PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kolelitiasis adalah pembentukan kalkuli di dalam kandung empedu,
menyebabkan penyakit saluran empedu (Bilotta, 2011: 570). Kolelitiasis sering
kali menimbulkan gejala seperti kolik bilier (nyeri), urin berwarna sangat gelap,
feses tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan biasanya
pekat yang disebut clay-colored, ikterus, defisiensi vitamin K (Smeltzer:
2001:1206). Sesuai fenomena yang ditemukan pada saat praktek, pada pasien
kolelitiasis mengalami masalah nyeri. Jumlah pasien batu empedu di Indonesia
belum diketahui karena belum ada studi mengenai hal tersebut (J.B Suharjo B.
Cahyono, 2009: 11). Berdasarkan data dari Badan Statistik tahun 2012, dari
3.123.914 jiwa penduduk Surabaya 1,7 % terkena batu empedu karena pola
makan dan faktor lainnya.
Penyebab kolelitiasis masih belum diketahui sepenuhnya tetapi ada
beberapa faktor predisposisi terpenting adalah gangguan metabolisme yang
menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, stasis empedu, dan infeksi
kandung empedu. (Price, 2005:502). Batu empedu akan terbentuk bila pigmen
yang terkonjugasi dalam empedu mengadakan presipitasi (pengendapan) sehingga
terjadi batu. Pada klien yang cenderung menderita batu empedu akan terjadi
penurunan sintesis asam empedu akan terjadi peningkatan sintesis kolesterol
dalam hati; keadaan ini mengakibatkan supersaturasi getah empedu oleh
kolesterol yang kemudian keluar dari getah empedu mengendap menjadi batu
empedu. Getah empedu yang jenuh oleh kolesterol merupakan faktor predisposisi
untuk timbulnya batu empedu dan berperan sebagai iritan yang menyebabkan
peradangan dalam kandung empedu (Smeltzer, 2001: 1205-1206). Jika duktus
sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan mengalami distensi
dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin teraba massa
padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat
pada abdomen kuadran kanan atas yang menjalar ke punggung atau bahu kanan.
Hal ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan
empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam keadaan distensi,
bagian fundus kandung empedu akan menyentuh dinding abdomen pada daerah
kartilago kosta sembilan dan sepuluh kanan. Sentuhan ini menimbulkan nyeri
tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika pasien melakukan inspirasi
dalam, dan menghambat pengembangan rongga dada (Smeltzer, 2001: 1206).
Sehingga timbul masalah gangguan rasa nyaman nyeri (Doenges, 2010: 360).
Rasa nyeri ini disertai dengan muntah (Smeltzer, 2001: 1206) dapat memberikan
masalah resiko kekurangan volume cairan (Doenges, 2010: 362). Gangguan
gastrointestinal akan meningkatkan penurunan intake nutrisi, sedangkan anoreksia
memberikan masalah resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (Doenges, 2010:
361). Penderita penyakit batu empedu biasanya juga terjadi obstruksi duktus
koledokus yang mengakibatkan obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam
duodenum yang menimbulkan gejala yaitu getah empedu yang tidak lagi dibawa
ke dalam
membuat kulit dan membran mukosa menjadi kuning yang disertai gatal-gatal.
Sehingga timbul masalah resiko tinggi kerusakan integritas kulit (Smeltzer: 2001:
1206). Dampak yang timbul pada pasien jika batu empedu terus menyumbat
saluran kandung empedu akan mengakibatkan abses, nekrosis dan perforasi
disertai peritonitis generalisata (Smeltzer, 2001: 1207).
Penatalaksanaan pada pasien kolelitiasis antara lain penatalaksanaaan nonpembedahan diantaranya penatalaksanaan suportif dan diet meliputi: istirahat,
cairan infuse dan diet rendah lemak, penatalaksanaan farmakoterapi dengan
pemberian asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (senofalk),
prosedur non invasive dengan menginfuskan suatu bahan pelarut Monooktanoin
atau Metil Tertier Butyl Eter [MTBE]) ke dalam kandung empedu;
Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL), Litrotipsi Intracorporeal.
