Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cholelitiasis saat ini menjadi masalah kesehatan masyarakat karena frekuensi
kejadiannya tinggi yang menyebabkan beban finansial maupun beban sosial bagi
masyarakat. Sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di negara barat.
Angka kejadian lebih dari 20% populasi dan insiden meningkat dengan
bertambahnya usia.
Cholelitiasis sangat banyak ditemukan pada populasi umum dan laporan
menunjukkan bahwa dari 11.840 yang dilakukan otopsi ditemukan 13,1% adalah pria
dan 33,7% adalah wanita yang menderita batu empedu.Di negara barat penderita
cholelitiasis banyak ditemukan pada usia 30 tahun, tetapi rata-rata usia tersering
adalah 40–50 tahun dan meningkat saat usia 60 tahun seiring bertambahnya usia, dari
20 juta orang di negara barat 20% perempuan dan 8% laki-laki menderita
cholelitiasis dengan usia lebih dari 40 tahun (Cahyono, 2014).
Sekitar 12% dari total penduduk dewasa di negara barat menderita
cholelitiasis jadi sekitar 20 juta jiwa yang menderita cholelitiasis, disetiap tahunnya
ditemukan pasien cholelitiasis sekitar 1 juta jiwa dan 500.000 jiwa menjalani operasi
pengangkatan batu empedu (cholesistektomi atau laparoscopy chole).
Cholelitiasis merupakan penyakit penting dinegara barat (Sudoyo,2006).
Cholelitiasis merupakan kondisi yang paling banyak ditemukan. Kondisi ini
menyebabkan 90% penyakit empedu, dan merupakan penyebab nomor lima
perawatan di rumah sakit pada usia muda. Choleltiaisis biasanya timbul pada orang
dewasa, antara usia 20-50 tahun dan sekitar 20% dialami oleh pasien yang berumur
diatas 40 tahun. Wanita berusia muda memilikiresiko 2-6 kali lebih besar mengalami
cholelitiasis. Cholelitiasis mengalami peningkatan seiring meningkatnya usia
seseorang.
Sedangkan kejadian cholelitiasis di negara Asia 3%-15% lebih rendah
dibandingan negara barat. Di Indonesia, cholelitiasis kurang mendapat perhatian
karena sering sekali asimtomatik sehingga sulit di deteksi atau sering terjadi
kesalahan diagnosis. Penelitian di Indonesia pada Rumah Sakit Columbia Asia
Medan sepanjang tahun 2011 didapatkan 82 kasus cholelitiasis (Ginting, 2012).
Di Indonesia, cholelitiasis baru mendapat perhatiansetelah di klinis,
sementara publikasi penelitian tentang cholelitiasis masih terbatas. Berdasarkan studi
kolesitografi oral didapatkan laporan angka insidensi cholelitiasis terjadi pada wanita
sebesar 76% dan pada laki-laki 36%dengan usia lebih dari 40 tahun.
Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak mempunyai keluhan. Risiko
penyandang batu empedu untuk mengalami gejala dan komplikasi relatif kecil.
Walaupun demikian, sekali batu empedu mulai menimbulkan serangan nyeri kolik
yang spesifik maka resiko untuk mengalami masalah dan penyulit akan terus
meningkat (Cahyono,2014). Kurang lebih 50% penderita cholelitiasis tidak memiliki
dan menunjukan keluhan, dan hamper 30% penderita cholelitiasis mengalami gejala
nyeri dan 20% berkembang menjadi komplikasi penyakit. Tetapi saat penderita
cholelitiasis mengalami serangan nyeri colic yang spesifik akan beresiko
menimbulkan masalah dan penyakit (Sudoyo,2006).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ndraha (2014) didapatkan hasil
sebanyak 87 pasien didiagnosis cholelitiasis dengan rentang usia 45,6. Prevalensi
pada pasien perempuan lebih banyak daripada laki- laki. (54,47) dengan usia rata-
rata 40 tahun (80,46%). Sejumlah 68,97 merupakan pasien di ruang rawat inap. Saat
ini penderita cholelitiasis di Indonesia cenderung meningkat karena perubahan gaya
hidup seperti orang-orang barat yang suka mengkonsumsi makanan cepat saji yang
dapat menyebabkan kegemukan karena timbunan lemak dan menjadikan pemicu
terjadinya cholelitiasis. Tetapi jumlah secara pasti berapa banyaknya penderita batu
empedu belum diketahui karena belum ada studi mengenai hal tersebut (Djumhana,
2010).
Banyaknya faktor yang mempengaruhi terjadinya cholelitiasis adalah
faktor keluarga, tingginya kadar estrogen, insulin dan kolesterol, penggunaan pil KB,
infeksi, obesitas, gangguan pencernaan, penyakit arteri koroner, kehamilan,
tingginya kandung lemak dan rendah serat, merokok, peminum alkohol, penurunan
berat badan dalam waktu yang singkat,dan kurang olahraga (Djumhana, 2010).

Berdasarkan beberapa banyaknya faktor yang dapat memicu atau


menyebabkan terjadinya cholelitiasis adalah gaya hidup masyarakat yang semakin
meningkat terutama masyarakat dengan ekonomi menengah keatas lebih suka
mengkonsumsi makanan cepat saji dengan tinggi kolesterol sehingga kolesterol
darah berlebihan dan mengendap dalam kandung empedu dan menjadi kantung
empedu dan dengan kurangnya pengetahuan dan kesadaran tentang akibat dari salah
konsumsi makanan sangat berbahaya untuk kesehatan mereka (Haryono,2012).
Menurut data pelaporan daribidang rekam medis di RSI Yarsis Surakarta
penyakit cholelitiasis masuk dalam daftar 10 besar, berdasarkan catatan bagian
rekam medis RS Surakarta pada bulan Mei 2014 sampai dengan bulan Desember
2014 merawat 129 pasien, kemudian pada bulan Januari 2015 sampai dengan bulan
Mei 2015 merawat 113 pasiendan disemua ruang rawat inap hampir setiap bulan
merawat pasien dengan cholelitiasis dan beberapa diantaranya menjalani
pembedahan pengangkatan batu empedu (Kepala Rekam Medis RSI Surakarta).

B. Tujuan Umum dan Tujuan Khusus


1. Tujuan Umum
Agar penulis menerapkan Asuhan Keperawatan Medikal Bedah pada klien
dengan Gangguan Sistem Hepar: Cholelitiasis di RSUD Embung Fatimah Kota
Batam.

