Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

TATALAKSANA ANESTESI KOLELITIASIS


DENGAN GENERAL ANESTESI

Oleh:
I Gusti Ayu Gayatri Sidemen (1971121038)
Intan Permata Sari (1971121073)
Dewa Ayu Made Nita Indah Pratiwi (1971121027)
Ni Made Gita Andariska (1971121014)

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN / KSM ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS WARMADEWA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SANJIWANI
GIANYAR
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ………………………………………………………………….. ii


BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………….. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………… 3
BAB III LAPORAN KASUS …………………………………………………. 8
BAB IV PEMBAHASAN …………………………………………………….. 15
BAB V KESIMPULAN ………………………………………………………. 20
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kandung empedu adalah sebuah kantung terletak di bawah hati yang


mengonsentrasikan dan menyimpan empedu sampai ia dilepaskan ke dalam
usus.Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam
kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua- duanya.
Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam
kandung empedu. Terbentuknya kolelitiasis pada 3 mekanisme utama, yaitu
supersaturasi kolestrol, sekresi bilirubin berlebihan, serta hipomotilitas kandung
empedu. Batu kandung empedu biasanya baru menimbulkan gejala dan keluhan
bila batu menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus. Oleh karena itu
gambaran klinis penderita batu kandung empedu bervariasi dari yang berat atau
jelas sampai yang ringan atau samar bahkan seringkali tanpa gejala (silent stone).

Angka kejadian pada Negara Amerika Serikat tahun 2017 terdapat kurang
lebih 20 juta orang serta pada setiap tahun 1,3% orang memiliki penyakit
kolelitiasis dan sekitar 1,3% orang akan timbul keluhan penyakit kolelitiasis. Tiap
tahunnya ada sekitar 500.000 pasien yang bisa timbul keluhan bahkan komplikasi
sehingga perlu dilakukan tindakan kolesistektomi. Di Eropa ada 5-15%
berdasarkan pemeriksaan ultrasonografi. Di Asia tahun 2013 yaitu sekitar 3%
sampai 10%. Untuk angka kejadian pada Negara Jepang terdapat 3,2%, untuk
angka kejadian pada Negara China terdapat 10,7%, India Utara 7,1%, serta pada
Negara Taiwan 5,0%. Pada Negara Indonesia sendiri penyakit kolelitiasis kurang
mendapat perhatian karena keadaannya tanpa gejala oleh karena itu sulit di
temukan dan sering terjadi kesalahan diagnosis serta belum ada data resmi
mengenai angka kejadian penyakit kolelitiasis dan baru ini mendapat perhatian
setelah di klinis, untuk saat ini penelitian tentang penyakit kolelitiasis sangat
minim. Pada studi kolesitografi oral terdapat laporan jumlah insidensi kolelitiasis
terhadap wanita sekitar 76% serta pada laki-laki 36% pada umur lebih 40 tahun
dan bisa menimbulkan beberapa dampak.
Dampak dari penyakit kolelitiasis bisa menyebabkan terjadinya kolesistitis,
kolangitis, pankreatitis, jaundice, serta kanker kandung empedu. Meskipun
kolelitiasis bersifat jinak, namun dokter harus memutuskan terapi yang diperlukan
pada pasien dengan membagi pasien menjadi: penderita batu empedu asimtomatik
yang terdeteksi secara tidak sengaja, penyakit batu empedu simtomatik, penderita
batu empedu dengan gejala atipikal dan terdeteksi pada pemeriksaan pencitraan
dan pada gejala yang tipikal namun tidak terdeteksi batu empedu pada pencitraan
serta perlu adanya penanganan.

