Anda di halaman 1dari 45

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kolelitiasis adalah pembentukan kalkuli di dalam kandung empedu,
menyebabkan penyakit saluran empedu (Bilotta, 2011: 570). Kolelitiasis sering
kali menimbulkan gejala seperti kolik bilier (nyeri), urin berwarna sangat gelap,
feses tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan biasanya
pekat yang disebut clay-colored, ikterus, defisiensi vitamin K (Smeltzer:
2001:1206). Sesuai fenomena yang ditemukan pada saat praktek, pada pasien
kolelitiasis mengalami masalah nyeri. Jumlah pasien batu empedu di Indonesia
belum diketahui karena belum ada studi mengenai hal tersebut (J.B Suharjo B.
Cahyono, 2009: 11). Berdasarkan data dari Badan Statistik tahun 2012, dari
3.123.914 jiwa penduduk Surabaya 1,7 % terkena batu empedu karena pola
makan dan faktor lainnya.
Penyebab kolelitiasis masih belum diketahui sepenuhnya tetapi ada
beberapa faktor predisposisi terpenting adalah gangguan metabolisme yang
menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, stasis empedu, dan infeksi
kandung empedu. (Price, 2005:502). Batu empedu akan terbentuk bila pigmen
yang terkonjugasi dalam empedu mengadakan presipitasi (pengendapan) sehingga
terjadi batu. Pada klien yang cenderung menderita batu empedu akan terjadi
penurunan sintesis asam empedu akan terjadi peningkatan sintesis kolesterol
dalam hati; keadaan ini mengakibatkan supersaturasi getah empedu oleh

kolesterol yang kemudian keluar dari getah empedu mengendap menjadi batu
empedu. Getah empedu yang jenuh oleh kolesterol merupakan faktor predisposisi
untuk timbulnya batu empedu dan berperan sebagai iritan yang menyebabkan
peradangan dalam kandung empedu (Smeltzer, 2001: 1205-1206). Jika duktus
sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan mengalami distensi
dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin teraba massa
padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat
pada abdomen kuadran kanan atas yang menjalar ke punggung atau bahu kanan.
Hal ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan
empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam keadaan distensi,
bagian fundus kandung empedu akan menyentuh dinding abdomen pada daerah
kartilago kosta sembilan dan sepuluh kanan. Sentuhan ini menimbulkan nyeri
tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika pasien melakukan inspirasi
dalam, dan menghambat pengembangan rongga dada (Smeltzer, 2001: 1206).
Sehingga timbul masalah gangguan rasa nyaman nyeri (Doenges, 2010: 360).
Rasa nyeri ini disertai dengan muntah (Smeltzer, 2001: 1206) dapat memberikan
masalah resiko kekurangan volume cairan (Doenges, 2010: 362). Gangguan
gastrointestinal akan meningkatkan penurunan intake nutrisi, sedangkan anoreksia
memberikan masalah resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (Doenges, 2010:
361). Penderita penyakit batu empedu biasanya juga terjadi obstruksi duktus
koledokus yang mengakibatkan obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam
duodenum yang menimbulkan gejala yaitu getah empedu yang tidak lagi dibawa
ke dalam

duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini

membuat kulit dan membran mukosa menjadi kuning yang disertai gatal-gatal.

Sehingga timbul masalah resiko tinggi kerusakan integritas kulit (Smeltzer: 2001:
1206). Dampak yang timbul pada pasien jika batu empedu terus menyumbat
saluran kandung empedu akan mengakibatkan abses, nekrosis dan perforasi
disertai peritonitis generalisata (Smeltzer, 2001: 1207).
Penatalaksanaan pada pasien kolelitiasis antara lain penatalaksanaaan nonpembedahan diantaranya penatalaksanaan suportif dan diet meliputi: istirahat,
cairan infuse dan diet rendah lemak, penatalaksanaan farmakoterapi dengan
pemberian asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (senofalk),
prosedur non invasive dengan menginfuskan suatu bahan pelarut Monooktanoin
atau Metil Tertier Butyl Eter [MTBE]) ke dalam kandung empedu;
Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL), Litrotipsi Intracorporeal.
Penatalaksanaan dengan pembedahan meliputi kolesistotomi terbuka (operasi ini
merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan batu empedu
simtomatik komplikasi yang paling bermakna pada tindakan ini adalah cidera
duktus bilaris, indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik
bilaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut, teknik anastesi yang di gunakan
adalah general anastesi, penatalaksanaan pasien post kolesistektomi dengan diet
tinggi kalori diantaranya: beras, jagung, ubi singkong, roti, kentang, dan tinggi
protein yaitu: ayam, daging, hati, ikan, susu dan kacang-kacangan), mini
kolesistektomi, kolesistektomi laparoskopi, bedah kolesistotomi, kolesistotomi
perkutan, koledokostomi (Smeltzer, 2001: 1212)

1.2 Pembatasan dan Rumusan Masalah


1.2.1

Pembatasan Masalah

Penulisan asuhan keperawatan ini difokuskan dan dibatasi pada pasien


dewasa dengan Kolelitiasis

yang dirawat di ruang rawat inap Rumah Sakit

Katolik St. Vicentius A Paulo Surabaya.


1.2.2

Rumusan Masalah

1) Data fokus apa saja yang harus dikaji pada pasien dengan diagnosa medis
post open kolesistektomi di Rumah Sakit Katolik St. Vicentius A Paulo
Surabaya?
2) Diagnosa keperawatan apa saja yang didapatkan pada pasien dengan diagnosa
medis post open kolesistektomi di Rumah Sakit Katolik St. Vicentius A Paulo
Surabaya?
3) Rencana keperawatan apa saja yang disusun pada diagnosa keperawatan yang
ditemukan pada pasien dengan diagnosa medis post open kolesistektomi di
Rumah Sakit Katolik St. Vicentius A Paulo Surabaya?
4) Bagaimanakah evaluasi keperawatan yang dilakukan pada pasien dengan
diagnosa medis post open kolesistektomi di Rumah Sakit Katolik St.
Vicentius A Paulo Surabaya?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Memperoleh gambaran nyata mengenai asuhan keperawatan pada pasien
dengan Kolelitiasis di Rumah Sakit Katolik St. Vincentius A Paulo Surabaya.

1.3.2 Tujuan Khusus


1) Mengidentifikasi data fokus yang harus dikaji pada pasien dengan diagnosa
medis post open kolesistektomi di Rumah Sakit Katolik St. Vicentius A Paulo
Surabaya.
2) Mengidentifikasi diagnosa keperawatan yang didapatkan pada pasien dengan
diagnosa medis post open kolesistektomi di Rumah Sakit Katolik St.
Vicentius A Paulo Surabaya.
3) Mengidentifikasi rencana keperawatan yang disusun pada diagnosa
keperawatan yang ditemukan pada pasien dengan diagnosa medis post open
kolesistektomi di Rumah Sakit Katolik St. Vicentius A Paulo Surabaya.
4) Mengidentifikasi evaluasi keperawatan yang dilakukan pada pasien dengan
diagnosa medis post open kolesistektomi di Rumah Sakit Katolik St.
Vicentius A Paulo Surabaya.
1.4 Manfaat
1) Bagi Pasien dan Keluarga
Pasien dan keluarga mendapatkan asuhan keperawatan yang komprehensif
dan menyeluruh sehingga dapat membantu pemenuhan kebutuhan pada pasien
dengan Kolelitiasis.
2) Bagi Penulis
Menambah

pengetahuan

dan

keterampilan

dan

pengalaman

serta

mengaplikasikan ilmu yang di dapat dengan memberikan asuhan keperawatan


pada pasien dengan kolelitiasis.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Medis Kolelitiasis
2.1.1 Pengertian
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan dalam
kandung empedu atau di dalam duktus koledokus, atau pada kedua-duanya
(Sjamsuhidajat. 2010: 674).
Kolelitiasis adalah batu yang terbentuk dalam kandung empedu dari unsurunsur padat yang membentuk cairan empedu (Chandrasoma, 2005: 606).
Kolesistektomi adalah tindakan pilihan pembedahan untuk pasien dengan
batu empedu besar karena berulangnya pembentukan batu secara simtomatologi
akut atau mencegah berulangnya pembentukan batu. Kolesistektomi kini dapat
dilakukan dengan laser melalui insisi laparoskopi (Doenges, Marilynn E.,
2010:364).
2.1.2

Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui sepenuhnya; akan tetapi,

tampaknya faktor predisposisi terpenting adalah gangguan metabolisme yang


menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, statisis empedu, dan
infeksi kandung empedu (Price 2005: 502).
Gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu,
perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam
pembentukan batu empedu karena hati penderita batu empedu kolesterol
mengekskresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang

berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu untuk membentuk batu


empedu (Price 2005: 502).
Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi
progresif, perubahan komposisi kimia dan pengendapan unsur-unsur tersebut.
Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasm sphincter oddi atau keduanya
dapat menyebabkan statis. Faktor hormonal (terutama selama kehamilan) dapat
dikaitkan dengan perlambatan pengosongan kandung empedu dan menyebabkan
tingginya insiden dalam kelompok ini (Price 2005: 502).
Infeksi kandung empedu, infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat
berperan dalam pembentukan batu. Mukus meningkatkan viskositas empedu dan
unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat presipitasi/pengendapan.
Infeksi lebih timbul akibat dari terbentuknya batu dibandingkan sebagai penyebab
terbentuknya batu empedu (Price 2005: 502).
2.1.3 Klasifikasi
1) Batu Kolesterol
Batu kolesterol mengandung paling sedikit 70% kristal kolesterol, dan
sisanya adalah kalsium karbonat, kalsium parmitat, dan kalsium bilirubinar.
Bentuknya lebih bervariasi dibandingkan bentuk batu pigmen. Terbentuknya
hampir selalu di dalam kandung empedu, dapat berupa batu soliter atau multiple.
Permukaannya mungkin licin atau multifaset, bulat berduri dan ada yang seperti
buah murbei (Sjamsuhidajat, 2010: 676).