Penatalaksanaan dengan pembedahan meliputi kolesistotomi terbuka (operasi ini
merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan batu empedu
simtomatik komplikasi yang paling bermakna pada tindakan ini adalah cidera
duktus bilaris, indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik
bilaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut, teknik anastesi yang di gunakan
adalah general anastesi, penatalaksanaan pasien post kolesistektomi dengan diet
tinggi kalori diantaranya: beras, jagung, ubi singkong, roti, kentang, dan tinggi
protein yaitu: ayam, daging, hati, ikan, susu dan kacang-kacangan), mini
kolesistektomi, kolesistektomi laparoskopi, bedah kolesistotomi, kolesistotomi
perkutan, koledokostomi (Smeltzer, 2001: 1212)
Pembatasan Masalah
Rumusan Masalah
1) Data fokus apa saja yang harus dikaji pada pasien dengan diagnosa medis
post open kolesistektomi di Rumah Sakit Katolik St. Vicentius A Paulo
Surabaya?
2) Diagnosa keperawatan apa saja yang didapatkan pada pasien dengan diagnosa
medis post open kolesistektomi di Rumah Sakit Katolik St. Vicentius A Paulo
Surabaya?
3) Rencana keperawatan apa saja yang disusun pada diagnosa keperawatan yang
ditemukan pada pasien dengan diagnosa medis post open kolesistektomi di
Rumah Sakit Katolik St. Vicentius A Paulo Surabaya?
4) Bagaimanakah evaluasi keperawatan yang dilakukan pada pasien dengan
diagnosa medis post open kolesistektomi di Rumah Sakit Katolik St.
Vicentius A Paulo Surabaya?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Memperoleh gambaran nyata mengenai asuhan keperawatan pada pasien
dengan Kolelitiasis di Rumah Sakit Katolik St. Vincentius A Paulo Surabaya.
pengetahuan
dan
keterampilan
dan
pengalaman
serta
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Medis Kolelitiasis
2.1.1 Pengertian
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan dalam
kandung empedu atau di dalam duktus koledokus, atau pada kedua-duanya
(Sjamsuhidajat. 2010: 674).
Kolelitiasis adalah batu yang terbentuk dalam kandung empedu dari unsurunsur padat yang membentuk cairan empedu (Chandrasoma, 2005: 606).
Kolesistektomi adalah tindakan pilihan pembedahan untuk pasien dengan
batu empedu besar karena berulangnya pembentukan batu secara simtomatologi
akut atau mencegah berulangnya pembentukan batu. Kolesistektomi kini dapat
dilakukan dengan laser melalui insisi laparoskopi (Doenges, Marilynn E.,
2010:364).
2.1.2
Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui sepenuhnya; akan tetapi,
lumpur atau tanah rapuh. Batu ini sering bersatu membentuk batu yang lebih
besar. Batu pigmen yang sangat besar dan di temukan di dalam saluran empedu.
Batu pigmen adalah batu empedu yang kadar kolesterolnya kurang dari 25%.
Batu pigmen hitam terbentuk di dalam kandung empedu terutama terbentuk pada
gangguan keseimbangan metabolik seperti anemia hemolitik dan sirosis hati tanpa
didahului infeksi (Sjamsuhidajat, 2010: 676).
Seperti pembentukan batu kolesterol, terjadinya batu bilirubin berhubungan
dengan bertambahnya usia. Infeksi, stasis, dekonyugasi bilirubin dan ekskresi
kalsium merupakan faktor kausal. Pada bakteribilia terdapat bakteria gram negatif,
terutama E-coli. Pada kolesterol pun, E-coli yang tersering ditemukan dalam
biakan empedunya (Sjamsuhidajat, 2010: 676).
Beberapa faktor yang juga disangka berperanan adalah faktor geografi,
hemolisis, dan sirosis hepatic. Sebaliknya jenis kelamin, obesitas dan gangguan
penyerapan di ileum tidak mempertinggi risiko bilirubin. Pada kolangitis oriental
atau kolangitis piogenik rekurens ditemukan pada pigmen intrahepatik primer
yang menimbulkan kolangitis rekurens. Keadaan lain yang berhubungan dengan
batu pigmen dan kolangitis bakteria gram negatif di Asia Timur ialah infestasi
parasit Clonorchis sinensis, Fasciola hepatic dan Ascaris lumbricoides
(Sjamsuhidajat, 2010: 676).
2.1.4
Pathofisiologi
1) Batu Pigmen
Pigmen (bilirubin) pada kondisi normal akan terkonjugasi dalam empedu.