2. Tujuan Khusus
Dalam penyusunan makalah seminar pada klien, diharapkan penulis mampu:
a. Melakukan pengkajian pada Klien dengan Gangguan Sistem Hepar: Cholelitiasis
di RSUD Embung Fatimah Kota Batam.
b. Merumuskan diagnosa keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Hepar:
Cholelitiasis di RSUD Embung Fatimah Kota Batam.
c. Menyusun rencana keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Hepar:
Cholelitiasis di RSUD Embung Fatimah Kota Batam.
d. Melaksanakan tindakan yang telah direncanakan pada Klien dengan Gangguan
Sistem Hepar: Cholelitiasis di RSUD Embung Fatimah Kota Batam.
e. Melakukan evaluasi dan hasil tindakan yang telah diberikan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Hepar: Cholelitiasis di RSUD Embung Fatimah Kota Batam.
f. Melakukan discharge planning pada Klien dengan Gangguan Sistem Hepar:
Cholelitiasis di RSUD Embung Fatimah Kota Batam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu atau
saluran empedu (duktus koledokus) atau keduanya (Muttaqin dan Sari, 2011). Batu
empedu bisa terdapat pada kantung empedu, saluran empedu ekstra hepatik, atau
saluran empedu intra hepatik. Bila terletak di dalam kantung empedu saja disebut
kolesistolitiasis, dan yang terletak di dalam saluran empedu ekstra hepatik (duktus
koleduktus) disebut koledokolitiasis, sedang bila terdapat di dalam saluran empedu
intra hepatik disebelah proksimal duktus hepatikus kanan dan kiri disebut
hepatolitiasis. Kolesistolitiasis dan koledokolitiasis disebut dengan kolelitiasis.

B. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis dapat
terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor
resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya
kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:

a. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap
peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang
menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis.
Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan
kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan
kandung empedu.
b. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang dengan usia yang lebih muda.
c. Obesitas
Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolism umum, resistensi insulin, diabetes
militus tipe II, hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan dengan peningkatan
sekresi kolesterol hepatica dan merupakan faktor resiko utama untuk
pengembangan batu empedu kolesterol.
d. Statis Bilier
Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu. Kondisi yang
bisa meningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang belakan (medulla spinalis),
puasa berkepanjangan, atau pemberian diet nutrisi total parenteral (TPN), dan
penurunan berat badan yang berhubungan dengan kalori dan pembatasan lemak
(misalnya: diet rendah lemak, operasi bypass lambung). Kondisi statis bilier akan
menurunkan produksi garam empedu, serta meningkatkan kehilangan garam
empedu ke intestinal.
e. Obat-obatan
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker prostat
meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat fibrat
hipolipidemik meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui sekresi bilier
dan tampaknya meningkatkan resiko batu empedu kolesterol. Analog somatostatin
muncul sebagai faktor predisposisi untuk batu empedu dengan mengurangi
pengosongan kantung empedu.
f. Diet
Diet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam
desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik. Karbohidrat
dalam bentuk murni meningkatkan saturasi kolesterol empedu. Diet tinggi
kolesterol meningkatkan kolesterol empedu.

g. Keturunan
Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi tampaknya adalah
turun temurun, seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar identik
fraternal.
h. Infeksi Bilier
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan sebagian pada
pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan
mucus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi.
i. Gangguan Intestinal
Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan atau
kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan agen pengikat
kolesterol, penurunan garam pempedu jelas akan meningkatkan konsentrasi
kolesterol dan meningkatkan resiko batu empedu.
j. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
k. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi
untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal.
Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung
empedu.

C. Manifestasi Klinik
1. Asimtomstik
Sampai 50% dari semua pasien dengan batu empedu, tanpa mempertimbangkan
jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25% pasien yang benar-benar
mempunyai batu asimtomatik, akan merasakan gejalanya yang membutuhkan
intervensi setelah lima tahun. Batu Empedu bisa terjadi secara tersembunyi
karena tidak menimbulkan rasa nyeri dan hanya menyebabkan gejala
gastrointestinal yang ringan. Batu itu mungkin ditemukan secara kebetulan pada
saat dilakukan pembedahan atau evaluasi untuk gangguan yang tidak
berhubungan sama sekali.
Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami dua
jenis gejala, yaitu gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung empedu
itu sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi pada lintasan empedu oleh
batu empedu. Gejalanya bisa bersifat akut atau kronis. Gangguan epigastrum,
seperti rasa penuh, distensi abdomen, dan nyeri yang samar pada kuadran kanan
atas abdomen dapat terjadi.

2. Rasa Nyeri dan Kolik Bilier


Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan
mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan
mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier
disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas. Nyeri pascaprandial
kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60
menit setelah makan, berahir setelah beberapa jam dan kemudian pulih.
Rasa nyeri ini biasanya disertai dengan mual dan muntah, dan bertambah hebat
dalam waktu beberapa jam setelah memakan makanan dalam jumlah besar.
Sekali serangan kolik biliaris dimulai, serangan ini cenderung meningkat
frekuansi dan intensitasnya. Pasien akan membolak-balik tubuhnya dengan
gelisah karena tidak mampu menemukan posisi yang nyaman baginya. Pada
sebagian pasien rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan presisten.
Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu
yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh
batu. Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh
dinding abdomen pada daerah kartilago kosta Sembilan dan sepuluh bagian
kanan. Sentuhan ini akan menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran
kanan atas ketika pasien melakukan inspirasi dalam, dam menghambat
pengembangan rongga dada.
Nyeri pada kolisistisi akut dapat berlangsung sangat hebat sehingga
membutuhkan preparat analgesic yang kuat seperti meperdin. Pemberian morfin
dianggap dapat meningkatkan spasme spingter oddi sehingga perlu dihindari.

3. Ikterus
Ikterus dapat dijumpai diantara penderita penyakit kandung empedu dengan
presentase yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus.
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan gejala
yang khas, yaitu getah empedu yang tidak lagi dibawa ke duodenum akan diserap
oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran mukosa
berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal yang
mencolok pada kulit.

4. Perubahan Warna Urin dan Feses


Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna sangat gelap.
Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan
biasanya pekat yang disebut dengan clay-colored.

5. Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mempengaruhi absorbsi vitamin A, D, E, K yang
larut lemak. Karena itu, pasien dapat menunjukkan gejala defisiensi vitamin-
vitamin ini jika defisiensi bilier berjalan lama. Defisiensi vitamin K dapat
mengganggu proses pembekuan darah normal.
Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus sistikus, kandung
empedu akan mengalirkan isinya keluar dan proses inflamasi segera mereda dalam
waktu yang relatif singkat. Jika batu empedu terus menyumbat saluran tersebut,
penyumbatan ini dapat mengakibatkan abses, nekrosis dan perforasi disertai
peritonitis generalisata.

