Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN CHOLEDOCHOLITHIASIS

Oleh:
NUR MEGAWATI
I4B017037
STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
SEMESTER I

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2017
A. PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Penyakit batu empedu (cholelithiasis) sudah merupakan masalah
kesehatan yang penting di negara barat sedangkan di Indonesia baru mendapatkan
perhatian di klinis, sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas
(Sudoyo, 2007). Insidensi cholelithiasis di negara barat adalah 20% dan banyak
menyerang dewasa dan usia lanjut. Sebagian besar cholelithiasis tidak bertanda
dan bergejala. Sedangkan di Indonesia angka kejadian cholelithiasis tidak jauh
berbeda dengan angka kejadian di negara lain di Asia Tenggara, dan sejak tahun
1980 cholelithiasis identik dengan pemeriksaan ultrasonografi (Syamsuhidajat,
2005). Di negara barat 10-15% pasien dengan batu vesica fellea juga disertai batu
saluran empedu. Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk
primer di dalam saluran empedu intra atau ekstra hepatik tanpa melibatkan vesica
fellea. Batu saluran empedu primer banyak ditemukan pada pasien di wilayah
Asia dibandingkan dengan pasien di negara barat (Sudoyo, 2007).
Tindakan kolekistektomi termasuk salah satu tindakan bedah digesti yang
paling sering dilakukan. Sekitar 5,5 juta penderita batu empedu ada di Inggris dan
50.000 kolesistektomi dilakukan setiap tahunnya. Kasus batu empedu sering
ditemukan di Amerika, yaitu pada 10 sampai 20% penduduk dewasa. Setiap tahun
beberapa ratus ribu penderita ini menjalani pembedahan. (Syamsuhidajat, 2005).
Oleh karena itu, berdasarkan uraian tersebut pada laporan pendahuluan ini akan
membahas mengenai choledocolithiasis.
2. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai pada laporan pendahuluan apendisitis ini
adalah
a. Mahasiswa mampu mengetahui definisi choledocolithiasis
b. Mahasiswa mampu mengetahui klasifikasi choledocolithiasis
c. Mahasiswa mampu mengetahui etiologi choledocolithiasis
d. Mahasiswa mampu mengetahui manifestasi klinis choledocolithiasis
e. Mahasiswa mampu mengetahui patofisiologi choledocolithiasis
f. Mahasiswa mampu mengetahui pemeriksaan penunjang choledocolithiasis
g. Mahasiswa mampu mengetahui penatalaksanaan choledocolithiasis
h. Mahasiswa mampu mengetahui diagnosa yang mungkin muncul pada
choledocolithiasis
i. Mahasiswa mampu mengetahui intervensi choledocolithiasis
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Choledolithiasis
Choledocolithiasis adalah adanya batu pada saluran empedu (duktus choledocus).
Batu empedu merupakan deposit kristal padat yang terbentuk dikandung empedu
dimana batu empedu dapat bermigrasi ke saluran empedu sehingga dapat
menimbulkan komplikasi dan dapat mengancam jiwa (Sjamsuhidayat, 2010).
2. Klasifikasi
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di
golongkankan atas 3 (tiga) golongan (Price, 2005)
a. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang
mengandung > 50% kolesterol). Batu kolestrol murni merupakan hal yang
jarang ditemui dan prevalensinya kurang dari 10%. Biasanya merupakan
soliter, besar, dan permukaannya halus. Empedu yang disupersaturasi dengan
kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari 90 % kolelitiasis di negara
Barat. Sebagian besar empedu ini merupakan batu kolesterol campuran yang
mengandung paling sedikit 75 % kolesterol berdasarkan berat serta dalam
variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa organik dan inorganik
lain. Kolesterol dilarutkan di dalam empedu dalam daerah hidrofobik
micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah relatif garam empedu
dan lesitin. Ini dapat dinyatakan oleh grafik segitiga, yang koordinatnya
merupakan persentase konsentrasi molar garam empedu, lesitin dan
kolesterol. Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam empat
tahap :
Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
Pembentukan nidus.
Kristalisasi/presipitasi.
Pertumbuhan batu oleh agregasi/presipitasi lamelar kolesterol
dan senyawa lain yang membentuk matriks batu.
b. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis batu empedu yang mengandung
< 20% kolesterol. Jenisnya antara lain:
1) Batu pigmen kalsium bilirubin (pigmen coklat) Berwarna coklat atau
coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsium-
bilirubinat sebagai komponen utama. Batu pigmen cokelat terbentuk
akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat
disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier,
dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E.
Coli, kadar enzim Bglukoronidase yang berasal dari bakteri akan
dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium
mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari
penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara
infeksi bakteri dan terbentuknya batu pigmen cokelat.umumnya batu
pigmen cokelat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang
terinfeksi.
2) Batu pigmen hitam. Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak
berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak
terekstraksi. Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan
pada penderita dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen
hitam ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Potogenesis
terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam
terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril.
c. Batu campuran Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana
mengandung 20-50% kolesterol. Merupakan batu campuran kolesterol
yang mengandung kalsium. Batu ini sering ditemukan hampir sekitar 90
% pada penderita kolelitiasis. batu ini bersifat majemuk, berwarna coklat
tua. Sebagian besar dari batu campuran mempunyai dasar metabolisme
yang sama dengan batu kolesterol.
3. Etiologi Choledolithiasis
Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna, akan tetapi,
faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme
yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi
kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan yang paling
penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol
dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat
meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan
unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian
dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan
pembentukan mukus. Sekresi kolesterol berhubungan dengan terjadinya
pembentukan batu empedu. Pada kondisi yang abnormal, kolesterol dapat
mengendap, menyebabkan pembentukan batu empedu. Berbagai kondisi yang
dapat menyebabkan pengendapan kolesterol yaitu terlalu banyak absorbsi air dari
empedu, terlalu banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari empedu,
terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu. Jumlah kolesterol dalam empedu
sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik
mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam tubuh.
Untuk alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi lemak dalam waktu
beberapa tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu empedu (Guyton &
Hall, 2008).
4. Manifestasi klinis choledolithiasis
Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan
perut kanan atas disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi
kolangitis. Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi,
akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut.
Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial non
piogenik yang ditandai dengan trias Charcot yaitu demam dan menggigil, nyeri
didaerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa
kolangitis piogenik intrahepatik, akan timbul 5 gejala pentade Reynold, berupa
tiga gejala trias Charcot, ditambah syok, dan kekacauan mental atau penurunan
kesadaran sampai koma (Sjamsuhidajat dan Jong, 2010)
Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat serius karena
komplikasi mekanik dan infeksi yang mungkin mengancam nyawa. Batu duktus
koledokus disertai dengan bakterobilia dalam 75% persen penderita serta dengan
adanya obstruksi saluran empedu, dapat timbul kolangitis akut. Episode parah
kolangitis akut dapat menyebabkan abses hati. Migrasi batu empedu kecil melalui
ampula vateri sewaktu ada saluran umum diantara duktus koledokus distal dan
duktus pankreatikus dapat menyebabkan pankreatitis batu empedu.
Tersangkutnya batu empedu dalam ampula akan menyebabkan ikterus obstruktif
(Garden, 2007).
a. Rasa sakit dan kolik bilier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan

mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan

mungkin teraba massa padat pada perut. Pasien dapat menampung kolik

bilier disertai sakit hebat pada abdomen kuadaran kanan atas yang menjalar
ke punggung atau bahu kanan0 rasa sakit ini biasanya disertai mual dan

muntah dan bertambah hebat dalam makan makanan dalam porsi besar. Pada

sebagian pasien rasa sakit bukan kolik pelunakan persisten. Serangan kolik
bilier semacam ini disebabkan kontraksi kandung empedu yang tidak dapat
mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam
keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh dinding
abdomen pada daerah kartilago kosta 9 dan 10 kanan. Sentuhan ini
menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika
pasien melakukan inspirasi dalam dan menghambat pengembangan rongga
dada.
b. Ikterus obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam dudodenum akan

menimbulkan gejala yang khas, yaitu gatah empedu yang tidak lagi dibawa

kedalam duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini

membuat kulit dan menbran mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering

disertai dengan gejala gatal-gatal pada kulit.

c. Perubahan Warna urine dan feses. Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan

membuat urine berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh

pigmen empedu aka tampak kelabu, dan biasanya pekat yang disebut Clay-
colored
d. Defisiensi vitamin

Obstruksi aliran empedu juga akan mengganggu absorbsi vitamin A,D,E,K

yang larut lemak. Karena itu pasien dapat memperlihatkan gejala defisiensi

vitamin-vitamin ini jika obstruksi bilier berlangsung lama. Defisiensi vitamin

K dapat mengganggu pembekuan darah yang normal. (Smeltzer, 2001)


