dalam
BAB II
TINJAUAN TEORI

1. Konsep Dasar Penyakit


A. Pengertian
Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu atau
saluran empedu (duktus koledokus) atau keduanya (Muttaqin dan Sari, 2011). Batu
empedu bisa terdapat pada kantung empedu, saluran empedu ekstra hepatik, atau
saluran empedu intra hepatik. Bila terletak di dalam kantung empedu saja disebut
kolesistolitiasis, dan yang terletak di dalam saluran empedu ekstra hepatik (duktus
koleduktus) disebut koledokolitiasis, sedang bila terdapat di dalam saluran empedu
intra hepatik disebelah proksimal duktus hepatikus kanan dan kiri disebut
hepatolitiasis. Kolesistolitiasis dan koledokolitiasis disebut dengan kolelitiasis.

B. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis dapat terjadi
dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko
yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis.
Faktor resiko tersebut antara lain:

1. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh
terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang
menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis.
Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan
kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung
empedu.
2. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.
3. Obesitas
Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolism umum, resistensi insulin,
diabetes militus tipe II, hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan dengan
peningkatan sekresi kolesterol hepatica dan merupakan faktor resiko utama untuk
pengembangan batu empedu kolesterol.
4. Statis Bilier
Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu. Kondisi
yang bisa meningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang belakan (medulla
spinalis), puasa berkepanjangan, atau pemberian diet nutrisi total parenteral
(TPN), dan penurunan berat badan yang berhubungan dengan kalori dan
pembatasan lemak (misalnya: diet rendah lemak, operasi bypass lambung).
Kondisi statis bilier akan menurunkan produksi garam empedu, serta
meningkatkan kehilangan garam empedu ke intestinal.
5. Obat-obatan
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker
prostat meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat fibrat
hipolipidemik meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui sekresi bilier
dan tampaknya meningkatkan resiko batu empedu kolesterol. Analog
somatostatin muncul sebagai faktor predisposisi untuk batu empedu dengan
mengurangi pengosongan kantung empedu.
6. Diet
Duet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam
desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik. Karbohidrat
dalam bentuk murni meningkatkan saturasi kolesterol empedu. Diet tinggi
kolesterol meningkatkan kolesterol empedu.
7. Keturunan
Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi tampaknya adalah
turun temurun, seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar identik
fraternal.
8. Infeksi Bilier
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan sebagian pada
pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan
mucus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler sebagai pusat
presipitasi.
9. Gangguan Intestinal
Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan atau
kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan agen
pengikat kolesterol, penurunan garam pempedu jelas akan meningkatkan
konsentrasi kolesterol dan meningkatkan resiko batu empedu.
10. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
11. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang
melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.