Proses pembentukan batu kolesterol melalui empat tahap, yaitu penjenuhan


empedu oleh kolesterol, pembentukan nidus, kristalisasi, dan pertumbuhan batu.
Derajat penjenuhan empedu oleh kolesterol dapat dihitung melalui kapasitas daya
larut. Penjenuhan ini dapat disebabkan oleh bertambahnya sekresi kolesterol atau
penurunan relatif asam empedu atau fosfolipid. Peningkatan ekskresi kolesterol
empedu antara lain terjadi misalnya pada keadaan obesitas, diet tinggi kalori dan
kolesterol, dan pemakaian obat yang mengandung estrogen atau klofibrat. Sekresi
asam empedu akan menurun pada penderita dengan gangguan absorbs di ileum
atau gangguan daya pengosongan primer kandung empedu (Sjamsuhidajat, 2010:
676).
Penjenuhan kolesterol yang berlebihan tidak dapat membentuk batu, kecuali
bila ada nidus dan ada proses lain yang menimbulkan Kristalisasi. Nidus dapat
berasal dari pigmen empedu, mukoprotein, lendir, protein lain, bacteria, atau
benda asing lain. Setelah kristalisasi meliputi suatu nidus, akan terjadi
pembentukan batu. Pertumbuhan batu terjadi karena pengendapan Kristal
kolesterol di atas matriks inorganik dan kecepatannya ditentukan oleh kecepatan
relatif pelarutan dan pengendapan. Struktur matriks agaknya berupa endapan
mineral yang mengandung garam kalsium (Sjamsuhidajat, 2010: 676).
Stasis kandung empedu juga berperan dalam pembentukan batu, selain
faktor yang telah disebut di atas. Puasa yang lama akan menimbulkan empedu
yang litogenik akibat stasis tadi (Sjamsuhidajat, 2010: 676).
2) Batu Bilirubin
Penampilan batu bilirubin yang sebenarnya berisi kalsium bilirubinat dan
disebut juga batu lumpur atau batu pigmen, tidak banyak bervariasi. Batu ini
sering di temukan berbentuk tidak teratur, kecil-kecil, dapat berjumlah banyak
warnanya berwarna cokelat, kemerahan, samapai hitam, dan berbentuk seperti

lumpur atau tanah rapuh. Batu ini sering bersatu membentuk batu yang lebih
besar. Batu pigmen yang sangat besar dan di temukan di dalam saluran empedu.
Batu pigmen adalah batu empedu yang kadar kolesterolnya kurang dari 25%.
Batu pigmen hitam terbentuk di dalam kandung empedu terutama terbentuk pada
gangguan keseimbangan metabolik seperti anemia hemolitik dan sirosis hati tanpa
didahului infeksi (Sjamsuhidajat, 2010: 676).
Seperti pembentukan batu kolesterol, terjadinya batu bilirubin berhubungan
dengan bertambahnya usia. Infeksi, stasis, dekonyugasi bilirubin dan ekskresi
kalsium merupakan faktor kausal. Pada bakteribilia terdapat bakteria gram negatif,
terutama E-coli. Pada kolesterol pun, E-coli yang tersering ditemukan dalam
biakan empedunya (Sjamsuhidajat, 2010: 676).
Beberapa faktor yang juga disangka berperanan adalah faktor geografi,
hemolisis, dan sirosis hepatic. Sebaliknya jenis kelamin, obesitas dan gangguan
penyerapan di ileum tidak mempertinggi risiko bilirubin. Pada kolangitis oriental
atau kolangitis piogenik rekurens ditemukan pada pigmen intrahepatik primer
yang menimbulkan kolangitis rekurens. Keadaan lain yang berhubungan dengan
batu pigmen dan kolangitis bakteria gram negatif di Asia Timur ialah infestasi
parasit Clonorchis sinensis, Fasciola hepatic dan Ascaris lumbricoides
(Sjamsuhidajat, 2010: 676).

2.1.4

Pathofisiologi

1) Batu Pigmen
Pigmen (bilirubin) pada kondisi normal akan terkonjugasi dalam empedu.
Bilirubin terkonjugasi karena adanya enzim glokuronil terkonjugasi diakibatkan
karena kurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase tersebut yang akan

10

mengakibatkan presipitasi (pengendapan) dari bilirubin tersebut. Ini disebabkan


karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air tapi larut dalam lemak,
sehingga lama kelamaan terjadi pengendapan bilirubin tak terkonjugasi yang bisa
menyebabkan batu empedu tapi ini jarang terjadi (Smeltzer 2001: 1205-1206).
2) Batu kolesterol
Batu ini berbentuk multifocal, oval atau mulberry dan mengandung lebih
dari 70% kolesterol. Batu ini terjadi karena kenaikan sekresi kolesterol dan
penurunan produksi empedu. Kolesterol merupakan unsur normal pembentukan
empedu dan berpengaruh dalam pembentukan empedu. Kolesterol bersifat tidak
larut dalam air, kelarutan kolesterol sangat tergantung dari asam empedu dan
lesitin (fosfolipid) dalam empedu. Pada klien yang cenderung menderita batu
empedu akan terjadi penurunan sintesis asam empedu dan peningkatan sinteis
kolesterol di dalam hati, keadaan ini mengakibatkan supersaturasi getah empedu
oleh kolesterol yang kemudian keluar dari getah empedu, mengendap dan
membentuk batu. Getah empedu yang jenuh oleh kolesterol merupakan
predisposisi untuk timbulnya batu empedu dan berperan sebagai iritan yang
menyebabkan peradangan dalam kandung empedu yang akan memberikan
manifestasi peningkatan suhu tubuh, sehingga akan menimbulkan masalah
hipertermia (Smeltzer 2001: 1206).
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan
mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan
mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier
disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas yang menjalar ke punggung
atau bahu kanan. Hal ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu yang tidak

11

dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam
keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh dinding
abdomen pada daerah kartilago kosta sembilan dan sepuluh kanan. Sentuhan ini
menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika pasien
melakukan inspirasi dalam, dan menghambat pengembangan rongga dada
(Smeltzer, 2001: 1206). Sehingga timbul masalah gangguan rasa nyaman nyeri
(Doenges, 2010: 360). Rasa nyeri ini disertai dengan muntah (Smeltzer, 2001:
1206) dapat memberikan masalah resiko kekurangan volume cairan (Doenges,
2010: 362). Gangguan gastrointestinal akan meningkatkan penurunan intake
nutrisi, sedangkan anoreksia memberikan masalah resiko nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh (Doenges, 2010: 361). Penderita penyakit batu empedu biasanya
juga terjadi obstruksi duktus koledokus yang mengakibatkan obstruksi pengaliran
getah empedu ke dalam duodenum yang menimbulkan gejala yaitu getah empedu
yang tidak lagi dibawa ke dalam

duodenum akan diserap oleh darah dan

penyerapan empedu ini membuat kulit dan membrane mukosa menjadi kuning
yang disertai gatal-gatal. Sehingga timbul masalah resiko tinggi kerusakan
integritas kulit (Smeltzer: 2001: 1206).

2.1.5

Manifestasi klinik
Menurut Smeltzer (2001: 1206) manifestasi klinik kolelitiasis antara lain:
1) Kolik Bilier
Kolik bilier terjadi karena batu yang berada dalam kandung empedu
bermigrasi atau pindah tempat,yang mengakibatkan penyumbatan sesaat
(sumbatan yang lama mengakibatkan kolesistitis akut) di leher kandung empedu
(Hartmanns Pouch), duktus sistikus, atau duktus koledokus. Sumbatan batu

12

tersebut menyebabkan meningkatnya tekanan dalam rongga kandung empedu,


sehingga merangsang saraf splanknik. Regangan dinding kandung empedu dan
terangsangnya saraf splanknik inilah yang memicu munculnya nyeri yang hebat,
disebut kolik bilier. Rasa nyeri terasa di perut kanan atas atau didaerah ulu hati.
Rasa sakit ini akan menjalar ke punggung kanan atau bahu kanan. Nyeri bersifat
intermiten/hilang timbul. Selain nyeri yang hebat, umumnya pasien juga
mengalami keluhan mual, muntah, dan berkerigat dingin karena menahan rasa
sakit.
2) Ikterus
Obstruksi

pengaliran

getah

empedu

ke

dalam

dudodenum

akan

menimbulkan gejala yang khas, yaitu: gatah empedu yang tidak lagi dibawa
kedalam duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat
kulit dan menbran mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan
gejal gatal-gatal pada kulit.