D. Anatomi dan Fisiologi


a. Anatomi Hati
Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh manusia dengan berat kurang
lebih 1,5 kg (Junqueira dkk., 2007). Hati adalah organ viseral terbesar dan terletak di
bawah kerangka iga (Sloane, 2004).
Hepar bertekstur lunak, lentur, dan terletak di bagian atas cavitas abdominalis
tepat di bawah diaphragma. Sebagian besar hepar terletak di profunda arcus costalis
dextra dan hemidiaphragma dextra memisahkan hepar dari pleura, pulmo,
pericardium, dan cor. Hepar terbentang ke sebelah kiri untuk mencapai
hemidiaphragma sinistra (Snell, 2006).
Hepar tersusun atas lobuli hepatis. Vena centralis pada masing-masing lobulus
bermuara ke venae hepaticae. Dalam ruangan antara lobulus-lobulus terdapat canalis
hepatis yang berisi cabang-cabang arteria hepatica, vena portae hepatis, dan sebuah
cabang ductus choledochus (trias hepatis). Darah arteria dan vena berjalan di antara
sel-sel hepar melalui sinusoid dan dialirkan ke vena centralis (Sloane, 2004).

b. Fisiologi Hati
Menurut Guyton & Hall (2008), hati mempunyai beberapa fungsi yaitu:
a) Metabolisme karbohidrat
Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah menyimpan glikogen dalam
jumlah besar, mengkonversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa,
glukoneogenesis, dan membentuk banyak senyawa kimia yang penting dari hasil
perantara metabolisme karbohidrat.
b) Metabolisme lemak
Fungsi hati yang berkaitan dengan metabolisme lemak, antara lain:
mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi tubuh yang
lain, membentuk sebagian besar kolesterol, fosfolipid dan lipoprotein,
membentuk lemak dari protein dan karbohidrat.
c) Metabolisme protein
Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam amino,
pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh,
pembentukan protein plasma, dan interkonversi beragam asam amino dan
membentuk senyawa lain dari asam amino.
d) Lain-lain
Fungsi hati yang lain diantaranya hati merupakan tempat penyimpanan
vitamin, hati sebagai tempat menyimpan besi dalam bentuk feritin, hati
membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam jumlah
banyak dan hati mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon
dan zat lain.
E. Patofisiologi
Batu empedu terdapat di dalam kandung empedu atau dapat bergerak kearea
lain dari sistem empedu. Pada saat pengosongan kandung empedu atau pengisian
kandung empedu batu dapat pindah dan terjebak dalam leher kandung empedu.
Selain leher cysticduct (saluran cyste), atau saluran empedu menyebabkan
bebuntuan. Ketika empedu tidak bias mengalir dari kandung empedu. Terjadi
bendungan dan iritasi lokal dari batu empedu menyebabkan radang batu empedu
(cholecystitis). Faktor yang mendukung:
1. Kadar kolesterol yang tinggi pada empedu
2. Pengeluaran empedu yang berkurang
3. Kecepatan pengosongan kandung empedu yang menurun
4. Perubahan pada konsentrasi empedu atau bendungan empedu pada kandung
empedu.
F. Pathway
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan kelainan
pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi
leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan
bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum
yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus koledukus. Kadar
fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat
sedang setiap kali terjadi serangan akut. Enzim hati AST (SGOT), ALT (SGPT),
LDH agak meningkat. Kadar protrombin menurun bila obstruksi aliran empedu
dalam usus menurunkan absorbs vitamin K.

2. Pemeriksaan sinar-X abdomen


Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan penyakit
kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Namun
demikian, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi untuk
dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.

Gambar: hasil sinar-x pada kolelitiasis


3. Foto polos abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung
empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat
dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar
atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di
kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar di fleksura
hepatika. Walaupun teknik ini murah, tetapi jarang dilakukan pada kolik bilier
sebab nilai diagnostiknya rendah.

Gambar: Hasil foto polos abdomen pada kolelitiasis

4. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan akurat,
dan dapat digunakan pada prndrita disfungsi hati dan icterus. Disamping itu,
pemerikasaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi ionisasi. Prosedur ini
akan memberikan hasil paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam
harinya sehingga kandung empedunya dalam keadaan distensi. Penggunaan ultra
sound berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali.
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik
maupun ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu
yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun
sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi
karena terhalang oleh udara didalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa
nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada di palpasi
biasa.
USG (US) merupakan metode non-invasif yang sangat bermanfaat dan merupakan
pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan ketepatan mencapai 95%.
Kriteria batu kandung empedu pada US yaitu dengan acoustic shadowing dari
gambaran opasitas dalam kandung empedu. Walaupun demikian, manfaat US untuk
mendiagnosis BSE relatif rendah. Pada penelitian kami yang mencakup 119 pasien
dengan BSE sensitivitas US didapatkan sebesar 40%, spesifisitas 94%. Kekurangan
US dalam mendeteksi BSE disebabkan : a) bagian distal saluran empedu tempat
umumnya batu terletak sering sulit diamati akibat tertutup gas duodenum dan kolon
dan b) saluran empedu yang tidka melebar pada sejumlah kasus BSE.

Gambar 5: hasil USG pada kolelitiasis


5. Kolesistografi
Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama, namun untuk
penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung
jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral dapat digunakan untuk mendeteksi batu
empedu dan mengkaji kemempuan kandung empedu untuk melakukan pengisian,
memekatkan isinya, berkontraksi, serta mengosongkan isinya. Media kontras yang
mengandung iodium yang diekresikan oleh hati dan dipekatkan dalam kandung
empedu diberikan kepada pasien.
Kandung empedu yang normal akan terisi oleh bahan radiopaque ini. Jika
terdapat batu empedu, bayangannya akan Nampak pada foto rontgen. Kolesistografi
oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kehamilan, kadar bilirubin
serum diatas 2mg/dl, obstruksi pilorus, ada reaksi alergi terhadap kontras, dan
hepatitis karena pada keadaan-keadaan tertentu tersebut kontras tidak dapat
mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian
fungsi kandung empedu. Cara ini juga memerlukan lebih banyak waktu dan
persiapan dibandingkan ultrasonografi.