Penanganan pada penyakit kolelitiasis terdapat 2 macam yaitu bedah serta non
bedah. Terapi non bedah bisa seperti lisis batu yaitu disolusi batu pada sediaan
garam empedu kolelitolitik, ESWL (extracorporeal shock wave lithotripsy) yaitu
suatu tindakan yang berguna untuk memecahkan batu yang ditembakkan melaui
luar tubuh menggunakan gelombang guna membuat batu terpecah menjadi halus,
sehingga pecahan tersebut dapat keluar bersamaan dengan air seni, dan bisa
dengan pengeluaran secara endoskopik. Pada terapi bedah bisa berupa laparaskopi
kolesistektomi, open kolesistektomi, dan eksplorasi saluran koledokus. Pada
kolelitiasis untuk indikasi kolesistektomi batu empedu tanpa komplikasi biasanya
di tangani dengan tindakan laparaskopi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kolelitiasis


Kolelitiasis (batu empedu) adalah kristal yang terbentuk dalam kandung
empedu. Batu empedu dapat bermigrasi ke saluran empedu sehingga dapat
menimbulkan komplikasi dan dapat mengancam jiwa
2.2 Faktor Resiko Kolelitiasis
Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat dalam kelompok risiko
tinggi yang disebut ”4 Fs” : forty (usia diatas 40 tahun lebih berisiko), female
(perempuan lebih berisiko), fertile (paritas), fatty (obesitas). Pembentukan batu
empedu adalah multifaktorial. Studi sebelumnya telah mengindentifikasi bahwa
jenis kelamin perempuan, bertambahnya usia, kegemukan, riwayat keluarga
dengan batu empedu, etnis, jumlah kehamilan merupakan faktor risiko batu
empedu.

1. Umur

Frekuensi batu empedu akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia.


Setelah usia 40 tahun risiko terjadi batu empedu 4 hingga 9 kali lipat. Usia tua
memiliki paparan panjang untuk banyak faktor kronis seperti hiperlipidemia,
konsumsi alkohol, dan DM. Hal ini akan menyebabkan penurunan motilitas
kandung empedu dan terbentuknya batu empedu.

Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40-50 tahun. Jenis batu
juga akan berubah dengan bertambahnya usia. Pada awalnya terutama jenis batu
kolesterol (sekresi kolesterol meningkat dan saturasi empedu) namun dengan
bertambahnya usia cenderung menjadi batu pigmen. Selanjutnya gejala dan
komplikasi akan meningkat dengan bertambahnya usia hal tersebut sering
dilakukan tindakan kolesistektomi.

2. Jenis Kelamin dan Paritas

Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan
perbandingan 4 : 1. Di USA 10- 20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung
empedu, sementara di Italia 20 % wanita dan 14 % laki-laki. Pada wanita usia
reproduksi, risiko cholelithiasis adalah 2-3 kali lebih tinggi dari pada laki-laki.
Alasan untuk ini belum dijelaskan secara penuh. Kehamilan juga berkontribusi
terhadap pembentukan batu di kandung empedu. Kolelitiasis adalah sangat umum
pada multipara (paritas 4 atau lebih). Studi lain melaporkan bahwa wanita
multipara memiliki prevalensi lebih tinggi dari yang nulipara. Perbedaan gender
dan seringnya batu empedu terdeteksi pada wanita hamil dikaitkan dengan latar
belakang hormonal. Peningkatan kadar estrogen diketahui untuk meningkatkan
ekskresi kolesterol dalam empedu dengan menyebabkan supersaturasi kolesterol.
Selama kehamilan, selain peningkatan kadar estrogen, fungsi pengosongan
kandung empedu menurun, sehingga menimbulkan endapan empedu dan batu
empedu.

3. Obesitas

Pada obesitas terjadi kondisi peradangan kronis dan sangat terkait dengan faktor
pro-inflamasi. Hal ini akan meningkatkan sekresi hati dari kolesterol dan
membuat empedu menjadi jenuh dengan meningkatkan sekresi empedu dari
kolesterol dan menyebabkan pembentukan batu empedu. Berat badan lebih dan
obesitas merupakan faktor risiko penting dari kolelitiasis. Orang dengan obesitas
terjadi peningkatan sintesis dan ekskresi kolesterol dalam empedu. Pada saat yang
sama, jumlah yang dihasilkan kolesterol berbanding lurus dengan kelebihan berat
badan. Siklus berat badan, independen dari BMI, dapat meningkatkan risiko
kolelitiasis pada pria. Fluktuasi berat badan yang lebih besar dan siklus berat
badan lebih terkait dengan risiko yang lebih besar.