13

3)

Perubahan Warna Urine dan Feses.


Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urine berwarna sangat

gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu,
dan biasanya pekat yang disebut Clay-colored
4) Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga akan mengganggu absorbsi vitamin A,D,E,K
yang larut lemak. Karena itu pasien dapat memperlihatkan gejala defisiensi
vitamin-vitamin ini jika obstruksi bilier berlangsung lama. Defisiensi vitamin K
dapat mengganggu pembekuan darah yang normal.
2.1.6

Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan yang dilakukan antara lain (Smeltzer, 2001: 1207):
1) Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi
leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan
bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin
serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus koledukus.
Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya
meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut. Enzim hati AST (SGOT), ALT
(SGPT), LDH agak meningkat. Kadar protrombin menurun bila terjadi obstruksi
aliran empedu dalam usus menurunkan absorbs vitamin K.

14

2) Pemeriksaan Sinar-X Abdomen


Pemeriksaan ini dilakukan jika terdapat kecurigaan akan penyakit empedu
dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Namun demikian, hanya
15% hingga 20% batu empedu yang mengalami kalsifikasi untuk dapat tampak
melakui pemeriksaan sinar-x.
3) Ultrasonografi
Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat serta akurat, dan dapat
digunakan pada penderita disfungsi hati dan ikterus. Prosedur ini akan
memberikan hasil yang paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam
harinya sehingga kandung empedunya berada dalam keadaan distensi.
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus
koledokus yang mengalami dilatasi. USG mendeteksi batu empedu dengan
akurasi 95%.
4) Kolesistografi
Kolesistografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu dan
mengkaji kemampuan kandung empedu untuk melakukan pengisian, memekatkan
isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya.
5) Pemeriksaan retrograde endoskopik (ERCP;

Endoscopic

Retrograde

Cholangiopancreatography)
Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang
hanya dapat dilihat pada saat dilakukan laparatomi. Pemeriksaan ini meliputi
insersi endoskop serat optik. Yang fleksibel kedalam esophagus hingga mencapai
duodenum pars desendens. Sebuah kanula dimasukkan ke dalam duktus tersebut
untuk memungkinkan visualisasi serta evaluasi percabangan bilier. ERCP juga
memungkinkan visualisasi langsung struktur ini dan memudahkan akses ke dalam
duktus koledokus bagian distal untuk mengambil batu empedu.
2.1.7 Komplikasi

15

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis (Schwartz, 2000:


461-462)
1) Hidrops
Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops kandung
empedu. Hidrops biasanya disebabkan oleh stenosis atau obstruksi duktus sistikus
sehingga tidak dapat diisi lagi oleh empedu. Dalam keadaan ini tidak terdapat
peradangan akut dan sindrom yang berkaitan dengannya, tetapi ada bukti
peradangan kronis dengan adanya mukosa gundul. Kandung empedu berdinding
tebal dan terdistensi oleh materi steril mukoid. Sebagian besar pasien mengeluh
efek massa dalam kuadran kanan atas. Hidrops kandung empedu dapat
menyebabkan kolelitiasis akut (Schwartz, 2000: 461).
2) Empiema
Empiema kandung empedu merujuk pada abses intraluminal dari kandung
empedu. Komplikasi yang tidak lazim dari kolelitiasis akut ini dapat
membahayakan jiwa dan membutuhkan kolesistektomi darurat segera (Schwartz,
2000: 461).
3) Kolesistitis Emfisematosa
Ditandai oleh adanya gas di dalam dinding atau lumen kandung empedu,
dipercaya disebabkan oleh proliferasi bakteri pembentuk gas (Schwartz, 2000:
462)
4) Kolesistitis Akalkulosa
Peradangan akut dari kandung empedu tanpa adanya batu empedu, telah
diamati pada pasien yang sakit kritis setelah mengalami trauma operasi yang tidak

16

berkaitan, luka bakar, sepsis, dan gagal organ multisystem. Direkomendasikan


kolesistektomi segera (Schwartz, 2000: 462).
5) Koleskistosis Hiperplastik
Lesi yang ditandai oleh proliferasi unsure jaringan normal. Lesi yang paling
umum adalah kolesterolosis dan adenomiomatosis (Schwartz, 2000: 462).
6) Perforasi dan Ileus Batu Empedu (gallstone ileus)
Perforasi subakut dengan pembentukan abses, dan proses yang lebih indolen
dengan pembentukan fistula. Perforasi kandung empedu dengan pembentukan
fistula biasanya terjadi dalam keadaan peradangan kronis dan kolelitiasis, dengan
timbulnya hubungan abnormal antara fundus kandung empedu dan duodenum.
Pembentukan fistula kolesistoenterik dapat secara asimtomatik, kecuali jika ada
batu dengan ukuran yang cukup besar, berjalan ke dalam usus kecil dan
menyebabkan obstruksi mekanis. Jika ini terjadi. Tempat obstruksi yang khas
adalah ileum terminalis. Terapinya adalah enterotomi proksimal terhadap
obstruksi dan pengangkatan batu yang berimpaksi (Schwartz, 2000: 462)
7) Pankreatitis
Radang pankreas akibat autodigesti oleh enzim yang keluar dari saluran
pankreas. Ini disebebkan karena batu yang berada di dalam duktus koledokus
bergerak menutupi ampula vetri.
2.1.8

Penatalaksanaan
Menurut Smeltzer (2001: 1209) penatalaksanaan kolelitiasis meliputi:
2.1.8.1 Penatalaksanaan Non-Pembedahan
Sasaran utama terapi medikal adalah untuk mengurangi insiden serangan
akut nyeri kandung empedu dan kolesistitis dengan penatalaksanaan suportif dan
diet, dan jika memungkinkan, untuk menyingkirkan penyebab dengan

17

farmakoterapi, prosedur-prosedur endoskopi, atau intervensi pembedahan


(Smeltzer, 2001: 1209).
1) Penatalaksanaan Suportif dan Diet
Sekitar 80% pasien dengan inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan
istirahat, cairan

infus, pengisapan nasogastrik, analgesik, antibiotik dan diet

rendah lemak (Smeltzer, 2001: 1209)


2) Farmakoterapi
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodio, chenofalk)
digunakan untuk melarutkan batu empedu radiolusen yang berukuran kecil 16 dan
terutama tersusun dari kolesterol. Mekanisme kerja untuk menghambat sintesis
kolesterol dalam hati dan sekresinya sehingga terjadi desaturasi getah empedu.
Batu yang sudah ada dapat dikurangi besarnya, batu yang kecil dilarutkan dan
batu yang baru dicegah pembentukannya. Tetapi ini umumnya dilakukan pada
pasien yang menolak pembedahan yang dianggap terlalu beresiko untuk menjalani
pembedahan (Smeltzer, 2001: 1209).
3) Prosedur non invasif
Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu dengan
menginfuskan suatu bahan pelarut (monooktanoin atau metil tertier butyl eter
[MTBE]) ke dalam kandung empedu. Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui
selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke dalam kandung empedu,
atau melalui selang atau drain yang dimasukkan melaui T-tube untuk melarutkan
batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan, atau bisa juga melalui
endoskop ERCP, atau kateter bilier transnasal (Smeltzer, 2001: 1209).
4) Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL)
Prosedur noninvasif ini menggunakan gelombang kejut berulang (repeated
shock waves) yang diarahkan pada batu empedu di dalam kandung empedu atau
duktus koledokus dengan maksud untuk memecah batu tersebut menjadi sejumlah
fragmen. Gelombang kejut dihasilkan dalam media cairan oleh percikan listrik,

18

yaitu piezoelektrik, atau muatan elektromagnetik. Energi ini disalurkan ke dalam


tubuh lewat rendaman air atau kantong yang berisi cairan. Gelombang kejut yang
dkonvergensikan tersebut dialirkan kepada batu empedu yang akan dipecah.
Setelah batu dipecah secara bertahap, pecahannya akan bergerak spontan dari
kandung empedu atau duktus koledokus dan dikeluatkan melalui endoscop atau
dilarutkan dengan pelarut asam empedu yang diberikan per oral (Smeltzer, 2001:
1210).
5) Litotripsi Intracorporeal.
Batu yang ada dalam kandung empedu atau duktus koledokus dapat dipecah
dengan menggunakan gelombang ultrasound, laser berpulsa atau litotripsi hidrolik
yang dipasang pada endoscop, dan diarahkan langsung pada batu. Kemudian
fragmen batu atau debris dikeluarkan dengan cara irigasi dan aspirasi (Smeltzer,
2001: 1211).