Gambar 6: Hasil pemeriksaan kolesistografi


6. Endoscopic Retrograde Cholangiopnacreatography (ERCP)
Pemeriksaan ERCP memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang
hanya dapat dilihat pada saat melakukan laparotomi. Pemeriksaan ini meliputi
insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam esophagus hingga mencapai
duodenum pasrs desenden.Sebuah kanula dimasukkan ke dalam duktus koledokus
dan duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus
tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta evaluasi percabangan bilier. ERCP
juga memungkinkan visualisasi langsung struktur ini dan memudahkan akses ke
dalam duktus koledokus bagian distal untuk mengambil batu empedu.

Gambar 7: hasil ERCP pada kolelitiasis

7. Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)


Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras secara langsung
ke dalam percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikkan
relative besar, maka semua komponen dalam system bilier tersebut, yang mencakup
duktus hepatikus dalam hati, keseluruhan panjang doktus koledokus, duktus sistikus
dan kandung empedu, dapat dilihat garis bentuknya dengan jelas.

8. Computed Tomografi (CT)


CT scan juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk menentukan
adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis. Walaupun
demikian, teknik ini jauh lebih mahal dibanding US.
Gambar 8: Hasil CT pada kolelitiasis

9. Magnetic resonance imaging (MRI) with magnetic resonance cholangiopancreatography


(MRCP)

H. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Non-Pembedahan
Sasaran utama terapi medikal adalah untuk mengurangi insiden serangan akut
nyeri kandung empedu dan kolesistitis dengan penatalaksanaan suportif dan diit,
dan jika memungkinkan, untuk menyingkirkan penyebab dengan farmakoterapi,
prosedur-prosedur endoskopi, atau intervensi pembedahan.
a. Penatalaksanaan Supotif dan Diet
Sekitar 80% pasien dengan inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan
istirahat, cairan infus, pengisapan nasogastric, analgesik dan antibiotik.
Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evaluasi yang
lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien semakin memburuk.

b. Farmakoterapi
Asam Kenodeoksikolat. Dosisnya 12-15 mg/kg/hari pada orang yang tidak
mengalami kegemukan. Kegemukan jelas telah meningkatkan kolesterol bilier,
sehingga diperlukan dosis 18-20 mg/kg/hari. Dosis harus ditingkatkan bertahap
yang dimulai dari 500 mg/hari. Efek samping pada pemberian asam
kenodeoksikolat adalah diare.
Asam ursodeoksikolat. Berasal dari beruang jepang berleher putih. Doasisnya 8-
10 mg/kg/hari, dengan lebih banyak diperlikan jika pasien mengalami
kegemukan. Asam ursodeoksikolat melarutkan sekitar 30% batu radiolusen
secara lengkap dan lebih cepat daripada menggunakan asam kenodeoksikolat.
Efek sampingnya tidak ada.
Kemungkinan kombinasi asam ursodeoksikolat 6,5 mg/kg/hari dangan 7,5
mg/kg/hari asam kenodeoksikolat lebih murah dan sama efektif.
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol, chenofalk)
telah digunakan untuk mmelarutkan batu empedu radiolusen yang berukuran
kecil dan terutama tersusun dari kolesterol. Asam ursodeoksikolat dibandingkan
dengan kenodeoksikolat jarang menimbulkan efek samping dan dapat diberikan
dengan dosis yang lebih rendah untuk mendapatkan efek yang sama. Mekanisme
kerjanya adalah menhambat sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya
sehingga terjadi desaturasi getah empedu. Batu yang sudah ada dapat dikurangi
besarnya, batu yang kecil dilarutkan dan batu yang baru dicegah
pembentukannya. Padabanyak pasien diperlukan pengobatan selama 6 hingga 12
bulan untuk melarutkan batu empedu, dan selama terapi keadaan pasien
dipantau. Dosis yang efektif bergantung pada berat badan pasien. Terapi ini
dilakukan pada pasien yang menolak terapi pembedahan atau dianggap terlalu
beresiko untuk menjalani pembedahan.
Pembentukan kembali batu empedu telah dilaporkan pada 20-50% pasien
sesudah terapi dihentikan, dengan demikian pemberian obat ini dengan dosis
rendah dapat dilanjutkan untuk mencegah kekambuhan tersebut. Jika gejala akut
kolesistisis berlanjut atau timbul kembali, intervensi bedah atau litotropis
merupakan indikasi.

c. Pengangkatan batu tanpa pembedahan


Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu dengan
menginfuskan suatu bahan pelarut (monooktanoin atau metil tertier butyl eter
[MTBE]) ke dalam kandung empedu. Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui
selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke dalam kandung empedu,
atau melalui selang atau drain yang dimasukkan melaui T-tube untuk melarutkan
batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan, atau bisa juga melalui
endoskop ERCP, atau kateter bilier transnasal.
Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL). Prosedur noninvasif ini
menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock waves) yang diarahkan
pada batu empedu di dalam kandung empedu atau duktus koledokus dengan
maksud untuk memecah batu tersebut menjadi sejumlah fragmen. Gelombang
kejut dihasilkan dalam media cairan oleh percikan listrik, yaitu piezoelektrik,
atau muatan elektromagnetik. Energi ini disalurkan ke dalam tubuh lewat
rendaman air atau kantong yang berisi cairan. Gelombang kejut yang
dkonvergensikan tersebut dialirkan kepada batu empedu yang akan dipecah.
Setelah batu dipecah secara bertahap, pecahannya akan bergerak spontan dari
kandung empedu atau duktus koledokus dan dikeluatkan melalui endoscop atau
dilarutkan dengan pelarut asam empedu yang diberikan per oral.
Litotripsi Intracorporeal. Batu yang ada dalam kandung empedu atau duktus
koledokus dapat dipecah dengan menggunakan gelombang ultrasound, laser
berpulsa atau litotripsi hidrolik yang dipasang pada endoscop, dan diarahkan
langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau debris dikeluarkan dengan
cara irigasi dan aspirasi.
2. Penatalaksanaan Pembedahan
a. Koleksistektomi Terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan batu
empedu simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna, cidera duktus biliaris,
terjadi dalam kurang dari 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk
prosedur ini telah terlihat dalam penelitian baru-baru ini, yaitu kurang dari 0,5%.
Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren,
diikuti oleh kolesistisi akut. Praktik pada saat ini mencakup kolesistektomi
segera dalam pasien dengan kolesistisi akut dalam masa perawatan di rumah
sakit yang sama. Jika tidak ada bukti kemajuan setelah 24 jam penanganan
medis, atau jika ada tanda-tanda penurunan klinis, maka kolesistektomi darurat
harus dipertimbangkan.