Bilirubin terkonjugasi karena adanya enzim glokuronil terkonjugasi diakibatkan
karena kurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase tersebut yang akan
10
11
dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam
keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh dinding
abdomen pada daerah kartilago kosta sembilan dan sepuluh kanan. Sentuhan ini
menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika pasien
melakukan inspirasi dalam, dan menghambat pengembangan rongga dada
(Smeltzer, 2001: 1206). Sehingga timbul masalah gangguan rasa nyaman nyeri
(Doenges, 2010: 360). Rasa nyeri ini disertai dengan muntah (Smeltzer, 2001:
1206) dapat memberikan masalah resiko kekurangan volume cairan (Doenges,
2010: 362). Gangguan gastrointestinal akan meningkatkan penurunan intake
nutrisi, sedangkan anoreksia memberikan masalah resiko nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh (Doenges, 2010: 361). Penderita penyakit batu empedu biasanya
juga terjadi obstruksi duktus koledokus yang mengakibatkan obstruksi pengaliran
getah empedu ke dalam duodenum yang menimbulkan gejala yaitu getah empedu
yang tidak lagi dibawa ke dalam
penyerapan empedu ini membuat kulit dan membrane mukosa menjadi kuning
yang disertai gatal-gatal. Sehingga timbul masalah resiko tinggi kerusakan
integritas kulit (Smeltzer: 2001: 1206).
2.1.5
Manifestasi klinik
Menurut Smeltzer (2001: 1206) manifestasi klinik kolelitiasis antara lain:
1) Kolik Bilier
Kolik bilier terjadi karena batu yang berada dalam kandung empedu
bermigrasi atau pindah tempat,yang mengakibatkan penyumbatan sesaat
(sumbatan yang lama mengakibatkan kolesistitis akut) di leher kandung empedu
(Hartmanns Pouch), duktus sistikus, atau duktus koledokus. Sumbatan batu
12
pengaliran
getah
empedu
ke
dalam
dudodenum
akan
menimbulkan gejala yang khas, yaitu: gatah empedu yang tidak lagi dibawa
kedalam duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat
kulit dan menbran mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan
gejal gatal-gatal pada kulit.
13
3)
gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu,
dan biasanya pekat yang disebut Clay-colored
4) Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga akan mengganggu absorbsi vitamin A,D,E,K
yang larut lemak. Karena itu pasien dapat memperlihatkan gejala defisiensi
vitamin-vitamin ini jika obstruksi bilier berlangsung lama. Defisiensi vitamin K
dapat mengganggu pembekuan darah yang normal.
2.1.6
Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan yang dilakukan antara lain (Smeltzer, 2001: 1207):
1) Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi
leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan
bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin
serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus koledukus.
Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya
meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut. Enzim hati AST (SGOT), ALT
(SGPT), LDH agak meningkat. Kadar protrombin menurun bila terjadi obstruksi
aliran empedu dalam usus menurunkan absorbs vitamin K.
14
Endoscopic
Retrograde
Cholangiopancreatography)
Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang
hanya dapat dilihat pada saat dilakukan laparatomi. Pemeriksaan ini meliputi
insersi endoskop serat optik. Yang fleksibel kedalam esophagus hingga mencapai
duodenum pars desendens. Sebuah kanula dimasukkan ke dalam duktus tersebut
untuk memungkinkan visualisasi serta evaluasi percabangan bilier. ERCP juga
memungkinkan visualisasi langsung struktur ini dan memudahkan akses ke dalam
duktus koledokus bagian distal untuk mengambil batu empedu.