19

2.1.8.2 Penatalaksanaan Pembedahan


1) Koleksistektomi Terbuka
(1) Pengertian Kolesistektomi Terbuka
Kolesistektomi terbuka adalah suatu tindakan dengan cara mengangkat
kandung empedu dan salurannya dengan cara membuka dinding perut. Operasi ini
merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan batu empedu
simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna pada tindakan ini adalah cidera
duktus koledokus, cidera duodenum atau colon transversum . Indikasi yang paling
umum untuk kolesistektomi adalah kolik bilaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis
akut, penderita kolesterolosis simtomatik yang telah dibuktikan melalui USG
abdomen. Prosedur ini tidak hanya menghilangkan kantong empedu melalui
sayatan subcostal hak tetapi juga sering mengeksplorasi saluran bilier untuk
kehadiran batu, sehingga ahli bedah memasang drainage yang diposisikan dalam
kantung empedu untuk mencegah akumulasi cairan, drainase adalah biasanya
serosa cairan bercampur darah dan luka empedu dalam 24jam pertama post
operasi.
(2) Prosedur Anastesi
Teknik anastesi yang di gunakan adalah general anastesi yang artinya
meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang beersifat
reversible, dengan anastesi ini pasien akan diperoleh keadaan yang: hipnosis
(tidur), analgesia (bebas dari nyeri), relaksasi otot. Obat bius biasanya disuntikkan
ke tubuh pasien atau dalam bentuk gas yang dilewatkan melalui alat pernafasan.
Dampak yang bisa terjadi pada general anastesi diantaranya: merasa sakit dan
muntah setelah operasi, menggigil 20-30menit setelah operasi, infeksi dan
menyebabkan kesulitan bernafas, pusing, kerusakan saraf ringan sementara,

20

kelelahan, batuk, cekukan, umumnya tekanan darah meningkat pada saat


pemulihan anastesi.
(3) Penatalaksanaan post Kolesistektomi terbuka
Penatalaksanaan pasien post kolesistektomi dengan hindari makanan yang
berlemak (mengandung kolesterol tinggi) 4-6 bulan, diet tinggi kalori diantaranya:
beras, jagung, ubi singkong, roti, kentang, dan tinggi protein yaitu: ayam, daging,
hati, ikan, susu dan kacang-kacangan perbanyak makan buah-buahan, hindari
makanan yang digoreng dengan minyak, hindari makanan yang pedas, lakukan
terapi minum air putih yang banyak setiap hari, rawat luka untuk menjaga agar
luka tetap kering, Informasi kepada pasien bahwa feses encer dapat terjadi selama
beberapa bulan (Smeltzer, 2001: 1212).
2) Mini Kolesistektomi
Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat
luka insisi selebar 4cm. Jika diperlukan, luka insisi dapat diperlebar untuk
mengeluarkan batu kandung empedu yang berukuran lebih besar (Smeltzer, 2001:
1212).
3) Kolesistektomi Laparoskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan batu empedu simtomatik tanpa adanya
kolesistisis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah
mulai untuk melakukan prosedur ini dalam pasien dengan kolesistisis akut dan
dalam pasien dengan batu duktus koledokus (Smeltzer, 2001: 1212).

21

4) Bedah Kolesistotomi
Dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan
operasi yang lebih luas, atau bila reaksi inflamasi yang akut membuat system
bilier tidak jelas. Kndung empedu dibuka melalui pembedahan, batu serta getah
empedu atau cairan drainase yang purulen dikeluarkan, dan kateter untuk drainase
diikat

dengan

jahitan

kantung

tembakau (purse-string-suture). Kateter

itu

dihubungkan dengan sistem drainase untuk mencegah kebocoran getah empedu


disekitar kateter atau perembesan getah empedu ke dalam rongga peritoneal
(Smeltzer, 2001: 1212).
5) Kolesistotomi Perkutan
Kolesistotomi perkutan telah dilakukan dalam penanganan dan penegakan
diagnosis kolesistisis akut pada pasien-pasien yang beresiko jika harus menjalani
tindakan pembedahan atau anastesi umum. Pasien-pasien ini mencakup para
penderita sepsis atau gagal jantung yang berat dan pasien-pasien gagal ginjal, paru
atau hati. Dibawah pengaruh anastesi local sebilah jarum yang halus ditusukkan
lewat dinding abdomen dan tepi hati ke dalam kandung empedu dengan dipandu
oleh USG atau pemindai CT. (Smeltzer, 2001: 1213).
6) Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk
mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah kateter ke
dalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema mereda.
Kateter ini dihubungkan dengan selang drainase gravitas. Kandung empedu
biasanya juga mngandung batu, dan umumnya koledokostomi dilakukan bersamasama kolesistektomi (Smeltzer, 2001: 1212).

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan


2.2.1 WOC (Web Of Caution)

Kalsium bilirubinat

Sekresi kolesterol
Garam empedu

Batu
bilirubin/pigmen

Batu kolesterol

Bakteri (kolangitis)
Kalsium palmitat
dan stearat

BATU EMPEDU
(KOLELITIASIS)
Obstruksi duktus sistikus/bilaris
Tekanan di duktus bilaris kontraksi peristaltik

Stimulasi sel host

Aliran empedu tersumbat

Produksi endogen dan pyrogen


Menstimulasi endotel hipotalamus

Gangguan Gastrointestinal

Bagian fundus (atas) kandung


empedu menyentuh bagian
abdomen pada kartilago costa
IX dan X bag. Kanan
Pelepasan mediator
kimiawi bradikinin,
prostaglandin dan
histamin

Berikatan dengan neuron


preoptik di hipotalamus
anterior

Berikatan dengan reseptor


Suhu
tubuh

Hipertermia

Obstruksi duktus
koledokus

Psikologi
Respon kognitif
Terbatasnya informasi
Kurang Pengetahuan

Mual, muntah,
Intake cairan

Produksi prostaglandin
dan neurotransmiter

Obstruksi pengaliran
getah empedu

Sistem Pencernaan

Sistem Neurologi

Sistem Kardiovaskuler

Peningkatan
thermostat set point di
pusat termoregulator

Sistem integumen

Resiko Tinggi Kekurangan


Volume Cairan

Anoreksia
Intake nutrisi
Resiko Tinggi
Nutrisi Kurang Dari
Kebutuhan Tubuh

Ikterus
Gatal-gatal

Resiko tinggi
kerusakan
Integritas Kulit

Nyeri

2.1 Gambar W.O.C Kolelitiasis menurut Brunner dan Sudarth (2001: 1206)

22

24

2.2.2 Pengkajian
Pengkajian kolelitiasis meliputi:
2.2.2.1 Biodata
1) Usia
Usia: Kolelitiasis tidak lazim dijumpai pada anak-anak dan dewasa muda
tetapi insidensnya semakin sering pada individu berusia di atas 40 tahun. Sesudah
itu, insidens kolelitiasis semakin meningkat hingga suatu tingkat yang
diperkirakan bahwa pada usia 75 tahun satu dari tiga orang akan mengalami batu
empedu (Smeltzer, 2001:1205).
Jenis kelamin: jumlah wanita yang menderita kolelitiasis adalah empat kali
lebih banyak dari pada laki-laki. Insidens ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh

terhadap

peningkatan

eskresi

kolesterol

oleh

kandung

empedu.kehamilan yang meningkatkan kadar estrogen juga meningkatkan resiko


terkena koleilitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormone estrogen
dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas
pengosongan kandung empedu (Smeltzer, 2001: 1206).
2) Keluhan utama
Pre operasi: pasien mengeluh nyeri pada daerah abdomen kuadran kanan atas
yang menjalar ke punggung atau bahu kanan, mual dan muntah (Smeltzer,
2001: 1206).
Post operasi: Klien mengalami nyeri abdomen di area luka insisi (Suratun:
2010)

25

3) Riwayat penyakit dahulu


Disesuaikan dengan predisposisi penyebab kolelitiasis. Perawat mengkaji
adanya kondisi obesitas, penyakit diabetes melitus, hipertensi dan hiperlipidemia
berhubungan dengan peningkatan sekresi kolesterol. Pada perempuan kondisi
kehamilan multipara, pasca bedah reseksi usus, penyakit crohn, reseksi lambung
dan penggunaan obat-obatan hormonal (Mutaqin, 2011: 839).
4) Riwayat psikososial
Didapatkan peningkatan kecemasan, serta perlunya pemenuhan informasi
intervensi keperawatan dan pengobatan atau intervensi bedah (Mutaqin, 2011:
839).
2.2.2.2 Pola Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia
1) Kebutuhan Nutrisi
Pre operasi: Pasien kolelitiasis mengeluh anoreksia, mual, dan muntah, nyeri
ulu hati, dispepsia, bersendawa.
Post operasi: pasien masih dalam status puasa selama pasien belum flatus
(Suratun, 2010).
2) Kebutuhan Eliminasi
Pre operasi: Urine gelap, pekat, feses warna tanah liat (Doenges, 2010: 358).
Post operasi: klien mengalami kesulitan berkemih dan membuang gas
(flatus), sebagai dampak dari agens anastetik yang akan menekan sementara
tonus kandung kemih dan menurunkan peristaltik usus, biasanya kembali
normal dalam 6-8 jam setelah pembedahan (Kozier, 2010: 392).