C. Manifestasi Klinik
1. Asimtomstik
Sampai 50% dari semua pasien dengan batu empedu, tanpa
mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25% pasien yang
benar-benar mempunyai batu asimtomatik, akan merasakan gejalanya yang
membutuhkan intervensi setelah lima tahun. Batu Empedu bisa terjadi secara
tersembunyi karena tidak menimbulkan rasa nyeri dan hanya menyebabkan gejala
gastrointestinal yang ringan. Batu itu mungkin ditemukan secara kebetulan pada
saat dilakukan pembedahan atau evaluasi untuk gangguan yang tidak
berhubungan sama sekali.
Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami dua
jenis gejala, yaitu gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung empedu itu
sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi pada lintasan empedu oleh batu
empedu. Gejalanya bisa bersifat akut atau kronis. Gangguan epigastrum, seperti
rasa penuh, distensi abdomen, dan nyeri yang samar pada kuadran kanan atas
abdomen dapat terjadi.
2. Rasa Nyeri dan Kolik Bilier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan
mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan
mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier
disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas. Nyeri pascaprandial
kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60
menit setelah makan, berahir setelah beberapa jam dan kemudian pulih. Rasa
nyeri ini biasanya disertai dengan mual dan muntah, dan bertambah hebat dalam
waktu beberapa jam setelah memakan makanan dalam jumlah besar. Sekali
serangan kolik biliaris dimulai, serangan ini cenderung meningkat frekuansi dan
intensitasnya. Pasien akan membolak-balik tubuhnya dengan gelisah karena tidak
mampu menemukan posisi yang nyaman baginya. Pada sebagian pasien rasa nyeri
bukan bersifat kolik melainkan presisten.
Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu
yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh
batu. Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh
dinding abdomen pada daerah kartilago kosta Sembilan dan sepuluh bagian
kanan. Sentuhan ini akan menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran
kanan atas ketika pasien melakukan inspirasi dalam, dam menghambat
pengembangan rongga dada.
Nyeri pada kolisistisi akut dapat berlangsung sangat hebat sehingga
membutuhkan preparat analgesic yang kuat seperti meperdin. Pemberian morfin
dianggap dapat meningkatkan spasme spingter oddi sehingga perlu dihindari.
3. Ikterus
Ikterus dapat dijumpai diantara penderita penyakit kandung empedu dengan
presentase yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus.
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan
gejala yang khas, yaitu getah empedu yang tidak lagi dibawa ke duodenum akan
diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran
mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal
yang mencolok pada kulit.
4. Perubahan Warna Urin dan Feses
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna sangat
gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu,
dan biasanya pekat yang disebut dengan “ clay-colored”.
5. Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mempengaruhi absorbsi vitamin A, D, E, K yang
larut lemak. Karena itu, pasien dapat menunjukkan gejala defisiensi vitamin-
vitamin ini jika defisiensi bilier berjalan lama. Defisiensi vitamin K dapat
mengganggu proses pembekuan darah normal.
Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus sistikus,
kandung empedu akan mengalirkan isinya keluar dan proses inflamasi segera
mereda dalam waktu yang relatif singkat. Jika batu empedu terus menyumbat
saluran tersebut, penyumbatan ini dapat mengakibatkan abses, nekrosis dan
perforasi disertai peritonitis generalisata.
D. Patofisiologi
Batu empedu terdapat di dalam kandung empedu atau dapat bergerak kearea lain
dari sistem empedu. Pada saat pengosongan kandung empedu atau pengisian kandung
empedu batu dapat pindah dan terjebak dalam leher kandung empedu. Selain leher
cysticduct (saluran cyste), atau saluran empedu menyebabkan bebuntuan. Ketika
empedu tidak bias mengalir dari kandung empedu. Terjadi bendungan dan iritasi lokal
dari batu empedu menyebabkan radang batu empedu (cholecystitis)
Faktor yang mendukung :
1. Kadar kolesterol yang tinggi pada empedu
2. Pengeluaran empedu yang berkurang
3. Kecepatan pengosongan kandung empedu yang menurun
4. Perubahan pada konsentrasi empedu atau bendungan empedu pada kandung
empedu
E. Pathway
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat
terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan
ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar
bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus
koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum
biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut. Enzim hati AST
(SGOT), ALT (SGPT), LDH agak meningkat. Kadar protrombin menurun bila
obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan absorbs vitamin K.
2. Pemeriksaan sinar-X abdomen
Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan
penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain.
Namun demikian, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi
untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.

3. Foto polos abdomen


Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang
kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat
dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang
membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan
lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar di
fleksura hepatika. Walaupun teknik ini murah, tetapi jarang dilakukan pada kolik
bilier sebab nilai diagnostiknya rendah.

4. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan
akurat, dan dapat digunakan pada prndrita disfungsi hati dan icterus. Disamping
itu, pemerikasaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi ionisasi. Prosedur
ini akan memberikan hasil paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam
harinya sehingga kandung empedunya dalam keadaan distensi. Penggunaan ultra
sound berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali.
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh
peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal
kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara didalam usus. Dengan USG
punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih
jelas daripada di palpasi biasa.
USG (US) merupakan metode non-invasif yang sangat bermanfaat dan
merupakan pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan ketepatan
mencapai 95%. Kriteria batu kandung empedu pada US yaitu dengan acoustic
shadowing dari gambaran opasitas dalam kandung empedu. Walaupun demikian,
manfaat US untuk mendiagnosis BSE relatif rendah. Pada penelitian kami yang
mencakup 119 pasien dengan BSE sensitivitas US didapatkan sebesar 40%,
spesifisitas 94%. Kekurangan US dalam mendeteksi BSE disebabkan : a) bagian
distal saluran empedu tempat umumnya batu terletak sering sulit diamati akibat
tertutup gas duodenum dan kolon dan b) saluran empedu yang tidka melebar pada
sejumlah kasus BSE.

5. Kolesistografi
Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama, namun untuk
penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat
dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral dapat digunakan untuk
mendeteksi batu empedu dan mengkaji kemempuan kandung empedu untuk
melakukan pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi, serta mengosongkan
isinya. Media kontras yang mengandung iodium yang diekresikan oleh hati dan
dipekatkan dalam kandung empedu diberikan kepada pasien. Kandung empedu
yang normal akan terisi oleh bahan radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu,
bayangannya akan Nampak pada foto rontgen. Kolesistografi oral akan gagal
pada keadaan ileus paralitik, muntah, kehamilan, kadar bilirubin serum diatas
2mg/dl, obstruksi pilorus, ada reaksi alergi terhadap kontras, dan hepatitis karena
pada keadaan-keadaan tertentu tersebut kontras tidak dapat mencapai hati.
Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung
empedu. Cara ini juga memerlukan lebih banyak waktu dan persiapan
dibandingkan ultrasonografi.