b. Mini Kolesistektomi
Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat luka
insisi selebar 4cm. Jika diperlukan, luka insisi dapat diperlebar untuk
mengeluarkan batu kandung empedu yang berukuran lebih besar. Drain mungkin
dapat atau tidak digunakan pada mini kolasistektomi. Biaya yang ringan dan
waktu rawat yang singkat merupakan salah satu alasan untuk meneruskan bentuk
penanganan ini.

c. Kolesistektomi laparoskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan batu empedu simtomatik tanpa adanya
kolesistisis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah
mulai untuk melakukan prosedur ini dalam pasien dengan kolesistisis akut dan
dalam pasien dengan batu duktus koledokus. Keuntungan secara toritis dari
prosedur ini dibandingkan dengan konvensional, kolesistektomi mengurangi
perawatan di rumah sakit serta biaaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat bisa
kembali bekerja, nyeri menurun, dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum
terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden
komplikasi mayor, seperti misalnya cidera duktus biliaris, yang mungkin terjadi
lebih sering selama kolisistektomi laparoskopik. Frekuensi dari cidera mungkin
merupakan ukuran pengalaman ahli bedah dan merupakan manifestasi dari kurva
pelatihan yang berkaitan dengan modalitas baru.

d. Bedah Kolesistotomi
Dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi
yang lebih luas, atau bila reaksi inflamasi yang akut membuat system bilier tidak
jelas. Kndung empedu dibuka melalui pembedahan, batu serta getah empedu
atau cairan drainase yang purulen dikeluarkan, dan kateter untuk drainase diikat
dengan jahitan kantung tembakau (purse-string-suture). Kateter itu dihubungkan
dengan sistem drainase untuk mencegah kebocoran getah empedu disekitar
kateter atau perembesan getah empedu ke dalam rongga peritoneal. Setelah
sembuh dari serangan akut, pasien dapat kembali lagi untuk menjalani
kolesistektomi. Maeskipu resikonya lebih rendah, bedah kolesistotomi memiliki
angka moertalitas yang tinggi (yang dilaporkan sampai setinggi 20-30%) yang
disebabkan oleh proses penyakit pasien yang mendasarinya.

e. Kolesistotomi Perkutan
Kolesistotomi perkutan telah dilakukan dalam penanganan dan penegakan
diagnosis kolesistisis akut pada pasien-pasien yang beresiko jika harus menjalani
tindakan pembedahan atau anastesi umum. Pasie-pasien ini mencakup para
penderita sepsis atau gagal jantung yang berat dan pasien-pasien gagal ginjal,
paru atau hati. Dibawah pengaruh anastesi local sebilah jarum yang halus
ditusukkan lewat dinding abdomen dan tepi hati ke dalam kandung empedu
dengan dipandu oleh USG atau pemindai CT. Getah empedu diaspirasi untuk
memastikan bahwa penempatan jarum telah adekuat, dan kemudian sebuah
kateter dimasukkan ke dalam kandung empedu tersebut untuk dekompresasi
saluran empedu. Dengan prosedur ini hampir selalu dilaporkan bahwa rasa nyeri
dan gejala serta tanda-tanda dari sepsis dan kolesistisi berkurang atau
menghilang dengan segera.

f. Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk
mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah kateter
ke dalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema mereda.
Kateter ini dihubungkan dengan selang drainase gravitas. Kandung empedu
biasanya juga mngandung batu, dan umumnya koledokostomi dilakukan
bersama-sama kolesistektomi.

I. Komplikasi
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
mengakibatkan/menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi
ada dalam kandung empedu terdorong dna dapat menutupi duktus sistikus, batu
dapat menetap ataupun terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikus secara
menetap makan mungkin dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel
dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi
oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel
kolesitoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya
kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian
dinding (dapat ditutupi alat sekitarnya) dan dapat membentuk suatu fistel
kolesitoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat
terjadi peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat
kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus
kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang
menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif,
kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui
terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat
menyumbat pada bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan
ileus obstruksi. Berikut beberapa penjelasan tentang komplikasi kolelitiasis:
a. Hidrops
Hidrops biasanya disebabkan oleh stenosis atau obstruksi duktus sistikus
sehingga tidak dapat diisi lagi oleh empedu. Dalam keadaan ini tidak terdapat
peradangan akut dan sindrom yang berkaitan dengannya, tetapi ada bukti
peradangan kronis dengan adanya mukosa gundul. Kandung empedu berdinding
tebal dan terdistensi oleh materi steril mukoid. Sebagian besar pasien mengeluh
efek massa dalam kuadran kanan atas. Hidrops kandung empedu dapat
menyebabkan kolesistisi akut.

b. Kolesistitis akut
Hampir semua kolesistisi akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu
yang terjebak dalam kantung empedu. Trauma mukosa kantung empedu oleh
batu dapat menyebabkan pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin dalam
empedu menjadi lisolesitin yang bersifat toksik yang memperberat proses
peradangan. Pada awal penyakit, peran bakteri sangat sedikit, tetapi kemudian
dapat terjadi supurasi. Komplikasi kolesistisis akut adalah empiema, nekrosis,
dan perforasi.

c. Empiema
Empiema adalah lanjutan dari kolisistisis akut. Pada empiema atau kolesistisis
supuratif, kandung empedu berisi nanah. Penderita menjadi semakin toksik,
demam tinggi, menggigil dan leukositosis.

d. Nekrosis dan Perforasi


Kolesistisis akut bisa berlanjut ke nekrosis dinding kantung empedu dan
perforasi. Batu empedu yang tertahan bias menggoresi dinding nekrotik, sinus
Roktiansky-Aschoff terinfeksi yang berdilatasi bias memberika titik lemah bagi
ruptura. Biasanya rupture terjadi pada fundus, yang merupakan bagian vesica
biliaris yang paling kurang baik vaskularisasinya. Ruptur ke dalam cavitas
peritonialis bebas jarang terjadi dan lebih bias memungkinkan terjadinya
perlekatan dengan organ-organ yang berdekatan dengan pembentukan abses
local. Ruptura ke dalam organ berdekatan menyebabkan fistula saluran empedu.
e. Peritonitis
Ruptura bebas empedu ke dalam cvitas peritonialis menyebabkan syok parah.
Karena efek iritan garam empedu, peritoneum mengalami peradangan.
f. Kolesistitis kronis

g. Fistel bilioentrik
Apabila kandung empedu yang mengandung batu besar menempel pada dinding
organ di dekatnya seperti lambung, duodenum, atau kolon transversum, dapat
terjadi nekrosis dinding kedua organ tersebut karena tekanan, sehingga terjadi
perforasi ke dalam lumen saluran cerna. Selanjutnya terjadi fitsel antara kandung
empedu dan organ-organ tersebut.