26

3) Kebutuhan Aktivitas, Istirahat dan Tidur


Pre operasi: Pasien mengalami gangguan tidur (kegelisahan) karena nyeri
(Doenges, 2010: 358).
Post operasi: pasien mengalami gangguan aktivitas dan istirahat, hal ini
kemungkinan karena adanya nyeri pada luka bekas insisi. Pasien juga
mengalami kelelahan (Suratun, 2010: 385).
2.2.2.3 Pemeriksaan Fisik
1) Sistem Pernapasan
Pre operasi: Pada pasien kolelitiasis ditemukan pasien dengan frekuensi
pernapasan meningkat, napas pendek, dangkal (Doenges, 2010: 359).
Post operasi: respirasi dangkal, batuk presisten atau tidak efektif dan adanya
suara nafas tambahan (Smeltzer, 2001: 1213).
2) Sistem Kardiovaskuler
Pre operasi: Pada pasien kolelitiasis bahwa ditemukan takikardia,
Diaphoresis, Hipotensi jika sepsis, peningkatan suhu tubuh (Doenges, 2010:
358).
Post operasi: tanda-tanda vital biasanya normal atau mungkin didapatkan
perubahan, seperti hipertensi, takikardia, berhubungan dengan nyeri
(Mutaqin, 2011: 839).
3) Sistem Neurologi
Pre operasi: Nyeri hebat pada abdomen bagian atas, dapat menyebar ke
punggung atau bahu kanan. Kolik epigastrium tengah sehubungan dengan
makan. Nyeri mulai tiba-tiba dan biasanya memuncak dalam 30 menit. Otot
tegang atau kaku bila kuadran kanan atas ditekan, nyeri menjalar ke
punggung dan bahu kanan (Murphy positif) (Doenges, 2010: 358).
Post operasi: penurunan kesadaran dampak dari general anastesi, ekspresi
wajah kesakitan, skala nyeri >2 (Suratun, 2010: 385).
4) Sistem Pencernaan
Pre operasi: Nyeri epigastrium, flatus, bising usus menurun, perut kembung
(Doenges, 2010: 358).
Post operasi: distensi pasca operasi abdomen diakibatkan oleh akumulasi gas
dalam saluran intestinal. Manipulasi organ abdomen selama prosedur bedah

27

dapat menyebabkan kehilangan peristaltic normal selama 24-48 jam,


tergantung pada jenis dan lamanya pembedahan (Smeltzer, 2001: 473).
5) Sistem Muskuloskeletal
Pre operasi: Pada pasien kolelitiasis didapatkan kekakuan perut ketika
kuadran kanan atas diraba (Doenges, 2010: 358).
Post operasi: penurunan skala kekuatan otot akibat anastesi regional (Mary,
2006: 67).
6) Sistem Integumen
Pre operasi: Ikterus, kulit gatal-gatal (pruritus) (Doenges, 2010: 359).
Post operasi: terdapat luka bekas operasi di abdomen kanan atas (Smeltzer,
2001: 1214).
1.2.2.4 Masalah keperawatan yang muncul meliputi:
1.2.2.4.1 Masalah pre operasi meliputi:
1) Nyeri akut (Doenges, 2010: 360).
2) Resiko kekurangan volume cairan (Doenges, 2010: 361).
3) Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (Doenges, 2010: 362).
4) Hipertermi (Doenges, 2010:691).
5) Kerusakan integritas kulit (Doenges, 2010: 557).
6) Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis, pengobatan, perawatan
diri, dan debit kebutuhan (Doenges, 2010: 363).
1.2.2.4.2 Masalah post operasi meliputi:
1) Nyeri akut
2) Pola pernapasan tidak efektif (Doenges, 2010: 365).
3) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas (Wilkinson, 2011: 37)
4) Resiko tinggi kekurangan volume cairan (Doenges, 2010: 365-366).
5) Resiko infeksi (Doengoes, 2000: 908).
6) Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis, pengobatan, perawatan
diri, dan debit kebutuhan (Doenges, 2010: 368).
2.2.3 Intervensi
Intervensi keperawatan terdiri atas intervensi keperawatan yang independen
dan intervensi keperawatan kolaboratif. Intervensi keperawatan independen
adalah intervensi keperawatan yang dilakukan perawat terhadap klien secara
mandiri tanpa peran aktif dari tenaga kesehatan lain. Intervensi keperawatan

28

kolaboratif adalah intervensi keperawatan yang dilakukan oleh perawat terhadap


klien dalam bentuk kerja sama dengan tenaga kesehatan lain (Asmadi, 2008: 177).
Intervensi masalah pre operasi meliputi:
2.2.3.1 Nyeri akut
1) Dapat dihubungkan dengan: agen cedera biologis obstruksi/spasme duktus,
proses inflamasi, iskemia jaringan/nekrosis.
2) Kemungkinan dibuktikan oleh laporan nyeri, kolik bilier (gelombang nyeri),
wajah menahan nyeri, perilaku berhati-hati. Respon otonomik (perubahan
TD, nadi).
3) Hasil yang diharapkan/ kriteria evaluasi: pasien akan melaporkan nyeri hilang
atau terkontrol. Menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan
aktivitas hiburan sesuai indikasi untuk situasi individual.
4) Intervensi keperawatan:
(1) Kaji nyeri, mencatat lokasi, karakteristik, dan intensitas (skala 0-10).
R/ Membantu mengevaluasi derajat ketidaknyamanan dan efektivitas
analgesia, atau dapat mengungkapkan mengembangkan komplikasi
(2) Catat respon terhadap obat-obatan, dan melaporkan kepada dokter jika nyeri
hilang.
R/ Nyeri berat tidak berkurang dengan tindakan rutin dapat menunjukkan
mengembangkan komplikasi dan kebutuhan untuk intervensi lebih lanjut.
(3) Anjurkan bedrest, berikan klien posisi yang nyaman.
R/ Bedrest dalam posisi Fowler mengurangi tekanan intra-abdominal.
(4) Dorong penggunaan teknik relaksasi contoh bimbingan imajinasi, visualisasi,
latihan nafas dalam dan anjurkan pasien istirahat.
R/ Membantu klien istirahat lebih efektif dan refocuses perhatian, sehingga
mengurangi rasa sakit dan ketidaknyamanan.
(5) Luangkan waktu untuk mendengarkan dan mempertahankan kontak dengan
klien.

29

R/ Membantu dalam mengurangi kecemasan dan memfokuskan kembali


perhatian, yang bisa menghilangkan rasa sakit.
Kolaborasi:
(6) Prosedur pemasangan NGT
R/ Menghapus sekresi lambung yang merangsang pelepasan cholecystokinin
dan kantong empedu kontraksi.
(7) Berikan obat sesuai indikasi (analgetik)
R/ Memberikan penurunan nyeri hebat sehingga nyeri akan berkurang
(8) Siapkan untuk prosedur, seperti berikut: Sphincterotomy Endoskopi ditambah
ekstraksi batu selama ERCP.
R/ Prosedur yang dilakukan untuk memperluas mulut saluran empedu dimana
bermuara ke duodenum. Prosedur dilakukan untuk membantu dalam
mengambil batu-batu duct dengan menggunakan keranjang kecil atau balon
pada akhir endoskopi. Stones harus lebih kecil dari 15 mm. lebih besar batu
akan hancur dengan lithotripter mekanik dimasukkan melalui endoskopi.
(9) Prosedur Extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL).
R/ Pengobatan gelombang kejut adalah terapi yang jarang digunakan karena
tingkat kekambuhan sangat tinggi. Ini dapat diindikasikan pada klien dengan
gejala ringan sampai sedang, dengan kolesterol tunggal batu (0,5 mm atau
lebih besar), atau di klien tanpa saluran empedu obstruksi. Catatan: Prosedur
ini merupakan kontraindikasi pada klien dengan alat pacu jantung atau
defibrillator implant.
(10) Prosedur bedah Laparoskopi atau terbuka.
R/ Kolesistektomi dapat diindikasikan karena ukuran batu, tingkat
keterlibatan jaringan, atau kehadiran nekrosis atau sepsis.
(Doenges, 2010: 360-361)
2.2.3.2 Resiko tinggi kekurangan volume cairan
1) Faktor resiko meliputi: kehilangan melalui gaster berlebihan: muntah,
distensi, dan hipermotilitas gaster. Pembatasan pemasukan secara medik.