4. Dislipidemia

Dislipidemia merupakan salah satu dari sindroma metabolik. Pada studi yang
dilakukan di Taiwan menunjukkan bahwa sindroma metabolik berkaitan dengan
peningkatan risiko terjadinya batu empedu dihubungan dengan usia dan jenis
kelamin. Beberapa penelitian yang dilakukan di negara barat dilaporkan bahwa
usia, jenis kelamin, BMI, hiperlipidemia, penggunaan kontrasepsi oral, konsumsi
alkohol, diabetes mellitus berkaitan erat dengan terjadinya batu empedu.
Penurunan level High density lipoprotein (HDL) merupakan salah satu risiko
terjadinya batu empedu. Kolesterol bilier utamanya berasal dari HDL – C.
Penurunan konsentrasi HDL – C dikaitkan dengan resistensi insulin. Penelitian
lain menyebutkan bahwa peningkatan kadar Trigliserida (TG) menyebabkan
penurunan kontraksi dari kandung empedu yang berakibat pembentukan batu
empedu.

2.3 Patogenesis
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang
pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna,
akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan
metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu
dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan
yang paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan
kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat
meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan
unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian
dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan
pembentukan mucus.

Sekresi kolesterol berhubungan dengan terjadinya pembentukan batu


empedu. Pada kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan
pembentukan batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan
pengendapan kolesterol yaitu terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu
banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari empedu, terlalu banyak
sekresi kolesterol dalam empedu. Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian
ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis
kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk
alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa
tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu empedu.

Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui


duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut
dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga
menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus
karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada
disana sebagai batu duktus sistikus.

2.4 Diagnosis Adenotonsilitis Kronis


Untuk menegakkan diagnosis kolelitiasis diperlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis pasien dengan
kolelitiasis, setengah sampai dua pertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis.
Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran
terhadap makanan berlemak. Pada kondisi yang simptomatis, pasien biasanya
datang dengan keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran atas
kanan perut atau perikondrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang dapat
berlangsung 15 menit dan kadang menetap sampai beberapa jam. Nyeri biasanya
timbul perlahan – lahan, namun dalam sepertiga kasus dapat muncul secara tiba –
tiba, serta nyeri ini dapat menyebar ke punggung bagian tengah, scapula atau
puncak bahu yang disertai dengan mual dan muntah. Apabila terjadi kolesistitis,
maka keluhan nyeri ini akan menetap dan bertambah pada saat pasien menarik
napas dalam sehingga pasien akan berhenti menarik napas (murphy sign).
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan kondisi asimptomatik tidak
memiliki kelainan. Biasanya kelainan pada pemeriksaan fisik ditemukan apabila
apabila terjadinya kolelitiasis disertai dengan kolesistitis. Selama serangan kolik
bilier terutama pada kondisi kolelitiasis akut, pasien akan mengalami nyeri tekan
pada daerah letak anatomis kandung empedu. Murphy sign merupakan tanda dari
kolesistitis, dimana nyeri tekan akan bertambah sewaktu penderita menarik nafas
panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan
pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas
Adapun pemeriksaan penunjang pada pasien dengan kolelitiasis :
a) Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak
menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi
peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Kadar bilirubin serum yang
tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus koledokus. Kadar
fosfatase alkali serum dan kadar amilase serum biasanya akan
meningkat setiap kali terjadi serangan akut.
b) Pemeriksaan Radiologis
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas
karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat
radioopak. Kandung empedu yang mengandung cairan empedu
berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada
peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau
hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak
di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus
besar, di fleksura hepatica. Pemeriksaan ultrasonografi mempunyai
derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu
kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatic maupun
ekstra hepatic. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung
empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan
oleh peradangan maupun sebab lain.