h. Kolangitis
Kolangitis dapat berkembang bila ada obstruksi duktus biliaris dan infeksi.
Penyebab utama dari infeksi ini adalah organisme gram negatif, dengan 54%
disebebkan oleh sepsis Klebesiella, dan 39% oleh Escherchia, serta 25% oleh
organisme Enterokokal dan Bacteroides. Empedu yang terkena infeksi akan
berwarna coklat tua dan gelap. Duktus koledokus menebal dan terjadi dilatasi
dengan diskuamasi atau mukosa yang ulseratif, terutama di daearah ampula vetri.

i. Pankreatitis
Radang pankreas akibat autodigesti oleh enzim yang keluar dari saluran
pankreas. Ini disebebkan karena batu yang berada di dalam duktus koledokus
bergerak menutupi ampula vetri.
J. Rencana Asuhan Keperawatan
Proses Keperawatan adalah pendekatan penyelesaian masalah yang sistematik untuk
merencanakan dan memberikan asuhan keperawatan yang melalui lima fase berikut
yaitu pengkajian, identifikasi masalah, perencanaan, implementasi, evaluasi.
1. Pengkajian
Data yang dikumpulkan meliputi :
a. Identitas
a) Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan,
pekerjaan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa
medik, alamat, semua data mengenai identitaas klien tersebut untuk
menentukan tindakan selanjutnya.
b) Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan jadi
penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul meliputi
nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.

b. Riwayat Kesehatan
a) Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat
pengkajian. Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri
abdomen pada kuadran kanan atas.

b) Riwayat kesehatan sekarang


Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode
PQRST, paliatif atau provokatif (P) yaitu fokus utama keluhan klien,
quality atau kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri/gatal dirasakan oleh
klien, regional (R) yaitu nyeri/gatal menjalar kemana, Safety (S) yaitu
posisi yang bagaimana yang dapat mengurangi nyeri/gatal atau klien
merasa nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan klien merasakan
nyeri/gatal tersebut.
(P): Nyeri setelah makan, terutama makanan yang berlemak
(Q): Nyeri dirasakan hebat
(R): Nyeri dirasakan pada abdomen kuadran kanan atas dan menjalar ke
punggung atau bahu kanan.
(S): Nyeri terasa saat melakukan inspirasi
(T): Nyeri dirasakan sejak dua hari yang lalu
c) Riwayat kesehatan yang lalu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah di
riwayat sebelumnya.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit
kolelitiasis.

K. Pemeriksaan fisik
Pendekatan dengan metode 6B:
1) B1-Breath
Pernapasan tertekan ditandai dengan napas pendek dan dangkal, terjadi
peningkatan frekuensi pernapasan sebagai kompensasi.
2) B2-Blood
3) Takikardi dan berkeringat karena peningkatan suhu akibat respon inflamasi.
4) B3-Brain
5) B4-Bladder
Urine pekat dan berwarna gelap, akibat dari pigmen empedu.
6) B5-Bowel
7) Feses berwarna kelabu “clay colored” akibat obstruksi duktus biliaris
sehingga pigmen empedu tidak dibuang melalui feses.
8) B6-Bone
L. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri Akut b.b Agen Cedera Biologis: Obstruksi Kandung Empedu
b. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh b.d Ketidakmampuan
Pemasukan Nutrisi
c. Mual b.d Iritasi Lambung
d. Kekurangan Volume Cairan b.d Kehilangan Volume Cairan Aktif
e. Insomnia b.d Ketidaknyamanan Fisik: Nyeri
f. Hambatan Mobilitas Fisik b.d Nyeri
g. Ketidakefektifan Pola Nafas b.d Nyeri
h. Ansietas b.d Ancaman Kematian
i. Kerusakan Integritas Kulit b.d Faktor mekanik
j. Risiko Perdarahan
k. Risiko Infeksi b.d Kerusakan Integritas Kulit: Prosedur Invasif
Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan NIC NOC
1 Nyeri Akut NOC : NIC :
Definisi :  Pain Level, Pain Management
pengalaman emosional  Pain control 1. Lakukan pengkajian
Sensori yang tidak  Comfort level nyeri secara
menyenangkan dan yang komprehensif
muncul akibat kerusakan Setelah dilakukan tindakan termasuk lokasi,
jaringan secara aktual atau keperawatan selama..... karakteristik, durasi,
potensial atau nyeri pada klien frekuensi, kualitas
menggambarkan adanya berkurang atau hilang dan faktor presipitasi
kerusakan (Asosiasi Studi dengan 2. Observasi reaksi
Nyeri Internasional): Kriteria Hasil : nonverbal dari
serangan mendadak atau  Mampu mengontrol ketidaknyamanan
pelan intensitasnya dari nyeri (tahu penyebab 3. Gunakan teknik
ringan sampai berat yang nyeri, mampu komunikasi
dapat diantisipasi dengan menggunakan tehnik terapeutik untuk
akhir yang dapat diprediksi nonfarmakologi untuk mengetahui
dan dengan durasi < 6 mengurangi nyeri, pengalaman nyeri
bulan. mencari bantuan) pasien
Batasan karakteristik :  Melaporkan bahwa 4. Kaji kultur yang
 Perubahan dalam selera nyeri berkurang dengan mempengaruhi
makan dan minum menggunakan respon nyeri
 Perubahan tekanan manajemen nyeri 5. Evaluasi pengalaman
darah  Mampu mengenali nyeri masa lampau
 Perubahan frekuensi nyeri (skala, intensitas, 6. Evaluasi bersama
jantung frekuensi dan tanda pasien dan tim
 Perubahan frekuensi nyeri) kesehatan lain
pernafasan  Menyatakan rasa tentang
 Laporan isyarat nyaman setelah nyeri ketidakefektifan
 diaforesis berkurang kontrol nyeri masa
 Tingkah laku distraksi,  Tanda vital dalam lampau
(mis: jalan-jalan, rentang normal 7. Bantu pasien dan
menemui orang lain keluarga untuk
dan/atau aktivitas, mencari dan
aktivitas berulang- menemukan
ulang) dukungan
 Mengekspresikan 8. Kontrol lingkungan
perilaku (mis: gelisah, yang dapat
merengek, menangis) mempengaruhi nyeri
 Masker wajah (mis: seperti suhu ruangan,
mata kurang bercahaya, pencahayaan dan
tampak kacau, gerakan kebisingan
mata berpencar,atau 9. Kurangi faktor
tetap pada satu fokus presipitasi nyeri
meringis) 10. Pilih dan lakukan
 Sikap melindungi area penanganan nyeri
nyeri (farmakologi, non
 Fokus menyempit (mis: farmakologi dan
ggn persepsi nyeri, inter personal)
hambatan proses 11. Kaji tipe dan sumber
berfikir, penurunan nyeri untuk
interaksi dengan orang menentukan
dan lingkungan) intervensi
 Indikasi nyeri dapat 12. Ajarkan tentang
diamati teknik non
 Perubahan posisi untuk farmakologi
menghindari nyeri 13. Berikan analgetik
 Sikap tubuh melindungi untuk mengurangi
 Dilatasi pupil nyeri
 Melaporkan nyeri 14. Evaluasi keefektifan
secara verbal kontrol nyeri
 Gangguan tidur 15. Tingkatkan istirahat
Faktor yang 16. Kolaborasikan
berhubungan: dengan dokter jika
 Agen cidera (biologi, ada keluhan dan
kimia, fisik, psikologis) tindakan nyeri tidak
berhasil
17. Monitor penerimaan
pasien tentang
manajemen nyeri