e. Reguusrgitasi gas, flatus dan sendawa.
5. Patofisiologi
Batu empedu terjadi karena adamya zat tertentu dalam empedu yang hadir
dalam konsentrasi yang mendekati batas kelarutan mereka. Bila empedu
terkonsentrasi di dalam kandung empadu, larutan akan berubah menjadi jenuh
dengan bahan-bahan tersebut, kemudian endapan dari larutan akan membentuk
kristal mikroskopis. Kristal terperangkap dalam mukosa bilier, akan
mengahasilkan suatu endapan. Oklusi dari saluran oleh endapan dan batu
menghasilkan komplikasi penyakit batu empedu. Pada kondisi normal kolesterol
tidak mengendap di empedu karena mengandung garam empedu terkonjugasi dan
lesitin dalam jumlah cukup agar kolesterol berada di dalam larutan misel. Jika
rasio konsentrasi kolesterol berbanding garam empedu dan lesitin meningkat,
maka larutan misel menjadi sangat jenuh. Kondisi yang sangat jenuh ini mungkin
karena hati memproduksi kolesterol dalam bentuk konsentrasi tinggi. Zat ini
kemudian mengendap pada lingkungan cairan dalam bentuk kristal kolesterol.
Bilirubin, pigmen kuning yang berasal dari pemecahan heme, secara aktif
disekresi ke dalam empedu oleh dati. Sebagian besar bilirubin di dalam empedu
berada dalam bentuk konjugat glukoronida yang larut dalam air dan stabil, tetapi
sebagian kecil terdiri dari bilirubin tak terkonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi,
seperti lemak, fosfat, karbonat, dan anion lainnya cenderung untuk membentuk
presipitat tak larut dengan kalsium. Kalsium memasuki empedu secara pasif
bersama dengan elektrolit lain. Dalam situasi pergantian heme tinggi, seperti
hemolisis kronis atau sirosis, bilirubin tak terkonjugasi mungkinberada dalam
empedu pada konsentrasi yang lebih tinggi dari biasanya. Kalsium bilirubinat
mungkin kemudian mengkristal dari larutan dan akhirnya membentuk batu
pigmen hitam. Empedu yang biasanya steril, tetapi dalam beberapa kondisi yang
tidak biasa (misalnya ada striktur bilier), mungkin terkolonisasi dengan bakteri.
Bakteri menghidrolisis bilirubin terkonjugasi dari hasil peningkatan bilirubin tak
terkonjugasi dapat menyebabkan presipitasi terbentuknya kristal kalsium
bilirubinat, bakteri hidrolisis lesitin menyebabkan pelepasan asam lemak yang
komplek dengan kalsium dan endapan dari larutan lain. Konkresi yang dihasilkan
memiliki konsistensi disebut batu pigmen coklat. Batu empedu kolesterol dapat
terkoloni dengan bakteri dan dapat menimbulkan peradangan mukosa kandung
empedu. Enzim dari bakteri dan leukosit menghidrolisis bilirubin konjugasi dan
asam lemak. Akibatnya, dari waktu ke waktu, batu kolesterol bisa mengumpulkan
proporsi kalsium bilirubinat dan garam kalsium, lalu menghasilkan campuran
batu empedu. Kondisi batu kandung empedu memberikan berbagai manifestasi
keluhan pada pasien dan menimbulkan berbagai masalah keperawatan. Jika
terdapat batu empedu yang menyumbat duktus sistikus dan biliaris komunis
untuk sementara waktu, tekanan di duktus biliaris akan meningkat dan
peningkatan peristaltik di tempat penyumbatan mengakibatkan nyeri visera di
daerah epigastrum, mungkin dengan penjalaran ke punggung. Respon nyeri,
gangguan gastrointestinal dan anoreksia akan meningkatkan penurunan intake
nutrisi. Respon komplikasi akut dengan peradangan akan memberikan
manifestasi peningkatan suhu tubuh. Respon kolik bilier secara kronis akan
meningkatkan kebutuhan metabolisme sehingga pasien cenderung mengalami
kelelahan. Respon adanya batu akan dilakukan intervensi medis pembedahan,
intervensi litotripsi atau intervensi endoskop
Patofisiologi terbentuknya batu kolesterol diawali adanya pengendapan
kolesterol yang membentuk kristal kolesterol. Batu kolesterol terbentuk ketika
konsentrasi kolesterol dalam saluran empedu melebihi kemampuan empedu untuk
mengikatnya dalam suatu pelarut, kemudian terbentuk kristal yang selanjutnya
membentuk batu. Pembentukan batu kolesterol melibatkan tiga proses yang
panjang yaitu pembentukan empedu yang sangat jenuh (supersaturasi),
pembentukan kristal kolesterol dan agregasi serta proses pertumbuhan batu.
Proses supersaturasi terjadi akibat peningkatan sekresi kolesterol, penurunan
sekresi garam empedu atau keduanya (Gustawan, 2007).
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui
duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut
dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga
menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus
karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap
berada disana sebagai batu duktus sistikus (Sjamsuhidayat, 2010).
6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien kolelitiasis adalah
a. Pemeriksaan Sinar-X Abdomen, dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan
akan penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala
yang lain. Namun, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup
kalsifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-x.
b. Ultrasonografi, pemeriksaan USG telah menggantikan pemeriksaan
kolesistografi oral karena dapat dilakukan secara cepat dan akurat, dan dapat
dilakukan pada penderita disfungsi hati dan ikterus. Pemeriksaan USG dapat
mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus koledokus yang
mengalami dilatasi.
c. Pemeriksaan pencitraan Radionuklida atau koleskintografi. Koleskintografi
menggunakan preparat radioaktif yang disuntikkan secara intravena. Preparat
ini kemudian diambil oleh hepatosit dan dengan cepat diekskresikan ke
dalam sistem bilier. Selanjutnya dilakukan pemindaian saluran empedu untuk
mendapatkan gambar kandung empedu dan percabangan bilier.
d. ERCP (Endoscopic Retrograde CholangioPancreatography), pemeriksaan ini
meliputi insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam esofagus
hingga mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanul dimasukkan ke
dalam duktus koledokus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras
disuntikkan ke dalam duktus tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta
evaluasi percabangan bilier. ERCP juga memungkinkan visualisasi langsung
struktur bilier dan memudahkan akses ke dalam duktus koledokus bagian
distal untuk mengambil empedu.
e. Kolangiografi Transhepatik Perkutan, pemeriksaan dengan cara
menyuntikkan bahan kontras langsung ke dalam percabangan bilier. Karena
konsentrasi bahan kontras yang disuntikkan itu relatif besar, maka semua
komponen pada sistem bilier (duktus hepatikus, duktus koledokus, duktus
sistikus dan kandung empedu) dapat dilihat garis bentuknya dengan jelas.
f. MRCP (Magnetic Resonance Cholangiopancreatography), merupakan teknik
pencitraan dengan gema magnet tanpa menggunakan zat kontras, instrumen,
dan radiasi ion. Pada MRCP saluran empedu akan terlihat sebagai struktur
yang terang karena mempunyai intensitas sinyal tinggi, sedangkan batu
saluran empedu akan terlihat sebagai intensitas sinyal rendah yang
dikrelilingi empedu dengan intensitas sinyal tinngi, sehingga metode ini
cocok untuk mendiagnosis batu saluran empedu (Lesmana, 2006).
7. Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang
hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi
makanan berlemak (Sjamsuhidayat, 2010). Jika batu kandung empedu
menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun telah dilakukan perubahan pola
makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung empedu
(kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan
zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan
(Sjamsuhidayat, 2010). Prosedur terapetik yang bertujuan untuk mengangkat batu
CBD ada dua cara, pertama operasi dengan melakukan sayatan pada CBD
(koledekotomi), atau melalui duktus sistikus (transistik), dengan metode
konvensional operasi terbuka (Open Common Bile Duct Exploration) melalui
laparoskopi yang disebut Laparascopic Common Bile Duct Exploration (CBDE).
Sedangkan cara yang kedua adalah dengan menggunakan endoskopi, yaitu
Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) yang diikuti
sfingterotomi endoskopik (ES) dan dilakukan ekstraksi batu. Ekstraksi batu dapat
dilakukan dengan atau tanpa sfingterotomi, apabila sebelumnya telah dilakukan
dilatasi sfingter dengan balon. Laparoskopi kolesistektomi saat ini memang lebih
banyak disukai dan sudah menjadi terapi standar. Walaupun eksplorasi CBD juga
dapat dilakukan melalui teknik laparoskopi pada sebagian besar kasus (Nuhadi,
2011).
8. Pathway terlampir
9. Diagnosa yang mungkin muncul
Nyeri akut berhubungan dengan prosedur bedah
Risiko infeksi dengan faktor risiko prosedur invasif
Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
10. Fokus Intervensi
Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan NIC: Pain Management 1. pengkajian nyeri
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam 1. Lakukan pengkajian nyeri dilakukan secara
prosedur bedah diharapkan nyeri pasien secara komprehensif termasuk komprehensif agar dapat
berkurang dengan kriteria lokasi, karakteristik, durasi, mengetahui lokasi nyeri,
hasil: frekuensi, kualitas dan faktor kapan terjadi nyeri, faktor
NOC: Pain Control presipitasi. pemicu nyeri, durasi
2. Observasi reaksi non verbal nyeri, dan skala nyeri
indikator Awal Akhir dan ketidaknyamanan dengan format P,Q,R,S,T
Melaporka 3. Gunakan teknik komunikasi 2. observasi non verbal
n adanya terapeutik untuk mengatahui dilakukan untuk
nyeri
pengalaman nyeri pasien mengetahui reaksi non
Mengguna
kan metode
4. Pilih dan lakukan penangan verbal seperti ekspresi
non nyeri (farmakalogi dan non muka yang ditunjukan
farmakolog farmakologi) pasien saat pasien nyeri
is 5. Ajarkan teknik non 3. penangnan nyeri
farmakologi dilakukan secara
Keterangan : 6. Berikan analgetik untuk farmakalogi dan non
1. Sangat parah mengurangi nyeri farmakalogo untuk
2. Parah 7. Evaluasi ke efektifan kontrol mengurangi nyeri pada
3. Sedang nyeri pasien
4. Ringan 8. Tingkatkan istirahat dengan 4. Mengajarkan teknik non
5. Tidak parah tirah baring farmakologi seperti nafas
dalam untuk mengurangi
nyeri pada pasien
5. Analgetik merupakan
obat untuk mengurangi
nyeri
6. Evaluasi kontrol nyeri
dilakukan untuk
mengetahui apakah
teknik yang dilakukan
pada pasien efektif atau
tidak
7. Istirahat pasien
ditingkatkan agar pasien
cepat pulih