2.5 Penatalaksanaan
Kolelitiasis dapat ditangani dengan tindakan operatif ataupun non –
operatif. Tatalaksana operatif yaitu dengan kolesistektomi, baik yang dilakukan
dengan kolesistektomi terbuka maupun kolesistektomi laparoskopi. Sedangkan
tatalaksana non – operatif terdiri atas disolusi batu dan pengeluaran secara
endoskopi. Selain itu, dapat dilakukan pencegahan kolelitiasis pada seseorang
yang cenderung memiliki empedu litogenik dengan mencegah infeksi dan
menurunkan kadar kolesterol serum dengan cara mengurangi asupan atau
menghambat sintesis kolestrol. Obat golongan statin dikenal dapat menghambat
sintesis kolestrol.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Inisial : NKAW
Umur : 37 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Kesian, Lebih, Gianyar
Pekerjaan : Karyawan Hotel
Agama : Hindu
No RM : 694976
Jenis Pembedahan : Kolesistektomi
Rencana Anestesi : General Anaesthesia
Tanggal operasi : 05 April 2021
3.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama: Nyeri perut kuadran kanan atas
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien perempuan datang ke RSUD Sanjiwani Gianyar dengan keluhan
nyeri pada perut kanan atas sejak 2 bulan yang lalu (Februari 2021). Nyeri
dikatakan timbul mendadak, hilang timbul dan semakin lama makin
memberat. Pasien sempat di opname di RS Famili dan hasil USG
dikatakan ada batu empedu. Keluhan lain saat ini seperti demam (-),
menggigil (-), mual (-) muntah (-), BAB (+) normal, BAK (+) normal.
c. Riwayat Penyakit Terdahulu
Riwayat penyakit kronis seperti hipertensi terkontrol (+), diabetes mellitus
(-), penyakit jantung, penyakit paru disangkal oleh pasien. Riwayat operasi
SC (+) 1 kali.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan serupa dan riwayat
penyakit kronis pada keluarga seperti diabetes mellitus dan hipertensi
disangkal.

e. Riwayat Sosial, Ekonomi dan Lingkungan


Pasien adalah seorang karyawan hotel. Pasien tinggal bersama suami dan
anak-anaknya. Riwayat merokok dan minum alkohol disangkal oleh
pasien.

3.3 Pemeriksaan Fisik


3.3.1 Status Present
Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 86x/menit
Respirasi : 18x/menit
Suhu : 36,5 C
3.3.2 Status Generalis
Kepala : Normocephali
Mata : Refleks pupil (+/+) isokor, Konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-), peningkatan JVP (-)
- Pulmo
o Inspeksi : Pergerakan dada simetris (+/+)
o Palpasi : Gerakan dada simetris (+/+), Vocal Fremitus: N/N
o Perkusi : Sonor/Sonor
o Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
- Cor
o Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
o Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
o Perkusi : Tidak ada kesan pembesaran jantung
o Auskultasi : S1S2 tunggal, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen: sesuai status lokalis
Ekstremitas : Hangat pada keempat ekstremitas, CRT <2 detik. tidak
terdapat edema pada keempat ekstremitas.

Status lokalis (Regio Abdomen)


Inspeksi : Jejas (-), distensi (-) luka bekas operasi (+)
Auskultasi : BU (+) normal
Perkusi : Timpani, hepar dan lien dalam batas normal
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba. Nyeri tekan (+) pada
abdomen regio kanan atas. Murphy sign (+)

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Darah Lengkap (03/04/2021)

Par Hasil Unit Rem Nilai Normal

WBC 10.72 10^3/uL N 4.00-10.00

Lymph % 30.3 % N 20.0-65.0

Neu % 63.9 % N 25.0-70.0

BAS% 0.8 % N 0.0 – 1.0

EOS% 2.1 % N 0.5-5.0

MON% 3.9 % L 3. – 8.0

HGB 12.4 gdL N 11.0-16.0

HCT 38.8 % N 37.0-54.0

PLT 302 10^3/uL N 150-450

Hemostasis (17/03/21)