30

2) Kriteria hasil tanda vital stabil, membrane mukosa lembab, turgor kulit baik,
pengisian kapiler baik, secara individu mengeluarkan urine cukup, dan tak
ada muntah.
3) Intervensi keperawatan:
(1) Pertahankan masukan dan haluaran akurat. Perhatikan haluaran kurang dari
masukan. Peningkatan berat jenis urine. Kaji membrane mukosa/kulit, nadi
perifer, dan pengisian kapiler
R/ Memberikan informasi tentang status cairan dan volume sirkulasi dan
penggantian kebutuhan.
(2) Pantau adanya tanda dan gejala peningkatan/berlanjutnya mual/muntah, kram
abdomen, kelemahan, kejang, kecepatan jantung tak teratur, parestesia,
hipoaktif atau tak adanya bising usus. Depresi pernapasan.
R/ muntah berkepanjangan, aspirasi gaster, dan pembatasan pemasukan oral
dapat menimbulkan deficit natrium, kalium dan klorida.
(3) Hindarkan dari lingkungan yang berbau.
R/ menurunkan rangsangan pada pusat muntah
(4) Lakukan kebersihan oral dengan pencuci mulut.
R/ menurunkan kekeringan membran mukosa.
Kolaborasi:
(5) Pertahankan pasien puasa sesuai keperluan
R/ Menurunkan sekresi dan motilitas gaster
(6) Masukan selang NGT hubungkan ke penghisap dan pertahankan potensi
sesuai indikasi.
R/ Memberikan istirahat pada traktus GI
(7) Berikan antiemetik, seperti proklorperazin (Compazine).
R/ Menurunkan mual dan mencegah muntah
(8) Kaji ulang pemeriksaanlLaboratorium seperti Hb/Ht, elektrolit, gas darah
arteri (GDA) (pH), dan waktu pembekuan.
R/ Membantu dalam evaluasi volume sirkulasi, mengidentifikasi deficit dan
mempengaruhi pilihan intervensi untuk pengagntian/koreksi
(9) Berikan cairan IV, elektrolit, dan vitamin K.

31

R/ Mempertahankan volume sirkulasi dan mengoreksi ketidakseimbangan.


Vitamin K memberikan penggantian faktor yang diperlukan untuk proses
pembekuan.
(Doenges, 2010: 361-362)
2.2.3.3 Resiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuH
1) Faktor resiko meliputi: mual/muntah, dyspepsia, nyeri. Kehilangan nutrisi,
gangguan pencernaan lemak sehubungan dengan obstruksi aliran empedu.
2) Hasil

yang

diharapkan/kriteria

evaluasi

pasien

akan:

melaporkan

mual/muntah hilang. Menunjukkan kemajuan mencapai berat badan atau


mempertahankan berat badan individu yang tepat.
3) Intervensi keperawatan:
(1) Perkirakan atau hitung asupan kalori.
R/ Mengidentifikasi kekurangan dan kebutuhan gizi.

32

(2) Timbang berat badan.


R/ Monitor efektivitas rencana diet.
(3) Konsultasikan dengan klien tentang suka dan tidak suka, makanan yang
menyebabkan distress, dan jadwal makan yang disukai.
R/ Melibatkan klien dalam perencanaan memungkinkan klien untuk memiliki
rasa mengontrol dan mendorong makan.
(4) Memberikan suasana yang menyenangkan pada saat makan; hindari
rangsangan.
R/ Berguna dalam menambah nafsu makan dan mengurangi rasa mual.
(5) Menyediakan kebersihan mulut sebelum makan.
R/ Mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan.
(6) Kaji distensi abdomen, sering bersendawa, menjaga, dan keengganan untuk
bergerak.
R/ Tanda-tanda nonverbal dari ketidaknyamanan yang berhubungan dengan
gangguan pencernaan, nyeri gas.
Kolaborasi:
(7) Konsultasikan dengan ahli diet/tim pendukung nutrisi sesuai indikasi.
R/ Berguna dalam memenuhi kebutuhan gizi individu dan mengetahui rute
yang tepat.
(8) Mulailah makanan cair rendah lemak setelah NGT dilepas.
R/ Membatasi kadar lemak mengurangi stimulasi kandung empedu dan rasa
sakit yang terkait dengan pencernaan lemak tidak lengkap dan sangat
membantu dalam mencegah kekambuhan.
(9) Berikan diet sesuai toleransi, biasanya rendah lemak, tinggi serat. Batasi
makanan yang memproduksi gas seperti bawang, kubis, dan popcorn, dan
makanan dan cairan yang tinggi lemak seperti mentega, makanan yang
digoreng, dan kacang-kacangan.
R/ Memenuhi kebutuhan nutrisi dan meminimalkan stimulasi kandung
empedu.
(10) Laboratorium: prealbumin, albumin, total protein, dan tingkat transferin.
R/ Memberikan informasi kekurangan nutrisi/keefektifan terapi.
(11) Berikan dukungan nutrisi total sesuai kebutuhan.
R/ Makanan pilihan diperlukan tergantung pada derajat ketidakmampuan atau
kerusakan kandung empedu dari kebutuhan istirahat gaster yang lama.

33

(Doenges, 2010: 362-363)


2.2.3.4 Hipertermi
1) Berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh, efek langsung dari sirkulasi
endotoksin pada hipotalamus.
2) Tujuan: hipertermia teratasi.
3) Kriteria: suhu dalam batas normal (36,5-37,5C), nadi 60-100x/menit, RR
16-20x/menit.
4) Intervensi:
(1) Berikan kompres hangat.
R/ Akan memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sum-sum tulang
belakang, ketika reseptor yang peka terhadap panas dihipotalamus
dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat
dan vasodilatasi perifer.
(2) Kolaborasi dalam pemberian antipiretik, misalnya Aspirin, Asetaminofen.
R/ Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada
hipotalamus, meskipun demam mungkin dapat berguna dalam membatasi
pertumbuhan organisme dan meningkatkan autodestruksi dari sel-sel yang
terinfeksi.
(3) Observasi suhu pasien (derajat dan pola), perhatikan menggigil/ diaphoresis.
R/ Suhu 38,9-41,1C menunjukkan proses penyakit infeksius akut. Pola
demam dapat membantu dalam diagnosis, demam lanjut berakhir lebih dari
24 jam menunjukkan pneumokokal.
(4) Observasi suhu lingkungan, batasi/ tambahkan linen tempat tidur, sesuai
indikasi.
R/ Suhu ruangan harus diubah untuk mempertahankan suhu tubuh mendekati
normal.
(Doenges, 2010:691-692)
2.2.3.5 Resiko tinggi kerusakan integritas kulit
1) Dapat dihubungkan dengan: kadar bilirubin meningkat
2) Hasil yang diharapkan/criteria evaluasi-pasien akan: menunjukkan integritas
jaringan kulit dan membrane mukosa. Memiliki nadi kuat dan simetris,
memiliki warna kulit normal, memiliki suhu tubuh normal, tidak mengalami

34

nyeri pada ekstremitas, mengonsumsi makanan secara adekuat untuk


meningkatkan integritas kulit.
(4) Intervensi:
(1) Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskular.
R/ Menandakan area sirkulasi buruk atau terjadi kerusakan
(2) Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membrane mukosa.
R/ Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi
sirkulasi dan integritas jaringan pada tingkat seluler.
(3) Ubah posisi dengan sering
R/ menurunkan tekanan pada edema. Jaringan dengan perfusi buruk untuk
menurunkan iskemia. Peninggian meningkatkan aliran balik stasis vena
terbatas/pembentukan edema.
(4) Berikan perawatan kulit. Batasi penggunaan sabun. Berikan salep atau krim
(mis. Lanolin, Aquaphor)
R/ Losen dan salep mungkin di inginkan untuk menghilangkan kering,
robekan kulit.
(5) Selidiki keluhan gatal
R/ keluhan gatal ini karena kulit dan membran mukosa berwarna kuning.
(6) Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk
memberikan tekanan (dari pada garukan) pada area pruritus, pertahankan
kuku pendek..
R/ menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera dermal
(7) Anjurkan menggunakan pakaian katun longgar
R/ mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab
pada kulit.
(Doenges, 2010: 557)

35

2.2.3.6 Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis, pengobatan, perawatan


diri, dan debit kebutuhan.
1) Dapat

dihubungkan

dengan:

kurang

pengetahuan/mengingat.

Salah

interpretasi informasi. Tidak mengenal sumber informasi.


2) Kemungkinan dibuktikan oleh: pertanyaan, minta informasi. Pernyataan salah
konsepsi. Tidak akurat mengikuti instruksi. Terjadi komplikasi yang dapat
dicegah.
3) Hasil yang diharapkan/criteria evaluasi-pasien akan: menyatakan pemahaman
proses penyakit, pengobatan, prognosis. Melakukan perubahan pola hidup
dan berpartisipasi dalam program pengobatan.
4) Intervensi keperawatan:
(1) Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang pembedahan
R/ Tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh kondisi social ekonomi pasien.
Perawat menggunakan pendekatan yang sesuai dengan kondisi individu
pasien. Dengan megetahui tingkat pengetahuan tersebut perawat dapat lebih
terarah dalam memberikan pendidikan yang sesuai dengan pengetahuan
pasien secara efisien dan efektif.
(2) Cari sumber yang meningkatkan penerimaan informasi
R/ Keluarga terdekat dengan pasien perlu dilibatkan dalam pemenuhan
informasi untuk menurunkan risiko misinterpretasi terhadap informasi yang
diberikan. Khususnya pada pasien yang mengalami perdarahan sekunder dan
perforasi ulkus peptikum.

