Anda di halaman 1dari 4

KOLELITIASIS

Kolelitiasis adalah endapan dari komponen empedu yang akhirnya mengeras dan
membentuk batu, dan dapat ditemukan di dalam kandung empedu atau di dalam duktus
koledokus, atau pada kedua-duanya (Wibowo et al., 2010). Prevalensi kolelitiasis berbeda-
beda di setiap negara. Letak geografi suatu negara dan etnis memiliki peran besar dalam
prevalensi penyakit kolelitiasis (Stinton, 2012). Sekitar 20 juta orang di Amerika Serikat pada
tahun 2017 atau 10-20% populasi orang dewasa memiliki kolelitiasis. Prevalensi kolelitiasis
di Eropa yaitu 5-15% berdasarkan beberapa survey pemeriksaan ultrasonografi. Di Asia, pada
tahun 2013, prevalensi kolelitiasis berkisar antara 3% sampai 10%. Berdasarkan data terakhir,
prevalensi kolelitiasis di negara Jepang sekitar 3,2 %, China 10,7%, India Utara 7,1%, dan
Taiwan 5,0% (Chang et al., 2013).
Insidensi batu empedu di Indonesia belum diketahui dengan pasti karena belum ada
penelitian tentang kolelitiasis. Namun, angka kejadian kolelitiasis di Indonesia diduga tidak
jauh berbeda dengan angka kejadian kolelitiasis negara lain di Asia Tenggara (Wibowo et al.,
2010). Kasus kolelitiasis periode Oktober 2015 –Oktober 2016 di Rumah Sakit Prof. Dr. R.
D. Kandou Manado didapatkan jumlah kasus kolelitiasis sebanyak 113 kasus (Tuuk, 2016).
Di RSU Dokter Soedarso Pontianak, berdasarkan studi pendahuluan, didapatkan 105 kasus
kolelitiasis selama periode tahun 2010 hingga 2011. Penelitian lainnya, di Rumah Sakit
Umum Daerah Koja Jakarta terdapat 101 kasus kolelitiasis selama periode 05 Oktober sampai
dengan 31 Desember 2015 (Febyan, 2017). Di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta
didapatkan angka kejadian kolelitiasis sebanyak 117 kasus (telah dilakukan kolesistektomi)
dari Januari 2005 sampai Desember 2006 (Raymond, 2007).

Menurut Cahyono (2014), Kolelitiasis terbentuk karena adanya supersaturasi


kolesterol. Semakin tinggi kadar kolesterol atau semakin rendah kandungan garam empedu
akan membuat keadaan didalam kandung empedu menjadi jenuh akan kolesterol
(Supersaturasi kolesterol). Kolesterol diangkut oleh misel (agregat/gumpalan yang berisi
fosfolipid, garam empedu dan kolesterol). Apabila saturasi, Kolesterol lebih tinggi maka ia
akan diangkut oleh vesikel yang mana vesikel dapat digambarkan sebagai sebuah lingkaran
dua lapis. Apabila konsentrasi kolesterol banyak dan dapat diangkut, vesikel memperbanyak
lapisan lingkarannya, pada akhirnya dalam kandung empedu, pengangkut kolesterol, baik
misel maupun vesikel bergabung menjadi satu dan dengan adanya protein musin akan
membentuk kristal kolesterol. Selain itu, menurunnya fungsi kandung empedu juga dapat
menjadi etiologic dari kolelitiasis. Menurunnya kemampuan menyemprot dan kerusakan
dinding kandung empedu memudahkan seseorang menderota batu empedu, kontraksi yang
melemah akan menyebabkan statis empedu dan akan membuat musin yang diproduksi
dikandung empedu terakumulasi seiring dengan lamanya cairan empedu tertampung dalam
kandung empedu. Musin tersebut akan semakin kental dan semakin pekat sehingga semakin
menyukitkan proses pengosongan cairan empedu.