6. Endoscopic Retrograde Cholangiopnacreatography (ERCP)


Pemeriksaan ERCP memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang
hanya dapat dilihat pada saat melakukan laparotomi. Pemeriksaan ini meliputi
insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam esophagus hingga mencapai
duodenum pasrs desenden.Sebuah kanula dimasukkan ke dalam duktus koledokus
dan duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus
tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta evaluasi percabangan bilier. ERCP
juga memungkinkan visualisasi langsung struktur ini dan memudahkan akses ke
dalam duktus koledokus bagian distal untuk mengambil batu empedu.

7. Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)


Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras secara
langsung ke dalam percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang
disuntikkan relative besar, maka semua komponen dalam system bilier tersebut,
yang mencakup duktus hepatikus dalam hati, keseluruhan panjang doktus
koledokus, duktus sistikus dan kandung empedu, dapat dilihat garis bentuknya
dengan jelas.
8. Computed Tomografi (CT)
CT scan juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk menentukan
adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis. Walaupun
demikian, teknik ini jauh lebih mahal dibanding US.

G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Non-Pembedahan
Sasaran utama terapi medikal adalah untuk mengurangi insiden serangan akut
nyeri kandung empedu dan kolesistitis dengan penatalaksanaan suportif dan diit,
dan jika memungkinkan, untuk menyingkirkan penyebab dengan farmakoterapi,
prosedur-prosedur endoskopi, atau intervensi pembedahan.
a. Penatalaksanaan Supotif dan Diet
Sekitar 80% pasien dengan inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan
istirahat, cairan infus, pengisapan nasogastric, analgesik dan antibiotik.
Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evaluasi yang
lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien semakin memburuk.
b. Farmakoterapi
Asam Kenodeoksikolat. Dosisnya 12-15 mg/kg/hari pada orang yang tidak
mengalami kegemukan. Kegemukan jelas telah meningkatkan kolesterol bilier,
sehingga diperlukan dosis 18-20 mg/kg/hari. Dosis harus ditingkatkan bertahap
yang dimulai dari 500 mg/hari. Efek samping pada pemberian asam
kenodeoksikolat adalah diare.
Asam ursodeoksikolat. Berasal dari beruang jepang berleher putih.
Doasisnya 8-10 mg/kg/hari, dengan lebih banyak diperlikan jika pasien
mengalami kegemukan. Asam ursodeoksikolat melarutkan sekitar 30% batu
radiolusen secara lengkap dan lebih cepat daripada menggunakan asam
kenodeoksikolat. Efek sampingnya tidak ada.
Kemungkinan kombinasi asam ursodeoksikolat 6,5 mg/kg/hari dangan 7,5
mg/kg/hari asam kenodeoksikolat lebih murah dan sama efektif.
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol,
chenofalk) telah digunakan untuk mmelarutkan batu empedu radiolusen yang
berukuran kecil dan terutama tersusun dari kolesterol. Asam ursodeoksikolat
dibandingkan dengan kenodeoksikolat jarang menimbulkan efek samping dan
dapat diberikan dengan dosis yang lebih rendah untuk mendapatkan efek yang
sama. Mekanisme kerjanya adalah menhambat sintesis kolesterol dalam hati
dan sekresinya sehingga terjadi desaturasi getah empedu. Batu yang sudah ada
dapat dikurangi besarnya, batu yang kecil dilarutkan dan batu yang baru
dicegah pembentukannya. Padabanyak pasien diperlukan pengobatan selama 6
hingga 12 bulan untuk melarutkan batu empedu, dan selama terapi keadaan
pasien dipantau. Dosis yang efektif bergantung pada berat badan pasien. Terapi
ini dilakukan pada pasien yang menolak terapi pembedahan atau dianggap
terlalu beresiko untuk menjalani pembedahan.
Pembentukan kembali batu empedu telah dilaporkan pada 20-50% pasien
sesudah terapi dihentikan, dengan demikian pemberian obat ini dengan dosis
rendah dapat dilanjutkan untuk mencegah kekambuhan tersebut. Jika gejala
akut kolesistisis berlanjut atau timbul kembali, intervensi bedah atau litotropis
merupakan indikasi.
c. Pengangkatan batu tanpa pembedahan
Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu dengan
menginfuskan suatu bahan pelarut (monooktanoin atau metil tertier butyl eter
[MTBE]) ke dalam kandung empedu. Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui
selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke dalam kandung
empedu, atau melalui selang atau drain yang dimasukkan melaui T-tube untuk
melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan, atau bisa juga
melalui endoskop ERCP, atau kateter bilier transnasal.
Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL). Prosedur noninvasif ini
menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock waves) yang
diarahkan pada batu empedu di dalam kandung empedu atau duktus koledokus
dengan maksud untuk memecah batu tersebut menjadi sejumlah fragmen.
Gelombang kejut dihasilkan dalam media cairan oleh percikan listrik, yaitu
piezoelektrik, atau muatan elektromagnetik. Energi ini disalurkan ke dalam
tubuh lewat rendaman air atau kantong yang berisi cairan. Gelombang kejut
yang dkonvergensikan tersebut dialirkan kepada batu empedu yang akan
dipecah. Setelah batu dipecah secara bertahap, pecahannya akan bergerak
spontan dari kandung empedu atau duktus koledokus dan dikeluatkan melalui
endoscop atau dilarutkan dengan pelarut asam empedu yang diberikan per oral.
Litotripsi Intracorporeal. Batu yang ada dalam kandung empedu atau
duktus koledokus dapat dipecah dengan menggunakan gelombang ultrasound,
laser berpulsa atau litotripsi hidrolik yang dipasang pada endoscop, dan
diarahkan langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau debris dikeluarkan
dengan cara irigasi dan aspirasi.