36

(3) Beritahu gejala awal pada pasien yang terdeteksi batu empedu
R/ pasien dengan batu empedu tanpa gejala harus dididik untuk mengenali
dan melaporkan gejala kolik bilier dan pankreatitis akut. Gejala awal
termasuk nyeri epigastrium yang terus-menerus berlangsung selama lebih dari
20 menit, terutama bila disertai dengan mual, muntah atau dmam.
(4) Jelaskan intervensi nonbedah dengan pelarutan batu empedu
R/ Intervensi medis ini dilakukan dengan cara menginfuskan cairan pelarut
batu empedu secara kateter per kutan ke kandung empedu.
Jelaskan dan lakukan pemenuhan atau persiapan pembedahan, meliputi:
(5) Jelaskan tentang pembedahan kolesistektomi
R/ kolesistektomi mrupakan suatu intervensi bedah yang mempunyai tujuan
bedah ablative atau melakukan pengangkatan bagian tubuh yang mengalami
masalah atau mempunyai penyakit.
(6) Diskusikan jadwal pembedahan
R/ Pasien dan keluarga harus diberitahu waktu dimulainya pembedahan.
7) Lakukan pendidikan kesehatan preoperative
R/ Setiap pasien di ajarkan sebagai seorang individu dengan
mempertimbangkan segala kebutuhan dan harapan-harapannya
Beritahu persiapan pembedahan, meliputi:
8) Pencukuran area operasi
R/ Pencukuran area operasi dilakukan apabila protocol lembaga atau ahli
bedah mengharuskan kulit untuk dicukur, pasien diberitahukan tentang
prosedur mencukur, dibaringkan dalam posisi yang nyaman, dan tidak
memajan bagian yang tidak perlu.
9) Persiapan puasa
R/ puasa preoperatif idealnya 6-8 jam sebelum intervensi bedah.
10) Persiapan istirahat dan tidur
R/ Istirahat merupakan hal yang penting untuk penyembuhan normal perawat
harus member lingkungan yang tenang dan nyaman untuk pasien.
11) Memberikan Informed consent.
R/ Pasien sudah mendapat penjelasan dan menandatangani informed consent.
12) Beri informasi tentang manejemen nyeri keperawatsn.
R/ manajemen nyeri dilakukan untuk peningkatan kontrol nyeri pada pasien
(Doenges, 2010: 363-364)
Intervensi Masalah post operasi meliputi:
2.2.3.7 Nyeri akut

37

1) Dapat dihubungkan dengan: Adanya insisi bedah


2) Kemungkinan dibuktikan oleh: laporan nyeri, kolik bilier (gelombang nyeri),
wajah menahan nyeri, perilaku berhati-hati. Respon otonomik (perubahan
TD, nadi). Fokus pada diri sendiri: fokus menyempit.
3) Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasipasien akan: Melaporkan nyeri hilang
atau terkontrol. Menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan
aktivitas hiburan sesuai indikasi untuk situasi individual.
4) Intervensi:
(1) Observasi dan catat lokasi, beratnya (skala 010) dan karakter nyeri
(menetap, hilang timbul, kolik)
R/ Membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan informan
tentang kemajuan perbaikan penyakit, terjadinya komplikasi, dan keefektifan
intervensi.
(2) Tingkatlah tirah baring saat pasien sadar penuh.
R/ Tirah baring pada posisi fowler rendah menurunkan tekanan intra
abdomen; namun pasien akan melakukan posisi yang menghilangkan nyeri
secara alamiah.
(3) Dorong menggunakan teknik relaksasi, distraksi, fiksasi.
R/ Meningkatkan istirahat, memusatkan kembali

perhatian

dapat

meningkatkan koping.
(4) Berikan obat sesuai indikasi (analgetik)
R/ Memberikan penurunan nyeri hebat sehingga nyeri akan berkurang
(5) Observasi keadaan umum, skala dan karakter nyeri, TTV (tekanan darah,
nadi).
R/ untuk menentukan keberhasilan tindakan.
2.2.3.8 Pola pernapasan tidak efektif
1) Dapat di hubungkan dengan: insisi bedah abdomen
2) Kemungkinan dibuktikan oleh: perubahan kedalaman pernapasan, takipnea,
menolak untuk batuk.
3) Hasil yang diharapkan/kriteria hasil: tak ada gangguan atau komplikasi
pernapasan.
4) Intervensi:
(1) Obsevasi frekuensi atau kedalaman pernapasan.

38

R/ Nafas dangkal, distress pernafasan, menahan napas dapat mengakibatkan


hipoventilasi/atelectasis
(2) Auskultasi bunyi napas
R/ Area yg menurun/tak ada bunyi napas diduga atelektasis, sedangkan bunyi
adventisius (mengi, ronchi) menunjukan kongesti
(3) Ajarkan pasien melakukan teknik batuk efektif
R/ Meningkatakan ventilasi semua segmen paru dan memobilisasi serta
mengeluarkan secret
(4) Tinggikan kepala tempat tidur, pertahankan posisi fowler rendah, dukung
abdomen saat batuk.
R/ Memudahkan ekspansi paru, penekanan memberikan sokongan pada
insisi atau menurunkan tegangan otot untuk meningkatkan kerja sama dalam
program pengobatan.
2.2.3.9 Ketidakefektifan bersihan jalan napas
Tujuan: jalan napas bersih dan efektif setelah dilakukan tindakan
keperawatan dengan kriteria: irama napas normal (vesikuler), auskultasi suara
tambahan nafas jernih, respirasi dalam batas normal, menunjukkan batuk efektif
dan mengeluarkan sekret secara efektif.
Intervensi menurut Wilkinson (2011:37).
1) Jelaskan kepada pasien dan keluarganya tentang penyebab batuk dan dahak
sulit keluar.
R/ supaya pasien tidak cemas dengan penyakitnya dan pasien mau
bekerjasama dalam mengatasi masalahnya.
2) Ajarkan pasien untuk melakukan latihan napas dalam dan mengajarkan batuk
efektif
R/ Napas dalam akan memfasilitasi pengembangan maksimum paruparu/saluran udara kecil. Batuk merupakan mekanisme pembersihan diri
normal, dibantu silia untuk memelihara kepatenan saluran udara. Menahan
dada akan membantu untuk mengurangi ketidaknyamanan, dan posisi tegak
lurus akan memberikan tekanan lebih besar untuk batuk.

39

3) Lakukan suction sesuai kebutuhan


R/ menstimulasi batuk atau pembersihan saluran napas secara mekanis pada
pasien yang tidak dapat melakukannya dikarenakan ketidakefektifan batuk
dan penurunan kesadaran.
4) Observasi dengan auskultasi pada daerah paru-paru, mencatat area yang
menurun/tidak adanya aliran udara serta mencatat adanya suara tambahan
seperti ronkhi dan wheezing
R/ Penurunan aliran udara timbul pada area yang konsolidasi dengan cairan.
Crackles ronkhi dan whezing terdengar pada saat inspirasi atau ekspirasi
sebagai respons dari akumulasi cairan, sekresi kental, dan spasme/obstruksi
saluran napas
5) Kaji jumlah atau kedalaman pernafasan dan pergerakan dada
R/ melakukan evaluasi awal untuk melihat kemajuan dari hasil intervensi
yang telah dilakukan.
6) Kolaborasi:
(1) Berikan pengobatan atas indikasi: bronkodilator
R/ mukolitik: substansi yang memecah mucus. Asetil sistein (Mucomyst)
bekerja memecah sputum kental, tetapi substansi yang telah pecah itu berbau
kurang sedap. Ekspektoran: merangsang batuk dan sel-sel penghasil secret
untuk memproduksi secret encer (Tambayong, 2001:64). Bronkodilator: otot
polospada bronkioli dikendalikan oleh susunan saraf simpatis. Reseptor -2
berespons terhadap rangsangan adrenergic dengan mengendurkan otot,
sehingga ventilasi bertambah dan mengurangi bronkospasme (Tambayong,
2001:60). Analgesik: menghambat prostaglandin, suatu mediator penting
dalam reaksi inflamasi (Amy, 2010:237).
2.2.3.10
Resiko tinggi kekurangan volume cairan
1) Faktor resiko meliputi: kehilangan melalui gaster berlebihan: muntah,
distensi, dan hipermotilitas gaster. Pembatasan pemasukan secara medik.