Analgesic
Administration
1. Tentukan lokasi,
karakteristik,
kualitas, dan derajat
nyeri sebelum
pemberian obat
2. Cek instruksi dokter
tentang jenis obat,
dosis, dan frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Pilih analgesik yang
diperlukan atau
kombinasi dari
analgesik ketika
pemberian lebih dari
satu
5. Tentukan pilihan
analgesik tergantung
tipe dan beratnya
nyeri
6. Tentukan analgesik
pilihan, rute
pemberian, dan dosis
optimal
7. Pilih rute pemberian
secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri
secara teratur
8. Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
9. Berikan analgesik
tepat waktu terutama
saat nyeri hebat
10. Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan
gejala (efek
samping)

2 Ketidakefektifan Pola NOC: NIC :


Nafas  Respiratory status : Airway Management
Definisi : Inspirasi dan Ventilation 1. Buka jalan nafas,
atau ekspirasi yang tidak  Respiratory status : guanakan teknik chin
memberi ventilasi Airway patency lift atau jaw thrust
Batasan karakteristik :  Vital sign Status bila perlu
 Perubahan kedalaman 2. Posisikan pasien
pernafasan Setelah dilakukan tindakan untuk
 Perubahan ekskursi keperawatan selama memaksimalkan
dada ………..klien ventilasi
 Mengambil posisi tiga menunjukkan keefektifan 3. Identifikasi pasien
titik pola nafas, dengan perlunya
 Penurunan ventilasi pemasangan alat
semenit Kriteria hasil: jalan nafas buatan
 Penurunan tekanan  Mendemonstrasikan 4. Pasang mayo bila
inspirasi/ekspirasi batuk efektif dan suara perlu
 Penurunan kapasitas nafas yang bersih, tidak 5. Lakukan fisioterapi
vital ada sianosis dan dada jika perlu
 Peningkatan diameter dyspneu (mampu 6. Keluarkan sekret
anterior-posterior mengeluarkan sputum, dengan batuk atau
 Pernafasan cuping bernafas dengan suction
hidung mudah, tidak ada 7. Auskultasi suara
 Menggunakan otot pursed lips) nafas, catat adanya
pernafasan tambahan  Menunjukkan jalan suara tambahan
 Bradipneu nafas yang paten (klien 8. Lakukan suction
 Takipneu tidak merasa tercekik, pada mayo
 Dispneu irama nafas, frekuensi 9. Berikan
 Orthopnea pernafasan dalam bronkodilator bila
Faktor yang rentang normal, tidak perlu
berhubungan : ada suara nafas 10. Berikan pelembab
 Ansietas abnormal) udara Kassa basah
 Posisi tubuh  Tanda Tanda vital NaCl Lembab
 Deformitas tulang dalam rentang normal 11. Atur intake untuk
 Deformitas dinding (tekanan darah, nadi, cairan
dada pernafasan) mengoptimalkan
 Keletihan keseimbangan.
 Hiperventilasi, 12. Monitor respirasi dan
Hipoventilasi sindrom status O2
 Perusakan/pelemahan Oxygen Therapy
muskulo-skeletal 1. Bersihkan mulut,
 Kelelahan otot hidung dan secret
pernafasan trakea
 Nyeri 2. Pertahankan jalan
 Disfungsi nafas yang paten
Neuromuskuler 3. Atur peralatan
 Obesitas oksigenasi
 Injuri tulang belakang 4. Monitor aliran
 Dyspnea oksigen
 Nafas pendek 5. Pertahankan posisi
 Penurunan tekanan pasien
inspirasi/ekspirasi 6. Onservasi adanya
 Penurunan pertukaran tanda tanda
udara / menit hipoventilasi
 Menggunakan otot 7. Monitor adanya
pernafasan tambahan kecemasan pasien
 Orthopnea terhadap oksigenasi
 Pernafasan pursed-lip Vital sign Monitoring
 Tahap ekspirasi 1. Monitor TD, nadi,
berlangsung sangat suhu, dan RR
lama 2. Catat adanya
 Penurunan kapasitas fluktuasi tekanan
vital darah
3. Monitor VS saat
pasien berbaring,
duduk, atau berdiri
4. Auskultasi TD pada
kedua lengan dan
bandingkan
5. Monitor TD, nadi,
RR, sebelum,
selama, dan setelah
aktivitas
6. Monitor kualitas dari
nadi
7. Monitor frekuensi
dan irama
pernapasan
8. Monitor suara paru
9. Monitor pola
pernapasan abnormal
10. Monitor suhu, warna,
dan kelembaban kulit
11. Monitor sianosis
perifer
12. Monitor adanya
cushing triad
(tekanan nadi yang
melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
13. Identifikasi penyebab
dari perubahan vital
sign
3 Kekurangan Volume NOC: NIC :
Cairan  Fluid balance Fluid management
Definisi: Penurunan cairan  Hydration 1. Timbang
intravaskuler, interstisial,  Nutritional Status : popok/pembalut jika
dan/atau intrasellular. Ini Food and Fluid Intake diperlukan
mengarah ke dehidrasi, Setelah dilakukan tindakan 2. Pertahankan catatan
kehilangan cairan dengan keperawatan selama …….. intake dan output
pengeluaran sodium masalah kekurangan yang akurat
Batasan Karakteristik : volume cairan dalam 3. Monitor status
 Kelemahan tubuh teratasi dengan hidrasi ( kelembaban
 Haus Kriteria Hasil : membran mukosa,
 Penurunan turgor a. Mempertahankan urine nadi adekuat,
kulit/lidah output sesuai dengan tekanan darah
 Membran mukosa/kulit usia dan BB, BJ urine ortostatik ), jika
kering normal, HT normal diperlukan
 Peningkatan denyut b. Tekanan darah, nadi, 4. Monitor vital sign
nadi, penurunan suhu tubuh dalam batas 5. Monitor masukan
tekanan darah, normal makanan / cairan dan
penurunan c. Tidak ada tanda tanda hitung intake kalori
volume/tekanan nadi dehidrasi, Elastisitas harian
 Pengisian vena turgor kulit baik, 6. Kolaborasikan
menurun membran mukosa pemberian cairan IV
 Perubahan status lembab, tidak ada rasa 7. Monitor status nutrisi
mental haus yang berlebihan 8. Berikan cairan IV
 Konsentrasi urine pada suhu ruangan
meningkat 9. Dorong masukan
 Temperatur tubuh oral
meningkat 10. Berikan penggantian
 Hematokrit meninggi nesogatrik sesuai
 Kehilangan berat badan output
seketika (kecuali pada 11. Dorong keluarga
third spacing) untuk membantu
Faktor-faktor yang pasien makan
berhubungan: 12. Tawarkan snack ( jus
 Kehilangan volume buah, buah segar )
cairan secara aktif 13. Kolaborasi dokter
 Kegagalan mekanisme jika tanda cairan
pengaturan berlebih muncul
meburuk
14. Atur kemungkinan
tranfusi
15. Persiapan untuk
tranfusi