2. Penatalaksanaan Pembedahan
a. Koleksistektomi Terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan
batu empedu simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna, cidera duktus
biliaris, terjadi dalam kurang dari 0,2% pasien. Angka mortalitas yang
dilaporkan untuk prosedur ini telah terlihat dalam penelitian baru-baru ini,
yaitu kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi
adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistisi akut. Praktik pada saat ini
mencakup kolesistektomi segera dalam pasien dengan kolesistisi akut dalam
masa perawatan di rumah sakit yang sama. Jika tidak ada bukti kemajuan
setelah 24 jam penanganan medis, atau jika ada tanda-tanda penurunan klinis,
maka kolesistektomi darurat harus dipertimbangkan.
b. Mini Kolesistektomi
Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat
luka insisi selebar 4cm. Jika diperlukan, luka insisi dapat diperlebar untuk
mengeluarkan batu kandung empedu yang berukuran lebih besar. Drain
mungkin dapat atau tidak digunakan pada mini kolasistektomi. Biaya yang
ringan dan waktu rawat yang singkat merupakan salah satu alasan untuk
meneruskan bentuk penanganan ini.
c. Kolesistektomi laparoskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan batu empedu simtomatik tanpa adanya
kolesistisis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli
bedah mulai untuk melakukan prosedur ini dalam pasien dengan kolesistisis
akut dan dalam pasien dengan batu duktus koledokus. Keuntungan secara
toritis dari prosedur ini dibandingkan dengan konvensional, kolesistektomi
mengurangi perawatan di rumah sakit serta biaaya yang dikeluarkan, pasien
dapat cepat bisa kembali bekerja, nyeri menurun, dan perbaikan kosmetik.
Masalah yang belum terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini,
berhubungan dengan insiden komplikasi mayor, seperti misalnya cidera duktus
biliaris, yang mungkin terjadi lebih sering selama kolisistektomi laparoskopik.
Frekuensi dari cidera mungkin merupakan ukuran pengalaman ahli bedah dan
merupakan manifestasi dari kurva pelatihan yang berkaitan dengan modalitas
baru.
d. Bedah Kolesistotomi
Dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan
operasi yang lebih luas, atau bila reaksi inflamasi yang akut membuat system
bilier tidak jelas. Kndung empedu dibuka melalui pembedahan, batu serta
getah empedu atau cairan drainase yang purulen dikeluarkan, dan kateter untuk
drainase diikat dengan jahitan kantung tembakau (purse-string-suture). Kateter
itu dihubungkan dengan sistem drainase untuk mencegah kebocoran getah
empedu disekitar kateter atau perembesan getah empedu ke dalam rongga
peritoneal. Setelah sembuh dari serangan akut, pasien dapat kembali lagi untuk
menjalani kolesistektomi. Maeskipu resikonya lebih rendah, bedah
kolesistotomi memiliki angka moertalitas yang tinggi (yang dilaporkan sampai
setinggi 20-30%) yang disebabkan oleh proses penyakit pasien yang
mendasarinya.
e. Kolesistotomi Perkutan
Kolesistotomi perkutan telah dilakukan dalam penanganan dan penegakan
diagnosis kolesistisis akut pada pasien-pasien yang beresiko jika harus
menjalani tindakan pembedahan atau anastesi umum. Pasie-pasien ini
mencakup para penderita sepsis atau gagal jantung yang berat dan pasien-
pasien gagal ginjal, paru atau hati. Dibawah pengaruh anastesi local sebilah
jarum yang halus ditusukkan lewat dinding abdomen dan tepi hati ke dalam
kandung empedu dengan dipandu oleh USG atau pemindai CT. Getah empedu
diaspirasi untuk memastikan bahwa penempatan jarum telah adekuat, dan
kemudian sebuah kateter dimasukkan ke dalam kandung empedu tersebut
untuk dekompresasi saluran empedu. Dengan prosedur ini hampir selalu
dilaporkan bahwa rasa nyeri dan gejala serta tanda-tanda dari sepsis dan
kolesistisi berkurang atau menghilang dengan segera.
f. Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk
mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah
kateter ke dalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema
mereda. Kateter ini dihubungkan dengan selang drainase gravitas. Kandung
empedu biasanya juga mngandung batu, dan umumnya koledokostomi
dilakukan bersama-sama kolesistektomi.