40

2) Kriteria hasil tanda vital stabil, membrane mukosa lembab, turgor kulit baik,
pengisian kapiler baik, secara individu mengeluarkan urine cukup, dan tak
ada muntah.
3) Intervensi:
(1) Pertahankan masukan dan haluaran akurat, perhatikan haluaran kurang dari
masukan. Peningkatan berat jenis urin. Kaji membrane mukosa/kulit, nadi
periter, dan pengisian kapiler.
R/ Memberikan informasi tentang status cairan/volume sirkulasi dan
kebutuhan penggantian.
(2) Awasi tanda/gejala peningkatan/berlanjutnya mual/muntah. Kram abdomen,
kelemahan, kejang ringan, kecepatan jantung tak teratur, prestesian, hipoaktif
atau tak adanya bising usus, depresi pernapasan.
R/ muntah berkepanjangan, aspirasi gaster, dan pembatasan pemasukan oral
dapat natrium kalium, dan klorida.
(3) Hindarkan dari lingkungan yang berbau
R/ menurunkan rangsangan pada pusat muntah.
(4) Lakukan kebersihan oral dengan pencuci mulut, berikan minyak.
R/ Menurunkan kekeringan membran mukosa, menurunkan risiko perdarahan
oral.
(5) Gunakan jarum kecil untuk injeksi dan melakukan tekanan pada bekas
suntikan lebih lama dari biasanya.
R/ Menurunkan trauma resiko perdarahan/pembentukan hematoma
(6) Kaji perdarahan yang tak biasanya. Contoh perdarahan terus menerus pada
sisi injeksi, mimisan, perdarahan gusi, ekimosis, petikie, hematemesis atau
melena.
R/ protomb darah menurun dan waktu oagulasi memanjang bila aliran
empedu terhambat, meningkatkan resiko perdarahan atau hemoragi.
(7) Masukan selang NGT hubungkan dengan penghisap dan pertahankan potensi
sesuai indikasi
R/ memberikan istirahat pada trektus GI
(8) Berikan antiemetik contoh proglorperasin (kompanisin)
R/ Menurunkan mual dan mencegah muntah

41

(9) Kaji ulang pemeriksaan laboratorium contoh: HT/HB, elektrolit, GDA (PH)
waktu pembentukan
R/ Membantu dalam evaluasi volume sirkulasi, mengidentifikasi devisit
mempengaruhi pilihan intervensi atau pengganti koreksi.
(10) Berikan cairan IV, elektrolit dan vitamin K
R/ mempertahankan volume sirkulasi dan memperbaiki ketidakseimbangan.

42

2.2.3.11
Resiko infeksi
1) Faktor resiko meliputi: kulit yang rusak, trauma jaringan, stasis jaringan
tubuh, munculnya zat-zat patogen/kontaminan, pemajanan lingkungan,
prosedur invasif.
2) Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi perawat akan: mengidentifikasi
faktor-faktor resiko individu dan intervensi untuk mengurangi potensial
infeksi, pertahankan lingkungan aseptik yang aman.
3) Intervensi:
(1) Lakukan pencucian tangan yang baik dan perwatan luka aseptik.
R/ menurunkan resiko penyebaran infeksi.
(2) Periksa insisi dan balutan.
R/ memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi dan pengawasan
penyembuhan peritonitis yang telah ada sebelumnya.
(3) Periksa kulit untuk memeriksa adanya infeksi yang terjadi
R/ gangguan pada integritas kulit atau dekat dengan lokasi operasi adalah
sumber kontaminasi luka.
(4) Berikan antibiotik sesuai petunjuk
R/ dapat diberikan secara profilaksis bila dicurigai terjadinya infeksi atau
kontaminasi.
(5) awasi tanda-tanda vital (nadi, suhu). Perhatikan tanda-tanda infeksi, demam,
menggigil, berkeringat
R/ dugaan adanya infeksi/terjadinya sepsis, abses, peritonitis.
2.2.3.12
Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, dan
pengobatan
1) Dapat dihubungkan

dengan:

kurang

pengetahuan/mengingat.

Salah

interpretasi informasi. Tidak mengenal sumber informasi.


2) Kemungkinan dibuktikan oleh: pertanyaan; minta informasi. Pernyataan salah
konsepsi. Tidak akurat mengikuti instruksi. Terjadi komplikasi yang dapat
dicegah.

43

3) Hasil yang diharapkan/criteria evaluasi-pasien akan: menyatakan pemahaman


proses penyakit, pengobatan, prognosis. Melakukan perubahan pola hidup
dan berpartisipasi dalam program pengobatan.
4) Intervensi
(1) Jelaskan tentang perawatan pascabedah untuk perawatan di rumah
R/ Menambah pengetahuan pasien agar dapat membuat pilihan berdasarkan
informasi.
(2) Jelaskan perawatan insisi/balutan
R/ meningkatkan dalam kemandirian dalam perawatan dan menurunkan
resiko komplikasi (infeksi)
(3) Tekankan pentingnya mempertahankan diet rendah lemak. Makan sedikit dan
sering, pengenalan makanan atau minuman yang mengandung lemak secara
bertahap lebih dari 4-6 bulan
R/ Selama 6 bulan pertama setelah pembedahan, diet rendah membatasi
kebutuhan terhadap empedu dan menurunkan ketidaknyamanan sehubungan
dengan tidak adekuatnya pencernaan lemak
(4) Informasikan pasien bahwa feses encer dapat terjadi selama beberapa bulan
R/ Usus memerlukan waktu untuk menyesuaikan pada rangsangan
pengeluaran kontinu empedu
(5) Kaji pemahaman pasien untuk mengetahui penjelasan yang sudah diberikan.
R/ Memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pilihan
berdasarkan informasi.
2.2.2 Implementasi
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan rencana asuhan
keperawatan ke dalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu klien
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Implementasi tindakan keperawatan dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu
independent, interdependent, dan dependen.
1) Independent
Suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh perawat tanpa petunjuk dari dokter
atau tenaga kesehatan lainnya.
2) Interdependent

44

Suatu kegiatan yang memerlukan kerjasama dari tenaga kesehatan lain


(mis., ahli gizi, fisioterapi dan dokter)
3) Dependent
Berhubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan medis/instruksi dari
tenaga medis (Asmadi, 2008:178).
2.2.3 Evaluasi
Menurut Asmadi (2008: 179) evaluasi adalah tahap akhir dari proses
keperawatan yang merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara
hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap
perencanaan. Evaluasi terbagi atas dua jenis yaitu:
1) Evaluasi formatif
Berfokus pada aktifitas proses keperawatan dan hasil tindakan keperawatan.
Evaluasi formatif ini dilakukan segera setelah perawat mengimplementasikan
rencana keperawatan guna menilai keefektifan tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
2) Evaluasi sumatif
Evaluasi yang dilakukan setelah semua aktivitas proses keperawatan selesai
dilakukan. Evaluasi sumatif ini bertujuan menilai dan memonitor kualitas asuhan
keperawatan yang telah diberikan.
Ada tiga kemungkinan hasil evaluasi yang terkait dengan pencapaian tujuan
keperawatan:
1) Tujuan tercapai jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan standar
yang telah ditentukan.
2) Tujuan tercapai sebagian atau klien masih dalam proses pencapaian tujuan
jika klien menunjukkan perubahan pada sebagian criteria yang telah
ditetapkan.
3) Tujuan tidak tercapai jika klien hanya menunjukkan sedikit perubahan dan
tidak ada kemajuan sama sekali serta dapat timbul masalah baru.
Jika hasil evaluasi menunjukkan tercapainya tujuan dan kriteria hasil, klien
bisa keluar dari siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya, klien akan masuk

45

kembali ke dalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang (reassessment).


Secara umum evaluasi ditunjukkan untuk:
1) Melihat dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan.
2) Menentukan apakah tujuan keperawatan telah tercapai atau belum.
3) Mengkaji penyebab jika tujuan asuhan keperawatan belum tercapai.

46

2.3

Kerangka Konseptual
PENGKAJIAN
Anamnese:
Pasien mengeluh nyeri pada daerah abdomen kuadran kanan atas yang menjalar ke
punggung atau bahu kanan, mual dan muntah (pre operasi). Klien mengalami nyeri
abdomen di area luka insisi (post operasi)
Pemeriksaan Fisik:
Pre operasi: Peningkatan frekuensi pernafasan, nafas pendek, dangkal, takikardia,
peningkatan suhu tubuh, nyeri hebat abdomen bagian atas dapat menyebar ke
punggung atau bahu kanan, warna urine gelap, warna feses tanah liat, bising usus
menurun, kulit gatal-gatal (pruritus).
MASALAH
KEPERAWATAN
Post operasi: Respirasi dangkal,
batuk tidak
efektif, adanya suara nafas tambahan,
Pre
operasi:takikardia, penurunan kesadaran, ekspresi wajah kesakitan, skala nyeri
hipertensi,
1)
akut peristaltik usus 24-48jam, distensi abdomen, penurunan skala
>2,Nyeri
kehilangan
kekuatan
adanya
luka bekas
insisi.
2)
Resikootot,
tinggi
kekurangan
volume
cairan
3) Resiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
4) Hipertermia
5) Resiko tinggi kerusakan integritas kulit
6) Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis, pengobatan, perawatan diri,
dan debit kebutuhan
Post operasi:
1) Nyeri
2) Pola pernapasan tidak efektif
3) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
4) Resiko tinggi kekurangan volume cairan
5) Resiko infeksi
6) Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis, pengobatan, perawatan diri,
dan debit kebutuhan
RENCANA TINDAKAN
PELAKSANAAN
TINDAKAN
Independen
Interdependen
dependen
EVALUASI
Sumatif
Formatif

Masalah teratasi

Masalah teratasi sebagian

Re- assesment

Masalah tidak/belum teratasi

Gambar 2.2 Bagan Kerangka Konseptual kolelitiasis

Anda mungkin juga menyukai