Par Hasil Unit Rem Nilai Normal

Waktu 7.00 Menit N 6-15


Pembekuan
(CT)

Waktu 3.00 Menit N 2-6


Perdarahan
(BT)

Kimia Klinik (17/03/2021)

Par Hasil Unit Rem Nilai Normal

Glukosa Sewaktu 76 mg/dL L 80 – 120

Ureum 15.2 mg/dL L 18 – 55

Kreatinin 0.72 mg/dL N 0.67 – 1.17

SGOT 15 U/L N <35

SGPT 16 U/L N <41

Alkali Fosfatase 40.0 U/L L 42 – 141

Bilirubin Total 0.39 mg/dL N 0.10 – 1.20

Bilirubin DIrek 0.14 mg/dL N < 0.20

Bilirubin Indirek 0.25 mg/dL H 0.0 – 0.075

Na 139 mmol N 135 – 147

K 4.0 mmol N 3.5 - 5.0

CL 109 mmol H 93 – 108

Imunologi (03/04/21)
- Non reaktif SARS COV 2 antigen test
Pemeriksaan Radiologi

Foto Thorax PA (03/04/2021)

Hasil :

- Corakan bronkovaskular pada kedua lapangan paru dalam batas normal


- Cor: bentuk, letak dan ukuran dalam batas normal
- Aorta elongasi
- Kedua sinus dan diafragma baik
- Tulang-tulang intak
Kesan :
Elongasi aorta
Cor dan pulmo dalam batas normal

USG Abdomen Atas Bawah

Kesan :
• Mengesankan gambaran cholesistitis dengan batu GB multiple
• Hepar, lien, pancreas, ginjal kanan, kiri, buli saat ini tak tampak kelainan
3.5 Assessment
- Kolelitiasis
3.6 Planning
- Jenis anestesi : General Anestesi
- Teknik anestesi : General Anestesi dengan teknik Endotracheal
Tube (ETT)
- Informed Consent : Memberikan penjelasan kepada pasien serta
keluarga pasien mengenai teknik anestesi yang
digunakan dan efek yang ditimbulkan, puasa 8
jam sebelum operasi, berdoa
- Acc operasi : Dengan General Anestesi
- Premedikasi : Dexa 4 mg, Ketorolac 30 mg, Ondancentron 4 mg,
Tramadol 50 mg, induksi dengan fentanyl 150 mcg, Propofol 150 mg,
atrakurium 40mg
3.7 Tatalaksana Anestesi
3.7.1 Pra - Anestesi
• Pasien terletak dalam posisi terlentang
• Memastikan kondisi pasien stabil dengan menilai tanda vital dalam batas
normal
• Premedikasi Dexa 4 mg, Ketorolac 30 mg, Ondancentron 4 mg, Tramadol
50 mg, induksi dengan fentanyl 150 mcg, Propofol 150 mg, atrakurium
40mg
• Berikan inhalasi O2 dengan face mask 2-4 menit sampai pasien tidur
• Melakukan pemasangan ETT
• Pemantauan tanda vital pasien
3.7.2 Durasi Operasi
• Operasi berlangsung mulai pukul 09.00 – 10.00 WITA
• Vital sign dan saturasi O2 dalam batas normal
3.7.3 Pemulihan Anestesi
• Saat operasi selesai menghentikan aliran gas atau obat anestesi inhalasi
dan memberikan O2 100% 5 Lpm sampai pasien bernapas spontan
• Membersihkan jalan napas dengan menggunakan suction dan tetap
membantu pernapasan pasien sampai spontan
• Ekstubasi ETT dan membersihkan jalan dengan suction, tetap membantu
pernapasan pasien dengan facemask sampai pasien bernapas spontan
adekuat dan sadar kembali
3.7.4 Penilaian Ruang Pulih
• Aktivitas :1

• Respirasi :2
• Tekanan darah :2

• Kesadaran :2

• Warna kulit :2

Total skor :9

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Diagnosis
Pasien perempuan berusia 37 tahun datang dengan keluhan nyeri perut
kanan atas. Keluhan tersebut sudah dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Nyeri
dikatakan timbul mendadak, hilang timbul dan semakin memberat. Pasien sudah
pernah di USG di RS Famili, dan dikatakan terdapat batu empedu. Keluhan lain
seperti demam, mual dan muntah disangkal. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
keadaan umum sakit sedang dengan tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 86
kali/menit, laju pernapasan 18 kali/menit, suhu tubuh 36,5°C, dan saturasi oksigen
99% udara ruangan. Riwayat terdahulu, pernah melakukan operasi SC 1 kali.
Disampaikan pasien mempunyai riwayat hipertensi yang terkontrol, riwayat DM
dan penyakit pernapasan disangkal. Riwayat merokok dan minum alkohol
disangkal.
Hasil pemeriksaan status generalis dalam batas normal. Pada pemeriksaan
status lokalis, didapatkan nyeri tekan regio abdomen kuadran kanan atas dengan
Murphy sign (+). Pada pemeriksaan penunjang darah lengkap, didapatkan
leukositosis (WBC 10,72x103 /Ul), sedangkan kadar hemoglobin, platelet dan
hematokrit dalam batas normal. Bleeding time dan clotting time dalam batas
normal. Pemeriksaan gula darah sewaktu dan biomarker fungsi ginjal dalam batas
normal. Pemeriksaan rontgen thoraks didapatkan kesan elongation aorta dengan
cor dan pulmo dalam batas normal. USG abdomen mengesankan gambaran
kolesistitis dengan batu gall bladder multiple.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
pasien didiagnosis dengan Kolelitiasis dengan status fisik ASA II.
4.2 Tatalaksana
Penatalaksanaan Kolelitiasis dapat dilakukan dengan tindakan operatif.
Pada kasus ini dilakukan tindakan operatif yang dilakukan adalah Kolesistektomi.
Sebelum dilakukan tindakan operatif perlu dilakukan tindakan pre operatif yang
mencakup pemberian cairan, pemberian antibiotik, pemberian oksigen dan
monitoring. Pada pasca operatif diperlukan monitor intensif keadaan umum dan
pemberian analgesik untuk meredakan rasa nyeri pasca pembedahan. Tujuan
memonitor pasien adalah untuk memantau keadaan umum dan mencegah
komplikasi yang terjadi pasca pembedahan.