Risiko Infeksi dengan NOC: Risk Control NOC: Infection Control 1. Mencegah kuman
faktor risiko prosedur Setelah dilakukan tindakan 1. Bersihkan lingkungan berkembangbiak
invasif perawatan 3x24 jam, 2. Ajarkan cuci tangan yang 2. Untuk membersihkan
diharapkan infeksi tidak terjadi benar kepada pasien dan tangan dari kuman
dengan kriteria hasil: keluarga penyebab infeksi
Indikator Awal Akhir 3. Instruksikan keluarga dan 3. Mencegah penularan
Menunju 2 4 pengunjung untuk cuci tangan kuman dari pengunjung
kka
sebelum dan sesudah kontak ke pasien atau
kemampu
an untuk dengan pasien sebaliknya
mencega 4. Gunakan sabun antimikroba 4. Desinfeksi
h untuk cuci tangan 5. Mencegah penularan
timbulny 5. Cuci tangan setiap sebelum kuman
a infeksi
dan sesudah tindakan 6. Mempercepat proses
Pasien 2 4
bebas
keperawatan penyembuhan luka
dari tanda 6. Dorong masukan nutrisi dan 7. Mempercepat proses
dan cairan yang cukup penyembuhan
gejala 7. Dorong pasien untuk istirahat
infeksi 8. Kolaborasi pemberian
Menunju 2 4 antibiotic
kkan
perilaku
hidup
sehat