Kolelitiasis seringkali dikaitkan dengan faktor resiko “5F” (Fat, Female,


Forty/Family history, Fair, Fertile) (Bass G, 2013). Walaupun demikian, kolelitiasis juga
memiliki factor resiko lain seperti sekresi bilirubin yang berlebihan, kelainan genetik,
diabetes mellitus tipe 2, pemberian nutrisi parenteral total, sindrom metabolik, obat obatan,
dan faktor lainnya (Heuman, 2017). Kejadian Kolelitiasis lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan pada pria (Njeze,2013). Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat seiring
dengan bertambahnya usia. Orang dengan usia > 40 tahun lebih cenderung untuk terkena
kolelitiasis dibandingkan dengan orang dengan usia yang lebih muda (Stinton, 2012). Pasien
kolelitiasis sering ditemukan pada usia rata rata 40-50 tahun (Wibowo et al., 2010).
Kolelitiasi khususnya kolelitiasis kolesterol lebih sering terjadi pada wanita yang telah
mengalami kehamilan lebih dari sekali (Multiple pregnancy). Hal ini diduga akibat tingginya
kadar progesteron pada saat kehamilan (Heuman, 2017). Beberapa obat- obatan juga dapat
memicu terjadinya kolelitiasis diantaranya clofibrate, octreotide, dan ceftriaxone (Yayan,
2008).

Menurut penelitian Gustawan (2007) pemberian obat antibiotik caftriaxone lebih


dari 10 hari dapat menyebabkan terjadinya kolelitiasis karena ditemukan endapan didalam
kandung empedunya dilihat berdasarkan hasil USG, akan tetapi terjadinya kolelitiasis karena
obat ceftriaxone bersifat reversibel, tidak menunjukan gelaja dan biasanya akan hilang secara
spontan jika pengobatan dihentikan. Sebanyak 80% kejadian kolelitiasis diketahui tanpa
gejala baik waktu diagnosis maupun pemantauan atau disebut juga asimptomatik. Kolelitiasis
seringkali ditemukan tanpa sengaja pada saat penggunaan USG untuk keperluan lain. Orang-
orang dengan kolelitiasis asimptomatik dapat berkembang menjadi kolelitiasis simptomatik.
tetapi resiko terjadinya hal tersebut relatif kecil (Stinton, 2012).

Kolelitiasis juga dapat menimbulkan serangan nyeri kolik yang spesifik sehingga
resiko untuk mengalami masalah dan komplikasi menjadi terus meningkat (Lesmana, 2009).
Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya komplikasi berupa kolesistitis akut yang dapat
menimbulkan perforasi dan peritonitis, ikterus obstruktif, kolangitis, pankreatitis, dan
perubahan keganasan. Tatalaksana kolelitiasis dapat dibagi menjadi 2, yaitu bedah dan non
bedah. Terapi non bedah dapat berupa penghancuran batu dengan obat-obatan seperti
chenodeoxycholic atau ursodeoxycholic acid (UDCA), ESWL (Extracorporeal Shock Wave
Lithotripsy) dengan pemberian kontinyu obat - obatan dan pengeluaran secara endoskopik.
Sedangkan terapi bedah dapat berupa laparoskopi kolesistektomi, open kolesistektomi, dan
eksplorasi saluran koledokus (Wibowo et al., 2010).

Terapi medikamentosa dengan UDCA dapat menurunkan saturasi kolesterol empedu


dan menghasilkan suatu cairan lamelar yang menguraikan kolesterol dari batu serta
mencegah pembentukan inti batu. UDCA dapat mengurangi kandungan kolesterol dalam
empedu dengan cara menurunkan sekresi kolesterol hepatik. Sejak tahun 1988, UDCA
digunakan untuk melarutkan batu kolesterol yang kecil pada pasien dengan penyakit batu
empedu simtomatik yang menolak dilakukan tindakan kolesistektomi dengan dosis 8-13
mg/kg/hari. UDCA juga efektif untuk pencegahan batu empedu pada pasien obesitas yang
menjalani terapi penurunan berat badan yang cepat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
UDCA 13-15 mg/kg/hari dapat membantu pada pasien dengan sirosis biler primer tahap
awal, mengurangi abnormalitas fungsi hepar dan meningkatkan perbaikan histologi hepar.
Pada pasien ini, terjadi perbaikan dengan terapi UDCA selama perawatan. Selain itu,
perbaikan juga dapat terjadi karena adanya migrasi batu dengan sendirinya ke saluran cerna,
namun terapi dengan tindakan bedah tetap diindikasikan karena UDCA tidak sepenuhnya
menghancurkan batu.