2.1.7 Komplikasi
15
16
Penatalaksanaan
Menurut Smeltzer (2001: 1209) penatalaksanaan kolelitiasis meliputi:
2.1.8.1 Penatalaksanaan Non-Pembedahan
Sasaran utama terapi medikal adalah untuk mengurangi insiden serangan
akut nyeri kandung empedu dan kolesistitis dengan penatalaksanaan suportif dan
diet, dan jika memungkinkan, untuk menyingkirkan penyebab dengan
17
18
19
20
21
4) Bedah Kolesistotomi
Dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan
operasi yang lebih luas, atau bila reaksi inflamasi yang akut membuat system
bilier tidak jelas. Kndung empedu dibuka melalui pembedahan, batu serta getah
empedu atau cairan drainase yang purulen dikeluarkan, dan kateter untuk drainase
diikat
dengan
jahitan
kantung
itu
Kalsium bilirubinat
Sekresi kolesterol
Garam empedu
Batu
bilirubin/pigmen
Batu kolesterol
Bakteri (kolangitis)
Kalsium palmitat
dan stearat
BATU EMPEDU
(KOLELITIASIS)
Obstruksi duktus sistikus/bilaris
Tekanan di duktus bilaris kontraksi peristaltik
Gangguan Gastrointestinal
Hipertermia
Obstruksi duktus
koledokus
Psikologi
Respon kognitif
Terbatasnya informasi
Kurang Pengetahuan
Mual, muntah,
Intake cairan
Produksi prostaglandin
dan neurotransmiter
Obstruksi pengaliran
getah empedu
Sistem Pencernaan
Sistem Neurologi
Sistem Kardiovaskuler
Peningkatan
thermostat set point di
pusat termoregulator
Sistem integumen
Anoreksia
Intake nutrisi
Resiko Tinggi
Nutrisi Kurang Dari
Kebutuhan Tubuh
Ikterus
Gatal-gatal
Resiko tinggi
kerusakan
Integritas Kulit
Nyeri
2.1 Gambar W.O.C Kolelitiasis menurut Brunner dan Sudarth (2001: 1206)
22
24
2.2.2 Pengkajian
Pengkajian kolelitiasis meliputi:
2.2.2.1 Biodata
1) Usia
Usia: Kolelitiasis tidak lazim dijumpai pada anak-anak dan dewasa muda
tetapi insidensnya semakin sering pada individu berusia di atas 40 tahun. Sesudah
itu, insidens kolelitiasis semakin meningkat hingga suatu tingkat yang
diperkirakan bahwa pada usia 75 tahun satu dari tiga orang akan mengalami batu
empedu (Smeltzer, 2001:1205).
Jenis kelamin: jumlah wanita yang menderita kolelitiasis adalah empat kali
lebih banyak dari pada laki-laki. Insidens ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh
terhadap
peningkatan
eskresi
kolesterol
oleh
kandung
25
26
27
28
29
30
2) Kriteria hasil tanda vital stabil, membrane mukosa lembab, turgor kulit baik,
pengisian kapiler baik, secara individu mengeluarkan urine cukup, dan tak
ada muntah.
3) Intervensi keperawatan:
(1) Pertahankan masukan dan haluaran akurat. Perhatikan haluaran kurang dari
masukan. Peningkatan berat jenis urine. Kaji membrane mukosa/kulit, nadi
perifer, dan pengisian kapiler
R/ Memberikan informasi tentang status cairan dan volume sirkulasi dan
penggantian kebutuhan.
(2) Pantau adanya tanda dan gejala peningkatan/berlanjutnya mual/muntah, kram
abdomen, kelemahan, kejang, kecepatan jantung tak teratur, parestesia,
hipoaktif atau tak adanya bising usus. Depresi pernapasan.
R/ muntah berkepanjangan, aspirasi gaster, dan pembatasan pemasukan oral
dapat menimbulkan deficit natrium, kalium dan klorida.
(3) Hindarkan dari lingkungan yang berbau.
R/ menurunkan rangsangan pada pusat muntah
(4) Lakukan kebersihan oral dengan pencuci mulut.
R/ menurunkan kekeringan membran mukosa.
Kolaborasi:
(5) Pertahankan pasien puasa sesuai keperluan
R/ Menurunkan sekresi dan motilitas gaster
(6) Masukan selang NGT hubungkan ke penghisap dan pertahankan potensi
sesuai indikasi.
R/ Memberikan istirahat pada traktus GI
(7) Berikan antiemetik, seperti proklorperazin (Compazine).
R/ Menurunkan mual dan mencegah muntah
(8) Kaji ulang pemeriksaanlLaboratorium seperti Hb/Ht, elektrolit, gas darah
arteri (GDA) (pH), dan waktu pembekuan.
R/ Membantu dalam evaluasi volume sirkulasi, mengidentifikasi deficit dan
mempengaruhi pilihan intervensi untuk pengagntian/koreksi
(9) Berikan cairan IV, elektrolit, dan vitamin K.
31
yang
diharapkan/kriteria
evaluasi
pasien
akan:
melaporkan
32
33
34
35
dihubungkan
dengan:
kurang
pengetahuan/mengingat.
Salah
36
(3) Beritahu gejala awal pada pasien yang terdeteksi batu empedu
R/ pasien dengan batu empedu tanpa gejala harus dididik untuk mengenali
dan melaporkan gejala kolik bilier dan pankreatitis akut. Gejala awal
termasuk nyeri epigastrium yang terus-menerus berlangsung selama lebih dari
20 menit, terutama bila disertai dengan mual, muntah atau dmam.