H. Komplikasi
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
mengakibatkan/menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada
dalam kandung empedu terdorong dna dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat
menetap ataupun terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikus secara menetap
makan mungkin dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat
menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-
alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesitoduodenal.
Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang
dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat
sekitarnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesitoduodenal ataupun dapat terjadi
perforasi kandung empedu yang berakibat terjadi peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat
kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus
kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang
menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif,
kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya
fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada
bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.
Berikut beberapa penjelasan tentang komplikasi kolelitiasis:
1. Hidrops
Hidrops biasanya disebabkan oleh stenosis atau obstruksi duktus sistikus
sehingga tidak dapat diisi lagi oleh empedu. Dalam keadaan ini tidak terdapat
peradangan akut dan sindrom yang berkaitan dengannya, tetapi ada bukti
peradangan kronis dengan adanya mukosa gundul. Kandung empedu berdinding
tebal dan terdistensi oleh materi steril mukoid. Sebagian besar pasien mengeluh
efek massa dalam kuadran kanan atas. Hidrops kandung empedu dapat
menyebabkan kolesistisi akut.
2. Kolesistitis akut
Hampir semua kolesistisi akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu
yang terjebak dalam kantung empedu. Trauma mukosa kantung empedu oleh batu
dapat menyebabkan pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin dalam empedu
menjadi lisolesitin yang bersifat toksik yang memperberat proses peradangan.
Pada awal penyakit, peran bakteri sangat sedikit, tetapi kemudian dapat terjadi
supurasi. Komplikasi kolesistisis akut adalah empiema, nekrosis, dan perforasi.
a. Empiema
Empiema adalah lanjutan dari kolisistisis akut. Pada empiema atau
kolesistisis supuratif, kandung empedu berisi nanah. Penderita menjadi
semakin toksik, demam tinggi, menggigil dan leukositosis.
b. Nekrosis dan Perforasi
Kolesistisis akut bisa berlanjut ke nekrosis dinding kantung empedu dan
perforasi. Batu empedu yang tertahan bias menggoresi dinding nekrotik, sinus
Roktiansky-Aschoff terinfeksi yang berdilatasi bias memberika titik lemah
bagi ruptura. Biasanya rupture terjadi pada fundus, yang merupakan bagian
vesica biliaris yang paling kurang baik vaskularisasinya. Ruptur ke dalam
cavitas peritonialis bebas jarang terjadi dan lebih bias memungkinkan
terjadinya perlekatan dengan organ-organ yang berdekatan dengan
pembentukan abses local. Ruptura ke dalam organ berdekatan menyebabkan
fistula saluran empedu.
c. Peritonitis
Ruptura bebas empedu ke dalam cvitas peritonialis menyebabkan syok
parah. Karena efek iritan garam empedu, peritoneum mengalami peradangan.
3. Kolesistitis kronis
a. Fistel bilioentrik
Apabila kandung empedu yang mengandung batu besar menempel pada
dinding organ di dekatnya seperti lambung, duodenum, atau kolon
transversum, dapat terjadi nekrosis dinding kedua organ tersebut karena
tekanan, sehingga terjadi perforasi ke dalam lumen saluran cerna. Selanjutnya
terjadi fitsel antara kandung empedu dan organ-organ tersebut.
4. Kolangitis
Kolangitis dapat berkembang bila ada obstruksi duktus biliaris dan infeksi.
Penyebab utama dari infeksi ini adalah organisme gram negatif, dengan 54%
disebebkan oleh sepsis Klebesiella, dan 39% oleh Escherchia, serta 25% oleh
organisme Enterokokal dan Bacteroides. Empedu yang terkena infeksi akan
berwarna coklat tua dan gelap. Duktus koledokus menebal dan terjadi dilatasi
dengan diskuamasi atau mukosa yang ulseratif, terutama di daearah ampula vetri.
5. Pankreatitis
Radang pankreas akibat autodigesti oleh enzim yang keluar dari saluran
pankreas. Ini disebebkan karena batu yang berada di dalam duktus koledokus
bergerak menutupi ampula vetri.