Hypovolemia
Management
1. Monitor status cairan
termasuk intake dan
ourput cairan
2. Pelihara IV line
3. Monitor tingkat Hb
dan hematokrit
4. Monitor tanda vital
5. Monitor
responpasien
terhadap
penambahan cairan
6. Monitor berat badan
7. Dorong pasien untuk
menambah intake
oral
8. Pemberian cairan Iv
monitor adanya
tanda dan gejala
kelebihanvolume
cairan
9. Monitor adanya
tanda gagal ginjal

4 Ketidakseimbangan NOC: NIC :


nutrisi kurang dari  Nutritional status: Nutrition Managemen
kebutuhan tubuh Adequacy of nutrient 1. Kaji adanya alergi
Definisi: Intake nutrisi  Nutritional Status : makanan
tidak cukup untuk food and Fluid Intake 2. Kolaborasi dengan
keperluan metabolisme  Nutritional Status : ahli gizi untuk
tubuh. nutrient intake menentukan jumlah
Batasan karakteristik :  Weight Control kalori dan nutrisi
 badan 20 % atau lebih yang dibutuhkan
di bawah ideal Setelah dilakukan tindakan pasien.
 Dilaporkan adanya keperawatan 3. Anjurkan pasien
intake makanan yang selama….masalah nutrisi untuk meningkatkan
kurang dari RDA kurang dari kebutuhan intake Fe
(Recomended Daily tubuh teratasi 4. Anjurkan pasien
Allowance) Kriteria hasil : untuk meningkatkan
 Membran mukosa dan a. Adanya peningkatan protein dan vitamin
konjungtiva pucat BB sesuai dengan C
 Kelemahan otot yang tujuan 5. Berikan substansi
digunakan untuk b. BBI sesuai dengan gula
menelan/mengunyah tinggi badan 6. Yakinkan diet yang
 Luka, inflamasi pada c. Mampu dimakan
rongga mulut mengidentifikasi mengandung tinggi
 Mudah merasa kebutuhan nutrisi serat untuk
kenyang, sesaat setelah d. Tidak ada tanda- tanda mencegah konstipasi
mengunyah makanan malnutrisi 7. Berikan makanan
 Dilaporkan atau fakta e. Menunjukkan yang terpilih ( sudah
adanya kekurangan penigkatan fungsi dikonsultasikan
makanan pengecapan dari dengan ahli gizi)
 Dilaporkan adanya menelan 8. Ajarkan pasien
perubahan sensasi rasa f. Tidak terjadi bagaimana membuat
 Perasaan penurunan BB yang catatan makanan
ketidakmampuan untuk berarti harian.
mengunyah makanan 9. Monitor jumlah
 Miskonsepsi nutrisi dan
 Kehilangan BB dengan kandungan kalori
makanan cukup 10. Berikan informasi
 Keengganan untuk tentang kebutuhan
makan nutrisi
 Kram pada abdomen 11. Kaji kemampuan
 Tonus otot jelek pasien untuk
 Nyeri abdominal mendapatkan nutrisi
dengan atau tanpa yang dibutuhkan
patologi
 Kurang berminat Nutrition Monitoring:
terhadap makanan 1. BB pasien dalam
 Pembuluh darah kapiler batas normal
mulai rapuh 2. Monitor adanya
 Diare dan atau penurunan berat
steatorrhea badan
 Kehilangan rambut 3. Monitor tipe dan
yang cukup banyak jumlah aktivitas yang
(rontok) biasa dilakukan
 Suara usus hiperaktif 4. Monitor interaksi
 Kurangnya informasi, anak atau orangtua
misinformasi selama makan
Faktor yang berhubungan : 5. Monitor lingkungan
 Faktor biologis selama makan
 Faktor ekonomi 6. Jadwalkan
 Ketidakmampuan untuk pengobatan dan
mengabsorbsi nutrien tindakan tidak
 Ketidakmampuan untuk selama jam makan
mencerna makanan 7. Monitor kulit kering
 Ketidakmampuan untuk dan perubahan
menelan makanan pigmentasi
 Faktor psikologis 8. Monitor turgor kulit
9. Monitor kekeringan,
rambut kusam, dan
mudah patah
10. Monitor mual dan
muntah
11. Monitor kadar
albumin, total
protein, Hb, dan
kadar Ht
12. Monitor makanan
kesukaan
13. Monitor
pertumbuhan dan
perkembangan
14. Monitor pucat,
kemerahan, dan
kekeringan jaringan
konjungtiva
15. Monitor kalori dan
intake nuntrisi
16. Catat adanya edema,
hiperemik,
hipertonik papila
lidah dan cavitas
oral.
17. Catat jika lidah
berwarna magenta,
scarlet
DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, Suharjo B. 2009. Batu Empedu. Yogyakarta: Kanisus

Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung: Alumni

Herdman, T.Heather. 2010. NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan : Definisi dan


Klasifikasi 2009-2011. Jakarta : EGC

Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika

Schwartz, Seymour I. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku dari Brunner &
Suddarth. Jakarta : EGC

Suratun dan Lusianah. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media

Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai