Oleh:
I Gusti Ayu Gayatri Sidemen (1971121038)
Intan Permata Sari (1971121073)
Dewa Ayu Made Nita Indah Pratiwi (1971121027)
Ni Made Gita Andariska (1971121014)
Angka kejadian pada Negara Amerika Serikat tahun 2017 terdapat kurang
lebih 20 juta orang serta pada setiap tahun 1,3% orang memiliki penyakit
kolelitiasis dan sekitar 1,3% orang akan timbul keluhan penyakit kolelitiasis. Tiap
tahunnya ada sekitar 500.000 pasien yang bisa timbul keluhan bahkan komplikasi
sehingga perlu dilakukan tindakan kolesistektomi. Di Eropa ada 5-15%
berdasarkan pemeriksaan ultrasonografi. Di Asia tahun 2013 yaitu sekitar 3%
sampai 10%. Untuk angka kejadian pada Negara Jepang terdapat 3,2%, untuk
angka kejadian pada Negara China terdapat 10,7%, India Utara 7,1%, serta pada
Negara Taiwan 5,0%. Pada Negara Indonesia sendiri penyakit kolelitiasis kurang
mendapat perhatian karena keadaannya tanpa gejala oleh karena itu sulit di
temukan dan sering terjadi kesalahan diagnosis serta belum ada data resmi
mengenai angka kejadian penyakit kolelitiasis dan baru ini mendapat perhatian
setelah di klinis, untuk saat ini penelitian tentang penyakit kolelitiasis sangat
minim. Pada studi kolesitografi oral terdapat laporan jumlah insidensi kolelitiasis
terhadap wanita sekitar 76% serta pada laki-laki 36% pada umur lebih 40 tahun
dan bisa menimbulkan beberapa dampak.
Dampak dari penyakit kolelitiasis bisa menyebabkan terjadinya kolesistitis,
kolangitis, pankreatitis, jaundice, serta kanker kandung empedu. Meskipun
kolelitiasis bersifat jinak, namun dokter harus memutuskan terapi yang diperlukan
pada pasien dengan membagi pasien menjadi: penderita batu empedu asimtomatik
yang terdeteksi secara tidak sengaja, penyakit batu empedu simtomatik, penderita
batu empedu dengan gejala atipikal dan terdeteksi pada pemeriksaan pencitraan
dan pada gejala yang tipikal namun tidak terdeteksi batu empedu pada pencitraan
serta perlu adanya penanganan.
Penanganan pada penyakit kolelitiasis terdapat 2 macam yaitu bedah serta non
bedah. Terapi non bedah bisa seperti lisis batu yaitu disolusi batu pada sediaan
garam empedu kolelitolitik, ESWL (extracorporeal shock wave lithotripsy) yaitu
suatu tindakan yang berguna untuk memecahkan batu yang ditembakkan melaui
luar tubuh menggunakan gelombang guna membuat batu terpecah menjadi halus,
sehingga pecahan tersebut dapat keluar bersamaan dengan air seni, dan bisa
dengan pengeluaran secara endoskopik. Pada terapi bedah bisa berupa laparaskopi
kolesistektomi, open kolesistektomi, dan eksplorasi saluran koledokus. Pada
kolelitiasis untuk indikasi kolesistektomi batu empedu tanpa komplikasi biasanya
di tangani dengan tindakan laparaskopi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Umur
Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40-50 tahun. Jenis batu
juga akan berubah dengan bertambahnya usia. Pada awalnya terutama jenis batu
kolesterol (sekresi kolesterol meningkat dan saturasi empedu) namun dengan
bertambahnya usia cenderung menjadi batu pigmen. Selanjutnya gejala dan
komplikasi akan meningkat dengan bertambahnya usia hal tersebut sering
dilakukan tindakan kolesistektomi.
Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan
perbandingan 4 : 1. Di USA 10- 20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung
empedu, sementara di Italia 20 % wanita dan 14 % laki-laki. Pada wanita usia
reproduksi, risiko cholelithiasis adalah 2-3 kali lebih tinggi dari pada laki-laki.
Alasan untuk ini belum dijelaskan secara penuh. Kehamilan juga berkontribusi
terhadap pembentukan batu di kandung empedu. Kolelitiasis adalah sangat umum
pada multipara (paritas 4 atau lebih). Studi lain melaporkan bahwa wanita
multipara memiliki prevalensi lebih tinggi dari yang nulipara. Perbedaan gender
dan seringnya batu empedu terdeteksi pada wanita hamil dikaitkan dengan latar
belakang hormonal. Peningkatan kadar estrogen diketahui untuk meningkatkan
ekskresi kolesterol dalam empedu dengan menyebabkan supersaturasi kolesterol.
Selama kehamilan, selain peningkatan kadar estrogen, fungsi pengosongan
kandung empedu menurun, sehingga menimbulkan endapan empedu dan batu
empedu.
3. Obesitas
Pada obesitas terjadi kondisi peradangan kronis dan sangat terkait dengan faktor
pro-inflamasi. Hal ini akan meningkatkan sekresi hati dari kolesterol dan
membuat empedu menjadi jenuh dengan meningkatkan sekresi empedu dari
kolesterol dan menyebabkan pembentukan batu empedu. Berat badan lebih dan
obesitas merupakan faktor risiko penting dari kolelitiasis. Orang dengan obesitas
terjadi peningkatan sintesis dan ekskresi kolesterol dalam empedu. Pada saat yang
sama, jumlah yang dihasilkan kolesterol berbanding lurus dengan kelebihan berat
badan. Siklus berat badan, independen dari BMI, dapat meningkatkan risiko
kolelitiasis pada pria. Fluktuasi berat badan yang lebih besar dan siklus berat
badan lebih terkait dengan risiko yang lebih besar.
4. Dislipidemia
Dislipidemia merupakan salah satu dari sindroma metabolik. Pada studi yang
dilakukan di Taiwan menunjukkan bahwa sindroma metabolik berkaitan dengan
peningkatan risiko terjadinya batu empedu dihubungan dengan usia dan jenis
kelamin. Beberapa penelitian yang dilakukan di negara barat dilaporkan bahwa
usia, jenis kelamin, BMI, hiperlipidemia, penggunaan kontrasepsi oral, konsumsi
alkohol, diabetes mellitus berkaitan erat dengan terjadinya batu empedu.
Penurunan level High density lipoprotein (HDL) merupakan salah satu risiko
terjadinya batu empedu. Kolesterol bilier utamanya berasal dari HDL – C.
Penurunan konsentrasi HDL – C dikaitkan dengan resistensi insulin. Penelitian
lain menyebutkan bahwa peningkatan kadar Trigliserida (TG) menyebabkan
penurunan kontraksi dari kandung empedu yang berakibat pembentukan batu
empedu.
2.3 Patogenesis
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang
pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna,
akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan
metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu
dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan
yang paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan
kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat
meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan
unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian
dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan
pembentukan mucus.
2.5 Penatalaksanaan
Kolelitiasis dapat ditangani dengan tindakan operatif ataupun non –
operatif. Tatalaksana operatif yaitu dengan kolesistektomi, baik yang dilakukan
dengan kolesistektomi terbuka maupun kolesistektomi laparoskopi. Sedangkan
tatalaksana non – operatif terdiri atas disolusi batu dan pengeluaran secara
endoskopi. Selain itu, dapat dilakukan pencegahan kolelitiasis pada seseorang
yang cenderung memiliki empedu litogenik dengan mencegah infeksi dan
menurunkan kadar kolesterol serum dengan cara mengurangi asupan atau
menghambat sintesis kolestrol. Obat golongan statin dikenal dapat menghambat
sintesis kolestrol.
BAB III
LAPORAN KASUS
Hemostasis (17/03/21)
Imunologi (03/04/21)
- Non reaktif SARS COV 2 antigen test
Pemeriksaan Radiologi
Hasil :
Kesan :
• Mengesankan gambaran cholesistitis dengan batu GB multiple
• Hepar, lien, pancreas, ginjal kanan, kiri, buli saat ini tak tampak kelainan
3.5 Assessment
- Kolelitiasis
3.6 Planning
- Jenis anestesi : General Anestesi
- Teknik anestesi : General Anestesi dengan teknik Endotracheal
Tube (ETT)
- Informed Consent : Memberikan penjelasan kepada pasien serta
keluarga pasien mengenai teknik anestesi yang
digunakan dan efek yang ditimbulkan, puasa 8
jam sebelum operasi, berdoa
- Acc operasi : Dengan General Anestesi
- Premedikasi : Dexa 4 mg, Ketorolac 30 mg, Ondancentron 4 mg,
Tramadol 50 mg, induksi dengan fentanyl 150 mcg, Propofol 150 mg,
atrakurium 40mg
3.7 Tatalaksana Anestesi
3.7.1 Pra - Anestesi
• Pasien terletak dalam posisi terlentang
• Memastikan kondisi pasien stabil dengan menilai tanda vital dalam batas
normal
• Premedikasi Dexa 4 mg, Ketorolac 30 mg, Ondancentron 4 mg, Tramadol