Konsep Asuhan Keperawatan


Proses Keperawatan adalah pendekatan penyelesaian masalah yang sistematik
untuk merencanakan dan memberikan asuhan keperawatan yang melalui lima fase
berikut yaitu pengkajian, identifikasi masalah, perencanaan, implementasi, evaluasi.
1. Pengkajian
Data yang dikumpulkan meliputi:
a. Identitas
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan,
pekerjaan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa
medik, alamat, semua data mengenai identitaas klien tersebut untuk
menentukan tindakan selanjutnya.
2) Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan jadi
penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul meliputi
nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat
pengkajian. Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri
abdomen pada kuadran kanan atas.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode PQRST,
paliatif atau provokatif (P) yaitu fokus utama keluhan klien, quality atau
kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri/gatal dirasakan oleh klien, regional (R)
yaitu nyeri/gatal menjalar kemana, Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana
yang dapat mengurangi nyeri/gatal atau klien merasa nyaman dan Time (T)
yaitu sejak kapan klien merasakan nyeri/gatal tersebut.
(P): Nyeri setelah makan, terutama makanan yang berlemak
(Q): Nyeri dirasakan hebat
(R): Nyeri dirasakan pada abdomen kuadran kanan atas dan menjalar ke
punggung atau bahu kanan.
(S): Nyeri terasa saat melakukan inspirasi
(T): Nyeri dirasakan sejak dua hari yang lalu
3) Riwayat kesehatan yang lalu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah di
riwayat sebelumnya.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit
kolelitiasis.
c. Pemeriksaan fisik
Pendekatan dengan metode 6B:
1) B1-Breath
Pernapasan tertekan ditandai dengan napas pendek dan dangkal, terjadi
peningkatan frekuensi pernapasan sebagai kompensasi.
2) B2-Blood
3) Takikardi dan berkeringat karena peningkatan suhu akibat respon inflamasi.
4) B3-Brain
-
5) B4-Bladder
Urine pekat dan berwarna gelap, akibat dari pigmen empedu.
6) B5-Bowel
7) Feses berwarna kelabu “clay colored” akibat obstruksi duktus biliaris
sehingga pigmen empedu tidak dibuang melalui feses.
8) B6-Bone
-
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan Agen Cedera Biologis: Obstruksi Kandung
Empedu
b. Risiko Infeksi berhubungan dengan Kerusakan Integritas Kulit: Prosedur
Invasif
c. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (mis. Infeksi)
d. Deficit nutrisi berhubungan dengan factor psikologis
e. Risiko ketidak seimbangan cairan berhubungan dengan disfungsi intestinal
f. Gangguan pola tidur b.d hambatan lingkungan

3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa SLKI SIKI
Keperawatan
Nyeri akut Setelah diberikan asuhan keperawatan 1) Identifikasi lokasi,
selama …x24 jam diharapkan nyeri pada karakteristik, durasi,
pasien dapat berkurang dengan kriteria frekuensi, kualitas, intensitas
hasil: nyeri
1. Melaporkan nyeri terkontrol 2) Identifikasi skala nyeri
2. Kemampuan mengenali onset 3) Identifikasi respon nyeri non
nyeri meningkat verbal
3. Kemampuan mengenali penyebab 4) Identifikasi factor yang
nyeri meningkat memperberat dan
4. Kemampuan menggunakan memperingan nyeri
Teknik non-farmakologis 5) Identifikasi pengetahuan dan
meningkat keyakinan tentang nyeri
5. Dukungan orang terdekat 6) Identifikasi pengaruh nyeri
meningkat pada kualitas hidup
6. Keluhan nyeri menurun 7) Monitor keberhasilan terapi
7. Penggunaan analgesic menirun komplementer yang sudah
diberikan
8) Monitor efek samping
penggunaan analgesic
9) Berikan Teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
10) Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
11) Fasilitasi istirahat dan tidur
12) Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan
nyeri
13) Jelaskan penyebab, periode,
dan pemicu nyeri
14) Jelaskan strategi meredakan
nyeri
15) Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
16) Anjurkan menggunakan
analgesic yang secara tepat
17) Ajarkan Teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
18) Kolaborasi pemberian
analgesic, jika perlu