4.3 Pra Anestesi


Evaluasi pra anestesi dilakukan untuk mengetahui status fisik pasien
praoperatif, mempertimbangkan jenis serta teknik anestesi yang digunakan, dan
menggambarkan kemungkinan penyulit yang ada serta cara menangani penyulit
tersebut. Evaluasi dilakukan mulai dari jauh hari sebelum operasi hingga
menjelang dilakukan operasi di kamar persiapan operasi. Pada pasien ini, evaluasi
mulai dilakukan saat direncanakan operasi, saat sehari sebelum operasi dan sesaat
sebelum operasi.
Evaluasi yang dilakukan berupa anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang dan menentukan prognosis pasien perioperatif dengan
skor ASA. Anamnesis yang ditanyakan, haruslah yang berkaitan dengan penyakit
bedah (yang dapat menimbulkan gangguan fungsi sistem organ), riwayat penyakit
sistemik (penyakit yang dapat mempengaruhi anestesia atau dipengaruhi oleh
anestesia), riwayat pemakaian obat, riwayat operasi sebelumnya (apakah terdapat
komplikasi paska operasi), riwayat pribadi yang mempengaruhi anestesi
(merokok, minum minuman beralkohol, ataupun memakai obat-obatan terlarang),
serta riwayat alergi obat (berkaitan dengan obat-obatan yang digunakan selama
anestesia). Pada pasien ini, ditemukan adanya riwayat hipertensi terkontrol,
dengan riwayat komplikasi paska operasi sebelumnya (SC) dan riwayat merokok
serta minum-minuman beralkohol disangkal.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan, ditujukan untuk menilai kondisi vital
pasien, pemeriksaan fisik terkait keluhan pasien serta pemeriksaan fisik umum
yang ditujukan untuk menilai 6B (Brain, breath, blood, bowel bladder dan bone).
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa pemeriksaan rutin
(pemeriksaan darah), pemeriksaan rutin (pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi hati,
elektrolit, faal hemostasis, dan analisis gas darah) sesuai indikasi, pemeriksaan
radiologi, evaluasi jantung dan pemeriksaan spirometri (pada penderita PPOK).
Pada pasien, dilakukan pemeriksaan darah lengkap dengan hasil leukositosis,
pemeriksaan fungsi ginjal dalam batas normal, fungsi hati dalam batas normal,
faal hemostasis dalam batas normal, pemeriksaan rontgen thorax dengan kesan cor
dan pulmo tidak tampak kelainan. Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan
analisis gas darah dan pemeriksaan spirometri. Jika ditemukan hasil pemeriksaan
yang dianggap memerlukan koreksi, rencana operasi dapat ditunda dan menunggu
perbaikan dari hasil terkait. Koreksi dapat dilakukan secara mandiri oleh DPJP
terkait, atau bersama-sama dengan sejawat lain yang berkompeten dalam
perbaikan yang dituju.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
pasien didiagnosis dengan Kolelitiasis dengan status ASA II (pasien penyakit
bedah dengan penyakit sistemik berupa hipertensi yang terkontrol). Selanjutnya,
dalam menentukan jenis anestesi dan teknik anestesi, dilakukan dengan
mempertimbangkan lokasi, posisi, manipulasi dan durasi selama operasi. Lokasi
operasi operasi di daerah abdominal kebawah, dilakukan dengan anestesi regional
blok spinal. Posisi operasi adalah posisi supine. Manipulasi pada operasi
kolesistektomi, yaitu manipulasi intra-abdominal, membutuhkan relaksasi
lapangan operasi yang optimal, sehingga direkomendasikan untuk menggunakan
anestesi umum. Selain itu, mempertimbangkan umur, jenis kelamin dan status
fisik, pilihan anestesi yang digunakan adalah anestesi umum, dapat dilakukan
dengan teknik OTT atau NTT dengan alat ETT, dengan mempertimbangkan
kondisi klinis pasien. Teknik ini digunakan untuk menjaga patensi jalan napas.
ETT dapat mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi, serta efektif mencegah
terjadinya aspirasi cairan ke dalam paru-paru.
Evaluasi diruang persiapan operasi dilakukan dengan evaluasi ulang status
pasien, pemberian premedikasi dan pemasangan infus. Premedikasi dilakukan
untuk menimbulkan suasana nyaman pada pasien, memudahkan dan melancarkan
induksi, mengurangi dosis obat anestesia, menekan refleks, dan mengurangi
sekresu kalenjar. Obat-obat premedikasi yang diberikan adalah jenis obat sedatif
(golongan benzodiazepam), golongan analgetik opiat, golongan antikolinergik,
golongan antiemetik, dan profilaksis aspirasi. Pemberiannya dapat dilakukan
secara intramuskular atau intravena, dengan menyesuaikan waktu induksi
anestesia.

4.4 Pemantauan Perioperatif

Selama pemantauan perioperatif, tenaga anestesia yang berkualifikasi


harus berada dalam kamar operasi selama pemberian anestesia untuk melakukan
pemantauan. Hal-hal yang perlu dipantau adalah jalan nafas, oksigenasi, ventilasi
dan sirkulasi pasien. Pemantauan jalan nafas bertujuan utnuk mempertahankan
keutuhan jalan nafas, yang dapat dipantau melalui gejala-gejala yang terdapat baik
pada nafas spontan maupun nafas kendali. Oksigenasi dipantau untuk memastikan
kadar zat asam di dalam udara/gas inspirasi dan di dalam darah. Oksigenasi dapat
dipantau melalui pulse oximeter yang terpasang di pasien. Pemantauan ventilasi
bertujuan untuk menilai keadekuatan ventilasi, dilakukan secara kualitatif dengan
mengawasi gerak naik turunnya dada, gerak kembang kempisnya kantong
reservoir dan auskultasi suara nafas. Pemantauan sirkulasi dilakukan dengan
mengevaluasi denyut nadi pasien, mengukur tekanan darah, serta produksi urin.
4.5 Tatalaksana Pasca Operasi