Ketidakseimbangan NOC: Nutritional Status NIC: Nutrition Management


nutrisi kurang dari Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji status nutrisi pasien. 1. Menetukan intervensi
kebutuhan tubuh keperawatan 3x24 jam, yang diberikan.
diharapkan kebutuhan nutrisi 2. Jaga kebersihan mulut, 2. Kebersihan mulut dapat
pasien bisa terpenuhi, dengan anjurkan untuk selalu meningkatkan
indikator berikut: melakukan oral hygiene. kenyamanann saat
Indikator Awal Akhir makan.
3. Berikan informasi yang tepat 3. Memotivasi pasien
- Asupan 2 5 terhadap pasien tentang untuk memenuhi
makanan kebutuhan nutrisi yang tepat kebutuhan nutrisi.
- Asupan dan sesuai.
2 5 4. Anjurkan pasien untuk 4. Zat besi mencegah
cairan
- Energi mengkonsumsi makanan anemia dan keletihan.
- Hidrasi tinggi zat besi seperti sayuran
2 5 hijau. 5. Menjaga fungsi
2 5 5. Beri makanan ringan, sup pencernaan.
kental, dan makanan lunak,
2 5 jika perlu. 6. Untuk mencukupi
Keterangan: 6. Monitor kandungan nutrisi kebutuhan nutrisi.
1. Keluhan sangat berat. dan kalori asupan. 7. Mengurangi rasa bosan
7. Sediakan pilihan makanan. pasien.
2. Berat 8. BB dapat
3. Sedang 8. Timbang pasien pada interval mengindikasikan status
4. Ringan waktu tertentu. nutrisi.
5. Tidak ada 9. Agar pemberian nutrisi
9. Kerjasama dengan ahli gizi, sesuai dengan
jika perlu, untuk menentukan kebutuhan pasien.
jumlah kalori dan tipe
makanan yang diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi.
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria. M, et al., 2013, Nursing Intervention Classification (NIC) Sixth Edition.,
Elsevier, United States of America.
Guyton, A.C., dan Hall, J.E., 2008, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11, EGC, Jakarta
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S., 2014, NANDA International Nursing Diagnosis: Definitions
& Classification, 2015-2017. 10nd ed. Oxford: Wiley Blackwell.
Lesmana, L., 2006, Penyakit Batu Empedu, Edisi ke IV, Jakarta, Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.
Moorhead, Sue, et al., 2013, Nursing Outcomes Classification (NOC) Sixth Edition. United
States of America: Elsevier.
Nuhadi M., 2011, Perbedaan Komposisi Batu Kandung Empedu Dengan Batu Saluran
Empedu pada Penderita yang dilakukan Eksplorasi Saluran Empedu, Universitas
Padjajaran. RS Hasan Sadikin, Bandung.
Price, Sylvia Anderson., 2005, Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. :
EGC, Jakarta
Sjamsuhidayat Wim de Jong., 2005, Buku ajar ilmu bedah edisi 2, EGC, Jakarta
Sjamsuhidajat dan Wim De Jong., 2010, Buku Ajar Ilmu Bedah Vol 3, EGC, Jakarta
Smeltzer C. Suzanne, Bare G. Brendo., 2002, Keperawatan medikal bedah vol. 3, EGC,
Jakarta
Sudoyo, Aru W, dkk., 2007, Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Edisi 4, Jilid 1, Jakarta,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Anda mungkin juga menyukai