Risiko Infeksi Setelah diberikan asuhan keperawatan 1) Monitor tanda dan gejala
selama …x24 jam diharapakan tidak infeksi local dan sistemik
terjadi infeksi dengan kriteria hasil: 2) Batasi jumlah pengunjung
1. Kebersihan tangan meningkat 3) Berikan perawatan kulit pada
2. Kebersihan badan meningkat area edema
3. Nafsu makan meningkat 4) Cuci tangan sebelum dan
4. Demam menurun sesudah kontak dengan
5. Tidak terjadi kemerahan pasien dan lingkungan pasien
6. Tidak timbul rasa nyeri 5) Pertahankan Teknik aseptic
7. Tidak timbul bengkak pada pasien berisiko tinggi
8. Tidak ada cairan berbau busuk 6) Jelaskan tanda dan gejala
9. Tidak terjadi sputum berwarna infeksi
hijau 7) Ajarkan cara mencuci tangan
10. Drainase purulent menurun dengan benar
11. Pyuria menurun 8) Ajarkan etika batuk
12. Periode mailase menurun 9) Ajarkan cara memeriksa
13. Periode menggigil menurun kondisi luka atau luka oprasi
14. Letargi menurun 10) Anjurkan meningkatkan
15. Gangguan kognitif menurun asupan nutrisi
16. Kadar sel darah putih membaik 11) Anjurkan meningkatkan
17. Kultur darah membaik asupan cairan
18. Kultur urine membaik 12) Kolaborasi pemberian
19. Kultur sputum membaik imunisasi, jika perlu
20. Kultur area luka membaik
21. Kultur feses membaik
22. Kadar sel darah putih membaik

Hipertermia Setelah diberikan asuhan keperawatan 1) Identifikasi penyebab


selama …x24 jam diharapkan suhu tubuh hipertermia
pasien dalam rentang normal dengan 2) Monitor suhu tubuh
kriteria hasi: 3) Monitor kadar elektrolit
1. Pasien tidak menggigil 4) Monitor haluan urine
2. Kulit berwarna normal 5) Monitor komplikasi
3. Tidak terjadi kejang akibat hipertermia
4. Akrosianosis menurun 6) Sediakan lingkungan
5. Konsumsi oksigen menurun yang dingin
6. Piloereksi menurun 7) Longgarkan atau
7. Vasokonstriksi perifer menurun lepaskan pakaian
8. Kulit memoratamenurun 8) Basahi dan kipasi
9. Pucat menurun permukaan tubuh
10. Denyut nadi dalam keadaan 9) Berikan cairan oral
normal 10) Ganti linen setiap hari
11. Tidak terjadi sianosis atau lebih sering jika
12. Hipoksia menurun mengalami hyperhidrosis
13. Suhu tubuh dalam rentang normal 11) Lakukan pendinginan
(36,5-37,5) eksternal
14. Kadar glukosa darah membaik 12) Hindari pemberian
15. Pengisisan kapiler membaik antipiretik atau aspirin
16. Ventilasi membaik 13) Berikan oksigen, jika
17. Tekanan darah normal (100-140 perlu
mmHg) 14) Anjurkan tirah baring
15) Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena, jika perlu
Deficit Nutrisi Setelah diberikan asuhan keperawatan 1) Identifikasi status nutrisi
selama …x24 jam diharapkan masalah 2) Identifikasi alergi dan
pada kebutuhan nutrisi pasien dapat intoleransi makanan
teratasi dengan kriteria hasil: 3) Identifikasi makanan yang
1. Porsi makanan yang dihabiskan disukai
meningkat 4) Identifikasi kebutuhan kalori
2. Kekuatan otot mengunyah dan jenis nutrient
meningkat 5) Identifikasi perlunya
3. Kekuatan otot menelan penggunaan selang
meningkat nasogastrik
4. Serum albumin meningkat 6) Monitor asupan makanan
5. Vertilisasi keinginan untuk 7) Monitor berat badan
meningkatkan nutrisi meningkat 8) Monitor hasil pemeriksaan
6. Pengetahuan tentang pilihan laboratorium
makanan dan minuman yang 9) Lakukan oral hygiene
sehat meningkat sebelum makan, jika perlu
7. Pengetahuan tentang standar 10) Fasilitasi menentukan
asupan nutrisi yang tepat pedoman diet
meningkat 11) Sajikan makanan secara
8. Penyiapan dan penyimpanan menarik dan suhu yang
makanan dan minuman yang sesuai
aman meningkat 12) Berikan makanan tinggi serat
9. Sikap terhadap untuk mencegah konstipasi
makanan/minuman sesuai dengan 13) Berikan makanan tinggi
tujuan kesehatan meningkat kalori dan tinggi protein
10. Perasaan cepat kenyang menurun 14) Berikan suplemen makanan
11. Nyeri abdomen menurun jika perlu
12. Tidak timbul sariawan 15) Hentikan pemberian
13. Tidak terjadi rambut rontok makanan melalui selang
14. Diare membaik nasogatrik jika asupan oral
15. Berat madan dan indeks masa dapat ditoleransi
tubuh normal 16) Anjurkan posisi duduk, jika
16. Frekuensi makan membaik mampu
17. Nafsu makan membaik 17) Ajarkan diet yang
18. Bising usus normal diprogramkan
19. Membrane mukosa lembab 18) Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
19) Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrien yang
dibutuhkan, jika perlu