Pasca operasi merupakan periode yang segera dimulai setelah pembedahan


dan anestesi diakhiri sampai pasien pulih dari pengaruh anestesia. Pasien pasca
operasi dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok:
 Kelompok I
Pasien yang memiliki risiko tinggi gagal nafas dan masalah
cardiovascular, sehingga memerlukan nafas kendali paska operasi. Pasien
kelompok ini langsung dirawat di Unit Terapi Intensif paska operasi.
 Kelompok II
Pasien yang menjalani operasi besar tanpa adanya risiko tinggi gagal nafas
dan masalah cardiovascular. Tujuan perawatan kelompok ini adalah
menjamin pasien secepatnya mampu menjaga keadekuatan respirasi.
 Kelompok III
Pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat jalan. Selain
memastikan pasien mampu menjaga fungsi respirasi yang adekuat, pasien
juga harus bebas dari rasa ngantuk, ataksi, nyeri dan kelemahan otot.

Secara menyeluruh, pemantauan paska operasi meliputi kesadaran,


respirasi, sirkulasi, fungsi ginjal dan saluran kencing, fungsi saluran cerna,
aktivitas motoric, suhu tubuh, masalah nyeri dan posisi. Pemantauan dapat
dilakukan dengan menilai Aldrete Score saat masuk ruang pemulihan yang dicatat
setiap 5 menit sampai tercapai nilai total 10.
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:


1. Diagnosis pada kasus ini dapat ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pada kasus
ini adalah kolelitiasis dengan ASA II.
2. Terapi pada kolelitiasis terdiri dari terapi non operatif dan operatif.
Terapi operatif yang dilakukan pada kasus ini adalah kolesistektomi
terbuka.
3. Tatalaksana pra anestesi pada kasus adalah melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Ditentukan pula status
fisik ASA pada kasus ini adalah status fisik ASA II. Adapun teknik
anestesi yang digunakan adalah anestesi general dengan Endotracheal
Tube (ETT).
4. Pada kasus dilakukan pemantauan perioperatif dengan menilai vital
sign dan saturasi oksigen. Pada kasus didapatkan dalam batas normal.
5. Pada kasus ini tatalaksana perioperatif terdiri dari pemberian obat
analgetik.
DAFTAR PUSTAKA

Mangku, Gde; Senapathi, Tjokorda Gde Agung. 2018. Buku Ajar Ilmu
Anestesia Dan Reanimasi. Jakarta: Indeks
Sjamsuhidajat, R.; De Jong, W. 2017. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-
De Jong. Sistem Organ dan Tindak Bedahnya). 4th ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tanaja J, Meer JM. 2017. Cholelithiasis. In: StatPearls Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing; Agustus 15, 2018.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470440
Hsu, Li-Ling, Hsieh, Shuh-Ing, Chiu, Hsiu-Win, & Chen, Ya-Lin.2014. Journal of
Clinical Teaching
Febyan,Dhilion HRS, Ndraha S, Tendean M.2017. Karakteristik Penderita
Kolelitiasis Berdasarkan Faktor Risiko di Rumah Sakit Umum Daerah Koja.
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida) : 63 (23)
viewed 6 April 2021, from
http://ejournal.ukrida.ac.id/ojs/index.php/Meditek/article/view/1565/1664
Guyton A.C, dan Hall, J.E. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Penterjemah: Ermita I, Ibrahim I. Singapura: Elsevier

Anda mungkin juga menyukai