50 mg, induksi dengan fentanyl 150 mcg, Propofol 150 mg, atrakurium
40mg
• Berikan inhalasi O2 dengan face mask 2-4 menit sampai pasien tidur
• Melakukan pemasangan ETT
• Pemantauan tanda vital pasien
3.7.2 Durasi Operasi
• Operasi berlangsung mulai pukul 09.00 – 10.00 WITA
• Vital sign dan saturasi O2 dalam batas normal
3.7.3 Pemulihan Anestesi
• Saat operasi selesai menghentikan aliran gas atau obat anestesi inhalasi
dan memberikan O2 100% 5 Lpm sampai pasien bernapas spontan
• Membersihkan jalan napas dengan menggunakan suction dan tetap
membantu pernapasan pasien sampai spontan
• Ekstubasi ETT dan membersihkan jalan dengan suction, tetap membantu
pernapasan pasien dengan facemask sampai pasien bernapas spontan
adekuat dan sadar kembali
3.7.4 Penilaian Ruang Pulih
• Aktivitas :1
• Respirasi :2
• Tekanan darah :2
• Kesadaran :2
• Warna kulit :2
Total skor :9
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Diagnosis
Pasien perempuan berusia 37 tahun datang dengan keluhan nyeri perut
kanan atas. Keluhan tersebut sudah dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Nyeri
dikatakan timbul mendadak, hilang timbul dan semakin memberat. Pasien sudah
pernah di USG di RS Famili, dan dikatakan terdapat batu empedu. Keluhan lain
seperti demam, mual dan muntah disangkal. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
keadaan umum sakit sedang dengan tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 86
kali/menit, laju pernapasan 18 kali/menit, suhu tubuh 36,5°C, dan saturasi oksigen
99% udara ruangan. Riwayat terdahulu, pernah melakukan operasi SC 1 kali.
Disampaikan pasien mempunyai riwayat hipertensi yang terkontrol, riwayat DM
dan penyakit pernapasan disangkal. Riwayat merokok dan minum alkohol
disangkal.
Hasil pemeriksaan status generalis dalam batas normal. Pada pemeriksaan
status lokalis, didapatkan nyeri tekan regio abdomen kuadran kanan atas dengan
Murphy sign (+). Pada pemeriksaan penunjang darah lengkap, didapatkan
leukositosis (WBC 10,72x103 /Ul), sedangkan kadar hemoglobin, platelet dan
hematokrit dalam batas normal. Bleeding time dan clotting time dalam batas
normal. Pemeriksaan gula darah sewaktu dan biomarker fungsi ginjal dalam batas
normal. Pemeriksaan rontgen thoraks didapatkan kesan elongation aorta dengan
cor dan pulmo dalam batas normal. USG abdomen mengesankan gambaran
kolesistitis dengan batu gall bladder multiple.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
pasien didiagnosis dengan Kolelitiasis dengan status fisik ASA II.
4.2 Tatalaksana
Penatalaksanaan Kolelitiasis dapat dilakukan dengan tindakan operatif.
Pada kasus ini dilakukan tindakan operatif yang dilakukan adalah Kolesistektomi.
Sebelum dilakukan tindakan operatif perlu dilakukan tindakan pre operatif yang
mencakup pemberian cairan, pemberian antibiotik, pemberian oksigen dan
monitoring. Pada pasca operatif diperlukan monitor intensif keadaan umum dan
pemberian analgesik untuk meredakan rasa nyeri pasca pembedahan. Tujuan
memonitor pasien adalah untuk memantau keadaan umum dan mencegah
komplikasi yang terjadi pasca pembedahan.
Mangku, Gde; Senapathi, Tjokorda Gde Agung. 2018. Buku Ajar Ilmu
Anestesia Dan Reanimasi. Jakarta: Indeks
Sjamsuhidajat, R.; De Jong, W. 2017. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-
De Jong. Sistem Organ dan Tindak Bedahnya). 4th ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tanaja J, Meer JM. 2017. Cholelithiasis. In: StatPearls Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing; Agustus 15, 2018.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470440
Hsu, Li-Ling, Hsieh, Shuh-Ing, Chiu, Hsiu-Win, & Chen, Ya-Lin.2014. Journal of
Clinical Teaching
Febyan,Dhilion HRS, Ndraha S, Tendean M.2017. Karakteristik Penderita
Kolelitiasis Berdasarkan Faktor Risiko di Rumah Sakit Umum Daerah Koja.
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida) : 63 (23)
viewed 6 April 2021, from
http://ejournal.ukrida.ac.id/ojs/index.php/Meditek/article/view/1565/1664
Guyton A.C, dan Hall, J.E. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Penterjemah: Ermita I, Ibrahim I. Singapura: Elsevier