Risiko Setelah diberikan asuhan keperawatan 1) Monitor status hidrasi


Ketidakseimba selama …x24 jam diharapkan tidak 2) Monitor berat badan harian
ngan cairan terjadi ketidakseimbangan cairan dengan 3) Monitor berat badan sebelum
kriteria hasil: dan sesudah dialasis
1. Asupan cairan meningkat 4) Monitor hasil pemeriksaan
2. Haluan urine meningkat laboratorium
3. Kelembaban membran mukosa 5) Monitor status hemodinamik
meningkat 6) Catat intake-output dan
4. Asupan makanan meningkat hitung balans cairan 24 jam
5. Edema menurun 7) Berikan asupan cairan, sesuai
6. Dehidrasi menurun kebutuhan
7. Asites menurun 8) Berikan cairan intravena, jika
8. Konfusi menurun perlu
9. Tekanan darah normal 9) Kolaborasi pemberian
10. Denyut nadi radial normal duretik, jika perlu
11. Tekanan arteri rata-rata membaik
12. Mata tidak cekung
13. Turgor kulit baik
14. Berat badan normal
Gangguan pola Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1) Identifikasi pola aktivitas
selama ... x 24 jam diharapkan pola tidur dan tidur
tidur b.d
membaik dengan kriteria hasil : 2) Identifikasi faktor
hambatan 1. Keluhan sulit tidur menurun pengganggu tidur (fisik
2. Keluhan sering terjaga menurun dan/atau psikologis)
lingkungan 3) Identifikasi makanan dan
minuman yang mengganggu
tidur
4) Identifikasi obat tidur yang
dikonsumsi
5) Modifikasi lingkungan
6) Batasi waktu tidur siang, jika
perlu
7) Fasilitasi menghilangkan
stres sebelum tidur
8) Tetapkan jadwal tidur rutin
9) Lakukan prosedur untuk
meningkatkan kenyamanan
(mis. pijat, pengaturan
posisi, terapi akupresur)
10) Sesuaikan jadwal pemberian
obat dan/atau tindakan untuk
menunjang siklus tidur-
terjaga
11) Jelaskan pentingnya tidur
cukup selama sakit
12) Anjurkan menepati
kebiasaan waktu tidur
13) Anjurkan menghindari
makanan/ minuman yang
mengganggu tidur
14) Anjurkan penggunaan obat
tidur yang tidak mengandung
supresor terhadap tidur REM
15) Ajarkan faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap
gangguan pola tidur (miss.
Psikologis, gaya hidup,
sering berubah shift bekerja)
16) Ajarkan relaksasi otot
autogenik atau cara
nonfarmakologi lainnya
DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, Suharjo B. 2009. Batu Empedu. Yogyakarta: Kanisus


Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung: Alumni
PPNI, T. P. S. D. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (1st ed.).
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SIKI SPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(1st ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
Tim Pokja SLKI SPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (1st
ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Lestari et al. 2022. Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Skala
Nyeri. Jurnal Kesehatan : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (Stikes) Cirebon
Volume 13 Nomor 1 Tahun 2022.
Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi
Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika
Schwartz, Seymour I. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku dari
Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC
Suratun dan Lusianah. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media

Anda mungkin juga menyukai