Daftar Pustaka

Akbar N. 2015. Kelainan Enzim pada Penyakit Hati. Dalam : Setiati S, et al. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing hal 1943-6
Al-Hassani KH, Al-Ahmed AS. 2012. The Effect of Ursodeoxycholic Acid As A
Conservative Treatment of Secondary Common Bile Duct Stones in Preparation For
Laparascopic Cholecystectomy. Basrah Journal of Surgery hal 65-74
Bass, G., Gilani, S. N. S., & Walsh, T. N. 2013. Validating the 5Fs mnemonic for
cholelithiasis: Time to include family history. Postgraduate Medical Journal.
https://doi.org/10.1136/postgradmedj-2012-131341
Cahyono, B. S. 2014. Tatalaksana Klinis di Bidang Gastro dan Hepatologi. Jakarta : Sugeng
Seto.
Chang, Y. R., Jan g, J. Y., Kwon, W., Park, J. W . 2013. Changes in demographic features of
gallstone disease: 30 years of surgically treated patients. Gut and Liver.
https://doi.org/10.5009/gnl.2013.7.6.719
Febyan. 2017. Karakteristik Penderita Kolelitiasis Berdasarkan Faktor Risiko di Rumah Sakit
Umum Daerah Koja. Naskah Publikasi. Universitas Kristen Krida Wacana.
Hakim, A. 2019. Gambaran Kasus Kolelitiasis di Rumah Sakit Umum Daerah Palembang
Bari Tahun 2017. Skripsi.Universitas Muhammadiyah Palembang. Fakultas Kedokteran.
Hendrik, K. 2013. Pola Distribusi Pasien Kolelitiasis di RSU dr. Soedarso Pontianak Periode
Januari 2010 – Desember 2011. Naskah Publikasi. Universitas Tanjungpura Pontianak.
Fakultas Kedokteran.
Heuman, D. 2017. Gallstones (Cholelithiasis): Practice Essentials, Background,
Pathophysiology. https://emedicine.medscape.com/article/175667-overview
Lesmana, LA. 2009. Penyakit batu empedu. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar penyakit dalam. Jilid I, ed ke-5. Jakarta:
Interna Publishing.
Njeze, G. E. (2013). Gallstones. Nigerian Journal of Surgery: Official Publication of the
Nigerian Surgical Research Society, 19(2), 49–55. http://doi.org/10.4103/1117-
6806.119236
Purwanti, A. 2016. Hubungan Gaya Hidup Dengan Kejadian Penyakit Cholelitiasis di Ruang
Rawat Inap RSI Surakarta. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Fakultas Ilmu
Kesehatan.
Raymond, I. 2007. Akurasi Pemeriksaan Ultrasonografi Dalam Menegakkan Diagnosis
Kolelitiasis Pada Pasien Post Kolekistektomi. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Fakultas
Kedokteran.
Stinton, L. M., & Shaffer, E. A. 2012. Epidemiology of Gallbladder Disease: Cholelithiasis
and Cancer. Gut and Liver, 6(2), 172–187. http://doi.org/10.5009/gnl.2012.6.2.172
Tuuk, A. 2016. Profil Kasus Batu Empedu di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode
Oktober 2015-Oktober 2016. Naskah Publikasi. Universitas Sam Ratulangi Manado.
Wibowo S, Kanadihardja W, Sjamsuhidajat R, Syukur A. 2010. Saluran empedu dan hati.
Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke 3. Jakarta: EGC, pp: 674-82.
Widiastuti, W. 2019. Terapi Ursodeoxycholic Acid (UDCA) dan Tindakan Kolesistektomi
Laparaskopik pada Remaja dengan Cholelithiasis: Sebuah Laporan Kasus. Jurnal
Kedokteran Nanggroe Medika Vol.2 No.4.
Yayan. 2008. Kolelitiasis (Gallblader stones). www.FK_UR.com, diakses tanggal 20
Agustus 2022.

Anda mungkin juga menyukai