(4) Jelaskan intervensi nonbedah dengan pelarutan batu empedu
R/ Intervensi medis ini dilakukan dengan cara menginfuskan cairan pelarut
batu empedu secara kateter per kutan ke kandung empedu.
Jelaskan dan lakukan pemenuhan atau persiapan pembedahan, meliputi:
(5) Jelaskan tentang pembedahan kolesistektomi
R/ kolesistektomi mrupakan suatu intervensi bedah yang mempunyai tujuan
bedah ablative atau melakukan pengangkatan bagian tubuh yang mengalami
masalah atau mempunyai penyakit.
(6) Diskusikan jadwal pembedahan
R/ Pasien dan keluarga harus diberitahu waktu dimulainya pembedahan.
7) Lakukan pendidikan kesehatan preoperative
R/ Setiap pasien di ajarkan sebagai seorang individu dengan
mempertimbangkan segala kebutuhan dan harapan-harapannya
Beritahu persiapan pembedahan, meliputi:
8) Pencukuran area operasi
R/ Pencukuran area operasi dilakukan apabila protocol lembaga atau ahli
bedah mengharuskan kulit untuk dicukur, pasien diberitahukan tentang
prosedur mencukur, dibaringkan dalam posisi yang nyaman, dan tidak
memajan bagian yang tidak perlu.
9) Persiapan puasa
R/ puasa preoperatif idealnya 6-8 jam sebelum intervensi bedah.
10) Persiapan istirahat dan tidur
R/ Istirahat merupakan hal yang penting untuk penyembuhan normal perawat
harus member lingkungan yang tenang dan nyaman untuk pasien.
11) Memberikan Informed consent.
R/ Pasien sudah mendapat penjelasan dan menandatangani informed consent.
12) Beri informasi tentang manejemen nyeri keperawatsn.
R/ manajemen nyeri dilakukan untuk peningkatan kontrol nyeri pada pasien
(Doenges, 2010: 363-364)
Intervensi Masalah post operasi meliputi:
2.2.3.7 Nyeri akut
37
perhatian
dapat
meningkatkan koping.
(4) Berikan obat sesuai indikasi (analgetik)
R/ Memberikan penurunan nyeri hebat sehingga nyeri akan berkurang
(5) Observasi keadaan umum, skala dan karakter nyeri, TTV (tekanan darah,
nadi).
R/ untuk menentukan keberhasilan tindakan.
2.2.3.8 Pola pernapasan tidak efektif
1) Dapat di hubungkan dengan: insisi bedah abdomen
2) Kemungkinan dibuktikan oleh: perubahan kedalaman pernapasan, takipnea,
menolak untuk batuk.
3) Hasil yang diharapkan/kriteria hasil: tak ada gangguan atau komplikasi
pernapasan.
4) Intervensi:
(1) Obsevasi frekuensi atau kedalaman pernapasan.
38
39
40
2) Kriteria hasil tanda vital stabil, membrane mukosa lembab, turgor kulit baik,
pengisian kapiler baik, secara individu mengeluarkan urine cukup, dan tak
ada muntah.
3) Intervensi:
(1) Pertahankan masukan dan haluaran akurat, perhatikan haluaran kurang dari
masukan. Peningkatan berat jenis urin. Kaji membrane mukosa/kulit, nadi
periter, dan pengisian kapiler.
R/ Memberikan informasi tentang status cairan/volume sirkulasi dan
kebutuhan penggantian.
(2) Awasi tanda/gejala peningkatan/berlanjutnya mual/muntah. Kram abdomen,
kelemahan, kejang ringan, kecepatan jantung tak teratur, prestesian, hipoaktif
atau tak adanya bising usus, depresi pernapasan.
R/ muntah berkepanjangan, aspirasi gaster, dan pembatasan pemasukan oral
dapat natrium kalium, dan klorida.
(3) Hindarkan dari lingkungan yang berbau
R/ menurunkan rangsangan pada pusat muntah.
(4) Lakukan kebersihan oral dengan pencuci mulut, berikan minyak.
R/ Menurunkan kekeringan membran mukosa, menurunkan risiko perdarahan
oral.
(5) Gunakan jarum kecil untuk injeksi dan melakukan tekanan pada bekas
suntikan lebih lama dari biasanya.
R/ Menurunkan trauma resiko perdarahan/pembentukan hematoma
(6) Kaji perdarahan yang tak biasanya. Contoh perdarahan terus menerus pada
sisi injeksi, mimisan, perdarahan gusi, ekimosis, petikie, hematemesis atau
melena.
R/ protomb darah menurun dan waktu oagulasi memanjang bila aliran
empedu terhambat, meningkatkan resiko perdarahan atau hemoragi.
(7) Masukan selang NGT hubungkan dengan penghisap dan pertahankan potensi
sesuai indikasi
R/ memberikan istirahat pada trektus GI
(8) Berikan antiemetik contoh proglorperasin (kompanisin)
R/ Menurunkan mual dan mencegah muntah
41
(9) Kaji ulang pemeriksaan laboratorium contoh: HT/HB, elektrolit, GDA (PH)
waktu pembentukan
R/ Membantu dalam evaluasi volume sirkulasi, mengidentifikasi devisit
mempengaruhi pilihan intervensi atau pengganti koreksi.
(10) Berikan cairan IV, elektrolit dan vitamin K
R/ mempertahankan volume sirkulasi dan memperbaiki ketidakseimbangan.
42
2.2.3.11
Resiko infeksi
1) Faktor resiko meliputi: kulit yang rusak, trauma jaringan, stasis jaringan
tubuh, munculnya zat-zat patogen/kontaminan, pemajanan lingkungan,
prosedur invasif.
2) Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi perawat akan: mengidentifikasi
faktor-faktor resiko individu dan intervensi untuk mengurangi potensial
infeksi, pertahankan lingkungan aseptik yang aman.
3) Intervensi:
(1) Lakukan pencucian tangan yang baik dan perwatan luka aseptik.
R/ menurunkan resiko penyebaran infeksi.
(2) Periksa insisi dan balutan.
R/ memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi dan pengawasan
penyembuhan peritonitis yang telah ada sebelumnya.
(3) Periksa kulit untuk memeriksa adanya infeksi yang terjadi
R/ gangguan pada integritas kulit atau dekat dengan lokasi operasi adalah
sumber kontaminasi luka.
(4) Berikan antibiotik sesuai petunjuk
R/ dapat diberikan secara profilaksis bila dicurigai terjadinya infeksi atau
kontaminasi.
(5) awasi tanda-tanda vital (nadi, suhu). Perhatikan tanda-tanda infeksi, demam,
menggigil, berkeringat
R/ dugaan adanya infeksi/terjadinya sepsis, abses, peritonitis.
2.2.3.12
Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, dan
pengobatan
1) Dapat dihubungkan
dengan:
kurang
pengetahuan/mengingat.
Salah
43
44
45
46
2.3
Kerangka Konseptual
PENGKAJIAN
Anamnese:
Pasien mengeluh nyeri pada daerah abdomen kuadran kanan atas yang menjalar ke
punggung atau bahu kanan, mual dan muntah (pre operasi). Klien mengalami nyeri
abdomen di area luka insisi (post operasi)
Pemeriksaan Fisik:
Pre operasi: Peningkatan frekuensi pernafasan, nafas pendek, dangkal, takikardia,
peningkatan suhu tubuh, nyeri hebat abdomen bagian atas dapat menyebar ke
punggung atau bahu kanan, warna urine gelap, warna feses tanah liat, bising usus
menurun, kulit gatal-gatal (pruritus).
MASALAH
KEPERAWATAN
Post operasi: Respirasi dangkal,
batuk tidak
efektif, adanya suara nafas tambahan,
Pre
operasi:takikardia, penurunan kesadaran, ekspresi wajah kesakitan, skala nyeri
hipertensi,
1)
akut peristaltik usus 24-48jam, distensi abdomen, penurunan skala
>2,Nyeri
kehilangan
kekuatan
adanya
luka bekas
insisi.
2)
Resikootot,
tinggi
kekurangan
volume
cairan
3) Resiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
4) Hipertermia
5) Resiko tinggi kerusakan integritas kulit
6) Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis, pengobatan, perawatan diri,
dan debit kebutuhan
Post operasi:
1) Nyeri
2) Pola pernapasan tidak efektif
3) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
4) Resiko tinggi kekurangan volume cairan
5) Resiko infeksi
6) Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis, pengobatan, perawatan diri,
dan debit kebutuhan
RENCANA TINDAKAN
PELAKSANAAN
TINDAKAN
Independen
Interdependen
dependen
EVALUASI
Sumatif
Formatif
Masalah teratasi
Re- assesment